jurnal al-balagh_vol.2 no.2-2 2017 hajinya lansia ditinjau dari perspektif bimbingan dan konseling islam kholilurrohman iain surakarta keywords: hajj, islamic guidance and counseling http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: kholilurrahman@iain-surakarta.ac.id abstract hajj is the fifth pillar of islam. when the first pillar of islam until the fourth has been done, the muslims wants to complete the pillar by performing the pilgrimage as the fifth obligation. however, in modern times today, along with the increasing number of hajj quotas, automatically caused the turn period of hajj to be increased as well. in fact, it raises some problems, especially for the elder hajj pilgrims. this research aims to identify some problems that arise from the preparation of hajj until the completion of hajj in the elderly congregation. the problem is studied based on the perspective of islamic guidance and counseling by using literature review. this research also uses qualitative approach in the form of case study technique. the result, there are some problems of hajj experienced by the elderly so that it’s needful for assistance and psychological guidance in the implementation of the pilgrimage by the elderly congregation. ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima. ketika rukun islam yang pertama sampai yang keempat sudah terlaksana, umat islam ingin menyempurnakan dengan menunaikan ibadah haji sebagai kewajiban yang kelima. namun demikian, di zaman modern saat ini, seiring dengan semakin bertambahnya kuota haji, pada akhirnya menyebabkan masa tunggu giliran haji menjadi bertambah pula. hal ini nyatanya memunculkan beberapa permasalahan, terutama bagi para calon jamaah haji yang lanjut usia. penelitian ini bertujuan untuk abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.1021 232 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul sejak persiapan haji sampai selesainya haji pada jamaah lanjut usia. permasalahan tersebut dikaji berdasarkan perspektif bimbingan dan konseling islam dengan menggunakan kajian literatur. penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik studi kasus. hasilnya, terdapat beberapa permasalahan haji yang dialami oleh para lanjut usia sehingga diperlukan adanya pendampingan dan bimbingan psikologis dalam pelaksanaan ibadah haji oleh para jamaah lanjut usia. i. pendahuluan haji merupakan rukun islam yang kelima. ketika seseorang sudah berhasil menunaikan keempat rukun islam sebelum haji (syahadat, shalat, puasa, dan zakat), maka seseorang terdorong untuk menunaikan haji. dalam islam, penekanan haji tidak sekuat penekanan syahadat, shalat, puasa, dan zakat. dengan kata lain, ibadah haji memiliki dua status hukum, wajib bagi yang mampu dan tidak wajib bagi yang tidak mampu. kesimpulan ini didapatkan dari al qur’an surat âli ‘imrân ayat 97: “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke baitullah”. mampu dalam ayat ini memiliki makna mampu secara keilmuan, finansial, fisik, psikis, dan keamanan dalam perjalanan. tingginya minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji juga kemudian membuat antrian dalam melaksanakan haji dalam suatu negara semakin banyak. berbagai karakteristik masyarakat, mulai dari yang berusia muda sampai berusia tua dan lanjut usia, menginginkan untuk bisa menjalankan ibadah haji. tulisan ini akan memfokuskan pembahasan mengenai ibadah haji yang dilaksanakan lanjut usia. mengingat ibadah haji adalah wajib bagi yang mampu (salah satunya mampu secara fisik dan psikis) sedangkan kemampuan fisik dan psikis lanjut usia cenderung menurun. terlebih jika lanjut usia tersebut memiliki beberapa penyakit dan rentan terhadap penyakit. karena seseorang yang menginjak usia lansia umumnya sudah memiliki penyakit, seperti kolesterol, asam urat, darah tinggi, vertigo, gagal ginjal, diabetes, dan penyakit lainnya. kondisi ini menjadi dilema tersendiri, baik bagi lansia sendiri maupun bagi penyelenggara haji atau pemerintah. kata kunci: haji, bimbingan dan konseling islam – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 233 berbicara ibadah haji, bukan hanya berbicara mengenai pelaksanaan haji itu saja. ibadah haji sendiri dilaksanakan kurang lebih selama 40 hari (dalam konteks indonesia). tidak hanya itu, terdapat ritual budaya yang menyertai sebelum keberangkatan haji, seperti: empat bulan mengikuti bimbingan manasik haji setiap hari minggu, silaturrahim sesama regu karena pamitan, penyelenggaraan pamitan di rumah sendiri, melayani tamu dari sanak saudara dan handai taulan, serta latihan jalan kaki setiap pagi untuk pembelajaran fisik karena rangkaian ibadah haji di mekkah dan madinah mengandalkan jalan kaki. rangkaian kegiatan ini tentu saja melelahkan, terutama bagi lanjut usia. persoalan haji bagi lanjut usia bertambah ketika peminat haji setiap tahun meningkat sehingga menyebabkan waktu tunggu semakin lama. saat ini, jangka waktu sejak pendaftaran sampai menunaikan ibadah haji minimal 10 tahun. artinya, ketika seseorang mendaftar haji di usia 50 tahun ditambah waiting list 10 tahun, maka seseorang diperkirakan akan berangkat di usia 60 tahun. usia 60 tahun ini rentan dengan penyakit atau minimal kemampuan fisik sudah melemah. belum lagi terkait dengan fenomena kematian jamaah haji. bagi pemerintah, wajib menjaga keselamatan jamaah haji sejak keberangkatannya sampai kepulangannya. atas dasar ini, maka pemerintah memberikan fasilitas kesehatan di setiap kloter. fasilitas kesehatan tersebut misalkan dokter dan para perawat. salah satu ikhtiar untuk menjaga keselamatan ini misalkan menjaga pola makan, olah raga, dan sikap hidup sehat. di sisi lain, keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia yang mengikuti ibadah haji, secara mental sudah siap untuk segala kemungkinan, dan kemungkinan terburuk ketika menunaikan ibadah haji adalah kematian. menurut ilmu fiqh, manasik haji ada tiga komponen, yakni: rukun, wajib, dan sunnah. termasuk komponen rukun haji, yakni; (1) niat ihrâm; (2) memakai ihrâm; (3) wukuf di ‘arafah; (4) thawaf ifadhah; dan (5) sa’i. termasuk komponen wajib haji, yakni: (1) mabit di muzdalifah; (2) melempar jumrah; (3) mabit di mina; dan (4) thawaf wada’. dan termasuk sunnah haji, yakni: (1) mandi; (2) memotong kuku; (3) memotong/merapikan rambut; 234 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif (4) memakai wewangian di tubuh; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) doa memakai pakaian ihrâm; (7) doa di multazam/searah multazam; (8) shalat sunnah di belakang maqam ibrahim; (9) shalat sunnah di hijr ismail, dll. maka sebenarnya bila seseorang melakukan tahapan-tahapan haji dan umrah sesuai yang disyariatkan (fiqh) insya allah tidak ada masalah/tidak ada kesulitan. misalnya, karena jamaah haji indonesia mengambil model haji tamattu’, tahapannya adalah umrah terlebih dahulu, dan dilanjutkan haji. adapun rangkaian umrah yakni: (1) mandi sunnah ihrâm; (2) memakai pakaian ihrâm; (3) memakai wewangian di badan; (4) merapikan rambut/ kuku; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) niat memakai pakaian ihrâm; (7) niat umrah dan ihrâm-nya di miqat; (9) thawaf; (10) sa’i; (11) tahallul; dan (12) tertib. sedangkan untuk tahapan-tahapan manasik haji; (1) mandi sunnah ihrâm; (2) memakai pakaian ihrâm; (3) memakai wewangian di badan; (4) merapikan rambut/kuku; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) niat memakai pakaian ihrâm; (7) niat haji dan ihrâm-nya di miqat; (8) wukuf di ‘arafah; (9) mabit di muzdalifah; (10) mencari kerikil; (11) melempar jumrah ‘aqabah; (12) mabit di mina; (13) melempar jumrah ula, wustha, ‘aqabah pada tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah; (14) thawaf ifadhah; dan (15) sa’i. ketika akan meninggalkan makkah, masih ada thawaf lagi, yakni: thawaf wada’. berdasarkan penjabaran mengenai rangkaian ibadah haji dan segala resiko yang mungkin terjadi, maka penting untuk menggali dinamika ibadah haji yang dilakukan oleh lansia. hal ini penting untuk merumuskan mengenai model bimbingan dan konseling guna memudahkan pelaksanaan ibadah haji lansia. ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik atau metode studi kasus. penelitian ini mengambil pengalaman subjek yang berusia lanjut usia (usia mulai 60 tahun) selama rentang waktu sejak tahun 2012 sampai 2017. subjek yang diteliti adalah lanjut usia yang melaksanakan ibadah haji dan berasal dari klaten, jawa tengah, indonesia. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 235 penulis selain berperan sebagai peneliti, juga memiliki peran sebagai tim petugas pendamping ibadah haji (tpihi) selama rentang waktu tersebut. iii. hasil penelitian terdapat beberapa hasil penelitian yang penting untuk dibahas dalam jurnal ini. pertama, mengenai kesehatan jamaah haji lansia. para jamaah haji lansia sudah mulai menderita beberapa penyakit, seperti kolesterol, asam urat, asma, vertigo, diabetes, dan sebagainya. penyakitpenyakit ini bisa mempengaruhi kondisi dan ketahanan fisik jamaah haji lansia sehingga fisik jamaah haji mudah mengalami kelelahan. selain mengalami gangguan kesehatan fisik, jamaah haji lansia juga mengalami gangguan psikis. misalkan, ingin segera pulang ke tanah air akan tetapi rangkaian ibadah haji belum selesai. selain itu, jamaah haji indonesia yang lansia mudah mengalami ketersesatan jalan pulang menuju ke hotel. kedua, keilmuan jamaah haji. tidak setiap jamaah haji paham secara mendalam mengenai rangkaian ibadah haji. terutama para jamaah lansia yang mengalami penurunan daya kognisi dan membuatnya sulit untuk belajar. misalnya, meskipun sudah diberikan materi bahwa seseorang harus suci dari hadas kecil dan besar ketika melaksanakan thawaf, faktanya masih ada jamaah haji lansia yang tetap melaksanakan thawaf walau berhadas kecil (misalkan kentut). sebenarnya, jamaah haji paham bahwa kentut dapat membatalkan thawaf. akan tetapi, banyak faktor yang mendorong jamaah haji untuk tidak berwudlu kembali, misalkan takut tertinggal oleh rombongan. ketiga, mental internasional. tidak dapat dipungkiri bahwa jamaah haji indonesia rata-rata belum pernah pergi ke luar negeri. apalagi naik pesawat terbang yang lamanya sekitar 12 jam. tentu sebuah pengalaman yang sangat berbeda. ini menjadi persoalan serius terkait tekanan udara di luar pesawat yang berakibat pada kepala pening, sesak nafas, menahan buang air kecil, dan mabuk ketinggian. 236 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif berbagai permasalahan tersebut, sudah seharusnya dicarikan formula untuk membimbing jamaah haji lansia. tentu saja bukan hanya bimbingan secara agama saja, tetapi juga bimbingan secara psikis. karena untuk memahami jamaah haji lansia, diperlukan banyak konsep bimbingan dan konseling serta psikologi. iv. pembahasan berbagai fenomena dan permasalahan haji lansia tersebut dapat dikaji dengan perpektif psikologi, khususnya psikologi humanistik. gobel (1992) menganggap bahwa madzhab psikologi humanistik tersebut menjadi madzhab ketiga setelah paradigma psikodinamika dan behavioral. beberapa tokoh madzhab psikologi humanistik adalah abraham maslow dengan teori motivasi dan aktualisasi diri. maslow menginginkan psikologi humanistik menjadi madzhab psikologi yang menangani cita-cita dan potensi-potensi yang paling baik dan paling mulia yang sanggup dicapai oleh manusia (schultz, 1991). maslow memiliki beberapa asumsi terkait motivasi. pertama, maslow mengadopsi pendekatan sebuah pendekatan yang komprehensif tentang motivasi. artinya, keseluruhan dari seseorang, bukan bagian atau fungsi. kedua, motivasi bersifat kompleks yang bermakna bahwa tingkah laku manusia dapat muncul dari beberapa motivasi dalam diri. ketiga, manusia berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhannya. selanjutnya, maslow menjelaskan bahwa manusia, siapapun itu dan dimanapun berada, termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama. kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki (feist, feist, & roberts, 2017). artinya, manusia harus memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu sebelum kemudian dapat memenuhi kebutuhan selanjutnya. konsep hierarki kebutuhan menjelaskan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan yang dapat dipenuhi selangkah demi selangkah. pertama, kebutuhan fisiologis, termasuk makanan, minuman, oksigen, karena halhal ini yang membuat manusia bertahan hidup dan memiliki tenaga. hal ini bisa dilihat di beberapa daerah yang mengalami krisis kelaparan, maka – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 237 masyarakatnya hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisiologis berupa makanan. kedua, kebutuhan akan rasa aman, meliputi keamanan fisik, stabilitas, perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam, seperti perang, terorisme, penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam. sebagian orang bisa jadi tercukupi, sedangkan sebagian orang tidak bisa memenuhi kebutuhan ini, misalkan di daerah rawan bencana dan daerah konflik. ketiga, kebutuhan akan cinta dan keberadaan, berwujud keinginan untuk berteman, memiliki pasangan dan anak, serta menjadi bagian dari masyarakat dan negara. kebutuhan ini bisa dipenuhi dan diajarkan manusia sejak kecil. keempat, kebutuhan akan penghargaan, mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahuan yang dihargai. pengejawantahan dari kebutuhan ini adalah reputasi dan harga diri. kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri, meliputi kesadaran akan semua potensi diri dan kemudian mengerahkannya untuk mencapai cita-citanya. menurut maslow, manusia yang bisa mencapai aktualisasi diri menjadi manusia seutuhnya (feist, feist, & roberts, 2017; schultz, 1991; nasrul, 2010). menunaikan ibadah haji merupakan salah satu fenomena yang terkait dengan aktualisasi diri. jika menakar ibadah haji, ibadah haji merupakan rukun islam terakhir. haji merupakan ibadah dan rukun islam yang paling memerlukan segala potensi, mulai dari daya kognisi, energi fisik, ketahanan psikologis, sampai materi. berbeda dengan rukun islam yang lain seperti syahadat, shalat, puasa, dan zakat. pada titik ini, ibadah haji dapat menjadi sarana aktualisasi diri seseorang. di sisi lain, ibadah haji ditempatkan sebagai rukun islam yang terakhir sebagai puncak beragama islam, diharapkan agar para pemeluk agama islam dapat menyempurnakan rukun islam berupa syahadat, shalat, puasa, dan zakat terlebih dahulu sebelum menunaikan haji. haji menjadi status sosial dalam masyarakat indonesia. hal ini dikarenakan sepulang haji, seseorang akan menambahkan “gelar haji” di depan namanya. masyarakat pun juga memanggil orang yang sudah menunaikan ibadah haji dengan panggilan “haji”, misalkan pak haji 238 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif dan bu haji. selain itu, menunaikan ibadah haji dianggap menjadi status kehormatan karena ibadah haji memerlukan banyak biaya dan perjuangan. kuatnya dorongan untuk aktualisasi diri ini juga menyebabkan jamaah haji tidak mengalami kecemasan kematian. tidak bisa dipungkiri bahwa ibadah haji memiliki resiko kematian cukup tinggi, terutama bagi lansia. hal ini dikarenakan ibadah haji dilakukan serentak oleh kaum muslimin sedunia dan berdesak-desakan. sehingga, jamaah haji rentan jatuh dan terinjak-injak, terutama jamaah haji lansia. kematian pun tidak menjadi persoalan dan halangan bagi jamaah haji lansia dan keluarga. bahkan ada dorongan bahwa jamaah haji yang meninggal saat menjalankan ibadah haji dinilai sebagai husnul khâtimah. tidak hanya itu, jamaah haji yang wafat dan kemudian dimakamkan di haramain, dijamin tidak ditemui dajjal ketika hari kiamat sehingga terhindar dari fitnah dajjal. dalam membimbing ibadah haji para lansia, juga dibutuhkan pemahaman karakteristik lansia. dalam kajian psikologi serta bimbingan dan konseling, terdapat teori psikososial yang disampaikan oleh erik h. erikson. konsep ini menjelaskan tentang perkembangan psikososial individu mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. tahapan perkembangan psikososial ini dituliskan dalam bukunya yang berjudul childhood and society. adapun tahapan perkembangan psikososial tersebut sebagai berikut (erikson, 1993): tabel 1. tabel tahapan psikososial oleh erikson no tahap masalah keutamaan 1 oral percaya vs tidak percaya harapan 2 anal otonomi vs malu & rasa bersalah kekuatan & kehendak 3 genital inisiatif vs rasa bersalah tujuan 4 latensi usaha vs rasa rendah diri kemampuan 5 remaja identitas vs kekacauan peran kesetiaan 6 pemuda intimasi vs isolasi cinta 7 dewasa generativitas vs stagnansi perhatian 8 lanjut usia integrasi diri vs putus asa kebijaksanaan – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 239 berdasarkan tahapan tersebut, lansia rentan mengalami krisis keputusasaan. krisis ini terjadi karena mayoritas lansia sudah berhenti bekerja sehingga kehilangan makna atas dirinya sendiri. kehilangan makna ini kemudian bisa menyebabkan keputusasaan. dalam konteks agama islam, khususnya rukun islam, krisis keputusasaan ini sebenarnya bisa diatasi jika lansia melaksanakan ibadah haji. dengan kata lain, ketika lansia menunaikan ibadah haji, maka lingkungan sosial harus mendukungnya dengan segala upaya antisipasi agar meminimalisir resiko yang terjadi pada lansia selama ibadah haji. dengan demikian, lansia tidak mengalami krisis keputusasaan. upaya dukungan ini bisa dilakukan dengan prinsip unconditional positive regard. unconditional positive regard ini dipopulerkan oleh carl rogers, seorang psikolog humanistik eksistensial. unconditional positive regard ini adalah penghargaan positif tanpa syarat (feist, feist, & roberts, 2017; schultz, 1991; hall & lindzey, 2006). dalam ranah bimbingan dan konseling, prinsip ini penting untuk menumbuhkan dan memperkuat motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. selain itu, prinsip ini bisa digunakan dalam konteks membimbing ibadah haji lansia. di satu sisi, lansia yang rentan akan penyakit tetap dihargai dan tidak dihalangi untuk beribadah haji. di sisi lain, lingkungan dalam memberikan penghargaan dan dukungan tanpa syarat juga harus memunculkan kesadaran bagi jamaah haji lansia (dan juga lingkungan sendiri) untuk melakukan langkah antisipasi guna meminimalisir resiko ibadah haji. penghargaan positif tanpa syarat bagi lansia ini juga bertujuan untuk meminimalisir kecemasan dan tekanan serta gangguan psikologis lain yang mungkin terjadi selama ibadah haji. pada akhirnya, ketika jamaah haji lansia tidak mengalami kecemasan dan tekanan, maka akan mudah untuk melaksanakan ibadah haji. v. kesimpulan berdasarkan pembahasan tersebut, muncul beberapa kesimpulan. pertama, dengan segala karakteristik fisik dan psikis lansia, ibadah haji 240 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif lansia rentan akan gangguan fisik dan psikis. gangguan fisik dan psikis ini bisa menyebabkan ketidaklancaran ibadah haji lansia tersebut. bukan hanya itu, gangguan fisik dan psikis lansia selama melakukan ibadah haji, juga seringkali berdampak pada kelompok ibadah haji atau pendamping ibadah haji. maka dari itu, diperlukan formula pendampingan dengan berlandaskan pada konsep dan perspektif bimbingan dan konseling islam. kedua, pendampingan ibadah haji lansia berdasarkan konsep bimbingan dan konseling islam bisa menggunakan konsep dan teori yang disampaikan oleh carl rogers, yaitu penghargaan positif tanpa syarat. untuk dapat mendampingi dengan penghargaan positif tanpa syarat, maka diperlukan upaya memahami karakteristik psikis lansia. upaya memahami ini bisa menggunakan perspektif dan teori aktualisasi diri yang disampaikan oleh abraham maslow dan teori psikososial yang disampaikan oleh erik h. erikson. saran. dengan demikian, formula pendampingan tersebut bisa menjadi saran bagi beberapa pihak yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. seperti kementerian agama republik indonesia, pendamping haji, keluarga lansia yang melaksanakan ibadah haji, dan juga lansia yang melaksanakan ibadah haji itu sendiri. daftar pustaka erikson, e. h. (1993). childhood and society. new york: w.w. norton & company. feist, j., feist, g. j., & roberts, t.a. (2017). teori kepribadian, buku 1 edisi 8 (terj. r.a. hadwitia dewi pertiwi). jakarta: salemba humanika. gobel, f. g. (1992). madzhab ketiga. yogyakarta: penerbit kanisius. hall, c. s., & lindzey, g. (2006). teori-teori holistik (organismik fenomenologis), terj. dr. a. supratiknya. yogyakarta: penerbit kanisius. nasrul, e. (2010). pengalaman puncak abraham maslow. ponorogo: cios institut studi islam darussalam pondok modern darussalam gontor. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 241 schultz, d. (1991). psikologi pertumbuhan: model-model kepribadian sehat (terj. drs. yustinus, m.sc). yogyakarta: penerbit kanisius. jurnal al-balagh_vol.2 no.2-2 2017 tanean lanjang sebagai strategi dakwah antisipasi konflik di masyarakat ach. nurholis majid institut dirosat islamiyah al-amien prenduan (idia) sumenep madura keywords: conflict, dakwah, tanean lanjang, ulama http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: achmadnurholismajid@gmail.com abstract tanean lanjang is a very unique culture. it’s from building construction, social interactions, and until the related spiritual values. this is reinforced by the da’wah strategy by the theologian who are accepted by everyone who runs the culture. this research aims to describe the da’wah strategy of theologian in tanean lanjang culture. with qualitative descriptive method, this research found that strategy of da’wah for encountering conflict conducted by theologian in tanean lanjang is persuasive strategy, al-hikmah, al-mau’idzoh hasanah. these methods are implemented within the tanean lanjang cultural community to motivative, facilitative, and mediative objectives. budaya tanean lanjang merupakan budaya yang sangat unik. mulai dari konstruk bangunan, interaksi sosial, dan nilai-nilai spiritual yang saling berkaitan. hal itu diperkuat oleh strategi dakwah ulama yang diterima oleh setiap orang yang menjalankan budaya tersebut. penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi dakwah ulama dalam budaya tanean lanjang. dengan pendekatan kualitatif deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa strategi dakwah penanganan konflik yang dilakukan oleh ulama dalam tanean lanjang adalah strategi persuasif, al-hikmah, al-mau’idzoh hasanah. metode-metode itu dilaksanakan masyarakat dalam budaya tanean lanjang dengan tujuan motivatif, fasilitatif, dan mediatif. abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.1007 kata kunci: konflik, dakwah, tanean lanjang, ulama 148 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah i. pendahuluan tidak ada manusia yang hidup tanpa konflik. hubungan manusia satu dengan yang lain selalu diiringi dengan unsur-unsur konflik. pertentangan pendapat, perbedaan kepentingan dan perbedaan harapan, selalu menjadi pemicu utama terjadinya konflik. puncaknya, terjadilah ketimpanganketimpangan. menurut johnson, konflik merupakan sesuatu yang menghalangi, menghambat dan mengganggu tindakan pihak lain (supratiknya, 1995). berbeda dengan johnson, scannel menyatakan bahwa konflik lebih merupakan sesuatu yang terjadi akibat adanya perbedaan. baik perbedaan persepsi, tujuan, maupun perbedaan nilai (scannell, 2010). jika mengacu pada pengertian yang pertama, konflik selalu mengakibatkan kondisi yang tidak baik. sebab, konflik selalu mensyaratkan tindakan menantang dan mengganggu. akibatnya, individu satu menjadi musuh bagi individu lain, atau kelompok satu bagi kelompok lain. konflik sering kali memicu rusaknya hubungan sosial dalam masyarakat, bahkan memicu terjadinya tindak kekerasan (violent). tetapi, jika pengertian yang kedua menjadi landasan memahami konflik, maka konflik tidak selamanya negatif. bisa juga positif. misalnya, dalam doktrin islam, perbedaan dimaknai sebagai media untuk saling arif dan memahami satu sama lain (q.s. al-hujurat: 13). kenyataan yang paling nampak saat ini, konflik selalu terkonfigurasi dalam kekerasan. jika merujuk pada masyarakat madura, puncak konflik seringkali berwujud carok. suatu bentuk konflik yang minimal dilatarbekalangi minimal oleh masalah perempuan, tuduhan mencuri, perebutan warisan, dan balas dendam (wiyata, 2002). tetapi tidak demikian dengan masyarakat yang hidup dalam lingkungan budaya tanean lanjang. mereka hidup hampir tanpa pertikaian yang berakhir dengan kekerasan. walaupun, sebagaimana diungkapkan diatas, masyarakat tanean lanjang senantiasa diiringi oleh unsur-unsur konflik. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 149 masyarakat yang berada dalam budaya tanean lanjang, sejak dini melakukan tindakan antisipatif terhadap terjadinya konflik. mulai dari struktur bangunan, interaksi sosial, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, penuh dengan upaya menghindarkan masyarakatnya dari konflik yang arahnya kekerasan. sebenarnya, hal ini tidak mengherankan. nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat tanean lanjang, dibangun atas dasar-dasar agama yang mereka anut. dasar-dasar yang bersumber dari agama islam tersebut disampaikan dan diinternalisasikan oleh ulama dalam kehidupan mereka. tindakan antisipatif dalam kenyataan masyarakat tanean lanjang yang dapat mengelola konflik itu perlu diteliti. sebab, sebagai lingkungan yang sudah masyhur dengan stereotip keras dan carok, budaya tanean lanjang mampu menepis itu semua, terutama sekali meneliti peran ulama, yang dalam budaya tanean lanjang, adalah pusat kebijakan dan kebajikan. uniknya, ulama sebagai benteng pertahanan sosial masyarakat madura, juga tersebar di beberapa tempat lain yang pernah merasakan perihnya luka carok. hanya saja pembedanya, ulama dalam budaya tanean lanjang, mampu meredam itu semua agar tidak berwujud carok. budaya tanean lanjang oleh beberapa peneliti seringkali hanya ditempatkan sebagai budaya yang unik dalam konstruksi bangunan saja. sementara peran ulama dan strategi mereka seringkali dilupakan. padahal kebudayaan ini ulama centered. dalam penelitiannya, akh muwafik saleh, misalnya lebih fokus meneliti pola komunikasi sosial pada masyarakat tanean lanjang. dengan berlandaskan teori komunikasi, penelitian ini menjawab pola komunikasi yang dianut masyarakat tanean lanjang. penelitian lain tentang tanean lanjang juga pernah dilakukan oleh lintu tulistyantoro. dengan menitikberatkan pada konstruk bangunan, tulistyantoro meneliti pemaknaan masyarakat tanean lanjang pada bentuk-bentuk bangunan tersebut. 150 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah yang sedikit mirip dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh samsul ode, dengan judul peran budaya lokal sebagai media resolusi konflik. hanya saja, penelitian ini terlalu umum, tidak mengambil satu contoh konkret budaya lokal yang dapat dijadikan pilot project resolusi konflik sebagaimana dituliskan dalam judul. untuk itu, perlu dilakukan sebuah kajian untuk mengetahui strategi ulama dalam mengantisipasi konflik yang terjadi di masyarakat tanean lanjang. sehingga kemudian, menjadi suatu model strategi dakwah di daerah-daerah lain. ii. metode penelitian dalam realitas sosial berdimensi keagamaan dan kebudayaan seperti ini, peneliti menggunakan metode kualitatif pendekatan kebudayaan, dengan jalan mempertimbangkan perilaku manusia dan menguraikan apa yang diketahui mereka dan kenapa mereka mau melakukannya (moleong, 2005). pendekatan ini menempatkan pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subyektif. dalam artian, penelitia sangat menghargai dan memperhatikan pandangan subyektif. peneliti memaknai setiap individu yang diteliti (subjective meaning). karenanya, peneliti melakukan interaksi atau komunikasi secara intensif dengan pihak yang diteliti. penelitian ini dilakukan di desa karay, kecamatan ganding, kota sumenep. desa ini berjarak 16,8 km dari pusat perkotaan sumenep. sedangkan jarak dari karay ke kecamatan adalah 4.40 km. luas lokasi penelitian ini adalah 650 ha dengan penduduk yang cukup padat, yaitu 4500 keluarga dari 1250 kepala keluarga. sedangkan batas wilayahnya adalah kecamatan pasongsongan ke arah utara, ke arah selatan adalah desa guluk-guluk, sedangkan di bagian barat adalah kecamatan guluk-guluk, dan ke timur adalah gadu barat. rata-rata penduduk desa ini adalah bertani, sebagaimana pertanian memiliki ruang yang khusus dalam konstruk bangunan masyarakat tanean lanjang. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 151 dipilihnya lokasi ini dengan pertimbangan bahwa masyarakat tanean lanjang di daerah ganding ini masih kuat mempertahankan budaya tanean lanjang. jika di banding daerah-daerah lain, daerah ini tidak banyak disentuh sebagai lokasi penelitian. terutama sekali, karena masyarakat tanean lanjang di daerah ini sangat jarang mengalami konflik yang berujung kekerasan. iii. sekilas tentang tanean lanjang menurut kuntowijoyo (2004), tanean lanjang adalah suatu model pemukiman di madura, khususnya di kabupaten sumenep yang berbeda dengan sistem pemukiman di daerah jawa. hal ini menegaskan, bahwa budaya ini merupakan budaya asli yang berkembang di sumenep. walaupun sampai saat ini belum ada referensi yang valid tentang muasal tanean lanjang tersebut. hanya saja, jika dilihat dalam konstruk bangunan lain di sekitar kabupaten sumenep, tidak ada orang non muslim yang tinggal dengan menjalankan konsep budaya tanean lanjang baik dari segi konstruk bangunan apalagi dalam bentuk interaksi sosial. artinya, budaya ini adalah murni budaya yang dijalankan oleh umat islam di sumenep. dalam hasil observasi, tanean lanjang ini secara fisik merupakan konstruk bangunan dengan sistem keluarga batih. biasanya, rumah dibangun berderet dari barat ke timur maksimal sepuluh rumah. rumah bagian barat, adalah rumah bangaseppo (leluhur) atau orang tua, kemudian disusul anak perempuan pertama yang sudah menikah, kedua, ketiga, dan seterusnya. di bagian depan rumah, adalah kandang ternak dan dapur. pada masing-masing rumah yang berhadapa dengan kandang ternak dan dapur tersebut adalah halaman luas (tanean) dan panjang (lanjang). menurut beberapa orang yang mendiami tanean lanjang, inilah yang melatarbelakangi penamaan tanean lanjang. 152 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah ilustrasi tanean lanjang dengan empat kepala keluarga1 walaupun bentuk bangunan ini tampak eksklusif, komunikasi yang terjadi antara komunitas tanean lanjang sangatlah terbuka. gotongroyong dan sikap peduli untuk membantu merupakan ciri khas dari masyarakat tanean lanjang. bahkan, menurut sudagung dalam nasdian (2015) spirit ini masih sangat tampak dalam kehidupan mereka di perantauan. bahwa mereka adalah masyarakat yang solid. misalnya dapat dilihat dalam bentuk tolongmenolong dan saling membantu ketika menghadapi kesulitan, baik dengan uang maupun dengan tenaga. iv. konflik dalam masyarakat tanean lanjang berbicara konflik, berarti berbicara individu dan masyarakat. dalam kasus tertentu, konflik seringkali muncul karena ada pertentangan antara individu. tetapi pada kasus yang lain, konflik bisa terjadi karena pertentangan kelompok masyarakat, walaupun individu-individu yang berjuang di dalamnya sangat akrab bahkan masih dalam hubungan persaudaraan. 1 ilustrasi diambil dari lihat.co.id diakses tanggal 28 desember 2017 jam 10.02 – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 153 terjadinya konflik dalam suatu masyarakat, merupakan suatu pertanda adanya dinamika dan dealektika. suatu masyarakat yang bergerak, akan menemukan sesuatu yang tidak seragam. di sinilah faktor-faktor terjadinya konflik muncul. secara umum, tanean lanjang merupakan konstruk budaya yang ada dalam masyarakat madura, sumenep. budaya ini setidaknya dapat dilihat dalam beberapa ciri. pertama, tanean lanjang merupakan budaya dengan konstruk bangunan rumah yang berderet dari barat ke timur. dimulai dari langgar, rumah bengesepo (orang tua), anak pertama dan seterusnya memanjang ke timur. tidak ada batas yang jauh antara keluarga satu dengan yang lain. kedua, pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat tanean lanjang adalah pola komunikasi yang eksklusif sekaligus inklusif. eksklusif bagi kelompok di luar lingkungan tanean lanjang yang dihuninya, sementara bagi kelompok masyarakatnya sendiri, bersikap terbuka. tetapi keterbukaan itu bukan berarti tanpa batas. merujuk pada struktur bangunan yang berderet menurut urutan usia, komunikasi masyarakat tanean lanjang juga terjadi top-down. suatu keputusan atau pendapat yang lebih tua, harus menjadi pertimbangan utama. apalagi jika “tua” yang dimaksud berbanding lurus dengan kualitas keagamaannya. hal ini merupakan cerminan dari kearifan lokal madura, yang dikenal dengan istilah bepak-bepuk, guru, rato (bapak-ibu, guru, dan raja). orang tua dianggap sebagai sosok yang paling tahu dan mengerti. walaupun pada praktiknya, dalam masalah memutuskan sesuatu, guru (kiai/ulama) yang menempati urutan pertama (syamsul, 2003) fakta masyarakat seperti ini, merupakan suatu bentuk masyarakat yang rentan melahirkan konflik. sebab, akan terjadi hubungan yang sangat intens antara individu yang mendiami tanean lanjang. jika dilihat dari bentuk rumah, tanean lanjang hampir sama dengan perumahan yang sangat rapat. bedanya, pada rumah tanean lanjang, tidak ada pagar pemisah antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. 154 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah unsur-unsur terjadinya konflik sangat lengkap dalam masyarakat tanean lanjang. selain fakta di atas, ada fakta lain yang perlu dipotret. misalnya, tamu laki-laki hanya diterima di langgar. perempuan, tidak berhak menerima tamu laki-laki, apalagi sampai bercakap-cakap. melihat kenyataan ini, kaca mata modern akan menangkap kekakuan dalam hubungan sosial masyarakat tradisional tanean lanjang. dalam teori konflik social, lewis a. cose menyebutkan, bahwa kondisi yang kaku dalam suatu masyarakat tertentu adalah salah satu faktor penyebab konflik sosial (poerwanto, 1997). bukan hanya itu, kondisi sosial yang rapat, juga menjadikan intensitas hubungan semakin tak terhentikan. maka muncullah kecemburuan, ketidaksamaan pandangan dan sikap. sehingga intensitas hubungan ini menimbulkan bergeraknya “spinner konflik” yang bergerak dari kontradiksi ke sikap, dari sikap ke tindakan. ketika sesuatu mengalami “ketidakcocokan” maka lahirlah sikap yang mengungkapkan “ketidakcocokan” itu, yang lama-kelamaan perbedaan yang diungkapkan dalam sikap, muncul dalam bentuk tindakan. dalam regulasi tanean lanjang, keluarga senior (lebih tua) selalu berada dalam bangunan yang paling barat. ini termasuk pemicu konflik karena mengindikasikan adanya kekerasan struktural, seseorang harus menerima struktur tertentu yang tidak disesuaikan atas kualifikasi kemampuan. tetapi, walaupun syarat-syarat terjadinya orientasi negatif akibat konflik terpenuhi pada masyarakat tanean lanjang, tidak pernah terjadi bentuk pertentangan yang beralih menjadi tindak kekerasan (violent). v. strategi dakwah mengelola konflik dalam tanean lanjang akibat negatif yang ditimbulkan oleh suatu konflik selalu nampak lebih banyak, walaupun sebenarnya ada beberapa hal-hal positif yang dapat diraih dari adanya konflik. menurut dayle paul johson dalam waileruny – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 155 (2010), salah satu fungsi positif dari konflik adalah merangsang perubahan sosial (waileruny, 2010). hal ini bisa diraih hanya jika suatu konflik dapat dikelola dengan baik. melalui pengelolaan, suatu interaksi karena perbedaan bisa dikembangkan sebagai potensi bagi perkembangan dan kemajuan suatu masyarakat. kesadaran itu yang dimiliki oleh ulama dalam dakwahnya pada masyarakat tanean lanjang. ulama, sebagai pemberi tawaran kebijakan, menjadikan kesadaran akan hal positif dari konflik untuk menentukan keputusan. sebagaimana dikatakan oleh nata, bahwa fungsi dan peran dakwah adalah memasyarakatkan ajaran islam kepada umat manusia (nata, 2015). bentuk pemasyarakatan itu selalu menjadikan ulama sebagai ujung tombok atas terciptanya budaya islami. budaya yang memiliki prinsip dan dasar-dasar ajaran islam untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia. selain pemenuhan dua kebutuhan masyarakat di atas, setidaknya ada tiga hal lagi yang menjadi fokus dan peran ulama. pertama, ulama sebagai motivator bagi masyarakat. kedua, ulama sebagai pembimbing moral suatu masyarakat. ketiga, ulama sebagai mediator konflik (akhmad, 2002). karena itu, ulama perlu memiliki strategi dalam proses pemasyarakatan tersebut. beberapa strategi dakwah yang dilakukan ulama pada masyarakat tanean lanjang adalah sebagai berikut: a. strategi persuasif pengertian yang menunjuk langsung pada kata persuasif masih tidak terlalu banyak. beberapa pengertian lebih banyak bicara tentang pesan persuasif. walaupun demikian, setidaknya bisa diambil beberapa pengertian. misalnya menurut roeckelein dalam ritonga (2005) persuasi merupakan suatu proses komunikasi yang melibatkan empat pertimbangan utama: sumber, pesan, saluran, dan khalayak sasaran. selain itu, barata (2003) memberikan pengertian persuasif sebagai bentuk komunikasi yang dilakukan sebagai ajakan atau bujukan agar seseorang mau bertindak sesuai dengan keinginan komunikator. 156 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah dengan demikian, tindakan persuasif merupakan tindakan komunikatif dengan cara membujuk orang lain dengan mempertimbangkan sumber, pesan, saluran, dan khalayak sasaran, sehingga tujuannya tercapai. tujuan itu menurut habermas, setidaknya harus mencapai tiga klaim kebenaran. pertama, truth. klaim ini tercapai jika seseorang dapat menyepakati dunia alamiah dan obyektif, maka tercapailah klaim kebenaran itu. kedua, rightness. jika seseorang dapat sepakat atas pelaksanaan norma-norma sosial, maka dia telah mencapai klaim ketepatan. ketiga, sincerity. jika pengalaman batiniah seseorang dapat diekspresikan dalam tindakannya, maka ia mencapai klaim kejujuran (hardiman, 1993). jika dilihat dalam konteks dakwah, seseorang yang dapat memahami suatu ajaran yang disampaikan oleh dai, maka dakwah tersebut mencapai truth. lalu, jika seseorang dapat memahaminya dan menyepakati pelaksanaannya dalam konteks sosial maupun pribadi. berarti dakwah tersebut sudah mencapai tingkatan rightness. begitu juga jika seseorang sudah sampai melakukan dengan baik menurut pemahaman dan kesepakatannya. maka dia sudah sampai pada tingkatan sincerity. tingkatan-tingkatan kebenaran yang disampaikan habermas memberikan suatu pandangan bahwa persuasif adalah keyakinan. seseorang harus yakin tanpa dipaksa. masyarakat tanean lanjang sebagai masyarakat yang model interaksinya memusatkan segala pertimbangan pada ulama, meyakini ulama sebagai sesuatu yang dapat dipercaya, karena mereka memiliki kebenaran dan tulus. dalam sebuah wawancara misalnya, keh badi’ menyatakan. “saya sangat senang sekali. kalau hidup berkumpul denga keluarga seperti ini biasanya kan tidak banyak masalah. kalau ada masalah tidak parseko (jelek madura). hidup di tanean lanjhan ini juga memberikan ketenangan. kalau ada permasalahan biasanya dilakukan secara kekeluargaan. saya – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 157 di sini yang menyelesaikannya, karena saya sesepuhnya. kaulah cek bhungana, asabab se bada e taneyan lanjhang paneka sataretanan kabbhi (sangat senang, sebab semua yang ada dalam satu tanean lanjang adalah saudara madura).“ pemaparan keh badi tentu memberikan gambaran bahwa mereka melaksanakan aturan dalam tanean lanjang dengan perasaan senang dan gembira. hal itu juga sebagai motivasi mereka melaksanakan norma agama dan budaya yang terintegrasi dalam budaya tanean lanjang. kehidupan berkumpul dengan interaksi yang sangat rapat, sebenarnya merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik yang mengakibatkan hal negatif. tetapi dalam tenan lanjang, menjadi suatu peredam atas sebuah masalah. padahal di lain tempat, konflik yang melatarbelakangi carok terjadi antar keluarga yang masih dalam lingkup saudara, terutama berkaitan dengan warisan. sebagai pola dakwah yang tidak memaksa, pola dakwah persuasif dalam tanean lanjang dilakukan dengan tidak banyak melarang. misalnya, sebagaimana dikatakan kiai fayat, salah satu sesepuh keturunan kiai karay. beliau lebih suka mempertahankan iman daripada mempertahankan islam. walaupun islam adalah bentuk konkret dari iman. ditanya tentang ini, kiai fayat menjelaskan, bahwa iman adalah suatu keyakinan. sementara islam adalah pelaksanaan dari keyakinan. menurutnya, dakwah seharusnya membina iman secara intensif. menurut pengalaman beliau, banyak bajing (preman) yang insaf karena iman mereka kuat. kalimat yang sering disampaikan kiai fayat “kalian tidak apa-apa mencuri, asalkan kalian harus tetap iman, bahwa mencuri itu dosa, bahwa di antara kalian ketika berbuat ada malaikat yang terus mencatat, dalam kebaikan ada ganjaran, dalam kejahatan ada balasan”. dengan bekal ilmu agama yang dimiliki, ulama memberikan tuntunan dan patokan sebagai rambu-rambu, baik yang berasal dari kitab suci, maupun teladan para nabi, serta hukum-hukum agama yang merupakan elaborasi dari sabda tuhan menurut hasil pemikiran para 158 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah pemuka, pemimpin, dan pemikir agama pada masa lalu (akhmad, 2002). dalam masyarakat tanean lanjang tuntunan-tuntunan agama sangat kental mengatur hubungan sosial mereka. tetapi tetap dalam perasaan senang, karena keyakinan mereka telah diperkuat oleh dakwah persuasif ulama yang menjalankan fungsi motivator, pembimbing moral, dan fungsi mediator di tengah-tengah masyarakat tanean lanjang (akhmad, 2002). strategi persuasif ini bukan hanya sebagai penanaman doktrin keagamaan, tetapi juga agar doktrin tersebut juga dapat mengontrol dengan persuasif, bukan memaksa. b. strategi hikmah alquran mengulang kata al-hikmah secara kuantitatif dalam beberapa ayat. istilah hikmah dapat dimaknai sebagai metode dakwah yang diperlukan dalam menghadapi berbagai macam golongan masyarakat yang memiliki perbedaan. kata hikmah seakar dengan kata hakim dan hakam. kata yang terbentuk dari asal kata ha-ka-ma memiliki makna dasar menghalangi, seperti hukum yang menghalangi kedzaliman. hakamah, berarti tali yang mengendalikan hewan agar tidak liar (ghafur, 2014). artinya strategi ini mengandalkan agama sebagai pandangan dasar (the grounds of meaning). ajaran agama dijadikan landasan normatif untuk memotivasi masyarakat tanean lanjang, memediasi konflik antar masyarakat, serta sebagai fasilitasi. dalam strategi hikmah, ulama tidak hanya mengajarkan nilainilai agama, tetapi juga mengamalkannya. mereka tahu bahwa strategi hikmah sangat efektif jika seseorang dapat menyadari bahwa hikmah adalah kesesuaian antara pengetahuan dan perbuatan. ulama bukan hanya ceramah, tetapi juga aktif dalam kegiatan masyarakat tanean lanjang. dengan demikian, masyarakat secara otomatis mengikuti doktrin agama karena bentuk konkretnya jelas. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 159 bentuk konkretnya bisa dilihat ketika masyarakat tanean lanjang akan membuat rumah. sebagai masyarakat gotong-royong, rumah dalam masyarakat tanean lanjang adalah sesuatu yang harus dikerjakan bersama. ulama pun bisa ikut di dalamnya. kesempatan ini dimanfaatkan oleh ulama. hal ini dipaparkan oleh kiai abdillah dengan panjang lebar. bahwa mereka punya sikap ragep (guyub) bukanlah suatu rahasia lagi. landasan ta’awun ‘alal birri wat taqwa terkonfigurasi dengan sangat apik. ketika agama direpresentasikan dalam bentuk budaya yang tidak kaku, konflik dapat diarahkan pada hal-hal yang positif. hal ini karena memang, agama tidak saja mengenai beragama, tetapi juga tindakan keagamaan sebagai hamba di satu sisi, dan sebagai manusia sosial di sisi lain. c. strategi al-mauidzhah di antara strategi dakwah yang dipakai oleh para ulama dalam tanean lanjang adalah strategi al-mauidzah hasanah. strategi ini merupakan strategi yang dipakai untuk mereka yang masih anak-anak atau kemampuan spritiual dan intelektualnya tidak terlalu baik. menurut ali musthafa ya’qub sebagaimana dikutip oleh samsul munir, mauidzah hasanah, dapat diartikan sebagai ucapan-ucapan yang berisi nasihat baik dan bermanfaat bagi orang-orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang yang memuaskan sehingga pihak audien dapat menerima apa yang disampaikan dai (amin, 2009). dengan demikian, al-mauidzah hasanah merupakan dakwah yang mensyaratkan nasihat-nasihat yang baik dan memuaskan. perlu ada kejelasan efektivitas dalam perkataan yang disampaikan kepada objek dakwah, sehingga nasihat tersebut benar-benar dipahami dan dilakukan. dalam masyarakat tanean lanjang, tidak semua masyarakatnya merupakan masyarakat terdidik. bahkan ada juga yang tidak bisa baca 160 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah tulis. terutama orang-orang tua usia lanjut. selain itu, di antara mereka ada juga generasi yang masih anak-anak yang jelas secara spiritual dan mental, mereka masih sangat awam. konstruk budaya tanean lanjang, selalu menempatkan langgar di bagian barat rumah yang berderet kea rah timur. tempat ini bisa dijadikan tempat shalat jamaah, penerimaan tamu, dan melakukan musyawarah, baik tentang tani maupun kegiatan lainnya. menurut hasil wawancara dengan d. zawawi imron (2013), langgar dengan luas tanean yang memanjang itu biasa dijadikan tempat mendongeng tentang kisah-kisah nabi dan kisah-kisah sahabat, termasuk cerita dongeng. tanean yang panjang itu biasanya dijadikan tempat dongengan para orang tua, sementara anak-anak dan remaja menyimak di sepanjang tanean. para orang tua biasanya mendongeng tentang para nabi, cerita legenda, serta hal-hal yang memiliki banyak pelajaran. sedangkan langgar biasanya dijadikan tempat berbagai macam kegiatan, termasuk bercerita bengetoah (sesepuh), terutama ketika tera’ bulan (terang bulan). sambil menikmati terang bulan menikmati dongeng teladan. acara seperti ini memperkuat kebersamaan dan ukhuwah. kegiatan seperti ini, secara tidak langsung menjadikan dakwah lebih efektif. sebab, al-mau’idzah hasanah tersampaikan dalam suasana kekeluargaan yang guyub dan cair. tidak ada seremonial yang kaku dalam kegiatan tersebut. sehingga tujuan dakwah yang diinginkan tercapai. perbedaan-perbedaan yang menjadi salah satu penyebab munculnya konflik dapat dengan mudah dikelola. sang ulama, tahu seseorang sedang duduk dengan siapa ketika mendengar dongengan yang disampaikan oleh bengesepo. ini juga langkah ulama untuk mendeteksi hubungan yang tidak baik dalam keluarga tanean lanjang. ulama bukan saja bercerita, tetapi juga menjadi seorang matamata yang fokus pada gejala-gejala terjadinya konflik. dengan demikian, – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 161 ulama dapat dengan mudah mencarikan solusi dan memanggil orang yang berkonflik negatif. dalam wawancara dengan kiai bakar (2013), hal ini sebenarnya adalah pelaksanaan dari isyarat agama islam yang menyatakan anta ma’a man ahbabta (engkau bersama dengan apa yang kau cintai). akan sangat mudah sekali untuk melihat sikap seseorang dengan melihat temannya, atau sedang tidak suka dengan siapa. beberapa strategi dakwah tersebut, setidaknya dapat menjadi sebuah pilot project bagi tokoh masyarakat dan tokoh agama lain untuk dikembangkan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat atau budaya lain. khususnya bagi para dai, perlu disadari bahwa dakwah bukan saja ceramah. tetapi sebuah tanggung jawab intelektual keagamaan yang bisa saja terkonfigurasi dalam praktik yang lain, dengan terlebih dahulu mengetahui kebudayaan yang bisa dijadikan media antisipasi konflik. pemanfaatan pada nilai-nilai kebudayaan sangat penting, sehingga dakwah benar-benar dapat diterima dan bukan menjadi sesuatu yang asing dalam pikiran mad’u. karena itu, dakwah akan semakin efektif dan berpengaruh. dengan mengacu pada pola dan strategi dakwah yang dilakukan oleh ulama dalam masyarakat tanean lanjang, nilai-nilai kebudayaan dijadikan strategi antisipasi konflik yang sudah dapat dilihat indicator keberhasilannya. vi. kesimpulan pada hakikatnya, konflik merupakan keadaan yang dapat memberikan banyak manfaat, sebagaimana merujuk pada pengertian scannel pada awal tulisan ini. tetapi itu tidak mudah. walaupun konflik dapat berubah pada hal positif, konflik tetap bermula dari ketidaksamaan, ketimpangan, dan kecemburuan. karenanya perlu ada strategi untuk menjadikannya berubah menjadi sesuatu yang positif. misalnya, mengarahkan perbedaan latar belakang pada kesamaan 162 | ach. nurholis majid – tanean lanjang sebagai strategi dakwah visi. perbedaan potensi menuju produksi mutual dan lain sebagainya. dalam kaitannya dengan konflik, masyarakat tanean lanjang merupakan masyarakat yang sudah sangat akrab dengan konflik yang positif. salah satu pendukung dalam pengelolaan konflik ini adalah ulama di sekitar kawasan masyarakat tanean lanjang sendiri. dalam beberapa temuan yang didapat, ulama dapat mengelola konflik dengan menerapkan dakwah sebagaimana diperintahkan. para ulama dalam tanean lanjang melakukan dakwah kultural dengan menerapkan strategi persuasi, yakni mengajak dengan membujuk disertai fakta-fakta logis dan alasan yang tepat. selain itu, ulama tanean lanjang juga menggunakan strategi al-hikmah. strategi yang meniscayakan dikenalkannya aturan agama untuk diterapkan kepada masyarakat. diantara syarat lainnya, strategi ini juga membutuhkan adanya contoh konkret dari aturan agama tersebut, sehingga seseorang yang diajak melalui strategi ini dapat yakin dan melaksanakannya. tidak hanya dua strategi itu yang diterapkan oleh ulama tanean lanjang. strategi lain dalam dakwah mereka untuk menjadikan konflik berubah menjadi sesuatu yang positif, adalah al-mauidzhah hasanah. al-mau’idzah hasanah dalam dakwah mereka lebih banyak diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang guyub. misalnya, cerita dan dongengan di sepanjang halaman tanean lanjang. dalam kesempatan seperti ini, ulama juga dapat mengidentifikasi siapa sedang tidak akur dengan siapa. sehingga hubungan yang tidak baik dapat segera diselesaikan. daftar pustaka akhmad, d. (2002). sosiologi agama. bandung: rosdakarya. amin, s. m. (2009). ilmu dakwah (1st ed.). jakarta: amzah. barata, aa. (2003). dasar-dasar pelayanan prima untuk meningkatkan kepuasan loyalitas. pelanggan. jakarta: elex media komputindo. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 163 ghafur, w. a. (2014). dakwah bil-hikmah di era informasi dan globalisasi berdakwah di masyarakat baru. jurnal ilmu dakwah, 34(2), 236–258. https://doi.org/10.21580/jid.v34.2.69 hardiman, f. b. (1993). menuju masyarakat komunikatif. yogyakarta: kanisius. kuntowijoyo. (2006). budaya dan masyarakat. yogyakarta: tiara wacana. moleong, l. j. (2005). metodologi penelitian kualitatif. bandung: remaja rosda karya. nasdian, ft. (2015). sosiologi umum, jakarta: yayasan pustaka obor indonesia. nata, a. (2015). studi islam komprehensif. jakarta: kencana. poerwanto, h. (1997). teori konflik dan dinamika hubungan antarsukubangsa. humaniora, 0(6). https://doi.org/10.22146/ jh.v0i6.1861 scannell, m. (2010). the big book of conflict resolution games. united states of america: mcgraw-hill companies, inc. supratiknya. (1995). komunikasi antarpribadi. yogyakarta: kanisius. waileruny, s. (2010). membongkar konspirasi di balik konflik maluku. jakarta: yayasan pustaka obor indonesia. wiyata, a. l. (2002). carok: konflik kekerasan dan harga diri orang madura. yogyakarta: lkis yogyakarta hasan, s. a. (2003). kharisma kiai as’ad di mata umat. yogyakarta: lkis yogyakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1402 muhamad iqbal cesilia prawening institut agama islam negeri purwokerto keywords: honesty and spiritual communication principles, religious truths http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: iqbalabu54@gmail.com cesiliaprawening@gmail.com abstract the digital era is shown by the swift flow of information that is directly consumed by every layer of society, including children. children who always witness public lies with claims of religious truth result in low social and emotional attitudes of children. this type of research is library research and this research is a qualitative descriptive study. research concludes that the principle of honesty through reflective efforts will provide space for awareness of god and humans. this paper contributes to describing the understanding of spiritual communication in the digital era era digital ditunjukkan dengan derasnya arus informasi yang secara langsung dikonsumsi oleh setiap lapisan masyarakat termasuk anakanak. anak-anak yang selalu menyaksikan kebohongan publik dengan klaim kebenaran beragama berakibat pada rendahnya sikap sosial dan emosi anak. jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. penelitian menyimpulkan bahwa prinsip kejujuran melalui upaya reflektif akan memberikan ruang kesadaran kepada tuhan dan juga manusia. tulisan ini berkontribusi untuk mendeskripsikan pemahaman komunikasi spiritual di era digital. abstrak kata kunci: prinsip kejujuran dan komunikasi spiritual, kebenaran beragama al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 176 i. pendahuluan salah satu fenomena digital yang dihadapi masyarakat abad 21 adalah kecepatan akses informasi yang tidak terbendung. munculnya teknologi informasi yang sederhana atau yang kita kenal dengan media sosial turut memengaruhi, bahkan menumbuhkan pola kepribadian masyarakat. media sosial yang memuat informasi dengan mudah memberikan kepercayaan publik. rendahnya nalar kritis masyarakat membuat mereka tidak mampu membedakan informasi yang benar dan salah. dalam bahasa agama, tidak sedikit masyarakat menjadi taqlid. data asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia (2018) menunjukkan, bahwa pengguna internet di indonesia pada 2017 mencapai 143,26 juta orang. sedangkan, tahun sebelumnya 132,7 juta orang. mayoritas pengguna internet di indonesia mengakses media sosial (medsos). derasnya informasi media sosial tersebut tidak diimbangi dengan literasi digital masyarakat kita. ujaran kebencian dan informasi palsu/hoax yang meresahkan, bahkan berujung pada pertikaian dan saling tuduh. hal ini diperparah dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh kompas yang menunjukkan bahwa hanya sepertiga bagian responden (36,7 persen) yang selalu mengecek kebenaran sebuah berita. lebih dari separuh responden menyatakan jarang memeriksa atau sesekali mengecek kebenaran informasi. padahal, hampir separuh bagian responden mengaku tidak yakin dengan kebenaran berita yang mereka sebarkan. hal yang lebih miris adalah banyak pengguna media sosial tidak saja menebarkan informasi aktual, tetapi juga meneguhkan klaim kebenaran dan menganggap pihak lain salah. hal ini tentu menciptakan kekhawatiran tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk anak-anak sebagai generasi bangsa. anak-anak berbeda dengan orang dewasa yang memiliki nalar kritis lebih baik. apabila anak-anak tidak bisa mengenali batas antara kecurangan dan kejujuran, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang pragmatis dan mudah mendapat pengaruh negatif (dewayani, 2016). anak-anak adalah aset berharga bangsa yang harus dipersiapkan sehingga, anak-anak membutuhkan perkembangan dan pertumbuhan yang baik. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 177 saat ini anak-anak tumbuh di zaman yang mengandung arus informasi yang sangat deras. selain itu, alat teknologi dan informasi, seperti gawai, internet, dan sejenisnya, mudah dijangkau oleh anak-anak. isi dari informasi-informasi tersebut ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. informasi positif adalah informasi yang mengandung unsur pembelajaran yang bermanfaat bagi perkembangan anak-anak. adapun konten informasi yang bersifat negatif adalah informasi yang berpotensi merusak pemikiran dan perkembangan anak-anak. pengaruh negatif dari kemajuan teknologi dan informasi ini menurut ngafifi (2014) dan nurhaidah & musa (2015) misalkan kemerosotan moral, kenakalan, dan penyimpangan. terlebih lagi, ketika saat ini kehidupan dipenuhi oleh dinamika politik dan agama, terdapat banyak sekali informasi palsu yang memuat kebencian yang berasal dari oknum yang mengatasnamakan agama. bahkan, hal itu disukai dan diamini oleh ribuan orang. banyak orang yang menerima informasi semacam ini kemudian tidak mengklarifikasi. justru, muncul banyak prasangka. prasangka memang berpotensi besar terjadi ketika seseorang menerima informasi karena menurut baron & byrne (2004) ketika seseorang berprasangka maka, tidak perlu repot-repot melakukan pengecekan. selain itu, menurut martono (2012) perkembangan teknologi yang mengandung banyak informasi membuat seseorang mengalami perubahan kecenderungan berpikir. di sisi lain, menurut susanto (2016), hal terpenting bagi masyarakat adalah memenuhi kebutuhan informasi sepihak sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. faktor-faktor ini menyebabkan seseorang menerima informasi, meskipun validitas dan kebenaran informasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. berbagai kondisi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan arus informasi tersebut bisa berdampak pada diri anak, salah satunya akan berpotensi mengganggu perkembangan emosi dan sosial anak. terlebih lagi jika meninjaunya berdasarkan perspektif bioekologi (bronfenbrenner, 2005; (mubasyaroh, 2017; kamenopoulou, 2016; alvi, usman, & refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 178 amjad, 2018), apapun yang terjadi pada lingkugan anak, baik lingkungan mikrosistem, mesosistem, kronosistem, dan makrosistem, akan dapat berdampak pada perkembangan anak. salah satunya adalah informasi yang dibawa oleh teknologi. anak-anak akan memahami bahwa informasi yang didapatkannya adalah benar. tentu hal ini bisa berpotensi menimbulkan dampak buruk jika anak tidak memahami bahwa tidak setiap informasi adalah benar. dengan demikian, anak-anak harus diberikan pemahaman tentang perbedaan mana informasi dan pengetahuan. pada titik ini, anak sejak dini membutuhkan prinsip kejujuran sebagai resistensi moral anak. kejujuran sebagai prinsip moral pertama yang dikenalkan nabi muhammad saw sebelum masa kenabiannya. bukan tanpa sebab, prinsip kejujuran yang dibawa oleh nabi muhammad saw terbukti menguatkan dan memperkokoh karakter dan kepribadian nabi muhammad saw. nabi muhammad saw tumbuh dengan kerendahan hati, sikap terbuka, disiplin diri, lemah lembut dan kasih sayang yang berlimpah. sehingga, kejujuran inilah yang membuat nabi muhammad saw mendapat gelar al-amin serta membawa masyarakat yang memiliki peradaban. dengan demikian, kejujuran yang berasal dari nurani manusia tentu tidak akan memunculkan kebencian ataupun kekerasan. prinsip kejujuran yang diperkenalkan nabi muhammad saw merupakan kejujuran sebagai upaya reflektif dalam memberikan respons yang baik kepada orang lain. kejujuran inilah yang kemudian dapat bertahan dan menjadi komunikasi spritual dalam menyebarkan islam yang rahmatan lil ‘âlamîn. penelitian tentang kejujuran sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. suud & subandi (2017) melakukan penelitian yang membahas dampak dari kejujuran ditinjau dari perspektif psikologi islam. tulisan tersebut menjelaskan kajian konsep dan empiris kejujuran. kajian tersebut menghasilkan bahwa makna kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan, perbuatan, dan perasaan yang sebenarnya. kejujuran dideskripsikan dapat menghasilkan ketenangan, baik secara fisik maupun psikis. fokus dari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 179 penelitian tersebut ada pada pendekatan psikologi dalam islam. persamaan antara tulisan peneliti dengan tulisan tersebut adalah subjek yang dikaji sama-sama mendalami tentang kejujuran. hanya saja gambaran yang diberikan masih sangat umum. penelitian lain tentang kejujuran dalam konteks anak dan pendidikan adalah penelitian karuniawati, agusti, & a’izzatunni’mah (2018) tentang assertive training untuk meningkatkan karakter jujur pada siswa sd; penelitian fadillah (2012) mengenai kejujuran sebagai salah satu pendongkrak pendidikan karakter di sekolah; penelitian sukmawati (2016) tentang peran kejujuran akademik (academic honesty) dalam pendidikan karakter studi pada mahasiswa; penelitian fitri, safei, & marjuni (2016) yang menghasilkan bahwa kejujuran berpegaruh pada hasil belajar siswa; penelitian arianto (2016) tentang pengaruh unit kegiatan mahasiswa (ukm) pramuka terhadap pembentukan karakter jujur mahasiswa; penelitian khotimah, fadhli, & habibi (2017) yang menghasilkan teknik classroom developmental bibliotherapy efektif dalam meningkatkann kejujuran akademik dalam pembelajaran; penelitian muhasim (2017) tentang studi fenomenologi terhadap kejujuran masyarakat modern; penelitian messi & harapan (2017) tentang menanamkan nilai nilai kejujuran di dalam kegiatan madrasah berasrama; penelitian liana (2018) mengenai strategi menanamkan kejujuran pada peserta didik menjelang ujian nasional; penelitian amin (2017) tentang peran guru dalam menanamkan nilai kejujuran pada lembaga pendidikan; dan penelitian baharuddin (2016) tentang cara meningkatkan kejujuran siswa dengan konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam. kajian dalam jurnal ini berbeda dengan penelitian terdahulu. pertama, perbedaan tersebut terletak pada metode penelitian yang digunakan, yaitu kajian literatur. kajian ini merupakan penelitian dokumen (library research) dengan pendekatan tekstual dan fenomenologi. pendekatan tekstual dilakukan dengan kajian teoritis yang mendalam terhadap objek penelitian, yaitu prinsip kejujuran sebagai komunikasi spritual. selain itu, penelitian refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 180 ini merupakan penelitian deskriptif sebagai ciri penelitian kualitatif. kedua, perbedaan dengan penelitian terdahulu terletak pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian. ketiga, perbedaan terletak pada lokasi penelitian. selain itu, penelitian mencoba mengelaborasikan perspektif kajian keislaman, komunikasi, dan psikologi. berdasarkan berbagai penjelasan tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana penerapan kejujuran dalam rangka untuk merefleksikan kebenaran sebagai salah satu cara anak berkomunikasi di era digital saat ini? ii. hasil penelitian dan pembahasan a. refleksi kebenaran dalam beragama refleksi merupakan upaya melihat kembali innerprocess dalam pikiran dan perasaan. bagi john dewey (1997; wasitohadi, 2014) karakter individu yang reflektif adalah memiliki keterbukaan pikiran, kemauan untuk menerima tanggungjawab terhadap pandangan pribadi, serta keberanian menghadapi rasa takut dan ketidakpastian serta penuh antusiasme. fenomena peneguhan kebenaran yang tersebar di media sosial (medsos) dengan mengatasnamakan agama menjadi perhatian yang serius. sangat disayangkan, masyarakat tidak banyak yang melakukan upaya reflektif setiap kali mendapatkan informasi. dengan kata lain, tidak banyak masyarakat yang mengecek kebenaran dari informasi tersebut. kebenaran yang disampaikan hanya berlandaskan kepentingan pribadi dan memperkokoh bahwa dirinya benar dan menyudutkan bahwa pihak lain salah. sudarminta (2007) dalam ceramahnya menjelaskan bahwa upaya peneguhan kebenaran dengan sikap kritis seharusnya tidak saja ditujukan pada klaim kebenaran orang lain, tetapi juga pada dirinya sendiri. menurutnya, bahwa orang yang benar adalah orang yang jujur dan tulus. mustahil ketulusan memunculkan kekerasan dan kebencian. bahkan, nabi muhammad saw pun dalam menyampaikan ajaran agamanya selalu mengutamakan ketulusan dan kelemahlembutan. nabi muhammad saw memberikan contoh nyata dalam berdakwah melalui upaya reflektifnya. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 181 beliau memiliki kebiasaan menyuapi seorang nenek tua yahudi yang selalu menjelekkan nabi muhammad saw di hadapannya sendiri. ketulusan dan kejujuran tidak dapat memunculkan kebencian dan kekerasan karena ketulusan dan kejujuran tidak mengandung unsur prasangka. seseorang yang tulus akan mencari kebenaran informasi yang diterima dan kemudian menyampaikan informasi dengan jujur. dengan demikian, nabi muhammad saw dalam menyampaikan kebenaran ajaran agamanya selalu mengutamakan ketulusan. sama halnya dengan pernyataan di awal bahwa orang yang benar adalah orang yang jujur dan tulus. sehingga dalam praktik beragama dan bermoral, orang yang benar adalah orang yang beriman dan berperilaku baik. sebab penentuan benar dan salah inilah yang harus memiliki keterlibatan dengan manusia sehingga nilai moral manusia sebaiknya dibedakan dengan kebaikan yang diperintahkan tuhan. demikian, konsep kejujuran dengan kesesuaian pada prinsip islam ini menunjukkan pada hubungan kesadaran kepada tuhan dan hubungan kesadaran kepada manusia. kejujuran pada prinsip kesadaran kepada tuhan. kejujuran ini memiliki dasar dalam kejujuran beragama. dalam islam sendiri, agama atau ad-dîn memiliki pengertian asalnya yang berarti berkeadaban. madjid (2007) menyebutkan bahwa kota madinah yang sebelumnya memiliki nama yatsrib ini memiliki pengertian kota peradaban. kejujuran sepatutnya bukan saja diartikan sebagai nilai moral. kejujuran juga memiliki ruang spritiual atau ruang komunikasi manusia kepada tuhannya. sehingga, kejujuran yang dilakukannya membuatnya menerima perbedaan atas ciptaan tuhan di sekelilingnya. jujur adalah perilaku menyatakan apa adanya, terbuka, konsisten antara perkataan dan perilaku, serta tidak curang (samani, 2013). selain itu, perilaku jujur merupakan kata dasar dari kejujuran yang berarti lurus hati; tidak berbohong (misal berkata apa adanya); tidak curang (misal dalam permainan mengikuti aturan yang berlaku); tulus; ikhlas (poerwadarminta, 2007). berdasarkan pengertian perilaku jujur tersebut, seseorang yang refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 182 jujur akan menyadari tentang perbedaan yang ada. seseorang yang jujur akan memiliki pandangan seperti apa adanya, bahwa perbedaan itu realitas yang harus diterima. bukan justru dipermasalahkan untuk diseragamkan sehingga muncul perilaku menganggap salah kelompok dan klaim kebenaran sepihak. perilaku tidak mengakui perbedaan yang ada sebagai realitas bertolakbelakang dengan perilaku jujur yang memiliki arti terbuka. maka dari itu, perilaku tidak jujur berupa menutup diri dari perbedaan sebagai realitas tersebut kemudian menyebabkan kaim kebenaran sepihak yang menjadikan seolah otoritas tuhan menjadi hilang. kejujuran dalam pengertian sebagai suatu perilaku yang menyatakan apa adanya akan membawa pada kesadaran mengenai upaya reflektif terhadap diri sendiri bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas. dengan demikian, kejujuran dalam bentuk yang seperti ini memberikan pemahaman bahwa dirinya masih mencari kebenaran, bukan pembenaran seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatasnamakan agama. adapun kejujuran pada prinsip kesadaran kepada manusia adalah kejujuran yang bersifat horisontal. kejujuran horisontal ini merupakan wujud kejujuran yang berlandaskan pada nilai moral manusia. kejujuran pada prinsip ini menekankan pada apa yang tertanam dalam diri manusia. manusia memiliki kecenderungan nurani yang dapat memunculkan kejujuran diri dengan keseluruhan. kejujuran hidup bersama dan memiliki cita-cita kesejahteraan bersama adalah kejujuran yang sepatutnya dipublikasikan. dengan demikian, kejujuran yang bersifat horisontal ini dapat diimplementasikan dalam bentuk perilaku yang menurut wibowo (2012) dan yaumi (2014) didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya. dalam bentuknya yang lebih detil dan konkret, kejujuran semacam ini dapat diwujudkan dengan tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenaran dan mengandung unsur kebencian. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 183 berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kejujuran merupakan bagian dari komunikasi spiritual. hal ini dikarenakan dalam kejujuran terdapat nilai moral dan agama. di sisi lain, kejujuran mengandung sikap kesadaran akan keterbatasan diri secara apa adanya sekaligus mengakui perbedaan secara apa adanya sebagai realitas yang diciptakan oleh tuhan. dalam konteks derasnya arus informasi yang mengandung konten negatif berupa unsur kebencian atas nama agama dan klaim kebenaran secara sepihak, kejujuran dalam arti sebagai perilaku menerima realitas secara apa adanya dan menyatakan secara apa adanya pula menjadi penting. oleh karena itu, kejujuran hendaknya diinternalisasikan dengan sistematis terhadap anak di era digital. b. prinsip kejujuran sebagai rahmatan lil ‘âlamîn aktualisasi prinsip kejujuran melahirkan sistem pemahaman yang relevan dengan cita-cita peradaban melalui agama islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. untuk mewujudkan ini, implementasi pemahaman harus dilakukan dengan internalisasi pengetahuan sebagai gerakan aktualisasi pemahaman mengenai prinsip kejujuran. berdasarkan kajian yang sudah dilakukan, maka aktualisasi prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual bagi anak pada era digital ini dengan melalui pemahaman sebagai berikut. pertama, pemahaman tentang hak. orangtua atau pendidik dapat memberikan penjelasan sederhana mengenai hak. misalnya, menjelaskan kepunyaan pribadi dan orang lain dengan baik. dengan memberikan pemahaman mengenai hak, anak akan mengerti untuk menghormati orang lain. dengan memberikan pengertian sederhana tentang hak kepada anak. anak akan menyadari tentang caranya memberikan penghargaan kepada orang terdekat termasuk orangtua. misalnya, dapat menjaga atau merawat barang pribadi dan orang lain. kedua, pemahaman dan pengajaran tentang keberanian. banyak anak-anak diliputi rasa takut dan membuat mereka menjadi tidak jujur. kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan membuat mereka takut refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 184 untuk secara terbuka bersikap jujur. anak-anak masih takut dengan bayang-bayang hukuman menimpa mereka. di sinilah orangtua atau guru sebaiknya memberikan perhatian dan pemahaman mengenai hukuman. ketakutan yang menimpa diri anak dapat disebabkan oleh bayangan hukuman fisik yang diterima. pemberian hukuman ini pada titik tertentu memang penting karena memang didasarkan pada paradigma dan konsep teori yang kuat, yaitu paradigma psikologi keperilakuan yang dicetuskan oleh b.f. skinner tentang penguatan negatif yang berupa hukuman (amutan, 2014; omomia & omomia, 2014). meskipun demikian, pemberian hukuman terhadap anak yang tidak jujur hendaknya menggunakan teknik yang tidak memunculkan pengalaman traumatis pada anak. dengan kata lain, pemberian hukuman diberikan bukan semata-mata memunculkan efek jera, tetapi juga mengandung unsur edukatif. misalnya, menyuruh anak membaca buku 10-20 halaman saat anak melakukan kesalahan yang disengaja. dengan begitu, keberanian anak tidak terhambat untuk tumbuh. di sisi lain, pemberian hukuman secara fisik akan berdampak buruk pada anak (mckee et al., 2007). dalam konteks pendidikan kejujuran, memberikan hukuman pada anak yang tidak jujur akan menimbulkan ketakutan dan hambatan untuk memperbaiki kejujurannya. ketiga, pemahaman inklusif/bersikap terbuka. ketidakjujuran adalah bentuk lain dari pribadi yang tertutup atau tidak transparan. anak-anak yang mengalami hal ini dapat ditunjukkan dengan sikap yang cenderung tidak suka dikoreksi. anak-anak pada umumnya memang tidak suka dikoreksi atau ditegur saat mendapatkan kesalahan. di sinilah seharusnya orang tua dapat memberikan ruang pribadi saat anak hendak diberikan teguran. misalnya, tidak menegur anak di hadapan banyak orang atau temantemannya. orangtua sebaiknya menegur anak saat ia tengah sendirian. hal ini akan mengurangi rasa malu anak atas kesalahan yang dilakukannya. orang tua harus pandai memberikan nasihat dengan lemah lembut dan tidak menyudutkan anak. cara menasihati semacam ini termasuk pada teknik induktif, yaitu teknik pendisiplinan yang mengandung unsur empati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 185 pada anak (lestari, 2016). dengan begitu, anak-anak akan lebih mengerti dan memahami kesalahannya agar tidak mengulanginya saat ia dihargai. selain itu, orang tua atau pendidik hendaknya memberikan solusi yang baik kepada anak sesuai dengan kemampuannya agar dapat memperbaiki perilaku jujur. keempat, pemahaman sosial. jujur tidak saja menyangkut diri sendiri. bersikap jujur adalah juga menyangkut pribadi orang lain. memberitahukan bahwa sikap jujur akan memberikan kemudahan orang lain untuk mendapatkan informasi. orangtua dapat memberitahukan pada anak bahwa bersikap jujur berarti tidak merekayasakan sesuatu. bila perlu, orang tua bisa menceritakan tentang sosok inspiratif yang dikenal sebab kejujurannya. menceritakan sosok inspiratif ini termasuk upaya pembentukan perilaku dengan teknik pemodelan atau modeling. menurut albert bandura (feist, feist, & roberts, 2017), pemodelan meliputi proses kognitif yang merepresentasikan secara simbolis suatu informasi dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan. ketika orang tua menceritakan tokoh inspiratif yang mengutamakan kejujuran dalam menyampaikan kebenaran (bukan menyampaikan kebencian), maka anak akan menyimpan informasi tersebut dan kemudian mengolahnya untuk selanjutnya diimplementasikan di masa mendatang. di sisi lain, kejujuran dapat diinternalisasikan dengan menanamkan dampak positif dari kejujuran. menurut akar & özkan (2017); rosenbaum, billinger, & stieglitz (2014); wells & molina (2017), kejujuran memiliki banyak dampak positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. bahkan, kejujuran dapat meningkatkan integritas. kelima, pemahaman tentang kejujuran sebagai komunikasi spiritual. jujur tidak saja mengantarkan anak untuk berkomunikasi pada orang lain. kejujuran juga dapat dijadikan ruang komunikasi spritual bagi anak. jujur merupakan suatu titik tempat bertemunya antara pengetahuan, pemahaman, dan tindakan. orang tua atau pendidik dapat menceritakan kepada anak, bahwa dengan bersikap jujur ruang komunikasi spiritual menjadi terbuka. refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 186 keenam, pemahaman sebagai kerendahan hati. kejujuran melahirkan kerendahan hati kepada orang lain. bersikap jujur memberikan keterbukaan diri dan melapangkan hati. sebab, kejujuran melahirkan ketulusan dalam memahami orang lain. dengan begitu, kejujuran menjadi bagian dari pemahaman diri dan orang lain sehingga, dapat melahirkan pengakuan keterbatasan diri (permatasari, 2016). enam prinsip ini diimplementasikan dengan memperhatikan perkembangan kognitif, afektif, dan moral anak. hal ini penting agar proses internalisasi nilai kejujuran yang dapat diimplementasikan dalam berkomunikasi di era digital serta tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya dapat berhasil dengan baik. jika ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan, implementasi internalisasi kejujuran yang disesuaikan dengan taraf perkembangan anak akan menjamin keberhasilan internalisasi tersebut sampai pada puncak perembangan moral. menurut lawrence kohlberg (kohlberg & hersh, 1977; zhang & zhao, 2017), puncak dari perkembangan moral adalah ketika seorang anak memahami moral berdasarkan prinsip universal dan kata hati individu. perkembangan moral ini termasuk perkembangan moral puncak, yaitu penalaran moral pascakonvensional. selain itu, menurut inten (2017) internalisasi nilai kejujuran juga penting dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas kehadiran orang tua atau orang yang berperan, belaian kasih sayang, kehangatan, dan perhatian. terbukanya akses informasi menciptakan ruang komunikasi yang tidak dapat dilewatkan oleh setiap lapisan masyarakat termasuk anak-anak. orang dewasa yang seharusnya dapat memegang teguh kejujuran dengan belajar dari masa lalunya justru banyak dari mereka yang mengingkari kenyataan yang sebenarnya. pengaruh kebohongan publik yang disaksikan setiap hari di hadapan anak tentu dapat berdampak buruk. ketika keluarga dan sekolah telah memberikan upaya untuk menumbuhkan kejujuran, namun dalam masyarakat nilai tersebut cenderung dilecehkan, maka anak akan terpengaruh untuk tidak melakukannya. seperti yang telah dijelaskan, al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 187 menurut bronfenbrenner (2005), bahwa setiap apapun yang terjadi pada salah satu tingkatan bioekologi, maka akan berdampak pada anak. maka dari itu, masyarakat luas pun juga perlu berkontribusi dalam rangka menginternalisasi kejujuran pada diri anak sebagai prinsip komunikasi di era digital. dengan demikian, informasi yang berisi unsur kebencian, belum jelas kebenaran dan mengandung unsur kebohongan bahkan fitnah, informasi yang berisi kebenaran sepihak, dapat diminimalisir. kejujuran sangat penting ditanamkan bagi anak meskipun hal itu tidak mudah. orang tua sebagai orang dewasa dapat menjadi alat peraga yang bergerak dan selalu mengedepankan kesesuaian realitas yang ada. dalam agama islam pun kejujuran menjadi kepribadian yang pertama kalinya diperkenalkan bahkan sebelum masa kenabian muhammad saw. kejujuran yang dibawa nabi muhammad saw adalah karakter superior yang memiliki komunikasi spiritual. agama islam sebagai agama rahmatan lil ‘âlamîn memiliki prinsip dasar dalam beragama yang dalam terjemahan bebasnya bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. di sinilah prinsip persuasif pada kebenaran sebenarnya merupakan hubungan horizontal yang meneguhkan bahwa tuhan sepenuhnya yang memiliki otoritas dalam memberikan pemahaman atau yang dalam bahasa agama disebut dengan hidayah. iii. kesimpulan kejujuran merupakan karakter superior yang dapat dimiliki setiap manusia. kesadaran mengenai kejujuran harus ditanamkan sejak dini. anak-anak yang mengenali kejujuran harus diberikan pemahaman yang relevan mengenai kejujuran. pemahaman hak, keberanian, inklusif, sosial, komunikasi spiritual dan kerendahan hati adalah beberapa alternatif yang dapat memberikan peningkatan anak dalam mempraktikkan kejujuran. semua hal itu akan mengantarkan anak pada nilai aktivitas keseharian mengenai kejujuran. refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 188 kajian ini akan mempermudah proses ruang komunikasi spiritual anak melalui kejujuran untuk menumbuhkan karakter yang baik. namun, masih terdapat kajian yang kurang mendalam sehingga penelitian ini masih membutuhkan tindakan peneliti selanjutnya. daftar pustaka akar, c., & özkan, ö. (2017). values of honesty and integrity in kutadgu bilig. bilig, 123–145. alvi, f. s., usman, a., & amjad, a. (2018). the ecological systems theory : a dimension of understanding the changing youth in pakistan. journal of the research society of pakistan, 55(1), 95–105. amin, m. (2017). peran guru dalam menanamkan nilai kejujuran pada lembaga pendidikan. tadbir: jurnal studi manajemen pendidikan, 1(1), 105–124. https://doi.org/10.29240/jsmp.v1i1.222. amutan, k. i. (2014). a review of b.f. skinner’s reinforcement theory of motivation. international journal of research in education methodology, 5(3), 680–688. arianto, j. (2016). pengaruh unit kegiatan mahasiswa (ukm) pramuka terhadap pembentukan. jurnal bhinneka tunggal ika, 4(1), 1–13. asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia. (2018). survei apjii: penetrasi internet di indonesia capai 143 juta jiwa (buletin apjii edisi 22). apjii.or.id, p. 3. baharuddin, y. h. (2016). konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam untuk meningkatkan kejujuran siswa (studi kasus di smp-it masjid syuhada yogyakarta). al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 1(2), 215–232. https://doi.org/10.22525/ balaghv1i2.355 baron, r. a., & byrne, d. (2004). psikologi sosial. jakarta: erlangga. bronfenbrenner, u. (2005). the bioecological theory of human development. in u. bronfenbrenner (ed.), making human beings human: bioecological perspectives on human development (pp. 3–15). london: sage publication. dewayani, s. (2016). agar anak jujur. jakarta: komisi pemberantasan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 189 korupsi republik indonesia direktorat pendidikan dan pelayanan masyarakat. dewey, j. (1997). how we think: a restatement of the relation of reflective thinking to the educative process. new york: dover. fadillah. (2012). kejujuran salah satu pendongkrak pendidikan karakter di sekolah. jurnal visi ilmu pendidikan, 9(3), 968–980. https://doi. org/10.26418/jvip.v9i3.432 feist, j., feist, g. j., & roberts, t.-a. (2017). theories of personality: teori kepribadian, buku 2 (r. a. h. d. pertiwi, ed.). jakarta: salemba humanika. fitri, n., safei, & marjuni. (2016). pengaruh sikap kedisiplinan dan kejujuran peserta didik terhadap hasil belajar biologi. jurnal biotek, 4(1), 83–100. inten, d. n. (2017). penanaman kejujuran pada anak dalam keluarga. jurnal familyedu, iii(1), 35–45. kamenopoulou, l. (2016). ecological systems theory: a valuable framework for research on inclusion and special educational needs/ disabilities. pedagogy, 88(4), 515–527. karuniawati, a., agusti, i. p. e., & a’izzatunni’mah, r. (2018). assertive training untuk meningkatkan karakter jujur pada siswa sd. prosiding seminar nasional “penguatan pendidikan karakter pada siswa dalam menghadapi tantangan global,” 135–140. kudus: universitas muria kudus. khotimah, s. k., fadhli, m. i., & habibi, y. (2017). meningkatkan kejujuran akademik: efektivitas classrom developmental bibliotherapy dalam pembelajaran. humanitas, 14(2), 90–102. https://doi. org/10.26555/humanitas.v14i2.5509 kohlberg, l., & hersh, r. h. . (1977). moral development : a review of the theory. teory into practice, 16(2), 53–59. lestari, s. (2016). psikologi keluarga: penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga (1st ed.). jakarta: kencana prenadamedia. liana, d. (2018). penanaman nilai kejujuran saat ujian nasioal di smk nurul iman palembang. belajea: jurnal pendidikan islam, 3(1), 23–45. https://doi.org/10.29240/bjpi.v3i1.386 madjid, n. (2007). ensiklopedi nurcholish madjid. bandung: mizan. martono, n. (2012). sosiologi perubahan sosial: perspektif klasik, modern, postmodern, dan postkolonial. jakarta: rajagrafindo persada. refleksi kebenaran: prinsip kejujuran – muhamad iqbal & cesilia prawening 190 mckee, l., roland, e., coffelt, n., olson, a. l., forehand, r., massari, c., … zens, m. s. (2007). harsh discipline and child problem behaviors : the roles of positive parenting and gender. journal of family violence, 22(4), 187–196. https://doi.org/10.1007/s10896007-9070-6 messi, & harapan, e. (2017). menanamkan nilai nilai kejujuran di dalam kegiatan madrasah berasrama (boarding school). jurnal manajemen, kepemimpinan, dan supervisi pendidikan, 2(2), 279–290. https://doi. org/10.31851/jmksp.v2i2.1476 mubasyaroh. (2017). pendekatan psikoterapi islam dan konseling sufistik dalam menangani masalah kejiwaan. konseling religi, 8(1), 193– 210. https://doi.org/10.21043/kr.v8i1.2597 muhasim. (2017). budaya kejujuran dalam menghadapi perubahan zaman (studi fenomenologi masyarakat islam modern). palapa: jurnal studi keislaman dan ilmu pendidikan, 5(1), 174–195. ngafifi, m. (2014). kemajuan teknologi dan pola hidup manusia dalam perspektif sosial budaya. jurnal pembangunan pendidikan: fondasi dan aplikasi, 2(1), 33–47. nurhaidah, & musa, m. i. (2015). dampak pengaruh globalisasi bagi kehidupan bangsa indonesia. jurnal pesona dasar, 3(3), 1–14. omomia, a. o., & omomia, t. a. (2014). relevance of skinner’s theory of reinforcement on effective school evaluation and management. russian federation european journal of psychological studies, 4(4), 174– 180. https://doi.org/10.13187/ejps.2014.4.174 permatasari, d. (2016). tingkat kerendahan hati siswa smp. jurnal konseling indonesia, 1(2), 83–87. poerwadarminta, w. j. s. (2007). kamus besar bahasa indonesia. jakarta: balai pustaka. rosenbaum, s. m., billinger, s., & stieglitz, n. (2014). let’s be honest: a review of experimental evidence of honesty and truthtelling. journal of economic psychology, 45, 181–196. https://doi. org/10.1016/j.joep.2014.10.002 samani, m. (2013). pendidikan karakter : konsep dan model. bandung: remaja rosdakarya. sudarminta, j. (2007). setia pada kebenaran. sukmawati, f. (2016). peran kejujuran akademik (academic honesty) dalam pendidikan karakter studi pada mahasiswa jurusan bimbingan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 175 192 191 konseling islam fakultas ushuludin adab dan dakwah angkatan 2013/2014. jurnal khatulistiwa journal of islamic studies, 6(1), 87– 100. susanto, e. h. (2016). media sosial sebagai pendukung jaringan komunikasi politik. jurnal aspikom, 3(3), 379–398. suud, f. m., & subandi. (2017). kejujuran perspektif psikologi islam: kajian konsep dan empiris. jurnal psikologi islam, 4(2), 121–134. wasitohadi. (2014). hakekat pendidikan dalam perspektif john dewey. satya widya, 30(1), 49–61. wells, d. d., & molina, a. d. (2017). the truth about honesty. journal of public and nonprofit affairs, vol. 3, p. 292. https://doi.org/10.20899/ jpna.3.3.292-308 wibowo, a. (2012). pendidikan karakter : strategi membangun karakter bangsa berperadaban. yogyakarta: pustaka pelajar. yaumi, m. (2014). pendidikan karakter : landasan, pilar, dan implementasi. jakarta: kencana prenadamedia. zhang, q., & zhao, h. (2017). an analytical overview of kohlberg’s theory of moral development in college moral education in mainland china. open journal of social sciences, 5, 151–160. https:// doi.org/10.4236/jss.2017.58012 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 hambatan komunikasi pendamping sosial doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1397 imam alfi dedi riyadin saputro institut agama islam negeri purwokerto keywords: communication; family development session (fds); social assistant http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: cita47@gmail.com abstract the role of social assistant is very urgent in the implementation of social assistance programs, social security and social assistance. citizen assistance is carried out through the family capability improvement program (p2k2), the activity is called family development session (fds). this article focuses on the problems that occur in these social assistance activities, especially in the communication barriers between social facilitators and citizens as beneficiary families (kpm). the study was conducted based on relevant literature. it was found that active and efficient communication became the determining factor in the implementation of community assistance. an affective strategy needs to be prepared in the assistance of beneficiary citizens so that the program is effective smoothly and efficiently. peran pendamping sosial sangat urgen dalam pelaksanaan program bantuan sosial, jaminan sosial dan asistensi sosial. pendampingan warga secara berkala dilakukan melalui program peningkatan kemampuan keluarga (p2k2), kegiatannya disebut dengan family development sesion (fds). artikel ini fokus pada masalah yang terjadi dalam kegiatan pendampingan sosial tersebut, khususnya pada hambatan komunikasi antara pendamping sosial dengan warga sebagai keluarga penerima manfaat (kpm). kajian dilakukan berbasis pada literatur yang relevan. ditemukan bahwa komunikasi yang aktif dan efisien menjadi faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pendampingan warga. perlu disiapkan strategi afektif dalam pendampingan warga penerima manfaat agar program efektif lancar dan efisien. abstrak al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 kata kunci: komunikasi, family development session (fds), pendamping sosial hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 194 i. pendahuluan keberadaan pendamping sosial dalam penyelenggaraan program sosial pemerintah sangat urgen. pendamping sosial memiliki tugas yang kompleks dan dinamis. kompleks karena bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah, menghadapi warga yang unik dan beragam. dinamis karena dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan kekinian dan siap melaksanakan kebijakan pemerintah kapanpun dan dimanapun (suradi & mujiyadi, 2018). secara khusus tugas pokok pendamping sosial adalah melakukan sosialisasi, validasi dan verifikasi data kemikskinan, mediasi dan advokasi masalah di lapangan serta melaporkan pelaksanaan program (setiawan & sunusi, 2015). dengan tugas berat tersebut, pendamping sosial dituntut untuk profesional dan cerdas, mengedepankan pengetahuan, ketrampilan serta nilai yang dimilikinya. dalam melaksanakan tugasnya pendamping sosial melakukan komunikasi yang intensif dan efektif. misalnya dalam program pertemuan kelompok, disebut family development session (fds) atau peningkatan kemampuan keluarga yang mulai diuji coba tahun 2015. tahun 2016 juga dilaksanakan di kabupaten/kota kepesertaan 2017. dengan fds, pertemuan kelompok menjadi lebih bermakna dan menyenangkan. sebelumnya, pertemuan kelompok sering disi dengan pengumpulan berkas administrasi seperti kartu tanda penduduk (ktp), kartu keluarga (kk), rapor dan dokumen lain. kini lebih menarik karena diisi dengan materi-materi penyuluhan terkait masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi keluarga dan perlindungan anak (habibullah, 2018). pemerintah melalui kementerian sosial terus membenahi kualitas pertemuan kelompok. hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas keluarga penerima bantuan sosial agar mereka mampu dan siap mandiri ketika kepesertaannya selesai (graduasi) (suyanto & pudjianto, 2015). namun, dalam pelaksanaan fds bukan tanpa masalah. termasuk ketika berhadapan ketika berkomunikasi dengan warga. komunikasi yang aktif dan efisien menjadi faktor yang menentukan dalam pelaksanaan fds. oleh al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 195 karena itu, penekanan terhadap keterampilan komunikasi pendamping sosial perlu ditingkatkan. secara teoretis penguasaan komunikasi yang baik akan sangat membantu kesuksesan pelaksanaan fds. komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih bertujuan untuk melakukan pertukaran informasi di antara keduanya. komunikasi ini pada akhirnya akan melahirkan pengertian yang dalam (wursanto, 2005). maghfiroh (2016) menyoroti komunikasi dalam perspektif kegiatan dakwah islam menyatakan bahwa proses komunikasi efektif sangat mendukung lancarnya dakwah. ia menekankan bahwa tampilan seorang komunikator berpengaruh terhadap proses komunikasi yang aktif. komunikasi akan efektif atau tidak dipengaruhi oleh kualitas unsur-unsur komunikasi. komunikasi yang efektif didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima, dan efek, yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi (effendi, 2009). pendamping sosial bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks kehidupan sosial. fungsinya sebagai faktor yang mampu melakukan empowering telah dilaksanakan sejak lama di masyarakat (fatony, 2017). pendamping sosial bukan hanya sekedar kegiatan amal namun merupakan sebuah profesi yang mensyaratkan hadirnya tiga unsur pokok, keilmuan, keterampilan dan nilai. hal ini disyaratkan secara eksplisit oleh pemerintah pada undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pasal 66 (setiawan & sunusi, 2015). pelaksanaan pendampingan sosial mengalami kendala sesuai dengan konteks dan kondisi penerima manfaat, namun secara umum yang sering terjadi adalah tidak seimbangnya jumlah pendamping sosial dengan penerima manfaat, validitas data yang rendah, beban kerja pendamping sosial melebihi tugas dan fungsinya, miskomunikasi antar pendamping sosial dan penerima manfaat, perubahan kebijakan dan ruang lingkup pekerjaan yang tidak seimbang dengan upah yang diterima sehingga pekerja sosial tidak fokus dengan tugas pokoknya (suradi & mujiyadi, 2018). walaupun begitu, peran pendamping sosial telah memberikan peningkatan kesadaran hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 196 dan kepedulian masyarakat terhadap kondisi kesejahteraan sosial di lingkungannya (handoyo, 2008). terdapat berbagai penelitian terdahulu tentang pendamping sosial dan program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. misalkan, penelitian wulandari & hakim (2015) tentang gambaran manfaat program family development session kementerian sosial republik indonesia; penelitian ekantiningsih (2017) tentang pelaksanaan pendidikan dan pelatihan family development session di bbppks yogyakarta; penelitian suharto & thamrin (2012) yang membahas tentang program keluarga harapan; penelitian rahmawati & kisworo (2017) mengenai peran pendamping dalam pemberdayaan masyarakat miskin melalui program keluarga harapan; penelitian hatu (2010) tentang pendampingan sosial masyarakat, penelitian widyakusuma (2013) mengenai peran pendamping dalam program pendampingan dan perawatan sosial lanjut usia di lingkungan keluarga, penelitian melviona (2017) tentang pelaksanaan program keluarga harapan (pkh) di kecamatan batang peranap kabupaten indragiri hulu, penelitian agustin & supriyadi (2017) mengenai studi kasus terhadap peran fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat pada program penataan lingkungan permukiman berbasis komunitas; dan penelitian hendri & isnaini (2014) tentang evaluasi pelaksanaan program keluarga harapan (pkh) pada bidang pendidikan di kelurahan tegal sari mandala ii kecamatan medan denai. salah satu masalah yang muncul dalam penelitian awal dan belum diteliti oleh para peneliti terdahulu adalah adanya kesalahan dan kelemahan komunikasi antara pendamping sosial dengan penerima manfaat. dengan demikian, penelitian ini memiliki ciri khas dan pembeda dengan penelitian terdahulu yang sudah dituliskan tersebut. penelitian tentang hambatan komunikasi sudah pernah dilakukan, akan tetapi bukan dalam konteks pendamping sosial. misalkan, penelitian harivarman (2017) yang meneliti tentang hambatan komunikasi internal dalam konteks organisasi pemerintah. fakta tentang kurang berkualitasnya komunikasi pendamping al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 197 sosial ini tentu penting untuk dikaji dan didalami karena semakin rendah tingkat kesalahan komunikasi antara dua pihak tentu akan lebih baik bagi pelaksanaan program pemerintah di bidang kesejahteraan sosial, maka tingkat keberhasilan pelaksanaan program serta kualitas program yang dijalankan para pendamping akan semakin tinggi. tulisan ini akan menyoroti persoalan pendamping sosial dalam melaksanakan program fds dari sisi komunikasi. ii. metode penelitian artikel ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat komunikasi antara pendamping sosial sebagai komunikator dengan masyarakat sebagai komunikan dengan pendekatan komunikasi personal. analisis dilakukan berdasarkan kajian literatur terhadap hambatan komunikasi yang terjadi dalam proses pendampingan sosial. data-data didapatkan dari literatur-literatur yang telah membahas hal tersebut baik secara spesifik maupun pada tema yang berbeda namun masih dalam topik yang relevan. iii. hambatan komunikasi pendamping sosial segala sesuatu yang menghambat komunikasi disebut noise. kata ini di ambil dari istilah kelistrikan yang diartikan sebagai sebuah keadaan tertentu yang mengakibatkan tidak lancarnya atau berkurangnya ketepatan peraturan. pencetakan huruf yang saling bertindihan dalam suatu surat kabar atau majalah akan menjadi gangguan bagi pembacanya. kata-kata yang diucapkan secara tidak tepat oleh seorang penyiar akan mengganggu komunikasi dengan pendengarnya. apabila kata-kata atau kalimat yang disampaikan tidak atau bukan merupakan kata-kata yang secara luas dipahami oleh pendengar. penggunaan kata-kata asing yang sulit dimengerti tentu merupakan bagian dari noise atau gangguan yang harus dihindari oleh stasiun radio (nurdianti, 2014). hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 198 secara teknis, hambatan adalah hal apapun yang dapat mendistorsi pesan, apapun yang menghalangi penerima dalam menerima pesan. ada empat tipe hambatan. sangat penting artinya untuk mengidentifikasi tipe-tipe hambatan dan ketika memungkinkan, untuk mengurangi efek hambatan tersebut. hambatan fisik, hambatan fisiologi, hambatan psikologi, dan hambatan semantik. berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi, terdapat berbagai macam hambatan yang dapat merusak komunikasi itu sendiri (chandra, 2015). gangguan-gangguan komunikasi dapat muncul dengan sendirinya, setidaknya ada beberapa hambatan dalam proses komunikasi. hambatan teknis terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi melalui saluran mengalami kerusakan. selanjutnya hambatan kerangka berpikir, rintangan kerangka berpikir ialah rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda. hambatan semantik dan psikologis, gangguan sematik adalah gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada bahasa yang digunakan. tommy suprapto menyatakan bahwa gangguan semantik sering terjadi dalam komunikasi. biasanya disebabkan karena tiga hal yaitu: 1. kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing, sehingga sulit dimengerti khalayak tertentu. 2. bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga membingungkan penerima. 3. latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan (tommy, 2006) berbeda dengan effendi (2009) mengatakan bahwa hambatan komunikasi terdiri dari: 1. hambatan sosio-antro-psikologis hambatan sosio-antro-psikologis merupakan hambatan proses al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 199 komunikasi dalam konteks situasional (situational context). artinya seorang komunikator harus mempertimbangkan betul situasi dan kondisi saat melakukan komunikasi dengan komunikan. terutama pada tiga aspek yaitu sosiologis, antropologis dan hambatan psikologis 2. hambatan semantik mengacu pada hambatan sebelumnya yang menekankan pada aspek sistuasi dan kondisi lapangan, artinya berkaitan erat dengan komunikan, maka hambatan semantik lebih menekankan kepada komunikator. semantik berkaitan dengan bahasa komunikator. demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan semantik ini, sebab salah ucap atau tulis dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation) yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication). 3. hambatan mekanis hambatan mekanis adalah hambatan yang ditimbulkan dari alat/ mekanik yang mempengaruhi kualitas komunikasi. sering kita jumpai hambatan model ini seperti tulisan yang kurang jelas sehingga susah dibaca, suara yang tidak bisa didengar, perbedaan jenis mutu mekanik yang digunakan sehingga alat tidak dapat melakukan koding dengan baik dan benar 4. hambatan ekologis. lingkungan sangat berpengaruh bagi lancarnya proses komunikasi, lingkungan yang tidak mendukung akan memperburuk komunikasi. misalnya ketika kita melakukan komunikasi di tampat keramaian maka kita akan meningkatkan suara agar komunikan jelas mendengar pesan yang kita sampaikan, telepon di jalan raya yang bising dengan suara kendaraan juga contoh yang relevan untuk kategori ini. (effendi, 2009) hambatan dapat bersifat teknis, hambatan semantik dan hambatan perilaku. hambatan yang bersifat teknis adalah hambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti; kurangnya sarana dan prasarana yang hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 200 diperlukan dalam proses komunikasi; penguasaan teknik dan metode berkomunikasi yang tidak sesuai; kondisi fisik yang tidak memungkinkan terjadinya proses komunikasi yang dibagi menjadi kondisi fisik manusia, kondisi fisik yang berhubungan dengan waktu atau situasi/keadaan, dan kondisi peralatan. hambatan semantik berkisar di hambatan yang disebabkan kesalahan dalam menafsirkan, kesalahan dalam memberikan pengertian terhadap bahasa (kata-kata, kalimat, kode-kode) yang dipergunakan dalam proses komunikasi. sedangkan hambatan perilaku disebut juga hambatan kemanusiaan. hambatan yang disebabkan berbagai bentuk sikap atau perilaku, baik dari komunikator maupun komunikan. hambatan perilaku tampak dalam berbagai bentuk, seperti; pandangan yang sifatnya apriori, prasangka yang didasarkan pada emosi, suasana otoriter, ketidakmauan untuk berubah dan sifat yang egosentris (yuliasari, saleh, hubeis, & sarwoprasodjo, 2017). kegiatan pendamping sosial didominasi oleh proses komunikasi sehingga potensi terjadinya hambatan komunikasi sangat tinggi. hambatan komunikasi dalam proses pendampingan sosial dapat berasal dari pendamping maupun penerima manfaat. pada sisi pendamping dapat terjadi hambatan komunikasi karena minimnya pemahaman pendamping terhadap fokus kegiatan, rendahnya kemampuan pendamping untuk mengkomunikasikan program ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh penerima manfaat, terbatasnya media yang dapat digunakan dalam proses pendampingan sosial (wijayaptri, 2015). sedangkan pada sisi penerima manfaat hambatan komunikasi dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pemahaman antar penerima manfaat, rendahnya kesadaran penerima manfaat terhadap urgensi kegiatan pendampingan (luthfiyah, 2016). a. prinsip pendamping sosial sebagai pekerja sosial pendamping sosial adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah atau non pemerintah untuk melakukan dampingan terhadap penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan sosial di masyarakat. dalam praktiknya al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 201 didasarkan pada pengetahuan skill/keterampilan dan nilai-nilai pekerja sosial. pendamping sosial hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi agen perubahan. pendamping sosial membuat rancangan solusi serta berkolaborasi dengan masyarakat. fokus kegiatannya merancang program perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, memobilisasi sumber daya masyarakat setempat, memecahkan masalah sosial, menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat (graha, 2009). di tengah-tengah kita bisa kita temukan adanya pendamping sosial pkh, pendamping desa dan lain-lain. kementerian sosial mendefinisikan bahwa pendampingan sosial merupakan suatu proses relasi sosial antara pendamping dengan klien yang bertujuan untuk memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, serta meningkatkan akses klien terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya (nurhasanah, kamil, & saepudin, 2016). pendampingan merupakan satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat, yang sesuai dengan prinsip-prinsip pekerjaan sosial yakni, membantu orangorang agar mampu membantu dirinya sendiri, pemberdayaan masyarakat sangat memperlihatkan pentingnya partisipasi publik yang kuat. oleh karena itu, pendamping sosial memiliki bidang tugas pemukiman (enabling) atau fasilitasi, penguatan (in powering), perlindungan (protecting) dan pendukung (sporting) (edi, 2005). dengan definisi di atas dapat diambil pemahaman bahwa pendamping sosial adalah orang yang bertugas sebagai penghubung masyarakat dan lembaga-lembaga terkait yang keberadaanya dibutuhkan bagi pengembangan masyarakat. seorang pendamping sosial sering dikaitkan dengan pekerja sosial dan kegiatan pendampingan merupakan pekerjaan sosial. hal ini bisa ditemukan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pada pasal 1 ayat (14) yang hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 202 dimaksud pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya (astuti, 2015). kemudian kepmensos no.10/huk/2007, pekerja sosial adalah seseorang yang memiliki kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. dengan demikian pekerja sosial adalah penerima mandat kesejahteraan sosial (azizah, zauhar, & soeaidy, 2015). dengan ketrampilannya ia melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi sosial klien demi meningkatakan kualitas hidupnya. guna mendukung profesionalitas pekerja sosial ia dibekali dengan kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keterampilan (body of skill) dan kerangka nilai (body of values) (sugiyanto, 2014). di samping ketiga pedoman tersebut dalam praktiknya seorang pekerja sosial berpedoman kepada prinsip-prinsip pekerja sosial yaitu: 1. acceptance (penerimaan) pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya tanpa harus membandingkannya dengan orang lain. 2. individualizasi (individualisasi) klien merupakan pribadi yang unik yang memiliki karakter kebutuhan kebutuhan yang berbeda, sehingga pendekatan pekerja sosial harus menyesuaikan dengan individu klien. 3. nonjudgmental attitude (sikap tidak menghakimi) pekerja sosial harus mempertahankan sikap non-judgmental terhadap permasalahanpermasalahan klien. 4. rationality (rasionalitas) pekerja sosial harus memberikan pandangan obyektif dan faktual terhadap kemungkinankemungkinan yang terjadi serta harus mampu mengambil keputusan. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 203 5. empaty (empati) pekerja sosial mampu memahami apa yang dirasakan oleh klien dan mencoba merasakan apa yang dirasakan klien. 6. genuiness (ketulusan atau kesungguhan) pekerja sosial harus memiliki prinsip genuiness terutama dalam komunikasi verbal. 7. impartiality (kejujuran) pekerja sosial mengutamakan kejujuran, ataupun tidak merendahkan seseorang dan kelompok (menganak-emaskan atau menganak-tirikan). 8. confidentiality (kerahasiaan) pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dari klien kepada orang lain. 9. self awarneness pekerja sosial harus sadar akan potensi dan keterbatasan kemampuannya. 10. partnership pekerja sosial memandang klien bukan, sebagai korban atau klien atau orang yang tidak berdaya, melainkan klien harus dipandang sebagai individu yang kompeten dan memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup. (setiawan & sunusi, 2015) b. strategi komunikasi pendamping sosial pendamping sosial sebagai pekerja sosial dalam praktiknya harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik. hal ini adalah bagian dari aspek profesionalitas pekerja sosial. sebelum melakukan praktiknya pendamping sosial perlu assessment untuk mengetahui dan mengenali klien dengan baik. hasil penelitian sugiyanto menjelaskan bahwa komunikasi pekerja sosial dengan klien akan menghadapi hambatan ketika belum memahami klien dengan baik dan menyeluruh. oleh karena itu pendamping sosial perlu melakukan langkah strategis untuk mengatasi hambatuan-hambatan komunikasi yang sering muncul. strategi tersebut menurut sugiyanto (2014) antara lain: hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 204 1. assesment menyeluruh. sebelum melakukan praktik pendamping sosial hendaknya melakukan assessment menyeluruh kepada klien. langkah awal ini bertujuan untuk memahami dan mengenali klien dengan baik. pasalnya klien sangat beragam dan unik. melalui assessment pendamping sosial akan mengetahui identitas klien, latar belakang klien, masalah klien, keluarga klien dan orang-orang yang ada di sekitanya, lingkungan klien dan lain-lain. assesment yang cukup akan membantu pendamping dalam menjalin komunikasi awal dengan klien (fatony, 2017). di samping itu pendamping sosial akan bisa memprediksi dan meminimalisasi akibatakibat yang mungkin ditimbulkan dimana bisa saja menghambat komunikasi selanjutnya. 2. jalin relasi komunikasi alami dan non alami. menjalin komunikasi dengan klien hendaknya dilakukan sesuai keadaan klien. oleh karena itu segala media yang membantu klien membuka komunikasi dengan pendamping sosial bisa dimanfaatkan oleh pendamping sosial. misalnya pendamping sosial menggunakan alat permainan bola, holahope, catur, foto/lukisan, radio, dan alat permainan lainnya. dengan menggunakan alat-alat ini klien akan merasa nyaman dan membuka diri. komunikasi berjalan lancar dan efektif. pendekatuan media ini menuntut pendamping sosial untuk peka dan cerdas memilih permainan yang cocok dengan kondisi klien. selain media permainan tersebut, pendamping sosial bisa menggunakan lingkungan. artinya setting lingkungan mempengaruhi klien untuk nyaman menjalin komunikasi dengan pendamping sosial. misalnya klien dibawa ke pantai, kebun, pekarangan/hutan danlain-lain. komunikasi yang dilakukan tentu menekankan pada aspek akses pendamping kepada klien. media-media ini berfungsi sebagai aksesibilitas pekerja sosial kepada klien agar lebih mudah dan lebih cepat dalam memulai pembicaraan/komunikasi kepada klien rata-rata pekerja sosial memanfaatkan media atau alat sebagai role komunikasi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 205 (rubawati, 2018). 3. membangun hubungan yang dekat dengan klien kedekatan pendamping sosial dengan klien menjadi faktor lain membangun komunikasi yang baik. kedekatan ini dikategorikan menjadi tiga yaitu sangat dekat, dekat dan jauh. usaha-usaha membangun kedekatan terus dilakukan. klien dengan pendekatan ini akan meminimalisasi perasaan terasing, cenderung tertutup, merasa orang baru perasaan-perasaan lain yang muncul dan menghambat terjalinnya komunikasi. 4. mengedepankan prinsip-prinsip komunikasi selain metode-metode tersebut seorang pendamping sosial juga tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi yang ada yaitu a). proses simbolik, b). setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi, c). komunikasi mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan, d). komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan, e). komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu, f). melibatkan peserta komunikasi, g). bersifat sistemik, h). semakin mirip latarbelakang sosial budaya semakin efektif komunikasi, i). bersifat nonsekuensial, j). bersifat prosesual dinamis dan transaksional, k). bersifat irreversible dan l). bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah (heryadi & silvana, 2013). 5. menghindari kata-kata yang menyudutkan klien. kata adalah salah satu alat penyampai pesan, ide dan gagasan orang. pilihan kata yang baik dan santun senantiasa mendorong klien terbuka dan menerima kehadiran pendamping sosial. kata-kata yang mendiskreditkan klien akan mengakibatkan klien tertutup dan menganggap pendamping sosial sebagai orang lain (othering). pada akhirnya klien sulit untuk dilakukan assessment. pendamping sosial harus melakukan seleksi kata berbasis pemberdayaan. berikut contoh kata-kata yang sering digunakan dalam praktik pekerjaan sosial. hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 206 tabel 1. kata-kata yang sering muncul dalam praktik pekerjaan sosial no kata umum pekerja sosial 1 cacat fisik, cacat mental unik, istimewa, berbeda, dissabilitas/diffable 2 lemah potensi terpendam 3 pelaku penyimpangan korban tidak berdaya 4 narapidana victimisme/labeling 5 anak terpidana anak yang berhadapan dengan hukum 6 wanita/perempuan wanita rawan sosial ekonomi 7 jongos/pembantu/babu pahlawan devisa negara/baby sister/office boy 8 tua lanjut usia 9 anak anak terlantar 10 primitif/badwi komunitas adat terpencil 11 miskin pra sejahtera 12 kaya sejahtera kata-kata tersebut adalah sebagian kecil yang sering ditemukan dalam praktik pekerjaan sosial. masih banyak kata-kata yang belum ditemukan yang sesuai dengan persoalan persoalan sosial berbasis pemberdayaan. oleh karena itu pendamping sosial harus cerdas dan teliti dalam memilih kata. kata yang memiliki makna sama bisa berakibat berbeda ketika disampaikan dengan lebih santun dan memberikan motivasi klien untuk mengatasi disfungsi sosialnya. strategi komunikasi yang baik memang tidak menjamin komunikasi dapat terjalin dengan baik. namun dengan strategi yang baik, pendamping sosial dapat meminimalisir kendala-kendala umum yang terjadi dalam proses komunikasi selama kegiatan pendampingan. kasus-kasus khusus tentu sangat mungkin terjadi, dengan kesiapan strategi yang baik hal tersebut akan cepat diatasi dengan solusi yang terbaik yang memungkinkan dilakukan. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 207 vi. kesimpulan eksisitensi pendamping sosial sebagai ujung tombak pelaksanaan program sosial pemerintah sangatlah penting dalam mempengaruhi efektifitas program. pendamping sosial sering terjebak dengan hambatan komunikasi. komunikasi yang kurang efektif berdampak pada penerimaan klien. klien akan cenderung tertutup dan sulit menerima. ketertutupan klien ini menjadi hambatan pendamping dalam melakukan assessment dan intervensi sosial. kemampuan komunikasi pendamping sosial semata-mata bukan persoalan teori yang dikuasai namun, skill/keterampilan pendamping yang harus terus di asah dengan melakukan praktik pekerja sosial. pengalaman pendamping sosial akan membantunya menemukan ketrampilan baru yang mungkin tidak ditemukan di bangku kuliah. dengan sinergitas teori, skill dan pengalaman yang terus dikembangkan pendamping sosial akan terampil dan pandai beradaptasi dengan klien dan akhirnya hambatanhambatan komunikasi bisa diminimalisir sedini mungkin. sebagai penutup, penulis merekomendasikan strategi yang perlu dilakukan dalam meminimalisasi hambatan-hambatan komunikasi praktik pekerja sosial antara lain dengan melakukan assesment menyeluruh, jalin relasi komunikasi alami dan non alami, membangun hubungan yang dekat dengan klien, mengedepankan prinsip-prinsip komunikasi dan menghindari kata-kata yang menyudutkan klien. daftar pustaka agustin, w. a., & supriyadi, s. n. (2017). peran fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat pada program penataan lingkungan permukiman berbasis komunitas (studi kasus di desa kemiri, kecamatan kebakkramat, kabupaten karanganyar). jurnal sosiologi dilema, 32(1), 69–78. hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 208 astuti, m. (2015). implementasi kebijakan kesejahteraan dan perlindungan anak. sosio konsepsia, 4(1), 215–235. https://doi.org/10.33007/ ska.v4i1.106 azizah, r. n., zauhar, s., & soeaidy, m. s. (2015). pemberdayaan masyarakat dalam mengurangi angka pengangguran di kabupaten sampang. wacana, jurnal sosial dan humaniora, 18(03), 203–212. https://doi. org/10.21776/ub.wacana.2017.018.03.7 chandra, t. c. (2015). hambatan komunikasi dalam aktivitas bimbingan belajar antara tutor dengan anak kelas v sd di bantaran sungai kalimas surabaya. jurnal e-komunikasi, 3(2), 1–12. edi, s. (2005). membangun masyarakat memberdayakan rakyat. bandung: pt refika aditama. effendi, o. u. (2009). dinamika komunikasi. bandung: pt. remaja rosdakarya offset. ekantiningsih, p. d. (2017). pelaksanaan pendidikan dan pelatihan family development session di bbppks yogyakarta. e-jurnal prodi teknologi pendidikan, vi(6), 508–523. fatony, a. (2017). kebijakan pengentasan kemiskinan berbasis participatory poverty assessment: kasus yogyakarta. sosio konsepsia, 16(2), 123–142. https://doi.org/10.33007/ska.v16i2.798 graha, a. n. (2009). pengembangan masyarakat pembangunan melalui pendampingan sosial dalam konsep pemberdayaan di bidang ekonomi. jurnal ekonomi modernisasi, 5(2), 117–126. https://doi. org/10.21067/jem.v5i2.243 habibullah. (2018). konsep dan kebijakan restorasi sosial di indonesia. sosio informa, 4(1), 348–358. https://doi.org/10.33007/inf. v4i1.1188 handoyo, e. (2008). peran strategis relawan pendamping dalam upaya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. forum ilmu sosial, 35(2), 132–143. https://doi.org/10.15294/fis.v35i2.1291 harivarman, d. (2017). hambatan komunikasi internal di organisasi pemerintahan. jurnal aspikom, 3(3), 508–519. https://doi. org/10.24329/aspikom.v3i3.171 hatu, r. a. (2010). pemberdayaan dan pendampingan sosial dalam masyarakat (suatu kajian teortis). inovasi, 7(4), 240–254. hendri, & isnaini. (2014). evaluasi pelaksanaan program keluarga harapan (pkh) pada bidang pendidikan di kelurahan tegal sari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 193 210 209 mandala ii kecamatan medan denai. jurnal administrasi publik, 2(2), 214–231. heryadi, h., & silvana, h. (2013). komunikasi antarbudaya dalam masyarakat multikultur. jurnal kajian komunikasi, 1(1), 95. https:// doi.org/10.24198/jkk.v1i1.6034 luthfiyah, u. z. (2016). hambatan komunikasi antar budaya dalam penerjemahan di perusahaan modal asing jepang. jurnal the messenger, 8(1), 46. https://doi.org/10.26623/themessenger. v8i1.307 maghfiroh, e. (2016). komunikasi dakwah; dakwah interaktif melalui media komunikasi. dakwatuna: jurnal dakwah dan komunikasi islam, 2(1), 34–48. melviona. (2017). pelaksanaan program keluarga harapan (pkh) di kecamatan batang peranap kabupaten indragiri hulu. jom fisip, 4(2), 1–14. nurdianti, s. r. (2014). analisis faktor-faktor hambatan komunikasi dalam sosialisasi program keluarga berencana pada masyarakat kebon agung-samarinda. dunia komunikasi : jurnal ilmu komunikasi universitas mulawarman, 2(2), 145–159. nurhasanah, s., kamil, m., & saepudin, a. (2016). pelatihan pendamping sosial dalam meningkatkan kemampuan fasilitasi program kelompok usaha bersama. pedagogia jurnal ilmu pendidikan, 13(2), 296. https://doi.org/10.17509/pedagogia.v13i2.3553 rahmawati, e., & kisworo, b. (2017). peran pendamping dalam pemberdayaan masyarakat miskin melalui program keluarga harapan. journal of nonformal education and community empowerment, 1(2), 161–169. https://doi.org/10.15294/pls.v1i2.16271 rubawati, e. (2018). media baru: tantangan dan peluang dakwah. jurnal studi komunikasi (indonesian journal of communications studies), 2(1), 126–142. https://doi.org/10.25139/jsk.v2i1.586 setiawan, h. h., & sunusi, m. (2015). analisis yuridis peran profesi pekerja sosial dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012. mimbar hukum fakultas hukum universitas gadjah mada, 27(2), 256. https://doi.org/10.22146/jmh.15887 sugiyanto. (2014). strategi komunikasi pekerja sosial dengan pasien skizofrenia dalam proses rehabilitasi: studi di rumah sakit jiwa dr. soeroyo magelang jawa tengah. share: social work journal, 4(1), 30–49. https://doi.org/10.24198/share.v4i1.13057 hambatan komunikasi pendamping sosial – imam l 210 suharto, e., & thamrin, d. (2012). program keluarga harapan (pkh): memotong mata rantai kemiskinan anak. aspirasi, 3(1), 1–20. suradi, s., & mujiyadi, b. (2018). kinerja pendamping sosial pada penyelenggaraan kesejahteraan sosial di kota tarakan. sosio konsepsia, 7(3), 130–145. https://doi.org/10.33007/ska.v7i3.1476 suyanto, s., & pudjianto, b. (2015). pemberdayaan masyarakat menuju desa sejahtera (studi kasus di kabupaten sragen). sosio konsepsia, 5(1), 340–354. https://doi.org/10.33007/ska.v5i1.164 tommy, s. (2006). pengantar teori komunikasi. yogyakarta: media persindo. widyakusuma, n. (2013). peran pendamping dalam program pendampingan dan perawatan sosial lanjut usia di lingkungan keluarga (home care). informasi, 18(02), 211–224. wijayaptri, n. w. p. (2015). hambatan komunikasi pada penyandang autisme remaja: sebuah studi kasus. inklusi, 2(1), 41. https:// doi.org/10.14421/ijds.020103 wulandari, t., & hakim, l. n. (2015). gambaran manfaat program family development session kementerian sosial republik indonesia. aspirasi: jurnal masalah-masalah sosial, 6(1). https://doi. org/10.22212/aspirasi.v6i1.468 wursanto, i. (2005). dasar-dasar ilmu organisasi. yogyakarta: andi offset. yuliasari, i., saleh, a., hubeis, m., & sarwoprasodjo, s. (2017). meretas hambatan komunikasi perdesaan dengan media komunitas di daerah istimewa yogyakarta. jurnal penelitian pos dan informatika, 5(2), 191. https://doi.org/10.17933/jppi.2015.0502005 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 daftar isi motif syekhermania mengakses video dakwah habib syech bin abdul qodir assegafs uwes fatoni dan eka octalia indah librianti 1 26 pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) di majelis asy-syifa: studi deskriptif bimbingan sosio-spiritual titik rahayu 27 44 analisis wacana kritis berita “kematian terduga teroris siyono” di harian solopos fathan 45 72 analisis framing pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat muhammad reza fansuri dan fatmawati 73 102 syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional sebagai media dakwah di era budaya populer nor kholis 103 125 peran masjid dalam mempersatukan umat islam: studi kasus masjid al-fatah, pucangan, kartasura syakirin 127 148 pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) di majelis asy-syifa: studi deskriptif bimbingan sosio-spiritual doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i1.1091 titik rahayu institut agama islam negeri surakarta keywords: pekerja seks komersial (psk), socio-spiritual guidance, repent http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: titikrahayu6789@gmail.com abstract commercial sex workers (csws) are often regarded as a social problem. some of them are trying to quit the profession. the process of cessation of them from the csw profession is important to formulate a design that can also be done by other csws. on the other hand, not much research has revealed. this research aims to know the effort done for the psk so that they have awareness and determination to repent. researcher use the descriptive qualitative research, with data collection techniques through interviews and observation. the subject of the study was determined by purposive sampling with the owner of asy-syifa assembly as the key informant in order to obtain the research subject which consisted of former psk and the speaker. the result shows that the guidance model implemented in asy-syifa assembly combines the social and spiritual aspects embodied in the form of religious teachings and mentoring. the implementation of socio-spiritual guidance is realized through the provision of knowledge, attitude and social interaction, as well as support in the form of advice and motivation. abstrak pekerja seks komersial (psk) seringkali dianggap sebagai masalah sosial. beberapa dari mereka ada yang mencoba berhenti dari profesi tersebut. proses berhentinya mereka dari profesi psk penting guna menyusun formula yang juga dapat dilakukan oleh psk lain. di sisi lain, belum banyak penelitian yang mengungkap hal tersebut. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui usaha yang dilakukan terhadap para pekerja seks komersial sehingga mereka memiliki kesadaran dan tekad kata kunci: pekerja seks komersial (psk), tobat, bimbingan sosio-spiritual. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 28 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) untuk bertobat. peneliti menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. adapun subjek penelitian ini ditentukan melalui purposive sampling dengan pemilik majelis asy-syifa sebagai informan kunci untuk mendapatkan subjek penelitian yang terdiri dari mantan pekerja seks komersial dan pemateri. hasil penelitian menunjukkan bahwa model bimbingan yang dilaksanakan di majelis asy-syifa memadukan antara sosial dan spiritual yang terwujud dalam bentuk pengajian keagamaan dan pendampingan. adapun pelaksanaan bimbingan sosio-spiritual diwujudkan melalui pemberian pengetahuan, sikap dan interaksi sosial, serta dukungan berupa nasehat dan motivasi. i. pendahuluan prostitusi merupakan permasalahan yang umum dihadapi oleh berbagai negara di penjuru dunia. hasil riset oleh havoscope menunjukkan bahwa negara seperti cina, spanyol, jepang, jerman, amerika serikat, korea selatan, india, thailand dan indonesia merupakan negara dengan total dana tertinggi untuk prostitusi (koransindo.com, 2016). sejak tahun 2012-2014, terdapat 161 lokalisasi yang tersebar di berbagai daerah di indonesia (detiknews.com, 2014). sedangkan lebih spesifik di daerah solo, jumlah pekerja seks komersial mencapai 700 orang yang berasal dari berbagai daerah antara lain: sukoharjo, sragen, boyolali, pacitan dan solo (susanto, 2011). data tersebut menunjukkan bahwa prostitusi di indonesia sudah marak terjadi diberbagai wilayah. tingginya prostitusi memunculkan berbagai reaksi sosial bagi para pekerja seks komersial selaku pelaku prostitusi. adapun bentuk reaksi sosialnya adalah penolakan dari masyarakat (ismail, 2016), stigmatisasi negatif, dan diskriminasi sehingga membuat pelaku pekerja seks komersial cenderung menarik diri dari masyarakat. penolakan dan stigma negatif dapat terjadi karena perilaku dan penampilan dari pekerja seks yang tidak sesuai dengan adat dan norma yang dianut oleh masyarakat setempat (kartono, 1997). stigma sendiri diartikan sebagai pemberian label buruk terhadap perilaku atau kondisi seseorang yang dianggap kotor atau memalukan (ditmore, 2006). 29 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 besarnya jumlah pekerja seks komersial, serta reaksi sosial yang diterima pekerja seks komersial menggugah berbagai pihak untuk mendirikan lembaga yang mampu membantu mengatasi permasalahan yang mereka alami. contohnya adalah balai rehabilitasi sosial “wanita utama” surakarta yang berdiri di bawah naungan pemerintah, serta majelis asy-syifa yang didirikan secara mandiri oleh salah satu warga gilingan yang peduli terhadap kehidupan para pekerja seks komersial. keberadaan lembaga-lembaga ini diharapkan mampu untuk memberikan binaan pada para pekerja seks komersial dan mengurangi prostitusi. berdasarkan proses menghadirkan pekerja seks komersial, kedua lembaga tersebut memiliki cara yang berbeda. balai rehabilitasi sosial “wanita utama” memperoleh pekerja seks komersial yang dibina dari hasil razia yang dilakukan oleh satpol pp (nurdiansyah, 2016). sedangkan di majelis asy-syifa, pekerja seks komersial yang hadir datang dengan sukarela melalui pendekatan berupa ajakan lisan untuk mengikuti pengajian dan segala kegiatan yang diselenggarakan oleh majelis asy-syifa secara terus menerus, serta sedikit menakut-nakuti tentang adzab yang akan diterima di akhirat (susilowati, 2016). keberadaan kedua lembaga tersebut menggunakan model bimbingan yang memadukan antara sosial dan spiritual, yaitu model bimbingan yang tidak hanya berfokus pada perkembangan sosial individu saja, akan tetapi juga mengembangkan spiritualitas individu. model bimbingan tersebut ternyata mampu mengajak para pekerja seks komersial yang dibina untuk melakukan tobat dan berhenti dari profesinya sebagai pekerja seks komersial. meski begitu, tidak mudah untuk mengajak para pekerja seks komersial agar mereka mau bertobat. sebagian pekerja seks komersial tetap memilih jalan menjadi pekerja seks komersial karena desakan kebutuhan. sebagian pekerja seks komersial lagi yang direhabilitasi merasa tidak nyaman dan kembali menjadi pekerja seks komersial. penelitian ini memilih majelis asy syifa karena sudah banyak penelitian yang mengungkap permasalahan psk dalam konteks rehabilitasi 30 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) yang di bawah naungan lembaga formal. majelis asy syifa adalah suatu perkumpulan keagamaan yang tidak bersifat formal sehingga memiliki keunikan dibanding panti rehabilitasi yang memiliki dukungan penuh dari yayasan atau pemerintah. selain itu, keunikan yang lain adalah majelis asy syifa dipilih karena sangat menekankan unsur spiritualitas dalam membimbing dan membina para pekerja seks komersial. sudah terdapat banyak sekali penelitian mengenai pekerja seks komersial, baik dengan menggunakan sebutan pekerja seks komersial (psk), pelacur, maupun penerima manfaat (mantan psk). misalkan, penelitian sihombing & hutagalung (2011) tentang gambaran kecemasan perkaj seks komersial di bandung, penelitian puteri & pujihartati (2016) tentang upaya membangun konsep diri pada eks pekerja seks komersial; munawaroh (2010) tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi psk; mulati & ratnasari (2016) tentang perilaku pekerja seks komersial terhadap pencegahan penyakit menular seksual di lokalisasi kalinyamat bandungan; jajuli (2010) tentang motivasi dan dampak psikologis pekerja seks komersial; aqmalia & fakhrurrozi (2004) tentang kepuasan pernikahan pekerja seks komersial; manurung, korompis, & manueke (2015) tentang karakteristik pekerja seks komersial dan penyakit menular seksual; suryadi (2011) tentang interaksi sosial antara pekerja seks komersial dengan masyarakat; sari (2014) tentang aktivitas ekonomi mantan psk pasca rehabilitasi di padang; regar & kairupan (2016) tentang pengetahuan psk dalam mencegah penyakit kelamin di kota manado; matahari (2012) tentang studi kualitatif mengenai persepsi dan perilaku seksual wanita pekerja seks komersial (psk) dalam upaya pencegahan ims di kota semarang; sayoga, niman, & livolina (2015) tentang motivasi pekerja seks komersial untuk berhenti dari pekerjaannya di perkumpulan keluarga berencana indonesia (pkbi) klinik mawar bandung. adapun penelitian mengenai psk yang berkaitan dengan pembinaan serta bimbingan dan konseling adalah penelitian bram, dharmawanti, liyanti, wibowo, giri, & siswoyo (2010) tentang model pembinaan 31 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 mantan pekerja seks komersial di panti sosial bina karya wanita kedoya dengan pembinaan fisik, bimbingan mental keagamaan, bimbingan sosial psikologis serta latihan keterampilan; fadillah (2013) tentang upaya peningkatan pengendalian diri penerima manfaat melalui layanan bimbingan kelompok di balai rehabilitasi mandiri semarang; nataya & supriyadi (2017) tentang dinamika dan upaya pemberdayaan keluarga penerima manfaat melalui program keluarga harapan; lestari (2002) tentang pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri pelacur yang tinggal di panti dan luar panti sosial; dan kohar & mujahid (2017) tentang bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat. penelitian ini memiliki ciri khas dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya. ciri khas tersebut adalah berupaya menungkap dinamika kejiwaan para pekerja seks komersial yang mengikuti bimbingan dan pembinaan sampai akhirnya berhenti menjalani profesi tersebut. pada penelitian bram, dharmawanti, liyanti, wibowo, giri, & siswoyo (2010) lebih berfokus pada model pembinaan sehingga kurang menggali dinamika kejiwaan pekerja seks komersial. sedangkan, dalam penelitian lestari (2002), fadilah (2013), dan kohar & mujahid (2017) sudah cukup menggali dinamika kejiwaan pekerja seks komersial. akan tetapi, penelitian tersebut kurang menekankan pembinaan dengan unsur spiritualitas. sedangkan, dalam penelitian ini berupaya menekankan nilai spiritualitas dalam pembinaan pekerja seks komersial. di sisi lain, nilai khas dari penelitian ini dibandingkan penelitian yang lain adalah penelitian ini mengambil konteks dan setting tempat di majelis keagamaan, bukan panti rehabilitasi. hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi formula bimbingan sosio-spiritual guna memodifikasi perilaku abnormal secara umum dan memodifikasi perilaku pekerja seks komersial secara khusus. dengan kata lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rancangan program di tempat lain dengan orang yang berbeda. selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membuat majelis asy syifa menjadi role model dalam mengentaskan masalah pekerja seks komersial. 32 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara semi terstruktur dan observasi. adapun subjek dalam penelitian ini ditentukan melalui purposive sampling dengan pemilik majelis asy-syifa sebagai informan kunci. subjek penelitian terdiri dari tiga subjek pengajian di majelis asy-syifa yang telah menjadi mantan pekerja seks komersial (psk). selanjutnya, tulisan ini membahas mengenai proses bimbingan yang diberikan di majelis asysyifa dalam mengajak para pekerja seks komersial bertobat, dan proses pertobatan yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial di majelis asy-syifa. iii. hasil penelitian pekerja seks komersial merupakan sebutan bagi mereka yang menjadi pelaku kegiatan prostitusi. prostitusi merupakan kegiatan menjual seks dengan berhubungan seks di luar nikah untuk mendapatkan uang (clinard & meier, 2011). bila dilihat dari sudut pandang patologi sosial, prostitusi termasuk salah satu penyakit sosial dan termasuk kategori penyimpangan struktural. penyimpangan struktural merupakan suatu penyimpangan yang terjadi karena pengaruh sosial di luar individu yang memberikan paksaan bagi individu untuk melakukan pelanggaran norma dan perbuatan menyimpang tersebut (kartono, 1997). pengaruh sosial di luar individu dapat berasal dari situasi dan kondisi lingkungan sekitar dan budaya yang ada. sedangkan menurut sudut pandang islam, prostitusi termasuk dosa besar karena tergolong perbuatan zina. prostitusi di indonesia tersebar di berbagai wilayah salah satunya adalah kota solo. kota solo memiliki beberapa sektor yang menjadi tempat lokalisasi bagi keberadaan pekerja seks komersial untuk menjajakan diri, salah satunya berada di daerah gilingan. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alasan banyak wanita memilih bekerja sebagai pekerja seks komersial di daerah gilingan disebabkan karena permasalahan 33 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 ekonomi (po, 2017). permasalahan ekonomi muncul karena kurangnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan kebutuhan hidup sehari-hari tidak terpenuhi. hal tersebut ditunjukkan dari hasil wawancara dengan ibu po (inisial) yang memilih menjadi pekerja seks komersial karena alasan tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari (herawati, 2017). seperti yang dijelaskan oleh kartono (1997), banyak hal yang dapat melatarbelakangi seseorang menjadi pekerja seks komersial antara lain: untuk menghindari kesulitan hidup karena permasalahan ekonomi, pengaruh budaya luar, adanya permasalahan dalam rumah tangga, serta adanya unsur penipuan yang membawa mereka dalam prostitusi. pekerja seks di daerah gilingan sebagian besar bukan berasal dari daerah setempat, melainkan rantauan dari wilayah lain. berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa ibu po (inisial) merupakan perantauan dari semarang (po, 2017). sedangkan ibu me (inisial) merupakan perantauan dari purwodadi (me, 2017). para pekerja seks di daerah gilingan biasa mangkal di pinggir jalan dan sekitar kawasan terminal tirtonadi. karena lokasi mangkal yang berada di jalanan, pekerja seks komersial di kawasan gilingan dapat dikategorikan dalam prostitusi tipe streetwalker. prostitusi tipe streetwalker merupakan tipe prostitusi yang pelakunya biasa mangkal di jalanan atau terminal bus dengan biaya pelayanan yang murah (clinard & meier, 2011). iv. pembahasan majelis asy-syifa bergerak di bidang sosial, utamanya dalam membantu kaum marginal untuk meningkatkan pengetahuan dan keberagamaan (herawati, 2017). berdasarkan hasil penelitian, usaha majelis asy-syifa untuk meningkatkan pengetahuan dan keagamaan kaum marginal diwujudkan dalam bentuk bimbingan yang berupa pengajian keagamaan dan pendampingan. pengajian keagamaan dilaksanakan setiap 34 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) ahad pagi dengan pemateri yang berbeda setiap minggunya. pemateri tersebut antara lain mbak eni, pak mustafid, ustad rosidi, kak al, dan ustadzah tutik (herawati, 2017). kelima pemateri tersebut merupakan relawan yang menyempatkan waktunya untuk memberikan dan berbagi ilmu bagi para jamaah di majelis asy-syifa. materi yang diberikan dalam pengajian cukup beragam sesuai dengan pemateri masing-masing. berdasarkan hasil observasi, materi yang diberikan terkait hubungan manusia dengan tuhan (iman dan ketaatan kepada allah, ritual peribadatan, tobat dan azab di akhirat) dan hubungan antar sesama manusia (sikap dan sopan santun terhadap orang lain seperti sedekah, salam, dan berbuat baik dengan orang lain). teknik yang digunakan dalam penyampaian materi menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana dan menggunakan metode story telling. bahasa sederhana dan storytelling digunakan agar jamaah dapat memahami materi yang disampaikan dan cara pengaplikasiannya dalam kehidupan. selain itu, dalam kegiatan pengajian juga terjalin interaksi sosial antara pemateri dan jamaah. interaksi sosial yang merupakan proses interaksi antara individu dengan orang lain diwujudkan dalam bentuk komunikasi dua arah sehingga terjadi dialog interaktif antara jamaah dan pemateri (greene & burleson, 2003). selain memberikan informasi berupa materi, pemateri juga memberikan motivasi dan nasehat terkait materi yang disampaikan. selain pengajian, bimbingan yang diberikan berupa pendampingan secara personal dan intens oleh ustadz, ustadzah, dan pemilik lembaga. bentuk pendampingan yang diberikan berwujud pemberian arahan, nasehat dan motivasi yang dilakukan secara personal dengan pekerja seks komersial terkait secara face to face. menurut (salahudin, 2010), pertemuan secara face to face dilakukan agar individu dapat menceritakan dan membahas permasalahan yang bersifat pribadi tanpa perlu khawatir diketahui oleh publik. dalam pemberian pendampingan, bahasa yang digunakan jauh lebih santai dan luwes (tidak kaku) bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam pengajian. selain itu, arahan atau 35 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 nasehat yang diberikan lebih spesifik dan mengenai pada diri pekerja seks komersial. selain arahan, pendampingan juga berwujud penyaluran guna memberikan alternatif pada pekerja seks komersial untuk berkembang. selain itu, pendampingan juga berwujud pelatihan keterampilan hidup (misal menjahit, berdagang) guna memberikan bekal agar pekerja seks komersial mampu memberdayakan diri dan keterampilan yang diberikan untuk membuka usaha mandiri. namun selain itu, pihak lembaga juga memberikan sumbangan material berupa modal guna menunjang proses pemandirian pekerja seks komersial. berdasarkan pemaparan tersebut, pelaksanaan bimbingan di majelis asy-syifa dapat digolongkan model bimbingan sosio-spiritual. bimbingan sosio-spiritual merupakan model bimbingan yang masih baru. model bimbingan ini menggabungkan aspek spiritual dan sosial dalam pelaksanaannya. menurut nasr (2008), kata spiritual dalam islam berasal dari kata ruhaniyyah yang berarti mementingkan aspek ketuhanan dalam kehidupan dengan berdasaran pada pengetahuan dan ketaatan. sedangkan menurut departemen pendidikan nasional (2008), kata sosial bermakna sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat yang memerlukan adanya komunikasi. bimbingan di majelis asy-syifa digolongkan bimbingan sosio-spiritual karena di dalamnya mencakup aspek spiritual (hubungan manusia dengan tuhan) dan aspek sosial (hubungan manusia dengan manusia). adapun bentuk bimbingan sosio-spiritual diwujudkan melalui pemberian pengetahuan, penerapan tindakan yang diwujudkan melalui sikap dan interaksi sosial, serta dukungan berupa nasehat dan motivasi. pertama, pengetahuan yang diberikan untuk mengarahkan para pekerja seks komersial melakukan pertobatan meliputi materi tentang kewajiban manusia sebagai hamba untuk beriman dan taat pada perintah allah, materi tentang pentingnya melakukan tobat karena melakukan perbuatan maksiat yang dilakukan dan materi tentang azab dan konsekuensi yang akan diperoleh manusia di hari akhir. materi tersebut menjelaskan kaitannya hubungan manusia dengan tuhan terutama kewajiban manusia 36 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) sebagai hamba di hadapan allah. selain itu, juga materi tentang hubungan antara manusia dengan manusia lain seperti materi tentang sedekah, salam, dan perintah berbuat baik dengan orang lain. materi tersebut diberikan untuk menunjukkan perlunya berinteraksi dan membina hubungan dengan orang lain dan dapat menjadi bekal untuk membina hubungan dengan orang lain setelah berhenti dari profesi sebagai pekerja seks komersial. selain itu juga berguna untuk melakukan perbaikan terkait membangun interaksi sosial dengan orang lain guna mengurangi stigma negatif yang mereka sandang. kedua, bentuk penerapan tindakan yang dilakukan dalam pengajian dan pendampingan di majelis asy-syifa berbentuk interaksi sosial dan hubungan intrapersonal dengan pendamping. menurut horowitz & strack (2011), penerapan tindakan adalah menunjukkan sikap atau perilaku yang dapat membina kedekatan dalam sebuah hubungan (close relationship). berdasarkan pemaparan hasil temuan, bentuk interaksi sosial yang dilakukan dalam pengajian di majelis asy-syifa adalah proses komunikasi dua arah yang bersifat dialogis dan dilakukan oleh pemateri dan jamaah. sedangkan hubungan timbal balik diwujudkan dengan keikutsertaan para pekerja seks berpartisipasi dalam segala kegiatan yang dilakukan di majelis asy-syifa. sedangkan interaksi sosial dalam pendampingan ditunjukkan melalui komunikasi secara personal yang dilakukan antara pihak pengelola dan ustadz/ustadzah dengan pekerja seks komersial. bentuk pendampingan yang dilakukan secara personal (mendampingi dengan mendalami karakteristik individu masing-masing), serta sikap dan interaksi yang dibangun dalam pengajian tersebut memunculkan rasa kekeluargaan memunculkan trust pada diri pekerja seks komersial untuk terbuka. menurut jackson, doyle, & capon (2016), kedekatan hubungan yang telah terjalin akan memunculkan kepercayaan sehingga individu mampu terbuka menceritakan permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya. ketiga, pemberian dukungan diwujudkan dalam bentuk pemberian nasehat dan motivasi. nasehat dapat berupa anjuran untuk melakukan 37 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 sesuatu atau peringatan agar tidak melakukan sesuatu (jhangiani & tarry, 2014). nasehat berupa anjuran berwujud anjuran untuk bersedekah dan berfikir positif. sedangkan nasehat berupa peringatan seperti peringatan agar tidak meninggalkan dan menyekutukan allah. sedangkan motivasi yang diberikan lebih pada motivasi untuk pelaksanaan ibadah. motivasi dan nasehat yang diberikan terlihat dari kisah-kisah yang disampaikan pemateri dalam pengajian. contohnya mengenai kisah keutamaan orang yang memiliki amalan ibadah unggulan atau kisah anak yang durhaka pada ibunya. kisah orang yang memiliki amalan ibadah ini bisa menjadi motivasi bagi mantan pekerja seks komersial karena dengan amalan ibadah yang berkualitas maka dapat menjamin keselamatan di akhirat. atau kisah anak yang durhaka pada ibunya ini juga bisa menjadi bahan renungan bagi mantan pekerja seks komersial. karena tidak ada ibu yang menginginkan anaknya menjadi pekerja seks komersial. sehingga, ketika ada seseorang menjadi pekerja seks komersial maka secara tidak langsung telah durhaka dan menyakiti ibunya. dalam pengajian, pemberian motivasi dan nasehat saling berkesinambungan dengan pemberian informasi yang berwujud materi baik itu tentang syariat atau cara hidup bermasyarakat. sedangkan pada dukungan melalui pendampingan secara personal bagi pekerja serks komersial adalah arahan agar berhenti dari profesinya dan menjelaskan posisi sebagai seorang istri yang telah dinafkahi dan menjadi tanggungan orang lain. pelaksanaan ketiga perwujudan bimbingan sosio-spiritual tersebut tidak serta merta harus diberikan secara berurutan tahap demi tahap. namun dalam pemberian dukungan, penerapan tindakan, maupun pemberian dukungan dapat dilakukan secara bersamaan. jadi, dalam pelaksanaan bimbingan sosio-spiritual, pembimbing dapat memberikan pengarahan melalui pengajian sekaligus memberikan pendampingan secara bersama-sama. bimbingan sosio-spiritual yang diberikan di majelis asy38 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) syifa telah memberikan pemahaman mengenai posisi jamaah utamanya para pekerja seks komersial sebagai manusia sekaligus hamba yang perlu untuk menyembah kepada allah dan bersosialisasi dengan masyarakat dalam lingkup lingkungan sosial. pemahaman ini juga mengenai alternatif berbagai pemecahan masalah seperti sabar, syukur, ikhlas, dan pasrah. tema bimbingan semacam ini memunculkan restrukturisasi kognisi pada diri pekerja seks komersial sehingga menimbulkan pikiran yang lebih rasional dalam menghadapi permasalahan ekonomi dan memilih pekerjaan. dalam menjalani kehidupan di dunia, diperlukan sifat-sifat sabar, syukur, ikhlas, dan pasrah. jika tidak disertai sikap-sikap seperti itu, maka seseorang akan mudah terjerumus mencari jalan pintas guna mencapai kebahagiaan. salah satu mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan dengan cara menjadi pekerja seks komersial. sikap-sikap ini bisa melekat pada diri seseorang jika seseorang mendekatkan diri kepada allah. salah satunya dengan menyembah dan melakukan peribadatan kepada allah. selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa peran pemateri hanya sebagai fasilitator yang memberikan arahan. sedangkan pelaksanaannya dikembalikan pada individu masing-masing. kedudukan pembimbing dalam proses bimbingan yaitu pembimbing tidak serta-merta memberikan suatu solusi untuk pemecahan masalah individu, melainkan mengarahkan individu agar dapat menentukan penyelesaian masalah sesuai kemampuan dirinya (caipang, 2014). v. kesimpulan tobat berarti kembali ke jalan allah setelah melakukan penyimpangan syariat agama (al-bayanuni, 2005). bentuk penyimpangan syariat agama yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial adalah profesi mereka menjual seks demi uang yang termasuk perbuatan zina. berdasarkan hasil penelitian terhadap tiga mantan pekerja seks komersial di majelis asysyifa, proses pertobatan yang dilakukan terdiri dari beberapa tahap seperti berikut: 39 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 tahap pertama, ketiga subjek mengikuti pengajian meski masih tetap menjalani profesinya sebagai pekerja seks komersial. subjek mengikuti kegiatan dapat dikatakan sebagai usaha untuk mendapatkan pengetahuan lebih tentang agama dan syariat di dalamnya. meski masih berprofesi sebagai pekerja seks, bukan berarti seseorang tidak beragama dan tidak ada keinginan untuk mempelajari agama. pada tahap pertama ini, suasana interaksi sosial antara pendamping dengan subjek sangat penting. karena kehangatan interaksi sosial keduanya berpengaruh positif terhadap subjek. tahap kedua, karena pengetahuan dan pendampingan yang diberikan, memicu munculnya kesadaran dari dalam diri ketiga subjek yaitu ibu po (inisial), ibu me (inisial) dan ibu da (inisial) untuk memiliki kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. pada titik ini terjadi pemaknaan kognitif mengenai materi keagamaan yang diberikan pada tahap pertama. pemaknaan kognitif ini selanjutnya mempengaruhi pola pikir yang mengakibatkan meningkatnya spiritualitas subjek. pada akhirnya, muncul kesadaran untuk berubah. adanya kesadaran dan harapan memunculkan keinginan untuk berubah. kesadaran diri menjadi pengontrol individu dalam melakukan tindakan. para pekerja seks komersial yang telah memiliki kesadaran dan keinginan untuk bertobat akan mempertimbangkan tindakan apa yang akan dilakukan selanjutnya agar mereka dapat bertobat. pada tahapan ketiga, setelah adanya pengetahuan dan kesadaran, keinginan untuk bertobat diwujudkan dalam tindakan nyata. tindakan yang dilakukan ibu po (inisial), ibu me (inisial), dan ibu da (inisial) untuk mewujudkan tobat adalah dengan berhenti dari profesinya sebagai pekerja seks komersial. selain bertobat dengan berhenti dari profesi sebagai pekerja seks komersial, ketiga subjek juga mewujudkan perbaikan diri dengan mencari uang yang halal. karena masalah ekonomi yang menjadi alasan ketiga subjek tersebut menjadi pekerja seks komersial, maka usaha untuk mencegahnya terjerumus kembali juga dari segi ekonomi. pada kasus ibu po (inisial), usaha perbaikan diri yang dilakukan yaitu membuka toko kelontong dan makanan jadi untuk memperoleh uang dan mampu menyekolahkan kedua 40 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) anaknya. pada kasus ibu me (inisial), bentuk perbaikan diri tersebut adalah dengan mengenakan pakaian yang menutup aurat. selain itu, beliau juga membuka usaha panti pijat, berjualan handuk dan membuka counter. dengan usaha yang telah dimiliki, kebutuhan hidup sehari-hari dapat dipenuhi. sedangkan pada kasus ibu da (inisial), beliau melanjutkan hidupnya dengan membuka usaha dengan menjual gorengan di terminal tirtonadi. daftar pustaka al-bayanuni, a. ‘. (2005). meraih ampunan ilahi. solo: pustaka arafah. aqmalia, r., & fakhrurrozi, m. (2004). kepuasan pernikahan pada pekerja seks komersial (psk). jurnal gunadharma. baumeister, r. f., & vohs, k. d. (2007). encyclopedia of social psychology. usa: sage publications. bram, j., dharmawanti, l., liyanti, e., wibowo, j. p., giri, p. h., & siswoyo, e. (2010). model pembinaan mantan pekerja seks komersial di panti sosial bina karya wanita kedoya. insani no. 10/1/ desember/2010, 32 42. caipang, m. a. (2014). guidance: principles and procedures. india: research signpost. clinard, b. m., & meier, r. f. (2011). sociology of deviant behavior ed. 14th. usa: wadsworth cengage learning. departemen pendidikan nasional. (2008). kamus besar bahasa indonesia. jakarta: pusat bahasa. detiknews.com. (2014, juni 20). detik news. retrieved desember 05, 2017, from detiknews.com: https://m.detik.com/news/ berita/2614608/ini-data-dan-persebaran-161-lokalisasi-diindonesia ditmore, m. h. (2006). encyclopedia of prostitution and sex work vol. 1&2. london: greenwood press. fadillah, g. f. (2013). upaya meningkatkan pengendalian diri penerima manfaat melalui layanan bimbingan kelompok di balai 41 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 rehabilitasi mandiri semarang. skripsi bimbingan dan konseling fakultas ilmu pendidikan universitas negeri semarang (tidak diterbitkan). greene , j. o., & burleson, b. k. (2003). handbook of communication and social interaction sklills. london: lawrence erlbaum associates. herawati, t. (2017, maret 26). wawancara penelitian pertama 26 maret 2017. (t. rahayu, interviewer) horowitz, l. m., & strack, s. (2011). handbook of interpersonal psychology: theory, research, assessment, and therapeutic interventions. canada: john wiley and son. ismail, m. (2016, juli 29). solopos.com. retrieved desember 05, 2017, from solopos.com: http://m.harianjogja.com/baca/2016/07/29/ psk-solo-warga-ketelan-tolak-pekerja-seks-komersial-mangkal-dikampung-740996 jackson, d., doyle, c., & capon, h. (2016). spirituality, spiritual need, and spiritual care in aged care: what literature says. journal of religion, spirituality & aging. jajuli. (2010). motivasi dan dampak psikologis pekerja seks komersial (studi kasus terhadap psk di gunung kemukus sragen jawa tengah). skripsi bimbingan dan konseling islam fakultas dakwah universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta (tidak diterbitkan). jhangiani, r., & tarry, h. (2014). principles of social psychology-1st international edition. canada: creative commons licence. kartono, k. (1997). patologi sosial edisi 2 cetakan 5. jakarta: pt rajagrafindo persada. kohar, m. a., & mujahid, i. (2017). bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat. al-balagh, jurnal dakwah dan komunikasi, volume 2, no. 1 (2017), 111 126. doi. 10.22515/balagh.v2i1.616. koransindo.com. (2016, 02 29). koran sindo. retrieved 12 05, 2017, from koransindo.com: http://www.koran-sindo.com/news. php?r=0&n=4&date=2016-02-29 lestari, r. (2002). pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri pelacur yang tinggal di panti dan luar panti sosial. indigenous jurnal ilmiah berkala psikologi, vol. 6, no. 2, 134 146. doi: https://doi.org/10.23917/indigenous.v0i0.4629. manurung, c., korompis, m., & manueke, i. (2015). karakteristik pekerja 42 titik rahayu – pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) seks komersial dan penyakit menular seksual. jidan jurnal ilmiah bidan volume 3 no. 1 januari juni 2015, 15 19. matahari, r. (2012). studi kualitatif mengenai persepsi dan perilaku seksual wanita pekerja seks komersial (psk) dalam upaya pencegahan ims di kota semarang tahun 2012. jurnal kesehatan reproduksi vol. 3 no. 3 desember 2012, 113-123. me. (2017, mei 14). wawancara penelitian ketiga 14 mei 2017. (t. rahayu, interviewer) mulati, t. s., & ratnasari, p. (2016). perilaku pekerja seks komersial terhadap pencegahan penyakit menular seksual di lokalisasi kalinyamat bandungan. jurnal kebidanan dan kesehatan tradisional, volume 1, no. 1, maret 2016, 40 47. munawaroh, s. (2010). pekerja seks komersial (psk) di wilayah prambanan, kabupaten klaten, jawa tengah. dimensia, volume 4, no. 2, september 2010, 69 82. nasr, s. h. (2008). islamic spirituality foundations vol. 48. new york: routledge. nataya, e. j., & supriyadi. (2017). pemberdayaan keluarga penerima manfaat melalui program keluarga harapan di kelurahan kelun kecamatan kartoharjo kota madiun. jurnal sosiologi dilema, vol. 32, no. 2 tahun 2017, 1 9. nurdiansyah. (2016). bimbingan agama islam pada eks pekerja seks komersial di balai rehabilitasi sosial wanita utama surakarta. surakarta: iain surakarta. po. (2017, april 2). wawancara penelitian kedua 02 april 2017. (t. rahayu, interviewer) puteri, d. a., & pujihartati, s. h. (2016). upaya membangun konsep diri pada eks pekerja seks komersial. jurnal sosiologi dilema, vol. 31, no. 1 tahun 2016, 23 30. regar, p. m., & kairupan, j. k. (2016). pengetahuan pekerja seks komersial (psk) dalam mencegah penyakit kelamin di kota manado. jurnal holistik, tahun xi no. 17/ januari juni 2016, 1 20. salahudin, a. (2010). bimbingan dan konseling. bandung: pustaka setia. sari, r. p. (2014). aktivitas ekonomi mantan pekerja seks komersial pasca rehabilitasi di kota padang. jurnal program studi pendidikan sosiologi sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan pgri sumatera barat, 1 6. 43 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 27 43 sayoga, c. r., niman, s., & livolina, l. (2015). motivasi pekkerja seks komersial untuk berhenti dari pekerjaannya di perkumpulan keluarga berencana indonesia (pkbi) klinik mawar bandung. e-journal stikes santo borromeus, 48-54. sihombing, j. p. t., & hutagulung, k. r. (2011) gambaran kecemasan pada pekerja seks komersial (psk) di bandung. jkm, vol. 11 no. 1 juli 2011, 56-63. suryadi, s. a. (2011). interaksi sosial antara pekerja seks komersial (psk) dengan masyarakat. skripsi jurusan pendidikan luar sekolah fakultas ilmu pendidikan universitas negeri semarang (tidak diterbitkan). susanto, a. (2011, juni 07). solopos.com. retrieved desember 05, 2017, from solopos.com: http://www.solopos.com/2011/06/07/700-anpsk-layani-dua-pelangganhari-101309 susilowati. (2016, desember 23). wawancara profil majelis asy syifa’. (t. rahayu, interviewer) jurnal al-balagh_vol.2 no.2-2 2017 konseling islami dengan teknik scaling question untuk mengurangi kecemasan pasien khoirun nisa dwi martina supandi iain surakarta keywords: anxiety, islamic counseling, scaling question technique http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: khoirunnisa@gmail.com supandiirfan@gmail.com abstract this article attempts to describe the process of islamic counseling with scaling question technique in order to reduce patient’s anxiety. the method used is qualitative descriptive and the determination of the subjects is chosen with the purposive sampling. the results of the study show the practice of scaling question technique with the following sequence of processes: (1) rapport, (2) asking for complaints during hospitalization, (3) asking the patient to take a comfortable position with his eyes closed then feel what the burden of his mind , (4) asking the patient to tell what he is feeling when his eyes are closed, (5) asking the level of problem between 0-10, (6) dialogue plus exposing the wisdom or risk until the patient raises the insight or gets enlightenment, (7) reinforced with the verses of the qur’an or hadith, (8) asking the level of problem between 0-10 back, (9) farewell. artikel ini berupaya mendeskripsikan proses konseling islami dengan teknik scaling question dalam rangka mengurangi kecemasan pasien. metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan penentuan subyek dipilih dengan sampling purposif. hasil penelitian menunjukkan praktik teknik scaling question islami dengan urutan proses sebagai berikut: (1) rapport, (2) menanyakan keluhan-keluhan selama rawat inap, (3) meminta pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan mata terpejam kemudian merasakan apa yang menjadi beban pikirannya, (4) meminta pasien menceritakan apa yang sedang dirasakannya saat mata terpejam tadi, (5) menanyakan tingkatan masalah antara 0–10, abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.1022 210 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik (6) melakukan dialog ditambah memaparkan hikmah atau resiko sampai pasien memunculkan insight atau mendapatkan pencerahan, (7) dikuatkan dengan ayat-ayat alquran atau hadits, (8) menanyakan tingkatan masalah antara 0-10 kembali, (9) berpamitan. i. pendahuluan kehidupan umat manusia tidak bisa lepas dari ujian yang dapat membuatnya berduka. manusia yang beriman dan bertakwa kepada allah swt. akan berupaya memahami hikmah di balik semua itu, berusaha menghayati dan lalu mencari solusi untuk mendapat rida dan taufik serta hidayah dari allah swt. namun, jika ujian itu terus menerus ditentang dan dibiarkan tanpa solusi, pada umumnya akan memunculkan tekanan psikis yang membuat manusia semakin terpuruk dalam masalah. hal tersebut dapat dicontohkan saat seseorang mengalami sakit parah hingga dirawat inap di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama. dalam kondisi ini, seseorang akan mengalami perubahan tidak hanya secara fisik, tetapi diikuti dengan perubahan kognitif (cara berpikir), afektif (cara berperilaku), motorik (gerak tubuh), dan psikososial. orang yang tidak seimbang antara kognitif, afektif, motorik, dan psikososial akan mengalami rasa cemas. kecemasan adalah reaksi terhadap ancaman dari rasa sakit maupun dunia luar yang tidak siap ditanggulangi dan berfungsi mengingatkan individu akan adanya bahaya (triantoro, 2009). jika reaksi berupa ego tidak mampu mengatasi kecemasan, maka ego akan memunculkan pertahanan ego. sigmund freud (corey, 2009) membagi mekanisme pertahanan ego yaitu (1) penyangkalan/penolakan, (2) proyeksi, (3) fiksasi, (4) regresi, (5) rasionalisasi, (6) sublimasi, (7) displacement, (8) represi, (9) reaksi formasi. beberapa hal itu merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kecemasan merasa tidak tahan dan ingin segera bebas dari hal-hal yang membuatnya cemas. bukti lain yang dapat memperkuat bahwa seseorang mengalami kecemasan ditunjukkan dengan coping (ketahanan batin) yang kurang, seperti cemberut, murung, lebih banyak diam, cenderung menghindar, kata kunci: kecemasan, konseling islami, teknik scaling question – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 211 bahkan menyendiri. jika hal itu tidak dikontrol dan dibiarkan mengikuti hawa nafsunya, maka seseorang yang sakit akan mengalami proses penyembuhan fisik dalam waktu yang lebih lama. selain itu, dampak yang dirasakan juga bisa menimbulkan penyakit baru yang tidak memberikan kenyamanan pada fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, pegal–pegal, nyeri badan, meriang, sulit tidur, mata berkunang–kunang, dan sebagainya. musfir (2005) berpendapat bahwa kecemasan juga bisa mempengaruhi tubuh hingga tubuh menggigil, berkeringat, jantung berdegup kencang, lambung terasa mual, dan tubuh terasa lemas. pikiran seseorang akan bekerja sesuai hukumnya. hukum yang mengatur cara kerja pikiran dimaksud adalah: pertama, setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. hal ini dikarenakan simtom yang muncul dari emosi cenderung mengakibatkan perubahan pada fisik apabila simtom ini bertahan cukup lama. kedua, dari pikiran–pikiran itu bisa menjadikan kondisi fisik semakin memburuk. misalnya, apabila seseorang berpikir secara konsisten dan meyakini dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di sekitar dada, yang ia yakini sebagai gejala jantung. apabila ide tersebut terus–menerus dipikirkan dan akhirnya ia menjadi yakin karena gejalanya memang “benar” adalah gejala sakit jantung, maka sesuai hukum yang kedua ia akan menderita sakit jantung. ketiga, biasanya orang tidak menginginkan mengalami sakit tertentu. pada umumnya, ia merasakan suatu perasaan yang tidak nyaman, tetapi tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini merupakan salah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar, yaitu melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. tetapi, pada umumnya pikiran bawah sadar menyampaikan pesan melalui emosi tertentu. apabila emosi itu tidak ditanggapi, ia akan semakin memuncak menjadi sebuah gangguan fisik yang semakin parah (fathonah, 2011). ada sebuah penelitian tentang keterbukaan pikiran terhadap apa yang mungkin terjadi dan yang dapat membuat manusia lebih panjang 212 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik usia, lebih sehat, dan pikiran lebih kuat. usia lebih panjang dan lebih sehat dapat dicapai dengan tidak bersikap pesimis. hal itu sudah jelas bahwa keterbukaan pikiran akan mengakibatkan ketenangan jiwa (michael & howwel, 2015). berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, masih ada manusia yang berpikir dan menyikapi sesuatu dengan keliru. padahal, berpikir keliru dan negatif bisa mengakibatkan orang menjadi khawatir dan gelisah. jika kegelisahan itu dibiarkan, dapat membuat dirinya tidak fokus pada semua hal, menambah beban, dan masalah sulit diselesaikan. pendapat tersebut juga memberikan penguatan, jika seseorang mengalami kegelisahan maupun kekhawatiran maka dia harus segera sadar, bangkit, dan tidak membiarkan perasaan tidak nyaman itu. selain itu, orang yang gelisah dan cemas harus cepat berpikir untuk mengevaluasi tentang apa yang terjadi dan mencari solusi. pendapat sigmund freud sebagaimana dikutip oleh oktastika (2004) menjelaskan tentang cara kerja pikiran manusia meliputi pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.pikiran sadar adalah bagian dari sistem pikiran yang mengendalikan perilaku seseorang dengan sengaja atau direncanakan secara logis. selain itu, pikiran sadar selalu berangkat dari pertanyaan–pertanyaan di balik setiap tindakan yang diambil. pertanyaan–pertanyaan itu misalnya: nanti bagaimana jika ternyata salah? apakah mungkin saya bisa melakukannya? bagaimana jika saya dianggap aneh atau tidak normal? bagaimana jika saya dipermalukan? pertanyaan–pertanyaan tersebut yang dicetuskan secara sadar oleh manusia dan akhirnya mengakibatkan kecemasan. pikiran sadar ini berbeda dengan pikiran bawah sadar. pikiran bawah sadar bersifat spontan, tanpa rencana yang digambarkan pada orang yang fobia atau mengalami kecemasan realita seperti takut pisang, jarum, darah, ambulans, dan sebagainya. kecemasan realita ini terjadi pada orang yang bersangkutan sampai mendapatkan terapi yang cocok dan berbeda dengan kecemasan umum yang biasa terjadi kapan saja pada pengalaman sehari–hari. kecemasan umum ini termasuk jenis state-trait anxiety atau stait anxiety yang timbul apabila seseorang dihadapkan pada situasi mengancam, berlangsung – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 213 sementara dan ditandai dengan perasaan subyektif akan tekanan–tekanan tertentu, kegugupan, dan aktifnya susunan syaraf pusat (spielberger, 1996). sebagai contoh, kecemasan jenis stait anxiety dapat terjadi pada pasien yang menderita sakit namun tidak kunjung sembuh atau bertambah parah, mencemaskan keadaan keluarga di rumah karena posisinya sedang dirawat di rumah sakit, mencemaskan pekerjaan tetapnya, dan sebagainya. untuk menyelesaikan berbagai permasalahan psikologis tersebut, dapat diatasi dengan cara konseling. konseling merupakan usaha membantu orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan agar subyek bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi subyek. seorang konselor bukan subyek namun subyeknya adalah konseli itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang dihadapi. seiring berjalannya waktu, tindakan konseling mengalami perkembangan membentuk layanan baru, salah satunya konseling islami. konseling islami merupakan layanan bantuan kepada konseli untuk mengingatkan kembali pada fitrahnya, menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya baik dari segi baik–buruknya atau kekuatan dan kelemahannya sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh allah swt. selain itu, konseling islami memberikan penyadaran kepada konseli bahwa dirinya perlu melakukan ikhtiar. kelemahan yang ada pada dirinya bukan untuk disesali secara terus– menerus dan kekuatan atau kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri (diponegoro, 2011). adz-dzaki sebagaimana dikutip oleh diponegoro (2011), konseling islami berlandaskan pada paradigma wahyu dan keteladanan pada nabi, rasul, dan ahli warisnya. kesemuanya memiliki kekuatan nilai yang dapat memberikan petunjuk (bimbingan) bagi pemintanya. allah swt. telah memerintahkan kepada manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan menjauhi segala keburukan. hal ini tertuang dalam firman-nya yang mengisyaratkan tentang kebenaran alquran dan petunjuk bagi orang yang beriman dan bertakwa yaitu: (1) qs. al-baqarah (2) 2 : kitab (alquran) ini tidak ada keraguan kepadanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (2) qs. 214 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik yunus (10) 57 : alquran telah memberikan pelajaran dan allah swt. sebaikbaik penyembuh; itu semua sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. begitu pula rasulullah saw. merupakan sosok teladan yang juga memberikan contoh serta pendidikan islami yang dapat mengantarkan manusia kepada kebaikan dengan iman, islam, dan ihsan yang selalu istiqamah. praktek konseling islam mempunyai prinsip–prinsip, yaitu memberikan kabar gembira dan kegairahan hidup, melihat konseli sebagai hamba allah swt., menghargai konseli tanpa syarat, dialog islami yang menyentuh (willis, 2004). ketika memberikan konseling juga diperlukan beberapa metode yang disesuaikan dengan kondisi setiap konseli yaitu metode keteladanan, penyadaran, penalaran logis, atau metode kisah. dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam konseling islami adalah metode penyadaran dan penalaran logis. metode penyadaran merupakan metode yang menggunakan ungkapan–ungkapan nasihat dan juga altarghib wa al-tarhib (janji dan ancaman). sedangkan metode penalaran logis merupakan metode yang berkisar tentang dialog akal dan perasaan individu. kemudian, aspek – aspek konseling islami mengarah pada aspek preventif (pencegahan), perkembangan, dan terapi yang kesemuanya itu dirangkum menjadi satu dalam upaya membentuk kepribadian muslim kaffah (az-zahrani, 2005). salah satu teknik konseling yang memungkinkan untuk menjadi konseling islami adalah konseling dengan teknik scaling question. sebelum dijelaskan tentang teknik scaling question, ada perlunya mengetahui pendekatan sfbc (solution focused brief counseling) yang merupakan induk atau sumber dari beberapa teknik salah satunya teknik scaling question. nicols sebagaimana dikutip oleh inayah (2012) menjelaskan bahwa pendekatan sfbc atau solution focused brief counseling yaitu sebuah pendekatan yang memandang individu memiliki kemampuan untuk bertingkah laku secara efektif dalam menyelesaikan masalahnya, hanya saja selama ini kemampuan tersebut tertutupi oleh adanya anggapan negatif. individu lebih diarahkan – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 215 untuk lebih memerhatikan kelebihan–kelebihan yang ia miliki agar tidak terokupasi oleh kegagalan yang dialaminya. lundin sebagaimana yang dikutip oleh perry (2010) juga menjelaskan tentang pendekatan sfbc, yakni pendekatan konseling yang berfokus pada masa kini (present) dan masa depan (future) yang dirancang untuk diciptakan melalui solusi. adapun scaling question merupakan teknik yang digunakan dalam konseling dimana konseli diminta untuk memberikan penilaian dari skala 0 atau 1 untuk nilai yang paling baik (tidak memiliki kendali sama sekali terhadap masalah) hingga skala 10 untuk nilai yang sangat buruk (memiliki kendali terhadap masalah), mengenai penghayatan terhadap masalah, serta keyakinan akan keberhasilan solusi yang ia ciptakan. tujuan teknik scaling question ini membantu terapis/konselor dan konseli dalam menjadikan topik masalah yang sebelumnya samar–samar menjadi konkrit, karena konseli tidak hanya menjelaskan perasaan/pemikirannya, namun juga menerjemahkannya dalam bentuk penilaian (inayah, 2012). menurut capuzzi dan gross, teknik scaling question termasuk teknik yang memungkinkan konseli lebih memperhatikan apa yang telah ia lakukan dan bagaimana ia mengambil langkah yang mengarahkan pada perubahan yang diinginkan (sumarwiyah, 2015). pertanyaan–pertanyaan yang disampaikan dalam menggunakan teknik scaling question diantaranya : “pada rentang angka yang mana anda menempatkan diri anda dalam skala tersebut? dan apa yang akan anda perlukan agar anda dapat naik ke skala yang lebih baik?” (lestari, 2016). melihat perkembangan kognitif manusia dalam kurun waktunya kini, bahwa setiap manusia mengharapkan suatu ketenangan dan kedamaian jiwa sehingga tidak ada beban pikiran yang mengitarinya. dalam upaya mewujudkan harapan itu diperlukan beberapa teknik mengurangi atau bahkan menghilangkan kecemasan, salah satunya adalah scaling question. teknik scaling question tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. akan tetapi, dalam konteks masyarakat religius (terlebih lagi pada konteks masyarakat islam), teknik scaling question ini belum menyentuh ranah 216 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik spiritualitas. sehingga, teknik ini dapat dimodifikasi dengan menjalankan teknik tersebut secara islami. harapannya, modifikasi teknik scaling question secara islami tersebut dapat membuahkan hasil yang lebih maksimal. hal itu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh kaharja (2016) yang meneliti tentang pengaruh solution focused brief therapy sebagai salah satu teknik konseling islami untuk meningkatkan self esteem. hasil penelitian ini secara kuantitatif dibuktikan dari perolehan skor uji wilcoxon signed rank test sebesar 0,46 dengan p-value <0,05. selain itu, peningkatan skor self esteem subyek dapat diketahui dari meningkatnya rata–rata (mean) antara pretest dan postest yakni dari 1,963 menjadi 3,088. kemudian, hasil penelitian kualitatif dibuktikan dari teknik–teknik pada solution focused brief therapy mampu memberikan dukungan atau pelengkap bagi pelaksanaan konseling islami (adanya kolaborasi) yaitu memudahkan subyek untuk terbuka dan bercerita tentang masalahnya. selain itu, solution focused brief therapy dapat merubah pola pikir atau pandangan negatif menjadi positif yang dapat memotivasi diri untuk mengaktualisasikan diri. hal itu akan bermanfaat bagi subyek untuk diajak dialog tentang ajaran–ajaran agama islam yang akan dilakukan ke depannya dalam mendukung perkembangan pribadinya sehingga subyek tidak lagi gundah, takut, dan gelisah. berdasarkan penjelasan tersebut, pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana tata cara dan langkah-langkah dalam menjalankan konseling islami dengan teknik scaling question guna mengurangi kecemasan pasien? ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. subyeknya dipilih melalui purposive sampling atau dengan kriteria tertentu. kriteria sampel tersebut adalah: (1) pasien rawat inap reguler yang memiliki usia antara 18 – 40 tahun (tergolong usia dewasa awal), mengalami kecemasan jenis stait anxiety, merupakan orang yang tanggap, memiliki konsentrasi yang baik, dan aktif, serta memiliki pendidikan terakhir minimal sma/ – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 217 smk/smea/man, (2) keluarga pasien yang menemaninya. sedangkan untuk konselor dan terapisnya memiliki kualifikasi psikolog yang memiliki kriteria beragama islam dan salah satunya merupakan ketua rohis/rohani islam. penelitian dilakukan di rumah sakit ortopedi prof. dr. r. soeharso surakarta dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. selain itu, didukung oleh teknik keabsahan data berupa peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi sumber, dan metode (kredibilitas). iii. model hipotetik konseling islami dengan teknik scaling question untuk mengurangi kecemasan pasien layanan psikologi di rumah sakit menempati posisi yang sangat penting dalam upaya mewujudkan pasien menjadi pribadi yang sehat secara jasmani dan rohani. karena itu, diperlukan upaya layanan yang dilakukan secara terkonsep dan sistematis yang nantinya bisa memberikan pengaruh bagi proses konseling di rumah sakit. sebagai sebuah pusat kejiwaan di rumah sakit pada masa modern ini, pihak psikolog berupaya menambahkan layanan baru dan mendukung layanan dasar yang telah diterapkan. penambahan layanan ini berupa konseling islami. kesimpulan ini atas dasar observasi/pengamatan di lapangan bahwa tidak semua pasien beragama nonmuslim sehingga perlu ditambahkan layanan konseling secara islami sebagai penguatan konseling barat. hal ini yang akan menambah ciri khas dari rumah sakit sebagai lembaga yang menawarkan konsep sehat secara jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan keseimbangan spiritual, moral, dan intelektual. layanan baru yang dikembangkan oleh psikolog ini berwujud model hipotetik yakni mengkolaborasikan konseling islami dengan teknik konseling barat. model hipotetik ini dilakukan dengan harapan kedua konseling tersebut memberikan kontribusi yang saling melengkapi demi terwujudnya konseli/pasien yang pandai mengelola emosi dan kemudian dampaknya bisa dirasakan, yakni tidak mudah cemas. selain itu, perpaduan 218 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik dua perspektif ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan psikologis individu/pasien dan juga memperkuat spiritualitasnya. bentuk kontribusi dari konseling barat salah satunya dengan teknik scaling question ini yaitu memberikan alternatif penghayatan masalah dengan mata terpejam serta bantuan level masalah antara 0 sampai 10 kepada pasien yang belum bisa mengungkapkan permasalahannya secara terbuka. kemudian, kontribusi dari konseling islami ini berupa metode penyadaran dan diskusi penalaran logis yang bertujuan agar konseli/pasien muslim lebih sadar akan cobaan dari allah swt., selalu mengambil hikmah dan mantab menjalani kehidupan. kedua metode itu berupa dialog logis tentang janji dan ancaman, manfaat dan madharat, serta penegasan komitmen dan perencanaan tentang tindakan–tindakan yang akan dilakukan konseli/ pasien ke depannya secara islami. keinginan mulia dari psikolog untuk memunculkan konsep baru berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu : 1. model konseling islami dengan teknik scaling question berorientasi membawa pasien ke arah perkembangan yang optimal. model ini memberikan penguatan bagi pasien muslim yang diantaranya masih lemah dalam akidah islam sehingga layanan yang diberikan tidak hanya konseling barat yang bersifat umum, namun ada penyadaran dan pemantapan akidah. status muslim (sebagai orang islam) menjadi prioritas utama supaya pasien tetap dapat menyempurnakan agama secara menyeluruh meski dalam kondisi sakit. di sinilah urgensi konseling islami model hipotetik, yakni supaya seseorang yang ditimpa sakit tidak banyak mengeluh, tidak menyakiti diri, dan tidak putus asa. 2. model konseling islami dengan teknik scaling question akan terlaksana secara efektif ketika didukung oleh lingkungan yang kondusif. proses perkembangan layanan terjadi melalui interaksi individu/pasien dengan lingkungan. lingkungan rumah sakit yang beranggotakan tenaga medis dan psikolog diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang positif dan bisa membina pasien. selain itu, lingkungan keluarga yang juga – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 219 menjadi lahan untuk membantu mengembangkan kemampuan pasien dalam mencegah terjadinya masalah juga harus terpenuhi. apabila peran keluarga tidak terlaksana dengan baik maka pasien akan semakin bermasalah, sulit menemukan solusi, dan pelaksanaan konseling tersebut tidak maksimal. berdasarkan penjelasan tersebut, maka implementasi model hipotetik konseling islami di rumah sakit dalam rangka mewujudkan insan kamil/muslim kaffah (sempurna) penting untuk dilaksanakan. hal ini dikarenakan status muslim pasien yang terkadang membutuhkan pelayanan secara islami. akan tetapi, di sisi lain kemampuan dalam mengungkapkan masalahnya secara terbuka sangat minim atau bahkan malu. maka, model hipotetik ini diperlukan teknik lain yang berupaya melengkapi proses konseling islami, salah satunya teknik scaling question yang mendorong keterbukaan masalah. setelah pasien terbuka dan sadar atas apa sesuatu yang telah terjadi maka pasien akan mudah menerima pelajaran–pelajaran islami yang dilakukan diantaranya dengan metode penyadaran maupun penalaran logis. sebelum melakukan konseling, ada beberapa persiapan yang perlu diperhatikan. dalam persiapan ini dilakukan pencarian informasi dalam mendukung proses layanan terkait hal–hal sebagai berikut : 1. profil pasien 2. penyebab masalah pasien 3. perilaku pasien 4. kebutuhan pasien 5. deskripsi aktual terkait implementasi proses konseling islami, yaitu a. rapport b. identifikasi masalah c. pemahaman masalah d. konseling dengan pendekatan islami e. terminasi/penutup yang berisi penguatan ayat-ayat alquran, hadits, atau nasehat islami 220 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik 6. mengkaji konseptual model konseling islami dengan teknik scaling question 7. mengkaji hasil penelitian yang relevan 8. mengkaji ketentuan–ketentuan formal pelaksanaan model hipotetik konseling islami, meliputi kriteria pembina dan pasien yang dijabarkan sebagai berikut : a. persyaratan pembina : 1) persyaratan berdasarkan pendidikan a) pembina harus menempuh studi minimal s2 magister psikologi profesi agar resmi sebagai psikolog. berdasarkan sejarahnya, tahun 2000 sampai sekarang, orang–orang yang mendapat sebutan psikolog itu harus menempuh studi s2 magister psikologi profesi. b) pembina harus menguasai bidang–bidang terkait pemahaman tentang individu, informasi tentang ilmu pengetahuan umum, materi tentang agama islam, administrasi dan kaitannya dengan program layanan, metode dan strategi sesuai dengan permasalahan konseli/pasien, dan prosedur penilaian layanan. c) pembina mempunyai kemampuan berdakwah dan membumikan kaidah–kaidah agama islam secara garis besar sesuai permasalahan konseli/pasien. 2) persyaratan berdasarkan kepribadian a) pembina merupakan orang islam. b) pembina memiliki akhlak yang baik dan dapat dijadikan contoh, menerima konseli/pasien apa adanya, penuh pengertian, jujur dan bersungguh–sungguh, bersikap sopan, ramah, dan penuh hangat, memiliki kemampuan empati, dan memiliki keterbukaan pikiran/menerima perbedaan budaya. 3) persyaratan berdasarkan kepemimpinan dalam agama islam, pembina konseling dapat diidentikkan dengan pemimpin karena tugas pembina termasuk memimpin dan – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 221 mengarahkan diri sendiri untuk berupaya menyempurnakan menjadi orang yang lebih baik. selain itu, pembina konseling atau konselor dan psikoterapis menjadi pemimpin bagi orang–orang yang dipimpinnya atau sedang bermasalah supaya mereka bisa memahami dan menerima dengan baik serta beradaptasi dengan lingkungannya. sebutan pemimpin tidak serta–merta merasa lebih pintar atau bersikap menggurui. sikap menggurui ini yang harus dihindari dari proses konseling karena konseli/pasien akan mudah tertutup, kecewa, dan tidak nyaman. b. persyaratan pasien : 1) konseli yang sakit secara fisik termasuk golongan usia remaja (11 – 17 tahun), dewasa awal (18 – 40 tahun), dan dewasa madya (40 – 60 tahun). 2) konseli/pasien yang mengalami kecemasan jenis stait anxiety. 3) konseli yang sehat maupun sakit secara fisik merupakan orang yang tanggap, memiliki konsentrasi bagus, dan aktif. dengan mencari informasi tentang pasien/konseli ini diharapkan bisa mengetahui latar belakang dan perkembangan mereka hingga proses mengalami kecemasan. hal ini sangat penting dilakukan untuk mencapai totalitas layanan dan ketepatan sasaran yang kemudian manfaatnya bisa dirasakan oleh konseli/pasien. harapan setelah mengikuti konseling islami model hipotetik ini mereka dapat mengontrol pola pikir dan senantiasa berusaha merencanakan tentang apa yang harus dilakukan dalam rangka mengurangi beban yang membuatnya cemas. tanpa niat dan komitmen yang kuat serta keseriusan dalam konseling, maka kecemasan itu akan mengakar di benaknya dan bisa bertambah parah. selain hal yang telah dijelaskan tersebut, tindakan mempelajari konsep konseling islami dengan model hipotetik merupakan upaya pembandingan dan untuk mencari best practice. dalam merancang model hipotetik ini dibutuhkan pula kriteria pembina dan konseli/pasien yang sesuai serta mendukung layanan. pembuatan kriteria untuk pembina maupun konseli/ pasien sangat penting dilakukan dalam rangka menyiapkan layanan yang 222 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik sistematis dan terprogram sehingga bukan berdasarkan pengalaman semata. pembuatan kriteria untuk pasien juga sangat penting karena hal ini berkaitan dengan kesesuaian teknik dengan kondisinya berdasarkan usia, pendidikan, normalitas kejiwaan, dan dalam kondisi sehat atau sakit. dalam hal ini perlu dibedakan kondisi psikologis orang sakit dengan orang yang sehat. orang sakit biasanya ada yang mengalami keterpurukan, sensitif, merengek, menangis, marah–marah, membuang barang–barang di sekitarnya bahkan putus asa sehingga ketika diajak berkomunikasi tidak bisa mengikuti. salah seorang psikolog di rs. ortopedi menjelaskan bahwa pasien yang menanggung beban berat kemudian menyikapinya dengan emosional, terus menerus fokus terhadap masalahnya serta tidak ada manajemen diri maka itu akan menjadikan pertahanan diri yang negatif dan masalah yang tersembunyi tidak akan terungkap dan dia sulit diajak komunikasi. berkaitan hal tersebut, maka kriteria pasien yang akan diberikan tindakan konseling dipilih mulai dari usia remaja hingga dewasa madya. jika konseling tersebut diterapkan pada anak–anak atau lansia yang sakit, maka terlalu sulit menerimanya. namun, jika konseling tersebut diterapkan pada orang sehat maka, anak–anak sampai lansia bisa mengikuti dan diajak kerja sama dalam memecahkan permasalahannya serta lebih mudah menemukan solusi. iv. tahap–tahap model hipotetik konseling islami dengan teknik scaling question 1. rapport tahap rapport ini merupakan tahap awal dari proses konseling. seorang psikolog membangun komunikasi netral dan belum menyinggung permasalahan pasien, seperti mengucapkan salam, menanyakan kondisi pasien, menceritakan biografi psikolog maupun pasien, serta hal lain yang merupakan dialog santai. hal tersebut – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 223 dilakukan untuk membangun hubungan yang akrab antara psikolog dengan pasien, memberikan kepercayaan kepada pasien, dan memberikan kenyamanan dan ketentraman bagi pasien bahwa dirinya merasa diperhatikan dan ada seseorang yang ahli yang membantu memecahkan permasalahannya. akan tetapi, ada batasan–batasan yang perlu diperhatikan dalam konseling bahwa tindakan rapport hanya seperlunya (tidak seperti ngobrol dengan orang sehat), mengingat pasien perlu waktu untuk istirahat dan kesempatan pasien untuk menceritakan permasalahannya bisa tersampaikan (memiliki waktu cukup untuk proses selanjutnya). 2. menanyakan keluhan–keluhan pasien selama rawat inap pada tahap kedua ini, psikolog mulai menjelaskan kepada pasien tentang tujuan dia berkunjung, kemudian menanyakan keluhan–keluhan yang dialami pasien selama rawat inap meliputi keluhan fisik maupun psikis. dalam hal ini, psikolog fokus pada permasalahan psikis yang dialami pasien untuk dipahami dan dicari titik masalah yang membuat pasien cemas. ketika menanyakan keluhan–keluhan pasien, psikolog harus memiliki keahlian dalam berkomunikasi, salah satunya dengan pertanyaan terbuka agar nantinya jawaban dari pasien bisa menyambung menjadi pembahasan panjang hingga ditemukan titik masalahnya. 3. meminta pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan mata terpejam, supaya merasakan apa yang menjadi beban pikirannya tahap ketiga ini merupakan tahap penghayatan masalah yang dilakukan dalam posisi yang nyaman dan mata terpejam. dalam posisi mata terpejam ini diupayakan pasien merasa rileks dan menghayati segala hal yang telah terjadi sekaligus menjadi beban pikirannya. pasien diupayakan bisa meluapkan segala emosi yang nantinya bisa sebagai bukti assessment bagi psikolog. tahap ini memberikan alternatif kepada pasien yang belum bisa menceritakan permasalahannya secara terbuka kepada psikolog. pada kondisi mata terpejam segala emosi yang menjadi titik masalah 224 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik akan muncul di benaknya seperti emosi–emosi yang dibesar-besarkan, sugesti yang berlebihan, afektif yang mendalam, dan sebagainya yang dapat menghambat diri pasien. semua itu termasuk pengecualian masalah yang merupakan hal–hal yang tidak diketahui/disadari atau diketahui tetapi sebagai pertahanan diri sehingga mengakibatkan cemas. hal itulah yang dibutuhkan psikolog sebagai bukti bahwa pasien serius mengalami dan merasakan masalahnya secara mendalam. 4. meminta pasien mendeskripsikan apa yang sedang dirasakannya saat mata terpejam setelah melakukan penghayatan masalah, pasien diminta untuk menceritakan hal–hal yang sebenarnya mengganggu dirinya dan mengakibatkannya menjadi sebuah masalah. dalam hal ini sangat diperlukan pemahaman yang teliti dari seorang psikolog dalam hal sinkronisasi mimik wajah dengan apa yang diungkapkan pasien. hal itu dikarenakan, latar belakang dan kepribadian pasien yang beragam sehingga penyampaiannya pun beragam pula. apabila seorang psikolog tidak teliti, maka hal–hal yang tidak seharusnya menjadi masalah malah diceritakan. dan sebaliknya, hal–hal yang menjadi penyebab masalah belum tersampaikan oleh pasien. berkaitan hal tersebut, perlu adanya inovasi lain dari psikolog untuk mendukung kebenaran cerita pasien. misalnya, refleksi perasaan atau penganalogian masalah sehingga nantinya pasien bisa lebih terbuka menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. psikolog juga perlu meyakinkan pasien kembali bahwa jika tidak bercerita, maka solusi akan sulit didapat. 5. menanyakan tingkatan/level masalah antara 0 – 10 setelah pasien bisa merasakan dan menceritakan masalahnya secara terbuka, ia diminta untuk memberikan level pada masalahnya sesuai penghayatan masalahnya tersebut. dalam hal ini, psikolog juga harus teliti memahami mimik wajah pasien dengan pengucapan level masalah, agar didapatkan informasi yang jelas dan nyata tentang level yang diberikan dengan penyebab masalah yang diceritakan oleh – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 225 pasien. kejelasan informasi itu akan memudahkan proses konseling selanjutnya. 6. melakukan dialog–dialog ditambah memaparkan hikmah atau resiko sampai pasien memunculkan insight atau mendapat pencerahan dialog–dialog yang dilakukan oleh psikolog menggunakan metode penyadaran dan penalaran logis. dialog ini dilakukan dengan cara mengarahkan pasien pada titik penyadaran tentang bukti penciptaan, kekuasaan, dan kehendak allah swt. sehingga pasien bisa lebih yakin kepada allah swt. dan jiwanya (qalb) kembali pada keimanan. mengingat kekuasaaan allah swt. memberikan kenyamanan dan ketenangan hati yang kemudian memberikan kekuatan akidah pasien dan memudahkannya untuk diajak dialog. setelah dia yakin, psikolog mengajak pasien untuk berdialog mengkaitkan masalah pasien dengan kehendak allah swt. pasien diajak berdialog secara logis bahwa semua yang terjadi di dunia ini memang atas kehendak-nya dan sudah diatur oleh-nya. sehingga, dia tidak perlu terlalu lama meratapi hal yang tidak pasti dan menyulitkan. pasien diajak berdialog logis bahwa semua yang terjadi di dunia ini memang atas kehendak-nya dan sudah diatur oleh-nya. berkaitan hal itu, kita sebagai orang utama yang memahami kondisi dan harapan kita sebaiknya berupaya untuk menelusuri apa yang membuat diri kita tidak nyaman, mudah galau, khawatir, takut, dan bahkan memahami apa yang menjadi kebutuhan kita. jika kita sering fokus terhadap masalah, nanti kita malah sulit memahami diri pribadi. jadi, ini tergantung pilihan kita antara tetap bertahan dalam masalah atau berusaha sedikit demi sedikit mengurai penyebab dari masalah itu agar nanti mudah menemukan solusi serta merencanakan hal–hal positif yang berguna untuk ke depannya. psikolog melakukan dialog dalam rangka memberikan penyadaran dan penalaran logis itu untuk mengantisipasi pasien berbicara yang tidak senyatanya atau di luar kendalinya hingga menyulitkan dirinya mendapatkan penyelesaian namun menguncinya dengan masalah. 226 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik 7. dikuatkan dengan ayat–ayat alquran atau hadits setelah psikolog dan pasien melakukan dialog secara sehat, psikolog memaparkan ayat–ayat alquran atau hadits yang sesuai masalah pasien dan pelajaran–pelajaran yang bisa diambil dari ayat atau hadits tersebut. penjelasan ayat atau hadits ini dilakukan setelah pasien menemukan insight (pencerahan). di samping menambah keyakinan pasien kepada allah swt., penyampaian ayat alquran juga memberikan kesadaran dan semangat hidup bahwa tidak selamanya masalah mengakar pada diri seseorang. penyampaian ayat alquran juga bertujuan menyadarkan pasien bahwa allah swt. senantiasa memberikan kemudahan dan kenikmatan di balik kesulitan. selain itu, pasien tidak perlu takut yang berlebihan karena allah swt. senantiasa membimbing dan mengarahkan kita jika kita mau berusaha khususnya ikhtiar mencari solusi. 8. menanyakan kembali tingkatan/level masalah antara 0 – 10 setelah melewati beberapa tahap di atas, saatnya psikolog untuk menanyakan kembali level masalah pasien. penyampaian level atau tingkat masalah ini merupakan suatu keharusan bagi pasien sebagai bukti masalah pasien benar–benar terpecahkan atau belum. selain itu, tahap ini memang sangat urgen dan sebagai bukti kepuasan pasien dalam layanan konseling. apabila ada hal–hal yang masih mengganjal dalam diri pasien dan masalah belum teratasi, maka psikolog melakukan dialog konseling kembali dengan metode penyadaran dan penalaran logis secara tuntas. dialog konseling kembali ini dilakukan sampai pasien menemukan insight (pencerahan) dan dia juga merasa lega (tidak ada beban). 9. berpamitan tahap ini merupakan tahap akhir dari konseling dan merupakan suatu keharusan bagi setiap pembina konseling untuk selalu bersikap sopan. jika pertemuan diawali dengan salam, maka ketika berpamitan juga diakhiri salam. selain ucapan salam, psikolog juga menyampaikan – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 227 permohonan maaf atas segala khilaf maupun kesalahan yang tidak sengaja selama proses konseling. hal ini dilakukan untuk memberikan kelonggaran hati kepada psikolog maupun pasien. selain itu, berpamitan sebagai upaya menjaga image profil seorang psikolog yang menjadi teladan, khususnya bagi pasien dan keluarganya, serta civitas rumah sakit yang memiliki kepribadian dan tata krama yang baik. v. kesimpulan berdasarkan uraian terdahulu beberapa kesimpulan bisa dirumuskan, yaitu: 1. model hipotetik konseling islami dengan teknik scaling question merupakan model konseling islami yang telah mengalami penambahan teknik (kolaborasi teknik) dan kedua teknik tersebut saling mendukung serta melengkapi yakni berupaya mengembalikan manusia pada fitrahnya. dalam hal ini tentu dibutuhkan niat dan keseriusan untuk kembali pada fitrah (kesucian). tanpa kedua hal itu maka usaha mereka tidak akan berarti apa-apa dan terasa hampa. 2. konseling islami dengan teknik scaling question menempuh sejumlah tahap yang harus dilakukan secara berurutan. pengabaian terhadap salah satu urutan tersebut dapat mengakibatkan hasil yang cacat dan menghasilkan kesimpulan yang salah. 3. teknik scaling question sebagai pendukung konseling islami yang memudahkan pasien bercerita secara terbuka dengan tujuan agar pengecualian masalah yang menghambat dirinya bisa tersampaikan. selain itu, teknik ini memberikan bukti nyata tentang level masalah dalam indikator ringan, sedang, atau berat yang ditunjukkan sesuai penghayatan emosinya. saran. konseli/pasien disarankan untuk berupaya fokus dan memperhatikan setiap perubahan diri yang dirasakan ketika atau setelah mengikuti konseling tersebut. dalam hal ini diharapkan pasien serius, fokus, dan teliti dalam penghayatan masalah agar keseluruhan masalah yang 228 | khoirun nisa dwi martina dan supandi – konseling islami dengan teknik terjadi padanya bisa terungkap semua serta solusi akan mudah didapatkan. di sisi lain, diperlukan ketelitian dari psikolog maupun pasien serta kerja sama antar keduanya dalam proses konseling. selain itu, psikolog juga harus teliti dalam melihat perkembangan konseli/pasien misalnya terkait mimik wajah mereka ketika penghayatan masalah dan penyampaian level masalah antara 0 sampai 10. hal ini dikarenakan, konseli/pasien ada yang kurang memahami permasalahannya dan bahkan malu untuk mengungkapkan keluhannya. daftar pustaka agustin, inayah. (2012). terapi dengan pendekatan solution – focused pada individu yang mengalami quarterlife crisis. tesis universitas indonesia (tidak diterbitkan). corey, gerald. (2009). teori praktik konseling dan psikoterapi. cet. 4. bandung: refika aditama. fathonah. (2011). penyakit psikosomatis. jurnal kesehatan, 1-3. gelb, michael j. & howell, kelly. (2015). optimalisasi otak. jakarta: pt.indeks. kaharja. (2016). pengaruh solution focus brief therapy sebagai salah satu pendekatan konseling islami untuk meningkatkan self esteem (penelitian eksperimen pada siswa mts negeri bantul kota yogyakarta tahun pelajaran 2015/2016). tesis pascasarjana ilmu agama islam uin sunan kalijaga, yogyakarta (tidak diterbitkan). lestari, f.w. (2016). konseling singkat berfokus solusi dalam era masyarakat ekonomi asean. jurnal pendidikan, 6. musfir (ed). (2005). konseling terapi. jakarta : gema insani press. nirmala, oktastika badai. (2004). terapi pikiran bahagia. jakarta: emir cakrawala islam dan erlangga. perry, w. (2010). dasar-dasar teknik konseling (edisi kedua). yogyakarta : pustaka pelajar safaria, triantoro & eka saputra, nofrans. (2009). manajemen emosi. jakarta: bumi aksara. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 229 spielberger. c. (1966). anxiety and behaviour. new york : academic press. sumarwiyah, zamroni, e., hidayati, r. (2015). solution focused brief counseling (sfbc) : alternatif pendekatan dalam konseling keluarga. jurnal konseling. vol. 1, no.2, 8. willis, sofyan s. (2004). konseling individu teori dan praktek. bandung : alfabeta. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1405 muhd. maryadi adha institut agama islam negeri (iain) samarinda keywords: communication of da’wah, mui, fatwa of religious attribute http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: maryadiadha245@gmail.com abstract fatwa of mui number 56 in 2016 concerning about “religious attributes of non-muslims” issued as guideline for indonesian muslims addressing the phenomenon of using non-muslim religious attributes, while promoting good relations between muslims and other religious people. the purpose of this study is to analyze how the mui fatwa efforts to maintain the harmony between religious communities and the harmonious life in society, nation, and state. using qualitative research methods in communication of da’wah perspective, this study focuses direct attention into 3 (three) things that’re: 1) analysing about some keywords contained in the fatwa; 2) understanding the quality of fatwa messages; and 3) analysing the implications of fatwa in indonesian religious life. generally, in communication of da’wah perspective, the fatwa still raises multi-interpretations, particularly among the communicants, especially on keywords in the fatwa which have an impact on the tension of religious relations in indonesia, though not too significant. fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tentang “atribut keagamaan non-muslim” muncul sebagai pedoman bagi umat islam di indonesia dalam menyikapi fenomena penggunaan atribut keagamaan nonmuslim, dengan tetap mengedepankan hubungan baik antara umat islam dan umat beragama lainnya. tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana fatwa mui tersebut berupaya memelihara kerukunan hidup antarumat beragama dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dengan metode abstrak al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 kata kunci: komunikasi dakwah, mui, fatwa atribut keagamaan fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 150 kualitatif dalam perspektif komunikasi dakwah, penelitian ini terfokus pada 3 (tiga) hal yaitu: 1) analisis pada sejumlah istilah kunci yang terdapat dalam fatwa; 2) pemahaman mengenai kualitas pesan fatwa; dan 3) analisis implikasi fatwa terhadap kehidupan umat beragama di indonesia. secara umum, perspektif komunikasi dakwah, fatwa tersebut dinyatakan masih menimbulkan multitafsir, khususnya di kalangan komunikan, terutama mengenai istilah-istilah kunci dalam fatwa yang turut berdampak pada ketegangan hubungan umat beragama di indonesia, meski tidak terlalu signifikan. i. pendahuluan fatwa mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas sosial. perubahan sosial sebagai hasil dinamika budaya sering menimbulkan gesekan di masyarakat, islam sebagai agama universal dengan panduan spesifik berdasarkan alquran dan hadis memerlukan peran ulama untuk menerjemahkan transformasi sosio-kultural dalam bentuk fatwa. namun tidak sedikit fatwa yang kontroversial yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat (hamzah, 2017). adanya fatwa tidak selalu dapat diterima dengan baik di masyarakat, terjadi pro-kontra pada saat fatwa tersebut dikeluarkan. mui sebagai salah satu lembaga yang merumuskan fatwa memiliki peran penting menciptakan stabilitas sosial dalam hal hubungan umat beragama yaitu majelis ulama indonesia (mui) dalam merumuskan fatwa-fatwa berkaitan tentang kerukunan antar umat beragama. majelis ulama indonesia (mui) adalah majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat islam indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama (arifin, 2015). fungsi mui adalah sebagai wadah mewakili umat islam terutama dalam hal hubungan umat beragama. fungsi itu bertujuan untuk menjaga kerukunan umat beragama di indonesia. peran mui untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, mui sebagai organisasi yang memiliki tugas memberi nasehat. berperan pada tataran moral misalnya memberi fatwa, himbauan, ajakan, memberi rekomendasi dan saran terhadap organisasi keagamaan sejenis (iswahyudi, 2017). al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 151 pada tahun 2016 mui mengeluarkan fatwa tentang penggunaan atribut keagamaan non-muslim. fatwa ini diputuskan dalam fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tanggal 14 rabiul awal 1438 h bertepatan dengan tanggal 14 desember 2016 dinyatakan bahwa, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram (r. indonesia, 2018). ketua mui menyatakan fatwa tersebut dikeluarkan karena banyaknya keluhan dari masyarakat yang dipaksa menggunakan atribut keagamaan agama lain saat hari besar agama tersebut (kompas, 2016). kendati demikian keputusan yang dikeluarkan mui tentang haramnya memakai atribut non-muslim menjadi perbincangan dan perdebatan. seperti diketahui mui memegang peran dalam hal menjaga kerukunan umat beragama. idealnya fatwa tersebut memberikan solusi terhadap kerukunan umat beragama di indonesia, faktanya munculnya fatwa ini memicu berbagai gerakan, mulai dari sosialisasi di tempat publik seperti sweeping yang dilakukan oleh fpi (c. indonesia, 2016), hingga kekerasan di kafe atas nama sosialisasi tapi menimbulkan keresahan. bahkan dianggap intoleransi mulai berkembang (kompas, 2016). fatwa ini juga mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan yang bersifat positif, mendukung fatwa, dan negatif yang mempertanyakan urgensi dari dikeluarkannya fatwa tersebut. majelis ulama indonesia sebagai otoritas pembuat fatwa utama seharusnya dapat menjadi pihak yang inklusif dan menaungi semua kepentingan, tidak cenderung eksklusif pada satu golongan. fatwa yang cenderung eksklusif akan mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat, terutama bagi mereka yang merasa dirugikan dengan hadirnya fatwa(iswahyudi, 2017). fatwa merupakan produk yang diharapkan dapat meningkatkan maslahah masyarakat, melindungi dan menghindarkan masyarakat dari kekeliruan memahami dan menjalankan ajaran agama (fathoni, 2015). namun setiap bentuk redaksi fatwa berdampak terhadap pemahaman masyarakat terhadap fatwa tersebut. dalam beberapa kasus, fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 152 fatwa yang dikeluarkan oleh mui dianggap menghalangi kebebabasan beragama bahkan berdampak pada munculnya reaksi negatif satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain (hasyim, 2015). hal ini telah terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, bahkan beberapa waktu setelah berdirinya mui sebagai lembaga fatwa (sajari, 2015). banyak kasus penganiaan, persekusi hingga pengusiran kelompok lain terjadi akibat dari muncul fatwa yang dikeluarkan oleh mui (wibowo, 2015). demikian pula dalam konteks penggunaan atribut keagamaan non-muslim bagi umat islam. menarik untuk menganalisis fatwa tersebut baik secara konten maupun pemahaman masyarakat terhadap fatwa tersebut. tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana fatwa mui tersebut berupaya memelihara kerukunan hidup antarumat beragama dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ii. metode penelitian meninjau keputusan mui diatas penulis ingin meneliti kualitas pesan fatwa mui tentang atribut keagamaan ditinjau dari perspektif komunikasi dakwah dan aspek di masyarakat tentang implikasi fatwa terhadap masyarakat mengenai haramnya memakai atribut non-muslim terhadap kehidupan beragama di indonesia. data-data dalam artikel ini didapatkan dari wawancara terhadap beberapa informan yang berasal dari pekerja, mahasiswa iain samarinda dan perwakilan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama kalimantan timur. data pendukung didapatkan dari studi dokumen atas fatwa mui yang dimaksud. fatwa mui dianalisis dengan pendekatan analisis isi, sedangkan respon masyarakat terhadap fatwa mui dianalisis dengan wacana. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 153 iii. fatwa atribut keagamaan: upaya mendukung hubungan antar agama di indonesia? a. fatwa atribut keagamaan dan hubungan antar agama di indonesia untuk memahami peran sentral mui dalam menjaga kerukunan umat beragama di indonesia, khususnya melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan, peneliti terlebih dahulu mendeskripsikan dua hal; pertama,gambaran singkat tentang fatwa mui no nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim dan kedua, relevansi fatwa dalam menjawab tantangan kehidupan beragama di indonesia. 1. fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim pada tahun 2016 majelis ulama indonesia (mui) mengeluarkan fatwa tentang larangan menggunakan atribut keagamaan non-muslim. larangan tersebut tertuang dalam fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tanggal 14 rabiul awal 1438 h bertepatan dengan tanggal 14 desember 2016. atribut keagamaan yang dimaksud dalam fatwa tersebut adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. fatwa tersebut ingin menegaskan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah juga haram (mui, 2016a). selain soal pengharaman atribut keagaman non-muslim, fatwa ini turut merekomendasikan pentingnya menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 154 ibadah islam dengan keyakinan agama lain. fatwa tersebut juga menegaskan pentingnya umat islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. salah satunya adalah dengan menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan saling mengakui kebenaran teologis. pernyataanpernyataan tersebut tertuang dalam poin-poin rekomendasi fatwa yang ditandatangani oleh prof. dr. h. hasanuddin af, ma, dr. h. m. asrorun ni’am sholeh, ma selaku penanggungjawab komisi fatwa majelis ulama indonesia (mui) pusat. dari format penyusunan, fatwa ini terdiri dari empat bagian, dan masing-masing bagian memuat penjelasan-penjelasan detail terkait isu penggunaan atribut keagamaan agama lain. bagian pertama memuat pertimbangan-pertimbangan logis di balik lahirnya fatwa tersebut sementara di bagian kedua merinci berbagai dalil yang menjadi dasar dalam penetapan fatwa, baik dari alquran, hadis maupun kaidah-kaidah fiqhiyyah. pada bagian ketiga, fatwa ini mengutip berbagai pendapat ulama terkait isu-isu yang dianggap serupa dengan isu penggunaan atribut keagamaan. pada bagian akhir, fatwa merumuskan tiga poin utama yaitu definisi atribut keagamaan, ketentuan hukum penggunaan atribut keagamaan non-muslim dan 6 poin rekomendasi. 2. fatwa dan tantangan hubungan umat beragama di indonesia salah satu fungsi dan tugas utama mui adalah memberikan fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat islam serta memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama(mui, 2016b). oleh karena itu, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh mui harus mempertimbangkan kemaslahatan umat islam, tak terkecuali kepentingan umat beragama yang lain. lahirnya fatwa atribut keagamaan ini, menurut mui, sebagai pedoman umat islam indonesia dalam menyikapi fenomena penggunaan atribut al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 155 kegamaan non-muslim, khususnya di hari perayaan keagamaan, dengan tetap mengedepankan hubungan baik antara umat islam dan umat beragama lainnya. lalu, sejauhmana fatwa tersebut berperan dalam menjawab tantangan kerukunan antar-umat beragama di indonesia? kerukunan antar-umat beragama yang dimaksud di sini adalah perihal hidup dalam suasana yang baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati, dan bersepakat antar umat beragama yang berbeda-beda agamanya atau antar umat beragama dalam satu agama. kerukunan antar umat beragama bukan berarti melebur agama-agama yang ada menjadi satu totalitas (sinkretisme agama), melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam setiap proses kehidupan sosial kemasyarakatan.yaitu semua orang bisa “hidup bersama tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama (daulay, 2001). kerukunan atau hidup rukun adalah sikap yang berasal dari lubuk hati yang terdalam, terpancar dari kemauan untuk memang berinteraksi satu sama lain sebagai manusia tanpa tekanan dari pihak manapun (taher, 2009), dengan adanya yang satu mendukung keberadaan yang lain (haq, 2002). hubungan antar agama di indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan, tantangan dan juga mengalami pasang surut. ada kalanya hubungan tersebut berlangsung harmonis, tetapi tidak jarang berujung pada konflik yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. rangkaian konflik dan kekerasan bernuansa agama terus terjadi di indonesia, mulai dari kerusuhan bernuansa agama di kota-kota provinsi pada 1995-1997, kampanye anti hukum santet di jawa dan konflik antar kelompok agama di sulawesi tengah dan maluku 1998-2001, hingga mobilisasi laskar berbasis agama dan fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 156 pengeboman yang dilakukan kelompok teroris atas nama jihad pada 2000-2005 (fauzi, 2009). hal ini menunjukkan bahwa hubungan antarumat beragama di indonesia harus selalu menjadi perhatian (indiyanto, 2013). untuk itu baik pemerintah maupun non-pemerintah seperti ormas-ormas keagamaan seperti muhammadiyah, nahdatul ulama, persis, majelis ulama indonesia (mui) dan lembaga keagamaan lainnya, perlu membuat pedoman atau fatwa-fatwa berkaitan dengan kerukunan umat beragama dalam menjalankan praktik keagamaan dan menjaga agar tidak terjadi konflik. data laporan crcs dan wahid foundation, konflik antaragama yang terjadi di indonesia masih mengalami pasang surut. dari tahun ke tahun kasus-kasus yang terjadi hampir sama, dengan kapasitas kasus yang berbeda. hal ini menunjukkan bahwa kehidupan beragama di indonesia masih butuh perhatian serius dari berbagai pihak. tabel 1 kasus-kasus kehidupan umat beragama di indonesia no tahun jumlah kasus deskripsi kasus 1 1990-2008 832 kasus (versi crcs) insiden kekerasan, isu keagamaan, bentrok 2 2009 25 kasus ( versi crcs) larangan rumah ibadah, penyesatan penodaan agama 3 2010-2011 75 kasus (versi crcs) 93 kasus (versi wahid foundation) penyerangan rumah ibadah (masjid dan gereja), pelalarangan ahmadiyah, pengalihfungsikan, pembekuan, penyegelan, penutupan rumah ibadah, teror ledakan bom, pembakaran, pelemparan bangunan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 157 no tahun jumlah kasus deskripsi kasus 4 2012 22 kasus (versi crcs) 110 kasus ( versi wahid foundation) aliran sesat, pelarangan rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, intimidasi 5 2013 245 kasus (versi wahid foundation) masjid, penyebaran kebencian 6 2014 158 kasus (versi wahid foundation) rumah ibadah, pengungsi umat syiah, pembakaran gereja, masjid 7 2015 190 kasus (versi wahid foundation) pelarangan ibadah, rumah ibadah, terorisme, pengunsi umat syiah 8 2016 204 kasus (versi wahid foundation) penodaan agama, gafatar, syiah, ahmadiyah 9 2012-2018 belum(berbagai sumber) deradikalisasi, aliran sesat sumber: laporan kehidupan beragama, crcs, 1990-2012 dan laporan kehidupan beragama, wahid foundation, 2010-2016 lalu muncul pertanyaan apakah fatwa larangan penggunaan atribut keagamaan non-muslim mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”? 3. analisis fatwa dalam konteks komunikasi dakwah untuk menguji fatwa dalam konteks komunikasi dakwah, peneliti menguji 3 aspek yang terkandung dalam fatwa yaitu 1) efektivitas penggunaan kata-kata/istilah dan kalimat yang digunakan mui selaku komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan fatwa tersebut kepada komunikan (masyarakat). 2) menguji kualitas pesan fatwa. 3) mengkaji implikasi fatwa terhadap kehidupan beragama di masyarakat. fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 158 a. kata-kata/istilah yang digunakan pada tahap ini peneliti mengumpulkan beberapa kata atau istilah kunci serta kalimat-kalimat pokok yang terdapat dalam fatwa untuk diuji efektivitasnya. efektivitas yang dimaksud di sini adalah sejauh mana komunikan dapat menafsirkan atau memahami secara tepat istilah atau pesan fatwa yang disampaikan oleh komunikator (lembaga fatwa). adapun kata atau istilah yang diujikan adalah sebagai berikut: tabel 2 kata/istilah dalam fatwa mui no kata/istilah contoh kalimat penjelasan 1 fatwa ..dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.. fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam 2 atribut keagamaan menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram atribut diartikan tanda kelengkapan, adapun atribut keagamaan adalah atribut yang digunakan sebagai identitas umat beragama tertentu 3 akidah ..tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah islam dengan keyakinan agama lain.. akidah berarti kepercayaan, keyakinan, atau keimanan, dalam alquran akidah adalah keimanan kepada allah swt yakni mengakui kewujudannya 4 toleransi ..sebagian umat islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan non-muslim.. suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau individu dalam masyarakat 5 bid’ah di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum nasrani di hari raya mereka.. perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 159 no kata/istilah contoh kalimat penjelasan 6 tasyabuh ..sikap menyerupai (tasyabuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya.. memiliki arti menyerupai atau mencontoh pada tahapan berikutnya, peneliti menguji tingkat pemahaman komunikan muslim yang bekerja di tempat usaha non-muslim seperti hotel, mal, rumah makan, kafe, pusat penjualan handphone serta kalangan mahasiswa tentang penggunaan kata-kata/istilah tersebut di atas. uji coba dilakukan dengan menggunakan teknik tanya jawab. komunikan yang dipilih terdiri dari 10 orang pekerja dan 10 orang mahasiswa iain samarinda serta 10 perwakilan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama kalimantan timur. pemahaman masing-masing komunikan dapat terlihat pada saat peneliti memberikan beberapa pertanyaan di atas sehingga dapat disimpulkan pemahaman mereka tentang kata-kata atau istilah yang digunakan tidak sama. tabel 3 kesimpulan hasil pemahamankomunikan terhadap kata/istilah dalam fatwa mui no komunikan kata/istilah tingkat pemahaman 1 pekerja, mahasiswa, ika pku kaltim fatwa 46% paham 27% tidak paham 27% kurang paham atribut keagamaan 63% paham 0% tidak paham 37% kurang paham akidah 90% paham 0% tidak paham 10% kurang paham toleransi 70% paham 0% tidak paham 30% kurang paham bid’ah 40% paham 33% tidak paham 27% kurang paham tasyabuh 47% paham 33% tidak paham 20% kurang paham fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 160 dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap kata/istilah pesan fatwa tersebut berbeda-beda: 1) kalangan pekerja memiliki tingkat pemahaman yang rata-rata tidak memahami 6 kata/istilah tersebut. 2) begitu pula kalangan mahasiswa sebagian kurang paham dengan kata/istilah pesan tersebut. 3) adapun tingkat pemahaman pada kalangan alumni program kaderisasi ulama lebih sedikit paham akan kata/ istilah pesan tersebut. kendati demikian peneliti hanya ingin melihat sejauh mana pemahaman yang dipahami dari kata/istilah dalam penggunaan pesan fatwa tersebut di dalam masyarakat. secara khusus penggunaan kata/istilah dalam fatwa ini cukup efektif, karena bisa dipahami oleh komunikan meskipun tingkat pemahamannya berbeda-beda. kata-kata/istilah yang di gunakan dalam fatwa ini ditanggapi oleh anggota komisi fatwa mui provinsi kalimantan timur pada saat peneliti melakukan wawancara. disampaikan bahwa istilah yang digunakan tersebut telah dipertimbangkan dalam musyawarah yang dilakukan. penggunaan kata/istilah (fatwa, atribut keagamaan, akidah, toleransi, bid’ah, tasyabuh) merupakan kata-kata umum, walaupun sebagian orang ada yang tidak memahami akan kata seperti bid’ah, tasyabuh. b. kalimat-kalimat pokok dalam fatwa pada tahap ini peneliti mengumpulkan beberapa kalimatkalimat pokok yang terdapat dalam fatwa untuk diuji efektivitasnya. efektivitas yang dimaksud di sini adalah sejauhmana komunikan dapat menafsirkan atau memahami secara tepat pesan fatwa yang disampaikan oleh komunikator (lembaga fatwa). adapun kalimat yang diujikan adalah sebagai berikut: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 161 tabel 4 contoh kalimat/pesan pokok fatwa mui no kalimat-kalimat pokok 1 kalimat atau pesan tentang pelarangan menggunakan atribut keagamaan 2 kalimat atau pesan mengenai haramnya fatwa tentang atribut keagamaan tersebut nomor 56 tahun 2016 3 latar belakang dikeluarkannya fatwa dalam hal ini dijelaskan bahwa ada sebagian kafe, hotel, mal, restoran mengharuskan karyawan muslim menggunakan atribut keagamaan non-muslim 4 penetapan fatwa tersebut, memperhatikan bahwa keluarnnya fatwa ini terkait pula adanya fatwa perayaan natal bersama yang ditetapkan tanggal 7 maret 1981 5 dasar negara republik indonesia 1945 sama halnya dengan uji kata-kata/istilah, pada tahapan ini peneliti menguji tingkat pengetahuan komunikan muslim yang bekerja di tempat usaha non-muslim seperti hotel, mal, rumah makan, kafe, pusat penjualan handphone serta kalangan mahasiswa tentang pengetahuan akan kalimat tersebut di atas. uji coba dilakukan dengan menggunakan teknik tanya jawab. untuk menguji akurasi jawaban komunikan, peneliti melakukan wawancara dengan berpedoman kepada penjelasan yang ada di tabel 4.2. komunikan (responden) yang dipilih terdiri dari 10 orang pekerja dan 10 orang mahasiswa iain samarinda serta 10 perwakilan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama kalimantan timur. berdasarkan hasil tanya jawab dan wawancara, tingkat pengetahuan komunikan terhadap kalimat pesan fatwa yang disampaikan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 162 tabel 5 kesimpulan hasil pengetahuan komunikan terhadap kalimat/pesanfatwa mui no komunikan pernyataan kalimat/pesan fatwa tingkat pengetahuan 1 pekerja, mahasiswa dan ika pku kaltim kalimat atau pesan tentang pelarangan menggunakan atribut keagamaan 33% iya 30% tidak tahu 37% kurang tahu kalimat atau pesan mengenai haramnya fatwa tentang atribut keagamaan tersebut nomor 56 tahun 2016 33% iya 40% tidak tahu 27% kurang tahu latar belakang dikeluarkannya fatwa dalam hal ini dijelaskan bahwa ada sebagian kafe, hotel, mal, restoran mengharuskan karyawan muslim menggunakan atribut keagamaan nonmuslim 27% iya 50% tidak tahu 46% kurang tahu penetapan fatwa tersebut, memperhatikan bahwa keluarnya fatwa ini terkait pula adanya fatwa perayaan natal bersama yang ditetapkan tanggal 7 maret 1981 27% iya 50% tidak tahu 23% kurang tahu dasar negara republik indonesia 1945 23% iya tidak tahu 33% kurang tahu hasil dari tiga komunikan, dalam tingkat pengetahuan di atas mulai dari kalangan pekerja sebanyak 10 komunikan, mahasiswa 10 komunikan dan ikatan alumni program kaderisasi ulama sebanyak 10 komunikan. secara umum dapat disimpulkan pengetahuan tentang kalimat/pesan fatwa tersebut dalam tiga kalangan yang berbeda. 1) pada kalangan pekerja tingkat pengetahuan akan kalimat/pesan fatwa tersebut tidak tahu adanya fatwa mui. 2) adapun di kalangan mahasiswa tidak berbeda jauh dengan para pekerja yang tingkat pengetahuannya tentang kalimat/ al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 163 pesan fatwa menunjukkan kurang tahu akan adanya fatwa tersebut. 3) adapun tingkat pengetahuan pada tataran alumni program kaderisasi ulama akan kalimat/pesan fatwa mereka lebih dominan tahu akan fatwa tersebut walaupun sebagian kurang tahu. kendati demikian peneliti hanya ingin melihat sejauh mana pemahaman yang dipahami dari kata/istilah dalam penggunaan pesan fatwa tersebut di dalam masyarakat. secara khusus kalimat/pesan fatwa ini kurang diketahui oleh para komunikan khusunya para pekerja dan mahasiswa, adapun pada kalangan ika pku kaltim lebih megetahui tentang adanya fatwa tersebut. setelah mengetahui tingkat pengetahuan komunikan terhadap fatwa tersebut, peneliti kemudian melakukan wawancara kepada anggota komisi fatwa mui provinsi kalimantan timur, untuk mendapatkan informasi mengenai sosialisasi fatwa tersebut kepada masyarakat.dalam hal ini disampaikan bahwa sosialisasi yang dilakukan mengenai atribut keagamaan khususnya di kalimantan timur hanya sebatas pemberitahuan melalui surat yang ditujukan kepada pihak terkait, seperti hotel, mal, restaurant, dan kafe. hal ini sebenarnya telah dilakukan khususnya ditujukan kepada umat islam agar senantiasa menjaga akidahnya (wibowo, 2015). namun di satu sisi hal tersebut kembali kepada masyarakat, karena pada dasarnya tugas mui menyampaikan fatwa tersebut bertujuan agar umat islam terhindar dari perayaan-perayaan atau mengikuti halhal yang menjadi bagian dari tradisi agama non-muslim. c. substansi/kualitas fatwa secara substansi, ada pesan yang akurat dan ada yang asalasalan, ada yang benar dan ada yang dusta. dalam kategori ini pesan tidak selalu mengandung kebenaran. di antara jenis pesan dalam alquran yang memiliki pengaruh luas adalah pesan yang disebut dengan istilah naba’, apakah berita itu benar atau salah. adapun fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 164 pesan yang mengandung kemungkinan benar atau dusta, salah atau benar, yang kedua-duanya memungkinkan disebut dengan khabar. pada tahap ini peneliti mencoba menguji kualitas atau pesan fatwa yang disampaikan kepada masyarakat tentang fatwa atribut keagamaan. jika kita melihat sejarah menunjukkan bahwa kepemilikan terhadap suatu atribut sesungguhnya dari mengikuti perkembangan zaman, apa yang sebelumnya menjadi tradisi agama atau budaya lain dan kemudian menjadi tradisi bersama (fachruddin, 2016). salah satu contohnya adalah tasbih (dalam kristen: rosario), yang tidak murni berasal dari islam, karena itu dianggap bid’ah oleh satu kelompok dalam islam. di indonesia, ada kentongan untuk masjid yang pernah menjadi perdebatan di kalangan kiai nu generasi awal, satu menganggapnya bid’ah yang lain membolehkannya (syafaq, 2014). selanjutnya menara yang berasal dari kata arab manarah (tempat perapian) untuk masjid; satu pendapat menyatakan menara diadopsi dari tradisi zoroastrian; pendapat lain menyatakan ia berasal dari gereja kristen suriah yang ketika berada di bawah dinasti umawi, diubah menjadi masjid. hal lain seperti baju koko, yang bermula dari tradisi tionghoa (tampak dari namanya: “engkoh-engkoh” menjadi “koko”). lebih jauh bila atribut juga mencakup simbol, bahwa lambang nasional kita, burung garuda, yang berasal dari tradisi hindu: garuda adalah tunggangan (vahana) wisnu. dengan melihat sejarah tersebut maka timbul pertanyaan, atribut seperti apa yang dimaksud dalam fatwa mui tersebut? pertama, pada tataran judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah non-muslim adalah umat atau pemeluk agama kristen. namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat kristen. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 165 kedua, definisi atribut keagamaan yang dimaksudkan oleh fatwa mui tersebut, tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut atau simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram. kendati demikian pada keputusan, ketentuan umum dinyatakan bahwa dalam fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi agama tertentu. fatwa tersebut tidak menyebut natal dan umat kristiani secara eksplisit (manan, 2016). namun lebih jauh timbul pertanyaan mengenai luasanya cakupan makna atribut non-muslim ini. kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernak-pernik yang digunakan banyak orang untuk merayakan hari natal, misalnya pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa, kereta salju, lilin. dengan itu untuk mempertajam makna dari atribut keagamaan yang dimaksud oleh mui, selain musyawarah dengan para ulama, perlu pula adanya ahli sejarah yang termasuk di dalamnya. sehingga fatwa tersebut dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat (iswahyudi, 2017). walaupun sebenarnya sebagian masyarakat mengetahui apa itu atribut keagamaan, namun pengetahuan mereka tentang atribut keagamaan yang dimaksud oleh isi fatwa mui belum dipahami secara jelas. fatwa ini sebenarnya mengandung pesan untuk umat islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah islam dengan keyakinan agama lain (muzakka, 2018). fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 166 namun apabila fatwa mui yang dimaksudkan adalah penggunaan atribut natal, maka terbitnya fatwa haramnya menggunakan atribut keagamaan non-muslim, orang yang tadinya biasa saja menggunakan atribut sinterklas, akan menolak karena alasan keagamaan. padahal, tak sedikit tahun-tahun sebelumnya menggunakan atribut sinterklas tetapi tetap dapat menjalankan perintah agama islam dengan baik. artinya, tidak ada pendangkalan akidah setelah menggunakan atribut keagamaan non-muslim (seperti yang ditakutkan mui). adapun pesan fatwa mui tersebut merupakan hal yang patut dihargai. komisi fatwa mui menyebutkan terkait fatwa tentang atribut keagamaan non-muslim yang disampaikan mengandung hal yang kurang dipahami dan kurang diterima oleh masyarakat, namun di satu sisi fatwa itu merupakan hal penting agar umat islam senantiasa dapat menjaga akidahnya. karena pada dasarnya mui adalah tempat wadah para ulama, dimana tugas pokoknya adalah untuk menyampaikan pesan kepada umat agar senantiasa berada di jalan allah swt. d. implikasi fatwa dalam upaya mendukung kerukunan umat beragama di indonesia lahirnya fatwa mui tentang atribut keagamaan telah melahirkan perdebatan publik, baik dari segi substansi fatwa, momentum maupun penafsiran. perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya menimbulkan pertanyaan penting lainnya, sejauhmana fatwa ini mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”? sebagaimana tertuang dalam fatwa, salah satu tujuan fatwa ini adalah agar umat islam tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memilihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 167 ajaran agama. lebih jauh, umat islam diajak untuk memahami kebhinekaan sebagai “kesadaran terhadap perbedaan”(rumapea, 2016). sadar terhadap perbedaan bukan hal yang salah di dalam dirinya sendiri. masalahnya ialah bagaimana perbedaan itu dikelola. apakah dengan menajamkannya, sehingga perbedaan-perbedaan perlu dipertegas hingga hal-hal minor perlu disengketakan dan dibesar-besarkan, atau menjembataninya, sehingga saling memahami didahulukan, dialog diutamakan, dan penghakiman bisa ditunda, tentu tanpa maksud menyamakan atau mencapuradukkan. kita memahami bahwa keputusan yang ditetapkan oleh mui adalah keputusan yang baik bagi umat islam, tujuannya agar umat islam tidak terpengaruh dengan keyakinan selain agama islam. para ulama khawatir jika di masyarakat akan timbul keyakinan baru pada saat mengikuti perayaan-perayaan non-muslim apalagi sampai memakai atribut keyakinan mereka dan mempengaruhi akidah umat islam (hapsin, 2014). lebih jauh fatwa yang dikeluarkan mui nomor 56 tahun 2016 tentang larangan menggunakan atribut keagamaan nonmuslim ini telah menjadi salah satu perbincangan khalayak, baik media konvensional maupun sosial. persoalan ini menjadi sangat sensitif di tengah kondisi kebangsaan kita yang belakangan kurang kondusif akibat diterpa isu-isu yang cenderung bernuansa sara sampai kepada persoalan kasus penistaan agama yang cukup banyak menghabiskan energi bangsa ini. sehingga wajar jika kemudian sebuah fatwa yang semestinya tidak mengikat bagi umat muslim, justru menjadi diskursus viral di berbagai media (hamidah, 2016). seperti diketahui mui memegang peran penting dalam hal menjaga kerukunan umat beragama. idealnya, fatwa tersebut memberikan solusi terhadap kerukunan umat beragama di indonesia. dalam konteks nasional, fatwa ini telah memicu berbagai aksi dan reaksi, mulai dari sosialisasi ditempat publik seperti fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 168 sweeping yang dilakukan oleh front pembela islam (c. indonesia, 2016). aksi sweeping tersebut dilakukan di berbagai tempat yang ada di surabaya. hingga kekerasan di kafe atas nama sosialisasi yang telah menimbulkan keresahan (kompas, 2016). fatwa ini juga memunculkan pro kontra, bukan saja di dalam internal umat islam, tetapi juga di kalangan umat non-muslim. pro kontra tersebut bersumber dari bervariasinya pandangan di kalangan umat islam mengenai masalah pemakaian atribut non-muslim. salah satu poin penting yang dipersoalkan dalam fatwa tersebut adalah penggunaan kata “kafir” untuk non-muslim. menurut jan sihar aritonang (jsa), dari sekolah tinggi teologi (stt) jakarta, pelabelan “kafir” bagi orang-orang non-muslim (khususnya umat kristiani) bisa memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama di indonesia. menurutnya, penggunaan kata “kafir” yang digunakan sebagai penanda (signifier) oleh umat islam bisa juga bermakna peyorasi dan dianggap meresahkan bagi umat agama lain (r. indonesia, 2018). kontroversi penggunaan istilah “kafir” dan munculnya ragam penafsiran pasca fatwa tersebut dikeluarkan turut mengancam harmonisasi hubungan antar agama di indonesia. meskipun mui menyatakan bahwa fatwa tersebut dibuat dalam rangka penghormatan kepada prinsip kebhinekaan dan kerukunan beragama, tetapi faktanya justru berpotensi memperlebar jurang komunikasi, terutama antara umat islam dan umat kristiani (wijayanti, 2016). keputusan mui tentang hukum haram menggunakan atribut non-muslim dianggap tidak relevan dengan situasi kondisi bangsa ini, karena negara indonesia merupakan negara yang plural (haryanto, 2013). berbagai suku dan agama yang berbeda terdapat di negara republik indonesia ini. apabila fatwa itu diberlakukan untuk umat islam, bagaimana dengan masyarakat yang bekerja di tempat usaha non-muslim, akankah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 169 tidak berpengaruh dengan pekerjaannya. namun di balik itu, ada pula yang menilai bahwa tidak ada masalah dikeluarkannya fatwa ini, bahkan baik untuk menjaga akidah umat islam. dalam konteks lokal, khususnya samarinda, peneliti juga berusaha melihat sejauhmana implikasi fatwa tersebut terhadap umat islam, khususnya mereka yang bekerja di tempat usaha non-muslim. dengan menggunakan teknik wawancara, temuan penelitian ini menunjukan bahwa mereka yang bekerja di tempat usaha non-muslim cenderung menganggap penggunaan atribut keagamaan non-muslim, khususnya atribut natal, tidak mempengaruhi akidah mereka. bagi mereka, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan secara profesional tanpa harus dikait-kaitkan dengan urusan agama. walaupun demikian, sebagian pekerja yang lain mengatakan bahwa mereka tetap menghormati putusan mui dan setuju pelarangan fatwa tersebut. fatwa tersebut dianggap penting agar pihak perusahaan non-muslim tidak semena-mena memberikan keputusan dalam penggunaan atribut keagamaan mereka. temuan penelitian ini juga menunjukan bahwa dari 4 tempat usaha yang peneliti kunjungi terdapat 1 tempat yang mengharuskan karyawannya menggunakan atribut yang biasa digunakan saat natal, sementara 3 tempat yang lain masih memberikan toleransi kepada karyawannya, dalam arti tidak memaksa karyawan menggunakan atribut dalam perayaan hari besar mereka. berdasarkan kajian peneliti, dari sisi substansi, fatwa mui tersebut lebih mengedepankan persepektif teologisnya dan cenderung mengabaikan perspektif lain dalam melihat feonomena perayaan keagamaan, termasuk natal. akibatnya, berpedoman pada persepektif teologis saja bisa memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakan-tindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi social fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 170 (rumapea, 2016). dalam konteks lokal, persepsi masyarakat muslim di kota samarinda terhadap fatwa tersebut juga cukup beragam. meski dianggap penting, fatwa pelarangan penggunaan atribut agama lain tidak selalu harus dikaitkan dengan isu akidah, tapi juga merupakan bagian dari aksesoris yang dinikmati publik, sebagai bagian dari profesionalitas pekerjaan. pada akhirnya, peneliti ingin menegaskan bahwa berbagai data terkait aksi dan reaksi pro-kontra pasca fatwa menjadi bukti bahwa fatwa tersebut turut berdampak kepada hubungan umat beragama di indonesia, meskipun dampaknya tidak terlalu signifikan. iv. kesimpulan mayoritas komunikan dari kalangan pekerja dan mahasiswa memiliki pemahaman yang rendah terhadap terhadap kata-kata/istilah yang terkandung dalam fatwa, adapun kalangan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama memiliki pemahaman yang lebih baik tentang fatwa tersebut. selanjutnya ditinjau dari segi kualitas pesan, fatwa yang disampaikan dalam definisi atribut keagamaan tidak secara rinci menyebutkan apa saja yang dimaksud dengan atribut keagaman. sehingga persepsi masyarakat akan definisi tersebut berbeda-beda. pada ranah nasional muncul aksi sweeping yang dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti fpi. salah satu poin penting yang dipersoalkan dalam fatwa tersebut adalah penggunaan kata “kafir” untuk non-muslim. berdasarkan kajian peneliti dari sisi substansi, fatwa mui tersebut lebih mengedepankan persepektif teologis dan cenderung mengabaikan persepektif lain dalam melihat fenomena perayaan keagamaan, termasuk natal. akibatnya, berpedoman pada persepektif teologis saja bisa memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakantindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial. dalam konteks lokal, persepsi masyarakat muslim di kota samarinda al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 171 terhadap fatwa tersebut juga cukup beragam. meski dianggap penting, fatwa pelarangan penggunaan atribut agama lain tidak selalu harus dikaitkan dengan isu akidah, tapi juga merupakan bagian dari aksesoris yang dinikmati publik, sebagai bagian dari profesionalitas pekerjaan. pada akhirnya, peneliti ingin menegaskan bahwa berbagai data terkait aksi dan rekasi pro-kontra pasca fatwa menjadi bukti bahwa fatwa tersebut turut berdampak kepada hubungan umat beragama di indonesia, meskipun dampaknya tidak terlalu signifikan. daftar pustaka arifin, b. (2015). fatwa dan demokrasi : studi terhadap fatwa majelis ulama indonesia (mui). at-tahdzib: jurnal studi islam dan muamalah, 3(1), 11–34. daulay, m. z. (2001). mereduksi konflik antarumat beragama di indonesia. jakarta: badan litbang agama dan diklat keagamaan departemen agama ri. fachruddin, a. a. (2016). fatwa mui, atribut natal, dan soal kerukunan. in my hat’s off to the pauses that refreshes. yogyakarta: crcs. fathoni, n. (2015). analisis normatif-filosofis fatwa dewan syari’ah nasional majelis ulama’ indonesia (dsn-mui) tentang transaksi jual beli pada bank syari’ah. al-ahkam, 25(2), 139. https://doi. org/10.21580/ahkam.2015.25.2.596 fauzi, i. a. (2009). pola-pola konflik keagamaan di indonesia (19902008). in laporan penelitian. jakarta: the asia foundation, mprkugm, ywp. hamidah, h. (2016). strategi membangun kerukunan umat beragama. wardah : jurnal dakwah dan kemasyarakatan, 17(2), 123–136. hamzah, m. m. (2017). peran dan pengaruh fatwa mui dalam arus transformasi sosial budaya di indonesia. millah: jurnal studi agama, 1(1), 127–154. https://doi.org/10.20885/millah. vol17.iss1.art7 hapsin, a. (2014). urgensi regulasi penyelesaian konflik umat beragama: perspektif tokoh lintas agama. walisongo: jurnal penelitian sosial keagamaan, 22(2), 351–380. https://doi.org/10.21580/ fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 172 ws.22.2.270 haq, h. (2002). jaringan kerjasama antarumat beragama: dari wacana ke aksi nyata. jakarta: titahandalusia press. haryanto, j. t. (2013). kontribusi ungkapan tradisional dalam membangun kerukunan beragama. walisongo: jurnal penelitian sosial keagamaan, 21(2), 365–392. https://doi.org/10.21580/ws.21.2.250 hasyim, s. (2015). fatwa aliran sesat dan politik hukum majelis ulama indonesia (mui). al-ahkam, 25(2), 241. https://doi. org/10.21580/ahkam.2015.25.2.810 indiyanto, a. (2013). agama di indonesia dalam angka. yogyakarta: crcs. indonesia, c. (2016). polri dan mui sepakat larang razia atribut natal. retrieved june 26, 2018, from https://m.cnnindonesia.com/ nasional /20161220215053-20-181113/polri-mui-sepakat-larangrazia-atribut-natal,html indonesia, r. (2018). menimbang fatwa mui tentang larangan memakai atribut non-muslim. iswahyudi, . (2017). mui dan nalar fatwa-fatwa eksklusif. al-ihkam: jurnal hukum & pranata sosial, 11(2), 361. https://doi.org/10.19105/alihkam.v11i2.785 kompas. (2016). mui tak boleh ada sweeping atribut keagamaan. manan, a. (2016). diskursus fatwa ulama tentang perayaan natal. miqot: jurnal ilmu-ilmu keislaman, 40(1). https://doi.org/10.30821/miqot. v40i1.213 mui. (2016a). hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim. mui. (2016b). pedoman dasar mui 1975. muzakka, a. k. (2018). otoritas keagamaan dan fatwa personal di indonesia. epistemé: jurnal pengembangan ilmu keislaman, 13(1), 63– 88. https://doi.org/10.21274/epis.2018.13.1.63-88 rumapea, m. e. (2016). kedewasaan beragama salah satu wujud kerukunan beragama. jupiis: jurnal pendidikan ilmuilmu sosial, 8(1), 15–25. https://doi.org/10.24114/jupiis. v8i1.3679 sajari, d. (2015). fatwa mui tentang aliran sesat di indonesia (19762010). miqot: jurnal ilmu-ilmu keislaman, 39(1). https://doi. org/10.30821/miqot.v39i1.38 syafaq, h. (2014). kontroversi seputar tradisi keagamaan popular dalam masyarakat islam. islamica: jurnal studi keislaman, 2(1), 1. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 173 https://doi.org/10.15642/islamica.2007.2.1.1-15 taher, e. p. (2009). merayakan kebebasan beragama bunga rampai 70 tahun djohan effendi. jakarta: icrp. wibowo, r. a. (2015). fatwa mui tentang penyimpangan ajaran islam dan tindakan pelanggaran kebebasan berkeyakinan. teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran islam, 3(1), 117. https://doi.org/10.15642/ teosofi.2013.3.1.117-145 wijayanti, t. y. (2016). konsep kebebasan beragama dalam islam dan kristen. profetika: jurnal studi islam, 17(01), 16. https://doi. org/10.23917/profetika.v17i01.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1386 agus sriyanto institut agama islam negeri surakarta keywords: decisions, factor, students kata kunci: keputusan, faktor, mahasiswa http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: agussollo4444@gmail.com abstract students certainly have a number of separate considerations in choosing a college and its majors to be taken. including the variety of factors that influence the decision to choose. for this reason, a research is needed on what factors influence students in choosing a department in college. the research was conducted at the islamic of communication and broadcasting department (kpi) of the theology and da’wah faculty of iain surakarta in 2017/2018. based on the results of the fgd, the desire of students to enter kpi was because of the motivation, promotion and encouragement of parents, and the influence of friends. with quantitative descriptive method, this study uses respondents as well as a sample of 158 students. data collection is done by distributing questionnaires, library studies, and interviews to complete the data. data analysis was carried out through validity and reliability, homogeneity, normality, linearity, and ended with multiple regression tests. mahasiswa tentu memiliki sejumlah pertimbangan tersendiri dalam memilih perguruan tinggi dan jurusan yang akan diambil. termasuk pula beragamnya faktor yang memengaruhi keputusan memilih. untuk itu, diperlukan penelitian tentang faktor apa saja yang memengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan di perguruan tinggi. penelitian ini dilakukan di jurusan komunikasi dan penyiaran islam (kpi) fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta angkatan 2017/2018. berdasarkan hasil fgd, keinginan mahasiswa untuk masuk ke jurusan kpi disebabkan karena adanya motivasi, promosi dan dorongan orang abstrak al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 236 tua, serta pengaruh teman. dengan metode deskriptif kuantitatif, penelitian ini menggunakan responden sekaligus sampel sejumlah 158 mahasiswa. pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket, studi pustaka, dan wawancara guna melengkapi data. analisis data dilakukan melalui uji validitas dan reliabilitas, homogenitas, normalitas, linieritas, dan diakhiri dengan uji regresi berganda. i. pendahuluan kesadaran masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi setelah lulus sekolah menengah atas (sma) atau yang sederajat, salah satunya didorong oleh tingginya tuntutan dunia kerja perusahaan. sebagian besar dari perusahaan, apalagi perusahaan besar, cenderung memerlukan pegawai yang merupakan lulusan diploma dan sarjana, meskipun masih banyak pula yang membutuhkan lulusan sma atau yang sederajat. namun demikian, tetap saja terdapat penempatan kerja yang berbeda antara yang lulusan sma atau yang sederajat, dibandingkan dengan lulusan sarjana maupun diploma. adanya minat para siswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi semakin tahun semakin meningkat. lulusan siswa sma dari seluruh indonesia bersaing supaya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. salah satu hal untuk mencapai kesuksesan perguruan tinggi adalah dengan adanya keberadaan mahasiswa. dalam memilih perguruan tinggi, pastinya mahasiswa punya faktor pertimbangan tersendiri dalam memilih perguruan tinggi dan jurusannya. faktor yang mempengaruhinya pun beragam. citra dan reputasi sebuah perguruan tinggi misalnya, secara sederhana menjadi salah satu pertimbangan bagi calon mahasiswa untuk memilih sebuah lembaga pendidikan (risnawati & irwandi, 2012). guna mengetahui hal ini, maka diperlukan adanya penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan di perguruan tinggi. adapun keputusan memilih seorang individu pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti: perbedaan individu, pengaruh al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 237 lingkungan, serta proses psikologis pada diri seseorang (ary, 2015). terkait fasilitas serta mutu pelayanan yang diberikan oleh jurusan misalnya, selanjutnya turut mempengaruhi mahasiswa, yang mana mahasiswa merupakan bagian dari segmentasi sasaran universitas. pada dasarnya, bukan hanya akreditasi yang mencerminkan kualitas perguruan tinggi. pelayanan program studi dan fakultas, fasilitas di dalam kampus, kurikulum yang dimiliki, serta banyak hal lainnya juga mencerminkan hal itu. karena citra serta kualitas dari perguruan tinggi pada akhirnya akan berpengaruh pada keputusan mahasiswa dalam mengambil keputusan memilih jurusan di suatu fakultas. syamsuddinnor (2013) menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa biaya kuliah menjadi aspek yang paling berpengaruh terhadap minat kuliah mahasiswa di stimi banjarmasin. selanjutnya diikuti dengan kualitas akademik yang berkenaan dengan proses pengajaran ataupun perkuliahan mahasiswa. sedangkan secara visual kampus, aspek ini justru tidak berpengaruh sama sekali terhadap minat memilih mahasiswa pada jurusan yang dihadapinya. selanjutnya penelitian musfiana, zakaria, & aina (2018), membahas tentang faktor yang memengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan ekonomi di universitas syiah kuala. dalam penelitiannya, musfiana et al., (2018) menemukan alasan personal menjadi aspek utama yang menentukan preferensi mahasiswa dalam memilih jurusan. faktor ini dinilai menjadi aspek yang lebih tinggi dibandingkan dengan dorongan dari orang tua. selain itu, terdapat pula penelitian dari faizal (2015) yang lebih diarahkan pada bagaimana pemilihan jurusan di stmik el rahma yang didukung dengan media promethee yang digunakan. terkait dengan kurikulum yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi misalnya, hal ini juga mengarah pada bagaimana sebaran mata kuliah yang diajarkan. ahmad efendi (2014) menjelaskan dalam penelitiannya mengenai adanya diversifikasi program studi pada universitas islam negeri (uin) alaudin makassar. terkait hasil penelitiannya ini, dinyatakan bahwa mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 238 diversifikasi program studi yang dilakukan pada universitas berpengaruh terhadap minat mahasiswa untuk berkuliah di uin alaudin makassar. menilik pada uraian di atas, bagaimana mahasiswa memutuskan untuk memilih jurusan pada akhirnya dipengaruhi oleh aspek potensial atau tidaknya sebuah produk yang ditawarkan kampus dan jurusan. kampus sebagai lembaga pendidikan dapat diibaratkan sebagai pemasar, yang mana perlu menentukan siapa segmentasi ataupun konsumen yang secara efektif dapat dicapai oleh pemasar. selain itu, pemasar juga harus mampu mengembangkan produknya serta melakukan promosi yang optimal guna menarik perhatian konsumen calon mahasiswa (umar, 2000). konteks ini diperjelas dengan posisi konsumen (mahasiswa) yang akan cenderung memilih jurusan mana yang menurut mereka potensial. keputusan dalam memilih jurusan dalam sebuah perguruan tinggi juga dinyatakan dalam penelitian zakiyatul masriah. penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa terhadap pemilihan jurusan dan konsep diri dengan kesesuaian minat mahasiswa dalam memilih jurusan masriah, malay, & fitriani, 2018). melalui penelitian ini, dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mahasiswa terhadap kesesuaian minat memilih jurusan. begitu pula dengan aspek konsep diri, aspek ini juga berhubungan secara signifikan terhadap kesesuaian dalam pemilihan jurusan. terkait dengan konsep diri di atas, bagaimana kecenderungan individu untuk memutuskan dalam memilih dan menentukan suatu hal, secara psikologis berkenaan dengan aspek efikasi diri. santrock (susantoputri, kristina, & gunawan, 2014) mengidentifikasikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam menguasai situasi guna menghasilkan suatu hal yang menguntungkan. ini didukung oleh bandura (1977; kurniasari, dariyo, & idulfilastri, 2018) bahwa efikasi diri adalah kemampuan individu untuk mengontrol perilaku, sekaligus mediator utama antara perilaku dan perubahan perilaku. selain itu, menurut suharsono & istiqomah (2014), efikasi diri memegang peran al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 239 utama dalam bagaimana seseorang mencapai tujuan, tugas, dan tantangan. adapun menurut wibowo (susantoputri et al., 2014), efikasi diri turut melandasi bagaimana seorang individu memilih sebuah pilihan, termasuk bagaimana pilihan tersebut dikendalikan serta disesuaikan dengan situasi sehingga menghasilkan keyakinan individu terhadap keputusan pilihannya, termasuk dalam memilih jurusan dalam perkuliahan. melalui sejumlah penelitian terdahulu di atas, dapat dinyatakan bahwa penting untuk diketahui bagaimana keputusan memilih jurusan oleh para mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. lebih lanjut, melihat perkembangan dalam lingkup iain surakarta sendiri, khususnya pada fakultas ushuluddin dan dakwah, ini dirasa menarik untuk diketahui mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan memilih jurusan oleh mahasiswa, khususnya pada jurusan komunikasi dan penyiaran islam. menurut data akademik fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah peminat di setiap jurusan pada fakultas ushuluddin dan dakwah, termasuk jurusan komunikasi dan penyiaran islam. adapun data dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini: tabel 1 data perkembangan jumlah mahasiswa di fud tahun akademik 2014/2015 s/d 2017/2018 no jurusan jumlah mhs baru 2014 2015 2016 2017 1 komunikasi dan penyiaran (kpi) 57 104 152 160 2 bimbingan dan konseling islam (bki) 60 120 200 228 3 ilmu al qur’an dan tafsis (iat) 35 80 87 90 4 aqidah dan fislafat islam (afi) 40 47 50 55 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 240 no jurusan jumlah mhs baru 2014 2015 2016 2017 6 manajemen dakwah (md) *) *) 57 80 7 akhlak dan tasawuf (at) 35 40 47 50 jumlah 227 402 633 753 data olah dari akademik *) jurusan baru dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pada jumlah mahasiswa di setiap jurusan yang ada di fakultas ushuluddin dan dakwah. khususnya pada jurusan kpi, dari tahun ke tahun terdapat peningkatan jumlah mahasiswa, yaitu tahun 2014 sebanyak 57 mahasiswa. selanjutnya, di tahun 2015 sebanyak 104, tahun 2016 sebanyak 152, dan tahun 2017 sebanyak 160 siswa, yang terbagi menjadi 4 kelas paralel. hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keputusan untuk menjadi mahasiswa di jurusan kpi setiap tahunnya. berdasarkan fgd pada riset pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap mahasiswa semester 4 di jurusan kpi fud iain surakarta bulan maret 2018, dinyatakan bahwa keputusan mahasiswa dalam memilih jurusan di kpi muncul karena beberapa faktor, di antaranya adalah karena dorongan orang tua, saudara atau teman ada yang kuliah di iain; spp (biaya perkuliahan) yang murah; faktor tidak diterima di perguruan tinggi umum; keinginan menjadi wartawan; keinginan untuk cepat bekerja; faktor akreditasi jurusan; aktivitas kegiatan mahasiswa; kemudahan akses terhadap lokasi; serta adanya promosi yang dilakukan di media. pada faktor dorongan saudara atau teman kuliah salah satunya, dapat dilihat dari tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kinerja dosen pada jurusan itu. berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh sriyanto (2017) tentang kepuasan mahasiswa jurusan kpi terhadap kinerja dosen pada 176 mahasiswa kpi, diketahui bahwa hasil uji t menjelaskan tentang hubungan antara kinerja dosen dengan kepuasan mahasiswa al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 241 jurusan kpi. diperoleh data bahwa variabel strategi pembelajaran atas kinerja dosen dinyatakan paling dominan dalam mempengaruhi kepuasan mahasiswa, yakni sebesar 6.786. sedangkan variabel yang memiliki pengaruh paling kecil terhadap kepuasan mahasiswa adalah variabel materi perkuliahan (x2) yakni sebesar 0.920. hasil penelitian selanjutnya, dilakukan oleh reina (2012) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa pada universitas bina nusantara. hasil penelitian menyatakan bahwa faktor pertama yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa adalah reliabilitas pelayanan, dimana universitas selalu berupaya menjalankan operasional perkuliahan dengan baik melalui kehadiran dosen secara penuh dalam 1 semester. hal ini disebabkan karena universitas sadar akan perannya sebagai fasilitator atas proses penyampaian ilmu dari dosen kepada mahasiswa. faktor kedua, para dosen diharapkan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya pada setiap sesi perkuliahan agar tujuan dari proses belajar mengajar dapat tercapai dengan baik. selanjutnya, faktor ketiga yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa adalah jaminan atas pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa. faktor keempat, kepedulian universitas terhadap mahasiswa, salah satunya adalah melalui adanya kesempatan memperoleh beasiswa. lalu, faktor kelima yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa adalah layanan dalam bentuk fasilitas fisik, seperti ruang kelas yang ber-ac sehingga memberikan kenyamanan bagi mahasiswa, ketersediaan bank dan atm untuk memudahkan mahasiswa bertransaksi, perpustakaan yang lengkap, lahan parkir yang luas, internet corner sebagai sarana untuk membantu mahasiswa mengakses semua informasi, dan fasilitas penunjang lain, misalnya kantin, layanan fotokopi, dan koperasi. penelitian lain dilakukan pula oleh sri hastuti dan juddy prabowo (2011), dengan sampel sebanyak 289 responden pada universitas jenderal achmad yani, cimahi, menyimpulkan bahwa: 1) lingkungan eksternal yang terdiri dari kelompok acuan (teman dan keluarga) dan peran mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 242 (status) tidak signifikan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam memilih jurusan pada unjani cimahi; 2) lingkungan internal yang terdiri dari pencapaian sasaran, motif lain, persepsi (target dan situasi), serta pembelajaran (informasi dan sikap) berpengaruh secara signifikan terhadap pengambilan keputusan dalam memilih jurusan pada unjani cimahi; 3) lingkungan eksternal dan lingkungan internal secara bersamasama mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih jurusan pada unjani cimahi. tinjauan pustaka selanjutnya yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh martini (2013). terkait penelitiannya, ditemukan hasil bahwa 50 responden atau sekitar 90,9% dengan pengujian hipotesis secara parsial maupun simultan dan menggunakan angka probabilitas signifikansi <0.05, menunjukkan bahwa aspek budaya, pribadi, dan psikologis tidak berpengaruh terhadap pemilihan jurusan akuntansi, sedangkan aspek sosial berpengaruh terhadap pemilihan jurusan akuntansi. hasil uji secara simultan menunjukkan bahwa aspek budaya, sosial, pribadi, dan psikologis berpengaruh terhadap pemilihan jurusan akuntansi dengan pengaruh sebesar 57,1%. berdasarkan uraian latar belakang dan sejumlah penelitian terdahulu di atas, dinyatakan bahwa penting untuk diketahui lebih lanjut bagaimana pengambilan keputusan terhadap pemilihan jurusan kpi dilakukan oleh para mahasiswa baru. dalam hal ini, sedikit meminjam konsep teori pengambilan keputusan membeli menurut kotler dan keller (suryani & ginting, 2016) dijelaskan bahwa pada dasarnya keputusan konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. faktor internal (personal) yang mempengaruhi keputusan meliputi faktor-faktor sumber daya konsumen, waktu, uang, dan perhatian. selain itu, ada pula keterlibatan dan motivasi mahasiswa dalam kegiatan, aspek pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup, dan demografi. sedangkan faktor eksternal mengacu pada sejumlah aspek budaya, kelas sosial, serta al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 243 pengaruh kelompok dan keluarga. lebih lanjut, kotler (2000) berpendapat bahwa pada dasarnya, faktor-faktor pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, serta faktor psikologis. faktor lain yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan ini juga mengarah pada faktor keluarga, individual, pekerjaan, situasi ekonomi, motivasi, persepsi, keyakinan, dan sikap serta minat. sejalan dengan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut, mahasiswa baru dalam hal ini dianalogikan sebagai konsumen kampus yang turut dipengaruhi sekaligus berkenaan dengan bagaimana mereka berperilaku untuk memilih jurusan sebagai produk jasa yang diinginkan. lebih jauh, mahasiswa merupakan konsumen yang berhak memilih produk jasa apa yang dikehendaki sesuai dengan minat serta sejumlah aspek yang mempengaruhinya, baik secara personal maupun situasional. pada dasarnya, schiffman & lesslie (2010) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan sehingga mampu memuaskan kebutuhan mereka. ini didukung oleh pendapat kotler & armstrong (2003) yang menyatakan tentang faktor-faktor yang memengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu barang, yakni: 1) faktor budaya, penentu keinginan dan perilaku yang mendasari yang terdiri dari kumpulan nilai, preferensi, dan perilaku yang menunjukkan preferensi produk dan merek yang berbeda dalam banyak hal; 2) faktor sosial, dapat berasal dari kelompok acuan, merupakan semua kelompok yang memengaruhi langsung (tatap muka) ataupun tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang, sedangkan yang berasal dari keluarga adalah organisasi pembelian yang paling penting dalam masyarakat, dan ia telah menjadi objek penelitian yang luas; 3) faktor pribadi, terdiri dari usia dan tahap siklus hidup konsumsi yang dibentuk oleh siklus hidup keluarga, dimana pemasar sering memilih kelompok berdasarkan siklus hidup sebagai pasar sasaran; 4) faktor psikologis yang mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 244 terdiri dari motivasi dan pengetahuan seorang konsumen berdasarkan pengalaman yang dimiliki. berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi pengambilan keputusan mahasiswa baru dalam memilih jurusan kpi pada fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta, tahun akademik 2017/2018. lebih lanjut, tujuan penelitian ini adalah menggambarkan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mahasiswa baru dalam memilih jurusan kpi, dengan analisis terkait indikator terbesar dan terkecil yang mempengaruhi keputusan mahasiswa dalam pemilihan jurusan kpi. ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan populasi seluruh mahasiswa baru di jurusan kpi fud iain surakarta tahun akademik 2017/2018 sejumlah 160 mahasiswa. sedangkan jenis sampling yang digunakan adalah sampling jenuh (total population sampling) (etikan, musa, & alkassim, 2016), dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (sugiyono, 2011). selanjutnya untuk data primer dalam dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan angket tertutup. terkait dengan variabel (slamet, 2006) yang digunakan, adapun variabel bebas atau independen (x) dalam penelitian ini adalah faktorfaktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mahasiswa dan variabel terikat dependent (y) adalah pengambilan keputusan atas pemilihan jurusan. sebelum dilakukan analisis data, akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas, uji homogenitas, normalitas, dan linieritas. analisis regresi berganda, yaitu: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 245 y = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + e1 keterangan : y : pengambilan keputusan mahasiswa baru di jurusan kpi fud iain surakarta βo : intersep/konstanta; β1, β2, β3 : koefisien regresi untuk x1, x2, x3, x4, x5; x1 : variabel orang tua (keluarga) x2 : variabel peran/status x3 : variabel kelompok acuan x4 : variabel promosi x5 : variabels persepsi x6 : variable sistem pembelajaran x7 : variabel sikap; x8 : variabel motivasi. lebih lanjut, penelitian ini didukung dengan kerangka teori untuk mempermudah arah dan fokus dalam penelitian. dinyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan jurusan kpi fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta (y), meliputi faktor keluarga, peran ataupun status, kelompok acuan, promosi, sikap, pembelajaran, persepsi, dan motivasi, dimana secara parsial maupun bersama-sama berpengaruh terhadap pemilihan jurusan. dari penelitian ini diharapkan lebih lanjut dapat digunakan sebagai acuan atas sejumlah faktor utama atau faktor dominan yang mempengaruhi mahasiswa memilih jurusan kpi di fakultas ushuluddin dan dakwah sehingga pihak jurusan maupun fakultas dapat melakukan tindakan atau kebijakan dalam melayani mahasiswa untuk menuju kepuasan mahasiswa. adapun kerangka berpikir yang digunakan lebih jelas adalah sebagai berikut: mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 246 mahasiswa memilih jurusan komunikasi dan penyiaran islam fud sehingga pihak jurusan maupun fakultas dapat melakukan tindakan atau kebijakan dalam melayani mahasiswa untuk menuju kepuasan mahasiswa. adapun kerangka berpikir yang digunakan lebih jelas adalah sebagai berikut: gambar 1 kerangka teori faktor faktor yang mempengaruhi pemilihan jurusan (x) iii. hasil penelitian dan pembahasan pergurun tinggi merupakan pemasaran jasa dalam bidang pendidikan, tidak berwujud barang, tidak mengenal persediaan nyata, seperti pendapat griffin (dalam lupiyoadi, 2001) diantaranya menyebutkan bahwa karakteristik jasa adalah meliputi sejumlah hal. pertama, tidak berwujud (intangibility), jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman. kedua, unstorability, dimana jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang dihasilkan. karakteristik ini juga tidak dapat dipisahkan (unseparability), mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi pada saat bersamaan. ketiga, customization, yang menyebutkan bahwa jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan. adanya desain khusus pada jurusan kpi dapat dilihat melalui implementasi kurikulum yang dilaksanakan. berdasarkan data pada penelitian sebelumnya, sebelum tahun 2015, jurusan kpi turut berupaya mengembangkan kurikulumnya dengan mencetak lulusan yang sikap (x5) persepsi (x6) sistem pembelajaran (x7) motivasi (x8) keputusan mahasiswa dalam pemilihan jurusan kpi fud (y) orang tua / keluarga (x1) peran/status (x2) kelompok acuan (x3) promosi (x4) gambar 1 kerangka berpikir faktor faktor yang mempengaruhi pemilihan jurusan (x) iii. hasil penelitian dan pembahasan perguruan tinggi merupakan pemasaran jasa dalam bidang pendidikan, tidak berwujud barang, tidak mengenal persediaan nyata, seperti pendapat griffin (dalam lupiyoadi, 2001), yang menyebutkan bahwa karakteristik jasa adalah meliputi sejumlah hal. pertama, tidak berwujud (intangibility), jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman. kedua, unstorability, dimana jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang dihasilkan. karakteristik ini juga tidak dapat dipisahkan (unseparability), mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi pada saat bersamaan. ketiga, customization, yang menyebutkan bahwa jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan. adanya desain khusus pada jurusan kpi dapat dilihat melalui implementasi kurikulum yang dilaksanakan. berdasarkan data pada penelitian sebelumnya, sebelum tahun 2015, jurusan kpi turut berupaya mengembangkan kurikulumnya dengan mencetak lulusan yang berbasis profesi sehingga dalam penyusunan kurikulumnya, jurusan kpi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 247 mengadaptasi adanya kurikulum yang berdasar pada specific skill yang mencakup academic skill serta vocational skill (abas, 2017). lebih jauh, kurikulum kpi dinyatakan harus seimbang antara keterampilan akademik dengan keterampilan kejuruan atau kemahiran sehingga muncul sejumlah aspek penyusun dalam pengembangan kurikulum kpi, khususnya pada mata kuliah mata kuliah pengembang kepribadian (mpk); mata kuliah keilmuan dan keterampilan (mkk); mata kuliah keahlian berkarya (mkb); mata kuliah perilaku berkarya (mpb); dan mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (mbb) (abas, 2017). mendukung data di atas, adanya penyesuaian pada kurikulum yang disusun pada jurusan kpi secara operasional dapat dilihat melalui banyaknya kebutuhan media—sebagai pasar jurusan dan lulusan—yang cukup membawa konsekuensi logis, terutama terkait dengan bagaimana kebutuhan atas ketersediaan sumber daya lulusan yang diperlukan. dalam konteks ini, penting untuk dihasilkan lulusan kampus yang memadai, baik secara pengetahuan maupun dalam skill yang dimiliki, sebut saja pada daya tarik salah satu konsentrasi jurusan kpi, yakni jurnalistik. hal ini relevan dengan tulisan rulli nasrullah dan agus sriyanto (2013) mengenai keselarasan kurikulum jurnalistik terhadap kompetensi wartawan di beberapa ptai. dalam kaitannya dengan ketersediaan wartawan (nasrullah & sriyanto, 2013) sebagai bidang kerja komunikasi dan kpi, tentu dirasa perlu mengenai adanya dasar pemikiran terhadap pentingnya kebijakan dalam merumuskan arah konsentrasi lulusan agar sesuai dengan keahlian yang diperlukan pasar. selain jurnalistik, terdapat pula konsentrasi lain, seperti broadcasting dan public relations. istilah broadcasting dimaknai sebagai kegiatan pemancaran siaran dengan menggunakan spektrum frekuensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik, merambat melalui udara, kabel, maupun media lainnya, yang dapat diterima secara serentak oleh masyarakat melalui perangkat penerima siaran (morissan dalam hidayat, 2015). namun demikian, broadcasting dalam konteks bidang ini mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 248 secara sederhana lebih difokuskan pada praktik kepenyiaran, baik melalui radio, televisi, maupun media massa elektronik lainnya, yang mana merujuk pada profesi di dalam dunia media massa elektronik. selanjutnya adalah public relation (laksamana, 2018; nova, 2014), konsentrasi ini mengarah pada profesi yang berkaitan dengan fungsi komunikasi sekaligus manajemen dalam sebuah perusahaan. dasar kerja seorang pr adalah komunikasi, termasuk pula bagaimana kemampuan public speaking, manajemen krisis, serta menulis. kemampuan menulis misalnya, hal ini dijelaskan pearson (dalam kriyantono, 2012) sebagai aktivitas yang berelasi dengan tujuan organisasi sehingga dirasa penting untuk dimiliki oleh seorang mahasiswa jurusan kpi, khususnya bagi mereka yang mengambil konsentrasi pr. lebih lanjut, berkenaan dengan proses pemasaran sebuah produk atau jasa, rangkuti (dalam puspaningtyas 2011) menyatakan bahwa pemasaran jasa pada dasarnya tidak sama dengan pemasaran produk. pemasaran jasa lebih bersifat intangible dan inmaterial karena produknya tidak kasat mata dan tidak dapat diraba dari satu pihak ke pihak lainnya. pemasaran jasa dalam hal ini diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan sehingga terjadi interaksi antara pemberi jasa dengan penerima jasa, yang mana mampu menjadikan proses interaksi yang ada dapat memengaruhi hasil jasa yang diciptakan. hal inilah yang juga terjadi pada sebuah instansi pendidikan tinggi, ketika mereka memberikan pelayanan jasa kepada mahasiswa sebagai bagian dari segmentasi mereka. tjiptono (1998) menyatakan “stimulus mempengaruhi kebutuhan seseorang untuk membeli produk dan jasa tertentu”. kebutuhan untuk membeli produk atau jasa tersebut dipengaruhi oleh shortages (kebutuhan yang timbul karena ketidakpuasan pelanggan terhadap produk dan jasa saat ini). selanjutnya, mowen & minor (2002) menyatakan bahwa “tingkat keterlibatan konsumen dalam suatu pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan ditimbulkan oleh stimulus, produk, harga, promosi, serta lokasi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 249 terkait dengan keputusan mahasiswa dalam memilih jurusan kpi di fud iain surakarta, hal ini juga dipengaruhi beberapa stimulus dan juga kebutuhan akan pendidikan untuk kebaikan masa depan mereka. memang banyak perguruan tinggi yang merupakan pesaing juga menawarkan halhal yang hampir sama atau mungkin sama dengan apa yang ditawarkan oleh jurusan kpi fud iain surakarta. namun demikian, ada beberapa alasan ataupun faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa mahasiswa memutuskan untuk memilih jurusan kpi fud iain surakarta. mahasiswa akan melihat faktor-faktor yang menguntungkan, sekaligus juga faktor-faktor yang dapat merugikan jika mereka memilih perguruan tinggi tertentu untuk tempat belajar. pemahaman pengambilan keputusan mahasiswa sangat penting bagi suatu perguruan tinggi, karena berhasil tidaknya perguruan tinggi menarik mahasiswa tergantung faktorfaktor apa yang mendorong serta memunculkan keinginan mahasiswa untuk memilih perguruan tinggi tersebut. adapun faktor-faktor yang dianggap menjadi daya tarik mahasiswa untuk melanjutkan studi di jurusan kpi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: keluarga; peran atau status; kelompok acuan; promosi; sikap; pembelajaran; persepsi; dan motivasi. sebagai bagian dari penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan cara menyebar angket kepada 30 mahasiswa di jurusan kpi. angket pertanyaan terdiri dari 3 bagian, bagian pertama adalah identitas responden sejumlah 8 pertanyaan, bagian kedua pertanyaan sebagai variabel x, yaitu faktorfaktor yang mempengaruhi mahasiswa memilih jurusan kpi fud iain surakarta tahun akademik 2017/2018 sejumlah 24 pertanyaan, bagian ketiga berupa pertanyaan tentang keputusan mahasiswa memilih jurusan kpi sebagai variabel y sejumlah 16 pertanyaan. a. uji validitas uji validitas dilakukan dengan membandingkan rhitung dengan rtabel. melalui tabel nilai rtabel besar rtabel dengan taraf signifikansi 0,01 adalah sebesar 0,4629, hasil rhitung atau nilai dari corrected item-total corelations > dari rtabel sehingga semua variabel x maupun y dinyatakan valid. mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 250 b. uji reliabilitas uji reliabilitas dilakukan dengan membandingkan rhitung dengan rtabel, nilai cronbach’s alpha > dari rtabel. jadi, semua variabel x maupun y dinyatakan reliable. c. uji homogenitas berdasarkan hasil uji homogenitas melalui software spps (statiscal package for social science), maka diperoleh hasil sebagai berikut: tabel 2 hasil perhitungan uji homogenitas sumber : hasil olah data primer, 2018 nilai signifikansi uji homogenitas adalah sebesar 0,193. sedangkan data sebaran kuesioner bervarians homogen karena nilai signifikansi 0,193 > taraf signifikan sebesar 0,05. d. uji normalitas uji normalitas menggunakan kolmogorov-smirnov karena menggunakan responden sejumlah 158 hasilnya p/sig – nya. data akan memiliki distribusi normal jika p ≥ 0,05. hasil uji normalitas atas variabel x sebesar 0.071 dan variabel y sebesar 0.051 berarti p ≥ 0,05 sehingga hasil dari data ini berdistribusi normal. e. uji hipotesis pertama uji f pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel x (faktor faktor yang mempengaruhi mahasiswa) yang meliputi orang tua (x1), peran (x2), kelompok acuan (x3), promosi (x4), sikap (x5), dan persepsi (x7), secara simultan atau signifikan memiliki hubungan terhadap variabel y (keputusan memilih jurusan kpi), yaitu dengan membandingkan nilai fhitung dengan ftabel dengan taraf signifikan 5% atau (0.05). berikut ini test of homogeneity of variances total_y levene statistic df1 df2 sig. 1.259 29 125 .193 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 251 adalah hasil perhitungan uji f dengan menggunakan ibm spss versi 23 : tabel 3. anovaa model sum of squares df mean square f sig. 1 regression 541.279 8 67.660 3.562 .001b residual 2830.316 149 18.995 total 3371.595 157 a. dependent variable: tota_var_y b. predictors: (constant), total_var_x, motivasi_jml_x8, promosi_jml_x4, peran_jml_x2, sikap_jml_x5, persepsi_jml_x7, keluarga_jml_x1, kel_ acuan_jml_x3 sumber : data primer, 2018 berdasarkan hasil uji tabel anova di atas, dapat diketahui nilai fhitung 3.562 > ftabel 2.07 sehingga ho ditolak dan ha diterima. hal ini menunjukkan bahwa variabel x yang meliputi orang tua (keluarga) (x1), peran (x2), kelompok acuan (x3), promosi (x4), sikap (x5), dan persepsi (x7) secara simultan atau signifikan memiliki hubungan terhadap variabel y. variabel sistem pembelajaran (x6) dikeluarkan atau di removed. hal ini dikarenakan variabel tersebut tidak memenuhi kriteria prediktor yang tidak signifikan dengan pilihan enter pada method di spss sehingga otomatis variabel yang tidak memenuhi kriteria terhapus dengan sendirinya. f. uji hipotesis kedua uji t dengan n sebesar 158 nilai ttabel yang diperoleh adalah 1.984. berikut ini adalah hasil perhitungan uji t dengan menggunakan ibm spss versi 23: mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 252 tabel 4. coefficientsa model unstandardized coefficients standardized coefficients t sig. \]]b std. error beta 1 (constant) 55.563 4.162 13.350 .000 keluarga_jml_x1 -.376 .372 -.139 -1.011 .314 peran_jml_x2 .619 .337 .223 1.837 .068 kel_acuan_jml_x3 .317 .404 .121 .785 .433 promosi_jml_x4 1.095 .370 .315 2.956 .004 sikap_jml_x5 .096 .349 .035 .274 .784 persepsi_jml_x7 -.164 .329 -.069 -.497 .620 motivasi_jml_x8 .770 .336 .250 2.293 .023 total_var_x -.295 .220 -.506 -1.340 .182 a. dependent variable: tota_var_y persamaan regresinya sebagai berikut: y’ = 55.563 + (-1.011)x1 + 1.837x2 + 0.785x3 + 2.956x4 + 0.274x5 + (-0.497)x7 + 2.293x8 berdasakan tabel di atas, jika nilai thitung nilai ttabel (1.984), maka ho diterima dan ha ditolak atau secara parsial, variabel tersebut tidak memiliki hubungan terhadap keputusan memilih mahasiswa. • analisis terhadap variabel orang tua (keluarga) (x1) berdasarkan uji t diatas nilai ttabel pada variabel orang tua (keluarga) (x1) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka (-1.011) sehingga nilai thitung< ttabel, maka ho diterima dan ha ditolak. hal ini menunjukkan bahwa variabel disiplin dosen (x1) secara parsial tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keputusan memilih mahasiswa (y). • analisis terhadap variabel peran (x2) berdasakan uji t diatas nilai ttabel pada variabel peran (x2) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka 1.837 sehingga nilai thitung ttabel, maka ho diterima dan ha ditolak. hal ini menunjukkan bahwa variabel peran (x2) secara parsial tidak memiliki al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 253 hubungan yang signifikan terhadap keputusan memilih mahasiswa (y). • analisis terhadap variabel kelompok acuan (x3) berdasakan uji t diatas nilai ttabel pada variabel kelompok acuan (x3) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka 0.786 sehingga nilai thitung ttabel, maka ha diterima dan ho ditolak. hal ini menunjukkan bahwa variabel prakarsa (x4) secara parsial memiliki hubungan yang signifikan terhadap keputusan memilih mahasiswa (y), atau kepeputusan mahasiswa dalam memilih jurusan di kpi iain surakarta dipengaruhi oleh promosi yang dilakukan iain surakarta. • analisis terhadap variabel sikap (x5) berdasakan uji t diatas nilai ttabel pada variabel kelompok acuan (x5) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka 0.274, sehingga nilai thitung