Jurnal AFKARUNA Vol. 14 No. 2 Desember 2018 Kontribusi Pemikiran Linguistik al-Anbari Terhadap Penafsiran Kosa Kata Kontranimi (at-Tadhad) DOI 10.18196/AIIJIS.2018.0088.219-241 MAHYUDIN RITONGA Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat E_mail: mahyudinritonga@gmail.com ABSTRACT This paper describes the contribution of al-Anbari’s thought to the interpretation of the verses of the Qur’an. This is inseparable from al-Anbari’s expertise not in the field of Qur’anic exegesis (tafsir) but in the field of Arabic language (lughat al-Arab). The main source of this research is the work of al-Anbari entitled “al-Adhdad” while the secondary source is the work of al-Anbari in other fields and the work of others that are related to the research theme. The results showed that al-Anbari as a nuhat of Kufah (Arabic grammar expert from Kufah) had different thoughts from other Kufah scholars both in the fields of syntax and morfology. His thoughts in the problem of syntax and morfology seem to have a significant contribution in providing a new understanding of the verses of the Qur’an, especially the verses in which the words that have at-tadhad meaning are used. The contri- bution of his thoughts can be understood from his interpretation of the use of letters, idioms, verbs, names of subject, names of object, ccircumstances, and derivations in the Qur’ran. Keywords: contribution, linguistik, al-Anbari, interpretation al-Qur’an, contranym ABSTRAK Tulisan ini ingin menguraikan kontribusi pemikiran al-Anbari dalam penafsiran ayat al-Quran, hal ini tidak terlepas dari keahlian al-Anbari bukan pada bidang tafsir melainkan ahli bahasa. Sumber utama penelitian ini ialah karya al-Anbari yang berjudul “al-Adhdad” sementara sumber sekunder ialah karya al-Anbari pada bidang lain dan karya orang lain yang memiliki kaitan dengan tema penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa al-Anbari sebagai ahli nahwu Kufah memiliki pemikiran yang berbeda dengan ulama Kufah lainnya baik dalam bidang nahwu maupun sharaf. Pemikirannya dalam masalah nahwu dan sharaf terlihat memiliki kontribusi yang signifikan dalam memberikan mailto:mahyudinritonga@gmail.com 220 AFKARUNA pemahaman terhadap ayat al-Quran khususnya ayat yang di dalamnya menggunakan kata at-tadhad. Kontribusi pemikirannya dapat dipahami dari penafsirannya terhadap penggunaan huruf, idiom, kata kerja, isim fail, isim maf’ul, zharaf, dan derivasi yang ada dalam al-Quran.. Kata Kunci: kontribusi, pemikiran al-Anbari, penafsiran al-Qur’an, kontranim PENDAHULUAN Fenomena kebahasaan adalah salah satu aspek terpenting yang harus diketahui oleh seorang interpreter ayat al-Quran, untuk itu para ahli telah sepakat bahwa kemampuan dalam memahami Bahasa Arab beserta segala aspek yang berkaitan dengan ilmu bahasa Arab adalah salah satu syarat mutlak yang mesti dimiliki oleh ahli tafsir.1 Dalam hal ini Dewi menyatakan bahwa bahasa Arab sarana untuk memahami makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. Bahasa Arab pula digunakan sebagai rujukan dalam memahami dan mentafsirkan al-Qur’an.2 Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemahaman aspek kebahasaan dengan segala yang berkaitan de- ngannya adalah awal dari lahirnya interpretasi ayat-ayat al-Quran secara benar. Permasalahan kebahasaan sebagaimana dimaksud ialah setidaknya mencakup ‘Ilmu al-Lughah an-Nazhari al-‘Amm (Theoretical linguistics) seperti ‘Ilmu al-Ashwat (Phonetics), ‘Ilmu al-Lughah at-Tarikhi (Historical Linguistics), ‘Ilmu ad-Dalalah (Semantics), ‘Ilmu an-Nahw (Syntax) dan ‘Ilmu as-Sharfi (Morfology).3 Aspek linguistik ini akan semakin komprehensif bila dikaitkan dengan ‘Ilmu al-Lughah at-Tathbiqi (Applied Linguistics), namun dalam kaitannya dengan penafsiran al-Quran pemahaman mufassir terhadap linguistik teoritik yang menjadi tuntutan. Para mufassir yang dikenal dengan karyanya adalah mereka yang memiliki kemapanan ilmu baik dalam bidang bahasa apalagi hal-hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu al-Quran, baik dari timur tengah, asia tenggara maupun Indonesia. Mengenal dan memahami metode, pendekatan serta arah pemikiran mereka adalah suatu tuntutan dan kebutuhan dalam rangka memahami kandungan al-Qur’an untuk pengembangan keilmuwan dan penyebaran ajaran Islam secara keseluruhan. Urgensi mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran para ahli tafsir serta karya-karya mereka adalah suatu yang tidak dapat dipungkiri, namun tulisan ini akan menganalisis dari sisi yang berbeda, al-Anbari bukanlah seorang mufassir melainkan seorang linguis Arab yang cukup dikenal dengan karya-karyanya dalam bidang bahasa 221Vol. 14 No. 2 Desember 2018 Arab. Hal ini menarik untuk dianalisis dengan mengaitkannya pada permasalahan penafsiran al-Quran, karena dari sebahagian karyanya yang ditemukan tergambar corak pemikiran linguistiknya mewarnai pendekatan dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Quran khususnya dalam masalah kosa kata. Oleh sebab itu, dalam artikel ini akan diungkapkan: 1) Sekilas tentang biografi al-Anbari, 2) Pemikiran pebahasaan al-Anbari dalam menentukan makna, dan 3) Interpretasi al-Anbari terhadap kosakata kontranimi. Untuk mendapatkan data tentang aspek yang menjadi fokus pembahasan ini penulis menjadikan karya al-Anbari sebagai sumber utama dan karya or- ang lain yang berkaitan dengan al-Anbari serta pemikirannya sebagai sumber skunder. PROFIL AL-ANBARI DAN KITAB AL-ADHDHAD Al-Anbari memiliki nama lengkap Muhammad ibn al-Qasim ibn Muhammad ibn Basyar ibn al-Hasan ibn Bayan ibn Samma‘ah ibn Farwah ibn Quthn ibn Di‘amah al-Anbari, dia diberi gelar Abu Bakr dan lebih dikenal dengan nama al-Anbari. Ayahnya adalah al-Qasim berkebangsaan Anbar.4 Dia dilahirkan di Samira pada bulan Mei tahun 849 M. Pada masa kecilnya al-Anbari dibawa ke Baghdad5 dan kehidupan masa kecil dilalui di rumah ayahnya yang penuh dengan suasana ilmu pengetahuan, karena ayahnya adalah salah seorang ulama besar yang bermazhab Kufah dalam bidang nahwu. Mazhab Kufah memiliki ciri khas tersendiri dalam kajian nahwu seperti kebebasan dalam menggunakan riwayat.6 Lebih fleksibel dalam melakukan analogi. Selain itu, mereka menggunakan istilah yang berbeda dalam beberapa kata kunci nahwu.7 Dilihat dari aliran teolog yang dianutnya, al-Anbari diketahui sebagai orang yang bermazhab ahlussunnah dan bermazhab Hanbali dalam masalah fiqih, hal ini dipahami berdasarkan sebuah kisah di mana pada suatu saat al-Anbari ditanya tentang al-istitsna fi al-iman, al-Anbari menjawa b “ka mi b erist isyn a se hingg a kam i ser ing mengatakanنحن مؤمنون إن شآء هللا (nahnu mu’minun insya Allah “insya Allah kami orang-orang beriman”). Pada saat itu juga, seorang penanya kembali mengulangi pertanyaan yang sama karena masih meragukan jaw abannya, al-Anbari pun menja wab deng an رضي هللا عنــھ ذا مذھب إمامنا أحمد بن حنبل (had za m adzh abu 222 AFKARUNA imamuna Ahmad bin hanbal radiyallohu ‘anhu “ini mazhab imam kita Ahmad bin Hanbal semoga Allah meridhoinya”).8 Jawaban al-Anbari ini mengisyaratkan keteguhan hatinya dalam mengikuti ahlusunnah dan mazhab Hanbali, dengan tanpa mengulangi jawaban yang sama dan langsung menyebutkan siapa yang menjadi tokoh dan pemimpin mazhabnya adalah sebagai indikasi dia berpegang teguh kepada mazhab tersebut. Adapun dalam masalah nahwu, al-Anbari diketahui sebagai seorang dari tokoh nahwu yang beraliran Kufah. Sebagaimana diungkapkan Abu al-Barakat al-Anbari bahwa al-Anbari adalah salah seorang tokoh terbesar dan terpopuler di antara nuhat Kufah.9 Popularitas al-Anbari dalam kajian bahasa semakin terlihat dan dirasakan oleh kalangan pemerhati bahasa Arab tatkala hadirnya karya monumentalnya yang berjudul “al-Adhdad. Al-Anbari menjelaskan bahwa penulisan buku al-Adhdad adalah jawaban untuk permasalahan bahasa yang sangat rumit dalam bahasa Arab, sekaligus penolakan terhadap mereka yang memiliki wawasan yang sempit dalam mengetahui makna. Dia mengatakan “buku ini memuat beberapa kata yang diakui sebagai kontranimi di kalangan Arab”. Di antara kata-kata tersebut ada satu kata memiliki dua makna yang saling bertentangan. Keberadaan masalah kontranimi oleh sebahagian ahli badi‘ dianggap sebagai pengurangan fungsi bahasa itu sendiri, padahal itu adalah disebabkan kekurangtahuan mereka dalam penggunaan bahasa secara interaktif.9 Yasin10 mengatakan bahwa buku yang ditulisnya tentang at-tadhad mengacu pada buku karya al-Anbari dan memiliki metode berpikir dan tujuan penulisan yang sama, yaitu mencoba untuk menjawab tentang apa yang menyebabkan orang melakukan inovasi sekaligus sebagai jawaban dan bantahan berbagai bentuk kebingungan yang terjadi di kalangan ahli bahasa Arab tentang satu kata yang memiliki dua makna yang berlawanan. Al-Anbari juga mengatakan sekelompok ahli bahasa telah melakukan pengumpulan kata-kata yang tergolong kepada kontranimi. Di antara mereka ada yang menyusun buku yang diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian dan sejumlah kosa kata at-tadhad, namun dari sejumlah kitab tentang kontranimi yang ada Kitab al-Adhdad karya al-Anbari merupakan buku yang paling komprehensif. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa al- Anbari adalah orang yang memiliki semangat tinggi dalam mengkaji kata at-tadhad, sehingga terkesan dia berusaha untuk membuatnya sebagai 223Vol. 14 No. 2 Desember 2018 bagian dari cabang linguistik secara terpisah, sebagaimana usaha yang dilakukan para pendahulunya yang telah menawarkan dan memberikan interpretasi terhadap masalah tersebut. PEMIKIRAN AL-ANBARI DALAM LINGUISTIK 1. An-Nahw (Sintaksis) dan Perubahan Makna Nahwu dipahami sebagai cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang kaedah-kaedah struktur kalimat yang meliputi kalimat nomina, kalimat verbal dan sebagainya, jabatan komponen kalimat misalnya sebagai subjek, objek, atau yang lainnya. Hassan mengungkapkan melalui jabatan kata dalam sebuah kalimat akan diketahui makna kata.11 Pernyataan ini menunj- ukkan kuatnya hubungan semantik dengan sintaksis. Salah satu hubungan tersebut ialah dapat dilihat dalam firman Allahى هللا ا یخش اء إنم اده العلم ن عب م ى هللا ا یخش اء إنم اده العلم ن عب innama yakhsyalloha min ‘ibadih al-‘ulamau“ sesungguhnya) م yang takut kepada Allah ialah para ulama”). Jabatan lafaz “هللا ” dalam ayat tersebut adalah objek sementara yang menjadi subjeknya adalah kata dalam artian subjek tidak harus selalu lebih awal posisinya dari ,” العلمآء“ pada objeknya. Dari ayat ini terlihat jelas bagaimana hubungan yang erat antara semantik dengan sintaksis, ketika sintaksnya salah maka secara otomatis makna yang dimaksud juga akan berubah. Al-Anbari adalah salah seorang tokoh nahwu terkemuka dari kalangan Kufah, namun walaupun demikian pemikirannya dalam masalah nahwu tidak sepenuhnya sama seperti ulama Kufah pada umumnya. Dia dikenal sebagai seorang linguis Arab yang menawarkan kajian bahasa pada tataran makna dengan melihat kombinasi antara satu unsur bahasa dengan berbagai aspek linguistik lainnya, baik secara inheren maupun eksteren. Dari tawaran ini kemudian memberikan pemahaman bahwa nahwu yang disosialisasikan oleh al-Anbari tidak bisa dipisahkan dengan masalah at- tadhad yang terdapat dalam bahasa. Para ahli nahwu melakukan istinbat nahwu berdasarkan ungkapan- ungkapan Arab (kalam ‘Arab) yang mereka temukan, dimana mereka berusaha menjelaskan dan menghubungkan antara satu sistem bahasa dengan sistem yang lain sehingga membentuk sebuah sistem yang sempurna (kalam mufid).12 Sinkronisasi antara satu aspek bahasa dengan aspek yang lain merupakan sesuatu yang harus diperhatikan secara benar, karena kesalahan dalam penggunaan struktur akan mempengaruhi 224 AFKARUNA perubahan terhadap makna. Menurut al-Anbari i‘rab adalahیتغیر شكل آخره بتغییر مـوقعھ من الجملة (yataghayyaru syaklu akhirihi bitaghyiri mawqi’ii min al-jumlah “perubahan baris akhir sebuah kata karenan berubahnya posisi kata tersebut dalam kalimat”).13 Ibn Jinni juga berpendapat bahwa i‘rab berfungsi untuk menjelaskan makna-makna dengan menggunakan lafaz.14 Pernyataan yang sama juga diungkapkan al-Karim bahwa i‘rab adalah الفارق بین المعانــي المتكافــئة -al-fariq bayn al-ma’ani al-mutakafi’ah “pembeda antara makna) الفارق بین المعانــي المتكافــئة makna yang sama”).15 Beberapa pendapat ini menunjukkan bahwa makna bahasa Arab tidak hanya muncul dari makna leksikologi tetapi keberadaan atau memfungsikan nahwu dengan segala aspeknya juga akan melahirkan makna atau yang biasa disebut dengan makna gramatikal. Aliran nahwu Kufah dikenal adanya istilah ash-sharf, yaitu kehadiran kata kerja kedua setelah subjek melalui perantaraan hurufواو، ثم، الفاء، أو (waw, tsumma, al-fau, aw), al-Farra berpendapat bahwa fi‘il tersebut dinashabkan karena mawqi‘nya sebagai maf‘ul ma‘ah, sementara aliran Basrah berpendapat bahwa nashabnya fi‘il tersebut adalah karena posisinya sebagai ma‘thuf kepada fi‘il yang pertama.16 Misalnya جاء محمد وطلوع الشمــس --ulama Basrahber ,(jaa muhammadun wa thulu’a al-Syamsi) جاء محمد وطلوع الشمــس pendapat bahwa kalimat “طلوع ” dibaca nashab karena ma‘thuf kepada kata kerja sebelumnya, sementara ulama Kufah berpendapat bahwa kalimat tersebut dinashabkan karena posisinya sebagai maf‘ul ma‘ah. Al-Anbari berpendapat bahwa dalam kalimat mashruf belum boleh berhenti sebelum adanya al-sharf.17 Misalnya dapat dilihat di dalam surah Ali ‘Imran: 142 -wa lamma ya’lamallohu al) ” ولما یعلم هللا الذین جاھدوا منكم ویعلم الصابرین“ ladzina jahadu minkum wa ya’lama al-shabirin), menurutnya makna ayat ini belum dapat dipahami kalau berhenti pada kalimat “منكم ” karena kalimat “یعلم ” merupakan al-sharf dari makna kalimat sebelumnya. Al-Anbari juga menyoroti istilah at-tarjamah wa at-tabyin (penafsiran dan penjelasan) sebagaimana badal (kata ganti) yang dipahami oleh kalangan Basrah.18 Menurut al-Ashmuni istilah at-tarjamah wa at-tabyin digunakan kalangan Kufah19, sementara Ibn Kaisan sebagaimana dikutip as-Suyuthi mengatakan bahwa orang Kufah terkadang menamainya 225Vol. 14 No. 2 Desember 2018 dengan at-takrir dan sebagian lagi menggunakan istilah al-itba‘.20 Al-Anbari dalam nahwunya lebih cendrung menggunakan istilah at-tarjamah dan at-takrir.21 Dia menjelaskan bahwa apabila seseorang membaca kata dan ” تنزیل“ dengan merafa‘kan kata (tanzil al-sajadah) ” تنزیل السجدة“ menashabkan kata “السجدة ” maka itu berarti rafa‘nya kata tanzil dikarenakan hikayah yang terdapat di awal surah, sementara nashabnya kata “السجدة ” ialah disebabkan kata itu merupakan tarjamah atau penjelasan dari kata yaitu surah as-sajadah. Dalam contoh lain, al-Anbari menjelaskan ” تنزیل“ surah al-Baqarah: 165, menurutnya membaca kataترى (tara) dengan penggunaan “ta” dan berhenti pada kalimatیرون العذاب (yarawna al- ‘adzab) berarti menunjukkan kalimatnya baru dalam kategori hasan atau belum bisa dikatakan kategori tam, karena kata “أن ” yang kedua dibaca nashab disebabkan fungsinya sebagai takrir dari “أن ” yang pertama. Makna ayat ini menurut al-Anbari adalah أن القوة جمیعاترىولو ترى الذین ظلموا إذ یرون العذاب -wa law tara al-ladzinazholamu idz yarawna al) ولو ترى الذین ظلموا إذ یرون العذاب ‘adzab tara anna al-quwwata lillahi jami’a).22 Selain itu, al-Anbari juga menggunakan istilah at-tafsir untuk menyebutkan tamyiz yang disebutkan oleh kalangan Bashrah,23 dia mengatakan bahwa belum dikatakan sebuah waqf tam sebelum sampai pad a ka lima t tafs ir. M isal nya d alam sura h Al i ‘Im ran: 91 falayyuqbala min ahadihim mil’ul ardhi) فلن یقبل من أحدھم ملء األرض ذھبا dzahaban), berhenti pada kalimat “األرض ” menurut al-Anbari adalah qabih, karena kata “ذھبا ” merupakan tafsir bagi kalimat sebelumnya.17 Al-Anbari juga menggunakan istilah al-nasq untuk menjelaskan ‘athaf, salah satunya dapat dilihat ketika dia menjelaskan kalimat “یخـــش ” dalam ayatومن یطع هللا ورسولھ ویخش هللا ویتقھ (wamay yuthi’illaha wa rasulahu wa yakhsyalloha wayattaqih), dia menjelaskan bahwa huruf “ya” pada kata dibuang karena kata tersebut merupakan nasq kepada kalimat ” یخـــش“ yang jazm yaituیطع (yuthi’i) yang dijazmkan dengan من (man).17 Pemikiran al-Anbari dalam masalah makna struktural tergambar dari beberapa kritikannya terhadap pemahaman para nuhat terhadap posisi 226 AFKARUNA kalimat (mawqi‘). Al-Anbari17 mengatakan bahwa kesalahan dalam memahami i‘rab, waqf ataupun ibtida’ suatu kalimat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami makna. Hal ini dipahami dari kritikannya terhadap Abu Hatim yang mengatakan bahwa kata “الكتاب ” yang terdapat di dalam surah al-Ra‘d: 1 sebagai na‘at.24 Al-Anbari menegaskan bahwa Abu Hatim telah keliru dalam memahami makna, karena dengan menganggap kata “الكتاب ” sebagai na‘at dari kata “تلك ” berarti dia tidak memperhatikan muthabaqah, adapun keberadaan alif dan lam pada kata “الكتاب ” adalah suatu keharusan ketika kalimat isim tersebut didahului oleh isim isyarah seperti ھذا، ذالك، تلك , misalnya Kesalahan Abu Hatim .(hadza al-rajulu, tilka al-mar’ah) ھذا الرجل، تلك المرأة sendiri berawal dari pemahaman Akhfasy yang mengatakan bahwa kata yang terdapat di dalam al-Quran surah al-Baqarah posisinya sebagai ” ذلك“ mub tada ’, d an ka limat b ” الكتاب“ erfungsi s ebaga i na‘ at d an kalimatال ریب فیھ (la rayba fihi) sebagai khabar al-mubtada.25 Sanggahan al-Anbari di atas menunjukkan bahwa keberadaan i‘rab dalam sebuah kalimat akan mempengaruhi terhadap makna. Al-Anbari juga mengatakan terjadi kesalahan di kalangan linguis dan mufassir yang menganggap bahwa kata “عوان” dibaca rafa‘ karena na‘at dari kata “البقرة ” seperti pemahaman al-Akhfash.25 Menurut al-Anbari kalau seandainya kata “عوان” berfungsi sebagai na‘at letaknya harus di awal seperti innaha baqaratun ‘awanum bayna) بین ذلك الفارض وال بكرعوانإنھا بقرة dzalik la faridh wa la bikrun), tetapi ayat al-Quran merupakan sumber utama yang tidak mungkin berubah, tidak mungkin memiliki kesalahan, oleh karena itu pemahaman terhadap maknalah yang mesti ditingkatkan. Al-Anbari memberikan pemahaman terhadap kata “عوان” adalah sebagai kinayah dari “فارض ” dan “17.” بكر Pemahaman terhadap posisi kata ‘awan sebagai kinayah berpengaruh terhadap makna bahwa yang dimaksud dengan “ال فارض” dan “ال بكر ” sudah jelas dengan adanya lafaz dzalika. Aspek lain yang menjadi sorotan al-Anbari dalam nahwu ialah masalah istifham, menurutnya tidak ada istifham yang dibuang kecuali ada dalalah sesudahnya huruf أم . Pernyataan ini berkenaan dengan penolakannya 227Vol. 14 No. 2 Desember 2018 terhadap penafsiran sebagian ahli terhadap ayatوتلك نعمة تمنھا علي (wa tilka ni’matun tamunnuha ‘ala) yang mengatakan bahwa kalimat ini menunjukkan istifham, seperti penafsiran al-Akhfash25 dan al-Farra26 yang mengungkapkan adanya hamzah mahdzuf sebelum waw sehingga ayat ini ditafsirkan dengan “أو تلك نعـمة ”. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa adanya huruf istifham yang dibuang dapat diketahui dengan adanya dalalah hurufأم , apabila hurufأم tidak ditemukan maka tidak ada alasan untuk mengatakan adanya huruf istifham yang dibuang. Al-Anbari juga mengatakan tidak mungkin hurufإن yang terdapat dalam al-Quran surah al-A‘la: 9 ditafsirkan denganإن, قد dapat dimaknai dengan قد kalau kalimat tersebut dimasuki hurufل atauأال , misalnya inna qama li ‘abdillah, ala inna qama) إن قام لعبد هللا، أال إن قام عبد هللا ‘abdullah).17 Sementara para ulama tafsir memahami bahwa maknaإن dalam ayatفذكر إن نفعت الذكر (fadzakkir inna fa’at al-dzikra) adalahقد , seperti penafsiran al-Muradi yang mengatakan bahwa maknaإن dalam ayat ini adalah 27. قد Al-Anbari mengatakan tidak ada dalalah yang menunjukkan bahwa makna Åä dalam ayat tersebutقد , makna yang tepat untuk ayat ini adalah syarth dan ta’wil,17 jadi ayat tersebut dapat dipahami dengan فذكر إن نفعھم تذكیرك (fadzakkir inna nafa’ahum tadzkirak), dia mengatakan bahwa seolah-olah ayat tersebut menunjukkan perintah yang dikhususkan kepada Nabi agar selalu memberikan peringatan dan selalu mengajari umat manusia. Beberapa data di atas menunjukkan sintaksis yang terdapat dalam sebuah kalimat merubah makna kata, perubahan tersebut bahkan sampai kepada makna yang bertentangan dengan makna dasar masing-masing kata tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa al-Anbari dalam teori linguis- tiknya senantiasa mengaitkan tata bahasa dengan makna yang akan muncul berdasarkan mawqi‘ sebuah kata. Artinya, nahwu yang ditawarkan al-Anbari adalah berkaitan struktur dan makna. Di mana melalui struktur tersebut dapat dipahami makna sebuah ungkapan, melalui struktur pula sebuah kalimat dapat digunakan untuk makna yang lain dengan merubah pola atau susunan dengan sendirinya akan mengalami perubahan makna. 228 AFKARUNA 2. As-Sharf (Morfologis) dan Perubahan Makna Al-Anbari mencatat bahwa asal semua kata di dalam bahasa Arab baik isim maupun fi‘il terdiri dari tiga huruf, yaitu setimbangan denganفعل (fa fi‘il, ‘ain fi‘il, dan lam fi‘il), seandainya dalam sebuah kata lebih dari tiga huruf, maka hal itu adalah tambahan bukan asli, contohnyaأفرغ، أكرم kalimat ini merupakan timbangan dari أفعل , huruf hamzah dalam kalimat ini adalah tambahan.17 Pendapat ini berbeda dengan linguis Arab lainnya seperti Jabal yang mengatakan bahwa hamzah yang terdapat dalam kataاكرم، أفعل adalah asli.28 Bentuk-bentuk proses morfologis dan perubahan makna yang terjadi di dalam bahasa Arab cukup banyak timbangannya, mulai dari tsulatsi al- mujarrad, tsulatsi mazid, adakalanya bi harfin, bi harfayn dan bi tsalatsah al-ahruf, ruba‘i mujarrad, khumasi, sudasi sampai kepada i‘lal, ibdal, qalb, semua ini merupakan pokok bahasan yang dikaji di dalam sharaf. Namun yang paling penting dalam kaitannya dengan kajian semantik adalah makna-makna yang dilahirkan dari proses morfologis tersebut. Pada dasarnya ada beberapa kata dan makna yang dapat dibentuk dari sebuah kata, seperti fa‘il, maf‘ul, lazim menjadi muta‘addi, musyabahah, shairurah, musyarakah, ta‘ridh, taktsir, muthawa‘ah, isytirak, mubalaghah, takalluf, al-thalab, al-tahawwul wa al-tasyabbuh, dan lain-lain. Kalimat yang sewazan denganنَصر- ینُصر baik fi‘il shahih, fi‘il mudha‘af seperti سد – یسد , maupun ajwaf dan manqush sepertiقال – یقول dan ,pada umumnya menunjukkan kepada makna al-fawqiyyah , طال – یطول al-tijariyyah, al-wuqu‘. Adapun kata yang sewazan dengan ضرب – یضرب , baik yang mudha‘af seperti خف – یخف , maupun mahmuz seperti menggambarkan bahwa peristiwa terjadi pada pelakunya. Kata أسر – یأسر yang setimbangan denganفتح – یفتح pada umumnya untuk makna al- taqallub dan insiraj, kata yang sewazan denganَل pada umumnya فِعل – یفع untuk makna taghyir, kata yang sewazan denganحُسن – یحُسن pada umumnya digunakan untuk menunjukkan al-ghara’iz, al-thabai‘, awshaf dan al-khishal. Sementara kata yang sepola denganحِسب – یحسب 229Vol. 14 No. 2 Desember 2018 menunjukkan taqsim.29 Adapun kata-kata yang sewazan dengan ruba‘i, maknanya adalah: 1) menunjukkan masuknya kepada sebuah tempat dan dapatnya waktu, misalnya kataیمن ketika ditambahkan hamzah di awal menjadiأیمن “masuk ke Yaman”, dan kata صبح ditambah hamzah di awal menjadiأصبح maknanya pun menunjukkan waktu, 2) as-salbi, contohnya kataتِرب أحمد (tariba ahmad “si Ahmad fakir”), dengan menambah hamzah di awal menjadiأترب أحمد (atraba ahmad) maknanyapun berubah dari fakir menjadi kaya, 3) al-ta‘rid, misalnya kata 4 , أقتلتھ) tasyhib li al-fi‘l, misalnya kataأثمر pada kalimat 5 , أثمر البسان) ta‘diyah, 6) katsirah,30 7) ad-du‘a sepertiأسقیتــھ dengan maknaدعوت لھ بالسقیا (da’awtu lahu bi al-suqya).31 Apabila ruba‘inya dengan penambahan ‘ain fi‘il maka maknanya adalah 1) taktsir seperti 2 , طّوف) ta‘diyyah, seperti 3 , فّرح، فّھم) shara shabihan, seperti 4 , جّجر الطین) ikhtishar al-hikayah, seperti5 , كبّر) al-musyarakah, 6) al-mutataba‘ah, 7) li al-fi‘il seperti 32. سافر، ھاجر، جاوز Khusus kata-kata yang mulhaq bi ar-ruba‘i menurut ar-Rajihi setidaknya ada empat makna yang dimaksudnya, yaitu 1) al-musyabahah seperti kataعلقم dalam kalimatسافر، ھاجر، جاوز (‘alqama al-tha’am), 2) kata tersebut serapan dari bahasa lain, seperti 3 , تلیفون) al-shayrurah, seperti kata لبنانیا dan 4) an- naht, baik dari dua kata atau lebih, contohnyaحوقل ,بسمل ,عبقسي .danجعفل 3 Sejumlah kata-kata di atas merupakan kata yang sewazan dengan . فعلى dan فوعل، فعول، فیعل، فعیل Untuk menemukan makna perubahan makna yang disebabkan oleh proses morfologi sebagaimana ditawarkan oleh al-Anbari ialah dengan melihat sebuah bentuk kata (sighah) pada beberapa teks, karena sebuah bentuk kata terkadang tidak dapat dipahami sesuai dengan shighahnya. Dengan kata lain, isim fa‘il dapat bermakna isim maf‘ul, isim maf‘ul bermakna isim az-zaman, isim al-makan, al-mashdar al-mimi, dan lain- lain. Misalnya kataمجتمع yang shighahnya isim maf‘ul,مجتمع الطلبِة حاشد (mujtami‘u ath-thalabati hasyidun),مجتمع الطلبة عصرا (mujtami‘u ath- 230 AFKARUNA thalabati ‘ashran) dan مجتمع الطلبة الیوم في باحة الجامعة (mujtami‘u ath- thalabati fi bahat al-jami‘ah). Dari ketiga contoh ini dapat dilihat bagaimana shighahisim maf‘ul tidak selalu bermakna isim maf‘ul. Pada contoh pertama kata مجتمع bermakna sebagai mashdar, dan pada contoh yang kedua مجتمع diartikan dengan zaman, sementara pada contoh yang ketiga kataمجتمع yang berbentuk isim maf‘ul dimaknai dengan tempat. Perubahan maknaمجتمع seperti yang terdapat pada ketiga contoh di atas tidak dapat dipisahkan dari kalimat sesudahnya. Perubahan makna bentuk kata kebentuk (shighah) lain sering terjadi dalam bahasa Arab, al-Tsa‘alabi mencontohkan kataمالك dengan shighah isim fa‘il, tapi dalam ungkapan هللا مالك كل شیئ (Allahu malik kulli syai’i) kata مالك tidak dimaknai dengan isim fa‘il melainkan shifat musyabbah, begitu juga dengan kata 33, وجد kata ini dengan segala bentuknya memiliki makna yang berbeda sesuai dengan pembicaraan. Al-Anbari mengatakan bahwa, penggunaan suatu bentuk dengan makna yang lain pada dasarnya digunakan untuk kata yang mengandung makna unsur pujian (al-madh) dan penghinaan (adz-dzamm).17 Penggunaan suatu shighah untuk makna yang lain banyak ditemukan di dalam al-Quran.1 Untuk lebih jelasnya perubahan makna dalam tataran morfologis menurut al-Anbari dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel: Tataran Makna dalam Sharaf اللفظ المعنى الفاعل المفعول الفاعل المفعول فعول فعیل مفتعل البنیة الصرفیة وعالقتھا بالمعنى لألنباري الفاعل والمفعول فعال 231Vol. 14 No. 2 Desember 2018 Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa penggunaan shighah isim fa‘il untuk makna maf‘ul, misalnya penggunaan kataآمن dalam al-Quran surah al-‘Ankabut ayat 67, kata داحضـة dalam QS: asy-Syura ayat 16, penggunaan kata دافق dalam QS: ath-Thariq ayat 6, راضیــة dalam QS: al-Haqqah ayat 21, kata ساحل dalam QS: Thaha ayat 39, kata عاصم dalam QS: Hud ayat 43, dan penggunaan kata مبصرة dalam QS al-Isra ayat 12. Beberapa lafaz ini adalah merupakan shighah isim fa‘il, tetapi maknanya isim maf‘ul. Di samping itu, terkadang lafaz maf‘ul dengan makna isim fa‘il, misalnya kata مستور ,lafaz dengan wazan فعول dipahami dengan isim fa‘il dan isim maf‘ul, seperti kata ركوب، لبوس , penggunaan lafaz berupa wazan dari ألیم، أمین، تبیع، ربیبة، سمیع، صریخ، ھضیم dengan makna fa‘il dan maf‘ul, seperti kata فعیـل تّوابBegitu juga dengan penggunaan lafaz . ولي dan ألیم، أمین، تبیع، ربیبة، سمیع، صریخ، ھضیم dengan makna fa‘il, lafaz مرتاب، مضطر dengan makna isim fa‘il dan isim maf‘ul. Pemahaman terhadap makna yang ditunjuk dari bentuk kata seperti yang dijelaskan di atas harus memperhatikan berbagai aspek yang terdapat di dalam kalimat. Dengan kata lain, seorang yang ingin mengetahui makna melalui tataran morfologis tidak cukup hanya memahami wazan-wazan dalam ilmu sharaf, tetapi yang lebih penting dari itu adalah pemahaman secara totalitas berbagai aspek yang berkaitan dengan penggunaan kata tersebut pada sebuah kalimat. Interpretasi al-Anbari terhadap Kosa Kata Kontranim dalam al-Quran Kontranimi (al-tadhad) merupakan fenomena yang terdapat dalam bahasa, yakni sebuah kata yang dapat memiliki beberapa makna.34 Defenisi ini berbeda dengan pengertian antonim yang dipahami ahli kontemporer,35 yaitu dua kata yang berbeda memiliki dua makna yang berlawanan, seperti kata qashir (pendek) antonimnya thawil (panjang) dan kata jamil (cantik) antonimnya qabih (jelek).36 Leederer menyatakan fenomena al-tadhad ini dengan istilah contranym, menurutnya fenomena kebahasaan ini memiliki sebutan yang berbeda 232 AFKARUNA pada setiap bahasa. Di dalam bahasa Arab disebut al-tadhad, sementara pada bahasa Yunani disebut dengan istilah enantiosis, enantiodromia dan enantiosemy. Di dalam bahasa Jerman disebut gegensinn, sementara pada bahasa Ibrani disebut dengan i‘shon hefech.37 Di antara linguis Arab klasik yang telah mengadakan kajian terhadap masalah al-tadhad adalah Quthrub (w. 206 H), al-Ashma‘i (w. 216 H), al- Sijistani (w. 255 H). Adapun al-Anbari memiliki ketertarikan untuk mela- kukan kajian terhadap al-tadhad tidak terlepas dari munculnya perdebatan di antara linguis Arab setelah Quthrub, al-Ashma’i dan al-Sijistani terhadap fenomena al-tadhad dan al-taraduf. Pernyataan ini dipahami dari ungkapan al-Anbari yang mengatakan penolakan terhadap masalah al-tadhad ialah disebabkan kedangkalan pemahaman makna bahasa dan kaitannya dengan aspek ilmu bahasa dan konteks di luar bahasa.22 Pemikiran al-Anbari dalam bidang linguistik tampaknya memberikan implikasi perbedaan penafsirannya terhadap ayat al-Quran khususnya beberapa ayat yang di dalamnya menggunakan kosa kata at-tadhad, sejumlah kosa kata yang digolongkan al-Anbari sebagai bagian dari at- tadhad dan penggunaannya di dalam al-Quran tidak semuanya diungkap- kan dalam pembahasan ini, penulis mengungkapkan beberapa at-tadhad yang mewakili: a. Huruf, b. Idiomatik, c. Zharaf, d. Fi’il dan e. derivation. 1. Kontranimi pada huruf Di antara huruf yang digolongkan al-Anbari sebagai bagian dari at- tadhad ialah huruf إن (in), menurutnyaإن dapat digunakan untuk makna nafi dan tawkid.9 Sementara al-Farra berpendapat bahwaإن digunakan untuk makna tawkid ketika disertai oleh huruf ام (lam) atau punأال (ala),26 misalnya إن قام لعبد هللا danأال إن قام عبد هللا (ala inna qama ‘abdallah). Hurufإن pada kedua contoh ini diartikan dengan “sungguh”. Al-Akhfasy menga- takan bahwa maknaإن yang terdapat di dalam al-Quran maknanya tidak keluar dari empat kemungkinan, yaitu:38 1) nafi, 2) syarthiyyah, 3) tawkid, dan 4) za’idah. Huruf in dengan makna nafi bisa terjadi apabila huruf tersebut berada pada fi‘il seperti pada surah at-Taubah: 107إن أردنا إال الحسنى (in aradna illa al-husna), atau ketikamasuk kepada kalimat jumlah ismiyyah, misalnya surah al-Mulk: 20 إن الكافرون إال في غرورإن الكافرون إال في غرور (inilkafiruna illa fi ghurur). Dipahami dengan syarthiyyah ialah ketika pola kalimatnya membutuhkan jawab syarat, seperti yang terdapat di dalam surah al-Anfal: 38 233Vol. 14 No. 2 Desember 2018 pada ayat ini terlihat bahwa ,(in yantahu yaghfirlahum) إن ینتھوا یغفرلھم kalimat یغفر merupakan jawab syarat dari kalimat sebelumnya. Makna tawkid lahir dari huruf in ialah ketika masuk kepada jumlah ismiyyah dan posisinya beramal sebagaimana layaknya amal inna, misalnya QS Hud: 1 wa inna) وإن كال لما لیوفینھم ربك أعمالھم11 kull a la mma layuwaffiyannahum rabbuka a’malahum), pada ayat ini dapat dilihat bahwa merupakan كال beramal sebagaimana layaknya inna, di mana kata (in) إن isimnya dan huruf ma sebagai khabarnya. Di samping posisinya dapat beramal sebagaimana layaknya inna, penggunaan إن dengan makna tawkid juga terkadang ditemukan pada kalimat yang tidak ada pengaruh dari in tersebut, misalnya dapat dilihat pada surah az-Zukhruf: 35 wa in kullu dzalik lamma mata’u al-hayat) وإن كلُّ ذلك لما متاع الحیاة الدنیا al-dunya), di dalam ayat ini dapat dilihat bahwa huruf in bermakna inna namun tidak beramal sebagaimana layaknya inna. Selain huruf in yang dijelaskan di atas, al-Anbari22 juga menggolongkan huruf ال sebagai bagian dari at-tadhad, huruf ال adakalanya digunakan untuk makna nafi, nahi dan itsbat.17 Huruf ال dengan makna nafi dan nahi merupakan asli sebagaimana pendapat ahli bahasa dan para mufassir. Perbedaan pemikiran al-Anbari dengan ahli lainnya terlihat ketika dia memberikan interpretasi terhadap huruf ال dengan itsbat. Al-Anbari dalam hal ini memberikan interpretasi terhadap ال yang terdapat dalam QS al- Anbiya: 95 یرجعونالوحرام على قریة أھلكناھا أنھم (wa haram ‘ala qaryatin ahlaknaha annahum la yarji’un). Berkaitan dengan pemikiran al-Anbari ini dapat dipahami bahwa makna itsbat yang dimaksud al-Anbari ialah sebagai penafsiran terhadap ayat tersebut secara keseluruhan bukan itsbat sebagai makna dari huruf ال secara tersendiri. 2. Idiomatik Dari sejumlah lafaz yang disebutkan al-Anbari sebagai bagian dari kata yang memiliki dua makna yang bertentangan ialah disebabkan oleh idiomatik. Di antara kata yang bermakna kontranimi dalam bentuk idiom ialah kata راغ . Pendapat al-Anbari tidak berbeda dengan al-Sijistani yang 234 AFKARUNA mengatakan bahwa kataراغ adakalanya bermakna datang dan pergi.24 Di dalam al-Quran banyak ditemukan penggunaan lafaz راغ . Misalnya di dalam QS ash-Shaffat: 91 dan 93, pada ayat 91 Allah berfirman .(faragha ila alihatihim faqala ala ta’kulun) إلى آلھتھم فقال أال تأكلونفراغ Sementara pada ayat 93 علیھم ضربا بالیمــینفراغ (faragha ‘alayhim dharban bilyamin), kata راغ yang terdapat pada ayat pertama adalah bermaknaذھب , makna kata راغ dalam ayat ini tampaknya sama dengan yang terdapat di dalam surah adz-Dzariyat: 26 yaitu فراغ إلى أھلھ فجآء بعجل سمــین (faragha ila ahlihi fajaa bi ‘ijlin samin “dia pergi kepada istrinya dengan bersembunyi, lalu dia membawa daging sapi yang gemuk”). Makna kata راغ pada kedua ayat di atas tampaknya berbeda dengan makna yang terdapat di dalam surah ash-Shaffat: 93 yang ditafsirkan dengan “datang” 28. أقــبل Maksudnya adalah Ibrahim mendatangi berhala- berhala dan dia memukul berhala tersebut dengan tangan kanannya. Dari pandangan di atas dapat dipahami bahwa keberadaan tadhad pada kata erat kaitannya dengan penggunaan huruf jarr, apabila setelah kata راغ kata tersebut diartikan dengan “pergi”, sebaliknya إلى terdapat huruf راغ apabila sesudah kata راغ terdapat huruf jarrعلـى maka kata tersebut dipahami dengan makna “datang” . 3. Keberadaan at-tadhad pada fi’il Al-Anbari dan sebahagian ahli bahasa mengatakan bahwa kata اشترى termasuk sebagai salah satu kata yang bermakna kontranimi, karena kata tersebut terkadang dapat dimaknai dengan membeli dalam artian menebus sesuatu dengan harga tertentu, dan pada beberapa ungkapan kata tersebut digunakan juga untuk makna menjual, dalam artian sesuatu itu diberikan kepada orang lain ketika telah ditebus atau dibayar dengan harga tertentu. Di antara linguis yang memiliki pandangan sedemikian rupa ialah salah satu al-Sijistani. Dia berpendapat bahwa kata شرى dan اشترى sama-sama digunakan baik untuk makna البیع maupun untuk 24. االشتراء Kataشرى dan derivasinya banyak ditemukan di dalam al-Quran, kesemua kata tersebut secara umum dapat diartikan dalam dua makna yang bertentangan, yaitu menjual dan membeli, pemahaman terhadap kedua makna tersebut tergantung pada dalalah serta siyaq yang digunakan di dalam sebuah 235Vol. 14 No. 2 Desember 2018 kalimat. Diartikan dengan البیع setidaknya ada empat kali yakni QS al- Baqarah: 102, 207, QS an-Nisa: 74, dan QS: Yusuf: 20. Pada ayat-ayat ini kata شرى dan derivasinya diartikan dengan menjual berdasarkan pemaha- man terhadap dalalah dan siyaq kalimatnya. Berkaitan dengan kata isytara yang terdapat di dalam al-Quran, terlihat bahwa dia memberikan interpretasi kepada ayat yang menggunakan kata tersebut dengan melihat dalalah yang terdapat dalam setiap kalimat. Misalnya lafaz اشتروا yang terdapat di dalam QS al-Baqarah: 16 dapat diin- terpretasikan dengan menjual, karena adanya kata ربـح sesudahnya, semen- tara keberuntungan identik dengan perdagangan. 4. Zharaf Menurut al-Anbari kata وراء adakalanya dapat diartikan dengan خلف sebagaimana yang terdapat di dalam QS Hud: 71 إسحاق یعقــوب wamraatuhu qaimat fadhahaqat ) وامرأتھ قائمـة فضحقت فبشرناھا بإسحاق ومن fabasysyarnaha bi ishaq wa min wara’i ishaq ya’qub), pada ayat ini kata wara’a diartikan dengan khalfa ialah karena Ishak merupakan ayah dari Ya‘qub. Adapun kata وراء yang bermaknaأمام ialah seperti yang terdapat di dalam QS al-Kahf: 79. Kata wara’a diartikan dengan amama pada ayat tersebut karena adanya raja yang merusak kapal tersebut memang berada di depan. Contoh lain dapat dilihat pada ayat-ayat tentang azab yang menggunakan kata wara’a, seperti ومـن ورائھ عذاب غلیظ (wamin wara’ihi ‘adzabun ghalidzun), kata wara’a dalam ayat ini tidak dapat diartikan dengan khalfa karena hal ini merupakan peringatan terhadap balasan yang mereka terima di hari mendatang, untuk itu arti yang tepat terhadap kata wara’a yang diiringi dengan lafaz azab ialah بــین یدیـھ (bayna yadayh) atau di depan. Selain kata wara’a, al-Anbari juga mengungkapkan bahwa kata فوق merupakan salah satu dari kata yang memiliki dua makna yang saling bertentangan.17 Di mana pada konteks tertentu lafaz tersebut dapat diartikan dengan lebih besar (األعظم) dan lebih hina (دون) . Quthrub juga memandang bahwa kata fawq merupakan salah satu dari kata tadhad, 236 AFKARUNA dia mengartikan kata tersebut dengan yang lebih tinggi (األرفع) dan yang lebih rendah (األدوان) , akan tetapi dia berbeda dalam memposisikan makna kata tersebut, kata fawq akan bermakna al-adwan jika diikuti olehkata sifat, sepertiإنھ لقلیل فوق القلیل (innahu laqalil fawqa qalil), dan kata fawq bisa bermakna al-arfa‘ jika diikuti oleh kata bendasepertiھذه نملة وفوق النملة (hadzih namlah wa fawq al-namlah). Sebagaimana pendapat ahli bahasa di atas juga diakui oleh tokoh tafsir, salah satunya adalah al-Thabari yang mengatakan bahwa kata fawq meru- pakan salah satu kata yang memiliki dua makna yang saling berlawanan, yang pertama adalah di atas (besar) dari nyamuk yaitu lalat, dan makna yang lain adalah bawah (kecil) dari nyamuk yaitu bisa berarti molekul.39 Ibn Katsir40 juga mengatakan bahwa kataفما فوقھا (fama fawqaha) memiliki dua makna yang berlawanan, yang pertama bermakna lebih hina yang diartikan dengan kecil (shaghir) yang kedua diartikan dengan akbar minha yaitu lebih besar seperti lalat. 5. Derivasi Al-Anbari juga menyoroti masalah bentuk kata yang tidak dapat diterjemahkan sesuai dengan shighatnya melainkan harus diterjemahkan dengan makna bentuk lain, seperti fa’il yang harus diterjemahkan dengan maf’ul atau sebaliknya. Penggunaan kata dengan bentuk seperti ini banyak ditemukan di dalam al-Quran seperti lafaz alim, tabi‘, hadhim dan sami‘. Misalnya kata alim terdapat di dalam QS al-Baqarah: 10 ألیمولھم عذاب (wa lahum ‘adzabun alimun), kata tabi‘ misalnya dapat dilihat pada QS al-Isra: 69 تبیعاثم ال تجدوا لكم علینا بـھ , makna kata tabi‘ dalam ayat ini adalah fa‘il. Sementara penggunaan kata hadhim ialah dapat dilihat pada QS asy-Syu‘ara: 148 ھضیموزروع ونخل طلعھا , kata hadhim dalam ayat ini juga bermakna fa‘il, penggunaan kata sami‘ sendiri banyak ditemukan di dalam al-Quran, salah satunya ialah pada surah al-Baqarah: 227 .kata sami‘ pada ayat tersebut ialah bermakna fa‘il , علیمسمیعإن هللا Keberadaan makna kontramini pada beberapa contoh di atas menurut al- Anbari ialah terdapat pada pengalihan makna dari sebuah bentuk kata menjadi makna bentuk lainnya. Satu kata memiliki dua atau tiga makna bahkan memiliki arti kontradiksi 237Vol. 14 No. 2 Desember 2018 sebagaimana pandangan al-Anbari adalah fenomena lumrah dalam bahasa. Menurut Bloomfield makna satu kata bisa beragam, jika situasi dan kondisinya menghendaki demikian, begitu juga satu kata digunakan pada daerah yang berbeda menentukan makna kata itu sendiri.41 Stern juga mengungkapkan dalam proses menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur kejiwaan seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun pengalaman merupakan hal yang tidak dapat diabaikan.42 Karena semua unsur ini dapat membentuk makna sebuah lafaz atau kata, maka untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap teks seseorang tidak dapat melepaskan diri dari berbagai aspek di luar teks. PENUTUP Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pemikiran al-Anbari dalam bidang linguistik khususnya pada aspek nahwu dan sharaf menjadi dasar dalam mengungkap makna yang terdapat dalam kalimat. Dalam artian pola kalimat dan bentuk kata menurut al-Anbari sebagai representasi dari makna sebuah kata. Menurut al-Anbari setiap aturan yang terdapat dalam sintaksis bahasa Arab adalah sebagai wujud dari makna yang dikandung sebuah kalimat. Begitu juga di dalam aspek morfologis, al-Anbari berpendapat bahwa setiap bentuk derivasi memiliki makna khusus, namun terkadang penggunaan sebuah bentuk kata untuk makna lain sering ditemukan di dalam al-Quran. Pemikiran linguistik al-Anbari sebagaimana diungkapkan di atas menunjukkan dia berpandangan bahwa makna bahasa Arab muncul dari tanda-tanda kebahasaan dan tidak cukup hanya memaknai secara leksikal saja. Hal ini memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penafsiran ayat-ayat al-Quran khususnya ayat al-Quran yang menggunakan kosa kata yang tergolong kepada kontranimi. Kontribusi pemikiran linguistiknya terhadap penafsiran ayat al-Quran ialah terlihat pada konsistensi dan kompleksitas perhatiannya dalam mengungkap makna, yaitu Selain melihat makna secara leksikal al-Anbari juga mempertimbangkan makna grama- tikal, derivasi kata dan konteks di luar bahasa, pertimbangan terhadap konteks kebahasaan dan Konteks di luar bahasa inilah yang mengilhami seorang interpreter mendapatkan pemahaman adanya makna kontramini. 238 AFKARUNA ENDNOTES 1 J. Al-Subhani, “Al-Manahij at-Tafsiriyyah.” Dar al-Fikr, Beirut, p. 58, 1998. 2 I. S. Dewi, “Bahasa Arab dan Urgensinya dalam Memahami Al-Qur’an,” Kontemplasi, vol. 4, no. 1, pp. 39–50, 2016. 3 A. A. W. Wafi, “Ilmu al-Lughah.” Dar al-Tsaqafah, Beirut, pp. 186–187, 2004. 4 A. B. A. ibn ‘Ali al-K. al-Baghdadi, Tarikh Baghdad. Kairo: As-Sa’adah, 2008. 5 Y. al-H. al-Rumi, “Mu’jam al-Udaba’.” Dar al-Gharb al-Islamy, Beirut, p. 318, 1993. 6 F. Abbas, “Mashadir al-Dirasah bayn al-Bashriyin wa al-Kufiyyin,” Majallah al- Lughah wa al-Ittishal, vol. 12, no. 20, pp. 11–27, 2017. 7 M. Kantawi, “al-Sima’ Bayn al-Bashriyin wa al-Kufiyin: Muqarabah fi al- Manhaj,” Majallah “Muntadi al-Ustadz,” vol. 11, no. 2, pp. 139–158, 2011. 8 H. S. H. S. Ad-Damin, “Ibn al-Anbari Abu Bakr Muhammad ibn al-Qasim (w. 328 H) Siratuhu wa Mu’allifatuh.” Dar al-Basya’ir, Damaskus, p. 24, 2006. 9 A. B. M. ibn al-Q. ibn B. Al-Anbari, Kitab al-Addad. Kuwait: Maktabah al- ’Ashriyyah, 1960. 10 M. H. ’ali Yasin, “al-Adhdhad fi al-Lughah al-’Arabiyah.” Dar al-Tsaqafah, Baghdad, p. 3, 1997. 11 T. Hassan, “Al-Ushul: Dirasah Efistimulujiyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Ind al- ‘Arab.” al-Hay’ah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, p. 325, 1979. 12 M. Ilyas, “al-Qiyas fi al-Nahw.” Dar al-Fikr, Beirut, p. 102, 1996. 13 A. B. M. ibn al-Q. ibn B. Al-Anbari, “Syarh al-Qasha’id as-Sab‘i ath-Thiwal al- Jahiliyat.” Dar al-Ma’arif, Kairo, p. 103, 1982. 14 A. al-F. ‘Utsman Ibn Jinni, “al-Khashaish.” al-Hay’ah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, Kairo, p. 35, 1983. 15 A. A. J. Al-Karim, “al-Ma’na wa al-Nahw.” Maktabah al-Adab, Kairo, p. 35, 2002. 16 S. Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, 6th ed. Kairo: al-Halibi, 1972. 17 A. B. M. ibn al-Q. ibn B. Al-Anbari, “al-Adhdhad.” Majma’ al-Lughah al- ’Arabiyyah, Damaskus, p. 35, 1971. 18 A. al-Q. Mahmud bin ’Umar, “al-Muhajah bi al-Masail al-Nahwiyyah.” Maktabah As’ad, Baghdad, p. 78, 1973. 19 al-Asymuni, “Syarh Alfiyah Ibn Malik.” Dar al-Fikr, Kairo, p. 98, 1974. 20 ‘Abdurrahman ibn Abu Bakr Jalaluddin Al-Suyuthi, “Hama‘ al-Hawami‘ Syarh Jam‘u Jawami‘.” Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Kairo, p. 125, 1996. 21 A. B. M. ibn al-Q. ibn B. Al-Anbari, “al-Mudzakkar wa al-Muannats.” Dar al- Raid al-’Arabiyyah, Beirut, p. 29, 1986. 22 M. bin al-Q. al-Anbari, Kitab al-Adhdad, no. 3. Kuwait: Turats al-’Arab, 1960. 23 al-K. bin A. al-Farahidi, “Kitab al-Jumal fi al-Nahw.” Muassasah al-Risalah, Beirut, p. 204, 1985. 24 A. H. al-Sijistani, “al-Adhdhad.” Maktabah Lubnan, Beirut, p. 106, 1981. 25 A. al-H. S. ibn M. Al-Akhfasy, “Kitab Ma’ani al-Quran.” Maktabah al-Khaniji, Kairo, p. 645, 1991. 26 A. Z. Y. bin Z. Al-Farra, “al-Mudzakkar wa al-Mu’annats.” Dar al-Kutub al- 239Vol. 14 No. 2 Desember 2018 Mishriyyah, Kairo, p. 247, 1975. 27 A.-H. ibn Q. Al-Muradi, “al-Jina fi Huruf al-Ma’ani.” al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, p. 214, 1992. 28 M. H. Jabal, “Difa’ ‘An al-Qur’an al-Karim Ashalah al-I’rab wa Dalalatuhu ‘ala al-Ma’ani fi al-Qur’an al-Karim wa al-Lughah al-’Arabiyyah.” al-Azhar, Kairo, p. 203, 2009. 29 H. Nahar, “‘Ilm al-Dalalah al-Tathbiqi fi al-Turats al-’Araby.” Dar al-Amal li al- Nasyr wa al-Tawji’, Yordania, pp. 86–87, 2007. 30 J. al-D. Al-Suyuthi, ‘Abdurrahman ibn Abu Bakr Jalaluddin. al-Mahalli, Tafsir al-Jalalayn, no. X. Amman: Dar al-Bisyr, 2007. 31 U. (Universitas I. N. R. F. P. Albab, “Performansi dan Gramatika Bahasa Arab Sebagai Bahasa Kedua,” Arab. J. Pendidik. Bhs. Arab dan Kebahasaaraban, vol. 2, no. 1, pp. 75–85, 2015. 32 B. (Universitas M. S. B. Ritonga, Mahyudin, Alrasi, Fitri, “Dirasah Tahliliyah ‘an Ahammiyah Ma’rifah al-Tashrif fi Fahmi al-Lughah al-’Arabiyyah,” Arab. J. Bhs. Arab, vol. 2, no. 1, pp. 23–34, 2018. 33 A. M. al-Tsa’laby, “Fiqh al-Lughah wa Asrar al-’Arabiyyah.” al-Maktabah al- ’Ashriyyah, Beirut, p. 356, 2008. 34 A.-Z. Mounah, “Zhahirah al-Tadhad fi Lughat al-Dhad wa Atsaruha fi Tafsir al-Quran al-Karim,” Thesis, vol. 1, no. 1, p. 32, 2008. 35 E. S. Obeidat and A.-R. Abu-Melhim, “Lexical Relations Between English and Arabic: The Role of The Translator,” Int. J. English Lang. Linguist. Res., vol. 25, no. 4, pp. 639–651, 2017. 36 I. Adrian, “al-Adldad: Sebuah Fenomena Pertentangan Makna dalam Linguistik Arab,” OKARA, vol. 2, no. 6, pp. 149–160, 2011. 37 R. Lederer, Crazy English, no. 2. 1989. 38 A. al-H. S. bin M. al-Akhfasy, Kitab Ma’ani al-Qur’an, vol. 1, no. 29. Kairo: Maktabah al-Khaniji, 2009. 39 I. A. J. bin M. J. Al-Thabary, “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Quran.” Dar al-Fikr, Beirut, p. 178, 1973. 40 A. Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, no. 8. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004. 41 A. M. ’Umar, ’Ilmu al-Dalalah, no. 5. Kairo: Maktabah Lisan al-’Arab, 1998. 42 H. . Stern, Fundamental Concepts of Language Teaching, no. 1. Oxford: Oxford University Press, 1991. DAFTAR PUSTAKA A. Bin Muhammad. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ad-Damin, H. S. H. S. 2006. Ibn al-Anbari Abu Bakr Muhammad ibn al-Qasim (w. 328 H) Siratuhu wa Mu’allifatuh. Damaskus: Dar al-Basya’ir. al-Akhfasy, A. al-H. S. bin M. 2009. Kitab Ma’ani al-Qur’an. (H. M. Qiro’ah, Ed.) (Vol. 1). Kairo: Maktabah al-Khaniji. Retrieved from http://www.alukah.net Al-Akhfasy, A. al-H. S. ibn M. 1991. Kitab Ma’ani al-Quran. Kairo: Maktabah al- http://www.alukah.net 240 AFKARUNA Khaniji. Al-Anbari, A. B. M. ibn al-Q. ibn B. 1960. Kitab al-Addad. (M. A. al-F. Ibrahim, Ed.). Kuwait: Maktabah al-’Ashriyyah. Al-Anbari, A. B. M. ibn al-Q. ibn B. 1971. al-Adhdhad. Damaskus: Majma’ al- Lughah al-’Arabiyyah. Al-Anbari, A. B. M. ibn al-Q. ibn B. 1982. Syarh al-Qasha’id as-Sab‘i ath-Thiwal al- Jahiliyat. Kairo: Dar al-Ma’arif. Al-Anbari, A. B. M. ibn al-Q. ibn B. 1986. al-Mudzakkar wa al-Muannats. Beirut: Dar al-Raid al-’Arabiyyah. al-Asymuni. 1974. Syarh Alfiyah Ibn Malik. Kairo: Dar al-Fikr. al-Baghdadi, A. B. A. ibn ‘Ali al-K. 2008. Tarikh Baghdad. Kairo: As-Sa’adah. al-Farahidi, al-K. bin A. 1985. Kitab al-Jumal fi al-Nahw. Beirut: Muassasah al- Risalah. Al-Farra, A. Z. Y. bin Z. 1975. al-Mudzakkar wa al-Mu’annats. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah. Al-Karim, A. A. J. 2002. al-Ma’na wa al-Nahw. Kairo: Maktabah al-Adab. Al-Muradi, A.-H. ibn Q. 1992. al-Jina fi Huruf al-Ma’ani. Beirut: al-Kutub al- ’Ilmiyah. al-Rumi, Y. al-H. 1993. Mu’jam al-Udaba’. Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy. al-Sijistani, A. H. 1981. al-Adhdhad. Beirut: Maktabah Lubnan. Al-Subhani, J. 1998. al-Manahij at-Tafsiriyyah. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Suyuthi, ‘Abdurrahman ibn Abu Bakr Jalaluddin. 2007. Tafsir al-Jalalayn. Amman: Dar al-Bisyr. Al-Suyuthi, ‘Abdurrahman ibn Abu Bakr Jalaluddin. 1996. Hama‘ al-Hawami‘ Syarh Jam‘u Jawami‘. Kairo: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah. Al-Thabary, I. A. J. bin M. J. 1973. Jami’ al-Bayan “an Ta’wil al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. al-Tsa’laby, A. M. 2008. Fiqh al-Lughah wa Asrar al-’Arabiyyah. Beirut: al-Maktabah al-’Ashriyyah. Albab, U. (Universitas I. N. R. F. P. 2015. Performansi dan Gramatika Bahasa Arab Sebagai Bahasa Kedua. Arabiyat: Jurnal Pendidikan Bahasa Arab Dan Kebahasaaraban, 2 (1), 75–85. Retrieved from http://journal.uinjkt.ac.id/ index.php/ arabiyat Arabiyât A.-Z. Mounah, 2008. “Zhahirah al-Tadhad fi Lughat al-Dhad wa Atsaruha fi Tafsir al-Quran al-Karim,” Thesis, Vol. 1. No. 1. Dewi, I.S. 2016. “Bahasa Arab dan Urgensinya dalam Memahami Al-Qur’an,” Kontemplasi, vol. 4, no. 1, pp. 39–50. Dhaif, S. 1972. al-Madaris al-Nahwiyyah. Kairo: al-Halibi. E. S. Obeidat and A.-R. Abu-Melhim. 2017. “Lexical Relations Between English and Arabic: The Role of The Translator,” Int. J. English Lang. Linguist. Res. Vol. 25, No. 4. F. Abbas. 2017. “Mashadir al-Dirasah bayn al-Bashriyin wa al-Kufiyyin,” Majallah al-Lughah wa al-Ittishal. Vol. 12. No. 20. Hassan, T. 1979. al-Ushul: Dirasah Efistimulujiyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Ind al-‘Arab. http://journal.uinjkt.ac.id/ 241Vol. 14 No. 2 Desember 2018 Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab. H. . Stern. 1991. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press. I. Adrian, 2011. “al-Adldad: Sebuah Fenomena Pertentangan Makna dalam Linguistik Arab,” OKARA. Vol. 2. No. 6. Ibn Jinni, A. al-F. ‘Utsman. 1983. al-Khashaish. Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah al- ‘Ammah li al-Kitab. Ibn Katsir, 1996. Tafsir ibn Katsir. Beirut: Dar al-Fikr. Ilyas, M. 1996. al-Qiyas fi al-Nahw. Beirut: Dar al-Fikr. Jabal, M. H. 2009. Difa’ “An al-Qur”an al-Karim Ashalah al-I’rab wa Dalalatuhu “ala al-Ma”ani fi al-Qur’an al-Karim wa al-Lughah al-’Arabiyyah. Kairo: al-Azhar. Mahmud bin ’Umar, A. al-Q. 1973. al-Muhajah bi al-Masail al-Nahwiyyah. Baghdad: Maktabah As’ad. M. Kantawi. 2011. “al-Sima’ Bayn al-Bashriyin wa al-Kufiyin: Muqarabah fi al- Manhaj,” Majallah “Muntadi al-Ustadz,” Vol. 11, No. 2. Nahar, H. 2007. “Ilm al-Dalalah al-Tathbiqi fi al-Turats al-’Araby. Yordania: Dar al- Amal li al-Nasyr wa al-Tawji’. R. Lederer. 1989. Crazy English. New York: Cambridge University. Ritonga, Mahyudin, Alrasi, Fitri, B. (Universitas M. S. B. 2018. Dirasah Tahliliyah “an Ahammiyah Ma’rifah al-Tashrif fi Fahmi al-Lughah al-’Arabiyyah. Arabiyatuna: Jurnal Bahasa Arab, 2 (1), 23–34. Retrieved from http:// journal.staincurup.ac.id/ index.php/ARABIYATUNA/article/view/333/pdf ’Umar, Ahmad. 1998. ’Ilmu al-Dalalah. Kairo: Maktabah Lisan al-’Arab. Wafi, A. A. W. 2004. Ilmu al-Lughah. Beirut: Dar al-Tsaqafah. Yasin, M. H. ’Ali. 1997. al-Adhdhad fi al-Lughah al-’Arabiyah. Baghdad: Dar al- Tsaqafah. http://