# Layout jan - Jun 2011 merestrukturisasi pandangan kosmologi Ikhwan al-Shafa’. Pandangan tentang alam yang berkembang pada abad ke-10 M adalah pandangan khas yang telah menempatkan alam dengan lebih utuh sebagai entitas spiritual-metafisik dan entitas material secara bersamaan. Model pandangan seperti ini menurut penulis lebih relevan untuk konteks hari ini, setelah selama beberapa abad lamanya, sains modern, khususnya melalui kosmologi modern telah menanggalkan aspek spiritual-metafisik alam semesta, dan hanya mengakui alam sebagai entitas material-fisik. Selama berabad-abad lamanya itulah alam semesta telah mengalami pereduksian makna dari hakikatnya, yang dalam bagian-bagian tertentu telah menyebabkan alam dipersepsi dan diperlakukan tidak sebagaimana adanya. Hal fundamental inilah yang menurut penulis telah menyebabkan terjadinya krisis lingkungan global yang melanda dewasa ini. Sehingga dengan ini pandangan kosmologis Ikhwan al- Shafa’ yang mempersepsi alam dengan holistik menemukan titik relevansinya. Kata Kunci: Ikhwan al-Shafa’, kosmologi, struktur spiritual, struktur material/fisikal, akal aktif universal. PENDAHULUAN Pandangan tentang alam semesta dalam kosmologi modern telah tunduk pada pandangan mekanistik yang diyakini berasal dari pemikiran Bapak Filsafat Modern, Rene Descartes (1596-1650). Pandangan tersebut menyatakan bahwa alam semesta tidak lain hanyalah sebuah mesin. Secara substansial, dalam pandangan Descartes, alam tidak memiliki tujuan (purposes), kehidupan (life), dan spiritualitas (spirituality). Alam Kosmologi Ikhwan al-Shafa’ Muhammad Abdullah Darraz Direktur Program MAARIF Institute for Culture and Humanity. . Email: darrazophy@yahoo.com ABSTRACT This article is an attempt to examine and restructurize Ikhwan al-Shafa’s cosmologi- cal views. People’s perception of nature developing in the 10th century was that the nature was viewed in a more holistic approach. Nature is perceived as spiritual- metaphysic and material entity. This kind of approach is relevant to the current context after for centuries modern science, especially modern cosmological concept, has neglected spiritual-meta- physical dimension of the nature, and has only recognized the physical-material dimension of the nature. Therefore, over centuries teh meaning of nature has been reduced and this has led to inappropriate treatment toward nature. The author argues that the current perception of nature which neglects spiritual dimension has led to global environment crisis. Therefore, the holistic Ikhwan al-Shafa’s cosmological perspective is worth and relevant to current needs of humankind. Kata Kunci: Ikhwan al-Shafa’, cosmology, spiritual structure, material structure, universal active intellect. ABSTRAK Tulisan ini berupaya menelaah dan DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 69Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 semesta ini oleh karenanya bagi Descartes, berjalan tunduk pada hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi ini dapat dijelaskan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya1. Gambaran alam semesta yang mekanis seperti ini menjadi paradigma sains modern yang dominan pada masa-masa setelah Descartes. Gambaran tersebut telah menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori tentang fenomena alam hingga saat ini. Capra mencatat demikian, Seluruh penjelasan tentang ilmu mekanistik pada abad ketujuh belas, delapan belas, dan sembilan belas, termasuk teori agung Newton, tidak lain adalah perkembangan dari gagasan pemikiran Cartesian. Descartes telah memberikan pemikiran ilmiah pada kerangka umumnya, yakni sebuah pandangan tentang alam sebagai sebuah mesin sempurna, yang diatur oleh hukum-hukum matematis yang pasti.2 Bukan hanya mempersepsi alam semesta, pandangan mekanistik Cartesian juga diperluas pada organisme kehidupan seperti tumbuhan dan hewan. Bagi Descartes, hewan dan tumbuhan tak lain Baca secara fonetikdiperluas dibagi hanya hanya sekedar mesin. Begitupun ketika mempersepsi manusia, dualisme Cartesian antara akal dan tubuh, telah menempatkan manusia sejauh ia hanya berhubungan dengan tubuhnya, maka manusia tidak dapat dibedakan dari sebuah mesin-binatang. Pandangan ini telah lama mengubah gambaran alam semesta yang organis menjadi alam yang mekanik dengan berlandaskan pada hukum-hukum alam mekanik.3 Bukan hanya itu, implikasi praktisnya adalah, pandangan ini telah mengubah pola hidup dan sikap manusia dalam memperlakukan alam. Perilaku ramah lingkungan yang dijalankan pada abad-abad sebelum era Cartesian bergulir, perlahan telah musnah dan tergantikan oleh perilaku yang cenderung merusak lingkungan, sebagaimana digambarkan oleh Langdon Gilkey4. Sehingga Carolyn Mercant menyatakan tentang kondisi ini sebagai berikut, bahwa gambaran bumi sebagai organisme hidup dan sebagai ibu yang mengasihi dianggap sebagai hambatan budaya yang membatasi perilaku manusia. Seseorang tidak akan tega menyembelih ibunya, menggali isi perutnya untuk mendapatkan emas, atau merusak tubuh ibunya. Selama bumi dianggap memiliki kehidupan dan perasaan, melakukan tindakan yang merusak dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap perilaku etis manusia5. Pandangan yang telah menghapuskan gambaran semesta sebagai entitas hidup seperti di atas telah mengakibatkan perilaku dan tindakan manusia tidak lagi ramah dalam memperlakukan bumi dan alam semesta. Pandangan di atas telah memberikan legitimasi bagi manusia untuk mengeksploitasi dan memanipulasi alam secara sewenang-wenang. Dengan mengatasnamakan sains, alam semesta dan seluruh entitas di dalamnya sah untuk ditundukkan dan dikontrol. Jika kita menelaah lebih lanjut, sains modern yang mengkaji tentang alam telah melepaskan sakralitas substansi alam semesta dan menjadikan alam sebagai sesuatu yang profan. Bahkan ilmu alam modern telah kehilangan inteligibilitas simboliknya. “Kosmologi modern”6 sebagai sebuah kajian keilmuan tentang alam semesta, sebagai DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 70 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna bagian dari sains modern, juga tidak luput dari proses tersebut. Di dalam kosmologi modern, kita tidak akan menemukan lagi dimensi spiritual dan metafisik yang seharusnya merupakan bagian integral dari kosmologi itu sendiri.7 Kritik yang lebih mendalam disampaikan oleh Titus Burkchardt terkait kosmologi modern yang dikembangkan oleh para ilmuan barat. Baginya kosmologi modern atau kosmologi barat (western cosmology) sebenarnya bukanlah kosmologi yang genuin, namun ia telah tereduksi hanya sebatas menjadi kosmografi8. Konsepsi tentang dunia fisik yang dipersepsi oleh ilmuwan modern telah mengabaikan tatanan spiritual yang sebenarnya terintegrasi dengannya. Lebih lanjut, sains modern, terutama kosmologi modern telah mereduksi hirarki realitas menjadi sebuah entitas empirik yang datar. Oleh karena itu, manusia modern kerap mempersepsi alam semesta hanya sebagai entitas yang tidak tergantung bahkan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia metafisik dan spiritual. Pandangan di atas akan menggiring pada satu anggapan bahwa alam semesta tak lain hanya sebatas sebagai objek mati dan oleh karenanya dapat diperlakukan secara semena-mena. Dampak negatif pandangan ini menjadikan kehidupan alam terancam, dan menyebabkan terjadinya krisis lingkungan di dunia ini. Berdasarkan latarbelakang di atas, tulisan ini berupaya menghadirkan satu pandangan alternatif tentang alam, yakni pandangan kosmologi holistik, yang sebenarnya telah berkembang jauh sebelum kosmologi mod- ern lahir. Secara khusus, tulisan ini akan memaparkan kosmologi yang lahir dalam salah satu tradisi ilmiah Islam abad ke-10, dengan menghadirkan pandangan filosofis sebuah kelompok intelektual asal Basrah, Irak, yang bernama Ikhwan al-Shafa’9. STRUKTUR KOSMOLOGI IKHWAN AL- SHAFA’ Pandangan kosmologi Ikhwan al-Shafa’ setidaknya dapat dilacak secara rinci dalam Rasail pada risalah ke-16 yang berjudul al-sama wa al-‘alam10. Ikhwan al-Shafa’ memandang semesta ini sebagai sebuah entitas yang utuh. Ia menyebutnya sebagai satu alam yang utuh (‘alam wahid).11 Dalam penjelasan lain, ia menyebut semesta sebagai jasad yang satu yang dialiri oleh jiwa yang satu.12 Ikhwan al-Shafa’ mengibaratkan alam semesta ini sebagai sebuah kota, ia juga mengibaratkannya sebagai seekor hewan, atau sesosok manusia. Sebagai sebuah kota, alam memiliki sistem perkotaan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Sama halnya ketika alam ini diibaratkan sebagai manusia, maka antara satu anggota tubuh dengan anggota tubuh lainnya memiliki kaitan dan hubungan yang sangat erat. Ketika tangan terluka, maka seluruh anggota tubuh lainnya juga merasakan hal yang serupa. Pandangan semacam ini ingin mengukuhkan prinsip unisitas keberadaan alam (the unicity of nature), sebagaimana telah dibincangkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.13 Yakni konsep kesatuan semesta dalam kaitannya dengan kesalinghubungan antara satu elemen dengan berbagai elemen lainnya pada alam ini. Namun yang pertama kali penting untuk dijelaskan dalam pendahuluan ini adalah pembagian struktur entitas semesta yang dilakukan oleh Ikhwan al-Shafa’ pada 2 DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 71Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 bagian: pertama adalah entitas spiritual (al- jawahir al-ruhaniyyah) yang berada pada alam spiritual, atau dibahasakan sebagai alam transenden (al-‘alam al-a‘la). Sedangkan yang kedua adalah entitas fisik (al-jawahir al- jismaniyyah) yang diklasifikasikan berada pada 2 alam lainnya, yakni alam atas (al-‘alam al- ‘alawi) yang sering disebut sebagai celestial universe dan alam bawah (al-‘alam al-sufla), yakni alam orbit-orbit dan bintang, serta alam yang mengalami proses kejadian dan kehancuran yang letaknya di bawah bulan, atau sering disebut sebagai alam sublunar, yakni terrestrial universe. Semuanya terkandung di alam semesta ini.14 Di antara alam-alam ini memiliki keselarasan dan keharmonisan yang majemuk (tanasub muta’addid)15. Keselarasan-keselarasan ini yang menyebabkan antara keduanya memiliki hubungan dan kaitan yang sangat erat16. Hal ini yang membedakan antara Tuhan Sang Pencipta dengan semesta. Ketika Tuhan tunggal dengan keesaan-Nya, maka semesta memiliki padanan-padanan dan pasangannya dalam multisegi. Dalam al-Risalah al-Jami’ah dinyatakan, “dan di alam ruhani (transcenden- tal) itu memiliki kesamaan di alam fisik/alam bawah. Sebab segala sesuatu di luar diri Tuhan Yang Maha Suci, ada pasangan-pasangan ganda, untuk membuktikan bahwa Tuhan itu esa, unik, dan tunggal, yang tidak beranak dan tidak diperanak” 17. Sedangkan Tuhan sebaliknya dari alam, sebagaimana diyakini oleh para Nabi dan para filosof, dinyatakan sebagai realitas tunggal dari berbagai segi. Justru kegandaan dan komposisi alam semesta menjadi bukti akan keesaan-Nya. Ikhwan al-Shafa’ memaparkan, Para Nabi dan filosof telah berketetapan bahwa Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung, yang tidak memiliki sekutu dan tidak ada yang menyerupai-Nya, adalah realitas tunggal dari berbagai segi. Sedangkan segala sesuatu selain-Nya berupa entitas-entitas wujud di alam ini adalah berpasangan (couple), tersusun (composed), dan terkomposisi secara kompleks (complex)18. Ketika alam ruhani memiliki akal univer- sal, maka alam jasmani memiliki akal partikular. Alam ruhani memiliki jiwa univer- sal, sedangkan alam jasmani memiliki jiwa partikular19. Begitupun dengan keberadaan materi orisinal (al-hayula al-ula) di alam spiritual, maka pasangannya di alam jasmani adalah materi di alam rendah (al-hayula al- sufliyyah). Seluruh entitas ini memiliki ikatan dan kesalinghubungan satu sama lain, dan berada dalam jangkauan Tuhan yang Maha Meliputi. Dalam penjelasannya, Ikhwan al- Shafa’ menyatakan, “Segala sesuatu yang mewujud ini seluruhnya memiliki ikatan dan keterkaitan satu sama lain. Dan Amr Allah meliputi seluruhnya” 20. Dalam penjelasan yang lebih rinci Ikhwan al-Shafa’ menegaskan, Sedangkan para filosof dan golongan yang berilmu tinggi, mereka dapat menyaksikan – melalui kejernihan jiwa dan cahaya akal mereka– substansi-substansi nonfisik (spiri- tual/metafisik) mengalir dalam benda-benda alam. Ia menampakkan aktivitas dan pengaruhnya pada benda-benda tersebut sesuai dengan keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pengaruh tersebut nampak jelas ada pada setiap benda-benda fisik sesuai dengan daya, upaya, dan kemampuannya. Dan entitas spiritual ini merupakan inti dari setiap ciptaan. Oleh karenanya, segala aktivitas yang nampak pada entitas-entitas fisik, maka pasti ia disandarkan pada entitas ruhaninya. 21 DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 72 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna Secara ringkas, Ikhwan al-Shafa’ mendefinisikan entitas alam ruhani sebagai segala sesuatu yang dapat dipersepsi oleh akal dan diabstraksi oleh pikiran. Sedangkan entitas alam jasmani adalah segala sesuatu yang dapat dipersepsi hanya oleh indra saja. Alam ruhani itu meliputi/melingkupi alam orbital yang merupakan alam jasmani22. Sebagaimana alam orbital ini melingkupi alam sublunar yang terdiri dari elemen- elemen dan entitas-entitas derivatif berupa mineral, tumbuhan, dan hewan. Menurut Ikhwan al-Shafa’, penciptaan berbagai entitas jasmani dilakukan secara berangsur-angsur, bertahap sesuai dengan perjalanan masa (al-dahr) dan waktu (al- azman). Sedangkan penciptaan berbagai entitas transenden-spiritual terjadi secara sekaligus dalam satu kali waktu tanpa melalui proses kejadian ruang, waktu, dan materi.23 Dalam penjelasan Nadiah Jamaluddin, Tuhan telah menciptakan potensi keberadaan (bi al-quwwah) seluruh entitas alam ini –baik entitas alam ruhani maupun entitas alam jasmani– secara bersamaan. Namun setelah itu, Tuhan mengaktualkan potensi eksistensial seluruh semesta ini secara berurutan, satu persatu sehingga seluruhnya mewujud secara aktual.24 Yang dimaksud dengan potensi eksistensial ini adalah bentuk (shuwar) dan arketip (a’yan).25 Ikhwan al- Shafa’ menyebutkan bahwa keberadaan seluruh entitas secara utuh ada dalam akal universal secara potensial. Dimulai dari penciptaan alam ruhani- transenden dan dilanjutkan pada penciptaan alam fisik-jasmani. Oleh karena itu keberadaan alam ruhani lebih awal dan lebih dahulu dibandingkan dengan keberadaan alam fisik-jasmani. Dalam teori emanasi Ikhwan al-Shafa’, secara tegas dinyatakan, bahwa akal universal adalah pancaran pertama yang langsung berasal dari Tuhan. Dan melalui akal universal inilah segala entitas diwujudkan. Di dalam akal universal ini, seluruh bentuk entitas terdapat –secara potensial. Inilah cikal bakal keberadaan seluruh entitas alam ini mewujud secara aktual.26 Secara hirarkis, Ikhwan al-Shafa’ membagi struktur entitas ruhani menjadi 3 macam: 1. Akal Aktif Universal (al-‘Aql al-Kulli al-Fa’’al); 2. Jiwa Universal (al-nafs al-Kulliyyah); 3. Materi Orisinal (al-Hayula al-Ula). Akal universal adalah substansi sederhana yang dapat menangkap hakikat dan realitas segala sesuatu. Sedangkan jiwa universal merupakan substansi sederhana yang aktif (fa’alah) dan memiliki daya untuk mengetahui (‘allamah). Adapun Materi Orisinal dimaknai sebagai substansi sederhana (jawhar basith) yang pasif (munfa’il), dapat dicerap secara rasional (ma’qul) dan menerima berbagai bentuk. Sedangkan struktur entitas fisik terdiri dari 3 macam, yaitu; pertama, benda-benda orbital (al-ajram al-falakiyyah); kedua, 4 elemen- elemen alamiah yang terdiri dari api, udara, air, dan tanah; ketiga, 3 organisme turunan yakni, hewan, tumbuhan, dan benda min- eral. Struktur Spiritual (al-Jawahir al- Ruhaniyyah) Di bawah ini kita akan mengurai satu persatu berbagai entitas kosmik yang telah dikategorikan oleh Ikhwan al-Shafa’ pada dunia spiritual. Akal Aktif Universal Akal merupakan inti dari hirarki teori emanasi Ikhwan al-Shafa’. Bahkan teori emanasi Ikhwan al-Shafa’ dilandasi oleh keberadaan akal. Hal ini disebabkan karena DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 73Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 akal dalam keyakinan Ikhwan al-Shafa’ merupakan entitas pertama yang diciptakan oleh Tuhan Maha Pencipta, dan menjadi perantara antara Tuhan dan keberadaan semesta. Allah Ta’ala merupakan wujud sempurna, yang penuh dengan keutamaan-keutamaan dan kebaikan. Ia mengetahui segala sesuatu sebelum mereka semuanya mewujud. Maka atas dasar kehendak dan kekuasaan-Nya, Allah tidak menyimpan keutamaan dan kesempurnaan-Nya hanya untuk diri-Nya sendiri, namun Dia menebarkannya melalui proses pelimpahan (emanasi). Proses emanasi ini berlangsung secara terus-menerus, berkelanjutan, tanpa henti. Dan emanasi pertama ini disebut akal aktif universal (al-‘aql al-fa’al al-kulli). Ia merupakan substansi spiritual sederhana, bahkan ia dikatakan sebagai cahaya murni. Berbagai bentuk seluruh entitas semesta telah tercakup di dalamnya, sebagaimana seluruh bentuk dari objek pengetahuan telah tercakup dalam pikiran alam27. Dengan keberadaan akal universal, Tuhan menciptakan alam semesta ini. Dalam salah satu penjelasannya dinyatakan bahwa seluruh entitas wujud alam ini, baik itu entitas alam fisik yang kasar, maupun entitas alam spiri- tual yang halus, bumi dan langit, surga dan neraka, seluruhnya berasal dari sumber yang tunggal, yakni akal.28 Betapa pentingnya posisi akal universal dalam pandangan Ikhwan al-Shafa’. Bahkan dalam penjelasan lain, mereka meyakini bahwa keberadaan seluruh entitas alam semesta ini –baik alam ruhani maupun alam jasmani– tergantung pada keberadaan akal universal ini. Karena dalam akal universal-lah segala entitas semesta mewujud secara potensial. Melalui akal universal ini semua bentuk dan arketip entitas semesta berada, untuk kemudian diwujudkan secara aktual dalam realitas.29 Dalam hal ini posisi akal menempati posisi paling tinggi di antara entitas lainnya dalam kosmologi Ikhwan al-Shafa’. Karena akal merupakan ciptaan pertama, yang berasal dari Allah SWT secara langsung tanpa perantaraan. Untuk menguatkan pandangannya, Ikhwan al-Shafa’ bersandar pada hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw. “Rasulullah bersabda: makhluk pertama yang Allah Ta’ala ciptakan adalah akal. Lalu Allah berfirman padanya: terimalah, lalu ia menerimanya. Lalu Allah berkata lagi: pergilah!, lalu ia pun pergi. Lalu Allah berfirman: Demi kemuliaan dan keagungan- Ku, tidak ada makhluk yang Ku ciptakan lebih agung daripadamu, melaluimu Aku merenggut, melaluimu Aku memberi, denganmu Aku memberi pahala, dan melaluimu Aku memberi balasan hukuman.” Akal merupakan makhluk pertama yang menerima amr Tuhan. Dan akal adalah makhluk paling dekat dengan Tuhan sebagai Penciptanya, karena ia menempati posisi pertama dalam hirarki emanasi. Lalu setelah itu Tuhan menciptakan jiwa universal dan materi pertama. Akal universal ini disebutkan sebagai hijab agung (al-hijab al-a’zham) antara Tuhan dan seluruh makhluk-Nya dan pintu besar (al-bab al-akbar) menuju keesaan Allah Ta’ala. Meskipun ia disebut sebagai pintu tawhid – karena ia adalah pancaran pertama dari eksistensi Tuhan, namun ia diakui memiliki pasangan yang disandingkan kepadanya. Ikhwan al-Shafa’ menjelaskan, bahwa sebab keberadaan (al-‘illah al-wujudiyyah) akal DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 74 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna adalah keberadaan/wujud Tuhan sang Maha Pencipta dan pancaran Tuhan terhadapnya. Sedangkan sebab keberlangsungan (al-‘illah al- baqaiyyah) adalah pertolongan Tuhan melalui wujud dan pancaran yang bersumber dari- Nya. Adapun sebab keutuhan (al-‘illah al- tamamiyyah) akal adalah penerimaan yang dilakukan oleh akal terhadap pancaran dan pertolongan Tuhan Sang Pencipta. Sedangkan sebab kesempurnaan (al-illah al- kamaliyyah) akal adalah kemampuannya untuk meneruskan pancaran yang berasal dari Tuhan kepada jiwa universal. Oleh karena itu keberlangsungan akal menjadi sebab bagi keberadaan jiwa univer- sal. Dan keutuhan akal menjadi sebab bagi keberlangsungan jiwa. Dan kesempurnaan akal menjadi sebab bagi keutuhan jiwa.31 Kini tiba saatnya untuk menguraikan penjelasan tentang jiwa universal yang mewujud sebagai pancaran dari akal universal. Jiwa Universal Jiwa universal merupakan entitas kedua dalam hirarki teori emanasi Ikhwan al-Shafa’ setelah akal universal. Hubungan antara jiwa universal dengan akal universal seperti hubungan antara cahaya bulan yang didapatkan dari cahaya matahari. Melalui cahaya mataharilah bulan dapat menerima cahaya. Oleh karenanya cahaya bulan teramat bergantung pada cahaya matahari. Seperti itulah ketergantungan jiwa universal terhadap akal universal. Bila akal universal tidak ada maka secara pasti jiwa universal tidak akan mewujud. Dalam hal ini mereka menyatakan sebuah teori, bahwa dalam diri akibat (al-ma’lul) terdapat pengaruh-pengaruh (jejak-jejak) sebab (al-‘illah). Oleh karena itu akal universal yang nota bene merupakan sebab bagi keberadaan jiwa universal pasti meninggalkan pengaruh dan jejak dalam jiwa universal. Ketika jiwa telah menerima limpahan cahaya akal, dan cahayanya telah sempurna sebagaimana cahaya akal, maka aktualitasnya pun telah mewujud dan serupa dengan aktualitas akal. Proses pelimpahan bentuk oleh akal pada jiwa universal ini dilakukan secara sekaligus tanpa mengalami waktu. Bila dianalogikan prosesnya seperti pancaran cahaya matahari ke udara.32 Begitu saja terjadi, ketika matahari mewujud, secara otomatis cahayanya memancar. Oleh karena itu dalam hirarki eksistensial Phytagorean, jiwa universal menempati posisi ketiga, setelah Tuhan dan akal universal. Sebagaimana angka 3 didahului oleh angka 2 dan angka 1 dalam pandangan kosmologi mereka. Mereka berpendapat bahwa bentuk entitas di alam ini tidak lain selaras dengan bentuk-bentuk angka, dan segala entitas wujud di alam ini tersusun berdasarkan karakteristik angka. Karena ia merupakan entitas yang terdapat antara akal universal dan materi orisinal (al-hayula al-ula), maka ia mengalami beberapa peristiwa, karena keterkaitannya tidak hanya dengan akal tapi juga dengan entitas yang ada di bawahnya. Oleh karena itu, menurut Ikhwan al-Shafa’, kadangkala jiwa universal menerima pancaran bentuk dari akal universal, dan di pihak lain ia juga memancarkan bentuk terhadap materi orisinal.33 Ikhwan al-Shafa’ menyebut jiwa universal ini sebagai akal pasif (al-‘aql al-munfa’il/passive intellect), yakni sebuah substansi spiritual, sederhana, yang secara pasif menerima berbagai bentuk, serta berbagai kualitas positif dari akal universal berdasarkan urutan dan keteraturan. Ia diibaratkan sebagai DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 75Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 seorang murid yang secara pasif menerima pengajaran dari gurunya.34 Yang dimaksud dengan jiwa universal ini adalah jiwa alam semesta yang menjadi subjek penggerak semesta. Jiwa universal ditopang oleh akal universal sebagai kekuatan ketuhanan yang menopang keberadaannya. Jiwa sebagai agen yang menggerakkan semesta dilengkapi oleh keberadaan daya atau kekuatan yang disebut sebagai universal nature (al-thabi’ah al-kulliyyah)35 atau daya aktual (al-thabi’ah al-fa’ilah)36. Fungsi dari daya ini melekat pada jiwa universal dan bekerja dalam seluruh tubuh semesta, sehingga semesta dapat mengalami kehidupan, melakukan pergerakan, pertumbuhan, dan berjalan dengan teratur. Bahkan ia juga bekerja secara lebih mendetil pada seluruh bagian-bagian dan individu- individu (asykhash) orbit-orbit dan berbagai benda-benda orbital. Ikhwan al-Shafa’ menyebut daya-daya yang bekerja secara terperinci ini sebagai jiwa particular (nafs juz’iyyah). Misalnya adalah daya yang mengatur dan memanifestasikan pergerakan planet Saturnus maka dinamai sebagai jiwa Saturnus. Begitupun yang terjadi dengan planet Jupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, Bulan, dan benda-benda di bawah bulan berupa 4 elemen (api, udara, air, tanah), dan barang mineral, tumbuhan, dan hewan serta manusia. Semuanya dilengkapi daya-daya khusus dan disebut sebagai jiwa partikular. Dan semua daya-daya ini milik dari jiwa universal, sebagai jiwa bagi seluruh alam semesta. Kita bisa dengan mudah mendapatkan beberapa penjelasan dari mereka terkait apa yang dimaksud sebagai daya jiwa universal ini. Bahkan dalam sebuah sub-judul khusus yang menjelaskan tentang esensi daya ini (fi mahiyah al-thabi’ah), mereka mengkritik pandangan kaum empiris (al-maddiyyun) yang pada masa itu berpegang teguh pada sebuah keyakinan bahwa alam semesta ini hanya dibangun oleh entitas-entitas fisik saja, dan menafikan keberadaan daya spiritual yang berpengaruh pada seluruh entitas alam fisik ini. Ikhwan al-Shafa’ mengutarakan bahwa kekeliruan ini berawal dari kesalahan epistemologis kaum empiris yang tidak mau mengakui kehadiran entitas spiritual sebagai bagian dari subjek pengetahuan rasional manusia. Bagi mereka, kalangan empiris telah kehilangan satu pengetahuan berharga mengenai realitas ini secara utuh. Oleh karenanya pengetahuan mereka tentang realitas alam ini tidak lagi utuh. Dalam konteks pengingkaran terhadap adanya daya jiwa universal ini, kaum empiris telah kehilangan makna daya (thabi’ah) yang sebenarnya, sehingga mereka tidak mampu mengetahui berbagai pengaruh dan aktivitas yang dilakukan oleh daya-daya ini terhadap benda-benda fisik alam raya ini.37 Bagi kaum empiris, pengaruh dan aktivitas semesta itu hanya bersumber dari entitas hidup dan memiliki kekuatan. Namun kekeliruan mereka dalam hal ini adalah dengan serampangan telah mengindentikkan entitas yang hidup dan memiliki kekuatan itu pada keberadaan benda-benda fisik yang secara eksistensial mereka itu tidak lain adalah benda mati bila dipisahkan dari substansi-substansi spiritualnya. Di sinilah letak kekeliruan epistemologis mereka yang tidak mau mengakui adanya entitas lain, yakni substansi spiritual yang tidak bisa dicerap oleh indera dan merupakan substansi yang telah membuat benda-benda fisik semesta ini memiliki kehidupan. Substansi DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 76 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna spiritual tersebut adalah jiwa universal yang melekat pada seluruh benda-benda fisik di alam semesta ini. Kekeliruan ini dimungkinkan, karena kaum empiris terlalu bergantung pada kemampuan alat-alat inderawi sebagai sumber pengetahuan mereka yang sangat terbatas. Dalam penjelasannya lebih lanjut, Ikhwan al-Shafa’ mengungkapkan bahwa thabi’ah adalah sebuah daya dari berbagai daya yang dimiliki oleh jiwa universal. Ia bersumber dari keberadaan jiwa universal ini, yang tanpanya, daya tersebut tidak akan ada. Daya ini melekat pada seluruh benda-benda yang ada di alam sublunar tanpa kecuali. Ia mengalir dalam setiap bagian-bagian dari semua entitas di alam sublunar. Dalam bahasa agama, daya ini disebut sebagai para malaikat yang bertugas untuk menjaga alam dan mengatur semua pergerakan makhluk. Dan dalam bahasa filsafat, ia dinamai sebagai daya-daya alamiah (natural forces). Semua itu berjalan dengan izin Tuhan Sang Pencipta. Posisi jiwa universal ini berada di atas orbit terluar (outer sphere/al-falak al-muhith), dan daya-dayanya bekerja pada seluruh bagian orbit serta benda-benda partikular yang ada pada semesta ini. Ia melakukan pengaturan, kreativitas, dan penetapan (hukum alam) pada seluruh benda-benda semesta.38 Oleh karena itu, bagi Ikhwan al-Shafa’, jiwa universal merupakan agen spiritual yang keberadaannya memiliki peran dan pengaruh terhadap entitas fisik semesta. Karena ia bekerja dengan daya-daya spiritual terhadap semesta. Secara lebih terperinci, Ikhwan al- Shafa’ menjelaskan bahwa jiwa universal memiliki dua daya yang keduanya mengalir dan bekerja pada seluruh entitas semesta di bawah orbit terluar39. Bila diilustrasikan aliran kedua daya tersebut, seperti pancaran sinar matahari yang menembus segala penjuru udara. Dua daya tersebut adalah daya pengetahuan (al-quwwah al-‘allamah) dan daya aktual (al-quwwah al-fa’’alah). Fungsi dari daya pengetahuan adalah menyempurnakan diri jiwa universal secara internal dengan memanifestasikan keutamaan-keutamaan potensial yang dimilikinya menjadi keutamaan-keutamaan aktual40. Sedangkan daya aktual berfungsi untuk mengutuhkan dan menyempurnakan raga semesta dengan berbagai hiasan dan ukiran yang indah, berupa berbagai bentuk, gambar, corak, dan hiasan yang indah penuh warna warni.41 Selanjutnya, mereka membagi wilayah kerja jiwa universal ini kepada dua bagian; pertama, wilayah alam orbit-orbit (‘alam al- aflak), atau alam tinggi (‘alam al-‘alawi) yang batasannya dari puncak permukaan orbit terluar (al-falak al-muhith) hingga permukaan orbit eter (al-atsir)42 yang terbawah, yakni orbit bulan dan lapisan atmosfir yang mengitarinya. Kedua, wilayah alam elemen- elemen/unsur-unsur (’alam al-arkan), atau alam kejadian dan kehancuran (‘alam al-kaun wa al-fasad) yang batasannya antara permukaan orbit bulan terbawah hingga ujung bumi43. Wilayah kedua ini sering disebut sebagai alam rendah (al-‘alam al-sufla). Dan kita menyebutnya sebagai alam sub- lunar. Kedua alam ini yang disebut sebagai semesta menjadi area kerja dan tempat beraktivitas jiwa universal dalam mengaktualkan daya-daya yang dimilikinya sehingga dapat menggerakkan dan menghidupkan alam semesta ini. Ikhwan al- Shafa’ menyatakan, adapun posisi di atas orbit terluar ditempati oleh jiwa universal yang daya-dayanya bekerja (mengalir) pada seluruh entitas benda-benda DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 77Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 (baik fisik maupun non-fisik) yang terdapat pada dua alam (alam tinggi dan alam rendah) seluruhnya, dari puncak orbit terluar hingga ujung pusat bumi, dengan seizin Allah Sang Maha Pencipta.44 Berdasarkan pembagian area tersebut, maka jiwa universal dilengkapi dengan keberadaan daya-daya nonfisik (spiritual). Daya-daya ini bekerja pada seluruh entitas alam. Berdasarkan klasifikasi dua alam yang dijelaskan di atas, maka Ikhwan al-Shafa’ membagi daya-daya jiwa universal tersebut pada dua bagian. Pertama, daya yang bekerja pada alam orbit-orbit –yang di dalamnya terdapat berbagai bintang dan planet. Daya ini disebut sebagai daya orbit-orbit dan planet (thabi’ah al-aflak wa al-kawakib). Aktivitas dan pengaruhnya terlihat dari pergerakan terus menerus yang dialami oleh orbit dan bintang- bintang. Kedua, di dalam jiwa universal ini terdapat sebuah daya yang secara khusus bekerja pada seluruh entitas fisik yang ada di alam sublunar. Dan daya tersebut menjadi pengatur, penggerak, dan memanifestasikan seluruh aktualitas dan aktivitasnya. Kaum filosof dan fisikawan menyebutnya sebagai daya-daya alam kejadian dan kehancuran (thabi’ah al-kaun wa al-fasad/ the nature of generation and corruption).45 Ikhwan al-Shafa’ menyebutnya sebagai satu jiwa yang memiliki pelbagai macam daya yang bekerja pada seluruh bagian organisme yang ada di bawah alam sublunar, seperti pada mineral, tumbuhan, dan hewan, dari bawah alam sublunar hingga ke pusat inti bumi. Keberadaan jiwa inilah yang membuat semesta ini hidup. Karena ia menjadi perantara bagi pemberian kehidupan dan pergerakan secara teratur yang terus menerus berlangsung pada alam semesta. Jiwa univer- sal menjadi salah satu rantai ontologis keberadaan, keberangsungan, keutuhan, dan kesempurnaan semesta ini. Secara lazim, mereka mencocokkan keberadaan jiwa universal beserta seluruh aktivitasnya di seluruh bagian alam semesta ini dengan keberadaan jiwa particular yang bekerja dan mengalir dalam seluruh bagian dari tubuh manusia46. Inilah pangkal penjelasan dari konsep tentang semesta sebagai manusia besar dan manusia sebagai alam kecil. Secara mendetail, Ikhwan al-Shafa’ merinci pengaruh dari daya-daya jiwa univer- sal terhadap berbagai entitas di alam sublunar ini, terutama terkait dengan kehidupan di bumi. Penjelasan secara terperinci ini menjadi pembuktian tentang eco-cosmologi Ikhwan al-Shafa’, yang bukan hanya mempersepsi alam dengan penuh penghormatan, namun juga memposisikan alam sebagai entitas yang hidup sebagaimana manusia. Materi Orisinal (al-hayula al-ula) Secara umum, Ikhwan al-Shafa’ menjelaskan materi (al-hayula) sebagai sesuatu yang sering disandingkan dengan bentuk (al- shurah), yakni segala substansi yang dapat menerima bentuk, atau yang dapat dibentuk. Seperti besi sebagai materi yang dapat dibentuk menjadi gunting, gergaji, pisau, garpu, sendok, dan lain sebagainya.47 Pandangan seperti ini merupakan pandangan umum yang diterima oleh para filosof pada zaman itu. Ikhwan al-Shafa’ membagi materi menjadi 4 macam: Pertama, materi produksi (hayula al- shina’ah), yakni bahan yang dipakai oleh manusia untuk membuat sebuah barang atau DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 78 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna produk. Seperti kayu sebagai bahan yang dipakai oleh para pengrajin kursi dan meja, atau tanah dan semen yang dipakai sebagai bahan bangunan rumah; kedua, materi alam (hayula al-thabi’ah) adalah empat elemen yang membentuk alam sublunar, yakni api, udara, air, dan tanah. Dari keempat elemen ini terbentuk adanya bebatuan, tumbuhan, dan hewan; Ketiga, materi universal (hayula al-kull). Ikhwan al-Shafa’ memaknai materi universal ini sebagai benda mutlak (al-jism al-muthlaq)48, yakni benda-benda yang membentuk kesatuan alam semesta. Sebagaimana dijelaskan, bahwa semesta ini terdiri dari berbagai benda-benda yang beragam yang bersatu secara utuh membentuk alam semesta. Ikhwan al-Shafa’ menguraikan benda-benda tersebut diantaranya adalah orbit, planet, bintang, elemen-elemen, dan seluruh entitas alam semesta ini. Bagi Ikhwan al-Shafa’, seluruh benda alam semesta ini adalah materi-materi yang telah membentuk alam semesta secara utuh. Namun yang membedakan antara satu benda dengan benda lainnya hanyalah terletak pada bentuknya saja. Keempat, materi utama/materi orisinal (hayula al-ula). Yang dimaksud sebagai materi orisinal dalam pandangan Ikhwan al-Shafa’ adalah bentuk wujud murni yang tidak memiliki kuantitas maupun kualitas49. Ia merupakan substansi murni, sederhana, yang hanya bisa dipersepsi oleh akal dan tidak dapat ditangkap secara indrawi. Oleh karenanya ia disebut sebagai bentuk wujud murni50. Ia dibedakan dengan materi (hayula) dalam kajian benda-benda fisik (al-jismaniyyat al-thabi’iyyat). Dalam pembahasan ini kita akan mendalami apa yang dimaksud dengan materi orisinal dan bagaimana perannya sebagai bagian dari entitas kosmologis, serta apa hubungannya dengan jiwa universal. Materi orisinal adalah entitas ketiga dalam penjelasan teori emanasi Ikhwan al-Shafa’ setelah akal universal dan jiwa universal. Ia mendapatkan pelimpahan dari jiwa universal dan menerima berbagai bentuk dan rupa darinya melalui perjalanan waktu.51 Ia merupakan entitas pasif yang mendapatkan aktualitas dari jiwa universal. Bahkan dikatakan bahwa secara potensial ia adalah sebuah esensi, namun secara aktual keberadaannya tidak ada. Ia menjadi ada secara aktual ketika telah menerima bentuk dan ia menjadi sebuah entitas yang mengada.52 Oleh karenanya ia disebut sebagai bentuk spiritual yang melimpah dari jiwa universal. Dan bentuk pertama yang diterima olehnya adalah sebuah bentuk yang memiliki panjang, lebar dan tinggi. Namun ketika ia telah menerima bentuk-bentuk tersebut, maka ia tidak dikatakan lagi sebagai materi orisinal, namun ia telah menjadi materi kedua (al-hayula al-tsaniyyah) dan disebut sebagai benda absolut (al-jism al-muthlaq). Adapun sebab keberadaan Materi Orisinal ini ada 3; pertama, sebab aktualitasnya adalah Tuhan Sang pencipta, sedangkan sebab formalnya adalah akal universal, dan sebab kesempurnaannya adalah keberadaan jiwa universal.53 Pandangan seperti ini tidak lain bersumber dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa keberadaan segala sesuatu selain tuhan diakibatkan oleh adanya beberapa sebab. Hanya tuhan yang tidak memiliki sebab, karena ia merupakan sebab utama atau prime cause (al-‘illah al-ula). Penjelasan lain mengenai materi orisinal ini adalah bahwa ia diposisikan sebagai lokus dimana jiwa universal memanifestasikan DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 79Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 dirinya dengan serangkaian daya-daya yang dimilikinya. Manifestasi ini dilakukan melalui keberadaan benda-benda fisik, yang cikal- bakalnya tercipta melalui materi orisinal. Inilah salah satu alasan mengapa jiwa mesti dikaitkan dengan materi. Ini penting untuk ditekankan, karena materi orisinal ini adalah salah satu bahan dasar awal –bersama bentuk– dimana segala entitas semesta ini diwujudkan. Tanpa keberadaanya, maka tidak akan ada materi universal yang disebut pula benda mutlak (jism mutlaq). Karena sebagaimana telah dijelaskan dalam paragraph di atas bahwa keberadaan benda mutlak baru akan ada setelah materi orisinal mendapatkan bentuk- bentuk dari jiwa universal. Dan oleh karenanya ia disebut sebagai materi sekunder (al-hayula al-tsaniyyah) setelah materi orisinal. Selanjutnya melalui keberadaan benda mutlak ini, berbagai benda yang ada di alam semesta disusun. Yakni pembentukan elemen- elemen yang empat, api, udara, air, dan tanah. Dan dari 4 elemen ini diciptakan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi, baik itu berupa benda-benda mineral, tumbuhan, maupun hewan54. Selain itu, signifikansi keberadaan materi orisinal bagi semesta adalah bahwa ia menempati posisi sebagai titik peralihan antara entitas-entitas spiritual menuju entitas- entitas material, seperti keberadaan orbit- orbit, bintang-bintang, elemen-elemen, hingga berbagai organisme yang ada di bumi. Meskipun ia sendiri secara esensial merupakan substansi spiritual, sama halnya seperti akal universal dan jiwa universal, namun ia menjadi cikal-bakal adanya entitas lain di luar entitas spiritual yang mengutuhkan semesta ini, yakni keberadaan berbagai entitas material. Tanpa keberadaan materi orisinal, maka semesta ini hanya terdiri dari entitas-entitas spiritual saja. Dan penjelasan mengenai adanya benda-benda fisik menjadi cacat adanya. Untuk mengakhiri penjelasan tentang struktur metafisik kosmologi Ikhwan al- Shafa’, penulis menyimpulkan bahwa proses terbentuknya struktur metafisik tersebut sering disebut sebagai proses emanasi (faydh). Teori emanasi Ikhwan al-Shafa’ bersumber dan terinspirasi dari teori emanasi Plotinus yang dikenal sebagai golongan Neoplatonis. Dalam teori tersebut, pelimpahan yang bermula dari Tuhan, memancarkan entitas kedua yakni akal aktif universal, dan memancarkan entitas ketiga yakni jiwa universal, dan berakhir pada entitas keempat yakni materi orisinal. Pelimpahan ini terjadi tanpa mengalami perjalanan waktu. Setelah materi orisinal terwujud, ia sekaligus diberi bentuk-bentuk oleh jiwa universal, sehingga menghasilkan benda mutlak. Setelah terbentuknya benda mutlak yang merupakan materi sekunder ini, maka tidak ada lagi pelimpahan yang terjadi. Proses pewujudan benda mutlak ini dilakukan dengan mengalami perjalanan waktu sedikit demi sedikit, tidak sekaligus. Secara lebih detail proses emanasi tersebut dijelaskan sebagaimana berikut, karena kebijaksaan menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan, maka Tuhan memancarkan kebaikan dan seluruh keutamaan-Nya sebagaimana keniscayaan pancaran cahaya dan sinar matahari. Dan pancaran yang berasal dari-Nya terjadi secara berkelanjutan, berkesinambungan, dan tanpa terputus. Pancaran pertama dinamai sebagai akal aktif. Yaitu substansi spiritual sederhana, cahaya murni yang benar-benar utuh, sempurna, dan utama. Di dalam akal aktif DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 80 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna tersebut terkandung bentuk-bentuk seluruh entitas, sebagaimana dalam pikiran seorang yang berilmu terkandung seluruh gambaran objek-objek yang diketahui (shuwar al- ma’lumat). Dari akal aktif ini terpancar pancaran lain yang ad di bawah urutannya yakni akal pasif (al-‘aql al-munfa’il) yaitu jiwa universal. Jiwa universal adalah substansi spiritual sederhana yang dapat menerima bentuk-bentuk dan keutamaan dari akal aktif berdasarkan urutan dan keteraturan. Ibaratnya seperti seorang murid yang menerima pengajaran dari gurunya. Dari jiwa universal ini terpancar pancaran lain yang urutannya berada di bawahnya dan dinamai materi orisinal, yakni substansi spiritual sederhana yang menerima berbagai benuk dan rupa dari jiwa universal dalam perjalanan waktu sedikit demi sedikit. Maka bentuk pertama yang diterima oleh materi orisinal ini adalah panjang, lebar dan tinggi (dalam). Dengan pemberian bentuk-bentuk ini pada materi orisinal, maka terbentuklah benda mutlak, dan ia merupakan materi sekunder. Pancaran berhenti ketika benda mutlak mewujud dan ia tidak memancarkan substansi lain karena keberadaannya kurang memiliki substansi ruhani, dan ia merupakan substansi yang berat, dan jauhnya ia dari keberadaan sebab utama.55 Struktur Fisikal (al-Jawahir al- Jismaniyyah) Setelah memaparkan struktur kosmologis entitas-entitas spiritual menurut Ikhwan al- Shafa’, saat ini kita akan beranjak pada penjelasan mengenai klasifikasi kedua tentang benda-benda fisik semesta yang dalam pandangan Ikhwan al-Shafa’ terdiri dari 3 macam; pertama, benda-benda orbital (al-ajram al-falakiyyah) yang terdiri dari orbit- orbit dan bintang-bintang; kedua, 4 elemen- elemen alamiah (al-arkan al-thabi’iyyah) yang terdiri dari api, udara, air, dan tanah; ketiga, 3 organisme derivatif (al-kainat al-muwalladat) yakni, hewan, tumbuhan, dan benda min- eral. Asal mula keberadaan ketiga macam entitas ini berawal dari keberadaan benda mutlak yang merupakan materi kedua setelah materi orisinal. Ketika materi orisinal diberi (atau menerima) bentuk dari jiwa universal, maka dengan melalui perjalanan waktu, terbentuklah apa yang disebut sebagai benda mutlak. Adapun yang menjadi benda mutlak pertama adalah benda yang memiliki 3 segi; panjang, lebar, dan tinggi. Ketiganya diberikan oleh jiwa universal kepada materi orisinal, sehingga dapat membentuk benda mutlak. Sejalan dengan perjalanan waktu, keberadaan benda mutlak semakin menjadi utuh dan sempurna, mengalami keragaman, dan tidak sederhana lagi sebagaimana Materi Orisinal yang menjadi cikal bakal keberadaannya. Maka dalam hal ini Ikhwan al-Shafa’ mengartikan benda mutlak ini sebagai kumpulan seluruh benda-benda fisik yang ada di semesta ini.56 Benda mutlak ini terbagi kepada 2 kelompok bagian, yakni; 1) tubuh-tubuh universal sederhana (al-ajsam al- kulliyyah al-basithah) yang terdiri dari benda- benda orbital, bintang-bintang, dan elemen- elemen alamiah yang empat. 2) tubuh-tubuh partikular yang terdiri dari hewan, tumbuhan, dan mineral.57 Sebelum memperinci penjelasan tentang entitas-entitas fisik ini, perlu disampaikan, bahwa Ikhwan al-Shafa’ membagi ketiganya ke dalam dua wilayah, yakni wilayah alam atas (al-‘alam al-‘alawi) dan alam bawah (al- ‘alam al-sufla). Sedangkan entitas-entitas DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 81Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 spiritual berada melampaui kedua alam ini, yakni yang berada pada alam tertinggi (al- ‘alam al-a’la). Meskipun Ikhwan al-Shafa’ mengkategorikan entitas-entitas ini ke dalam struktur alam yang berbeda, namun mereka tetap menegaskan bahwa seluruhnya merupakan satu kesatuan yang utuh, sebagaimana satu manusia yang utuh. Adapun al-‘alam al-‘alawi terdiri dari orbit- orbit dan benda-benda orbital. Ini disebut juga sebagai alam orbit-orbit (‘alam al-aflak). Benda-benda orbital atau juga disebut benda- benda langit terdiri dari orbit-orbit dan bintang-bintang. Sedangkan ‘alam al-sufla terdiri dari 4 elemen dan 3 organisme turunan. Alam ini disebut juga sebagai alam kejadian dan kehancuran (‘Alam al-Kaun wa al-Fasad). Orbit-orbit (al-Aflak) dan bintang-bintang (al- kawakib) Sebagaimana telah disinggung dalam penjelasan di atas, bahwa awal mula keberadaan orbit-orbit dan berbagai benda yang mengitarinya berasal dari diciptakannya Materi Orisinal yang telah mendapatkan bentuk, dan menjadi benda mutlak yang merupakan materi sekunder. Lalu benda mutlak ini diberi rupa berupa bulat (al-syakl al- kurawi) sebagai bentuk yang paling utama.58 Dan rupa bulat adalah bentuk pertama yang diberikan oleh jiwa universal pada benda mutlak. Selain diberi bentuk bulat, maka gerakan pertama dan gerakan utama yang diberikan oleh jiwa universal pada benda mutlak adalah gerak berputar (al-harakah al- dauriyyah). Dengan seketika tercipta orbit- orbit. Dan orbit pertama yang diciptakan adalah orbit terluar (al-falak al-muhith). Dalam risalah tentang Astronomi yang mengkaji bintang-bintang dan penyusunan orbit-orbit, Ikhwan al-Shafa’ menjelaskan orbit-orbit sebagai benda bulat yang transparan (bening) dan melengkung (melingkar).59 Tersusun berlapis-lapis seperti lapisan bawang. Lapisan paling dalam yakni yang terdekat pada keberadaan manusia adalah orbit Bulan, ia melapisi orbit udara dari segala penjuru. Orbit Bulan yang melingkupi lapisan udara ini diibaratkan seperti cangkang telur yang melapisi putih telur. Sedangkan bumi berada di bagian terdalam yang dilapisi oleh lapisan udara. Keberadaannya seperti kuning telur yang dilapisi oleh putih telur. Namun selain itu, yang dimaksud dengan orbit-orbit ini adalah apa yang kita kenal sebagai gugusan langit (al-samawat). Ia dikatakan sebagai langit karena keberadaannya di atas (karena posisinya yang tinggi) bila dilihat dari bumi sebagai dasar pijakan penilaian. Sedangkan alasan atas penyebutan kata orbit (al-falak) karena ia merupakan lintasan dimana benda-benda langit berputar.60 Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa’, ada sembilan orbit-orbit yang mengitari bumi. Di atas orbit Bulan terdapat orbit Merkurius, lalu di atasnya terdapat orbit Venus, lalu dilapisi oleh orbit Matahari, lalu di atas orbit Matahari terdapat orbit Mars, lalu di atasnya terdapat orbit Jupiter, lalu setelahnya terdapat orbit Saturnus. Setelah orbit Saturnus, maka terdapat orbit-orbit yang berisi bintang-bintang tetap (al-kawakib al- tsabitah). Setelah orbit bintang-bintang tetap ini ada orbit terluar yang menyelimuti seluruh lapisan orbit. Orbit terluar merupakan benda tertinggi dalam entitas-entitas fisik-jasmani. Karena keberadaannya sangat dekat dengan Materi Orisinal, dan ia langsung berhubungan DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 82 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna dengan jiwa universal yang melapisi atau menyelimutinya. Bahkan dikatakan bahwa ia merupakan benda fisik yang paling halus dan paling kuat aspek ruhaninya, serta paling bening cahayanya dibandingkan dengan benda-benda fisik orbital lainnya. Orbit terluar menjadi orbit yang paling pertama digerakkan dengan gerakan berputar oleh jiwa universal melalui daya-daya alamiah yang dimilikinya. Lalu setelah itu orbit-orbit yang berada di bawahnya secara berurutan ikut berputar mengikuti putaran dari orbit terluar. Menurut Ikhwan al-Shafa’, orbit terluar senantiasa berada dalam keadaan berputar seperti putaran roda. Gerak berputarnya tidak pernah berhenti61. Bahkan kecepatan gerak berputar orbit terluar menjadi factor utama keadaan semesta tetap terjaga secara teratur hingga saat ini62. Karena ia digerakkan oleh kekuatan di luar dirinya, yakni daya-daya spiritual yang disebut sebagai al-thabi’ah al-kulliyah dari jiwa universal. Gerakan berputar yang terjadi pada orbit terluar ini menjadi bukti keberadaan dan penyertaan jiwa universal pada orbit-orbit. Oleh karena itu, dalam skema kosmologi Ikhwan al-Shafa’, jiwa universal adalah penggerak utama (the prime mover)63. Ketika orbit-orbit ini diam dan berhenti berputar, maka alam semesta ini menjadil batal adanya.64 Penjelasannya adalah ketika orbit berhenti dari perputarannya, maka bintang-bintang dan planet yang bergerak bersamanya pun akan ikut berhenti bergerak. Mereka berhenti melakukan perjalanan di semesta ini. Ketika hal tersebut terjadi, maka semesta tidak lagi berbentuk, dan keberlangsungannya pun menjadi batal. Dan keadaan seperti ini disebut sebagai kiamat besar (al-qiyamah al-kubra). Ikhwan al-Shafa’ menyatakan, dan ketahuilah bahwa berhentinya orbit-orbit dari melakukan rotasi merupakan kematian semesta dan batalnya kehidupan universal, serta terpisahnya jiwa universal orbital dari raga semesta sekaligus. Itulah kiamat besar, kehancuran universal, dan batalnya keberadaan semesta. Karena kematian setiap individu hewan-hewan ditandai dengan terpisahnya jiwa dari raganya, dan itu dikatakan sebagai kiamatnya. 65 Diam dan berhentinya aktivitas perputaran orbit-orbit dan bintang-bintang menjadi bukti dari berhentinya aktivitas yang dilakukan oleh jiwa universal melalui berbagai daya-daya yang dimilikinya. Keadaan seperti ini hanya bisa terjadi manakala jiwa universal tidak lagi menyertai keberadaan benda-benda fisik tersebut. Yakni ketika jiwa universal terpisah dari kesatuannya dengan benda-benda fisik semesta. Inilah yang dimaksud dengan terjadinya kiamat besar. Karena kiamat terjadi manakala jiwa dan tubuh berpisah. Sebagaimana jika seorang manusia mati, yakni terpisahnya jiwa dari raganya, maka manusia tersebut disebut telah datang kiamatnya. Keyakinan ini diakui oleh Ikhwan al-Shafa’ dengan mengutip sebuah riwayat, Rasululah saw bersabda: “Barang siapa yang telah mati, maka kiamatnya telah terjadi” Orbit terluar ini terdiri dari 12 bagian, dan setiap bagian dinamai sebagai barj, atau rasi bintang. Keduabelas bagian tersebut membentuk sebuah gugusan rasi bintang. Keduabelas rasi bintang ini dinamai sebagai berikut; Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricornus, Aquarius, dan Pisces. DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 83Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 Adapun planet-planet (al-kawakib) diartikan sebagai benda-benda bulat yang bergerak melingkar dan bercahaya. Menurut Ikhwan al-Shafa’ jumlahnya ada 1029 buah planet-planet besar. Namun yang bisa diketahui secara pasti hanya 7 buah saja, yakni Saturnus, Jupiter, Mars, Matahari, Venus, Merkurius, dan Bulan. Penyebutan planet-planet tersebut disusun secara hirarkis, dengan menempatkan Saturnus sebagai planet tertinggi. Ikhwan al-Shafa’ menyebut planet-planet tersebut sebagai bintang- bintang yang bergerak (al-kawakib al-sayyarah). Setiap planet-planet ini memiliki orbit- orbitnya masing-masing. Sedangkan sisanya yang berjumlah 1022 disebut sebagai bintang-bintang yang tetap (fixed stars) atau yang disebut pula sebagai al- kawakib al-tsabitah. Keberadaannya berada di atas planet-planet. Mereka menyatakan, bahwa di atas planet Saturnus terdapat bintang tetap, dan di atas bintang tetap terdapat orbit terluar.67 Berdasarkan hirarki kosmologi seperti itu, maka yang lebih dahulu mendapatkan daya-daya dari jiwa universal adalah bintang tetap. Lalu setelahnya adalah planet-planet atau bintang- bintang bergerak dan berlanjut pada benda- benda di bawah sublunar. Ini tak lain karena posisi bintang tetap lebih tinggi dibandingkan planet-planet.68 Berbeda dengan keberadaan tujuh bintang bergerak yang masing- masingnya berada dalam satu orbit yang khusus, maka bintang-bintang tetap yang berjumlah 1022 berkumpul dalam satu orbit tertentu yakni, orbit bintang tetap (falak al- kawakib al-tsabitah). Tentu perlu untuk diberi catatan, bahwa struktur alam semesta terkait benda-benda fisikal yang dikemukakan oleh Ikhwan al- Shafa’ sudah lama usang bila dibandingkan dengan berbagai penemuan kontemporer dewasa ini. Jumlah planet yang telah disebutkan oleh Ikhwan al-Shafa’ pada pertengahan abad ke-10 itu, kini jumlahnya tidak lagi sama. Namun demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk menyingkap penemuan-penemuan baru terkait objek- objek angkasa. Lebih dari itu, penelitian ini berupaya menghadirkan kembali model kosmologi abad pertengahan ala Ikhwan al- Shafa’ yang telah mempersepsi alam secara utuh, dengan mengaitkan antara struktur fisik alam semesta dengan struktur spiritual yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, bagi penulis, yang menarik dari penjelasan Ikhwan al-Shafa’ tentang kosmologi dan keberadaan benda- benda angkasa adalah masuknya penjelasan- penjelasan keagamaan dalam teori-teori kosmologi mereka. Dalam pandangan Carmela Baffioni, Ikhwan al-Shafa’ telah secara mendalam menggunakan pendekatan keagamaan dalam menjelaskan keberadaan alam69. Contoh yang kongkret adalah ketika Ikhwan al-Shafa’ mengidentikkan keberadaan bintang tetap ini dengan para malaikat. Bagi mereka, bintang-bintang tetap yang mengelilingi sembilan planet itu tidak lain merupakan para malaikat yang tengah mengelilingi arasy.70 Bila diimajinasikan dalam bentuk-bentuk yang nyata di dunia ini, keberadaan mereka ibarat jemaah haji yang tengah melakukan tawaf mengelilingi ka’bah seraya bertasbih memuji Allah Tuhan Pencipta Semesta. Kesemua entitas-entitas orbital ini berada pada satu alam yang menjadi bagian dari alam semesta secara keseluruhan, yakni berada pada alam orbit-orbit (‘alam al-aflak). Karena bagi Ikhwan al-Shafa’ yang dimaksud dengan alam semesta adalah sesuatu yang DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 84 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna menunjukkan pada seluruh benda-benda yang mewujud disertai berbagai sifat dan karakteristik masing-masingnya. Dan semua itu merupakan satu alam yang utuh seperti satu kota yang utuh atau sebuah hewan yang utuh. Sedangkan di bawah alam orbit-orbit, terdapat alam 4 elemen (api, udara, air, dan tanah), yang disebut pula sebagai alam kejadian dan kehancuran (‘alam al-kaun wa al- fasad). Di bawah ini kami akan melanjutkan penjelasan mengenai alam kejadian dan kehancuran yang di dalamnya terdapat dua kelompok entitas, yakni 4 elemen dan 3 organisme sebagai derivasi dari keberadaan 4 elemen. Di atas telah dijelaskan bahwa batas keberadaan alam orbit-orbit dimulai dari puncak permukaan orbit terluar (al-falak al- muhith) hingga permukaan orbit eter (al-atsir) yang terbawah, yakni orbit bulan dan lapisan atmosfir yang mengitarinya. Sedangkan batas alam elemen-elemen/unsur-unsur (’alam al- arkan), atau alam kejadian dan kehancuran (‘alam al-kaun wa al-fasad) dimulai dari permukaan orbit bulan terbawah hingga ujung bumi.71 Empat Elemen (al-arkan al-arba’ah) Yang dimaksud dengan empat elemen (elemen) adalah api, udara, air, dan tanah. Penjelasan mengenai keempat elemen ini disajikan dalam satu bidang keilmuan yang disebut oleh Ikhwan al-Shafa’ dengan nama ‘ilmu al-kaun wa al-fasad, yakni ilmu tentang kejadian dan kehancuran. Ilmu ini mengkaji tentang hakikat substansi empat elemen (api, udara, air, dan tanah), lalu membahas tentang bagaimana empat elemen tersebut dapat berubah sebagiannya menjadi bagian yang lain dengan bantuan pengaruh benda- benda langit, sehingga dari empat elemen tersebut dapat tercipta benda-benda seperti barang mineral, tumbuhan, dan hewan. Lalu bagaimana benda-benda tersebut dapat kembali terurai menjadi elemen-elemen yang empat. Keempat elemen ini tersusun dari materi dan bentuk. Materi dari empat elemen ini adalah raga yang melekat dalam dirinya, sedangkan bentuk dari keempat elemen ini tidak lain adalah hal-hal yang memperinci dan membedakan antara satu dengan lainnya. Menurut Ikhwan al-Shafa’ keberadaan empat elemen ini senantiasa dalam keadaan berubah (al-taghayyur) dan menjadi bentuk yang berbeda (al-istihalah)72 dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Keberadaannya tidak stagnan, namun selalu bergerak dan dinamis. Perubahan ini terjadi karena adanya pengaruh yang diterima dari daya-daya dan kekuatan yang berada di luar dirinya, yakni yang berasal dari alam tinggi. Karena sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi pada alam kejadian dan kehancuran yang berada di bawah sub lunar ini diatur oleh daya-daya orbital dan kekuatan-kekuatan langit. Dan semua ini terjadi disebabkan karena keberadaan alam bawah (al-‘alam al- sufla) terkait erat dengan keberadaan alam atas (al-‘alam al-‘alawi) dalam segala sesuatunya.73 Keterkaitan itu –sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bersumber dari keberadaan jiwa universal beserta daya-daya yang dimilikinya yang bekerja baik itu di alam orbital maupun di alam kejadian dan kehancuran, dari puncak orbit terluar hingga ke ujung inti bumi. Oleh karenanya, segala peristiwa yang terjadi di alam sublunar mendapatkan pengaruh dari alam orbital di atasnya, dan begitupula alam orbital mendapatkan pengaruh dari alam yang lebih DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 85Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 tinggi darinya. Karakteristik utama yang terjadi pada entitas-entitas di alam sublunar berupa perubahan bentuk ini tidak terjadi pada entitas-entitas di alam orbit-orbit. Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa’, dijelaskan bahwa alam orbit-orbit dan segala entitas yang terdapat di dalamnya tidak mengalami percampuran antara satu entitas dengan entitas lainnya. Dari keberadaan mereka yang sudah utuh itu tidak pula melahirkan berbagai macam bentuk-bentuk selain mereka. Karena keberadaan benda-benda orbital tersebut stagnan dam tetap hingga detik ini, meskipun semuanya itu melewati perjalanan waktu dan masa yang sangat panjang. Oleh karena itu benda-benda tersebut tidak mengalami perubahan, pergantian, dan kerusakan, maupun kejadian. Mereka tetap dalam keadaannya melakukan gerakan berputar dan bentuknya tetap bulat utuh. Hal yang perlu digarisbawahi dari pandangan Ikhwan al-Shafa’ terhadap 4 elemen ini adalah cara pandang mereka yang memperlakukan elemen-elemen ini sedemikian terhormat dan dimuliakan. Ini tak lain karena mereka sangat memahami akan hirarki entitas-entitas semesta ini. Karena bagi mereka keempat elemen ini merupakan materi utama dalam membentuk kehidupan di muka bumi ini. Bahkan keempat elemen ini merupakan cikal bakal keberadaan benda mineral, tumbuhan, hewan, dan juga manusia. Tanpa keberadaan empat elemen ini sulit dibayangkan adanya manusia dan seluruh entitas yang ada di permukaan bumi ini. Oleh karena itu ketika menjelaskan definisi udara, maka mereka menyatakan bahwa udara adalah substansi mulia yang memiliki manfaat dan keutamaan yang sangat banyak, serta keistimewaan yang sangat unik.74 Begitupun ketika menjelaskan api, air, dan tanah. Kesemuanya dipandang memiliki keistimewaan khusus masing-masing yang memungkinkan menjadi objek potensial bagi terciptanya dan berlangsungnya kehidupan di muka bumi. Bumi ini tersusun dari empat elemen utama dan universal ini. Keempat elemen ini membentuk satu bumi yang utuh yang di dalamnya terdapat gunung, lautan, sungai-sungai, pulau-pulau, dan daratan. Pengkomposisian keempat elemen ini telah mewujudkan entitas benda mineral, tumbuhan, dan hewan. Melalui proses kreatif yang unik, pada awalnya empat elemen ini berubah menjadi dua komposisi baru yang disebut dengan asap (al-bukharat) dan saripati bumi (al-‘usharat), lalu kedua komposisi ini saling bercampur dan menghasilkan entitas- entitas derivatif. Asap berasal dari partikel- pertikel inti dari laut, sungai, dan semak belukar yang naik ke atas udara melalui proses pemanasan yang dilakukan sinar matahari dan bintang-bintang ke permukaan laut, sungai, dan belukar. Sedangkan saripati bumi berasal dari air hujan yang terbawa masuk ke dalam perut bumi, lalu bercampur dengan bagian-bagian benda bumi dan mengalami pengerasan, lalu mematang akibat panas yang dihasilkan di dalam perut bumi, lalu terwujudlah saripati bumi. Kedua komposisi ini (asap dan saripati bumi), merupakan materi dan bahan bagi terbentuknya benda-benda fisik di permukaan bumi. Keduanya saling bercampur satu sama lain. Melalui proses penguapan yang dilakukan oleh matahari dan bintang-bintang bersinar lainnya terhadap air di permukaan laut, sungai, dan DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 86 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna dalam hal ini Ikhwan al-Shafa’ memberikan penjelasan siklus hidrologi sebagai sebuah penjelasan bagi terciptanya entitas-entitas yang ada di bumi Tiga Organisme (al-muwalladat al-tsalatsah) Ketika benda-benda orbital berputar mengelilingi atmosfer dan empat elemen, lalu keempat elemen-elemen tersebut menjadi saling menyatu satu sama lain, bercampur antara satu bagian dengan bagian lainnya, elemen yang halus bercampur dengan elemen yang padat, elemen yang berat dengan elemen yang ringan, yang panas dan yang dingin, yang lembab dan yang kering, dan daya-daya spiritual yang bersumber dari jiwa universal mengalir di dalam percampuran tersebut, maka melalui perjalanan waktu, terbentuklah organisme- organisme bentukan yang terdiri dari barang mineral, tumbuhan dan hewan. Di dalam perut bumi misalnya, terbentuk barang mineral yang sangat kaya, yang beragam bentuk dan substansinya. Di permukaan bumi tumbuh tanaman dan tumbuhan yang beranekaragam jenis, warna dan manfaatnya. Muncul pula berbagai jenis hewan baik yang merayap, melata, dan berdiri. Sedangkan di udara banyak terdapat hewan-hewan beterbangan yang beragam, unik dan indah bentuknya, serta banyak jenisnya. Ketiga jenis organisme ini memiliki tatanan dan hirarki yang berhubungan erat satu sama lain. Dimana ada pertemuan antara awal dari satu tatanan organisme dengan akhir dari tatanan organisme lainnya. Tatanan tersebut bila diibaratkan persis seperti tatanan angka-angka dan tatanan orbit-orbit. Penjelasan rincinya sebagai berikut, tingkatan paling rendah dari barang mineral bertemu dengan debu (tanah), sedangkan tingkatan tertingginya bertemu dengan tingkatan terendah dari tumbuhan. Adapun tingkatan tertinggi dari tumbuhan bertemu dengan tingkatan terendah dari hewan. Dan tingkatan tertinggi hewan bertemu dengan manusia. Sedangkan tingkatan tertinggi manusia bertemu dengan malaikat. Adapun malaikat sendiri memiliki hirarki dan tingkatan yang awal dan akhirnya saling bertemu.75 Ketiga jenis organisme tercipta secara hirarkis berdasarkan keutamaan dan perjalanan waktunya. Hirarki ini didasarkan pula pada kemampuan dan daya-daya particu- lar yang dimiliki oleh tiap-tiap organisme. Dari ketiganya, maka yang pertama mewujud adalah benda mineral, lalu disusul oleh keberadaan tumbuhan, dan dilanjutkan dengan keberadaan hewan, dan diakhiri dengan penciptaan manusia. Benda mineral sebagai organisme yang lebih awal diciptakan, secara kualitas ia menempati kualitas paling sederhana. Karena ia tidak diberikan daya-daya particular tertentu yang bisa menyebabkan dirinya memiliki keutamaan yang lebih. Selain itu keberadaannya yang terbentuk secara alami dan berkaitan langsung dengan empat elemen-elemen, api, udara, air dan tanah. Bahkan hirarki terendah dalam organisme benda mineral ini bertemu dengan tanah (debu). Namun posisinya yang paling rendah ini dalam hirarki organisme-organisme, tidak berarti menunjukkan pada kesia-siaan keberadaannya. Karena sesungguhnya keberadaannya menopang terhadap keberadaan organisme di atasnya, yakni tumbuhan. Adapun tumbuhan berada pada satu level di atas benda mineral. Ada kesamaan antara DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 87Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 keduanya, yakni bahwa keduanya terbentuk secara alami dari empat elemen-elemen. Namun berbeda dari benda mineral, maka tumbuhan diberi kelebihan dan spesifikasi tambahan berupa daya mencerap nutrisi, daya untuk tumbuh berkembang, dan diberi bentuk-bentuk teratur yang memiliki panjang, lebar, dan tinggi, serta warna-warni yang beragam. Sedangkan hewan berada satu tingkatan di atas tumbuhan karena memiliki spesifikasi dan kemampuan tertentu yang tidak dimiliki oleh tumbuhan apalagi benda mineral. Meski demikian, hewan memiliki kesamaan dengan tumbuhan dalam hal kepemilikan atas daya nutrisi dan daya tumbuh kembang. Namun kemampuan tambahan lainnya adalah kemampuan untuk bergerak dan mengindera (al-hassas). Sedangkan manusia yang merupakan puncak dari hirarki organisme ini, memiliki kesamaan dengan hewan dan tumbuhan dalam hal kemampuan untuk mencerap makanan, tumbuh, bergerak, dan mengindera. Namun satu hal yang membedakan manusia dari organisme lainnya adalah bahwa manusia diberikan kemampuan untuk bernalar dan berfikir dengan menggunakan akalnya. Dan kemampuan inilah yang menyebabkan ia bisa terhubung dengan malaikat-malaikat dan entitas-entitas spiritual di langit. Berdasarkan penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa penciptaan entitas-entitas di alam jasmani di alam sublunar berawal dari organisme terendah dan berujung pada penciptaan organisme tertinggi dan paling sempurna yakni manusia. Hal ini berkebalikan dengan penciptaan entitas- entitas di alam ruhani, dimana awal penciptaan terjadi pada entitas yang paling sempurna, yakni akal aktif universal dan berujung pada entitas yang lebih rendah, yakni Materi Orisinal (al-hayula al-ula). Ini tak lain karena penciptaan alam ruhani yang lebih dahulu dari penciptaan alam jasmani, langsung mendapatkan pancaran dari Tuhan Maha Pencipta yang penuh dengan kesempurnaan, keutuhan, keutamaan, dan kebaikan. Dia sendiri merupakan kesempurnaan murni yang utuh, keutamaan murni, dan kebaikan murni. Ketika ia melimpahkan kesempurnaan dan keutamaannya kepada akal aktif universal, maka kesempurnaan-Nya melimpah pada keberadaan akal aktif universal. Begitupun ketika akal aktif universal melimpahkan keutamaannya sehingga mewujudkan jiwa universal, dan seterusnya hingga Materi Orisinal. Namun keutamaan Materi Orisinal tidak lebih tinggi dari keutamaan jiwa univer- sal. Pun demikian, keutamaan yang dimiliki jiwa universal tidak lebih tinggi dibandingkan keutamaan akal aktif universal. Ini tak lain karena keberadaan akal aktif universal lebih dekat dan paling dekat kepada sumber keutamaan dan kesempurnaan itu sendiri, yakni Allah Sang Maha Pencipta. Namun keadaan di atas berlainan dengan keadaan pada entitas-entitas di alam jasmani, dimana di dalamnya penciptaan bermula dari entitas-entitas fisik sederhana dan berujung pada entitas fisik yang lebih utuh dan sempurna, yakni manusia. Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia jauh lebih akhir dibandingkan dengan penciptaan hewan, tumbuhan, dan barang mineral. Alasannya adalah karena penciptaan manusia butuh pengkondisian yang menjadikan manusia ketika telah mewujud dapat bertahan dalam kehidupan ini. Oleh karenanya, bagi Ikhwan al-Shafa’, DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 88 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna jika manusia diciptakan lebih dahulu sebelum barang mineral, tumbuhan, dan hewan, maka proses penciptaan tersebut akan berujung pada kesia-siaan saja. Karena keberadaan barang mineral, tumbuhan, dan hewan, dibutuhkan lebih awal ada untuk menopang kehidupan manusia. Karena manusia tidak dapat bertahan hidup jika tidak diberi kemudahan hidup berupa tersedianya berbagai bahan-bahan pokok kehidupan yang berasal dari barang mineral, tumbuhan, dan hewan. Alasan yang lebih rinci mengapa benda mineral yang sangat sederhana diciptakan lebih awal dari tumbuhan, hewan, dan manusia, adalah karena benda-benda mineral ini merupakan dasar bagi pembentukan tumbuh-tumbuhan yang merupakan organisme yang berada di atasnya. Maka berlakulah hukum kausalitas yang meniscayakan keterikatan antara benda mineral dan tumbuhan ini. Karena bagi Ikhwan al-Shafa’ benda mineral merupakan salah satu sebab keberadaan tumbuhan, dimana tidak bisa dibayangkan keberadaan tumbuhan tanpa adanya benda mineral yang telah menjadi perantara bagi keberadaan tumbuhan. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa’ menyatakan, ketahuilah wahai saudaraku, bahwa di antara hikmah dan pertolongan ilahi di alam semesta ini adalah seluruh entitas-entitas wujud di alam semesta ini telah diikat satu sama lain dalam satu ikatan, dan telah disusun sehingga menjadi satu susunan yang utuh. Oleh sebab itu, maka sebagian entitas ada yang berperan sebagai sebab dan ada pula yang beran sebagai akibat.76 Selain itu juga karena benda mineral tersebut memiliki manfaat, keistimewaan dan keutamaannya masing-masing yang dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup organisme di atasnya, terutama bagi hewan dan manusia. Sedangkan alasan bagi dijadikannya tumbuhan lebih dahulu dibandingkan hewan adalah karena tumbuhan adalah materi dan bahan bagi keberadaan hewan seluruhnya. Tumbuhan adalah materi bagi pembentukan hewan (hayula li shuwariha), dan ia merupakan nutrisi/bahan makanan bagi raga hewan (ghidza’un li ajsadiha). Tumbuhan diibaratkan sebagai orangtua bagi para hewan. Karena ia merupakan pangkal dan asal bagi keberadaan dan kehidupan hewan. Ini tak lain karena tumbuhan telah berandil memberikan kehidupan kepada hewan (termasuk manusia), yakni ketika tumbuhan berperan melakukan penyerapan kelembaban air dan zat-zat kehidupan dari tanah dengan menggunakan akarnya. Lalu menempatkan zat-zat yang bersumber dari tanah tersebut di dalam tubuhnya. Lalu ia menciptakan daun, buah, dan biji yang mematang. Tumbuhan ini lalu memberikan kehidupan bagi para hewan dengan memberikan apa yang telah ia hasilkan sebagai bahan makanan yang lembut, lezat, manis, dan bergizi bagi hewan, layaknya seorang ibu yang memberikan makanan kepada anaknya. Jikalau tumbuhan tidak melakukan pekerjaan yang sedemikian hebat dan mulianya tersebut, maka niscaya hewan- hewan hanya akan memakan lumpur dan debu saja, yang sesungguhnya hanya menyusahkan kehidupan mereka.77 Adapun alasan dijadikannya hewan-hewan lebih dahulu dibandingkan manusia adalah karena keberadaan hewan diperuntukkan bagi kemudahan hidup manusia dalam melakukan perannya sebagai wakil Tuhan di bumi ini. Segala sesuatu yang diciptakan DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 89Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 untuk sesuatu yang lain, maka keberadaannya mesti lebih dulu ada dari yang lain. Dan kewajiban manusia lah untuk dapat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih atas keberadaan hewan dengan cara menjaga dan memelihara keberadaan dan keberlangsungan kehidupan mereka. Karena jika keberadaan hewan diletakkan setelah keberadaan manusia, niscaya manusia akan hidup sengsara, tidak bahagia, tidak ada kenikmatan dalam kehidupan manusia. Hal ini merupakan keniscayaan, sebab manusia membutuhkan keberadaan hewan-hewan bagi kemudahan kehidupannya. Perbedaan lain yang perlu disampaikan terkait antara penciptaan di alam ruhani dan penciptaan di alam jasmani adalah, bahwa di alam ruhani penciptaan terjadi dalam sekejap tanpa mengalami proses perjalanan waktu. Sedangkan penciptaan entitas di alam jasmani mengenal dan mengalami apa yang disebut sebagai proses evolusi. Yakni proses perubahan meningkat dan perkembangan secara gradual melewati perjalanan waktu yang panjang yang terjadi pada seluruh entitas (organisme) di alam jasmani. Pandangan evolusi entitas-entitas di alam jasmani ini merupakan salah satu pandangan ontologis Ikhwan al-Shafa’. Pandangan ini berasal dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala entitas di alam fisik ini berkembang secara gradual (mutadarrijah fi al-raqqi).78 Pandangan ini menandaskan tentang adanya proses evolusi dalam kreasi entitas-entitas di alam jasmani. KESIMPULAN Pandangan kosmologi Ikhwan al-Shafa’ secara tegas menyatakan bahwa alam semesta memiliki dua substansi fundamental yang dengan keduanya alam semesta menjadi. Keduanya adalah jiwa universal yang merupakan substansi spiritual dan tubuh fisik semesta yang tak lain adalah substansi mate- rial. Keduanya menurut Ikhwan al-Shafa’ tak terpisahkan. Karena jika keduanya terpisah, itu akan menandai terjadinya kehancuran besar (al-qiyamah al-kubra), yakni kebangkitan jiwa universal dari tubuh universal. Ketika hal ini terjadi, maka semesta tidak lagi berbentuk, bahkan keberadaan semesta menjadi batal. Karena substansi-substansi utama penopang keberadaannya telah tercerai-berai. Konsep ini sangat identik dengan pandangan mengenai manusia partikular yang di dalamnya terdiri dari tubuh dan jiwa. Ikatan antara jiwa dan raga menjadikan manusia ada dan hidup. Namun ketika jiwa manusia tercerabut dari raga fisiknya, maka keadaan ini disebut sebagai kematian atau disebut pula sebagai kiamat kecil (al-qiyamah al-shugra). Begitu tegas Ikhwan al-Shafa’ mengidentikkan semesta dengan manusia, karena bagi mereka sosok manusia merupakan penjelmaan yang utuh untuk menjelaskan keutuhan alam semesta. Apa yang ditekankan oleh Ikhwan al- Shafa’ tentang semesta sebagai manusia besar adalah keberadaan semesta yang terdiri dari dua substansi, jiwa dan raga, sebagaimana hal tersebut terdapat pada manusia. Lalu mereka menguraikan, bahwa daya yang dimiliki oleh jiwa universal benar-benar mengalir dalam tubuh universal ini, sebagaimana aliran dari daya jiwa partikular pada tubuh partikular manusia. Raga semesta disebut pula dengan istilah raga universal (al-jism al-kulli), yaitu akumulasi dari keseluruhan semesta, terdiri dari berbagai entitas di puncak orbit terluar hingga ke ujung pusat bumi. Ikhwan al-Shafa’ DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 90 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna menegaskan keberadaannya sebagai raga semesta seluruhnya dan seutuhnya (jism al- ‘alam bi asirrih)79. Pada bab sebelumnya dalam tesis ini, telah dijelaskan susunan benda- benda fisik yang menjadi bagian yang membentuk semesta. Secara umum Ikhwan al-Shafa’ menjelaskan bahwa tubuh fisik semesta berada pada dua alam, yakni alam tinggi (al-‘alam al-‘alawi) dan alam rendah (al- ‘alam al-sufla). Yang pertama terdiri dari orbit- orbit, bintang, planet, sedangkan alam kedua terdiri dari empat unsur, dan tiga organisme berupa hewan, tumbuhan, dan barang mineral. Sedangkan jiwa semesta adalah jiwa yang menyatu dalam tubuh semesta secara keseluruhan. Jiwa ini mendapat dukungan dan topangan dari daya ilahi (al-quwwah al- ilahiyyah) yang disebut sebagai akal universal (al-‘aql al-kulli). Dengan dukungan daya ilahi, jiwa universal memiliki daya-daya yang bekerja pada seluruh benda-benda fisik semesta. Daya ini disebut sebagai daya alam universal (al-thabi’ah al-kulliyyah/universal law of nature). Ikhwan al-Shafa’ menegaskan, bahwa hukum yang berlaku pada tubuh semesta berlaku seperti hukum yang terjadi pada raga seorang manusia atau seekor hewan. Dan hukum yang berlaku pada jiwa semesta seperti hukum yang berlaku pada jiwa seorang manusia.80 Pandangan ini secara kuat ingin mengidentifikasi semesta sebagai sosok manusia, dan menjadi dasar bagaimana seharusnya alam diperlakukan secara lebih terhormat sebagai entitas yang hidup. CATATAN AKHIR 1 Capra, Fritjof, The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture, New York: Bantam Books, 1982, hal. 60 2 Fritjof Capra, The Turning Point, hal. 60 3 Fritjof Capra, The Turning Point, hal. 60-61 4 Menurut Gilkey, “relasi-relasi modern terhadap alam semesta, bahkan sikap dan pandangan manusia modern terhadap alam, telah mendorong berbagai bencana yang terjadi dewasa ini”. Hal ini berlangsung karena fondasi dunia modern dibangun di atas pandangan dunia sains-empirik yang selama ini telah mempersepsi alam hanya sebatas sebagai materi kasar untuk digunakan dan dijadikan objek bagi keuntungan hidup manusia yang meragukan. Lebih jauh dari itu, modernitas yang didukung oleh sains modern telah menyediakan legitimasi intelektual bagi eksploitasi alam secara komersial dan industrial. Langdon Gilkey, Nature, Reality, and the Sacred The Nexus of Science and Religion, (Minneapolis: Augsburg Fortress, 1993), hal. 79. 5 Fritjof Capra, The Turning Point, hal. 61 6 Meskipun menurut Seyyed Hossein Nasr, istilah ini sebetulnya tidak ada, karena melalui keberadaan kosmologi modern ini, konsep kosmologi telah dikaburkan dari maknanya yang genuine, yakni dicerabut dari akar metafisik dan spiritualnya. Lihat, Sh. Nasr, Man and Nature, hal. 22 7 S.H. Nasr, Man and Nature…, hal. 23 8 Titus Burckhardt, “Cosmology and Modern Science”, dalam Jacob Needleman, The Sword of Gnosis: Meta- physics, Cosmology, Tradition, Symbolism, (London: Arkana, 1986), hal. 125 9 Ikhwan al-Shafa’ adalah kelompok intelektual Basrah. Kelompok ini diyakini sebagai pengarang kitab ensiklopedia keilmuan Rasa’il Ikhwan al-Shafa’. Abu Hayyan al-Tawhidi dalam karyanya al-Imta’ wa al- Mu’anasah menyebutkan beberapa person yang tergabung dalam kelompok para ilmuwan dan filosof ini, di antaranya Abu Sulayman Muhammad ibn Ma’shar al-Busti, dikenal juga dengan nama al-Maqdisi; Abu al- Hasan ‘Ali ibn Harun al-Zanjani; Abu Ahmad al- Mihrajani; dan al-‘Awfi. 1 0 Judul lengkap risalah ini adalah al-Mausu’ah bi al-sama wa al-‘alam fi Ishlah al-Nafs wa Tahdzib al-Akhlaq. (Risalah yang dinamai Langit dan Semesta dalam rangka Perbaikan Jiwa dan Penanaman Moral”. Lihat Ikhwan al-Shafa’, Rasa’il Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al- Wafa’, (Qum, Iran :Markaz al-Nasyr- Maktabah A’lam Islami, 1405 H), II, hal.31. Untuk selanjutnya akan disebut Rasail. 1 1 Rasail, I, hal. 146; Rasail, II, hal. 398; Rasail, IV, hal. 42; Risalah al-Jamia’ah, (ed. Mushtafa Galib), (Beirut: Dar Shadir, 1974), hal. 534; Lihat juga, al-Risalah al-Jami’ah (ed. Arif Tamir), hal. 299. 1 2 Rasail, II, hal.31 1 3 Lihat S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, Cambridge: Harvard University Press, 1964. hal. 4-5. Lihat dan bandingkan dengan ‘Abd al-Latif Muhammad al-‘Abd, al-Insan fi Fikr Ikhwan al-Shafa’, Cairo: Dar al-’Ilm li al-Thaba’ah, 1976, hal. 64-69. DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 91Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 Dalam karyanya ini, al-‘Abd menggunakan term wahdah al-‘alam (the unity of universe) sebagai bagian dari inti ajaran kosmologi Ikhwan al-Shafa’. 1 4 Rasail, III, hal. 237; 352; 361. Lihat juga al-Risalah al- Jami’ah, hal. 373-374; Lihat dan bandingkan dengan George Periggo Conger, Theories of Macrocosms and Microcosms in The History of Philosophy, New York: Columbia University Press, 1922, hal. 47. Ia menggunakan tiga istilah untuk menjelaskan skema kosmologi Ikhwan al-Shafa’; spiritual stages, the intermediate stages, dan the lower stages. 1 5 Wajih Ahmad, al-Wujud ‘inda Ikhwan al-Shafa’, (Iskandaria: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, 1989), hal.185 1 6 Menarik untuk memperdalam teori al-Tanasub fi al- ‘Alam atau teori al-nisbah, yakni teori keselarasan dan harmoni alam yang dijelaskan oleh Ikhwan al-Shafa’. Bagi mereka, pada hakikatnya alam semesta yang memiliki keragaman ini berjalan secara selaras dan harmoni. Jika diibaratkan, harmoni alam ini seperti harmoni nada-nada lagu dan suara musik yang merdu terdengar. Lihat. Rasail, I, hal. 252. Namun penulis tidak akan memperpanjang penjelasan tentang ini di sini, namun akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya. 1 7 Risalah al-Jami’ah, hal. 351. Lihat juga Jami’ah al- Jami’ah, hal. 79. 1 8 Lihat Rasail, I, hal. 251 1 9 Jiwa universal ini adalah jiwa yang meliputi dan mengalir dalam substansi-substansi orbit langit. Sedangkan jiwa particular meliputi dan mengalir di seluruh entitas organisme yang ada di alam fisik (hewan, tumbuhan, dan mineral). 2 0 Ikhwan al-Shafa’, al-Risalah al-Jami’ah, hal. 352; lihat juga Rasail, I, hal. 404; Rasail, IV, hal. 339. 2 1 Ikhwan al-Shafa’, al-Risalah al-Jami’ah, hal. 376 2 2 Rasail, III, hal. 362. 2 3 Rasail, III, hal. 352 2 4 Nadia Jamaluddin, Falsafah al-Tarbiyah ‘inda Ikhwan al- Shafa’, Cairo: Dal al-Kitab al-Mishri, 2002, hal. 155. 2 5 Penjelasan lebih detail mengenai asal berbagai wujud entitas alam ini dari bentuk dan arketip disampaikan sebagai berikut, “maka tampak jelas dengan missal ini bahwa seluruh entitas wujud berupa bentuk yang berbeda-beda. Ia merupakan arketip-arketip segala sesuatu. Semuanya terjadi dan berlangsung secara berurutan, sebagaimana urutan angka-angka yang bermula dari angka 1. Dan semuanya berasal dari Allah sebagai tempat asalnya dan kepada-Nya sebagai tempat kembalinya. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran melalui lisan nabinya. Allah berfirman: Kepada Allah tempat kembali kalian semua. (Q.S. Al-Maidah: 48, 105). Allah juga berfirman: Dan kepada Allah semua perkara akan kembali. (Q.S. Al-Baqarah: 210). Allah juga berfirman: Sebagaimana Kami memulai awal penciptaan maka Kami akan mengembalikannya. (Q.S. al-Anbiya: 104). Sebagaimana semua angka akan kembali kepada angka 1, sebagaimana pula dari angka 1 semua angka tersusun pada awalnya, sebagaimana telah kami jelaskan. Demikian pula semua entitas wujud, tempat kembalinya kepada Allah yang Maha Esa dan Tunggal”. Lihat Rasail, III, hal. 236. 2 6 Lihat al-Risalah al-Jami’ah, hal. 370. 2 7 Rasail, III, hal. 196-197 2 8 Al-Risalah al-Jami’ah, hal. 460. 2 9 Lihat Rasa’il, III, hal. 233-234. Penjelasan ini secara tegas disampaikan sebagaimana berikut, “Pengetahuan tentang Seluruh entitas-entitas semesta secara potensial berada dalam akal universal: Ketahuilah wahai saudaraku bahwa semua entitas- entitas alam semesta ini merupakan bentuk-bentuk dan arketip-arketip. Lalu Tuhan memancarkannya kepada akal universal –yang merupakan entitas pertama yang ada karena Tuhan. Dengan kalimat-Nya, Tuhan mewujudkan akal universal yang merupakan substansi spiritual sederhana. Di dalam akal tersebut terdapat seluruh bentuk-bentuk entitas semesta ini”. Lihat juga al-Risalah al-Jami’ah, hal. 370; Lihat juga Jami’ah al-Jami’ah, hal. 163. Dalam bagian lain disebutkan, “Sesungguhnya segala sesuatu itu telah ada secara potensial dalam akal universal”. Lihat al-Risalah al- Jami’ah, hal. 29 3 0 Al-Risalah al-Jami’ah, hal. 460. 3 1 Rasail, III, hal. 185 3 2 Rasail, III, hal. 234 3 3 Rasail, III, hal. 234; lihat juga Rasail, III,hal. 185. 3 4 Rasail, III, hal. 197 3 5 “Yang kami maksud dengan daya universal (al-thabi’ah al-kulliyyah) adalah daya jiwa universal yang mengalir dalam seluruh benda-benda yang dapat menggerakkan dan mengatur benda-benda tersebut, dan memanifestasikan seluruh aktivitas dan pengaruhnya”. Lihat Rasail, III, hal. 213 3 6 Rasail, II, hal. 6 3 7 Rasail, II, hal. 63-64; bandingkan dengan Shabir Abduh Aba Zaid Muhammad, Fikrah al-Zaman ‘inda Ikhwan al- Safa’: Dirasah Tahliliyyah Muqaranah, p, 265. 3 8 Rasail, III. hal. 190 3 9 Orbit terluar adalah orbit atau lintasan tertinggi dalam sistem astronomi yang dianut oleh Ikhwan al-Shafa’. Keberadaannya meliputi seluruh orbit di bawahnya. Ikhwan al-Shafa’ mendeskripsikan orbit terluar sebagai orbit yang menghimpun seluruh orbit, dari orbit yang substansinya paling halus dan orbit yang paling sederhana hingga ke orbit di bawah bulan. Lihat Rasail, III, hal. 187. 4 0 Keutamaan-keutamaan yang dimaksud adalah berupa ilmu hakiki, akhlak yang indah, pandangan yang benar, dan amal-amal shaleh, karya yang dibuat dengan penuh ketelitian, dan kerja-kerja professional. DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 92 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna 4 1 Lihat Rasail, III, hal. 189. 4 2 Orbit eter adalah lapisan udara yang panas dan lembut, yang tidak memiliki cahaya, dan di bawahnya terdapat lapisan udara dingin yang disebut falak zamharir. Lihat. Rasail, III, hal. 334 4 3 Rasail, I, hal.146-147 4 4 Rasail, I, hal. 146. Teksnya sebagai berikut, 4 5 Rasail, III. hal. 191, Lihat juga Rasail, II, hal. 64-65 4 6 Wajih Ahmad, al-Wujud ‘inda Ikhwan al-Shafa’, hal. 229 4 7 Rasail, II, hal. 6. 4 8 Rasail, II, hal. 6 4 9 Rasail, II, hal. 8 5 0 Rasail, II, hal. 7. Dalam penjelasannya lebih lanjut, Ikhwan al-Shafa’ mendeskripsikan materi orisinal ini sebagai esensi (al-huwiyyah). Ketika esensi disandingkan dengan berbagai aksiden (al-a’radh), maka ia tidak lagi disebut sebagai materi orisinal, namun ia akan menjadi benda mutlak. Contohnya adalah bila sebuah esensi disandingkan dengan kuantitas, maka yang muncul adalah benda mutlak yang memiliki 3 segi, yakni benda yang memiliki panjang, lebar, dan tinggi. Contoh lain adalah, bila sebuah esensi disandingkan dengan aksiden kualitas, maka ia akan menjadi sebuah benda mutlak yang memiliki kualitas berbentuk (shape), seperti lingkaran, segitiga, segi empat, dan berbagai rangka/bentuk lainnya. 5 1 Rasail, III, hal.197 5 2 Rasail, I, hal. 42. 5 3 Rasail, III, hal. 238. 5 4 Rasail, I, hal. 251-252 5 5 Rasail, II, hal. Teks aslinya demikian, 5 6 Rasail, II, hal. 6-7 5 7 Rasail, II, hal. 24 5 8 Bagi Ikhwan al-Shafa’ alasan utama mengapa bentuk bulat ini merupakan bentuk.yang paling utama dan paling sempurna adalah karena; (1) areanya lebih luas dibanding bentuk lain; (2) gerakannya lebih cepat dan tangkas; (3) potensi untuk mengalami kehancuran sangat jauh; (4) diameternya sama; (5) letak pusatnya berada di tengah; (6) dan yang lebih penting adalah karena bentuk tersebut memungkinkan untuk melakukan pergerakan dengan luwes tanpa mesti mengalami tubrukan dan gesekan dengan benda lain, kecuali jika pergerakan tersebut berada pada titik yang saling berdekatan. (7) Selain itu juga bentuk bulat bisa lebih memungkinkan benda-benda langit melakukan pergerakan secara melingkar dan teratur, kecil kemungkinan mengalami penyimpangan dari orbit tempat perputarannya. Lihat Rasail, III, hal. 187; 197; 209. 5 9 Rasail, I, hal. 115; Rasail, III, hal. 209 6 0 Rasail, II, hal. 26 6 1 Rasail, I, hal. 115, 126, 147 6 2 Rasail, I, hal. 447-448 6 3 Rasail, II, hal. 34 6 4 Rasail, I, hal. 448 6 5 Rasail, II, hal. 88; 333-334. Ikhwan menuliskan, 6 6 Rasail, II, hal. 49-50; 88; 334 6 7 Rasail, I, hal. 115 6 8 Rasail, IV, hal. 285-286 “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa daya pertama yang diberikan oleh jiwa universal terhadap alam semesta dalah terdapat pada entitas-entitas utama yang bercahaya, dan ia adalah bintang-bintang tetap (fixed stars), lalu setelah itu diberikan pada bintang- bintang berjalan (planet-planet), lalu diberikan pada entitas di bawahnya yakni 4 elemen-elemen yang terdapat pada individu-individu organisme berupa barang mineral, tumbuhan, dan hewan.” 6 9 Carmela Baffioni, “The Religious Approaches to Natural Science: The Case of Mineralogy in the Ikhwan al-Shafa’ and Hamid al-Din al-Kirmani”, in Anna Akasoy dan Wim Raven (ed.), Islamic Thought in the Middle Ages; Studies in Text, Transmission in Honour of Hans Daiber, Leiden- Boston: Brill, 2008. 7 0 Rasail, II, hal. 142; Lihat juga Rasail, I, hal. 145 7 1 Rasail, I, hal.146-147 7 2 Contohnya adalah ketika api dipadamkan, maka ia berubah menjadi udara (asap), lalu ketika udara dipadatkan, maka ia akan berubah menjadi air, dan air apabila dipadatkan maka akan menjadi tanah. Sedangkan keberadaan benda mineral, tumbuhan, dan hewan, tidak lain karena hasil dari penyatuan di antara empat elemen-elemen tersebut. Lihat Rasail, II, hal. 8, 57-58 7 3 Rasail, IV, hal. 386, 412 7 4 Rasail, II, hal. 53-54. 7 5 Rasail, II, hal. 115; lihat juga Rasail, III, hal. 1234 7 6 Rasail, III, hal. 276-277. Teks lengkapnya sebagai berikut, 7 7 Rasail, II, hal. 180 7 8 Ahmad Amin and Zaki Najib Mahmud, Qishshah al- Falsafah al-Yunaniyyah, Cairo: Mathba’ah Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1935, hal. 233-234 7 9 Rasail, III, hal. 213 8 0 Rasail, III, hal. 213-214 DAFTAR PUSTAKA ‘Abd, Abd al-Latif Muhammad Al-, al-Insan fi Fikr Ikhwan al- Shafa’, Cairo: Dar al-’Ilm li al-Thaba’ah, 1976. Abdullah, Ahmad Ibn, al-Risalah al-Jami’ah: Taj Rasa’il Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’, (tahkik/edited by Mustafa Galib), Beirut: Dar Shadir, 1974. Abdullah, Wajih Ahmad, al-Wujud ‘inda Ikhwan al-Shafa’, Iskandaria: Dar al-Ma’rifah al-Jami’ah, 1989. Abouzeid, Ola Abdelaziz, A Comparative Study between the Political Theories of Al-Farabi and The Brethren of Purity. University of Toronto, 1987. DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 93Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 Ahmad bin Abdullah, Rasa’il Ikhwan al-Shafa’, 4 vols. Amin, Ahmad and Zaki Najib Mahmud, Qishshah al-Falsafah al-Yunaniyyah, Cairo: Mathba’ah Dar al-Kutub al- Mishriyyah, 1935 Awa, Adil al-, Haqiqat Ikhwan al-Shafa’, Damascus: al-Ahali, 1994 (cet.8) Bakar, Osman, Environmental Wisdom for Planet Earth: The Islamic Heritage, Kuala Lumpur: Center for Civilizational Dialogue University Malaya, 2007 Bateson, Gregory, Steps to an Ecology of Mind: Collected Essays in Anthropology, Psychiatry, Evolution, and Epistemology, Northvale, New Jersey, London: Jason Aronson Inc, 1972. Browne, E.G., A Literary History of Persia. 4 vols. London: T.Fisher Unwin, 1902, vol. 1, hlm. 292 Burtt, Edwin Arthur (1892-1989), Metaphysical Foundations of Modern Physical Science, New York: Dover Publica- tions Inc., 2003. Capra, Fritjof, Kearifan Tak Biasa: Percakapan dengan Orang-orang Luar Biasa, (trans. Hartono Hadikusumo, from Uncommon Wisdom: Conversation with Remarkable People), Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002. Capra, Fritjof, The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru, (trans. Andya Primanda, from The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living), Bandung: Jalasutra, 2004. Capra, Fritjof, The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur, (trans. Aufiya Ilhamal Hafizh, from The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism, 4th ed.) Bandung: Jalasutra, 2005. Capra, Fritjof, The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture, New York: Bantam Books, 1982 Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban, (trans. M. Toyyibi, from The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture), Yogyakarta: Bentang, 2004, cet.VI. Chapman, Audrey R., et.al (ed.), Consumption, Population, and Sustainibility: Perspectives from Science and Religion, diterjemahkan oleh Dian Basuki dan Gunawan Admiranto, Bandung: Mizan, 2007. Clark, Stuart Towards the Edge of the Universe: A Review of Modern Cosmology, Chichester: John Wiley & Sons and Praxis Publishing. Conger, George Periggo, Theories of Macrocosms and Microcosms in The History of Philosophy, New York: Columbia University Press, 1922. Daftary, Farhad, The Isma’ilis: Their History and Doctrines, second edition, Cambridge: Cambridge University Press, 2007. Dieterici, Friedrich, Their und Mensch vor dem Konig Der Genien, (Arabic version: Fi Tada’i al-Hayawanat ‘ala al- Insan ‘inda Maliki al-Jinn wa hiya Qishshah Ma’khudzah min Rasa’il Ikhwan al-Shafa’), Leipzig: Berlin University, 1881. Dodelson, Scott, Modern Cosmology, California: Academic Press, 2003. Driesch, Hans, The History and Theory of Vitalism, London: Macmillan and Co, 1914. Driesch, Hans, The Science and Philosophy of the Organism, London: Adam and Charles Black, 1908. Elliot, Robert and Arran Gare (ed.), Environmental Philoso- phy, St Lucia, Queensland: University of Queensland Press, 1983. Fakhrani, Abu al-Suud Ahmad Al-, al-Bahts al-Lugawi ‘inda Ikhwan al-Shafa’, Egypt: Matba’ah al-Amanah, 1991. Foltz, Richard C., et.al (eds.), Islam and Ecology: A Bestowed Trust, Massachusetts: Harvard university Press, 2003. Galib, Mustafa, Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’, Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1979. Gardner, Gary, Invoking the Spirit: Religion and Spirituality in the Quest for a Sustainable World, Danvers: Worldwatch Institute, 2002. Gilkey, Langdon, Nature, Reality, and the Sacred The Nexus of Science and Religion, Minneapolis: Augsburg Fortress, 1993. Hamad, Muhammad Abdul Hamid al-, Ikhwan al-Shafa’ wa al-Tawhid al-’Alawi, Riqqah, 1998. Hamad, Muhammad Abdul Hamid al-, Shabi’ah Harran wa Ikhwan al-Shafa’, Damascus-Syria: al-Ahali, 1998. Hamdani, Abbas, Abu Hayyan al-Tawhidi and The Ikhwan al- Shafa’ of Purity, International Journal of Middle East Studies, (Cambridge: Cambridge University Press, Vol. 9, 1978) Hawking, Stephen dan Leonard Mlodinow, A Briefer History of Time, New York: Bantam Dell, 2005. Hawley, John F. dan Katherine A. Holcomb, Foundations of Modern Cosmology, New York: Oxford Universitu Press, 2003. Heriyanto, Husain Paradigma Holistik, Jakarta: Penerbit Teraju, 2003. Hetherington, Norris S., Cosmology: Historical, Literary, Philosophical, religious, and scientific perspective, Oxford: Routledge Press, 1993 Hijab, Muhammad Farid, al-Falsafah al-Siyasiyyah ‘inda Ikhwan al-Shafa’, Cairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al- ’Ammah lil Kitab, 1982. Holroyd, W.R.M. (Lt. Colonel), Tuhfat-ul-Adab: Comprising Selections from Alf Laila, Ikhwan-us-Shafa’, Kalila Damna and Tuhfa-i-Nasiriya, Lahore: Government Central Book depot, 1880. ‘Iraqi, ‘Atif al-, Introduction to Sabir Abduh Aba Zayd Muhammad, Fikrah al-Zaman ‘inda Ikhwan al-Shafa’: Dirasah Tahliliyyah Muqaranah, Cairo: Maktabah Madbuli, 1999. Ismail, Mahmud, Ikhwan al-Shafa’ Ruwwad al-Tanwir fi al- Fikr al-’Arabi, Matba’ah ‘Amir, 1996. Ismail, Mahmud, Nihayah Usthurah: Nazhariyyat Ibn Khaldun Muqtabisah min Rasa’il Ikhwan al-Shafa’, Cairo: Dar Anha, 2000. Jamaluddin, Nadia, Falsafah al-Tarbiyyah ‘Inda Ikhwan al- Shafa’, Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 2002. DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 94 J U R N A L I L M U - I L M U K E I S L A M A N Afkaruna Kassam, Zayn, The Case of the Animals Versus Man: Toward an Ecology of Being, in Paul Waldau& Kimberley Patton (ed.), A Communion of Subjects: Animals in Religion, Science, and Ethics, New York: Columbia University Press, 2006, pp. 160-169. Levy, Reuben, The Social Structure of Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 1957. Lynn White, Jr, The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, in Journal Science, (Volume 155, Number 3767, 10 March 1967), p.1205. Ma’sum, Fuad, Ikhwan al-Shafa’ Falsafatuhum wa Ghayatuhum, Damascus-Syria: Al-Mada, 1998. Mishantal, Abd al-Rahman Ali, al-Tafkir al-Lisani fi Rasa’il Ikhwan al-Shafa, Cairo: maktabah al-Adab, 2005. Muhammad, Sabir Abduh Aba Zayd, Fikrah al-Zaman ‘Inda Ikhwan al-Shafa’: Dirasah Tahliliyyah Muqaranah, Cairo: Maktabah Madbuli, 1999. Murata, Sachiko, The Tao of Islam, (diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah), Bandung: Mizan, 1996. Nanji, Azim, On the Acquisition of Knowledge: A Theory of learning in the Rasa’il Ikhwan al-Shafa’, Journal The Muslim World, (The Duncan Black Macdonald Center, The Hartford Seminary Foundation, Vo. LXVI, No. 2, April 1976) Nasr, S.H., An Introduction to Islamic Cosmological Doc- trines, Cambridge: Harvard University Press, 1964. Nasr, S.H., Islam and the Plight of Modern Man, London: Longman Group Ltd, 1975 Nasr, S.H., Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man, Chicago: ABC International Group. Inc., 1997. Nasr, S.H., Religion and the Order of Nature, Oxford University Press: Oxford, 1996. Nasr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought, London: George Allen & Unwin Ltd, 1981. Nasr, Seyyed Hosssein, “Philosophy and Cosmology”, in R.N. Frye, ed., The Cambridge History of Iran, vol. 4, Cam- bridge: Cambridge University Press, 1975, hlm. 428 Nur, Jabur Abd al-, Ikhwan al-Shafa’, Egypt: Dar al-Maarif, 1961. Pasha, Ahmad Zaki, Mausu’ah al-’Ulum al-’Arabiyyah wa Bahtsun ‘an Rasail Ikhwan al-Safa, Bulaq, Egypt: al- Mathba’ah al-Amiriyyah, 1308 H. Rolston III, Holmes, Science and Religion A Critical Survey, Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2006. Rolston III, Holmes, Science and Religion: A Critical Survey, Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2006, hal. 3 6 Shafa’, Ikhwan al-, al-Risalah al-Jami’ah, (ed. Mushtafa Galib), Beirut: Dar Shadir, 1974, Shafa’, Ikhwan al-, Jami’ah al-Jami’ah, (edited by Arif Tamir), Beirut: Dar maktabah al-Hayat, tt. Shafa’, Ikhwan al-, Rasa’il Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al- Wafa’, Qum, Iran :Markaz al-Nasyr- Maktabah A’lam Islami, 1405 H. Sarhan, Samir & Muhammad Muhammad Anani, al-Mukhtar min Rasa’il Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’, Maktab al-Usrah. Siwah, Firas Al-, Thariq Ikhwan al-Shafa’: al-Madkhal ila al- Ghunushiyyah al-Islamiyyah, Damascus: Dar ‘Ala al-Din, 2008. Skolimowski, Henryk “Ecological Humanism: An Answer to ‘Where Do We Go From Here?’, http:// www.ecophilosophy.org/new/articles/ 040101_origins.html Skolimowski, Henryk What is Eco-philosophy? Some Founding Principles, at http://maaber.50megs.com/ eighth_issue/deep_ecology_1e.htm Skolimowski, Henryk, A Sacred Place to Dwell: Living with Reverence Upon the Earth, Rockport: Element. Inc., 1993. Skolimowski, Henryk, Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living, Boston: Marion Boyars, 1981 Stern, S.M., Studies in Early Isma’ilism, Jerusalem: The Magnes Press-The Hebrew University, 1983. Syahrazuri, Syamsuddin Muhammad bin Mahmud al-, Kitab Nuzhah al-Arwah wa Raudhat al-Afrah: Tawarikh al- Hukama’, Alexandria: Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1993. Syirwani, Ahmad bin Muhammad al-Anshari al-, Hikam wa NaSha’ih Rasa’il Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa’, www.al-mostafa.com Tamimi, al-Qadi al-Nu’man bin Hayyun al-Magribi al-, al- Risalah al-Mudzhabah, in Tamir, Khams Rasail Isma’iliyyah, Suria: Dar al-Inshaf, 1956. Tamimi, Al-Qadi al-Nu’man bin Haywan al-Magribi al-, Kitab al-IqtiShar, (edited by. Arif Tamir), Beirut: Dar al-Adwa’, 1996. Tamir, Arif (ed.), Khamsu Rasa’il Isma’iliyyah, Syria: Dar al- Inshaf, 1956. Tamir, Arif, “al-Haqiqah fi Rasail Ikhwan al-Shafa’ wa Khullan al-Wafa”, kata pengatar dalam Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa, vol.1, Beirut-Paris: Oueidat. 1995, Tamir, Arif, Ibn Sina fi Marabi’ Ikhwan al-Shafa’, Beirut: Muassasah Izzuddin, 1984. Tawhidi, Abu Hayyan al-, al-Imta’ wa al-Mu’anasah. edited by Ahmad Amin and Ahmad Zayn, vol.2. Cairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1942. Tibawi, A.L., Further Studies on Ikhwan al-Shafa’, in Journal The Islamic Quarterly (London, The Islamic Cultural Center, Vol.XX, XXI, XXII No.3, September 1978.) Tibawi, A.L., Ikhwan al-Shafa’ and Their Rasa’il: a Critical Review of a Century and a Half of Research, in Journal The Islamic Quarterly (London, The Islamic Cultural Center, Vol.II, No.1, April 1955.) Von Bertalanffy, Ludwig, General System Theory: Foundation, Development, Applications (1968). Von Bertalanffy, Ludwig, Modern Theories of Development: An Introduction to Theoretical Biology (1933) White, Jr., Lynn, The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 95Vol. 10 No. 1 Januari - Juni 2014 in Journal Science, (Volume 155, Number 3767, 10 March 1967). Whitehead, Alfred North, Adventures of Ideas: A Brilliant History of mankind’s Great Thoughts, New York: The Macmillan Company, 1933. Wimberley, Edward T., Nested Ecology: The Place of Humans in the Ecological Hierarchy, Maryland: The Johns Hopkins University Press, 2009 Zaki, Ahmad, Mausu’ah al-’Ulum al-’Arabiyyah wa Bahtsun ‘an Rasa’il Ikhwan al-Shafa’, Egypt: Matba’ah al- Amiriyyah, 1308 H. DOI 10.18196/AIIJIS.2014. 0032. 68-95 Index A 'Abd al-Malik 'Abd al-Qadir al-Jilani 'Abd al-Qadir ibn Abi Salih Jangidost 'Abd al-Rahman 'Abd al-Rahman b. al-H Harits 'Abd Allah b. al-Zubair Abou Sheisha Abu Hamid al-Ghazali Abu Hanifa Abu Muhammad Ja'far al-Sarraj Abu Sa'ad al-Mubarak 'Ali al-Mukharrimi Abu Sahr al-Hudzali al-Ahtal Ahmad al-Ghazali Ahmad 'Ali al-Imam Ahmad Dahlan 'Ain al-Qudat al-Hamadhani al-'Abbas b. al-Ahnaf al-Ghazali al-Hajjaj al-Hallaj Al-Jilani al-Jilani al-Kasani al-Sharakhsi 'Ali b. Abi Thalib Ali ibn Yusuf al-Shattanawfi Aloys Sprenger 'Amr b. Kultsum Anas b. Malik Arkoun Arthur Jeffery B Baghdad Basshar b. Burd al-Farazdaq Blachère C Carmela Baffioni Catur Dharma D Deliar Noer Dzu Rumma E E. Levi Provençal F Fazlur Rahman FIAI G G.P. Maisonneuve H Hanafi School Himpunan Putusan Tarjih (HPT) I IAIN Ibn Darraj al-Qasthalani Ibn 'Arabi Ibn Batutah Ibn Hajar al-Asqalani Ibn Mas'ud Ibn Taymiyah Ibn Taymiyya Ignaz Goldziher Ikhwan al-Shafa' Imam al-Nawawi Imam al-Shafi'i Imam Malik J Jalal al-Din Rumi Jesus John the Baptist K Khuzistan Kuntowijoyo M Mahfud MD Mahmud Zubaidi Malik b. Abi 'Amir Manhaj Tarjih Manna' al-Qaththan Margoliouth Marwan b. al-Hakam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah Mohammed Arkoun Montgomery Watt Muhammad Muhammad al-Shaybani Muhammadiyah MUI Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah Mushaf Ibn Mas'ud Mushaf Abu Bakr Mushaf Ubay N Nabi Muhammad Saw Nahdlatul Ulama (NU) Nakamura Newton P Perwataatmadja pesantren Q Quraisy R R. Blachère Régis Blachère Rene Descartes Robert K. Merton S Sa'id b. al-'Ashsh Salman al-Farisi Sarwono Shams al-Din Muhammad b. Qudama al-Maqdisi Sheikh Abû Daqiqa Shihab al-Din al-Suhrawardi al-Maqtul Shubhi Shalih Sultan Sulayman Syafii Antonio T Th. Noldeke Titus Burkchardt U Ubay b. Ka'ab UII Umayyah 'Abd al-Malik 'Utsman b. 'Affan W William Marçais William Muir Y Ya'cub Yusdani Yusman Roy Yusuf al-Hamadani Z Zaid b. Tsabit Zakaria