Pengantar JULI 2016.pmd


SRIYADI
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
sriyadi_s@yahoo.co.id

Model Pengembangan Agrowisata
Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus
di Desa Kebon Agung Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul DIY)

ABSTRACT
The purpose of this study is to provide an
explanation of agrotourism development
model, based on local wisdom. In the first
year, the study aims to determine the im-
pact of agrotourism development on in-
creasing value-added agricultural products,
farmers’ income level and distribution of
farmers’ income. Research carried out by
survey and interviews with farmers and
stakeholders as well as field observation.
The result shows that the development of
agrotourism can encourage farmers to do
the processing of agricultural products and
improve farming management both on-
farm and off-farm, which in turn can in-
crease the income of farm households sig-
nificantly. The study recommends to opti-
mize the processing of agricultural prod-
ucts and improve farming management

both on-farm and off-farm.
KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: agrotourism, processing, farming

INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang model
pengembangan agrowisata berbasis kearifan lokal. Pada tahun pertama, penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dampak pengembangan agrowisata terhadap
peningkatan nilai tambah produk pertanian, mengetahui dampak pengembangan
agrowisata terhadap tingkat pendapatan petani dan mengetahui dampak
pengembangan agrowisata terhadap distribusi pendapatan petani. Penelitian
dilakukan dengan survei wawancara dengan petani dan pihak terkait serta obervasi
lapangan. Pengembangan agrowisata mendorong masyarakat melakukan
pengolahan hasil-hasil pertanian, meningkatkan pengelolaan usahatani dan
pengelolaan di luar usahatani, dan dari hasil pengolahan hasil-hasil pertanian,
pengelolaan usahatani dan pengelolaan kegiatan di luar usahatani dapat
meningkatkan pendapatan rumah tangga petani yang cukup signifikan.
Direkomendasikan untuk mengoptimalkan pengolahan hasil-hasil pertanian,
pengelolaan usahatani dan pengelolaan kegiatan di luar usahatani.
Kata kunciKata kunciKata kunciKata kunciKata kunci: agrowisata, pengolahan hasil, usahatani

PENDAHULUAN
Pembangunan berkelanjutan adalah proses yang memiliki dimensi

ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan-ekologi. Proses ini dianggap
sebagai perkembangan dalam semua hal bagi masyarakat perkotaan
maupun pedesaan. Namun di sebagian besar negara berkembang,
penduduk pedesaan makin berkurang, sementara lahan pertanian yang
kehilangan produktivitasnya meningkat. Situasi ini menjadi penyebab
utama dalam peningkatan kemiskinan masyarakat pedesaan, juga
menyebabkan masalah seperti kerugian deforestasi, erosi dan produktivitas
dengan penyalahgunaan sumber daya alam. Disisi lain, kerusakan sumber

DOI:10.18196/agr.2236



153
Vol.2 No.2 Juli 2016

daya alam memunculkan masalah sepert imigrasi,
kemiskinan dan kelaparan. (Akpinar et. al., 2004)

Pengembangan kawasan pedesaan berbasis pertanian
semakin digalakkan di berbagai wilayah. Kegiatan ini
dilakukan untuk mengembangkan potensi wilayah
pedesaan, yang dalam kurun waktu sebelumnya telah
mengalami ketimpangan wilayah pembangunan. Di masa
lalu pembangunan banyak diprioritaskan untuk wilayah
perkotaan, sehingga wilayah pedesaan mengalami
ketertinggalan di segala sektor, khususnya untuk sektor
pertanian. Padahal di wilayah pedesaan, pertanian
merupakan sektor yang sangat dominan. Gejala adanya
ketimpangan antara lain ditunjukkan dengan banyaknya
generasi muda pedesaan yang mengadu nasib di
perkotaan, sehingga terjadi keterlantaran di sektor tenaga
kerja di pedesaan (Arifin, 2007). Sementara itu,
keterbatasan lahan menyebabkan skala usahatani kecil
menjadi tidak efisien sehingga pendapatan petani rendah.
Kondisi ini menurunkan motivasi masyarakat pedesaan
untuk bekerja di sektor pertanian.

Dalam upaya mengantisipasi ketimpangan wilayah dan
mengembangkan wilayah pedesaan, pemerintah mulai
menggiatkan pembangunan sosial dan ekonomi
pedesaan, antara lain pengembangan agribisnis pedesaan
dan program agrowisata pedesaan. Pengembangan
agribisnis pedesaan dimaksudkan untuk meningkatkan
nilai tambah produk pertanian dengan harapkan dapat
meningkatkan pendapatan petani. Adapun agrowisata
merupakan salah satu cara pengembangan pertanian di
pedesaan, dengan dilatarbelakangi adanya beberapa
kendala pengembangan sektor pertanian skala besar, dan
adanya potensi wilayah pedesaan yang menarik bagi
wisatawan. Kendala utama pengembangan sektor
pertanian skala besar di wilayah pedesaan antara lain
kondisi kepemilikan lahan sebagian besar petani sangat
sempit dan sebagian besar petani miskin. Di lain pihak
ternyata wilayah pedesaan menyimpan potensi yang
sangat menarik untuk dikembangkan dengan agrowisata
melalui potensi agroekosistem, terutama yang
menyangkut keaslian alam, keragaman komoditas
pertanian, kekhasan adat istiadat, seni dan budaya.
Kondisi wilayah pedesaan yang khas ini ternyata sangat
bervariasi untuk setiap wilayah, sehingga dapat memikat
kalangan wisatawan (Arifin, 2007). Kondisi tersebut juga
dimiliki oleh Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri
Kabupaten Bantul yang tengah dikembangkan sebagai
kawasan agrowisata sehingga mendapat peringkat III
Nasional desa wisata tahun 2010

(www.desakebonagung.com). Potensi tersebut tengah
dikembangkan secara serius agar disamping dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya para
petani, juga agar dapat menjadi pioner pengembangan
agrowisata di daerah lain yang belum terjamah atau
tertangani.

Secara garis besar wilayah desa ini sangat menarik
untuk dikembangkan karena menyimpan berbagai
potensi yang dapat dijual kepada wisatawan. Lokasi Desa
Kebon Agung terletak pada jalur wisata dari pusat Kota
Yogyakarta ke arah makam raja-raja Mataram dan Pantai
Parangtritis. Lahan pertanian di Desa Kebon Agung
didominasi dengan tanaman padi dan hortikultura, dan
hampir seluruh masyarakat mempunyai lahan sawah
karena tersedia saluran irigasi bendungan dan kondisi
tanah subur. Selain sebagai sumber irigasi, bendungan
dapat dikembangkan sebagai wisata air. Di samping
berusaha tani padi, masyarakat sudah mengembangkan
usaha di bidang perikanan, peternakan, pengolahan
limbah ternak menjadi pupuk organik, dan pertanian
organik. Usaha pengolahan hasil pertanian telah
dikembangkan dalam bentuk industri rumah tangga
kerajinan dan kuliner.

Secara sosial masyarakat cukup antusias untuk
mengembangkan wilayah pedesaan, khususnya untuk
pengembangan agrowisata, yang memang selama ini telah
sering didatangi oleh wisatawan domestik dan asing.
Kelembagaan pemerintahan dan kelompok tani sangat
mendukung untuk pengembangan agrowisata karena
daerah ini merupakan salah satu kawasan pengembangan
agropolitan Kabupaten Bantul. Selain itu di desa tersebut
terdapat Museum Tani Jawa yang menyingkap berbagai
budaya dan kearifan lokal pertanian setempat.

Namun demikian keberadaan potensi agrowisata ini
masih perlu dikembangkan mengingat jumlah
wisatawan/pengunjung masih lebih rendah dibanding
daerah lain pada jalur kawasan wisata di Propinsi D.I.
Yogyakarta. Kunjungan wisata di Kabupaten Bantul masih
didominasi kawasan pantai khsususnya Pantai
Parangtritis. Sementara itu pendapatan obyek wisata
Kabupaten Bantul tahun 2010 baru mencapai 5,41% (BPS
Bantul, 2011). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas,
maka perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang
potensi wilayah untuk mendukung pengembangan
agrowisata berbasis kearifan lokal. Bagaimana dampak
pengembangan agrowisata terhadap pendapatan
masyarakat petani, serta bagaimana tingkat keberlanjutan
model pengembangan agrowisata tersebut.



154
Jurnal AGRARIS

Tulisan ini mencoba untuk mengungkap bagaimana
dampak pengembangan agrowisata terhadap peningkatan
nilai tambah produk pertanian, pendapatan petani dan
distribusi pendapatan petani.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analitis, yang dirancang untuk mengumpulkan
informasi-informasi tentang keadaan nyata sekarang yang
sedang berlangsung (Sugiyono, 2014; Galo, 2002; Azwar,
2000). Penelitian model pengembangan agrowisata
berbasis kearifan lokal di Desa Kebon Agung Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta
dilakukan dengan metode survei pada petani/pelaku
agribisnis dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan
agrowisata di wilayah kasus, sebagai obyek penelitian.
Desa Kebon Agung merupakan sentra pengembangan
agrowisata di Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul yang
berhasil meraih penghargaan sebagai Juara III Desa
Wisata Nasional tahun 2010. Desa Kebon Agung terdiri
atas lima wilayah pedukuhan, yang sebagian besar
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani dan
pengrajin (industri rumah tangga). Sampel petani/pelaku
agribisnis sebanyak 100 diambil dari masing-masing
pedukuhan secara proporsional random sampling.
Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi dan
wawancara dengan menggunakan kuesioner. Observasi
dilakukan ke titik-titik wilayah yang berpotensi atau
mendukung agrowisata, meliputi kebun, perumahan
petani, sarana dan prasarana pertanian seperti
bendungan, kolam, saluran air pengairan, kandang, unit
produksi, dan sarana-sarana lain yang mendukung
terciptanya agrowisata, seperti penginapan, areal parkir,
dan kondisi jalan. Untuk menggali infromasi lebih dalam
dilakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan
kelompok tani, tokoh masyarakat dan pemerintah.

Teknik pengolahan data yang akan digunakan adalah
dengan menggunakan teknik induktif, yaitu dari fakta
dan peristiwa yang diketahui secara konkrit, kemudian
digeneralisasikan ke dalam suatu kesimpulan yang
bersifat umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang
empiris tentang lokasi penelitian. Moleong (2000)
mengatakan, bahwa dengan menggunakan analisis secara
induktif, berarti pencarian data bukan dimaksudkan
untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan
sebelum penelitian dilakukan. Untuk mengetahui
dampak sosial ekonomi masyarakat petani dianalisis

menggunakan analisis pendapatan, nilai tambah dan
indeks gini ratio. Dampak pengembangan agrowisata
terhadap pendapatan masyarakat petani dapat dilihat dari
peningkatan nilai tambah produk pertanian, tingkat
pendapatan masyarakat petani dan distribusi pendapatan
masyarakat. Nilai tambah agroindustri pariwisata dapat
dinalisis dengan format anaisis nilai tambah berikut.

TABEL 1. FORMAT PERHITUNGAN NILAI TAMBAH

No Ketarangan  
1 Bahan baku (kg/bln) a 
2 Harga bahan baku (Rp/kg) b 
3 Hasil produksi (unit/bln) c 
4 Faktor konversi c/a = h 
5 Harga produk rata-rata (Rp/unit) d 
6 Tenaga kerja (HOK/bln) e 
7 Koefisien tenaga kerja e/a = i 
8 Upah rata-rata (Rp/HOK) f 
9 Input lain (Rp/kg bahan baku) g 
10 Nilai produk (Rp/kg) h x d = j 
11 a. Nilai tambah (Rp/kg) 

b. Rasio nilai tambah 
j – g – b = k 
k/j x 100% = l % 

12 a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) 
b. Bagian tenaga kerja 

i x f = m 
m/k x 100% = n % 

13 a. Keuntungan (Rp/kg) 
b. Tingkat keuntungan 

k – m = o 
o/j x 100% = p% 

Sumber: Armand Sudiyono (2004)

Pendapatan masyarakat adalah total pendapatan yang
diperoleh dari usahatani, usaha pengolahan hasil
pertanian dan luar usahatani. Pendapatan usahatani dan
pengolahan hasil pertanian dihitung berdasarkan analisis
biayadan pendapatan dapat diketahui dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

a. Biaya
Total biaya (TC) adalah biaya implisit total ditambah

dengan biaya eksplisit yang dinyatakan dalam rumus
sebagai berikut:

TC = TIC + TEC
Keterangan :
TC = Total cost
TIC = Total implisit cost
TEC = Total eksplisit cost

b. Pandapatan
Dalam penghitugan pendapatan yang telah dicapai

oleh petani padi dapat dihitung dengan rumus:
NR = TR – TEC
Keterangan :
NR = Pendapatan



155
Vol.2 No.2 Juli 2016

TR = Penerimaan
TEC = Biaya eksplisit

c. Total pendapatan keluarga = pendapatan usahatani
+ pendapatan pengolahan usahatani + pendapatan luar
usaha pertanian

Untuk mengukur distribusi pendapatan digunakan
indeks gini ratio yang dihitung sebagai berikutm. Mula-
mula pendapatan petani diurutkan dari terendah sampai
tertinggi, selanjutnya dibagi menjadi lima kelompok,
masing-masing kelas dibuat persentase kumulatifnya.
Selanjutnya Nilai Gini Ratio dihitung sebagai berikut :

Keterangan:
Fi = persentase kumulatif rumah tangga petani klas i

Yi = persentasi kumulatif pendapatan petani klas i

Y
i
-
1
= persentase kumulatif pendapatan petani klas

sebelumnya
Nilai GR berkisar antara 0 – 1, makin tinggi nilai

GR, maka distribusi pendapatan makin tidak merata.

HASIL DAN PEMBAHASAN
NILAI TAMBAH PRODUK PERTANIAN (PENDAPATAN
INDUSTRI)

Biaya produksi tempe
Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan oleh

pengrajin dalam proses produksi. Dalam industri tempe,
biaya yang digunakan meliputi biaya sarana produksi,
biaya tenaga kerja, dan biaya penyusutan alat sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 2. Rincian biaya menunjukkan
bahwa untuk sarana produksi bahan baku kedelai
memiliki prosentase paling besar (68,68%) dibandingkan
sarana produksi lainnya, seperti bahan tambahan dan
biaya penyusutan, bahkan untuk biaya tenaga kerja luar
keluarga tidak ada (0,00 %).

Penerimaan dan pendapatan industri tempe
Penerimaan merupakan jumlah produksi dikalikan

dengan harga jual persatuan output, sedangkan
pendapatan adalah semua penerimaan yang diperoleh
dari hasil produksi tempe setelah dikurangi dengan biaya
produksi. Dilihat dari penerimaan dan pendapatan rata-
rata yang diperoleh pengrajin, industri tempe dapat

TABEL 2. RATA-RATA BIAYA PRODUKSI TEMPE DI DESA KEBON AGUNG

Uraian 
Kapasitas Kedelai (Kg) 
Sekali 
(40 kg) 

Per Minggu 
(120 Kg) 

Per Bulan 
(480 Kg) 

Per Tahun 
(6.480 Kg) 

1. Biaya (Rp) 
    - B. Baku Kedelai 
    - B. Tambahan 
    - B. Penyusutan 
    - B. Tenaga Kerja 
    Total 
2. Biaya (%) 
    - B. Baku Kedelai 
    - B. Tambahan 
    - B. Penyusutan 
    - B. Tenaga Kerja 
    Total 

 
272.000 
113.280 
10.783 
0 
396.063 

 
68,68 
28,60 
2,72 
0,00 
100,00 

 
816.000 

339.840 
32.349 
0 
1.188.189 
 
68,68 
28,60 
2,72 
0,00 
100,00 

 
.264.000 

1.359.360 
129.396 
0 
4.752.756 
 
68,68 
28,60 
2,72 
0,00 
100,00 

 
44.064.000 

18.351.360 
1.746.846 
0 
64.162.206 
 
68,68 
28,60 
2,72 
0,00 
100,00 

Uraian 
Kapasitas Kedelai (Kg) 
Sekali 
(40 kg) 

Per Minggu 
(120 Kg) 

Per Bulan 
(480 Kg) 

Per Tahun 
(6.480 Kg) 

1. Produksi (biji) 
2. Harga per biji (Rp) 
3. Penerimaan (Rp) 
4. Biaya Produksi (Rp) 
5. Pendapatan (Rp) 

2.200 
250 
550.000 
396.063 

153.937 

6.600 
250 
1.650.000 
1.188.189 
461.811 

26.400 
250 
6.600.000 
4.752.756 
1.847.244 

356.400 
250 
89.100.000 
64.162.206 
24.937.794 

TABEL 3. RATA-RATA PENERIMAAN DAN PENDAPATAN INDUSTRI TEMPE DI DESA KEBON AGUNG



156
Jurnal AGRARIS

dipandang sebagai usaha menarik untuk ditekuni sebagai
tambahan pendapatan keluarga (Tabel 3).

Tabel 3 menunjukkan bahwa industri tempe
menghasilkan rata-rata penerimaan sebesar Rp6,6 juta per
bulan atau Rp89,1 juta per tahun; dengan rata-rata
pendapatan per bulan mencapai Rp1,85 juta atau Rp24,9
juta per tahun. Pendapatan tersebut diperoleh dengan
mempekerjakan 3 tenaga kerja keluarga, sehingga
pendapatan per orangnya mencapai Rp8.3 juta per tahun
atau Rp693 ribu per bulan.

Biaya produksi emping melinjo
Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan oleh

pengrajin dalam proses produksi, yang meliputi biaya
sarana produksi, biaya tenaga kerja, dan biaya penyusutan
alat (Tabel 4).

TABEL 4. RATA-RATA BIAYA PRODUKSI EMPING MELINJO DI DESA KEBON
AGUNG

Uraian 
Kapasitas Melinjo (Kg) 
Per Bulan (145 kg) Per Tahun (1740kg) 

1. Biaya (Rp) 
    - B. Baku Melinjo (Klathak) 
    - B. Tambahan 
    - B. Penyusutan 
    - B. Tenaga Kerja 
    Total 
2. Biaya (%) 
    - B. Baku Melinjo (Klathak) 
    - B. Tambahan 
    - B. Penyusutan 
    - B. Tenaga Kerja 
    Total 

 
1.377.500 
75.000 
4.680 
0 
1.457.180 
 
94,53 
5,15 
0,32 
0,00 
100,00 

 
16.530.000 
900.000 
56.160 
0 
17.486.160 
 
94,53 
5,15 
0,32 
0,00 
100,00 

Tabel 4 menunjukkan bahwa biaya sarana produksi
bahan baku melinjo (klathak) memiliki prosentase paling
besar (94,53 %) dibandingkan sarana produksi lainnya
seperti bahan tambahan, biaya penyusutan, biaya tenaga
kerja; sedangkan prosentase biaya terkecil adalah biaya
tenaga kerja luar keluarga (0,00 %).

Penerimaan dan pendapatan emping melinjo
Penerimaan merupakan jumlah produksi dikalikan

dengan harga jual persatuan output, sedangkan
pendapatan adalah semua penerimaan yang diperoleh
dari hasil produksi emping melinjo setelah dikurangi
dengan biaya produksi. Dilihat dari penerimaan dan
pendapatan (Tabel 5), industri tempe sedikit lebih tinggi
dibandingkan industri emping melinjo. Industri emping

melinjo menghasilkan rata-rata penerimaan sebesar
Rp2,5 juta per bulan atau Rp30 juta per tahun; dengan
rata-rata pendapatan per bulan mencapai Rp1 juta atau
Rp12,7 juta per tahun.

TABEL 5. RATA-RATA PENERIMAAN DAN PENDAPATAN INDUSTRI EMPING
MELINJO DI DESA KEBON AGUNG

Uraian 
Kapasitas Melinjo (Kg) 
Per Bulan (145 kg) Per Tahun (1740kg) 

1. Produksi (kg) 
2. Harga per kg (Rp) 
3. Penerimaan (Rp) 
4. Biaya Produksi (Rp) 
5. Pendapatan (Rp) 

72 
35.000 
2.520.000 
1.457.180 
1.062.820 

864 
35.000 
30.240.000 
17.486.160 
12.753.840 

Biaya produksi kue apem
Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan oleh

pengrajin dalam proses produksi, yang meliputi biaya
sarana produksi, biaya tenaga kerja, dan biaya penyusutan
alat (Tabel 6).

TABEL 6. RATA-RATA BIAYA PRODUKSI KUE APEM DI DESA KEBON AGUNG

Uraian 
Kapasitas Beras/Tepung (Kg) 
Per Bulan (72 kg) Per Tahun (864kg) 

1. Biaya (Rp) 
    - B. Baku Beras (Tepung) 
    - B. Tambahan 
    - B. Penyusutan 
    - B. Tenaga Kerja 
    Total 
2. Biaya (%) 
    - B. Baku Beras (Tepung) 
    - B. Tambahan 
    - B. Penyusutan 
    - B. Tenaga Kerja 
    Total 

 
705.600 
1.587.920 
30.638 
0 
2.324.158 
 
30,36 
68,32 
1,32 
0,00 
100,00 

 
8.467.200 
19.055.040 
367.656 
0 
27.486.160 
 
30,36 
68,32 
1,32 
0,00 
100,00 

Tabel 6 menunjukkan bahwa untuk sarana produksi
bahan tambahan memiliki prosentase paling besar (68,32
%) dibandingkan sarana produksi lainnya, seperti bahan
baku, biaya penyusutan, biaya tenaga kerja, sedangkan
prosentase biaya terkecil adalah biaya tenaga kerja luar
keluarga 0,00 %.

Penerimaan dan pendapatan kue apem
Penerimaan merupakan jumlah produksi dikalikan

dengan harga jual per-satuan output, sedangkan
pendapatan adalah semua penerimaan yang diperoleh
dari hasil produksi kue apem setelah dikurangi dengan
biaya produksi. Untuk mengetahui penerimaan dan
pendapatan industri kue apem dapat dilihat pada Tabel 7.



157
Vol.2 No.2 Juli 2016

TABEL 7. RATA-RATA PENERIMAAN DAN PENDAPATAN INDUSTRI KUE
APEM DI DESA KEBON AGUNG

Uraian 
Kapasitas Beras/Tepung (Kg) 
Per Bulan (72 kg) Per Tahun (864kg) 

1. Produksi (kg) 
2. Harga per kg (Rp) 
3. Penerimaan (Rp) 
4. Biaya Produksi (Rp) 
5. Pendapatan (Rp) 

2.880 
1.000 
2.880.000 
2.324.158 
555.842 

34.560 
1.000 
34.560.000 
27.486.160 
7.073.840 

Rata-rata penerimaan dari industri kue apem ini
sebesar Rp2, 9 juta per bulan atau Rp34,6 juta per tahun;
dengan rata-rata pendapatan per bulannya sebesar Rp555
ribu atau sebesar Rp7 juta per tahun. Penerimaan dan
pendapatan dari industri apem lebih rendah dari industri
tempe maupun emping melinjo.

Nilai tambah tempe, emping melinjo dan kue apem
Untuk menghitung nilai tambah kedelai menjadi

tempe, melinjo menjadi emping dan tepung beras
menjadi kue apem pada skala industri rumah tangga di
Desa Kebon Agung harus diketahui terlebih dahulu nilai
input yang mendukung kegiatan produksi tempe, kecuali
nilai tenaga kerja pembuat tempe. Hasil analisis nilai
tambah, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 8, menun-
jukkan bahwa nilai tambah industri emping melinjo
lebih tinggi dari nilai tambah tempe dan kue apem.

Nilai tambah olahan kedelai menjadi tempe pada
skala industri rumah tangga di Desa Kebon Agung
sebesar Rp6.947 untuk setiap 1 kg bahan baku dengan
rasio nilai tambah sebesar 29,95 %; artinya setiap nilai
produk Rp100 akan menghasilkan nilai tambah sebesar
Rp29,95. Nilai tambah olahan melinjo menjadi emping
pada skala industri rumah tangga di Desa Kebon Agung
sebesar Rp7.483 untuk setiap 1 kg bahan baku dengan
rasio nilai tambah sebesar 42,76 %; artinya setiap Rp100
nilai produk yang didapat akan menghasilkan nilai
tambah sebesar Rp42,76. Sementara itu, nilai tambah
olahan beras/tepung menjadi kue apem pada skala
industri rumah tangga di Desa Kebon Agung sebesar
Rp8.146 untuk setiap 1 kg bahan baku dengan rasio nilai
tambah sebesar 20,37 %; artinya setiap Rp100 nilai
produk yang didapat akan menghasilkan nilai tambah
sebesar Rp20,37. Dari ketiga industri rumah tangga
pengolahan melinjo menjadi emping memberikan nilai
tambah yang paling besar. Hal ini dikarenakan melinjo
merupakan produk industri rumah tangga yang bernilai
ekonomi tinggi.

TABEL 8. NILAI TAMBAH INDUSTRI TEMPE DI DESA KEBON AGUNG

Keterangan 
Nilai Tambah 
Tempe Emping Melinjo Kue Apem 

1.  Bahan Baku (kg/bln) 
2.  Harga bahan baku (Rp/kg) 
3.  Hasil produksi (unit/bln) 
4.  Faktor konversi 
5.  Harga produk rata-rata (Rp/unit) 
6.  Input lain (Rp/kg bahan baku) 
7.  Nilai produk (Rp/kg) 
8.  Nilai Tambah (Rp/kg) 
9.  Rasio nilai tambah 

480 
6.800 
26.400 
55 
250 
2.832 
13.750 
4.118 
29,95 % 

145 
9.500 
72 
0,50 
35.000 
517 
17.500 
7.483 
42,76 % 

72 
9.800 
2.880 
40 
1.000 
22.054 
40.000 
8.146 
20,37 % 

PENDAPATAN USAHATANI

Biaya usahatani
Usahatani merupakan kegiatan ekonomi yang

memerlukan biaya produksi agar proses produksi dapat
berlangsung. Besar kecilnya produksi dipengaruhi oleh
besar kecilnya biaya produksi yang digunakan. Besarnya
biaya produksi dipengaruhi oleh banyaknya input dan
harga persatuan input. Biaya produksi yang
diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya sewa
lahan, biaya penyusutan, pembelian benih, pupuk,
pestisida kimia untuk pengendalian hama penyakit, upah
tenaga kerja, dan biaya lain-lain. Varietas benih padi yang
ditanam oleh petani bermacam-macam diantaranya
mentik wangi, sinta nuriya, dan pandan wangi. Besarnya
benih yang digunakan oleh petani rata-rata sebesar 40 kg
per hektar.

Jenis pupuk yang digunakan oleh petani untuk
usahatani padi meliputi pupuk organik yaitu pupuk
kandang, dan pupuk anorganik yang meliputi pupuk
Urea, TSP, NPK, KCL, ZA, granula cair dan PONSKA.
Besarnya pupuk yang digunakan oleh petani rata-rata
untuk pupuk kandang sebesar 2.647 kilogram per hektar,
pupuk Urea sebesar 66 kilogram per hektar, pupuk TSP
sebesar 139 kilogram per hektar, pupuk NPK sebesar 1,5
kilogram per hektar, pupuk KCL sebesar 70 kilogram per
hektar,pupuk ZA sebesar 92 kilogram per hektar,pupuk
granula cair sebesar 90liter per hektar, dan untuk pupuk
PONSKA sebesar 68 kilogram per hektar. Hampir 92%
petani dalam mengusahakan usahatani padi
menggunakan pupuk organik, pupuk Urea 22%, pupuk
TSP 58%, pupuk NPK 1%, pupuk KCL 34%, pupuk ZA
39%, pupuk granula cair 32% dan pupuk POSKA 29%.
Adapun pestisida yang digunakan oleh petani untuk
menanggulangi hama penyakit tanaman padi meliputi
Score, Recotd, dan Puradan. Hampir 39% petani dalam
mengusahakan usahatani padi menggunakan pestisida.



158
Jurnal AGRARIS

Tenaga kerja yang digunakan untuk usahatani padi
berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga, dari total
tenaga kerja yang dibutuhkan 53% berasal dari dalam
keluarga. Tenaga kerja ini digunakan untuk kegiatan
persemaian, pengolahan tanah, penanaman, penyiangan,
pemupukan, pemberantasan hama penyakit, pengairan,
panen, dan pasca panen. Tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk usahatani padi ini yang terbesar adalah untuk
kegiatan pengolahan tanah dan penyiangan. Adapun
biaya lain-lain meliputi biaya selamatan, pajak, sakap,
irigasi, sewa lahan, bensin, sewa diesel dan bawon.

Tabel 9 menunjukkan bahwa biaya produksi usahatani
padi selama dua musim tanam sebesar Rp32,4 juta per
hektar. Biaya produksi yang terbesar adalah biaya untuk
tenaga kerja baik tenaga kerja luar keluarga maupun
dalam keluarga. Biaya produksi yang terkecil adalah biaya
penggunaan pestisida yaitu sebesar Rp207 ribu hektar
atau sekitar 0,64%, kecilnya biaya pestisida karena petani
hanya menggunakan pestisida kalau ada hama penyakit.

PENDAPATAN USAHATANI
Pendapatan usahatani padi dapat diperhitungkan dari

selisih antara penerimaan dengan biaya usahatani kecuali
biaya tenaga kerja dalam keluarga. Penerimaan, biaya dan
pendapatan usahatani padiselama dua musim tanam
dapat dilihat pada Tabel 10.

TABEL 10. RATA-RATA PENERIMAAN, BIAYA DAN PENDAPATAN
USAHATANI PADI DI DESA KEBON AGUNG

Uraian Gabah/Beras 
PER USAHATANI (1962 M2) 
Penerimaan (Rp) 
Biaya (Rp) 
Pendapatan (Rp) 

 
8.370.503 
3.921.555 
4.448.948 

PER HEKTAR 
Penerimaan (Rp) 
Biaya (Rp) 
Pendapatan (Rp) 

 
42.663.114 
19.987.491 
22.675.623 

Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa pendapatan
yang diperoleh petani dari usahatani padi selama dua
musim tanam sebesar Rp22,7 juta per hektar. Petani
dalam menjual hasilnya sebagian besar dalam bentuk
gabah dan sebagian lagi dalam bentuk beras. Untuk
harga gabah berkisar antara Rp3.000 sampai dengan

TABEL 9. RATA-RATA BIAYA USAHATANI PADI PER HEKTAR DI DESA KEBON AGUNG

Rata-Rata Biaya 
Padi I 
(Rp) 

Padi II 
(Rp) 

Total 
(Rp) % 

PER USAHATANI (1962 M2) 
Benih 
Pupuk 
Pestisida 
Tenaga Kerja Luar Keluarga 
Tenaga Kerja Dalam Keluarga 
Lain-lain 
Penyusutan 

 
62.020 
354.935 
20.312 
1.082.328 
1.234.680 

 
62.020 
354.935 
20.312 
1.082.328 
1.205.250 

 
124.040 
709.870 
40.624 
2.164.656 
2.439.930 
735.487 
146.878 

 
1,95 
11,16 
0,64 
34,03 
38,36 
11,56 
2,30 

Total   6.361.485 100,00 
PER HEKTAR 
Benih 
Pupuk 
Pestisida 
Tenaga Kerja Luar Keluarga 
Tenaga Kerja Dalam Keluarga 
Lain-lain 
Penyusutan 

 
316.106 
1.809.049 
103.527 
5.516.453 
6.292.966 

 
316.106 
1.809.049 
103.527 
5.516.453 
6.142.966 

 
632.212 
3.618.098 
207.054 
11.032.906 
12.435.932 
3.748.660 
748.561 

 
1,95 
11,16 
0,64 
34,03 
38,36 
11,56 
2,30 

Total   32.423.423 100,00 

*) Untuk tanaman polowijo saat penelitian belum menghasilkan



159
Vol.2 No.2 Juli 2016

Rp4.000 per kilo gram, sedangkan harga beras berkisar
antara Rp6.500 sampai dengan Rp9.000 per kilo gram.

PENDAPATAN LUAR USAHATANI
Pendapatan luar usahatani berupa hasil pekarangan

yang terdiri dari pisang, mangga, kelapa, kacang panjang
dan home stay. Pendapatan luar usahatani selama satu
tahun dapat dilihat pada Tabel 11.

TABEL 11. PENDAPATAN LUAR USAHATANI DI DESA KEBON AGUNG

Jenis Pendapatan Rp 
Pisang 
Mangga 
Kelapa 
Kacang Panjang 
Home Stay 

162.850 
71.200 
188.250 
29.200 
1.008.000 

Total 1.459.500 

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa pendapatan
yang diperoleh petani dari luar usahatani sebesar Rp1,5
juta per tahun. Pendapatan luar usahatani yang terbesar
adalah dari usaha menyewakan kamar untuk turis, baik
turis manca negara maupun domestik. Pendapatan
sebesar Rp1 juta berasal 60 responden yang menyewakan
kamar untuk turis. Pendapatan luar usahatani terkecil
diperoleh dari hasil kacang panjang, yang ditanam petani
di pematang-pematang sawah.

PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI
Pendapatan rumah tangga petani adalah pendapatan

yang didapat dan dihasilkan selama satu tahun, yang
terdiri dari pendapatan pengolahan hasil atau industri
rumah tangga, pendapatan usahatani, dan pendapatan
luar usahatani. Pendapatan pengolahan hasil atau
industri rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh
dari usaha pengolahan hasil pertanian, yang terdiri dari
pengolahan hasil beras/tepung beras menjadi kue apem,
melinjo menjadi emping melinjo dan kedelai menjadi
tempe. Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang
diperoleh rumah tangga petani selama satu tahun yang
meliputi usahatani padi musim I dan usahatani padi
musim II. Semetara pendapatan rumah tangga petani
yang berasal dari luar usahatani meliputi penghasilan
usaha home stay dan pekarangan yang terdiri dari hasil
mangga, pisang, kelapa dan kacang panjang. Untuk lebih
jelasnya mengenai pendapatan rumah tangga petani dapat
dilihat pada Tabel 12.

TABEL 12. PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI DI DESA KEBON AGUNG

Kegiatan 
Pendapatan 
Rp % 

1. Pengolahan Hasil 
    a. Indsutri Tempe 
    b. Industri Emping Melinjo 
    c. Industri Kue Apem 
    Total 
2. Usahatani 
3. Luar Usahatani  

 
4.488.800 
2.423.230 
1.061.076 
7.973.106 
1.668.894 
1.459.500 

 
56,30* 
30,39* 
13,31* 
71,82** 
15,03** 
13,15** 

    Total 11.101.500 100,00  

Sumber:
 * Presentase terhadap Pendapatan Pengolahan Hasil
 ** Presentase terhadap Pendapatan Rumah Tangga

Tabel 12 menunjukkan bahwa pendapatan rumah
tangga petani yang paling besar berasal dari pengolahan
hasil atau industri rumah tangga sebesar 71,82%.
Walaupun nilai tambah industri tempe lebih rendah
dibandingkan dengan apem dan emping, pendapatan dari
industri tempe lebih tinggi dari industri lainnya. Hal ini
terjadi karena tempe merupakan kebutuhan pokok sehari-
hari bagi rumah tangga baik untuk bumbu masak
maupun sebagai lauk, bahkan akhir-akhir ini
berkembang industri yang mengolah tempe menjadi
keripik tempe. Sementara itu, emping melinjo maupun
kue apem hanya dibutuhkan konsumen pada saat-saat
tertentu, seperti jika ada hajatan atau pertemuan-
pertemuan. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa
pendapatan rumah tangga yang paling kecil berasal dari
pendapatan luar usahatani yang berasal dari hasil
tanaman pisang, mangga, kelapa, kacang panjang dan
home stay.

DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI
Untuk mengukur distribusi pendapatan digunakan

indeks gini ratio yang dihitung sebagai berikut mula-mula
pendapatan petani diurutkan dari terendah sampai
tertinggi, selanjutnya dibagi menjadi lima kelompok,
masing-masing klas dibuat persentase kumulatifnya,
kemudian dihitung Nilai Gini Ratio. Pendapatan yang
dihitung atau dianalisis meliputi pendapatan dari
pengolahan hasil atau industri rumah tangga, pendapatan
usahatani dan pendapatan dari luar usahatani. Hasil
analisis diperoleh Indeks Gini Ratio atau Nilai Gini
Ratio sebesar 0,739, yang berarti bahwa distribusi
pendapatan rumah tangga petani di Desa Wisata Kebon



160
Jurnal AGRARIS

Agung tidak merata. Hal ini terjadi karena terdapat
sebagian orang yang hanya mengusahakan usahatani dan
menyewakan rumahnya untuk home stay para wisatawan,
tetapi juga ada sebagian orang yang disamping
mengusahakan usahatani dan menyewakan rumahnya
untuk home stay, juga mengusahakan industri rumah
tangga.

KESIMPULAN
Setelah dilakukan bahasan hasil penelitian, dapat

disimpulkan bahwa keberadaan agrowisata atau Desa
Wisata Kebon Agung berdampak terhadap munculnya
industri rumah tangga pengolahan hasil pertanian
(tempe, emping melinjo dan apem), pengelolaan
usahatani padi dan pemanfaatan lahan pekarangan yang
lebih intensif untuk menunjang kegiatan agrowisata, yang
pada akhirnya menambah sumber pendapatan dan
meningkatkan pendapatan rumahtangga.

Di antara tiga jenis industri rumahtangga yang
berkembang di Desa Wisata Kebon Agung, industri
tempe memberikan pendapatan tertinggi, yakni 1,8 juta
rupiah per bulan, diikuti pendapatan industri emping
melinjo 1 juta rupiah per bulan dan industri apem
sebesar 550 ribu rupiah per bulan. Industri emping
melinjo mempunyai rasio nilai tambah tertinggi, yakni
hampir 43%; diikuti industri tempe 30% dan apem 20%.
Belum meratanya akses petani terhadap kesempatan
berusaha yang berkembang sebagai dampak keberadaan
agro wisata, mengakibatkan distribusi pendapatan
masyarakat di desa wisata Kebon Agung tidak merata,
dengan Indeks Gini Ratio sebesar 0,739.

Berdasarkan hasil penelitian dapat direkomendasikan
beberapa hal terkait dengan pengembangan agrowisata
atau desa wisataberbasis kearifan lokal, yakni: i) Dinas
Pariwisata, Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian
Kabupaten Bantul perlu meningkatkan pendampingan
secara sinergi, menyeluruh dan berkesinambungan, baik
di bidang pengelolaan pariwisata, pengelolaan usahatani
maupun pengelolaan industri rumah tangga; ii)
masyarakat petani perlu untuk lebih aktif dan kreatif
mengoptimalkan potensi industri rumah tangga yang
dimilikinya untuk menunjang kegiatan atau pengelolaan
agrowisata atau desa wisata.

DAFTAR PUSTAKA
Akpýnar, N., Talay, I., Ceylan, C., & Gündüz, S. 2004. Rural women and

agrotourism in the context ofsustainable rural development: a case
study from Turkey. Kluwer Journal 6: 473–486.

Arifin, M., Ami, S., Ananti, Y., & Bagus, W. 2007. Model
pengembangan agrowisata dalam rangka pemberdayaan Kelompok
Tani Tawangrejo Asri. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 3(2).

Azwar, S. 2000. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik Bantul. 2011. (Online). http://bantulkab.bps.go.id/

index.php/pelayan an-statistik/
Galo, W. 2002. Metodologi Penelitian. PT Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta.
Husein, U. 1999. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.

Rajawali Pers, Jakarta.
Jamieson, W., & Noble, A. 2000. A Manual for Community Tourism

Destination Management. Canadian Universities Consortium Urban
Environmental Management Project Training and Technology
Transfer Program.

Ca Lindberg, K. 1996. The Economic Impacts of Ecotourism.
Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya, Bandung.
Sudiyono, A. 2004. Pemasaran Pertanian. UMM Press, Malang
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D.

Alfabeta, Bandung.