LAYOUT Juni 2016


Akar Pluralisme dalam Pendidikan
Muhammadiyah

ABDUL MU’TI
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Email: abe_mukti@yahoo.com

ABSTRACT
This paper discusses the nature of Muhammadiyah educational institutions and

relates it to the diverse socio-religious background of Indonesian society. Renowned
as the largest modernist Islamic movement in Indonesia and Southeast Asia, which
promotes the purity of Islam, Muhammadiyah in fact has been faced with notions
of religious and cultural pluralism, and therefore, it has to seeks ways of how to
formulate Islam in plural society. This article is a theoretical exposition of Muham-
madiyah and its encounters with religious pluralism, and how Muhammadiyah
translates notions of pluralism into praxis in its educational institutions. This paper
argues that educational institutions of Muhammadiyah have widened path for
deepening inter-religious dialogue and interaction in the diversity of Indoensian
society.

Keywords: religious pluralism, education, da’wa, ideology, Muhammadiyah

ABSTRAK
Artikel ini mengkaji karakteristik lembaga pendidikan Muhammadiyah dan

mengaitkannya dengan keragaman latarbelakang sosial-keagamaan masyarakat In-
donesia. Dikenal sebagai gerakan Islam modernis di Indoensia dan di Asia Tenggara,
yang mempromosikan kemurnian ajaran islam, Muhammadiyah nampaknya harus
berhadapajn dengan keanekaragaman agama dan budaya dan untuk itu,
Muhammadiyah mencoba mencari jalan bagaimana menerjemahkan islam dalam
masyarakat plural. Tulisan ini merupakan kajian teoretis tentang Muhammadiyah
dan interaksinya dengan masalah pluralisme agama, serta bagaimana Muham-
madiyah menerjemahkan gagasan pluralisme agama ke dalam praksis di bidnag
pendidikan. Artikel ini berpendapat bahwa lembaga pendidikan Muhammadiyah
telah membuka jalan yang luas untuk hubungan dan dialog antar agama.

Kata kunci: pluralisme agama,pendidikan, dakwah, ideologi, Muhammadiyah

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

DOI 10.18196/AIIJIS.2016.0053.1-42



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

22222 AFKARUNA

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negeri yang multikultural dan multireligius. Selama

berabad-abad bangsa Indonesia yang terdiri atas beratus-ratus suku dan etnis1

serta memeluk agama dan keyakinan yang berbeda-beda2 hidup berdampingan
secara damai. Bangsa Indonesia sangat religius dan taat menjalankan ajaran
agamanya,3 tetapi, Indonesia bukanlah negara agama (non-theocratic state).
Negara Indonesia berdasarkan atas Pancasila yang digali dari nilai-nilai tradisional
bangsa Indonesia. Pancasila–meminjam istilah Abdullah An-Naim–adalah
“Golden Rule” (Kaidah Dasar) yang memiliki nilai-nilai universal lintas

kebudayaan, agama dan hak asasi manusia.4 Eksistensi Pancasila diterima
oleh mayoritas umat beragama5 karena memayungi pluralitas dan kemerdekaan
setiap warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.6

Melalui proses akomodasi, akulturasi dan asimilasi yang alamiah pluralitas
agama dan budaya membentuk karakter bangsa yang toleran dan terbuka.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi “trade mark”

kebudayaannya adalah warisan Hindu dan Buddha seperti Candi Borobudur
dan Prambanan, dll. Kuatnya pertautan antara agama dan kebudayaan
membuat agama-agama di Indonesia– termasuk Islam–cenderung sinkretis.7

Secara sosiologis, sinkretisme tidak selalu bermakna negatif. Pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang khas Indonesia adalah produk sinkretisme Islam-
Jawa. Pengaruh Jawa dalam Islam juga terlihat dalam perayaan keagamaan,

arsitektur masjid, dll.8

Pluralitas agama sebagai koeksistensi sosiologis yang damai telah menjadi
tradisi bangsa Indonesia. Dalam bidang pendidikan, banyak siswa Muslim
yang belajar di sekolah-sekolah non-Muslim atau sebaliknya. Pernikahan beda
agama sekarang semakin lazim terjadi. Bahkan, dalam suku-suku tertentu
ikatan kekerabatan dalam bentuk marga atau yang lainnya lebih kuat dibanding

agama.
Meskipun terdapat gejala meningkatnya kelompok Salafi Radikal, main-

stream Muslim Indonesia adalah kelompok moderat.9 Islam moderat memiliki
empat karakteristik. Pertama, menerima demokrasi ala Barat sebagai alat untuk
memilih pemimpin dan wakil rakyat. Kedua, menerima hukum negara yang
nonsektarian dalam pengertian tidak mendukung penerapan Syariat Islam dalam

hukum atau politik pemerintahan. Ketiga, menghormati hak-hak perempuan
dan kaum minoritas agama. Mereka bersikap hospitable terhapat kaum Feminis
dan terbuka terhadap pluralisme dan dialog antaragama. Keempat, menentang
terorisme dan tidak kekerasan yang melanggar hukum.10



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

33333Vol. 12 No. 1 Juni 2016

Sayangnya, karakter kebudayaan dan keberagamaan bangsa Indonesia yang
toleran tampaknya mulai luruh. Dalam satu dasawarsa terakhir paska reformasi
politik, serangkaian aksi anarkis dan konflik komunal bernuansa SARA (Suku,

Agama, Ras, Antar-Golongan) meledak di beberapa kawasan di Indonesia.
Ribuan orang meninggal dalam serangkaian tindak kekerasan bernuansa SARA
yang terjadi Maluku, Poso (Sulawesi Tengah) dan Kalimantan Barat. Di Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan beberapa tempat lainnya ratusan
rumah ibadah luluh lantak oleh amukan massa. Pengikut aliran agama tertentu
yang dianggap “sesat” masih hidup dalam keterasingan dan ketakutan.

Mengapa demikian?
Banyak faktor yang mempengaruhi kekerasan keagamaan. Beberapa studi

menjelaskan kekerasan keagamaan yang terjadi di berbagai belahan dunia
lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal non-agama. Menurut Vanessa
Baird, politik merupakan faktor yang paling dominan.11 Di Indonesia, kekerasan
keagamaan disebabkan oleh politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan,

khususnya mereka yang pro status quo.12 Pelaksanaan demokrasi liberal menjadi
momentum kebangkitan politik identitas yang ditandai oleh menjamurnya
partai berbasis agama. Otonomi Daerah juga membawa ekses meningkat
sentimen primordialisme etnis. Isu “putera daerah” adalah komoditas politik
yang hampir selalu muncul dalam setiap Pemilihan Kepada Daerah. Kekerasan
keagamaan acapkali terjadi dalam proses transisi demokrasi, otonomi

pemerintahan dan akomodasi identitas politik.13

Dalam beberapa kasus, kekerasan keagamaan juga disebabkan oleh faktor
ekonomi. Konflik Ambon, misalnya, sarat dengan persaingan perebutan
kekuasaan dan aset ekonomi antar kelompok yang akar-akarnya sudah tumbuh
sejak masa kolonialisme Belanda.14 Faktor kesenjangan ekonomi juga menjadi
pemicu kekerasan antara “penduduk asli” dengan “pendatang” di beberapa

daerah transmigrasi. Kekerasan rasial di Kalimantan Barat nampaknya tidak
terlepas dari persaingan ekonomi antara suku Dayak versus Madura.

Faktor lain yang mempengaruhi kekerasan keagamaan adalah globalisasi.15

Dalam perkembangannya, globalisasi yang disertai oleh mengalirnya arus
kapital, barang dan informasi dari negara-negara maju ke negara-negara
berkembang menimbulkan masalah neokolonialisme: ekonomi dan kultural.

Kesenjangan ekonomi Utara-Selatan yang semakin lebar, dominasi budaya
Baru (baca: Barat) menggerus nilai-nilai tradisional–termasuk agama.16 Situasi
demikian menyuburkan perkembangan radikalisme atau fundamentalisme
agama sebagai upaya perlawanan untuk melindungi identitas tradisi dan



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

44444 AFKARUNA

“kedaulatan” politik.17 Kekerasan keagamaan di Indonesia dipicu oleh isu-isu
politik global dan kesalahpahaman budaya (cultural misunderstanding).

Faktor internal yang bermuara pada pemahaman agama juga bisa menjadi

salah satu penyebab kekerasan keagamaan. Menurut Charles Kimball, jika
dimaknai secara inklusif, agama mampu memersatukan umat manusia.
Sebaliknya, pemahaman agama yang sempit dan eksklusif bisa menimbulkan
masalah. “Keyakinan arogan terhadap agama seseorang dibarengi dengan
penolakan yang menyakitkan atas agama lain sesungguhnya malah
memperkuat argumen bahwa agama memang merupakan satu masalah”.18

Dalam konteks Islam, jika dipahami secara literal skripturalistik konsep mulia
seperti jihad dapat menjadi dalih untuk bersikap agresif, melakukan tindak
kekerasan kepada pihak lain bahkan terorisme.19

Pendidikan agama merupakan faktor penting yang mempengaruhi
pemahaman agama. Sebagian kalangan berpendapat, terjadinya kekerasan
keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini disebabkan oleh kegagalan pendidikan

agama. Pendidikan agama yang terlalu menekankan domain kognitif dengan
pendekatan pembelajaran yang doktriner cenderung membentuk pemahaman
agama yang sempit dan eksklusif.20"Sebagian besar yang dihasilkan dari
pendidikan agama selama ini mungkin hanya orang-orang memiliki pemikiran
yang terpecah dalam beragama... orang-orang yang mencintai agamanya
sendiri... yang mudah dipicu kebenciannya terhadap agama lain.”21

Apakah pendidikan agama benar-benar gagal? Dengan segala
kekurangannya, pendidikan agama berperan penting dalam membangun
religiusitas dan moralitas bangsa. Bahkan, menurut Kuntowijoyo, formalisasi
pendidikan agama di sekolah merupakan faktor penting yang mempengaruhi
terjadinya konvergensi sosial dan Islam di Indonesia yaitu konvergensi sosial
antara wong cilik dengan priyayi, konvergensi budaya antara abangan dan

santri serta konvergensi aliran antara tradisionalis, modernis dan puritan.
Kewajiban mengikuti pendidikan agama di sekolah, memungkinkan siswa
dari berbagai latar belakang sosial mempelajari agama melalui guru agama
dan sumber belajar yang sama.22 Karena itu, pokok masalahnya bukan pada
substansi agama dan pendidikan agama melainkan pada aspek metodologi
pemahaman dan pendidikan agama. Permasalahannya terletak pada sistem

pendidikan agama.
Bagaimana sistem pendidikan agama dalam masyarakat multireligius?

Dalam praktiknya, terdapat tiga aliran pendidikan agama. Pertama, pendidikan
agama tidak perlu diajarkan sebagai studi wajib dalam kurikulum sekolah



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

55555Vol. 12 No. 1 Juni 2016

tetapi cukup diberikan di dalam keluarga dan masyarakat melalui lembaga-
lembaga keagamaan.23 Kedua, pendidikan agama diajarkan di sekolah dalam
kedudukannya sebagai ilmu sosial (social science) yang bersifat non-confes-

sional. Sistem pendidikan agama bertujuan semata-mata untuk mempelajari
agama sebagai ilmu dan pengetahuan tentang masyarakat (learning to know
about religion), bukan untuk menanamkan keyakinan dan membentuk
manusia taat kepada agamanya (learning to be religious persons). Ketiga,
pendidikan agama diajarkan di sekolah sebagai studi wajib yang bersifat con-
fessional. Sistem pendidikan agama bertujuan untuk menanamkan dan

memperteguh keyakinan terhadap agama untuk memperkuat identitas
bangsa.24

Pemerintah Indonesia mengembangkan sistem pendidikan agama confes-
sional. Secara historis, sistem pendidikan agama confessional bukanlah sistem
yang baru karena pernah diberlakukan pada masa penjajahan Portugis dan
Belanda. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pendidikan agama con-

fessional bersifat pilihan, bukan merupakan studi wajib bagi setiap siswa.
Pada pemerintahan Orde Baru melakukan formalisasi dan institusionalisasi
pendidikan agama sebagai studi wajib yang diajarkan kepada seluruh siswa di
semua jenjang pendidikan.25 Pengembangan sistem pendidikan agama con-
fessional didasarkan atas tiga alasan. Pertama, alasan konstitusional yang
mengacu kepada sila pertama Pancasila–Ketuhanan Yang Maha Esa–dan pasal

29 (1) Undang-undang Dasar 1945: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kedua, alasan sosiologis untuk memelihara karakteriktik
bangsa Indonesia yang religius. Ketiga, alasan politis agama sebagai hak asasi
manusia dan pengalaman politik Indonesia dengan komunisme. Sistem
pendidikan agama confessional ditegaskan dalam Undang-undang nomor 2/
1989 tentang Pendidikan Nasional juncto Undang-undang nomor 20/2003

tentang Pendidikan Nasional terutama pada rumusan tujuan pendidikan
nasional,26 pengembangan dan muatan kurikulum27 dan hak peserta didik.28

Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah
nomor 55/2007 tentang pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan.

Dalam praktiknya, peraturan perundangan tentang pendidikan agama yang

sudah tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Ada dua alasan utama mengapa
pendidikan agama tidak dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pertama, keterbatasan tenaga pendidik (guru). Karena sekolah tidak memiliki
guru agama maka pendidikan agama diajarkan oleh guru bidang studi lain



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

66666 AFKARUNA

yang dinilai memiliki kompetensi pengetahuan agama. Kedua, alasan ideologis.
Sekolah mengembangkan sistem pendidikan agama tersendiri karena lebih
mengutamakan “misi” agama sebagaimana dikembangkan oleh Muhamma-

diyah, Ahmadiyah, Kristen, dan Katolik.
Secara umum terdapat tiga model sistem pendidikan agama di sekolah-

sekolah agama. Pertama, model “eksklusif” di mana siswa yang berbeda-
beda agama hanya menerima satu pendidikan agama confessional yang sesuai
dengan agama sekolah yang diajarkan oleh guru agama. Sebagai contoh,
tanpa memperhatikan agamanya seluruh siswa yang belajar di sekolah Kristen

wajib mengikuti pendidikan agama Kristen yang diajarkan oleh guru Kristen.
Kedua, model “inklusif” di mana siswa yang berbeda-beda agama mempelajari
ajaran beberapa agama. Dalam model ini pendidikan agama bersifat non-
confessional yang menekankan aspek kognitif: siswa memahami dan
membandingkan ajaran beberapa agama, menemukan nilai-nilai persamaan
antaragama. Selama proses pembelajaran siswa dipandu oleh seorang guru

agama yang berperan sebagai fasilitator. Model “pendidikan religiusitas” ini
dikembangkan sebagai “strategi” untuk meningkatkan pemahaman dan
kesadaran siswa tentang pluralitas agama dalam masyarakat.29Ketiga, model
“pluralis” dimana siswa mendapatkan dua “pendidikan agama”. Yang pertama,
siswa menerima pendidikan agama confessional sebagaimana diatur di dalam
perundang-undangan pendidikan. Selain itu, siswa wajib mengikuti “pendi-

dikan keagamaan” non-confessional sesuai dengan agama sekolah.
Perbedaan model sistem pendidikan agama di sekolah-sekolah agama

disebabkan oleh perbedaan “ijtihad” dalam menyinergikan ketentuan undang-
undang, misi agama dan konteks sosial-budaya masyarakat. Pertama, sekolah
sebagai lembaga publik terikat oleh hukum dan perundang-undangan. Sekolah
tidak hanya terikat oleh undang-undang pendidikan nasional, tetapi juga

undang-undang tentang perlindungan anak, peraturan pemerintah tentang
penyebaran agama dan perundang-undangan lainnya. Kedua, sekolah sebagai
lembaga agama didirikan sebagai agen penyebaran agama (an agent of reli-
gious missionary). Ketiga, sekolah sebagai lembaga sosial terikat oleh konteks
sosial-budaya dan agama masyarakat. Sebagai lembaga sosial berperan untuk
memelihara kerukunan sosial dan memberikan pelayanan kepada sesama.

Idealnya, sekolah agama dapat mengintegrasikan tiga fungsi sekolah sebagai
lembaga pendidikan, dakwah dan sosial. Tetapi, sekolah agama kadangkala
berada dalam posisi yang dilematis: antara mematuhi undang-undang dengan
pengembangan dakwah agama. Jika sekolah lebih mengutamakan pelaksanaan



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

77777Vol. 12 No. 1 Juni 2016

undang-undang, maka peranannya sebagai lembaga misi tidak maksimal.
Jika sekolah lebih mengutamakan misi, maka ada kecenderungan sekolah
melanggar undang-undang. Pilihan-pilihan prioritas inilah yang menyebabkan

pendidikan agama di sekolah agama bisa menjadi sumber konflik dan
ketegangan antarumat beragama.30

Bagaimana sekolah agama mengembangkan model sistem pendidikan yang
menyinergikan kewajiban yuridis-politis, mengembangkan misi agama dan
memelihara pluralitas keagamaan merupakan kajian yang menarik. Dengan
jumlah sekolah yang sangat besar dan latar belakang keagamaan siswa yang

beragam,31 Muhammadiyah juga harus berhadapan dengan situasi yang
dilematis tersebut. Bagaimana sekolah-sekolah Muhammadiyah
mengembangkan model sistem pendidikan agama dan dampak sosial model
pendidikan yang dikembangkannya merupakan masalah yang memerlukan
studi mendalam.

Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi

munkar yang bertujuan untuk membangun masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Latar belakang kelahiran Muhammadiyah erat kaitannya dengan
berbagai problem sosial dan keagamaan yang disebabkan oleh kehidupan
agama yang sinkretis menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Hadits, kemun-
duran pendidikan Islam dan keterbelakangan umat Muslim, agresivitas
kegiatan misionaris Kristen/Katolik dan penetrasi bangsa-bangsa Eropa.32

Sejak berdiri pada tahun 1912, Muhammadiyah menyelenggarakan
pendidikan yang terbuka untuk semua (education for all). Lembaga pendidikan
Muhammadiyah menerima siswa tanpa memandang latar belakang agama,
etnis, kewarganegaraan dan ekonomi (non-discriminative). Sekolah sebagai
amal usaha Muhammadiyah memiliki tiga fungsi: pendidikan, dakwah Islam
amar ma’ruf nahi munkar dan perkaderan. Hal tersebut nampak dalam visi

dan misi Majelis Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) sebagai majelis
yang secara khusus berkhidmat dalam penyelenggaraan pendidikan
Muhammadiyah. Visi Majelis Dikdasmen adalah tertatanya manajemen dan
jaringan pendidikan yang efektif sebagai gerakan Islam yang maju, profesional
dan modern serta untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi peningkatan
kualitas pendidikan Muhammadiyah. Adapun misi majelis Dikdasmen adalah:

(a) menegakkan keyakinan Tauhid yang murni; (b) menyebarluaskan ajaran
Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah. (c) mewujudkan amal
Islami dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat; (d) menjadikan
lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai pusat pendidikan, dakwah dan



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

88888 AFKARUNA

perkaderan.33

Sesuai dengan konteks tersebut, artikel ini berusaha mengkaji tiga
permasalahan pokok tentang akar-akar pluralisme dalam pendidikan

Muhammadiyah. Permasalahan ini terkait dengan tiga pertanyaan: (a) ideologi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar;
(b) konsep atau pemahaman Muhammadiyah tentang pluralisme agama; (c)
implementasi dakwah dan pluralisme dalam pendidikan.

KAJIAN TENTANG ISLAM DAN PLURALISME AGAMA
Kajian tentang pluralisme agama dan multikulturalisme mulai mendapatkan

perhatian semenjak reformasi politik yang ditandai oleh perkembangan
demokrasi yang cenderung liberal, otonomi daerah, good governance,
keterbukaan politik dan merebaknya kekerasan bernuansa etnis dan agama.
Meskipun gagasan tentang pluralisme, demokrasi, civil society dan
multikulturalisme cukup banyak ditulis dan diterbitkan, penelitian tentang

pluralisme dalam pendidikan masih sangat terbatas, khususnya yang terkait
dengan Muhammadiyah.

Penelitian tentang pluralisme dalam pendidikan dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis. Pertama, penelitian yang terkait dengan kebijakan politik
dan perundang-undangan pendidikan sebagai hard-pluralism. Dua penelitian
penting mengenai hal ini dilakukan oleh M. Saerozi34 dan Abdurrahman

Assegaf.35Saerozi dan Assegaf melakukan kajian historis tentang kebijaksanaan
pendidikan agama sejak masa kolonialisme Belanda dan Portugis sampai era
reformasi. Dalam penelitiannya, Saerozi menemukan bahwa meskipun pola
kebijakannya berbeda-beda, pemerintah Belanda, Portugis dan Indonesia sama-
sama mengembangkan pola pendidikan agama konfesional dimana negara
memberikan legitimasi pendidikan agama untuk meningkatkan keimanan dan

ketaatan siswa terhadap ajaran agamanya. Jika pemerintah VOC dan Portugis
menerapkan kebijaksanaan dominasi terhadap Kelompok Keyakinan Minoritas
(KKM), pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pola penelantaran terhadap
KKM. Pemerintah Indonesia berupaya mengembangkan kebijakan pendidikan
agama konfesional yang lebih ideal, tetapi “warisan” kolonial yang berpola
mendominasi atau menelantarkan KKM tidak bisa dihindari. Karena itu, menurut

Saerozi, Indonesia memerlukan kebijaksanaan pendidikan agama yang
bersumber dari konsep “pluralisme agama konfesional” yang memberdayakan
KKM sehingga negara bisa membebaskan diri dari pola dominasi maupun
penelantaran.



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

99999Vol. 12 No. 1 Juni 2016

Senada dengan Saerozi, penelitian Assegaf menjelaskan bagaimana
perubahan kebijakan atau politik pendidikan agama di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh kepentingan politik pemerintah, konteks dan dinamika politik

nasional dan kontestasi kepentingan dari berbagai kelompok, termasuk di
dalamnya umat beragama. Masalah pluralisme agama selalu menyertai hampir
semua perdebatan tentang pendidikan agama khususnya di sekolah. Menurut
Assegaf, dalam era demokrasi yang meniscayakan keterbukaan dan kebebasan,
meningkatnya kesadaran tentang hak asasi manusia dan identitas merupakan
kondisi yang mengharuskan kebijakan pendidikan agama yang propluralisme.

Apakah kebijakan pendidikan agama yang pluralistik mampu membentuk
sikap positif terhadap pluralisme? Beberapa penelitian tentang model atau
pola pendidikan agama menunjukkan bahwa sikap pluralisme dapat dibentuk
melalui pendidikan. Penelitian Ruswan, Listia, Yayah Khisbiyah, Ibnu Hadjar
dan Jeny Elna. Ruswan meneliti perbandingan sikap toleransi beragama
mahasiswa yang hanya menerima mata kuliah Agama Islam (Wahid Hasyim)

dengan mahasiswa yang menerima mata kuliah agama-agama (Akademi
Kebidanan). Hasil uji statistik menunjukkan mahasiswa yang mempelajari
agama-agama memiliki sikap toleransi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka yang hanya mempelajari satu agama saja.36

Senada dengan Ruswan, Jeny Elna menemukan adanya korelasi antara
pendidikan agama berwawasan pluralis dengan peningkatan sikap, perilaku

dan wawasan pluralitas siswa. Jeny yang melakukan penelitian di sekolah dan
madrasah di Bali juga menemukan bahwa kualitas penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah masih rendah karena sistem dan kurikulumnya tidak
mengakomodir perbedaan latar belakang agama dan kebudayaan siswa.37

Listia, dkk., membandingkan tiga model pendidikan agama alternatif:
model religiusitas (Keuskupan Agung Semarang), model inklusif (SMA PIRI I

Yogyakarta), dan model komunikasi iman (SMA BOPKRI 1 Yogyakarta). Ketiga
model alternatif tersebut dikembangkan dengan mempertimbangkan
kebutuhan siswa yang majemuk dan penekanan aspek partisipatoris. Listia
menemukan dua kesimpulan penting tentang hubungan model pendidikan
agama dengan sikap toleransi. Pertama, model pendidikan alternatif yang
dikembangkan tiga sekolah penelitian berpengaruh positif terhadap

pembentukan sikap toleran. Kedua, model pemisahan (segregasi) yang
dikembangkan pemerintah sesuai dengan UUSPN berpotensi memupuk benih-
benih intoleransi dan diskriminasi.38

Yayah Khisbiyah dkk. dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1010101010 AFKARUNA

meneliti pendidikan apresiasi seni untuk pluralisme budaya di Madrasah
Ibtidayah Muhammadiyah (MIM) di Surakarta dan Sumatera Barat. Penelitian
eksperimen ini membuktikan bahwa pendidikan apresiasi seni berpengaruh

terhadap pembentukan identitas diri dan pluralitas budaya Nusantara sehingga
mereka dapat menerima dan menghormati pluralitas bangsa. Penelitian ini
juga menolak asumsi bahwa kelompok modernis kurang apresiatif terhadap
pluralitas dan kebudayaan lokal.39

Lembaga-lembaga pendidikan Islam–madrasah dan pesantren–telah lama
memiliki konsep dan tradisi pluralisme. Penelitian Fuad Fachruddin dan Badrus

Sholeh menjelaskan berkembangnya kultur pluralisme dalam masyarakat
Muslim. Dalam penelitiannya, Fachruddin menemukan perbedaan pandangan
antara kelompok “rejeksionis” dan “akomodatif” di kalangan anggota
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) tentang demokrasi, jender,
toleransi dan pluralisme. Meskipun kedua kelompok berbeda sikap terhadap
demokrasi, jender dan toleransi, baik Muhammadiyah maupun NU memahami

pluralisme sebagai penghargaan atau memberi kesempatan kepada pemeluk
agama lain untuk hidup berdampingan secara damai.40

Bagaimana lembaga pendidikan Islam berperan dalam demokrasi, civil
society dan pluralisme dijelaskan dalam penelitian Badrus Soleh (LP3ES) dan
Yayah Khisbiyah. Badrus Soleh menemukan variasi sikap kalangan pesantren
terhadap konsep ukhuwah: basyariyah, wathoniyah dan Islamiyah dalam

hubungannya dengan sikap terhadap keragaman suku, agama dan budaya.
Beberapa pesantren seperti Cipasung (Tasikmalaya), Istiqlal (Cianjur), Edi
Mancoro (Salatiga) bersikap positif terhadap kemajemukan. Sedangkan tiga
pesantren lainnya: Ngruki (Surakarta), Nurul Hakim (NTB-Kediri) dan DDI
(Mangkoso-Sulsel) lebih menyukai keseragaman daripada keragaman.41

Bagaimana dengan sekolah Muhammadiyah? Sebutan Muhammadiyah

sebagai gerakan Islam puritan yang menyerukan pemurnian Islam dari
sinkretisme, bid’ah, khurafat dan anasir lain yang merusak agama serta prinsip
berpegang teguh kepada tauhid yang murni, al-Qur’an dan Hadits yang shahih
sering mengesankan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan yang
eksklusif. Muhammadiyah dinilai sebagai gerakan radikal dan tidak toleran,
terutama terhadap tradisi lokal dan misionaris Kristen/Katolik. Tetapi, penelitian

Mitsuo Nakamura, James L Peacock, Achmad Jainuri dan Alwi Shihab
menunjukkan bahwa meskipun Muhammadiyah sangat menekankan
pengamalan Islam yang murni, para pendiri dan tokoh Muhammadiyah
bersikap terbuka dan toleran terhadap tradisi masyarakat dan pemeluk agama



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1111111111Vol. 12 No. 1 Juni 2016

lain, khususnya Kristen/Katolik.
Dalam penelitiannya, Nakamura menemukan empat paradoks dalam

Muhammadiyah. Sebagai gerakan reformasi Islam yang berusaha memurnikan

ajaran Islam Muhammadiyah justru mendapat dukungan kuat di jantung pusat
tradisi kebudayaan Jawa. Para tokoh dan anggota yang menjadi pendukung
Muhammadiyah bukanlah kalangan santri yang taat beragama (religiously
devout) dan kaum pribumi borjuis (indigenous bourgoisie). Ideologi
Muhammadiyah bukanlah merupakan difusi kultural gerakan reformasi Islam
Timur Tengah tetapi transformasi internal tradisi religio-ethical Jawa,

generalisasi dan rasionalisasi tradisi.42 Meskipun interaksi Muhammadiyah
dengan budaya Jawa diwarnai beberapa ketegangan, secara keseluruhan
gerakan reformasi Islam ini memiliki apresiasi dan toleransi yang tinggi terhadap
tradisi Jawa.43

Dalam konteks dan fokus kajian yang berbeda, Achmad Jainuri menemukan
akar-akar toleransi dan pluralisme dalam Muhammadiyah. Penelitiannya tentang

ideologi Muhammadiyah menunjukkan bahwa sebagai gerakan reformasi yang
menganjurkan kehidupan berdasarkan tauhid yang murni dan keteguhan
berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadits Muhammadiyah memiliki ideologi
sosial yang terbuka. Ideologi pluralisme dalam Muhammadiyah berakar pada
prinsip relativisme pemahaman agama dan ijtihad. Dengan prinsip relativisme
tersebut, Muhammadiyah terbuka terhadap paham dan ide-ide baru dari mana

pun datangnya. Keterbukaan Muhammadiyah terhadap pluralisme keagamaan
nampak jelas dalam pembaharuan pendidikan Muhammadiyah yang meliputi:
adopsi sistem sekolah model Belanda, pengajaran studi sekuler dan diterimanya
siswa nonmuslim (Kristen) dan abangan dalam sekolah Muhammadiyah.
Reformasi pendidikan Muhammadiyah memiliki bangunan ideologis yang kuat
berdasarkan pemahaman tentang iman, amal shalih, birr, amar ma’ruf nahi

munkar dan fastabiq al-khairat. 44 Karena itu, sikap kritis dan resistensi
Muhammadiyah terhadap misi Kristenisasi di Indonesia tidak didasarkan di
atas prinsip rivalitas dan permusuhan, tetapi persaingan, kompetisi yang sehat,
dialog dan saling menghormati secara jujur.45

Penelitian lain tentang Muhammadiyah yang cukup penting adalah karya
Alfian, MT. Arifin dan Amir Hamzah Wirjosukarto. Dalam disertasinya, Alfian

menjelaskan secara jelas bagaimana sikap politik Muhammadiyah terhadap
kebijakan politik pemerintah. Meskipun dalam beberapa hal bersikap kooperatif,
Muhammadiyah menentang sangat keras kebijakan pemerintah kolonial yang
kontraproduktif terhadap kebebasan beragama, salah satunya Ordonansi Guru.46



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1212121212 AFKARUNA

MT. Arifin47 dan Amir Hamzah48 mengkaji secara filosofis dan historis pem-
baharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan. Keduanya memaparkan
pergulatan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan kontribusinya dalam

memajukan bangsa.
Kajian penting yang membahas pandangan Muhammadiyah mengenai

pluralisme adalah Tafsir Tematik Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam. Buku yang merupakan hasil dari Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Tarjih tersebut memberikan kajian tafsir yang
sangat luas dan mendalam mengenai hubungan sosial antar umat beragama.

Secara keseluruhan, buku ini menunjukkan keterbukaan Muhammadiyah
terhadap pluralisme khususnya menyangkut pandangannya mengenai Ahli
Kitab, kerjasama antarumat beragama, keadilan sosial dan pernikahan
antaragama.49

Meski demikian, sebagai organisasi yang terbuka, Muhammadiyah memiliki
pluralitas internal yang dinamis. Sikap para aktivis dan anggota Muhammadiyah

terhadap perbedaan keyakinan dan pluralisme tidaklah sama dan monolitik.
Penelitian Abdul Munir Mulkhan, Boy Paradana dan Biyanto secara jelasa
menggambarkan dinamika internal tersebut. Tesis Boy Pradana di Australian
National University (ANU) memaparkan secara jelas konstelasi pemikiran dalam
Muhammadiyah antara kelompok “konservatif” versus “progresif”. Boy
menyimpulkan bahwa paska Muktamar ke 45 di Malang, Muhammadiyah

cenderung lebih konservatif dan tertutup terhadap gagasan-gagasan
pembaruan. Lahirnya kelompok progresif seperti Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM) merupakan respons atas stagnasi pemikiran dan
lambannya Muhammadiyah dalam menjawab berbagai isu penting di
masyarakat. Isu sentral yang menjadi pangkal perdebatan adalah pluralisme
agama dan manhaj Muhammadiyah. Bagi kelompok konservatif, tidak ada

pluralisme di dalam Islam karena bertentangan dengan tauhid. Sebaliknya,
menurut kelompok progresif, pluralisme agama mencerminkan semangat dasar
Islam untuk membangun hubungan toleransi, saling menghormati dan
mengakui perbedaan dengan agama lain.50

Dalam disertasinya, Biyanto menjelaskan sikap dan pandangan para aktivis
Muhammadiyah mengenai pluralisme. Biyanto membandingkan dua kutub

dalam Muhammadiyah yang dapat menerima dan menolak pluralisme dengan
mengangkat isu-isu keagamaan seperti kasus Ahmadiyyah, kebebasan
beragama, dll. Dalam penelitiannya, Biyanto menyimpulkan latar belakang
pendidikan dan literatur memiliki pengaruh terhadap pembentukan pola



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1313131313Vol. 12 No. 1 Juni 2016

pemikiran para aktivis. Menariknya, baik kelompok yang menerima maupun
yang menolak pluralisme merujuk kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah masa
awal dan interpretasi terhadap sikap organisasi mengenai isu-isu keagamaan.51

Pluralitas sikap keagamaan dan politik warga Muhammadiyah dijelaskan
dalam penelitian Abdul Munir Mulkhan. Dalam penelitiannya, Abdul Munir
Mulkhan menemukan adanya empat kelompok dalam Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah al-Ikhlas. Kelompok ini memiliki orientasi keagamaan
yang menekankan aspek akidah dan purifikasi ajaran Islam dengan menentang
keras takhayul, bid’ah, khurafat (TBK), tradisi lokal dan cenderung konfrontatif

terhadap pemeluk agama lain. Kedua, Muhammadiyah Kiai Dahlan. Kelompok
ini bersikap rasional dan memahami agama secara terbuka. Mereka
mengamalkan ajaran Islam yang murni tetapi bersikap toleran terhadap
kelompok lain serta dapat memahami praktikTBK. Ketiga,kelompok Munu
(Muhammadiyah-NU). Kelompok ini bergabung dengan Muhammadiyah
karena amal-amal sosialnya. Meskipun telah menjadi anggota Muhammadiyah

mereka masih memegang teguh tradisi keagamaan sebagaimana warga
Nahdlatul Ulama. Keempat, kelompok Marmud (Marhaenis-Muhammadiyah).
Kelompok ini agak dekat dengan tradisi abangan. Sebagian mereka bahkan
masih terbiasa menyelenggarakan tradisi keagamaan dan kebudayaan yang
cenderung sinkretis. Orientasi politiknya sangat nasionalis. Mayoritas anggota
Muhammadiyah adalah kelompok Munu yang terdiri atas para petani yang

tekun dan menjadikan TBC (takhayul, bid’ah dan churafat) sebagai tradisi.
Elit pimpinan cabang didominasi kelompok Kiai Dahlan. Al-Ikhlas dan Marmud
sama-sama menjadi kelompok minoritas di kalangan warga Muhammadiyah.
Berdasarkan penelitian Abdul Munir Mulkhan, konfigurasi warga Muhamma-
diyah didominasi oleh kelompok pluralis yang toleran terhadap tradisi.52

PLURALISME DAN PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Secara esensial dan perenial model institusi, sistem, karakter dan kultur

pendidikan Muhammadiyah masa kini berakar pada ideologi Muhammadiyah
sebagai dasar normatif dan pengalaman historis sebagai landasan empiris.
Ideologi Muhammadiyah adalah sistem paham, falsafah atau world view
yang mendasari perjuangan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan.53

Ideologi Muhammadiyah bersumber pada al-Qur’an dan As-Sunnah yang secara
formal-organisasi terhimpun dalam Mukadimah Anggaran Dasar, Kepribadian
Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
(MKCH), Khitah Perjuangan, Pedoman Hidup Islami (PHI) dan pedoman lain



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1414141414 AFKARUNA

yang mendukung nilai-nilai ideologis.54 Pengalaman historis adalah produk
ijtihad dan kreativitas strategis dalam konteks tertentu di masa lalu yang relevan
dengan konteks sekarang. Implementasi ideologi bersifat relatif permanen

dan mengikat setiap amal usaha Muhammadiyah. Sedangkan pengalaman
sejarah bersifat kasuistik dan tidak mengikat.

Ada tiga pokok masalah yang akan dibahas. Pertama, Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Muhammadiyah
memahami dakwah sebagai proses Islamisasi kultural. Kedua, pemahaman
Muhammadiyah tentang pluralisme dan toleransi. Bagian secara spesifik

menguraikan ideologi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang puritan-
pluralis. Ketiga, implementasi konsep dakwah dan pluralisme dalam pendidikan
Muhammadiyah. Bagaimana pluralisme berkembang dalam tradisi pendidikan
Muhammadiyah secara ringkas dibahas dalam bagian ini.

MUHAMMADIYAH: PURITAN YANG PLURALIS
Sesuai dengan MKCH, “Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah

Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat,
tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.”55 Bagaimanakah
pandangan Muhammadiyah tentang toleransi dan pluralisme?

Pandangan Muhammadiyah tentang pluralisme dan toleransi dapat dikaji
dari tiga perspektif. Pertama, pandangan Muhammadiyah tentang kehidupan

bermasyarakat. Kedua, prinsip-prinsip dan dasar-dasar keagamaan dalam
Muhammadiyah. Ketiga, usaha-usaha Muhammadiyah dalam membangun
persatuan dan relasi dengan umat non-Muslim. Perspektif pertama dan kedua
lebih bersifat ideologis. Sedangkan yang ketiga mengkaji secara historis dengan
melihat kiprah organisasi dan para tokoh.

Muhammadiyah berpendapat bahwa hidup bermasyarakat adalah

sunnatullah dan bagian dari ibadah, Sesuai dengan fitrahnya, manusia adalah
makhluk sosial. Hidup bermasyarakat adalah takdir, perwujudan qudrat-iradat
Allah.56 Terkait dengan matan ini, Hamdan Hambali menjelaskan bahwa hidup
bermasyarakat adalah kodrat (ketentuan) Allah untuk memberi makna dan
nilai yang hakiki bagi kehidupan manusia. Betapa pun sangat sempurna,
manusia yang individualistis tidak mampu meraih makna dan nilai kehidupan.

Hidup bermasyarakat memiliki makna transendental sebagai bagian dari ibadah,
pengabdian kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.57

Karena itu Muhammadiyah mendorong anggotanya untuk aktif terlibat
dalam kehidupan masyarakat. Sesuai dengan Pedoman Hidup Islami (PHI)



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1515151515Vol. 12 No. 1 Juni 2016

warga Muhammadiyah agar senantiasa menjalin persaudaraan dan tidak
diskriminatif dengan sesama anggota masyarakat. Berdasarkan akhlak Islam,
dalam kehidupan bertetangga warga Muhammadiyah hendaknya memelihara

hak, menjunjung tinggi kehormatan dan membina hubungan yang harmonis
baik kepada sesama Muslim maupun non-Muslim.58

Khusus tentang hubungan bertetangga dengan non-Muslim, PHI
memberikan guideline agar warga Muhammadiyah berinteraksi secara alamiah
dan bersikap toleran.

Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk

bersikap baik dan adil, mereka memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai
tetangga, 59 memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan
dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai
dengan prinsip-prinsip yang diajarkan agama Islam.60

Keterlibatan manusia dalam kehidupan masyarakat mencerminkan kualitas
keimanan. Menurut K.H. Mas Mansur, kehadiran seorang mukmin di dalam

masyarakat harus bermanfaat, menimbulkan kebahagiaan dan kedamaian.61

Mas Mansyur menjelaskan hal ini dengan mengutip beberapa Hadits, antara
lain riwayat Abu Nai’m dari Ibnu Umar: “Orang mukmin itu bermanfaat,
kalau engkau berjalan dengannya dia memberi manfaat, jika diminta pendapat
dia memberi manfaat, jika bergaul dengannya dia memberi manfaat, semua
hal yang datang darinya bermanfaat.”

Hidup bermasyarakat merupakan bagian tak terpisahkan dari Aqidah
Tauhid. Amien Rais memformulasikan hal ini dalam konsep Tauhid Sosial.62

Menurutnya, Tauhid secara spiritual-vertikal berarti mengesakan Allah sebagai
satu-satunya Tuhan di alam semesta. Tauhid berarti memusatkan segala sesuatu
kepada Allah (centrality on God) sebagai poros (axis) dalam kehidupan. Selain
makna ekslusifnya, Tauhid juga memiliki makna yang inklusif: mempersatukan.

Dalam konteks ini, Tauhid memiliki lima dimensi. Pertama, unity of God
(kesatuan Tuhan); Allah adalah Tuhan bagi seluruh alam semesta.63 Kedua,
unity of guidance (kesatuan tuntunan/petunjuk hidup); al-Qur’an adalah
petunjuk bagi seluruh umat manusia.64 Ketiga, unity of creation (kesatuan
penciptaan/makhluk); semua yang eksis di alam semesta selain Allah adalah
makhluk. Manusia tidak boleh berbuat kejahatan kepada sesama manusia,

binatang dan merusak alam semesta karena mereka semua adalah makhluk
Allah.65 Keempat, unity of mankind (kesatuan umat manusia); umat manusia
adalah satu, tidak ada superioritas individu, kelompok, suku dan lain-lain
kecuali atas takwa.66 Kelima, unity of the purpose of life (kesatuan tujuan



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1616161616 AFKARUNA

hidup). Pada dasarnya setiap manusia ingin mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan. Karena itu manusia tidak boleh merampas hak sesama dengan
berbuat kerusakan demi kebahagiaannya sendiri. 67

Dengan demikian, Tauhid yang murni bukanlah jalan kehidupan yang
ekslusif-individualistik. Tauhid yang murni justru menumbuhkan sikap terbuka
dan semangat persatuan di antara manusia yang berbeda-beda agama dan
keyakinan. Untuk menciptakan persatuan, manusia harus meninggalkan sikap
egoistis, merasa dirinya paling benar dan meninggalkan musyawarah. Menurut
KRH. Hadjid, prinsip persatuan inilah yang sangat ditekankan oleh K.H. Ahmad

Dahlan. “kebanyakan diantara para manusia berwatak angkuh dan takabur,
mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri.”68 Egoisme pribadi dan kelompok
itulah sumber perpecahan dan kehancuran masyarakat.

Untuk menciptakan persatuan dan harmoni sosial diperlukan dialog, sikap
terbuka dan saling menghormati di antara sesama warga masyarakat yang
berbeda-beda agama dan keyakinan. K.H. Ahmad Dahlan mengkritik keras

sikap egoisme dengan mengatakan:
... marilah mengadakan permusyawaratan dengan golongan lain di

luar golongan masing-masing untuk membicarakan manakah
sesungguhnya yang benar itu dan manakah sesungguhnya yang salah.

... satu macam agama, menganggap salah terhadap sebagian golongan
yang lain. Misalnya, mereka yang beragama Kristen Katolik menganggap

salah mereka yang beragama Kristen Protestan. Sebaliknya kaum Kristen
Protestan juga menyalahkan kaum Kristen Katolik.

Begitu juga di kalangan umat Islam, mereka yang mengaku sebagai
Ahli Sunnah wal Jama’ah menetapkan salah terhadap mereka yang didakwa
termasuk golongan Mu’tazilah...

Pendek kata, tiap-tiap golongan dari yang besar sampai yang kecil,

malah sampai kepada perseorangan, mereka menganggap bahwa dirinya
yang benar dan sudah benar, kemudian menyalahkan kepada yang lainnya.

Mereka merasa sudah benar, tidak memerlukan lagi untuk mengetahui
keadaaan golongan lain, tidak memerlukan bermusyawarah dengan
golongan lain, dan mengabaikan hujjah atau alasan golongan lain.69

Selanjutnya, K.H. Ahmad Dahlan juga mengkritik kecenderungan umat
beragama yang memutlakkan kebenaran keyakinannya dan menyerang pemeluk
agama lain. K.H. Ahmad Dahlan menganalogikan sikap tersebut sebagaimana
orang yang melempar pisau cukur untuk melukai orang lain: “Manusia satu



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1717171717Vol. 12 No. 1 Juni 2016

sama lain selalu melemparkan pisau cukur, mempunyai anggapan pasti pal-
ing tepat, dia melemparkan celaka kepada orang lain.”70 Inti pendapat K.H.
Ahmad Dahlan tersebut dijelaskan KRH. Hadjid sebagai berikut:

Sebagaimana orang Yahudi yang menganggap bahwa dirinya akan
bahagia, dan selain orang Yahudi akan sengsara, begitu juga orang Kristen
yang menganggap bahwa hanya golongannya yang akan bahagia,
mendapat surga, lainnya akan sengsara.

Begitulah anggapan tiap-tiap golongan agama, seperti hanya golongan
Majusi, golongan Shabiah dan lain-lainnya lagi.... Golongan Islam juga

menetapkan demikian. Hanya golongan Islam yang selamat dari api neraka,
sedang selain golongan Islam akan sengsara.

Sekarang bagaimana dengan orang yang tidak beragama?
... oleh golongan-golongan yang beragama baik golongan Islam,

Yahudi, Kristen, Majusi, dan agama-agama lain, diyakini bahwa orang
yang tidak beragama itu semua akan celaka dan sengsara.

Namun, sebaliknya, golongan yang tidak beragama mempunyai
anggapan, bahwa manusia itu sesudah mati tidak akan celaka, tidak akan
disiksa.71

Muhammadiyah menginginkan tatanan masyarakat yang integratif, tidak
tersekat-sekat oleh perbedaan suku, bangsa dan agama dengan

mengembangkan sikap saling menghormati dan hidup rukun dengan sesama.
Muhammadiyah menghendaki terwujudnya masyarakat madani yang
pluralistik. Setiap warga Muhammadiyah hendaknya bisa menjadi pribadi
teladan. “... pribadi manusia dan ketertiban hidup bersama adalah merupakan
unsur pokok dalam membentuk dan mewujudkan masyarakat yang baik,
bahagia dan sejahtera.”72 Muhammadiyah berusaha membangun masyarakat

yang pluralistik dengan mengembangkan sikap pluralis.
Sikap pluralis di dalam Muhammadiyah memiliki tiga landasan ideologis.

Pertama, dalam bidang keagamaan Muhammadiyah tidak terikat kepada salah
satu mazhab. Kedua, Muhammadiyah meyakini paham relativisme pemikiran
dimana kebenaran suatu pemikiran atau hasil ijtihad bersifat subyektif-relatif
dan terbuka untuk dikaji ulang. Ketiga, dalam bidang muamalah-duniawiyah

(sosial-kemasyarakatan) Muhammadiyah memiliki prinsip “open learning”:
keterbukaan untuk belajar dari berbagai sumber.

Muhammadiyah menyatakan dirinya tidak terikat kepada salah satu
mazhab. Menurut Muhammadiyah, hasil ijtihad para ulama yang terkodifikasi



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1818181818 AFKARUNA

menjadi mazhab merupakan “paham agama” yang tidak mengikat,73 bukan
doktrin agama yang harus diikuti. Pernyataan ini tidak berarti Muhammadiyah
menolak pendapat para imam Mazhab. Dalam bidang fikih, K.H. Ahmad

Dahlan terpengaruh oleh Mazhab Syafi’i. Mayoritas guru-gurunya ketika
menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama lebih dari setahun
adalah para syeikh Mazhab Syafi’i seperti Kyai Nawawi Muhtaram Banyumas,
Kyai Nawawi al-Bantani dan Sayyid Bakri Shatta. K.H. Ahmad Dahlan juga
belajar kepada para ulama Nusantara yang bermukim di Mekah seperti Kyai
Mahfudz Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau.74 Nama Ahmad Dahlan

sebagai pengganti Muhamm ad Darwisy–nama kecil Ahmad Dahlan–diberikan
oleh Syeikh Sayyid Bakri.75 Ada dua kemungkinan mengapa Sayyid Bakri
memberikan nama Ahmad Dahlan. Pertama, Sayyid Bakri mengharapkan K.H.
Ahmad Dahlan menjadi pewaris dan penerus ajaran Ahmad Ibn Zaini Dahlan76

di Indonesia. Dalam tradisi Islam, nama adalah doa agar seseorang mendapat
berkah dan dapat menjadi manusia sebagaimana namanya. Kedua, Sayyid

Bakri memberikan nama “asal saja”, tidak memiliki agenda apa pun.77

Pengaruh Mazhab Syafi’i dalam fiqh K.H. Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah masa awal dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, dalam
bidang ibadah K.H. Ahmad Dahlan membaca doa qunut dalam setiap salat
shubuh. Bilangan Salat Tarawih dua puluh rakaat. Kedua, dalam tradisi
keagamaan rapat-rapat resmi dan pengajian di Muhammadiyah selalu dibuka

dan diakhiri dengan bacaan Surat al-Fatihah. Ketiga, bidang ijtihad
Muhammadiyah mempergunakan qiyas sebagai metode instinbat hukum yang
utama.78 Tetapi dalam hal menyangkut batalnya wudlu, misalnya menyentuh
perempuan, Muhammadiyah lebih condong kepada pendapat Imam Hanafi
yang berpendapat sentuhan perempuan tidak membatalkan wudlu.

Dengan tidak bermazhab, Muhammadiyah dapat bersikap “netral” dan

bergerak bebas tanpa terbelenggu oleh suatu pendapat. Muhammadiyah
berusaha melakukan revitalisasi al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber
hukum yang universal. Dalil-dalil al-Qur’an harus lebih diutamakan daripada
pendapat para imam mazhab. Tanpa mengurangi penghargaan kepada para
ulama dan pendapatnya, Muhammadiyah menilai ijtihad para ulama klasik
memiliki keterbatasan. Pertama, keterbatasan intelektual yang bermuara pada

otentisitas dan validitas referensi dalil-dalil rujukannya. Kedua, keterbatasan
relevansi dengan kehidupan kontemporer karena perbedaan konteks, ruang
dan waktu. Tidak bermazhab bukan berarti talfiq–mencampuraduk pendapat
Mazhab–atau mencari yang mudah-mudah saja dalam beragama tetapi



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

1919191919Vol. 12 No. 1 Juni 2016

mengikuti pendapat yang paling kuat di antara pendapat para ulama sebagai
hujjah dalam beribadah. Secara khusus Muhammadiyah melembagakan tradisi
ijtihad melalui Majelis Tarjih yang bertugas melakukan pengkajian sehingga

seluruh amal ibadah Muhammadiyah sesuai dengan dalil al-Qur’an dan Hadits
yang rajih (kuat).

Menurut Muhammadiyah pintu ijtihad senantiasa terbuka. Hasil-hasil
pemikiran dan tafsir ulama terdahulu terbuka untuk dikaji kembali. Meskipun
otoritas berijtihad tetaplah terbatas. Otoritas ijtihad hanya diberikan kepada
mereka yang berkompeten, baik secara induvidual maupun kolektif. Tetapi,

setiap manusia berkewajiban untuk meningkatkan pengetahuan dan
mendalami ajaran agama. Menurut K.H. Mas Mansur, para ulama yang
berkompeten hendaknya senantiasa berijtihad untuk memperluas dan
memperdalam agama. Bagi masyarakat yang tidak berkompeten boleh ber-
ittiba’, mempelajari agama kepada para ulama sehingga memahami dalil-
dalil secara mendalam.79 Muhammadiyah mengajak umat Islam membebaskan

diri dari stagnasi pemikiran dan disintegrasi sosial sebagai warisan sejarah
Islam masa pertengahan,80 dengan memperluas paham agama dan tidak
berhenti berijtihad terutama dalam lapangan sosial.

Sebagai produk pemikiran, kebenaran hasil ijtihad kolektif (ijtihad jamai’)
dan ijtihad individual (ijtihad munfarid) bersifat subyektif dan relatif. Berdasarkan
prinsip keagamaan yang kedua ini, Muhammadiyah berpendapat bahwa tidak

ada hasil ijtihad yang final. Semuanya terbuka untuk dikaji kembali dan direvisi,
termasuk yang dikemukakan oleh Muhammadiyah sendiri. Fakta historis
mengenai hal ini adalah perubahan fatwa Majelis Tarjih tentang doa qunut
dan pemasangan foto K.H. Ahmad Dahlan. Majelis Tarjih menyatakan bahwa
doa qunut bukan bagian dari salat shubuh. Pendapat ini berbeda dengan
fatwa terdahulu yang memperbolehkan qunut dalam setiap salat shubuh.

Atas alasan syaddu al-dzari’ah (preventif) Majelis Tarjih masa awal melarang
pemasangan foto K.H. Ahmad Dahlan karena bisa menjurus kepada
kemusyrikan (kultus individu), Di kemudian hari, ketika akidah umat sudah
kuat, foto K.H. Ahmad Dahlan boleh dipasang untuk tujuan pendidikan
(tarbiyah).81 Perubahan fatwa bukan hal yang asing. Ketika bermukim di
Baghdad, Imam Syafi’i memperbolehkan transaksi “salam”82 karena

penduduknya jujur. Fatwa ini disebut qaul al-qadîm. Ketika hijrah dan menetap
di Mesir, Imam Syafi’i melarang transaksi bisnis “salam”. Mayoritas masyarakat
Mesir cenderung curang, tidak dapat dipercaya. Fatwa baru ini disebut qaul
al-jadîd.



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2020202020 AFKARUNA

Muhammadiyah juga berpendapat bahwa hasil ijtihad tidak pernah tunggal.
Muhammadiyah menyadari adanya pluralitas pemikiran dan keagamaan di
dalam masyarakat. Karena itu, dalam setiap pernyataannya Muhammadiyah

selalu mengemukakan: “ini adalah pendapat Muhammadiyah”. Pernyataan
ini mengandung pengertian bahwa dalam masalah yang sama sangat
dimungkinkan adanya pendapat kelompok lain yang berbeda. Di antara
perbedaan pendapat yang ada, Muhammadiyah tidak mengklaim
pendapatnyalah yang paling valid.83

Muhammadiyah memahami dan menerima pluralitas sebagai keniscayaan

sosiologis. Setiap manusia akan cenderung membela dan mempertahankan
pendapat dirinya dan kelompoknya. K.H. Ahmad Dahlan menggambarkan
kecenderungan ini dengan merujuk kepada al-Qur’an Qs. 30, Ar-Rum: 32.84

Bahkan, karena fanatisme yang berlebihan manusia menutup diri dan
membenci pihak lain: “Manusia itu semua membenci sesuatu yang tidak
diketahui”.85 Perbedaan ideologis dan kultural dalam suatu masyarakat “...

harus dipelihara sejauh perbedaan ini tidak bertentangan dengan nilai dan
norma dasar yang dianut oleh masyarakat itu.”86

Lebih jauh dari itu, Muhammadiyah menerima pluralitas sebagai bagian
dari sunnatullah. Pendapat Muhammadiyah ini berdasarkan pemahaman
komprehensif ayat-ayat al-Qur’an, khususnya Qs. 2, al-Baqarah: 148 dan Qs.
5, al-Maidah: 48.87 Menurut Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Is-

lam (PPI) di dalam al-Qur’an terdapat apresiasi terhadap pluralisme agama
melalui pengakuan bahwa tiap-tiap umat beragama mempunyai pandangan,
orientasi, dan praktik keagamaan masing-masing. Merujuk kepada pendapat
al-Qurthubi, Majelis Tarjih dan PPI menyimpulkan bahwa “keragaman itu
merupakan sesuatu yang memang menjadi tujuan Tuhan dalam ciptaan-
Nya.”88

Manusia harus mengambil manfaat dari pluralitas dengan sikap saling
menghormati dan berdialog secara tulus. Dialog bukanlah dimaksudkan untuk
mencari titik temu di antara agama yang berbeda-beda, tetapi lebih difokuskan
sebagai upaya untuk mengenal “yang lain”. Dialog bukan bertujuan untuk
melakukan “asimilasi”:89 melebur kelompok-kelompok yang berbeda-beda.
Semangatnya bukanlah untuk menunjukkan superioritas satu kelompok di

atas yang lainnya (menang-kalah), tetapi saling mempelajari (mutual under-
standing). Sebagaimana ditulis KRH. Hadjid, K.H. Ahmad Dahlan mengatakan:

Manusia itu perlu sekali mendengarkan segala fatwa ucapan. Dari
siapa saja harus didengar. Jangan sampai menolak, tidak mau



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2121212121Vol. 12 No. 1 Juni 2016

mendengarkan suara dari lain pihak. Selanjurnya suara-suara tadi harus
dipikir sedalam-dalamnya, dan ditimbang, disaring dan dipilih yang benar.

Manusia perlu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Manusia yang tahu caranya mencuri, tidak dapat disebut sebagai pencuri
kecuali kalau memang benar-benar dia itu mencuri. Begitu juga seorang
Kristen yang paham seluk-beluk tentang agama Islam, belum menjadi
orang Islam kecuali kalau dia itu benar-benar mengamalkan agama Islam.
Dan sebaliknya orang Islam pun yang tahu seluk-beluk tentang agama
Kristen juga tidak lalu menjadi Kristen, kecuali kalau memang

mengamalkannya. 90

Keterbukaan untuk bersedia belajar dan menerima pihak lain yang berbeda
membutuhkan sikap toleransi. K.H. Ahmad Dahlan pernah mengundang para
tokoh wanita Sarekat Islam untuk berbicara di forum pengajian Aisyiah. Dalam
kesempatan lain, K.H. Ahmad Dahlan memberikan kesempatan kepada dua

tokoh Sosialis, Soedarsono dan Sema’un, untuk berbicara di rapat terbuka
Muhammadiyah. Dalam pidatonya, kedua tokoh Sosialis tersebut banyak
mengkritik pemerintah dan memaparkan gagasan “komunisme”: sama rata
sama rasa. K.H. Ahmad Dahlan harus membayar mahal langkah “kontroversial”
itu. Para priyayi “borjuis” yang dekat dengan kekuasaan pemerintah Belanda
mengundurkan diri dari Muhammadiyah karena menilai K.H. Ahmad Dahlan

dengan dengan kaum Sosialis Kiri. Biasanya rapat-rapat dan pengajian
Muhammadiyah selalu dibuka dan ditutup dengan bacaan Surat al-Fatihah.
Tetapi, untuk kesempatan tersebut–pidato Soedarsono dan Sema’un–rapat
dibuka dan ditutup dengan ketok palu, bukan al-Fatihah.91 Apa yang dilakukan
Muhammadiyah ini merupakan contoh toleransi dan pluralisme positif.

Ada dua hal penting yang perlu dicatat dari langkah K.H. Ahmad Dahlan.

Pertama, dari perspektif ideologis dan sosiologis, K.H. Ahmad Dahlan tidak
menghendaki Muhammadiyah sebagai organisasi yang ekslusif: untuk
masyarakat kelas menengah terpelajar, priyayi dan aristokrat. Sebelum
mengundang para tokoh Sosialis, K.H. Ahmad Dahlan mengundang para
buruh ke Kauman dan sekolah Muhammadiyah. Kedua, dari sudut paedagogis,
K.H. Ahmad Dahlan berusaha membangkitkan kesadaran dan militansi para

kader Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk lebih percaya diri di dalam
mengembangkan Muhammadiyah kepada masyarakat.92

Pluralisme memerlukan kedewasaan dan sikap inklusif menerima orang
lain yang berbeda. Perbedaan pendapat dan keyakinan bukan halangan untuk



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2222222222 AFKARUNA

menjalin persahabatan. K.H. Ahmad Dahlan bersahabat dengan Domine Baker,
seorang misionaris Kristen di Yogyakarta. Dengan temannya itu K.H. Ahmad
Dahlan beberapa kali terlibat dalam perdebatan keagamaan yang serius, tetapi

persahabatan keduanya tetap terbina dengan baik.93 K.H. Mas Mansur
seringkali berbeda pendapat dengan K.H. Moechtar–sekretaris
Muhammadiyah–dalam masalah-masalah keagamaan. Tetapi keduanya tetap
bersahabat dan bekerjasama sehingga perbedaan pendapat pribadi tidak
mempengaruhi kemajuan pergerakan Muhammadiyah.94

Tradisi toleransi dan pluralisme di dalam Muhammadiyah dapat dilacak

dari sikap K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemeluk agama Kristen. Posisinya
sebagai abdi dalem dan anggota Budi Utomo memungkinkan K.H. Ahmad
Dahlan menjalin hubungan persahabatan yang akrab dengan para bangsawan
dan bangsa Belanda. Banyak sahabat K.H. Ahmad Dahlan adalah para
misionaris dan zending Kristen. Kepada mereka yang beragama Kristen tersebut,
K.H. Ahmad Dahlan membina persahabatan pribadi yang sejati. Alfian

menggambarkan persahabatan K.H. Ahmad Dahlan sebagai berikut:
In fact, Dahlan himself took an uncommon, and very probably un-

precedented, attitude toward … He visited them, invited them, and
exchanged ideas with them privately or in various public debates. Dahlan
was extremely tolerant toward the Christians which they interpreted as
his receptivity toward their religion. Reverend Baker, for example, even

held the opinion that there was a tendency toward syncretism in Dahlan’s
doctrine of Islamic modernism and Baker felt that Dahlan professed a
belief that there was something worthwhile in every religion.95

Tidak hanya bersahabat, K.H. Ahmad Dahlan bahkan mengadopsi metode
pendidikan dan gerakan orang Kristen. Karena sikapnya itu, K.H. Ahmad Dahlan

secara pribadi sering dicap sebagai “Kiyai Kristen” atau “Kiyai Kafir”.96 Lembaga-
lembaga pendidikan yang didirikan–khususnya sekolah–disebut “sekolah kafir”,
terutama setelah Muhammadiyah menerima bantuan finansial dari pemerintah
Belanda.97 Masalah format pendidikan dan strategi gerakan merupakan masalah
duniawi yang didalamnya manusia bebas mengembangkan kreativitas.
Menurut Muhammadiyah dunia adalah “segala sesuatu yang disebut dalam

sabda Rasulullah dengan ucapan: ’engkau lebih mengetahui urusan duniamu’,
ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi”.98 Dengan
pandangan ini, Muhammadiyah memilah dan memisahkan sesuatu yang
substantif dan sesuatu yang bersifat strategis (cara). Imitasi atau duplikasi



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2323232323Vol. 12 No. 1 Juni 2016

kelompok lain dalam hal-hal strategis tidak bertentangan dengan agama. K.H.
Mas Mansur, mencontohkan hal ini dengan seseorang yang memakai jas.
Sebagaimana celana, ikat pinggang, dan sepatu, jas adalah pakaian umum

yang bisa dipakai siapa saja. Jika orang Kristen mengenakan pakaian tersebut,
tidak berarti seseorang menjadi Kristen. Agama mewajibkan manusia menutup
aurat, tetapi tidak menjelaskan bagaimana cara menutupnya. Ini adalah wilayah
di mana manusia mendapatkan kebebasan berkreativitas.99

Terhadap agresivitas misi Kristen, Muhammadiyah menerapkan prinsip
gentlemen-competition bukan rivalry-confrontation. Sikap ini berdasarkan

pemahaman konsep “fastabiqu al khairat” sebagaimana termaktub dalam Qs.
2, al-Baqarah: 148 dan Qs. 5, al-Maidah: 48 yang disebutkan terdahulu.
Pesatnya pengembangan unit-unit pelayanan sosial oleh kelompok Kristen
menginspirasi para tokoh Muhammadiyah untuk mendirikan amal usaha
Muhammadiyah yang serupa seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan,
rumah jompo, organisasi kepanduan dan sebagainya.

Karena itu, semangat gentlemen competition memiliki akar teologis yang
sangat mendalam. Amal sosial Muhammadiyah adalah manifestasi konsep
amal shalih dan tanggung jawab sosial. Bagaimana implementasi konsep
fastabiqu al khairat dalam pengembangan amal sosial Muhammadiyah dapat
dijelaskan dari pidato pelantikan K.H. Soedja sebagai ketua bahagian Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO).

Banyak orang di luar Islam (bukan orang Islam) yang sudah berbuat
menyelenggarakan rumah-rumah Panti Asuhan untuk memelihara mereka si
fakir miskin dan kanak-kanak yatim yang terlantar dengan cara yang sebaik-
baiknya hanya karena terdorong dari rasa kemanusiaan saja, tidak karena
merasa tanggung jawab dalam masyarakat dan tanggung jawab di sisi Allah
kelak di Hari Kemudian.

Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka
saya heran sekali kalau umat Islam tidak dapat berbuat. Padahal agama Islam
adalah agama untuk manusia bukan untuk khalayak yang lain. Apakah kita
bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat, kena apakah kita tidak dapat
berbuat? Hum rijal wa nahnu rijal.100

Dalam perkembangan berikutnya, terutama sesudah wafatnya K.H. Ahmad

Dahlan, sikap Muhammadiyah terhadap para misionaris Kristen mengalami
perubahan yang drastis. Alfian menggambarkan perubahan tersebut dengan
ungkapan yang sangat puitis: “The extreme tolerance toward the Christians
as was exemplified by Dahlan in the previous period was to be buried to-



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2424242424 AFKARUNA

gether with this founder of Muhammadiyah in 1923, since the movement
was to drastically depart from that tolerant attitude.”101 (Sikap toleran kepada
orang-orang Kristen yang luar biasa sebagaimana dicontohkan K.H. Ahmad

Dahlan terkubur bersama jasad pendiri Muhammadiyah itu pada tahun 1923,
tahun di mana gerakan Muhammadiyah meninggalkan perilaku toleran secara
drastis).

 Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
perubahan model dan gaya kepemimpinan para tokoh Muhammadiyah. Salah
satu tokoh yang sangat berpengaruh setelah wafatnya K.H. Ahmad Dahlan

adalah H. Fachroedin, seorang tokoh muda Muhammadiyah yang sangat
nasionalis-Islamis-progresif-radikal.102 Kedua, faktor politik karena pemihakan
pemerintah Belanda terhadap kegiatan misionaris dan hubungan mutualistis
di antara keduanya. Kegiatan misionaris Kristen mendapat subsidi dan difasilitasi
oleh pemerintah kolonial Belanda. Policy inilah yang membangkitkan semangat
antikolonialisme di kalangan umat Muslim yang dimotori oleh Sarikat Islam

dan Ahmadiyah. Kedekatan hubungan antara Muhammadiyah dengan Sarikat
Islam dan Ahmadiyah–sebelum akhirnya mereka berpisah–merupakan faktor
yang menumbuhkan sentimen anti-Kristen di kalangan Muhammadiyah.103

Ketiga, pergeseran kultur dalam organisasi Muhammadiyah ke arah ideologisasi
gerakan. Fase ideologisasi Muhammadiyah dimulai sejak dibentuknya Majelis
Tarjih pada tahun 1927, di mana Muhammadiyah menjadi sangat “Syariah

oriented”.104

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa secara ideologis
Muhammadiyah sangat menekankan puritanisme teologis, committed dengan
penegakan akidah Islam yang murni, Tauhid yang jauh dari kemusyrikan.
Tauhid dimaknai sebagai konsep universal yang menumbuhkan sikap inklusif
kepada sesama, khususnya dalam bidang sosial-kemasyarakatan.

Muhammadiyah menempatkan kehidupan bermasyarakat sebagai manifestasi
iman, tanggung jawab sosial dan ibadah kepada Allah.

Dalam kehidupan masyarakat yang pluralistik, Muhammadiyah
mengembangkan tradisi keterbukaan: membina dan memelihara harmoni
sosial dengan mengembangkan hubungan baik dan saling bekerjasama sesuai
dengan tuntunan akhlak Islam. Ideologi pluralisme di dalam Muhammadiyah

dibangun di atas tiga pondasi: tidak bermazhab, relativisme kebenaran paham
keagamaan dan keterbukaan untuk belajar dari siapa saja. Pada masa-masa
awal Muhammadiyah sangat toleran terhadap pemeluk agama lain khususnya
Kristen. Sesuai dengan prinsip fastabiqu al khairat, Muhammadiyah bekerja



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2525252525Vol. 12 No. 1 Juni 2016

keras mengembangkan pelayanan sosial sebagai bentuk gentlemen-compe-
tition bukan rivalry-confrontation dengan misionaris Kristen. Dinamika relasi
Muhammadiyah dengan Kristen dalam banyak kasus dipengaruhi oleh faktor

kepemimpinan internal Muhammadiyah, dinamika politik eksternal organisasi
dan ideologisasi gerakan.

Secara ringkas, pandangan Muhammadiyah tentang pluralisme dan
toleransi dapat dijelaskan dengan deskripsi Muhammadiyah Kiai Dahlan
sebagaimana dikemukakan Abdul Murnir Mulkhan. Muhammadiyah adalah
gerakan yang “puritan inklusif substansialis yang lebih mementingkan dimensi

etik pemurnian Islam dengan partisipasi dalam lembaga cukup tinggi serta
orientasi rasional dalam dunia kerja.”105

PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH: MEMBANGUN PLURALISME
Sebagaimana dijelaskan dalam bagian terdahulu, Muhammadiyah adalah

gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang bertujuan untuk

menegakkan dan menjunjung tinggi ajaran Islam menuju terwujudnya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Seluruh aktivitas Muhammadiyah,
termasuk di dalamnya pendidikan, merupakan pengejawantahan dari identitas
Muhammadiyah ini. Karena itu, secara fungsional Pendidikan Muhammadiyah
memiliki tiga misi agency: pendidikan, dakwah dan perkaderan.106

Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari dinamika gerakan dakwah

Muhammadiyah. Sebelum mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan
memulai aktivitas dakwah dan sosialisasi gagasan pembaruan melalui
pendidikan. 1 Desember 1911, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Sekolah Dasar
di Kauman Yogyakarta. Murid sekolah ini terdiri dari laki-laki dan perempuan.107

Selain itu, melalui koleganya di Budi Utomo, K.H. Ahmad Dahlan memberikan
pelajaran agama ekstrakurikuler di Kweek School, Jetis, Yogyakarta dan OSVIA,

Magelang. Pelajaran agama di kedua sekolah guebernemen tersebut diajarkan
setiap Sabtu dan Minggu. Upaya ini dilakukan K.H. Ahmad Dahlan sebagai
upaya membangun karakter yang integratif dan menghapuskan segregasi
sosial-keagamaan: santri-abangan. 108 kepribadian yang utuh: ulama yang
intelek dan intelek yang ulama.

Tujuh tahun kemudian, 1918, Muhammadiyah mendirikan sekolah

menengah yang diberi nama Madrasah Qismul Arqa’. Tahun 1920, lembaga
pendidikan ini diubah menjadi Pondok Muhammadiyah sebelum akhirnya,
tahun 1923, diubah menjadi Kweek School (sekolah guru) untuk memenuhi
kebutuhan guru sekolah dasar.109 1926 Muhammadiyah mendirikan Taman



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2626262626 AFKARUNA

Kanak-Kanak Bustanul Athfal. Pada tahun yang sama didirikan Hollandsh
Inlandsche School (HIS) met de Qur’an–yang kemudian diganti menjadi HIS
Muhammadiyah di Jakarta dan Kudus. Muhammadiyah kemudian memba-

ngun Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hollandsch Inlandsche
Kweekschool (HIK), Schakel School dan Algemeene Middelbare School
(AMS). Komposisi pelajaran agama dalam kurikulum lembaga-lembaga
pendidikan tersebut berkisar 10-15 % pelajaran agama sisanya terdiri dari
pelajaran umum.110

Relasi komplementer antara pendidikan dengan dakwah Muhammadiyah

dapat dilihat dari korelasi positif antara pendirian sekolah dengan berdirinya
cabang-cabang baru. Di pusat-pusat kota di Jawa, pembentukan cabang-
cabang Muhammadiyah hampir selalu bersamaan atau beriringan dengan
berdirinya sekolah.111 Selain alasan-alasan yang bersifat teologis dan ideologis,
dalam beberapa aspek, pengadopsian sistem pendidikan Barat ke dalam
Muhammadiyah merupakan upaya “pragmatis” para pendiri organisasi ini

agar mendapatkan dukungan masyarakat kota yang memang sudah welcome
terhadap pendidikan–dan budaya–Barat sebagai captive market. Kedua, dalam
praktik penyelenggaraannya kegiatan pendidikan menyatu dengan tabligh:
pengajian agama kepada kelompok dewasa secara sistematis. Ketiga,
pendidikan berorientasi untuk membentuk kader organisasi dan guru-buru
agama.112

Korelasi antara pendidikan dengan dakwah dan perkaderan nampak dari
formulasi tujuan pendidikan Muhammadiyah. Kepada murid-muridnya, K.H.
Ahmad Dahlan berpesan: “dadiyo mester, dokter lan insinyur, aja lali nyambut
gawe kanggo Muhammadiyah.”113(Jadilah mester–sarjana hukum–, dokter
dan insinyur, dan jangan pernah letih berjuang untuk Muhammadiyah). Pesan
ini menggambarkan bagaimana fungsi pendidikan sebagai lembaga perkaderan.

Sosok kader Muhammadiyah yang diharapkan dapat dilihat dari rumusan
tujuan pendidikan Muhammadiyah. Mengutip dari Deliar Noer, MT. Arifin
memaparkan tujuan kependidikan Muhammadiyah yang merupakan gagasan
orisinal K.H. Ahmad Dahlan sebagai berikut:
1. Pendidikan moral, akhlak, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter

manusia yang baik berdasar al-Qur’an dan Sunnah.

2. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran
individu yang utuh, yang berkeseimbangan antara perkembangan mental
dan jasmani, antara keyakinan dan intelek, antara perasaan dengan akal
pikiran, serta antara dunia dengan akhirat.



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2727272727Vol. 12 No. 1 Juni 2016

3. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.114

Secara fungsional, pendidikan Muhammadiyah juga berperan
mempersatukan masyarakat yang majemuk (pluralistik) tidak hanya secara
kultural tetapi juga keagamaan. Muhammadiyah menyelenggarakan
pendidikan inklusif, education for all (pendidikan untuk semua) bagi siswa
dari kalangan Muslim dan non-Muslim, santri dan abangan, laki-laki dan
perempuan. Pendidikan bisa menjadi meeting point diantara para siswa yang

berbeda-beda latar belakang agamanya. Pelajaran agama Islam yang
diselenggarakan K.H. Ahmad Dahlan di Kweek School terbuka untuk seluruh
siswa: Muslim dan non-Muslim. Gambaran umum praktik pendidikan di
sekolah tersebut dijelaskan K.H. Sudja’ sebagai berikut:

K.H. Ahmad Dahlan tiap-tiap hari Minggu sejak pagi dikerumuni para
siswa sekolah Kweek School yang diberi pelajaran agama Islam pada tiap-

tiap hari Sabtu sore, siswa-siswa mana bukan saja siswa yang terdiri dari
anak-anak Islam, tetapi anak Kristen, anak Katolik, anak Theosofi dan
lain-lain ideologi yang bukan Islam. Mereka memang anak yang cerdas-
cerdas otaknya, tidak dapat menerima keterangan-keterangan yang belum
atau tidak cocok dengan jalan akal pikirannya. Memang K.H. Ahmad
Dahlan bermaksud yang demikian itu. Oleh karenanya pada tiap-tiap hari

Minggu merupakan diskusi Agama dengan para siswa Kweek School di
Yogyakarta.115

Dalam format yang sederhana, praktik pelajaran agama dialogis yang
dilaksanakan K.H. Ahmad Dahlan merupakan bentuk sederhana pendidikan
agama non-confessional dimana siswa non-Muslim secara sukarela

mempelajari Islam sebagai wawasan pengetahuan.
Karena fungsinya sebagai lembaga dakwah, Muhammadiyah senantiasa

bersikap kritis terhadap setiap kebijakan yang bertentangan atau menghambat
aktivitas pendidikan. Pada zaman penjajahan Belanda, Muhammadiyah
bersama para Muslim lainnya menentang keras pemberlakuan Goeroe
Ordonnantie (Ordonansi Guru)116 karena sangat membatasi kebebasan

beragama dan ruang gerak umat Islam untuk menyebarkan agamanya.117 Selain
isinya yang sangat intrusive, Muhammadiyah menilai pemerintah kolonial
Belanda tidak fair dan tidak konsisten dalam menjalankan Ordonansi Guru.
Dalam praktiknya, pemerintah Belanda yang sekuler dan–seharusnya–netral



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2828282828 AFKARUNA

agama memihak umat Kristiani dengan mengizinkan mereka mengajarkan
agama Kristen di sekolah guebernemen setiap hari Jumat. Sebaliknya,
pemerintah Belanda melarang Muhammadiyah memberikan pendidikan agama

Islam ekstra kurikuler di OSVIA yang sudah dirintis sejak lama oleh K.H. Ahmad
Dahlan.118

Melalui berbagai lobi Muhammadiyah menuntut agar Ordonansi Guru
tersebut dicabut. Muhammadiyah juga menuntut agar pemerintah tidak
melakukan subordinasi dan domestikasi pendidikan agama. Para pemimpin
Muhammadiyah dan umat Islam di berbagai tempat, seperti di Minangkabau,

meminta pemerintah Belanda memberikan mandat yang lebih luas dan
otonomi untuk mengelola usaha pendidikan agama secara mandiri tanpa
campur tangan pemerintah.119 Meskipun tuntutan ini tidak dikabulkan,
pemerintah Belanda–akhirnya–mengakomodir aspirasi Muhammadiyah dengan
memberikan konsesi berupa pembebasan para mubalig Muhammadiyah dari
semua ketentuan di dalam Ordonansi Guru.120 Tindakan pemerintah yang

sangat intrusive dan over sensitive terhadap kegiatan umat Islam nampaknya
disebabkan oleh eskalasi perlawanan umat Islam kepada kolonialisme Belanda
dan kekhawatiran meningkatnya kemajuan pendidikan Islam bisa menyaingi
sekolah guebernemen sebagai agen Westernisasi dan pembentukan kelompok
yang propemerintah.121

Strategi Muhammadiyah yang menempatkan pendidikan sebagai ujung

tombak dakwah membuatnya sering bersinggungan dengan kepentingan
kelompok lain, khususnya Kristen yang memilih pendidikan sebagai kegiatan
sosial yang utama. Baik umat Kristen maupun Muhammadiyah menjadikan
Muhammadiyah sebagai agen misionari agama. Faktor inilah yang membuat
dinamika perjumpaan Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya
dengan Kristen diwarnai ketegangan termasuk di dalamnya hal-hal yang terkait

dengan pendidikan agama di sekolah swasta.122 Lembaga pendidikan menjadi
“battle ground” politik identitas keagamaan.

Menurut Aritonang, polemik seputar pendidikan agama di sekolah pada
era kemerdekaan mulai bergulir sejak tahun 1960-an, pada saat kalangan
Islam mengeluhkan pemberian pendidikan Agama Kristen kepada siswa-siswa
beragama lain di sekolah-sekolah Katolik dan Kristen123. Keluhan kalangan

Islam dilatarbelakangi praktek penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-
sekolah berciri khusus Kristen dan Katolik yang tetap mengajarkan pendidikan
agama Kristen pada siswa-siswinya yang beragama Islam. Padahal kebijakan
pendidikan dalam UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 20 Tahun 1954 jelas



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

2929292929Vol. 12 No. 1 Juni 2016

mengatur sekolah-sekolah swasta berciri khusus Kristen untuk memberikan
pendidikan agama Islam pada siswa Muslim meskipun kebijakan ini belum
bersifat mengikat. Kondisi demikian ini memicu ketegangan kalangan Islam

dengan kelompok Kristen. GBHN Tahun 1966 merespons perkembangan
tersebut dengan mengharuskan semua siswa dari pelbagai tingkatan pendidikan
untuk dapat mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agama yang
dianutnya124.

Kontroversi penyelenggaraan pendidikan agama kembali mencuat pada
saat perancangan UU 1989 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kalangan Islam seperti Muhammadiyah dan MUI menilai sebagian isi rancangan
undang-undangan mengabaikan eksistensi pendidikan agama125.
Muhammadiyah menuntut agar setiap siswa berhak mendapatkan pendidikan
agama sesuai keyakinannya dan diajarkan oleh guru yang seagama.
Muhammadiyah melalui Lukman Harun, yang waktu menduduki kursi DPR,
mengingatkan jika pemerintah tidak mengakomodasi tuntutan umat Islam

maka akan terjadi instabilitas keamanan nasional126. Akhirnya melalui lobi
Muhammadiyah dan MUI, Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 1989 ditetapkan dan diberlakukan Maret 1989 dengan
mengakui secara eksplisit peran pendidikan agama pada semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, landasan kokoh dari peraturan ini
dijelaskan dalam penjelasan pasal 28 ayat 2.127

Konsistensi sikap Muhammadiyah terhadap hak siswa untuk mendapatkan
pendidikan agama sesuai agamanya terlihat kembali pada saat perdebatan
RUUSPN No. 20 Tahun 2003 mencuat ke permukaan. Argumentasi yang
diajukan kalangan pendukung dan penentang tidak jauh dari pembelaan
serupa pada saat polemik RUUSPN 1989. Menurut Romo Widjojo, pada kasus
sekolah-sekolah swasta berciri khusus agama adalah sangat sulit untuk

menyediakan pendidikan agama yang berbeda dari orientasi agama sekolah.
Atas dasar itu, sekolah-sekolah Katolik tidak memberikan pendidikan agama
selain orientasi agama sekolah. Hal ini diperkuat pernyataan Dewan Bishop
Indonesia yang tidak mengizinkan sekolah Katolik mengajarkan agama selain
Katolik128.

Namun Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU

Sisdiknas tersebut. Dalam pandangan organisasi ini, substansi maupun berbagai
aspek di dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memenuhi
persyaratan menjadi UU. UU Sisdiknas. ini berfungsi sebagai landasan
konstitusional bagi penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia dan



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3030303030 AFKARUNA

pembentukan karakter serta peradaban bangsa. Terkait pasal 13 ayat 1 yang
menjadi polemik, PP Muhammadiyah menilai sudah sejalan dengan prinsip
Hak Asasi Manusia, demokrasi, pluralisme, konstitusi dasar negara, serta nilai-

nilai moral universal dan agama. Sehingga peraturan demikian dijalankan
akan maka akan mendorong pembentukan moral generasi penerus bangsa
yang berbasis keyakinan keagamaan. Dampak lain yang adalah mengurangi
kecenderungan perpindahan agama yang menjadi salah satu faktor konflik
antar umat beragama dan mengganggu integritas bangsa.129

KESIMPULAN
Potret respons Muhammadiyah terhadap permasalahan pendidikan agama,

khususnya di sekolah-sekolah berciri khusus agama, menyimpulkan konsistensi
Muhammadiyah di dalam mengawal misi dan mempertahankan identitasnya
sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, peran dan
tanggungjawab moral-politik organisasi ini dalam kancah pendidikan bangsa.

Muhammadiyah berusaha dan–dalam beberapa hal–berhasil mengaksentuasi-
kan pandangannya mengenai eksistensi pendidikan agama dalam koridor
hukum dan perundangan negara.

Upaya Muhammadiyah memperjuangkan hak-hak pendidikan agama di
lembaga pendidikan merupakan bagian dari strategi dakwah struktural: dakwah
melalui saluran-saluran politik yang bersifat top-down.130 Aturan legal formal

diperlukan oleh masyarakat untuk menjamin pluralisme keagamaan dalam
masyarakat multirelijius. Lembaga pendidikan, bagi Muhammadiyah, tidak
hanya memikul peran-peran keilmuan-sekuler namun juga harus memiliki
dimensi transendental dalam bentuk penghargaan akan hak anak untuk dididik
dalam habitat keagamaannya sendiri.

Pada banyak kasus, organisasi ini telah berhasil membangun lembaga

pendidikannya sebagai potret empiris dari proses kohabitasi pendidikan agama-
agama. Dalam perspektif Knitter, institusi pendidikan Muhammadiyah telah
membuka jalan bagi terjadinya proses interaksi bahkan pertemuan (encoun-
ter) pandangan agama-agama yang merupakan bentuk praksis dari pluralisme
agama.131

CATATAN AKHIR
1 Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000, di Indonesia terdapat 101 etnis

yang memiliki subetnis masing-masing. Total jumlah etnis dan subetnis lebih dari
1000. Komposisi etnis terbesar dengan jumlah lebih dari satu juta adalah Jawa



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3131313131Vol. 12 No. 1 Juni 2016

(83.865.724), Sunda (30.978.404), Melayu (6.946.040), Madura (6.771.727),
Batak (6.076.440), Minangkabau (5.475.145), Betawi (5.041.688), Bugis
(5.010.421), Banten (4.113.162), Banjar (3.496.273), Bali (3.027.525), Sasak
(2.611.059), Cirebon (1.890.102), Tionghoa (1.738.936). Lihat Leo
Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta, Penduduk Indonesia: Etnis
dan Agama dalam Era Perubahan Politik, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 6-7.

2 Menurut Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah dan persentase pemeluk Agama
adalah sebagai berik ut: Islam (177.528.772= 88,22%), Kristen
(17.954.977=8,92%), Hindu (3.651.939=1,81%), Budha (1.694.682=0,84%),
lainnya (411.629=0,20%). Pada Sensus Penduduk 2000, belum ada kategori
khusus untuk Agama Konghucu, sehingga dimasukkan kategori Agama lainnya.
Lihat Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin dan Aris Ananta, Penduduk Indone-
sia: Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, (Jakarta: LP3ES, 2003), h.
102.

3 Riaz Hassan, Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim, terjemahan
Jajang Jahroni, dkk (Jakarta: Raja Grafindo Persada-PPIM, 2006).

4 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, terjemah Sri Murniati, (Bandung:Mizan, 2007), h. 47.

5 Dalam Muktamar di Semarang tahun 1984, Nahdlatul Ulama menerima
Pancasila sebagai asas organisasi. Setahun kemudian, 1985, melalui Muktamar
ke 41 yang diselenggarakan di Surakarta, Muhammadiyah menerima Pancasila
sebagai asas organisasi dan mengubah tujuan organisasi yang semula “untuk
mewujudkan masyarakat Islam” menjadi: “membentuk masyarakat utama, adil
dan makmur yang diridai Allah SWT.” Sebagaimana ditulis Lukman Harun
dalam Muhammadiyah dan Azas Pancasila, (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1989),
penerimaan Muhammadiyah atas Pancasila memerlukan waktu yang sangat
panjang dan perdebatan teologis yang berdampak pada keluarnya kelompok
“puritan” dari Muhammadiyah. Pada Muktamar ke 44 di Jakarta,
Muhammadiyah kembali memasukkan “Islam” sebagai asas organisasi. Meskipun
demikian, sebagaimana disampaikan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, M.
Din Syamsuddin, dalam pidato iftitah sidang Tanwir Muhammadiyah, 25 April
2007, di Yogyakarta, Muhammadiyah tetap tegas mendukung Pancasila sebagai
dasar negara.

6 Di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 disebutkan: (1) Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

7 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 40.

8 Kajian menarik mengenai Islam dan budaya lokal dapat dibaca dari Simuh,
Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003) dan Muhammad
Zafar Iqbal, Kafilah Budaya: Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan Indonesia,
(Jakarta: Citra, 2006). Dalam konteks Muhammadiyah, sikap terhadap budaya
lokal merupakan wacana yang menarik. Perdebatan internal Muhammadiyah



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3232323232 AFKARUNA

mengenai kebudayaan menunjukkan terjadinya pluralitas pemikiran yang
dinamis sepanjang sejarah. Pluralitas pemikiran tersebut menyebabkan terjadinya
perbedaan strategi dakwah dan gerakan persyarikatan antara kelompok “puri-
tan” dengan kelompok “kultural” dan melahirkan beberapa varian dalam tubuh
Muhammadiyah. Kajian komprehensif mengenai masalah ini dapat dibaca dari
Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000) dan Asykuri Ibn Chamim, dkk., Purifikasi &
Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa: Muhammadiyah dan Seni Lokal,
(Surakarta: PSB-PS UMS, 2003).

9 Jamhari dan Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 2004).

10 Angel Rabasa et.al., Building Moderate Muslim Networks (California: RAND
Corporation, 2007), h. 66-68.

11 Vanessa Baird, “In the Name of God”, New Internationalist, 370, h. 9-12.
Mengutip dari berbagai sumber, Vanessa berkesimpulan bahwa mayoritas konflik
keagamaan seperti di Gujarat (India), Palestina, Thailand dan Philipina
disebabkan oleh faktor nonagama terutama politik. Konflik politik tersebut
sarat dengan nuansa agama karena perbedaan agama di antara kelompok-
kelompok yang terlibat konflik.

12 Robert W. Hefner, “Muslim Democrats and Islamist Violence in Post Soeharto
Indonesia” dalam Robert W. Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Con-
testation, Democratization (Princeton: Princeton University Press, 2005), h. 273-
301. Lihat juga Ahmad Suaedy dan Rumadi (Editor), Politisasi Agama dan
Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Insti-
tute, 2007).

13 Amartya Sen, Identity & Violence: The Illusion of Destiny (New York: WW. Norton
& Company, 2006).

14 Tri Ratnawati, “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis-
Politis” dalam W.A.L. Stokhof dan Murni Jamal (Editor), Konflik Komunal di
Indonesia Saat Ini, (Leiden-Jakarta: INIS-PBB, 2003), h. 3-14.

15 Frans Magnis Suseno, “Faktor-faktor yang Mendasari Konflik Antara Kelompok
Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan Pemecahan” dalam W.A.L.
Stokhof dan Murni Jamal (Editor), Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini, (Leiden-
Jakarta: INIS-PBB, 2003), h. 121-125.

16 Mahatir Mohammad, Globalization and the New Realities (Selangor, Malaysia:
Pelanduk Publication, 2002), h. 179.

17 Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World
Order (Barkeley, Los Angeles: University of California Press, 1998).

18 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, terjemah Nurhadi (Bandung: Mizan,
2003), h. 65.

19 Richard Bonney, Jihad from Qur’an to bin Laden (New York: Palgrave Macmillan,
2004).

20 Kautsar Azhari Noer, “Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia:
Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama,” dalam Th. Sumartana,



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3333333333Vol. 12 No. 1 Juni 2016

dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidei,
2001), h. 234-239.

21 Wahyu Pramudya, “Pluralitas Agama: Tantangan ‘Baru’ Bagi Pendidikan
Keagamaan di Indonesia”, Veritas, 6/2 (Oktober 2005): h. 279-290.

22 Kuntowijoyo, “Konvergensi dan Politik Baru Islam” dalam Abdul Munir
Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, (Yogyakarta: Sipress, cetakan ke 2,
1999), h. xi.

23 Pendapat ini antara lain dikemukakan olen Daoed Joesoef, menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Indonesia (1978-1983). Menurut Joesoef: “... pendidikan
agama, agar efektif, sebaiknya diberikan di luar jalur pendidikan umum formal,
berupa Zondagschool bagi agama Kristen dan Katolik. Bila mengenai agama Is-
lam kiranya baik pula surau difungsikan sebagai tempat pengajian... dengan
begitu penduduk juga didorong menjadi semakin erat hubungannya dengan
surau yang ada di RT atau RW masing-masing.”. Daoed Joesoef, Dia dan Aku:
Memoar Pencari Kebenaran, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 814.

24 Denise Cush, “Should Religious Studies be Part of the Compulsory State School
Curriculum?” British Journal of Religious Education, 29 (3), September 2007, h.
221-227.

25 M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004).

26 Pasal 3 Undang-undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
“Pendidikan nasional…. bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia,...”.

27 Pasal 36 (3, a, b, h) Undang-undang 20/2003: “Kurikulum disusun sesuai
dengan jenjang pendidikan… dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman
dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia;... (h) agama.”. Pasal 37 (1): “ Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama... (2)
Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: (a) pendidikan agama...”.

28 Undang-undang 20/2003, pasal 12 (1): “Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”

29 Listia, dkk., Problematika Pendidikan Agama di Sekolah: Hasil Penelitian tentang
Pendidikan Agama di Yogyakarta 2004-2006, (Yogyakarta: Interfidei, 2007).

30 Adian Husaini, Solusi Damai Islam-Kristen di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Da’i,
2003).

31 Sampai tahun 2000, Muhammadiyah memiliki 3.979 Taman Kanak-kanak
(TK); 6 Sekolah Luar Biasa (SLB); 940 Sekolah Dasar (SD); 1.332 Madrasah
Ibtidaiyyah (MI)/Diniyyah (Madin); 2.143 Sekolah Menengah Pertama (SMP)/
Madrasah Tsanawiyah (MTs); 979 Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah
Aliyah (MA); 101 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 13 Muallimin/
Muallimat; 3 Sekolah Farmasi dan 65 Pondok Pesantren. Muhammadiyah
memiliki 36 Universitas; 72 Sekolah Tinggi; 54 Akademi dan 4 Politeknik. Siswa
dan mahasiswa di lembaga pendidikan Muhammadiyah berasal dari latar



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3434343434 AFKARUNA

belakang agama yang berbeda-beda. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita
Resmi Muhammadiyah: Edisi Khusus Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah
ke 45 di Malang, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Rajab 1426 H/Septem-
ber 2005) h. 43.

32 Musthafa Kamal Pasha dan Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis, (Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, cetakan III, 2003), h. 121-126.

33 Surat Keputusan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah tentang Tanfidz
Keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pendidikan Dasar dan
Menengah (Dikdasmen) se-Indonesia.

34 M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Historis atas
Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konvensional di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004).

35 Abdurrahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan
Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005).

36 Ruswan, Studi Komparasi Sikap Toleransi Beragama Mahasiswa Akademi Kebidanan
dan Universitas Wahid Hasyim, (Semarang: Puslit IAIN Walisongo, 2003).

37 Jeny Elna Mahupale, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural: Analisis
Hubungan dan Pandangan Agama terhadap Pandangan Sikap Perilaku Pluralis,
Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2007.

38 Listia, dkk., Problematika Pendidikan Agama di Sekolah, (Yogyakarta: Interfidei,
2007).

39 Yayah Khisbiyah dan Atiqa Sabardila (ed), Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana
dan Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya, (Surakarta: PSB-PS UMS, 2004).

40 Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman Muhammadiyah
dan NU, (Jakarta: INSEP, 2006).

41 Badrus Soleh (ed), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES, LSAF,
TAF; 2007).

42 Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in A Central Java Town, (Cornell University: Unpub-
lished Thesis, 1976).

43 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah and Javanese Culture: Appreciation and
Tension, (Leiden, Unpublished Thesis, 2004).

44 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Muhammadiyah
Masa Awal, (Surabaya: LPAM, 2002). Lihat juga Achmad Jainuri,
TheMuhammadiyah Movement in The Twentieth Century Indonesia: A Socio-Reli-
gious Study, (Montreal: Unpublished Thesis, 1992).

45 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Misi
Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, cetakan I, 1998).

46 Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization
Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1989).

47 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Bidang Pendidikan
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1987).

48 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pendidikan dan Pengadjaran Muhammadijah Dalam



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3535353535Vol. 12 No. 1 Juni 2016

Masa Pembaharuan Semesta (Jogjakarta: Pembaharuan dan Pengadjaran Islam,
1962).

49 Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Tafsir
Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama (Yogyakarta:
Pustaka SM, 2000).

50 Pradana Boy ZTF, In Defense of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate
within Muhammadiyah, unpublished Masters Tesis, Faculty of Asian Studies,
Australian National University, 2007.

51 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perspektif Kaum Muda Muhammadiyah,
Disertasi, tidak diterbitkan, Program Pascasarjana, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, 2008.

52 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta:
Bentang, 2000).

53 Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2006), h. vi.

54 Haedar Nashir, “Kembali ke Ideologi Muhammadiyah” dalam Hamdan
Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, (Yogyak ar ta: Suara
Muhammadiyah, 2006), h. x.

55 MKCH, Matan 4.
56 Mukadimah Anggaran Dasar: “Hidup bermasyarakat itu adalah sunah (hukum

qudrat-iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini.” Kepribadian
Muhammadiyah: “… Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal
usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Mukadimah Anggaran
Dasar, yaitu: a. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada
Allah; b. Hidup manusia bermasyarakat…”.

57 Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2006), h. 17.

58 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah,
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), h. 66.

59 Dalam konteks ini PHI mengutip sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Tirmidzi dari Ibn ‘Amr: “ Bahwasanya Abdullah Ibn ‘Amr;
disembelihkan untuknya seekor domba oleh keluarganya. Ketika ia tiba, ia
berkata: ’Apakah engkau telah memberi (daging domba) kepada tetangga kita
yang beragama Yahudi? Saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: ’Jibril
senantiasa berpesan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sehingga
saya menyangka kemungkinan ia mendapat bagian hak harta waris. “

60 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami....h. 67.
61 K.H. Mas Mansur, 12 Langkah Tafsir Muhammadiyah dalam Amir Hamzah

Wirjosukarto (penyunting), Kiyahi Haji Mas Mansur: Pemikiran Tentang Islam
dan Muhammadiyah, (Yogyakarta: YP2LPM-Hanindita, 1986), h. 196.

62 Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan Sosial, (Bandung:
Mizan, 1998), h. 10.

63 Qs. 1, al-Fatihah: 2: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam”.
64 Qs. 2, al-Baqarah: 185: “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3636363636 AFKARUNA

diturunkan (permulaan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi seluruh umat
manusia…”.

65 Qs. 7, al-‘Araf: 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah (Allah) memperbaikinya... “

66 Qs. 49, al-Hujurat: 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa....”

67 Qs. 28, al-Qashash: 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh
Allah kepadamu berupa kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu
melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi. Berbuatlah baiklah kepada
orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi...”.

68 KRH. Hadjid, Pelajaran KHA. Dahlan…. h. 13.
69 KRH. Hadjid, Pelajaran KHA. Dahlan…. h. 14-15.
70 KRH. Hadjid, Pelajaran KHA. Dahlan…. h. 14.
71 KRH. Hadjid, Pelajaran KHA. Dahlan…. h. 14-15.
72 Hamdan Hambali, Ideologi dan Strategi..... h. 17.
73 K.H. Mas Mansur, 12 Langkah Muhammadiyah, dalam Amir Hamzah

Wirjosukarto, KH. Mas Mansur: Pemikiran....h. 200.
74 Mukti Ali, “The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduction,”

M.A. Thesis (tidak dipublikasikan), Institute of Islamic Studies, McGill Univer-
sity, Montreal, 1957, h. 38-39.

75 K.H. Suja’, Muhammadiyah dan Pendirinya, (Yogyakarta: Majelis Pustaka PP.
Muhammadiyah, 1989), h. 3.

76 Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang mufti Mazhab Syafi’i yang sangat
berpengaruh dan dominan di Kota Mekah antara tahun 1870 sampai wafatnya
1886. Ahmad Zaini Dahlan sangat popular di kalangan orang-orang Jawa yang
menunaikan ibadah haji. Keterangan lebih lengkap dapat dibaca Nico Kaptein,
The Muhimmat al-Nafais: a Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Mus-
lims from the End of the Nineteenth Century, (Jakarta: INIS, 1997), h. 3-6.

77 Ahmad Najib Burhani, “The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Culture in
1912-1930: Appreciation and Tension”, M.A. Thesis, (tidak dipublikasikan),
Universiteit Leiden, The Netherland, 2004, h. 17.

78 Majelis Tarjih Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih.... h. 278.
79 K.H. Mas Mansur, 12 Langkah Muhammadiyah, dalam Amir Hamzah

Wirjosukarto, KH. Mas Mansur: Pemikiran....h. 200.
80 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,

(Jakarta: Bulan Bintang, cetakan ke 13, 2003), h. 5.
81 PP. Muhammadiyah, Himpunan Keputusan Majelis Tarjih…. h. 281, 313.
82 Salam adalah transaksi bisnis di mana pembeli tidak melihat wujud fisik barang

yang dijual karena penjual hanya menyebut ciri-ciri atau spesifikasi.
83 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Muhammadiyah



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3737373737Vol. 12 No. 1 Juni 2016

Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002), h. 117.
84 Qs. 30, ar-Ruum: 32: “… tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dengan apa

yang ada pada golongan mereka.”
85 KRH. Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan.... h. 20.
86 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis... h. 224.
87 Qs. 2, al-Baqarah: 148: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang ia

menghadapkan kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat
kebaikan...”. Qs. 5, al-Maidah: 48: “... Untuk tiap-tiap umat di antara kamu,
Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya
dijadikan-Nya kamu satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...”.

88 Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah, Tafsir
Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, (Yogyakarta:
Pustaka SM, 2000), h. 17.

89 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis…. h. 224.
90 KRH. Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan.... h. 20-21.
91 K.H. Sudja’, Muhammadiyah dan Pendirinya.... h. 61, 63.
92 K.H. Sudja’, Muhammadiyah dan Pendirinya.... h. 64.
93 Junus Salam, Riwajat Hidup K.H.A. Dahlan... h. 61.
94 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis…. h. 124.
95 Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organiza-

tion Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1989),
h. 159-160.

96 Junus Salam, Riwajat Hidup K.H.A. Dalan.... h. 20.
97 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan.... h. 150.
98 PP. Muhammadiyah Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih.... h. 276.
99 K.H. Mas Mansur, 12 Langkah Muhammadiyah, dalam Amir Hamzah

Wirjosukarto, KH. Mas Mansur: Pemikiran.... h. 201.
100 K.H. Sudja’ Muhammadiyah dan Pendirinya,.... h. 33.
101 Alfian, Muhammadiyah… h. 208.
102 H. Fachroedin adalah sekretaris Muhammadiyah pada masa K.H. Ahmad

Dahlan. Selama hayatnya, Fachroedin aktif mengikuti beberapa organisasi Budi
Utomo, Sarikat Islam dan Prinsen Bond (Persatuan Priyayi) dan ISDV (Organisasi
Sosialis Indonesia). Karena tidak cocok dengan perilaku para anggotanya yang
“borjuis”, Fachroedin keluar dari Budi Utomo dan Prinsen Bond. Dia kemudian
lebih banyak aktif di Sarikat Islam dan ISDV. Bagi dia, usaha kaum Kristen
adalah dua sisi dari satu mata uang dengan kolonialisme Belanda. Sikap
nasionalisme dan pembelaan Islam inilah yang dalam banyak aspek membuat
Fachroedin sangat anti kepada setiap usaha Kristenisasi. Lihat Djarnawi
Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: Percetakan
Persatuan, t.th), h. 16-30.

103 Alfian, Muhammadiyah…. h. 209. lihat juga Alwi Shihab, Membendung Arus:
Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,
(Bandung: Mizan, cetakah 1, 1998), h. 162.



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3838383838 AFKARUNA

104 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni….H. 44.
105 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni…. h. 355.
106 Majelis Dikdasmen PP. Muhammadiyah, Hasil-hasil Rakernas Majelis Dikdasmen,

Jakarta 2006.
107 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun

Modern, (Jakarta: LP3ES, cetakan ke 2, 1994) h. 52.
108 MT. Arifin, Gagasan Pembaruan Muhammadiyah… h. 212.
109 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah… h. 219.
110 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah… h. 217-218.
111 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah.... h. 57.
112 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah.... h. 56.
113 Junus Salam, Riwajat Hidup K,H.A. Dahlan.... h. 63.
114 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah… h. 206.
115 K.H. Sudja’, Muhammadiyah dan Pendirinya… h. 16.
116 Goeroe Ordonnantie (Ordonansi Guru) pertama kali dikeluarkan tahun 1905.

Setelah banyak diprotes terutama oleh kalangan Muslim, Ordonansi tersebut
diamandemen pada tahun 1925. Perubahan tersebut tetap saja tidak memuaskan
karena tidak perubahan isi yang substantif. Tidak ada perubahan yang
substantif. Isi Ordonansi yang sangat merugikan kegiatan Islam antara lain guru
agama dan mubalig harus mendapatkan rekomendasi, menyampaikan isi
pelajaran, dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memeriksa
catatan pelajaran agama. Pemerintah Belanda berhak mencabut izin menjadi
guru dan mubalig apabila tidak mematuhi ketentuan Ordonansi. Lihat Aqib
Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, cetakan 3, 1996), h. 54.

117 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis…. h. 202.
118 Ali Shihab, Membendung Arus… h. 164.
119 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum

Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982), h. 166-167.
120 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis…. h. 203-204.
121 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h.

114.
122 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, cetakan ke 3, 2006).
123 Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan …. h. 588.
124 M. Sairozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Historis atas

Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konvensional di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004), h. 146.

125 M. Sairozi, Politik Pendidikan Agama.... h. 147.
126 Alwi Shihab, Membendung Arus …. h. 164.
127 M. Sairozi, Politik Pendidikan Agama….. h. 147.
128 Fatimah Husein, Muslim-Christian Relation in the New Order Indonesia: The

Exclusivist and the Inclusivist Muslims Perspectives (Bandung: Mizan, 2005) h.
124.

129 Muhammadiyah: RUU Sisdiknas Sudah Sesuai, Hidayatullah.com. 07 Mei 2003.



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

3939393939Vol. 12 No. 1 Juni 2016

130 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid.... h. 118.
131 Lih. Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama (terjemahan) (Yogyakarta:

Kanisius, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Suryadinata,Leo. Nurvidya Arifin, Evi dan Ananta,Aris. 2003. Penduduk Indonesia:

Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik. Jakarta: LP3ES.
Hassan,Riaz. 2006. Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim,

terjemahan Jajang Jahroni, dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada-PPIM.
An-Na’im,Abdullahi Ahmed. 2007. Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa

Depan Syariah, terjemah Sri Murniati. Bandung:Mizan.
Harun, Lukman. 1989. Muhammadiyah dan Azas Pancasila. Jakarta: Pustaka

Panjimas.
Azra, Azyumardi. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:

Paramadina.
Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.
Iqbal,Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan

Indonesia. Jakarta: Citra.
Mulkhan,Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya.
Chamim,Asykuri Ibn. 2003. Purifikasi & Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa:

Muhammadiyah dan Seni Lokal. Surakarta: PSB-PS UMS.
Jamhari dan Jahroni, Jajang (ed.). 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta:

Rajawali Press.
Rabasa, Angel et.al. 2007. Building Moderate Muslim Networks. California: RAND

Corporation.
Hefner,Robert W. 2005. “Muslim Democrats and Islamist Violence in Post Soeharto

Indonesia” dalam Robert W. Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Con-
testation, Democratization. Princeton: Princeton University Press. h. 273-301.

Suaedy, Ahmad dan Rumadi (Editor). 2007. Politisasi Agama dan Konflik Komunal:
Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

Sen,Amartya. 2006. Identity & Violence: The Illusion of Destiny. New York: WW.
Norton & Company.

Ratnawati, Tri. 2003. “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis-
Politis” dalam W.A.L. Stokhof dan Murni Jamal (Editor), Konflik Komunal di
Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta: INIS-PBB.h. 3-14.

Suseno, Frans Magnis. 2003. “Faktor-faktor yang Mendasari Konflik Antara
Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan Pemecahan” dalam
W.A.L. Stokhof dan Murni Jamal (Editor), Konflik Komunal di Indonesia Saat
Ini. Leiden-Jakarta: INIS-PBB.

Mohammad, Mahatir. 2002.Globalization and the New Realities. Selangor, Malay-
sia: Pelanduk Publication.

Tibi, Bassam. 1998.The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New
World Order. Barkeley, Los Angeles: University of California Press.



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

4040404040 AFKARUNA

Kimball, Charles. 2003.Kala Agama Jadi Bencana, terjemah Nurhadi. Bandung:
Mizan.

Bonney, Richard. 2004.Jihad from Qur’an to bin Laden. New York: Palgrave Macmillan.
Noer, Kautsar Azhari. 2001. “Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia:

Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama,” dalam Th. Sumartana,
dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei.
h. 234-239.

Pramudya, Wahyu. 2005. “Pluralitas Agama: Tantangan ‘Baru’ Bagi Pendidikan
Keagamaan di Indonesia”, Veritas, 6/2, Oktober. h. 279-290.

Kuntowijoyo. 1999. “Konvergensi dan Politik Baru Islam” dalam Abdul Munir
Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: Sipress, cetakan ke 2.

Joesoef, Daoed. 2006.Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran. Jakarta: Kompas.h.
814.

Cush, Denise. 2007. “Should Religious Studies be Part of the Compulsory State
School Curriculum?” British Journal of Religious Education, 29 (3), September. h.
221-227.

M. Saerozi. 2004.Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme. Yogyakarta: Tiara
Wacana.

Listia, dkk. 2007. Problematika Pendidikan Agama di Sekolah: Hasil Penelitian tentang
Pendidikan Agama di Yogyakarta 2004-2006. Yogyakarta: Interfidei.

Husaini, Adian. 2003.Solusi Damai Islam-Kristen di Indonesia.Jakarta: Pustaka Da’i.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2005.Berita Resmi Muhammadiyah: Edisi Khusus

Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, Rajab 1426 H/September.h. 43.

Pasha, Musthafa Kamal dan Adaby, Darban. 2003.Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: LPPI Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, cetakan III.

Assegaf, Abdurrahman. 2005.Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan
Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.

Ruswan. 2003.Studi Komparasi Sikap Toleransi Beragama Mahasiswa Akademi
Kebidanan dan Universitas Wahid Hasyim. Semarang: Puslit IAIN Walisongo.

Mahupale, Jeny Elna. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural: Analisis
Hubungan dan Pandangan Agama terhadap Pandangan Sikap Perilaku
Pluralis.Tesis.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Khisbiyah, Yayah dan Sabardila, Atiqa (ed). 2004.Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana
dan Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: PSB-PS UMS.

Fachruddin, Fuad. 2006.Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman
Muhammadiyah dan NU. Jakarta: INSEP.

Soleh, Badrus (ed). 2007. Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES,
LSAF, TAF.

Nakamura, Mitsuo. 1976.The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the
Muhammadiyah Movement in A Central Java Town. Cornell University: Unpub-
lished Thesis.

Burhani, Ahmad Najib. 2004.Muhammadiyah and Javanese Culture: Appreciation



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

4141414141Vol. 12 No. 1 Juni 2016

and Tension. Leiden: Unpublished Thesis.
Jainuri, Achmad. 2002.Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Muhammadiyah

Masa Awal. Surabaya: LPAM.
Jainuri, Achmad. 1992.TheMuhammadiyah Movement in The Twentieth Century Indo-

nesia: A Socio-Religious Study. Montreal: Unpublished Thesis.
Shihab, Alwi. 1998.Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap

Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan, cetakan I.
Alfian. 1989. Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organiza-

tion Under Dutch Colonialism. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
MT. Arifin. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah Dalam Bidang Pendidikan

Jakarta: Pustaka Jaya.
Wirjosukarto, Amir Hamzah. 1962.Pendidikan dan Pengadjaran Muhammadijah

Dalam Masa Pembaharuan Semesta. Jogjakarta: Pembaharuan dan Pengadjaran
Islam.

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah. 2000.Tafsir
Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama. Yogyakarta:
Pustaka SM.

Boy, Pradana ZTF. 2007.In Defense of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate
within Muhammadiyah. Asutralia:Faculty of Asian Studies, Australian National
University. unpublished Masters Tesis.

Biyanto. 2008. Pluralisme Keagamaan dalam Perspektif Kaum Muda
Muhammadiyah, Disertasi, Surabaya: Program Pascasarjana, Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel. tidak diterbitkan.

Mulkhan, Abdul Munir. 2000.Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta:
Bentang.

Nashir, Haedar. 2006.Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah.

Nashir, Haedar. 2006. “Kembali ke Ideologi Muhammadiyah” dalam Hamdan
Hambali, Ideologi dan Strategi Muhammadiyah,. Yogyakar ta: Suara
Muhammadiyah.

Hambali, Hamdan. 2006.Ideologi dan Strategi Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2001.Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Wirjosukarto, Amir Hamzah (penyunting). 1986.Kiyahi Haji Mas Mansur: Pemikiran
Tentang Islam dan Muhammadiyah. Yogyakarta: YP2LPM-Hanindita.

Rais, Amien. 1998.Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan Sosial. Bandung:
Mizan.

Ali, Mukti. 1957. “The Muhammadiyah Movement: A Bibliographical Introduc-
tion,” M.A. Thesis. Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University.h.
38-39.tidak dipublikasikan.

K.H. Suja’. 1989.Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: Majelis Pustaka PP
Muhammadiyah.

Kaptein, Nico. 1997.The Muhimmat al-Nafais: a Bilingual Meccan Fatwa Collection for



○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

4242424242 AFKARUNA

Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century. Jakarta: INIS.
Burhani, Ahmad Najib. 2004. “The Muhammadiyah’s Attitude to Javanese Cul-

ture in 1912-1930: Appreciation and Tension”, M.A. Thesis, The Netherland:
Universiteit Leiden.

Nasution, Harun. 2003.Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, cetakan ke 13.

Suminto, Aqib. 1996. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, cetakan 3.
Hamka. 1982. Ayahku: Riwayat Hidup DR. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan

Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda.
Maksum. 1999.Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos.
Aritonang, Jan S. 2006.Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta:

BPK Gunung Mulia, cetakan ke 3.