LAYOUT Des 2015 Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial NAFI’ MUTHOHIRIN UIN Syarif Hiddayatullah Jakarta nafi_m@yahoo.co.id ABSTRACT This article examines the rise of Islamic radicalism expressed through the virtual network (social media. Facebook, YouTube, Twitter, Tumbler, and other free ap- plication providers such as WhatsApp have become a spot for propaganda, recruit- ment, training, preparing, and calling for the establishment of Islamic Khilafa. Con- temporary strategy has been used by the “defenders of Islam” to influence Muslim society. In particular, the radical groups have actively used social media to target youth as the main users of social media. (netizen). This research focuses on Islamic fundamentalism, represented by radical groups such as Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Harakah Tarbiyah dan Jamaah Salafi. Keywords: radicalism; Islam; social media; youth ABSTRAK Artikel ini membahas tentang keriuhan gerakan radikalisme Islam yang menyeruak di jejaring virtual. Facebook, YouTube, Twitter, Tumbler, dan layanan aplikasi gratis seperti WhatsApp telah menjadi ruang bagi cara baru untuk melakukan propaganda, perekrutan, pelatihan, perencanaan, ajakan pendirian Khilafah Is- lam. Strategi kekinian yang terus dipraktikkan “para pembela Islam” tersebut mempengruhi cara berfikir masyarakat Muslim. Mereka secara aktif menggunakan media sosial dengan menarget anak-anak muda sebagai mayoritas warga di jejaring sosial (netizen). Penelitian ini fokus pada kelompok radikalisme Islam, termasuk beberapa organisasi fundamentalisme Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Harakah Tarbiyah dan Jamaah Salafi. Kata Kunci: Radikalisme, Islam, Media Sosial, dan Anak Muda Radikalisme Islam di Indonesia Lebih dari dua dekade terakhir, khususnya di Indonesia, gerakan radikalisme Islam semakin menyeruak di ruang publik. Beberapa fenomena yang bisa dengan mudah menjadi tanda bagi kemunculannya, ialah; Pertama, aksi-aksi terorisme, baik yang berskala kecil maupun besar, terjadi secara berulang- ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ DOI 10.18196/AIIJIS.2015. 0050. 240-259 ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ 241241241241241Vol. 11 No. 2 Desember 2015 ulang. Kelompok teroris bermunculan, meski berbagai langkah pencegahan dan pemberantasan telah dilakukan pemerintah. Ibarat sebuah pepatah “mati satu tumbuh seribu”, kematian ideolog teroris seperti Azahari bin Husin, Amrozi, dan Imam Samudra tidak membuat pergerakan “para pejuang di jalan Allah” ini berhenti, tetapi justru bertransformasi menjadi kelompok- kelompok kecil yang baru, militan, aktif, dan berbahaya. Kedua, munculnya kelompok yang menyuarakan dikembalikannya Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Fenomena ini menguat dan ditandai dengan dipraktikkannya bentuk pemerintahan daerah (Perda) berbasiskan Syari’ah sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Banten, Indramayu, Riau, Sumatera Barat, Yogyakarta, Pamekasan, dan sejumlah kota dan daerah lainnya.1 Ketiga, dijadikannya masjid, mushallah, kampus, dan kos-kos mahasiswa sebagai basis pergerakan sejumlah organisasi fundamentalisme Islam. Tempat- tampat ini menjadi pusat kajian, indoktrinasi, perekrutan dan mobilisasi benih- benih Islam radikal melalui program halaqah, usrah, atau daurah.2 Keempat, hadirnya beberapa organisasi lokal (tidak ada kaitannya dengan gerakan Islam transnasional) yang mengatasnamakan Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum Umat Islam (FUI) yang mengi- nginkan diberlakukannya islamisasi ruang publik, serta menjadi “aparat keama- nan” bagi masyarakat yang melanggar “norma-norma agama” dalam perspektif mereka. Kelima, menguatnya gerakan radikalisme Islam juga ditengarai oleh keberadaan laman, akun di media sosial, portal online, serta penerbitan-pener- bitan berbasis Islam yang sengaja dibuat untuk memprogandakan ideologi- ideologi kekerasan, ujaran kebencian, pendirian negara Islam, dan hujatan terhadap produk-produk yang berasal dari Barat. Di era kekinian seperti sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa mengemukanya gerakan radikalisme dan terorisme, lebih didominasi oleh gejala fenomena yang paling akhir. Khamami Zada menjelaskan, bahwa seba- gian buku, majalah dan portal online Islam berasimilasi dengan organisasi keagamaan atau individu dengan faham keislaman yang berorientasi radikal.3 Kemunculan portal-portal online dan penerbitan-penerbitan berbau radikal menjadi tren baru bagi gejolak pemahaman keagamaan radikal di Indonesia. Sebut saja misalnya, Al-Wa’i (tabloid yang dimiliki dan dikelola Hizbut Tahrir Indonesia), Pustaka At-Taqwa (dimiliki oleh Abu Salam, seorang Salafi), dan Jazeerah Solo (penerbit yang menerbitkan buku Imam Samudra ‘Aku Melawan ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ 242242242242242 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA Teroris’). Majalah, buku, dan portal online Islam ini tidak semata memiliki motivasi untuk kepentingan bisnis, tetapi bertujuan mendesiminasikan faham- faham keagamaan tertentu. Bahkan, untuk penerbit-penerbit buku Islam menyelenggarakan Islamic Book Fair dalam beberapa tahun ini. Agenda ini memiliki maksud dan tujuan yang jelas untuk memasarkan buku-buku Islam radikal. Fakta-fakta tersebut memperjelas kondisi keberagamaan umat Islam di Indonesia yang semakin kritis. Selain hampir setiap hari, publik dipertontonkan dengan aksi-aksi pemberantasan teroris oleh Densus 88, masyarakat juga terus diserang kekhawatiran terhadap masa depan generasi muda yang sangat mungkin akan terinfiltrasi pemikiran-pemikiran keagamaan yang keras, konservatif, kaku, dan menakutkan. Terlebih, seperti disebutkan sebelumnya, bahwa pola, strategi, dan pergerakan berbagai kelompok radikal Islam dalam rangka menyebarluaskan pemahaman keagamaannya itu telah menyergap ke setiap penjuru. Bahkan, tempat ibadah seperti masjid dan mushallah, terkooptasi dengan ajaran-ajaran yang keluar dari doktrin Islam. Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya meningkatnya aktivitas keagamaan yang ditengarai berbau radikal Islam seperti ini, mulai marak sejak tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya rezim otoritarian Soeharto (1998). Orde Baru jatuh, lalu diganti dengan era reformasi sebagaimana yang dicita- citakan semua elemen bangsa. Babak baru ini ditandai dengan dibukanya kran demokrasi yang selebar-lebarnya. Dengan harapan yang sangat kuat, Indonesia akan menjadi negara yang maju, masyarakatnya hidup sejahtera, berkecukupan secara ekonomi, dan hak-hak warga dapat terpenuhi. Namun, siapa yang menyangka bila babak baru itu tidak mampu dikelola secara baik dan bersih, sehingga reformasi yang semula mencita-citakan keadilan, malah memunculkan ketimpangan. Di pihak lain, tidak kokohnya pedoman demokrasi yang dianut membuat negeri ini kecolongan dengan masuknya berbagai ideologi yang bersumber dari bangsa lain. Ironisnya, ideologi transnasional tersebut membuat anak bangsa tercerabut dari rasa memiliki bangsa ini. Reformasi menjadi babak baru bagi kemunculan gelombang radikalisme Islam dan terorisme yang lebih besar. Tidak kokohnya demokrasi membuat berbagai ideologi dari luar berinfiltrasi secara sistematis di Indonesia. Di lain pihak, berbagai kelompok radikal yang mulanya bergerak secara sembunyi- sembunyi, seperti HTI dan Harakah Tarbiyah, melihat kesempatan ini lalu bergerak secara multisel dan menguatkan keberadaannya di berbagai tempat ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ 243243243243243Vol. 11 No. 2 Desember 2015 dan situasi, tak terkecuali di sektor politik praktis. Berbagai ideologi dan gerakan Islam radikal berebut pengaruh dengan melakukan indoktrinasi dan menjaring keanggotaan dalam jumlah besar. Dalam hal ini, HTI dan Tarbiyah adalah dua organisasi Islam transnasional yang pal- ing mendapat keuntungan dari jatuhnya Soeharto.4 Sementara pertumbuhan Jamaah Salafi berjalan konstan karena pergerakannya tidak mengambil jalan politik praktis. Dapat dikatakan bahwa tidak ada diskursus keagamaan yang patut menjadi perbincangan menarik pasca tumbangnya Orde Baru kecuali maraknya kemunculan gerakan radikalisme dan terosisme. Hal ini terutama karena beberapa gerakan Islam yang datang belakangan ini menunjukkan pola keberagamaan yang berbeda sebagaimana yang dipraktikkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kelompok radikal Islam bersimpul pada perjuangan politik Islam, mendirikan Khilafah Islam, serta menolak demokrasi dan Pancasila sebagai sistem pemerintahan nasional, sementara Muhammadiyah dan NU mempopulerkan Islam toleran dan terbuka terhadap pokok-pokok pikirian modern. Padahal, ketika rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), kata “radikalisme” dan “terorisme” yang ditujukan kepada kelompok tertentu, hampir tidak pernah keluar ke permukaan, apalagi menjadi pembicaraan dalam waktu yang lama di media massa.5 Penyebutan atas kasus kekerasan yang dimotori oleh kelompok yang berbasiskan keagamaan saat itu, lebih dikatakan sebagai gerakan pemberontakan. Hal tersebut tercermin, misalnya yang terjadi pada pemberontakan di Aceh dan Papua. Akan tetapi, ditandai dengan bangkitnya Reformasi, tepatnya pasca meledaknya serangkaian aksi pengeboman oleh kelompok teroris pada tahun 2000, seperti Bom Kedubes Filipina (1/8),6 Bom Kedubes Malaysia (27/8),7 Bom Bursa Efek Jakarta (13/9),8 dan Bom Malam Natal (24/12),9 kata “radikalisme” mulai banyak diperbincangkan. Kemudian, dua tahun berikutnya, ledakan bom yang terjadi di Kute, Bali (2002) menandai abad baru “terorisme” dan “radikalisme” di Indonesia. Sejak saat itu, dua kata tersebut menjadi sangat populer di negeri ini. Apalagi, setelah kasus Bom Bali, ledakan bertubi-tubi kembali terjadi, seperti Bom Mega Kuningan (2009), Bom Solo (2011), Teror Bom Buku, serta Bom Thamrin (2016). Greag Fealy menjelaskan, penggunaan istilah radikalisme Islam tampaknya merupakan kekhasan untuk menyebut fenomena “kebangkitan Islam” di In- donesia. “Ia merupakan genuine phenomena dari dalam masyarakat Islam di Indonesia”.10 Sementara Tarmizi Taher mengemukakan bahwa radikalisme ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ 244244244244244 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA agama adalah “gerakan dari kelompok Muslimin tertentu yang menolak tatanan yang sudah ada, terutama yang dinilai berasal dari Barat, dan berusaha menerapkan suatu model tatanan tersendiri yang berbasiskan nilai-nilai ajaran Islam fundamental, yaitu al-Qur’an, al-Hadist, dan praktik kehidupan sahabat Nabi generasi pertama.”11 Namun pada dasarnya, radikalisme Islam yang berkembang di Indonesia memiliki banyak “wajah” dan cara. Maksudnya adalah terdapat sebagian kelompok Muslim yang tergabung dalam satu organisasi keagamaan tertentu, yang bercita-cita melakukan repolitisasi politik Islam.12 Gelombang politik Is- lam ini sebagai satu dari sekian wajah radikal Islam yang juga berkembang di dalam negeri. Kelompok ini, sebagaimana acap diketahui, bersuara dengan lantang menginginkan berdirinya Khilafah Islam, dengan menghardik sistem pemerintahan demokrasi yang sudah ada. Sementara kelompok yang berbeda, tetapi mencita-citakan harapan yang sama, ekspresi-ekspresi politiknya ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara, namun moral para elitnya tergerus kepentingan politik pragmatis. Kemunculan berbagai bentuk radikalisme tersebut seiring dengan perkembangan konfigurasi geopolitik dan ekonomi global. Kelompok- kelompok radikalis tersebut tumbuh bak jamur di musim hujan dengan memperlihatkan identitasnya sebagai gerakan transnasional yang solid dan sistematis. Keberadaan mereka mewujud dalam bentuk halaqah, usrah, atau daurah di masjid-masjid dan kampus-kampus, serta di kos-kos mahasiswa. Sebagaimana yang dikemukakan di berbagai media massa, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengidentifikasi beberapa organisasi Islam radikalis yang berkembang di Indonesia memiliki keterkaitan dengan ideologi dan jaringan terorisme global (ISIS atau Al-Qaedah), di antaranya adalah: Pertama, Jemaah Islamiyah (JI), yang memiliki arti “kelompok Islam” atau “masyarakat Islam”. Dalam perspektif intelijen, JI adalah sebuah organisasi keagamaan yang mencita-citakan Darul Islam di kawasan Asia Tenggara. Kelompok ini didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ketika dalam pelarian di Ma- laysia. Sejak 2008, pengadilan negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa JI sebagai “korporasi terlarang”13 karena dua tokohnya (Abu Dujana dan Zarkasih) terlibat dalam peristiwa peledakan Bom Bali (2002) yang menewaskan sebanyak 202 orang. Organisasi ini juga dianggap bertanggungjawab pada aksi teror Bom Bali II (2005), Bom Hotel JW Marriot (2003), dan peledakan di depan Kedubes Australia (2004). Sementara itu, pada waktu sebelumnya, pemerintah AS sudah menyebut bahwa JI adalah organisasi teroris. ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ 245245245245245Vol. 11 No. 2 Desember 2015 Kedua, Jamaah Ansharot Tauhid (JAT). Organisasi yang berbasiskan keagamaan ini merupakan pecahan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang didirikan juga oleh Abu Bakar Baasyir di Solo pada 27 Juli 2008. Sebagaimana JI, JAT juga dicap teroris oleh AS dan pemerintahan RI. Sejak awal berdiri, kelompok ini merangkul para anggota teroris yang menjadi buronan dan eks anggota JI. Melalui JAT, Abu Bakar Baasyir mendaklarasikan dukungannya terhadap ISIS yang berada di bawah amir khilafah Abu Bakar Al-Baghdadi. Akan tetapi, langkah Baasyir ini tidak banyak diikuti para anggotanya. Sebagian besar mereka tidak sependapat mengenai dukungan ini karena tidak cocok dengan pergerakan Al-Baghdadi sebagai amir khilafah. Ketiga, Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kemunculan MIT dilatarbelakangi oleh konflik komunal-keagamaan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada 1998. Gerakan “Laskar Jihad” menggema di kawasan tersebut, sehingga menarik banyak umat Islam dari berbagai daerah untuk terlibat dalam peperangan “Islam-Kristen” tersebut. Setelah konflik ini berakhir, para kombatannya bercokol menjadi kelompok Islam garis keras yang bertanggunggjawab atas sejumlah tindak terorisme di Indonesia. MIT berada di bawah kepemimpinan Santoso, atau Abu Wardah Santoso Asy Syarqy Al Indunisy. Pada Juni 2014, sebuah video diunggah di Youtube berdurasi 12.30 menit, yang isinya mengenai baiat kelompok MIT kepada Daulah Islam atau Khilafah Islamiyyah atau ISIS. Selain jaringan kelompok teroris yang bercokol di Indonesia pasca Reformasi 1998, beberapa kelompok keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai organisasi radikalisme Islam, yaitu: Pertama, Harakah Tarbiyah. “Tarbiyah” memiliki arti pendidikan secara etimologis, namun pada konteks fenomena gerakan keagamaan di Indonesia istilah ini ditujukan untuk menyebut gerakan Islam yang terinspirasi Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir.14 IM memiliki dua ideolog terkenal yaitu Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Meski organisasi keislaman ini sudah berdiri sejak 1927, tetapi doktrin gerakannya tetap membumi hingga hari ini. Ekspansi gerakannya menyebar hingga ke negara- negara lain termasuk di Indonesia. Model pembinaan di kalangan aktivis Harakah Tarbiyah dapat dikatakan sangat ketat. Gerakannya dibangun dengan rapi dan sistematis mulai pra sekolah hingga masuk perguruan tinggi. Pola pembinaannya dilakukan dengan cara asistensi. Program asistensi bertujuan “merenovasi” pemahaman keagamaan umat Islam. Karena itu, mereka yang mengikuti program asistensi agama Islam berarti menjadi aktivis Tarbiyah. ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ 246246246246246 JURNAL ILMU-ILMU KEISLAMAN AFKARUNA Meski secara ideologi Harakah Tarbiyah menolak berbagai pemikiran dan produk yang bersumber dari Barat, namun mereka sangat sadar bahwa untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia, juga beberapa negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya, perlu berlindung di bawah demokrasi dan mendirikan partai politik yang diakui pemerintah setempat. Pasca tumbangnya era Orde Baru, hal ini dibuktikan para aktivis Tarbiyah dengan membentuk Partai Keadilan, yang saat ini telah berganti nama dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).15 Selain anti demokrasi, Harakah Tarbiyah juga melawan pokok-pokok pikiran modern seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, serta sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme. Kedua, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam buku yang bertajuk Mani- festo Hizbut Tahrir untuk Indonesia disebutkan, HTI merupakan sebuah partai politik yang berideogikan Islam. Organisasi ini berdiri dengan tujuan ingin membebaskan umat manusia dari dominasi, paham, pemikiran, sistem hukum, dan negara kufur menuju paham, pemikiran, sistem hukum, dan negara Is- lam dengan menerapkan syari’ah Islam secara kaffah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia.16 Dengan harapan besar itu, HTI merupakan gerakan politik yang menginginkan supaya Islam menjadi sistem pemerintahan glo- bal. Sementara Indonesia, disuarakan untuk menjadi titik awal tegaknya cita- cita Khilafah Islamiyyah.17 Bagi HTI, kepentingan Indonesia menjadi nukleus bagi bangkitnya kekuatan Islam dunia memiliki alasan yang rasional. Secara organisatoris, saat ini HTI telah memiliki struktur kepengurusan yang lengkap mulai dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), hingga Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Sejak pasca Kongres Internasional pertama Hizbut Tahrir di Gelora Bung Karno (GBK) pada tahun 2000, HTI telah berekspansi ke 31 provinsi dan mempunyai lebih dari 200 distrik di Tanah Air. Terlebih lagi kepengurusan di dalamnya meliputi departemen politik, ekonomi, dan kemahasiswaan. Di lingkungan mahasiswa HTI menjelma menjadi gerakan ekstra kampus Gerakan Pembebasan Mahasiswa (GEMA). Sistem kepengurusan HTI yang begitu komperhensif tidak dijumpai di negara-negara lain. Apalagi di sejumlah negara di Timur Tengah seperti Mesir, Syiria, Tunisia, Libya, dan Lebanon sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan titik awal tegaknya Khila