jurnal al-balagh_vol.2 no.2-2 2017 hajinya lansia ditinjau dari perspektif bimbingan dan konseling islam kholilurrohman iain surakarta keywords: hajj, islamic guidance and counseling http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: kholilurrahman@iain-surakarta.ac.id abstract hajj is the fifth pillar of islam. when the first pillar of islam until the fourth has been done, the muslims wants to complete the pillar by performing the pilgrimage as the fifth obligation. however, in modern times today, along with the increasing number of hajj quotas, automatically caused the turn period of hajj to be increased as well. in fact, it raises some problems, especially for the elder hajj pilgrims. this research aims to identify some problems that arise from the preparation of hajj until the completion of hajj in the elderly congregation. the problem is studied based on the perspective of islamic guidance and counseling by using literature review. this research also uses qualitative approach in the form of case study technique. the result, there are some problems of hajj experienced by the elderly so that it’s needful for assistance and psychological guidance in the implementation of the pilgrimage by the elderly congregation. ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima. ketika rukun islam yang pertama sampai yang keempat sudah terlaksana, umat islam ingin menyempurnakan dengan menunaikan ibadah haji sebagai kewajiban yang kelima. namun demikian, di zaman modern saat ini, seiring dengan semakin bertambahnya kuota haji, pada akhirnya menyebabkan masa tunggu giliran haji menjadi bertambah pula. hal ini nyatanya memunculkan beberapa permasalahan, terutama bagi para calon jamaah haji yang lanjut usia. penelitian ini bertujuan untuk abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.1021 232 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif mengidentifikasi beberapa permasalahan yang muncul sejak persiapan haji sampai selesainya haji pada jamaah lanjut usia. permasalahan tersebut dikaji berdasarkan perspektif bimbingan dan konseling islam dengan menggunakan kajian literatur. penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik studi kasus. hasilnya, terdapat beberapa permasalahan haji yang dialami oleh para lanjut usia sehingga diperlukan adanya pendampingan dan bimbingan psikologis dalam pelaksanaan ibadah haji oleh para jamaah lanjut usia. i. pendahuluan haji merupakan rukun islam yang kelima. ketika seseorang sudah berhasil menunaikan keempat rukun islam sebelum haji (syahadat, shalat, puasa, dan zakat), maka seseorang terdorong untuk menunaikan haji. dalam islam, penekanan haji tidak sekuat penekanan syahadat, shalat, puasa, dan zakat. dengan kata lain, ibadah haji memiliki dua status hukum, wajib bagi yang mampu dan tidak wajib bagi yang tidak mampu. kesimpulan ini didapatkan dari al qur’an surat âli ‘imrân ayat 97: “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke baitullah”. mampu dalam ayat ini memiliki makna mampu secara keilmuan, finansial, fisik, psikis, dan keamanan dalam perjalanan. tingginya minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji juga kemudian membuat antrian dalam melaksanakan haji dalam suatu negara semakin banyak. berbagai karakteristik masyarakat, mulai dari yang berusia muda sampai berusia tua dan lanjut usia, menginginkan untuk bisa menjalankan ibadah haji. tulisan ini akan memfokuskan pembahasan mengenai ibadah haji yang dilaksanakan lanjut usia. mengingat ibadah haji adalah wajib bagi yang mampu (salah satunya mampu secara fisik dan psikis) sedangkan kemampuan fisik dan psikis lanjut usia cenderung menurun. terlebih jika lanjut usia tersebut memiliki beberapa penyakit dan rentan terhadap penyakit. karena seseorang yang menginjak usia lansia umumnya sudah memiliki penyakit, seperti kolesterol, asam urat, darah tinggi, vertigo, gagal ginjal, diabetes, dan penyakit lainnya. kondisi ini menjadi dilema tersendiri, baik bagi lansia sendiri maupun bagi penyelenggara haji atau pemerintah. kata kunci: haji, bimbingan dan konseling islam – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 233 berbicara ibadah haji, bukan hanya berbicara mengenai pelaksanaan haji itu saja. ibadah haji sendiri dilaksanakan kurang lebih selama 40 hari (dalam konteks indonesia). tidak hanya itu, terdapat ritual budaya yang menyertai sebelum keberangkatan haji, seperti: empat bulan mengikuti bimbingan manasik haji setiap hari minggu, silaturrahim sesama regu karena pamitan, penyelenggaraan pamitan di rumah sendiri, melayani tamu dari sanak saudara dan handai taulan, serta latihan jalan kaki setiap pagi untuk pembelajaran fisik karena rangkaian ibadah haji di mekkah dan madinah mengandalkan jalan kaki. rangkaian kegiatan ini tentu saja melelahkan, terutama bagi lanjut usia. persoalan haji bagi lanjut usia bertambah ketika peminat haji setiap tahun meningkat sehingga menyebabkan waktu tunggu semakin lama. saat ini, jangka waktu sejak pendaftaran sampai menunaikan ibadah haji minimal 10 tahun. artinya, ketika seseorang mendaftar haji di usia 50 tahun ditambah waiting list 10 tahun, maka seseorang diperkirakan akan berangkat di usia 60 tahun. usia 60 tahun ini rentan dengan penyakit atau minimal kemampuan fisik sudah melemah. belum lagi terkait dengan fenomena kematian jamaah haji. bagi pemerintah, wajib menjaga keselamatan jamaah haji sejak keberangkatannya sampai kepulangannya. atas dasar ini, maka pemerintah memberikan fasilitas kesehatan di setiap kloter. fasilitas kesehatan tersebut misalkan dokter dan para perawat. salah satu ikhtiar untuk menjaga keselamatan ini misalkan menjaga pola makan, olah raga, dan sikap hidup sehat. di sisi lain, keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia yang mengikuti ibadah haji, secara mental sudah siap untuk segala kemungkinan, dan kemungkinan terburuk ketika menunaikan ibadah haji adalah kematian. menurut ilmu fiqh, manasik haji ada tiga komponen, yakni: rukun, wajib, dan sunnah. termasuk komponen rukun haji, yakni; (1) niat ihrâm; (2) memakai ihrâm; (3) wukuf di ‘arafah; (4) thawaf ifadhah; dan (5) sa’i. termasuk komponen wajib haji, yakni: (1) mabit di muzdalifah; (2) melempar jumrah; (3) mabit di mina; dan (4) thawaf wada’. dan termasuk sunnah haji, yakni: (1) mandi; (2) memotong kuku; (3) memotong/merapikan rambut; 234 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif (4) memakai wewangian di tubuh; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) doa memakai pakaian ihrâm; (7) doa di multazam/searah multazam; (8) shalat sunnah di belakang maqam ibrahim; (9) shalat sunnah di hijr ismail, dll. maka sebenarnya bila seseorang melakukan tahapan-tahapan haji dan umrah sesuai yang disyariatkan (fiqh) insya allah tidak ada masalah/tidak ada kesulitan. misalnya, karena jamaah haji indonesia mengambil model haji tamattu’, tahapannya adalah umrah terlebih dahulu, dan dilanjutkan haji. adapun rangkaian umrah yakni: (1) mandi sunnah ihrâm; (2) memakai pakaian ihrâm; (3) memakai wewangian di badan; (4) merapikan rambut/ kuku; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) niat memakai pakaian ihrâm; (7) niat umrah dan ihrâm-nya di miqat; (9) thawaf; (10) sa’i; (11) tahallul; dan (12) tertib. sedangkan untuk tahapan-tahapan manasik haji; (1) mandi sunnah ihrâm; (2) memakai pakaian ihrâm; (3) memakai wewangian di badan; (4) merapikan rambut/kuku; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) niat memakai pakaian ihrâm; (7) niat haji dan ihrâm-nya di miqat; (8) wukuf di ‘arafah; (9) mabit di muzdalifah; (10) mencari kerikil; (11) melempar jumrah ‘aqabah; (12) mabit di mina; (13) melempar jumrah ula, wustha, ‘aqabah pada tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah; (14) thawaf ifadhah; dan (15) sa’i. ketika akan meninggalkan makkah, masih ada thawaf lagi, yakni: thawaf wada’. berdasarkan penjabaran mengenai rangkaian ibadah haji dan segala resiko yang mungkin terjadi, maka penting untuk menggali dinamika ibadah haji yang dilakukan oleh lansia. hal ini penting untuk merumuskan mengenai model bimbingan dan konseling guna memudahkan pelaksanaan ibadah haji lansia. ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik atau metode studi kasus. penelitian ini mengambil pengalaman subjek yang berusia lanjut usia (usia mulai 60 tahun) selama rentang waktu sejak tahun 2012 sampai 2017. subjek yang diteliti adalah lanjut usia yang melaksanakan ibadah haji dan berasal dari klaten, jawa tengah, indonesia. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 235 penulis selain berperan sebagai peneliti, juga memiliki peran sebagai tim petugas pendamping ibadah haji (tpihi) selama rentang waktu tersebut. iii. hasil penelitian terdapat beberapa hasil penelitian yang penting untuk dibahas dalam jurnal ini. pertama, mengenai kesehatan jamaah haji lansia. para jamaah haji lansia sudah mulai menderita beberapa penyakit, seperti kolesterol, asam urat, asma, vertigo, diabetes, dan sebagainya. penyakitpenyakit ini bisa mempengaruhi kondisi dan ketahanan fisik jamaah haji lansia sehingga fisik jamaah haji mudah mengalami kelelahan. selain mengalami gangguan kesehatan fisik, jamaah haji lansia juga mengalami gangguan psikis. misalkan, ingin segera pulang ke tanah air akan tetapi rangkaian ibadah haji belum selesai. selain itu, jamaah haji indonesia yang lansia mudah mengalami ketersesatan jalan pulang menuju ke hotel. kedua, keilmuan jamaah haji. tidak setiap jamaah haji paham secara mendalam mengenai rangkaian ibadah haji. terutama para jamaah lansia yang mengalami penurunan daya kognisi dan membuatnya sulit untuk belajar. misalnya, meskipun sudah diberikan materi bahwa seseorang harus suci dari hadas kecil dan besar ketika melaksanakan thawaf, faktanya masih ada jamaah haji lansia yang tetap melaksanakan thawaf walau berhadas kecil (misalkan kentut). sebenarnya, jamaah haji paham bahwa kentut dapat membatalkan thawaf. akan tetapi, banyak faktor yang mendorong jamaah haji untuk tidak berwudlu kembali, misalkan takut tertinggal oleh rombongan. ketiga, mental internasional. tidak dapat dipungkiri bahwa jamaah haji indonesia rata-rata belum pernah pergi ke luar negeri. apalagi naik pesawat terbang yang lamanya sekitar 12 jam. tentu sebuah pengalaman yang sangat berbeda. ini menjadi persoalan serius terkait tekanan udara di luar pesawat yang berakibat pada kepala pening, sesak nafas, menahan buang air kecil, dan mabuk ketinggian. 236 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif berbagai permasalahan tersebut, sudah seharusnya dicarikan formula untuk membimbing jamaah haji lansia. tentu saja bukan hanya bimbingan secara agama saja, tetapi juga bimbingan secara psikis. karena untuk memahami jamaah haji lansia, diperlukan banyak konsep bimbingan dan konseling serta psikologi. iv. pembahasan berbagai fenomena dan permasalahan haji lansia tersebut dapat dikaji dengan perpektif psikologi, khususnya psikologi humanistik. gobel (1992) menganggap bahwa madzhab psikologi humanistik tersebut menjadi madzhab ketiga setelah paradigma psikodinamika dan behavioral. beberapa tokoh madzhab psikologi humanistik adalah abraham maslow dengan teori motivasi dan aktualisasi diri. maslow menginginkan psikologi humanistik menjadi madzhab psikologi yang menangani cita-cita dan potensi-potensi yang paling baik dan paling mulia yang sanggup dicapai oleh manusia (schultz, 1991). maslow memiliki beberapa asumsi terkait motivasi. pertama, maslow mengadopsi pendekatan sebuah pendekatan yang komprehensif tentang motivasi. artinya, keseluruhan dari seseorang, bukan bagian atau fungsi. kedua, motivasi bersifat kompleks yang bermakna bahwa tingkah laku manusia dapat muncul dari beberapa motivasi dalam diri. ketiga, manusia berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhannya. selanjutnya, maslow menjelaskan bahwa manusia, siapapun itu dan dimanapun berada, termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama. kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki (feist, feist, & roberts, 2017). artinya, manusia harus memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu sebelum kemudian dapat memenuhi kebutuhan selanjutnya. konsep hierarki kebutuhan menjelaskan bahwa manusia memiliki lima kebutuhan yang dapat dipenuhi selangkah demi selangkah. pertama, kebutuhan fisiologis, termasuk makanan, minuman, oksigen, karena halhal ini yang membuat manusia bertahan hidup dan memiliki tenaga. hal ini bisa dilihat di beberapa daerah yang mengalami krisis kelaparan, maka – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 237 masyarakatnya hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisiologis berupa makanan. kedua, kebutuhan akan rasa aman, meliputi keamanan fisik, stabilitas, perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam, seperti perang, terorisme, penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam. sebagian orang bisa jadi tercukupi, sedangkan sebagian orang tidak bisa memenuhi kebutuhan ini, misalkan di daerah rawan bencana dan daerah konflik. ketiga, kebutuhan akan cinta dan keberadaan, berwujud keinginan untuk berteman, memiliki pasangan dan anak, serta menjadi bagian dari masyarakat dan negara. kebutuhan ini bisa dipenuhi dan diajarkan manusia sejak kecil. keempat, kebutuhan akan penghargaan, mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan, dan pengetahuan yang dihargai. pengejawantahan dari kebutuhan ini adalah reputasi dan harga diri. kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri, meliputi kesadaran akan semua potensi diri dan kemudian mengerahkannya untuk mencapai cita-citanya. menurut maslow, manusia yang bisa mencapai aktualisasi diri menjadi manusia seutuhnya (feist, feist, & roberts, 2017; schultz, 1991; nasrul, 2010). menunaikan ibadah haji merupakan salah satu fenomena yang terkait dengan aktualisasi diri. jika menakar ibadah haji, ibadah haji merupakan rukun islam terakhir. haji merupakan ibadah dan rukun islam yang paling memerlukan segala potensi, mulai dari daya kognisi, energi fisik, ketahanan psikologis, sampai materi. berbeda dengan rukun islam yang lain seperti syahadat, shalat, puasa, dan zakat. pada titik ini, ibadah haji dapat menjadi sarana aktualisasi diri seseorang. di sisi lain, ibadah haji ditempatkan sebagai rukun islam yang terakhir sebagai puncak beragama islam, diharapkan agar para pemeluk agama islam dapat menyempurnakan rukun islam berupa syahadat, shalat, puasa, dan zakat terlebih dahulu sebelum menunaikan haji. haji menjadi status sosial dalam masyarakat indonesia. hal ini dikarenakan sepulang haji, seseorang akan menambahkan “gelar haji” di depan namanya. masyarakat pun juga memanggil orang yang sudah menunaikan ibadah haji dengan panggilan “haji”, misalkan pak haji 238 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif dan bu haji. selain itu, menunaikan ibadah haji dianggap menjadi status kehormatan karena ibadah haji memerlukan banyak biaya dan perjuangan. kuatnya dorongan untuk aktualisasi diri ini juga menyebabkan jamaah haji tidak mengalami kecemasan kematian. tidak bisa dipungkiri bahwa ibadah haji memiliki resiko kematian cukup tinggi, terutama bagi lansia. hal ini dikarenakan ibadah haji dilakukan serentak oleh kaum muslimin sedunia dan berdesak-desakan. sehingga, jamaah haji rentan jatuh dan terinjak-injak, terutama jamaah haji lansia. kematian pun tidak menjadi persoalan dan halangan bagi jamaah haji lansia dan keluarga. bahkan ada dorongan bahwa jamaah haji yang meninggal saat menjalankan ibadah haji dinilai sebagai husnul khâtimah. tidak hanya itu, jamaah haji yang wafat dan kemudian dimakamkan di haramain, dijamin tidak ditemui dajjal ketika hari kiamat sehingga terhindar dari fitnah dajjal. dalam membimbing ibadah haji para lansia, juga dibutuhkan pemahaman karakteristik lansia. dalam kajian psikologi serta bimbingan dan konseling, terdapat teori psikososial yang disampaikan oleh erik h. erikson. konsep ini menjelaskan tentang perkembangan psikososial individu mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. tahapan perkembangan psikososial ini dituliskan dalam bukunya yang berjudul childhood and society. adapun tahapan perkembangan psikososial tersebut sebagai berikut (erikson, 1993): tabel 1. tabel tahapan psikososial oleh erikson no tahap masalah keutamaan 1 oral percaya vs tidak percaya harapan 2 anal otonomi vs malu & rasa bersalah kekuatan & kehendak 3 genital inisiatif vs rasa bersalah tujuan 4 latensi usaha vs rasa rendah diri kemampuan 5 remaja identitas vs kekacauan peran kesetiaan 6 pemuda intimasi vs isolasi cinta 7 dewasa generativitas vs stagnansi perhatian 8 lanjut usia integrasi diri vs putus asa kebijaksanaan – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 239 berdasarkan tahapan tersebut, lansia rentan mengalami krisis keputusasaan. krisis ini terjadi karena mayoritas lansia sudah berhenti bekerja sehingga kehilangan makna atas dirinya sendiri. kehilangan makna ini kemudian bisa menyebabkan keputusasaan. dalam konteks agama islam, khususnya rukun islam, krisis keputusasaan ini sebenarnya bisa diatasi jika lansia melaksanakan ibadah haji. dengan kata lain, ketika lansia menunaikan ibadah haji, maka lingkungan sosial harus mendukungnya dengan segala upaya antisipasi agar meminimalisir resiko yang terjadi pada lansia selama ibadah haji. dengan demikian, lansia tidak mengalami krisis keputusasaan. upaya dukungan ini bisa dilakukan dengan prinsip unconditional positive regard. unconditional positive regard ini dipopulerkan oleh carl rogers, seorang psikolog humanistik eksistensial. unconditional positive regard ini adalah penghargaan positif tanpa syarat (feist, feist, & roberts, 2017; schultz, 1991; hall & lindzey, 2006). dalam ranah bimbingan dan konseling, prinsip ini penting untuk menumbuhkan dan memperkuat motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. selain itu, prinsip ini bisa digunakan dalam konteks membimbing ibadah haji lansia. di satu sisi, lansia yang rentan akan penyakit tetap dihargai dan tidak dihalangi untuk beribadah haji. di sisi lain, lingkungan dalam memberikan penghargaan dan dukungan tanpa syarat juga harus memunculkan kesadaran bagi jamaah haji lansia (dan juga lingkungan sendiri) untuk melakukan langkah antisipasi guna meminimalisir resiko ibadah haji. penghargaan positif tanpa syarat bagi lansia ini juga bertujuan untuk meminimalisir kecemasan dan tekanan serta gangguan psikologis lain yang mungkin terjadi selama ibadah haji. pada akhirnya, ketika jamaah haji lansia tidak mengalami kecemasan dan tekanan, maka akan mudah untuk melaksanakan ibadah haji. v. kesimpulan berdasarkan pembahasan tersebut, muncul beberapa kesimpulan. pertama, dengan segala karakteristik fisik dan psikis lansia, ibadah haji 240 | kholilurrohman – hajinya lansia ditinjau dari perspektif lansia rentan akan gangguan fisik dan psikis. gangguan fisik dan psikis ini bisa menyebabkan ketidaklancaran ibadah haji lansia tersebut. bukan hanya itu, gangguan fisik dan psikis lansia selama melakukan ibadah haji, juga seringkali berdampak pada kelompok ibadah haji atau pendamping ibadah haji. maka dari itu, diperlukan formula pendampingan dengan berlandaskan pada konsep dan perspektif bimbingan dan konseling islam. kedua, pendampingan ibadah haji lansia berdasarkan konsep bimbingan dan konseling islam bisa menggunakan konsep dan teori yang disampaikan oleh carl rogers, yaitu penghargaan positif tanpa syarat. untuk dapat mendampingi dengan penghargaan positif tanpa syarat, maka diperlukan upaya memahami karakteristik psikis lansia. upaya memahami ini bisa menggunakan perspektif dan teori aktualisasi diri yang disampaikan oleh abraham maslow dan teori psikososial yang disampaikan oleh erik h. erikson. saran. dengan demikian, formula pendampingan tersebut bisa menjadi saran bagi beberapa pihak yang terkait dengan pelaksanaan ibadah haji. seperti kementerian agama republik indonesia, pendamping haji, keluarga lansia yang melaksanakan ibadah haji, dan juga lansia yang melaksanakan ibadah haji itu sendiri. daftar pustaka erikson, e. h. (1993). childhood and society. new york: w.w. norton & company. feist, j., feist, g. j., & roberts, t.a. (2017). teori kepribadian, buku 1 edisi 8 (terj. r.a. hadwitia dewi pertiwi). jakarta: salemba humanika. gobel, f. g. (1992). madzhab ketiga. yogyakarta: penerbit kanisius. hall, c. s., & lindzey, g. (2006). teori-teori holistik (organismik fenomenologis), terj. dr. a. supratiknya. yogyakarta: penerbit kanisius. nasrul, e. (2010). pengalaman puncak abraham maslow. ponorogo: cios institut studi islam darussalam pondok modern darussalam gontor. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 241 schultz, d. (1991). psikologi pertumbuhan: model-model kepribadian sehat (terj. drs. yustinus, m.sc). yogyakarta: penerbit kanisius. disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy agus setiawan institusi agama islam negeri (iain) samarinda keywords: accessibility; advocacy; disability; instagram; social media; technology http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh abstract social media such as instagram has been a tool to facilitate subjective interests of its users, either individually or collectively. furthermore, instagram is an effective campaign and advocacy tool for issues like disability and inclusiveness. therefore, this study aims to explore how this platform is used as an advocacy tool for the disabled and its relation with disability advocacy from the phenomenological approach. the respondents in this study were two actors with disabilities, while the informants were four individuals from the banjarbilitas group that care about disabilities. data analysis was carried out using the social model of disability. the discoveries of this study lead to two main points. firstly, instagram as a new social media, has transformed into an important networking platform, which provides opportunities for the disabled to advocate and negotiate their existence and that of their groups in relation to equality in society. secondly, it has provided them with basic access to job vacancies, freedom to express themselves, connect with other individuals and share information and most significantly the opportunity to facilitate both their personal and group interest in order to increase their prosperity and accessibility progressively and comprehensively. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 ani cahyadi* universitas islam negeri (uin) antasari banjarmasin correspondence: e-mail: *anicahyadi@uin-antasari.ac.id agus.setiawan@iain-samarinda.ac.id 224 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak instagram sebagai media sosial, telah menjadi alat yang dianggap mampu memfasilitasi kepentingan-kepentingan subyektif oleh penggunanya, baik kepentingan yang bersifat individu maupun kelompok. selain itu, instagram juga berfungsi sebagai alat yang dinilai efektif untuk kampanye dan mengadvokasi berbagai hal, seperti isu disabilitas dan inklusivitas. paper ini bertujuan untuk menggambarkan pemanfaatan media sosial instagram sebagai alat advokasi isu disabilitas serta pertautan antar keduanya. penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, dan pisau analisisnya menggunakan teori social model of disability. responden penelitian ini ada dua orang dari kalangan disabilitas, sedangkan informan dalam penelitian ini sebanyak empat orang, yaitu kelompok banjaribilitas yang peduli terhadap disabilitas. hasil penelitian ini berisi dua poin penting. pertama, instagram telah bertransformasi menjadi sebuah jejaring yang berperan penting dalam memberikan ruang bagi hak-hak penyandang disabilitas untuk mengadvokasikan dan menegosiasikan eksistensi diri maupun kelompoknya tentang kesetaraan ke masyarakat arus utama. kedua, instagram telah memberikan akses dasar bagi penyandang disabilitas seperti; lowongan pekerjaan yang memadai, kebebasan dalam mengekspresikan diri, menjalin hubungan, berbagi informasi dan yang paling signifikan adalah kemampuannya menjadi sebuah media alternatif dalam memfasilitasi kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok untuk meningkatkan kesejahteraan dan aksesibilitas indvidu dengan bertahap secara keseluruhan. aksesibilitas; advokasi; disabilitas; instagram; media sosial; teknologi how to cite this (apa 7th edition): cahyadi, a. & setiawan, a. (2020). disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(2), 223–250. https://doi. org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 introduction in this era of digitalization, the social media platform has grown rapidly from private online meeting room to public forum filled with kata kunci: 225disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) several discourses. most social media platforms in the past decade have shifted significantly in terms of the services provided to the users. the creators of social media-based apps have developed several features that are accessible by users, making them a public space for many. these rooms occasionally become a place for critical discussion about international events, local issues, activism and others (gleason et al., 2019). digitalization era also known as disruption era, is an era where all human activities involve a disruptive context (kbbi online, 2020). this era has entirely transformed social activities which merely take place in real world into digital world (ananda, 2018). presently, media digitalization has transformed the social structure which was previously dependent on face to face static interaction into timeless mobile interaction and has affected all groups in the society including minority groups, such as the disabled (salim, 2015a; salim, 2015b). in studies on disability, there has been a lot of discussion on several things, such as various disability theories/models, dynamics, movements, political contestation and ideology, to the various perspectives that follow (amin, 2019). therefore, it is interesting to further discuss and explore the issue of social media as a new movement in disability studies. the digital era has assisted the disabled to no longer depend solely on street demonstration and similar actions in order to negotiate their selfexistence or that of their group to the society like what have been earlier carried out by their fellow disabled activists with social inclusiveness movement. however, the virtual world engenders both opportunities and challenges for the disabled (ellis & kent, 2011). meanwhile, limitless access to available social media has assisted them to advocate their selves through digital rooms and platforms, which are now widely open to every individual. 226 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) some studies which focused on disabilities have been previously carried out by scholars and researchers, such as the study by caton & chapman (2016), which showed that individuals with intellectual disabilities have encountered positive experiences in terms of friendship, development of social identity and self-esteem as well as enjoyment, while using the social media. mcmillen & alter (2017), also showed that social media has a positive impact on the disabled especially in relation to social inclusion. furthermore, the discoveries of sweet, leblanc, stough, & sweany (2020) are very important in understanding how the media are used by the disabled, because it is a flexible tool both in formal and informal education. caron & light (2016) found it interesting that social media is a useful tool as well as an important form of communication and is usable as in active learning on social media. in addition, gleason et al., (2019) revealed that social media is an important issue that has become a challenge for researchers and practitioners in relation to its use and accessibility for the disabled. in the indonesian context, there has been a lot of studies related to social media and their relation with disability, such as the study by rovasita (2017), which explored the benefits of a facebook group as a means to gather and share among parents with cerebral palsy kids in a group named orang tua anak cerebral palsy. it was explained that parents after discovering that their kids suffer from cerebral palsy tend to feel sorrowful, which leads to diffidence and desperation. according to rovasita, this was due to low stress resilience. therefore, the parents sought solutions to this, by building sense of acceptance within them, which was accommodated by sharing experiences in the group. furthermore, rovasita argued that the facebook group significantly improved the resilience of parents with cerebral palcy kids because they obtained valuable knowledge and information from that forum. in conclusion, it was stated that understanding facebook as digital platform 227disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) does not only assist general users in their communication, but also other individuals with the same problems to seek solution to it as they were willing to share valuable information with others to increase their understanding, self-acceptance and resilience to their problems. another study related to disability issue was that of diana (2012), which described how facebook was used by intellectually disabled teenagers in soina rawamangun. the discussion covered the role of facebook as source of information, reason and purpose for its usage, ways and kinds of facebook utilization, interaction pattern, language usage, utilization intensity and impacts of its utilization to teenagers. this study discovered that facebook as social network was used by teenagers to advocate and negotiate their selves to friends of same age group and their environment. in addition, it was useful in improving their language and social interaction. azizah & rahmatika (2019) also argued that there is a significant positive correlation between the use of gadgets and satisfaction of interpersonal communication at uin sunan kalijaga disabilities. furthermore, another interesting study was carried out by mamase, mohidin, & hulopi, (2018), where they recommended an android based application to assist the deaf and blind. therefore, the difficulties and differences in how they communicate became the main focus in order to ease communication between them. in this study, the phases of using the application in detail were also explained. many of the available literature has discussed about social media utilization and their relation with disability issues. however, there has been no study which specifically discussed the use of instagram as an advocacy tool for individuals with disabilities. therefore, in the light of these literature reviews and significance of further exploration and development of such discourse, it is then necessary to carry out this study. 228 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) methods this study focused on exploring instagram application as a tool for disability advocacy and the relationship between both, using a phenomenological approach. the respondents of this study were two actors with disabilities, while the informants were four individuals namely the banjarbilitas group that care about disabilities. these respondents were selected using purposive sampling technique, in which the selection process was carried out purposively based on the categories and characteristics intended. the primary and secondary data were collected by exploring the phenomena or news published on either articles, books or social media, instagram in particular. furthermore, data analysis was carried out using social model of disability. results and discussion in this sub-discussion, the results from the exploration of the use of instagram as an advocacy tool were described. furthermore, the different advocacy methods applied by individuals with disabilities by maximizing instagram as a tool to achieve social inclusion were described as well. work advocacy and current disabled communities in the digital era, advocacy is supported by numerous platforms available in today’s social media. various social media have been utilized by many individuals with different backgrounds, including the community of those with disabilities. instagram, since some years ago, has been used by a lot of individuals to optimize their activities. as a new social media, it has transformed quickly into a medium that does not only accommodate the subjective interest of the user, but broader collective interest as well. regarding work advocacy, a lot of platforms have provided opportunities for the disabled, 229disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) which are accessible online, primarily through instagram. however, to focus on this discussion, two kinds of work platforms were explored, namely kerjabilitas and thisabel enterprise. kerjabilitas presently, kerjabilitas is the most exciting job vacancy platform for the disabled in indonesia, which was made known two years ago through an instagram account, @kerjabilitasid. it is the first program carried out by saujana, with the aim of reaching, training and placing individuals with disabilities in the work world. this program, according to saujana’s site, started in march, 2015, when kerjabilitas.com was officially launched online. furthermore, it plays a significant role as a reach out channel as well as job provider for job seekers with disability (saujana, 2020). figure 1. visualization of official blog of kerjabilitas.com (source: https://kerjabilitas.com) 230 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kerjabilitas.com, based on its profile description, is a carrier social network that connects individuals with disabilities to inclusion job providers in indonesia. furthermore, it is a website and cellular softwarebased information system that connects work seekers with disabilities to employment providers. through the availability of this information system, individuals with disabilities are able to place their profile as job seekers and access information on job vacancies available for them. in addition, it supports employment service providers to provide opportunities for the disabled as well as fulfill a duty promised by law that companies should hire them. besides the availability of job information and communication forum, kerjabilitas.com also incorporates various contents, such as visual, audio and video presentation of life skills and self-development to assist the disabled in upgrading their skills in the work world competition. this content is always been developed and renewed periodically. furthermore, at kerjabilitas.com, individuals with disabilities are not only able to search jobs but also express their opinions in a communication forum related to issues in their neighborhood (kerjabilitas, 2020). 231disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 2. visualization oftheinstagramofficialaccountof@kerjabilitasid. (source https://www.instagram.com/kerjabilitasid/) thisabel enterprise and characterization of angkie yudistia besides @kerjabilitasid, another digital platform on instagram that is related to job vacancy for individuals with disabilities is @thisabel.id (thisabel enterprise). thisable enterprise is an official social enterprise built in 2011 with a mission to economically empower the disabled in indonesia in the work world (thisable enterprise, 2018). similar to @kerjabilitasid, the@thisable.id was discovered two years ago (since the commencement of this study) while browsing literature to enrich the study data on disability advocacy in social media in 2018. thisabel enterprise was built by one of the females with disabilities, named angkie yudistia. as quoted from tempo.co, this social enterprise was created to grant individuals with disabilities job access and empower them. currently, there are companies that are ready to employ them on a need basis (ningsih, 2018). therefore, this enterprise has developed into a group leading thisable foundation, recruitment and digital. through these companies, angkie holds training for disabled human resources in order to assist them work vocationally and professionally. in 2017, thisable enterprise invited go-jek to be their business partner, where those with disabilities led by thisable enterprise were distributed as employees for 232 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) some go-jek services, such as go-massage, go-clean, go-auto and goglam, based on their individual skills. thisable enterprise also launched some retail products, especially body treatment, such as soap and beauty cosmetics. therefore, the name angkie once became a trending topic on many newspapers, social media and other digital media after her appointment by president joko widodo as a special staff of the president. furthermore, as the spokesperson for the president in social field, as a representation of top achiever millennial with disabilities (perwitasari, 2019). figure 3. visualization of the instagram official account of @thisable.id. (source https://www.instagram.com/thisable.id/) from the visualization of the instagram official account of @ kerjabilitasid and @thisable.id, the process by which instagram as a social 233disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) media platform has been recently used as a medium to socialize or advocate job vacancies for easy access by the disabled is seen. in both accounts, there are a lot of interesting job vacancies available for them, which is easily and freely accessible on the basis of their passions and abilities. although, both platforms have official accounts on all social media platforms, instagram greatly contributes to socialize the available job vacancies. this is because, as a new social medium, it has become an application used by all levels of society. therefore, it is able to facilitate socialization process and work advocacy for the disabled. negotiating self and groups towards social inclusion negotiating self into a particular group urgently requires high motivation, both intrinsically and extrinsically. however, high motivation sometimes requires the support of the media or tools, either to accelerate acceptance or strengthen the existence of the self and negotiated group. therefore, some important points need to be explained regarding advocacy and negotiation carried out by the disabled using instagram towards inclusive society. accordingly, an individual with a disability named lalinka siamiyono that has an instagram account @laninka was described. laninka suffers from rheumatoid arthritis (an autoimmune medical problem that causes joint inflammation leading to stiffness of the hand and leg), which physically includes her in the category of the disabled. consequently, she has been using a wheelchair for daily activities since she was 15 years of age. nevertheless, she was able to rise and discover her confidence again through a makeover and inspire others through her youtube channel and instagram account (mayasari, 2018). some of the posts uploaded on her instagram account are always related to beauty and focuses on women with disabilities. on her instagrambiography, laninka wrote “makeup is my therapy “and 234 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “beauty enthusiast with disabilities”. this biography explains that she considers makeup as her therapy and focuses on beauty for individuals with disabilities. furthermore, she is the founder of @lipstikuntukdifabel and @uniquehand_ which focuses on beauty issues. in instagram, there are more than 100 posts that use the hashtag #lipstikuntukdifabel. this shows the personal enthusiasm of the disabled on this issue. furthermore, she personally advocates disability groups in beauty act, which is an antimainstream issue rarely discussed in the study of disability, especially in the context of indonesia. figure 3. visualisation from (source: https://www.instagram.com/ laninka/) 235disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) from the visualization of the instagram account above, it is seen that lalinka’s concern on disability and beauty issues made her an icon in this issue. she appears to be capable of advocating and negotiating personally and in groups through her instagram account. furthermore, from her posts it is seen that she was invited to popular talkshows in indonesia, such as kick andi show and hitamputih. it is also interesting to observe at the captions below her post, which show her presence in the kick andy show talkshow, where she explained that “i made the #lipstikuntukdifabel campaign to support all women with disabilities to be more confident and proud of themselves. furthermore, with this campaign, it is hoped that the perspective of individuals on beauty standard would change, whether disabled or not, in order for women to support each other.”(siamiyono, 2020) from laninka’s statement above, an organized movement to advocate beauty issues among women with and without disabilities is seen. #lipstikuntukdifabel is a movement made to increase self-confidence and pride among the disabled that have often been stigmatized by the society due to their disabilities. through this movement, laninka tried to surpass the stigma by building a positive construction and prioritizing the ability of the disabled to exist in social activities where beauty is the issue. in addition, it is impressive to read the results of some interview carried out in this study with several informants regarding instagram’s role as their advocacy tool. for example, an msn informant (initials) with physical disability stated that the accessibility to social media today has made it easier for individuals to advocate for themselves and their groups. an example is seen in the explanation below: “for me, there are many things, such as visiting friends, searching for useful knowledge, discovering information, making more friends and most importantly, the social media can be used as a tool to advocate our organization to the 236 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) public. furthermore, with social media, especially instagram, it is possible to advocate the organization and activities carried out, especially the events of indonesia association of women with disabilities (hwdi) to the public.” (msn, 2019). this is in line with the data obtained from an interview with a blind young man, with initials hn, that is active on the instagram. he advocates himself as a productive blind individual. unlike other informants, he requested for neither his name to be mentioned nor photo to be used in this study. similar to what has been explained by the informants, hn (initials) stated that social media has always been accessible to the blinds, although some sites are still difficult to access. according to him, the social media has been of great assistance to him in obtaining information or content despite being blind. instagram, according to him, is very useful to broaden his communication with the outside world, either with individuals with disabilities or not. furthermore, he added that building the social media would assist in developing networks, broadening insight and increasing knowledge about world development, including disability issues (hn, 2019). the above information points out to the fact that instagram as a social medium has made a very significant contribution to people with disabilities. in addition to sharing information, it is also considered as a platform that facilitated the basic needs of the disabled, both individually and as a group. individually, it has increased the opportunity to visit friends, access information and make new friends online as well as broaden online network. meanwhile, as a group, it is an effective platform to introduce associations and share organizational agendas through instagram feeds. this is very interesting because in this case, instagram functions not only as an alternative media to advocate groups of individuals with disabilities, because previously, accessibility barriers were a very serious problem for disability organizations. 237disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sign language as deaf culture language is a very effective tool for communication both individually and in groups. regarding sign language for the deaf group, it is important to know that there are two sign language systems used in indonesia. they include sistem isyarat bahasa indonesia, also known as sibi and bisindo which stands for bahasa isyarat indonesia. figure 4. figure of sign language (source: difabel.id) although, there have been many debates over the two sign language systems above, many individuals recognize these two indonesian sign language systems. using personal accounts, it was possible to access approximately 11 thousand posts with hashtag #bahasaisyarat (sign language) on instagram. furthermore, on posts related to sibi alone, 18.1 thousand users used hashtag #sibi, over 100 users used hashtag #sibiindonesia and less than 100 users added hashtag #bahasaisyaratsibi to their posts. likewise with hashtags related to bisindo, there were 82.8, 73.2 and 17.2 thousand posts with hashtag #bisindoitukeren, #bisindonesia and #bisindo, respectively. 238 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) from the few hashtags mentioned above, many were directly related to sign language. meanwhile, there were 80.6 thousand posts with hashtag #tuli, 12.4 thousand posts were for hearing impaired users and 803 thousand posts with hashtag #deaf were globally posted. likewise, from the thousands of posts with hashtags above, many of them were directly related to the deaf culture and the rests were related to the issue of inclusiveness in general. it is significant to narrow the discussion into two important points that are directly connected with the deaf culture. firstly, instagram is used for social practices and secondly it is used as a manifestation of self and group negotiation towards social inclusion. furthermore, it was discovered that instagram has been widely and freely used by many to practice sign language. subsequently, there are a lot of instagram users that are learning sign language from hearing-impaired individuals and practicing it in their daily activities. most of these individuals are students studying in the department of special education, volunteers at the disability service center, members of disability organizations or individuals that are interested to learn or explore sign language but are not willing to be attached to any kind of organization. besides, there are also individuals that have just started learning or learned either the sibi or bisindo systems from incidental events, practiced what they have learnt either regularly or occasionally and shared the videos of their practice through their instagram accounts. the video contents are numerous, starting from self introduction using sign language, congratulating a special individual on special events, carrying out video covers using sign language, which by far are the most favoured video content by milineals. furthermore, original singers in indonesia participated in it. 239disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 5. sign language pratice (source: https://www.instagram.com/ explore/tags/bahasaisyarat/) the visualization above is what appears on instagram when posts with hashtag #bahasaisyarat are searched. they are videos of individuals using sibi to cover a song and bisindo in various activities. sibi and bisindo are identifiable by hand positions. this is because, sibi tends to maximize the functions of single hand while bisindo tends to maximize the functions of both hands. although, there has been quite a debate on the style differences, however both languages are generally still developing. asides being sign language activists or just incidental learners, it is imperative to watch how deaf people advocate for their accessibility or needs on instagram accounts. surya sahetapi, for instance, is a deaf individual that in many of his posts has tried to educate the public by explaining the problem he faces trying to access the mainstream media since they are mostly not accessible for the deaf. in one of his posts, it is intriguing to see how he reviewed television shows with no subtitle. 240 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 6. surya sahetapi posted about television with no subtitle. (source: https://www.instagram.com/suryasahetapy/) in the post that was uploaded three years ago above, on january 10, 2018, surya illustrates his difficulty in accessing a television show which does not have subtitles. he compared television shows in sydney-australia and those in indonesia, stating that all tv stations in australia have subtitles, different from those in indonesia. furthermore, as a deaf, he hopes that all indonesian tv stations display subtitles in order for them to be accessible and enjoyable to the deaf in indonesia as they would be able to reach information from news reports or enjoy entertainment available on tv stations. law number 8 of 2016 has regulated the rights of the disabled in regards to accessibility (law of the republic of indonesia number 8 of 2016 concerning persons with disabilities, 2016). it requires tv stations as public facilities to be accessible to all citizen since it is the right of every citizen to have access to information of mainstream media. however, there have been very few tv stations which display subtitles on their shows. some of them might have sign language interpreters, usually on the right-hand corner of the television screen, yet they are found solely on news reports or special events. 241disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) similar critique was also delivered by the account @annisa_ rahmania, where its user uploaded a video that illustrates the inclusiveness of television stations in australia (rahmania, 2019). figure 7. television stations in australia with subtitle (source: https:// www.instagram.com/p/b4nxgowgtrd/) the above visualization shows a tv station in australia which provided an example of adequate television access for the disabled, especially the deaf. this was slightly different from what surya has exemplified on instagram. therefore, annisa showed television screen recordings which have more adequate visualization accessibility, using services of sign language interpreters. in conclusion, it is very crucial to include subtitles or sign language interpreters on tv screen visualization or other digital media to make it accessible to all levels of society. media digitalization and its benefits to disabled groups for many individuals, social media has become an integral part of their lives which has led to a greater sense of social inclusion (mcmillen & alter, 2017). according to sweet et al., (2020) social media most of the 242 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) times involve many kinds of digital communication such as texts, pictures and videos where all users interact with each other to share information and others. social media usually involves networking sites such as facebook, linkedin and pinterest, microblogging tool like twitter and tumblr or sharing media such as instagram and youtube. every kinds of tool enable its users to post information, interact with others and build online communities with shared interests. consequently, contemporary conceptualization of “community” has evolved from the ones which require physical proximity for exchanges between individuals that have never been in contact face to face. caton & chapman, (2016) seconded this notion by explaining that social media has become beneficial and plays an important role to support empowerment and participation of individuals and groups by activating the available social network. furthermore, it increases self-esteem and enables online campaign between marginal groups, such as the disabled. caron & light, (2016) added that presently, social media and network can be used by many groups in the society, either normal or disabled, to communicate their thoughts, share and collect information, maintain and develop relationship or develop social networking among users. in addition, morey in his thesis explained that social media plays a significant role in the lives of humans, because they are used for communication and they affect relationship as well as prosperity of individuals in society as a whole (morey, 2017). the shift of disability model paradigm: medical to social disability, or when directly referring to the disable-one, such an individual is said to be with disability, according to the law number 8 of 2016, is “everyone that undergoes physical, intellectual, mental and/or sensory disabilities. consequently, in the long-term of their communication with the environment face obstacles and difficulties to participate entirely 243disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and effectively (in communities) as well as interact with others based on the same right” (law of the republic of indonesia number 8 of 2016 concerning persons with disabilities, 2016). regarding right to equality, the convention on the rights of persons with disabilities (crpd) was adopted in 2006 and implemented in 2008, indicating the “paradigm-shift” from disability-oriented medical and traditional based approach to an issue relying on human right. the crpd offers sufficient protection standards for civil, cultural, economic, political and social rights to the disabled based on inclusion, equality and non-discrimination norms. it is clear that the disabled have the right to independently live in the society, make their own choices and play active roles in the community (united nations human rights office the high commisioner, 2018). subsequently, in 2011, this policy was ratified in indonesia and stated in the law of the republic of indonesia, number 19 of 2011 on ratification of crpd aiming at promoting, protecting and guaranteeing the fundamental equal right and freedom for all the disabled, as well as respecting their dignity as an integral part of society (harahap & bustanuddin, 2015). from the studies on disability, there have been a lot of discourses suggested by scholars which were later called theories or disability models. every model or theory has a specific paradigm and different interpretation of disability. those kinds of theories function to analyze or review the existing or developing phenomena in society. in general, there are two developing models of approach or theories of disability in modern society. the first is the medical model of disability and the second is the social model of disability. the medical model is individual-oriented, which, according to oliver (2009) is explainable in two significant points: firstly, this model recognizes disability as a problem of disabled individuals. secondly, it diagnoses the causes of the problems to be due to 244 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) function limitations and psychological losses assumably arising from the individuals. both points are supported by ‘the personal tragedy theory of disability’ which shows that disability is an accidental and horrible event that randomly occurs to an unlucky individual. kristiansen et al. explained that the goal of this medical model is normalization. this implies that according to this model, disability should be recovered and returned to its normality (kristiansen, vehmas, & shakespeare 2009). therefore, this model, according to maftuhin (2017) only produces rehabilitative policies since disabled individuals are categorized as “sick” or “defective” which aims to ‘normalize’ or ‘heal’ the individuals from their disabilities. furthermore, this perspective assumed that the function of intervention or treatment is to recover the disabled in order for them to positively participate in the structure of society (stone-macdonald & butera, 2014). maftuhin (2017) also argued that the policies of government, through the ministry of social department are mostly influenced by this model, since intervention commonly includes medical rehabilitation and provision of social assistance (mont, 2007). the second is social model of disability, which attempts to move the existing medical paradigm by shifting focus from individual to a more general discourse, namely social problem (oliver, sapey, & thomas 2012). ro’fah (2015) stated that the problem of disability is broader and depends on an external factor, which is social environment and not on the consequence of an individual’s physical or mental weaknesses. in line with this explanation, kaplan stone-macdonald & butera (2014) also argued that social model regards disability as a normal aspect of life and not viewed as a violation. briefly, the big idea of social model is when environmental accessibility is generally designed based on human’s basic needs in order for the disabled not to encountered difficulties, i.e. to enable them holistically participate in the society (mont, 2007). 245disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) furthermore, social model provides rights for the disabled since its main role is politicizing the issue of disability which provides them with the opportunity to speak up in the context or discourse of human right and citizenship arising right-based approach that now can be said as dominant hegemony in policy-making and service program for disability in both local and global discourses (ro’fah, 2015). conclusion and suggestion conclusion today’s social media platform has become embedded in society and has offered many different spaces to various groups, both to those with and without disabilities to engage, share information and communicate with others across the world. as a medium used by many globally, instagram does not only play its role as a tool that can be used by all levels of society, but has also transformed into a very effective advocating tool for individuals and community of disabled. in addition, as a social media it has become a networking platform that facilitates the basic needs of the disabled and provides space for them to earn their rights. this is evident from the availability of accounts which advertise job vacancies and freedom for the disabled to express their skills, passion and interests. more importantly, instagram has been an effective advocacy tool for individuals or groups with disabilities to progressively improve their welfare and accessibility. suggestion based on the discoveries of this study, concrete action is needed when using instagram as a social media, not just a medium for entertainment, but as a tool by all levels of society, to facilitate basic needs and provide space for rights for the disabled to express themselves. furthermore, it is hoped that it will transform into an effective tool for advocating for individuals and groups with disabilities. 246 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) for future studies, other methods such as the internet survey method, the method of phenomenology, grounded theories and exploration are needed to obtain complete and comprehensive discoveries related to the study of disability groups. references amin, b. (2019). ulama-difabel: menarasikan ekspresi kultural masyarakat banjar dalam lensa studi disabilitas. khazanah: jurnal studi islam dan humaniora, 17(2), 209-226. https://doi. org/10.18592/khazanah.v17i2.3215 ananda s, m. (2018). beradaptasi di era industri. retrieved january 11, 2020, from kompasiana website: https://www.kompasiana. com/melynda25588/5b470217ab12ae455956c0a2/beradaptasidengan-era-disrupsi?page=all azizah, n., & rahmatika, a. (2019). korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 3(2), 211-234. https://doi.org/10.22515/ balagh.v3i2.1436 caron, j., & light, j. (2016). “social media has opened a world of ‘open communication:’” experiences of adults with cerebral palsy who use augmentative and alternative communication and social media. augmentative and alternative communication, 32(1), 25–40. https://doi.org/10.3109/07434618.2015.1052887 caton, s., & chapman, m. (2016). the use of social media and people with intellectual disability: a systematic review and thematic analysis. journal of intellectual and developmental disability, 41(2), 125–139. https://doi.org/10.3109/13668250.2016.1153052 diana, c. (2012). penggunaan situs jejaring sosial facebook pada remaja disabilitas intelegensi di soina rawamangun. jurnal pendidikan khusus, vol. 1(1), 98–106. ellis, k., & kent, m. (2011). disability and new media. abingdon, united kingdom: routledge. 247disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gleason, c., carrington, p., chilton, l. b., gorman, b. m., kacorri, h., monroy-hernández, a., morris, m. r., tigwell, g. w., & wu, s. (2019). addressing the accessibility of social media. conference companion publication of the 2019 on computer supported cooperative work and social computing cscw ’19, 474–479. https://doi. org/10.1145/3311957.3359439 harahap, r. r. & bustanuddin. (2015). perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas menurut convention on the rights of persons with disabilities (crpd). inovatif: jurnal ilmu hukum, 8(1), 17-29. interview with informant hn at 19 desember 2019. (2019). interview with informant msn at 15 desember 2019. (2019). kbbi online. (2020). disrupsi. retrieved january 11, 2020, from kbbi.web. id, website: https://www.kbbi.web.id/disrupsi kerjabilitas. (2020). tentang. retrieved january 16, 2020, from kerjabilitas. com website: https://kerjabilitas.com/main_page/kerj-about.php kristiansen, k., vehmas, s., & shakespeare, t. (eds.). (2009). arguing about disability: philosophical perspectives. abingdon, united kingdom: routledge. maftuhin, a. (2017). mendefinisikan kota inklusif: asal-usul, teori dan indikator. tata loka, 19(2), 93–103. https://doi.org/10.14710/ tataloka.19.2.93-103 mamase, s., mohidin, i., & hulopi, f. (2018). aplikasi media komunikasi bagi penyandang disabilitas berbasis android. jtii: jurnal teknologi informasi indonesia, 3(1), 7–11. https://doi.org/10.30869/ jtii.v3i1.180 mayasari, a. (2018). kisah laninka siamiyono, difabel yang merasa “hidup kembali” karena makeup. retrieved january 26, 2020, from detik.com website https://wolipop.detik.com/entertainmentnews/d-4141002/kisah-laninka-siamiyono-difabel-yang-merasahidup-kembali-karena-makeup mcmillen, r., & alter, f. (2017). social media, social inclusion, and museum disability access. museums & social issues, 12(2), 115– 125. https://doi.org/10.1080/15596893.2017.1361689 mont, d. (2007). measuring disability prevalence. washington dc, unites states: world bank. 248 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) morey, m. (2017). the effects of social media on the quality of life of people with aphasia, the honors college, 1-35. ningsih, y. b. (2018). angkie yudistia berdayakan difabel melalui thisable enterprise. retrieved april 2, 2020, from tempo.co. website: https:// cantik.tempo.co/read/1083724/angkie-yudistia-berdayakandifabel-melalui-thisable-enterprise oliver, m. (2009). understanding disability: from theory to practice (2nd ed.). london, united kingdom: red globe press. https://doi. org/10.1007/978-1-349-24269-6 oliver, m., sapey, b., & thomas, p. (2012). social work with disabled people (4th ed). london, united kingdom: palgrave macmillan. perwitasari, n. h. (2019). profil angkie yudistia, penyandang disabilitas staf khusus jokowi. retrieved april 2, 2020, from tirto.id website: https://tirto.id/profil-angkie-yudistia-penyandang-disabilitasstaf-khusus-jokowi-el84 rahmania, a. (2019). retrieved january 2, 2020, from instagram wesbite: https://www.instagram.com/p/b4nxgowgtrd/ ro’fah. (2015). teori disabilitas: sebuah review literatur. sigab: jurnal difabel, vol 2(2), 137–160. rovasita, s. (2017). sharing experience dan resiliensi: studi atas facebook group orang tua anak cerebral palsy. inklusi, 4(1), 119-148. https://doi.org/10.14421/ijds.040106 salim, i. (2015a). perspektif difabilitas dalam politik indonesia. sigab: jurnal difabel, 2(2), 227–258. salim, i. (2015b). perspektif disabilitas dalam pemilu 2014 dan kontribusi gerakan difabel indonesia bagi terbangunnya pemilu inklusif di indonesia, the politics: jurnal magister ilmu politik universitas hasanuddin, 1(2), 127-156. saujana. (2020). kerjabilitas. retrieved january 16, 2020, from https:// saujana.org/wp/portfolio/kerjabilitas/ siamiyono, l. (2020). retrieved february 28, 2020, from instagram website: https://www.instagram.com/p/bral8hha7u8/ stone-macdonald, a., & butera, g. d. (2014). cultural beliefs and attitudes about disability in east africa. review of disability studies: an international journal, 8(1). 249disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sweet, k. s., leblanc, j. k., stough, l. m., & sweany, n. w. (2020). community building and knowledge sharing by individuals with disabilities using social media. journal of computer assisted learning, 36(1), 1–11. https://doi.org/10.1111/jcal.12377 this able enterprise. (2018). tentang thisable. retrieved january 18, 2020, from thisable.or.id website: http://www.thisable.or.id/s/tentangthisable-26 undang-undang republik indonesia nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. (2016). united nations human rights office the high commisioner. (2018). human rights of persons with disabilities. retrieved november 20, 2018, from: ohchr.org wesbite: https://www.ohchr.org/en/ issues/disability/pages/disabilityindex.aspx 250 disability and social media: exploring utilization of instragram platform as a tool for disability advocacy ani cahyadi, agus setiawan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 223 250, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2746 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1386 agus sriyanto institut agama islam negeri surakarta keywords: decisions, factor, students kata kunci: keputusan, faktor, mahasiswa http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: agussollo4444@gmail.com abstract students certainly have a number of separate considerations in choosing a college and its majors to be taken. including the variety of factors that influence the decision to choose. for this reason, a research is needed on what factors influence students in choosing a department in college. the research was conducted at the islamic of communication and broadcasting department (kpi) of the theology and da’wah faculty of iain surakarta in 2017/2018. based on the results of the fgd, the desire of students to enter kpi was because of the motivation, promotion and encouragement of parents, and the influence of friends. with quantitative descriptive method, this study uses respondents as well as a sample of 158 students. data collection is done by distributing questionnaires, library studies, and interviews to complete the data. data analysis was carried out through validity and reliability, homogeneity, normality, linearity, and ended with multiple regression tests. mahasiswa tentu memiliki sejumlah pertimbangan tersendiri dalam memilih perguruan tinggi dan jurusan yang akan diambil. termasuk pula beragamnya faktor yang memengaruhi keputusan memilih. untuk itu, diperlukan penelitian tentang faktor apa saja yang memengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan di perguruan tinggi. penelitian ini dilakukan di jurusan komunikasi dan penyiaran islam (kpi) fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta angkatan 2017/2018. berdasarkan hasil fgd, keinginan mahasiswa untuk masuk ke jurusan kpi disebabkan karena adanya motivasi, promosi dan dorongan orang abstrak al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 236 tua, serta pengaruh teman. dengan metode deskriptif kuantitatif, penelitian ini menggunakan responden sekaligus sampel sejumlah 158 mahasiswa. pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket, studi pustaka, dan wawancara guna melengkapi data. analisis data dilakukan melalui uji validitas dan reliabilitas, homogenitas, normalitas, linieritas, dan diakhiri dengan uji regresi berganda. i. pendahuluan kesadaran masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi setelah lulus sekolah menengah atas (sma) atau yang sederajat, salah satunya didorong oleh tingginya tuntutan dunia kerja perusahaan. sebagian besar dari perusahaan, apalagi perusahaan besar, cenderung memerlukan pegawai yang merupakan lulusan diploma dan sarjana, meskipun masih banyak pula yang membutuhkan lulusan sma atau yang sederajat. namun demikian, tetap saja terdapat penempatan kerja yang berbeda antara yang lulusan sma atau yang sederajat, dibandingkan dengan lulusan sarjana maupun diploma. adanya minat para siswa untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi semakin tahun semakin meningkat. lulusan siswa sma dari seluruh indonesia bersaing supaya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. salah satu hal untuk mencapai kesuksesan perguruan tinggi adalah dengan adanya keberadaan mahasiswa. dalam memilih perguruan tinggi, pastinya mahasiswa punya faktor pertimbangan tersendiri dalam memilih perguruan tinggi dan jurusannya. faktor yang mempengaruhinya pun beragam. citra dan reputasi sebuah perguruan tinggi misalnya, secara sederhana menjadi salah satu pertimbangan bagi calon mahasiswa untuk memilih sebuah lembaga pendidikan (risnawati & irwandi, 2012). guna mengetahui hal ini, maka diperlukan adanya penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan di perguruan tinggi. adapun keputusan memilih seorang individu pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa aspek, seperti: perbedaan individu, pengaruh al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 237 lingkungan, serta proses psikologis pada diri seseorang (ary, 2015). terkait fasilitas serta mutu pelayanan yang diberikan oleh jurusan misalnya, selanjutnya turut mempengaruhi mahasiswa, yang mana mahasiswa merupakan bagian dari segmentasi sasaran universitas. pada dasarnya, bukan hanya akreditasi yang mencerminkan kualitas perguruan tinggi. pelayanan program studi dan fakultas, fasilitas di dalam kampus, kurikulum yang dimiliki, serta banyak hal lainnya juga mencerminkan hal itu. karena citra serta kualitas dari perguruan tinggi pada akhirnya akan berpengaruh pada keputusan mahasiswa dalam mengambil keputusan memilih jurusan di suatu fakultas. syamsuddinnor (2013) menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa biaya kuliah menjadi aspek yang paling berpengaruh terhadap minat kuliah mahasiswa di stimi banjarmasin. selanjutnya diikuti dengan kualitas akademik yang berkenaan dengan proses pengajaran ataupun perkuliahan mahasiswa. sedangkan secara visual kampus, aspek ini justru tidak berpengaruh sama sekali terhadap minat memilih mahasiswa pada jurusan yang dihadapinya. selanjutnya penelitian musfiana, zakaria, & aina (2018), membahas tentang faktor yang memengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan ekonomi di universitas syiah kuala. dalam penelitiannya, musfiana et al., (2018) menemukan alasan personal menjadi aspek utama yang menentukan preferensi mahasiswa dalam memilih jurusan. faktor ini dinilai menjadi aspek yang lebih tinggi dibandingkan dengan dorongan dari orang tua. selain itu, terdapat pula penelitian dari faizal (2015) yang lebih diarahkan pada bagaimana pemilihan jurusan di stmik el rahma yang didukung dengan media promethee yang digunakan. terkait dengan kurikulum yang dimiliki oleh sebuah perguruan tinggi misalnya, hal ini juga mengarah pada bagaimana sebaran mata kuliah yang diajarkan. ahmad efendi (2014) menjelaskan dalam penelitiannya mengenai adanya diversifikasi program studi pada universitas islam negeri (uin) alaudin makassar. terkait hasil penelitiannya ini, dinyatakan bahwa mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 238 diversifikasi program studi yang dilakukan pada universitas berpengaruh terhadap minat mahasiswa untuk berkuliah di uin alaudin makassar. menilik pada uraian di atas, bagaimana mahasiswa memutuskan untuk memilih jurusan pada akhirnya dipengaruhi oleh aspek potensial atau tidaknya sebuah produk yang ditawarkan kampus dan jurusan. kampus sebagai lembaga pendidikan dapat diibaratkan sebagai pemasar, yang mana perlu menentukan siapa segmentasi ataupun konsumen yang secara efektif dapat dicapai oleh pemasar. selain itu, pemasar juga harus mampu mengembangkan produknya serta melakukan promosi yang optimal guna menarik perhatian konsumen calon mahasiswa (umar, 2000). konteks ini diperjelas dengan posisi konsumen (mahasiswa) yang akan cenderung memilih jurusan mana yang menurut mereka potensial. keputusan dalam memilih jurusan dalam sebuah perguruan tinggi juga dinyatakan dalam penelitian zakiyatul masriah. penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara persepsi mahasiswa terhadap pemilihan jurusan dan konsep diri dengan kesesuaian minat mahasiswa dalam memilih jurusan masriah, malay, & fitriani, 2018). melalui penelitian ini, dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi mahasiswa terhadap kesesuaian minat memilih jurusan. begitu pula dengan aspek konsep diri, aspek ini juga berhubungan secara signifikan terhadap kesesuaian dalam pemilihan jurusan. terkait dengan konsep diri di atas, bagaimana kecenderungan individu untuk memutuskan dalam memilih dan menentukan suatu hal, secara psikologis berkenaan dengan aspek efikasi diri. santrock (susantoputri, kristina, & gunawan, 2014) mengidentifikasikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya dalam menguasai situasi guna menghasilkan suatu hal yang menguntungkan. ini didukung oleh bandura (1977; kurniasari, dariyo, & idulfilastri, 2018) bahwa efikasi diri adalah kemampuan individu untuk mengontrol perilaku, sekaligus mediator utama antara perilaku dan perubahan perilaku. selain itu, menurut suharsono & istiqomah (2014), efikasi diri memegang peran al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 239 utama dalam bagaimana seseorang mencapai tujuan, tugas, dan tantangan. adapun menurut wibowo (susantoputri et al., 2014), efikasi diri turut melandasi bagaimana seorang individu memilih sebuah pilihan, termasuk bagaimana pilihan tersebut dikendalikan serta disesuaikan dengan situasi sehingga menghasilkan keyakinan individu terhadap keputusan pilihannya, termasuk dalam memilih jurusan dalam perkuliahan. melalui sejumlah penelitian terdahulu di atas, dapat dinyatakan bahwa penting untuk diketahui bagaimana keputusan memilih jurusan oleh para mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. lebih lanjut, melihat perkembangan dalam lingkup iain surakarta sendiri, khususnya pada fakultas ushuluddin dan dakwah, ini dirasa menarik untuk diketahui mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan memilih jurusan oleh mahasiswa, khususnya pada jurusan komunikasi dan penyiaran islam. menurut data akademik fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah peminat di setiap jurusan pada fakultas ushuluddin dan dakwah, termasuk jurusan komunikasi dan penyiaran islam. adapun data dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini: tabel 1 data perkembangan jumlah mahasiswa di fud tahun akademik 2014/2015 s/d 2017/2018 no jurusan jumlah mhs baru 2014 2015 2016 2017 1 komunikasi dan penyiaran (kpi) 57 104 152 160 2 bimbingan dan konseling islam (bki) 60 120 200 228 3 ilmu al qur’an dan tafsis (iat) 35 80 87 90 4 aqidah dan fislafat islam (afi) 40 47 50 55 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 240 no jurusan jumlah mhs baru 2014 2015 2016 2017 6 manajemen dakwah (md) *) *) 57 80 7 akhlak dan tasawuf (at) 35 40 47 50 jumlah 227 402 633 753 data olah dari akademik *) jurusan baru dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan pada jumlah mahasiswa di setiap jurusan yang ada di fakultas ushuluddin dan dakwah. khususnya pada jurusan kpi, dari tahun ke tahun terdapat peningkatan jumlah mahasiswa, yaitu tahun 2014 sebanyak 57 mahasiswa. selanjutnya, di tahun 2015 sebanyak 104, tahun 2016 sebanyak 152, dan tahun 2017 sebanyak 160 siswa, yang terbagi menjadi 4 kelas paralel. hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keputusan untuk menjadi mahasiswa di jurusan kpi setiap tahunnya. berdasarkan fgd pada riset pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap mahasiswa semester 4 di jurusan kpi fud iain surakarta bulan maret 2018, dinyatakan bahwa keputusan mahasiswa dalam memilih jurusan di kpi muncul karena beberapa faktor, di antaranya adalah karena dorongan orang tua, saudara atau teman ada yang kuliah di iain; spp (biaya perkuliahan) yang murah; faktor tidak diterima di perguruan tinggi umum; keinginan menjadi wartawan; keinginan untuk cepat bekerja; faktor akreditasi jurusan; aktivitas kegiatan mahasiswa; kemudahan akses terhadap lokasi; serta adanya promosi yang dilakukan di media. pada faktor dorongan saudara atau teman kuliah salah satunya, dapat dilihat dari tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kinerja dosen pada jurusan itu. berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh sriyanto (2017) tentang kepuasan mahasiswa jurusan kpi terhadap kinerja dosen pada 176 mahasiswa kpi, diketahui bahwa hasil uji t menjelaskan tentang hubungan antara kinerja dosen dengan kepuasan mahasiswa al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 241 jurusan kpi. diperoleh data bahwa variabel strategi pembelajaran atas kinerja dosen dinyatakan paling dominan dalam mempengaruhi kepuasan mahasiswa, yakni sebesar 6.786. sedangkan variabel yang memiliki pengaruh paling kecil terhadap kepuasan mahasiswa adalah variabel materi perkuliahan (x2) yakni sebesar 0.920. hasil penelitian selanjutnya, dilakukan oleh reina (2012) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa pada universitas bina nusantara. hasil penelitian menyatakan bahwa faktor pertama yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa adalah reliabilitas pelayanan, dimana universitas selalu berupaya menjalankan operasional perkuliahan dengan baik melalui kehadiran dosen secara penuh dalam 1 semester. hal ini disebabkan karena universitas sadar akan perannya sebagai fasilitator atas proses penyampaian ilmu dari dosen kepada mahasiswa. faktor kedua, para dosen diharapkan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya pada setiap sesi perkuliahan agar tujuan dari proses belajar mengajar dapat tercapai dengan baik. selanjutnya, faktor ketiga yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa adalah jaminan atas pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa. faktor keempat, kepedulian universitas terhadap mahasiswa, salah satunya adalah melalui adanya kesempatan memperoleh beasiswa. lalu, faktor kelima yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa adalah layanan dalam bentuk fasilitas fisik, seperti ruang kelas yang ber-ac sehingga memberikan kenyamanan bagi mahasiswa, ketersediaan bank dan atm untuk memudahkan mahasiswa bertransaksi, perpustakaan yang lengkap, lahan parkir yang luas, internet corner sebagai sarana untuk membantu mahasiswa mengakses semua informasi, dan fasilitas penunjang lain, misalnya kantin, layanan fotokopi, dan koperasi. penelitian lain dilakukan pula oleh sri hastuti dan juddy prabowo (2011), dengan sampel sebanyak 289 responden pada universitas jenderal achmad yani, cimahi, menyimpulkan bahwa: 1) lingkungan eksternal yang terdiri dari kelompok acuan (teman dan keluarga) dan peran mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 242 (status) tidak signifikan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam memilih jurusan pada unjani cimahi; 2) lingkungan internal yang terdiri dari pencapaian sasaran, motif lain, persepsi (target dan situasi), serta pembelajaran (informasi dan sikap) berpengaruh secara signifikan terhadap pengambilan keputusan dalam memilih jurusan pada unjani cimahi; 3) lingkungan eksternal dan lingkungan internal secara bersamasama mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih jurusan pada unjani cimahi. tinjauan pustaka selanjutnya yaitu hasil penelitian yang dilakukan oleh martini (2013). terkait penelitiannya, ditemukan hasil bahwa 50 responden atau sekitar 90,9% dengan pengujian hipotesis secara parsial maupun simultan dan menggunakan angka probabilitas signifikansi <0.05, menunjukkan bahwa aspek budaya, pribadi, dan psikologis tidak berpengaruh terhadap pemilihan jurusan akuntansi, sedangkan aspek sosial berpengaruh terhadap pemilihan jurusan akuntansi. hasil uji secara simultan menunjukkan bahwa aspek budaya, sosial, pribadi, dan psikologis berpengaruh terhadap pemilihan jurusan akuntansi dengan pengaruh sebesar 57,1%. berdasarkan uraian latar belakang dan sejumlah penelitian terdahulu di atas, dinyatakan bahwa penting untuk diketahui lebih lanjut bagaimana pengambilan keputusan terhadap pemilihan jurusan kpi dilakukan oleh para mahasiswa baru. dalam hal ini, sedikit meminjam konsep teori pengambilan keputusan membeli menurut kotler dan keller (suryani & ginting, 2016) dijelaskan bahwa pada dasarnya keputusan konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. faktor internal (personal) yang mempengaruhi keputusan meliputi faktor-faktor sumber daya konsumen, waktu, uang, dan perhatian. selain itu, ada pula keterlibatan dan motivasi mahasiswa dalam kegiatan, aspek pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup, dan demografi. sedangkan faktor eksternal mengacu pada sejumlah aspek budaya, kelas sosial, serta al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 243 pengaruh kelompok dan keluarga. lebih lanjut, kotler (2000) berpendapat bahwa pada dasarnya, faktor-faktor pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi, serta faktor psikologis. faktor lain yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan ini juga mengarah pada faktor keluarga, individual, pekerjaan, situasi ekonomi, motivasi, persepsi, keyakinan, dan sikap serta minat. sejalan dengan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut, mahasiswa baru dalam hal ini dianalogikan sebagai konsumen kampus yang turut dipengaruhi sekaligus berkenaan dengan bagaimana mereka berperilaku untuk memilih jurusan sebagai produk jasa yang diinginkan. lebih jauh, mahasiswa merupakan konsumen yang berhak memilih produk jasa apa yang dikehendaki sesuai dengan minat serta sejumlah aspek yang mempengaruhinya, baik secara personal maupun situasional. pada dasarnya, schiffman & lesslie (2010) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan sehingga mampu memuaskan kebutuhan mereka. ini didukung oleh pendapat kotler & armstrong (2003) yang menyatakan tentang faktor-faktor yang memengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu barang, yakni: 1) faktor budaya, penentu keinginan dan perilaku yang mendasari yang terdiri dari kumpulan nilai, preferensi, dan perilaku yang menunjukkan preferensi produk dan merek yang berbeda dalam banyak hal; 2) faktor sosial, dapat berasal dari kelompok acuan, merupakan semua kelompok yang memengaruhi langsung (tatap muka) ataupun tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang, sedangkan yang berasal dari keluarga adalah organisasi pembelian yang paling penting dalam masyarakat, dan ia telah menjadi objek penelitian yang luas; 3) faktor pribadi, terdiri dari usia dan tahap siklus hidup konsumsi yang dibentuk oleh siklus hidup keluarga, dimana pemasar sering memilih kelompok berdasarkan siklus hidup sebagai pasar sasaran; 4) faktor psikologis yang mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 244 terdiri dari motivasi dan pengetahuan seorang konsumen berdasarkan pengalaman yang dimiliki. berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi pengambilan keputusan mahasiswa baru dalam memilih jurusan kpi pada fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta, tahun akademik 2017/2018. lebih lanjut, tujuan penelitian ini adalah menggambarkan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mahasiswa baru dalam memilih jurusan kpi, dengan analisis terkait indikator terbesar dan terkecil yang mempengaruhi keputusan mahasiswa dalam pemilihan jurusan kpi. ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan metode penelitian deskriptif kuantitatif dan populasi seluruh mahasiswa baru di jurusan kpi fud iain surakarta tahun akademik 2017/2018 sejumlah 160 mahasiswa. sedangkan jenis sampling yang digunakan adalah sampling jenuh (total population sampling) (etikan, musa, & alkassim, 2016), dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (sugiyono, 2011). selanjutnya untuk data primer dalam dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan angket tertutup. terkait dengan variabel (slamet, 2006) yang digunakan, adapun variabel bebas atau independen (x) dalam penelitian ini adalah faktorfaktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan mahasiswa dan variabel terikat dependent (y) adalah pengambilan keputusan atas pemilihan jurusan. sebelum dilakukan analisis data, akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas, uji homogenitas, normalitas, dan linieritas. analisis regresi berganda, yaitu: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 245 y = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + e1 keterangan : y : pengambilan keputusan mahasiswa baru di jurusan kpi fud iain surakarta βo : intersep/konstanta; β1, β2, β3 : koefisien regresi untuk x1, x2, x3, x4, x5; x1 : variabel orang tua (keluarga) x2 : variabel peran/status x3 : variabel kelompok acuan x4 : variabel promosi x5 : variabels persepsi x6 : variable sistem pembelajaran x7 : variabel sikap; x8 : variabel motivasi. lebih lanjut, penelitian ini didukung dengan kerangka teori untuk mempermudah arah dan fokus dalam penelitian. dinyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan pemilihan jurusan kpi fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta (y), meliputi faktor keluarga, peran ataupun status, kelompok acuan, promosi, sikap, pembelajaran, persepsi, dan motivasi, dimana secara parsial maupun bersama-sama berpengaruh terhadap pemilihan jurusan. dari penelitian ini diharapkan lebih lanjut dapat digunakan sebagai acuan atas sejumlah faktor utama atau faktor dominan yang mempengaruhi mahasiswa memilih jurusan kpi di fakultas ushuluddin dan dakwah sehingga pihak jurusan maupun fakultas dapat melakukan tindakan atau kebijakan dalam melayani mahasiswa untuk menuju kepuasan mahasiswa. adapun kerangka berpikir yang digunakan lebih jelas adalah sebagai berikut: mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 246 mahasiswa memilih jurusan komunikasi dan penyiaran islam fud sehingga pihak jurusan maupun fakultas dapat melakukan tindakan atau kebijakan dalam melayani mahasiswa untuk menuju kepuasan mahasiswa. adapun kerangka berpikir yang digunakan lebih jelas adalah sebagai berikut: gambar 1 kerangka teori faktor faktor yang mempengaruhi pemilihan jurusan (x) iii. hasil penelitian dan pembahasan pergurun tinggi merupakan pemasaran jasa dalam bidang pendidikan, tidak berwujud barang, tidak mengenal persediaan nyata, seperti pendapat griffin (dalam lupiyoadi, 2001) diantaranya menyebutkan bahwa karakteristik jasa adalah meliputi sejumlah hal. pertama, tidak berwujud (intangibility), jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman. kedua, unstorability, dimana jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang dihasilkan. karakteristik ini juga tidak dapat dipisahkan (unseparability), mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi pada saat bersamaan. ketiga, customization, yang menyebutkan bahwa jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan. adanya desain khusus pada jurusan kpi dapat dilihat melalui implementasi kurikulum yang dilaksanakan. berdasarkan data pada penelitian sebelumnya, sebelum tahun 2015, jurusan kpi turut berupaya mengembangkan kurikulumnya dengan mencetak lulusan yang sikap (x5) persepsi (x6) sistem pembelajaran (x7) motivasi (x8) keputusan mahasiswa dalam pemilihan jurusan kpi fud (y) orang tua / keluarga (x1) peran/status (x2) kelompok acuan (x3) promosi (x4) gambar 1 kerangka berpikir faktor faktor yang mempengaruhi pemilihan jurusan (x) iii. hasil penelitian dan pembahasan perguruan tinggi merupakan pemasaran jasa dalam bidang pendidikan, tidak berwujud barang, tidak mengenal persediaan nyata, seperti pendapat griffin (dalam lupiyoadi, 2001), yang menyebutkan bahwa karakteristik jasa adalah meliputi sejumlah hal. pertama, tidak berwujud (intangibility), jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum jasa itu dibeli. nilai penting dari hal ini adalah nilai tidak berwujud yang dialami konsumen dalam bentuk kenikmatan, kepuasan, atau rasa aman. kedua, unstorability, dimana jasa tidak mengenal persediaan atau penyimpanan dari produk yang dihasilkan. karakteristik ini juga tidak dapat dipisahkan (unseparability), mengingat pada umumnya jasa dihasilkan dan dikonsumsi pada saat bersamaan. ketiga, customization, yang menyebutkan bahwa jasa juga sering kali didesain khusus untuk kebutuhan pelanggan. adanya desain khusus pada jurusan kpi dapat dilihat melalui implementasi kurikulum yang dilaksanakan. berdasarkan data pada penelitian sebelumnya, sebelum tahun 2015, jurusan kpi turut berupaya mengembangkan kurikulumnya dengan mencetak lulusan yang berbasis profesi sehingga dalam penyusunan kurikulumnya, jurusan kpi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 247 mengadaptasi adanya kurikulum yang berdasar pada specific skill yang mencakup academic skill serta vocational skill (abas, 2017). lebih jauh, kurikulum kpi dinyatakan harus seimbang antara keterampilan akademik dengan keterampilan kejuruan atau kemahiran sehingga muncul sejumlah aspek penyusun dalam pengembangan kurikulum kpi, khususnya pada mata kuliah mata kuliah pengembang kepribadian (mpk); mata kuliah keilmuan dan keterampilan (mkk); mata kuliah keahlian berkarya (mkb); mata kuliah perilaku berkarya (mpb); dan mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (mbb) (abas, 2017). mendukung data di atas, adanya penyesuaian pada kurikulum yang disusun pada jurusan kpi secara operasional dapat dilihat melalui banyaknya kebutuhan media—sebagai pasar jurusan dan lulusan—yang cukup membawa konsekuensi logis, terutama terkait dengan bagaimana kebutuhan atas ketersediaan sumber daya lulusan yang diperlukan. dalam konteks ini, penting untuk dihasilkan lulusan kampus yang memadai, baik secara pengetahuan maupun dalam skill yang dimiliki, sebut saja pada daya tarik salah satu konsentrasi jurusan kpi, yakni jurnalistik. hal ini relevan dengan tulisan rulli nasrullah dan agus sriyanto (2013) mengenai keselarasan kurikulum jurnalistik terhadap kompetensi wartawan di beberapa ptai. dalam kaitannya dengan ketersediaan wartawan (nasrullah & sriyanto, 2013) sebagai bidang kerja komunikasi dan kpi, tentu dirasa perlu mengenai adanya dasar pemikiran terhadap pentingnya kebijakan dalam merumuskan arah konsentrasi lulusan agar sesuai dengan keahlian yang diperlukan pasar. selain jurnalistik, terdapat pula konsentrasi lain, seperti broadcasting dan public relations. istilah broadcasting dimaknai sebagai kegiatan pemancaran siaran dengan menggunakan spektrum frekuensi radio (sinyal radio) yang berbentuk gelombang elektromagnetik, merambat melalui udara, kabel, maupun media lainnya, yang dapat diterima secara serentak oleh masyarakat melalui perangkat penerima siaran (morissan dalam hidayat, 2015). namun demikian, broadcasting dalam konteks bidang ini mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 248 secara sederhana lebih difokuskan pada praktik kepenyiaran, baik melalui radio, televisi, maupun media massa elektronik lainnya, yang mana merujuk pada profesi di dalam dunia media massa elektronik. selanjutnya adalah public relation (laksamana, 2018; nova, 2014), konsentrasi ini mengarah pada profesi yang berkaitan dengan fungsi komunikasi sekaligus manajemen dalam sebuah perusahaan. dasar kerja seorang pr adalah komunikasi, termasuk pula bagaimana kemampuan public speaking, manajemen krisis, serta menulis. kemampuan menulis misalnya, hal ini dijelaskan pearson (dalam kriyantono, 2012) sebagai aktivitas yang berelasi dengan tujuan organisasi sehingga dirasa penting untuk dimiliki oleh seorang mahasiswa jurusan kpi, khususnya bagi mereka yang mengambil konsentrasi pr. lebih lanjut, berkenaan dengan proses pemasaran sebuah produk atau jasa, rangkuti (dalam puspaningtyas 2011) menyatakan bahwa pemasaran jasa pada dasarnya tidak sama dengan pemasaran produk. pemasaran jasa lebih bersifat intangible dan inmaterial karena produknya tidak kasat mata dan tidak dapat diraba dari satu pihak ke pihak lainnya. pemasaran jasa dalam hal ini diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan sehingga terjadi interaksi antara pemberi jasa dengan penerima jasa, yang mana mampu menjadikan proses interaksi yang ada dapat memengaruhi hasil jasa yang diciptakan. hal inilah yang juga terjadi pada sebuah instansi pendidikan tinggi, ketika mereka memberikan pelayanan jasa kepada mahasiswa sebagai bagian dari segmentasi mereka. tjiptono (1998) menyatakan “stimulus mempengaruhi kebutuhan seseorang untuk membeli produk dan jasa tertentu”. kebutuhan untuk membeli produk atau jasa tersebut dipengaruhi oleh shortages (kebutuhan yang timbul karena ketidakpuasan pelanggan terhadap produk dan jasa saat ini). selanjutnya, mowen & minor (2002) menyatakan bahwa “tingkat keterlibatan konsumen dalam suatu pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan ditimbulkan oleh stimulus, produk, harga, promosi, serta lokasi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 249 terkait dengan keputusan mahasiswa dalam memilih jurusan kpi di fud iain surakarta, hal ini juga dipengaruhi beberapa stimulus dan juga kebutuhan akan pendidikan untuk kebaikan masa depan mereka. memang banyak perguruan tinggi yang merupakan pesaing juga menawarkan halhal yang hampir sama atau mungkin sama dengan apa yang ditawarkan oleh jurusan kpi fud iain surakarta. namun demikian, ada beberapa alasan ataupun faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa mahasiswa memutuskan untuk memilih jurusan kpi fud iain surakarta. mahasiswa akan melihat faktor-faktor yang menguntungkan, sekaligus juga faktor-faktor yang dapat merugikan jika mereka memilih perguruan tinggi tertentu untuk tempat belajar. pemahaman pengambilan keputusan mahasiswa sangat penting bagi suatu perguruan tinggi, karena berhasil tidaknya perguruan tinggi menarik mahasiswa tergantung faktorfaktor apa yang mendorong serta memunculkan keinginan mahasiswa untuk memilih perguruan tinggi tersebut. adapun faktor-faktor yang dianggap menjadi daya tarik mahasiswa untuk melanjutkan studi di jurusan kpi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: keluarga; peran atau status; kelompok acuan; promosi; sikap; pembelajaran; persepsi; dan motivasi. sebagai bagian dari penelitian ini, uji validitas dilakukan dengan cara menyebar angket kepada 30 mahasiswa di jurusan kpi. angket pertanyaan terdiri dari 3 bagian, bagian pertama adalah identitas responden sejumlah 8 pertanyaan, bagian kedua pertanyaan sebagai variabel x, yaitu faktorfaktor yang mempengaruhi mahasiswa memilih jurusan kpi fud iain surakarta tahun akademik 2017/2018 sejumlah 24 pertanyaan, bagian ketiga berupa pertanyaan tentang keputusan mahasiswa memilih jurusan kpi sebagai variabel y sejumlah 16 pertanyaan. a. uji validitas uji validitas dilakukan dengan membandingkan rhitung dengan rtabel. melalui tabel nilai rtabel besar rtabel dengan taraf signifikansi 0,01 adalah sebesar 0,4629, hasil rhitung atau nilai dari corrected item-total corelations > dari rtabel sehingga semua variabel x maupun y dinyatakan valid. mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 250 b. uji reliabilitas uji reliabilitas dilakukan dengan membandingkan rhitung dengan rtabel, nilai cronbach’s alpha > dari rtabel. jadi, semua variabel x maupun y dinyatakan reliable. c. uji homogenitas berdasarkan hasil uji homogenitas melalui software spps (statiscal package for social science), maka diperoleh hasil sebagai berikut: tabel 2 hasil perhitungan uji homogenitas sumber : hasil olah data primer, 2018 nilai signifikansi uji homogenitas adalah sebesar 0,193. sedangkan data sebaran kuesioner bervarians homogen karena nilai signifikansi 0,193 > taraf signifikan sebesar 0,05. d. uji normalitas uji normalitas menggunakan kolmogorov-smirnov karena menggunakan responden sejumlah 158 hasilnya p/sig – nya. data akan memiliki distribusi normal jika p ≥ 0,05. hasil uji normalitas atas variabel x sebesar 0.071 dan variabel y sebesar 0.051 berarti p ≥ 0,05 sehingga hasil dari data ini berdistribusi normal. e. uji hipotesis pertama uji f pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel x (faktor faktor yang mempengaruhi mahasiswa) yang meliputi orang tua (x1), peran (x2), kelompok acuan (x3), promosi (x4), sikap (x5), dan persepsi (x7), secara simultan atau signifikan memiliki hubungan terhadap variabel y (keputusan memilih jurusan kpi), yaitu dengan membandingkan nilai fhitung dengan ftabel dengan taraf signifikan 5% atau (0.05). berikut ini test of homogeneity of variances total_y levene statistic df1 df2 sig. 1.259 29 125 .193 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 251 adalah hasil perhitungan uji f dengan menggunakan ibm spss versi 23 : tabel 3. anovaa model sum of squares df mean square f sig. 1 regression 541.279 8 67.660 3.562 .001b residual 2830.316 149 18.995 total 3371.595 157 a. dependent variable: tota_var_y b. predictors: (constant), total_var_x, motivasi_jml_x8, promosi_jml_x4, peran_jml_x2, sikap_jml_x5, persepsi_jml_x7, keluarga_jml_x1, kel_ acuan_jml_x3 sumber : data primer, 2018 berdasarkan hasil uji tabel anova di atas, dapat diketahui nilai fhitung 3.562 > ftabel 2.07 sehingga ho ditolak dan ha diterima. hal ini menunjukkan bahwa variabel x yang meliputi orang tua (keluarga) (x1), peran (x2), kelompok acuan (x3), promosi (x4), sikap (x5), dan persepsi (x7) secara simultan atau signifikan memiliki hubungan terhadap variabel y. variabel sistem pembelajaran (x6) dikeluarkan atau di removed. hal ini dikarenakan variabel tersebut tidak memenuhi kriteria prediktor yang tidak signifikan dengan pilihan enter pada method di spss sehingga otomatis variabel yang tidak memenuhi kriteria terhapus dengan sendirinya. f. uji hipotesis kedua uji t dengan n sebesar 158 nilai ttabel yang diperoleh adalah 1.984. berikut ini adalah hasil perhitungan uji t dengan menggunakan ibm spss versi 23: mahasiswa dan keputusan memilih jurusan – agus sriyanto 252 tabel 4. coefficientsa model unstandardized coefficients standardized coefficients t sig. \]]b std. error beta 1 (constant) 55.563 4.162 13.350 .000 keluarga_jml_x1 -.376 .372 -.139 -1.011 .314 peran_jml_x2 .619 .337 .223 1.837 .068 kel_acuan_jml_x3 .317 .404 .121 .785 .433 promosi_jml_x4 1.095 .370 .315 2.956 .004 sikap_jml_x5 .096 .349 .035 .274 .784 persepsi_jml_x7 -.164 .329 -.069 -.497 .620 motivasi_jml_x8 .770 .336 .250 2.293 .023 total_var_x -.295 .220 -.506 -1.340 .182 a. dependent variable: tota_var_y persamaan regresinya sebagai berikut: y’ = 55.563 + (-1.011)x1 + 1.837x2 + 0.785x3 + 2.956x4 + 0.274x5 + (-0.497)x7 + 2.293x8 berdasakan tabel di atas, jika nilai thitung nilai ttabel (1.984), maka ho diterima dan ha ditolak atau secara parsial, variabel tersebut tidak memiliki hubungan terhadap keputusan memilih mahasiswa. • analisis terhadap variabel orang tua (keluarga) (x1) berdasarkan uji t diatas nilai ttabel pada variabel orang tua (keluarga) (x1) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka (-1.011) sehingga nilai thitung< ttabel, maka ho diterima dan ha ditolak. hal ini menunjukkan bahwa variabel disiplin dosen (x1) secara parsial tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap keputusan memilih mahasiswa (y). • analisis terhadap variabel peran (x2) berdasakan uji t diatas nilai ttabel pada variabel peran (x2) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka 1.837 sehingga nilai thitung ttabel, maka ho diterima dan ha ditolak. hal ini menunjukkan bahwa variabel peran (x2) secara parsial tidak memiliki al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 235 258 253 hubungan yang signifikan terhadap keputusan memilih mahasiswa (y). • analisis terhadap variabel kelompok acuan (x3) berdasakan uji t diatas nilai ttabel pada variabel kelompok acuan (x3) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka 0.786 sehingga nilai thitung ttabel, maka ha diterima dan ho ditolak. hal ini menunjukkan bahwa variabel prakarsa (x4) secara parsial memiliki hubungan yang signifikan terhadap keputusan memilih mahasiswa (y), atau kepeputusan mahasiswa dalam memilih jurusan di kpi iain surakarta dipengaruhi oleh promosi yang dilakukan iain surakarta. • analisis terhadap variabel sikap (x5) berdasakan uji t diatas nilai ttabel pada variabel kelompok acuan (x5) menunjukkan angka 1.984, sedangkan nilai thitung menunjukkan angka 0.274, sehingga nilai thitung 0.05). it means that the research data is normally distributed. 174 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. normality test results kolmogorov-smirnova shapiro-wilk statistic df sig. statistic df sig. resilience .068 95 .200* .982 95 .202 *. it is a lower bound of real significance. a. lilliefors significance correction the second assumption test is the linearity test for the dependent variable (resilience) and the independent variables (self-esteem and forgiveness). based on the results of anova in the table 2 and 3, it was found that the p-values of resilience and self-esteem as well as resilience forgiveness were significant (p <0.01). it means that the correlation between resilience and self-esteem as well as forgiveness is linear. table 2. resilience and self-esteem variable linearity test results sum of squares df mean square f sig. resilience * self-esteem between groups (combined) 8658.915 23 376.475 2.660 .001 linearity 5847.022 1 5847.022 41.305 .000 deviation from linearity 2811.893 22 127.813 .903 .591 within groups 10050.517 71 141.557 total 18709.432 94 175forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 3. results of the linearity test of resilience and forgiveness variables sum of squares df mean square f sig. resilience * forgiveness between groups (combined) 12793.565 45 284.301 2.355 .002 linearity 7486.229 1 7486.229 62.007 .000 deviation from linearity 5307.336 44 120.621 .999 .499 within groups 5915.867 49 120.732 total 18709.432 94 the next step was to examine the presence or absence of multicollinearity among independent variables. it is known from the tolerance and vif values in table 4. the tolerance figure obtained was 0.799 (> 0.1) and the vif value obtained was 1.251 (value <10). it means that there is no multi-collinearity between the two independent variables. table 4. multi-collinearity test results coefficients model unstandardized coefficients standardized coefficients t sig. collinearity statistics b std. error beta tolerance vif 1 (constant) 34.746 6.697 5.189 .000 self-esteem .885 .213 .345 4.161 .000 .799 1.251 pemaafan .480 .083 .478 5.769 .000 .799 1.251 a. dependent variable: resiliensi next step was to test the heteroscedasticity assumption, which aims to determine the residuals’ variance inequality for all observations in the regression model. if there is no similarity between the variance of the residuals, a regression test can be performed. based on the results of assumption test (shown in table 5), the significance value is obtained. selfesteem variable showed p = 0.119 (p> 0.05) and forgiveness showed p 176 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) = 0.249 (p> 0.05). this figure means that there are no similarities in the variants of the two variables. table 5. heteroscedasticity test results coefficients model unstandardized coefficients standardized coefficients t sig. b std. error beta 1 (constant) 17.369 3.670 4.733 .000 self-esteem -.184 .117 -.177 -1.575 .119 pemaafan -.053 .046 -.131 -1.160 .249 a. dependent variable: abs_res the last step was to calculate autocorrelation between research variables. based on the test results carried out in the runs test table (shown in table 6), the asymp sig (2-tailed) value of 0.758 (p> 0.05) was obtained, which means that there is no autocorrelation between research variables. thus, multiple linear regression tests could be performed. the data was normal, linear, and heteroscedasticity did not occur. there was also no autocorrelation and multi-collinearity. table 6. autocorrelation test results unstandardized residual test value -.02131 cases < test value 47 cases >= test value 48 total cases 95 number of runs 47 z -.308 asymp. sig. (2-tailed) .758 a. median researchers used multiple linear regression tests to determine the effect of self-esteem and forgiveness variables on the resilience of adults 177forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) who were victims of bullying. based on the anova table (table 7), it was found that the two independent variables can predict independent variables based on the regression equation [f = 45.114, p <0.05)] and the significance value obtained was 0.000 (p <0.05). the degree of the two independent variables in predicting the dependent variable can be seen through r square’s value = 0.495. it means that the two independent variables can predict the dependent variable by 49.5%. based on these coefficient figures, it can be concluded that self-esteem and forgiveness can predict resilience in victims of adult bullying with a predictive rate of 49.5%. table 7. multiple linear regression test results model summary model r r square adjusted r square std. the error of the estimate 1 .704a .495 .484 10.13266 a. predictors: (constant), pemaafan, self-esteem anova model sum of squares df mean square f sig. 1 regression 9263.717 2 4631.859 45.114 .000b residual 9445.714 92 102.671 total 18709.432 94 a. dependent variable: resilience b. predictors: (constant), pemaafan, self-esteem discussion this study aimed to determine the effect of forgiveness and selfesteem on the resilience of adult victims of bullying. the results of this study indicate that self-esteem and forgiveness can predict resilience in victims of adult bullying. the results of this study support some of the results of previous studies. research conducted by habibi and hidayati (2018); sharil, abdullah, rushdan, jailani, and mansor (2018); sudirman, suud, rouzi, and sari (2019); worthington et al. (2016) proved that forgiveness 178 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) is effective in increasing resilience in adolescent victims of bullying. thus, forgiveness increases subjective well-being and psychological well-being (daryanti, yuwono, & sugiharto, 2020; kirmani, 2015; septarianda, malay, & ulfah, 2020; wulandari & megawati, 2020). it is also evidenced by kim and lee (2014) that forgiveness therapy can increase resilience in wife who is a victim of husband’s violence due to alcoholism, in addition to increasing self-esteem and spirituality. this research is also in line with worthington jr. and scherer’s (2004) finding which stated that forgiveness can affect the resilience and health conditions of individuals through good social support and the quality of their interpersonal relationships. research by saputro and nashori (2017) conducted on student subjects also showed that forgiveness is a predictor of resilience. habibi and hidayati (2018) also mentioned that forgiveness of others has a positive correlation with resilience. it means that the more a person forgives others for the treatment they experience, the more likely he is to be resilient. some of the studies above show that forgiveness can increase resilience across subject characteristics. individuals who are able to forgive others have been able to let go of various unpleasant things caused by interpersonal conflicts and seek to develop positive emotions, thoughts, and interpersonal relationships towards the person who has hurt them (nashori, 2015; wade, hoyt, kidwell, & worthington, 2014). apart from that, forgiveness also affects the mood of the individual (marks, trafimow, busche, & oates, 2013). forgiveness will help someone to keep their mood stable and positive. in the end, resilience will be developed. forgiveness is not just an affidavit. forgiveness is an attitude in which someone accepts that he is hurt, both physically and psychologically, and experiences injustice and then decides to let go of negative emotions and free oneself from the urge to punish and retaliate the behavior of those who hurt them (brush, mcgee, cavanagh, & woodward, 2001). 179forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this means that victims of bullying who forgive the perpetrator no longer have negative emotions and thoughts. negative emotions and thoughts will impair resilience. this is because negative emotions and thoughts will destabilize the individual’s mental state thus, causing individual resilience level to decrease. however, when a victim of bullying forgives the bully, their emotions and thoughts become positive, and it will help them maintain a stable mental state (mccullough, 2001). in the end, the resilience will be preserved (najam-us-sahar & muzaffar, 2017). the link between forgiveness and resilience can also be examined from several aspects of resilience. according to reivich and shatté (2002), resilience consists of seven aspects, namely emotional regulation, impulse control, optimism, empathy, analysis of causes of problems, self-efficacy, and improvement of positive aspects. emotional regulation can be interpreted as an attitude related to attempt in reassessing the emotions and conditions experienced. emotional regulation is characterized by a cognitive evaluation towards the stimuli obtained to influence experiences and change emotional expression. because of it, the negative impact of emotions can be minimized (chen, 2016; gross, 2002). in the context of this research, bullying victims evaluate their experiences of being bullied. the evaluation causes victim to regulate their emotions. if the victim is angry, hateful, and resentful; it will hurt their mental condition. thus, the victim of bullying realizes that the appropriate response is not to let negative emotions dominate oneself even though the bullying is a painful experience. strategy that can be done so that negative emotions do not dominate them is forgiving the perpetrator. this way, forgiveness helps individuals to regulate emotions. the regulation of emotions affects resilience. forgiveness by the victim of bullying also helps them control their impulses (burnette et al., 2014). forgiveness helps the victim of bullying, not to vent out anger because forgiveness causes bullying victim to 180 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alter negative emotions and thoughts into more positive ones. besides, forgiveness also helps the victim of bullying hold back anger to neutralize desire and urge to reciprocate the bullying behavior. thus, the resilience level of bullying victim will be high when implementing forgiveness because their mental condition is not disturbed by harmful and destructive motivations. forgiveness is also closely related to self-efficacy. forgiveness is found to play a vital role in self-efficacy (griffin et al., 2015; gençoğlu, şahin, & topkaya, 2018). self-efficacy is an individual’s feeling and belief that they can face and solve their own problems (bandura, 1977, 1997). when victims of bullying forgive the perpetrator, they have confidence that they can face the bullying problem. forgiveness has caused them to improve the quality of their own self because forgiveness can only be done if the individual has the ability to forgive. increasing the quality of oneself is a crucial modality to generate confidence that they are able to deal with bullying problems. on the other hand, forgiveness can affect self-efficacy. self-efficacy can reduce the emergence of adverse effects in bullying victims, such as anxiety, stress, and depression (gençoğlu et al., 2018). therefore, forgiveness can play an essential role in the resilience of the victim of bullying. forgiveness done by victims of bullying causes the negative effects within them to turn into positive ones. the positive effects caused by forgiveness then possess an impact in increasing their psychological wellbeing and happiness (karduz & saricam, 2018; toussaint & friedman, 2008). when individuals have high psychological well-being and happiness, their resilience will increase. in this way, forgiveness can help the victim of bullying to cope. forgiveness also consists of three contexts, namely forgiving others, forgiving yourself, and forgiving situations and conditions (kj, 2018). victims of bullying who implement forgiveness do not only forgive the 181forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bully. they also forgive themselves, so they do not fall into self-blame. some bullying victims are regretting and blaming themselves for being weak. this is because one of the factors in bullying is the perpetrator’s perception that the victim of bullying is a weak person. however, if the victim of bullying does not blame their own self, forgives oneself, and does not think that their own condition is the cause of bullying, the mental condition will not be vulnerable. in the end, victims of bullying who forgive themselves have high resilience level. resilient individuals have an optimistic attitude and confidence in their faith, which leads them to bounce back, adapt, and feel optimistic (connor & davidson, 2003). in the deepening phase, forgiving person is always looking for positive meanings behind what happens (chaudhary, jyoti, & chaudhary, 2014). the positive meaning is accompanied by the belief that the current conditions have wisdom, causing victims of bullying to believe that they are able to forgive. persons who are able will face life optimistically and turn painful experiences into learning experiences rather than a focus on revenge (kumar & dixit, 2014; mary & patra, 2016). the expected effect is not only being able to forgive but also to have a forgiving nature to tolerate a condition that hurts them. this study also supports the results of research conducted by henriksen (2016) that self-esteem is a factor that affects resilience for someone who experiences anxiety and depression. these two conditions are closely related to the effect of bullying on victims (hidayati & rahayuningsih, 2014). balgiu (2017) also said that self-esteem is a predictor of resilience in adulthood. on the other hand, djamahar, dewahrani, and octaviani (2020) indicated that self-esteem is negatively correlated with negative emotions in a person. this means that the higher a person’s selfesteem, the lower the negative emotions in them. someone who has high self-esteem can neutralize or eliminate negative emotions in their own self. a person understands that negative emotions will only make their 182 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) condition worse. so, there is no other way to cultivate self-esteem except by getting rid of all negative emotions. likewise, for victims of bullying, those who have positive self-esteem will be motivated to eliminate negative emotions resulting from bullying. in the end, they are not burdened by these negative emotions, so that their resilience is high. as has been explained, one of the bullying causes is the bully perceives the victim as a weak and negative individual. this condition can have an impact bullying victim’s self-concept. if their self-concept turns negative, the self-esteem will be affected. when victims of bullying have a negative self-concept, they will not respect themselves. more so if they believe the negative labels that are directed by the perpetrator to them. it can destroy their self-concept and self-esteem. however, if the perpetrator’s perception of them does not influence the victim, their selfconcept will be preserved. this condition then has an impact on selfesteem, which remains positive. in the end, this positive self-esteem causes the victims of bullying to have high resilience. a condition that is likely to occur in bullying victims is deteriorating self-esteem. furthermore, this condition will result in the victim’s vulnerability to anxiety, depression, and suicidal thoughts. this can happen because low self-esteem will cause individuals to lose hope. this condition then weakens resilience, resulting in various psychological disorders and suicidal thoughts (karatas & cakar, 2011). self-esteem can be defined as an individual’s positive evaluation of one own self as a person who is capable and personal feelings that he is a valuable individual (rosenberg, 1965; coopersmith, 1967). thus, positive self-esteem also indicates that a person can face the problems he encounter. in the context of bullying, victims who have positive self-esteem will believe that they can face bullying problems. this belief then causes his endurance to be high. therefore, victims of bullying who have positive self-esteem will become resilient individuals. on the other hand, research 183forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) by chung et al. (2018) and kurniawan, neviyarni, and solfema (2018) also showed that self-esteem is positively correlated with individual resilience. self-esteem consists of four aspects, namely significance, power, virtue, and competence (coopersmith, 1967). the significance aspect of self-esteem causes victims of bullying to feel worthy of respect. the one who can truly appreciate them is their own self. thus, this significance aspect plays an essential role in preventing the victim of bullying from feeling meaningless or worthless. thus, their mental condition and resilience will be healthy. besides, victims of bullying who have high selfesteem are also develop virtue. virtue as an aspect of self-esteem in bullying victim is characterized as not being compelled to retaliate against bullying behavior. the virtue is an attitude that seeks to avoid prohibited behavior and instead conduct behavior that is compulsory and recommended by norms. so, virtue encourages victims to forgive and not retaliate against the bullying. the established virtue then causes the victims of bullying to avoid negative emotions and thoughts, improve their self-esteem, which positively influence their resilience. regarding the competence aspect, victims of bullying believe that they can get past bullying problems. this belief causes victims to survive the bullying. on this basis, too, self-esteem which consists of belief in one’s ability is correlated with self-efficacy. good self-efficacy helps individuals increase resilience (sagone & caroli, 2013), especially in victims of bullying. based on this description, the researcher realizes that there are still many limitations in this study, especially regarding the research subject. the number of subjects involved in this study was limited, only 94 subjects from the total of 117 subjects who filled the measuring instruments. a total of 23 subjects were eliminated because they did not match the research subject’s criteria, and several items were dropped because they were not filled in. this is due to the limited control of researchers in 184 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) online-based data collection. besides, researchers conducted this research in the yogyakarta area. conclusion and suggestion conclusion based on the results that have been obtained, it can be concluded that forgiveness and self-esteem influence resilience. the influence of both variables is quite considerable, amounting to 49.5% of variance. victims of bullying who forgive the bully will be free from negative emotions. thus, they are not susceptible to mental disorders and psychological burdens. the dispensation of these negative emotions can then positively prompt the development of resilience in them. thus, the forgiveness of victims of bullying causes them to survive the bullying problem. besides, the forgiveness of victims of bullying is aimed at the perpetrator and themselves. thus, victims of bullying are not inclined to blame themselves. in the end, his resilience was not compromised. self-esteem is an overall evaluation of oneself that is an individual who is capable and needs to be valued. when victims of bullying have positive self-esteem, they would make a positive evaluation of their condition. this process causes them to respect themselves by persisting in the problem of bullying. this self-respect attitude prevents the victim of bullying from being influenced by the negative label that the bully has put on them. so, the psychological condition of bullying victims who have positive self-esteem is not burdened with these negative labels and behaviors. besides, self-esteem also helps them increase the confidence so they can overcome the bullying problems. thus, high self-esteem helps them to create high resilience as well. 185forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion the researchers suggest that future researcher can advance this research by perfecting the limitations of this study. researchers also suggest that future research can involve more subjects from various regions so that the data obtained will be more accurate. the broader research scope also helps future researchers to achieve universal results. in addition, future researchers will be able to develop this research by examining its association with other related topics. this study also reinforces that forgiveness and self-esteem in victims of bullying can increase their resilience. therefore, forgiveness and self-esteem can be a pressure point in dealing with victims of bullying. it implies that forgiveness and self-respect can be an essential part of psychotherapy for treating victims of bullying. references aalsma, m. c., & brown, j. r. (2008). what is bullying? journal of adolescent health, 43(2), 101–102. https://doi.org/10.1016/j. jadohealth.2008.06.001 azwar, s. (2016). reliabilitas dan validitas (4 ed). yogyakarta: pustaka pelajar. balgiu, b. a. (2017). self-esteem, personality, and resilience: study of a students emerging adults group. journal of educational sciences & psychology, vii (lxix)(1), 93–99. bandura, a. (1977). self-efficacy: toward a unifying theory of behavioral change. psychological review, 84, 191–215. bandura, a. (1997). self-efficacy: the exercise of control. new york, usa: w h freeman/times books/ henry holt & co. brush, b. l., mcgee, e. m., cavanagh, b., & woodward, m. (2001). forgiveness: a concept analysis. journal of holistic nursing, 19(1), 27–41. https://doi.org/10.1177/089801010101900104 186 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) burnette, j. l., davisson, e. k., finkel, e. j., tongeren, d. r. van, hui, c. m., & hoyle, r. h. (2014). self-control and forgiveness: a meta-analytic review. social psychological and personality science, 5(4), 443–450. https://doi.org/10.1177/1948550613502991 cast, a. d., & burke, p. j. (2002). a theory of self-esteem. social forces, 80(3), 1041–1068. https://doi.org/10.1353/sof.2002.0003 chaudhary, h., jyoti, & chaudhary, s. (2014). positive emotions, resilience, gratitude, and forgiveness: role of positive psychology in the 21st century. indian journal of positive psychology, 5(4), 528–530. chen, h. (2016). a theoretic review of emotion regulation. open journal of social sciences, 04(02), 147–153. https://doi.org/10.4236/ jss.2016.42020 chung, j. o. k., lam, k. k. w., ho, k. y., cheung, a. t., ho, l. l. k., gibson, f., & li, w. h. c. (2018). relationships among resilience, self-esteem, and depressive symptoms in chinese adolescents. journal of health psychology, 25(13–14), 2396–2405. https://doi. org/10.1177/1359105318800159 connor, k. m., & davidson, j. r. t. (2003). development of a new resilience scale: the connor-davidson resilience scale (cdrisc). depression and anxiety, 18, 76–82. https://doi.org/10.1002/ da.10113 coopersmith, s. (1967). the antecedents of self-esteem. san francisco: w. h. freeman & company. copeland, w. e., wolke, d., angold, a., & costello, e. j. (2013). adult psychiatric outcomes of bullying and being bullied by peers in childhood and adolescence. jama psychiatry, 70(4), 419–426. https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2013.504 daryanti, e. t., yuwono, d., & sugiharto, p. (2020). forgivingness and subjective well-being of the female prisoners. jurnal bimbingan konseling, 9(134), 79–85. https://doi.org/10.15294 /junk. v9i1.29126 djamahar, r., dewahrani, y., r., & octaviani, r. (2020). relationship between self-esteem and negative emotional state with academic procrastination in final level students. indonesian journal of biology education, 3(1), 6–12. https://doi.org/10.31002/ijobe.v3i1.2290 187forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) egan, l. a., & todorov, n. (2009). forgiveness as a coping strategy to allow school students to deal with the effects of being bullied: theoretical and empirical discussion. journal of social and clinical psychology, 28(2), 198–222. https://doi.org/10.1521/ jscp.2009.28.2.198 gençoğlu, c., şahin, e., & topkaya, n. (2018). general self-efficacy and forgiveness of self, others, and situations as predictors of depression, anxiety, and stress in university students. educational sciences: theory and practice, 18(3), 605–626. https://doi. org/10.12738/estp.2018.3.0128 griffin, b. j., worthington jr., e. l., greer, c. l., lin, y., davis, d. e., & hook, j. n. (2015). efficacy of a self-forgiveness workbook: a randomized controlled trial with interpersonal offenders. journal of counseling psychology, 62(2), 124–136. https://doi. org/10.1037/cou0000060 gross, j. j. (2002). emotion regulation: affective, cognitive, and social consequences. psychophysiology, 39, 281–291. https://doi. org/10.1017.s0048577201393198 habibi, m. m., & hidayati, f. (2018). hubungan antara pemaafan diri sendiri, pemaafan orang lain, dan pemaafan situasi dengan resiliensi pada mahasiswa baru (studi korelasi pada mahasiswa baru universitas diponegoro semarang). empati, 6(2), 62–69. hatta, m. (2018). tindakan perundungan (bullying) dalam dunia pendidikan ditinjau berdasarkan hukum pidana islam. miqot: jurnal ilmu-ilmu keislaman, 41(2), 280–301. https://doi. org/10.30821/miqot.v41i2.488 henriksen, i. o. (2016). self-esteem as a resilience factor for symptoms of anxiety, depression, and attention problems: evidence from a clinical population of adolescents. graduate thesis in medicine ntnu, 1–15. henriksen, i. o., ranøyen, i., indredavik, m. s., & stenseng, f. (2017). the role of self-esteem in the development of psychiatric problems: a three-year prospective study in a clinical sample of adolescents. child and adolescent psychiatry and mental health, 11(68), 1–9. https://doi.org/10.1186/s13034-017-0207-y 188 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) herrman, h., stewart, d. e., diaz-granados, n., d, e. l. b., jackson, b., & yuen, t. (2011). what is resilience? the canadian journal of psychiatry, 56(5), 258–265. hidayati, n., & rahayuningsih, i. (2014). bentuk dan dampak kekerasan di tempat kerja (workplace bullying) pada buruh pabrik di gresik. jurnal psikosains, 9(2), 125–139. jaufalaily, n., & himam, f. (2017). resilience as a mediator of the relationship between forgiveness and happiness among college student. anima indonesian psychological journal, 32(3), 121–127. https://doi.org/10.24123/aipj.v32i3.626 kaplan, r. m., & saccuzzo, d. p. (2017). psychological testing: principles, applications, and issues (9th ed). australia: cengage learning. karatas, z., & cakar, f. s. (2011). self-esteem and hopelessness, and resiliency: an exploratory study of adolescents in turkey. international education studies, 4(4), 84–91. https://doi.org/10.5539/ ies.v4n4p84 karduz, f. f. a., & saricam, h. (2018). the relationships between positivity, forgiveness, happiness, and revenge. revista românească pentru educaţie multidimensională, 10(4), 1–22. https://doi.org/10.18662/ rrem/68 the kim, h. k., & lee, m. (2014). effectiveness of forgiveness therapy on resilience, self-esteem, and spirituality of wives of alcoholics. journal of korean academy of nursing, 44(3), 237–247. https://doi. org/10.4040/jkan.2014.44.3.237 kirmani, m. n. (2015). gratitude, forgiveness, and subjective-well-being among college going students. international journal of public mental health and neurosciences, 2(2), 1–10. kj, l. (2018). forgiveness: definitions, perspectives, contexts, and correlates. journal of psychology & psychotherapy, 08(03), 1000342. https://doi.org/10.4172/2161-0487.1000342 kumar, a., & dixit, v. (2014). forgiveness, gratitude, and resilience among indian youth. indian journal of health and wellbeing, 5(12), 1414–1419. kurniawan, b., neviyarni, n., & solfema, s. (2018). the relationship between self-esteem and resilience of adolescents who living in orphanages. international journal of research in counseling and 189forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) education, 1(1), 47–52. https://doi.org/10.24036/0054za0002 kwek, a., bui, h. t., rynne, j., & so, k. k. f. (2013). the impacts of self-esteem and resilience on academic performance: an investigation of domestic and international hospitality and tourism undergraduate students. journal of hospitality, 23, 110– 122. https://doi.org/10.1080/10963758.2013.826946 marks, m. j., trafimow, d., busche, l. k., & oates, k. n. (2013). a function of forgiveness: exploring the relationship between negative mood and forgiving. sage open, 1–9. https://doi. org/10.1177/2158244013507267 mary, e. m., & patra, s. (2016). relationship between forgiveness, gratitude, and resilience among the adolescents. indian journal of positive psychology, 6(1), 63–68. mccullough, m. e. (2001). forgiveness: who does it and how do they do it? current directions in psychological science, 10(6), 194–197. https://doi.org/10.1111/1467-8721.00147 min, j. a., lee, n. bin, lee, c. u., lee, c., & chae, j. h. (2012). low trait anxiety, high resilience, and their interaction as possible predictors for treatment response in patients with depression. journal of affective disorders, 137(1–3), 61–69. https://doi. org/10.1016/j.jad.2011.12.026 nagra, g. s., lin, a., & upthegrove, r. (2016). what bridges the gap between self-harm and suicidality? the role of forgiveness, resilience, and attachment. psychiatry research, 241, 78–82. https:// doi.org/10.1016/j.psychres.2016.04.103 najam-us-sahar, & muzaffar, n. (2017). role of family system, positive emotions, and resilience in social adjustment among pakistani adolescents. journal of educational, health, and community psychology, 6(2), 46–58. nashori, f. (2015). psikologi pemaafan. yogyakarta: safiria insania press. prasetyo, a. b. e. (2014). bullying di sekolah dan dampaknya bagi masa depan anak. el-tarbawi, 4(1), 19–26. https://doi.org/10.20885/ tarbawi.vol4.iss1.art2 reivich, k., & shatté, a. (2002). the resilience factor : 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles. new york, new york, united states: broadway books. 190 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rosenberg, m. (1965). society and the adolescent self-image. princeton, new jersey: princeton university press. saffarinia, m., mohammadi, n., & afshar, h. (2016). the role of interpersonal forgiveness in resilience and severity of pain in chronic pain patients. fundamentals of mental health, 18(4), 212– 219. sagone, e., & caroli, m. e. de. (2013). relationships between resilience, self-efficacy, and thinking styles in italian middle adolescents. procedia social and behavioral sciences, 92, 838 – 845. https://doi. org/10.1016/j.sbspro.2013.08.763 saifuddin, a. (2019). penelitian eksperimen dalam psikologi. jakarta: kencana. saifuddin, a. (2020). penyusunan skala psikologi. jakarta: kencana. saputro, i., & nashori, f. (2017). resiliensi mahasiswa ditinjau dari pemaafan dan sifat kepribadian agreeableness. jurnal psikologi islam, 4(2), 171–180. schmitt, d. p., & allik, j. (2005). simultaneous administration of the rosenberg self-esteem scale in 53 nations: exploring the universal and culture-specific features of global self-esteem. journal of personality and social psychology, 89(4), 623–642. https:// doi.org/10.1037/0022-3514.89.4.623 septarianda, e., malay, m. n., & ulfah, k. (2020). hubungan forgiveness dengan subjective well-being pada remaja di panti asuhan. jurnal psikologi malahayati, 2(1), 83–91. https://doi.org/10.33024/jpm. v2i1.2488 sharil, h., abdullah, l. i. m., rushdan, m., jailani, m., & mansor, s. (2018). forgiveness and resilience among staff in the government drug treatment and rehabilitation. international journal of management and applied science, 4(5), 1–5. smith, p. k. (2016). bullying: definition, types, causes, consequences, and intervention. social and personality psychology compass, 10(9), 519–532. https://doi.org/10.1111/spc3.12266 soni, p. (2015). a study on the relationship between resilience and forgiveness. indian journal of mental health(ijmh), 3(1), 57–61. https://doi.org/10.30877/ijmh.3.1.2016.57-61 southwick, s. m., bonanno, g. a., masten, a. s., panter-brick, c., & yehuda, r. (2014). resilience definitions, theory, and challenges: 191forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) interdisciplinary perspectives. european journal of psychotraumatology, 5, 1–14. https://doi.org/10.3402/ejpt.v5.25338 sudirman, s. a., suud, f. m., rouzi, k. s., & sari, d. p. (2019). forgiveness and happiness through resilience. al-qalb: jurnal psikologi islam, 10(2), 113–132. thompson, l. y., snyder, c. r., hoffman, l., michael, s. t., rasmussen, h. n., billings, l. s., … roberts, d. e. (2005). dispositional forgiveness of self, others, and situations. journal of personality, 73(2), 314– 360. https://doi.org/10.1111/j.1467-6494.2005.00311.x toussaint, l., & friedman, p. (2008). forgiveness, gratitude, and wellbeing: the mediating role of affect and beliefs. journal of happiness studies, 10(6), 635–654. https://doi.org/10.1007/ s10902-008-9111-8 veselka, z., geckova, a. m., orosova, o., gajdosova, b., van dijk, j. p., & reijneveld, s. a. (2009). self-esteem and resilience: the connection with risky behavior among adolescents. addictive behaviors, 34(3), 287–291. https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2008.11.005 wade, n. g., hoyt, w. t., kidwell, j. e. m., & worthington, e. l. (2014). efficacy of psychotherapeutic interventions to promote forgiveness: a meta-analysis. journal of consulting and clinical psychology, 82(1), 154–170. https://doi.org/10.1037/a0035268 watson, h., rapee, r., & todorov, n. (2015). forgiveness reduces anger in a school bullying context. journal of interpersonal violence, 32(11), 1642–1657. https://doi.org/10.1177/0886260515589931 wolke, d., & lereya, s. t. (2015). long-term effects of bullying. archives of disease in childhood, 100, 879–885. https://doi.org/10.1136/ archdischild-2014-306667 woods, s., wolke, d., nowickic, s., & hall, l. (2009). emotion recognition abilities and empathy of victims of bullying. child abuse and neglect, 33, 307–311. https://doi.org/10.1016/j. chiabu.2008.11.002 worthington, e. l., griffin, b. j., toussaint, l. l., nonterah, c. w., utsey, s. o., & garthe, r. c. (2016). forgiveness as a catalyst for psychological, physical, and spiritual resilience in disasters and crises. journal of psychology and theology, vol. 44, pp. 152–165. https://doi.org/10.1177/009164711604400206 192 forgiveness, self-esteem, and resilience in adult victims of bullying dinu hafidh muvariz, hanifah nur fitriani, indah nisrina, fuad nashori al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 165 192, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2375 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) worthington jr, e. l., & scherer, m. (2004). forgiveness is an emotion-focused coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience: theory, review, and hypothesis. psychology & health, 19(3), 385–405. https://doi. org/10.1080/0887044042000196674 wulandari, i., & megawati, f. e. (2020). the role of forgiveness on psychological well-being in adolescents: a review. advances in social science, education and humanities research, 99–103. https://doi. org/10.2991/assehr.k.200120.022 zhang, c. (2017). forgiveness among college students with past bullying victimization experiences. dissertation boston university, 1–119. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 daftar isi motif syekhermania mengakses video dakwah habib syech bin abdul qodir assegafs uwes fatoni dan eka octalia indah librianti 1 26 pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) di majelis asy-syifa: studi deskriptif bimbingan sosio-spiritual titik rahayu 27 44 analisis wacana kritis berita “kematian terduga teroris siyono” di harian solopos fathan 45 72 analisis framing pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat muhammad reza fansuri dan fatmawati 73 102 syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional sebagai media dakwah di era budaya populer nor kholis 103 125 peran masjid dalam mempersatukan umat islam: studi kasus masjid al-fatah, pucangan, kartasura syakirin 127 148 analisis framing pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i1.1150 muhammad reza fansuri fatmawati universitas islam negeri syarif hidayatullah, jakarta keywords: social piety, faith, rahamatan lil a lamin, islam http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: rezaafansuri@gmail.com, fatmawati@uinjkt.ac.id abstract from this book of ungkapan hikmah, the writer want to know how the message of social piety was framed and constructed by komaruddin hidayat. this research uses constructionist paradigm, with qualitative descriptive approach and framing analysis model of zhongdang pan and gerald m. kosicki. based on the analysis, the conclusion of this research explains that the book of ungkapan hikmah with four titles related to the message of social piety that emphasize the attitude of tolerance and peace. it’s evidenced by komaruddin hidayat’s ideas that often emphasize the importance of mutual respect in the midst of differences, for creating the peaceful conditions as an implication of one’s faith in allah swt. abstrak dari buku ungkapan hikmah ini, penulis ingin mengetahui bagaimana pesan kesalehan sosial dibingkai dan dikonstruksi oleh komaruddin hidayat. penelitian ini menggunakan paradigm konstruksionis, dengan pendekatan kualitatif deskriptif serta analisis framing model zhongdang pan dan gerald m. kosicki. berdasarkan analisis yang dilakukan, kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa buku ungkapan hikmah dengan empat judulnya terkait pesan kesalehan sosial menonjolkan sikap toleransi dan perdamaian. hal ini dibuktikan dengan gagasan-gagasan komaruddin hidayat yang sering menekankan pentingnya berlaku saling menghargai di tengah perbedaan, guna menciptakan kondisi damai sebagai implikasi dari keberimanan seseorang kepada allah swt. kata kunci: kesalehan sosial, iman, rahamatan lil a lamin, islam al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 74 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial i. pendahuluan agama dianggap sebagai sistem kepercayaan dan sarana menuju kebahagiaan (zainudin, 2007). kebahagiaan yang didapat dari agama berkaitan dengan bagaimana cara hidup manusia kepada tuhan ataupun kepada sesama manusia, hal ini terlihat dari adanya hubungan lain selain hubungan antara manusia dengan tuhan, yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia sebagai gambaran bahwa agama tidak melulu berbicara masalah hablu minnallâh, yang dalam hal ini sebagian umat mengamalkan agama hanya sebatas hubungan antara dia dengan allah saja (kesalehan individual) dan kurang mementingan hubungan antara diri dia dengan sesama muslim atau orang lain (kesalehan sosial). islam memberikan tuntunan hidup manusia dari persoalan yang paling kecil hingga kepada urusan yang paling besar, mulai dari urusan rumah tangga, tidur, makan, minum sampai ajaran berbangsa dan bernegara (zainuddin, 2007). dimana semua itu termasuk mengajarkan bagaimana cara bersosial dan berhubungan antara sesama manusia. kesalehan sosial merupakan implikasi dari ajaran yang menjadikan islam sebagai rahmatan lil ‘âlamin, dimana sikap dan perilaku seorang muslim terhadap sesama muslim atau kepada non muslim sesuai dengan apa yang islam ajarkan, berbuat baik, saling mengasihi, hormat kepada orang tua dan sebagainya, semua itu sudah tertera di dalam alquran dan as-sunnah. pesan-pesan kesalehan sosial sering disuarakan oleh cendekiawan muslim indonesia, salah satunya komaruddin hidayat. ia menuangkan konsep kesalehan sosial pada buku-bukunya, salah satunya pada buku yang berjudul ungkapan hikmah. pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat, terdapat pesan kesalehan sosial yang terkandung di dalamnya, terutama mengenai hikmah dan pelajaran akan sikap yang mencerminkan keislaman yang dipraktikan dalam kehidupan bersosial dengan sangat apik. hal ini dapat dilihat melalui beberapa judul di dalam buku tersebut, sebut saja salah satunya pada judul kalau beriman tidak perlu marah, dimana komaruddin hidayat menjelaskan dalam bukunya sebagai 75 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 berikut: “dengan beragama, seseorang seharusnya menjadi pribadi yang mendatangkan rasa nyaman dan aman bagi semua sehingga ia akan malu untuk mudah marah, apalagi marah dengan dan atas nama tuhan. padahal, sesungguhnya akar soalnya pada diri sendiri” (komaruddin, 2013). bagi komaruddin hidayat agama islam adalah agama yang diciptakan dengan cinta sehingga sepatutnya manusia dan agama justru menjadi agen penebar cinta dan kasih sayang kepada sesama. ungkapan ini dijelaskan oleh komaruddin hidayat dalam petikan wawancara sebagai berikut: “kalau berangkat dari pemikiran tasawauf falsafah ibn arraby itu kan tuhan itu menciptakan agama itu kan manefestasi cinta dari allah buat manusia, tuhan menciptakan agama, aku cinta kepada manusia, mengapa menciptakan semesta? aku cinta kepada manusia. jadi, semua ciptaan ini berangkat dari cinta, makanya semua tindakan dimulai bismillahirrahmanirrahim, artinya semua yang aku lakukan diberikan, aku menjadi agen penebar cinta allah rahman raahhim”. buku ungkapan hikmah diterbitkan pada tahun 2013 dan sudah dua kali cetak pada bulan maret dan mei 2013 oleh noura books (pt. mizan publika), berisi 360 halaman dengan 12 bagian di dalamnya. melalui buku ungkapan hikmah ini, penulis ingin mengetahui bagaimana pesan kesalehan sosial dikonstruksi oleh komaruddin hidayat sehingga dapat diidentifikasikan framing yang disusun oleh komaruddin hidayat dalam menyuguhkan pesan kesalehan sosial kepada para pembacanya. penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh herman dan nurdiansa (2010) mengenai “analisis framing pemberitaan konflik israel-palestina dalam harian kompas dan radar sulteng”, leonarda johanes (2013) mengenai “analisis framing pemberitaan konflik partai nasional demokrat (nasdem) di harian media indonesia dan koran sindo”; penelitian yang dilakukan oleh gaio, mondry, & diahloka (2015) mengenai “analisis framing robert entman pada pemberitaan konflik kpk vs polri di vivanews.co.id dan detiknews. 76 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial com”; penelitian mustika (2017) mengenai “analisis framing pemberitaan media online mengenai kasus pedofilia di akun facebook”; penelitian fadiyah (2014) mengenai “analisis framing pemberitaan ahok vs lulung dalam konflik penertiban pkl di pasar tanah abang jakarta pusat dalam media online detik.com”; penelitian desiana (2016) mengenai “analisis framing berita serangan isis di paris pada surat kabar harian waspada, sib, dan analisa”; penelitian putri (2012) tentang “analisis framing berita demonstrasi mahasiswa semarang terkait kenaikan harga bbm pada tv borobudur”; penelitian anggoro (2014) mengenai “media, politik, dan kekuasaan (analisis framing model robert n. entman tentang pemberitaan hasil pemilihan presiden 9 juli 2014 di tv one dan metro tv)”; penelitian damayanti, mayangsari, & syah putra (2016) mengenai “analisis framing robert n. entman atas pemberitaan reklamasi teluk jakarta di majalah tempo”; penelitian arniah, rijal, & falikhah (2012) mengenai “analisis framing pada pemberitaan tewasnya osama bin laden di harian republika-kompas”; penelitian sinaga (2016) mengenai “analisis framing pemberitaan bom sarinah di kompas. com dan merdeka.com”; penelitian gaio, mondry, & diahloka (2015) mengenai “analisis framing robert entman pada pemberitaan konflik kpk vs polri di vivanews”; penelitian jemat (2014) mengenai “framing media online terhadap pemberitaan mengenai susilo bambang yudhoyono menjelang pemilu legislatif 2014”; penelitian mubarok & andjani (2012) mengenai “konstruksi pemberitaa media tentang negara islam indonesia (analisis framing republika dan kompas)”; dan penelitian apsari (2018) tentang “bingkai berita bencana lumpur lapindo di media online”. sejumlah penelitian terdahulu tersebut lebih berkaitan dengan framing yang dilakukan oleh media massa, baik yang berbentuk cetak, maupun digital (online), bukan framing dari buku. begitu pula dengan teknik framing yang digunakan adalah model framing robert entman. sedangkan dalam penelitian ini, lebih difokuskan pada adanya pembingkaian (framing) buku karya komarudin hidayat dengan menggunakan framing model pan 77 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 dan kosicki. di sisi lain, penelitian ini akan membahas mengenai pesan kesalehan sosial yang belum diteliti oleh peneliti terdahulu. ketika manusia menyatakan diri sebagai makhluk yang beriman, maka manusia harus memiliki hubungan yang baik kepada-nya. karena tanpa memiliki hubungan yang baik kepada-nya, manusia tidak akan bisa berhubungan baik dengan semua mahluk-mahluk-nya. hubungan yang baik kepada allah swt merupakan hablu min allah (hubungan baik kepada allah), sedangkan hablu min an-nnas (hubungan baik dengan manusia) merupakan bukti kuat implikasinya (rachman, 2012). kesalehan sosial adalah sikap dan sifat orang-orang yang sesuai dengan ajaran islam pada konteks bersosial yaitu bagaimana nilai-nilai islam dijadikan landasan dan acuan dalam berinteraksi satu sama lain. islam tidak sekedar menjalankan tentang kewajiban-kewajiban individual akan tetapi islam juga mengajarkan kepada kita untuk menjalankan kewajibankewajiban sosial baik terhadap sesama manusia maupun mahluk hidup yang lain (haidar, 2003). ali anwar yusuf (2007) memaknai kesalehan sosial secara normatif, dimana kesalehan sosial merupakan deviasi (turunan) dari keimanan dan ketakwaan kepada allah, khususnya dari sisi hablu min annnas. terdapat beberapa konteks konteks kesalehan sosial. pertama, tolong menolong dalam kebaikan. sebagai umat islam tentunya kita semua bersaudara, satu kesatuan bagi terciptanya ukhuwah islamiyah. seorang muslim dengan muslim lain kiranya mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri dan juga umat lain yang tidak memeluk agama islam. kedua, berlaku baik dan adil kepada non-muslim yang tidak memerangi. agama islam mengajarkan pengikutnya untuk senantiasa berlaku adil, kepada sesama muslim ataupun kepada non-muslim sebagai bukti bahwa agama islam menghargai perbedaan dan memancarkan nilainilai rahmatan lil’a’lamiin. ketiga, hubungan kepada orang tua. dalam islam, setelah umat manusia mengemban beberapa tugas terhadap allah swt, tugas terbesar dan terpenting selanjutnya adalah berbakti kepada orang 78 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial tua. keempat, saling memaafkan. sebagai manusia tentunya kita tidak luput dari perasaan marah atas kesalah orang lain terhadap diri kita sendiri, balas lah dengan balasan yang setimpal yaitu tidak kurang dan tidak melebihi dari kesalahan yang dia lakukan terhadap diri kita, akan tetapi apa bila kita dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus membalasnya sesungguhnya itu lebih mulia. ii. metode penelitian analisis framing merupakan salah satu pisau bedah dalam melakukan penelitian terhadap media seperti halnya analisis isi dan semiotika. secara sedehana, framing adalah cara membingkai dan membatasi pesan yang ingin disampaikan di media. sobur, dikutip dalam kriyanto (2006), mengatakan bahwa analisis framing digunakan untuk mengetahui prespektif atau cara pandang yang digunakan penulis dalam menonjolkan serta mengaburkan pesan yang disampaikan pada tulisan. analisis framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. cara bercerita ini tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita (eriyanto, 2007). paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma konstruktivis. menurut eriyanto (2007), paradigma konstruktivis mempunyai posisi dan pandangan sendiri terhadap media dan teks yang dihasilkan. konstruksionis memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. karenanya, konsentrasi analisis dari paradigma konstruktivis ini adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas m dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai teknik yang objektif dan sistematik, menggunakan metode observasi serta menggambarkan secara kualitatif pernyataan komunikasi yang diungkapkan (ruslan, 2003). penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci (sugiarto, 79 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 2015). sedangkan analisis yang digunakan adalah konsep framing model zhongdang pan dan gerald m. kosicki. model zhongdang pan dan gerald m. kosicki merupakan salah satu model yang paling popular dan paling banyak dipakai (eriyanto, 2003). subjek penelitian ini adalah penulis buku ungkapan hikmah. sedangkan objek dalam penelitian ini adalah pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat. analisis model zhongdang pan dan gerald m. kosicki membagi empat unsur besar dalam menganalisis data. keempat unsur tersebut dibagi kedalam perangkat framing sebagai berikut: a. struktur sintaksis, struktur ini mengacu pada pola penyusunan kata atau frase menjadi kalimat, ini ditandai dengan struktur piramida terbalik dan pemilihan narasumber. sintaksis mempunyai fungsi untuk mengantarkan pembaca kepada ide yang ingin dikemukakan oleh wartawan dan dapat memunculkan asumsi sementara dari pembaca (ananda, 2017). unsur yang diamati dalamnya adalah headline, lead, latar informasi, sumber, pernyataan, dan penutup. b. struktur skrip, yakni mengacu pada tahapan-tahapan kegiatan dan komponen dari sebuah perstiwa. secara umum, teks berita terdiri dari 5w dan 1h (what who where when dan how) (ananda, 2017). aspek ini berkaitan dengan bagaimana jurnalis menceritakan periwtiwa dalam bentuk berita (nasution & miswari, 2017). c. struktur tematik adalah susunan herarki dengan sebuah tema sebagai inti yang menghubungkan subtema, yang pada gilirannya dihubungkan pada elemen-elemen pendukung. struktur tematik ini terdiri dari ringkasan dan bagian utama. ringkasan biasanya di presentasikan sebagai headline, lead atau kesimpulan. sedangkan bagian utama merupakan tempat di mana bukti-bukti pendukung disajikan, baik berupa peristiwa itu sendiri latar belakang informasi atau kutipan-kutipan. d. struktur retoris, yaitu menggambarkan pilihan gaya yang dibuat oleh jurnalis sehubungan dengan efek yang mereka harapkan dari sebuah perestiwa terhadap khalayak. mereka menggunakan perangkat framing 80 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial untuk menggambarkan observasi dan interpretasi mereka sebagai sebuah fakta atau untuk meningkatkan efektifitas sebuah berita (eriyanto, 2002). iii. hasil penelitian buku ungkapan hikmah adalah buku ke-8 yang ditulis oleh komaruddin hidayat. buku ini terbit pertama kali pada maret 2013 melalui penerbit noura books (pt. mizan publica) dan disunting oleh abdullah wong, yang selanjutnya didistribusikan oleh mizan media utama (mmu). karena banyaknya peminat yang membeli, dua bulan selanjutnya, pada mei 2013, noura book menerbitkan buku ini sebagai cetakan kedua. buku ungkapan hikmah terdiri dari 360 halaman dan terbagi ke dalam 12 bagian. buku ini merupakan kumpulan catatan berserakan yang lahir dari dialog singkat juga melalui pesan singkat untuk teman dan kolega. buku ungkapan hikmah yang lahir atas kesan, suasana hati, emosi, dan pikiran komaruddin ketika melihat dunia sekeliling, baik situasi sosial, lingkungan alam, persahabatan, maupun kehidupan keluarga, mengingat hidup itu sendiri merupakan jaringan yang kompleks dari sekian ragam variabel yang saling berkaitan. salah satu tujuan penulisan buku ungkapan hikmah adalah sebagai sarana berdialog dengan alam juga teman-teman untuk merayakan kehidupan menemukan makna, menyibak fenomena untuk menangkap noumena, masuk pada substansi dan nilai, lalu jangan berhenti pada kemasan dan aksesoris (komaruddin, 2013). ide-ide kesalehan sosial banyak diuraikan pada beberapa judul dalam buku ungkapan hikmah. kita dapat melihat pada bagian pertama yang berjudul menyapa semesta dengan cinta, komaruddin mengajak kita untuk mencintai alam. juga pada bagian ketiga dengan judul melukis surga dalam keluarga, pada bagian ini, kita diajak untuk mencintai keluarga karena merupakan perwujudan ibadah dalam agama islam. yang paling menonjol dalam bagian ini adalah uraian pada bagian keenam dengan 81 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 judul cinta tuhan menebar pada keragaman, dimana poin ini menjelaskan bahwa keragaman yang dimaksud tidak hanya terletak pada keragaman dalam beragama, melainkan lebih dari itu semua. menyapa semesta dengan cinta adalah judul bagian pertama pada buku ungkapan hikmah. pada judul ini, komaruddin menjelaskan pentingnya makna keislaman, yang kenyataanya banyak di antara kita yang memahami islam hanya pada hubungan antara individu dengan tuhan saja, dan melupakan esensi ajaran islam itu sendiri untuk saling berbuat baik antara sesama manusia dan senantiasa menjaga alam semesta. tentu ini bertolak belakang dengan sikap manusia yang cenderung kerap mengeksploitasi alam dan lingkungan. karena pada hakikatnya, nabi muhammad diutus ke dunia untuk membenarkan akhlak manusia agar bisa menjaga alam semeta dan menghargai antara sesama manusia. peneliti melakukan pengamatan dan analisis pada buku ungkapan hikmah. judul yang penulis pilih untuk diteliti merupakan tulisan yang mengandung pesan kesalehan sosial. penelitian ini melihat pembingkaian pesan dari media buku ungkapan hikmah dari sisi sintaksis, skrip, tematik dan retoris, sesuai dengan konsep analisis framing model zongdang pan dan gerald m. kosicki. model framing ini termasuk dalam alternatif model framing yang populer dan banyak digunakan oleh para peneliti. lebih lanjut, berikut adalah beberapa judul yang diambil dalam penelitian ini: tabel 1 rangkaian judul pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah no judul buku 1. dari iman lahirlah aman ungkapan hikmah 2. indahnya perbedaan ungkapan hikmah 3. agama bukan menebar benci, tapi cinta ungkapan hikmah 4. membuka kunci persahabatan ungkapan hikmah 82 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial iv. pembahasan berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti membahasnya menjadi beberapa bagian terkait kesalehan sosial. a. dari iman lahirlah aman tabel 2 dari iman lahirlah aman frame 1: dari iman lahirlah aman struktur variabel sintaksis headline: dari iman lahirlah aman judul ini semakin ditekankan oleh komaruddin hidayat pada awal teks. lead: dalam bahasa arab, kata “iman” seakar dengan kata “aman”. oleh karena itu, sudah sepantasnya orang yang beriman mendatangkan rasa aman bagi diri, lingkungan, dan semesta latar informasi: beriman artinya memproklamasikan dua hal, yaitu menyatakan percaya kepada tuhan dan menjadi pribadi yang dapat dipercaya oleh sesama. percaya kepada tuhan artinya menjalakan ibadah serta penghambaan yang total sedangkan menjadi pribadi yang dapat dipercaya artinya menjadi sosok yang dapat melahirkan rasa aman dan kenyamanan kepada sesama. kutipan: “lebih jauh lagi, kaum beriman akan melindungi pihak manapun yang tertindas mengalami peminggiran dari pihak mana pun.” sumber: komaruddin hidayat pernyataan: “betapa indah dan damai rasanya bila insan beriman dan menjadikan keberimanannya menebarkan keamanan dan kenyamanan kepada sesama”. 83 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 frame 1: dari iman lahirlah aman struktur variabel penutup: betapa indah dan damai rasanya bila insan beriman dan menjadikan keberimanannya menebarkan keamanan dan kenyamanan kepada sesama. lead pada teks ini sudah mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh penulis, lead ini juga sesuai dengan judul sehingga saling memberi penekanan pada pesan yang disampaikan kepada pembaca. skrip who: orang beriman what: pesan bahwa orang yang beriman memberikan rasa aman when: where: why: implikasi dari beriman kepada allah terlihat dalam sikapnya yang membawa kenyamanan dan keamanan how: orang beriman memploklamirkan dirinya untuk taqwa kepada allah, sehingga ketaqwaannya itu menjadi landasan dalam bersikap dan bertingkah laku. orang yang beriman akan menjadikan alqur’an sebagai pedoman hidup, sementara alquran mengajarkan kita untuk menebarkan kasih sayang dan rasa aman kepada semesta. teks ini memang tidak memiliki kesempurnaan unsur 5w+1h walau demikian pesan yang disampaikan oleh penulis dapat dipahami dengan jelas dan lengkap. tematik detail: komaruddin hidayat menuliskan bahwa beriman artinya memproklamasikan dua hal, yaitu bertaqwa kepada allah. kedua, implikasi dari ketaqwaan kepada allah adalah berbuat baik kepada sesama sehingga melahirkan rasa aman dan nyaman. 84 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial frame 1: dari iman lahirlah aman struktur variabel kohorensi: kata “iman” seakar dengan kata “aman”. karena itu, sudah sepantasnya orang yang beriman mendatangkan rasa aman dan nyaman. a. komaruddin hidayat menuliskan bahwa beriman artinya memproklamasikan dua hal, yaitu bertaqwa kepada allah. b. implikasi dari ketaqwaan kepada allah adalah berbuat baik kepada sesama sehingga melahirkan rasa aman dan nyaman. retoris bentuk kalimat: komaruddin hidayat menggunakan bentuk kalimat deduktif yaitu menguraikan inti di awal teks kemudian disusul dengan keterangan yang mendetail. inti teks yang diuraikan di awal adalah makna iman secara etimologis yang melahirkan satu kesimpulan yaitu keberimanan membawa rasa aman dan nyaman bagi lingkungan atau pun semesta. kata: komaruddin hidayat menggunakan beberapa kata sebagai penguat ide-idenya di dalam teks ini, seperti: lahirlah, keamanan, proklamasikan, kejam dan menghancurkan. idiom: kata “lahirlah” memiliki arti timbul atau hadir. bila dikaitkan dengan teks yang diteliti maka yang dimaksud dengan kata “lahirlah” adalah sebagai penekanan bahwa aman itu berhubungan dengan keimanan, ialah keimanan yang memunculkan dan menghadirkan keadaan aman. kata keamanan berarti memberikan rasa nyaman dan jauh dari keadaan yang mengancam. kata proklamasi berati mendeklarasikan atau mengumumkan. sedangkan kejam dan menghancurkan berarti dzalim dan merusak keduanya merupakan kata yang bersifat negatif. berdasarkan tabel 2 tersebut, secara sintaksis, headline dari tulisan ini cukup mewakili pesan yang terkandung di dalamnya, pesan yang dibingkai komaruddin hidayat atas pesan kesalehan sosial, melaui headline ini dia membingkai bahwa keimanan seutuhnya ditunjukan dari sikap yang memberi kebaikan dan keamanan kepada sesama manusia. melalui lead tersebut komaruddin hidayat ingin menyampaikan dan menekankan 85 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 kepada khalayak atas frame-nya di awal tulisan. bahwa implikasi dari iman kepada allah adalah memberikan rasa aman kepada lingkungan dan semesta. latar informasi yang disampaikan oleh penulis buku ungkapan hikmah adalah manifestasi keimanan kepada tuhan. pada kutipan di atas sangat jelas komaruddin menekankan atas frame-nya bahwa pada keimanan seseorang akan melahirkan sikap baik kepada sesama sehingga bisa diartikan bahwa kesalehan sosial adalah buah dari imannya seseorang. dalam kutipan pernyataan dalam teks tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa komaruddin membingkai kesalehan sosial sebagai keimanan yang senantiasa mencerminkan sikap baik penuh kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebatas hubungan baik kepada allah saja, namun juga berlaku baik dan adil kepada sesama manusia bahkan semesta. dari analisis skrip atau analisis berdasarkan cara penulis buku ungkapan hikmah mengisahkan cerita atau fakta. unsur yang diamati oleh peneliti adalah 5w+1h. tulisan dari iman lahirlah aman tidak memiliki kelengkapan unsur 5w+1h, yang terdapat di dalamnya hanya unsur what, why, who. salah satu penyebabnya memang dikarenakan tulisan ini bukanlah sebuah berita sehingga tidak diharuskan kelengkapan unsur 5w+1h. secara tematik, detail di atas terlihat relevansi antara judul dengan isi teks yang saling mendukung satu sama lain, yaitu pembingkaian bahwa kesalehan sosial adalah keberimanan yang memberikan rasa aman dan nyaman sebagai implikasi keimanannya kepada allah swt. seperti yang terdapat pada lead teks ini, bila dianalisis maka ditemukan proposisi sebab akibat yang ditandai dengan pemakaian kata hubung “karena”. di sana komaruddin hidayat mengatakan bahwa kata “iman” seakar dengan kata “aman”. bentuk kalimat berhubungan dengan dengan cara berpikir logis, di mana dalam penelitian ini penulis melihat bahwa komaruddin hidayat menggunakan bentuk kalimat deduktif yaitu menguraikan inti di awal teks kemudian disusul dengan keterangan yang mendetail. dari 86 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial aspek retorisnya teks yang disampaikan mengandung retorika, dimana komaruddin hidayat membuat sebuah konsep tentang keimanan. dengan memberikan konsep beriman seperti itu maka komaruddin hidayat menekankan kepada pembaca bahwa orang yang beriman akan senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman kepada lingkungan sebagai implikasi dari penghambaannya kepada tuhan, sehingga bila ada orang yang mengaku beriman akan tetapi dalam bersosial tidak melahirkan rasa aman dan nyaman perlu dipertanyakan keimanannya. b. indahnya perbedaan tabel 3 indahnya perbedaan frame 2: indahnya perbedaan struktur variabel sintaksis headline: indahnya perbedaan judul ini semakin ditekankan oleh komaruddin hidayat pada awal teks. lead: keragaman agama, ideologi, dan etnis menjadi kekayaan budaya manusia maka bersikaplah lapang dan arif agar ketiganya bersinergi menjadi mozaik indah. latar informasi: manusia sering egois dalam menyikapi perbedaan, sehingga hati kita menjadi sempit dalam menerima kebenaran dari orang lain, oleh karena itu yang sering muncul adalah perdebatan karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog, jangankan untuk berdialog, untuk mendengar usulan orang lain rasanya manusia sering enggan. kutipan: satu hal yang bijak kiranya jika kita lebih mau mendengar dari pada memaksa orang lain untuk “harus” mendengarkan. sumber: komaruddin hidayat 87 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 frame 2: indahnya perbedaan struktur variabel pernyataan: tidak kah kita menutup mata akan kenyataan keragaman natural dari tuhan? apakah kita tidak mencoba memahami dengan jujur bahwa ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari pemahaman atau ideologi pihak lain? penutup: di sinilah kemudian dibutuhkan sikap lapang dada. dibarengi pula dengan kesadaran dan kejujuran untuk mau saling berbagi kebenaran. satu hal yang bijak kiranya jika kita lebih mau mendengar daripada memaksa orang lain untuk “harus” mendengarkan. pada teks ini komaruddin hidayat menyusun cerita tentang indahnya sebuah perbedaan (agama, ideologi, etnis) sebagai kekayan budaya manusia dan karunia tuhan. skrip who: what: indahnya sebuah perbedaan sebagai karunia tuhan dan kekayaan budaya manusia. when: where: why: ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari pemahaman atau ideology pihak lain, toh, semua berakar dan bersumber dari yang satu. kalaupun terjadi ragam perbedaan, hal itu dikarenakan soal presepsi dan ekspresi. how: sikap lapang dada, dibarengi dengan kesadaran dan kejujuran untuk mau saling berbagi kebenaran. walaupun komaruddin hidayat tidak menggunakan seluruh unsur 5w+1h namun esensi gagasan yang sampaikan sangat jelas dan mudah untuk dipahami. tematik detail: detail pada teks ini adalah bahwa keegoisan melahirkan hati yang sempit sehingga menutup kebenaran dari orang lain. 88 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial frame 2: indahnya perbedaan struktur variabel koherensi: kalau pun terjadi ragam perbedaan, hal itu dikarenakan soal presepsi dan ekspresi. bentuk kalimat: bentuk kalimat yang terdapat pada teks ini adalah kalimat deduktif, di mana inti pesan pada teks sudah disampaikan pada awal kalimat, konsep ini juga biasa disebut dengan piramida terbalik, dimana inti pesan ada di awal paragraf selanjutnya adalah penjelasan pada kalimat dan paragraf di bawahnya. a. manusia sering egois dan merasa benar sendiri, sehingga membuat hati menjadi sempit. b. bahwa ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari pemahaman dan ideologi pihak lain, karena perbadaan adalah tentang ekspresi dan presepsi. retoris kata: komaruddin hidayat dalam melakukan penekanan dan penonjolan makna. salah satu kata yang menonjol adalah “keragaman” yang menggantikan kata perbedaan, kata “keragaman” mengindikasikan adanya variasi dan pilihan. sedangkan kata lainnya adalah “perbedaan” dan “berbagi” idiom: dalam teks ini idiom yang digunakan adalah kata lapang dada penggunaan kata “keragaman” mengindikasikan adanya variasi dan pilihan. sedangkan kata lainnya adalah “perbedaan” dan “berbagi” kesemuanya merupakan cara penulis melakukan penekanan makna untuk mendukung gagasan yang disampaikan. berdasarkan tabel 3 tersebut, secara sintaksis judul teks ini sangat jelas menunjukan pandangan komaruddin hidayat atas sebuah kesalehan sosial, yaitu perbedaan sebagai keindahan, baik itu perbedaan agama, suku, atau pun perbedaan ideologi. lead yang dipakai pada teks ini merupakan jenis statement lead yaitu pernyataan tentang pesan yang disampaikan, yaitu indahnya sebuah perbedaan. penekanan yang dijadikan latar informasi oleh komaruddin hidayat adalah akibat dari sikap egois dan keangkuhan yang saling menjatuhkan sehingga menyebabkan perpecahan di tengah 89 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 masyarakat. tidak mau membuka hati dan membuka diri guna menjunjung tinggi perbedaan yang sudah ada, bahkan menurut komaruddin hidayat perbedaan yang ada adalah kekayaan budaya manusia. dari kutipan ini komaruddin hidayat menekankan bahwa sikap terbuka dan mau untuk mendengarkan pendapat dan argumentasi orang lain adalah salah satu jalan keluar guna memecah perbedaan yang ada sehingga bisa saling memahami dan menerima satu sama lain. kutipan pernyataan tersebut peneliti mengambil sebuah kesimpulan bahwa komaruddin hidayat menekankan bahwa sesungguhnya perbedaan merupakan karunia tuhan yang di dalamnya juga terdapat hikmah baik itu ilmu atau ideologi yang bisa kita pelajari sebagai sebuah pembelajaran bersama atas keragaman natural dari tuhan. ada pun pada unsur skrip pada teks ini anatara lain adalah what yang menjelaskan pesan apa yang disampaikan pada teks ini, yaitu tentang indahnya sebuah perbedaan sebagai karunia tuhan dan kekayaan budaya manusia.juga terdapat unsur why, yang menjelaskan kenapa sebuah perbedaan itu menjadi indah, dan who, yaitu manusia itu sendiri sebagai entitas di dalam kehidpan, ada juga unsur how, yaitu bagaimana indahnya perbedaan itu terjadi di dalam kehidupan kita. pada wacana tematik ini, detail yang pertama, manusia sering egois dan merasa benar sendiri, sehingga membuat hati menjadi sempit oleh karena itu tidak aka nada ruang dialog sehingga yang akan muncul adalah perdebatan untuk saling menjatuhkan. kedua, bahwa ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari pemahaman dan ideologi pihak lain, karena perbadaan adalah tentang ekspresi dan presepsi. komaruddin hidayat berusaha menekankan bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang abadi, karena perbedaan hanyalah tentang bagaimana manusia memaknai dan mengekspresikan sesuatu. bentuk kalimat yang terdapat pada teks ini adalah kalimat deduktif, di mana inti pesan pada teks sudah disampaikan pada awal kalimat, konsep ini juga biasa disebut dengan piramida terbalik, dimana inti pesan ada di 90 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial awal paragraf selanjutnya adalah penjelasan pada kalimat dan paraghraf di bawahnya. adapun unsur idiom yang terdapat pada teks ini adalah “lapang dada” yang berarti berjiwa besar atau penyabar. c. agama bukan menebar benci, tapi cinta tabel 4 agama bukan menebar benci, tapi cinta frame 3: agama bukan menebar benci, tetapi cinta struktur variabel sintaksis headline: agama bukan menebar benci, tetapi cinta judul ini semakin ditekankan oleh komaruddin hidayat pada awal teks. lead: ingatlah, misi utama agama adalah menebarkan rahmat. bukan berlomba memperbanyak umat, bahkan saling bertengkar dan menebar kebencian. latar informasi: yang menjadi latar dalam teks ini adalah dalil alquran yang menerangkan bahwa nabi muhammad saw. memang diutus oleh allah kebumi untuk menebarkan rahmat kepada seluruh alam, artinya nabi muhammad di utus untuk apa saja yang ada di alam ini, termasuk manusia. kutipan: “…dan tidaklah kami utus engkau muhammad, kecuali untuk menebar rahmat bagi semesta….” sumber: komaruddin hidayat pernyataan: bila diri kita mengaku sebagai umat nabi muhammad mengapa kita masih menebar benci dan angkara di bumi ini. padahal, sang nabi yang kita cinta itu diperintahkan untuk menebar kasih. 91 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 frame 3: agama bukan menebar benci, tetapi cinta struktur variabel penutup: lalu, mana yang akan kita perjuangkan, kualitas umat atau kuantitas umat? untuk apa kuantitas bila justru hanya banyak menjadikan banyak pertumpahan darah? bila diri kita mengaku sebagai umat nabi muhammad mengapa kita masih menebarkan benci dan angkara di bumi ini. padahal, sang nabi yang kita cintai itu diperintahkan untuk menebar kasih (rahmat). pada teks ini komaruddin hidayat menyusun gagasan mengedepankan dalil dalam alquran yang menyatakan bahwa nabi muhammad membawa islam sebagai rahmat kepada seluruh alam (termasuk manusia). skrip who: nabi muhammad what: agama yang di bawa nabi muhammad itu menebar rahmat dan kasih sayang bukan kebencian when: where: why: islam adalah agama rahmatan lil a lamin, agama yang didatangkan untuk seluruh umat manusia, sehingga kehadirannya merupakan kebaikan dan kasih sayang untuk umat manusia how: sebagai umat islam kita harus mencerminkan nilai-nilai keisalaman sebagai wujud rahmatan lil alamin, bukan menebar kebencian seperti golongan islam tertentu. dalam mengisahkan gagasan komaruddin hidayat tidak menggunakan unsur 5w+1h dengan lengkap, namun gagasan yang dituliskan mudah dipahami dengan baik oleh pembaca. tematik detail: sesungguhnya ajaran islam yang dibawa oleh nabi muhammad saw. adalah ajaran yang menebarkan cinta juga kasih sayang kepada seluruh alam akan tetapi umat islam sering mereduksi makna alam yang hanya dipahami sebagai bagian terpisah dari manusia, padahal makna alam itu adalah semua yang ada di dalam alam itu sendiri termasuk manusia. 92 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial frame 3: agama bukan menebar benci, tetapi cinta struktur variabel kohorensi: bila diri kita mengaku sebagai umat nabi muhammad mengapa kita masih menebarkan benci dan angkara di bumi ini. padahal, sang nabi yang kita cintai itu diperintahkan untuk menebar kasih (rahmat). bentuk kalimat: dalam penulisan teks ini menggunakan jenis kalimat deduktif, dimana inti berita diletakan pada awal kalimat, kemudian disusul dengan kalimat penjelas pada kalimat dan paragraph di bawahnya. teks ini juga di dominasi kalimat pasif seperti awalan “di” contohnya “diperintah” dan “diutus”. a. sesungguhnya ajaran islam yang dibawa oleh nabi muhammad saw. adalah ajaran yang menebarkan cinta juga kasih sayang kepada seluruh alam. b. islam sering mereduksi makna alam yang hanya dipahami sebagai bagian terpisah dari manusia. retoris kata: kata yang ditonjolkan komaruddin dalam teks ini di antarnya adalah kata “menebar”, “ramat” dan “alam” sebagai penekanan bahwa ajaran agama islam menebarkan rahmat atau kasih sayang kepada alam, alam yang dimaksud adalah alam beserta isinya termasuk manusia tanpa memandang warna kulit, budaya dan bangsa. idiom: idiom yang terdapat di dalam kalimat itu adalah kata “pertumpahan darah” yang bermakna pembunuhan atau peperangan. kata “menebar”, “ramat” dan “alam” sebagai penekanan bahwa ajaran agama islam menebarkan rahmat atau kasih sayang kepada alam. berdasarkan tabel 4 tersebut, teks ini membawa pesan kepada khalayak bahwa agama yang nabi muhammad bawa bukan untuk kebencian, melainkan ditujukan untuk perdamaian yang penuh cinta dan kasih sayang. lead yang digunakan adalah jenis lead pernyataan, yang menyatakan bahwa misi agama diturunkan ke bumi adalah sebagai rahmat bagi alam dan semesta. yang menjadi latar dalam teks ini adalah 93 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 dalil alquran yang menerangkan bahwa nabi muhammad saw memang diutus oleh allah kebumi untuk menebarkan rahmat kepada seluruh alam. kutipan di atas sangat jelas mengatakan bahwa agama yang dibawa nabi muhammad saw. adalah rahmat untuk alam semesta beserta isinya, sehingga bisa disimpulkan penonjolan pesan kesalehan pada teks ini adalah bahwa islam adalah agama yang diturunkan untuk alam, penuh cinta dan kasih sayang. pernyataan komaruddin hidayat yang sangat mendukung dan menonjolkan atas pesan yang disampaikan pada teks ini yaitu bahwa agama adalah rahmat untuk semesta, bahkan nabi muhammad diutus untuk menebar cinta dan kasih sayang kepada umat manusia. dari skripnya teks ini memang tidak memiliki kesempurnaan pada sisi 5w+1h, hanya terdapat unsur what yang menunjukan gagasan apa yang hendak disampaikan kepada pembaca, juga unsur why yang menjelaskan kenapa gagasan ini penting untuk diketahui, dan unsur who yang menunjukan siapa yang ada di dalam gagasan itu dalam hal ini adalah nabi muhammad. secara tematik, peneliti menemukan beberapa detail bahwa sesungguhnya ajaran islam yang dibawa oleh nabi muhammad saw adalah ajaran yang menebarkan cinta juga kasih sayang kepada seluruh alam. berdasarkan koherensi di atas, jelas sekali ajakan untuk berintropeksi diri dan mengikuti ajaran nabi muhammad yang senantiasa menebarkan kebaikan kepada semua orang. bentuk kalimat yang digunakan oleh komaruddin hidayat dalam penulisan teks ini menggunakan jenis kalimat deduktif, dimana inti berita diletakan pada awal kalimat, kemudian disusul dengan kalimat penjelas pada kalimat dan paragraf di bawahnya. dari analisis leksikonnya, kata yang ditonjolkan komaruddin dalam teks ini di antarnya adalah kata “menebar”, “ramat” dan “alam” sebagai penekanan bahwa ajaran agama islam menebarkan rahmat atau kasih sayang kepada alam, alam yang dimaksud adalah alam beserta isinya termasuk manusia tanpa memandang warna kulit, budaya dan bangsa. pada teks ini terdapat kalimat yang mengandung idiom yang digunakan 94 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial oleh komaruddin hidayat, idiom yang terdapat di dalam kalimat itu adalah kata “pertumpahan darah” yang bermakna pembunuhan atau peperangan. d. membuka kunci persahabatan tabel 5 membuka kunci persahabatan frame 4 : membuka kunci persahabatan struktur variabel sintaksis headline: membuka kunci persahabatan judul ini semakin ditekankan oleh komaruddin hidayat pada awal teks. lead: jika pintu sahabat tertutup, bukalah dengan permohonan maaf dan ucapan terimakasih yang tulus agar pintu persahabatan kembali terbuka. latar informasi: pemahaman bahwa dalam bersahabat itu harus ada kesejajaran (egaliter) antara sesama. karena sesungguhnya setiap orang itu sama di mata tuhan, tidak ada lagi kasta yang berlaku seperti zaman hindu. kutipan: “ketika satu di antara sahabat merasa lebih tinggi dan merasa lebih hebat dan seterusnya, perselisihan akan segera menyeruak” sumber: komaruddin hidayat pernyataan: “bukti nyata bahwa kita menyejajarkan sahabat kita adalah ketika kita melakukan kesalahan maka segeralah meminta maaf ” penutup: bukti nyata bahwa kita menyejajarkan sahabat kita adalah ketika kita melakukan kesalahan maka segeralah minta maaf, hal yang tidak kalah penting lagi adalah menyampaikan terimakasih jika kita mendapat sesuatu dari orang lain. 95 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 frame 4 : membuka kunci persahabatan struktur variabel pada teks ini komaruddin hidayat menyusun teks didahului dengan gagasan bahwa semua orang itu mempunyai kedudukan yang sejajar, sehingga yang salah meminta maaf dan yang diminta maaf memaafkan, itulah kunci persahabatan. skrip who: sahabat what: menyejajarkan sahabat merupakan kunci persahabatan when: where: why: ketika kita menyejajarkan sahabat maka implikasinya adalah saat kita berbuat salah maka kita mengucapkan maaf dan bila kita disakiti sahabat maka dengan berjiwa besar kita memafkannya. how: persahabatan itu seperti gelombang radio, bila frekuensinya tidak nyambung maka tidak akan muncul suara yang jelas, maka dari itu sebagai individu harus berjiwa besar untuk saling memafkan sebagai kunci persahabatan. pada teks ini unsur 5w+1h tidak lengkap, tetapi pesan yang disampaikan oleh penulis sangat jelas dan dapat dimengerti. tematik detail: persahabatan yang di dalamnya terdapat kesejajaran (egaliter) maka akan minim perpecahan. dan detail lain yang menyatakan bahwa sifat egois dan merasa paling hebat dapat melahirkan perpecahan di dalam hubungan persahabatan itu sendiri. kohorensi: peneliti melihat terdapat penekanan dan koherensi penjelas yang menyatakan bahwa persahabatan itu harus egaliter kalau pun ada persahabatan yang tidak sehat namun tetap berhubungan itu karena salah satunya sering mengalah cenderung menjadi korban. 96 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial frame 4 : membuka kunci persahabatan struktur variabel bentuk kalimat: bentuk kalimat yang digunakan adalah kalimat deduktif, dimana kalimat deduktif adalah kalimat yang memiliki gagasan pokok di awal kalimat sehingga kalimat selanjutnya adalah kalimat penjelas dari gagasan pokok yang ada. teks ini juga di dominasi oleh kalimat aktif berawalam me-, seperti kalimat “menyergap” “merasa” “menyergap”. a. persahabatan yang di dalamnya terdapat kesejajaran (egaliter) maka akan minim perpecahan. b. sifat egois dan merasa paling hebat dapat melahirkan perpecahan di dalam hubungan persahabatan itu sendiri. retoris kata: pada analisis leksikon peneliti melihat terdapat beberapa kata yang digunakan guna memberikan tekanan dan dukungan atas gagasan yang ingin disampaikan, di antaranya adalah kata “egois”, “persahabatan”, “egaliter”. idiom: penggunaan kata “egaliter” atau kesejajaran dan “egois” adalah cara komaruddin hidayat melakukan penekanan makna. berdasarkan tabel 5, secara sintaksis, pesan yang disampaikan sangat sesuai dengan gagasan yang disampaikannya pada teks ini yaitu ajakan untuk senantiasa bersikap baik kepada orang lain, membuka persahabatan dan saling memaafkan karena amarah hanyalah keegoisan yang memutus tali persahabatan. jenis lead di atas termasuk kedalam jenis statement lead (lead pernyataan). sedangkan dari sisi 5w+1h merupakan jenis what lead yaitu teras berita yang menceritakan pesan. latar informasi yang digunakan pada teks ini adalah pemahaman bahwa dalam bersahabat itu harus ada kesejajaran (egaliter) antara sesama. lebih jelas kutipan di atas sangat mendukung gagasan yang di sampaikannya komaruddin hidayat dalam teks ini, di mana menurutnya persahabatan adalah sesuatu yang mesti dijaga dan dipelihara sebagai makna dari kesalehan sosial. kutipan di atas menekankan akan esensi 97 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 dari sebuah hubungan persahabatan, yaitu meminta maaf bila melakukan kesalahan, dan memaafkan jika sahabat meminta maaf. dengan cemrat komaruddin memberikan tekanan atas bingkainya melalui pernyataan tersebut, bahwa kesalehan sosial (pada teks ini) adalah mensjajarkan orang lain karena semua sama di mata tuhan. dari wacana analisis skripnya terlihat hanya terdapat beberapa unsur 5w+1h. di antara unsur yang terdapat di dalamnya adalah unsur what, unsur why, unsur how dan unsur who. hal ini terjadi karena teks ini memang bukan sebuah berita yang harus memiliki kelengkapan unsur 5w+1h. secara tematik, peneliti menemukan detail, yaitu persahabatan yang di dalamnya terdapat kesejajaran (egaliter) maka akan minim perpecahan. dan detail lain yang menyatakan bahwa sifat egois dan merasa paling hebat dapat melahirkan perpecahan di dalam hubungan persahabatan itu sendiri. kohorensi di dalam teks tersebut maksudnya ketika persahabatan di dalamnya mengandung keegoisan satu sama lain, merasa lebih hebat dari sahabat maka perselisihan akan menyeruak, kalaupun masih bertahan itu karena salah satu dari sahabat ada yang mau berbesar hati untuk mengalah. bentuk kalimat yang digunakan adalah kalimat deduktif, dimana kalimat deduktif adalah kalimat yang memiliki gagasan pokok di awal kalimat sehingga kalimat selanjutnya adalah kalimat penjelas dari gagasan pokok yang ada. pada analisis retoris peneliti melihat bahwa teks ini terstruktur dengan apik, dengan kesadaran akan kegoisan setiap individu sehingga diperlukannya kebijakan dalam memandang arti sebuah persahabatan, yaitu egaliter, kesejajaran antara sahabat yang akan melahirkan hubungan baik, dengan saling memaafkan dan memahami, itu adalah kunci persahabatan. 98 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial e. konstruksi pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah komaruddin hidayat mengkonstruksi pesan kesalehan sosial pada keempat judul itu, dimana ia melihat beberapa hal terkait bagaimana umat islam memaknai konteks islam yang dianut sebagai agama dan kepercayaan manusia. merujuk pada kepayahan umat dalam menjalankan nilai dan ajaran agama islam, pada akhirnya menjadikan masyarakat sering salah kaprah dalam memaknai islam. banyak yang mempelajari islam hanya pada kulitnya saja dan tidak secara jauh merujuk pada esensi dan substansi dari islam itu sendiri. yang pertama, dari iman lahirlah aman, pada judul ini komaruddin berusaha menjelaskan bahwa orang yang beriman senantiasa memberikan rasa aman dan nyaman kepada khalayak sebagai implikasi dari keimanannya kepada allah swt. bukan malah sebaliknya, seperti yang sering dilakukan sekelompok muslim yang berkedok organisasi masyarakat (ormas). realitas memperlihatkan ormas yang menjadikan islam sebagai tameng, nyatanya kerap bersikap di luar nilai-nilai keislaman. kerap bersikap keras dan anarkis pada dasarnya bukanlah cara berdakwah. nabi mengajarkan bahwa berdakwah harus menggunakan cara yang baik dan menjauhi segala macam cara kekerasan karena cara demikian itu akan lebih berkenan dalam hati seseorang. yang kedua, indahnya perbedaan, pada judul ini komaruddin hidayat menjelaskan bahwa perbedaan adalah rahmat dan kekayaan budaya yang harus dijaga oleh manusia. karena menurut komaruddin hidayat, perbedaan dan keragaman merupakan pemberian tuhan yang harus dijaga karena semua manusia memiliki posisi sama di mata tuhan. konstruksi yang dilakukan komaruddin atas teks ini adalah upaya menyadarkan umat terhadap realitas perkembangan zaman yang majemuk dan tidak dapat dihindari sehingga perlu adanya sikap percaya diri, optimis, serta dinamis dalam mengikuti perkembangan atas segala sesuatu yang dipandang positif dan membawa pengaruh baik untuk kehidupan manusia. 99 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 yang ketiga, agama bukan menebar benci, tetapi cinta, pada judul ini, komaruddin menjelaskan bahwa agama islam sebagai ajaran dan konsep dalam berkehidupan merupakan sesuatu yang diturunkan kepada seluruh umat manusia sehingga selayaknya sebagai seorang muslim harus senantiasa mencerminkan ajaran islam itu sendiri. yang keempat, kunci persahabatan, pada judul ini komaruddin hidayat berusaha menjelasakan bahwa persahabatan adalah nilai yang agung, dan di antara dua sahabat terdapat kesejajaran. maka bila di antara manusia ada kesalahan maka meminta maaf dan saling memaafkan adalah kunci dari persahabatan. komaruddin membangun dan membentuk pesan kesalehan sosial ini dengan menekankan bahwa semua manusia di mata allah adalah sama, sama-sama seorang hamba, yang mana apabila salah satu di antara keduanya berbuat salah, maka hendaknya meminta maaf, begitu pula sebaliknya. v. kesimpulan berdasarkan analisis model zhongdang pan dan gerald m. kosicki yang dilakukan terhadap buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat terkait pesan kesalehan sosial, diperoleh kesimpulan bahwa buku ungkapan hikmah dengan empat judulnya terkait pesan kesalehan sosial menonjolkan sikap toleransi dan perdamaian, ini terbukti dengan gagasangagasan komaruddin hidayat yang sering menekankan pentingnya berlaku saling menghargai ditengah perbedaan untuk menciptakan kondisi damai sebagai implikasi dari keberimanan seseorang kepada allah swt. pada setiap penulisan buku ungkapan hikmah, komaruddin hidayat mengkonstruksi pesan kesalehan sosial dengan melakukan penekanan dan seleksi tertentu guna menguatkan pesan yang ingin disampaikan. hal ini terlihat dari lead dan headline yang dituliskan. tulisan berjudul “dari iman lahirlah aman” merepresentasikan bahwa keimanan seseorang akan tercermin pada sikapnya yang membawa rasa aman dan nyaman. “agama bukan menebar benci, tetapi cinta” dikonstruksi dengan menekankan bahwa 100 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial agama adalah cinta dan manusia merupakan agen penebar cinta sehingga agama akan mampu menebarkan kasih saying, dan bukan kebencian. bagian “indahnya perbedaan”, diwujudkan sebagai sebuah kekayaan budaya bangsa indonesia sehingga adanya perbedaan pada dasarnya harus dijaga karena allah sendiri mengatakan bahwa bisa saja allah yang menciptakan orang beriman dan kafir. selanjutnya, tulisan “membuka kunci persahabatan” menjelaskan bahwa bagi allah, semua manusia itu adalah sama sehingga dalam konteks persahabatan, kita harus memandang sahabat-sahabat kita sama rata tanpa memandang suku ataupun status pekerjaan. mengingat yang membedakan manusia di mata allah bukan terkait status dan posisi fisiknya, melainkan keimanan dan ketakwaaannya. disadari bahwa setiap buku memiliki segmentasi pembaca yang berbeda. namun faktanya, dewasa ini setiap orang dapat mengaksesnya dengan mudah sehingga perlu adanya penjelasan yang lebih netral dan objektif terhadap apa yang ditawarkan dalam konten sebuah buku. dengan demikian, terkait sejumlah kekurangan dalam penelitian ini, tentu perlu kiranya untuk melakukan kajian pada beberapa buku lain yang sejenis, terutama sebagai referensi lanjut sekaligus pengembangan penelitian untuk ke depannya. lebih jauh, adanya penelitian selanjutnya diharapkan mampu menjadi pertimbangan akademis yang lebih lengkap sekaligus menambah wawasan kebaruan terkait kajian sejenis yang diteliti. daftar pustaka ananda, p. i. (2017). “world muslimah sebagai budaya populer dalam bingkai media online islam”. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi. vol. 2 no. 2 tahun 2017. 165 – 190. doi : 10.22515/balagh.v2i2.983. anggoro, a. d. (2014). media, politik, dan kekuasaan (analisis framing model robert n. entman tentang pemberitaan hasil pemilihan presiden 9 juli 2014 di tv one dan metro tv). jurnal aristo vol. 2 no. 2 juli 2014, 25-54. apsari, t.a. (2018). bingkai berita bencana lumpur lapindo di media 101 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 73 102 online. jurnal komunikasi dan kajian media, vol. 2, nomor 1, april 2018. 1-17 arniah, rijal, s., & falikhah, n. (2012). analisis framing pada pemberitaan tewasnya osama bin laden di harian republika-kompas. alhadlarah jurnal ilmu dakwah, vol. 11 no. 22, juli-desember 2012, 161-173. bungin, b. (2008). konstruksi sosial media massa. jakarta: kencana prenada media group. damayanti, s., mayangsari, i. d., & syah putra, d. k. (2016). analisis framing robert n. entman atas pemberitaan reklamasi teluk jakarta di majalah tempo. e-proceeding management vol. 3 no. 3 december 2016, 3928-3936. desiana. (2016). analisis framing berita serangan isis di paris pada surat kabar harian waspada, sib, dan analisa. al-balagh, vol. 1, no. 1, 2016, 138-148. eriyanto. (2003). analisis framing: konstruksi, ideologi dan politik media. yogyakarta: lkis. fadiyah, d. (2014). analisis framing pemberitaan ahok vs lulung dalam konflik penertiban pkl di pasar tanah abang jakarta pusat dalam media online detik.com. jurnal al-azhar indonesia seri pranata sosial vol. 2 no. 3, maret 2014, 169-176. gaio, a. m. s., mondry, & diahloka, c. (2015). analisis framing robert entman pada pemberitaan konflik kpk vs polri di vivanews. co.id dan detiknews.com. jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, vol. 4, no. 3. 451 – 455. haidar, i. a. (2003). etika islam dari kesalehan individual menuju kesalehan sosial. jakarta: al-huda. herman, a., & nurdiansa, j. (2010). analisis framing pemberitaan konflik israel-palestina dalam harian kompas dan radar sulteng. jurnal ilmu komunikasi, vol. 8, no. 2, mei-agustus 2010. 164 – 168. hidayat, k. (2012). psikologi kematian. jakarta: noura books. hidayat, k. (2013). ungkapan hikmah. jakarta: noura books. jemat, a. (2014). framing media online terhadap pemberitaan mengenai susilo bambang yudhoyono menjelang pemilu legislatif 2014. jurnal komunikologi vol. 11 no. 2 september 2014, 57-64. johanes, l. (2013). analisis framing pemberitaan konflik partai nasional demokrat (nasdem) di harian media indonesia dan koran sindo. 102 muhammad reza fansuri, fatmawati – analisis framing pesan kesalehan sosial jurnal e-komunikasi program studi ilmu komunikasi universitas kristen petra surabaya, vol. 1, no. 2, tahun 2013. 83 – 92. kriyanto, r. (2006). teknik praktik: riset komunikasi. jakarta: kencana. mubarok, & andjani, m. d. (2012). konstruksi pemberitaan media tentang negara islam indonesia (analisis framing republika dan kompas). jurnal komunikasi makna vol. 3 no. 1 (2012), 24-41. doi: http://dx.doi.org/10.30659/jikm.3.1.24-41. mustika, r. (2017). analisis framing pemberitaan media online mengenai kasus pedofilia di akun facebook. jurnal penelitian komunikasi vol. 20 no. 2, desember 2017, 135-148. nasution, i. f. a., & miswari. (2018). islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi. vol. 2 no. 1. tahun 2017. 45 – 62. doi : 10.22515/balagh.v2i1.753. putri, a. n. (2012). analisis framing berita demonstrasi mahasiswa semarang terkait kenaikan harga bbm pada tv borobudur. the messenger, vol. iv, no. 1, edisi juli 2012, 19-26. rachman, m. f. (2012). islamic relationship. jakarta: erlangga. ruslan, r. (2003). metodologi penelitian publik relation dan komunikasi. jakarta: pt. raja grafindo persada. sinaga, k. c. (2016). analisis framing pemberitaan bom sarinah di kompas.com dan merdeka.com. jom fisip vol. 3 no. 2 oktober 2016, 1-12. sobary, m. (2007). kesalehan sosial. yogyakarta: lkis. sobur, a. (2006). analisis teks media: suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik, dan analisis framing. bandung: pt. remaja rosydakarya. sugiarto, e. (2015). menyusun proposal penelitian kualitatif: skripsi dan tesis. yogyakarta: suaka media. yusuf, a. a. (2007). implementasi kesalehan sosial dalam persfektif sosiologi alquran. bandung: humaniora utama press. zainudin, m. (2007). kesalehan normatif dan sosial. malang: uin malang press. relasi media massa dan dakwah kontemporer ihdal minan pasca sarjana komunikasi penyiaran islam uin sunan ampel surabaya keywords: religious socialization, the media of dakwah http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: ihdal.minanyz@gmail.com abstract abstrak mass media have an important role in today religious life of society. the relationship between religion and mass media is mutual relationship with many influential factors involved. the article explains this relationship from various view points and approaches. the facts found show that beside giving positive support, mass media also brings negative effects in the process of religious spreading. the pragmatism of media causes the media have not orientated on the growing of constructive values anymore, but have tended to be manipulative. media massa memiliki peran yang penting dalam kehidupan umat beragama pada masa kini. hubungan antara agama dan media massa bersifat mutualisme dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya. artikel ini memaparkan hubungan keduanya dengan berbagai sudut pandang dan pendekatan. berbagai fakta menunjukkan bahwa media selain memudahkan namun juga membawa sisi negatif dalam proses penyebaran agama. pragmatisme media cenderung menyebabkan media tidak lagi berorientasi pada penanaman nilai-nilai konstruktif, bahkan cenderung manipulatif. 198 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer pendahuluan setiap hari kita bangun pagi, sebagian dari kita mungkin akan tertuju langsung pada televisi di ruang tamu kita, saat itu pula kita temui berbagai macam tayangan televisi, namun kebanyakan akan kita temui acara berita dan siraman rohani islam maupun kristen (khususnya hari minggu), hal tersubut menunjukkan bagaimana media digunakan oleh beberapa kelompok agama untuk menyebarkan agama mereka. bagi mereka media massa merupakan alat yang paling tepat untuk menyebarkan ajaran agamanya(apriadi 2013, 135). sehingga media dan agama memiliki relasi yang kuat. di lain pihak, penggunaan media massa dalam aktivitas keagamaan merupakan berkah bagi pengelola media, hal tersebut tidak lepas dari latar masyarakat indonesia yang multireligious, sehingga pengelola media seakan berlomba menarik perhatian masyakat beragama dengan menyuguhkan bebagai acara yang seakan mendukung terhadap agama mereka. hal tersebut dapat kita lihat pada pelaksanaan momen-momen sakral suatu agama, misalnya bulan puasa, perayaan idul fitri, natal, imlek, dan lainnya (apriadi 2013, 110). maka tidak meragukan apabila kita menyebut antara agama dan media terdapat hal yang saling menguntungkan (mutual). tulisan ini mencoba untuk mengulas hubungan mutualisme antara agama dan media dari berbagai perspektif, termasuk beberapa hal yang dapat menunjukkan akan sistem mutual antara keduanya. media sebagai agen sosialisasi agama setiap pemuka agama mengajarkan klaim bahwa agamanya adalah agama yang paling benar. maka tidaklah mengherankan apabila mereka (agamawan) berusaha sekuat tenaga untuk memperkenalkan dan menyebarkan agamanya, lebih-lebih dalam agama yang merekan anut tedapat kewajiban untuk menyebarkan agamanya dan mengajak orang di luar mereka untuk menganut apa yang mereka yakini. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 199 sosialisasi agama pada mulanya berlangsung secara lambat, hal tersebut dikarenakan media yang digunakan adalah media tradisional yang memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga pesan yang dikirimkan memilikiketerbatasan pula. namun saat ini media telah berkembang sedemikian pesat dan memungkinkan untuk menjangkau area-area yang tidakbisa dijangkau media tradisional. dengan demikian, sosialisasi nilainilai keagamaan akan menyebar cepat dan luas tanpa berbatas (arifin 2011, 35). bagi suatu agama, sosialisasi menjadi hal yang sangat penting mengingat hal tersebut merupakan perintah agama, allo liliweri dalam bukunya komunikasi serba ada serbamakna mendefinisikan sosialisasi merupakan dasar bagi setiap subsistem dalam sebuah masyarakat yang berjuang untuk melanjutkan dan mempertahankan sebuah system yang stabil (liliweri 2011, 881), alo liliweri menambahkan setidaknya terdapat beberapa unsure dalam sosialisasi, yaitu : a. dalam proses sosialisasi terkandung maksud dan cara-cara bagaimana kebudayaan (kepercayaan, tradisi, gaya hidup, bahasa, aturan, dll) dibagi dan dipertukarkan b. dari luar masyarakat, dan dibagi atau dipertukarkan c. ke dalam dan menjadikannya sebagai bagian dari pernghayatan caara hiadup yang terorganisir d. proses membawa dari eksternal dan keinternal melalui learning e. melalui peran sebuag agen (liliweri 2011, 881) dalam hal ini, media menjadi agen agama untuk membagi dan menyebarluaskan kepercayaan, tradisi, gaya hidup, bahasa, aturan, dll bagi masyarakat. media sebagai sarana pembujuk (persuasi) salah satu cara untuk menyebarluaskan agama adalah dengan mengajak orang lain untuk menganut agamanya, dalam ilmu komunikasi hal ini dikenal dengan komunikasi persuasi, bagi penganut suatu agama 200 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer hal ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan, dalam agama kitab suci islam, krister, dan agama-agama setidaknya terdapat perintah yang menunjukkan akan perintah tersebut. oslon dan sanna mendefinisikan persuasi sebagai perubahan sikap akibat paparan informasi dari orang lain sikap sering kali dianggap memiliki tiga komponen, yaitu kompenen afektif, komponen kognitif dan komponen perilaku. komponen afektif sikap menyangkut kesukaan dan perasaan terhadap suatu objek, komponen kognitif adalah menyangkut keyakinan terhadap objek dan komponen prilaku menyangkut tindakan terhadap objek (irra 2015, 177). perkembangan media dewasa ini telah menarik perhatian para pembujuk professional untuk menggunakannya sebagai sarana pembujuk yang tepat. dengan segala keunggulan yang dimiliki media yang menembus batas ruang dan waktu para pembejuk tersebut seakan leluasa untuk menyebarluaskan pesan-pesannya, hal tersebut dapat kita lihat bagaimana sejumlah media massa dipenuhi dengan berbagai macam ajakan baik yang bersifat terang-terangan maupun yang terselubung. masyarakat sebagai objek dari media terus diincar, terlebih dengan berkembangnya industry kapitalis. dengan banyaknya aneka ajakan dalam media, john kenneth galbraith dalam willian l river dantheodore peterson mengatakan: dari subuh hingga tengah malam, orang-orang terus diberitahu tentang adanya berbagai macam barang dan jasa. setiap aspek kualitanya, keggunaan atau kegembiraan yang dihasilkannya digembar-gemborkan oleh para professional berbakat yang sengaja dibayar mahaluntuk membujuk orang-orang membeli sesuatu. aspek kualitas yang tidak berartipun bisa dikesankan luarbiasa seolah-olah dapat menghadirkan kembali yesus dan para muridnya ke dunia. untuk jasa dan produk yang manfaatnya cukup jelas, promosinya jauh lebih hebat lagi.(william 2003, 57) dengan dahsyat dan banyaknya gelombang ajakan yang terdapat dalam media, maka media pun menjadi satu-satunya alat yang paling ampuh untuk mengajak orang lain menganut suatu agama. diharapkan dengan – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 201 teknik persuasi yang baik dan keunggulan yang dimiliki media, nilai-nilai religiusitas dapat diserap oleh komponen-komponen sikap dengan baik. agama sebagai salah satu sumber eksistensi media dari paparan dua poin diatas tergambar jelas bagaimana agama menggunakan media sebagai alat bantu untuk mempertahan eksistensinya. sebaliknya, mediapun terbantu oleh keberadaan agama yang menggunakannya untuk berbagai macam kegiatannya, terlebih di negaraneraga dengan penduduk multireligious seperti indonesia. kekuatan kontruksi social dari media merupakan hal yang sangat menarik yang tidak bisa ditinggalkan oleh agama. isu-isu agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan media, terlebih dinegara-negara belahan timur (eastern) yang (dikenal) masih menjaga nilai-nilai luhur keagamaan. bagi orang-oarang timur, liberalism media masih menjadi musuh bagi agamanya, mereka menolak mediamedia yang mambawa konten berbahaya yang bertentangan dengan nilai dan tradisi keagaannnya, hal tersebut menjadi perhatian media sehingga media mencoba menghadirkan program-program yang sejalan dan searah dengan nilai-nilai keagamaan atau seminimal mungkin megurangi konten yang berlawanan dengan nilai-nilai keagamaan yang bisa memicu emosi pemeluknya. hal tersebut dirasa penting untuk menjaga menjaga kondisi masyarakat agar media tersebut dapat dianggap dan diterima dengan baik yang selanjutnya menghadirkan keuntungan bagi media itu sendiri (stanley 2012, 73) jika diperhatikan, banyak program-program media, khususnya televisi, yang menghadirkan acara-acara yang sifatnya religious, bentuknyapun sangatlah beragam. berikut adalah beberapa program televisi yang menunjukkan bahwa agama dan media berjalan beriringan; a. taklshow religi, acara ini diformat dengan menhadirkan narasumber yang dianggap mampu menjawab segala persoalan keagamaan ditengah-tengah 202 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer maasyarakat. pada beberapa acara sebagian jamaah diundang kestudio untuk menjadi pelengkap terlaksananya acara tersebut. acara ini sifatnya interaktif dimana audien yang berada di dalam maupun luar studio bisa menanyakan berbagai persoalan yang sedang dihadapi. b. resolusi konfik keagamaan, dalam hal ini media menjadi penghubung antara babarapa kelompok yang terlibat konflik sehingga dapat terwujud solusi bagi permasalahan tersebut. hal ini dilakukan dengan beraneka macam program baik dalam bentuk penyiaran berita, talkshow interaktiv, dll. c. pengajian atau ceramag agama, acara ini hampir sama dengan acara talkshow religi yang menghadirkan nara sumber yang berkompeten, namun acara ini lebih bersifat pasif dan berjalan satu arah. contoh dari acara ini adalah acara wisata hati antv yang dipandu ustad yusuf mansur dan indonesia bertasbih di tv one. selain acara-acara religi telivisi yang ditayangkan stasiun televisi nasional, dan media lain dengan posisi netral, ditempat lain banyak bermunculan media-media yang merepresentasikan sebuah agama dan keyakinan tertentu, seperti tv9, rodja tv, dll. selain itu terdapat radio dan media cetak yang telah menjadi media popular penyampaian agama sebelumnya. kontradiksi konten media dengan nilai-nilai keagamaan media adalah suatu alat atau komponen untuk mengantarkan sebuah pesan dalam aktifitas komunikasi. tentunya dengan demikian pada saat ini media memiliki peran penting dalam proses penyampaian dan penyebaran informasi. media merupakan komponen untuk mencerdaskan bangsa, media harus menyajikan informasi yang aktual, faktual dan konstruktif yang tentunya tidak manipulatif, sehingga menjadikan anak bangsa menjadi lebih mudah untuk berfikir lebih jernih (rakhmat 2013, 186). – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 203 dalam sejarah perkembangan media sebelum reformasi tidak diberikan kebebasan pers oleh pemerintah. sehingga orang – orang pers melakukan pemberontakan terhadap pemerintah agar pers betul betul dibebaskan. selain kebebasan pers berfungsi sebagai kontrol sosial, kontrol terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah, kebebasan pers juga bertujuan untuk menegakkan sistem demokrasi dalam pemerintahan. namun kenyataannya setelah pemerintah memberikan kebebasan pers, orang –orang pers tidak mempergunakan kesempatan ini dengan baik. sebenarnya kebebasan pers ini adalah bentuk kemerdekaan para pengelola media. bisa mengeksplorasi segala fenomena yang terjadi dengan ditengah –tengah kita, tentunya dengan sajian yang faktual dan aktual. bertujuan untuk mengkonstruksi dan bukan justru sifatnya distruktif (aris 2013, 153). yang terjadi pada saat ini adalah kebohongan media, yang mengakibatkan beberapa kelompok agamawan cenderung mawas diri dari media, mereka seakan takut akan konten media yang bagi mereka sangat berbahaya bagi nilai-nilai religiuitas, terlebih setelah hadirnya internet di tengah-tengah masyarakat, perkembangan pengguna internet setiap waktu mengalami peningkatan yang luar biasa hal itu disebabkan oleh faktor kebebasan berekspresi yang ditawarkan internet tanpa ada yang menghalangi. tidak ada yang membutuhkan idin untuk menggunakan atau tidak menggunakan internet. tidak ada pula yang mengatur pengguna internet untuk berkata seseatu di internet, dan tidak ada pula yang mengatur pengguna untuk mendengar dan melihat apa yang ada di internet (bungin 2008, 120). media adalah alat untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu pada masyarakat, yang berbentuk konten media, konten tersebut tidaklah semuanya baik, tergantung dari pengelola media. berikut adalah beberapa konten yang dianggap bersifat kontradiktif dan distruktif bagi nilai-nilai keagamaan; 204 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer 1. pornografi dan pornoaksi pada tahun1994, menteri penerangan h. harmoko mengintruksikan kepada badan sensor film (bsf) untuk menertibkan film porno, berita intruksi ini dimuat di harian republika, 15 juli 1994, di kesempatan lain harmoko juga mengancam akan menutup produksi film nasional apabila terus menerus mengeksploitasi masalah seks dan pornografi secara vulgar (bungin 2005, 115). langkah tegas yang diambil harmoko saat itu dinilai tepat mengingat kondisi masyarakat indonesi adalah masyarakat religius. hal tersebut juga menunjukkan bagaimana pornografi dan pornoaksi telah menjadi problem serius yang telah terjadi sejak lama. masih melekat kuat dalam benak kita bagainama goyang ngebor inul menjadi primadona goyang dangdut pada masanya, fenomena tersebut diikuti dengan berbagai berita tentang prilaku kekerasan seksual, walaupun tidak ada bukti langsung akan hubungan antara keduanya, namun pada beberapa kasus dapat dilihat bagaimana goyang ngebor inul saat itu membangkitkan gairah seksual seseorang. pada awalnya, istilah porno hanya dikenal secara sempit sebagai video dan gambar porno, namunpada perkembangannya istilah porno dikonseptualisasikan menjadi pornografi, pornoteks, porno suara dan porno aksi, selanjutanya hal-hal tersebut kemudian menjadi sajian-sajian media sehingga muncullah istilah pornomedia (bungin 2005, 124). a. pornografi istilah pornografi mungkin sudah banyak diketahui oleh hamper semua lapisan masyarakat, hal ini dikarenakan banyaknya media yang memasukkan unsure ini kedalam kontennya, hal tersebut juga dipermudah karena sifatnya yang mudah ditampilkan dicerna dan mudah dikenal. pornografi adalah gambar-gambar yang menampilkan prilaku pencabulan yang lebih banyak menampilkan tubuh dan alat kelamin manusia. sifat pornografi yang tidak senonoh, jorok, dan vulgar serta membuat terangsang secara seksual menjadi bahan konsumtif public akibat media, namun demikian, dengan sifat sifat yang dibawa menjadikan pornografi – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 205 dapat cepat menyebar dan terserap, hal itu dikarenakan kecenderungan manusia yang tertarik akan laawan jenisnya. selain itu, unsur-unsur pornografi juga mudah didapatkan di berbagai media baik dalam bentuk foto, poster, gambar video, film, dan vcd termasuk bentuk alat-alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan pencabulan (porno). b. pornoteks pornoteks adalah hasil karyan porno yang ditampilkan lewat naskah tulisan baik itu yang ditulis sebagai cerita, berita, testimonial, atau pengalaman pribadi, termasuk pula cerita bergambar dan komik. pornoteks disinyalir lebih berbahaya dari berbagai macam bentuk pornografi lainnya. hal tersebut dikarenakan penggambaran detail sebuah peristiwa melalui narasi menyebabkan terciptanya theatre of the mind yaitu terciptanya gambaran nyata dalam pikiran pembaca akan adegan seksual yang terjadi fantasi seksual yang menggebu terhadap objek yang digambarkan. (wirawan 2013, 78) c. pornosuara porno suara adalah suara, tuturan, kata-kata dan kalimat yang diucapkan seseorang secara langsung maupun tidak langsung, secara harus maupun terang terangan. pornosuara memberikan gambaran akan objek seksual walaupun efeknya tidak sehebat porno teks. d. pornoaksi pornoaksi adalah setiap gerakan, liukan, penonjolan bagian tubuh yang dapat membangkitkan gairah seksual seseorang sampai menampilkan bagian-bagian tubuh yang paling sensitive, hal tesebut dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. e. pornomedia pornomedia adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan konten-konten porno yang terdapat dalam media massa. jika pada era pertama media, konten porno terbagi berdasarkan ranah jangkauan dan spesialisasinya, media cetak memuat pornoteks, radio memuat porno suara 206 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer dan televivi memuat porno aksi, maka saat ini berbagai berbagai bentuk pornogrfi dapat ditampilkan dalamsatu media yaitu internet, hal ini dikenal dengan cybersex atau cyberporno. penyebaran konten porno dalam berbagai media merupakan pukulan bagi agama yang berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur keagamaan. hampir tidak satupun agama yang membolehkan segala bentuk hal porno yang diekspos dan dipertontonkan secara bebas. terdapat hokum dan peraturan dalam agama tentang bagaimana mengelola nafsu birahi manusia yang secara fitrah melekat dala diri manusia itu sendiri yaitu dengan pernikahan (jumantoro 2001, 42). dalam islam allah secara jelas melarang hambanya untuk terlibat dalam pornografi dan pornoaksi yang dapat mendekatkan pada perbuatan sina. awadl manshur dalam bukunya televisi, manfaat dan mudarat mengemukakan bahwa tayangandalam televisi “terutama dalam bentuk hiburan” lebih layak jika dinyatakan “dakwah” untuk berbuat ina, baik bagi pemirsa laki-laki maupun perempuan, lantaran dari semua jenis hiburan yang ditayangkan menggelitik, membangunkan dan menambah gairah nafsu seksual pemirsanya. 2. lgbt isu lgbt mencuat dan menjadi headline pada beberapa media, khususnya telivisi. lgbt merupakan singkatan dari lesbian gay biseksual, dan transgender. lesbian adalah ketertarikan wanita pada sesame jenisnya sedangkan gay adalah ketertarikan pria pada sejenisnya, biseksual adala ketertarikan seseorang pada dua jenis kelamin sekaligus dan transgender adalah ketidak sesuaian antara fitrah jasadiyah dia dengan sikap dan prilakunya. berbeda dengan unsur pornografi yang mudah ditemui dan dikenal, unsur lgbt biasanya dan kebanyakan lebih halus dan samar, butuh kejelian untuk menangkap unsure tersebut dalam media. dampak dari unsure ini juga berbeda dari pornaografi, jika dampak pornografi lebih – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 207 kontan dirasakan maka lgbt sebaliknya, namun akan menancapkuat dalam diri objeknya yang pada akhirnya membimbing objek tersebut pada prilaku seks yang menympang. saat isu lgbt mencuat kepermukaan, masyarakat, tidaksaja di indonesia namun juga didunia, seolah terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok pro lgbt dan kelompok kontra lgbt. kelompok pro lgbt adalah yang terdiri dari pelaku lgbt itu sendiri dan kaum yang “menuhankan” hak asasi manusia dan kebebasan. sedangkan kelompok yang kontra terdiri dari para agamawan yang terus berusaha memperhankan nilailuhur agama dan kepercayaannya. 3. hedonisme hampir semua lapisan masyarakat menyambut dan bersikap baik akan kemajuan teknologi di ere globalisasi ini, meskipun tidak sedikit yang masalah yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi itu sendiri khususnya teknologi media komunikasi. hadirnya teknologi menjadikan media sebagai sesuatu yang paling penting dalam komunikasi,khususnya komunikasi massa. dengan demikian informasi yang dulu hanya dapat didengar oleh beberapa kalangan saat ini telah dapat di dengar oleh hamper semua masyarakat, bahkan di belahan dunia terpencil sekalipun. arus informasi yang begitu cepat secara tidak langsung mengubah pola hidup masyarakat tradisional yang sejak awal mereka pegang teguh menjadi masyarakat yang cenderung hedonis dan gila harta, hedonisme pada prinsipnya adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan banyak harta dan mengejar kesenangan semata tanpa peduli lingkungan sekitar, semua yang ia raih hanya untuk kebahagiaan dan kepuasan dirinya. budaya hedonism menjadi salah satu musuh agama karena dianggap bertentangan dengan nilai spiritualitas agama. 208 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer 4. unsur kekerasan dalam media salah satu hal negative yang dibawa oleh media adalah unsure kekerasan, terdapat banyak unsur kekerasan yang media suguhkan khususnya kepada anak-anak. nancy sinogrielli melakukan sebuah penelitian tentang sindrom dunia yang kejam, menganalisis tindak kekerasan pada lebih dari 2000 program televisi anak-anak termasuk 6000 karakter utama antara tahun 1967 dan 1985. dalam penelitiannya, sinogrielli menemukan bahwa 71 persen program waktu tayang utama dan 94 persen program akhir pecan berisi tindak kekerasan. program waktu tayang utama berisi hamper 5 tindakan kekerasan dan program akhir pecan berisi enam. jumlah tersebut lebih dari 5 tindak kekerasan perjam selama waktu tayang utama dan duapuluh tindak kekerasan perjam setiap akhir pecan. penelitian ini menyatakan bahwa ada banyak tindak kekerasan yang ditampilkan televisi dilain pihak, agama diklaim sebagai agen perdamaian dan ketentraman, tentulah agama akan menolak segala macam bentuk tanyangan yang menampilkan unsure-unsur kekerasan (foss 2014, 425). bahaya konstruksi sosial media massa terhadap agama sebelum memasuki pembahasan yang mendalam tentang bahaya konstruksi media sosial baiknya kita untuk mengingat dan menbandingkan bagaimana kondisi kehidupan kita dulu sebelum teknologi media mulai berkembang di negara kita, dengan saat ini dimana hampir setiap saat kita bergelut dan tidak terlepas dari media komunikasi, khususnya media massa. sebelum berkembangnya media komunikasi khususnya media massa, tentu kita tidak semudah seperti era saat ini yang mana segalanya dapat kita lakukan dengan cepat, saat dulu segalanya membutuhkan perjuangan. untuk mendapatkan informasi kita butuh biaya banyak, untuk berkomunikasi dengan orang yang ada di daerah yang jauh dari tempat kita, kita masih menggunakan surat dan dikirimkan melalui pos, sehingga durasi waktu untuk sampai surat itu kepada yang dituju membutuhkan waktu yang lama, belum lagi untuk menunggu balasan dari surat yang kita – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 209 kirim. betapa sulitnya kita hidup di saat media masih belum berkembang seperti saat ini.(werner 2014, 142) saat ini, dimana teknologi media mulai berkembang pesat, sehingga segala bentuk problem yang terjadi sebelum berkembangnya teknologi media, seolah teratasi dengan berbagai macam kecanggihan media. kejadian saat inipun dapat kita ketahui saat ini pula, dengan mengakses informasi tersebut melalui media massa, baik televisi atau internet. dengan perkembangan pulau masyarakat agraris dimana pada saat itu orang yang memiliki kekuasaan adalah orang yang memiliki kekuatan, kemudian berkembang menjadi masyarakat industri, dimana pada masa itu orang yang memiliki kekuasaan adalah orang yang memiliki kekayaan. ketika kita selalu diterpa oleh berbagai macam informasi melalu media massa tentu masyarakatnya pada akhirnya menjadi masyarakat informasi (maarif 2015, 153). ciri – ciri masyarakat informasi adalah 1. adanya level intensitas informasi yang tinggi (kebutuhan informasi yang tinggi). 2. penggunaan teknologi informasi untuk kegiatan social, pengajaran, dan bisnis serta kegiatan – kegiatan lainnya. 3. kemampuan pertukaran data digital yang cepat dalam jarak jauh. dimasa yang seperti saat ini tentu tidak seenaknya kita menikmati segalanya yang serba mudah, tanpa ada control terhadap konten yang sering kali muncul di media massa. justru kita sebagai masyarakat informasi harus betul–betul jeli terhadap sajian konten media. karena banyak sajian dari konten media yang secara tidak langsung sebenarnya ada upaya untuk mempengaruhi khalayak. seperti dalam senetron yang saat ini lagi tren bagi kaum remaja perempuan khususnya, bahkan ibu rumah tangga juga heboh dengan senetron tersebut, yaitu ‘’anak jalanan’’ secara tidak langsung isi dari sinetron tersebut membentuk pola pikir khalayak media massa khususnya televisi untuk bersikap arogan, hedonis, dll. dari tayangan adegan tersebut kemudia terjadi sebuah imitasi terhadap arogansi dan hedonism. kemudian menjadi kebiasaan dalam hidupnya dan menjadi 210 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer kenyataan (nuruddin 2013, 187). belum lagi kekerasan – kekerasan yang lain seperti pornografi yang menjadi konten media massa. akan lebih berbahaya bagi khalayak media, suatu yang menjadi konten media telah disetting oleh pemeran media dengan tujuan – tujuan tertentu. dalam teori peluru yang teori ini juga kerap disebut hipodemic needle atau schramm menyebutnya dengan silver bullet model (1982) kata teori ini : ‘’media massa mempunyai kekuatan yang luar biasa, dia dapat menyuntik pesannya kepada massa. pesan ini ibarat peluru tajam yang dapat ditembak ke arah audiens yang telah ditargetkan sebelumnya.’’(liliweri 2011, 889) berdasarkan prinsip ini, maka para perancang pesan membuat pesan apa saja yang setiap saat ditembaki ke arah sasaran. prinsip teori ini sampai sekarang digunakan perancang iklan waktu membuat pesan iklan. media tidak mau tahu akan audiensnya yang penting pesan itu sampai, bahwa itu efektif atau tidak urusan nanti. asumsi dasar bahwa semua orang dalam audiens itu sama saja, mereka membutuhkan informasi tidak peduli informasi itu dia butuhkan atau tidak. akibatnya, teori ini tidak memperhatikan kemungkinan penolakan dari individu, kelompok, atau kategori sosial tertentu atau tidak memperhitungkan relasi sosial dalam masyarakat. dari pengertian teori diatas nampak jelas bahwa media memiliki kekuatan yang sangat dahsyat terutama dalam hal mempengaruhi khalayak media. tentu konten media tersebut disediakan dan dibuat oleh para pemeran media, secara umum kita mengenal orang –orang professional atau pekerja media yang membuat konten media, seperti berita dibuat oleh wartawan, artikel dibuat oleh kolumnis, film dibuat oleh sutradara, foto dibuat oleh fotografer, karikatur dibuat oleh kartunis dan iklan dibuat oleh desainer artisti. melalui pikiran mereka mencoba menuangkan ide dalam bentuk pesan teks dan visual, dimana setiap kata dan gambar itu diberikan makna sehingga terlihat menarik. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 211 salah satu contoh paling nyata yang mudah dijumpai adalah iklan baliho di jalan dengan berbagai kata dan gambar promosi yang menimbulkan rasa ingin tahu dan penasaran. gambar yang dipajang merupakan yang telah dipilih dari sekian banyak yang ada, pembuat konten media professional mungkin memilika banyak pilihan gambar tetapi dia hanya akan memilih gambar yang sesuai dengan kebutuhan. demikian pula teks yang digunakan juga dipilih dari kata – kata yang dapat menarik, singkat dan padat tetapi mampu memberikan rasa ingin tahu. selanjutnya gambar dan teks yang digunakan tidak berdiri sendiri tetapi dipadukan sehingga saling menyatu dan semakin memperkuat pesan yang ingin disampaikan itu. hal demikian pila dapat kita temukan dalam media massa baik cetak (tulisan) dan media elektronik (radio dan televisi) yang mengolah pesan audio (dengar) dan visual (gambar) menjadi menarik (tamburaka 2013, 212). karena walaupun yang sering kali bergerak dalam diri manusia adalah di area kognisinya, akan tetapi pengamatan atas prilaku yang dipelajari tidak selalu menentukan terhadap prilaku kita. social learning theory menekankan tiga hal: 1. observational learning. menurut teori ini, setiap orang mempunyai kemampuan untuk meniru prilaku yang dia lihat karena dia ‘’belajar mengamati’’. 2. self-evaluation. hasil pengamatan atas perilaku yang dipelajari itu tidak selalu menentukan prilaku, oleh karena itu kita dapat memantau dan mengevaluasi prilaku kita dengan melihat bagaimana ita berhadapan dengan situasi dalam kehidupan yang berkaitan dengan standard prilaku yang kita tiru tersebut. 3. control and shaping. menurut teori ini, kita dapat berbuat sesuatu karena kita membutuhkan suatu kontrol terhadap proses internal maupun terhadap lingkungan kita.(liliweri 2011, 889) pada akhirnya, kemajuan-kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menyebabakan perubahan mental dan sikap social secara drastic. 212 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer ha itu terjadi saat media mentransformasikan budaya global dal tingkah laku masyarakat. penguasaan informasi melalui monopoli teknologi komunikasi termasuk jaringan televisi telah menjadi kekuatan besar yang mampu menguasai ideology manusia melalui arus lalulintas nasional yang dapat mengakomodadi modal, manusia dan komoditas, informasi dan budaya ummat manusia sehingga mampu menggerakkan “ruang tiruan” untuk hidup manusia secara bersama dalam waktu yang sama pula (bungin 2008, 188). secara khusus, televisi dikatakan oleh banyak kalangan sebagai media yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan social karena kemampuan audio visual yang ada pada televisi adalah kekuatan yang luar biasa. menurut teori kultivasi yang dikemukakan oleh gerbner. televisi menjadi media atau alat utama dimanapara penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur lingkungannya. persepsi apa yang tebangun di benak penonton sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh televisi. ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasaannya (nuruddin 2011, 167). apa yang ditayangkan televisi dianggap sebagai sebuah representasi atas kenyataan. hal inilah yang ditakutkan oleh kaum agamis dimana konten negative yang dibawa oleh media khususnya televisi akan membentuk budaya yang negative dan bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. kesimpulan setelah kita banyak mengupas tentang banyak hal tentang bagaimana sebenarnya media dalam berbagaimacam perspektif, tentu kita dapat mengambil sebuah kesimpulan, bahwa media memiliki peranan yang konstruktif tergadap agama. tapi disisi yang lain juga banyak dampak – dampak yang justru membuat khalayak media mengerti terhadap agama akan tetapi tidak lagi mngamalkan apa yang telah diketahui tentang konten dalam agama. oleh karena itu selain media memiliki keterkaitan terhadapa agama, terutama dalam penyebaran terkait paham – paham dan ajaranya, juga banyak orang – orang yang beranggapan bahwa media adalah sudah – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 213 tidak lagi kembali pada fitrahnya, yaitu menanamkan nilai –nilai yang konstruktif terhadap khalayak media, menampilkan sesuatu yang faktual dan tidak manipulatif, sehingga dengan demikian fungsi media sebagai suatu komponen yang mencerdasakan betul-betul terealisir dalam konteks khalayak media. akan tetapi kenyataannya media sudah tidak lagi seperti yang dimaksud. sudah terkungkung dalam sarat kepentingan pragmatis. bahkan tayangan media yang cendrung mengandung nilai-nilai yang tidak mendidik bahkan kekerasan media sekalipun seringkali muncul dalam media. kekerasan dalam media mudah sekali terimitasi oleh khalayak media. daftar pustaka arifin, anwar. 2011. dakwah kontemporer sebuah studi komunikasi. yogyakarta; graha ilmu apriadi, tamburaka. 2013. agenda setting media massa. depok: pt rajagrafindo persada apriadi, tamburaka. 2013. literasi media cerdas bermedia khalayak media massa. depok: pt rajagrafindo persada aris, badara. 2013. analisis wacana teori, metode, dan penerapannya pada wacana media: jakarta. kencana bungin, burhan. 2005. pornomedia sosiologi media, konstruksi sosial teknologi telematika, & perayaan seks di media massa,jakarta: kencana bungin, burhan. 2008. kontruksi sosial media massa: jakarta. kencana irra, chrisyanti. 2015. psikologi media. jakarta: prestasi pustaka jumantoro, totok. 2001. psikologi dakwah. wonosobo; amzah karen, afoss. 2014. teori komunikasi: jakarta. samlemba humanika liliweri, alo. 2011. komunikasi serba ada serba makna, jakarta; kencana. maarif, zainul, 2015. logika komunikasi: jakarta: rajawali pers nuruddin, 2013. pengantar komunikasi massa: jakarta: rajawali pers rakhmat, jalaluddin. 2013. psikologi dakwah. bandung; pt. remaja rosda karya. 214 | ihdal minan – relasi media massa dan dakwah kontemporer stanley, jbaran, 2012. pengantar media massa, melek media dan budaya: jakarta. erlangga wirawan, sarlito. 2013. teori – teori psikologi sosial: depok: pt. rajagrafindo persada wibowo, indiwan, 2013. semiotika komunikasi: jakarta: mitra wacana media william, l rivers. 2003. media massa masyarakat dan medern. jakarta. kencana werner, j sevrin. 2014. teori komunikasi sejarah, metode, dan terapan di dalam media massa. jakarta: kencana correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari istar yuliadi rini setyowati universitas sebelas maret surakarta keywords: emotion regulation; spirituality; stress in caregiver of the elderly http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: dwi.anjaswati05@gmail.com istar_yuliadi@yahoo.com rini.setyowati87@gmail.com abstract stress occurs while caring for the elderly due to several factors, namely the emotion regulation and spirituality. this study aims to examine the correlation between stress with emotion regulation and spirituality in caregivers of the elderly at karangmojo 1 health center, gunungkidul. the purposive sampling method was used to obtain data from 36 caregivers on the emotion regulation and spirituality as well as stress scale with alpha cronbach's reliability coefficient of 0.871, 0.921, and 0.905, respectively. the results showed that r = 0.485 and sig. 0.012 (p <0.05). therefore there is a correlation between stress, emotion regulation, and spirituality. this means that the higher the control of emotion and spiritual level, the lower the pressure. furthermore, this research expects to provide input in the realm of psychology. for example, it can be used as a reference to help caregivers deal with stress by increasing their emotion regulation and spirituality skills. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 28 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak stres pada pengasuh lanjut usia terjadi disebabkan kombinasi tugas selama merawat lanjut usia. terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres, yaitu regulasi emosi dan spiritualitas. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres dengan regulasi emosi dan spiritualitas pada pengasuh lanjut usia di puskesmas karangmojo 1, gunungkidul. subjek penelitian yaitu caregiver lanjut usia, berjumlah 36 orang, didapatkan dengan purposive sampling. data diambil menggunakan skala regulasi emosi (koefisien reliabilitas alpha cronbach sebesar 0,871), spiritualitas (koefisien reliabilitas alpha cronbach sebesar 0,921), dan stres caregiver lansia (koefisien reliabilitas alpha cronbach sebesar 0,905). hasil penelitian menunjukkan bahwa r=0,485 dan sig. 0,012 (p<0,05), sehingga terdapat hubungan antara stres dengan regulasi emosi dan spiritualitas. semakin tinggi regulasi emosi dan tingkat spiritualitas, maka semakin rendah stres yang terjadi. penelitian ini diharapkan memberi masukan untuk ilmu pengetahuan terutama di ranah psikologi, misalkan dapat digunakan sebagai referensi dan membantu para caregiver dalam mengatasi stres dengan meningkatkan keterampilan regulasi emosi dan spiritualitas. kata kunci: regulasi emosi; spiritualitas; stres pada pengasuh lanjut usia how to cite (apa 7th edition): hastari, d. a. p., yuliadi, i., & setyowati, r. (2020). correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1), 27-58. https://doi. org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 introduction the indonesian society comprises of numerous ethnicities, linguistics, and age groups, with the elderly classified as those individuals above 60 years (papalia, olds, & feldman, 2008; santrock, 2011). some of them reside in orphanages, while others live with their families. the results of the 2017 national economic survey (susenas), showed that 62.64% of the elderly lived with their 29correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) extended families or three generations, namely those that reside with their children and grandchildren, or in-laws in a particular household (bps, 2017). in relation to those residing with their families, several members play a huge role in attending to them. a person or group of individuals that provide direct care for the elderly are usually regarded as elderly caregivers. the tasks of the elderly caregiver are time-consuming because they carry out numerous daily chores. besides, the behavior of the elderly being attended to is also a source of burden (peetoom, lexis, joore, dirksen, & de witte, 2016). the weight of the elderly causes stresses because caregivers usually feel fatigued and in certain instances, this leads to physical pain. in addition, they find it difficult to control their emotions (putri, 2013). generally, relatively 65%(81 persons) out of 125 elderly caregivers are reported to experience high-levels of stress (bobbitt, baugh, andrew, cook, green, pei, & rasmussen, 2016). stress is commonly elucidated as a non-specific reaction which tends to occur when humans are faced with pressure or stimulation (stimulus stressor). it also includes varying adaptive reactions, which is because people respond differently to stress. this reaction is influenced by educational background, maturity, and the individual’s ability to adapt to the environment (hartono, 2007). meanwhile, stress encountered by elderly caregivers is defined as a series of psychological and physiological reactions that arise from the attempts to adapt to this type of task (llanque, savage, rosenburg, ba, & caserta, 2016, noonan & tennstedt, 1997, deater-deckard, 2004). in accordance with the prospective problems of these caregiver interviews were conducted on three of them on the 4th of november, 2018, in gunung kidul district. it was discovered that they all felt depressed and burdened with this task. however, two of the elderly caregivers reported that these feelings were overwhelmed immediately the understood that 30 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) it was an obligation that needed to be fulfilled by the family members. they also understood that there was a reward for them hereafter. on the contrary, one of them always felt depressed and usually fails to focus when carrying out these chores. the caregivers also stated that they often felt dizzy whenever the thought about the burden. based on the statements of these three elderly caregivers, it was concluded that they had a variety of feelings. besides, the duration of their depression also varies, irrespective of the fact that they all felt the same way initially. this type of indicator shows that the caregivers of elderly parents are usually stressed. however, it need not be ignored because it leads to physical and mental pain. also, stress causes chronic negative emotions, as well as has an impact on depression (schoenmakers, buntinx, & delepeleire, 2010, wade, garry, & tavris, 2013). the results from certain studies showed that it deteriorates the well-being of the caregivers and it also leads to the emergence of neurological problems. therefore, perceived negative emotions are handled in various ways, which includes copying. lazarus (1966), stated that there are two types of coping, namely, problem-focused and emotion-focused strategies. the problemfocused strategy is defined as an individual’s efforts to alleviate stressful circumstances, whereas emotion-focused coping is a person’s effort to reduce or regulate emotional consequences of potentially stressful events (baqutayan, 2015, lazarus, 1966). subsequently, both strategies play a role in managing stress although in different ways. problem-focused coping is usually more effective when the stressor is controlled, while emotion-focused tends to be more efficient when the cause of stress is uncontrollable. therefore, emotion regulation is considered the most appropriate means of managing stress. coping strategies are related to emotion regulation (pascual, conejero, & etxebarria, 2016, ruiz-robledillo & moya-albiol, 2013). it is the process of reassessment, characterized by cognitive evaluation of 31correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) stimuli which is carried out to influence certain experiences and reduce the harmful effects of emotions, both physical, psychological, and social impacts (h. chen, 2016, gross, 2002). furthermore, it does not only serve as a means to change emotions, rather it is an indirect way of reducing stress. consequently, stress is also reduced and avoided when an individual possesses a high level of spirituality, which is defined as the person’s relationship with god (the higher power) (hendriani, 2018). additionally, it is deep-rooted in human beings and relates to their belief systems. spirituality also aids humans to realize the highest awareness of self-transcendence. in addition, it also helps them to achieve the meaning and purpose of life (saifuddin, 2019). spirituality is based on expectations, the individual connotation of things, as well as peoples’ relatedness to the highest dimension or transcendence, and belief systems (dyson, cobb, & forman, 1997). therefore, a high level of spirituality serves as a modality used to reduce stress. it is because individuals foster hope with spirituality, which is the belief that life difficulties are overcome through their connection with the highest dimension. consequently, for those that often encounter stressful situations, religious and spiritual systems are valuable resources that tend to make their experiences meaningful (krok, 2015, monteiro, santos, kimura, baptista, & dourado, 2018). therefore, supposing the caregivers are able to understand the entire situation, their duties of attending to the elderly is not considered as a burden, and they are also protected from stress. based on some of these explanations, this study was carried out because of persistent stress on the caregivers although the duration differs. in accordance with the data obtained before carrying out this research, it was discovered that some caregivers desired to unearth the implication of their roles. on the contrary, the impact of stress on them is considered dangerous because it leads to depression as 32 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) well as the disruption of other activities. therefore, it is crucial to examine the psychological constructs or variables (emotion regulation and spirituality) relating to stress, including exploring the correlation between them. the purpose of this research was to examine the correlation between emotion regulation, spirituality, and stress encountered by caregivers for the elderly parents at the gunungkidul health center. in addition, three hypotheses were postulated in this study; namely, the correlation between emotion regulation and spirituality, the correlation between emotion regulation and stress, and the correlation between spirituality and stress encountered by the caregivers in the karangmojo 1 gunungkidul health center. there are several previous studies relating to stress, spirituality, and emotion regulation experienced by elderly caregivers (branscum, 2010; kurasawa et al., 2012; longacre, valdmanis, handorf, & fang, 2017; mehta, 2005; murdiyanto & gutomo, 2017; padmiati & diyanayati, 2015; shen, wan, xie, chen, & li, 2019; tang, 2009; putri, 2013; moustafa & moustafa, 2018; naing, may, & aung, 2020; oliveira, souza, luchesi, inouye, & pavarini, 2017; popli & panday, 2018; sabzwari, badini, fatmi, & shah, 2016; tamdee et al., 2019; widyakusuma, 2013; yigitalp, gumus, surucu, & evinc, 2017;ibad, ahsan, & lestari, 2015; missesa & syam’ani, 2017;widyastuti, sahar, & permatasari, 2011) conversely, the differences between previous studies and this research occurred in several aspects. the theme of these studies was centered on the dynamics of stress in elderly caregivers. similarly, this research examined the correlation between emotion regulation and spirituality in accordance with stress faced by the caregivers. certain previous studies applied qualitative, longitudinal, and cross-sectional methods. in contrast, a quantitative correlational approach was applied in this research and the subject is related to the correlation between spirituality and emotion 33correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) regulation based on stress. additionally, the measuring instrument utilized is also different from previous studies. therefore, this study has originality. methods this quantitative correlational study measures three variables. they are emotion regulation as well as predictor, and criterion variables which comprise of spirituality and stress respectively. the operational definition of stress encountered by elderly caregivers is a form of response that relates to their mental, physical, emotional, and spiritual inability to cope with the problems associated with the tasks of attending to the elderly. also, this study applied a psychosocial approach, namely emotional, cognitive, social behavior, and biological aspects (sarafino & smith, 2016). a likert scale model is used to measure the stress variable, subsequently, when a high score is obtained, it simply means that the level of stress experienced by the caregivers is also high, and vice versa. the operational definition of emotion regulation involves the process of reassessment, which is usually carried out by monitoring, evaluating, and modifying sentimental reactions. it is also applied to reduce the negative effects of emotions perceived by humans. consequently, emotions are either positive or negative. according to thompson (1991), aspects of emotion regulation include monitoring, evaluating, and modifying. the higher the score, the greater the emotion regulation of the caregiver, and vice versa. spirituality is operationally defined as a fundamental belief in the care, hope, kindness, love, optimism, and the enormous power that governs the universe. it is also the relationship between an individual and a transcendent being (god). the aspects of spirituality applied in this research are transcendent elements, awareness of suffering, meaning and purpose in life, altruism, the sanctity, material values, 34 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) idealism, personal mission, and outcome (elkins, hedstrom, hughes, leaf, and saunders, 1988). the tool for measuring this variable is the likert scale model, and when the score is high, the caregiver’s spirituality is also high, and vice versa. the research sample used in this study are adults responsible for attending to the elderly in gunungkidul community health center. the sample was acquired using the purposive sampling method based on several characteristics, such as married caregivers attending to elderly parents aged 70 years and above. in addition, 36 research samples were obtained. the measuring instrument used for data collection is a likert scale model. there are three scales, namely the level of emotion regulation in accordance with the theory formulated by thompson (1991), spirituality is based on elkins, l. james hedstrom, hughes, leaf, & saunders (1988), and the stress relates to the theory reported by sarafino & smith (2016) theory. the validity of the measuring instrument is qualitatively assessed by professional judgment, and the difference is calculated using the corrected item-total correlation test. a statement is considered to have good contrast when the correlation value obtained for each of them is above 0.300 (azwar, 2016; saifuddin, 2020). the reliability of the measuring instrument was determined using a single presentation method, which was tested on a group of people with characteristics similar to the sample used in this study. the results from this trial were analyzed using the alpha reliability coefficient formula, and the minimum limit of the measuring instrument is 0,700 (devellis, 2016). 35correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. aspects and indicators of emotion regulation scale after try out no. aspect indicators total 1 monitoring emotions can realize the feelings that arises 3 understand the background of actions 3 2 evaluating emotions able to manage emotions 2 emotional balance 6 3 modifying emotions able to change emotions 4 able to motivate oneself when experiencing negative emotions 4 total 22 the results from calculating the alpha reliability coefficient showed that the scale of emotion regulation was an estimation of α = 0.871. in accordance with the different power items, the measuring instrument for emotion regulation ranges from 0.329 to 0.619. therefore, it is considered to be reliable with a high power difference. table 2. spirituality scale aspects and indicators after try out no. aspect indicators total 1. transcendent belief in the transcendent dimension 3 possess transcendent experiences such as being able to envision those not detected with the plain eyes 4 2. life of purity believe that there is afterlife and need for holiness 2 feeling sacred or religious throughout their entire life 1 3. life mission have a sense of responsibility towards life 1 possess the urge to fulfill their life mission 1 4. the meaning and purpose of life believing that life is meaningful 4 possess an evident meaning and purpose in life 1 36 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. aspect indicators total 5. material values realizing the fact that the highest satisfaction in life is not derived from money and position 2 highest satisfaction is obtained from spirituality 4 6. idealism committed to ensuring the world is a better place 3 actualize potential 4 7. awareness of suffering realizing the existence of suffering 2 realizing the existence of death 2 8. altruism being aware of the suffering of others 3 possessing strong feelings or a sense of social justice 1 9. the result from spirituality individual relationships with others 3 relationship with a transcendent being and nature 3 total 44 the results from calculating the alpha reliability coefficient showed that the scale of spirituality is approximately α = 0.921. based on the different power items, the measuring instruments for emotion regulation ranges from 0.307 to 0.694, therefore, it is considered reliable with a high power difference. table 3. aspects and indicators of elderly caregiver stress scale after try out no. aspect indicators total 1. cognitive impaired memory 2 lack of attention and concentration 3 2. emotion anxiety and resentful 1 extremely depressed 1 3. social habits hostile, and insensitive to the needs of others 6 increase in negative behavior 2 37correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. aspect indicators total 4. biological physiological reaction 3 indigestion 5 total 23 the results from calculating the alpha reliability coefficient showed that the scale of spirituality is approximately α = 0.905. in addition to the different power items, the measuring instruments for emotion regulation range from 0.345 to 0.757. therefore, it is reliable and has a high power difference. multiple linear regression tests in spss version 24 is used for data analysis. consequently, the basic prior test and classical assumptions, which include normality, linearity, heteroscedasticity, and multicollinearity were also carried out. results and discussion research results this study applied descriptive analysis to obtain a general picture of the emotion regulation, spirituality, and stress conditions in the sample, namely elderly caregivers. table 4. mean and standard deviation of hypothetic and empirical data scale n hypothetic data m sd empirical data m sd min score max score min score max score emotion regulation 36 22 88 55 11 63 76 67,72 3,029 spirituality 36 44 176 110 22 120 152 133,69 7,778 elderly stress caregiver 36 23 92 57,5 11,5 38 51 45,75 2,892 38 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) however, the normality, linearity, heteroscedasticity, and multicollinearity tests were also conducted. table 5. normality test results table one-sample kolmogorov-smirnov test emotion regulation spirituality stress n 36 36 36 normal parameters,b mean 67,72 133,69 45,75 std. deviation 3,029 7,778 2,892 most extreme differences absolute ,132 ,099 ,146 positive ,132 ,099 ,083 negative -,082 -,097 -,146 test statistic ,132 ,099 ,146 asymp. sig. (2-tailed) ,117c ,200c,d ,052c based on the results from calculating the normality test using kolmogorov-smirnov, it was discovered that the magnitude of the normality coefficient for the emotion regulation variable was 0.132 with asymp. sig. (2-tailed) of 0.117 (p> 0.05), while for spirituality it is 0.099 with asymp. sig. (2-tailed)of .200 (p> 0.05), and for stress it is 0.146 with asymp. sig. (2-tailed) of 0.052 (p> 0.05). therefore, the data distribution for the three variables is a normal curve. table 6. table of linearity test results between stress and emotion regulation anova table sum of squares df mean square f sig. stress * emotion regulation between groups (combined) 144,050 10 14,405 2,422 ,035 linearity 36,648 1 36,648 6,161 ,020 deviation from linearity 107,402 9 11,934 2,006 ,082 within groups 148,700 25 5,948 total 292,750 35 39correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the linearity test is a technique for detecting the presence or absence of a linear relationship between the predictor and the criterion variables. a good correlation occurs when both of them are linear. based on the results from the linearity test between stress and emotion regulation, an f of 6.161 and sig. of 0.020 (p <0.05) was obtained. in conclusion, the data from the two variables are linear. table 7. table of linearity test results between stress and spirituality anova table sum of squares df mean square f sig. stress * spirituality between groups (combined) 206,500 21 9,833 1,596 ,186 linearity 57,106 1 57,106 9,269 ,009 deviation from linearity 149,394 20 7,470 1,212 ,362 within groups 86,250 14 6,161 total 292,750 35 in accordance with the results of the linearity test between the stress and spirituality variables an f of 9.269 and sig. of 0.009 (p <0.05) were obtained. conclusively, the data from the two variables are linear. figure 1. heteroscedasticity test results with scatterplot 40 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the heteroscedasticity test is used to determine the variance in residual values during the observation or measurement period. homoscedasticity rather than heteroscedasticity tends to occur when the variance is fixed. data is evaluated by regression analysis when there is a lack of heteroscedasticity. based on the scatterplot method, it was concluded that heteroscedasticity did not occur. this is because the data points spread above and below the number 0, and they did not only gather at line 0, as well as the patternless distribution. table 8. multicollinearity test results table coefficients model b unstandardized coefficients standardized coefficients t sig. tolerance collinearity statistics std. error beta vif 1 (constant) 77,605 10,679 7,267 ,000 emotion regulation -,207 ,157 -,217 -1,316 ,197 ,854 1,171 spirituality -,133 ,061 -,359 -2,179 ,037 ,854 1,171 a. dependent variable: stress in this study, the autocorrelation test was not carried out because the research data was taken at a specific time, and measurements were repeated. the multicollinearity test was subsequently carried out to determine the presence or absence of a strong correlation between the independent variables (predictors). a good regression occurs when there is a lack of multicollinearity, and this simply means that there is no existent correlation between an independent variable and another. based on calculations, it was discovered that the tolerance value for emotion regulation was 0.854 (p> 0.10), and the vif value was 1.171 (p <10.00). likewise, the tolerance value for spirituality was 0.854 (p> 0.10) and the vif value was 1.171 (p <10.00). in conclusion, there is no existent correlation between emotion regulation and spirituality, or it lacks multicollinearity. 41correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 9. hypothesis test results table or regression analysis anovaa model sum of squares df mean square f sig. 1 regression 68,856 2 34,428 5,074 ,012b residual 223,894 33 6,785 total 292,750 35 subsequently, the hypothesis is evaluated using multiple linear regression tests supported by spss (statistical product and service solution). this testing aims to determine whether the hypothesis is accepted or not and it is based on the correlation between the three variables. the results from the hypothesis testing using multiple regression analysis regarding the correlation between emotion regulation, spirituality, and stress shows a regression coefficient of 5.074 and sig. amounted to 0.012 (p <0.05). therefore, the first hypothesis is accepted, or there is a significant correlation between emotion regulation, spirituality, and stress. table 10. correlation test results table model summaryb model r r square adjusted r square std. error of the estimate 1 ,485a ,235 ,189 2,605 the correlation coefficient (r) obtained is 0.485, which means that emotion regulation, spirituality, and stress has a moderate level of relationship, which is within the range of 0.400 to 0.599. discussion the simultaneous results from these tests are consistent with previous studies which stated that emotion regulation causes individuals to feel undisturbed when they are stressed (deater-deckard, li, & bell 42 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 2016; finlay-jones, rees, & kane 2015; katana, röcke, spain, & allemand 2019; lewis, yoon, & joormann 2017; wang & saudino 2011). emotion regulation reduces the negative effects of stress,this is because itinvolves cognitive activities and strategies (positive reappraisal), considered to be the most appropriate (folkman & moskowitz, 2000, garland, gaylord, & fredrickson, 2011). individuals tend to be understandable when their cognitive emotions are regulated (doré et al., 2017). this is in accordance with the research which stated that peoplewith positive emotion regulation can use their cognitive abilities in managing emotions, and vice versa. in addition, itis also realized throughseveral other ways, such as suppression whichrestrains emotional impulses and expressions. although, a comparison between reappraisal and suppression, shows that suppression has a negative impact on emotion regulation (peters, overall, & jamieson, 2014). it is also less effective when managing emotions, therefore it has a lesser impact on stress. suppression causes lower life satisfaction (nam, kim, & tam, 2018). figure 2. emotion regulatory process model (quoted from gross, 2002) the application of cognitive reappraisal emotion regulation is 43correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) considered to be more effective than suppression because it makes it possible for individuals to be understood. however, when triggered by the existence of spirituality, the suppression of emotion regulation tends to occur even without cognitive reappraisal. according to several studies, spirituality causes one to be obedient, (dyson et al. 1997; koerniawan & candrawulan 2018; mok, wong, & wong 2010; newman, 2004). individuals can decipher the events that occur in their lives thereby making it easier for them to handle stressful situations (tuck, alleyne, & thinganjana, 2006; yadav & khanna, 2014). a high level of spirituality enables individuals to develop the most effective coping mechanism to either reduce or prevent stress (baldacchino & draper, 2001, baruah & pandey, 2016, krok, 2008). it also causes people to be able to handle difficult circumstances encountered, thereby preventing them from being stressed by these conditions (ardilla & wahyuni, 2012). besides, spirituality creates an acceptance mechanism that causes caregivers not to become stress-prone (hervey, 2017). based on some of the studies, it was concluded that elderly caregivers that apply cognitive reappraisal emotion regulation can deal with stress effectively, compared to those that apply suppression. in addition, assuming the caregiver possesses a high level of spirituality, then whatever emotion regulation utilized, causes them to easily deal with stress. this is because spirituality plays a similar role as cognitive reappraisal. the second hypothesis stated that there is an existent correlation between emotion regulation and stress faced by the caregivers of the elderly. however, the results from the partial test show that the significance value of (p) 0.197> 0.05, this simply means that the second hypothesis in this study is rejected, or there is no correlation between emotion regulation and stress. in this study, the second hypothesis was not proven because the average educational background of the caregivers was elementary, and junior high school, therefore the respondents in this study possess 44 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) a lesser tendency to use cognitive-emotion regulation. this is consistent with the results from the research carried out by ratnasari & suleeman (2017), which stated that education has an influence on the selection of emotion regulation strategies, therefore the higher the educational qualification, the more the research samples tend to apply cognitiveemotion regulation. these dynamics occur because individuals usually try to regulate their emotions when carrying out and completing tasks in school. some learning activities carried out in schools or educational institutions involve emotion regulation strategies. according to king & chen (2019), emotions play an essential role in education. individuals that develop emotion regulation easily handle problem-solving issues and pressure (bahrami, 2017). therefore, it affects the performance of private education in specific contexts (gumora & arsenio, 2002), as well as on the individuals’ attitudes towards problems in the general context. based on these explanations, it was concluded that the emotion regulation in this research is negative or maladaptive. stress is turned into distress, and the emotion regulation undertaken becomes less influential. furthermore, the third hypothesis in this study, stated that there is a correlation between spirituality and stress. in other words, the third hypothesis is accepted. this is indicated by the partial test, which shows that the significance value is (p) 0.037 <0.05. the results from this analysis are consistent with the study carried out by le, piedmont, & wilkins (2019), which stated that spirituality has been proven to be a predictor of stress in middle-aged vietnamese. in addition, other studies include the research carried out by sharif & ong (2019), which reported that individuals with high-level spirituality, encounter less stressful experiences. according to some studies, spirituality helps individuals find meaning and purpose in the role they play (yadav & khanna 2014, dan yun, kim, & awasu 2019). this leads to an increase in the positive perceptions of life activities. finally, individuals with a high level of spirituality minimize the 45correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) occurrence of stress. in the context of this study, the research subjects that attend to elderly parents perceived the role as an obligation and responsibility which is rewarded in the afterlife. according to powers, cramer, & grubka (2007), spirituality has little impact on the ability to discover the meaning of life. this research also shows that the stress level experienced by elderly caregivers varies. this is based on the age, sex, occupation, and education of the caregivers, as well as the health of elderly parents. table 11. research respondents categorization variable norma categorization total respondent frequency percentage emotion regulation x < 65 rendah 4 11,1% 65 x < 71 sedang 27 75,0% x 71 tinggi 5 13,9% spirituality x < 126 rendah 5 13,9% 126 x < 141 sedang 24 66,7% x 141 tinggi 7 19,4% stress x < 43 rendah 5 13,9% 43 x < 49 sedang 26 72,2% x 49 tinggi 5 13,9% according to table 11, the level of emotion regulation, spirituality, and stress on the average is moderate furthermore, the number of respondents for emotion regulation is 27 (75.0%), 24 (66.7%) for spirituality, and 26 (72.2%) for stress. based on this table, it is concluded that the elderly caregivers working in karangmojo 1 gunungkidul public health center are among the few that are highly stressed from attending to elderly parents. also, the majority tend to regulate emotions and possess an adequate level of spirituality. 46 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 12. categories of research respondents on the stress variable of caregivers for the elderly based on the age of elderly the age of caregivers stress total low average high 28-35 0 6 0 6 36-48 4 16 4 24 49-56 1 4 1 6 total 5 26 5 36 according to table 12, six of the subjects aged between 28-35 years, experiences moderate stress levels, and none have low or high-stress levels. furthermore, 4 people within the age range of 36-48 years are faced with low-stress levels, while 16 of them experience moderate stress levels, and as many as four people encounter a high-stress level. finally, only 1 subject aged 49-56 years, have low-stress level, while 4 of them possess moderate stress level, and 1 person has a high-stress level. based on the table, it is concluded that irrespective of various age groups, the level of stress encountered by caregivers working in karangmojo 1 public health center, gunungkidul is slightly different, namely at the moderate level. it simply means that age has little or no impact on stress. this is inconsistent with the studies carried out by aldwin, sutton, chiara, & spiro-iii (1996) dan chen, peng, xu, & o’brien (2018), which stated that age has an impact on coping strategy, therefore, it affects stress levels. 47correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 13. categories of research respondents in the stress variable of elderly based on the gender of the elderly gender stress total low average high male 1 4 1 6 female 4 22 4 30 total 5 26 5 36 according to table 13, only one male subject has a low-stress level, while four persons have moderate stress levels, and one person has a highstress level. meanwhile, 4 female subjects have low-stress levels, while 22 people have moderate stress levels, and 4 of them have a high-stress level. although in this study, the sample of female caregivers was more than their male counterparts, based on the table, there was no difference in stress levels between the sexes of the workers in karangmojo 1 public health center, gunungkidul. the results of this research are inconsistent with the study carried out by matud’s (2004), which reported that gender affects the coping and stress model. table 14. categories of research respondents on the stress variable of caregivers for the elderly based on the caregivers’ occupation occupation stress total low average high farmer 2 5 4 11 housewife 2 10 0 12 freelance 0 5 0 5 teacher 0 2 0 2 entrepreneur 1 3 1 5 private employee 0 1 0 1 total 5 26 5 36 48 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) based on the table, 2 of the farmers have low-stress levels, while 5 are moderate, and 4 are faced with high-stress levels. conversely, 2 of the housewives have low-stress levels, ten people experience moderate stress level, and none has a high-stress level. it was discovered that five of the laborers, experienced moderate stress levels, and none encountered low or high-stress levels, also 2 teachers were discovered to possess moderate stress levels. furthermore, one of the privately employed people has a low-stress level, while three of them experience a moderate stress level, and one individual has a high-stress level. conclusively, only one private employee experienced moderate stress. the table shows that despite the various occupations of elderly caregivers in karangmojo 1 public health center, gunungkidul, they experience a moderate level of stress. table 15. categories of research respondents in the variable stress of caregivers for the elderly based on caregivers’ education education stress total low average high s1 0 3 0 3 d3 1 0 0 1 sma/smk 0 10 0 10 smp 2 7 2 11 sd 2 6 3 11 total 5 26 5 36 in accordance with the data on table 15, it is evident that 3 s1 subjects experience moderate stress levels, while none of them experiences low or high. however, one of the d3 subjects experienced a low-stress level. approximately 10 subjects from high or vocational schools, experienced moderate stress levels. furthermore, 2 of the junior high school graduates, experienced low-stress levels, while seven people possess moderate stress levels, while two are high-stress level. finally, two people from elementary school were discovered to possess low-stress levels, while six of them 49correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) experienced moderate stress levels, and three had high-stress levels. it was therefore concluded that an insignificant difference occurred in the stress level of elderly caregivers in karangmojo public health center 1, gunungkidul. although, it is an obvious fact that most elderly caregivers have elementary and junior high school qualifications, therefore educational factor influences the type of emotion regulation applied. conclusion and suggestion conclusion based on the results from this research, it was concluded that there is a correlation between emotion regulation, spirituality, and stress on the elderly caregivers at the gunungkidul public health center. emotion regulation and spirituality both have a significant effect on stress. a significant and negative correlation exists between spirituality. this simply means that the higher the spirituality, the lower the level of stress and vice versa. however, there is an insignificant correlation between emotion regulation and stress. in accordance with the results of this study, it is expected that caregivers need to be able to reduce stress through emotion regulations and spirituality. in addition, the elderly also do not hesitate to ask for help from their families when needed. the results from this study are recommended for the public health center or agency when carrying out a counseling session for the elderly and their companions. it also serves as an additional reference for future studies related to stress experienced by elderly caregivers. suggestion the results of data analysis found that the average caregiver of the elderly regulates emotions and spirituality at a moderate level. although they do not experience severe stress, they can improve their emotion 50 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) regulation and spirituality to help the elderly in living a physically and spiritually healthy life. to avoid stress, it is expected that caregivers of elderly parents can improve the ability to regulate emotions, by carrying out activities that can cause positive emotions. for instance, when angry, pray to be calmer, and think positively to avoid being sad when experiencing bad events. in addition, to increase emotion regulation, caregivers are expected to also improve their spirituality, by drawing closer to god and taking meaning from events in life. the elderly caregivers need to only pay attention to them, and those they are meant to take care of by being patient and accommodating. the elderly, themselves, are also expected to work together with the caregivers to enable a good relationship. for example, the elderly need to eat the food provided by the caregivers and seek treatment when sick. the public health center, are expected to conduct counseling on how to care for the elderly, to avoid. future studies are also expected to avoid the shortcomings that exist in this research by replacing the variables with loneliness, selfacceptance, resilience, etc. references aldwin, c. m., sutton, k. j., chiara, g., & spiro-iii, a. (1996). age differences in stress, coping, and appraisal: findings from the normative aging study. journal of geronotology: psychological sciences, 51b(4), 179–188. ardilla, d., & wahyuni, s. e. (2012). spiritualitas dan stres orangtua yang mempunyai anak kelainan kongenital di rsup h. adam malik medan. jurnal keperawatan klinis, 1(1), 48–53. azwar, s. (2016). reliabilitas dan validitas (4 ed). yogyakarta: pustaka pelajar. 51correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bahrami, f. (2017). the relationship between cognitive emotion regulation and academic buoyancy with the role of mediating self-handicapping in students. iranian journal of educational sociology, 1(6), 114–124. baldacchino, d., & draper, p. (2001). spiritual coping strategies: a review of the nursing research literature. journal of advanced nursing, 34(6), 833–841. https://doi.org/10.1046/j.13652648.2001.01814.x baqutayan, s. m. s. (2015). stress and coping mechanisms: a historical overview. mediterranean journal of social sciences, 6(2), 479–488. https://doi.org/10.5901/mjss.2015.v6n2s1p479 baruah, p., & pandey, n. (2016). spirituality as a coping strategy among practitioners and non practitioners. the international journal of indian psychology, 3(2), 110–114. bobbitt, s. a., baugh, l. a., andrew, g. h., cook, j. l., green, c. r., pei, j. r., & rasmussen, c. r. (2016). caregiver needs and stress in caring for individuals with fetal alcohol spectrum disorder. research in developmental disabilities, 55, 100–113. https://doi. org/10.1016/j.ridd.2016.03.002 bps. (2017). banyak lansia tinggal dengan anak, mantu, dan cucu. retrieved december 13, 2018, from katadata.co.id website: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/04/30/ banyak-lansia-tinggal-dengan-anak-mantu-dan-cucu branscum, a. y. (2010). stress and coping model for family caregivers of older adults. dissertation abstracts international section a: humanities and social sciences, 1–106. chen, h. (2016). a theoretic review of emotion regulation. open journal of social sciences, 04(02), 147–153. https://doi.org/10.4236/ jss.2016.42020 chen, y., peng, y., xu, h., & o’brien, w. h. (2018). age differences in stress and coping: problem-focused strategies mediate the relationship between age and positive affect. the international journal of aging and human development, 86(4), 347–363. https:// doi.org/10.1177/0091415017720890 deater-deckard, k. d. (2004). parenting stress. https://doi.org/10.12987/ yale/9780300103939.001.0001 52 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) deater-deckard, k., li, m., & bell, m. a. (2016). multifaceted emotion regulation, stress, and affect in mothers of young children. cognition and emotion, 30(3), 444–457. https://doi.org/10.1080/02 699931.2015.1013087 devellis, r. f. (2016). scale development: theory and applications (4th ed). thousand oaks, california, united states: sage publications. doré, b. p., boccagno, c., burr, d., hubbard, a., long, k., weber, j., … ochsner, k. n. (2017). finding positive meaning in negative experiences engages ventral striatal and ventromedial prefrontal regions associated with reward valuation. journal of cognitive neuroscience, 29(2), 235–244. https://doi.org/10.1162/ jocn_a_01041 dyson, j., cobb, m., & forman, d. (1997). the meaning of spirituality: a literature review. journal ofadvanced nursing, 26, 1183–1188. https://doi.org/10.1046/j.1365-2648.1997.00446.x elkins, d. n., l. james hedstrom, hughes, l. l., leaf, j. a., & saunders, c. (1988). toward a humanistic-phenomenological spirituality. journal of humanistic psychology, 28(4), 5–18. https://doi. org/10.1177/0022167888284002 finlay-jones, a. l., rees, c. s., & kane, r. t. (2015). self-compassion, emotion regulation and stress among australian psychologists: testing an emotion regulation model of self-compassion using structural equation modeling. plos one, 10(7), e0133481. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0133481 folkman, s., & moskowitz, j. t. (2000). stress, positive emotion, and coping. current directions in psychological science, 9(4), 115–118. https://doi.org/10.1111/1467-8721.00073 garland, e. l., gaylord, s. a., & fredrickson, b. l. (2011). positive reappraisal mediates the stress-reductive effects of mindfulness: an upward spiral process. mindfulness, 2(1), 59–67. https://doi. org/10.1007/s12671-011-0043-8 gross, j. j. (2002). emotion regulation: affective, cognitive, and social consequences. psychophysiology, 39, 281–291. https://doi. org/10.1017.s0048577201393198 gumora, g., & arsenio, w. f. (2002). emotionality, emotion regulation, and school performance in middle school children. journal of 53correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) school psychology, 40(5), 395– 413. https://doi.org/10.1016/s00224405(02)00108-5 hartono, l. a. (2007). stres & stroke. yogyakarta: kanisius. hendriani, w. (2018). resiliensi psikologis: sebuah pengantar. jakarta selatan: kencana. hervey, e. (2017). culture, spirituality, self-acceptance, and relationships among latino students. journal of cross-cultural family studies, 1(1), 1–10. ibad, m. r., ahsan, & lestari, r. (2015). studi fenomenologi pengalaman keluarga sebagai primary caregiver dalam merawat lansia dengan demensia di kabupaten jombang. the indonesian journal of health science, 6(1), 40–51. https://doi.org/10.32528/the. v6i1.35 katana, m., röcke, c., spain, s. m., & allemand, m. (2019). emotion regulation, subjective well-being, and perceived stress in daily life of geriatric nurses. frontiers in psychology, 10(1097), 1–11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01097 king, r. b., & chen, j. (2019). emotions in education: asian insights on the role of emotions in learning and teaching. asia-pacific education researcher, 28(4), 279–281. https://doi.org/10.1007/ s40299-019-00469-x knippenberg, r. j. m. van, vugt, m. e. de, ponds, r. w., verhey, f. r. j., & myin-germeys, i. (2018). emotional reactivity to daily life stress in spousal caregivers of people with dementia: an experience sampling study. plos one, 13(4), e0194118. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0194118 koerniawan, d., & candrawulan, u. (2018). hubungan spiritualitas dengan stres lansia di public health center pakjo palembang. elisabeth health journal, 3(2), 93–100. krok, d. (2008). the role of spirituality in coping: examining the relationships between spiritual dimensions and coping styles. mental health, religion & culture, 11(7), 643 — 653. https://doi. org/10.1080/13674670801930429 krok, d. (2015). religiousness, spirituality, and coping with stress among late adolescents: a meaning-making perspective. journal of adolescence, 45, 196–203. https://doi.org/10.1016/j. adolescence.2015.10.004 54 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kurasawa, s., yoshimasu, k., washio, m., fukumoto, j., takemura, s., yokoi, k., … miyashita, k. (2012). factors influencing caregivers’ burden among family caregivers and institutionalization of inhome elderly people cared for by family caregivers. environmental health and preventive medicine, 17(6), 474–483. https://doi. org/10.1007/s12199-012-0276-8 lazarus, r. s. (1966). psychological stress and the coping process. new york, usa: mcgraw-hill. le, y. k., piedmont, r. l., & wilkins, t. a. (2019). spirituality, religiousness, personality as predictors of stress and resilience among middle aged vietnamese-born american catholics. mental health, religion & culture, 1–15. https://doi.org/10.1080/13674676.2019.16462 35 lewis, e. j., yoon, k. l., & joormann, j. (2017). emotion regulation and biological stress responding: associations with worry, rumination, and reappraisal. cognition and emotion, 1–13. https:// doi.org/10.1080/02699931.2017.1310088 llanque, s., savage, l., rosenburg, n., ba, h., & caserta, m. (2016). concept analysis: alzheimer’s caregiver stress. nursing forum, 51(1), 21–31. https://doi.org/10.1111/nuf.12090 longacre, m. l., valdmanis, v. g., handorf, e. a., & fang, c. y. (2017). work impact and emotional stress among informal caregivers for older adults. journals of gerontology: social sciences, 72(3), 522– 531. https://doi.org/10.1093/geronb/gbw027 matud, m. p. (2004). gender differences in stress and coping styles. personality and individual difference, 37, 1401–1415. https://doi. org/10.1016/j.paid.2004.01.010 mehta, k. k. (2005). stress among family caregivers of older persons in singapore. journal of cross-cultural gerontology, 20(4), 319–334. https://doi.org/10.1007/s10823-006-9009-z missesa, & syam’ani. (2017). pengalaman keluarga merawat lansia demensia di wilayah kerja public health center menteng. jurnal forum kesehatan, 7(2), 65–76. mok, e., wong, f., & wong, d. (2010). the meaning of spirituality and spiritual care among the hong kong chinese terminally ill. journal of advanced nursing, 66(2), 360–370. https://doi.org/10.1111/ j.1365-2648.2009.05193.x 55correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) monteiro, a. m. f., santos, r. l., kimura, n., baptista, m. a. t., & dourado, m. c. n. (2018). coping strategies among caregivers of people with alzheimer disease: a systematic review. treands in psychiatry and psychotherapy, 40(3), 258–268. https://doi.org/10.1590/22376089-2017-0065 moustafa, n. s. a., & moustafa, m. s. a. (2018). depression, anxiety, and stress among some elderly caregivers in alexandria city, egypt. international journal of medical science and public health, 7(7), 570–579. https://doi.org/10.5455/ijmsph.2018.0410315042018 murdiyanto, & gutomo, r. t. (2017). peran keluarga dalam mewujudkan lanjut usia sejahtera. media informasi penelitian kesejahteraan sosial, 41(1), 1–10. naing, m. z., may, s. y., & aung, m. h. (2020). caregiver burden from caring for dependent elderly in yangon, the republic of the union of myanmar. makara journal of health research, 24(1), 13– 20. https://doi.org/10.7454/msk.v24i1.1067 nam, y., kim, y.-h., & tam, k. k.-p. (2018). effects of emotion suppression on life satisfaction in americans and chinese. journal of cross-cultural psychology, 49(1), 149 –160. https://doi. org/10.1177/0022022117736525 newman, l. l. (2004). faith, spirituality, and religion: a model for understanding the differences. college student affairs journal, 23(2), 102–110. noonan, a. e., & tennstedt, s. l. (1997). meaning in caregiving and its contribution to caregiver well-being. the gerontologist, 37(6), 785–794. oliveira, n. a. de, souza, é. n., luchesi, b. m., inouye, k., & pavarini, s. a c. i. (2017). stress and optimism of elderlies who are caregivers for elderlies and live with children. revista brasileira de enfermagem, 70(4), 697–703. https://doi.org/10.1590/0034-7167-2017-0088 özkan tuncay, f., & kars fertelli, t. (2019). effects of the caregiver burden perceived by caregivers of patients with neurological disorders on caregiver well-being and caregiver stress. perspectives in psychiatric care, 55(4), 697–702. https://doi.org/10.1111/ ppc.12405 padmiati, e., & diyanayati, k. (2015). pelayanan sosial lanjut usia dalam keluarga. jurnal pks, 14(3), 329–342. 56 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) papalia, d. e., olds, s. w., & feldman, r. d. (2008). human development (10th ed). new york: mcgraw-hill education (asia). pascual, a., conejero, s., & etxebarria, i. (2016). coping strategies and emotion regulation in adolescents: adequacy and gender differences. ansiedad y estrés, 22(1), 1–4. https://doi. org/10.1016/j.anyes.2016.04.002 peetoom, k. k. b., lexis, m. a. s., joore, m., dirksen, c. d., & de witte, l. p. (2016). the perceived burden of informal caregivers of independently living elderly and their ideas about possible solutions: a mixed methods approach. technology and disability, 28(1–2), 19–29. https://doi.org/10.3233/tad-160441 peters, b. j., overall, n. c., & jamieson, j. p. (2014). physiological and cognitive consequences of suppressing and expressing emotion in dyadic interactions. international journal of psychophysiology, 94, 100–107. https://doi.org/10.1016/j.ijpsycho.2014.07.015 pinquart, m., & sörensen, s. (2004). associations of caregiver stressors and uplifts with subjective well-being and depressive mood: a meta-analytic comparison. aging & mental health, 8(5), 438–449. https://doi.org/10.1080/13607860410001725036 popli, u. k., & panday, r. (2018). caregivers burden of hospitalized elderly. journal of gerontology & geriatric research, 07(05), 1000483. https://doi.org/10.4172/2167-7182.1000483 powers, d. v, cramer, r. j., & grubka, j. m. (2007). spirituality, life stress, and affective well-being. journal of psychology and theology, 35(3), 235–243. https://doi.org/10.1177/009164710703500306 putri, y. s. e. (2013). prediktor beban merawat dan tingkat depresi caregiver dalam merawat lanjut usia dengan demensia di masyarakat. jurnal ners, 8(1), 88–97. https://doi.org/10.20473/ jn.v8i1.3882 ratnasari, s., & suleeman, j. (2017). perbedaan regulasi emosi perempuan dan laki-laki di perguruan tinggi. jurnal psikologi sosial, 15(1), 35– 46. https://doi.org/10.7454/jps.2017.4 ruiz-robledillo, n., & moya-albiol, l. (2013). self-reported health and cortisol awakening response in parents of people with asperger syndrome: the role of trait anger and anxiety, coping and burden. psychology and health, 28(11), 1246–1264. https://doi.org/ 10.1080/08870446.2013.800517 57correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sabzwari, s., badini, a., fatmi, z., & shah, s. (2016). burden and associated factors for caregivers of the elderly in a developing country. eastern mediterranean health journal, 22(6), 394–403. https://doi. org/10.26719/2016.22.6.394 saifuddin, a. (2019). psikologi agama: implementasi psikologi untuk memahami perilaku beragama. jakarta: kencana. saifuddin, a. (2020). penyusunan skala psikologi. jakarta: kencana. santrock, j. w. (2011). developmental psychology. new york: mc graw hill. sarafino, e. p., & smith, t. w. (2016). health psychology: biopsychosocial interactions (9th ed). new jersey, united states: john wiley & sons, inc. schoenmakers, b., buntinx, f., & delepeleire, j. (2010). factors determining the impact of care-giving on caregivers of elderly patients with dementia: a systematic literature review. maturitas, 66(2), 191–200. https://doi.org/10.1016/j.maturitas.2010.02.009 schulz, r., & sherwood, p. r. (2008). physical and mental health effects of family caregiving. ajn the american journal of nursing, 108(9 (supplement)), 23–27. https://doi.org/10.1097/01. naj.0000336406.45248.4c sharif, s. p., & ong, f. s. (2019). education moderates the relationship between spirituality with quality of life and stress among malay muslim women with breast cancer. journal of religion and health, 58(4), 1060–1071. https://doi.org/10.1007/s10943-018-0587-1 shen, s., wan, y., xie, y., chen, z., & li, f. (2019). care stress experienced by caregivers of elderly individuals with disabilities and the coping strategies utilized: a survey study in the city of nanjing, china. journal of family issues, 40(10), 1396 –1414. https://doi. org/.org/10.1177/0192513x19841659 tamdee, d., tamdee, p., greiner, c., boonchiang, w., okamoto, n., & isowa, t. (2019). conditions of caring for the elderly and family caregiver stress in chiang mai, thailand. journal of health research, 33(2), 138–150. https://doi.org/10.1108/jhr-07-2018-0053 © tang, y. (2009). social support of elderly caregivers. international journal of business and management, 3(8), 81–84. https://doi.org/10.5539/ ijbm.v3n8p81 58 correlation between emotion regulation and spirituality with stress on the caregiver of elderly dwi anjaswati putri hastari, istar yuliadi, rini setyowati al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 27 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2269 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) thompson, r. a. (1991). emotional regulation and emotional development. educational psychology review, 3(4), 269–307. https:// doi.org/10.1007/bf01319934 tuck, i., alleyne, r., & thinganjana, w. (2006). spirituality and stress management in healthy adults. journal of holistic nursing, 24(4), 245–253. https://doi.org/10.1177/0898010106289842 wade, c., garry, m., & tavris, c. (2013). psychology (11th ed). london, united kingdom: pearson. wang, m., & saudino, k. j. (2011). emotion regulation and stress. journal of adult development, 18(2), 95–103. https://doi.org/10.1007/ s10804-010-9114-7 widyakusuma, n. (2013). peran pendamping dalam program pendampingan dan perawatan sosial lanjut usia di lingkungan keluarga (home care). informasi, 18(02), 211–224. widyastuti, r. h., sahar, j., & permatasari, h. (2011). pengalaman keluarga merawat lansia dengan demensia. jurnal ners indonesia, 1(2), 49– 57. https://doi.org/10.31258/jni.1.2.49-57 yadav, r., & khanna, a. (2014). impact of spirituality on stress: with the special reference of engineering students of indian institute of technology radha. research on humanities and social sciences, 4(25), 29–35. yeh, p. m., wierenga, m. e., & yuan, s. c. (2009). influences of psychological well-being, quality of caregiver-patient relationship, and family support on the health of family caregivers for cancer patients in taiwan. asian nursing research, 3(4), 154–166. https://doi. org/10.1016/s1976-1317(09)60027-x yigitalp, g., gumus, f., surucu, h., & evinc, e. (2017). predictors of caregiver burden in primary caregivers of chronic patients. international journal of caring, 10(3), 1168–1177. yun, k., kim, s., & awasu, c. r. (2019). stress and impact of spirituality as a mediator of coping methods among social work college students. journal of human behavior in the social environment, 29(1), 125–136. https://doi.org/10.1080/10911359.2018.1491918 developing internal media regulation for local media based on community sunarto adi nugroho amida yusriana universitas diponegoro semarang keywords: local community; internal regulation of media; local media http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: sunartoo@yahoo.com adinugroho.semarang@gmail.com amidayusriana88@gmail.com abstract a serving community is a strategic plan that needs to be considered by several local newspaper production in java. this includes a newspaper in semarang, suara merdeka daily. this study determines the commitment of suara merdeka daily in serving the community. data were obtained from the analysis of internal regulatory content on editorial work and business. this study used focus group discussions (fgd) to support and share data with the newspaper management team. the results showed that the editorial's internal regulations did not explicitly indicate the commitment to serve the community. this regulation has been implemented for a long time, yet it does not adjust to the relevant newspapers' actual conditions. generally, businesses have rules that require community involvement in their programs. the management team is expected to revise the regulations to suit the public's needs and develop relevant community involvement for the local newspaper's existence. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 142 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak pelayanan pada komunitas menjadi sebuah rencana strategi yang harus dilakukan oleh beberapa suratkabar lokal di pulau jawa. salah satu diantaranya ada di semarang, yaitu harian suara merdeka (sm). tujuan dari kajian ini adalah untuk menentukan komitmen dari surat kabar lokal dalam melayani komunitasnya. analisis isi regulasi internal terkait kegiatan redaksi dan bisnis dilakukan untuk mendapatkan data tersebut. selain itu, kajian ini menggunakan focus group discussion (fgd) untuk mendukung data tersebut dengan tim manajemen surat kabar. hasil kajian menunjukkan bahwa regulasi internal terkait redaksi tidak secara ekspalisit menyebutkan komitmen untuk melayani komunitas tersebut. regulasi tersebut sudah cukup lama dan tidak disesuaikan dengan kondisi aktual yang dihadapi surat kabar. sementara untuk aturan-aturan terkait bisnis sudah melibatkan komunitas dalam program-program yang dikerjakan. diharapkan tim manajemen akaan merevisi aturan-aturan yang sesuai dengan kebutuhan publik sehingga mereka dapat mengembangkan keterlibatan komunitas yang relevan untuk eksistensi surat kabar lokal. kata kunci: masyarakat; media lokal; regulasi internal media how to cite (apa 7th edition): sunarto, nugroho, a., & yusriana, a. (2020). developing internal media regulation for local media based on community. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1), 141–164. https://doi.org/10.22515/albalagh.v5i1.2169 introduction mass media are an essential means of delivering information to the public. the information conveyed is realized through forms or news products. maulsby (1925) stated that news is an actual narrative that is impartial to the facts conveyed and has essential, and actual meaning to attract the attention of the reader. therefore, the mass media’s local and national news needs to be relevant and balanced. the message conveyed is often intended for the wider public, hence the need for relevance. 143developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in indonesia, most local media are in the critical economic situation, which is likened to the sunset industry. as business entities, they face the rapid development of communication technology that forces them to change their future survival (sunarto et al., 2016). the number of media development in indonesia has decreased gradually. for instance, there were 418 daily newspapers in 2014. the number significantly reduced to 398 in 2018. additionally, the decrease is evident in weekly newspapers, such as magazines and tabloids. the report showed that the number of daily newspapers also decreased significantly. for instance, there were 9.649.784 daily newspapers in 2014. however, they decreased to 6.348.791 exemplars in 2018, showing discontinuation of at least 3.300.993 (serikat perusahaan pers, 2018). many newspapers closed their businesses due to economic instability in facing new media. this condition is evident in the national and global context. from the website https://www.remotivi.or.id/, the alliance of independent journalists (aji), in its year-end notes, refers to nielsen’s data from 117 letters. according to the news, 16 media units were declared bankrupt in 2015. also, there is a decline in active magazines from 170 to 132. in this case, this data’s development may be continued based on how the media maintains its existence, following technological developments. the media institutions that cannot keep pace with technological advancements are forced out of business. for instance, sinar harapan closed on january 2016, harian bola ended its publication on october 2015, the jakarta globe was terminated on december 2015, and sunday tempo newspaper closed on october 2015 (utomo, 2015). furthermore, utusan malaysia in malaysia (iqbal, 2019); tribune, the new york times, reader’s digest, newsweek, rocky mountain news in the usa (tempo. co, 2013); bernas daily, joglosemar, and several magazines, including kawanku, sinyal, chip, what hi-fi, auto expert, car and turning guide, and motor, specifically transformed into cewekbanget.id and grid.co.id (rizky, 2018). 144 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) according to nielsen indonesia’s research, print media readers were 9.5 million 5 years ago. however, the number dropped dramatically to 4.5 million. at the same time, media readers or digital platforms are 6 million. in this context, generation x and the millennial generation are considered the largest digital media readers (mulia, 2020). moreover, based on data from internet users through the internet service providers association (asosiasi penyelenggara jasa internet/apjii) website, it was stated that throughout 2017, out of total indonesia’s population of 262 million people, more than 50% or 143 million had been connected to the internet (rizky, 2018). however, the consumption of print and digital media is still considered to vary with each generation. newspapers are considered to still have a bargaining value by displaying the depth of news content that cannot be possessed by other digital media (mulia, 2020). several studies showed pessimism and optimism about the future of local media. in the us, it was reported that thousands of local papers had recently closed. millions of people did not have significant sources of local news on community activities. they could not know what is happening in their local communities. therefore, people could not foster civic engagement that is important to support government objectives. the rest of the papers must decrease their reporters, coverage, and circulation (hendrickson, 2019). this impacted several media in indonesia, like sindo yogyakarta, which dismissed its 42 employees in 2016 (rizky, 2018). there are few studies on local media focusing on the internal organizational aspect. several studies only focus on the content and ideal roles of local media in their communities (firmstone, 2016; hess, 2012; hess & waller, 2013), it is a financial crisis because its local readers left it (wadbring & bergström, 2015; shaker, 2014), the changing role of local media in the public communication (firmstone & coleman, 2014), and assessing local media by its communities (napoli et al., 2016). 145developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the studies did not focus on how organizational media internally operate in the digital era. a study about organizational media focused on the leadership issue, which is not related to internal regulation (sunarto, nugroho, et al., 2018). furthermore, there are few studies on local media based on internal policy or management. studies on media management did not address organizational media internal policy (strube, 2010; sylvie & weiss, 2012) in a study on the impact of formal standards and regulation on companies’ innovation efficiency, blind et al., (2017) showed the importance of internal regulation based on the community. the study showed that formal standards and regulations have different effects, depending on the extent of market uncertainty. furthermore, formal standards lead to lower innovation efficiency in markets with low uncertainty. in contrast, regulations lead to increased innovation, efficiency, and uncertainty. according to koop & lodge (2017), the study about regulation involves a control system that requires the existence and functioning of 3 components. these components include standard-setting (the statement of the desired state of the world), information-gathering (the tools used to distinguish the actual from the desired state of the world), and behavior-modification (the tools used to align actual with desired states of the world). based on the study, it is assumed that internal media policy, as a regulation of local media that developed based on its community interests, was essential to support and guide organizational, local media to achieve its goals. it would be a center of editorial or commercial local media activities to realize their objectives as strategic planning. furthermore, it would give a consequence to serve the community as a primary source for all activities. it would unite interests of editorial and commercial activities to be an organizational objective to solve its economic problems. 146 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the internal regulation defines the procedures to be followed for the administrative operation and organization of the institution. moreover, the regulation outlines the implementation of rules, and the imposition of sanctions for violation or nonconformity to relevant laws (aristotle university of thessaloniki, 2020; romero & lambropoulos, 2011). internal media regulations comprise documents with the objectives to be achieved by a local paper in editorial and business matters in everyday activities. it was part of actualizing internal media policy to develop strategic planning in general. furthermore, it could guide employees to work well and achieve their organizational goals. apart from that, the local community consists of people living in the local region, which are grouped based on their professions, hobbies, locations, among other classifications. based on the description above, this study was conducted at the organizational communication level. it examined the local media as a commercial organization, where its central business was not only to spread information and entertainment to society but also to benefit financially from its consumers. there are 3 approaches that were used to explain the phenomena, including classical, human relations, and contemporary approaches (albarran, 2006). the classical approach was the most relevant in understanding the internal regulation of local media. it focuses on how to make organizations more productive. therefore, management is responsible for establishing defined job responsibilities, maintaining close supervision, monitoring output, and making important decisions. taylor, the founder of the scientific management approach, stated that this approach offered a systematic way toward the challenge of increasing production. this could be achieved by effectively coordinating tasks, selecting and economically motivating employees, as well as training and adequately developing the workplace. research on media management developed an object of interest and study during the twentieth century. it happened when the media conglomeration started to participate in 147developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) newspaper, radio, film, and television industries. this phenomenon began to be studied since media has a significant role as a source of information and entertainment, as well as cultural transmission channels in the community. the research development continued not only on the ownership issue but also in media convergence, market share, cash flow, developing a new product, and expanding business models. moreover, the research covered the implementation of new technologies, as well as responding to competition and external factors (albarran, 2006). a discussion on internal media regulation cannot be separated from the issue of media governance. these issues deal with laws, rules, regulations, and conventions. it serves common interests, including those of media industries. additionally, it concerns formal and obligatory rules, as well as the informal mechanism of both internal and external media. consequently, the rules may guide the multiple and inconsistent media objectives (mcquail, 2005). media governance has several purposes, such as protecting substantial concerns of the state and public order, as well as inhibition of public harm. additionally, it defends individual rights and interests. media governance meets the needs of the media industry to operate optimally, promotes freedom, communication, and cultural values, as well as encouraging technological innovation and economic enterprise. furthermore, it sets technical and infrastructural standards, meets international obligations, and encourages media accountability. these are among the purposes of media governance, which need to be learned when discussing media policy (mcquail, 2005). the main form of media governance is apparent in two dimensions, including performances (formal, informal), and scopes (internal, external) (mcquail, 2005). the formal performance of media governance in external scope is actualized in the laws and regulations applicable to public regulatory bodies. the internal scope represents the administration, 148 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) self-regulation, and organizational culture. the informal performance of media governance in external scope is reflected as market forces, lobby groups, public opinion, review, and criticism. the internal scope includes professionalism, ethics codes, and conduct. additionally, one form of media governance in formal performance and external scope is emphasized in management processes and self-regulation. one of the media governance aspects is related to management processes and self-regulation. this aspect is essential for a media institution to achieve its goals. management is the effective and efficient achievement of media organizational goals through planning, organizing, leading, and controlling resources (daft, 2012). planning is identifying many goals for future organizational performances, and the determination of tasks and resources used to achieve the goals. organizing concerns with determining and classifying tasks and allocating organizational resources. leading represents the use of influence to motivate employees to achieve organizational goals. controlling is monitoring employees’ activities, determining the consistency of the organization’s path with its objectives, and making necessary corrections. all management activities are directed to create better self-regulation. an organization supports its effort in achieving its goals when it has rules. documenting all processes helps the organization in conducting itself to realize its purposes. with the self-regulation standard, all employees behave according to organizational ethics in order to achieve the goals. this provides the most effective way to coordinate the employees’ tasks. as part of a strategic way to achieve their objectives, media organizations must document the standard guidelines for all employees to function effectively. a document should consist of anything that is considered strategic by the organization. it means extensive planning with a long term orientation to interact with its environment to achieve organizational 149developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) goals. the strategic dimensions relate to the decision of top management, enormous resources, future orientation, multifunction and multi-users consequences, and external conditions (pearce ii & robinson, jr., 2016). to determine a strategic document, the management must define organization vision to include intentions, philosophies, and goals. additionally, the document analyzes internal conditions and organization competency, as well as evaluates external conditions, including competitors and general contextual factors. furthermore, the management has to analyze the choices related to resource availability, external environment, and identify the most desirable options and evaluate them based on the organization’s mission. it is essential for management to determine longterm goals and the main strategies of achieving them. equally important is creating years’ objectives and short-term strategy relevant to long-term goals and the main strategy. nevertheless, pearce ii & robinson, jr. (2016) reminded the management to implement strategic choices relevant to budget and resource allocation. finally, the management has to evaluate the result of the strategic processes as future input. the strategic document provides many benefits, such as empowering organizational competencies to defend problems, the best decision-making based on a group of employees as the best alternative, and decreased resistance to organizational changes. the document has to describe how strategic consumers become the organization targets, such as the community. this study defines community as a unified body of people with common interests living in a particular area. it is also a group of people with a common characteristic or interest, living together within a larger society (merriam-webster, 2018). based on communication, the community had meaning related to a ritual view of communication. it means that communication is designed to maintain society and represent shared beliefs (radford, 2005). when people come together in a community, they share the same identity related 150 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to their experiences, activities, hobbies, professions, or something else. they have the same beliefs about their interests. also, they find the fulfillment of their identities within the community. it is seen when the members of a community meet one another in certain regular events. they enjoy their meeting by collecting photos and publishing them in the newspaper. based on the descriptions above, the problem of this study is formulated as follows. did the local paper create its internal regulations as part of strategic planning and explicitly declare its concern to its community to cope with organizational objectives? did editorial and commercial matters in the regulation consist of the community interests? therefore, this study describes a community’s existence in the internal regulation of the local paper concerning editorial and commercial matters. it was essential to know and ensure that all the innovations by local newspaper leaders would be explicitly established at the strategic planning level. the information was obtained from sm daily as a research site because it was one local newspaper in central java that was gradually losing its readers. methods this is qualitative descriptive research. the data were sourced from text and field research. data were collected using content analysis of internal regulation and focus group discussion (fgd) of the management teams of sm daily. the fgd was used to support the content analysis. furthermore, the secondary data were obtained from several book references, journals, or other indirect sources relevant to the research topic. suara merdeka (sm) daily was chosen as the object of research because it was an iconic local paper in central java with a large publication in this region. the distribution scope of sm daily consists of several regions, including semarang metro (semarang, kendal, demak, salatiga, 151developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) purwodadi, grobogan), suara pantura (tegal, pekalongan, brebes, pemalang, batang), suara muria (jepara, kudus, blora, pati, rembang), suara suara banyumas (purwokerto, banjarnegara, cilacap, purbalingga), suara kedu/diy (purworejo, kebumen, wonosobo, yogyakarta, temanggung, magelang), and solo metro (surakarta, sragen, sukoharjo, boyolali, karanganyar, klaten) (merdeka, 2019). content analysis was conducted to obtain information from editorial and business matters in 2019. the editorial regulation was stated in buku pintar wartawan (sadono & thobary, n.d.) and lebih padat lebih segar lebih cerdas (sudarto et al., 2011). the business regulation was stated in marcomm strategy 2019, as well as marketing event and promotion plan 2019. there was an examination to find the explicit existence of the community in both regulations. the focus group discussion (fgd) was conducted with editor in chief, consultant management, marketing communication manager, and circulation manager of sm daily. results and discussion internal regulations and compliance the result showed that the editorial regulation consists of 13 chapters related to the general description of local paper groups, guidelines of daily work, writing standard that is fit for printing, editorial policy, and analysis of the department’s position. furthermore, the regulation covered the determination of working hours, guidance of religion writing, headlines, cooperation, legislative councils, the language in news writing, agriculture, labor, and legal writing. there were no explicitly written communities in the regulation. according to pages 27-28 of the regulation, all editorial policies should consider business aspects without failing to defend the subordinate group of people in society. this paper served everyone in central java and others that had a primordial connection with this region. the paper stated 152 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) that it had to align with the relationship between editorial policy and the company’s stakeholders, such as government, security officers, customers, advertisers, owners, banks, and others. aware of its history, this paper had positioned itself as a central java publication. it lives and grows together with the dynamics of people in central java. this paper lives in the middle of central java culture, with a marketing base in this region. therefore, the strong point of news and editorial policy prioritized all matters and interests of the province. the lebih padat lebih segar lebih cerdas contained 3 topics, including standard of pages performance, the guidance of writing, and tips, and therapy. the first topic exposed several criteria related to numbering in titles, raw numbers in title and sub-titles, maximizing columns, captions, features, interactive editorial rubric, infographics, author names, source, and author photography, as well as advertorials. the second topic explained more about the title (essence, efficiency, effectiveness, highlight), headlines, text content, captions, features, and infographics. the last one described the guidelines for reporters, editors, and lay outer. both of the internal editorial regulations did not mention anything related to the community explicitly. according to editor in chief of this paper, the community is mentioned explicitly as a tagline adhesive of central java community, which covers an extensive meaning. it includes social groups that develop central java sociologically. responding to these findings, the editor in chief stated that the internal regulations contained in the sm did not mention that aspect. this is because the definition in question applies to people outside semarang and central java, as long as it is still within the people of central java. in this case, the editor in chief acknowledged that internal regulation in editorial matters was treated as a guideline to control their products. as a performance standard, it was used to serve news and information to the public. this is consistent with the additional statement from the editor in chief of sm daily. 153developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “as industrial products produced by journalists in their positions as reporters and editors, they must use the guidelines as performance standards to present news and information to the public. the handbook is essential as a basis of product standardization for the newspaper products to be curated by the audience.” related to the development of internal media regulations, the consultant of management explained that sm had not conducted detailed internal regulations on the media for long. in its context, media life is empirically carried out with guidance, and all departments are given instructions according to what is necessary. according to this opinion, new formal internal regulations are absent, especially in editorial matters, which consists of details about the community. “when needed, the guidance on how business print media must be conducted in this paper is written. now, it is only practiced empirically with clear guidance.” thehe media should be managed by preparing an organizational plan. it is essential to formulate formal organizational goals and plans. it is used as a source of legitimacy, motivation and commitment, resource allocation, guidelines for action, the basis for decision making, and measuring standard performance (daft, 2012). organizational goals are achieved effectively when everything related to this success is written in a formal internal regulation. it creates a shared understanding of all members of the organization about how to achieve their goals. hence, sadiq & governatori (2015) explained that regulation is used to obtain all organizational members’ compliance. compliance is essential because, without it, all organizational goals cannot be achieved successfully. it ensures that business processes, operations, and practices align with a prescribed and agreed-upon set of norms. the needs of compliance decrease from the legislature and regulatory bodies, 154 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) standards, codes of practice, and business partner contracts. the biggest challenge is to combine the control objectives that cannot reduce rules and regulations with the business objectives and performances. serving the community as a new strategy may not be actualized by all the editorial department employees in the absence of explicit guidelines. as a basis of action, the new commitment to serve the local community should be mentioned explicitly in all documents related to editorial issues. mentioning about society or marketing targets is a general term that describes their new area of service. it gives nothing to all employees to serve more to their actual communities. in contrast to this condition, pearce ii & robinson, jr. (2016) stated that the documents containing strategic ways would empower organizational competencies to defend problems and reduce rejection of changes. ideal process of developing regulation based on community interest there is no ideal situation in processing information from top management to the bottom line. there was a different meaning of community in management. according to the editor in chief, the local paper defined community-based sub-culture in java geographically, such as kedu, magelang which differ from the sub-culture of muria, pantura, semarang, and other surroundings. related to this matter, the editor in chief explained, “they exist to serve the sub-culture communities by actualizing their services through rubrics that provide direct involvement, such as giving banyumasan dialect, or written east dialect. they also use symbols to represent certain subcultures, such as sopo iki (who is this) for semarang or sopo leh iki (who is this) for muria. they try to enter directly into the nuance of their traditional readers.” 155developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this local newspaper lacks the same meaning and fails to mention explicitly the community as the main target in the internal regulation. therefore, it fails to recall what world association newspaper (wan) said when reminding all the newspaper management not to exclude their reader community. this reminder was essential to be emphasized by all local newspaper leaders for them to survive in the new technology (sularto, 2012). a local newspaper, sm daily is no exception, because it should manage the system independently and openly. to be more productive, the organization’s system implemented in the media must be open to its environment. in line with this interpretation, the media’s organizational context must have five components, including input, change process, output, feedback, and environment (daft, 2012). the input component is related to information, financial and human resources. the organization processes could change all the resources as an output, whether services or products. after producing the output, the organization would receive feedback from its internal or external stakeholders. all the components would be processed in a certain environment. in this study, the local paper received input as information from its top leader and environment. there are new changes in the environment, such as new communication technology development. as a result, it inspires local paper’s leaders to identify anything that might be used as an essential input. in this case, the local community and adaptation to current conditions are the input. the local leader needed to change their organizational orientation to suit the new condition. they viewed the existence of community as an essential factor that was useful as a survival tool for their paper. therefore, the leader decided to emphasize the local community as a basic strategic orientation to survive in the future. 156 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mcquail (2005) stated that a newspaper lacks good governance when its internal mechanism cannot define the meaning of the same community to be included in the paper’s main target. the processes in editorial matters fail to fulfill the task of determining the community as desired by the top management. for this reason, the strategic steps determined basically should be well communicated to all employees in each department. however, based on this research, there was a problem in the communication process, especially in the editorial department, because there was no local community in their internal regulation. there were different meanings of community among the editorial staff. environment input could not be appropriately processed at the editorial management level due to the absence of community tracking in its regulation. as a policy, an idea to serve the local community was not well communicated in the editorial department. the editorial department translated the idea about different communities from the top leader. when the community’s publication appeared, it seemed to be dwelling more on the advertising interest, such as the automotive community. however, there was no other community (sunarto, purbaningrum, et al., 2018). business to community internal regulation on business matters might be found in marcomm strategy 2019, as well as marketing event and promotion plan 2019. in the first business regulation, only one out of the 13 strategies addressed community actualization. in the second business regulation, 11 out of 33 programs targeted communities especially. based on the data, some ideas were applied by the local newspaper to engage with its community, including newspaper bundling to the community, qr code, co-working space, and news serials of community. 157developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bundling is a practice of entering 2 or 3 products in separate products. it is the most flexible product strategy element because its composition is usually provided (chao & derdenger, 2013). bundling provides discussion facilities and seminars to community members. practically, the community should fulfill a certain percentage of its members to access the local newspaper’s facilities. the community needs a place of communal interaction for this facility to fulfill their needs freely. newspaper bundling supports community interaction directly other than through online. qr is a matrix code or barcode with two dimensions created by a japanese company, denzo-wave, in 1994. it is a technology that rapidly transmits information with quick responses. many media companies in europe had used qr code technology. in indonesia, kompas daily was the first media that used the code. concerning newspapers, this code functions to connect between offline and online news. while printed news media is static and less interactive, online news is rich in content, colorful, manifold, and engaging. code application to the local paper fulfills the community’s hopes of manifold and colorful news content. the public wants more news about their communities, and a limitation of pages often cannot meet this expectation. therefore, the code solves this problem by putting it on each printed paper to access better and exciting news. the news is presentable in infographics. this service meets people’s expectations and increases the reason for subscribing to this paper. a shared workspace is a social group of people working individually, although they may share certain values and work together. it offers a free solution to isolation that may be experienced. a shared workspace must be paid for, although there are undoubtedly free places. according to the head of research and savills indonesia consultancy, anton sitorus, a shared workspace, is a solution to the needs of work locations and offices. the introduction of the workspace was 158 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) very aggressive and continues to expand in indonesia. it was a sign that more people are needed to work in certain spaces (ulfah, 2018) freely. therefore, this new idea could enable the local paper to develop a close relationship with its communities. the workspace does not need a luxury place, but only a working desk and a chair, free wi-fi, as well as using air conditioning. the local paper may create a suitable system and provide the workspace to its communities. in this space, communities could access the old and new editions of the local paper. furthermore, the communities could learn how to use data from the paper to support their work. to engage with its communities, the local paper may provide regular serial news. in this way, the members could read about their community in the local newspaper. the local newspaper needs to fulfill its communities’ hope of consuming regular news about their activities. this may increase the communities’ engagement with the paper. community award is an annual program that is conducted by the local paper. the program aims to develop a close relationship between the local paper and the community in semarang. many communities were involved in this program, and some of them emerged winners of the award. this program was effective enough to attract many local communities. during the award season, each community was published (sunarto, nugroho, et al., 2018). this local paper recently created an award for village leaders (kepala desa). all the villages in semarang city participate in this competition for the top position in the city. every day, each village leader was to introduce the programs and innovations of their respective region to semarang people. it was an effort of the local paper to develop community engagement in the region. this program was initiated by cooperation with the local government. all village leaders were enthusiastic about this competition, as evidenced by their publication in the local paper. the local people gave positive comments regarding their village leaders. 159developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) business departments seem to be in line with pearce ii & robinson, jr. (2016), that the document with strategic ways would empower organization competencies to overcome problems. programs that are relevant to community needs are created by explicitly mentioning the community. as a result, community engagement is realized at the end of the business processes. conclusion and suggestion conclusion internal regulation, as a manifestation of internal policy related to editorial matters, did not explicitly mention the existence of local communities. however, community existence was mentioned in internal business regulation. community award was a regular program held yearly to develop a close relationship between the local newspaper and its communities. the local newspaper needs to improve its internal policy while processing input from its top leader. as an input, the actualization of a new idea needs to be followed by tangible action after well-documented. the actualization should be in a formal document as an internal regulation to guide all employees in all departments in achieving their strategic goals. socially, focusing on communities in internal media regulation is excellent guidance to other local or national media. this is because the rules are used as the organization’s strategic planning for the media to determine short, middle, and long term goals. it unites all the units to collaborate and focus on their responsibilities to achieve organizational goals. suggestion in the future, communities are to play a significant role in influencing its members’ cognitive and affective behavior. therefore, the local media 160 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) should direct more attention to the local communities to realize a better future economically. in this regard, further studies should focus on how local communities consume media content that serves them. references albarran, a. b. (2006). historical trends and patterns in media management research. in a. b. albarran, s. m. chan-olmsted, & m. o. wirth (eds.), handbook of media management and economics (pp. 3–22). new jersey, united states: lawrence erlbaum associates publishers. aristotle university of thessaloniki. (2020). internal regulation. retrieved march 4, 2020, from auth.gr website: https://www.auth. gr/en/regulation#:~:text=the%20internal%20regulation%20 defines%20the,fully%20conform%20to%20relevant%20laws. blind, k., petersen, s. s., & riillo, c. a. f. (2017). the impact of standards and regulation on innovation in uncertain markets. research policy, 46(1), 249–264. https://doi.org/10.1016/j.respol.2016.11.003 chao, y., & derdenger, t. (2013). mixed bundling in two-sided markets in the presence of installed base effects. management science, 59(8), 1904-1926. https://doi.org/https://doi.org/10.1287/ mnsc.1120.1688 daft, r. l. (2012). new era of management, boston, massachusetts, united states: cengage learning firmstone, j. (2016). mapping changes in local news. journalism practice, 10(7), 928–938. https://doi.org/17512786.2016.1165136 firmstone, j., & coleman, s. (2014). the changing role of the local news media in enabling citizens to engage in local democracies. journalism practice, 8(5), 596–606. https://doi.org/10.1080/175127 86.2014.895516 hendrickson, c. (2019). local journalism in crisis: why america must revive its local newsrooms. retrieved from https://www.brookings.edu/ research/local-journalism-in-crisis-why-america-must-revive-itslocal-newsrooms/ 161developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hess, k. (2012). breaking boundaries: recasting the "local" newspaper as "geo-social" news in a digital landscape. digital journalism, 1(1), 48–63. https://doi.org/10.1080/21670811.2012.714933 hess, k., & waller, l. (2013). geo-social journalism: reorienting the study of small commercial newspapers in a digital environment. journalism practice, 8(2), 121–136. https://doi.org/10.1080/175127 86.2013.859825 iqbal, m. (2019). koran malaysia berumur 80 tahun ini tutup, 800 karyawan di phk. retrieved october 25, 2019, from cnbcindonesia.com website https://www.cnbcindonesia.com/news/201910092006064-105732/koran-malaysia-ber umur-80-tahun-ini-tutup-800karyawan-phk koop, c., & lodge, m. (2017). what is regulation? an interdisciplinary concept analysis. regulation and governance, 11(1), 95–108. https:// doi.org/10.1111/rego.12094 maulsby, w. s. (1925). getting the news. san diego, california, united states: harcourt, brace & howe. mcquail, d. (2005). mcquail’s mass communication theory (5th ed). thousand oaks, california, united states: sage publications. merdeka, s. (2019). suaramerdeka.com/regional. www.suaramerdeka.com merriam-webster. (2018). community. retrieved october 25, 2019, from merriam-webster.com website: https://www.merriam-webster. com/dictionary/community mulia, p. (2020). menolak mati. retrieved march 4, 2020, from koran.tempo. co website: https://koran.tempo.co/read/fotografi/453676/ menolak-mati napoli, p. m., stonbely, s., mccollough, k., & renninger, b. (2016). local journalism and the information needs of local communities: toward a scalable assessment approach. journalism practice, 11(4), 373–395. https://doi.org/10.1080/17512786.2016.1146625 pearce ii, j. a., & robinson, jr., r. b. (2016). manajemen strategis: formulasi, implementasi, dan pengendalian (strategic management: formulation, implementation, and control). jakarta: salemba humanika. radford, g. p. (2005). on the philosophy of communication. belmon, california, unites states: thomson wadsworth. 162 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rizky, p. a. (2018). menakar umur media cetak indonesia. retrieved october 25, 2019, from alinea.id website: https://www.alinea.id/media/ menakar-umur-media-cetak-indonesia-b1uuz98e romero, m., & lambropoulos, n. (2011). internal and external regulation to support knowledge construction and convergence in computer supported collaborative learning (cscl). electronic journal of research in education psychology, 9(1), 309–330. https:// doi.org/10.25115/ejrep.v9i23.1439 sadiq, s., & governatori, g. (2015). managing regulatory compliance in business processes. in m. rosemann & j. vom brocke, handbook on business process management 2: strategic alignment, governance, people, and culture (2nd ed.). berlin, germany: springer. https:// doi.org/10.1007/978-3-642-45103-4_11 sadono, s. y. b., & thobary, h. r. (n.d.). buku pintar wartawan. semarang: suara merdeka. serikat perusahaan pers. (2018). pertumbuhan media cetak per wilayah se-indonesia tahun 2014-2018 (i. a. w. (ed.)). jakarta: serikat perusahaan pers (sps) pusat. shaker, l. (2014). dead newspapers and citizens’ civic engagement. political communication. political communication, 31(1), 131–148. https://doi.org/10.1080/10584609.2012.762817 strube, m. (2010). development of transnational media management research from 1974-2009: a propositional inventory. international journal on media management, 12(3), 115–140. https://doi.org/10.1 080/14241277.2010.531335 sudarto, bisri, a. z., & heryanto, b. p. (2011). lebih padat. lebih segar. lebih cerdas. standar penyajian halaman dan pedoman ragam penulisan harian suara merdeka format 8 kolom. semarang: suara merdeka. sularto, s. (2012). syukur tiada akhir : jejak langkah jakob oetama. jakarta: kompas. sunarto, nugroho, a., indrayana, h., & toto, a. (2016). innovation policy of a regional paper in semarang, indonesia. proceedings of the 2016 international conference on public management (icpm 2016), 37–39. https://doi.org/10.2991/icpm-16.2016.11 sunarto, nugroho, a., purbaningrum, d., lestari, a. p., indrayani, h., & tunggal, i. d. a. (2018). local media and local community in 163developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) semarang. proceedings of the 3rd international conference on indonesian social & political enquiries (icispe 2018). https://www.atlantispress.com/proceedings/icispe-18/125922568 sunarto, purbaningrum, d., nugroho, a., indrayani, h., & lestari, a. p. (2018). inequality publication of local communities in local paper. the 3rd international conference on energy, environmental, and information system (icenis 2018), 73. https://doi.org/10.1051/ e3sconf/20187313012 sylvie, g., & weiss, a. s. (2012). putting the management into innovation & media management studies: a meta-analysis. international journal on media management, 14(3), 183–206. https://doi.org/10.1080/14 241277.2011.633584 tempo.co. (2013). daftar media cetak amerika yang gulung tikar. retrieved october 25, 2019, from dunia.tempo.co website: https://dunia. tempo.co/read/502699/daftar-media-cetak-amerika-yanggulung-tikar ulfah, f. u. (2018). coworking space jadi penyelamat bisnis perkantoran. retrieved october 25, 2019, from ekonomi.bisnis.com website: https://ekonomi.bisnis.com/read/20181220/47/871806/ coworking-space-jadi-penyelamat-bisnis-perkantoran utomo, w. p. (2015). media cetak yang berhenti terbit tahun 2015. retrieved october 25, 2019, from remotivi.or.id website: https://www. remotivi.or.id/kabar/247/media-cetak-yang-berhenti-terbittahun-2015wadbring, i., & bergström, a. (2015). a print crisis or a local crisis? local news use over three decades. journal of journalism studies, 18(2), 175–190. https://doi.org/10.1080/1461670x.2015.1042988 164 developing internal media regulation for local media based on community sunarto, adi nugroho, amida yusriana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 141 164, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2169 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma* universitas katolik indonesia atma jaya keywords: gender; journalism; leadership; mass media http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: *andina.dwifatma@atmajaya.ac.id abstract male journalists were considered to advance in their careers easier than their female counterparts due to the heavy fieldwork and irregular working hours. determining whether this assumption remains relevant, this study maps the proportion of female and male journalists in ten indonesian mass media organizations while also exploring the factors that contribute to the condition. this research applies quantitative and qualitative mixed methods, involving journalists in 10 media (n = 811) at both the reporter and managerial levels, and a focused-group discussion (fgd) with 14 female editors. at the reporter level, there are 64% male and 36% female journalists. at the managerial level, the figures change to 77% (men) and 23% (women). the three factors that hinder the career of female journalists are a double burden (career and household), mental barriers, and ‘masculine’ office politics. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 132 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak jurnalis laki-laki dianggap lebih mudah mengembangkan karier dibandingkan dengan jurnalis perempuan karena pekerjaan lapangan yang berat dan jam kerja yang tidak teratur. untuk memahami apakah asumsi ini masih terjadi, studi ini memetakan komposisi jurnalis perempuan dan laki-laki di 10 media massa di indonesia, sekaligus menyelami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut. penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif, melibatkan jurnalis di 10 media (n=811) baik di tingkat reporter maupun manajerial, beserta diskusi kelompok terarah (fgd) dengan 14 redaktur perempuan. di tingkat reporter, ada 64% jurnalis laki-laki dan 36% jurnalis perempuan. di tingkat manajerial, angkanya berubah menjadi 77% (laki-laki) dan 23% (perempuan). tiga faktor yang menghambat karir jurnalis perempuan adalah: beban ganda (karir dan rumah tangga), hambatan mental, dan politik kantor yang cenderung maskulin. kata kunci: gender; jurnalisme; kepemimpinan; media massa how to cite this (apa 7th edition): dwifatma, a. d. (2021). barriers to career advancement of women journalist in indonesia. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(1). 131 – 158 https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 introduction the rise of the study on barriers to women’s career in various fields show that this phenomenon occurs in almost all public sector, ranging from academic, business, and the health industry (kalaitzi, czabanowska, fowler-davis, & brand, 2017). in this case, the press industry is not spared from this issue. based on the data, the alliance of independent journalists (aliansi jurnalis independen/aji) reported among the ten journalists. otherwise, there will be at most only three female journalists (aliansi jurnalis independen, 2012). moreover, in terms of media content, 133barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) it may also indicate the same thing. in collaboration with the tempo data and analysis center 2018, research from the tempo institute states that women only appear in 11% of sources in mass media reporting (maryani, janitra, & rahmawan, 2019). these results were obtained through research on seven print media and three online media. the rubrics specifically researched are directed at headlines, politics, national, economics, and law—in short, public issues involving common interests. indirectly, this figure can illustrate how women have not been seen as parties with expertise in the public sphere, mainly discussing topics unrelated to domestic themes, such as household and children. apart from not being shown more in the public sphere, the representation and description of women in the media also find an interesting point when it is associated with a number of reported cases that are identical to the subordinate treatment of women. this can be seen from the practice of language that supports mass media representation to strengthen the discourse in providing subordinated treatment to women (hadiati, abdullah, & udasmoro, 2013). as a result, the space for women tends to be limited. on the contrary, men can obtain a more expansive area through media representations. another depiction is also found in several religious-themed newsrelated information. it may not be separated from the media editorial role in the selection and filtering of news information. moreover, a dichotomy emerged over the arrangement of the gender hierarchy between women and men, resulting in the construction of news becoming less balanced. for example, women are often judged inferior and unfavorable, become victims, are considered the weakest, and even helpless through media coverage (maulina, 2017). the media industry is unique because the work of journalists is often considered identical and dominant, with heavy fieldwork with 134 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) irregular working hours. male journalists are also considered to be more suitable and able to be advanced in journalistic careers. compared to their female colleagues, at least before these female journalists have families and become such, as well as being busy with household matters and the perceived ‘obligation’ to take care of children—compared to men—man or husband. taking the dichotomy phenomena in the realm of work as a starting point, the following argument will discuss the frequently occurring gaps. why is there a difference in salary received for women and men? or why are women considered challenging to reach decision-making positions? this is due to the existence of job differentiation based on gender. women will be given jobs in the domestic sphere, which tend to be low-paid than men placed in the public sphere. the assumption is that women are seen only as supporters and not workers in the main (melati, 2019). numerous studies on the professionalism of female journalists demonstrate that female journalists can and do believe they are afforded the same opportunities as male journalists, that there is no gender-based division of labor, and that they experience and accept equal responsibilities and work hours (bire, mas’amah, & hana, 2019), except for some risk considerations (karliani et al., 2020). however, research on the mental condition of married female journalists shows different situations that require women to commit to challenging work as journalists and be consistent in their responsibilities towards their dual role (ulhaq, 2020). this means that, even though they are given the same opportunity in the newsroom, female journalists still have to maintain their performance in the private sphere, namely the family. a female journalist is considered successful if she succeeds in both contexts, i.e., if she is able to work professionally in the media industry while also being a good wife and housewife (karliani et al., 2020). in other words, if a woman works and is married, then the next woman has 135barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) two statuses and roles, a worker as well as a wife. moreover, if a woman receives a promotion to her position, then she cannot ignore her status as a wife and mother in the household (melati, 2019). this double burden often makes women give in to not being too ‘advanced’ in their careers. female journalists, especially married ones, often lose the energy to pursue career paths to top leadership positions, such as editor, managing editor, and so on until editor-in-chief (stellarosa & silaban, 2019). this is reminiscent of one of the previous studies of utari & nilan (2008), which states that women at a young age will feel more enthusiastic about a career in the media, both in presenting news, meeting sources, and writing articles on various interesting topics. however, after a few years, they will realize that the expectations of working in the media and communications industry are seen as far from ideal. this work is a challenge confirmed by the notion of the socially perceived ‘nature of women’ that labels women’s domestic roles as god-given. the existence of a conservative discourse about women and work appears in representing the new order ideology which reinforces that the ideal woman is a woman who is at home. this context gives rise to a reimage of the innate nature of women who prioritize being at home and carrying out their domestic responsibilities (oey-gardiner, 2002; utari & nilan, 2008). women are also indirectly faced with a choice, whether their energy will be dominantly used in pursuing a career or choosing to stay at home, and usually, they will choose the second one. especially for a few years ago, the number of women with communication degrees in indonesia is relatively large, and it is not comparable to the number of female media workers who can be absorbed in the media industry (utari & nilan, 2004). the condition of women journalists in several other countries is relevant to the phenomenon that happens in indonesia. although mass communication is an option for female students in nigeria, a 136 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) recent study found that only a few female graduates chose to pursue a career in journalism and media (chioma, okere, alao, atakiti, & jegede, 2015; abati & ayoola, 2019). in india, the latest research analyzing the opportunities, challenges, and social life of women journalists in the media industry in india (pathak, bhawalkar, sharma, & saxena, 2018; afsar & kumari, 2020a; afsar & kumari, 2020b). further findings emerged in research in bangladesh, where media journalism was initially stated to be a challenging job for women. they were not supported to work outside the home. however, in its development, many women have contributed to aspects of economic welfare and development and are actively involved in journalism. however, there are still certain stereotypes that tend to corner women, unfair treatment arises, and even some forms of harassment from male co-workers so that this causes female journalists to give up their profession (safa & akter, 2015). recent research on the topic of female journalist leadership also expresses the findings from a different perspective. the results show that female journalists who are able to move up to managerial positions or decision-makers will tend to be more gender-sensitive in giving special treatment (affirmative action) related to women’s natural matters, such as menstruation, pregnancy, childbirth, and breastfeeding. (sunarto, nurul, & amida, 2020). this means that the more women journalists take on leadership positions, the more they will have the opportunity and more flexibility to develop their careers. research on the tendency of female journalists in semarang local media, for example, also shows that although they ‘adopted’ masculine values, such as courage, independence, responsibility, and the courage to take risks in pursuing a career, once they reach a leadership position, they actually include feminine values in the resulting policies (sunarto, 2020). this research intends to add to the excitement and at the same time complement the discourse on the career development of women journalists 137barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in indonesia. the patriarchal structure in practice has been embedded in indonesian society in such a way that it takes a lot of research, initiatives, and messages that are delivered continuously to review this matter. it is important for women journalists to continue to be present in the media industry so that the point of view presented to the public is not only based on one masculine point of view and ignores femininity. research on kompas senior journalist, maria hartiningsih, shows that female reporters tend to be more sensitive to covering issues regarding women, children, and poverty (ritonga, murwani, & ritonga, 2017). although often considered less flashy than the themes of politics, war, or technology, the themes of humanity are those that are closest to everyday life and should not be missed. gender inequality and violence against children, for example, are taken for granted as part of a culture that places women and children in a vulnerable position. precisely because this has been deeply rooted, the presence of women journalists is increasingly important to continue to echo the emergence of changes in the adjustment of media viewpoints. the emotional factor that is seen as thick in women also does not prevent them from remaining professional in addressing sensitive cases, such as violence against women (al mushi, 2018). this research then includes three media platforms, namely online, print, and broadcasting (radio and television), to be followed up on the gender composition of journalists. this research also seeks to involve public broadcasters, such as rri (radio republik indonesia). by doing so, the researcher hopes to get an overview of the composition of female and male journalists on various media platforms in indonesia today, both as a whole and at the structural level. suppose the results show a wide gap between female and male journalists, especially at the decision-making level. in that case, the researcher wants to know what factors might hinder the careers of female journalists themselves. from this aspect, various ideas on solutions are expected to make the work environment more conducive to curry career female journalists. 138 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the context of work in media is actually inseparable from the production process and the consumption of reality on the resulting news products. in this case, nasution (2017) explains that ideological interests in several media which tend to be different will result in the packaging of the resulting reality being able to influence the manifestations formed by the media. this focus indirectly affects the people’s thoughts behind the media to think in line with the ideology adopted by the media. for example, most communication researchers’ way the media works will describe people, groups, organizations, labels (stereotypes), or structures that move ideologically. this media depiction can be an identical symbolic power and reflect the character of a medium. therefore, the media has the concept of representation and symbolic power as the main characteristics of the media in packaging an understanding of how a media works (murtiningsih & advenita, 2017). there are no exceptions to the way the media builds and represents women, both in terms of reporting and the work environment that exists and is a part of media life. according to the media’s representation of reality, the media plays a critical role in delivering or disseminating communication messages to the general population. in this aspect, the media, particularly the mass media, are mediums that are designed to disseminate message information while also allowing the audience to obtain that information (tamburaka, 2013; saputra, 2020). there are three features of the mass media that are generally dominant: corporate focus, technological development, and a reflection on how people’s lives are shown (anggraeni, 2018). one could argue that the mass media operates on an industrial level that is inextricably linked to business matters and is also evolving in tandem with technological advancements to enable the dissemination of information to a broad audience, ensuring that information messages are consumed not only privately, but also widely and publicly accessible. everything represented 139barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) by the mass media in various conditions also describes people’s lives through the constructions they build (wahid & pratiwi, 2018). this is defined by okoro & chinweobo-onuoha (2013) specifically through the way journalism works as an information tool that functions in socialization, social movement (mobilization), and control. therefore, conveying messages through the media and journalism levels is essential as public education and training sensitivity to problems in society. returning to the initial question in this study, the researcher used a survey method to collect data on the names of journalists listed on the mastheads of each media regarding the effort to find the gender composition of the journalists in it. for media that does not include the name of a journalist on the masthead his, researchers sent a letter to the editor of a direct appeal. meanwhile, in order to answer the question further, researchers followed a group discussion pitch direction (focusedgroup discussion/fgd) held by the association of development of media nusantara (perhimpunan pengembangan media nusantara/ ppmn) by inviting 14 women journalists who were on a structural level in their respective media. this is done so that researchers can focus on the obstacles and challenges experienced by women journalists who have succeeded in reaching leadership levels in their careers. the main limitation in this study is the uneven distribution of data, especially in the data for the category of broadcast media. except for rri, media included in the broadcasting media category only include data on journalists at the managerial level. the absence of data on the level of a reporter on the broadcast media in his position making does not reflect the proportion of research data. it shows significantly regarding the reality of the real in these media. some print and electronic media also do not distinguish between the positions of reporters and editors. in this case, all names at the editor and reporter level are counted as reporters. the data contained in the 140 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) media’s official mastheads may also not accurately represent the media’s tasks and levels of decision-making authority. for example, kompas daily which includes all journalists except editors, managing editors, and editorin-chief (of which there are only three people) as reporters. in cases like this, researchers still include findings in accordance with those contained in the official masthead in order to maintain the originality of the data. methods this study uses a mixed-method (mix methods) quantitative and qualitative in a convergent mixed-method approach. this mixed-method is used by processing and analyzing qualitative and quantitative data simultaneously, at the same time (creswell, 2016; chih-pei & chang, 2017). specifically for the acquisition of quantitative data, and data collection is conducted via a survey method, namely by mapping the number of female and male journalists employed in ten media outlets (n=811), both at the non-managerial level (which will be referred to as reporter) and at the managerial level (editor and above to chief editor/editor). ten media organizations have been chosen to represent the three types of media, online, print, and broadcasting). they have met the criterion of having a high level of news content and large audience consumption. additionally, researchers select media that have the highest number of visitors to a website (for online media), the most increased circulation (for print media), and the highest viewing level (viewership ) for the broadcast media category. based on the mapping of the criteria and characteristics above, the media organizations were selected to be part of the data in this study, namely: kompas, jawa pos, republika, tempo (criteria for the type of print media, obtained from various sources), tribunnews.com, detik.com, okezone.com (for online media criteria, obtained from the alexa traffic counter website in march 2020); cnn indonesia, metro tv, rri (type 141barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of broadcast media, obtained from january-may 2018 data) (katadata, 2018). especially for the type of broadcast media, rri is not included in the list of media with the highest viewing rate. however, the existence of rri is included in the category of representation of public broadcasting institutions in indonesia this is due to rri’s history and role as a means of communication for indonesian independence, which was administered exclusively by the government following the declaration of independence (tapsell, 2018). additionally, the total number of journalists analyzed in this research is 811 from ten different media organizations. the data is grouped into the reporter level and the managerial level (editor, executive editor, to the editor-in-chief). this classification follows a similar study in the uk that places positions ranging from editors upwards at the decision-making level (women in journalism, 2017). in addition, in the business world in general, an employee is said to be at the managerial level if there are subordinates who report to him. he is called nonmanagerial if his party only carries out functional work without having structural subordinates (rawes, 2018). each name is then assigned a male or female sign. furthermore, the researcher also recap the composition of the total number of female and male journalists, both at the reporter and managerial levels. meanwhile, in the processing of data on the type of qualitative research is done by using the method of phenomenology that aims to pull a red thread and determine the relevance of the various experiences of individuals on a given topic (creswell, 2016). in this case, the presence of the individual referred to refers to the 14 chief editors and managing editors of women who come from the following media: the jakarta post, popmama.com, tabloid kontan, tirto.id, rtv, kbr, tempo, rakyat merdeka, net. id, liputan 6, magdalene, global tv, and cnn indonesia/news trans. furthermore, the data collection session was carried out through a focus group discussion (fgd) forum. the fgd session was held on 142 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) friday, march 6, 2020, at the go work millennium centennial center, 38th floor, on jalan jend. sudirman kav. 25, south jakarta 12920. in the process, the researcher was present and followed the whole discussion. the entire process of data collection was carried out in indonesian. qualitative data obtained from fgd results were transcribed verbatim. this data is then analyzed using the miles & huberman interactive analysis model, which consists of data reduction, data presentation, and conclusion drawing (miles, huberman, & saldaña, 2018). results and discussion comparison of male vs female journalists based on data from the 811 journalists surveyed, as many as 543 journalists manifold male (67%) and 268 female (33%). this figure shows that in terms of quantity, the number of male journalists is stated to be higher than that of female journalists who work in the media. data acquisition is also divided according to the level of work, namely male journalists at the reporter level amounting to 396 people (64%) and female journalists as many as 225 people (36%). meanwhile, the distribution of media workers in the level managerial (editor upwards), data showed the number of male journalists reached 147 people (77%) and journalist women as much as 43 people (23%). furthermore, the actual data can be reviewed in the following table: 143barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. details of the composition of journalists in 10 media based on gender type media reporter managerial total total notes m f m f m f online okezone 25 12 9 6 34 18 52 online detik.com 74 45 12 3 86 48 134 do not separate reporters from editors online tribunnews. com 57 22 40 2 97 24 121 tribun jatim does not separate reporters from editors print tempo magazine 9 5 34 12 43 17 60 print kompas daily 105 54 2 1 107 55 162 print jawa pos 28 15 22 8 50 23 73 print republika 77 62 5 2 82 64 146 broadcasting metro tv null null 9 1 9 1 10 does not provide reporter data broadcasting cnn tv indonesia null null 5 6 5 6 11 does not provide reporter data broadcasting rri 21 10 9 2 30 12 42 total 396 225 147 43 543 268 811 male journalists regularly outnumber female journalists, regardless of the type of media or structural positions held in the editorial ranks. however, the comparison figures tend to have gaps, namely from the reporter level as much as 64:36 to the managerial level, which reaches 77:23, further confirms that there is a leadership gap that can be achieved 144 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) between male journalists compared to women. the number of male and female journalists may have almost the same quantity at the beginning of their careers. however, with the passage of time and increasing tenure in the media world, there may be competition for a higher position, which has resulted in many women journalists being displaced and out of the competitive arena. this figure is in line with similar studies on the distribution of the number of media careers for male and female journalists worldwide. for example, in the united states, male journalists dominate with by-lines in print media by 59%, tv by 63%, internet by 60%, and news agencies by 69% (women’s media center, 2019). in kenya, there are as many as 66% of journalists who work are male (ireri, 2017). even globally, at the managerial level, jobs are occupied by men reached 73%, while for women only at a point 27%. additionally, two-thirds of journalists are men, while women remained steady at 36%. however, in several other countries, the tendency appears to be in the opposite direction. for example, in south africa, the percentage of female journalists who enter and participate in decision-making might reach 79.5 percent, while in lithuania, women dominated junior reporter positions with 78.5 percent and senior reporter positions with 70, 6 percent (byerly, 2011). based on the distribution and findings of the data above, two possibilities can be analyzed. first, there is a woman journalist who resigned after she has married, so the talent pool for women journalists who could be promoted to head to the managerial level is not available much. if this is the case, there is a severe infrastructure and climate work problem in the mass media. women tend to have difficulty harmonizing between career and professional journalists who lived in the household. additionally, it is possible for the emergence and use of patriarchal values in society, which they confirmed contributed to the narrowing of women’s space as a result of the dual role that must be fulfilled, whether at work 145barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) or in burden households, where both responsibilities should be carried out concurrently. secondly, a sufficient ‘talent pool,’ but the quantity of women journalists who are considered worthy or ready to be promoted to a managerial level is not much. this can mean that there is a gender bias problem in viewing the social roles of women and men. this gender bias can come from promoters who feel that women are not worthy of moving up to a managerial level or women journalists who think they are not even worthy of holding leadership positions. as a result, both are equally problematic. referring to the two tendencies above, the analysis in this paper is then based on the ‘ways in’ aspect in the perspective of contemporary feminism, which places more emphasis on the position of women in cultural and scientific production (oren & press, 2019). the emergence of marginalization experienced by women in almost all fields started from the exclusion of women in the production of ideas and public works. construction in society forms areas seen as ‘men’s fields’, and women are required to try to enter areas that are not intended for themselves. in class and social identity, women’s position will impact their work (melati, 2019). when associated with women’s careers in the media, this patriarchal aspect hinders access and equal rights, especially in achieving higher job positions. this is also supported through the explanation of the handbook of contemporary feminism. the fields of study used to discuss contemporary feminism problems are science, technology, engineering, mathematics (stem) and the game industry. however, it is very possible that this phenomenon also covers various fields of communication and media, including the world of journalism. three factors inhibiting women’s journalist career judging from the initial statement that women work as part of being supportive—or complement—and not as the main workers (melati, 2019), 146 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) it is related to the discourse on why women have difficulty increasing their career paths. using the statistics on the number of male and female journalists in various media outlets, an analysis of the data collected via group discussions (fgd) was conducted with several selected journalist informants. confirmation was carried out through verbatim coding with discussions with 14 (fourteen) female editors-in-chief and revealed at least 3 (three) main factors that were seen as impeding the careers of women journalists in indonesia. first, there appears to be a double burden on women journalists as they develop their careers. the double burden in question is in the form of demands that come from external parties (both family and society), as well as internal (self). in its meaning, it is considered that no matter how high the career achievements of women , the household and children remain the primary responsibility contexts. finally, this resulted in women being placed in a dual role that ‘must or will not’ be fulfilled, both as a worker through their profession, specifically as a journalist, and as a mother and wife in a family who must be prepared to solve problems and manage all the knick-knacks of household activities. this argument can be reviewed through the verbatim meaning conveyed by one of the informants, sr (initial). “even though there is support from the family, it still feels guilty to leave the children and home until late at night.” (sr) “i can continue to work, but in the morning i have to prepare breakfast and accompany my children to study, that’s a requirement from my husband.” (sr) several women journalists who are not married and/or do not have children, argue that the field of media and journalism is not an easy industry, considering that working hours in the media tend to be uncertain and require a large commitment to obtain high-value news. 147barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “journalism is not a family-friendly industry. it’s hard not to be total in this profession.” (ys) the above understanding cannot be separated from the solid patriarchal system that is still rooted in society. the assumption that being in a public environment, one of which is in the field of media work, is not seen as necessary in accordance with women’s social roles and functions. on the other hand, public space is considered only appropriate for men to have. men are regarded as the main actors in families whose careers must be supported by their wives and children. their men domination and subordination to women, as well as the division of labor based on gender (men outside, women at home) in the end, make the women have to work double so challenging to achieve a balance between career and personal life (adisa, abdulraheem, & isiaka, 2019). the meaning of this stereotype indirectly helps to strengthen the position of women in society, especially in the division or dichotomy between the public and private spheres. as a result, the existence of women is stated to be identical with a figure who tends to be in the domestic world (abdullah, 1997), concerning their role and capacity as a mother and wife in household matters. in this context, explaining the understanding of the construction and social meaning of the function and role of women in society, ideally, will form a separate perspective on women. even then, technological developments and globalization have made women more free of expression, one of which is in carrying out their work careers. however, the fact is that this understanding will still be limited by certain social values that limit people’s thinking in treating women in everyday life (pratiwi, 2015). moreover, at a position, more extreme restrictions on women tend to be able to cause the system to discriminate on the lives of women, appear to marginalize the participation of women in the economy that have an impact on the lack of women’s strategic position financially (millie 148 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) & bellamy, 2014). thus, it is not uncommon for women to tend to depend on their financial lives to men (husbands) because they are the ones who can work optimally and have power in public spaces. the above assumption may arise due to gender subordination which is also a problem. the assumption is that revealing women’s issues in the context of gender tends to lead to resistance. fakih (2020) identifies this understanding in two forms of analysis: first, questioning the status of women, continuously challenging—even shaking up—established systems and structures; and secondly, creating misunderstandings when examining women’s issues, in which gender issues talk about power relations over private matters as well as involve claims for ‘privilege’ for men and women. the patriarchal system places household affairs and childbearing/ child care as the responsibility of women. this is why many female journalists choose to step down just as their careers progress. this is a global phenomenon and is not even exclusive to certain countries. women are considered to have multi-skills that enable them to perform optimally in the office and at home (boateng & lauk, 2020). this demand which in turn, makes the journalists, the women themselves, doubt whether women should have worked their way toward the top leadership in the media (vu, barnett, duong, & lee, 2019). the second factor that also plays a role in the career path of women journalists is mental block from the perspective of women journalists themselves. several female journalists who were involved in the fgd admitted that they were horrified if they had to take on a higher responsibility than what they currently hold. several informants also talked about their doubts when they were given the option to promote to the decision-making level and take a higher career path. this can be reviewed through ys (initial) and nqp (initial) statements as follows: 149barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “when i got the offer to be the chief executive officer, i doubted… can i afford it? i then consulted my mentor, and he convinced me to take the opportunity. my mentor said, that’s the difference between women and men. women, even though they are capable, will doubt themselves first. while men will tend to seize opportunities, regardless of whether he is really capable or not.” (ys) “if i had a choice, i would choose to remain in my current position (executing editor). i’m happy like this, it’s like i’m the mother of the children in the editor. if you have to go out and deal with mass organizations, you will be called by the press council, duh… i can’t afford it.” (nqp) through ys’s statement, it can be interpreted that she is having doubts about whether to take the offer for promotion to a higher career path or not. although it was felt that she had consulted with her mentor for several considerations, in fact, there was still a denial in her that made her not completely sure about the offer of a career path. in addition, objections also appeared in nqp’s statement, which seemed unable to take on higher job responsibilities. the emergence of mental barriers usually occurs in women who receive offers to carry out higher positions. a study of 1,500 women in the united states shows when it comes to assessing themselves (self-assessment) for the promotion, the women were systematically provide ratings that are less favorable for the performance and potential of their capabilities in the future, compared to their male counterparts of similar performance (exley & kessler, 2019). this shows that there is a denial by women of their abilities. women will feel less confident about their credibility. thus, this woman’s distrust can be stated no longer at the individual level but is already structural in nature. 150 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) although women consistently scored higher than men in the managerial ability test (zenger & folkman, 2019), women are viewed as not as easy as men when expressing their confidence in the group. this is because women are socially and culturally accustomed to being ‘prosocial’ individuals, whose main task is to maintain a conducive social atmosphere, even though it means avoiding conflict (guillén, mayo, & karelaia, 2018). on the other hand, when a woman does not comply with this social code, her party will be perceived as a dissident, aggressive, and ultimately unwelcome figure. the third factor that hinders the careers of women journalists is the masculine political culture of the office. this is inseparable from the fact that most journalists working in the media are male compared to female journalists. aspects of office politics masculine can be demonstrated by the reluctance of the media to recruit female journalist from the beginning because it is already constructed the assumption that there will be a natural selection for female journalists, in which they will resign after marriage or have children, so that they do not continue their career path in the media. the single most influential aspect is when women journalists call never got discrimination in the assignment. this is evident during the course of reporting on a certain subject, such as lifestyle or entertainment. another problem that women journalists face is bad experiences (harassment) from sources. in this context, the editors did not immediately give a swift response to deal with it. moreover, not infrequently, journalists who are at the decision-making level accept this and consider it part of the news search process. according to one study, women who work in a system with a majority of men tend to be less confident, less influential, and more reluctant in their opinions. however, when women apply for or are selected for leadership positions, they tend to feel encouraged (born, ranehill, & sandberg, 2018). the more men dominate the newsroom, other research 151barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) also shows that the presence of women in leadership positions influences other women, making other women more confident and comfortable in pursuing their careers to the top (glass & cook, 2018). however, keep in mind that this research is very limited in scope. the ten media that became the focus of the study, in terms of numbers, are relatively small compared to thousands of national media. as a result, the findings of this study are more casuistic and contextual when it comes to the media on which the research is focused. additionally, 14 female editors in chief probably do not adequately represent (generalize) the objective reality of all female journalists in indonesia. thus, it is hoped that quantitative research with a more significant number of media will emerge and qualitative research using the in-depth interview method in order to present a broader and in-depth perspective on similar topics. conclusion and suggestion conclusion based on the findings and analysis of data quantitative and qualitative described above, it was found that there was indeed a distance (gap) leadership in industry media. at the reporter level, the number of male journalists is stated to be higher than that of female journalists. this also reinforces the notion that the world of journalism with the context of many work activities taking place in the field and the irregular flow of work hours is considered more suitable for men. interestingly, at the managerial level, the percentage of men is also much more dominant. this means that more male journalists are considered to have leadership qualities to become editors, managing editors, and editor-in-chief, compared to female journalists. in general, three causes of this condition were identified: the first is the double responsibility placed on female journalists. even though they are “freed” to work, they are also expected to remain good housewives and 152 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) play a dominant role in caring for children and taking care of the house. this creates demands for women so that they often choose not to carry out more responsibilities in the office. the second is the mental factor. the majority of women who feel unable to occupy higher positions because structurally, women tend to receive “education” that their area is private or domestic (both home, children, and the like), so they feel objected to accepting challenges in a number of work sectors in the workplace public. third, the political condition of the office environment, which is masculine. men who sit in structural positions will usually tend to promote fellow men than women. in addition, the position of the dominant male in leadership will create assumptions and “trust” the public that men are more worthy of being a leader than a suitable woman. suggestion there needs to be a cultural change in media companies and newsrooms that regarding the care and management of households and children it is a shared task, both for women (wives) and men (husbands). this cultural change can then be implemented into various policies. policies such as work from home and flexible working hours must be given to female or male journalists, when necessary, equipped with clear and open job descriptions, as well as rules. media companies and the newsroom need to provide opportunities for female journalists to be able to lead many significant projects. trust to take on more responsibilities will give women journalists a sense of self-confidence. this is what is needed as a form of support for selfactualization for these women journalists. career mentoring sessions for women journalists, for example, can be a place to share experiences, expertise, and encouragement to continue to develop the necessary careers. the hope is that more female journalists can advance in capability and competence so that a number of important positions at the managerial level can be occupied by male and female journalists equally. 153barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) female journalists who are already in managerial positions then promote their female colleagues (women endorse women). this is done as an attempt to counter the social stereotype that only men are more worthy of being leaders. recently, media companies and the editorial office also need to ascertain that the condition of the journal is free of sexual harassment, both verbal, and physical. acknowledgment this research was funded and fully supported by the nusantara media development association (perhimpunan pengembangan media nusantara/ppmn). for that, the researchers would like to thank eni mulia and marietta ramadhani, as well as fransisca ria susanti from jaring.id. references abati, m. o., & ayoola, m. j. (2019). career choice in journalism among female mass communication students of the federal polytechnic, ilaro. 1st national conference of wited, ilaro chapter. the federal polytechnic, ilaro, 157–166. ilaro. retrieved from http:// eprints.federalpolyilaro.edu.ng/1378/ abdullah, i. (1997). sangkan paran gender. yogyakarta: pustaka pelajar. adisa, t., abdulraheem, i., & isiaka, s. b. (2019). patriarchal hegemony: investigating the impact of patriarchy on women’s work-life balance. gender in management: an international journal, 34(1), 19– 33. https://doi.org/10.1108/gm-07-2018-0095 afsar, m., & kumari, s. (2020a). case study of urban and rural women journalists in india. 4th international conference of social science, humanities, & education, 102–115. berlin. retrieved from www. icshe.org afsar, m., & kumari, s. (2020b). empowerment of women journalists through technology in rural areas of india. 3rd international conference on advanced research in social science and humanities, 34– 154 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 43. stockholm. retrieved from www.icarsh.org al mushi, c. a. (2018). praktik profesionalisme jurnalis perempuan dalam pemberitaan kekerasan terhadap perempuan: studi fenomenologi terhadap perempuan di media online kota bandung, diploma thesis (unpublished). bandung: uin sunan gunung djati bandung. aliansi jurnalis independen. (2012). jejak jurnalis perempuan: pemetaan kondisi kerja jurnalis perempuan di indonesia. jakarta: aliansi jurnalis independen (aji). anggraeni, d. (2018). analisis framing entman berita tata kelola pangan di media online. jurnal the messenger, 10(1), 113–114. https://doi. org/10.26623/themessenger.v10i1.711 bire, r. m., mas’amah, & hana, f. t. (2019). perempuan dan jurnalisme: studi fenomenologi terhadap profesionalisme jurnalis perempuan di kota kupang. journal digital media & relationship, 1(1), 31–38. boateng, k. j. a., & lauk, e. (2020). multiskilled in many ways: ghanaian female journalists between job and home. communication today, 11(2), 46–63. born, a., ranehill, e., & sandberg, a. (2018). a man’s world? the impact of a male dominated environment on female leadership. working papers in economics, 744, 1-80. byerly, c. m. (2011). global report on the status women in the news media. washington, dc: international women’s media foundation [iwmf]. chih-pei, h. u., & chang, y.-y. (2017). john w. creswell, research design: qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. journal of social and administrative sciences, 4(2), 205–207. https://doi. org/10.1453/jsas.v4i2.1313 chioma, p. e., okere, s., alao, o. o., atakiti, i. o., & jegede, o. o. (2015). career considerations in journalism among female mass communication students of redeemers university. research on humanities and social sciences, 5(14), 1–8. creswell, j. w. & poth, c. n. (2016). qualitative inquiry and research design: choosing among five approaches (4th ed.). california, united states: sage publications. exley, c. l., & kessler, j. b. (2019). the gender gap in self-promotion (working paper no. 26345). massachusetts, united states: national bureau 155barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of economic research. fakih, m. (2020). analisis gender dan transformasi sosial (edisi klasik). yogyakarta: insist press. glass, c., & cook, a. (2018). do women leaders promote positive change? analyzing the effect of gender on business practices and diversity initiatives. human resource management, 57(4), 823– 837. https://doi.org/10.1002/hrm.21838 guillén, l., mayo, m., & karelaia, n. (2018). appearing self-confident and getting credit for it: why it may be easier for men than women to gain influence at work. human resource management, 57(4), 839–854. https://doi.org/10.1002/hrm.21857 hadiati, e., abdullah, i., & udasmoro, w. (2013). konstruksi media terhadap pemberitaan kasus perempuan koruptor. al-ulum, 13(2), 345–372. ireri, k. (2017). a national survey of demographics composition of kenyan journalists. journalism, 18(2), 241–261. https://doi. org/10.1177/1464884915599950 kalaitzi, s., czabanowska, k., fowler-davis, s., & brand, h. (2017). women leadership barriers in healthcare, academia and business. equality, diversity and inclusion: an international journal, 36(3), 457-474. https://doi.org/10.1108/edi-03-2017-0058 karliani, w., umran, l. m., & iba, l. (2020). eksistensi jurnalis perempuan dalam kesetaraan gender di media siber sultrakini.com. convergence: jurnal online jurnalistik, 2(2), 11–19. katadata. (2018). tingkat kepemirsaan stasiun televisi, siapa unggul? retrieved april 15, 2020, from katadata.id website: https:// databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/06/26/tingkatkepemirsaan-stasiun-televisi-siapa-unggul maryani, e., janitra, p. a., & rahmawan, d. (2019). bias gender dalam artikel di media lokal. in communication and information beyond boundaries (1st ed., p. 21). bandung: aksel media akselerasi. maulina, p. (2017). pembungkaman terhadap perempuan dalam teks pemberitaan syariat islam. bidayah: studi ilmu-ilmu keislaman, 8(1), 120–133. 156 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) melati, n. k. (2019). membicarakan feminisme. yogyakarta: ea books. miles, m. b., huberman, a. m., & saldaña, j. (2018). qualitative data analysis: a methods sourcebook. thousand oaks, california, united states: sage publications. millie, k., & bellamy, p.-j. (2014). the business women’s association of uzbekistan: a qualitative study of the emergence and potential influence of women’s leadership in central asia. journal of eastern european and central asian research, 1(1), 1–9. https://doi. org/10.15549/jeecar.v1i1.34 murtiningsih, b. s. e., & advenita, g. e. m. (2017). representation of patriarchal culture in new media: a case study of news and advertisement on tribunnews. com. mediterranean journal of social sciences, 8(3), 143. https://doi.org/10.5901/mjss.2017. v8n3p143 nasution, i. f. a. (2017). islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo). al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 2(1), 45–62. https://doi. org/10.22515/balagh.v2i1.753 oey-gardiner, m. (2002). and the winner is … indonesian women in public life. in k. robinson & s. bessell (eds.), women in indonesia gender, equity and development (pp. 100–112). singapore: iseas publishing. https://doi.org/10.1355/9789812305152-016 okoro, n., & chinweobo-onuoha, b. (2013). journalists’ perception of brown envelope syndrome and its implications for journalism practice in nigeria. covenant journal of communication (cjoc), 1(2), 130–144. oren, t., & press, a. (2019). the routledge handbook of contemporary feminism. milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, united kingdom: routledge. pathak, b., bhawalkar, a., sharma, a., & saxena, d. (2018). a study on challenges and opportunities for women journalists in media industry of bhopal region. international journal of research of research and analytical reviews (ijrar), 5(3), 68–79. pratiwi, r. z. b. (2015). pola komunikasi perempuan dalam mengkonstruksi identitas gender pada gerakan pkk. journal of rural and development, 6(1), 85–100. 157barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rawes, e. m. (2018). key differences between managerial & nonmanagerial employees. retrieved april 15, 2020, from bizfluent.com website: https://bizfluent.com/info-12132280-key-differences-betweenmanagerial-nonmanagerial-employees.html ritonga, r., murwani, e., & ritonga, s. (2017). gender awareness of maria hartiningsih as kompas reporter. jurnal komunikasi ikatan sarjana komunikasi indonesia, 2(2), 82–91. https://doi. org/10.25008/jkiski.v2i2.102 safa, m. n., & akter, t. (2015). challenges of female journalists in bangladesh. humanities and social sciences, 3(5), 207–214. https:// doi.org/10.11648/j.hss.20150305.17 saputra, m. b. (2020). ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1), 59–94. https://doi.org/10.22515/ al-balagh.v5i1.1991 stellarosa, y., & silaban, m. w. (2019). perempuan, media dan profesi jurnalis. jurnal kajian komunikasi, 7(1), 97–109. https://doi. org/10.24198/jkk.v7i1.18844 sunarto, s. (2020). naturalization of masculinism: how female journalist leaders in local media resist it. jurnal komunikasi indonesia, 9(1), 10–21. https://doi.org/10.7454/jki.v9i1.11983 sunarto, s., nurul, h., & amida, y. (2020). esensi kepemimpinan jurnalis wanita di media pada era 4.0. semarang: cv alinea media dipantara. tamburaka, a. (2013). literasi media: cerdas bermedia khalayak media massa. jakarta: pt rajagrafindo persada. tapsell, r. (2018). kuasa media di indonesia: kaum oligarki, warga, dan revolusi digital. tangerang selatan: margin kiri. ulhaq, s. n. (2020). psikologi jurnalis perempuan bersuami: studi fenomenologi pengalaman jurnalis perempuan dalam menjalankan profesinya di kota bandung, diploma thesis (unpublished). bandung: uin sunan gunung djati bandung. utari, p., & nilan, p. (2004). the lucky few: female graduates of communication studies in the indonesian media industry. asia pacific media educator, (15), 63–80. 158 barriers to career advancement of female journalists in indonesia andina dian dwifatma al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 131 158, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3309 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) utari, p., & nilan, p. (2008). meaning of work for female media and communication workers. in m. ford & l. parker (eds.), women and work in indonesia (p. 136). milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, united kingdom: routledge. vu, h. t., barnett, b., duong, h. t., & lee, t. t. (2019). ‘delicate and durable’: an analysis of women’s leadership and media practices in vietnam. international journal of media & cultural politics, 15(1), 87–108. https://doi.org/10.1386/macp.15.1.87_1 wahid, s. w., & pratiwi, r. z. b. (2018). the construction of tionghoa ethnic stereotype in ngenest movie. jurnal ilmu komunikasi, 1(2), 54–66. https://doi.org/https://doi.org/10.33005/jkom.v0i2.24 women’s media center. (2019). the status of women in the u.s. media 2019. retrieved april 15, 2020, from womensmediacenter.com website: from https://womensmediacenter.com/reports/statusof-women-in-us-media who are the decision makers? (2017). retrieved april 15, 2020, from womeninjournalism.co.uk website: httpss://womeninjournalism. co.uk/research/ zenger, j., & folkman, j. (2019). women score higher than men in most leadership skill. retrieved april 15, 2020, from hbr.org website: https://hbr.org/2019/06/research-women-score-higher-thanmen-in-most-leadership-skills issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 editorial team editor-in-chief akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta, indonesia editor imam mujahid, (scopus id : 57208214175); institut agama islam negeri surakarta, central java, indonesia waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga, yogyakarta, indonesia soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda, indonesia ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta, indonesia rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 daftar isi dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim 169 198 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono 199 234 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih 235 262 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih 263 292 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari 293 316 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah 317 336 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih universitas sebelas maret keywords: cognitive-linguistic; jaran goyang; milenial da’wa. http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: dwikurniasih445@gmail.com abstract this study aims to deliver the message of representation for the milenial generation in the digital era. the method used in this research is descriptive qualitative, which describe the objects based on reality. data from this research are the lyrics of jaran goyang song and the reply song of jaran goyang. the technique used to analyze data is qualitative content analysis. results of this study indicate that the milenial generation utilizes youtube social media accounts to carry out da’wa activities by changing the song jaran goyang which is titled the reply song of jaran goyang intos lyrics filled with da’wa messages. results of this study indicate that the da’wa language in the songs analyzed uses cognitive-linguistic aspects in a cognitive semantic perspective that contains the meaning of da’wa, namely the invitation to perform night prayers, recites the al-qur’an, and avoid shirk. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 236 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pesan dakwah generasi milenial di era digital. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, sedangkan metode yang digunakan berusaha menggambarkan objek berdasarkan kenyataan. data dari penelitian ini adalah lirik lagu jaran goyang dan lagu balasan jaran goyang. teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis isi (content analysis) secara kualitatif. hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa generasi milenial memanfaatkan akun media sosial youtube untuk melakukan kegiatan dakwah dengan mengubah lagu jaran goyang yang diberi judul lagu balasan jaran goyang menjadi lirik yang penuh dengan pesan-pesan dakwah. hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa dakwah dalam lagu yang dianalisis menggunakan aspek linguistik kognitif dalam perspektif semantik kognitif yang mengandung makna dakwah, yaitu ajakan untuk melakukan salat malam, membaca al-qur’an, dan menjauhi perbuatan syirik. kata kunci: dakwah milenial; jaran goyang; linguistik kognitif how to cite (apa 6th style): kurniasih, d. (2019). dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2). 235-262. http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v4i2.1817 pendahuluan popularitas dangdut di masyarakat dapat dilihat melalui respon masyarakat terhadap keberadaan musik dangdut. perkembangan musik dangdut tidak bisa terlepas dari peran, fungsi, dan kedudukannya di masyarakat. dalam hal ini, keberadaan musik dangdut sebagai salah satu pertunjukkan musik yang digemari oleh masyarakat memiliki fungsi sebagai hiburan atau tontonan (muttaqin, 2006). pernyataan indriya (2006) menjelaskan bahwa orang indonesia sekarang cenderung menggemari dangdut. bahkan di daerah pelosok sekalipun, dangdut disukai masyarakat. belum ada apa-apa, penonton sudah minta dangdut. 237dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berdasarkan pernyataan tersebut, tidak dapat ditampik bahwa realitas yang terjadi, baik di tengah kota, bahkan hingga pelosok masyarakat indonesia di berbagai daerah, telah mempunyai pola serupa atas kesenian yang menjadi representasi mereka, yakni dangdut (raditya, 2017). kegemaran masyarakat indonesia terhadap musik dangdut menjadikan dangdut semakin berkembang. banyak bermunculan lagu dangdut yang liriknya sangat dekat dengan realitas di masyarakat. selain itu, bahasa yang digunakan pun cenderung menggunakan bahasa daerah. weintraub (2012) menyebutkan dangdut yang berbahasa daerah termasuk dalam golongan dangdut etnik. dangdut etnik dinyanyikan menggunakan bahasa daerah dan dipasarkan pada komunitas etnik tertentu. adapun sejumlah aliran dangdut etnik yang berkembang saat ini, antara lain: sumatera barat (saluang dangdut minang), jawa barat (pong-dut sunda), cirebon (tarling cirebon), jawa timur (koplo jawa), dan banjarmasin (dangdut banjar). salah satu etnik yang cukup memberikan ruang bagi perkembangan musik dangdut adalah wilayah jawa timur dengan genre koplo jawa. lagulagu yang berkembang memiliki kedekatan dengan masyarakat. artinya, lirik dan bahasa yang digunakan mampu merepresentasikan kondisi masyarakat sehingga menjadikannya sebagai lagu dangdut dapat diterima secara luas, bahkan tidak hanya di wilayah jawa timur saja, melainkan seluruh indonesia. salah satu lagu dangdut fenomenal dan digemari masyarakat dari berbagai lapisan adalah jaran goyang. lagu jaran goyang dipopulerkan oleh penyanyi cantik nella kharisma dan via vallen, yang keduanya berasal dari wilayah jawa timur. dalam perkembangannya, lagu ini berhasil menarik perhatian masyarakat indonesia. terbukti dengan kepopuleran musik dangdut koplo, genre musik ini masuk dalam jajaran 10 video terpopuler di youtube (halim, 2017), menempati posisi ketiga dalam lima 238 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) besar musik terpopuler indonesia dalam versi youtube rewind per desember 2017 (misthohizzaman, 2018). kepopuleran lagu jaran goyang pada akhirnya menuai beragam tanggapan dari sejumlah pihak. salah satunya adalah dengan memanfaatkan ketenaran jaran goyang untuk menyebarkan kebaikan. dalam hal ini, musik dangdut nyatanya tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan saja, melainkan secara lebih luas mampu menjadi media komunikasi sosial. musik yang memang memiliki bahasa universal, pada akhirnya berhasil mengantarkan genre dangdut sebagai media komunikasi bagi khalayak. layaknya dakwah, musik juga dapat menyampaikan pesan dan protes secara bersamaan (luaylik & khusyairi, 2012). misalnya grup selawat syubbanul muslimin yang memanfaatkan lagu jaran goyang untuk mengajak masyarakat mencintai selawat dan rasulullah sallallahu alaihi wasallam dengan mengganti judul jaran goyang menjadi ayo move on. video yang diunggah oleh official syubbanul muslimin di youtube telah ditonton oleh masyarakat sebanyak 6.037.489 kali. tidak hanya itu, lagu jaran goyang juga dibalas oleh kery astina yang diunggah di akun youtube miliknya. video yang diunggah dengan judul balasan lagu jaran goyangnella kharisma telah ditonton sebanyak 18.850.726 kali, dengan 297.000 menyatakan suka (like). lagu balasan jaran goyang dirasa cukup sukses menarik perhatian masyarakat, terbukti dari banyaknya jumlah viewers yang melihat video tersebut. dalam video berdurasi 4 menit 12 detik ini, lirik lagu jaran goyang diubah—dan dimanipulasi—menjadi lirik yang sarat dengan konten dakwah. kery astina menjawab lagu jaran goyang dengan pesan-pesan islami, seperti seruan untuk membaca al-qur’an dan salat malam. hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa media dan sarana dakwah dapat berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sekaligus berpotensi untuk diteliti serta dikaji secara lebih mendalam. 239dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) viralnya lagu balasan jaran goyang pada dasarnya tidak luput dari dinamika perjalanan youtube sebagai platform media alternatif dalam menyampaikan konten dakwah. dalam konteks ini, youtube sebagai media berbasis internet memungkinkan pesan—atau kontennya—dapat terakses secara online dan interaktif. hal ini agaknya mampu menjawab kegelisahan bagi sejumlah milenial muslim terhadap kemudahan dan kepraktisan ketika mengakses konten dakwah dalam kemasan yang berbeda. belajar agama melalui youtube pada akhirnya menjadi tren baru di kalangan milenial (ali & purwandi, 2019). dengan youtube, konten dakwah yang disampaikan diyakini mampu memobilisasi khalayak pengguna secara cepat, sekaligus memperluas audiensi global bagi masyarakat (siegel, 2019). tak terkecuali ketika pesan dakwah mampu dikemas dalam bentuk lagu atau syair, yang notabene merupakan lagu yang familiar bagi masyarakat, khususnya bagi para milenial. menilik pada beberapa penelitian sebelumnya, mayoritas dari penelitian tersebut biasa berbicara mengenai dakwah dalam kajian metode, media, maupun model, yang dikaitkan dengan bidang tertentu dan konteks milenial. sebut saja ketika dakwah milenial disertakan dengan teknik kontinum konseling berbasis al-qur’an yang ditulis oleh azmi (2019). dalam analisisnya, ditemukan model dakwah milenial yang secara khusus ditujukan bagi kaum homoseksual dengan basis teknik kontinum konseling melalui al-qur’an yang merujuk pada beberapa tahapan, yaitu: jati diri (self), hubungan (relationship), distingsi perasaan (differential of feeling), identifikasi dan evaluasi (identity and evaluation), intervensi spiritual (spiritual intervention), dan penerimaan lingkungan (acceptance of environment) (azmi, 2019). selain berbicara pembaruan terhadap konteks dakwah milenial, dakwah dalam bahasan konten juga menjadi problem tersendiri apabila dikaitkan dengan aspek komodifikasi. dalam hal ini, tulisan arifin (2019) yang berjudul mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah 240 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) cukup mewakili hal tersebut. hasil penelitian menjelaskan bahwa youtube merupakan salah satu platform media yang strategis apabila digunakan untuk berdakwah. namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa konten dakwah yang disampaikan melalui youtube di satu sisi juga memungkinkan adanya pemanfaatan secara finansial, yakni terkait adanya monetisasi youtube. hal ini menjadikan youtube sebagai media yang mampu menghasilkan uang melalui konten dakwah yang ditonton dan disiarkan (arifin, 2019). sesuai perkembangannya, dakwah secara spesifik dapat disampaikan dan disiarkan dengan cara yang beragam. penelitian terkait lagu sebagai media dakwah pernah dilakukan oleh ramdan (2016) dalam skripsi miliknya yang berjudul dangdut sebagai media dakwah islam (analisis pesan dakwah pada lirik-lirik lagu rhoma irama dalam album begadang). hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terdapat sejumlah pesan dakwah yang terkandung dalam album begadang, antara lain anjuran menjaga kesehatan yang terdapat dalam lagu begadang, cinta yang proporsional yang disarikan dari lagu tung keripit dan cinta pertama, larangan terlalu banyak mengkhayal (thulul amal) yang ditunjukkan oleh tiga bait pertama lagu kampungan, serta ajakan untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri) dan tafakur yang merupakan isi kandungan dari lagu tak tega; keempat pesan dakwah tersebut membicarakan dua tema besar, yaitu tentang akidah (keimanan) dan akhlak (ihsan); dan c) keempat pesan dakwah tersebut memiliki beberapa karakteristik khas sebagai materi dakwah, yaitu orisinal dari allah swt., mudah, lengkap, seimbang, universal, masuk akal, dan membawa kebaikan. penelitian tentang lagu sebagai media dakwah juga pernah dilakukan oleh choiriyah (2015). hasil dari penelitiannya dimuat dalam wardah: jurnal dakwah dan kemasyarakatan, menunjukkan bahwa bait ke-1 sampai ke-6 pada lagu izinkan aku reguk cintamu karya ebiet g. ade, mengandung materi akidah; bait ke-7 sampai ke-11 juga mengandung materi akidah; bait ke-12 sampai ke-20 mengandung materi dakwah tentang ibadah kepada 241dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) allah, dengan memperbanyak sujud kepada-nya serta menyesali perilaku maksiat yang telah dilakukan; bait ke-21 sampai ke-24 mengandung dua aspek, yaitu aspek aqidah dan ibadah. melalui beberapa penelitian yang sudah dilakukan, penelitian ini memiliki perbedaan dalam hal menganalisis dakwah yang terdapat dalam lagu. jika penelitian sebelumnya menjelaskan lagu yang memang dari awal telah diciptakan, maka penelitian ini akan mengkaji lagu dakwah yang lahir berdasarkan popularitas lagu dangdut jaran goyang. dari segi bahasa yang digunakan, penelitian sebelumnya tidak menggunakan linguistik kognitif sebagai pisau untuk menganalisis data. sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan, linguistik kognitif akan digunakan sebagai teori yang akan membedah lirik balasan jaran goyang dari segi kebahasaan. penelitian dengan objek lagu yang dinalisis menggunakan linguistik kognitif pernah dibahas dalam tulisan pada jurnal bahasa lingua scientia. hasil penelitian dari artikel dengan judul citra perempuan dalam lirik lagu kimcil kepolen karya ndx aka familia dalam perspektif linguistik kognitif menjelaskan bahwa citra perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu tersebut adalah citra perempuan materialis. selain itu, ekspresi kekecewaan dalam lirik lagu tersebut digambarkan melalui pemilihan diksidiksi yang berkorelasi dengan realitas masyarakat sehari-hari (arifin, 2017). perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian milik arifin (2017) adalah bahwa penelitian ini berupaya melihat media dakwah di era milenial dengan mengubah lirik lagu jaran goyang menjadi lagu balasan jaran goyang yang menyerukan kebaikan berdasarkan linguistik kognitif. jika penelitian sebelumnya mengkaji lagu menggunakan linguistik kognitif secara umum, maka penelitian ini akan menyajikan analisis linguistik kognitif secara lebih spesifik berdasarkan bahasa yang merepresentasikan konten dakwah dalam lirik lagu balasan jaran goyang. dalam konteks ini, kajian linguistik kognitif dipilih sebagai pisau analisis karena bahasa yang digunakan dalam lagu balasan jaran goyang merupakan bagian dari 242 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pemikiran manusia untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui lagu sebagai media komunikasinya. penelitian lain yang juga membahas tentang linguistik kognitif dan semantik kognitif adalah penelitian afrida (2016); nucifera (2018); wiradharma & tharik ws (2016); haula & nur (2018); dan kurniawan (2018). penelitian afrida (2016) dan afrida (2016) membahas tentang kajian semantik kognitif pada lagu dangdut. adapun penelitian nucifera (2018) meneliti mengenai kajian semantik kognitif pada lagu daerah aceh berjudul bungong jeumpa. penelitian haula & nur (2018) tentang kajian semantik kognitif terhadap koran kompas dan penelitian kurniawan (2018) membandingkan peribahasa bahasa indonesia dan bahasa inggris dengan menggunakan semantik kognitif. dengan demikian, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, yaitu terletak pada objek penelitian. penelitian ini meneliti lagu balasan jaran goyang. linguistik kognitif merupakan disiplin ilmu linguistik yang muncul sekitar tahun 1980-an. tokoh dalam teori linguistik kognitif adalah george lakkof, mark johnson, dan ronald w langacker. linguistik kognitif memandang pengetahuan linguistik sebagai bagian dari kognisi umum dan pemikiran. ini berarti perilaku linguistik tidak terpisah dari kemampuan kognitif umum lainnya yang memperbolehkan proses mental berpikir logis, ingatan, perhatian dari pembelajaran, tetapi dipahami sebagai satu kesatuan bagian (yohani, 2016). linguistik kognitif dalam hal ini akan digunakan untuk menjelaskan pesan dakwah melalui bahasa yang digunakan dalam lagu balasan jaran goyang. adapun kata dakwah dalam ilmu tata bahasa arab disebut sebagai isim masdar dari fi’ilnya da’a, yad’u, yang artinya adalah memanggil, mengajak atau menyeru (zalikha, 2013). dakwah dapat dipandang sebagai aktualisasi iman (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman di bidang kemasyarakatan. dakwah dilaksanakan secara teratur untuk memengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak dari 243dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural (nawawi, 2008). dengan demikian, penelitian ini akan menjelaskan tentang dinamika konteks dakwah milenial di era digital dengan memadukan antara analisis dakwah dengan linguistik, yakni dalam mengkaji pesan dakwah melalui bahasa yang digunakan dalam lirik lagu balasan jaran goyang dengan analisis linguistik kognitif. berdasarkan hal ini, penelitian ini diharapkan memberikan dampak berupa peningkatan pemanfaatan lagu dan media sosial sebagai sarana berdakwah dan pemecahan masalah. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang menggambarkan objek apa adanya berdasarkan kenyataan. data dari penelitian ini adalah lirik lagu jaran goyang dan lagu balasan jaran goyang. teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis isi (content analysis) yang dikaji secara kualitatif. kajian isi merupakan teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis (afrida, 2016). dalam penelitian ini, teknik analisis isi digunakan untuk memunculkan makna bahasa dalam pesan dakwah pada lagu balasan jaran goyang berdasarkan analisis linguistik kognitif. selanjutnya, untuk pengumpulan data, dilakukan dengan cara menulis ulang lirik lagu balasan jaran goyang, kemudian diklasifikasikan berdasarkan bahasa dakwah di masing-masing lirik. data tersebut selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan makna pesan dakwah melalui aspek bahasa yang digunakan dalam lirik lagu balasan jaran goyang. hasil penelitian dan pembahasan model dakwah generasi milenial di era digital pada masa rasulullah sallallahu alaihi wasallam, kegiatan dakwah cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi. di awal kenabiannya, 244 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rasulullah sallallahu alaihi wasallam tidak menunjukkan adanya gerakan dakwah yang ditujukan untuk masyarakat luas sehingga situasi tetap tenang dan damai. nabi memilih dan menetapkan orang yang pertama kali diseru adalah mereka yang dinilai memiliki kecenderungan pada kebenaran dan memiliki pengaruh di kalangan masyarakat quraisy (cucu, 2016). secara garis besar, tindakan rasulullah dalam berdakwah dilakukan selama dua periode, yaitu periode makkah dan madinah. periode makkah ditandai dengan mulainya nabi muhammad sallallahu alaihi wasallam diangkat menjadi rasul pada tahun 611 m. strategi yang digunakan adalah sirriyah al-da’wah (dakwah secara rahasia) dan jahriyatu al-da'wah (dakwah secara terang-terangan) (nasution, 2013). untuk periode madinah, dakwah yang telah dilaksanakan rasulullah sallallahu alaihi wasallam merujuk pada penumbuhan persaudaraan islam (ukhuwah islamiah). pada periode madinah agenda terbesar rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah mengenai pembangunan masjid dan mempersaudarakan kaum muslimin, baik secara umum untuk seluruh kaum muslimin, maupun secara khusus antara kaum muhajirin dan ansar (nasution, 2013). selanjutnya, pada masa khulafaur rasyidin, dakwah dilakukan dengan melanjutkan dakwah yang sebelumnya telah dilakukan oleh rasululah sallallahu alaihi wasallam. sistem pembinaan dalam dakwah yang dilakukan oleh rasulullah sallallahu alaihi wasallam adalah dengan sistem kaderisasi dengan membina beberapa sahabat. kemudian beberapa sahabat tersebut mengembangkan islam ke penjuru dunia. hal ini dimulai dari khulafaur rasyidin, dan kemudian dilanjutnya oleh generasi sesudahnya (mubasyaroh, 2015). islam pertama kali masuk di indonesia adalah melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh gujarat. islam masuk dan berkembang untuk pertama kali di indonesia, terutama untuk wilayah pesisir sumatera. hal ini dapat dilihat dari berdirinya kerajaan islam pertama kali di indonesia pada tahun xiii m, yang dikenal dengan kerajaan samudera pasai di wilayah 245dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) aceh. dari wilayah pesisir sumatera, kemudian islam berkembang menuju hampir seluruh wilayah indonesia. islam menyebar ke arah timur, yakni ke daerah-daerah di pantai utara jawa, seperti: surabaya, gresik, tuban, kemudian terus ke arah timur hingga daerah-daerah ternate dan tidore di kepulauan maluku. di pulau jawa, keberadaan agama islam ditandai dengan berdirinya kerajaan islam demak pada abad xv m (ashadi, 2013). terkait dakwah dan penyebaran islam di indonesia ini, penyebar islam yang cukup berpengaruh di indonesia adalah wali songo. para wali berdakwah dengan memanfaatkan budaya setempat, misalnya yang dilakukan oleh sunan kalijaga, yaitu dengan memanfaatkan gamelan dan wayang. secara spesifik, pola dakwah wali songo didasarkan pada pola pengelolaan dan pengembangan budaya masyarakat. dalam hal ini, pengelolaan dan pengembangan budaya setempat sebagai kemasan pola dakwah dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai universal, kearifan lokal, dan ajaran islam rahmatan lil’alamin (tajuddin, 2014). dakwah islam dilakukan secara santun tanpa menghilangkan warisan budaya lokal. dalam hal ini, islam yang dikenalkan oleh wali songo adalah islam yang mendamaikan, menentramkan, dan membawa keselamatan. dahulu, tantangan dakwah yang dihadapi oleh para wali adalah kultur masyarakat yang masih menganut keyakinan nenek moyang berupa animisme dan dinamisme. para wali mencoba menerapkan strategi dakwah yang mampu diterima masyarakat, tanpa menghilangkan adat atau tradisi yang telah berlaku secara turun-temurun. hal itu dianggap lebih efektif, agar islam dapat diterima di tengah-tengah masyarakat yang fanatik dengan ajaran nenek moyang. tantangan dakwah yang dihadapi para wali ketika menyebarkan islam tentu saja berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh generasigenerasi setelahnya. seperti halnya di era dengan teknologi yang serba canggih dan cepat seperti saat ini, tantangan dakwah bukan lagi tentang menemukan agar islam dapat diterima oleh masyarakat, melainkan 246 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mengenai pemilihan konteks islam yang dapat dijalankan secara kaffah. islam harus dapat dilaksanakan dengan memperhatikan kewajiban sebagai seorang yang memeluk islam. selain itu, juga menjamin islam dapat dianut oleh kaum muslim dengan tetap menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-nya. kemajuan teknologi yang kompleks pada abad ini merupakan jelmaan aktivitas intelektual manusia dalam peradaban yang maju. kegiatan intelektual manusia telah memacu adanya peningkatan ilmu pengetahuan, baik dalam hal sistem ataupun metodenya. dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang modern, terutama dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, umat islam harus tetap membuka mata terhadap adanya dinamika pemikiran dan kegelisahan intelektual yang muncul di dalamnya (rajab, 2014). kaum muslim harus tetap berupaya untuk mengikuti perkembangan zaman, paham teknologi, dan mampu menyesuaikan perkembangan zaman tanpa harus menyimpang dari kewajiban dan kesunahan. mengingat, keberadaan media teknologi di dunia ini semakin beragam, dan selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk segala keperluan, termasuk dalam hal memanfaatkan teknologi sebagai media komunikasi dan dakwah. dakwah dan teknologi, dalam pembahasannya tidak terlepas dari keberadaan generasi yang menjalankannya. dalam hal ini, muncul kalangan ataupun generasi yang banyak berkiprah di dunia sosial media sebagai bentuk kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi. salah satu generasi yang akrab dengan kemajuan teknologi komunikasi adalah generasi milenial atau gen y. generasi milenial atau gen y menurut martin & tulgan adalah generasi yang lahir pada kisaran tahun 1978. sementara menurut howe & strauss, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1982. hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan skema yang digunakan untuk mengelompokkan urutan generasi karena peneliti–peneliti tersebut berasal dari negara yang berbeda (putra, 2016). 247dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) persentase generasi milenial nyatanya lebih tinggi jika dibandingkan dengan generasi sebelummya. saat ini jumlah populasi penduduk indonesia yang berusia antara 15-34 tahun adalah 34,45% (ali, 2015). hal yang paling mencolok dari generasi milennial dibandingkan generasi sebelumnya adalah tentang penggunaan teknologi dan budaya pop, khususnya musik. generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, sms, instant messaging, dan sejumlah media sosial, seperti: facebook, twitter, instagram. dengan demikian, generasi milenial adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming (putra, 2016). kehidupan generasi milenial pada dasarnya tidak terlepas dari maraknya teknologi internet yang sarat hiburan. dalam hal ini, internet diyakini telah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi milenial. hasil survei yang dilakukan alvara research center tahun 2014 menunjukkan bahwa generasi yang lebih muda usia 15–24 tahun lebih menggemari topik pembicaraan terkait musik, film, olahraga, dan teknologi. sementara generasi yang berusia 25–34 tahun, dinyatakan lebih variatif dalam menyukai topik yang mereka perbincangkan, termasuk di dalamnya mengenai bahasan sosial politik, ekonomi, dan keagamaan. adapun konsumsi internet penduduk kelompok usia 15–34 tahun dinyatakan jauh lebih tinggi dibanding dengan kelompok penduduk yang usianya lebih tua. hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya ketergantungan mereka terhadap koneksi internet yang sangat tinggi (ali, 2015). riset lebih lanjut menjelaskan bahwa generasi milenial dalam tren tahun 2020 akan mencapai 34,0%, atau setara dengan 84 juta jiwa penduduk. kondisi tersebut memunculkan konsekuensi tersendiri atas perilaku dan karakter mereka yang tentu berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya (ali & purwandi, 2019). kehidupan generasi milenial yang tidak dapat dipisahkan dengan teknologi, secara tidak langsung turut memengaruhi mereka untuk memiliki kreativitas dalam mengoperasikan sejumlah alat dan media 248 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berbasis teknologi. memang sudah sepantasnya bahwa penggunaan internet dan teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan sehingga dapat dioperasikan dengan bijak. dalam hal ini, pemanfaatan teknologi oleh generasi milenial juga merambah pada konteks dakwah. salah satunya adalah ketika hal ini berimplikasi pada sebagian besar masyarakat muslim kontemporer di indonesia yang memanfaatkan internet sebagai pembelajaran islam (fakhruroji, 2019). pada akhirnya, perkembangan teknologi dan penggunaannya yang dikuasi oleh generasi milenial mampu memunculkan adanya metode baru dalam berdakwah. arus penggunaan teknologi yang semakin pesat dan cepat berdampak pada mudahnya penyebaran informasi melalui sosial media. merujuk pada uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa perkembangan iptek yang sangat cepat berdampak pada munculnya tantangan sekaligus peluang bagi generasi milenial, terutama dalam hal berdakwah. adanya pengembangan serta pembaruan cara dakwah harus mampu memenuhi dan menyeimbangkan antara peluang sekaligus tantangan secara bersamaan di era globalisasi (ismail, 2017). tantangan dakwah di era milenial misalnya, dapat dilihat melalui berberapa perspektif, yaitu perspektif perilaku, perspektif transmisi, dan perspektif transaksional (rajab, 2014). namun demikian, di era milenial yang serba digital ini, perkembangan iptek cenderung menjadi peluang untuk berdakwah. penggunaan akun media sosial, seperti facebook, instagram, twitter, youtube, dan akun media sosial lainnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana menyebarkan nilai-nilai islam. menurut pardianto (2013) dan juniawati (2014), sudah saatnya masyarakat menggunakan internet, khususnya media sosial, untuk meningkatkan aktivitas dakwah. dakwah atau mengajak pada kebaikan dapat dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dan dekat dengan masyarakat. contohnya adalah pada penggunaan akun media sosial sebagai sarana dakwah, terutama youtube. pengemasan pesan dakwah dengan menggunakan youtube sangat 249dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) potensial untuk dilakukan (habibi, 2018). salah satu pemiliki akun youtube dengan nama akun kery astina mencoba memanfaatkan akun youtubenya sebagai media untuk berdakwah. fenomena merebaknya lagu dangdut dengan judul jaran goyang yang dinyanyikan oleh penyanyi cantik nella kharisma dan via vallen, begitu pesat berkembang dan menyebar ke masyarakat luas. hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya candu dalam penggunaan internet sehingga segala informasi, baik berupa musik atau yang lainnya, sangat mudah tersebar di dunia maya. video lagu jaran goyang (official) yang dinyanyikan oleh nella kharisma dan diunggah diakun youtube dd star record telah ditonton sebanyak 192 juta kali, dengan 463 ribu pengguna youtube yang menyatakan suka. dalam waktu kurang dari dua tahun, pasca pengunggahan video lagu jaran goyang di akun official dd star record, animo masyarakat sangat antusias terhadap lagu tersebut. video dengan durasi empat menit sembilan belas detik ini mampu meluas dan diterima di masyarakat. bahkan, akibat fenomenalnya lagu jaran goyang di tengah masyarakat, pada bulan juli 2018, production house (ph) intercept filmcraft meluncurkan film bergenre horor dengan judul jaran goyang. hal ini menunjukkan bahwa lagu jaran goyang telah booming dan fenomenal di kalangan masyarakat. menyebarnya lagu jaran goyang hingga menjadi fenomenal di masyarakat pun dimanfaatkan oleh pemilik akun youtube kery astina untuk berdakwah. dengan kreativitas yang tinggi, kery astina mampu menggubah lagu jaran goyang yang aslinya berisi kisah cinta yang terputus, kemudian berencana ingin menggunakan jalan pintas, yakni pergi ke dukun untuk meminta pelet jaran goyang dan semar mesem. lirik lagu jaran goyang dipercaya merujuk pada ajian jaran goyang yang biasa digunakan masyarakat osing banyuwangi. ajian ini konon dapat menaklukan hati orang yang diinginkan. menurut penuturan budayawan dan sejarawan (alm) hasan ali, jenis pelet jaran goyang konon yang paling kuno dan hebat dari sekian banyak ilmu pelet yang ada di banyuwangi (anandayu, 2017). 250 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) isi lagu jaran goyang yang berisi ilmu pelet untuk memikat lawan jenis berhasil ditampik dan digubah liriknya menjadi lirik yang mengandung pesan-pesan dakwah. kery astina memberi judul gubahan lagu jaran goyang tersebut dengan judul balasan lagu jaran goyang. secara irama dan nada yang digunakan dalam balasan lagu jaran goyang, dipandang sama persis seperti lagu aslinya. hal yang berbeda adalah dari segi lirik dan pesan yang hendak disampaikan kepada pendengar. berikut perubahan lirik lagu dari jaran goyang menjadi balasan lagu jaran goyang: tabel 1. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang apa salah dan dosaku, sayang cinta suciku kau buang-buang lihat jurus yang kan ku berikan jaran goyang, jaran goyang silahkan saja dicoba sayang kalo mau pake jaran goyang karna ku sudah punya penangkal baca quran, baca quran tabel 2. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang sayang, janganlah kau waton serem hubungan kita semula adem tapi sekarang kecut bagaikan asem semar mesem, semar mesem kamu mau pake semar mesem? supaya aku jadi kesemsem? aku tiap malam tak kan merem sholat malem sholat malem 251dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tabel 3. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang jurus yang sangat ampuh, teruji terpercaya tanpa anjuran dokter, tanpa harus mutermuter cukup siji solusinya, pergi ke mbah dukun saja langsung sambat, “mbah, saya putus cinta” penangkal yang memang ampuh memang sudah terpercaya tanpa harus ke dokter tak perlu ke orang pinter cukup satu solusinya pergi ke masjid terdekat langsung salat jangan lupa baca quran tabel 4. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang kalau tidak berhasil, pakai jurus yang kedua semar mesem namanya, jaran goyang jodohnya cen rodok ndagel syarate, penting di lakoni wae ndang di cubo, mesthi kasil terbukti kasiate, genjrot pengen tambah berhasil? pake penangkal kedua sholat malem namanya baca quran setelahnya ojo males kudu gercep ben pelete ora nempel langsung tobat pasti engko pelet pelete pada get out tabel 5. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang dan dudidam aku padamu, i love you i can’t stop loving you oh darling jaran goyang menunggumu dek janganlah dendam padaku i love you but i cant be with you oh darling, segeralah tobat dirimu 252 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tabel 6. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang wes cukup stop mandekko disek sek sek jangan bicara jangan berisek sek sek gek ayo ndang mangkat ndukun, rasah kakean ngelamun ndukun, ndukun, ndukun ayo ndukun dek wes stop, ojo we dadi syirik ojo ke dukun, ojo we dadi musrik gek ayo ndang cepet tobat selak ora iso sholat tobat, tobat, ayo cepat tobat tabel 7. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang and slow, woles woles baby baby rasakno aku wes wani perih baby rungokno, ku alami hal sama dengan dirimu bojoku mencampakkan diriku, podo bojomu podo tanggamu im slow, woles woles baby baby rasakno aku emang ora wedi baby rungokno, banyak orang yang seproblem dengan dirimu ditinggal kawin tapi santai wae, allah iku maha adil tabel 8. data perubahan lirik lagu lirik lagu jaran goyang lirik balasan lagu jaran goyang ini terakhir, cara tuk dapatkan kamu jika ini gagal, kan ku racuni dirimu ini terakhir cara tuk sadarkan kamu jika ini gagal, kan ku rukiah dirimu dari delapan data perbandingan dan perubahan lirik lagu tersebut, maka tampak jelas bahwa lagu jaran goyang telah bertransformasi menjadi media untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan atau dakwah. adanya perkembangan teknologi nyatanya mampu memunculkan kemasan media 253dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dalam kombinasi baru untuk berdakwah. hal itu disebabkan oleh adanya perkembangan dakwah yang cepat seiring dengan penggunaan teknologi yang semakin mudah guna menjadi peluang untuk mendakwahkan islam di era yang serba digital. asumsinya, dakwah islam harus tetap berjalan secara konsisten di tengah-tengah perkembangan dan perubahan zaman. adapun perkembangan dakwah pada dasarnya selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. dakwah sering kali dikaitkan dengan fenomena yang ada di masyarakat. hal ini sesuai dengan hadis sahih bukhari: rasulullah berkata kepada mu’az bin jabal sebelum beliau melepaspaskannya ke yaman: “sesungguhnya engkau akan mendatangi negeri yang penduduknya ahli kitab. jika engkau sampai ke sana, dakwahilah mereka untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat. jika mereka merspon dakwahmu, maka sampaikanlah pada mereka bahwa allah mewajibkan mereka shalat lima waktu sehari semalam, jika mereka menaati perintah ini, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa allah mewajibkan mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya untuk didistribusikan kepada orang miskin diantara mereka. jika mereka menaati perintah ini, maka berhati-hatilah dengan harta berharga mereka, dan berhati-hatilah dengan doa orang yang terzalimi, karena doa mereka lebih berhijab untuk sampai kepada allah (hadis riwayat bukhari). tafsir dari hadis tersebut menurut usman (2013), menyatakan bahwa pelaksanaan dakwah berdasarkan metode tertentu harus melihat dan didasarkan pada fenomena yang ada dalam masyarakat. di era digital seperti sekarang ini, dakwah harus tetap dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk mensyiarkan islam. salah satu dakwah yang dilakukan saat ini adalah memanipulasi lagu dangdut yang sedang populer. seperti yang dilakukan oleh akun youtube milik kery astina. kery astina memanfaatkan lagu jaran goyang yang sedang populer untuk kemudian digubah menjadi lagu balasan jaran goyang yang berisi seruan untuk gemar membaca al-qur’an dan mengerjakan salat malam. 254 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) balasan lagu jaran goyang sebagai media dakwah dalam lingkup linguistik kognitif linguistik kognitif merupakan cabang keilmuan dari disiplin ilmu bahasa yang menganalisis makna dalam berbagai sisi dan multiaplikatif di semua bidang, kususnya dalam komunikasi antarmanusia (arifin, 2017). selain itu, aliran linguistik kognitif juga menafsirkan kalimat dari sudut pandang yang berbeda. dalam hal ini, pemahaman pengguna bahasa atau penutur terhadap objek menjadi sangat penting. dengan demikian, diperlukan penghayatan dan pemahaman tentang konsep figur dan alur (nucifera, 2018). dalam perspektif linguistik kognitif, terdapat beberapa aspek kebahasaan yang dibahas dan dikaji. pada lirik lagu balasan jaran goyang, analisis dari segi bahasa dapat dilihat berdasarkan perspektif semantik kognitif. semantik merupakan cabang linguistik yang mengkaji makna suatu bahasa. semantik kognitif berusaha mengeksplorasi interaksi alami manusia yang dihubungkan dengan lingkungan dan dunia. semantik kognitif menjadi pintu masuk untuk pengetahuan lain yang lebih luas, yaitu pengetahuan kultural dan pengalaman manusia (wiradharma & tharik ws, 2016). semantik kognitif pada dasarnya berupaya untuk menyelidiki hubungan antara pengalaman, sistem konseptual, dan struktur semantik yang diwujudkan oleh bahasa. terkait penelitian ini, semantik kognitif sebagai cabang linguistik akan digunakan sebagai pendekatan untuk memaknai bahasa yang ada dalam lirik balasan lagu jaran goyang. berikut adalah data terkait dengan lirik lagu yang mengandung pesan dakwah: silahkan saja dicoba sayang kalo mau pake jaran goyang karna ku sudah punya penangkal baca quran, baca quran 255dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bait pembuka dalam lirik lagu balasan jaran goyang memiliki makna bahwa al-qur’an merupakan benteng diri dari segala hal buruk, termasuk pelet. pelet yang dimaksudkan di dalam lirik ini adalah pelet jaran goyang. lirik lagu pada data lirik yang telah tersebut memiliki bahasa dakwah, yaitu mengajak manusia untuk senantiasa membaca al-qur’an, sebab al-qur’an merupakan kalamullah yang memiliki fadhilah kebaikan, serta mampu menjadi benteng diri dari hal-hal yang tidak diinginkan. data selanjutnya yang dapat diidentifikasi dalam analisis, antara lain adalah: kamu mau pake semar mesem? supaya aku jadi kesemsem? aku tiap malam tak kan merem sholat malem sholat malem lirik tersebut memiliki makna bahwa menjaga salat dapat digunakan sebagai upaya untuk menjaga diri dari hal yang tidak diinginkan, seperti pelet semar mesem. salat merupakan ibadah wajib yang harus dikerjakan oleh setiap muslim. akan tetapi, salat yang dimaksudkan dalam data tersebut adalah salat malam (qiyamul lail) atau salat tahajud. salat malam termasuk ibadah sunah yang tidak pernah ditinggalkan oleh rasulullah sallallahu alaihi wasallam. salah satu keutamaan salat tahajud adalah memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. keutamaan tersebut disampaikan dalam petikan hadis sebagai berikut: “sesungguhnya di malam hari, ada satu saat yang ketika seorang muslim meminta kebaikan dunia dan akhirat, pasti allah memberinya, itu berlangsung setiap malam.” (hadis riwayat muslim). lirik dalam balasan lagu jaran goyang selanjutnya yang menunjukkan muatan dakwah adalah: cukup satu solusinya pergi ke masjid terdekat langsung salat jangan lupa baca quran 256 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) makna yang disampaikan dalam data tersebut adalah anjuran untuk pergi ke masjid kemudian melakukan ibadah salat dan dilanjutkan dengan membaca al-qur’an. anjuran tersebut bertujuan untuk menangkal pelet jaran goyang dan semar mesem. secara tidak langsung, pesan dakwah yang terdapat pada lirik tersebut merupakan ajakan untuk senantiasa menjaga kewajiban salat lima waktu dan membaca al-qur’an. salat merupakan tiang agama yang dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. begitu pula dengan al-qur’an, al-qur’an adalah firman allah yang apabila seseorang membacanya, maka akan mendapat ketenangan (syifa) dan petunjuk (huda). adapun lirik tersebut memiliki pesan dan makna dakwah serupa, dengan lirik berikut: pake penangkal kedua sholat malem namanya baca quran setelahnya ojo males kudu gercep ben pelete ora nempel langsung tobat pasti engko pelet pelete pada get out selain anjuran untuk menjaga salat wajib, salat malam, serta kewajiban dalam membaca al-qur’an, makna dakwah selanjutnya pada kutipan lirik lagu balasan jaran goyang juga merujuk pada adanya peringatan untuk tidak meminta segala sesuatu selain pada allah. hal ini dikarenakan perilaku tersebut tergolong sebagai perbuatan syirik. selain itu, lirik pada lagu balasan jaran goyang juga turut mengajak untuk melakukan pertobatan sebelum terlambat. dek wes stop, ojo we dadi syirik ojo ke dukun, ojo we dadi musrik 257dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gek ayo ndang cepet tobat selak ora iso sholat tobat, tobat, ayo cepat tobat menurut turpin & stebbins (2010), lagu memiliki pengaruh dalam memunculkan emosi seseorang. lagu jaran goyang dianggap memunculkan emosi ketakutan bagi orang karena berisi semacam ancaman untuk orang yang tidak mau menerima cinta. adapun lagu balasan jaran goyang yang dibuat oleh kery astina berperan menetralisasi ketakutan tersebut dengan mengajak masyarakat untuk meningkatkan intensitas dan kualitas ibadah. lagu balasan jaran goyang juga mengajarkan untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah terhadap suatu masalah dengan solusi yang tepat. dengan kata lain, pada dasarnya lagu bisa menjadi sarana edukasi bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah. seperti penelitian jahedi & khoi (2015), bahwa lagu dan musik dapat berdampak pada peningkatan kemampun memecahkan masalah pada seseorang. menurut rogerson (2013), lagu dan musik dapat menjadi sarana belajar seseorang. ketika seseorang belajar dari lagu dan musik, maka dampak akhirnya adalah meningkatnya pemecahan masalah melalui lirik yang ada dalam lagu dan musik tersebut. hal ini sesuai dengan tujuan dakwah, bahwa menurut mubasyaroh (2017) dakwah bersifat persuasif sampai dapat mengubah perilaku masyarakat. terlebih lagi apabila mencermati bahasa yang digunakan dalam lirik balasan lagu jaran goyang tersebut, bahwa lagu balasan jarang goyang mengandung bahasa dakwah yang memiliki pesan kebaikan. bahasa dakwah dalam lirik lagu tersebut memiliki makna bahwa salat (salat malam) dan membaca alqur’an merupakan penangkal diri dari hal-hal buruk yang datang dari luar, layaknya sihir atau pelet. dengan demikian, lirik lagu tersebut mengajak kita untuk senantiasa berbuat kebaikan dan beribadah kepada allah swt. 258 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sesuai dengan tuntunan dan ajaran islam. selain itu, lagu balasan jaran goyang dapat dianggap mengandung pesan dakwah karena lirik dan sifatnya yang mengajak untuk tidak menggunakan cara yang negatif dalam pemecahan masalah. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan penjelasan yang sudah dituliskan, dapat disimpulkan bahwa gubahan balasan lagu jaran goyang yang dipopulerkan oleh kery astina memiliki pesan dakwah yang terkandung dalam liriknya. lagu balasan dari jaran goyang yang diunggah melalui akun youtube milik kery astina ini turut menjadi viral dan banyak ditonton oleh masyarakat. melalui analisis dengan pendekatan linguistik kognitif dalam perspektif semantik kognitif, hasil penelitian menunjukkan bahwa muatan dakwah dalam lirik lagu balasan jaran goyang menunjukkan adanya ajakan untuk melakukan salat malam, membaca al-qur’an, serta menjauhi perbuatan syirik. saran saran dari penelitian ini, diperlukan penelitian-penelitian lanjutan untuk menghasilkan temuan baru yang lebih spesifik. mengingat penelitian ini pada dasarnya masih memiliki sejumlah keterbatasan dalam hasil analisisnya. penelitian selanjutnya dapat menggunakan data yang lebih luas, kajian teori yang lebih kompleks, maupun metode yang lebih sesuai. terutama tentang mengungkap makna sebuah teks, salah satunya lagu, dapat dikaji secara lebih mendetail sehingga mampu melengkapi keberagaman konteks dakwah dan komunikasi di era digital. 259dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) daftar pustaka afrida, p. d. (2016). sarkasme dalam lirik lagu dangdut kekinian (kajian semantik). jurnal gramatika: jurnal penelitian pendidikan bahasa dan sastra indonesia, 2(2), 61–71. https://doi.org/10.22202/jg.2016. v2i2.1040 ali, h. (2015). generasi millennial indonesia: tantangan dan peluang pemuda indonesia. retrieved october 24, 2018, from alvarastrategic.com website: https://alvara-strategic.com/generasimillennial-indonesia-tantangan-dan-peluang-pemuda-indonesia/ ali, h., & purwandi, l. (2019). wajah muslim indonesia (1st ed). jakarta: islami(dot)co. anandayu, m. (2017). jaran goyang, lagu hits kekinian yang miliki arti ilmu pelet? retrieved november 20, 2018, from kapanlagi.com website: https://musik.kapanlagi.com/berita/jaran-goyang-laguhits-kekinian-yang-miliki-arti-ilmu-pelet-5a0e81.html arifin, f. (2017). citra perempuan dalam lirik lagu kimcil kepolen karya ndx aka familia dalam perspektif linguistik kognitif. jurnal bahasa lingua scientia, 9(2), 161–176. https://doi.org/10.21274/ ls.2017.9.2.161-176 arifin, f. (2019). mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 91–120. https:// doi.org/10.22515/balagh.v4i1.1718 ashadi. (2013). dakwah wali songo pengaruhnya terhadap perkembangan perubahan bentuk arsitektur mesjid di jawa (studi kasus: mesjid agung demak). nalars: jurnal arsitektur, 12(2), 1–12. https:// doi.org/10.24853/nalars.12.2.%25p azmi, k. r. (2019). model dakwah milenial untuk homoseksual melalui teknik kontinum konseling berbasis alquran. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 25–58. https://doi.org/10.22515/ balagh.v4i1.1557 choiriyah, a. (2015). materi dakwah dalam lirik lagu “izinkan aku reguk cintamu” karya ebiet g ade. wardah: jurnal dakwah dan kemasyaraktan, 16(1), 63–78. cucu. (2016). manajemen dakwah rasulullah: analisis dakwah nabi di kota mekah. tadbir : jurnal manajemen dakwah, 1(2), 23–44. 260 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) fakhruroji, m. (2019). muslims learning islam on the internet. in m. woodward & r. lukens-bull (eds.), handbook of contemporary islam and muslim lives (pp. 1–17). https://doi.org/10.1007/9783-319-73653-2_70-1 habibi, m. (2018). optimalisasi dakwah melalui media sosial pada era milenial. al-hikmah, 12(1), 101–116. https://doi.org/10.24260/ al-hikmah.v12i1.1085 halim, r. (2017). kisah pencipta lagu jaran goyang yang membuat nella kharisma ngetop, kamar tidur disulap jadi studio. retrieved april 23, 2018, from tribun jabar website: https://jabar. tribunnews.com/2017/12/20/kisah-pencipta-lagu-jaran-goyangyang-membuat-nella-kharisma-ngetop-kamar-tidur-disulap-jadistudio haula, b., & nur, t. (2018). konseptualisasi metafora dalam rubrik opini kompas tahun 2018: kajian semantik kognitif. mozaik humaniora, 18(2), 149–156. indriya, w. (2006). belum ada apa-apa, penonton sudah minta dangdut, dalam perjalanan kesenian indonesia sejak kemerdekaan: perubahan dalam pelaksanaan, isi dan profesi. jakarta: equinox publishing. ismail, a. i. (2017). globalization of da’wa (initiating a new paradigm of da’wa in global competition era). advances in social science, education and humanities research (assehr), 3rd annual international seminar and conference on global issues (iscogi 2017), 140, 122–125. retrieved from https://www.atlantis-press.com/proceedings/ iscogi-17/55916198 jahedi, z. s., & khoi, n. a. (2015). the effect of music therapy on problem-solving skills. journal of sociological research, 6(2), 169– 180. https://doi.org/10.5296/ jsr.v6i2.8979 juniawati. (2014). dakwah melalui media elektronik: peran dan potensi media elektronik dalam dakwah islam di kalimantan barat. jurnal dakwah, xv(2), 211–233. https://doi.org/10.14421/ jd.2014.152.211-233 kurniawan, m. h. (2018). perbandingan peribahasa bahasa indonesia dan bahasa inggris: kajian semantik kognitif. jurnal basis, 5(2), 63–74. https://doi.org/10.33884/basisupb.v5i2.775 luaylik, f., & khusyairi, j. a. (2012). perkembangan musik dangdut indonesia 1960-an 1990-an. verleden, 1(1), 26–39. 261dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) misthohizzaman. (2018). musik dan identitas di era milenial. in s. setowara (ed.), muslim milenial: catatan & kisah wow muslim zaman now (1st ed, pp. 78–84). jakarta: pt mizan pustaka. mubasyaroh. (2015). karakteristik dan strategi dakwah rasulullah muhammad saw pada periode makkah. at-tabsyir : jurnal komunikasi penyiaran islam, 3(2), 383–404. https://doi. org/10.21043/at-tabsyir.v3i2.1653 mubasyaroh. (2017). strategi dakwah persuasif dalam mengubah perilaku masyarakat. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 11(2), 311–324. https://doi.org/10.15575/idajhs.v12i.2398 muttaqin, m. (2006). musik dangdut dan keberadaannya di masyarakat: tinjauan dari segi sejarah dan perkembangannya. humaniora: journal of arts research and education, 7(2). https://doi.org/10.15294/ harmonia.v7i2.755 nasution, f. (2013). rasulullah saw sebagai shahibu ad-dakwah (analisis sejarah dakwah pada masa rasulullah saw). hikmah: jurnal ilmu dakwah dan komunikasi islam, 7(1), 137–153. nawawi. (2008). strategi dakwah studi pemecahan masalah. komunika: jurnal dakwah dan komunikasi, 2(2), 269–276. https://doi. org/10.24090/komunika.v2i2.107 nucifera, p. (2018). analisis semantik kognitif pada lirik lagu daerah aceh bungong jeumpa. jurnal samudra bahasa, 1(2), 35–41. pardianto. (2013). meneguhkan dakwah melalui new media. komunikasi islam, 03(1), 22–47. https://doi.org/10.15642/jki.2013.3.1.%25p putra, y. s. (2016). theoritical review: teori perbedaan generasi. jurnal among makarti, 9(18), 123–134. raditya, m. h. b. (2017). dangdut koplo: memahami perkembangan hingga pelarangan. jurnal seni dan budaya nusantara, 1(1), 10–23. https://doi.org/10.21776/ub.sbn.2017.oo1.01.02 rajab, m. (2014). dakwah dan tantangannya dalam media teknologi komunikasi. tabligh: jurnal dakwah, 15(1), 69–90. https://doi. org/10.24252/jdt.v15i1.339 ramdan, a. m. (2016). dangdut sebagai media dakwah islam (analisis pesan dakwah pada lirik-lirik lagu rhoma irama dalam album begadang) (uin sunan gunung djati). retrieved from http://digilib.uinsgd. ac.id/4990/ 262 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 235 262, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1817 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rogerson, c. (2013). problem solving: solutions associated with music in nsw primary schools. journal of student engagement: education matters, 3(1), 13–20. siegel, a. a. (2019). islamic activism in the digital age. in m. cammett & p. jones (eds.), oxford handbook of politics in muslim societies. new york, usa: oxford university press. tajuddin, y. (2014). walisongo dalam strategi komunikasi dakwah. addin: media dialektika ilmu islam, 8(2), 367–390. https://doi. org/10.21043/addin.v8i2.602 turpin, m., & stebbins, t. (2010). the language of song: some recent approaches in description and analysis. australian journal of linguistics, 30(1), 1–17. https://doi. org/10.1080/07268600903133998 usman, a. r. (2013). metode dakwah kontemporer. jurnal al bayan: media kajian dan pengembangan ilmu dakwah, 19(28), 109–118. https://doi.org/10.1159/000342170 weintraub, a. n. (2012). dangdut: musik, identitas, dan budaya indonesia. jakarta: kepustaaan populer gramedia. wiradharma, g., & tharik ws, a. (2016). metafora dalam lirik lagu dangdut: kajian semantik kognitif. arkhais: jurnal ilmu bahasa dan sastra indonesia, 7(1), 5–14. https://doi.org/10.21009/ arkhais.071.02 yohani, a. m. (2016). kotowaza dalam kajian linguistik kognitif: penerapan gaya bahasa sinekdok. izumi: jurnal bahasa, sastra, dan budaya jepang, 5(2), 24–32. https://doi.org/10.14710/ izumi.5.2.24-32 zalikha. (2013). dakwah dan kekuasaan (perspektif historis). jurnal al bayan: media kajian dan pengembangan ilmu dakwah, 19(2), 20–30. https://doi.org/10.22373/albayan.v19i28.103 1. the article must be scientific, either based on the empirical research or conceptual ideas. the content of the article have not published yet in any journal, and should not be submitted simultaneously to another journal. article should not be part of fully one chapter of the theses or dissertation. 2. article must be in the range between 15-30 pages, not including title, abstract, keywords, and bibliography 3. article consisting of the various parts: i.e. title, the author’s name(s) and affiliation(s), abstract (200-250 words), keywords (maximum 5 words), introduction, description and analysis, conclusion, and bibliography. • title should not be more than 15 words • author’s name(s) should be written in the full name without academic title (degree), and completed with institutional affiliation(s) as well as corresponding address (e-mail address). • abstract consisting of the discourses of the discipline area; the aims of article; methodology (if any); research finding; and contribution to the discipline of areas study. abstract should be written in english. • introduction consisting of the literature review (would be better if the research finding is not latest than ten years) and novelty of the article; scope and limitation of the problem discussed; and the main argumentation of the article. • discussion or description and analysis consisting of reasoning process of the article’s main argumentation. • conclusion should be consisting of answering research problem, based on the theoretical significance/conceptual construction • all of the bibliography used should be written properly author guidelines 4. citation’s style used is the american psychological association 6th edition, and should be written in the model of body note (author(s), year, and page(s)), following to these below examples: a. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) b. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) c. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ indonesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) d. article of the journal 1) journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) 2) journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) 3) e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) e. article website 1) dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) 2) tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) f. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta: magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) g. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 5. in writing the citation’s would be better and suggested to use software of citation manager, like mendeley, zotero, end-note, refworks, bib-text, and so forth, with following standard of american psychological association 6th edition. 6. arabic transliteration standard used international journal of middle eastern studies. for detailed transliteration could be seen at http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 7. article must be free from plagiarism; through attached evidence (screenshot) that article has been verified through anti-plagiarism software, but not limited to the plagiarism checker (plagramme.com). author fee al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi will not charge anything to the author for submission fee or publication fee. submission preparation checklist as part of the submission process, authors are required to check off their submission’s compliance with all of the following items, and submissions may be returned to authors that do not adhere to these guidelines. 1. the submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in comments to the editor). 2. the submission file is in openoffice, microsoft word, rtf, or wordperfect document file format. 3. where available, urls for the references have been provided. 4. the text is single-spaced; uses a 12-point font; employs italics, rather than underlining (except with url addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end. 5. the text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the author guidelines, which is found in about the journal. 6. if submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in ensuring a blind review have been followed. copyright notice authors who publish with this journal agree to the following terms: • authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a creative commons attribution license that allows others to share the work with an acknowledgement of the work›s authorship and initial publication in this journal. • authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal’s published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal. • authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. privacy statement the names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or to any other party. skup dakwah : manajemen dakwah, bimbingan dan konseling islam, psikologi, psikologi dakwah, analisis sosial, sejarah dakwah, filsafat dakwah, sosiologi dakwah, ilmu dakwah, manajemen traveling dan wiisata religi, manajemen pelayanan haji, global islamic tourism, metodologi dakwah, relasi dakwah dengan budaya. skup komunikasi : public relation, komunikasi dan penyiaran islam, psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal dan sosial, komunikasi antar budaya, jurnalistik, komunikasi massa, human relations. da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim* ahmad yusuf prasetiawan muhamad riza chamadi universitas jenderal soedirman keywords: da’wah; muslim chinese; religious moderation https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh correspondence: e-mail: *musmuallim@unsoed.ac.id ahmad.yusuf.prasetiawan@unsoed.ac.id muhamad.riza.chamadi@unsoed.ac.id abstract this research focuses on the ethnic-based da'wah model of the chinese muslim community who is members of the indonesian chinese islamic association (piti) banyumas in promoting religious moderation. the banyumas chinese muslim community chooses the middle path and contributes to religious moderation through various da'wah activities. this research method uses documentation, interviews, and observations. the results of this study describe an ethnic-based da'wah model through structural and cultural da'wah movements. the da'wah developed promotes a moderate attitude with a socioeconomic and socio-cultural approach. ethnic chinese who have recently embraced islam (mualaf) receive training in economic empowerment. the chinese muslim community also embodies tolerance in an open attitude towards non-muslim chinese ethnicities and various other religious groups. an example of public openness is their acceptance of the cap go meh culture and the lion dance tradition. a moderate attitude is shown by neutrality that is not extreme right and extreme left on the choice of religious schools of thought. piti places people in the center of society's varieties. da'wah facilities employ the mosque as a venue for preaching and religious education based on social interaction. chinese muslims' preaching through an open, reasonable, and community engagement has been well received by the general public. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 242 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak fokus penelitian ini tentang model dakwah berbasis etnis pada komunitas tionghoa muslim yang tergabung dalam persatuan islam tionghoa indonesia (piti) banyumas dalam menyemaikan moderasi beragama. jalan moderat yang dipilih oleh komunitas islam tionghoa banyumas turut berkontribusi dalam mengembangkan moderasi beragama melalui berbagai aktivitas dakwah. metode penelitian ini menggunakan dokumentasi, wawancara dan observasi. hasil penelitian ini menggambarkan bahwa model dakwah berbasis etnis ini dilakukan melalui gerakan dakwah struktural dan kultural. dakwah yang dikembangkan mengedepankan sikap moderat dengan pendekatan sosial ekonomi dan sosial budaya. pemberdayaan aspek sosial ekonomi ditujukan bagi etnis tionghoa yang baru masuk islam (mualaf) untuk membekali kehidupan baru seorang muslim. aspek sosial budaya diwujudkan pada sikap terbuka bagi etnis tionghoa nonmuslim dan kelompok masyarakat yang berbeda. keterbukaan itu nampak pada penerimaan dan kolaborasi budaya cap go meh dan tradisi naga barongsai. sikap moderat ditunjukkan dengan netralitas yang tidak ekstrim kanan dan ekstrim kiri pada pilihan golongan mazhab keagamaan, piti berada di jalur tengah bagi umat di antara varian kelompok masyarakat. sarana dakwah menggunakan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan keagamaan melalui pendekatan interaksi sosial. melalui sikap moderat yang terbuka dan penuh penerimaan, dakwah komunitas islam tionghoa dapat diterima dan mampu berinteraksi dengan masyarakat sampai sekarang kata kunci: dakwah; muslim tionghoa; moderasi beragama how to cite this (apa 7th edition): musmuallim, prasetiawan, a. y., & chamadi, m. r. (2021). da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(2), 241–272, https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 243da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) introduction human creativity has manifested itself throughout history through various activities, including social and economic structures, science and technology, and symbolic processes (kuntowijoyo, 2006). changes in the social arrangement of society will become increasingly appealing as civilization progresses. social organizations come in various shapes, sizes, traditions, patterns, and features that adapt to the changing demands of the times. as an entity that maintains the existence of the results of cultural struggles and social interactions that create new habits and histories according to the needs of society. the emergence of entities in a society undergoing industrialization affects collective consciousness in religious life. within the socio-religious framework, spiritual energy, which revolves around the circle of kiai, teachers, learning, mosque, and pesantren in the 19th century, rediscovered the social organization of faith and in larger units. religious community groups gave rise to religious movements, from the syarikat islam to the birth of muhammadiyah, nahdlatul ulama, and so on (kuntowijoyo, 2006), including the entry of chinese people to the archipelago with a mission to expand trade that gave birth to religion. mass-based unit (islam) forming a community or organization of the indonesian chinese islamic association/ persatuan islam tionghoa indonesia (piti). piti is an organization that was founded in 1961 in jakarta, precisely during the old order. piti is a merger of two previous chinese muslim organizations, namely the chinese islamic association/persatuan islam tionghoa (pit) and the chinese muslim association/persatuan muslim tionghoa (ptm). the chinese islamic association was founded by yap a. siong and haji abdul karim oey in medan in 1953, while kho goan tjin founded the chinese muslim association (karim, 1982; setiono, 2008). since the chinese entered the archipelago in the 5th century, they expanded their trade and searched for spices (choiriah, 2016; putri, 2018). 244 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) during its development, the chinese nation assimilated, mingled, and intermarried with residents, resulting in a new culture and civilization, including spreading islam through trade and marriage and other social interaction processes. chinese ethnicity took firm root in the archipelago, and some of them became chinese muslims. since its establishment on april 14, 1961, in jakarta, piti has focused on the da’wah movement, which has a chinese ethnic base and society campaigning for an invitation to convert to islam for ethnic chinese in particular and community in general (poerwanto, 2014). on december 15, 1972, piti had changed its name to trustees of the indonesian tauhid faith (pembina iman tauhid islam). the socio-political situation of the country at that time influenced these changes. at the end of 1965, the government took a policy to strengthen national development and character and national unity and integrity. so that there is a prohibition against various symbols and identities was hindering national unity, precisely the use of united language, expressions, and culture. due to social-political government, the use of pembina iman tauhid indonesia lasted for three decades. in mid-may 2000, the government allowed the name of the indonesian chinese islamic association as before. the inclusion of several characters in the piti structure, namely jenderal h. sudirman and buya hamka, who acted as organizational coaches, indicated piti’s openness. this structuring creates an ethnic mix in the composition of the board structure. thus, to strengthen organizational structure position and network development. this structural change indicates a more open relationship between ethnic chinese and the general public, including accepting symbols, characters, ethnicity, and social habitus. this change in social relations gave birth to symbols, popular media, and religious rituals identical to the chinese muslim entity in indonesia. for example, mosques with chinese architecture, chinese preachers, and even the chinese new year tradition. 245da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) muslim chinese figures carry a unique chinese identity by reviving history and nurturing their ties with muslims in china. until now, piti has continued to grow and reaches almost all districts or cities in indonesia. since the establishment of piti at the central level and developing nationally, the chinese ethnic in banyumas regency have responded well. the ethnic chinese banyumas formed piti banyumas district branch in 1992. not without obstacles, the journey of piti banyumas experienced organizational ups and downs and even encountered psychosocial challenges in social interaction relationships. especially in guarding converts who come from ethnic chinese. the challenges that arise when individuals of chinese ethnicity become converts will get pros and cons from the family. there is even isolation and expulsion of someone with the label of not being respectful to their parents. in this context, piti is a liaison in accompanying, educating, and protecting ethnic chinese muslims. more than that, in general, piti continues to preach islam and spread the teachings of kindness to others. they had aspirations to spread islam rahmatan lil alamin, preach an acceptable islam, and give mercy (compassion) to all worlds. this situation refers to the teachings of islam that allah swt created humans with nations and tribes so that they know each other. before allah, all humans are the same; what distinguishes them is the value of their holiness. prophet muhammad, in his hadith, also stated that there is no difference between arab and non-arabic except for the value of piety (piti, 2012). meanwhile, da’wah means calling and inviting others to follow the teachings towards the path of truth. da’wah’s fundamental meaning is an invitation to do good things (aziz, 2019). da’wah’s objective is to discover the way of truth, and hence the goal of implementing the teachings of truth is to attain holiness. undoubtedly, the path of da’wah does not violate the concepts of fairness and benefit. da’wah brings calm and peace to those who energize and expand islamic teachings locally and globally. 246 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) additionally, contemporary preachers have leveraged social media to create networks for da’wah efforts centered on information technology. one of the aims of piti’s da’wah is to strengthen the propagation organization of chinese islamic ethnicity, to remind the history of chinese and islam, and to open the tap of ethnic exclusivity so that chinese and non-chinese social dialectics can melt again, as in its past (fakhiroh, 2016). for this reason, the preaching carried out by piti banyumas pays attention to local wisdom, which has a special approach, for example, the interaction of religious activity with local culture. da’wah carried out by piti is oriented towards an internal group of chinese muslim ethnicities, chinese ethnic communities, and the last for global muslims and universal human beings in the world. in an interview, gunawan (2020) stated that ethnic chinese muslims in indonesia are blow-out throughout indonesia. symbolically, it can be seen from the muhammad cheng hoo mosque or other mosques founded by the chinese community members of the piti. the characteristics of the chinese muslim ethnicity are broadly divided into three, namely 1) having a lineage as a chinese muslim family, 2) converts who are ethnic chinese, 3) ethnic chinese who are married to native indonesian citizens. this crossing made the distribution of the chinese muslim ethnic group more developed and ingrained in the archipelago. as a result of the interview with yusuf gunawan, the head of piti banyumas, the da’wah activities of piti embody the internalization of moderate. in accordance with the ideals in the organization, da’wah vision presents islam rahmatan lil alamin, which puts forward the noble values of love and compassion between people so that the surrounding community can adapt and accept islamic preaching. islamic teachings spread through the da’wah route have a place (space) in society because islam teaches moderate values (wasatiyya). additionally, as a minority, the community was able to build a mosque for the benefit of society. additionally, it contains 247da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) adaptive interactions that allow for the inclusion of those with differing religious perspectives, including non-muslims. in islam, this mindset is referred to as wasatiyya, or moderate. according to akhmadi (2019) and rodin (2016), there are two extreme poles in religious life: the extreme right and the radical left. the extreme right is too fixated on the text and tends to ignore the context, while the extreme left tends to ignore the text in the opposite position. religious moderation is amid these two extreme poles: respecting the text but dialoguing it with contemporary realities. in the context of islamic education, religious moderation means teaching religion to form personally pious individuals and make their spiritual understanding an instrument to respect other religious communities. extremism is an understanding or group that is excessive in religion, precisely applying religion rigidly and harshly to the point of exceeding the limits of reasonableness (yunus, 2017). the concept of the extreme right is a continuation of a powerful sense of religious fervor, which is followed up by various social and political relations. adherents of the extreme right are then referred to as extremists or people who practice extremism, which is a term used to describe a doctrine or attitude, both political and religious, in calling for action in all kinds of ways to achieve its goals (sumardiana, 2017). today's challenge of religious understanding is the extreme right and extreme left understanding movement. the extreme right is an islamic ideology that is very 'rigid' (rigid). the pattern is easy to disbelieve other people who are different from the group. for example, this understanding is easy to blame other muslims just because of a different way of praying and performing ablution. this becomes black and white in seeing the differences in islam (saifuddin, 2017). as a counter to the right, it is categorized as extreme leftism, namely a liberal group or a group with a liberal understanding; this group has adequate religious knowledge. 248 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the concept of religious moderation, or wasathiyah, evolved in response to the development of extremism on both the right and left. religious moderation is portrayed as the polar opposite of the radical paradigm. the concept of religious moderation is presented as the antithesis of the extremist paradigm. it is stated by shihab (2019), islam itself is moderation; that is, all of its teachings tend to restrain. therefore, adherents must also be moderate. they are moderate in their views and beliefs, reasonable in their thoughts and feelings, and average attachments. so religious moderation provides a more moderate and polite understanding of religious attitudes and behavior. so, akhmadi (2019) describes that religious moderation is a middle way in indonesia’s midst of religious diversity. moderation is an archipelagic culture that goes hand in hand and does not mutually negate religion. local wisdom does not contradict each other but seeks solutions through tolerance. many studies related to da’wah, ethnic chinese, and religious moderation have been carried out. fahiroh (2016) conducted research on implementing the banyumas chinese indonesian islamic association (piti) has stated that da’wah’s performance includes purification of property through zakat, economic welfare of the people through entrepreneurship, psychological approaches, fostering the basics of islamic teachings, cultural cultivation. another pertinent study conducted by najib (2020) on the internalization of islamic religious values in the banyumas chinese muslim community clarifies various points, most notably the internalization of religious values by ethnic chinese. some of these activities are in the form of converting to islam, deepening the fundamental importance of islam. for members of piti banyumas, tabligh and recitation activities, as well as networking with other organizations to work together in da’wah and education activities. so that the values developed are solidarity values, generosity values, and moderate values. 249da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) furthermore, a study about da’wah, chinese muslim ethnicity, and religious moderation was also conducted by syuan-yuan (2007) the labels of ‘chinese’ and ‘muslim’ have been seen as mutually exclusive. exactly, after the independence of indonesia, an islamic da’wah (mission) of muslim chinese ethnicity changed become the association of chinese muslims of indonesia. gladney (1996) argued that the study of the muslim population in china is acclaimed as a valuable addendum and one of the most extensive listings of modern sources on the sino-muslims. weng (2018) declared that chinese and non-chinese muslims were compounded in a corridor at the office of the indonesian chinese muslim association, a group of mostly chinese non-muslims were practicing qigong, a chinese breathing exercise. atwill (2006) explained that the muslim-led panthay rebellion was one of five mid-nineteenth-century rebellions threatening the chinese imperial court. the chinese sultanate begins by contrasting the views of yunnan held by the imperial center with local and indigenous perspectives. chandra, wasino, & bain (2015) stated that people of chinese descent have lived in indonesia for hundreds of years, there are chinese muslim groups sail to the archipelago. in history, admiral cheng hoo succeeded in forming a chinese muslim community in southeast asia. including the palembang chinese muslim community became the first hanafi school in the indonesian archipelago. harahap (2012) summarizes that the indonesian chinese islamic association aims to unite chinese muslims in indonesia in one forum to play a role in the process of indonesian national unity. piti is a combination of the chinese islamic association (pit) led by the late h. abdusomad (yap a siong) and the chinese muslim association (ptm) led by the late kho goan tjin. pit and ptm were first established in medan and bengkulu before indonesian independence. 250 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) according to fahrurrozi & thohri (2019) religious moderation became the main movement in nahdlatul wathan online media. the movement is developed comprehensively and constructively through positive, educative, and innovative media. rosmini, syamsidar, & haniah (2017) claimed that the da’wah of the chinese muslim community in makassar city always represents a moderate religious attitude in all aspects of life. this is based on a sustained, integrated, and thorough understanding and practice of religious diversity in the qur’an’s teachings as an indicator of kaffah islam. ramli (2019) noted the ethnic chinese muslim minority in makassar city had become an inseparable part of religious life that lives in harmony and peace. they have a good relationship in their society. al-rasyid (2014) explained there are normative teachings in islam that should not be stopped; inviting humankind to a good path (makruf) and eschewing evil and heinous actions. it is called da’wah. abidin (2017) argued that diversity and da’wah among chinese muslims is a social act as part of a religious experience in the form of thoughts, rituals, and alliances with outsiders. chandra (2009) declared that the chinese islamic community uses the persuasive lecture method in carrying out their da’wah. they invite someone in a subtle, friendly, and polite way. so that people who hear the lectures seem to get wise advice and direction. fajarita (2019) explained piti’s da’wah strategy in salatiga uses da’wah methods adapted to the needs of mad’u. the supporting aspects of da’wah are contingent upon the activeness and inactivity of participants in da’wah activities. mahfud (2018) declared the establishment of an indonesian chinese muslim community, which continues the work of the indonesian chinese muslim association. (piti). the development has also involved the development of both chinese-based islamic education institutions and islamic boarding schools (pesantren). 251da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) chen (2021) stated that chinese migration to the indonesian archipelago in the pre-colonial era. the effects of post-colonial organizations in challenging, defending or asserting new historical, islamic, and chinese identities. wijayanti, hafizzullah, & suharjianto (2020) summarized that when islam comes into contact with a culture where islam is preached, a new islamic culture is produced as a result of the acculturation of local culture with islamic values. this also occurred among ethnic chinese who converted to islam. chinese muslims continue to celebrate chinese new year and do not have to relinquish their ethnic identity, despite their conversion to islam. guyanie (2018) argued that there had been a noticeable shift in the muslim tionghoa population. in indonesia, the tionghoa people are politically active. the evolving political position of muslim tionghoa is connected to indonesia’s ethnic prejudice. according to wulandari (2020) the persuasive da’wah conducted by the indonesian chinese islamic association (piti) in surabaya uses a psychological and cultural approach, namely through the ta’aruf stage, tells a personal biography, da’wah with music, and performs cultural da’wah and some simple, enjoyable concepts. previous research found differences in these aspects. the first is the research sample aspect. the research sample of the prior study used a location in banyumas regency. the study of the piti banyumas da’wah activities can foster moderate religious attitudes in the community. the second, the research approach. this study uses a qualitative approach by collecting data from various parties related to the problem. besides, the researcher used participatory observation methods to obtain accurate data and information from the research sample. third, research implications. the results of this study can serve as an ethnic-based da’wah model that emphasizes moderate islamic teachings in other places. as a result of the interview with yusuf gunawan, the head of piti banyumas, ethnic-based da’wah becomes a space for interaction in inviting 252 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) goodness and worship to a group bound by ethnic power. although it is based on a particular ethnicity, the chinese race does not mean that the da’wah carried out is exclusive. ethnic chinese da’wah is open to every muslim who wants to learn about islam together, for example, at the piti andre al-hikmah mosque in wlahar kulon, patikraja, banyumas, open to the general public. this study focused on an ethnic-based da’wah model in the piti banyumas community in seeding and developing religious moderation. the chinese muslim community in banyumas chose the moderate da’wah model. description of the social life of the chinese ethnic group so far and analysis of the effectiveness of the strategy and organization of the piti banyumas da’wah in its role in developing religious moderation in indonesia in general and in banyumas in particular. the urgency of this research is to describe and analyze the reality of da’wah conducted by ethnic chinese muslims who are members of piti banyumas, specifically to ascertain the format and activities of ethnicbased da’wah and to describe an ethnic-based da’wah model that is more inclusive and inclusive of all groups. additionally, ethnic-based da’wah helps cultivate the value of religious moderation. as a “pilot project” da’wah puts forward ethnic brotherhood with a more moderate spirit of islamic da’wah. methods this research is field research with a qualitative approach. the research methods used include in-depth interviews, participatory observation, and document study to explore and obtain data. tracing data uses snowballing techniques from one source to another to obtain the authenticity of supporting information. in-depth interviews are a way to gather information and experiences conducted by the speakers. in this case, the interviewees were the banyumas chinese islamic association 253da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) chairman, functionaries, religious leaders, stakeholders, and some board members. retired administrators who are included in the advisory board of the piti organization and so on. the interview was carried out in stages two to three times with each resource person. according to research needs, interviews were conducted face-to-face at a ratio of may to october 2019. in-depth interviews were conducted to obtain information about the format and activities of ethnic-based da’wah, the understood paradigm of ethnic-based da’wah, and the contribution of da’wah in teaching the value of religious moderation to the people. meanwhile, participatory observation is a way to get involved directly with the activities and experiences carried out by piti banyumas in carrying out its various da’wah. researchers used the documentation study method to trace literacy and documentation traces, both print and electronic or digital. the researcher conducted a document study to find documented treatizes on history, genealogies, and past experiences in manuscripts and travel documents of the piti banyumas organization. after the data is collected and arranged systematically, the next step is to analyze the data in the form of inductive analysis by first interpreting the data. results and discussion chinese islamic ethnicity in banyumas banyumas regency consists of 27 sub-districts, approximately 45% of the plains that spread in the central and southern regions. the straight stretches out from west to east with 1,840,152 people consisting of 928,093 men and 912,059 women. meanwhile, the people based on their religious beliefs consist of islam (1,889,434), christian (24,932), catholic (17,182), hindu (3,094), buddhist (2,695), and others (345) (bps banyumas, 2020). 254 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) according to data compiled by statistics indonesia, the number of distribution of religious people with a means of worship or a place of prayer that is the center of religious worship, the mosque (2223), prayer rooms (6383), christian churchs (93), catholic churchs (7), temple (1), and vihara (16) (bps banyumas, 2020). there are two temples for khong hu chu people in purwokerto and sokaraja. some places call it a sanggar or padepokan luhur for socio-religious activities. this condition indicates that diversity is well maintained among religious believers in banyumas. people can practice their beliefs by using symbols of places of worship to build the community of each religion or belief. the map of the population and distribution of religious communities in banyumas regency shows an even distribution. almost all religions can practice their religion or belief in a heterogeneous society. they can grow with their involvement in the forum for religious harmony in banyumas regency activities. all representatives of religions and beliefs can unite and foster harmony, including establishing social and cultural activities together. in general, the people of banyumas, known as wong banyumas can adapt to newness, taking turns. some banyumas people consider people of chinese descent as “wong ndeso”. wong ndeso live in rural or mountainous with limited access and are considered underdeveloped villages that do not benefit from a political voice in the political arena. the label provided psycho-social strength for some banyumas chinese. the power of ethnicity is born constructed by the similarity of race, character, the same fate, and the strength of the traditions brought by their previous predecessors. the ethnic chinese population in banyumas reaches approximately 100,000 people spread across all districts. demographically, the population of the muslim chinese ethnic community spreads throughout the banyumas regency. the number of ethnic chinese in banyumas is approximately 100,000 people, of which 255da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) there are around 700 chinese people who embrace the religion of islam (interview with yusuf gunawan santoso, 2020). the banyumas chinese islamic ethnicity has gathered with the local population; they carry out commerce, socialization, and stay and even carry out the process of mating and procreating until now. for example, several chinese muslim figures in banyumas have married people of banyumas descent or are known as natives. the indonesian chinese islamic association does not adhere to various indonesian mainstream islamic religious community organizations (ormas). piti is more active as a da’wah organization independent of mass organizations such as nahdlatul ulama, muhamadiyah, persis, al-irsyad, and ldii. (mahfud, 2018). piti bases are chinese citizens who have converted to islam and the general public willing to help and become administrators or be involved in islamic da’wah activities. however, piti banyumas gives its management and members and congregations freedom to determine the religious organization they can follow, both structurally and culturally. in preaching activities, not all members are actively involved, from 100 people who can participate actively between 50-80 people, even then it is tentative-fluctuating. officially, piti banyumas was born on september 6, 1992, which was inaugurated by the regent of banyumas, djoko sudjantoko on september 26, 1992, at the purwokerto kidul village hall, banyumas regency (fahiroh, 2016). in 1996, he established a mosque as a center of islamic worship and preaching for piti banyumas, named the andre al-hikmah mosque, located in wlahar kulon village, patikraja district, banyumas regency. since its establishment, the main focus of piti banyumas has been islamic preaching. one of the activities is guiding and fostering chinese people who will convert to islam or become converts. piti banyumas has guided many converts, ethnic chinese converts to islam. the chairman of piti banyumas has shown to islam and 256 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the mentoring process in understanding the basic teachings of islam. however, it did not mean that the chinese who converted to islam became members of the piti. it was stated by yusuf gunawan santoso that there are approximately 25% who did not join piti because they are busy with their job and do not want to be bound in the organization. they are free to serve in the right way in the social dynamics of society according to their choice. that is because piti’s vision is to realize islam as rahmatan lil ‘alamin to carry out islamic teachings as a whole (piti, 2012). da’wah activities of chinese islamic ethnicity in banyumas da’wah activities carried out by piti banyumas are centered at the andre al-hikmah mosque, wlahar kulon village, patikraja district. this mosque functions as a secretariat, center of preaching and religious education. the secretariat is the place for organizational activities that oversee several routine and temporary activities. routine activities carried out by the board are for meetings of administrators and members, including activities that are incidental or just a place for the management to meet administrators, members, and the general public (mosque congregation). they do da’wah through majelis taklim activities which are held in the mosque and at the houses of piti banyumas members in turn. use of mosques for preaching as a central instrument in conveying messages (treatizes), values, and teachings of islam. it is in this mosque that the religious activities of the chinese muslim ethnic take place with a variety of activities, namely daily prayers, friday sermons, routine meetings (organizational and management arrangements), regular recitation (majelis taklim), socio-religious and community activities, including the implementation of religious education. apart from being carried out in the mosque, da’wah activities were also held alternately at the homes of the banyumas piti members. this activity is an effort to bring members closer to each other as a means of direct friendship to provide a sense of intimacy, brotherhood, and kinship. 257da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in religious education, the piti banyumas organization organizes the al-qur’an education park (taman pendidikan al-qur’an/tpq). classical al-qur’an education for children was initiated by takmir of the mosque. through the collaboration between piti banyumas, mosque’s takmirs, and local figures, tpq was built to provide religious education for all groups. this qur’anic education is not only limited to children of chinese descent. still, it is also widely intended for children of indigenous descent who live in the vicinity of the mosque or local village. this religious education is given from an early age to children as an effort to provide islamic insights about the reading of the koran, the practice of practicing worship, and daily prayers. cultivation of religious values has been practiced since childhood to prepare future generations. this spiritual education style is a means of socializing the role of piti banyumas to the local community. in general, piti banyumas da’wah activities have two main categories: the socio-religious field and the social community sector. in the socio-religious area, it is developing through preaching and education. the da’wah is through the majelis taklim, which is held regularly for piti members and recitation in the context of commemorating islamic holidays or others designated for piti members and the wider community. besides, the da’wah process accompanied chinese ethnic converts who had just converted to islam for some time. for approximately one year receiving guidance from the piti management, the rest was returned to the converts to determine their teacher (ustadz) or mentor in the future. piti banyumas develops early childhood education and al-qur’an education park in the education pathway. this educational path is at least able to provide introductory provisions for the next generation. in the social sector, piti banyumas develops a caring program for others by providing humanitarian assistance to surrounding communities in need. the program developed is in the form of donations for orphans and assistance with essential food items for the poor. assistance provided 258 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in exchange for cooperation with linked parties is not contractual. the donation for orphans was organized in coordination with the head of the nahdlatul ulama muslimat subdistrict in the village of wlahar kulon, patikraja district. meanwhile, the donation of staple foodstuffs in partnership with community groups and sources of help from a particular company’s corporate social responsibility (csr) is not obligatory. the development of the da’wah model by piti banyumas generally uses two ways, namely the structural da’wah movement model and the cultural da’wah movement. structural da’wah idealizes the involvement of government elements and related institutions so that structural harmonization is established with the community. irawan, amin, ali, & said (2020) and syahruddin (2020) stated that structural da’wah is a da’wah carried out with power which in the indonesian context is carried out through government policies which are the main tasks and functions of the ranks of the ministry of religion from the center to the regions and related institutions or agencies. structural da’wah is closely related to the relationship between the state and religion. structural da’wah is intended to government society held regularly and temporary, while cultural da’wah is intended to a society held incidentally. piti banyumas carry out structural da’wah by providing religious education to the community at the structural level, for example, in local government, from rt, rw, sub-district to the district level. meanwhile, the cultural missionary movement aims to understand the community as individuals to understand truly, believe in, and practice islamic teachings as the order or rules of the game in life. the focus of this strategy is positive empowerment and the development of community resources (ritonga, nashor, khair, & mukmin, 2019; shihab, 1996). this method provides religious experiences to piti members and community congregations in general. the approach of the cultural da’wah movement is to prioritize strengthening and empowerment based on community 259da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) culture, such as marriage, culture, islamic boarding schools, education, and so on. according to adnan, suriadi, mujahidin, jayadi, & mursidin (2019); bungo (2014); and kistoro (2021) that cultural da’wah on the one hand has principles that are more of an islamic cultural approach, which is an approach that seeks to review the doctrinal link between islam and islamic politics and the state. sulthon (2003) mentioned cultural da’wah as a da’wah activity that emphasizes an islamic cultural approach. piti banyumas conducts cultural da’wah by involving the community. collaborating with religious, community, and youth organizations to organize taklim assemblies, studies, and other social and religious activities. the simple definition above can explain that cultural da’wah is da’wah that considers the conditions and conditions of the community, especially local customs or culture, such as customs, traditions, food, hobbies, culture or art, and so on. the means that the condition or culture of the local community is a wasilah and norms in the process of developing da’wah. the strategic role of banyumas chinese islamic ethnicity da’wah da’wah of chinese islamic ethnicity in banyumas plays a role in participating in community empowerment. empowerment is carried out through the socio-religious, socio-cultural, and socio-economic fields. first, the religious social sector. in the socio-religious area, activities carried out by piti banyumas are involved in the development of islamic da’wah in banyumas regency. spread islam rahmatan lil ‘alamin following the da’wah platform stated in the vision and mission of the piti organization. besides, the development of islamic discourse leads to discourse competition and the acquisition of islamic groups. piti banyumas still stands in a neutral position and has a moderate attitude. the means that the religious philosophy of piti banyumas members and congregations remains in the central place, not extreme right or extreme left. especially 260 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) facing islamic groups that are considered radical, piti banyumas remains straight, filtering (filtering), filtering before sharing, and efforts to clarify (tabayun) are carried out as a moderate religious character and an egalitarian characteristic of society. in the socio-religious structure, piti banyumas is different from other religious organizations that have already been established in society, such as muhamadiyah, nu, ldii, al-irsyad, and others. piti is more engaged internally and plays a role in the local community. the current existence of piti, both as an individual membership and as an organization, is almost not involved in power politics and other strategic areas in the structure of religious organizations at the regional (district) level. piti is more concerned with the extent of internal and community da’wah rather than being trapped in issues of politics and power. second, the socio-cultural sector. piti banyumas is considered capable of mingling and interacting with local communities. the social interactions built with the community make social relations very harmonious. this relationship shows a pattern of cooperation between residents and ethnic chinese muslims. the practice of cooperative relations is built naturally through a socio-cultural approach, for example, when commemorating islamic holidays, chinese new year celebrations, or cap go meh and observing national holidays, between communities united. the appearance of a lion dance dragon becomes an event entertainer for the community, even though it is celebrated around the mosque. the author visited the local community and found they were enthusiastic and worked for hand in hand to participate in the commemoration events held by piti banyumas, especially activities based on mosques. the combination of islamic religious traditions with chinese ethnic culture fuses into the cultural harmonization that has brought together entities and components of society. 261da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) besides, a culture still firmly adhered to is the tradition of silaturrahim, both with fellow chinese muslims and other chinese ethnicities. they gather by visiting each other or hanging out with family members. the practice of visiting relatives for members of piti banyumas is considered a way of blessing in life. silaturrahim is a space to get closer to family and a means of getting closer to allah swt because they believed that staying in touch will prolong life and bring abundant wealth and blessings in this world and the afterlife. based on the data interview with yusuf gunawan santoso, chinese culture is similar to the tradition developed by walisongo. the reason is, in walisongo preaching, the community’s culture is used as a da’wah instrument so that the community can easily accept the message of religious teachings. for example, the culture used by walisongo, puppets, is used as a da’wah instrument to convey prophetic messages to the people. bakhri & hidayatullah (2019); marsaid (2016); nasif & wilujeng (2018); nuryanto & saepullah (2020); and sofyan, hadiyanto, & muslihin (2019) mentioned that one of the popular cultural elements is wayang culture which is able to become a propaganda medium for sunan kalijaga in java. puppets are used to convey da’wah, which contains islamic teachings and prayers to the prophet muhammad. the implication is that through the wayang media, the javanese population can contribute by creating and innovating to conceptualize culture-based islamic da’wah. in addition to wayang, sunan kalijaga also creates taqwa clothes, songs, suluk, grebeg maulid, gamelan and wayang stories. in this way, people are attracted to embrace islam voluntarily and happily. so that people view islam as a friendly, flexible, and not scary religion that can adapt to the local community’s culture (alif, mafthukhatul, & ahmala, 2020; hand, 2018; kholis, 2019). although the dragon lion dance is a chinese ethnic tradition, chinese muslims still adopt it as a tool to bring chinese traditions closer 262 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to society. in the celebration and the appearance of the lion dance, that’s filled with various activities of preaching activities such as donations for orphans, assistance for the poor and recitation events commemorating islamic holidays. barongsai is an instrument to bring da’wah closer to the community, while inside it is filled with islamic da’wah content that brings coolness and enlightenment to the people. third, the socio-economic sector. apart from focusing on islamic preaching, the activities of piti banyumas also care about the economic existence of the people, especially the economic conditions of members and congregations. this concern in the charitable efforts carried out by piti banyumas by involving members in economic activities. the efforts made by piti banyumas in the socio-economy include fostering productive business units of members through stick plate skills and plastic waste processing. this effort provides provisions for members to be more productive so that they can generate coffers of income for family livelihoods. the other businesses are developing small and medium enterprises such as the ikat business, blacksmith sites, pottery or grocery items, and others. a number of these businesses are certainly not without challenges; the level of seriousness in managing the business dramatically affects the success of each of these business actors. that includes providing business alternatives for new converts to join piti banyumas. because after converting to islam, ethnic chinese were more often hit by economic problems. apart from being ostracized by their families, they became economically poor, had no property. this condition provides a strong impetus for piti banyumas to provide mutual assistance in the economic sector. so, efforts in the financial industry are the starting point for building chinese muslim families. this encouragement led to the formation of joint ventures among chinese muslims; although they were fluctuating and temporary, they were quite helpful for converts who had difficulty 263da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in economic access. this effort is considered sufficient to contribute to piti banyumas in empowering the economy of the people by moving the wheels of the member economy through the various developments in business skills. contribution of da’wah to strengthen religious moderation the existence of muslim chinese in banyumas belongs to a minority group. however, the fact of preaching to spread islamic teachings continues. this consistency is not without obstacles and challenges. the attitudes and mentality of muslims themselves are the biggest challenges in the islamic missionary journey carried out by piti banyumas. the complexity of society becomes a challenge in its mission of preaching, the psycho-social of family and community, the diversity (diversity) of the nation, and the challenges of socio-economic politics are a concern for all administrators and members. following the organization’s vision and mission, piti carries a da’wah platform to spread islam rahmatan lil ‘alamin. this platform wants to show that islam is universal and can touch all ethnic and cultural layers in this universe. especially in the development of contemporary islamic discourse, which leads to religious-political competition. piti banyumas is in a neutral or moderate position, a religious attitude in the moderate class, not extreme right or extreme left in the middle of religious, political competition. especially in facing islamic groups that are considered severe, piti banyumas remains straight in carrying out the vision and mission of the organization without being dragged into the interests of identity politics for power. this platform also underlies prudence in determining partners in islamic missionary missions. piti banyumas chooses to preach that is polite without provocation, is not extreme, and puts forward tabayun attitudes or corrections to one another. because of the polite and acceptable preaching, it was islamic preaching with a wasatiyya style that 264 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) would keep up with the times. especially in the modern era of the 4.0 industrial revolution like today, islamic preaching will continue to be tested and deal with scientific and technological engineering that is increasingly complex for diverse human civilizations. naturally, humans were created in different or various conditions. so it is crucial for humanity, especially muslims, to know each other (li ta’arafu) who live as nations and tribes. so that way, the diversity of humanity has become a sunatullah that inevitably and like it or not, must live, which in the future should be grateful for the faithful. as emphasized in the al-qur’an surah al-hujurat 13, it explains that: o people, indeed we created you from a man and a woman and made you nations and tribes so that you would know each other. indeed, the noblest among you with allah is the most devout among you. allah is all-knowing, all-knowing. the indonesian nation stands on various tribes, religions, races, and customs (sara). a great country that has long endured diversity. in the variety of this nation, religious people are required to position themselves and understand the context of pluralism based on the spirit of mutual respect and respect for the existence of other religious communities. one meaning taken is that pluralism does not merely refer to the fact that there is diversity, but more than that, there is active involvement in that diversity. in other words, every religious adherent recognizes the existence and rights of different religions and is involved in understanding differences and similarities to achieve harmony in diversity (shofan, 2006). yusuf gunawan santoso said that piti banyumas strives to be consistent in its mission of preaching. it contains preaching that promotes a moderate and balanced attitude. because islam itself is mild, its people should promote religious moderation in a diverse life. the choice to preach moderately contained in several activities and messages of da’wah content conveyed to the people are safe, comfortable, and peaceful preaching. it is in accordance with islam rahmatan lil ‘alamin. . 265da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the implementation of da’wah that is safe, comfortable, and peaceful invites people to love religion more, love culture, and love fellow human beings. thus, a more peaceful demonstration of da’wah will contribute to efforts to radicalize islamic teachings’ understanding. they have contributed to the propagation of more moderate and inclusive da’wah through other types of religious activity in the domains of education, social work, and economics. according to fahri & zainuri (2019); sajjad, christie, & taylor (2017); and tobroni, chanifah, & lubis (2020) that radicalism in the name of religion can be eradicated through moderate and inclusive islamic education. religious moderation can be demonstrated through the attitude of tawazun (balance), i’tidal (straight and firm), tasamuh (tolerance), musawah (egalitarian), shura (deliberation), ishlah (reform), aulawiyah (puts priority on priority), tathawwur wa ibtikar (dynamic and innovative). in the context of piti banyumas, da’wah is very strategic in developing religious moderation. it instilled moderate and inclusive values translated as da’wah that brings mercy to all nature with a platform developed by piti banyumas through safe, comfortable, and peaceful da’wah. da’wah is safe, meaning that every da’wah activity must provide certainty that the taklim council and congregation are in a safe position, do not violate applicable regulatory procedures, and are supported by the surrounding community. da’wah is comfortable, meaning that da’wah’s narrative provides comfort and warmness for the people. the content of the preaching that is delivered provides enlightenment and religious experience that can add to the spirit of worship and increase the capacity of religiosity for the people. peaceful da’wah means the delivery of da’wah material that provides peace and serenity for the people. da’wah that gives a sense of peace will have an impact on the meaning of calm in the people. the situation and condition of the ummah, which is not always stable and unbalanced, require the presence of calm islamic da’wah (sakinah) and provide broad benefits. 266 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) conclusion and suggestion conclusion piti banyumas da’wah activities are based on mosques and local communities. the mosque is a center for preaching and religious education. the intensity of social interaction in the local community shows the success of preaching that continues to grow today. the ethnicbased da’wah model in the piti banyumas community is a structural and cultural missionary movement. the preaching developed promotes a moderate attitude through socio-economic and socio-cultural approaches. in the socio-economic aspect, economic empowerment for chinese ethnic who had just converted to islam (converts) to equip them economically for a new life as a muslim. the socio-cultural aspect, piti banyumas, opens an open space for collaboration with ethnic chinese through cap go meh culture and dragon lion dance. the moderate attitude developed by piti banyumas can socialize and be available with local communities, not extreme right or extreme left. it strengthens the structure of the concept of religious moderation in society. piti banyumas’ preaching activities are in a neutral position above all groups or groups of society. the preaching content presented provides coolness and enlightenment for the people by promoting safe, comfortable, and peaceful preaching. this moderate attitude in preaching contributes to the development of religious moderation among various societies. suggestion the strength of the chinese muslim ethnic in banyumas regency has become a social capital for muslims in particular and the banyumas community in general. its power also contributes to the social fabric of society. for this reason, several suggestions can be put forward, namely: the chinese islamic community in banyumas needs to pay attention to 267da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the government and other religious stakeholders to unite in developing a tolerant and peaceful religious attitude; the muslim chinese ethnic can use as a model (model) for other religious institutions in carrying out da’wah activities and social, humanitarian missions; it needs the support of the board and members of piti banyumas as a whole to increase activeness in running the wheels of the organization in carrying out the mission of da’wah islamiyah; local governments and other religious stakeholders need to unite in the space of friendship between groups or organizations to equalize perceptions and uphold ukhuwah in participating in developing religious moderation in society at large. references abidin, y. z. (2017). keberagamaan dan dakwah tionghoa muslim. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 11(2), 357–368. https://doi.org/10.15575/idajhs.v11i2.1884 adnan, suriadi, mujahidin, jayadi, & mursidin. (2019). cultural da’wah and islamic education values in antar ajong tradition of people in melayu sambas west kalimantan. karsa: journal of social and islamic culture, 27(1), 1–30. https://doi.org/10.19105/karsa. v27i1.1537 akhmadi, a. (2019). moderasi beragama dalam keragaman indonesia. jurnal diklat keagamaan, 13(2), 45–55. al-rasyid, h. h. (2014). dakwah islam di era globalisasi: revitalisasi prinsip moderasi islam. al-qalam: jurnal penelitian agama dan sosial budaya, 20(3), 1–12. https://doi.org/10.31969/alq.v20i3.337 alif, n., mafthukhatul, l., & ahmala, m. (2020). akulturasi budaya jawa dan islam. al ’adalah, 23(2), 143–162. https://doi. org//10.35719/aladalah.v23i2.32 atwill, d. g. (2006). the chinese sultanate: islam, ethnicity, and the panthay rebellion in southwest china, 1856-1873. palo alto, california, united states: stanford university press. 268 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) aziz, m. a. (2019). ilmu dakwah. jakarta: kencana prenadamedia. bakhri, s., & hidayatullah, a. (2019). desakralisasi simbol politheisme dalam silsilah wayang: sebuah kajian living qur’an dan dakwah walisongo di jawa. sangkep: jurnal kajian sosial keagamaan, 2(1), 13–30. https://doi.org/10.20414/sangkep.v2i1.934 banyumas, b. p. s. (2020). potret sensus penduduk 2020 kabupaten banyumas menuju satu data kependudukan indonesia. retrieved november 2, 2020, from bps banyumas website: https://banyumaskab.bps. go.id/publication/2021/08/09/7dc7fd49f62aa72373b3e2c0/ potret-sensus-penduduk-2020-kabupaten-banyumas-menujusatu-data-kependudukan-indonesia.html bungo, s. (2014). pendekatan dakwah kultural dalam masyarakat plural. jurnal dakwah tabligh, 15(2), 209–219. https://doi.org/10.24252/ jdt.v15i2.349 chandra, d. (2009). dakwah muslim tionghoa : kajian metode dan pesan ceramah ustadz syaukani ong pada muslim tionghoa di majid cheng ho surabaya. undergraduate thesis (unpublished), (surabaya: uin sunan ampel surabaya). chandra, s. a., wasino, & bain. (2015). perkembangan agama islam di kalangan etnis tionghoa semarang tahun 1972-1998. journal of indonesian history, 4(1), 53–59. chen, j. (2021). representing chinese indonesians: pribumi discourse and regional elections in postreform indonesia. journal of current southeast asian affairs, 1–29. https://doi.org/10. 1177/ 1868 1034 2110 36716 choiriah, m. (2016). sejarah kedatangan etnis tionghoa di indonesia. retrieved july 2, 2019, from merdeka website: https://www. merdeka.com/peristiwa/sejarah-kedatangan-etnis-tionghoa-diindonesia.html fahiroh, z. (2016). pelaksanaan dakwah organisasi persatuan islam tionghoa indonesia (piti) banyumas. dissertation doctoral (unpublished). retrieved from iain purwokerto fahri, m., & zainuri, a. (2019). moderasi beragama di indonesia. intizar, 25(2), 95–100. https://doi.org/10.19109/intizar.v25i2.5640 fahrurrozi, & thohri, m. (2019). media dan dakwah moderasi: melacak peran strategis dalam menyebarkan faham moderasi di situs 269da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nahdlatul wathan onine situs kalangan netizen muslim-santri. tasâmuh: media dan dakwah moderasi, 17(1), 155–180. https://doi. org/10.20414/tasamuh.v17i1.1440 fajarita, k. (2019). strategi dakwah organisasi persatuan islam tionghoa indonesia (piti) di kota salatiga. dissertation doctoral (unpublished), (salatiga: iain salatiga). gladney, d. c. (1996). muslim chinese: ethnic nationalism in the people’s republic (2nd ed). harvard, united states: harvard university asia center. guyanie, g. el. (2018). dinamika politik muslim tionghoa (studi kasus persatuan islam tionghoa indonesia / piti yogyakarta). in right: jurnal agama dan hak azazi manusia, 7(2), 241–300. hand, r. (2018). schools and families as institutions of learning in central javanese gamelan. ethnomusicology forum, 27(1), 68–87. https://doi.org/10.1080/17411912.2018.1463550 harahap, a. s. (2012). dinamika gerakan dakwah persatuan islam tionghoa indonesia (piti) medan sumatera utara. journal analytica islamica, 1(2), 215–241. irawan, d., amin, m., ali, b., & said, n. (2020). structural dakwah strategy of the local government of sambas post conflict of sambas ethnicity in west kalimantan. jurnal diskursus islam, 8(1), 58–66. karim, a. (1982). mengabdi agama, nusa, dan bangsa: sahabat karib bung karno. jakarta: gunung agung. kholis, n. (2019). pakaian taqwa: representasi agama dan budaya di pusat kekuasaan jawa. harmoni: jurnal multikultural & multireligius, 18(2), 325–336. kistoro, h. c. a. (2021). model of the cultural da’wah of the sunan gunung jati and its relevance with the current da’wah of islam. religia: jurnal ilmu-ilmu keislaman, 24(1), 100–118. https:// doi.org/10.28918/religia.v24i1.4192 kuntowijoyo. (2006). budaya dan masyarakat. yogyakarta: tiara wacana. mahfud, c. (2018). chinese muslim community development in contemporary indonesia: experiences of piti in east java. studia islamika, vol. 25, pp. 471–502. https://doi.org/10.15408/ sdi.v25i3.6755 270 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) marsaid. (2016). islam dan kebudayaan: wayang sebagai media pendidikan islam di nusantara. kontemplasi: jurnal ilmu-ilmu ushuluddin, 4(1), 101–130. https://doi.org/10.21274/kontem.2016.4.1.101-130 najib, m. a. (2020). internalisasi nilai agama islam pada masyarakat muslim tionghoa banyumas. dissertation doctoral (unpublished). retrieved from iain purwokerto nasif, h., & wilujeng, m. p. (2018). wayang as da’wah medium of islam according to sunan kalijaga. kalimah: jurnal studi agama-agama dan pemikiran islam, 16(2), 251–264. https://doi.org/10.21111/ klm.v16i2.2871 nuryanto, a., & saepullah. (2020). wayang kulit sebagai media dakwah ki anom suroto. ri’ayah: jurnal sosiologi dan keagamaan, 5(2), 153– 180. piti. (2012). anggaran dasar dan anggaran rumah tangga piti pusat. jakarta: piti. poerwanto, h. (2014). cina khek di singkawang. depok: komunitas bambu. putri, r. h. (2018). catatan pertama kedatangan orang tionghoa ke nusantara. retrieved july 2, 2019, from historia website: https:// historia.id/kuno/articles/catatan-pertama-kedatangan-orangtionghoa-ke-nusantara-v5eg3/page/1 ramli. (2019). moderasi beragama bagi minoritas muslim etnis tionghoa di kota makassar. kuriositas: media komunikasi sosial dan keagamaan, 12(2), 135–162. https://doi.org/10.35905/kur. v12i2.1219 ritonga, a. h., nashor, khair, d., & mukmin, h. (2019). muhammadiyah da’wah movement empowerment through economic and social orphans orphan in lampung province. nizam, 7(2), 197– 213. rodin, d. (2016). islam dan radikalisme: telaah atas ayat-ayat “kekerasan” dalam al-qur’an. addin, 10(1), 29–60. https://doi. org/10.21043/addin.v10i1.1128 rosmini, syamsidar, & haniah. (2017). geliat keberagamaan moderat komunitas muslim tionghoa (kontribusi pengkajian islam intensif dalam keberagamaan moderat komunitas muslim tionghoa kota makassar). al-ulum, 16(1), 36. https://doi. 271da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) org/10.30603/au.v16i1.26 saifuddin, a. (2017). reproduksi pemahaman dan dinamika psikologis paham radikal: analisis terhadap sikap ‘menyalahkan’ kelompok lain. al-a’raf : jurnal pemikiran islam dan filsafat, 14(1), 47–72. https://doi.org/10.22515/ajpif.v14i1.717 sajjad, f., christie, d. j., & taylor, l. k. (2017). de-radicalizing pakistani society: the receptivity of youth to a liberal religious worldview. journal of peace education, 14(2), 195–214. https://doi. org/10.1080/17400201.2017.1304901 setiono, b. g. (2008). tionghoa dalam pusaran politik: mengungkap fakta sejarah tersembunyi orang tionghoa di indonesia. jakarta: transmedia pustaka. shihab, m. quraish. (2019). wasathiyyah wawasan islam tentang moderasi beragama. tangerang: penerbit lentera hati. shihab, muhammad quraish. (1996). membumikan al-qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. bandung: mizan. shofan, m. (2006). jalan ketiga pemikiran islam mencari solusi perdebatan tradisionalisme dan liberalisme. yogyakarta: ircisod. sofyan, a., hadiyanto, a., & muslihin. (2019). wayang santri sebagai model dakwah islam berbasis kearifan lokal. mozaic islam nusantara, 5(2), 151 – 174. https://doi.org/10.47776/mozaic. v5i2.143 sulthon, m. (2003). menjawab tantangan zaman desain ilmu dakwah kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis. yogyakarta: pustaka pelajar. sumardiana, b. (2017). efektivitas penanggulangan ancaman penyebaran paham ekstrim kanan yang memicu terorisme oleh polri dan bnpt ri. law research review quarterly, 3(1), 109–128. https:// doi.org/10.15294/snh.v3i1.20927 syahruddin. (2020). kontribusi dakwah struktural dan dakwah kultural dalam pembangunan kota palopo. lentera: jurnal ilmu dakwah dan komunikasi, 4(1), 61–80. syuan-yuan, c. (2007). building traditions for bridging differences: islamic imaginary homelands of chinese-indonesian muslims in east java. in k. chan (ed.), east-west identities: globalization, localization, and hybridization (international comparative social studies, volume: 15) (pp. 265–278). leiden, netherlands: brill. https://doi. 272 da’wah of banyumas islamic chinese ethnicity in the development of religious moderation musmuallim, ahmad yusuf prasetiawan, muhamad riza chamadi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 241 272, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3147 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 editorial team alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh editor-in-chief imam mujahid, institut agama islam negeri surakarta editor waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 daftar isi astri fajar atikasari, vera imanti 1 24 model dakwah milenial untuk homoseksual melalui teknik kontinum konseling berbasis alquran khilman rofi azmi 25 58 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin 91 120 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani 141 168 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim 59 90 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana 121 140 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin humaniora institute keywords: social media; youtube; youtube mubalig http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: ferdiarf.kuliah@gmail.com abstract this article attempts to reveal youtube as a popular social media for da’wa recently. the popularity of da’wa in youtube generates many celebrity mubalig (islamic preacher). however, the number of mubalig preaching through youtube also has negative effects. it is caused by each mubalig have different perspectives about islam teaching, so that the da’wa contents are confusing followers on their perceptions about islam. using the youtube for da’wa media has a good respond, so youtube channels that upload da'wa content have a large number of viewers and followers. it makes youtube able to make money through the monetization process. data collection in this study was carried out through virtual observations on da'wa content of a number of mubalig on youtube, as well as literature studies to analyze the tendency of da'wa messages on the youtube channel. as a result, youtube becomes an alternative media for preaching, even though actually, the commodification of messages emerged through monetization on youtube. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 92 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) how to cite (apa 6th style): arifin, f. (2019). mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 91–120. https://doi. org/10.22515/balagh.v4i1.1718 pendahuluan perkembangan internet saat ini mendominasi kehidupan masyarakat dunia. berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia (apjii) menunjukkan bahwa di antara 262 penduduk indonesia, lebih dari 50% atau sekitar 143 juta warga indonesia terhubung jaringan internet sepanjang tahun 2017 (bohang, 2018). menurut shawn wilbur (nasrullah, 2014), internet dan cyberspace menciptakan suasana kolektif serta dunia tersendiri melalui fasilitas web abstrak artikel ini bertujuan untuk melihat youtube sebagai platform media sosial yang populer digunakan untuk berdakwah. kepopuleran dakwah menggunakan youtube memunculkan banyak mubalig selebritas. namun, banyaknya mubalig yang berdakwah melalui youtube justru juga menimbulkan efek negatif. hal ini karena masing-masing mubalig memiliki persepsi ajaran islam yang berbeda-beda sehingga konten ceramah setiap mubalig cenderung membingungkan persepsi tentang ajaran islam. pemanfaatan youtube sebagai media dakwah mendapatkan respon yang baik sehingga kanal-kanal youtube yang mengunggah konten dakwah memiliki jumlah penonton dan pengikut yang banyak. hal ini menjadikan youtube mampu menghasilkan uang melalui proses monetisasi. pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi virtual pada konten-konten dakwah sejumlah ustaz di youtube, serta studi literatur guna menganalisis kecenderungan pesan dakwah yang dimunculkan dalam kanal youtube. hasilnya, youtube mampu menjadi alternatif media untuk berdakwah, meski sebenarnya muncul komodifikasi pesan melalui bentuk monetisasi pada youtube. kata kunci: media sosial; mubalig youtube; youtube 93mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yang memungkinkan kontak pada setiap individu secara halus (ethereal contact). alhasil, setiap orang akan merasa terkoneksi satu sama lain, serta menemukan efek tertentu ketika berhubungan melalui cyberspace. internet dalam praktiknya mampu memberikan ruang tersendiri bagi para penggunanya. lebih lanjut, internet mampu menjadi ruang publik yang memfasilitasi para pengguna untuk dapat berkomunikasi dan saling bertukar pendapat. tak terkecuali, banyaknya spekulasi dan argumen yang saling dipertukarkan turut menjadi bagian dari arus informasi yang tercipta pada ruang publik melalui internet. hal ini yang juga terjadi dalam konteks keberagamaan di indonesia. sebut saja, ketika masyarakat dihadapkan pada kasus penistaan agama yang menyerang salah satu tokoh politik, basuki tjahaja purnama (ahok). tidak mengherankan jika banyak sekali perdebatan yang terjadi di internet untuk menunjukkan eksistensi persepsi dalam membahas kasus penistaan agama yang dilakukan ahok. lebih lanjut, sisi lain mengenai adanya fenomena digital juga turut membawa dampak terhadap banyak mubalig untuk mensyiarkan agama islam melalui media sosial mereka masing-masing. selain menilik pada banyaknya pengguna internet di indonesia yang berkisar lebih dari 50% ini, penggunaan media sosial pada sisi tertentu dinilai lebih efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan dakwah. salah satu implikasi penggunaan internet untuk sarana dakwah juga berkenaan dengan kecenderungan dari para pengguna media internet, khususnya pengguna media sosial, dalam mengakses sejumlah konten dakwah. implikasi penting dalam hal ini muncul bagi sebagian besar masyarakat muslim kontemporer di indonesia, yakni dengan memanfaatkan internet sebagai media pembelajaran islam (fakhruroji, 2019). tren yang muncul adalah internet mampu menjadi sumber rujukan atas pengetahuan keagamaan yang ingin diperoleh bagi sejumlah penggunanya. 94 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) horsfield (2018) menjelaskan adanya sisi kompleks dalam memaparkan praktik keagamaan yang menuntut cara agama untuk dapat memainkan peran fungsionalnya guna melayani umat, khususnya dalam konteks komunitas, ritual, serta upaya dalam menemukan ideologi makna. maka dari itu, kemunculan media baru diperlukan guna menawarkan sebuah pendekatan fungsional dalam melihat tentang cara studi agama mampu merujuk pada pandangan mengenai aspek keagamaan yang baru. penggunaan internet dalam praktik keagamaan merujuk pada keterhubungan antara penggunaan media lama dengan media baru secara bersamaan. campbell & lövheim (2011) menyatakan bahwa praktik keagamaan online sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri tanpa praktik offline sehingga, masing-masing akan saling memengaruhi. lebih lanjut, campbell & lövheim (2011) menyebut kecenderungan praktik keagamaan online ini merupakan perpanjangan dari religiositas yang dilakukan secara offline. adapun penggunaan fasilitas dan media online sebagai sarana berdakwah dapat dikatakan sebagai pengembangan dalam strategi lama guna memobilisasi khalayak secara lebih cepat. penggunaan internet ini juga bertujuan untuk memperluas audiensi global sehingga dinilai lebih efektif (siegel, 2019) untuk menggerakkan massa, khususnya para khalayak muslim yang mengakses konten-konten dakwah melalui internet, tak terkecuali youtube. apabila dicermati dari sudut pandang lain, penggunaan media sosial dapat berdampak pada peningkatan perekonomian penggunanya. salah satu contohnya adalah youtube. para pengguna youtube atau yang sering disebut youtuber, bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah jika memenuhi kriteria yang ditentukan oleh pihak youtube, seperti ketentuan jumlah likes, subscribes, dan shares. youtube menjadi media sosial sangat populer di kalangan masyarakat industri 4.0 karena memberikan sarana pada penggunanya untuk mendapakan keuntungan dengan berbagai cara. pertama, memonetisasi video agar youtube bisa menyematkan iklan di 95mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tengah-tengah video yang diunggah. kedua, memiliki subscribers dan viewers yang tinggi atau disebut sebagai brand deals. ketiga, menjadi public figure atau tokoh masyarakat yang dikenal luas karena memiliki banyak penonton di saluran ataupun kanal youtube yang dimiliki (dahlan, 2015). kondisi tersebut bias terjadi pada siapa saja, tak terkecuali pemuka agama khususnya para mubalig. banyak mubalig yang memanfaatkan youtube sebagai media dakwah mereka. sejumlah mubalig yang memiliki akun ataupun menggunakan youtube sebagai media dakwahnya mampu memperoleh penghasilan apabila sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh youtube tersebut. seperti pepatah, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, yang bermakna bahwa syiar agama islam dapat dilakukan melalui youtube dan sekaligus mendapatkan keuntungan dari kanal yang dimilikinya di youtube. tidak mengherankan apabila saat ini mulai bermunculan istilah ustaz seleb. istilah tersebut ditujukan kepada para ustaz ataupun mubalig yang seolah dikenal layaknya artis dan public figure melalui media sosial untuk berdakwah. pada dasarnya, berdakwah dengan memanfaatkan internet dan media sosial memberikan dampak tersendiri bagi para penggunanya. dalam konteks ini, perlu adanya perencanaan untuk dapat mengemas konten dakwah yang sesuai dan diminati oleh para audiens. salah satu perencanaan tersebut dapat diwujudkan dengan mengoptimalkan penggunaan mesin pencari dalam internet untuk menunjang serta mendukung cara berdakwah secara online (saputra & islamiyah, 2019). adanya pembaruan dalam sistem ataupun metode dakwah dengan menggunakan media online pada dasarnya merujuk pada pengembangan konsep dakwah baru. pengembangan konsep dakwah ini mengarah pada pembaruan paradigma yang harus mencakup konsep, metodologi, pendekatan, serta media yang dapat digunakan untuk berdakwah. pengembangan dan pembaruan dakwah ini diharapkan dapat memenuhi tantangan, sekaligus peluang dakwah di era globalisasi (ismail, 2017). 96 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) salah satu tujuan utama berdakwah melalui media sosial youtube adalah menarik minat dan memberikan kemudahan khalayak untuk mempelajari ajaran keislaman. namun, tak jarang terjadi perbedaan pendapat antar sesama ustaz terkait dengan pemahaman keislaman yang dimiliki. perbedaan pendapat tersebut mampu menimbulkan perdebatan pada masing-masing kolom komentar kanal youtube yang digunakan. berdakwah melalui media sosial dianggap semakin banyak diminati karena dinilai lebih efektif dan efisien. akan tetapi, hal ini yang justru memunculkan tantangan tersendiri. salah satu bentuk tantangan tersebut adalah terdapat fitur monetisasi yang dapat dilakukan dalam penggunaan media sosial youtube. alhasil, perang siber semakin ketat dalam hal mendapatkan subscribers, viewers, dan likes, guna mendongkrak rating kanal youtube yang dimiliki. seperti contoh kasus unggahan video di youtube m. quraish shihab yang menganggap hukum berhijab itu tidak mutlak untuk harus dilakukan karena masih ada perdebatan ulama. di sisi lain, ustaz adi hidayat, ustaz abdul somad, dan ustaz firanda menyampaikan secara implisit bahwa pendapat yang disampaikan oleh m. quraish shihab adalah fatwa yang salah sehingga, tidak boleh diikuti. satu video perdebatan ini sudah ditonton sebanyak 1.200.629 kali (ibadah tv, 2017). dengan banyaknya jumlah penonton tersebut, hal ini memberikan dampak positif bagi si pemilik kanal youtube karena mampu menghasilkan uang melalui monetisasi youtube. berdasarkan fenomena tersebut, muncul pertanyaan yang perlu dikaji lebih mendalam. apakah monetisasi kanal media sosial youtube para ahli agama tesebut membawa kebaikan dalam berdakwah atau justru menjadi sarana komodifikasi dakwah melalui media sosial sehingga tidak lagi mementingkan masyarakat sebagai konsumen? oleh karena itu, penelitian ini berupaya mengurai dan menjelaskan bahwa sebuah komodifikasi itu bisa terjadi di kanal media sosial para ustaz seleb. selain itu, penelitian ini juga berupaya menggali persepsi masyarakat islam di indonesia apabila 97mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kanal media sosial para ustaz seleb dikomodifikasikan. dengan kata lain, penelitian ini bertujuan melihat cara media sosial bekerja dan digunakan dalam sisi lain konteks dakwah, melalui pengamatan pada beberapa tayangan dakwah sejumlah ustaz serta tinjauan literatur dari berbagai penelitian tentang dakwah dan media sosial. terdapat beberapa penelitian lain yang membahas tentang dakwah dan internet, khususnya pada media sosial. nurdin (2014) menjelaskan melalui penelitiannya, mengenai pemanfaatan internet untuk keperluan dakwah. dalam hal ini, internet dijadikan sebagai platform media pendukung dalam berdakwah agar dapat dikemas secara lebih menarik dan interaktif. selanjutnya, sumadi (2016) menulis tentang konsep dakwah dan peran media sosial yang berkenaan dengan isi (esensi) serta cara (metode). melalui tulisannya, media sosial dinilai efektif untuk digunakan sebagai sarana berdakwah. penelitian lain dari sirajuddin (2014) tentang pengembangan strategi dakwah melalui media internet. adapun pengembangan strategi dakwah yang dilakukan melalui internet harus direncanakan secara matang dan lengkap dengan lembaga pendukung yang bekerja secara profesional. adanya pemanfaatan internet sebagai media dakwah ini dilakukan guna menjawab keluasan informasi yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman. selanjutnya, sejumlah artikel ilmiah yang berbicara mengenai dakwah, internet, media digital, bahkan kesalehan agama dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial turut ditulis oleh zaini (2013); yoga s (2015); pardianto (2013); budiantoro (2017); dan huseina & slamab (2018). sejauh ini, penelitian dakwah di media sosial masih dianggap menjadi isu menarik bagi para akademisi islam. hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi dan media komunikasi yang semakin pesat dan banyak digunakan. faktor lain disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah generasi muda yang menggunakan media sosial, terutama dalam 98 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hal kajian keagamaan. beberapa dari mereka misalnya, melihat dakwah dari sudut pandang kesopanan dalam berdakwah di media sosial (sumadi, 2016). bahkan, yang lebih spesifik lagi, adanya penelitian tentang fanpage aa’ gym dalam proses dakwahnya di facebook (hakiki, 2016). terdapat penelitian lain yang menganggap media sosial sebagai sebuah medium platform dakwah secara umum (suharto, 2017), serta kajian tentang dakwah perdamaian di dunia siber (khoiruzzaman, 2016). apabila merujuk pada sejumlah kajian dakwah dan media sosial yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa kajian dakwah dan media sosial sudah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu dengan menampilkan beberapa model serta hasil penelitian yang tidak jauh berbeda. meskipun demikian, kajian tentang konten dakwah menjadi media untuk populer dan meraup keuntungan dari youtube, dianggap masih jarang dilakukan. maka dari itu, penelitian ini menekankan pada strategi seorang mubalig mengemas konten dakwah agar menjadi laku di pasaran, sekaligus menimbulkan ketertarikan untuk menghasilkan keuntungan dalam konteks tertentu. dengan demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu yang dijelaskan sebelumnya. metode penelitian metode yang digunakan dalam penelitian ini secara khusus diarahkan pengamatan secara virtual dan visual (etnografi virtual) pada beberapa konten dakwah yang ditampilkan melalui youtube oleh beberapa ustaz indonesia. selain itu, studi literatur dilakukan untuk menguatkan analisis melalui review pada beberapa penelitian terdahulu tentang konteks dakwah dan media sosial. lebih lanjut, kajian tidak secara khusus dilakukan pada konten satu atau dua ustaz/mubalig, melainkan lebih melihat secara keseluruhan tentang tayangan atas pesan dakwah yang ditampilkan sebagai konten ceramah. sejumlah ustaz yang diamati adalah ustaz-ustaz yang kerap mengunggah konten dakwah dan ceramahnya di youtube, seperti: hanan attaki, khalid basalamah, abdul somad, dan adi hidayat. 99mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) adapun pengumpulan data melalui pengamatan ini merujuk pada data rekam yang diperoleh pada kanal-kanal youtube yang diamati, yakni: pemuda hijrah, khalid basalamah, uas daily life atau tafaqquh video, serta akhyar tv. beberapa kanal ini digunakan untuk menyampaikan sekaligus mengunggah konten-konten dakwah dari para ustaz. selanjutnya, analisis dilakukan untuk mengetahui bentuk komodifikasi pesan yang dimunculkan pada kanal youtube tersebut. titik tekan penelitian ini adalah tentang strategi para ustaz atau mubaligh tersebut memanfaatkan youtube sebagai media sosial yang dipandang efektif untuk menyalurkan pesan dakwah dan menarik subscribers, terlepas dari bentuk monetisasi yang selanjutnya melingkupi pemanfaatan youtube sebagai media dakwah yang digunakan. adanya monetisasi pada youtube dimaknai sebagai bentuk pemanfaatan media sosial yang pada akhirnya mampu mendatangkan penghasilan berdasarkan klik, likes, views, dan jumlah pengikut (subscribers) sehingga terjadi perubahan dan alih fungsi pesan media sebagai bentuk komoditi (komodifikasi). hasil penelitian dan pembahasan media sosial youtube dan kepopulerannya di masyarakat indonesia pemaparan dari hasil penelitian apjii menyatakan bahwa pengguna jasa internet di indonesia lebih dari setengah penduduk indonesia. dengan kata lain, popularitas pengguna internet di indonesia cukup terbilang banyak. sedangkan, kepopuleran internet di dunia ada sekitar 53% dengan jumlah pengguna internet sebanyak 4.021 milliar jiwa dari total penduduk dunia secara keseluruhan, yakni sekitar 7.593 milliar jiwa. dari perbandingan tersebut, rincian pengguna internet di seluruh dunia terbagi dalam beberapa bagian, yaitu pengguna internet secara keseluruhan sebanyak 4.021 miliar jiwa atau 53%, pengguna internet yang aktif bermedia sosial sekitar 3.196 milliar jiwa atau 42%, serta yang aktif 100 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bermedia sosial menggunakan gawainya saja sekitar 2.958 milliar jiwa atau 39% (kemp, 2018). kepopuleran media sosial ini menyebabkannya menjadi kajian yang menarik untuk diteliti. salah satu hal yang menarik mengenai penelitian tentang media sosial ini pernah dilakukan oleh lovejoy & saxton (2012) yang menjelaskan bahwa kepopuleran media sosial ini cukup efektif dan efisien sehingga, digunakan untuk membantu mengoptimalkan organisasi sebagai bentuk media informasi, komunitas, dan tindakan atau program yang dilaksanakan oleh organisasi. dalam bentuk lain, media sosial berperan penting dalam pengiriman pesan maupun informasi kepada publik yang lebih masif (imran, castillo, diaz, & vieweg, 2015). beberapa wujud media sosial yang pernah ditelaah lebih dalam oleh para peneliti media sosial seperti instagram, menunjukkan secara spesifik data pengguna media sosial instagram yang didominasi oleh orang-orang dengan kisaran usia 18 sampai 29 tahun, serta media sosial pinterest lebih didominasi oleh kaum perempuan yang berumur 25 sampai 34 tahun (ruths & pfeffer, 2014). masih banyak berbagai media sosial yang memiliki segmentasi spesifik dan populer di kalangan masyarakat. youtube misalnya, memiliki pertumbuhan yang sangat signifikan di indonesia. sejak januari 2016 hingga januari 2017 durasi menonton youtube masyarakat indonesia meningkat 155% dengan jumlah konten yang diunggah di indonesia naik hingga 278% dari tahun 2016 (dwijaya & zuliestiana, 2017). tidak mengherankan apabila popularitas youtube di indonesia sangat kuat sehingga, muncul banyaknya komunitas youtube di penjuru indonesia. komunitas-komunitas youtube di penjuru indonesia ini memanfaatkan youtube bukan hanya sekedar menjalin koneksi antarwilayah, melainkan juga sebagai upaya eksistensi diri. youtube memberikan berbagai dampak nilainilai bagi para penggunanya. youtube tidak lagi sebagai media berkomunikasi, melainkan juga dijadikan ajang mencari popularitas. pengunaan youtube 101mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) semacam ini menyebabkan terjadinya adaptasi antarbudaya yang pada akhirnya bertransisi dari budaya lama ke budaya baru. menurut chen & strarosta (2005), ada lima tahapan dalam poses transisi adaptasi antarbudaya. pertama, masyarakat atau pengguna youtube merasa bahagia dengan budaya barunya terhadap eksistensi youtube. kedua, muncul perasaan tidak nyaman karena menemukan sisi lain dari budaya baru tersebut karena nilai-nilai yang ada masih kurang familiar. ketiga, muncul penyesuaian terhadap budaya baru tersebut. keempat, bentuk penyesuaian terhadap kebaruan dari budaya baru yang diterimanya. konsep yang dilontarkan chen & strarosta (2005) tersebut memang tidak bisa dimungkiri. untuk melihat fenomena youtube di indonesia bahkan dunia sekalipun, ada proses adaptasi budaya dari menonton televisi menjadi menonton youtube. tidak mengherankan jika banyak fenomena pengguna youtube yang kemudian viral melebihi artis di televisi. sinta dan jojo menjadi populer di seluruh indonesia karena mengunggah cover lagu keong racun di tahun 2010 dan gamaliel audrey yang juga menjadi musisi terkenal setelah unggahan lagunya di youtube pada tahun 2009. bagi sawyer (2011), melihat youtube adalah sebuah kemudahan menjadi sosok selebritas karena pengguna youtube atau vloger berperan menjadi aktor, kameramen, sekaligus sutradara dalam video yang diunggah di akun youtubenya. bahkan, youtube disinggung juga sebagai media sosial yang menerobos protokol komunikasi (chandra, 2017) karena fenomena presiden republik indonesia ir. joko widodo yang menggunakan youtube untuk menunjukkan beberapa aktivitas kenegaraan, seperti saat makan bersama raja salman ketika berkunjung ke indonesia. saat ini, youtube menjadi platform media sosial terkemuka di indonesia. bahkan, youtube dapat dikatakan lebih dari sekedar televisi bagi kalangan anak muda. kejenuhan yang muncul karena televisi dianggap kurang memberikan hiburan menyebabkan para content creator berbondongbondong menunjukkan eksistensinya membuat channel youtube sendiri 102 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sebagai penyejuk kejenuhan masyarakat indonesia terhadap televisi negeri maupun swasta. banyak artis youtube, yang dikenal sebagai youtuber, viral layaknya artis papan atas, seperti ria ricis, raditya dika, atta halilintar, karin novilda, young lex, dan banyak lagi. bahkan, beberapa artis televisi juga mulai berbondong-bondong untuk membuat kanal youtubenya sendiri untuk memperkuat eksistensinya. hal ini dikarenakan memang selain memberikan ruang eksistensi, youtube juga menjadi lahan pendapatan bagi kanal ataupun saluran youtube yang sudah dimonetisasi melalui iklan-iklan yang ada di dalamnya. menurut data yang dirilis www.socialblade.com (2018), menunjukkan lima teratas youtuber populer di indonesia adalah melalui kanal ria ricis, calon sarjana, atta halilintar, raditya dika, dan official sabyan gambus. dari data tersebut, estimasi penghasilan ria ricis melalui kanalnya adalah sekitar $12,8k $205k, calon sarjana sekitar $22,4k $357,8k, atta halilintar sekitar $5,3k $84,8k, raditya dika sekitar $4,7k $75,4k, dan official sabyan gambus sekitar $18,6k $298,4k. popularitas youtube semakin naik juga karena para televisi swasta turut membuat kanal youtube untuk menyasar generasi-generasi muda yang lebih memilih youtube daripada televisi. oleh karena itu, hampir setiap kanal televisi swasta memiliki akun media sosial youtube, seperti rcti-layar drama indonesia, indonesiar, trans7 official, mnctv official, dan trans tv official. tidak hanya itu, beberapa acara televisi juga membuat kanal youtube untuk mengikat para generasi digital, seperti ini talk show, the voice kids indonesia gtv, cumi-cumi, dan cnn indonesia. fenomena popularitas youtube ini juga menyebabkan semua orang untuk beradaptasi dengan youtube sehingga, banyak sekali orang yang belajar beradaptasi dengan budaya baru. para publik figur pun tak luput dari maraknya transisi budaya ini sehingga, mereka juga membuat kanal di youtube untuk berbagai kepentingan. bahkan, para mubalig saat ini juga 103mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mengoptimalisasikan youtube sebagai media dakwah sehingga, membuat pesan dakwah tersebut menjadi lebih masif dan efisien. terdapat banyak kepentingan yang melatarbelakangi masyarakat membuat kanal youtube, salah satunya money oriented. banyaknya kepentingan yang melatarbelakangi transisi budaya menonton youtube menjadi polemik tersendiri bagi masyarakatnya, seperti polemik ustaz selebritas (ustaz seleb). sejumlah para mubalig dan mubaligah membuat kanal youtube menjadikan syiar agama menjadi lebih mudah, efektif, sekaligus masif. namun, fenomena yang muncul adalah masing-masing mubalig memiliki persepsi ajaran beda-beda sehingga, memunculkan perdebatan dalam dunia digital maupun dunia nyata. para mubalig yang seharusnya menjadi agen penentram bagi masyarakat, justru tampak menjadi seperti agen penggiring opini publik. kondisi yang demikian ini menyebabkan kementerian agama harus turun tangan untuk menstandarisasi para mubalig ini dalam aturan-aturan yang ditentukan. pada akhirnya, kementerian agama merilis 200 nama mubalig yang dianggap memenuhi kriteria tertentu, salah satunya jauh dari perdebatan (akbar, 2018; hartanto, 2018; liputan6, 2018; rahmadi, 2018). monetisasi kanal youtube konten dakwah fenomena banyaknya orang yang diklaim sebagai mubalig atau ustaz mengharuskan kementerian agama turun tangan dengan cara merilis 200 nama mubalig yang diakui oleh pemerintah. sikap demikian dilakukan karena banyaknya mubalig yang terkenal melalui media sosial membawa ideologi atau persepsi yang beraneka ragam. perbedaan pendapat yang disampaikan para mubalig tersebut ditakutkan dapat merusak persatuan masyarakat. uniknya, dari 200 nama mubalig yang dirilis oleh kementerian agama, nyatanya justru kurang dikenal oleh kebanyakan orang, terutama bagi mereka generasi milenial saat ini. tercatat hanya beberapa ustaz senior 104 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yang masuk ke dalam 200 nama mubalig yang dirilis oleh kementerian agama dan dikenal oleh generasi saat ini karena sering melakukan syiar melalui media televisi ataupun media massa lainnya, mereka adalah dedeh rosidah (mamah dedeh); emha ainun najib, maupun m. quraish shihab. menilik pada rilis yang dikeluarkan dari kementerian agama tersebut, sejumlah mubalig yang eksis di media sosial youtube, seperti ustaz abdul somad, ustaz adi hidayat, ustaz maulana, serta beberapa ustaz selebritas lainnya justru tidak termasuk dalam 200 nama mubalig yang dirilis secara resmi. deretan ustaz yang eksis di youtube tersebut memiliki kanal khusus untuk media dakwahnya, baik yang sengaja dikelola, maupun yang secara tidak sengaja merekam video dakwahnya dan selanjutnya diunggah di youtube. meskipun demikian, masuknya deretan mubalig di youtube menjadikannya sosok publik figur yang viral dan dikenali oleh masyarakat indonesia saat ini. kepopuleran para mubalig di youtube mampu melebihi 200 nama mubalig yang dirilis oleh kementerian agama. kepopuleran tersebut terlihat dari kanal youtube uas daily life yang sudah mengunggah sebanyak 871 video sejak 15 desember 2017 dengan pengikut 129.220 orang dan ditonton sebanyak 13.171.564 kali, kanal hanan attaki mengunggah 68 video sejak 11 mei 2017 dengan pengikut 143.321 orang dan ditonton sebanyak 3.298.273 kali, kanal akhyar tv yang merepresentasikan ustaz adi hidayat sudah mengunggah 195 video sejak 21 oktober 2016 dengan pengikut 156.787 orang dan ditonton sebanyak 5.380.363 kali, dan kanal khalid basalamah sudah mengunggah 1.113 video sejak 7 februari 2013 dengan pengikut 583.482 orang dan videonya sudah ditonton sebanyak 55.844.600 kali (socialblade, 2018b, 2018a, 2018c, 2018e). sumber lain dari majalah tempo edisi 24 juni 2018 membahas mengenai platform dakwah youtube yang digunakan oleh beberapa ustaz seleb. data yang dapat dihimpun adalah sebagai berikut: 105mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tabel 1. platform dakwah youtube beberapa ustaz nama kanal dibuat pertama kali jumlah video jumlah pelanggan rata-rata pertambahan pelanggan per hari peringkat kanal berdasarkan pelanggan tafaqquh video 17 maret 2012 1.250 435.625 2.368 18.731 khalid basalamah 7 februari 2013 1.108 480.977 1.081 16.840 akhyar tv 20 oktober 2016 135 104.031 376 75.643 pemuda hijrah 20 september 2017 79 131.870 699 61.139 youtube sebagai platform media sosial berbasis video memiliki ketentuan khusus untuk para penggunanya bisa memonetisasi kanalnya. youtube partner program (ypp) memberikan peraturan untuk kanal-kanal berisi video yang menyelipkan iklan untuk bisa mendapatkan pendapatan atau yang dikenal sebagai monetisasi youtube. untuk bisa monetisasi, sebuah video setidaknya harus ditonton sebanyak 4.000 jam dalam 12 bulan terakhir dan memiliki minimal 1.000 pengikut atau subscribers (yusuf, 2018). lebih lanjut, untuk pendapatan yang diperoleh, dapat dihitung melalui sistem cost per mille (cpm) atau pendapatan per 1.000 impresi (jumlah iklan yang ditonton) (ramadhan, 2018). google merilis kriteria yang spesifik untuk akun-akun yang dimonetisasi, seperti konten sesuai dengan pengiklan dan suatu konten harus orisinal atau jika milik orang lain harus mendapatkan izin untuk dikomersialisasikan. syarat yang lain adalah konten yang diunggah harus sesuai dengan kebijakan dan persyaratan youtube sehingga, jika ada konten yang tidak sesuai maka, kanal yang melanggar aturan tersebut dapat diblokir oleh pihak youtube (jurnalweb, 2018). diberlakukannya aturan tersebut oleh pihak youtube terhadap kanalkanal penggunanya, para ustaz yang terkenal melalui media sosial youtube sudah masuk kualifikasi untuk kanal yang dimonetisasikan seperti pada tabel 2 berikut. 106 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tabel 2. estimasi pendapatan hasil monetisasi youtube nama kanal pengikut jumlah penonton (per 30 hari) estimasi pendapatan (per 30 hari) uas daily life 130.091 3.159.870 $790 $12.600 khalid basalamah 583.482 1.817.700 $454 $7.300 ahyar tv 156.787 461.460 $115 $1.800 hanan attaki 143.321 329.430 $82 $1.300 estimasi pendapatan hasil monetisasi kanal youtube tersebut menggunakan kurs dolar sehingga, jika dirupiahkan setiap kanal youtube yang dimonetisasi bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang banyak. monetisasi diperoleh melalui penempelan atau penyematan iklan melalui video google adsense dan sekaligus menyedot pendapatan dari para pelanggar hak cipta (ramadhan, 2018). dalam hal ini, sejumlah mubalig atau ustaz memang memanfaatkan media sosial lain untuk berdakwah seperti instagram, facebook, maupun twitter. walaupun demikian, platform –platform media sosial tersebut baru akan menghasilkan pundi rupiah apabila mereka mengampu produk komersial, dan ini tidak dilakukan serta berbeda dengan kecenderungan unggahan pada youtube. oleh karena itu, tidak mengherankan jika youtube menjadi platform media sosial pilihan yang populer di indonesia dan secara tidak langsung mampu menjadikan para penggunanya menjadi mikroselebritas baru. circuit of culture: identitas sosial dan komodifikasi media baru circuit of culture adalah gagasan yang cukup populer dalam kajian media. konsep ini awalnya digunakan sebagai alat analisis budaya oleh british centre for contemporary cultural studies (cccs) yang kemudian dikembangkan sebagai dasar analisis untuk kajian budaya, media, dan identitas (leve, 2012)economics and consumption, representation and identity. in studying a recent cultural phenomenon in government schools, 107mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) it became clear that a methodological tool that made sense of these interlinked processes was required. the circuit of culture (the circuit. di sisi lain, identitas sosial sendiri dimaknai sebagai bagian dari konsep individu yang berasal dari pengetahuan individu, dan pengetahuan ini adalah milik suatu kelompok sosial tertentu, bersamaan dengan nilai dan emosi yang melekat di dalamnya (hogg, terry, & white, 1995; trepte, 2011). framework penelitian ini melihat tentang mubalig yang eksis melalui youtube pada kenyataannya lebih mengena di hati masyarakat. hal ini tidak luput dari identitas seorang mubalig dalam menyampaikan syiar agama kepada orang lain melalui platform media sosial yang populer. identitas tersebut merupakan bentukan dari orang lain dan dijadikan acuan untuk diimplementasikan dalam dirinya sebagai bentuk kepuasan (taylor, demont-heinrich, broadfoot, dodge, & jian, 2002). oleh karena itu, mengidentifikasi wacana tertentu melalui konten youtube para mubalig tentunya perlu dicermati karena wacana-wacana yang dilontarkan memiliki peran dalam mengkonstruksi makna dan identitas yang terkandung di dalamnya (woodward, 1997). berdasarkan konsep tersebut, perlu adanya pengamatan mengenai kecenderungan para mubalig di youtube dalam memproduksi wacanawacana dakwah sehingga, membentuk identitas melalui pemaknaannya. dengan kata lain, identitas sosial dari para mubalig youtube tersebut tidak serta-merta muncul ke permukaan, melainkan suatu proses strukturisasi wacana yang disampaikan sehingga, membentuk makna yang dapat diterima bagi penontonnya. singkat kata, pesan yang dilontarkan para mubalig di youtube adalah aspek komoditas utama sebagai modal monetisasi kanal youtube sehingga, dapat menghasilkan pendapatan dari perusahaan youtube. hanan attaki misalnya, menggunakan wacana-wacana kekinian melalui pemilihan diksi yang sering digunakan generasi muda saat ini. kanal ustaz hanan attaki selalu menggunakan diskursus anak muda sehingga 108 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menarik banyak perhatian anak muda untuk mendengarkan seperti, ge’er, biar gak fragile, no judgement, re-connect, di reject, baper itu ketika, dan sebagainya. pemilihan diksi tentu digunakan bukan tanpa alasan ketika hanan attaki berceramah melalui youtube ataupun secara langsung. terkait pandangan dalam perspektif linguistik kognitif, pemilihan atau penggunaan sebuah bahasa merupakan hasil produksi dari pikiran manusianya (wierzbicka, 1992). berdasarkan hal tersebut, maka kita bisa melihat tentang pola pikiran hanan attaki, yaitu pikiran yang merepresentasikan anak muda dengan pemilihan diksi-diksi yang mencerminkan fenomena saat ini. identitas personal yang dibangun oleh hanan attaki pun tampak sangat kekinian sebagaimana sebuah identitas personal itu terbangun dari basis suatu hubungan dengan perilaku (simon, 1992; thoits, 1991). menggunakan atribut penutup kepala, jaket yang dibuka dengan kaos, dan celana cargo adalah identitas yang dibangun oleh hanan attaki sebagai representasi anak muda. oleh karena itu, identitas sosial dari para pengikut ustaz hanan attaki ini selalu menjukkan jiwa muda melalui cara berpakaian dan atribut fisik yang dikenakannya. ibrahim & akhmad (2014) menjelaskan konteks agama tidak hanya dipahami secara substantif saja, melainkan juga secara fungsional, yang merujuk pada fungsi sosial, fungsi eksistensial, serta fungsi transenden. agama tidak dapat dijelaskan hanya dengan satu ciri ataupun unsur inti, melainkan juga mampu menampilkan fungsi tertentu bagi individu secara khusus maupun masyarakat dalam lingkup yang lebih luas. hasilnya, ketika menilik pada dimensi cyberspace saat ini, bagaimana agama sebagai dasar dalam berdakwah mampu melahirkan konsep agama online sebagai bentuk ekspresi religiositas dan spiritualisme para penganutnya. keberadaan para ustaz seleb ataupun mubalig youtube merupakan bentuk optimalisasi terhadap penggunaan media komunikasi sosial. perkembangan era siber memang menuntut masyarakat untuk dapat memanfaatkan media secara maksimal. praktiknya, menyampaikan konten 109mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dakwah yang biasa dilakukan secara langsung mampu “disulap” secara lebih praktis dengan disiarkan secara online melalui youtube. kondisi ini yang kemudian mendasari ekspresi keberagamaan masyarakat secara online, termasuk pula ketika melihat munculnya fenomena cybertemple, ritual online, maupun e-vangelisme (ibrahim & akhmad, 2014). kasus yang sama pun terjadi pada mubalig lain, seperti: ustaz abdul somad; ustaz khalid basalamah; dan ustaz adi hidayat. monetisasi kanal youtube mereka juga melalui proses pengelolaan media youtube layaknya milik hanan attaki, tetapi dengan segmen yang lain. salah satu tanda terhadap bentuk monetisasi pada media youtube dapat dilihat melalui iklan yang terpapar di dalamnya. jika video yang diunggah tersebut terdapat iklan ketika dimainkan, sudah dipastikan kanal youtube tersebut sudah dimonetisasikan oleh pemiliknya. merujuk pada pemahaman tersebut, konsep hall (1997) dapat digunakan untuk menganalisis optimalisasi media sosial youtube terhadap aspek monetisasi yang dimunculkan di dalamnya. terkait hal ini, mengambil salah satu kecenderungan dakwah ustaz hanan attaki misalnya, penggunaan circuit of culture secara khusus dapat dianalisis melalui lima tahapan penting, yaitu: representasi atau penggambaran; konsumsi; produksi; regulasi; dan identitas. pertama adalah representasi. dalam hal ini, ustaz hanan attaki merepresentasikan simbol mubalig dengan gaya kekinian melalui pemilihan diksi dan wacana yang disampaikan kepada para jamaah atau pengikutnya di youtube. dia membuat cerminan anak muda yang saleh di usia muda dengan menjadi mubalig melalui media sosial youtube. kedua, produksi. produksi merupakan suatu upaya proses penciptaan sebuah wacana yang akan disajikan kepada khalayak. dalam hal ini, produksi wacana keislaman yang gaul adalah bentuk dari upaya ustaz hanan attaki dalam menyampaikan dakwahnya, untuk selanjutnya diunggah ke dalam media youtube sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat luas. 110 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ketiga adalah konsumsi. penjelasan konsumsi dalam hal ini mengacu pada proses pemerolehan, penggunaan, dan pelepasan suatu barang atau jasa. dalam kasus ini, konsumsi yang dimaksud mencerminkan suatu keadaan yang ada di dalamnya kekuatan, ideologi, gender, dan kelas sosial untuk membentuk satu sama lain (denzin, 2001). hanan attaki melalui media youtube memberikan sebuah produk wacana keislaman yang kekinian dan siap dikonsumsi oleh para pecintanya. keempat adalah regulasi. aspek ini memiliki kesan yang selalu berhubungan dengan aturan-aturan. dalam konsep analisis media, regulasi yang dikemukakan ini memiliki dua bentuk, yaitu diformulasikan oleh kebijakan-kebijakan dan formula abstrak dari pola-pola citra atau penggambaran yang muncul (hall, 1997b). secara kebijakan, regulasi dalam hal mutlak dari aturan monetisasi youtube dan aturan dalam uu ite, tetapi secara abstrak, pola-pola yang mengatur adalah hubungan pencitraan diri dengan norma-norma yang berlaku. dengan demikian, ustaz hanan attaki terkadang dianggap melanggar norma dan aturan dari pola-pola sebelumnya yang mencitrakan bahwa mubalig harus bersurban atau berpeci. namun, pola-pola yang diwujudkan oleh ustaz hanan attaki adalah kekinian sehingga, menguatkan citra pemuda yang saleh. kelima, identitas. identitas memiliki kesinambungan dengan regulasi dan konsumsi dalam konsep arus budaya ini. hubungan sebab akibat identitas dengan regulasi dan konsumsi menciptakan suatu identitas sosial baru dari proses produksi dan konsumsi masyarakat terhadap media. oleh karena itu, konten youtube ustaz hanan attaki yang mencitrakan generasi muda yang saleh diproduksi sedemikian rupa dan dikonsumsi oleh pengikutnya. kondisi ini menyebabkan terjadinya suatu identitas sosial baru bahwa saleh tidak selalu menggunakan peci, sorban, atau sarung. namun, kesalehan itu adalah cara. terkait dengan identifikasi circuit of culture tersebut, monetisasi youtube sebagai bentuk media dakwah tidak terlepas dari aspek komodifikasi 111mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) media. dalam konteks ini, monetisasi youtube yang dilakukan pada akhirnya memungkinkan youtube untuk dimanfaatkan tidak hanya sebagai media yang digunakan, melainkan menjadikannya sebagai sumber penghasilan atas kriteria tertentu. mosco (2009) menyatakan bahwa komodifikasi adalah proses pengubahan pada sejumlah hal yang bersifat dihargai untuk penggunaannya, dan selanjutnya dapat dipasarkan sebagai sebuah produk. contoh sederhana dalam bentuk komodifikasi ini adalah ketika cerita film ataupun novel dapat dijual sebagai sebuah produk yang laku di pasaran. aspek komodifikasi berkenaan dengan persepsi ekonomi politik klasik. dalam hal ini, adam smith membedakan antara beberapa produk yang berasal dari kepuasan keinginan dengan kebutuhan tertentu manusia, yakni nilai guna dan nilai tukar. komodifikasi bersumber pada konsep komoditas sebagai bentuk produk yang diproduksi dan diatur melalui proses pertukaran. dengan demikian, komodifikasi dapat dimaknai sebagai proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar (mosco, 2009). melalui tahapan tersebut, kanal youtube sejumlah mubalig youtube atau ustaz seleb sukses memberikan suguhan kepada masyarakat. selain itu, juga juga cenderung mengubah nilai guna media sebagai saluran komunikasi sekaligus menjadi media untuk mendapatkan keuntungan. pun begitu dengan konten dakwah yang disampaikan, terlepas dari cara menyampaikan dakwah yang lebih kekinian, apik, lengkap dengan kemasan yang menarik bagi audiens. dalam hal ini, youtube mampu bertransformasi menjadi media sosial yang dapat memberikan penghargaan kepada saluran (kanal) youtube yang memenuhi kriteria. melalui monetisasi, youtube memfasilitasi sekaligus menuntut kanal-kanal mubalig youtube atau ustaz seleb menjadi terkenal, banyak menghasilkan likes, subscribers, dan viewers sehingga menghasilkan pendapatan dari pihak youtube melalui iklan pada setiap video yang diunggah. 112 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) akhirnya, ulasan tersebut merefleksikan adanya komodifikasi dalam penggunaan media sosial youtube. dalam kapasitas media dan konten yang disampaikan, komodifikasi dapat dilakukan secara bersamaan, seiring dengan audiens—dalam hal ini para umat muslim penikmat ceramah mubalig atau ustaz melalui youtube—turut serta menjadi faktor penentu komodifikasi yang dilakukan. marx (mosco, 2009), menganalisis dengan memulai konsep capital terhadap aspek komoditas. marx (mosco, 2009) menemukan bentuk paling eksplisit melalui representasi atas produksi kapitalis karena kapitalisme pada dasarnya muncul sebagai kumpulan dari komoditas-komoditas atas sesuatu yang menjadi produk dan representasi yang dimunculkan. hal ini yang selanjutnya mendasari representasi atas syiar dakwah para mubalig youtube menjadi terkesan berbeda. tidak hanya sarat akan konten dakwah, tetapi juga dalam sisi yang berbeda, konten yang disampaikan memiliki kuasa atas kepentingan pemilik media. komodifikasi berkenaan dengan selera pasar. sedikit meminjam istilah marketing atau pemasaran, pasar memerlukan sesuatu yang menarik dan mampu memikat konsumen. walaupun demikian, komodifikasi tidak sama dengan komersialisasi yang cenderung hanya mengarah pada kekuatan iklan untuk memengaruhi. begitu pula dengan tayangan ataupun dakwah melalui youtube, yang bertugas untuk memengaruhi bukan iklan yang disematkan. efek pesan tetap berjalan secara utama melalui pesan dakwah yang disampaikan. akan tetapi, iklan yang melingkupi pesan dakwah yang disampaikan serta kuantitas subscribers dan reviewers sebagai audiens, turut memengaruhi kepentingan ekonomi berjalan di balik proses tersebut. alhasil, komodifikasi memiliki sisi yang lebih luas, dengan konsep bahwa kepentingan ekonomi politik muncul sebagai manifestasi penting dalam prosesnya (mosco, 2009). 113mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kesimpulan dan saran kesimpulan monetisasi media sosial youtube adalah suatu hal yang menggiurkan untuk dilakukan. hal ini karena youtube menjanjikan untuk memberikan penghargaan berupa uang kepada setiap orang yang memiliki kanal youtube dengan konten-konten yang menarik. dengan kata lain, youtube bisa menjadi salah satu lahan pekerjaan bagi masyarakat saat ini. dunia mubalig saat ini juga mengoptimalisasikan media youtube sebagai lahan dakwah karena cukup efektif dan efisien. muncul banyak sekali mubalig dengan mengunggah konten-konten dakwah, meskipun banyak juga dari konten-konten dakwah tersebut justru membingungkan masyarakat awam terhadap ajaran islam yang disampaikan melalui konten youtubenya. deretan ustaz yang cukup populer karena konten dakwahnya di youtube adalah ustaz abdul somad, ustaz khalid basalamah, ustaz adi hidayat, dan hanan attaki. youtube menyebabkan para mubalig ini menjadi mubalig youtube yang terkenal dengan beberapa pengikut di kanal youtube mereka. meskipun tak jarang, masing-masing dari mereka terkadang memiliki perbedaan pandangan tentang ajaran islam. meskipun demikian, konten youtube yang mereka munculkan tetap mampu dinikmati oleh kalangan-kalangan pecintanya. singkat kata, pada dasarnya dakwah dalam kanal youtube telah dikomodifikasi melalui bentuk monetisasi yang ditawarkan. hal ini merujuk pada perubahan nilai guna youtube sebagai media yang selanjutnya dijadikan sebagai nilai tukar dalam kepentingan ekonomi. dengan memanfaatkan konten dakwah sebagai pesan, jumlah penonton sebagai audiens media, youtube memiliki kuasa untuk memberikan penghargaan kepada pemilik akun guna menghasilkan uang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan akun youtube dan pesan yang disiarkan. hal inilah 114 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yang juga diikuti oleh beberapa mubalig atau ustaz yang menggunakan media youtube sebagai sarana dakwah sehingga, untuk mendapatkan syiar agama sekarang sudah sangat dimudahkan, yaitu melalui youtube. sayangnya, perlu diingat bahwa youtube tidak pernah bertanggung jawab atas konten dakwah yang diunggah. youtube hanya bertanggung jawab untuk membayar konten-konten yang memiliki banyak penonton dan kanal-kanal yang memiliki banyak pengikut. saran di tengah banyaknya perbedaan persepsi mengenai ajaran islam, memilih kanal sekaligus sumber yang jelas dan tepat adalah solusi untuk menghindarkan diri dari kebingungan, sekaligus meminimalisir efek negatif dari penggunaan youtube. melihat fenomena perkembangan media saat ini, siapapun seolah mampu menjadi mubalig atau ustaz karena kemudahan yang ditawarkan. youtube salah satunya, mampu menjadi media yang mempermudah siapapun untuk mengunggah konten-konten dakwah. terkait hal ini, sebagai penonton sekaligus konsumen pesan media, kita perlu memilih mubalig atau ustaz dan konten dakwah yang sesuai, memasang filter personal pada diri pribadi ketika mengakses konten dakwah di youtube, serta merujuk kembali pada sumber-sumber primer dan teks keagamaan atas konten dakwah yang kita terima melalui media. daftar pustaka akbar, c. (2018). siapa 200 mubaligh kemenag laik naik mimbar? inilah nama mereka. retrieved september 27, 2018, from www.tempo. co website: https://nasional.tempo.co/read/1091243/siapa-200mubaligh-kemenag-laik-naik-mimbar-inilah-nama-mereka bohang, f. k. (2018). berapa jumlah pengguna internet indonesia? retrieved september 25, 2018, from www.kompas.com website: 115mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/ berapa-jumlah-pengguna-internet-indonesia budiantoro, w. (2017). dakwah di era digital. komunika: jurnal dakwah dan komunikasi, 11(2), 263–281. https://doi.org/10.24090/ komunika.v11i2.1369 campbell, h. a., & lövheim, m. (2011). rethinking the online– offline connection in the study of religion online. information communication and society, 14(8), 1083–1096. https://doi.org/10.10 80/1369118x.2011.597416 chandra, e. (2017). youtube, citra media informasi interaktif atau media penyampaian aspirasi pribadi. jurnal muara ilmu sosial, humaniora, dan seni, 1(2), 406–417. https://doi.org/10.24912/jmishumsen. v1i2.1035 chen, g.-m., & strarosta, w. j. (2005). foundations of intercultural communication (2nd ed). lanham: university press of amerika. dahlan, d. (2015). dari mana asal duit para youtuber? retrieved september 26, 2018, from www.kompas.com website: https:// ekonomi.kompas.com/read/2015/09/17/060700726/dari. mana.asal.duit.para.youtuber.?page=all denzin, n. k. (2001). the seventh moment: qualitative inquiry and the practices of a more radical consumer research. the journal of consumer research, 28, 324–330. https://doi.org/10.1086/322907 dwijaya, g. m., & zuliestiana, d. a. (2017). analisis positioning youtuber indonesia berdasarkan persepsi penonton youtube dengan menggunakan metode perceptual mapping (studi pada kategori entertainment dengan konten berbasis vlog). e-proceeding of management, 4(3), 2267–2271. fakhruroji, m. (2019). muslims learning islam on the internet. in m. woodward & r. lukens-bull (eds.), handbook of contemporary islam and muslim lives (pp. 1–17). https://doi.org/10.1007/9783-319-73653-2_70-1 hakiki, r. (2016). dakwah di media sosial (etnografi virtual pada fanpage facebook kh. abdullah gymnastiar). universitas islam negeri syarif hidayatullah. 116 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hall, s. (1997a). representation: cultural representations and signifying practices. in s. hall (ed.), culture, media & identities. london: the open university & sage publications ltd. hall, s. (1997b). the centrality of culture: notes on the cultural revolutions of our time. in k. thompson (ed.), media and cultural regulation (culture, media and identities series) (1st ed). london: sage publications in association with the open university. hartanto, a. d. (2018). daftar nama 200 mubalig yang dirilis kemenag. retrieved september 27, 2018, from www.tirto.id website: https:// tirto.id/daftar-nama-200-mubalig-yang-dirilis-kemenag-ckm7 hogg, m. a., terry, d. j., & white, k. m. (1995). a tale of two theories: a critical comparison of identity theory with social identity theory. social psychology quarterly social psychology quarterly, 58(4), 255–269. https://doi.org/10.2307/2787127 horsfield, p. (2018). rethinking the study of “religion” and media from an existential perspective. journal of religion, media and digital culture, 7(1), 50–66. https://doi.org/10.1163/2588809900701004 huseina, f., & slamab, m. (2018). online piety and its discontent: revisiting islamic anxieties on indonesian social media. indonesia and the malay world, 46(134), 80–93. https://doi.org/10.1080/13 639811.2018.1415056 ibadah tv. (2017). fatwa yang salah! dibantah oleh ustadz somad ustadz adi hidayat & ustadz firanda. retrieved september 29, 2018, from www.youtube.com website: https://www.youtube. com/watch?reload=9&v=dqvertahzng ibrahim, i. s., & akhmad, b. a. (2014). komunikasi dan komodifikasi: mengkaji media dan budaya dalam dinamika globalisasi. jakarta: yayasan obor indonesia. imran, m., castillo, c., diaz, f., & vieweg, s. (2015). processing social media messages in mass emergency: a survey. acm computing surveys, 47(4), a:1-a:36. https://doi.org/10.1145/2771588 ismail, a. i. (2017). globalization of da’wa (initiating a new paradigm of da’wa in global competition era). advances in social science, education and humanities research (assehr), 3rd annual international seminar and conference on global issues (iscogi 2017), 140, 122–125. retrieved from https://www.atlantis-press.com/proceedings/ iscogi-17/55916198 117mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) jurnalweb. (2018). kriteria monetisasi video youtube. retrieved september 29, 2018, from www.jurnalweb.com website: https:// www.jurnalweb.com/kriteria-monetisasi-video-youtube/ kemp, s. (2018). digital in 2018: world’s internet users pass the 4 billion mark. retrieved september 29, 2018, from www.wearesocial.com website: https://wearesocial.com/blog/2018/01/global-digitalreport-2018 khoiruzzaman, w. (2016). urgensi dakwah media cyber berbasis peace journalism. jurnal ilmu dakwah, 36(2), 316–334. https://doi. org/10.21580/jid.36i.2.1775 leve, a. m. (2012). circuit of culture as a generative tools of contemporary analysis: examining the construction of an education commodity. aare apera international conference, 12. sydney: aare apera international conference. liputan6. (2018). headline: daftar 200 mubalig versi kemenag tuai polemik, bakal direvisi? retrieved september 27, 2018, from www.liputan6.com website: https://www.liputan6.com/news/ read/3534945/headline-daftar-200-mubalig-versi-kemenag-tuaipolemik-bakal-direvisi lovejoy, k., & saxton, g. d. (2012). information, community, and action: how nonprofit organizations use social media. journal of computer-mediated communication, 17(3), 337–353. https://doi. org/10.1111/j.1083-6101.2012.01576.x mosco, v. (2009). the political economy of communication (2 ed). london: sage publications ltd. nurdin. (2014). to dakwah online or not to dakwah online, da’i dilemma in internet age. al misbah: jurnal ilmu dakwah dan komunikasi, 10(1), 21–34. https://doi.org/10.24239/al-mishbah. vol10.iss1.34 pardianto. (2013). meneguhkan dakwah melalui new media. jurnal komunikasi islam, 3(1), 22–47. https://doi.org/10.15642/ jki.2013.3.1.%25p rahmadi, d. (2018). ini nama 200 mubalig rekomendasi kemenag masukan dari tokoh agama. retrieved september 27, 2018, from www.merdeka.com website: https://www.merdeka. com/peristiwa/ini-nama-200-mubalig-rekomendasi-kemenagmasukan-dari-tokoh-agama.html 118 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ramadhan, f. m. (2018). rumus pendapatan platform dakwah abdul somad dan 3 dai lain. retrieved september 28, 2018, from tempo.co website: https://grafis.tempo.co/read/1312/rumuspendapatan-platform-dakwah-abdul-somad-dan-3-dai-lain ruths, d., & pfeffer, j. (2014). social media for large studies of behavior. science, 346, 1063–1064. https://doi.org/10.1126/science.1257756 saputra, r., & islamiyah, u. h. (2019). da’wah strategy through google search engine optimization. islam universalia: international journal of islamic studies and social sciences., 1(1), 20–41. https://doi. org/10.5281/zenodo.3236457 sawyer, r., & chen, g.-m. (2012). the impact of new social media on intercultural adaptation. intercultural communication studies, 21(2), 151–169. siegel, a. a. (2019). islamic activism in the digital age. article, 1–14. simon, r. w. (1992). parental role strains, salience of parental identity, and gender differences in psychological distress. journal of health and social behavior, 33(1), 25–35. https://doi.org/10.2307/2136855 sirajuddin, m. (2014). pengembangan strategi dakwah melalui media internet (peluang dan tantangan). al-irsyad al-nafs: jurnal bimbingan penyuluhan islam, 1(1), 1–97. socialblade. (2018a). ahyar tv. retrieved september 28, 2018, from www.socialblade.com website: https://socialblade.com/youtube/ channel/uclgokw4xq1hdow-aeejybeg socialblade. (2018b). hanan attaki. retrieved september 28, 2018, from www.socialblade.com website: https://socialblade.com/youtube/ channel/ucim0qd-5yk38nm6kuqvfjfq socialblade. (2018c). khalid basalamah. retrieved september 28, 2018, from www.socialblade.com website: https://socialblade.com/ youtube/user/khalidbasalamah socialblade. (2018d). top 250 youtuber in indonesia sorted by subscribers. retrieved september 28, 2018, from www.socialblade.com website: https://socialblade.com/youtube/top/country/id/ mostsubscribed socialblade. (2018e). uas daily life. retrieved september 28, 2018, from www.socialblade.com website: https://socialblade.com/youtube/ channel/ucn4pcyrujiq-uwrarubfgbw 119mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suharto. (2017). media sosial sebagai medium komunikasi dakwah. al-misbah: jurnal ilmu dakwah dan komunikasi, 13(2), 229–244. https://doi.org/10.24239/al-mishbah.vol13.iss2.86 sumadi, e. (2016). dakwah dan media sosial: menebar kebaikan tanpa diskriminasi. at-tabsyir : jurnal komunikasi penyiaran islam, 4(1), 173–190. https://doi.org/10.21043/at-tabsyir.v1i2.2912 taylor, b. c., demont-heinrich, c., broadfoot, k. j., dodge, j., & jian, c. (2002). new media and the circuit of cyberculture: conceptualizing napster. journal of broadcasting & electronic media, 46(4), 607–629. https://doi.org/10.1207/s15506878jobem4604_7 thoits, p. a. (1991). on merging identity theory and stress research. social psychology quarterly, 54(2), 101–112. https://doi. org/10.2307/2786929 trepte, s. (2011). social identity theory. in j. bryant & p. vorderer (eds.), psychologi of entertainment (pp. 225–272). new jersey: routledge. wierzbicka, a. (1992). semantics, cognition, and culture. london: oxford university press. woodward, k. (1997). concepts of identity and difference. in k. woodward (ed.), identity and difference (pp. 7–62). london: sage publications in association with the open university. yoga s, s. (2015). dakwah di internet: konsep ideal, kondisi objektif, dan prospeknya. al-bayan: media kajian dan pengembangan ilmu dakwah, 21(1), 56–70. https://doi.org/10.22373/albayan.v21i31.148 yusuf, o. (2018). resmi, syarat untuk dapat uang dari youtube makin berat. retrieved september 29, 2018, from www.kompas.com website: https://tekno.kompas.com/read/2018/01/17/19303157/resmisyarat-untuk-dapat-uang-dari-youtube-makin-berat?page=all zaini, a. (2013). dakwah melalui internet. at-tabsyir : jurnal komunikasi penyiaran islam, 1(1), 93–108. https://doi.org/10.21043/at-tabsyir. v1i1.447 120 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 91 120, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1718 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 1. artikel bersifat ilmiah berisi hasil riset empiris atau gagasan konseptual dan belum pernah dipublikasikan di sebuah jurnal. artikel juga bukan merupakan satu bab utuh dari tesis atau disertasi. 2. panjang artikel antara 15-30 halaman, tidak termasuk judul, abstrak (abstract), kata kunci (keywords), dan bibliografi. 3. artikel terdiri dari beberapa bagian, yaitu: judul, nama penulis, abstrak (200-250 kata), kata kunci (maksimal 5 kata), dan bibliografi, dengan detil ketentuan sebagai berikut: • penulisan judul tidak boleh lebih dari lima belas (15) kata. • nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dilengkapi dengan asal institusi, alamat korespondensi (e-mail address), serta nomor telephone/handphone. • abstrak terdiri dari konteks diskursus area disiplin; tujuan penulisan artikel; metodologi (jika ada); temuan riset; kontribusi tulisan di dalam area disiplin. abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan indonesia. • pendahuluan terdiri dari pemetaan penelitian terdahulu (literature review, sebaiknya temuan riset sepuluh tahun terakhir) dan novelti tulisan; batas permasalahan yang dibahas; dan argumentasi utama tulisan. • pembahasan berisi proses reasoning argumentasi utama tulisan. • kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan tulisan, berdasarkan perpektif teoritis dan konseptual yang dibangun oleh penulis. • referensi mencantumkan sumber pustaka yang menjadi rujukan. • gaya kutipan menggunakan american psychological association (apa) 6th edition, memakai model pengutipan body note (penulis tahun), dengan ketentuan detail sebagai berikut: ketentuan penulisan artikel 1. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) 2. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) 3. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ind onesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) 4. article of the journal a. journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) b. journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) c. e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) 5. article website a. dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) b. tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta : magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) 7. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 4. penulisan gaya pengutipan dihimbau menggunakan perangkat citation manager, seperti mendeley, zotero, endnote, refworks, bibtext dan lain sebagainya dengan memakai american psychological association (apa) 6th edition. 5. transliterasi bahasa arab menggunakan standar international journal of middle eastern studies, detail transliterasi dapat diunduh di http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 6. artikel bebas dari unsur plagiat, dengan melampirkan bukti (screenshot) bahwa artikel telah dicek memakai piranti lunak antiplagiat, misalnya, tetapi tidak terbatas pada, plagiarism checker (plagramme.com). 6. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 editorial team editor-in-chief akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta, indonesia editor imam mujahid, (scopus id : 57208214175); institut agama islam negeri surakarta, central java, indonesia waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga, yogyakarta, indonesia soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda, indonesia ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta, indonesia rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 daftar isi dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim 169 198 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono 199 234 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih 235 262 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih 263 292 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari 293 316 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah 317 336 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri abraham zakky zulhazmi krisbowo laksono institut agama islam negeri surakarta keywords: hate speech; hoax; iain surakarta; political year http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: syamsbakr@yahoo.com abrahamzakky@gmail.com krisbowosolo@gmail.com abstract the big challenge of indonesia in the political year (20182019) is the rise of hoax and expressions of hatred, especially with issues of ethnicity, religion, race and intergroup (sara). both of them have the potential to be a nation-dividing tool. islamic tertiary institutions have the responsibility to reduce the spread of hoaxes and expressions of hatred, based on the tri dharma of higher education. this research illustrates the strategy of iain surakarta to overcome sara hoaxes and expressions of hatred issues in the political year. theoretically, media literacy includes two things: individual competence consisting of technical skills and critical understanding, and social competence in communicative abilities. in conclusion, the effort to overcome hoaxes and hate speech by iain surakarta is to build critical attitudes of students and the community through various activities, such as: seminars, discussions, community service based study programs, and collaboration with anti-hoax communities. in addition, iain surakarta also strengthened religious moderation through several ways, such as lecturing in community, classroom teaching, and research. thus, critical understanding and technical skills as aspects of media literacy can be developed. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 200 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak tantangan besar indonesia pada tahun politik (2018-2019) ini adalah maraknya hoaks dan ujaran kebencian, terutama yang bermuatan isu suku, agama, ras dan antargolongan (sara). keduanya berpotensi menjadi alat pemecah belah bangsa. perguruan tinggi islam memiliki tanggung jawab untuk turut meredam persebaran hoaks dan ujaran kebencian, selaras dengan tri dharma perguruan tinggi. riset ini menggambarkan strategi iain surakarta menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu sara di tahun politik dengan literasi media. secara teoritik, literasi media meliputi dua hal: kompetensi individual yang terdiri dari technical skill dan critical understanding, serta kompetensi sosial berupa communicative abilities. kesimpulannya, stategi menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian yang dilakukan iain surakarta adalah dengan membangun sikap kritis mahasiswa dan masyarakat yang dilakukan melalui pelbagai kegiatan, seperti seminar, diskusi, pengabdian masyarakat berbasi program studi, serta kerjasama dengan komunitas anti hoaks. selain itu, iain surakarta turut melakukan penguatan moderasi beragama melalui beberapa cara, seperti ceramah di masyarakat, pengajaran di kelas, dan riset. dengan demikian, critical understanding dan technical skill sebagai aspek literasi media dapat terbangun. kata kunci: hoaks; iain surakarta; ujaran kebencian; tahun politik how to cite (apa 6th style): bakri, s., zulhazmi, a.z., & laksono, k. (2019). menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2), 199–234. https://dx.doi.org/10.22515/balagh.v4i2.1833 pendahuluan pada tahun 2018 dilaksanakan 171 pilkada serentak di indonesia, yaitu pada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten (far, 2018). disusul kemudian dengan pemilihan presiden dan wakil presien. adapun pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 merupakan ajang kontestasi 201menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) politik antara joko widodo-kh ma’ruf amin dengan prabowo subiantosandiaga uno. oleh karena itu, tahun 2018 dan 2019 lazim disebut sebagai tahun politik. sebagaimana dapat disaksikan, hoaks dan ujaran kebencian kembali marak di tahun politik. hoaks dan ujaran kebencian tersebut berkisar pada permasalahan isu suku, agama, ras dan antargolongan (sara). hoaks bermuatan sara yang beredar di tahun politik dapat dikelompokkan ke dalam beberapa isu. pertama, isu seputar cina. contoh dari isu tersebut antara lain: cina meminta jokowi menjual pulau jawa dan sumatra, pdip terima kunjungan partai komunis cina, cukong cina mendukung jokowi, cina kirim 3 juta warganya ke indonesia atas permintaan jokowi, pendatang cina diberi arahan kpu untuk coblos di tps, jokowi akan mengganti kh ma’ruf amin dengan ahok jika menang pilpres (kami, 2019). kedua, hoaks tentang calon presiden (capres) tertentu yang dianggap pro pki dan anti islam, sebagaimana terlihat pada hoaks-hoaks berikut ini: jusuf kalla dukung prabowo untuk menyelamatkan diri dari pki, megawati setuju pki kembali bangkit, jokowi dan megawati memotong tumpeng di atas lambang pki, pdip minta seluruh pesantren ditutup, puan menyatakan jika negara ingin maju dan berkembang pendidikan agama islam harus dihapus, pemerintah segera mengesahkan uu lgbt, kh ma’ruf amin cium pipi wanita bukan muhrim (kami, 2019). ketiga, hoaks peralihan dukungan berbasis politik identitas juga marak di tahun politik, misalkan ditunjukkan lewat berita berikut ini: museum nu di surabaya menjadi rumah pemenangan prabowosandi, banser resmi mendukung prabowo-sandi, dukungan kh said aqil terhadap pasangan prabowo-sandi, khofifah indar parawansa menjadi timses prabowo-sandi, fatwa haram pilih psi untuk warga muhammadiyah (kami, 2019). 202 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) secara historis, menurut heryanto (2017) istilah hoaks pertama kali digunakan pada pertengahan abad ke-18, berakar dari kata yang dipakai para pesulap, yakni hocus pocus. secara sederhana hoaks dapat diartikan sebagai sebuah informasi palsu yang sengaja dibuat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. ali (2017) menjelaskan bahwa hoaks secara ringkas dimaknai sebagai berita bohong. dengan kata lain, hoaks dapat dimaknai sebagai berita yang tidak sesuai dengan kenyataan. karakteristik berita hoaks adalah tampil dengan kalimat bombastisdan cenderung dibesar-besarkan. seolah mengandung informasi yang benar, padahal kenyataannya tidak. ali menandai maraknya persebaran hoaks di indonesia adalah ketika media sosial semakin banyak digunakan oleh masyarakat. selain hoaks, tantangan besar yang dihadapi di tahun politik adalah merebaknya ujaran kebencian. secara teoretis, ujaran kebencian (hate speech) didefinisikan sebagai ujaran, tulisan, tindakan, atau pertunjukan yang ditujukan untuk menghasut kekerasan atau memunculkan prasangka terhadap seseorang atas dasar karakteristik kelompok tertentu yang dianggap ia wakili, seperti kelompok ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama, dan lain-lain. definisi ujaran kebencian bervariasi di antara berbagai negara. salah satunya adalah perjanjian multilateral tentang hakhak sipil dan politik individu, international covenant on civil and political rights (iccpr), yang diterapkan oleh majelis umum pbb sejak 1976. termasuk di antara 169 negara yang terlibat dalam perjanjian ini adalah indonesia, yang telah meratifikasi perjanjian ini pada 23 februari 2006 (imaduddin, 2018). konsep ujaran kebencian digunakan dalam uu nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (uu ite). secara praktis, aturan ini berperan penting dalam menjaga kerukunan masyarakat indonesia yang sangat plural. undang-undang tersebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang 203menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (sara) (undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (uu ite), 2008). ahnaf & suhadi (2014) mencatat setidaknya terdapat empat hal yang menjadikan ujaran kebencian sesuatu yang berbahaya. pertama, ujaran kebencian sejatinya adalah intimidasi dan pembatasan terhadap kebebasan berbicara. ujaran kebencian mengandung pesan bahwa kelompok tertentu adalah warga kelas rendah. oleh karena itu, kelompok tersebut dianggap bukan hanya berbahaya tetapi juga tidak berhak mendapatkan perlakuan setara oleh negara. kedua, ujaran kebencian berdampak pada terjadinya polarisasi sosial berdasarkan kelompok identitas. identitas menjadi hal yang penting di kehidupan individu dan kelompok dalam masyarakat yang sangat plural seperti indonesia. ketiga, ujaran kebencian tidak hanya dimaksudkan untuk menciptakan suasana permusuhan, menyemai benih intoleransi, melukai perasaan kelompok identitas lain, tetapi juga telah menjadi alat mobilisasi oleh kelompok garis keras. keempat, ujaran kebencian mempunyai kaitan dengan terjadinya diskriminasi dan kekerasan, baik secara langsung dan tidak langsung. hal tersebut banyak terjadi terutama dalam situasi konflik dan pertarungan politik (pemilu) (ahnaf & suhadi, 2014). salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menghadapi permasalahan hoaks dan ujaran kebencian adalah literasi media (gumilar, adiprasetio, & maharani, 2017). menurut porter (zamroni, 2017), literasi media meliputi tiga aspek. pertama, pandangan personal. hal ini berkaitan dengan motivasi individu dalam memilih media. kedua, struktur pengetahuan. bagian ini berkenaan dengan kompetensi individu tersebut dalam memilih dan memilah pesan. selain itu, juga berkaitan dengan pengetahuan tentang industri media, isi media, dan efek media. ketiga, kemampuan individu. maksud dari kemampuan individu adalah 204 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kemampuan seseorang dalam melakukan analisis, evaluasi, generalisasi, dan deskripsi terhadap media. salah satu indikator keperilakuan dari aspek kemampuan individu ini adalah bersikap kritis terhadap media. kemampuan literasi media merupakan kapasitas individu yang berkaitan dengan melatih keterampilan tertentu (akses, analisis, komunikasi). kompetensi ini ditemukan dalam satu bagian yang lebih luas dari kapasitas yang meningkatkan tingkat kesadaran, kekritisan, dan kapasitas kreatif untuk memecahkan permasalahan. kompetensi individual yang terdiri dari technical skill dan critical understanding, serta kompetensi sosial yang berupa communicative abilities (celot, 2012; celot & tornero, 2009). technical skill merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan teknik dalam menggunakan media internet khususnya media sosial, yaitu ketika seseorang dapat mengakses dan mengoperasikan media sosial secara tepat. sedangkan, critical understanding adalah kemampuan kognitif seseorang dalam menggunakan media seperti kemampuan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi konten media sosial secara komprehensif (celot & tornero, 2009). apabila berkaca pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014, kita mencatat hoaks dan ujaran kebencian begitu masif disebarkan. puncaknya adalah distribusi tabloid obor rakyat yang berisi kabar bohong dan ujaran kebencian ke sejumlah masjid dan pesantren. konten obor rakyat sangat tendensius dan menyudutkan pihak tertentu. pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana obor rakyat telah diputus bersalah oleh pengadilan. sebelumnya, mereka dilaporkan dengan tuduhan penghinaan dan fitnah terhadap joko widodo (aziz, 2018). mencermati fenomena obor rakyat, tantangan bagi masyarakat saat ini adalah bersikap kritis dan rasional, terutama di tahun politik. isu agama dan politik memang menjadi dua isu yang sensitif yang kerap dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan. eksploitasi dua isu tersebut berpotensi memecah masyarakat, bahkan berujung konflik 205menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sosial. obor rakyat juga menunjukkan fenomena masih maraknya hoaks bermuatan isu sara dalam kontestasi politik, terutama pada masa pemilihan kepala daerah serta pemilihan presiden dan wakil presiden. zamroni (2017) menyatakan bahwa perkembangan teknologi telah berdampak pada perubahan pola komunikasi. misalnya, terlihat pada pola penggunaan gawai oleh masyarakat yang seakan tanpa jeda. masyarakat era digital ingin selalu terkoneksi dengan berbagai informasi. media sosial adalah salah satu wahananya. sayangnya, di belantara media sosial tidak semua informasi layak konsumsi, hoaks salah satu contohnya. nahasnya, sebagian pihak yang membagikan hoaks adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. hasil survei masyarakat telematika indonesia menunjukkan sebanyak 44,30% masyarakat menerima berita hoaks setiap hari; sebanyak 17,20% menyatakan menerima berita palsu ini lebih dari sekali sehari; 91,80% masyarakat menerima berita hoaks yang berkenaan dengan isu sosial dan politik, seperti pemerintah dan pilkada; 88,6% masyarakat menerima hoaks tentang sara; 41,20% masyarakat menerima hoaks tentang isu kesehatan (mastel, 2017). dapat disimpulkan, terdapat tiga tema besar hoaks yang sering memapar masyarakat, yaitu sosial dan politik, sara, serta kesehatan. pada survei yang sama, data menunjukkan 92,40% masyarakat menyatakan media sosial adalah saluran persebaran hoaks. selain itu, 62,80% measyarakat mengatakan aplikasi chatting sebagai saluran yang juga digunakan dalam menyebar hoaks. sementara itu, sebanyak 34,90% masyarakat menganggap situsweb menjadi saluran penyebar hoaks. data tersebut menunjukkan bahwa internet memiliki pengaruh yang besar dalam persebaran berita bohong dan ujaran kebencian. literasi media menjadi salah satu jawaban untuk memutus rantai panjang hoaks di masyarakat. berbicara internet atau media baru (media era kedua), terdapat karakter khas dari internet yang membedakannya dengan media era 206 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pertama. media era pertama berciri tersentral (dari satu sumber ke banyak khalayak), komunikasi terjadi satu arah, terbuka peluang sumber atau media untuk dikuasai, media merupakan instrumen yang melanggengkan strata dan ketidaksetaraan kelas sosial, terfragmentasinya khalayak dan dianggap sebagai massa, serta media dianggap sebagai alat memengaruhi kesadaran. sedangkan, media era kedua berkarakter interactivity, tersebar (dari banyak sumber ke banyak khalayak), komunikasi terjadi dua arah atau timbal balik, tertutupnya penguasaan media dan bebasnya kontrol terhadap sumber, media memfasilitasi setiap khalayak, khalayak bisa terlihat sesuai dengan karakter dan tanpa meninggalkan keragaman identitasnya masing-masing, serta media melibatkan pengalaman khalayak baik secara ruang maupun waktu (nasrullah, 2017). kata kunci penting untuk dapat memahami karakter internet adalah interactivity, ketersambungan dan interaksi antara satu dengan yang lain (pengguna internet). sangat berlainan dengan karakter era media pertama. perbedaan tersebut dapat menjelaskan tentang masifnya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di era digital. kini, informasi dapat dibagikan melalui gawai dengan sangat mudah, cepat, dan murah. hoaks dan ujaran kebencian (terutama yang bermuatan isu sara) menyasar sisi emosional pengguna internet, berakibat suatu pesan dibagikan tanpa pertimbangan panjang terlebih dahulu. rasionalitas nyaris tidak bekerja. berbicara mengenai pengguna internet, data menunjukkan bahwa pengguna internet di indonesia pada januari 2019 sejumlah 150 juta orang atau sekitar 56% dari jumlah keseluruhan penduduk indonesia (khoiri, 2019). data tersebut memiliki makna bahwa pengguna internet di indonesia tidak kecil dan tantangan yang dihadapi pun demikian. sebagaimana diketahui, hoaks dan ujaran kebencian paling banyak menyebar melalui internet (media sosial). apabila tidak disikapi dengan baik, persatuan anak bangsa akan terancam. kemenangan trump di amerika seharusnya dapat menjadi cermin. 207menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pada perkembangannya hoaks dan ujaran kebencian telah menjadi bagian dari industri. salah satu yang cukup menyita perhatian adalah kasus muslim cyber army (mca). empat orang telah diamankan terkait kasus tersebut. keempat orang itu diduga melakukan ujaran kebencian dan sering melempar isu provokatif di grup whatsapp “the family mca”. pelaku dijadikan tersangka dan dikenai pasal 45a ayat (2) juncto pasal 28 ayat (2) undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang ite dan/atau pasal 4 huruf b angka 1 uu nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis (hartanto, 2018). kasus mca menunjukkan bahwa hoaks dan ujaran kebencian adalah ancaman nyata. bahkan, dalam penamaan kelompok, mca menggunakan simbol dan identitas agama. seolah mereka sedang berjuang untuk agama namun sejatinya sedang melakukan tindak kriminal, dengan menyebar hoaks dan ujaran kebencian. kenyataan tersebut, ditilik dari sudut manapun, tentu sangat merugikan masyarakat. jelang pemilu 2019, hoaks dan ujaran kebencian yang kian marak dianggap mulai mengganggu stabilitas nasional. penyedia platform media sosial dituntut untuk turut serta dalam menciptakan suasana kondusif di dunia siber. pemerintah, dalam hal ini badan siber dan sandi negara (bssn), telah melakukan audiensi dengan pihak twitter indonesia dan facebook indonesia. hasilnya, facebook indonesia mencanangkan lima hal untuk menjaga suasana tetap kondusif di tahun politik. di antaranya menurunkan akun palsu dan meminimalisir distribusi informasi yang tidak benar dan tidak valid (harbowo, 2019). mafindo mencatat dalam rentang januari sampai maret 2019 terdapat peningkatan informasi palsu. jumlahnya bahkan lebih dari 100 (104 hoaks pada februari dan 107 hoaks pada maret). masih menurut mafindo, informasi palsu paling banyak disebar di facebook (45-65%) dan whatsapp (10-15%) (harbowo, 2019). artinya, jika berkaca pada jumlah, hoaks dapat menjadi batu sandungan pada pelaksaanaan pemilu jika tidak disikapi dengan tepat. 208 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) facebook indonesia telah menghapus 207 halaman, 800 akun, dan 546 grup yang dianggap berperilaku tidak otentik pada maret 2019 sebagai upaya menjaga media sosial bersih dari hoaks. menggunakan alasan yang sama, instagram (satu manajemen dengan facebook) telah menghapus 208 akun. sementara itu, google indonesia mendukung peluncuran laman cekfakta.com dan mengadakan sejumlah pelatihan pengecekan fakta untuk turut menciptakan pemilu 2019 bebas hoaks dan ujaran kebencian (khoiri, 2019). lantas, apa yang meyebabkan hoaks masif tersebar di tahun politik? mafindo menengarai hoaks masif disebarkan bukan hanya karena rendahnya literasi digital masyarakat, namun juga karena fanatisme politik yang berlebihan. semua itu berujung pada pudarnya kerukunan, menguatnya polarisasi, meningkatnya kebencian antar golongan, dan menurunnya kemanusiaan. mafindo juga melihat adanya kemiripan pola antara hoaks di pemilu 2014 dan 2019, yakni sama-sama menggunakan politik identitas (kurniawan, 2019). menurut sudibyo (2019), pemilu dan hoaks merupakan dua hal yang identik. ia melihat fenomena yang terjadi di indonesia pada tahun politik 2019 hampir sama dengan fenomena yang terjadi di brasil. di negera tersebut beredar hoaks yang menyebut bahwa fernando haddad (salah satu kandidat presiden brasil) akan menjadikan brasil sebagai negara komunis. selanjutnya, haddad juga diserang hoaks yang menyebutkan bahwa jika terpilih dirinya akan mendukung lgbt. fenomena yang terjadi di brasil tersebut juga serupa dengan pilpres di amerika serikat tahun 2016, ketika isu agama, ras, dan imigran jadi sajian utama. mengingat hoaks bersifat destruktif, pemerintah bahkan sempat membatasi media sosial guna membatasi peradaran hoaks pada saat terjadi aksi massa di depan kantor bawaslu 22 mei 2019. sebagaimana diketahui, aksi massa tersebut berubah menjadi kerusuhan, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan di sejumlah tempat. wiranto sebagai menteri 209menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) koordinator politik, hukum, dan keamanan, menyampaikan pembatasan media sosial dilakukan demi keamanan nasional. rudiantara sebagai menteri komunikasi dan informatika, menyatakan jika pola persebaran hoaks biasanya dimulai dari sosial media (facebook, twitter, instagram), lalu dibagikan di grup-grup percakapan whatsapp (carina, 2019). mencermati sejumlah data tersebut, penanganan kasus hoaks dan ujaran kebencian pada akhirnya tidak hanya tugas kepolisian dan pemerintah. perlu adanya sinergi semua pihak untuk bisa menghentikan kasus hoaks dan ujaran kebencian tersebut. salah satu pihak yang juga dapat berperan dalam menangani permasalahan hoaks dan ujaran kebencian adalah perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi islam. perguruan tinggi islam berperan penting dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu sara, khususnya di tahun politik. ancaman perpecahan dan konflik sosial menjadi nyata apabila hoaks dan ujaran kebencian tidak ditangani dengan baik. kehadiran perguruan tinggi islam semestinya dapat dirasakan manfaatnya, sebagai sebuah institusi pendikan. termasuk dalam hal meredam hoaks dan ujaran kebencian yang masih mewabah di masyarakat. faktanya, hoaks dan ujaran kebencian tidak hanya disebar oleh mereka yang berpendidikan rendah, tapi juga dari kelompok terdidik. sejumlah pemberitaan mencatat kasus tentang dosen yang turut menyebarkan hoaks. misalnya, kasus dosen asal solo yang menyebarkan kabar bohong bahwa server kpu telah disetting sedemikian rupa untuk memenangkan capres tertentu (gustaman, 2019). selain itu, juga terdapat kasus dosen di bandung yang mengunggah ujaran kebencian tentang people power di akun facebook-nya (ramadhan, 2019). ujaran kebencian dan hoaks juga disebarkan oleh dosen di medan yang menyebut bom surabaya hanya pengalihan isu (saputra, 2019). menilik data tersebut, penanganan hoaks dan ujaran kebencian di lingkungan perguruan tinggi dianggap urgen, tak terkecuali perguruan 210 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tinggi islam. salah satu contoh usaha menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat dilakukan perguruan tinggi islam adalah dengan memberikan literasi media kepada dosen dan mahasiswa (generasi muda). generasi muda rentan menjadi korban hoaks dan ujaran kebencian mengingat dekatnya mereka dengan internet (media sosial). selain literasi media, dapat pula diberikan literasi digital kepada generasi muda. literasi digital dianggap lebih spesifik lantaran fokus pada dunia siber. upaya-upaya yang dilakukan perguruan tinggi dalam memerangi hoaks dan ujaran kebencian penting diteliti untuk mengetahui kontribusi mereka bagi masyarakat di era digital yang banjir informasi seperti sekarang ini. sebagaimana tertera dalam undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi, disebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (tridharma). adapun pengabdian kepada masyarakat dimaknai sebagai kegiatan civitas academica yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa (undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi, 2012) berdasarkan penjelasan tersebut, jelas kiranya bahwa perguruan tinggi bukan sekadar hubungan antara dosen dengan mahasiswa, namun juga tentang relasi mereka dengan masyarakat. perguruan tinggi tidak berdiri di ruang hampa. asas yang dianut perguruan tinggi antara lain adalah tanggung jawab, manfaat, dan kebinekaan. ketika perguruan tinggi turut serta dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian, maka hal tersebut menjadi wujud kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat undang-undang. perguruan tinggi islam tersebar di seluruh daerah di indonesia. salah satu contoh perguruan tinggi islam di indonesia adalah institut agama islam negeri (iain) surakarta. iain surakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena rekam jejak panjang yang dimiliki perguruan 211menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tinggi tersebut. pemilihan iain surakarta juga dilatarbelakangi dinamika kota tempat lembaga tersebut berada. surakarta sejak lama dianggap sebagai miniatur dari indonesia. dengan ciri kemajemukan, pelbagai aliran keislaman tumbuh dan berkembang di surakarta. corak ideologi masyarakatnya pun beragam, mulai dari nasionalis hingga konservatifpuritan. penelitian ini bertujuan memberikan sumbangsih bagi pengembangan perguruan tinggi, terutama di bidang pengabdian masyarakat. hasil penelitian berupa strategi perguruan tinggi islam dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan sara, dapat direplikasi oleh perguruan tinggi lain. replikasi tersebut dimaksudkan agar perguruan tinggi islam turut serta menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dengan dilandasi tolerasi, moderasi, dan semangat bhineka tunggal ika. selain itu, penelitian semacam ini dianggap penting karena fenomena hoaks dan ujaran kebencian sudah terjadi di indonesia pada dua kali pemilihan presiden dan wakil presiden, sehingga cara semacam ini diprediksi akan digunakan lagi di periode mendatang. oleh karena itu, hal yang penting untuk mengungkap berbagai strategi yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam menghadapi fenomena tersebut. terdapat sejumlah riset perihal penanggulangan hoaks, di antaranya adalah riset mengenai penguatan literasi digital sebagai cara untuk melawan hoaks tsaniyah & juliana (2019), riset tentang strategi masyarakat anti fitnah indonesia (mafindo) menanggulangi hoaks melalui crowdsourcing (silalahi, bestari, & saputra, 2017), riset pemanfaatan komik strip untuk kampanye anti hoaks (saputro & haryadi, 2018). selain itu, pemanfaatan website klarifikasi dapat pula digunakan untuk meminimalisir persebaran hoaks (firmansyah, 2017), dapat pula dengan memanfaatkan kompetisi kreatif berbasis kampus yang menyasar digital natives (astuti, 2017). riset lain yang bertemakan tentang hoaks, ujaran kebencian, dan literasi media juga dilakukan oleh utami (2018); manalu, pradekso, & setyabudi (2018); 212 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ilahi (2018); allcott & gentzkow (2017); macavaney et al. (2019); irawan (2018); florina (2019); cahyani (2019); zulaiha, sagiman, & mutia (2019); kusuma & lubis (2016); mcgonagle (2017); juliswara (2017) dan herawati (2016). perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu tersebut adalah terletak pada sampel penelitian. sampel penelitian ini melibatkan komponen perguruan tinggi, lebih spesifik lagi adalah komponen dari perguruan tinggi keislaman negeri (ptkin) di indonesia. metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif deskriptif yang menggambarkan upaya iain surakarta dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu sara di tahun politik. pemilihan iain surakarta dimaksudkan agar mendapatkan strategi literasi media perguruan tinggi islam dalam rangka menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu sara. selain itu, pemilihan iain surakarta didasarkan atas argumentasi bahwa iain surakarta terletak di daerah surakarta yang memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. sehingga, arus informasi dari berbagai sumber juga sangat deras. heterogenitas tersebut juga terdapat pada dosen dan mahasiswa, sehingga kerentanan terhadap hoaks dan ujaran kebencian dianggap cukup tinggi. teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam. peneliti mewawancara pemangku kepentingan di iain surakarta. selain wawancara mendalam, dokumentasi digunakan untuk penelitian ini. tahap tersebut ditempuh dengan merujuk pada buku-buku, jurnal, hasil penelitian, dan laporan media massa. adapun pihak yang menjadi informan penelitian ini adalah: mudofir (rektor iain surakarta), fathan (ketua program studi komunikasi dan penyiaran islam iain surakarta), waryunah irmawati (sekretaris lembaga penjaminan mutu iain surakarta), pudji rahardjo rudi hartono (kepala bagian akademik dan kemahasiswaan iain surakarta). pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan pemahaman informan 213menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) terkait tema penelitian. para informan adalah para pemangku kebijakan yang bersentuhan langsung dengan upaya iain surakarta menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian. validasi hasil penelitian yang dilakukan adalah member-checking, yaitu mengecek ketepatan kesimpulan hasil wawancara kepada pihak yang diwawancarai. hasil penelitian dan pembahasan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian perspektif pemangku kebijakan iain surakarta secara umum, pemangku kebijakan di iain surakarta memandang hoaks dan ujaran kebencian sebagai suatu hal yang menyesatkan dan buruk. keduanya menjadi sebab terpecahnya masyarakat dan menguatkan polarisasi yang terjadi lantaran kontestasi politik, baik pilpres maupun pileg. “hoaks, karena informasi palsu, tentu sesat. bisa menyesatkan masyarakat. kemungkinan yang terjadi adalah “perang”. bisa jadi perang fisik, atau perang informasi. satu pihak melempar hoaks, pihak lain melawannya dengan informasi tandingan (untuk meluruskan). terus menerus begitu.” (wawancara dengan fathan, ketua program studi komunikasi dan penyiaaran islam iain surakarta, 9 juli 2019, pukul 09.30). dampak dari berita kebohongan dan ujaran kebencian seputar pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif masih terasa sampai saat ini meski dua gelaran politik tersebut sudah berlalu. hal yang tidak mudah untuk kembali mengintegrasikan dan mengedepankan persatuan karena “luka” masyarakat terlalu dalam terkait dampak berita kebohongan dan ujaran kebencian tersebut. secara spesifik, hoaks dan ujaran kebencian tersebut melahirkan sikap saling meneyrang dan saling menjatuhkan sehingga tertanam “luka” yang sulit untuk diobati. “hoaks adalah informasi bohong, ketika orang berbohong maka akan berdosa. oleh karena itu, orang yang menyebar hoaks adalah 214 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) orang yang tidak mencerminkan religiositas. adapun ujaran kebencian, bahwa setiap manusia fitrahnya diciptakan adalah untuk bekerja sama, saling menghormati, dan menghargai. sedangkan, ketika ujaran kebencian itu dibangun berarti akan menjauhkan dari nilai-nilai luhur tadi.” (wawancara dengan pudji rahardjo rudi hartono, kepala bagian akademik dan kemahasiswaan iain surakarta, 12 juli 2019, pukul 15.00). mengingat dampak buruk hoaks dan ujaran kebencian, terlebih yang bermuatan sara di tahun politik, pemangku kebijakan di iain surakarta melihat peran penting lembaga pendidikan untuk mengedukasi masyarakat. salah satu upaya yang semestinya dilakukan perguruan tinggi islam (civitas academica) adalah “membanjiri” masyarakat dengan informasi yang benar. “saya kira filter itu penting. misalnya, ketika kita menonton televisi, ada tayangan yang kita anggap merusak, kita punya remote untuk mengganti tayangan atau bahkan mematikan tivi. artinya, kita punya bekal untuk memilih dan memilah, untuk memfilterisasi. setiap orang seyogyanya bisa melakukan hal itu, kritis dalam menerima informasi. bagaimana jika informasi palsu membanjiri masyarakat? ketika informasi palsu marak di masyarakat, orang-orang di perguruan tinggi mestinya balas membanjiri dengan informasi yang benar. lama-lama berita palsu itu akan “kalah”. toh, masyarakat kita itu lama-lama jenuh juga dengan informasi-informasi yang tidak benar yang selama ini beredar.”(wawancara dengan fathan, ketua prodi komunikasi dan penyiaaran islam iain surakarta, 9 juli 2019, pukul 09.30). tidak cukup sampai di sana, guna menangkal hoaks dan ujaran kebencian, perguruan tinggi islam perlu melakukan langkah-langkah taktis. salah satu contoh langkah taktis tersebut berupa literasi digital dan dialog multikultural. “pertama, harus meningkatkan literasi digital. masyarakat, dalam menggunakan media sosial, didorong dengan kesantunan, diilhami semangat kebangsaan. kedua, literasi kebangsaan. masyarakat 215menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) harus mengetahui bahwa kita ini satu bangsa. harus tahu sejarah bangsanya. ketiga, perlu juga dialog multikultural. antar suku, antar agama, antar bangsa. tentu agar saling mengenal dan memahami. apalagi indonesia terdiri ari bermacam suku dan agama. keempat, harus pula tercipta keadilan. baik terhadap mayoritas dan minoritas. dalam hal ini, minoritas agama dan minoritas ekonomi.” (wawancara dengan mudofir, rektor iain surakarta, 10 juli 2019, pukul 13.30). komponen mahasiswa dalam perguruan tinggi keislaman juga perlu mengadakan program yang bertujuan untuk penguatan sdm mahasiswa melalui literasi media yang didukung oleh bagian akademik dan kemahasiswaan. mereka sadar betul bahwa hoaks dan ujaran kebencian tidak akan mati karena saat ini malah dijadikan komoditas sehingga, pelakunya mendapatkan materi. maka dari itu, pihak iain surakarta selalu memfasilitasi setiap gerakan dan agenda dari mahasiwa yang mengangkat tema melawan hoaks dan ujaran kebencian. “ke depan kita akan bekerja dan mengeluarkan program khusus karena hoaks dan ujaran kebencian ini tidak akan mati dan bahkan dijadikan komoditas dan pelakunya memang sengaja memproduksinya, sehingga dia mendapatkan pundi-pundi keuntungan dari situ. maka, antisipasinya harus bekerja lebih ekstra dengan memproduksi informasi-informasi yang mencerahkan dan kegiatan yang mengcounter hoaks dan ujaran kebencian tersebut. kegiatan-kegiatan yang ada di ormawa baik ukm, ukk, sema, dan dema selalu melakukan diskusi dan acara anti hoaks dan ujaran kebencian. bagian kemahasiswaan sering melakukan acara seminar, fgd terkait anti hoaks. bahkan, ketika menteri agama datang ke iain surakarta mengangkat tema khusus anti hoaks dan deklarasi anti hoaks ketika peresmian gedung pasca sarjana.” (wawancara dengan pudji rahardjo rudi hartono, kepala bagian akademik dan kemahasiswaan iain surakarta, 12 juli 2019, pukul 15.00). selain itu, produk yang berupaya dihasilkan bagian akademik dan kemahasiswaan iain adalah berupa literasi media. literasi media ini 216 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menghasilkan tulisan yang mengajak masyarakat dan mahasiswa untuk tidak terpengaruh dan menggunakan hoaks dan ujaran kebencian. “produknya adalah literasi media, ketika workshop penulisan, membuat penulisan jurnal kemahasiswaan dan bunga rampai selalu menarik tema-tema anti hoaks dan ujaran kebencian. kemudian, ketika pembinaan mahasiswa bidikmisi dan beasiswa dari baznas, kita memberikan edukasi terkait pembuatan artikel ilmiah dan beberapa tema dalam artikel tersebut adalah upaya untuk menangkal hoaks. bahkan, ada juga tema bijaksana dalam menggunakan media sosial.” (wawancara dengan pudji rahardjo rudi hartono, kepala bagian akademik dan kemahasiswaan iain surakarta, 12 juli 2019, pukul 15.00). berkenaan dengan ujaran kebencian, terutama yang bermuatan sara dan menjadi persoalan tersendiri di tahun politik, pemangku kebijakan di iain surakarta meyakini bahwa pengarusutamaan moderasi beragama adalah kunci untuk meminimalisir ujaran kebenciaan. “sebagai lembaga yang menjadi perpanjangan dari negara dalam hal pendidikan, iain memiliki mandat untuk menjaga persatuan bangsa. banyak hal yang dapat dilakukan untuk menangkal ujaran kebencian. misalnya: dosen-dosen yang memberikan ceramah di masyarakat mesti memberikan materi moderasi beragama. dalam ceramah itu harus dikembangkan sikap husnuzan ketimbang suuzan. harus menjauhi prasangka buruk.” (wawancara dengan mudofir, rektor iain surakarta, 10 juli 2019, pukul 13.30). cara lain yang ditempuh perguruan tinggi islam, dalam hal ini iain surakarta, adalah dengan memberikan edukasi kepada mahasiswa terkait bahaya hoaks dan ujaran kebencian. sikap kritis mahasiswa ditempa di dalam kelas. pada program studi komunikasi dan penyiaran islam, hal tersebut dilakukan ketika mengajarkan mata kuliah jurnalistik. melacak asal-usul informasi dan verifikasi menjadi hal mendasar bagi mereka yang belajar jurnalisme (yang kelak diproyeksikan menjadi jurnalis). keterampilan melacak asal-usul informasi dan verifikasi tersebut menjadi 217menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) modalitas berharga bagi mahasiswa untuk tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang beredar. “saya selalu tekankan kepada mahasiswa saya untuk tidak imbas-imbis (tidak tegas – pen). menjadi mahasiswa kpi harus tegas dan berani. apalagi mereka yang berniat kerja di media massa. mahasiswa kpi juga tidak boleh menyampaikan informasi yang masih “katanya”. menyebar info harus jelas, tidak boleh “katanya si a begini” atau “katanya si b begitu”. sikap mental semacam ini penting. lebihlebih jika mereka ingin jadi jurnalis. pendidikan semacam itu saya kira juga bagian dari mencegah merebaknya hoaks di masyarakat. bahwa verifikasi dan konfirmasi itu penting, mencari narasumber yang kompeten juga penting, tidak boleh narasumber imajiner. harus jelas ada dan bisa dilacak.” (wawancara dengan fathan, ketua prodi komunikasi dan penyiaaran islam iain surakarta, 9 juli 2019, pukul 09.30). mengajarkan sikap kritis kepada mahasiswa menjadi langkah konkret iain surakarta dalam menangkal hoaks dan ujaran kebencian, termasuk yang bermuatan isu sara. kurikulum yang digunakan iain surakarta juga memandu para pengajar untuk responsif dengan kondisi kekinian bangsa. di antaranya, responsif dalam menghadapi maraknya hoaks dan ujaran kebencian di tahun politik. “kurikulum yang beredar haruslah berbasis pada keadaan masa kini. keadaan masa kini tersebut haruslah direspons setiap prodi. misalnya ketika prodi afi sedang menggarap kurikulum anti radikalisme, maka kurikulum anti radikalisme dikuatkan. di prodi kpi misalnya, ketika konteks saat ini orang-orang dengan mudahnya memviralkan informasi yang belum jelas kebenarannya maka seyogianya isu-isu tersebut yang diangkat dalam kurikulum kpi.” (wawancara dengan waryunah irmawati, sekretaris lpm iain surakarta, 11 juli 2019, pukul 13.30). 218 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian bermuatan sara oleh iain surakarta iain surakarta sebagai sebuah lembaga pendidikan islam telah melakukan sejumlah program dalam rangka menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian. sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini: tabel 1 kegiatan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian bermuatan sara di iain surakarta no. kegiatan tema waktu 1. pengabdian masyarakat prodi komunikasi dan penyiaran islam, fakultas ushuluddin dan dakwah literasi media bagi generasi milenial 15 juli 2018 2. seminar pendidikan kewarganegaraan dari kami milenial untuk pemilu damai tanpa hoax 23 november 2018 3. seminar nasional jurnalistik meningkatkan antusiasme dalam menyikapi informasi di era mileneal 13 november 2018 4. seminar nasional dan launching program doktoral (s3) iain surakarta peran ptkin dalam menangkal berita hoax, fake news dan palsu, demi mewujudkan persatuan bangsa 29 maret 2018 5. pengabdian masyarakat berbasis program yang bermutu prodi aqidah dan filsafat islam fakultas ushuluddin dan dakwah deklarasi anti hoax & stop being a hoax broadcaster 31 juli 2018 pengabdian masyarakat program studi komunikasi dan penyiaran islam menjadi salah satu upaya iain surakarta dalam memberantas hoaks dan ujaran kebencian. bekerja sama dengan mafindo soloraya, pegiat karang taruna kelurahan banmati sukoharjo menjadi sasaran kegiatan tersebut. pada kesempatan yang sama mafindo soloraya mengenalkan hoax buster tools, sebuah aplikasi untuk mengidentifikasi palsu atau tidaknya sebuah 219menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) informasi. maraknya hoaks yang berpotensi memecah belah masyarakat menjadi latar belakang diadakannya kegiatan tersebut (rusdiana, 2018a). kegiatan pengabdian masyarakat program studi komunikasi dan penyiaran islam iain surakarta yang menyasar remaja karang taruna tentu bukan tanpa alasan. target audiens (generasi milenial) telah diperhitungkan sebelumnya. “prodi kpi memang tidak ingin menyasar komunitas yang besar. karena itu kami fokus ke generasi milenial. milenial yang mana? mereka yang aktif di karang taruna. kenapa? karena merekamereka yang di karang taruna itu kelak akan menjadi leader, atau bahkan sudah. maksud saya, mereka-mereka itu anak-anak muda yang akrab dengan gadget dan internet. generasi tua sering kali bertanya kepada mereka: informasi di wa ini benar apa salah? info ini hoaks atau bukan? nah, harapannya anak-anak muda ini punya kemampuan untuk menjelaskan kepada generasi tua mana yang benar. generasi muda yang melek media lah yang bisa melakukan hal itu. iain ini saya kira bagus jika fokus ke satu generasi dulu, generasi milenial misalnya. tidak perlu menyasar kelompok yang terlalu besar atau terlalu luas. iain harus dirasakan manfaatnya di masyarakat. jangan malah membangun “tembok” dan berjarak dengan masyarakat. “gerbang kampus” harus dibuka lebarlebar.” (wawancara dengan fathan, ketua prodi komunikasi dan penyiaaran islam iain surakarta, 9 juli 2019, pukul 09.30). kegiatan lain yang dapat dianggap sebagai usaha mengurangi hoaks di tahun politik adalah kegiatan “seminar pendidikan kewarganegaraan yang bertema dari kami milenial untuk pemilu damai tanpa hoaks”. seminar yang diinisiasi salah seorang dosen program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) ini bertujuan memberikan literasi politik bagi pemilih pemula, dalam hal ini mahasiswa. pada kegiatan tersebut mahasiswa membacakan deklarasi yang berisi beberapa poin, diantaranya siap mensukseskan pemilu damai tanpa hoaks; menjadi pemilih cerdas dan bertanggung jawab; menolak penyebaran berita hoaks; menjadi contoh pengguna media sehat, cerdas, kreatif, dan produktif (sushmita, 2019). 220 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kegiatan literasi media yang bertujuan menangkal hoaks dan ujaran kebencian di iain surakarta tidak hanya dilakukan oleh program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi). di luar program studi kpi, lembaga pers mahasiswa (lpm) pandawa iain surakarta mengadakan “seminar nasional jurnalistik meningkatkan antusiasme dalam menyikapi informasi di era milenial”. salah satu pembicara pada kegiatan tersebut, abu nadhif (redaktur solopos), menyatakan bahwa rendahnya tingkat literasi suatu masyarakat akan menyuburkan hoaks/informasi sesat. pembicara kedua, adib m. asfar (aliansi jurnalis idependen solo), memaparkan materi mengenai mengenal hoaks atau disinformasi. ia merinci macam-macam hoaks yang banyak beredar di masyarakat (ratmanto, 2018). materi tersebut berguna bagi mahasiswa dan masyarakat agar dapat mengenali berita hoaks dan disinformasi sehingga tidak mudah terpengaruh dan menyebarkan hoaks. program studi aqidah dan filsafat islam (afi) fakultas ushuluddin dan dakwah (fud) iain surakarta juga melakukan upaya untuk menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian. upaya tersebut diwujudkan dengan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat di smk negeri 1 klaten dengan tema “deklarasi anti hoaks, stop being a hoax broadcaster”. dr. yusup rohmadi, m. hum sebagai narasumber menjelaskan tentang cara menggunakan media sosial dengan baik dan benar, serta tidak melanggar aturan uu ite. media sosial selain menjadi alat berteman, juga sebagai alat dalam menjalin komunikasi dengan orang lain memberikan efek mendekatkan yang jauh karena komunikasi saat ini hanya hitungan detik bisa tersebar kemanapun. namun, dampak dari media sosial juga menjauhkan yang dekat karena kalangan remaja saat ini cenderung berfokus pada dunianya sendiri. kegiatan pengabdian tersebut diakhiri dengan tanda tangan bersama sebagai bukti gerakan deklarasi anti hoaks, stop being a hoax broadcaster. tanda tangan dilakukan oleh para guru dan siswa-siswi smk n 1 klaten (mahardika, 2018). 221menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tema anti hoaks juga dimunculkan pada seminar nasional dan launching program doktoral (s3) iain surakarta. acara yang menghadirkan menteri agama republik indonesia, lukman hakim saifuddin, tersebut mengusung tema “peran ptkin dalam menangkal berita hoax, fake news, dan palsu, demi mewujudkan persatuan bangsa”. menteri agama republik indonesia, lukman hakim saifuddin, menyampaikan bahwa sebetulnya komunitas pendidikan islam memiliki tradisi yang sangat baik. ilmu hadis mengajarkan keharusan untuk bersikap sangat cermat, teliti, dan kritis dalam menerima berita apapun. berdasar hal tersebut mestinya perguruan tinggi islam negeri mampu memberi contoh penanggulangan hoaks (rusdiana, 2018b). seperti yang diketahui, bahwa dalam ilmu hadis terdapat cara untuk mengetahui kualitas hadis, yaitu dengan mengklarifikasi dengan hadis lain yang sejenis dan mencermati pembawa hadis (ashshiddieqy, 2009). selain kegiatan-kegiatan tersebut, iain surakarta juga mendukung kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh mafindo (masyarakat anti fitnah indonesia). pada pertemuan dengan pegiat mafindo wilayah soloraya, rektor iain surakarta menyebut para aktivis mafindo sebagai “nabi-nabi sosial zaman now” yang memiliki tugas mulia meluruskan kabar bohong/palsu yang berkembang di masyarakat. mudofir, rektor iain surakarta, memberikan apresiasi dan mendukung mafindo dalam melawan hoaks. iain surakarta juga telah menyiapkan sejumlah program untuk turut menanggulangi hoaks (hidayatulloh, 2018). mencermati kegiatan-kegiatan yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa iain surakarta telah memiliki sejumlah kegiatan terkait dengan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian. hal tersebut menunjukkan bahwa iain surakarta menyadari posisinya sebagai lembaga pendidikan islam di tengah-tengah masyarakat. iain surakata telah ambil bagian dalam merespons persoalan masyarakat kekinian terkait hoaks dan ujaran kebencian. selain itu, berbagai upaya iain surakarta 222 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian tersebut tidak hanya dilakukan di dalam kampus, tetapi juga di luar kampus. dengan demikian, upaya penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian tersebut menyasar semua kalangan. literasi media sebagai upaya menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian literasi media berkaitan dengan technical skill dan critical understanding apabila ditinjau dari teori yang telah dirumuskan oleh celot (2012) dan celot & tornero (2009). dua hal ini telah diupayakan iain surakarta untuk dikuasai mahasiswa dan masyarakat dalam rangka menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan sara. critical understanding yang dimaknai sebagai kemampuan menggunakan media seperti kemampuan memahami, menganalisis, dan mengevaluasi konten media sosial coba diupayakan melalui seminar, pengabdian masyarakat, dan pengayaan materi. jika kemampuan untuk berlaku kritis telah dimiliki mahasiswa dan masyarakat, diharapkan hoaks dan ujaran kebencian dapat ditangkal. menjadi kritis artinya menjadi aktif. sebagai pengguna internet misalnya, mahasiswa dibekali kemampuan untuk bisa memilah informasi yang asli dan yang palsu. hal ini terlihat pada seminar yang diadakan lembaga pers mahasiswa (lpm) pandawa iain surakarta. selain itu, salah satu kegiatan yang difasilitasi oleh pihak bagian akademik dan kemahasiswaan iain surakarta sampai dengan mendorong mahasiswa untuk menghasilkan tulisan guna terkait anti hoaks dan ujaran kebencian. menurut ilahi (2018), keterampilan literasi media yang baik memiliki indikator berupa kemampuan untuk mengakses media, menganalisis konten media sesuai konteks, mengkritik media massa, dan menulis pesan dalam berbagai bentuk dan jenis media dalam rangka mengkritisi informasi yang tidak benar. 223menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menurut utami (2018), berita bohong dan ujaran kebencian memuat susunan ide yang kompleks, praktik tekstual, dan strategi komunikatif. oleh karena itu, upaya penanggulangannya pun juga harus memuat unsur tersebut. atas dasar ini, iain surakarta mengadakan kegiatan yang bukan hanya bersifat meningkatkan kesadaran mahasiswa dan masyarakat terkait pentingnya memilih dan memilah informasi serta berpikir kritis, tetapi juga membekali mahasiswa untuk menulis guna melawan berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian. hal ini mencerminkan strategi komunikatif guna menanggulangi hoaks. pada kegiatan pengabdian masyarakat program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) iain surakarta, perwakilan dari mafindo yang menjadi narasumber memandu peserta menggunakan hoax buster tools. sebelumnya, peserta diajak untuk kritis ketika mendapat informasi dengan judul bombastis dan ajakan untuk memviralkan informasi tersebut. jika masih terdapat keraguan, peserta diminta untuk menggunakan hoax buster tools guna mengecek keaslian informasi. peserta diajarkan untuk selalu “saring sebelum sharing”. sebagian besar peserta dari berbagai kegiatan iain surakarta dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian adalah remaja dan dewasa awal. menurut manalu, pradekso, & setyabudi (2018), kelompok yang rentan terpengaruh hoaks dan ujaran kebencian adalah kelompok usia 15 tahun sampai dengan 20 tahun. seperti yang telah dijelaskan, bahwa berpikir kritis menjadi modalitas penting dalam penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian. berpikir kritis merupakan model berpikir secara mendalam dan produktif serta melibatkan upaya untuk mengevaluasi informasi yang diterima (king, 2017). kunci berpikir kritis adalah adanya kesadaran penuh (langer, 2000). oleh karena itu, kegiatan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh iain surakarta dilakukan secara berkesinambungan dalam rangka menjaga kesadaran penuh dari mahasiswa dan masyarakat. ketika mahasiswa dan masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa 224 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hoaks dan ujaran kebencian sangat merugikan dan berdampak luas, maka mahasiswa dan masyarakat akan meningkatkan kekritisannya dalam menerima informasi. dengan demikian, mahasiswa dan masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh hoaks dan ujaran kebencian. technical skill yang berarti kemampuan teknis dalam menggunakan media internet khususnya media sosial tidak menjadi perhatian utama iain surakarta. pasalnya, secara teknis, di masa sekarang dapat diasumsikan mahasiswa dan masyarakat sudah dapat menggunakan gawai untuk aktivitas komunikasi sehari-hari. hal penting yang perlu dibangun dan diarahkan adalah tentang ketepatan dalam memanfaatkan gawai tersebut. iain surakarta menyadari betul bahwa dampak dari berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian sangat besar. bahkan, besarnya dampak tersebut mampu menentukan nasib atau arah perjalanan suatu negara. menurut allcott & gentzkow (2017), amerika serikat menjadi contoh tentang dampak berita bohong dan ujaran kebencian dapat memengaruhi masyarakat dalam pemilihan presiden. hal ini bisa terjadi karena berita bohong dan ujaran kebencian bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap seorang figur atau calon presiden. selain itu, irawan (2018) menuliskan bahwa hoaks dan ujaran kebencian bisa memicu munculnya sikap tidak menghormati sampai dengan kekerasan dan intoleransi. bercermin dari fenomena tersebut, iain surakarta telah merancang dan merealisasikan berbagai program yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dan mahasiswa tentang pentingnya bersikap kritis terhadap informasi yang diperoleh serta menggunakan media sosial dan keterampilan menulis untuk melawan berita bohong dan ujaran kebencian. berpikir kritis juga mengajarkan tentang keterbukaan berpikir. berpikir secara terbuka merupakan model berpikir yang tidak mutlak, bersifat fleksibel, serta tidak dogmatis (west, toplak, & stanovich, 2008). selain itu, berpikir secara terbuka juga mampu menyelamatkan 225menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) masyarakat dari bias dalam penarikan kesimpulan tentang informasi yang didapatkannya (west, meserve, & stanovich, 2012). kaitannya dengan upaya penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian yang dilakukan iain surakarta, iain surakarta mengajarkan mahasiswa dan masyarakat untuk berpikir secara terbuka. artinya, ketika menerima suatu informasi dari suatu pihak, maka mahasiswa dan masyarakat didorong untuk mencari informasi lain sebagai upaya klarifikasi dan cerminan keterbukaan pikiran. dengan demikian, mahasiswa dan masyarakat bisa mengolah informasi dari berbagai sumber dan tidak hanya berpikir satu sisi. pada akhirnya, mahasiswa dan masyarakat tidak rentan terpengaruh oleh hoaks dan ujaran kebencian. berbagai program kegiatan yang telah diadakan oleh iain surakarta tersebut juga bisa dianggap sebagai upaya iain surakarta untuk mengedukasi mahasiswa dan masyarakat agar dapat menggunakan media sosial dan gawai dengan baik dan benar. hal ini penting karena menjamurnya hoaks dan ujaran kebencian disebabkan salah satunya oleh ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan media sosial dan gawai dengan baik dan benar. menurut zulaiha et al. (2019), edukasi semacam ini penting untuk mencegah seseorang menyalahgunakan media sosial dan gawai untuk menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. selain itu, dosen juga penting untuk meningkatkan literasi digital sehingga dosen juga berperan untuk menangkal hoaks dan ujaran kebencian (cahyani, 2019; florina, 2019). apabila ditinjau dari teori bioekologi urie bronfenbrenner, upaya penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian yang telah dilakukan oleh iain surakarta sudah mencakup konteks ekosistem. teori bioekologi menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh konteks mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem. konteks mikrosistem adalah peran dan hubungan dalam suatu lingkungan yang dijalankan seseorang; mesosistem adalah interaksi antara dua 226 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mikrosistem yang mengendalikan manusia; ekosistem adalah keterkaitan antara dua atau lebih mikrosistem yang salah satu dari mikrosistem tersebut tidak mengendalikan manusia secara langsung; makrosistem adalah keseluruhan pola budaya dan nilai yang memengaruhi manusia; dan kronosistem adalah stabilitas perubahan yang terjadi dalam manusia akibat pengaruh dari lingkungannya (bronfenbrenner, 1986, 2001, 2005; bronfenbrenner & morris, 2017). upaya penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian oleh iain surakarta sudah mencapai konteks ekosistem karena melibatkan berbagai pihak atau mikrosistem. tujuan berbagai program dan kegiatan penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian tersebut adalah memengaruhi mahasiswa dan masyarakat sehingga mahasiswa dan masyarakat dipengaruhi oleh kronosistem, yaitu stabilitas perubahan yang ada dalam diri mereka. peran lain yang diambil oleh iain surakarta dalam penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian (terutama terkait isu sara) adalah para dosen iain surakarta memberikan ceramah dan khotbah tentang bahaya hoaks dan ujaran kebencian serta upaya mencegahnya. selain itu, para dosen iain surakarta juga memberikan materi moderasi beragama kepada mahasiswa agar tidak terpengaruh ujaran kebencian. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian yang dilakukan iain surakarta adalah dengan membangun nalar kritis mahasiswa dan masyarakat. pembangunan nalar kritis ditempuh melalui pelbagai kegiatan seperti seminar, diskusi, pengabdian masyarakat, dan kerjasama dengan komunitas anti hoaks. kegiatan-kegiatan yang dilakukan menjadi semacam pembakalan bagi mahasiswa dan masyarakat dalam memanfaatkan internet dan media sosial, juga untuk menghadapi paparan beragam informasi yang begitu luber, tercampur antara yang asli dan palsu. 227menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ujaran kebencian yang juga menjadi permasalahan bangsa, direspons iain surakarta dengan melakukan penguatan moderasi beragama melalui beberapa cara, seperti ceramah di masyarakat, pengajaran di kelas, dan riset. hal tersebut utamanya untuk menanggulangi ujaran kebencian bermuatan isu sara. materi moderasi beragama misalnya disampaikan di kelas-kelas saat perkuliahan, juga ketika dosen-dosen iain surakarta memberikan ceramah-ceramah keagamaan di masyarakat. saran menilik berbagai program dan kegiatan yang telah dilakukan iain surakarta selama ini dalam penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian di tahun politik, utamanya yang bermuatan sara, perlu adanya kebijakan jangka panjang terkait hal tersebut. iain surakarta belum memiliki kebijakan jangka panjang yang memadai karena sebagian besar masih berupa kebijakan insidental. berbicara kebijakan jangka panjang, perlu digagas pusat studi komunikasi dan media atau semacamnya yang mampu merespons cepatnya perkembangan teknologi informasi. lembaga itu nantinya, dalam jangka waktu tertentu dan secara berkelanjutan, memberikan literasi media dan literasi digital baik kepada mahasiswa maupun kepada masyarakat luas. selanjutnya, perlu dirancang mata kuliah literasi media atau literasi digital yang diberikan kepada mahasiswa baru pada umumnya dan khususnya untuk mahasiswa kpi. kalaupun tidak berupa mata kuliah, paling tidak muatan literasi media dan literasi digital disampaikan semua dosen ketika mengajar. hal tersebut penting di tengah era digital yang banjir informasi seperti saat ini. adapun saran untuk peneliti selanjutnya adalah dapat memperbanyak lokasi penelitian dengan menggunakan teknik proporsional sampling. sehingga, setiap daerah didapatkan gambaran perguruan tinggi keislaman dalam menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian. 228 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) daftar pustaka ahnaf, m. i., & suhadi. (2014). isu-isu kunci ujaran kebencian (hate speech): implikasinya terhadap gerakan sosial membangun toleransi. jurnal harmoni, 13(3). ali, m. (2017). antara komunikasi, budaya dan hoax. in a. wahyudin & m. sunuantari (eds.), melawan hoaks di media sosial dan media massa. yogyakarta: trust media publishing & askopis press. allcott, h., & gentzkow, m. (2017). social media and fake news in the 2016 election. journal of economic perspectives, 31(2), 211–236. https://doi.org/10.1257/jep.31.2.211 ash-shiddieqy, t. m. ha. (2009). sejarah & pengantar ilmu hadist. semarang: pustaka rizki putra. astuti, y. d. (2017). peperangan generasi digital natives melawan digital hoax melalui kompetisi kreatif. informasi, 47(2), 229–242. https://doi.org/10.21831/informasi.v47i2.16658 aziz, i. (2018). kejagung eksekusi pemred dan redaktur obor rakyat. retrieved august 26, 2018, from tirto.id website: https://tirto.id/ kejagung-eksekusi-pemred-dan-redaktur-obor-rakyat-cj7h bronfenbrenner, u. (1986). ecology of the family as a context for human development. developmental psychology, 22(6), 723–742. bronfenbrenner, u. (2001). human development, bioecological theory of. in p. baltes & n. smelser (eds.), international encyclopedia of the social & behavioral sciences (pp. 6963–6970). https://doi. org/10.1016/b0-08-043076-7/00359-4 bronfenbrenner, u. (2005). the bioecological theory of human development. in u. bronfenbrenner (ed.), making human beings human: bioecological perspectives on human development (pp. 3–15). london: sage publication. bronfenbrenner, u., & morris, p. a. (2017). the bioecological model of human development. in w. doman & r. lerner (eds.), handbook of child psychology: vol. 1. theoritical models of human development (5th ed, pp. 993–1028). new york: wiley. cahyani, i. p. (2019). digital literacy of lecturers as whatsapp group users in spreading hoax informations and hate speech. expose: jurnal ilmu komunikasi, 2(2), 147–163. https://doi.org/10.33021/ exp.v2i2.562 229menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) carina, j. (2019). cegah hoaks, media sosial dibatasi. kompas. celot, p. (2012). eavi studies on media literacy in europe. medijske studije, 3(6), 76–82. celot, p., & tornero, j. m. p. (2009). study on assessment criteria for media literacy levels. brussels. far. (2018). pilkada serentak 2018, warga tentukan 171 pemimpin daerah. retrieved august 26, 2018, from cnnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/ nasional/20180626203441-32-309218/pilkada-serentak-2018warga-tentukan-171-pemimpin-daerah? firmansyah, r. (2017). web klarifikasi berita untuk meminimalisir penyebaran berita hoax. jurnal informatika, 4(2), 230–235. https:// doi.org/10.31311/ji.v4i2.2138 florina, i. d. (2019). literasi media baru di kalangan dosen menaggapi isu politik dalam pusaran hoax dan hate speech. ettisal: journal of communication, 4(1), 55–66. https://doi.org/10.21111/ettisal. v212.2821 gumilar, g., adiprasetio, j., & maharani, n. (2017). literasi media: cerdas menggunakan media sosial dalam menanggulangi berita palsu (hoax) oleh siswa sma. jurnal pengabdian kepada masyarakat, 1(1), 35–40. gustaman, y. (2019). dosen asal solo yang sebarkan hoax “server kpu disetting” sering pindah-pindah selama buron. retrieved august 26, 2019, from tribunnews.com website: https://www. tribunnews.com/nasional/2019/06/17/dosen-asal-solo-yangsebarkan-hoax-ser ver-kpu-disetting-sering-pindah-pindahselama-buron?page=4.%0a harbowo, n. (2019, april). hoaks ganggu stabilitas nasional. kompas. hartanto, a. d. (2018). empat anggota muslim cyber army ditangkap di empat kota berbeda. retrieved august 26, 2018, from tirto. id website: https://tirto.id/empat-anggota-muslim-cyber-armyditangkap-di-empat-kota-berbeda-cfnk herawati, d. m. (2016). penyebaran hoax dan hate speech sebagai representasi kebebasan berpendapat. promedia: jurnal public relation dan media komunikasi, 2(2), 138–155. 230 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) heryanto, g. g. (2017). bisnis hoaks dan literasi digital. retrieved may 29, 2019, from mediaindonesia.com website: https://mediaindonesia. com/read/detail/120440-bisnis-hoaks-dan-literasi-digital hidayatulloh, m. n. (2018). rektor iain surakarta dukung masyarakat anti hoax. retrieved july 12, 2019, from iain-surakarta.ac.id website: http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=11205 ilahi, h. n. (2018). women and hoax news processing on whatsapp. jsp: jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 22(2), 98–111. https://doi. org/10.22146/jsp.31865 imaduddin, f. (2018). ujaran kebencian. retrieved august 26, 2018, from remotivi.or.id website: http://www.remotivi.or.id/kupas/444/ ujaran-kebencian irawan. (2018). hate speech di indonesia: bahaya dan solusi. mawa’izh: jurnal dakwah dan pengembangan sosial kemanusiaan, 9(1), 1–17. https://doi.org/10.32923/maw.v9i1.712 juliswara, v. (2017). mengembangkan model literasi media yang berkebhinnekaan dalam menganalisis informasi berita palsu (hoax) di media sosial. jurnal pemikiran sosiologi, 4(2), 142–164. https://doi.org/10.22146/jps.v4i2.28586 kami, i. m. (2019). 62 hoax pemilu 2019 teridentifikasi kominfo, ini daftarnya. retrieved september 14, 2109, from detik.com website: https://news.detik.com/berita/d-4368351/62-hoax-pemilu2019-teridentifikasi-kominfo-ini-daftarnya khoiri, i. (2019). menyaring suara jernih di tengah riuh. kompas. king, l. a. (2017). psikologi umum: sebuah pandangan apresiatif (ed 3 jil 1). jakarta: salemba humanika. kurniawan, a. b. (2019, june). fanatisme berlebihan picu peredaran hoaks. kompas. kusuma, s., & lubis, d. p. (2016). media sosial dan kebijakan kapolri mengenai “hate speech” (ujaran kebencian). jurnal komunikasi pembangunan, 14(1), 151–159. https://doi.org/10.29244/ jurnalkmp.14.1.%25p langer, e. j. (2000). mindful learning. current directions in psychological science, 9(6), 220–223. https://doi.org/10.1111/1467-8721.00099 231menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) macavaney, s., hao-ren yao, eugene yang, russell, k., goharian, n., & frieder, o. (2019). hate speech detection: challenges and solutions. plos one, 14(8), 1–16. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0221152 mahardika, m. c. (2018). afi fud iain surakarta adakan pengabdian masyarakat berbasis mutu. retrieved july 12, 2019, from iainsurakarta.ac.id website: http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=13170 manalu, s. r., pradekso, t., & setyabudi, d. (2018). understanding the tendency of media users to consume fake news. jurnal ilmu komunikasi, 15(1), 1–16. https://doi.org/10.24002/jik.v15i1.1322 mastel. (2017). press release: infografis hasil survey mastel tentang wabah hoax nasional. retrieved august 26, 2018, from mastel. id website: http://mastel.id/press-release-infografis-hasil-surveymastel-tentang-wabah-hoax-nasional/ mcgonagle, t. (2017). ‘“fake news”’: false fears or real concerns? netherlands quarterly of human rights, 35(4), 203–209. https://doi. org/10.1177/0924051917738685 nasrullah, r. (2017). media sosial: perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. bandung: simbiosa rekatama media. ramadhan, d. i. (2019). unggah “people power-bunuh polisi”, dosen solatun selalu jadi provokator. retrieved july 12, 2019, from detik.com website: https://news.detik.com/berita-jawabarat/d-4545253/unggah-people-power-bunuh-polisi-dosensolatun-selalu-jadi-provokator ratmanto, a. (2018). melawan hoaks melalui seminar jurnalistik. retrieved july 12, 2019, from iain-surakarta.ac.id website: http:// www.iain-surakarta.ac.id/?p=15252 rusdiana, j. (2018a). jurusan kpi iain surakarta ajak generasi milenial tangkal hoax. retrieved july 12, 2019, from iain-surakarta.ac.id website: http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=12762 rusdiana, j. (2018b). menag ri: ptkin sebenarnya sudah punya mekanisme anti hoax. retrieved july 12, 2019, from iain-surakarta. ac.id website: http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=11520 saputra, a. (2019). dosen usu penyebar hoaks “bom surabaya pengalihan isu” dihukum percobaan. retrieved july 12, 2019, from detik. com website: https://news.detik.com/berita/d-4562503/dosen232 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) usu-penyebar-hoaks-bom-surabaya-pengalihan-isu-dihukumpercobaan saputro, g. e., & haryadi, t. (2018). edukasi kampanye anti hoax melalui komik strip. demandia: jurnal desain komunikasi visual, manajemen desain dan periklanan, 03(02), 94–111. https://doi. org/10.25124/demandia.v3i02.1550 silalahi, r. r., bestari, p., & saputra, w. t. (2017). karakteristik strategi crowdsourcing untuk membatasi penyebaran hoaks di indonesia studi kasus: masyarakat anti fitnah indonesia. metacommunication; journal of communication studies, 2(2), 128–154. sudibyo, a. (2019). gelombang hoaks jelang pemilu. kompas. sushmita, c. i. (2019). mahasiswa iain surakarta siap sukseskan pemilu damai 2019 tanpa hoaks. retrieved july 12, 2019, from solopos.com website: https://soloraya.solopos.com/ read/20181124/490/954819/mahasiswa-iain-surakarta-siapsukseskan-pemilu-damai-2019-tanpa-hoaks tsaniyah, n., & juliana, k. a. (2019). literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 121–140. https://doi.org/10.22515/balagh. v4i1.1555 undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (uu ite). (2008). undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi. (2012). utami, p. (2018). hoax in modern politics: the meaning of hoax in indonesian politics and democracy. jsp: jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 22(2), 85–97. https://doi.org/10.22146/jsp.34614 west, r. f., meserve, r. j., & stanovich, k. e. (2012). cognitive sophistication does not attenuate the bias blind spot. journal of personality and social psychology, 103(3), 506–519. https://doi. org/10.1037/a0028857 west, r. f., toplak, m. e., & stanovich, k. e. (2008). heuristics and biases as measures of critical thinking: associations with cognitive ability and thinking dispositions. journal of educational psychology, 100(4), 930–941. https://doi.org/10.1037/a0012842 233menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) zamroni, m. (2017). media sosial dan realitas hidup masyarakat postmodern. in a. wahyudin & m. sunuantari (eds.), melawan hoax di media sosial dan media massa. yogyakarta: trust media publishing & askopis press. zulaiha, s., sagiman, & mutia. (2019). edukasi literasi informasi bagi anak dan remaja untuk meminimalisir penyalahgunaan media jejaring sosial. jurnal harkat: media komunikasi gender, 15(2), 116– 125. https://doi.org/10.15408/harkat.v15i2.13469 234 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 199 234, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 1. the article must be scientific, either based on the empirical research or conceptual ideas. the content of the article have not published yet in any journal, and should not be submitted simultaneously to another journal. article should not be part of fully one chapter of the theses or dissertation. 2. article must be in the range between 15-30 pages, not including title, abstract, keywords, and bibliography 3. article consisting of the various parts: i.e. title, the author’s name(s) and affiliation(s), abstract (200-250 words), keywords (maximum 5 words), introduction, description and analysis, conclusion, and bibliography. • title should not be more than 15 words • author’s name(s) should be written in the full name without academic title (degree), and completed with institutional affiliation(s) as well as corresponding address (e-mail address). • abstract consisting of the discourses of the discipline area; the aims of article; methodology (if any); research finding; and contribution to the discipline of areas study. abstract should be written in english. • introduction consisting of the literature review (would be better if the research finding is not latest than ten years) and novelty of the article; scope and limitation of the problem discussed; and the main argumentation of the article. • discussion or description and analysis consisting of reasoning process of the article’s main argumentation. • conclusion should be consisting of answering research problem, based on the theoretical significance/conceptual construction • all of the bibliography used should be written properly author guidelines 4. citation’s style used is the american psychological association 6th edition, and should be written in the model of body note (author(s), year, and page(s)), following to these below examples: a. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) b. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) c. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ indonesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) d. article of the journal 1) journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) 2) journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) 3) e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) e. article website 1) dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) 2) tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) f. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta: magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) g. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 5. in writing the citation’s would be better and suggested to use software of citation manager, like mendeley, zotero, end-note, refworks, bib-text, and so forth, with following standard of american psychological association 6th edition. 6. arabic transliteration standard used international journal of middle eastern studies. for detailed transliteration could be seen at http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 7. article must be free from plagiarism; through attached evidence (screenshot) that article has been verified through anti-plagiarism software, but not limited to the plagiarism checker (plagramme.com). author fee al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi will not charge anything to the author for submission fee or publication fee. submission preparation checklist as part of the submission process, authors are required to check off their submission’s compliance with all of the following items, and submissions may be returned to authors that do not adhere to these guidelines. 1. the submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in comments to the editor). 2. the submission file is in openoffice, microsoft word, rtf, or wordperfect document file format. 3. where available, urls for the references have been provided. 4. the text is single-spaced; uses a 12-point font; employs italics, rather than underlining (except with url addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end. 5. the text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the author guidelines, which is found in about the journal. 6. if submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in ensuring a blind review have been followed. copyright notice authors who publish with this journal agree to the following terms: • authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a creative commons attribution license that allows others to share the work with an acknowledgement of the work›s authorship and initial publication in this journal. • authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal’s published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal. • authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. privacy statement the names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or to any other party. skup dakwah : manajemen dakwah, bimbingan dan konseling islam, psikologi, psikologi dakwah, analisis sosial, sejarah dakwah, filsafat dakwah, sosiologi dakwah, ilmu dakwah, manajemen traveling dan wiisata religi, manajemen pelayanan haji, global islamic tourism, metodologi dakwah, relasi dakwah dengan budaya. skup komunikasi : public relation, komunikasi dan penyiaran islam, psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal dan sosial, komunikasi antar budaya, jurnalistik, komunikasi massa, human relations. from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir universitas malikussaleh lhokseumawe aceh muhammad aminullah institut agama islam al-aziziyah samalanga aceh keywords: aceh; political communication; teungku dayah http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: muntasirakadir@yahoo.com aminullahtengku@gmail.com abstract this paper describes the teungku dayah political communication model in maintaining the harmony of muslims in aceh. political turmoil in society often creates unrest, as it separates religious and political values. on the other hand politics is actually very instrumental in the development of islam in aceh. teungku dayah is the main actor and key fi gure in political development in aceh. as a public fi gure, teungku dayah has a stake in the mass vote in the regional elections, the president and other political contests. this research is an analysis of the phenomenon of teungku dayah’s political role in maintaining the harmony of the people. the technique of data collection used was direct observation, and the data were analyzed by describing the actions of teungku dayah’s political role. the research concludes that teungku dayah has its own system and character in guarding aceh’s political development. he uses the islamic boarding school and the dayah institutionas media for political communication. but the shift in values in instant politics makes teungku dayah's political communication power limited to front stage politics. further research is necessary on political communication in teungku dayah, since political communication is a dynamic study, as dynamic as the conditions in aceh. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: 10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 96 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak paper ini menggambarkan model komunikasi politik teungku dayah dalam menjaga harmoni umat islam di aceh. gejolak politik dalam masyarakat sering kali menimbulkan keresahan, seakan terpisah nilai-nilai agama dan politik. namun di sisi lain sebenarnya politik sangat berperan dalam perkembangan islam di aceh. teungku dayah adalah aktor utama dan tokoh kunci dalam perkembangan politik di aceh. sebagai tokoh masyarakat, teungku dayah memiliki andil dalam pengumpulan suara masaa pada ajang pemilihan kepala daerah, presiden dan kontestasi politik lainnya. penelitian ini merupakan analisis fenomena peran politik teungku dayah dalam menjaga harmoni umat. teknik pengumpulan data secara pengamatan langsung dan teknik analisis data dengan cara mendiskripsikan segala tindakan peran politik teungku dayah. kesimpulan penelitian ini adalah teungku dayah memiliki sistem dan karakter tersendiri dalam mengawal perkembangan politik aceh. ia menggunakan lembaga dayah dan lembaga pengajian majelis taklim sebagai media komunikasi politik. namun pergeseran nilai pada politik instan menjadikan kekuatan komunikasi politik teungku dayah hanya sebatas politik panggung depan. di masa mendatang perlu ada riset-riset lanjutan mengenai komunikasi politik teungku dayah, mengingat komunikasi politik merupakan kajian yang dinamis, sama dinamisnya dengan kondisi aceh. kata kunci: aceh; komunikasi politik; teungku dayah how to cite (apa 7th edition): muntasir & aminullah, m. (2020). from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1), 95 116. https://doi.org/10.22515/ al-balagh.v5i1.2166 introduction research on aceh develops broadly with a variety of perspectives, ranging from the themes of religion, culture, education, politics, history to law and human rights (ahmad, 2017; dhuhri, 2016; saby, 2001; srimulyani, afriko, salim, & ichwan, 2018; umam, 2013). scholars have also written 97from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) studies on the dynamics of contemporary aceh which caused any turmoil (anshori, 2012; burhanudin, 2014; makin, 2016; munhanif, 2016; pribadi, 2018). talking about modern aceh, the emerging themes are about gam, human rights, autonomy, and the application of islamic law. however, little is known about the subject of teungku dayah. teungku dayah is the same designation as the kiai and the ustad. it is an honorific title in the culture of the acehnese people towards those who master the science of islam. for that reason, teungku dayah has become a standard term in aceh community as their traditional culture (armia, 2014). teungku dayah is a profession that is owned by graduates of pesantren (islamic boarding schools in indonesia) education, specifically in aceh. the title of teungku is very identical to one’s expertise in the field of islamic science in this region. this title is the same as other islamic scholars as ustad, kiai, and religious teachers. but the title of teungku has the characteristics of islamic scholarship from islamic boarding school graduates in aceh. islamic boarding school education in aceh is specifically referred to as dayah, while graduates are called teungku. the definition of dayah based on kurdi (2008) is an institution aiming for a place to study various islamic knowledge in aceh and is usually established at the initiative of an ulama. dayah is non government educational institution. the management system is generally independent, funded by the community (kurdi, 2008). while in java, dayah known as pondok or pesantren, while in padang, it is called surau (furqan, 2019). when islam developed in aceh in the 16th century to the 20th century ad, there were almost no other educational institutions in aceh except the dayah which had taught acehnese. it takes them to the position of king, minister, military commander, cleric, agricultural expert, and medical expert. the role of dayah in the past has influenced muslims’ thoughts and beliefs in southeast asia and was very instrumental in developing the political power of the archipelago. moreover, dayah has 98 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) contributed to aceh’s reputation throughout the archipelago, so that aceh is well-known as serambi makkah (kurdi, 2010). it is undeniable that the role of teungku dayah remains influential in acehnese society. if there are religion-relatedissues that occur in the community, teungku dayah will be the first place for consultation. since its role is always to maintain and carry out tasks related to religion, such as caring for the corpse, studying religion, learning procedures for worship, and daily life activities associated with amar ma`ruf nahi munkar. teungku dayah’s doctrines remain dominant and followed by the community.onthe other words, people consider that teungku dayah has a close relationship with god. the general public in aceh understands teungku dayah as an expert in islam (suyanta, 2012). therefore, the trust and fanaticism of the people of aceh in teungku dayah are powerful. the community consider teungku dayah as a role-model teacher or educator in worshiping the creator and muamalah to his fellow-creatures. the authority possessed by teungku dayah, on the other hand, also becomes a great opportunity that can be used in the development of practical politics. it can be seen that teungku dayah has been involved by almost all political parties or legislative candidates in every general election in aceh. yet in the election process and the process of winning, many teungku dayah candidates did not qualify to become members of the legislature. those candidates have been recorded in the data of the dpra members for the 2019-2024 periods. this phenomenon is intriguing to study, because as a consultant on religious issues for the community, teungku dayah only gained few supporters to be legislative candidate. it is obvious that the local political party, which was established as a forum for teungku dayah political unity named pda (aceh sovereignty party), is less trusted and desirable by the people of aceh. on the other hand, teungku dayah is also used as a political support by some elites of party (akbar & mujibussalim, 2017). 99from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) based on these problems, this research aims to find the teungku dayah political communication model in maintaining the harmony of muslims in aceh. the dynamics of political development in society have been worrying since it separates between religious values and political attitudes (noer, 1999). on the other hand, politics is actually very instrumental in the development of islam (iqbal & nasution, 2017). it can be seen that the role of teungku dayah in the indonesian independence and the glory of aceh empire was pivotal. the purpose of teungku dayah in political development at that time was based on a belief that politics can be governed well according to an appropriate system in islam (rais, 2001). a strict obedience of the acehnese people in performing islam and the enactment of syariah (islamic divine law) at a certain point reflects mudzakkir (2019) research about political islam in tasikmalaya, where the role of ajengan is essential. in aceh, teungku dayah takes this role. that research is in line with ma`rufah (2017) study that discusses sampit, which turned into a city that displays its identity as a muslim city with the emergence of urban icons built by local government. yet, sampit is typically a multicultural city—ma’rufah’s research related to religion, identity, and politics. in terms of status, the 2018-2019 political year was regarded as the momentum to strengthen political identity. several politicians, for example, competed to show the image of islam/religion to get a vote (zulhazmi, 2018). how religion and politics are intertwined is also discussed by kusuma & octastefani (2017), who exposed the nationalist party’s strategy to take advantage of the party organization (baitul muslimin indonesia, ikhwanul muballighin, majelis dakwah islamiyah). aiming to study political communication developed by teungku dayah in aceh in shaping the harmony of muslims in aceh, the author uses the political communication theory developed by gun gun heryanto based on erving goffman’s dramaturgy theory. according to this theory,the 100 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) main activity in the political process must have two roles, namely the front and the backstage (heryanto, 2019). more importantly, there is also one of the most critical positions, namely the center stage. the middle stage functions to regulate the processes that apply to the front and backstage. this central stage is, in particular, held by party owners and party elites so that they can control the party’s movements on the front and backstages. political communication is needed to translate the meaning or values formed in political development. this communication shows that all political behaviors and ideas, require an appropriate explanation and interpretation so that they can be understood properly. the description and analysis of the meanings and symbols formed in political development certainly require a particular field of study to conduct it, which is called the need for political communication in political development. while the main target in this study is the communication model carried out by teungku dayah when he is in the position as an important actor who runs political communication in aceh. teungku dayah has a lot of mass power from among the santri and members of the taklim assembly. this phenomenon became interesting for practical political elite actors to involve teungku dayah in his party to embrace the masses owned by teungku dayah. one of the influential teungku dayah in aceh is abu mudi (abu syeikh hasanoel bashri hg), the leader of dayah ma’hadal ‘ulum diniyah islamiyah samalanga who has more than 7.500 students, the average age from 18 years to 35 years. in 2019, 520 alumni set up their dayah throughout aceh. each of dayah has average alumni of more than 300 people, the average age from 17 years to 22 years (azizi, 2019). this condition is a golden opportunity for party elites to embrace teungku dayah, hence students and the community can support the party. in principle, teungku dayah always guides the community so that the community is not affected by the instant political system which is only concerned with achieving the highest number of voters but does not 101from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) carry out the mandate as an institution that genuinely pays attention to the aspirations of the community (zulkhairi, 2019). therefore, the focus of this research is to find the role of political communication carried out by teungku dayah in awakening the harmony of the people of aceh. based on the explanation, a question arose, where was the position of teungku dayah on the stage? was it in the front or backstage? it shows that when dayah is used as a medium of political communication, the role of teungku dayah is very central as a captain in developing the process of a political movement because teungku dayah has a stake in guiding religion in aceh (armia, 2014). therefore, the primary purpose of this study is to explain the role of teungku dayah in political communication. the novelty of this research lies in the role of teungku dayah in the stage of political communication. this study is to see more clearly his role and position because teungku dayah has persuasive authority. the study of the scene of political communication, in general, has been explained by several authors but they have not described the political role of teungku dayah accurately. heryanto (2019) explains the meaning of the front stage, namely political actors directed by party owners to play on this position. the front stage position is to convey messages to the public by displaying an excellent political picture for the community. furthermore, the political meaning behind the stage is the political actors directed by the party owner to be on the backstage. the backstage position is needed by the party owner to carry out the party’s vision and mission properly, particularly carrying out the main tasks of the party’s interests. along with the importance of political parties, there are differences between those raised on the front and backstage. the political game has always been a heated issue in society, so that it provoked action-reaction during the community. public discourse and public opinion were formed (heryanto, 2019). 102 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) besides, there is one more stage that is very instrumental, the middle stage. the actual development which needs to be understood is that the main forming actor in a political party is the role of the party owner. this role in communication is called a single communicator that assigns tasks to the communicant, up to the general public. this position refers to political discussion, which is a middle-stage position. the role of the center stage is to regulate political players who are on the front and backstage. the middle stage position in political communication is very open and free in discussions of party interests (sahlan, fajarni, ikramatoun, kamil, & ilham, 2019). it is because the main benefits of the party are carried out by actors who are on the backstage, as determined by communicators on the center stage. methods this research is political communication research to study the teungku dayah political communication model in maintaining the harmony of the people, using a qualitative approach. this study employs a phenomenological approach to see immediately the practice of political communication carried out by teungku dayah in aceh, especially teungku dayah, who influences society. this research using a phenomenological approach as a basis for compiling several general provisions about the values adopted by the dayah community and discovering the uniqueness of their perceptions and organization of thought about the political communication model. results and discussion this research found that the role of teungku dayah in the process of political communication in aceh which has been carried out so far, has been carried out with efforts to influence students and the community. but in its development, in aceh, the party elite only used the role of teungku 103from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dayah as a vehicle to achieve victory. when the winning party came to power, the involvement of teungku dayah in making government policies in aceh was marginalized by the role of the winning party elites. the political phenomenon in aceh shows that political rulers who win in elections will prioritize their winning teams, then only consider the expertise possessed by someone who will be given position. in contrast, teungku dayah was merely a vehicle for politicians to play on the front stage. in the scenario of political communication practice, the focus of discussion, it can be seen that there are three stages in political communication, namely the front, the back, and the middle stage. the drama emerged in teungku dayah’s political communication did not only happen between the roles of the front stage and the backstage, as explained by erving goffman. however, the practice of teungku dayah political communication in aceh has one more character, the role of the middle stage. people who are in the middle stage are the main actors prepared by party elites to carry out the vision and mission of political parties. meanwhile, teungku dayah was only used as a temporary actor who was used to be on the front stage. the placement of teungku dayah on the front stage is because teungku dayah has the power of communication in acehnese society, which can change the way of thinking and behavior of acehnese. the power of teungku dayah political communication in aceh the power of teungku dayah’s political communication lies in the education system in the form of moral guidance developed in dayah, even though the learning methods are done by memorizing and understanding classical books. there are three scientific fields, including monotheism, jurisprudence, and sufism which dayah focuses on. the essence of the study of jurisprudence refers to the thoughts of the shafi’iy and the study of monotheism refers to the idea of ash-ariyah, while sufism leads to the 104 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) theory of al-ghazali and al-juwaini, which is used to strengthen faith in relationship with god (krueng, 2010). there are several main sources as fiqh material, such as matan at-taghrib, hasyiyah al-bajury, i`anatu at-thalihin, al-mahalli, and tuhfatu al-muhtaj. monotheism materials used as the main subject of study are `aqidah islamiyah, khamsatun mutun, kifayatu al-‘awam, al-hud hudiy, and ad-dusuqiy. this material is used to strengthen the practice in everyday life, both related to god and also the rules relating to humans. in contrast, the main study materials of sufism are taisir al-khallaq, al-ta‘limu al-muta‘alim, daqaiqu al-akhbar, muraqi al-‘ubudiyah, siraju al-thalibin dan ihya’ ‘ulumu al-din. the explanation of doctrinal material is discussed in the discussion of the paradigm of thought. this study is needed to form moral values and attitudes in daily relationships both from the implementation and from the words, which can even develop the importance of sincerity in life (jabbar, 2010). based on the above study, the dayah became a precious place in the assessment of the people of aceh. therefore, the community believes that all policies carried out by teungku dayah are the right decision in life. every fatwa issued by teungku dayah is very influential in society (nurlaila & zulihafnani, 2019). therefore the power of political communication used by teungku dayah is very prominent in all its decisions and policies. this strategy is used because all studies in dayah can provide direct benefits to the community. it can even be ascertained that this phenomenon has become a culture in a society that every dayah santri graduate is at least a teungku gampong who always serves the community in the religious field. the power of political communication possessed by teungku dayah is due to the dayah having a unique value in the view of the acehnese; because the dayah education system is voluntary, i.e., the teacher who teaches does not have a fixed salary. unlike the education system in schools or islamic boarding schools, every teacher gets a salary while at 105from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dayah teaching is a voluntary work. the voluntary intention here is that teungku dayah and the teacher aid no teaching fees, and students enrolled are not limited by a stipulation of having to pay a sum of money. besides, prioritizing dayah is private property. the communication strategy made for students by teungku is in the form of educating and guiding. teungku dayah is a teacher who gives motivation to students so that students also carry out knowledge transformation to others. students are connectors of the knowledge of their teachers because students will act as alumni, instructors of taklim assemblies in the community, and as lecturers. the relationship between students and dayah teachers is maintained. dayah teachers always supervise their students even though they are no longer studying in dayah. for example, abu shaykh h. hasanoel bashri hg (abu mudi) always advise all his students to choose legislative members. they always help and have exceptional attention to the islamic boarding school and perform islamic values. the statement was proven by alumni and the majority of the community to win candidates who meet the criteria. as for the candidates for the dpr ri in electoral district 2 aceh, abu mudi ordered students and the community to help candidates named h. ruslan m. daud from the pkb party. it was similar, for dpr ri candidates in aceh 1 electoral district, t. rifki harsya from the democratic party. therefore, all elements of the candidate won the 2019 general election. abu mudi also hopes that all legislative candidates who have a dayah education background help him either to become a member of the dprk, dpra, and even the dpr ri. from these discussions, it can be understood that political communication in aceh is closely related to teungku dayah. the reason is that there is a permanent attachment between the teacher and the student. in addition, students who have become alumni when adapting to society always carry out the mandate of their teacher in the concept of learning 106 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and teaching. it can be proven that in every important religious event, teungku dayah is always invited in hope for a blessing. it can be concluded that people’s trust in dayah is still dominant. the form of developing political communication media through the role of dayah is also always perfect. teungku dayah’s responsibility in political development in aceh based on the observations of researchers, teungku dayah has a good goal in maintaining political harmony in aceh. it is apparent that, the education system in dayah takes the emphasis on manners, morals, ethics, behavior so that it can be applied later in society. this concept is to uphold the principles of an excellent social community as the foundation of political life and even becomes the task of humanity to realize justice, prosperity, and benefit of the people. a strong commitment from all elements of society is needed, including transparency and accountability, care and response, prioritizing the interests of the people, a strategic vision of a developed and sovereign country, and strength in providing an understanding of the importance of maintaining unity and integrity. according to zubaili (2017) teungku dayah had begun to form breakthroughs, such as the development of competencies that were in line with the needs of today’s society. it shows the existence of competence, even the development and improvement of superior human resources in aceh society (zubaili, 2017). these elements are highly expected by muslim community in indonesia, especially in aceh, which must be owned by teungku dayah to become a leader who can manage the country well and with dignity. the development of political parties in aceh shows that both national and local parties involves the majority of teungku dayah in shaping the concept of state harmony through a practical political dimension. the purpose of the concept is to answer some questions developed in society, 107from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) namely, “what is the shape and content of the state according to islam?” in fact, in this regard, islam does not carry specific ideas about the state, but only offers main principles of ethics and morals. reconciliation between religious ideals and political reality is the main task of teungku dayah in shaping the harmony of muslims in aceh so that it does not become a new conflict in differences in political thought. therefore, political communication which has been developed by teungku dayah through community ethics education taught at dayah can be a solution offered to the community. various concepts developed in building harmony among the people by teungku dayah, but involving ulama to join political parties is a critical moment that is expected by the party elite. it is due to the responsibility of political values held by teungku dayah as a political communication force for the party. this concept can be proven that the majority of campaigners are teungku dayah, as in the 2019 general election process. many political parties involved teungku dayah as a campaigner. on the other hand, the political party elites used teungku dayah to gain people’s support. this concept is equally carried out by elite political parties, both national parties, and local parties. this action was done because teungku dayah was closer to the community and santri, therefore what teungku dayah said was a role model for the people of aceh. this concept is very influential for all people, especially in aceh, starting from the provincial government, to the city government and even community. furthermore, only a minority society who are not directly affected by the political development system owned by teungku dayah. campus lecturers in aceh and prominent business people have no significant influence of teungku dayah’s involvement in political parties. 108 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the teungku dayah communication model in maintaining community harmony in aceh teungku dayah’s communication model in maintaining muslim harmony in aceh can be understood that he has the system and character in guarding the political development of the ummah. teungku dayah applied the political communication system by following the political concept adopted by al-mawardi, called the state field which is primarily to continue the islamic mission after the death of muhammad saw and protect the public from various mudarat. it is due to the realization of religious obligations in its administration requiring government power, to realize justice and ensure the achievement of people’s desires and achieving happiness in the world and the hereafter (musa, 1991). al-mawardi’s view concerning state enforcement through politics has six essential elements. the six components include: (a) islam that is embraced needs to be lived out as a moral provision in daily application. moral values in islam can control the desires and passions of humans. the amount of islam becomes the most valuable joint for the welfare and stability of the state, (b) charismatic, authoritative, and able role models. by doing that way, he can unite different aspirations (heterogeneous), foster the state to achieve lofty goals, keep religion lived and practiced, and protect their people, wealth and honor, (c) ensure justice. the overall truth will create intimacy between fellow citizens, lead to respect and obedience to the leadership, enliven the lives of the people and awaken people’s interest to work and excel, and (d) security evenly distributed. with equitable security, people can live peacefully and can carry out their obligations and rights as a people. fair security is a result of the overall justice, which can enable (e) continuous soil fertility. with the productivity of the land, people’s needs for food and other material needs can be met, and then they can avoid evil deeds with all its harmful consequences, and 109from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (f) hope for survival. the current generation is closely related to the ages to come; the current generation is the heir of the last generation (musa, 1991). based on this concept, the political communication model developed by teungku dayah can be explained that teungku dayah has the right strategy in using communication media. therefore dayah educational institutions play a significant role in establishing a harmonious political system in realizing the unity of the people in indonesia. it is understandable that teungku dayah can form an optimal relationship by using dayah media appropriately. dayah is a beneficial political communication media in aceh; this is due to the high-level trust of community towards dayah education institutions. therefore, this uniqueness is needed by the coaches and the elites in political parties. it is obvious that political communication develops well if teungku dayah can influence the community in aceh. therefore, teungku dayah’s social, moral values are an important political value for aceh community. this value is achieved through theamount of teungku dayah’s responsibility in maintaining commitment as a bodyguard and guideing the community well. but the problem arises now is that many political parties are using the power of teungku dayah to attract the attention of the public so that it can be supported by society (ali, 2018). therefore, the political party rulers positioned teungku dayah to play a role on the front stage in political communication. furthermore, the role at backstage the oversight function at the center stage is only controlled by the ruler of the political party. based on dramaturgy theory pioneered by erving goffman, it was found that the main activities in the political process have two roles, namely the front, and the backstage. in this concept, it is reasonable that from these two roles, the stage role has been provided for teungku dayah’s position. this strategy is carried out to show which party was supported 110 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) by teungku dayah, so that they will be persuaded to do so. this opportunity was formed because the community’s principle was to help teungku dayah, because he is a person who always maintains the harmony of life in society. while the political system built on the backstage utilizes the gait of teungku dayah, who is already on the front stage, political actors on the backstage only form the party’s interests and the actors personalities as party elites. backstage politics uses nicolo machiavelli’s political system, which refers to who gets what and how. this concept shapes the capitalist political system; which means “whatever has to be done, the important is to fulfill what he has planned”. they are free to do anything, but they should think whose goals need to be prioritized referring to instant politics. the concept of immediate politics continues to be governed and guarded by one of the most critical positions, which is the middle stage. the intermediate stage functions to regulate the processes that apply to the front step and the backstage. the center stage is in particular held by the party owner and the party’s elite team, to control the party’s movements on the front and backstages. utilizing the front stage gives advantagesfor backstage. the shift in values in instant politics can be used by teungku dayah to become a front stage politics. however, teungku dayah only holds sincerity in political development. this is mainly because teungku dayah holds political commitment along with islamic values in shaping the harmony of muslims, not just for personal and group interests. teungku dayah’s political communication commitment is to form harmony in society so that it can achieve justice, create unity, awaken the loyalty of the people, and prosper the country. justice must start from oneself, which is reflected in doing well and leaving bad deeds, and being fair to others. the reasonable concept maintained by teungku dayah, which is accepted by others, has three parts: (a) be fair to subordinates, like the king to his subjects, by providing convenience and abandoning 111from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) burdensome methods, (b) be appropriate to superiors, such as the people towards their rulers with sincere obedience, ready to help with high loyalty, and (c) be fair to others who are equal, that is, not to complicate matters, leaving behind dishonorable and painful actions. the application of this concept has become the primary value in shaping harmony in acehnese society. conclusion and suggestion conclusion this research concludes that the model of harmonious political communication that teungku dayah built-in conducting an effective political system is political communication that upholds islamic values. harmony politics contact can form a politics that is peaceful, prosperous, and just. harmony politics communication can overcome the practice of violence, division, and racism in society. the political communication guidance conducted by teungku dayah is through moral leadership at the dayah education institute. likewise, when teungku dayah was also involved in running for legislative membership, teungku dayah also continued to use the dayah education institution network and majelis taklim as a medium for political communication. teungku dayah has a solid mass (santri and members of the taklim assembly). the power of teungku dayah political communication in aceh was formed by the existence of a dayah institution and taklim assembly. this lembang is very influential in society. in addition, the community can be controlled well and peacefully with guidance from teungku dayah. morals formation and its implementation are carried out in daily life. this guidance is essential to form a harmonious relationship with god and fellow humans. while the teungku dayah communication model maintains muslim harmony in aceh, teungku dayah continues to develop the dayah education 112 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) model as a medium of excellent political communication in keeping the moral and ethical community. it is because teungku dayah has its system and character, such as the application of the concept of good guidance ethics in guarding the political development of the people. harmony can be formed through teungku dayah’s leadership in guiding the community, so that the community can uphold a good value towards the political communication model undertaken by teungku dayah. meanwhile, the problem that caused teungku dayah to become an “instant political victim” was due to the political party elites being able to utilize the power of teungku dayah’s political communication to be limited to the political front stage. while for backstage politics, they already have specific contracts and policies formed by the controller of the political party movement, which is positioned teungku dayah on the center stage. suggestion based on the explanation and conclusion, it would be necessary to study further about teungku dayah. it is because political communication is a dynamic study as dynamic as the conditions in aceh. the possible changes need to be responded continuously to enrich the results of this research. certainly, future research needs to include more diverse perspectives, with different methods, theories, subjects, and approaches. references ahmad, k. b. (2017). from power to cultural landscapes: rewriting history of shi‘ah in aceh. journal of indonesian islam, 11(2), 509530. https://doi.org/10.15642/jiis.2017.11.2.509-530 akbar, f., & mujibussalim. (2017). eksistensi partai politik lokal di aceh (suatu kajian terhadap partai daulat aceh pada tahun 2009). jurnal ilmiah mahasiswa fakultas ilmu sosial & ilmu politik, 2(3), 230247. 113from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ali, m. r. h. (2018). menguatnya pengaruh politik ulama. retrieved june 1, 2020, from tribunnews.com website: https://aceh.tribunnews. com/2018/12/03/menguatnya-pengaruh-politik-ulama anshori, m. h. (2012). linking identity to collective action: islam, history and ethnicity in the aceh conflict. studia islamika, 19(1), 1-46. https://doi.org/10.15408/sdi.v19i1.368 armia, n. (2014). teungku dayah dan kekuasaan panoptik. substantia:jurnal ilmu-ilmu ushuluddin dan filsafat, 16(1), 13-34. https://doi. org/10.22373/subtantia.v16i1.4914 azizi, m. a. (2019). strategi dakwah abon abdul azizi samalanga: pemikiran, teori dan praktek. aceh: bandar publishing. burhanudin, j. (2014). history, authority, and power: a case of religious violence in aceh. journal of indonesian islam, 8(1), 112-138. https:// doi.org/10.15642/jiis.2014.8.1.112-138 dhuhri, s. (2016). the text of conservatism: the role of abbas’ ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah in underpinning acehnese current religious violence. studia islamika, 23(1), 29-59. https://doi. org/10.15408/sdi.v23i1.2405 furqan, m. (2019). surau dan pesantren sebagai lembaga pengembang masyarakat islam di indonesia (kajian perspektif historis). jurnal al-ijtimaiyyah: media kajian pengembangan masyarakat islam, 5(1), 1-34. https://doi.org/10.22373/al-ijtimaiyyah.v5i1.5132 heryanto, g. g. (2019). panggung komunikasi politik. yogyakarta: ircisod. iqbal, m., & nasution, a. h. (2017). pemikiran politik islam: dari masa klasik hingga indonesia kontemporer pilkada. jakarta: prenadamedia group. jabbar, s. (2010). profil ringkas dayah mudi mesjid raya samalanga aceh. aceh: dayah mudi mesra. krueng, a. k. (2010). dayah dan rabithah thaliban dalam catatan aceh. aceh: rabithah thaliban. kurdi, m. (2008). kajian tinggi keislaman, nanggroe aceh darussalam. aceh: biro keistimewaan dan kesejahteraan rakyat. kurdi, m. (2010). ulama aceh dalam melahirkan human resource di aceh. aceh: yayasan aceh mandiri. 114 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kusuma, b. m. a., & octastefani, t. (2017). negosiasi dakwah dan politik praktis:membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 2(1), 1-24. https://doi.org/10.22515/balagh.v2i1.690 ma`rufah, t. (2017). cultural symbol dan politik identitas dalam pembangunan kota sampit. dinika: academic journal of islamic studies, 4(2), 275-304. https://doi.org/10.22515/dinika.v4i2.2081 makin, a. (2016). islamic acehnese identity, sharia, and christianization rumor: a study of the narratives of the attack on the bethel church in penauyong banda aceh. journal of indonesian islam, 10(1), 1-36. https://doi.org/10.15642/jiis.2016.10.1.1-36 mudzakkir, a. (2019). perseteruan memori kolektif: kontestasi islam dan politik di tasikmalaya pasca-orde baru. dinika: academic journal of islamic studies, 4(3), 399-412. https://doi.org/10.22515/dinika. v4i3.2063 munhanif, a. (2016). islam, ethnicity and secession: forms of cultural mobilization in aceh rebellions. studia islamika, 23(1), 1-28. https://doi.org/10.15408/sdi.v23i1.2659 musa, m. y. (1991). politik dan negara dalam islam. jakarta: pustaka lsi noer, d. (1999). islam dan politik. in h. basyaib & h. abidin (eds.), mengapa partai islam kalah? perjalanan politik islam dari pra-pemilu`99 sampai pemilihan presiden (pp. 8-12). jakarta: alvabet. nurlaila, & zulihafnani. (2019). pengaruh fatwa ulama dayah dalam masyarakat aceh. substantia:jurnal ilmu-ilmu ushuluddin dan filsafat, 21(2), 93-103. https://doi.org/10.22373/subtantia.v21i2.3742 pribadi, y. (2018). identity contested; cultural resilience in the midst of islamization of politics. al-jami’ah: journal of islamic studies, 56(2), 255-280. https://doi.org/10.14421/ajis.2018.562.255-280 rais, m. d. (2001). teori politik islam. jakarta: gema insani press. saby, y. (2001). the ulama in aceh: a brief historical survey. studia islamika, 8(1), 1-54. https://doi.org/10.15408/sdi.v8i1.694 sahlan, m., fajarni, s., ikramatoun, s., kamil, a. i., & ilham, i. (2019). the roles of ulama in the process of post-conflict reconciliation in aceh. society, 7(2), 251-267. https://doi.org/10.33019/society. v7i2.106 115from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) srimulyani, e., afriko, m., salim, m. a., & ichwan, m. n. (2018). diasporic chinese community in postconflict aceh; socio-cultural identities and social relations with the acehnese muslim majority. al-jami’ah: journal of islamic studies, 56(2), 395-420. https://doi. org/10.14421/ajis.2018.562.395-420 suyanta, s. (2012). idealitas kemandirian dayah. jurnal ilmiah islam futura, 11(2), 16 37. https://doi.org/10.22373/jiif.v11i2.52 umam, s. (2013). controversies surrounding the aceh’s sultanahs: understanding relation between islam and female leadership. journal of indonesian islam, 7(1), 1-23. https://doi.org/10.15642/ jiis.2013.7.1.1-23 zubaili. (2017). kebijakan pemerintah aceh dalam pengembangan kompetensi guru dayah di aceh pasca tsunami. universitas islam negeri sumatera utara medan. retrieved from http://repository.uinsu. ac.id/4106/ zulhazmi, a. z. (2018). mendulang suara generasi milenial muslim: citra ketua umum ppp m. romahurmuziy di media sosial. shahih, 3(2), 163-174. https://doi.org/10.22515/shahih.v3i2.1377 zulkhairi, t. (2019). gerakan santri aceh mewujudkan perubahan. aceh: madani publisher. 116 from the religious stage to the political stage: teungku dayah’s political communication study in aceh muntasir, muhammad aminullah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 95 116, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2166 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 editorial team editor-in-chief akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta, indonesia editor imam mujahid, (scopus id : 57208214175); institut agama islam negeri surakarta, central java, indonesia waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga, yogyakarta, indonesia soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda, indonesia ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta, indonesia rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 daftar isi dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim 169 198 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono 199 234 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih 235 262 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih 263 292 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari 293 316 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah 317 336 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah universitas terbuka, pamulang, tangerang selatan keywords: da’wa method; gus dur; industrial revolution 4.0. http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: faizatunkhasanah1@gmail.com abstract da’wa in the era of the industrial revolution 4.0 experienced significant development. this can be seen from the rise of da’wa on youtube, instagram, twitter, facebook, and other social media platform. in the other hand, today’s da’wa faces challenges such as the degradation of the preaching message content. as a preacher in his time, gus dur had an important method of preaching to be explored and replicated. gus dur’s da’wa who shared peace and pluralism became a special characteristic. this study wants to answer question of how the gus dur da’wa method and its relevance to the era of the industrial revolution 4.0. this research used a literature study approach. this research found three methods of gus dur’s preaching. first, the written preaching. second, the verbal preaching. third, preaching in action. the three methods are relevant to use in the era of industrial revolution 4.0 which characterized the massive use of digital lines to preach. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 318 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak dakwah di era revolusi industri 4.0 mengalami perkembangan yang signifikan. hal tersebut di antaranya dapat dilihat dari maraknya dakwah di youtube, instagram, twitter, facebook, dan media sosial lainnya. pada sisi lain, dakwah masa kini mendapat tantangan seperti terdegradasinya isi pesan dakwah. sebagai seorang pendakwah di masanya, gus dur memiliki metode dakwah yang penting untuk digali dan direplikasi. dakwah gus dur yang menyuarakan perdamaian dan pluralisme menjadi sutu kekhasan tersendiri. penelitian ini ingin menjawab pertanyaan tentang metode dakwah gus dur dan relevansinya dengan era revolusi industri 4.0. penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan studi pustaka. riset ini menemukan tiga metode dakwah gus dur. pertama, dakwah dengan tulisan. kedua, metode dakwah secara verbal. ketiga, dakwah dengan perbuatan. tiga metode itu relevan digunakan di era revolusi industri 4.0 yang berciri masifnya penggunaan jalur digital untuk berdakwah. kata kunci: gus dur; metode dakwah; revolusi industri 4.0. how to cite (apa 6th style): khasanah, f. (2019). metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2). 317-336. http://dx.doi. org/10.22515/balagh.v4i2.1818 pendahuluan era revolusi industri 4.0, sebagaimana diperbincangkan dalam banyak seminar, konferensi, dan simposium belakangan ini, menghadirkan sejumlah peluang dan tantangan. revolusi industri 4.0 dapat dimaknai sebagai sebuah masa ketika semua entitas yang ada di dalamnya saling berkomunikasi secara real time di setiap waktu dan tempat dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi internet (prasetyo & sutopo, 2018). konsekuensi dari revolusi industri 4.0 adalah munculnya disrupsi di banyak lini kehidupan manusia (prasetyo & trisyanti, 2018). pasalnya, pada masa itu tenaga manusia kian tergantikan oleh mesin (teknologi) demi penghematan waktu, tenaga dan biaya. big data, artificial intelligence, smart city, 319metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) smart factory semakin banyak dibicarakan dan menemukan relevansinya di masa itu (baenanda, 2019). era revolusi industri 4.0 dan era disrupsi memberi dampak pada banyak hal, tak terkecuali pada dakwah. dakwah merupakan bagian dari aktifitas komunikasi yang mempunyai tujuan penyampaian pesan keagamaan dari pendakwah kepada mitra dakwah (aziz, 2006). di masa sekarang ini, dakwah tidak hanya mempunyai misi keagamaan, lebih jauh dari itu dakwah dibungkus dengan kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, transfer nilai (muttaqin, 2012). televisi dan media-media sosial menyajikan berbagai bentuk dakwah dan belakangan ini muncul sejumlah ustaz muda yang dibesarkan media. di media sosial, kita temukan pula dakwah yang disisipi pesan politik dan bahkan ujaran kebencian dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan (ridho, 2018). berbicara mengenai dakwah dan era revolusi industri 4.0 artinya berbicara tentang dakwah melalui kanal siber (internet). sejumlah peneliti telah menulis keterkaitan dakwah dan internet (budiantoro, 2017; hidayaturrahman & putra, 2019; sirajuddin, 2014; sumadi, 2016; zaini, 2013; nurdin, 2014). di antara para peneliti tersebut terdapat mereka yang memandang dakwah di internet secara optimis, namun ada pula yang berpandangan kritis. salah satu yang dikritisi dari dakwah melalui internet adalah hilangnya etika dalam komunikasi via internet. selanjutnya, riset ini menggambarkan relevansi metode dakwah abdurrahman wahid (gus dur) dengan era revolusi industri 4.0. gus dur adalah salah satu dai yang handal pada masanya. ia berdakwah lintas agama dan budaya dan tidak takut nama baiknya tercemar karena dakwah yang ia sampaikan. gus dur sosok yang konsisten dengan keislaman dan kemanusiaan. penting kiranya menangkap spirit dakwah gus dur di era disrupsi dan revolusi industri 4.0 seperti sekarang ini. gus dur menjadi teks yang multi tafsir, sehingga dari era gus dur sampai sekarang ia menjadi objek dari berbagai penelitian, baik nasional 320 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) maupun internasional. penelitian yang telah dilakukan dengan objek formal gus dur mencakup berbagai lini keilmuan, meliputi ilmu sosial, politik, budaya, keagamaan, dan ilmu-ilmu lainnya (anam, 2019; asmara, 2017; nurcholis, 2015; salleh & yusuf, 2014; taufani, 2018; yusalia, 2011). rosidi (2013) mengungkapkan bahwa sosok gur dur sebagai dai yang fenomenal dan humoris, tetapi menemukan relevansinya dalam konteks dakwah islam di indonesia. hasil risetnya menunjukkan bahwa corak dakwah gus dur adalah multikultur. ciri khas pemikiran dan gerakan dakwah gur dur ini ternyata menemukan relevansinya dalam konteks dakwah islam di indonesia. hal ini dikarenakan bangsa indonesia terlahir sebagai bangsa yang multikultur dan plural dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga metode dakwah gus dur begitu menarik perhatian umat dari berbagai agama lain di indonesia. mibtadin (2010) menjelaskan posisi pemikiran humanisme gus dur sebagai basis antropologis yang dibangun atas pribumisasi islam, kosmopolitanisme, dan universalitas islam. humanisme gus dur yang berdasar pada al-kulliyat al-khamsah dan diarahkan pada pemberdayaan civil society. tipikal humanisme gus dur adalah humanisme religius. mibtadin juga menjelaskan aspek rasionalitas dan peran sentral manusia dalam menjalankan humanismenya. gus dur dianggap sebagai sosok yang selalu menggaungkan nilai-nilai universal, demokrasi, keadilan, kesetaraan gender, ham, dan kebebasan. fitriyah (2013) melontarkan kritik pada fenomena islam yang diajarkan di indonesia hasil dari arabisasi, tanpa menyentuh kultur dan kondisi sosial budaya lokal. hal itu berlainan dengan islam rahmatan lil ’alamin yang disampaikan oleh gus dur dengan mempertimbangkan kultur ke-indonesiaan atau dikenal dengan pribumisasi islam. pribumisasi islam bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya. 321metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) senada dengan riset-riset tersebut, anam (2019) mencatat prinsip dasar yang selalu dipegang gus dur dalam segala keadaan adalah islam rahmatan lil ‘alamin yang di dalamnya terdapat misi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. karena prinsipil, maka semua yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan tersebut pasti ditentang oleh gus dur. prinsip dasar tersebut melahirkan prinsip turunan yaitu persaudaraan, kesetaraan, keadilan, dan anti penindasan atau yang dikenal dengan teori pembebasan. prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh gus dur melahirkan keberpihakan, utamanya kepada kelompok-kelompok yang tepinggirkan dan tertindas. gus dur memperjuangkan keberagaman dan kesetaraan. sejumlah orang memberikan gelar bapak pluralisme kepadanya. pluralisme yang diperjuangkan gus dur bukan suatu pandangan yang ingin menyamakan semua agama. gus dur menginsafi bahwa setiap agama tentu mempunyai perbedaan dan keunikan tersendiri. pluralisme tidak hanya berbicara tentang pentingnya menghargai keragaman, namun juga adalah suatu kontribusi aktif dalam keragaman itu sendiri (taufani, 2018). salah satu esensi pluralisme adalah kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus antara kelompok yang satu dengan yang lain (asmara, 2017). hingga kini, prinsip-prinsip itu terus dijaga dan dirawat oleh para pengikut gus dur (gusdurian). mereka berjejaring dan menghidupi semangat toleransi, perdamaian, keadilan dan kemanusiaan (firdaus, 2018). menurut salleh & yusuf (2014) prinsip dan pemikiran gus dur dibentuk dan dipengaruhi pendidikan pesantren. selanjutnya gus dur juga mendapat pengaruh dari timur tengah tempat ia pernah menimba ilmu dan bertemu dengan beragam pemikiran, termasuk pemikiran-pemikiran barat. asupan pengetahuan yang beragam menghasilkan cara berpikir dan bertindak yang dinamis. hal itu setidaknya yang dicatat nurcholis (2015) ketika menelisik pendidikan perdamaian yang diupayakan gus dur. 322 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) penelitian lain yang juga membahas tentang pemikiran gus dur adalah penelitian mufidah (2015) mengenai pemikiran gus dur dalam pendidikan karakter dan kearifan lokal; penelitian rusli (2015) tentang pemikiran kebangsaan dan keagamaan gus dur; penelitian susila (2017) yang menganalisis pemikiran gus dur tentang agama; penelitian miftahuddin (2012) yang membahas tentang konsep pluralisme gus dur dalam bingkai indonesia; dan penelitian suwardiyamsyah (2017) mengenai konsep toleransi beragama berdasarkan pemikiran gus dur. mencermati sejumlah riset terdahulu, dapat diketahui bahwa gus dur adalah sosok yang penting dan menarik diteliti. pemikiran dan pergerakannya menjadi tema yang terus relevan untuk dikaji. penelitian ini berfokus pada metode dakwah gus dur, dikaitkan dengan era revolusi industri 4.0. dengan demikian, penelitian diharapkan memberikan dampak tentang pembumian metode dakwah gus dur untuk mengatasi permasalahan keagamaan di era revolusi industri 4.0. penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang telah disebutkan. perbedaan mendasar terletak pada objek kajian, bahwa penelitian ini memfokuskan pada metode dakwah gus dur. selain itu, penelitian ini juga mengungkap relevansi metode dakwah gus dur di zaman revolusi industri 4.0. terlebih lagi terdapat dinamika keagamaan yang signifikan di era revolusi industri 4.0. adapun penelitian-penelitian sebelumnya hanya membahas tentang pemikiran gus dur pada suatu tema tertentu (misalkan, pemikiran gus dur tentang pluralisme, toleransi beragama, pendidikan karakter, konsep kebangsaan, dan humanisme) dan tidak mengkontekskan pada zaman revolusi industri 4.0. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka. artinya peneliti mengumpulkan data-data dari teks tertulis seperti buku, artikel jurnal, dan berita. data tersebut kemudian disusun dan dianalisis untuk dapat 323metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menggambarkan metode dakwah gus dur dan relevansinya dengan revolusi industri 4.0. hasil penelitian dan pembahasan metode dakwah gus dur proses penyampaian pesan dakwah berkaitan erat dengan proses komunikasi. rakhmat (2008) memandang kemajuan di bidang ilmu modern harus disambut oleh para juru dakwah dalam mengembangkan islam. dalam proses penyampaian pesan dakwah melalui media baik cetak maupun elektronik, seorang juru dakwah harus mampu menyesuaikan kedudukannnya sebagai komunikator yang berhadapan dengan sekian banyak audiens dan dengan latar belakang pendidikan, usia, profesi yang berbeda. dalam penyampaian pesan dakwah secara lisan atau langsung, juru dakwah akan berhadapan dengan kelompok audiens yang mempunyai kecenderungan sama. sehingga para juru dakwah dapat menampilkan penyampaian pesan dakwah yang sesuai dengan kebutuhan. gus dur dalam konteks ini termasuk orator ulung pada masanya, isi dan gaya komunikasinya yang penuh dengan humor namun berisi mengundang perhatian banyak pihak. gus dur menggunakan berbagai metode atau bentuk dalam menyampaikan dakwahnya, disesuaikan dengan target atau komunikan dari dakwah tersebut. pertama, gus dur menggunakan metode tulis dalam dakwahnya. selama hidup gus dur menghasilkan sejumlah buku. buku-buku karya gus dur yang dibukukan merupakan bunga rampai dari tulisan-tulisannya yang dimuat di media cetak. topik pembahasan tulisan gus dur amat luas, mulai dari sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, hingga sepak bola dan film. buku-buku yang telah diterbitkan di antaranya yaitu: islam kosmopolitan: nilai-nilai indonesia & transformasi kebudayaan (2007), islamku, islam anda, islam kita: agama masyarakat negara demokrasi (2006), gus dur: melawan melalui lelucon (2000), pergulatan negara, 324 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) agama, dan kebudayaan (2001), mengapa kami memilih golput (2009), icmi: antara status quo dan demokratisasi (1995), mengatasi krisis ekonomi: membangun ekonomi kelautan: tinjauan sejarah dan perspektif ekonomi (2004), kontroversi pemikiran islam di indonesia (1990), mengurai hubungan agama dan negara (1999), abdurrahman wahid selama era lengser: kumpulan kolom dan artikel (2002), gus dur menjawab kegelisahan rakyat (2007), menggerakkan tradisi (2001). tulisan gus dur merupakan wujud dari kegelisahannya melihat realita sosial terutamanya dan politik serta keagamaan. ia sering naik angkutan umum ketika bepergian, beliau banyak menulis tentang apa yang dilihat di sepanjang perjalan. hampir setiap hari gus dur menulis dan dimuat di media cetak sebelum mengalami stroke dan kebutaan. kekayaan bahasa yang ia tuturkan merupakan wujud dari keluasan pengetahuan yang ia punya. karena sejak kecil beliau telah membaca berbagai jenis buku dan mempelajarinya secara otodidak. gus dur berdakwah dengan menggunakan tulisan mulai dari hal yang sepele dalam kehidupan sampai yang urgen. hal yang sederhana dijadikan sebagai sesuatu yang penting, sebaliknya hal-hal kenegaraan yang genting di tangan gus dur dapat menjadi sesuatu yang ringan. tulisan gus dur di media massa menjadi penting kehadirannya. media memiliki tiga kepentingan utama; kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan kekuasaan (power interest), dan kepentingan publik. kepentingan publik inilah sebenarnya yang mendasar, dan media menjadi ruang publik yang obyektif. ironisnya public sphere sering terabaikan akibat kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan. kuatnya kepentingan inilah sesungguhnya membuat media tidak netral, jujur, adil dan terbuka. sehingga menimbulkan persoalan obyektivitas dan independensi dalam pemberitaan media. kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan menentukan apakah informasi yang disampaikan mengandung kebenaran (truth), atau kebenaran palsu (psedo-truth); menyampaikan obyektivitas 325metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; mempresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas atau menyimulasi realitas (syahputra, 2016). dakwah dalam bentuk tulisan ditujukan untuk kaum terdidik dan kelas menengah. dilihat dari struktur kebahasaan dan kosa kata yang digunakan gus dur, relatif sulit dipahami oleh masyarakat umum. selain itu, tulisannya banyak mengkritik pemerintah pada waktu itu. semangat dakwah dalam model tulisan merupakan misi kemanusiaan yang berdasar pada agama. sebagai khalifah di bumi gus dur merasa terpanggil untuk membela mereka yang tertindas. mengenai fungsi sosial ini, gus dur mendasarkan diri pada firman allah tentang keteladanan dalam diri rasulullah. keteladanan yang dimaksud terutama peranan nabi muhammad dalam mengusahakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.fungsi ini mencakup keharusan untuk memperjuangkan kesejahteraan secara menyeluruh dan tuntas, sekaligus melawan pola hidup sosial yang eksploitatif, tidak manusiawi dan tidak berasaskan keadilan (wahid, 2001). media dijadikan gus dur sebagai salah satu sarana untuk berdakwah. media dijadikan sebagai alat untuk mempersempit yang luas, dengan media jangkauan yang awalnya sangat luas bisa menjadi sempit dengan hanya melihat dan membaca di media. bermodalkan bahasa tulisan gus dur menunjukkan kebesaran islam dan keluhuran ajarannya yang penuh cinta kasih. gus dur ingin menunjukkan kepada dunia bahwa islam adalah benar-benar rahmatan lil ’alamin terhadap semua makhluk termasuk hewan dan alam, lebih utamanya manusia. tulisan gus dur yang dimuat dalam majalah prisma menunjukkan dakwah gus dur yang bersifat dialogis dengan permasalahan umat. ia menjadikan islam sebagai sumber nilai. dalam tulisannya yang berjudul agama, ideologi, dan pembangunan: 326 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “keluhuran nilai hidup manusia, sebagai nilai tertinggi yang mereka anut dalam kehidupan, membawa mereka pada penolakan langsung atas tujuan pembangunan yang demikian matrealistis. karena tujuan pembangunan menyangkut strategi pembangunan yang akan diambil dengan sendirinya tantangan yang mereka ajukan segera merembet kelain sektor, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi penolakan terhadap keseluruhan konsep pembangunan yang dirumuskan oleh kekuasaan yang sedang memerintah (wahid, 1999).” gus dur mengkritik gerakan-gerakan islam yang tidak menyentuh esensi. gus dur tidak segan-segan mengkritik mereka yang menambah keruwetan dalam pengembangan umat islam. pada tulisan yang lain gus dur mengkritik mereka yang toleransi keagamaanya masih rendah. ia menyampaikan dakwahnya dengan gaya yang khas, diselingi humor, sindiran, tapi tetap mengena. gus dur merupakan bapak toleransi, dalam sebuah tulisan ia menyampaikan pesan toleransinya terkait kasus azan dengan pengeras suara. “suara bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai. kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. sekian buah baladanya trio bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya. tetapi ternyata ada “persembahan” berirama yang menampilkan suara lantang. bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadah, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau (wahid,1982). dakwah tidak selalu dikemas dalam bingkai keagamaaan “formal”, dengan menyuguhkan dalil-dalil dan diceramahkan. model dakwah gus dur dengan tulisan banyak bersinggungan dengan kondisi sosial budaya pada waktu itu. pada era revolusi industri 4.0 ini model dakwah seperti ini 327metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) penting dilakukan agar dakwah merepsesentasikan kebutuhan umat dan sekaligus mengkritisi penyimpangan-penyimpangan praktik keagamaan. terlebih pada masa kini dimudahkan dengan hadirnya media sosial (internet) sebagai media untuk menulis (berdakwah). islam yang diperjuangkan gus dur merupakan islam yang menjadi pedoman nilai (spirit) dalam bertingkah laku dan berketuhanan. ia resah dengan kondisi gerakan islam yang serba ingin memformalkan ajaran islam, terutama dalam skala kenegaraan. dalam majalah prisma gus dur menulis: “secara prinsip, islam sudah sempurna. ketika dijabarkan secara operasional ia masih harus merambah lagi. dengan munculnya kelompok intelektual yang serba mau menformalkan islam, saya khawatir islam kehilangan relevansinya. islam yang seharusnya di jantung dan urat nadi sekarang kita letakkan di hadapan. jangan dilupakan kita sebagai bangsa terlanjur heterogen dan pluralistik (wahid, 1999). demikianlah sekilas penjabaran tentang cara gus dur menjalankan dakwah dengan tulisan. sejarah mencatat gus dur adalah penulis ulung yang produktif. di masa sekarang, setiap yang dilakukan oleh gus dur dianggap masih sangat relevan untuk dipraktikkan. meskipun sebagian anak muda menyukai konten visual dan audio visual, tulisan tetap dibutuhkan dalam dakwah era digital. kedua, gus dur juga berdakwah secara verbal. dalam dakwah secara verbal hampir sama dengan model dakwah tulisan, bedanya disampaikan dengan cara lisan. bahasa komunikasi yang ia sampaikan penuh dengan warna, bisa tiba-tiba mengalihkan uraian yang kaya faktafakta yang dramatik ke anekdot yang penuh humor, dan kemudian kembali ke kesimpulan yang serius. ia pandai membuat lelucon terutama dalam bahasa jawa. ini seni yang merupakan keahliannya yang menonjol. gus dur bisa berceramah tentang birokratisasi, otokrasi, dibelokkan ke bola dan bisa kembali ke topik pembicaraan untuk menghindari kejenuhan 328 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) audiens. motivaasi dakwah gus dur adalah kemanusiaan yang berdasar pada ajaran agama. ia tidak segan-segan untuk membela mereka yang tertindas meskipun reputasinya dipertaruhkan. manusia mempunyai derajat yang sama di hadapan tuhan dan harus diperjuangkan. “manusia harus dilindungi martabatnya dan dibiarkan bertumbuh untuk menjamin kapasitas fungsionalnya bekerja. hal ini mencakup tuntutan untuk menghormati hak-hak yang bersifat asasi atau dasar yang merupakan syarat keharusan bagi jalannya kapasitas pengembangan diri dan kapasitas-kapasitas fungsional yang lain. yakni penghargaan kepada nilai-nilai dasar kehidupan manusia yang sesuai dengan martabatnya, pelestarian hak-hak asasinya secara individual maupun secara kolektif, pelestarian hak mengembangkan sendiri tanpa rasa takut terhadap ancaman pengekangan, hak mengemukakan pendapat secara terbuka, dan pengokohan hak untuk mengembangkan kepribadian tanpa campur tangan dari orang lain (wahid, 2007).” dalam kapasitas itu juga maka manusia berhak menyandang kedudukan mulia sebagai aktor sejarah. manusia, dalam pandangan gus dur, adalah “pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh” yang diharapkan “ikut ambil bagian dalam membangun peradaban manusia” (wahid, 2007). pada tahap sebagai aktor sejarah inilah, menurut gus dur, saat yang paling menentukan bagi status kemuliaan manusia di hadapan allah. dalam pidato kepresidenan gus dur usai pengambilan sumpah sebagai presiden republik indonesia beliau menyampaikan pentingnya menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan. “kita tetap berketepatan hati pula untuk tetap menggunakan prinsip-prinsip pencarian keuntungan dan pencarian efisiensi serta penggunaan akal dan budi daya yang kita miliki untuk mematangkan kehidupan kita bersama dan menaikkan pendapatan dari rakyat kita. ini adalah tugas yang maha berat, bukan tugas yang ringan karena di dalamnya ada implikasi bahwa kita semua, sidang majlis yang 329metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berbahagia, memberikan tugas kepada saya di bawah bimbingan pimpinan mpr yang baru untuk menegakkan keadilan dan untuk mendatangkan kemakmuran bagi sebanyak mungkin warga masyarakat kita”(a. a. aziz, 1999) gus dur dalam berdakwah sering menggunakan bahasa-bahasa sindiran atas kegelisahan umatnya. gus dur menggunakan bahasa sindiran agar yang bersangkutan tidak merasa tersinggung, sehingga pesan yang disampaikan bisa sampai ke audiens. ketiga, dakwah gus dur dengan perilaku. perjuangan dakwah gus dur berdasar pada maqâshid syarî ah, as-syatibi memperinci maqâ shid syari’ah dalam visi dlarûriyah terbagi menjadi lima yang kemudian lebih dikenal dengan al-kulliyât al-khams, di antaranya hifdz al-dîn; (perlindungan terhadap keyakinan agama). islam mengajarkan untuk menciptakan sikap hormat dan menjaga keyakinan yang ada, agar dalam masyarakat yang berada di dalam naungan yang bervariasi dapat hidup berdampingan secara damai, saling menjaga dan menghormati, tidak terjadi saling intervensi dan interpolasi ajaran. hukum agama mejadi pijakan dakwah sosial gus dur. agama dijadikan gus dur sebagai roh dalam perjuangan moral, bukan difungsikan sebagai bendera dan label (khasanah, 2019). islam akan tetap berjaya dan diakui dunia internasional ketika menunjukkan dirinya sebagai agama kemanusiaan. sehingga label negara islam tidak diperlukan di indonesia, mengingat agama yang ada di indonesia beranekaragam. negara juga tidak punya wewenang untuk memaksakan kepercayaan suatu agama kepada masyarakat, hal tersebut juga dilindungi oleh pancasila. pada masa pemerintahan soeharto kehidupan beragama di indonesia diatur melalui surat edaran menteri dalam negeri no. 477/74054/b.a.012/4683/95 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah adalah islam, kristen, katolik, hindu, dan budha, sedangkan konghucu tidak diakui sebagai agama dan tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah. ketika gus dur menjabat sebagai presiden menerbitkan 330 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) keputusan presiden no. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut konghucu. etnis tionghoa yang selama bertahun-tahun diperlakukan sebagai kelompok minoritas dan dipinggirkan, pada masa pemerintahan gus dur dapat berada pada posisi setara. gus dur berupaya membebaskan kehidupan umat beragama dari campur tangan negara. ia mengajak semua komponen bangsa untuk saling menghargai satu sama lain. wawasan kebangsaan yang berlandaskan relativisme ternyata masih berbenturan dengan berbagai kelompok masyarakat yang berpaham etnosentrisme, lebih-lebih dalam kaitanya dengan isu agama. setiap hal yang dilakukan gus dur baik selama menjadi aktivis, ketua pengurus besar nahdlatul ulama, presiden, dan masyarakat sipil adalah bentuk dakwah dengan perilaku atau perbuatan. dakwah dengan metode itu pada intinya adalah dakwah dengan memberi teladan. gus dur telah melakukannya. segala perbuatan baik gus dur dan keberpihakannya selama hidup kini menjadi teladan dan pedoman dalam mewujudkan indonesia yang toleran dan non diskriminatif. relevansi metode dakwah gus dur pada masa sekarang di era revolusi industri 4.0, berbagai media sosial setiap detiknya mengirimkan berbagai informasi dan berita. media dapat mengubah sesuatu yang disimulasikan menjadi realitas (astuti, 2015). konstruksi makna dan tanda saling berkelindan di dalam virtual. pesan dakwah seakanakan benar adanya sesuai yang dikehendaki al-qur’an. akibatnya pesan menjadi rentan dengan kepentingan-kepentingan. meskipun demikian masih dapat kita temukan konten-konten yang mengandung manfaat dan ditujukan untuk kemaslahatan manusia. dakwah dengan perilaku yang dicontohkan gus dur di antaranya adalah rela berkorban. gus dur rela dicaci maki umatnya bahkan diberi tuduhan buruk oleh pemerintah, karena menunjukan keberanian moral, 331metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) termasuk melawan segenap kesalahan meskipun dilakukan oleh umatnya sendiri. gus dur secara terbuka berani menentang siapa saja yang menghalangi jalannya menegakkan keadilan. tidak peduli ia dicaci maki dan dicibir rakyatnya. sepak terjang gus dur sering tidak dimengerti oleh kebanyakan rakyatnya, sehingga menyebabkan kontroversi dan sebagian dari mereka memberi label gus dur tidak konsisten. meskipun beliau adalah ulama besar dan sebagian kalangan menganggapnya wali, gus dur tetap menjadi manusia. maksudnya, ia tetap bertindak humanis. gus dur memilih pahala yang lebih besar dari sekedar wiridan di masjid, dengan cara menyebarkan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. inilah bedanya spiritual yang diterapkan oleh gus dur, ia lebih bergerak ke arah luar dirinya (vertikal) dari pada horizontal (wahid, 2000). dakwah dengan perbuatan merupakan model dakwah gus dur yang masih relevan sekaligus dibutuhkan di era ini. mengingat era ini dipenuhi dengan propaganda, kepentingan golongan, dan disrupsi. era digital juga menuai kritik perihal terkikisnya tata krama para pengguna internet, yang salah satunya berujung pada penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. jika merujuk pada semangat dakwah gus dur yang menjunjung tinggi moralitas dan kemanusian, hal buruk tersebut mestinya dapat dikurangi. metode dakwah gus dur yang selanjutnya adalah dakwah melalui media massa dengan menulis. gus dur telah telah menggunakan media massa seperti surat kabar, majalah, koran sebagai alat untuk menyebarkan dakwahnya. metode dakwah ini sangat tepat digunakan pada masa revolusi industri 4.0. media online kini bertebaran dan dapat dimanfaatkan. media sosial juga dapat dijadikan sebagai sarana dalam berdakwah. dakwah dapat disampaikan melalui berbagai cara dan berbagai media. salah satu di antaranya adalah melalui media sosial. di zaman sekarang, media sosial telah menjadi fenomena global. seperti diketahui bersama, bahwa aplikasi-aplikasi media sosial sudah menjadi bagian tidak 332 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) terpisahkan dari alat komunikasi yang “dibenamkan” di dalam smartphone. kini, dengan semakin luas, cepat dan lebarnya koneksi internet, konsumen semakin dimudahkan dalam mengakses aplikasi media sosial. begitu masifnya manusia dalam memanfaatkan internet dan jejaring sosial maka, tentu akan sangat efektif jika jejaring sosial digunakan sebagai sarana untuk menebar kebaikan. tentu segala informasi yang dibagikan di media sosial akan secara langsung dan mudah diakses oleh setiap orang di setiap tempat. hal ini disebabkan karena media sosial dapat membuat manusia berkomunikasi satu sama lain di berbagai tempat dan di setiap waktu, tidak peduli seberapa jauh jarak mereka. metode dakwah gus dur yang terakhir adalah dakwah dengan verbal (metode ceramah). metode ceramah juga relevan pada era kini. dakwah secara verbal masih banyak diminati dan menjadi kebutuhan masyarakat. melalui saluran youtube dan instagram misalnya, dakwah secara verbal jadi lebih mudah disebarluaskan. terlebih karena sifatnya yang audio visual dan bisa diputar di setiap waktu dan tempat. dengan penggunaan saluran youtube dan instagram maupun live streaming dakwah bisa dikonsumsi oleh jutaan manusia, sehingga dakwah lebih efektif. kesimpulan dan saran kesimpulan metode dakwah gus dur relevan dengan revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan penggunaan internet di berbagai lini kehidupan. dakwah mendapatkan kemudahan sekaligus tantangan di era ini. metode dakwah gus dur dengan tulisan sangat dibutuhkan untuk menjaga orisinalitas dakwah dan keterbukaan akan kritik. metode pertama lebih banyak dikonsumsi oleh akademisi, politisi, aparat pemeritahan, dan kelas menengah. metode verbal (ceramah, seminar, pidato) menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan lugas, sehingga tujuan dari dakwahnya adalah untuk masyarakat luas. metode ini juga relevan dengan semangat 333metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) revolusi industri 4.0, yaitu ketika dakwah dapat disebarkan melalui saluran youtube, instagram, dan media sosial lainnya. adapun melalui dakwah dengan perilaku gus dur menyampaikan dakwahnya dengan memberikan contoh konkrit kepada masyarakat karena beliau merupakan seorang tokoh kenamaan. saran metode dakwah gus dur merupakan kesatuan cara yang digunakan gus dur untuk menyampaikan dakwahnya dengan visi kemanusiaan yang bernapaskan islam. gus dur berdakwah dilandasi oleh panggilan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan. dengan demikian, saran yang terumuskan adalah visi dakwah semacam ini perlu dikembangkan di era revolusi industri 4.0 ini mengingat dakwah hari ini mulai terdistorsi dengan berbagai macam kepentingan (politik, ekonomi, dan kepentingan lainnya), sehingga orisinalitas dakwah dipertanyakan. selain itu, saran untuk peneliti selanjutnya adalah dapat meneliti tentang relevansi dakwah gus dur di era revolusi industri dengan menggunakan pendekatan kualitatif lapangan (wawancara significant person dari gus dur). daftar pustaka anam, a. m. (2019). konsep pendidikan pluralisme abdurrahman wahid (gus dur). cendekia, 17(1), 81–97. https://doi.org/10.21154/ cendekia.v17i1.1442 asmara, m. (2017). islam dan pluralisme dalam pembangunan politik di indonesia (perspektif pemikiran abdurrahman wahid). fokus: jurnal kajian keislaman dan kemasyarakatan, 2(1), 67–88. https:// doi.org/10.29240/jf.v2i1.259 astuti, y. d. (2015). dari simulasi realitas sosial hingga hiper-realitas visual: tinjauan komunikasi virtual melalui sosial media di cyberspace. profetik, 8(2), 15–26. 334 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) aziz, a. a. (1999). neo-modernisme islam di indonesia: gagasan sentral nur cholish madjid dan abdurrahman wahid. jakarta: rineka cipta. aziz, m. a. (2006). ilmu dakwah. jakarta: kencana. baenanda, l. (2019). mengenal lebih jauh revolusi industri 4.0. retrieved december 21, 2019, from binus.ac.id website: https://binus.ac.id/ knowledge/2019/05/mengenal-lebih-jauh-revolusi-industri-4-0/ budiantoro, w. (2017). dakwah di era digital. komunika: jurnal dakwah dan komunikasi, 11(2), 263–281. https://doi.org/10.24090/ komunika.v11i2.1369 firdaus, a. (2018). menjahit kain perca: gusdurian dan konsolidasi gerakan pluralisme di indonesia. kontemplasi, 6(1), 119–131. https://doi.org/10.21274/kontem.2018.6.1.119-131 fitriyah, a. (2013). pemikiran abdurrahman wahid tentang pribumisasi islam. teosofi: jurnaltasawuf dan pemikiran islam, 3(1), 39–59. https://doi.org/10.15642/teosofi.2013.3.1.39-59 hidayaturrahman, m., & putra, d. i. a. (2019). the role of technology and social media in spreading the quran and hadith by mubalig. dinika: academic journal of islamic studies, 4(1), 45–64. https://doi. org/10.22515/dinika.v4i1.1858 khasanah, f. (2019). revitalisasi pemikiran etika gus dur. analisis: jurnal studi keislaman, 19(1), 27–54. https://doi.org/10.24042/ajsk. v19i1.3062 mibtadin. (2010). humanisme dalam pemikiran abdurrahman wahid (uin sunan kalijaga yogyakarta). retrieved from http://digilib.uinsuka.ac.id/6849/1/bab i%2cvi.pdf miftahuddin. (2012). berislam dalam bingkai indonesia: membaca konsep pluralisme abdurrahman wahid. mozaik: jurnal ilmu-ilmu sosial dan humaniora, 6(1), 64–77. https://doi.org/10.21831/ moz.v6i1.4342 mufidah, l. n. (2015). pemikiran gus dur tentang pendidikan karakter dan kearifan lokal. al-tahrir : jurnal pemikiran islam, 15(1), 91– 110. https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v15i1.172 muttaqin, a. (2012). agama dalam representasi ideologi media massa. jurnal dakwah dan komunikasi, 6(2), 1–9. https://doi. org/10.24090/komunika.v6i2.349 335metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nurcholis, a. (2015). peace education & pendidikan perdamaian gus dur. jakarta: pt elex media komputindo. nurdin. (2014). to dakwah online or not to dakwah online, da’i dilemma in internet age. al misbah: jurnal ilmu dakwah dan komunikasi, 10(1), 21–34. https://doi.org/10.24239/al-mishbah. vol10.iss1.34 prasetyo, b., & trisyanti, u. (2018). revolusi industri 4.0 dan tantangan perubahan sosial. prosiding semateksos 3 “strategi pembangunan nasional menghadapi revolusi industri 4.0,” 22–27. prasetyo, h., & sutopo, w. (2018). revolusi industri 4.0: telaah klasifikasi aspek dan arah perkembangan riset. j@ti undip: jurnal teknik industri, 13(1), 17–26. https://doi.org/10.14710/jati.13.1.17-26 rakhmat, j. (2009). psikologi komunikasi. bandung: remaja rosdakarya. ridho, m. (2018). ujaran kebencian dalam dakwah: analisis tentang pengejawantahan ide amar ma’ruf nahi mungkar di kalangan para da’i di kalimantan timur. lentera, 2(1), 27–48. https://doi. org/10.21093/lentera.v2i1.1177 rosidi. (2013). dakwah multikultural di indonesia: studi pemikiran dan gerakan dakwah abdurrahman wahid. analisis: jurnal studi keislaman, 8(2), 481–500. https://doi.org/10.24042/ajsk.v13i2.708 rusli, m. (2015). pemikiran keagamaan & kebangsaan gus dur. farabi, 12(1), 50–71. salleh, k., & yusuf, k. b. m. (2014). gus dur dan pemikiran liberalisme. ar-raniry: international journal of islamic studies, 1(2), 259–284. https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.17 sirajuddin, m. (2014). pengembangan strategi dakwah melalui media internet (peluang dan tantangan). al-irsyad al-nafs: jurnal bimbingan penyuluhan islam, 1(1), 11–23. sumadi, e. (2016). dakwah dan media sosial: menebar kebaikan tanpa diskriminasi. at-tabsyir : jurnal komunikasi penyiaran islam, 4(1), 173–190. https://doi.org/10.21043/at-tabsyir.v1i2.2912 susila, a. p. (2017). studi analisis terhadap pemikiran abdurrahman wahid tentang agama. jurnal aqidah dan filsafat islam, 2(1), 113– 129. 336 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 317 336, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1818 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suwardiyamsyah. (2017). pemikiran abdurrahman wahid tentang toleransi beragama. al-irsyad: jurnal pendidikan dan konseling, 7(1), 151–163. syahputra, i. (2016). agama di era media: kode religius dalam industri televisi indonesia. esensia, 17(1), 125–138. https://doi. org/10.14421/esensia.v17i1.1283 taufani. (2018). pemikiran pluralisme gus dur. tabligh: jurnal dakwah, 19(2), 198–217. https://doi.org/10.24252/jdt.v19i2.7475 wahid, a. (1999). mengurai hubungan agama dan negara. jakarta: grasindo. wahid, a. (2000). melawan melalui lelucon. jakarta: tempo. wahid, a. (2001). pergulatan negara, agama, dan kebudayaan. depok: desantara. wahid, a. (2007). islam kosmopolitan, nilai-nilai indonesia & transformasi kebudayaan. jakarta: the wahid institute. yusalia, h. (2011). ulama dan politik tinjauan peran abdurrahman wahid dalam perpolitikan indonesia. wardah, 12(1), 19–33. zaini, a. (2013). dakwah melalui internet. at-tabsyir : jurnal komunikasi penyiaran islam, 1(1), 93–108. https://doi.org/10.21043/at-tabsyir. v1i1.447 1. the article must be scientific, either based on the empirical research or conceptual ideas. the content of the article have not published yet in any journal, and should not be submitted simultaneously to another journal. article should not be part of fully one chapter of the theses or dissertation. 2. article must be in the range between 15-30 pages, not including title, abstract, keywords, and bibliography 3. article consisting of the various parts: i.e. title, the author’s name(s) and affiliation(s), abstract (200-250 words), keywords (maximum 5 words), introduction, description and analysis, conclusion, and bibliography. • title should not be more than 15 words • author’s name(s) should be written in the full name without academic title (degree), and completed with institutional affiliation(s) as well as corresponding address (e-mail address). • abstract consisting of the discourses of the discipline area; the aims of article; methodology (if any); research finding; and contribution to the discipline of areas study. abstract should be written in english. • introduction consisting of the literature review (would be better if the research finding is not latest than ten years) and novelty of the article; scope and limitation of the problem discussed; and the main argumentation of the article. • discussion or description and analysis consisting of reasoning process of the article’s main argumentation. • conclusion should be consisting of answering research problem, based on the theoretical significance/conceptual construction • all of the bibliography used should be written properly author guidelines 4. citation’s style used is the american psychological association 6th edition, and should be written in the model of body note (author(s), year, and page(s)), following to these below examples: a. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) b. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) c. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ indonesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) d. article of the journal 1) journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) 2) journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) 3) e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) e. article website 1) dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) 2) tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) f. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta: magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) g. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 5. in writing the citation’s would be better and suggested to use software of citation manager, like mendeley, zotero, end-note, refworks, bib-text, and so forth, with following standard of american psychological association 6th edition. 6. arabic transliteration standard used international journal of middle eastern studies. for detailed transliteration could be seen at http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 7. article must be free from plagiarism; through attached evidence (screenshot) that article has been verified through anti-plagiarism software, but not limited to the plagiarism checker (plagramme.com). author fee al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi will not charge anything to the author for submission fee or publication fee. submission preparation checklist as part of the submission process, authors are required to check off their submission’s compliance with all of the following items, and submissions may be returned to authors that do not adhere to these guidelines. 1. the submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in comments to the editor). 2. the submission file is in openoffice, microsoft word, rtf, or wordperfect document file format. 3. where available, urls for the references have been provided. 4. the text is single-spaced; uses a 12-point font; employs italics, rather than underlining (except with url addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end. 5. the text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the author guidelines, which is found in about the journal. 6. if submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in ensuring a blind review have been followed. copyright notice authors who publish with this journal agree to the following terms: • authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a creative commons attribution license that allows others to share the work with an acknowledgement of the work›s authorship and initial publication in this journal. • authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal’s published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal. • authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. privacy statement the names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or to any other party. skup dakwah : manajemen dakwah, bimbingan dan konseling islam, psikologi, psikologi dakwah, analisis sosial, sejarah dakwah, filsafat dakwah, sosiologi dakwah, ilmu dakwah, manajemen traveling dan wiisata religi, manajemen pelayanan haji, global islamic tourism, metodologi dakwah, relasi dakwah dengan budaya. skup komunikasi : public relation, komunikasi dan penyiaran islam, psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal dan sosial, komunikasi antar budaya, jurnalistik, komunikasi massa, human relations. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 editorial team editor-in-chief akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta, indonesia editor imam mujahid, (scopus id : 57208214175); institut agama islam negeri surakarta, central java, indonesia waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga, yogyakarta, indonesia soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda, indonesia ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta, indonesia rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 daftar isi dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim 169 198 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono 199 234 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih 235 262 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih 263 292 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari 293 316 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah 317 336 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto wahyu tri hastiningsih politeknik indonusa surakarta keywords: issue management; media in central java; 2019 presidential election http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: agungwibiyanto6@gmail.com, wtrihasti@gmail.com abstract this study is to review the political issues that arise in central java and analyze several issues based on framing analysis and the media agenda. the type of this research is descriptive qualitative. the data are analyzed from five journalists, that are solopos, tribun jawa tengah, and kedaulatan rakyat in interviews session. the results of this study mention the issues that arise, include the issue of identity politics, the issue of the president profile 2019, the policy issue of three magic cards and single card, the tagline of #2019gantipresiden, the issue of total war, the issue of moving the prabowo-sandi winning headquarters to java middle, people power and coup issue. these issues are detailed by framing and also the media setting agenda to be taken into consideration the news material. the contribution in this research is to review the detailed management of issues that have arisen around the 2019 presidential election. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 264 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) how to cite (apa 6th style): wibiyanto, a. & hastiningsih, w. t. (2019). pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2). 263-292. http://dx.doi. org/10.22515/balagh.v4i2.1832 pendahuluan berbicara mengenai panggung politik di indonesia, keberadaan pemilihan umum (pemilu) presiden 2019 tampaknya menjadi salah satu ajang kontestasi politik yang cukup menarik untuk dibahas. bersamaan dengan berlangsungnya sejumlah upaya kampanye untuk menarik perhatian masyarakat agar mau memilih para calon yang diusung, media turut muncul sebagai aspek penentu dalam mengemas sosok-sosok tertentu dimunculkan dalam pemilu presiden tersebut. keberadaan media pada dasarnya turut menentukan dinamika informasi dan komunikasi politik bertarung dalam panggung perpolitikan pemilu. hal ini sejalan dengan beberapa unsur pendukung dalam abstrak tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengulas sejumlah isu politik yang muncul di jawa tengah dan menganalisis isuisu tersebut berdasarkan analisis framing dan agenda media. jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. analisis data yang dilakukan melalui data hasil wawancara kepada lima jurnalis, yakni solopos, tribun jawa tengah, dan kedaulatan rakyat. hasil penelitian ini menyebutkan isu yang muncul, antara lain: isu politik identitas, isu profil presiden dan wakil presiden 2019, isu kebijakan tiga kartu sakti dan single card, isu tagline #2019gantipresiden, isu perang total, isu pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke jawa tengah, serta isu people power dan kudeta. isu-isu tersebut dianalisis dengan framing dan juga agenda setting media untuk diangkat menjadi pertimbangan bahan pemberitaan. kontribusi dalam penelitian ini adalah mengulas secara detail pengelolan isu yang muncul di seputaran pemilihan umum presiden 2019. kata kunci: media di jawa tengah; pemilu presiden 2019; pengelolaan isu 265pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) komunikasi politik, yakni organisasi politik, media, serta warga (mcnair, 2016). berpijak pada konsep ini, melalui beberapa penelitian terdahulu tentang politik identitas dalam pemilu 2019: proyeksi dan efektivitas, diperoleh fenomena mengenai adanya politik identitas yang dipandang tidak mempunyai efek yang besar dalam pemilu presiden (fernandes, 2018). asumsinya, hampir dua tahun setelah digelarnya aksi 212 pada 2 desember 2016, sampai saat ini tidak terjadi perubahan dukungan yang signifikan terhadap joko widodo dan prabowo subianto. suara joko widodo tidak mengalami penurunan setelah digelarnya aksi 212, begitu juga suara prabowo subianto yang cenderung mengalami stagnasi. adanya keserentakan antara pemilu legislatif dan pemilu presiden pada akhirnya membelah preferensi dari konsentrasi elit dan pemilih. sedangkan, mengenai pertarungan isu ekonomi antara kedua pasangan calon (paslon) justru menjadi lebih banyak dibahas dan mewarnai diskursus kampanye di tingkat pemilih. selain itu, preferensi politik pada pendukung dan peserta massa aksi 212 pada dasarnya tidak bersifat homogen, melainkan tersebar ke sejumlah partai politik dan calon presiden. lebih lanjut, dari sisi tokoh, baik joko widodo dan prabowo subianto mendapatkan suara dari pendukung massa aksi 212. dari sisi partai, distribusi suara pendukung massa aksi 212 juga tersebar kepada partai berbasis nasionalis dan agama, serta partai pendukung koalisi ataupun oposisi pemerintah. beragamnya penelitian dan pembahasan mengenai ranah politik, salah satunya dapat dilihat pada penelitian tentang narasi kampanye dan media sosial dalam pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2019 (perdana & wildianti, 2019). penelitian ini menyebutkan hasil survei, yakni sebanyak 57,3% masyarakat menginginkan kampanye yang dinamis. maksud kampanye yang dinamis tersebut adalah kampanye yang dilakukan dalam bentuk antarkubu bersaing dan publik atau masyarakat yang menjadi sasaran kampanye diharuskan mampu memahami program yang ditawarkan. 266 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mengenai penelitian terdahulu tersebut, adanya narasi kampanye terhadap sejumlah peran media sosial dalam penyebaraannya juga berimbas pada belum munculnya perdebatan programatik dan cenderung berimplikasi pada lahirnya isu-isu lain yang hadir di tengah masyarakat. sejumlah isu ini merujuk pada isu yang menyentuh politisasi perkara suku, agama, ras, dan antargolongan (sara), kategorisasi masyarakat yang tidak substantive, seperti munculnya istilah “kampret”, “cebong”, “politik genderuwo”, “politisi sontoloyo”, dan sebagainya, yang mengiringi persaingan panggung politik. nyatanya, hal ini tidak terlepas dari adanya peran media sosial sebagai ruang baru efektif bagi penyebaran kontenkonten kampanye politik tersebut. lebih lanjut, melalui literatur review, kajian ini juga menunjukkan bahwa perlunya sinergi dan komitmen yang kuat dari peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan media, untuk selanjutnya dapat memanfaatkan kampanye politik sebagai upaya dalam melakukan pendidikan politik dan komunikasi politik yang baik. penelitian lainnya yang juga membahas mengenai isu politik dapat dilihat pada tulisan berjudul penggunaan internet sebagai public sphere dalam demokrasi deliberatif (analisis penggunaan hashtag terkait isu politik menjelang plipres 2019) (achsa, 2018). inti dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa internet memberikan kontribusi bagi demokrasi deliberatif di indonesia, yakni berupa terbentuknya ruang publik virtual yang bersifat universal, terbuka, dan dapat diakses oleh siapa saja. twitter sebagai ruang publik virtual mampu menjadi tren tersendiri dalam menghadirkan suasana politik dan arena kontestasi politik ketika menjelang pemilu pergantian presiden. dalam konteks politik pun, internet turut memberdayakan rakyat akar rumput (grassroot) dalam menyuarakan pendapat dan sikap politiknya sendiri. meninjau dari beberapa hasil penelitian tersebut, apabila dibandingkan dengan arahan dalam artikel ini, fokus penelitian terletak pada pengelolaan isu politik yang berkembang di jawa tengah oleh sejumlah 267pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) media. lebih lanjut, apabila didasarkan pada konteks, konteks media yang melingkupi pada dasarnya dapat memengaruhi opini publik. opini publik di sini muncul karena adanya isu yang mampu membangkitkan persepsi (malik, 2017). hal ini senada dengan yang dikemukakan dalam penelitian online political participation: a study of youth usage of new media, dengan memberikan pandangan bahwa media juga memiliki peranan penting dalam membangkitkan aspirasi kaum muda guna menanggapi berbagai permasalahan, khususnya permasalahan politik (salman & saad, 2015). walaupun demikian, di dalam penelitian ini juga menitikberatkan pada adanya pengelolaan media. yang membedakan adalah mengenai konteks yang diangkat, yaitu isu-isu nasional yang secara tidak langsung memiliki hubungan dengan isu daerah di dalam pemilu presiden 2019. seperti yang diketahui, beberapa isu yang berkembang selama pemilihan umum 2019 dirasa cukup kompleks. sebut saja untuk isuisu sepanjang tahun politik 2019, sejumlah isu berjalan cukup keras dan cenderung agak “brutal”, mengingat pemilu pada tahun 2019 dilakukan secara bersamaan dan serempak untuk memilih presiden dan wakil presiden, dpr pusat, dpr provinsi, dpd, serta dpr kota dan kabupaten. dengan demikian, berdasarkan ulasan tersebut, fokus penelitian ini ditempatkan pada beberapa isu yang muncul secara nasional, yang selanjutnya berpengaruh di daerah, sekaligus menitikberatkan terhadap pengelolaan media di jawa tengah di dalam mengelola beberapa isu perpolitikan tersebut. guna melakukan analisis dalam penelitian ini, data diambil dari pemberitaan berskala nasional disertai hasil wawancara dari lima narasumber yang berasal dari sejumlah media cetak harian, yaitu kedaulatan rakyat, solopos, dan tribun jawa tengah. berbagai media terkait dipandang memiliki peranan pemberitaan yang dapat mewakili wilayah jawa tengah sehingga konteks wawancara terhadap para jurnalis ketiga media tersebut ditekankan dalam penelitian ini guna mendukung pemerolehan data serta kedalaman analisis. 268 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) melalui hasil wawancara terhadap para jurnalis, beberapa isu yang muncul menjadi pertimbangan media untuk memaparkan bahwa sebuah fakta dalam berita pada dasarnya akan mengalami proses analisis— sekaligus konstruksi tersendiri—terlebih dahulu sebelum disajikan menjadi berita yang seutuhnya. dalam hal ini, apabila mengacu pada hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa adanya pertarungan dalam pemilu presiden telah menyiratkan sejumlah tokoh yang ditonjolkan, yakni calon incumbent, joko widodo, dan pesaingnya, prabowo subianto. terlebih, keduanya tercatat pernah bersaing dalam ajang kontestasi politik yang sama di tahun 2014. guna mengulas data, fokus penelitian akan diarahkan pada framing atau bingkai yang digunakan oleh ketiga media yang dipilih dalam penelitian. framing dinyatakan oleh entman sebagai cara untuk mengungkapkan the power of a communication text (west & turner, 2007). konsep framing ini ditulis untuk membahas secara lebih lanjut tentang cara media memberitakan informasi sehingga pemberitaan media tersebut mampu memiliki sisi tersendiri untuk menganalisis permasalahan dalam political communication (entman, 1993), maupun sejumlah studi kasus mengenai pemberitaan media (entman, 1991). dengan demikian, framing dinyatakan dapat memberikan gambaran tentang aspek realitas yang cenderung ditonjolkan oleh media sehingga mampu memosisikan informasi dalam konteks tertentu yang khas, (eriyanto, 2011) di atas isu lainnya yang dianggap kurang menonjol ataupun kurang penting. frame pada dasarnya penting bagi media untuk membatasi pengemasan berita. dalam hal ini, frame adalah bagian dari upaya media untuk mengonstruksi fakta apa saja yang mungkin dan dapat dimunculkan sesuai dengan ideologi media serta kebutuhan masyarakat sebagai khalayak. tak terkecuali tentang isu politik yang dibahas dalam artikel ini, framing media sebelumnya telah menjadi bahasan tersendiri dalam sejumlah penelitian isu politik di indonesia, baik yang berkenaan dengan pemilu, korupsi, maupun permasalahan politik lainnya. beberapa di antaranya 269pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) adalah framing isu yang dibahas dan dianalisis dalam sejumlah media konvensional (hutapea, 2013; anggoro, 2014; damayanti, mayangsari, & putra, 2016; fauzi, 2019; hartono & purti, 2019) serta sejumlah media online (gaio, mondry, & diahloka, 2015; soetedjo, 2017; samosir, azhar, & akbar, 2018; ramdani & wahyudin, 2018; nasution & fadilla, 2019; anshori, 2019; hakim, 2019; ridho, 2019; nasution, 2019; tarigan & atnan, 2019; pratiwi, 2018). melalui pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa sejumlah penelitian mengenai media dan isu politik merupakan bahasan yang cukup menjadi perhatian dalam dunia komunikasi. namun demikian, sejumlah penelitian tersebut lebih merujuk pada cara media bertindak sebagai aktor yang membingkai isu yang dimunculkan. sedangkan, dinamika isu ini dikelola sebagai bagian dari topik penting yang diangkat, hingga kemudian melakukan klarifikasi pada beberapa pelaku media pencari berita secara langsung—dalam hal ini adalah para jurnalis—dipandang perlu sebagai langkah tindak lanjut dalam membahas sejumlah isu politik di indonesia, terutama dalam ajang kontestasi pemilu presiden 2019. aspek pengelolaan isu berangkat dari cara sebuah isu dimunculkan, dikonstruksi, kemudian dikelola, dan selanjutnya dibawa ke sudut pandang tertentu berdasarkan perspektif media. media dalam hal ini tentu harus bersifat netral. terlebih, isu yang dimunculkan cenderung bersifat sensitif dan memuat adanya persaingan berdasarkan pertarungan beberapa kepentingan. isu dapat memiliki deskripsi yang cukup variatif. akan tetapi di sisi lain, isu juga dikenal memiliki image yang negatif. apabila dikaji ulang, isu merupakan bagian dari pengelolaan media massa. sedangkan, media massa memiliki peranan yang besar di dalam membangun opini publik terhadap perspektif dan pemaknaan publik mengenai isu yang dimunculkan. jean baudrillard menjelaskan bahwa pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara realitas, 270 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) representasi, simulasi, dan hipperralitas (malik, 2017). hal ini untuk memperjelas adanya agenda setting, yang dinyatakan mccombs dan shaw bahwa khalayak pada dasarnya tidak hanya mempelajari isu publik dan berbagai hal lainnya yang diberitakan di media (mcquail, 2009; scheufele & tewksbury, 2007). di sisi lain, khalayak juga mempelajari seberapa penting sebuah isu atau topik dimunculkan serta dikonstruksi berdasarkan penekanan yang diberikan media terhadap topik-topik tersebut. dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media mampu melahirkan sejumlah agenda melalui topik yang diangkat, yang selanjutnya merujuk pada tiga bentuk agenda, yakni agenda publik, agenda media, dan agenda kebijakan (setyowati, 2011). berbicara mengenai agenda yang dimunculkan oleh media, konsep ini berkaitan dengan konteks yang melingkupi media dan isu yang dibahas. dalam hal ini, konteks yang muncul tidak dapat dipisahkan dari keberadaan media, salah satunya bahwa media mencoba melakukan branding terhadap tema berita tersebut (tapsell, 2018). dapat dikatakan, konstruksi branding dari media mengacu pada kedua kubu yang saling bersaing, yang selanjutnya menonjolkan sejumlah hal spesifik mengenai koalisi politik dari masingmasing partai politik yang mengusung kedua calon, program yang akan diangkat oleh kedua calon, maupun profil beserta track record dari masing masing calon. terdapat beberapa tujuan khusus dari penelitian ini. pertama, adalah untuk membedah isu-isu yang digulirkan melalui sejumlah media mengenai pemilu presiden 2019. dalam hal ini, isu secara sekunder diramu pada beberapa pemberitaan yang dimuat serta diramaikan dalam media konvensional maupun media online terkait dengan pemilu presiden 2019. dalam hal ini, beberapa isu yang muncul, dipengaruhi oleh isu nasional seputar profil presiden, isu ekonomi dan sosial, sekaligus isu polarisasi yang cukup kuat terhadap calon presiden. mengingat jawa tengah sendiri merupakan wilayah yang cukup potensial bagi kubu petahana jokowi, sekaligus juga kubu prabowo untuk mendulang suara. 271pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kedua, fokus penelitian diarahkan untuk mengetahui pengelolaan isu yang ditampilkan oleh media di jawa tengah, yang nantinya akan memunculkan beberapa bentuk persepsi di kalangan publik jawa tengah guna menilai apakah isu-isu tersebut akan berpengaruh pada pemilihan umum presiden 2019. melihat hal tersebut, adanya ragam bahasa di dalam kemasan media dirasa cukup signifikan dalam memengaruhi psikologi publik pembaca, khususnya masyarakat di jawa tengah. melalui analisis bahasa yang dideskripsikan, hasil penelitian selanjutnya akan memunculkan alur berpikir secara sistematis dan terstruktur dalam memengaruhi opini publik yang dipersepsikan. melalui uraian tersebut, lazim apabila tulisan ini berupaya untuk melihat kecenderungan isu yang digulirkan. seiring dengan dinamika frame yang terjadi dan agenda media dalam pengelolaan isu yang diangkat, menyebabkan hal ini menarik untuk diteliti sehingga menjadi fokus dalam penelitian. terlebih mengenai muatan politik yang dibalut dengan nuansa lain, seperti sosial, ekonomi, dan budaya, dengan asumsi bahwa isu yang diangkat akan bersifat berbobot, atau justru berbalik dan merusak suasana kondusif di masyarakat. terdapat beberapa penelitian tentang framing dan agenda setting, di antaranya penelitian azpíroz (2014); borah (2011); brugman & burgers (2018); entman (2007); gronemeyer & porath (2017); hänggli & kriesi (2010); matthes (2012); alonso (2014); rempoutzakos (2017); scheufele (2004); scheufele (1999); scheufele & tewksbury (2007); valenzuela, piña, & ramírez (2017); wilken, kennedy, arnold, gibbs, & nansen (2015). penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang telah disebutkan tersebut. perbedaan mendasar terletak pada lokasi penelitian dan tema penelitian yang dibingkai. penelitian ini mengambil lokasi penelitian di indonesia sedangkan berbagai penelitian terdahulu tersebut memilih lokasi penelitian di luar indonesia. selain itu, pihak jurnalis yang menjadi responden atau sumber data juga berbeda. perbedaan terakhir adalah 272 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) terkait tema, yaitu penelitian ini memfokuskan pada pembingkaian berita pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019. terkait tema tersebut, terdapat penelitian yang juga meneliti tema yang sama, yaitu penelitian handayani & junaidi (2018) dan siregar (2019). kedua penelitian terakhir ini juga meneliti tema berita pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019. meskipun demikian, penelitian ini tetap memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut. perbedaan tersebut terdapat pada sumber informasi. penelitian ini menggunakan sumber informasi yang berasal dari pihak surat kabar tribun jateng, solopos, dan kedaulatan rakyat. adapun penelitian siregar (2019) melibatkan pihak surat kabar republika dan koran tempo dan penelitian handayani & junaidi (2018) memilih sumber informasi dari okezone.com dan suara. com. dengan demikian, penelitian ini dapat dianggap orisinal. metode penelitian penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif. data yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penggunaan data primer berupa teks pemberitaan media serta hasil transkrip wawancara. sedangkan untuk data sekunder, data diperoleh dari sejumlah rujukan buku, jurnal, dan sebagainya. terkhusus untuk wawancara yang dilakukan, informan yang diambil berasal dari lima jurnalis surat kabar atau harian di jawa tengah, yaitu solopos, kedaulatan rakyat, dan tribun jawa tengah. dalam hal ini, guna mengklarifikasi data dan memperdalam analisis, interview guide yang digunakan dalam proses wawancara secara utama diarahkan pada beberapa isu yang dibangun pada masa pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2019, khususnya di wilayah jawa tengah. analisis data akan diarahkan pada analisis teks mengenai framing beberapa media massa yang dipilih sebagai objek penelitian. dalam hal ini, konteks framing yang digunakan sebagai pisau utama pengulas data adalah model entman yang dibagi ke dalam beberapa perangkat bingkai, yakni 273pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) define problem, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment recommendation (eriyanto, 2011; wibiyanto, 2017; entman, 1993). hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah isu politik yang beredar dan berputar melingkupi pemilu presiden 2019 pada dasarnya berkenaan dengan isu-isu lokal yang bermunculan. dilihat dari hasil transkrip wawancara (“personal interview ak (tribun jateng),” 2019; “personal interview bs (kedaulatan rakyat),” 2019; “personal interview aks (kedaulatan rakyat),” 2019; “personal interview bj (solopos),” 2019; “personal interview re (tribun jateng),” 2019) misalnya, kelima narasumber menyebutkan beberapa isu yang dibahas, antara lain adalah terkait isu politik identitas, isu profil calon presiden dan wakil presiden 2019, isu tagline #gantipresiden2019, isu kebijakan ekonomi tiga kartu sakti versus single card, isu perang total, isu pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke wilayah jawa tengah, serta isu people power dan makar. menilik pada beberapa isu tersebut, memang untuk di jawa tengah sendiri, pengaruh politik yang muncul, dipandang cukup multidimensional. hal ini bisa dilihat dari ragam isu yang berkembang dalam pemilu 2014 dan 2019, yang sebenarnya relatif tidak banyak berubah, yakni mengedepankan isu yang menyangkut politik identitas. hal ini bisa dimengerti bahwa setiap pasangan calon yang bersaing pada akhirnya mencari titik lemah yang berpotensi terhadap berkurangnya dukungan pemilih untuk pasangan calon lawan, serta dapat beralih dukungan kepada dirinya. oleh karenanya, isu identitas yang menjadi pusat perhatian para pasangan calon menjadi penting dimobilisasi dalam rangka meraih dukungan. pada pemilu 2014 misalnya, isu yang diarahkan adalah terkait dengan status prabowo dalam kaitannya sebagai mantan jenderal angkatan darat, isu kepemilikan usaha asing, kedekatan jokowi dengan cina ataupun hal yang menyangkut kadar keislaman seseorang dalam aktivitas ibadahnya. 274 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) selanjutnya, menjelang pemilu 2019 ini, beberapa isu tersebut kembali diproduksi dengan melihat tema-tema yang telah dipaparkan tersebut. berdasarkan survei yang dilakukan oleh kompas di 16 kota menunjukkan bahwa sebanyak 24,5% mengatakan bahwa masa kampanye diisi dengan isu menghina seseorang, terkait dengan perbedaan suku, agama, ras, dan golongan (sara). selain itu, sebanyak 27,1% mengatakan bahwa masa kampanye diisi dengan menghasut atau mengadu domba. oleh sebab itu, dalam hal ini ikatan identitas dari kedua pasangan calon tetap dipilih sebagai bagian dari strategi politik yang dilakukan. meski alur politik identitas dipandang masih menjadi isu turut mewarnai konteks pemilu presiden tahun 2019, tetapi pada kenyataannya, apabila dibandingkan dengan pemilu tahun 2014, adanya narasi yang dibangun sebagai bentuk kampanye politik dirasa berbeda. pemilu presiden 2019 memberikan warna berbeda karena posisi jokowi adalah incumbent sehingga narasi yang digambarkan merujuk seputar sukses atau tidaknya pembangunan yang dilakukan oleh jokowi sebagai petahana, yang selanjutnya menjadikan sejumlah isu pembangunan infrastruktur menjadi program unggulan yang terus ditawarkan. sementara itu, berdasarkan wawancara dengan aks (personal interview aks (kedaulatan rakyat), 2019) dan re (personal interview re (tribun jateng), 2019), pasangan penantang, yakni prabowo-sandi, lebih banyak dilekatkan dengan isu perbaikan ekonomi dengan berbagai macam wacana. kecenderungan ini dapat dianalisis melalui beberapa diksi yang digunakan, antara lain: tampang boyolali dan tempe setipis kartu atm. hal inilah yang selanjutnya memunculkan perdebatan sekaligus menjadi ajang saling serang dan saling bantah melalui ujaran diksi yang menjadi perhatian public. alhasil, publik justru lebih banyak mempersoalkan perihal diksi dalam kampanye, dibandingkan program kerja yang akan diusung. oleh sebab itu, apabila diulas kembali, isu seperti tampang boyolali dan tempe setipis kartu atm khususnya di jawa tengah menuai kontroversi yang mewarnai kontestasi pilpres 2019. 275pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) melalui dinamika isu terkait, media tentu merespons hal tersebut sebagai bentuk komponen penyusun pemberitaan. lebih jelas, berdasarkan hasil wawancara yang telah diolah, terlihat ciri spesifik terhadap isu yang muncul, salah satunya mengenai isu yang didasarkan politik identitas, meliputi isu politik mengenai sosok ataupun profil tokoh calon serta munculnya tagline khusus #2019gantipresiden. selain itu, turut muncul isu lain dalam hal taktis strategis, yakni terkait dengan isu kebijakan ekonomi, perang total, pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke wilayah jawa tengah, serta isu mengenai people power dan kudeta. isu politik identitas: profil tokoh dan tagline #2019gantipresiden isu mengenai politik identitas pada dasarnya mengarah pada profil kedua calon presiden, jokowi dan prabowo, isu tersebut turut mewarnai pergerakan opini publik. dalam hal ini, tingkat preferensi dari masyarakat pada akhirnya tidak terlepas dari ulasan media mengenai sosok kedua calon yang sedang bersaing dalam kontestasi politik pemilu presiden 2019. lebih lanjut, guna mempertajam analisis tentang isu politik identitas, pembingkaian media yang dilakukan dapat dijabarkan dengan menggunakan model entman, yakni define problem, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment recommendation (eriyanto, 2011; wibiyanto, 2017; entman, 1993): tahap pertama adalah identifikasi sekaligus mendefinisikan permasalahan (define problem). sejumlah permasalahan ini dapat dimunculkan dan merujuk pada isu-isu mengenai politik identitas yang digulirkan dalam pemilu presiden 2019. hal ini juga berkaitan dengan profil kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bersaing. selain itu, muncul isu turunan yang cenderung menjadikan ajang persaingan semakin terlihat, yakni dengan adanya tagline #2019gantipresiden yang beredar di masyarakat. 276 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) identifikasi masalah mengenai adanya politik identitas pada akhirnya memungkinkan sosok tokoh politik memperoleh eksistensinya, sekaligus menentukan besarnya persaingan yang terjadi. baik itu berbicara mengenai profil kedua tokoh—jokowi maupun prabowo—yang bersaing secara langsung, maupun membahas tentang latar belakang pendukung kedua tokoh sehingga mampu dikonsep dengan profil yang demikian. ditinjau melalui terbentuknya isu, isu mengenai politik identitas mengindikasikan bahwa citra tokoh memiliki peran penting terhadap pembentukan persepsi masyarakat. misalnya saja, ketika muncul isu bahwa jokowi anti islam dan ulama, selain juga prabowo adalah pihak yang dipandang pro-khilafah. hal ini memengaruhi preferensi masyarakat selanjutnya ketika mereka memilihi calon yang akan dipercaya menjadi presiden dan wakil presiden indonesia. terlebih, dalam isu politik identitas ini, muncul pula negasi kampanye lain dalam bentuk ujaran (tagline) 2019#gantipresiden. hal ini yang mengindikasikan bahwa muncul persepsi mengenai pemerintahan jokowi yang dirasa kurang memuaskan sehingga terbentuk seruan melalui tagline 2019#gantipresiden. menurut reese, gandy, & grant (2001), pembingkaian atau framing terhadap sebuah topik, baik individual, kelompok, maupun organisasi, dapat menciptakan persepsi masyarakat terhadap topik dan tokoh tersebut sebagai tokoh yang baik atau dianggap negatif. tahap kedua adalah dengan melakukan diagnose causes. dalam tahap awal ini, adanya permasalahan yang muncul menyiratkan bahwa terdapat pengelompokkan terhadap sejumlah identitas yang pada akhirnya disertai dengan pertentangan konflik. adapun konflik yang muncul mencuat tajam dalam sejumlah postingan di media sosial dan di dalam realitas masyarakat senyatanya. selain itu, isu permasalahan ini juga berkaitan erat dengan pengelompokkan ragam politik yang ditandai dengan adanya sentimen politik terhadap lawan politik yang menjadi rivalnya. terlebih, sentimen ini selanjutnya dijadikan alat untuk mendiskreditkan sekaligus menjatuhkan 277pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) lawan politik. salah satunya, isu yang menonjolkan konten agama— dalam hal ini islam—seolah menjadi kendaraan politik identitas. menurut eriyanto (2011), informasi yang mengandung konflik dan kontroversi dianggap lebih potensial dianggap sebagai berita oleh masyarakat. uraian tersebut semakin mempertajam isu politik yang mengiringi persaingan kedua kubu calon pasangan. sebut saja tambahannya, ketika persaingan di pemilu presiden 2019 ini kembali terjadi antara kedua calon pemimpin yang berbeda latar belakang (antara sipil dan militer). meski demikian, yang membedakan adalah konteks pasangan calon wakil presiden yang diusung. terdapat calon wakil presiden berlatar belakang santri dan menguasai konsep ekonomi syariah, serta calon wakil presiden yang berlatar belakang basis usaha. dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa konteks pasangan, khususnya maruf amin sebagai pasangan jokowi, dapat dipahami bertujuan untuk meredam isu islam politik yang saat itu gencar dipaparkan semenjak kontestasi pilkada dki jakarta 2017. hal ini turut dianalisis sebagai tindakan nyata untuk meredam gerakan ujaran #2019gantipresiden yang semakin mencuat pada saat itu. tahapan ketiga adalah make moral judgement. konteks make moral judgement memungkinkan adanya tahapan analisis untuk menjawab define problem. hal ini dapat terlihat pada sejumlah isu politik identitas yang berkenaan dengan sosok calon presiden dan wakil presiden, sekaligus seruan ujaran tagline #2019gantipresiden. sejumlah isu tersebut pada akhirnya memunculkan reaksi, baik yang bersifat personal maupun kelompok atau publik. sebut saja, ketika muncul sejumlah reaksi publik dalam menanggapi permasalahan isu “tampang boyolali” yang disampaikan dalam pernyataan pidato prabowo subianto. adapun hal ini cukup memicu tanggapan tersendiri dari sejumlah warga boyolali, tak terkecuali bupati boyolali sendiri. selain itu, adanya seruan dan postingan lengkap dengan tagline #2019gantipresiden juga turut ditanggapi balik dengan reaksi pro dan kontra dalam memberikan dukungan masing-masing pada 278 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) setiap kubu yang bersaing, yakni dengan membuat tagline tandingan. pada titik ini, terlihat jelas bahwa framing dapat memengaruhi skema berpikir, emosi, sikap, dan pengambilan keputusan masyarakat (scheufele, 2004) bahkan, framing dapat menyebabkan terbentuknya konstruksi sosial dalam masyarakat (scheufele, 1999). tahap keempat adalah treatment recommendation. treatment recommendation menjelaskan adanya arahan dan fokus media melalui tulisan jurnalisnya dalam mempertimbangkan aspek isu yang dikaji. dalam hal ini, framing dari media merupakan batasan ataupun bingkai yang digunakan untuk memberikan arahan terhadap fokus isu yang diberitakan. tentunya, bingkai yang digunakan ini dimunculkan berdasarkan adanya pertimbangan atas penting atau tidaknya isu yang disampaikan. adanya politik identitas dirasa masih menjadi sisi “manis” dalam isu perpolitikan indonesia. namun demikian, konteks ini juga menyiratkan bahwa seharusnya tidak ada pemantik dari isu tersebut, seperti halnya dalam pilkada dki jakarta 2017, yang ditunjang dengan bermunculannya isu-isu lainnya, seperti salah satunya isu primordial. begitu pula dengan pemilu 2019 ini, dalam konteksnya muncul politik identitas yang berkenaan dengan profil calon presiden dan wakil presiden. dalam konteks ini, diharapkan profil calon presiden dan wakil presiden mampu memberikan edukasi bagi publik, khususnya ketika dihadapkan pada isu-isu sensitif yang melanda pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019. demikian pula dengan isu tagline #2019gantipresiden yang notabene juga merupakan wujud ranah kebebasan publik dalam menciptakan iklim demokrasi, hal tersebut bersifat wajar dan sesuai, yakni dengan tidak menyalahi konstitusi yang ada. terkhusus untuk viralnya seruan tagline #2019gantipresiden misalnya, diharapkan muncul arahan kebijakan yang dapat diambil agar tagline tersebut tidak bersifat bias bagi keberlangsungan opini publik ke depannya. 279pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) isu taktis strategis analisis dalam hal isu taktis strategis pada dasarnya berkenaan dengan isu mengenai permasalahan rancangan strategis, kebijakan, dan perang politik yang terjadi. dalam hal ini, isu berputar terkait dengan kebijakan ekonomi, perang total, pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi, serta people power dan kudeta. adapun beberapa isu permasalahan yang dimunculkan dalam media massa tersebut saling terkait satu sama lain, terutama membahas tentang dinamika persaingan antarkubu pasangan calon terhadap sejumlah langkah strategis yang diambil. lebih lanjut, guna mempertajam analisis, pembingkaian media yang dilakukan dapat dijabarkan dalam konteks berikut menggunakan beberapa perangkat bingkai berupa define problem, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment recommendation (eriyanto, 2011; wibiyanto, 2017; entman, 1993): tahap pertama adalah define problem. identifikasi dan definisi masalah dalam konteks ini dinyatakan sebagai bentuk analisis pertama mengenai framing isu permasalahan pada sejumlah media. adapun salah satu isu taktis strategis yang dimunculkan berkenaan dengan strategi kebijakan, yakni tentang pembuatan kartu. hal ini dipandang sebagai isu makro sebagai hasil dari kebijakan yang ditempuh pada masa pemerintahan jokowijk. masa pemerintahan jokowi-jk telah terlebih dahulu menerbitkan beberapa kartu ketika pemerintahan sedang berlangsung. program tentang kartu yang sudah diterapkan oleh jokowi-jk tersebut akan memengaruhi pembingkaian pihak prabowo. hal ini seperti yang dijelaskan oleh merz (2014) bahwa informasi dari pemerintah dapat berpengaruh pada pembingkaian pihak lawan. sementara itu, dari pihak oposisi, kebijakan penerbitan kartu yang ditambah dengan tiga kartu sakti, seperti kartu pra-kerja, sembako murah, dan kartu untuk meneruskan ke perguruan tinggi, dipandang sebagai sebuah pemborosan dan tidak efisien. maka dari itu, kelompok oposisi yang dalam hal ini adalah prabowo-sandi berupaya mengeluarkan solusi 280 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dengan menggunakan single card, yakni e-ktp untuk semua layanan publik. sasarannya adalah secara nasional dan juga publik di daerah, termasuk di jawa tengah. tentunya hal ini bertujuan untuk memeroleh simpati dan dukungan dari publik, sekaligus mendulang suara dalam pemilu presiden 2019. isu permasalahan tersebut selanjutnya merupakan pemantik dari isu selanjutnya, yaitu mengenai perang total dan pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke wilayah jawa tengah. hal ini dapat ditinjau dari adanya strategi perang total yang dilancarkan dan dinilai bertujuan untuk membendung usaha dari kubu prabowo-sandi, salah satunya mengenai pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke jawa tengah. namun demikian, upaya ini cukup menuai kontroversi setelah pernyataan prabowo yang berbicara mengenai “tampang boyolali” viral dalam pidatonya. meski demikian, secara tidak langsung hal ini dipandang sebagai upaya kampanye strategis yang menyasar ke wilayah jawa tengah yang notabene merupakan kandang pasangan jokowi-ma’ruf. keberlanjutan dari semua isu terkait berakhir pada isu people power dan makar, meskipun untuk wilayah jawa tengah dirasa tidak begitu keras seperti di daerah lainnya. namun demikian, yang sempat menjadi perhatian publik adalah wilayah boyolali. wilayah boyolali sempat dipermasalahkan oleh kubu prabowo-sandi karena hampir semua area di wilayah tersebut, suara dimenangkan oleh pasangan jokowi-ma’ruf. oleh sebab itu, pihak prabowo-sandi menganggap bahwa terdapat indikasi kecurangan di wilayah itu dan dipandang sebagai bagian dari rencana isu perang total yang sebelumnya dihembuskan oleh kubu jokowi-m’aruf. kedua adalah tahap diagnose causes. diagnose causes mengenai sejumlah isu ditunjukkan dalam berbagai macam sentimen politik yang digunakan untuk menekan lawan politik lain. dalam konteks ini, salah satu upaya dalam melancarkan sentimen politik tersebut dapat dilihat pada upaya untuk menonjolkan warna islam sebagai bagian dari politik identitas yang 281pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ada. namun demikian, dirasa bahwa di wilayah jawa tengah, isu ini justru kurang mendapatkan respon yang berarti karena organisasi islam besar, seperti nu dan muhammadiyah dinilai cukup berhasil dalam meredam permasalahan politik identitas tersebut. isu kedua adalah mengenai isu kebijakan ekonomi tentang penerbitan tiga kartu sakti versus single card versi e-ktp. dalam analisis kasusnya, adanya pemecahan permasalahan ekonomi di satu sisi menurut pandangan prabowo dipandang sebagai bentuk pemborosan ketika diantisipasi dengan tiga kartu sakti ala kebijakan jokowi. dengan demikian, program prabowo selanjutnya adalah dengan menawarkan adanya fungsi multiganda e-ktp sebagai bentuk usulan kebijakan ekonomi. diagnose causes selanjutnya berangkat dari isu permasalahan perang total dan pemindahan markas prabowo-sandi ke jawa tengah sebagai bentuk kesinambungan. adapun perang total dipandang sebagai salah satu grand strategy dari pasangan jokowi-m’aruf. hal ini merupakan wadah untuk memaparkan beberapa kebijakan penting yang diambil, dan khususnya jawa tengah, wilayah ini adalah salah satu prioritas penting dari implementasi wujud strategi tersebut. sementara itu, apabila dilihat dari pemindahan markas prabowo-sandi ke jawa tengah, hal ini juga merupakan wujud dari strategi nasional kelompoknya guna menghadapi strategi dari jokowi-ma’ruf. selain itu, langkah ini juga diyakini sebagai upaya untuk menindaklanjuti kekalahan prabowo di tahun 2014 di jawa tengah. diagnose causes isu lainnya yang juga menjadi perhatian adalah tentang people power dan upaya makar. konteks ini dapat dianalisis sebagai benang merah yang merupakan lanjutan dari seruan amien rais di dalam menanggapi hasil pemilu presiden 2019. gagasan people power tersebut dimunculkan sebagai respons apabila prabowo tidak memenangkan pemilu karena praktik kecurangan, maka massa akan digerakkan untuk tidak mengakui hasil pemilu 2019. seruan ini serupa dengan pernyataan 282 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) eggi sudjana yang menyebutkan hal yang sama. sedangkan untuk konteks makar, hal ini dapat ditinjau melalui pernyataan wiranto dan tito karnavian selaku kapolri yang akan menindak tegas sejumlah aksi yang berhubungan dengan tindakan inkonstitusional. secara garis besar, isu ini pada akhirnya memang tidak berdampak secara luas di jawa tengah. ketiga adalah make moral judgement. melihat konteks make moral judgement, permasalahan yang dapat dianalisis adalah terkait dengan penilaian serta evaluasi dari masyarakat terkait isu yang dimunculkan dan dibingkai oleh media. pada tataran ini, isu mengenai kebijakan kartu sakti dan kartu tersistem yang dipaparkan oleh kedua pasangan calon pada akhirnya memicu adanya evaluasi publik terhadap efektivitas dari kedua strategi tersebut. adanya isu mengenai kebijakan penerbitan kartu sakti nyatanya tidak terlepas dari dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, termasuk pula di area jawa tengah. bagaimanapun juga, konteks kebijakan ini merujuk pada perpaduan dalam ranah teknologi dan konvensional yang memungkinkan masyarakat ataupun publik untuk memilih bentuk pelayanan yang nantinya akan mereka terima selama lima tahun ke depan setelah pemilu presiden 2019 selesai dan menentukan pihak calon pasangan yang memenangkan kontestasi. melalui uraian tersebut, isu kebijakan ekonomi turut menjadi pemantik ataupun pemicu isu selanjutnya juga dianggap mempunyai signifikansi dalam persaingan politik pemilu presiden 2019, yaitu mengenai perang total dan pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi. hal ini dapat terlihat pada rancangan strategis yang dilakukan, baik dari perang total maupun pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke wilayah jawa tengah yang dijadikan medan area pertempuran untuk memenangkan kandidat yang akan diusung. dinamika permasalahan ini dianggap cukup mempunyai relasi yang rumit karena beberapa media mencoba untuk menyoroti permasalahan 283pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) di dalam sejumlah isu yang berkembang dan saling terkait satu sama lain. selanjutnya, untuk isu mengenai people power dan makar, banyak sejumlah media konvensional maupun online yang membahas mengenai permasalahan ini. muncul sejumlah asumsi melalui kubu prabowo-sandi yang menganggap bahwa hasil pemilu 2019 dianggap penuh kecurangan, terutama di wilayah jawa tengah. namun demikian, isu ini dipandang kurang berpengaruh karena asumsi yang disampaikan memang tidak terbukti pada saat persidangan di mahkamah konstitusi. keempat adalah treatment recommendation. untuk mengulas beberapa isu yang telah dibicarakan tersebut, baik dari isu kebijakan ekonomi yang diimplementasikan ke dalam alih fungsi kartu, isu perang total, isu pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke jawa tengah, serta isu people power dan makar, dapat dinyatakan bahwa treatment yang diambil dari sejumlah isu tersebut adalah berupa himbauan. mengenai himbauan tentang isu kebijakan ekonomi terkait dengan pergulatan kebijakan antara single card dengan tiga kartu sakti tentunya harus disesuaikan arahan kebijakan yang akan diambil. hal ini bertujuan untuk dapat menilai efektivitas dan efisiensi dari sejumlah kebijakan tersebut ke depannya ketika diimplementasikan kepada masyarakat secara nyata agar nantinya tidak terjadi bias dalam penggunaannya. uraian tersebut juga berkenaan dengan adanya treatment dari isu lain, yakni isu perang total dan pemindahan markas pemenangan prabowosandi. dalam hal ini, permasalahan diksi nyatanya menjadi perhatian khusus dalam bentuk harus ada penyelarasan tentang yang dimaksud dengan isu perang total dan pemindahan markas. hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perbedaan persepsi yang mampu melibatkan sejumlah pihak dalam konsolidasi perang secara mutlak dalam pengertiannya. terlebih hal ini merujuk pada situasi rawan persaingan politik yang tentunya mampu memicu sejumlah konflik urat syaraf antara kedua kubu calon pasangan yang bersaing. hal ini dapat ditinjau pada permasalahan apel kebangsaan 284 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) serta adanya dampak penangkapan bowo sidiq yang merupakan salah satu politisi dalam kubu jokowi-ma’ruf yang tertangkap kpk akibat praktik suap dalam pemilu. lebih lanjut, konteks ini juga berhubungan erat dengan pemindahan markas prabowo-sandi ke wilayah jawa tengah, yang seharusnya hal ini dapat ditanggapi secara wajar dan biasa, mengingat kondisi jawa tengah cukup beragam dan kondusif tidak seperti wilayah lainnya. agenda setting dan pengelolaan isu menilik pada uraian analisis tersebut, dapat digariskan bahwa pengelolaan isu politik dalam pemilu presiden 2019 pada dasarnya berkenaan dengan cara media melakukan pembingkaian berita guna menonjolkan isu-isu yang dipandang penting. dalam konteks ini, media secara tidak langsung memiliki kebijakan untuk memunculkan permasalahan apa yang dirasa penting bagi masyarakat, sekaligus mampu menggiring opini publik berjalan. tentunya, bahwa media tidak dalam kapasitas meletakkan keberpihakannya, melainkan harus netral dalam setiap pemberitaan sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik yang menjadi aturan. namun demikian, dalam aspek yang lebih politis, media pada dasarnya turut memberikan penjelasan dan pengawasan pada sejumlah upaya sosialisasi politik, pendidikan politik, sampai pada memberikan informasi agar masyarakat (publik) menjadi paham terkait dengan ajang kontestasi politik yang sedang bergulir pada saat pemilu presiden 2019. framing berkaitan dengan agenda setting (alonso, 2014; scheufele & tewksbury, 2007; weaver, 2007). melalui uraian yang sudah dituliskan, apabila dikaitkan dengan aspek agenda setting beberapa media, seperti solopos, tribun jawa tengah, dan kedaulatan rakyat, adanya aspek konsumsi masyarakat di wilayah jawa tengah selanjutnya mendapatkan porsi tersendiri terhadap topik permasalahan yang diulas dalam media. hal ini dapat diperjelas melalui tiga ragam klasifikasi agenda, yakni: agenda 285pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) media, agenda publik, dan agenda kebijakan. pengelolaan isu yang pertama merujuk pada agenda media. hal ini bermula dari pernyataan prabowo yang akan meresmikan markas pemenangannya di daerah boyolali, jawa tengah. pernyataan ini nyatanya menuai kontroversi karena pihaknya menyebutkan adanya istilah “tampang boyolali” yang seolah bermakna kurang positif. lebih lanjut, istilah “tampang boyolali” dipandang menjadi diksi yang kurang etis dan menuai banyak kritikan dari sejumlah pihak. analisis lebih lanjut juga muncul ketika dalam sebuah agenda rapat akbar kebangsaan di wilayah semarang. meskipun momen tersebut merupakan ajang kampanye damai, tetapi dianggap terdapat indikasi dan pengerahan aparatur negara serta fasilitas akomodasi untuk penyelenggaraan kegiatan rapat akbar. momen tersebut dianggap cenderung menguntungkan pasangan jokowi-ma’ruf. alhasil, banyak media online maupun media konvensional yang memberitakan hal ini, baik secara pro maupun kontra. kedua, adanya agenda publik mengarah pada dinamika reaksi publik dalam menanggapi isu permasalahan yang muncul. baik terkait dengan isu politik dientitas maupun isu taktis strategis, keduanya muncul dan mampu memicu reaksi publik dalma tataran yang berbeda-beda. misalnya saja, untuk sejumlah tanggapan yang muncul sejak pernyataan “tampang boyolali” hingga isu kecurangan pemilu yang terstruktur, masif, dan sistematis, adanya reaksi dan komentar dari publik (pro maupun kontra) merupakan salah satu input sekaligus output yang bersamaan sebagai bentuk respon dari permasalahan isu. dalam hal ini, bermunculannya komentar dan tanggapan dari publik dapat diistilahkan bahwa permasalahan yang diangkat dalam media telah menjadi agenda publik yang sama pentingnya dengan agenda media. agenda ketiga adalah agenda kebijakan. mengacu pada kedua agenda tersebut, baik dari agenda media maupun agenda publik dalam mengkaji 286 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) isu permasalahan, pada dasarnya telah terlihat bahwa beberapa isu yang berkembang merupakan isu yang telah dibingkai dan dikonstruksi oleh media sebagai isu pilihan yang ditonjolkan. dalam konteks ini, adapun kebijakan yang diambil akan bertepatan dengan momentum pemilu serentak 2019, baik itu dalam pemilihan legislatif ataupun pemilihan presiden. oleh sebab itu, diambil garis besar mendasar bahwa beberapa isu tersebut mulai dari isu politik identitas, isu profil pasangan calon, isu tagline #2019gantipresiden, isu kebijakan ekonomi tiga kartu sakti versus single card, isu perang total, isu pemindahan markas pemenangan prabowo-sandi ke wilayah jawa tengah, maupun isu people power dan makar, pada akhirnya merupakan isu yang ditonjolkan serta dikelola secara khusus oleh mediamedia lokal di jawa tengah, khususnya solopos, tribun jawa tengah, dan kedaulatan rakyat. kesimpulan dan saran kesimpulan pengelolaan isu terkait pemilu presiden 2019 di jawa tengah ini didasarkan pada beberapa identifikasi masalah yang memuat tentang framing media. define problem dari isu yang muncul diarahkan pada mencuatnya politik identitas antara kubu jokowi-ma’ruf dengan prabowo-sandi yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam kontroversi pernyataan prabowo mengenai istilah “tampang boyolali”, serta kontroversi apel akbar kebangsaan, dan asumsi mengenai indikasi kecurangan pemilu yang dipandang terstruktur, masif, dan sistematis. untuk diagnose causes, analisis isu yang diolah dan dibingkai oleh media pada dasarnya menonjolkan bahwa permasalahan isu yang muncul merupakan ajang perwujudan strategi politik yang telah dirancang untuk mempengaruhi persepsi publik (opini publik) di tingkat jawa tengah dan nasional. sementara untuk make moral judgement dan treatment recommendation, 287pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hal yang dapat ditonjolkan adalah bahwa isu-isu terkait mampu diolah menjadi ajang edukasi pembelajaran bagi masyarakat. salah satunya dengan mengenalkan program kebijakan pasangan calon presiden yang bersaing dengan membatasi isu-isu dan ujaran negatif yang cenderung banyak bermunculan, seperti isu mengenai politik identitas dan beberapa hal tentang sejumlah diksi politik yang cenderung merendahkan pihak lain. saran saran yang dapat diberikan adalah sebaiknya pengelolaan isu mampu memberikan edukasi bagi masyarakat terkait sosialisasi dan pendidikan politik yang netral. hal ini berkenaan dengan tugas media sebagai lembaga informatif sekaligus edukatif dengan mentransformasikan isu kepada khalayak secara cerdas. selain itu, juga tidak memuat unsur yang negatif serta merendahkan pihak-pihak tertentu. daftar pustaka achsa, h. p. (2018). penggunaan internet sebagai public sphere dalam demokrasi deliberatif (analisis penggunaan hashtag terkait isu politik menjelang pilpres 2019) (universitas muhammadiyah malang). retrieved from http://eprints.umm.ac.id/43720/1/naskah.pdf alonso, m. o. (2014). the triangle formed by framing, agenda-setting and metacoverage. disertaciones: anuario electrónico de estudios en comunicación social, 7(1), 41–66. https://doi.org/10.12804/ disertaciones.v7i1.4423 anggoro, a. d. (2014). media, politik dan kekuasaan (analisis framing model robert n. entman tentang pemberitaan hasil pemilihan presiden, 9 juli 2014 di tv one dan metro tv). aristo, 2(2), 25–52. https://doi.org/10.24269/ars.v2i2.16 anshori, m. (2019). “raja pemimpin negara republik” pemberitaan poster jokowi mengenakan mahkota raja (analisis framing robert n. entmen dalam media online tribunnews.com dan detik.com). kalijaga journal of communication, 1(1), 101–118. https://doi. 288 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) org/10.14421/kjc.11.06.2019 azpíroz, m. l. (2014). framing and political discourse analysis: bush’s trip to europe in 2005. observatorio, 8(3), 75–96. https://doi. org/10.7458/obs832014763 borah, p. (2011). conceptual issues in framing theory: a systematic examination of a decade’s literature. journal of communication, 61, 246–263. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.2011.01539.x brugman, b. c., & burgers, c. (2018). political framing across disciplines: evidence from 21st-century experiments. research and politics, 1–7. https://doi.org/10.1177/205316801878337 damayanti, s., mayangsari, i. d., & putra, d. k. s. (2016). analisis framing robert n. entman atas pemberitaan reklamasi teluk jakarta di majalah tempo. e-proceedings of management, 3(3), 3928–3936. entman, r. m. (2007). framing bias: media in the distribution of power. journal of communication, 57(1), 163–173. https://doi.org/10.1111/ j.1460-2466.2006.00336.x entman, r. m. (1991). framing u.s. coverage of international news: contrast in narative of kal and iran air incident. journal of communication, 41(4), 6–27. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.1991.tb02328.x entman, r. m. (1993). framing: toward clarification of a fractured paradigm. journal of communication, 43(4), 51–58. https://doi. org/10.1111/j.1460-2466.1993.tb01304.x eriyanto. (2011). analisis framing, konstruksi, ideologi dan politik media (4th ed). yogyakarta: lkis. fauzi, h. (2019). analisis framing model pan dan kosicki berita kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden indonesia 2019 pada media cetak harian duta masyarakat rentang waktu 23 september – 30 november 2018 (universitas islam negeri sunan ampel surabaya). retrieved from http://digilib.uinsby.ac.id/29645/1/hepi fauzi_b76215043 .pdf fernandes, a. (2018). politik identitas dalam pemilu 2019: proyeksi dan efektivitas. in csis election series no. 1. jakarta. gaio, a. m. s., mondry, & diahloka, c. (2015). analisis framing robert entman pada pemberitaan konflik kpk vs polri di vivanews. co.id dan detiknews.com. jisip: jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 4(3), 451–455. 289pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gronemeyer, m. e., & porath, w. (2017). framing political news in the chilean press: the persistence of the conflict frame. international journal of communication, 11, 2940–2963. hakim, m. s. s. (2019). money politics pemilu 2019 (analisis framing di sindonews, kompasnews.com, dan cnn indonesia). jurnal tasamuh, 16(2), 69–90. https://doi.org/10.20414/tasamuh. v16i2.846 handayani, e. s., & junaidi, a. (2018). pemberitaan kampanye pemilihan presiden 2019 di media siber dan penerapan elemen jurnalisme (analisis framing pada okezone.com dan suara.com). koneksi, 2(2), 321–328. hänggli, r., & kriesi, h. (2010). political framing strategies and their impact on media framing in a swiss direct-democratic campaign. political communication, 27(2), 141–157. https://doi. org/10.1080/10584600903501484 hartono, d., & purti, l. (2019). analisis framing robert entman kasus freddy budiman di harian kompas periode bulan juli september 2016. jika: jurnal ilmu komunikasi andalan, 2(2), 95–115. hutapea, p. f. (2013). framing pemberitaan inspektur jenderal djoko susilo terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator sim pada harian kompas. jurnal flow, 2(3), 1–10. malik, a. (2017). meme dan visualisasi kebencian netizen dalam kasus penistaan agama. jurnal rekam, 13(2), 67–84. https://doi. org/10.24821/rekam.v13i2.1931 matthes, j. (2012). framing politics: an integrative approach. american behavioral scientist, 56(3), 247 –259. https://doi. org/10.1177/0002764211426324 mcnair, b. (2016). pengantar komunikasi politik. bandung: nusamedia. mcquail, d. (2009). mass communication theory (6th ed). new york: sage publications. merz, f. (2014). adversarial framing: president bashar al-assad’s depiction of the armed syrian opposition. journal of terrorism research, 5(2), 30–44. https://doi.org/10.15664/jtr.881 nasution, r., & fadilla, r. (2019). analisis framing tentang pemberitaan hoax ratna sarumpaet di kompas.com dan republika online rentang waktu 02-05 oktober 2018. jurnal ilmiah ilmu komunikasi 290 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) communique, 1(2), 71–76. nasution, s. k. p. (2019). polemik “buta dan budek” dalam pidato k.h ma’ruf amin (analisis framing robert n. entmen dalam media online cnnindonesia.com, republika.co.id, dan tempo.co). kalijaga journal of communication, 1(1), 141–156. perdana, a., & wildianti, d. (2019). narasi kampanye dan media sosial dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2019. jurnal bawaslu dki jakarta, 19–37. personal interview ak (tribun jateng). (2019). personal interview aks (kedaulatan rakyat). (2019). personal interview bj (solopos). (2019). personal interview bs (kedaulatan rakyat). (2019). personal interview re (tribun jateng). (2019). pratiwi, s. (2018). konstruksi pemberitaan gerakan #2019gantipresiden (analisis framing robert n entman pada kompas.com dan detik.com) (universitas islam negeri alauddin makassar). retrieved from http://repositori.uin-alauddin.ac.id/13268/1/skripsi siti pratiwi copy.pdf ramdani, d., & wahyudin, y. (2018). analisis framing robert entman pada pemberitaan isu hoak saracen di republika.co.id dan kompas.com. parole (jurnal pendidikan bahasa dan sastra indonesia), 1(1). https://doi.org/10.22460/p.v1i1p63-78.28 reese, s. d., gandy, o. h. j., & grant, a. e. (2001). framing public life: perspectives on media and our understanding of the social world. new jersey: lawrence erlbaum associates publishers. rempoutzakos, f. (2017). framing theory in newspaper coverage of the 2015 greek referendum. elon journal of undergraduate research in communications, 8(2), 6–15. ridho, a. (2019). arah politik muhammadiyah dalam pilpres 2019 (analisis framing model robert n. entman dalam media online republika.co.id, kumparan.com, dan tribunnews.com). kalijaga journal of communication, 1(1), 1–21. salman, a., & saad, s. (2015). online political participation: a study of youth usage of new media. a journal: national university of malaysia. mediterranean journal of social sciences, 6(4), 88–93. https:// 291pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) doi.org/10.5901/mjss.2015.v6n4s3p88 samosir, h. e., azhar, a. a., & akbar, f. (2018). analisis framing berita vonis kasus penistaan agama di media online republika.co.id dan detik.com. al-balagh: jurnal komunikasi islam, 2(2), 231–248. scheufele, b. (2004). framing-effects approach: a theoretical and methodological critique. communications, 29(4), 401–428. https:// doi.org/10.1515/comm.2004.29.4.401 scheufele, d. a. (1999). framing as a theory of media effects. journal of communication, winter 199, 103–122. https://doi. org/10.1111/j.1460-2466.1999.tb02784.x scheufele, d. a., & tewksbury, d. (2007). framing, agenda setting, and priming: the evolution of three media effects models. journal of communication, 57, 9–20. https://doi. org/10.1177/1077801203009007008 setyowati, r. m. (2011). wikileaks dan agenda setting media. jurnal the messenger, 2(2), 28–32. siregar, b. (2019). framing berita capres-cawapres pada pilpres 2019 di harian umum republika dan koran tempo. komunikologi, 16(1), 7–17. soetedjo, o. h. (2017). bingkai berita fenomena 4 november dalam media online republika.co.id dan kompas.com. jurnal e-komunikasi, 5(2). tapsell, r. (2018). kuasa media di indonesia: kaum oligarki, warga, dan revolusi digital (w. p. utomo, ed.). tangerang selatan: marjin kiri. tarigan, k. r., & atnan, n. (2019). analisis berita sandiaga uno pada deklarasi kemenangan pilpres 2019 (analisis framing pan dan kosicki pada media online viva.co.id dan republika.co.id). e-proceedings of management, 6(3), 1–8. valenzuela, s., piña, m., & ramírez, j. (2017). behavioral effects of framing on social media users: how conflict, economic, human interest, and morality frames drive news sharing. journal of communication, 67(5), 803–826. https://doi.org/10.1111/jcom.12325 weaver, d. h. (2007). thoughts on agenda setting, framing, and priming. journal of communication, 57(1), 142–147. https://doi.org/10.1111/ j.1460-2466.2006.00333.x 292 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 263 292, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1832 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) west, r., & turner, l. h. (2007). introducing communication theory: analysis and application (3rd ed). jakarta: salemba humanika. wibiyanto, a. (2017). pemberitaan sunny tanuwidjaja (analisis framing media online terhadap pemberitaan sunny tanuwidjaja di tempo, kompas, merdeka, tribun, detik). jurnal ikon, 1(5), 1–9. wilken, r., kennedy, j., arnold, m., gibbs, m., & nansen, b. (2015). framing the nbn: an analysis of newspaper representations. communication, politics, & culture, 47(3), 55–69. 1. the article must be scientific, either based on the empirical research or conceptual ideas. the content of the article have not published yet in any journal, and should not be submitted simultaneously to another journal. article should not be part of fully one chapter of the theses or dissertation. 2. article must be in the range between 15-30 pages, not including title, abstract, keywords, and bibliography 3. article consisting of the various parts: i.e. title, the author’s name(s) and affiliation(s), abstract (200-250 words), keywords (maximum 5 words), introduction, description and analysis, conclusion, and bibliography. • title should not be more than 15 words • author’s name(s) should be written in the full name without academic title (degree), and completed with institutional affiliation(s) as well as corresponding address (e-mail address). • abstract consisting of the discourses of the discipline area; the aims of article; methodology (if any); research finding; and contribution to the discipline of areas study. abstract should be written in english. • introduction consisting of the literature review (would be better if the research finding is not latest than ten years) and novelty of the article; scope and limitation of the problem discussed; and the main argumentation of the article. • discussion or description and analysis consisting of reasoning process of the article’s main argumentation. • conclusion should be consisting of answering research problem, based on the theoretical significance/conceptual construction • all of the bibliography used should be written properly author guidelines 4. citation’s style used is the american psychological association 6th edition, and should be written in the model of body note (author(s), year, and page(s)), following to these below examples: a. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) b. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) c. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ indonesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) d. article of the journal 1) journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) 2) journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) 3) e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) e. article website 1) dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) 2) tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) f. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta: magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) g. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 5. in writing the citation’s would be better and suggested to use software of citation manager, like mendeley, zotero, end-note, refworks, bib-text, and so forth, with following standard of american psychological association 6th edition. 6. arabic transliteration standard used international journal of middle eastern studies. for detailed transliteration could be seen at http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 7. article must be free from plagiarism; through attached evidence (screenshot) that article has been verified through anti-plagiarism software, but not limited to the plagiarism checker (plagramme.com). author fee al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi will not charge anything to the author for submission fee or publication fee. submission preparation checklist as part of the submission process, authors are required to check off their submission’s compliance with all of the following items, and submissions may be returned to authors that do not adhere to these guidelines. 1. the submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in comments to the editor). 2. the submission file is in openoffice, microsoft word, rtf, or wordperfect document file format. 3. where available, urls for the references have been provided. 4. the text is single-spaced; uses a 12-point font; employs italics, rather than underlining (except with url addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end. 5. the text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the author guidelines, which is found in about the journal. 6. if submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in ensuring a blind review have been followed. copyright notice authors who publish with this journal agree to the following terms: • authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a creative commons attribution license that allows others to share the work with an acknowledgement of the work›s authorship and initial publication in this journal. • authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal’s published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal. • authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. privacy statement the names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or to any other party. skup dakwah : manajemen dakwah, bimbingan dan konseling islam, psikologi, psikologi dakwah, analisis sosial, sejarah dakwah, filsafat dakwah, sosiologi dakwah, ilmu dakwah, manajemen traveling dan wiisata religi, manajemen pelayanan haji, global islamic tourism, metodologi dakwah, relasi dakwah dengan budaya. skup komunikasi : public relation, komunikasi dan penyiaran islam, psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal dan sosial, komunikasi antar budaya, jurnalistik, komunikasi massa, human relations. youth communication campaign in strengthening difabels through ictbased philanthropy keywords: ableism; communication strategy; ict; philanthropy http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh abstract ableism is a differentiation construction often experienced by entities with disabilities and contributes to discrimination in the fulfillment of personal, economic, and social rights for persons with disabilities. designfordream (dfd) presents a form of youth awareness that concerns about philanthropic communication innovation strategies on ableism. this study aims to describe designfordream's communication strategy in delivering communication through philanthropic activities. this study used a qualitative descriptive method. the data collection observed the designfordream philanthropic activities through interviews with management and makes some documentation for the relevant sources. the results showed that the communication strategy used by designfordream was through an ict-based communication campaign. this campaign is carried out by distributing anti-ableism messages and innovating in building market networks to strengthen people with disabilities' entrepreneurial capacity. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 yuliana rakhmawati* rizki ernaldi universitas trunojoyo, madura, indonesia correspondence: e-mail: *yuliana.r@trunojoyo.ac.id rizki.ernaldi@gmail.com 314 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak ableisme merupakan konstruksi pembedaan yang sering dialami oleh entitas penyandang cacat dan turut membentuk diskriminasi dalam pemenuhan hak pribadi, ekonomi, dan sosial pada penyandang cacat. designfordream (dfd) hadir sebagai bentuk kepedulian pemuda dalam melakukan inovasi dalam strategi komunikasi filantropi terhadap isu ableisme. penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan strategi komunikasi designfordream dalam menyampaikan komunikasi melalui kegiatan filantropi. penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan sumber data melalui wawancara kepada pihak manajemen, observasi pada aktivitas filantropi designfordream, serta dokumentasi terhadap sumber yang relevan. hasil penelitian menunjukkan strategi komunikasi yang dilakukan designfordream adalah melalui kampanye komunikasi berbasis tik. kampanye ini dilakukan dengan mendistribusikan pesan anti-ableisme serta berinovasi dalam membangun jejaring pasar untuk penguatan kapasitas kewirausahaan bagi penyandang disabilitas. how to cite this (apa 7th edition): rakhmawati, y & ernaldi, r. (2020). youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(2), 313–340. https://doi.org/10.22515/ al-balagh.v5i2.2203 introduction difabley is a specific physical condition that causes limitations in carrying out personal and collective activities (sabirin, 2013). this condition often causes diffables to experience discrimination and labeling biomedical, social, and biopsychosocial (nurdian & anwar, 2014). the diffable also often experiences further problems in access to education, health, public facilities, and citizens' political rights (kumalasari, 2017; fikri, 2016). ableisme; strategi komunikasi; teknologi, informasi, dan komputer; filantropi kata kunci: 315youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) discrimination against diffables can be linked to the existence of ableism in society (asyhabuddin, 2008; loja, costa, hughes, & menezes, 2013). ableism is a set of beliefs, processes, and practices that construct humans with specific physical standards (campbell, 2009); (goodley, 2014). this understanding instructs humans into two groups, namely: an able and unable entity (hehir, 2002). the construction carried out sustainably in perfect society projects, species-specific, essential, and whole human figure (wolbring, 2008). related to the explanations above, there is a preference for adverse treatment given to someone who is labeled as a disturbed party because of their physical abilities(scurro, 2017). it is considered being their sub-species (physical, mental, neuronal, behavioral, or cognitive) covered by the term disablism (wolbring, 2012; bolt, 2012). based oncampbell (2008) and siebers (2008), the concept of ableism in substance also approaches other forms of discrimination, one of which is racism. sensitivity on the issue of inequality experienced by persons with disabilities due to the endemic construction of ableism in society as a concern for all entities with their respective capacities and roles. education activists have called for inclusion programs to provide access for people with disabilities in the field of education (hasanah et al., 2019; budiwati & sulistyorini, 2018; wisuda, 2018; derby, 2016). international institutions ratify persons with disabilities' rights through the convention on the rights of persons with disabilities (crpd) (edwards, 2014). regulators, in this case, the country, provide advocacy in making policies that are pro-diffable(millati, 2016; pudyatmoko & dewi, 2017; pratama, 2019). besides, non-governmental organizations also pay attention to the theme of discrimination(madyaningrum, 2017). the involvement of youth as part of society on inequality experienced by diffables has been done a lot. one of the ways to take the role of the youth is through philanthropic activities.the form of youth 316 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) philanthropy for people with disabilities is carried out through advocacy programs (sabirin, 2013); provision of counseling (nuridan & anwar, 2014); reduction of discrimination in diffables(al yusainy et al., 2016); mentoring students with disabilities (jannah & sihkabuden, 2017); anxiety reduction with group guidance (atikasari & imanti, 2019); self-defense with disabilities (shofa et al., 2016); and guarding policies that favor the diffable (maharani et al., 2014). several studies have shown the role of youth in the context of strengthening economic access to disabilities, such as in economic empowerment (faozan, 2016; kusasih & sumarmawati, 2019); economic resilience of families with disabilities (taqwarahmah et al., 2017); and strengthening the work productivity of people with disabilities(fibrianto & yuniar, 2019). research that specifically looks at the potential for disability from a communication strategy perspective is still limited. thus, this research was made as an initiation in communication research for diffable philanthropy. the communication strategy perspective is used to understand the portrait of youth's contribution in utilizing communication technology to deliver philanthropic messages. based on this communication campaign concept, the message distribution strategy is carried out by a series of communication activities. based onlittlejohn & foss (2009), the communication campaign is part of a communication strategy in three major stages: planning, implementation, and evaluation. design for dream (dfd) is a start-up company based on information communication technology (ict) that pays attention to diffable issues. this company has a mission of social enterprise sustainable in strengthening the diffable community. youth activities design for dream in social entrepreneurship combining philanthropic activities using communication technology innovations. the role of youth as performed by design for dream for people with disabilities can be a strategic partner choice for all parties in empowering people with disabilities to fight the stigma of ableism on the broader community. 317youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 1. the display of situs designfordream.id the urgency of research related to strengthening the capacity of people with disabilities for social change can become a treasure trove of scientific and practical literature on youth philanthropic activities. this research is interested in understanding the process and mechanism of designfordream youth participation in designing a communication campaign to strengthen the diffable. besides, the use of ict convergence in the design of stream communication strategy can be the positioning of this research. the novelty in this research is to describe the combination of communication campaigns, youth moral movements in philanthropic activities, and ict-based convergence to strengthen people with disabilities who are discriminated against. methods this study used a constructivist paradigm to understand the subject related to the object of research. the object of research is the designfordream communication strategy in implementing philanthropic activities. limitation on the object is carried out with the focus of research, namely: the selection of communication strategies carried out by designfordream, target selection, segmentation, and the form of the message delivered. data collection and a technique to confirm the data's validity were carried out through technical triangulation, namely 318 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) interviews, observation, and documentation. each data collection method has a function and performance indicators in the study. from each data collection method, technical implementation, and indicator achievement are abstracted in the following matrix: table 1. data collection techniques and outcome indicators technique technical implementation, unit of analysis, and outcomes interview roles: conducted in a semi-structured manner using an interview guide (interview guide) the subject are also thekey informants that are the management of designfordream, which includes: company leader and founder (ceo and founder), marketing manager. additional informants are the design and creative division, designfordream human resources division. unit of analysis: data collected from interviews in the form of words, which were then analyzed target: coding on the data displays based on the research objectives observation roles: conducting non-participatory observations on designfordream activities at the office located in yogyakarta and making observations on the desingfordream site. observations are made by making an observation guide. 319youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) technique technical implementation, unit of analysis, and outcomes unit of analysis: data collected from observations are in visual or audiovisual form. documentation in observations is carried out by recording with camera media or field notes. target: coding on the observation data display that is following the research objectives documentation roles: documentation is carried out by searching for texts and literature related to the object of research. target: manuscripts or documentation from third sources such as journals, textbooks, or visuals. data analysis was performed using the miles and huberman method with the following stages: data reduction, data display, concluding, and verification (miles & huberman, 1994). the first stage is data reduction. reduction or condensation of data is part of the analysis, aiming to sharpen, classify, discard, and organize the used data to assist the process of drawing conclusions and carrying out verification. data reduction in this research was carried out by selecting, focusing, simplifying, abstracting, and transforming data from field notes and interview transcriptions. data reduction is carried out with the guidance of the conceptual framework, the theme as the research object, research questions, and the selection of data collection techniques that have been carried out. the data process was then continued by writing summaries, coding, developing themes, defining clusters, creating partitions between themes, and making notes. this process takes place continuously during the data collection process. the second step in analyzing the research data was carried out by displaying the data. the technique is done by organizing, compiling 320 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) information for making conclusions. data displayed can be in the form of matrices, graphs, and networks. in this research, the data displays help to retrieve data and make it more systematic and possible to be used in the discussion. furthermore, the third stage in the analysis is carried out by drawing conclusions and verification. from the start of the research, it was done by marking regularities, patterns, explanations, possible configurations, cause-effect flows, and propositions. drawing conclusions is based on managing the openness of coding and display data. drawing conclusions is also part of the verification process of data analysis. verification is needed as a second analysis throughout the writing by reading back the field notes carefully and thoroughly to get intersubjectivity in providing arguments. results and discussion designfordream.com is the first social enterprises-based start-up in indonesia. it focuses on empowering people with disabilities, the first disabled empowerment platform in indonesia (first indonesian difable crowdhelping platform), which supports and creates an inclusive economy for people with disabilities who want to become entrepreneurs and professionals. the establishment of this start-up was based on the idea of the founder and ceo (dias) and iman (from google with disabilities) to collaborate and impact the issue of disabled inclusiveness. “dfd was bornin july 2017, i met one of my friends, his name was imam, in jakarta. imam had worked at google disabled for assistants which is a part of google that works with disabled. i just shared the ideas about disabled, and it turns out our ideas are same. we are decided to work together. i understand the field and imam understands the technology, finally the dfd was created, in september i added jaka and marta. it was just set in july 2017, and now it has been running for 18 months.” (interview with ceo, 20-10-18) 321youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) designfordream (dfd) has several units that work together in achieving organizational goals in distributing messages of empowerment with disabilities. the division consists of top management led by chief executive officer and talent, chief marketing officer (cmo), design and creative officer (cdo). all divisions work together to build dfd as a medium. another purpose is to convey information through design concepts implemented in every campaign and activity from designfordream.com to the public. dfd creates a communication strategy in order to achieve the inclusiveness goal of people with disabilities. the type of strategy chosen is to use a communication campaign through information communication technology (ict). in this context, the message design is made on two campaign platforms: an awareness campaign on ableism and crowdfunding to empower disabled friends. “we have a scope in a mission, first is in terms of crowdfunding, second is in terms of e-commerce and third is in terms of awareness. now, in terms of awareness, it is more likely the general public awareness, clearly, that we can carry out issues related to disabled. we publish to the public in positive, creative and innovative ways by combining technological and social concepts.” (interview with ceo, 20-10-18). the term campaign in a communication perspective is synonymous with political elements and tends to be expensive (prihatini, 2011). the health communication dimension also uses communication campaigns as a channel to convey awareness and curative messages. research from (chandra, 2014) found that rrs community communication campaign in the literacy of early detection of teen breast cancer in surabaya. communication campaigns are also used to distribute messages on the prevention of early marriage with a multistep flow communication model (subekti & dkk, 2014). virgiantia & pratiwi (2019) in their research, they found the use of communication campaigns in reducing the prevalence 322 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of malnutrition (stunting) in indonesia by the millennium challenge account. in practice, the campaign dfd has been done based on technology and philanthropy social enterprises. the campaign theme carried by dfd emphasizes on literacy and access to inclusiveness for disabled friends. the use of communication campaigns by dfd because it is considered as an effective channel to achieve its philanthropic and business goals. the effectiveness of communication campaigns in changing people's attitudes has also been proven in research (wulandari, nuraini c, & nugroho, 2019). each communication campaign conducted by dfd consists of several stages, namely: planning, implementation, and evaluation. planning is generally carried out in two stages, including the pre-production stage and the production stage. in the pre-production stage, the communicator identifies the campaign's target audience to map their understanding, beliefs, values, knowledge, attitudes, and perceptions about the campaign topic. the ceo of designfordream conveys the following statemnt: “our communication strategy uses more methods, with a point of view we have to know what people with disabilities need, as i said at the beginning, for 2 years i have been working on the disabled issue, i have learned first about disabled friends, what they need and we can provide it for them.” (interview with ceo, 20-10-18) the planning stage is the responsible of top management (chief executive officer dan talent acquisition) division which is in charge of forming, designing concepts and programs for designfordream.com. this pre-production stage is an essential part of the communication campaign because it is the initial stage that determines the next communication campaign's design profile. the identification results can be used to create a campaign design that fits the deographic, geographic, and psychographic profile of the audience. 323youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “approaching people who want to be helped (with disabilities) in terms of entrepreneurs, we go to the people and we ask what they need, and what we have to tell the public regarding their limitations, what the public needs to know about their world of people with disabilities.” (interview with at, 18-1118) furthermore, at the production stage, the message concept is based on the pre-production process's findings. from the evaluation results, a communication campaign design was developed for a larger audience (silk, 2009). based on the transtheoretical model (prochaska & velicer, 1997), the audience's readiness in receiving messages and the reception process is identified in three stages, namely: pre-contemplation, contemplation, preparation, and action. each stage requires proficiency in determining the appropriate communication campaign design. this stage is carried out by the division design & creative officer (cdo). this division is responsible for transmitting the ableism literacy and strenghthen the disabled campaign program's ideas in the form of visual graphics. at this stage, accuracy in making message designs and identifying media characters as message distribution channels is needed, as conveyed by the following cmo of dfd: “formulating messages also requires a creative side, including during the campaign to raise funds for products for disabled, we approach people with disabled who seek for help, we always look for them and ask what they need, and what we have to tell the public abouttheir limitations and what the public needs to know about their world, what kind of stigma they face, from the creative side we want to inform the public about the stigma. “ (interview with at, 20-11-18). one theory that can explain campaign message design is the social cognitive theory (sct) by albert bandura. the design and creative division's idea is to approach the sct proposition about the closeness of the campaign media message to the profile of the campaign's target 324 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) audience(conner& norman, 2005). the communication campaign message is presented not to attack context (coercive) but rather prioritizing a persuasive approach(pfau & burgoon, 1988). in this case, the designfrodream was initially aimed at young people so that the messages formed tended to young people's profiles. this message was created with the youth's dynamic and open character in mind. after the message is distributed to the public, the next stage in a communication campaign is evaluation. in the context of social norms (social norms approach), evaluation is carried out in two methods, namely: process and summative(berkowitz, 2010). evaluation process is carried out during the campaign to see if the campaign is conducted based on the campaign plan or design. meanwhile, the overall evaluation is held after the campaign is over to determine the campaign's effectiveness. blind awareness campaign: youth philanthropy for literacy ableism figure 2. campaign #blindawareness designfordream.com (sources: https://instagram.com/designfordream/timeline) the involvement of youth in ict-based philanthropy contributes to several dimensions of social issues, one of which is as a medium for 325youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) civic participation (bachen, raphael, lynn, mckee, & philippi, 2008). designfordream (dfd) initiated the idea to carry out a campaign movement for blind friends or called as' "blind awareness campaign”. since 2018, this campaign has been distributed through the convergence of affiliated social media channels from designfordream, such as line, networking sites, and instagram. “we are creating an on demand platform, especially used by young people, such as instagram, we have a dfd shop, which focuses on e-commerce and entrepreneurship, so we don’t want to combine the values from dfd with that, for example a campaign or the stigmas i mentioned earlier.” (interview rd, 20-11-18) blind awareness campaign conducted by designfordream as a channel for economic empowerment for blind friends. economic empowerment with disabilities in several previous researches was carried out in various approaches. the examples are through an integrated rehabilitation approach (sholehah, 2017); self-help groups (triono, 2018); transformation of the public space to gather support for disabled (santoso & jacky, 2013); entrepreneurial approach (prasetya & mawardi, 2019); the community to fulfill the labor rights of people with disabled (mutiah & astuti, 2018); a community for disabled productivity (fibrianto & yuniar, 2019); community-based rehabilitation for people with disabled (kristiawan et al., 2016)speech therapy for impaired speech disabilities and down syndrome treatment. in these activities, sanggar mutiara bunda also used the concept of parenting in which every parent and family were involved in training and equipped with the knowledge and ability to perform activities of therapies and activities so that they can carry our themselves at home. by working with the health center that provide physicians and other medical personnel checked regularly the disabled children health. this place also carried out the counseling to motivate more advanced and 326 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) independent. design dedication to the empowerment of the disabilities included: 1; as well as disabled-friendly transportation (hutari, 2019). dfd holds the value that basically all human beings are empowered and capable of doing (able). certain physical conditions that are different from the general public's construction only show physiological characteristics and are not a determinant indicator in viewing a person's capacity. the empowerment pattern is considered successful if friends with disabled can sustainably and independently-run and get benefit from economic activities. the independence of friends with disabilities' will improve the quality of life for themselves and their families and ward off ableism stigma in society. “this includes our communication strategy to the community, we are still exploring several times what we want to empower, now forming a database containing certain people with disabilities who have the capacity to become entrepreneurs, the database is made through informal groups such as orphanages, which are the majority of people with disabled, on campus. the approach is still picking up the ball. hopefully in the future the disabled friends are able to register themselves to join the dfd database.” (interview with rd, 20-11-18) the dimensions of the disabled empowerment communication campaign from designfordream are projected to reach a wider economic scheme from a business to consumer (b2c) scheme and form business to business (b2b) concept, including social empowerment in it. with a broader and more open pattern, it is hoped that friends with disabilities will have an inclusive place in society. the practice of designfordream philanthropy by initiating strengthening economic access to friends with disabilities is also balanced with identifying target consumers. given that the production capacity of disabled friends is not yet massive for the products offered through the designfordream social media channel, it is necessary to have the ability to recognize targets and appropriate media channels to use. 327youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “we still focus on crowdfunding and e-commerce, but it has been more developed, open donations at the walkathon event, to share 1000 lipsticks for disabled people. there are campaign products, because open crowdfunding without products won’t sustain so it relies on content and look for the person. when the product campaign can get the momentbenefit , ] the funds will be raised. it will be saved forlaterthe campaign product can be a saved at designfordream.com, for crowdfunding it has to be a spesific targetr, e -commerce still sells goods with disabilities using a database system, it can be to b2c b2b b2g, so we make an approach to government for example, we can support their activities.” (interview with rd, 18-11-18) the concept of business to business (b2b) developed as a form of communication campaign by expanding the market for products for disabled friends. so far, the products of friends with disabilities have been marketed retail directly to the consumers. in its development, the strategy of cooperating with strategic partners was carried out by designfordream. products of friends with disabilities are starting to be offered to agencies, companies, and a more open business sector. the b2b scheme's target market is more focused on reinforcing increased production capacity and product quality to meet partner expectations. the b2b concept in startup business has been going well in developed countries. in indonesia, b2b practices still face several technical and non-technical (nirwan & dhewanto, 2015). campaign materials are distributed regularly and incidentally to strategic partners and the public. actively, dfd creates a reciprocal database for disabled communities, stakeholders, private entities, or other parties concerned about ableism issues among disabled friends. it is expected that every campaign carried out can make the community more enthusiastic and more active in contributing to creating more inclusive conditions for friends with disabilities. every disabled friend product offered by dfd is packed with a narrative message of caring and inclusiveness. message 328 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) design is able to provide maximum added value to the product being offered. with a touch of creativity and innovation in advertising, it is expected that the target audience will be more diverse and broader. now dreams sound more inclusive: ict for access to economy with disabilities creating a communication campaign work program to create an inclusive life for disabled friends is carried out based on research data. it is conducted by dfd so that the performance can take place in a suistainable manner. it is not uncommon for start-ups to not recognize the needs and problems in society, in the end, they cannot have a significant sustainable impact, even though they have sufficient potential. “people with disabilities who need to be supported by funds, we channel it through the crowdfunding concept, not only have their photos uploaded on websites and other social media accounts but we also create story-telling to strengthen the content, but we are also still learning how to effectively and efficiently crowdfunding. we are also looking for their channels to distribute their products; and get cash flow.” (interview with va, 18-11-18) dfd develops different values from the communication campaign in similar philanthropic activities. apart from creating a superior communication campaign and innovation, dfd also includes the community's values in the empowerment scheme of disabled friends. bring the tagline “now dreams sound more inclusive”designfordream support the rights of friends with disabilities as stated in government regulations in law no. 8 of 2016 concerning equality of access to disabilities in all dimensions of life, including economic access and decent work. this concept is in line with the indonesian government's ratification of the instrument of an international convention on persons with disabilities' rights. dfd then carries out the concept of empowerment through a 329youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) value campaign of attachment dimensions of empowerment and equality of economic, social, and cultural access to friends with disabilities. table 2. communication campaign “now, dream sound more inclusive” no characteristics concept 1 vision dan mission describe the values, characteristics, and role models of start-ups with basic e-philanthropy. 2 purpose a. supporting indonesia to become a country that is more inclusive of people with disabilities b. changing the stigma of ableism, that diffable people also have access and make their dreams come true. c. from the perspective of friends with disabilities, they can see themselves and not limited by “differences.” 3 selection of social media as a campaign channel for diffable issues a. as a medium to increase awareness of diffable issues. with the sticker and broadcast features via the timeline in the line application, designfordream.com can maximize the content with visual designs related to people with disabilities. b. instagram account @dfd.shop. used as a medium to promote products with disabilities that are feasible and have a selling value. instagram was chosen because it is the most in-demand media. based on dfd, the use of icts in campaigns for the concern for ableism is to gain several advantages. first, the target audience can be expanded. second, human resources who are members of designfordream can maximize capacity in technological and humanitarian practices. third, youth drivers of change can significantly and positively contribute to eliminating ableism and strengthening friends with disabilities from economic, social, and educational dimensions. meanwhile, designfordream refers more to a shift in the concept of human resources (human resources) to maximize personal performance (talent acquisition) in a work team. 330 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the use of ict as a channel for strengthening the capacity and quality of individuals, communities, and institutions had a significant impact in various countries. in creating judicial professionalism through e-justice (cerrillo & fabra, 2008); learning with e-learning (perra, 2009; lubis et al., 2018); through thee-pabelan project (robinson, 2006); as an innovation in digital media (preston, 2001). meanwhile, icts in economic activities have advantages in innovation, diffusion, and business development (osman, 2006). the campaign carried out by dfd is carried out continuously to increase community participation for the issues of friends with disabilities. the campaign message was designed by the chief design officer, a person with disabilities, using a planning and exploration strategy packaged in an attractive visual design. designfordream provides illustration messages to show the experiences of discrimination experienced by friends with disabilities through this content. “in the product introduction stage, how do we as a marketing team succeed in delivering products according to the dfd values to the wider community, especially people with disabilities, dfd is trusted to empower people with disabilities, right? because the empowerment programs according to the needs of people with disabilities and people can also contribute, out of contextwe often change strategies, take in and out, yesterday’s blind campaign event for pre-orders was not bad for ordering 20 clothes, production from vendors, crowdfunding from us, so that the character of e-commerce as a disabled product of dfd can be felt.” (interview with rd, 18-11-18) the designfordream communication campaign is not just a charity activity for friends with disabilities. however, it has further become a spirit of concern for ableism, which is still existed in placing disabled friends. the empowerment campaign is a process that has a philosophical foundation with adjustable execution. dfd carries out the stages in empowering friends with disabilities with the following practices: 331youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 3. designfordream empowerment stages on disabled friends no stage practice 1 awakening it is done to make people and communities aware of people with disabilities, including growing, mobilizing, and developing. 2 understanding provide new understanding and perception of their identity. this understanding process includes learning to appreciate empowerment fully and about what is required of them by the community. 3 harnessing the condition of the community that already understands the concept of empowerment decides to use it for their community benefit. 4 using when the community has been empowered, it has skills and abilities. in empowering people with disabilities, disabled can fulfill their daily needs through these abilities and skills. in-depth communication campaign “now dreams sound more inclusive” conducted by studying the performance of previous e-philanthropic social-based start-ups. dfd also uses advertising media to distribute campaign messages on various social media channels. the target audience is getting bigger and bigger to initiate wider community enthusiasm in discrimination and ableism. the communication strategy is one of the keys to create and produce messages for this start-up company. according to designfordream management, choosing the right communication strategy will make communication and campaign run effectively. designfordream understands its position as a start-up company; therefore, according to management, introducing the brand designfordream to the community is also a challenge. this company carries out a communication strategy through audience recognition and message composing. audience identification is carried out carefully to obtain profiles of subjects (disabled friends) and objects (public audiences) that 332 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) will target the message. after the audience recognition stage, the next step is composing the message. at this stage, the protocol for preparing the message design is carried out, one of which is to complement the message's substance with a visualization that attracts attention. this concept is carried out to encourage the presence of feedback from the community and other stakeholders. “there are beneficiaries of the program that we have created, and they also cooperate with us as beneficiaries, there is an object that we output, it looks like a lot like yesterday there was batik, wheelchair, it is an output and a socio-preneur. the money we get is divided by the proceeds, dfd takes 5% of the total crowdfunding and 20% of the total product sales.” (interview with ds, 20-10-18) dfd is part of a start-up that strives for existence, with an entity primarily formed based on the bright ideas of young people who want to grow and succeed (salamzadeh & kesim, 2015). the life cycle character of technology-based companies such as dfd is different from established companies (miller, jr., 2008). some of the problems that start-ups may face are funding, risk, workload, resources, reward and punishment management, personal costs, and the trend of dynamic change (nesheim, 2000). choosing a strategic partner in building and developing a start-up company can be one strategy (dagdeviren, 2018). with the selection of the right partner start-up companies', the performance and sustainabanies will be relatively more sustainable and long lasting. conclusion and suggestion conclusion the research findings show that designfordream has the vision to distribute messages of concern on ableism and inclusiveness of access to friends with disabilities. dfd uses a communication campaign strategy with 333youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) two platforms, namely crowdfunding and strengthening economic access for people with disabilities. the scheme is run with the blind awareness campaign (bac) as a literacy campaign on the issue of ableism and now dreams sound more inclusive (ndsmi) to strengthen economic access for friends with disabilities. the communication strategy carried out in youth philanthropic activities in dfd uses information communication technology (ict). through social media platforms, they are distributing persuasive messages with a broader target audience. in conducting communication campaigns, these programs are carried out by cooperating with several strategic partners. dfd uses a communication campaign as an empowerment design with a transformative incubator pattern and changes the mindset. through the activation of these two patterns, human resources for disabled friends who have the capacity for economic access are generated. meanwhile, from a societal perspective, it is possible to overcome the psychological and cultural dimensions of ableism discrimination. the choice of empowering friends with disabilities is based not only on humanitarian considerations but also on carrying out a communication campaign for eliminating discrimination in the perspective of ableism to friends with disabilities. designfordream works with friends with disabilities, stakeholders, and the community to create an inclusive atmosphere for all entities. the communication strategy carried out by designfordream combines communication campaigns through the planning, implementation, and evaluation stages with the capacity of information technology competencies to get maximum response and exposure. suggestion as the construction of physically differentiating individuals, ableism is a challenge in itself for society so that it does not spread into 334 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) discrimination. the initiation of youth philanthropy in a movement of concern for social themes has become a catalyst for anti-discrimination attitudes and behaviors in society. using ict in philanthropic activities such as designfordream as a start-up company with social enterprises can be an inspiration for similar movements. enrichment on the themes of strengthening and eliminating discrimination in more diverse contexts can become further research. mapping the potential and perceptions of youth in similar philanthropic activities can be explored with a positivistic approach. studies on communication strategies, youth philanthropy, ableism literacy, and strengthening friends with disabilities are needed to encourage all stakeholders' involvement in fulfilling the equal rights of friends with disabilities in the future. references al yusainy, c., thohari, s., & gustomy, r. (2016). stop ableism: reduksi stigma kepada penyandang disabilitas melalui intervensi bias implisit. jurnal psikologi, 43(1), 1-15. https://doi.org/10.22146/ jpsi.9168 asyhabuddin. (2008). difabilitas dan pendidikan inklusif : kemungkinannya di stain purwokerto. insania: jurnal pemikiran alternatif pendidikan, 13(3), 406-519. https://doi.org/10.24090/ insania.v13i3.312 atikasari, a. f., & imanti, v. (2019). menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok. al balagh jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 1–24. https://doi.org/10.22515/balagh.v4i1.1608 bachen, c., raphael, c., lynn, k. m., mckee, k., & philippi, j. (2008). civic engagement, pedagogy, and information technology on websites for youth. political communication, 25(3), 290–310. https://doi.org/10.1080/10584600802197525 335youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berkowitz, a. d. (2010). fostering healthy norms to prevent violence and abuse: the social norms approach. in k. l. kaufman (ed.), the prevention of sexual violence: a practitioner’s sourcebook (pp. 147171). holyoke, massachussets: neari press. bolt, d. (2012). social encounters, cultural, representation, and critical avoidance. in n. watson, a. roulstone, & c. thomas (eds.), routledge handbook of disability studies (pp. 287–297). abingdon: united kingdom: routledge. budiwati, a., & sulistyorini, s. (2018). developing inclusive campus at yogyakarta (case study at islamic university sunan kalijaga yogyakarta). campbell, f. k. (2009). contours of ableism: the production of disability and abledness. london, united kingdom: palgrave macmillan. campbell, f. a. k. (2008). exploring internalized ableism using critical race theory. disability and society, 23(2), 151–162. https://doi. org/10.1080/09687590701841190 cerrillo, a., & fabra, p. (2008). e-justice: information and communication technologies in the court system. pennsylvania, united states: igi global. https://doi.org/10.4018/978-1-59904-998-4 conner, m., & norman, p. (2005). predicting health behaviour: research and practice with social cognition model. in m. corner & p. norman (eds.), predicting health behaviour : research and practice with social cognition models (2nd ed.), (pp. 10–11). london, united kingkom: open university press. dagdeviren, o. (2018). start-ups grow: how to pick partners recruit the top talent and build a company culture with people (1st edition). derby, j. (2016). confronting ableism: disability studies pedagogy in preservice art education. studies in art education, 57(2), 102–119. https://doi.org/10.1080/00393541.2016.1133191 edwards, n. j. (2014). disability rights in indonesia? problems with ratification of the united nations convention on the rights of persons with disabilities. australian journal of asian law, 15(1), 1–15. faozan, a. (2016). pemberdayaan ekonomi difabel perspektif maqasid syari’ah (issue june). purwokerto: iain purwokerto. fibrianto, a. s., & yuniar, d. (2019). memupuk produktifitas kerja komunitas difabel di yogyakarta indonesia. analisa sosiologi, 336 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 8(2), 46–54. fikri, a. (2016). konseptualisasi dan internalisasi nilai profetik: upaya membangun demokrasi inklusif bagi kaum difabel di indonesia. inklusi, 3(1), 41-64. https://doi.org/10.14421/ijds.030107 goodley, d. (2014). dis/ability studies : theorising disablism and ableism. abingdon, united kingdom: routledge. hasanah, u., kurniasih, n., & kurniawati, i. (2019). mengelaborasi education for all dengan pendidikan. ijeci, 2(2), 1–12. hehir, t. (2002). eliminating ableism in education. harvard educational review, 72(1), 1–32. https://doi.org/doi.org/10.17763/ haer.72.1.03866528702g2105 hutari, r. m. (2019). paratransit difa bike as an innovation of economy empowering and accessibility for difabel. indonesian journal of disability studies (ijds), 6(2), 230–239. http://dx.doi. org/10.21776/ub.ijds.2019.006.02.14 jannah, m., & sihkabuden, s. (2017). implementasi model pendampingan mahasiswa difabel oleh pusat studi dan layanan disabilitas (psld) universitas brawijaya malang. jurnal ortopedagogia, 3(1), 45-50. kristiawan, b., wijayanta, a. t., & suminah. (2016). rehabilitasi bersumberdaya masyarakat bagi penyandang difabel di sanggar inklusi mutiara bunda. semar : jurnal ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni bagi masyarakat, 5(1), 73–81. https://doi.org/doi. org/10.20961/semar.v5i1.16326 kumalasari, g. w. (2017). the indonesian disability national commission as a strategic policy in fulfilling the rights of people with disability. diponegoro law review, 2(2), 300-311. https://doi. org/10.14710/dilrev.2.2.2017.56-67 kusasih, i. a. k. r., & sumarmawati, e. d. (2019). pemberdayaan ekonomi melalui kripik jamur tiram pada komunitas difabel di kabupaten klaten. jurnal ilmiah pengabdian kepada masyarakat pakem, 1(1), 17–21. littlejohn, s. w., & foss, k. a. (2009). encyclopedia of communication theory. thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. 337youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) loja, e., costa, m. e., hughes, b., & menezes, i. (2013). disability, embodiment, and ableism: stories of resistance. disability and society, 28(2), 190–203. https://doi.org/10.1080/09687599.2012. 705057 lubis, a. h., idrus, s. z. s., & sarji, a. (2018). ict usage amongst lecturers and its impact on learning process quality. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 34(1), 284–299. https://doi.org/10.17576/jkmjc-2018-3401-17 madyaningrum, m. e. (2017). disability organisations as empowering settings : the case of a local disability organisation in yogyakarta province indonesia. victoria: victoria university maharani, a. e., isharyanto, i., & candrakirana, r. (2014). pembadanan (embodying) kebijakan berbasis kapasitas dalam pemberdayaan difabel untuk penanggulangan kemiskinan. jurnal dinamika hukum, 14(1), 83–96. http://dx.doi.org/10.20884/1. jdh.2014.14.1.279 miles, m. b., & huberman, a. m. (1994). qualitative data analysis: an expanded sourcebook. thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. millati, s. (2016). social relational model dalam undang-undang penyandang disabilitas. inklusi: journal of disability studies, 3(2), 285–304. https://doi.org/10.14421/ijds.030207 miller, jr., e. l. (2008). lifecycle of a technology company. hoboken, new jersey, united states: wiley. mutiah, a. a. & astuti, p. (2018). peran komunitas sahabat difabel dalam pemenuhan hak ketenagakerjaan penyandang difabel kota semarang. journal of politic and government studies, 7(2), 71-80. nesheim, j. l. (2000). high tech start up, revised and updated: the complete handbook for creating successful new high tech companies. new york, new york, united states: free press. nirwan, m. d., & dhewanto, w. (2015). barriers in implementing the lean startup methodology in indonesia – case study of b2b startup. procedia social and behavioral sciences, 169, 23–30. https:// doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01.282 nurdian, m. d., & anwar, z. (2014). konseling kelompok untuk meningkatkan resiliensi pada remaja penyandang cacat fisik 338 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (difabel). jipt: jurnal ilmiah psikologi terapan, 2(1), 36–49. https:// doi.org/10.4324/9781315853178 osman, m. n. (2006). ict innovation, adoption, and diffusion: an exploratory analysis on usage patterns for economic productivity. malaysian jurnal of communication, 22(01), 137–153. perra, a. (2009). classics teaching through ict experience to ict manual for classics teachers. in c. antonio & m. palma (eds.), encyclopedia of information communication technology (pp. 84–87). pennsylvania, united states: igi global. pfau, m., & burgoon, m. (1988). inoculation in political campaign communication. human communication research, 15(1), 91–111. https://doi.org/10.1111/j.1468-2958.1988.tb00172.x prasetya, a., & mawardi, m. k. (2019). opportunities and challenges of entrepreneurship approach for people with disability empowerment in a developing country. advances in economics, business and management research, 93(aicobpa 2018), (pp. 62–66). https://doi.org/10.2991/aicobpa-18.2019.14 pratama, k. y. (2019). implementasi kebijakan pembinaan olahraga anak berkebutuhan khusus di kota yogyakarta. spektrum analisis kebijakan pendidikan, 8(3), 245–250. preston, p. (2001). reshaping communications: technology, information and social change. thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. prochaska, j. o., & velicer, w. f. (1997). the transtheoretical model of health behavior change. american journal of health promotion, 12(1), 38–48. https://doi.org/10.4278/0890-1171-12.1.38 pudyatmoko, y. s., & dewi, i. i. (2017). penganggaran keuangan daerah yang berpihak pada pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di kota surakarta. mimbar hukum fakultas hukum universitas gadjah mada, 29(1), 31-42. https://doi.org/10.22146/jmh.17643 robinson, a. (2006). the e-pabelan national ict4pr pilot project: experiences and challenges of implementation in an indonesian context. in m. gascó-hernández, f. equiza-lópez, & m. acevedo-ruiz (eds.), information communication technologies and human development: opportunities and challenges (pp. 138–150). pennsylvania, united states: igi global. 339youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sabirin. (2013). advokasi terhadap komunitas difabel anak jalanan dan remaja jalanan (refleksi praktik bersama perkumpulan keluarga berencana indonesia daerah istimewa yogyakarta). jurnal albayan: media kajian dan pengembangan ilmu dakwah, 19(2), 43–58. http://dx.doi.org/10.22373/albayan.v19i28.105 salamzadeh, a., & kesim, h. k. (2015). start-up companies: life cycle and challenges. 4th international conference on employment, education, and entrepreneurship (eee). https://doi.org/10.2139/ssrn.2628861 santoso, a. b., & jacky, m. (2013). solidaritas virtual dan pemberdayaan difabel dalam blogosphere indonesia. paradigma, 1(3), 1–6. scurro, j. (2017). addressing ableism: philosophical questions via disability studies. lanham, maryland: lexington books. shofa, a. m. i. a., riyono, b., & giyarsih, s. r. (2016). peran pemuda dalam pendampingan mahasiswa difabel dan implikasinya terhadap ketahanan pribadi pemuda (studi di pusat layanan difabel (pld) uin sunan kalijaga yogyakarta). jurnal ketahanan nasional, 22(2), 199–216. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jkn.12012 sholehah, i. (2017). pemberdayaan difabel melalui asset based approach: studi kasus di dusun piring desa srihardono kecamatan pundong kabupaten bantul oleh rehabilitasi terpadu penyandang disabilitas (rtpd). jurnal pemberdayaan masyarakat: media pemikiran dan dakwah pembangunan, 1(1), 157–176. https:// doi.org/10.14421/jpm.2017.011-09 siebers, t. (2008). disability theory: corporealities, discourses of disability. ann arbor, michigan, united states: the university of michigan press. silk, k. j. (2009). campaign communication theories. in s. w. littlejohn & k. a. foss (eds.), encyclopedia of communication theory (vol. 1, pp. 184-91). thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. taqwarahmah, c. g., riyono, b., & setyawati, d. (2017). peran karang taruna dalam pemberdayaan penyandang disabilitas di desa karangpatihan, kabupaten ponorogo dan implikasinya terhadap ketahanan ekonomi keluarga. jurnal ketahanan nasional, 23(1), 37–48. https://doi.org/10.22146/jkn.18295 340 youth communication campaign in strengthening difabels through ict-based philanthropy yuliana rakhmawati, rizki ernaldi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 313 340, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2203 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) triono, b. (2018). kebijakan pemberdayaan masyarakat difabel idiot. jurnal ilmu administrasi publik, 5(1), 94–107. virgianita, a. & pratiwi, r. m. (2015). motif dibalik pelaksanaan program millennium challenge account (mca) amerika serikat di indonesia, global & strategies, 9(1), 123 140. wisuda, a. k. (2018). hubungan dukungan sosial dengan student engagement di sekolah inklusi kota salatiga. yogyakarta: universitas islam indonesia. wolbring, g. (2008). the politics of ableism. development, 51(2), 252–258. https://doi.org/10.1057/dev.2008.17 wolbring, g. (2012). expanding ableism: taking down the ghettoization of impact of disability studies scholars. societies, 2(3), 75–83. https://doi.org/10.3390/soc2030075 wulandari, s., nuraini c, q., & nugroho, d. r. (2019). pengaruh kampanye komunikasi pada gerakan “bogoh ka bogor” terhadap perubahan sikap masyarakat (studi kasus kecamatan bogor tengah). jurnal penelitian sosial ilmu komunikasi, 1(2), 33-48. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 editorial team alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh editor-in-chief imam mujahid, institut agama islam negeri surakarta editor waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 daftar isi astri fajar atikasari, vera imanti 1 24 model dakwah milenial untuk homoseksual melalui teknik kontinum konseling berbasis alquran khilman rofi azmi 25 58 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin 91 120 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani 141 168 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim 59 90 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana 121 140 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari vera imanti institut agama islam negeri surakarta keywords: anxiety; group guidance; persons with physical disabilities. every human is born in different conditions. some of them are born normal, and some are born with physical limitations. in its growth, even normal human conditions can turn into persons with physical disabilities due to several factors. this study aims to determine the effect of group guidance on anxiety in the face of learning practices of persons with physical disabilities. the sample in this study were seven physical disabilities persons who are chosen by using purposive sampling technique. the approach used was pre-experiment with one-group pretest-posttest design. measurements are made with instruments that measure anxiety facing work learning practices. the measuring instrument consists of 35 items of valid statements and has a reliability coefficient of 0.828. hypothesis testing shows the results of the z analysis is -2,366 with asymp. sig. 0,018 (p <0,05). it was concluded that ho was rejected and ha was accepted, which meant that group guidance could reduce the anxiety of learning practices of persons with physical disabilities. alamat korespondensi: e-mail: astriasfa029@gmail.com vera_imanti@yahoo.co.id http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh mailto:astriasfa029@gmail.com mailto:vera_imanti@yahoo.co.id mailto:vera_imanti@yahoo.co.id al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kata kunci: bimbingan kelompok; kecemasan; penyandang disabilitas fisik. abstrak setiap manusia terlahir dalam kondisi yang berbeda. sebagian manusia terlahir normal, dan sebagian yang lain terlahir dengan keterbatasan fisik. dalam pertumbuhannya, keadaan manusia normal pun bisa berubah menjadi penyandang disabilitas fisik karena beberapa faktor. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bimbingan kelompok terhadap kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik. sampel dalam penelitian ini adalah tujuh penyandang disabilitas fisik. pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. pendekatan yang digunakan adalah praeksperimen dengan one-group pretest-posttest design. pengukuran dilakukan dengan instrumen yang mengukur kecemasan menghadapi praktik belajar kerja. instrumen ukur tersebut terdiri dari 35 butir pernyataan valid dan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,828. pengujian hipotesis menunjukan hasil analisis z sebesar -2,366 dengan asymp. sig. 0,018 (p<0,05). disimpulkan bahwa h o ditolak dan h a diterima, yang bermakna bimbingan kelompok dapat menurunkan kecemasan praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik. how to cite (apa 6th style): atikasari, a. f., & imanti, v. (2019). menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 1–24. https:// doi.org/10.22515/balagh.v4i1.1608 pendahuluan setiap orang memiliki persiapan dalam melakukan sesuatu. ada kalanya orang tersebut dapat melaksanakan sesuatu sesuai dengan persiapannya, namun ada juga yang disertai dengan rasa tidak pasti tentang hasil dari persiapannya tersebut. perasaan tentang setiap sesuatu yang belum pasti tersebut sering kali berdampak pada munculnya kecemasan. kecemasan bisa muncul pada setiap orang, hanya saja kadar kecemasan 2 menurunkan kecemasan m enghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti 3menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) setiap orang tersebut berbeda-beda. sebagian orang dapat mengatasi kecemasannya tersebut, dan sebagian lain tidak mampu meredam kecemasannya tersebut. menurut babazadeh et al. (2016) kecemasan bisa muncul karena berbagai faktor, misalkan pengaruh jenis kelamin, jenis aktivitas, dan kondisi kesehatan. di sisi lain, menurut paradigma kognitif, kecemasan bisa muncul akibat adanya kesalahan dalam mempersepsi (corey, 2017). kecemasan merupakan ketakutan yang tidak nyata dan suatu perasaan terancam terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengamcam. salah satu bentuk dari kecemasan adalah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu untuk dikhawatirkan. sebagaimana menurut santrock (rahayu, 2014) bahwa kecemasan merupakan suatu sinyal yang menyadarkan, mengingatkan adanya bahaya yang mengancam, dan memungkinkan seseorang mengalami tindakan untuk mengatasi ancaman. kondisikondisi yang mengancam tersebut dapat terjadi pada setiap orang. namun, kriteria mengancam bagi orang yang satu tidak selalu sama dengan orang lain. hal tersebut dapat ditinjau dari kondisi yang dekat dengan dirinya, misalnya kondisi fisik, lingkungan sekitar, ataupun harapan-harapan yang ingin dicapai. kecemasan juga berkaitan dengan sesuatu hal yang belum terjadi atau belum diketahui kepastiannya. di sisi lain, kecemasan juga bisa disebabkan oleh tingkat keyakinan diri terhadap kemampuannya. maka dari itu, kecemasan dapat terjadi pada setiap orang, baik orang yang sempurna secara fisik maupun penyandang disabilitas fisik. menurut kaplan (2000), penyandang disabilitas fisik ini memiliki keterbatasan dalam hal organ fisik, misalkan ada salah satu atau beberapa organ fisik yang tidak dapat berfungsi secara normal dan terbatas. di sisi lain, menurut smart (2011) bahwa, penyandang disabilitas fisik adalah orang-orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk 4 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tubuh. salah satu permasalahan yang ditemui oleh para penyandang disabilitas fisik adalah kesulitan beradaptasi. dalam perkembangannya, penyandang disabilitas fisik ini diharapkan dapat melakukan usaha lebih untuk beradaptasi dengan mengoptimalkan kondisi fisiknya, dengan lingkungan termasuk fasilitas umum yang tersedia, juga beradaptasi dengan kondisi emosi dan kognitifnya sendiri. berdasarkan hal ini, maka penyandang disabilitas fisik tersebut sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya agar dapat melewati fase-fase perkembangannya dengan baik. berbagai upaya untuk memberdayakan para penyandang disabilitas fisik dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya pemerintah melalui dinas sosial. salah satu bentuk upaya pemerintah tersebut misalkan memberikan wadah bagi para penyandang disabilitas fisik agar bisa berkembang. salah satu wadah tersebut misalkan balai besar rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik (bbrspdf) prof. dr. soeharso surakarta. berbagai program telah dirancang oleh bbrspdf prof. dr. soeharso surakarta untuk membantu penyandang disabilitas fisik agar lebih siap untuk bekerja dan mandiri. bentuk spesifik dari program tersebut adalah pelatihan atau praktik yang dapat meningkatkan keterampilan kerja sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan, bina diri, serta kesiapan pelatihan kerja. penyandang disabilitas fisik juga harus mempersiapkan kondisi psikologis dalam menghadapi dunia kerja, selain mempersiapkan diri dalam keterampilan kerja. persepsi yang memunculkan kecemasan berpotensi terjadi apabila mengingat kondisi fisik yang kurang sempurna. sebanyak tujuh dari 72 penyandang disabilitas fisik merasakan kecemasan apabila tidak dapat dapat bekerja secara maksimal. penyandang disabilitas fisik menyadari kekurangan fisik yang ada dan cemas akan mempengaruhi kinerja. selain itu, kecemasan juga terkait dengan keahlian yang belum dimiliki, tingkat kecepatan kerja, ada atau tidak adanya fasilitas kerja dan fasilitas bantu diri penyandang disabilitas fisik. misalnya, ruang 5menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kerja, tangga, kamar mandi, dan alat-alat pendukung kerja. selain itu, para penyandang disabilitas cemas terkait dengan dukungan lingkungan, penerimaan lingkungan, serta kecemasan akan pengucilan di lingkungan. kecemasan ini akan memunculkan dampak negatif apabila tidak segera diselesaikan. bahkan, kecemasan bisa berpotensi menyababkan seseorang yang mengalami menjadi stres dan depresi. dengan demikian, fenomena ini penting untuk diteliti. kecemasan penyandang disabilitas fisik pun mulai muncul ketika melalui proses menghadapi praktik belajar kerja di bbrspdf prof. dr. soeharso surakarta. beberapa temuan pada penyandang disabilitas fisik terkait praktik belajar kerja adalah sebagai berikut. pertama, ketidakmampuan dalam memahami materi secara maksimal. kedua, penyandang disabilitas fisik merasa bingung sehingga membuatnya hanya tinggal di asrama. ketiga, penyandang disabilitas fisik mengalami susah tidur akibat merasakan kecemasan. ketika para penyandang disabilitas fisik ini mengalami susah tidur, maka yang dilakukan adalah bercerita dengan teman-temannya untuk melepaskan kecemasan. keempat, penyandang disabilitas fisik laki-laki mengalami peningkatan dalam mengkonsumsi rokok untuk mereduksi kecemasan dan menenangkan pikirannya. berdasarkan data wawancara dari pekerja sosial, kecemasan yang dialami para penyandang disabilitas fisik ketika menghadapi praktik belajar kerja disebabkan oleh beberapa faktor. faktor pertama adalah rendahnya keyakinan akan penyesuaian diri di tempat praktik belajar kerja. penyesuaian diri sendiri merupakan sebagai bentuk adaptasi atau sebagai usaha penguasaan. sebagimana menurut hurlock (2017) bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan, sehingga diterima oleh kelompok atau lingkungannya. cemas akan penyesuaian diri di tempat praktik belajar kerja disebabkan oleh faktor kemandirian penyandang disabilitas fisik. kemandirian adalah kemampuan untuk mengendalikan serta mengatur 6 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pikiran, perasaan, tindakan sendiri untuk mengatasi perasaan keraguan (desmita, 2016). ketika berada di tempat praktik kerja, para penyandang disabilitas fisik tidak lagi mendapatkan fasilitas seperti ketika tinggal di balai (bbrspdf prof. dr. soeharso). salah satu contohnya adalah ketika tinggal di balai para penyandang disabilitas fisik mendapatkan fasilitas makan yang disiapkan oleh pihak balai, maka ketika para penyandang disabilitas fisik berada di tempat praktik kerja harus mencari makanan sendiri berbekal uang rp 25.000,00 setiap hari yang telah diberikan oleh pihak balai. faktor kedua yang menyebabkan penyandang disabilitas fisik merasa cemas adalah karena penyandang disabilitas fisik harus tinggal di kos selama melakukan praktik kerja. ketika tinggal di kos, para penyandang disabilitas fisik dibagi berdasarkan keterampilannya. kondisi ini membutuhkan penyesuaian diri lagi. penyesuaian diri terkait dengan konformitas dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan terhadap suatu lingkungan atau aktivitas (schneider, 2008). proses penyesuaian diri kembali di kos setelah beradaptasi di lingkungan balai ini menjadi penyebab munculnya kecemasan pada penyandang disabilitas fisik. faktor ketiga yang menyebabkan kecemasan muncul adalah terkait keterampilan yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas fisik. keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan para penyandang disabilitas fisik kaitanya yang telah didapatkan dari balai selama satu tahun. para penyandang disabilitas fisik masih belum yakin akan keterampilan yang dimiliki meski sudah mendapatkan program dari pihak balai. selain itu, para penyandang disabilitas terlalu memikirkan sesuatu yang mungkin akan terjadi di tempat praktik belajar kerja yang membuat rasa nyamannya terganggu. pada dasarnya, keterampilan yang matang akan sangat mempengaruhi kesiapan penyandang disabilitas fisik menghadapi praktik belajar kerja. sebagaimana menurut dalyono (2015) bahwa kesiapan adalah kemampuan yang cukup baik antara fisik maupun mental. kecemasan yang terjadi berpotensi menjadi penghambat dalam 7menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) proses praktik belajar kerja. kecemasan dalam menghadapi praktik belajar kerja akan menganggu kinerja fungsi-fungsi psikologis dalam proses praktik belajar kerja, seperti rendahnya konsentrasi ketika melakukan praktik, kurang dapat mengingat materi yang telah didapat di balai, perasaan takut gagal setiap kali melakukan pekerjaan, dan kurang dalam pembentukan konsep serta pemecahan masalah. berdasarkan data yang ditemukan di pengambilan data awal, upaya yang sesuai untuk menurunkan tingkat kecemasan menghadapi praktik belajar kerja dengan melaksanakan bimbingan kelompok. bimbingan kelompok sendiri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok (prayitno, afdal, ifdil, & ardi, 2017). ini artinya, semua peserta dalam kegiatan kelompok saling berinteraksi, bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi, dan memberi saran. selain itu, setiap pembicaraan dalam bimbingan konseling tersebut bermanfaat untuk diri peserta. ketika penelitian pendahuluan dilakukan, belum ada program untuk mereduksi atau menurunkan tingkat kecemasan para penyandang disabilitas fisik tersebut. atas dasar ini, maka penting untuk menurunkan kecemasan para penyandang disabilitas fisik tersebut agar dapat melaksanakan praktik kerja dengan optimal. selain itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak dari bimbingan kelompok dalam rangka menurunkan kecemasan. terdapat banyak penelitian yang membahas tentang kecemasan, misalkan penelitian yunita & astuti (2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja; penelitian sari, nurjasmi, aticeh, hartaty, & ichwan (2018) yang menghasilkan terapi warna efektif dalam penurunan tingkat kecemasan pasien berisiko tinggi terinfeksi hiv; penelitian rachmady & aprilia (2018) bahwa terdapat hubungan negatif antara adversity quotient dengan kecemasan menghadapi dunia kerja; penelitian azhari & mirza (2016) dan rosliani & ariati (2016) bahwa terdapat hubungan negatif antara regulasi 8 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja; dan penelitian nasution (2012) tentang kecemasan berkomunikasi ketika wawancara kerja. perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu tersebut terletak pada teknik penelitian yang digunakan serta sampel penelitian. penelitian ini melibatkan perlakuan terhadap sampel penelitian yang memiliki kriteria disabilitas fisik, sedangkan penelitian terdahulu yang telah disebutkan tersebut menjelaskan tentang hubungan kecemasan dengan variabel lain. penelitian terdahulu yang melibatkan perlakuan sebagai upaya penurunan tingkat kecemasan adalah penelitian konghoiro, kartasasmita, & subroto (2017) yang menghasilkan group gestalt therapy efektif untuk menurunkan kecemasan menjelang bebas; penelitian purnamarini, setiawan, & hidayat (2016) yang menghasilkan terapi expressive writing efektif menurunkan kecemasan saat ujian sekolah; penelitian putra (2014) dan mardiana (2017) tentang peran guru bimbingan dan konseling dalam menurunkan tingkat kecemasan saat menjelang ujian nasional; penelitian faizah (2018) yang menghasilkan rational emotive behaviour therapy (rebt) efektif menurunkan kecemasan penderita ekstrapiramidal sindrom; penelitian suhendri, sugiharto, & suwarjo (2012) dan ireel, elita, & mishbahuddin (2018) yang menghasilkan konseling kelompok rational-emotif dan restrukturisasi kognitif efektif menurunkan kecemasan menghadapi ujian; penelitian fitriani & rohman (2016) yang membahas tentang pengaruh konseling terhadap kecemasan remaja putri yang mengalami menarche; penelitian sari & subandi (2015) yang menunjukkan pelatihan teknik relaksasi efektif menurunkan kecemasan pada primary caregiver penderita kanker payudara; penelitian wilianto & adiyanti (2012) yang menyatakan bahwa terapi musik kognitif perilaku efektif menurunkan kecemasan pada penderita tekanan darah tinggi; penelitian fitri (2017) yang menghasilkan cognitive behavior therapy efektif untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiwa; penelitian shaddri, dharmayana, & sulian (2018) tentang penggunaan teknik guided imagery 9menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) untuk menurunkan kecemasan; dan penelitian nida (2014) tentang zikir sebagai psikoterapi untuk menurunkan kecemasan pada lansia. meskipun sama-sama melibatkan perlakuan, penelitian ini masih memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu berupa perbedaan pada aspek sampel penelitian. adapun penelitian yang membahas tentang kecemasan pada penyandang disabilitas, diantaranya adalah penelitian suliman, stein, myer, williams, & seedat (2010); mohsin, saeed, & zaidi (2013); lenze et al. (2001); (jones et al., 2014) yang menyatakan bahwa kecemasan dan depresi merupakan gangguan yang banyak terjadi pada penyandang disabilitas fisik; penelitian kang et al. (2017) yang mengidentifikasi tentang dampak depresi dan kecemasan terhadap penyandang disabilitas kecemasan; penelitian ioannis, miltiadis, & eleni (2017) yang melakukan review literatur tentang gangguan psikis yang terjadi pada penyandang disabilitas fisik; penelitian rahmati & zareian (2014) yang menghasilkan bahwa training aerobik berdampak positif pada penurunan kecemasan sosial pada penderita multiple sclerosis; penelitian mushtaq & akhouri (2016) tentang stres, kecemasan, harga diri, dan depresi pada penyandang disabilitas fisik; penelitian hendriks et al. (2016) yang menghasilkan bahwa kegelisahan dan perilaku menghindar menjadi prediktor utama terjadi gangguan kecemasan pada penyandang disabilitas; penelitian brenes et al. (2008) yang membahas tentang kecemasan dan disabilitas sepanjang rentang kehidupan; penelitian cooray & bakala (2005) yang mengkaji tentang gangguan kecemasan pada penyandang disabilitas belajar; penelitian waqiati, hardjajani, & nugroho (2013) yang menghasilkan hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa; penelitian machdan & hartini (2012) yang menghasilkan adanya hubungan negatif antara penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tunadaksa; penelitian fidhzalidar (2015) yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas perempuan 10 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) memiliki kecemasan sosial lebih tinggi dibandingkan dengan penyandang disabilitas laki-laki. dibandingkan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini memiliki perbedaan berupa adanya unsur perlakuan terhadap subyek penelitian yang menyandang disabilitas fisik. metode penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. adapun rancangan penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah rancangan praeksperimen dengan menggunakan desain pretest and posttest one group design (desain satu kelompok yang diberikan perlakuan). terdapat dua variabel yang diteliti dalam penelitian ini. pertama, variabel bebas berupa perlakuan yang diberikan kepada para penyandang disabilitas fisik dalam bentuk bimbingan kelompok. kedua, variabel terikat berupa tingkat kecemasan pada penyandang disabilitas fisik. desain penelitian dapat digambarkan sebagai berikut (arikunto, 2014; hadi, 2016): al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol.4, no.1, january-june 2019, pp. xxxx doi: xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti 9 keterangan: o1 : nilai pretest (sebelum diberi perlakuan) o2 : nilai posttest (setelah diberi perlakuan) x : perlakuan berupa bimbingan kelompok o1 x o2 gambar 1. rancangan penelitian pretest and posttest one group design populasi dalam penelitian ini yaitu penyandang disabilitas fisik kelas b di balai besar rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik (bbrspdf) prof. dr. soeharso surakarta. pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. sebagaimana menurut sugiyono (2014) bahwa teknik purposive sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu agar data yang diperoleh lebih representatif. sampel dalam penelitian ini adalah tujuh penyandang disabilitas fisik dengan karakteristik mencakup usia 17-28 tahun, belum menikah, latar belakang pendidikan minimal sekolah dasar, dan activity of daily living / adl yang rata-rata. kriteria sampel penelitian ini dirumuskan sebagai upaya untuk mengendalikan berbagai kemungkinan munculnya variabel noneksperimental yang berpotensi membuat proses dan hasil penelitian menjadi bias. alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala kecemasan. dalam skala kecemasan terdapat dua aspek yang diukur antara lain aspek fisik dan mental atau psikologis. skala kecemasan ini merupakan adaptasi dan kemudian diujicobakan kepada sekelompok penyandang disabilitas fisik yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok sampel penelitian. skala kecemasan ini memiliki estimasi koefisien reliabilitas sebesar 0,828. estimasi koefisien reliabilitas tersebut tergolong cukup tinggi, sehingga skala kecemasan dianggap reliabel. skala kecemasan ini terdiri dari 35 butir aitem. tabel 1. kisi-kisi skala kecemasan gambar 1. rancangan penelitian pretest and posttest one group design populasi dalam penelitian ini yaitu penyandang disabilitas fisik kelas b di balai besar rehabilitasi sosial penyandang disabilitas fisik (bbrspdf) prof. dr. soeharso surakarta. pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. sebagaimana menurut sugiyono (2014) bahwa teknik purposive sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu agar data yang 11menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) diperoleh lebih representatif. sampel dalam penelitian ini adalah tujuh penyandang disabilitas fisik dengan karakteristik mencakup usia 17-28 tahun, belum menikah, latar belakang pendidikan minimal sekolah dasar, dan activity of daily living / adl yang rata-rata. kriteria sampel penelitian ini dirumuskan sebagai upaya untuk mengendalikan berbagai kemungkinan munculnya variabel noneksperimental yang berpotensi membuat proses dan hasil penelitian menjadi bias. alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala kecemasan. dalam skala kecemasan terdapat dua aspek yang diukur antara lain aspek fisik dan mental atau psikologis. skala kecemasan ini merupakan adaptasi dan kemudian diujicobakan kepada sekelompok penyandang disabilitas fisik yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok sampel penelitian. skala kecemasan ini memiliki estimasi koefisien reliabilitas sebesar 0,828. estimasi koefisien reliabilitas tersebut tergolong cukup tinggi, sehingga skala kecemasan dianggap reliabel. skala kecemasan ini terdiri dari 35 butir aitem. tabel 1. kisi-kisi skala kecemasan no aspek indikator 1 fisik a. denyut jantung berdetak kencang b. tidur tidak nyenyak c. kepala pusing d. tidak nafsu makan e. keringat dingin f. sesak nafas 2 psikologis/ mental a. takut b. gelisah c. gangguan perhatian d. khawatir e. turunnya kepercayaan diri f. marah (emosi) pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji wilcoxon yang bertujuan untuk menguji perbedaan skor variabel yang diteliti sebelum 12 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dan sesudah mendapatkan perlakuan (ghozali, 2013). data dihitung dan dianalisis dengan menggunakan bantuan program spss (statistical product and service solution) 20 for windows program. hasil penelitian dan pembahasan proses pelayanan bimbingan kelompok diterapkan kepada tujuh orang penyandang disabilitas fisik yang teridentifikasi mengalami kecemasan. kecemasan yang dimaksud adalah kecemasan ketika melaksanakan praktik belajar kerja. penyandang disabilitas fisik di bbrspdf prof. dr. soeharso surakarta pada waktu tertentu harus melaksanakan praktik belajar kerja dalam rangka menciptakan pengalaman kerja. harapannya, pengalaman tersebut bisa menjadikan para penyandang disabilitas fisik menjadi lebih siap menghadapi dunia kerja dan kemandirian. tabel 2. hasil pengolahan data kecemasan posttest kecemasan pretest z -2.366a asymp. sig. (2-tailed) .018 pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik berupa wilcoxon. berdasarkan proses penghitungan, didapatkan hasil z sebesar -2,366, dengan asymp. sig. sebesar 0,018 (p<0,05). hasil tersebut membawa pada kesimpulan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan pada para penyandang disabilitas fisik ketika sebelum mendapatkan bimbingan kelompok dengan sesudah mendapatkan bimbingan kelompok. ini artinya, kecemasan para penyandang disabilitas fisik menurun setelah mendapatkan bimbingan kelompok. hal ini terlihat dalam data statistik deskriptif, bahwa rerata tingkat kecemasan kelompok sebelum mendapatkan bimbingan kelompok sebesar 84,14. sedangkan, rerata tingkat kecemasan kelompok setelah mendapatkan bimbingan kelompok sebesar 72,43. 13menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tabel 3. hasil penghitungan statistik deskriptif n mean std. deviation minimum maximum kecemasan pretest 7 84.14 5.872 77 95 kecemasan posttest 7 72.43 8.182 66 87 bimbingan kelompok yang diberikan kepada para penyandang disabilitas fisik guna menurunkan kecemasan praktik belajar kerja terdiri dari empat tahapan di setiap pertemuan, yaitu tahap pembukaan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap penutup (hartinah, 2017). adapun waktu pelaksanakan bimbingan kelompok tersebut sebanyak empat pertemuan dengan pembahasan sebagai berikut: pertemuan pertama (layanan bimbingan kelompok dalam aspek pribadi) pertemuan pertama mengambil tema tentang layanan bimbingan kelompok dalam aspek pribadi. pada tahap pembukaan, pemimpin kelompok dan seluruh anggota kelompok saling memperkenalkan diri. selain itu, pemimpin kelompok menjelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai dalam kelompok. tujuan dari tahap ini adalah terbentuknya sikap saling mengenal antara pemimpin dan anggota kelompok. saling mengenal ini penting dalam rangka membantu penyandang disabilitas fisik meningkatkan keakraban serta rasa percaya diri. sebelum masuk pada kegiatan selanjutnya seluruh anggota kelompok diminta untuk mengisi alat ukur sebagai pretest dengan tujuan untuk mengetahui kecemasan yang dimiliki seluruh anggota kelompok sebelum diberikan tindakan. kemudian, dilanjutkan dengan permainan “tebak nama” agar penyandang disabilitas fisik sebagai sampel penelitian menjadi santai. tahapan selanjutnya adalah tahapan peralihan. pada tahapan ini pemimpin kelompok berperan aktif untuk membawa suasana kelompok dalam keseriusan. pemimpin kelompok mengamati serta menanyakan 14 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kepada anggota (para penyandang disabilitas fisik) kesiapan menuju pada tahapan selanjutnya. selanjutnya, pemimpin kelompok membuka diri untuk mendorong dibahasnya suasana perasaan. hal tersebut bertujuan agar pada tahap selanjutnya seluruh anggota kelompok dapat menerima bimbingan kelompok secara maksimal. tahap ketiga dari pertemuan pertama adalah tahap kegiatan. pada tahapan ini pemimpin kelompok mendorong dan mengarahkan setiap anggota (para penyandang disabilitas fisik) untuk menyampaikan masalahmasalah pribadi yang menyebabkan anggota kelompok cemas menghadapi praktik belajar kerja. cara ini dinamakan katarsis. katarsis merupakan salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan emosi (atau banyak yang menyebutnya sebagai penyucian emosi), salah satunya kecemasan dan ketakutan, dengan cara mengungkapkan apapun yang dipikirkan dan dirasakan seseorang (nanay, 2017; rottenberg-rosler, schonmann, & berman, 2009). selain itu, menurut straton (1990), katarsis sangat sesuai diterapkan dalam setting kelompok. pengungkapan permasalahan beserta emosinya ini akan membuat para anggota (penyandang disabilitas fisik) merasa lega karena pikiran dan perasaan telah tercurahkan dan didengarkan. selain itu, pengungkapan masalah ini bisa berdampak secara psikologis karena orang yang mengungkapkan merasa bahwa ada orang lain yang mampu memberikan ruang emosi dan membantu permasalahannya. permasalahan utama yang dihadapi oleh para anggota ketika praktik kerja adalah proses penyesuaian diri di lingkungan yang baru dan kondisi ketika praktik kerja yang belum terjamin. selanjutnya, pemimpin kelompok memberikan pengarahan terkait dengan pengenalan, penerimaan, pertumbuhan, serta perkembangan fisik dan psikis. arahan ini penting sebagai modalitas para anggota (penyandang disabilitas fisik) untuk mengukur kemampuan diri di lingkungan praktik kerja sehingga memudahkan untuk penyesuaian diri. tahap terakhir dari pertemuan pertama adalah tahap penutup. pada tahapan ini anggota kelompok 15menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menggungkapkan kesan dan harapan selama kegiatan berlangsung dengan tujuan agar kegiatan yang selanjutnya lebih maksimal. gambar 2. grafik perbandingan tingkat kecemasan setiap subyek penelitian pertemuan kedua (layanan bimbingan kelompok dalam aspek sosial) tahapan pertama dari pertemuan kedua adalah pembukaan. tahapan ini dilaksanakan dengan cara pemimpin kelompok memberikan suatu permainan yaitu “mengungkapkan cita-cita dengan gaya”. tujuan dari jenis permainan tersebut adalah agar anggota kelompok (para penyandang disabilitas fisik) dapat menggungkapkan serta mengekspesikan cita-cita dan harapan masa depan. permainan ini dipilih juga dengan alasan untuk semakin memperkuat orientasi masa depan para anggota. ketika orientasi masa depan ini kuat, maka diharapkan dapat menurunkan kecemasan praktik kerja yang akan dilaksanakan oleh para anggota. tahapan kedua adalah peralihan. pemimpin kelompok mengamati serta menanyakan kepada anggota kelompok kesiapan menuju pada tahapan selanjutnya. selain itu, pemimpin kelompok membuka diri untuk 16 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mendorong dibahasnya suasana perasaan. membuka diri adalah perilaku komunikasi yang dilakukan individu secara sengaja menjadikan dirinya diketahui oleh pihak lain (lukaningsih, 2010). tahapan ketiga adalah kegiatan. pada tahapan ini, pemimpin kelompok mengarahkan setiap anggota kelompok untuk menyampaikan masalah-masalah sosial yang menyebabkan cemas menghadapi praktik belajar kerja. berdasarkan beberapa ungkapan dari anggota kelompok dapat disimpulkan bahwa masalah sosial yang menyebabkan kecemasan ketika praktik belajar adalah takut bertemu dengan orang baru serta takut akan ejekan orang lain terhadap keadaannya saat ini. kecemasan semacam ini dinamakan kecemasan sosial. sebagimana menurut richards (2014) bahwa kecemasan sosial adalah perasaan negatif yang berupa merasa dihakimi dan dievaluasi secara negatif oleh orang lain, mendorong ke arah merasa kekurangan, kebinggungan, penghinaan, dan tekanan. para anggota kemudian diberikan materi tentang kecemasan sosial beserta berbagai strategi untuk menghadapinya. di sisi lain, para anggota juga dibekali dengan berbagai kemungkinan yang terjadi di lingkungan praktik kerja. para anggota kelompok memberikan respons berupa pertanyaan yang berkaitan dengan lingkungan tempat kerja kepada pemimpin kelompok. berdasarkan respons tersebut, terindikasi bahwa para anggota kelompok mengalami peningkatan untuk mempersiapkan diri di tempat praktik kerja. kesiapan ini memerlukan pengendalian diri dalam proses mempersiapkan diri. sedangkan, menurut uzun (2016), pengendalian diri memiliki korelasi yang negatif terhadap kecemasan. artinya, semakin tinggi pengendalian diri seseorang, akan berakibat pada meningkatkan kesiapan diri dan penurunan kecemasannya. menurut manipuspika (2018), terdapat korelasi antara kecemasan dengan kesediaan berkomunikasi. ini artinya, kecemasan sosial yang dialami oleh para anggota memiliki alasan yang jelas. maka dari itu, para anggota dibekali tentang cara berkomunikasi dan membuka diri (self 17menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) disclosure). pertemuan kedua diakhiri dengan tahapan penutup yang diisi dengan evaluasi. pertemuan ketiga (layanan bimbingan kelompok dalam belajar) tahap pertama pada pertemuan ketiga adalah tahap pembukaan. pada tahapan ini pemimpin kelompok memberikan permainan yaitu “marina menari di menara dengan gerakan”. tujuan permainan adalah untuk melatih konsentrasi seluruh anggota kelompok (para penyandang disabilitas fisik). menurut moran (2012), konsentrasi adalah proses perhatian yang melibatkan kemampuan untuk fokus pada tugas yang sedang dihadapi sementara mengabaikan gangguan. konsentrasi ini nantinya akan membantu para anggota untuk menyerap dan mempersepsi materi bimbingan kelompok. ketika para anggota dapat menyerap dan mempersepsi materi tersebut, akan berdampak pada tingkat pemahaman para anggota kelompok. pada akhirnya, materi bimbingan kelompok dapat berpengaruh menurunkan kecemasan para anggota kelompok. tahapan kedua adalah tahap peralihan. adapun tahapan ketiga adalah tahap kegiatan. pada pertemuan ketiga, tindakan yang diberikan yaitu seluruh anggota kelompok diminta untuk mengungkapkan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan pengarahan dari pemimpin kelompok, serta dibantu dengan pemutaran video dari nick vujicic (wagner, 2010). video tersebut dapat menjadi stimulus bagi para anggota kelompok bahwa tidak ada yang tidak bisa dilakukan selagi belum mencoba. terlebih lagi video tersebut menampilkan nick vujicic, seseorang dengan keterbatasan fisik berupa tidak memiliki kedua tangan dan kedua kaki, namun dapat melakukan suatu secara mandiri dan tidak rendah diri. penampilan model semacam ini dikenal dengan cara belajar sosial atau lebih tepatnya modeling. cara belajar dengan modeling ini melibatkan proses observational learning. ketika terdapat suatu model, maka seseorang akan mempersepsi, mengkonstruksi, meregulasi, dan kemudian memunculkan motivasi (bandura, 1999). 18 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dalam konteks bimbingan kelompok, ketika para anggota kelompok menonton video nick vujicic, maka akan mempersepsi video tersebut. selanjutnya, para anggota akan mengolah hasil menonton video tersebut, memperbaiki pola pikirnya yang menyebabkan kecemasan, dan pada akhirnya muncul dorongan yang dapat menurunkan kecemasan. pertemuan ketiga diakhiri dengan tahapan penutup yang diisi dengan evaluasi dan tindak lanjut. pada pertemuan terakhir, pemimpin kelompok memandu para anggota untuk memikirkan dan memilih tempat praktik dan menyusun harapan dari anggota kelompok. menurut fromm (1992), penyusunan semacam ini berguna untuk memenuhi kebutuhan eksistensial manusia berupa kebutuhan kerangka orientasi. menurut fromm, tanpa kerangka orientasi manusia akan mengalami kebingungan sampai akhirnya berpotensi terjadi kecemasan. dengan demikian, untuk meredakan kecemasan, dibutuhkan penyusunan kerangka orientasi. selain itu, pemimpin kelompok meminta seluruh anggota kelompok untuk mengisi alat ukur dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan para anggota kelompok setelah mendapatkan bimbingan kelompok. setelah mendapatkan data setelah mendapatkan perlakuan ini, data tersebut akan dibandingkan dengan data anggota kelompok sebelum mendapatkan bimbingan kelompok. dengan demikian, akan diketahui perbedaan tingkat kecemasan anggota kelompok ketika sebelum dan sesudah mendapatkan bimbingan kelompok. pertemuan terakhir diakhiri dengan penutup yang diisi evaluasi. tahap pertama dari pertemuan keempat adalah pembukaan. tahapan selanjutnya adalah tahapan peralihan. ketika tahapan peralihan selesai dilakukan, berlanjut ke tahapan selanjutnya, yaitu tahapan kegiatan. pertemuan keempat (layanan bimbingan kelompok dalam pemilihan kerja) 19menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kesimpulan dan saran kesimpulan bimbingan kelompok terbukti berpengaruh untuk menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik di bbrspdf prof. dr. soeharso surakarta. para anggota mengalami proses observational learning sehingga perlakuan berupa bimbingan kelompok mampu menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja. para anggota pada awalnya diminta untuk melakukan katarsis sehingga beban kejiwaan yang berupa faktor penyebab kecemasan dapat terungkap. setelah faktor terungkap, maka diselesaikan dengan bimbingan kelompok. dalam bimbingan kelompok, dilakukan teknik belajar dengan cara pengamatan terhadap model yang juga penyandang disabilitas fisik. dengan demikian, terdapat proses memperhatikan, merepresentasi, dan memproduksi perilaku berdasarkan model yang diamati oleh para anggota. ketika para anggota sudah memulai pemodelan, maka kecemasan menjadi menurun. saran terdapat keterbatasan penelitian berupa desain dan rancangan penelitian. penelitian ini menggunakan rancangan praeksperimen dengan desain satu kelompok sehingga tidak menggunakan kelompok pembanding (kelompok kontrol). di sisi lain, rancangan praeksperimen merupakan rancangan yang kualitasnya tidak sebaik rancangan eksperimen semu dan eksperimen semu. peneliti menggunakan rancangan praeksperimen karena disebabkan oleh beberapa faktor, misalkan keterbatasan dan kesediaan sampel penelitian. atas dasar ini, maka saran bagi peneliti selanjutnya adalah hendaknya menambahkan sampel penelitian dan menggunakan rancangan eksperimen semu atau eksperimen murni. 20 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) daftar pustaka arikunto, s. (2014). prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. azhari, t. r., & mirza. (2016). hubungan regulasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada mahasiswa tingkat akhir universitas syiah kuala. mediapsi, 2(2), 23–29. https://doi. org/10.21776/ub.mps.2016.002.02.4 babazadeh, t., sarkhoshi, r., bahadori, f., moradi, f., shariat, f., & sherizadeh, y. (2016). prevalence of depression, anxiety and stress disorders in elderly people residing in khoy, iran (20142015). journal of analytical research in clinical medicine, 4(2), 122– 128. https://doi.org/10.15171/jarcm.2016.020 bandura, a. (1999). social cognitive theory: an agentic perspective. annual review of psychology, 52(2), 21–41. https://doi.org/10.1146/ annurev.psych.52.1.1 brenes, g. a., penninx, b. w. j. h., judd, p. h., rockwell, e., sewell, d. d., & wetherell, j. l. (2008). anxiety, depression, and disability across the lifespan. aging and mental health, 12(1), 158–163. https://doi.org/10.1080/13607860601124115 cooray, s. e., & bakala, a. (2005). anxiety disorders in people with learning disabilities. advances in psychiatric treatment, 11, 355–361. https://doi.org/10.1192/apt.11.5.355 corey, g. (2017). theory and practice of counseling and psychotherapy (10th ed). boston: cengange learning. dalyono. (2015). psikologi pendidikan. jakarta: rineka cipta. desmita. (2016). psikologi perkembangan peserta didik. bandung: remaja rosdakarya. faizah, n. (2018). rational emotive behaviour therapy (rebt) dalam menangani kecemasan penderita ekstrapiramidal sindrom mahasiswa uin sunan ampel surabaya. jurnal transformatif, 2(1), 47–59. https://doi.org/10.23971/tf.v2i1.916 fidhzalidar, m. g. (2015). tingkat kecemasan sosial pada anak yang mengalami cacat fisik di ypac. seminar psikologi & kemanusiaan 2015 psychology forum umm, 519–523. fitri, d. (2017). efektivitas cognitive behavior therapy untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiwa. jurnal psikologi, 10(1), 64–73. 21menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) fitriani, h., & rohman, r. y. (2016). pengaruh konseling terhadap kecemasan remaja putri yang mengalami menarche. jurnal ilmu keeprawatan, iv(2), 85–94. fromm, e. (1992). the anatomy of human destructiveness. new york: holt paperbacks. ghozali, i. (2013). aplikasi analisis multivariate dengan program ibm spss 21. semarang: badan penerbit universitas diponegoro. hadi, s. (2016). metodologi riset. yogyakarta: pustaka pelajar. hartinah, s. (2017). konsep dasar bimbingan kelompok. bandung: refika aditama. hendriks, s. m., spijker, j., licht, c. m. m., hardeveld, f., de graaf, r., batelaan, n. m., … beekman, a. t. f. (2016). long-term disability in anxiety disorders. bmc psychiatry, 16(1), 1–8. https://doi. org/10.1186/s12888-016-0946-y hurlock, e. b. (2017). psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga. ioannis, p., miltiadis, p., & eleni, f. (2017). physical disabilities and psychological issues: a systematic review of the literature. european journal of special education research, 2(3), 1–31. https:// doi.org/10.5281/zenodo.244433 european ireel, a. m., elita, y., & mishbahuddin, a. (2018). efektivitas layanan konseling kelompok teknik restrukturisasi kognitif untuk mereduksi kecemasan menghadapi ujian siswa kelas vii smp n 22 kota bengkulu. consilia: jurnal ilmiah bk, 1(2), 1–10. jones, k. h., jones, p. a., middleton, r. m., ford, d. v., tuite-dalton, k., lockhart-jones, h., … noble, j. g. (2014). physical disability, anxiety and depression in people with ms: an internet-based survey via the uk ms register. plos one, 9(8), 1–9. https://doi. org/10.1371/journal.pone.0104604 kang, h.-j., bae, k.-y., kim, s.-w., shin, h.-y., shin, i.-s., yoon, j.-s., & kim, j.-m. (2017). impact of anxiety and depression on physical health condition and disability in an elderly korean population. psychiatry investigation, 14(3), 240–248. https://doi.org/http:// dx.doi.org/10.4306/pi.2017.14.3.240 kaplan, d. (2000). the definition of disability: perspective of the disability community. journal of health care law & policy, 3(2), 352–364. 22 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) konghoiro, i., kartasasmita, s., & subroto, u. (2017). penerapan group gestalt therapy bagi warga binaan lapas narkotika x yang mengalami kecemasan menjelang bebas. jurnal muara ilmu sosial, humaniora, dan seni, 1(2), 430–438. https://doi.org/10.24912/ jmishumsen.v1i2.921 lenze, e. j., rogers, j. c., martire, l. m., mulsant, b. h., rollman, b. l., dew, m. a., … reynolds, c. f. (2001). the association of late-life depression and anxiety with physical disabilty. the american journal of geriatric psychiatry, 9(2), 113–135. https://doi. org/10.1097/00019442-200105000-00004 lukaningsih, z. l. (2010). pengembangan kepribadian: untuk mahasiswa kesehatan dan umum. yogyakarta: nuha medika. machdan, d. m., & hartini, n. (2012). hubungan antara penerimaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada tunadaksa di upt rehabilitasi sosial cacat tubuh pasuruan. jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental vol., 1(02), 72–78. manipuspika, y. s. (2018). correlation between anxiety and willingness to communicate in the indonesian efl context. arab world english journal, 9(9), 200–217. https://doi.org/10.24093/awej/ vol9no2.14 mardiana, n. (2017). peranan guru bimbingan dan konseling dalam upaya mengurangi tingkat kecemasan siswa menghadapi ujian nasional. sosio-e-kons, 9(2), 139–151. https://doi.org/10.30998/ sosioekons.v9i2.1945 mohsin, m. n., saeed, w., & zaidi, i. h. (2013). comorbidity of physical disability with depression and anxiety. international journal of environment, ecology, family and urban studies (ijeefus), 3(1), 79– 88. moran, a. (2012). concentration: attention and performance. in s. m. murphy (ed.), the oxford handbook of sport and performance psychology. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199731763.013.0006 mushtaq, s., & akhouri, d. (2016). self esteem, anxiety, depression and stress among physically disabled people. the international journal of indian psychology, 3(4), 125–132. nanay, b. (2017). catharsis and vicarious fear. wiley european journal of philosophy, 26, 1371–1380. https://doi.org/10.1111/ejop.12325 nasution, h. b. (2012). kecemasan berkomunikasi antarpribadi dalam tes wawancara kerja. flow, 1(1), 1–17. 23menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nida, f. l. k. (2014). zikir sebagai psikoterapi dalam gangguan kecemasan bagi lansia. konseling religi, 5(1), 133–150. https:// doi.org/10.21043/kr.v5i1.1064 prayitno, afdal, ifdil, & ardi, z. (2017). layanan bimbingan dan konseling kelompok yang berhasil (dasar dan profil). jakarta: ghalia indonesia. purnamarini, d. p. a., setiawan, t. i., & hidayat, d. r. (2016). pengaruh terapi expressive writing terhadap penurunan kecemasan saat ujian sekolah. insight: jurnal bimbingan konseling, 5(1), 36–42. https://doi.org/10.21009/insight.051.06 putra, a. r. b. (2014). peran guru bimbingan konseling untuk mereduksi kecemasan siswa menjelang ujian nasional. pedagogik jurnal pendidikan, 9(2), 65–75. rachmady, t. m. n., & aprilia, e. d. (2018). hubungan adversity quotient dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada freshgraduate universitas syiah kuala. jurnal psikogenesis, 6(1), 54–60. rahayu, y. i. (2014). strategi intervensi konseling untuk mengatasi kecemasan siswa. pawiyatan, 21(1), 111. rahmati, f., & zareian, e. (2014). effects of 8 weeks aerobic training on the social-physical anxiety in women with multiple sclerosis. annals of applied sport science, 2(2), 65–74. https://doi. org/10.18869/acadpub.aassjournal.2.2.65 richards, t. a. (2014). overcoming social anxiety: step by step. california: createspace independent publishing platform. rosliani, n., & ariati, j. (2016). hubungan antara regulasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada pengurus ikatan lembaga mahasiswa psikologi indonesia (ilmpi). empati, 5(4), 744–749. rottenberg-rosler, b., schonmann, s., & berman, e. (2009). dear diary: catharsis and narratives of aloneness in adolescents’ diaries. enquire, 2(1), 133–156. sari, a. d. k., & subandi. (2015). pelatihan teknik relaksasi untuk menurunkan kecemasan pada primary caregiver penderita kanker payudara. gadjah mada journal of professional psychology, 1(3), 173–192. https://doi.org/10.22146/gamajpp.9393 sari, g. n., nurjasmi, aticeh, hartaty, d., & ichwan, e. y. (2018). efektivitas vct dan terapi warna dalam penurunan tingkat kecemasan dan pengambilan keputusan. jurnal ilmiah bidan, iii(2), 37–44. https://doi.org/10.0809/jib.v3i2.77 24 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok astri fajar atikasari, vera imanti al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 1 24, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1608 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) schneider, a. (2008). personal adjustment and mental health (new york). rinehart and winston inc. shaddri, i., dharmayana, i. w., & sulian, i. (2018). penggunaan teknik guided imagery terhadap tingkat kecemasan siswa mengikuti aktivitas konseling kelompok. consilia: jurnal ilmiah bk, 1(3), 68–78. smart, a. (2011). anak cacat bukan kiamat (metode pembelajaran & terapi untuk anak berkebutuhan khusus). yogyakarta: kata hati. straton, d. (1990). catharsis reconsidered. australian and new zealand journal of psychiatry, 24, 543–551. https://doi. org/10.3109/00048679009062911 sugiyono. (2014). metode penelitian kombinasi (mixed methods). bandung: alfabeta. suhendri, sugiharto, d., & suwarjo. (2012). efektivitas konseling kelompok rational-emotif untuk membantu siswa mengatasi kecemasan menghadapi ujian. jurnal bimbingan konseling, 1(2), 122–128. suliman, s., stein, d. j., myer, l., williams, d. r., & seedat, s. (2010). disability and treatment of psychiatric and physical disorders in south africa. the journal of nervous and mental disease, 198(1), 8–15. https://doi.org/10.1097/nmd.0b013e3181c81708 uzun, k. (2016). the relationship between foreign language anxiety and self-directed learning readiness. international association of research in foreign language education and applied linguistics, 5(1), 30–46. wagner, s. (2010). the most inspirational video you will ever see nick vujicic. retrieved from youtube website: https://www.youtube. com/watch?v=zozsjemjjhs waqiati, h. a., hardjajani, t., & nugroho, a. a. (2013). hubungan antara dukungan sosial dan efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa. jurnal psikologi, 2(1), 1–12. wilianto, v. m., & adiyanti, m. (2012). terapi musik kognitif perilaku untuk menurunkan kecemasan pada penderita tekanan darah tinggi. jurnal intervensi psikologi (jip), 4(1), 87–111. https://doi. org/10.20885/intervensipsikologi.vol4.iss1.art6 yunita, d. y., & astuti, t. p. (2014). kecemasan dalam menghadapi dunia kerja ditinjau dari konsep diri pada mahasiswa tingkat akhir. journal psikologi, 3(4), 1–12. 1. artikel bersifat ilmiah berisi hasil riset empiris atau gagasan konseptual dan belum pernah dipublikasikan di sebuah jurnal. artikel juga bukan merupakan satu bab utuh dari tesis atau disertasi. 2. panjang artikel antara 15-30 halaman, tidak termasuk judul, abstrak (abstract), kata kunci (keywords), dan bibliografi. 3. artikel terdiri dari beberapa bagian, yaitu: judul, nama penulis, abstrak (200-250 kata), kata kunci (maksimal 5 kata), dan bibliografi, dengan detil ketentuan sebagai berikut: • penulisan judul tidak boleh lebih dari lima belas (15) kata. • nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dilengkapi dengan asal institusi, alamat korespondensi (e-mail address), serta nomor telephone/handphone. • abstrak terdiri dari konteks diskursus area disiplin; tujuan penulisan artikel; metodologi (jika ada); temuan riset; kontribusi tulisan di dalam area disiplin. abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan indonesia. • pendahuluan terdiri dari pemetaan penelitian terdahulu (literature review, sebaiknya temuan riset sepuluh tahun terakhir) dan novelti tulisan; batas permasalahan yang dibahas; dan argumentasi utama tulisan. • pembahasan berisi proses reasoning argumentasi utama tulisan. • kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan tulisan, berdasarkan perpektif teoritis dan konseptual yang dibangun oleh penulis. • referensi mencantumkan sumber pustaka yang menjadi rujukan. • gaya kutipan menggunakan american psychological association (apa) 6th edition, memakai model pengutipan body note (penulis tahun), dengan ketentuan detail sebagai berikut: ketentuan penulisan artikel 1. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) 2. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) 3. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ind onesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) 4. article of the journal a. journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) b. journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) c. e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) 5. article website a. dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) b. tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta : magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) 7. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 4. penulisan gaya pengutipan dihimbau menggunakan perangkat citation manager, seperti mendeley, zotero, endnote, refworks, bibtext dan lain sebagainya dengan memakai american psychological association (apa) 6th edition. 5. transliterasi bahasa arab menggunakan standar international journal of middle eastern studies, detail transliterasi dapat diunduh di http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 6. artikel bebas dari unsur plagiat, dengan melampirkan bukti (screenshot) bahwa artikel telah dicek memakai piranti lunak antiplagiat, misalnya, tetapi tidak terbatas pada, plagiarism checker (plagramme.com). 6. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 daftar isi motif syekhermania mengakses video dakwah habib syech bin abdul qodir assegafs uwes fatoni dan eka octalia indah librianti 1 26 pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) di majelis asy-syifa: studi deskriptif bimbingan sosio-spiritual titik rahayu 27 44 analisis wacana kritis berita “kematian terduga teroris siyono” di harian solopos fathan 45 72 analisis framing pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat muhammad reza fansuri dan fatmawati 73 102 syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional sebagai media dakwah di era budaya populer nor kholis 103 125 peran masjid dalam mempersatukan umat islam: studi kasus masjid al-fatah, pucangan, kartasura syakirin 127 148 peran masjid dalam mempersatukan umat islam: studi kasus masjid al-fatah, pucangan, kartasura doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i1.1092 syakirin institut agama islam negeri surakarta keywords: the role of the mosque, the unity of umat http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: mohsyakirin@yahoo.com abstract abstrak mosque is an instrument of empowerment of people who have a very strategic role in efforts to improve the quality and can unite the community. this article aims to describe the role of the al-fatah mosque as a pluralistic and socially pluralistic community empowerment center. the main data comes from interviews and observations, while the method used is qualitative descriptive. this article concludes that the empowerment of the pluralist society around al-fatah mosque is done by optimizing the role of all community groups in various mosque activities. the mosque can be the center of activity of all community groups because its activities are not limited to religious activities only, but cover other social social. masjid merupakan instrumen pemberdayaan umat yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya peningkatan kualitas dan bisa mempersatukan masyarakat. artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran masjid al-fatah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat yang plural baik secara sosial maupun keberagamaan. data utama bersumber dari wawancara dan observasi, sedangkan metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. artikel ini menyimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat pluralis di sekitar masjid al-fatah dilakukan dengan optimalisasi peran semua kelompok masyarakat dalam berbagai kegiatan masjid. masjid dapat menjadi sentra kegiatan semua kelompok masyarakat karena kegiatannya tidak terbatas pada kegiatan keagamaan saja, namun meliputi sosial kemasyarakatan lainnya. kata kunci: peran masjid, persatuan umat al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 128 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam i. pendahuluan kelurahan pucangan merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan kartasura, kabupatan sukoharjo. oleh karena terletak di ibu kota kecamatan, pucangan memiliki keistimewaan. apalagi ketika dilihat dari penduduknya yang notabene sangat strategis, antara lain karena di kelurahan ini terdapat asrama grup 2 komando pasukan khusus (kopassus) tni ad. di kelurahan pucangan juga ditempati sebagai lokasi sekolah menengah atas negeri i (sma n i) kartasura, sekolah menengah atas islam terpadu (smait) nur hidayah, sekolah menengah kejuruan (smk) muhammadiyah kartasura. selain itu, kelurahan pucangan juga menjadi lokasi kampus institut agama islam negeri (iain) surakarta, yang mempunyai mahasiswa kurang lebih 15.000 orang (mudofir, 2017) dan ini merupakan potensi yang cukup membanggakan. keberadaan kampus tersebut akan mempunyai dampak positif bagi masyarakat sekitar. baik yang menyangkut bidang sosial, ekonomi, budaya maupun keagamaan. berdasarkan pantauan peneliti, pucangan didukung oleh prasarana tempat peribadahan kaum muslimin yang cukup memadai, antara lain masjid al-ikhlas yang berlokasi di rt 01 rw 01, musholla di komplek sman 1 kartasura, musholla di smait nur hidayah, musholla di smk muhammadiyah kartasura, musholla di komplek kantor desa pucangan, masjid daarussalam, komplek madrasah diniyah daarussalam, gerjen, pucangan, yang sekaligus juga terdapat pesantren mahasiswa dari berbagai program studi yang ada di institut agama islam negeri (iain) surakarta, masjid syamsul arifin (baru diresmikan pada bulan ramadhan tahun 2016 m/1437 h) di komplek asrama siswa smait nur hidayah pucangan. masjid al-fatah yang berlokasi di rt 02 rw 01, yang sudah selesai direnovasi, pada mulanya adalah mushola yang sangat sederhana, yang dibangun pada tahun 1985 (sarjono, 2017). waktu itu masyarakat yang akan mengikuti salat jumat harus menuju ke masjid keraton kartasura. sedangkan, perubahan dari mushola menjadi masjid al fatah dan difungsikan untuk salat jumat adalah pada tahun 1996. sekarang masjid 129 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 tersebut sudah berubah menjadi dua lantai. walaupun lokasinya di rt 02 rw 01, akan tetapi jamaahnya terdiri dari masyarakat sekitarnya yaitu rt 12 rw 3 kelurahan kartasura kecamatan kartasura, pelajar smait yang menempati rumah penduduk sebagai asrama (tempat tinggal), dan para mahasiswa iain yang kost di sekitar masjid. sebagaimana telah disebutkan bahwa keberadaan asrama kopassus tni ad, ini juga berdampak kepada para purnawirawannya yang banyak mengambil tempat tinggal di sekitar asrama, antara lain di rt 02 rw 01. masjid merupakan instrumen pemberdayaan umat yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya peningkatan kualitas dan bisa mempersatukan masyarakat. untuk itu, sudah selayaknya jika para dosen dan mahasiswa juga harus terpanggil untuk memanfaatkan masjid guna urun rembug dalam memberdayakan msyarakat sekitarnya, agar kualitas keimanan, keislaman dan keihsanannya bisa lebih ditingkatkan. hal ini selaras dengan tujuan pembangunan di indonesia yaitu mensinergikan ke arah kesejehateraan jasmani dan rohani. keberadaan masjid al-fatah, juga merupakan media tempat berkumpulnya para purnawirawan kopasus dengan masyarakat sekitar. secara psikologis para purnawirawan adalah golongan masyarakat yang sudah purna tugas, untuk itu golongan ini mempunyai banyak waktu luang. salah satu kegiatannya adalah arisan warga rt, kerja bakti bersama, dan menghadiri pengajian (rohani, 2017). pengajian yang dibina oleh peneliti adalah bertempat di masjid al-fatah, dengan memanfaatkan waktu setiap hari selasa malam rabu sehabis waktu salat maghrib sampai dengan datangnya waktu isya. agenda ini mulai berlaku sejak awal agustus 2017, sedangkan pada waktu sebelumnya adalah setiap hari kamis malam jum’ah. salah satu kegiatan rutin yang ada adalah pengajian malam rabu dengan mengkaji kitab “riyadussolihin” dibawah asuhan h.m. syakirin al ghozali dan kajian tafsir al qur’an dibawah asuhan ustaz yunan abduh lc, untuk membina para jamaah masjid al-fatah. sebab kebanyakan jamaahnya adalah para bapak dan ibu yang sudah lanjut usia. dan 130 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam secara psikologis beliau itu sudah banyak merasakan pengalaman hidup dengan kerja keras. maka sudah saatnya untuk mempersiapkan bekal guna kehidupan di alam akhirat. dan hal ini sangat terasa sekali, hiruk pikuknya kehidupan yang tidak akan pernah berhenti, sudah saatnya untuk direnungkan kembali. berbagai kenikmatan yang telah mereka terima dari zat yang maha mencipta, sudah saatnya untuk disyukuri dengan mulai mencari dan mempelajari ajaran utusan-nya yaitu nabi muhammad saw yang membawa islam sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamin” menjadi rahmat bagi semua penghuni alam. usaha ke arah menjadikan masjid sebagai media pendidikan melalui kajian kitab disertai dialog, adalah merupakan suatu sasaran antara, dimana endingnya adalah bagaimana mendampingi masyarakat yang berada di sekitar masjid tersebut menjadi semakin sadar akan jati dirinya, mengapa mereka diciptakan, dan untuk apa mereka hidup serta akan kembali ke mana setelah mereka menjalankan tugasnya sebagai kalifatullah fil ardhi tersebut (sulthon, 2003). sulthon (2003) menambahkan bahwa rekayasa sosial merupakan suatu usaha yang berawal dari khairul bariyah terus berproses ke khairul jamaah dan berakhir ke khairul ummah. untuk itu sungguh sangat tepat apabila kondisi masyarakat yang masih memegang tradisi lokal tersebut juga perlu mendapatkan sentuhan agama agar mereka bisa meningkat menjadi insan yang paripurna. berangkat dari fenomena tersebut, maka sangat penting untuk dilakukan penelitian lebih dalam mengenai peran masjid dalam pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. hal ini dinilai penting untuk diteliti karena masjid al-fatah dekat dengan iain surakarta dan dekat dengan perumahan pensiunan kopassus. mengacu pada rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian adalah: 1) bagaimana peran masjid al-fatah dalam mempersatukan umat islam di masyarakat sekitarnya?; 2) upaya dan kegiatan apa sajakah yang dilaksanakan dalam rangka memberdayakan masyarakat di sekitarnya? 131 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 terdapat beberapa penelitian mengenai revitalisasi masjid, misalkan penelitian ahmad (2014) mengenai revitalisasi masjid produktif di kota jambi; basit (2009) tentang strategi pengembangan masjid bagi generasi muda; alwi (2015) tentang optimalisasi fungsi masjid dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat; mahmud & zamroni (2014) mengenai peran masjid dalam pengembangan pendidikan agama berwawasan multikultural pada masyarakat yang merupakan studi kasus dari masjid raya darussalam dan masjid baitul muttaqien islamic center kalimantan timur; dalmeri (2014) mengenai revitalisasi fungsi masjid sebagai pusat ekonomi dan dakwah multikultural; sutomo (2014) mengenai implementasi nilai religiusitas dan toleransi dalam pemberdayaan masyarakat pada jamaah masjid alhikmah sidomukti salatiga, amin (2012) tentang konsep dakwah melalui program posdaya berbasis masjid; abdzar d (2012) tentang revitalisasi peran masjid sebagai basis media dakwah kontemporer; zulfa (2015) mengenai transformasi dan pemberdayaan umat berbasis masjid: studi pada masjid nurussa’adah salatiga; sukur (2014) tentang masjid semarang dalam pertarungan ruang sosial-budaya dan menghasilkan data bahwa masjid di semarang memiliki banyak kajian islam yang mengarahkan dan membentuk pemahaman masyarakat; virga (2016) tentang literasi iklan rokok dan perilaku konsumtif remaja melalui pemberdayaan remaja masjid. penelitian ini memiliki pembeda dengan penelitian terdahulu, meskipun temanya adalah mengenai peran masjid dalam bidang keagamaan dan sosial. pembeda tersebut adalah mengenai tempat, penelitian ini memilih tempat di pucangan kartasura dengan pertimbangan heterogenitas masyarakatnya. sehingga, kondisi ini menjadi bagian yang menarik sekaligus penting untuk diteliti lebih mendalam. pada akhirnya, akan ditemukan peran masjid dalam mempersatukan umat. 132 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam ii. tinjauan pustaka a. teori peran peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu berdasarkan penjelasan historis dan menurut ilmu sosial. di dalam penjelasan historis, peran berarti karakter yang disandang atau dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pentas dengan lakon tertentu.dalam ilmu sosial, peran diartikan sebagai seperangkat tingkah laku yang diiharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. dari penjelasan diatas, maka dalam penelitian ini peran masjid sangat penting dalam kedudukannya sebagai wadah dalam mempersatukan umat islam. sedangkan menurut soerjono soekanto (2009), peran merupakan tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang yang menempati suatu posisi di dalam status sosial, syarat-syarat peran mencangkup tiga hal. pertama, peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. kedua, peran mencakup konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi. peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi struktur sosial masyarakat. ketiga, peran melibatkan suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan. manusia sebagai makhluk sosial memiliki kecenderungan untuk hidup berkelompok. dalam kehidupan berkelompok tadi akan terjadi interaksi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. tumbuhnya interaksi diantara mereka ada saling ketergantungan. dalam kehidupan bermasyarakat itu muncul yang dinamakan peran (role). peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan. 133 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat ditemukan bahwa peran tidak hanya dilakukan oleh aktor manusia namun juga institusi, dalam hal ini masjid. sehingga masjid juga mampu memiliki peran yang nyata dalam pemberdayaan masyarakat terutama umat islam dengan serangkaian kegiatan dakwah yang sesuai dengan al-quran dan as-sunnah. terutama dalam mempersatukan jamaah masjid walaupun pada mulanya adalah suatu komunitas yang berbeda, akan tetapi dengan usaha yang dilakukan oleh takmir masjid al-fatah melalui berbagai aktifitas sedikit demi sedikit diharapkan mempunyai dampak positif. b. pengertian masjid kata masjid merupakan isim yang diambil dari kata sujud, bentuk dasarnya adalah sajada – yasjudu. al-masjid berarti tempat bersujud. almasjad berarti kening orang yang berbekas sujud. al-misjad berarti alkhumrah (sajadah), yaitu tikar kecil yang dipakai sebagai alat salat. sebagian berpendapat bahwa al-masjid berarti rumah tempat bersujud, sedangkan almasjad berarti mihrab di rumah-rumah atau tempat-tempat salat diberbagai perkumpulan. menurut ibnu al-arabi, bentuk jamak dari masjid adalah masajid, seharusnya ia tidak mengikuti wazan maf ’il, namun menyimpang dari aturan. menurut sibawaih, para ahli bahasa menggolongkan kata al-masjid sebagai isim yang disandangkan kepada rumah, bukan bentukan dari fi’il berwazan yaf ’ilu, menurut al fura, kata almasjad sama seperti maskan, bentuk dari fi’il berwazan nashara (fa’alayaf ’ulu), baik sebagai isim maupun masdar (husain, 2007). menurut az-zujaj, semua tempat ibadah disebut masjid. bukankah rasulullah saw pernah bersanda, ”dan kujadikan untukku bumi sebagai masjid dan tempat yang suci”. sementara itu, az-zarkasyi mendefinisikannya sebagai tempat ibadah, seeperti difinisi yang dilontarkan az-zujaj, selain itu, ia menduga, pemilihan kata masjid untuk tempat salat adalah karena sujud merupakan perbuatan paling mulia dalam sholat untuk mendekatkan diri kepada tuhan. 134 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam senada dengan az-zarkasyi, dr. abdul malik as-sa’di, mendifinisikan masjid sebagai tempat yang khusus disiapkan untuk pelaksanaan sholat lima waktu dan berkumpul, serta berlaku selamanya. jadi, berdasarkan difinisi ini, tempat yang disediakan untuk salat eid (baik idul fitri maupun idul adha) tidak tergolong masjid (husain, 2007). c. konsep pemberdayaan masjid baginda rasulullah saw yang datang sebagai orang yang hijrah menuju ke yatsrib (madinah al munawarah) tentunya sudah diinstruksikan oleh allah swt antara lain mempersatukan kaum muhajirin dengan kaum anshar. dua kekuatan ini akhirnya menjadi tonggak yang kuat dalam rangka melajutkan bangunan masyarakat madani yang akhirnya menjadi model. apalagi ketika piagam madinah menjadi suatu karya agung dan menjadi pilar peradaban bagi kaum muslimin yang dapat menghargai perbedaan dan multi etnis serta multi kultur di awal pemerintahan islam di madinah. masalah sejarah masjid pertama yang dibangun di mekah adalah sejak nabi adam sampai nabi ibrahim dan ismail. hal ini tentunya berdasarkan firman allah yang menjadikan fungsi masjid sebagai sesuatu yang sangat siginifikan seperti berikut : al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. xxxx perbuatan paling mulia dalam sholat untuk mendekatkan diri kepada tuhan. senada dengan az-zarkasyi, dr. abdul malik as-sa’di, mendifinisikan masjid sebagai tempat yang khusus disiapkan untuk pelaksanaan sholat lima waktu dan berkumpul, serta berlaku selamanya. jadi, berdasarkan difinisi ini, tempat yang disediakan untuk salat eid (baik idul fitri maupun idul adha) tidak tergolong masjid (husain, 2007). c. konsep pemberdayaan masjid baginda rasulullah saw yang datang sebagai orang yang hijrah menuju ke yatsrib (madinah al munawarah) tentunya sudah diinstruksikan oleh allah swt antara lain mempersatukan kaum muhajirin dengan kaum anshar. dua kekuatan ini akhirnya menjadi tonggak yang kuat dalam rangka melajutkan bangunan masyarakat madani yang akhirnya menjadi model. apalagi ketika piagam madinah menjadi suatu karya agung dan menjadi pilar peradaban bagi kaum muslimin yang dapat menghargai perbedaan dan multi etnis serta multi kultur di awal pemerintahan islam di madinah. masalah sejarah masjid pertama yang dibangun di mekah adalah sejak nabi adam sampai nabi ibrahim dan ismail. hal ini tentunya berdasarkan firman allah yang menjadikan fungsi masjid sebagai sesuatu yang sangat siginifikan seperti berikut : ¨βî) tα ¨ρr& ;møšt/ yì åêãρ ä¨$¨ψ=ï9 “ï% ©#s9 sπ ©3t6 î/ % z. u‘$t7 ãβ “y‰èδuρ t⎦⎫ïϑn=≈ yèù=ïj9 ∩®∉∪ artinya: sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di bakah (mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (q.s. ali imran: 96). memang tidak semua orang mempunyai komitmen terhadap tugas sebagai pengurus (takmir) masjid. akan tetapi, karena motivasi yang diberikan oleh allah swt sangat kuat, maka dengan sendirinya untuk menjadi takmir masjid merupakan suatu amanat yang sangat berat tapi sangat mulia, sebagaimana firman allah swt berikut ini: artinya: sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah baitullah yang di bakah (mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (q.s. ali imran: 96). memang tidak semua orang mempunyai komitmen terhadap tugas sebagai pengurus (takmir) masjid. akan tetapi, karena motivasi yang diberikan oleh allah swt sangat kuat, maka dengan sendirinya untuk menjadi takmir masjid merupakan suatu amanat yang sangat berat tapi sangat mulia, sebagaimana firman allah swt berikut ini: 135 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. xxxx $yϑ̄ρî) ãßϑ÷è tƒ y‰éf≈ |¡ tβ «!$# ô⎯ tβ š∅tβ# u™ «!$$î/ ïθöθu‹ø9 $# uρ ìåzfψ$# tπ$s%r& uρ nο4θn=¢á9 $# ’ ta# u™uρ nο4θÿ2̈“9 $# óο s9 uρ |·øƒ s† ωî) ©!$# ( #†|¤yèsù y7íׯ≈ s9 'ρé& βr& (#θçρθä3 tƒ z⎯ ïβ š⎥⎪ï‰tfôγ ßϑø9 $# ∩⊇∇∪ artinya: hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid allah ialah orangorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan solat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”(q.s. at-taubah :18) begitupun pemberian motivasi kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, bagi mereka yang termotivasi akan mendapat pahala sebagaimana yang mereka janjikan disurga kelak, sebagaimana hadis rasul berikut: من بنى مسجـدا يبتغى وجــه هللا : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ) أخرجــه الشيخان فى صحيحھـمــا( بنى هللا له مثلــه فى الجنــة artinya: siapa saja orang yang membangun masjid, karena mengharap ridho allah swt, maka allah swt juga akan membangunkan hal yang sama di syurga (h.r. bukhari & muslim). berdasarkan dua sumber terpercaya umat islam tersebut jelas menganjurkan kepada siapa saja umat islam untuk berusaha agar rumah allah bisa dibangun di mana saja apabila hal itu memungkinkan. sejarah islam telah mencatat bahwa selama masa 13 tahun baginda rasulullah saw berjuang di makkah al mukarramah ditandai dengan berbagai aktivitas yang sangat menantang. hal ini karena nurani kelompok kafir quraisy sangat berat untuk menerima cahaya islam. berdasarkan kondisi ini, sehingga allah swt memerintahkan rasulnya yang terkasih untuk hijrah ke yathrib (madinah al-munawarah). pekerjaan pertama dari rasul dan pengikutnya setiba di yathrib adalah membangun masjid quba. dari masjid ini rasul bisa menyatukan kaum muhajirin (dari mekah) dengan kaum anshar (penduduk yathrib). berawal dari artinya: hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid allah ialah orang-orang yang beriman kepada allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”(q.s. at-taubah :18) begitupun pemberian motivasi kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, bagi mereka yang termotivasi akan mendapat pahala sebagaimana yang mereka janjikan disurga kelak, sebagaimana hadis rasul berikut: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. xxxx $yϑ̄ρî) ãßϑ÷è tƒ y‰éf≈ |¡ tβ «!$# ô⎯ tβ š∅tβ# u™ «!$$î/ ïθöθu‹ø9 $# uρ ìåzfψ$# tπ$s%r& uρ nο4θn=¢á9 $# ’ ta# u™uρ nο4θÿ2̈“9 $# óο s9 uρ |·øƒ s† ωî) ©!$# ( #†|¤yèsù y7íׯ≈ s9 'ρé& βr& (#θçρθä3 tƒ z⎯ ïβ š⎥⎪ï‰tfôγ ßϑø9 $# ∩⊇∇∪ artinya: hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid allah ialah orangorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan solat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”(q.s. at-taubah :18) begitupun pemberian motivasi kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, bagi mereka yang termotivasi akan mendapat pahala sebagaimana yang mereka janjikan disurga kelak, sebagaimana hadis rasul berikut: من بنى مسجـدا يبتغى وجــه هللا : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ) أخرجــه الشيخان فى صحيحھـمــا( بنى هللا له مثلــه فى الجنــة artinya: siapa saja orang yang membangun masjid, karena mengharap ridho allah swt, maka allah swt juga akan membangunkan hal yang sama di syurga (h.r. bukhari & muslim). berdasarkan dua sumber terpercaya umat islam tersebut jelas menganjurkan kepada siapa saja umat islam untuk berusaha agar rumah allah bisa dibangun di mana saja apabila hal itu memungkinkan. sejarah islam telah mencatat bahwa selama masa 13 tahun baginda rasulullah saw berjuang di makkah al mukarramah ditandai dengan berbagai aktivitas yang sangat menantang. hal ini karena nurani kelompok kafir quraisy sangat berat untuk menerima cahaya islam. berdasarkan kondisi ini, sehingga allah swt memerintahkan rasulnya yang terkasih untuk hijrah ke yathrib (madinah al-munawarah). pekerjaan pertama dari rasul dan pengikutnya setiba di yathrib adalah membangun masjid quba. dari masjid ini rasul bisa menyatukan kaum muhajirin (dari mekah) dengan kaum anshar (penduduk yathrib). berawal dari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. xxxx $yϑ̄ρî) ãßϑ÷è tƒ y‰éf≈ |¡ tβ «!$# ô⎯ tβ š∅tβ# u™ «!$$î/ ïθöθu‹ø9 $# uρ ìåzfψ$# tπ$s%r& uρ nο4θn=¢á9 $# ’ ta# u™uρ nο4θÿ2̈“9 $# óο s9 uρ |·øƒ s† ωî) ©!$# ( #†|¤yèsù y7íׯ≈ s9 'ρé& βr& (#θçρθä3 tƒ z⎯ ïβ š⎥⎪ï‰tfôγ ßϑø9 $# ∩⊇∇∪ artinya: hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid allah ialah orangorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan solat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”(q.s. at-taubah :18) begitupun pemberian motivasi kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, bagi mereka yang termotivasi akan mendapat pahala sebagaimana yang mereka janjikan disurga kelak, sebagaimana hadis rasul berikut: من بنى مسجـدا يبتغى وجــه هللا : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ) أخرجــه الشيخان فى صحيحھـمــا( بنى هللا له مثلــه فى الجنــة artinya: siapa saja orang yang membangun masjid, karena mengharap ridho allah swt, maka allah swt juga akan membangunkan hal yang sama di syurga (h.r. bukhari & muslim). berdasarkan dua sumber terpercaya umat islam tersebut jelas menganjurkan kepada siapa saja umat islam untuk berusaha agar rumah allah bisa dibangun di mana saja apabila hal itu memungkinkan. sejarah islam telah mencatat bahwa selama masa 13 tahun baginda rasulullah saw berjuang di makkah al mukarramah ditandai dengan berbagai aktivitas yang sangat menantang. hal ini karena nurani kelompok kafir quraisy sangat berat untuk menerima cahaya islam. berdasarkan kondisi ini, sehingga allah swt memerintahkan rasulnya yang terkasih untuk hijrah ke yathrib (madinah al-munawarah). pekerjaan pertama dari rasul dan pengikutnya setiba di yathrib adalah membangun masjid quba. dari masjid ini rasul bisa menyatukan kaum muhajirin (dari mekah) dengan kaum anshar (penduduk yathrib). berawal dari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. xxxx $yϑ̄ρî) ãßϑ÷è tƒ y‰éf≈ |¡ tβ «!$# ô⎯ tβ š∅tβ# u™ «!$$î/ ïθöθu‹ø9 $# uρ ìåzfψ$# tπ$s%r& uρ nο4θn=¢á9 $# ’ ta# u™uρ nο4θÿ2̈“9 $# óο s9 uρ |·øƒ s† ωî) ©!$# ( #†|¤yèsù y7íׯ≈ s9 'ρé& βr& (#θçρθä3 tƒ z⎯ ïβ š⎥⎪ï‰tfôγ ßϑø9 $# ∩⊇∇∪ artinya: hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid allah ialah orangorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan solat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”(q.s. at-taubah :18) begitupun pemberian motivasi kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, bagi mereka yang termotivasi akan mendapat pahala sebagaimana yang mereka janjikan disurga kelak, sebagaimana hadis rasul berikut: من بنى مسجـدا يبتغى وجــه هللا : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ) أخرجــه الشيخان فى صحيحھـمــا( بنى هللا له مثلــه فى الجنــة artinya: siapa saja orang yang membangun masjid, karena mengharap ridho allah swt, maka allah swt juga akan membangunkan hal yang sama di syurga (h.r. bukhari & muslim). berdasarkan dua sumber terpercaya umat islam tersebut jelas menganjurkan kepada siapa saja umat islam untuk berusaha agar rumah allah bisa dibangun di mana saja apabila hal itu memungkinkan. sejarah islam telah mencatat bahwa selama masa 13 tahun baginda rasulullah saw berjuang di makkah al mukarramah ditandai dengan berbagai aktivitas yang sangat menantang. hal ini karena nurani kelompok kafir quraisy sangat berat untuk menerima cahaya islam. berdasarkan kondisi ini, sehingga allah swt memerintahkan rasulnya yang terkasih untuk hijrah ke yathrib (madinah al-munawarah). pekerjaan pertama dari rasul dan pengikutnya setiba di yathrib adalah membangun masjid quba. dari masjid ini rasul bisa menyatukan kaum muhajirin (dari mekah) dengan kaum anshar (penduduk yathrib). berawal dari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. xxxx $yϑ̄ρî) ãßϑ÷è tƒ y‰éf≈ |¡ tβ «!$# ô⎯ tβ š∅tβ# u™ «!$$î/ ïθöθu‹ø9 $# uρ ìåzfψ$# tπ$s%r& uρ nο4θn=¢á9 $# ’ ta# u™uρ nο4θÿ2̈“9 $# óο s9 uρ |·øƒ s† ωî) ©!$# ( #†|¤yèsù y7íׯ≈ s9 'ρé& βr& (#θçρθä3 tƒ z⎯ ïβ š⎥⎪ï‰tfôγ ßϑø9 $# ∩⊇∇∪ artinya: hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid allah ialah orangorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan solat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”(q.s. at-taubah :18) begitupun pemberian motivasi kepada kaum muslimin untuk membangun masjid, bagi mereka yang termotivasi akan mendapat pahala sebagaimana yang mereka janjikan disurga kelak, sebagaimana hadis rasul berikut: من بنى مسجـدا يبتغى وجــه هللا : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ) أخرجــه الشيخان فى صحيحھـمــا( بنى هللا له مثلــه فى الجنــة artinya: siapa saja orang yang membangun masjid, karena mengharap ridho allah swt, maka allah swt juga akan membangunkan hal yang sama di syurga (h.r. bukhari & muslim). berdasarkan dua sumber terpercaya umat islam tersebut jelas menganjurkan kepada siapa saja umat islam untuk berusaha agar rumah allah bisa dibangun di mana saja apabila hal itu memungkinkan. sejarah islam telah mencatat bahwa selama masa 13 tahun baginda rasulullah saw berjuang di makkah al mukarramah ditandai dengan berbagai aktivitas yang sangat menantang. hal ini karena nurani kelompok kafir quraisy sangat berat untuk menerima cahaya islam. berdasarkan kondisi ini, sehingga allah swt memerintahkan rasulnya yang terkasih untuk hijrah ke yathrib (madinah al-munawarah). pekerjaan pertama dari rasul dan pengikutnya setiba di yathrib adalah membangun masjid quba. dari masjid ini rasul bisa menyatukan kaum muhajirin (dari mekah) dengan kaum anshar (penduduk yathrib). berawal dari artinya: siapa saja orang yang membangun masjid, karena mengharap ridho allah swt, maka allah swt juga akan membangunkan hal yang sama di syurga (h.r. bukhari & muslim). berdasarkan dua sumber terpercaya umat islam tersebut jelas menganjurkan kepada siapa saja umat islam untuk berusaha agar rumah allah bisa dibangun di mana saja apabila hal itu memungkinkan. sejarah islam telah mencatat bahwa selama masa 13 tahun baginda rasulullah saw berjuang di makkah al mukarramah ditandai dengan berbagai aktivitas yang sangat menantang. hal ini karena nurani kelompok kafir quraisy sangat berat untuk menerima cahaya islam. berdasarkan kondisi ini, sehingga allah swt memerintahkan rasulnya yang terkasih untuk hijrah ke yathrib (madinah al-munawarah). pekerjaan pertama dari rasul dan pengikutnya setiba di yathrib adalah membangun masjid quba. dari masjid ini rasul bisa menyatukan kaum muhajirin (dari mekah) dengan 136 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam kaum anshar (penduduk yathrib). berawal dari mempersaudarakan kaum muslimin inilah akhirnya menjadi cikal bakal (embrio) satu ummat yang sangat luar biasa kuatnya (baik dari segi fisik maupun mental spiritual). dengan berlalunya waktu sampai tiba saatnya untuk membangun masjid di tempat lain (yang sekarang terkenal dengan nama masjid nabawi). di tempat ini berbagai aktivitas dikerjakan oleh baginda rasulullah dengan para sahabatnya. mulai dari men-tadbir/mengatur pemerintahan, menyelesaikan perselisihan paham, majelis ilmu, menerima tamu dari kabilah lainnya, latihan perang, sampai kepada merawat para mujahidin yang luka dalam jihad fisabilillah. ala kulli hal semua aktivitas tentang kehidupan tidak lepas dari semangat ruh masjid (dalam arti semangat keislaman) (mahmud, 1976; gazalba & masyhar, 1971). hasilnya, kejayaan islam bisa disebarkan ke pelbagai penjuru negara antara lain bisa sampai ke asia tenggara yang di dalamnya ada negara indonesia. seperti yang sudah disampaikan bahwa masjid sangat banyak fungsinya sebagaimana yang telah dicontohkan baginda rasulullah saw. umat islam di indonesia juga telah banyak membangun masjid/mushala. misalkan, di kampung-kampung yang banyak masyarakat muslimnya, atau dimana saja yang ada ummat islamnya baik itu di pabrikpabrik, pasarpasar, perkantoran, lembaga pendidikan dan tempattempat fasilitas umum seperti rumah sakit, tempat pemberhentian alat transportasi: seperti air port, pelabuhan kapal laut, terminal bus, stasiun kereta api, gedung-gedung pertemuan umum dan lainnya. hal ini jelas sangat menggembirakan walaupun aktivitasnya masih terbatas karena kurangnya pentadbir/manajer. bahkan langkah awal yang disarankan oleh yusuf al-qardhawi (2000) antara lain disamping masalah tempat yang strategis, adalah meluruskan niat. dalam hal ini orang yang akan membangun masjid adalah sematamata untuk mencapai keridhaan allah swt. selanjutnya agar masjid tersebut menjadi tempat kaum muslimin, baik untuk melaksanakan salat lima waktu, berzikir, majelis taklim, mensyiarkan agama islam, dan hal lainnya yang positif. 137 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 sehingga, multifungsi dari masjid ini dapat diupayakan bersama dengan masyarakat sekitar (supardi & amiruddin, 2001), terlebih lokasi masjid al-fatah yang dekat dengan kampus iain surakarta. kondisi ini menyebabkan adanya akulturasi antara masyarakat umum, mahasiswa, pensiunan tentara, dan sebagainya. hal inilah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini. terlebih lagi, ajaran islam memang mengajarkan mengenai cara dan contoh yang telah diajarkan oleh baginda rasulullah saw dalam menyatukan dan memberdayakan umat muslim sebagaimana yang terjadi di kota madinah al-munawarah (khaeruman, 2005). untuk mengaplikasikan teori tentang fungsi masjid dalam memberdayakan ummat sekitarnya, maka sangat ideal apabila lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat institut agama islam negeri (lp2m iain) surakarta menugaskan para dosen untuk membimbing para mahasiswanya dalam program kuliah kerja nyata terpadu berbasis masjid (kknt-bm) tahun 2017. pada tahun 2017 ini juga diberi kesempatan kepada para mahasiswa untuk melakukan kkntbm secara mandiri, secara khusus dan secara reguler. dimana dalam hal ini ada yang melaksanakan di luar daerah seperti di propinsi bali, lombok nusa tenggara barat, bandar lampung, kabupaten wonogiri, kabupaten boyolali, dan kabupaten sukoharjo sendiri (lp2m iain surakarta, 2017). dalam hal pembangunan masyarakat, mohammad fazlurrahman anshari memberikan gagasannya bahwa untuk menuju masyarakat islam modern diperlukan tuntunan yang jelas, yaitu al qur’an dan assunnah rasulullah saw. selain itu, juga harus mengedepan pemahaman ”theocentris dan ethic-religius” yang dilestarikan dalam upaya kebajikan. sebagai masyarakat muslim modern, maka falsafah sosialnya didasarkan pada sistem nilai yang paling tinggi dan paling penting, karena mengimani dan menyembah allah swt. untuk itu harapannya, masyarakat tersebut bisa mengaplikasikan dalam berbagai bidang seperti berlaku adil, memelihara keindahan dan kebersihan, kasih sayang serta pelayanan dan memuaskan terhadap sesama (anshari, 1984). 138 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam iii. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menganalisis fenomena empirik berdasarkan kondisi yang terjadi secara alamiah. creswell (2010) menyebutkan bahwa penelitian deskriptif kualitatif tidak bermaksud untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya mengemukakan apa adanya tentang variabel, gejala atau keadaan. melalui pendekatan kualitatif, peneliti akan melihat mengenai fenomena yang diangkat dalam penelitian ini. kemudian, dijelaskan secara komprehensif dan juga berpengaruh kepada perubahan yang akan terjadi. pada dasarnya, penelitian ini akan melihat secara objektif dari penelitian sebelumnya dan juga memandang penelitian yang akan dilaksanakan. pemilihan deskriptif analisis adalah sebuah teknik pengkajian yang dilakukan dengan cara menganalisa beberapa parameter yang dipandang determinan bagi sebuah topik yang dipelajari. tempat penelitian ini bernama masjid al-fatah, yang beralamat di jalan turonggono, rt 02/01, kelurahan pucangan, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo, jawa tengah, indonesia. masjid ini merupakan wakaf dari keluarga bapak drs. h. yusuf sunarto, kepada perserikatan muhammadiyah. walaupun begitu, sewaktu peresmiannya dijelaskan bahwa pemanfaatan bangunan masjid tersebut adalah untuk umum, sebab yang ikut membantu pembangunannya adalah masyarakat umum, baik yang ada di sekitar masjid maupun dari tempat lainnya. untuk mendukung penelitian ini sumber data diperoleh dari beragam sumber (multiple source data) baik yang didapat secara langsung maupun tidak langsung. data yang diperoleh secara langsung adalah melalui wawancara antara lain dengan pengurus masjid (takmir masjid al fatah), dengan keluarga pewakaf karena bapak drs. yusuf sunarto, sudah meninggal dunia pada tanggal 20 agustus 2017; dengan perwakilan jamaah masjid alfatah yang dianggap representatif dan banyak mengetahui tentang sejarah pembangunan masjid sejak awal samapai akhir; dengan para pengelola dan 139 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 pengajar tpa, karena mereka yang menjalankan langsung program dari takmir masjid. selanjutnya dengan menggunakan observasi partisipan di masjid al-fatah, pucangan. hal ini dilakukan untuk menggali dan memperoleh informasi terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian. sedangkan sumber data tidak langsung yang didapat melalui kajian kepustakaan melalui buku, jurnal, artikel maupun publikasi lainnya yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. herdiansyah (2013) menjelaskan bahwa untuk data primer menggunakan wawancara, observasi dan bila diperlukan dilakukan focus group discussion. untuk data sekunder dengan studi pustaka dan pengambilan dokumen pendukung lainnya yang relevan dengan penelitian. dalam hal ini karena peneliti juga sebagai pengurus takmir masjid al-fatah, maka secara otomatis sering diajak rapat apabila akan menyelenggarakan aktifitas masjid seperti menjelang datangnya bulan ramadhan, mempersiapkan panitia qurban, dan lainnya. menurut moleong (2001), keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas) yang harus disesuaikan berdasarkan tuntunan pengetaahuan, kriteria dan paradigma sendiri. teknik untuk pemeriksaan data pada penelitian ini menggunakan triangulasi, yang dimaksud adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan dan sebagai pembanding terhadap data tersebut. triangulasi ada beberapa diantaranya: sumber, penyidik, teori dan metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah menggunakan triangulasi sumber. cara yang dilakukan dalam pengolahan atau analisis data kualitatif adalah menggunakan data yang diperoleh, mengorganisasikan dan memilah-milah data menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan sesuatu yang dapat diceritakan kepada orang lain. menurut glasser dan straus, dalam penelitian kualitatif 140 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam analisis data dilakukan terus-menerus sepanjang penelitian atau yang sering disebut dengan constant comparative method. hal ini menjelaskan bahwa analisis data bukan sesuatu yang bersifat inklusif yang dapat ditegaskan waktu terjadinya pada satu waktu tertentu selama proses penelitian. iv. hasil penelitian dan pembahasan lokasi penelitian ini adalah masjid al-fatah yang sebelumnya masih berupa mushola al-fatah yang mulai berdiri pada tahun 1985, dan berubah menjadi masjid untuk menyelenggarakan salat jum’ah pada tahun 1997, berada di jalan turonggono, rt 02 rw 01 kelurahan pucangan kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo. kondisi masyarakat asli dukuh pucangan desa pucangan ini sangat sederhana, maka dalam membangun rumah ibadah bagi kaum musliminpun sangat sederhana. yaitu masjid yang berukuran 13 x 15 m2 dengan kondisi lantainya dengan plester dan dengan dinding tembok. dilengkapi tempat wudhu juga dengan sederhana untuk kaum laki-laki dan perempuan. bangunan masjid tersebut juga hanya terdiri dari satu lantai. kondisi bangunan tersebut dibagi menjadi ruang utama untuk sholat dan ruang sayap kanan dan kiri untuk menampung jamaah kaum perempuan disebelah kanan. sedangkan yang sebelah kiri dipakai kaum laki-laki apabila jamaah didalam ruang utama sudah penuh..kondisi semacam ini berlangsung cukup lama. walaupun pada tahun delapan puluhan sudah mulai ada jamaah yang terdiri dari para purnawiraan dari korps pasukan khusus tni angkatan darat dari grup dua kandang menjangan kartasura, yang membangun rumah disekitar masjid al fatah.sampai akhirnya ada keputusan dari kementrian agama ri untuk membangun kampus iain walisongo di surakarta, di desa pucangan kecamatan kartasura kabupaten sukoharjo. walaupun dalam kesederhanaan, masjid ini sangat strategis sebab terletak di pinggir jalan yang menuju kampus iain surakarta. selain itu, jalan tersebut juga menghubungkan antara jalan pasar kartasura menuju 141 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 kawasan smk muhammadiyah kartasura serta ke kelurahan ngemplak kartasuro bahkan bisa juga menuju ke stasiun gawok kecamatan gatak kabupaten sukoharjo. beberapa mahasiswa iain surakarta ada yang menunggu mata kuliah berikutnya di masjid al-fatah jika waktu selangnya cukup lama. selain itu, sambil menunggu waktu mata kuliah selanjutnya, mereka juga menunggu waktu zuhur. apalagi fasilitas air dan kipas angin yang membuat suasana masjid menjadi kondusif untuk salat ataupun untuk membaca mengulangi pelajaran yang mereka terima di bangku kuliah. atau bisa juga sambil mengulangi hafalan alquran yang mereka pelajari atau hafalan hadis yang mereka terima dari para dosen masing-masing. sebagai tanggung jawab pengelolaan masjid maka disusun struktur takmir masjid yang terdiri dari: a. penasehat : bp. drs. h. yusuf sunarto bp. dr. h. m. syakirin al ghozali, ma. bp. drs. h. wahyudi, m.pd. bp. h. sugiarto bp. drg. edi karyadi, mm. b. ketua 1 : bp. dr. m. shoim dasuki, m.kes. ketua 2 : bp. m. ari sarjono, s.far.,apt. jajaran pimpinan dibantu juga oleh sekretaris, bendahara, amaliah ibadah harian, seksi keamanan, kajian dan pendidikan, seksi keputrian, pengembangan sarana dan prasarana; dan seksi pemuda. dengan terbentuknya kepengurusan takmir masjid al fatah, maka secara otomatis kegiatannnya akan lebih tertib, baik yang menyangkut kegiatan rutin maupun kegiatan yang bersifat insidental. hal ini sesuai dengan pembicaraan di antara para jamaah masjid agar ke depannya semakin makmur dan berdaya guna dalam pemberdayaan bagi masyarakat sekitar. untuk mendukung tercapainya pendayagunaan tersebut, diadakan musyawarah untuk mengisi kegiatan sesuai dengan kondisi yang ada. pertama, kegiatan ibadah salat berjamaah lima waktu dalam sehari semalam, maka disusunlah imam salat rawatib yang rutin. selain itu, juga 142 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam dilakukan penjadwalan khatib dan imam salat jumat menurut weton jawa (jum’at pon, kliwon, pahing, wage dan legi). kedua, kegiatan tpa al-fatah dilaksanakan untuk mendidik dan mempersiapkan para kader dari warga masyarakat sekitar masjid al-fatah, maka pengurus menugaskan kepada para ustaz/ah. kegiatan tpa yang diselenggarakan oleh masjid al-fatah diadakan tiga kali dalam sepekan, yaitu setiap hari selasa, jumat dan ahad dari jam 15.30 wib 17.00 wib. para pesertanya adalah dari siswa/i sd dari para masyarakat sekitar masjid al-fatah. ketiga, kegiatan bulan ramadhan tahun 2017 masegi/ 1438 hijriyah antara lain mengadakan pawai menyambut bulan ramadhan dengan berkeliling kampung sambil membawa tulisan yang beraneka ragam yang isinya mengingatkan kepada semua bahwa sebentar lagi akan datang bulan ramadhan. tulisan tersebut merupakan dorongan masyarakat agar bisa mengisinya dengan berbagai kebaikan yang berdampak positif untuk pembangunan masyarakat yang berkeadaban. selain bulan ramadhan sebagai waktu latihan puasa “mbedhuk” (tradisi latihan puasa bagi anakanak yang belum mampu puasa sehari penuh, mereka dilatih puasa sampai waktu zuhur. mereka bisa berbuka pada waktu zuhur untuk selanjutnya boleh meneruskan puasanya sampai waktu maghrib). keempat, masjid al-fatah juga menyelenggarakan kegiatan pada bulan ramadhan antara lain dengan buka bersama dengan masyarakat sekitar setiap hari ahad sore yang disponsori oleh beberapa keluarga/ warga masyarakat secara bergantian. selain itu, setiap sore bagi anak anak (satriwan/wati) tpq akan mendapatkan takjilan yang berupa snack (jajanan/makanan nasi bungkus yang disponsori secara bergantian dari masyarakat sekitar). sedangkan khusus hari ahad mereka juga ikut bergabung dengan masyarakat untuk mendengarkan pengajian untuk memperkuat keimanan para jamaah masjid dan keluarga. sedangkan yang mengisi pengajiannya antara lain oleh ketua takmir masjid sendiri yaitu bapak dr. m. shoim dasuki. m.kes (dosen fakultas kedokteran ums). 143 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 selain itu juga ada h. m. syakirin al ghozali, ph.d (dosen fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta). selanjutnya juga diisi oleh prof. dr. bambang sumarjoko (guru besar ums) dan drg. edi kariadi mm, dosen fakultas kedokteran gigi ums). untuk memberikan motivasi bagi para peserta didik atau santriwan/wati selama bulan ramadhan, para ustaz/zah mengadakan lomba. hal ini sebagai salah satu bentuk evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar selama bulan ramadhan. kelima, kegiatan penyembelihan hewan kurban pada tahun 2017 masehi/1438 hijriyah. setiap tahun takmir masjid al-fatah menyelenggarakan kegiatan penyembelihan hewan qurban dari para jamaah masjid untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar masjid. dalam hal ini para pekorban dan panitia serta masyarakat sekitar dengan bersama-sama mengerjakan penyembelihan, pengulitan, pencacahan, dan pembagian sesuai dengan kebijakan yang diterapkan oleh panitia. semua masyarakat yang sudah didaftar oleh panitia akan mendapatkan bagian. sehingga kebersamaan dan kepedulian sesama jamaah masjid dan masyarakat sekitarnya menjadi semakin akrab. v. pembahasan untuk membangun masjid al-fatah yang awalnya memiliki luas 13 meter2 kali 15 meter2 menjadi 15 meter2 kali 17 meter2, tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. oleh karena itu, sumbangan dari berbagai pihak yang sampai kepada panitia pembangunan masjid al fatah, merupakan bukti bahwa para jamaah dan masyarakat sekitar sangat peduli terhadap adanya pembangunan tersebut. hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepedulian juga termasuk salah satu media pemersatu ummat. dari komposisi kepengurusan takmir masjid al-fatah, rt 02/01 kelurahan pucangan kecamatan kartasura kabupaten sukoharjo, jawa tengah, menunjukkan bahwa susunan pengurusnya mencerminkan keanekaragaman. ada yang mewakili masyarakat setempat, ada yang mewakili kaum muhajirin (pendatang baru). para pendatang baru ini 144 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam misalkan dari latar belakang mantan kopasus tni ad, ada yang dari komunitas akademisi, dan para mahasiswa serta siswa/i dari sekolah yang ada di sekitar masjid al-fatah. begitupun dari komposisi para pengajar/ustaz/zah tpq al fatah, maka dapat dilihat bahwa para mahasiswa yang tinggal di sekitar masjid al-fatah, ikut terpanggil untuk memberikan andilnya terutama dalam rangka ikut mencerdaskan anak bangsa, melalui jalur pendidikan yang diselenggarakan oleh masjid al-fatah. ini juga merupakan simbol kebersamaan dalam rangka memelihara dan merawat budaya adiluhung. telah disebutkan bahwa ciri-ciri orang yang berbudaya adalah mereka yang peduli kepada sesama, terutama kepada generasi penerus yang memerlukan uluran keilmuan yang sudah dimiliki. jadi secara tidak langsung ini juga memberikan informasi bahwa kebersamaan dan tanggung jawab merupakan sifat yang diajarkan oleh ajaran islam. komposisi imam salat rawatib juga sangat variatif. kondisi ini ditunjukkan dalam bentuk imam salat rawatib ditunjuk berdasarkan keterwakilan dari berbagai kesempatan. hal ini bukan berarti mengesampingkan persyaratan seseorang untuk menjadi imam salat rawatib. akan tetap, inovasi dari pengurus takmir masjid untuk mengakomodasi seluruh komunitas yang berada dalam agama islam. begitupun para khatib salat jumat, juga menunjukan keanekaragaman. vi. kesimpulan penelitian ini dilakukan untuk melihat peran masjid dalam suatu komunitas di daerah yang posisinya terletak di dekat dengan instalasi militer, kampus, dan masyarakat yang sangat heterogen. beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut : pertama, masjid merupakan suatu tempat yang sangat dimuliakan oleh umat islam dimanapun berada. untuk itu keberadaannya sangat memberikan suasana yang sangat istimewa, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh baginda rasululllah saw ketika di madinah al-munawarah. 145 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 kedua, masjid al-fatah di rt 02/01 kelurahan pucangan, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo, jawa tengah, memiliki beberapa peran dan fungsi. misalkan, fungsi untuk pendidikan, konsolidasi sosial keumatan melalui aktifitas kajian yang diselenggarakan setiap hari selasa dan setiap hari kamis. agenda ini adalah bukti bahwa masjid sebagai lembaga keagamaan sudah berfungsi dengan baik. ketiga, pemberian peran dari berbagai latar belakang komunitas yang ada di masyarakat untuk memakmurkan masjid al-fatah. sebab dengan keikutsertaan semua komponen yang ada di masyarakat, maka secara tidak langsung akan mengurangi ketegangan, dan sekaligus akan memperkuat persatuan umat. keempat, taman pendidikan qur’an (tpq) yang diselenggarakan oleh masjid al-fatah adalah suatu ikhtiar dari takmir agar regenerasi kaum muslimin bisa berjalan dengan lancer. dengan demikian, tidak ada kesenjangan karena sejak dini mereka selalu akrab dengan masjid sebagai pusat kegiatan yang sangat positif. hal ini sekaligus juga menanamkan jiwa ukhuwah islamiyah sejak dini, sehingga ketika mereka sudah menginjak usia remaja dan menjadi dewasa mereka sudah saling kenal dan akrab yang dimulai dari masjid sebagai simbol persatuan umat islam. daftar pustaka abdzar d, m. (2012). revitalisasi peran masjid sebagai basis media dakwah kontemporer. jurnal dakwah tabligh, vol. 13, no. 1, juni 2012, 109 121. ahmad, h. (2014). revitalisasi masjid produktiif. tajdid vol. xii, no. 2, juli-desember 2014, 365-392. alqaradhawi, y. (2000). al dhawabit al syar’iyah libinai al masajid (tuntunan membangun masjid). jakarta: gema insani press. alwi, m. m. (2015). optimalisasi fungsi masjid dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. al-tatwir, vol. 2, no. 1 oktober 2015, 113152. amin, m. (2012). konsep dakwah melalui program posdaya berbasis 146 syakirin – peran masjid dalam mempersatukan umat islam masjid. jurnal dakwah tabligh, vol. 13, no. 1, juni 2012, 97 108. anshari, f. (1984). konsepsi masyarakat islam modern. bandung: arrisalah. basit, a. (2009). strategi pengembangan masjid bagi generasi muda. komunika vol. 3, no. 2, juli-desember 2009, 270-286. creswell, j. w. (2010). research design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. yogyakarta: pustaka pelajar. dalmeri. (2014). revitalisasi fungsi masjid sebagai pusat ekonomi dan dakwah multikultural. walisanga, vol. 22, no. 2, november 2014, 321-350. gazalba, s., & masyhar, m. a. (1971). masjid pusat pembinaan ummat. jakarta: pustaka antara. herdiansyah, h. (2013). wawancara, observasi dan focus group: sebagai instrumen penggalian data kualitatif. jakarta: rajawali press. husain, h. y. (2007). fikih masjid. jakarta: al-kautsar. khaeruman, b. (2005). islam dan pemberdayaan umat. bandung: pustaka setia. lp2m iain surakarta. (2017). panduan kuliah kerja nyata transformatif berbasis masjid. surakarta: iain surakarta. mahmud, a. a. (1976). al masjid wa atsaruhu fi al mujtama’ al islami. kahira: dar al-ma’ arif. mahmud, m. e., & zamroni. (2014). peran masjid dalam pengembangan pendidikan agama berwawasan multikultural pada masyarakat (studi multi situs di masjid raya darussalam, masjid baitul muttaqien islamic center kalimantan timur). fenomena, vol. 6, no. 1, 2014, 155-170. moleong, l. j. (2001). metodologi penelitian kualitatif. bandung: remaja rosdakarya. mudofir. (2017, juli 24). sambutan rektor iain surakarta pada acara rapat pleno senat institut di ruang rapat senat iain surakarta. (s. al-ghozali, interviewer) rohani. (2017, agustus 18). wawancara kepada mantan koppasus yang menjadi imam masjid. (s. al-ghozali, interviewer) sarjono, a. (2017, agustus 25). wawancara sejarah masjid. (s. al-ghozali, interviewer) soekanto, s. (2009). sosiologi suatu pengantar. jakarta: rajawali press. 147 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 127 148 sukur, f. (2014). masjid semarang dalam pertarungan ruang sosialbudaya. ibda’, jurnal kebudayaan islam, vol. 12, no. 1, januari-juni 2014, 40-49. sulthon, m. (2003). desain ilmu dakwah. yogyakarta: pustaka pelajar. supardi, & amiruddin, t. (2001). manajemen masjid dalam pembangunan masyarakat. yogyakarta: uii press. sutomo, i. (2014). implementasi nilai religiusitas dan toleransi dalam pemberdayaan masyarakat pada jamaah masjid al-hikmah sidomukti salatiga. inferesi, jurnal penelitian sosial keagamaan, vol. 8, no. 1, juni 2014, 93-114. virga, r. l. (2016). literasi iklan rokok dan perilaku konsumtif remaja melalui pemberdayaan remaja masjid. profetik jurnal komunikasi, vol. 9, no. 2, oktober 2016, 33-44. zulfa, m. (2015). transformasi dan pemberdayaan umat berbasis masjid: studi pada masjid nurussa’adah salatiga. inferensi, jurnal penelitian sosial keagamaan, vol. 9, no. 1, juni 2015, 257-278. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 editorial team alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh editor-in-chief imam mujahid, institut agama islam negeri surakarta editor waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 daftar isi astri fajar atikasari, vera imanti 1 24 model dakwah milenial untuk homoseksual melalui teknik kontinum konseling berbasis alquran khilman rofi azmi 25 58 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin 91 120 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani 141 168 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim 59 90 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana 121 140 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah1 kannisa ayu juliana2 universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta keywords: digital literacy; disruption era; hoax http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: nikmahtsaniyah22@gmail.com kannisaayujuliana@gmail.com abstract one of the big problems facing this nation is the spread of hoaxes or fake news. this was triggered partly because of the strengthening of the post truth phenomenon and the ease of disseminating information through social media and conversation applications such as whatsapp. this study intends to describe the use of digital literacy to counteract hoaxes in the era of disruption. this era was marked by information flooding, rapid and deep-seated changes, and the use of very high internet-based technology. the literature review is used as this research method. the conclusion of this study is that hoaxes can be resisted by developing massive digital literacy skills. digital literacy skills include eight essential elements: cultural (understanding context), cognitive (expanding mind), constructive (creating positive things), communicative (capable of communicating and networking), confident (confident and responsible), creative (doing new things), critical (critically addressing content), civic (supporting the realization of civil society). the development and strengthening of digital literacy can be done especially in schools, campuses, and other educational institutions. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 122 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa ini adalah merebaknya hoaks atau berita palsu. hal tersebut dipicu antara lain karena menguatnya fenomena post truth dan kemudahan menyebarkan informasi melalui media sosial dan aplikasi percakapan seperti whatsapp. penelitian ini bermaksud menggambarkan penggunaan literasi digital untuk menangkal hoaks di era disrupsi. era tersebut ditandai dengan banjir informasi, perubahan yang cepat dan mengakar, serta penggunaan teknologi berbasis internet yang sangat tinggi. kajian literatur digunakan sebagai metode peneltian ini. kesimpulan dari penelitian ini adalah hoaks dapat ditangkal dengan mengembangkan kemampuan literasi digital secara masif. kemampuan literasi digital meliputi delapan elemen esensial: cultural (memahami konteks), cognitive (meluaskan pikiran), constructive (menciptakan hal positif), communicative (cakap berkomunikasi dan berjejaring), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal baru), critical (kritis menyikapi konten), civic (mendukung terwujudnya civil society). pengembangan dan penguatan literasi digital dapat dilakukan terutama di sekolah, kampus, dan lembaga-lembaga pendidikan lain. kata kunci: era disrupsi; hoaks; literasi digital how to cite (apa 6th style): tsaniyah, n., & juliana, k. a. (2019). literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 121–140. https://doi.org/10.22515/balagh.v4i1.1555 pendahuluan setiap aspek kehidupan selalu terdapat permasalahan. permasalahan yang paling sering menjadi pembahasan saat ini dan memiliki dampak yang besar adalah hoaks. masyarakat anti fitnah indonesia (mafindo) melaporkan pada januari 2019 ditemukan 109 hoaks, dengan rincian 58 hoaks politik, 7 hoaks kriminalitas, dan 19 bertema lain. jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan jumlah hoaks pada desember 123literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 2018, yakni 88 hoaks (sani, 2019). sebelumnya, masih menurut mafindo, sepanjang 2018 terdapat 997 hoaks yang tersebar dan hampir setengahnya bertema politik (samodro, 2019). data yang disampaikan mafindo menjadi semacam peringatan bagi setiap orang perihal masifnya hoaks yang tersebar dan bahaya yang mengikutinya. hoaks secara sederhana dimaknai sebagai berita bohong, berita yang tidak sesuai dengan kenyataan. biasanya, berita tersebut tampil dengan kalimat bombastis, cenderung dibesar-besarkan. seolah mengandung informasi yang benar, padahal kenyataannya tidak. ali (2017)menuliskan bahwa meningkatnya persebaran hoaks di indonesia adalah ketika media sosial semakin banyak digunakan oleh masyarakat. hoaks yang cukup sering beredar adalah hoaks bertema politik. salah satu contoh hoaks bertema politik adalah hoaks yang tersebar pada pemilihan gubernur dki jakarta 2017. sebuah riset mencatat bahwa dari 15 hoaks, 14 di antaranya menyerang calon gubernur petahana, basuki tjahja purnama (ahok). hoaks politik selama pemilihan gubernur dki jakarta 2017 secara umum berisi tentang para kandidat yang berlaku curang atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin (utami, 2018). senada dengan riset tersebut, hoaks disebut sebagai alat kampanye dan propaganda pada pemilihan gubernur dki jakarta 2017. media sosial menjadi ladang persebaran hoaks. jika tidak ditangani dengan baik, hoaks dapat memicu konflik (sutantohadi & wakhidah, 2017). tidak hanya di indonesia, hoaks juga beredar pada pemilu amerika serikat tahun 2016. hal ini terungkap pada penelitian yang menyatakan bahwa pada pemilu amerika serikat tahun 2016, hoaks paling banyak dibagikan di media sosial facebook (allcott & gentzkow, 2017). beritaberita palsu yang populer lebih banyak mengenai kebaikan trump dibanding hilary. maka, tak mengherankan jika sejumlah pakar mengatakan kemenangan trump adalah karena bantuan berita palsu/hoaks. 124 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mengapa hoaks begitu marak dan masif tersebar akhir-akhir ini? kiranya terdapat banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. namun, salah satu jawaban yang dapat diajukan adalah karena penggunaan internet (khususnya media sosial) yang semakin tinggi. hal tersebut menjadi penanda era disrupsi. disrupsi memantik lahirnya pola interaksi baru yang dianggap lebih inovatif dan masif. disrupsi mengubah banyak hal, mulai dari pendidikan, politik, usaha, perbankan, transportasi, hingga perilaku dan sikap beragama (bashori, 2018). berkaitan dengan disrupsi, terdapat sejumlah ciri disrupsi, misalkan teknologi mengubah manusia dari peradaban time series menjadi real time. statistik time series atau deret berkala merupakan data yang digunakan untuk menginterpolasi data-data masa lalu sehingga dapat digunakan untuk memprediksi masa depan (putra, 2018). berbeda dengan zaman sekarang, ketika setiap sesuatu menjadi serba real time. data dapat seketika terolah dalam big data serta secepat itu pula disimpulkan dan ditindaklanjuti. ciri lain dari era disrupsi adalah masyarakat hidup pada era aset-aset konsumtif terbuka untuk digunakan secara bersama, saling berbagi dan berkolaborasi tanpa harus memiliki sumber daya sendiri. teknologi masa lalu tidak memungkinkan untuk mendapatkan dan melakukan sesuatu dengan segera, harus melalui antrean sehingga membutuhkan waktu. berbeda dengan saat ini, konsumen dapat memperoleh setiap hal yang dibutuhkan pada waktu itu juga. teknologi dan pemanfaatan big data memungkinkan terjadinya kondisi tersebut (putra, 2018). melihat ciri-ciri disrupsi dapat disimpulkan betapa cepat perubahan dunia. termasuk dalam hal cara berkomunikasi di dunia digital yang dalam hal ini ditopang media sosial. selain menyimpan peluang yang besar, media sosial tentu juga membawa tantangan tersendiri. data masyarakat telematika indonesia (mastel) menyebutkan hoaks paling banyak tersebar di media sosial (librianty, 2017). sebagian orang menganggap media sosial adalah sebuah wilayah tanpa batas. sehingga, setiap orang merasa 125literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bebas melakukan apa saja, termasuk menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. tidak mengherankan apabila beberapa orang dengan mudah membagikan hoaks dan menyebarkan ujaran kebencian di media sosial (herawati, 2016). bicara media sosial, sebetulnya telah dikenal istilah netiquette, yang dapat diartikan sebagai etika berkomunikasi yang diimplementasikan di internet (nasrullah, 2015). prinsip, aturan, norma, dan etika komunikasi (konvensional) seharusnya juga diimplementasikan atau diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi di dunia maya atau media sosial. permasalahan yang muncul dari penggunaan media sosial saat ini antara lain adalah persepsi sebagian pengguna yang membuat dikotomi atau pembagian yang ketat antara dunia maya dan dunia nyata. mereka menganggap bahwa di balik setiap sesuatu yang bersifat virtual dan anonimitas seorang pengguna dapat berbuat semaunya, termasuk mencaci maki, melakukan perisakan (cyber bullying), menebar ujaran kebencian (hate speech), dan menyebar kabar bohong (hoax). terdapat banyak jenis media sosial, misalkan facebook, twitter, instagram, dan whatsapp. media sosial, atau dalam hal ini media berbasis aplikasi percakapan instan (whatsapp misalnya), juga menjadi arena persebaran hoaks. hal ini dapat dilihat pada riset yang menyoal cara perempuan memproses pesan hoaks penculikan anak di aplikasi whatsapp. perempuan cenderung memiliki motivasi yang tinggi untuk memproses pesan yang diterima karena mereka merasa terlibat dengan masalah tersebut. meskipun demikian, motivasi untuk mengeksplorasi beragam argumen dan menikmati pemikiran kritis seringkali diabaikan. dalam hal kemampuan, perempuan mampu berpikir kritis, tetapi pesan-pesan tentang penculikan anak cenderung bias oleh respons emosional daripada analisis atau kritik terhadap konten pesan. jadi, ketika mereka menerima pesan hoaks tentang penculikan anak, mereka akan lebih mudah tergoda untuk mengirimnya lagi ke yang lain. mereka menganggap seolah-olah tidak ada yang akan dirugikan karena ini tentang kemanusiaan (ilahi, 2018). 126 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana menangkal hoaks atau informasi bohong di era yang bergerak sedemikian cepat ini? terdapat banyak cara yang dapat dilakukan, di antaranya meningkatkan literasi masyarakat melalui peran aktif pemerintah, pemuka masyarakat dan komunitas, menyediakan akses yang mudah kepada sumber informasi yang benar atas setiap isu hoaks, melakukan edukasi yang sistematis, dan berkesinambungan serta tindakan hukum yang efektif bagi penyebarnya (rahadi, 2017). pemerintah juga bisa mendukung komunitas anti hoaks yang sudah ada. salah satu komunitas yang telah eksis adalah forum anti fitnah, hasut, dan hoaks (fafhh). sebuah riset mencatat dalam grup fafhh, setiap orang dapat berpartisipasi dengan bertanya dan mengklarifikasi informasi yang diterimanya. kategori pesan yang saling dibagi adalah informasi dengan beragam topik. beberapa informasi yang terlihat seperti sebuah kebenaran dan bukan hoaks, setelah didiskusikan dan ditelusuri asal muasal serta dikaji dengan menggunakan berbagai rujukan yang terpercaya, ternyata termasuk kategori disinformasi, artinya bahwa penjelasan informasi tersebut kurang tepat. anggota fafhh cenderung mempunyai pemaknaan yang hampir sama terhadap sebuah pesan yang diterima, terlebih lagi apabila berkaitan dengan hoaks (juditha, 2018). apabila bicara peran pemerintah, pada mulanya pemerintah memilih untuk mengambil jalan pintas dengan memblokir web yang diduga sering menyebarkan hoaks, provokasi, dan fitnah. namun, langkah tersebut dinilai kurang tepat. kemudian, pemerintah melakukan beberapa strategi lain untuk mencegah semakin merebaknya hoaks. pemerintah membentuk lembaga nasional yang bertugas mengelola seluruh kegiatan siber yang melibatkan dan membawa dampak serta pengaruh bagi individu, organisasi, maupun perusahaan di indonesia. pemerintah juga mengadakan dan menjalin kerjasama dengan dewan pers dan facebook, untuk membantu menangkal penyebaran hoaks (siswoko, 2017). 127literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) selain mengharapkan peran pemerintah, masyarakat sipil tentu saja dapat menghimpun diri dan melakukan sejumlah gerakan penanggulangan hoaks. hal itu seperti yang dilakukan masyarakat anti fitnah indonesia (mafindo) selama ini. mafindo menggunakan strategi crowdsourcing dalam membatasi peredaran hoaks di indonesia. partisipasi masyarakat menjadi penting dalam pelaksanaan strategi crowdsourcing. meski dinilai efektif, strategi crowdsourcing yang bersifat terbuka memiliki kekurangan. kekurangan tersebut di antaranya kemungkinan adanya penyusup dan rendahnya komitmen anggota (silalahi, bestari, & saputra, 2017). pada kajian yang lebih luas, literasi media dipercaya sebagai solusi atas masalah hoaks. jalan utama untuk menanggulangi hoaks adalah dengan membangun kompetensi publik dalam menghadapi banjir informasi. usaha membangun kompetensi publik dilakukan melalui literasi media (gumilar, adiprasetio, & maharani, 2017). misalkan, literasi media dapat diberikan kepada setiap orang yang duduk di bangku sma, sebagai kelompok usia yang mengunakan gawai secara intens. penggunaan gawai di kalangan anak muda hendaknya mendapatkan perhatian dari keluarga. tujuannya adalah tentu agar mereka dapat memanfaatkan gawai dengan baik dan berdampak positif (kurniawati & baroroh, 2016). para pengguna gawai berusia muda itu diarahkan untuk tidak menggunakan gawai sebagai piranti mengakses pornografi, tidak merisak sesama teman di media sosial, tidak menyebarkan kebohongan dan kebencian. sejak dini mereka dibentuk untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dengan gawai yang mereka gunakan. sebab lingkungan keluarga punya andil dan pengaruh besar dalam masa tumbuh kembang mereka. literasi media bahkan dianggap belum memadai untuk menghentikan hoaks sehingga, perlu dipadukan dan diintegrasikan dengan meningkatkan pemahaman agama (aliasan, 2017). berkenaan dengan hoaks dan pemahaman agama, islam sebetulnya memiliki konsep tabayun 128 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) atau verifikasi. artinya, jika seseorang telah memiliki pemahaman agama islam yang cukup mendalam, semestinya ia menjauhkan diri dari menyebar informasi yang masih simpang siur atau belum jelas kebenarannya. ia akan mengecek berulang kali informasi yang meragukan. sebab ia tahu jika hoaks sama berbahayanya dengan fitnah. upaya penanggulangan hoaks juga dapat dilakukan dengan caracara yang populer, misalnya dengan membuat komik strip (saputro & haryadi, 2018). komik strip dianggap efektif karena merupakan medium yang dekat anak muda dan mudah disebarkan di dunia maya (media sosial). hasil penelitian menunjukkan pengguna media pada kelompok usia 15-30 tahun memiliki keecenderungan yang lebih tinggi dalam mengonsumsi dan mempercayai berita bohong atau hoaks (manalu, pradekso, & setyabudi, 2018). maka, sudah seyogyanya kampanye anti hoaks dikemas dengan cara-cara atraktif dan selaras dengan perkembangan zaman. perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan, dapat pula turut serta melakukan perang melawan hoaks. misalnya, seperti yang dilakukan program studi ilmu komunikasi universitas islam negeri yogyakarta dengan program aduin (advertising uin sunan kalijaga) fest 2017 “nyepik becik” (pikirkan apa yang kamu katakan) (astuti, 2017). karya kreatif yang dihasilkan pada kegiatan tersebut untuk melawan hoaks antara lain berupa print-ad, tvc, dan film pendek. program tersebut juga berisikan sejumlah acara pendukung, yaitu awarding night, sharing session, pameran karya, dan seminar. inisiatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan merancang web klarifikasi berita (firmansyah, 2017). kecanggihan teknologi yang berpadu dengan ketersediaan sumber daya manusia memungkinkan perancangan web untuk mengklarifikasi informasi yang masih diragukan kebenarannya. semakin banyak masyarakat terlibat dalam penangangan hoaks tentu semakin baik. pasalnya, apabila hanya mengandalkan peran pemerintah saja tentu tidak memadai untuk melemahkan hoaks di era disrupsi seperti saat ini. 129literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sejumlah riset mengenai hoaks dan langkah-langkah penanganannya telah dilakukan. hanya saja belum terdapat riset yang secara spesifik membahas penanganan hoaks dengan literasi digital. kebaruan yang dihadirkan penelitian ini adalah mengenai literasi digital sebagai solusi masalah hoaks yang sudah sedemikian mengkhawatirkan. literasi digital yang dimaksud adalah literasi digital yang dijalankan secara kontinu, bukan artifisial dan simbolis. penelitian-penelitian terdahulu perihal literasi digital telah dilakukan. salah satunya adalah penelitian yang menyebut bahwa literasi digital yang baik dapat berpengaruh pada kondisi psikologis remaja dan anak-anak (pratiwi & pritanova, 2017). jika literasi digital diberikan secara tepat dimungkinkan dapat mencegah remaja dan anak-anak untuk melakukan hal-hal negatif di dunia maya, seperti menghina orang lain, berbahasa tidak sopan, merisak, dengki, menyebar informasi palsu, dan hal-hal negatif lain. literasi digital dalam arti sempit, yakni mampu mengoperasikan secara optimal teknologi digital. pembahasan tersebut dapat dibaca dalam penelitian mengenai hubungan literasi digital dan self directed learning mahasiswa (akbar & anggaraeni, 2017). dapat pula dibaca pada penelitian tentang literasi digital dan penggunaan media sosial oleh anak remaja (stefany, nurbani, & badarrudin, 2017). pada dua penelitian tersebut literasi digital berada pada ranah praktis, belum mencakup makna literasi digital dengan semangat kritisisme di dalamnya. penelitian lain menemukan literasi digital telah memberikan dampak positif bagi pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan dalam menggunakan media sosial yang kini menjadi sumber informasi khalayak, terutama generasi muda (silvana & darmawan, 2018). generasi muda dianggap sebagai generasi yang rentan dalam menyalahgunakan media sosial dan internet, mengingat interaksi mereka yang intens dengan sosial media. mereka diharapkan dapat memahami pesan-pesan yang tersebar di media sosial yang memiliki lapis-lapis makna. di sanalah peran literasi digital dibutuhkan. 130 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) literasi digital dianggap mutlak diberikan agar media baru (internet) benar-benar menghadirkan manfaat bagi penggunanya (rianto, 2016). terlebih lagi jika berkaca pada kenyataan bahwa individu-individu di masa sekarang sangat aktif dalam mencari informasi. pada satu sisi, keaktifan dalam mencari informasi tersebut adalah suatu sikap yang baik. akan tetapi, apabila tanpa bekal literasi digital yang cukup, individu-individu yang aktif mencari informasi itu berpotensi tersesat. melalui literasi digital diharapkan masyarakat tidak hanya berlaku kritis dalam mengakses informasi dan tidak hanya bersandar pada satu sumber informasi (perspektif tunggal) (rianto, 2016). mencermati penelitan terdahulu tentang literasi digital seperti yang sudah dibahas tersebut, terlihat belum adanya penelitian yang secara khusus membahas literasi digital dalam kaitannya dengan hoaks. fokus penelitian ini adalah tentang pemanfaatan literasi digital untuk penanggulangan hoaks di era disrupsi. bagaimanapun, kabar bohong sudah disebarkan sejak dahulu kala, dengan medium berbeda-beda. internet yang membawa arus besar gelombang informasi menjadikan era disrupsi ini banjir dengan pelbagai macam berita, termasuk berita bohong atau hoaks. metode penelitian riset ini adalah riset kualitatif deskriptif. studi pustaka dipilih sebagai metode pengumpulan data. menggunakan cara tersebut peneliti ingin menggambarkan penggunaan literasi digital untuk menangkal hoaks di era disrupsi. peneliti menggunakan buku, catatan, laporan, koran, majalah, jurnal dan internet yang sesuai dengan tema riset ini sebagai rujukan. setelah data yang diperoleh dianggap memadai, selanjutnya data diolah untuk kemudian disimpulkan. 131literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hasil penelitian dan pembahasan delapan elemen esensial literasi digital belshaw (2011) merumuskan delapan elemen esensial literasi digital, yakni cultural (memahami konteks), cognitive (meluaskan pikiran), constructive (menciptakan hal positif), communicative (cakap berkomunikasi dan berjejaring), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal baru), critical (kritis menyikapi konten), dan civic (mendukung terwujudnya civil society). elemen cultural dapat dimaknai dengan kemampuan memahami beragam macam konteks digital. misalnya, seorang mahasiswa yang mampu mengikuti perkuliahan dengan metode e-learning. atau, contoh yang lebih sederhana, seseorang dapat berkomunikasi dengan teman dan koleganya melalui facebook. ringkasnya, hal ini terkait masalah teknis, tentang “melek internet”. artinya, dengan literasi digital diharapkan sesorang tidak gagap di hadapan internet dengan segala varian dan perkembangannya yang cepat. selanjutnya adalah cognitive atau yang dapat diartikan sebagai sikap memperluas cakrawala berpikir. elemen ini merupakan elemen dasar dari literasi. sudah semestinya literasi mampu meluaskan pikiran seseorang. luasnya cakrawala berpikir menuntun orang untuk semakin berhati-hati dalam bertindak. jika dikaitkan dengan konteks digital, sebagaimana diketahui dunia digital dan media sosial menyimpan permasalahan yang kompleks. tidak hanya hoaks, namun juga radikalisme, ujaran kebencian, cyberbullying, kecanduan gadget, pornografi, cyber crime, dan sejenisnya. berbekal luasnya pengetahuan, seseorang akan menjadi lebih terlindungi ketika memanfaatkan internet. constructive atau menciptakan hal positif, berarti melakukan halhal bermanfaat dengan perantara internet. bagaimanapun, internet adalah sesuatu yang bebas nilai sehingga, positif dan negatifnya internet 132 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kembali kepada pengguna. oleh karena itu, literasi digital berupaya terus mendorong para pengguna untuk menciptakan hal positif. pada konteks indonesia, dapat ditemukan sejumlah orang telah memanfaatkan internet untuk hal-hal konstruktif. kemunculan gerakan filantropi yang digerakkan di media sosial adalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh. adapun elemen communicative, confident dan creative memiliki makna jika seseorang telah terliterasi secara digital maka, ia hendaknya mampu bekomunikasi dengan baik, bertanggung jawab, dan mampu menghadirkan inovasi. sedangkan, elemen critical mensyaratkan pengguna internet tidak hanya menggunakan jempol dalam mengoperasikan gawai atau laptop namun, juga mengaktifkan nalar kritisnya. terakhir, civic berarti internet mampu dijadikan alat untuk menciptakan masyarakat madani atau tatanan sosial yang lebih baik. delapan elemen literasi digital yang dikemukakan belshaw(2011) tersebut dapat menjadi pijakan untuk memahami mekanisme atau cara kerja literasi digital. pada perkembangannya, literasi digital dapat dimanfaatkan untuk sejumlah kepentingan. literasi digital untuk membendung radikalisme, menangkal cyberbullying, menanggulangi hoaks, dan sebagainya. pada penelitan ini dijabarkan tentang proses literasi digital yang dimanfaatkan untuk menangkal hoaks di era disrupsi. sejumlah pakar berbeda pendapat terkait permasalahan atau fenomena laju teknologi dan pola komunikasi di internet (media sosial). wilhem membagi perbedaan pendapat tersebut menjadi tiga perspektif, yaitu utopian, dystopian dan technorealism. pandangan utopian menganggap bahwa internet berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan dan perilaku manusia. internet dinilai memberikan arah dan cara baru dalam berkomunikasi. adapun kelompok dystopian menganggap bahwa internet telah menyebabkan kekacauan komunikasi manusia, mengaburkan nilainilai, serta merusak ikatan emosional (berpengaruh hingga dunia nyata). sedangkan kelompok technorealism mengambil sikap di antara kedua 133literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kelompok tersebut. kata kunci penting dari kelompok ini adalah “kritik”. ini berarti internet dan segala pernak-perniknya dapat diterima, tetapi kritik tetap harus diberikan (nasrullah, 2015). mengacu pada pembagian pandangan terhadap internet dan media sosial, kiranya cara pandang technorealism sejalan dengan gerakan literasi digital. keduanya sama-sama melakukan kritik terhadap penggunaan media sosial dan internet. internet tidak ditolak mentah-mentah, tidak pula diikuti habis-habisan. sisi positif dan negati internet dihadapi dengan kritisisme dan bekal pengetahuan yang memadai. implementasi literasi digital untuk menangkal hoaks di era disrupsi salah satu elemen esensial literasi digital adalah critical atau kritis dalam menyikapi konten. elemen ini menjadi elemen yang paling menentukan dalam menangkal hoaks. kritis artinya tidak menelan mentahmentah informasi yang didapat dari internet, termasuk di media sosial dan aplikasi percakapan. pada praktiknya, pengguna internet dipantik untuk selalu kritis dan skeptis, terutama pada konten-konten yang bersifat terlalu bombatis, kurang masuk akal, dan bernuansa kebencian. sebab bisa jadi konten yang demikian mengandung hoaks atau informasi manipulatif. sejak kapan literasi digital yang berbasis kritisime diberikan? hendaknya sedini mungkin, terlebih saat ini kita mudah menemukan kanak-kanak yang sudah terbiasa mengoperasikan gawai yang terkoneksi internet. menangkal hoaks juga berkaitan dengan pendidikan karakter. anak-anak mesti dilatih jujur sedari kecil. peran guru dan orangtua sangat penting pada fase itu. perkembangan teknologi yang ditandai dengan menguatnya penggunaan media sosial telah banyak mengubah pola komunikasi dan pengetahuan digital pada anak-anak dalam keluarga. terlebih pada anakanak yang tumbuh di era digital seperti sekarang ini. mereka menggunakan 134 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gawai yang kadang tanpa pengawasan orang tua. oleh karena itu, diperlukan berbagai langkah untuk merespons fenomena tersebut, salah satunya adalah dengan gerakan literasi digital. gerakan itu tidak sebatas mengenalkan anak-anak pada dunia maya, tetapi juga mengajarkan anakanak untuk bisa ikut mereproduksi atau menciptakan konten-konten kreatif dan positif. diperlukan peran aktif orang tua mendukung gerakan literasi digital bagi anak (alia & irwansyah, 2018; sunita & mayasari, 2018). para orang tua harus lebih banyak menyediakan waktu khusus, ketika anak-anaknya mengunakan gawai dan berselancar di internet. para orang tua harus bisa memberikan penjelasan tentang berbagai perilaku kreatif yang dapat dilakukan hingga berbagai aspek yang harus dihindari dari pengunaan teknologi infromasi. termasuk kemudian ikut aktif memilah dan memilih fitur-fitur teknologi mana saja yang bermanfaat dan mana yang harus dihindari oleh anak-anaknya. sehingga, para orang tua bisa terlibat aktif menerapkan proses verifikasi sebelum membagikan konten. ini selaras dengan elemen communicative, confident dan creative seperti yang dikemukakan belshaw (2011). selanjutnya, orang dapat pula menyisipkan pesan-pesan moral tentang kejujuran ketika mendampingi anak (putri, 2018). orang tua menjelaskan kepada anak-anak tentang bahaya menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. hal tersebut merupakan wujud pengembangan elemen cognitive dan constructive belshaw (2011). sejak awal anak-anak harus diberi pengetahuan bahwa hal yang utama bukanlah bisa mengetahui cara mendapatkan informasi namun mengetahui cara menyeleksi informasi sesuai kebutuhan. pada tataran yang lebih formal, literasi digital perlu dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah. gagasan tersebut berkaca dari besarnya tantangan yang akan dihadapi peserta didik/generasi muda di era digital. sebagaimana disebutkan di awal, geenrasi muda tidak 135literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hanya berhadapan dengan hoaks, tapi juga ujaran kebencian, radikalisme, cyberbullying, dan sejenisnya. maka, bekal literasi digital mutlak untuk mereka miliki (silvana & darmawan, 2018; wahono & effrisanti, 2018). sehingga, kita tidak lagi mendengar kasus remaja bunuh diri karena depresi setelah dirisak di instagram atau menjadi korban penculikan setelah berkenalan di facebook atau dipenjara karena menyebar berita palsu atau diamankan pihak kepolisian karena mencaci kepala negara di media sosial. meski berbasis kritisisme, secara mendasar, literasi digital berkaitan dengan “melek internet”. perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat berdampak pada penelusuran sumber informasi berbasis digital sebagai sebuah pekerjaan yang cukup rumit bagi pengguna yang belum terbiasa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. maka, hal-hal teknis dan elementer harus sudah selesai terlebih dahulu. sebelum nantinya bergerak ke elemen-elemen berikutnya. pada level nasional, pihak-pihak terkait semestinya mengambil bagian dalam gerakan literasi digital. sayangnya, sampai sekarang belum banyak pihak yang secara serius fokus mengelola literasi digital. salah satu lembaga yang paling bertanggung jawab dalam gerakan literasi digital adalah kementerian komunikasi dan informatika (kemenkominfo). hari ini, kemenkominfo bekerja sama dengan sejumlah lembaga menginisiasi laman literasidigital.id. pada laman tersebut tersedia buku-buku tentang literasi digital yang dapat diunduh gratis. di antara judul-judul buku itu adalah: internet sehat pedoman berinternet sehat, aman, nyaman dan bertanggungjawab, kerangka literasi digital indonesia, kajian dampak media sosial bagi anak dan remaja, eksploitasi seksual pada anak online, sebuah pemahaman bersama, literasi digital keluarga, antisipasi hoaks, digital parenting: mendidik anak di era digital. tersedia pula video dan inforafis yang mudah diakses. upaya yang dilakukan kemenkominfo beserta lembaga-lembaga pendukung tersebut kiranya dapat direplikasi oleh lembaga lain. medium yang dipilih literasidigital.id sangat tepat untuk generasi muda, terutama 136 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yang berupa video dan infografis. dua medium itu merupakan medium yang dekat dan disukai generasi muda hari ini. literasi digital diibaratkan sebagai vaksin untuk menjaga daya tahan tubuh (heryanto, 2017). sedangkan, hoaks seperti penyakit yang bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. jika telah diberi vaksin, seseorang setidaknya menjadi lebih terlindungi dari pelbagai penyakit. demikian juga dengan hoaks dan literasi digital. saat tameng literasi digital sudah disiapkan, harapannya hoaks tidak dapat menyerang masuk. berpegang pada literasi digital, diharapkan seseorang mampu menyaring sebuah informasi, apakah informasi itu masuk akal atau tidak; punya landasan argumentasi, data, fakta atau tidak. kesimpulan dan saran kesimpulan kesimpulan dari penelitian adalah bahwa literasi digital bukan hanya perkara “melek internet” atau cakap memanfaatkan internet (untuk berkomunikasi, jual-beli, mengunduh referensi, dan sebagainya), tapi juga tentang kemampuan memilah berita/informasi. era disrupsi yang ditandai dengan banjir informasi menjadikan filter informasi tidak semudah era sebelumnya ketika internet belum digunakan secara masif. sehingga tidak mengherankan jika hoaks begitu mudah tersebar di masa sekarang yang pada tataran tertentu dapat memecah belah masyarakat, mengingat sifat hoaks yang destruktif. salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menangkal hoaks adalah dengan mengembangkan delapan elemen esensial literasi digital, yakni cultural (memahami konteks), cognitive (meluaskan pikiran), constructive (menciptakan hal positif), communicative (cakap berkomunikasi dan berjejaring), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal baru), critical (kritis menyikapi konten), civic (mendukung terwujudnya civil society). pengembangan literasi digital dapat menyasar 137literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) anak-anak muda, sebagai kalangan yang banyak memanfaatkan internet (sosial media). pengembangan tersebut kiranya dapat dilakukan di sekolah, universitas dan lain-lain. misalnya, dengan menjadikan literasi digital sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah. saran berdasarkan hasil penelitian tersebut, dirumuskan saran untuk beberapa pihak. pertama, peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait efektivitas dan dampak dari literasi digital, baik dengan pendekatan kuantitatif, eksperimen, maupun kualitatif. kedua, institusi pendidikan dapat merancang suatu kegiatan yang memuat komponen pembelajaran literasi digital. ketiga, meningkatkan edukasi terhadap orang tua agar dapat menerapkan literasi digital kepada anak sedini mungkin. daftar pustaka akbar, m. f., & anggaraeni, f. d. (2017). teknologi dalam pendidikan: literasi digital dan selfdirected learning pada mahasiswa skripsi. jurnal indigenous, 2(1), 28–38. https://doi.org/10.23917/ indigenous.v1i1.4458 ali, m. (2017). antara komunikasi, budaya dan hoax. in a. wahyudin & m. sunuantari (eds.), melawan hoaks di media sosial dan media massa. yogyakarta: trust media publishing & askopis press. alia, t., & irwansyah. (2018). pendampingan orang tua pada anak usia dini dalam penggunaan teknologi digital. a journal of language, literature, culture and education, 14(1), 65–78. https:// doi.org/10.19166/pji.v14i1.639 aliasan. (2017). pengaruh pemahaman keagamaan dan literasi media terhadap penyebaran hoax di kalangan mahasiswa. jkpi: jurnal komunikasi islam dan kehumasan, 1(2), 126–147. https://doi. org/10.19109/jkpi.v1i2.2197 138 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) allcott, h., & gentzkow, m. (2017). social media and fake news in the 2016 election. journal of economic perspectives, 31(2), 211–236. https://doi.org/10.1257/jep.31.2.211 astuti, y. d. (2017). peperangan generasi digital natives melawan digital hoax melalui kompetisi kreatif. informasi, 47(2), 229–242. https://doi.org/10.21831/informasi.v47i2.16658 bashori, k. (2018). pendidikan politik di era disrupsi. sukma: jurnal pendidikan, 2(2), 287–310. https://doi.org/10.32533/02207.2018 belshaw, d. a. j. (2011). what is’ digital literacy’? a pragmatic investigation. durham university. firmansyah, r. (2017). web klarifikasi berita untuk meminimalisir penyebaran berita hoax. jurnal informatika, 4(2), 230–235. https:// doi.org/10.31311/ji.v4i2.2138 gumilar, g., adiprasetio, j., & maharani, n. (2017). literasi media: cerdas menggunakan media sosial dalam menanggulangi berita palsu (hoax) oleh siswa sma. jurnal pengabdian kepada masyarakat, 1(1), 35–40. herawati, d. m. (2016). penyebaran hoax dan hate speech sebagai representasi kebebasan berpendapat the spread of hoax and hate speech as the representation of freedom of opinions abstract : abstraksi : promedia: jurnal public relation dan media komunikasi, ii(2), 138–155. heryanto, g. g. (2017). bisnis hoaks dan literasi digital. retrieved may 29, 2019, from mediaindonesia.com website: https://mediaindonesia. com/read/detail/120440-bisnis-hoaks-dan-literasi-digital ilahi, h. n. (2018). women and hoax news processing on whatsapp. jsp: jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 22(2), 98–111. https://doi. org/10.22146/jsp.31865 juditha, c. (2018). interaksi simbolik dalam komunitas virtual anti hoaks untuk mengurangi penyebaran hoaks. jurnal (pikom) penelitian komunikasi dan pembangunan, 19(1), 17–32. https://doi. org/10.31346/jpkp.v19i1.1401 kurniawati, j., & baroroh, s. (2016). literasi media digital mahasiswa universitas muhammadiyah bengkulu. jurnal komunikator, 8(2), 51–66. 139literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) librianty, a. (2017). survei: media sosial jadi sumber utama penyebaran hoax. retrieved may 27, 2019, from www.liputan6.com website: https://www.liputan6.com/tekno/read/2854713/survei-mediasosial-jadi-sumber-utama-penyebaran-hoax manalu, s. r., pradekso, t., & setyabudi, d. (2018). understanding the tendency of media users to consume fake news. jurnal ilmu komunikasi, 15(1), 1–16. https://doi.org/10.24002/jik.v15i1.1322 nasrullah, r. (2015). media sosial: perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi. in bandung: simbiosa rekatama media. https://doi. org/10.1007/978-1-4614-3137-4 pratiwi, n., & pritanova, n. (2017). pengaruh literasi digital terhadap psikologis anak dan remaja. jurnal semantik, 6(1), 11–24. https:// doi.org/10.22460/semantik.v6i1.p11-24 putra, r. m. d. (2018). inovasi pelayanan publik di era disrupsi (studi tentang keberlanjutan inovasi e-health di kota surabaya). jurnal kebijakan dan manajemen publik, 6(2), 1–13. putri, d. p. (2018). pendidikan karakter pada anak sekolah dasar di era digital. ar-riayah: jurnal pendidikan dasar, 2(1), 37. https://doi. org/10.29240/jpd.v2i1.439 rahadi, d. r. (2017). perilaku pengguna dan informasi hoaks di media sosial. jurnal manajemen dan kewirausahaan, 5(1), 58–70. https:// doi.org/10.26905/jmdk.v5i1.1342 rianto, p. (2016). media baru, visi khalayak aktif dan urgensi literasi media. jurnal komunikasi, 1(2), 90–96. https://doi.org/10.25008/ jkiski.v1i2.54 samodro, d. (2019). mafindo sebut ada 997 hoax sepanjang 2018. retrieved may 28, 2019, from www.antaranews.com website: https://www.antaranews.com/berita/811092/mafindo-sebutterjadi-997-hoaks-sepanjang-2018%0a sani, a. f. i. (2019). mafindo sebut kabar hoaks politik meningkat di januari. retrieved may 27, 2019, from nasional.tempo.co website: https://nasional.tempo.co/read/1185261/mafindo-sebut-kabarhoaks-politik-meningkat-di-januari/full&view=ok saputro, g. e., & haryadi, t. (2018). edukasi kampanye anti hoax melalui komik strip. demandia: jurnal desain komunikasi visual, manajemen desain dan periklanan, 03(02), 94–111. https://doi. 140 literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 121 140, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1555 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) org/10.25124/demandia.v3i02.1550 silalahi, r. r., bestari, p., & saputra, w. t. (2017). karakteristik strategi crowdsourcing untuk membatasi penyebaran hoaks di indonesia studi kasus: masyarakat anti fitnah indonesia. metacommunication; journal of communication studies, 2(2), 128–154. silvana, h., & darmawan, c. (2018). pendidikan literasi digital di kalangan usia muda di kota bandung. pedagogia: jurnal ilmu pendidikan, 16(2), 146–156. https://doi.org/10.17509/pdgia.v16i2.11327 siswoko, k. h. (2017). kebijakan pemerintah menangkal penyebaran berita palsu atau “hoax.” jurnal muara ilmu sosial, humaniora, dan seni, 1(1), 13–19. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i1.330 stefany, s., nurbani, & badarrudin. (2017). literasi digital dan pembukaan diri: studi korelasi penggunaan media sosial pada pelajar remaja di kota medan. sosioglobal: jurnal pemikiran dan penelitian sosiologi, 2(1), 10–31. sunita, i., & mayasari, e. (2018). pengawasan orangtua terhadap dampak penggunaan gadget pada anak. jurnal endurance, 3(3), 510–514. https://doi.org/10.22216/jen.v3i3.2485 sutantohadi, a., & wakhidah, r. (2017). bahaya berita hoax dan ujaran kebencian pada media sosial terhadap toleransi bermasyarakat. dikemas (jurnal pengabdian kepada masyarakat), 1(1), 1–5. https://doi.org/10.32486/jd.v1i1.153 utami, p. (2018). hoax in modern politics: the meaning of hoax in indonesian politics and democracy. jsp: jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 22(2), 85–97. https://doi.org/10.22146/jsp.34614 wahono, h. t. t., & effrisanti, y. (2018). literasi digital di era millenial. in a. prianto (ed.), prosiding seminar nasional hasil penelitian pendidikan dan pembelajaran stkip pgri jombang (vol. 4, pp. 185– 193). jombang: stkip pgri jombang. 1. artikel bersifat ilmiah berisi hasil riset empiris atau gagasan konseptual dan belum pernah dipublikasikan di sebuah jurnal. artikel juga bukan merupakan satu bab utuh dari tesis atau disertasi. 2. panjang artikel antara 15-30 halaman, tidak termasuk judul, abstrak (abstract), kata kunci (keywords), dan bibliografi. 3. artikel terdiri dari beberapa bagian, yaitu: judul, nama penulis, abstrak (200-250 kata), kata kunci (maksimal 5 kata), dan bibliografi, dengan detil ketentuan sebagai berikut: • penulisan judul tidak boleh lebih dari lima belas (15) kata. • nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dilengkapi dengan asal institusi, alamat korespondensi (e-mail address), serta nomor telephone/handphone. • abstrak terdiri dari konteks diskursus area disiplin; tujuan penulisan artikel; metodologi (jika ada); temuan riset; kontribusi tulisan di dalam area disiplin. abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan indonesia. • pendahuluan terdiri dari pemetaan penelitian terdahulu (literature review, sebaiknya temuan riset sepuluh tahun terakhir) dan novelti tulisan; batas permasalahan yang dibahas; dan argumentasi utama tulisan. • pembahasan berisi proses reasoning argumentasi utama tulisan. • kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan tulisan, berdasarkan perpektif teoritis dan konseptual yang dibangun oleh penulis. • referensi mencantumkan sumber pustaka yang menjadi rujukan. • gaya kutipan menggunakan american psychological association (apa) 6th edition, memakai model pengutipan body note (penulis tahun), dengan ketentuan detail sebagai berikut: ketentuan penulisan artikel 1. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) 2. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) 3. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ind onesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) 4. article of the journal a. journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) b. journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) c. e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) 5. article website a. dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) b. tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta : magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) 7. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 4. penulisan gaya pengutipan dihimbau menggunakan perangkat citation manager, seperti mendeley, zotero, endnote, refworks, bibtext dan lain sebagainya dengan memakai american psychological association (apa) 6th edition. 5. transliterasi bahasa arab menggunakan standar international journal of middle eastern studies, detail transliterasi dapat diunduh di http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 6. artikel bebas dari unsur plagiat, dengan melampirkan bukti (screenshot) bahwa artikel telah dicek memakai piranti lunak antiplagiat, misalnya, tetapi tidak terbatas pada, plagiarism checker (plagramme.com). 6. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati universitas pertamina dinda rakhma fitriani universitas gunadarma leo susanto kementerian hukum dan hak asasi manusia keywords: textual communication; netspeak; netlingo; netiket; consensual hallucinations http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: wahyuni.choiriyati@universitaspertamina.ac.id dinda_rf@staff.gunadarma.ac.id leosusanto93@gmail.com abstract this phenomenological research aims to uncover textual digital communication practices involving netspeak and netlingo also forms of millennial consensual hallucinations on social media. the novelty of this research is the millennial generation category, which has new netiquette as a consensus. research obtained through interviews with informants concluded the practice of textual communication. the first practice is netlingo, which produces a speech-language which is then turned into text, such as expressions of surprise that are modified in written form. the form of netspeak concluded from this research is capital letters to express communication emotions. textual communication used on social media such as instagram and whatsapp cannot make a sound but has become a mass convention for social media users. this research puts the concept of netspeak and netlingo that can encourage consensual hallucinations. these hallucinations are in the form of the assumption that social media is a free and equal place, so there are no restrictions like the real world. hallucinations for millennials are assumed to be equality in communication al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 118 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian fenomenologi ini bertujuan mengungkap praktik komunikasi digital secara tekstual yang melibatkan netspeak dan netlingo serta bentuk halusinasi konsensual milenial di media sosial. novelty dari riset ini adalah kategori generasi milenial yang memiliki netiket baru sebagai konsensus. penelitian yang diperoleh melalui wawancara pada informan menyimpulkan praktik komunikasi tekstual.praktik yang pertama adalah netlingo yang menghasilkan bahasa tutur yang kemudian dijadikan teks, seperti ekspresi keterkejutan yang dimodifikasi dalam bentuk tulisan. bentuk netspeak yang disimpulkan dari penelitian ini adalah huruf kapital untuk mengekspresikan emosi komunikasi. komunikasi tekstual yang digunakan di media sosial seperti instagram dan whatsapp tidak bisa mengeluarkan suara, namun telah menjadi konvensi bersama pengguna media sosial. riset ini menempatkan konsep netspeak dan netlingo yang mampu mendorong halusinasi konsensual. halusinasi bagi milenial berupa anggapan kesetaraan dalam berkomunikasi. kata kunci: komunikasi tekstual; netspeak; netlingo; netiket; halusinasi konsensual how to cite (apa 7th edition): choiriyati, w., fitriani, d. r., & susanto, l. (2020). analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1), 117-140. https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 introduction the results of research published by we are social in 2020 showed that internet users in indonesia reached 175.4 million with 64% penetration. the users of social media in indonesia based on we are social released in 2020 were 160 million with an increase of 12 million compared to the last year (“digital 2020: indonesia — datareportal – global digital insights,” 2020). meanwhile, the release of the research findings conducted by indonesian internet service management association/asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia (apjii) showed that more than 119analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 90% of internet users in indonesia were those who had attended higher education and were aged 15 to 29 years. the results of a survey conducted by the indonesian internet service management association revealed that the most significant internet users in indonesia are predominantly aged 19 to 34 years (apjii, 2018). the age of dominant internet users in indonesia can be categorized as the millennial generation. referring to the book published by the ministry of women’s empowerment and children & the central statistics agency entitled thematic gender statistics: profile of indonesian millennial generation, the concept of indonesian millennial generation is the indonesian population born between 1980 and 2000 (indah, 2018). the results of other studies reveal that millennials are aged 17 years to 36 years (al walidah, 2017). results of a study conducted by the boston consulting group in 2011, in (indah, 2018), states that millennial generation has several characteristics, namely (1) having a higher interest in reading using digital devices compared to conventional reading interest; (2) has social media as a communication tool and information center; and (3) prefer mobile to television. some experts suggest that the millennial generation is a “click” generation or a “connected” generation. the parties connected through social media are generally found in the real world. it was answered in research conducted by utami et al., (2015), which revealed that there had been a shift in communication culture, from regular face-to-face communication to digital media computer communication. texting culture is called a form of digital communication culture. millennial generation considered texting culture as a means to build the value of emotional closeness, practicality value in spreading information, and the value of speed and freedom. following this logic, the textual communication in social media should build emotional closeness between the parties involved, and closeness, which is, of course, more profound than closeness that only merely knows each other. 120 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the results of research conducted byayun (2016) found that textual digital communication on social media could not reach the intimate stage. the cause of the inability to grasp the intimacy stage on social media is the inequality of how to perceive textual messages so that it often fails to communicate. another case showed by fitria & prasetio's (2019) research which was conducted in a virtual community based on factors of imitation, suggestion, and sympathy. these three factors produce various symbols that are interpreted together so that they become the basis for conducting social interaction in the community and forming the image of members. it means that digital communication within the community and individual level has a different degree of cohesiveness. intimacycan be strengthened by symbolic communication through digital symbols. refer to research results of ayun (2016); existing emoticon facilities serve as a form of expressing feelings to build intimacy at the communication level. this situation then makes the millennial generation believe that textual communication through social media can build intimate closeness for those involved. besides the researches mentioned above, there are also other researches about social media, especially on the use of instagram and whatsapp. these studies include the phenomenon of obtaining religious knowledge from social media (mahmuddin & halik, 2019), utilize the instagram for political / campaign purposes (mohamed, 2019), and utilize social media for public relations work (el-kasim & idid, 2017). research on social media has also expanded to newer and fresh themes, such as research on muslim celebrities and their influence on social media (shariffadeen & manaf, 2019), emotion icons interpretation in whatsapp (annamalai & salam, 2017), and cyberstalking the religious scholars on social media (syahputra, 2018). in general, the number of these studies show that social media and the digital universe are almost unlimited research fields. 121analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) among the many themes about social media studies, consensual hallucination is rarely on the discussion. gibson (1984), in the book entitled neuromancer mentioned the digital world as a consensual hallucination. consensual hallucination or which, if translated freely in indonesian, is known as a form of experience that reflects something not real as a reality. the internet, which contains social media in it, is a consensual hallucination. social media that is part of the web includes the structure built by its users—like in the real world, using social media contains both written and unwritten rules. the structure of the regulations is what then makes each user adjust their communication behavior on social media. the dynamics of the use of internet languages (internet language), which includes netspeak and netlingo and the existence of internet ethics, make textual communication that occurs in social media interesting to study. a reference for this article is based on the research of fahrimal (2018), regarding netiquette on social media networks. fahrimal (2018) stated that there had been a high leap in communication activities through social media, which has created resistance in aspects of social ethics. millennials, as active users, must realize that the social network system is virtually the same as the social system in real life. fahrimal (2018) asserts the freedom that exists on the internet, and social media is not without limits. however, the fact is that violations of ethical and moral still occur, such as cyber-bullying, pornography, fraud, online gambling games, even human trafficking. anwar (2017) revealed that teenagers and young adults are the most significant users of social media who often express disappointment, sadness, and life problem on social media. barni (2019), in his article, said that 33% of indonesian people are now a millennial generation began to abandon conventional ways of living life, replaced by current trends and lifestyles. it is even more impressive when textual communication on social media reinforces the view that the internet is a form of consensual 122 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hallucination enhancing by millennials as its users. specifically, this article seeks to: 1) describe the forms of digital communication carried out textually on whatsapp and instagram by millennials, 2) describe the types of ethos, pathos, and logos that millennial generations build in textual communication on whatsapp social media and instagram and 3) show forms of internet affirmation as consensual hallucinations. this phenomenon is reinforced by mulawarman & nurfitri (2017) writing which reviewing the rise of social media user accounts who deliberately display others’ photos on their profile or without a profile photo, and a clear identity. the irony of social media user behavior is reflected in reconstructing identity through status or distribution of specific links that try to ‘explain’ the opposite of themselves to the audience and it does not represent the identity of the user. furthermore, sari (2019) confirms that the millennial generation is concerned with personalization and accessories, even if it is only for the sake of aesthetics. millennials adjust their desires to modify various products as their self-branding. the findings from this study are expected to provide an overview of how media literacy education can be delivered to millennial generations so that effective communication can occur both in the digital world and in the real world. literacy stages will generally be productive when it is done collectively, for example, through the distance learning process (distance learning). etiquette in the process of distance learning is the beginning to synergize ethical and learning issues (mintu-wimsat, lozada, & kernek, 2010). through online learning, students must be introduced to ethics specifically and explained the rules and the consequences in their syllabus. this research expects that literacy culture in the millennial generation can be built more collectively through classroom learning strategies. literacy culture through online learning approaches is strengthened by the study of choiriyati et al., (2017), which describes the birth of social competence consists of communicative abilities, including the ability of communication 123analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and participation through the media. thus, communicative skills include the ability to build social relations and participate in the community through media, including the use of internet media for social communication processes such as friendster, facebook, twitter, and myspace and other forms of social media among students. character education regarding the basic function of ethics following law no. 20 of 2003 that national education functions to develop the ability and formation of national character and civilization (lolo, 2018). various researches related to the changes in communication ethics become a marker of millennial transformation when responding to this digital era, one of which refers to the analysis of wartoyo (2019). textual communication that occurs on social media related to the language used on the internet or known as the internet language. according to david crystal in nasrullah (2014), internet language is the fourth medium after written language (writing), speaking a language (speaking), and sign language (signing). internet language contains components such as netspeak, netlingo, and netiquette. netspeak can be interpreted as a form of oral communication, which is then made in written form. when millennials engage in textual communication on social media, they chat like meeting face-to-face and communicating verbally. textual communication that occurs on social media is a duplication of chat in the real world so that the text that appears in textual communication on social media represents the language of speech. the reality of shift in communication style and the use of diction described by fauziyyah (2019), is not because digital natives do not have ethics when they want to convey their messages or opinions from different generations (digital immigrants). still, the differences in the digital lifestyle affect thought and communication patterns. based on thurlow in nasrullah (2014), if netspeak is the text that represents the language of speech, netlingo is a form of text in social media as if the text were speaking. in more detail, netlingo is a form 124 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of communication that relies on texts as if speaking to represent us as communicators. the language used is non-standard language. social media speech often violates the prerequisites of standard language users. it causes by the time limitation owned by social media users as well as technology device factors such as keyboards and small cell phone sizes. typing errors, mistakes in capital letters, and mistakes in punctuation are common in netlingo. it is because there is an assumption that the text is speaking so that grammar is not essential. the existence of netspeak and netlingo might trigger misperceptions in interpreting a text by millennial generation when communicating textually using social media. there are no standard rules on the use of netspeak and netlingo in communicating textually on social media, making each member of the millennial generation develop their own rules. in their research, thangaraj & maniam (2015) write that netspeak is commonly used among their colleagues when communicating online,which shows the relationships of its members. netspeak is used as a group identity because each group has the term which is only understood by its members. there is a structure that regulates the procedures that are considered polite in communicating on social media. it is known as netiquette. according to thurlow in nasrullah (2014), netiquette is ethical and social behavior in using the internet. the existence of netiquette is needed for several things. first, not all social media users come from the same cultural and environmental background, so there is an opportunity for misunderstanding in interpreting messages that are communicated textually on social media. second, content uploaded on social media does not only go to one party specifically but can be spread indirectly to other parties. third, although it occurs in the virtual world, textual communication that is carried out on social media is still related to the real world. fourth, internet ethics (netiquette) is needed so that every user of social media can understand their rights and obligations in communicating and citizens of 125analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) a virtual world (netizens). further research is conducted by choiriyati & pusat (2019) explained that many of our societies do not have sufficient literacy in understanding communication in cyberspace. the theory that can be used to read textual communication of millennials social media users is the theory of rhetoric from aristotle. there are two assumptions from the rhetoric theory proposed by aristotle (west & turner, 2017). first, effective speakers must consider their audience. in the context of textual communication on social media, ideally, communicators should know who is the interlocutor, so that the message delivered can be valid. although no written rules are regulating the use of internet language that includes netspeak and netlingo, every communication participant on social media should ideally be able to communicate messages properly to avoid failure in communication. the second assumption is that effective speakers must present evidence that supports the message it conveys. this second assumption relates to the three components of evidence referred to by aristotle, namely ethos, logos, and pathos (west & turner, 2017). ethos refers to the character, intelligence, and good intentions of communicators that appear when delivering a message. logos refers to the logical evidence possessed by the communicator, including the use of reasonable statements, clear language to the rationale behind the expressed statement. pathos refers to emotions that are involved with the communicant by the communicator, including feelings of pleasure, pain, hate, or fear. this ethos, logos, and pathos components find their form in communication that is done textually on social media. aristotle’s concept of showing his moral philosophy (ethikos) places the word ethics as the science of what is usually done or the science of customs (afif, 2019). methods this research used a qualitative approach. the paradigm used in 126 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this research is constructivist (moleong, 2009). thus, the strategy used in this research is phenomenology (kusumawati & arawindha, 2018). phenomenology strategies are used to uncover subjective meanings arising from individual textual communication experiences belonging to the millennial generation category using instagram and whatsapp social media. whatsapp and instagram social media were chosen because both of them became popular social media among millennials. the subjects of this study were six individual instagram and whatsapp users, namely yir, amr, idp, tjy, ph, and rw. the research subjects chosen were active users of instagram and whatsapp for more than two years. in-depth interviews and observations about instagram and whatsapp accounts are used to uncover textual communication experiences through whatsapp and instagram social media. data analysis used interactive data analysis (miles & huberman, 1992). the triangulation used in this research is the triangulation of data sources. results and discussion internet language: netspeak, netlingo, and text modification the language used in communicating on social media is different from the language that is generally used in direct communication. in this research, the informant revealed the use of speech-language as a text, such as the expression of surprise for knowing something “oh,” which was later modified in writing to “owhhhh ...”. it is known as netlingo. also, there are forms of netspeak. the form of netspeak expressed by the informants in the research is capital letters to express anger. besides that, many other forms of netspeak that are commonly used. textual communication used on social media such as instagram and whatsapp cannot make a sound. still, it has become a convention with social media users that the use of capital letters as a whole in a phrase is translated as anger. 127analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in addition to netspeak and netlingo, social media users such as on whatsapp and instagram make text modifications in communicating textually on social media. the first form of text modification is to abbreviate the words used in textual communication. textual communication on social media such as whatsapp and instagram demands urgency from the informants’ view. this makes them unable to use the standard language according to the enhanced spelling system (eyd). besides, the habit of sending short messages through the sms (short message service) feature also makes informants accustomed to communicating by shortening words. abbreviate words in textual communication on social media are considered as a common norm. on the contrary, writing on length sentences through social media like whatsapp or instagram is considered as something strange. “if i chat on whatsapp or ig [instagram], i mostly shortened the term for example ‘mantul’ which stands for ‘mantap betul’” (interview with yir, 29 june 2019). the next form of text modification commonly used in textual communication on social media is to combine letters and numbers in word order and text presentations such as bold, italic, or underlined. the use of letters and numbers in composing words is often used in communicating on social media, as expressed by the informants in this study. writing this combination is used to shorten the time in writing; for example, to express sentences “dua-duanya” usually the textual communication is “22nya”. it also becomes a common thing in textual communication on social media. besides, the form of modifications was made on writing, such as bold, italic, or underline. it was done by the informant on his chat to get more attention. from the informants’ perspective, it is more interesting to do than doing a textual communication with standard writing display. 128 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the ethos of textual communication on social media: motivation for uploading content on social media in the theory of rhetoric proposed by aristotle, there is a component of ethos. ethos in the perspective of aristotle’s rhetoric theory is a former intention for carrying out an activity of rhetoric. in the context of this research, ethos from aristotle’s rhetoric theory is translated as the motive of the millennial generation in uploading content on social media. in this study, it was found four things like the motivation or ethos of the millennial generation in uploading content on social media. the first is expressing the current mood. one informant in this study revealed that the content he posted on social media such as instagram described his current feeling. it showed that the motivation behind uploading content on social media was a personal motive and related to a person’s psychological factors. second, the informant’s motivation is to represent their identity. it is illustrated by informants who use instagram to upload photos related to their activities as a person who has hobbies visiting new places (travelers) or even hobbies visiting places with good food (food traveler). also, the informants in this study revealed that the content uploaded on social media was used to describe himself as a person who likes photography. related to those motives, content uploaded on their social media is about food, tourism places, and also a pet. it was done to represent their identity to followers on social media. “i usually post things related to my photography hobby ” (interview with yir, 29 june 2019). “on ig [instagram], i usually post about food or places that i visited during traveling” (interview with idp, 01 july 2019). third, the motivation of informants who are a millennial generation in uploading content on social media is information sharing. it is usually in the form of writing that explains the photos uploaded on the instagram 129analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) informant (caption). another way is the text that is sent in the whatsapp group account in the form of discussion material or discussion to motivation. informants revealed that in compiling captions on instagram, informants tended to use in-depth descriptions. it aims to make this information as a reference for other parties. one example revealed by informants is the preparation of a caption for photos to visit a place in another country. the informant mention that he would describe as clearly as possible about the place. what was to be prepared and what was allowed or forbidden to be done at the location. uploads in the whatsapp group are varied, ranging from small talk to motivation to improve. fourth, the motivation of informants in uploading content on social media (instagram) is to capture precious moments in life or make social media accounts like instagram as a digital diary. the content uploaded by the informant through his personal instagram account mostly contains photos with the closest people and important events for example graduation moment of the informant’s sister. the caption in the uploaded photo usually contains pieces of information about the moment, who is in the photo, and the relationships of people on it. the informant also revealed that he also used quotes from figures that reflected the images he uploaded on his personal instagram account. digital textual communication logos: review before uploading in the theory of rhetoric proposed by aristotle, there is a concept called logos. the idea of logos can be explained as the rationale behind the use of rhetoric. in this study, the idea of logos is translated as the rationalization behind the reason for uploading on social media. at present, the concept of logos proposed by aristotle’s rhetoric theory finds its urgency due to the widespread of information or false news (hoaxes). the concept of logos is related to personal credibility related to content uploaded on social media. two forms of logos were found in 130 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this study. the first is the use of sentences that are as effective as possible to suppress multiple interpretations (multi-interpretation) of uploaded content. textual communication on social media is interpreted differently from each other by participants. the number of individuals who read content uploaded on social media may create various meanings according to the individual frame of reference and field of experience. to suppress this, the informant revealed that he tends to be selective in using diction, using capital letters to punctuation. mistakes in the use of these things can lead to conflicts that result in destructive. “i prefer to choose diction, punctuation, and capital letters when communicating textually on wa (whatsapp) and ig (instagram) because people can misinterpret and influence our relationships” (interview with yir, 29 june 2019). the second form of logos in this research is to examine the information and sources before spreading information on social media. the rise of the spread of information or false news (hoaxes) because individuals prioritize speed rather than accuracy. there is an english term “think before you speak”. this term was later adapted in the context of information development in the current era of social media to “think before you spread”. finger speed that overcomes the speed of logic and individual rationality in reasoning information is considered to be one of the critical factors on news spreading. the informants in this study tend to learn the information in detail before spreading the information. the informant also included information sources, usually in the form of links. “the information that we post (on social media), the source must be traceable, and clear” (interview with yir, 29 juni 2019). 131analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pathos digital textual communication: using emoticons, images, and quotes the concept of pathos in aristotle’s theory of rhetoric describes the emotions involved in communicating by the communicator in his rhetorical activities. these emotions can be sad, happy, or angry. in the context of this research, the concept of pathos is translated as emotional forms involved in textual communication on instagram and whatsapp social media. emotional forms in textual communication on social media were divided into three, namely emoticons, images, and quotes. the word emoticon itself is an acronym of emotions and icons. emoticons are visualized in the form of facial animations in various emotional expressions. emoticons are used to describe feelings when communicating textually on social media. written sentences expressed on social media cannot explicitly define the emotions of the author, so an emoticon is needed to describe the feelings of the author. the informant in this study uses emoticons to ensure the message he conveys is delivered and interpreted as it is. it is also to ensure that the communicant does not interpret forms of textual communication contrary to what is expected. it is essential to be done by informants when communicating with superiors in the office, parents, and colleagues. “if i want to express feelings on my instagram or wa (whatsapp), i usually use emoticons or images and varied emoticons that can be used” (interview with yir, 29 june 2019). in addition to emoticons, the emotional form involved in textual communication on social media is the use of both static and dynamic images (gif). emoticons have indeed become the dominant form used in expressing emotions when communicating textually on social media. however, the informant said that emoticons cannot always show their emotional state when communicating textually on social media as a whole. other forms, such as gif images, people laugh out loud, or someone’s 132 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) facial expressions in gif images are considered by informants to be more representative in expressing their feelings. in addition to gif images, static images are also the choice of informants in expressing their feelings. one informant revealed that he used a static image of a busy party to express happiness. the use of gif images and static images is subjective, depending on each individual. a form of emotional expression when communicating textually on social media besides using emoticons and pictures is to use quotes. informants in this study revealed that other than images or emoticons, another form used in expressing emotions is to use quotes of wise sentences. it is generally used on instagram in the form of captions to complete photos uploaded on instagram accounts. not infrequently, the informant revealed that he only uploaded quotes that expressed his mood. “i use quotes when i want to express my feelings when communicating on social media like instagram” (interview amr, 29 june 2019). the urgency of netiquette in digital textual communication on social media textual messages exchanged in textual communication on social media are often interpreted differently by other parties. also, some parties upload content on social media only to bully other parties, which are considered more inferior than themselves. various social media platforms such as instagram, facebook, twitter to whatsapp are platforms that can be accessed by the public. it indicates that not only one individual can receive messages sent on social media, but many people can receive these messages. most individuals who lack understanding about social media ethics assume that their social media accounts belong to them just like physical goods they buy. so, they are free to do anything on social media, including insulting, bullying, and harassing others. 133analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “for millennials, there is an assumption that their social media is theirs (personal belongings). so, they think they are free to do anything through social media” (interview with tl, 26 june 2019). the ethics of communication on social media finds its urgency when many parties use social media to express themselves excessively when they feel that the real world is too restraining itself. some individuals use social media to show rebellion against some things in the real world that disturb them. these individuals find it challenging to express dislike or rejection of things that disturb him in the real world. in other conditions, individuals like this see things happening in the real world differently from what he considers to be a truth. still, these individuals find it difficult to express their views. many things that might be a hindrance, could be because he was an inferior person, felt nobody, and got pressure from other parties. individuals like this use social media as a means to express their sense of rebellion against things that in contrast to him. it is because there is an assumption that social media is a medium that guarantees anonymity so that others will not know their identity in the real world. “there are also people who use social media to do things that he can’t do in the real world because his true identity will not be discovered.” (interview with amr, 29 june 2019). the ethics of communication on social media find its urgency because of the large number of internet users in indonesia and its insufficient knowledge about effective social media ways. many internet users use social media according to their wishes regardless of the other party. many social media users do not have a sufficient level of social media literacy. it can be seen from a large number of non-constructive content uploaded on social media. upload content that does not consider ethical principles. for example, using abusive words to express their anger in the real world in the form of the caption on social media. it is still often found on social media. also, many users prefer to “spread first and then 134 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) read” instead of “read first then spread”. it raises viral things on social media and searches it until the real world even though it often just trivial things. at this point, communication ethics education on social media finds its urgency. consensual hallucinations for millennial generation of social media users consensual hallucinations can be understood as an experience in cyberspace that is considered as real. the internet is considered as the real world because of the structures that govern life on the internet. social media, which is part of the internet, is one aspect that strengthens the internet as a form of consensual hallucinations. more specifically, this study reveals micro things that reinforce the view that social media is a form of consensual hallucinations. first, the millennial generation, as social media users consider social media as their personal property. it is because everything related to social media accounts is constructed by himself so that there is an impression that it belongs to him like a physical item he buys in the real world. indeed, owned social media accounts can be taken over by the social media platform provider. it is done usually due to reports of legal violations or the provider platform close it permanently. at this point, social media users have no power at all. social media users can use social media as long as the owner of the social media platform allows it. the second thing that supports the view that the internet and social media are forms of consensual hallucinations is the assumption that social media is a free and equal place so that there are no restrictions like the real world. it can be understood because there is an assumption that when communicating on social media, everyone is in an equal position. everyone can communicate with each other without being separated by social stratification boundaries. a student can communicate with the 135analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) president via social media platforms. ideally, this condition is painful to occur in the real world. but does this indicate that all are equal? there are several things to watch showing that not all things are equal on social media. first, some parties have more power in social media, such as social media platform owners and social media regulators. the owner can close all social media accounts when he wants to. social media regulators such as the government may block access to social media if they are harmful. one thing that is special in indonesia is the use of “rubber law” in the ite, particularly article 27 regarding defamation. it can be used by persons to tackle critics on social media. so, considering social media is the same as real world is a hallucination. the third thing is that social media guarantees anonymity so that everything that is done on social media is “safe”. it can be seen from the use of social media account names that combine letters and numbers, which in the language of the millennial generation is known as alay. even if they don’t use alay words, social media users use an identity that does not belong to them—for example, using an anonymous and avatar. social media provides flexibility so that there is an assumption that everything on social media is safe because it is difficult to trace the user. it was later denied by the number of hoax spreader accounts that did not use real identities such as saracen, who were eventually arrested by the police. this condition is traced using internet protocol addresses and other content uploaded on social media. everything will have a digital trace that can be tracked. so saying that social media is safe because it can use anonymous identity is not true and is a form of hallucination. the fourth thing is that textual communication that occurs on social media will have the same level of effectiveness as in the real world. it can be understood when social media provides various tools that support the transformation of physical expressions into the verbal language in 136 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) an equivalent meaning through emoticons. but the fact is that textual communication on social media is prone to be interpreted differently by communication partners. the use of sentences that are often abbreviated or use informal languages, known as netspeak and netlingo, has the potential to cause different interpretations and conflicts. there is also an assumption that mutual relations can be formed through social media; it serves in the real world. the findings in this study precisely revealed that social media is only to strengthen relationships that have been built in the real world. it then shows that textual communication made on social media cannot be equivalent to communication built in the real world. considering communication textually on social media similar to the real world is a consensual hallucination. conclusion and suggestion conclusion textual communication on social media carried out by the millennial generation contains ethos, pathos, and logos. the philosophy of textual communication in social media is to express the feeling that is being experienced, to represent one’s identity, and share information. the logos form of textual communication on social media is the use of sentences that are as effective as possible to avoid multiple interpretations of uploaded content and examine the information and sources of information before spreading the news on social media. the pathos of textual communication on social media is the use of emoticons, images, and quotes to express feelings textually. in communicating textually on social media, the millennial generation uses netspeak, netlingo, and text modification. the netspeak form used is the use of capital letters to express anger. the type of netlingo used is an expression of being surprised to know something. the modified form of text used is to combine letters and numbers in word preparation and 137analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) presentation of text such as bold, italic, or underlined. communication ethics is known as netiquette, which is understood by the millennial generation. social media, which is part of the internet, affirms the notion that the internet is a consensual hallucination. it is because the consensual forms of hallucinations are found in the millennial generation of social media users. those forms of consensual hallucinations are shown on how they generation perceive social media as their personal property, full of freedom and equal place so that there are no boundaries like in the real world, social media guarantees anonymity so that everything is done on social media “ safe ”so that textual communication on social media will be as effective as that in the real world. suggestion based on the findings of this study, concrete action is needed in the form of building media literacy education in the primary to higher education curriculum in indonesia. it is crucial to improve the quality of media literacy among the community, especially the younger generation so that they can use the media appropriately. as for future research, other methods such as virtual ethnography can be used to get a more in-depth picture of the phenomenon of consensual hallucinations. references afif, m. b. (2019). konsep etika epikuros dan problem media sosial. indonesian journal of islamic theology and philosophy, 1(2), 1–22. https://doi.org/10.24042/ijitp.v1i2.5029 al walidah, i. (2017). tabayyun di era generasi milenial. jurnal living hadis, 2(2), 317-344. https://doi.org/10.14421/livinghadis.2017.1359. 138 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) annamalai, s., & salam, s. n. a. (2017). undergraduates’ interpretation on whatsapp smiley emoji. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 33(4), 89–103. https://doi.org/10.17576/ jkmjc-2017-3304-06 anwar, f. (2017). perubahan dan permasalahan media sosial. jurnal muara ilmu sosial, humaniora, dan seni, 1(1), 137-144. https://doi. org/10.24912/jmishumsen.v1i1.343 apjii. (2018). penetrasi & profil perilaku pengguna internet indonesia: survey 2018. in apjii.or.id. retrieved from https://apjii.or.id/ survei2018s/download/tk5ojybsyd8iqha2ech4fsgelm3ubj ayun, p. q. (2016). penggunaan instant messanger dan komunikasi interpersonal remaja. jurnal ilmu sosial, 15(2), 111-120. https:// doi.org/10.14710/jis.15.2.2016.111-120 barni, m. (2019). tantangan pendidik di era millenial. transformatif, 3(1), 99–116. https://doi.org/10.23971/tf.v3i1.1251 choiriyati, w., & pusat, a. w. (2019). etika media dalam kultur new technology (mengkaji etika internet versus undang undang informasi dan transaksi elektronik). jurnal masyarakat & budaya, 21, 247-261. https://doi.org/10.14203/jmb.v21i2.763 choiriyati, w., rufaidah, v. w., & turistiati, a. t. (2017). literasi media siswa dalam penggunaan internet di sekolah alam bogor. lugas jurnal komunikasi, 1(2), 108–118. https://doi.org/10.31334/ljk. v1i2.440 digital 2020: indonesia — datareportal – global digital insights. (2020). retrieved february 19, 2020, from datareportal.com website: https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia. el-kasim, m., & idid, s. a. (2017). pr practitioners’ use of social media: validation of an online relationship management model applying structural equation modeling. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 33(1), 212–228. https://doi.org/10.17576/ jkmjc-2017-3301-15 fahrimal, y. (2018). netiquette: etika jejaring sosial generasi millenial dalam media sosial. jurnal penelitian pers dan komunikasi pembangunan, 22(1), 69–78. https://doi.org/10.46426/jp2kp. v22i1.82 139analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) fauziyyah, n. (2019). communication ethics of digital natives students through online communication media to educators: education perspective. jurnal pedagogik, 06(02), 437–474. fitria, a. m., & prasetio, a. (2019). konstruksi citra anggota komunitas virtual pada bigo live. profesi humas jurnal ilmiah ilmu hubungan masyarakat, 3(2), 141-158. https://doi.org/10.24198/prh. v3i2.12918 gibson, w. (1984). neuromancer. new york, united states: ace books. indah, b. (2018). statistik gender terapan: profil generasi milenial. jakarta: kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bekerjasama dengan badan pusat statistike. kusumawati, & arawindha. (2018). fenomenologi. in kholifah dan suyadnya (eds), metodologi penelitian kualitatif berbagi pengalaman dari lapangan. jakarta: rajagrafindo persada. depok: rajagrafindo persada. lolo, k. (2018). menciptakan generasi milenial berkarakter dengan pendidikan karakter guna menyongsong era globalisasi. jurnal ilmu kepolisian, 12(2), 68–75. mahmuddin, & halik, a. (2019). the use of social media as a source of religious knowledge among doctors in makassar, indonesia. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 35(4), 272– 285. https://doi.org/10.17576/jkmjc-2019-3504-17 miles, & huberman. (1992). analisis data kualitatif. jakarta: universitas indonesia. mintu-wimsat, a., lozada, h. r., & kernek, c. (2010). netiquette: make it part of your syllabus. merlot journal of online learning and teaching, 6(1). mohamed, s. (2019). instagram and political storytelling among malaysian politicians during the 14th general election. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 35(3), 353–371. https://doi. org/10.17576/jkmjc-2019-3503-21 moleong, l. j. (2009). metode penelitian kualitatif. bandung: remaja rosdakarya. mulawarman, m., & nurfitri, a. d. (2017). perilaku pengguna media sosial beserta implikasinya ditinjau dari perspektif psikologi sosial terapan. buletin psikologi, 25(1), 36–44. https://doi.org/10.22146/ 140 analysis of consensual hallucination phenomena in netspeak, netlingo practice, and millennial generation netiquette wahyuni choiriyati, dinda rakhma fitriani, leo susanto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 117 140, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.2163 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) buletinpsikologi.22759 nasrullah, r. (2014). teori dan riset media siber (cybermedia). jakarta: kencana prenadamedia group. sari, s. (2019). literasi media pada generasi millenial di era digital. professional: jurnal komunikasi dan administrasi publik, 6(2), 30-42. https://doi.org/10.37676/professional.v6i2.943. shariffadeen, t. s. a. t. m. a., & manaf, a. m. a. (2019). celebrity-fan engagement on instagram and its influence on the perception of hijab culture among muslim women in malaysia. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 35(1), 286–302. https://doi.org/10.17576/jkmjc-2019-3501-19 syahputra, i. (2018). new media, new relations: cyberstalking on social media in the interaction of muslim scholars and the public in west sumatra, indonesia. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 34(1), 153–169. https://doi.org/10.17576/ jkmjc-2018-3401-09 thangaraj, s. r., & maniam, m. (2015). the influence of netspeak on students’ writing. journal of education and learning (edulearn), 9(1), 45-52. https://doi.org/10.11591/edulearn.v9i1.963 utami, a., lestari, m., & putra, a. (2015). pergeseran budaya komunikasi pada era media baru (studi etnografi virtual penggunaan line oleh digital natives). e proceeding of management, 2(3), 4042–4050. wartoyo, f. x. (2019). etika komunikasi mahasiswa dan dosen dalam perspektif akademis revolusi 4.0. waskita: jurnal pendidikan nilai dan pembangunan karakter, 3(1), 39–47. https://doi. org/10.21776/ub.waskita.2019.003.01.4 west, r., & turner, h. l. (2017). pengantar teori komunikasi. jakarta: salemba humanika. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1405 muhd. maryadi adha institut agama islam negeri (iain) samarinda keywords: communication of da’wah, mui, fatwa of religious attribute http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: maryadiadha245@gmail.com abstract fatwa of mui number 56 in 2016 concerning about “religious attributes of non-muslims” issued as guideline for indonesian muslims addressing the phenomenon of using non-muslim religious attributes, while promoting good relations between muslims and other religious people. the purpose of this study is to analyze how the mui fatwa efforts to maintain the harmony between religious communities and the harmonious life in society, nation, and state. using qualitative research methods in communication of da’wah perspective, this study focuses direct attention into 3 (three) things that’re: 1) analysing about some keywords contained in the fatwa; 2) understanding the quality of fatwa messages; and 3) analysing the implications of fatwa in indonesian religious life. generally, in communication of da’wah perspective, the fatwa still raises multi-interpretations, particularly among the communicants, especially on keywords in the fatwa which have an impact on the tension of religious relations in indonesia, though not too significant. fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tentang “atribut keagamaan non-muslim” muncul sebagai pedoman bagi umat islam di indonesia dalam menyikapi fenomena penggunaan atribut keagamaan nonmuslim, dengan tetap mengedepankan hubungan baik antara umat islam dan umat beragama lainnya. tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana fatwa mui tersebut berupaya memelihara kerukunan hidup antarumat beragama dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. dengan metode abstrak al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 kata kunci: komunikasi dakwah, mui, fatwa atribut keagamaan fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 150 kualitatif dalam perspektif komunikasi dakwah, penelitian ini terfokus pada 3 (tiga) hal yaitu: 1) analisis pada sejumlah istilah kunci yang terdapat dalam fatwa; 2) pemahaman mengenai kualitas pesan fatwa; dan 3) analisis implikasi fatwa terhadap kehidupan umat beragama di indonesia. secara umum, perspektif komunikasi dakwah, fatwa tersebut dinyatakan masih menimbulkan multitafsir, khususnya di kalangan komunikan, terutama mengenai istilah-istilah kunci dalam fatwa yang turut berdampak pada ketegangan hubungan umat beragama di indonesia, meski tidak terlalu signifikan. i. pendahuluan fatwa mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas sosial. perubahan sosial sebagai hasil dinamika budaya sering menimbulkan gesekan di masyarakat, islam sebagai agama universal dengan panduan spesifik berdasarkan alquran dan hadis memerlukan peran ulama untuk menerjemahkan transformasi sosio-kultural dalam bentuk fatwa. namun tidak sedikit fatwa yang kontroversial yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat (hamzah, 2017). adanya fatwa tidak selalu dapat diterima dengan baik di masyarakat, terjadi pro-kontra pada saat fatwa tersebut dikeluarkan. mui sebagai salah satu lembaga yang merumuskan fatwa memiliki peran penting menciptakan stabilitas sosial dalam hal hubungan umat beragama yaitu majelis ulama indonesia (mui) dalam merumuskan fatwa-fatwa berkaitan tentang kerukunan antar umat beragama. majelis ulama indonesia (mui) adalah majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat islam indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama (arifin, 2015). fungsi mui adalah sebagai wadah mewakili umat islam terutama dalam hal hubungan umat beragama. fungsi itu bertujuan untuk menjaga kerukunan umat beragama di indonesia. peran mui untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, mui sebagai organisasi yang memiliki tugas memberi nasehat. berperan pada tataran moral misalnya memberi fatwa, himbauan, ajakan, memberi rekomendasi dan saran terhadap organisasi keagamaan sejenis (iswahyudi, 2017). al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 151 pada tahun 2016 mui mengeluarkan fatwa tentang penggunaan atribut keagamaan non-muslim. fatwa ini diputuskan dalam fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tanggal 14 rabiul awal 1438 h bertepatan dengan tanggal 14 desember 2016 dinyatakan bahwa, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram (r. indonesia, 2018). ketua mui menyatakan fatwa tersebut dikeluarkan karena banyaknya keluhan dari masyarakat yang dipaksa menggunakan atribut keagamaan agama lain saat hari besar agama tersebut (kompas, 2016). kendati demikian keputusan yang dikeluarkan mui tentang haramnya memakai atribut non-muslim menjadi perbincangan dan perdebatan. seperti diketahui mui memegang peran dalam hal menjaga kerukunan umat beragama. idealnya fatwa tersebut memberikan solusi terhadap kerukunan umat beragama di indonesia, faktanya munculnya fatwa ini memicu berbagai gerakan, mulai dari sosialisasi di tempat publik seperti sweeping yang dilakukan oleh fpi (c. indonesia, 2016), hingga kekerasan di kafe atas nama sosialisasi tapi menimbulkan keresahan. bahkan dianggap intoleransi mulai berkembang (kompas, 2016). fatwa ini juga mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan yang bersifat positif, mendukung fatwa, dan negatif yang mempertanyakan urgensi dari dikeluarkannya fatwa tersebut. majelis ulama indonesia sebagai otoritas pembuat fatwa utama seharusnya dapat menjadi pihak yang inklusif dan menaungi semua kepentingan, tidak cenderung eksklusif pada satu golongan. fatwa yang cenderung eksklusif akan mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat, terutama bagi mereka yang merasa dirugikan dengan hadirnya fatwa(iswahyudi, 2017). fatwa merupakan produk yang diharapkan dapat meningkatkan maslahah masyarakat, melindungi dan menghindarkan masyarakat dari kekeliruan memahami dan menjalankan ajaran agama (fathoni, 2015). namun setiap bentuk redaksi fatwa berdampak terhadap pemahaman masyarakat terhadap fatwa tersebut. dalam beberapa kasus, fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 152 fatwa yang dikeluarkan oleh mui dianggap menghalangi kebebabasan beragama bahkan berdampak pada munculnya reaksi negatif satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain (hasyim, 2015). hal ini telah terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, bahkan beberapa waktu setelah berdirinya mui sebagai lembaga fatwa (sajari, 2015). banyak kasus penganiaan, persekusi hingga pengusiran kelompok lain terjadi akibat dari muncul fatwa yang dikeluarkan oleh mui (wibowo, 2015). demikian pula dalam konteks penggunaan atribut keagamaan non-muslim bagi umat islam. menarik untuk menganalisis fatwa tersebut baik secara konten maupun pemahaman masyarakat terhadap fatwa tersebut. tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana fatwa mui tersebut berupaya memelihara kerukunan hidup antarumat beragama dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ii. metode penelitian meninjau keputusan mui diatas penulis ingin meneliti kualitas pesan fatwa mui tentang atribut keagamaan ditinjau dari perspektif komunikasi dakwah dan aspek di masyarakat tentang implikasi fatwa terhadap masyarakat mengenai haramnya memakai atribut non-muslim terhadap kehidupan beragama di indonesia. data-data dalam artikel ini didapatkan dari wawancara terhadap beberapa informan yang berasal dari pekerja, mahasiswa iain samarinda dan perwakilan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama kalimantan timur. data pendukung didapatkan dari studi dokumen atas fatwa mui yang dimaksud. fatwa mui dianalisis dengan pendekatan analisis isi, sedangkan respon masyarakat terhadap fatwa mui dianalisis dengan wacana. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 153 iii. fatwa atribut keagamaan: upaya mendukung hubungan antar agama di indonesia? a. fatwa atribut keagamaan dan hubungan antar agama di indonesia untuk memahami peran sentral mui dalam menjaga kerukunan umat beragama di indonesia, khususnya melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan, peneliti terlebih dahulu mendeskripsikan dua hal; pertama,gambaran singkat tentang fatwa mui no nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim dan kedua, relevansi fatwa dalam menjawab tantangan kehidupan beragama di indonesia. 1. fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim pada tahun 2016 majelis ulama indonesia (mui) mengeluarkan fatwa tentang larangan menggunakan atribut keagamaan non-muslim. larangan tersebut tertuang dalam fatwa mui nomor 56 tahun 2016 tanggal 14 rabiul awal 1438 h bertepatan dengan tanggal 14 desember 2016. atribut keagamaan yang dimaksud dalam fatwa tersebut adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. fatwa tersebut ingin menegaskan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah juga haram (mui, 2016a). selain soal pengharaman atribut keagaman non-muslim, fatwa ini turut merekomendasikan pentingnya menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 154 ibadah islam dengan keyakinan agama lain. fatwa tersebut juga menegaskan pentingnya umat islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. salah satunya adalah dengan menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan saling mengakui kebenaran teologis. pernyataanpernyataan tersebut tertuang dalam poin-poin rekomendasi fatwa yang ditandatangani oleh prof. dr. h. hasanuddin af, ma, dr. h. m. asrorun ni’am sholeh, ma selaku penanggungjawab komisi fatwa majelis ulama indonesia (mui) pusat. dari format penyusunan, fatwa ini terdiri dari empat bagian, dan masing-masing bagian memuat penjelasan-penjelasan detail terkait isu penggunaan atribut keagamaan agama lain. bagian pertama memuat pertimbangan-pertimbangan logis di balik lahirnya fatwa tersebut sementara di bagian kedua merinci berbagai dalil yang menjadi dasar dalam penetapan fatwa, baik dari alquran, hadis maupun kaidah-kaidah fiqhiyyah. pada bagian ketiga, fatwa ini mengutip berbagai pendapat ulama terkait isu-isu yang dianggap serupa dengan isu penggunaan atribut keagamaan. pada bagian akhir, fatwa merumuskan tiga poin utama yaitu definisi atribut keagamaan, ketentuan hukum penggunaan atribut keagamaan non-muslim dan 6 poin rekomendasi. 2. fatwa dan tantangan hubungan umat beragama di indonesia salah satu fungsi dan tugas utama mui adalah memberikan fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat islam serta memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama(mui, 2016b). oleh karena itu, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh mui harus mempertimbangkan kemaslahatan umat islam, tak terkecuali kepentingan umat beragama yang lain. lahirnya fatwa atribut keagamaan ini, menurut mui, sebagai pedoman umat islam indonesia dalam menyikapi fenomena penggunaan atribut al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 155 kegamaan non-muslim, khususnya di hari perayaan keagamaan, dengan tetap mengedepankan hubungan baik antara umat islam dan umat beragama lainnya. lalu, sejauhmana fatwa tersebut berperan dalam menjawab tantangan kerukunan antar-umat beragama di indonesia? kerukunan antar-umat beragama yang dimaksud di sini adalah perihal hidup dalam suasana yang baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati, dan bersepakat antar umat beragama yang berbeda-beda agamanya atau antar umat beragama dalam satu agama. kerukunan antar umat beragama bukan berarti melebur agama-agama yang ada menjadi satu totalitas (sinkretisme agama), melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam setiap proses kehidupan sosial kemasyarakatan.yaitu semua orang bisa “hidup bersama tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama (daulay, 2001). kerukunan atau hidup rukun adalah sikap yang berasal dari lubuk hati yang terdalam, terpancar dari kemauan untuk memang berinteraksi satu sama lain sebagai manusia tanpa tekanan dari pihak manapun (taher, 2009), dengan adanya yang satu mendukung keberadaan yang lain (haq, 2002). hubungan antar agama di indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan, tantangan dan juga mengalami pasang surut. ada kalanya hubungan tersebut berlangsung harmonis, tetapi tidak jarang berujung pada konflik yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. rangkaian konflik dan kekerasan bernuansa agama terus terjadi di indonesia, mulai dari kerusuhan bernuansa agama di kota-kota provinsi pada 1995-1997, kampanye anti hukum santet di jawa dan konflik antar kelompok agama di sulawesi tengah dan maluku 1998-2001, hingga mobilisasi laskar berbasis agama dan fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 156 pengeboman yang dilakukan kelompok teroris atas nama jihad pada 2000-2005 (fauzi, 2009). hal ini menunjukkan bahwa hubungan antarumat beragama di indonesia harus selalu menjadi perhatian (indiyanto, 2013). untuk itu baik pemerintah maupun non-pemerintah seperti ormas-ormas keagamaan seperti muhammadiyah, nahdatul ulama, persis, majelis ulama indonesia (mui) dan lembaga keagamaan lainnya, perlu membuat pedoman atau fatwa-fatwa berkaitan dengan kerukunan umat beragama dalam menjalankan praktik keagamaan dan menjaga agar tidak terjadi konflik. data laporan crcs dan wahid foundation, konflik antaragama yang terjadi di indonesia masih mengalami pasang surut. dari tahun ke tahun kasus-kasus yang terjadi hampir sama, dengan kapasitas kasus yang berbeda. hal ini menunjukkan bahwa kehidupan beragama di indonesia masih butuh perhatian serius dari berbagai pihak. tabel 1 kasus-kasus kehidupan umat beragama di indonesia no tahun jumlah kasus deskripsi kasus 1 1990-2008 832 kasus (versi crcs) insiden kekerasan, isu keagamaan, bentrok 2 2009 25 kasus ( versi crcs) larangan rumah ibadah, penyesatan penodaan agama 3 2010-2011 75 kasus (versi crcs) 93 kasus (versi wahid foundation) penyerangan rumah ibadah (masjid dan gereja), pelalarangan ahmadiyah, pengalihfungsikan, pembekuan, penyegelan, penutupan rumah ibadah, teror ledakan bom, pembakaran, pelemparan bangunan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 157 no tahun jumlah kasus deskripsi kasus 4 2012 22 kasus (versi crcs) 110 kasus ( versi wahid foundation) aliran sesat, pelarangan rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, intimidasi 5 2013 245 kasus (versi wahid foundation) masjid, penyebaran kebencian 6 2014 158 kasus (versi wahid foundation) rumah ibadah, pengungsi umat syiah, pembakaran gereja, masjid 7 2015 190 kasus (versi wahid foundation) pelarangan ibadah, rumah ibadah, terorisme, pengunsi umat syiah 8 2016 204 kasus (versi wahid foundation) penodaan agama, gafatar, syiah, ahmadiyah 9 2012-2018 belum(berbagai sumber) deradikalisasi, aliran sesat sumber: laporan kehidupan beragama, crcs, 1990-2012 dan laporan kehidupan beragama, wahid foundation, 2010-2016 lalu muncul pertanyaan apakah fatwa larangan penggunaan atribut keagamaan non-muslim mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”? 3. analisis fatwa dalam konteks komunikasi dakwah untuk menguji fatwa dalam konteks komunikasi dakwah, peneliti menguji 3 aspek yang terkandung dalam fatwa yaitu 1) efektivitas penggunaan kata-kata/istilah dan kalimat yang digunakan mui selaku komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan fatwa tersebut kepada komunikan (masyarakat). 2) menguji kualitas pesan fatwa. 3) mengkaji implikasi fatwa terhadap kehidupan beragama di masyarakat. fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 158 a. kata-kata/istilah yang digunakan pada tahap ini peneliti mengumpulkan beberapa kata atau istilah kunci serta kalimat-kalimat pokok yang terdapat dalam fatwa untuk diuji efektivitasnya. efektivitas yang dimaksud di sini adalah sejauh mana komunikan dapat menafsirkan atau memahami secara tepat istilah atau pesan fatwa yang disampaikan oleh komunikator (lembaga fatwa). adapun kata atau istilah yang diujikan adalah sebagai berikut: tabel 2 kata/istilah dalam fatwa mui no kata/istilah contoh kalimat penjelasan 1 fatwa ..dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.. fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam 2 atribut keagamaan menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram atribut diartikan tanda kelengkapan, adapun atribut keagamaan adalah atribut yang digunakan sebagai identitas umat beragama tertentu 3 akidah ..tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah islam dengan keyakinan agama lain.. akidah berarti kepercayaan, keyakinan, atau keimanan, dalam alquran akidah adalah keimanan kepada allah swt yakni mengakui kewujudannya 4 toleransi ..sebagian umat islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan non-muslim.. suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau individu dalam masyarakat 5 bid’ah di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum nasrani di hari raya mereka.. perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 159 no kata/istilah contoh kalimat penjelasan 6 tasyabuh ..sikap menyerupai (tasyabuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya.. memiliki arti menyerupai atau mencontoh pada tahapan berikutnya, peneliti menguji tingkat pemahaman komunikan muslim yang bekerja di tempat usaha non-muslim seperti hotel, mal, rumah makan, kafe, pusat penjualan handphone serta kalangan mahasiswa tentang penggunaan kata-kata/istilah tersebut di atas. uji coba dilakukan dengan menggunakan teknik tanya jawab. komunikan yang dipilih terdiri dari 10 orang pekerja dan 10 orang mahasiswa iain samarinda serta 10 perwakilan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama kalimantan timur. pemahaman masing-masing komunikan dapat terlihat pada saat peneliti memberikan beberapa pertanyaan di atas sehingga dapat disimpulkan pemahaman mereka tentang kata-kata atau istilah yang digunakan tidak sama. tabel 3 kesimpulan hasil pemahamankomunikan terhadap kata/istilah dalam fatwa mui no komunikan kata/istilah tingkat pemahaman 1 pekerja, mahasiswa, ika pku kaltim fatwa 46% paham 27% tidak paham 27% kurang paham atribut keagamaan 63% paham 0% tidak paham 37% kurang paham akidah 90% paham 0% tidak paham 10% kurang paham toleransi 70% paham 0% tidak paham 30% kurang paham bid’ah 40% paham 33% tidak paham 27% kurang paham tasyabuh 47% paham 33% tidak paham 20% kurang paham fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 160 dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap kata/istilah pesan fatwa tersebut berbeda-beda: 1) kalangan pekerja memiliki tingkat pemahaman yang rata-rata tidak memahami 6 kata/istilah tersebut. 2) begitu pula kalangan mahasiswa sebagian kurang paham dengan kata/istilah pesan tersebut. 3) adapun tingkat pemahaman pada kalangan alumni program kaderisasi ulama lebih sedikit paham akan kata/ istilah pesan tersebut. kendati demikian peneliti hanya ingin melihat sejauh mana pemahaman yang dipahami dari kata/istilah dalam penggunaan pesan fatwa tersebut di dalam masyarakat. secara khusus penggunaan kata/istilah dalam fatwa ini cukup efektif, karena bisa dipahami oleh komunikan meskipun tingkat pemahamannya berbeda-beda. kata-kata/istilah yang di gunakan dalam fatwa ini ditanggapi oleh anggota komisi fatwa mui provinsi kalimantan timur pada saat peneliti melakukan wawancara. disampaikan bahwa istilah yang digunakan tersebut telah dipertimbangkan dalam musyawarah yang dilakukan. penggunaan kata/istilah (fatwa, atribut keagamaan, akidah, toleransi, bid’ah, tasyabuh) merupakan kata-kata umum, walaupun sebagian orang ada yang tidak memahami akan kata seperti bid’ah, tasyabuh. b. kalimat-kalimat pokok dalam fatwa pada tahap ini peneliti mengumpulkan beberapa kalimatkalimat pokok yang terdapat dalam fatwa untuk diuji efektivitasnya. efektivitas yang dimaksud di sini adalah sejauhmana komunikan dapat menafsirkan atau memahami secara tepat pesan fatwa yang disampaikan oleh komunikator (lembaga fatwa). adapun kalimat yang diujikan adalah sebagai berikut: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 161 tabel 4 contoh kalimat/pesan pokok fatwa mui no kalimat-kalimat pokok 1 kalimat atau pesan tentang pelarangan menggunakan atribut keagamaan 2 kalimat atau pesan mengenai haramnya fatwa tentang atribut keagamaan tersebut nomor 56 tahun 2016 3 latar belakang dikeluarkannya fatwa dalam hal ini dijelaskan bahwa ada sebagian kafe, hotel, mal, restoran mengharuskan karyawan muslim menggunakan atribut keagamaan non-muslim 4 penetapan fatwa tersebut, memperhatikan bahwa keluarnnya fatwa ini terkait pula adanya fatwa perayaan natal bersama yang ditetapkan tanggal 7 maret 1981 5 dasar negara republik indonesia 1945 sama halnya dengan uji kata-kata/istilah, pada tahapan ini peneliti menguji tingkat pengetahuan komunikan muslim yang bekerja di tempat usaha non-muslim seperti hotel, mal, rumah makan, kafe, pusat penjualan handphone serta kalangan mahasiswa tentang pengetahuan akan kalimat tersebut di atas. uji coba dilakukan dengan menggunakan teknik tanya jawab. untuk menguji akurasi jawaban komunikan, peneliti melakukan wawancara dengan berpedoman kepada penjelasan yang ada di tabel 4.2. komunikan (responden) yang dipilih terdiri dari 10 orang pekerja dan 10 orang mahasiswa iain samarinda serta 10 perwakilan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama kalimantan timur. berdasarkan hasil tanya jawab dan wawancara, tingkat pengetahuan komunikan terhadap kalimat pesan fatwa yang disampaikan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 162 tabel 5 kesimpulan hasil pengetahuan komunikan terhadap kalimat/pesanfatwa mui no komunikan pernyataan kalimat/pesan fatwa tingkat pengetahuan 1 pekerja, mahasiswa dan ika pku kaltim kalimat atau pesan tentang pelarangan menggunakan atribut keagamaan 33% iya 30% tidak tahu 37% kurang tahu kalimat atau pesan mengenai haramnya fatwa tentang atribut keagamaan tersebut nomor 56 tahun 2016 33% iya 40% tidak tahu 27% kurang tahu latar belakang dikeluarkannya fatwa dalam hal ini dijelaskan bahwa ada sebagian kafe, hotel, mal, restoran mengharuskan karyawan muslim menggunakan atribut keagamaan nonmuslim 27% iya 50% tidak tahu 46% kurang tahu penetapan fatwa tersebut, memperhatikan bahwa keluarnya fatwa ini terkait pula adanya fatwa perayaan natal bersama yang ditetapkan tanggal 7 maret 1981 27% iya 50% tidak tahu 23% kurang tahu dasar negara republik indonesia 1945 23% iya tidak tahu 33% kurang tahu hasil dari tiga komunikan, dalam tingkat pengetahuan di atas mulai dari kalangan pekerja sebanyak 10 komunikan, mahasiswa 10 komunikan dan ikatan alumni program kaderisasi ulama sebanyak 10 komunikan. secara umum dapat disimpulkan pengetahuan tentang kalimat/pesan fatwa tersebut dalam tiga kalangan yang berbeda. 1) pada kalangan pekerja tingkat pengetahuan akan kalimat/pesan fatwa tersebut tidak tahu adanya fatwa mui. 2) adapun di kalangan mahasiswa tidak berbeda jauh dengan para pekerja yang tingkat pengetahuannya tentang kalimat/ al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 163 pesan fatwa menunjukkan kurang tahu akan adanya fatwa tersebut. 3) adapun tingkat pengetahuan pada tataran alumni program kaderisasi ulama akan kalimat/pesan fatwa mereka lebih dominan tahu akan fatwa tersebut walaupun sebagian kurang tahu. kendati demikian peneliti hanya ingin melihat sejauh mana pemahaman yang dipahami dari kata/istilah dalam penggunaan pesan fatwa tersebut di dalam masyarakat. secara khusus kalimat/pesan fatwa ini kurang diketahui oleh para komunikan khusunya para pekerja dan mahasiswa, adapun pada kalangan ika pku kaltim lebih megetahui tentang adanya fatwa tersebut. setelah mengetahui tingkat pengetahuan komunikan terhadap fatwa tersebut, peneliti kemudian melakukan wawancara kepada anggota komisi fatwa mui provinsi kalimantan timur, untuk mendapatkan informasi mengenai sosialisasi fatwa tersebut kepada masyarakat.dalam hal ini disampaikan bahwa sosialisasi yang dilakukan mengenai atribut keagamaan khususnya di kalimantan timur hanya sebatas pemberitahuan melalui surat yang ditujukan kepada pihak terkait, seperti hotel, mal, restaurant, dan kafe. hal ini sebenarnya telah dilakukan khususnya ditujukan kepada umat islam agar senantiasa menjaga akidahnya (wibowo, 2015). namun di satu sisi hal tersebut kembali kepada masyarakat, karena pada dasarnya tugas mui menyampaikan fatwa tersebut bertujuan agar umat islam terhindar dari perayaan-perayaan atau mengikuti halhal yang menjadi bagian dari tradisi agama non-muslim. c. substansi/kualitas fatwa secara substansi, ada pesan yang akurat dan ada yang asalasalan, ada yang benar dan ada yang dusta. dalam kategori ini pesan tidak selalu mengandung kebenaran. di antara jenis pesan dalam alquran yang memiliki pengaruh luas adalah pesan yang disebut dengan istilah naba’, apakah berita itu benar atau salah. adapun fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 164 pesan yang mengandung kemungkinan benar atau dusta, salah atau benar, yang kedua-duanya memungkinkan disebut dengan khabar. pada tahap ini peneliti mencoba menguji kualitas atau pesan fatwa yang disampaikan kepada masyarakat tentang fatwa atribut keagamaan. jika kita melihat sejarah menunjukkan bahwa kepemilikan terhadap suatu atribut sesungguhnya dari mengikuti perkembangan zaman, apa yang sebelumnya menjadi tradisi agama atau budaya lain dan kemudian menjadi tradisi bersama (fachruddin, 2016). salah satu contohnya adalah tasbih (dalam kristen: rosario), yang tidak murni berasal dari islam, karena itu dianggap bid’ah oleh satu kelompok dalam islam. di indonesia, ada kentongan untuk masjid yang pernah menjadi perdebatan di kalangan kiai nu generasi awal, satu menganggapnya bid’ah yang lain membolehkannya (syafaq, 2014). selanjutnya menara yang berasal dari kata arab manarah (tempat perapian) untuk masjid; satu pendapat menyatakan menara diadopsi dari tradisi zoroastrian; pendapat lain menyatakan ia berasal dari gereja kristen suriah yang ketika berada di bawah dinasti umawi, diubah menjadi masjid. hal lain seperti baju koko, yang bermula dari tradisi tionghoa (tampak dari namanya: “engkoh-engkoh” menjadi “koko”). lebih jauh bila atribut juga mencakup simbol, bahwa lambang nasional kita, burung garuda, yang berasal dari tradisi hindu: garuda adalah tunggangan (vahana) wisnu. dengan melihat sejarah tersebut maka timbul pertanyaan, atribut seperti apa yang dimaksud dalam fatwa mui tersebut? pertama, pada tataran judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah non-muslim adalah umat atau pemeluk agama kristen. namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat kristen. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 165 kedua, definisi atribut keagamaan yang dimaksudkan oleh fatwa mui tersebut, tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut atau simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram. kendati demikian pada keputusan, ketentuan umum dinyatakan bahwa dalam fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi agama tertentu. fatwa tersebut tidak menyebut natal dan umat kristiani secara eksplisit (manan, 2016). namun lebih jauh timbul pertanyaan mengenai luasanya cakupan makna atribut non-muslim ini. kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernak-pernik yang digunakan banyak orang untuk merayakan hari natal, misalnya pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa, kereta salju, lilin. dengan itu untuk mempertajam makna dari atribut keagamaan yang dimaksud oleh mui, selain musyawarah dengan para ulama, perlu pula adanya ahli sejarah yang termasuk di dalamnya. sehingga fatwa tersebut dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat (iswahyudi, 2017). walaupun sebenarnya sebagian masyarakat mengetahui apa itu atribut keagamaan, namun pengetahuan mereka tentang atribut keagamaan yang dimaksud oleh isi fatwa mui belum dipahami secara jelas. fatwa ini sebenarnya mengandung pesan untuk umat islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah islam dengan keyakinan agama lain (muzakka, 2018). fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 166 namun apabila fatwa mui yang dimaksudkan adalah penggunaan atribut natal, maka terbitnya fatwa haramnya menggunakan atribut keagamaan non-muslim, orang yang tadinya biasa saja menggunakan atribut sinterklas, akan menolak karena alasan keagamaan. padahal, tak sedikit tahun-tahun sebelumnya menggunakan atribut sinterklas tetapi tetap dapat menjalankan perintah agama islam dengan baik. artinya, tidak ada pendangkalan akidah setelah menggunakan atribut keagamaan non-muslim (seperti yang ditakutkan mui). adapun pesan fatwa mui tersebut merupakan hal yang patut dihargai. komisi fatwa mui menyebutkan terkait fatwa tentang atribut keagamaan non-muslim yang disampaikan mengandung hal yang kurang dipahami dan kurang diterima oleh masyarakat, namun di satu sisi fatwa itu merupakan hal penting agar umat islam senantiasa dapat menjaga akidahnya. karena pada dasarnya mui adalah tempat wadah para ulama, dimana tugas pokoknya adalah untuk menyampaikan pesan kepada umat agar senantiasa berada di jalan allah swt. d. implikasi fatwa dalam upaya mendukung kerukunan umat beragama di indonesia lahirnya fatwa mui tentang atribut keagamaan telah melahirkan perdebatan publik, baik dari segi substansi fatwa, momentum maupun penafsiran. perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya menimbulkan pertanyaan penting lainnya, sejauhmana fatwa ini mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”? sebagaimana tertuang dalam fatwa, salah satu tujuan fatwa ini adalah agar umat islam tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memilihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 167 ajaran agama. lebih jauh, umat islam diajak untuk memahami kebhinekaan sebagai “kesadaran terhadap perbedaan”(rumapea, 2016). sadar terhadap perbedaan bukan hal yang salah di dalam dirinya sendiri. masalahnya ialah bagaimana perbedaan itu dikelola. apakah dengan menajamkannya, sehingga perbedaan-perbedaan perlu dipertegas hingga hal-hal minor perlu disengketakan dan dibesar-besarkan, atau menjembataninya, sehingga saling memahami didahulukan, dialog diutamakan, dan penghakiman bisa ditunda, tentu tanpa maksud menyamakan atau mencapuradukkan. kita memahami bahwa keputusan yang ditetapkan oleh mui adalah keputusan yang baik bagi umat islam, tujuannya agar umat islam tidak terpengaruh dengan keyakinan selain agama islam. para ulama khawatir jika di masyarakat akan timbul keyakinan baru pada saat mengikuti perayaan-perayaan non-muslim apalagi sampai memakai atribut keyakinan mereka dan mempengaruhi akidah umat islam (hapsin, 2014). lebih jauh fatwa yang dikeluarkan mui nomor 56 tahun 2016 tentang larangan menggunakan atribut keagamaan nonmuslim ini telah menjadi salah satu perbincangan khalayak, baik media konvensional maupun sosial. persoalan ini menjadi sangat sensitif di tengah kondisi kebangsaan kita yang belakangan kurang kondusif akibat diterpa isu-isu yang cenderung bernuansa sara sampai kepada persoalan kasus penistaan agama yang cukup banyak menghabiskan energi bangsa ini. sehingga wajar jika kemudian sebuah fatwa yang semestinya tidak mengikat bagi umat muslim, justru menjadi diskursus viral di berbagai media (hamidah, 2016). seperti diketahui mui memegang peran penting dalam hal menjaga kerukunan umat beragama. idealnya, fatwa tersebut memberikan solusi terhadap kerukunan umat beragama di indonesia. dalam konteks nasional, fatwa ini telah memicu berbagai aksi dan reaksi, mulai dari sosialisasi ditempat publik seperti fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 168 sweeping yang dilakukan oleh front pembela islam (c. indonesia, 2016). aksi sweeping tersebut dilakukan di berbagai tempat yang ada di surabaya. hingga kekerasan di kafe atas nama sosialisasi yang telah menimbulkan keresahan (kompas, 2016). fatwa ini juga memunculkan pro kontra, bukan saja di dalam internal umat islam, tetapi juga di kalangan umat non-muslim. pro kontra tersebut bersumber dari bervariasinya pandangan di kalangan umat islam mengenai masalah pemakaian atribut non-muslim. salah satu poin penting yang dipersoalkan dalam fatwa tersebut adalah penggunaan kata “kafir” untuk non-muslim. menurut jan sihar aritonang (jsa), dari sekolah tinggi teologi (stt) jakarta, pelabelan “kafir” bagi orang-orang non-muslim (khususnya umat kristiani) bisa memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama di indonesia. menurutnya, penggunaan kata “kafir” yang digunakan sebagai penanda (signifier) oleh umat islam bisa juga bermakna peyorasi dan dianggap meresahkan bagi umat agama lain (r. indonesia, 2018). kontroversi penggunaan istilah “kafir” dan munculnya ragam penafsiran pasca fatwa tersebut dikeluarkan turut mengancam harmonisasi hubungan antar agama di indonesia. meskipun mui menyatakan bahwa fatwa tersebut dibuat dalam rangka penghormatan kepada prinsip kebhinekaan dan kerukunan beragama, tetapi faktanya justru berpotensi memperlebar jurang komunikasi, terutama antara umat islam dan umat kristiani (wijayanti, 2016). keputusan mui tentang hukum haram menggunakan atribut non-muslim dianggap tidak relevan dengan situasi kondisi bangsa ini, karena negara indonesia merupakan negara yang plural (haryanto, 2013). berbagai suku dan agama yang berbeda terdapat di negara republik indonesia ini. apabila fatwa itu diberlakukan untuk umat islam, bagaimana dengan masyarakat yang bekerja di tempat usaha non-muslim, akankah al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 169 tidak berpengaruh dengan pekerjaannya. namun di balik itu, ada pula yang menilai bahwa tidak ada masalah dikeluarkannya fatwa ini, bahkan baik untuk menjaga akidah umat islam. dalam konteks lokal, khususnya samarinda, peneliti juga berusaha melihat sejauhmana implikasi fatwa tersebut terhadap umat islam, khususnya mereka yang bekerja di tempat usaha non-muslim. dengan menggunakan teknik wawancara, temuan penelitian ini menunjukan bahwa mereka yang bekerja di tempat usaha non-muslim cenderung menganggap penggunaan atribut keagamaan non-muslim, khususnya atribut natal, tidak mempengaruhi akidah mereka. bagi mereka, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan secara profesional tanpa harus dikait-kaitkan dengan urusan agama. walaupun demikian, sebagian pekerja yang lain mengatakan bahwa mereka tetap menghormati putusan mui dan setuju pelarangan fatwa tersebut. fatwa tersebut dianggap penting agar pihak perusahaan non-muslim tidak semena-mena memberikan keputusan dalam penggunaan atribut keagamaan mereka. temuan penelitian ini juga menunjukan bahwa dari 4 tempat usaha yang peneliti kunjungi terdapat 1 tempat yang mengharuskan karyawannya menggunakan atribut yang biasa digunakan saat natal, sementara 3 tempat yang lain masih memberikan toleransi kepada karyawannya, dalam arti tidak memaksa karyawan menggunakan atribut dalam perayaan hari besar mereka. berdasarkan kajian peneliti, dari sisi substansi, fatwa mui tersebut lebih mengedepankan persepektif teologisnya dan cenderung mengabaikan perspektif lain dalam melihat feonomena perayaan keagamaan, termasuk natal. akibatnya, berpedoman pada persepektif teologis saja bisa memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakan-tindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi social fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 170 (rumapea, 2016). dalam konteks lokal, persepsi masyarakat muslim di kota samarinda terhadap fatwa tersebut juga cukup beragam. meski dianggap penting, fatwa pelarangan penggunaan atribut agama lain tidak selalu harus dikaitkan dengan isu akidah, tapi juga merupakan bagian dari aksesoris yang dinikmati publik, sebagai bagian dari profesionalitas pekerjaan. pada akhirnya, peneliti ingin menegaskan bahwa berbagai data terkait aksi dan reaksi pro-kontra pasca fatwa menjadi bukti bahwa fatwa tersebut turut berdampak kepada hubungan umat beragama di indonesia, meskipun dampaknya tidak terlalu signifikan. iv. kesimpulan mayoritas komunikan dari kalangan pekerja dan mahasiswa memiliki pemahaman yang rendah terhadap terhadap kata-kata/istilah yang terkandung dalam fatwa, adapun kalangan ikatan keluarga alumni program kaderisasi ulama memiliki pemahaman yang lebih baik tentang fatwa tersebut. selanjutnya ditinjau dari segi kualitas pesan, fatwa yang disampaikan dalam definisi atribut keagamaan tidak secara rinci menyebutkan apa saja yang dimaksud dengan atribut keagaman. sehingga persepsi masyarakat akan definisi tersebut berbeda-beda. pada ranah nasional muncul aksi sweeping yang dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti fpi. salah satu poin penting yang dipersoalkan dalam fatwa tersebut adalah penggunaan kata “kafir” untuk non-muslim. berdasarkan kajian peneliti dari sisi substansi, fatwa mui tersebut lebih mengedepankan persepektif teologis dan cenderung mengabaikan persepektif lain dalam melihat fenomena perayaan keagamaan, termasuk natal. akibatnya, berpedoman pada persepektif teologis saja bisa memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakantindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial. dalam konteks lokal, persepsi masyarakat muslim di kota samarinda al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 171 terhadap fatwa tersebut juga cukup beragam. meski dianggap penting, fatwa pelarangan penggunaan atribut agama lain tidak selalu harus dikaitkan dengan isu akidah, tapi juga merupakan bagian dari aksesoris yang dinikmati publik, sebagai bagian dari profesionalitas pekerjaan. pada akhirnya, peneliti ingin menegaskan bahwa berbagai data terkait aksi dan rekasi pro-kontra pasca fatwa menjadi bukti bahwa fatwa tersebut turut berdampak kepada hubungan umat beragama di indonesia, meskipun dampaknya tidak terlalu signifikan. daftar pustaka arifin, b. (2015). fatwa dan demokrasi : studi terhadap fatwa majelis ulama indonesia (mui). at-tahdzib: jurnal studi islam dan muamalah, 3(1), 11–34. daulay, m. z. (2001). mereduksi konflik antarumat beragama di indonesia. jakarta: badan litbang agama dan diklat keagamaan departemen agama ri. fachruddin, a. a. (2016). fatwa mui, atribut natal, dan soal kerukunan. in my hat’s off to the pauses that refreshes. yogyakarta: crcs. fathoni, n. (2015). analisis normatif-filosofis fatwa dewan syari’ah nasional majelis ulama’ indonesia (dsn-mui) tentang transaksi jual beli pada bank syari’ah. al-ahkam, 25(2), 139. https://doi. org/10.21580/ahkam.2015.25.2.596 fauzi, i. a. (2009). pola-pola konflik keagamaan di indonesia (19902008). in laporan penelitian. jakarta: the asia foundation, mprkugm, ywp. hamidah, h. (2016). strategi membangun kerukunan umat beragama. wardah : jurnal dakwah dan kemasyarakatan, 17(2), 123–136. hamzah, m. m. (2017). peran dan pengaruh fatwa mui dalam arus transformasi sosial budaya di indonesia. millah: jurnal studi agama, 1(1), 127–154. https://doi.org/10.20885/millah. vol17.iss1.art7 hapsin, a. (2014). urgensi regulasi penyelesaian konflik umat beragama: perspektif tokoh lintas agama. walisongo: jurnal penelitian sosial keagamaan, 22(2), 351–380. https://doi.org/10.21580/ fatwa mui tentang atribut keagamaan – muhd. maryadi adha 172 ws.22.2.270 haq, h. (2002). jaringan kerjasama antarumat beragama: dari wacana ke aksi nyata. jakarta: titahandalusia press. haryanto, j. t. (2013). kontribusi ungkapan tradisional dalam membangun kerukunan beragama. walisongo: jurnal penelitian sosial keagamaan, 21(2), 365–392. https://doi.org/10.21580/ws.21.2.250 hasyim, s. (2015). fatwa aliran sesat dan politik hukum majelis ulama indonesia (mui). al-ahkam, 25(2), 241. https://doi. org/10.21580/ahkam.2015.25.2.810 indiyanto, a. (2013). agama di indonesia dalam angka. yogyakarta: crcs. indonesia, c. (2016). polri dan mui sepakat larang razia atribut natal. retrieved june 26, 2018, from https://m.cnnindonesia.com/ nasional /20161220215053-20-181113/polri-mui-sepakat-larangrazia-atribut-natal,html indonesia, r. (2018). menimbang fatwa mui tentang larangan memakai atribut non-muslim. iswahyudi, . (2017). mui dan nalar fatwa-fatwa eksklusif. al-ihkam: jurnal hukum & pranata sosial, 11(2), 361. https://doi.org/10.19105/alihkam.v11i2.785 kompas. (2016). mui tak boleh ada sweeping atribut keagamaan. manan, a. (2016). diskursus fatwa ulama tentang perayaan natal. miqot: jurnal ilmu-ilmu keislaman, 40(1). https://doi.org/10.30821/miqot. v40i1.213 mui. (2016a). hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim. mui. (2016b). pedoman dasar mui 1975. muzakka, a. k. (2018). otoritas keagamaan dan fatwa personal di indonesia. epistemé: jurnal pengembangan ilmu keislaman, 13(1), 63– 88. https://doi.org/10.21274/epis.2018.13.1.63-88 rumapea, m. e. (2016). kedewasaan beragama salah satu wujud kerukunan beragama. jupiis: jurnal pendidikan ilmuilmu sosial, 8(1), 15–25. https://doi.org/10.24114/jupiis. v8i1.3679 sajari, d. (2015). fatwa mui tentang aliran sesat di indonesia (19762010). miqot: jurnal ilmu-ilmu keislaman, 39(1). https://doi. org/10.30821/miqot.v39i1.38 syafaq, h. (2014). kontroversi seputar tradisi keagamaan popular dalam masyarakat islam. islamica: jurnal studi keislaman, 2(1), 1. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 149 174 173 https://doi.org/10.15642/islamica.2007.2.1.1-15 taher, e. p. (2009). merayakan kebebasan beragama bunga rampai 70 tahun djohan effendi. jakarta: icrp. wibowo, r. a. (2015). fatwa mui tentang penyimpangan ajaran islam dan tindakan pelanggaran kebebasan berkeyakinan. teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran islam, 3(1), 117. https://doi.org/10.15642/ teosofi.2013.3.1.117-145 wijayanti, t. y. (2016). konsep kebebasan beragama dalam islam dan kristen. profetika: jurnal studi islam, 17(01), 16. https://doi. org/10.23917/profetika.v17i01.2097 relasi tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja asvi isminayah dan supandi bimbingan dan konseling islam, institut agama islam negeri surakarta keywords: harmonic family, self concept, adolescent. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: asviisminayah@yahoo.co.id irfansupandi@ymail.com abstract abstract self concept is individual evaluation of one’s characteristics and ability. a family as the first and major institution for the adolescent has an important role in providing education, love, guidance and supervision so they can grow up with positive self concept. the purpose of the research is to know the relationship between the harmony level of family and the self concept of adolescent in bayat, klaten. the research uses correlative quantitative method. it involves 53 adolescent chosen by random sampling. the result of the research shows high harmony level of family in bayat (71,7%), and high category of adolescent’s self concept (56,6%). the hypothesis testing with pearson product moment correlative analysis shows that there is positive and significant relationship between the harmony level of family and the adolescent’s self concept with the probability 0,000 (< 0,05) and correlation coefficient (rxy) 0,713. konsep diri merupakan penilaian individu mengenai keadaan dirinya tentang karakteristik dan kemampuannya. keluarga sebagai lembaga pertama dan utama dalam kehidupan remaja, mempunyai peran penting dalam memberikan pendidikan, curahan kasih sayang, arahan, dan pengawasan kepada remaja agar mereka tumbuh dengan memiliki konsep diri yang positif. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja di kecamatan bayat kabupaten klaten. penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional. penelitian ini dilakukan pada 53 remaja yang ditentukan dengan random sampling. hasil penelitian ini adalah tingkat keharmonisan keluarga di 234 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga kecamatan bayat termasuk dalam kategori tinggi dengan prosentase sebesar 71,7% dan konsep diri remaja temasuk dalam kategori sangat tinggi dengan prosentase sebesar 56,6%. pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis korelasi pearson product moment menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja, terlihat dari probabilitas sebesar 0,000 (< 0,05) dan dengan koefisien korelasi sebesar (r xy ) 0,713. pendahuluan keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial. dalam keluarga umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim. keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan bagi anak. orang tua dikatakan pendidik pertama karena dari merekalah seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya dan dikatakan pendidik utama karena pendidikan dari orang tua menjadi dasar perkembangan dan kehidupan bagi anak dikemudian hari. perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor terpenting untuk mempersiapkan remaja menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat (yusuf 2004, 37). suasana iklim yang kondusif dalam keluarga seperti kebersamaan dan kasih sayang dalam lingkungan keluarga merupakan salah satu sikap yang akan membentuk kepribadian setiap anggotanya, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan dalam hal pembentukan sikap dan perilaku sehari-hari. dengan demikian keluarga yang harmonis merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan pribadi para anggotanya (terutama remaja). keluarga yang harmonis (fungsional) yaitu keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsinya yaitu memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang dan mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 235 masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. perubahan-perubahan kepribadian disini sangat cepat dan menimbulkan banyak ketegangan. pada masa transisi ini terjadi storm and stress yang ditandai dengan emosi yang bergolak serta mempengaruhi daya fikir dan perilakunya. perlakuan, sikap dan suasana yang diterima remaja di lingkungan keluarga akan membentuk pola perilaku remaja dalam upaya untuk membentuk gambaran diri atau konsep dirinya. konsep diri adalah cara pandang seseorang mengenai dirinya sendiri. dengan kata lain konsep diri merupakan pandangan subjektif individu mengenai keadaan dirinya tentang karakteristik dan kemampuannya, baik itu pandangan individu tentang dirinya dalam hubungan dengan orang lain maupun dengan lingkungannya (prayitno 2006, 23-124). konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. bagaimana individu memandang dirinya akan tampak dari seluruh perilakunya. hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh platini (2006) yang meneliti tentang hubungan antara keharmonisan keluarga dan rasa percaya diri dengan prestasi belajar siswa kelas ii rumpun mesin smk nugraha boyolali tahun pelajaran 2006/2007. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumbangan relatif untuk variabel keharmonisan keluarga sebesar 74,17% dan sumbangan efektifnya 30,17%. jadi hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa kelas ii rumpun mesin smk karya nugraha boyolali. keharmonisan keluarga menurut kamus besar bahasa indonesia, keharmonisan berasal dari kata harmonis yang mendapatkan imbuhan ke – an, pengertian harmonis adalah keadaan selaras, serasi dan dapat juga diartikan rumah tangga yang dalam pemilihan warna-warna yang menciptakan keindahan (poerwadarminta 2002, 123). sedang pengertian keluarga menurut gunarsa (2004, 185) adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat 236 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian yang selanjutnya. sehingga keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, sosial dan emosi (gunarsa 1995, 7). keharmonisan keluarga bersumber dari kerukunan hidup yang dalam keluarga. kebiasaan sesama anggota keluarga terdapat hubungan yang nyata, teratur dengan baik, terutama sekali hubungan anak dengan orang tua. jadi, keharmonisan keluarga merupakan sarana pembentuk karakter dan kepribadian anak. oleh sebab itu keluarga yang memiliki latar belakang yang baik akan mampu membimbing dan mengarahkan anaknya kearah yang mereka cita-citakan. keharmonisan keluarga sendiri mempunyai beberapa kualifikasi yaitu menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga, mempunyai waktu bersama keluarga, mempunyai komunikasi yang baik antar keluarga, saling menghargai sesama anggota keluarga, kualitas dan kuantitas konflik yang minim dan adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga (hawari 1997, 81). konsep diri konsep diri yaitu pandangan dan perasaan kita mengenai diri kita sendiri, persepsi ini boleh bersifat psikologi, sosial dan psikis (rahmat 2003, 125). konsep diri bukan hanya gambaran diskriptif akan tetapi mencakup penilaian kita. pengertian konsep diri secara umum mencakup pada persepsi seseorang mengenai dirinya sendiri. persepsi ini terbentuk melalui berbagai pengalaman dan berbagai bentuk persepsi terutama dipengaruhi oleh adanya hadiah dan hukuman yang diberikan orang lain terhadap dirinya atas setiap perilaku. konsep diri ini mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. bagaimana individu memandang – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 237 dirinya akan tampak dari seluruh perilakunya. dengan kata lain individu akan bertindak positif atau pun negatif tergantung dari konsep dirinya. konsep diri ada dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. ciri-ciri konsep diri positif yaitu merasa yakin akan kemampuannya dalam mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan dan keinginan serta perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat dan mampu memperbaiki dirinya. sedangkan ciri-ciri konsep diri negatif yaitu peka terhadap kritik, responsif sekali terhadap pujian, terlalu kritis, tidak sanggup mengakui dan menghargai orang lain, merasa tidak disenangi orang lain dan bersikap pesimis terhadap kompetisi, ditandai keengganan untuk bersaing. (rahmad 2003, 105) metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional. sampelnya adalah remaja yang ada di kecamatan bayat kabupaten klaten yang masih dalam batas usia 12-21 tahun yang dipilih dengan random sampling sehingga diperoleh sampel sejumlah 53 remaja. penelitian ini menggunakan lembar kuesioner sebagai instrumen utama. hasil penelitian tingkat keharmonisan keluarga pengolahan data menunjukkan variabel tingkat keharmonisan keluarga skor terendah yang dicapai adalah 73 dan skor tertinggi 109 dari data tersebut diperoleh harga rerata (mean) sebesar 92,47, nilai tengah (median) sebesar 92,00, modus (mode) sebesar 89, standar deviasi sebesar 8,601, dan variance sebesar 73,895. berdasarkan data tersebut dibuat distribusi kecenderungan variabel tingkat keharmonisan keluarga dari 53 responden tersebut dengan menghitung harga mean ideal (mi) dan standar deviasi ideal (sdi). 238 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga tingkat keharmonisan keluarga diukur dengan 30 pernyataan dengan skala 1 sampai dengan 4. dari 30 butir pernyataan yang ada, diperoleh skor tertinggi ideal (30 x 4) = 120 dan skor terendah ideal (30 x 1) = 30. dari data tersebut diperoleh hasil mean ideal (mi) = 1/2 x (120 + 30) = 75 dan standar deviasi ideal (sdi) = 1/6 x (120 30) = 15. perhitungan identifikasi kecenderungan didasarkan pada tabel di bawah ini: tabel 1. identifikasi kecenderungan tingkat keharmonisan keluarga no formula *) hitungan rentang skor kategori 1 x < (mi-1,5.sdi) x < 52,5 30 – 52,4 sangat rendah 2 (mi-1,5.sdi) ≤ x < mi 52,5 ≤ x < 75 52,5 – 74,9 rendah 3 mi ≤ x < (mi+1,5.sdi) 75 ≤ x < 97,5 75 – 97,4 tinggi 4 (mi+1,5.sdi) ≤ x 97,5 ≤ x 97,5 – 120 sangat tinggi tabel 2. kategori tingkat keharmonisan keluarga no rentang skor f % kategori 1 30 – 52,4 0 0,0 sangat rendah 2 52,5 – 74,9 3 5,7 rendah 3 75 – 97,4 38 71,7 tinggi 4 97,5 – 120 12 22,6 sangat tinggi jumlah 53 100 sumber: data primer yang diolah 2016 berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui tingkat keharmonisan keluarga pada kategori sangat tinggi sebanyak 12 remaja (22,6 %), kategori tinggi sebanyak 38 remaja (71,7 %) kategori rendah sebanyak 3 remaja (5,7%), kategori sangat rendah sebanyak 0 remaja (0%). dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat keharmonisan keluarga dikategorikan dalam kategori tinggi. data konsep diri remaja berdasarkan data penelitian yang diolah dengan menggunakan bantuan komputer program microsoft exel 2007 dan spss 16.0 untuk – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 239 variabel konsep diri remaja skor terendah yang dicapai adalah 79 dan skor tertinggi 122 dari data tersebut diperoleh harga rerata (mean) sebesar 102,47, nilai tengah (median) sebesar 105,00, modus (mode) sebesar 106, standar deviasi sebesar 10,620 dan variance sebesar 112,792. hasil distribusi frekuensi data variabel konsep diri remaja yang disajikan pada tabel digambarkan dalam histogram sebagai berikut: gambar 2. histogram konsep diri remaja sumber: data primer yang diolah 2016 berdasarkan data di atas dapat dibuat distribusi kecenderungan variabel konsep diri remaja dari 53 responden tersebut dengan menghitung harga mean ideal (mi) dan standar deviasi ideal (sdi). konsep diri remaja diukur dengan 32 pernyataan dengan skala 1 sampai dengan 4. dari 32 butir pernyataan yang ada, diperoleh skor tertinggi ideal (32 x 4) = 128 dan skor terendah ideal (32 x 1) = 32. dari data tersebut diperoleh hasil mean ideal (mi) = 1/2 x (128 + 32) = 80 dan standar deviasi ideal (sdi) = 1/6 x (128 – 32) = 16. perhitungan identifikasi kecenderungan didasarkan pada tabel di bawah ini: 240 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga tabel 3. identifikasi kecenderungan konsep diri remaja no formula *) hitungan rentang skor kategori 1 x < (mi-1,5.sdi) x < 56 32 – 55 sangat rendah 2 (mi-1,5.sdi) ≤ x < mi 56 ≤ x < 80 56 – 79 rendah 3 mi ≤ x < (mi+1,5.sdi) 80 ≤ x < 104 80 – 103 tinggi 4 (mi+1,5.sdi) ≤ x 104 ≤ x 104 – 128 sangat tinggi tabel 4. kategori konsep diri remaja no rentang skor f % kategori 1 32 – 55 0 0,0 sangat rendah 2 56 – 79 1 1,9 rendah 3 80 – 103 22 41,5 tinggi 4 104 – 128 30 56,6 sangat tinggi jumlah 53 100 sumber: data primer yang diolah 2016 berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui konsep diri remaja pada kategori sangat tinggi sebanyak 30 remaja (56,6%), kategori tinggi sebanyak 22 remaja (41,5%), kategori rendah sebanyak 1 remaja (1,9%), kategori sangat rendah sebanyak 0 remaja (0%). dapat disimpulkan bahwa variabel konsep diri remaja dikategorikan dalam kategori sangat tinggi. uji normalitas uji normalitas terhadap data yang didapat adalah berikut : tabel 5. uji normalitas sebaran data tingkat keharmonisan keluarga dan konsep diri remaja variabel chi square df signifikan probabilitas bentuk tingkat keharmonisan keluarga 11,623 24 0,984 > 0,05 normal konsep diri remaja 13,094 30 0,997 > 0,05 normal berdasarkan uji normalitas terhadap tingkat keharmonisan keluarga diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,984 > 0,05, atau diperoleh nilai chi square sebesar 11,623 dengan df sebesar 24. nilai df pada tabel harga chi kuadrat dengan taraf signifikan 5% sebesar 36,42. artinya nilai x2 – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 241 hitung sebesar 11,623≤ x2 tabel sebesar 36,42 sehingga menunjukkan bahwa sebaran data tingkat keharmonisan keluarga memiliki distribusi normal. uji normalitas terhadap konsep diri remaja diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,997 > 0,05, atau diperoleh nilai chi square sebesar 13,094 dengan df sebesar 30. nilai df pada tabel harga chi kuadrat dengan taraf signifikan 5% sebesar 43,77. artinya nilai x2 hitung sebesar 13,094 ≤ x2 tabel sebesar 43,77 sehingga menunjukkan bahwa sebaran data konsep diri remaja memiliki distribusi normal. uji linieritas hasil pengujian linieritas seperti terangkum dalam tabel berikut ini : tabel 6. uji linieritas tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja hubungan variabel f df signifikan p keterangan tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja 0,813 29 22 0,703 > 0,05 linier berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa nilai probabilitas sebesar 0,703 > 0,05, atau diperoleh nilai f sebesar 0,813 dengan df 29, 22. nilai df pada tabel harga distribusi f dengan taraf signifikan 5% sebesar 1,98. artinya nilai f hitung sebesar 0,703 ≤ f tabel sebesar 1,98 sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang dikelola dapat diterima dan dinyatakan linier. pengujian hipotesis pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan melihat nilai r hitung pada hasil pengolahan data dengan bantuan komputer program spss 16.0. hasil analisis menunjukkan adanya korelasi antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja dalam tabel berikut: 242 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga tabel 9. uji hipotesis variabel r xy signifikan keterangan tingkat keharmonisan keluarga* konsep diri remaja 0,713 0,000 ada hubungan berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat hasil pengujian korelasi menunjukkan taraf signifikan sebesar 0,000 untuk hubungan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja atau menunjukkan taraf signifikan < 0,05. hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel tingkat keharmonisan keluarga dengan variabel konsep diri remaja. tabel di atas juga menunjukkan hasil r hitung antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja (r xy ) sebesar 0,713 atau r hitung (0,713) > r tabel 0,266. karena r hitung dihasilkan positif maka menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja. artinya apabila tingkat keharmonisan keluarga meningkat maka konsep diri remaja juga meningkat, namun sebaliknya apabila tingkat keharmonisan keluarga menurun maka konsep diri remaja juga menurun. dan tabel diatas juga menunjukkan bahwa r hitung (0,713) > r tabel 0,266, maka hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang tinggi antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja. dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan atara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja di kecamatan bayat, kabupaten klaten pembahasan hasil analisis variabel tingkat keharmonisan keluarga pada kategori sangat tinggi sebanyak 12 remaja (22,6 %), kategori tinggi sebanyak 38 remaja (71,7 %) kategori rendah sebanyak 3 remaja (5,7%), kategori sangat rendah sebanyak 0 remaja (0%). dari hasil analisis variabel tingkat keharmonisan keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel tingkat – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 243 keharmonisan keluarga di kecamatan bayat dapat dikategorikan dalam kategori tinggi. untuk hasil analisis variabel konsep diri remaja pada kategori sangat tinggi sebanyak 30 remaja (56,6%), kategori tinggi sebanyak 22 remaja (41,5%), kategori rendah sebanyak 1 remaja (1,9%), kategori sangat rendah sebanyak 0 remaja (0%). sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel konsep diri remaja di kecamatan bayat dikategorikan dalam kategori sangat tinggi. berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan probabilitas sebesar 0,000 untuk hubungan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja atau taraf signifikan < 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja. selain itu koefisien korelasi antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja yang dihasilkan sebesar 0,713 dan berada dalam kategori sangat tinggi, membuktikan bahwa tingkat keharmonisan keluargamemberikan kontribusi yang sangat tinggi terhadap konsep diri remaja. sesuai hasil penelitian diketahui bahwa responden penelitian memiliki tingkat keharmonisan keluarga yang tinggi dan konsep diri yang sangat tinggi atau positif,dengan hasil korelasi positif dan signifikan. artinya, semakin tinggi tingkat keharmonisan keluargayang diterima maka semakin tinggi konsep dirinya. sebaliknya jika semakin rendah tingkat keharmonisan keluargayang diterima maka semakin rendah pula konsep dirinya. hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh mulyana (2008, 8) yang menyatakan bahwa konsep diri yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang dekat lainnya di sekitar kita (significant others). di lingkungan ini individu mulai dikenalkan dengan kehidupan dan mulai memiliki pandangan-pandangan tentang dirinya yang didapat dari penilaian keluarga atau orang-orang terdekat. positif atau tidaknya pandangan individu terhadap dirinya turut dipengaruhi oleh keluarga. 244 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga individu dibesarkan dalam berbagai situasi yang diciptakan oleh orang tua. prayitno (2006, 131-132) menjelaskan bahwa situasi sosialemosional dalam keluarga yang hangat dapat dilihat dari tingkah laku orang tua yang suka menonjolkan dan menghargai aspek-aspek positif dari remaja dan meredam kelemahan-kelemahan mereka, memberi kesempatan menyatakan diri, baik dalam bentuk ide maupun dalam bentuk hasil karya atau ketrampilan. lingkungan keluarga yang seperti itu membentuk konsep diri internal yang sehat atau positif pada diri mereka. pendapat ini juga didukung oleh penelitian platini (2006) yang meneliti tentang hubungan antara keharmonisan keluarga dan rasa percaya diri dengan prestasi belajar siswa kelas ii rumpun mesin smk nugraha boyolali tahun pelajaran 2006/2007 dengan sampel penelitian sebanyak 51 siswa dari populasi yang berjumlah 71 siswa. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumbangan relatif untuk variabel keharmonisan keluarga sebesar 74,17% dan sumbangan efektifnya 30,17%. jadi hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa kelas ii rumpun mesin smk karya nugraha boyolali. begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh angelita, dkk. (2013, 6), yang meneliti tentang hubungan antara dukungan orang tua dengan konsep diri pada remaja, dimana dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan orang tua dengan konsep diri remaja hal ini menunjukkan semakin tinggi dukungan orang tua maka semakin tinggi pula konsep diri remaja. sebaliknya, semakin rendah dukungan orang tua maka semakin rendah pula konsep diri remaja. konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orangorang penting disekitarnya. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 245 keluarga merupakan salah satu faktor utama pembentukan konsep diri anggota keluarga tersebut. keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam membentuk konsep diri remaja karena sejak lahir, tumbuh dan berkembang remaja ada dalam lingkungan keluarga yang sudah tentu akan memberikan pengalaman hidup yang beraneka ragam. perlakuanperlakuan yang diberikan orang tua terhadap remaja akan membekas hingga dewasa dan membawa pengaruh terhadap konsep diri remaja baik konsep diri ke arah positif maupun negatif. pada umumnya orang tua selalu menuntut remaja untuk menjadi individu yang diinginkan oleh mereka. selain itu sikap orang tua yang berlebihan dalam melindungi remaja akan menyebabkan remaja tidak dapat berkembang dan mengakibatkan remaja menjadi kurang tingkat percaya dirinya dan memiliki konsep diri yang rendah. kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data penelitian mengenai hubungan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja di kecamatan bayat, kabupaten klaten, maka dapat disimpulkan bahwa gambaran tingkat keharmonisan keluarga menunjukkan adanya tingkat keharmonisan keluarga yang tinggi yaitu sebesar (71,7 %). sedangkan gambaran konsep diri remajanya menunjukkan adanya konsep diri yang sangat tinggi atau positif yaitu sebesar (56,6%). dan dari hasil analisis korelasi product moment didapatkan nilai korelasi antara variabel tingkat keharmonisan keluarga dengan variabel konsep diri remaja (r xy ) sebesar 0,713 pada taraf signifikansi 0,000, sehingga r hitung (0,713) > r tabel (0,266) dan signifikansi 0,000 < 0,05. maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan atara tingkat keharmonisan keluarga dengan konsep diri remaja di kecamatan bayat, kabupaten klaten yaitu apabila tingkat keharmonisan keluarga meningkat maka konsep diri remaja juga meningkat, namun sebaliknya apabila tingkat keharmonisan keluarga menurun maka konsep diri remaja juga menurun. 246 | asvi isminayah dan supandi – relasi tingkat keharmonisan keluarga daftar pustaka angelita, a.d., tinneke, a.t., & damajanti, h.c. 2013. hubungan dukungan orang tua dengan konsep diri remaja di sma negeri 1 manado. ejournal keperawatan (e-kp) volume 1. nomor 1. agustus 2013. arikunto, suharsimi. 2006. prasedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: rineka cipta. asweni, resti & khairani. 2013. korelasi antara konsep diri sosial dengan hubungan sosial. jurnal ilmiah konseling januari 2013, vol. 2, no. 1, hal. xx-yy bahri, syaiful. 2008. psikologi belajar. jakarta : rineka cipta djalali, as’ad. 2014. keharmonisan keluarga, konsep diri dan interaksi sosial. persona, jurnal psikologi indonesia januari 2014, vol. 3, no. 01, hal 71 – 82. gunarsa, singgih d. 1995. psikologi untuk keluarga. jakarta: rineka cipta. _____________ . 2002. psikologi perkembangan anak dan remaja. jakarta: gunung mulia. _____________ . 2004. psikologi perkembangan anak, remaja dan keluarga. jakarta: gunung mulia. hadi, sutrisno. 1994. metodologi research 1. yogyakarta: fakultas psikologi ugm. hawari, dadang. 1997. al qur’an: ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. yogyakarta: dana bakti primayasa. hurlock, elisabeth b. (diterjemahkan: istiwidayanti dan soejaewo). 1980. psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga. maslow, a. h. 1970. motivation and personality. new york: harper & row. monks & knoers (diterjemahkan: siti rahayu haditomo). 2002. psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai bagiaannya. yogyakarta: gajah mada university press. mulyana, deddy. 2008. ilmu komunikasi suatu pengantar. bandung: remaja rosdakarya mustofa. 1986. ayah bunda. yogyakarta: mitra pustaka. narendra, dkk. (2008). tumbuh kembang anak dan remaja. jakarta: sagung seto. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 247 platini, maritha. (2006). hubungan antara keharmonisan keluarga dan rasa percaya diri dengan prestasi belajar siswa kelas ii rumpun mesin smk nugraha boyolali tahun pelajaran 2006/2007. jurnal penelitian. prayitno, elida. 2006. psikologi perkembangan remaja. padang: angkasa raya. pujdijogyanti, clara r. 1995. konsep diri dalam pendidikan. jakarta: pt arcan. poerwadarminta. 2002. kamus besar bahasa indonesia. depdiknas, ed.3 cet. ii. jakarta: balai pustaka. rahmad, jalaluddin. 2003. psikologi komunikasi. bandung: remaja rosdakarya. sarwono, sarlito wirawan. 2002. psikologi remaja. edisi enam. jakarta: raja grafindo persada. savitri, intan. 2008. psikologi remaja. jakarta: remaja rosdakarya. sudjana. 2005. methode statistika. bandung: tarsito sulaeman, m.i. 1994. pendidilkan dalam keluarga. bandung: alfabeta. suryabrata, sumardi. 2003. psikologi pendidikan. jakarta: cv. rajawali. willis, sofyan. 2009. konseling keluarga. bandung: alfabeta. yusuf, syamsu. 2004 psikologi perkembangan anak dan remaja. bandung: remaja rosdakarya. pluralisme pemahaman keagamaan santri di surakarta kamila adnani fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: adnanikamila@yahoo.co.id keywords: pluralism of religiosity, santri (students of islamic boarding school) abstract islamic boarding school (pondok pesantren) is an effective media to transform religious and cultural values. the holistic educational system design of islamic boarding school is able to internalize some important values to santri (islamic boarding school’s students). the tolerance on the pluralism of religiosity is an important value for the moslem young generation in facing differences. the pluralism can be grown up by using some educational activities, including muhadlaroh (training of speech). the research focuses on the religious material related to pluralism in understanding religion delivered by the students of pp. al-muayyad and pp. takmirul islam surakarta in their speeches when joining the muhadharoh. by qualitative approach, the data analysis reveals that the students of pp. al-muayyad and pp. takmirul islam surakarta has good understanding on the pluralism of religiosity. abstrak pondok pesantren merupakan wadah efektif untuk transformasi nilai-nilai agama dan budaya. desai sistem pendidikan holistik pesantren mampu menginternalisasi berbagai nilai penting pada diri santri. toleransi atas pluralisme keberagamaan merupakan nilai yang perlu ditanamkan untuk menyiapkan generasi muda muslim toleran terhadap perbedaan. pluralisme dapat ditanamkan dalam berbagai kegiatan pendidikan, diantaranya kegiatan muhadlaroh (latihan pidato). penelitian ini fokus pada analisis materi-materi keagamaan bermuatan pluralisme pemahaman beragama yang disampaikan santri-santri pp al muayyad dan pp takmirul islam surakarta dalam kegiatan latihan pidato. dengan pendekatan kualitatif, analisis atas data yang didapatkan menyimpulkan bahwa pluralisme keagamaan santri di pp al muayyad surakarta dan pp takmirul islam surakarta berjalan secara baik. 184 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan pendahuluan bangsa indonesia merupakan bangsa yang multikulturalisme karena terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan kebudayaan. hal ini sesuai dengan motto negara indonesia yaitu bhinneka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu juga. di indonesia, ada bermacam-macam agama seperti islam, kristen, katholik, hindu, budha dan konghucu. islam sendiri menjadi agama mayoritas masyarakat indonesia. oleh karena itu, seorang warga negara indonesia tidak boleh dipaksa dalam memilih suatu agama. adanya hal tersebut, menimbulkan pro dan kontra terhadap pluralisme di indonesia khususnya di bidang agama. bila dicermati, perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan kesalahpahaman pemaknaan pluralisme agama-budaya. bagi yang pro pluralitas agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang positif. hal ini disebabkan karena keberagaman di indonesia ini bisa menjadikan indonesia sebagai contoh yang baik bagaimana kehidupan kerukunan antar agama. keberagaman ini memang harus dipertahankan dan setiap umat agama harus bisa menghormati umat agama lain. jadi kelompok pro pluralitas beranggapan bahwa warisan sejarah dari pendiri bangsa ini harus dipertahankan. oleh karena itu, setiap kebijakan pemerintah dalam pemerintahan haruslah menguntungkan semua umat beragama, tidak hanya menguntungkan satu umat beragama saja. sebaliknya, bagi yang kontra terhadap pluralisme, pluralitas dianggap bisa mengancam kemurnian ajaran suatu agama. hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing-masing yang berbeda dari agama lain. kekhawatiran kelompok yang kontra pluralisme ini adalah nantinya ajaran setiap agama akan saling campur baur dengan ajaran agama lain. selain itu, jika dilihat dari praktek di lapangan, jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan dengan baik. dalam rangka membangun kerukunan hidup, khususnya dalam masyarakat yang pluralistis, terutama dari aspek agama mengenai dimensi-dimensi eksklusivisme dan inklusivisme dalam agama bisa saling – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 185 mengenal dimensi-dimensi eksklusivitas agama selain dari agama yang dianutnya. hal ini diharapkan dapat melahirkan sikap saling menghargai perbedaan dan bersikap toleran terhadap dimensi-dimensi eksklusivitas dalam ajaran agama lain. hal ini dapat menekan terjadinya konflik antar umat beragama. demikian juga dengan memahami dimensi-dimensi inklusivitas dari pihak lainnya diharapkan dapat membuahkan semangat persamaan dan persaudaraan serta persatuan (abdurrahman 2012, 12). dalam kehidupan masyarakat, khususnya kehidupan umat islam, dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting. melalui dakwah, ajaran islam bisa disampaikan dan dijelaskan kepada masyarakat, agar mereka menjadi tahu hal-hal yang benar maupun yang salah. oleh karena dakwah memiliki kedudukan yang sangat penting, secara hukum dakwah menjadi kewajiban yang harus diemban oleh setiap muslim (abidin 2012, 129). sejak kelahirannya 14 abad yang lalu hingga saat ini, aktivitas dakwah terus mengalami berbagai perubahan dan perkembangan. jika dahulu dakwah islam dilakukan secara sederhana, saat ini aktivitas dakwah dilakukan dengan menggunakan beragam metode, strategi dan media. seiring dengan kemajuan dan dinamika masyarakat modern saat ini, dakwah pun dikemas dalam beragam bentuk dan wadah seraya memanfaatkan kemajuan dan kecanggihan alat-alat dan media komunikasi yang ada. oleh karena itu, aktivitas dan materi dakwah bertebaran di majalah, tabloid, surat kabar, televisi, radio, film, sinetron, pertunjukan, musik dan sebagainya (abidin 2012, 125). salah satu metode dakwah yang dilakukan pada generasi awal umat islam adalah metode ceramah. metode ini menjadi salah satu karakteristik dakwah pada masa nabi dalam periode mekkah. namun demikian, saat ini metode ceramah mulai banyak diragukan efektivitasnya dalam menyampaikan pesan dakwah. dakwah dengan metode ceramah dianggap sudah out of date atau konvensional. metode ini dianggap tidak efektif seperti pertunjukan yang menuntut kelihaian pemainnya (penceramah) dalam mengolah kata, frase, kalimat serta lelucon sehingga membuat audien menangis, tertawa dan bertepuk 186 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan tangan (abidin 2012, 125). selama menimba ilmu di pesantren, santri memperoleh materi-materi keagamaan dari kiai atau ustadz. santri-santri dibekali juga ketrampilan untuk berbicara di depan publik dalam kegiatan muhadhoroh (ceramah) guna menyampaikan gagasan-gagasan tentang keagamaan. di setiap pesantren, biasanya ada satu kegiatan yang disebut dengan muhadhoroh (public speaking) yaitu orang yang menyampaikan gagasannya di depan publik. kegiatan muhadhoroh itu dimaksudkan untuk melatih ketrampilan para santri dalam berbicara di masyarakat. dalam kenyataannya, materimateri keagamaan yang disampaikan oleh para santri di pesantren dalam kegiatan semacam muhadhoroh itu kurang bermuatan pluralisme agama. hal itu menyebabkan munculnya kelompok-kelompok pemahaman keagamaan di masyarakat islam generalis, islam tradisional, islam fundamentalis, islam liberalis dan islam moderat. peneliti tertarik untuk melihat materi-materi dakwah yang disampaikan oleh para santri di pp al muayyad, surakarta dan pp takmirul islam, surakarta. pp al muayyad, surakarta dan pp takmirul islam surakarta yang merupakan representasi dari pesantren moderat (toleran). kelompok-kelompok pemahaman keagamaan dalam islam islam liberal. istilah liberal tidak mudah didefinisikan, apalagi ketika istilah liberal ini melekat pada kata islam. masyarakat muslim memandang istilah islam liberal serba negatif. nama islam liberal menggambarkan prinsip yang dianut yaitu islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan struktur politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas (agung 2015, 149). islam fundamentalis. pengertian fundamentalis yang ada di dalam kamus besar bahasa indonesia adalah penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 187 istilah fundamentalis memiliki kesamaan dengan istilah fanatisme, islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme, bahkan ada yang paling menyudutkan adalah terorisme. konsekuensi dari istilah itu tidak selalu sama, tetapi memiliki kemiripan-kemiripan karakter yaitu kekerasan, baik kekerasan pemikiran maupun kekerasan tindakan atau gerakan (agung 2015, 145). islam tradisional. kelompok ini berasal dari indonesia asli bukan dari luar negeri. mereka memiliki gaya hidup layaknya santri dan memang dapat diyakini umumnya adalah orang-orang yang pernah tinggal di pondok pesantren tradisional. kuzman dalam munawar rahmat (2012) menyebutnya sebagai kelompok islam adat. islam adat tergolong sebagai tradisi pertama dalam islam, yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di seluruh dunia islam. kebiasaankebiasaan tradisi islam tersebut seperti penghormatan terhadap tokohtokoh yang dianggap suci, kepercayaan suci terhadap hal-hal yang dipandang gaib dan tempat-tempat keramat seperti kuburan dan lain-lain. nashir dalam munawar rahmat (2012) menyatakan bahwa kelompok islam tradisional di indonesia dalam konteks gerakan awal abad ke-20 seperti kelahiran nahdlatul ulama islam generalis. menurut azyumardi azra dalam munawar rahmat (2012) bahwa seorang muslim yang mengamalkan ajaran islam seadanya serta cenderung tradisional dan konvensional. mereka melaksanakan agama sebagaimana mereka terima dari orang tua dan lingkungan mereka. mereka mengamalkan ritual-ritual yang pokok seperti shalat dan puasa, tapi tidak begitu semangat terhadap agama. islam modernis/moderat. menurut quraish shihab (2011) konsekuensi dari sikap moderat itu adalah mereka yang tidak terbawa hanyut dalam materialisme, tidak melangit sehingga tidak berpijak ke bumi. posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan rohani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas mereka. 188 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan sikap moderat mengundang umat islam saling berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua budaya, agama dan peradaban sesuai dengan perkembangan zaman. pluralisme pemahaman beragama menurut asal katanya, pluralism berasal dari bahasa inggris, pluralism. apabila meryujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi pluralisme adalah in the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation. terjemahannya dalam bahasa indonesia adalah suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasaan) (wikipedia). adapun pengertian pluralisme agama adalah sebuah pandangan yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa hidup secara damai. pluralisme agama dapat diartikan sebagai kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. pluralisme agama ini sinonim untuk toleransi agama antara berbagai pemeluk agama. metode penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. subjek penelitiannya adalah kiai atau pengasuh pp al muayyad surakarta dan pp takmirul islam surakarta, pengurus atau ustadz, santri-santri yang melakukan ceramah baik di pesantren atau di masyarakat. objek penelitiannya adalah materi-materi keagamaan yang disampaikan santrisantri dari pp al muayyad, surakarta dan pp takmirul islam surakarta. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 189 hasil penelitian kegiatan latihan khitobah santri di pp al muayyad surakarta latihan khitobah dilakukan oleh ipma (ikatan pelajar madrasah al muayyad) setiap 3 bulan sekali, dilakukan perlombaan-perlombaan antar kelas dari tingkat madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, smp dan sma. masing-masing kelas yang diwakili 1 putra dan 1 putri melakukan latihan khitobah di depan para guru yang sekaligus menjadi juri perlombaan khitobah. latihan khitobah (ceramah) penting dilakukan oleh para santri di pesantren, karena beberapa faktor yaitu pertama, image masyarakat terhadap para santri itu menguasai materi-materi keagamaan termasuk dalil-dalil al qur’an dan al hadis. kedua, melatih mental para santri untuk berbicara di depan publik, teman-temannya sesama santri dan para ustad/ guru, berani memegang mikrofon. ketiga, para santri termotivasi dengan adanya perlombaan-perlombaan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. hal itu mendorong para santri membuat materi-materi keagamaan yang disukai oleh banyak orang dari lagu-lagu sholawatan, tampilan para dai baik di televisi, youtube, radio dan sebagainya. (iqbal 2016) proses lomba khitobah yaitu mengambil perwakilan per kelas. misalnya untuk tingkat madrasah aliyah dipilih 1 putra dan putri dan dari madrasah tsanawiyah dipilih 1 putra dan putri. kostumnya atau pakaian yang dipakai diserahkan kepada para santri yang akan tampil. selanjutnya ada juri dari para guru yang menilai dari materi, penampilan dan bahasa (iqbal2016) latihan khitobah santri-santri putra tingkat madrasah aliyah al muayyad surakarta dalam rangka menyambut hari santri nasional 22 oktober 2015 dalam rangka menyambut mensukseskan pelaksanaan ujian nasional (un). mereka melakukan ceramah keagamaan (latihan khitobah) di depan para pendamping atau gurunya dan diperlombakan. santri-santri yang lain dapat menyaksikan pelaksanaan latihan khitobah 190 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan santri yang dilakukan setiap 3 bulan sekali itu. di sini nampak para santri berusaha untuk melakukan latihan khitobah dengan sebaik-baiknya. misalnya dengan mempersiapkan sendiri materi-materi yang akan disampaikan dalam pelaksanaan latihan khitobah tersebut, mensetting tempat pelaksanaan latihan khitobah, menggunakan kostum yang sesuai dengan tema-tema yang telah disediakan oleh pengrus ipma, melakukan gaya atau cara berbicara yang baik di depan publik (public speaking). para pembimbing (guru) bersemangat menjadi juri di pp al muayyad, surakarta saat santri latihan khitobah. para juri itu memberikan penilai para pembicara dari 3 aspek yaitu materi, penampilan dan bahasa yang digunakan ketika latihan khitobah. materi maksudnya adalah pesanpesan yang diberikan oleh pembicara ketika melakukan latihan khitobah. materi-materi (pesan-pesan) yang disampaikan oleh para pembicara sangat bervariasi misalnya tentang keutamaan sholawat, pentingnya doa dan ikhtiar, kelebihan orang yang berilmu dan sebagainya. adapun penampilan seorang pembicara adalah semua yang tampak terlihat oleh mata audience seperti gaya, kostum, mimik, gerak tubuh (body language), intonasi suara dan sebagainya. sedangkan bahasa yang dimaksud adalah kata-kata yang diucapkan oleh secara lisan oleh para pembicara yang berbicara di depan podium. apakah kata-kata atau kalimatnya disampaikan secara jelas dan benar? biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa indonesia. kegiatan latihan khitobah di pp takmirul islam surakarta latihan khitobah diselenggarakan sejak awal berdirinya pondok pesantren takmirul islam (1986). hal ini program unggulan di pp takmirul islam surakarta, karena dengan itu secara tidak langsung menjadi promosi atau sosialisasi pondok pesantren takmirul islam (hasil wawancara peneliti dengan bapak kh suhardi, m.pd tanggal 1 juni 2016). selama seminggu, seluruh santri pp takmirul islam wajib mengikuti ekstra kurikuler pramuka dan khitobah. hal ini berarti bahwa kalau ada santri yang tidak hadir dalam kegiatan ekstra kurikuler tersebut, akan dikenai – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 191 sanksi atau hukuman dari pengawasnya. selain ekstra kurikuler wajib, di pp takmirul islam juga ada ekstra kurikuler pilihan seperti bela diri dan olah raga lainnya. latar belakang latihan khitobah ini dijadikan sebagai program unggulan adalah pertama, sebagian pengelola pp takmirul islam adalah alumni dari pp gontor, ponorogo sehingga mereka berusaha mentransfer ilmunya selama ini, kedua, santri itu dapatlah diibaratkan sebagai sebuah toko atau gudang ilmu. kelak kalau sudah terjun ke masyarakat tentunya harus bisa menyampaikan ilmunya kepada orang lain. bila seandainya para santri itu menjadi guru atau dosen tentunya secara otomatis dapat mentransfer ilmunya kepada orang lain, namun seandainya mereka menjadi petani dan pedagang belum tentu mempunyai kesempatan untuk menyampaikan materi-materi keagamaan kepada orang lain. sehingga di pesantren ini merupakan wahana latihan bagi santri agar dapat mampu berbicara dengan baik di depan publik (public speaking). pada bulan romadlon semua kegiatan ekstra kurikuler (khitobah, pramuka, bela diri, olah raga) diliburkan dan pada bulan syawal akan dimulai lagi. adapun prosesnya yaitu ada pengelompokan santri yang terdiri dari 17 kelas, terus diacak. misalnya kelompok i terdiri dari para santri kelas 1, 2, 3 untuk mengoptimalkan latihan khitobah di pondok pesantren takmirul islam surakarta. latihan khitobah yang berbahasa indonesia dilakukan setiap kamis malam jum’at. latihan khitobah yang berbahasa arab dilakukan pada hari kamis bakda sholat zuhur. latihan khitobah yang berbahasa inggris dilakukan setiap hari ahad malam senin. ada penjadwalan rutin setiap seminggu di level ustadz, ada penanggungjawab ekstra kurikuler di bidang latihan khitobah/muhadhoroh. di samping itu ada mulahish (pengawas)yang bertugas membagi kelompok santri yang akan melakukan latihan khitobah/muhadhoroh. osti (organisasi santri takmirul islam) bagian pengajaran yang mengadakan latihan khitobah (mulai dari membagi ruangan, menentukan ketua kelompok, memilih nama-nama santri dalam satu kelompok, melabeli 192 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan ruangan dan sebagainya). setiap kelompok terdiri dari 30 santri. misalnya ada kelompok a, b, c ….dan seterusnya. setiap waktu latihan khitobah akan ditampilkan sekitar 7 santri. setiap santri yang tampil membutuhkan waktu sekitar 7 menit. selain itu ada santri yang mengambil intisari materi dalam latihan tersebut selama 3 menit. latihan khitobah santri yang berbahasa indonesia dilakukan pada malam hari (pukul 19.00 – 22.00 wib). sedangkan yang mengoreksi adalah pengawas dan santri yang tampil harus dapat tanda tangan dari para pengawas. minggu depan, akan tampil kelompok-kelompok yang lain. selama satu setengah bulan, setiap santri akan tuntas menyelesaikan latihan khitobah dalam 3 bahasa (arab, inggris dan indonesia). materi yang akan disampaikan oleh santri disiapkan sendiri, namun tetap ada acuannya yaitu mukadimah/pembukaan, inti/isi, kesimpulan/penutup. mukadimah biasanya berisi 1 ayat atau hadis yang akan disampaikan dalam khitobah. sedangkan inti atau isi khitobahnya sangat beragam. kalau berbicara mengenai prestasi santri pp takmirul islam surakarta sangat banyak, misalnya juara 4 muhadhoroh nasional di medan, juara i puitisasi al qur’an nasional. perlombaan-perlombaan khitobah di solo biasanya para santri pp takmirul islam dapat memenangkannya termasuk perlombaan yang pernah dilakukan iain surakarta. ini semua merupakan hasil dari latihan khitobah santri selama ini. materi-materi keagamaan yang disampaikan santri dalam latihan khitobah di pondok pesantren al muayyad, surakarta. materi-materi keagamaan yang disampaikan santri dalam latihan khitobah di pp al muayyad, surakarta biasanya disesuaikan dengan eventevent tertentu misalnya menjelang ujian nasional, hari santri nasional, pelantikan pengurus baru ipma dan sebagainya. temanya sangat beragam misalnya keutamaan doa dan ikhtiar sebagai kunci sukses dalam menghadapi ujian nasional, menghormati guru, pentingnya mencari ilmu bagi seorang santri dan sebagainya. memang materi-materi keagamaan – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 193 yang disampaikan santri dalam latihan khitobah itu tidak terdokumentasi yang rapi oleh pengurus, tapi sebenarnya naskah atau teks itu telah dibuat oleh santri sebelum tampil di depan audiens. materi-materi keagamaan yang disampaikan santri dalam latihan khitobah di pondok pesantren takmirul islam, surakarta. bila dibandingkan dengan pp al muayyad surakarta, materi-materi keagamaan di pp takmirul islam lebih tertata dengan baik. masingmasing santri biasanya mempunyai buku tulis yang berisi tentang public speaking. buku tersebut merupakan kumpulan materi-materikeagamaan yang disampaikan oleh setiap santri. sebelum tampil di depan pembimbing atau ustadnya, seorang santri biasanya menuliskan materi yang akan disampaikan dalam sebuah buku. pembimbingnya akan memberi komentar atau penilaian terhadap penampilan seorang santri. pembimbing itu bisa memberikan komentar terhadap teks ceramahnya, bahasanya ataupun penampilannya. adapun tema-tema yang disampaikan santri ketika latihan khitobah antara lain : pentingnya tawakal, islam memfokuskan tauhid, dan bahayanya riba. secara sistimatika penulisan teks ceramah sudah tepat dimulai dengan salam pembukaan yaitu assalaamu’alaikum wr. wb, ucapan pujian kepada allah swt, sholawat kepada rasululloh saw. baru kemudian membahas pengertian riba dan bahayanya. setelah itu membahas riba secara panjang lebar dan mengutip salah satu dalil al-qur’an. hanya saja perlu mencari contoh-contoh tentang bahayanya riba bagi seorang muslim. hal ini membuat teks ceramah ini terasa kurang lengkap. terakhir, seorang santri perlu memberikan kesimpulan terhadap uraian yang telah disampaikan di hadapan audiens sebagai kata penutup. hal ini untuk mengingatkan kembali memori audiens terhadap materi yang telah disampaikan oleh santri di podium. pembimbing seharusnya memberikan penilaian yang berupa angka dan perlu memberikan komentarnya tentang teks yang telah dibuat oleh santri, bahasanya, kekurangan dan kelebihan dari isi teks itu 194 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan sendiri. kesimpulan 1. proses latihan khitobah pp al muayyad surakarta latihan khitobah dilakukan oleh ipma (ikatan pelajar madrasah al muayyad) setiap 3 bulan sekali, dilakukan perlombaan-perlombaan antar kelas dari tingkat madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, smp dan sma. masing-masing kelas yang diwakili 1 putra dan 1 putri melakukan latihan khitobah di depan para guru yang sekaligus menjadi juri perlombaan khitobah. 2. proses latihan khitobah pp takmirul islam surakarta latihan khitobah diselenggarakan sejak awal berdirinya pondok pesantren takmirul islam (1986). hal ini program unggulan di pp takmirul islam surakarta, karena dengan itu secara tidak langsung menjadi promosi atau sosialisasi pondok pesantren takmirul islam. selama seminggu, seluruh santri pp takmirul islam wajib mengikuti ekstra kurikuler pramuka dan khitobah. hal ini berarti bahwa kalau ada santri yang tidak hadir dalam kegiatan ekstra kurikuler tersebut, akan dikenai sanksi atau hukuman dari pengawasnya. selain ekstra kurikuler wajib, di pp takmirul islam juga ada ekstra kurikuler pilihan seperti bela diri dan olah raga lainnya 3. pelaksanaan penyampaian materi keagamaan dalam latihan khitobah di pp al muayyad surakarta terlihat sangat baik, karena dilakukan rutin setiap 3 bulan sekali dan dilakukan perlombaan khitobah perwakilan kelas mulai dari mts dan ma. selanjutnya ada juri dari para guru yang menilai dari materi, penampilan dan bahasa. 4. pelaksanaan penyampaian materi keagamaan dalam latihan khitobah di pp takmirul surakarta terlihat sangat serius dilakukan oleh para pengelola karena pelaksanaan latihan khitobah diselenggarakan seminggi sekali. latihan khitobah yang menggunakan bahasa indonesia dilakukan setiap hari kamis malam jum’at (pukul 19.00 – – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 195 22.00 wib). latihan khitobah yang berbahasa arab dilakukan pada hari kamis bakda sholat zuhur. latihan khitobah yang berbahasa inggris dilakukan setiap hari ahad malam senin. 5. pluralisme keagamaan santri di pp al muayyad surakarta dan pp takmirul islam surakarta berjalan secara baik. hal ini dapat terlihat dari materi-materi keagamaan yang disampaikan oleh santri-santri ketika latihan khitobah maupun ketika perlombaan khitobah dilakukan. materi-materi keagamaan yang disampaikan para santri sesuai dengan al quran dan al hadis. daftar pustaka agung, m jiva. (2015). renungan bagi aktivis dakwah kampus. jakarta : pt elex media komputindo kompas gramedia. abidin, yusuf zainal. (2013). pengantar retorika. bandung : pustaka setia. abdurrahman, mustafa. (2012). eksklusivisme dan inklusivisme dalam agama islam. download 3 april 2016. bintang, widayanto. (2014). powerful public speaking. yogyakarta : andi. dewi, fitriana utami. (2014). public speaking kunci sukses bicara di depan publik teori & praktik. yogyakarta : pustaka pelajar. haedari.amin . (2004). masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global. jakarta : ird press. madjid, nurcholis. (1997). bilik-bilik pesantren sebuah potret perjalanan. jakarta : penerbit paramadina. moleong, metodologi penelitian kualitatif. bandung : pt remaja rosdakarya. mukhlish, n. (2012). peta gerakan pemikiran islam kontemporer di indonesia. download 3 april 2016. nashir, haedar. (2013). islam syariat. bandung : mizan. pancoro, wasis. (2014). pluralisme agama di indonesia. download tanggal 3 april 2016. 196 | kamila adnani – pluralisme pemahaman keagamaan rahmat, munawar. (2012). corak berpikir keagamaan mahasiswa. bandung (jurnal pendidikan agama islam ta’lim vol. 1 no.10). sirait, charles bonar. (2013). the power of public speaking : kiat sukses berbicara di depan publik. jakarta : pt gramedia pustaka utama. siradj, said aqil. (2015). berkah islam indonesia jalan dakwah rahmatan lil ‘alamin. jakarta : pt gramedia. sutopo, hb. (2006). metodologi penelitian kualitatif dasar teori dan terapannya dalam penelitian. surakarta : universitas sebelas maret. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 editorial team alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh editor-in-chief imam mujahid, institut agama islam negeri surakarta editor waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 daftar isi astri fajar atikasari, vera imanti 1 24 model dakwah milenial untuk homoseksual melalui teknik kontinum konseling berbasis alquran khilman rofi azmi 25 58 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin 91 120 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani 141 168 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim 59 90 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana 121 140 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani institut agama islam negeri surakarta keywords: islamic higher education (ptki); transformation; trends http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: adnanikamila8@gmail.com abstract the transformation of the state institute for islamic studies (iain) towards state islamic university (uin) surakarta is understood as a strategic step to improve the quality of the institution's education. iain surakarta needs to fix several factors, both internal and external, in order to maintain its existence as a public institution in the implementation of islamic higher education. the dilemma faced in the transformation of iain towards uin is the dualism-dichotomic phenomenon of science developed. the research method used is descriptive qualitative. this research was conducted from june 14, 2017 to september 12, 2017. the data was collected through observation, interviews, and documentation. the data were analyzed by descriptive analysis with inductive thinking methods. based on the results of the study, it was concluded that: 1) surakarta iain needs to develop general study programs as well as integration between general science and islam, including kpi study programs; 2) the development of study programs at iain surakarta is important in order to accelerate the transformation into uin surakarta; 2) the rapid trend of media development needs to be addressed by the surakarta iain. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 142 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak transformasi institut agama islam negeri (iain) menuju universitas islam negeri (uin) surakarta dipahami sebagai langkah strategis untuk memperbaiki kualitas pendidikan lembaga. iain surakarta perlu membenahi beberapa faktor, baik yang bersifat intern maupun ekstern, guna mempertahankan eksistensinya sebagai institusi publik dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi agama islam. dilemanya, transformasi iain menuju uin adalah fenomena dualisme-dikotomik terhadap keilmuan yang dikembangkan. metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan bersifat deskriptif. penelitian ini dilakukan mulai 14 juni 2017 – 12 september 2017. melalui pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi, penelitian ini dianalisis dengan analisis deskriptif dengan metode berpikir induktif. berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa: 1) iain surakarta perlu mengembangkan program studi-program studi umum sekaligus pengintegrasian antara keilmuan umum dengan keislaman, termasuk program studi kpi; 2) pengembangan program studi-program studi di iain surakarta penting dilakukan guna mempercepat transformasi menjadi uin surakarta; 2) tren pesatnya perkembangan media perlu disikapi oleh iain surakarta. kata kunci: perguruan tinggi keagamaan islam (ptki); transformasi; tren. how to cite (apa 6th style): adnani, k. (2019). tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 141–168. https://doi. org/10.22515/balagh.v4i1.1665 pendahuluan transformasi institut agama islam negeri (iain) menuju universitas islam negeri (uin) surakarta harus dipahami sebagai langkah strategis untuk memperbaiki kualitas pendidikan yang diselenggarakannya. oleh sebab itu, kelemahan-kelemahan mendasar yang terjadi pada iain selama ini mendesak untuk segera dibenahi agar lembaga ini tetap mampu mempertahankan eksistensinya sebagai institusi publik yang mengemban 143tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tanggungjawab pokok dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang agama islam. salah satu kelemahan mendasar yang seringkali disebut-sebut menjadi alasan utama yang melatarbelakangi perubahan iain menuju uin adalah fenomena dualisme-dikotomik keilmuan yang dikembangkan (abdullah, 2003). adanya kebijakan transformasi iain menuju uin surakarta perlu dicermati reintegrasi epistemologi keilmuan yaitu ilmu agama dan ilmu umum dengan wider mandate sehingga perubahannya selain menyangkut bangunan keilmuan yang dikembangkan, juga menyangkut status legal-formal dan administratif (minhaji, 2003). hal ini berkaitan dengan pendapat amin abdullah yang mengatakan bahwa ada empat bidang perubahan yang perlu digarap terus-menerus dalam transformasi iain menuju uin yaitu: 1) pengembangan akademik; 2) pengembangan kelembagaan dan sistem manajemen; 3) pengembangan sumber daya manusia; dan 4) pengembangan sarana-prasarana fisik/infrastruktur (abdullah, 2004). iain surakarta sendiri merupakan nama perguruan tinggi keagamaan islam negeri (ptkin) yang disahkan oleh pemerintah republik indonesia dari sebelumnya yang bernama sekolah tinggi agama islam negeri (stain) surakarta. perubahan alih status dari stain surakarta menjadi iain surakarta ini melalui perjalanan yang panjang karena perubahan nama yang mengikuti perubahan status ini adalah yang ketiga kalinya (penyusun, 2014). sebagai ptkin, iain surakarta menyelenggarakan program pendidikan akademik, mengemban misi sebagai lembaga keilmuan atau lembaga pengembangan kajian ilmu-ilmu agama islam. selain itu, iain surakarta juga mengemban misi menyiapkan calon-calon ulama yang profesional di bidang keahlian yang ditekuninya. di samping itu, iain surakarta juga merupakan lembaga keagamaan/ dakwah yang mengemban misi pengembangan umat islam (muhaimin, 2004, 2012, 2014). 144 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dalam sejarahnya, ptkin di surakarta bernama iain walisongo di surakarta, sebagai kebijakan dan pemikiran dr. h. munawir sjadzali, ma (menteri agama republik indonesia 1983 – 1993). dengan melibatkan beberapa elemen dan tokoh yang ada di surakarta seperti walikota surakarta, majelis ulama indonesia, kantor departemen agama (kandepag), perguruan tinggi, ormas islam dan lain-lain, pada awal tahun 1992 berdiri fakultas ushuluddin dan syariah iain walisongo di surakarta. selanjutnya, dilakukan relokasi terhadap fakultas syariah yang ada di pekalongan dan fakultas ushuluddin yang ada di kudus. kedua fakultas tersebut berafiliasi pada iain walisongo, sehingga iain surakarta pun secara otomatis menginduk pada iain walisongo (penyusun, 2014). pada tahun 1997, iain walisongo di surakarta berubah menjadi sekolah tinggi agama islam negeri (stain) surakarta. hal ini tidak lepas dari hasil pemikiran prof. dr. malik fajar, menteri agama republik indonesia tahun 1998 – 1999. berdasarkan keputusan presiden republik indonesia nomor 11 tahun 1997 terdapat perubahan nama-nama fakultas daerah dengan pusatnya dan berdiri sendiri dengan diberi nama stain surakarta. setelah itu, nama stain surakarta berubah lagi menjadi iain surakarta berdasarkan peraturan presiden republik indonesia nomor 1 tahun 2011 tertanggal 3 januari 2011 (penyusun, 2014). transformasi iain menjadi uin surakarta menuntut perubahan cara pandang (perspektif), sikap, dan perilaku dalam mengembangkan budaya akademik (academic culture). budaya akademik ini harus selalu ada pada diri civitas academica iain surakarta, misalnya kebiasaan menulis artikel di jurnal terakreditasi nasional maupun internasional, memproduksi hasilhasil penelitian yang inovatif dan memiliki novelty, menulis buku-buku yang mengembangkan keahlian disiplin ilmunya, dan mentransfer ilmunya yang bisa diterapkan di masyarakat. perubahan secara coercive ini diperlukan guna memuaskan stakeholder di masyarakat (adnani, hudaya, & fahmi, 2012). pengembangan iain menjadi uin itu bertolak dari suatu paradigma 145tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bahwa pendidikan islam adalah suatu upaya mengembangkan pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidupnya. adanya kebijakan bahwa iain/stain sebagai with wider mandate (dengan mandat yang lebih luas) merupakan peluang dalam merespons berbagai tuntutan dan tantangan tersebut. hanya saja, ada kekhawatiran dari kalangan internal sendiri bahwa adanya kehadiran program studi (program studi) umum itu dapat memarginalisasikan program studiprogram studi agama islam. guna mengantisipasi hal tersebut, perlu dilakukan reorientasi pengembangan kurikulum iain/stain with wider mandate (muhaimin, 2004). reorientasi pengembangan kurikulum di iain/ stain, salah satunya di iain surakarta, dapat diwujudkan pada skala besar maupun skala kecil. wujud reorientasi pengembangan kurikulum skala kecil dilakukan dalam konteks program studi. program studi yang dianggap penting untuk melakukan reorientasi pengembangan kurikulum tersebut adalah program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi). reorientasi pengembangan kurikulum di program studi komunikasi dan penyiaran islam penting dilakukan karena beberapa faktor. menurut hasil penelitian adnani et al. (2012) yang telah mewawancarai pemangku kebijakan di tingkat fakultas yang menaungi program studi komunikasi dan penyiaran islam (fakultas ushuluddin dan dakwah) iain surakarta, kurikulum di program studi tersebut seharusnya lebih mengarah pada kompetensi lulusannya. selain itu, hendaknya terdapat perbedaan kurikulum di fakultas komunikasi pada perguruan tinggi umum dengan komunikasi dan penyiaran islam (kpi) di ptkin, khususnya di iain surakarta. hal ini yang perlu diketahui oleh mahasiswa maupun calon mahasiswa yang akan memasuki program studi kpi di iain surakarta. pengetahuan ini diperlukan karena struktur kurikulum di program studi kpi itu berusaha mengintegrasikan keilmuan umum dan agama islam. 146 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) demikian juga halnya dengan tema-tema skripsi mahasiswa di program studi kpi harus ada pembeda dari segi konten. kajian-kajian skripsi yang diambil mahasiswa dalam program studi kpi seharusnya dapat mengkaitkan antara persoalan-persoalan komunikasi dengan keislaman supaya lebih integral. berdasarkan hasil penelitian adnani & fathan (2010), terdapat dinamika pergeseran tren skripsi mahasiswa-mahasiswa kpi mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2011. pada periode tahun 2001-2003, kajian-kajian tema yang diambil dalam penyusunan skripsi mahasiswa kpi mengarah pada persoalan-persoalan dakwah (keagamaan). pada tahun 2004, tema-tema skripsi mahasiswa mulai diarahkan ke komunikasi dan media tanpa mengesampingkan aspek keislamannya. hal itu dilakukan setelah adanya lokakarya kurikulum. terdapat dua paradigma yang mempengaruhi struktur kurikulum, yaitu paradigma idealisme dan pragmatisme (nuryanto, 2017). paradigma idealisme maksudnya adalah perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi agent of change dalam melakukan transformasi menuju tatanan sosial yang dicita-citakan, tanpa perlu mempertimbangkan tuntutan dunia kerja. paradigma pragmatisme maksudnya adalah perguruan tinggi seharusnya mampu melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia kerja (triatmo, 2012). berkaitan dengan dua paradigma tersebut dapat digambarkan bahwa konstruksi kurikulum sebenarnya lahir dari ideologi yang dianut dalam sistem pendidikan di indonesia. kurikulum tidak bisa berdiri sendiri tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun stakeholder lainnya (masyarakat atau dunia kerja). sebagaimana diketahui bahwa iain surakarta merupakan perguruan tinggi negeri yang banyak diminati. hal ini terbukti pada tahun 2016 jumlah pendaftar mahasiswa baru di iain surakarta sebesar 3500 mahasiswa, sedangkan yang diterima hanya 2000. pada tahun 2016 ini jumlah mahasiswa di iain surakarta sebanyak 12.000 mahasiswa. jumlah ini meningkat di tahun berikutnya, yaitu tahun 2017 terdapat 147tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 11.739 pendaftar dari semua jalur dan seluruh program studi (diterima 4.730 calon mahasiswa) dan tahun 2018 terdapat 17.678 pendaftar dari semua jalur dan seluruh program studi (diterima 5.471 calon mahasiswa). jumlah mahasiswa yang demikian inil dapat menjadi salah satu parameter pentingnya perubahan alih status iain menjadi uin surakarta. tiga tahun terakhir, tepatnya sejak tahun 2016, telah dibuka beberapa program studi di iain surakarta dan telah menerima mahasiswa baru, yakni program studi manajemen dakwah (md), program studi tasawuf dan psikoterapi (tp), program studi sejarah kebudayaan islam (ski), program studi psikologi islam (pi), program pascasarjana pendidikan agama islam (pai), sehingga iain surakarta telah memiliki 18 program studi tingkat s1. sedangkan, pada program magister terdapat program studi pendidikan bahasa arab, hukum ekonomi syariah, manajemen pendidikan islam, dan pendidikan agama islam. apabila dicermati, mayoritas program studi di program magister adalah pendidikan dan ekonomi. sedangkan, rumpun komunikasi belum memiliki program magister di iain surakarta. selain itu, jumlah mahasiswa dan alumni dari program studi strata satu (s1) komunikasi dan penyiaran islam (kpi) sangat banyak. atas dasar ini, maka penting untuk mempertimbangkan mengembangkan komunikasi dan penyiaran islam menjadi program magister atau strata dua (s2). mengenai program studi s1 komunikasi dan penyiaran islam (kpi) iain surakarta berdiri guna menghadapi tantangan perkembangan ilmu, teknologi, dan informasi yang cukup pesat. di samping itu, juga sebagai upaya menyiapkan sarjana yang menguasai keilmuan dan aplikasi fungsionalnya serta keagamaan. mulai beroperasi tahun 1998, program studi kpi memiliki kekhasan, yakni mengembangkan keilmuan dan aplikasi fungsional pada bidang komunikasi dan penyiaran islam. di sisi lain, apabila berbicara tentang tren pengembangan program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) di tingkat magister, maka otomatis 148 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) akan berbicara tentang input calon mahasiswa atau peminat. adapun yang menjadi sumber input mahasiswa (peminat) yang dibutuhkan pada program studi magister komunikasi penyiaran islam ini adalah lulusan pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang secara kuantitas dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. berdasarkan informasi dari ketua program studi kpi iain surakarta dan staf bagian umum fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta diperoleh data tentang jumlah mahasiswa yang diterima di program studi kpi tiga tahun terakhir (2016, 2017, dan 2018). data tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2016, calon mahasiswa yang registrasi pada program studi tersebut sebanyak 179 orang, pada tahun 2017 calon mahasiswa yang registrasi pada program studi tersebut sebanyak 161 orang, dan pada tahun 2018 calon mahasiswa yang registrasi pada program studi tersebut sebanyak 194 orang. adapun total jumlah mahasiswa program studi kpi saat ini berjumlah 740 orang. jumlah mahasiswa sebesar ini cukup besar melihat kapasitas jumlah kelas dan ketersediaan sumber daya manusia (dosen-dosen tetap) yang ada di program studi kpi yang hanya berjumlah sembilan orang. rasio dosen dan mahasiswa tersebut belum ideal apabila dihadapkan dengan peraturan menteri riset, teknologi dan pendidikan tinggi republik indonesia nomor 2 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan menteri riset, teknologi, dan pendidikan tinggi nomor 26 tahun 2015 tentang registrasi pendidik pada perguruan tinggi, disebutkan bahwa rasio jumlah dosen dan mahasiswa pada program studi harus ideal. rasio jumlah dosen dan mahasiswa dalam rumpun ilmu agama, rumpun ilmu humaniora, rumpun ilmu sosial adalah 1:45 dan 1:30 untuk program studi ilmu eksakta. jumlah lulusan program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) cukup banyak, rata-rata dalam satu tahun program studi kpi meluluskan 80-85 mahasiswa. di sisi lain, minat para lulusan perguruan tinggi untuk mendaftarkan diri ke pascasarjana juga cenderung meningkat. hal ini 149tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) terlihat dari banyaknya alumni program studi kpi yang mendaftarkan ke jenjang s2 di berbagai perguruan tinggi yang ada di uns (universitas sebelas maret surakarta) maupun uin sunan kalijaga yogyakarta. selain itu, berdasarkan data exit survey (survei yang bertujuan untuk mengetahui rencana calon alumni selepas wisuda) menyatakan bahwa calon alumni program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) yang memiliki indeks prestasi kumulatif (ipk) sebesar 3,50 ke atas berminat melanjutkan studi ke strata dua (s2). di sisi lain, berdasarkan data angket yang didapatkan dari 83 mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam iain surakarta dengan cara acak, didapatkan bahwa 67 mahasiswa (80,5%) berminat melanjutkan studinya ke s2. selanjutnya, dari 83 mahasiswa tersebut, 59 mahasiswa (71%) ingin melanjutkan ke s2 komunikasi dan penyiaran islam di iain surakarta seandainya iain surakarta memiliki program tersebut. terkait penelitian yang mengkaji pengembangan program studi dan institusi pendidikan, pernah dilakukan oleh novita (2018). dalam penelitiannya tersebut, dihasilkan bahwa beebrapa strategi harus dilakukan untuk menambah mahasiswa di program studi perguruan tinggi swasta, misalkan peningkatkan sumber daya manusia, peningkatan kerja sama dengan pihak lain, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, meningkatkan intensitas promosi, menawarkan lulusan pada stakeholder, dan memberikan peningkatan layanan (novita, 2018). selain itu, terdapat penelitian darmawan & zaidi (2018) mengenai strategi pengembangan program studi manajemen dakwah dengan cara meningkatkan publikasi dan kerjasama, mendorong para dosen untuk melanjutkan studi strata tiga (s3), dan memperbaiki fasilitas. mengenai penelitian lain yang sejenis masih belum dilakukan, terlebih lagi pengembangan program studi komunikasi dan penyairan di perguruan tinggi keagamaan islam negeri semacam iain surakarta. adapun penelitian terkait program studi komunikasi dan penyiaran islam di iain surakarta, pernah dilakukan oleh abas (2017) dan adnani et al. 150 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (2012). abas (2017) meneliti tentang strategi pengembangan keilmuan mata kuliah profesi pada program studi komunikasi dan penyiaran islam, sedangkan adnani et al. (2012) meneliti tentang reorientasi kurikulum program studi komunikasi dan penyiaran islam agar memunculkan dampak profesional, material, dan sosial kultural. penelitian lain tentang program studi komunikasi dan penyiaran islam di iain surakarta juga pernah dilakukan oleh adnani & fathan (2010) tentang tren tema skripsi pada mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam, sriyanto (2018) tentang keputusan pemilihan jurusan pada mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam, serta susilowati & pratiwi (2018) tentang kepuasan mahasiswa dalam pemilihan konsentrasi pada program studi komunikasi dan penyiaran islam. dengan demikian, tiga penelitian terakhir tidak mengkaji tentang pengembangan program studi. atas dasar ini, penelitian mengenai tren pengembangan program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) dalam konteks persiapan transformasi iain surakarta menuju uin surakarta belum pernah dilakukan, sehingga penelitian semacam ini penting ini dilakukan. maka dari itu, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan transformasi keilmuan program studi kpi iain menuju uin surakarta. berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana model tren pengembangan program studi kpi dalam upaya transformasi iain menjadi uin surakarta? metode penelitian penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. penelitian deskriptif kualitatif adalah prosedur memecahkan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan sebagainya) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya (moleong, 2017). adapun yang menjadi subjek penelitian adalah key-informan, yaitu 151tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ketua program studi kpi iain surakarta periode 2015-2019 dan dekan fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta periode 2015-2019. teknik pengumpulan datanya dengan observasi terlibat (participant observation), wawancara (interview), dan dokumentasi (documentation). observasi ini digunakan untuk melihat dinamika pergeseran kurikulum program studi kpi dari tahun 2003-2015 maupun kajian-kajian tema skripsi yang diambil oleh mahasiswa mulai dari tahun 2003-2016. dokumentasi digunakan untuk melihat buku-buku panduan akademik iain surakarta dari tahun 2003-2016, buku besar dari biro skripsi, dan skripsi-skripsi mahasiswa kpi. teknik analisis data dilakukan dengan tiga langkah, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (moleong, 2017), sedangkan teknik keabsahan data yang digunakan peneliti adalah triangulasi sumber dan teori. triangulasi data adalah membandingkan antara data-data hasil pengamatan dengan data-data hasil wawancara di lapangan. sedangkan, triangulasi teori adalah mencari teori-teori yang relevan dengan kajian penelitian yang dilakukan oleh peneliti. hasil penelitian dan pembahasan transformasi perguruan tinggi keagamaan islam (ptki) perkembangan zaman semakin pesat saat ini, salah satu indikatornya adalah semakin majunya sistem teknologi dan informasi. setiap masyarakat dituntut untuk dapat merespons kondisi tersebut, tak terkecuali institusi pendidikan tinggi. ada banyak macam institusi pendidikan tinggi, misalkan perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta, serta perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi keagamaan. berbagai macam perguruan tinggi tersebut hendaknya mampu menciptakan pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan zaman dan keilmuan serta menyelesaikan permasalahan di tengah kemajuan sistem teknologi dan informasi. salah satu upaya untuk mencapai target tersebut adalah melakukan transformasi 152 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sehingga mampu menciptakan strategi pendidikan transformatif. menurut achmadi (2005), yang dimaksud dengan strategi pendidikan transformatif adalah pendidikan yang mengakses perubahan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pandangan hidup tersebut. pandangan hidup yang sudah menjadi ideologi suatu bangsa tentunya tidak mudah diubah begitu saja, melainkan perlu reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang ada. dalam konteks perguruan tinggi keagamaan, khususnya iain surakarta, pendidikan transformatif tersebut dielaborasikan dengan nilai-nilai keislaman, sehingga menjadi pendidikan islam transformatif. abdurrahman (2005) memberikan batasan tentang pendidikan islam transformatif. pendidikan islam transformatif adalah pendidikan islam yang mengakses perubahan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip liberalisasi, humanisasi, dan transendensi yang bersifat profetik. liberalisasi bertolak dari prinsip kebebasan yang bertanggung jawab seperti yang tercantum dalam quran surat al-ra’d ayat 11 bahwa allah subhanahu wa taala tidak akan mengubah nasib seseorang selama manusia itu tidak mau mengubah dirinya sendiri. humanisasi maksudnya didasarkan atas konsep fitrah dalam islam yang memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia dengan potensi yang dapat dikembangkan. transendensi yang bersifat profetik ialah pemberian makna hubungan dengan allah subhanahu wa taala. berbekal ketiga prinsip tersebut, iain surakarta termasuk setiap program studi yang ada di dalamnya, diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dan memenuhi kebutuhan zaman tanpa harus meninggalkan nilai-nilai spiritual dan agama. berbicara soal strategi pendidikan islam transformatif, otomatis juga akan berbicara soal pelaku strategi tersebut. salah satu pelaku strategi pendidikan islam transformatif adalah perguruan tinggi keagamaan islam. selanjutnya, untuk dapat menerapkan strategi pendidikan islam transformatif, perguruan tinggi keagamaan islam (salah satunya iain 153tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) surakarta) juga harus melakukan transformasi. transformasi pendidikan islam di indonesia berdasarkan refleksi sejarah merupakan produk interaksi misi islam dengan tiga kondisi. pertama, interaksi islam dengan budaya lokal pra islam yang melahirkan pesantren. kedua, interaksi pendidikan islam dengan tradisi timur tengah melahirkan madrasah. ketiga, interaksi pendidikan islam dengan politik pendidikan hindia belanda menghasilkan lembaga pendidikan sekolah. transformasi pendidikan ini akan terus berproses sejalan dengan perubahan dan tantangan yang dihadapi umat islam. begitu halnya kondisi perguruan tinggi keagamaan islam negeri, transformasi iain juga terus berproses dari ideologis politis menuju ke arah akademis (achmadi, 2005). misalkan, adanya integrasi dan interkoneksi dalam paradigma keilmuan jaring laba-laba di uin sunan kalijaga yogyakarta, gunungan ilmu di iain surakarta, dan sebagainya. pada akhir orde baru sampai awal era reformasi merupakan puncak kegamangan yang ditandai dengan perluasan cakupan ilmu pengetahuan dalam pendidikan islam. selain itu, munculnya wacana ingin mengembalikan pengelolaan pendidikan ke kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi (kemenristekdikti) sampai lahirnya universitas islam negeri (uin). hal ini muncul seiring dengan tertinggalnya mutu pendidikan di iain/stain dan semakin menurunnya animo mahasiswa masuk ke iain/stain (achmadi, 2005). adanya pendirian universitas islam negeri (uin) di satu sisi merupakan wujud kegamangan para elit muslim pengambil kebijakan atas ketidaksesuaian lagi iain/stain dalam memasuki era globalisasi. namun, di sisi lain merupakan realisasi kesadaran makna pendidikan islam yang luas mencakup berbagai bidang keilmuan dan tidak dikotomis antara ilmu pengetahuan agama dan umum. hal ini ditunjukkan dengan pengembangan kurikulum uin sunan kalijaga yogyakarta yang menggunakan pendekatan integratif dan interkonektif (abdullah, 2007; hidayat, 2014; siswanto, 2013; sutarto, 2017). 154 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menurut abdullah (2007), tantangan di era globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem pendidikan islam secara keseluruhan. jika kaum muslimin ingin menang dalam persaingan global yang semakin tajam dan mampu tampil di depan maka, reorientasi pemikiran mengenai pendidikan islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan suatu keharusan. pemikiran ini yang mendorong adanya gagasan tentang pengembangan iain (khususnya, jakarta dan yogyakarta) sebagai pilot project menjadi universitas islam negeri (uin) di bawah kementerian agama republik indonesia. uin mencakup fakultas-fakultas agama dan umum dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral keagamaan yang integralistik. fakultas-fakultas agama perlu dikembangkan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di era global dan diperkuat dosen-dosen yang handal dalam penguasaan islamic studies, humanities, dan ilmu-ilmu sosial. fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk with wider mandate maupun universitas perlu dibekali muatan keagamaan. akhirnya, pengembangan iain (termasuk iain surakarta) ini diharapkan melahirkan pendidikan islam yang transformatif di masa yang akan datang. tren pengembangan program studi dalam transformasi iain menuju uin iain surakarta merupakan perguruan tinggi keagamaan islam negeri (ptkin) yang sedang berkembang dan mengalami transformasi. salah satu arah perkembangan tersebut adalah transformasi dari bentuk iain menjadi uin. transformasi ini diupayakan agar iain surakarta mampu menciptakan dan menerapkan strategi pendidikan islam trasnformatif. modalitas yang harus dipersiapkan misalkan pengembangan program studi. adapun program studi yang potensial untuk dikembangkan adalah program studi komunikasi dan penyiaran islam. iain surakarta sudah membuka program studi komunikasi dan penyiaran islam sejak 155tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tahun 1998. potensi yang dimiliki oleh program studi tersebut adalah tingginya jumlah mahasiswa. data tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2016, calon mahasiswa yang registrasi pada program studi tersebut sebanyak 179 orang, pada tahun 2017 calon mahasiswa yang registrasi pada program studi tersebut sebanyak 161 orang, dan pada tahun 2018 calon mahasiswa yang registrasi pada program studi tersebut sebanyak 194 orang. di sisi lain, setiap tahun program studi tersebut meluluskan rata-rata 85 mahasiswa. setiap mahasiswa yang memiliki indeks prestasi kumulatif sebesar 3,50 ke atas menyatakan minatnya melanjutkan studi di strata dua (s2) ketika menjalankan munaqasyah (ujian skripsi). di sisi lain, berdasarkan data angket yang didapatkan dari 83 mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam iain surakarta dengan cara acak, didapatkan bahwa 67 mahasiswa (80,5%) berminat melanjutkan studinya ke s2. selanjutnya, dari 83 mahasiswa tersebut, 59 mahasiswa (71%) ingin melanjutkan ke s2 komunikasi dan penyiaran islam di iain surakarta seandainya iain surakarta memiliki program tersebut. padahal, iain surakarta belum memiliki program magister komunikasi dan penyiaran islam. sehingga, alumni program studi tersebut menempuh studi lanjut di perguruan tinggi lain. dalam konteks modalitas transformasi iain menuju uin surakarta dan menilik potensi yang dimiliki program studi s1 komunikasi dan penyiaran islam serta minat alumni tersebut, program studi tersebut dapat dikembangkan ke arah strata dua (s2). program studi komunikasi dan penyiaran islam memiliki fokus kajian, salah satunya adalah komunikasi dalam bingkai keislaman. hal ini disebabkan oleh karena program studi tersebut berada di bawah naungan perguruan tinggi keagamaan islam. berbicara masalah komunikasi, maka harus memahami definisi dan batasan komunikasi. istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari kata latin communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. sama memiliki maksud sama makna (effendy, 2012, 2017). menurut lasswell (1948, 2007), bahwa 156 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: who says; what in; which channel; to whom with; what effect? paradigma lasswell tersebut menurut effendy (2012, 2017) menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yaitu komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel), komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient), efek (effect, impact, influence). berdasarkan paradigma lasswell tersebut, dapat disimpulkan bahwa maksud dari komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. maka dari itu, salah satu luaran dari alumni program studi komunikasi dan penyiaran islam adalah meningkatkan keterampilan alumni di bidang komunikasi. selain itu, alumni program studi tersebut juga hendaknya memiliki kemampuan untuk menerapkan praktik-praktik komunikasi dan penyiaran dalam bingkai keislaman, serta mengkaji dan meneliti berbagai permasalahan yang muncul dalam bidang komunikasi dan penyiaran. keterampilan semacam ini semakin dibutuhkan di zaman ini, yaitu zaman ketika teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih sehingga menyebabkan permasalahan dalam bidang tersebut semakin kompleks. di sisi lain, keterampilan ini juga dapat dicapai apabila program studi yang fokus pada kajian komunikasi, seperti komunikasi dan penyiaran islam, dikembangkan ke arah yang lebih baik, salah satu bentuknya adalah pengembangan ke arah pembentukan program magister komunikasi dan penyiaran islam dengan menganut sistem pendidikan islam transformatif. perkembangan dunia (termasuk dunia pendidikan) terus berjalan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan sistem teknologi dan informasi. dunia pendidikan juga dituntut untuk peka terhadap perubahan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. abad 21 ditandai dengan peran yang begitu besar teknologi informasi dan komunikasi 157tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dalam berbagai aspek kehidupan manusia. itulah sebabnya abad 21 ini disebut dengan era informasi (rosana, 2016). batas antar negara dan warga negara menyatu dalam dunia global. hal ini sesuai dengan pendapatnya mcluhan yang disebut dengan global village (mcluhan, 1994). seiring dengan perkembangan tersebut, iain surakarta sebagai sebuah institusi pendidikan diharapkan mampu menghadapi tantangan tersebut. sebagai perguruan tinggi negeri, iain surakarta (begitu pula perguruan tinggi keagamaan lainnya) bersama-sama dengan perguruan tinggi harus sadar bertanggungjawab penuh dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia (sdm) indonesia. oleh karena itu, sebagai subsistem pendidikan tinggi nasional, iain mempunyai tugas untuk transfer of knowledge dalam masalah kerja dan perolehan gelar akademik (sutrisno, 2005). lebih lanjut, sutrisno (2005) menuliskan bahwa perguruan tinggi iain sedang dihadapkan pada beberapa persoalan yang harus segera diselesaikan, misalkan citra umat islam sangat buruk; terbelakangnya peradaban umat islam dunia; umat islam terdera oleh berbagai krisis; dihadapkan pada problem dikotomi ilmu yang sangat akut (ilmu tradisional dengan ilmu sekuler modern); iain dituntut dapat menghasilkan alumni bertakwa yang memiliki tiga kemampuan, yaitu kemampuan untuk menganalisis, kemampuan untuk berinovasi, dan kemampuan memimpin. maka dari itu, sudah waktunya bagi iain untuk mengembangkan tiga perangkat utama manusia, yaitu perangkat yang berupa akal, hati, dan indra manusia, dalam rangka pengembangan iain dengan paradigma baru. hal ini diharapkan dapat menghasilkan alumni yang dapat berkompetisi dalam kehidupan global abad ke-21 ini. salah satu solusi yang dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan kemajuan zaman, informasi, dan teknologi tersebut adalah kemampuan dalam mengaitkan antara ilmu pengetahuan dan teknologi. pada dasarnya, ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki sifat saling terkait dalam mengembangkan ekologi kependidikan dan kesadaran 158 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berkomunikasi, bernegara, dan berbangsa. melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi dapat menciptakan pendikan yang berkualitas. tanpa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga pendidikan dan individu akan termarginalkan di pasar global saat ini. dalam kaitannya dengan pengelolaan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, harus mampu ikut membangun tatanan sosial dan ekonomi di era revolusi 4.0 saat ini (rosana, 2016). penguasan keterampilan ini dapat ditempuh, salah satunya dengan meningkatkan keterampilan mahasiswa. pada konteks dunia perguruan tinggi, luaran mahasiswa di setiap jenjang (s1, s2, dan s3) berbeda. dalam rangka untuk semakin dapat memenuhi tuntutan perkembangan zaman, maka pengembangan keterampilan mahasiswa menjadi suatu keniscayaan. atas dasar ini, maka program studi yang memiliki fungsi aplikatif dalam permasalahan perkembangan teknologi dan informasi, salah satu komunikasi dan penyiaran islam, hendaknya dikembangkan menjadi program magister. terlebih lagi, program magister komunikasi dan penyiaran islam menjadi modalitas transformasi iain surakarta menuju uin surakarta. hal penting yang harus diperhatikan adalah pengembangan program studi-program studi umum maupun agama seharusnya relevan dengan perkembangan zaman di era global sekarang ini. para pemangku kebijakan (decision maker) harus bisa mensikapinya dengan cepat dan tepat agar program studi-program studi yang akan dibuka di masa-masa medatang itu dibutuhkan oleh dunia kerja atau stakeholder yang ada. seperti yang diungkapkan oleh atmaja (2008) bahwa tren itu merupakan pendekatan dengan menggunakan perbandingan kemajuan perusahaan dari waktu ke waktu. konteksnya, tren pengembangan program studi yang akan dibuka di iain surakarta harus dilihat dari kecenderungan peminat beberapa tahun terakhir ini. program studi-program studi yang langka peminat seharusnya dikembangkan menjadi program studi yang relevan dengan perkembangan zaman di era revolusi industri 4.0. sedangkan, program 159tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) studi-program studi yang banyak peminatnya dikembangkan lebih luas agar tidak stagnan pada tingkat strata satu (s1) saja. pengembangan program studi yang memiliki banyak peminat ini bisa diwujudkan dalam bentuk membuka program studi tersebut di taraf strata dua (s2) dan strata tiga (s3). salah satu contohnya adalah program studi kpi yang dalam lima tahun terakhir ini banyak peminat dan para alumninya banyak yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. oleh karena itu, perlu dipikirkan pembukaan s2 komunikasi dan penyiaran islam (kpi). pentingnya pembukaan program magister komunikasi penyiaran islam (kpi) di iain surakarta dilatarbelakangi oleh beberapa faktor internal dan eksternal yang dihadapi oleh program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) di fakultas ushuluddin dan dakwah (fud). faktorfaktor internal yang ada yaitu realita terhadap tingginya animo masyarakat untuk masuk ke program studi kpi di fakultas ushuluddin dan dakwah (fud) iain surakarta dalam tiga tahun terakhir ini (2016, 2017, 2018). berdasarkan hasil wawancara dengan ketua program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi), fathan, s.sos., m.si pada hari senin, 11 september 2017 diperoleh keterangan ada tiga faktor internal pada program studi kpi. pertama, masyarakat sangat antusias menjadi mahasiswa program studi kpi di iain surakarta selama beberapa tahun terakhir ini. hal ini hendaknya menjadi pemikiran yang serius bagi para pemegang keputusan di tingkat fakultas maupun rektorat terhadap fenomena seperti ini. kedua, minat sebagian alumni program studi kpi pada tiga tahun terakhir ini yang berniat ingin meneruskan studi lanjut ke tingkat s2 cukup tinggi. seperti yang sudah dituliskan di bagian sebelumnya, setiap mahasiswa yang menjalani munaqasyah (ujian skripsi) dan memiliki indeks prestasi kumulatif 3,50 ke atas, memiliki minat untuk melanjutkan studi komunikasi ke program magister. di sisi lain, berdasarkan data angket yang didapatkan dari 83 mahasiswa komunikasi dan penyiaran islam iain surakarta dengan cara acak, didapatkan bahwa 67 mahasiswa (80,5%) 160 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berminat melanjutkan studinya ke s2. selanjutnya, dari 83 mahasiswa tersebut, 59 mahasiswa (71%) ingin melanjutkan ke s2 komunikasi dan penyiaran islam di iain surakarta seandainya iain surakarta memiliki program tersebut. akan tetapi, karena iain surakarta belum memiliki program tersebut, hanya sedikit alumni yang merealisasikan minatnya untuk melanjutkan belajar ke program magister. adapun sebagian alumni lain yang berupaya mewujudkan minat tersebut, melanjutkan belajarnya ke program magister di universitas muhammadiyyah surakarta (ums), s2 komunikasi dan penyiaran islam (kpi) uin sunan kalijaga yogyakarta, dan s2 ilmu komunikasi universitas sebelas maret (uns) surakarta. apabila iain surakarta dapat membuka program magister (s2) kpi, maka alumni kpi tersebut tidak perlu melanjutkan kuliah s2 di perguruan tinggi lain. keterangan dari dekan fakultas ushuluddin dan dakwah (fud), bahwa dibukanya program magister komunikasi dan penyiaran islam memiliki beberapa pertimbangan, yaitu: 1) pengembangan lembaga di iain surakarta pada umumnya dan fakultas ushuluddin dan dakwah (fud) pada khususnya; 2) peluang dibukanya s2 kpi itu ada di program studi kpi dengan melihat sumber daya manusia (sdm) yakni jumlah dosen-dosen yang telah bergelar doktor sudah banyak; 3) lulusan program studi kpi sangat potensial dan diharapkan dapat melanjutkan studinya ke s2 kpi. ketiga, jumlah sumber daya manusia (sdm) yaitu dosen-dosen program studi kpi yang sudah memenuhi batas minimal yang ditentukan oleh kemenristekdikti yaitu enam orang. sedangkan, pada program studi kpi ada sembilan orang. menurut dekan fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta, dr. imam mujahid, m.pd. bahwa tidak ada permasalahan adanya aturan dari pusat yang mengharuskan jumlah minimal dosen tetap di program studi sebuah perguruan tinggi itu adalah enam orang. dosendosen yang bergelar doktor di program studi kpi itu dapat digunakan 161tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) di fakultas (s1) maupun pascasarjana (s2). menurut ketua program studi kpi bahwa adanya aturan dari pusat yang mengharuskan ketersediaan dosen tetap program studi itu adalah enam orang perlu segera disikapi oleh pimpinan fakultas maupun institut supaya program studi tersebut mendapatkan kesempatan untuk menambah dosen pengajar lagi di masa mendatang. dengan demikian, ketersediaan dosen pengajar baik di tingkat s1 maupun s2 semakin tercukupi. adapun faktor eksternal pendirian program magister s2 kpi ada dua. pertama, perkembangan serta kemajuan teknologi dan informasi. perkembangan ini menuntut masyarakat dan institusi pendidikan semacam iain surakarta untuk meresponsnya dengan tepat, sehingga respons tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pengembangan program studi kpi ke arah magister. kedua, masih sedikitnya program magister komunikasi dan penyiaran islam di berbagai perguruan tinggi, misalkan uin syarif hidayatullah jakarta, uin sunan ampel surabaya, dan uin sunan kalijaga yogyakarta. bidang garap dalam transformasi pendidikan berkaitan dengan pendapatnya dari amin abdullah yang mengatakan bahwa ada empat bidang perubahan yang perlu digarap terusmenerus dalam transformasi iain menuju uin. pertama, pengembangan akademik. kedua, pengembangan kelembagaan dan sistem manajemen. ketiga, pengembangan sumber daya manusia. keempat, pengembangan sarana dan prasarana fisik/infrastruktur (abdullah, 2004, 2007). pertama, pengembangan akademik. saat ini telah memasuki era new media yang menuntut lembaga pendidikan menyesuaikan tuntutan yang dibutuhkan oleh zaman. oleh karena itu, mulai tahun 2015, program studi kpi iain surakarta telah menerapkan kurikulum kkni (kerangka kualifikasi nasional indonesia) sehingga, dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). selain itu, di wilayah karesidenan 162 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) surakarta ini terdapat banyak kantor media massa, baik cetak (solopos, radar solo, joglo semar) maupun elektronik (tatv, hizfm, al hidayah fm, mh fm, solotv). kondisi ini menjadi peluang bagi mahasiswa program studi kpi dalam melakukan magang kerja di media. selain itu, banyaknya kantor media massa di surakarta ini juga menjadi peluang dan modalitas untuk pengembangan kpi menuju program magister. hal ini sesuai dengan penelitian darmawan & zaidi (2018) dan novita (2018) bahwa salah satu wujud pengembangan adalah dengan meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak. kedua, pengembangan kelembagaan dan sistem manajemen. adanya wacana alih status iain surakarta menjadi uin surakarta menjadi peluang bagi perguruan tinggi tersebut untuk mengembangkan lembaga-lembaga yang ada, termasuk membuka program studi yang baru baik di fakultas maupun di pascasarjana. pembukaan program studi baru termasuk ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum menjadi peluang bagi iain surakarta menjadi lembaga yang yang unggul, terdepan, dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin pesat. secara historis, pada awalnya kampus ini bernama stain surakarta pada tahun 1992 dan kemudian beralih status menjadi iain surakarta pada tahun 2011 dan harapannya pada tahun 2020 nantinya akan beralih status menjadi uin surakarta. peluang pengembangan kelembagaan dan sistem manajemen ditandai dengan beberapa indikator, misalnya jumlah mahasiswa iain surakarta saat ini sudah mencapai 12.000 orang, jumlah program studi 22 buah, jumlah dosen 170 orang, jumlah guru besar ada 3 orang, jumlah dosen yang bergelar doktor sudah hampir 50 %. realita itu semua menjadi modalitas berharga untuk merealisasikan alih satus iain surakarta menjadi uin surakarta. realisasi transformasi iain surakarta menjadi uin surakarta salah satunya dapat dibantu dengan pengembangan lembaga dalam bentuk membuka program baru, misalkan program magister komunikasi dan penyiaran islam (kpi). 163tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ketiga, pengembangan sumber daya manusia. program studi kpi iain surakarta mempunyai sumber daya manusia (sdm) yang mempunyai kapasitas. jumlah dosen tetap program studi kpi ada sepuluh orang (empat orang sudah bergelar doktor, tiga orang bergelar magister, dan tiga orang sedang menempuh studi lanjut s3 di universitas sebelas maret surakarta dan iain surakarta. rincian empat orang dosen yang bergelar doktor tersebut adalah dua orang mengambil program studi kajian budaya dan media (kbm) ugm, sedangkan dua orang dosen lainnya mengambil program studi islamic studies di uin sunan kalijaga yogyakarta. di samping itu, animo masyarakat untuk memasuki program studi kpi cukup besar. hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data dari bagian akademik fakultas maupun institut selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini (2016, 2017, 2018). ada potensi munculnya ancaman apabila melonjaknya jumlah mahasiswa yang cukup signifikan tersebut tidak ditindaklanjuti secara cepat oleh pimpinan di tingkat fakultas maupun institute. potensi ancaman tersebut adalah rasio dosen dan mahasiswa menjadi tidak ideal. bila hal ini dibiarkan terus-menerus, maka akan berimbas pada beban kerja para dosen dan pemangku jabatan di program studi kpi menjadi berlebihan. efek selanjutnya, hal ini menjadikan dosen-dosen kurang produktif untuk menulis artikel, baik di media massa maupun di jurnal-jurnal penelitian. selain itu, nilai akreditasi dari badan akreditasi nasional perguruan tinggi (ban-pt) sulit memperoleh nilai a karena belum idealnya rasio antara jumlah mahasiswa dengan jumlah dosen tetap program studi. ancaman lain adalah banyaknya kampus di wilayah surakarta yang memiliki program studi dan fakultas komunikasi yang telah terakreditasi a oleh ban-pt. atas dasar ini, maka pengembangan sumber daya manusia perlu diupayakan baik di tingkat fakultas maupun institut. terlebih lagi untuk mempersiapkan transformasi iain surakarta menuju uin surakarta dan persiapan dibukanya program magister kpi. hal ini sesuai dengan 164 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) penelitian darmawan & zaidi (2018) dan novita (2018) bahwa salah satu wujud pengembangan adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. keempat, pengembangan sarana dan prasarana fisik/infrastruktur. secara geografis, lokasi kampus iain surakarta berada pada wilayah segitiga emas (surakarta, semarang, dan yogyakarta) merupakan daerah yang strategis untuk pengembangan kampus dan sosialisasi kepada khalayak. di samping itu, status kampus iain surakarta sebagai salah satu perguruan tinggi negeri yang berbasiskan aama islam menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar untuk menjadi mahasiswa program studi kpi karena biaya pendidikan yang relatif murah dibandingkan dengan program studi-program studi serupa di indonesia. meskipun demikian, fasilitas sarana dan prasarana program studi kpi iain surakarta sudah relatif lengkap walau masih memerlukan peningkatan. misalkan, tersedianya laboratorium tv, laboratorium radio, laboratorium jurnalistik, dengan kelengkapan alat yang memadai. dengan adanya kelebihan tersebut (berupa biaya yang relatif murah dan banyaknya animo untuk masuk ke program studi kpi), maka bisa menjadi modalitas untuk pengembangan sarana dan prasarana infrastruktur. pengembangan sarana dan prasarana tersebut dapat diwujudkan dalam beberapa hal, misalkan pengembangan laboratorium komunikasi dan penyiaran islam serta pembangunan fasilitas lain yang dibutuhkan oleh komunikasi dan penyiaran islam baik di tingkat s1 maupun s2. kesimpulan dan saran kesimpulan adanya tren berkembangnya sistem teknologi dan informasi di belahan dunia ini mengakibatkan semakin kompleksnya permasalahan di bidang tersebut. di sisi lain, setiap segmen dalam masyarakat juga dituntut untuk merespons kondisi tersebut, tak terkecuali iain surakarta sebagai 165tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) institusi pendidikan tinggi. iain surakarta memiliki program studi yang mampu mencetak mahasiswa dengan luaran keterampilan di bidang komunikasi dan informasi, yaitu program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi). setiap tahun, mahasiswa program studi mencapai 160 sampai 170 mahasiswa. atas dasar ini, maka peminat kajian komunikasi dapat dianggap tinggi. di sisi lain, setiap tahun program studi kpi meluluskan kisaran 80 sampai 85 mahasiswa, sehingga alumni program studi kpi dianggap banyak. selain itu, adanya tren pengembangan iain surakarta menuju uin surakarta serta sudah memadainya sumber daya manusia (dosen pengajar), rekanan kerjasama, fasilitas laboratorium, menjadi faktor tambahan bahwa perlunya pengembangan program studi komunikasi dan penyiaran islam menuju program magister. dan melihat banyaknya alumni program studi kpi memperkuat argumen pentingnya dibukanya magister kpi di iain surakarta. terakhir, pengembangan program studi kpi menuju program magister serta transformasi iain surakarta menuju uin surakarta hendaknya diimbangi dengan kekhasan, yaitu model pembelajaran yang mengintegrasikan keilmuan umum dan keilmuan agama. saran saran yang dirumuskan berdasarkan penelitian ini ditujukan oleh beberapa pihak. pertama, kepada peneliti selanjutnya hendaknya semakin memperbanyak penelitian terkait pengembangan program studi ke arah magister sebagai modalitas dalam meningkatkan kualitas institusi pendidikan dengan pendekatan yang semakin komprehensif. kedua, kepada institusi pendidikan, khususnya iain surakarta, pembukaan program magister komunikasi dan penyiaran islam (kpi) yang potensial hendaknya segera ditindaklanjuti dengan merumuskan kebijakan untuk mempersiapkan hal tersebut, seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta kurikulum. 166 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) daftar pustaka abas, z. (2017). pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 2(1), 87–110. https://doi.org/10.22515/ balagh. v2i1.628 abdullah, m. a. (2003). membongkar epistemologi ilmu pengetahuan: sebuah upaya reintegrasi-etika tauhidik sebagai dasar kesatuan epistemologi keilmuan umum dan agama. in j. wahyudi (ed.), menyatukan kembali ilmu-ilmu agama dan umum: upaya mempertemukan epistemologi islam dan umum. yogyakarta: suka press. abdullah, m. a. (2004). laporan rektor dari iain ke uin: membangun kembali kampus masa depan yang mencerahkan umat. yogyakarta. abdullah, m. a. (2007). desain pengembangan akademik iain menuju uin sunan kalijaga. in m. a. abdullah (ed.), islamic studies : dalam paradigma integrasi interkoneksi (sebuah antologi). yogyakarta: suka press. abdurrahman, m. (2005). islam yang memihak. yogyakarta: lkis pelangi aksara. achmadi. (2005). ideologi paradigma humanisme teosentris. yogyakarta: pustaka pelajar. adnani, k., & fathan. (2010). trend skripsi mahasiswa prodi kpi jurusan dakwah dan komunikasi stain surakarta tahun 2003-2011. naadya : jurnal ilmu dakwah dan komunikasi iain surakarta, 13, 30. adnani, k., hudaya, a., & fahmi, m. (2012). reorientasi kurikulum program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta. kodifikasia, 6(1), 1–16. atmaja, l. s. (2008). teori dan praktek manajemen keuangan. yogyakarta: andi offset. darmawan, c., & zaidi, m. h. b. (2018). strategi pengembangan program studi manajemen dakwah fakultas dakwah dan komunikasi uin raden fatah dengan kerangka swot. wardah: jurnal dakwah dan kemasyarakatan, 19(1), 82–102. 167tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) effendy, o. u. (2012). dinamika komunikasi. bandung: pt remaja rosdakarya. effendy, o. u. (2017). ilmu komunikasi: teori dan praktek. bandung: pt remaja rosdakarya. hidayat, m. (2014). pendekatan integratif-interkonektif: tinjauan paradigmatik dan implementatif dalam pembelajaran pendidikan agama islam. ta’dib: journal of islamic education, 19(02), 276–290. lasswell, h. d. (1948). the structure and function of communication in society. in l. bryson (ed.), the communication of ideas (pp. 37–51). new york, usa: the institute for religious and social studies. lasswell, h. d. (2007). the structure and function of communication in society. i̇letişim kuram ve araştırma dergisi, 24, 215–228. mcluhan, m. (1994). understanding media: the extensions of man (t. m. press, ed.). cambridge, massachusetts, united states. minhaji, a. (2003). transformasi iain menuju uin: sebuah pengantar. in j. wahyudi (ed.), menyatukan kembali ilmu-ilmu agama dan umum: upaya mempertemukan epistemologi islam dan umum. yogyakarta: suka press. moleong, l. j. (2017). metodologi penelitian kualitatif. bandung: remaja rosdakarya. muhaimin. (2004). wacana pengembangan pendidikan islam. yogyakarta: pustaka pelajar. muhaimin. (2012). paradigma pendidikan islam. bandung: remaja rosdakarya. muhaimin. (2014). pengembangan kurikulum pendidikan agama islam di sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. jakarta: rajawali pers. novita, d. (2018). strategi pengembangan program studi dalam meningkatkan perolehan jumlah mahasiswa pada perguruan tinggi swasta. jurnal manajemen kinerja, 4(1), 30–45. nuryanto, a. (2017). kritik budaya akademik di pendidikan tinggi. the journal of society & media, 1(1), 35. https://doi.org/10.26740/jsm. v1n1.p35-42 penyusun. (2014). buku panduan pelaksanaan praktek pengalaman lapangan/ ppl fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan iain surakarta. surakarta: fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan iain surakarta. 168 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 141 168, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1665 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rosana, d. (2016). analisis trend penelitian pendidikan sains. prosiding seminar nasional: optimasi active learning dan character building dalam meningkatkan daya saing bangsa di era mea, 487–495. retrieved from http://eprints.uad.ac.id/3430/1/dadan rosana_ uny2.pdf siswanto. (2013). perspektif amin abdullah tentang integrasi interkoneksi dalam kajian islam. teosofi : journal tasawuf dan pemikiran islam, 3(2), 377–409. https://doi.org/10.15642/teosofi.2013.3.2.376-409 sriyanto, a. (2018). mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018). al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 2(3), 235– 258. https://doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1386 susilowati, e., & pratiwi, r. z. b. (2018). kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 3(2), 259–292. https://doi.org/10.22515/ balagh.v3i2.1388 sutarto, d. (2017). epistemologi keilmuan integratif-interkonektif m. amin abdullah dan resolusi konflik. trias politika, 1(2), 75–88. sutrisno. (2005). revolusi pendidikan di indonesia (membedah metode dan teknik pendidikan berbasis kompetensi). yogyakarta: ar ruzz media. triatmo, a. w. (2012). visi, misi, dan struktur kurikulum fakultas. makalah diskusi bulanan dosen (tidak dipublikasikan). 1. artikel bersifat ilmiah berisi hasil riset empiris atau gagasan konseptual dan belum pernah dipublikasikan di sebuah jurnal. artikel juga bukan merupakan satu bab utuh dari tesis atau disertasi. 2. panjang artikel antara 15-30 halaman, tidak termasuk judul, abstrak (abstract), kata kunci (keywords), dan bibliografi. 3. artikel terdiri dari beberapa bagian, yaitu: judul, nama penulis, abstrak (200-250 kata), kata kunci (maksimal 5 kata), dan bibliografi, dengan detil ketentuan sebagai berikut: • penulisan judul tidak boleh lebih dari lima belas (15) kata. • nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dilengkapi dengan asal institusi, alamat korespondensi (e-mail address), serta nomor telephone/handphone. • abstrak terdiri dari konteks diskursus area disiplin; tujuan penulisan artikel; metodologi (jika ada); temuan riset; kontribusi tulisan di dalam area disiplin. abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan indonesia. • pendahuluan terdiri dari pemetaan penelitian terdahulu (literature review, sebaiknya temuan riset sepuluh tahun terakhir) dan novelti tulisan; batas permasalahan yang dibahas; dan argumentasi utama tulisan. • pembahasan berisi proses reasoning argumentasi utama tulisan. • kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan tulisan, berdasarkan perpektif teoritis dan konseptual yang dibangun oleh penulis. • referensi mencantumkan sumber pustaka yang menjadi rujukan. • gaya kutipan menggunakan american psychological association (apa) 6th edition, memakai model pengutipan body note (penulis tahun), dengan ketentuan detail sebagai berikut: ketentuan penulisan artikel 1. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) 2. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) 3. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ind onesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) 4. article of the journal a. journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) b. journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) c. e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) 5. article website a. dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) b. tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta : magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) 7. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 4. penulisan gaya pengutipan dihimbau menggunakan perangkat citation manager, seperti mendeley, zotero, endnote, refworks, bibtext dan lain sebagainya dengan memakai american psychological association (apa) 6th edition. 5. transliterasi bahasa arab menggunakan standar international journal of middle eastern studies, detail transliterasi dapat diunduh di http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 6. artikel bebas dari unsur plagiat, dengan melampirkan bukti (screenshot) bahwa artikel telah dicek memakai piranti lunak antiplagiat, misalnya, tetapi tidak terbatas pada, plagiarism checker (plagramme.com). 6. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam untuk meningkatkan kejujuran siswa (studi kasus di smp-it masjid syuhada yogyakarta) yusuf hasan baharudin fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas nahdlatul ulama al-ghazali (unugha) cilacap keywords: communication, culture, kompolan sabellesen, sufistic proselytizing. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: yusuf.hasan.b@gmail.com abstract the research is aimed to measure the effectiveness of islamic values used as a material in group counseling service in the school to increase the honesty of students at smp-it masjid syuhada yogyakarta. the research method used is one group pre-test and post-test design experiment involving eight students of smp-it masjid syuhada. the research subject is chosen from the scale of the lowest honesty and based on the result of discussion among the researcher, the school counselor and the master of the class. the data are collected by using the scale of students’ honesty (ri= 0,367 – 0,729 α= 0,810 ), questionnaire, observation, and interview. the data analysis technique used is wilcoxon signed ranks test. the result of wilcoxon signed ranks test shows different score of the research subject’s (the students) honesty level before and after joining the group counseling service based on islamic values (manipulation), z = -2,232 and p-value = 0,026 (p-values < 0,050. the practical nuance of islamic values supports the research subject in understanding and practicing the teaching got from their study and interaction with their parents and other people in their daily life. it can be concluded from the research that group counseling based on islamic values can increase the students’ honesty, so it can be used to develop the counseling service in the school especially for the students with low level of honesty. 216 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam abstrak penelitian dilakukan untuk mengukur efektifitas penggunaan nilainilai keislaman sebagai materi dalam layanan konseling kelompok di sekolah untuk meningkatkan kejujuran siswa smp-it masjid syuhada yogyakarta. metode yang digunakan adalah eksperimen one group pre and posttest design, melibatkan 8 siswa smp-it masjid syuhada. penentuan subjek dipilih dari skala kejujuran terendah dan berdasarkan diskusi peneliti dengan guru bk dan wali kelas. data dikumpulkan dengan menggunakan skala kejujuran siswa (r i = 0,367 – 0,729 α= 0,810 ), angket, observasi, dan wawancara. teknik analisis data yang digunakan dalah menggunakan uji wilcoxon signed ranks test. hasil uji wilcoxon signed ranks test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor tingkat kejujuran subjek penelitian atau siswa antara sebelum dengan sesudah pemberian layanan konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam (manipulasi), dengan z = -2,232 dan p-value = 0,026 (p-values < 0,050. nuansa praktis nilai-nilai islam tersebut memudahkan subjek penelitian dalam memahami dan mempraktekkan ajaran tersebut dalam kehidupan belajar, pergaulan, hubungan dengan orang tua dan umumnya dalam kehidupan sehari-hari. penelitian ini berkesimpulan bahwa konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam dapat meningkatkan kejujuran siswa, sehingga dapat digunakan sebagai pengembangan layanan konseling di sekolah terhadap siswa yang mengalami tingkat kejujuran rendah. pendahuluan persaingan dalam segala bidang menjadi pola hidup yang tidak dapat dihindarkan pada masa kini, kejujuran kemudian menjadi barang antik yang sulit didapatkan. setiap hari kita mendengar dan membaca berita tentang penipuan, perampokan, pencurian, penggelapan, pemalsuan, korupsi, manipulasi dan aksi-aksi lain yang bersumber dari tidak adanya kejujuran seseorang terhadap dirinya sendiri. sebab jika orang mau jujur terhadap didri sendiri, bersedia mendengarkan suara hati nurani, pasti akan mengatakan bahwa semua tndakan diatas bertentangan dengan panggilan hati nurani yang tidak perneh membenarkan aksi-aksi tercela dan terkutuk itu. karena suara hati nurani adalah hidayah allah yang dikaruniakan kepada manusia dan menyatu dengannya. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 217 berkurangnya atau hilangnya nilai kejujuran akan menimbulkan krisis kepercayaan yang pada gilirannya melahirkan krisis multi dimensi, yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan, baik pada tingkat kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun sampai pada tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara, jika manusia sudah meninggalkan apa yang disebut dengan “kejujuran”. salah satu anugerah terbaik yang diberikan islam kepada umat manusia adalah ajaran-ajaran dan konsep-konsep tentang akhlak mulia dan perilaku yang baik. islam melalui wahyu memberikan penguatan terhadap nilai-nilai luhur yang dimiliki manusia sebagai fithrah, agar manusia senantiasa berada dalam kesadaran yang benar. kesadaran yang benar tersebut akan menimbulkan perilaku yang benar, dan selanjutnya akan membimbing manusia untuk memiliki budaya perilaku (moral atau akhlak) yang benar. selain memberikan penguatan terhadap nilai-nilai dan konsep-konsep luhur yang telah dimiliki oleh kesadaran manusia, islam juga datang untuk mengingatkan manusia yang mungkin karena pengaruh hawa nafsu, lupa dan lalai akan nilai-nilai luhur tersebut. islam hadir untuk membangkitkan kembali kesadaran luhur yang mungkin telah dilalaikan akibat kemaksiatan yang dilakukan manusia. islam kembali menginformasikan konsep-konsep luhur tersebut supaya manusia kembali ingat dan kembali mengikuti hati nurani (akal sehat) dalam menempuh kehidupan. bagian terdepan dari nilai-nilai dan konsep-konsep luhur yang ditegaskan dan diinformasikan ulang lewat wahyu islam adalah kejujuran atau kebenaran, karena kejujuran adalah keutamaan yang paling utama dan pangkal segala akhlak dan perilaku yang mulia. kebesaran dan kedudukan mulia kejujuran ditunjukkan oleh banyaknya ayat dalam al qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari nabi. al qur’an mensejajarkan antara iman, taqwa, dan kejujuran. sebagaimana dijelaskan dalam firman nya: wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada allah dan jadilah kalian termasuk orang-orang yang jujur 218 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam bahkan al qur’an mengisyaratkan bahwa salah satu syarat kenabian adalah adanya sifat jujur dalam pribadinya, seperti dalam ayat-ayat: (1) q.s yusuf ayat ke-46: yusuf wahai orang yang jujur. (2) q.s. maryam ayat ke41: ingatlah ibrahim, ia adalah seorang yang jujur dan nabi. (3) q.s maryam ayat ke54: ingatlah ismail, ia adalah orang yang benar janjinya, ia adalah seorang nabi dan rasul. demikianlah, yusuf, ibrahim, ismail, muhammad dan nabi-nabi lainnya tentunya, adalah orang orang yang jujur dan benar, oleh karena itu salah satu sifat wajib nabi adalah ash shidq (kejujuran). as sunnah sebagaimana al qur’an juga banyak membahas dan menjelaskan tentang kejujuran dan kebohongan (sebagai lawan kejujuran). dalam praktiknya kondisi generasi saat ini banyak pejabat pemerintah yang terkena kasus korupsi. oleh karena itu siswa yang dalam hal ini sebagai generasi emas sangat perlu kiranya perlu mendapatkan bimbingan kelompok yang diharapkan bisa meningkatkan kejujuran siswa dalam segala aspek kehidupannya. peneliti telah berusaha melacak beberapa sekolah menengah pertama yang memiliki basis pendidikan islam terpadu yang notabene bisa diharapkan dalam pendidikan atau bimbingan di sekolah bisa menghasilkan siswa yang memiliki sikap dan perilaku yang sesuai nilai-nilai islam. namun disana dijumpai ada siswa sekaligus bintang model yang sangat pintar dalam berbohong atau beralibi ketika ditanya oleh guru, dan menurut penuturan wali kelas dan guru bk anggapan dari orangtua siswa dan siswa tersebut kerjaan dan uang adalah nomor satu, sedangkan sekolah nomor dua, karena jika punya uang banyak untuk sekolah itu mudah sehingga menjadikan siswa tersebut sering membolos sekolah dan ketika ditanya banyak alasan ini itu. kejadian tersebut harus disikapi dan dicarikan solusi supaya hal tersebut bisa diatasi dengan baik dan terselesaikan. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 219 metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, namun didahului dengan penelitian pendahuluan berupa penelitian pustaka untuk menyusun instrumen eksperimen. langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian pendahuluan. penelitian pendahuluan ini berupa penelitian pustaka yang akan dijadikan sebagai sumber dalam menyusun manipulasi eksperimen yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen. maka dari itu, dalam langkah penelitian pertama ini dikaji lebih dalam (explore) mengenai konsep kejujuran dari nilai-nilai islam dalam ajaran al qur’an dan hadis, sehingga dapat ditemukan aaran-ajaran yang menjadi ciri khas pembahasan tentang kejujuran. kemudian, hasil temuan tentang ajaran kejujuran tersebut diimplementasikan ke dalam konseling kelompok. pengimplementasian ini dimaksudkan agar diperoleh materi yang sesuai harapan yaitu meningkatkan kejujuran siswa. dimana dalam materi tersebut memuat bagaimana cara memberikan perlakuan konseling yang memiliki ciri khas tersendiri dengan bermaterikan nilai-nilai islam. data penelitian pendahuluan yang diperoleh dari beberapa sumber diatas kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis). proses ini menghasilkan konsep kejujuran berbasis nilai-nilai islam dalam bentuk intrumen pengukuran nilai kejujuran siswa. langkah kedua adalah penelitian eksperimen, yakni metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakukan tertentu dalam kondisi yang terkendali (sugiyono 2013, 107). tujuannya untuk mengetahui pengaruh atau hubungan sebab akibat (cause and effect relationship) dengan cara membandingkan hasil kelompok eksperimen yang diberikan perlakukan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakukan (arifin 2011, 68). desain penelitian ini adalah true eksperimental, tujuannya untuk memprediksi keadaaan yang dapat dicapai melalui kesperimen yang sebenarnya, tetapi tidak ada pengontrolan dan atau manipulasi terhadap 220 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam seluruh variabel yang relevan (arifin 2011, 74). pada desain ini terdapat kelompok eksperimen yang mendapat perlakukan materi nilai-nilai islam. adapun materi konseling yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan materi kejujuran dengan bersumber pada nilai-nilai islam. materi ini diuji cobakan dalam pelaksanaan layanan konseling di sekolah terhadap terhadap siswa dengan karakteristik memiliki tingkat kejujuran rendah setelah dilakukan pre-test. para siswa diberikan konseling dengan bermaterikan nilai-nilai islam. penelitian ini menguji variabel bebas dan variabel terikat yang dilakukan terhadap kelompok eksperimen yang terdiri dari 8 siswa. prosedurnya dimulai dengan pemeriksaan awal (pree test) untuk mengetahui kejujuran; langkah kedua, pemberian tindakan dengan bermaterikan kejujuran berasaskan nilai-nilai islam dan langkah ketiga, pemberian post test untuk mengetahui perubahan kejujuran. penentuan subjek penelitian ini berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) siswa smp-it kelas viii; (2) memiliki skor kejujuran yang rendah dan (3) siswa yang memiliki masalah dalam hal kejujuran di sekolah berdasakan rekomendasi dari guru bk. pelaksanaan penelitian ini termuat dalam beberapa tahap sebagai berikut : a. tahap awal kegiatan pada tahap awal ini adalah: (1) penyusunan modul atau manipulasi; (2) telaah ulang modul; (3) penyusunan skala kejujuran; (4) uji coba skala. b. tahap pelaksanaan tahap pelaksanaan ini meliputi preetest, pelaksanaan konseling berbasis nilai-nilai islam, dan posttest. tahap preetest diberikah kepada subjek penelitian yaitu siswa kelas viii dengan kriteria yang telah ditentukan menggunakan skala kejujuran, yang bertujuan untuk mengetahui kondisi awal subjek penelitian. kemudian, pelaksanaan konseling dilaksanakan dengan cara konseling kelompok yang mengacu pada modul atau panduan – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 221 layanan konseling yang telah direvisi. setelah itu, pemberian layanan konseling, subjek dikenai posttest untuk mengatahui perubahan kejujuran siswa. c. tahap akhir tahap akhir ini terdiri dari tahap analisis data, pembahasan, dan penarikan kesimpulan. analisis data dilakukan menggunakan uji statistik dengan bantuan program spss 22.0. uji statistik ini dilakukan untuk mengetahui apakah konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam dapat meningkatkan kejujuran siswa atau tidak dengan menggunakan uji beda wilcoxon signed ranks test. selanjutnya, dari hasil analisis tersebut dibahas secara menyeluruh berdasarkan hasil data yang sudah diperoleh, sehingga dapat ditarik dan diketahui kesimpulan dari penelitian ini. selain itu, berdasarkan hasil penelitian akan disampaiakn juga beberapa saran atau rekomendasi terkait penelitian yang telah dilakukan dari awal sampai akhir. adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: skala, angket, wawancara, dan observasi. dalam proses pengukuran kejujuran siswa dilakukan dengan menggunakan skala psikologi yang diwujudkan dalam bentuk skala kejujuran siswa. penyususnan skala tersebut berdasarkan aspek-aspek yang menunjukkan bahwa siswa memiliki karakteristik kejujuran yang tinggi atau rendah berdasarkan dari skala kejujuran tersebut. aspek-aspek tersebut meliputi tiga aspek dimana siswa sering bersosialisasi yaitu pelajaran, pergaulan dan orang tua. 222 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam berikut tabel dimensi kejujuran siswa: tabel: blueprint skala kejujuran dimensi aspek siswa pernyataan jumlah butir d i m e n s i aqidah pelajaran merasa takut mencontek ketika ulangan atau ujian nasional karena merasa diawasi oleh allah 1 1 1 1 1 pergaulan 1) mengakui terhadap kesalahan dan kekurangan yang dimiliki 2) menepati janji ketika janjian dengan teman, guru dan orang lain. orangtua 1) bilang kepada orang tua sudah melaksanakan shalat padahal belum 2) tidak pernah menggunakan uang pembayaran spp yang dikasih orangtua untuk beli jajan d i m e n s i akhlak pelajaran: 1) tidak pernah menyontek dalam mengerjakan ulangan atau ujian 2) lebih senang mengerjakan tugas sebisa saya daripada bagus tapi dikerjakan orang lain 3) meminta jawaban kepada teman saat mengalami kesulitan dalam ujian 1 1 1 pergaulan: 1) mengembalikan uang kembalian saat disuruh belanja oleh orang tua 2) mengemukakan perasaan terhadap segala sesuatau apa adanya 1 1 – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 223 orangtua: 1) tidak membelanjakan uang untuk membeli buku sekolah tapi untuk jajan 2) menyampaikan hasil ulangan kepada orang tua 1 1 d i m e n s i ibadah pelajaran: 1) bilang kepada guru mengerjakan tugas sendiri padahal dikerjakan orang lain. 2) berpura-pura membaca buku pelajaran ketika guru merintahkan membaca padahal yang dibaca adalah buku lain 3) membantu teman yang kesulitan dengan memberikan contekan ketika ujian 1 1 1 1 1 1 1 pergaulan: 1) diam-diam membantu teman dalam hal kecurangan 2) saya melaporkan kepada pihak yang berwajib jika menemukan benda atau barang. orangtua: 1) bilang kepada orangtua puasa padahal sudah makan secara diam-diam di siang hari 2) membolos ngaji ketika pamit kepada orang tua berangkat ngaji di masjid. total butir pernyataan 19 skala disusun dengan menggunakan bentuk skala likert dengan empat notasi pilihan jawaban, yakni ss: sangat setuju, s: setuju, ts: tidak 224 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam setuju, dan sts: sangat tidak setuju. pemberian skor pada skala tersebut adalah sebagai berikut. pada jawaban ss diberikan skor 4, s diberikan skor 3, ts diberikan skor 2, dan sts diberikan skor 1. skala kejujuran yang telah disusun, kemudian diuji agar dapat diketahui apakah butir soal dari skala tersebut valid dan reliabel atau tidak. selanjutnya adalah ditarik suatu kesimpulan yang tepat. dalam menarik sebuah kesimpulan tidak bisa secara langsung menyimpulkan begitu saja, namun diperlukan suatu cara yang disebut dengan analisis data yang bertujuan sebagai dasar yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menginterpretasikan hasil penelitian. adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, analisis statistik untuk mengetahui efektivitas konseling kelompok dengan bermaterikan nilai-nilai islam dalam meningkatkan kejujuran siswa. analisis yang dimaksud adalah uji beda wilcoxon signed ranks test, yang bertujuan untuk mengetahui konseling mana yang lebih efektif dalam meningkatkan kejujuran siswa dan mengetahui hipotesis penelitian diterima atau ditolak. analisis statistik ini menggunakan bantuan program spss 22.0. kedua, analisis deskriptif digunakan untuk mengungkapkan keadaan perkembangan siswa atau konseli selama proses konseling berlangsung dari pertemuan pertama sampai pertemuan terakhir. analisis yang dimaksud menggunakan metode observasi dan interview terhadap subyek penelitian. hasil penelitian dan pembahasan penggunaan nilai-nilai ajaran islam sebagai materi dalam pemberian layanan koseling kelompok membutuhkan adanya penelitian pendahuluan yaitu penelitian eksplorasi sebelum pengujian atau penelitian eksperimen dilaksanakan. dengan kata lain, penelitian eksplorasi ini dilakukan untuk menyusun materi manipulasi yang akan digunakan dalam penelitian eksperimen. sehingga manipulasi yang diberikan dalam penelitian eksperimen bermaterikan ajaran nilai-nilai islam ada kaitannya dengan – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 225 peningkatan kejujuran. hasil penelitian eksplorasi menunjukkan bahwa ajaran nilai-nilai islam dalam al-qur’an dan hadis bisa dijadikan sebagai materi dalam penelitian eksperimen. hal ini dipahami oleh peneliti mengenai ajaran kejujuran ke dalam aspek belajar, pergaulan dan orang tua, dimana ketiga aspek tersebut sangat dekat hunungannya dengan siswa sekolah menengah pertama. hasil penelitian eksplorasi di atas, selanjutnya dikombinasikan dengan teknik-teknik yang cocok dalam peningkatan kejujuran dan penurunan ketidakjujuran siswa, yakni penguatan positif (positive reinforcement), desensitisasi sistematik, dan modeling atau percontohan. adapun hasil analisis data yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian eksperimen menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kejujuran siswa setelah manipulasi berupa pemberian layanan konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam. peningkatan tersebut dapat diketahui dari hasil analisis data kuantitatif. hasil analisis menggunakan uji wilcoxon signed ranks test adalah sebesar -2,232 dengan p-value sebesar 0,026 (<0,05). hasil tersebut menunjukkan bahwa manipulasi yang telah disusun dapat meningkatkan kejujuran siswa yang mengalami tingkat kejujuran rendah. selain itu, peningkatan kejujuran siswa juga dapat dilihat pada table descriptive statistics. pada tebel tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang cukup baik pada nilai rata-rata (mean) skor pretest dan posttest, yakni dari 46,86 menjadi 51,29. adanya peningkatan ini semakin menunjukkan bahwa manipulasi atau pemberian layanan konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam dapat mempengaruhi tingkat kejujuran siswa menjadi lebih baik. pada pertemuan pertama dilaksanakan kegiatan yang berusaha mengakrabkan hubungan antar sesama anggota kelompok. adanya pengakraban ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa saling percaya antar anggota sehingga mereka mampu memahami dirinya sendiri dan memahami kondisi anggota lain. kemudian pada pertemuan kedua, setelah 226 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam eksplorasi problem dilakukan siswa diberi terapi dengan beberapa teknik konseling berupa penguatan positif (positive reinforcement), desensitisasi sistematik, dan modeling atau percontohan. terapi tersebut diberikan dengan mengedepankan dimensi spiritual dan ajaran nilai-nilai islam yang terdapat dalam al qur’an dan hadis tentang kejujuran. seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa subjek penelitian yang disertakan dalam penelitian sebanyak 8 siswa. namun dalam perjalanannya pada pertemuan kedua dan ketiga terdapat satu siswa yang tidak bisa mengikuti kegiatan konseling dikarenakan sakit habis kecelakaan. dari hasil analisis data kuantitatif di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semuanya siswa mengalami peningkatan skor kejujuran. hal tersebut dapat dilihat dan dipahami dari penjelasan table ranks, yakni dari tujuh siswa terdapat 6 siswa yang mengalami peningkatan skor dan 1 siswa tidak mengalami perubahan skor atau tetap. bervariasinya skor tingkat kejujuran siswa di atas dapat disebabkan oleh berbagai hal. salah satunya adalah sesuai yang diungkapkan cohen dan milgramm bahwa manusia mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memproses berbagai informasi dari lingkungan (sukmana 2002, 40). apabila sejumlah informasi dari lingkungan melebihi kemampuan individu untuk memprosesnya, maka terjadilah kelebihan beban informasi dan tindakan yang diambil adalah menyebabkan individu hanya memperhatikan informasi yang dianggap penting saja. belum terserapnya materi manipulasi secara keseluruhan menyebabkan pemahaman terhadap makna kejujuran juga tidak terpenuhi secara maksimal. hal ini dikarenakan serangkaian pelaksanaan konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam dari pertemuan pertama sampai ketiga berisi kegiatan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. dengan demikian, penerimaan materi yang hanya sebagian menyebabkan pemenuhan pemahaman arti penting kejujuran belum tercapai sehingga masih ada siswa yang skor tingkat kejujurannya hanya naik sedikit dan tetap. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 227 tidak adanya perubahan skor tingkat kejujuran dvs dapat disebabkan oleh berbagai faktor. salah satunya adalah karena ia belum secara maksimal dalam pemenuhan niali-nilai pengalamannya. kurangnya pengalaman hidup menyebabkan pemenuhan makna kejujuran dalam hidup menjadi kurang maksimal. penutup kesimpulan penelitian ini menyimpulkan bahwa konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam dapat meningkatkan kejujuran. temuan ini dapat dipahami dari skor uji wilcoxon signed ranks test sebesar -2,232 dengan p-value sebesar 0,026 (<0,05). selain itu peningkatan skor kejujuran siswa juga dapat diketahui dari meningkatnya nilai rata-rata (mean) antara pretest dan posttest yakni dari 46,86 menjadi 51,29. suasana praktis ajaran nilai-nilai islam tentang kejujuran memudahkan subjek penelitian dalam memahami dan mempraktekkan ajaran nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari khususnya sekolah (pelajaran), pergaulan dan keluarga (hubungan dengan orang tua). diantara ajaran yang dimaksudkan dalam pelaksanaan kejujuran seperti meniru nabi muhammad saw sebagai suri tauladan bagi umatnya sehingga dijuluki al-amin, menjaga pergaulan dengan senantiasa menepati janji jika janjian dengan teman dan bersikap jujur terhadap orangtua dalam hal ibadah, kewajiban untuk sekolah dan lain-lain. kesemuanya itu mampu meningkatkan kejujuran masing-masing subjek penelitian karena metode untuk meningkatkan kejujuran adalah modeling atau mencontoh, penguatan positif dan desensitisasi sistematik. saran-saran berdasarkan pelaksanaan dan temuan hasil penelitian diatas, diperlukan beberapa saran yang ditujukan kepada beberapa pihak mengenai 228 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam tentang ajaran kejujuran. adapun beberapa saran yang sudah disusun berdasarkan temuan hasil penelitian di atas adalah sebagai berikut. dalam pengkajian materi konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam tentang kejujuran yang bersumber dari al qur’an, hadis dan karya ilmiah yang berjudul, pelatihan lengkap tazkiyatun nafs terjemahan maman abdurrahman asegaf, profhetic leadershif: membentuk kepribadian para pemimpin berbasis spiritualis karangan rahmat ramadhana al-banjari, imam al ghazali sebagaimana dikutip oleh shafwat abdul fatah dalam bukunya mungkinkah kita jujur, dalam mengkaji sumber tersebut masih terhambat dengan keterbatasa pengetahun peneliti dalam memahaminya. oleh karena itu, dalam penelitian berikutnya disarankan perlu ada pengkajian yang lebih mendalam dan meluas mengenai kajian keislaman, sehingga materi-materi yang akan diberikan dalam layanan konseling lebih berkembang, mengena dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini. salah satu keterbatasan dalam penelitian ini tidak hanya adanya kelompok control sebagai pembanding dari kelompok eksperimen. oleh karena itu, peningkatan yang dialami oleh subjek penelitian belum bisa dipastikan karena pengaruh dari menipulasi yang diberikan, sehingga perlu adanya kelompok control untuk menguji efektivitas konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam untuk meningkatkan kejujuran siswa pada penelitian selanjutnya yang memiliki tema sama. subjek penelitian yang diikutsertakan dalam penelitian ini hanya beberapa siswa yang sedang menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama islam terpadu. oleh karena itu, perlu ada penelitian lebih lanjut yang mengikutsertakan subjek penelitian yang lebih luas, seperti siswa dari sekolah umum dan sekolah menengah atas, mahasiswa dan masyarakat umum. sehingga layanan konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam yang diterapakan untuk meningkatkan kejujuran siswa benar-benar teruji efektivitsanya. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 229 hasil temuan penelitian yang menunjukkan bahwa konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam dapat meningkatkan kejujuran siswa, bisa digunakan sebagai acuan para konselor atau guru bk di sekolah untuk mengembangkan layanan konseling yang lebih bernuansa religi (islami). hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam pengembangan program layanan konseling disesuaikan dengan latar belakang dan keadaan siswa yang akan diberikan layanan konseling. daftar pustaka abdul choliq dahlan, bimbingan konseling islami: sejarah, konsep dan pendekatannya, yogyakarta: pura pustaka, 2009. al jurjani, at ta’rif, beirut: dar al kutub al araby, 1996. anselm strauss dan juliet corbin, dasar-dasar penelitian kualitatif: tatalangkah dan teknik-teknik teoritisasi data, terjmh. muhammad shodiq dan imam muttaqien, yogyakarta: pustaka pelajar: 2003. deni trisnawan, model pendidikan karakter kejujuran pada siswa madrasah tsanawiyah di pondok pesantren modern al-ihsan baleendah, bandung: upi, 2013 fred n. kerlinger, asas-asas penelitian behavioral, edisi ketiga, terj. landung r. simatupang, yogyakarta: gadjah mada university press, 2006. gerald corey, teori dan praktek konseling & psikoterapi, terj. e. koeswara,bandung: pt. refika aditama, 2009. hans wehr, a dictionary of modern written arabic, beirut: libraire du liban, 1980. hasan as syarqawi, mu’jam afazh as shufiyah, kairo: mu’asasah mukhtar, 1987. hizair, kamus lengkap bahasa indonesia edisi dua, jakarta: tamer, 2013. ibnu hajar, dasar-dasar metodologi penelitian kuantitatif dalam pendidikan, jakarta: pt. raja grafindo persada, 1996. ismail yusanto, islam dan jalan pemberantasa korupsi, http://www.jurnalekonomi.org/2004/05/19. 8 april 2011. jacob et.al., group counseling strategies and skill, 2012. 230 | yusuf hasan baharudin – konseling kelompok berbasis nilai-nilai islam komalasari gantina, eka wahyuni, karsih, teori dan teknik konseling, jakarta barat: pt. indeks, 2011. latipun, psikologi konseling, malang: upt. universitas muhammadiyah malang, 2006. magnis-suseno, frans, etika dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral,yogyakarta: kanisius, 1987. mendikbud, buku panduan model pengembangan diri, jakarta: mendikbud, 2006. mendikbud, buku panduan pelayanan bimbingan dan konseling berbasis kompetensi, jakarta: mendikbud, 2002. mukaromah fauziana, thesis: pengaruh ingkat religiusitas orang tua dan keteladanan guru pendidikan agama islam terhadap pengamalan nilai kejujuran siswa di smp negeri 1 sambirejo kab sragen, yogyakarta: pps. uin sunan kalijaga, mungin edy wibowo, wawasan bimbingan dan konseling, semarang: unes, 2001. nana saodih, metode penelitian pendidikan, bandung: remaja rosdakarya, 2013. oman sukmana, dasar-dasar psikologi lingkungan, jakarta: bayu media dan umm, 2002. prayitno, pelayanan bimbingan dan konseling, jakarta: pt ikrar mandiri abadi, 1998. qutb musthafa sanu, mu’jam mushthalahat ushul fiqh, beirut: dar al fikr al mu’ashir, 2001. rachels, james, filsafat moral, terj. a. sudiarja, yogyakarta: kanisius, 2003 rahmat ramadhana al-banjari, profhetic leadershif: membentuk kepribadian para pemimpin berbasis spiritualis, yogyakarta: diva press. 2008. robert l. gibson dan marianne h. mitchell, bimbingan dan konseling, terj. introduction to counseling and guidane, yogyakarta: pustakapelajar, 2010. s. eko putro widiyoko, teknik penyusunan instrumen penelitian, yogyakarta: pustaka pelajar, 2013. sa’d riyadh, ‘ilm an nafs fii al hadits as syarif, kairo: mu’asasah iqra’, 2004. sa’di abu jaib, al qomus al fiqhy lughatan was thilahan, beirut, dar al fikr, 1996. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 231 shafwat abdul fatah, asshidq wa atsaruhu fi hayah al fard wa al ummah terj. mungkinkah kita jujur, jakarta: gema insani, 2004 sugiyono, metode penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, r&d, bandung: alfabeta, 2013. suharsimi arikunto, prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, jakarta: pt ronekacipta, 2002. syekh yahya ibn hamzah al-yamani, pelatihan lengkap tazkiyatun nafs, terj. kitab tashfiyat al-qulub min daran al-awzar wa al-dzunub oleh maman abdurrahman asegaf, jakarta: zaman, 2012 toshihiko izutsu, etika beragama dalam al-qur’an, jakarta: pustaka firdaus, 1993. toto tasmara, membudayakan etos kerja islami, jakarta: gema insani, 2002. willis, konseling individual: teori dan praktek, bandung: alfabeta, 2004. winkel, bimbingan dan konseling di institusi pendidikan, edisi revisi, jakarta: grasindo, 1997. yunuardi syukur, terapi kejujuran untuk semua orang pria, wanita, dewasa &anak, jakarta: al-maghfiroh, t.t., zainal arifin, metode penenlitian pendidikan: metode dan paradigma baru, cet. pertama, bandung: rosdakarya, 2011. the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri universitas serambi mekkah febri nurrahmi* universitas syiah kuala keywords: aceh; caning execution; female convict; online news http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: ainal.fitri@serambimekkah.ac.id *febri.nurrahmi@unsyiah.ac.id abstract a prior observation indicated different portrayals of male and female convicts in caning execution news on five local online media in aceh from 2018 until 2020. this study focuses on the emerging discourse surrounded female convicts. the study aims to discover the reality concerning context, production, text consumption, and social-cultural aspects influencing the discourse production within the text. this qualitative-descriptive study analyzed data from fifteen caning execution news, in-depth interviews with seven journalists, two editors, and one member of the alliance of independent journalist banda aceh chapter (aliansi jurnalis independen/aji banda aceh). this study utilized norman fairclough’s critical discourse analysis as the data analysis method. the findings revealed that the female convicts dominated news about caning, especially in khalwat and ikhtilat cases. female convicts were represented as figures who violated social and moral norms, gender stereotypes, and expectations of femininity. this discourse benefited news organizations economically and also promoted discrimination against female convicts.. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 96 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian ini berawal dari ditemukannya perbedaan penyajian objek berita antara terpidana laki-laki dan perempuan, dalam berita eksekusi hukum cambuk di lima media daring di aceh (periode 2018-2020). penelitian ini berfokus pada wacana yang terbentuk terhadap terpidana perempuan dalam berita eksekusi hukum cambuk. tujuannya untuk menemukan realitas di balik teks, pola produksi dan konsumsi teks, serta sosialbudaya yang mempengaruhi pembentukan wacana tersebut. penelitian kualitatif-deskriptif ini menggunakan data berupa 15 berita eksekusi hukum cambuk di kelima media daring, wawancara mendalam terhadap tujuh jurnalis, dua editor, dan satu pengurus aji (aliansi jurnalis independen) banda aceh. data ini dianalisis menggunakan analisis wacana kritis norman fairclough. hasil menunjukkan terpidana perempuan mendominasi pemberitaan hukum cambuk, khususnya dalam isu seksualitas (khalwat dan ikhtilat). terpidana perempuan dibentuk sebagai sosok yang tidak hanya melanggar norma sosial dan moral, tetapi juga stereotip dan ekspektasi femininitas terhadap dirinya. kombinasi wacana seperti ini menguntungkan media daring secara ekonomi, serta menyuburkan praktik diskriminasi terhadap terpidana perempuan. kata kunci: aceh; hukum cambuk; terpidana perempuan; berita media daring how to cite this (apa 7th edition): fitri, a., & nurrahmi, f. (2021). the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(1). 95 – 130, https://doi.org/10.22515/albalagh.v6i1.3061 introduction since aceh province legalized bylaws no. 6/2014, on qanun jinayah (islamic criminal code), several crimes, including khamar (alcohol consumption), maisir (gambling), khalwat (segregation of unmarried couples), ikhtilath (intimacy between unmarried couples), zina (adultery 97the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and pre-marital sex), sexual harassment, rape, qadzaf (falsely accusing someones of committing zinas), liwath (homosexuality), and musahaqah (lesbian) are subjects to caning. despite the fact that this bylaw provides for other penalties such as financial restitution in gold or imprisonment, the caning execution has emerged as the most frequently prosecuted offense in aceh. according to data published by the government of banda aceh municipality, from 2018-2020, there were 111 sharia violation cases punished by caning in the city of banda aceh (satpol pp & wh kota banda aceh, 2021). on another side, the data showed 147 cases punished by ‘other penalties’, although it did not clearly state the kind of punishment (financial penalty or imprisonment). as the capital city of aceh province, banda aceh’s data could represent a more significant phenomenon in aceh. the researchers assumed that many sharia convicts choose this form of punishment because it is relatively inexpensive and timesaving compared to fine or imprisonment. in addition, the high frequency and intensity of news reports of caning indicate that it was carried out more frequently. caning is enforced in public places, and it is easily accessible to the media. this is different from paying a fine or imprisonment that is not executed in public spaces and is rarely exposed by media. the presence of online media makes the caning execution is more accessible for the public. moreover, other platforms such as whatsapp, facebook, twitter, and other social media, provide sharing features that enable users to share news and make it viral. generally, women are often represented by pictures or photos (eye candy), and men are represented by text and given more spaces (jia, lansdall-welfare, sudhahar, carter, & cristianini, 2016). in crime stories, the discourse of women discourse also encounters many problems. the research of brennan & vandenberg (2009) found that when women were involved in crimes, they did breach not only the law but also violated the expectation from their social environment. it further leads to the 98 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) news interests towards female offenders. the research of o’donnell (2016) highlighted that despite male and female offenders experience discrimination through dehumanization practices carried by mass media, the female criminals always get more spotlight compared to the male. in indonesia’s context, a woman who got involved in a murder case would be portrayed by mass media as a ‘crazy’ figure because she contradicted society’s expectation of a woman as a graceful, wise, lovely, and patient person (muktiyo, 2017). in corruption cases, female convicts were portrayed as erotic figures with a glamour lifestyle and depicted politics as a male territory and domesticated women (hadiati, abdullah, & udasmoro, 2013). women who are not the primary perpetrators of crimes also face similar issues. for example, women who have close relationships with corruptors are presented as money-grubbers, prostitutes, helpless and ‘cheap’ widows, and sexually oriented dangdut singers (dedees, 2014). meanwhile, if the offenders are men, they will be depicted as husband, father, or entrepreneur, and rarely got media attention. the positioning of women is constantly covered by patriarchy, discrimination, lack of empathy, or the assertion of a consumerism lifestyle (murtiningsih & advenita, 2017). besides, online media often frame women in politics, crimes, rape cases, sexual harassment, and even advertisement (murtiningsih et al., 2017). in the context of aceh, women are often put as a news angle and the central issue in the discourse of the sharia law compared to men (maulina, 2017). that sort of discourse could endanger women’s life. for example, in the report of human rights watch (2010), a woman lost her job, friends, reputation, and family because of faulty news about her committing khalwat. it exemplified how discrimination practices, injustice, negative prejudice distributed by mass media can seriously affect the lives of individuals or society in general. to the best of our knowledge, there is no study looking specifically at the discourse of crime, women, and islamic law in aceh on the news. 99the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) currently, caning and caning execution in aceh are mainly studied from a legal perspective. in the context of media studies, research on caning and caning execution has been studied in general terms, such as the implementation of sharia law (bahri, 2013), the caning of gays (juliani, 2018), and photojournalism ethics (fakhri & juanda, 2020). meanwhile, the study about the portrayal of female convicts has not been found. the only research that shows the presence of women in the news about the caning execution is amri (2019). his study analyzed 16 articles of serambinews. com framing. it discovered eight forms of representation, including the caning protects women’s rights: the caning discriminates against women; the caning is a light punishment; the pros and cons of caning in prisons; the caning gets appreciation from the community; the caning is a spectacle for tourists; the caning is a discriminatory law, and the caning does not affect investment in aceh. his research revealed media representations of women in aceh’s local online site. firstly, serambinews.com represents itself as a media that seeks to protect women, but this only applies if a woman is a victim. secondly, women are still inseparable from media discrimination if a woman acts as a perpetrator. his study confirmed how media could have two faces in positioning women in media discourse. therefore, this study focused on the discourse of female convicts on caning execution news in five local online media corporations from 2018 until july 2020. it has three objectives. firstly, it is intended to find out how the female convict’s representation, relationship, and identity in the news of the caning execution are formed. secondly, it aims to uncover the production and consumption scheme of the text. thirdly, it attempts to locate the relationship between the legal discourse on online media against the socio-cultural context. this discourse has implications for forming dominant knowledge for readers, media, stakeholders, and other related parties regarding the law of caning and female convicts. in doing so, this 100 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) study attempts to fill this gap by focusing on how online media shape the discourse of female convicts in the news of the caning execution. it is expected to be preliminary research for future studies that have similar interests in the discourse of women, crime, islamic law, and mass media. this research was studied using the concept of power relations by michel foucault. kristensen (2013) explained that according to foucault, power is understood as a form of relation and how the power relation works. authority is the power that can strengthen the relationships involved or even isolate a connection. there are at least five propositions related to power: power is exercised in line with relationships that continuously evolve because power is reciprocal in nature; power relations prevail where these relations operate; power explains that there is no binary opposition (oppositional opposition) between those who control and are controlled; power relations are intentional and non-subjective. power is related to knowledge; power can never be separated from knowledge, where combining the two results in discourse. knowledge itself is not pure and neutral, but the knowledge legitimized by authority becomes a form of normalization of power in society. the discourse that is formed by the mass media is certainly not free from values. littlejohn & foss (2009) explained that the media have economic, politicals, and other interests. this leads the media to have power in constructing a reality according to its claims. each preference of words, sentences, language is not value-free. journalists and editors have a strategic role in determining these strategic choices. methods this research used a qualitative descriptive approach using the critical paradigm. this paradigm helps to discover a framework for how an idea is constructed and how the impact on the power structure prevails in reality (littlejohn & foss, 2009). data were sourced from online news 101the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) articles, interviews, and readers’ comments. firstly, data from news articles included 15 news articles of the caning execution in five local online media (see table 1). the researchers examined how some online media reported the exact caning executions. table 1. sample for textual analysis no media edition title 1 ajnn.net 20-04-18 banda aceh city officials implements caning execution in front of the mosque (pemko banda aceh laksanakan hukuman cambuk di depan masjid) 2 serambinews.com 20-04-18 caning execution completed, this is what the deputy mayor said about the caning controversy in the open field (uqubat cambuk selesai, ini kata wakil walikota soal kontroversi cambuk di lapangan terbuka) 3 modusaceh.co 20-04-18 two of the prisoners of online psk caned (dua terpidama psk online dicambuk) 4 serambinews.com 20-09-18 today there are caning executions of 18 sharia law violators in west aceh (hari ini ada eksekusi cambuk terhadap 18 pelanggar qanun di aceh barat) 5 modusaceh.co 20-09-18 violating sharia law, they were flogged after (melanggar syariat islam mereka dicambuk) 6 waspadaaceh.com 20-09-18 in pain, the caning of the sharia law violators is postponed (kesakitan, eksekusi cambuk terpidana pelanggar qanun ditunda) 7 beritakini.co 29-10-18 make out with the receptionist, the manager of rumoh pmi hotel caned (mesum dengan resepsionis penanggungjawab hotel rumoh pmi dicambuk) 8 waspadaaceh.com 29-10-18 hotel managers and employees caned 52 times in banda aceh (manajer dan karyawan hotel dicambuk 52 kali di banda aceh) 9 serambinews.com 02-08-19 darwati groaned when the executioner flogged her (darwati merintih saat dicambuk algojo) 102 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no media edition title 10 modusaceh.co 02-08-19 the fourth lash, female convict grimaced with pain(pukulan keempat terpidana perempuan hukuman cambuk meringis kesakitan) 11 serambinews.com 07-04-2020 wife of former dprk member of subulussalam caned 22 times, here’s how the case goes (istri mantan anggota dprk subulussalam dicambuk 22 kali, begini perjalanan kasusnya) 12 beritakini.co 07-04-2020 cheating with the chairman of election committee, former wife of dprk member subulussalam lashed 22 times (selingkuh dengan ketua panwaslih, mantan istri anggota dprk subulussalam dicambuk 22 kali) 13 serambinews.com 17-04-2020 entangled in the case of immorality, a nonmahram couple in aceh caned, a female convict is a teacher (terjerat kasus asusila pasangan bukan muhrim di aceh dicambuk, terpidana perempuan seorang guru) 14 beritakini.co 17-04-2020 a coupleof sharia offenders caned in simeulue (pasangan pelanggar syariat dicambuk di simeulue) 15 modusaceh.co 17-04-2020 the impact of corona virus, caning execution held in prisons (dampak corona eksekusi cambuk digelar di lapas) secondly, seven journalists and two editors from the five online media were interviewed. this selection of participants is based on the experience of journalists and editors in the news production of caning during the selected timeframe periods. due to the sensitive nature of this topic, all participants remained anonymous as outlined in the consent form. the form aims to explain how the researcher maintains the privacy and anonymity of informants (dawson, 2014). all participants were provided with participant numbers (j1-j7 for journalists and e1-e2 for editors). in addition to the interviews with the journalists and editors, the interview was also conducted with a representative of banda aceh independent 103the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) journalist alliance (aliansi jurnalis independen/aji banda aceh) 20182021. this study used a semi-structured interview format. this technique allows the researcher to position a particular issue in the question while providing opportunities for informants to develop their answers or ideas more independently (rabionet, 2011). thirdly, to determine the media consumption pattern of readers, the researchers observed the comments given by readers towards the selected news stories in five online media portals. the data obtained were analyzed using the critical discourse analysis (cda) method, the dialectical-relational approach model by norman fairclough. fairclough’s critical discourse analysis aims to discover the reality behind the female convicts by exploring the production context, text consumption, and socio-cultural aspects that affected text creation. cda relies on the presumption that discourse is not understood as plainly a series of words or propositions in a text, but something that produces something else (an idea, concept, or effect) (fairclough & fairclough, 2018). referring to this technique, the researcher follows at least four stages: 1) conducting normative criticism of discourse; 2) explain the normative criticism following the prevailing values; 3) explaining criticism of the real reflection and ongoing discourse; and 4) advocating what steps can be taken to change the situation. cda is based on discourse concerning power practices, knowledge, production of subjects and objects in text, speech, or images in social contexts and practices. the data analysis techniques include micro, meso, and macro levels of analysis. firstly, fifteen news data were analyzed (micro-level) using semiotic analysis by ferdinand de saussure. according to saussure (chiu & lu, 2015), text operates syntagmatically and paradigmatically. syntagmatically, the researchers analyzed to find the relevant signs with the interview questions. meanwhile, paradigmatically, the researchers interpreted the intrinsic and extrinsic meanings of the sentences 104 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) constructed in the text and locate the relationships therein. this analysis was carried out to describe how the representations, relationships, and identities formed were related to female convicts in the caning execution news. the analysis results would contribute to depicting forms of social irregularities (discrimination, marginalization, objectification, etc.) through text. secondly, the meso-level analysis was performed through interviews with seven journalists and two editors by initially composing transcripts and codifying the informants’ answers. this analysis aims to determine the cause of the irregularity that occurred. the researchers did not find any reader’s comments on the fifteen news stories in five online media. therefore, the researcher observed readers’ comments through news links on each online media’s facebook fan pages. the researchers chose natural observation techniques, and the data obtained was codified based on readers’ comments that led to male and female convicts. thirdly, macro-level analysis by transcribing and coding the interview with the secretary of aji banda aceh. this analysis aims to explain whether the irregularities are desired by related relations within and outside the media context. this analysis is associated with situational, institutional, and social factors. the research results are presented descriptively to provide an overview of how the discourse of female convicts is formed in the caning execution news and its link with other subjects. results and discussion representations of female convicts in the news of caning execution representation is a prominent part of spotting how meaning through language is produced and exchanged with one another. according to stuart hall (shaw, 2017), representation is how the use of language as a medium to convey specific ideas. meanings can only be expressed through 105the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) a system of representations and signs related to the meaning system. the representation of female convicts in this study can be comprehended through the attachment of female convicts to the issue of violating islamic law, in this case, khalwat and ikhtilath. the existence of women in these two types of violations attracts the attention of the mass media to produce news. from 2018 to 2020, ajnn.net, serambinews.com, modusaceh. com, waspadaaceh.com, and beritakini.co reported khalwat and ikhtilath by positioning female convicts as the primary object. the different reportage between male and female convicts emerges in three aspects: firstly, the use of gendered headlines towards women; secondly, news angle and reporting; thirdly, the higher frequency of female offenders’ photo use, regardless of the cases involving both genders. the representations of female convicts were illustrated by emphasizing the gender background of the convicts. it is evident in modusaceh.co (02-08-19) and serambinews.com (17-4-20), which included the word ‘woman’ in the title. in 2020, serambinews.com (07-04-2020) and beritakini.co (07-042020) also employed the word ‘wife’ in news headlines. serambinews.com even provided a considerable portion of coverage for this case. this news was broadcasted on four screens. the technique of presenting news information was also dramatized by linking female convicts with cheating, nasty chat, romantic, and scandalous. serambinews.com also framed the news with several testimonies from witnesses who were presented at the previous trial. the formation of information by serambinews.com indicates that female convicts were represented as having a significant role in the act of khalwat. a further examination revealed that this representation was even formed long before the execution of caning was carried out. female convicts were represented as those who liked to have sex and were responsible for the khalwat cases. serambinews.com reinforced this message 106 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) at the end of the news that the male convict admitted that he denied sending a message inviting her to do obscenity. still, the female convict sent the seductive messages, but the male convict did not pay attention. beritakini.co did not give this case a large portion in the same edition for a similar incident. this can be seen from the standard journalistic news presentation by implementing journalism’s 5ws (and an h). the similarity in these two media is to attach the label of wife and affair to female convicts. the reporting of this case in beritakini.co was recorded as distributed 230 times via the facebook page. also, the five online media often emphasized additional information in the form of jobs carried out by female convicts. for example, the news of khalwat convicts on 17 april 2020 in serambinews.com, beritakini.co, and modusaceh.com. the female convict was a teacher, and it was emphasized in all three media. on beritakini.co (17-04-20), this news has even been liked 1,100 times on the facebook page. on modusaceh.com (17-04-20), the background of the female convict as a teacher was also highlighted in the body of the news as mentioned below: the couple, namely the man with the initials aa, along with aw, her female partner, is a teacher at one of the schools in simeulue. both of them were sentenced to be lashed 28 times (modusaceh.com, 17 april 2020). the researchers found a relationship that labels embedded in the media caused the position of female convicts to become more complicated. the press gave the impression that the female convict, a teacher, and a woman, broke normative expectations that teachers and women should not be involved in such a crime. this argument is in line with research by brennan & vandenberg (2009), who found that women committing crimes were represented as not appropriate, while similar practices rarely occur when male convicts were involved. 107the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) another finding exhibited that female convict was also represented by several online media as weaker offender than male convict, for instance: “however, when executing mega, the executioner stopped at the fifth lash because the convict groaned.” (serambinews. com, 20 april 2018) the choice of the word ‘execute’ by serambinews.com represented the harsh punishment process that the convict must endure. however, when the word ‘execute’ was combined with the convict’s name, ‘mega’, serambinews. com represented a female convict as less powerful, and the executioner is the one who has power. the word ‘execute’ could represent the aceh government, qanun jinayah, or the executioner himself. also, the word executioner represents a symbol of strength associated with men. this argument is based on the fact that at the end of 2019, all of the executioners on duty were men. furthermore, the use of groaning represents the inability of female convicts to face the sentence. on the other hand, ajnn.net and modusaceh.com did not construct female convicts as weak figures in the coverage of a similar event. however, in 2019, modusaceh.com carried out a similar practice by publishing a story entitled ‘female convicts groaning in pain after the fourth lashes.’ in this publication, modusaceh.com created the suffering experienced by female convicts as an interesting angle. the dramatization of this incident was described through the lead as follows: the information on the inability of female convicts to serve a sentence is visible, with the addition of information at the end of the news that male convicts could serve sentences even while enduring pain. “at the count of the fourth during the fourth lash, dar immediately groaned in pain”, and “the tears of the white woman immediately dripped, the caning execution was stopped.” (modusaceh.co, 2 august 2019) 108 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) likewise, serambinews.com published a news story entitled ‘darwati groaned when the executioner was lashing her.’ this media emphasized female convicts by providing an element of dramatization of the inability of female convicts to undergo execution. serambinews.com even described it through the use of the sentence: “darwati groaned in pain, with only four lashes.” in 2020, the dramatization of female convicts was produced by the five media outlets. serambinews.com (17-04-20) used the sentence “unable to hold back tears, and feels ashamed,” beritakini.co (17-04-20) typed the sentence “the female convict raised her hands several times because she felt pain, and after receiving a final lash, the officers had to carry her off the stage.” female convicts were also represented as the second sex. women are often used as the second subject whose position is not equal to men. the mass media could perpetuate gender norms and simultaneously shape the way audiences behave, following the values that media preserved (wright & holland, 2014). this study found that female convicts experienced marginalization, which resulted in their figures being inseparable from male figures, who were considered more powerful. news stories on alertaceh. com (29-10-18) and beritakini.co (29-10-2018) reflected a hierarchical system between superior and subordinate in ihktilath cases. on the one hand, the manager was associated with the male convict, and on the other hand, the receptionist was linked with the female convict. the second sex attached to female subjects increasingly put women in a weak standpoint over themselves. this representation was influenced by patriarchal ideology. it further affects how the readers’ knowledge conceived the male and female convicts. implicitly, foucault (graham, 2011) said that the form of power is reflected through the discourse regime. discourse has autonomy and claims truth over knowledge. the claim of truth is an example of the practice of power, which can affect the groups whose relations are 109the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) involved in it. according to foucault (graham, 2011), power should be based on how power operates and how power is exercised, not based on who has power and where the power comes from. foucault added that power could not be seen explicitly. consequently, many subjects involved do not realize the impact of a prevailing power, even though the subject is unconsciously controlled over his body. this is in line with fairclough’s thinking that certain ideologies continue to be produced and reproduced for the sake of power. the goal is to provide existence to a certain ideology so that power relations will continue to last in the ongoing social structure. the emergence of female convicts who dominate cases of sexuality forms a scheme as if khalwat and ikhtilat are always initiated by women, while men are engaged in other violations. hegarty & bruckmüller (2013) explained that according to foucault, the concept of power in modern society is in disciplinary power, which explains that the power owned by authority functions in the system multi-tiered social relationship. this makes a particular system applicable and considered a valid and rational objective. it seems that female convicts were normalized as violators of sharia in cases of sexuality by the media. power relations focus on normalizing behavior that is designed to take advantage of productive and reproductive abilities. this is aimed as a form of habituation and to place it as a medium of power (vehicle of power). this relationship can also be seen through the differences in the presentation of photos of male and female convicts. from the results of this study, the researchers found that in 2018–2020, female convicts were more often used as the main photo object in reporting on caning compared to male convicts, especially in news of khalwat and ikhtilath. 110 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) photo 1. serambinews.com (20 april 2018) photo 2. ajnn.net (20 april 2018) photo 3. modusaceh.co (20 april 2018) photo 4. modusaceh.co ( 20 september 2018) photo 5. serambinews.com photo 6. waspadaaceh.com (20 september 2018) (20 september 2018) 111the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) photo 7. beritakini.co ( 29 october 2018) photo 8. waspadaaceh.com (29 october 2018) female convicts were also often immortalized through photos with expressions of tears, covering their faces in shame or even fainting due to pain. it was different from photos of male convicts with strong body language, without expression and blurring. however, this did not automatically negate that the male convicts were also used as the primary photo object in the five online media. photo 9. serambinews.com (2 august 2019) photo 10. modusaceh.co (2 august 2019) 112 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) photo 11. modusaceh.co (2 august 2019) photo 12. serambinews.com (7 april 2020) photo 13. beritakini.co (7 april 2020) photo 14. beritakini.co (17 april 2020) similar practices were implemented from 2018 to 2020. however, based on the findings in this study, photos of female convicts were not only exploited in cases of khalwat and ikhtilat, but have also been featured photo 15. serambinews.com (17 april 2020) photo 16. modusaceh.com (17 april 2020) 113the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in the news of other cases. for example, it was used as an illustration of news discussing the caning regulation. the attitude of journalists and editors towards caning central figures in the production of caning news are journalists and editors. journalists as fact-gatherers have the flexibility to choose and report any information, angles, and people. every journalist and editor has a background of knowledge and belief regarding the law of caning and islamic law, and every media has a specific ideological background. according to stuart hall (storey, 2010), meaning construction by text producers involves the knowledge framework they already have regarding a topic and relates to the text production activity. this process is called encoding. likewise, readers also construct the meaning of the text by matching it with their previous knowledge relating to the text. in this regard, if readers’ knowledge of female convicts has been shaped and has the same meaning, the circulation of production and replication of reality’s meaning will follow a similar pattern. through interviews, j1-j7 said that caning had high news value and a relatively large readership, especially news of khalwat and ikhtilat. the great potential of the convicted person to become the object of the caning coverage became a standard operating procedure (sop) for covering news of caning in the five media. however, to attract more viewers, j1-j7 mentioned that one effective way was to position female convicts as news objects, affix the labels with sensational nuances to the female convicts, and show their photos with various expressions and angles. the involvement of female convicts in crime was also interpreted by j1-j7 as something strange and should not have happened. it seems that because journalists felt odd seeing female offenders, the female convicts who received lashes in public attracted more media attention, especially with the labels of the offenders as wife and mother and their expression when crying, hysterical, 114 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) begging not to be caned. such news packaging had high value and the potential to attract the interest of many readers. the stereotypes of female convicts as weak characters emotionally and mentally, and male convicts who were perceived as strong, tough, although they experienced difficulties, also affected how journalists presented the figures of male and female convicts in texts. j1 (interview 15 august 2018) said that although the male convicts also felt the pain, they did not want to show the pain. hence, the male convicts who were ashamed by the case did not display any tormented expression. for j1 and his media, the male convict who looked strong had no news value. these various forms of gender-based inequality resulted from discourse reflections from journalists, editors, and media itself. not only journalists and editors concerned with this discourse, but also editors and media editorial policy. a recent survey revealed that indonesian journalists considered editorial policy and journalist autonomy crucial job aspects (willnat, weaver, & choi, 2013). the discourse inside media determines how the portrayal of female convicts was selected, shaped, and disseminated. e1 (interview, 21 august 2019) said he often argued with other editors regarding certain limitations in presenting news. however, the editorial team refuted e1’s arguments on the pretext that the practice was beneficial for the media. e1 admitted that he often succumbed to the wishes of online media editors by concluding that online media provided less leeway on moral issues. even though the news about the caning has unethical connotations, editors e1 and e2 both said that they both relied on ethical principles in editing the caning news. e2 did a layered check considering the impact after the news was published. e1 (interview, 21 august 2019) explained that he tended to avoid editing news about caning because, in online media culture, it was recommended that crime news be published sensationally. e1 and e2 were a small part of editors in many online media companies 115the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in aceh. the ethical principles applied by e1 and e2 did not necessarily become a consideration for other media editors in the depiction of female convicts in the caning news. it is evident in several products of caning legal news in aceh’s online media, which included misrepresentations of both female and male offenders. power relation is not understood as a powerful domination mechanism over the powerless. foucault (guittar & carter, 2014) classified some instruments of the applied body discipline. firstly, hierarchical observation and surveillance which is carried out constantly by monitoring all the subjects in it. in this study, journalists and editors carried out hierarchical observation and surveillance in the media context. this had implications for creating patterns of production of caning news that might be in accordance with the needs of the media, even though they must discriminate against certain groups. secondly, normalizing judgment by comparing the subject’s behavior with existing norms/moral standards and then punishing the subject if his behavior was not in accordance with those standards. in fact, there is a combination of the supervision and punishment method known as examination in several sources. in this context, the discourse formed by the five online media with various factors raises specific moral standards attached to the female convicts. such representations positioned the female offenders and an indicator of the implementation of islamic law, meaning that they must be regulated so that sexuality-based offenses would be decreased in aceh. the media consumption of the caning execution news this pattern is seen through how readers/viewers consumed the discourse. however, in this study, the researchers did not find direct comments on the fifteen news stories included in this study. readers’ comments regarding the news about the caning execution were seen through their official social media accounts such as facebook. the five 116 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) media have their respective facebook fan pages, namely serambinews.com (662,665 followers), ajnn.net aceh journal nasional network (34,135 followers), modus aceh (235 followers), beritakini.co (23,354 followers), and waspadaaceh.com (2,645 followers). the researchers only found three out of fifteen news stories in this study distributed through fan page accounts. serambinews.com carried out all three: the news story of 20 april 2018 (34 comments, 55 shares, 947 emoticons); 2 august 2019 (10 comments, 12 shares, 40 emoticons); and 7 april 2020 (5 comments, eight shares, 56 emoticons). the news stories on 20 april 2018 and 2 august 2019 in serambinews. com provided information on the execution of caning in several cases, which were carried out against male and female convicts. however, both news stories used female convict photos as illustrations and female convicts as news angles. based on the observations, there were several comments from readers addressing the female convicts. figure 1. the screenshot of a reader's comment on serambinews.com's fan page (20 april 2018 issue) the researchers found that the readers’ comments were directed at female convicts, namely through using the diction of ‘apam.’ explicitly, apam is a type of pancake in aceh. however, implicitly, apam often connotes female genitals. this diction had also been observed that social media users often used issues of sexuality regarding the role of women in it, such as khalwat, ikhtilath, and online prostitution. then in the news link on 2 august 2 2019, the reader’s comments added to the “suffering” experienced by female convicts by saying words expressing negative nuances. 117the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 2. the screenshot of a reader's comment on serambinews.com's fan page (2 august 2019 issue). furthermore, on 7 april 2020, serambinews.com published a story that only made female convicts the news object. the readers provided a detailed response to female convicts, even though the cases involved male convicts. figure 3. the screenshot of a reader's comment on serambinews.com's fan page (2 august 2019 issue) the researchers found no comments that showed empathy for the convicted or challenged the narrative built by serambinews.com. this argument is supported through findings in fitri & haekal’s research 118 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (2021). using thematic analysis, they found at least four dominant themes discussed by the publsic in the news link on the caning execution on the serambinews.com’s facebook fan page: 1) the readers came up with the idea of extreme punishment for offenders; 2) cursing appeared more frequently in the news about khalwath and ikhtilath cases; 3) public concerned about the convict’s activities; and 4) the readers showed a positive stance against islamic law and caning. in some links, readers responded to the news using the word ‘apam’, even though the cases reported have nothing to do with the execution of caning involving female convicts. the finding also confirmed the stigma of women as the cause of sexual misconduct, even though the existing cases included the role of men in it. readers’ response in consuming media is identical to the methods conveyed by the media. this response is indicated as the result of normalization carried out by the media. similar patterns contribute to the creation of knowledge that is identical to what the media convey. in the news link below, some readers seemed to focus on talking about female convicts. for example, they commented on the figure of a wife, even the diction of ‘apam’ was still applied, especially in responding to issues of sexuality. this finding does not mean that media and readers do not target men, but female convicts experience it more frequently. serambinews.com broadcasted the execution of the female convict directly on its facebook fan page. the post resulted in 440 comments and 684 emoticons. 119the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 4. the live broadcast screenshot of the female convict caning execution (serambinews.com's facebook fan page, 2 august 2019). today’s social media have an essential role in promoting their news to the public (tandoc, jr & vos, 2016). the five online media utilized social media in increasing the intensity and frequency of interactions, thus indirectly benefiting the media economy (ziegele, weber, quiring, & breiner, 2018). however, nielsen & schrøder (2014) underlined that in several large countries such as denmark, france, and the uk, social media tends to be personal, not based on public interests. social media users only participate in sharing, commenting, or publishing their own stories. this phenomenon is different from the findings of this study. for example, it was revealed through an interview with j4 that in the media where he worked, the editor deliberately created several social media accounts whose task was to provoke reader interaction. the editor on some facebook accounts intentionally shared news links and added confrontational captions that trigger social media users to comment. j4 presumed that this pattern could invite social media users to contribute their clicks on the links. however, the ideology of the mass media influencing the production and consumption of narrative also forms a new reality about an event. the study of nasution (2017) showed that the ideological interests between different media in packaging the similar fact affect its manifestation. likewise, in this study, the ideology of the five media in packaging one caning execution led to the production of different realities. the 120 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) phenomenon of media content in the contemporary era, which is closely related to discrimination, marginalization, and so forth, is also considered incompatible with the spirit of islamic journalism in providing benefits to the public (minan, 2016). external factors influencing the discourse of female convicts in the coverage of caning the increasing number of online media in indonesia, especially aceh, produce even more arduous competition. online media compete with each other to publish faster and more unique stories to attract more readers. this pattern certainly follows the millennial generation’s development, where most internet users are more interested in consuming information presented in a unique, bombastic, and sensational way. although the caning is not new to local online media in aceh, this issue still has readers, both at local, national, and international scales. competition between online media is currently determined by search engine optimization (seo). according to ledford (2009), seo is a technique of adjusting a website to appear and rank better in search engines. seo refers to online media traffic. therefore seo has a significant role in the online-based media industry. search engines use some criteria to determine rankings based on website popularity, keyword text, link context, title, hashtags, and so forth (dick, 2011). online media implement this practice to make search engines such as google track their contents quickly and lead them to go viral. the more viral the news is online, the more it attracts readers, and the more benefits the online media will get. as stated by a representative of aji banda aceh: “in the digital era, the media’s highest position is no longer the managing editor, but seo...so that the keywords are easy to find on google. the goal is to add adsense through clickbait. the title is bombastic, and the content is ordinary.” 121the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (a representative of aji banda aceh, interview 15 august 2018). instead of focusing on the quality of news, seo has created a tendency for media workers to meet the standard of seo effectiveness, such as google (dick, 2011). this phenomenon has triggered the emergence of many ethical problems in online journalism practices. ethical questions often challenge the issue of caning news on online media. this is also a challenge for journalists and online media to apply the journalistic code of ethics (kode etik jurnalistik/kej) in the digital era. the kej, which was passed through press law no. 40/1999, did not specifically mention the rules of online journalism, but if examined further, the existing kej is still relevant to journalism in the digital era. according to a representative of aji banda aceh (15-8-2018), when a journalist works in online media upholds the kej, at least the journalist has guidelines that can minimize unethical practices. he further stated that all journalists must pay attention to the impact of written news and be aware of reducing the negative impact. journalists often ignore this ideal practice, given that the media has an economic function. moreover, because many journalists do not have a journalistic background and are reluctant to continue studying journalism, the problems would potentially continue to persist. based on the findings, the irregularities in the discourse discriminating against female convicts were hardly ever discussed by the government and the mass media in aceh. based on the interviews, the journalists and the editors claimed that they never received the intervention or disapproval from anyone regarding the news of the published female convicts. this kind of public response could be caused by the existing public perception in the acehnese society that women were considered inappropriate parties to commit such heinous acts or by the effects of the discourse that the media spread. 122 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) for foucault, power can never be separated from knowledge, in which the combination of the two results in discourse. knowledge is not pure and neutral, but the knowledge legitimized by power becomes a form of how the normalization of power occurs in society. this power ultimately normalizes the subject in speaking, thinking, and acting, following the ongoing dominant power (lilja & vinthagen, 2014). foucault’s ideas, known as genealogy, show how certain discourses gain authority and function as rules and what factors determine them, and how specific topics should be thematized. this formula is then manifested as the institutions involved. through discourse, power and knowledge aim to discipline the subject immaterially. the intended subject can be anyone, like individuals, institutions, government, media, and so forth. harcup & o’neill (2017) explained that the standard of news value could come from what the public wants and reflect the institution’s values. although there are limitations to editorial policies that require employees to prioritize humanist values, the fierce competition among online media makes this difficult to do. thus, online media still needs to focus on female convicts in the caning news. online media could gain more profits by exploiting the convicted women. it further supports the assumption that the qanun jinayah discourse on online media was still detrimental to women. this repetitive scheme could motivate the district administration in aceh to discuss or issue various policies that were discriminative against women, for example, the 2013 regional regulation on “prohibition of straddling” for women getting a ride on motorbikes in lhokseumawe, the discourse on enforcing curfews for women in banda aceh in 2015, and the discourse on banning sitting at the same table with non-mahram in 2018 in bireuen regency, restrictions on women’s movement to enter certain areas, raids on women’s clothing or virginity tests. the charges were carried out by wilayatul hisbah (wh) as the sharia police also more targeted women. 123the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) these policies created feelings of worry, fear, discomfort, even shame, and isolation for women. women involved in crimes based on qanun jinayah also experience psychological and social pressure, such as feeling alienated, humiliated, and depressed. some examples of the rules above emphasized that media objectifying female convicts contributed to the knowledge creation that women were used as indicators of the implementation of islamic law in aceh. women were also considered a threat because they were considered a source of violations of islamic law, especially in cases of sexuality. such a discourse certainly does not appear instantly. the contribution of knowledge produced and reproduced by the mass media is one of the reasons why women are still being marginalized. previously, the marginalization and discrimination of women in media were carried out before the sentence was passed on. also, there are concerns that the discourse of female convicts in online media can potentially initiate some fanatical islamic organizations to persecute violators of islamic law, especially khalwat and ikhtilath, in a vigilante mode. various pieces of evidence of the pre-execution carried out by the community, and islamic mass organizations were more or less part of the implications of the narrative formed by the mass media, which contained negative stigma and stereotypes towards female convicts. conclusion and suggestion conclusion from 2018 to july 2020, the five online media still positioned female convicts as the object of news that was economically beneficial. female convicts were represented as criminals in cases like khalwat and ikhtilath. female convicts were also represented as weak figures, the second sex, and covered with sensational narratives. this could increase the number of clicks and give economic benefits to online media. the emergence of media analytics which refers to the number of clicks, places a burden 124 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) on the media to accentuate certain aspects of the publication. editorial decisions affected the success of the media in generating traffic. besides, the formation of discourse on female convicts is also influenced by the media competition in seo. on another side, the researcher did not find any counter-reactions from readers regarding the discourses of female convicts published on five media websites. it seems that the practice was considered normal, so it did not have to be questioned anymore. this indicates that power relations based on patriarchal ideology have been accepted and regarded as natural. this research also suggested that the discourse that discriminates against female convicts has benefited the media. suggestion online media as part of the mass media should carry out a social surveillance function. ideally, online media take on that role by creating objective reporting narratives related to islamic law, caning, and female convicts. online media should participate in evaluating all forms of islamic sharia policy practices, especially concerning cases experienced by female and male convicts, so that there are no more discriminatory practices against certain genders. one of the significant points that online media workers must consider is the importance of working together with journalist associations. it is because journalist associations often facilitate the training and workshops for the capacity building of their members. producing news is concerned with writing skills and the ability to understand problems from a particular perspective, including gender and human rights. the researchers recommend further studies to see the discourse of female convicts in the caning news about caning by using other data analysis techniques. for example, they may discover this issue further by utilizing theo van leeuwen’s text (social actors approach) or examining 125the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the historical realm of the legal discourse development of caning through the lens of discourse historical approach (ruth wodak). we also encourage further studies to perform comparative media analysis to examine the differences of representations across media outlets. it is expected to get a more comprehensive picture of the media representation of female convicts in aceh. acknowledgment this research received a grant from the directorate of islamic higher education, the directorate general of islamic education, the ministry of religious affairs of indonesia in 2019. references amri, s. (2019). analisis framing pemberitaan hukum cambuk pada media serambi indonesia di aceh. (thesis master: unpublished). semarang: master program in communication science diponegoro university. bahri, s. (2013). konsep implementasi syariat islam di aceh. kanun jurnal ilmu hukum, 15(2), 313–338. http://202.4.186.66/kanun/article/ view/6174 brennan, p. k., & vandenberg, a. l. (2009). depictions of female offenders in front-page newspaper stories: the importance of race/ethnicity, international journal of social inquiry, 2(2), 141-175 chiu, w., & lu, k. (2015). paradigmatic relations and syntagmatic relations: how are they related? proceedings of the association for information science and technology, 52(1), 1–4. https://doi. org/10.1002/pra2.2015.1450520100122 dawson, p. (2014). our anonymous online research participants are not always anonymous: is this a problem? british journal of educational technology, 45(3), 428–437. https://doi.org/10.1111/ bjet.12144 126 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dedees, a. r. (2014). no perempuan seksi dalam jaring korupsi. jurnal ilmu komunikasi, 11(1), 37–54. https://doi.org/10.24002/jik. v11i1.383 dick, m. (2011). search engine optimisation in uk news production. journalism practice, 5(4), 462–477. https://doi.org/10.1080/175127 86.2010.551020 fairclough, n., & fairclough, i. (2018). a procedural approach to ethical critique in cda. critical discourse studies, 15(2), 169–185. https:// doi.org/10.1080/17405904.2018.1427121 fakhri, f., & juanda, h. (2020). analisis foto jurnalistik pada kantor berita agence france presse (afp) tentang penerapan syariat islam di aceh tahun 2017. jurnal al-bayan: media kajian dan pengembangan ilmu dakwah, 26(1), 77–96. https://doi.org/10.22373/albayan. v26i1.7857 fitri, a., & haekal, m. (2021). hukum cambuk & opini publik: analisis tematik tanggapan netizen terhadap berita pelanggaran syariat islam di akun facebook media massa. source: jurnal ilmu komunikasi, 7(1), 21–31. https://doi.org/10.35308/source. v7i1.3285 graham, l. j. (2011). the product of text and ‘other’statements: discourse analysis and the critical use of foucault. educational philosophy and theory, 43(6), 663–674. https://doi.org/10.1111/ j.1469-5812.2010.00698.x guittar, s. g., & carter, s. k. (2014). disciplining the ethical couponer: a foucauldian analysis of online interactions. foucault studies, 18, 131–153. https://doi.org/10.22439/fs.v0i18.4656 hadiati, e., abdullah, i., & udasmoro, w. (2013). konstruksi media terhadap pemberitaan kasus perempuan koruptor. al-ulum, 13(2), 345–372. harcup, t., & o’neill, d. (2017). what is news? news values revisited (again). journalism studies, 18(12), 1470–1488. https://doi.org/10. 1080/1461670x.2016.1150193 hegarty, p., & bruckmüller, s. (2013). asymmetric explanations of group differences: experimental evidence of foucault’s disciplinary power. social and personality psychology compass, 7(3), 176–186. https://doi.org/10.1111/spc3.12017 127the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) human rights watch. (2010). menegakkan moralitas pelanggaran dalam penerapan syariah di aceh, indonesia. new york, united states: human rights watch. jia, s., lansdall-welfare, t., sudhahar, s., carter, c., & cristianini, n. (2016). women are seen more than heard in online newspapers. plos one, 11(2), e0148434. https://doi.org/10.1371/journal. pone.0148434 juliani, r. (2018). pemberitaan media asing mengenai hukum cambuk gay di aceh. source: jurnal ilmu komunikasi, 3(2). 209-220, https:// doi.org/10.35308/source.v4i2.920 kristensen, k. (2013). michel foucault on bio-power and biopolitics. retrieved march 30, 2020, from helda.helsinki.fi website: https:// helda.helsinki.fi/handle/10138/39514 ledford, j. l. (2009). seo: search engine optimization bible (vol. 29). hoboken, new jersey, united states: wiley lilja, m., & vinthagen, s. (2014). sovereign power, disciplinary power and biopower: resisting what power with what resistance? journal of political power, 7(1), 107–126. https://doi.org/10.1080/ 2158379x.2014.889403 littlejohn, s. w. & foss, k. a. (2010). theories of human communication. long grove, illinois: waveland press, inc. maulina, p. (2017). pembungkaman terhadap perempuan dalam teks pemberitaan syariat islam. bidayah: studi ilmu-ilmu keislaman, 8(1), 120–133. minan, i. (2016). relasi media massa dan dakwah kontemporer. albalagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 1(2), 197–214. https://doi. org/10.22515/balagh.v1i2.349 muktiyo, w. (2017). menggugat stereotif “perempuan sempurna”: framing media terhadap perempuan pelaku tindak kekerasan. palastren jurnal studi gender, 10(2), 248–272. https://doi.org/10.21043/ palastren.v10i2.2610 murtiningsih, b. s. e., advenita, g. e. m., & ikom, s. (2017). representation of patriarchal culture in new media: a case study of news and advertisement on tribunnews. com. mediterranean journal of social sciences, 8(3), 143-154. https://doi.org/10.5901/mjss.2017. v8n3p143 128 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nasution, i. f. a. (2017). islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas. com dalam kasus charlie hebdo). al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 2(1), 45–62. https://doi. org/10.22515/balagh.v2i1.753 nielsen, r. k., & schrøder, k. c. (2014). the relative importance of social media for accessing, finding, and engaging with news: an eight-country cross-media comparison. digital journalism, 2(4), 472–489. https://doi.org/10.1080/21670811.2013.872420 o’donnell, b. (2016). male and female murderers in newspapers: are they portrayed differently? fields: journal of huddersfield student research, 2(1), 45-67. https://search.informit.org/doi/10.3316/ informit.697773212493660 rabionet, s. e. (2011). how i learned to design and conduct semistructured interviews: an ongoing and continuous journey. qualitative report, 16(2), 563–566. https://doi.org/10.46743/21603715/2011.1070 satpol pp & wh kota banda aceh. (2020). penyelesaian kasus pelanggaran perda/ qanun syariat di kota banda aceh. retrieved january 30, 2021, from data.bandaacehkota.go.id website: https://data.bandaacehkota.go.id/index.php/dataset/single/ penyelesaian-kasus-pelanggaran-perda-qanun-syariat-di-kotabanda-aceh/354edfdf-133a-4d2b-b39d-f59e73e0c8a2. shaw, a. (2017). encoding and decoding affordances: stuart hall and interactive media technologies. media, culture & society, 39(4), 592–602. https://doi.org/10.1177/0163443717692741 storey, j. (2010). cultural studies and the study of popular culture (3rd ed). edinburgh, united kingdom: edinburgh university press. tandoc, jr., e. c., & vos, t. p. (2016). the journalist is marketing the news: social media in the gatekeeping process. journalism practice, 10(8), 950–966. https://doi.org/10.1080/17512786.2015 .1087811 willnat, l., weaver, d. h., & choi, j. (2013). the global journalist in the twenty-first century: a cross-national study of journalistic competencies. journalism practice, 7(2), 163–183. https://doi.org/1 0.1080/17512786.2012.753210 129the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) wright, k. a. m., & holland, j. (2014). leadership and the media: gendered framings of julia gillard’s ‘sexism and misogyny’ speech. australian journal of political science, 49(3), 455–468. https://doi.org/10.1080/10361146.2014.929089 ziegele, m., weber, m., quiring, o., & breiner, t. (2018). the dynamics of online news discussions: effects of news articles and reader comments on users’ involvement, willingness to participate, and the civility of their contributions. information, communication & society, 21(10), 1419–1435. https://doi.org/10.10 80/1369118x.2017.1324505 130 the portrayal of female convicts in the news reporting of caning execution in aceh ainal fitri, febri nurrahmi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 95 130, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3061 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) budaya dan kearifan dakwah masykurotus syarifah, m.h.i. dosen tetap stai nazhatut thullab, sampang, madura abstrak ketika membahas tentang propaganda dan komunikasi lintas budaya, setidaknya ada tiga kata kunci untuk membongkar masalah ini, yaitu propaganda, komunikasi, dan budaya. ketiga hal ini memiliki makna dan fungsi masing-masing. di sinilah perlunya penguraian lebih mendalam tentang hal tersebut. mempelajari komunikasi lintas budaya adalah wajib karena itu merupakan tiket untuk kita agar mampu beradaptasi di manapun kita berada, terutama di indonesia di mana berbagai suku dan budaya hidup berdampingan. konflik berkepanjangan dapat terjadi jika seseorang tidak memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak melakukan melakukan apapun untuk komunikasi lintas budaya. dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, seseorang bisa memahami perbedaan dengan bersikap netral atau moderat. sehingga konflik yang timbul antar budaya etnis yang berbeda tidak akan terjadi. lebih lanjut, mempelajari komunikasi lintas budaya dapat membuat kita lebih berhati-hati dalam membangun hubungan dengan budaya lain. para pendakwah harus memahami tempat, budaya, kebiasaan dan bahasa objek dakwahnya karena hal tersebut menentukan kesuksesan dakwah yang dilakukannya. keywords: wisdom, propaganda, culture. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: masykurohs@gmail.com 24 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah a. pendahuluan komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya (enjang, 2009. 24-34). budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. cara berkomunikasi sangat bergantung pada budaya: bahasa, aturan, dan norma masing-masing (liliweri, 2011. 9). komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. keduanya memperhatikan pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. alo liliweri dalam buku “makna budaya dalam komunikasi antar budaya” menjelaskan tentang komunikasi antar budaya yaitu merupakan interaksi dan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memilki latarbelakang kebudayaan yang berbeda (liliweri, 2009. 12-13 ). komunikasi merupakan hal yang berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan abstract when talking about propaganda and cross-cultural communication, there are at least three key words to unravel these issues, namely propaganda, communication, and culture. all of the three have their own meaning and function. here the need for more in-depth decomposition. learning cross-cultural communication is necessary because it is a ticket for us to be able to adapt wherever we are, particularly in indonesia where the various tribes and cultures live together. a prolonged conflict would occur if the person does not understand the differences and does nothing with cross-cultural communication. by studying how to build the cross-cultural communication, people will understand the differences and be neutral or moderate. so the conflict rose among different ethnic cultures will not happen. in addition, studying the cross-cultural communication will make us more cautious in building relationship to the different cultures. preachers should be able to understand the place, culture, customs, and language of his objects because it will determine the success of their preaching. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 25 manusia lainnya. setiap orang membutuhkan hubungan social dengan orang lainnya dan kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia yang tanpa komunikasi akan terisolasi. dalam bukunya, abraham laswell mengatakan bahwa komunikasi adalah who says what to whom in this channel with what effect (siapa berbicara apa dengan media apa yang menghasilkan efek). efek disini merupakan sikap dan tingkah laku dari hasil berkomunikasi tersebut. ada juga yang mengatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran pesan dari komunikator dan komunikan yang menghasilkan efek. disini jika kita runtut, kebanyakan para ahli mendefiniskan komunikasi dari unsur-unsurnya. adapun unsur unsur komunikasi adalah: komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. untuk memahami interaksi antar budaya, terlebih dulu kita harus memahami komunikasi manusia. memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut. adapun komunikasi lintas budaya adalah, komunikasi yang dilakukan untuk segala macam budaya. sudah diketahui bahwa di dunia ini banyak sekali ragam budaya. kita ambil contoh indonesia saja. di negri ini, ratusan macam budaya berbeda. kebanyakan kegagalan berkomunikasi adalah akibat faktor ketidak pahaman akan budaya. sementara itu noise yang paling berpengaruh dalam proses komunikasi adalah budaya. komunikasi lintas budaya mencoba untuk melakukan pendekatan pendekatan dengan berbagai cara, seperti psikologis, sosiologi, kritik budaya, dialog budaya dan lain lain. di sini komunikasi lintas budaya mencoba untuk memberikan pemahaman bersama dan mencoba untuk mengerti akan keragaman budaya di indonesia. dari sini akan terbentuk suatu pengertian bersama akan adanya perbedaan budaya. komunikasi lintas budaya mencoba 26 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah untuk memahami akan keragaman tersebut. sehingga benturan-benturan kebudayaan atau disintregasi social tidak akan terjadi (mulyana, 2001. 12). menurut teori komunikasi antar budaya, edward t. hall, komunikasi dan budaya memiliki hubungan sangat erat. menurutnya, communication is culture and culture is communication. hall terlebih dahulu membedakan budaya konteks tinggi (high context culture ) dengan budaya konteks rendah (low context culture). budaya konteks rendah ditandai dengan komunikasi konteks rendah seperti pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus terang. para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan (the say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean what they say). sebaliknya, budaya konteks tinggi, seperti kebanyakan pesan yang bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dibalik perilaku nonverbal, intonasi suara, gerakan tangan, pemahaman lebih kontekstual, lebih ramah dan toleran terhadap budaya masyarakat. terkadang pernyataan verbal bisa bertentangan dengan pesan non-verbal. manusia yang terbiasa berbudaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku non-verbal dan juga akan mampu melakukan hal yang sama. watak komunikasi konteks tinggi yaitu tahan lama, lamban berubah dan mengikat kelompok penggunanya. orang-orang berbudaya konteks tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya daripada orang-orang berbudaya konteks rendah. dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, pengkajiannya dengan pendekatan komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. bagaimana para da’i melakukan tugasnya sebagai pengayom masyarakat, penyelamat masyarakat dan memajukan masyarakat dengan pendekatanpendekatan yang lebih dekat dan ramah dengan budaya yang dianut masyarakat setempat (aripuddin, 2011. 16). kemudian dalam kaitannya dengan ilmu dakwah adalah pada tujuan dan fungsi dari komunikasi antar budaya itu sendiri. tujuan studi dari komunikasi antar budaya menurut litvin bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 27 mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri (mulayana, 1998. xi). tentunya dengan terlebih dahulu kita perluas dan perdalam pemahaman kita terhadap kebudayaan seseorang tersebut. selanjutnya dalam segi fungsi, seperti yang kita ketahui sebelumnya, ilmu dakwah adalah ilmu yang mengkaji tentang upaya mengajak umat manusia kepada jalan allah, dibangun dan dikembangkan dengan metode ilmiah sehingga dapat berfungsi dalam rangka memahami, memprediksi (prediction), menjelaskan (explanation) dan mengontrol (control) berbagai fenomena dan persoalan yang terkait dengan dakwah. metode ilmiah yang dimaksud oleh ilmu dakwah, tercantum pula pada komunikasi antar budaya seperti yang dipaparkan alo liliweri pada bukunya “dasar-dasat komunikasi antar budaya”. bahwa menurut beliau komunikasi antar budaya memiliki fungsi sosial, diantaranya : 1. sosialisasi nilai sosialisasi nilai merupakan fungsi untuk mengajarkan dan mengenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain. 2. menjembatani dalam poses komunikasi antar peibadi, termasuk komunikasi antar budaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan diantara mereka. fungsi menjembantani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. 3. pengawasan praktik komunikasi antar budaya diantara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. dalam setiap proses komunikasi antar budaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan (liliweri, 2011. 9). dengan adanya ketiga fungsi komunikasi antar budaya tersebut, komunikasi antar budaya dapat dijadikan sebagai ilmu bantu dalam mengembangkan ilmu dakwah. dalam hal ini yang dimaksud adalah 28 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah dakwah syu’ubiyah qabailiyah (dakwah antar suku, budaya dan bangsa), dimana da’i dan mad’u berbeda suku dan budaya dalam satu kesatuan bangsa atau pun berbeda bangsa (enjang, 2009. 69). sebagai pengembang teoritis dakwah, komunikasi antar budaya dapat menjelaskan secara sistematis fenomena yang berkembang berkaitan dengan proses dakwah (fungsi pengawasan), kontrol (pengendalian) suatu fenomena yang berkaitan dengan proses kegiatan dakwah dengan harapan agar fenomena itu dapat terjadi sesuai dengan tujuan yang hendak di capai (fungsi menjembatani), serta mampu memberikan penjelasan berbagai fenomena di suatu masyarakat, agar pengembangan dan pelaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien (fungsi sosialisasi nilai). b. strategi dakwah antar budaya fenomena dan objek dakwah yang sangat beragam, maka beragam pula tantangan yang dihadapi oleh umat islam di manapun dan kapanpun. melihat beragamnya objek dakwah, maka beragam pula strategi dakwah yang dilakukan oleh da’i. demikian juga budaya dari objek dakwah sangat beragam. apa sebetulnya yang disebut dengan dakwah? kata dakwah sering diungkapkan dalam al-qur’an secara langsung oleh allah dalam ayat alqur’an. ini membuktikan bahwa dakwah adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan menusia. tidak salah jika m.iqbal, seorang pembaru dari pakistan berkata “sesuatu yang paling berpengaruh dalam kehidupan saya adalah nesehat ayah yang mengatakan; anakku, bacalah al-qur’an seakan akan ia diturunkan padamu” (basith, 2006. 26). dakwah menurut bahasa berasal dari kata دعوه -يدعو -دعا يِّيَن َرُسوال ِمْنھُْم يَ ھَُو الَِّذي بََعَث فِي َويَُعلُِّمھُُم اْلِكتَاَب َواْلِحْكَمةَ َوإِْن ْتلُو َعلَْيِھْم آيَاتِِه َويَُزكِّيِھمْ األمِّ ُمبِينٍ َكانُوا ِمْن قَْبُل لَفِي َضاللٍ , yang berarti panggilan, seruan dan ajakan (pimay, 2005. 3). sedangkan menurut istilah, banyak sekali definisi dakwah. menurut saifudin azhari, dakwah adalah segala aktivitas yang mengubah suatu situasi lain yang lebih baik menurut ajaran islam. tetapi juga berupa usaha usaha meneruskan dan menyampaikan kepada perorangan dan umat. konsepsi islam tentang – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 29 pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia dan akhirat ini yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai media dan cara yang diperbolehkan akhlak yang membimbing pengalamannya dalam kehidupan perseorangan berumah tangga tangga, bermasyarakat, bernegara (anshari, 1969. 87). dakwah secara normatif yakni mengajak manusia kepada jalan kebaikan dan petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat (mahfud, 1970. 27). pengertian dakwah antar budaya dakwah pada hakikatnya adalah upaya aktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kehidupan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara berpikir, merasa, bersikap dan berperilaku manusia pada dataran individual maupun sosiokultural dalam rangka mewujudkan ajaran islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (rozi, 2007. 34). dalam dakwah, unsur dakwah meliputi dai, mad’u, metode, materi, media. dan dalam komunikasi, unsurnya dalah komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. keduanya hampir sama maknanya, hanya saja dalam unsur dakwah, efek tidak dicantumkan. namun pasti setiap komunikasi baik dilakukan dengan kemasan dakwah, akan tetap meberikan efek tersendiri. seorang da’i, dituntut untuk bisa menyampaikan materi kepada mad’u secara gamblang dan dapat diterima oleh mad’u, ini merupakan keharusan. karena seorang da’i dianggap berhasil apabila ia telah mampu memahamkan mad’u-nya. dalam komunikasi, hal ini disebut komunikasi efektif. untuk memenuhi tuntutan tersebut, seorang dai harus bisa memahami kondisi mad’u. di sinilah letak pentingnya komunikasi lintas budaya, karena dengan memahami budaya yang ada, maka dakwah dapat dilaksanakan dengan baik. salah satu metode yang digunakan dalam berdakwah adalah dakwah bil hikmah, dakwah bil hikmah dilakukan dengan cara yang arif dan bijaksana, yaitu melalui pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah 30 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan, mapun konflik. inilah yang bisa diterapkan dalam konsep dakwah lintas budaya. penekanannya adalah cara melaksanakan dakwah rasulullah dan menjadi rujukan dan referensi dakwah bagi kita saat ini. melakukan dakwah yang sebenarnya adalah hal yang sangat mudah. karena kita dapat melakukan dakwah dimana saja dan kapan saja. dalam menyampaikan dakwah kita harus merujuk kepada al-quran dan hadis nabi. salah satu metode dakwah yang sampai saat ini masih relevan dipraktekkan oleh para dai adalah dapat merujuk kepada hadis nabi sebagai berikut: permudahlah, jangan mempersulit, sampaikan kabar gembira dan jangan membuat orang lari (hr. bukhari). mempermudah urusan bukanlah membolehkan segala sesuatu hal dalam kehidupan ini. misalnya, apabila seseorang baru masuk islam, setelah mengucapkan dua kalimah syahadah. maunya jangan langsung dengan serta merta kita menyuruh membayar zakat, dan naik haji. akan tetapi ia baru saja masuk islam maka kita memberikan kabar-gembira, kabar yang menyenangkan serta menyejukkan tentang islam. misalnya kita memberikan penjelasan bahwa islam agama yang menghormati sesama manusia. budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. akibat dari kesalahpahaman itu banyak ditemui dalam berbagai kejadian yang – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 31 mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis. komunikasi dan dakwah tidak bisa dipisahkan. karena dakwah adalah aktifitas berkomunikasi. namun lebih khusus komunikasi tentang agama islam, penyebaran islam, dan juga anjuran baik dan buruk. disini dakwah dan komunikasi lintas budaya diperlukan. mengingat majemuknya budaya di indonesia menuntut seorang da’i untuk bisa menjadi da’i yang profesional. penggunaan metode dakwah yang benar adalah keharusan. eksistensi dakwah akan senantiasa bersentuhan dengan realitas sosio-kultural yang mengitarinya, sesuai konsekuensi posisi dakwah, dakwah sebagai satu variabel dan problematika kehidupan sosial sebagai variabel yang lain, maka keberadaan dakwah dalam suatu komunitas dapat dilihat dari fungsi dan perannya dalam mempengaruhi perubahan sosial tersebut, sehingga lahir masyarakat baru yang diidealkan (khoiru ummah). secara substansial dakwah merupakan pendidikan masyarakat, yang dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan cita-cita pendidikan nasional. tujuan seperti diamanahkan pendidikan nasional tersebut menempatkan dimenasi moral keagamaan sebagai bagian penting dalam proses berdakwah. dakwah antar budaya merupakan proses dakwah yang mempertimbangkan keragaman budaya antar da’i (subjek dakwah) dan mad’u (objek dakwah), dan keragaman penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat antar budaya, agar pesan dakwah dapat tersampaikan, dengan tetap terpeliharanya situasi damai (aripudin, 2012. 25). dakwah antar budaya merupakan kajian proses berdakwah mengajak seorang manusia untuk menyampaikan pesan-pesan agama islam dan perilaku islami sesuai dengan konsep budaya yang berkembang di masyarakat. hakikat dakwah antar budaya itu bagaimana kita dalam berdakwah, menggunakan budaya sebagai materi, metode, alat, dan strategi sesuai dengan kondisi budaya sasaran dakwah (mad’u). karena setiap orang, setiap tempat wilayah dan lingkungan mempunyai kondisi sosial 32 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah budaya yang berbeda-beda. maka dalam pendekatannya pun berbeda pula. kajian dakwah antar budaya memiliki ruang lingkup kajian ilmu dakwah yang meliputi : 1. mengkaji dasar-dasar tentang adanya interaksi simbolik da’i dengan mad’u yang berbeda latarbelakang budaya yang dimilikinya dalam perjalanan dakwah para da’i. 2. menelaah unsur-unsur dakwah dengan mempertimbangkan aspek budaya yang berhubungan dengan unsur da’i, materi, metode, media, mad’u dan dimensi ruang dan waktu dalam keberlangsungan interaksi berbagai unsur dakwah. 3. mengkaji tentang karakteristik-karakteristik manusia baik posisinya yang menjadi da’i maupun yang menjadi mad’u melalui kerangka metodologi dalam antropologi. 4. mengkaji tentang upaya-upaya dakwah yang dilakukan oleh masingmasing etnis. 5. mengkaji problem yang ditimbulkan oleh pertukaran antar budaya dan upaya-upaya solusi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi jati diri budaya masing-masing (aripudin, 2012. 55-56 ). wilayah yang memiliki masyarakat multikultur dan multietnis mempunyai tantangan untuk mengakomodasi perbedaan kebangsaan dan etnis secara stabil dan dapat dipertahankan secara moral. tantangan multikultur ini juga menjadi tantangan dalam aktivitas dakwah islam dengan cara mengubah dan menata kembali cara-cara serta orientasi dakwah. dakwah adalah seruan, ajakan, atau perubahan (aripudin, 2012. 133). kegiatan dakwah di masyarakat, dan di media massa selama ini, relatif telah responsif, terhadap kondisi masyarakat yang modern. setidaknya telah berupaya agar pesan-pesan keagamaan yang disampaikan bisa diterima secara baik. mereka biasa menggunakan berbagai metode dalam berdakwah. namun masih menjadi pertanyaan besar: apakah substansi dakwah telah menyesuaikan dengan kemajemukan dan atau – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 33 keperbedaan kultur di masyarakat; apakah kebijakan dakwah multikultur telah terformulasi dengan baik. demikian juga para da’i sebagai nara sumber atau aktor, supaya mempunyai kemampuan meramu kemajemukan tersebut dengan memperhatikan; isi atau pesan-pesan yang disampaikan, metode penyampaian, narasumber atau da’i yang berperan serta media yang digunakan. dakwah merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai ajaran islam kedalam masyarakat, oleh karena itu dakwah tidak akan pernah berhenti untuk berinteraksi dengan budaya dari masyarakat itu sendiri. terdapat konsep dakwah yang mengedepankan cara-cara simpatik, bijaksana dan lebih humanis (pimay, 2005. 45). dalam perjalanan sejarah bangsa indonesia, kini telah diwarnai oleh mobilitas sosial yang sangat tinggi. terjadi akulturasi (percampuran budaya) dan transkulturasi (tarik menarik antar budaya), sejalan dengan kemajuan tekonologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. perkembangan yang spektakuler adalah pada teknologi komunikasi, yang kemudian sangat mempengaruhi pola dakwah masa kini. secara tematik, ada beberapa jenis kegiatan dakwah di masyarakat. sebagian adalah pendalaman pengetahuan agama yang dilakukan secara rutin dan terjadwal. sebagian lagi adalah mengusung tema tertentu yang melekat dengan pelaksanaan peringatan hari besar islam, menyongsong event nasional dan lainya. seperti pendekatan sosial dan budaya yang diterima oleh masyarakat luas. memperhatikan ruang dan waktu, topik-topiknya aktual, menyentuh kebutuhan dasar mad’u dan isu-isu terkini dalam masyarakat. teori-teori dakwah antar budaya berusaha mengetahui karakter budaya suatu masyarakat merupakan kunci utama dalam memahami dan mengembangkan dakwah antar budaya. rumusan konseptual hasil pengamatan terhadap proses pelaksanaan dakwah baik diterima atau ditolak oleh mad’u. menurut acep aripudin diperlukan beberapa teori untuk membantu mengamati fenomena dakwah dari sisi analisis ilmu sosial, yaitu: 34 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah 1. resistance theory (teori resistensi) atau teori penolakan. dasar asumsi teori ini adalah bahwa setiap aktivitas dakwah akan selalu menghadapkan variabel da’i dan mad’u. ketika interaksi terjadi pertentangan bahkan sikap dan respons penolakan tidak terelakan khususnya penolakan dari mad’u. penolakan tersebut adalah konsekuensi logis akibat proses difusi budaya dari budaya yang berbeda. da’i menyampaikan pesan-pesan dakwah yang termasuk baru bagi komunitas masyarakat tertentu. maka budaya baru itu jelas mengancam eksistensi budaya lama yang telah dipeluk masyarakat sejak lama yang sudah berakar di kehidupannya. umumnya mad’u menganggap budaya baru itu aneh bahkan menyalahkan. budaya baru itu terkadang berbentuk gagasan, teori, dan tindakan yang teraktualisasi dalam proses interaksi masyarakat. apabila gagasan-gagasan baru itu tidak memiliki landasan kuat dan tidak tersosialisasikan dalam pengalaman hidup, maka budaya baru itu mendapat dukungan dari komponen masyarakat dan terisolasi secara terus-menerus maka perlahan-lahan budaya baru itu, apa pun bentuknya akan diterima masyarakat. 2. acculturation theory (teori akulturasi) atau teori percampuran. era globalisasi tak hanya berpengaruh terhadap pola komunikasi dan sisitem informasi, lebih dari itu, konsekuensi terjadinya pembauran budaya global, baik ranah fisik maupun mental. sarana tekhnologi informasi dan transportasi telah mempermudah hubungan antar budaya semakin cepat dan kuat. dalam era informasi, hubungan antarmanusia tak hanya sebatas satu wilayah antarnegara, tetapi mencakup manusia sejagat. kemudahan hubungan (relasi) dan interaksi antarsesama manusia dan berbagai komponen budaya menjadi bagian dari hubungan dalam dakwah antar budaya. dari landasan teori ini, percampuran budaya karena interaksi manusia akan kehadiran bentuk budaya baru merupakan keniscayaan. setiap manusia, komponen bangsa penghuni bumi ini memiliki kebudayaan, bahkan kebudayaan unggulan masing-masing anggota masyarakat untuk saling tukar secara terus-menerus dalam proses kehidupannya. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 35 3. receptie theory (teori resepsi). menerima sepenuhnya atau menerima sebagian gagasan budaya yang lain adalah landasan utama teori ini. penerimaan bisa terjadi karena gagasan dan budaya baru itu dianggap lebih baik dan menjanjikan terhadap perbaikan nasib hidup masyarakat. fakta sejarah pengalaman ideal suatu masyarakat sering menjadi sandaran utama proses penerimaan terhadap gagasan-gagasan dan budaya baru dalam teori resepsi. kondisi sosial masyarakat akan tampak lebih harmoni dan berjalan lebih terkendali karena terjadi kesepahaman dan atau paksaan. 4. complementery theory (teori komplementer) yaitu terjadi proses pertukaran antar budaya di dunia berjalan dengan cepat sehingga memungkinkan terjadi gesekan dan perpaduan budaya-budaya tersebut. pada kenyataannya tak sepenuhnya suatu budaya baru/budaya lain dapat diterima pihak suatu masyarakat dengan mulus bahkan bisa terjadi penolakan. akan tetapi lambat laun sebagian budaya luar dan baru itu diterima, bahkan dijadikan model dalam hubungan interaksi antar masyarakat. antara budaya baru suatu masyarakat dan budaya lainnya bukan saling berbenturan (clash culture), tetapi menjadi budaya yang saling mengisi (complementary culture) (aripudin, 2012. 19-22). dengan teori-teori di atas, maka akan lebih membantu menganalisis berbagai proses interaksi sosial dan dinamika dakwah yang menjadi realitas dalam masyarakat multikultural (aripudin, 2012. 19-22). strategi dakwah antar budaya adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan-kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu. ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu : 1. strategi merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan dakwah) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan. dengan demikian strategi merupakan proses penyusunan rencana kerja, belum sampai pada tindakan. 2. strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. 36 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, pelu dirumuskan tujuan yang jelas serta dapat diukur keberhasilannya. penentuan strategi dakwah juga berdasarkan surat aljumu’ah ayat 2, yaitu tentang tugas para rasul sekaligus bisa dipahami sebagai strategi dakwah. يِّيَن َرُسوال ِمْنھُْم يَْتلُو َعلَْيِھْم آيَاتِِه َويَُزكِّيِھمْ َو الَِّذي بََعَث فِيھُ األمِّ ُمبِينٍ َويَُعلُِّمھُُم اْلِكتَاَب َواْلِحْكَمةَ َوإِْن َكانُوا ِمْن قَْبُل لَفِي َضاللٍ “dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (al sunnah). dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (q.s. al-jumu’ah : 2) fokus kajian strategis kebudayaan dakwah islam, hakikatnya memandang dakwah antar budaya sebagai sebuah proses berpikir dan bertindak secara dialektis dengan segala unsur-unsur dakwah dan budaya yang melingkupinya, demi tujuan dakwah, yakni menciptakan sebuah masyarakat islam. strategi dakwah antar budaya merupakan upaya aktif untuk menyatukan ide pikiran dan gerakan-gerakan dakwah dengan mempertimbangkan keragaman sosial budaya yang melekat pada masyarakat. strategi ini membutuhkan perencanaan matang dan bijak tentang dakwah islam secara rasional untuk mencapai tujuan islam dengan mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun lingkungan tempat dakwah berlangsung (aripudin, 2012. 119). c. kesimpulan apabila dakwah ingin berhasil dengan efektif dan efisien adalah dengan proses transformasi nilai-nilai budaya, baik dari dalam ke luar atau sebaliknya, hal ini akan berdampak pada keterputusan atau keberlangsungan – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 37 nilai-nilai budaya yang baru. proses transformasi ini jalan tengah terhadap keberlangsungan kontinuitas budaya. dakwah islam menjadi tawaran dalam proses pembangunan dengan tidak mengabaikan ataupun menerima khazanah budaya lokal. sebagaimana dalam prinsip kaidahkaidah yurisprudensi islam, yakni “ memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. konsep umatan wahidah (ketunggalan umat) dalam isyarat alquran mesti dipahami sebagai ketunggalan dalam iman dan peradaban. proses terbentuknya masyarakat beradab sedang terjadi dan akan terus berlangsung, yaitu melalui terjadinya pertukaran budaya manusia melalui kemajuan sains dan tekhnologi komunikasi, dalam rangka globalisasi. kenyataan yang sedang berlangsung akan berdampak positif dan negatif bagi tatanan kehidupan umat. strategi mengenali budaya setempat merupakan enterpoint (titik pembuka) terhadap tindakan-tindakan dan kebijakan proses transformasi nilai-nilai islam. keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrum) merupakan keadaan yang diidamkan setiap masyarakat. keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan benar-benar berfungsi dan saling mengisi. dalam keadaan demikian, individu secara psikologis merasakan akan adanya ketentraman karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai. referensi buku abdullah. 2012. dakwah kultural dan struktural. bandung: citapustaka media perintis. anshari, saifudin. 1969. pokok pokok pikiran tentang islam. bandung: pelajar. 38 | masykurotus syarifah – budaya dan kearifan dakwah aripudin, acep. 2011. pengembagan metode dakwah: respons da’i terhadap dinamika kehidupan di kaki ceremai. jakarta: pt rajagrafindo persada, jakarta aripudin, acep. 2012. dakwah antar budaya, bandung: pt remaja rosdakarya. basit, abdul. 2006. wacana dakwah kontemporer. purwokerto: stain purwokerto press departemen agama ri, al-quran dan terjemahan departemen agama ri dengan transliterasi model per baris., 2001. semarang : cv. asy syifa’. enjang, aliyudin. 2009. dasar-dasar ilmu dakwah. bandung : widya padjadjaran. liliweri, alo. 2011. dasar-dasat komunikasi antar budaya. yogyakarta : pustaka pelajar. liliweri, alo. 2009. makna budaya dalam komunikasi antarbudaya. yogyakarta: lkis mahfud, syeh ali. 1970. hidayah al-mursyidik terj. yogyakarta:, usaha penerbit tiga a. mulyana, dedy. jalaludin rachmat. 2001. komunikasi antar budaya, bandung: rosdakarya. pimay, wafiah awaludin. 2005. paradigma dakwah humanis, strategi dan metode dakwah saefudin zuhri. semarang: rasail. pimay, wafiah awaludin. 2005. sejarah dakwah. semarang: rosail. qardhawi, yusuf. 1996. fatwa-fatwa, kontemporer jilid 2, jakarta: gema insani press soekanto, soerjono. 2009. sosiologi suatu pengantar , jakarta: pt rajagrafindo persada. jurnal rozi, fachrur, 2007. “kontroversi dakwah inklusif ”. jurnal ilmu dakwah, vol. 27, no. 1, januari-juni 2007 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, (scopus id : 57208214175); iain surakarta, indonesia editorial board waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, indonesia diajeng laily hidayati, iain samarinda, indonesia akhmad anwar dani, iain surakarta, indonesia ahmad saifuddin, iain surakarta, indonesia abraham zakky, iain surakarta, indonesia rhesa zuhriya pratiwi, iain surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 2, juli desember 2018 daftar isi fatwa mui tentang atribut keagamaan dalam perspektif komunikasi dakwah muhd. maryadi adha 149 174 refleksi kebenaran: prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual anak di era digital muhamad iqbal & cesilia prawening 175 192 hambatan komunikasi pendamping sosial imam alfi 193 210 korelasi penggunaan gadget terhadap kepuasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa disabilita nisa azizah & arina rahmatika 211 234 mahasiswa dan keputusan memilih jurusan (analisis kuantitatif pada mahasiswa kpi iain surakarta angkatan 2017/2018) agus sriyanto 235 258 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 259 292 kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam pemilihan konsentrasi jurusan doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1388 eny susilowati rhesa zuhriya briyan pratiwi institut agama islam negeri surakarta keywords: kpi, motives, satisfaction, students http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: mboke.adhyt@gmail.com rhesa.pratiwi@gmail.com abstract this research aims to measure the satisfaction of kpi’ students of iain surakarta in selecting department concentration through the influence of motives and satisfaction in selecting department concentration. using quantitative descriptive method, subjects of this research were 2014 kpi’ students. data collection were taken by observation, questionnaire, and documentation. for variables, it leads to independent variable about the motive of the 2014 kpi’ students in choosing concentration, and dependent variable related to the level of student satisfaction. based on result of analysis, cognitive needs are aspects of the needs variable affect the level of student satisfaction in choosing kpi’s department concentration. related to this, cognitive aspects are basic needs in the process of student’s knowledge and experience that affect the satisfaction level of selecting concentration, because it deals with efforts to understand the academic and potential factors of students in developing interests and talents in the field of communication. penelitian ini bertujuan untuk mengukur bagaimana kepuasan mahasiswa kpi iain surakarta dalam memilih konsentrasi jurusan melalui pengaruh antara motif dan kepuasan dalam pemilihan konsentrasi jurusan. dengan metode deskriptif kuantitatif, subjek penelitian ini adalah mahasiswa kpi angkatan 2014. pengumpulan data dilakukan melalui observasi, kuesioner, serta dokumentasi. variabel yang diteliti mengarah pada variabel bebas yakni motif mahasiswa kpi angkatan 2014 dalam memilih konsentrasi, dan variabel terikat yang abstrak al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 260 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi berkenaan dengan tingkat kepuasan mahasiswa. berdasarkan hasil analisis, kebutuhan kognitif dinyatakan sebagai aspek dalam variabel kebutuhan yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi pada jurusan kpi. terkait kebutuhan ini, aspek kognitif adalah kebutuhan dasar dalam proses pengetahuan dan pengalaman mahasiswa. hal ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pemilihan konsentrasi karena berkenaan dengan upaya pemahaman akademik dan potensi mahasiswa dalam mengembangkan minat dan bakat dalam bidang komunikasi. kata kunci: kpi, motif, kepuasan, mahasiswa i. pendahuluan sebagai salah satu institusi pendidikan institut agama islam negeri (iain) surakarta, jurusan (program studi) komunikasi dan penyiaran islam (kpi) tentu berupaya untuk mempersiapkan serta meletakkan perhatian penuh pada hasil ataupun output lulusannya. dalam hal ini, dengan berorientasi pada hasil lulusan agar dapat diserap oleh dunia luar, maka disusunlah sejumlah tata aturan serta implementasi kurikulum sebagai salah satu strategi efektif guna mencapai hal tersebut. iain surakarta, sebagai salah satu lembaga pendidikan, pada hakikatnya berkewajiban untuk menghasilkan lulusan yang siap guna menjawab tantangan di dalam masyarakat serta menghadapi persaingan dunia kerja. oleh sebab itu, menurut yuliana (risnawati & irwandi, 2012), para lulusan tentu harus memiliki pengetahuan dan kompetensi yang tinggi sesuai dengan bidang yang ditekuni. lebih lanjut, menurut muliadi (lusia, suciati, & setiowati, 2015) adanya upaya peningkatan mutu pendidikan pada sebuah lembaga pendidikan harus berlangsung secara terpadu dan berkelanjutan, dan diraih berdasarkan peningkatan mutu pada setiap komponen pendidikan. m. amin abdullah (2004) menjelaskan adanya sejumlah bidang perubahan yang perlu digarap terus-menerus untuk membangun kembali sebuah kampus rujukan masa depan. bidang-bidang perubahan yang dapat dilakukan antara lain: 1) pengembangan akademik; 2) pengembangan kelembagaan dan sistem manajemen; 3) pengembangan sumber daya manusia; dan 4) pengembangan sarana-prasarana fisik dan infrastruktur. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 261 guna mewujudkan rujukan sebuah kampus yang berorientasi masa depan, salah satu visi yang dapat dilakukan adalah melalui penataan dan manajemen jurusan sebagai bagian dari spesifikasi sebuah kampus, yang mana langsung berkaitan dengan mahasiswa sebagai segmentasi utama yang dituju. terkait visi ini, dapat dikatakan bahwa jurusan kpi berupaya untuk memberikan pembelajaran sekaligus pelayanan yang terbaik bagi mahasiswanya agar dapat menjadi lulusan yang profesional, terutama dalam bidang praktis komunikasi serta media. dalam hal ini, tak lupa kemudian diwujudkan dengan sejumlah nilai-nilai berbasis keindonesiaan dan local wisdom, yang terintegrasi dalam kemampuan dakwah sebagai perwujudan keislaman atas identitas perguruan tinggi islam. adanya keseimbangan antara hard skill dan soft skill mahasiswa menjadi pada akhirnya menjadi salah satu pertimbangan bagi jurusan untuk mengembangkan kurikulumnya. dalam hal ini, salah satunya adalah adanya mata kuliah pengembangan berbasis jurusan yang disesuaikan dengan life skill, social skill, specific skill, serta vocational skill (abas, 2017). demikian pula yang muncul pada jurusan kpi iain surakarta, dimana guna memenuhi kebutuhan pasar, jurusan kpi secara khusus merevisi kurikulum dalam arah konsentrasi jurusan sesuai dengan profil lulusan yang diperlukan oleh pasar. menilik uraian di atas, sedikit merujuk pada kondisi perkembangan pasar, banyaknya media yang bermunculan tentu membawa sejumlah konsekuensi logis, terutama sebanding dengan banyaknya tenaga kerja ataupun sumber daya manusia yang diperlukan. dalam hal ini, urgensi dari pentingnya kompetensi lulusan didukung oleh tulisan rulli nasrullah dan agus sriyanto (2013) mengenai keselarasan kurikulum jurnalistik terhadap kompetensi wartawan di sejumlah ptai. dalam kaitannya dengan ketersediaan wartawan (nasrullah & sriyanto, 2013) serta penggiat media, dirasa perlu adanya dasar pemikiran terhadap pentingnya kebijakan dalam merumuskan arah konsentrasi lulusan sesuai dengan bidang keahlian yang 262 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi diperlukan pasar. sehubungan dengan bentuk keprofesionalitasan yang diupayakan oleh jurusan kpi, secara lebih spesifik lulusan jurusan kpi diarahkan untuk dapat bekerja dalam bidang-bidang praktis komunikasi, yakni: jurnalistik, broadcasting, dan public relations (pr). bidang jurnalistik adalah bidang kerja komunikasi yang identik dengan kewartawanan. untuk broadcasting, bidang ini merujuk pada konsep kerja kepenyiaran serta praktisi media elektronik. sedangkan untuk public relations (pr) (laksamana, 2018; nova, 2014), bidang ini lebih mengarahkan pekerjaan pada fungsi komunikasi sebuah perusahaan atau organisasi. harapannya, ketiga konsentrasi yang dirumuskan tersebut, mahasiswa dapat lebih terarah dalam menjalani perkuliahan sesuai dengan minat serta konsentrasi yang dipilih, siap dalam menghadapi pekerjaan yang berkenaan dengan dunia komunikasi dan dakwah, lebih siaga dalam menghadapi tantangan di masyarakat, serta mampu berkontribusi sesuai dengan visi dan misi jurusan guna tercapainya standar kompetensi lulusan yang mumpuni. konsentrasi jurnalistik diarahkan pada kompentensi mahasiswa yang berkaitan dengan dunia pers (kovach & rosenstiel, 2004) dan publisitas. konsentrasi ini identik dengan produk berita, dimana menurut william s. maulsby (dalam djuroto, 2004; nashirudin, 2017; fathan, 2018) merupakan bagian penuturan yang dinyatakan secara benar dan faktual, memiliki makna penting, sekaligus bersifat baru dan mampu menarik perhatian khalayak. terkait hal ini, konsentrasi jurnalistik akan memungkinkan mahasiswa untuk aktif dalam mencari berita yang bersifat faktual, aktual, dan terpercaya, sesuai dengan kode etik dan elemen dasar yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis (santana, 2005). konsep ini juga berkenaan dengan adanya kesadaran etik, penguasaan pengetahuan, dan keterampilan (bm, 2010) sebagai seorang jurnalis profesional. konsentrasi kedua adalah broadcasting. praktis komunikasi ini menentukan pekerjaan yang berkenaan dengan dunia penyiaran, baik yang bersifat audio maupun audio visual. dunia kerja dalam broadcasting akan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 263 diarahkan pada para penggiat media, seperti: kameramen, tim kreatif, penulis naskah, program director (pd), sampai pada reporter maupun anchor. terkait hal ini, pekerja dalam bidang penyiaran sangat dimungkinkan untuk memiliki skill dalam mengoperasikan alat. public relations (pr) adalah konsentrasi ketiga dalam jurusan kpi. konsentrasi ini merujuk pada kemampuan kehumasan pada sebuah instansi ataupun perusahaan. secara sederhana, pr adalah seni mempengaruhi (dilenschneider, 2010); seni dan ilmu pengetahuan tentang analisis tren, prediksi dari sejumlah hambatan, membangun kepercayaan, serta masukan terhadap pimpinan organisasi dalam kepentingan untuk implementasi program yang telah direncakan bagi kepentingan organisasi dan publik (the first world forum of public relations, 1978; astuti, 2018; suryanto, 2015). sebelum tahun 2015, jurusan kpi melalui pengembangan kurikulumnya turut berupaya untuk mencetak lulusan berbasis profesi sehingga diperlukan adanya desain kurikulum specific skill yang mencakup academic skill serta vocational skill (abas, 2017). dalam hal ini, kurikulum kpi dinyatakan harus seimbang antara pencapaian keterampilan akademik dengan kemahiran dalam keterampilan kejuruan. lebih lanjut, adanya beberapa komponenen penyusun dalam pengembangan kurikulum kpi, antara lain adalah: mata kuliah pengembang kepribadian (mpk); mata kuliah keilmuan dan keterampilan (mkk); mata kuliah keahlian berkarya (mkb); mata kuliah perilaku berkarya (mpb); dan mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (mbb) (abas, 2017). terjadi penyesuaian kurikulum iain surakarta sejak tahun 2015, yang mengacu pada kerangka kualifikasi nasional indonesia (kkni) dengan dibagi menjadi sejumlah komponen mata kuliah wajib dan pilihan, dimana di dalam mata kuliah wajib terdapat beberapa mata kuliah konsentrasi yang sesuai dengan kualifikasi jurusan (abas, 2017). adapun penempatan konsentrasi jurusan ini merupakan pilihan yang harus diambil oleh mahasiswa kpi dan mulai dilakukan pada tahun 2011 lalu. sekilas 264 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi dengan ketiga konsentrasi ini, mahasiswa lebih semangat dalam menjalani perkuliahan. pelaksanaan kurikulum juga didukung dengan sejumlah dosen praktisi guna menambah keterampilan perkuliahan praktik bagi mahasiswa agar lebih dipersiapkan dalam menghadapi dunia kerja nantinya. lebih lanjut, adanya semangat dari mahasiswa dalam menjalani perkuliahan ini menjadi salah satu tolak ukur ataupun indikator dalam menunjukkan adanya kepuasan dari mahasiswa dalam memilih serta menjalani konsentrasi perkuliahan kpi. lebih lanjut, penelitian ini berupaya untuk mengetahui bagaimana konsistensi jurusan kpi dalam merumuskan sejumlah kebijakan bagi mahasiswa. terutama terkait sejumlah perubahan yang sengaja dipersiapkan untuk mahasiswa agar mereka lebih siap dalam menghadapi pekerjaan serta kebutuhan pasar yang semakin lama kian berkembang. guna mencapai lulusan yang dapat diserap oleh pasar, sekaligus tetap berupaya untuk menciptakan kinerja jurusan yang lebih baik lagi, maka adanya kebijakan untuk pembagian konsentrasi jurusan ini selanjutnya dirumuskan. terkait dengan mahasiswa yang dipilih sebagai subjek penelitian, yakni mahasiswa yang telah memilih konsentrasi jurusan kpi, telah menempuh kkl sesuai dengan bidang keilmuan jurusan, serta telah atau sedang menjalani ppl (magang) sesuai dengan konsentrasi yang dipilih. dengan demikian, mahasiswa yang dipilih sebagai sampel dan populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa kpi angkatan 2014, dimana mereka telah melaksanakan kkl dan telah atau sedang melaksanakan ppl (magang). selain itu, mahasiswa kpi angkatan 2014 ini juga sedang dalam masa mempersiapkan tugas akhir (skripsi) sesuai dengan pilihan konsentrasi serta bidang keilmuan kpi yang telah dipelajari. menilik uraian di atas, muncul sejumlah pertanyaan guna mengklarifikasi apakah kemudian mahasiswa yang telah memilih serta menjalani pilihan konsentrasi jurusan kpi benar-benar merasa puas terhadap pilihan yang dijalani. mengingat penentuan konsentrasi ini dapat al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 265 dikatakan sebagai upaya khusus dari jurusan kpi dalam mengarahkan mahasiswa agar dapat lebih siap dalam menghadapi masyarakat dan pasar kerja yang luas, sekaligus mencapai target lulusan yang diharapkan jurusan. berbicara tentang pasar kerja yang diharapkan jurusan, jaffe & scott yang dikutip oleh kummerow (saifuddin, 2018) menjelaskan adanya perencanaan karier yang dilakukan secara bertahap. tahapan perencanaan karier ini merujuk pada aspek tertentu, seperti: 1) menilai diri sendiri; 2) mengeksplorasi peluang; 3) menyusun rencana karier; 4) implementasi; dan 5) evaluasi. dalam hal ini, adanya spesifikasi bidang dalam konsentrasi perkuliahan pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang memengaruhi dalam pencapaian karier yang diinginkan. selanjutnya, terkait dengan bentuk kepuasan yang dicari, apakah hal ini juga bersesuaian dengan motivasi ataupun motif awal para mahasiswa kpi dalam memilih konsentrasi jurusan kpi. mahasiswa jurusan kpi dibaratkan serupa dengan konsumen yang menggunakan barang dan jasa. dalam hal ini, bagaimana mereka memilih konsentrasi akan berkaitan dengan bagaimana motif dan kepuasan mereka ketika menjalani bidang konsentrasi dalam perkuliahan, sekaligus penetapan keputusan atas sejumlah pilihan konsentrasi yang tersedia. eddy herjanto yang dikutip oleh sarwono (yuliandari & prasetyo h, 2012) menyatakan bahwa teori keputusan adalah pendekatan analitik yang digunakan untuk memilih alternatif terbaik dari sejumlah pilihan. konsep ini didasari sejumlah kondisi yang bersifat tidak pasti, pasti, maupun berisiko. selanjutnya simon & efrain turban dalam (yuliandari & prasetyo h, 2012) menambahkan adanya fase keputusan yang turut memengaruhi, yakni: intelegensi, desain, pilihan, dan implementasi. masih tentang aspek pengambilan keputusan, kotler dan keller (suryani & ginting, 2016); winkel (allolayuk, setiawan, & dimyati, 2013) menyatakan proses pengambilan keputusan membeli pada konsumen yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor internal (personal) dan faktor eksternal (lingkungan). begitu pula dengan mahasiswa sebagai 266 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi konsumen kampus, bagaimana mereka memutuskan untuk memilih konsentrasi tertentu, hal ini berkaitan dengan pula dengan faktor personal dan lingkungan yang melingkupi masing-masing mahasiswa. berdasarkan ulasan di atas, dapat dibatasi permasalahan terkait bagaimana tingkat kepuasan mahasiswa kpi angkatan 2014 dalam pemilihan konsentrasi jurusan kpi. dalam hal ini, secara khusus kepuasan pemilihan jurusan diarahkan pada pengaruh antara motif dan kebutuhan yang melandasi pemilihan konsentrasi jurusan dengan tingkat kepuasan mahasiswa kpi angkatan 2014 yang telah menjalani pemilihan dan perkuliahan sesuai dengan konsentrasi jurusan kpi. ii. metode penelitian pendekatan yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada pendekatan kuantitatif. penelitian dengan pendekatan ini dijelaskan sebagai penelitian yang berupaya menggambarkan serta memberikan penjelasan mengenai suatu permasalahan yang dapat digeneralisasikan. penelitian dengan pendekatan kuantitatif memiliki tujuan untuk menjelaskan, meramalkan, serta mengontrol fenomena sosial melalui bentuk pengukuran yang objektif serta analisis yang memuat angka atau numerik (kriyanto, 2006). azwar (2017) menjelaskan penelitian kuantitatif yang memfokuskan adanya analisis data secara kuantitatif (angka) yang dikumpulkan berdasarkan prosedur pengukuran dan diolah menjadi metode analisis secara statistik. dalam kaitannya, adanya variabel yang digunakan dalam penelitian harus diidentifikasi secara jelas sehingga hubungan antar variabel yang diteliti harus bersifat korelasional dan struktural, serta dapat diuji secara empirik. selebihnya, jenis penelitian ini adalah penelitian jenis asosiatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dua variabel atau lebih (sugiyono, 2011) serta menjelaskan suatu gejala sosial yang diteliti. dalam penelitian ini, secara aplikatif terdapat dua variabel yang harus dikaitkan, yakni antara motif pemilihan konsentrasi jurusan kpi dengan tingkat kepuasan mahasiswa ketika memilih konsentrasi jurusan kpi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 267 responden dalam penelitian ini dipilih melalui total population sampling (etikan, musa, & alkassim, 2016). sampling ini termasuk dalam jenis nonprobability sampling (acharya, prakash, & nigam, 2013), sekaligus sampling yang dipilih secara purposive (etikan et al., 2016). dalam konteks tertentu, sampling ini dilakukan dengan mengambil populasi secara keseluruhan karena populasi yang diambil dianggap memenuhi adanya kriteria dan karakteristik yang diperlukan dalam penelitian. teknik sampling ini juga biasa digunakan dalam sejumlah kasus penelitian yang relatif kecil. lebih lanjut, responden yang menjadi populasi sekaligus sample adalah seluruh mahasiswa kpi angkatan 2014 yang berjumlah 119 orang, dimana mereka adalah mahasiswa yang telah memilih konsentrasi jurusan sejak tahun 2016 dan menjalani kegiatan perkuliahan praktik, seperti: ppl (magang kerja), kkl (kunjungan lapangan), serta kkn (pengabdian masyarakat). dalam konteks ini, responden aktif ditetapkan sebanyak 103 orang karena mahasiswa yang nonaktif sebanyak 1 orang dan putus studi sebanyak 15 orang. pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu: observasi, kuesioner atau angket, serta dokumentasi. variabel penelitian terdiri dari dua variabel. pertama, variabel bebas, yaitu motif mahasiswa kpi angkatan 2014 dalam memilih konsentrasi jurusan. sedangkan untuk variabel kedua, variabel terikat, merupakan variabel tingkat kepuasan mahasiswa kpi angkatan 2014 dalam memilih konsentrasi jurusan. pengukuran instrumen dalam penelitian ini menggunakan skala likert, dengan gradasi dari nilai yang sangat positif sampai dengan nilai yang sangat negatif. lebih jelas, kriteria penilaian dalam skala likert (sugiyono, 2016: 107) adalah: 1) sangat setuju = skor 4; 2) setuju = skor 3; 3) tidak setuju = skor 2; 4) sangat tidak setuju = skor 1. 268 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi iii. hasil penelitian dan pembahasan a. jurusan komunikasi dan penyiaran islam jurusan komunikasi dan penyiaran islam (kpi) selanjutnya disingkat jurusan kpi memiliki sejarah cukup panjang. jurusan kpi merupakan salah satu jurusan yang berada di fakultas ushuluddin dan dakwah, dan mulai menyelenggarakan pendidikan tahun 1998, saat itu masih di bawah sekolah tinggi agama islam negeri surakarta (stain). pada tahun 2011, stain surakarta berubah menjadi institut agama islam negeri surakarta (iain). dengan perubahan status tersebut jurusan-jurusan yang ada saling melakukan penggabungan menjadi fakultas sehingga sampai saat ini iain surakarta memiliki 4 fakultas, salah satunya adalah fakultas ushuluddin dan dakwah (kpi iain surakarta, 2017). jurusan kpi sejak mulai menyelenggarakan pendidikan tahun 1998 terus melakukan pengembangan secara akademik. orientasinya adalah bagaimana supaya lulusan program studi ini dapat berkarya di masyarakat, dapat diterima oleh pasar kerja, dan dapat bersaing dengan program studi sejenisnya di dunia kerja. pengembangan yang dilakukan selalu mengacu pada perubahan tuntutan pasar kerja. implikasinya adalah tuntutan akan adanya perubahan kurikulum yang diharapkan menyesuaikan perkembangan kebutuhan pasar. visi dari jurusan kpi adalah excellence dalam dakwah islam yang terintegrasi dengan nilai-nilai kearifan lokal dan keindonesiaan dan profesional dalam bidang komunikasi dan media. visi ini dicapai melalui beberapa misi, yaitu: a) menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang kompetitif di bidang komunikasimedia; b) memberikan pencerahan pemikiran keislaman dalam bidang komunikasi dan media; c) memberikan kontribusi dalam meningkatkan kualitas keagamaan melalui program dakwah yang rahmatal lil ‘alamin, dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam praktik komunikasi dan media (kpi iain surakarta, 2017). profil lulusan dari jurusan kpi pada dasarnya terdiri dari praktisi media (jurnalis dan broadcaster, praktisi dakwah, dan public relations (pr). praktisi media (jurnalis maupun broadcaster) yang kompeten dalam ilmu al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 269 komunikasi dan media, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, kreatif, komunikatif dan inovatif, mampu berkontribusi bagi masyarakat melalui praktik jurnalistik dan penyiaran, serta memiliki wawasan dan nilainilai keislaman. selanjutnya, praktisi dakwah merujuk pada dai ataupun penyuluh agama yang kompeten dalam keilmuan dakwah dan studi islam, mampu merancang dan melakukan dakwah, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, serta mampu berkontribusi dalam memberikan solusi permasalahan di masyarakat. sedangkan public relations, profesi ini kompeten dalam keilmuan komunikasi, terutama dalam membuat perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kehumasan, kreatif, komunikatif dan inovatif, menguasai teknologi informasi dan komunikasi, memiliki wawasan dan nilai–nilai keislaman. adapun kurikulum yang diberlakukan pertama kali pada tahun 1998 dan telah mengalami perubahan (review) pada tahun 2002, 2005, 2011, dan 2015 (dokumen kurikulum jurusan kpi, n.d.). peninjauan dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan peluang dunia kerja, serta perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. adapun evaluasi kurikulum di jurusan kpi didasarkan pada kajian internal tentang kebutuhan pasar dan kebutuhan pengguna, baik yang sifatnya penelitian, jajak pendapat, ataupun berupa masukan-masukan institusi media pasca pelaksanaan magang studi. tahun 2007 pernah dilakukan kajian tentang pendapat pengguna terhadap kurikulum program studi kpi serta kesesuaiannya dengan dunia kerja. kajian ini diarahkan pada calon-pengguna yang dijadikan lokasi magang studi bagi mahasiswa kpi, misalnya: koran solopos, radar solo, radio solopos fm, radio mh fm, biro iklan, dan beberapa institusi media lainnya di solo. hal ini bertujuan agar kurikulum kpi, terutama pada perkuliahan dan pembelajarannya dapat bersifat praktis dan dekat dengan kebutuhan dunia kerja. arah kurikulum dalam tataran tujuan praktis didukung dengan pengadaan sejumlah tenaga pengajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam muatan kurikulum. mengingat beberapa arahan mata kuliah sangat 270 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi membutuhkan kapasitas praktis yang sesuai dengan bidang keahlian, selain juga adanya keterbatasan pengajar tetap yang tersedia di dalam jurusan. dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah dengan mendatangkan beberapa tenaga pengajar praktis yang langsung berkenaan dengan dunia kerja bidang komunikasi, yakni: jurnalis, praktisi public relations, serta penggiat bidang broadcasting (sineas film dan pekerja media tv). harapannya, upaya ini dapat meningkatkan kapabilitas mahasiswa sekaligus memberikan pengalaman bagi mahasiswa untuk mendukung kemampuan dalam bidang konsentrasi kpi yang dipilih. b. konsentrasi jurusan kpi pertama, konsentrasi broadcasting. konsentrasi ini mengkaji dunia penyiaran, baik radio maupun televisi. karena itu sasaran calon penggunanya adalah media penyiaran. peminat konsentrasi ini rata-rata 30% dari keseluruhan jumlah mahasiswa. untuk menambah kualifikasi di bidang ini, maka jurusan menyusun sejumlah mata kuliah konsentrasi broadcasting sebagai berikut : tabel 1. sebaran mata kuliah konsentrasi broadcasting no kode mk nama matakuliah sks 1 kpib 201 manajemen penyiaran** 2 2 kpib 205 teknik reportase** 2 3 kpib 407 produksi siaran radio** 4 4 kpib 304 programming dan editing 3 5 kpib 308 produksi siaran televisi** 3 6 kpib 302 teknik kamera** 3 7 kpib 306 sinematografi** 3 8 kpib 203 hukum dan etika penyiaran** 2 sumber : buku panduan akademik 2017 iain surakarta (surakarta, 2017) kedua, konsentrasi jurnalistik, dimana konsentrasi ini menjadi konsentrasi yang tidak banyak diminati mahasiswa perempuan, karena konsentrasi ini lebih mengarahkan mahasiswa menjadi profesi jurnalis atau wartawan. biasanya peminat konsentrasi ini adalah mahasiswa yang lebih al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 271 menyukai tantangan, sehingga peminatnya pun tidak lebih banyak jika dibandingkan konsentrasi lainnya. justru peminat konsentrasi jurnalistik cenderung paling sedikit. hal ini terbukti dari jumlah atau kuantitas mahasiswa kpi konsentrasi jurnalistik yang hanya satu kelas, dengan jumlah ± 20-25 orang. hal ini terpaut jauh dengan jumlah mahasiswa kpi konsentrasi public relations yang mampu mencapai 40 orang, bahkan 75 orang pada mahasiswa angkatan 2015 dan 2016. berdasarkan hasil observasi, kurangnya peminatan dalam konsentrasi jurnalistik disebabkan karena muatan perkuliahan yang dirasa lebih berat, dimana profil lulusan langsung diarahkan pada praktisi media cetak. adapun sebaran mata kuliah dalam konsentrasi jurnalistik adalah sebagai berikut: tabel 2. sebaran mata kuliah konsentrasi jurnalistik no kode mk nama matakuliah sks 1 kpij 302 penulisan artikel* 3 2 kpij 306 penulisan feature* 3 3 kpij 201 manajemen pers* 2 4 kpij 303 teknik wawancara & investigative reporting* 3 5 kpij 305 jurnalistik foto* 3 6 kpij 307 layout* 3 7 kpij 308 produksi media cetak* 3 8 kpij 303 hukum dan etika* jurnalistik/pers* 2 sumber : buku panduan akademik iain surakarta 2017 (surakarta, 2017) ketiga, konsentrasi public relations. konsentrasi ini adalah konsentrasi dengan peminat peminat terbanyak mulai tahun 2014. konsentrasi ini memberikan pengayaan keilmuan tentang kehumasan atau pr. pada dasarnya, praktis pr (cutlip dan center dalam defleur & dennis (1988); mcnamara, (2002) dalam (iriantara, 2004); griswold (1948) dalam soemirat & ardianto (2005); astuti (2018)) adalah upaya terencana berkelanjutan yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah serta mendukung citra perusahaan sehingga memperoleh pengakuan publik atas reputasi yang dimunculkan. orientasi profesi lulusan adalah menjadi 272 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi pr dan/atau humas, serta semua profesi yang terkait dengan kehumasan sehingga konsentrasi ini dirasa paling luwes karena tidak hanya berorientasi pada bidang media, tetapi semua aspek komunikasi. hal ini menjadikan konsentrasi pr ini menjadi konsentrasi “dambaan” para mahasiswa kpi di setiap angkatan. selain itu, bahwa profesi humas sangat dibutuhkan oleh semua lembaga, sekaligus merupakan ujung tombak dalam mewujudkan citra lembaga. untuk menunjang keahlian kehumasan tersebut maka program studi kpi telah merancang mata kuliah pengayaan keahlian public relations, sebagai berikut: tabel 3. sebaran mata kuliah konsentrasi public relations no kode mk nama matakuliah sks 1 kpip 201 manajemen pr*** 2 2 kpip 206 csr*** 2 3 kpip 205 media relation*** 2 4 kpip 304 protokoler dan mc*** 3 5 kpip 308 riset pr*** 2 6 kpip 302 human relations*** 3 7 kpip 203 marketing pr*** 2 8 kpip 309 perencanaan komunikasi pr*** 3 9 kpip 307 event organizer 3 sumber : buku panduan akademik iain surakarta 2017 (surakarta, 2017) selain dengan program konsentrasi, guna menunjang keahlian mahasiswa, kurikulum jurusan kpi juga mewajibkan program magang atau ppl. program magang memuat bobot 4 sks dan mewajibkan mahasiswa melakukan magang sesuai minat dan konsentrasinya. misalnya, konsentrasi broadcasting, magang dapat dilaksanakan di sejumlah media penyiaran. konsentrasi jurnalistik, mahasiswa diwajibkan magang di bidang jurnalistik atau magang wartawan di media cetak, seperti: koran, majalah, tabloid, dan sebagainya. sedangkan untuk konsentrasi public relations, magang dilakukan di berbagai institusi seperti lembaga pemerintah, perusahaan, atau lembaga lainnya, sehingga tidak terbatas di institusi media. guna menempuh al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 273 program magang selama 2 bulan tersebut, mahasiswa diwajibkan lulus mata kuliah dasar keahlian, dan telah menyelesaikan minimal 100 sks lulus. karena itu, magang biasa dilaksanakan ketika mahasiswa berada di semester 7. pemilihan lokasi magang bersifat terbuka dan ditentukan oleh mahasiswa bersangkutan, yang selanjutnya mendapat persetujuan dan dosen pembimbing lapangan (dpl) dari jurusan. c. sajian dan analisis data analisis dalam penelitian ini diawali dengan analisis deskriptif. analisis deskriptif merupakan gambaran secara umum mengenai hasil penelitian yang disajikan berupa visual, teks atau tulisan, maupun grafik atau gambar (muhammad, 2013). tujuan dari analisis secara deskriptif adalah berupaya menjelaskan besaran satuan dari tahap pengolahan data yang menunjukkan kecenderungan dan arah dari data yang diperoleh. terkait sampel penelitian ini, secara khusus diarahkan pada mahasiswa jurusan kpi angkatan 2014. tercatat total mahasiswa angkatan 2014 yang aktif sebanyak 101 orang, dimana jumlah mahasiswa yang mengisi kuesioner secara menyeluruh adalah 98 orang. berdasarkan data yang diperoleh, partisipasi mahasiswa tergolong tinggi dan mencapai prosentasi 98%. pemilihan responden yakni mahasiswa jurusan kpi angkatan 2014 didasarkan pada pengalaman mahasiswa dalam menentukan konsentrasi pilihannya. terkait hal ini, mahasiswa kpi angkatan 2014 merupakan mahasiswa yang sudah mendalami pembelajaran akademik sesuai dengan konsentrasi masing-masing. selain itu, mahasiswa kpi angkatan 2014 juga telah menjalani kuliah praktis sesuai konsentrasi yang terimplementasikan melalui muatan kuliah kkl (kuliah kerja lapangan) dan ppl (praktik pengalaman lapangan). sesuai dengan arahan kurikulum dan target lulusan dalam jurusan kpi, konsentrasi jurusan kpi dibagi menjadi tiga, yaitu: jurnalistik, public relations, dan broadcasting (penyiaran). pembagian konsentrasi ini diarahkan 274 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi agar sesuai dengan visi jurusan kpi yang berupaya untuk mewujudkan lulusan yang “profesional dalam bidang komunikasi dan media”. lebih lanjut, ketiga konsentrasi jurusan ini diberlakukan untuk mengarahkan kemampuan dan minat mahasiswa dalam bidang-bidang praktis yang sejalan dengan arah perkuliahan dalam jurusan kpi. melalui konsentrasi ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami teori sekaligus praktik kerja secara nyata jurusan kpi sehingga nantinya mereka memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan kerja seiring dengan perkembangan teknologi dan ketatnya persaingan bidang media. adapun partisipasi mahasiswa dalam penelitian salah satunya diharapkan mampu menjadi sejumlah rekomendasi serta input kepada mahasiswa angkatan di bawahnya dalam memilih dan menentukan konsentrasi jurusan ke depannya. dalam hal ini, ketiga konsentrasi jurusan kpi, masing-masing memiliki karakteristik dan keunggulan. dalam kaitannya, keunggulan ini tentu menjadi penunjang yang mampu mengarahkan setiap mahasiswa jurusan kpi untuk dapat mengembangkan minat dan bakat yang ditekuni, baik dalam sisi hardskill maupun softskill. berdasarkan partisipasi mahasiswa yang mengisi kuesioner, diperoleh rincian bahwa konsentrasi public relations (humas) sebanyak 41%, konsentrasi broadcasting (penyiaran) sebanyak 36%, dan konsentrasi jurnalistik sebanyak 23%. dalam data ini diperoleh simpulan bahwa sebaran mahasiswa untuk konsentrasi public relations dalam jurusan kpi memiliki jumlah paling besar dalam berpartisipasi mengisi kuesioner, yakni sebanyak 41%. hal ini dikarenakan secara kuantitas, mahasiswa jurusan kpi angkatan 2014 konsentrasi public relations berjumlah sebanyak 40 orang. sedangkan untuk konsentrasi jurnalistik hanya sebanyak 23 orang dan konsentrasi broadcasting hanya sebanyak 38 orang. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 275 1. analisis instrumen a. uji validitas 1) kebutuhan kognitif (item pertanyaan x 11 , x 12 , x 13 ) secara r hitung dalam hasil olah data spss sebesar 0.704, 0.741, 0.670 sedangkan nilai r tabel sebesar 0.198. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan kognitif valid karena: 0.704 > 0.198, 0.741 > 0.198, 0.670 > 0.198 sedangkan dari nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.000. maka dapat dikatakan bahwa variabel kognitif valid karena 0.000 < 0.05. 2) kebutuhan afektif (item pertanyaan x 21 , x 22 , x 23 ) secara r hitung dalam hasil olah data spss sebesar 0.804, 0.892, 0.830, sedangkan nilai r tabel sebesar 0.198. maka dapat dikatakan bahwa variabel kebutuhan afektif valid karena: 0.804 > 0.198, 0.892 > 0.198, 0.830 > 0.198 sedangkan dari nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.000. maka dapat dikatakan bahwa variabel kognitif valid karena 0.000 < 0.05. 3) kebutuhan integrasi personal (item pertanyaan x 31 , x 32 , x 33 ) secara r hitung dalam hasil olah data spss sebesar 0.706, 0.789, 0.796, sedangkan nilai r tabel sebesar 0.198. maka dapat dikatakan bahwa variabel kebutuhan integrasi personal valid karena: 0.706 > 0.198, 0.789 > 0.198, 0.796 > 0.198 sedangkan dari nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.000. maka dapat dikatakan bahwa variabel kognitif valid karena 0.000 < 0.05. 276 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 4) kebutuhan integrasi sosial (item pertanyaan x 41 , x 42 , x 43 ) secara r hitung dalam hasil olah data spss sebesar 0.675, 0.496, 0.742, sedangkan nilai r tabel sebesar 0.198. maka dapat dikatakan bahwa variabel kebutuhan integrasi sosial valid karena: 0.675 > 0.198, 0.496 > 0.198, 0.742 > 0.198 sedangkan dari nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.000. maka dapat dikatakan bahwa variabel kognitif valid karena 0.000 < 0.05. 5) pelepasan ketegangan (item pertanyaan x 51 , x 52 , x 53 ) secara r hitung dalam hasil olah data spss sebesar 0.658, 0.571, 0.749, sedangkan nilai r tabel sebesar 0.198. maka dapat dikatakan bahwa variabel pelepasan ketegangan valid karena: 0.658 > 0.198, 0.571 > 0.198, 0.749 > 0.198 sedangkan dari nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.000. maka dapat dikatakan bahwa variabel kognitif valid karena 0.000 < 0.05. 2. uji reliabilitas. pengujian reliabilitas dengan melihat ketentuan nilai cronbach’s alpha dimana jika nilai cronbach’s alpha > 0.6 = reliabel. hasil output spss nilai koefisien cronbach’s alpha diperoleh 0.728 > 0.6. lebih jelas, perhitungan dalam uji reliabilitas dapat dijelaskan sebagai berikut: a. kebutuhan kognitif (item pertanyaan x 11 , x 12 , x 13 ) nilai alpha cronbach’s dalam hasil olah data spss sebesar 0.718, 0.711, 0.703. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan kognitif reliabel karena: 0.718 > 0.6, 0.711 > 0.6, 0.703 > 0.6. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 277 b. kebutuhan afektif (item pertanyaan x 21 , x 22 , x 23 ) nilai alpha cronbach’s dalam hasil olah data spss sebesar 0.705, 0.716, 0.714. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan afektif reliabel karena: 0.705 > 0.6, 0.716 > 0.6, 0.714 > 0.6. c. kebutuhan integrasi personal (item pertanyaan x 11 , x 12 , x 13 ) nilai alpha cronbach’s dalam hasil olah data spss sebesar 0.703, 0.704, 0.713. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan integrasi personal reliabel karena : 0.703 > 0.6, 0.704 > 0.6, 0.713 > 0.6. d. kebutuhan integrasi sosial (item pertanyaan x 11 , x 12 , x 13 ) nilai alpha cronbach’s dalam hasil olah data spss sebesar 0.741, 0.721, 0.708. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan integrasi sosial reliabel karena: 0.741 > 0.6, 0.721 > 0.6, 0.708 > 0.6. e. kebutuhan pelepasan ketegangan (item pertanyaan x 11 , x 12 , x 13 ) nilai alpha cronbach’s dalam hasil olah data spss sebesar 0.711, 0.740, 0.702. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan pelepasan ketegangan reliabel karena : 0.711 > 0.6, 0.740 > 0.6, 0.702 > 0.6. 278 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi 3. uji homogenitas pengujian homogenitas dengan melihat ketentuan nilai signifikansi (sig.) dapat diuraikan dalam analisis sebagai berikut: a. kebutuhan kognitif nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.304. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan kognitif adalah homogen karena 0.304 > 0.05. dalam artian bahwa item variabel kebutuhan kognitif memiliki varian yang sama. b. kebutuhan afektif nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.027. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan afektif adalah tidak homogen karena 0.027 < 0.05. dalam artian bahwa item variabel kebutuhan afektif memiliki varian yang tidak sama. variabel kebutuhan afektif memiliki varian yang tidak sama (tidak homogen), hal ini menandakan tidak adanya kesamaan dalam sifat, macam, watak atau lainnya dari mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam angkatan 2014. hal ini dikarenakan variabel kebutuhan afektif yang mendasarkan pada sikap dan keputusan yang berasal dari internal mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam angkatan 2014. passion yang ada dalam diri mahasiswa kpi juga mengalami pasang surut seiring dengan beban mata kuliah dalam konsentrasi masing-masing, sehingga hal ini menjelaskan persepsi dan pola pikir mengenai beban materi kuliah yang berbeda. c. kebutuhan integrasi personal nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.113. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan integrasi personal adalah homogen karena 0.304 > 0.05. dalam artian bahwa item variabel kebutuhan integrasi personal memiliki varian yang sama. d. kebutuhan integrasi sosial nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.051. maka dapat dikatakan bahwa item variabel kebutuhan integrasi sosial adalah homogen karena 0.051 > 0.05. dalam artian bahwa item variabel kebutuhan integrasi sosial memiliki varian yang sama. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 279 e. kebutuhan pelepasan ketegangan nilai signifikansi dalam hasil olah data spss sebesar 0.226. maka dapat dikatakan bahwa item variabel pelepasan ketegangan adalah homogen karena 0.226 > 0.05. dalam artian bahwa item variabel kebutuhan pelepasan ketegangan memiliki varian yang sama. 4. analisis regresi analisi regresi linear berganda dilakukan untuk menguji pengaruh dari dua variabel atau lebih, guna melihat hubungan kausalitas atau fungsional. dalam penelitian ini, fokus yang ingin dilihat adalah pengaruh motif mahasiswa jurusan kpi angkatan 2014 terhadap kepuasan dalam memilih konsentrasi di jurusan kpi. berikut hasil uji regersi linear berganda: tabel 4. hasil uji regresi linear berganda r squared nilai sig. nilai koefisien t 0.121 0.000 3.629 hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah : ha : ada pengaruh antara motif dengan kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. ho : tidak ada pengaruh antara motif dengan kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. mendasarkan pada hasil uji regresi linear berganda dengan menggunakan spss di atas, dapat dijelaskan bahwa : a. nilai signifikansi (sig.) sebesar 0.000, yang berarti nilai sig. < 0.05. sehingga kesimpulannya h0 ditolak yang menjelaskan bahwa “ada pengaruh antara motif dengan kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam”. b. nilai r squared (r2) sebesar 0.121, menandakan bahwa variabel terikat yaitu kepuasan mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam angkatan 2014 mampu dijelaskan atau ada hubungannya dengan 280 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi variabel bebas (kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif, kebutuhan integrasi personal, kebutuhan integrasi sosial, dan kebutuhan pelepasan ketegangan) sebesar 12.1 %. sedangkan sisanya sebesar 87.9 % (100% 12.1%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disebutkan dalam penelitian ini. c. nilai koefisien t sebesar 3.629, menjelaskan nilai positif dalam hubungan antara motif mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam angkatan 2014 dengan kepuasan dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. tabel 5. model summary model r r square adjusted r square std. error of the estimate 1 .347 a .121 .111 5.12677 a. predictors: (constant), motif tabel 6. anovaa model sum of squares df mean square f sig. 1 regression 346.144 1 346.144 13.169 .000b residual 2523.244 96 26.284 total 2869.388 97 a. dependent variable: kepuasan b. predictors: (constant), motif tabel 7. coefficientsa model unstandardized coefficients standardized coefficients t sig. b std. error beta 1 (constant) 13.583 5.057 2.686 .009 motif .436 .120 .347 3.629 .000 a. dependent variable: kepuasan hipotesis parsial yang dibangun dalam penelitian ini adalah : a. ha : motif terkait kebutuhan kognitif berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. ho : motif terkait kebutuhan kognitif tidak berpengaruh terhadap al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 281 tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. b. ha : motif terkait kebutuhan afektif berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. ho : motif terkait kebutuhan afektif tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. c. ha : motif terkait kebutuhan integrasi personal berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. ho : motif terkait kebutuhan integrasi personal tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. d. ha : motif terkait kebutuhan integrasi sosial berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. ho : motif terkait kebutuhan integrasi sosial tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. e. ha : motif terkait kebutuhan pelepasan ketegangan berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. ho : motif terkait kebutuhan pelepasan ketegangan tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam konsentrasi jurusan komunikasi dan penyiaran islam. 282 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi tabel 8. hasil uji regresi linear berganda variabel dependen r squared nilai sig. nilai koefisien t kebutuhan kognitif 0.151 0.044 2.039 kebutuhan afektif 0.237 1.190 kebutuhan integrasi personal 0.946 0,067 kebutuhan integrasi sosial 0.062 1.889 kebutuhan pelepasan ketegangan 0.983 0.021 mendasarkan pada hasil uji regresi linear berganda dengan menggunakan spss di atas, dapat dijelaskan bahwa : a. nilai signifikansi (sig.) variabel kebutuhan kognitif sebesar 0.044 yang berarti nilai sig. < 0.05. sehingga diperoleh kesimpulan h0 ditolak yang menjelaskan bahwa motif terkait kebutuhan kognitif berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. b. nilai signifikansi (sig.) variabel kebutuhan afektif sebesar 0.237 yang berarti nilai sig. > 0.05. sehingga diperoleh kesimpulan h0 diterima yang menjelaskan bahwa motif terkait kebutuhan afektif tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. c. nilai signifikansi (sig.) variabel kebutuhan integrasi personal sebesar 0.946 yang berarti nilai sig. > 0.05. sehingga diperoleh kesimpulan h0 diterima yang menjelaskan bahwa motif terkait kebutuhan kognitif tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. d. nilai signifikansi (sig.) variabel kebutuhan integrasi sosial sebesar 0.062 yang berarti nilai sig. > 0.05. sehingga diperoleh kesimpulan h0 diterima yang menjelaskan bahwa motif terkait kebutuhan kognitif tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. e. nilai signifikansi (sig.) variabel kebutuhan pelepasan ketegangan sebesar 0.983 yang berarti nilai sig. > 0.05. sehingga diperoleh kesimpulan h0 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 283 diterima yang menjelaskan bahwa motif terkait kebutuhan pelepasan ketegangan tidak berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. f. nilai r squared (r2) sebesar 0.151, menandakan bahwa variabel terikat yaitu kepuasan mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam mampu dijelaskan atau ada hubungannya dengan variabel bebas (kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif, kebutuhan integrasi personal, kebutuhan integrasi sosial, dan kebutuhan pelepasan ketegangan) sebesar 15.1 %. sedangkan sisanya sebesar 84.9 % (100% 15.1%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disebutkan dalam penelitian ini. g. nilai koefisien t kebutuhan kognitif sebesar 2.039, menjelaskan nilai positif dalam hubungan antara kebutuhan kognitif dengan tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. h. nilai koefisien t kebutuhan afektif sebesar 1.190, menjelaskan nilai positif dalam hubungan antara kebutuhan afektif dengan tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. i. nilai koefisien t kebutuhan integrasi personal sebesar – 0.067, menjelaskan nilai negatif dalam hubungan antara kebutuhan integrasi personal dengan tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. dimana semakin motif naik kebutuhan integrasi personal, maka semakin turun tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. j. nilai koefisien t kebutuhan integrasi sosial sebesar 1.889, menjelaskan nilai positif dalam hubungan antara kebutuhan integrasi sosial dengan tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. k. nilai koefisien t kebutuhan pelepasan ketegangan sebesar 0,021, menjelaskan nilai positif dalam hubungan antara kebutuhan pelepasan ketegangan dengan tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. 284 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi sehingga model regresi dalam penelitian diperoleh : y = 9.770 + 1.054x 1 + 0.431x 2 – 0.026x 3 + 0.096x 4 + 0.010x 5 a. dimana tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam bernilai sebesar 9.770 apabila semua variabel konstan tidak ada perubahan atau bernilai 0. b. koefisien kebutuhan kognitif sebesar 1.054 berarti variabel kebutuhan kognitif berpengaruh positif terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. jika ada perubahan variabel kebutuhan kognitif 1% maka tingkat kepuasan mahasiswa akan meningkat sebesar 1.054% dengan syarat variabel lainnya bersifat konstan atau tidak ada perubahan. c. koefisien kebutuhan afektif sebesar 0.431 berarti variabel kebutuhan afektif berpengaruh positif terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. jika ada perubahan variabel kebutuhan afektif 1% maka tingkat kepuasan mahasiswa akan meningkat sebesar 43.1% dengan syarat variabel lainnya bersifat konstan atau tidak ada perubahan. d. koefisien kebutuhan integrasi personal sebesar – 0.026 berarti variabel kebutuhan integrasi personal berpengaruh negatif terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. jika ada perubahan variabel kebutuhan integrasi personal 1% maka tingkat kepuasan mahasiswa akan menurun sebesar 2.6% dengan syarat variabel lainnya bersifat konstan atau tidak ada perubahan. e. koefisien kebutuhan integrasi sosial sebesar 0.096 berarti variabel kebutuhan integrasi sosial berpengaruh positif terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. jika ada perubahan variabel kebutuhan integrasi sosial 1% maka tingkat kepuasan mahasiswa akan meningkat sebesar 9.6% dengan syarat variabel lainnya bersifat konstan atau tidak ada perubahan. f. koefisien kebutuhan pelepasan ketegangan sebesar 0.010 berarti variabel kebutuhan pelepasan ketegangan berpengaruh positif terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. jika ada perubahan variabel kebutuhan pelepasan ketegangan 1% maka tingkat kepuasan al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 285 mahasiswa akan meningkat sebesar 1.0 % dengan syarat variabel lainnya bersifat konstan atau tidak ada perubahan. tabel 9. model summary model r r square adjusted r square std. error of the estimate 1 .389 a .151 .105 5.14439 a. predictors: (constant), ketegangan, afektif, personal, sosial, kognitif tabel 10. anovaa model sum of squares df mean square f sig. 1 regression 434.629 5 86.926 3.285 .009b residual 2434.759 92 26.465 total 2869.388 97 a. dependent variable: kepuasan b. predictors: (constant), ketegangan, afektif, personal, sosial, kognitif tabel 11. coefficientsa model standardized coefficients t sig. b std. error beta 1 (constant) 9.770 5.583 1.750 .083 kognitif 1.054 .517 .229 2.039 .044 afektif .431 .362 .127 1.190 .237 personal -.026 .380 -.008 -.067 .946 sosial .969 .513 .210 1.889 .062 ketegangan .010 .464 .002 .021 .983 a. dependent variable: kepuasan 5. pembahasan dari semua variabel bebas (kebutuhan kognitif, kebutuhan afektif, kebutuhan integrasi personal, kebutuhan integrasi sosial dan kebutuhan pelepasan ketegangan), diperoleh hasil bahwa hanya variabel kebutuhan kognitif yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. sedangkan variabel lain, yaitu: kebutuhan afektif, kebutuhan integrasi 286 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi personal, kebutuhan integrasi sosial, dan kebutuhan pelepasan ketegangan, tidak berpengaruh dalam kepuasan mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam dalam memilih konsentrasi. adanya kebutuhan kognitif pada dasarnya merupakan bentuk kebutuhan yang mendasarkan terhadap tingkat pengetahuan dan pengalaman mahasiswa dalam menelaah dan mengkaji konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam. kebutuhan ini mengarah pada proses memperoleh pengetahuan termasuk di dalamnya terkait kesadaran, perasaan, dan bagaimana seorang individu mengenali sesuai berdasarkan pengalamannya sendiri. uraian di atas dapat mengarah pada konsep kerangka rujukan, dimana hal ini menjadi aspek fungsional yang mempengaruhi persepsi seorang individu. adanya kerangka rujukan mampu mempengaruhi bagaimana seseorang memberikan makna pada pesan yang diterimanya (rakhmat, 2012). sekilas, hal ini berkaitan dengan aspek efikasi diri, dimana hal ini mengarah pada keyakinan setiap individu terhadap kemampuan diri untuk menyelesaikan permasalahan. efikasi diri dinyatakan oleh (bandura, 1977) sebagai mediator utama perilaku dan perubahan perilaku. ketika dikaitkan dengan pemilihan konsentrasi, mahasiswa kpi memiliki sejumlah pertimbangan berdasarkan keyakinan yang telah terbentuk sebelumnya, yakni mengenai kesanggupan serta kesiapan diri untuk memenuhi kebutuhan, termasuk menyelesaikan permasalahan atas konsekuensi yang muncul berdasarkan pilihan konsentrasi yang diambil. menurut kurniasari, dariyo, & idulfilastri (2018), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung dapat menentukan pilihan dalam pengambilan keputusan jurusan dan karier, menghadapi tantangan, menerima resiko dari tindakan yang dilakukan. munculnya efikasi diri pada mahasiswa kpi selanjutnya berkenaan dengan kebutuhan kognitif dalam mengarahkan pemaknaan mahasiswa terhadap konsentrasi jurusan yang dipilih, pada akhirnya berkaitan dengan seberapa besar aspek pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. aspek al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 287 pengetahuan, baik secara akademik maupun berasal dari kakak angkatan di atasnya, dapat menggambarkan bagaimana konsentrasi di jurusan komunikasi dan penyiaran islam memberikan jalan atau bisa mewadahi potensi dari mahasiswa dalam mengembangkan minat dan bakat dalam bidang media komunikasi. hal tersebut secara tidak langsung memberikan gambaran positif mengenai pilihan konsentrasi yang ada dalam pengembangan keilmuan akademik mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran islam. salah satunya, adanya penjelasan mengenai pengalaman kakak tingkat turut memberikan pengaruh dan masukan bagi mahasiswa dalam memilih dan menentukan konsentrasi. hal ini mampu menambah kerangka rujukan atas interpretasi mahasiswa dalam menentukan konsetrasi mana yang akan mereka pilih. lebih lanjut, hal ini dapat mempengaruhi keputusan akhir mahasiswa dalam memilih konsentrasi yang sesuai diri sendiri atau karena pengaruh orang lain. sedangkan variabel lain, tidak terbukti berpengaruh terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. hal ini dapat disebabkan karena pengalaman selama menjalani materi perkuliahan di bidang konsentrasi turut mempengaruhi psikologi mahasiswa dan kepuasan mahasiswa. salah satunya mengenai beban kuliah dan tugas selama perkuliahan yang justru menurunkan kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi dari awal. seperti diklasifikasikan dalam teori motivasi dan harapan, motivasi dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti: durasi kegiatan; frekuensi kegiatan; persistensi kegiatan; ketabahan, keuletan serta kemampuan dalam menghadapi rintangan dan kesulitan; devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; tingkat aspirasi yang ingin dicapai atas kegiatan yang dilakukan; tingkat kualifikasi prestasi dan hasil; dan arah sikap terhadap sasaran kegiatan. indikator ini merupakan sarana dalam pembentuk motivasi mahasiswa dalam memilih jurusan yang seiring waktu mampu mengalami perubahan dan pergeseran. jelasnya, sejumlah aspek ini akan berpengaruh terhadap bagaimana mahasiswa menentukan konsentrasi mana yang paling mantap untuk mereka pilih. 288 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi penggunaan teori uses and gratification, pada dasarnya dimaksudkan untuk menelaah bagaimana pola penggunaan media yang dilakukan oleh audiens (khalayak). namun demikian, terkait dengan tingkat kepuasan dalam penelitian ini, teori uses and gratification digunakan untuk melengkapi dan mengenalisis lebih jauh bagaimana motivasi sebagai aspek psikologis mahasiswa dalam memilih konsentrasi jurusan berkaitan dengan tingkat kepuasan mereka ketika menjalani perkuliahan atas konsentrasi jurusan yang dipilih. selama mengikuti perkuliahan, konsentrasi mahasiswa akan menghadapi perbedaan beban kuliah dan praktik sesuai dengan konsentrasinya. kondisi ini turut memberikan dampak pada bagaimana motivasi mahasiswa dari awal mampu berbeda setelah mengalami kondisi lapangan konsentrasi di jurusan kpi sehingga sejumlah variabel dalam aspek motivasi dinyatakan tidak terbukti berpengaruh secara keseluruhan terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi. hal ini dikarenakan adanya ekspektasi dan realitas yang dialami mahasiswa ketika menjalani konsentrasi boleh jadi berbeda dengan motivasi awal yang mendorong mereka dalam memilih konsentrasi jurusan di kpi. iv. kesimpulan aspek kebutuhan kognitif adalah aspek yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi jurusan kpi. sedangkan variabel lain, seperti kebutuhan afektif, kebutuhan integrasi personal, kebutuhan integrasi sosial, dan kebutuhan pelepasan ketegangan, tidak berpengaruh terhadap kepuasan mahasiswa dalam memilih konsentrasi pada jurusan kpi. adapun kebutuhan kognitif merupakan kebutuhan mendasar dalam pengetahuan dan pengalaman mahasiswa. adanya pengaruh kebutuhan kognitif terhadap tingkat kepuasan pemilihan konsentrasi dipengaruhi oleh upaya mahasiswa untuk memenuhi pemahaman akademik mengenai konsentrasi yang dipilih sehingga mampu mewadahi potensi mahasiswa al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 289 dalam mengembangkan minat dan bakat dalam bidang media komunikasi. hal tersebut memberikan gambaran positif mengenai konsentrasi yang ada dalam pengembangan keilmuan akademik mahasiswa jurusan kpi. selanjutnya, saran yang dapat diberikan kepada lembaga adalah perlunya peninjauan kembali sejumlah mata kuliah pada kurikulum jurusan kpi sehingga pemilihan konsentrasi jurusan dapat lebih tertata dengan baik dan mampu memfasilitasi mahasiswa untuk berproses sesuai dengan profil lulusan yang mumpuni dan dapat diterima di masyarakat luas. selain itu, diharapkan sejumlah sumber daya pendukung seperti tenaga pengajar dan fasilitas pengajaran juga perlu ditingkatkan guna menunjang proses perkuliahan. untuk para mahasiswa diharapkan mampu mempersiapkan diri lebih awal dalam menghadapi pemilihan konsentrasi jurusan pada semester yang ditentukan. mengingat jurusan kpi adalah jurusan praktis yang memungkinkan adanya terapan dan praktik dalam ilmunya, maka setiap mahasiswa diharapkan mampu lebih sigap dalam mempersiapkan arah konsentrasi mana yang dipilih sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki. daftar pustaka abas, z. (2017). pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 2(1), 87–110. https://doi.org/10.22515/balagh. v2i1.628 abdullah, m. a. (2004). laporan rektor dari iain ke uin: membangun kembali kampus masa depan yang mencerahkan umat. yogyakarta. acharya, a. s., prakash, a., & nigam, a. (2013). sampling: why and how of it?, (may 2014), 3–7. https://doi.org/10.7713/ijms.2013.0032 allolayuk, y. r., setiawan, t. i., & dimyati, m. (2013). faktor yang mempengaruhi siswa memilih jurusan ipa pada siswa kelas xi sma negeri 72 jakarta. jurnal bimbingan dan konseling. https://doi. org/10.21009/insight.022.19 290 kepuasan mahasiswa kpi iain – eny susilowati & rhesa zuhriya briyan pratiwi astuti, y. d. p. (2018). implementasi community relations upt kawasan wisata dinas pariwisata taman balekambang kota surakarta pada program pengembangan kemitraan (studi deskriptif kualitatif tentang kegiatan peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya pengembangan kemitraan p. iain surakarta. azwar, s. (2017). metode penelitian psikologi edisi ii. yogyakarta: pustaka pelajar. bandura, a. (1977). self-efficacy: toward a unifying theory of behavioral change. psychological review, 84, 191–215. bm, m. (2010). patronase korporasi media. jurnal komunikasi massa, 3(1). dilenschneider, r. l. (2010). the ama handbook of public relations. amacom. etikan, i., musa, s. a., & alkassim, r. s. (2016). comparison of convenience sampling and purposive sampling. american journal of theoretical and applied statistics, 5(1), 1–4. https://doi.org/doi: 10.11648/j.ajtas.20160501.11 fathan. (2018). analisis wacana kritis berita “kematian terduga teroris siyono” di harian solopos. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 3(1), 45–72. https://doi.org/10.22515/balagh.v3i1.1088 iriantara, y. (2004). community relations: aplikasi dan konsepnya (1st ed.). bandung: simbiosa rekatama media. kovach, b., & rosenstiel, t. (2004). the elements of journalism (elemenelemen jurnalisme). (y. a. pareanom, ed.). jakarta: institut studi arus informasi. kpi, p. s. (n.d.). dokumen kurikulum kpi. surakarta: iain surakarta. kpi iain surakarta, t. r.-a. p. (2017). borang re-akreditasi program studi sarjana komunikasi dan penyiaran islam. surakarta. kriyanto, r. (2006). teknik praktis riset komunikasi. jakarta: kencana. kurniasari, r. i., dariyo, a., & idulfilastri, r. m. (2018). hubungan antara self-efficacy dengan pengambilan keputusan karier pada mahasiswa tingkat akhir fakultas psikologi. journal an-nafs: kajian penelitian psikologi, 3(1), 1–19. https://doi.org/10.33367/ psi.v3i1.497 laksamana, a. (2018). public relations in the age of disruption. yogyakarta: bentang pustaka. lusia, a., suciati, p., & setiowati, e. (2015). motivasi intrinsik yang al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 2, juli – desember 2018, pp. 259 292 291 mempengaruhi pemilihan jurusan dan universitas (studi pada mahasiswa baru program vokasi universitas indonesia angkatan 2015). journal of vocational program university of indonesia, 3(2), 21– 36. https://doi.org/10.7454/jvi.v3i2.31 muhammad. (2013). metodologi penelitian islam. jakarta: pt raja grafindo persada. nasrullah, r., & sriyanto, a. (2013). menggagas kurikulum jurnalistik di ptai, penyelerasan terhadap kompetensi wartawan. jurnal naadya: jurnal ilmu dakwah dan komunikasi, 9(1), 1–13. nova, f. (2014). pr war. (t. t. indijaningsih & a. noverina, eds.). jakarta: pt gramedia widiasarana indonesia. rakhmat, j. (2012). psikologi komunikasi. bandung: remaja rosdakarya. risnawati, e., & irwandi, s. a. (2012). analisis faktor atas pengambilan keputusan mahasiswa. the indonesian accounting review, 2(1), 63– 72. https://doi.org/10.14414/tiar.v2i01.318 saifuddin, a. (2018). kematangan karier : teori dan strategi memilih jurusan dan merencanakan karier (1st ed.). yogyakarta: pustaka pelajar. santana, s. k. (2005). jurnalisme kontemporer. jakarta: yayasan obor indonesia. soemirat, s., & ardianto, e. (2005). dasar-dasar public relations. bandung: pt remaja rosdakarya. sugiyono. (2011). metode penelitian administrasi: dilengapi dengan metode r&d. bandung: alfabeta. surakarta, i. (2017). buku panduan akademik. surakarta: iain surakarta. suryani, w., & ginting, p. (2016). faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan mahasiswa memilih fakultas ekonomi universitas islam sumatera utara al munawaroh medan. jurnal ekonomi modernisasi, 9(1), 33. https://doi.org/10.21067/jem. v9i1.196 suryanto. (2015). pengantar ilmu komunikasi. bandung: cv pustaka setia. yuliandari, d., & prasetyo h, f. (2012). faktor-faktor pemilihan jurusan dengan analisis contjoint berdasarkan preferensi mahasiswa jurusan manajemen informatika. paradigma jurnal komputer dan informatika, xiv(1), 60–68. https://doi.org/10.31294/p. v14i1.3379 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia keywords: character of children; contributions of parents; role of the mubaligh http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: abstract this study aims to obtain an overview of how to foster children's character through the role of islamic education from mubaligh and contributions of parents in gayau pantu sri aman village, sarawak, malaysia. this study uses a qualitative method with a case study design. the subjects of this study were children aged 10-12 years old. the minority converts are ten heads of families, and the preacher consists of two people who come from the community. data were collected through interviews and observations. data analysis refers to the milles and huberman model, namely: 1) data collection, 2) data reduction, 3) data presentation, and 4) making conclusions. the data validity technique used triangulation of data and sources. the results showed that mubaligh and parents play a role in developing children's character by applying social-oriented religious learning. religion and tolerance are the most dominant characters that grow in children. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) edhy rustan*, miftahul jannah akmal institut agama islam negeri (iain) palopo e-mail: * edhy_rustan@iainpalopo.ac.id miftahuljannahakmal@yahoo.com 194 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian ini bertujuan untuk memeroleh gambaran bagaimana menumbuhkan karakter anak melalui peran pendidikan keislaman dari mubalig dan kontribusi orang tua di kampong gayau pantu sri aman sarawak malaysia. penelitian ini mengunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus. subjek penelitian ini adalah anak usia 10-12 tahun. orang tua mualaf yang minoritas berjumlah sepuluh kepala keluarga dan mubalig terdiri dari dua orang yang berasal dari kalangan masyarakat. data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. analisis data mengacu pada model milles dan huberman yaitu: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, dan 4) penarikan kesimpulan. pengecekan kredibilitas dilakukan melalui triangulasi data dan sumber. hasil penelitian menunjukkan mubalig maupun orang tua berperan dalam penumbuhan karakter anak melalui penerapan pembelajaran agama berwawasan kemasyarakatan. religius dan toleransi merupakan karakter yang paling dominan tumbuh pada anak. karakter anak; kontribusi orang tua; peran mubalig how to cite this (apa 7th edition): rustan, e. & akmal, m. j. (2020). the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(2), 193–222. https://doi. org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 introduction character as temperament (character, name) or inner nature of humans influences thoughts and actions ingrained in a person’s soul. besides, the character can also be the source of specific actions without prior thought or planning. character consists of three interrelated and continuous parts: knowledge of morals, moral feelings, and moral behavior or actions (lickona, 2014). a person who has a noble character will know kata kunci: 195the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) his / her potential, which is marked by several values, including self-belief, patience, courage, honesty, fairness, keeping promises, being humble, and steadfast (yusuf, 2016). good character swill guide a person to follow good manners, norms, and social values (mulyani, 2019; yusuf, 2016). in the islamic context, the character is equated with morals. faith and rituals of worship strongly influence morals as part of the implementation of islam. currently, there are many moral crises. the increasing number of child cases evidences these reports from year to year based on data from the indonesian child protection commission’s commissioners quoted from grednews.com (shiddiq, 2020). from 2011 to 2019, the highest number of cases was in children related to law, reaching 11,492 cases. furthermore, there were 3,323 cases of pornography and cybercrime reports, 2,820 children entangled in health problems and narcotics, and 2,156 trafficking and exploitation cases. these data indicate that there are shifts and changes in the children’s character formed, which leads to deviant behavior. on the other hand, the character is essential to create a calm, peaceful, and harmonious life. thus, character education is crucial to be instilled from an early age to strengthen children’s character so that problems caused by character can be minimized. character education is interpreted as a deliberate effort to promote children how to behave appropriately in the family environment, society, including schools, through learning such as religion and morals (berkowitz & hoppe, 2009; roqib, 2008). character education in islam is also known as moral education. in islam, character education has the same meaning as religious education based on morals. islam sees the importance of forming a muslim person with a noble character (akhlaq alkarimah) (mahfud & kertamukti, 2016; yusuf, 2016). the hope is that the children will become the successor of a nation with good morals. also, character education is essential in shaping personality, noble morals, controlling oneself in 196 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) individuals from an early age to face plural society situations, and the good of themselves and society (yusuf, 2016). in this case, education is formal in the school environment and can also be informal (mardliyah & rozi, 2019). children’s character education’s success is a shared responsibility between the school, community, and parents (kurniawan, 2019; mulyani, 2019; retnadi, hayu, & uswatun, 2016). many parties in society play a role in character and moral education in children; one is mubaligh. mubaligh is a person who gives lectures as well as being an example for children in their behavior (fatihah, 2018; misran, 2016; satriah, tajiri, & yuliani, 2019; shobihah, 2014). according to katz & kahn (1966), the role’s definition is an action taken by a person based on his character and position. roles can be divided into innate roles and optional roles. in character education, parents in providing character education are an innate role as father or mother. parental education is the first and foremost area of a child’s life (chaer, wasim, & khilmiyah, 2019; darmawati, tolla, & maman, 2017; makruf, 2017; rozana, wahid, & muali, 2017). parents must shape their children’s character and personality by instilling and developing these values (retnadi et al., 2016; rozana et al, 2017). families for children are the primary source in providing a basis for socializing in society. the good and bad of children’s development lies in family education, especially parents (raganas & pelaez, 2016; ulfah, wahyuni, & hawasyi, 2019). in line with previous theories, warisyah (2015) argues that parents’ involvement in educating children is needed to provide encouragement and motivation and set an example for being responsible. parents’ success in fostering children’s character majorly impacts the child’s mindset and psychological development. the mubaligh is optional because the character’s role is obtained when the individual becomes a preacher. however, preachers have a significant role in the growth and formation of children’s character. 197the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) for this role to run optimally, preachers should have skills in conveying religious teachings and being informative, educational, and consultative. the message told that the mubaligh give essential information in character building. they also provide an education, which means that the preachers’ message is to educate the public and children; consultative means that preachers should have the skills to help solve problems in society and children, especially those related to character morals. besides, the roles played by preachers can also be in the form of mentoring, reforming agents, motivators, and role models for all muslim circles in carrying out religious teachings in everyday life (fatihah, 2018; misran, 2016; satriah et al., 2019; shobihah, 2014). to reach an in-depth analysis of the role of mubaligh and parents concerning children’s character. it is essential to conduct research. the research was conducted in gayau pantu sri aman village, sarawak, malaysia. the reason for choosing this area was that kampong gayau was in indonesia and sarawak, malaysia’s border area. kampong gayau has minimal access, both in terms of education and access to information. however, based on preliminary observations, the kampong gayau children have good islamic characters. the children still live harmoniously and mingle with each other. it is different from aeni’s (2014) opinion, which says that ten-year-olds prefer to play with friends with the same hobbies. besides, the kampong gayau children’s excellent character is a unique phenomenon amid widespread moral problems and children’s character. therefore, research related to the development of children’s character is essential. previous research found that sarawak malaysia has a plural society phenomenon. however, in this plurality, harmony between religious communities is maintained because of the high sense of tolerance and religious understanding, which cannot be separated from harakah islamiah’s role (hikmah) (khambali, yon, & sintang, 2014). 198 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) furthermore, researchers consider it essential to examine preachers and parents’ role in fostering and developing children’s character. through the role of islamic education, the results are expected to provide an overview of preachers and parents’ role in promoting children’s character to become models for children’s character development in other areas. methods this research uses a qualitative approach with a case study method. the location of this research is in kampong gayau pantu sri aman sarawak malaysia. the subjects of this study were children aged 10-12 years old whose parents were converts. converts are individuals who have recently embraced islam. the parents of converts are a minority group with ten family heads who come from the iban tribe. besides, this study also involved two preachers who came from the community and members of hikmah. the selection of subjects for children aged 10-12 years old was chosen because it is the transition age to the adolescent and adult stages. the child begins to experience rapid cognitive, moral, and social development. besides, if they reflect on lawrence kohlberg’s theory of moral development, children are at a pre-conventional stage, which assumes that moral reasoning is based on personal interest. it means that children’s morale is still very much dependent on children’s understanding and children’s will. the majority of children still like the world of games. however, the children in kampong gayau had good character and morals. on this basis, children aged 10-12 years old were included as research subjects. this research’s object is parents’ and preachers’ role in fostering children’s character, which is focused on religious education, worship education, and moral education. the data collection instruments used were interview and observation guidelines. the interview was a semistructured interview conducted to explore parents’ and preachers’ role in 199the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) developing children’s character. data analysis used four stages from the milles and huberman model, including data collection, data reduction, data presentation, and concluding. the data validity technique used was data and source triangulation. data were collected by direct observation in research subjects to see parents’ and preachers’ role in developing children’s character. on the other hand, researchers also take facilitators’ role in every character education activity carried out by mubaligh. results and discussion the role of mubaligh in developing children’s character the results of observations of children’s character development by preacher sp (45 years old) and hs (39 years old) emphasized islamic education for children, including aspects of worship, faith, and morals. worship education teaches the practice of praying, fasting, reading the alqur’an, and other religious teachings. faith education teaches children to maintain and strengthen children’s beliefs because muslims in kampong gayau are minority groups. meanwhile, moral education is given to children in the form of teachings about good and bad behavior to every human being and being adaptive as a child who comes from a family of converts. the data illustrates that the preacher in kampong gayau has a role as a spiritual guide. the supervisor’s role is to educate the family of converts and their children about the science of religion. these roles and functions significantly contribute to religious character growth as children grow up in a minority group of converts to families. the preacher’s contribution is in line with misran (2016) research, which results that preachers have a huge role in the knowledge and application of religious teachings. apart from providing special education for children, the preacher also realizes his preaching through tadarus with the general public and tausiah and discussion. as a preacher, the central role that is carried out in 200 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kampong gayau is in the form of religious figures which convey da’wah to minorities, both converts and the muslim community as a whole, and this is in line with saleh’s (2012) opinion. it states that preachers are usually called preachers or preachers who have the main task of conveying islamic teachings to humanity, both those who have believed and those who have not. islamic education carried out by preachers can attract children’s interest in increasing islamic knowledge, for example, about god and his creation. children’s interest in studying islam can be seen from children who actively ask preachers about religious practice. for example, “ustad, why do children have to follow allah’s orders, and what is the law for people who do not follow his orders?”. according to islamic teachings, this data clarifies children’s desire to know the right and correct faiths and worship practices. the results of the interview with mf (11 years old) stated that: “my colleagues and i always go to the mosque to pray in congregation and study together with the ustad. i really like the scholars who give lessons about islam.” in line with what was conveyed by mk (11 years old), ff (10 years old) also stated that: “i like and often learn with ustad hafis about islamic teachings such as maslehat and so on.” the results of tabulating children’s responses to lectures from preachers in the mosque also support children’s high interest and enthusiasm in paying attention to religious teachings from preachers. based on the tabulated responses, it was found that 60% answered often listening to lectures, 40% answered sometimes listening to lectures, and none of the children answered never. the preacher’s role as a motivator is illustrated by the high interest of diligent children in the mosque. besides, their intensity also describes 201the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the child’s enjoyment of studying religion with the preacher’s guidance. the preacher’s role as a motivator also impacts making the preacher a role model in the practice of worship and morals. the data related to this is reflected in preachers’ activities considered in prayer at the mosque, such as the sunnah prayer before and after the fard prayer and tadarus after prayer. based on interviews with rs parents (35 years old), information was obtained that the child had asked the parents about prayer. the child’s question about the prayer arose because the child saw one of the preachers praying. after the hospital explained prayer that prayer is a form of worship to allah swt., the children began to learn to pray. the preacher’s role as a model and example for children can be viewed from an observational learning perspective. observational learning is an individual learning process for everything from the environment by observing it and then imitating it. therefore, observational learning gives birth to mimicking behavior, often known as modeling. this observational learning includes four processes: attention or attention, retention or representation, production, and motivation (bandura, 1977). in the context of children in kampong gayau, children first pay attention to the preachers’ behavior, for example, the action of praying. preachers become objects of attention because they become teachers for children so that every preacher’s behavior attracts children’s attention. next, the children tried to remember the preacher’s demeanor and digest it in their cognition. at this stage, when children do not understand the behavior of preachers, they ask parents or individuals who know better, for example, asking parents about the behavior of preaching prayers. in the next stage, the children began to be motivated to produce the same behavior as the preachers’ behavior. finally, children have the motivation to behave religiously, thus forming imitative behavior, for example, imitating prayer behavior. 202 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) children choose great curiosity because children are in the learning process, especially learning about their environment. one that is learned by children is about morals and character. therefore, there are stages of moral development in children formulated by lawrence kohlberg. besides, children are also experiencing rapid cognitive growth, as has been formulated by jean piaget. according to piaget (1952), children aged 11 years old are developing formal operational cognition. the characteristics of thinking in the proper operational stage are slowly understanding abstract things (values, norms), practicing logical thinking, and drawing conclusions from the various information. this formal operational development stage then causes the children to have a great curiosity about abstract things and try to conclude them, for example, regarding prayers and their rewards. this curiosity helps children to explore religion. when children can study religion well, it will foster a religious attitude and discipline in worship. in addition, other characteristics that can grow from a child’s deep understanding of religion are tolerance, peace-loving, and democratic. this is because religions contain values, one of which is about tolerance, peace-loving, and democracy. the preachers also teach these values. mubalig plays a role in preparing the next generation, who will continue their duties as religious leaders in kampong gayau. this was confirmed by the results of an interview with sp (45 years old), who stated that: “we focus more on emphasizing islamic education for children with a certain schedule because children are the next generation who will advance this village based on islam.” mubaligh, in preparing the next generation, also instills a sense of responsibility and care for children. the character development in question is confirmed by the data from the preacher’s learning observations carried out. the preacher often tells children that studying religion is compulsory, 203the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) not only to be studied but also to be practiced and shared with others who do not understand. the message of preaching to children to practice this religion is a message of instilling responsibility in children, that everything that is understood should be practiced. the preacher’s message regarding the urge to teach religion to people who do not understand and invite them is a message that focuses on caring. this responsibility and care can be extended not only to the religious field but also to various life areas. based on this description, it is known that the preacher in gayau village acts as a guide, motivator, and role model for children who are minorities in that place. this role fosters children’s character such as curiosity, religion, discipline, responsibility, tolerance, peace-loving, democratic, caring and responsibility. mujiburrahman (2019) wrote that qualified educators should be taught religious education, namely individuals who are pious and have good morals and behavior. this is inseparable from the religion teacher’s leading role, namely as a guide and role model. parents’ educational contribution in developing children’s character parents in kampong gayau emphasize islamic education for their children in practicing worship, faith, and morals. the primary practices that are taught are prayer, reading the al-qur’an, and fasting ramadan. this finding is reinforced by the results of an interview with mt (40 years old), which states that: “sometimes studying with children about islamic education, the most emphasized is that of praying on time, then reading the qur’an. for teaching, they can only teach as much as they can or what is known, and the rest is given to ustad-ustad who are in the mosque and the child’s formal environment. we convert still do not understand much about islam, the barriers to work take up our time with children so that learning time with children can only be done at night, even though the 204 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) children are still under supervision”. mm (38 years old) also stated the same thing: “its contribution is to provide teaching to children in the form of tadarus together, congregational prayers, providing an introduction to the fasting of ramadan, giving guidance on islamic teachings, not forgetting that parents also punish children for not performing prayers, tadarus, and so on.” the involvement of parents exemplifies the practice of worship and contributes to fostering religious character in children. apart from that, parents’ contribution in the form of supervision and punishment can also be seen in the interviews’ results. the statement of the parent in question was confirmed by the child of aa (8 years old) in the following interview data: “i learned tadarus together with my parents, prayed in congregation too ..., did not do the task of being whipped, ear jewing, pinching ...”. furthermore, the observation results show that when a child wants to break his fast for no reason, the child’s parents give a warning by asking for explanations and then advising him. however, when the child still wants to break the fast, the mother scolds the child and even gives a pinch until the child cries. however, after the child was silent, the mother then apologized, then the child said: “forgive aina, mother. aina is wrong. aina breaks the fast for no reason, even though aina is already a big girl and can fast. “ based on this data, it can be assumed that parents give punishment if deemed necessary and provide an example of apologizing after punishing. the parents’ punishment can be considered corporal punishment because the punishment is given to one or several limbs, for example, pinching and pinching. even though it looks successful and shapes children’s behavior, 205the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) physical punishment has negative effects, both short and long term. for example, children exhibit behavior that parents want. still, children do not want it altogether, and the children will learn that problem solving can be done by attacking one or more limbs so that children are prone to forming aggressive behavior; punishment is not a form of discipline, but instead leads to violence; as well as negatively impacting the mental health of children (gershoff, 2002; marshall, 1965; rimal & pokharel, 2013). the research conducted by ma’arif (2018) explained that punishment as one of the strategies in character education is to cultivate the character of purity to allah. the punishment given is preventive to maintain children’s behavior to continue to act according to ethical values in character education. punishment is deemed necessary because humans have destructive instincts, so it is essential to control this behavior. on the other hand, retnadi et al. (2016) wrote that children could be punished, primarily if they were related to religious matters. however, especially for children aged 4-6 years old, parents need to avoid punishment. this condition is caused at the age of 4-6 years old, and children tend to be obedient and cooperative so that gifts are more needed. based on various perspectives related to punishment, parents need to be wise. if punishment is considered an inappropriate method and causes more harmful effects, then punishment should be avoided. although punishment is deemed necessary in character and religious education, the punishment used is educational, not destructive, and leads to violence. moreover, punishment in religious education will be vulnerable to cause children to associate religion with violence. thus, children will interpret religion as something scary. meanwhile, asking the reasons for religious violations by children and advising them is considered more effective than giving punishment. asking the reasons for violating religious behavior in children prioritizes open communication so that children feel heard and appreciated. besides, 206 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) children will learn that problem solving is best done by opening up twoway communication spaces. on the other hand, parents’ attitude asking for children’s violations also teaches children that problem-solving is not through violent behavior. another role of parents is to instill discipline in children in worship. as is the case with observations, parents invite their children to pray in congregation at the mosque. in addition, they invite their children to do tadarus or recite the qur’an together after congregational prayers at home or the mosque. observations also show that parents ask their children to clean the neighborhood with other residents every friday morning. parents also teach children to mingle with other residents even though they are of different religions and teach children not to criticize other religions. based on these observational data, parents give lessons accompanied by examples. parents’ actions provide an example of cleaning the surrounding environment, teaching children to be tolerant, responsible, and taking social care roles in society and religion. in addition, cleaning the environment together teaches children disciplined behavior for healthy living. giving examples to children is important because children need a real picture of each experience they get. thus, orders alone are considered insufficient to have a practical impact on children. therefore, parents provide examples to children while inviting them to do something, causing them to get a real picture. thus, children do not feel heavy and have difficulty behaving according to their parents’ wishes. this study’s results are in accordance with the opinion that the child’s behavior can be influenced by the level of parental religiosity and a cohesive religious environment at home (bartkowski, xu, & levin, 2008). the presence of religious conditions also affects the emotional and cognitive development of children. children’s exposure to religious knowledge can teach them to think more rationally than children who are not exposed to religious knowledge (corriveau, chen, & harris, 2014). 207the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) parents in kampong gayau teach religious knowledge and teach children how to live socially interacting in society. as stated by mt (40 years old) in the following interview: “i always take my children to the surau, hang out with the community so that they understand the meaning of life. besides, i also enjoy giving lessons to exchange ideas or tell stories with children, spend time every night to know about their activities both at school and at home. with the discussion, the atmosphere can be more relaxed and easier for children to chat with us about activities or other things.” the same thing was said by mm (38 years old) that parents teach about social interactions in everyday life. besides, parents also listen to children’s stories about their daily lives: “i always talk with children about various things to make it easier for us to share stories about the child’s daily life and other things, this makes it easier for me to monitor my child’s daily life, and by talking, the child is more open in conveying anything.” apart from the parents’ two statements, the results of the interviews with the children also obtained information that they stated that they were happy to talk with their parents. these activities are sometimes interspersed with jokes. “makcik and pakcik know what i want, and i am happy when having a conversation, always give advice and tell stories about ancient times, i understand and learn a lot.” the interview results with mr. aa (51 years old) reinforce the child’s statement that children like to share stories with their parents. “children always share their stories with me in their spare time. it makes the children and me closer, and i can monitor their activities when they tell the stories. after that, i just give advice which is good and bad for them”. 208 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) these data show that the character development of children with parenting skills. children trust their parents about what they want. this relationship fosters an attitude of honesty, trust, and openness in the child. giving advice, coupled with ancient stories, instills a profound message in children. it is in accordance with the principle of memory metaphor, which says that a thousand words can be represented by one picture, a story can represent a thousand pictures. this means that character development efforts are much more effective with stories (ready & burton, 2010). in addition to instilling character, children are also trained to listen to information through telling stories. willingness and listening skills are the basis for social interaction in society. parents who give freedom to children to tell stories can train and get children to express their opinions. in addition, it can also introduce children to discuss. thus, the closeness of parents with children can be well established. in the end, parents are comfortable providing education to children. besides, parents also find it easy to supervise children because children are willing to tell stories about their daily lives without being forced. parents and children are a unity that cannot be separated in the family environment. jalaluddin (2002) wrote that parent and child are bonds of the soul separated by the body but united in eternity and emotional bonds. no one can break this bond apart. the form of emotional connection between children and parents is reflected in the behavior between children and parents. the greater the emotional bond between parents and children, the closer and more significant the quality of the relationship between them. one form of closeness is the openness between parents and children. it is also stated by kurniawan (2015) that there must be an intense relationship with each other in a family, be it between father and mother, father and son, and between child and child. in line with this, suciati (2016) 209the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) states that parents should often meet and communicate with children so that these encounters can positively impact children’s behavior. the involvement or contribution of parents in supporting the development of children’s character is needed. as has been written by hornby (2011), parental involvement is defined as a form of parental participation in their children’s education, processes, and experiences. parental participation in question is such as listening to children’s stories and monitoring their behavior. the family very much determines the development of children’s character. hyoscyamina (2011) writes that parents’ role in educating children has a significant influence on their development process. likewise, satriah et al.(2019) argue that increasing parents’ parenting skills positively impact children’s character. in addition, positive parental behavior can also shape positive behavior in children. so, the child’s character is well developed (hossain, huq, adhikari, zai, & haque, 2015). there are several forms of parenting skills, such as giving examples to children and listening to children’s stories. based on this description, it is known that parents have contributed to the development of children’s character through the role of supervision, giving punishment, teaching how to socialize in the community, giving examples, and listening to children’s stories. the contribution made can foster children’s character, such as being religious, tolerant, disciplined, responsible, caring, and honest. child character development process preachers carry out the development of children’s character through islamic education to children. the islamic education is carried out every evening at the al-gayauwi mosque. while playing, the method of learning is the preacher’s method in conveying the teachings of faith, morals, and worship to children. this is based on the results of an interview with mt 210 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (40 years old), a resident who stated that the children of kampong gayau were diligent in going to the mosque because the preacher taught by the playing method. this statement was reinforced by hs (39 years old): “we teach children the play method. the learning process begins with the children neatly lining up and then given the material. the material was delivered once then the children competed to repeat the material that had been given. this method is carried out with the aim that children quickly grasp the knowledge given.” the same thing was also expressed by sp (45 years old) that the method used for the children’s learning process is the learning while playing method: “the learning process uses the learning-while-playing method, which results in making children catch learning faster.” these findings indicate that the play method’s application increases children’s interest and understanding of the material presented. holis (2016) ‘s research results show that children are able to develop their potential and abilities optimally when the learning process uses the learning while playing method. the use of knowledge while playing methods can increase success in providing education because children will indirectly imagine themselves. in addition, the use of this method is an opportunity for children to hone their thinking and creativity. furthermore, rohwati (2012) wrote that learning while playing children is freer and more flexible in capturing knowledge. while playing, the learning method also causes children to feel less burdened with material that is prone to provoke boredom in learning. according to khasanah, prasetyo, & rakhmawati (2011), playing is not only a pleasure but has become a necessity for children, so it is important to be fulfilled. while playing, the learning method can encourage children to practice skills that lead to cognitive development, psychomotor development, children’s language development, and physical 211the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) development. the playing method applied by the preacher also has an impact on the development of children’s character. it increases children’s curiosity and fosters a democratic attitude or understanding of everyone’s equal rights through preaching competitions. in addition to playing methods, preachers also use communicative language in teaching children. the use of communicative language makes it easy for children to understand the material presented by the preacher. this can be seen from the dialogue quotations about the religious practice that reflect children’s curiosity to ask questions about halal and haram laws. children are active in asking questions and responding to the things conveyed by the preacher. the following is an excerpt from the conversation between the cleric and the children: aa (11 years old) : "ustad, why are muslims forbidden to eat pork while non-muslims are justified?" sp (45 years old) : “because it is regulated in islamic law that eating pork is haram. pigs contain many worms, if we eat them will make us sick, because god loves us, eating pork is illegal." aa (11 years old) : "oh, that's right, ustad?" sp (45 years old) : “right.” n (12 years old) : "his nose is also ugly." sp (45 years old) : "yes, that's right. as well as drinking prohibited alcohol as it can damage the body and loss of consciousness. " n (12 years old) : "i am very happy to study religion term because in islam everything already has rules, it is not difficult for us to make our own rules because there is already the quran and sunnah" the dialogue illustrates the fact that the preacher is communicative in carrying out his role. the preacher answered the questions asked by the children with answers that the children could understand. the research 212 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) result of ermadwicitawati, sudiana, & sutama (2013) shows that language is closely related to the ability to understand children. communicating with children needs to use the simple language according to child development and communicative. this was also expressed by makruf (2017) that besides affecting understanding, language also impacts children’s motivation in listening to the material given. after giving material, the child is then invited by the preacher to realize the material with the help of a friend who is in front of or behind him as the application object. the interview results with sp (45 years) said that children were invited to practice the material being taught, such as prayer practices, manners, and addressing diversity. the observation reinforces that after children receive material about good and correct manners, children are immediately asked to practice it by their friends acting as parents and then talking to them based on excellent and accurate manners that have been taught. this practice method is called role play. this method causes children to have the motivation to attend religious education. like the research results samsibar & naro (2018) and saptono (2010), learning methods with role play can arouse children’s motivation and improve children’s learning outcomes. the results of the role-play method can be seen from the behavior of children towards their parents. for example, based on observations, when a child sees a parent needing help, the child then offers to help and immediately helps. besides, according to ff (11 years old), it is imperative to help parents. “helping the parents’ work is mandatory and cannot be denied. in fact, by just saying ‘ah’, then the child will sin.” parents also practice methods of practice. however, before teaching children, parents first understand islam and then transfer the child’s knowledge. one example is that parents introduce ramadan fasting to 213the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) their children and explain its benefits. then, parents invite children to practice fasting. this practice and habituation method is in line with that proposed by fatiha (2018), one of the principles in developing children’s character is exemplary practice and habituation. the same thing was expressed by yusuf (2016). character learning can be done through habituation in the form of speech in learning prayer sentences and habituation in the form of behavior, such as prayer and fasting activities. the habits that are instilled from childhood will develop into characters when they grow up. they will do the things that have been taught automatically, with their awareness without others’ orders or coercion (mulyani, 2019). based on these data, it can be understood that the character-building by the preacher uses the play method, the use of communicative language, and practices the material that has been taught directly. meanwhile, parents foster children’s character by deepening knowledge first and then teaching it to children. after that, parents invite children to practice it through habituation. in addition, parents also punish children when children violate religious rules and behave, deviating from good character. children’s character education’s success is a shared responsibility between the school, community, and parents (kurniawan, 2019; mulyani, 2019; retnadi et al., 2016). preachers and parents carry out efforts to develop children’s character through religious learning with social insight. the use of communicative language (in this case, malay) and the learning process through practices associated with everyday life in society are examples of the implementation of community-based learning. this method is a learning method that uses various potentials/resources in the community to develop their potential and practice it in everyday life (hadi, 2019). an example of community-based religious learning is that children are invited 214 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to interact socially with people of different religions. in addition, parents invite their children to work together with other communities to foster a character of togetherness and care. the preacher’s religious education process is different from mono religious education in the teaching process in general in formal schools. monoreligious education has a weakness; namely, it does not recognize the plurality of religions as expressed yusuf (2020). preachers and parents carry out efforts to develop children’s characters through religious learning with social insight. the use of communicative language (in this case, malay) and the learning process through practices associated with everyday life in society are examples of the implementation of community-based learning. this method is a learning method that uses various potentials/resources in the community so that students are able to develop their potential and can practice it in everyday life. barriers to child character development in this process, it is not uncommon for preachers and parents to experience obstacles. sf (45 years old) revealed various obstacles he encountered, example children were still difficult to manage, and sometimes children still had difficulty understanding the explanation from the preacher. however, these obstacles are a modality for preachers and parents in improving learning methods. apart from barriers that come from children, there are also barriers from the parents’ personality. as expressed by parents, parents are constrained by a lack of understanding of islam as a convert (mm, 38 years old). in addition, parents’ limited time due to their focus on work to fulfill family income is also an obstacle to assisting the child’s learning process (mt, 40 years old). however, they still tried to study religion and teach it to their children. this can be seen from the observation that the community asked to form a special assembly and understand islamic teachings, such as the koran, prayer, dhikr, azan, and other knowledge. 215the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this phenomenon indicates that parents in kampong gayau have the enthusiasm to explore religious knowledge as provisions for themselves and their children. research result makruf (2017) stated that parents and teachers should have the same understanding and vision in building children’s character. character education is not only the responsibility of one party but is a joint responsibility of parents, schools, and the community, especially preachers (kurniawan, 2019; mulyani, 2019; retnadi et al., 2016). stated that parents and teachers should have the same understanding and vision in building children’s character. character education is not only the responsibility of one party but is a joint responsibility of parents, schools, and the community, especially preachers (mujiburrahman, 2019). besides, rozana et al. (2017) argue that parents should recognize the characteristics and needs of children because these two things greatly influence the parenting style and educational methods provided. if the parenting style and educational practices are not in accordance with the child’s characteristics or needs, it will trigger conflict between parents and children. thus, it can have a negative impact on children. the most appropriate parenting patterns and educational methods are authoritative patterns. authoritative patterns are patterns of care and education carried out by parents by providing good direction and assistance to children to not appear to be pressing (baumrind, 1966, 1991). conclusion and suggestion conclusion mubaligh in kampong gayau pantu sri aman sarawak malaysia provides religious education, faith, and morals for children of minority groups, converts, and other muslim communities. the role played by the preacher is as a guide, motivator, and role model. mubaligh and parents carry out community-based religious learning according to the needs and age of the child. parents’ role is to explore religious knowledge 216 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) first, then teach children through practice, habituation, and punishment. several characters begin to appear, including religious attitudes, discipline, tolerance, responsibility, curiosity, caring, peace-loving, and honesty. the dominant characters are religious and tolerant. suggestion suggestion for parents in kampong gayau is to improve time management to have sufficient time to accompany the children’s learning process. in addition, parents should not give punishment to children and prioritize open communication for problem-solving. punishment has a negative impact that outweighs the positive effect. suggestions for preachers are to use more varied learning methods and be adapted to the conditions of children’s development, both cognitive, affective, and moral development of children. suggestions for future researchers are to use another approach to find out the level of each character that is formed. references aeni, n. a. (2014). pendidikan karakter untuk siswa sd dalam perspektif islam. mimbar sekolah dasar, 1(1), 50–58. https://doi. org/10.17509/mimbar-sd.v1i1.863 bandura, a. (1977). social learning theory. new york, usa: general learning cooperation. bartkowski, j. p., xu, x., & levin, m. l. (2008). religion and child development : evidence from the early childhood longitudinal study. social science research, 37(1), 18–36. https://doi. org/10.1016/j.ssresearch.2007.02.001 baumrind, d. (1966). effects of authoritative parental control on child behavior. child development, 37(4), 887–907. https://doi. org/10.2307/1126611 217the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) baumrind, d. (1991). parenting styles and adolescent development. in j. brooks-gunn, r. lerner, & a. c. petersen (eds.), the encyclopedia of adolescent (vol. 2). new york, usa: garland. berkowitz, m. w., & hoppe, m. a. (2009). character education and gifted children. high ability studies, 20(2), 131–142. https://doi. org/10.1080/13598130903358493 chaer, m. t., wasim, a. t., & khilmiyah, a. (2019). character education for single parent children in the quran. proceedings of the 1st annual internatioal conference on social sciences and humanities (aicosh 2019), 36–39. https://doi.org/10.2991/aicosh-19.2019.7 corriveau, k. h., chen, e. e., & harris, p. l. (2014). judgments about fact and fiction by children from religious and nonreligious backgrounds. cognitive science, 39(2), 353-382. https://doi. org/10.1111/cogs.12138 darmawati, d., tolla, a., & maman, m. (2017). the study of parents’ words, behavior and attitude as the means to build the children’s character in bulukumba regency. journal of language teaching and research, 8(4), 750-755. https://doi.org/10.17507/ jltr.0804.14 ermadwicitawati, n. m., sudiana, i. n., & sutama, i. m. (2013). pengembangan materi ajar cerita anak yang mengandung pendidikan karakter pada pembelajaran membaca cerita anak smp kelas vii di singaraja. jurnal pendidikan dan pembelajaran bahasa indonesia, 2, 1–11. fatihah, i. (2018). peran nahdatul ulama (nu) dalam bidang pendidikan karakter. al-tarbawi al-haditsah: jurnal pendidikan agama islam, 3(2), 1–18. https://doi.org/10.24235/tarbawi.v3i2.3116 gershoff, e. t. (2002). corporal punishment by parents and associated child behaviors and experiences: a meta-analytic and theoretical review. psychological bulletin, 128(4), 539–579. https:// doi.org/10.1037//0033-2909.128.4.539 hadi, a. (2019). membentuk anak berkepribadian handal melalui pendidikan kemasyarakatan. jurnal kariman, 6(2), 281–288. holis, a. (2016). belajar melalui bermain untuk pengembangan kreativitas dan kognitif anak usia dini. jurnal pendidikan universitas garut, 9(1), 23-37. 218 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hornby, g. (2011). parental involvement in childhood education: building effective school-family partnerships. new york, united states: springer. hossain, s. m., huq, s., adhikari, b., zai, s. z. e., & haque, s. m. t. (2015). parenting skills and child behavior: a cross-sectional study in some selected areas of nepal. southeast asia journal of public health, 5(1), 44–48. https://doi.org/10.3329/seajph. v5i1.24851 hyoscyamina, d. e. (2011). peran keluarga dalam membangun karakter anak. jurnal psikologi, 10(2), 144–152. https://doi.org/10.14710/ jpu.10.2.144-152 jalaluddin. (2002). psikologi agama. jakarta: rajagrafindo persada. katz, d., & kahn, r. l. (1966). the social psychology of organizations. new york, united states: wiley. khambali, k. m., yon, w. a. w., & sintang, s. (2014). toleransi dan pluralisme menurut pengalaman masyarakat bidayuh. jurnal usuluddin, 40, 99–134. khasanah, i., prasetyo, a., & rakhmawati, e. (2011). permainan tradisional sebagai media stimulasi aspek perkembangan anak usia dini. paudia: jurnal penelitian dalam bidang pendidikan anak usia dini, 1(1), 91–105. https://doi.org/10.26877/paudia.v1i1.261 kurniawan, m. i. (2015). tri pusat pendidikan sebagai sarana pendidikan karakter anak sekolah dasar. pedagogia: jurnal pendidikan, 4(1), 41–49. https://doi.org/10.21070/pedagogia.v4i1.71 kurniawan, s. (2019). pantang larang bermain waktu magrib (kajian living hadis tradisi masyarakat melayu sambas). jurnal living hadis, 4(1), 1-26. https://doi.org/10.14421/livinghadis.2019.1629 lickona, t. (2014). pendidikan karakter; mendidik untuk membentuk karakter. bandung: nusa media. ma`arif, m. a. (2018). analisis strategi pendidikan karakter melalui hukuman preventif. ta’allum: jurnal pendidikan islam, 6(1), 31–56. https://doi.org/10.21274/taalum.2018.6.1.31-56 mahfud, m., & kertamukti, r. (2016). desain komunikasi dakwah visual animasi 2d untuk anak (studi deskriptif kualitatif di sdn monggang pendowoharjo sewon bantul). profetik jurnal komunikasi, 9(2), 45–64. 219the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) makruf, s. a. (2017). strategi dan metode pendidikan anak dalam membangun generasi berkarakter islami. ajie asian journal of innovation and entrepreneurship, 2(3), 364–369. mardliyah, a. a., & rozi, s. (2019). karakter anak muslim moderat: deskripsi, ciri-ciri dan pengembangannya di lembaga pendidikan anak usia dini. tarbiya islamia : jurnal pendidikan dan keislaman, 8(2), 231-246. https://doi.org/10.36815/tarbiya. v8i2.476 marshall, h. h. (1965). the effect of punishment on children: a review of the literature and a suggested hypothesis. the journal of genetic psychology: research and theory on human development, 106(1), 23–33. https://doi.org/10.1080/00221325.1965.10533077 misran. (2016). peran mubaligh dalam penerapan ajaran islam pada remaja masjid al-khaerat desa teteasa kecamatan angata kabupaten konawe selatan, skripsi (unpublished). kendari: iain kendari. mujiburrahman, m. (2019). state and religion in aceh: the competences of religious education teachers (referring to act 14, 2005). alalbab, 8(1), 83-100. https://doi.org/10.24260/alalbab.v8i1.1330 mulyani, s. (2019). peran ibu dalam pendidikan karakter anak menurut pandangan islam. an-nisa, 11(2), 511–525. https://doi. org/10.30863/annisa.v11i2.336 piaget, j. (1952). the origin of intelligence in children. new york, united states: oxford university press. raganas, n. s., & pelaez, c. (2016). parents’ cognitive and affective interactions in the character development and aspirations of children engaged in labor in butuan city, philippines. annals of studies in science and humanities, 2(1), 26–35. ready, r., & burton, k. (2010). neuro-linguistic programming for dummies (2nd ed.). hoboken, new jersey, united states: john wiley & sons. retnadi, w., hayu, r., & uswatun, d. a. (2016). integration of school and family as min character education in early childhood. international seminar on education: education trends for future society, (august), 45–51. 220 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rimal, h. s., & pokharel, a. (2013). corporal punishment and its effects in children. journal of kathmandu medical college, 2(3), 156–161. https://doi.org/10.3126/jkmc.v2i3.9968 rohwati, m. (2012). penggunaan education game untuk meningkatkan hasil belajar ipa biologi konsep klasifikasi makhluk hidup. jurnal pendidikan ipa indonesia, 1(1), 75-81. https://doi.org/10.15294/ jpii.v1i1.2017 roqib, m. (2008). pendidikan seks pada anak usia dini. insania: jurnal pemikiran alternatif pendidikan, 13(2), 271–286. https://doi. org/10.24090/insania.v13i2.298 rozana, a. a., wahid, a. h., & muali, c. (2017). smart parenting demokratis dalam membangun karakter anak. al-athfal: jurnal pendidikan anak, 4(1), 1–16. https://doi.org/10.14421/alathfal.2018.41-01 saleh, a. (2012). peran muballigh dalam pembinaan remaja. jurnal dakwah tabligh, 13(2), 227–234. https://doi.org/10.24252/jdt. v13i2.306 samsibar, s., & naro, w. (2018). the effectiveness of role play method toward students’ motivation in english conversation. eternal (english, teaching, learning and research journal), 4(1), 107–116. https://doi.org/10.24252/eternal.v41.2018.a8 saptono, l. (2010). the implementation of role-playing model in principles of finance accounting learning to improve students enjoyment and students test scores. finance & accounting journal, 12(2), 71-81. https://doi.org/10.9744/jak.12.2.pp.71-81 satriah, l., tajiri, h., & yuliani. (2019). parenting skills untuk membangun karakter anak: aplikasi dakwah melalui bimbingan kelompok. bandung: prodi manajemen dakwah universitas islam negeri sunan gunung djati bandung. shiddiq, m. (2020). kasus anak berhadapan dengan hukum terbanyak dilaporkan ke kpai. retrieved february 12, 2020, from gresnews.com, wesbite https://www.gresnews.com/ berita/isu_terkini/117602-kasus-anak-berhadapan-denganhukum-terbanyak-dilaporkan-ke-kpai/#:~:text=komisi%20 perlindungan%20anak%20indonesia%20(kpai,berhadapan%20deng an%20hukum%20(abh).&text=menur ut%20 221the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) komisioner%20kpai%20retno%20listyarti,sejak%202011%20 sampai%20tahun%20lalu. shobihah, i. f. (2014). kebersyukuran (upaya membangaun karakter bangsa melalui figur ulama). jurnal dakwah: media komunikasi dan dakwah, 15(2), 383–406. https://doi.org/10.14421/jd.2014.15208 suciati. (2016). psikologi komunikasi: sebuah tinjauan teoritis dan perspektif islam. yogyakarta: buku litera. ulfah, s. m., wahyuni, s. a., & hawasyi, l. h. (2019). nilai tanggung jawab sebagai karakter anak negeri melayu jambi yang bersendikan syara’ dan syara’ bensendikan kitabullah. smart kids: jurnal pendidikan isam anak usia dini, 1(1), 1–8. warisyah, y. (2015). pentingnya “pendampingan dialogis” orang tua dalam penggunaan gadget pada anak usia dini. seminar nasional pendidikan, 130–138. yusuf, m. (2020). why indonesia prefers a mono-religious education model? a durkheimian perspective. al-albab, 9(1), 37–54. https://doi.org/10.24260/alalbab.v9i1.1555 yusuf, m. (2016). pendidikan karakter pada anak usia dini: perspektif pendidikan islam. elementary: jurnal ilmiah pendidikan dasar, 2(1), 13–18. 222 the role of mubaligh and parents in growing children’s character in kampong gayau sarawak malaysia edhy rustan, miftahul jannah akmal al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 193 222, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2374 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq* moch. imron rosyidi universitas muhammadiyah magelang keywords: emotion; motivation; prank https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh correspondence: e-mail: *akuamrulhaq@ummgl.ac.id , imron.rosyidi@ummgl.ac.id abstract this study aims at understanding the motivations and emotions of prank proprietors. the prank phenomenon that is now gaining popularity in society is seen as something that causes material losses such as money and goods as well as immaterial such as trauma and distrust. the informan of this study are 3 (three) youtubers who have created prank content and uploaded it to youtube (prank proprietors). this research was conducted in dki jakarta and central java. the data were collected through a phenomenological approach by conducting interviews to focus more on the concept of a phenomenon. the results show that there are two types of pranks: the pranks that go beyond the boundaries of fairness that potentially harm others and the pranks that go on the verge of fairness that does not harm others. the actors produce pranks to make entertaining content, hone creativity, and get financial profits. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 214 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi dan emosi pelaku “prank.” fenomena “prank” yang berkembang di masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang banyak menimbulkan kerugian baik yang bersifat materiil seperti uang dan barang maupun yang bersifat immateriil seperti trauma dan ketidakpercayaan terhadap sesuatu. subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga youtuber yang pernah membuat konten “prank” dan diunggah ke youtube dari pelaku “prank”. penelitian ini dilaksanakan di provinsi dki jakarta dan provinsi jawa tengah. pendekatan fenomenologi dengan teknik wawancara dipilih sebagai metode pengumpulan data karena penelitian ini lebih difokuskan pada konsep sebuah fenomena. hasil penelitian menunjukkan fenomena “prank” terbagi menjadi dua jenis, yaitu “prank” di luar batas perilaku kewajaran dan merugikan orang lain dan “prank” di ambang batas perilaku kewajaran tanpa merugikan orang lain. tujuan pelaku membuat konten “prank” antara lain keinginan untuk membuat konten hiburan, mengasah kreativitas, dan memperoleh keuntungan finansial. kata kunci: emosi; motivasi; prank how to cite this (apa 7th edition): haq, a. l. a. & rosyidi, m. i. (2021). analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(2), 213–240, https://doi.org/10.22515/al-balagh. v6i2.3501 introduction the ministry of communications and informatics (kemkominfo) revealed that indonesia’s number of internet users had touched 63 million. among them, 95 percent were using the internet to access social networks (kominfo, 2013). one of the most prevalent communication technology adopted by indonesian society is the mobile phone. the advancement of technology has evolved the mobile phone into a smartphone that enables us to access many internet apps, such as whatsapp, instagram, and youtube. 215analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) youtube is one of the most popular apps to find and watch current events and share various videos (katadata, 2019). in particular, youtube is particularly appealing to creative persons with expertise in video production, whether short films or vlogs. youtube is simple to use, requires little upkeep, and is accessible at any time and from any location. the prank is one of the youtube video genres growing popularity these days. the prank movement has created an abundance of opportunities for youtubers to express their creativity. additionally, they appear to be embracing the prank video as a surefire way to increase subscription numbers. prank in research refers to burris & leitch (2018) has a similar context to an attempt at fraud and is documented for a specific purpose. in some situations, these are referred to as ‘social experimentation’ activities, but numerous ulterior reasons range from economics (chusna, 2021) to sadistic efforts (burris & leitch, 2018). it is interesting to understand the prank phenomenon from the perspective of mental health. yusuf (2018) explains that one of the indicators of mental health problems among children and youths in the presence of behaviors that could potentially harm other individuals, which could be triggered by biological, psychological, or environmental factors. the prevalent mental health problems within society must be dealt with so that material (technological) advancement can be balanced by spiritual improvement. several studies about prank bullying have been conducted by indonesian scholars and have resulted in interesting findings. a study of the many sorts of cyberbullying on social media and how to prevent it discovered seven distinct forms of cyberbullying: flaming (online disagreement), harassment, denigration, impersonation, deceit, exclusion, and cyberstalking (rastati, 2016). 216 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the french philosopher jean baudrillard asserts that human often fails to interpret phenomena in the virtual world. consequently, it makes them live in a pseudo-reality. furthermore, it sometimes leads to identity loss and even conflict (baudrillard, 2000). thence, it could be assumed that the digital prank content creators could potentially generate pseudo-reality simulations, which baudrillard terms as hyperreality. these issues, however, should be taken into consideration as it has become a severe problem in digital reality. another study explored the issue of cyberbullying among early teenagers. a quantitative-descriptive research studied 157 male and 195 female teenagers, revealing that 78% of the respondents had witnessed cyberbullying, 21% had done cyberbullying, and 49% had become victims. most of the acts of bullying were committed through text, voice, or picture (sartana & afriyeni, 2017). a paper titled “the analysis of creative strategies and objectives of youtube content: a case study of yudist ardhana’s prank content” examined the perspective of prank content creators. the research found that ardhana’s creative strategy is unique, as he attempts to show his true-self so that his viewers are entertained and not bored by his pranks (cecariyani & sukendro, 2019). dahlia’s (2019)study focuses on the islamic law on pranks. in prank phenomenon on the perspective of hadith: a study of ma’ani al-hadith index no. 5004 through socio-historical approach, she argues that the hadith is valid (sahih li dzatihi) in terms of sanad (the chain of narrators) or matan (the text). the hadith (kehujjahan) argument is maqbul ma’mulun bihi, i.e. it is approvable and could be practiced and categorized as marfu’ hadith. the study emphasized the use of hadith in perceiving pranks from the islamic law perspective. marks & davis (2014) believe that hoaxes and pranks have become this millennial era’s moral problems. the ease of access to social media 217analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) encourages people to be the first to create something. however, the freedom of expression and speech in public space is each individual’s right, with certain boundaries so that it will not harm other people. the study of az zahra & haqs (2019) found that the perpetrators of bullying in schools seek attention, respect, fairness, and a certain kind of satisfaction. the explanations above imply that the psychological aspects of digital prank or bullying, particularly the motivation and the emotion of the prank perpetrators, have not yet been explored. however, the rapid growth of information technology has encouraged deviant social behavior. the most alarming thing about pranks is that they make society unable to decide which events are real and fake. therefore, society needs to understand the motives of the content creators in producing prank content. methods the information is three youtubers who created and uploaded prank content to their channel. they are known to the public as prank perpetrators or pranksters (pelaku prank). the study was conducted in two provinces, dki jakarta and central java. we employed a phenomenological approach to gathering the data by conducting interviews. due to the qualitative character of this study, which places a premium on depth and quality, it was assumed that the three informants could adequately represent youtube content makers. qualitative research is more concerned with the richness, interweaving, and sensation of raw data. the inductive technique develops a thorough knowledge, and generalizations are produced regardless of the amount of data collected (neuman, 2013). ‘informants were selected using a purposive technique, based on particular criteria, including the amount of subscribers, those with over 1,000 subscribers, the prank video they generated, the most-watched prank content, and instagram followers. 218 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) we used the semi-structured interview, a type of in-depth interview, which is more flexible than the structured interview, as the instrument of data collection (ghony & almanshur, 2012). the objective of the interviews is to identify the real problems by exploring the opinions and ideas of the interviewees (moleong, 2017). the informants asked two main groups of questions, namely the motivation to create pranks and the emotion they experienced after executing the pranks. the researcher conducts the interviews by compiling an interview guide through the existing theoretical concepts. in the communication science approach, baudrillard (baudrillard & wahyudi, 2000; dalimu, putra, & azi, 2020) suggests starting research by first looking at the social context. this means that the researcher begins by conducting an observational and literature study to get a practical operational framework in analyzing the data generated from the in-depth interviews in the context of a qualitative approach. this is called technical triangulation i.e. getting data through digital observation and literature study the process began by analyzing all data available by performing bracketing, reduction, clustering, labeling, and textural description (az zahra & haq, 2019). the bracketing process included the following steps: taking notes on all pertinent information gathered during the interviews; reduction, which involved selecting information relevant to the research topic; clustering, which involved grouping similar information obtained from the three informants; labeling, which involved categorizing the data into motivational and emotional dimensions; and textural description, which involved describing the collected data in terms of the study’s focus. afterward, the data were validated by the informants. the validation process allowed us to involve in a deeper discussion and explore uncollected data (grbich, kitto, & chesters, 2008). referring to (grbich et al., 2008), a researcher can utilize this time to validate the data; to inform informants on how the raw data will be evaluated and presented, and to 219analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ensure the data’s quality while also ensuring that the data presentation fits the researchers’ and informants’ perspectives.. results and discussion based on the research results, the following is presented about the identity of each research informant and their background. table 1. identity and background name identity and background f the informant is 27 years old, works in a private company every day, initially interested in entering the youtuber world at the end of 2019 because the informant has a hobby of video editing. being a content creator is not the main job of the informant; within a month, the informant targets one content to be uploaded. the inspiration obtained by the informants came from the content of foreign creators. i the informant is 20 years old and still in college. the courses taken are in line with the preferences of the informants fiddling with pictures/videos. informants take advantage of the knowledge learned in the lecture process to increase income. in addition to getting good grades, informants also bring financial benefits from videos uploaded to youtube. there is no target for uploading to the youtube channel because the main job is studying. p the informant is 22 years old and does not have a permanent job other than creating content uploaded to youtube. at first, he saw friends start to dive into the world of creator content. finding ideas, executing content, editing videos, and uploading them to a youtube channel usually takes one month. content ideas are generally obtained from videos that are viral and then modified so as not to harm the summary of the results of interviews with each research informant is presented in the following table. 220 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 2. research results name motivational aspect emotional aspect f for me, creating prank content is to hone my creativity, [to learn how to] manage the concept and the production of content with a nice plot and presentation so that it could entertain many people. there are fears and worries that my content will harm other people. therefore when creating content i always consider the pros and cons so that nobody will feel wronged by something i created. i the prank content i created is for getting more income from youtube. the content indeed fools people but there is no evil intent. the content ideas are usually obtained through [watching] trending videos. i usually feel anxious and embarrassed when executing the content that i have planned, worrying that the victims are going to be offended or hurt. p i create the content so that it will be seen by many people and [i] will get financial profits from them. i am more likely to produce entertaining prank content because there is some satisfaction [i feel] when teasing people. as long as i have thoroughly thought about the pros and cons of the content and that the content does not harm other people, then i will do it. the table above shows several topics asked during the interviews, such as the motivation behind creating the prank content, the benefits of creating the pranks, the idea of the prank content, and the worries felt by the pranksters when executing the pranks. the motivation behind creating prank content based on the results of the study, there were several motivations or incentives for the informants to do and create prank content. 221analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “my hobbies are photography and videography, the way i develop my hobbies is creating such content” (f7) informant f admitted that he made prank content because his hobbies were about photography and videography. prank content creation is considered as a means to develop content on their social media accounts. in addition, informant f also considers that making prank content is also a means of channeling and developing hobbies. “money, obviously” (i4) the informant i said that the creation of prank content was due to his desire to earn more money. this is because prank content is more liked by netizens. the more individuals who access the content, the more income will be earned. “[i can] get extra income if the video gets many viewers” (p9) as with informant i, informant p stated that his motivation for creating prank content stemmed from his desire to increase his social media followers. the more people who watch them on social media, the more opinions they receive. this is due to the fact that there is monetization. when motivation is viewed psychologically, there are two types: internal motivation and extrinsic motivation. intrinsic motivation is a form of motivation that originates within an individual, such as the psyche. extrinsic motivation originates external to the individual, such as money gain (benabou & tirole, 2003; poch & martin, 2015; ryan & deci, 2020). the motivations for creating prank content are likewise classified into two categories in the context of the three informants. money is a greater motivator for informant p and informant i, categorized as external motivation. meanwhile, informant f was driven by the desire to develop his video production skills and hobby distribution, and so his motivation was classified as internal motivation. 222 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the benefits of creating prank content while prank content is believed to be detrimental to the individual who is the subject of the prank, it is also considered to provide certain benefits to the creator. for instance, informant f stated that the hoax content he created could be entertaining to others. “by creating this [i make] many people entertained” (f13) another benefit was communicated by informant i. according to informant i, the benefit of creating prank content is that it generates enjoyment. indeed, informant i considered creating prank content as an alternative to simply sitting and doing nothing. “having fun, instead of just staying in the room and not doing anything, it is better to get productive by using our skills” (i12) as with informant i, informant p views creating prank content as a sort of entertainment. “just for fun” (p9) on the basis of this analysis, it can be stated that prank content providers benefit from a variety of advantages. for instance, making other people laugh and joy, seeking enjoyment for oneself, or using video content creation as a means of increasing productivity and expertise in creating video content. numerous advantages received by informants serve as positive reinforcement. positive reinforcement happens when individuals respond to being rewarded for their actions. when something positive occurs, it strengthens the individual’s resolve to repeat it. (baron & galizio, 2005, 2006). the three informants provide positive reinforcement in developing videography skills, channeling hobbies, and obtaining enjoyment and pleasure. this circumstance spurred the three of them to create more prank content. increased reinforcement will result in invulnerability in 223analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) addiction and excessive social media use (klobas, mcgill, moghavvemi, & paramanathan, 2018). the ideas of prank content the concept of making prank content originates from a variety of places. for instance, informant f developed the idea for prank content through thinking. apart from pondering, informant f gained inspiration from other prank videos. “sometimes it comes from contemplations i do after watching videos [created by users] from overseas” (f24) informants also got the notion to create prank content from the popularity of prank videos. then, informant i altered it to include additional prank stuff. “from the videos currently booming, so that i try to modify them” (i19) meanwhile, informant p got the idea of making prank content from browsing or looking at content on youtube . “[i get the ideas from] browsing youtube” (p14) based on the study results, it can be concluded that there are several sources of ideas for informants in making prank content, for example, from contemplation, watching prank videos, and then modifying them so that they become new videos. in the context of advertising, prank content can be considered as creativity (anindita, devani, & kusuma, 2021; cecariyani & sukendro, 2019; karpinska-krakowiak & modlinski, 2014). creativity is an action that arises from the perception of a stimulus, produces productive activities that challenge the thought process, and brings up something new in the form of physical objects or even mental or emotional constructions (walia, 2019). in line with walid (2019), 2019), runco & jaeger (2012) argues that creativity is related to originality. 224 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) however, if you look closely, the creation of prank content without any purpose, even just aiming to generate more viewers and money, cannot be considered as creativity that fits the context. according to isnawan (2021), creation of prank content without any reason may be considered antisocial behavior. antisocial behavior is often associated with destructive behavior and contains elements of delinquency or violence (santos, holanda, meneses, luengo, & gomez-fraguela, 2019). in addition, antisocial behavior also depends on the norms and values prevailing in an area (millie, 2008). this means, when the individual who is the target of a prank feels disturbed, offended, uncomfortable, and even physically and psychologically hurt, then the behavior of making the prank can be considered as antisocial behavior. according to research by jarrar, awobamise, nnabuife, & nweke (2020), pranks can cause a decrease in satisfaction in social interactions and family. this is because pranks, especially excessive pranks, are considered to have no respect for others and tend to be harmful. in addition, the target of the prank also has the potential to be embarrassed for being a victim and a target for ridicule. the worries when producing the prank content creating prank content doesn’t always go according to plan. several things become obstacles in creating prank content that raises the concerns of prank content creators. “[i feel] anxious anticipating whether or not it is different from what we have planned” (f23) informant f said he felt anxious and worried about various things that affected the making of prank videos. informant f is worried if the process of making a prank video doesn’t go according to plan. “[i am worried] if the victims disapprove and get offended” (i23) 225analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in contrast to informant f, informant i felt worried and anxious if the individual being the target of the prank disagreed and felt offended. “[i am worried if i get] reported to the police” (p15) similar to informant i, informant p is worried that the individual who is the target of the prank will be offended and then report it to the police. thus, informant i is vulnerable to being entangled in a criminal case. although the informants felt there was concern when creating prank content, these concerns were not strengthened because something they feared did not happen. instead, they get positive reinforcement, for example, increasing likes or viewers and pleasure. so, they keep making prank content. if something that was feared actually happened, then the incident became a kind of punishment for them. these penalties can reduce or even stop the behavior of creating prank content (crosbie, 1998; king, 2016). digital prank from psychology perspective based on the explanations above, the psychological dynamics of pranksters when creating prank content can be illustrated as follows: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 6, no. 2, july-december 2021, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi “[i am worried if i get] reported to the police” (p15) similar to informant i, informant p is worried that the individual who is the target of the prank will be offended and then report it to the police. thus, informant i is vulnerable to being entangled in a criminal case. although the informants felt there was concern when creating prank content, these concerns were not strengthened because something they feared did not happen. instead, they get positive reinforcement, for example, increasing likes or viewers and pleasure. so, they keep making prank content. if something that was feared actually happened, then the incident became a kind of punishment for them. these penalties can reduce or even stop the behavior of creating prank content (crosbie, 1998; king, 2016). digital prank from psychology perspective based on the explanations above, the psychological dynamics of pranksters when creating prank content can be illustrated as follows: figure 1. psychological dynamic of video prank maker the discussions above indicate that one of the motivations of the prank perpetrators is to create a show that entertains people. johanis et al., (2019) argue that the advancement of technology can encourage people to come up with ideas to prank perpetrator motivational aspect entertaining content honing creativity to seek profit negative emotional aspect extreme prank content (harming other people) positive emotional aspect appropriate prank content (entertainment) content example scaring people harmful prank content example flirting pretending that the prankster can’t sing figure 1. psychological dynamic of video prank maker 226 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the discussions above indicate that one of the motivations of the prank perpetrators is to create a show that entertains people. johanis et al., (2019) argue that the advancement of technology can encourage people to come up with ideas to produce entertainment through social media that inspires many people. williams, mckeown, orchard, & wright (2019) assert that creating shows liked by many people will improve social relations, which is why positive and inspirational content appeals to many people. as a result, the works of the content creator will always be anticipated by the viewers. nonetheless, creating prank content to entertain the viewers requires a particular type of brilliance. another reason the pranksters create prank content is to hone their creativity. before executing the prank, the pranksters or the content creators will plan it thoroughly, including where to put the cameras and the position of the target/victim, which requires a high level of creativity. shane & heckhausen (2019) argue that the more a content creator produces prank content, the higher their motivation will be, as she will feel respected by other people. as a result, she will be eager to create more high-quality pranks. if the prank harmed other people, the content creator will be bullied in the virtual world (ortega-barón, buelga, ayllón, martínez-ferrer, & cava, 2019). harbin, kelley, piscitello, & walker (2019) assert that the practice of bullying now prevalent among teenagers could be anticipated by channeling their creativity, such as by creating prank content intended to throw jokes/have fun. the creative process will teach them many things, such as creating a clear-cut concept, socializing with the locals when obtaining permits to execute the prank, and choosing the right angle and camera positions to produce high-quality videos. they are also motivated by profit. when many users view a video, the content creator will get money from sponsors or youtube itself. the more attractive the video, the more income they earn. according to kooij & kanfer (2019), as the income of content creators with many followers 227analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) competes with that of other professions, it is only natural that the prank content creators seek financial benefits. if many people viewed their videos, the content creators would attract sponsors to support their video productions. the emotions felt by the pranksters depend on the type of prank content they make. if the prank content were positive, for instance, by pretending that she could not sing, making the target uneasy, but ending it up by doing something that would make the target embarrassed or blushed, the viewers would get carried away. referring to wadley et al. (2020) when something is considered interesting by viewers, it will bring positive effects. on the other hand, if the pranksters uploaded negative and harmful prank videos, such as fooling people by handing out a fake bag of food aid filled with trash, the viewers would get offended and would not appreciate it (wadley et al. 2020). furthermore, creating prank content could improve the pranksters’ self-confidence. according to estévez et al. (2019), one of many ways to develop a positive self-concept is by respecting our efforts or hard works. by respecting her hard work without paying too much attention to what others say, a prankster will continuously be encouraged to improve her work. the response of the target also depends on the content. according to jenkins et al. (2019) a prankster could be charged under the law if the target were harmed by the prank, particularly when they feel that the act of prank inflicts them trauma, damages their items, or makes them get hurt. furthermore, jenkins et al. (2019) suggest that anyone who makes prank content should be careful not to harm themselves or other people. dhont et al. (2019) explain that a prankster could be treated differently by the target when the content turns to inspire the latter, especially when the target could get something meaningful from the act of prank (happy ending). on the other hand, a prankster could feel sorry for the things she did at the beginning of the prank. such things could make a prank a 228 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) medium to connect or improve social relations with new acquaintances (dhont, hodson, loughnan, & amiot, 2019). ford and gross (2018) explain the emotional regulation produced by technology depends on how and why a digital product is delivered to an individual. the result of this study corroborates the argument. the emotion expressed by the prank victims varies—some of them cried, some were scared, got angry, irritated, and some others smiled—depending on how the pranksters produce the content. estévez et al. (2019) argue that adolescence is a period filled with emotional upheaval, the process of imitation, the development of a psychological state accompanied by physical growth. the process of emotional development that exists will be influenced by several factors, including the home environment, school, family, community, and peers. it is undeniable that the social environment in which they interact requires them to adapt effectively. (bornstein, 2012) suggests that individual social behavior is learned by directly experiencing the consequences of that social behavior. the process of social learning towards a social behavior will be strengthened if we consciously understand the consequences of a behavior. in addition, new individuals also learn new behaviors through observing the behavior of others. learning to observe the behavior of others starts from paying attention to the behavior of the model to be imitated. the model’s behavior to be imitated is then stored symbolically in the memory of the imitator. the results of all learning and knowledge gained from the environment, place of residence and friends have an impact on the positive side that must be imitated and the negative side that must be abandoned. the content creators in this study have inspiration from youtubers or content creators who have made viral videos first. content with experimental social themes is the content that is mainly done when creating prank content (marks, r. & davis, 2014). the experimental social content was chosen to test the extent to which sincerity is manifested 229analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in content behavior with social themes. individual sincerity becomes the main attraction for viewers who are indonesian citizens who have cultural diversity and a high sense of empathy. experimental social content will have an impact of calm and gratitude for video viewers. content creators try to target the sense of compassion in every viewer who watches the “prank” that is made. “prank” videos made by foreign content creators put forward many aspects that are related to aggressive behavior, in his study burris & leitch (2018) discusses “prank” as harmful entertainment. this can be seen from the motivation and emotions carried out by the “prank” maker. “contains harmful elements. each party involved in the “prank” video, both in terms of planning and execution, in this case the content creator and the victim of the “prank,” bears a risk. for content providers, the danger associated with creating a psychologically “prank” film is a concern, as is the chance of material and non-material losses if the victim of a “prank” reports the incident to police because his privacy has been violated. content creators also face guilt for breaking the privacy of “prank” victims; there are worries when the content provided makes victims uncomfortable and their privacy is violated. victims with such problems require a cultural and family approach to ensure that the content is translated into content that the wider community may enjoy (burris & leitch, 2018). content creators also need to prepare themselves to explain to prank victims that their activities are solely to create useful content for the community. on the other hand, for the victims of “prank” the risk that there may be a sense of trauma or distrust in similar events in the future. not all content creators do “prank” content that has been done spontaneously to completely unknown people, there are some content creators who have already made scenarios with potential “prank” victims, so that the content produced is like a natural scene and is not manipulated make up (chusna, 2021). videos that are shown and get a good response 230 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) from the audience will certainly generate profits for content creators (burris & leitch, 2018). the more people who watch the content creator’s channel, the videos created will be glimpsed by advertisements for profit (adsense). the audience’s good response also affects the number of subscribers from the content creator’s channel. every impression made will always be awaited for its presence in the youtube application notification. after the “prank” video has been successfully published, mainly if the video contains an element of entertainment and is seen by many people, the video made will be included in the viral category, the word viral itself can be interpreted as something that is currently popular. for a content creator, the popularity of the work made in this case is that “prank” videos will spur enthusiasm to make similar videos in the future, and conversely when the videos that are made get a mediocre response, the desire of content creators to make similar videos will decrease (berger, 2016). the “prank” video that will be watched tens or even hundreds of times must have an element of happy emotion that hits the audience. the “prank” video that is entertaining and has one mood frequency with the majority of the audience will continue to be watched. another overview of the communication approach communication science itself is divided into seven major traditions: the phenomenological tradition, socio-cultural tradition, socio psychology, rhetorical tradition, semiotic tradition, cybernetic tradition, and critical tradition. the seven traditions have their own points or frameworks in discussing an issue (budi, 2012). when we talk about “prank”, for example, the semiotic tradition will read from a unique perspective, namely by approaching the signs or symbols that exist in the tradition (hrushovski, 2021). the rhetorical tradition will undoubtedly highlight how a content creator is able to create trust in his audience. in addition, language style 231analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and speaking techniques are also important studies in this tradition (littlejohn, foss, & oetzel, 2016). this research above highlights the phenomenological tradition that can reveal the motivation or reason for a prank content creator to create their work. on the other hand, communication studies that talk about sociocultural will focus a lot on social structures related to discourse analysis or the way researchers see content from texts to social contexts. this is certainly different from the cybernetic tradition, which focuses on aspects such as information dissemination or social systems formed as a result of existing communication (handaka, wahyuni, sulastri, & wiryono, 2017). figure 2. seven traditions in communication science (processed by the researchers, 2021) while in the critical tradition it will certainly highlight “prank” being a problem of social pathology or distinction that results in the destruction of morality (guntoro, raya, & rasyid, 2020). the critical tradition places great emphasis on the “empowerment” or anti232 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) domination aspect. all these traditions have their own way and advantages in discussing the phenomenon of “prank”. in this study, researchers from the communication science aspect will highlight a way of thinking from the critical tradition to strengthen other elements in a study of “prank” namely by putting forward the thoughts of jean baudrillard who puts forward the critical tradition and provides other perspectives in this research. hyperreality resulting from the prank content hyperreality is a concept proposed by baudrillard. as previously mentioned in the introduction, one of the consequences of hyperreality is the disappearance of human identity. this concept assumes that when visual content is created not in accordance with reality, it could emerge a brand new reality (fadillah, 2020). we are all familiar with disney and marvel studio which have created fictional characters that have become parts of society. what has been practiced by marvel and disney is being adopted by the content creators who are taking part in the digital prank phenomenon (kurniullah, 2017). they have created a thing called the “simulation” for the audience. the simulation is an eclipse or something that blocks reality. a prank is fundamentally humor or a comedy created to attract the audience, as we have discussed above. however, when we see it as an intact reality, we would surely get different ideas. any content, including comedy, created not in accordance with reality—or, borrowing the term of baudrillard, a hyperreality—is a visual illusion. subsequently, it could be perceived differently by each audience. it is also possible that the audience came up with different interpretations about the meaning that the pranksters wanted to convey (dalimu et al., 2020). the digital content creators have altered the reality of comedy, motivated by producing various content for actualization or financial 233analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) benefits. it will potentially lead to the emergence of deceiving shows which will undermine the definition of reality itself, according to baudrillard. thence, harmful consequences might follow, such as conflicts in the virtual world or identity loss. it is indubitable that these negative effects must be taken into considerations. figure 3. prank and hyperreality (processed by the researchers, 2021) many things can still be explored for further research, and this research is still very limited because it only takes the point of view of the content creator. the content creator’s point of view is the main thing that is interesting to research. however, it needs another supporting point of view in it. other things that can still be explored are the point of view of the victims of the “prank” and of the viewers who watched the video about the content of the “prank”. the point of view of prank victims and video viewers can provide a new picture in concluding this research. the difficulty of finding sources who are willing to be interviewed is a weakness in this study, of the 20 content creators included in the search list, only three content creators are eager to be interviewed, several reasons put forward by content creators who are not willing to be interviewed include the factor of content privacy. content creators have content privacy that is only known by the content creator team as a secret that cannot be disclosed to others. the content becomes more exclusive and cannot be imitated in terms of preparing the background for content creation until the public enjoys the content. 234 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) conclussion and suggestion conclussion the content creators’ motivations to produce prank videos are making an entertaining show, honing creativity, and obtaining financial benefits. the audience response is influenced by the presentation of the prank content itself. extreme and harmful pranks will be responded to negatively, while normal/average or appropriate prank content will make the audience appreciate the hard work of the pranksters. furthermore, it is also necessary to examine the effect of prank content production. if the digital prank phenomenon had constructed a hyperreality, we had to take precautions or did something to mitigate the impact, as hyperreality could blur identity or even lead to conflicts. suggestion further research could examine other psychological aspects of motivation and emotion, such as self-confidence, self-concept, social relations, anxiety, and communication. also, it could be focused more on the victims rather than the prank proprietors. references anindita, a., devani, a. f., & kusuma, a. (2021). prank creativity in advertising. journal of student academic research, 7(1), 140–151. https://doi.org/10.35457/josar.v7i1.1545 az zahra, a., & haq, a. l. a. (2019). intensi pelaku perundungan (bullying): studi fenomenologis pada pelaku perundungan di sekolah. psycho idea, 17(1), 67–76. https://doi.org/10.30595/ psychoidea.v17i1.3849 235analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) baron, a., & galizio, m. (2005). positive and negative reinforcement: should the distinction be preserved? behavior analyst, 28(2), 85– 98. https://doi.org/10.1007/bf03392107 baron, a., & galizio, m. (2006). the distinction between positive and negative reinforcement: use with care article. the behavior analyst, 29(1), 141–151. https://doi.org/10.1007/bf03392127 baudrillard, j. (2000). berahi. yogyakarta: yayasan bentang budaya. benabou, r., & tirole, j. (2003). intrinsic and extrinsic motivation. encyclopedia of law and economics, 70, 489–520. https://doi. org/10.1007/978-1-4614-7883-6_270-1 bornstein, m. h. (2012). cultural approaches to parenting. parenting, 12(2–3), 212–221. https://doi.org/10.1080/15295192.2012.6833 59 budi, s. (2012). communication review: catatan tentang pendidikan komunikasi di indonesia, jerman, dan australia. yogyakarta: program studi ilmu komunikasi universitas atma jaya, aspikom dan buku litera. burris, c. t., & leitch, r. (2018). harmful fun: pranks and sadistic motivation. motivation and emotion, 42(1), 90–102. https://doi. org/10.1007/s11031-017-9651-5 cecariyani, s. a., & sukendro, g. g. (2019). analisis strategi kreatif dan tujuan konten youtube (studi kasus konten prank yudist ardhana). prologia, 2(2), 495-502. https://doi.org/10.24912/ pr.v2i2.3735 chusna, a. (2021). persona in social media: a case study on baim paula youtube channel. journal of language and literature, 21(2), 242– 251. https://doi.org/10.24071/joll.v21i2.3009 berger, j. (2016). contagious: why things catch on. new york, new york, united state: simon & schuster https://doi.org/10.5860/ choice.50-6276 cecariyani, s. a., & sukendro, g. g. (2019). analisis strategi kreatif dan tujuan konten youtube (studi kasus konten prank yudist ardhana). prologia, 2(2), 495–502. https://doi.org/10.24912/ pr.v2i2.3735 crosbie, j. (1998). negative reinforcement and punishment. in k. a. lattal & m. perone (eds.), handbook of research methods in human operant behavior. applied clinical psychology. (pp. 163–189). boston, 236 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ma: springer international publishing. https://doi.org/https:// doi.org/10.1007/978-1-4899-1947-2_6 dalimu, s., putra, a., & azi, r. (2020). the portrayal and the effects of hyperreality in ready player one movie by steven spielberg (the application of jean baudrillard ’s theory), elite: journal of english language and literature, 3(1), 25 -37. https://doi. org/10.33772/elite.v3i1.882. dhont, k., hodson, g., loughnan, s., & amiot, c. e. (2019). rethinking human-animal relations: the critical role of social psychology. group processes and intergroup relations, 22(6), 769–784. https://doi. org/10.1177/1368430219864455 estévez, e., estévez, j. f., segura, l., & suárez, c. (2019). the influence of bullying and cyberbullying in the psychological adjustment of victims and aggressors in adolescence. international journal of environmental research and public health, 16(12), 2080. https:// doi.org/10.3390/ijerph16122080 fadillah, d. (2020). hyper realitas simulakra tagar#2019gantipresiden dalam pemilihan presiden indonesia 2019. profetik: jurnal komunikasi, 12(2), 249–260. https://doi.org/10.14421/pjk. v12i2.1669 ford, b. q., & gross, j. j. (2019). why beliefs about emotion matter: an emotion-regulation perspective. current directions in psychological science, 28(1), 74–81. https://doi.org/10.1177/0963721418806697 ghony, m. d., & almanshur, f. (2012). metodologi penelitian kualitatif. jakarta: ar-ruzz media. grbich, c., kitto, s. c., & chesters, j. (2008). quality in qualitative research: criteria for authors and assessors in the submission and assessment of qualitative research articles for the medical journal of australia. medical journal of australia, 188(4), 243–246. https://doi.org/10.5694/j.1326-5377.2008.tb01595.x guntoro, b., raya, a. b., & rasyid, e. (2020). anomaly heterodoxa through group communication : a study of community, 18(1), 55–66. https://doi.org/10.22500/18202028689 handaka, t., wahyuni, h. i., sulastri, e., & wiryono, p. (2017). sistem komunikasi pemerintah dan kompleksitas ikon kambing pe di kabupaten purworejo. jurnal komunikasi, 10(2), 183-192. https:// 237analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) doi.org/10.21107/ilkom.v10i2.2523 harbin, s. m., kelley, m. lou, piscitello, j., & walker, s. j. (2019). multidimensional bullying victimization scale: development and validation. journal of school violence, 18(1), 146–161. https://doi. org/10.1080/15388220.2017.1423491 hrushovski, b. (2021). the structure of semiotic objects: a threedimensional model. in w. steiner (ed), the sign in music and literature (pp. 11–25). austin, texas, united states: university of texas press. isnawan, f. (2021). konten prank sebagai krisis moral remaja di era milenial dalam pandangan psikologi hukum dan hukum islam. jurnal surya kencana satu: dinamika masalah hukum dan keadilan, 2(1), 59–74. https://doi.org/10.32493/jdmhkdmhk.v12i1.10207 jarrar, y., awobamise, a., nnabuife, s., & nweke, g. e. (2020). perception of pranks on social media: clout-lighting. online journal of communication and media technologies, 10(1), e202001. https://doi. org/10.29333/ojcmt/6280 jenkins, l. n., demaray, m. k., dorio, n. b., & eldridge, m. (2019). the law and psychology of bullying. in b. h. bornstein & m. k. miller (eds.), advances in psychology and law (pp. 197–234). berlin/ heidelberg, germany: springer. johanis, m. a., bakar, a. r. a., & ismail, f. (2019). cyber-bullying trends using social media platform : an analysis through malaysian perspectives cyber-bullying trends using social media platform : an analysis through malaysian perspectives. journal of physics: conference series, 1529(2), 1–16. https://doi.org/10.1088/17426596/1529/2/022077 karpinska-krakowiak, m., & modlinski, a. (2014). prankvertising pranks as a new form of brand advertising online. modern management review, 19(21), 31–44. katadata. (2019). youtube, medsos no. 1 di indonesia. retrieved may 28, 2020, from katadata.com website: https://katadata.co.id/ ariayudhistira/infografik/5e9a55212afab/youtube-medsos-no-1di-indonesia klobas, j. e., mcgill, t. j., moghavvemi, s., & paramanathan, t. (2018). problematic and extensive youtube use: first hand reports. 238 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) online information review, 43(2), 265–282. https://doi.org/10.1108/ oir-01-2018-0032 kominfo. (2013). kominfo : pengguna internet di indonesia 63 juta orang. retrieved may 28, 2020, from katadata.com website: https://kominfo.g o.id/index.php/content/detail/3415/ kominfo+%3a+pengguna+internet+di+indonesia+63+juta+ orang/0/berita_satker#:~:text=jakarta%2ckominfo%20 % e 2 % 8 0 % 9 3 % 2 0 k e m e n t e r i a n % 2 0 k o m u n i k a s i % 2 0 dan,internet%20untuk%20mengakses%20jejaring%20sosial. king, l. a. (2016). the science of psychology: an appreciative view. new york, usa: mcgraw-hill education (asia). kooij, d. t. a. m., & kanfer, r. (2019). lifespan perspectives on work motivation. in b. b. baltes, c. w. rudolph, & h. zacher (eds.), work across the lifespan (pp. 475–493). cambridge, massachusetts, united states: elsevier academic press. https://doi.org/10.1016/ b978-0-12-812756-8.00020-7. kurniullah, a. z. (2017). sensual advertising tvc “axe university” sebagai representasi kapitalisme media dan hyperrealitas perempuan indonesia. semiotika: jurnal komunikasi, 9(2). 280311. http://dx.doi.org/10.30813/s:jk.v9i2.17.g21 littlejohn, s. w., foss, k. a., & oetzel, j. g. (2016). theories of human communication (11th ed.). long grove, illinois: waveland press, inc. marks, r. & davis, j. (2014). hoax and prank. in s. i. attardo, encyclopedia of humor studies. thousand oaks, california, united state: sage publications. https://doi.org/10.4135/9781483346175.n149 millie, a. (2008). anti-social behaviour, behavioural expectations and an urban aesthetic. british journal of criminology, 48(3), 379–394. https://doi.org/10.1093/bjc/azm076 moleong, l. j. (2017). metodologi penelitian kualitatif. bandung: pt remaja rosdakarya. neuman, w. l. (2013). social research methods: qualitative and quantitative approaches (7th ed.). london, united kingdom: pearson education limited. ortega-barón, j., buelga, s., ayllón, e., martínez-ferrer, b., & cava, m. j. (2019). effects of intervention program prev@cib on 239analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) traditional bullying and cyberbullying. international journal of environmental research and public health, 16(4). 527. https://doi. org/10.3390/ijerph16040527 poch, r., & martin, b. a. s. (2015). effects of intrinsic and extrinsic motivation on user-generated content. journal of strategic marketing, 23(4), 305–317. https://doi.org/10.1080/096525 4x.2014.926966 rastati, r. (2016). bentuk perundungan siber di media sosial dan pencegahannya bagi korban dan pelaku. jurnal sosioteknologi, 15(2), 169–186. https://doi.org/10.5614/sostek.itbj.2016.15.02.1 runco, m. a., & jaeger, g. j. (2012). the standard definition of creativity. creativity research journal, 24(1), 92–96. https://doi.org/10.1080/1 0400419.2012.650092 ryan, r. m., & deci, e. l. (2020). intrinsic and extrinsic motivation from a self-determination theory perspective: definitions, theory, practices, and future directions. contemporary educational psychology, 61(article 101860). https://doi.org/10.1016/j. cedpsych.2020.101860 santos, w. s. dos, holanda, l. c., meneses, g. de o., luengo, m. a., & gomez-fraguela, j. a. (2019). antisocial behaviour: a unidimensional or multidimensional construct? avances en psicologia latinoamericana, 37(1), 13–27. https://doi.org/10.12804/ revistas.urosario.edu.co/apl/a.5105 sartana, & afriyeni, n. (2017). perilaku perundung maya (cyber bullying) pada remaja awal. journal psikologis insight, 1(1), 25–39. https:// doi.org/10.17509/insight.v1i1.8442 shane, j., & heckhausen, j. (2019). motivational theory of lifespan development. in b. b. baltes, c. w. rudolph, & h. zacher (eds.), work across the lifespan (pp. 111–134). cambridge, massachusetts, united states: elsevier academic press. https:// doi.org/10.1016/b978-0-12-812756-8.00005-0 wadley, g., smith, w., koval, p., & gross, j. j. (2020). digital emotion regulation. current directions in psychological science, 29(4), 412–418. https://doi.org/10.1177/0963721420920592 240 analysis of the “digital prank” phenomenon from the psychology perspective akhmad liana amrul haq, moch. imron rosyidi al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 213 240, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3501 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) walia, c. (2019). a dynamic definition of creativity. creativity research journal, 31(3), 1–11. https://doi.org/10.1080/10400419.2019.164 1787 williams, a., mckeown, s., orchard, j., & wright, k. (2019). promoting positive community relations: what can re learn from social psychology and the shared space project? journal of beliefs and values, 40(2), 215–227. https://doi.org/10.1080/13617672.2019. 1596582 yusuf, s. (2018). kesehatan mental perspektif psikologi dan agama. bandung: pt remaja rosdakarya. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 editorial team alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh editor-in-chief imam mujahid, institut agama islam negeri surakarta editor waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 1, januari juni 2019 daftar isi astri fajar atikasari, vera imanti 1 24 model dakwah milenial untuk homoseksual melalui teknik kontinum konseling berbasis alquran khilman rofi azmi 25 58 mubalig youtube dan komodifikasi konten dakwah ferdi arifin 91 120 tren pengembangan program magister komunikasi dan penyiaran islam dalam transformasi iain menjadi uin surakarta kamila adnani 141 168 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim 59 90 menurunkan kecemasan menghadapi praktik belajar kerja penyandang disabilitas fisik dengan bimbingan kelompok literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi naimatus tsaniyah, kannisa ayu juliana 121 140 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim universitas pembangunan nasional “veteran” jakarta keywords: digital fundraising; socialization; zakah collection. http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: adenurrohim@upnvj.ac.id abstract the developments in zakah management is considered increasingly important along towards the digital era. based on studies in the performance of several lazs carried out, the realization of zakah collection is currently far from the potential of zakah which should be, so laz needs to take progressive steps in the implementation of the digitization system. this article aims to reveal the challenges faced by laz in the dissemination and collection of zakah in digital era, complete with the obstacles faced. in addition, it was stated about the form of strategy for utilizing digital fundraising channels, such as: websites, email marketing, search engine marketing, social media marketing, and social networks, in order to conduct more optimal zakah collection. this research is a qualitative research, using a literature study approach. data collected related to the research were taken from several literary sources including scientific journals, several books, and related articles published in online media. as a result, by transforming into the use of canals on digital fundraising, zakah management and collection programs can be carried out better while also educate the public about the obligation for zakah. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 60 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak pengembangan dalam pengelolaan zakat dirasa semakin penting seiring dengan masuknya era digital. berdasarkan penelitian pada kinerja beberapa laz yang dilakukan, realisasi penghimpunan zakat saat ini masih jauh dari potensi zakat yang seharusnya sehingga laz perlu mengambil langkah progresif dengan pemberlakuan sistem digitalisasi. artikel ini bertujuan untuk mengungkap tantangan yang dihadapi laz dalam sosialisasi dan penghimpunan zakat di era digital, lengkap dengan hambatan yang dihadapi. selain itu, dikemukakan mengenai bentuk strategi pemanfaatan kanal digital fundraising, seperti: website, email marketing, search engine marketing, social media marketing, dan social network, guna melakukan penghimpunan zakat yang lebih optimal. penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan studi pustaka. data yang dihimpun terkait penelitian diambil dari beberapa sumber literatur antara lain jurnal ilmiah, beberapa buku, serta artikel terkait yang dimuat di media online. hasilnya, dengan bertransformasi menuju pemanfaatan kanal pada digital fundraising ini, program pengelolaan dan penghimpunan zakat dapat terlaksana secara lebih baik sekaligus mampu mengedukasi masyarakat mengenai kewajiban berzakat. kata kunci: digital fundraising; penghimpunan zakat; sosialisasi. how to cite (apa 6th style): rohim, a. n. (2019). optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 59–90. https://doi.org/10.22515/balagh.v4i1.1556 pendahuluan di era digital ini, masyarakat cenderung mengubah gaya dan perilakunya kepada perilaku dan gaya hidup digital pada setiap aktivitas dan transaksi yang dilakukan. fenomena tersebut tanpa terkecuali juga merambah masyarakat dalam hal pengelolaan zakat. menurut deputi baznas, arifin purwakananta, perilaku muzaki indonesia saat ini diperkirakan akan mengalami pergeseran. yaitu perilaku muzaki yang bergeser dari transaksi fisik mengarah kepada transaksi digital, yaitu dalam 61optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hal menunaikan zakatnya (sakinah & ucu, 2018). hampir semua organisasi pengelola zakat (opz) saat ini, termasuk baznas, tergerak untuk terus melakukan inovasi-inovasi digital dalam sosialisasi dan fundraising, guna mengoptimalkan penghimpunan zakat. zakat merupakan salah satu ibadah yang memiliki kekhasan dalam coraknya, yaitu sebagai ibadah dengan dua dimensi. selain memiliki dimensi sosial kemasyarakatan, zakat memiliki dimensi ekonomi yang tentunya sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan umat. hal ini menjadikan zakat sebagai topik yang terus dikaji oleh para ahli, dalam rangka mewujudkan suatu keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat (rais, 2009). para fuqaha, pakar dan ahli, sejak awal islam hingga masa kontemporer, tak henti-henti melakukan riset yang mendalam untuk mengkaji berbagai aspek sosio-ekonomi zakat (azmi, 2005). dengan implementasi zakat yang terarah, disparitas, dan kesenjangan yang semakin terasa di masyarakat, akan dapat perlahan dihilangkan. karena zakat secara konsep merupakan instrumen utama untuk menghapus kesenjangan ekonomi dan menjadi stimulus untuk aktivitas ekonomi dengan mendistribusikan dan memeratakan daya beli di masyarakat (khan, 1994). hingga saat ini, penghimpunan zakat di indonesia dirasa belum optimal. realisasi zakat dari potensi zakat sebesar 217 triliun pada 2011 atau sekitar 3,4% dari gdp 2010 masih jauh dari harapan. bahkan baznas mengestimasi potensi zakat di indonesia pada 2015 mencapai 286 triliun atau sekitar 2,4% dari gdp 2015 (andiani, hafidhuddin, beik, & ali, 2018). namun kenyataannya, berdasarkan data yang dirilis baznas setiap tahunnya, realisasi penghimpunan zakat masih jauh dari potensi tersebut. sebagaimana dicatat pada 2015, total dana zis yang terhimpun hanya mencapai 94,47 miliar. analisis dan kajian terkait faktor penyebab belum optimalnya penghimpunan zakat terus dilakukan oleh para ahli dan peneliti. secara eksplisit, alquran telah dengan gamblang menyebutkan perintah untuk membayar zakat. terdapat 82 ayat yang menyejajarkan 62 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kewajiban zakat dengan kewajiban salat di dalam alquran. kalau salat dikelompokkan sebagai ibadah badaniyyah (ibadah bersifat fisik), maka zakat dikategorikan sebagai ibadah maliyyah (ibadah bersifat finansial). sebagai ibadah maliyyah, zakat bersentuhan langsung dengan kepentingan kehidupan bermasyarakat. oleh sebab itu, jika dengan salat dibangun kesalehan individual, maka dengan zakat dibangun kesalehan sosial (nuruddin, 2010) sehingga, ketika dua ibadah tersebut ada pada diri seorang muslim, keseimbangan antara dua kesalehan tersebut akan terjaga. namun demikian, nyatanya perintah berzakat tersebut belum berjalan linier dengan realita zakat yang terhimpun. penghimpunan zakat hingga saat ini, masih “mengandalkan” kesadaran mereka untuk berzakat. pola perintah untuk memungut zakat kepada penguasa, sebagaimana yang tersurat dalam alquran belum dapat direalisasikan secara utuh. hal tersebut lantaran legitimasi pemungutan zakat bagi para amil belum diakomodir oleh perundang-undangan yang ada. tak ayal jika masyarakat dewasa ini, lebih memilih untuk membelanjakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hariannya terlebih dahulu. mulai dari kebutuhan yang memang primer dan utama, hingga kebutuhan tersier yang mencerminkan eksistensi, prestise, dan gaya hidup di kalangan masyarakat. seperti kebutuhan akan gadget, pemanfaatan teknologi, dan internet, yang seakan menjadi kebutuhan primer “tambahan” di era digital, seperti saat ini. tidak dapat dimungkiri, bahwa perkembangan teknologi internet saat ini, terus meningkat. masyarakat kini seolah menjadi bergantung kepadanya dalam menjalankan aktivitas hariannya. sangat disadari, bahwa teknologi internet tersebut turut memberikan andil besar dalam memberi kenyamanan dan kemudahan bagi masyarakat. baik di skala kecil seperti interaksi antar individu, transaksi jual beli, hingga skala besar di tingkat perusahaan dan industri. dampak positif dari pemanfaatan teknologi internet tersebut semakin besar dirasakan. revolusi industri 4.0 yang digaungkan, dengan didukung oleh gerakan nasional making indonesia 4.0, semakin menunjukkan eksistensi dan urgensi 63optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) digitalisasi pada semua aspek. tidak terkecuali dalam hal penghimpunan dana oleh lembaga filantropi, termasuk zakat. zaimah menyebut, sebagaimana dikutip dari purwakananta (2010), bahwa mekanisme dan proses penghimpunan zakat, akan bergeser mengikuti arah perkembangan zaman saat ini, yaitu melalui pemanfaatan media online. pergeseran ini sudah mulai dilakukan oleh beberapa opz dengan menggandeng situs e-commerce dalam upaya mensosialisasikan dan menghimpun zakat (zaimah, 2017). mengenai sejumlah lembaga zakat yang didirikan oleh masyarakat sampai dengan tahun 2007 misalnya, tercatat sebanyak 500 lembaga, baik yang sifatnya insidental—menjelang bulan ramadan serta khusus mengelola bantuan dalam penanggulangan bencana—maupun lembaga permanen yang mengelola zakat serta wakaf. namun demikian, melalui data tahun 2012, jumlah opz yang aktif dan terdaftar di forum zakat adalah sejumlah 33 lembaga, jumlah ini belum termasuk unit-unit pengumpul zakat di beberapa perusahaan dan badan amil zakat daerah di seluruh provinsi di indonesia (forum zakat, 2010). lebih lanjut, hasil survei indonesian zakat and development report tahun 2012, diperoleh data melalui 180 opz di jakarta, jawa barat, jawa timur, riau, sumatera selatan, banten, kalimantan selatan, dan sulawesi selatan, terdapat sekitar 22 opz yang belum memiliki kejelasan visi dan misi. kondisi ini merujuk pada kemampuan para opz yang cenderung memahami zakat hanya sebatas bentuk penyaluran saja. mengingat prinsip pengelolaan zakat adalah “amanah” sehingga para amil zakat kurang memperhatikan bagaimana tujuan pengelolaan harus dicanangkan secara lebih jelas. di sisi lain, adanya pengelolaan zakat pada dasarnya perlu dilengkapi dengan perencanaan dan strategi yang lebih rigid, segmentasi yang jelas, serta kontrol melalui evaluasi agar perbaikan dapat terus dilakukan (sasongko & ariefyanto, 2012). salah satu tulisan dari kholis, sobaya, andriansyah, & iqbal (2013) menjelaskan tentang potret filantropi islam di wilayah daerah istimewa 64 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yogyakarta. dalam tulisannya, konsep filantropi islam di provinsi daerah istimewa yogyakarta merujuk pada beberapa proses kegiatan, yakni: manajemen internal, strategi fundraising, serta pengelolaan dan pendistribusian dana melalui badan amil zakat (baz) dan lembaga amil zakat (laz). selanjutnya, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga filantropi yang beroperasi di yogyakarta mencapai 16 opz. dinyatakan bahwa sejumlah opz tersebut telah berhasil melaksanakan standar pengelolaan dan proses kegiatan dalam konsep filantropi islam. penelitian lain dari ariesta & palupi (2016) menyebutkan bahwa upaya filantropi saat ini juga menyasar bentuk crowdfunding yang identik dilakukan melalui media sosial. dalam tulisannya, kegiatan crowdfunding dilakukan melalui situs wujudkan.com dalam proyek “upcycling project untuk anak putus sekolah”. melalui penelitian ini, diperoleh hasil bahwa upaya penggalangan dana secara sosial—selain zakat—nyata merambah platform online (digital), salah satunya pada situs wujudkan.com. hal ini turut mengamini konsep penghimpunan dana secara sosial berbasis digital, khususnya dengan memanfaatkan platform online sebagai salah satu strategi komunikasi yang digunakan untuk menarik perhatian sasaran sesuai dengan segmentasi program. langkah konvensional yang telah dilakukan selama ini oleh opz dalam mensosialisasikan dan menghimpun zakat dari para muzaki dapat terus dilanjutkan. seperti metode fundraising door to door, antarjemput, hard cash representative (membayar tunai), dan juga transfer tunai melalui bank (zaimah, 2017). selain itu, sebagai bagian dari rukun islam, pelaksanaan zakat perlu terus digaungkan melalui kajian-kajian dan ceramah-ceramah dakwah. dalam ilmu dakwah, seorang dai akan mengajak masyarakat dan jamaahnya menuju kepada jalan yang diridai allah subhanahu wa taala, seperti jalan untuk berzakat. dakwah yang dilakukan hendaknya dibangun dan dikembangkan dengan metode ilmiah sehingga, dapat berfungsi dalam rangka memahami, memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol berbagai fenomena dan persoalan yang ada di masyarakat (syarifah, 2016). 65optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) terkait dengan upaya mendakwahkan syariat zakat tersebut, harus dipahamkan kepada masyarakat terkait prinsip zakat sebagai ibadah yang diwajibkan allah subhanahu wa taala kepada pemilik harta atas sebagian harta yang dimiliki dengan ketentuan yang digariskan syariah, untuk kemudian disalurkan kepada yang berhak menerimanya (hafidhudin, 2007). ini mengindikasikan perlu membangun kembali kesadaran masyarakat muslim akan kewajiban membayar zakat melalui program sosialisasi yang intens. beberapa langkah konvensional yang telah dilakukan opz, cukup variatif dan kreatif. selain dari beberapa program yang disebutkan di atas, di antara opz mengadakan program inovatif lainnya, seperti kencleng umat, kerja sama denga radio dalam sosialisasi, dan religious fund. selain itu beberapa opz turut menghimpun zakat dari perusahaan secara door to door dan juga dari donor atau muzaki individual (bariyah, 2016). namun, bisa dipastikan, jika perkembangan teknologi di era digital ini, tidak pula diikuti dan dimanfaatkan opz, akan sulit mengharapkan penghimpunan zakat yang optimal. dalam hal ini, justru penghimpunan zakat akan tertinggal jauh ke belakang. opz dituntut untuk terus berinovasi dan membuat terobosan-terobosan baru terkait langkah mengkampanyekan dan mensosialisasikan zakat kepada masyarakat. penelitian lain terkait zakat dan fundraising misalkan penelitian ahmad & mahmood (2009) terkait konsep zakat fundraising sebagai salah satu teknik untuk pengentasan kemiskinan; penelitian widarwati, afif, & zazim (2016) yang membahas optimalisasi customer relationship management dalam sebuah lembaga zakat; penelitian siregar (2016) yang membahas kurang optimalnya pelaksanaan zakat dengan fundraising di sebuah badan amil dan zakat daerah (bazda); penelitian niamulloh (2013) yang membahas keuntungan dari metode fundraising dalam pengelolaan zakat; penelitian hayati & caniago (2011) yang membahas tentang zakat sebagai metode pengentasan kemiskinan; penelitian kasri & putri (2018) yang 66 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menawarkan metode fundraising sebagai teknik mengoptimalkan potensi zakat di indonesia; penelitian nuradi, ibdalsyah, & qulazhar (2018) dan penelitian ridwan (2016) tentang pengelolaan dan pendistribusian zakat dengan fundraising; penelitian hasanah (2015) yang mengkomparasikan pengelolaan zakat sistem fundraising pada lembaga pemerintah dan swasta; penelitian abidah (2016) tentang analisis strategi fundraising terhadap peningkatan pengelolaan zakat, infak, dan sedekah pada lembaga amil zakat; penelitian purnamasari & firdaus (2017) tentang analisis strategi penghimpunan zakat dengan pendekatan business model canvas. terkait permasalahan zakat dan fundraising, penulis mencoba mengungkap tantangan teknologi dan media digital, dalam mendakwahkan zakat kepada masyarakat. selain itu, artikel ini juga akan mengeksplorasi berbagai kemungkinan strategi penghimpunan zakat yang dapat diaplikasikan dengan sarana media digital yang diharapkan menjadi solusi atas hambatan dan kendala selama ini, dan diharapkan berdampak positif pada optimalisasi penghimpunan zakat secara masif. dengan demikian, artikel penelitian memiliki pembeda dengan penelitian-penelitian terdahulu yang sudah disebutkan. letak perbedaan tersebut adalah fokus penelitian ini terhadap penggunaan sarana media digital untuk mengatasi permasalahan zakat serta meningkatkan pengelolaan zakat dengan fundraising. metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan studi pustaka. data yang dihimpun terkait penelitian diambil dari beberapa sumber literatur antara lain jurnal ilmiah, beberapa buku, serta artikel terkait yang dimuat di media online. selain itu, data dihimpun dari pernyataan para praktisi di bidang pengelolaan zakat yang dimuat di berbagai media. analisis data dilakukan dengan analisis konten deskriptif terkait sistem penghimpunan zakat yang dideskripsikan secara menyeluruh. penelitian difokuskan pada beberapa skema penghimpunan zakat yang 67optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) diterapkan opz, baik melalui kanal media konvensional, maupun kanal media digital. hasil penelitian dan pembahasan hambatan dan tantangan dalam penghimpunan zakat opz sebagai institusi perantara, yang menghubungkan antara muzaki dengan mustahik, memerlukan suatu kepercayaan dari para muzaki untuk penghimpunan zakat. tidak dimungkiri, bahwa muzaki akan “nyaman” memberikan dan menyalurkan zakatnya kepada opz yang dinilai amanah, transparan, dan professional. hingga saat ini, kapasitas lembaga zakat dan kepercayaan masyarakat, masih menjadi permasalahan umum yang dihadapi oleh kebanyakan opz (lestari, pratiwi, & ulfah, 2015). sikap kurang percaya yang ada di masyarakat terhadap lembaga zakat sangat mungkin untuk dihilangkan dengan cara membangun suatu system tata kelola organisasi yang baik. khususnya tata kelola terkait administrasi, pengawasan, dan pelaporan keuangan. di samping itu, penataan petugas dan pegawai amil juga perlu menjadi perhatian, dengan cara melakukan rekrutmen petugas amil yang memenuhi kriteria tertentu, yang mendukung profesionalitas institusi lembaga zakat tersebut. di antaranya dengan pemilihan petugas yang memiliki sikap adil, jujur, dapat dipercaya, mempunyai kemampuan penghitungan zakat yang benar, tidak zalim, dan tidak menerima hadiah terkait tugasnya (kusmanto, 2014). lestari et al. (2015) mengutip pernyataan purwakananta (2008) yang menyebut bahwa lembaga zakat saat ini menghadapi lima tantangan yang dihadapi: penguatan instansi, tatanan zakat nasional, insentif negara terhadap gerakan kemasyarakatan, jaringan, dan konsistensi. lebih lanjut, lestari menjelaskan sebagaimana yang dikutip dari zarkasi (2008), bahwa ciri dari tata kelola organisasi yang baik adalah adanya transparansi atau keterbukaan dalam pengelolaannya, serta akuntabilitas. dua hal ini menjadi ciri pembeda bagi suatu lembaga zakat yang menjaga nilai dan sistem tata kelola yang baik. 68 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dua ciri yang dijabarkan tersebut merupakan kunci utama bagi lembaga zakat untuk mendapatkan predikat amanah. label amanah akan disematkan kepada lembaga zakat yang mampu mengelola sumber daya publik, melalui berbagai program dan kegiatan. untuk selanjutnya segala aktivitas tersebut diungkap dan dilaporkan kepada publik, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat umum. proses pengungkapan segala aktivitas pengelolaan zakat kepada masyarakat, akan mengalami kendala dan kesulitan jika tidak dibantu dengan teknologi media. hal itu, selain akan memakan waktu dan tenaga, namun juga akan menghalangi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kemudahan dalam mengakses segala informasi. disamping itu, masyarakat saat ini sudah masuk ke dalam gaya hidup digital yang segala hal kebutuhan hariannya, bergantung kepada teknologi media. mulai dari hal sederhana seperti membeli makanan, memesan tiket angkutan umum, atau melakukan transaksi bisnis lainnya (rachman & salam, 2018). perkembangan teknologi di bidang keuangan inilah yang kemudian dikenal dengan istilah financial technology atau fintech. perkembangan fintech belakangan ini, dijelaskan rachman dan salam (2018) mengharuskan setiap sektor pada bisnis dan maupun sektor lainnya, untuk mengaplikasikan sistem tersebut. termasuk di dalamnya adalah sektor penghimpunan zakat yang akan sangat terbantu dengan mengaplikasikan sistem tersebut. oleh karenanya, untuk menjawab tantangan masyarakat di era digital seperti saat ini, dengan digital lifestyle yang mereka anut, lembaga zakat perlu bertransformasi memanfaatkan teknologi yang mutakhir, dalam rangka menghimpun zakat dari muzaki, dan tentunya akan memberikan kemudahan bagi para muzaki dalam menunaikan zakatnya kepada lembaga zakat. islam sebagai agama yang universal, sangatlah terbuka dengan dinamika perkembangan peradaban manusia. tak terkecuali, dalam hal perkembangan teknologi di bidang ekonomi dan keuangan. maka zakat, 69optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sebagai suatu ibadah maaliyah, tetap harus berada dalam koridor kepatuhan syariah meskipun dengan mengaplikasikan teknologi dalam penerapannya. terkait hal ini, rachman & salam (2018) menjelaskan untuk mengaplikasikan suatu manajemen yang sesuai dengan landasan syariah, suatu opz harus memenuhi ketentuan dan standarisasi pada dua aspek: pertama, pada struktur teknis yang mencakup penentuan akad, biaya administrasi, dan penghitungan zakat. kedua, pada sisi laporan keuangan yang harus sesuai dengan kaidah dan standar baku pelaporan keuangan syariah. selanjutnya, untuk memperkuat institusi, perlu dilakukan pengawasan syariah secara berkelanjutan, terhadap perkembangan sistem dan manajemen zakat yang mengikuti perkembangan fintech. transformasi skema fundraising zakat penghimpunan zakat merupakan aktivitas kunci dalam lembaga amil zakat. opz memposisikan diri sebagai mediator antara muzaki yang membayar zakat dengan mustahik yang menerima zakat. dengan demikian opz akan menjadi perantara bagi para muzaki untuk menunaikan kewajiban membayar zakat, untuk kemudian disalurkan kepada para mustahik, sesuai ketentuan yang telah digariskan oleh syariah. setiap orang yang termasuk ke dalam kategori muzaki diharuskan membayar zakat sebagai kewajiban, jika sudah memiliki harta yang mencapai batasan nisab, untuk disalurkan kepada para fakir dan miskin atau golongan mustahik lainnya (al-juzairy, 2014). sebagaimana zakat juga diyakini sebagai suatu ibadah wajib yang akan menyucikan diri seorang hamba (syekh, 2009). maka, opz hadir sebagai amil zakat yang memfasilitasi para muzaki untuk menghimpun zakat dari mereka. guna merealisasikan penghimpunan zakat tersebut, opz sebagai mediator perlu mensosialisasikan zakat kepada masyarakat. diharapkan dengan begitu, kesadaran masyarakat untuk berzakat akan tumbuh. kesadaran bahwa zakat merupakan rukun islam ketiga yang allah 70 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) subhanahu wa taala wajibkan bagi para hamba-nya yang memenuhi kriteria. kriteria tersebut yang membedakan antara kaya dan miskin. sehingga, bagi mereka yang memenuhi kriteria seperti memiliki kematangan hidup, memiliki kekayaan standar 50 dirham atau senilainya, ada persediaan makan siang dan malamnya, setelah dikurangi segala biaya pokok (alharawi, 2009). jika dilihat dari beberapa ayat alquran yang diturunkan di mekah yang berbicara tentang zakat, didapati pernyataan-pernyataan tentang zakat yang disebutkan dalam ayat tersebut, tidak dalam bentuk amr (perintah) yang dengan tegas mewajibkan, akan tetapi berbentuk kalimat-kalimat berita atau pernyataan biasa (qardhawi, 2011). kondisi tersebut menggambarkan kondisi masyarakat muslim ketika itu yang sangat memahami bahwa zakat merupakan salah satu rukun islam yang utama dan setiap yang melaksanakan zakat akan dipuji dan diganjar pahala. sebaliknya, akan ada hinaan dan siksa bagi mereka yang enggan mengerjakannya. zakat menjadi pembeda antara islam dan kekafiran, antara iman dan kemunafikan, juga antara takwa dan durhaka (qardhawi, 2010). pemahaman yang mendalam seperti itu tentu akan berdampak siginifikan terhadap kesadaran masyarakat untuk berzakat. bahkan zakat yang telah berlangsung sejak dulu, seolah menjadi kebiasaan masyarakat, tanpa harus ditegur atau dipaksa. berbeda dengan kondisi saat ini ketika tingkat kesadaran masyarakat akan kewajiban berzakat yang beragam dan cenderung mengalami dekadensi, proses sosialisasi menjadi penting untuk dilakukan. dahulu proses sosialisasi dan penghimpunan zakat yang dilakukan oleh opz masih berjalan secara konvensional. sosialisasi dan penghimpunan zakat secara konvensional ini maksudnya adalah layanan yang diberikan oleh opz bagi para muzaki dilakukan melalui program yang bersifat langsung (door to door) atau dengan sosialisasi pada media cetak dan 71optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) elektronik. selanjutnya, zakat tersebut disalurkan kepada para mustahik. umumnya, sebelum mendistribusikan zakat, opz akan melakukan perencanaan program pemberdayaan yang tepat melalui tahapan kajian. sehingga dengan begitu, akan dihimpun data lengkap untuk mengetahui setiap sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan oleh masyarakat (aflah, 2009). kondisi demikian, juga dilakukan baznas sebelum memasuki era digital seperti saat ini. saat teknologi belum mendominasi kehidupan seperti sekarang ini, sebagian muzaki yang akan membayarkan zakatnya masih harus datang ke konter muzaki yang ada di kantor baznas. selain itu, sosialisasi yang dilakukan pun masih menggunakan media cetak seperti pamflet, brosur, dan spanduk. sebagai tambahan, baznas juga memberikan layanan jemput zakat bagi para muzaki yang ingin menyerahkan zakatnya secara langsung kepada amil, namun terkendala untuk datang langsung ke konter muzaki (baznas, 2018). secara umum, muzaki yang membayar zakatnya secara langsung berharap dapat memberikan zakatnya kepada petugas amil. dengan begitu, petugas amil akan mendoakan muzaki, sebagaimana yang diajarkan oleh rasulullah sallallahu alaihi wasallam. selain melalui konter muzaki di kantor baznas, muzaki pun dapat membayarkan zakatnya melalui gerai-gerai zakat yang dibuka baznas di beberapa tempat publik, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan instansi pemerintah (purnamasari & firdaus, 2016). hal tersebut dilakukan opz seperti baznas, karena berharap agar kegiatan tersebut dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap fundraising zakat. fundraising merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat. zaimah menjelaskan sebagaimana dikutip dari purwanto (2009) bahwa fundraising merupakan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan sumber daya lainnya dari masyarakat (baik sumber daya berupa individu, kelompok, organisasi, perusahaan, 72 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ataupun pemerintah) yang mana dana terhimpun tersebut akan digunakan oleh lembaga atau instansi penghimpun untuk menjalankan program dan kegiatan yang direncanakan, dalam rangka merealisasikan tujuan organisasinya (zaimah, 2017). rohim (2015) menjelaskan fundraising sebagai proses memengaruhi masyarakat atau calon donatur agar mau melakukan amal kebajikan dalam bentuk penyerahan dana atau sumber daya lainnya yang bernilai, untuk disampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan. proses memengaruhi di sini yaitu meliputi kegiatan memberitahukan, mengingatkan, mendorong, membujuk, merayu. berdasarkan kerangka fundraising, lembaga harus terus melakukan edukasi, sosialisasi, promosi, dan transfer informasi sehingga menciptakan kesadaran dan kebutuhan kepada calon donatur atau calon muzaki. secara garis besar, kegiatan fundraising mencakup dua hal; kegiatan penghimpunan dan kegiatan pemasaran. kegiatan fundraising tidak hanya sebatas pengumpulan dana kepada institusi atau lembaga (warwick, 1999). akan tetapi hal lain yang menjadi tujuan dan dasar praktik fundraising adalah meningkatkan kuantitas donatur dan jumlah donasi yang disalurkan, dan juga mengenalkan institusi kepada masyarakat (kasri & putri, 2018). lebih lanjut kasri & putri (2018) menjelaskan, bahwa kegiatan promosi dengan media iklan merupakan kegiatan mentransfer informasi kepada masyarakat terkait produk yang dihasilkan atau pun jasa tertentu. demikian halnya fundraising yang memiliki fungsi yang sama seperti iklan. perbedaan hanya terletak pada objek yang dijual saja. jika iklan membujuk masyarakat untuk membeli produk yang dihasilkan dengan menginformasikan terkait kelebihan atas produk tersebut, lain halnya dengan fundraising yang mendorong masyarakat untuk berderma dan berdonasi tanpa suatu produk yang ia dapatkan layaknya dalam pembelian produk. dahulu, berbagai perusahaan atau lembaga (termasuk di dalamnya 73optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) opz), dalam melakukan kegiatan fundraising, mengandalkan media-media konvensional. media tersebut dimanfaatkan dalam rangka sosialisasi sehingga dapat membujuk dan merayu masyarakat untuk mengikuti “ajakan” perusahaan atau lembaga pada sosialisasi tersebut. dalam hal ini, opz membujuk dan membangun kesadaran untuk menunaikan kewajibannya membayar zakat melalui lembaganya. sebagai contoh, bazda kabupaten banyumas, sebagaimana yang dipaparkan lestari et al. (2015) berdasarkan riset yang dilakukan oleh dwita, et al (2009), telah melakukan sosialisasi zakat dengan menggalakkan pembentukan unit-unit pengelola zakat (upz) pada berbagai instansi pemerintah. selain itu, juga dilakukan sosialisasi melalui media seperti radio, leaflet, stiker di angkutan kota, hingga melalui ceramah-ceramah langsung di instansi (lestari et al., 2015). tidak dimungkiri bahwa sosialisasi yang dilakukan seperti bazda banyumas tersebut, menurut lestari et al. (2015), menyebabkan akses masyarakat atas informasi pengelolaan zakat yang dilakukan bazda banyumas, masih sangat terbatas. hal tersebut disebabkan karena ruang yang ada pada media-media tersebut juga dirasa sangat terbatas. sehingga informasi yang disampaikan melalui media tersebut, tidak dapat menjangkau keseluruhan poin dan unsur dalam hal pengelolaan zakat di bazda banyumas. memasuki era digital seperti saat ini, teknologi kian berkembang. perkembangan yang pesat ini, mengakibatkan perubahan yang signifikan di segala lini dan aspek. dapat dikatakan, jika opz bertahan dengan mekanisme fundraising konvensional di era digital ini, kemungkinan hal tersebut tidak akan memberikan kontribusi yang lebih baik, bahkan cenderung kurang efektif. sebaliknya, ketika opz bertransformasi, khususnya pada sisi fundraising, yaitu dengan memanfaatkan teknologi dan media digital, maka hal tersebut justru akan berdampak positif pada program sosialisasi yang dilakukan. 74 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dengan memaksimalkan teknologi dan media digital, program sosialisasi yang dilakukan opz akan dapat mencakup banyak hal. dengan begitu, akses masyarakat untuk mendapatkan informasi terkait zakat di opz akan lebih luas. masyarakat pun dengan begitu, akan mendapat kemudahan dalam mendapatkan akses informasi. perkembangan teknologi yang terjadi belakangan, merupakan efek dari inovasi disruptif. rachman mendefinisikan inovasi disruptif sebagai suatu inovasi yang berhasil mengubah dan mentransformasikan sistem yang sudah ada atau pasar yang sudah terbangun, dengan suatu tatanan sistem yang mengedepankan aspek kemudahan akses, kenyamanan, dan tentunya biaya yang lebih murah (rachman & salam, 2018). bagi muzaki, kemudahan ini akan mereka rasakan dalam sisi menunaikan zakat mereka melalui opz. perlu dipahami bersama, bahwa perkembangan media yang semakin pesat seperti saat ini, pada hakikatnya menunjukkan perkembangan zaman yang semakin maju dan berkembang. secara kasat mata, seolah perkembangan tersebut hanya dirasakan pada sisi teknologi. namun lebih dari itu, perkembangan yang ditunjukkan dengan kemajuan teknologi, merupakan cerminan dari perkembangan budaya masyarakat (ananda, 2017). atas dasar inilah, maka opz pun harus mengikuti perkembangan ini, agar bisa terus maju dan berkembang, dalam rangka dakwah di media digital. berangkat dari fenomena ini, maka opz dalam melakukan fundraising zakat harus mampu bertransformasi dari mekanisme dan metode konvensional, menjadi digital fundraising. terlebih, fenomena tersebut tidak hanya merambah dunia perzakatan secara khusus saja, akan tetapi mencakup pula seluruh aspek keuangan yang mengenalkan masyarakat pada fenomena fintech. 75optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pemanfaatan kanal digital fundraising perkembangan teknologi berbasis internet semakin pesat dirasakan masyarakat. bahkan hal tersebut dirasakan masyarakat dunia pada umumnya. hal tersebut karena internet memiliki manfaat yang langsung dirasakan oleh para penggunanya. lebih khusus, para pengguna internet yang memfungsikannnya sebagai media komunikasi dan sosialisasi pemasaran. beberapa di antara manfaat dari internet dalam hal marketing antara lain (eugenia, 2017): 1) memberikan kemudahan dalam interaksi dan komunikasi secara langsung dengan konsumen potensial. hal tersebut menggambarkan kondisi yang ideal untuk membangun komunikasi secara nyata; 2) mampu memberikan target yang tepat sasaran dan menyampaikan pesan kepada target yang spesifik dituju; 3) para pengguna internet memiliki kebebasan dalam memilih pesan yang dipromosikan atau informasi yang ingin diakses; 4) mampu memberikan gambaran profil suatu perusahaan atau lembaga dengan setiap detil produk atau jasa yang dihasilkan atau ditawarkan; 5) memiliki jangkauan yang luas; dan 6) menghabiskan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kanal tradisional. dengan banyak manfaat yang ditawarkan, maka internet atau media berbasis internet memberikan tawaran yang lebih menggiurkan. perkembangan ini akan direspons dengan semakin maraknya perusahaan, instansi, lembaga, atau organisasi yang memanfaatkan media tersebut untuk mensosialisasikan unitnya, maupun produk atau jasa yang ditawarkan. komunikasi dan pemasaran bagi suatu perusahaan sangatlah berkaitan dan berhubungan erat. tanpa komunikasi dalam pemasaran, masyarakat khususnya konsumen, tidak akan mengetahui keberadaan suatu produk ataupun jasa yang ditawarkan (kusumastuti, 2009). lebih lanjut kusumastuti (2009) menjelaskan sebagaimana dikutip dari kotler (2000), bahwa komunikasi pemasaran merupakan usaha untuk menyampaikan 76 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pesan kepada publik, terutama konsumen sasaran, mengenai keberadaan suatu produk di pasar. konsep yang sering digunakan untuk menyampaikan pesan dikenal dengan bauran promosi (promotional mix). opz sebagai lembaga yang memiliki fungsi fundraising, tentunya diharuskan untuk turut dalam pemanfaatan media tersebut. pertumbuhan dan perkembangan teknologi dan media digital, seperti media sosial, telah mengubah mekanisme fundraising lembaga nirlaba seperti opz dan cara mereka berinteraksi dengan masyarakat dan donatur. kegiatan penghimpunan dana dengan memanfaatkan media-media digital tersebut dikenal dengan istilah digital fundraising (bruce, 2018). seiring dengan perkembangan teknologi yang kian pesat, media digital terus mengalami pembaharuan. hal ini juga berlaku pada media digital yang digunakan oleh opz dalam rangka mensosialisasikan kegiatan fundraising. proses transformasi yang dilakukan opz dalam mensosialisasikan programnya dan mengajak masyarakat untuk berzakat dan berdonasi, harus dilakukan dengan memanfaatkan beragam kanal yang tersedia. pertama, website. secara terminology, website adalah kumpulan dari halaman-halaman situs, yang biasanya terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya berada di dalam world wide web (www) di internet (proweb, 2011). selain itu, website dapat diartikan sebagai sekumpulan halaman yang memperlihatkan dan menampilkan informasi data dalam berbagai bentuk seperti teks, data gambar, data animasi, suara, video, dan gabungan dari semuanya, baik yang sifatnya statis maupun dinamis, serta membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait, di beberapa kalangan masyarakat, ada yang memanfaatkan beragam kanal media untuk melakukan sosialisasi. hal tersebut juga dilakukan oleh hampir seluruh instansi dan lembaga, termasuk opz, dalam hal sosialisasi dan penghimpunan dana. beberapa kanal tersebut antara lain (haselwood, 2018): 77optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yang kemudian masing-masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman atau hyperlink (hariyanto, 2015). secara garis besar dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa website merupakan informasi yang disampaikan dalam halaman-halaman situs yang ditempatkan setidaknya pada sebuah server web, yang dapat diakses melalui jaringan internet. dengan jangkauan internet yang sangat luas, maka sosialisasi yang dilakukan melalui website akan dapat menjangkau banyak kalangan masyarakat. secara umum, website telah digunakan oleh hampir seluruh perusahaan atau lembaga yang ada. sehingga dengan kata lain, sangat mungkin bagi opz untuk melakukan sosialisasi zakat guna menghimpun zakat dengan memanfaatkan media website tersebut. keuntungan dari pemanfaatan website tersebut, tentunya akan dirasakan oleh para penggunanya, misalkan mereka dapat dengan mudah mengakses informasi yang dipublikasikan di dalam laman web tersebut. apa yang telah dilakukan oleh sebagian besar opz, yaitu dengan melakukan sosialisasi program melalui website, sangat berpengaruh besar terhadap informasi yang diterima oleh masyarakat. dari hal tersebut, diharapkan masyarakat semakin sadar akan kewajibannya berzakat. kedua, email. dahulu, untuk melakukan korespondensi dengan suatu masyarakat atau komunitas di wilayah yang berbeda, manusia mengirim surat melalui kurir dan pos. seiring perkembangan teknologi, proses berkirim surat tersebut kini berevolusi dengan muncul teknologi berkirim surat dengan media internet, yang dikenal dengan email. guna menjaga koneksi dan hubungan yang berkesinambungan, pihak perusahaan atau lembaga pada saat ini umumnya memanfaatkan email sebagai media interaksi mereka. hal tersebut didukung argumen bahwa email merupakan media yang sangat efektif bagi perusahaan atau lembaga untuk menyapa konsumen dan saling berinteraksi. hal tersebut dapat dilakukan dengan tetap menjaga privasi mereka, dengan latar belakang yang beragam. 78 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) email marketing merupakan bentuk marketing langsung yang memanfaatkan media elektronik, untuk menyampaikan pesan-pesan komersil kepada penggunanya (stokes, 2013). stokes (2013) menjelaskan beberapa kelebihan email marketing dibandingkan dengan model marketing lainnya, antara lain: 1) pengeluaran biaya lebih efektif dan efisien; 2) target yang jelas dan terarah; 3) bisa dilakukan sesuai keinginan dan tujuan pemasar; 4) pencapaian dan keberhasilan dapat terukur. opz sebagai institusi nirlaba, juga turut melakukan hal yang serupa. hal tersebut karena opz merupakan lembaga yang juga dituntut menarik calon muzaki atau donatur untuk berzakat melalui lembaganya. dengan demikian, opz perlu memanfaatkan media email untuk berkomunikasi dengan para muzaki maupun calon muzaki. secara umum, opz memanfaatkan email tersebut dalam rangka menjaga komunikasi dan hubungan yang baik dengan para muzaki. hal itu dilakukan sebagai bentuk upaya opz menjaga loyalitas dan kepercayaan para muzaki. dengan demikian, zakat yang merupakan kewajiban yang berkesinambungan, akan dapat dilakukan oleh muzaki melalui opz tersebut. lebih lanjut stokes (2013) menjabarkan, berdasarkan isi dan konten email, terdapat dua jenis email marketing: pertama, promotional emails (email untuk promosi). email jenis pertama ini berupa pengirim menawarkan dan mengajak konsumen untuk melakukan transaksi tertentu. umumnya email ini bersifat langsung mengajak konsumen untuk melakukan sesuatu, sebagaimana yang dikutip oleh carmen dan nicolae (2010) bahwa email marketing menempati posisi pertama sebagai alat yang efektif dalam upaya meningkatkan permintaan pada sektor bisnis ritel. bahkan, posisi tersebut mengalahkan marketing dengan media search engine yang menempati posisi kedua. secara angka, penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan email sebagai media dan alat marketing mencapai 80% pada pengusaha bisnis ritel (carmen & nicolae, 2010). 79optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) atau menawarkan sesuatu. dalam hal ini, opz mengirimkan kepada muzaki atau calon muzaki suatu ajakan untuk berzakat secara langsung, dengan memberikan detil kontak dan penjelasan detil terkait mekanisme pembayarannya. kedua, retention based emails (newsletter). email pada jenis ini umumnya berisikan pesan–pesan promosi, namun dengan menyampaikan nilai dan informasi tambahan lain yang disampaikan untuk menjaga hubungan baik dengan konsumen. hal ini dilakukan opz dalam memberikan informasi terkait laporan kegiatan atau rencana program yang akan dijalankan oleh opz. pada akhirnya, opz mengajak masyarakat muzaki untuk berzakat dalam momentum tersebut. kedua, komunikasi dengan email yang dimulai oleh perusahaan. dalam hal ini, biasanya perusahaan penyedia barang atau jasa, mengirimkan email kepada para konsumennya. dengan upaya tersebut, pihak perusahaan dapat menjaga dan membangun loyalitas para konsumennya menjadi lebih baik. di samping itu, perusahaan juga dapat menyampaikan kepada para secara teori, email dapat dimanfaatkan sebagai alat komunikasi dan intermediasi antara suatu perusahaan dengan konsumennya. termasuk bagi opz, email dapat berfungsi sebagai media silaturahim antara opz dengan para muzaki. komunikasi melalui media email, terangkum ke dalam dua bentuk (carmen & nicolae, 2010): pertama, komunikasi dengan email yang dimulai oleh konsumen. umumnya hal ini terjadi ketika konsumen suatu barang atau jasa mendapati suatu masalah atau keluhan terkait barang atau jasa yang ia peroleh. karena itu, ia kemudian akan menghubungi perusahaan penyedia untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan yang dihadapi. dalam hal pengelolaan zakat, muzaki pun dimungkinkan menghadapi masalah layaknya seorang konsumen tersebut. dalam kaitan pengelolaan zakat, muzaki umumnya menghadapi kendala terkait proses penghitungan zakat yang ia keluarkan, hingga proses dan mekanisme penyerahan atau pembayaran zakat yang akan dilakukan. 80 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) konsumen, terkait agenda yang akan diselenggarakan oleh perusahaan yang dapat dihadiri oleh konsumen. langkah ini perlu diambil sebagai upaya menjaga hubungan baik antara perusahaan dengan para konsumennya. demi menjaga hubungan baik dengan para muzaki, opz pun dapat melakukan upaya serupa. yaitu dengan mengirimkan informasi terbaru seputar pengelolaan zakat di opz. selain itu, penyampaian informasi dan undangan kegiatan seperti workshop atau seminar yang diselenggarakan oleh opz pun dilakukan kepada para muzaki sehingga silaturahim antara opz dengan muzaki dapat terus terjalin dengan baik. komunikasi yang terjalin antara opz dengan muzaki, diharapkan dapat meningkatkan penghimpunan zakat yang dibayarkan oleh para muzaki tersebut. karena melalui komunikasi yang terjaga, kepercayaan akan terbangun. karena trust atau kepercayaan merupakan modal utama bagi opz untuk dapat menarik para muzaki menyalurkan zakatnya melalui opz. hal pertama yang harus diperhatikan adalah search engine. sangat maklum bahwa search engine seperti google, sangat mendukung pengiklanan dan promosi yang dilakukan secara online. hal itu karena pengguna dari search engine telah memiliki maksud dan tujuan terkait pasar atau produk, maupun jasa yang dibutuhkan dan dicari (lewandowski, 2017). selain google, beberapa search engine yang banyak digunakan di dunia antara lain; yahoo!, worldwide, baidu, microsoft’s live. dari beberapa search engine, berdasarkan data yang dirilis oleh comscore pada oktober 2007, google memiliki tingkat market share sebesar 60%, menempati posisi pertama (stokes, 2013). sejak tahun 2000, saat google telah memberlakukan model iklan dan promosi, beberapa perusahaan dan lembaga mulai menggunakan strategi search engine marketing (sem) pada usaha promosi dan iklan mereka. hal tersebut dengan didasari efektivitas dan efisiensi dari model ini. sem tersebut mulai diberlakukan oleh beberapa perusahaan yang mencakup 81optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) paid-search advertising dan search engine optimization, sebagai bentuk revolusi pada pemasaran online (lanz & fazzini, 2015). di era digitalisasi ini, perusahaan dituntut untuk aktif memanfaatkan teknologi media dalam mempromosikan barang atau jasa yang ditawarkan. beberapa perusahaan juga telah memanfaatkan langkah strategis untuk meningkatkan daya saing mereka melalui search engine optimization (seo) sebagai jalur alternatif menuju bisnis yang modern (bharata, 2016). tanpa terkecuali, opz juga perlu meningkatkan daya saing mereka di era digitalisasi ini. dengan memanfaatkan search engine optimization, mereka akan dapat lebih mudah mempromosikan program dan layasan jasa yang mereka tawarkan kepada para muzaki. kedua, social media marketing. social media marketing merupakan komunikasi dua arah yang kebanyakan dilakukan oleh pengguna berusia muda untuk mendapatkan empati dari kedua belah bihak. diyakini, bahwa kegiatan marketing dengan media sosial, dapat mengurangi kesalahpahaman terhadap suatu produk atau jasa yang ditawarkan. bahkan perkembangan penggunaan social media marketing menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan (aytekin & demirli, 2017). mulyono, syamsun, & najib (2016) menyebutkan pengertian dari media sosial sebagaimana dikutip dari kaplan & haenlein (2010) bahwa media sosial adalah grup aplikasi yang berbasis internet dan merupakan pengembangan dari teknologi web 2.0. media sosial memungkinkan penggunanya untuk membuat dan berbagi konten antar sesama. smith & zook (2011) mengutarakan bahwa media sosial kini telah memfasilitasi dan meningkatkan aliran informasi dengan membuatnya semakin lebih mudah menyebarkan informasi yang berguna kepada banyak orang. beberapa pihak menilai, seperti yang disampaikan lanz & fazzini (2015), bahwa social media marketing dianggap kurang konkret jika dibandingkan dengan search engine marketing. pada search engine marketing, jika konsumen mencari suatu barang atau jasa, maka ia akan mengunjungi situs mesin pencari (search engine), kemudian situs akan memberikan hasil 82 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) berupa opsi dan pilihan situs yang relevan. hasilnya, konsumen tinggal mengklik opsi situs yang dipilih, atau mencari kembali dari awal pencarian, atau bahkan mencukupkan pencariannya. ini yang dianggap bahwa search engine marketing lebih terukur. beberapa media sosial yang dapat dimanfaatkan di antaranya, blog, bookmarking, dan flickr. blog merupakan contoh yang paling familiar terkait media sosial. sejak hari-hari pertama muncul dan berkembangnya internet, beberapa pengguna internet, mulai menggunakan blog untuk membagikan konten-konten pribadi (stokes, 2013). menggunakan blog misalnya, pihak perusahaan atau individu yang akan mempromosikan usahanya, membuat akun pada salah satu layanan penyedia blog, seperti wordpress. setelah itu, pengguna akan diminta untuk membuat satu atau beberapa kategori di dalamnya. pratama (2015) menjelaskan, setelah membuat akun di wordpress tersebut, pengguna kemudian dapat memposting artikel mengenai produk atau jasa yang ia tawarkan. kaitannya dengan pengelola zakat, pihak opz pun dapat memanfaatkan media sosial dalam rangka mensosialisasikan programprogramnya. hal tersebut akan berdampak positif bagi para muzaki, misalkan para muzaki akan dengan mudah mendapatkan informasi terkait program dan layanan zakat yang ditawarkan oleh opz. gencarnya kampanye dan sosialisasi melalui media sosial, diyakini mampu memberikan edukasi kepada masyarakat luas. hal itu mengingat, pengguna media sosial yang beragam secara usia, mulai dari muda hingga dewasa. dengan begitu, syiar zakat akan dapat digelorakan kepada semua khalayak. ketiga, social network. social network atau jejaring sosial merupakan salah media pada jaringan internet yang dapat digunakan dalam sosialisasi dan promosi. contoh social network yang paling banyak digunakan di indonesia, bahkan dunia, adalah facebook (pratama, 2015). bahkan di beberapa negara termasuk armenia, facebook menjadi jejaring sosial yang paling banyak digunakan, diikuti setelahnya adalah youtube, odnoklassniki, vkontakte, 83optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) twitter, linkedin dan instagram. hal ini merujuk kepada perankingan yang dilakukan oleh alexa yang dihitung menggunakan kombinasi ratarata pengunjung hariannya dan seberapa sering halaman tersebut dilihat (movsisyan, 2016). dari data yang dihimpun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh moro (2016), menunjukkan bahwa facebook merupakan jejaring sosial yang paling banyak digunakan di dunia, dengan rata-rata sejumlah 1,28 miliar pengguna aktif pada tahun 2014, disusul youtube dengan 1 miliar pengguna aktif, dan google+ dengan 540 juta (laureano, fernandes, hassamo, & alturas, 2018). melalui aplikasi ini, para pengguna dapat bertukar informasi, dan berkomunikasi, hingga berbagi album foto, dan menjadi bagian atau anggota dari suatu komunitas atau grup di jejaring sosial tersebut. merujuk kepada besarnya data penggunanya, sudah sangat maklum, jika sosialisasi suatu barang atau jasa yang dilakukan melalui aplikasi ini bisa mendapat pengaruh yang sangat signifikan. dengan kemudahan yang diberikan, dengan biaya yang relatif murah, atau bahkan nyaris tanpa biaya, sosialisasi dapat dilakukan dengan sangaat mudah bagi para pengusaha atau organisasi yang akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. langkah beberapa opz yang telah menggalakkan sosialisasi program dan layanan zakat melalui jejaring sosial perlu diapresiasi. dengan potensi pengguna jejaring sosial yang sangat tinggi, dan dengan jumlah pengguna yang sangat besar, diharapkan program-program zakat yang dilakukan oleh beberapa opz dapat tersosialisasi kepada masyarakat dengan baik. hal ini, tentunya menjadi harapan besar bagi opz untuk menjaring muzaki atau calon muzaki sebanyak-banyaknya. 84 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kesimpulan dan saran kesimpulan sosialisasi zakat melalui kanal digital fundraising pada saat ini menjadi mutlak adanya. dengan adanya tuntutan kemajuan zaman di era digital ini, masyarakat berhak mendapatkan kemudahan untuk mengakses dan menerima berbagai informasi, termasuk informasi terkait pengelolaan zakat. dari sisi ini, opz dituntut mengembangkan diri menjadi institusi yang amanah, kredibel, serta profesional. profesionalisme opz saat ini, akan dapat dilihat dengan langkah progresif yang dilakukan, yaitu dengan bertransformasi menuju pemanfaatan kanal digital fundraising dalam setiap kegiatan sosialisasi dan penghimpunan zakatnya. banyaknya pengguna internet dewasa ini, menjadikan kanal digital fundraising sebagai fokus perhatian opz. pihak opz harus mampu mengoptimalkan kanal-kanal digital fundraising seperti website, email marketing, search engine marketing, social media marketing, hingga social network. kanalkanal tersebut perlu dimanfaatkan opz dalam rangka menyampaikan berbagai program pengelolaan zakat, khususnya terkait penghimpunan zakat. tentunya sosialisasi tersebut mutlak diperlukan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kewajiban berzakat. saran terkait simpulan yang didapatkan dari penelitian tersebut, saran yang dirumuskan lebih mengarah pada bentuk sosialisasi zakat melalui berbagai kanal digital fundraising strategi ini diyakini untuk membangun kembali kesadaran masyarakat muslim atas kewajiban berzakat. selain itu, kepercayaan masyarakat terhadap opz akan kembali meningkat seiiring dengan transparansi yang diimplementasikan opz melalui media digital. dengan demikian, penghimpunan zakat yang dilakukan opz akan dapat terealisasi lebih optimal, dan tujuan serta hikmah zakat akan dapat terwujud secara nyata dan maksimal. 85optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) daftar pustaka abidah, a. (2016). analisis strategi fundraising terhadap peningkatan pengelolaan zis pada lembaga amil zakat kabupaten ponorogo. kodifikasia, 10(1), 109–131. aflah, n. (2009). arsitektur zakat indonesia. jakarta: ui press. ahmad, m. u., & mahmood, a. (2009). zakat fund-concept and perspective. international journal of monetary economics and finance, 2(3/4), 197–205. https://doi.org/10.1504/ijmef.2009.029058 al-harawi, s. a. ‘ubaid al q. bin s. (2009). kitab al-amwal. kairo: daar as-salaam. al-juzairy, a. (2014). al-fiqh ‘ala al-mazahib al-arba’ah. kairo: dar aljauzy. ananda, i. p. (2017). world muslimah sebagai budaya populer dalam bingkai media online islam. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(10), 165–190. https://doi.org/10.22515/balagh. v2i2.983 andiani, k., hafidhuddin, d., beik, i. s., & ali, k. m. (2018). strategy of baznas and laku pandai for collecting and distributing zakah in indonesia. al-iqtishad: journal of islamic economics, 10 (2) (july), 417–440. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.15408/aiq. v10i2.6943 ariesta, o., & palupi. (2016). strategi komunikasi crowdfunding melalui media sosial (universitas muhammadiyah surakarta). retrieved from http://eprints.ums.ac.id/43865/ aytekin, ç., & merve keskin demirli, s. (2017). the role of social media in real estate marketing: a research on the transformation of real estate marketing in turkey. marmara üniversitesi öneri dergisi @bullet cilt, 12(48), 17–35. https://doi.org/10.14783/ maruoneri.vi.331567 azmi, s. (2005). menimbang ekonomi islam. keuangan publik, konsep perpajakan, dan peran bait al-mal. bandung: penerbit nuansa. bariyah, n. o. n. (2016). strategi penghimpunan dana sosial ummat pada lembaga-lembaga filantropi di indonesia (studi kasus dompet 86 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) peduli ummat daarut tauhid, dompet dhuafa republika, baznas, dan bazis dki jakarta). jurnal studi ekonomi dan bisnis islam, i(1), 22–34. https://doi.org/10.31332/li%20falah. v1i1.472 baznas. (2018). form jemput zakat. retrieved september 28, 2018, from baznas.go.id website: https://baznas.go.id/id/jemput-zakat bharata, w. (2016). peran layanan jasa search engine optimization untuk meningkatkan daya saing pada bisnis startup (studi pada kaldera trail and jeep adventure malang). al tijarah, 2(2), 169–189. https://doi.org/10.21111/tijarah.v2i2.741 bruce, i. (2018). digital and mobile fundraising. retrieved september 25, 2018, from knowhow.ncvo.org.uk website: https://knowhow.ncvo. org.uk/funding/fundraising/individual-giving/digital-fundraising carmen, p., & nicolae, p. a. (2010). email marketing campaigns: the easiest path from organizations to consumers–an exploratory assessment. annals of the university of oradea, 1(1), 737–742. eugenia, i. (2017). website tool of marketing strategy? ovidius university annals, economic sciences series, ovidius university of constantza, faculty of economic sciences, 0(1), 302–306. forum zakat. (2010). daftar amil forum zakat. retrieved september 23, 2018, from forumzakat.net website: http://www.forumzakat.net/ index.php?act=zis&hal=10 hariyanto, a. (2015). membuat web profil sekolah + ppdb online. yogyakarta: lokomedia. hasanah, u. (2015). sistem fundraising zakat lembaga pemerintah dan swasta. istiqra: jurnal penelitian ilmiah, 3(2), 226–249. https://doi. org/10.24239/istq.v3i2.174.226-249 haselwood, j. (2018). fundraising roadmap: how to prioritize your digital fundraising channels. retrieved september 25, 2018, from forbes.com website: https://www.forbes. com/sites/forbescommunicationscouncil/2018/05/02/ fundraising-roadmap-how-to-prioritize-your-digital-fundraisingchannels/#55031a7e1f3f hayati, k., & caniago, i. (2011). zakat potential as a means to overcome poverty (a study in lampung). journal of indonesian economy and business, 26(2), 187–200. https://doi.org/10.22146/jieb.6270 87optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kaplan, a. m., & haenlein, m. (2010). users of the world, unite! the challenges and opportunities of social media. business horizons, 53(1), 59–68. https://doi.org/10.1016/j.bushor.2009.09.003 kasri, r. a., & putri, n. i. s. (2018). fundraising strategies to optimize zakah potential in indonesia: an exploratory qualitative study. al-iqtishad: jurnal ilmu ekonomi syariah (journal of islamic economics), 10(1), 1–24. https://doi.org/10.15408/aiq.v10i1.6191 khan, m. a. (1994). an introduction to islamic economics. lahore: iist. kholis, n., sobaya, s., andriansyah, y., & iqbal, m. (2013). potret filantropi islam di provinsi daerah istimewa yogyakarta. la riba jurnal ekonomi islam, 7(1), 61–84. kotler, p. (2000). marketing (1st ed.; h. purwoko, ed.). jakarta: erlangga. kusmanto, a. (2014). peran lembaga amil zakat nasional dalam penghimpunan dana zakat, infaq, dan shodaqoh. pandecta: research law journal, 9(2), 292. https://doi.org/10.15294/ pandecta.v9i2.3581 kusumastuti, y. i. (2009). komunikasi bisnis. bogor: ipb press. lanz, l. h., & fazzini, j. (2015). search engine marketing (sem): financial & competitive advantages of an effective hotel sem strategy. retrieved september 25, 2018, from www.bu.edu website: https://www.bu.edu/bhr/2015/05/11/search-engine-marketingsem-financial-competitive-advantages-of-an-effective-hotel-semstrategy/ laureano, r. m. s., fernandes, a. l., hassamo, s., & alturas, b. (2018). facebook satisfaction and its impacts on fundraising: a case study at a portuguese non-profit organization. journal of information systems engineering & management, 3(31), 1–12. https:// doi.org/10.20897/jisem.201804 lestari, p., pratiwi, u., & ulfah, p. (2015). identifikasi faktor organisasional dalam pengembangan “ e-governance “ pada organisasi pengelola zakat. mimbar, 31 (1)(juni), 221–228. lewandowski, d. (2017). users’ understanding of search engine advertisements. journal of information science theory and practice, 5(4), 6–25. https://doi.org/10.1633/jistap.2017.5.4.1 movsisyan, s. a. (2016). science direct social media marketing strategy of yerevan brandy company. annals of agrarian sciences, 14(3), 243– 88 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 248. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.aasci.2016.08.010 mulyono, d., syamsun, m., & najib, m. (2016). pengaruh media sosial terhadap keputusan memberikan donasi pada rumah zakat (institut pertanian bogor). retrieved from https://repository.ipb.ac.id/ handle/123456789/82803 niamulloh. (2013). metode fundraising dana zakat, infak dan sedekah pada badan amil zakat daerah (bazda) kabupaten sukabumi. empati: jurnal ilmu kesejahteraan sosial, 2(1), 78–88. https://doi. org/10.15408/empati.v2i1.9769 nuradi, ibdalsyah, h., & qulazhar, m. t. (2018). analysis of zakat funds collection strategy and distribution pattern. prosiding incisst stiba ar-rayah, 1(1). nuruddin, a. (2010). dari mana sumber hartamu. jakarta: penerbit erlangga. pratama, i. p. a. e. (2015). e-commerce, e-business, dan mobile commerce. bandung: informatika. proweb. (2011). website adalah…. retrieved september 23, 2018, from www.proweb.co.id website: https://www.proweb.co.id/articles/ web_design/website_adalah.html purnamasari, d., & firdaus, a. (2016). analisis strategi penghimpunan zakat dengan pendekatan business model canvas. human falah, 4 (2)(desember), 260–285. qardhawi, y. (2010). shadaqah, cara islam mengentaskan kemiskinan. bandung: pt. remaja rosda karya. qardhawi, y. (2011). hukum zakat (terj). bogor: pustaka litera antarnusa. rachman, m. a., & salam, a. n. (2018). the reinforcement of zakat management through financial technology systems. international journal of zakat, 3 (1)(1), 57–69. rais, i. (2009). muzakki dan kriterianya dalam tinjauan fikih zakat. aliqtishad, 1(1), 91–106. ridwan, m. (2016). analisis model fundraising dan distribusi dana zis di upz desa wonoketingal karanganyar demak. jurnal penelitian, 10(2), 295–321. https://doi.org/10.21043/jupe.v10i2.1879 sakinah, k., & ucu, k. r. (2018). baznas kembangkan inovasi digital untuk tingkatkan zakat. retrieved september 23, 2018, from 89optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) www.republika.co.id website: https://www.republika.co.id/berita/ dunia-islam/islam-nusantara/18/01/27/p381kf282-baznaskembangkan-inovasi-digital-untuk-tingkatkan-zakat sasongko, a., & ariefyanto, m. i. (2012). waduh, 12 persen organisasi pengelola zakat tak punya visi dan misi. retrieved september 23, 2018, from www.republika.co.id website: https://www.republika. co.id/berita/syariah/keuangan/12/01/30/lym2qb-waduh-12%0apersen-organisasi-pengelola-zakat-tak-punya-visi-dan-misi siregar, s. (2016). problematika fundraising zakat: studi kasus baznas di sumatera utara. miqot: jurnal ilmu-ilmu keislaman, xl(2), 247– 266. https://doi.org/10.30821/miqot.v40i2.299 smith, p. r., & zook, z. (2011). marketing communications: integrating offline and online with social media (5th ed). london, uk: kogan page. stokes, r. (2013). e-marketing: the essential guide to online marketing (5th ed). red & yellow. syarifah, m. (2016). budaya dan kearifan dakwah. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 1(1), 23. https://doi.org/10.22515/ balagh.v1i1.43 syekh, s. bin a. a. (2009). kitab al-fiqh al-muyassar. riyadh: daar a’lam as-sunnah. warwick, m. (1999). fundraising forum: how big a gift should you ask for? nonprofit world, 17, 15–16. widarwati, e., afif, n. c., & zazim, m. (2016). strategic approcah for optimizing of zakah institution performance: customer relationship management. al-iqtishad: journal of islamic economics, 9(1), 81–94. https://doi.org/10.15408/aiq.v9i1.4010 zaimah, n. r. (2017). analisis progresif skema fundraising wakaf dengan pemanfaatan e-commerce di indonesia. anil islam, 10(2), 285–316. 90 optimalisasi penghimpunan zakat melalui digital fundraising ade nur rohim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 1, january – june 2019, pp. 59 90, doi: 10.22515/balagh.v4i1.1556 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 1. artikel bersifat ilmiah berisi hasil riset empiris atau gagasan konseptual dan belum pernah dipublikasikan di sebuah jurnal. artikel juga bukan merupakan satu bab utuh dari tesis atau disertasi. 2. panjang artikel antara 15-30 halaman, tidak termasuk judul, abstrak (abstract), kata kunci (keywords), dan bibliografi. 3. artikel terdiri dari beberapa bagian, yaitu: judul, nama penulis, abstrak (200-250 kata), kata kunci (maksimal 5 kata), dan bibliografi, dengan detil ketentuan sebagai berikut: • penulisan judul tidak boleh lebih dari lima belas (15) kata. • nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dilengkapi dengan asal institusi, alamat korespondensi (e-mail address), serta nomor telephone/handphone. • abstrak terdiri dari konteks diskursus area disiplin; tujuan penulisan artikel; metodologi (jika ada); temuan riset; kontribusi tulisan di dalam area disiplin. abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan indonesia. • pendahuluan terdiri dari pemetaan penelitian terdahulu (literature review, sebaiknya temuan riset sepuluh tahun terakhir) dan novelti tulisan; batas permasalahan yang dibahas; dan argumentasi utama tulisan. • pembahasan berisi proses reasoning argumentasi utama tulisan. • kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan tulisan, berdasarkan perpektif teoritis dan konseptual yang dibangun oleh penulis. • referensi mencantumkan sumber pustaka yang menjadi rujukan. • gaya kutipan menggunakan american psychological association (apa) 6th edition, memakai model pengutipan body note (penulis tahun), dengan ketentuan detail sebagai berikut: ketentuan penulisan artikel 1. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) 2. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) 3. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ind onesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) 4. article of the journal a. journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) b. journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) c. e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) 5. article website a. dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) b. tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta : magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) 7. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 4. penulisan gaya pengutipan dihimbau menggunakan perangkat citation manager, seperti mendeley, zotero, endnote, refworks, bibtext dan lain sebagainya dengan memakai american psychological association (apa) 6th edition. 5. transliterasi bahasa arab menggunakan standar international journal of middle eastern studies, detail transliterasi dapat diunduh di http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 6. artikel bebas dari unsur plagiat, dengan melampirkan bukti (screenshot) bahwa artikel telah dicek memakai piranti lunak antiplagiat, misalnya, tetapi tidak terbatas pada, plagiarism checker (plagramme.com). 6. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 editorial team editor-in-chief akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta, indonesia editor imam mujahid, (scopus id : 57208214175); institut agama islam negeri surakarta, central java, indonesia waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga, yogyakarta, indonesia soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda, indonesia ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta, indonesia rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 daftar isi dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim 169 198 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono 199 234 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih 235 262 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih 263 292 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari 293 316 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah 317 336 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta keywords: indentity; islamic media; muslim children literature; religious authority; visual islam http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: kirana.lyansari@gmail.com abstract moslem children have tended to learn religious teaching through teachers at the taman pendidikan alqur’an (tpa) and boarding school. through the old religious authority, a teacher or cleric provided islamic teaching taken from the classic books. however, in this millennial era, the old religious authorities must be collaborated with alternative kinds of literature, such as popular islamic children books. this paper would like to see the presence of islamic children’s visual literature over the past few years as an alternative source of religious authority by analyzing the visual images and text displayed. the generation of millennial muslim children consumes practical, interesting, and fun religious knowledge through islamic visual literacy. the visual literature of the islamic children in this paper includes three domains of analysis, namely: theology, daily ethics, and sirah nabi. this paper argues that the presence of islamic children’s visual literature is as a media response in promoting polite preaching among millennial generation, as well as constructing alternative religious authority as a source of creating a new identity. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 294 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak anak-anak muslim selama ini cenderung belajar agama melalui guru-guru di taman pendidikan al-qur’an (tpa) dan pesantren. melalui otoritas keagamaan versi lama tersebut, seorang guru atau bahkan kiai memberikan tausiah keislaman yang bersumber dari kitab-kitab klasik. namun demikian, di era milenial, otoritas keagamaan lama harus berkontestasi dengan literatur alternatif, seperti sejumlah buku populer anak islam. tulisan ini ingin melihat kehadiran literatur visual anak islam selama beberapa tahun terakhir sebagai sumber alternatif otoritas keagamaan dengan menganalisis visual gambar dan teks yang ditampilkan di dalamnya. generasi anak muslim milenial mengonsumsi pengetahuan keagamaan melalui literasi visual islam yang lebih praktis, menarik, dan menyenangkan. literatur visual anak islam dalam tulisan ini meliputi tiga ranah analisis, yaitu: teologi, daily ethics, dan sirah nabi. tulisan ini berargumen bahwa kehadiran literatur visual anak islam merupakan respons media dalam mempromosikan dakwah moderat di kalangan generasi milenial, sekaligus membangun otoritas keagamaan alternatif sebagai sumber pembentuk identitas baru. kata kunci: identitas; literatur anak muslim; media islam; otoritas keagamaan; visual islam how to cite (apa 6th style): lyansari, k. n. (2019). belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2), 293–316. https://dx.doi.org/10.22515/balagh.v4i2.1821 pendahuluan sebelum era digital, anak-anak desa memiliki tradisi belajar mengaji di masjid bersama kiai setempat. namun, setelah marak dunia daring, kegiatan tersebut sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. teknologi memberikan tawaran menarik bagaimana seorang anak dapat belajar secara mudah dan praktis. teknologi berdampak pada minimnya anak-anak desa mengaji. dewasa ini, di daerah perkotaan, masyarakat ekonomi menengah ke atas tidak sulit memilih sekolah berstandar tinggi untuk anak-anaknya. 295belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) fenomena ini diikuti dengan keputusan menentukan cara belajar agama secara mudah, praktis, dan hemat waktu (kuntowijoyo, 2018). salah satu pilihan alternatif adalah dengan ketersediaan literatur visual anak islam. kehadirannya yang masih konsisten menunjukkan ada bagian masyarakat yang mengkonsumsinya. di indonesia, literatur visual berwujud buku-buku populer dan komik islam. keduanya mengajarkan nilai keagamaan praktis yang mulai diproduksi secara luas sejak tahun 1960an (cnn indonesia, 2019). di turki, perkembangan media alternatif islam telah berlangsung sejak tahun 1990-an. buku tersebut dibuat sangat menarik dengan menggunakan gambar berwarna-warni. kehadiran buku-buku ini menjawab pertanyaan orang tua kekinian yang ingin mengajarkan berislam secara modern kepada anak (azak, 2013). seorang anak tidak perlu keluar rumah untuk belajar agama. mereka dapat belajar kapan saja sesuai waktu dan pengetahuan apa yang diinginkan. buku-buku tersebut dapat mendukung pendidikan keagamaan yang telah diperoleh anak dari sekolah. namun, bagaimana dan apa kriteria sebuah buku dianggap baik dan sesuai untuk pembelajaran bagi anak? dari pertanyaan inilah muncul tindakan seleksi dari orang tua untuk memilih buku mana yang baik untuk anak mereka, secara khusus pemilihan pada materi emosi dan nilai moral (lesnik-oberstein 2002). penelitian ini memetakan literatur visual anak islam dalam tiga ranah berbeda, yaitu teologi, sejarah (sirah), dan etika sehari-hari. bagaimana literatur visual anak islam mengkonstruksi pemahaman dan pemaknaan anak terhadap nilai-nilai islam? peneliti berpendapat bahwa visualisasi islam di indonesia merupakan bentuk respons alternatif media terhadap perkembangan dakwah milenial; sekaligus hal ini memungkinkan menjadi alternatif otoritas keagamaan. dalam otoritas keagamaan yang lama, kiai/ ustaz serta sumber keagamaan klasik memegang peran pusat pengetahuan agama. sedangkan sekarang, kehadiran literatur visual anak islam mulai 296 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) membentuk peran sumber ajaran keagamaan. otoritas keagamaan alternatif ini secara implisit menuntun anak muslim milenial menjadi moderat dan memiliki kesalehan sosial di era milenial. penelitian ini menganalisis literatur visual anak islam yang beredar dan dapat dibeli di toko-toko buku. fokus utama yang ingin dilihat yaitu narasi visual islam dan teks pendukung yang tertulis dalam literatur visual anak islam. penelitian ini diharapkan berdampak pada peningkatan kesadaran untuk memilih buku sebagai referensi dan literatur visual dalam pembelajaran anak secara tepat, sehingga internalisasi nilai agama ke dalam diri anak menjadi berkualitas. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kualitatif. data diperoleh dengan melihat buku-buku anak muslim yang tersedia di toko buku mizan, yogyakarta. teknik pengambilan sample menggunakan simple random sampling. dari keseluruhan buku yang ada, peneliti memutuskan memilih seri islamic princess dan daily ethics sebagai representasi buku anak yang memiliki visual gambar dominan, kekinian dan menarik. seri tersebut merupakan salah salah satu seri yang di dalamnya memuat materi islam cukup komprehensif yakni aplikasi akhlak kehidupan sehari-hari yang memuat rukun islam dan rukun iman. peneliti mencoba melihat nilai dan pesan edukatif di dalam isi buku tersebut dengan fokus memahami serta menganalisis baik tampilan visual maupun teks. hasil penelitian dan pembahasan literatur visual: sebuah tren kehadiran literatur visual anak islam di era milenial merupakan suatu fenomena yang penting dikaji di saat media online mendominasi segala aspek kehidupan. sekitar akhir abad ke-20, literatur keislaman anak telah diproduksi massal mulai dari negara-negara di timur tengah 297belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) juga negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya, termasuk indonesia (azak, 2013). kehadirannya tidak menyampaikan literatur utama seperti al-qur’an dan hadis secara literal, akan tetapi disesuaikan dengan metode dakwah kontemporer. anak-anak kini dapat belajar agama melalui berbagai sumber dalam bentuk buku story telling atau pun komik. literatur visual anak islam dibuat sedemikian rupa sebagai bahan ajar nilai-nilai agama islam kepada anak. nilai yang ditampilkan dalam literatur visual anak islam beragam, mulai dari bidang teologi, daily ethics, hingga sejarah nabi. bila dilihat dari tampilannya, literatur visual anak islam terdiri dari dua unsur. pertama, unsur ilustrasi, digunakan sebagai imajinasi atas konteks topik yang sedang dibahas. ilustrasi dalam literatur visual anak islam menampilkan berbagai macam bentuk seperti manusia, hewan, lingkungan rumah, lingkungan masyarakat, dan masih banyak lagi. kedua, unsur teks, digunakan untuk menyampaikan maksud pesan yang ada di dalam ilustrasi. keduanya saling melengkapi dalam rangka mencapai tujuan pembuatan buku, memberikan pemahaman kepada anak mengenai nilainilai keagamaan. bahasa yang digunakan dalam buku anak menawarkan wacana konten implisit baik cerita maupun pesan (stephens, 2002). karakter ini berbeda dengan literatur keagamaan klasik, hanya terdiri dari satu unsur saja, yaitu teks. literatur visual anak islam merupakan salah satu dari bentuk visual research (visual studies dan visual culture). visual research dalam penelitian ini yaitu manifestasi dari studi image. ada hubungan isu yang dapat diobservasi dalam visual research, antara lain: ruang dan tujuan pembuatan visualisasi itu sendiri. selama ini visual research mengkaji objek semacam gambar (image), ilustrasi, icon, komik dan video atau film (emmison, smith, and mayall, 2012). visual research tidak dapat berdiri sendiri, perlu dianalisis dengan disiplin lain misalnya sosiologi atau antropologi sehingga termasuk dalam studi interdisiplin (schroeder, 2002). visual research telah dilakukan di beberapa negara lain seperti iran dan suriah (heidemann, 2013); mesir 298 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (kubala, 2013); amerika (lewis, 2014) dan jepang (ito, 2008). dari contoh visual studies yang telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar ingin melihat relasi antara visual dan agama. menurut williams, alasan mengapa agama perlu diteliti pada aspek visual karena agama merupakan sistem simbol sehingga terdapat bukti-bukti yang berkaitan dengan perilaku keagamaan (willams, 2014). sejak dulu agama-agama seperti protestan, yahudi, dan islam menggunakan ikon-ikon untuk merepresentasikan pengalaman keagamaan dari kitab suci (morgan, 2005). selain itu, karakter menonjol literatur postmodern adalah adanya ideologi yang ditanam dalam teks. teks tersebut disajikan dengan strategi dan narasi nilai dan sikap secara natural, tidak terkecuali literatur anak (allan, 2012). seiring perkembangan teknologi, pengalaman keagamaan secara visual juga mengalami perkembangan digital dan cetak. salah satu contoh perkembangan tersebut yaitu hadirnya literatur visual anak islam. tidak hanya di indonesia, literatur visual anak islam juga hadir di negara mayoritas penduduk muslim lainnya seperti iran. dalam hal metodologi, visual research telah mengalami perkembangan berulangulang sejak tahun 1942 sampai 1998 hingga menemukan bentuk analisis mendalam seperti sekarang (margolis & pauwels, 2011). beberapa indikator yang dapat dilihat pada visual research seperti value, warna, dan kultur (leeuwen, 2001). penelitian azak (2013) menyatakan literatur anak di london pada tahun 1970an dibuat sebagai bentuk kritik literasi, perlawanan atas sejarah dan kultur yang ada di masyarakat. literatur anak di london tersebut sebagai bentuk konstruksi atas ideologi tertentu, moral dan representasi gender. di iran, literatur anak cukup efektif digunakan dalam pembelajaran keagamaan. beberapa studi yang telah disampaikan di atas menemukan adanya keterkaitan antara dunia visual anak dengan peristiwa yang terjadi pada suatu negara baik sebagai kritik maupun pendidikan. dari sinilah objek visual perlu untuk dikaji pada setiap kurun waktu tertentu. berbeda dengan 299belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) penelitian sebelumnya, tulisan ini lebih ingin melihat bagaimana literatur anak menjadi otoritas alternatif untuk mempelajari pendidikan agama islam dan konstruksi identitas terhadap anak muslim milenial. belajar agama secara visual tulisan ini fokus terhadap tiga ranah visual islam anak, yaitu teologi, etika keseharian dan sirah nabi. tiga ranah tersebut mewakili indikator pembentukan identitas anak muslim baik dari spiritual (keimanan) dan sikap (akhlak). pertama, bidang teologi. literatur visual anak islam yang termasuk dalam bidang ini tidak hanya membahas mengenai pengetahuan keimanan dan ibadah, tetapi juga bagaimana unsur-unsur ketuhanan diaplikasikan dalam keseharian melalui story telling. kedua, daily ethics. etika keseharian dalam literatur visual anak islam meliputi pengetahuan akhlak yang berasal dari hadis baik ditujukan untuk pribadi anak maupun perilaku antarindividu dan masyarakat yang lain. ketiga, mengenai sejarah; dalam penelitian ini yang dimaksud yaitu sirah nabi. sirah nabi dalam literatur visual anak islam berbentuk potongan-potongan kisah nabi, yang sebagian besar menceritakan mukjizat nabi-nabi dan akhlak nabi muhammad. masing-masing visual dari tiga ranah tersebut memiliki nilai visual penting untuk dikaji lebih lanjut dalam pembahasan berikut. ada dua unsur dalam literatur visual anak islam, teks dan visual. teks dalam penelitian ini adalah kalimat atau kata yang tercetak di literatur visual anak islam. dalam literatur visual anak islam, nilai keimanan ditransformasikan ke dalam subjudul dengan tidak menggunakan kata iman atau beriman tetapi menggunakan kalimat seperti: islam itu hebat; islam membuat jalan kita terang; aku sayang allah; aku cinta kitab suci; janjiku kepada allah swt.; cita-citaku ingin naik haji; aku bisa sholat dan berdoa dan lain sebagainya (amalee, 2017). kata ‘iman’ atau ‘beriman’ yang berarti percaya atau yakin mengalami perubahan personifikasi menjadi kata cinta, sayang, dan cita-cita. 300 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) literatur visual anak islam sering menggunakan kalimat-kalimat persuasif dan positif dalam setiap judul bacaannya seperti berbagi kasih sayang, mari saling memberi hadiah, mari saling membantu, berilah senyumanmu, menahan marah, menjenguk teman yang sakit, belajar bersabar, mari berbagi, yuk jaga kebersihan, berkata jujur (kultu, 2016). kalimat-kalimat judul tersebut bersumber dari hadis dan telah mengalami modifikasi cerita dalam keseharian anak, tidak lagi menggunakan latar cerita munculnya hadis pada masa nabi. perubahan secara teks juga terdapat pada story telling islamic princess. telah kita ketahui, princess berawal dari cerita walt disney yang kemudian diadopsi menjadi cerita berbeda namun tetap dengan tema yang sama yaitu princess. umat muslim selama ini telah meyakini asmaul husna atau nama baik allah yang berjumlah 99. adapun contoh asmaul husna antara lain al malik, al quddus, as salam, al mu’min, al muhaimin, al aziz, al jabar dan seterusnya. lima tahun terakhir, story telling telah mengadopsi asmaul husna ke dalam kisah princess. islamic princess memiliki nama asmaul husna yang dimodifikasi sedemikian rupa seperti princess rasyida, princess malika, princess noura, princess barruna, princess qoyyuma, princess wahabidah dan princess qawiya (syahbani dkk, 2013). sebagaimana diketahui adanya cerita princess bermula dari kartun barat (new york, amerika serikat) yaitu kisah princess walt disney seperti cinderella, snow queen, sleeping beauty, beauty and the beast dan lain-lain. nama-nama princess telah mengadopsi asmaul husna ke dalam kehidupan sehari-hari manusia yaitu dengan menjadikannya sebagai nama seseorang. tidak hanya nama saja yang diadopsi dari asmaul husna tetapi juga karakter dari princess tersebut sesuai dengan arti namanya, seperti princess barruna yang berarti penderma memiliki sifat yang gemar bersedekah. tidak hanya nama saja, dari kalimat yang digunakan dalam percakapan, princess menggunakan beberapa kalimat yang sejatinya berasal dari bahasa arab seperti assalamu’alaikum, wa’alaikum salam, dan astaghfirullah. 301belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suatu pagi, princess wahhaabidah melihat gerobak terperosok di halaman istana. gerobak itu membawa hasil panen untuk raja. “assalamu’alaikum, paman. ada yang bisa kami bantu?” tanya princess wahhaabidah. “wa’alaikum salam, princess. roda gerobak saya patah,” jawab paman petani. “oh jangan khwatir! kami akan menolong paman,” kata princess wahaabidah sambil melambaikan tangan memanggil prajurit istana. dengan sigap, para prajurit istana mengangkat gerobak dan memperbaiki roda yang patah. sementara itu... “astaghfirullah, paman terluka! luka paman harus segera diobati! seru princess wahhaabidah (syahbani dkk, 2013). assalamu’alakum digunakan umat muslim untuk memberikan salam kepada sesamanya, sedangkan wa’alaikum salam merupakan kalimat jawaban dari ucapan salam tersebut. penggunaan bahasa arab di dalam kehidupan masyarakat melayu terutama indonesia telah menjadi hal wajar. ini dapat dilihat dari adanya beberapa kosa kata melayu yang diserap dari bahasa arab. namun, keberadaan kalimat-kalimat tersebut dalam dongeng princess menjadi keunikan tersendiri karena melihat kultur yang ditampilkan dalam islamic princess. dari uraian tersebut, islamic princess telah mengalami islamisasi dengan adanya penambahan teks-teks bahasa arab ke dalamnya. literatur visual anak islam cenderung menggunakan bahasa personifikasi, dekat dengan anak-anak, lebih persuasif, dan telah mengalami kontekstualisasi dengan cerita. dengan begitu anak tidak kesulitan mengingat, menerima dan memahami. selama ini konsep princess dekat dengan tokoh puteri yang memiliki rambut panjang terurai tidak mengenakan jilbab. islamic princess justru menampilkan sosok puteri menggunakan gaun berwarna-warni beserta jilbab dengan hiasan-hiasan menawan seperti perhiasan mahkota, bunga dan renda. mereka diilustrasikan tinggal di istana besar dan indah, dengan status anak dari raja dan ratu yang memerintah pada suatu daerah, misalnya princess malika merupakan putri dari raja avicenna yang tinggal di istana alchemist (syahbani dkk, 2013). 302 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gambar 1. ilustrasi princess malika dan princess selena (syahbani dkk, 2013). islamic princess mengindikasikan adanya pembauran budaya antara islam yang disebut berasal dari timur dengan princess yang berasal dari barat melalui visual, kultur dan bahasa yang digunakan. apabila dihubungkan dengan apa yang sedang terjadi sekarang ini, adanya konflik di timur tengah dan isu terorisme, kedua wilayah tersebut sangat kontras. namun sebaliknya, islamic princess dapat dikatakan berhasil membuat “perdamaian” atau jalan tengah dalam menyikapi jarak dan perbedaan budaya global. fenomena princess seperti halnya fenomena barbie (tiga dimensi). sebenarnya fenomena islamisasi berbie di indonesia telah terjadi pada tahun 2005. barbie tidak lagi menggunakan pakaian minim, tetapi menggunakan jilbab bahkan cadar. hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat usaha pembentukan identitas keagamaan pada anak melalui mainan (budiyanto, 303belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 2009). tidak hanya di indonesia, chador barbie juga terdapat di yaman. kehadiran chador barbie merupakan representasi transnasional simbol yang menunjukkan keteguhan budaya timur terhadap budaya yang datang dari luar, dalam kasus ini termasuk barbie (meneley, 2007). meskipun princess dalam literatur visual anak islam menggunakan jilbab tetapi mereka masih melakukan berbagai kegiatan hobi secara umum, seperti naik kuda, berenang dan menari. jilbab di sini digambarkan sebagai suatu kewajiban seorang muslimah namun tetap memberikan keleluasaan (freedom) dalam kegiatan seperti orang-orang pada umumnya. hal ini berbeda dengan komik qahera dari iran pada masa revolusi 1980, jilbab diartikan dengan kurungan dan penindasan (duncan, 2015). adaptasi jilbab princess menunjukkan terjadinya pembauran antara agama, budaya dan modernitas. sedangkan pada sirah nabi, literatur visual anak islam lebih menampilkan kisah penting dalam sejarah hidup nabi-nabi sebagai poin judul cerita. cerita sejarah nabi-nabi tidak semua ditampilkan secara utuh, dari awal hingga akhir kehidupan nabi, namun pada masa-masa tertentu saja. kisah nabi ibrahim misalnya, yang disoroti hanya pada masa nabi ibrahim mencari tuhan. lalu kisah nabi musa fokus pada kisah nabi musa dibuang ke sungai. kisah nabi isa dipilih hanya pada saat nabi isa lahir tanpa ayah dan dapat bicara saat masih bayi. sedangkan kisah nabi muhammad fokus pada saat nabi muhammad lahir (abqary, 2017). hal yang menarik dari sirah nabi adalah adanya visual fisik nabi. seperti yang telah kita ketahui, nabi adalah sosok suci. sebagian besar umat muslim di indonesia meyakini bahwa mem-visualkan sosok nabi secara fisik merupakan hal yang sangat tabu dan sebaiknya tidak dilakukan. 304 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gambar 2. ilustrasi nabi ibrahim sedang menjual patung (abqary, 2017) gambar 3. ilustrasi nabi yunus ketika keluar dari perut ikan (abqary, 2017) 305belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gambar 2 adalah visual yang merepresentasikan fisik nabi ibrahim kecil saat masih membantu berjualan patung berhala buatan ayahnya. kemudian gambar 3 adalah imajinasi visual ketika nabi yunus keluar dari dalam perut ikan. sebenarnya visual nabi tidak hanya ditemukan di indonesia tetapi juga negara lain seperti teheran. nabi tidak divisualkan dengan menggunakan cahaya atau mengalami sensor, tetapi justru divisualkan dengan fisik cukup sempurna mulai dari bentuk rambut, mata, mulut, hidung, telinga, tangan dan kaki. di teheran, iran, mural nabi muhammad mereprentasikan bentuk tradisi dan identitas masyarakat pada masa tertentu (gruber, 2013). sedangkan di indonesia hal tersebut berbeda, visualisasi nabi dalam literatur visual anak islam sebagai bentuk konstruksi imajinasi kepada anak. anak tidak lagi berimajinasi secara bebas atas kisah nabi yang mereka dapatkan. hal ini justru menunjukkan bahwa generasi sekarang cenderung melakukan pembatasan terhadap perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak sebagai “generasi impian”. generasi impian di sini maksudnya hendak menunjuk pada generasi anak-anak yang dalam pertumbuhannya diberikan edukasi nilai tertentu sebagaimana tujuan dan harapan pendidik (pembuat buku, orang tua atau guru) hingga saat dewasa nantinya akan memiliki karakter dan sifat sesuai dengan apa yang diharapkan tersebut. tindakan pembatasan ini juga dapat dibaca sebagai usaha penjagaan dengan mengarahkan dan menuntun pada imajinasi tertentu. pendidik berusaha membentuk generasi sebagaimana yang diinginkannya yakni seorang muslim yang memiliki sifat open minded (inklusif). menjadi anak muslim literatur visual anak islam sebagian besar menampilkan sejumlah nilai-nilai penting ajaran keagamaan terutama akhlak. akhlak di sini adalah perilaku teladan yang mencontoh nabi muhammad. berikut ini contoh akhlak yang ditampilkan dari pembacaan sirah nabi: jujurnya rasulullah, 306 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sabarnya rasulullah, pemaafnya rasulullah. akhlak rasulullah tersebut secara langsung ditransformasikan dalam kehidupan yang sering dijumpai oleh anak seperti: berkata jujur kepada teman mengenai berita yang diterima (sholihat & widyawanti, 2017); bersabar ketika menemui teman yang membuat kesal (kimberly, 2017); dan memaafkan teman yang sering mengejek (kurniawati, 2018). dari ketika kisah tersebut dilengkapi juga dengan kisah asli sejarah rasulullah. sekalipun rasulullah menjumpai orang yang tidak sopan, orang yang tidak beliau sukai, orang yang selalu membencinya, tetapi rasulullah tetap menunjukkan sikap yang baik, tidak membalas perilaku tidak baik yang ditujukan kepada beliau. selain itu, literatur visual anak islam juga menampilkan akhlak yang diadaptasi dari hadis, seperti: berbagi kasih sayang; mari saling memberi hadiah; mari saling membantu; berilah senyumanmu; menahan marah; menjenguk teman yang sakit; belajar bersabar; mari berbagi; yuk, jaga kebersihan; berkata jujur. salah satu contoh yaitu berbagi kasih sayang, di dalamnya dikisahkan dua anak kecil (tariq dan zainab) sedang belajar hadis, “jika kamu menyayangi saudaramu, hendaklah kamu mengatakan kepadanya”. keduanya langsung mempraktikkan hadis tersebut. mereka menyatakan sayang kepada orang tua, guru dan teman di kelas. dalam kisah tersebut, guru dan temannya tidak mengenakan jilbab seperti zainab, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka untuk saling berteman (kultu, 2016). dari semua konten akhlak di atas, semua memuat nilai kesabaran, kasih sayang, tolong menolong, dan menghidupkan keadilan dan kesetaraan bagi semua kedudukan manusia sebagaimana dicontohkan rasulullah (anand, 2016). rasulullah tidak memandang latar belakang baik muslim atau non-muslim, bahkan orang yang membenci sekali pun. sebagaimana umat islam yakini, islam datang sebagai rahmatan lil ‘alamin. islam tidak mengajarkan umatnya untuk membenci segolongan orang. akhir-akhir ini pembahasan isu perdamaian sedang meningkat. adanya konflik dalam negeri karena dipicu oleh konflik politik atau 307belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) keagamaan mengakibatkan terjadinya perselisihan antar golongan. hal ini membuat jurang pemisah yang semakin besar antara cita perdamaian dunia dengan realita sekarang yang ada. perdamaian dan toleransi semakin menjadi cita-cita generasi sekarang. kehadiran literatur visual anak islam menunjukkan sebuah usaha membentuk “generasi impian” yang moderat dan memiliki kesalehan sosial di masa sekarang dan masa akan datang. ini mendukung pendapat stephens bahwa literatur anak dipengaruhi oleh subjektivitas atas politik identitas. subjektivitas mendominasi literatur anak yang direpresentasikan dalam teks dengan tidak menafikan adanya tingkat agensi masing-masing individu untuk membuat keputusan ataupun sikap (stephens, 2013). identitas anak muslim milenial indonesia berbicara mengenai identitas, sub bab ini berusaha mengulas pola pembentukan identitas anak muslim milenial yang diakibatkan dari pembacaan literatur visual anak islam, khususnya di indonesia. isu identitas keislaman di indonesia sebenarnya telah dimulai sejak awal abad ke 20. dengan demikian munculnya islam di kehidupan sosial bukan hal yang tiba-tiba, berkembang namun memang berkembang di indonesia pada tahun 1980an karena ekspresi kesalehan dan religiositas mulai diterima di masyarakat secara luas (noor, 2015). perkembangan identitas generasi didukung oleh persebaran media pada saat itu, yakni bagaimana suatu otoritas ikut berperan dalam mendisiplinkan, mengendalikan pemahaman khalayak umum atau masyarakat tertentu (herrera & bayat, 2010). identitas tersebut semakin menunjukkan perbedaan antara islam dan barat. karakter islam semakin muncul di permukaan meskipun tidak serta merta dapat melepaskan pengaruh barat. keduanya bagaimana dapat diatur supaya tidak bertolak belakang, ada ruang dialog karakter nilai yang dapat saling disesuaikan. 308 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dalam kasus penelitian ini, pembentukan identitas anak muslim milenial kini tidak lagi melalui otoritas keagamaan lama, dari kiai atau ustaz tetapi melalui konten-konten yang sering dijumpai anak dalam lima tahun terakhir ini. mereka memiliki ruang kemungkinan yang besar untuk bersinggungan dengan buku ajar di sekolah dan di rumah atau melalui guru pelajaran agama islam. peneliti mencoba melihat kemungkinan pembentukan identitas anak muslim melalui peredaran buku-buku keagamaan secara bebas, yaitu literatur visual anak islam. peneliti menemukan konten-konten tertentu yang secara tidak langsung menuntun anak memiliki lima nilai, yaitu mengikuti perkembangan teknologi, kreatif, globaly, having fun, dan keagamaan. pertama, mengikuti perkembangan teknologi. seiring dengan perkembangan teknologi, mau tidak mau anak harus mengikuti arus tersebut baik melalui kurikulum pembelajaran di sekolah maupun perkembangan teknologi yang ada di sekitarnya. literatur visual anak islam hadir tidak melupakan konten teknologi. anak dikenalkan kepada keberadaan benda canggih yang mungkin mereka belum pernah lihat seperti gambar pesawat luar angkasa dan astronot (amalee, 2017). adanya gambar tersebut menunjukkan bahwa anak perlu mengetahui keberadaan teknologi yang diperlukan dalam bidang-bidang lain di kehidupan secara besar, namun hal ini tidak dijelaskan secara eksplisit dalam literatur visual anak islam. kedua, kreatif. nilai kreativitas dalam literatur visual anak islam terdiri dari dua konten, yaitu problem solving dan living hadis. story telling dari islamic princess menampilkan permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan karakter nama princess. salah satu contoh kisah yaitu princess qayyuma, berasal dari asmaul husna qayyum yang berarti berdiri sendiri. dalam kisahnya, princess qayyuma sedang rekreasi di lembah pinus bersama dengan dayang-dayangnya, namun tiba-tiba hujan turun deras. princess qayyuma berusaha mendirikan tenda tetapi dayang-dayang belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. akhirnya dayang 309belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hanya membantu apa yang dikerjakan oleh princess qayyuma. dari kisah tersebut, princess dikisahkan memiliki sifat mandiri, ia tidak segan-segan melakukan pekerjaan sendiri dan tidak memerintah bawahannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan (syahbani dkk, 2013). living hadis menampilkan beberapa hadis yang dapat dipraktikkan secara langsung oleh anak. salah satu hadis tersebut misalnya ‘berilah hadiah. maka, itu akan membuatmu lebih saling menyayangi’. living hadis menceritakan hadis tersebut dengan orang tua yang memberikan hadiah untuk anak-anaknya. untuk membalas hadiah tersebut, kedua anak mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat hadiah kepada orang tua dan kakek nenek. mereka merangkai kartu ucapan dengan pernakpernik bekas dan bunga kering (kultu, 2016). kreativitas ditunjukkan oleh adanya usaha anak-anak untuk mempraktikan langsung hadis yang telah dipelajarinya melalui hal-hal kecil. ketiga, globaly. konten-konten dalam literatur visual anak islam tidak hanya menampilkan kultur islam saja tetapi juga kultur lain secara global seperti visual kerajaan, princess yang menggunakan gaun beserta jilbab. princess dikisahkan melakukan kegiatan-kegiatan umum seperti berenang dan menari. princess malika yang berasal dari asmaul husna al malik, berarti pencipta dikisahkan dapat merancang busana. ia merancang busana renang dengan pakaian tertutup, menggunakan celana panjang untuk dirinya sendiri dan temannya. begitu juga princess barruna, berasal dari asmaul husna barru yang berarti penderma. ia melakukan kegiatan amal untuk membantu temannya yang kekurangan biaya dengan mengadakan pertunjukan tari. ia menari dengan menggunakan gaun kuning serta jilbab warna oranye (syahbani dkk, 2013). keempat, having fun. literatur visual anak islam menampilkan pembelajaran menyenangkan melalui berbagai cara. konten-konten visual membuat anak memiliki imajinasi dari nilai yang mereka pelajari. tidak hanya itu mereka juga disuguhi halaman “belajar dengan bermain”. hal ini dapat dilihat dengan adanya konten praktik sains dan teka-teki silang. 310 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gambar 4. teka-teki silang (amalee, 2017). gambar 5. praktik sains (amalee, 2017). 311belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) anak diberi ruang untuk bermain sebagaimana masa yang sedang dialaminya. namun di sisi lain, keberadaan konten tersebut memiliki makna lain. konten eksperimen sains dapat diartikan sebagai usaha untuk memasukkan nilai ilmiah ke dalam agama. anak tidak akan lagi beranggapan bahwa ilmu sains dan agama merupakan dua hal yang terpisah, melainkan agama tidak akan membatasi anak untuk menuntut ilmu-ilmu lain di luar ilmu agama. kelima, nilai keagamaan atau iman. dari keseluruhan nilai di atas, sebenarnya nilai keagamaan mengakomodasi semuanya. nilai-nilai keagamaan baik itu keimanan, ayat al-qur’an, hadis, fikih, sirah, dan akhlak telah direpresentasikan dalam simbol-simbol mulai dari simbol kecil dan simbol secara keseluruhan. simbol-simbol kecil terdapat pada visual jilbab dan busana princess, nama princess, kisah hadis dalam perilaku sehari-hari, visual iman melalui gambar tata cara beribadah, praktik sains, dan lain sebagainya. berdasarkan uraian tersebut, konten-konten yang ada di dalam literatur visual anak islam sebenarnya secara tidak langsung telah menuntun anak kepada suatu identitas kekinian, yaitu anak muslim yang pintar, inovatif, moderat, dan tetap beriman. mengukuhkan identitas moderat di era saat ini menjadi urgen. era milenial sekarang ini ditandai dengan penggunaan media sosial secara masif. di indonesia sendiri, media sosial telah digunakan oleh 80% kaum muda indonesia dengan rentang usia 20-29 tahun (alumni muslim exchange program (mep) 2018). hal ini menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi gaya hidup milenial dalam berbagai aspek baik sosial, budaya, ekonomi, politik dan tidak terkecuali agama. akhir-akhir ini, penggunaan media sosial dalam topik keagamaan telah menjadi tema penelitian menarik. penelitian-penelitian tersebut mengambil tema mirip, yaitu agama, media sosial, dan kaum muda (remaja dan dewasa muda) (alumni muslim exchange program (mep) 2018; nisa, 2018; weng, 2018). individu maupun komunitas melakukan gerakan dakwah dan 312 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sharing konten keagamaan secara masif melalui berbagai akun media sosial memberikan kesimpulan bahwa tidak sedikit pengguna media sosial yang menerima pembelajaran keagamaan secara online. di sisi lain, dalam konteks agama dan era milenial segmen anak muslim mengalami kondisi yang berbeda. segmen anak usia 4-9 atau 10 tahun (tk-3 sd) tidak terlalu intens kontak dengan gadget dan internet, tetapi tidak dapat dimungkiri juga bahwa mereka tetap melihat tayangantayangan video di youtube, facebook dan instagram karena pengaruh orang-orang di sekitar lingkungannya. oleh karena itu anak mengalami posisi pertengahan antara dunia online dan offline. segmen inilah yang menjadi arena kontestasi dengan berbagai penerbitan-penerbitan media literatur anak muslim. kontestasi ini akan terlihat apabila disandingkan dengan berbagai literatur anak muslim yang muncul dalam bentuk media majalah anak dengan berbagai variasi topik dan fokus (hidayati, 2018). pengaruh perkembangan teknologi di era milenial menyasar pada sistem pembelajaran anak. pasca soeharto tumbang, tidak sedikit yayasan islam swasta merintis institusi berbasis nilai-nilai islam. sekolah tersebut mencoba menggabungkan dua konsep, yaitu agama dan teknologi modern untuk mengejar tuntutan perkembangan zaman (tan, 2014). meskipun terjadi perubahan zaman, sebagian orang tua tetap ingin anaknya memperoleh pendidikan keagamaan yang baik supaya tidak terjerumus dalam perbuatan negatif. jika berkaca pada mesir, dilema pendidikan telah terjadi di sana sejak abad ke 19. pendidikan mesir mempertimbangkan antara pelaksanaan pendidikan keagamaan dan pendidikan keilmuan, sehingga diperlukan keseimbangan antara keduanya di dalam kurikulum pendidikan (tan, 2014). di sinilah urgensi menjadi moderat di era teknologi, ketika anak belum mengenal gadget, seorang anak dengan pilihan literatur visual akan membangun sistem alarm mandiri guna membentengi diri dari dampak negatif teknologi. 313belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kesimpulan dan saran kesimpulan kehadiran literatur visual anak islam menunjukkan strategi dakwah visual di kalangan umat islam atas respons kurang menariknya otoritas keagamaan lama. melalui konten-konten yang ada di dalam literatur visual anak islam, kaum muda muslim saat ini mencoba menciptakan generasi impian untuk masa depan. tidak hanya beriman, inovatif dan pintar, tetapi juga berbudi luhur dalam sikap dan perilaku moderat di kehidupan seharihari. kesalehan sosial direpresentasikan melalui akhlak kepada sesama dengan merujuk pada perilaku rasulullah. selain itu mereka juga dibekali dengan pelajaran multikultural melalui konten-konten visual. saran kajian mengenai visual islam dan tema serupa masih jarang dilakukan oleh sarjana indonesia. faktanya, banyak objek keseharian yang tidak lepas dari unsur visual seperti peralatan ibadah anak dengan gambar animasi, tetapi kajian terhadapnya masih sangat kurang. mayoritas peneliti visual adalah sarjana luar indonesia. ke depan diharapkan visual islam dapat menjadi kajian serius di indonesia. bukan hanya komik, tetapi juga materi-materi visual lain yang belum digali secara mendalam. daftar pustaka abqary, r. (2017). masa kecil nabi & rasul. bandung: pt mizan pustaka. allan, c. (2012). playing with picturebooks: postmodernism and the postmodernesque. new york: palgrave macmillan. alumni muslim exchange program (mep). (2018). muslim milenial: catatan & kisah wow muslim zaman now. bandung: pt mizan pustaka. amalee, i. (2017). (new) islam for kids. bandung: dar! mizan. anand, c. s. (2016). “barang siapa memelihara kehidupan...”: esai-esai tentang nirkekerasan dan kewajiban islam. bandung: pt mizan pustaka. 314 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) azak, u. (2013). the new happy child in islamic picture books. in c. j. gruber & s. h. turkey (eds.), visual culture in te modern middle east. bloomington, indiana, united states: indiana university press. azra, a. (2014). reforms in islamic education: a global perspective seen from the indonesian case. in c. tan (ed.), reforms in islamic education: international perspectives. london: bloomsbury publishing plc. budiyanto, a. (2009). playing with piety: the phenomenon of indonesian muslim dolls. journal of south asian studies, 9, 3-14. cnn indonesia. (2019). komik siksa neraka, dari ‘surga’ dakwah ke ‘neraka’ komoditas. retrieved may 12, 2019, from ccnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/ hiburan/20190511213923-241-394066/komik-siksa-neraka-darisurga-dakwah-ke-neraka-komoditas. duncan, j. (2015). beyond the veil: graphic representation of islamic women. the compass, 2(2), 1-9. emmison, m., smith, p., & mayall ,m. (2012). researching the visual (2nd ed). singapore: sage publications asia-pacific pte ltd. gesink, i. f. (2014). islamic educational reform in nineteenth-century egypt; lessons for the present. in c. tan (ed.), reforms in islamic education: international perspectives. london: bloomsbury publishing plc. gruber, c. (2013). images of the prophet muhammad in and out of modernity: the curious case of a 2008 mural in tehran. in c. gruber & c. haugbolle (eds.), visual culture in the modern middle east: rhetoric of the image. bloomington, indiana, united states: indiana university press. gruber, c., & haugbolle, s. (eds.). (2013). visual culture in the modern middle east. bloomington, indiana, united states: indiana university press. heidemann, s. (2013). memory and ideology: images of saladin in syiria and iraq. in c. gruber & s. haugbolle (eds.), visual culture in the modern middle east. bloomington, indiana, united states: indiana university press. 315belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) herrera, l. & bayat, a (eds.). (2010). being young and muslim: new cultural politics in the global south and north. new york: oxford university press. hidayati, o. n. (2018). cilukba: popular learning dan akhlak inklusif dalam majalah anak islam. jurnal miqot, 42(1), 129-147. https:// doi.org/10.30821/miqot.v42i1.500 . ito, k. (2008). manga in japanese history. in m. w. macwilliams (ed.), japanese visual culture: explorations in the world of manga and anime. new york: m.e. sharpe, inc. janmohammed, s. (2017). generation m: generasi muda muslim dan cara mereka membentuk dunia. yogyakarta: bentang pustaka. kailani, n. (2018). perkembangan literatur islamisme populer di indonesia: apropriasi, adaptasi dan genre. in n. hasan (ed.), literatur keislaman generasi milenial: transmisi, apropriasi, dan kontestasi. yogyakarta: pascasarjana uin sunan kalijaga press. kimberly, a. (2017). sabarnya rasulullah. bandung: pelangi mizan. kiroyoan, l. e. (2018). berdakwah via media sosial, berbagi inspirasi. in s. setowara (ed.), muslim milenial: catatan & kisah wow muslim zaman now (pp. 10-15). bandung: pt mizan pustaka kubala, p. (2013). “you will (not) be able to take your eyes off it!”: mass-mediated images and politico-ethical reform in the egyptian islamic revival. in c. gruber & s. haugbolle (eds.), visual culture in the modern middle east: rhetoric of the image (pp. 82-102). bloomington, indiana, united states: indiana university press. kultu, n. (2016). aku cinta hadis: berbagi kasih sayang. bandung: dar! mizan. kultu, n. (2016). aku cinta hadis: mari saling memberi hadiah. bandung: dar! mizan. kuntowijoyo. (2018). muslim tanpa masjid: mencari metode aplikasi nilainilai al-qur’an pada masa kini. yogyakarta: ircisod. kurniawati, n. (2018). pemaafnya rasulullah. bandung: pelangi mizan. lesnik-oberstein, k. (2002). essentials: what is children’s literature? what is childhood?. in p. hunt (ed.), understanding children’s literature (pp. 15–29). london & new york: routledge. 316 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 293 316, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1821 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) lewis, a. d. (2014). american comics, literary, and religion. london, united kingdom: palgrave macmillan. margolis, e., & pauwels, l. (eds.). (2011). the sage handbook of visual research methods. los angeles: sage publications. meneley, a. (2007). fashions and fundamentalisms in fin-de-siecle yemen: chador barbie and islamic socks. cultural anthropology, 22(2), 214-244. https://doi.org/10.1525/can.2007.22.2.214. morgan, d. (2005). the sacred gaze: religious visual culture in theory and practice. berkeley, california, united states: university of california press. nisa, e. f. (2018). creative and lucrative da’wa: the visual culture of instagram amongst female muslim youth in indonesia. asiascape: digital asia, 5(1), 1–32. https://doi.org/10.1163/2214231212340085. schroeder, j. e. (2002). visual consumption. london, united kingdom: routledge. sholihat, e. s., & widyawanti, w. (2017). jujurnya rasulullah. bandung: pelangi mizan. stephens, j. (2013). introduction: the politics of identity: a transcultural perspective on subjectivity in writing for children. in j. stephens (ed.), subjectivity in asian children’s literature and film: global theories and implications (pp. 1–18). london, united kingdom: routledge. syahbani, l dkk. (2013). gold edition islamic princess. bandung: dar! mizan. tan, c. (2014). educative tradition and islamic schools in indonesia. journal of arabic and islamic studies, 14, 47-62. https://doi. org/10.5617/jais.4638. leeuwen, t. v. (2001). handbook of visual analysis. london: sage publications. weng, h. w. (2018). the art of dakwah: social media, visual persuasion and the islamist propagation of felix siauw. journal indonesia and the malay world, 46(134), 61–79. https://doi.org/10.1080/136398 11.2018.1416757. willams, r. r. (2015). why study religion visually. in r. r. williams (ed.), seeing religion toward a visual sociology of religion. london, united kingdom: routledge. 1. the article must be scientific, either based on the empirical research or conceptual ideas. the content of the article have not published yet in any journal, and should not be submitted simultaneously to another journal. article should not be part of fully one chapter of the theses or dissertation. 2. article must be in the range between 15-30 pages, not including title, abstract, keywords, and bibliography 3. article consisting of the various parts: i.e. title, the author’s name(s) and affiliation(s), abstract (200-250 words), keywords (maximum 5 words), introduction, description and analysis, conclusion, and bibliography. • title should not be more than 15 words • author’s name(s) should be written in the full name without academic title (degree), and completed with institutional affiliation(s) as well as corresponding address (e-mail address). • abstract consisting of the discourses of the discipline area; the aims of article; methodology (if any); research finding; and contribution to the discipline of areas study. abstract should be written in english. • introduction consisting of the literature review (would be better if the research finding is not latest than ten years) and novelty of the article; scope and limitation of the problem discussed; and the main argumentation of the article. • discussion or description and analysis consisting of reasoning process of the article’s main argumentation. • conclusion should be consisting of answering research problem, based on the theoretical significance/conceptual construction • all of the bibliography used should be written properly author guidelines 4. citation’s style used is the american psychological association 6th edition, and should be written in the model of body note (author(s), year, and page(s)), following to these below examples: a. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) b. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) c. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ indonesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) d. article of the journal 1) journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) 2) journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) 3) e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) e. article website 1) dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) 2) tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) f. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta: magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) g. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 5. in writing the citation’s would be better and suggested to use software of citation manager, like mendeley, zotero, end-note, refworks, bib-text, and so forth, with following standard of american psychological association 6th edition. 6. arabic transliteration standard used international journal of middle eastern studies. for detailed transliteration could be seen at http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 7. article must be free from plagiarism; through attached evidence (screenshot) that article has been verified through anti-plagiarism software, but not limited to the plagiarism checker (plagramme.com). author fee al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi will not charge anything to the author for submission fee or publication fee. submission preparation checklist as part of the submission process, authors are required to check off their submission’s compliance with all of the following items, and submissions may be returned to authors that do not adhere to these guidelines. 1. the submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in comments to the editor). 2. the submission file is in openoffice, microsoft word, rtf, or wordperfect document file format. 3. where available, urls for the references have been provided. 4. the text is single-spaced; uses a 12-point font; employs italics, rather than underlining (except with url addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end. 5. the text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the author guidelines, which is found in about the journal. 6. if submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in ensuring a blind review have been followed. copyright notice authors who publish with this journal agree to the following terms: • authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a creative commons attribution license that allows others to share the work with an acknowledgement of the work›s authorship and initial publication in this journal. • authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal’s published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal. • authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. privacy statement the names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or to any other party. skup dakwah : manajemen dakwah, bimbingan dan konseling islam, psikologi, psikologi dakwah, analisis sosial, sejarah dakwah, filsafat dakwah, sosiologi dakwah, ilmu dakwah, manajemen traveling dan wiisata religi, manajemen pelayanan haji, global islamic tourism, metodologi dakwah, relasi dakwah dengan budaya. skup komunikasi : public relation, komunikasi dan penyiaran islam, psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal dan sosial, komunikasi antar budaya, jurnalistik, komunikasi massa, human relations. peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim* institut agama islam negeri (iain) kediri keywords: nu online; papuan student; peace journalism http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: *lukmanhakim@iainkediri.ac.id abstract this article aims to analyze how nu online frames a papuan case from 19 to 20 august 2019. nu online’s coverage is analyzed for news content and its efforts to understand, interpret, and implement peace journalism to alleviate tensions and conflicts. the concept of peace journalism is important to study and implement comprehensively. it seeks to be objective in presenting information and not provocative to minimize the potential for subsequent conflict. entman framing analysis is used as the research method because it can see the reality constructs done by media by examining the process for selection and highlighting a particular aspect. therefore, the main data were taken from nu online coverage related to a papuan college student’s case. through the content, the framing of nu online editorial could be seen. meanwhile, the conclusion of this research was that nu online, as the official media of pengurus besar nahdlatul ulama had a coverage orientation that emphasized harmony and peace. angle choice, title drafting, diction use, and source choice highlighted that nu online focused on the aim to alleviate as well as support conflict solving. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 160 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak artikel ini bertujuan untuk menganalisis kecenderungan penerapan konsep jurnalisme damai pada pemberitaan kasus mahasiswa papua yang disajikan oleh nu online dari 19 hingga 20 agustus 2019. pemberitaan nu online dibedah dengan menganalisis isi berita dan upayanya dalam memahami, memaknai dan mengimplementasikan jurnalisme damai untuk meredakan ketegangan dan konflik. konsep jurnalisme damai penting untuk dipelajari dan diimplementasikan secara komprehensif, karena berusaha objektif dalam menyajikan informasi dan tidak provokatif sehingga dapat minimalisir potensi konflik susulan. analisis framing entman digunakan sebagai metode penelitian karena dapat melihat konstruksi realitas yang dilakukan media dengan mencermati proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu. data utama diambil dari konten pemberitaan nu online mengenai kasus mahasiswa papua. melalui konten tersebut, dapat diketahui bentuk pembingkaian redaksi nu online. adapun kesimpulan penelitian ini adalah nu online sebagai media resmi pbnu memiliki orientasi pemberitaan yang menekankan pada kerukunan dan perdamaian. pemilihan angle, penyusunan judul, penggunaan diksi dan pemilihan narasumber menegaskan bahwa nu online fokus pada tujuan meredakan sekaligus mendorong penyelesaian konflik. kata kunci: nu online; mahasiswa papua; jurnalisme damai how to cite this (apa 7th edition): hakim, l. (2021). peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online”. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(1). 159 – 212 https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 introduction demonstrative actions massively happened in manokwari, sorong, and jayapura on 19 august 2019. it then became a chaos, precisely in manokwari. some public facilicities and buildings were destroyed because of the riot. the people protested by burning used tires and blockading the roads with twigs in some areas (haryanti, 2019). 161peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) it began from the allegation of a red and white flag that was destroyed at the papuan student dormitory at jalan kalasan surabaya. it was then followed by the encirclement and raid done by the officers on 17 august 2019, the 74th commemmeration of independence day of the republic of indonesia. the police investigated 43 papuan students in metrapolitan police surabaya. the investigation took place from 18.00 to 23.00. the papuan students were sent back home the next day, at midnight at 00.00 on 18 august 2019. on the other hand, the spokes person for the indonesian people’s front for west papua (front rakyat indonesia untuk west papua, hence friwp) surya anta regretted the attack and encirclement of papuan student dormitory by the security forces and some mass organizations. he thought that the officers previously did not do a thorough investigation related to the red and white flag desecration. in addition, the officers also seemed to have ignored the reactionary mass organizations that were involved in the encirclement. furthermore, the encirclement used tear gas and damaged some dormitory facilities. there were reports of some racist slurs with word of “monkey” directed at the papuan students. it was unknown who did the racist remarks since the police officers were still doing some investigation (cnn indonesia, 2019b). social media were full of netizens’ posts about the red and white flag desecration but varied information about the persecution of the papuan students made it difficult to verify the accuracy of the narratives. the news quickly spread out on social media and whatsapp groups. it was difficult to confirm because it did not contain verified sources and the news played a role in worsening the situation. some viral posts in social media that were quickly responded by the government as hoaxes were as follows: 162 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 1. hoax messages related to the red and white flag desecration. the conflict scale turned out larger, happening not only in surabaya and malang. the tension increased and rock-throwing happened between papuan students and community organizations in semarang and makassar. solidarity was shown by the papuan students performing peaceful demonstration in several cities in indonesia, including the largest ones in bandung and medan (cnn indonesia, 2019). nu online was one of the media focusing on reporting the papuan student case. the news on nu online were disseminated to other channels on other social media such as facebook, instagram, and twitter. the role that was played by nu online was significant as this medium was the official medium of pbnu (pengurus besar nahdlatul ulama) known as the biggest islamic organization which aimed to carry a peaceful vision. pengurus besar nahdlatul ulama (pbnu or the board committee of nahdlatul ulama) or what is widely known as nahdlatul ulama (nu or literally means renaissance of religious scholars) was established on 31 january 1926 as a representation from the ulama or muslim leaders of indonesia. nu becomes the largest islamic organization in indonesia, embracing islamic concept that is full of peace, harmony, and love in facing the diversity either in terms of religion or nation (anam, 2010). in the context of coverage, nu online becomes the only official coverage channel of pengurus besar nahdlatul ulama (pbnu). 163peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) launched since 11 july 2003, nu online has been widely known by the society. in 2015, it had been accessed for about 800 times every hour or 6.9 million times in a year. the editor also keeps trying to enhance the quality and quantity of the news articles. at the beginning there were only three to five articles per day that were uploaded. at the moment, nu online targets at least one article per hour (faiz, 2016). nu online keeps developing until it becomes the people’s references in understanding islamic knowledge. even in july 2020, nu online became the first islamic web in indonesia based on alexa rank. nu online management improvement was started right after nu congress was held in jombang in 2013. the important thing that was improved started from the target, readers’ segmentation, task distribution, and team solidarity. not long after, the quick improvement was started to be recognized by many especially the nu online innovation in various social media platforms, such as instagram, twitter, youtube, and facebook. nu online’s step to share the news and produce some contents in social media expands the reach to the society (hakim, 2021). at the beginning, nu online existed only to fulfil the practical needs in the efforts of information dissemination and interregional consolidation, recalling that at the time nu cadres had spread to 31 provinces with a total of 400 branches reached. in addition to that, there are also some nu special branch administrators (pengurus cabang istimewa nu, hence pci nu) in some countries (mun’im, 2008). to optimize all of the potentials, nu online’s presence is needed. nu online has created branch offices in in five provinces with the densest population in indonesia which are east java, central java, west java banten, and lampung. there are one to two contributors that are given tasks to do news coverage in each regency/city. nu online becomes a means to disseminate information, ideas, and notions of nahdlatul ulama (nahdlatul religious scholars). the values of ahlussunnah wal jamaah (adherents to the sunnah and the community) 164 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) that have been the guide and direction of nu are reflected in the nu figures’ of views in responding a problem. the value is tasamuh (an arabic word, meaning tolerance) that means tolerance, mutual respect, and mutual appreciation to other humans to fulfil their rights (ibrahim, 2002). it also means being tolerant in different views, either in religious matters, especially furu’iyah (an arabic word, meaning differences) things and khilafiyah (an arabic word, meaning different views) matters, as well as in socio and cultural matters (harits, 2010). tawasuth (an arabic word, meaning middle) is a way to take the middle path for two different views. in taking this middle path it is also followed by moderate attitude that keeps giving dialogical room for those who are different (zuhri, 2010). tawazun (an arabic word, meaning balance) is a balanced attitude in serving allah swt, other human beings, and the surrounding environment (harits, 2010). meanwhile i’tidal (an arabic word, meaning perpendicular) means perpendicular, do not tends to the extreme nor liberal views (shiddiq, 2005). the four principles of ahlussunnah wal jamaah aforementioned become the guides in reporting and publishing news. all news writing processes starting from diction choice, title decision, source decision, and the point of view are not allowed to be out of the principles and ideology of nahdlatul ulama. it is not only applied for news rubric, but all of the rubrics in nu online such as opinions, interviews, figures, sermons, references, bahtsul masail (arabic words, meaning problem discussion), and other rubrics. being balanced, moderate, fair, and in the middle in presenting news finds its relevancy in the context of challenges of hate speeches, hoaxes, and controversies. the unaccountable information disseminates very fast that it may cause misleading provocation. at a certain point, the news makes the condition worst and contributes to uncontrolled violence. 165peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) as the official pbnu media, all of the coverages were written considering the objective and authoritative principle and the advantage. the last principle was the implementation of khittah nahdliyah (arabic words, meaning nahdlatul ulama’s principles) and ahlussunnah wal jamaah values. especially for conflict coverage, nu online tried to prioritize a way out and reconciliation to defuse the tension. by presenting peaceful news, the people were expected to gain insights and restrengthen the social connection among the citizens. on a practical level, to strengthen the khittah nahdliyah’s knowledge as the major guide of reporting, the journalists and editors in each region consistently got guidance and knowledge of nu. this became a means to enhance the journalistic knowledge related to the khittah nahdliyah and ahlussunnah wal jamaah principles. when reporting on the ground, their intuition would choose the angle, diction, and form sentences that referred to the principles highlighted by the pbnu (hakim, 2021). therefore, nu online is very careful in covering conflict and violent cases. nu online presents news content as in the pbnu organization attempt to contain peaceful messages, open a room for public dialogue, and defuse the conflict. this aims for the readers to get comprehensive and open perspectives in responding to a problem. besides, the country’s wholeness, social harmony, and brotherhood are seen as invaluable treasures. the position of nu online does not merely bring peaceful messages and intergroup relationships within muslim communities but in a broader context to protect the unity and integrity of the country. nu online delivered no less than 10 news articles relating to the papuan student case between 17 august 2019 and 21 august 2019. however, in this study the researcher focused on four news articles published between 19 august 2019 and 20 august 2019. the choice of the four news articles was based on the publication time that was the tensest period since the conflict started to spread in various cities in 166 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) indonesia. in addition, the four news articles chosen had already fulfilled the representation and significance element of peace journalism, so they were worthy of analyzing thoroughly as samples. the news choice based on time, case development, the impact of the conflict, representation, and significance did not lessen the completeness of the nu online coverage in portraying the papuan student case. nu online editorial policy in reporting the papuan student case was by stressing objectivity, accommodating the interests of the involved parties in the conflict, and avoiding provocative and rude words. these features are in line with the peace journalism concept that stresses problem-solving without lessening or eliminating the facts on the ground. peace journalism tries to show a more accurate, balanced, wide, and fair overview in analyzing a conflict. the peace journalism concept is just the same as health journalism. meanwhile, war journalism is analogous to sports journalism. war journalism focuses on the victory or is known by the term zero-sum game, in which there might be something won by a but at the same time there was loss in b. this journalism genre accentuates the win-lose concept. on the other hand, descalation of conflict and winwin solution points are the focus in peace journalism (lynch, 2007). media are the biggest means in contributing information to the public. the rampant issues circulating make media become more diligent in playing their role to fulfil the public’s needs towards factual news. the issues sometimes position the media to create a propaganda that implicates on the progress and fame of the media that actually follow the commercial media principles (nusyur, 2017). furthermore, at this time almost all of online media use social networks such as whatsapp, facebook, instagram, and twitter. it is considered necessary to help disseminate the news so people will get the news faster since it was all over the social media platforms. various people’s reaction can directly be expressed on the comment sections. using share and retweet features for example, the news could spread very fast in seconds. 167peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) with their power, mass media are able to continually report the conflict reality. however, conflict coverage that is reported in propaganda, unbalanced, and partial format for the sake of rating and media’s benefits becomes everyone’s concern. as the journalistic spearhead, the journalist’s role becomes essential to understand the peace journalism principles. while there have been studies on peace journalism, there was no specific study discussing the peace journalism done by islamic media organization, in this case pbnu in particular, that portrayed the conflict involving the papuan people. so far, peace journalism studies covered mainstream media and religious conflicts as the research objects. previous studies on peace journalism, for example, were the studies done by rindang senja andarini. through her research, she explained that jawa pos daily did not implement peace journalism in reporting violent conflict case on indonesian ahmadiyah community in cikeusik. jawa pos daily, on the other hand, emphasized indonesian ahmadiyah community as the cause of people’s assault. furthermore, jawa pos daily did not use peace journalism in writing the news which was proved by dramatizing the case excessively, choosing an unbalanced source, and using inappropriate diction for the victims (andarini, 2014). christiany juditha wrote about the implementation of peace journalism in religious conflict news of tolikara in tempo.co. even though in general tempo.co could deliver the news according to the online journalism principle that prioritized speed and accuracy, there was weakness as there was no explanation from the parties that were directly involved in the conflict. juditha mentioned that the media should be able to implement peace journalism in the conflict case coverage particularly in religious conflict. although being expected to be fast and actual, online media journalists should not forget the journalism principles especially the truth of the news. each journalist reporting in the conflict area needs to stay critical and empathetic (juditha, 2016). 168 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dimas bagus laksono researched the practice of peace journalism of the interfaith people of islam and christianity at poso conflict in republika daily. dimas concluded that republika daily always showed islamic people’s demands proportionately more compared to the christians. republika daily in general did not implement peace journalism especially on the aspects of using subjective opinion, mentioning the name of the conflicting parties, and showing conflict loss (laksono, 2017). the reality construction process that was done by the media would determine what label is embedded in an incident. giving a conflict label as ”violent” and relating it to a religious background were frequently done by the media without understanding the actual root of the problems. such media is biased and reports violence by framing the conflict based on their subjective perspective. this is the process that causes religious-based violence rises (mubarok, 2013). the newness presented by this research is the implementation of peace journalism by islamic media nu online in racial case that was experienced by papuan students which intersected with disintegration issue. this study also used entman’s framing analysis (1993) to deepen the review and analysis, elaborated with galtung’s peace journalism concept. peace journalism is defined as an activity to report an event with a larger, balanced, and accurate frame and the information of the conflict and the changes that happened. peace journalism exists when the editors and the reporters decide on peaceful choices relating to the news reported and how to report it. peaceful means that the coverage creates opportunities for most people to consider and appreciate the responses without violence towards the conflict (mcgoldrick & lynch, 2000). peace journalism sees a controversy as a problem and tries to find the solution by reporting it, highlighting that the result of controversy or violence may cause destruction and psychological, cultural, and structural loss for the group society as a victim of the conflict. news 169peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) report with peace journalism approach is expected to be helpful in peace effort and reconciliation within a conflict, as it opens the eyes and heart of the conflicting parties, showing them that there is actually no party benefiting from the conflict and helping them to understand the conflict comprehensively by prioritizing solution as the best way out. unfortunately, peace journalism practice nowadays is hard to find. media have political preference that may influence the news coverage so it may also lead the people’s opinion. murdock & golding (1992) state that media do not only have socio-economic function, but what is rarely seen is implementing the ideological function that could unconsciously influence public’s understanding. more than that, the mass media have other roles which are the issue intensifier using perspective that is built within coverage. conflict can immediately be suppressed or, in contrast, escalated as one of the causes is the coverage published in the media (setiati, 2005). peace journalism in indonesia must not admittedly be considered as the main stream yet. the implementation is frequently used when needed only, especially in the news content related to diversity issues or a certain conflict. this is based on the quotation of the main research source, the general head of alliance of independent journalists (aliansi jurnalis independen/aji), abdul manan (angjaya, susanto, & siswoko, 2019). some of the causes that hinder the implementation of peace journalism is the media capital ownership problem that is mainly owned by political actors. even though the journalists are expected to be objective, not opinion-based, and neutral but in producing news they can do fact construction that is gained on the ground. this is similar to the interests of the media ownership that are more prominent than the public interests. in this context, the message delivered could be in the form of manipulated facts (shoemaker & reese, 2014; shoemaker & reese, 1991). another cause is the rating competition and news readability. 170 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) herman and chomsky (hackett, 2007) mention that current mass media have war journalism characteristics. in seeing a controversy, they always use negative words. in contrast, they employ positive words to support their own parties. they even choose the news worthiness of a topic based on media’s competition, ideology, and other threatening or unrelated matters with their business (hackett, 2007). the implementation of peace journalism that has not run well produces unbalanced information. the media have a job to educate, inform, control, and entertain society. media should not become a part of conflict, being in a conflict situation, or be a conflict instigator. papuan conflict coverage was one of the conflicts that is related to ethnicity, religion, race, and inter-group relations issue, an unsolved conflict and always gets mass media coverage. this was because the conflict had high news value as sometimes there were victims and damages (ishawara, 2011). it was, however, unfortunate since most of the papuan coverage included the red and white flag desecration, and there were still a lot of media that used terms that inflicted negative stigma. for example, the papuan student case contained words such as “stubborn”, “do anarchist action”, “make riots”, without enough support of data and information. there was also news that contained unbalanced information by not asking the alleged parties who did the riot to give their opinion. the fact stressed that mass media were not sensitive enough with the situation by raising ethnic issues. such angle choice showed that ignorance of the peace journalism principle in conflict cases could trigger subsequent problems that caused larger impacts. this was in line with the press release issued by the alliance of independent journalists (aliansi jurnalis independen/aji) requesting and suggesting the journalists and media to obey the journalistic ethic code in reporting and producing news. article 8 of the journalistic ethic code reminds the journalists and media to “not write or release news based on prejudice or discrimination 171peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) towards someone because of the diversity of ethnic, race, skin color, religion, gender, and language and not despise the weak, poor, sick, and mentally as well as physically disabled”. the attitude is shown by not easily believing unverified information from anyone. in news writing, justifying racial discrimination to whoever the actor is should be avoided (manan, 2019). methods the approach used in this study is qualitative. entman framing analysis is used as the research method because it can see the reality constructs done by media by examining the process for selection and highlighting a particular aspect. therefore, the primary data were taken from nu online coverage related to a papuan college student’s case. through the content, the framing direction of nu online editorial could be seen. there is four news that is researched, entitled: “defusing conflict, increasing the cooperation among the people” (“redam konflik, perlu tingkatkan kerjasama antarwarga”), “head of east java ansor order the members to protect papuanese in east java” (“ketua ansor jatim perintahkan anggotanya lindungi warga papua di jawa timur”), “papua case, don’t provoke nor get provoked” (“terkait kasus papua, jangan memprovokasi atau terprovokasi”), “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”). this is important to see how nu online frames an issue by considering various factors that affect it. entman uses framing to portray the selection process and highlight certain aspects from the reality of the media. the emphasis in this term can be defined as making information transparent, meaningful, and easy to remember by people. the emphasized information is likely more accepted by the people, as it is more pronounced and is saved in the memory than the one presented casually. the emphasis can be done by positioning a more prominent, noticeable aspect of information 172 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) compared to others and information repetition that is considered essential or connected to a cultural aspect that is familiar with people’s thoughts (entman, 1993). then, the results using entman framing would be reviewed using the peace journalism perspective by johan galtung that sticks to four main elements, which are truth, people, peace, and solving. the subjects of this study are three news articles from nu online media about the papuan students’ case. four peace journalism dimensions are equipped with analysis unit and categorization to identify the implementation of peace journalism in a medium. these can be seen in the following table: table 1. unit of analysis and categorization of peace journalism study (mcgoldrick & lynch, 2000) peace journalism dimension unit of analysis categorization peace-oriented focus and angle seeing a conflict or war as a problem that needs solution, and seeing other sides of the conflict that highlight a solution. people-oriented 1. the root of the problem 2. sources 3. conflicting parties 4. how far the media show the conflict loss as a reflection for peace 5. showing a wise figure outside the conflict circle 1. seeing the cause and effect in various places and times as well as tracing the conflict history and others 2. giving spaces for voices to all conflicting parties in balance 3. not covering any truth (all of the conflicting parties are mentioned) 4. journalists give moral claim that the conflict only affects the society’s loss 5. journalists attract and highlight the peace effort in the society 173peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) peace journalism dimension unit of analysis categorization truth-oriented 1. opinion 2. diction 1. not mixing subjective opinion with news 2. not using word choices “wethey” or words and sentences that lead to provocation solutionoriented offered solution 1. highlighting the peace initiative and trying to avoid war 2. highlighting structural and cultural society that is peaceful 3. continuation: resolution, reconstruction, and reconciliation results and discussions the framing on papuan student case the facts that were emphasized by nu online related to the papuan student case focused on three things which was first, the cause of the problem must be seen clearly and completely. in the first up to fourth article, it was mentioned that the papuan student case was purely a criminal case and did not need to be pulled into the referendum issue, or cause a crack in inter-religion relationship. one of the news values is prominence. news values are measured from the size of an incident or its importance. the incident is considered important (eriyanto, 2012). the papuan student case had expanded to several big cities in indonesia and damaged many public facilities. anarchist actions followed the popularity of papuan student case in papua province and it was selling news and was used by online media to increase the hit or page views count. through ideology indoctrination about the common enemy, various tensions that were felt by the papuan students systematically formed different perspectives about indonesia. in the end, the concept of “we” 174 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) through the “friend” and “enemy” terminology became stronger, too. this was a country’s defeat and failure factor in convincing papuanese to be a part of the nation. therefore, it also caused a more massive human rights violence issue and democracy space silencing that was unsolved in their life (hutubessy & engel, 2019). west papuan conflict could not be analyzed in only one perspective, but all sides must be accommodated. for example, the government saw free papua movement as a rebellious movement. still, on the other hand, free papua movement considered indonesia as colonizers, although the free papua movement leader realized that the current situation perpetuated oppression (webb-gannon, 2017). the joint operation of police and military’s success had not indicated success in limiting the move of the free papua movement. one of the causes was that the police frequently used terms that underestimated the surrounding people and there was racial habitual generalization in identifying the members of free papua movement just based on the skin color and place of living. other cause was that the central government tended to ignore the human rights violation in papua and many were unsolved. economical development was not enough to gain the symphaty and support from the papuanese (syailendra, 2019). the papuan case could not be solved only by improving the infrastructures and exploring natural resources. the initial action needed to be taken giving respect and appreciation to the papuanese, including the surrounding cultures (hadiprayitno, 2017). the west papua’s struggle to achieve independence must go through a peaceful and fair path (webb-gannon, 2014). the negotiation moves could be a way out. the negotiation process must be done to defuse the tension. in this term, the government should give a vast negotiation space and pay attention to the papuan local wisdom to prevent things that lead to human rights violence. the companies that run the project on the land related to the people must 175peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) take further notice of society’s rights, compensation, and basic facilities (hadiprayitno, 2015). it was mentioned that the demonstration wave from papuanese in various cities in indonesia was a form of dissatisfaction for the racial treatment and raids by the officers. therefore, the only way to answer the dissatisfaction was by firm action to anyone violating the rule, either by the papuan students accused of desecrating the red and white flag or the officers and citizens who committed racial discrimination. in the written news, nu online always put in direct quotes. granato (2002) stated that direct quotes are essential in describing the subjects’ personality because the quotes show word choices and patterns from reading. how the sources speak can show the readers the main subject effectively compared to exposition or description only from the writers about the main subject. in the news article 3, nu online directly quoted from the head of ansor youth movement (gerakan pemuda ansor/gp ansor) of east java, syafiq syauqi, to maintain, protect, and shelter the papuan brothers. in addition, syafiq also mentioned through the direct quote, “we are with papua and papua is indonesia. indonesia is home for all.” the sentence tried to show emotion or feeling that papuanese felt to the readers by trying to represent them (granato, 2002). secondly, nu online, through the published news, tried to defuse the anger and tension. this could clearly be seen in news article 3 asking all parties to refrain and not be easily provoked. indonesia, with all its diversity, must be protected together for harmony and peace. meanwhile, news article 4 delivered a message that all people must be seen equally without excluding any party, let alone underestimating and cursing other parties by racial slurring. that was not in line with the spirit of nationality that was campaigned all this time. framing on a topic, either individual, group, or organization can decide roles as protagonists, antagonists, or viewers. when an idea, 176 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) issue, action, or event that the public did not know was framed, the interpretation could be arranged by the frame (reese, 2001). based on the theory, the researcher saw that nu online constructed all parties’ importance to protect a safe and peaceful condition. the chaotic situation was the provocateur’s goal. the four articles published by nu online used different word choices to portray the invaluable unity of the nation. in the public arena, various issues and social problems such as violence and conflict are always presented in numerous perspectives by the reporting media. media do not merely present a meaningless sequence of letters or pictures, but they act as a messenger more than that. as a medium, media could also position themselves as the actors in defining the social reality and choosing what issues are considered essential and relevant (santosa, 2016). the strength and hegemony of mass media in leading the discourse in society is no longer doubtful. through a sequence of the mass communication process, media could influence and control the society’s attitude in seeing an issue, including conflict issues that affect inter-religion relationships (rengkaningtyas, 2017). especially in news article 2, the narration that was emphasized was the action done by one of the east java citizens. one of the officers committing racial discrimination was not representative of the east java people. in contrast, the east java people had been used to living peacefully and harmonically with all ethnicities. in particular, the head of the ansor youth movement (gerakan pemuda ansor/gp ansor) of east java ordered the community to protect the papuanese in all east java to avoid unwanted matters. thirdly, the last emphasis can be seen on all news articles focusing on a solution by increasing the narration and explanation that the papuan student case became the police’s authority that would be handled professionally. the descriptions of news article 1 to 4 had the same overall 177peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) message: all the investigation process was expected to be transparent, fair, and non-discriminatory. if seen in detail, each news had its own solution formulation proposal. for example, in news article 1, in framing the news done by nu online, the solving efforts offered were the improvement in cooperation. in addition, the local wisdom or cultural kinship could also be a way to solve the conflict. in news article 2, the solving emphasis was to ask the government, especially the security officers, to handle the case and avoid controversy wisely. diversity must be a strength to build unity, not disunity. the peace and safety we have got up to nowadays resulted from the sense of respect and belonging among different ethnicities, religions, and races. meanwhile, in news article 3, the offered solution was papuan society’s dignity rehabilitation. racial action was a form of insult to dignity, so it must be recovered by asking for forgiveness and fair law enforcement. news article 4 asked the officers to be wiser in responding to matters persuasively because by doing that, the case could be solved. peace-oriented as first dimension of peace journalism practice of nu online in papuan student case according to galtung, the peace-oriented approach in peace journalism is when the published news tries to see a conflict/war as a problem that needs to find a solution and considers other forms of conflict that do not use violence (cottle, 2006). the research results showed that from four news articles published by nu online, all directed to the peaceoriented approach. it means the news published by nu online tried to stress the peace efforts. these efforts could be seen on some news articles posted either on 19 august 2019 or 20 august july 2019, in which the titles led to case handling, for example, “defusing conflict, increasing cooperation 178 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) among people” (“redam konflik, perlu tingkatkan kerjasama antarwarga”). at the beginning, the news directly quoted the statement from the head of religios research and development jakarta, nurudin sulaiman, who clearly stated that to defuse the conflict in the grass root society level, not to mention the crash that happened in west papua, surabaya, and malang, cooperation needed to be improved. other news also led to peace efforts, for example news with the titles “the head of east java ansor order the member to protect papuanese in east java” (“ketua ansor jatim perintahkan anggotanya lindungi warga papua di jawa timur”), “related to papua case, do not provoke or get provoked” (“terkait kasus papua, jangan memprovokasi atau terprovokasi”) and “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”). using news focus and angle, it could be seen that nu online took a position to make peace and reassure audiences in reporting the papuan student case. for example, in the news entitled “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”), nu online quoted an academic statement from a papuan researcher, ahmad suaedy, who asked all parties not to get emotional and engage objectively. “all parties to refrain, to not be affected, and do a dialogue to find the solution,” said suaedy. in the choice of title and the news lead description, the nu online editor had led the readers on the importance of keeping the harmony of the nation under the unified nation, the republic of indonesia and pancasila. the efforts done by nu online were a step to minimalize the consequence of a diversed society sociologically that usually added to the tension in the social life arena, for example, the stability, harmony, intimacy, and competition even the conflict. the exclusive attitude that considered self as the best could cause the social problem in society. therefore, the media’s role in defusing the tension is very significant (hakim, 2018). 179peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the ideological role of the media that must be taken into account was how the media positioned themselves as part of the conflict resolution process or peace building in a conflict situation. the media need to take a role by reporting matters that direct to the solution. therefore, the media must stay professional and impartial, but that does not mean the media do not have bigger ideological goals for public interests, such as reporting in a friendly way and presenting comforting statements (hendry, 2015). people-oriented as second dimension of peace journalism practice of nu online in papuan student case people-oriented approach in peace journalism has its own analysis unit consisting of five parts which are problem root, source, conflicting actor, and how far the media showed the conflict loss as a reflection for peace as well as the wise figure outside the conflict circle. first, the root of the problem. the findings showed that the four news contents published in nu online looked more at the cause and effect, conflict time, and the tracing of the conflict history. one of the news that showed the root of the problem is entitled “related to papua case, do not provoke or get provoked” (“terkait kasus papua, jangan memprovokasi atau terprovokasi”). the news source presented was the head of inter religion communication home of east java province, hm. misbahus salam. he stressed that papuan student case that ignited the demonstration wave in various cities in indonesia started from racial statement from a certain party abusing the papuan student identity because of the allegation of the red and white flag desecration followed by the raids in the papuan student dormitory in surabaya and papuan student clash case in malang. salam in this news stated that the case handling became the key to defuse the papuanese anger. in addition, the ‘dignity’ rehabilitation of papuanese was also crucial with the allegation of racial expression from a certain party in abusing the papuanese identity. according to him, the 180 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) papuan case was agitated, so carefulness was needed to handle anything related to papuanese, except when there is the involvement of a criminal action. second, source. another people-oriented part is the source who gave balanced voice spaces to all conflicting actors. unfortunately, the study results showed that the four news articles related to papuan student case published in nu online did not contain sources from the people who were directly conflicting. there was no interview with the perpetrators who were the alleged attackers and who got attacked. the sources presented in the news were only researchers, observers, religious figures, public figures, and central officials. the coverage only depicted the general situation and the cause of the papuan student case as portrayed on the news lead “the papuan student dormitory encirclement tragedy in surabaya, east java rises various people’s reactions. it was because the repressive and racial actions directed to them without any investigation towards the case allegation of red and white flag desecration alleged to some students”. the description appeared in the news entitled “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”). the media must do a balanced coverage about the conflict because the media have a significant contribution and role as light and comforter. in playing the role and function, the people driving the media must be competent. because of that, the journalists and reporters must hold on to the ethical codes in doing the task (santosa, 2017). the reporters must continue their function as public investigators that were widely termed as watchdog roles. journalism that exposed anything hidden or concealed became essential (hamna, 2017). when a conflict happened, the reporters must train their journalistic instincts in assessing each reported incident, so the news is written was 181peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) worthy of being consumed by the people. at least, the reporters did not ignite feud in society (khoiruzzaman, 2016). it was considered necessary in the journalistic world, which was more complex as the technology advanced. the birth of many digital/social media gave easiness to the readers to access and make content. it had the potential to make the conflict bigger and uncontrolled (lukacovic, 2016). third, conflicting actors. at this point, the media should not hide the truth and mention all conflicting actors in each written news. the news published by nu online fulfilled the requirements although it did not clearly mention each person’s name but used certain terms such as “certain students”, “police officers”, and others. the use of general terms without mentioning the names showed that the conflicting actors, either from the students or the police officers, were not parts of their community. here were the news quotations that contained conflicting actors: the papuan students got repressive treatments without thorough investigation from the police officers. the sentence appeared in the news entitled “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”). “asking the police officers to stop all persecution actions that oppose the law and human rights, as well as enforcing the law for those who violate it including those who spread the hate speeches”. the direct quote appeared in the news entitled “head of east java ansor order the members to protect papuanese in east java” (“ketua ansor jatim perintahkan anggotanya lindungi warga papua di jawa timur”). the quoted statement suggested all parties directly involved in the conflict refrain themselves and not get provoked. anyone who violated the rules, including some people that spread hate speech, must get arrested. fourth, how far the media show the conflict loss as a reflection for peace. some news quoted the source’s statement that contained morale loss experienced by the people because of the conflict, among which were: 182 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the head of cross-religion communication home (rumah komunikasi lintas agama/rkla) east java province, hm. misbahus salam hoped that all elements in the society could contribute to the serenity and peace of papua. one of the ways was by not provoking or getting provoked by the case. this was because any provocation would spread quickly to other regions within minutes. “be careful and do not provoke or get provoked. we have to protect indonesian country together since we live, eat, drink, and do activities in indonesia,” he expressed. sentences that stressed indonesia was a home for all so it needed to be protected to avoid numerous provocations were potential in burning the people’s emotions. nu online quoted many opinions showing messages that made the situation more peaceful. this could be seen in the news entitled “related to papua case, don’t provoke nor got provoked” (“terkait kasus papua, jangan memprovokasi atau terprovokasi”). the same message delivered by nu online in the news with different title was “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”). the dean of islam nusantara faculty nahdlatul ulama indonesia university jakarta reminded that all people must be seen equally without excluding any party, let alone underestimating and slurring other parties. “people should see other people equally, we should not underestimate an ethnic or certain religion and others,” stated the member of ombudsman of the republic of indonesia. fifth, showing wise figures outside the conflict circle. all of the news published by nu online related to papuan student case involved wise figures outside the conflict circle such as researchers, observers, religious figures, public figures, and central officers, as seen in the following news statements: the governor of east java khofifah indar parawansa asked for forgiveness directly to the public. the incident, she said, did not represent 183peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) east java people in general. meanwhile, the papua regional committee chief of nahdlatul ulama ustaz tony victor mandawin wanggai asked the officer to be wiser in persuasively responding to the case. the quote clearly was the main message in the news entitled “related to papua case, researcher: all parties must refrain” (“terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri”). it was the same with the news entitled “defusing conflict, increasing the cooperation among the people” (“redam konflik, perlu tingkatkan kerjasama antarwarga”). the head of jakarta religious research and development, nurudin sulaiman, stated that defusing the conflict in the grassroot society level does not mention the conflict in west papua, surabaya, and malang, cooperation needs to be increased. truth-oriented as third dimension of peace journalism practice of nu online in papuan student case truth-oriented has two analysis units which are opinion and diction. opinion has the category that does not mix subjective opinion and news, while diction has the category of not using diction words “we-they” or words and sentences that lead to provocation. the results showed that the analysis unit was not found in the four news articles studied in the nu online news site. from the news search posted by nu online related to the papuan student case, all contained facts accompanied by descriptions from some sources so there were no reporters’ opinions in them. diction choice that did not intensify the polarization and did not contain provocation showed that news coverage on nu online was in line with peace journalism that emphasized on solution. in addition, the construction of opinion and diction choice might seem simple, but in peace journalism both of them were very influential to the readers’ understanding. at some points they could lessen the tension, but could do otherwise as well. 184 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) solution-oriented as fourth dimension of peace journalism practice of nu online in papuan student case the last orientation was the solution solving that was offered. the analysis unit was the provided solution, with categories highlighting the peace initiative and trying to prevent war; highlighting the peaceful society’s structure and culture; and the continuations of resolution, reconstruction, and reconciliation. the findings showed that all of the news related to the papuan student case posted on nu online contained problem-solving orientation or offered solutions. this can be seen on the following news: the head of cross-religion communication house (rumah komunikasi lintas agama/rkla) east java province, hm. misbahus salam stated that the case handling became the key to defuse the papuanese anger. in addition, ‘dignity’ rehabilitation of papuanese was also essential following the allegation of racist expression from certain parties in mentioning papuanese identity. “so, the first is dignity rehabilitation. the second is case handling must be clear and complete,” he stated. according to him, any religion does not hurt or harm other people. ”all religions uphold love, strengthen the brotherhood and humanity so we all can live safe and sound,” salam explained. the message leading to peaceful solution could be read in the news posted by nu online, which was “related to papua case, don’t provoke nor get provoked” (“terkait kasus papua, jangan memprovokasi atau terprovokasi”). it was in line with the news entitled “head of east java ansor order the members to protect papuanese in east java” (“ketua ansor jatim perintahkan anggotanya lindungi warga papua di jawa timur”) – the east java regional chief of ansor youth movement (gerakan pemuda ansor/ gp ansor), syafiq syauqi, reminded that in the process, the government, particularly security officers should do it wisely, not using controversial 185peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ways. he also suggested the indonesian people in general, refrain from riots and actively create peace. discussion journalism develops and transforms along with the development of technology or communication media. therefore, the presence of the internet and the development of cell phones also support journalism transformation, covering the industrial change, mass media organization, journalist’s or reporter’s works, news either in terms of presentation package or the content, and the readers (suciati & puspita, 2019). journalists must position the ethical codes in an essential position. each journalist with full conscience obeys and implements the ethical codes as guides in moving, searching, and processing the news. as a guide and professional demands, journalistic ethical codes do not only contain universal values but all things that directly relate to the journalistic practice on the ground (hakim, 2019). at this position, peace journalism becomes modern journalism that holds on to impartiality principle (truth) and factuality (based on fact), in contrast with violent journalism. violence/war journalism has characteristics of only reporting the controversy in the society and orients more on the violence in incidents. the coverage only focuses on the arena or the violence in a conflict incident setting by emphasizing the physical effect information from the status, for example, the dead, injured victims, or the destroyed, burned material such as houses, transportation, religious places, or other public buildings (setiati, 2005). the media coverage concept that has been the doctrine “engraved” in the “heart” of the media is that bad news is good news. this mainstream concept brings news patterns of the media to always find, report, and publish bad news. in the media’s point of view, the good news is not sale-worthy in the media business’ view, but in contrast, news exploiting 186 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) negative or bad angles has more market value than the good news (nurdin, 2016). peace journalism comes with a different perspective. it emphasizes empathy to the victims, so the chosen topics as news content describe one problem and offer a solution. on one side, the press has the potential to enlarge the conflict. however, in peace journalism, the media have a potential to be a conflict defuser by building a fresh opinion. the reporters act to map the problem, analyse the conflict, and reveal the root of the problem. the reporters do not judge who wins and loses by solving the conflict peacefully and placing society’s interests above certain groups’ (isma, 2019). in general, the mass media have an important role in establishing peace. in a linguistic perspective, diction choice, sentence, and narration used in the media can prevent or defuse the conflict potential, which has the final goal to create harmony in the society (wibowo, 2018). at this point, the media become the determinant of how conflict and war are reported. the narration built and disseminated to the public will influence the field condition, escalating or defusing the conflict (tenenboimweinblatt, hanitzsch, & nagar, 2016). however, the coverage that defuses the conflict and focuses on the solution does not appear much in the media. mass media, in contrast, report many conflict cases at a neutral level or take a safe zone (kalfeli, frangonikolopoulos, & gardikiotis, 2020). sometimes the media purposely use war journalism that relies on dramatization and tension. this condition makes peace journalism an alternative, and it is not the mainstream practice in framing media (atanesyan, 2020). therefore, knowing some important matters related to peace journalism is essential. first, in a country with the same conflict, the news can be reported differently. second, to see the implementation of peace journalism, the coverage content is directed in solution finding 187peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and emphasizing the humanity side (hussain, siraj, & mahmood, 2019). another challenge is that a journalist can work and implement peace journalism in writing news. however, it would be a waste to only expect the journalists to implement peace journalism without the mass media editors’ support (ersoy & miller, 2020). in implementing the peace journalism principle, primarily if related to national security, the government’s political aspect is needed to be considered seriously. this was because it is related to people’s safety. when the security situation gets worse, the mass media have the responsibility to implement peace journalism. peace journalism can be a solution in the middle of conflict escalation, but journalists also need to pay attention to self-safety, especially in doing live report on the ground (hussain, 2020). the result of the study showed that from the four news articles related to papuan student case in nu online, there was none that emphasized the physical effects of the conflict. it showed that nu online tried to defuse the conflict particularly two days after the incident on 19 august 2019 to 20 august 2019. information of physical loss would only make the involved parties count the loss and it might escalate the conflict. news posted exactly a day or two after the incident on 19 august 2019 and 20 august 2019 without reporting the physical losses showed an element of the peace dimension. news focused on the conflict as a problem that needed solving and recommended forms of conflict resolution that did not use violence. peace journalism in practice can only be realized with the willingness and ability of the press community to empathize with what is experienced by the conflicting parties in a certain incident. peace journalism can only be realized through comprehensive reporting and balanced reporting that always see other sides of an incident and interpretative reporting that asks the readers to understand the background and relates to the incident so they can understand logic of an incident (setiati, 2005). 188 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this is in line with what is expressed by galtung (1986) that peace journalism aims to avoid or prevent the occurence of violence in the society (mcgoldrick & lynch, 2000). it also teaches the reporters to not be part of the controversy but become the solution finder. from the people-oriented dimensions analysis units reviewed in the study which were the root of the problem, showing wise figures outside the conflict, conflicting actors, not showing conflict loss, and conflict sources they showed that the coverage published by nu online fulfilled the peace journalism requirement because it did not worsen the problem and took side on the solution. galtung (1986) stated that in reporting the conflict case, the reporters try their best to find the source objectively, so the realistic depiction that is on the readers’ mind is unbiased since peace journalism is the journalistic practice that is based on incident revelation (setiati, 2005). unfortunately, all news of the papuan student case in nu online did not contain any conflicting actors as the sources. however, in some news, in general, it was clearly mentioned two conflicting actors who had the controversy such as using the term of some students and police officers. it was clearly mentioned, though, by sudibyo that peace journalism reports conflict as what it is and gives the same portion to all parties or the appeared versions in the conflict discourse. the news traits and characteristics posted on online media tended to be short and fast so that it can be quickly known by the general public (sudibyo, 2006). online media have fast and short characteristics and tend not to describe a detailed incident at the beginning of the news and raise the wrong perception if it comes to the public. the desire to be the first to report makes a lot of news imperfect and premature but it had been published and read by the public, especially if the case is a religious conflict case. what is interesting from texts in mass media is that the public knows the reality comprehensively through media texts, but they could 189peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) also present only some parts of the facts. it means that the media text can bring reality to the world, but it can be only some depictions of the phenomena because the media’s way to present the reality will decide the public’s understanding of reality (rubawati, 2019). galtung (1986) assessed that peace journalism sees a conflict as news, highlighting that the effect of the conflict or violence causes destruction and psychological, cultural, and structural loss from a group of people that becomes the conflict. objectivity is a correct, impartial, and balanced news presentation. one of the indicators used is the truth dimension which refers to the level at which facts are presented correctly and reliable. relevancy is the level of factual aspect that is presented which is in line with journalistic standards, and impartiality refers to the level of neutral and balanced facts (siahaan, 2001). one of news objectivity indicators mentioned above is truth. kovach and rosentiel, in their book entitled “9 journalistic elements,” stated that the first, most important obligation in journalistic practice is the truth. it has become the obligation to deliver the truth to the public without taking sides on certain interests. therefore, the truth must be the key in news by not mixing the reporter’s subjective opinion just because of personal judgment (kovach & rosenstiel, 2006). the reporters must avoid expressing personal opinions that might cause a bias or present ambiguous incident facts revelation or mix facts and opinions (setiati, 2005). the alignment with truth in journalism in muslim countries is relevant with the study done by pintak (2013) about islamic identity and the values of professional journalism showing that in three muslim countries which are indonesia, pakistan, and the arab world, islamic values take part in shaping journalism values that are implemented in news coverage. pintak’s findings strengthen steele’s (2011) study mentioning that journalists in malaysia and indonesia implemented the values of 190 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) professional journalism in general, such as truth alignment, verification, balanced, and independence. in practice, the journalists also used islamic terms/idioms, and in doing the journalistic work, they also used islamic views. this is in line with the journalists attitude guides issued by the jakarta alliance of independent journalists (aliansi jurnalis independen/aji jakarta). one of the points states that the impartiality of the reporters must be shown by avoiding the use of opinion-like languages. this is the same with what was mentioned by galtung (1986) that journalists reporting in conflict areas need to follow some stages to avoid news correlated with etnic, religion, race, and intergroup issues. those are choosing appropriate words in quoting the source’s statements, putting through coherent words between one source with the others so they form a unity of understanding, as well as avoiding to quote source’s statements that might confuse the readers or cause conflicts in the society (setiati, 2005). the journalists must use a balanced and fair approach to gain information from the conflicting parties. it can be ensured that the journalists would lose the information or important facts if only digging data from one side only. the journalists must be active in exploring information from various sources to gain a complete depiction of a conflict. furthermore, the information analysed and presented must not take sides so it can be read well by the readers (ersoy, 2017). media become a mediator in presenting issues from various perspectives and directing the conflicting parties towards conflict solving. media must be able to become the communication means in conflict solving. therefore, the reporters must be able to build a harmonic relationship with the conflicting parties so they can be the third party in conflict solving (setiati, 2005). the principle is in line with the concept of peace journalism, in which galtung formulates that one of the characteristics to differentiate peace journalism from others is the solving 191peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) which is peace-oriented with no violence nor creativity, highlighting peace proposal, as well as preventing more wars, focusing on the structure, culture, and peaceful society and the effect is the achievement of the resolution, reconstruction, and reconciliation (cottle, 2006). conclusion and suggestion conclusion in the framing practice of the four news articles of the papuan student case, nu online directed on the importance of peaceful and proportional action in seeing a problem. all of the parties were asked to refrain and not easily get provoked. the papuan student case must be handled carefully as well as firmly and whoever became the mastermind must be arrested. nu online through the written news tried to interview various credible sources stating that the society must believe and give the case to the police. the running legal process was also asked to be transparent and fair. each nu online news also quoted source’s statements that contained solution from various perspectives so the people who read could gain insights and support the security condition to go back to normal. the weakness of nu online was that it did not directly present the conflicting parties that were the papuan students and the police. the findings showed that in two days of 19 august 2019 to 20 august 2019 there were four news articles related to papuan student case on nu online news site that was peace-oriented. the news uploaded by nu online also stressed the peace efforts. meanwhile, for the people-oriented dimension, the findings showed that the majority of the news emphasized the root of the problem, and many showed the wise figures outside the conflict circle. meanwhile, for the source analysis unit, conflicting actors and conflict loss presentation as a peace reflection tended to be low. even the sources or the people directly involved in the conflict were not presented. this was the weakness of nu online coverage that did not 192 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) contain direct information from the conflicting actors. whereas to write a balanced, fair, and impartial news, the journalists need some information from the conflicting actors. from the news search that was written by nu online related to this papuan student case, all of them contained facts followed with description from some sources so there was no reporter’s opinion as such. meanwhile, the solution-oriented that was offered in the news posted by nu online almost always appeared evenly in the news. therefore, based on the research results, nu online had implemented well the concept and dimensions of peace journalism in reporting the papuan student case. nu online also defused the conflict as well as supported the conflict solving. suggestion in the midst of the spread of mass media, especially the online media both on a local, regional, or national scale, the people accessing news about the conflict were faced with dilemmatic conditions. on the one hand, the presence of many media should enhance information through its speed and accuracy. still, on the other hand, some media purposely dramatized the conflict for the sake of rating and attracting the advertisements. therefore, people need to be critical about the contents presented by the mass media, so they are not easily provoked and be wise in making decisions. in addition, research on peace journalism in indonesia is still wide open and can be investigated by future researchers. research on peace journalism is important for better journalism in indonesia. 193peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) references andarini. (2014). jurnalisme damai dalam pemberitaan ahmadiyah pada harian jawa pos. jurnalisme damai dalam pemberitaan ahmadiyah pada harian jawa pos, 3(1), 85–93. https://doi.org/10.14710/ interaksi.3.1.85-93 angjaya, s. v., susanto, e. h., & siswoko, k. h. (2019). jurnalisme damai pemberitaan tragedi bom surabaya mei 2018 (analisis wacana media siber kompas.com, okezone.com, liputan6.com). koneksi, 2(2), 562–568. https://doi.org/10.24912/kn.v2i2.3937 aryudi. (2019). terkait kasus papua, jangan memprovokasi atau terprovokasi. retrieved october 30, 2019, from nu.or.id website: https://www.nu.or.id/post/read/110030/terkait-kasus-papua-jangan-memprovokasi-atau-terprovokasi. asrori, m. (2019). redam konflik, perlu tingkatkan kerjasama antarwarga. retrieved october 30, 2019, from nu.or.id website: https://www.nu.or.id/post/read/110034/redam-konflik--perlutingkatkan-kerjasama-antarwarga. atanesyan, a. (2020). media framing on armed conflicts: limits of peace journalism on the nagorno-karabakh conflict. journal of intervention and statebuilding, 14(4), 534–550. https://doi.org/10.1 080/17502977.2020.1780018 cnn indonesia. (2019a). kronik rusuh papua, dari malang menjalar hingga makassar. retrieved october 30, 2019, from cnnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-darimalang-menjalar-hingga-makassar tanggal 26 agustus 2019. cnn indonesia. (2019b). kronologi pengepungan asrama papua surabaya versi mahasiswa. retrieved october 30, 2019, from cnnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20190819072043-20-422556/kronologi-pengepunganasrama-papua-surabaya-versi-mahasiswa. cottle, s. (2006). why “mediatized” conflict? mediatized conflict: developments in media and conflict studies. new york, united states: open university press. 194 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) entman, r. m. (1993). framing: toward clarification of a fractured paradigm. journal of communication, 43(4), 51–58. https://doi. org/10.1111/j.1460-2466.1993.tb01304.x eriyanto. (2012). analisis framing: konstruksi, ideologi, dan politik media. yogyakarta: lkis. ersoy, m. (2017). implementing peace journalism in the media. peace review, 29(4), 458–466. https://doi.org/10.1080/10402659.2017. 1381514 ersoy, m., & miller, l. m. (2020). peace journalism strategy for creating a public value sphere. international peacekeeping, 27(3), 395–416. https://doi.org/10.1080/13533312.2020.1740058 faiz, a. (2016). nu online dan deradikalisasi. retrieved october 30, 2019, from nu.or.id website: http://www.nu.or.id/post/ read/65279/nu-online-dan-deradikalisasi. galtung, j. (1986). on the role of the media in worldwide security and peace. (i. t. varis, ed.). san jose, costa rica: universidad para la paz. granato, l. (2002). newspaper feature writing. australia: university of new south wales press ltd. hackett, r. a. (2007). journalism versus peace? notes on a problematic relationship. global media journal mediterranean, 2(1), 47–53. hadiprayitno, i. i. (2015). behind transformation: the right to food, agricultural modernisation and indigenous peoples in papua, indonesia. human rights review, 16(2), 123–141. https://doi. org/10.1007/s12142-015-0353-7 hadiprayitno, i. i. (2017). the limit of narratives: ethnicity and indigenous rights in papua, indonesia. international journal on minority and group rights, 24(1), 1-23. https://doi. org/10.1163/15718115-02401007 hakim, a. l. (2018). strategi komunikasi lintas agama fkub surabaya dalam menangani konflik. al-mada: jurnal agama, sosial, dan budaya, 1(1), 19–34. https://doi.org/10.31538/almada.v1i1.129 hakim, l. (2019). jurnalisme islam di tengah transformasi jurnalisik digital. jurnal komunikasi islam, 9(2), 314–338. https://doi.org/ 10.15642/jki.2019.9.2.314 338 195peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hakim, l. (2021). interviewed the executive editor of nu online, mahbub khoiron hamna, d. (2017). eksistensi jurnalisme di era media sosial. jurnal jurnalisa, 3(1), 106–120. https://doi.org/10.24252/jurnalisa. v3i1.3090 harits, a. b. (2010). islam nu pengawal tradisi sunni indonesia. surabaya: khalista. haryanti, r. (2019). kerusuhan manokwari, penjelasan polisi hingga permintaan maaf para tokoh. retrieved october 30, 2019, from kompas.com website: https://www.kompas.com/ tren/read/2019/08/21/103047065/ker usuhan-manokwaripenjelasan-polisi-hingga-permintaan-maaf-para-tokoh?page=all. hendry, e. (2015). konflik dan media (menuju peace-oriented journalism). al-hikmah, 7(2), 29–39. https://doi.org/10.24260/ al-hikmah.v7i2.60 hussain, s. (2020). peace journalism for conflict reporting: insights from pakistan. journalism practice, 14(1), 1–16. https://doi.org/10. 1080/17512786.2019.1596753 hussain, s., siraj, s. a., & mahmood, t. (2019). evaluating war and peace potential of pakistani news media: advancing a peace journalism model. information development, 37(1), 105-121. https:// doi.org/10.1177/0266666919893416 hutubessy, f. k., & engel, j. d. (2019). sakralitas nasionalisme papua: studi kasus pergerakan aliansi mahasiswa papua. jurnal pemikiran sosiologi, 6(1), 77–93. https://doi.org/10.22146/jps.v6i1.47468 ibrahim. (2002). membangun akidah dan akhlak. solo: tiga serangkai pustaka mandiri. ishawara, l. (2011). jurnalisme dasar. jakarta: kompas media nusantara. isma, a. (2019). pengembangan keilmuan program studi jurnalistik islam melalui mata kuliah peace journalism. jurnal dakwah risalah, 30(1), 47–60. https://doi.org/10.24014/jdr.v30i1.6450 juditha, c. (2016). jurnalisme damai dalam konflik agama di tolikara di tempo.co. jurnal penelitian komunikasi dan opini publik, 20(1), 93–110. http://dx.doi.org/10.33299/jpkop.20.2.642 196 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kalfeli, n., frangonikolopoulos, c., & gardikiotis, a. (2020). expanding peace journalism: a new model for analyzing media representations of immigration. journalism, (4), 1–18. https:// doi.org/10.1177/1464884920969089 khoiruzzaman, w. (2016). urgensi dakwah media cyber berbasis peace journalism. jurnal ilmu dakwah, 36(2), 316–334. https://doi.org/ http://dx.doi.org/10.21580/jid.v36.2.1775 kovach, b. & rosenstiel, t. (2006). sembilan elemen jurnalisme. jakarta: yayasan pantau. laksono, d. (2017). praktik jurnalisme damai dalam pembingkaian berita konflik poso iii antarumat islam dan kristen di harian republika, diploma thesis (unpublished). jakarta: universitas islam negeri syarif hidayatullah. lukacovic, m. n. (2016). peace journalism and radical media ethics. conflict & communication online, 15(2), 1–9. lynch, j. (2007). a course in peace journalism. conflict and communication, 6(1), 1–20. manan, a. (2019). terapkan jurnalisme damai dalam peristiwa papua. retrieved october 30, 2019, from aji.or.id website: https://www. aji.or.id/read/press-release/970/aji-terapkan-jurnalisme-damaidalam-peristiwa-papua.html. mcgoldrick, a & lynch, j. (2000). peace journalism. what is it ? how to do it ? london, united kingdom: hawthorn press. mubarok. (2013). media dan kekerasan berlatar agama (urgensi praktik jurnalisme damai). jurnal ilmiah komunikasi makna, 3(2), 183–193. http://dx.doi.org/10.30659/jikm.2.2.183-193 mun’im, a. (2008). teknologi sebagai sarana pengembangan teologi dan ideologi. jakarta: nu online. murdock, g., & golding, p. (1992). political economy of mass comunication. london, united kingdom: a division of hodder & stoughten. nawawi, i. (2019). ketua ansor jatim perintahkan anggotanya lindungi warga papua di jawa timur. retrieved october 30, 2019, from nu.or.id website: https://www.nu.or.id/post/read/110053/ketuaansor-jatim-perintahkan-anggotanya-lindungi-warga-papua-dijawa-timur 197peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nurdin, a. (2016). peace journalism (konsep, realitas, dan perspektif islam). jurnal komunikasi islam, 6(1), 65–92. https://doi. org/10.15642/jki.2016.6.1.65-92 nusyur, r. (2017). jurnalisme damai dalam pemberitaan pembakaran gereja di aceh singkil pada harian waspada. jurnal komunikasi global, 6(1), 26–38. pintak, l. (2013). islam, identity and professional values: a study of journalists in three muslim-majority regions. journalism, 15(4), 482–503. https://doi.org/10.1177/1464884913490269 reese, s. d. (2001). prologue–framing public life: a bridging model for media research. in s. d. reese, o. h. gandy, jr., a. e. grant, framing public life: perspectives on media and our understanding of the social world (pp. 7–31). milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, united kingdom: routledge rengkaningtyas, a. u. (2017). jurnalisme damai dalam kerukunan antarumat beragama (analisis framing kompas.com terhadap isu rohingnya). jurnal kajian islam interdispliner, 2(2), 163–184. https://doi.org/10.14421/jkii.v2i2.1084 rubawati, e. (2019). papua dalam media (analisis framing media lokal radar sorong dan antara papua barat terhadap pemberitaan otonomi khusus di papua barat). jurnal masyarakat dan budaya, 20(3), 375–390. https://doi.org/10.14203/jmb.v20i3.671 santosa, b. a. (2016). jurnalisme damai dan peran media massa dalam mengatasi konflik di indonesia. jurnal komunikasi islam, 6(2), 279–300. santosa, b. a. (2017). peran media massa dalam mencegah konflik. jurnal aspikom, 3(2), 199–214. setiati, e. (2005). ragam jurnalistik baru dalam pemberitaan: strategi wartawan menghadapitugas jurnalistik. yogyakarta: andi offset. shiddiq, a. (2005). khittah nahdliyyah. surabaya: khalista. shoemaker, p. j. & reese, s. d. (1991). mediating the message: theories of influences on mass media content. naperville, illinois, united states: longman trade/caroline house. shoemaker, p. j. & reese, s. d. (2014). mediating the message in the 21st century: a media sociology perspective. milton park, abingdon-onthames, oxfordshire, england, united kingdom: routledge. 198 peace journalism transmissions in case of papua students by “nu online” lukman hakim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 159 212, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.2097 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) siahaan, h. (2001). pers yang gamang: studi pemberitaan jajak pendapat timor timur. jakarta: institut studi arus informasi. steele, j. (2011). justice and journalism: islam and journalistic values in indonesia and malaysia. journalism, 12(5), 533–549. https://doi. org/10.1177/1464884910388234 suciati, t. n., & puspita, r. (2019). bukan hanya situs berita: ikhtisar dan tren jurnalisme online indonesia. coverage: journal of strategic communication, 9(2), 20–30. https://doi.org/10.35814/coverage. v9i2.1123 sudibyo, a. (2006). politik media dan pertarungan wacana. yogyakarta: lkis. syailendra, e. a. (2019). inside papua: the police force as counterinsurgents in post reformasi indonesia, indonesian journal, 83(102), 57–83. syakir. (2019). terkait persoalan papua, peneliti: semua pihak harus tahan diri. retrieved october 30, 2019, from nu.or.id website: https://www.nu.or.id/post/read/110012/terkait-persoalanpapua--peneliti--semua-pihak-harus-tahan-diri. tenenboim-weinblatt, k., hanitzsch, t., & nagar, r. (2016). beyond peace journalism: reclassifying conflict narratives in the israeli news media. journal of peace research, 53(2), 151–165. https://doi. org/10.1177/0022343315609091 webb-gannon, c. (2014). merdeka in west papua: peace, justice and political independence. anthropologica, 56(2), 353–367. webb-gannon, c. (2017). effecting change through peace research in a methodological ‘no-man’s land’: a case study of west papua. asia pacific journal of anthropology, 18(1), 18–35. https://doi.org/ 10.1080/14442213.2016.1239653 wibowo, a. h. (2018). the language of media supporting peace journalism. jurnal komunikasi: malaysian journal of communication, 34(3), 349–360. https://doi.org/10.17576/jkmjc-2018-3403-21 zuhri, a. m. (2010). pemikiran kh. m. hasyim asy’ari tentang ahl alsunnah wa al-jama’ah. surabaya: khalista dan lembaga ta’lif wan nasyr pengurus besar nahdlatul ulama. after the fifth congress of kppsi: shari’ah on the ground of kppsi’s political agenda (a critical analysis of an-na‘im standpoints) achmad fawaid center for religious and cross-cultural studies (crcs) gadjah mada university (ugm) yogyakarta keywords: an-na’im, kppsi, shari’ah grounding, secular http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: fawaidachmad@gmail.com abstract this paper is aimed to reveal an-na’im’s idea of constitutionalism, human rights, and citizenship in reading the phenomena of some activists’ struggle for enforcing shari’ah in south sulawesi. it is important to notice that today’s debatable issue is about to what extents shari’ah can be implemented in indonesia and how it should be tolerated by muslims and non-muslims living there. for such reason, reading an-na’im who has focused on shar’ia in a secular state, is necessary. this study has efforts to critically respond an-na’im in the case of kppsi (preparatory committee for the implementation of shari’ah), a committee that believes that special status for south sulawesi to implement shari’ah will be the best solution for indonesian, especially in south sulawesi. the discussion is generally divided into three parts: (1) exploring anna’im’s points of views, especially in regard with shari’ah and secular state; (2) a short description of kppsi, either about its historical phases or political agenda, in enforcing shari’ah in south sulawesi; and (3) a critical view of shari’ah on the ground by which the kppsi will be used as a case to reconsider about paradoxical applicability of an-na’im notion on shari’ah in secular state. to conclude, the important remarks are provided in the end of this paper. 130 | achmad fawaid – after the fifth congress of artikel ini bertujuan untuk menemukan ide an-naim tentang konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia dan kewarganegaraan dengan membaca fenomena perjuangan para aktivis dalam menyebarluaskan syariah di sulawesi selatan. penting untuk memandang bahwa isu yang diperdebatkan baru-baru ini adalah tentang sejauh mana syariah bisa diimplementasikan di indonesia dan bagaimana hal tersebut bisa ditoleransi oleh muslim dan nonmuslim yang tinggal di sana. untuk alasan ini, membaca an-na’im yang berfokus kepada penerapan syariah di negara sekuler adalah wajib. studi ini berupaya merespon secara kritis terhadap an-na’im dalam kasus kppsi (komite persiapan pengimplementasian syariah islam), sebuah komite yang percaya bahwa status khusus sulawesi selatan untuk mengimplimentasikan syariah akan menjadi solusi terbaik untuk masyarakat indonesia, khususnya di sulawesi selatan. diskusi ini secara umum dibagi menjadi tiga bagian: (1) membahas sudut pandang an-na’im, khususnya yang berhubungan dengan syariah dan negara sekuler; (2) deskripsi singkat tentang kppsi, baik sejarahnya maupun agenda politiknya, dalam mendorong penerapan syariah di sulawesi selatan; dan (3) pandangan kritis terhadap syariah yang akan digunakan kppsi sebagai sebuah kasus untuk mempertimbangkan kemungkinan pengaplikasian pemikiran paradox an-na’im tentang syariah di negara sekuler. sebagai kesipulan, catatan-catatan penting disediakan di akhir artikel. preface abdullahi an-naim’s article, a theory of islam, state, and society (2009), provides a critical view of the link between shari’ah and its implementation in democratic state, and the framework of constitutionalism, human rights, and citizenship. his discussion begins with a notion that a state cannot be religious (an-na’im in kari vogt 2009, 47). he criticizes a fundamentalist’s idea of islamic state because it will be contra-productive with democracy and incapable to meet the demands of different people with different religions. in historical context, however, why did the early muslim jurists use shari’ah as the basis of state law? in fact, they took jurisprudential considerations from the scholars (ulam’), but ulam’ had no institutional power to enforce the islamic ruler to use their considerations. it is important to notice that an-na’im divides neutrality of the state into two types: religious neutrality and political neutrality (an-na’im abstrak – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 131 in kari vogt 2009, 49). the political neutrality of the state is important due to the existence of the state which cannot separate itself from the personal and religious motivations, so the political neutrality is used to make a bridge between political interests and personal interests. the religious neutrality is significant, particularly, in a state in which political parties have more emphasis on islamic dimension, so such neutrality can maintain public reasons for every public decision the state has made. the civic reasons, in an-na’im’s point of view, refer to a condition in which public legacy and policy must be accessible to citizens (an-na’im in kari vogt 2009, 52). it should be motivated by public interests, not personal or religious beliefs. it should be aimed to encourage the public consensus among people. according to him, a state needs public reasons to have both kinds of neutrality. however, it is notable to be aware of the fact that state is not operated by itself, but people who have own religious perspectives (anna’im in kari vogt 2009, 54). therefore, political policy is a product of human’s consideration on the certain matters of public issues. in order to make it more effective, all matters of public policy should be supported by public reasons in which the religious society, however islam became majority, can agree and disagree about it in the continuum debates. and, for an-na’im, only a secular state can facilitate such debate. in relation with implementation of shari’ah, he argues that shari’ah tends to be fixed, particulary for people who have an imagination of islamic state, because it is always regarded as the final jurisprudential product of al-quran and sunnah. however, in the context of basic methodologies in making law decision, islam has based itself on other three important ways: ijma’ (consensus), qiys (reasoning by analogy), and ijtihd (juridical reasoning). shari’ah, in some extents, is certainly a product of human reasoning (ijtihad) (an-na’im 2008, 5). due to this fact, he supports a secular state for making public reasons and shari’ah possible to be dynamically functional in the democratic society. then, the question is that how to create a good condition for this purpose? firstly, in his view, a state should regard shari’ah not as a 132 | achmad fawaid – after the fifth congress of final product, but a product of human reasoning that is possible to evolve further. secondly, shari’ah should be a source of public legacy and policy, and for making it possible, reformation of some aspects of shari’ah is necessary. in the last paragraphs, he proposes an idea of citizenship. the citizenship is affirmative and proactive sense of belonging in pluralistic political community. it means that each citizen should have possibilities of democratic participation and civic engagement in the daily affairs of the community (an-na’im 2009, 58). in islam, such condition is actually compatible with the principle of reciprocity (mu‘wadah), which is emphasized by the legal and political realities of self-determination. secular state an-na’im’s latest book, islam and the secular state (2008), can be regarded as the culmination of his works. here, he defends a secular state that is based on these values and where shari’ah is not the basis of constitutional law. he makes clear that he is not arguing for the exclusion of religion from politics. muslims remain free to argue for policies based on their convictions about shari’ah, but they ought to do so on the basis of secular civic reasons and within the framework of a constitutional order based on human rights. secular, for him, does not mean hostile to religion but rather a differentiation between religion and state (an-na’im 2008, 77). in fact, he seeks an islamic justification for the secular state. it is the high quality of his pursuit of such a justification over the course of his career that makes him a giant. religious belief by its very nature cannot be compelled. it must be freely chosen if it is to be meaningful and consequential. the state that compels it pursues impossibility and stultifies and represses vibrant religious life. by protecting my freedom to disbelieve, a secular state, as defined in this book, is necessary for my freedom to believe, which is the only way belief has any meaning and consequences, he argues (an-na’im – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 133 2008, 279-280). the meaning and interpretation of islam is a human process that has always been in flux (an-na’im 2008, 11-20). an-na`im is neither a relativist nor a skeptic; he believes that the quran is allah’s revelation. but interpretations of its meaning have always dynamically evolved through shifting consensus. yesterday’s heresy may well be today’s orthodoxy. to freeze any one interpretation into the laws of the state is to make fast what ought to be left fluid. rather, interpretation always ought to be left to believers and communities. it is just the freedom that the secular state provides that allows the great historical flow of interpretation to continue. any attempt to freeze any one interpretation in a constitution or the basic laws of a state leads to tyranny (an-na’im 2008, 30). because interpretation is a human process, human rulers who seek to enforce a particular understanding of islam will inevitably do so repressively and may well use orthodoxy as a mere tool for rule. although an-na`im does not say it, the history of his native sudan over recent decades offers ample grist for this argument. the history of islam, as an-na`im shows in his brilliant and rich chapter two, contains many examples of separation of religion and state, even in the early centuries. this was not modern constitutionalism, to be sure, but involved an independence of religious authority and a limitation of state responsibilities to typically temporal ones—raising armies and taxes, for instance. it was in good part european colonial regimes that created today’s states that rigidly enforce shari’ah. a constitutional regime is one where religious people may advocate policies out of their religious convictions as long as they do so through secular language and arguments. an-na’im explicitly links his concept of civil reason to the arguments of john rawls and jrgen habermas, who have proposed similar, though not identical, restrictions. he rejects the authoritarian secularism of modern turkey, which seeks to control islam sharply in the name of modernization, equality, and nation-building. 134 | achmad fawaid – after the fifth congress of rather, he advocates religious participation, but on the ground rules of secular language (an-na’im 2008, 197). shari’ah on the ground through a variety of islamic arguments, he makes the case that a secular state is actually good for religion. from the standpoint of islamic ethics (‘ilm al-akhlaq), he argues that state enforcement of shari’ah vitiates muslims’ ability to carry out their religious duties through the exercise of human will (an-na’im 2008, 80). from the perspective of islamic jurisprudence (fiqh), an-na‘im remarks that islamic sacred sources say little about the form of government that muslims should adopt, citing work by other major scholars such ‘ali ‘abd al-raziq (egypt, 1888-1966) and nurcholish madjid (indonesia, 1939-2005). he argues that the existence of multiple interpretations of islam undermines the claim that there is a single, timeless set of shari’ah regulations for the state to enforce. from the biographies of the earliest generations of muslims (siyar alsalaf), an-na‘im argues that the first four successors to muhammad in the 7th century offered a precedent for the modern secular state (an-na’im 2008, 62). these leaders, known in the islamic heritage as the rightly guided caliphs, were particularly devout and religiously knowledgeable, an-na‘im notes (to note otherwise would place him outside of the sunni mainstream). their legitimacy as rulers of the muslim community was based not on their religious authority, he argues, but rather on their political authority as heads of state. other companions of the prophet, who are also revered for their piety and islamic learning, did not necessarily agree with the policies of these first caliphs, but they accepted caliphal authority in order to protect the new polity. and from the standpoint of contemporary islamic welfare (maslahah), an-na‘im argues that state enforcement of shari’ah — as it has been traditionally understood — undermines democracy and human rights, including the rights of women, non-muslims, and the freedom – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 135 to choose one’s religion. in each of these areas, an-na‘im suggests that muslims need to engage their religious traditions in a spirit of selfcriticism, rather than perpetuate misguided aspects of islamic heritage out of understandable defensiveness about western colonial and post-colonial influences (an-na’im 2008, 19). the historical phases of kppsi after its dead faint for the recent years, on march 7-8, 2014, the fifth kppsi or komite persiapan penegakan syariat islam sulawesi selatan (the preparatory committee for the implementation of shari’ah—henceforth kppsi) was held in asrama haji sudiang, makassar. as in the previous ones, this congress was committed to uphold shari’ah in south sulawesi. one of the results is reaffirmation and reappointment of abdul aziz qahhar mudzakkar as a leader of tanfidziyah of kppsi for the fifth time. under the theme reaktualisasi kppsi untuk masyarakat madani dalam bingkai nkri (reactualization of kppsi toward civilized society on the framework of nkri), kppsi has conditions to enforce authomy for south sulawesi. even though this theme has covered up a real-spirit behind kppsi, it is interesting to know if kppsi would ground shari’ah on the basis of ‘secular’ idea—as an-na’im proposed. what is kppsi? how did kppsi declare its ideals to uphold shari’ah in south sulawesi? kppsi was founded after a series of meetings and conferences starting in 2000. in august 2000, the first mujahidin (arabic for ‘fighters of jihad’) congress on movement to implement shari’ah in indonesia was conducted in yogyakarta with the purpose of ‘integrating the aims and actions of all mujahidin to shari’ah.’(juneddin 2002) the participants of the congress comprised hundreds of activist from islamic organizations, islamic parties and scholars from all over indonesia. the participants from south sulawesi included abdurrahman a. basalamah, former rector of the indonesian muslim university in makassar, the university from which many of kppsi activists came from, and agus dwikarna, who 136 | achmad fawaid – after the fifth congress of were elected to positions on the mujahidin council. as a follow-up to an informal meeting at the hotel berlian in makassar in october 2002, the same year a three-day islamic congress was held in makassar. the congress committee declared the congress’ participants to have represented all major muslim groups, organizations and institutions throughout the province of south sulawesi (majalah suara hidayatullah, november 2000). the congress was convened with the special objective to discuss ‘special autonomy for the implementation of shari’ah in south sulawesi (kppsi 2001, 36). the congress was opened by the deputy governor of south sulawesi. diverse groups participated, including student activists, quasiparamilitary groups from all over south sulawesi, and romantics from the qahhar mudzakkar era, along with active participants from the yogyakarta congress, like habib husain al-habsyi and abubakar baasyir, the allegedly leader of the jamaah islamiah terrorist network (the case of the ngruki network in indonesia jakarta/brussels, august 8, 2002). hundreds more participated from all over south sulawesi. abdul hadi awang, a charismatic figure from the malaysian opposition islamic party pas, also attended; probably one of the reasons why the congress committee occasionally claimed the congress to be an international one. it is surprising to note that the congress was tightly guarded, not by the police or the army, but by a quasi-paramilitary group known as the lasykar jundullah (the army of god, see below), allegedly to prevent ‘infiltration’. the lasykar not only guarded the toilets, they even limited access to the musholla (small mosque/praying space) during the supposedly open and public friday noon prayers. it is easily to understand if some participants later professed that the tight security made them feel awkward and ‘controlled’ (juneddin, october-december 2002). however, lasykar jundullah was established not only for this purpose but also more importantly to enforce kppsi’s political movement. its leader, agus dwikarna, is currently serving a ten-year jail sentence in the philippines – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 137 because he was accused of carrying explosives in his suitcase during his visit to the country in 2002. after the first makassar congress, several results were announced, the most important one being the establishment of the kppsi, a formal body mandated and authorized to regulate and organize the preparation for shari’ah implementation in south sulawesi. the aspiration to implement shari’ah would be realized using the regional autonomy laws already enacted by the habibie government in 1999. therefore, kppsi is making all necessary efforts to obtain special autonomy for the province of south sulawesi, similar to that granted to aceh in order that the former province could enforce shari’ah under the same legal status. the kppsi was comprised of two main bodies, the majelis syuro (a largely advisory council) and the majelis lajnah tanfidziyah (the executive council). members of majelis syuro were mostly university intellectuals and ‘ulama’ (religious scholars). included in this category not only local intellectuals and scholars from a state-owned public university of hasanuddin and a private university of indonesian muslim (umi) as well as islamic scholars from alauddin state institute for islamic studies (iain), but also the executive members of the local branch of the new order-created majelis ulama indonesia (indonesian council of islamic scholars). the executive council is led by abdul aziz qahhar mudzakkar —one of the many sons of the legendary abdul aziz qahhar mudzakkar, who led a loosely organised rebellion, the darul islam, in south sulawesi from 1950 to 1965. due to this family connection, it is hard for the movement to deflect accusations of ‘nostalgia’. as we shall show in due time, the historical relationship and association between kppsi and this movement are even more evident. apparently, with the purpose of strengthening the spirit of the proshari’ah groups, the second islamic congress was conducted in makassar in december 2001. the organizing committee of this congress claimed even wider support both for their congress and hence for the struggle. 138 | achmad fawaid – after the fifth congress of the name of individuals listed as members of the various committees for the congress represented almost all notable social, political and religious figures of south sulawesi in such a way that it reads like a (male) who’s who of the province. the governor of south sulawesi, chair of the house of people’s representatives of south sulawesi (dprd-i), and mayor of makassar municipality were all listed as members of the advisory committee for the second congress, as were muhammad jusuf kalla (one of the most respected figures among the south sulawesi people, a coordinating minister for social welfare during president megawati’s administration and an elected vice president in the 2004 election) and tamsil linrung, a jakarta politician, who was later arrested together with agus dwikarna in the philippines. the steering committee included all the rectors of makassar’s major universities, as well as the chairpersons of the local muhammadiyah and nahdhatul ulama branches, the two biggest islamic organizations in indonesia. the political agenda of kppsi however, it is unclear to what extent these notables shared or support kppsi’s ideology or political agendas (mathar, interview in july 2003). as at most public events in south sulawesi, many of these identities appeared at the congress only long enough to give presentation during the allotted time. some, like the governor, sent a representative; others did not bother to attend. nevertheless, as pradadimara and juneddin note, list of notables presented a conservative image of the movement, as the congress was organized in accordance with the existing political scene in south sulawesi(juneddin, october-december 2002). although numerous groups of the south sulawesi muslims can be considered in moderate stand with respect to the implementation of strict shari’ah in their region, kppsi was insisted in announcing a pre-prepared draft of a law which would grant special status to south sulawesi and allow the local government to impose comprehensive shari’ah. as mentioned – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 139 earlier, the draft law was clearly inspired by similar legislation enacted in aceh. however, this announcement was overshadowed by a bomb blast on the third day of the congress. the organizers blamed a ‘third party’ of trying to disrupt the congress, but police suspected that the incident was a cheap self-publicity act. the second congress is now remembered primarily by this incident. in addition, kppsi also maintains a close connection with several anti-maksiat or anti-kejahatan (‘anti-immorality’ or ‘anti-crime’) groups. these groups have burgeoned in various regions in the interior areas of south sulawesi since 1999. lasykar jundullah (not yet led by agus dwikarna) appears to have become an umbrella organisation for these bands. subsequently, the lasykar jundullah (from arabic, literally means god’s soldier) was to become an integrated part of the kppsi. kppsi claims that currently the lasykar jundullah has 10,000 members, but many people are doubtful that this claim is proofable. this civilian militia is also expected to become a shari’ah police force if shari’ah starts to be implemented. however, according to greg fealy’s investigation, lasykar jundullah has actually acted as a semi-criminal and vigilante group, usually armed with sticks and machetes. many of its members have backgrounds in local gangs and it is a feared presence in south sulawesi, where it regularly intimidates parliamentarians, officials and the media into supporting its moves to implement shari’ah in the province (fealy 2002, 10). from the religious point of view, to a certain degree the south sulawesi muslim people tend to retain fanatic, rigid and orthodox islamic beliefs and practices (pelras 1996, 187). historically, it can be said that attempts to implement shari’ah in south sulawesi has a deep-rooted history since the penetration of islam in the region in the early seventeenth century (pelras 1985, 29). when the darul islam rebellion led by abdul qahhar mudzakkar was in power in this region in the 1950s, strict islamic rules had already been applied in some parts. 140 | achmad fawaid – after the fifth congress of according to c. pelras, the principle underlying qahhar mudzakkar’s darul islam movement tended towards a kind of islamic socialism, to be expressed in measures including a moderate degree of land reform; the suppression of social inequality and of all ostentation in dress and behavior, such as the wearing of gold, jewels and silks or sumptuous feasting at weddings; the eradication of all traces of ‘feudalism’, such as traditional political offices and aristocratic titles, and of ‘paganism’, such as pilgrimage to sacred places and the performance of pre-islamic rituals; and the implementation of islamic shari’ah in its strictest form, that is, stoning for adulterers to death before the public and the amputation of a hand for thieves. the impact of this movement is still felt and observable within population and abdul qahhar mudzakkar has, to some extent, become a legendary figure and patriot among the older people in south sulawesi, even after more than fifty years since he died (gongong, 1992). kppsi is probably the best example for this influence. in many occasions, kppsi activists cannot conceal their respect and admiration when it comes to the history of this movement. of particular importance to note, kppsi considers that the pioneering attempt made by the darul islam to implement some elements of shari’ah in south sulawesi in 1950s is one of the undeniable historical and cultural foundations for its movement today. intertwining issues: secular and islamic here, i would like to have some critical responses to an-na’im idea of shari’ah, human rights, and citizenship. firstly, an-na’im’s notion tends to emerge a high tension between those who want to build islamic state in one side, and those who want to be more secular in other side. that is why that he proposes a reformation of some aspects of shari’ah. however, the problem is that what he proposes is actually not something new in the history of islamic jurisprudence. since muhammad iqbal, for instance, such idea was regarded as necessary (iqbal 1989, 137-138). – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 141 it is important to note that kppsi was historically derived from the debatable issue of jakarta charter (piagam jakarta) in the earlier era of indonesian independence. the struggle to implement shari’ah in modern indonesia involves a long and bitter debate particularly because the struggle is directed to obtain formal legislation from the state power. at the earlier stage of indonesian independence, muslim leaders who became members of the preparatory committee for the indonesian independence (bpupki) had struggled to introduce in the preamble of the 1945 constitution a phrase that would politically obligate all indonesian muslims to practice their religious duties. the preamble, later known as the jakarta charter, which includes the seven words (that is, dengan kewajiban melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya [with the obligation to carry out shari’ah for its followers]), is believed can give a constitutional basis for the upholding of shari’ah in indonesia. however, the inclusion of these seven magic words into the constitution was unsuccessful, mainly because it was strongly opposed by the minority non-muslim politicians and the secular nationalists, most of whom were also muslims. within the constituent assembly in 1959, the debates on the jakarta charter also arose. from 1959 onward the jakarta charter continued to become, as boland puts it, a divisive issue between two main streams [the nationalists and islamic groups] within indonesian societies. an-na’im has failed to see this tension. in the history of implementing shari’ah in indonesia, the intertwining issues between those who want islamic state and those who want secular state are always in continuum. it means that the idea of shari’ah as the ground of constitutionalism, even it should be based on human rights, should consider about such probability. as like an-na’im, both nationalists and islamists have similar idea to create a constitution based on human rights, or whatever we define ‘the rights’ itself. 142 | achmad fawaid – after the fifth congress of the wide use of islamic jargons and identity the civic reasons are important, for him, to neutralize an involvement of political parties with high priority on islamic dimensions (or islamic political parties) (an-na’im 2009, 56). however, an-na’im may ignores other conditions, as like in indonesia, in which not only islamic parties, but also secular or nationalist political parties use islamic jargons and identities for getting high numbers of votes. the other problem is that what an-na’im argued about majority of muslims. it is important because some muslim groups have attempts to make use of the majority to propose their idea of shari’ah. it is also right for the kppsi activists. it is interesting that although the muslim groups who support the kppsi agenda are undoubtedly small minorities among the total number of muslim groups, organizations, and institutions in south sulawesi, kppsi’s appearance on the local media, especially in the newspaper, could be misleading. the statements or press release regarding almost all kppsi activities will immediately appear on the local media, frequently as headlines or captions. for certain uncritical observers, this phenomenon could be perceived as the best representation of the islamic stance held by the majority of muslims in south sulawesi. in other words, since the issue of shari’ah implementation frequently appear as the most important coverage on the local media, one may be tempted to think that most of the south sulawesi muslim people are pro-shari’ah (implementation). in fact, this again does not seem to be true. a journalist from fajar, the most widely distributed daily in the region, told that kppsi media coverage, including those granted by his daily, is partly due to the psychological pressures of this group on local publishing companies to support its moves (halim, 2013). on the other hand, many activities organized by other muslim groups who do not support the formal implementation of shari’ah, or openly challenge such an effort, and with the purpose of balancing the image of islam and the muslims in south sulawesi, have passed uncovered by the – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 143 local media. when an-na’im has argued that shari’ah will be simply muslims’ way of life, it should be firstly clear about what his definition of muslims itself. even in the state where muslims have become majority, it does not means that they have general agreements or single language of implementing shari’ah into their states. it is one of what an-na’im has probably ignored that his data is not commonly based on the statistical survey. although, the survey is not really helpful for capturing the majority of muslims, an-na’im should be aware of the contestated idea about majority and minority, or most importantly between muslims who agrees and disagrees with shari’ah as their way of lives. it is not about how shari’ah becomes grounding muslims’ ways of life, but rather it is about how to accommodate their diverse muslims’ perspective about shari’ah in the context of democratic state. the high tension in shari’ah implementation it is important to remember that over times and places, there are many efforts to implement shari’ah as the primary rule of state, including in indonesia. however, instead of providing a strategic condition for democracy, the proposed project of shari’ah was facing much fearful tensions in the certain states or regions. so, it will be considerable to position shari’ah as the jurisprudential principles not only for muslims, but also for non-muslims (bagir 2009, 20). negotiating shari’ah with the local contexts in the certain states may be, in this case, one of effective ways. in the context of kppsi, the first problem that kppsi activists have created within diverse muslim groups in south sulawesi is its claim that all major muslim groups in south sulawesi have been in agreement with and even supported its cause. kppsi easily referred to the two congresses it has organized as having represented all muslim groups, organizations, and institutions in the province. in the three texts discussed earlier, kppsi 144 | achmad fawaid – after the fifth congress of frequently states that it has acquired such a strong support from the people of south sulawesi (kppsi 2001, 4-6). in fact, this is not always the case. it is true that for all muslims groups in south sulawesi, as perhaps in other parts of the muslim world, shari’ah has been commonly understood and accepted as a comprehensive set of norms and values regulating human life down to the smallest details and, hence, they would all agree that shari’ah should be implemented in their life. but when it comes to the ways in which shari’ah has to be implemented, these diverse muslim groups would demonstrate diverse opinion as well. in fact, a number of muslim groups in the province have sounded their objections. what i would like to pose here is that not only in the area of interreligious community, even in the context of intra-religious people, the idea of shari’ah formalization is highly debatable. it means that an-na’im’s proposal to implement shari’ah as the basic principle of constitution based on the civic reasons will deal with this situation. the legislators who are entitled to create the constitution are in fact religious people (in this case, muslims) who have different opinions about the ways they should implement shari’ah. the degrees of compromising shari’ah according to charles kurzman, an-na’im idea of civic reasons overlaps considerably with john rawls’ concept of public reason. however, the authors also differ in significant ways. for rawls, religion was a side issue and only permissible in political debate under exceptional circumstances, such as the social divides that confronted the abolitionist movement and the civil rights movement in the united states (rawls 1999, 502). rawls’s position was firmly allied with the secularization thesis in the sociology of religion, whereby religion inevitably recedes from the public sphere as a country modernizes. for an-na‘im, by contrast, religion is a permanent and worthwhile feature of human life that informs many citizens’ political priorities, just as other aspects of social position and – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 145 ideology do — a position that is consistent with the work of christian smith and others in the sociology of religion who have contested the secularization thesis. an-na‘im favors a secular state, but he also favors a robust role for faith in public life (kurzman 2013). by looking at the difference between rawls’ idea of public reasons and an-na’im concept of civic reasons, the first is more eligible than the later to see the phenomena of shari’ah implementation in south sulawesi. what i would like to argue here is not about the kppsi’s struggle for implementing shari’ah, but how shari’ah, in some extents, is compromised by other muslims. as like mentioned before that the basic problem of kppsi is looking at the diverse muslims perspective, even in the area where they become majority. it means that even though kppsi has claimed as the most appropriate representative of muslims in makassar, it should be clear that some other muslim groups, instead of trying to formalize, prefer to de-formalize shari’ah by giving a more substantive meaning to the concept. for them shari’ah is a developing concept and it should be always interpreted and reinterpreted in accordance to the changing socio-cultural situation encountered by the muslims in different ages. what they think to be the most crucial issues that the indonesian muslims in particular, and all indonesian people in general, should instead strive to resolve today are issues pertaining to law enforcement, education, economic crisis, environmental deterioration, human rights, good governance, democracy, and the like (burhanuddin 2003). the existence of other groups who celebrate the de-formalization of shari’ah has represented rawls’ idea of public reasons in a democratic state. it is not important, for rawls, to enforce comprehensive doctrine (or in anna’im’s term—shari’ah) into the public based on the civic reasons as anna’im has proposed. the most crucial, for rawls, is how to compromise the degrees to which shari’ah is interpreted and accepted by the muslims and non-muslims as the basis of constitutionalism in a democratic 146 | achmad fawaid – after the fifth congress of state. it is also related to the precondition of democracy in regards with the possibility of implementing shari’ah in indonesia. for rawls, the precondition of democracy is a society which prepare for respecting any law decision. they will respect the law even though it does not fit to their own religious beliefs or they disagree with its implementation. as far as they can be aware of the limits to which they have to tolerate in respecting the law, although they have different opinion about it, it does not matter. that is how democracy works in the arena of idea contestation. in the context of kppsi, for rawls, it is not the case what kind of shari’ah will be implemented into south sulawesi. as far as the community respects this decision, the need of democracy will be fulfilled. for those who compromise shari’ah by means of reinterpreting them in different ways from those who support the formalization of shari’ah, the existence of kppsi is a part of democracy. it will be different when an-na’im has perceived in the sense of how shari’ah should be implemented and followed by not merely muslims, but also non-muslims people. the basic idea of an-na’im does not lie in the arena of idea contestation, but in the content of liberal constitutional shari’ah to be followed by the people. the issue of postcolonial and western intervention at the same time, rawls also considers the possibility of decent non-liberal peoples, whose polities may not be fully democratic but at least enforce the rule of law and respect human rights. these decent nations pose no threat to the international order and should be left alone to live their own way, so long as they do not become indecent. rawls’s example of a decent non-liberal people, tellingly, is a fictional muslim country, kazanistan — presumably a play on the capital of tatarstan, kazan. anna‘im, writing for the citizens of the kazanistans of the world, is not prepared to give non-liberal islamic states a free pass. he does not call for western intervention, but rather for internal reform. muslims themselves have a duty to bring about constitutionalism, human rights, and democratic – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 147 citizenship, an-na‘im argues. he proposes that the best path toward these ideals — and the best path toward islamic fulfillment — is a secular state. for this case, an-na’im has probably ignored a fact that indonesia is one of postcolonial countries. according to greenberg, it is sometimes said that western criminal law and institutions in postcolonial countries actually suppress human rights because they establish a centralized and hierarchical system based on the coercive powers of a hegemonic state (greenberg 1980, 133-136). it can be seen on the characteristics of shari’ah implementation by kppsi in makassar. since the beginning, the kppsi activists have insisted to build makassar, as like as aceh, as one of the center of islamic representation in indonesia. the islamic laws they have prepared for are regarded as the tools to grant special status to south sulawesi and allow the local government to impose comprehensive shari’ah. moreover, the draft law was clearly inspired by similar legislation enacted in aceh. this condition has represented their efforts to make a centralized and hierarchical system in which the muslims community will be leading people who have special rights to manage south sulawesi people. another characteristic of postcolonial people is having a romantic idea of the past glory. historically, the attempts to implement shari’ah in south sulawesi had a deep-rooted history since the penetration of islam in the region in the early seventeenth century. when the darul islam rebellion led by abdul qahhar mudzakkar was in power in this region in the 1950s, strict islamic rules had already been applied in some parts. inspired by darul islam romanticism, the kppsi activists have special powers and being persistent to create an islamic law in indonesia. unfortunately, an-na’im does not mention about the problematic issues regarding with implementation of shari’ah in such postcolonial countries. even though an-na’im has explained that his idea is postcolonial innovation (an-na’im 2009, 12-13), in which the secularity, in some extents, is needed to ground a constitutional shari’ah, he has 148 | achmad fawaid – after the fifth congress of probably ignored the powers of native people who have own ways in enacting their religious laws into the secular constitution. besides that, looking at the high numbers of muslims in the certain stated is not really helpful to further explore the possible implementation of shari’ah via western intervention or influence. an-na’im has focused only on internal reform by muslims people, whereas some islamic countries, including indonesia, has achieved strong influence from western in their decision of lawmaking. the possibility of implementating shari’ah should be also counted on this regard without having more side on muslims although the object is related to islamic law. additionally, talking about postcolonial innovation should not refers an obligatory to implement the colonial (western) idea of secular in reconsidering about lawmaking. in some extents, it is better for indonesian people to have own ways in interpreting their local needs to be incorporated into their own law rather than having a historical dependency on the pre-colonial circumstances. the paradoxical basis of secular state it is also hard to see how the argument from flux can ground an-na`im’s secular state. a factual statement—a great plurality of interpretations have characterized a religious tradition—alone says nothing about whether one interpretation is truer than another. the argument is even self-defeating. if one asserts the constant flux of interpretation as a supporting girder for the secular state, then one is in fact asserting this claim as being beyond flux. an-na`im may well reply that the secular state is not necessarily universally and eternally valid and is itself the product of an evolution of consensus. that does not change the fact that the kind of state he is advocating is one that respects the flux of interpretation, but whose basic rights and constitutional structure are not themselves subject to change. that is, a state that keeps interpretation open is, for him, nonnegotiable—that is, not subject to interpretation. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 149 for an-na’im, secularism should be regarded as mediation between the need to keep religion and the state separate and the reality that religion and politics are connected (an-na’im 2009, 13). the problem is that is secularism needed to analyze democracy or relationship between religion and politics? alfred stepan has ever posed this question. in fact, this question has challenged an-na’im idea of using secularism as mediation within the complex relationship between religion, state, and politics. according to stepan, it is impossible to define secularism in one single perspective, and that is why he uses the concept multiple secularisms (alfred stepan, 2010). instead of searching for or using secularism as tool of analyzing that relationship, it is notable to get starting with providing analysis of relationship between democracy and religion. it is about the degrees how democracy is needed by religion and how religion is needed by politics. it is based on different experiences of some countries, including indonesia, in which the democracy has been defined interchangeable from one period to another period. based on stepan’s theoretical consideration, it will be questionable that what kind of ‘secularism’ an-na’im will propose in indonesia, and what period of indonesia he wants to imagine as the best secular state which implement shari’ah? an-na’im has argued that indonesian government forces citizens to register as members of one of the five official religions. however, indonesia has not undermined religion, as some devout muslims fear. if anything, muslims’ religious freedom may be greater under these regimes than under so-called islamic regimes, which favor certain sects and interpretations and impose barriers on others. however, an-na’im has ignored that even in indonesia, the regulation has been change from period to other periods in the different places. although indonesian government has included democracy, some regions sometimes have different policies to decide what they want to enact into their own community. the case of kppsi, for example, has shown the an-na’im failures to see the diverse policies in the secular 150 | achmad fawaid – after the fifth congress of state, especially in indonesia. south sulawesi is one of indonesian regions, in addition to aceh with jargon serambi makkah and pamekasan with gerbang salam, where some muslims have efforts to enforce shari’ah in a secular state. in this regards, the idea of secularsim as mediation is too odd in dealing with this problem. the secular state does not guarantee that all muslims have similar idea to use that concept as basic consideration in lawmaking. probably, an-na’im idea will be more applicable in the early era of indonesian independence when the founding fathers, even with high tension in deliberation, have successfully arranged a constitution 1945 and pancasila as their basic ideology. however, in reformasi era, the idea of secularism was interpreted in different ways and for different purposes. the controversy of implementing shari’ah in south sulawesi has represented how the secularism can be a real mediation within this tension. the undergird of rights the need for substantive grounding is all the greater when it comes to human rights, a centerpiece of an-na`im’s political proposals. the very idea of human rights is that some sorts of human goods—the lives of the innocent, for instance—always ought to be protected and that some sorts of actions—like war crimes and torture — always ought to be prohibited. this is true because of qualities that inhere in human beings qua human beings, not as members of this of that community—hence, human rights. but doesn’t a defense of such rights require a claim that some principles and interpretation are beyond flux? an-na`im advocates for a constitutional regime in part because he wants to keep interpretation open. but what about the rights that undergird this openness? must not they be considered non-negotiable and universally valid? in the case of implementing shari’ah in south sulawesi is that kppsi has used this rights to enforce the islamic law into the constitution. indeed, – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 151 in the context of human rights, in debatable definition of rights itself, their efforts are justified. it is part of openness supported by an-na’im in a secular state. the problem is that kppsi has undergirded such openness by advocating their interests. the unique is how kppsi has endeavors to convince people with helding some congress, including islamic congress at hotel berlian in makassar in october 2002. by inviting many groups, organizations, and institutions throughout the province of south sulawesi, they demands, as like aceh, special autonomy for the implementation of shari’ah in south sulawesi. the special autonomy has given certain power for muslims as majority, in some extents, to undergird other rights and close the openess. if anna’im has advocated the openness as the basic idea of human rights, this kind of possibility should be reconsidered. it is important to notice that rights will be interpreted by different people in different ways. if anna’im lets the flux of argument in continuum, the rights he has proposed should be defined based on some conditions and characteristics. anyway, the majority’s voice must be accommodated in proposing the idea of democracy and secular state. the debatable human rights as universal value i consider about how universal idea an-na’im has proposed in his article regarding with human rights as he has repeatedly mentioned in his article to refer public reasons in islam. it is suspicious issue if we are aware of where this declaration of human rights was coming from in the first place: liberalism, multiculturalism, and the like. in islam and the secular state (2008), he ends up arguing closer to contemporary western philosophers who advocate liberal democracy on grounds of procedure, consensus, and stability than to those philosophers, western and non-western alike, who argue for it on the grounds of transcendent foundations, natural law, and universal reason. it seems that muslims would be far more receptive to the latter sort of approach. 152 | achmad fawaid – after the fifth congress of in this case, it is not wise to oversimplify arguments about scriptures or natural law. however, according to daniel philpott, different religions and different philosophical traditions have different ways of grounding claims about what is human and about how the principles that justify human rights are to be defended. the character of these arguments has shifted over time as well. certainly internal debate and evolution characterizes the natural law tradition. human rights itself is and has been debated between and within traditions. an-na`im is smart to point out that normative systems . . . are necessarily shaped by [people’s] own context and experiences, any universal concept cannot be simply proclaimed or taken for granted (an-na’im 2008, 114). however, there is an important claim here: apart from a rationale that makes strong universal claims about human dignity and the validity of basic moral precepts, it is very difficult if not impossible to make a robust argument for human rights, the kind that can truly fend off competitors. religious traditions and the natural law that is embedded in several of them, have, over the course of history, proven to be some of the strongest providers of these rationales. though an-na`im acknowledges the need for an internal islamic argument and for islamic justification in islam and the secular state (2008), he places far greater stress on the fluidity, uncertainty, and flux in the islamic tradition than he does on positive arguments for human rights that are rooted in the quran or in the islamic philosophical tradition. in this case, an-na’im believes that human rights are universal, but it should be experienced by people in their own experiences and contexts. this argument is weak in the sense of defining human rights without having pre-consideration on universal declaration of human rights. additionally, if an-na’im would like to celebrate the contested idea of human rights, he should think about many people who have competed between each other to interprete human rights based on their own traditions. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 153 some of muslims who pro-kppsi have been certain of the possible impact of shari’ah on the better life in south sulawesi. they also believe that human rights were actually included in quran without having the declaration of human rights. if this opinion is possible to occur, so the question will be like that: where human rights must be placed in the terms of shari’ah grounding in indonesia? if an-na’im uses the neutrality of state in the light of politics and religions, he should be clear about islamic human rights which can be grounded in secular state and its possibility to be accepted by all people, either muslims or non-muslims. the possible tyranny from shari’ah grounding in some extents, an-na`im’s claim that enshrining a particular interpretation of sharia—always the product of a human process—into the constitution of a state leads to tyranny and the abuse of power. there are indeed lots of good reasons why the claims of a particular religion ought not to be enshrined in the constitution of a state, particularly one with a religiously plural population. and there are plenty of examples, contemporary and historical, of regimes that justify their tyranny on religious grounds, sincerely or manipulatively. but what an-na`im underestimates, in my view, is the importance of substantive religious and philosophical underpinnings for opposition to such tyranny. in their efforts to implement shari’ah in south sulawesi, the kppsi activists have in fact certain ideology to enforce their own interests in the light of constitutionalism. however, this announcement was overshadowed by a bomb blast on the third day of the congress. the organizers blamed a ‘third party’ of trying to disrupt the congress, but police suspected that the incident was a cheap self-publicity act. the second congress is now remembered primarily by this incident. in addition, kppsi also maintains a close connection with several anti-maksiat or anti-kejahatan (‘anti-immorality’ or ‘anti-crime’) groups. these groups have burgeoned in various regions in the interior areas 154 | achmad fawaid – after the fifth congress of of south sulawesi since 1999. lasykar jundullah (not yet led by agus dwikarna) appears to have become an umbrella organization for these bands. subsequently, the lasykar jundullah (from arabic, literally means god’s soldier) was to become an integrated part of the kppsi. kppsi claims that currently the lasykar jundullah has 10,000 members, but many people are doubtful that this claim is proofable. the possible tyranny from this effort is a fact that kppsi tends to use civilian military to force shari’ah to be implemented. as mentioned before, greg fealy has investigated that lasykar jundullah has actually acted as a semi-criminal and vigilante group, usually armed with sticks and machetes. many of its members have backgrounds in local gangs and it is a feared presence in south sulawesi, where it regularly intimidates parliamentarians, officials and the media into supporting its moves to implement shari’ah in the province (fealy 2002, 10). such condition, i think, is unthinkable by an-na’im in the light of grounding shari’ah in a secular state. the absence of muslims’ view on civic reason finally, it is strange to see an-na`im, an advocate of religious participation in democracy, endorsing arguments along the lines of john rawls and jrgen habermas that demand secular rationales in political debate—civic reason, as he calls it (bagir 2009, 19). whereas he does allow muslims to reason politically on the basis of sharia, he argues that appealing explicitly to religious rationales in public debate violates the norms of citizenship in a secular state. secular arguments for public policy positions are impartial and accessible, ones that most citizens can accept or reject, and so should be pursued. what we have to be aware of such condition is the possibility of understanding shari’ah in the fundamentalist way. surely, an-na’im has attempts to cover this point of view, but he has interchanged such perspective with his liberal idea of human rights and civic reasons. – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 155 however, as mentioned earlier, his liberal tendency on human rights has enforced himself to have more side on liberal rather than fundamentalist ways. he has proposed to negotiate shari’ah with civic reasons, but he has lack of understanding on how fundamentalists will define shari’ah in their own perspectives. indeed, kppsi has consisted of activists and intellectuals. most of them are coming from alauddin state institute for islamic studies (iain) in makassar, in addition to some radical groups, including lasykar jundullah. however, although this commission has included some activists and intellectuals, the fundamental way of understanding shari’ah is really attached. it can be seen with the fact that there has been very little open and intellectual debate on what actually syari’at islam means and implies. statements in local newspapers relating to shari’ah have been mostly dogmatic, as if what shari’ah means has been for all muslims something to be taken for granted. in this regard, there are several questions to be investigated. firstly, what syariat islam (shari’ah) is for kppsi. secondly, in what ways kppsi will apply the shari’ah to the south sulawesi muslim people. finally, to what extent the implementation of shari’ah through the state power is acceptable among the muslim in south sulawesi and possible to achieve (halim 2013). by considering about unclear definition of shari’ah from the perspective of kppsi activists, the fundamentalist way tends to be used to understand this term. later, relatively being conscious about the complex issue around definition of shari’ah, kppsi begins to compose text entitled intisari syariat islam which is more fundamental rather than liberal one. additionally, they also use verses from al-quran which can be considered as explicitly ordering the muslims to implement shari’ah, such as al-shura (42): 13, al-jathiyah (45): 18, al-maidah (5): 45, 47, and 50. if such condition is true, so the possible question for an-na’im is how to deal with such fundamentalist way in understanding shari’ah in a 156 | achmad fawaid – after the fifth congress of secular state? should we have secular interpretation to shari’ah? if so, how can we ground this way into all people, including fundamentalist ones? concluding remarks and recommendation in his book, islam and the secular state (2008), an-na’im has focused on secular state by stating that the secularism is contextual and historical, in which every country has own experiences to itself. he has also believed that state cannot be religious because the state is political institution it is incapable of having a religion. however, every muslims, an-na’im has argued, need a secular state to be muslim in the convictional way. to achieve this purpose, a secular state should reform shari’ah as muslims’ way of life, and it can be realized through political way. the secular state can be mediation between the need to keep religion and the separate and the reality that religion and politics are connected. in grounding shari’ah as the basic constitution, a state should refer to civic reasons, our reasons for promoting particular ethical or normative principles or policy objectives through law and administration. these reasons should be in continuum to keep the stare neutral regarding religious doctrine and keep their government responsive to our religious values through politics. in regards with the efforts to implement shari’ah in a secular state, the case of kppsi is necessary to be posed here. kppsi is a crystallization of romantic idea from abdul qahhar mudzakkar’s rebellion to the government due to the abolishment of seven magic words in jakarta charter (piagam jakarta). it was built after the first islmic congress on october 19 – 21, 2000 in makassar. it is aimed to demand a special autonomy for implementing shari’ah in the province of south sulawesi. the kppsi has consisted of activists and intellectuals mostly from uin alauddin makassar, and some radical groups, such as lasykar jundullah. they have claimed themselves as the representatives of all muslims in south sulawesi and the best groups which have successfully organized the draft of islamic law. however, some problematic issues have challenged the – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 157 existence of this committee, such as diverse perspective about definition of shari’ah, the doubtful numbers of muslims represented by kppsi, and some political agenda behind this committee which are potentially violating democracy. the phenomena of struggle for enacting shari’ah law in south sulawesi can be a guide way to critically read an-na’im idea about shari’ah and secular state. for me, there are some paradoxical problems inside such an-na’im notion in the case of kppsi. the first is an intertwining issue between secular and islamic, in which indonesian founding fathers have historically proven a difficulty in dealing with such dilemma in terms of piagam jakarta. the second is liberal tendency on human rights, in which the potentials of undergirding rights remain high due to the unclear limits of rights in promoting shari’ah in south sulawesi. the third is the degree to which shari’ah should be compromised, because in fact kppsi has not really represented the majority of muslims in south sulawesi to advocate their aspirations of implementing shari’ah, and some muslims have efforts to compromise in defining, or even deformalizing shari’ah in their daily lives. besides that, what i really concern here is how to join an-na’im idea about shari’ah and secular state with other ideas about it. i believe that instead of insisting a constitutional shari’ah into the political consideration of law, getting started with intercultural dialogue is probably appealing. bikkhu pareh has acknowledged that dialogue is difficult, but not impossible to achieve. the purpose is ‘deliberation’, instead of indiscrimination, as the basis of democratic state. it is important, for parekh, to intersect the local needs with the constitution which will be enacted(parekh 2000, 100). in the case of kppsi, parekh has insisted the importance of dialogue between all people, including local government and religious institutions, in talking about the local practices in south sulawesi in regards with the implementation of shari’ah. 158 | achmad fawaid – after the fifth congress of if an-na’im lets the definition of multiculturalism in a flux and uncertainty, it is mostly important to see the significance of using secularism in grounding shari’ah. it is what alfred stepan has argued with his concept multiple secularisms. it means that it is almost impossible to cover secularism in the single meaning. however, instead of letting secularism contextual and going in flux, stepan has preferred to describe different secularism in different state. stepan has still believed that even secularism is contextual, it does not mean that it can be strictly described. however, on the contrary to an-na’im who has regarded secular state as precondition of grounding shari’ah, stepan has proposed the minimum degrees the democracy needs religion to make it functional and vice versa, religion needs state to create the polity to be democratic, or as he calls twin toleration (stepan 2010). i believe that the problem of kppsi is unclear limits to which shari’ah should be implemented into south sulawesi where diverse religious people have lived there. the intersection between an-na’im’s and rawls’ idea of public reasons has actually been emergent in regards with the case of kpssi. for rawls, who can be regarded as pioneer of public reasons, it is not important to make public reasons as basis of shari’ah constition, but what more urgent is how to ground people’s consciousness on the importance of respecting constitutionalism in every form. rawls has believed that it is impossible to achieve general agreement to the certain constitution (rawls 1999, 590). he has focused on people’s respect on this political decision for public. that is why, on contrary with an-na’im, rawls has regarded comprehensive doctrine (or in an-na’im terms—islamic law or shari’ah) as side issue which is decisive for lawmaking. for the context of kppsi, rawls has believed that as far as the islamic law is respectable or acceptable by every people, including muslims and non-muslims, even with high tension everywhere, that is time for which the democracy dynamically works.[] – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 159 bibliography abdullahi ahmed an-na’im, a theory of islam, state, and society, in kari vogt (et al. eds.), new directions in islamic thought: exploring reform and muslim tradition, (london, ny: i.b. tauris, 2009) abdullahi ahmed an-na’im, islam and the secular state. negotiating the future of shari`a, (cambridge, massachusetts and london, england: harvard university press, 2008) alfred stepan, the multiple secularisms of modern democratic and non-democratic regimes, (apsa 2010 annual meeting paper). anhar gongong, qahhar mudzakkar: dari patriot sampai pemberontak [qahhar mudzakkar: from a patriot to a rebel] (jakarta: gramedia, 1992). an-na’im, islam and the secular state, rethinking the secular – pluralism working paper no. 1, (netherland: promoting pluralism knowledge programme, 2009) bikkhu parekh, rethinking multiculturalism: cultural diversity and political theory, (basingstoke: palgrave, 2000) daniel philpott, arguing with an-na’im, the immanent frame, in http:// blogs.ssrc.org/tif/2008/07/14/arguing-with-an-naim/. accessed on may 20, 2013. df greenberg, ‘law and development in light of dependency theory’, research in law and sociology, 3: 129, 1980 dr. m. qasim mathar, a professor in alauddin state institute for islamic studies (iain) and one of the prominent muslim intellectuals in makassar who is one of the most outspoken opponents of the idea to formalize shari’ah in south sulawesi held by kppsi, told me in an interview with him in july 2003 that he also doubted that these notables really support kppsi’s agenda. greg fealy, radical islam in indonesia. paper presented at the conference from terrorism to revolution – the jihadist threat to regime survival in societies: historical cases and current prospects in washington dc, november 22, 2002 international crisis group-icg, al-qaeda in southeast asia: the case of the ngruki network in indonesia jakarta/brussels, august 8, 2002. also available online at: http://www.indonesia-house.org/ archive/icg-ngruki.pdf. accessed on january 25, 2004. 160 | achmad fawaid – after the fifth congress of john rawls, ‘public reason revisited’, in samuel freeman (ed.), john rawls. collected papers, (cambridge, london: harvard university press, 1999) mengenal komite persiapan penegakan syariat islam (kppsi) sulawesi selatan, [introduction to kppsi] a booklet distributed by kppsi which, as the title indicated, is intended as a general introduction to the committee, makassar, 2003 (henceforth mengenal kppsi). muhammad iqbal, the reconstruction of religious thought in islam, (pakistan: iqbal academy pakistan, 2nd edition, 1989) syari’at islam di sulsel, di ambang pintu [shari’ah in south sulawesi has been at the doorstep] majalah suara hidayatullah. november 2000. wahyuddin halim, ‘shari’ah implementation in south sulawesi: an analysis of the kppsi movement’, future islam, in http:// www.futureislam.com/20050701/insight/ wahyuddin_halim/ shariah_implementation_in_south_sulawesi.asp. accessed on may 20, 2013. zainal abidin bagir, shari’ah in the secular state: challenge or opportunity?, in rethinking the secular – pluralism working paper no. 1, (netherland: promoting pluralism knowledge programme, 2009) arianto* universitas hasanuddin keywords: da’i; da’wa communication skills; muslim converted http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: *arianto@unhas.ac.id abstract da’wa communication skills are needed in preaching to the converts community because the conditions of converts are different from those of muslims in general. the success of this da’wa can be achieved if converts as the target of preaching carry out the da’wa message conveyed by the preacher. the research objective was to map the preachers’ da’wa communication skills to the converts in karomba, pinrang district. this study used a qualitative approach and case study methods, so the primary data were in-depth interviews and observations. in addition, this study uses inductive data analysis. the study results indicate that the preachers apply three da’wa communication skills to the converted muslim community to support da’wa’s success. first, the skills to produce messages, especially messages of faith and morals. second, the skills to receive and convey messages, mainly using local languages. third, the skills to interact with the converts community through sharia consultation activities. this research is necessary because the findings of this study can serve as a guide for preachers to increase preaching success, especially preaching to converts. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community 36 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak keterampilan komunikasi dakwah dai dibutuhkan dalam berdakwah terhadap komunitas mualaf karena kondisi mualaf berbeda dengan kondisi kaum muslim pada umumnya. keberhasilan dakwah tersebut bisa dicapai apabila mualaf sebagai target dakwah melaksanakan pesan dakwah yang disampaikan oleh dai. tujuan penelitian adalah memetakan keterampilan komunikasi dakwah yang dilakukan oleh para dai terhadap komunitas mualaf karomba kabupaten pinrang. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus, sehingga data utama adalah wawancara mendalam dan observasi. selain itu, penelitian ini menggunakan analisis data secara induktif. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga keterampilan komunikasi dakwah yang diterapkan oleh para dai terhadap komunitas mualaf sehingga menunjang keberhasilan dakwah. pertama, keterampilan memproduksi pesan, terutama pesan akidah dan akhlak. kedua, keterampilan menerima dan menyampaikan pesan, terutama menggunakan bahasa lokal. ketiga, keterampilan berinteraksi dengan komunitas mualaf melalui kegiatan konsultasi syariah. penelitian ini menjadi penting karena temuan penelitian ini bisa menjadi pedoman bagi para dai untuk meningkatkan keberhasilan dakwah, terutama dakwah terhadap para mualaf. kata kunci: da’i; keterampilan komunikasi dakwah; mualaf how to cite this (apa 7th edition): arianto. (2021). analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(1), 35–66. https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 introduction da’wa communication is planned, aimed at conveying messages that are sourced from or under the teachings of the al-qur’an and al-sunnah, with the aim that other people can do righteous deeds according to the messages conveyed and to seek happiness in life-based on the pleasure of allah swt. da’wa communication carried out by preachers is to increase 37analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) understanding of religion to change their outlook on life, mental attitudes, and behavior to comply with sharia. da’i as a communicator in group communication (da’wa), must have communication skills, not only looking at da’wa in a frame, telling the good, and preventing evil. but, da’i must be able to have skills in communication. communication skills are one of the most important instruments to achieve the goal. we describe communication skills as the ability and willingness of a person to responsibly take part in message exchange to maximize the effect of the meaning of the message to be understood together. da’i communication skills are observed through da’wa communication behavior. the da’wa communication skills of the da’i in conveying religious messages in various communication settings so that communion (mad’ud) as the target of preaching can be called to follow the teaching of islam. such as, da’i who gives da’wa messages to the muslim converted in karomba community from pinrang regency. he has communication skills for muslims who are new to the teachings of islam, still weak belief, to set heart, firm in islam. many have problems, ranging from weak faith to a lack of understanding of their new religious teachings and beliefs (bachtiar, 2013). the muslim converted in karomba community needs education of spiritual values in the islamic religion itself. in the mountainous region of karomba, many people convert to islam. they have known islam for years, even since 1996, but we believe islam is limited to two creed sentences. the role of da’i preaches to convey the message of islamic religious teachings, providing optimal knowledge, through internalizing the values of islamic education in their lives in the mountainous area of karomba that is far from access to information and isolated from the wider community (tahir, cangara, & arianto, 2020). in the karomba mountainous area of pinrang regency, religious values, education, and worship facilities are very limited. for friday prayers, the congregation must walk for 2 kilometers to get to the mosque. 38 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) some villages of the community still adhere to several other religions and beliefs other than islam. the department of religious affairs of pinrang regency once provided religious guidance to this converted community. the office of religious affairs (kua) provides religious extension twice a month, reduced once a month, and currently, religious extensionists from (kua) no longer foster the converts. in addition, in a viral story on social media facebook, a converted child initialed arjun grade 5 (five) elementary school wrote a letter about his desire to learn to pray, read the al-qur’an, and other islamic religious values (tahir et al., 2020). similarly, parents cannot foster their children because their knowledge of islam is still lacking and bestiality in performing worship. so, in carrying out islamic law, there are still many that have not been carried out. the handling and construction of converts in the karomba mountainous region have not been optimal, so it is a less supportive factor for converts. community development through the ministry of religious affairs and other social institutions send da’ior ustad to live together for approximately 8 24 months in fostering communities in the mountainous village of karomba. communication of da’wa between people who do religious guidance to converts about islamic knowledge is needed. the presence of a da’i as a communicator has the complement and communication skills of da’wa is necessary, to convey the message of da’wa or information on the values of islamic diversity, it is easy for the converts to know, understand and apply in daily life of muslim converted in the karomba district. a da’i who presents as a communicator of da’wa who competently listens to their hearts, understands, not to judge them as someone who lacks the beliefs and teachings of islam. communicators skillfully motivate others with timely information, are understood together, and two-way (mina, jung, & ryu, 2021; weger jr, bell, minei, & robinson, 2014; wolvin, 2012). one form of communication skill preaching that 39analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) attitude and behavior becomes a source of assessment and reference of muslims converted karomba community in preaching. the muslim converted karomba community can face. they need a message of preaching in providing the moral values of islamic teachings in everyday life. one knows which is suitable to do but cannot do so, resulting in everything done awry, but still does not want to do the right thing. this phenomenon occurs in people who experience religious conversion. religious messages in the form of symbols or symbols must be deciphered and interpreted so that the role of communication skills preaching da’i in karomba area can be well received. a da’i can restore the spirit of inmates in living life and can do better things to improve adherence to state rules and obedience to religious orders (hariyanto, 2017). the results of previous research found that interpersonal skills are essential skills that an individual or a da’i must possess for interactions to run smoothly, including in implementing da’wa. interpersonal skills help da’i understand and appreciate others, ultimately leading to success in implementing persuasive preaching (ismail, makhsin, rahim, & ghani, 2020; rosi, 2018; yusro, 2017). the results of other studies explain that the skills or competencies that a person needs to have, with the central index values on starting relationships, self-disclosure, affirming displeasure with the actions of others, providing emotional support, and managing interpersonal conflicts (buhrmester, furman, wittenberg, & reis, 1988). another study, entitled “verbal and nonverbal factors influencing the success of da’wa communication by ustadz abdul somad” found that there are two primary factors behind the effectiveness of da’wa communication. first, verbal factors include comprehensive references and language choices. second, the nonverbal, which in this case is the use of various platforms 40 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) for disseminating da’wa. the two factors behind ustaz abdul somad’s success (qarni, syahnan, harahap, nasution, & fithriani, 2019). another study that also discussed da’wa communication to converts was conducted by tahir et al. (2020). this research resulted in three things. first, the da’i use the face-to-face method in delivering their da’wa. second, the da’i conveys some religious material in da’wa, for example, fundamental religious values, the virtues of islam and the beauties of islam, prayer, and the koran. third, there is a change in the attitude of converts after receiving guidance, namely increasing knowledge of the muslim community about islam, such as knowledge about the values of monotheism, morality, and sharia. casmini (2020) has researched the da’wa strategy carried out by aisyiyah organization about converts. the research resulted that da’wa to converts was focused on several themes. these themes strengthen the aqidah and islam, psychological and spirituality, strengthening family resilience, and economic empowerment and welfare. another research related to da’wa communication strategies was carried out by nuraedah & mutawakkil (2020). the study emphasized that the tablighi jamaat used several stages of da’wa strategies. these strategies are: planning to ensure readiness (tafakud); khuruj by paying attention to the practice of intiqali (preaching from different places) and the practice of maqami (preaching to people who live near the mosque), as well as being an agent of change. the initial difference from this study with other research is to understand the communication skills of preachers in fostering the community of converts. adaptive and practical communication skills of preachers in situations of faith problems increase understanding and genuine faith in accordance with the teachings of islamic values for converts. if preaching cannot be understood and accepted by converts, it will cause various problems that often demand change, be it the source of the message or the channel. the lack of da’wa communication skills in 41analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the process of da’wa communication, causing the failure of the expected communication effects because da’wa skills in communication cannot affect converts. instead, communication skills help da’i to grasp and understand the muslim converted karomba community, he must be rich in thoughts and have great creativity power. da’i, as the communicator, must have three things in order to be successful: 1) high credibility or confidence; 2) appeal, such as language or geographic resemblance, preferred, popular, processing, or packaging discussion material; 3) strength, has tremendous and vast influence (muqsi, 2018). furthermore, they must balance formal preaching based on the sharia topic in the study and preaching based on the description of nature, content, and moral message in sharia and fiqh (bachtiar, 2013). da’wa attempts to improve society by influencing cognitive, affective, and behavioral components and persuading people to act in accordance with islamic principles (mubasyaroh, 2017). therefore, individuals must acquire interpersonal communication skills for interactions to operate well, particularly while conducting da’wa (ismail et al., 2020; rosi, 2018; yusro, 2017). communication skills do not appear instantly, but they develop and are applied in persuading, entertaining, or understanding others. communication skills develop gradually through communication training, seminars, counseling and professional training, and training in acquiring these social skills (jones jr, 2017). communication skills are a person’s skill in conveying a coherent message easy for the recipient to understand. not only is he capable of conveying a message, but he is also a good listener. communication skills are fundamental to effective communication, so there is no misunderstanding (rajanuddin, 2014). da’i must possess communication skills. the skill to provide the right information and be a good listener. so, with the communication skills, 42 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) da’i can be present to the maximum in front of mad’u. kelly, fincham, & beach (2003) explained, “communication skills refer to the ability to realize communicative goals while behaving socially appropriately.” this skill aims to realize effective communication, behaving socially (kelly et al., 2003). another explanation, according to spence (2003), communication skills are those components of social behavior that are necessary to ensure that individuals achieve their desired outcome from social interaction, essential to ensure the individual performs the desired outcome of social interaction (hargie, 2006). learned communication skills, comprising verbal and non-verbal behavior, require proper initiation and response, maximize feedback from others, require precise timing and control of certain behaviors influenced by applicable contextual factors. specifically, these skills should be equipped with a level of emotional intelligence (ei). it involves a process in which individuals implement social behaviors directed at purpose, interconnected, situation-appropriate learned and controlled (hargie, 2006). preaching success when da’i successfully directs and invites mad’u to carry out the teachings of islam. hence the existence of da’i communication skills is very decisive in the process of da’wa activities (ismail et al., 2020; rosi, 2018; yusro, 2017). this skill needs to be continuously improved, according to kazdin (hargie, 2006), identifying the six major elements forming one’s skills, as central to the concept of communication skills: 1) learned; 2) comprises certain verbal and nonverbal behaviors; 3) requires initiation and response; 4) maximize rewards available from others; 5) requires precise timing and control over certain behaviors, and 6) influenced by applicable contextual factors. communication skills are social skills that involve individual processes implementing social behaviors directed by purpose, interconnected, and situational, learned, and controlled. this research aims 43analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to understand the communication skills of da’i in the muslim community converted karomba community because the approach of the expected effects of a da’wa activity can be various types, especially in the mental and religious coaching of this muslim converted karomba. the success of da’wa communication is determined mainly by da’i. the purpose of understanding da’i communication skills in muslim converted karomba community. ability to communicate effectively there must be resources or preachers, namely da’i, who are skilled, knowledgeable, and of high personal and professional quality for achieving this goal. da’i is a performer of invitations or a communicator of the ideology. a da’i will serve as the guide, carrying out the treatise’s purpose and being summoned to the target of da’wa with proof that demonstrates the truth. a da’i is expected to skillfully tap into and touch the hearts of the individuals he encounters in order to ensure that the mission delivered is acceptable to the people. preaching is not only aborting obligations, but it is also necessary to have careful planning and thorough evaluation so that the da’wa activities carried out can produce maximum results (risdiana, 2014). research on da’wa bil hikmah is one of the da’wa methods da’i to apply to da’wa objects (mad’u), specifically commercial sex workers (pekerja seks komersial/psk). da’i must understand their situation and condition so that the da’wa can achieve maximum results, namely eradicating and realizing them (psk) to switch to their normal life (sunarto as, 2011). da’i must create a role model character with effective models and styles and variations and always consider what mad’u wants. the talks (lecture) can be more effective and readily accepted by various mad’u circles (murtadlo, 2019). multiple generality problems occur regardless of the da’i who carries out the noble task is da’wa ilallah (bachtiar, 2013). among other terms, communication skills must be possessed by da’i if you want to succeed in persuasive da’wa towards mad’u (ismail et al., 2020; rosi, 2018; yusro, 2017). the results of gus dur’s colorful da’wa skills can 44 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suddenly divert a wide range of dramatic, anecdotal facts and then back to severe conclusions (khasanah, 2019). the da’wa communication skills of the da’i to converts are essential to study because the da’i of converts to converts is different from the condition of muslims in general. converts are individuals or groups of individuals who decide to convert from a non-islamic religion to islam. converts have vulnerabilities to psychological problems (saifuddin, 2019), so preachers must have the skills to convey messages and da’wa materials so that the vulnerability of converts can be minimized. on the other hand, research related to communication skills of da’i towards converts is also not much. therefore, this study seeks to explore and map the da’wa communication skills possessed by da’i to preach to converts. methods this study used a qualitative approach and case study method. the case study is specific phenomena present in a limited context, although the boundaries between phenomena and contexts are unclear. the case study approach helps researchers gain a complete and integrated understanding of the various facts and dimensions of the case (yin, 2009). the research site in the mountainous region of karomba, pinrang regency. the data collected in this study consisted of two types: primary and secondary. the primary data was obtained by in-depth interviews and observations of da’wa communication activities between da’i and muslim converts community, using recording instruments, cameras, and other writing instruments. the secondary data was obtained by referring to scientific journals, reference books, and available data related to the purpose of this research. primary data is the leading data obtained directly from field research. secondary data is supporting data from the primary data. 45analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the informants in this study are the da’i who provide information for the achievement of this research aim. the choice of da’i as informants because they are da’i sent by the ministry of religious affairs and social institutions, actively fostering muslim converted and staying together to encourage muslim converted karomba community. the purposive technique was chosen to determine the number of informants, considering that da’i deliberately communicated dawah in the community of muslim who converted in karomba and stayed for approximately 5-9 months in the area, amounting to 6 (six) da’i people as the subject of this study. the data collection techniques used consist of in-depth interviews, participant observations, document analysis, in-depth interviews, and face-to-face informants for complete and in-depth data. word is done by observing and recording all the systemic symptoms studied. the primary tool to make direct observations, in addition to the senses, usually the author uses other devices according to the condition of the field, such as notebooks, cameras/mobile phone recordings, and so on. furthermore, documentation can be written, conception, demographic data, and related theories deductions are based on data that has been obtained and has been reinterpreted based on a pre-arranged narrative structure to achieve research objectives. we analyze the collected data inductively, through the process of 1) data reduction, which is selecting or summarizing the data, then seducing and focusing the data on the important things under the research objectives; 2) presentation of data, activities carried out by grouping the data information according to the type; 3) draw its conclusions and verify the data. then, verify the results of the data analyzed to the informant based on the resulting conclusions. this study uses member checking and triangulation as data validity techniques. member checking is a data validity technique that involves research informants to check and confirm research results. member 46 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) checking aims to minimize conclusion bias in researchers (birt, scott, cavers, campbell, & walter, 2016; doyle, 2007). the triangulation used is method triangulation. researchers use various methods, such as interviews and observations, to obtain multiple research data (heale & forbes, 2013; mertens & hesse-biber, 2012). results and discussion the study results analyzed da’i communication skills like verbal and nonverbal behavior in communicating da’wa with muslim converted in the karomba mountains. this behavior occurs when da’i preach or when communicating da’wa to the community of muallaf karomba. da’i communication skills refer to the skills to realize the purpose of communicating socially through interaction behavior. the results of da’i communication skills in muslim converted karomba community, based on verbal behavior collected by direct observation and in-depth interviews, found that da’i communication skills in muslim converted karomba are as follows: skills in da’wa message production skills in the production of communication messages da’i in muslim converted karomba community related to monitoring the content of da’wa messages during the communication process. this skill includes the integrity of cognitive processes of producing the theme of da’wa messages. such as communication skills in behaving facilitate a problem solving, communication skills da’i in reframing da’wa messages, issues, choice of precise/simple examples to approach the problem. the disclosure by ustadz mh in his interview said that the message of the theme of da’wa is mainly on aspects of their aqidah, as stated: “the choice of delivery of the message theme more teaches especially the aqidah-tawhid that discusses the oneness of 47analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) allah swt, to be worshipped, for example, through the activity of five-time prayer, to always leave things that smell shirk, believe no more things from the creation of allah swt that are contradictory all along. not worshipping god through prayer may still be a habit before. giving direct examples through the habits and patterns of behavior of the very noble prophets,”. (interview results, 28 june 2020) the choice of message production chooses the message of aqidahtauhid given to convert, considering converts are new muslims who do not yet have a strong belief in godliness. this communication skill is necessary for da’i as they play an important role in achieving successful preaching activities for muslim converted karomba. this skill is also needed in verbal communication behavior, and it helps deliver messages when communicating verbally. muslim converted messages of information are needed, it helps to produce the intimate relational intercession messages, and messages are referring to efforts to express grievances and problem solving for muslim converted karomba in filling their beliefs to islam. this determines the success and effectiveness of the communication (syarifah, 2016). in addition, converts are also given a message about the behavior of muslims in their daily life in islam, in the form of moral messages, related to this ustaz ma said in his interview: “i convey about the good morals, i think it is good for converts, including how to perform prayer and read the al-qur’an. give an example of how it is as beautiful as something. let’s say we’re going to do something beautiful. we recite the hadiths of the prophet (peace and blessings of allah be upon him). like, reading the al-qur’an and saying greetings “assalamualaikum” when meeting people, that’s the way it is.” (interview results, 25 june 2020) 48 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the continuous production of da’wa messages is delivered and sustained in muslim converted karomba community. such as covering morals, beliefs, the practice of five-time prayer, and the guidance of reading the al-qur’an. skills in stringing together a series of framing messages of the essential verbal preaching. as ustaz mh explains, here are: “we choose the message of da’wa, for muslim converted about the teachings of belief, good morality after converting to islam and reading the al-qur’an because sometimes there are also muslims do not know to read the al-qur’an. our preaching material is like that” (interview results, 11 june 2020) communication skills of producing carefully based messages in conveying religious materials, especially for muslim converted karomba, explicitly prepared to preach to them, to foster a change in attitude and knowledge of converts, related to this ustaz ma said that: “so, the choice of that specific theme, different of course, that was born already islamic. the first basic understanding of islam, it should not be us, introduces islam to the “fanaticism”. secondly, we have to be very patient because really what we teach parents but we like to teach children like, the mention of “a’ ba’ ta’ tsa ja” we imagine very difficult for the beginning but now, alhamdulillah.” (interview results, 25 june 2020) preaching among muslim converted karomba community has its characteristics, because as a community new to islam, it also has a diverse background, level of education, limited economic ability. da’wa method requires emphasis, variation, and understanding techniques according to the psychological condition of converts. da’i plays a vital role in the success of providing an understanding through application in daily life. inner self skills through the disclosure of ideas, opinions, interests, experiences, and feelings. 49analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the skill of choice is appropriate and applied in terms of situational muslim converted in the belief of islam religion because of an evaluative assessment of cognitive and behavioral qualities. the primary criteria used to guide the correct and path form the information necessary for muslim converted to communicate continuously and competently. based on this explanation, producing messages is an essential aspect in communicating (greene, 1997), especially in preaching to the converts. messages conveyed to converts should be based on the needs of converts, both conditions related to religion and daily matters. in addition, producing messages is also accompanied by high sensitivity regarding the message so that communicators (in this case are da’i) can create comfortable communication, especially for converts (burleson, 1985). on the other hand, message production skills are also related to understanding the recipient’s age (nussbaum & baringer, 2000) so that the resulting message will be in accordance with the age characteristics of the recipient of the message. production of the right message then contributes to communication success (mahajan, 2015), both the success of communication and the success of the recipient of the message in changing his behavior. skill in receive and convey da’wa messages skill acceptance of order da’i is a skill in delivering da’wa orders on the aspects of understanding, interpretation, and storage of order for muslim converted karomba. skill relates to da’i’s knowledge through da’wa’s theme, which is later learned in well applied, coached, and positively affected through direct or indirect behavioral activities. the da’wa’s order towards god is the most honorable and primary position for a servant, so it will not happen except with knowledge. the skill of communication da’i in receiving orders on muslim converted karomba communities strives to call for or invite, the resilient in 50 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) delivering its moral orders to muslim converted, using excellent language or identified by the spoken language, bugis dialect. their dominant bugis language is straightforward. they approach as members of the bugis ethnicity. using speech-language for a da’i in conveying the pappaseng of oral da’wa is an integral part and owned by the da’i under the values of religious understanding, especially in communities that just believe islam their religion. one example is expressing the word prevention through the bugis word “pemmali-pemmali” which is socialized early in the life of the muslim converted karomba community. appropriate language is the key to success in receiving and conveying (belov et al., 2018), especially da’wa messages (ahsan, 2019; yuliani, 2019). language, especially local languages, plays an important role in closing the distance between preachers and converts. when the da’i conveys da’wa in the local language or a language that the converts understand, it will cause the converts to accept and understand the purpose of the da’wa material (ahsan, 2019). in addition, if the da’i use the local language, it will generate interest in the recipients of the da’wa, in this case, the converts (yuliani, 2019). it applies this skill da’i by grouping converts to be given da’wa messages and making it easier for them to receive such messages, discussions, and direct applications, given that converts are not like muslims from birth who already have islamic basics previously. receiving messages through the division of target groups and routinely carrying cauterization out groups of children and adults. related to this ustaz ms says that: “to facilitate the acceptance of messages, i divide or create a coaching program for children, mothers and fathers through discussion activities, and direct practice, in daily activities we often do.” (interview results, 28 june 2020) 51analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rahmatullah (2016) stated that a good da’wa is da’wa that is carried out by adjusting based on the characteristics of the target of da’wa or mad’u. for example, delivering da’wa to scholars and scientists differs from delivering da’wa to the public in general. faizah & effendi (2018) argue that mad’u characteristics that need to be considered in preaching are personality, intelligence, knowledge, skills, values, and roles. in addition, a good da’wa must pay attention to psychological aspects, including age (muhadi, 2019). thus, da’wa has different forms and methods for each development phase, starting from children, adolescents, adults, and the elderly. thus, grouping in preaching can be applied by the da’i to converts of various ages. other explanations, such as excerpts of the statement da’i initials ma, to strengthen the message of da’wa usually also use bugis language and terms that they can easily understand, and to strengthen the content of da’wa message, such as in the interview results: “for example, teaching tauhid, often we emphasize the aspect of “pammali”, for example, “pammali” if not wudhu or tayammum before prayer. to make it easier for them to remember messages. we teach tauhid, such as using bugis,”ta’ ppikiri ki” and “jangki” forgot the punishment and practice of allah swt. it means there is the god that exists, and they don’t think about what it is, where it is. we have to give a fundamental understanding. this makes the message easier to be understood.” (interview results, 25 june 2020) the content of the message of da’wa that they do, namely trying to build and increase muslim converted to have an attitude, for example, the attitude of “ta’awun” (helping each other) in the context “amar ma’ruf nahi munkar”. it was emphasized to practice as a form of the promise. an effort is being made to instill an understanding and growing awareness of islamic values. islam is a religion that allah sent down through his 52 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) messenger, muhammad, and it contains values that help build a whole human being, that is, to balance the spiritual and physical-mental material of humanity in order to achieve welfare and happiness in the world’s life. communication skills for da’i are considered as innovations in the development of muslim converted karomba community and creating good social interaction in their group. in creating a relationship between the converts, there appears to be a change in how the karomba convert community views his daily behavior and their normality in his social life. positive habits for women to wearing hijab and five times pray on time. this skill provides emotional support for optimizing interpersonal communication between two personals, calming down, and comforting muslim converted when depressed and problematic. this da’i communication skill constructing speech-language is a form of transmission, witness, and transformation of values that conform to islamic values. although da’wa’s messages in the language of speech are the frame of culture in society, they are still related to the principles: qaulān sadīdān, qaulān balīghān, qaulān ma’rūfān, qaulān karīmān, qaulān layyinān, and qaulān maysūrān. da’wa messages are also exemplified by the da’i lives itself. skills in interacting da’i communication skills in interacting with muslim converted karomba is related to the smoothness and transfer of information. da’i skills in the form of practical and physiological responses that impact relationship satisfaction and stability. according to akil (2015), da’i should have interaction skills in delivering their da’wa, so that the da’wa process can be interactive interactive communication is defined as a mode of communication in which the messenger’s stimulus is interpreted and responded to by the message’s recipient. two-way communication occurs (karlsson, 2013; nordby, 2011; shan et al., 2015). achieving interactive 53analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) communication in the context of da’wa is critical because it shows that da’i is successful in drawing the attention of their target audience and motivating them to receive the da’wa. da’i communication occurs in groups to communicate information with the muslim converted karomba people. because converts are new muslims, unlike muslims born into the faith, it is simpler for them to assemble and talk in groups of children and adults. we spoke about their everyday routines. ustaz ma explained that: “i’ve had nine months here. we regularly gather at a certain time. to interact, learn, directly group fathers, mothers, and children every day, especially every prayer, studying first and then continued with educational materials. if those mothers in a week range from one to three nights a week. for fathers around one-two hours, usually, the old one is a discussion, in the form of a question and answer.” (interview results, 25 june 25 2020) in the karomba highlands, the muslim converted karomba community interacts on a daily basis under the direct direction of the appointed da’i. he is creating activity for mothers, fathers, and children daily in mushalla, learning, acquiring knowledge, and conversing about islam. direct interaction skills da’i, using the phrase “shari’ah consultation” and religious lectures, persuasion, being readily recognized, comprehending muslim converts, and developing and establishing views or beliefs as transmitted. as said by ustaz ma in his interview: “i slowly saw them practice what they had received from us, whether in the mushallah, when we met, or wherever we met. anyway, his da’wa communication is everywhere, of course with jokes, a funny example in trying to do good things. especially exemplifying the behavior of the prophet muhammad.” (interview results, 25 june 2020) 54 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) da’i skill uses materials or messages of islamic teaching values, friendship, jokes, and a relaxed and intimate atmosphere so that da’wa’s message is more communicative. it is not uncommon for da’wa to incorporate jokes and humor. certain da’i employ jokes and humor to create connections with the recipients of da’wa and soften da’wa’s mood. jokes and humor in da’wa will foster intimacy between the da’i and the recipients of da’wa (in this case, converts), allowing the recipients of da’wa to receive and carry out the message of da’wa free of coercion and pressure. additionally, jokes and comedy demonstrate the da’i’s equality with the receivers of da’wa (abdullah, muhid, & wahyudi, 2020). the use of jokes and humor in da’wa also tries to attract the interest of the recipients of da’wa (nurcholis, hidayatullah, & laila, 2019), so that those who receive da’wa teachings are not easily bored. along with humor, da’wa with an element of friendship establishes an equal relationship between the da’i and the da’wa receiver and fosters unity (nuraedah & mutawakkil, 2020). this falls under the category of the communication process’s purpose, which includes da’wa communication. for each muslims converted karomba, the objective of this communication varies. however, it is divided into three subcategories: goals for self-presentation (who and how they want to be recognized), and relational goals (how to develop, maintain and end relationships), and instrumental purposes such as obtaining compliance (getting someone to do something), obtaining necessary knowledge, or soliciting assistance (abdullah, ling, sulaiman, radzi, & putri, 2020; avia, sánchez-bernardos, sanz, carrillo, & rojo, 1998; lewis & neighbors, 2005). it uses different communication techniques on various parties depending on the intended purpose of communication. they may require informal communication, while other circumstances may require formal communication. this is as explained in the theory of communication accommodation. the theory of communication 55analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) accommodation explains that; when people communicate, they adjust their vocal and speech patterns to accommodate the needs of message recipients (rodriguez, 2017). communication skills process the use of language “message code.” each individual is not equally skilled in using a particular language in all communication processes. in addition, da’wa material adjusts to the background of converts, especially tawhid, prayer problems, morals, reading the al-qur’an, fasting, and others. this skill can provide basic and practical knowledge, in the direct sense can be practiced such as prayer and prayers strengthen the truth of islam. communication skills must serve as a flow of information, perception, and understanding among various stakeholders, methods, media, and means of communication. aspects of communication and making it comprehensive suggest that there are so many things going on in the process (hardjati & febrianita, 2019). a skilled person has excellent communication skills, if able to communicate with others, a way that fulfills one’s rights, requirements, satisfaction, or obligations without neglecting the rights, dignity, or duties of others in the exchange of messages. the communication process is a pattern of learning tutorials and dialogues. the activity constructed a communication model tailored to social, psychological, and situational strata (hartono, 2016). social encounters, reciprocity between da’i and muslim converted to focus on the results in knowledge, attitudes, and behaviors. 56 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. communication skills in muslim converted karomba community no. communication skills da'i communication process of da’wa method 1. skills in da’wa message production participatory and interactive, the message of da’wa builds relationships in the community muslim converted, and positive feedback. a s s i s t a n c e , dialogue, islamic studies. 2. skill in receive and convey da’wa messages play a good role and be accepted every muslim converted karomba monitoring and literacy 3. skills in interacting community motivation is activated based on relationships and relevance of shared goals assistance, dialogue, islamic studies da'i communication skills in the muslim converted karomba community in the process of da’wa communication have several aspects, including participatory and interactive. da’wa's message builds relationships in muslim converted karomba, and positive feedback, plays a good role and be accepted by every muslim converted, and they activate community motivation. communication skills in da’wa communication for preachers are to change converts (thoughts, feelings, behavior) from a severe condition to a moral condition. methods used in faith guidance and coaching are mentoring, dialogue, assistance in islamic studies, literacy. they acquire spirituality and faith through the stages of conversion, knowledge and motivation synthesis, reintegration of personality that necessitates adaptation to new ideas, acceptance of new religious conceptions, and the emergence of consciousness to carry out new religious teachings (jayos, ghani, tahir, jasmi, & bandar, 2015; setiyani & muktafi, 2020). in addition, the guidance also helps him to adapt to the new environment. individuals who undergo conversion, as indicated by saifuddin (2019), require supervision. he was able to deepen his convictions and increase his religiosity as a result of the guidance. furthermore, the assistance assists him in adjusting to his new surroundings. 57analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) according to the goffman notion, the da’i’s self-image in preaching becomes a reference for controlling impressions, including verbal and nonverbal communication signals. da’i preaching communication abilities can manifest themselves in the social context on a permanent or momentary basis (sulaeman, sulastri, & nurdin, 2018). the appearance of one’s self as an identity is deliberately done so that they can accept it when preaching. in a communication perspective, they form the identity of the preacher through communication with the congregation. identity is owned, generated through several interactions and communications with the community. these interactions are very situational, determined by when, where, and at what events and with whom they are dealing. in presenting himself, da’i depends on his ability to interpret situations and generate situational skills. they can use his skills as a frame of reference, such as a commendable personality, proficiency, superior knowledge, and ability to master the congregation. the achievement of communication skills is complicated not only by the situational aspects of language use but also by language codes and communication habits in diverse cultures and subcultures in various institutions and regions. the process of islamic da’wa communication for converts attempts to call or invite, and muslim converted to do bad and prevent evil. da’i communication abilities in the muslim converted karomba community can be ideally thriving if backed by an excellent da’wa communication procedure. da’i should also pay attention and remember the communicators’ skills and the message given to the muslim converted karomba community to establish an active communication process. da’i communication skills are not just used, but through a long and learned process, as the ability to interact in a particular social context. these specific ways are socially acceptable or valued and are personal, mutually beneficial, or beneficial, especially to the muslim converted karomba community. da’i for a convert is the key and foundation in 58 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) practicing islam. strengthen faith in god, angels, books, apostles, last days, allah’s qadha, and qadar. strengthening aqidah towards devout muslims will accustom the converts to deepening the science of religion, carrying out and carrying out correctly as taught in islam. the da’wa carried out by the da’i to the converts in karomba can be considered to fulfill four forms of da’wa activities according to rosyid (2020): 1) tabligh and ta’lim are carried out with intelligence/enlightenment through socialization, internalization, and externalization of the values of islamic teachings, 2) irsyad is carried out in the context of solving psychological problems through personal, family, or group counseling guidance, 3) tathwir (community development) by institutionalizing islamic values in social life (cultural da’wa), and 4) tadbir (community empowerment management) with the main activities of policy formulation, program planning, organizing, and evaluation. conclusion and suggestion conclusion a professional da’wa is distinguished not only by its ability to communicate da’wa, but also by its skills in producing the shahada and moral messages. also, the skills in receiving messages using bugis language and terms that impact if they are violated, and skills in group communication interactions that are interactive through the concept of sharia consultation. communication skills of da’i with converts to the karomba community are a core value that must be possessed to fulfill the da’wa needs of muslims in maintaining their beliefs. without preaching, muslim community would not exist. positive da’wa communication serves to transform islam values as teaching into reality, particularly for the muslim converted karomba community, which is based on islamic teachings based on the al-qur’an and al-sunnah. positive da’wa communication abilities will result in positive attitudes and behavior patterns, making this communication positive. 59analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion every preacher must possess communication skills to achieve their da’wa goals. these skills are essential in building self-confidence and building positive relationships with mad’u. it takes serious efforts from all elements of civil and government in indonesia, especially preachers, to take part together in da’wa communication in developing islamic teachings. therefore, the development of da’wa communication skills must be learned and improved through the participation of all parties through training activities, seminars, workshops, and ongoing training, if you want to carry out effective persuasive da’wa in mad’u. references abdullah, a. a., muhid, a., & wahyudi, w. e. (2020). “humor in da’wah”: socio-linguistic analytic of kyai ishaq latif da’wah from pesantren tebuireng jombang. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 14(2), 211–230. https://doi.org/10.15575/idajhs. v14i2. 9053 abdullah, z., ling, t. y., sulaiman, n. s., radzi, r. a. m., & putri, k. y. s. (2020). the effects of verbal communication behaviors on communication competence in the pharmaceutical industry. journal of critical reviews, 7(12), 697–703. https://doi. org/10.31838/jcr.07.12.125 ahsan, a. a. (2019). existence of regional languages in submission of islamic dakwah. ideas: journal of language teaching and learning, linguistics and literature, 7(1), 109–113. https://doi. org/10.24256/ideas.v7i1.727 akil, m. a. (2015). online da’wah (islamic missionary work) model (a study on the use of the internet as missionary media by muballigh/muballighah of uin alauddin). journal of islam and science, 02(01), 73–102. https://doi.org/10.24252/jis.v2i1.2169 60 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) avia, m. d., sánchez-bernardos, m. l., sanz, j., carrillo, j., & rojo, n. (1998). self-presentation strategies and the five-factor model. journal of research in personality, 32(1), 108–114. https://doi. org/10.1006/jrpe.1997.2205 bachtiar, m. a. (2013). dakwah kolaboratif: model alternatif komunikasi islam kontemporer. jurnal komunikasi islam, 03(01), 152–168. https://doi.org/10.15642/jki.2013.3.1.%25p belov, s., kropachev, n., latukha, m., orlova, e., baeva, e., & bondar, v. (2018). the role of language in the communication process between business and government: evidence from russian firms. journal of east-west business, 24(4), 481–491. https://doi. org/10.1080/10669868.2018.1463341 birt, l., scott, s., cavers, d., campbell, c., & walter, f. (2016). member checking: a tool to enhance trustworthiness or merely a nod to validation? qualitative health research, 26(13), 1802–1811. https://doi.org/10.1177/1049732316654870 buhrmester, d., furman, w., wittenberg, m. t., & reis, h. t. (1988). five domains of interpersonal competence in peer relationships. journal of personality and social psychology, 55(6), 991–1008. https:// doi.org/10.1037/0022-3514.55.6.991 burleson, b. r. (1985). the production of comforting messages: socialcognitive foundations. journal of language and social psychology, 4(3–4), 253–273. https://doi.org/10.1177/0261927x8543006 casmini. (2020). analysis of muallaf ’ aisyiyah da’wah strategy. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 14(1), 151–166. https://doi.org/10.15575/idajhs.v14i1.9238 doyle, s. (2007). member checking with older women: a framework for negotiating meaning. health care for women international, 28(10), 888–908. https://doi.org/10.1080/07399330701615325 faizah, & effendi, l. m. (2018). psikologi dakwah. jakarta: kencana. greene, j. o. (1997). message production: advances in communication theory. milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, uk: routledge. hardjati, s., & febrianita, r. (2019). the power of interpersonal communication skill in enhancing service provision. journal of social science research, 14, 3192–3199. 61analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hargie, o. (2006). the handbook of communication skills (3rd ed). milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, uk: routledge. hariyanto. (2017). komunikasi persuasif da’i dalam pembinaan keagamaan narapidana (studi pada lembaga pemasyarakatan wanita kelas ii a bandar lampung). jurnal ilmu dakwah, 37(2), 181–197. https://doi.org/10.21580/jid.v37.2.2704 hartono, r. (2016). pola komunikasi di pesantren: studi tentang model komunikasi antara kiai, ustadz, dan santri di pondok pesantren tmi al-amien prenduan. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 1(1), 67–100. https://doi.org/10.22515/balagh. v1i1.60 heale, r., & forbes, d. (2013). understanding triangulation in research. evid based nurs, 16, 98. https://doi.org/10.1136/eb-2013-101494 ismail, n., makhsin, m., rahim, s. i. a., & ghani, b. a. (2020). interpersonal communication skill and da’wah fardiyah approach in sustainable islamic spiritual mentoring. in n. kaur & m. ahmad (eds.), charting a sustainable future of asean in business and social sciences (pp. 79–86). https://doi.org/10.1007/978-981-153859-9_8 jayos, s., ghani, f. a., tahir, l. m., jasmi, k. a., & bandar, n. f. a. (2015). system support in counselling among muslim convert clients in malaysia. journal of cognitive sciences and human development, 1(1), 74–81. https://doi.org/10.33736/jcshd.189.2015 jones jr, r. g. (2017). communication in the real world. boston, massachusetts, united states: flatworld. karlsson, m. (2013). representation as interactive communication. information, communication & society, 16(8), 1201–1222. https://doi. org/10.1080/1369118x.2012.757633 kelly, a. b., fincham, f. d., & beach, s. r. h. (2003). communication skills in couples: a review and discussion of emerging perspectives. in j. o. greene & b. r. burleson (eds.), handbook of communication and social interaction skills (pp. 723–751). mahwah, united state: lawrence erlbaum associates publishers. khasanah, f. (2019). metode dakwah gus dur dan era revolusi industri 4.0. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2), 317–336. 62 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) https://doi.org/10.22515/balagh.v4i2.1818 lewis, m. a., & neighbors, c. (2005). self-determination and the use of self-presentation strategies. journal of social psychology, 145(4), 469–490. https://doi.org/10.3200/socp.145.4.469-490 mahajan, r. (2015). the key role of communication skills in the life of professionals. journal of humanities and social science, 20(12), 36–39. mertens, d. m., & hesse-biber, s. (2012). triangulation and mixed methods research: provocative positions. journal of mixed methods research, 6(2), 75–79. https://doi.org/10.1177/1558689812437100 mina, k. s., jung, j. m., & ryu, k. (2021). listen to their heart: why does active listening enhance customer satisfaction after a service failure? international journal of hospitality management, 96. https://doi.org/10.1016/j.ijhm.2021.102956 mubasyaroh. (2017). strategi dakwah persuasif dalam mengubah perilaku masyarakat. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 11(2), 311–324. https://doi.org/10.15575/idajhs.v12i.2398 muhadi, u. (2019). membangun efektifitas dakwah dengan memahami psikologi mad’u. jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2), 169–186. https://doi.org/10.29240/jdk.v4i2.1251 muqsi. (2018). hubungan dakwah dan komunikasi. jurnal peurawi, 1(1), 1–9. http://dx.doi.org/10.22373/jp.v1i1.2763 murtadlo, a. (2019). kharisma pendakwah sebagai komunikator. jurnal spektrum komunikasi, 7(1), 1–16. https://doi.org/10.37826/ spektrum.v7i1.24 nordby, h. (2011). the nature and limits of interactive communication: a philosophical analysis. seminar.net: international journal of media, technology and lifelong learning, 7(1), 18–33. nuraedah, & mutawakkil. (2020). the da’wah communication strategy of jamaah tabligh in sub-district of tondo, palu city. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 14(2), 297–316. https://doi. org/10.15575/idajhs.v14i2.10220 nurcholis, a., hidayatullah, s. i., & laila, i. (2019). inspirational da’wah for millennial generation: study at iain tulungagung. jurnal md, 5(2), 165–180. https://doi.org/10.14421/jmd.2019.52-03 63analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nussbaum, j. f., & baringer, d. k. (2000). message production across the life span: communication and aging. communication theory, 10(2), 200–209. https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.2000. tb00189.x qarni, w., syahnan, m., harahap, i., nasution, s., & fithriani, r. (2019). verbal and nonverbal factors influencing the success of da’wah communication by ustadz abdul somad. kne social sciences: the second annual international conference on language and literature volume 2019, 804–812. https://doi.org/10.18502/kss. v3i19.4906 rahmatullah, r. (2016). analisis penerapan metode dakwah berdasarkan karakteristik mad’u dalam aktivitas dakwah. jurnal mimbar : media intelektual muslim dan bimbingan rohani, 2(1), 55–71. https:// doi.org/10.47435/mimbar.v2i1.286 rajanuddin, a. m. (2014). keterampilan komunikasi pustakawan informasi perpustakaan stain samarinda. lentera, xvi(2), 198– 209. https://doi.org/10.21093/lj.v16i2%20desember.180 risdiana, a. (2014). tranformasi peran da’i dalam menjawab peluang dan tantangan. jurnal dakwah, xv(2), 433–451. https://doi. org/10.14421/jd.2014.15210 rodriguez, p. a. (2017). conceptual model of communication theories within project process. innova research journal, 2(3), 42–51. https://doi.org/10.33890/innova.v2.n3.2017.131 rosi, b. (2018). penguatan kapasitas soft skill “calon da’i” melalui tugas pengabdian masyarakat. ‘ulûmunâ : jurnal studi keislaman, 4(2), 150–169. https://doi.org/10.36420/ju.v4i2.3500 rosyid, m. (2020). optimizing da’wah from the perspective of da’wah management: a case study of the exsamin muallaf in kudus, central java. jurnal al-bayan: media kajian dan pengembangan ilmu dakwah, 26(2), 270 – 303. https://doi.org/10.22373/albayan. v27i1.6846 saifuddin, a. (2019). psikologi agama: implementasi psikologi untuk memahami perilaku beragama. jakarta: kencana. setiyani, w., & muktafi, m. (2020). the resilience of muslim converts in understanding islam: the role of al-akbar mosque for post-conversion accompaniment. teosofi: jurnal tasawuf dan 64 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pemikiran islam, 10(2), 302–324. https://doi.org/10.15642/ teosofi.2020.10.2.303-325 shan, l. c., panagiotopoulos, p., regan, á., de brún, a., barnett, j., wall, p., & mcconnon, a. (2015). interactive communication with the public: qualitative exploration of the use of social media by food and health organizations. journal of nutrition education and behavior, 47(1), 104–108. https://doi.org/10.1016/j. jneb.2014.09.004 spence, s. h. (2003). social skills training with children and young people: theory, evidence and practice. child and adolescent mental health, 8(2), 84–96. https://doi.org/10.1111/1475-3588.00051 sulaeman, sulastri, i., & nurdin, a. (2018). dramaturgi komunikasi dakwah para da’i di kota ambon: pola pengelolaan kesan di panggung depan. jurnal komunikasi islam, 8(1), 86–110. https:// doi.org/10.15642/jki.2018.8.1.86-110 sunarto as, h. a. (2011). dakwah pada pekerja seks komersial. jurnal komunikasi islam, 01(01), 1–15. syarifah, m. (2016). budaya dan kearifan dakwah. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 1(1), 23–38. https://doi.org/10.22515/ balagh.v1i1.43 tahir, a., cangara, h., & arianto, a. (2020). komunikasi dakwah da’i dalam pembinaan komunitas mualaf di kawasan pegunungan karomba kabupaten pinrang. jurnal ilmu dakwah, 40(2), 155–167. https://doi.org/10.21580/jid.v40.2.6105 weger jr, h., bell, g. c., minei, e. m., & robinson, m. c. (2014). the relative effectiveness of active listening in initial interactions. international journal of listening, 28(1), 13–31. https://doi.org/10. 1080/10904018.2013.813234 wolvin, a. d. (2012). listening, understanding, and misunderstanding. 21st century communication: a reference handbook, 137–146. https:// doi.org/10.4135/9781412964005.n16 yin, r. k. (2009). case study research: design and methods (4th ed). london, united kingdom: sage publications. yuliani. (2019). the role of language in the development of islamic da’wah in indonesia. jurnal kelola: jurnal ilmu sosial, 2(2), 129–136. https://doi.org/10.15575/jk.v2i2.8088 65analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yusro, n. (2017). urgensitas kepribadian da`i dalam berdakwah. jurnal dakwah dan komunikasi, 2(1), 73–100. https://doi.org/10.29240/ jdk.v2i1.278 66 analysis of da’i communication skills towards the muslim converted karomba community arianto al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 35 66, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3019 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 editorial team editor-in-chief akhmad anwar dani, institut agama islam negeri surakarta, indonesia editor imam mujahid, (scopus id : 57208214175); institut agama islam negeri surakarta, central java, indonesia waryono abdul ghafur, universitas islam negeri sunan kalijaga, yogyakarta, indonesia soiman, asosiasi profesi dakwah indonesia (apdi) diajeng laily hidayati, institut agama islam negeri samarinda, indonesia ahmad saifuddin, institut agama islam negeri surakarta, indonesia rhesa zuhriya briyan pratiwi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia abraham zakky zulhazmi, institut agama islam negeri surakarta, indonesia alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 4, no. 2, july december 2019 daftar isi dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim 169 198 menanggulangi hoaks dan ujaran kebencian bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan di tahun politik syamsul bakri, abraham zakky zulhazmi, krisbowo laksono 199 234 dakwah milenial era digital: analisis linguistik kognitif pada lagu balasan jaran goyang dwi kurniasih 235 262 pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah agung wibiyanto, wahyu tri hastiningsih 263 292 belajar islam melalui literatur visual: pembentukan identitas moderat anak muslim milenial kirana nur lyansari 293 316 metode dakwah gus dur dan revolusi industri 4.0 faizatun khasanah 317 336 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim universitas jenderal soedirman keywords: dialogue; oasis sungai kerit; prejudice; spread of religion. http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh alamat korespondensi: e-mail: musmuallim@unsoed.ac.id abstract oasis sungai kerit (osk) is a hermitage or khalwat house as a place of worship rituals and prayer services for catholics in melung village, kedungbanteng, banyumas. its existence is considered to spread religion and cause unrest. this study elaborates on the dynamics of the emergence of prejudices against osk managers and formulates suggestions for these problems through a phenomenological approach. data collection is done by interviews and documentation that are arranged and presented descriptively. in this study it was concluded that prejudice of the spread of catholicism by the osk khalwat house was due to the categorization and ingroup-outgroups; prejudice also occurred because there were osk khalwat house activities in accordance with prejudice; problems of licensing strengthened community rejection. dialogue efforts have been made but not yet optimal. therefore, it is necessary to reorganize the format of dialogue between various parties so that dialogue can take place openly and intensively so that prejudice can be reduced. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 170 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak oasis sungai kerit (osk) merupakan rumah pertapaan atau rumah khalwat sebagai tempat ritual peribadatan dan pelayanan doa bagi umat katolik di desa melung, kedungbanteng, banyumas. keberadaannya dianggap menyebarkan agama dan menimbulkan keresahan. penelitian ini mengurai tentang dinamika munculnya prasangka terhadap pengelola osk serta merumuskan saran untuk permasalahan tersebut melalui pendekatan fenomenologi. pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi yang disusun dan dipaparkan secara deskriptif. dalam penelitian ini disimpulkan bahwa prasangka penyebaran agama katolik oleh pihak rumah khalwat osk disebabkan karena adanya kategorisasi dan ingroup-outgroup; prasangka terjadi juga karena ada kegiatan rumah khalwat osk yang sesuai dengan prasangka; permasalahan perizinan memperkuat penolakan masyarakat. upaya dialog sudah dilakukan namun belum optimal. oleh karena itu, perlu disusun ulang format dialog antar berbagai pihak sehingga dialog bisa berlangsungs secara terbuka dan intensif sehingga prasangka bisa diredam. kata kunci: dialog; oasis sungai kerit; penyebaran agama; prasangka. how to cite (apa 6th style): musmuallim. (2019). dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2), 169–198. https://dx.doi.org/10.22515/ balagh.v4i2.1783 pendahuluan pembicaraan tentang tata cara mengelola keberagaman menjadi topik yang menarik dan dibahas oleh banyak negara (rahayu, 2017), tak terkecuali negara indonesia. hal ini disebabkan indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman yang tinggi, mulai dari suku, bahasa, ras, budaya, sampai dengan agama. di satu sisi, keberagaman tersebut bisa menjadi kekayaan negara indonesia. namun, di sisi lain keberagaman tersebut memiliki kerentanan sehingga mudah terjadi konflik (lestari, 171dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 2015). menurut mulyana (2001), eksistensi agama tidak mengenal batas sekat sosiologis, demografis dan geografis. meskipun antarkelompok budaya (ras, suku, agama) saling berinteraksi, tidak secara otomatis saling pengertian terbentuk di antara mereka. keragaman akan memberikan dua sisi potensi yang berbeda. di satu sisi, keragaman dapat menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa. akan tetapi, di sisi lain keragaman dapat pula memunculkan suatu konflik di tengah kompleksitas masyarakat. goddard (2000) menggambarkan adanya penilaian dengan standar ganda, yaitu suatu komunikasi yang ditandai dengan retorika “kami yang benar dan mereka yang salah”; memandang dan menilai suatu komunitas tertentu dengan menggunakan acuan norma kelompok atau golongannya sendiri. penilaian ini tidak terlepas dari persepsi yang terbentuk pada diri mereka dalam pluralitas keberagamaan. persepsi dipahami sebagai suatu pandangan atau pengertian seseorang atau kelompok mengenai suatu objek yang dibentuk melalui suatu proses kognitif. persepsi ini tercipta berdasarkan informasi tentang objek yang bersangkutan yang diterima baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. setiap sesuatu yang dipersepsikan oleh seseorang merupakan realitas informasi yang diterimanya yang akan memengaruhi responsnya terhadap objek yang dipersepsikannya. sementara persepsi sosial merupakan proses kejadian yang dialami dalam lingkungan seseorang. manusia bersifat emosional, sehingga penilaian manusia mengandung risiko (mulyana, 2017). risiko tersebut bisa berupa kesalahpahaman yang dimunculkan akibat penilaian sebagai hasil persepsi manusia. akan tetapi, risiko tersebut dapat diminimalisasi sehingga persepsi sosial tersebut bersifat positif. persepsi yang positif menjadi kunci untuk menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif dan toleran dalam konteks masyarakat yang bersifat multikultural (nurjanah, atmaja, & saraswati, 2017; rosyada, 2014). persepsi sosial dibangun oleh persepsi individu berdasarkan 172 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hasil interaksinya dengan berbagai karakteristik masyarakat. purwasito (2015) menuliskan bahwa persepsi sosial seseorang sangat tergantung dari pengalaman, seleksi, dan evaluasi orang yang bersangkutan. maka, pengalaman individu akan mempengaruhi dalam pembentukan persepsi dan sikap masyarakat sebagai kontruksi persepsi sosial. persepsi sosial terbangun dengan pendekatan interaktif dalam struktur masyarakat majemuk yang menghilangkan prasangka dan curiga. persepsi sosial dibangun oleh persepsi individu berdasarkan hasil interaksinya dengan berbagai karakteristik masyarakat. persepsi sosial seseorang sangat tergantung dari pengalaman, seleksi, dan evaluasi orang yang bersangkutan. maka, pengalaman individu akan memengaruhi dalam pembentukan persepsi dan sikap masyarakat sebagai kontruksi persepsi sosial (purwasito, 2003). persepsi individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain sangat dipengaruhi oleh budaya yang dianutnya. penilaian diukur berdasarkan standar budaya yang dimiliki individu atau bersama kelompoknya. dalam kaitan ini, suatu kelompok (termasuk kelompok keagamaan) akan mempertahankan budayanya dari ketergerusan budaya lain yang dianggap sebagai sebuah ancaman yang kelak akan merusak. sebab persepsi itu terikat oleh budaya (mulyana, 2001), dalam memaknai sebuah makna, objek, simbol atau lingkungannya bergantung pada sistem nilai dan budaya yang dianutnya. persepsi individu atau kelompok atas suatu objek akan melahirkan sikap individu atau kelompok terhadap objek yang dipersepsinya, maka sikap yang lahir inilah dinamakan dengan prasangka. prasangka identik dengan dugaan negatif, meski memiliki potensi positif juga. mar’at (1982) menuliskan bahwa prasangka merupakan dugaan-dugaan yang memiliki nilai ke arah negatif; namun dapat pula dugaan ini bersifat positif. tetapi, pada umumnya prasangka mengarah kepada penilaian negatif yang diwarnai oleh perasaan yang muncul saat 173dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) itu (baron & branscombe, 2011). prasangka juga dapat diartikan sebagai suatu kepercayaan yang salah atau bersifat negatif berdasarkan pola pikir generalisasi yang salah tentang anggota kelompok. prasangka didasarkan pada stereotip (brown, 2004) dan dapat menghalangi komunikasi antarkelompok yang efektif dan efisien (matusitz, 2012). selain itu, menurut liliweri (2007) prasangka memiliki sejumlah efek yang menyebabkan orang lain sebagai sasaran prasangkamenjadi objek stereotip, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial. efek itu dapat berkembang selama objek yang dijadikan sasaran prasangka tersebut masih terus diekspos dan hidup di tengah masyarakat. kondisi masyarakat yang kondusif akan terganggu selama prasangka itu disebarkan kepada masyarakat tanpa melakukan klarifikasi kepada sumber yang dipercaya. prasangka rentan dilakukan oleh kelompok yang jumlahnya banyak terhadap kelompok yang anggotanya lebih sedikit, misalkan kepada kelompok imigran (civalero, alonso, & brussino, 2019) dan kelompok beda agama (kunst, sadeghi, tahir, sam, & thomsen, 2016). seperti halnya yang terjadi di rumah pertapaan atau rumah khalwat yang bernama oasis sungai kerit (osk), prasangka terjadi oleh masyarakat yang mayoritas beragama islam kepada pengelola osk yang beragama katolik. rumah khalwat osk menjadi pilihan penganut agama katolik dari dalam dan luar kota banyumas untuk mencari ketenangan dan ketenteraman dalam beribadah. rumah khalwat osk ini terletak di desa melung, kecamatan kedungbanteng, kabupaten banyumas, yang mayoritas masyarakatnya menganut agama islam. pendiri osk, romo maxi, menjelaskan bahwa oasis berarti suatu wahana atau arena, sementara sungai kerit berakar dari charity yang artinya cinta kasih. kata charity tercantum di kitab suci perjanjian lama, sehingga sungai kerit berarti sungai cinta kasih tuhan. osk adalah sebuah area yang digunakan untuk melakukan peribadatan bagi umat katolik. kondisi ini menjadikan kawasan desa tersebut mengalami perubahan secara drastis, yang awalnya sepi sekarang ramai dengan banyaknya pengunjung dan aktivitas yang diadakan oleh rumah 174 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) khalwat osk. rumah khalwat osk didirikan mulai bulan oktober 2014 oleh romo maxi sebagai pemilik sekaligus pemimpin (pemuka atau tokoh) yang mengatur segala aktivitas yang berada di rumah khalwat. romo maxi mengawali babat alas dengan membeli dan membuka tanah warga. selain itu, romo maxi juga memberdayakan para relawan yang bertugas dalam pengelolaan dan pelayanan jemaat yang datang. tempat pertapaan ini tergolong sebagai rumah ibadah karena di dalam menjalankan aktivitasnya, terdapat beberapa proses ritual dalam bentuk doa dan sejenisnya, namun tidak memiliki jemaat tetap. seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa rumah khalwat osk berada di desa melung yang mayoritas penduduknya beragama islam. menurut kepala desa melung, bahwa rasio tahun 2019 dari jumlah penduduk 2.392 jiwa, hampir 98 persen warganya beragama islam, 1,5 persen beragama katolik yang tinggal di kawasan osk, dan 0,5 persen beragama kristen. desa melung terdiri dari empat rukun warga (rw) dan 17 rukun tetangga (rt) dengan komposisi rw 1 terdiri dari empat rt, rw 2 berjumlah lima rt, rw 3 memiliki lima rt, dan rw 4 terdiri dari tiga rt. dari sejumlah rw, hanya lima perwakilan dari rt di rw 3 yang diajak berdialog perihal pendirian osk. sementara, warga rt di wilayah rw yang lain belum mengetahui persoalan yang terjadi. prasangka muncul dimulai dari sikap melibatkan masyarakat yang kurang merata tersebut. berdasarkan peristiwa tersebut, kondisi masyarakat yang kondusif dan harmonis yang telah tercipta sebelumnya, kemudian berubah menegang karena ketua rw dan ketua rt lain yang belum dilibatkan dalam dialog pendirian rumah khalwat osk tersebut belum sepenuhnya menerima. bentuk sikap kurang menerima tersebut disampaikan kepada kepala desa melung. sikap kurang menerima tersebut diakibatkan adanya prasangka sosial tentang penyebaran agama katolik di desa melung karena didirikan 175dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) oleh orang katolik dan digunakan untuk kepentingan peribadatan umat katolik. prasangka sosial tersebut kemudian menyebabkan terjadinya potensi perpecahan dan perselisihan. prasangka sosial tersebut juga terjadi karena adanya dugaan terkait sah atau tidak sahnya lahan yang digunakan untuk membangun rumah khalwat osk. pemikiran tentang penyebaran agama katolik oleh pihak rumah khalwat osk juga disampaikan oleh tokoh pemuda desa melung. prasangka sosial muncul berawal dari peristiwa pembagian bantuan materi, sembako, dan bingkisan yang dilakukan oleh pengelola rumah khalwat osk kepada masyarakat. sikap tersebut dianggap sebagai upaya untuk membujuk masyarakat desa melung pindah ke agama katolik. selain itu, pembelian lahan seluas lebih kurang 3 hektar oleh pihak osk dianggap sebagai penguasaan lahan warga untuk memperluas dan memperkuat aktivitas keagamaan rumah khalwat osk. dua kejadian tersebut memperkuat prasangka telah terjadi proses penyebaran agama katolik, terutama anggapan dari warga rt di luar wilayah rw 3 yang tidak diajak proses dialog dan komunikasi. puncaknya, lima perwakilan rt di luar wilayah rw 3 menyampaikan keluhan tentang anggapan penyebaran agama katolik tersebut kepada kepala desa melung secara langsung. penelitian ini bertujuan mendeskripsikan fenomena prasangka yang terjadi pada masyarakat desa melung terhadap pengelola rumah khalwat osk. selain itu, penelitian ini juga berupaya untuk menjelaskan upaya masyarakat dalam mengatasi prasangka tersebut. penelitian tentang upaya mengatasi prasangka tersebut dianggap penting karena dapat menjadi model penyelesaian masalah berdasarkan prasangka dalam konteks indonesia yang tingkat heterogenitasnya tinggi, baik dari sisi suku, ras, maupun agama. terlebih lagi, prasangka sosial terhadap upaya kristenisasi yang dilakukan oleh orang yang beragama kristen atau katolik sering kali terjadi (hernawan, 2017; permata, siahainenia, & sampoerno, 2015). di sisi lain, ketika prasangka sosial tersebut tidak segera ditindaklanjuti 176 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dengan penelitian yang melahirkan pemecahan masalah, maka dapat berpotensi menjadi konflik sosial. sehingga, hasil penelitian ini diharapkan memberikan dampak dan manfaat praktis sebagai model penyelesaian masalah yang disebabkan oleh prasangka sosial. penelitian tentang prasangka sosial terkait agama sudah banyak dilakukan, di antaranya penelitian hernawan (2017) tentang prasangka sosial masyarakat cigugur kabupaten kuningan jawa barat terhadap adanya kristenisasi; penelitian permata et al. (2015) yang meneliti tentang persepsi umat islam di salatiga dalam memaknai kristenisasi; penelitian nashori & nurjannah (2015) yang menghasilkan bahwa prasangka sosial terhadap umat kristiani oleh umat islam minoritas di wilayah indonesia timur tidak hanya dipengaruhi oleh sifat kebaikan hati tapi juga oleh kematangan beragama dan juga pengetahuan islam; penelitian zulkarnain (2011) yang membahas tentang berbagai potensi masalah yang muncul pada komunitas antaragama; penelitian kusumowardhani (2013) yang menghasilkan bahwa tidak terdapat hubungan antara identitas sosial dan fundamentalisme agama secara bersama-sama dengan prasangka terhadap agama yang berbeda, ini artinya prasangka terhadap pemeluk agama lain tidak dipengaruhi oleh identitas sosial dan funadamentalisme agama; dan penelitian sa’dudin, chamadi, munasib, achmad, & zayyadi (2019) yang menyimpulkan bahwa interaksi sosial komunitas aboge dengan masyarakat lainnya berlangsung secara dinamis, fungsional, dan memiliki tujuan tertentu. penelitian lain tentang prasangka sosial terhadap pemeluk agama lain yaitu penelitian yilmaz, karadöller, & sofuoglu (2016); halperin (1984); hall, matz, & wood, (2010); bensaid & tekke (2018); allport & ross (1967); platow et al. (2019); laythe, finkel, bringle, & kirkpatrick (2002); lins, de lima, de souza, lima-nunes, & camino (2017); matusitz (2012); mckay & whitehouse (2015); hunsberger (1995); burch-brown & baker (2016); shaver, troughton, sibley, & bulbulia (2016); hunsberger 177dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) & jackson (2005); malenica, kovacevic, & kardum (2019); herek (1987); streib & klein (2014); moulin (2016); mmahi & ojo (2018); gribbins (2013); stewart, edgell, & delehanty (2017); allport (1967); dan kunst, sadeghi, tahir, sam, & thomsen (2016). penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu tersebut. perbedaan tersebut terdapat pada beberapa aspek. pertama, aspek sampel penelitian. sampel penelitian dan lokasi penelitian ini terletak di desa melung, kedung banteng, banyumas. terdapat fenomena prasangka di dalam masyarakat yang mayoritas beragama islam tersebut terhadap pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit yang beragama katolik dan belum pernah diteliti. kedua, pendekatan penelitian. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan data dari berbagai pihak yang terkait dengan permasalahan. selain itu, penelitian ini menggunakan metode fenomenologi yang berupaya mengungkap persepsi terdalam dari sampel penelitian. sehingga, penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan emik. ketiga, implikasi penelitian. oleh karena penelitian ini termasuk ke dalam penelitian lapangan, maka hasil penelitiannya dapat menjadi model penyelesaian masalah serupa di lokasi lain. penelitian ini berfokus pada prasangka sosial penyebaran agama yang muncul di tengah interaksi sosial masyarakat. penelitian ini ingin mengungkap dinamika munculnya prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak pengelola rumah khlawat oasis sungai keritdan status lahan yang digunakan untuk pendirian osk. dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan terjadinya prasangka sejak awal mula, baik dari perspektif psikologi, komunikasi, maupun administrasi, sehingga menjadi modalitas untuk merumuskan alternatif pemecahan masalah prasangka sosial penyebaran agama. 178 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) metode penelitian penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami sikap dan perilaku individu dan kelompok. pada penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami dan menggali dinamika munculnya prasangka sosial terhadap pihak pengelola rumah khalwat osk. adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. metode penelitian fenomenologi adalah metode penelitian yang berupaya mendapatkan pemaknaan individu atau kelompok terhadap suatu fenomena. sedangkan, teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam terhadap beberapa pihak, yaitu pihak tokoh masyarakat dan pemerintah desa melung, pihak tokoh agama dan pemuda, pihak pemangku kebijakan, dan pihak pengelola rumah khalwat osk. teknik observasi dilakukan untuk mengamati perilaku-perilaku masyarakat desa melung, kedung banteng, banyumas yang berkaitan dengan prasangka sosial terhadap osk. sementara teknik dokumentasi digunakan untuk mendapatkan catatan informasi tentang rekam jejak yang dilakukan berbagai pihak dalam upaya menetralisasi prasangka sosial penyebaran agama terhadap aktivitas peribadatan di osk. adapun teknik validasi data yang digunakan adalah triangulasi metode dan member checking. hasil penelitian dan pembahasan karakteristik masyarakat melung banyumas secara sosio-kultural, kehidupan masyarakat desa melung banyumas dapat merepresentasikan kehidupan orang banyumas secara umum. tipologi wong banyumas yang kental dengan karakter cablaka (terbuka) menjadi jati diri wong banyumas yang blakasuta (priyadi, 2003; widyaningsih, 2014). bahkan, menurut priyadi (2007), karakter cablaka dan blakasuta 179dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) merupakan karakter inti masyarakat banyumas dan paling hakiki. cablaka merupakan karakter yang diaktualisasikan dalam bentuk perilaku secara spontan dalam merespons terhadap fenomena yang tampak di depan mata, tanpa ditutup-tutupi. cablaka juga sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan manusia banyumas. cablaka dalam artian terbuka yang terdapat pada konteks masyarakat desa melung diwujudkan dalam bentuk terbuka terhadap pihak luar namun tetap mengedepankan dan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal. mayoritas masyarakat desa melung adalah petani dan buruh yang tersebar dalam 4 rw dan 17 rt. selain itu, mayoritas tingkat pendidikan masyarakat desa melung adalah lulusan sekolah menengah pertama (smp) atau sederajat. adapun sisanya adalah lulusan sekolah menengah atas (sma) atau sederajat dan lulusan sarjana. di sisi lain, menurut lestari (2013) dan trianton (2008), masyarakat banyumas juga memiliki karakteristik yang sederhana. dalam konteks masyarakat desa melung, kesederhanaan ini diwujudkan dengan perilaku tidak membutuhkan banyak hal yang bersifat berlebihan. selain itu, cara pandang masyarakat desa melung juga sederhana, misalkan masyarakat desa melung hanya akan berfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, tidak menginginkan hal lain di luar kebutuhan pokok. di satu sisi, karakteristik tersebut menjadi kelebihan yang terdapat pada masyarakat melung banyumas. akan tetapi, di sisi lain karakteristik tersebut bisa berpotensi menyebabkan masalah. misalkan, ketika masyarakat desa melung banyumas membutuhkan pekerjaan, sementara rumah khalwat oasis sungai kerit sedang melakukan pembangunan, maka masyarakat desa melung banyumas berharap dapat bekerja dengan membantu proses pembangunan tersebut. sehingga, jika ada masyarakat desa melung banyumas yang tidak diikutsertakan dalam pembangunan tersebut, maka masyarakat desa melung banyumas merasa tidak diberi keadilan. selain itu, perasaan tersebut muncul akibat keinginan masyarakat 180 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) desa melung banyumas untuk berkontribusi dalam kegiatan di desa tersebut. perasaan semacam ini bisa berpotensi memunculkan prasangka. dalam interaksi sosial, tokoh sentral menjadi rujukan bagi masyarakat desa melung banyumas. hal ini diwujudkan dalam bentuk tokoh agama memiliki otoritas dalam suatu kelompok. akibatnya, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda juga memiliki kekuatan untuk mendinamisasi masyarakat. mayoritas masyarakat desa melung banyumas menganut agama islam. selain itu, kondisi geografis desa melung banyumas didominasi oleh kondisi alam yang masih asli sehingga terasa sejuk dan terlihat asri. kondisi ini yang kemudian menyebabkan romo maxi membangun rumah khalwat osk dan kemudian muncul prasangka terhadapnya. keterbukaan masyarakat desa melung banyumas terhadap pihak luar menyebabkan pihak luar dapat masuk ke desa tersebut secara mudah. ditambah lagi, apabila pihak luar yang masuk tersebut memiliki identitas yang berbeda dengan identitas mayoritas masyarakat desa melung banyumas (pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk) serta ada potensi yang sumber daya alam yang dapat dikembangkan oleh kedua pihak. prasangka sosial penyebaran agama rumah khalwat oasis sungai kerit (osk) merupakan rumah pertapaan atau disebut rumah khalwat yang digunakan untuk tempat ritual peribadatan dan pelayanan doa bagi umat katolik. rumah khalwat osk terletak di lereng gunung slamet sebelah barat di desa melung, kecamatan kedungbanteng, kabupaten banyumas. keberadaan rumah khalwat osk semakin hari semakin berkembang, kondisi fisik bangunan mulai bertambah dan permanen. ritual yang dilakukan semakin diminati oleh banyak jemaat yang datang dari berbagai kota. di sisi lain, sebagian masyarakat merasa resah terkait aktivitas keagamaan yang dianggap akan memengaruhi keberagamaan warga lokal. osk dianggap menyebarkan ajaran agama katolik di lingkungan desa melung dan sekitarnya yang 181dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) notabene mayoritas masyarakatnya beragama islam. hal ini berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh lima perwakilan rt di luar wilayah rw 3.. sehingga kondisi ini dianggap dapat memberikan dampak yang berpotensi pada terjadinya konflik. lahirnya prasangka sosial ditunjukkan dengan sikap-sikap sosial yang berkembang dalam pergaulan antara kelompok keagamaan di masyarakat, antara lain antilocution, yakni mendiskusikan kelompok lain dari sisi negatifnya; avoidance, merupakan upaya menghindar dari kelompok lain yang tidak disukai; discrimination, yaitu mengucilkan kelompok tertentu yang dianggap tidak layak untuk diajak berkomunikasi; violence, merupakan serangan fisik setelah emosi meningkat; dan extermination, merupakan upaya pemusnahan satu persatu atau secara masal (samovar, porter, & jain, 1981). dalam konteks prasangka sosial terhadap pengelola rumah khalwat osk, wujud prasangka sosial yang ada adalah antilocution, yaitu membicarakan bahwa pihak pengelola rumah khalwat osk berniat menyebarkan agama katolik dan mengajak penduduk desa melung untuk berpindah agama dari islam ke katolik. selain itu, bentuk prasangka sosial yang lain adalah avoidance atau menghindar. perilaku menghindar yang dilakukan oleh sebagian masyarakat desa melung yaitu menghindari pembahasan tentang rumah khalwat osk dengan beberapa pihak berwenang ketika dilangsungkan pertemuan formal. dengan kata lain, apabila dalam rapat atau pertemuan formal yang diadakan oleh pihak berwenang, masyarakat bersikap kurang terbuka dan menghindari pembahasan tentang rumah khalwat osk. akan tetapi, masyarakat justru sering membicarakan rumah khalwat osk di kehidupan sehari-hari. munculnya prasangka sosial yang berkembang dalam komunikasi sosial antara kelompok keagamaan terjadi karena suatu kekhawatiran akan adanya penguasaan suatu kelompok keagamaan terhadap kelompok keagamaan lainnya, melalui penguasaan sumber daya yang dianggap 182 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) strategis; pengembangan sarana peribadatan; pengembangan pendidikan yang berlatarbelakang keagamaan; penguasaan sektor perekonomian; penguasaan posisi dan jabatan tertentu di masyarakat; dan perpindahan agama (hernawan, 2017). dalam konteks keresahan masyarakat desa melung, muncul kekhawatiran terhadap adanya perpindahan agama mayoritas masyarakat setempat (islam) ke agama katolik, pengembangan sarana peribadatan (dalam hal ini sarana peribadatan oasis sungai kerit sebagai tempat untuk meningkatkan spiritualitas pemeluk agama katolik), dan pengembangan pendidikan yang didesain untuk menginternalisasikan agama katolik. di sisi lain, munculnya prasangka sosial pada masyarakat desa melung banyumas terhadap rumah khalwat oasis sungai kerit juga disebabkan pengaruh dari oknum tokoh agama islam yang sejak awal tidak setuju dengan pembangunan rumah khalwat osk tersebut. prasangka adalah suatu pendapat yang dimiliki sebelumnya tentang sesuatu, seseorang atau kelompok tertentu tanpa alasan yang kuat, pengetahuan atau pengalaman yang memadai. pada setiap peristiwa dipersepsikan dan lantas dilakukan penyederhanaan dengan menyusun pra anggapan yang membuat segala sesuatu tampak menjadi mudah diatur dan dirumuskan sama sekali bukan dari suatu argumentasi yang kuat, pengetahuan, atau pengalaman yang memadai (salim hs & suhadi, 2007). selain itu, menurut abrams (2010) dan dovidio, hewstone, glick, & esses (2010), prasangka disebabkan karena kategorisasi sosial dan stereotip. dalam hal ini, masyarakat desa melung yang mayoritas beragama islam mengadakan kategorisasi antara dirinya yang beragama islam dengan orang-orang yang terkait dengan rumah khalwat oasis sungai kerit (osk). kategorisasi ini memunculkan adanya ingroup-outgorup sehingga prasangka muncul didasarkan atas ciri fisik yang terlihat, bukan karena bukti yang kuat. menurut cohrs & duckitt (2012), prasangka terdiri dari tiga macam, yaitu prasangka kognitif, afektif, dan perilaku. prasangka kognitif merupakan kepercayaan yang dianut akibat adanya proses evaluasi terhadap 183dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) karakteristik kelompok tertentu. adapun prasangka afektif berupa reaksi emosional yang muncul akibat pemikiran terhadap individu atau kelompok tertentu. sedangkan, prasangka perilaku berupa perilaku yang mengintimidasi maupun mendiskriminasi individu atau kelompok yang menjadi tujuan prasangka. dalam konteks permasalahan dalam penelitian, prasangka yang terjadi adalah prasangka kognitif dan afektif. prasangka kognitif ini berupa keyakinan sebagian masyarakat desa melung terhadap pengelola osk bahwa aktivitas yang dilakukan osk merupakan aktivitas penyebaran agama nasrani di daerah yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama islam. adapun prasangka afektif berupa perasaan khawatir akan adanya anggota masyarakat desa melung yang berpindah agama. prasangka ini kemudian memunculkan sikap kurang menerima, meskipun tidak ditemukan sikap mengintimidasi yang ditujukan pada pengelola osk. meningkatnya aktivitas keagamaan di osk, menambah keyakinan bagi masyarakat desa melung bahwa proses penyebaran agama akan terus dilakukan. menurut pereira, vala, & costa-lopes (2010), prasangka dapat berpotensi menjadi diskriminasi dan konflik. bahkan, menurut platow et al. (2019), prasangka bukan hanya sebatas proses kejiwaan yang bias, namun juga bersifat kolektif. artinya, jika prasangka bisa semakin kuat apabila terdapat persepsi yang sama dalam masyarakat tersebut terhadap objek tujuan prasangka. atas dasar ini, maka prasangka yang terjadi pada masyarakat desa melung tentu harus ditindaklanjuti dan diselesaikan agar tidak berpotensi memunculkan diskriminasi dan konflik. ditambah lagi, prasangka sosial bisa bertambah besar akibat konteks sosial suatu masyarakat dan pembelajaran terhadap prasangka sosial tersebut (hjerm, eger, & danell, 2018; bandura, 1977). seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa prasangka sosial yang terjadi pada masyarakat desa melung berpotensi memunculkan diskriminasi atau konflik. selain itu, prasangka sosial juga mengganggu 184 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kerukunan masyarakat dalam hal agama. menurut turner (jamil, 2015), teori kerukunan sosial melihat lima hal yang dapat menyebabkan terjadinya keselarasan dan keseimbangan dalam harmoni sosial. kelima hal tersebut yaitu nilai yang dianut satu kelompok bertentangan atau tidak dengan yang lain (nilai); tujuan yang ingin dicapai bertentangan atau tidak (idealisme); struktur sosial bersifat timpang dan pranata sosial berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak (struktur); adanya hubungan yang saling menguntungkan atau malah merugikan (resiprositas); interaksi berjalan dengan normal atau ada penyumbatan antar kelompok (interaksi). rumah khalwat oasis sungai kerit (osk) berpotensi menjadi permasalahan yang sensitif akibat beberapa hal. apabila ditinjau dari aspek nilai, keyakinan mayoritas desa melung yang beragama islam berbeda dengan keyakinan pihak pengelola rumah khalwat osk yang beragama katolik. meskipun demikian, pada dasarnya kedua agama tersebut mengajarkan tentang kebaikan. adapun tinjauan dari aspek idealisme dan resiprositas, tujuan pertama dan utama rumah khalwat sebagai tempat tapacamp untuk beribadah dan meditasi hening atau sejenisnya bagi pemeluk agama katolik. di sisi lain, juga memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi tujuan ekowisata atau wisata alam yang dapat dikomersilkan dan menghasilkan keuntungan. apabila peluang ini diwujudkan, maka masyarakat desa melung ingin dilibatkan. padahal, berdasarkan data yang telah dituliskan di bagian sebelumnya, terdapat sebagian masyarakat desa melung yang tidak dilibatkan dalam kegiatan rumah khalwat osk. berdasarkan aspek struktur dan interaksi, rumah khalwat osk merawat keharmonisan dengan melakukan komunikasi sosial dengan pihak terkait, terutama pihak pemerintah desa. meskipun demikian, komunikasi sosial belum sepenuhnya dilakukan dengan tokoh agama setempat yang memiliki kapasitas dan basis jemaah, termasuk dengan beberapa rt/rw. pihak pengelola rumah khalwat osk baru melibatkan dan berkomunikasi dengan satu rw dari total empat rw yang ada di desa melung. 185dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) legalitas rumah khalwat dan gejolak di masyarakat potensi masalah yang pertama kali diidentifikasi terjadi pada tahun 2018. waktu itu, diadakan forum pertemuan antara pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dengan beberapa elemen dan tokoh masyarakat. pertama, masyarakat desa melung banyumas mempertanyakan legalitas pembangunan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk, termasuk pengembangannya di bidang ekowisata alam. kedua, ketegangan juga terjadi antar anggota masyarakat desa melung banyumas. secara khusus, ketegangan ini terjadi antara masyarakat yang diuntungkan karena tanahnya dibeli dengan harga yang sangat tinggi dengan masyarakat desa melung banyumas yang merasa bahwa pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk berniat menyebarkan agama katolik. apabila kedua hal tersebut dibiarkan, maka dapat berpotensi menyebabkan konflik. proses pembangunan dan pengembangan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk masih memiliki catatan dalam izin pendirian. pembangunan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dimulai sejak tahun 2014. sebagaimana disampaikan oleh badan penanaman modal dan pelayanan perizinan kabupaten banyumas, bahwa berkas pengajuan perizinan sudah masuk. tahap selanjutnya adalah dilakukan peninjauan lokasi oleh tim kerja teknis (tkt) gabungan yang terdiri dari beberapa dinas instansi terkait. hasilnya, berkas perizinan yang berupa ho (surat izin bebas gangguan) dan imb (izin mendiringan bangunan) belum dapat diproses karena menunggu kekurangan berkas administrasi. dengan demikian, berkas dikembalikan lagi pada pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk karena berkas belum lengkap. catatan kekurangan berkas administrasi perizinan meliputi usulan surat perizinan (usp); izin warga atau tetangga; sertifikat tanah/lahan; tanda tangan 60 warga masyarakat sekitar dan 90 warga pengikut atau jemaat; dan surat rekomendasi forum kerukunan umat beragama (fkub) kabupaten setempat (data penelitian sampai dengan awal tahun 2019). 186 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) pihak badan penanaman modal dan pelayanan perizinan kabupaten banyumas menyarankan terkait perihal kelengkapan administrassi untuk segera ditindaklanjuti agar tidak terjadi persoalan di kemudian hari. pemenuhan tanda tangan sebanyak 60 warga dan 90 jemaat harus lengkap, khususnya para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang menjadi panutan dan rujukan masyarakat. secara teknis digambarkan untuk lampiran pada imb, dibutuhkan tanda tangan warga tetangga yang berbatasan langsung (persis) dengan bangunan atau lahan. sementara untuk lampiran ho, dibutuhkan tanda tangan dari elemen tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh pemuda. terkait hal tersebut, pada dasarnya pihak pemerintah desa melung dapat langsung memberikan dan merekomendasikan nama-nama tokoh yang dianggap memiliki kapasitas untuk memberikan tanda tangan. akan tetapi, permasalahan muncul ketika pihak yang dimintai tanda tangan adalah masyarakat yang masih awam, bahkan sebagian masih dalam lingkup satu keluarga, sehingga dianggap belum mampu menerima dan memahami penjelasan tentang kegiatan dan perjalanan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk. selain itu, masyarakat tersebut juga dianggap belum mampu menjelaskan tentang rumah khalwat oasis sungai kerit/ osk kepada anggota masyarakat yang lain. melihat persoalan ini, maka pihak pemerintah desa, dalam hal ini kepala desa melung banyumas, belum bersedia menandatangani berkas dokumen tersebut. senada dengan hal tersebut, pihak kementerian agama kabupaten banyumas, dalam hal ini diwakili oleh bidang pembinaan umat beragama yang turut hadir dalam acara dialog tersebut, juga menyatakan bahwa kelengkapan berkas syarat usulan pendirian bangunan harus dipenuhi. termasuk lampiran tanda tangan 60 warga dan 90 anggota jemaat sebagai tanda persetujuan dan kesediaan juga harus dilengkapi. selain itu, hendaknya dialog antara kedua pihak tersebut didokumentasikan agar menjadi bukti sejarah dan catatan otentik tentang proses yang dilakukan 187dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sebagai dasar dalam memperkuat hubungan komunikasi dan interaksi dengan masyarakat sekitar. menanggapi beberapa hal yang disampaikan tersebut, pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk mempertanyakan tentang batasan atau kriteria masyarakat setempat yang dimaksudkan dalam persyaratan 60 tanda tangan masyarakat setempat. menurut pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk, kriteria ini berpotensi dimaknai secara bias. selain itu, terkait persyaratan 90 jemaat yang harus memberikan tanda tangan tersebut akan terganjal dengan kondisi yang sebenarnya. hal ini disebabkan karena rumah khalwat oasis sungai kerit/ osk tidak memiliki basis jemaat tetap yang menetap di dalam rumah khalwat tersebut. jemaat rumah khalwat oasis sungai kerit/osk bersifat kondisional karena jemaat datang dan pergi untuk mengikuti program dan aktivitas di rumah khalwat yang berganti-ganti. apabila ditinjau dari perspektif lain, kehadiran rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dianggap membawa dampak positif bagi kalangan industri wisata alam, penginapan, dan transportasi. dinas perindustrian, perdagangan, dan koperasi kabupaten banyumas menilai dan memberikan apresiasi kepada rumah khalwat oasis sungai kerit/osk atas kontribusinya dalam mempromosikan potensi wisata di kabupaten banyumas. pendekatan dialog untuk meminimalisasi prasangka sosial rumah khalwat oasis sungai kerit/osk menganggap tidak perlu menanggapi prasangka sosial terlalu mendalam karena dianggap masih dalam batas kewajaran dan belum masuk pada tindakan yang ekstrem. cara pandang yang berbeda adalah hal yang wajar karena memang sudut pandang antara pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dan masyarakat desa melung banyumas berbeda. sudut pandang pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk adalah membangun 188 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tempat untuk memperbaiki spiritualitas pemeluk agama katolik. sedangkan, perspektif masyarakat desa melung banyumas memuat kekhawatiran terjadinya perpindahan agama masyarakat desa setempat. kekhawatiran yang lain adalah terkait kemungkinan terjadinya kesenjangan sosial yang muncul antara pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dengan masyarakat desa melung banyumas. pada dasarnya, rumah khalwat oasis sungai kerit menganggap bahwa dalam interaksi masyarakat terdapat kebhinnekaan atau keragaman, sehingga rumah khalwat osk dalam ajarannya memiliki konsep-konsep dialog sebagai bagian dari prinsip-prinsip ajaran dalam rangka untuk kesatuan umat, diantaranya: pertama, dialog karya. dialog ini diwujudkan dalam bentuk pengelola rumah khalwat osk bersama dengan umat atau masyarakat lain walaupun tidak seiman, membuat karya sosial atau karya cinta kasih. dialog ini memberi ruang kepada setiap individu umat untuk berkarya di bidang apapun yang dapat diciptakan dan dikembangkan serta bermanfaat di tengah masyarakat, sehingga karya tersebut mampu menyatukan kebersamaan masyarakat. termasuk karya di bidang ekonomi untuk pengembangan masyarakat serta memiliki produktivitas bersama atas karya bersama yang dikelola secara kolektif. kedua, dialog kehidupan. dialog ini berbentuk tegur sapa yang dihayati dan diaktualisasikan ke dalam ruang sosial kehidupan sehari-hari. selain itu, dialog ini juga diterapkan dalam bentuk berinteraksi atas dasar nilai kebajikan universal tanpa membedakan unsur sara. pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk sudah berupaya terbuka, misalkan secara rutin berkunjung ke rumah tokoh dan warga masyarakat yang beragama islam ketika idul fitri serta memberikan ucapan selamat hari raya agama islam. ketiga, dialog ceramah. dialog ini dilakukan dalam forum diskusi formal atau semi formal, semacam konferensi atau seminar yang dihadiri 189dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) oleh kalangan akademisi, cendekiawan, dan praktisi lintas agama dan kepercayaan. dialog ceramah ini dijadikan sebagai media untuk saling tukar pendapat dan informasi tentang suatu kepercayaan yang dianut orang lain. dengan demikian, harapannya adalah peserta dialog dapat memahami agama lain, bukan mencari kebenaran tunggal yang dipertentangkan. akhirnya, harapan untuk saling mengerti dan menghormati dapat tercapai. keempat, dialog hening atau dialog mistik. dialog ini berbentuk proses untuk mengkampanyekan dan mempromosikan perdamaian. dialog ini sebagai sarana hening bersama, meditasi, kebatinan, diam, yang ritual dan tekniknya menggunakan cara sesuai keyakinan (agama) masingmasing. apabila sering melakukan hening bersama akan memunculkan kekerabatan hening serta menemukan kedamaian bersama sesuai keyakinan masing-masing. pada dasarnya, dialog menjadi strategi efektif yang dapat digunakan untuk meminimalisasi dan mengatasi permasalahan prasangka sosial (halimatusa’diah, 2017; murdianto, 2018), terlebih lagi apabila menyangkut persoalan antar agama dan keyakinan (smajić, 2008). selain itu, prasangka bisa diatasi juga dengan internalisasi nilai dan praktik toleransi (herek, 1987). toleransi merupakan salah satu ajaran yang dibawa oleh agama untuk menghindari konflik (shaver et al., 2016). hal ini disebabkan karena dialog dan toleransi memungkinkan kedua pihak mengadakan komunikasi yang mendalam, membicarakan fenomena berdasarkan sudut pandangnya masing-masing sehingga kedua pihak didorong untuk mengembangkan sikap saling memahami, serta membicarakan solusi bersama atas setiap potensi masalah yang dikhawatirkan akan muncul. keempat jenis dialog yang telah dirumuskan oleh pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit belum direalisasikan secara menyeluruh oleh pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk. hal ini disebabkan oleh kondisi rumah khalwat oasis sungai kerit/osk yang masih baru sehingga masih melakukan pembenahan di berbagai sisi. 190 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) akibatnya, pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit cenderung fokus ke aspek internal. proses pendekatan yang dilakukan pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dianggap tidak menggunakan pendekatan berbasis lokal oleh masyarakat desa melung banyumas. apabila mencermati karakteristik masyarakat desa melung banyumas yang terbuka dan moderat, maka bisa menjadi potensi untuk mengadakan dialog guna meminimalisasi prasangka sosial yang terjadi. dengan demikian, pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/ osk perlu untuk berinteraksi sosial secara intens dengan masyarakat, terutama menggunakan pendekatan kultural berupa sowan (bertamu dan berkunjung) kepada tokoh agama setempat serta tokoh lain yang dianggap memiliki kapasitas dan mumpuni menjadi panutan di masyarakat. upaya ini sebaiknya dilakukan bukan hanya ketika hari-hari tertentu saja. pendekatan ini dianggap akan memberikan dampak yang efektif dalam memberikan informasi dan kepercayaan kepada masyarakat terkait tujuan dan keberadaan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk. terlebih lagi, masyarakat desa melung banyumas masih menganggap tokoh masyarakat dan agama sebagai panutan. konteks kehidupan yang bersifat heterogen memerlukan kaidah bersama untuk membangun persatuan dalam keragaman. kuntowijoyo (2018) menyebutnya sebagai pluralisme positif. kaidah bersama dalam hubungan antaragama diperlukan supaya tidak ada hubungan berdasarkan prasangka. pluralisme positif dikemukakan sebagai kaidah, diantaranya terdapat agama lain yang harus dihormati selain agama yang dianutnya sendiri (pluralisme), dan masing-masing agama harus tetap memegang teguh ajaran agamanya (positif). pluralisme itu menjadi negatif bila orang mengumpamakan agama itu seperti baju, boleh berganti-ganti seolah ganti-ganti agama bukan persoalan besarn. empat dialog yang dirumuskan oleh pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit diharapkan dapat mengikis prasangka sosial 191dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) penyebaran agama atau penguasaan sepihak terhadap sumber daya atas pendirian rumah khalwat sehingga melahirkan simpati dan toleransi. cara atau strategi untuk rekonsiliasi yang dapat dilakukan, diantaranya tokoh agama saling memberikan informasi yang tepat dan sikap yang positif terkait maksud dan tujuan penyelenggaraan peribadatan dan sejenisnya di rumah khalwat; melakukan kerjasama yang sehat dan damai dalam aksi sosial kemanusiaan dan kemasyarakatan; jika dibutuhkan, membuat komitmen bersama secara tertulis dengan membuat kontrak sosial untuk menciptakan kondisi yang aman dan nyaman. kesimpulan dan saran kesimpulan prasangka sosial yang terjadi pada masyarakat desa melung terhadap pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit terkait penyebaran agama katolik karena adanya proses kategorisasi. proses kategorisasi ini memunculkan sikap memisah-misahkan suatu kelompok dengan kelompok lain. selain itu, prasangka tersebut muncul akibat adanya kegiatan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk yang memberikan bantuan materi kepada masyarakat desa melung. ditambah lagi, hanya satu rw yang diajak berkomunikasi terkait pendirian dan kegiatan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk, sedangkan tiga rw yang lain tidak dilibatkan. di sisi lain, kegiatan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk semakin berkembang. akibat adanya dinamika tersebut, maka muncul kekhawatiran tentang adanya proses penyebaran agama katolik. kurangnya persyaratan administrasi rumah khalwat oasis sungai kerit/osk memperkuat sebagian masyarakat desa melung untuk tidak mengizinkan kegiatan rumah khalwat oasis sungai kerit/osk. persyaratan yang kurang tersebut berupa usulan surat perizinan (usp); izin warga atau tetangga; sertifikat tanah/ lahan; tanda tangan 60 warga masyarakat sekitar dan 90 warga pengikut atau jemaat; dan surat rekomendasi forum kerukunan umat beragama 192 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (fkub) kabupaten setempat. upaya untuk meredam prasangka sosial tersebut sudah dilakukan, namun dianggap belum optimal. saran catatan kekurangan syarat dalam pendirian rumah khalwat oasis sungai kerit/osk hendaknya dapat dilengkapi. dialog antara pihak pengelola rumah khalwat oasis sungai kerit/osk dengan masyarakat perlu dilakukan secara terbuka, intensif, dan optimal guna menghilangkan prasangka sosial tersebut. pihak pemerintah desa dan pihak berwenang lainnya dapat mengambil peran dalam dialog tersebut. adapun saran untuk peneliti selanjutnya adalah meneliti fenomena sejenis dengan menggunakan pendekatan etnografi sehingga akan diperoleh pemecahan masalah tentang prasangka penyebaran berbasis kearifan lokal. daftar pustaka abrams, d. (2010). processes of prejudice: theory, evidence, and intervention. in equality and human rights commission. retrieved from http://equalityhumanrights.com/uploaded_files/ research/56_processes_of_prejudice.doc allport, g. w. (1967). the religious context of prejudice. pastoral psychology, 18(5), 20–30. https://doi.org/10.1007/bf01762402 allport, g. w., & ross, j. m. (1967). personal religious orientation and prejudice. journal of personality and social psychology, 5(4), 432–443. https://doi.org/10.1037/h0021212 bandura, a. (1977). social learning theory. new york, usa: general learning cooperation. baron, r. a., & branscombe, n. r. (2011). social psychology (13th ed). london, uk: pearson education, inc. bensaid, b., & tekke, m. (2018). islam and prejudice: special reference to gordon w. allport’s contact hypothesis. kemanusiaan: the asian journal of humanities, 25(1), 103–120. https://doi.org/10.21315/ kajh2018.25.s1.6 193dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) brown, r. (2004). prejudice: its social psychology. malden, usa; blackwell publishing. https://doi.org/10.1080/01434632.2013.803723 burch-brown, j., & baker, w. (2016). religion and reducing prejudice. group processes & intergroup relations, 19(6), 784 –807. https://doi. org/10.1177/1368430216629566 civalero, l., alonso, d., & brussino, s. (2019). evaluation of the prejudice towards immigrants: argentine adaptation of the scale of subtle and blatant prejudice. ciencias psicológicas, 13(1), 119–133. https:// doi.org/10.22235/cp.v13i1.1814 cohrs, j. c., & duckitt, j. (2012). prejudice, types and origins of. in daniel j. christie (ed.), the encyclopedia of peace psychology (1st ed). malden, usa: blackwell publishing. dovidio, j. f., hewstone, m., glick, p., & esses, v. m. (2010). prejudice, stereotyping, and discrimination: theoretical and empirical overview. in j. f. dovidio, v. m. esses, & m. hewstone (eds.), the sage handbook of prejudice, stereotyping, and discrimination (pp. 3–28). https://doi.org/10.4135/9781446200919.n1 goddard, h. (2000). menepis standar ganda: membangun saling pengertian muslim-kristen (a. n. zaman, ed.). yogyakarta: qalam. gribbins, t. p. (2013). the effects of religious fundamentalism and threat on prejudice. university of missouri-st. louis. halimatusa’diah. (2017). dari prasangka hingga diskriminasi: menyoal stigma sesat dan kekerasan terhadap ahmadiyah dalam perspektif komunikasi. avant garde, 5(1), 15–34. https://doi. org/10.36080/avg.v5i1.611 hall, d. l., matz, d. c., & wood, w. (2010). why don’t we practice what we preach? a meta-analytic review of religious racism. personality and social psychology review, 14(1), 126–139. https://doi. org/10.1177/1088868309352179 halperin, c. j. (1984). the ideology of silence: prejudice and pragmatism on the medieval religious frontier. comparative studies in society and history, 26(3), 442–466. https://doi. org/10.1111/j.1467-8497.1960.tb00853.x herek, g. (1987). religious orientation and prejudice: a comparison of racial and sexual attitudes. personality and social psychology bulletin, 13(1), 34–44. https://doi.org/10.1177/0146167287131003 194 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hernawan, w. (2017). prasangka sosial dalam pluralitas keberagamaan di kecamatan cigugur kabupaten kuningan jawa barat. sosiohumaniora, 19(1), 77–85. https://doi.org/10.24198/ sosiohumaniora.v19i1.9543 hjerm, m., eger, m. a., & danell, r. (2018). peer attitudes and the development of prejudice in adolescence. socius: sociological research for a dynamic world, 4, 1–11. https://doi. org/10.1177/23780231187631 hunsberger, b. (1995). religion and prejudice: the role of religious fundamentalism, quest, and right-wing authoritarianism. journal of social issues, 51(2), 113–129. https://doi. org/10.1111/j.1540-4560.1995.tb01326.x hunsberger, b., & jackson, l. m. (2005). religion, meaning, and prejudice. journal of social issues, 61(4), 807–826. https://doi.org/10.1111/ j.1540-4560.2005.00433.x jamil, a. (2015). pelangi agama di ufuk indonesia, fakta dan cerita kerukunan beragama. jakarta: pusat kerukunan umat beragama kementerian agama ri. kunst, j. r., sadeghi, t., tahir, h., sam, d., & thomsen, l. (2016). the vicious circle of religious prejudice: islamophobia makes the acculturation attitudes of majority and minority members clash. european journal of social psychology, 46(2), 249–259. https://doi. org/10.1002/ejsp.2174 kuntowijoyo. (2018). identitas politik umat islam. yogyakarta: ircisod. kusumowardhani, r. p. a., fathurrohman, o., & ahmad, a. (2013). identitas sosial, fundamentalisme, dan prasangka terhadap pemeluk agama yang berbeda: perspektif psikologis. harmoni, 12(1), 8–18. laythe, b., finkel, d. g., bringle, r. g., & kirkpatrick, l. a. (2002). religious fundamentalism as a predictor of prejudice: a twocomponent model. journal for the scientific study of religion, 41(4), 623–635. https://doi.org/10.1111/1468-5906.00142 lestari, g. (2015). bhinneka tunggal ika: khasanah multikultural indonesia di tengah kehidupan sara. jurnal pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, 28(1), 31–37. https://doi.org/10.17977/ jppkn.v28i1.5437 195dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) lestari, p. (2013). makna simbolik seni begalan bagi pendidikan etika masyarakat. harmonia journal of arts research and education, 13(2), 157–167. https://doi.org/10.15294/harmonia.v13i2.2782 liliweri, a. (2007). makna budaya dalam komunikasi antar budaya. yogyakarta: lkis. lins, s. l. b., de lima, t. j. s., de souza, l. e. c., lima-nunes, a., & camino, l. (2017). racial prejudice and social values: how i perceive others and myself. psico-usf, 22(2), 309–321. https:// doi.org/10.1590/1413-82712017220210 malenica, k., kovacevic, v., & kardum, g. (2019). impact of religious self-identification and church attendance on social distance toward muslims. religions, 10(4), 1–18. https://doi.org/10.3390/ rel10040276 mar’at. (1982). sikap manusia perubahan serta pengukuran. jakarta: ghalia indonesia. matusitz, j. (2012). relationship between knowledge, stereotyping, and prejudice in interethnic communication. revista de turismo y patrimonio cultural, 10(1), 89–98. https://doi.org/10.25145/j. pasos.2012.10.008 mckay, r., & whitehouse, h. (2015). religion and morality. psychological bulletin, 141(2), 447–473. https://doi.org/10.1037/a0038455 mmahi, o. p., & ojo, f. e. (2018). religious dogmatism, prejudice and conflict in nigeria. international journal of african and asian studies, 47, 34–39. moulin, d. (2016). reported experiences of anti-christian prejudice among christian adolescents in england. journal of contemporary religion, 31(2), 223–238. https://doi.org/10.1080/13537903.2016 .1152679 mulyana, d. (2001). nuansa-nuansa komunikasi: meneropong politik dan budaya komunikasi masyarakat kontemporer. bandung: remaja rosdakarya. mulyana, d. (2017). ilmu komunikasi: suatu pengantar. bandung: remaja rosdakarya. murdianto. (2018). stereotipe, prasangka dan resistensinya (studi kasus pada etnis madura dan tionghoa di indonesia). qalamuna jurnal pendidikan, sosial, dan agama, (vol 10 no 2 (2018): 196 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) qalamuna-jurnal pendidikan, sosial, dan agama), 137–160. nashori, f., & nurjannah. (2015). prasangka sosial terhadap umat kristiani pada muslim minoritas yang tinggal di indonesia timur. ilmiah psikologi terapan, 03(02), 383–400. https://doi. org/10.24961/j.tek.ind.pert.2017.27.2.141 nurjanah, s., atmaja, h. t., & saraswati, u. (2017). penanaman nilai-nilai multikulturalisme dalam pembelajaran sejarah sub materi pokok indonesia zaman hindu-buddha pada siswa kelas x madrasah aliyah negeri purbalingga tahun ajaran 2016/2017. indonesian journal of history education, 5(2), 68–75. pereira, c., vala, j., & costa-lopes, r. (2010). from prejudice to discrimination: the legitimizing role of perceived threat in discrimination against immigrants. european journal of social psychology, 40, 1231–1250. https://doi.org/10.1002/ejsp.718 permata, s. t., siahainenia, r., & sampoerno. (2015). umat islam dalam memaknai isu kristenisasi di salatiga (suatu analisis persepsi berdasarkan perspektif teori cooridnated management of meaning). cakrawala: jurnal penelitian sosial, 4(2), 287–318. platow, m. j., van rooy, d., augoustinos, m., spears, r., bar-tal, d., & grace, d. m. (2019). prejudice is about collective values, not a biased psychological system. new zealand journal of psychology, 48(1), 16–22. priyadi, s. (2003). beberapa karakter orang banyumas. bahasan dan seni, 31(1), 14–36. priyadi, s. (2007). cablaka sebagai inti model karakter manusia banyumas. diksi, 14(1), 11–18. purwasito, a. (2015). komunikasi multikultural. yogyakarta: pustaka pelajar. rahayu, m. (2017). keragaman di indonesia dan politik pengakuan (suatu tinjauan kristis). jurnal pemikiran sosiologi, 4(2), 1–18. https://doi. org/10.22146/jps.v4i2.28577 rosyada, d. (2014). pendidikan multikultural di indonesia sebuah pandangan konsepsional. sosio didaktika: social science education journal, 1(1), 1–12. https://doi.org/10.15408/ sd.v1i1.1200 sa’dudin, i., chamadi, m. r., munasib, achmad, f., & zayyadi, a. (2019). interaksi sosial komunitas islam aboge dengan masyarakat 197dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) desa cikakak kecamatan wangon kabupaten banyumas. jurnal tarbiyatuna, 10(1), 103–113. https://doi.org/10.31603/ tarbiyatuna.v10i1.2308 salim hs, h., & suhadi. (2007). membangun pluralisme dari bawah. yogyakarta: lkis pelangi aksara. samovar, l. a., porter, r. e., & jain, n. c. (1981). understanding intercultural communication. belmont-california: a division of wadsworth inc. shaver, j. h., troughton, g., sibley, c. g., & bulbulia, j. a. (2016). religion and the unmaking of prejudice toward muslims: evidence from a large national sample. plos one, 11(3), 1–25. https://doi. org/10.1371/journal.pone.0150209 smajić, a. (2008). psychology of religion and intercultural dialogue and tolerance. objavljeni znanstveni prispevek na konferenci, 423–435. stewart, e., edgell, p., & delehanty, j. (2017). the politics of religious prejudice and tolerance for cultural others. the sociological quarterly, 59(1), 17–39. https://doi.org/10.1080/00380253.2017. 1383144 streib, h., & klein, c. (2014). religious styles predict interreligious prejudice: a study of german adolescents with the religious schema scale. the international journal for the psychology of religion, 24, 151–163. https://doi.org/10.1080/10508619.2013.808869 trianton, t. (2008). nilai pendidikan karakter berbasis kearifan lokal dalam film indie banyumas. animal genetics, 39(5), 561–563. https://doi.org/10.30595/jkp.v2i1.650 widyaningsih, r. (2014). bahasa ngapak dan mentalitas orang banyumas: tinjauan dari perspektif filsafat bahasa hans-georg gadamer. jurnal ultima humaniora, ii(2), 186–200. yilmaz, o., karadöller, d. z., & sofuoglu, g. (2016). analytic thinking, religion, and prejudice. the international journal for the psychology of religion, 26(4), 360–369. https://doi.org/10.1080/10508619.2016 .1151117 zulkarnain, i. (2011). hubungan antarkomunitas agama di indonesia: masalah dan penanganannya. kajian, 16(4), 682–691. https://doi. org/10.22212/kajian.v16i4.540 198 dinamika prasangka sosial penyebaran agama terhadap pihak rumah khalwat oasis sungai kerit musmuallim al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 4, no. 2, july – december 2019, pp. 169 198, doi: 10.22515/balagh.v4i2.1783 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 1. the article must be scientific, either based on the empirical research or conceptual ideas. the content of the article have not published yet in any journal, and should not be submitted simultaneously to another journal. article should not be part of fully one chapter of the theses or dissertation. 2. article must be in the range between 15-30 pages, not including title, abstract, keywords, and bibliography 3. article consisting of the various parts: i.e. title, the author’s name(s) and affiliation(s), abstract (200-250 words), keywords (maximum 5 words), introduction, description and analysis, conclusion, and bibliography. • title should not be more than 15 words • author’s name(s) should be written in the full name without academic title (degree), and completed with institutional affiliation(s) as well as corresponding address (e-mail address). • abstract consisting of the discourses of the discipline area; the aims of article; methodology (if any); research finding; and contribution to the discipline of areas study. abstract should be written in english. • introduction consisting of the literature review (would be better if the research finding is not latest than ten years) and novelty of the article; scope and limitation of the problem discussed; and the main argumentation of the article. • discussion or description and analysis consisting of reasoning process of the article’s main argumentation. • conclusion should be consisting of answering research problem, based on the theoretical significance/conceptual construction • all of the bibliography used should be written properly author guidelines 4. citation’s style used is the american psychological association 6th edition, and should be written in the model of body note (author(s), year, and page(s)), following to these below examples: a. book dalam referensi ditulis : azwar, s. (2016). penyusunan skala psikologi. yogyakarta: pustaka pelajar. di dalam kutipan ditulis : (azwar, 2016) b. edited book(s) dalam referensi ditulis : cone, j. d. (1999). observational assessment: measure development and research issues. dalam p. c. kendall, j. n. butcher, & g. n. holmbeck (eds.), handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). new york: wiley. di dalam kutipan ditulis : (cone, 1999) c. e-book(s) dalam referensi ditulis : sukanta, p. o., ed. (2014). breaking the silence: survivors speak about 1965-66 violence in indonesia (translated by jemma purdey). clayton: monash university publishing. diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/breaking+the+silence%3a+ survivors+speak+about+1965%e2%80%9366+violence+in+ indonesia/183/oebps/cop. htm, tanggal 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (sukanta, 2014) d. article of the journal 1) journal with digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : tekke, m., & ghani, f. (2013). examining career maturity among foreign asian students : academic level. journal of education and learning. vol. 7 (1), 29-34. doi: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 di dalam kutipan ditulis : (tekke & ghani, 2013) 2) journal without digital objective identifier (doi) dalam referensi ditulis : arbiyah, n., nurwianti, f., & oriza, d. (2008). hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. jurnal psikologi sosial, 14(1), 11-24. di dalam kutipan ditulis : (arbiyanti, nurwianti, & oriza, 2008) 3) e-journal dalam referensi ditulis : crouch, m. (2016). “constitutionalism, islam and the practice of religious deference: the case of the indonesian constitutional court.” australian journal of asian law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 maret 2016. di dalam kutipan ditulis : (crouch, 2016) e. article website 1) dengan penulis dalam referensi ditulis : hendrian, d. (2016, mei 2). memprihatinkan anak pengguna narkoba capai 14.000. retrieved september 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-penggunanarkoba-capai-14-ribu/ di dalam kutipan ditulis : (hendrian, 2016) 2) tanpa penulis six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, november/december). ojjdp news @ a glance. retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmi tanggal 10 agustus 2012. di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmi, 2006) f. skripsi, tesis, atau disertasi yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : saifuddin, a. (2016). peningkatan kematangan karier peserta didik sma melalui pelatihan reach your dreams dan konseling karier (tidak diterbitkan). surakarta: magister psikologi profesi universitas muhammadiyah surakarta. di dalam kutipan ditulis : (saifuddin, 2016) g. manuskrip institusi pendidikan yang tidak dipublikasikan dalam referensi ditulis : nuryati, a., & indati, a. (1993). faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. unpublished manuscript, fakultas psikologi, universitas gadjah mada, yogyakarta. di dalam kutipan ditulis : (nuryati & indiati, 1993) 5. in writing the citation’s would be better and suggested to use software of citation manager, like mendeley, zotero, end-note, refworks, bib-text, and so forth, with following standard of american psychological association 6th edition. 6. arabic transliteration standard used international journal of middle eastern studies. for detailed transliteration could be seen at http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/transchart.pdf 7. article must be free from plagiarism; through attached evidence (screenshot) that article has been verified through anti-plagiarism software, but not limited to the plagiarism checker (plagramme.com). author fee al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi will not charge anything to the author for submission fee or publication fee. submission preparation checklist as part of the submission process, authors are required to check off their submission’s compliance with all of the following items, and submissions may be returned to authors that do not adhere to these guidelines. 1. the submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in comments to the editor). 2. the submission file is in openoffice, microsoft word, rtf, or wordperfect document file format. 3. where available, urls for the references have been provided. 4. the text is single-spaced; uses a 12-point font; employs italics, rather than underlining (except with url addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end. 5. the text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the author guidelines, which is found in about the journal. 6. if submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in ensuring a blind review have been followed. copyright notice authors who publish with this journal agree to the following terms: • authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a creative commons attribution license that allows others to share the work with an acknowledgement of the work›s authorship and initial publication in this journal. • authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal’s published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal. • authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work. privacy statement the names and email addresses entered in this journal site will be used exclusively for the stated purposes of this journal and will not be made available for any other purpose or to any other party. skup dakwah : manajemen dakwah, bimbingan dan konseling islam, psikologi, psikologi dakwah, analisis sosial, sejarah dakwah, filsafat dakwah, sosiologi dakwah, ilmu dakwah, manajemen traveling dan wiisata religi, manajemen pelayanan haji, global islamic tourism, metodologi dakwah, relasi dakwah dengan budaya. skup komunikasi : public relation, komunikasi dan penyiaran islam, psikologi komunikasi, komunikasi interpersonal dan sosial, komunikasi antar budaya, jurnalistik, komunikasi massa, human relations. komunikasi agama dan budaya (studi atas budaya kompolan sabellesen berdhikir tarekat qadiriyah naqshabandiyah di bluto sumenep madura) ach. shodiqil hafil institut dirosat islamiyah al-amien prenduan (idia) sumenep madura keywords: communication, culture, kompolan sabellesen, sufistic proselytizing. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: as.hafil@yahoo.com abstract the study discusses the types of religious and cultural communication of kompolan sabellesen ritual implementing dhikir khataman tarekat qadiriyah nashabandiyah, and how the people in bluto village mean the values of sufistic proselytizing internalized in kompolan sabellesen. the research is a case study with qualitative approach based on anthropological study. the analysis uses the symbolic interpretative madzhab. the result of the study shows that kompolan sabellesen has a very important role in the dynamic life of people in madura. the collaboration of religious and cultural teaching becomes one unity that influences the way how the people view their religion and socialize its religious teaching in the society. kompolan sebellesen is a communication medium of religion and culture packed in religious rite collaborated with cultural practices as a means of strengthening islamic brotherhood to create harmonic and humanitarian society. moreover, by contemplating dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah in kompolan sabellesen, they feel positive energy that results peace and happiness. in order to get the blessing of sufistic values, they usually use pure water that has been recited some prayers to drink as the manifestation of sacredness in profanity. thus, the existence of kompolan sabellesen should be maintained as mediation and meditation media in approaching the god by using sufistic values internalized in cultural rite. 162 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: penelitian ini mengkaji bagaimana pola komunikasi agama dan budaya dalam ritual kompolan sabellesen yang mengamalkan dhikir khataman tarekat qadiriyah nashabandiyah, serta bagaimana masyarakat desa bluto memaknai nilai-nilai dakwah sufistik yang terinternalisasikan ke dalam kompolan sabellesen ini. jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang bersandar pada kajian antropologi. sebagai pisau analisis peneliti menggunakan “madzhab” simbolik interpretatif. hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kompolan sabellesen memiliki peranan yang sangat penting dalam dinamika kehidupan masyarakat madura. perpaduan ajaran religius dan ritual kultural menjadi satu kesatuan yang berdampak pada cara pandang beragama dan cara mensosialisasikan ajaran agama dengan lingkungan sosial. kompolan sabellesen ini merupakan media komunikasi agama dan budaya yang dikemas dalam ritual keagamaan yang dipadukan dengan praktik kultural sehingga menjadi sarana memperkokoh ukhuwwah islamiyyah dalam rangka membentuk masyarakat yang harmonis dan humanis. selain itu dari penghayatan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah yang ada dalam kompolan sabellesen ini mereka merasakan adanya energi positif yang membawa ketenangan dan kebahagiaan. untuk mendapatkan keberkahan nilai-nilai sufistik, biasanya mereka menggunakan air putih yang dibacakan dhikir untuk diminum sebagai manifestasi sakralitas dalam profanitas. dengan demikian budaya kompolan sabellesen ini perlu dijaga eksistensinya sebagai sarana mediasi dan meditasi dalam rangka mendekatkan diri kepada tuhan melalui nilai-nilai sufistik yang terinternalisasikan dalam nilai-nilai budaya. pendahuluan agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. menurut nurcholis majid, agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah sebaliknya, agama berdasarkan budaya. oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia merupakan sub-ordinat dari agama (yustion 1993, 172). komunikasi agama dan budaya merupakan suatu keniscayaan. pada kondisi tertentu agama dengan kekuatan magis dan berbagai ritualnya abstrak – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 163 akan mempengaruhi kebudayaan dari sebuah masyarakat. sehingga agama pada tataran tertentu bisa dikatakan memiliki superioritas atas budaya. namun demikian, adakalanya juga budaya memberi pengaruh pada proses keberagamaan manusia. hal ini terkait dengan sifat kodrati manusia yang tidak bisa terlepas dari dimensi sosial. sehingga penganut agama yang sama di lingkungan masyarakat yang berbeda, akan melahirkan tipologi keberagamaan yang berbeda. komparasi antara muslim pedesaan dan muslim perkotaan, misalnya. dalam hal ini muslim perkotaan cenderung lebih fleksibel dan sederhana dalam menjalankan aktivitas keagamaannya daripada muslim pedesaan yang memegang teguh prinsip, tradisi, dan ritual keagamaan yang tidak jarang diinternalisasikan dalam sebuah kebudayaan. demikian pula masyarakat muslim pedesaan madura yang dikenal sebagai salah satu etnis yang religius dan fanatik terhadap ajaran agamanya. menyinggung agama berarti menyinggung harkat dan martabat orang madura (soegianto 2003, iii). hal ini karena madura memiliki budaya yang berbeda sebagai ciri khasnya, walaupun mungkin ada kemiripan dengan suku yang lain. kondisi geografis, klimatologis, dan subur tandusnya sebuah daerah akan berpengaruh terhadap watak penghuninya. sebagaimana telah dikaji oleh ibn khaldun yang membagi pola bumi menjadi beberapa klimatologis, bahkan udara suatu daerah akan mempengaruhi perilaku penduduknya (ibn khaldun 1981, 57). oleh karena itu, masyarakat muslim madura dikenal dengan tingkat religiousitasnya yang tinggi, berupaya dengan teguh menjaga nilai-nilai sakralitas dalam menjalankan ajaran, ritual atau tradisi. salah satunya adalah tradisi atau budaya kompolan sabellesen yang ada di desa bluto sumenep madura. kompolan sabellesen ini sejatinya adalah tradisi atau budaya masyarakat madura yang dibentuk sebagai media mengeksplorasi fungsi nilai sosial dalam bermasyarakat. istilah kompolan berasal dari kata kumpul dan kumpulan yang dalam bahasa madura berarti; polong, kompol, kamrat, dan 164 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: kolom (tim penyusun pusat balai bahasa surabaya 2007, 114). sedangkan yang dimaksud dengan sabellesen adalah tanggal hari sabelles (sebelas) bulan attas (hijriyah). pada setiap tanggal sebelas tiap bulan attas (hijriyah) diadakanlah ritual kompolan sabellesen ini. jadi, nama sabellesen diafiliasikan dengan kata sebelas (11). sebenarnya kompolan sabellesen ini sudah menjadi budaya yang telah lama mengakar kuat di madura. memang tidak semua masyarakat madura mengikuti tradisi ini. tapi bisa dikatakan hampir mayoritas masyarakat madura sudah familiar dengan istilah kompolan sabellesen ini. menariknya, kompolan sabellesen di desa bluto sumenep ini berbeda dengan kompolan sabellesen di daerah lainnya. kompolan sabellesen di desa bluto sumenep ini selain dibumbui dengan adanya arisan, yang paling khas adalah ritual pembacaan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah di setiap permulaan acara. sebagaimana kita ketahui tarekat selalu identik dengan nilai-nilai tasawuf. menurut harun nasution, tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin bertasawuf agar ia berada sedekat mungkin dengan rabb-nya. tarekat juga mengandung arti organisasi kesufian yang mempunyai syaikh (mursyid) upacara ritual, dan metode dhikir tersendiri (harun nasution 1986, 89). sebagai suatu metodologi, tarekat disebut juga dengan suluk yang artinya kumpulan tata cara dan aturan terkait dengan bagian-bagian di dalam tasawuf. sedangkan tasawuf menurut ibn khaldun adalah salah satu di antara ilmu-ilmu syariat yang baru dalam islam. asal mulanya adalah amal perbuatan ulama salaf dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka. dasar tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan jalan selain yang menuju allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia, melepaskan diri dari apa yang diinginkan oleh mayoritas manusia, baik berupa harta atau jabatan, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk beribadah. yang demikian ini sangat umum dilakukan oleh para sahabat dan para ulama salaf. lalu ketika manusia mulai condong – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 165 dan terlena dengan urusan duniawi pada abad ke-2 h dan sesudahnya, nama sufi dikhususkan bagi orang-orang yang tekun beribadah saja (abdul qadir isa 2007, 13). dengan demikian, bisa dikatakan orang yang mengamalkan tarekat adalah orang yang berteguh hati untuk menyelami dunia tasawuf dalam rangka menyucikan hati dan jiwa dengan metode-metode atau ajaranajaran yang sudah menjadi suatu ketetapan dalam sebuah tarekat. untuk itu biasanya pengikut tarekat tertentu harus dibaiat atau ditalqin terlebih dahulu oleh seorang syaikh, mursyid atau wakil talqin, sebelum masuk dan mengamalkan ajaran tarekat yang dipilihnya. tapi uniknya dalam kompolan sabellesen yang mengamalkan dhikir tarekat pada setiap permulaan acara ini tidak semua pesertanya masuk dalam keanggotaan tarekat secara resmi melalui proses baiat atau talqin sebelumnya. bahkan mayoritas belum ber-talqin. mereka memiliki pandangan (worldview) tersendiri dalam memaknai tarekat atau cara bertasawuf ini. mereka memang tidak tahu bagaimana lazimnya orang bertarekat, karenanya mereka tidak mengikuti metode bertarekat sebagaimana kaum sufi. tapi mereka sangat menjunjung tinggi dan meyakini akan kelebihan bacaan dhikir tarekat ini dalam kehidupan mereka. dalam hal ini dhikir tarekat yang menjadi amalan dalam kompolan sabellesen adalah dhikir khataman yang diajarkan dalam tarekat qadiriyah naqshabandiyah ajaran mursyid kh. ahmad shohibul wafa tajul arifin (wafat 2011 m) yang berpusat di pondok pesantren suryalaya, tasikmalaya, jawa barat (kharisuddin aqib 2004, 10). di desa bluto ini memang banyak penganut ajaran tarekat qadiriyah naqshabandiyah, tapi masih lebih banyak yang tidak masuk ke dalam keanggotaan secara resmi. di antaranya adalah mereka yang ikut dalam kompolan sabellesen ini. seiring dengan meningkatnya semangat beragama di kalangan masyarakat madura, meningkat pula masyarakat yang ingin megikuti kompolan sabellesen ini. banyak motif dan makna di balik fenomena sosial 166 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: ini tentunya. sehingga ritual kompolan sabellesen ini tidak bisa hanya disebut budaya, tapi juga sudah merambat ke ranah tertinggi dalam beragama, yaitu nilai-nilai tasawuf. tulisan berikut akan mengkaji bagaimana pola komunikasi agama dan budaya dalam ritual kompolan sabellesen yang mengamalkan dhikir khataman tarekat qadiriyah nashabandiyah, serta bagaimana masyarakat desa bluto memaknai nilai-nilai dakwah sufistik yang terinternalisasikan ke dalam kompolan sabellesen ini. metodologi penelitian penelitian ini adalah studi kasus (case study), dengan pendekatan kualitatif yang bersandar pada kajian antropologi. peneliti mencoba memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung di lapangan dan berperan serta (participant observation), ikut terlibat dan masuk dalam keanggotaan kompolan sabellesen berdhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah, bertanya langsung kepada para jamaah kompolan sabellesen serta mendatangi beberapa kiai, nyai, tokoh masyarakat sebagai top figure dalam kompolan sabellesen di desa bluto sumenep. dengan participant observation ini diharapkan peneliti lebih peka dan tanggap terhadap situasi yang muncul. observasi dilakukan terhadap ritual kompolan sabellesen yang diadakan setiap tanggal sebelas tiap bulannya (hijriyah). observasi dilakukan untuk memahami secara mendalam tentang proses ritual dan amalan dhikir yang dilakukan oleh jamaah kompolan sabellesen, pandangan mereka tentang nilai-nilai budaya dan sufistik, dan untuk menemukan relevansinya dengan hasil wawancara. studi dokumentasi dilakukan untuk mengetahui: (a) uraian dan penjelasan tentang pengertian budaya, dhikir khataman, tarekat, dan tasawuf dalam berbagai literatur. (b) sejarah, perkembangan, dan pandangan jamaah kompolan sabellesen dalam memahami dan memaknai – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 167 nilai-nilai tasawuf. (c) rekaman aktivitas jamaah kompolan sabellesen di desa bluto sumenep madura. analisis data yang digunakan adalah teknik simbolik interpretatif dengan analisis verstehen atau analisis emik, yang bertumpu pada pemahaman terhadap kebudayaan suatu entitas dalam sudut pandang pelaku budaya atau subyek penelitian (richard c. martin, 1985). dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah simbolik interpretatif. perspektif simbolik memang menjadi wacana baru di tengah berbagai aliran yang sudah ada sebelumnya dan dirasakan mengalami kejenuhan. akan tetapi, sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi-interpretatif di dalam kajian-kajian agama, perspektif simbolik ini memiliki kesamaan, yaitu sama-sama ingin memahami apa yang ada di balik fenomena. ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap lebih mendalam pada dunia noumena yang sering dikonsepsikan sebagai pemahaman interpretatif (nur syam 2011, 89). oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya mengamati adanya komunikasi agama dan budaya di balik fenomena sosial kompolan sabellesen berdhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah yang dilakukan oleh masyarakat desa bluto, tapi lebih mendalam lagi kepada pengamatan sistem nilai pemaknaan dan varian motivasi di balik ritual dhikir tarekat dalam kompolan sabellesen tersebut. karena menggunakan perspektif antropologi, maka perlu ditegaskan bahwa ritual dhikir tarekat dalam kompolan sabellesen dimaksud adalah bagian dari unsur-unsur keagamaan yang tidak dipandang sebagai doktrin, melainkan sebagai bagian dari kebudayaan. dalam hal ini acuannya adalah definisi clifford geertz yang menyatakan bahwa agama adalah suatu sistem simbol (spradley 2007, 134-135) yang bertindak sebagai penguatan gagasan dan kelakuan dalam menghadapi kehidupan, yang dengan simbol-simbol itu konsep-konsep yang abstrak diterjemahkan menjadi lebih konkrit (saifuddin 2011, 6970). oleh karena itu, geertz menjadikan simbol sebagai sesuatu yang memungkinkan manusia menangkap hubungan dinamik antara dunia nilai 168 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: dengan dunia pengetahuan. pembatasan agama sebagai kebudayaan ini adalah dalam rangka kepentingan analisa sosial, karena apabila agama dipandang semata-mata sebagai perangkat doktrin (keyakinan) yang dogmatik maka kemungkinan analisa sosial menjadi tertutup. bahkan menurut clifford geertz, agama bukan hanya bagian dari kebudayaan, tetapi juga merupakan inti kebudayaan. sebagai inti kebudayaan (culture core) agama menjadi pedoman hidup, penentu arah, dan ketepatan kehidupan yang dipandang baik dan buruk. dengan kata lain, agama menstrukturkan pikiran masyarakat (saifuddin 2011, 74-75). dalam antropologi simbolik, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan yang diperlukannya. dalam pandangan geertz, kebudayaan dalam konsepsi ini mengandung dua elemen unsur utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan, dan pola dari tindakan. pola bagi tindakan (model for) adalah representasi sistem nilai, sedangkan pola dari (model of) adalah representasi dari sistem kognitif dan sistem makna (syam 2011, 90-91). terkait dengan penelitian ini, maka ritual atau praktik dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah dalam kompolan sabellesen yang diamalkan oleh masyarakat desa bluto dapat dikatakan sebagai suatu pola dari tindakan (model of) atau sistem kognitif. sedangkan nilai-nilai keyakinan spiritual terhadap keistimewaan dari budaya kompolan sabellesen tersebut adalah sebagai pola bagi tindakan (model for) atau sistem nilai. sebagai hakikat dari pemahaman antropologis, dalam penelitian ini tidak bisa berangkat dari pikiran peneliti sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang diketahui, dirasakan, dan dialami oleh pelaku budaya atau subyek penelitian yang dalam hal ini adalah masyarakat desa bluto jamaah – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 169 kompolan sabellesen yang mengamalkan ritual dhikir khataman dalam tarekat qadiriyah naqshabandiyah. dengan demikian, penelitian ini lebih mengarah kepada teori geertz yang melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku. ini pula yang sering dikonsepsikan oleh ahli antropologi sebagai verstehen atau analisis emik, yang bertumpu pada pemahaman terhadap kebudayaan suatu entitas dalam sudut pandang mereka sebagai pelaku budaya atau subyek penelitian yang dalam hal ini adalah masyarakat desa bluto yang tergabung dalam jamaah kompolan sabellesen berdhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah. lokasi penelitian letak geografis penelitian ini berlokasi di desa bluto, kecamatan bluto, kabupaten sumenep, provinsi jawa timur, dan berada di pulau madura bagian timur. dari hasil penelusuran di www.maps.google.com, desa yang dikepalai oleh amratul uptija ini berjarak 13.6 km dari pusat perkotaan sumenep. sedangkan dari kantor kecamatan hanya berjarak 1 km, karena lokasi penelitian termasuk atau berada di wilayah pusat kecamatan. desa bluto ini berbatasan dengan desa bumbungan di sebelah utara, desa aengbaja kenek di sebelah barat, desa aengdake di sebelah selatan, dan desa lobuk di sebelah timur. desa bluto adalah salah satu desa dari 20 desa yang ada di kecamatan bluto. sebagai desa yang berada di sepanjang pinggiran jalan raya provinsi atau jalan utama yang menghubungkan antara kabupaten sumenep dan kabupaten pamekasan, desa ini memiliki potensi besar dalam bidang perdagangan. hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pertokoan di sepanjang jalan raya, baik toko eceran maupun toko grosir. namun demikian, berdasarkan informasi yang didapatkan dari kepala desa bluto, desa ini sama halnya kebanyakan desa di wilayah madura yang juga memiliki potensi pertanian (uptija 2016). bahkan desa ini dijuluki sebagai penghasil buah srikaya terbesar di madura selain tentunya juga menghasilkan produksi tembakau, jagung, cabai jamu, 170 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: klengkeng, pisang, dan beberapa jenis tanaman lainnya (balai penyuluhan pertanian kecamatan bluto, 10 maret 2016). dipilihnya daerah ini didasari oleh suatu realitas bahwa: pertama, di wilayah ini tradisi-tradisi lokal sebagaimana dalam fokus kajian ini masih menunjukkan eksistensinya, sekalipun mengalami sedikit perubahan. kedua, sisi lain masyarakat desa ini begitu kentalnya meyakini budaya kompolan sabellesen berdhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah, sehingga dalam anggapan mereka, jika tidak mengikuti budaya tersebut merasa kurang sempurna keberagamaannya. kompolan sabellesen: media komunikasi agama dan budaya masyarakat madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. identitas budaya tersebut dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jati diri individual maupun komunal etnik madura dalam berperilaku dan berkehidupan (taufiqurrahman 2006, 2). pandangan ini menegaskan adanya komunikasi agama dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat di madura. di antaranya adalah budaya kompolan sabellesen. kompolan sabellesen jika ditinjau dari segi bahasa (etimologis) berarti acara berkumpul (kompolan) setiap tanggal sebelas (sabellesen). sedangkan secara terminologis, kompolan sabellesen adalah acara berkumpulnya masyarakat madura secara rutin sebagai media komunikasi yang sudah menjadi tradisi atau budaya untuk menjalin silaturrahim dan memanjatkan doa khusus sebagai parnyo’onan (permohonan) agar terkabul segala hal yang menjadi hajatnya. acara berkumpul ini dilakukan setiap tanggal sabelles (sebelas) bulan attas (hijriyah). dipilihnya tanggal ini karena diyakini sebagai tanggal ganjil yang baik agar segala doa dan hajat yang dipanjatkan terkabul. sebenarnya tidak ada keterangan tertulis mengenai sejarah asal mula adanya kompolan sabellesen ini. sehingga keterangan sebagai data yang bisa dipakai hanyalah dari sumber wawancara dengan para tokoh atau jamaah kompolan sabellesen itu sendiri. jadi sekedar word of mouth, informasi dari – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 171 mulut ke mulut, dari leluhur ke generasi berikutnya. menurut nyai huzaimah sebagai penggagas diselenggarakannya kompolan sabellesen di desa bluto ini, tujuan awalnya adalah membentuk media silaturrahim antar masyarakat sekitar agar setidaknya dalam satu bulan sekali menyempatkan diri untuk saling bertegur sapa. untuk menarik minat masyarakat, diadakan pula arisan sebagai “bumbu pelengkap” agar juga bisa membantu masyarakat dalam bidang perekonomian. selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pemanjatan doa bersama dengan tujuan dikabulkannya hajat (parnyo’onan) yang menjadi keinginan masing-masing jamaah (huzaimah 2016). pada mulanya hanyalah doa umum biasa yang dibaca. namun pada perkembangannya bersamaan dengan maraknya ajaran tarekat qadiriyah naqshabandiyah di desa bluto, maka ditambahlah pembacaan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah yang dibaca tiap kompolan sabellesen itu dimulai. khataman yang dimaksud adalah kumpulan dhikir yang berisi tawassul kepada mursyid berikut silisilahnya hingga rasulullah saw. selain itu ada pula pembacaan sholawat, kalimat thoyyibah, serta ayat-ayat al-qur’an dan doa pilihan yang sudah diramu oleh sang mursyid (mulyadi 2016). ditambahkannya pembacaan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah dalam kompolan sabellesen ini adalah usul dari salah seorang tokoh masyarakat desa bluto yaitu kh. mulyadi sebagai orang yang pertama kali membawa ajaran tarekat qadiriyah naqshabandiyah ke desa bluto. awalnya tidak serta merta usulan kh. mulyadi ini diterima oleh masyarakat jamaah kompolan sabellesen dengan alasan mereka sudah merasa nyaman dengan bacaan doa yang singkat, sementara jika ditambah dengan dhikir khataman akan menjadi lebih lama lagi. tetapi dengan segala upaya yang dilakukan oleh pengurus kompolan sabellesen akhirnya usul ini diterima dan diterapkan (rasyid 2016). sejak ditambahkannya bacaan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah inilah, kegiatan kompolan sabellesen tidak hanya sekedar kumpul silaturrahim biasa dengan arisan, tapi juga ada nilai-nilai sufistik 172 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: yang dihayati para jamaahnya. nilai-nilai sufistik ini tentunya sangat mempengaruhi sikap dan tingkat keberagamaan masyarakat desa bluto. hal ini sebagaimana dikatakan durkheim bahwa agama adalah kesatuan kepercayaan dan praktik-praktik tertentu terhadap sesuatu yang suci. kepercayaan dan praktik-praktik tersebut kemudian menyatukan kesatuan moral komunitas yang disebut dengan jamaah (durkheim 1960, 62). kepercayaan dalam pengertian ini adalah ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal-hal yang suci, sedangkan praktik-praktik adalah aturanaturan yang menentukan bagaimana seseorang bersikap terhadap kehadiran benda-benda suci. baik kepercayaan maupun praktiknya menjadikan masyarakat yang tergabung dalam kelompok tersebut sebagai suatu sistem. oleh karena itu kompolan sabellesen ini akhirnya tidak hanya sekedar wadah berkumpul, tapi juga menjadi sarana memperkokoh ukhuwwah islamiyyah sebagai bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat (sugiyanto 2002, 172). dengan ukhuwwah islamiyyah, kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) dalam bermasyarakat senantiasa harmonis dalam melaksanakan perintah allah dan menjauhi segala larangan-nya serta mampu memperkuat persatuan dan kesatuan. ukhuwwah islamiyyah menjadi lebih aktual bila dihubungkan dengan masalah solidaritas sosial, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an surah ali ‘imran ayat 103 yang memerintahkan manusia untuk bersatu dan melarang untuk bercerai berai dan dalam surah alhujurat ayat 13 menyuruh manusia untuk saling mengenal (wardi 2013, 47). atas dasar inilah, masyarakat madura berikhtiar dalam rangka internalisasi nilai-nilai ajaran al-qur’an yaitu menjalin ukhuwwah islamiyyah, membangun persatuan dan mempererat tali silaturrahim dalam format lokal yang disebut kompolan sabellesen. kompolan sabellesen ini tidak hanya sekedar ritus, tapi lebih dari itu mengandung nilai-nilai kepercayaan yang mendalam. kepercayaan dan ritus dalam kehidupan manusia ditampakkan dalam bentuk simbol – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 173 simbol suci yang memiliki makna tertentu dan dibedakan dengan simbolsimbol profan. hubungan antara simbol dan makna yang dimengerti oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan senantiasa diwariskan melalui sosialisasi dan inkulturasi secara terus-menerus dari generasi ke generasi sehingga menjadi pengetahuan dan sikap terhadap hidup. atas dasar pemikiran tersebut, c. geertz berpandangan bahwa agama adalah suatu sistem kebudayaan (geertz 1979, 3). karenanya, kompolan sabellesen ini tidak hanya sekedar ritual keagamaan namun juga sudah menjadi sistem kebudayaan yang berkomunikasi dengan ritual keagamaan. agama sebagai sistem kebudayaan untuk kepentingan analisis adalah operasional dalam rangka melihat hubungan antara sistem kebudayaan dan sistem tindakan. agama sebagai sistem simbol dapat menguatkan keteraturan kehidupan masyarakat (suparlan 1983, 88). dalam ritual kompolan sabellesen ini, simbol-simbol suci yang berupa bacaan dhikir khataman berperan sebagai alat penghubung antara sesama manusia, antara manusia dengan benda, serta sebagai alat penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. kompolan sabellesen secara sosiologis menunjukkan bahwa agama sebagai kebutuhan masyarakat, sedangkan dorongan kebutuhan psikologis menunjukkan agama sebagai sumber motivasi. hubungan antara agama, masyarakat, dan individu mencakup tiga hal, yaitu kognitif, substantif, dan ekspresif. agama dalam hal ini dilihat sebagai pengetahuan dan juga substansi yang dicari oleh individu masyarakat untuk selanjutnya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (banton 1969, 108-109). menurut malinowski, fungsi agama bagi kemasyarakatan adalah dapat terpenuhinya keingintahuan terhadap hal-hal di luar yang nyata, dimana keingintahuan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui filsafat dan ilmu pengetahuan. selain itu, agama juga berfungsi sebagai pengatur tindakantindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan penyesuaian terhadap lingkungan dan mengintegrasikan masyarakat melalui upacara atau ritus keagamaan (malinowski 1972, 71-72). 174 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: fungsi agama sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dilihat pada kedudukan dan peranan tarekat bagi umat islam. tarekat merupakan sistem kepercayaan dan praktik-praktik upacara yang memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan sosiologis dan psikologis tersebut. melalui tarekat atau tasawuf, seorang muslim dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman akan hal-hal yang bersifat adikodrati dan supernatural, seperti kemampuankemampuan luar biasa untuk memecahkan persoalan hidup (mufid 2006, 5-6). tasawuf dengan aliran-alirannya yang disebut dengan tarekat merupakan salah satu dimensi ajaran islam yang paling mudah diserap oleh berbagai kebudayaan (abdurrahman wahid dalam m. dawam raharjo, 1985). sedangkan istilah tarekat menurut martin van bruinessen, paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. maknanya yang asli merupakan panduan yang khas dari doktrin, metode, dan ritual (bruinessen 1994, 61). akan tetapi hal tersebut berbeda dengan apa yang menjadi worldview bagi jamaah kompolan sabellesen. bagi mereka tarekat ibarat sebuah masjid yang siapa saja boleh masuk ke dalamnya. tidak peduli status sosialnya apa, dan tidak perlu ada izin tertentu untuk memasukinya. “mon terro maso’a ye maso’!” kalau mau masuk, ya masuk. begitu pula dhikir tarekat. tidak ada dhikir tertentu yang hanya boleh dibaca orang tertentu. apalagi bacaannya mengandung nilai-nilai sufistik yang mampu mendekatkan diri seorang muslim dengan rabb-nya seperti yang terdapat dalam dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah. terlebih lagi tarekat ini adalah tarekat dhikir yang mengajarkan bagaimana seorang muslim senantiasa mengamalkan dhikir kapanpun dan dimanapun, tanpa batasan tempat dan waktu (maysaroh 2016). dalam konteks masyarakat desa bluto, kompolan sabellesen ini pada prinsipnya menjaga komunikasi horisontal antar warga dan memperkuat harmoni sosial, sehingga setiap warga memperoleh kenyamanan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. membangun dan – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 175 meneguhkan solidaritas sosial untuk memperkuat ketahanan masyarakat atas dasar keterikatan emosional dan pertalian kekerabatan. mempererat dan memantapkan daya rekat suatu hubungan sosial guna mencegah dan mengeleminasi potensi konflik serta menghindari friksi di dalam masyarakat. sejak lama, religiusitas masyarakat madura telah dikenal sebagai bagian dari keberagamaan kaum muslim indonesia, di mana realitas sosialbudayanya dibentuk dan berpegang teguh pada tradisi dan ajaran islam. dalam banyak literatur tentang madura, hal tersebut terbentuk dari proses sejarah yang panjang, yang turut mempengaruhi secara signifikan sistem sosial budaya. pola komunikasi agama dan budaya madura juga dapat dilihat ketika acara dan jamaah kompolan sabellesen ini dimanfaatkan sebagai momen untuk mengadakan ritual kebudayaan seperti pelet betteng (tradisi syukuran tujuh bulan usia kehamilan agar diberi keselamatan dan kemudahan dalam proses melahirkan), toron tana (acara turun tanah atau menginjak tanah pertama kali bagi seorang anak yang berusia tujuh bulan dengan rangkaian acara tertentu), dan ritual budaya lainnya. hal itu juga didasari keyakinan bahwa tanggal sebelas hijriyah adalah tanggal baik yang akan mendatangkan keberkahan dan keselamatan (rasyid, sitti, dan maysaroh, 2016). kompolan sabellesen adalah wujud dari sistem komunikasi agama dan budaya yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat madura, khususnya di desa bluto sumenep, dengan menginternalisasikan nilai-nilai sufistik tarekat qadiriyah naqshabandiyah ke dalam sebuah sistem sosial budaya. dengan demikian, praktik beragama di desa bluto sumenep ini terasa sangat dimensional, karena kompolan sabellesen ini merupakan media komunikasi ritual keagamaan yang dipadukan dengan praktik kultural (kebudayaan yang berlaku). perpaduan ajaran religius dan ritual kultural ini menjadi satu kesatuan yang berdampak ganda. yaitu, terhadap cara pandang 176 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: beragama dan cara mensosialisasikan ajaran agama dengan lingkungan sosial. kondisi ini menarik untuk diungkap ke permukaan secara lebih detail. karena sifatnya praktik yang berkelindan dengan kehidupan seharihari masyarakat kelas bawah. nilai-nilai dakwah sufistik dalam kompolan sabellesen sebagaimana yang dikatakan geertz, kebudayaan itu terdiri dari tiga hal utama, yaitu sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. adapun titik temu antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan sistem makna (system of meaning). dengan begitu, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan. dalam hal ini, adanya nilai-nilai sufistik di balik kompolan sabellesen menjadi sistem pengetahuan masyarakat madura. sedangkan sistem simbolnya adalah bacaan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah yang diakhiri dengan meniup air minum agar mengandung barokah dan menjadi obat yang mujarab bagi peminumnya. setelah itu diperlukan sistem makna atau sistem nilai dalam kompolan sabellesen tersebut, sehingga melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan. sufisme dan islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi yang juga tidak dapat dipisahkan dari agama tersebut. islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketundukan atau semacam asketisme kesalehan yang tidak ada urusan dengan doktrin-doktrin filsafat (hamdi 2004, 29). setelah dihimpun hasil wawancara dengan beberapa jamaah kompolan sabellesen didapatkan beberapa nilai-nilai sufistik yang menjadi motivasi tersendiri bagi para jamaahnya dan juga diyakini mendatangkan banyak – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 177 manfaat dalam menjalani proses kehidupannya. mereka sangat meyakini adanya koherensi dhikir dalam kehidupan mereka. dari kompolan sabellesen ini mereka merasakan adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. mereka merasakan adanya energi positif dalam dhikir yang menjadikan diri mereka selalu dalam keadaan stabil dan bisa mengontrol emosi. merasakan hidup yang lebih lapang, tenang, dan bahagia karena rumah tangganya yang utuh, harmonis dan jauh dari perselisihan yang menyebabkan keretakan rumah tangga. bagi mereka, setiap masalah dan musibah dalam hidup bisa dihadapi dengan mudah karena dhikir selalu memberikan solusi yang tepat dan jalan keluar yang baik (maysaroh, 2016). fenomena tersebut merupakan kesadaran spontan pada diri individu-individu muslim yang tulus untuk menyingkap jalan tasawuf, yang didorong oleh cahaya nurani dan semangat keberagamaan. cahaya sufistik terpancar luas tanpa melalui gerakan yang diorganisir dan sentralisasi. persaudaraan yang mengikat kalangan jamaah kompolan sabellesen adalah suatu realitas tanpa banyaknya koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. realitas tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang murni (ikhlash) dan sifat-sifat luhur dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kedidupan yang bersifat lahiriah. kunci sufistik adalah kesadaran hati, kebebasan dan keriangan jiwa dengan sikap mengakui batasan-batasan lahiriah. alasan jamaah kompolan sabellesen ini tidak menggunakan praktikel sense atau perasaan yang dialami karena pengalaman secara formal (masuk ke dalam keanggotaan tarekat qadiriyah naqshabandiyah secara resmi) adalah karena sifat kesadaran hati itu sendiri sangat alamiah, yang sebenarnya merupakan intisari dari nilai-nilai sufistik yang sederhana dan inklusif. dhikir khataman yang menjadi amalan jamaah tarekat qadiriyah naqshabandiyah bagi jamaah kompolan sabellesen juga terasa manfaatnya setiap mengamalkannya. ada rasa khusyuk dan nikmat ketika meresapi tiap dhikir yang dibacanya. kesadaran manusia atas keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya mendorong dirinya untuk mencari sesuatu 178 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: yang magic dalam tataran mistisisme. dalam konteks kompolan sabellesen, tarekat qadiriyah naqshabandiyah dipilih sebagai jalan meditasi dan mediasi untuk menghubungkan manusia dengan tuhan dalam rangka memohon pertolongan dari-nya. selain itu juga hal yang wajar bila antusiasme jamaah kompolan sabellesen didasari stimulus-stimulus tertentu yang mendorong mereka untuk mengamalkan dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah. banyak hal yang memotivasi mereka untuk ikut bergabung dalam tarekat ini dengan berbagai macam tujuan. mulai dari faktor ekonomi, sosial, kesejahteraan keluarga, kesehatan, hingga faktor psikis (kejiwaan). dalam hal ini mereka biasanya menggunakan air putih sebagai instrumen (atau yang menurut mircea eliade disebut hierofani) untuk dibacakan dhikir yang mereka yakini dapat mengandung barokah dan multi-khasiat(eliade 2002, 14) dari sinilah peneliti menemukan adanya persinggungan dan titik temu antara domain spiritual-mistisisme dan domain sosio-kultural. dengan demikian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dalam kompolan sabellesen ini mengandung nilai-nilai sufistik yang begitu transenden dan berkelindan dalam sistem nilai budaya sehingga bisa meningkatkan integritas masyarakat madura sebagai masyarakat yang religius-kulturalis. penutup kompolan sabellesen memiliki peranan yang sangat penting dalam dinamika kehidupan masyarakat madura. di dalamnya tercermin pola komunikasi agama dan budaya. perpaduan ajaran religius dan ritual kultural dalam kompolan sabellesen ini menjadi satu kesatuan yang berdampak ganda. yaitu, terhadap cara pandang beragama dan cara mensosialisasikan ajaran agama dengan lingkungan sosial. kompolan sabellesen ini merupakan ritual keagamaan yang dipadukan dengan praktik kultural. kompolan sabellesen ini akhirnya tidak hanya sekedar wadah berkumpul, tapi juga menjadi sarana memperkokoh ukhuwwah islamiyyah yang menjadi lebih aktual bila dihubungkan dengan masalah solidaritas sosial, karena pada – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 179 hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. selain itu pola komunikasi agama dan budaya madura juga dapat dilihat ketika acara dan jamaah kompolan sabellesen ini dimanfaatkan sebagai momen untuk mengadakan ritual kebudayaan seperti pelet betteng, toron tana, dan ritual budaya lainnya. hal tersebut didasari keyakinan masyarakat bahwa kompolan sabellesen bisa mendatangkan keberkahan dalam ritual budaya yang dilakoninya. selain itu, dibacakannya dhikir khataman tarekat qadiriyah naqshabandiyah dalam kompolan sabellesen dapat dikatakan sebagai suatu pola dari tindakan (model of) atau sistem kognitif. sedangkan nilai-nilai keyakinan spiritual terhadap keistimewaan dari budaya kompolan sabellesen tersebut adalah sebagai pola bagi tindakan (model for) atau sistem nilai. dari kompolan sabellesen ini mereka merasakan adanya energi positif yang membawa ketenangan dan kebahagiaan. untuk mendapatkan keberkahan nilai-nilai sufistik, biasanya mereka menggunakan air putih yang dibacakan dhikir untuk diminum sebagai manifestasi sakralitas dalam profanitas (hierofani). hal ini menunjukkan bahwa dalam kompolan sabellesen ini mengandung nilai-nilai sufistik yang begitu transenden dan berkelindan dalam sistem nilai budaya sehingga bisa meningkatkan integritas masyarakat madura sebagai masyarakat yang religius-kulturalis. dengan demikian budaya kompolan sabellesen ini perlu dijaga eksistensinya sebagai sarana mediasi dan meditasi dalam rangka mendekatkan diri kepada tuhan melalui nilai-nilai sufistik yang terinternalisasikan dalam nilai-nilai budaya. daftar pustaka aqib, kharisuddin. al-hikmah: memahami teosofi tarekat qadiriyah wa naqsyabandiyah. surabaya: bina ilmu, 2004. arifin, ahmad shohibulwafa tadjul. miftah al-sudur: kunci pembuka dada. terjemahan oleh aboebakar atjeh. surabaya: yayasan serba bakti pondok pesantren suryalaya korwil jawa timur, tanpa tahun. arikunto, suharsimi. prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta, 2006. 180 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: barid, bararah. “penelitian tentang islam di indonesia” dalam parsudi suparlan (ed), pengkajian agama, ilmu-ilmu sosial, dan agama. jakarta: balitbang depag ri, 1982. bruinessen, martin van. tarekat naqsyabandiyah di indonesia. bandung: mizan, 1994. bruinessen, martin van. tarekat qadiriyah dan ilmu syekh abdul qadir jaelani di india, kurdistan, dan indonesia, dalam jurnal ulumul qur’an, vol.2, no.2 (jakarta: penerbit lembaga studi agama dan filsafat, 1989. creswell, j.w. qualitatif inquiry and research design. california: sage publications, inc., 1998. durkheim, e. the elementary form of the religious life. terj. joseph ward swain. new york: collier books, 1960. eliade, mircea. sakral dan profan, terj. nuwanto. yogyakarta: fajar pustaka baru, 2002. geertz, c. “religion as a cultural system”, dalam michael banton (ed), anthropological approaches to study of religion. london: tavistock publications, 1979. hamdi, ahmad zainul. tujuh filsuf muslim pembuka pintu gerbang filsafat modern. yogyakarta: pustaka pesantren, 2004. hamka. tasawuf: perkembangan dan pemurniannya. jakarta: pustaka panjimas, 1993. i.m., thoyyib. dan sugiyanto, islam dan pranata sosial kemasyarakatan. bandung: remaja rosdakarya, 2002. isa, abdul qadir. hakekat tasawuf. jakarta: qisthi press, 2010. kahmad, dadang. sosiologi agama. bandung: pt remaja rosdakarya, 2002. khaldun, ibn. muqaddimah.beirut: dâr al-fikr, 1981. malinowski, b. “the role of magic and religion”, dalam lessa & vogt, reader in comparative religion: an anthropological approach. new york: harper & row publisher, 1972. martin, richard c. (ed.), approaches to islam in religious studies. arizona: the universuty of arizona press, 1985. moleong, lexy, j. metodologi penelitian kualitatif. bandung: remaja rosdakarya, 2008. mufid, ahmad syafii. tangklukan, abangan, dan tarekat: kebangkitan agama di jawa. jakarta: yayasan obor indonesia, 2006. mulder, niel. kebatinan dan hidup sehari-hari orang jawa. jakarta: gramedia, – vol. 1, no. 2, juli – desember 2016 | 181 1984. nasution, harun. filsafat dan mistisisme dalam islam. jakarta: bulan bintang, 1973. nasution, harun. islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid ii. jakarta: ui press, 1986. palak, mayor. sosiologi: suatu pengantar. jakarta: pt ichtiar biru, 1999. pusat bahasa. kamus besar bahasa indonesia. cet. ke-iv. jakarta: pt gramedia pustaka utama, 2008. saifuddin, achmad fedyani. catatan reflektif antropologi sosial budaya. jakarta: institut antropologi indonesia, 2011. soegianto. kepercayaan, magic, dan tradisi dalam masyarakat madura. jember: tapal kuda, 2003. spiro, milford e. “religion: problem of definition and explanation” dalam michael banton (ed), anthropological approaches to study of religion. london: tavistock publications, 1969. spradley, james p. metode etnografi. yogyakarta: tiara wacana, 2007. suparlan, p. “kata pengantar” dalam c. geertz, abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa. jakarta: penerbit pustaka, 1983. syam, nur. madzhab-madzhab antropologi. yogyakarta: lkis, 2011. taufiqurrahman, “islam dan budaya madura”, bahan presentasi pada forum annual conference on contemporary islamic studies, direktorat pendidikan tinggi islam, ditjen pendidikan islam, departemen agama ri, bandung, 26-30 november 2006. tim pakem maddhu, kamus bahasa madura, madura–indonesia. pamekasan: dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten pamekasan, 2007. tim penyusun pusat balai bahasa surabaya, kamus dwibahasa indonesia– madura. surabaya: pusat balai bahasa, 2008. unesco. the cultural dimension of development: towards a practical approach. paris: unesco publishing, 1995. wahid, abdurrahman. “pesantren sebagai subkultur” dalam m. dawam raharjo (ed), pesantren dan pembaharuan. jakarta: lpes, 1985. wardi, moh. tradisi ter-ater dan dampak ekonomi bagi masyarakat madura dalam jurnal karsa, vol. 21 no. 01, juni 2013. yustion, et.al. islam dan kebudayaan indonesia: dulu, kini, dan esok. jakarta: yayasan festival istiqlal, 1993. 182 | ach. shodiqil hafil – komunikasi agama dan budaya: wawancara: amratul uptija (kepala desa bluto) balai penyuluhan pertanian kecamatan bluto ibu juwairiyah rasyid (sekretaris kompolan sabellesen) sitti (jamaah kompolan sabellesen) maysaroh (jamaah kompolan sabellesen) kh. mulyadi, s.ag. (tokoh masyarakat dan jamaah senior tarekat qadiriyah naqshabandiyah di desa bluto sumenep nyai huzaimah (ketua pengurus kompolan sabellesen di desa bluto) from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin* universitas islam negeri sunan kalijaga yogyakarta keywords: changes maker; contemporary pesantren; propethics leadership; sustainable community development https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh abstract kiai is highlighted as a difficult (to reach) figure because of social class classification that lives in the public consciousness. despite the kiai is considered to have a high social class, this does not make the kiai forget its social role. in this case, it can be referredto kiai najib salimi as the founder of the luqmaniyah pesantren. this paper aims to explore the contribution of kiai najib salimi in community development and the factors behind it based on prophetic values. the study employed a qualitative method with a biographical approach. data were collected via document searches, interviews, and observations. it was revealed that the kiai had transformed into founders pesantren and developed into changes makers, social planners, and social facilitators. the contribution of kiai najib salimi was exposed in the establisment of luqmaniyah pesantren, micro-finance (koperasi) kodesmata, ngrowot fasting, and the syuri’ah of nahdlatul ulama in yogyakarta city. this paper also features that the impetus for taking empowerment is personal factors, family, educational pesantren, and social environment. in fact, the contribution made by kiai najib salimi holds ethical values in the practice of community empowerment. this finding, by implication, requires only further action that prophetic values are not based on ethical concepts, but must contribute practically to social life. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) correspondence: e-mail: *ahmad.izudin@uin-suka.ac.id 274 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak kiai disorot sebagai sosok yang sulit dijangkau karena klasifikasi status sosial yang hidup dalam kesadaran masyarakat. meskipun kiai dinilai memiliki status sosial yang tinggi, namun hal ini tidak membuat kiai melupakan peran sosialnya. dalam hal ini dapat ditemukan pada sosok kiai najib salimi sebagai pendiri pesantren luqmaniyah. tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi kontribusi kiai najib salimi dalam pengembangan masyarakat dan faktor yang melatarlekanginya berdasarkan nilai-nilai profetik. penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi biografi. data dikumpulkan melalui pencarian dokumen, wawancara, dan observasi.terungkap bahwa kiai telah bertransformasi tidak hanya menjadi pendiri dan pengajar di pesantren, namun juga berkembang menjadi perubah sosial, perencana sosial, hingga fasilitator sosial. kontribusi nyata yang dilakukan oleh kiai najib salimi terekspos dalam pendirian pesantren, koperasi kodesmata, menganjurkan puasa ngrowot, dan syuriah nahdlatul ulama kota yogyakarta. tulisan ini juga menemukan bahwa pendorong untuk melakukan tindakan pemberdayaan karena faktor personal, keluarga, pendidikan pesantren, dan lingkungan sosial.ternyata, kontribusi yang dilakukan oleh kiai najib salimi menyimpan nilai etik dalam praktik pemberdayaan masyarakat. penemuan ini, secara implikatif, diperlukan tindakan lebih lanjut bahwa nilai profetik tidak hanya behenti pada konsep etik, melainkan harus berkontribusi secara praktis di kehidupan sosial. kata kunci: pembuat perubahan; pesantren kontemporer; kepemimpinan profetik; pengembangan masyarakat berkelanjutan how to cite this (apa 7th edition): izudin, a. (2021). from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(2), 273–302, https://doi. org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 introduction many discourses about kiai are described as symbolic figures of pesantren that seem unreachable (a’la, 2006; marzuki, miftahuddin, & murdiono, 2020), even though kiai has become the driver in community 275from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) development. kiai acts as founders of pesantren (boarding school) and change-makers, social planners, facilitators, brokers, and others. in this case, the figure who has this role is kiai najib salimi, the driving force for sustainable community development. thus, as horikoshi (1987) argues, pesantren and kiai are valves that cannot be separated because he is a cultural broker who can connect various things and solve multiple people’s problems. the study of pesantren and kiai has long been a concern of scholars. so far, these studies have been described by western scholars through sociological and anthropological approaches, such as lukens-bull (2010), bruinessen (1995), pohl (2006), steenbrink (1986), and others. indonesian scholars also explored issues in the aspect of locality (abubakar & hemay, 2020; dhofier, 2011; isbah, 2020; pohl, 2006; pribadi, 2013; rahman, 2017; saputro, 2011; zarkasyi, 2020), and research by scholars connect community development with pesantren (fauzi, 2012; sholeh, 2005; wulandari, sagala, & sullivan, 2018). in addition, the pesantren has also metamorphosed, transformed, and modernized according to the context of the time (bakri & mangkachi, 2021; el-rumi, 2020; pribadi, 2013), but these changes are only limited to the transition from traditional to modern (astuti, 2017). institutional contextualization on the development of the muslim society (budiwiranto, 2009), contributions to building the nation (isbah, 2020), and the role of kiai as guardians of people from evil (ahmad, 2014; yusuf & taufiq, 2020). on the one hand, the pesantren play a role for the muslim community as a transfer of knowledge, guardians of traditions, and centers of the creation of ulema (bruinessen, 2013). on the other hand, the pesantren have also offered alternative changes because they have a charismatic kiai who is considered close to the community as a change makers (fauzi, 2012). of these various trends, there is no study that uses the perspective of kiai najib salimi’s prophetic leadership 276 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in explaining how individual roles contribute to sustainable community development. this article aims to complement the shortcomings of the literature study pointed out. more specifically, this paper is directed to three objectives. first, how does kiai najib salimi contribute to developing the luqmaniyah pesantren in yogyakarta to become a transformative force in society? second, what are the factors behind the contribution in building the community? third, what are the essential values that kiai najib salimi teaches in developing a model of sustainable community empowerment? these three objectives can be considered as a reference for analyzing the role of kiai as a prophetic leadership model and are considered sufficient to represent the answers to the questions posed. thus, this paper becomes a substantive study to raise discourse on pesantren and kiai during the issue of social development based on the pesantren. kiai’s discourse on prophetic leadership personally shows a socioeconomic, socio-cultural, and socio-political power as tools in social development (fauzi, 2012; saputro, 2011; zubaedi, 2007). first, kiai as a socio-economic force can be seen in their role as the founder of economic productivity activities such as establishing a micro-finance of pesantren (koperasi pesantren). second, kiai as a socio-cultural force is implemented in community activities such as lectures, mentors, tutors for students, and leaders of islamic boarding schools. third, kiai’s as a socio-political force can be interpreted into a democratic system that plays a role as political actors to guide people who enter the cycle of politics. thus, the researchers argue that these three strengths are the key to the success of developing pesantren in practicing community empowerment activities. prophetic leadership refers to the nature of prophethood (sidiq & ‘uyun, 2019). this leadership concept emphasizes spirituality, religiosity, and social network theory (muhammad, 2015). the value of spirituality denotes prophetic traits, namely sidiq (sincerity), tabligh (convey) fathanah 277from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (intelligent), and amanah (trustworthy) (fitriani, 2016). meanwhile, gazali & malik (2009) emphasized that religiosity needs to stress human values that respect, honor, and love each other. to date, this definition of prophetic leadership has become an applicable approach in managing an institution, so it requires a strong social network to develop the organization (idham, 2016). thus, prophetic leadership becomes an essential narrative in a leader who puts forward islamic values. when referring to the concept of kuntowijoyo’s prophetic social sciences (ilmu sosial profetik), prophetic values have three main scopes, namely humanization or emancipation, liberation, and transcendence (kuntowijoyo, 2008). first, humanization or emancipation is a leadership value that emphasizes a sense of humanity. a leader must have a human nature by presenting human personality as god’s nature (nasukah, harsoyo, & winarti, 2020). second, liberation is the meaning of freedom. el syam (2017) explains that a leader must try to free humans from all forms of exploitation, ignorance, poverty, backwardness, and injustice. this refers to the values of the nature of the prophet muhammad. third, transcendence is a divine value. hamid & juliansyahzen (2017) revealed that a leader must carry out religious rituals so that the leader’s role can be measured by how mature he is in leading an organization or islamic boarding school obediently and fearing god. thus, prophetic leadership puts forward the prophetic nature in carrying out each of its activities. sustainable community development is a concept that universally requires the sustainability of life to respond to climate change, biodiversity, declining environmental awareness, and excessive consumption of natural resources (hibbard & tang, 2004; roseland, 2000). climate change is a contemporary development discourse that intensely gains new community development interpretations (gutierrez-montes, emery, & fernandezbaca, 2009; utami & cramer, 2020). meanwhile, biodiversity is an issue to respond to detrimental actions to environmental pollution (koch, faust, 278 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) & barkmann, 2008). the issue of environmental pollution occurs due to excessive consumption of natural resources by irresponsible humans (stener & coria, 2012). of the three definitions in this paper, they are considered to represent the definition of a concept so that it is able to map human actions to maintain a sustainable life (kline, mcgehee, & delconte, 2019). several approaches to community empowerment are the main concern, namely increasing local community knowledge, social participation, democratization, and ethical values of life (chambers & conway, 1992; chambers, 1994). the first form is about strengthening local community knowledge as a meaning of capability (scoones, 2009), assets and potential (abidin, 2010), and social activities that consider sustainable living (de haan, 2000). on the one hand, social participation is a grassroots movement to raise awareness (xu, 2007). on the other hand, in this context, democratization refers to open access to social structures, such as kiai, in carrying out social resistance to realize local democracy (saputro, 2011). sustainable development requires ethical values in the process of social change (emery & flora, 2006). therefore, sustainable community development requires a driving figure who has intrinsic values in his personality (dai, 2016). in the history of islam in indonesia, pesantren is the oldest islamic educational institution (isbah, 2020). pribadi (2013) defines pesantren as the guardians of tradition, ulama creation, and centers of knowledge transformation. as guardians of tradition, pesantren has metamorphosed, for example, from traditional to modern (astuti, 2017), modernization of pesantren as a response to the wave of globalization (bakri & mangkachi, 2021), as well as the life of classical to modern traditions can still be found in the life of islamic boarding schools. as a center for knowledge transformation, to refer the term of gazali & malik (2009), it is described as an institution that provides freedom of thought for students. as a 279from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) creation of ulama, pesantren also grow following social dynamics that continue to change rapidly, but the views of scholars to respond to various social problems are many from the pesantren community (widiyanto, 2014). thus, islamic boarding schools have undergone changes that focus not only on educational institutions but also on community development, socio-economic, socio-cultural, and socio-political. the wave of change that occurs in islamic boarding schools as a result of modernization’s social dynamics. under this study, the phrase contemporary pesantren refers to the conditions in which the nation’s life exists. numerous pesantren in the area are transforming, beginning with pesantren-based economic development, (chotimah, 2015; pohl, 2006), community empowerment activities (budiwiranto, 2009; sudarno, 2015), as a center for developing santripreneurs based on local wisdom (hannan, 2019), even though pesantren have also become social institutions that carry out resistance to regimes that do not take sides with small communities (saputro, 2011). therefore, contemporary pesantren studies are concerned with education and metamorphose into a down-to-earth institution in accordance with the social needs of the community. based on the explanation above, it can be seen that researchers have not done much research on kiai and community development. therefore, this research intends to explore the contribution of the kiai in community development and the underlying factors based on prophetic values. methods this study focuses on how, and why kiai najib salimi developed islamic boarding schools and established himself as a driving cleric figure in sustainable community development. this issue is important to build a new discourse in implementing prophetic leadership, which has tended to be forgotten by pesantren reviewers. this research was conducted at the luqmaniyah pesantren, yogyakarta. in the midst of the heterogeneity of 280 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) society, kiai najib salimi was able to change the image of the umbulharjo area to be more inclusive even though it was initially known as a thug location in the giwangan. the image as an area of thugs has attracted the attention of many people in the city of yogyakarta. still, the figure of kiai najib salimi has turned it into a religious area. this is necessary to trace the traces and role of the kiai in changing the negative mindset of the community towards the umbulharjo area. traditionally, this study uses qualitative methods with a case biographical approach (bloomberg & volpe, 2012). this approach was chosen to understand in-depth three things: knowledge of the kiai’s prophetic leadership; second, how is the role of the kiai from personal ties to become community drivers; third, the implications of the life values of the kiai’s personality on sustainable community empowerment. the three problems are exploratively displayed to determine the panel chimney to find one issue that can be concluded (maxwell & reybold, 2015; moris, 2006; snelson, 2016). information search is done by determining two primary sources (jajoo & malu, 2014). first, secondary data looks for document sources such as theses, journals, books, and research reports that discuss the role of kiai najib salimi. this is an attempt to map out the problem being studied. second, primary data consists of observations and interviews. these two sources were selected through a field observation process to determine key informants (jamshed, 2014). the data collection process begins with collecting library materials to draw the issue of the kiai’s prophetic leadership, which is transformed into community empowerment practices. furthermore, observations and interviews were conducted with the leadership of the luqmaniyah pesantren, the wife of kiai najib salimi, and students. in addition, for triangulation and cross-check data (world food programme, 2009), interviews were conducted four times with the primary informants. thus, the interview process was carried out to test the validity of the data. 281from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the data in this study were analyzed using miles, huberman, & saldana (2014) approaches, namely data reduction, data display, and data verification. data reduction was carried out in a theme that was in accordance with the questions and documents from the available data. data display is done by drafting interview results and cross-tabulation. the verification process uses an interpretation method of data that has been trend-mapped. all data in this study are equally important, so no data is considered a determinant. results and discussion the results of this study present three important findings. first, it describes the contribution of kiai najib salimi to community development. second, explain the factors that influence the contribution of kiai najib salimi in community development. third, explore the values of kiai najib salimi’s personal life to become ethical values in the practice of sustainable community development. the contribution of kiai najib salimi in sustainable community development kiai najib salimi’s contribution to community development consists of education and religion, social, economic, political, and health. first, the contribution of education and religion to establish the luqmaniyah pesantren. second, contributions in the social field are scholars who change the face of thuggery in the giwangan area. third, the contribution of the economic sector by establishing a sharia micro-finance (koperasi pesantren). fourth, his contributions to the social organization by becoming nahdlatul ulama yogyakarta city and sleman regency branches administrator. fifth, contribute to the health sector by becoming a spiritualist by teaching the wisdom of ngrowot fasting. all these contributions are clearly recorded in the data display, which the researcher will explain. 282 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the first contribution referred to education and religion by establishing the luqmaniyah islamic boarding school in yogyakarta. the establishment of this pesantren is due to two reasons, namely individual and community encouragement. kiai na (informant, 41 years old) explained that he was moved to open a pesantren because of his father’s suggestion to teach religious knowledge to the broader community. the second reason, according to the oral tradition of santri, he opened a pesantren in the umbulharjo area under the name luqmaniyah which was assigned to a land waqf provider named luqman jamal hasibuan, a businessman from medan, north sumatra. these two reasons make the existence of kiai najib’s struggle not only to become a kiai but also an alternative health advisor for the community. “initially, the gift of waqf was pak luqman’s vow due to chronic illness. meeting the figure of najib, made luqman feel comfortable until one day when he wanted to go to medical health, it didn’t work, but he tried traditional medicine by meeting a kiai in mlangi, luqman was able to recover from a chronic illness. this was the story behind his intention to do the waqf land of about 1250 square meters, which led najib to open the luqmaniyah islamic boarding school in the yogyakarta city area. the construction of the luqmaniyyah islamic boarding school began in 1998, but was successfully inaugurated on february 9, 2000.” (kiai na, interview, 23 august 2020) from the story of luqman above, kiai najib salimi has the second contribution in the health sector. this contribution has become a tradition at the luqmaniyah islamic boarding school so that many students carry out riyadhah (training the soul spiritually) by fasting ngrowot. this tradition is carried out for two reasons. first, if someone wants to be a patient, one solution is to fast. second, this tradition has implications for neuroscience studies so that many people are called to visit kiai najib’s residence just to get the wisdom of fasting. sa (informant, 24 years old) explained that 283from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) many students are doing ngrowot fasting because it has been medically and academically proven effective as an alternative healing solution. moreover, at the luqmaniyah many students have an educational background in health (interview, august 26, 2020). thus, kiai najib has contributed to the health sector, which invites the public and students to carry out alternative healing from all diseases through the wisdom of fasting ngrowot. furthermore, the third contribution of kiai najib salimi turned a cleric by changing the face of the area of thuggery to become pious. this transition occurs due to three key variables. first, he starts with a family man who teaches democratic ideals to all his family. second, as a catalyst, he became famous among regional politicians, academics, and other kiai in the central java, yogyakarta, and east java regions. third, as a professor who promotes transparency, simplicity, and constancy in living life without rationalizing the mistakes of others. these three contributions made the giwangan area recognized to the greater society as a place of gangsters turned into a religious face. the following is the complete statement of the research informants: “most impressively, kiai najib salimi became an example for anyone when he was able to accompany the umbulharjo community. the public has a negative impression because the thug community is in the old yogyakarta bus terminal. however, by exemplary through da’wa subtly and wisely (not punishing), the umbulharjo community slowly accepted the presence of kiai najib in the midst of a pluralistic community. this contribution is remembered for all time, a symbol that cannot be separated from najib’s dedication is the luqmaniyah pesantren which todays has experienced a very rapid increase (both in terms of the number of students and activities of preaching to the community).” (kiai na, interview, 23 august 2020) the fourth, his contribution is as a political actor. kiai ni (informant, 41 years old) clarified that the provision of qualified religious knowledge 284 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) had made kiai najib salimi a cleric who succeeded the family. kiai najib salimi’s contribution to society can be mapped into three things: teachers, lecturers, and figures from the nahdlatul ulama (nu) of yogyakarta city. as a pesantren teacher, he is a master in using knowledge to heal various ailments. then, through recitations, kiai imparts religious knowledge to residents of numerous districts in yogyakarta, most notably umbulharjo, a notorious thugs’ district. on the one hand, the da’wa design is applied gently, allowing it to be accepted by all circles. he is also a prominent nu figure in yogyakarta, who is just and intelligent in his leadership of the organization as a syuriah (the advisor of organization) (interview, 23 august 2020). the five contributed to the economy, as kiai na (informant, 42 years old) denotes that the micro-finance pesantren was named the koperasi distribusi ekonomi santri dan majelis taklim (kodesamata). thanks to honesty, perseverance, and tenacity, he became the chairman of kodesamata. kiai najib’s honesty is manifested in the process of establishing and administering the kodesmata, where the management is carried out transparently and openly. of course, at the beginning of the establishment of the kodesmata faced challenges that were not easy to solve. however, due to the cooperative’s efforts in managing it, the community and students in the as-salimiyyah pesantren setting have voluntarily become members of the kodesmata. then, by their tenacity in convincing pupils and community members of the ta’lim assembly, they gain confidence in participating in kodesmata events. as a result, kiai najib salimi established a loan business unit for the benefit of its members (interview, 23 august 2020). this kodesmata business unit offers empowerment initiatives geared toward students and ta’lim assembly members. students receive services in the form of savings and loans for school expenses and educational equipment. meanwhile, as members of the ta’lim assembly, assistance to 285from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the community includes easy-to-access savings and loan programs. this program has attracted roughly 100 clients who have become involved and integrated into the pesantren business unit’s organization. as a result, this pesantren cooperative has grown in size, with more members participating in economic activities at the pesantren. after establishing a successful pesantren cooperative, kiai najib established another business strategy based on traditional distribution. klasit is the primary ingredient used in manufacturing cosmetic tools and toothpaste. klasit waste can be utilized as a raw material in the manufacture of cement and in the construction of buildings. this pesantren cooperative was triumphant in establishing this business, which resulted in najib winning a national level competition hosted by the ministry of cooperatives and msmes in 2006, under the administration of president susilo bambang yudhoyono (sby) (fieldwork, 2020). behind of factors to contribute in community development in this section, the researcher wants to present four main factors that make kiai najib salimi a driving force in community development. first, the personal factor which is clearly recorded in the short biography of kiai najib salimi. his first name is najib zamzamudin. he was born on january 5, 1971 in mlangi. his father’s name is kiai salimi, and his mother’s name is nyai buyanah. personally, kiai najib salimi is the son of seven children, four boys and three girls; ahmad nasihin, najib salimi, na’imul naim, nurcharist madjid, isna jauharah, ilvi dhuroriyah, and asna asfiyah. all members of the parent, uncles, nephews, and others live in islamic boarding schools, which are widely spread in the yogyakarta area. kiai najib also has a lineage from a major ulema in yogyakarta. grandfather of the father named kiai mamba’ul ulum; a charismatic kiai in mlangi and a caregiver for the as-salimiyyah islamic boarding school (asrama perguruan islam/api). his mother’s grandfather was named kiai 286 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) masduqi, the founder and caretaker of the as-salafiyyah pesantren of mlangi. for that, kiai najib salimi has become a respected figure by the people who are descendants of charismatic ulema (fieldwork, 2020). meanwhile, referring to the name of the birthplace of kiai najib salimi as an area full of famous scholars and maintaining the tradition of pesantren in the ngayogyakarta hadiningrat sultanate. mlangi is one of the hamlets in nogotirto village, gamping district, sleman regency, yogyakarta special region (diy). this location is roughly 9.4 kilometers from the palace and includes mainly 15 islamic boarding schools that serve as a venue for students to memorize islamic learning. kiai nur iman or raden mas sandiyo is the central figure who serves as a role model for the community. as he is known to the public, mbah nur iman is a descendent of the mataram kingdom. he was sri susuhunan prabu amangkurat java’s fourth son; numerous oral traditions and statements indicate that kiai nur iman was born in the 1720s. kiai nur iman is a symbol of the mataram kingdom, having left the palace solely to study religion, including arabic, jurisprudence, tawheed, and sufism. his tenacity in studying religion earned him the esteem of the javanese kings. kiai najib salimi is unmistakably a scholar figure with a strong connection to the ngayogyakarta palace. mlangi is also a historically significant location. this neighborhood is home to a number of prominent ulama and kiais. most remarkable is establishing the palace mosque’s symbol, pathok negara, as a symbol of yogyakarta’s uniqueness. the mlangi district has developed into a symbol of the palace and a focal point for the growth of islam in yogyakarta (fieldwork, 2020). second, the family factor that made kiai najib a family man. he is known as a person who is easy to get along with, simple, and humble. socially, he has learned many people, especially in the pesantren environment and other kiai in yogyakarta, central java, and east java. his struggle as a central figure in nahdlatul ulama of yogyakarta city is 287from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) evidenced. he also teaches simplicity which makes santri precious to him. meanwhile, he is a person who is friendly and accepted by the community wisely (istiyanti, 2017). these three personality values have become the essence of values in developing activities within the islamic boarding school environment. personality formation was recorded after kiai najib salimi married a wife named nyai siti chamnah on july 1, 1999. siti chamnah is the daughter of kiai chudlori abdul aziz (maintainer of al-anwar islamic boarding school ngerukem bantul yogyakarta). they have three children from their marriage; two sons and one daughter—abdullah falah, muhammad alwi masduq, and abdah iqtada. kiai najib salimi is also a simple figure to be an example for his family, students, and society. ch (informant, 43 years old) said he was a gentleman and open person, remembered as a democratic figure but firm in teaching religious knowledge (interview, 23 agustus 2020). third, the education factor. kiai najib salimi lives in a pesantren tradition familiar with religious knowledge. he studied directly to kiai mamba’ul ulum (his grandfather) and kiai salimi (his father). this condition made him only learn the classical books; tasrifan, sorogan, memorization, bandongan, etc. he has never received formal education up to university level. kiai ni (informant, 41 years old) explained that he had studied at the elementary school level, but the diploma was never taken (interview, 23 august 2020). he is also a very skilled and adaptive person with formal education. his life story records this by attending various campus activities as a speaker at several universities; uin sunan kalijaga, institute of qur’an science (iiq) bantul, alma ata university, and others. being trusted by the campus as a speaker (who is not a college graduate) is not easy. in this case, it indicates that he feels the impact of the blessings of studying science in the world of islamic boarding schools (interview, 23 agustus 2020). 288 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) after completing his basic education, his father sent him to recite in islamic learning directly to kiai abdurrahman chudlori (maintainer of asrama perguruan islam tegalrejo, magelang). he has spent time studying grammatical arabic science (nahwu and sharaf), theology, fiqh, and theosophy. the classical books that is studied for example, safinatunnajah, fathul qorib, minhajul qowim, fathul wahab, al-mahali, fathul mu’in, uqdatul-farid, ihya ulumuddin, and other book. fauzanah explained that he studied in tegalrejo for approximately 8 to 9 years from 1985. in his final years of seeking knowledge, he often commuted to magelang. this was done because of his father’s request to teach islamic studies to the students at his pesantren. the return trip was because he still had to deepen his knowledge of sufism from the phenomenal classical book“ihya ulmuddin”by imam al-ghozali (fauzanah, 2016). fourth, social factors, as ha (informant, 32 years old) describes the personality of kiai najib salimi as a leader who is trustworthy to accommodate all interests and democratic person. as a trusted leader, he was once trusted to take care of the construction of the nahdlatul ulama branch office in sleman regency. by collecting donations to the community, he also did not hesitate to donate materials to establish the office. he also personally honors nu of yogyakarta city as rais syuriah (2009-2011) in a dedicative, integrative, inclusive, and continuous-improvement manner. clearly, he also has a democratic mind applied in preaching to the thugs in the giwangan area. he can turn a negative image into a positive area. these personality values are clearly recorded that the existence of the pesantren that was established and the community it supports are still a symbol of the role of kiai najib salimi in yogyakarta (interview, 28 agustus 2020). kiai najib salimi had a short life, and he died at the age of 40 at the muhammadiyah kauman hospital on september 30, 2011. kiai na (informant, 42 years old) said that he fell ill after experiencing an accident 289from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) on his way home from the pilgrimage to the tomb of sunan muria kudus, central java (interview, 23 august 2020). in the midst of a short life, service and dedication to the people and the pesantren are timeless. his exemplary can be remembered. he is buried east of mbah nur iman’s grave in mlangi. prophetic leadership: ethical values in community development kiai na (informant, 42 years old) said that as a santri (student), kiai najib salimi was educated at a pesantren that was full of perseverance, simplicity, and concern. with intense perseverance, he needs enough energy. from dawn to dusk, he studied the religious knowledge taught by kiai. he focused on studying the classical books (kitab kuning), such as arabic grammatical (nahwu and sharaf), fiqh, theosophy, and theology. on the other hand, he lived a life as a santri full of simplicity. meanwhile, while studying at the cottage, his concerns also led najib to become a tawadu’(humble) figure, respecting kiai and older santri, visiting the graves for pilgrimages, and other traditions. the three values of the pesantren environment that he has lived have made him a figure who is able to balance the life of the world and the hereafter (interview, 23 august 2020). kiai najib salimi also has four personal character values: sincerity, intelligence, trust, and motivation. the character of honesty is seen in the business activities he undertakes. kiai najib often takes and accompanies his mother to sell in the areas of bringharjo market, cebongan market, sleman market, and other markets around his residence. the character of trust is seen in trading activities. when dealing with consumers, it is ensured that all business partners feel comfortable. this activity deposits convection goods such as mukena, clothes, negligee, jarik (batik clothes), and other materials carried out openly and precisely according to consumer demand. with his spiritual intelligence, kiai najib can become a role model for consumers in their business activities. this activity made him 290 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) a central figure in establishing the pesantren micro-finance (kodesmata). these four characters have become the basis for others to trust kiai najib’s leadership to develop a pesantren cooperative specifically for students and congregations within the assalimiyah islamic boarding school in mlangi (istiyanti, 2017). ch (informant, 43 years old) explored that kiai najib salimi implemented three life values, namely istiqamah, consistency, and amaliyah. individually, he carries out religious ritualization in an istiqamah manner. for example, running riyadhoh, obligatory and sunnah prayers, fasting monday-thursday, and various other spiritualities. in teaching at the pesantren, he is always consistent, humble, and a good listener. in addition, he also carries out the amaliyah of ahlussunah wal jamaah annadliyah through tahlilan, manaqiban, grave pilgrimage, halaqah, and various other activities that are very strongly carried out by nahdliyin (interview, 23 august 2020). these three values make the figure of kiai najib salimi a charismatic cleric so that all groups can easily accept preaching activities. therefore, in line with ca’s explanation (informant, 42 years old), dedication to education and religion through islamic boarding schools, dedication to nahdlatul ulama, and simplicity are values that can be applied as ethics in community development. personal devotion to religion and education is the key to teaching islam to the broader community. on the one hand, he was devoted to the nahdlatul ulama organization led kiai najib to become a cleric who was able to dedicate himself to religion, nation, and society. on the other hand, in following the life story of kiai najib salimi, his name is still remembered as a scholar who teaches simplicity at a shortage. all of this proves that perseverance, humility, and simplicity are the keys to living in a limited world. 291from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kiai, pesantren and community development kiai najib salimi’s contribution to community development can be recorded into five things: first, in the economic sector, it can be seen in the establishment of pesantren micro-finance; second, in the health sector, it is detailed in the recommendation to carry out the ngrowot fasting tradition; third, in the social sector, it is explored in da’wa activities that are able to change the image of the thuggery area into a religious community; fourth, in the political practices, it is manifested in serving nahdlatul ulama; fifth, in the sector of education and religion, he is listed as the founder of the luqmaniyah islamic boarding school in yogyakarta city. yusuf & taufiq (2020) argue that the knowledge of kiai affects community development actions. this can be seen in the innovation and dynamic outlook that gives multiple effects on social life. aside from that, pramitha (2021) also explains that kiai had contributed to the development of educational institutions that are adaptive to social dynamics, especially the transformational leadership style to neo-transformationalism. referring to saputro (2011) and zarkasyi (2020), kiai and pesantren continue to transform according to the context of the times, which makes them ground their islamic values to fight against cases considered evil. kiai najib salimi’s contribution to the development of pesantren and the community is motivated by personal, family, educational, and social factors. personal factors are an indication that kiai najib salimi is a descendant of a great scholar in yogyakarta who made him the successor of the family. the family factor is interpreted as a family man, as in the analysis of lestari, kartono, demartoto, & setiyawan (2019), which explains that someone who is finished with his family will be free to make positive contributions to society. the education factor is also a driving force for kiai najib salimi in contributing to community development. ahmad (2014) explains that the kiai is a symbol for interrelated pesantren, 292 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) apart from being a buffer for education and contributing to social change. in addition, social factors are also a driving force in social transformation. such as the studies of a’la (2006), salim (2013), & woodward (2011), which describe the kiai as a figure of a warrior who contributes to the indonesian nation, in addition to fighting imperialism in the colonial period as well as a figure who carries out movements to fight evil in the modern era. kaprabowo (2019) also denotes the existence of kiai who oppose state hegemony through the tarekat movement in indonesia. as a reflection of kiai najib salimi, the movement carried out also bears similarities to those carried out by the previous kiai who contributed to the communal life of the community (dai, 2016). this can be illustrated as the pattern of the community empowerment movement below: al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 6, no. 2, july-december 2021, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin kiai as a figure of a warrior who contributes to the indonesian nation, in addition to fighting imperialism in the colonial period as well as a figure who carries out movements to fight evil in the modern era. kaprabowo (2019) also denotes the existence of kiai who oppose state hegemony through the tarekat movement in indonesia. as a reflection of kiai najib salimi, the movement carried out also bears similarities to those carried out by the previous kiai who contributed to the communal life of the community (dai, 2016). this can be illustrated as the pattern of the community empowerment movement below: figure 1. a framework for sustainable community development source: adapted from roseland (2000). kenny, fanany, and rahayu explained that community development from the perspective of western scholars mentions the use of citizen awareness at the grassroots in their collective efforts (kenny, fanany, & rahayu, 2013; kenny, hasan, & fanany, 2017). however, kiai najib salimi's da'wa movement has raised the awareness of the local community, who continued to strive after his death. this can be seen from the existence of islamic boarding schools and their activities as role models in the community. the personality values of the kiai, such as pertinacity, modesty, and simplicity, are the essence of ethics in the practice of community development. activities that prioritize prophetic prophecy which are accommodated in the personality of kiai najib salimi emerged from multiplaying social capital mobilizing ummah and pesantren efficient use of devotees nu pertinacity, modesty,and simplicity figure 1. a framework for sustainable community development source: adapted from roseland (2000). kenny, fanany, and rahayu explained that community development from the perspective of western scholars mentions the use of citizen awareness at the grassroots in their collective efforts (kenny, fanany, & rahayu, 2013; kenny, hasan, & fanany, 2017). however, kiai najib salimi’s da’wa movement has raised the awareness of the local community, who continued to strive after his death. this can be seen from the 293from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) existence of islamic boarding schools and their activities as role models in the community. the personality values of the kiai, such as pertinacity, modesty, and simplicity, are the essence of ethics in the practice of community development. activities that prioritize prophetic prophecy which are accommodated in the personality of kiai najib salimi emerged from the practice of community development seeking ways to achieve the best practical approach, which is generally prioritized on a sustainabilityoriented paradigm (hibbard & tang, 2004; syafar & ulumi, 2021). this research is different from previous research, where the figure of the kiai who is described as a high-class society, turns down-to-earth. previous research has focused a lot on the development of islamic boarding schools and the role of kiai. the studies explored refer to the development of the pesantren curriculum, the dynamics of ulema’s thought, and the contribution of pesantren in nation-building. meanwhile, this study proposes a different opinion by referring to the findings, in fact, kiai are able to apply prophetic leadership, which can be applied as a reference for community development actors. meanwhile, the developed discourse was more about exemplary but did not reach real applications for social change. this shows the uniqueness of the study results from previous research, which focused too much on developing pesantren and depicting the figure of the kiai as role models. in contrast, the implication aspects of prophetic, prophetic studies tend to be neglected. conclusion and suggestion conclusion it turns out what has been believed that the kiai is a figure of highclass society that is difficult unreachable for anyone, there are not justified. this study shows that the contribution of kiai najib salimi changed the image of a kiai from a high-class figure to a down-to-earth figure in society based on personal, family, educational, and social factors. it is not enough 294 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) for a kiai to contribute to society only to have a good clan (nasab) and try to adapt to social changes that are appropriate to the context of the community’s needs. thus, the transformation of the kiai’s leadership style is needed to contribute to sustainable community empowerment. this research has provided a new perspective in looking at the figure of the kiai. prophetic leadership provides a novel lens through which to view kiai, allowing it to be discussed and included in community development strategies. the background and rationale for this leadership paradigm are more apparent when viewed through the lens of pesantren management, which has a tangible impact on people’s lives. by including the leadership model, this research not only provides a thorough “knowledge” but also enables the construction of a new leadership model to design a more appropriate pesantren. suggestion this study serves as an opening for formulating the direction of empowerment transformation based on individual services. the researcher realizes that the research still has limitations in analyzing and mapping individual service models in community development practices, especially since data collection is carried out on a smaller scale. in line with that, the researcher recommends conducting comprehensive research with a broader scope of analytical methods. it is necessary to consider clusters of pesantren with different characteristics of kiai leadership figures. references a’la, a. (2006). pembaharuan pesantren. yogyakarta: pusaka pesantren. abidin, d. (2010). modal sosial dan dinamika usaha mikro kecil. masyarakat: jurnal sosiologi, 15(1), 69–85. https://doi. 295from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) org/10.7454/mjs.v15i1.3708 abubakar, i., & hemay, i. (2020). pesantren resilience: the path to prevent radicalism and violent extremism. studia islamika, a27(2), 397–404. https://doi.org/10.36712/sdi.v27i2.16766 ahmad, m. (2014). pesantren: santri, kiai, dan tradisi. ibda’: jurnal kebudayaan islam, 12(2), 109–118. https://doi.org/10.24090/ibda. v12i2.440 astuti, r. d. p. (2017). pondok pesantren modern di perkotaan: studi kasus pondok pesantren al–adzkar tangerang selatan. masyarakat: jurnal sosiologi, 22(2), 257–279. https://doi. org/10.7454/mjs.v22i2.6873 bakri, s., & mangkachi, r. i. (2021). dialectics of pesantren and social communities in cultural value transformation. cendekia: jurnal kependidikan dan kemasyarakatan, 19(1), 69–87. https://doi. org/10.21154/cendekia.v1i1.2670 bloomberg, l. d., & volpe, m. (2012). presenting methodology and research approach. in l. d.blomberg & m. volpe, completing your qualitative dissertation: a roadmap from beginning to end, 65–93. thousand oaks, california, united states: sage publications, inc https://doi.org/10.4135/9781452226613.n3 budiwiranto, b. (2009). pesantren and participatory development the case of the pesantren maslakul huda of kajen, pati, central java. journal of indonesia islam, 3(2), 267–296. https://doi. org/10.15642/jiis.2009.3.2.267-296 chambers, r., & conway, r. (1992). sustainable rural livelihoods: practical concepts for the 21st century, ids discussion paper (vol. 296). brighton: ids chambers, r. (1994). the origins and practice of participatory rural appraisal. world development, 22(7), 953–969. https://doi. org/10.1016/0305-750x(94)90141-4 chotimah, c. (2015). pendidikan kewirausahaan di pondok pesantren sidogiri pasuruan. inferensi, 6(2), 114-136. https://doi. org/10.18326/infsl3.v8i1.114-136 dai, h. (2016). from personal ties to village welfare: changing community bonding in post-socialist rural china. community development journal, 51(4), 517–533. https://doi.org/10.1093/cdj/ 296 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) bsv048 de haan, l. j. (2000). globalization, localization and sustainable livelihood. sociologia ruralis, 40(3), 339–365. https://doi. org/10.1111/1467-9523.00152 dhofier, z. (2011). tradisi pesantren: studi pandangan hidup kyai dan visinya mengenai masa depan indonesia. jakarta: lp3es. el-rumi, u. (2020). the young kyai (lora) and transformation of the pesantren in madura. islam realitas: journal of islamic and social studies, 6(2), 119-136. https://doi.org/10.30983/islam_realitas. v6i2.3484 el syam, r. s. (2017). prophetic leadership: the leadership model of prophet muhammad in political relation of social-ummah. jurnal pendidikan islam, 6(2), 371-396. https://doi.org/10.14421/ jpi.2017.62.371-396 emery, m., & flora, c. (2006). spiraling-up: mapping community transformation with community capitals framework. community development, 37(1), 19–35. https://doi. org/10.1080/15575330609490152 fauzanah, n. (2016). peran kh. najib salimi di kampung kalangan umbulharjo yogyakarta tahun 2000-2011 m. thesis undergraduate (unpiublished). yogyakarta: uin sunan kalijaga yogyakarta. fauzi, m. l. (2012). traditional islam in javanese society: the roles of kyai and pesantren in preserving islamic tradition and negotiating modernity. journal of indonesia islam, 6(1), 125–144. 10.15642/jiis.2012.6.1.125-144 fitriani, m. i. (2016). kepemimpinan kharismatis-transformatif tuan guru dalam perubahan sosial masyarakat sasak-lombok melalui pendidikan. al-tahrir : jurnal pemikiran islam, 16(1), 175 -195. https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v16i1.332 gazali, h., & malik, a. (2009). pesantren and the freedom of thinking: study of ma‘had aly pesantren sukorejo situbondo, east java, indonesia. al-jami’ah: journal of islamic studies, 47(2), 295–316. https://doi.org/10.14421/ajis.2009.472.295-316 gutierrez-montes, i., emery, m., & fernandez-baca, e. (2009). the sustainable livelihoods approach and the community capitals framework: the importance of system-level approaches to 297from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) community change efforts. community development, 40(2), 106– 113. https://doi.org/10.1080/15575330903011785 hamid, n., & juliansyahzen, m. i. (2017). prophetic leadership in pesantren education: study at pondok pesantren universitas islam indonesia. jurnal pendidikan islam, 6(2), 349-369. https://doi. org/10.14421/jpi.2017.62.349-369 hannan, a. (2019). santripreneurship and local wisdom economic creative of pesantren miftahul ulum. journal of economics and business, 4(2), 175–202. https://doi.org/10.22515/shirkah. v4i2.267 hibbard, m., & tang, c. c. (2004). sustainable community development: a social approach from vietnam. journal of the community development society, 35(2), 87–104. https://doi. org/10.1080/15575330409490134 horikoshi, h. (1987). kiai dan perubahan sosial. jakarta: p3m. idham. (2016). empowerment of santri in reality and recollection: study in pesantren hubulo, gorontalo. jurnal pendidikan islam, 5(2), 235–259. https://doi.org/10.14421/jpi.2016.52.235-259 isbah, m. f. (2020). pesantren in the changing indonesian context: history and current developments. qudus international journal of islamic studies, 8(1), 65–106. https://doi.org/10.21043/qijis. v8i1.5629 istiyanti, l. & evianti, a. (2017). mengenal kh. najib salimi mamba’ul ulum. in m. hariwijaya, mengenang dan meneladani kh. najib salimi based on true stories. yogyakarta: elmatera publishing. jajoo, d., & malu, s. k. (2014). resarch methodology. retrieved from http:// shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/97412/5/chapter 3.pdf jamshed, s. (2014). qualitative research method–interviewing and observation. journal of basic and clinical pharmacy, 5(4), 87–88. https://doi.org/10.4103/0976-0105.141942 kaprabowo, a. (2019). beyond studies tarekat rifa’iyah kalisalak: doktrin, jalan dakwah, dan perlawanan sosial. jurnal pemberdayaan masyarakat: media pemikiran dan dakwah pembangunan, 3(2), 377– 396. https://doi.org/10.14421/jpm.2019.032-07 298 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kenny, s., fanany, i., & rahayu, s. (2013). community development in indonesia: westernization or doing it their way? community development journal, 48(2), 280–297. https://doi.org/10.1093/cdj/ bss053 kenny, s., hasan, a., & fanany, i. (2017). community development in indonesia. community development journal, 52(1), 107–124. https:// doi.org/10.1093/cdj/bsw059 kline, c., mcgehee, n., & delconte, j. (2019). built capital as a catalyst for community-based tourism. journal of travel research, 58(6), 899–915. https://doi.org/10.1177/0047287518787935 koch, s., faust, h., & barkmann, j. (2008). differences in power structures regarding access to natural resources at the village level in central sulawesi (indonesia). austrian journal of south-east asian studies, 1(2), 59-81. kuntowijoyo. (2008). paradigma islam: interpretasi untuk aksi. bandung: mizan. lestari, w., kartono, d. t., demartoto, a., & setiyawan, k. b. (2019). the empowerment of households towards independence through social capital in program keluarga harapan (pkh). society, 7(2), 268–280. https://doi.org/10.33019/society.v7i2.124 lukens-bull, r. (2010). madrasa by any other name: pondok, pesantren, and islamic schools in indonesia and larger southeast asian region. journal of indonesian islam, 4(1), 1–21. https://doi. org/10.15642/jiis.2010.4.1.1-21 marzuki, miftahuddin, & murdiono, m. (2020). multicultural education in salaf pesantren and prevention of religious radicalism in indonesia. cakrawala pendidikan, 39(1), 12–25. https://doi. org/10.21831/cp.v39i1.22900 maxwell, j. a., & reybold, l. e. (2015). qualitative research. in n. j. smelser & p. b. baltes, international encyclopedia of the social & behavioral sciences (2nd ed., vol. 19). amsterdam, netherlands: elsevier. https://doi.org/10.1016/b978-0-08-097086-8.10558-6 miles, m. b., huberman, a. m., & saldana, j. (2014). qualitative data analysis a methods sourcebook (3rd ed.). thousand oaks, california, united states: sage publications. 299from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) moris, t. (2006). social work research methods four alternative paradigms. berkeley, california, united states: california university press. muhammad, n. m. n. (2015). prophetic leadership model: conceptualizing a prophet’s leadership behaviour, leader-follower mutuality and altruism to decision making quality. european journal of interdisciplinary studies, 3(1), 93–106. https://doi.org/10.26417/ ejis.v3i1.p93-106 nasukah, b., harsoyo, r., & winarti, e. (2020). internalisasi nilai-nilai kepemimpinan profetik di lembaga pendidikan islam. dirasat: jurnal manajemen dan pendidikan islam, 6(1), 52–68. https://doi. org/10.26594/dirasat.v6i1.1966 pohl, f. (2006). islamic education and civil society: reflections on the pesantren tradition in contemporary indonesia. comparative education review, 50(3), 389–409. https://doi.org/10.1086/503882 pramitha, d. (2021). kh. achmad zamachsyari, leadership, and modernization of pesantren: character study in al-rifa’ie modern islamic boarding school of malang. ulul albab: jurnal studi islam, 22(1), 115–141. https://doi.org/10.18860/ua.v22i1.11678 pribadi, y. (2013). religious networks in madura pesantren, nahdlatul ulama and kiai as the core of santri culture. al-jami’ah: journal of islamic studies, 51(1), 1–32. https://doi.org/10.14421/ ajis.2013.511.1-32 rahman, y. (2017). feminist kyai, k.h. husein muhammad the feminist interpretation on gendered verses and the qur’ān-based activism. al-jami’ah: journal of islamic studies, 55(2), 293–326. https://doi.org/10.14421/ajis.2017.552.293-326 roseland, m. (2000). sustainable community development: integrating environmental, economic, and social objectives. progress in planning, 54(2), 73–132. https://doi.org/10.1016/s03059006(00)00003-9 salim, a. (2013). javanese religion, islam or syncretism: comparing woodward’s islam in java and beatty’s varieties of javanese religion. indonesian journal of islam and muslim societies, 3(2), 223266. https://doi.org/10.18326/ijims.v3i2.223-266 saputro, m. e. (2011). muslim localizing democracy: a non-pesantren village in madura as a preliminary study. indonesian journal of islam 300 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and muslim societies, 1(2), 297–316. https://doi.org/10.18326/ ijims.v1i2.297-316 scoones, i. (2009). livelihoods perspectives and rural development. the journal of peasant studies, 36(1), 171–196. https://doi. org/10.1080/03066150902820503 sholeh, b. (2005). the re-actualization of islamic law: munawir sjadzali and the politics of islamic legal interpretation under the new order indonesia. al-jami’ah: journal of islamic studies, 43(1), 99– 129. https://doi.org/10.14421/ajis.2005.432.327-347 sidiq, u., & ‘uyun, q. (2019). prophetic leadership in the development of religious culture in modern islamic boarding schools. istawa: jurnal pendidikan islam, 4(1), 80-97. https://doi.org/10.24269/ijpi. v4i1.1990 snelson, c. l. (2016). qualitative and mixed methods social media research: a review of the literature. international journal of qualitative methods, 15(1), 1–15. https://doi.org/10.1177/1609406915624574 steenbrink, k. a. (1986). pesantren, madrasah, sekolah. jakarta: lp3es. stener, t., & coria, j. (2012). policy instruments for environmental and natural resource management (2nd ed). milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, uk: routledge. sudarno, s. i. r. dan m. z. s. (2015). dakwah bil-hal pesantren walisongo ngabar ponorogo jawa timur dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat tahun 2013-2014. profetika: jurnal studi islam, 16(1), 26–49. https://doi.org/10.23917/profetika.v16i1.1797 syafar, m., & ulumi, h. f. b. (2021). from community capital to sustainable rural livelihood: exploring green development program in masoso, indonesia. jurnal pemberdayaan masyarakat: media pemikiran dan dakwah pembangunan, 5(1), 79–108. https:// doi.org/10.14421/jpm.2020.051-04 utami, a. w., & cramer, l. a. (2020). political, social, and human capital in the face of climate change: case of rural indonesia. community development, 21(5), 556-574. https://doi.org/10.1080/ 15575330.2020.1804956 van bruinessen, m. (1995). kitab kuning, pesantren, dan tarekat tradisitradisi islam di indonesia. bandung: mizan. 301from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) van bruinessen, m. (2013). rakyat kecil, islam dan politik. yogyakarta: gading publishing. widiyanto, a. (2014). salahuddin wahid and the defence of minority rights in contemporary indonesia. al-jami’ah: journal of islamic studies, 52(2), 271–307. https://doi.org/10.14421/ ajis.2014.522.271-307 woodward, m. (2011). java, indonesia and islam. dordrecht, netherlands: springer netherlands. https://doi.org/10.1007/978-94-0070056-7 world food programme. (2009). desk study: literature review and secondary data. comprehensive food security & vulnerability analysis guidelines, 47–62. retrieved from https://documents.wfp.org/ stellent/groups/public/documents/manual_guide_proced/ wfp203208.pdf wulandari, y., sagala, s. a. h., & sullivan, g. b. (2018). the role of community-based organization in disaster response at mt. sinabung. iop conference series: earth and environmental science, 158(1). institute of physics publishing. https://doi. org/10.1088/1755-1315/158/1/012035 xu, q. (2007). community participation in urban china: identifying mobilization factors. nonprofit and voluntary sector quarterlynonprofit and voluntary sector quarterly, 36(4), 622–642. https://doi. org/10.1177/0899764006297675 yusuf, m. a., & taufiq, a. (2020). the dynamic views of kiai in response to the government regulations for the development of pesantren. qudus international journal of islamic studies (qijis), 8(1), 1–32. https://doi.org/10.21043/qijis.v8i1.6716 zarkasyi, h. f. (2020). imam zarkasyi’s modernization of pesantren in indonesia. qudus international journal of islamic studies (qijis), 8(1), 161–200. http://dx.doi.org/10.21043/qijis.v8i1.5760 zubaedi. (2007). pemberdayaan masyarakat berbasis pesantren: kontribusi fiqih sosial kiai sahal mahfudh dalam perubahan nilai-nilai pesantren. yogyakarta: pustaka pelajar. 302 from prophetic leadership to sustainable community development: contributing kiai najib salimi in contemporary pesantren ahmad izudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 273 302, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3392 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) dakwah mmi (mengurai kekerasan sosial pada diskusi di lkis yogyakarta) abdul jalil dosen antropologi fib universitas halu oleo sulawesi tenggara abstrak kasus penyerangan oleh oknum tertentu ketika terjadi diskusi di lkis tentu sangat meresahkan masyarakat, apalagi sampai menimbulkan kekerasan sosial. pada saat yang bersamaan, kondisi masyarakat yang dinamis dan beragam, kerap kali menafsirkan suatu masalah sesuai kondisi masyarakat masing-masing, sehingga persoalan yang timbul tidak kunjung selesei. dalam kaitan itu, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengapa begitu mudahnya perilaku kekerasan sosial timbul menyertainya, dan selalu identik dengan dakwah model majlis mujahidin indonesia (mmi). penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis, menggunakan data primer dan sekunder dengan mempelajari lokus penelitian kekerasan sosial sesaat setelah terjadi diskusi di lkis yogyakarta. faktor internal sebagai penyebab yang perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap komponen bangsa, kondisi kesejahteraan masyarakat yang belum baik dan miskin ilmu pengetahuan agama yang melanda masyarakat serta kerinduan mereka atas sentuhan pembinaan keimanan tidak lagi mereka peroleh, serta kehadiran seorang tokoh yang mampu memberikan pencerahan, dengan mudah dapat membawa mereka menjadi manusia yang berperilaku keras. sementara ada kelompok umat lain yang merasakan keyakinannya terusik, dan tidak berfungsinya sistem keamanan yang ada, maka muncullah kekerasan sosial untuk menjawab kehadiran para manusia yang melakukan tindakan kekerasan. keywords: models of propagation, mmi, social violence, and lkis. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: jalil_kaya79@yahoo.co.id a. pendahuluan akibat kekerasan bernuansa agama di sejumlah daerah di tanah air mengakibatkan hilangnya rasa aman warga. kekerasan terhadap pengikut ahmadiyah di cikeusik, kasus pengusiran warga penganut syiah di sampang madura merupakan contoh fakta hilangnya rasa aman akibat kekerasan agama. berdasarkan laporan tahunan 2012 oleh program studi agama dan lintas budaya (crcs) ugm disebutkan bahwa ada dua kasus yang terus terjadi berulang-ulang, yakni penodaan agama dan perusakan rumah ibadah (zaenal abidin baqir, 2012), termasuk yang baru saja terjadi terkait perusakan rumah ibadah adalah pembakaran masjid di torikara papua dan perusakan gereja di aceh, jika kedua kasus ini tidak ada, maka gambaran kehidupan beragama di indonesia akan jauh lebih baik, masalahnya justru dewasa ini, kasus kehidupan beragama dari segi kualitas meningkat, diantara indikatornya adalah ditemukannya empat korban meninggal, tiga korban pada peristiwa penyerangan terhadap ahmadiyah di cikeusik 2011 dan satu orang pada kasus syi ah di sampang madura 2012. abstract attacks promoted by certain elements during a discussion in lkis of course disturb the society, moreover when they causes social violence. at the same time, the dynamic and diverse condition of society often interprets a problem according to the social condition so the problem never comes to an end. in accordance to the fact, the research was conducted to investigate why the social violence happens easily and it is always identical with majlis mujahidin indonesia (mmi). the research applies descriptive analysis method using the primary and secondary data by learning the locus of research on the social violence happened after the discussion in lkis yogyakarta. the internal factors as causes that need to get serious attention from all components of the nation include the poor condition of social welfare, the lack of religious knowledge and the need of a figure who is able to enlighten the society. these factors cause the society behave cruelly. meanwhile, there are other groups of people who feel that their faith was disturbed, and the absent function of existing security system, have resulted the social violence as an answer for the people who commit acts of violence. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 3 terkait dengan ahmadiyah, sebenarnya pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota telah bertindak lebih jauh dan lebih keras terhadap komunitas ahmadiyah dari ketetapan skb tahun 2008. sedikitnya ada 19 aturan yang dikeluarkan gubernur, bupati/wali kota atau kepala kantor tingkat pemerintah daerah (suhadi cholil, 2012). termasuk peraturan wali kota bogor yang cenderung intoleransi. soal konflik rumah ibadah, ada kasus gki taman yasmin yang berlarut hingga mengundang perhatian internasional. tren pemerintah daerah bertindak lebih keras dari pemerintah pusat terjadi. kh dian nafi’ pengasuh pondok pesantren al-muayyad windan solo menyatakan melihat potret buram kehidupan keberagamaan di tanah air, hal yang mendesak dilakukan yaitu perlunya tindakan peace making dan menumbuhkan sikap “respek diri”. ada kontradiksi, indonesia melalui presiden mendapat penghargaan sebagai negara yang mampu memberikan kenyamanan antar umat beragama, namun banyak problem di lapangan yang belum terselesaikan secara baik bahkan masih cenderung diskriminatif dalam penanganannya, seperti kasus syiah di sampang madura. bersama dengan itu, begitu banyak masyarakat maupun lembaga ataupun organisasi massa keagamaan yang mulai menampilkan sikap penolakannya serta banyak yang menyatakan rasa bimbang dan resah mereka atas keadaan yang berkembang, melihat keadaan di mana kelompok itu bermunculan di tengah-tengah masyarakat. pihak pemimpin yang sering melakukan tindak kekerasan atas nama agama tidak urung menyatakan pembelaanya dengan mengatakan bahwa yang berhak menentukan perilaku salah adalah pihak yang berwajib dan kejaksaan. sesama manusia biasa tidak punya hak menyatakan orang lain salah, apalagi sampai menduga orang lain memiliki keyakinan yang tidak benar. justru bagi mereka yang mengatakan tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan golongannya dianggapnya sebagai pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa khususnya dan disharmonisasi empat pilat kebangsaan yang lain. pada akhirnya suasana yang menimbulkan ketegangan bahkan 4 | abdul jalil – dakwah mmi konflik antar pihak di yogyakarta, seperti yang terjadi pada diskusi buku allah, liberty, and love karya irshad manji di yogyakarta berakhir ricuh. menurut informasi, aksi ini dilatarbelakangi penolakan atas homoseksual, sosok manji bagi mereka adalah representasi dari kelompok lesbian. berdasarkan press release, kelompok penyerang menyatakan propaganda kebebasan dan lesbianisme manji sebagai bentuk penistaan dan penodaan terhadap islam serta propaganda atheisme terselubung (s.w bal tommy, 2013). dalam perspektif sosial-budaya, adanya agama tidak terlepas dari masyarakat tempat para pemeluk agama yang bersangkutan berada. dalam hal ini agama berfungsi sebagai sistem pengetahuan dan keyakinan untuk memenuhi kehidupan didunia dan kesiapan untuk memasuki kehidupan di kemudian hari. jika fungsi agama seperti itu, maka wajarlah kalau agama dianggap sebagai roh dari kehidupan masyarakat. dengan demikian, agama diharapkan menjadi perekat persatuan yang bermuara pada upaya mencegah terjadinya kekerasan sosial dan mewujudkan kedamaian, namun untuk mewujudkan harapan seperti ini tidaklah mudah, karena agama juga bisa menjadi sumber ketegangan yang mengarah pada terjadinya kekerasan sosial. ada dua alasan yang mendasarinya, pertama, di dalam internal umat beragama itu sendiri ada kecenderungan untuk melakukan klaim kebenaran atas agama yang dianut, secara sepihak; kedua, berawal dari klaim sepihak, maka lebih mudah melahirkan pilihan sosial yang cenderung akan melahirkan perbedaan-perbedaan pemahaan, penyikapan dan tindakantindakan terhadap berbagai persoalan yang dihadapinya. fenomena kekerasan seperti ini nampak jelas akhir-akhir ini dalam kehidupan sosial masyarakat indonesia. perbedaan dan variasi keagamaan dalam kehidupan beragama tidak dilihat sebagai khazanah melainkan justru melahirkan kondisi yang berpotensi menimbulkan ketegangan dan kekerasan sosial yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. fenomena yang terjadi di yogkarta khususnya dan umumnya di indonesia dewasa ini karena munculnya gerakan-gerakan atas nama agama – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 5 untuk melakukan tindakan kekerasan sosial sebagai reaksi negatif terhadap sebagian masyarakat yang notabene melahirkan pemikiran-pemikiran liberal. diantara penyebabnya adalah reaksi negatif terhadap alam kebebasan yang dinikmati seperti sekarang ini memungkinkan seseorang atau kelompok orang mendeskripsikan apa saja yang diyakininya dan atau bagian dari hak asasi manusia (ham) serta reaksi atas ketidakpuasan terhadap agama-agama formal yang banyak disalahgunakan, atau dipakai sebagai topeng untuk menutupi kejelekan perbuatan manusia termasuk keinginan seseorang atau kelompok untuk memformalkan tradisi religiusitas lokal ke dalam agama. cara-cara kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan, baik menurut agama, etika, maupun prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ekses dari tindakan kekerasan maupun teror yang dilakukan tersebut. bahwa kekerasan sosial bukan merupakan solusi dalam menghadapi perbedaan keyakinan antar umat manusia, bahwa dengan dialog dirasakan suatu cara yang elegan untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan di yogyakarta. dengan menggelar dialog, pihak pimpinan maupun pengikutnya akan dihadapkan pada pengujian terhadap argumentasi pemahaman keagamaan mereka, lembaga keagamaan dan tokoh agama lainnya dapat memberikan pencerahan dalam dialog tersebut, sampai kelompok-kelompok keagamaan yang diindikasikan dengan tindakan kekerasan dapat tersadarkan pemahamannya yang salah selama ini. penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi substansi permasalahan dan alternatif pemecahan yang komprehensif dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kekerasan sosial, dengan mencari jawaban mengapa begitu mudahnya perilaku kekerasan atas nama agama dilakukan oleh sebagian organisasi massa yang notabene adalah muslim, solusi apa yang diperlukan dalam mencegah timbulnya kekerasan sosial yang menyertainya. eksistensi lembaga keagamaan tinggal hanya sebagai lambang saja, para pengikut dan pemimpin aliran 6 | abdul jalil – dakwah mmi aliran keagamaan tidak mengindahkan pernyataan tersebut. langkah pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan menyeret pemimpin dan pengikut aliran-aliran sesat ke meja hijau dirasa untuk sementara waktu dapat meredam berbagai kegiatan ritual dan perkembangan ajaran mereka. namun selesai menjalani hukuman, maka pemimpin dan pengikunya masih tetap menjalankan kegiatan mereka sesuai dengan keyakinan yang ada pada diri mereka. masalah lain yang dirasakan serupa, penggunaan cara pendekatan dengan kekerasan sosial yang dilakukan oleh anggota organisasi sosial keagamaan, seperti majelis mujahidin indonesia (mmi), masyarakat umum maupun aparat keamanan juga tidak membawa hasil yang baik, malah dirasakan terjadi ekses dari kekerasan yang dilakukan, baik kepada pengikut pemimpin dan keluarga mereka. begitu juga rusaknya sarana fisik yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan tersebut tidak terhitung banyaknya dan lebih banyak membawa kerugian kepada kehidupan sosial yang berkepanjangan. berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dikatakan bahwa kehidupan beragama dewasa ini mengalami gejolak sosial yang mencekam, disebabkan banyaknya perilaku kekerasan sosial atas nama agama yang bermunculan dan berkembang di tengah masyarakat, sehingga banyak masyarakat dan lembaga sosial keagamaan yang melakukan tindakan kekerasan. kebijakan pemerintah sering dirasakan tidak bermanfaat dalam menekan munculnya kekerasan sosial atas nama agama dan juga tidak mampu meredam gejolak masyarakat yang melakukan kekerasan. untuk itulah berdasaran rumusan permasalahan ini, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah: bagaimana munculnya tindakan kekerasan sosial oleh mmi yang merupakan organisasi berbasis dakwah pada kasus penyerangan diskusi di lkis? adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja yang melatrbelakangi penyerangan diskusi pada lkis mei 2012 dan mengapa kekerasan sosial selalu menyertai dalam kontek dakwah ormas mmi, sementara manfaatnya adalah dapat berguna bagi penelitian-penelitian dengan tema yang sama serta memberi kontribusi/ bahan masukan bagi pemuka agama dan masyarakat pada umumnya. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 7 kerangka teori kerusuhan atau kekerasan sosial terjadi karena ada ada dua faktor dominan yang mengakibatkannnya, diantaranya: pertama, kerusuhan dan kekerasan sosial karena ada faktor penunggangnya atau aktor intelektual dibalik kerusuhan; kedua, kerusuhan dan kekerasan sosial sebagai akibat dari ketimpangan struktur sosial, ekonomi, dan politik. meminjam istilah gusdur, sebagai pendangkalan agama. bagi gusdur, kerusuhan dan kekerasan sosial terjadi karena masyarakat kurang memahami esensi beragama yang menghargai perdamaian. agama dijadikan alat legitimasi politik untuk kepentingan dan golongan sendiri. fenomena pendangkalan agama dipicu oleh intaraksi yang intensif umat islam indonesia dengan sejawatnya di timur tengah. termasuk beberapa ideologi yang mampu menjadikan pelaku berlaku kasar adalah beberapa literatur klasik yang salah ditafsirkan. misalnya penelitian yang pernah dilakukan oleh pusat pengkajian islam dan masyarakat (ppim) universitas islam negeri syarif hidayatullah jakarta menyebutkan bahwa sejumlah kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren banyak mendukung tindakan kekerasan atas nama agama, seperti orang tua diperbolehkan memukul anaknya jika tidak mau sembahyang, selain itu ajaran jihad yang termuat dalam kitab tersebut dianggap mengajarkan tentang kekerasan, selain makna jihad juga diartikan sebagai berperang melawan musuh dalam islam berkonotasi positif (gunawan, 2013). dalam hasil penelitian oleh aliansi kebangsaan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (akkbb), disebutkan bahwa tidak adanya kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tanah air, merupakan faktor pemicu bagi masyarakat maupun individu melakukan caranya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. aparat hukum tidak melakukan tindakan pengamanan sebagaimana mestinya. bahkan seringnya, petugas keamanan terlambat tiba di tempat terjadinya kericuhan, sementara masyarakat telah melakukan kekerasan terhadap 8 | abdul jalil – dakwah mmi orang-orang yang tidak bersalah, kemudian setelah aparat hukum menangkap dan memproses orang-orang yang diduga melakukan tindakan kekerasan tertentu, ternyata secara spontan dilepaskan kembali, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana. pemahaman dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan seharihari, pada dasarnya akan membawa umatnya menjauhi sifat anarkis. setiap orang yang beriman akan menyatakan tidak menginginkan pertumpahan darah, tidak menginginkan penyiksaan/pembunuhan anak-anak, penindasan semua lapisan dari berbagai aspek, dan sebagainya. tujuan luhur hidup manuisa sama dengan tujuan luhur ajaran agama, yaitu mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan bagi penganutnya, tetapi fakta di lapangan justru yang terjadi paradok, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebijakan yang luhur dan anti kerasan, pada sisi lain ajaran agama bisa mengiringi kehidupan manusia dengan wajah yang tidak bersahabat, hal ini terjadi apabila agamanya atau keyakinannnya dicela, dilecehkan atau dihinakan oleh orang lain (sukidi, 2002: 13). sejatinya setiap agama mengajarkan kasih sayang, cinta kasih dan perdamaian di muka bumi. sejak berabad-abad lamanya, perbedaan entitas agama telah menimbulkan konflik yang paling keras, paling lama, paling luas, dan paling banyak mengambil korban. pada citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan, dan kekerasan. agama telah menjadi tirani, tercermin dengan atas nama tuhan, orang dapat melakukan penindasan, kekerasan, dan berkonflik. tentu ramalan huntington (l.e horrison & s.p huntington, 2006: 15) tidak berlaku lagi karena baginya perbedaan tidak selalu identik dengan konflik, begitu juga konflik tidak pula mesti ada kekerasan, tetapi yang terjadi bentuk-bentuk kekerasan dan konflik agama selalu dapat dihubungkan dengan bangkitnya fundamentalisme agama yang menampilkan cita-cita sosial politiknya. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 9 metode penelitian penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis, menggunakan data primer dan sekunder dengan mempelajari lokus penelitian kekerasan sosial sesaat setelah terjadi diskusi di lkis yogyakarta, yakni mei 2012. data primer didapat dengan observasi dan wawancara terhadap informan kunci, sedangkan data sekunder didapat dengan studi pustaka, termasuk beberapa informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, termasuk media internet. b. hasil penelitian dan pembahasan diskursus mengenai kekerasan sosial hampir tidak pernah terselesaikan secara jelas, sebagaimana para aktivis komnas ham selalu menyatakan bahwa maraknya beberapa kekerasan massa di tengah masyarakat tidak lepas dari tindakan yang dilakukan oleh aparat selalu tidak berujung pada penyelesaian, berangkat dari sini, masyarakat cenderung melakukan tindakan karena menganggap alat negara mandul, termasuk kasus penyerangan pada diskusi mei 2012 di lkis. tentu dalam pandangan penulis, bahasan ini bukan sudah basi melainkan perlu diurai siapa saja yang telah melakukan tindakan kekerasan dan mengapa perlu ada tindakan yang seharusnya bisa didialogkan. masih sangat hangat dalam memori masyarakat indonesia, terutama ketika sesaat akan dilantiknya ahok sebagai gubernur telah terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat muslim dengan bendera fpi dki jakarta, setelah dilakukan kajian oleh aparat, ternyata tindakan yang cenderung anarkis tersebut telah direncanakan jauh hari oleh seorang yang bernama habib novel dengan memberitahukan para anggota fpi. menariknya, pernyataan ahok sangat logis dengan nada menantang bahwa wajar jika fpi memberontak karena ijin operasi fpi telah habis pada tahun 2013. 10 | abdul jalil – dakwah mmi deskripsi kasus sebelum terjadi penyerangan oleh oknum dalam diskusi di lkis bersama irshad manji, hari sebelumnya juga ada informasi bedah buku karya irshad manji, namun gagal terselenggara karena panitia tidak diijinkan oleh pihak kampus atas desakan organisasi tertentu dengan alasan irshad manji sosok yang telah melakukan penodaan agama. namun akhirnya, jaringan perempuan yogyakarta mencoba mengajak kerjasama dengan pihak lkis, dan akhirnya terselenggara, meskipun pada awalnya juga terdengar dan desakan agar dibatalkan, seperti beberapa laskar islam meminta direktur lkis farid wajid diskusi agar dibatalkan. menurut tahksin salah satu panitia lkis, hal serupa juga telah terjadi di solo, beberapa ormas mendesak agar tidak terselenggara diskusi dengan sosok yang dianggap sebagai simbol penodahan agama, namun panitia mencoba tetap digelar melalui kerjasama dengan tokoh non-islam, akhirnya diskusi diselenggarakan dengan aman. apa yang menjadi unik bagi sebagian orang dengan kegiatan serangkaian oleh irshad manji di indonesia, tentu tidak semua bisa digeneralisasikan, artinya teman-teman yang biasa dengan kebangsaan, atau aliran ormas yang notabene bukan ekstrim dan radikal, atau boleh dibilang pasti pendukungnya para ormas yang lebih cenderung inklusif, atau sedikit sekuler. namun penulis mencoba memahami banyaknya pertentangan oleh masyarakat muslim indonesia dari perspektif akademik, misalnya dina y sulaeman, seorang alumnus magister hubungan internasional unpad dan research associate global future institute menuturkan bahwa manji membantah jika bukunya ‘allah, liberty, and love’ itu bukan tentang homoseksualitas. memang, tesis utama yang dia bangun adalah kebebasan, jangan takut untuk melakukan apapun karena yang paling benar hanya tuhan; dan tidak ada manusia yang boleh mengklaim diri sebagai yang paling benar. hanya setelah dibaca lebih dalam, salah satu bentuk kebebasan yang dibela manji adalah kebebasan untuk menjadi homoseks. menurutnya, penentangan terhadap homoseksualitas adalah penentangan budaya, bukan agama. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 11 berikut kronologi penyerangan diskusi buku irshad manji di lkis pada 9 mei 2012. menurut penuturan dian paramitha, kronologi peristiwa 9 mei 2012, bermula pada pukul 12.00 irshad manji men-tweet, mengajak diskusi bukunya di lkis jogja pukul 19.00 untuk umum. bagi irshad manji, info ini mungkin penting karena serangkaian kegiatan di indonesia, di lkis merupakan kegiatan yang terakhir di indonesia. pada pukul 17.00, manji juga tweet lagi yang isinya mengajak ekstrimis untuk ikut bertukar pikiran. tepat pada pukul 19.00, manji bersama ketiga temannya, nocky-jow-inong, termasuk dian menuju lkis, jalan paru sorowajan banguntapan bantul. dan sekitar pukul 19.30, mereka sampai disana. gerbang dalam keadaan tertutup dan digembok. dari luar bisa dilihat adanya diskusi di pendopo bagian dalam rumah itu. setelah 10 menit lamanya, baru kami dibukakan pintu dan ditanyai kami dari mana. saya hanya menjawab bahwa saya mahasiswa ugm. saya dan temanteman saya dipersilahkan masuk. sekitar pukul 20.00 wib, mereka berlima dipersilahkan duduk di lantai dalam pendopo. dian mengambil posisi paling dekat dengan irshad manji. diskusi berlangsung santai dan damai. bahkan kami disuguhi pisang rebus, ketela, dan teh. saat itu sedang tanyajawab menggunakan bantuan translator. irshad sempat ditanyai mengenai issue utama isi bukunya, mengenai sarannya, bahkan dikritik. sekitar pukul 20.15 wib, saat irshad hendak menjawab, ada seseorang dalam diskusi itu berteriak “fpi!” terlihat ada segerombolan laki-laki berpakaian ekstrimis, yang baru kemudian diketahui massa dari majelis mujahidin indonesia menghampiri gerbang sambil berteriak-teriak. selang beberapa detik mereka mendorong-dorong gerbang hingga rusak dan jebol. mereka masuk namun sempat dihalangi 2 (dua) temannya sehingga mereka tidak langsung maju menghampiri kami. saya datangi mereka untuk tau apa yang akan mereka lakukan pada saya. salah satu berteriak, “karena polisi tidak bisa mengamankan, maka kami!” saya masih berani disitu sampai kemudian batu-batu mulai dilemparkan ke arah kami dan teman saya, nocky, meneriaki nama saya untuk mundur. dia berhasil menggagalkan 12 | abdul jalil – dakwah mmi rencana bodoh saya menghadapi mereka. saya mundur dan menuju ke pojokan rumah. saat saya lari, saya menoleh ke belakang, beberapa dari massa mmi menendang dan menginjak-injak makanan sambil berteriak “allahu akbar!” saat itu juga saya menangis. negaraku dan agamaku dirusak! lalu mereka melempari buku-buku irshad, memecahkan pot, dan melempari kaca perpustakaan dengan batu. salah satu teman irshad, emily, seorang wanita kulit putih menangis, tangannya kesakitan. teman saya, mas jow, atas ceritanya langsung kepada saya, dia hampir kena parang dan akhirnya dipukuli bahkan diinjak-injak massa. keadaan mencekam selama setengah jam, lalu massa pergi. sekitar pukul 20.30 wib, saya mencari dimana irshad, ternyata dia masih duduk di lantai sambil memeluk kedua temannya. dia selamat dan dialah yang paling tenang menghadapi serangan ini. saya datangi dia sambil menangis, saya katakan padanya, i’m so sorry for everything. my country is not this bad. i’m sorry...lalu dia memeluk saya dan mencium pipi saya, dia berkata, don’t be sorry. i understand. thank you for being here. don’t be sorry okay...sekitar pukul 20.45 wib, setelah suasana kondusif, irshad dibawa ke dalam rumah. saya keluar dan melihat mobil polisi sudah datang. saya hampiri polisi yang baru saja keluar dari tempat duduk pengemudi. saya katakan padanya, “kemana aja pak? kenapa baru datang setelah seperti ini?” dia terlihat marah dan menyuruh saya berbicara dengan atasannya. saya datangi atasannya dan mengeluhkan hal yang sama. dia hanya bisa terdiam saja dengan wajah bingung. ada seorang laki-laki menepuk-nepuk pundak saya saat saya mengeluh. ternyata itu atasan lain. dia menjelaskan bahwa acara ini tidak ijin sehingga polisi tidak tau. saya katakan padanya, kalaupun ijin, biasanya polisi justru melarang kami berdiskusi dengan alasan keamanan. saya tambahkan, besok lagi jika ada diskusi seperti ini, polisi wajib melindungi kami, dan mengungsikan mereka yang melakukan kekerasan. kekerasan itu melanggar aturan, diskusi itu dilindungi negara!” dia terlihat tidak senang saya kritik namun dia kooperatir. dia menyalami saya dan berkata, “besok lagi jika ada acara seperti ini, kita bekerjasama.” beberapa wartawan merekam – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 13 kejadian itu. sekitar pukul 21.30 wib, setelah semua nampak aman, saya dan ketiga teman saya pulang dengan selamat. semoga irshad manji dan kawan-kawan semua juga selamat dan tetap berani melawan kekerasan (dian paramita dalam dianparamita.com, diakses oktober 2014). sebuah analisis kalau diperhatikan lebih mendalam, berbagai kerusuhan dan kekerasan sosial merupakan fakta sosial yang telanjang di tengah masyarakat dan telah menyayatkan cukup pedih bagi kehidupan kemajemukan bangsa. peristiwa semacam itu menggoreskan tinta hitam dalam perjalanan sejarah kehidupan berbangsa. dari sudut pandang psikologi sosial, kekerasan atau kerusuhan sosial sebagai perwujudan dari perilaku tak terkontrol. sementara menurut pendekatan teori politik, perilaku tak terkontrol muncul sebagai akibat dari mulai merosotnya kewibawaan aturan main yang telah dibuat dan disepakati bersama. aturan main (rule of game) merupakan pranata sosial yang berfungsi sebagai pengelola interaksi, baik interaktif masyarakat dengan pemerintah maupun antar sesama anggota masyarakat sendiri. pada kerusushan atau kekerasan sosial tertanggal 9 mei 2012 di lkis itu, hanya referensi yang menggambarkan sebagai kasus sara. berkaitan dengan timbulnya kekerasan atas nama agama di yogyakarta, khususnya pada kasus kekerasan oleh sekelompok organisasi masyarakat terhadap pembubaran diskusi di lkis, maka kekerasan yang bernuansa agama dapat terjadi karena kelompok tertentu menganggap bahwa adanya figure yang dipresentasikan sebagai penistaan dan penodaan terhadap islam serta propaganda atheisme terselubung, meskipun belum sepenuhnya dibenarkan. sementara jika diskusi oleh lkis atau sejenisnya, kemudian mengganggu dan melecehkan kaidah dan kepercayaan dari kelompok umat, maka kelompok umat yang dilecehkan (mmi) tadi akan melakukan tindakan kekerasan untuk melawan kelompok yang melecehkan tersebut. dan yang sering dilakukan oleh sekelompok organisasi sosial tersebut adalah pemahaman tentang berjihad di jalan tuhan sering 14 | abdul jalil – dakwah mmi membawa keinginan melakukan kekerasan demi membela agama dan keyakinan yang dipeluknya. selain nuansa nilai-nilai keagamaan, nilai harga diri juga merupakan faktor pendukung atas terjadinya kekerasan, seperti budaya siri di makassar, apabila harga dirinya terinjak-injak oleh kelompok masyarakat, maka sebagai jawabannya mereka tidak segan-segan untuk menjawabnya dengan kekerasan, yang menurut budaya mereka pantas dilakukan. tentu penulis bukan sepenuhnya mengamini budaya semacam ini, karena budaya juga hidup dalam konteks masyarakat indonesia, yang lebih ada terlebih dahulu dan jauh lebih dikedepankan melalui dialog kebangsaan dan tanpa saling menyakiti antar budaya masing-masing daerah. melihat kekerasan sosial apapun yang terjadi di depan mata, perlu kiranya mengurai kekerasan sosial atau konflik dari perspektif definisi itu sendiri. konflik dapat didefinisikan sebagai perilaku kompetitif atau agresif. konflik adalah mekanisme psikologis dasar yang berpusat disekitar tujuan-tujuan yang saling bertentangan. konflik dapat hadir kapan saja ketika suatu perangkat tujuan, kebutuhan atau minat tidak sesuai dengan perangkat yang lain. konflik pada awalnya merupakan hal yang tidak diinginkan, padahal kehidupan seseorang tidak bisa terhindar dari kenyataan berupa konflik, baik kecil atau besar. konflik memiliki ciri merangsang, membangkitkan, dan menggairahkan, dan memiliki outcome positif (zulkifli nasution, 2008: 16). konflik juga memiliki outcome negative, dengan ciri seperti: tujuan yang tidak tercapai, adanya komunikasi tertutup, dan sikap-sikap permusuhan yang lebih banyak dihasilkan. konflik dalam suatu kelompok kerja dapat mengganggu bahkan membantu kelompok itu sendiri, tergantung dari sifat pekerjaan. ketika kelompok mengerjakan tugas-tugas yang rutin, konflik yang berhubungan dengan tugas mungkin berpengaruh bagi para anggota kelompok untuk menyelesaikan pekerjaannya. ketika kelompok mengerjakan suatu tugas yang lebih sulit, seperti membuat keputusan, konflik tentang tugas tersebut dapat benar-benar menolong kelompok itu untuk berhasil (jhon kelsay and summer b. twist (eds), 1994: 4-9). – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 15 konflik dapat muncul dalam berbagai tingkatan di dalam organisasi. bisa bersifat intrapersonal, misalnya seseorang harus memilih di antara dua pilihan, yang sama-sama besar pengaruhnya bagi dirinya. jika konflik interpersonal ini terjadi dalam kelompok, maka konflik ini dapat disebut konflik intragrup. jika satu kelompok tidak bersepakat dengan kelompok lainnya, maka konflik inter-grup atau intra-organizational akan terjadi. sementara conflik parties adalah orang-orang, golongan, atau kelompok yang terlibat konflik secara langsung. dengan demikian, penyelesaian konflik perlu dengan cara-cara mediasi, artinya perlu dicari mediator yang bersifat netral dalam soal perselisihan. mediator tidak berwenang dalam mengambil keputusan tetapi hanya member arahan atau nasehat atau upaya-upaya agar kedua pihak saling mendekat untuk mengurangi tuntutan-tuntutan yang tidak bisa dipenuhi pihak lain. selain mediator, perlu juga dibentuk lembaga atau panitia-panitia tetap yang bersifat representatif bagi kedua pihak. cara ini memungkinkan adanya akomodsi yang bisa dilanjutkan dengan asimilasi, agar asimilasi terwujud, diperlukan upaya penyelesaian tersebut harus menghasilkan atau ada tindaklanjutnya. adanya lembaga-lembaga yang secara intensif mendorong asimilasi sangat diperlukan. lembaga tersebut mampu memunculkan benih-benih toleransi, sehingga masyarakat yang bertikai mudah untuk saling mendekat dan bersilaturahim. pembinaan kebudayaan dan ideology nasional ternyata tidak mampu memupus orientasi agama. bahkan dampak kebijakan pembangunan yang belum menjamin pemerataan kesempatan dan hasilhasilnya, telah melanggengkan persaingan laten antara loyalitas agama dan kebangsaan dalam benak sebagian besar anggota masyarakat. cara penyelesaian konflik yang lazim digunakan adalah konsiliasi (perdamaian), mediasi (perantara), arbitrasi (pengadilan), coercion (paksaan), dan dtente (mengurangi ketegangan). urutan ini dibuat berdasarkan kebiasaan seseorang dalam mencari penyelesian konflik dari yang lebih mudah (tidak formal) baru ditempuh dengan cara resmi (formal). 16 | abdul jalil – dakwah mmi selain teori tentang definisi konflik, juga perlunya teori integrasi. integrasi merupakan suatu penyatuan dari berbagai aspek kehidupan suatu bangsa, meliputi: sosial, politik, ekonomi, dan budaya. baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. horizontal berarti mempersatukan adanya perbedaan tingkat kehidupan sosial, perbedaan suku, ras, agama, dan budaya masyarakat. dimensi vertikal berarti mempersatukan adanya perbedaan elit dengan massa yang disebabkan faktor ikatan primordial dalam masyarakat integrasi nasional mencakup dua masalah pokok, yaitu: pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada tuntutan-tuntutan negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang dimiliki negara; kedua, bagaimana meningkatkan consensus normative yang mengatur perilaku politik setiap anggota masyarakat. konsensus ini tumbuh dan berkembang diatas nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa secara keseluruhan (lemhanas, 1994: 3). proses menuju integrasi tidak selalu lancar dan mulus, seringkali menemukan hambatan-hambatan, seperti adanya primordialisme, suku, ras, agama, dan bahasa. dalam setiap kebijakan pemerintah selalu ada reaksi setuju dan tidak, hal ini wajar karena negara indonesia dibentuk dari suatu masyarakat yang majemuk, ada yang merasa diuntungkan dengan kebijakan tersebut, dan banyak yang merasa dirugikan, maka kelompok yang dirugikan akan menyalurkan kekecewaanya melalui kelompokkelompok yang ada didalamnya. integrasi masyarakat dalam negara dapat tercapai apabila terciptanya kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial; selain itu sebagian besar anggotanya terhimpun dalam berbagai unit sosial yang saling mengawasi dalam aspek-aspek sosial yang potensial; adanya saling ketergantungan diantara kelompok-kelompok sosial yang terhimpun didalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara menyeluruh (marihanafiah dalam teori integrasi, 2013). – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 17 dalam konteks kekerasan sosial yang terjadi pada lkis dengan kemasan diskusi, hampir tidak dapat diungkap secara hukum, bagi pihak kepolisian merasa kecolongan jika hal itu sesuatu yang harus dilindungi, sementara kekerasan begitu mudah terjadi. bagi kepolisian, menyarankan agar penyelenggara atau panitia (lkis dan jaringan perempuan yogyakarta) hendaknya ijin atau memberi tahukan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian, apalagi sosok yang didiskusikan penuh dengan fenomenal. selain itu, ketika mei 2014 para jaringan perempuan yogyakarta melakukan demo di depan kapolda diy dengan tema menolak untuk lupa kekerasan di lkis adalah sesuatu yang absurd untuk diungkap, bagi kepolisian hal yang sangat tidak bisa ditindak lanjuti jika oknum itu sebuah lembaga bukan nama personil yang diindikasikan melakukan tindakan anarkis, sebagaimana ketika para panitia/pihak lkis dimintai keterangannya oleh kepolisian tidak bisa menyebut identitas pelaku. umumnya para jamaah mmi dengan laskar jihadnya, masih sangat susah untuk diajak diskusi, apalagi bagi mereka sosok yang dianggap lesbian (irsad manji) hadir di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim. dan secara administrasi lkis sorowajan masih satu kecamatan dengan markaz mmi, yaitu banguntapan. meskipun demikian, kiranya perlu direnungkan kembali, bahwa jika pelarangan diskusi irsad manji dari himbauan oleh sri sultan sebagaimana ketika hendak di ugm dicegah, ternyata juga damai tidak dapat terselenggara, namun ketika hanya sesama masyarakat sipil, anggap lkis dengan mmi, rasanya negara tidak hadir, kalaupun hadir tidak berperan, karena peristiwa sudah berlalu, baru aparat datang. dari beberapa stakeholder yang menjadi informan, sampai tulisan ini dikirim, sepertinya memang ada hal yang belum berani diungkap oleh pihak kepolisian, misalnya kalau alasan belum adanya oknum yang disebut sebgai dalang kekerasan, pihak panitia/lkis atau jpy sudah mengirimkan foto, dan sampai sekarang belum juga ada kejelasan. artinya apapun jika terkait dengan unsur pidana, semestinya alat negara lebih tajam 18 | abdul jalil – dakwah mmi dan berfungsi bukan terkesan mandul. selain itu, sebagaimana peristiwa di jakarta tentang ditangkapnya habib novel atas tindakannya dengan bendera fpi yang secara umum juga ormas yang fundamentalis bahkan radikal, bisa diungkap. persoalanya, apakah ormas semacam mmi yang ketika diwawancarai bukan satu-satunya pelaku, dan mereka lebih menyebutnya sebagai aksireaksi, juga bisa disamakan peristiwa fpi yang di jakarta, yakni wacana pembubaran ormas yang cenderung anarkis. tentu dibutuhkan kajian lebih mendalam, menurut uu no.7 tahun 2013, pemerintah memberikan 3 kali peringatan tertulis dengan jenjang waktu 30 hari, jika peringatan di patuhi, alias tidak melakukan kericuhan di masyarakat, pemerintah bisa mencabut peringatan tersebut, namun jika tidak dipatuhi, ormas dilingkup wilayah propinsi dapat dicabut oleh kepala daerah dengan pertimbangan dprd, kepala kejaksaan tinggi dan kepolisian. menengok model diskusi pada lkis sebagian dari generasi muda nu telah membangun komunitas ilmiah yang bernama “lkis” lembaga kajian islam dan sosial, lembaga ini mencoba mengkonstruk pemikiran islam yang berbeda dengan para generasi tua di nu. lkis mengkaji sosial keagamaan dan kebangsaan (mohammad shodik, 1999). wacana agama yang mereka kembangkan adalah “islam transformatif dan toleran”, adapun solidaritas yang dibangun meliputi 3 bentuk: solidaritas sesama muslim, kebangsaan, dan kemanusiaan. mereka juga ikut membangun “dialog kehidupan umat beragama”, wawasan humanities. pada tahun 1990an, salah seorang aktivis lkis menulis dalam perspektif dan wawasan humanities ini, tentu tidak relevan lagi sebagai sesuatu monopoli superioritas dan klaim paling berhak atas kebenaran. dalam perspektif dan kesadaran seperti itu, terbuka kemungkinan suatu kerjasama dan dialog yang lebih mendasar dan mampu mengoyak kedok-kedok ideologis dan kepentingan dalam pola hubungan sosial politik ekonomi masyarakat. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 19 dakwah mmi penulis cenderung menggunakan organisasi ini sebagai organisasi dakwah karena selain visi misinya yang sudah sering didengar menegakkan syariat islam di bumi indonesia dan pentingnya negara islam, sepak terjangnya cenderung amar makruf nahi mungkar dalam perspektif perjuanganya tanpa melihat kondisi bangsa indonesia yang lebih dahulu mapan dibanding lahirnya generasi-generasi organisasi islam semacam ini gerakan keagamaan islam ini telah muncul endemik di masa reformasi. hal ini bisa dimaklumi karena di masa reformasi gerakangerakan islam ini bisa secara bebas muncul dan menggerakkan ide-ide dan kepentingan mereka. isu-isu penerapan syari’at islam, mendirikan negara islam masih menjadi misi utama, sebagaimana ketika masa orde baru. gerakan islam di masa reformasi lebih tegas, mereka tidak takut, bahkan mereka ternyata sudah menyiapkan berbagai konsep yang berkaitan dengan berbagai isu penting dilihat dari sisi islam (endang turmudi dan riza sihbudi, 2005: 121-122). reformasi politik di indonesia sebenarnya telah ikut mendorong lahirnya kelompok-kelompok islam yang cukup fundamentalis dan bahkan sebagian radikal. di masa reformasi ini, lahir pula kelompok dengan nama “forum komunikasi ahli sunnah wal jama’ah, yang didirikan oleh ja’far umar thalib, seorang veteran perang afganistan. dahulu, ja’far merupakan pengikut al-irsyad, salah satu organisasi islam yang cukup tua, seusia organisasi nu dan muhammadiyah, bagi ja’far, melalui organisasi ini, berharap bisa menghidupkan sunnah nabi dengan melaksanakan islam sebagaimana di praktekkan nabi. kelompok ini mempunyai sebuah milisi yang dikenal dengan sebutan lasykar jihad (tentara untuk perang). kelompok laskar jihad (juga front pembela islam), bisa dikategorikan fundamentalis radikal bukan hanya karena mereka mempertahankan islam dari ancaman para sekularis non-islam, tetapi karena mereka menegakkan agenda politik untuk menegakkan norma-norma islam dalam kehidupan masyarakat indonesia. 20 | abdul jalil – dakwah mmi majelis mujahididin (mm) adalah organisasi atau kelompok islam yang lain, bisa dikategorikan fundamentalis radikal bahkan kehadirannya sangat penting sekali dalam memperkuat fundamentalisme dan radikalisme islam di indonesia. kelompok ini merekrut anggotanya dari berbagai wilayah indonesia dan berusaha mendekati berbagai organisasi islam yang sudah ada, seperti nu dan muhammadiyah. mm juga mempunyai milisi dengan nama jundullah (tentara allah). mm berbeda dengan dua organisasi islam sebelumnya, terutama terkait keanggotaanya. mm selain anggotanya lebih besar, juga mencakup wilayah yang lebih luas, termasuk luar jawa. selan itu, mmi adalah generasi mujahid, yakni generasi muslim penerus perjuangan islam; yang mengamalkan, mendakwahkan, dan memperjuangkan tegaknya syari’ah islam, baik secara individual (sendiri) maupun institusional (bersama-sama). kesadaran islami, yang didukung dengan hujjah aqliyah maupun naqliyah ini, akan dapat memacu generasi mujahid untuk senantiasa tampil total (kaffah). yaitu, totalitas dalam kepribadian, totalitas dalam beramal, totalitas dalam berjihad, dan dalam segala dimensi kehidupan sebagai aplikasi keimanannya. dan untuk tampil total (kaffah) para mujahid hendaknya berpegang pada asas keutuhan dan persatuan (wihdah), persaudaraan (ukhuwah) serta solidaritas (ta’awun). d. penutup idealnya masing-masing pihak terkait kekerasan sosial yang terjadi tidak perlu ada lagi, apalagi kita hidup di negara pancasila dan bukan negara islam. peristiwa yang selalu sering selain terkait kekerasan atas nama agama, juga antar supporter bola. pada 23 oktober 2014 di media harian tribun jogja memberitakan bahwa salah satu suporter dari persis telah tewas pasca laga persis solo versus martapura fc. sebelumnya juga diberitaka pula bahwa terjadi kekerasan massa antar suporter yang menewaskan salah satu suporter, yang tidak lain juga mahasiswa uin sunan kalijaga yogyakarta, umumnya alasan yang mendasari adalah masing-masing supporter belum secara ksatria menerima kekalahan dari timnya. kekerasan juga tidak – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 21 hanya fisik, banyak pula yang sekedar curhat atau update status bahkan hanya kicauan yang dianggap menghina masyarakat yogya di media sosial berdampak hukum, seperti kasus florence sihombing, mahasiswi pascasarjana fakultas hukum ugm, dan sekarang sudah dianggap lengkap atau p21 untuk diserahkan ke kejaksaan tinggi. referensi laporan penelitian: laporan tahunan crcs 2011 tentang kehidupan beragama di indonesia laporan tahunan crcs 2012 tentang kehidupan beragama di indonesia buku, tesis, dan makalah: baqir, zainal abidin. 2013. laporan tahunan crcs: kualitas konflik agama meningkat, mediasi dilematis, dalam acara launching dan diskusi laporan tahunan 2012 kehidupan beragama di indonesia, pada 25 april 2013. harrison, l.e; huntington, s.p. 2006. kebangkitan peran budaya, jakarta: pustaka lp3es. jhon kelsay and summer b. twist (eds). 1994. religion and human right lemhanas ri. 1994. kewaspadaan nasional, integrasi nasional. jakarta: lemhanas ri. nasution, zulkifli. 2008. aliran-aliran sesat dan upaya membangun kesatuan dan persatuan bangsa. tesis ugm, tidak diterbitkan. sodik, mochammad. 1999. gerakan kritis komunitas lkis-suatu kajian sosiologis. tesis ugm tidak diterbitlkan. sukidi. 2002. new age: wisata spiritual lintas agama. jakarta: gramedia pustaka utama. turmudi, endang dan sihbudi, riza. 2005. islam dan radikalisme di indonesia. jakarta: lipi press 22 | abdul jalil – dakwah mmi informan: wawancara dengan suhadi cholil pada 21 maret 2012, peneliti program studi lintas agama dan lintas budaya (crcs) sekolah pascasarjana ugm di yogyakarta. wawancara dengan takshin pada 7 oktober 2014, salah satu panitia diskusi lkis internet: dian paramita, “kronologi penyerangan irshad manji di lkis”, http:// www.dianparamita.com/blog/kronologi-penyerangan-irshadmanji-lkis-jogja, diakses pada 12 oktober 2014 gunawan, “sekali lagi kitab kuning mendukung kekerasan?”, , diakses pada 8 juni 2012 marihanafiah, “teori integrasi”, http://subpokbarab.wordpress. com/2008/09/ 18/teori-integrasi, diakses 5 juni 2013. tommy, s.w bal, “selenggarakan diskusi irshad manji, kantor lkis diserang”, www.balairungpress.com/2012/025, diakses 25 april 2013, diakses pada 2 juni 2013 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad lisnawati ruhaena* universitas muhammadiyah surakarta keywords: adolescents; instagram; personal branding http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: * lisnawati.purtojo@gmail.com abstract personal branding is an individual effort to obtain the response and perception of public audiences through social media, including instagram (ig). this study aimed to describe adolescents’ experiences in personal branding through instagram and the meaning of personal branding. it is qualitative research with a descriptive phenomenological approach. data were analyzed using thematic phenomenological analysis techniques to understand the themes and patterns of personal branding. data were collected using interviews and observation methods. five participants were obtained through purposive sampling technique with criteria: adolescents aged 18-21 years and active instagram users (with a consistent content theme). results show that the personal branding process is built through stages that involve determining goals, conceptualizing content, and posting content. it is essential to concept and edit content uniquely and posts consistently at the right time and the right frequency, including the highlight menu setting. personal branding has significant and strategic meanings for adolescents: as a medium to promote competencies, expand career opportunities, and be a useful person. essentially, it is recommended for adolescents to do personal branding as an alternative activity that supports selfdevelopment and careers using instagram. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 2 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e abstrak personal branding adalah upaya individu untuk menciptakan persepsi dan respons publik yang sesuai dengan apa yang diinginkannya. saat ini personal branding melalui media sosial seperti instagram (ig) menjadi fenomena yang menyeruak pada remaja sebagai generasi milenial dan menjadi pengalaman yang menarik untuk ditelisik. penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman remaja melakukan personal branding melalui instagram serta bagaimana maknanya. penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologis. untuk menganalisis data digunakan analisis tematik fenomenologis. metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan wawancara dan observasi. partisipan penelitian berjumlah 5 orang berusia 18-21 tahun dan kriteria pengguna aktif instagram dengan konten yang temanya konsisten dan diperoleh melalui teknik purposive sampling. hasil penelitian menunjukkan bahwa melakukan personal branding melalui tahapan proses, yaitu menetapkan tujuan yang ingin dicapai, kemudian mengkonsep dan membuat konten, serta mengunggah konten. hal yang penting diperhatikan tentang konten adalah harus memiliki keunikan, diedit lalu diposting secara konsisten, pada waktu dan frekuensi yang tepat serta diberi caption dan diatur dalam menu highlight. personal branding melalui instagram memiliki makna signifikan dan strategis bagi remaja yaitu sebagai ajang mempromosikan kompetensi diri, meningkatkan tawaran pekerjaan, dan menebar manfaat. personal branding direkomendasikan bagi remaja sebagai alternatif kegiatan positif yang mendukung pengembangan diri dan karier. kata kunci: remaja; instagram; personal branding how to cite this (apa 7th edition): achmad, e. s. & ruhaena, l. (2021). adolescents’s personal branding on instagram. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(1), 1–34, https:// doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 introduction personal branding is the effort to obtain response and perception of public audiences as desired by an individual. this term was initially 3adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) introduced by peters (1997) to perform self-promotion and support one’s goal in the career. today, personal branding is increasingly popular along with the rapid development of cyberspace in the digital era. websites, blogs, and social media are among the most platforms to build personal branding (belk, 2013). social media, mainly, are the most effective and extensively used tool for building personal branding (edmiston, 2014). it occurs since social media provide opportunities and facilities that encourage users to show and present themselves. meanwhile, marshall (2010) argued that social media is a conducive platform for individuals to build a public image or public perception. therefore, personal branding has a strategic meaning for the younger generation to communicate who they are, what competencies and preferences they have, and what career suits them the best. even during employee recruitment, social media is also an essential concern for the recruitment team. hood, robles, & hopkins (2014) suggests students organize their social media to show a complete and professional profile to support them in the employee screening process. while edmiston (2014) argues that in order to be considered for a job, college students must generate a positive initial impression of their personality on social media. personal branding can lead to a person entering the professional world. a personal brand can consolidate and provide concise information about what makes a person unique in the professional sphere (philbrick & cleveland, 2015). in addition, latiff & safiee (2015) suggested that personal branding through the instagram platform could be a start in building a business. it applies not only to a company but also to students, part-time workers, and those who are motivated to start their businesses. without a brand, a business may vanish. meanwhile, technology has a significant effect on building personal branding via online platforms. personal branding can also be enhanced by 4 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e self-promoting (irma & romina, 2019; karaduman, 2013). moreover, it requires a set of uniqueness and skills to exhibit strength and competence (widiastuti, 2017). personal branding entails the collaboration of values, characteristics, and ideas regarding individual ability or strength to obtain responses and perceptions of others. such responses and perceptions are able to affect the relationship between the individual and the audience (montoya, vandehey, & viti, 2002). according to mcnally & speak (2010), there are three steps to build personal branding. first, identifying one’s competencies. second, checking one’s standards and values. third, determining one’s style. personal branding can present one’s true identity. it can be a brand attached to an individual that distinguishes and differentiates her/him from others. suherman and lubis (2015) proposed three measures to build personal branding: showing existence, promoting self-confidence, and improving competencies. rampersad (2009) suggested the eleven characteristics of personal branding, including: 1) authenticity—a personal brand must be built on true personality by initially determining the personal ambition; 2) integrity—the individual must adhere to the moral and behavioral code; 3) consistency—the contents must be consistent; 4) specialization—the individual must focus on one area of specialization; 5) authority—the individual should show authority to be recognized as an expert in the field; 6) distinctiveness—the contents must be unique compared to others; 7) relevance—the contents should be in accordance with the target audience; 8) visibility—personal branding must be built continuously, repeatedly, and consistently; 9); persistence—the individual must ensure and focus on the specific field; 10) goodwill—a good relationship will bring better results; 11) performance—the owner should constantly improve themselves continuously. a personal branding that is consistently and continuously built will represent a distinguished figure in the media. 5adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) yunitasari & japarianto (2013) affirmed the factors contributing to personal branding: competencies, specialization, uniqueness, existence, reputation, and segmentation. among these factors, competencies are the most dominant factor in building personal branding. meanwhile, kholisoh & wahyuni (2017) reaffirmed components that make up personal branding: uniqueness, goals, strengths, competencies, appearance, achievement, authenticity, and values. effective personal branding is indicated when an individual is able to show off who they are, what they do, and what uniqueness they have, as well as to build the perceptions of others about who they are (widiastuti, 2017). social media is currently used by almost every millennial. they present themselves through social media as represented by the preferences of fashion, food, and favorite places. according to sitanggang & dharmawan (2016), the popularity of social media is related to technological advances that bring efficient, interactive, and assorted options of media platforms. the ministry of communication and information technology reports that unesco states 4 out of 10 indonesians are active users of social media, including facebook, youtube, instagram, and twitter (kominfo, 2018). in 2019, approximately 150 million or 56% of the total population of indonesia use social media (we are social & hootsuite, 2019; riyanto, 2019). they are dominated by people aged 18-24, of which 15% are female while 18% are male. of this percentage, 80% of them are instagram users. in 2018, indonesia was the third-largest instagram user in the world, with 53 million users. the kantar research institute carried out a study on march 14-23, 2020, and involved 25,000 participants from 30 countries, exposing the fact that the users of instagram had increased by 40% during the corona pandemic (kantar, 2020). instagram is a popular photo and video sharing application. this application is widely used to display oneself (mutia, 2017). the users can capture photos and videos using a mobile phones or selecting saved 6 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e items on the gallery, then post them on their instagram. in addition, it offers various effect features. it is equipped with a black and white effect, saturation, frames, and similar features (miles, 2013). adolescents, mainly, use instagram as a medium to exhibit their activities, which are mostly private or personal. they usually post contents that suit themselves and focus on self-expression and actively post expressive photos on a daily basis (jang, han, shih, & lee, 2015). instagram is a platform for fulfilling emotive, cognitive, entertainment, personal integration, and social integration needs. personal integration demands are related to the urge to recognize one’s own identity. people can use instagram to show off their fashion, hobbies, meals, and even favorite places to visit. it can be a medium to express happiness, sadness, disorientation, and anxiety. meanwhile, social integration need is the need to communicate and share experiences with others. in this context, instagram provides opportunities to meet new people and communities with the same interests or hobbies, for example, photography community (frison & eggermont, 2017; huang & su, 2018; prihatiningsih, 2017; sheldon & bryant, 2016; sheldon & newman, 2019; syahreza & tanjung, 2018). according to chen (2018), instagram is used for three purposes: first, as a medium to express oneself, digital albums, and to gain recognition from others. second, as a medium to spend leisure time. third, as a medium to connect with others. instagram has a feature of sharing links and tags in the photos, allowing people to stay connected and gain attention from other users at the same time. when posting content, users will make an effort to create interesting content and attract other users (zulli, 2018). similarly, sheldon & bryant (2016) argued the four purposes of instagram. first, to know the personal situation of others, including relationships, socio-economy, and circle of friends through the profile page. such information can be identified by clicking and scrolling one’s 7adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) page. second, to document memories or as a digital photo album. third, to gain popularity as indicated by the number of likes on posted content. fourth, to express one’s creativity through photos, videos, and status updates. liu & suh (2017) claimed that among the most popular photos on instagram were upright-standing models, friends or family gatherings, and scenery-themed pictures. instagram is equipped with filters that allow users to accentuate and use specific hashtags on their photos. the effort to create attractive content is aimed to increase the number of followers (thelander & cassinger, 2017). the personal branding phenomenon on instagram among adolescents was confirmed during a preliminary study with survey and interview methods. the survey involved 82 participants, showing the most participants (63.4%) regularly checked on insta-stories. in addition, 61% of participants claimed that they spent 3-5 hours scrolling on instagram, while 58.5% of participants felt inspired by instagram posts (jurj, 2019). a preliminary study that involved two participants aged 18 and 21 years showed the activities on instagram that were intended to influence the perceptions of others. the first subject is keen on traveling hence the contents of instagram are mostly about traveling. the subject stated: “my hobby is traveling. therefore, i always take pictures during travelling and post them on instagram. usually, the objects are natural or urban landscapes. i have been consistently posting such objects since late 2015. it was purely a hobby, but then i got more and more responses from others. they even ask for the locations and i am happy to share such information with them. it feels good when people visit the places that i post since it helps local traders selling their goods.” (interview 1). the research subject has built a personal branding as a person who likes traveling and consistently posts travelling-themed photos on instagram. to encourage people visiting places, the subject provides information 8 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e about these places. the subject is contended while sharing information on tourist attractions. the second subject is a dancer and keen of introducing the activities of dancing. the subject stated: “i have been a dancer since i was little and started to have instagram since i was a student at senior high school. since i often post my pictures while dancing, i get the benefits from it. people recognize me as a dancer hence i become more popular and get more job offers.” (interview 2). the second subject successfully paves the way to introduce a brand as a dancer by consistently posting the content of dancing activities. therefore, the subject becomes more famous and can expand career opportunities. the results of survey and interviews imply the function of instagram as a medium for socializing and for building public perception (hermana & listiani, 2017). in addition, instagram can also function to build personal branding for its users (susilowati, 2018). personal branding through instagram as an alternative of using social media with positive impact that very supportive in building a mature self-identity, is an interesting phenomenon. therefore, it is important to study how personal branding is created and what it means for adolescents. previous studies revealed personal branding built by politician hari tanoesoedibyo through television and newspapers, and ridwan kamil through twitter (sitanggang & dharmawan, 2016; widiastuti, 2017). in addition, the characteristics of personal branding used by several bloggers, i.e. diana rikasari, risa stellar, and ibrahim risyad and prabowo mondardo, were also analyzed (imawati, solihah, & shihab, 2016; rachmawati & ali, 2018; susilowati, 2018; butar & ali, 2018). meanwhile, franzia (2018) involved 50 higher education students in a study, revealing the references of adolescents in building personal branding through social media such as 9adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) instagram, facebook, path, twitter, google+, youtube, linkedin, snapchat, and line. previous studies have discussed the strategies used by several politicians and bloggers in building personal branding through their social media. nevertheless, none especially involves adolescents and explores how they build personal branding by posting content on instagram. therefore, this study aimed to figure out the experiences of adolescents in building personal branding through instagram. for this purpose, several participants from different talents and professions (i.e., photographer, trainer, model, and beauty contest winner) were involved. in this context, their experiences are explored to obtain an overview of successfully building personal branding. subsequently, to describe the experiences of each participant in building personal branding based on their profession, a descriptive phenomenological approach was employed. in addition, phenomenological thematic analysis was used to analyze the collected data (sundler, lindberg, nilsson, & palmér, 2019). it is expected that this study will provide new insight into personal branding on instagram. furthermore, this insight can be a source of knowledge for adolescents as instagram users to be motivated and inspired in building personal branding through instagram. in addition, this study offers endeavors to improve knowledge, skills, and experiences regarding effective ways to build personal branding (johnson, 2017). therefore, this study is emphasized in creating personal branding and the meaning of personal branding for participants. this phenomenological research aims to describe the experiences of adolescents in building personal branding through instagram and the meaning of personal branding for adolescents. methods the present study is a qualitative research with phenomenological descriptive approach that attempts to describe the experiences of 10 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e participants (creswell, 2014). the data were collected through interviews and observation methods. a semi-structured model was used for interviews. the interview guideline was prepared to explore the process and meaning of personal branding for participants. the observation was used to complete the interview data focusing on the contents posted by participants on instagram. the collected data were analyzed using the phenomenological thematic method. it was done by determining the patterns of the meanings of data and subsequently organizing them into structured and interrelated themes, so participants’ experiences could be described thoroughly (sundler et al., 2019). the member checking procedure confirmed the trustworthiness data, and all participants were asked their opinion about the accuracy of the final description of the findings. the participants were selected using a purposive sampling technique. this technique involves selecting participants who meet predetermined criteria and considerations and is carried out deliberately based on research objectives (creswell, 2014; hadi, 2016; sugiyono, 2019b, 2019a). the criteria of the participants included: adolescents aged 18-21 years and active users of instagram who have specific and consistent theme of instagram contents as an indicator in building personal branding. the criteria were considered based on the characteristics of personal branding: consistency and distinctiveness. adolescents aged 18-21 were selected since the group dominated instagram users in indonesia and could be categorized as late adolescents. no initials age gender occupation theme of content number of followers 1 mr ± 20 male student & photographer table 1. characteristics of research participants natural landscape 5.480 2 mna ± 21 male student & trainer training activities 3.372 11adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no initials age gender occupation theme of content number of followers 3 am ± 21 male student & photographer 4 hflj ± 20 female student, 1st winner of putri solo beauty contest, & model the duties of putri solo & modeling 5 asyr ± 19 female student, 1st winner of tourism ambassador of central java, & model the duties of tourism ambassador and modeling results and discussion the results of this study answer the research objectives, which include how adolescents underwent the process of building personal branding on instagram and the meaning of personal branding for them. the interview data were analyzed to identify the meanings and then identify the pattern of the meanings to be conceptualized into the themes. subsequently, organizing them into structured and interrelated themes, so the experience of personal branding could be described thoroughly. the emergence themes in the unique branding process include determining goals, creating instagram content, and posting instagram content. furthermore, related to the strategic meaning of personal branding for adolescents, they perceive a personal brand as a medium to promote one’s competencies, expand career opportunities, and be useful to others. the process of building personal branding on instagram first, determining the goals. in building personal branding, all participants in this study initially set up the goals to be achieved. among the goals are to share and promote tourist attractions (participant mr), to provide information about pieces of training (participant mna), to natural landscape 1.047 3.286 5.985 12 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e introduce and encourage unique tourist attractions (participant am), to endorse goods and widely recognized as beauty contest winners and model (participant hflj), and to communicate with others and share the activities of tourism ambassador and model (participant asyr). the participants elaborated on these goals: “the reason (for posting on instagram) is to share information since people frequently ask about tourist attractions that i posted. i am happy to help” (interview mr/348-351). “my intention (for posting on instagram) is to build my own brand. i need it since i offer services (of trainings). the more i display my activities as a trainer, and the more people will notice my experiences, capacities, and capabilities.” (interview mna/363-369). “i want to introduce and promote unique, potential places to visit. therefore, i create content for a specific place (and post them on instagram)” (interview am/423-426). “(through instagram), i can promote my brand and events. since i am the ambassador of solo city, i regularly post content related to the city (interview hflj/214-217). “in addition, i want to share my talents to others. it is a means of self-promotion, showing my capabilities as a photo, video, or music video model. (interview hflj/466-470). “instagram can be a starting point to be recognized by others. we can post our activities and share them to others” (interview asyr/98-101). “in addition, instagram is rather as a ‘stage’ for me, i build and show off my personality through the contents. i have hundreds of maybe thousands of people virtually stalk at me through instagram. while they may not meet me in person, they can meet me via instagram.” (interview asyr/237-243). 13adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) second, creating instagram content. the contents of instagram are created and edited to conceptualize and highlight the uniqueness of the posting. participant asyr displayed her talent and uniqueness as the first winner of the contest at the provincial level, and top 5 contestants in national contest. in addition, asyr also exposed the process behind her success. “if you are unique and odd in positive ways, people will be curious about you.” (interview asyr/688-690). “i put myself as tourism ambassador who can be a role model and inspirator for my followers/others.” (interview asyr/706-708). moreover, the participants performed editing of contents before posting them as implied on the interview: “yet we have no absolute control on what netizen write on our posts. therefore, we must accept when they make unfavorable comments about our skin, body mass, and similar negativity since instagram is our stage.” (interview asyr/435-440). participant mna created and posted content with the theme of positive vibe-related training. he juxtaposed his instagram contents with his real world: “(since) i focus on trainings; i continuously post stories about good deeds and positivity. i avoid posting despair and similar kinds of stuff, as it implies my inability in practicing my expertise” (interview mna/225-232). in addition, he also testified to use photo editing feature: “it is possible to have satisfying photos all the time, so i use the filter for improving the quality of photos particularly to make them vivid and brighter” (interview mna/187-190). 14 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e participant hflj created content with the themes of solo city, etiquette, and how to dress appropriately. she also juxtaposed her virtual image with her real-life: “it is important to pay attention to etiquette and how we dress up, especially when i serve as putri solo” (interview hflj/518-519). participant also edited the instagram contents before posting them: “the contents must be attractive with adequate lighting, instead of a dime, blurry or redundantly bright. editing is also done on imprecise images that make them less attractive” (interview hflj/304-308). participant mr also carried out editing process before posting contents: “to make sure the content has the optimal result, (editing is important) since an image must be attractive to make people curious about the place” (interview mr/113-116). mr focused on color and lighting of the photos: “i prefer rather dark-themed photos. they tend to be less bright and less colorful. i prefer soft instead of bold dark, the color tends to be plain, calm and comforting” (interview mr/158-161). similarly, participant am claimed: “i do edit mostly for color grading” (interview am/217). the participant also conceptualized the contents by themselves: “i have to make concept (for my content). as there are three rows for a feed, i also make three concepts: for today, for the day after today, and for 2 days after today” (interview am/266-269). 15adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) third, posting the contents. as the participants finalized the contents, they posted them on instagram with several considerations, namely consistency, frequency, time, and caption. consistency implies the regularity in posting specific content. participant mr usually updates his instagram at specific time: “i usually post content in the morning, around 6 and 7 p.m. as i notice that i gain more likes in the morning, and in the weekend saturdays or sundays as most people have a day off ” (interview mr/290-311). in addition, mr also utilizes the features available on instagram, such as highlight, to allow people view his stories any time: “(highlight) is useful for new follower since it can save particular information that can be viewed any time, while story disappears within 24 hours” (interview mr/263-267). similarly, participant mna is consistent in posting contents: “my life revolves around training, so i post contents about devotion in trainings…” (interview mna/44-46). mna also allocates specific time for it: “i usually update my activities on saturday and sunday, assuming people have a leisure time for scrolling down social media” (interview mna/101-102). “i think it is important to post at specific hours, for me, it is between 6 p.m. too 7:30 pm” (interview mna/113-114). participants also regularly show off their existence on instagram by posting stories: “i schedule myself to post a story about my activities, at least once or twice a day” (interview mna/118-119). 16 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e “it is a strategy to show people that my ig is active as i learn that there is an algorithm in ig, the more frequent we update stories and post contents, the higher the possibility we get on instagram explore” (interview mna/122-126). in addition, participants also write caption: “i usually summarize the material that i convey at an event in the caption, i provide brief information about it. on the last line, i write the date and the location of the event as a reminder” (interview mna/156-163). participant am is also consistent in posting contents: “my hobby is traveling. therefore, i mostly take pictures about nature, especially landscapes” (interview am/137-139). am allocates specific time to post contents: “i usually upload contents after sunset to 7:30 p.m. it is a perfect time as most people are free, so they have time to scroll down ig” (interview am/240-245). “i also prefer monday to friday to post contents, considering people are preoccupied on weekdays and they need entertainment during a break, such as scrolling down ig” (interview am/314-318). am uses highlight feature for stories: “i use highlight to save stories, so people can view my stories when they are interested on them” (interview am/391-393). am also writes attractive captions on his feeds: “most people cannot ‘read’ photo. therefore, it is essential to make caption for the content. it helps viewers to understand a photo and get the message of our content” (interview am/201-205). 17adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) participant hflj is consistently posting contents on her instagram: “recently, i participated in solo city anniversary, so i posted the event on my ig. when i am invited to an event, i usually make a content about it” (interview hflj/209-211). meanwhile, hflj prefers to rarely post photos in order to prevent her followers for getting bored: “i don’t update my feed too often. i think people will get bored instead of curious about us. they tend to skip our contents when we post them too often” (interview hflj/327-330). in addition, hflj also uses highlight feature to create stories: “i highlight my videos to inform people about my skills” (interview hflj/466-468). in addition, hflj uses close friend feature to only allow particular people see her private stories: “i prefer ‘close friend’ setting for my ig as i feel more comfortable with it. i can post anything that i want to share without having to worry about what people will think of me. so, i think the feature suits me” (interview hflj/454-458). participant asyr is also consistently posting contents in her ig: “i used to initiate q and a about being tourism ambassador and being me in general back then when i served as tourism ambassador (of central java)” (interview asyr/248-250). “nowadays, i post more about my activities as model and jury to inform people about my profession. while for stories, i use it to expose and promote new tourist attractions in central java” (interview asyr/547-550). 18 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e asyr allocates specific time to update her ig: “i usually upload new content on saturday, between 5 p.m. to 8 p.m.” (interview asyr/380-383). asyr uses highlight feature to archive her stories: “to save information missed by some viewers, i highlighted some stories to be seen later” (interview asyr/762-763). asyr also writes inspiring captions to attract viewers: “when i wore the sash and was on duty (as tourism ambassador), it is my call to inspire others” (interview asyr/392-394). “it is such a pleasure to write captions that motivate others” (interview asyr/413-414). based on observation, the participants apply the feature of highlight on their stories thus people who had not seen their stories can view through the highlights as the stories only lasted 24 hours. instagram allowed the users to save stories using themes and titles as desired by the users and displayed at the bottom of the user’s profile in which people can see the stories any time (kertamukti, nugroho, & wahyono, 2019). the highlight feature helps the participants become more famous because the highlight feature saves instagram story uploads so that more people will be able to see the upload than if it is not stored in highlights. when more people can see the uploads stored in highlights, the more people will have a certain perception of the participants. at this point, the personal branding of the participants is formed. the participants also edit their contents before posting them on instagram. editing enables the users to create eye-catching and vivid photos. the editing process is carried out to give a more profound impression 19adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of the results of the posted photos (liu & suh, 2017). the impression is also a supporting factor in personal branding (thompson-whiteside, turnbull, & howe-walsh, 2018). when the uploaded photo is interesting because it is edited/edited so, it will create a positive impression on the individual who sees the photo. when the impression formed is positive, the personal branding that is formed is also positive. furthermore, four of five participants compose interesting captions to attract followers. as demonstrated by their posts, they wrote story about a trip, summarized training activities, informed an event through photos, as well as motivated and inspired others. caption is a part of creativity in composing words. it confirms sheldon & bryant (2016) in which instagram may serve as a medium to express creativity. the more attractive the caption is written, the more it helps individuals form personal branding in the public’s eyes. according to angelika & setyanto’s research (2019), an interesting and not boring caption will produce a positive impression and personal branding. regarding time, four of the five participants of this study allocate specific times to post content on instagram. three participants post photos on weekends. mr posts content on saturday or sunday between 6 and 7 a.m., mna on saturday or sunday between 5:30 and 7:30 p.m., asyr on saturdays between 5 and 8 p.m., while am on weekdays after sunset to 7:30 p.m. such differences occur since they have diverse characteristics of viewers/followers. therefore, they adjust the characteristics of the viewers/followers by posting content at certain time in order to obtain more likes and range of viewers. in overall, data analysis reveals three steps in building personal branding. first step is to determine goals as the target to be achieved. second step is to conceptualize a unique content and editing process. third step is to consistently post contents in terms of time, frequency, and caption as an extra point. 20 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e all participants’ goal in personal branding is related to express and present their identity and personality, which is in line with the previous research (park, williams, & son, 2020). in addition, it can also be concluded that the participants’ personal branding is related to the achievement of self-actualization, as research by allison, blair, jung, & boutin, jr. (2020). instagram is a means to publish self-actualization that has been achieved by the participants (hendrawan & nahdiah, 2019). as suggested by mcnally & speak (2011), setting the standards and values of an individual is one of the main steps to build personal branding. norms and values include the specific goals to be achieved. conceptualization of the contents as done by participants is suggested by mcnally & speak (2011): a step to build personal branding determines one’s style. uniqueness is one of the elements in building personal branding (kholisoh & wahyuni, 2017). likewise, widiastuti (2017) also reaffirmed uniqueness as an essential component in building personal branding. participants attempt to adjust their instagram concept with their reality. they emphasize the importance of gaining trust from others. the participants upload activities or things that are not only interesting but are also considered unique by others. the more unique the upload, the easier it is for the participants to form personal branding. when their posts are unique, it encourages other people who see the post to form a unique perception of the participants. both surveys and interviews unveil that the participants of this study are consistent in posting specific content. it is in line with the characteristics of personal branding developed by rampersad (2009) that personal branding must be built continuously, repeatedly, and consistently. all participants consistently show off their existence by posting story according to their schedules. most of them prefer afternoon to evening, after working hours. they also perceive that caption are essential to inform or inspire others. posting a content to show off one’s existence is a strategy to build personal branding (lubis & suherman, 2015). adolescents employ 21adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) instagram to share videos or photos. they also post contents that display their dispositions and are expressive when presenting themselves (jang et al., 2015). based on this, we can understand that the participants not only want to show their existence by uploading activities or something related to themselves. however, the participants also wanted to inspire with the caption written along with the upload. thus, the participants have the ability to harmonize uploads with captions that are inspiring and related to the lives of many people today. this means that participants can capture something from the uploaded content and then relate it to the lives of many people, thus giving rise to the idea of making captions that are not informative but also inspiring. the meaning of personal branding on instagram for adolescents adolescents define personal branding as the effort to promote their competencies, advertise abilities/services, and be useful to others. first, promoting one’s competencies. all participants in this study define personal branding to exhibit their competencies. mr and am are professional photographers of the natural landscape, mna is an expert personal trainer, while hflj and asyr are professional models and beauty, contest winners. “(i get) a higher number of followers, higher likes, and higher visitor. when our content is reposted, more viewers will visit our page” (w.mr/402-405). instagram is defined as a medium to promote competencies: “through ig, more people will recognize me and my skills.” (interview mr/173-174). “the more i display my activities, the more people will notice my experiences, capacities, and capabilities” (interview mna/366-369). 22 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e “(ig helps me) to gain trust of others through reputation. in my opinion, people will not pay attention to me if i show no skills. people will neither recognize nor invite me as a trainer if i do not build my reputation and promote myself as trainer” (interview mna/376-382). “it is such a self-motivation to have a verified ig account as indicated by high number of followers and a broad range of viewers. it means more people notice your skills” (interview am/455-457). “it also means that more people visit our page and see our profile, as well as higher number of followers. significant increase in the number of followers, make us a celebgram” (interview am/461-463). “as i offer my service as a photographer, my page is mostly about my works” (interview am/752-753). “as i am frequently hired as a model for clothing and makeups, i always take pictures during the sessions and post them on my ig” (interview hflj/653-656). “(people frequently ask me) about my proficient public speaking. it requires a lot of practices” (interview asyr/133134). observations also reveal that number of likes and followers of the participants. the number of likes and followers is an indicator of popularity, as well the success in self-promotion. popularity is directly proportional to the number of likes. shortly, the higher the number of likes, the more popular the individual is. asyr obtains the highest number of likes as she has the greatest number of followers: she gains approximately 1.100-1.500 likes for a post. meanwhile, mr, hflj, mna, and am receive approximately 600—700, 700, 200—300, and 300 likes for a post, respectively. 23adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) based on the number of followers, asyr has the highest number of followers, followed by mr, mna, hflj, am, respectively. having ig account since 2014, asyr has 5.985 followers in which the number significantly elevates since her involvement in a beauty contest in 2018. likewise, mr recently has 5.480 followers since opening an account in 2017. while despite having an account since 2013, mna currently has 3.372 followers in which number dramatically increases since he became a famous trainer in 2016. hflj created instagram account in 2012, and recently, she has 3.286 followers in which number notably increases since she participated in a beauty contest in 2019. meanwhile, am had approximately 2.000 followers in 2016, but the account was hijacked by an irresponsible party. therefore, he created a new account in 2017, and recently has 1.047 followers. second, expanding career opportunities. having promoted their competencies, the participants of this study claim they have become more popular and well-known as professionals. popularity affects them in terms of career opportunities. briefly, personal branding has a meaning as a strategy to expand the range of job offers. people start to hire them via instagram based on their competencies. “(as people view my works on ig), some are interested in being photographed. it provides me a medium for business” (interview mr/358-359). moreover, “some also ask for collaboration. once, it was two hundred thousand rupiah for one story” (interview mr/370373). “occasionally, they just direct message me for discussion or invitation to an event” (interview mna/248-250). subsequently, “people may recognize my works on ig for a period, and finally, invite me to an event (as a photographer)” (interview mna/273-275). 24 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e “some of my clients contact me via instagram. it is usually for wedding and prewedding events” (interview am/572-573). “it includes an endorsement of a waist bag brand” (interview am/487-488). “people contact my business inquiry via instagram to hire me as a model, usually for clothing and make-up” (interview hflj/653-656). “in addition, i was the model in several videos made by communication sciences students, komfi fest, katon bagaskara, as well as for the competition of learning media at senior high school and advertisement for the school” (interview hflj/662-665). subsequently, “i am also the model of a beauty clinic, thrift clothing brand, shoes brand, shoes cleaning service, home dress, batik, and skirt brand” (interview hflj/886-890). “via instagram, i have accepted various lines of work, including as jury, model and resource person” (interview asyr/767768). third, being useful to others. posting specific content on instagram is also used by users to share information and solution for others. therefore, the participants of this study define personal branding as a way and medium to be a helpful person according to their competencies. they are contented when they can benefit others. people have sent messages, thanking them for providing valuable information related to the locations and routes to natural tourist attractions, psychological knowledge, history of cities, self-development, and inspirational quotes. “just for sharing (my experiences). as my hobby is traveling, i want to perpetuate a particular moment by taking a picture and uploading them on ig. for sharing information about tourist attractions to others” (interview mr/64-68). 25adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) “i post contents to promote a cause. training itself is about psychology in a general context, so it is less or more like tips” (interview mna/143-145). “while most people are not familiar to a particular place, i have visited that place and posted it on my ig. as a result, and they are curious about it” (interview am/173-176). “i just want to be a prolific one in my field of interest (photography)” (interview am/407-409). “when people repost our story, it feels good since we can give benefit to others” (interview hflj/635-637). “i love modelling. i want to be a professional in this field” (interview hflj/570-571). “i create a content about public speaking and discuss the requirements as tourist ambassador contestant in the following month, accompanied by how to dress appropriately in special occasions” (interview asyr/251-255). subsequently, “i am not interested in the idea of buying followers. i know some people do it to increase endorsement level. that is not my target. instead i need a real trust” (interview asyr/842-846). subsequently, “i realize that many small business owners have no links and less popular. therefore, i want to help them” (interview asyr/782-784). “as they are still in the phase of starting up a business, we help according to our capacity such as promoting their items” (interview asyr/794-796). according to the examination of the meaning of personal branding created on instagram, personal branding has significant and strategic meanings for adolescents: it is a platform for promoting one’s abilities, a link to expanding job options, and a way to be valuable to others. 26 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e competencies are a factor in building personal branding and the most dominant one (yunitasari & japarianto, 2013). lubis & suherman (2015) and mcnally & speak (2011) suggested that improving one’s competencies can be a step to build personal branding. competence is an essential aspect in building personal branding because competence causes participants to have skills and can actualize themselves in the form of various activities and achievements. when participants are able to make various achievements with their activities, it will cause others to form positive perceptions of themselves. at this point, the personal branding of the participants is formed. according to sheldon & bryant (2016), instagram serves as a means of popularity. through instagram, people can promote themselves to gain popularity. for some users, popularity is directly proportional to the number of likes on posted contents. the more the likes, the more popular the individual is. as suggested by thelander & cassinger (2017), instagram users always create works to enhance the number of followers on a weekly basis. the findings in this study indicate that social media does not always have a negative impact on an individual’s mental state. social media can actually be a means for individuals to display their achievements. in addition, feedback or responses obtained from social media, such as the number of followers or the number of likes/loves, help individuals achieve satisfaction and become reinforcement for creating positive content and other forms of achievement. career opportunities obtained by the participants of this study confirm latiff & safiee (2015) on the function of personal branding on instagram in facilitating a business to earn income. it applies not only to a company but also to students, part-time workers, and those motivated to improve their businesses, including adolescents. the job offers for the participants include a photographer of natural landscape or special events, trainer or keynote speaker, model, and endorsement. of the five participants, asyr has the most career opportunities in modeling and 27adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) celebrity endorsement due to her popularity as a contestant in a beauty contest at the national level. these findings illustrate that instagram can be a medium for selfpromotion through uploaded content. content that describes the participants themselves is then read by others with business and career interests. this then causes the other person to have a certain perception of the participants, so that the personal branding of the participants is formed. this condition attracts other people who have business and career interests to use the services of the participants due to the created personal branding. in addition, instagram has a facility in the form of participants mentioning accounts related to the business and careers that the participants are involved in. in addition, instagram also has a hashtag facility. these various facilities further help the participants to form personal branding to support their careers because more and more people are aware of their capacities through these mentions and hashtags. according to kholisoh & wahyuni (2017); firmansyah, budiwaspada, & sachari (2017); and raftari & amiri (2014), one of the elements to build personal branding is values. the participants associate the value of being valuable to others with the concept of personal branding. through their experiences, all participants in this study perceive the benefits of developing personal branding in terms of being useful and helpful to others. nevertheless, this study has some shortcomings, including a limited number of participants involved in the study and a limited range of professions. they only consist of photographers, trainers, models, and beauty contest winners. therefore, the collected data is less comprehensive in the context of the variety in building personal branding. 28 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e conclusion and suggestion conclusion the present study aims to describe adolescents’ experiences in building personal branding through instagram and the meaning of personal branding for adolescents. for adolescents, building personal branding entails three main steps: to determine goals, conceptualize and create unique content, and consistently post content. the first step is done by focusing on personal branding goals: sharing information, performing self-promotion, gaining popularity, and expanding career opportunities. the second step is done by creating contents with unique concept and finalizing them with the editing process to achieve such goals. the virtual image of an individual as symbolized by instagram content is synchronized with one’s real-life to maintain the trust of others. subsequently, the third step is to post content consistently in terms of time and frequency, activate the highlight feature, and write a caption to attract more viewers. for adolescents, personal branding built on instagram embodies three strategic meanings. they are a medium to promote one’s competencies, expand career opportunities, and become a useful person to others. personal branding is a positive activity to show one’s competencies according to their respective fields and preferences. in addition to the pride of being famous, popularity may lead to higher job offers and income. adolescents may have amusing experiences while they engage in activities that benefit others, such as sharing information and inspiring others. furthermore, as personal branding is perceived as a medium to be a useful person, there is an outstanding act carried out by a participant of this study. the participant views personal branding as a way to promote competencies, but not necessarily to earn money. instead, the participant uses it to spread kindness by voluntarily endorsing small enterprises that begin their business. 29adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion adolescents can optimize the function of instagram to carry out personal branding and engage in virtual reality through social media. personal branding is an alternative to use social media positively, which can support personal and career development. for further research, it is recommended to expand the number of participants and increase the variety of participants’ professions. it is necessary to enrich the data and gain more comprehensive results. references allison, l., blair, j., jung, j. h., & boutin, jr., p. j. (2020). the impact and mediating role of personal brand authenticity on the selfactualization of university graduates entering the workforce. journal for advancement of marketing education, 28(2), 1–13. angelika, v., & setyanto, y. (2019). media sosial dalam pembentukan personal branding. prologia, 3(1), 274–282. https://doi. org/10.24912/pr.v3i1.6251 belk, r. w. (2013). extended self in a digital world. journal of consumer research, 40(3), 477–500. https://doi.org/10.1086/671052 butar, c. r. b., & ali, d. s. f. (2018). strategi personal branding selebgram non selebriti. profesi humas: jurnal ilmiah ilmu hubungan masyarakat, 2(2), 86–101. https://doi.org/10.24198/prh.v2i2.12029 chen, h. (2018). college-aged young consumers’ perceptions of social media marketing: the story of instagram. journal of current issues and research in advertising, 39(1), 22–36. https://doi.org/10. 1080/10641734.2017.1372321 creswell, j. w. (2014). research design: qualitative, quantitative and mixed methods approaches (4th ed). thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. edmiston, d. (2014). creating a personal competitive advantage by developing a professional online presence. marketing education 30 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e review, 24(1), 21–24. https://doi.org/10.2753/mer10528008240103 firmansyah, r., budiwaspada, a. e., & sachari, a. (2017). persepsi visual elemen nilai personal brand pada media kampanye ridwan kamil. jurnal saosioteknologi, 16(3), 288–303. https://doi. org/10.5614/sostek.itbj.2017.16.3.5 franzia, e. (2018). personal branding melalui media sosial. prosiding seminar nasional pakar 2018 buku ii, 15–20. frison, e., & eggermont, s. (2017). browsing, posting, and liking on instagram: the reciprocal relationships between different types of instagram use and adolescents’ depressed mood. cyberpsychology, behavior, and social networking, 20(10), 603–609. hadi, s. (2016). metodologi riset. yogyakarta: pustaka pelajar. hendrawan, a., & nahdiah, s. (2019). personal branding analysis of food blogger cindy lulaby through instagram social media. international journal of scientific and technology research, 8(8), 164– 168. hermana, m. i., & listiani, e. (2017). membangun personal branding melalui media sosial instagram. prosiding manajemen komunikasi spesia: seminar penelitian sivitas akademika unisba, 3(1), 44–50. https://doi.org/10.29313/.v0i0.5532 hood, k. m., robles, m., & hopkins, c. d. (2014). personal branding and social media for students in today’s competitive job market. the journal of research in business education, 56(2), 33–47. huang, y.-t., & su, s.-f. (2018). motives for instagram use and topics of interest among young adults. future internet, 10(8), 77–89. https://doi.org/10.3390/fi1008007 imawati, a. v., solihah, a. w., & shihab, m. (2016). analisis personal branding fashion blogger diana rikasari. jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, 5(3), 175–184. https://doi.org/10.33366/jisip. v5i3.298 irma, a. s., & romina. (2019). the effect of technology in the creation of personal branding and its impact on professional progress. 12th annual conference of the euromed academy of business, 1214– 1227. 31adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) jang, j. y., han, k., shih, p. c., & lee, d. (2015). generation like: comparative characteristics in instagram. proceedings of the 33rd annual chi conference on human factors in computing systems, april. https://doi.org/10.1145/2702123.2702555 johnson, k. m. (2017). the importance of personal branding in social media: educating students to create and manage their personal brand. international journal of education and social science, 4(1), 21–27. jurj, a. (2019). insta-story for personal branding and product promotion. politehnica graduate student journal of communication, 4(1), 43–50. kantar. (2020). global study of 25,000 consumers gives brands clearest direction on how to stay connected in a pandemic world. retrieved march 30, 2020, from kantar website: https://www. kantar.com/uki/company-news/global-study-25000-consumersgives-brands-clearest-direction-stay-connected-pandemic-world karaduman, i̇. (2013). the effect of social media on personal branding efforts of top level executives. procedia social and behavioral sciences, 99, 465 – 473. https://doi.org/10.1016/j. sbspro.2013.10.515 kertamukti, r., nugroho, h., & wahyono, s. b. (2019). konstruksi ldentitas melalui stories highlight instagram kalangan kelas menengah. jurnal aspikom, 4(1), 26–44. https://doi.org/10.24329/ aspikom.v4i1.502 kholisoh, n., & wahyuni, d. e. (2017). media sosial youtube sebagai sarana membentuk citra diri (studi kasus personal branding laurentius rando). prosiding konferensi nasional komunikasi media, 1(1), 657–667. jakarta: ikatan sarjana komunikasi indonesia. kominfo. (2018). angka penggunaan media sosial orang indonesia tinggi, potensi konflik juga amat besar. retrieved march 30, 2020, from kementerian komunikasi dan informatika republik indonesia website: https://kominfo.go.id/content/detail/14136/ angka-penggunaan-media-sosial-orang-indonesia-tinggi-potensikonflik-juga-amat-besar/0/sorotan_media latiff, z. a., & safiee, n. a. s. (2015). new business set up for branding strategies on social media instagram. procedia computer science, 72, 13–23. https://doi.org/10.1016/j.procs.2015.12.100 32 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e liu, r., & suh, a. (2017). self-branding on social media: an analysis of style bloggers on instagram. procedia computer science, 124, 12–20. https://doi.org/10.1016/j.procs.2017.12.124 lubis, a., & suherman, m. (2015). personal branding announcer radio di bandung. prosiding penelitian spesia unisba 2015, 331–335. bandung: universitas islam bandung. marshall, p. d. (2010). the promotion and presentation of the self: celebrity as marker of presentational media. celebrity studies, 1(1), 35–48. https://doi.org/10.1080/19392390903519057 mcnally, d., & speak, k. (2010). be your own brand: achieve more of what you want by being more of who you are (2nd ed). san francisco, california, united states: berrett-koehler publishers. miles, j. g. (2013). instagram power: build your brand and reach more customers with the power of pictures (1st ed). new york, new york, united states: mcgraw-hill education. montoya, p., vandehey, t., & viti, p. (2002). the personal branding phenomenon: realize greater influence, explosive income growth and rapid career advancement by applying the branding techniques of michael, martha and oprah. scotts valley, california, us: createspace independent publishing platform. mutia, t. (2017). generasi milenial, instagram dan dramaturgi: suatu fenomena dalam pengelolaan kesan ditinjau dari perspektif komunikasi islam. an-nida’, 41(2), 240–251. https://doi. org/10.24014/an-nida.v41i2.4656 park, j., williams, a., & son, s. (2020). social media as a personal branding tool: a qualitative study of student-athletes’ perceptions and behaviors. journal of athlete development and experience, 2(1), 51– 68. peters, t. (1997). the brand called you. retrieved march 30, 2020, from fast company website: https://www.fastcompany.com/28905/ brand-called-you philbrick, j. l., & cleveland, a. d. (2015). personal branding: building your pathway to professional success. medical reference services quarterly, 34(2), 181–189. https://doi.org/10.1080/02763869.20 15.1019324 33adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) prihatiningsih, w. (2017). motif penggunaan media sosial instagram di kalangan remaja. communication, 8(1), 51–65. https://doi. org/10.36080/comm.v8i1.651 rachmawati, d., & ali, f. d. s. (2018). analisis kriteria personal branding selebgram non selebriti (studi deskriptif kualitatif akun instagram @lippielust). jurnal komunikasi, 12(1), 23–30. https:// doi.org/10.21107/ilkom.v12i1.3712 raftari, m., & amiri, b. (2014). an entrepreneurial business model for personal branding: proposing a framework. journal of entrepreneurship, business, and economics, 2(2), 121–139. rampersad, h. k. (2009). authentic personal branding: a new blueprint for building and aligning a powerful leadership brand. charlotte, north carolina, united states: information age publishing. riyanto, a. d. (2019). hootsuite (we are social): indonesian digital report 2019. retrieved march 30, 2020, from andi.link website: https:// andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2019/ sheldon, p., & bryant, k. (2016). instagram: motives for its use and relationship to narcissism and contextual age. computers in human behavior, 58, 89–97. https://doi.org/10.1016/j. chb.2015.12.059 sheldon, p., & newman, m. (2019). instagram and american teens: understanding motives for its use and relationship to excessive reassurance-seeking and interpersonal rejection. the journal of social media in society, 8(1), 1–16. sitanggang, h. b. n., & dharmawan, a. (2016). strategi marketing hary tanoesoedibjo dalam usaha membangun personal branding politik. jurnal penelitian pers dan komunikasi pembangunan, 20(1), 49–62. https://doi.org/10.46426/jp2kp.v20i1.43 sugiyono. (2019a). metode penelitian administrasi: dilengapi dengan metode r&d (2nd ed). bandung: alvabeta. sugiyono. (2019b). metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d (2nd ed). bandung: alvabeta. sundler, a. j., lindberg, e., nilsson, c., & palmér, l. (2019). qualitative thematic analysis based on descriptive phenomenology. nursing open, 6(3), 1–7. https://doi.org/10.1002/nop2.275 34 adolescents’s personal branding on instagram etty susilowati achmad, lisnawati ruhaena al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 1, january – june 2021, pp. 1 34, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i1.3138 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e susilowati. (2018). pemanfaatan aplikasi tiktok sebagai personal branding di instagram (studi deskriptif kualitatif pada akun @ bowo_allpennliebe). jurnal komunikasi, 9(2), 176–185. https://doi. org/10.31294/jkom.v9i2.4319 syahreza, m. f., & tanjung, i. s. (2018). motif dan pola penggunaan media sosial program studi pendidikan ekonomi unimed. jurnal interaksi, 2(1), 61–84. thelander, å., & cassinger, c. (2017). brand new images? implications of instagram photography for place branding. media and communication, 5(4), 6–14. https://doi.org/10.17645/mac. v5i4.1053 thompson-whiteside, h., turnbull, s., & howe-walsh, l. (2018). developing an authentic personal brand using impression management behaviours. qualitative market research: an international journal, 21(2), 166–181. https://doi.org/10.1108/qmr-01-20170007 we are social & hootsuite. (2019). digital 2019: indonesia. retrieved march 30, 2020, from we are social & hootsuite website: https:// datareportal.com/reports/digital-2019-indonesia widiastuti, t. (2017). analisis elaboration likelihood model dalam pembentukan personal branding ridwan kamil di twitter. jurnal aspikom, 3(3), 588–603. https://doi.org/10.24329/aspikom. v3i3.107 yunitasari, c., & japarianto, e. (2013). analisa faktor-faktor pembentuk personal branding dari c.y.n. jurnal manajemen pemasaran petra, 1(1), 1–8. zulli, d. (2018). capitalizing on the look: insights into the glance, attention economy, and instagram. critical studies in media communication, 35(2), 137–150. https://doi.org/10.1080/1529503 6.2017.1394582 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra universitas islam negeri sulthan thaha saifuddin jambi keywords: ahok; blasphemy; kompas and republika; media framing http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh correspondence: e-mail: m.benisaputra@uinjambi.ac.id abstract ahok's speech in kepulauan seribu was viral on the internet. the speech put the ethnic chinese christian jakarta governor into a national spotlight. mass media then sought to interpret ahok's speech by framing its content. using robert entman's framing theory, this paper analyzes online media framing of republika and kompas on ahok and a blasphemy case involving him. content analysis of the news articles published by the two online media shows that the framing of ahok and the blasphemy case differ in reporting and focus. kompas online mostly reported positive news about ahok, while republika online demonstrated a different pattern of framing. on the blasphemy case, kompas online focused on defense, whereas republika online emphasized that ahok had insulted islam and had to be jailed. these differences are manifestations of an ideological clash between kompas and republika. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 60 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak pidato ahok di kepulauan seribu viral di internet. pidato ini menjadikannya sebagai gubernur jakarta nasrani keturunan tionghoa menjadi sorotan nasional. keberadaan media massa selanjutnya berupaya untuk menginterpretasikan pidato ahok dengan membingkai apa yang menjadi konten pidatonya. menggunakan teori pembingkaian robert entman, tulisan ini menganalisis pembingkaian media online kompas dan republika terhadap ahok dan kasus penistaan agama. analisis isi dari artikel berita yang diterbitkan oleh dua media online tersebut menunjukkan bahwa pembingkaian mengenai ahok dan kasus penistaan agama berbeda dalam hal pelaporan dan fokus berita. pelaporan kompas online didominasi berita positif mengenai ahok, sementara republika online menunjukkan bingkai yang berbeda. mengenai kasus penistaan agama ini, kompas online fokus pada pembelaan, sedangkan republika online memberikan penekanan bahwa ahok telah menista agama islam dan harus dipenjara. perbedaan-perbedaan ini menjadi manifestasi pertabrakan ideologi antara kompas dan republika. kata kunci: ahok; kompas dan republika; pembingkaian media; penistaan agama how to cite (apa 7th edition): saputra, m. b. (2020). ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1). 59-94 https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 introduction “it is possible that deep in your heart, you don’t vote for me because of being deceived by using all those kinds of al maidah 51”(bbc, 2016). these above words, which were taken from a speech video recorded in the kepulauan seribu on 27 september 2016, spread as a nationwide controversy after a man named buni yani uploaded it to the internet. as the eyes and ears of the people, mass media tried their best to interpret the event and built suitable frames on the statement. some deemed it a 61ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) blasphemy of religion and therefore ahok had to be put on trial, while others argued that the news defended ahok whom they considered a victim of a political chaos of the approaching 2017 jakarta gubernatorial election. two of the media competing to build dominant frames on ahok’s words were republika and kompas. the active reaction of kompas and republika on ahok’s speech is understandable considering these two media were given birth and raised by two contrasting ideological streams: islam and christianity. republika was founded by the indonesian association of muslim intellectuals (icmi) (hefner, 1993; hefner, 1997) in the early 1990s as an effort to provide an islamic perspective in indonesian journalism. this goal has influenced republika’s reporting since its establishment until the present day. by contrast, kompas was initially an indonesian catholic party-affiliated media (wijayanto, 2017) founded in the early 1960s by a number of catholic journalists from the intisari weekly magazine. some prominent catholic figures such as p.k. ojong, jakob oetama, r.g. doeriat, frans xaverius seda, policarpus swantoro, r. soekarsono, as well as elements of the supreme council of bishops indonesia (mawi), including the catholic party, the union of catholic university students of the republic of indonesia (pmkri), and catholic youths and women got involved in the creation of kompas. the affiliation earned kompas a nickname of ‘komando pastur’ or the pastor command. despite having identical historical origins, today’s republika and kompas are different. republika still displays its original face as an islamaffiliated media as seen in its news coverage as well as on its website’s navigation tabs which bear some islamic features. republika even openly admits its status as an islamic media (raharjo, 2017). in contrast, kompas opts to go more secular and claims to be free of any ideological and political interests, a moderate strategy that has been proven effective in 62 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the indonesian moslem majority market. as a result, kompas progresses significantly and becomes indonesia’s largest media without losing its ideological interests: defending christianity on issues regarding the religion and its believers (yani, 2002; aprianti, 2014). at the same time, kompas remains unrestricted to play his role as ‘the ruling class’ (marx & engels, 1972) which has a means of message production to stem the increasing hegemony of islamic political ideology. ideology is inseparable from media because, as althusser theorized, the media are one of the ‘ideological state apparatuses’ whose task is to disseminate the ideology of certain groups (althusser, 2006). stuart hall defines ideology in communication studies as ‘organized belief system or set of values’ that refers to national culture, class position, and views of media owners disseminated through communication (mcquail, 2010). hall argues that the media are involved in the politics of significations by producing images of the world and giving certain meanings to them which not only reflectreality but also represent it (croteau & hoynes, 2013). talk about how the media represents reality, media basically have a role to transmit the message of communication widely to the public. in this case—the mass—media especially is capable to distribute some information and allows the public to access it widely (tamburaka, 2013). at least, there are three characteristics of the most dominant mass media, such as 1) business oriented; 2) based on the development of media technology; and 3) a reflection of people’s lives (anggraeni, 2018). thus, mass media are the media context that cannot be separated from the realm of business. through the basis of technology used, the mass media is able to disseminate information for the public, so that the information conveyed basically cannot only consumed privately, but it can be widely accessed by everyone who uses mass media. in addition, the mass media in its condition is also able to represent how humans live based on the reality they constructed (wahid & pratiwi, 2018). 63ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the media frame is considered important for media to limit the preparation and packaging of news. this is a part of media efforts to build a number of facts that can be raised in accordance with media ideology and the needs of the audience (wibiyanto & hastiningsih, 2019). in this context, some research talks about framing of media and politics, for instance, (entman, 2007); (hänggli & kriesi, 2010); (borah, 2011); (matthes, 2012); (azpíroz, 2014); (gronemeyer & porath, 2017); and (brugman & burgers, 2018). besides, the existence of framing concept and media setting’ agendas as a basis for this research can also be found in some references by (scheufele, 1999); (scheufele, 2004); (scheufele & tewksbury, 2007); and (alonso, 2014). how the media develop aspects of managing issues, this departs from the way an issue is raised, constructed, then managed and brought in a certain perspective based on the perspective of the media. in this position, the media certainly must be neutral. moreover, in this position, the media certainly must be neutral, if it is associated with an issue that tends to be sensitive and contains the competing interests of several parties. betting issues include the presence of positive and negative tones in the media frame, so that when examined further, issue management is part of the workings of the mass media. while the mass media itself, ultimately has a large role in constructing public opinion on the emergence and possibility of numerous people’s perspectives on the issues raised (wibiyanto & hastiningsih, 2019). ideology of media plays a central role in the normalization process of an event that includes and excludes certain ideas and actions and determines contents of a message (croteau & hoynes, 2013). such a technique aims to influence a wider community, therefore it adopts a particular media’s worldview, planting an understanding that the media perspective represents the experience of the whole human being (croteau & hoynes, 2013). 64 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) through the explanation, the media in their position must be able to provide continuity of information which surely is “good” for the community. this is due to the wide influence generated by the media, how the media analyze the political context in a neutral way, this is a big challenge for the concept of political democracy (aelst et al., 2017) which is conducted. the assumption is that the position of biased media (wolton, 2019), will certainly be a special influence on the democratic life of a country, especially in the political problems of it. the ideological difference between republika and kompas pushed both media to offer perspectives aiming at protecting political aspirations of christians and muslims. it became more apparent, especially after the bela islam (defending islam) 411 and 212 movements, a series of muslim protests against ahok’s controversial statement. while on the surface the protestors demanded ahok’s imprisonment, at the level of ideology 411 and 212, and the reaction to them from the christian group were an affirmation of paranoia feelings against the islamization or christianization of indonesia (hoon, 2016). the feeling of being threatened between indonesian muslims and christians (mujiburrahman, 2006) was increasingly evident in the second round of the 2017 jakarta gubernatorial election, which put ahok in a direct competition against the islamist party backed (pks) anies baswedan. whereas scholars branded the 2017 election as a battle between liberal muslims versus fundamentalists, or between rational versus racist voters (lim, 2017), yet the true reality did not entirely tell so. in fact, it was a clash of ideologies between christian and islamic groups as seen in the full support from indonesian christians and ethnic chinese for ahok (rmol, 2017), the notable participation of traditionally politically apathetic chinese voters (purwadi, 2017), and ahok’s landslide victory in several christian majority polling stations (ilham, 2017c). moreover, muslim groups in the indonesian capital, though slightly split, mostly 65ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) voted for anies which helped him seized victory (khadafi, 2017). such a complex dynamic influenced republika and kompas news framing of ahok and his blasphemy case. for republika, ahok was a threat to the muslim hegemony of jakarta’s politics thus he had to be framed as ‘other’. similarly, kompas expected ahok to become the ‘shepherd of salvation’ for jakarta’s residents through taking advantage of his dual minority status. a large body of scholarship has been devoted to media reporting on ahok’s blasphemy focusing on the reality created by the case (nautico, 2018) inconsistent reporting treatment on ahok’s trial (sidik, 2017) different framing of ahok’s case (sobari & ramdani, 2019; nurhaliza & tanto, 2019; suganda et al., 2018; mayasari, 2017; and indra k. & suprihartini, 2017). while all these scholarly works give a significant contribution to the understanding of media reporting on ahok’s case, yet a key issue has gone unobserved. prior studies paid too much attention to media framing with little emphasis on how frames built by news media are ideologically motivated. furthermore, previous studies did not notice the interconnection between the decreasing nature of the indonesian press freedom and the ideologically-motivated framing for and against ahok made by religiously-affiliated news media such as kompas and republika. by analysing all news articles published by kompas and republika from the emergence of ahok’s case to the judge’s verdict using robert entman’s framing theory, this paper offers a new insight on not only the development of the case but also its contextual force. more specifically, this paper argues that the framing difference between kompas and republika is not a mere coincidence but a consequence of the ideological streams attached to the two indonesia’s prominent news outlets. besides, discussing kompas and republika’s framing of ahok and his blasphemy case, and how ideology plays a role in the news making process cannot be more imperative in the midst of the multi-layered problems being faced by the indonesian media. media convergence (tapsell, 2015), 66 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) self-censorship among journalists (tapsell, 2012a), owners’ intervention of the independence and autonomy in the editorial room (tapsell, 2012b), and the dominance of oligarchs in the indonesian media (winters, 2013) have all seriously eroded the country’s media trustworthiness. methods this qualitative research uses data from kompas.com and republika.co.id. it’s supposed to be from 27 september 2016 to 15 may 2017 kompas.com and republika.co.id were selected because both media have historical affiliations with islam and christianity. the online versions of these two media were chosen due to the intensity of reporting and ease of access. besides, by 2017 the number of indonesians reading online news had surpassed that of print (reily, 2017). the reason behind the data collection from 27 september 2016 to 15 may 2017 is that september 27th was the day ahok paid a visit to kepulauan seribu and delivered the provocative speech. this date is important to see how the reaction of kompas and republika online to the phenomenon and how the initial framing the two media made. meanwhile, may 15th is aimed to see how both media behaved against the court’s decision on ahok and how they reacted to ahok’s verdict. the period from 27 september 2016 to 15 may 2016 was a time to influence public opinion and built dominant frames in hope of being accepted by audience as a common sense. kompas and republika online have sufficient resources to make their frames of ahok and his blasphemy case resonate and dominate the public sphere. most of kompas readers are highly educated, economically privileged, and politically influential (wijayanto, 2019). kompas gramedia, the parent company of kompas, is the biggest and the most prestigious media conglomerate in indonesia which owns 43 magazines and tabloids, 11 local newspapers, 5 book publishers (lim & arizona, 2011). in 2019, kompas online was the ninth most popular website in indonesia and its 67ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) subsidiary online news media, while tribunnews.com was the second (alexa, 2019). despite not being as large as kompas in terms of prestige and size, republika is undeniably indonesia’s most prominent islamic news media whose main readers are young middle-class muslims. in 2016, republika claimed to rank number 3 as the most read newspaper in indonesia (steele, 2018). similar to kompas, republika’s parent company, mahaka media, also owns several radio stations, a tv channel (jak tv), and a publisher (media, 2019). all these different message production means allowing kompas and republika to massively circulate their ahok’s frames, giving readers an understanding of who is ahok and what is actually happening regarding his case. furthermore, their privileged readers have social capital to influence others regarding ahok’s case through their extensive networks in government offices, media companies, and universities. data collection was done by downloading news articles with keywords ‘ahok’ and ‘ahok blasphemy al-maidah’ from the google search engine using the advanced search feature. there were in total 1496 (488 kompas.com and 1008 republika.co.id) news articles within an approximately eight-month period from 27 september 2016 to 15 may 2016 with the ‘ahok’ keyword. the ‘ahok blasphemy al-maidah’ keyword generated 210 articles, of which kompas covered 65 articles and republika 210 articles. all these articles were exported to the latest qualitative computer software nvivo 12 (edhlund & mcdougall, 2019; jackson & bazeley, 2019), and for a content analysis procedure using entman’s framing theory as a coding guide. according to entman, framing is “to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text” to promote a specific “problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation” (entman, 1993). entman argues that an article may or may not cover all the four features and a 68 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) frame does not necessarily have to contain all of them (entman, 1993). two aspects are usually featured in framing: texts and images (castells, 2013). framing through texts is generally conducted by associating texts with symbols that are easy to recognize or by substituting or repeating particular words (entman, 1993). in contrast, framing through images relies on pictures that are highly salient in a culture or images that are ‘noticeable, understandable, memorable, and emotionally charged’. more culturally recognizable images and words have a high potential to evoke similar thoughts and feelings in people (entman, 2004). this will allow an ‘image-making’ process in people’s minds to start which in turn affects people’s judgment and inference making (pan & kosicki, 1993). framing works ‘by activating the mind with a proper stimulus’ (castells, 2013) instructing people’s minds to consider ‘what exists, what happens, and what matters’ (gitlin, 2003), and become a phenomenon in seeing how public opinion is raised (chong et al., 2007). in many settings, the effect of framing raises doubts on the welfare conclusions drawn from revealed preference analysis (goldin & reck, 2019). although analyzing a massive amount of news to identify kompas and republika online framing of ahok and his blasphemy case, this research does not provide a complete picture of a clash of ideologies between kompas and republika online in particular with regards to the research topics. it is due to the absence of direct newsroom observations as well as interviews with the owners of the two media to assess and clarify the data. results and discussion a clash of ideologies the buzzing stories behind ahok’s case with massive protests by muslims against the christian-chinese jakarta governor, the nearing 2017 jakarta gubernatorial election, the tendency of voters to vote in 69ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) accordance with their religious and ethnic status (riana, 2016), and the different ideologies (islam and christian) that are deeply integrated in kompas and republika provide a justification for both media as to why they had to frame ahok in strikingly different ways. kompas’s source of ideology is jacob oetama as he is one of the founders, the president commissioner, and the ‘father’ of kompas who has the most share in the media company (keller, 2009). jakob oetama is a conservative, capitalist christian who embraces the principle of transcendental humanism. while in philosophy, the term means that humans have inherent rights to get proper treatment outside nature (ferry, 2002), and for jakob, it is translated into faith-based humanism with god being a central hub (kompas, 2016). jakob has been through long, intensive processes to build a strong foundation of his christian ideology through a number of ways. he first went to a christian school called the yogyakarta seminary high school in 1951 to fulfil his dream to become a priest. yet as the time went by, jakob changed his life goal from being a priest to a teacher under the supervision of a pious christian, yohanes yosep supatmo. jakob then taught at a christian school owned and operated by a group of catholic priests called the congregation of ordo fratrum minorum (ofm). during his spell as a teacher, jakob resided in a catholic school complex, vincentius, which was located in kramat raya, central jakarta (kompas, 2016). however, jakob once again changed his profession. living life as a teacher seemed to be unsatisfactory for him, thus he decided to turn himself into a journalist. jakob had actually been recommended by his history teacher, van den berg sj, a dutch priest, to study at columbia university on a scholarship. but a serious conversation between him and priest jw oudejans ofm reinforced his commitment to work in the media (galih, 2016). he believed, as suggested by the priest, that becoming a journalist was the noblest profession for him. throughout his life, jakob had worked for several christian media such as penabur weekly and intisari weekly before co-founding kompas with petrus kanisius ojong. 70 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in contrast, the islam ideology in republika has been well imbedded since the media’s establishment by the indonesian association of muslim intellectuals (icmi) in 1993. the establishment of republika indeed was aimed to channel the political voice of islam after having been side-lined, and sometimes repressed, by suharto until the 1980s. the authoritarian president had a special relationship with christian-affiliated top figures and organizations that caused serious troubles to muslims. in addition, republika is committed to serving indonesia’s muslims earning its a reputation of a conservative islamic paper that follows mui, nu, and muhammadiyah (steele, 2018). until the 2000s republika had been sponsored by influential muslim business elites who helped the media to survive despite being in a consistent financial loss (keller, 2009). republika is very protective when it comes to its islamic identity. when the paper went public in early 1993, it did not allow non-muslims to purchase its shares, a move to prevent muslim interests from being intervened by an outside force (hill, 1994). likewise, the same policy is also applied in the newsroom. republika limits its non-muslim membership that out of 117 republika’s employees there is only one person who is not a muslim (keller, 2009). republika implements five basic principles as its everyday ideological-daily basis; modern, moderate, muslim, nationalist, and people-oriented. its framework is “amr bil ma’ruf wa nahy an al munkar” , a concept derived from the quran which means enjoining right and forbidding wrong (steele, 2018). although erick thohir’s acquisition in 2000 turned republika into more commercial, its islamic identity remains unaltered. in fact, erick’s market-oriented outlook seems to adapt well to republika’s commitment to serve indonesian muslims. it is erick himself who wanted republika to play more roles in improving the image of islam. as he once said to republika’s staff that he did not want islam to be seen as stupid, poor, and backward. finally, erick 71ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) considers muslims a niche market to whom all republika employees have to always think about (steele, 2018). the tradition as an islamic press with a strong commitment to protect islam’s interests in republika and the influence of devout catholic jakob oetama in kompas, have inspired the two media to frame ahok and his blasphemy case differently. republika voiced strong condemnation against ahok’s speech to preserve the holiness of islam. such a robust ideological principle met its momentum when massive protests against ahok took place across indonesia. because muslims are republika’s targeted market, the media had no option except to write stories in accordance with the need of the market. reporting ahok’s case is indeed challenging for republika because the media is filled with muslims with diverse islamic viewpoints from secular to fundamentalist (steele, 2018). the difference was apparent in republika’s ahok and his case coverage. nevertheless, erick and republika editorial board prioritized the muslim market much more than its journalists’ personal opinions. for in republika the code of conduct for journalists is its traditional self-censorship ethic (keller, 2009). moreover, republika has a commitment to not trigger muslim’s anger on controversial issues such as the ahok’s case. defending ahok could have resulted in a protest by islamic organizations, like the one by lembaga dakwah islam indonesia (indonesian institute for islamic predication) or ldii, back in december 30, 1996 (hefner & horvatich, 1997). to prevent such an unwanted event from recurring, a gatekeeping procedure that excludes voices of liberal muslims and other anti-mainstream sources has always been taken into practice. republika denied getting involved in the debate of mui’s 2013 ruling on the islamic organization’s rejection of the banning of women circumcision, despite the issue being reported by other indonesian media. republika also strongly opposed lgbt and deemed it a serious threat. in 2016, dompet dhuafa, a republika’s non72 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) profit organization, sponsored an anti-lgbt forum of experts, islamic scholars, and ex-gays to send a message to the islamic community that the paper still gripped islamic teachings firmly (steele, 2018). as for kompas, it is undeniable that jakob has an almost unchallenged authority to govern the media (wijayanto, 2019), allowing him to directly and indirectly dictate the framing of ahok news. for jakob, ahok is a very important individual who matches with his life ideals and interests. ahok’s double minority as a chinese and a christian protestant suits well with jakob’s transcendental humanism ideal which, as explained by jong, is manifested in compassion. compassion is interpreted as a sympathetic feeling and partisanship towards the weak (kompas, 2016). in the indonesian case, ahok can be identified as ‘weak’ due to his racial and religious status, although in terms of socio-economic power chinese indonesians (bbc, 2018) and christians (kanas et al., 2015) are more superior than muslims. for this reason, defending ahok appears to be equal to defending the weak. furthermore, to frame ahok as a bad guy in such a context was quantitatively almost impossible for kompas, even though jakob was absent in the newsroom. jakob has placed catholics in kompas’s top positions for generations as a way to intentionally sustain the domination of christian ideology and interests, making muslim employees difficult to become chief editor (wijayanto, 2019). such domination, the heated tension of jakarta election, and massive protests by muslims across indonesia earned ahok enough support and solidarity from his catholic fellows in kompas. in defending ahok, jakob seemed not to mind going against some aspects of his life ideals. jakob, for example, has a principle that kompas needs to be critical and empathetic at the same time when covering a case (wijayanto, 2019). he also internalizes his ‘rasa’ principle (a javanese way of life) in kompas which stresses on harmony and sympathy (wijayanto, 2019). while these values were in use in ahok’s reporting, quantitatively, 73ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kompas’s amount of sympathy for ahok was far greater than that of criticism. the strong sympathy is attributed to kompas’s tradition as a government’s best partner or in the words of ben anderson, “new order newspaper par excellence” (hill, 1994). the partisan journalism etiquette remarkably intertwined with jakob’s ideological interests to protect ahok just like what the media has done in issues involving muslims and nonmuslims, which kompas prefers to take the latter’s side (aprianti, 2014; muslim, 2013; sumartono, 2005). in a larger context, both kompas and republika in reporting ahok’s case acted as platforms to accommodate the clash of civilizations (huntington, 2011) in indonesian political sphere between christians and muslims. both groups fear each other, and they do not, to paraphrase charles e. farhadian’s words, ‘inhabit a shared world except when necessary’ (farhadian, 2009). in the context of the 2017 jakarta gubernatorial election, it is difficult to deny the heated competition between the followers of these two abrahamic religions. the christian group had high hope in ahok to begin a new era in indonesian politics and put the hegemony of muslims in strategic political positions to an end. likewise, as the majority group, muslims were not willing to be led by christian-chinese ahok, for such a move would open the door for him or for any other non-muslim politicians to become indonesian president. these polarized groups were thirst for news to confirm their existing beliefs about ahok and his blasphemy case which in turn set a competition between kompas and republika. as a consequence, both media flooded the internet with ideologically-motivated frames they created in order to inform readers about ahok’s case. the end goal of such a strategy was to promote manufactured frames to win readers’ attention (wu, 2018) and consent (herman & chomsky, 2010). 74 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ahok in kompas and republika all the news articles containing the word ahok within the timeframe were carefully analyzed using akbarzadeh and smith’s coding guide (akbarzadeh & smith, 2005: 9). the coding scheme allowed the researcher to classify the framing of each article to determine whether ahok was framed in a positive, negative, neutral, or mixed way. this study classifi ed articles as positive, negative, neutral, and mixed based on the framing and the language of each news story. the adjectives used to describe ahok, the story selection, and the inclusion or exclusion of certain voices in commenting or supporting ahok affected the tone of a story. table 1. numbers of positive, negative, neutral, and mixed articles from kompas and republika online media positive negative neutral mixed numbers of articles kompas 273 27 158 30 488 republika 65 192 572 179 1008 figure 1. positive, negative, neutral, and mixed articles from kompas online figure 2. positive, negative, neutral, and mixed articles from republika online 75ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) it is clear from the table that republika covered more news than kompas, with an excess of more than 50% coverage. in terms of positive, negative, neutral, and mixed reports the table and the pie charts demonstrate a contrasting different style. kompas was more determined to frame ahok positively and at the same time committed to offering a neutral stance. republika, on the other hand, attempted to provide neutral news as its main framing of ahok. negative framing appears to be not a commitment for republika. the majority of positive articles analyzed in this research demonstrate a strong editorial policy of kompas to frame ahok as an outstanding leader. ahok was portrayed as an exceptional, heroic figure who dared to fight irregularities against all kinds of peoples and institutions: ordinary people, senators, court officials, politicians, and government offices. this also included the acting governor sumarsono who replaced then incumbent ahok when he was taking a break for his re-election campaign. kompas even took ahok’s side in controversial policies such as forced evictions, the jakarta bay reclamation project, and ahok’s blasphemy case. in the case of forced evictions for instance, kompas rarely used the word ‘eviction’. instead it preferred ‘relocation of unpermitted residents’ to soften the reporting tone of the event. the moral evaluation of the eviction framing is to normalize rivers to overcome jakarta flooding. meanwhile, republika’s positive framing of ahok is mainly related to his office activities, programs, and his reelection candidacy. republika rarely gave positive framing based on his personality like what kompas always did. the exception is only in september before the controversial blasphemy case occurred. in that period, republika seemed to join the echo chamber of indonesian media to cash in on everything about ahok. ahok, together with jokowi, grabbed the attention of indonesian mainstream media in 2012 when both young politicians ran for jakarta governor office. some oligarchs were involved behind the making of the 76 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) two politicians as indonesian media darling (tapsell, 2015a). but even so, republika still gave room for critical news about ahok. in the case of the bukit duri’s incident for instance, republika firmly exercised its duty as a watchdog by framing ahok’s eviction negatively, reporting the eviction story using residents’ and human rights activists’ perspectives. ahok was hardly framed negatively by kompas. when the online media did report negative news about him, its number was not significant, and the framing was generally non-inflammatory. exceptions were only news articles citing hashim’s (brother of prabowo) opinion about ahok and lbh jakarta’s voice on ahok’s eviction in which ahok was framed highly negatively. other exceptions were when kompas framed ahok as a bad christian whom did not deserve to get support for the ensuing election and his 2016 forced eviction policy which was classified as human rights abuses. however, despite all the critical reporting, it is noticeable that kompas did not apply overly negative framing. republika’s negative news about ahok aimed to counter frame kompas’s reporting. in response to kompas’s framing of ahok’s sincere love for islam, republika asserted the man was not eligible to be included into the ‘we’ camp of islam. republika believed that ahok’s confessions stating his strong connection to islam were just a fabrication intended to win the support of the mass and to build a popular opinion that himself was not anti-islam. republika also refuted ahok’s self-identification of being an indonesia’s nelson mandela, an acknowledgment made by ahok on the ground of the same imprisonment terms both himself and mandela served. to rebut this, republika opted to feature voices that passionately opposed ahok’s claim saying that mandela’s historical background, his attitude, and his political activism were contrastingly different to ahok’s. for them, ahok remained to be a serious problem for indonesian society. these negative comments were selected by republika to support its ‘bad ahok’ framing whose nature was not at the same level as nelson mandela. 77ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) both kompas and republika covered many stories about ahok with neutral framing featuring ahok’s activities as a governor and an individual, his trial and blasphemy case development, his debates prior to the jakarta election, issues on jakarta election, and jakarta government affairs. all these themes did not use inflammatory frames to support or condemn ahok, but rather reporting facts as they were. there was no significant framing difference betweem both media in their reporting of neutral news about ahok. in an article on ahok’s exception trial for instance, kompas neither discussed ahok’s positive personality, nor framed him as a damaging individual. the article did include positive framing in the end to explain ahok’s exception which may suggest a positive attitude of kompas towards ahok. but it was just a reporting of facts using fair frames without inserting supported or opposed adjectives to the facts. for republika where neutral news was the most dominant theme, framed issues were varied focusing on ahok’s gubernatorial and post gubernatorial activities, trial development, his candidacy, and plans after losing the election. the central framing point was similar to that of positive news, and the only difference was in terms of quantity as seen in the table and the pie charts. mixed articles featured negative framing about ahok, but at the same time positive framing was also included. in terms of news focus, there was no significant difference between kompas and republika, which used gubernatorial and post gubernatorial activities, trial development, plans after losing the election and ahok’s candidacy as a basis of coverage. kompas and republika cited both parties involved in a story of their mixed news as an effort to practice a balanced reporting. ahok’s blasphemy case in kompas and republika there were four framing themes identified in the 275 articles produced by kompas and republika: defending ahok, accusing ahok to 78 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) have blasphemed islam, calls for ahok imprisonment, and al-maidah 51 is politically used against ahok. table 2. numbers of articles on ahok’s blasphemy case in kompas and republika period kompas republika 27 – 30 september 2016 1 0 october 2016 14 73 november 2016 28 74 december 2016 6 16 january 2017 3 5 february 2017 2 17 march 2017 3 16 april 2017 6 5 1 – 15 may 2017 2 4 total 65 210 figure 3. republika frames figure 4. kompas frames 79ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 5. kompas word frequency figure 6. republika word frequency from the table it is clear that republika reported far more news on ahok’s blasphemy case than kompas. in terms of the four themes, kompas dominated its framing with defending ahok. its accusation of ahok’s case being politically motivated was just slightly higher than those of accusing ahok to have blasphemed islam and calls for his imprisonment. republika, on the other hand, strongly accused ahok to have blasphemed islam, and urged the government to put him behind bars. interestingly, republika had a quite large portion of reporting that defended ahok. meanwhile, kompas’s accusation of the political motives behind ahok’s case had very little interest for republika. finally, the frequent words used by kompas in the analyzed news samples were ‘no’, ‘religion’ and ‘maidah’ suggesting that ahok did not defame al maidah and islam. republika’s three most frequent words were ‘religion’, ‘law’, ‘al-qur’an’, signifying that ahok had blasphemed islam and al-qur’an, and as a consequence he had to be punished. it may be confusing why the same words in republika and kompas such as ‘religion’, ‘al-qur’an’ and al-maidah were interpreted differently. they mean dissimilar due to the association made by each media in describing them. ‘religion’ in kompas was associated with the fact that ahok did not blaspheme islam, whereas 80 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in republika the connection of the word was with ahok’s intention to blaspheme islam. as seen in the pie chart, kompas dominated its reporting with news that aimed to defend ahok, and the message wished to deliver to its readers was that ahok was not guilty and thus he had to be defended. kompas repeatedly stated in its coverage that ahok just cited a verse from the al-qur’an in his visit to kepulauan seribu, to influence readers’ opinion on ahok’s blasphemy case. in defending ahok, kompas cited ahok’s statements regarding his case in most of its coverage. moreover, kompas framed ahok as a victim of his political opponents whose goal was to kill his reputation and ended his chance to win the upcoming election. to strengthen its guiltless ahok framing, kompas covered stories using ‘islamic’ perspectives to create a sense of confusion among readers. kompas cited a gusdur’s opinion on the contextual meaning of almaidah 51 that he once interpreted the verse to be not applicable to the election of a government leader. a senior member of the indonesian ulema council (majelis ulama indonesia/mui), hamka haq, was also featured by kompas to strengthen the framing. hamka haq argued that ahok neither blasphemed islam nor insulted indonesian ulemas because his visit to kepulauan seribu was not to spread a new religion to muslims. another voice used by kompas for the defensive framing was from nahdlatul ulama (pbnu). pbnu in fact became a dominant internal source of information cited by kompas in its defense of ahok. articles discussing the statements of pbnu to stop the politicization of religion as well as to give the same rights to muslims and non-muslims to lead jakarta were associated with ahok and his case. the moral evaluation of these articles was that, while kompas was trying to defend ahok, it also implicitly deconstructed the framing possessed by many muslims in indonesia regarding their belief that non-muslims were not allowed to vote for. such framing was intended to garner muslim votes to help ahok win the election. 81ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) despite its opposition, republika demonstrated willingness to defend ahok by covering some news with defensive framing. the scheme, however, was not as pure and highly dedicated as kompas due to the fact that republika tended to associate the defensive framing with an accusation and a depiction that ahok had blasphemed islam. republika also included voices of islamic scholars from nu and muhammadiyah who defended ahok. the voices, although a minority, were evidence that republika still gave room for muslims who had different notions from the media company’s and the indonesian muslims’ at large. even so, republika remained firm to keep its stance on ahok’s case by limiting the supportive voices as well as harming them through attacks launched in other articles. the ‘islamic ahok’ as framed by kompas was countered by republika with another framing accusing ahok to have intentionally blasphemed islam. republika employed the same framing strategy to counter the widely circulated framing that positioned ahok being a victim of sara (ethnicity, religion, race, and other social divisions). for republika ahok was a perpetrator of sara, rather than a victim as evidenced in his controversial speech. ahok’s speech was strongly condemned by republika and was framed as a blasphemy. republika also framed ahok’s case as an extraordinary legal offense that had a tendency to spread hatred and threatened the unity of indonesia. it is republika’s conviction that ahok had had prejudice against islam which in turn inspired him to deliver the controversial speech. to support the framing, republika cited a number of people, mostly prominent muslim figures, who shared the same stance on the case. all these people, except a few ones such as those in the defending ahok’s section, condemned ahok and accused him to have blasphemed the religion of islam. republika also included statements of a pbnu top official who accused ahok’s speech to cause confusion for muslims. likewise, in framing the evolving blasphemy issue, republika stated that 82 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ahok’s al maidah statement had the potential to drag muslims to a wrong destination. republika’s firm accusation that ahok had blasphemed islam was also demonstrated by kompas. the difference was only on framing quantity of which republika being far more massive than kompas. kompas displayed a strong condemnation against ahok’s controversial speech in much of its coverage, but at the same time a moral evaluation considering him to have made a mistake was also imbued. to illustrate, kompas covered ahok’s trial in a persecutor’s perspective who accused ahok’s plea to have the potential to break the unity of indonesia. the same negative framing was also employed against ahok’s book which contains a sub-chapter entitled ‘hiding behind sacred verses’. the subchapter was dedicated to muslims who used al-maidah 51 for political interests, the very same thinking as that in ahok’s controversial speech. despite this accusation, kompas inserted defensive framing in favour of ahok in most of its critical news, although not dominating the narrative of the news. it has been kompas’s commitment, as the previous analysis has demonstrated, to frame ahok’s visit to kepulauan seribu as his honest confession, that the island residents did not need to vote for him. the clarification suggested kompas’s eagerness to promote a frame that ahok’s visit had nothing to do with the blasphemy of a religion. another strategy that kompas utilized in its framing of the ahok’s case was by attempting to harm the legitimacy of the mui, the body that issued a ruling (fatwa) accusing ahok to blaspheme islam. in its coverage kompas used an mui’s perspective while at the same time softly framed its action as negligence. another moral evaluation disseminated by kompas was on almaidah 51 being used to stop ahok’s re-election. kompas associated its coverage on ahok’s trial with a strong frame arguing that al-maidah 51 was used by some irresponsible people and that ahok’s political opponents 83ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) used the verse to attack him. nevertheless, kompas also attempted to make balanced news to exercise its duty to report facts ‘objectively’ or as they were. in ahok’s case kompas had no power to contest facts that some organizations and muslims had reported ahok to the police and that ahok had been put on trial for the case. but kompas had the capability and independence to make the news appear ‘balanced’ by inserting ahok’s voice under the principle of covering both sides. in doing so, kompas had a total authority to select relevant information to feature and what framing was best to supplement it. the framing that al-maidah 51 was used against ahok had least interest in republika, suggesting the islamic media’s strong commitment not to take ahok’s side. the only framing in this category was from nu officials who argued that there had been some people who used the verse for political interests. yet, republika did not apply firm framing to the issue to preserve its commitment that ahok had blasphemed islam. ahok’s controversial speech garnered condemnation from many segments of muslim societies prompting republika to transmit muslim’s concerns. as an islamic media, republika covered stories from the muslim side with muslim organizations’ voices on mass protests against ahok being the most dominant. in covering the protests, republika focused on protestors’ messages that urged the government to imprison ahok. security framing was also amplified that indonesia would likely turn into a chaotic state if ahok was not detained. a number of articles clearly demonstrated republika’s framing of ahok as a potential source of turmoil. such framing was intended to put pressure on the police amid the mass protests occurring in many regions of indonesia. furthermore, for republika ahok had done a serious crime and had to be punished as soon as possible. republika urged the police to be professional because a circulating allegation informed that the police may have been protecting ahok. what is more, republika warned the general public to always be 84 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alert on the development of ahok’s case so that it would not turn out, like the sumber waras case whose probing process had been halted despite irregularities found in it. not only that, for republika ahok was backed by a superpower force that had the capability to get him protected by the state. to strengthen its framing, republika cited some prominent indonesian figures whose voices were the same as republika’s. a house representative from east nusa tenggara province, for example, argued that ahok’s case had the potential to turn indonesia into a catastrophic conflict like the 1998 anti-suharto riot. this framing aimed to legitimate the urgency to detain ahok as a house member can be interpreted as an official representation of the indonesian people. republika also cited former president susilo bambang yudhoyono to amplify the urgency of ahok’s detainment framing. kompas framed the calls for ahok’s imprisonment with mixed messages. on the one side, it covered stories that entirely framed ahok as a person who had to be detained by the police. but on the other hand, such stories were featured with a reminder of ahok’s guiltless act in relation to his blasphemy case. in some of its news kompas openly attempted to give an understanding to readers that the mass was protesting against ahok whom in fact had not done any wrongdoings. for this reason, kompas believed that the protests were misguided and those taking part in them were uninformed of what really had happened. kompas also employed diversion strategy to switch readers’ attention by softly persuading them to associate ahok’s case with sara. the moral evaluation was that ahok was not guilty as he was just a victim of sara launched by his political opponents. 85ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) conclusion and suggestion conclusion this paper has demonstrated the different patterns of framing in kompas and republika on ahok and his al-maidah blasphemy case. massive amount of news was released by both media to amplify their manufactured-frames to win public support on ahok, and in particular on the blasphemy case he was facing. in the periods of eight months (232 days) of the research timeframe, on average kompas published 2 news articles a day, while republika reported 4 articles. as shown in the previous chapter, kompas dominated its stories about ahok with positive reporting to display solidarity for the christian governor in an indirect way. kompas also attempted to balance its reporting as evident in the big proportion of its neutral news. republika on the other hand, despite taking an opposite position regarding ahok’s case, dominated its reporting with neutral news. yet, negative news was also clearly seen and had a quite large proportion in the reporting focus of the islamic media. republika’s negative news was aimed at countering kompas’s framing to polish ahok as a great man. as for ahok’s blasphemy case, kompas demonstrated its strong willingness to defend ahok. among 210 news articles on the topic, the dominant frame was defending ahok, followed by an argument that almaidah 51 was used for politically-motivated purposes to harm ahok’s political career. yet, interestingly, the proportion of this political motive framing was just slightly higher than that of accusing ahok to have blasphemed islam. it seems kompas fully realized that the case being faced by ahok was difficult to challenge due to a strong condemnation by muslims across indonesia. it was becoming more impossible to excessively challenge the court ruling regarding ahok’s legal status. insistence would harm kompas’s reputation as a trusted source of information. therefore, 86 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the only possible ways to frame ahok’s blasphemy case were through defensive framing and at the same time, although less intensive and infrequently, launching a framing attack on ahok. the different framing strategies of kompas and republika in reporting ahok and his case may have impacted may have impacted on readers over their understanding of what was really going on. readers may have formed a sympathetic or opposed feeling about ahok due to the news stories they read from kompas and republika. when ahok was associated with good news, a good image of him may have been created in the minds of readers, and therefore they may have been willing to give support to ahok. on the other hand, when ahok was reported with negative stories, readers would tend to believe that ahok was not that a good guy because focuses and stresses in the reporting were placed on negative facts. nonetheless, the apparent framing differences between kompas and republika on ahok and his case mirrored a clash of ideologies between the two media. suggestion for future research, with the advent of information technologies that influence the making and flow of news frames, it is essential to study the roles played by entman’s five framing components: the platform (social media like google, facebook, twitter), analytics (data about audience behavior), algorithms, and ideological media (robert m. entman & usher, 2018) in amplifying and even triggering a clash of ideologies between indonesian media. such an analysis becomes more imperative for indonesia owing to the fact that a large number of social media users, political influencers as well as buzzers have have been actively muddying indonesian politics. 87ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) references aelst, p., strömbäck, j., aalberg, t., esser, f., vreese, c., matthes, j., hopmann, d., salgado, s., hubé, n., stępińska, a., papathanassopoulos, s., berganza, r., legnante, g., reinemann, c., sheafer, t., & stanyer, j. (2017). political communication in a high-choice media environment: a challenge for democracy? annals of the international communication association, 41(1), 3–27. https://doi.org/10.1080/23808985.2017.1288551 alexa. (2019). top sites in indonesia. retrieved february 3, 2019, from alexa. com website: https://www.alexa.com/topsites/countries/id alonso, m. o. (2014). the triangle formed by framing, agenda-setting and metacoverage. disertaciones: anuario electrónico de estudios en comunicación social, 7(1), 41–66. https://doi.org/10.12804/ disertaciones.v7i1.4423 althusser, l. (2006). ideology and ideological state apparatuses (notes towards an investigation). in a. sharma & a. gupta (eds.), the anthropology of the state: a reader (vol. 9, issue 1, pp. 86–98). hoboken, new jersey, united states: blackwell publishing. anggraeni, d. (2018). analisis framing entman berita tata kelola pangan di media online. jurnal the messenger, 10(1), 113–114. https://doi. org/http:/10.26623/themessenger.v10i1.711 aprianti, r. (2014). melihat objektifitas media massa terhadap pernyataan paus benedictus xvi. jurnal dakwah, 15(2), 357–381. https://doi. org/10.14421/jd.2014.15207 azpíroz, m. l. (2014). framing and political discourse analysis: bush’s trip to europe in 2005. observatorio, 8(3), 75–96. https://doi. org/10.7458/obs832014763 bbc. (2018). orang terkaya indonesia 2018: siapa saja dan dari mana sumbernya? retrieved february 3, 2019, from bbc.com website: https://www. bbc.com/indonesia/trensosial-46549111 borah, p. (2011). conceptual issues in framing theory: a systematic examination of a decade’s literature. journal of communication, 61, 246–263. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.2011.01539.x brugman, b. c., & burgers, c. (2018). political framing across disciplines: evidence from 21st-century experiments. research and politics, 88 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 5(2), 1–7. https://doi.org/10.1177/205316801878337 castells, m. (2013). communication power. oxford, uk: oxford university press. chong, d., druckman., & james, n. (2007). framing theory. annual review of political science, 10, 103-126. https://doi.org/doi: 10.1146/ annurev.polisci.10.072805.103054 croteau, d., & hoynes, w. (2013). media/society: industries, images, and audiences (5th ed.). thousand oaks, california, united states: sage publications. edhlund, b., & mcdougall, a. (2019). nvivo 12 essentials. morrisville, north carolina, united states: lulu.com. entman, r. m. (1993). framing: toward clarification of a fractured paradigm. journal of communication, 43(4), 51–58. https://doi. org/10.1111/j.1460-2466.1993.tb01304.x. entman, r. m. (2004). projections of power: framing news, public opinion, and us foreign policy. chicago, illinois, united states: university of chicago press. entman, r. m. (2007). framing bias: media in the distribution of power. journal of communication, 57(1), 163–173. https://doi.org/10.1111/ j.1460-2466.2006.00336.x entman, robert m., & usher, n. (2018). framing in a fractured democracy: impacts of digital technology on ideology, power and cascading network activation. journal of communication, 68(2), 298– 308. https://doi.org/10.1093/joc/jqx019. farhadian, c. e. (2009). christianity, islam and nationalism in indonesia. abingdon, united kingdom: routledge. ferry, l. (2002). man made god: the meaning of life. chicago, illinois, united states: university of chicago press. galih, b. (2016). pernyataan pastor oudejans yang mengubah pandangan seorang jakob oetama. retrieved february 3, 2019, from www.youtube.com website: https://www.tribunnews.com/nasional/2016/09/27/ pernyataan-pastor-oudejans-yang-mengubah-pandangan-seorangjakob-oetama gitlin, t. (2003). the whole world is watching: mass media in the making and unmaking of the new left. berkeley, california, united states: university of california press. 89ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) goldin, j., & reck, d. (2019). revealed preference analysis with framing effects. journal of political econom, 128(7). https://doi. org/10.1086/706860 gronemeyer, m. e., & porath, w. (2017). framing political news in the chilean press: the persistence of the conflict frame. international journal of communication, 11, 2940–2963. hänggli, r., & kriesi, h. (2010). political framing strategies and their impact on media framing in a swiss direct-democratic campaign. political communication, 27(2), 141–157. https://doi. org/10.1080/10584600903501484 hefner, r. w. (1997). print islam: mass media and ideological rivalries among indonesian muslims. language and media, 64, 77-103. https://doi.org/10.2307/3351436. hefner, r. w., & horvatich, p. (eds.). (1997). islam in an era of nationstates: politics and religious renewal in muslim southeast asia. honolulu, hawai: university of hawaii press. hefner, robert w. (1993). islam, state, and civil society: icmi and the struggle for the indonesian middle class. indonesia, 56, 1–35. https://doi.org/10.2307/3351197 herman, e. s., & chomsky, n. (2010). manufacturing consent: the political economy of the mass media. new york, new york, united states: random house. hill, d. t. (1994). the press in new order indonesia. sheffield, united kingdom, london, united kingdom: equinox publ. hoon, c.-y. (2016). religious aspirations among urban christians in contemporary indonesia. international sociology, 31(4), 413–431. https://doi.org/10.1177/0268580916643853. huntington, s. (2011). the clash of civilizations and the remaking of world order. new york, new york, united states: simon &s chuster. jackson, k., & bazeley, p. (2019). qualitative data analysis with nvivo. thousand oaks, california, united states: sage publications limited ilham. (2017). mengungkap alasan ahok-djarot menang mutlak di dua tps. republika online. retrieved february 3, 2019, from republika.co.id website: http://republika.co.id/berita/nasional/ politik/17/02/17/olhwm3361-mengungkap-alasan-ahokdjarot90 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) menang-mutlak-di-dua-tps indra k, briliant, & suprihartini, t. (2017). analisis framing dalam kasus kontroversi ahok di dalam pilkada dki jakarta 2017-2022 di dalam media online kompas.com dan republika.co.id. interaksi online, 5(3), 1–13. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/ interaksi-online/article/view/16875 kanas, a., scheepers, p., & sterkens, c. (2015). interreligious contact, perceived group threat, and perceived discrimination: predicting negative attitudes among religious minorities and majorities in indonesia. social psychology quarterly, 78(2), 102–126. https://doi. org/10.1177/0190272514564790. keller, a. (2009). tantangan dari dalam: otonomi redaksi di 4 media cetak nasional: kompas, koran tempo, media indonesia, republika [challenge from inside: editorial autonomy at 4 national print media: kompas, koran tempo, media indonesia, republika]. jakarta: fes indonesia office. khadafi, a. (2017). faktor agama menentukan kemenangan anies-sandiaga. retrieved february 3, 2019, from www.tirto.id website: https:// tirto.id/faktor-agama-menentukan-kemenangan-anies-sandiagacm79 kompas. (2016). vik the legacy 85 tahun jakob oetama. retrieved february 3, 2019, from vik.kompas.com website: https://vik. kompas.com/the-legacy-jakob-oetama/ lim, m. (2017). freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in indonesia. critical asian studies, 49(3), 411–427. https://doi.org/https://doi.org/10.1080/14672 715.2017.1341188 lim, m., & arizona, a. (2011). democratization & corporatization of media in indonesia. arizona: arizona state university. marx, k., & engels, f. (1972). the german ideology (vol. 1). new york, new york, united states: international publishers co. matthes, j. (2012). framing politics: an integrative approach. american behavioral scientist, 56(3), 247 –259. https://doi. org/10.1177/0002764211426324 mayasari, s. (2017). konstruksi media terhadap berita kasus penistaan agama oleh basuki tjahaja purnama (ahok): analisis framing pada surat kabar kompas dan republik. jurnal komunikasi, 8(2), 91ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 8–18. https://doi.org/10.31294/jkom.v8i2.2528 mcquail, d. (2010). mcquail’s mass communication theory. thousand oaks, california, united states: sage publications. media, m. (2019). mahaka media business unit. retrieved february 3, 2019, from mahamedia.com website: https://mahakamedia.com/ tentang_kami/unit_bisnis mujiburrahman. (2006). feeling threatened: muslim-christian relations in indonesia’s new order. nieuwe prinsengracht, amsterdam, netherlands, amsterdam, netherlands: amsterdam university press. muslim, m. (2013). konstruksi media tentang serangan israel terhadap libanon (analisis framing terhadap berita tentang peperangan antara israel dan libanon dalam surat kabar kompas dan republika). jurnal studi komunikasi dan media, 17(1), 75–92. https://doi.org/10.17933/jskm.2013.170104 nautico, t. (2018). construction of the republika portal against the ahok blasphemy case verdict. 2nd icssed 2018, 131. nurhaliza, h., & tanto, t. (2019). representation of indonesia’s judiciary of ahok’s blasphemy verdict in the new york times analysis (a critical discourse). k@ ta: a binnual publication on the study of language and literature, 21(2), 68-74. pan, z., & kosicki, g. m. (1993). framing analysis: an approach to news discourse. political communication, 10(1), 55–75. https://doi.org/1 0.1080/10584609.1993.9962963 purwadi, d. (2017). belajar dari etnis cina dan non-muslim dalam pilkada dki. retrieved february 3, 2019, from republika.co.id website: http:// republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/02/18/ olkd8i257-belajar-dari-etnis-cina-dan-nonmuslim-dalam-pilkadadki raharjo, b. (2017). pengalaman republika, ini tantangan mengelola media muslim. retrieved february 3, 2019, from republika.co.id website: http:// nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/11/18/ ozly8f415-pengalaman-republika-ini-tantangan-mengelola-mediamuslim reily, m. (2017). nielsen: pembaca media digital sudah lampaui media cetak. 92 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) retrieved february 3, 2019, from katadata.co.id website: https:// katadata.co.id/berita/2017/12/07/nielsen-pembaca-mediadigital-sudah-lampaui-media-cetak riana, f. (2016). survei lsi: ahok bisa kalah karena isu agama. retrieved february 3, 2019, from tempo.co website: https://nasional.tempo. co/read/810478/survei-lsi-ahok-bisa-kalah-karena-isu-agama/ full&view=ok. rmol. (2017). ketum pemuda muhammadiyah puji soliditas kaum kristiani dan etnis cina dukung ahok. retrieved february 3, 2019, from rmol. com website: http://politik.rmol.co/read/2017/02/17/280785/ ketum-pemuda-muhammadiyah-puji-soliditas-kaum-kristianidan-etnis-cina-dukung-ahokscheufele, b. (2004). framing-effects approach: a theoretical and methodological critique. communications, 29(4), 401–428. https:// doi.org/10.1515/comm.2004.29.4.401. scheufele, d. a. (1999). framing as a theory of media effects. journal of communication, 49(1), 103–122. https://doi. org/10.1111/j.1460-2466.1999.tb02784.x scheufele, d. a., & tewksbury, d. (2007). framing, agenda setting, and priming: the evolution of three media effects models. journal of communication, 57(1), 9–20. https://doi.org/10.1111/j.14602466.2006.00326.x. sidik, f. (2017). objectivity of republika. co. id in reporting the trial court of religion blasphemy with ahok as defendant. borderless communities & nations with borders, 959. sobari, t., & ramdani, d. (2019). framing religious blasphemy issues by the governor of dki basuki tjahaja purnama in the contestation of governor election dki. in international conference on interdisciplinary language, literature and education (icille 2018), april. https://doi.org/10.2991/icille-18.2019.88 steele, j. e. (2018). mediating islam: cosmopolitan journalisms in muslim southeast asia. seattle, washington, united states: university of washington press suganda, d., sunarni, n., & darmayanti, n. (2018). news of islamic blasphemy onthe websites of kompas and republika: a critical discourse analysis. islle 2017, the 1st international seminar on 93ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) language, literature and education, kne social sciences, 1(302–317). https://doi.org/10.18502/kss.v3i9.2692 sumartono, s. (2005). objektivitas konflik ambon pada pemberitaan kompas dan republika. jurnal komunikologi (ilmu komunikasi), 2(2). tamburaka, a. (2013). literasi media: cerdas bermedia khalayak media massa. depok: rajagrafindo persada. tapsell, r. (2012a). old tricks in a new era: self-censorship in indonesian journalism. asian studies review, 36(2), 227–245. https://doi.org/1 0.1080/10357823.2012.685926 tapsell, r. (2012b). politics and the press in indonesia. media asia, 39(2), 109–116. https://doi.org/01296612.2012.11689925 tapsell, r. (2015). platform convergence in indonesia: challenges and opportunities for media freedom. convergence, 21(2), 182–197. https://doi.org/10.1177/1354856514531527 wahid, s. w., & pratiwi, r. z. b. (2018). the construction of tionghoa ethnic stereotype in ngenest movie. jurnal ilmu komunikasi, 1(2), 54–66. https://doi.org/10.33005/jkom.v0i2.24 wibiyanto, a., & hastiningsih, w. t. (2019). pengelolaan isu pemilihan umum presiden republik indonesia tahun 2019 pada media di jawa tengah. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(2), 263– 292. https://doi.org/10.22515/balagh.v4i2.1832 wijayanto. (2017). fearing the majority: catholic media in muslim indonesia. media asia, 44(1), 33–39. https://doi.org/10.1080/01 296612.2017.1374319 wijayanto, w. (2019). between fear and power: kompas, indonesia’s most influential daily newspaper, 1965-2010 [phd thesis]. winters, j. a. (2013). oligarchy and democracy in indonesia. indonesia, 96(1), 11–33. https://doi.org/10.5728/indonesia.96.0099 wolton, s. (2019). are biased media bad for democracy? american journal of political science, 63(3), 548-562. https://doi.org/10.1111/ ajps.12424 wu, t. (2018). is the first amendment obsolete. mich. l. rev., 117, 547. yani, b. (2002). reporting the maluku sectarian conflict: the politics of editorship in kompas and republika dailies. saarbrücken, germany: vdm verlag 94 ahok and blasphemy case in kompas and republika online media: a clash of ideologies muhammad beni saputra al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 59 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1991 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tindakan komunikatif: sekilas tentang pemikiran jürgen habermas anwar nuris aktivis dakwah di pp. al-mukminin lohbener, indramayu abstrak ketika membahas tentang propaganda dan komunikasi lintas budaya, setidaknya ada tiga kata kunci untuk membongkar masalah ini, yaitu propaganda, komunikasi, dan budaya. ketiga hal ini memiliki makna dan fungsi masing-masing. di sinilah perlunya penguraian lebih mendalam tentang hal tersebut. mempelajari komunikasi lintas budaya adalah wajib karena itu merupakan tiket untuk kita agar mampu beradaptasi di manapun kita berada, terutama di indonesia di mana berbagai suku dan budaya hidup berdampingan. konflik berkepanjangan dapat terjadi jika seseorang tidak memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak melakukan melakukan apapun untuk komunikasi lintas budaya. dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, seseorang bisa memahami perbedaan dengan bersikap netral atau moderat. sehingga konflik yang timbul antar budaya etnis yang berbeda tidak akan terjadi. lebih lanjut, mempelajari komunikasi lintas budaya dapat membuat kita lebih berhati-hati dalam membangun hubungan dengan budaya lain. para pendakwah harus memahami tempat, budaya, kebiasaan dan bahasa objek dakwahnya karena hal tersebut menentukan kesuksesan dakwah yang dilakukannya. keywords: jürgen habermas, action rationality, communicative action. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: nuris_ui@yahoo.com abstract benefiting from jürgen habermas, an intellectual figure, the study intends to answer two key questions. how is jürgen habermas’ epistemologic construction, and what is communicative actions in habermas’ concept? the answers are next going to include the basic critical theories of habermas. the beginning part the writing is intended to be the starting point of understanding habermas’ thought by placing habermas’ basic epistemology as a basic concept purposed afterward. the writing concludes that the concept of habermas’ communicative actions is an anchor for all of habermas’ social theories. 40 | anwar nuris – tindakan komunikatif a. pendahuluan dengan standar apapun, jürgen habermas merupakan satu dari sedikit filosuf dan teoritisi ilmu sosial eropa yang sangat terkemuka dan menonjol selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir. terutama ketika dia dengan mengagumkan menuntaskan “warisan-warisan” teori kritis pendahulunya pada madzhab frankfurt (die frankfurter schule) seperti max horkheimer (1895-1973), theodor wiesengrund adorno (19031969), dan herbet marcuse (1898-1979). meski demikian, baru belakangan ini saja ia memperoleh audiens yang signifikan di kalangan para akademisi amerika. satu alasan bagi penerimaan yang terlambat ini kemungkinan besar adalah karena adanya kerumitan yang cukup terkenal pada karya-karya habermas, yang mensintesakan beragam disiplin dan pendekatan teoritis yang berbeda – termasuk teori tindakan-komunikasi dalam filsafat bahasa, sosiologi fenomenologis, teori sistem sosiologis, tradisi madzhab frankfurt dengan karya-karya teoritisi sosial keagamaan (karl marx, max weber, emile durkheim, george herbert mead dan talcott parsons), pragmatisme, hermeneutik, psikoanalisa, psikologi pembangunan serta teori sosial neoevolusioner. habermas lahir di dusseldorf, jerman pada tanggal 18 juni 1929 dan dibesarkan di sebuah kawasan kecil grummersbach, sebuah kota kecil dekat dusseldorf, dimana ayahnya menjadi seorang pengusaha dan menjabat sebagai ketua kamar dagang di sana. habermas mendalami filsafat, psikologi, kesusastraan dan ekonomi, ketika menempuh pendidikan sarjana muda dan sarjana di universitat gottingen (1949-1950), universitat zurich (1950-1951), serta berhasil meraih gelar doktoralnya dari fakultas filsafat, rheinischen-friedrich-wilhelms-universitat, bonn, pada tahun 1954, dengan disertasi bertajuk das absolute und die geschichte: vonder zwiespaltigkeit in schelling denken (yang mutlak dan sejarah: dualitas dalam pemikiran schelling). tahun berikutnya, ketika habermas berusia 25 tahun, ia bergabung di institut fur sozialforschung dan terlibat aktif dalam – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 41 proyek teori kritis (kritische theorie) dua tahun berikutnya, 1956, ketika dipercaya sebagai asisten adorno. ini merupakan sebuah perjalanan yang mengharu-biru, karena di lembaga itulah habermas menemukan identitas intelektualnya. tulisan ini mencoba mereview secara ringkas pemikiran jurgen habermas, filosuf jerman pada madzhab frankfurt dengan filsafat kritisnya terutama yang menyangkut pemikiran-pemikiran sosial. tulisan ini difokuskan pada bagian pendahuluan pemikiran habermas yang terangkum dalam hasil penelitiannya tentang fenomena sosial yang kemudian dipublikasikan dengan judul the theory of communicative action: vol. 1. reason and the rasionalization of society. b. basis epistemologis habermas kepiawaian habermas dalam mengekspresikan dasar-dasar epistemologinya terlihat pada peristiwa debat ilmiah yang diadakan oleh deustche gesselchaft fur soziologic pada bulan oktober 1961 di tubingen jerman. debat ilmiah yang mengangkat topik “logika ilmu-ilmu sosial” itu berhasil memperhadapkan sosok sir karl raimund popper (sebagai pengusung bendera rasionalisme kritis/realisme modern) dengan theodor w. adorno (sebagai wakil dari teori kritis) yang kemudian dilanjutkan oleh jurgen habermas sebagai di pihak adorno dan hans albert sebagai di pihak popper. perdebatan ini kemudian meniscayakan perang pemikiran positivis dua aliran yang saling kontradiksi yakni madzhab frankfurt dan rasionalisme kritis. kubu madzhab frankfurt menganggap rasionalisme kritis sebagaimana yang diyakini popper adalah positivisme sedangkan kubu popper menilai teori kritis madzhab frankfurt merupakan totaliter dan penuh mitos. salah satu kritik habermas terhadap kaum positivis yang memisahkan antara fakta dan “keputusan” (menyangkut pemilihan dan pemihakan nilai-nilai), yaitu satu tesis yang menganggap terdapatnya – 42 | anwar nuris – tindakan komunikatif pada satu sisi – keberaturan empiris pada fenomena alam dan manusia yang dapat diformulasikan ke dalam hukum-hukum tertentu; serta – pada sisi lain – peraturan-peraturan yang menyangkut tingkah laku manusia, yaitu norma-norma sosial. konsekuensi dari dualisme semacam ini adalah bahwa ilmu pengetahuan yang “mungkin” terbatas dan dibatasi pada ilmuilmu empiris saja. bagi habermas, meskipun “kesulitan-kesulitan dalam kehidupan praktis” bisa didapati jawabannya dalam ilmu, dan keputusan-keputusan menyangkut norma-norma sosial tergantung sepenuhnya pada keberpihakan masing-masing individu dan masyarakat, tetapi ia menyatakan bahwa “komitmen terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan suatu keputusan, yang diekspresikan dalam bentuk “kepercayaan kepada kekuatan rasio” [faith in reason]”. lebih lanjut dia mengatakan bahwa realitas sosial manusia begitu kompleks dan tidak bisa direduksi sebagaiamana realitas alam yang sebenarnya. oleh karena itu, metode ilmu-ilmu alam tidak bisa digunakan untuk menangkap realitas manusia dan kemanusiaan. penelitian terhadap manusia dan kemanusiaan harus dilakukan secara total, yaitu keseluruhan yang mengandung unsur-unsur fenomena kehidupan manusia yang saling bernegasi, saling berkontradiksi dan saling bermediasi. sehingga praktek memberikan sesuatu kepada teori, sesuatu yang dipelajari oleh para teoritisi dan praktisi sendiri merupakan suatu tahap penting dari pembentukan teori. dengan demikian, objektifitas bukan terletak pada jauhnya para teoritikus dari praktek sosial. dalam kerangka ini, ia melakukan kritik terhadap kelompok ilmuwan positivisme dari dua jurusan yaitu, pertama, soal bebas nilai dan kedua, menyangkut keterlibatan ilmuwan dalam praktek sosial masyarakat. akhirnya, habermas menyatakan bahwa “keragu-raguan apakah ilmu-ilmu pengetahuan – yang berhadapan dengan dunia hasil produksi manusia – dapat mendatangkan hasil yang berbeda dari sukses besar yang dicapai oleh ilmu-ilmu pasti alam, timbul karena ilmu-ilmu sosial harus – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 43 menghadapi realitas yang belum pasti, harus berhadapan dengan “konteks kehidupan sosial sebagai suatu totalitas yang bahkan turut mempengaruhi riset ilmu pengetahuan itu sendiri”, yang tetap berada diluar dunia pengalaman yang diteliti”. c. tindakan komunikatif salah satu keberatan habermas terhadap pemikiran positivistis adalah bahwasanya positivisme dengan terang-terangan mengabaikan logika khusus dari proses-proses komunikasi. dalam konsep rasionalitas bertujuan weber misalnya, weber mengasumsikan bahwa setiap orang melakukan tindakan karena ada tujuan di balik melakukan tindakan tersebut. padahal, sebenarnya, weber tidak hanya memahami rasionalisasi sebagai dari rasionalitas tujuan, melainkan dia juga memiliki pandangan tentang rasionalitas yang berhubungan dengan pandangan dunia (worldview) dan logika sistem-sistem simbol yang bermakna. hanya saja konsep rasionalitas weber merupakan realisasi sebagian dari struktur-struktur kesadaran modern yang potensial dikembangkan kalau rasionalitas sistem berada dalam kontrol rasionalisasi kehidupan. rasionalitas ini pada akhirnya memusatkan perhatiannya pada proses rasionalisasi sistem kapitalis dan birokrasi modern yang salah satu tela’ahnya berkenaan dengan etos agama-agama dunia memperlihatkan bagaimana peranan penghayatan nilai-nilai tertentu dalam transformasi sosial. rasionalitas ini (rasionalitas sistem kapitalis) kemudian mengandaikan rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan. dalam hal ini, habermas mencoba menjelaskannya dengan menggunakan “hubungan pragmatis-formal” (formal-pragmatic relations) manusia yaitu kenyataan objektif, kenyataan sosial dan kenyataan subjektif yang dapat menghasilkan tiga macam sikap diantaranya mengobjektifkan (objectivating), konformatif-norma (norm-conformative) atau sikap kritis (critical) dan sikap ekspresif. 44 | anwar nuris – tindakan komunikatif konsep rasionalitas komunikatif timbul dari analisis sementara tentang penggunaan ekspresi bahasa “rasional” dan dari perdebatan antropologis tentang pengertian dunia. rasionalitas komunikatif disini dimaksudkan sebagai rasionalitas yang dipahami sebagai usaha-usaha perbincangan argumentatif yang mengarah pada konsensus. konsep rasionalitas komunikatif ini kemudian mampu menganalisa bentuk hubungan-hubungan dengan upaya pencapaian pemahaman bahasa. yaitu sebuah konsep pencapaian pemahaman yang mampu menyarankan suatu persetujuan yang termotivasi antar peserta-peserta yang diukur melawan kritik klaim kesahihan (validity claim). klaim kesahihan (kebenaran proposisi, kebenaran normatif dan keikhlasan subjektif) menggolongkan kategori ilmu yang berbeda dalam ekspresi simbol. jadi, ketidak-berpusatan pemahaman kita tentang dunia membuktikan banyaknya dimensi kepentingan dalam mengembangkan pandangan-dunia (worldview). dalam menjelaskan konsep dunia objektif, dunia sosial dan dunia subjektif, habermas menggunakan beberapa cara diantaranya: pertama, menguji teori popper tentang dunia tiga, kedua, menganalisa konsep teleologi, yang diatur secara normatif, dan tindakan dramaturgis dalam term hubungan aktor-dunia. rekonstruksi ini kemudian akan memberikan kemungkinannya untuk yang ketiga, memperkenalkan konsep tindakan komunikatif. dalam pidatonya pada tahun 1967: “epistemology without a knowing subject”, popper menyatakan: “kita boleh membedakan pengikut tiga dunia atau alam semesta: pertama, dunia objek fisik atau bagian fisik; kedua, dunia kognitif, atau bagian mental, atau boleh jadi watak perilaku tindakan; dan ketiga, dunia pemikiran kandungan objektif, khususnya pemikiran ilmiah dan puitis dan pekerjaan seni.” lebih lanjut popper menyebutnya dengan dunia “hasil pikiran manusia” (the product of human being). dia menekankan pada hubungan internal antara bentuk simbol dan menganalisa pikiran manusia yang akan – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 45 dimasukkan dalam tiga dunia. ketertarikan habermas disini tidak pada pertimbangan epistemologi yang dimasukkan popper untuk dipasangkan dengan konsep gedanken frege, dengan mengambil kritik psikologisme husserl, dan mengklaim status kebebasan tindakan mental dan status kandungan semantik simbol – sebagai sebuah aturan, secara linguistik objektif – hasil pikiran manusia, melainkan pada solusi yang diajukannya tentang problem hubungan antara pikiran dan bodi yang dikembangkan dengan bantuan tiga-dunia. hal ini, bagaimanapun, yang menarik dari kedua kasus popper adalah kritik terhadap konsep dasar empiris tentang subjek yang berhadapan dengan dunia, menerima pesan melalui persepsinya, atau mempengaruhi keadaan melalui tindakannya. konteks ini menyatakan mengapa mereka memahami doktrin akal objektifnya sebagai sebuah kepanjangan kritik konsep empiris dan memperkenalkan akal objektif dan akal subjektif sebagai “dunia”, yaitu, sebagai keseluruhan entitas yang istimewa. teori lama tentang akal objektif yang dikembangkan dalam sejarah dan tradisi neo-hegelian dari dilthey sampai theodor litt dan hans freyer memulainya dari akal aktif yang menjelaskan dirinya dalam dunianya. dengan ini, popper tetap memegang erat keunggulan dunia dalam hubungannya dengan akal dan menerangkan dunia kedua dan ketiga yang dapat disamakan dengan yang pertama, dalam term ontologi. dalam hal ini, konstruksinya tentang tiga dunia mengingatkan pada teori nicolai hartmann tentang mental being [geistigen seins]. adalah nicolai hartmann yang membedakan antara keobjektifan (objectivated) dan objektif geist, sedangkan popper membedakan antara kandungan eksplisit semantik yang siap mewujud dalam fonem dan tanda tulisan, dalam warna atau batu, dalam mesin dan seterusnya, dalam sebuah pandangan, dan kandungan implisit semantik yang masih belum “ditemukan”, belum diobjektifkan dalam objek dunia pertama, tetapi secara inheren artinya sudah termasuk didalamnya. dua konsekuensi yang perlu diperhatikan yang terdapat dalam deskripsi tiga dunia. pertama adalah interaksi antar dunia, kedua, kesadaran 46 | anwar nuris – tindakan komunikatif membatasi interpretasi tentang tiga dunia. dalam pandangan popper, dunia, yang pertama dan kedua adalah penukaran tempat yang segera, seperti yang kedua dan ketiga. oleh karenanya interaksi dunia yang pertama dan yang ketiga, hanya disambungkan oleh yang kedua. hal ini memerlukan sebuah penolakan terhadap dua konsepsi dasar empiris. pada satu sisi, beberapa entitas di tiga dunia tidak dapat bereduksi – seperti bentuk ungkapan pada akal subjektif – bagian mental, yaitu kepada beberapa entitas dalam dunia kedua. pada sisi lain, relasi antara entitas-entitas pada dunia pertama dan kedua tidak dapat disusun tertutup dalam term model kausal yang berpegang pada hubungan antara entitas-entitas dalam dunia pertama mereka sendiri. popper mengecualikan dua cara pada konsepsi psikologis tentang akal objektif dan pada konsepsi fisik akal subjektif. “dan (demikian) ini merupakan hal yang mustahil untuk menafsirkan baik dunia yang ketiga sebagai ekspresi belaka atas yang kedua, atau yang kedua sebagai refleksi belaka atas yang ketiga”. dalam hal lain, popper tetap menghubungkan kontek empirik personal yang menjauhi dirinya sendiri. instrumen-kognitif menghubungkan antara pengetahuan dan tindakan subjektif pada satu sisi, dan sesuatu dan peristiwa kemunculan didunia pada sisi lain, yang banyak menyita pusat perhatiannya bahwa mereka mendominasi pertukaran antara akal subjektif dan akal objektif. proses yang membawa seterusnya, eksternalisasi, penetrasi, dan asimilasi hasil pikiran manusia terutama dalam menjalankan perkembangan pengetahuan teoritis dan perluasan atas kemampuan menggunakan pengetahuan. perkembangan ilmu, seperti yang dipahami popper sebagai proses umpan balik komulatif yang meliputi masalah awal, hipotesis formasi kreatif, pengujian kritik, revisi, dan penemuan masalah baru, tidak hanya memahami model akal subjektif yang berkembang pada dunia akal objektif; menurut popper, ketiga dunia tersebut secara esensial terbangun atas masalah-masalah, teori-teori dan argumen-argumen. pada hakekatnya, menurut habermas, ketiga dunia popper adalah totalitas dari gedanken frege, yang mampu mewujudkan – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 47 “teori atau proposisi, atau statemen sebagai hal yang sangat penting dalam entitas bahasa tiga-dunia.” popper tidak hanya memahami tiga-dunia dalam term ontologi sebagai sebuah keseluruhan entitas dengan adanya sebuah model spesifik; akan tetapi dia juga memahaminya dari perspektif konseptual tentang perkembangan ilmu yang menjadikan tiga dunia sebagai bagian dari proses ilmiah, komponen kognitif tradisi kebudayaan. adalah i. c. jarvie yang kemudian berusaha menjadikan konsep tigadunia popper berguna bagi sosiologi, yang menyusun masyarakat sebagai sebuah konstruksi sosial dari dunia sehari-hari tentang proses penafsiran tindakan subjektif dan pembekuan terhadap objektifitas. jarvie juga menganalisa status ontologi pada kontek kehidupan sosial, yang dihasilkan oleh pikiran manusia dan masih mempertahankan kebebasan relatif dalam hubungan dengan model tiga dunia. strategi jarvie dalam menggunakan teori tiga-dunia popper yaitu menginstruksikan sekaligus menyatakan perkiraan ontologinya kedalam konsep sosiologi tentang tindakan. jarvie mengatakan: kita berargumen, kemudian, bahwa dunia sosial adalah alam bebas antara dunia fisik yang keras dan dunia mental yang halus: alam ini, realitas, dunia, apapun kita dapat menyebutnya, sangat bermacam-macam dan komplek dan orang-orang dalam masyarakat adalah yang terus mencoba-coba untuk mendekati term dengannya; untuk memetakannya: untuk menyelaraskan pemetaan mereka atasnya. tinggal didalam sebuah kebesaran yang tidak dapat dikendalikan dan merubah beberapa surat izin masyarakat baik pemetaan secara langsung, maupun penyelarasan pemetaan langsung. ini artinya bahwa anggota masyarakat belajar tentangnya secara terus menerus; kedua masyarakat dan anggotanya adalah dalam proses konstan tentang penemuan diri dan pembinaan diri. 48 | anwar nuris – tindakan komunikatif orang hidup didalam sebuah masyarakat adalah untuk menemukan jalan hidup mereka, sekaligus untuk mengerjakan apa yang mereka inginkan dan untuk menjauhi apa yang mereka tidak inginkan. kita boleh berkata bahwa untuk melakukan ini mereka membangun sebuah peta konseptual tentang masyarakat dan ciri-cirinya, posisinya diantara mereka, jalan yang mungkin memegang peranan penting bagi tujuan mereka, dan resiko dalam setiap jalannya. peta-peta adalah sebuah jalan yang “lebih mudah” ketimbang peta geografis – seperti peta-peta impian mereka untuk membuat daerah yang dipetakan. masih dalam jalan ini yaitu kenyataan yang kuat: peta geografis adalah tidak pernah nyata tapi suatu saat mencerminkan daerah nyata, peta sosial adalah daerah yang disengaja dan dipetakan oleh orang lain. rencana ini sekaligus mengajukan sebuah hubungan menarik antara konsep sosiologi tentang tindakan dan relasi aktor-dunia yang dicontohkan didalamnya. dalam menggunakan konsep tiga dunia popper untuk menggolongkan hubungan dan institusi sosial, jarvie menggambarkan tindakan subjektif sosial dalam model pembentukan teori dan pemecahan masalah oleh para ilmuwan yang dalam kehidupan dunia sehari-hari teoriteori bersaing dengan teori ilmiah. bagi habermas, ada tiga kelemahan dalam konsep jarvie ini, yaitu: a. jarvie mengaburkan perbedaan antara pelaksanaan dan sikap hipotetisreflektif terhadap tradisi kebudayaan. dalam praktek komunikasi sehari-hari, agen mengambil dasar pengetahuan kebudayaan yang ada untuk mencapai ketentuan konsensus. sedangkan dalam prosesnya, pertentangan-pertentangan dapat timbul untuk memperbaiki pola interpretasi perorangan; tapi aplikasi pengetahuan tradisi dari dasar tidak sesuai dengan laporan hipotesis pengetahuan yang sistematis. dalam hal ini, orang awam berinteraksi dengan tujuan menyelaraskan tindakan peserta-peserta melalui sebuah proses pencapaian – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 49 pemahaman, yaitu, dengan memakai pengetahuan kebudayaan umum. tentu saja, pada konteks ini, para ilmuwan dapat berinteraksi dengan baik. tapi dalam hal ini, proses kerjasama interpretasi menjalani pengujian validitas masalah pokok ilmu pengetahuan. tujuannya adalah tidak menyelaraskan tindakan, tetapi kritik dan mengembangkan ilmu pengetahuan. b. lebih lanjut jarvie mengabaikan elemen tradisi kebudayaan yang tidak dapat direduksikan kepada gedanken atau dalil yang mengakui kebenaran. dia membatasi arti kompleks objektif dengan tindakan subjek sekaligus menghasilkan dan menemukan interpretasi kognitif dalam pengertian sempit. dalam hal ini model popper tentang tiga dunia adalah fakta-fakta yang tidak masuk akal, untuk mengorientasikan kekuatan tindakan terhadap nilai kebudayaan yang cukup penting untuk berinteraksi dengan teori tersebut. meskipun status entitas sosial berasimilasi kepada teori tersebut – yang kemudian tidak mampu menjelaskan bagaimana struktur sosial dapat membentuk motifasi terhadap tindakan; atau, dalam pengamatan terhadap fakta deskriptif, normatif, dan evaluatif yang mengartikan interpretasi dalam teori-teori harian, model teori ilmiah yang tidak mengandung arti yang serius – yang kemudian dapat menyusun sebuah hubungan timbal balik antara motifasi dan konsep tiga-dunia; bagaimanapun pendekatan ini akan menjadi penting dalam mengembangkan konsep tiga-dunia versi popper dalam sebuah cara agar realitas normatif masyarakat dapat memperlihatkan kebebasannya vis a vis akal subjektif tidak hanya – bukan yang utama – kepada otonomi klaim kesahihan, tetapi untuk mengikat ciri nilai-nilai dan norma-norma. itu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana komponen tradisi kebudayaan menjadi relevan terhadap integrasi sosial yang dapat dipahami sebagai sistem ilmu pengetahuan dan tersambung dengan klaim kesahihan yang sejalan dengan kebenaran. 50 | anwar nuris – tindakan komunikatif c. dalam pandangan saya, banyak kelemahan yang serius dalam usulan jarvie yaitu perizinannya tidak jelas antara nilai kebudayaan dan nilai perwujudan institusi dalam norma-norma. institusi adalah isu yang dianggap benar dari proses mencapai pemahaman diantara tindakan subjek (dan menguat menjadi arti komplek objektif dalam hubungannya dengan mereka) dalam sebuah cara yang sama didalamnya, dalam pandangan popper, masalah-masalah, teori-teori dan argumen-argumen berasal dari proses kognitif. dengan model ini kita dapat, dan ini benar-benar, menjelaskan konsepsi dasar dan kebebasan relatif dalam realitas sosial, tapi bukan perlawanan spesifik dan bukan ciri pemaksaan terhadap pendirian norma dan pengadaan institusi yang melalui itu (keduanya) formasi sosial dibedakan dari kebudayaan. jika kita ingin menghindari kelemahan usulan jarvie, lebih lanjut habermas mengatakan, kita perlu membatasinya pada tiga hal berikut ini: 1. untuk memulainya, saya ingin mengganti konsep ontologi tentang “dunia” dengan suatu konsep lain dari tradisi fenomenologi dan memakai pasangan konsep tentang “dunia” dan “kehidupan dunia”. subjek sosial, itu sendiri, ketika berpartisipasi dalam proses kerjasama penafsiran, mereka sendiri menggunakan konsep tentang dunia secara implisit. tradisi kebudayaan, sebagaimana yang diperkenalkan popper sebagai “hasil pikiran manusia”, memainkan peranan yang berbeda dan bergantung pada fungsi awalnya sebagai sebuah stok ilmu pengetahuan kebudayaan peserta-peserta dalam interaksi penafsiran mereka atau dalam usahanya menciptakan topik intelektual. pada kasus pertama, tradisi kebudayaan diberikan oleh komunitas yang terdapat dalam kehidupan dunia yang setiap individunya siap mengetahui penafsiran. intersubjektif ini telah memberikan bentuk dasar kehidupan dunia bagi tindakan komunikasi. jadi, fenomenologi seperti yang dikatakan alfred schurtz bahwa kehidupan dunia sebagai un-tematik yang – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 51 dapat memberikan horizon pada peserta-peserta dalam melakukan perpindahan komunikasi yang mengarah secara tematik pada sesuatu di dunia. pada kasus yang kedua, sebuah elemen tradisi kebudayaan adalah mereka sendiri membuat tematik. peserta-peserta dengan demikian harus mengambil sikap reflektif terhadap pola kebudayaan interpretasi yang biasanya membuat kemungkinan atas penyelesaian interpretasinya. perubahan sikap ini mengandung arti bahwa validitas tema pola interpretasi ditutup dan ilmu pengetahuan yang cocok telah memberikan masalah; pada waktu yang sama, problem elemen tradisi kebudayaan membawa urusan kelompok kepada salah satu yang dapat mengarahkan pada cara pengobjektifan. teori popper tentang dunia ketiga menjelaskan bagaimana isi semantik kebudayaan dan objek simbol dapat dimengerti sebagai sesuatu di dunia, dan pada waktu yang sama dapat diperkenalkan sebagai objek tingkat tinggi dari (yang tampak) fisik dan (pengalaman) peristiwa mental. 2. lebih lanjut saya ingin mengganti secara menyebelah interpretasi kognitif pada konsep “akal objektif ” dengan konsep ilmu pengetahuan kebudayaan yang telah dibedakan menurut beberapa klaim kesahihan. dunia ketiga popper mencakup tingkatan tertinggi entitas, yang dapat diperoleh dalam sikap reflektif yang memelihara otonomi relatif dalam hubungannya dengan akal subjektif karena bentuknya, dalam dasar hubungan mereka terhadap kebenaran, jaringan komplek masalah yang terbuka terhadap penyelidikan. kita dapat mengatakan dalam bahasa neo-kantian bahwa dunia ketiga memperoleh kebebasan dilingkungan validitas. entitas dunia mengakui pendirian kebenaran dalam sebuah hubungan yang khas terhadap dunia yang pertama. masalah-masalah, teori-teori, dan argumen-argumen adalah atribut dunia ketiga dalam menjalankan analisis akhir untuk menggambarkan dan menjelaskan peristiwa dan orang-orang dalam dunia pertama. dan keduanya merupakan media dalam pertukaran dunia akal subjektif, tindakan pertukaran dalam pengetahuan dan dalam melakukan. dengan cara 52 | anwar nuris – tindakan komunikatif demikian elemen non-kognitif kebudayaan dapat menyelinap masuk kedalam posisi marginal yang khas. tapi justru elemen ini merupakan teori sosiologi tindakan yang signifikan. dari perspektif teori tindakan, aktifitas akal manusia tidak mudah membatasi konfrontasi instrumen kognitif dengan alam eksternal; tindakan sosial berorientasi kepada nilai kebudayaan dan ini tidak mempunyai hubungan kebenaran. jadi kita berhadapan dengan alternatif berikut: tiap kita menyangkal elemen non-kognitif pada tradisi kebudayaan yang statusnya sebagai entitas tiga dunia yang mempergunakan sifat berada (being) yang tertanam dalam bidang hubungan validitas, dan menggolongkan mereka kedalam sebuah sikap empirik sebagai bentuk ekspresi dari akal subjektif, atau kita mencari padanan kata untuk hubungan kebenaran yang hilang. 3. pertukaran ini memperlengkapi kita dengan kesempatan untuk membersihkan konsep dunia dari keterbatasan konotasi ontologi. popper memperkenalkan perbedaan konsep dunia dengan memisahkan berada (being) didalam satu dunia objektif. dalam karya terakhirnya dia menganggap pentingnya untuk tidak mengatakan perbedaan dunia, tentang satu dunia dengan indeks “1”, “2”, dan “3”. saya menginginkan, sebaliknya, untuk melanjutkan pembicaraan tiga dunia (yang merupakan pertukaran berbeda dari kehidupan dunia). disini, hanya satu, dinamakan dunia objektif, dapat dipahami sebagai korelasi totalitas dalam proposisi yang benar; hanya konsep ini yang memelihara dengan kuat signifikansi ontologi dalam keseluruhan entitas. dalam pandangan lain, sebuah sistem referensi yang diambil dari bentuk dunia adalah saling mensyaratkan dalam proses komunikasi. dengan sistem referensi ini peserta-peserta meletakkan sebuah kemungkinan dimengerti tentang semuanya. peserta-peserta dalam komunikasi merupakan orang yang mencoba memahami satu sama lain tentang sesuatu yang tidak mengambil satu hubungan saja dalam satu dunia objek, sebagaimana yang dianjurkan oleh model komunikasi sebelumnya yang dominan dalam empirisisme. pembicara – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 53 dan pendengar beroperasi dengan sebuah sistem dunia primordial yang sama. yaitu, dengan membedakan kemampuan berbicara mereka yang berinduk tidak hanya pada sebuah tingkatan yang mereka dapat menggambarkan--sebagaimana yang dianjurkan oleh klasifikasi popper--sebuah “deskripsi”, “pemberian isyarat” dan “ekspresi diri” – terletak dalam satu dan banyak bidang evolusioner. pada analisis selanjutnya, habermas mencoba keluar dari jebakan terminologi popperian. tujuannya dalam pengamatan atas teori tindakan jarvie yang diterjemahkan kedalam teori tiga dunia popper adalah hanya untuk mempersiapkan mempersiapkan sebuah tesis dengan melalui pemilihan spesifik atas konsep sosiologi tindakan secara umum yang dengannya dapat membuat asumsi spesifik tentang “ontologi”. konsep-konsep tindakan dalam sosiologi banyak menggunakan teori sosial-ilmiah yang dapat direduksikan dalam empat esensi dasar yaitu, model teleologis, model tindakan normatif, model tindakan dramaturgis dan model tindakan komunikatif. model teleologi tentang tindakan merupakan perluasan dari sebuah model strategis yang dapat masuk kedalam perhitungan agen tentang keberhasilan keputusan antisipasi dalam salah satu bagian dari tujuan langsung seorang aktor. model ini sering ditafsirkan dalam termterm utilitarian; seorang aktor diharapkan mampu untuk memilih dan menghitung arti dan tujuan dari sudut pandang kegunaan maksimal atau kegunaan harapan (expectations). ini adalah model tindakan yang berada dibelakang pendekatan teoritis keputusan dan pendekatan teoritis permainan dalam ekonomi, sosiologi, dan psikologi sosial. konsep tindakan yang diatur secara normatif tidak dapat mengarah kepada dasar perilaku aktor yang datang atas aktor lain dalam lingkungan mereka, tetapi untuk anggota sebuah kelompok sosial yang mengorientasikan tindakan mereka pada nilai adat. setiap aktor tunduk pada (atau melanggar) sebuah norma dalam sebuah situasi dan kondisi 54 | anwar nuris – tindakan komunikatif yang ada untuk mengaplikasikan norma. norma menandakan sebuah persetujuan yang berlaku dalam sebuah kelompok sosial. semua anggota dari kelompok yang telah diberikan norma yang sah boleh mengharap satu sama lain tentang situasi yang akan mereka laksanakan (atau menjauhkan diri dari) dengan tindakan yang telah diperintahkan (atau yang telah dilarang). konsep pokok dari mengikuti dengan sebuah norma berarti pemenuhan harapan umum tentang perilaku (behavior). yang terakhir ini tidak mempunyai pengertian kognitif tentang sebuah perkiraan keadaan yang diramalkan, tetapi pengertian normatif anggota yang berhak untuk mengharapkan beberapa perilaku. model tindakan normatif ini berada dibelakang teori peran yang dikembangkan secara luas dalam sosiologi. konsep tindakan dramaturgis berkenaan terutama dengan aktor terpencil maupun anggota sebuah kelompok sosial, bukan peserta-peserta dalam hubungan dasar sebuah publik, sebelum mereka memperkenalkan diri mereka sendiri. aktor menyebabkan image khusus dalam masyarakatnya, sebuah pengaruh dalam dirinya, kurang lebih dengan maksud memperlihatkan subjektifitasnya. setiap agen dapat menangkap akses publik kepada sistem tujuannya sendiri, pemikiran, sikap, keinginan, perasaan, dan sepertinya, hanya bagi dia yang mempunyai akses istimewa. dalam tindakan dramaturgis, peserta-peserta menggunakan ini dan mengemudikan hubungan mereka melalui perhitungan akses untuk subjektifitas mereka. jadi konsep pokok penyajian-diri tidak mampu memberitahukan secara spontan perilaku ekspresi, tapi hanya menyesuaikan ekspresi pengalamannya dengan pengamatan terhadap audien. model tindakan dramaturgis ini digunakan terutama dalam fenomenologi yang berorientasi pada deskripsi interaksi; tapi ini masih belum dikembangkan kedalam sebuah pendekatan teoritis secara umum. akhirnya konsep tindakan komunikatif mengarah kepada hubungan dengan paling sedikit dua subjek yang mampu berbicara dan bertindak yang membentuk hubungan interpersonal (baik dalam arti verbal maupun extra verbal). aktor mencoba mencapai sebuah pemahaman tentang – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 55 situasi tindakan dan rencana tindakan mereka agar supaya mereka dapat menyelaraskan tindakan mereka dengan cara yang telah disetujui. konsep pokok interpretasi berhubungan dengan contoh yang pertama untuk merundingkan definisi tentang situasi yang disetujui oleh konsensus. seperti yang akan kita lihat, bahasa adalah sebuah bagian yang menonjol dalam model ini. selanjutnya kita membersihkan pengertian mencapai pemahaman bahasa dengan memperkenalkan sebuah peralatan untuk mengkoordinasikan tindakan. bahkan model tindakan strategis dapat dimengerti dengan cara seperti itu yaitu tindakan peserta-peserta, yang diatur melalui kalkulasi kebutuhan egosentris dan telah dikoordinasikan dengan posisi menarik, yang ditengahi oleh perbuatan-tutur (speech-act). model tindakan teleologis misalnya, mengambil bahasa sebagai satu dari beberapa media pembicara yang telah diorientasikan kepada kesuksesan mereka yang pada akhirnya--dengan menarik--dapat mempengaruhi dan membawa lawan kepada sebuah bentuk keyakinan dan keinginan. konsep bahasa ini-adalah, sebagai contoh, dasar kemauan semantik. model tindakan normatif memisalkan bahasa sebagai sebuah media yang mengirimkan nilai kebudayaan dan membawa undang-undang yang dihasilkan oleh tindakan pemahaman tambahan. konsep bahasa kulturalis disini menyebar-luas dalam antropologi dan kandungan orientasi linguistik. model tindakan dramaturgis memisalkan bahasa sebagai sebuah media penyajian-diri; signifikansi kesadaran tentang komponen proposisi dan signifikansi interpersonal tentang komponen illocutionary yang dapat mengurangi fungsi ekspresi dalam perbuatan-tutur. bahasa diasimilasikan kepada bentuk style dan estetik dari ekspresi. hanya model tindakan komunikatif memisalkan bahasa sebagai media komunikasi yang tidak dibatasi oleh pembicara dan pendengar, diluar kontek pra-pengertian tentang kehidupan dunia mereka, mengarah secara serempak kepada sesuatu dalam dunia objektif, dunia sosial dan dunia subjektif agar memperundingkan definisi situasi secara umum. 56 | anwar nuris – tindakan komunikatif hal ini menerjemahkan konsep bahasa berada dibelakang berbagai upaya mengembangkan sebuah pragmatis formal. dalam soal pengaturan secara normatif dan dalam tindakan dramaturgis kita berharap untuk mampu membentuk undang-undang antar peserta-peserta terutama dalam prinsip dasar linguistik. meskipun demikian, dalam tiga model tindakan ini bahasa telah dipahami secara satu sisi dalam respek yang berbeda. kesatu-sisian dalam tiga konsep bahasa ini dapat dilihat dalam kenyataan yang sejalan dengan tipe komunikasi yang telah dipilih: pertama, komunikasi tak langsung itu hanya merupakan realisasi bagian dasar mereka dalam pengamatan; kedua, tindakan konsensual darinya yang secara sederhana mengaktualisasikan sebuah persiapan adanya persetujuan normatif; dan ketiga, penyajian diri dalam hubungannya dengan audien. sebaliknya model tindakan komunikasi, yang menegaskan tradisi ilmu pengetahuan sosial berhubungan dengan interaksionisme simbolik mead, konsep permainan bahasa wittgenstein, teori perbuatan-tutur austin, dan hermeneutika gadamer, mengambil semua fungsi bahasa secara bersama-sama kedalam pertimbangan. seperti yang dapat kita lihat dalam pendekatan etnometodologi dan pendekatan hermeneutik, dengan bahaya dalam mengurangi tindakan sosial kepada penyelesaian interpretasi peserta dalam komunikasi, tentang mengasimilasikan tindakan kepada tutur, interaksi kepada percakapan. dalam konteks inilah habermas mencoba memperkenalkan konsep tindakan komunikasi seraya menjelaskan: (a) karakter tindakan independen dan (b) hubungan reflektif dunia aktor dalam proses pemahaman. dia mengawalinya dengan mencoba mengkarakteristikkan tingkatan kompleksitas perbutaan-tutur yang secara serempak menyatakan isi proposisi, tawaran hubungan interpersonal, dan tujuan pembicara dengan tetap menyandarkan penyelidikannya pada filosofi bahasa wittgenstein serta menjelaskan mereka dengan arti konsep keinginan yang didasarkan atas aturan kesadaran pada saat konvensi linguistic didasarkan atas perspektif pengikut aturan. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 57 dengan menggunakan term “tindakan” sebagai ekspresi simbolik aktor yang paling tidak mampu mengambil hubungan dengan satu dunia (dunia objektif) yang telah diuji oleh model teleologis, regulasi normatif, dan tindakan dramaturgis, dia mencoba membedakan tindakan pergerakan jasmaniyah dan operasi yang dilaksanakan secara bersama. pergerakan jasmaniyah ini adalah dasar bagi setiap tindakan yang dilakukan yang juga dikontrol oleh susunan saraf pusat. dengan tindakan ini seorang agen dapat merubah sesuatu di dunia. kita dapat, tentu saja, membedakan pergerakan subjek yang dapat menghalangi dunia (tindakan instrumental) dengan subjek yang dapat mewujudkan sebuah pengertian (mengungkapkan dirinya secara komunikatif). dalam hal kedua-duanya pergerakan jasmaniyah menghasilkan sebuah perubahan fisik di dunia; dalam satu hal ini berarti keterkaitan kausal, dan yang lain keterkaitan semantik. contoh keterkaitan kausal dalam pergerakan jasmaniyah adalah menegakkan badan, menjalarnya tangan, mengangkat lengan, menekuk kaki dan seterusnya. contoh keterkaitan semantik dalam pergerakan jasmaniyah adalah pergerakan pangkal tenggorokan, lidah, bibir, etc., dalam generasi bunyi fonetik, menganggukkan kepala, mengangkat bahu, pergerakan jari ketika bermain piano; pergerakan tangan ketika menulis, menggambar dan seterusnya. adalah arthur danto yang telah menganalisa pergerakan ini sebagai “dasar tindakan.” hal ini telah membangkitkan diskusi besar dengan ide bahwa pergerakan jasmaniyah tidak dapat menggambarkan lapisan yang paling bawah yang mana tindakan masuk kedalam dunia dalam wujud tind/akan primitif dari diri mereka sendiri. dalam pandangan ini, tindakan komplek dikarakteristikkan oleh kenyataan yang dilakukan “melalui” tindakan lain: “melalui” mengibaskan tombol lampu saya menyalakan lampu; “melalui” menaikkan lengan saya menyambut seseorang; “melalui” menendang dengan keras bola saya mencetak gol. ini merupakan contoh tindakan yang dilakukan “melalui” sebuah dasar tindakan. sebuah dasar tindakan dikarakteristikkan dengan mengarahkan kenyataan bahwa ia tidak 58 | anwar nuris – tindakan komunikatif dapat dilaksanakan oleh sebuah tindakan tambahan. saya menganggap strategi konseptual ini sebagai yang menyesatkan. dalam beberapa pengertian, tindakan telah berealisasi melalui pergerakan pada jasmani, tapi hanya dalam cara yang serupa bahwa aktor, mengikuti tekhnik atau aturan sosial, melaksanakan pergerakan ini secara bersamaan. pelaksanaan secara bersamaan berarti bahwa aktor memaksudkan sebuah tindakan tetapi bukan dengan bantuan pergerakan jasmaniyah dalam merealisasikannya. sebuah pergerakan jasmaniyah adalah sebuah elemen tindakan tapi bukan sebuah tindakan. sepanjang posisinya masih sebagai tindakan yang terikat, pergerakan jasmaniyah hanya serupa dengan operasi itu seperti yang dikembangkan oleh wittgenstein dalam konsepnya tentang aturan dan penganut aturan. operasi pemikiran dan bicara/tutur selamanya hanya dilaksanakan secara bersamaan dalam tindakan lain. ini menjelaskan kegunaan khusus heuristik pada model permainan sosial. wittgenstein lebih suka menguraikan aturan operasional dengan referensi catur. dia tidak dapat melihat bahwa model ini hanya mempunyai nilai yang terbatas. kita dapat mengerti beberapa perkataan atau penghitungan sebagai praktek yang diatur oleh tata bahasa partikular atau aturan aritmatika, dalam sebuah cara yang serupa dengannya yang mana permainan catur diatur oleh aturan familiar permainan. dalam upaya mengaplikasikan aturan aritmatika dan tata bahasa ini, kita dapat menghasilkan objek simbol sebagaimana hitungan atau kalimat; akan tetapi mereka tidak dapat menjalani sebuah eksistensi yang bebas. kita secara normal melaksanakan tindakan lain dengan pengertian hitungan dan kalimat – sebagai contoh, pekerjaan sekolah atau perintah. secara operatif struktur yang dihasilkan dapat, diambil oleh diri mereka sendiri, dikritik sebagai kurang lebih membenarkan, keserasian dengan sebuah aturan, atau diformat dengan baik; tapi mereka tidak, sebagai tindakan, membuka kritik dari sudut kebenaran (truth), kamanjuran (efficacy), keadilan (rightness), atau ketulusan (sincerity), bagi mereka yang mendapatkan hubungan dunia hanya sebagai infrastruktur dari tindakan lain. operasi-operasi tidak mampu melakukannya dengan dunia. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 59 ini dapat kita lihat dalam kenyataan bahwa aturan operasional dapat melayani pengenalan sebuah pelaksanaan struktur secara operatif sebagai kurang lebih bentuk yang baik, yaitu, untuk membuatnya komprehensip bukan untuk menjelaskan pertunjukannya. mereka mengizinkan sebuah jawaban bagi pertanyaan apakah simbol diluar tulisan buruk adalah kalimat, ukuran, perhitungan, etc.; dan jika mereka, berkata, sebuah perhitungan, tapi hanya salah satunya. untuk menunjukkan bahwa seseorang yang sudah diperhitungkan, dan tentu saja dengan teliti, tidak dapat, bagaimanapun, menjelaskan mengapa dia mengadakan perhitungan ini. jika kita akan menjawab pertanyaan ini, kita harus mempunyai jalan lain dalam sebuah aturan tindakan; sebagai contoh, pada kenyataan bahwa seorang murid menggunakan sehelai kertas untuk memecahkan masalah matematika. dengan bantuan aturan aritmatika, kita dapat, ini adalah benar, mengatakan alasan mengapa dia meneruskan rentetan nomor 1,3,6,10,15 . . . . dengan 21,28,36 dan seterusnya; tapi kita tidak dapat menjelaskan mengapa dia menulis rentetan ini pada sepotong kertas. kita dapat menjelaskan dan menganalisa pengertian struktur simbol dan tidak dapat memberikan sebuah penjelasan rasional tentang asal-muasalnya. aturan operasional ini tidak mempunyai kekuatan yang bersifat menjelaskan: mengikuti mereka tanpa arti, dengan mengikuti aturan tentang tindakan, bahwa aktor berhubungan dengan sesuatu di dunia dan dengan demikian dapat diorientasikan pada klaim validitas yang terhubung atas alasan mendorong tindakan. bagi model tindakan komunikasi, bahasa relevan hanya dari sudut pragmatis pembicaranya, terutama dalam menggunakan kalimat yang mengorientasikan pencapaian pemahaman, mengambil hubungan dunia, bukan hanya secara langsung seperti dalam teleologi, pengaturan normatif, atau tindakan dramaturgis, tapi dalam sebuah cara reflektif. pembicara menggabungkan konsep formal tiga dunia, yang muncul dalam model tindakan lain secara satu-satu atau berpasangan, kedalam sebuah sistem dengan memisalkan sistem ini sebagai sebuah kerangka kerja 60 | anwar nuris – tindakan komunikatif interpretasi sampai mereka mencapai sebuah pemahaman. mereka tidak dapat berhubungan secara jauh dengan sesuatu dalam dunia objektif, dunia sosial, atau dunia subjektif; malahan mereka merelatifkan ucapan mereka melawan kemungkinan validitas mereka yang akan diperebutkan oleh aktor lain. pencapaian sebuah pemahaman berfungsi sebagai sebuah mekanisme kordinasi tindakan yang melalui peserta-peserta dalam interaksi yang datang pada sebuah persetujuan klaim validitas tentang ucapan mereka, yaitu, melalui intersubjektifitas yang mengakui klaim validitas mereka secara berbalas-balasan. di awal, seorang pembicara meletakkan kemampuan mengkritik klaim dalam hubungannya dengan ungkapannya tentang satu “dunia”; dengan demikian dia menggunakan fakta bahwa hubungan antara aktor dan dunia ini pada prinsipnya dapat membuka penilaian objektif. konsep tindakan komunikasi memisalkan bahasa sebagai salah satu media mencapai pemahaman, selama peserta-peserta tetap berhubungan kepada sebuah dunia dan secara berbalasan menaikkan klaim validitas yang dapat diterima atau diperjuangkan. kerangka kerja institusional: interaksi simbolik sistem-sistem tindakan rasional bertujuan (instrumental dan strategi) aturan-aturan yang mengorientasikan tindakan norma-norma sosial aturan-aturan tekhnis taraf definisi bahasa sehari-hari yang dilaksanakan secara intersubjektif bahasa yang bebas konteks mekanismemekanisme kemahiran internalisasi peran mempelajari keahliankeahlian dan kecakapankecakapan – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 61 fungsi macam tindakan pemeliharaan pranata-pranata (kepatuhan pada norma-norma atas desakan timbale balik) pemecahan masalah (pencapaian tujuan ditentukan dalam relasirelasi sarana tujuan) sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturanaturan hukuman atas dasar sanksi-sanksi konvensional kegagalan melawan otoritas. ketidaksuksesan: kegagalan dalam kenyataan. “rasionalisasi” emansipasi, individuasi, perluasan komunikasi bebas dari penguasaan. perkembangan kekuatankekuatan produksi; perluasan kekuasaan kontrol tekhnis. dengan model tindakan ini kita dapat berharap bahwa peserta-peserta dalam interaksinya dapat mengarahkan potensi akal – menurut analisis kita sebelumnya berada dalam tiga hubungan aktor pada dunia – dengan jelas untuk mengejar secara kooperatif tujuan dalam mencapai pemahaman. jika kita meninggalkan satu sisi bentuk kebaikan ekspresi simbol yang digunakan, seorang aktor yang berorientasi kepada pemahaman dalam pengertian ini harus dapat menaikkan setidak-tidaknya tiga klaim validitas dengan ungkapannya, yaitu: 1. bahwa sebuah pernyataan menjadi benar (atau bahwa perkiraan eksistensial tentang kandungan proposisi yang disebutkan adalah kenyataan yang cukup) 2. bahwa sebuah perbuatan-tutur adalah benar dengan respek bagi adanya konteks normatif (atau bahwa konteks normatif tentangnya disangka benar untuk mencukupi legitimasi dalam dirinya); dan 3. bahwa tujuan nyata pembicara adalah sesuai dengan apa yang diungkapkannya. 62 | anwar nuris – tindakan komunikatif jadi pembicara mengklaim kebenaran atas statemen atau perkiraan eksistensi, kebenaran dalam pengaturan tindakan secara sah dan konteks normatifnya, dan keadaan yang sebenarnya atau ketulusan atas manifestasi pengalaman subjektif. kita dapat mengakui dengan mudah bahwa disanalah tiga hubungan aktor kepada dunia yang disyaratkan oleh ilmuwan sosial dalam analisa konsep tindakan berada; tapi dalam konsep tindakan komunikasi mereka dianggap berasal dari perspektif pembicara dan pendengar mereka sendiri. itu adalah aktor mereka sendiri yang mencari konsensus dan mengadunya melawan kebenaran, keadilan, ketulusan, yaitu, melawan “pantas” atau “tak pantas” antara perbuatan-tutur, pada satu sisi, dan tiga dunia yang mana ak tor mengambil hubungan dengan ucapannya, pada sisi lain. sungguh hubungan menarik antara sebuah ucapan dan: 1. dunia objektif (sebagai keseluruhan dari semua entitas yang mana statemen yang benar merupakan kemungkinan) 2. dunia sosial (sebagai keseluruhan dari semua regulasi hubungan interpersonal yang sah) 3. dunia subjektif (sebagai keseluruhan pengalaman pembicara yang mana dia mempunyai hak-hak akses yang istemewa) setiap proses mencapai pemahaman melawan dasar kebudayaan yang berurat-berakar pada pra-pengertian. dasar pengetahuan ini tetap tidak menjadi masalah secara keseluruhan; hanya pada bagian stok pengetahuan yang mana peserta-peserta menggunakan dan men-tematisasi-kan pada waktu yang telah diberikan. secara luas, situasi definisi dihasilkan dari perundingan peserta-peserta mereka sendiri, segmen tematik kehidupan dunia ini merupakan bentuk penyelesaian mereka secara negosiasi atas setiap situasi definisi baru. sebuah situasi definisi menetapkan sebuah perintah. melalui ini, peserta-peserta dalam komunikasi menentukan bermacam elemen situasi tindakan kepada satu dari tiga dunia yang dengan demikian mereka dapat menggabungkan situasi tindakan aktual kedalam pra-pengertian kehidupan dunia mereka. sebuah situasi definisi dengan kelompok lain – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 63 yang utama adalah menyimpang dari sebuah jenis masalah khas yang hadir; terutama dalam proses kerjasama interpretasi yang mana peserta tidak dapat memonopoli atas interpretasi yang benar. bagi kedua kelompok ini, tugas interpretasi adalah menggabungkan situasi interpretasi lain kedalam dirinya yaitu dalam model yang telah diperbaiki oleh dunia eksternal “miliknya” dan dunia eksternal “milik saya” yang dapat – melawan dasar kehidupan dunia “kita” – menjadi relatif dalam hubungan dengan “sebuah” dunia, dan situasi definisi yang menyimpang dapat dibawa sejalan dengan waktu yang cukup. tentu saja ini tidak berarti bahwa interpretasi harus memimpin dalam kestabilan setiap hal dan tidak ambigu dalam membedakan tugas. stabilitas dan ketidak-ambiguan ini agaknya pengecualian dalam praktek komunikasi kehidupan sehari-hari. banyak gambaran realitas yang dilukiskan oleh etnometodologi – yang tersebar luas dan komunikasi ini akan berhasil baik jika peserta-peserta menyandarkan masalah dan tidak menjelaskan perkiraan dan kebiasaan perasaan mereka untuk yang selanjutnya. untuk menghindari salah pengertian saya ingin mengulang bahwa model tindakan komunikasi tidak menyamakan tindakan dengan komunikasi. bahasa adalah media komunikasi yang melayani pemahaman, mengingat aktor, datang kepada sebuah pemahaman dengan satu sama lain untuk menyesuaikan tindakan mereka, mengikuti tujuan partikular mereka. pada hal ini struktur teleologi merupakan dasar bagi semua konsep tindakan. konsep tindakan sosial dibedakan, bagaimanapun, menurut bagaimana mereka menetapkan koordinasi antara tujuan langsung (goaldirected) tindakan peserta yang berbeda: seperti menjalin keperluan perhitungan egosentris (untuk tingkat konflik dan kerjasama yang berubah dengan posisi kepentingan yang telah diberikan); seperti persetujuan integrasi sosial tentang nilai dan norma yang ditanamkan melalui tradisi kebudayaan dan sosialisasi; seperti persetujuan hubungan antara pemain dan publiknya; atau seperti pencapaian pemahaman dalam pengertian proses kerjasama interpretasi. 64 | anwar nuris – tindakan komunikatif dalam semua hal struktur tindakan teleologis yang disyaratkan, dalam kapasitas tujuan dasar (goal-setting) dan tujuan langsung (goal-directed) dari tindakan yang dianggap berasal dari aktor, sama baik dengan sebuah kepentingan dalam melaksanakan rencana tindakan mereka. tapi hanya model tindakan strategis yang meletakkan isi dengan sebuah penjelasan dan analisa tentang ciri-ciri tindakan yang diorientasikan secara langsung kepada keberhasilan; sebaliknya model tindakan lain menentukan kondisi dibawah aktor yang mengejar cita-citanya – kondisi yang sah, tentang penyajian diri, atau tentang persetujuan yang diambil dalam komunikasi, diluar yang dapat mengubah “hubungan” tindakannya dengan ego itu. dalam hal tindakan komunikasi, sebuah penyelesaian interpretasi atas proses kerjasama interpretasi harus berdasarkan pada gambaran mekanisme dalam mengkoordinasikan tindakan; tindakan komunikasi tidak kehabisan tenaga oleh perbuatan mencapai pemahaman dalam sebuah gaya penerjemahan. jika kita mengambil unit analisis kita sebuah perbuatantutur yang sederhana yang dilaksanakan oleh s, setidak-tidaknya satu peserta dalam interaksi dapat mengambil “ya” atau “tidak”, kita dapat menjelaskan kondisi koordinasi tindakan komunikasi dengan memulai apa artinya bagi seorang pendengar untuk mengerti apa yang telah dikatakan. tapi tindakan komunikasi menandakan tipe interaksi yang telah berkoordinasi melalui perbuatan tutur dan tidak serupa dengan mereka. dan untuk menghindari distorsi-distorsi komunikasi, lanjut habermas, masyarakat harus sesegera mungkin membangun diskursus etika, yaitu suatu justifikasi normatif untuk mencapai kesesuaian kepentingan antar anggota (generelizable interest). dengannya tindakan komunikatif dengan argumen-argumen terbaiknya dapat dimengerti dengan “keyakinan-keyakinan rasional”. demi mencapai “keyakinan-keyakinan rasional” tersebut, habermas kemudian merumuskan syarat-syarat komunikatif sebagaimana yang terangkum dalam the ideal speech situation (situasi percakapan yang ideal), yaitu: – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 65 1. semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengkritik argumen-argumen peserta lain; 2. diantara peserta-peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang dapat menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga; dan akhirnya: 3. semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga tidak mungkin terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya. iv. penutup meskipun banyak kritikan yang datangnya kemudian terhadap pemikiran habermas ini, diantaranya adalah tentang konsensus rasional yang mana--menurut para kritikusnya--tindakan komunikatif mengandung asumsi filosofis terutama dalam bentuk wacana post-metafisikanya yang pada akhirnya menyebabkan habermas terperosok dalam kecenderungan yang disebut fondasionalisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan manusia memiliki fondasi terakhir yang bersifat objektif, yang kemudian mengandaikan adanya perbedaan mendasar antara penampakan dan hakikat, ilusi dan kenyataan, kesadaran palsu dan pengetahuan sejati. sosok intelektual jurgen habermas dengan teori kritisnya masih tetap dikenal sebagai sosok pembaharu dalam tradisi intelektual jerman mutakhir yang dirintis bersama max horkheimer cs. dengan madzhab frankfurt-nya. 66 | anwar nuris – tindakan komunikatif referensi buku bertens, k. 2002. filsafat barat kontemporer inggris – jerman. jakarta: pt gramedia pustaka utama fauzi, ibrahim ali. 2003. jurgen habermas: seri tokoh filsafat. jakarta: teraju lubis, a. hamid hasan. 1994. analisis wacana pragmatik. bandung: angkasa ritzer, george. 1985. sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda. jakarta: rajawali pers jurnal al-maula, maulidin. 2003. teori kritis civil society, jurnal gerbang no.13, vol. v oktober 2002 januari 2003 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 daftar isi negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma dan theresia octastefani 1 24 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma 25 44 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution dan miswari 45 62 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda 63 86 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas 87 110 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar dan imam mujahid 111 124 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar mahasiswa pascasarjana uin sunan kalijaga imam mujahid iain surakarta keywords: beneficiaries, guidance and counseling, rational emotive behavior therapy (rebt) http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: kohar.kpi@gmail.com imammujahidsolo@gmail.com abstract abstrak this study was conducted to give depth understanding about the procedure of counseling implementation by using rational emotive behavioral therapy (rebt) approach. rebt is one of the counseling approach which improve individuals skills and mental of health by replacing irrational beliefs and thoughts to the rational beliefs and thoughts. the study was conducted in qualitative descriptive method and literature review. the results show that counseling with rebt approach is important to assisting beneficiaries in order to achieve optimal psychological health. studi ini dilakukan untuk memahami secara mendalam mengenai prosedur pelaksanaan konseling dengan menggunakan pendekatan rational emotive behavioral therapy (rebt). rebt merupakan salah satu pendekatan konseling untuk meningkatkan keterampilan dan kesehatan mental individu dengan cara melawan pikiran dan keyakinan irasional, dan menggantinya dengan pikiran dan keyakinan yang rasional. studi dilaksanakan dengan metode deskriptif kualitatif dan kajian literatur. hasilnya menunjukkan bahwa konseling dengan pendekatan rebt penting untuk membantu penerima manfaat agar dapat mencapai kesehatan psikologis yang optimal. doi number 10.22515/ balagh.v2i1.616 kata kunci: penerima manfaat, bimbingan dan konseling, rational emotive behavior therapy (rebt) 112 | muhamad abdul kohar, imam mujahid – bimbingan dan konseling dengan pendekatan i. pendahuluan manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. kesempurnaan tersebut ditandai dengan mempunyai akal dan budi (salim & salim 1991, 934). selain akal dan budi, manusia juga dibekali dengan nafsu. dalam paradigma psikoanalisis, nafsu ini berorientasi pada kenikmatan (freud 2009, 334 – 382). dalam perjalanannya, nafsu yang berorientasi kenikmatan ini menuntut untuk dipenuhi. berasal dari titik ini, manusia memiliki kebutuhan, seperti kebutuhan biologis dan seksual. berbekal akal, manusia dapat mencari segala cara untuk memenuhi kebutuhannya, baik cara yang positif maupun cara yang negatif. salah satu cara yang ditempuh oleh sebagian orang untuk memenuhi kebutuhannya adalah dengan menjadi wanita tuna susila. ketika seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menjadi wanita tuna susila, maka seseorang tersebut memiliki kecenderungan pola pikir irasional. sebagian wanita tuna susila tidak ingin bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya sehingga memilih jalan pintas dengan menjadi wanita tuna susila. ketika menjadi wanita tuna susila, seseorang berpotensi mengalami beberapa permasalahan, salah satunya adalah kecemasan. kecemasan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, misalkan ketika terjaring razia oleh satpol pp. setelah terjaring oleh satpol pp, wanita tuna susila ini dibina agar tidak menjadi wanita tuna susila lagi. salah satu tempat untuk pembinaan eks wanita tuna susila adalah panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta. wilayah kerja panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta dalam penanganan permasalahan sosial wanita tuna susila meliputi seluruh provinsi jawa tengah. sasaran utamanya adalah wanita tuna susila/ eks wanita tuna susila dengan kriteria semua kelompok umur, sehat jasmani (tidak berpenyakit menular), sehat rohani (tidak tuna laras), serta bersedia mengikuti bimbingan dan diasramakan di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta. eks wanita tuna susila yang sudah berada – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 113 di bawah pembinaan panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta kemudian disebut dengan penerima manfaat. membina penerima manfaat merupakan tugas bagi para pembimbing di balai rehabilitasi atau lembaga-lembaga sosial seperti di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta. salah satu bentuk pembinaan adalah dengan memberikan layanan bimbingan dan konseling. bimbingan dan konseling adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh seorang ahli (konselor) kepada individu untuk membantu individu tersebut dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan individu secara pribadi, seperti penyesuaian diri, menghadapi konflik, dan pergaulan (sukardi 1993, 11). bimbingan dan konseling dapat dilakukan dengan banyak pendekatan, salah satunya adalah rational emotive behavior therapy atau rebt (komalasari, wahyuni, dan karsih 2014, 22). konseling dan psikoterapi dengan pendekatan rational emotive behavior therapy atau rebt ini diciptakan oleh albert ellis pada tahun 1955 (erford 2017, 269). rational emotive behavior therapy (rebt) adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku, dan pikiran (corey 2013, 238). pendekatan rebt memandang manusia pada dasarnya sebagai individu unik dan memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional (corey 2013, 204). corey (2013, 254) menjelaskan tipe-tipe individu yang ditangani dengan pendekatan rebt mencakup individu yang mengalami kecemasan yang moderat, yang mengalami gangguangangguan karakter, para remaja nakal, dan para kriminal dewasa. dalam rebt, individu yang mengalami permasalahan diminta untuk menantang pikiran irasionalnya. seperti yang sudah diketahui dalam penelitian awal dalam bentuk wawancara terhadap penerima manfaat, bahwa penerima manfaat memiliki beberapa pikiran dan keyakinan irasional. misalkan, menganggap bahwa tuhan tidak adil sehingga dirinya harus mencari penghidupan dengan menjadi wanita tuna susila, berpikir bahwa dirinya tidak berguna, meyakini 114 | muhamad abdul kohar, imam mujahid – bimbingan dan konseling dengan pendekatan bahwa tidak ada orang baik yang bisa membantu kesulitan hidupnya sehingga dirinya harus menjadi wanita tuna susila, meyakini bahwa dirinya memiliki banyak dosa sehingga tidak ada gunanya jika bertaubat karena tuhan tidak akan mengampuni, serta berpikir bahwa masyarakat dan keluarga tidak akan menerimanya selepas dari panti rehabilitasi. pikiran irasional yang ada pada penerima manfaat semacam ini sangat sesuai diatasi dengan konseling menggunakan pendekatan rebt. terdapat beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt. di antaranya penelitian aisyiyah (2014, 85) yang membuktikan bahwa konseling rasional emotif teknik relaksasi efektif dapat mengurangi kecemasan menghadapi ujian siswa ma taqwal illah semarang. selain itu, siburian, karyono, & kaloeti (2010, 40 – 49) pernah meneliti kecemasan menghadapi masa depan pada penyalahguna napza yang ditangani dengan rebt. hasilnya rebt dapat menurunkan kecemasan menghadapi masa depan dengan mengkonfrontasi keyakinan irasional pada penyalahguna napza tentang masa depan. penelitian sejenis mengenai efektivitas rebt untuk menurunkan kecemasan juga pernah dilakukan oleh amaliyah & palila (2015, 143 – 157). dalam penelitian tersebut, rebt digunakan untuk menurunkan kecemasan mahasiswa dalam menyusun skripsi. hasilnya, rebt tidak efektif dalam menurunkan kecemasan menyusun skripsi pada mahasiswa karena terdapat beberapa keterbatasan penelitian seperti jumlah subjek penelitian yang sedikit. stevani, mudjiran, & iswari (2016, 1 – 23) juga melakukan penelitian pengaruh rebt terhadap penurunan kecemasan mahasiswa, tetapi dalam konteks berbicara di depan kelas. hasilnya, rebt yang disajikan dalam konseling kelompok efektif menurunkan kecemasan mahasiswa berbicara di depan kelas. mengenai efektivitas rebt untuk meningkatkan resiliensi pernah diteliti oleh mashudi (2016, 66 – 78) dan shahfira & saputra (2015, 13 – 25). hasilnya, rebt efektif dalam meningkatkan resiliensi. resiliensi meningkat karena subjek penelitian mampu berpikir rasional terhadap kondisi diri dan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 115 kehidupan, meskipun peneliti terdahulu tidak mengubah apapun tentang kehidupan subjek penelitian. penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu pada beberapa segi. salah satu ciri dari penelitian ini adalah terletak pada segi konten yang terkandung dalam bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt. penelitian ini mengungkap nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas yang digunakan untuk membantu penerima manfaat dalam melawan pikiran dan keyakinan irasional. hal ini disebabkan pikiran dan keyakinan irasional yang ada dalam diri penerima berkaitan dengan anggapannya terhadap keterkaitan antara permasalahan hidup dan ketuhanan. ii. metode penelitian metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research). studi kepustakaan (library research) adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, kemudian mencatat serta mengolah bahan penelitiannya (zed 2004, 3). penelitian ini juga menggunakan metode observasi dan wawancara. nasution (sugiyono 2007, 64) menjelaskan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. sedangkan wawancara adalah suatu percakapan atau seni mengajukan pertanyaan dan mendengarkan (denzin & yonna 2000, 633). wawancara dan observasi digunakan untuk menggali data secara mendalam tentang dinamika permasalahan yang dialami oleh penerima manfaat dan menggali tentang prosedur bimbingan dan konseling individu dengan pendekatan rebt di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta. model wawancara dalam penelitian ini mengunakan wawancara semi-terstruktur yaitu peneliti hanya menyiapkan beberapa pertanyaan kunci untuk memandu jalannya proses tanya jawab wawancara (ibrahim 2015, 89). selain itu, pertanyaan yang disiapkan juga memiliki kemungkinan untuk dikembangkan dalam proses wawancara yang dilakukan yang mengarah pada proses bimbingan individu di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta. 116 | muhamad abdul kohar, imam mujahid – bimbingan dan konseling dengan pendekatan iii. bimbingan dan konseling rebt model bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt yang dilakukan di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta ada beberapa tahap, antara lain : 1. tahap awal (asesmen) tahap ini merupakan tahap pertama dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling dengan menggunakan pendekatan rebt. tahap asesmen bertujuan untuk menggali penyebab masalah yang dialami oleh penerima manfaat. mengingat pendekatan yang digunakan adalah rebt, maka penyebab yang sesuai untuk ditangani dengan pendekatan rebt adalah penerima manfaat yang memiliki pikiran dan keyakinan irasional. selain itu, pada tahap asesmen juga digali mengenai bentuk dari pikiran dan keyakinan irasional yang dialami oleh penerima manfaat. adapun penerima manfaat yang permasalahannya bukan disebabkan oleh pikiran dan keyakinan irasional, maka dapat diberikan layanan bimbingan dan konseling yang lebih sesuai dan tepat sasaran. ketepatan antara penyebab permasalahan dengan pendekatan yang digunakan sangat berpengaruh pada keberhasilan bimbingan dan konseling. maka dari itu, tahap asesmen adalah tahap paling awal dan penting dalam bimbingan dan konseling. 2. tahap inti (perencanaan dan pelaksanaan). tahap ini mengandung dua bagian, yaitu perencanaan dan pelaksanaan. setelah tahap asesmen berhasil dilakukan, maka konselor atau pekerja sosial di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta yang akan menjalankan proses bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt melakukan perencanaan dengan konseli (penerima manfaat). perencanaan tersebut meliputi target dan tujuan yang ingin dicapai oleh penerima manfaat. selain itu, perencanaan juga memuat kontrak waktu dan kesediaan penerima manfaat untuk berkomitmen menjalani bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt dari awal sampai akhir, sesuai jadwal yang ditetapkan oleh panti – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 117 pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta. tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. tahap pelaksanaan meliputi memunculkan kesadaran pada penerima manfaat bahwa penerima manfaat memiliki pikiran dan keyakinan irasional yang membuatnya mengalami emosi negatif dan perilaku yang maladaptif. maka dari itu, pikiran dan keyakinan irasional tersebut harus dilawan dan diubah. cara melawan dan mengubah pikiran irasional tersebut adalah dengan cara memahami bahwa pikiran dan keyakinan irasional tersebut tidak terbukti. selain itu, juga memunculkan kesadaran bahwa pikiran dan keyakinan irasionalnya membuat ketidaknyamanan psikologis. kemudian, diganti dengan pikiran dan keyakinan yang lebih rasional. karena pikiran dan keyakinan irasional yang terjadi pada penerima manfaat mengandung unsur spiritualitas dan religiositas, maka cara melawannya juga dengan fakta kehidupan yang mengandung nilainilai spiritualitas dan religiusitas. oleh karena itu, secara tidak langsung penerima manfaat diajarkan untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan agama sehingga, penerima manfaat dibuatkan jadwal ibadah serta diajarkan cara berpakaian dan berperilaku yang sesuai dengan nilai keagamaan. 3. tahap akhir tahap akhir meliputi peneguhan bahwa perubahan yang berhasil dilakukan oleh penerima manfaat membawa dampak positif dan menyebabkan kondisi psikologis semakin positif. kesadaran bahwa kondisi psikologis semakin nyaman karena berhasil dalam melawan pikiran dan keyakinan irasional akan menjadi penguat (reinforcement) sehingga penerima manfaat akan melanjutkan dalam melawan setiap pikiran dan keyakinan irasional yang muncul. selain itu, tahap akhir juga mengandung pemberian penghargaan terhadap penerima manfaat misalkan dengan pujian dan dukungan untuk mempertahankan perubahan perilaku yang muncul. 118 | muhamad abdul kohar, imam mujahid – bimbingan dan konseling dengan pendekatan 4. bimbingan lanjut bimbingan lanjut bertujuan untuk memantau perubahan perilaku penerima manfaat ke arah yang lebih rasional. terlebih lagi, ketika penerima manfaat sudah kembali ke masyarakat. diharapkan perubahan perilaku tersebut bersifat menetap sehingga tidak menyebabkan penerima manfaat kembali menjadi wanita tuna susila serta membuat penerima manfaat mampu bersikap rasional dan adaptif dalam menghadapi setiap permasalahan hidup. iv. implementasi rebt bagi penerima manfaat rational emotive behavior therapy (rebt) adalah salah satu pendekatan dalam bimbingan dan konseling maupun psikoterapi. rebt diterapkan kepada individu yang mengalami permasalahan yang disebabkan oleh pikiran dan keyakinan irasional terhadap peristiwa hidup. rebt memiliki tiga tahap, yaitu : menyadarkan klien bahwa ada perilaku negatif yang menimbulkan ketidaknyamanan psikologis, menyadarkan klien bahwa perilaku negatifnya disebabkan oleh keyakinan irasional terhadap peristiwa, dan mengkontrontasi klien untuk melawan keyakinan irasionalnya dengan memperlihatkan bahwa keyakinan irasionalnya tidak terbukti dengan analisis logika lalu menunjukkan ketidaklogisan keyakinannya (corey 2013, 248 – 249). bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt membantu penerima manfaat untuk melawan pikiran irasional. maka dari itu, kunci awal untuk menjalankan bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt adalah dengan menggali penyebab permasalahan yang berupa pikiran dan keyakinan irasional. seperti yang sudah dijelaskan, terdapat beberapa pikiran keyakinan irasional dalam diri penerima manfaat sehingga memunculkan perasaan dan perilaku negatif. misalkan, menganggap bahwa tuhan tidak adil sehingga dirinya harus mencari penghidupan dengan menjadi wanita tuna susila, berpikir bahwa dirinya tidak berguna, meyakini bahwa tidak ada orang baik yang bisa membantu kesulitan hidupnya sehingga dirinya – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 119 harus menjadi wanita tuna susila, meyakini bahwa dirinya memiliki banyak dosa sehingga tidak ada gunanya jika bertaubat karena tuhan tidak akan mengampuni, serta berpikir bahwa masyarakat dan keluarga tidak akan menerimanya selepas dari panti rehabilitasi. penerima manfaat disadarkan bahwa perilaku negatifnya bukan disebabkan oleh peristiwa hidup, namun lebih disebabkan oleh pemaknaannya terhadap peristiwa hidup tersebut. maka dari itu, hal yang harus dibenahi adalah cara memaknai peristiwa hidup sehingga menjadi keyakinan. penerima manfaat juga dipahamkan bahwa cara memaknai peristiwa yang salah tersebut kemudian menjadikannya berpikir dan berkeyakinan yang irasional. penerima manfaat kemudian ditunjukkan bahwa pada faktanya, pikiran dan keyakinan irasionalnya tidak terbukti. selain itu, penerima manfaat juga ditunjukkan bahwa pikiran dan keyakinan irasionalnya tersebut menyebabkan dirinya tidak nyaman dan tidak bisa merasakan ketenangan. hal ini membantu penerima manfaat untuk segera menyadari bahwa pikiran dan keyakinannya terhadap peristiwa dan objek kehidupan kurang tepat. dengan demikian, solusi yang dapat ditempuh adalah melawan pikiran dan keyakinan irasional tersebut. selanjutnya, penerima manfaat ditunjukkan banyak peristiwa yang memiliki latar belakang kehidupan yang sama namun memiliki perilaku yang berbeda karena memiliki keyakinan yang rasional (misalkan, wanita yang mengalami kemiskinan namun tidak bekerja sebagai wanita tuna susila, atau memperlihatkan keadilan tuhan kepada makhluk ciptaan-nya, atau menunjukkan fenomena bahwa eks wanita tuna susila tetap diterima di masyarakat). konfrontasi semacam ini harus dilakukan secara hati-hati tanpa menghilangkan prinsip empati agar penerima manfaat tetap merasa dipahami, bukan dibantah. penanaman pikiran dan keyakinan rasional juga disisipi dengan nilai-nilai spiritualitas dan religiositas karena ada pikiran dan keyakinan irasional yang menyangkut tentang pemaknaan penerima manfaat terhadap agama, kehidupan, dan tuhan. 120 | muhamad abdul kohar, imam mujahid – bimbingan dan konseling dengan pendekatan penerima manfaat didampingi dalam mengubah pikiran dan keyakinan irasionalnya menjadi lebih rasional. kemudian, penerima manfaat juga diminta merasakan perubahan perasaan ketika berpikir dan berkeyakinan rasional. hal ini bertujuan sebagai penguatan (reinforcement) positif. dengan memperlihatkan bahwa berpikir dan berkeyakinan rasional itu menyebabkan perasaan dan perilaku lebih nyaman dan positif, maka penerima manfaat akan mengulangi cara berpikir dan berkeyakinan rasional tersebut sehingga, semakin lama dan sering penerima manfaat berpikir rasional, pikiran dan keyakinan irasionalnya semakin hilang. dampaknya, emosi negatif dan perilaku maladaptif karena pikiran dan keyakinan irasional berganti emosi positif dan perilaku adaptif. setelah mampu mengkonfrontasi penerima manfaat dengan pikiran dan keyakinan rasional, penerima manfaat dibantu untuk berperilaku rasional. pada titik ini menentukan penerima manfaat untuk melanjutkan hidupnya sebagai bagian dari masyarakat yang berperilaku adaptif dan tidak melanggar norma, atau kembali lagi menjadi wanita tuna susila. sehingga, mengkonfrontasi saja tidak cukup. bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt harus diikuti dengan membantu penerima manfaat untuk menyusun rencana hidup yang lebih rasional. lebih dari itu, penerima manfaat juga diajarkan mengenai berbagai keterampilan guna menunjang dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari penerima manfaat kembali ke masyarakat. pengajaran keterampilan tersebut disesuaikan dengan minat penerima manfaat sehingga dalam mengembangkan keterampilan, penerima manfaat tidak mengalami kesulitan. dengan demikian, bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt bisa mengatasi berbagai macam jenis perasaan dan perilaku negatif yang muncul akibat pikiran dan keyakinan yang irasional. lebih dari itu, bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt juga mengajarkan keterampilan penerima manfaat untuk berpikir dan berperilaku yang rasional dalam menghadapi persoalan hidup. pada akhirnya, kesehatan mental penerima manfaat bisa terbangun. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 121 v. kesimpulan pendekatan rebt bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara pikir, keyakinan serta pandangan konseli yang irasional menjadi rasional sehingga konseli dapat mengembangkan pikiran dan perilaku secara optimal dan rasional. bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt dilakukan dalam beberapa tahap. pertama, menerapkan asesmen awal terlebih dahulu terhadap penerima manfaat guna menggali penyebab permasalahan yang dikarenakan oleh pikiran dan keyakinan irasional. kedua, menyusun rencana tahapan bimbingan dan konseling serta tujuannya. ketiga, menjalankan setiap tahapan bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt. proses bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt sendiri mengandung tiga tahapan, yaitu memunculkan kesadaran penerima manfaat bahwa emosi dan perilaku negatif muncul akibat dari pikiran dan keyakinan irasionalnya terhadap fenomena kehidupan; membangun kesadaran penerima manfaat bahwa satu-satunya solusi permasalahan tersebut adalah dengan melawan pikiran dan keyakinan irasional dengan pikiran dan keyakinan rasional; dan mengajarkan keterampilan berpikir dan berperilaku rasional kepada penerima manfaat. keempat, memberikan pendampingan tindak lanjut agar penerima manfaat mampu mempertahankan perubahan pasca bimbingan dan konseling serta tidak kembali terjun menjadi wanita tuna susila. saran. bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt dapat menjadi alternatif yang bisa digunakan oleh konselor dan pekerja sosial di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta untuk menyelesaikan permasalahan pada penerima manfaat. terutama, jika penyebab permasalahan dan perilaku negatif yang ada pada penerima manfaat disebabkan oleh adanya pikiran dan keyakinan yang irasional. bimbingan dan konseling tersebut dilaksanakan dengan mengedepankan etika konseling serta dalam suasana yang humanis dan terapeutik agar memberikan kenyamanan dan pengaruh pada diri penerima manfaat. 122 | muhamad abdul kohar, imam mujahid – bimbingan dan konseling dengan pendekatan tindak lanjut pasca bimbingan dan konseling menjadi penting untuk memastikan pengaruh dari bimbingan dan konseling dengan pendekatan rebt menetap pada diri penerima manfaat. kepada penerima manfaat, hendaknya mengembangkan keterampilan berpikir dan berkeyakinan yang rasional untuk memunculkan perilaku rasional yang positif dalam merespon permasalahan hidup, serta menggunakan keterampilan yang telah diajarkan di panti pelayanan sosial wanita ”wanodyatama” surakarta sebagai penunjang dan alat pemenuhan kebutuhan hidup. daftar pustaka aisyiyah, n. 2014. “upaya mengurangi kecemasan menghadapi ujian melalui konseling rasional emotif teknik relaksasi pada siswa”. jurnal ilmiah pendidikan bimbingan dan konseling, 84 – 93. amaliyah, k.a., & palila, s. 2015. “efektivitas rational emotive behvaior training terhadap penurunan kecemasan menyusun skripsi mahasiswa”. jurnal intervensi psikologi 7, 2 : 143 – 157. corey, g. 2013. teori dan praktik konseling dan psikoterapi. bandung : pt refika aditama. denzin, norman & lincoln yonna s. 2000. handbook of qualitative research. (second edition) london: sage publication inc. erford, bradley t. 2017. 40 teknik yang harus diketahui setiap konseling edisi kedua. yogyakarta : pustaka pelajar. ibrahim. 2015. metodologi penlitian kualitatif. bandung : alfabeta. komalasari, g., wahyuni, e., & karsih. 2014. teori dan teknik konseling. jakarta : pt indeks. mashudi, e.a. 2016. “konseling rational emotive behavior dengan teknik pencitraan untuk meningkatkan resiliensi mahasiswa berstatus sosial ekonomi lemah”. jurnal psikopedagogia 5, 1: 66 – 78. siburian, e., karyono, kaloeti, d.v.s. 2010. “pengaruh rational emotive behavioral therapy dalam menurunkan kecemasan menghadapi masa depan pada penyalahguna napza di panti rehabilitasi”. jurnal psikologi undip 7, 1: 40 – 49. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 123 stevani, h., mudjiran, & iswari, m. 2016. “efektivitas layanan bimbingan kelompok dengan pendekatan rational emotive behavioral therapy untuk mengatasi kecemasan mahasiswa”. konselor 5, 1: 1 – 23. sugiyono. 2007. metode penelitian kualitatif. bandung: alfabeta. sulistyarini, m.j. 2014. dasar – dasar konseling, panduan lengkap memahami prinsip-prinsip pelaksanaan konseling, jakarta : prestasi pustakarya. zed, mestika. 2004. metode penelitian kepustakaan. jakarta: yayasan obor nasional. public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 keywords: covid–19; crisis and emergency risk communication (cerc); public communication; social media https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh correspondence: e-mail: *didikhariyanto@umsida.ac.id, ferryadhidharma@umsida.ac.id, hendrasukmana@umsida.ac.id. abstract changing the policy from large-scale social restrictions (psbb) to the “new normal” policy during the covid-19 pandemic requires effective and targeted public communication. therefore, this study aims to analyze and describe the implementation of the crisis and emergency risk communication (cerc) model in the public communication of the sidoarjo regency government during the new normal period in the covid-19 pandemic. the method used in this research is a qualitative study, with data sources from interviews analyzed using the cerc model. the results showed that the sidoarjo regency government's public communication was mainly done through social media, websites, and outdoor-indoor publications in the form of banners. however, this public communication model is not by the needs of the heterogeneous sidoarjo community, especially with the unequal distribution of media literacy. thus, the necessary public communication is through community participation with two-way communication channels, persuasive interpersonal communication, as well as group and organizational communication, in accordance with the cerc model. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) didik hariyanto* ferry adhi dharma hendra sukmana universitas muhammadiyah sidoarjo 330 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak adanya perubahan kebijakan dari pembatasan sosial berskala besar (psbb) menuju ke kebijakan new normal saat pandemi covid–19, membutuhkan komunikasi publik yang efektif serta tepat sasaran. maka dari itu, studi ini bertujuan menganalisis dan mendeskripsikan implementasi model crisis and emergency risk communication (cerc) dalam komunikasi publik pemerintah kabupaten sidoarjo pada masa new normal saat pandemi covid-19. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kualitatif, dengan sumber data dari hasil wawancara yang dianalisis dengan model cerc. hasil penelitian menunjukkan komunikasi publik pemerintah kabupaten sidoarjo sebagian besar dilakukan melalui media sosial, website, dan media publikasi luar-dalam ruangan dalam bentuk spanduk. namun demikian, model komunikasi publik ini belum sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat sidoarjo yang bersifat heterogen, terlebih dengan literasi media yang belum merata. dengan demikian, komunikasi publik yang diperlukan adalah melalui adanya partisipasi masyarakat dengan saluran komunikasi dua arah, komunikasi interpersonal persuasif, serta komunikasi kelompok dan organisasi yang sesuai dengan model cerc. kata kunci: covid–19; crisis and emergency risk communication (cerc); komunikasi publik; media sosial how to cite this (apa 7th edition): hariyanto, d., dharma, f. a., & sukmana, h. (2021). public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(2), 329– 356, https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 introduction this study analyzes and describes the public communication of the sidoarjo regency government in entering the new normal period due to the covid-19 pandemic. the change in policy from the largescale social restriction period (psbb), according to the decree of the 331public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) minister of health of the republic of indonesia number hk.01.07/ menkes/264/2020, to the new normal policy (new habits) in sidoarjo regent regulation number 44 of 2020, has not been able to reduce the number people infected with covid-19. on the other hand, the number of infected increases. this indicates that the implementation of the new normal period must be carried out extra carefully and measured. when this research was conducted on november 24, 2020, the number of positive cases of covid-19 in sidoarjo regency was 7477, 6905 recovered, and 487 died (pusat informasi dan komunikasi covid-19 kabupaten sidoarjo, 2020). sidoarjo regency is one of the areas with the highest positive cases of covid-19 in east java. therefore, the district government needs good public communication for socialization and education regarding the implementation of the new normal. learning from the failure of public communication by the government’s official when this pandemic had just spread in indonesia. the public was confused because the official seemed to simplify the problem (sujoko, 2020). some statements stated by public officials believe that indonesia will be immune from the covid-19 with various arguments that are not based on knowledge and science. the anti-science statements shown by policymakers and confusing information are indications of public doubts about the state’s capacity to manage crises (widaningrum & mas’udi, 2020). the government’s communications contain more hopes than messages that contain honesty and truth (patrianti, 2020). according to the world health organization (who), good communication can help manage individual expectations and fears of an epidemic, as people will follow government instructions in times of a pandemic. conversely, bad communication can break the public trust, reduce the government’s credibility, and have a fatal impact on handling a pandemic like covid-19. 332 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) referring to the explanation above, each region or country approaches and understands the pandemic differently in order to develop systematic policies. this attempt is based on a scientific diagnosis and an alternative evaluation procedure to foster consensus during the lengthy process of establishing policy. the covid-19 pandemic has finally become a worldwide concern, allowing for collaborative solutions and information to be used in policy formulation initiatives. the idea of selecting a region’s policies will eventually affect every facet of the field and institution (weng, ni, ho, & ruo-xi, 2020). the social and economic disruption brought about by the epidemic is a case in point. in actuality, not all of the country’s public sectors can activate contingency plans in response to this. thus, cross-sector collaboration is required to promote public innovation, develop governance measures, and be agile and adaptive in addressing pandemic concerns (ansell, sørensen, & torfing, 2020). defining the term “sustainability” communication is a process that involves a variety of stakeholders in a variety of circumstances, that is, individuals that may be at odds with one another (hariyanto, utomo, & dharma, 2020). public communication success is not just driven by the volume of enormous government communication messages, as some earlier research findings indicated. public communication will be more effective if it takes into account the educational level, location, psychology, and surroundings, as well as the networks and communication patterns used. the peculiarity of this research is that it demonstrates that interpersonal communication via opinion leaders and small group communication in catastrophe situations such as covid-19 is more relaxing and effective at changing people’s behavior to comply with health protocols. the downside is that it takes longer, and opinion leaders’ communication skills are dependent on the communicant at hand. this methodology has the potential to reduce the covid-19 communication mix, namely hoaxes, which can generate public misunderstanding and worry. 333public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the research conducted by rumengan, ruru, & londa (2021) indicates that the covid-19 pandemic has decimated public venues that served as a direct conduit for public dialogue. the reason for this is that public space is a hub of mass mobility and, hence, can become a new cluster for covid-19 dissemination. as a result, a new model must be developed that can effectively replace the medium to increase public communication effectiveness. another discussion regarding the importance of effective public communication strategy to deal with the pandemic was also presented by ataguba & ataguba (2020), that the process of effective communication is felt to play a role in the implementation of social determinants of health (sdh). the existence of policies regarding social distancing restrictions, recommendations for good hygiene, avoiding crowds, and so on, are used as promotions to prevent and reduce the level of covid-19 infection significantly. especially in crisis communication and risk management, many developing countries have adopted effective communication systems and strategies to build trust, credibility, honesty, transparency, and accountability. this is adjusted to the important consideration of the uniqueness of several developing countries, both in the regional context, culture, language, and ethnic diversity that they have. according to reynold & seeger (2005), the government should distinguish between risk communication and crisis communication. risk communication explains how the public knows about negative consequences and can be minimized. using persuasive forms of communication to win hearts and emotions is done frequently and continuously. the effectiveness of the message is very dependent on the sender of the message and the message itself therefore, communicators need scientists and technical experts who are competent in risk communication. while crisis communication is only informative to provide knowledge and awareness, it is irregular. depending on the public and the developing situation, an authority figure plays an important role. 334 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) communication done by the central government and local governments is also not harmonious. in the research of putra & handoko (2021), it is stated that this disharmony can be seen from the differences in the implementation of the policy of restricting community mobility which is applied in each region, giving rise to various public perceptions of the restriction policy. the failure to manage communication caused the public not to understand information accurately, significantly to help respond to the epidemic appropriately. even though accurate news should be the key in conveying messages quickly and accurately captured by various parties, it would cause misunderstandings and over-reactivity that are not relevant to the handling of covid-19 and even worsen the situation. such as incomplete information regarding funeral procedures for covid-19 victims, the deadline for covid-19 test results, covid-19 patient financing, disclosure of information related to positive patients, and the terms used in the covid-19 pandemic are constantly changing. as a result, people trust more in other sources of information from the internet, especially from social media, which adds to the confusion with a large amount of hoax (fake) news (syaipudin, 2020). from march to may 2020 was the most misinformation of covid-19 found. it is mostly distributed through the platforms facebook, twitter, and whatsapp. the most widely spread content is misleading content, fake content, and wrong content (yustitia & ashrianto, 2020). the world health organization (who) has provided an early warning system in risk communication to all countries, including indonesia, to communicate public during this pandemic to reduce distrust of the government. the communication built during this pandemic should build public strength as partners in preventing, promoting detention, and building resilience and healing (vaughan & tinker, 2009). the aim is that the message conveyed is clear and concise about the events and risks related to the affected community or group (krimsky, 2007). 335public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. national capacities review tool for covid-19 (source: who, 2020) detection response national laboratory system 1. command and coordination surveillance and risk assessment 1. risk commnunication rapid response team (rrt point of entry case management infection prevention & control logistics procurement & supply management building awareness of sidoarjo people is certainly not an easy problem, even though covid-19 is real, many sidoarjo people are skeptical of suggestions and appeals regarding efforts to avoid the spread of covid-19. some people in sidoarjo still think that death is a destiny that cannot be avoided without or because of covid-19. this opinion is certainly not the wrong thing. still, when the spread of covid-19 is understood superficially, it will have fatal consequences if measured by the epidemiological process of the transmission of the covid-19 pandemic. another view that has developed in the sidoarjo community is related to meeting the community’s needs. not a few people in sidoarjo are economically affected or are disturbed in fulfilling their livelihoods due to government efforts to prevent the spread of covid-19. the implementation of psbb has seriously hit people’s lives during this pandemic. a slogan spreads among the community “stay at home will die of hunger, leave home will die of the corona”. even though the government has rolled out various social assistance packages, they have not met the standard needs they felt before the covid-19 pandemic. this study aims to answer this problem by analyzing and describing the efforts of the sidoarjo regency government in public communication 336 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to face the new normal period to break the chain of transmission of covid-19. this study uses public communication theory, that every activity carried out by public institutions and organizations such as the local government of sidoarjo regency in designing information then conveyed and spread to the public regarding the new normal period with the main purpose of conveying and explaining public decisions and actions to break the covid-19 transmission chain that functions as information, explaining, socializing and aspirations (dialogue). sidoarjo regency government public communication facing the new normal period will be analyzed using the communication model of crisis and emergency risk communication (cerc). the use of the cerc communication model in handling crises such as the covid-19 pandemic in several countries has been quite effective. this model is quite complete in preparing a communication strategy in a disaster like the covid-19 pandemic. the advantages of the cerc communication model, if used in handling the covid-19 pandemic in indonesia, are at least have three benefits. first, cerc includes a communication strategy before, during, and after the pandemic. in more detail, cerc has a communication strategy design for each stage of the crisis or what they call the crisis communication lifecycle (ccl) (vidiarti, muhlis, & rasib, 2019). this lifecyle divides a situation (such as a pandemic) into five stages, from pre-crisis (before a crisis occurs) to evaluation. then they detail what needs to be done in terms of communication at each of these stages (cdc, 2014). 337public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) figure 1. model of crisis and emergency risk communication (cerc) (source: cdc, 2014) the philosophical basis of cerc is that the public has the right to receive accurate information regarding crises that occur. the information must completely describe the conditions of the crisis and the risks that exist to help the public make rational decisions. communication becomes a tool for the public to adopt the expected behavior to reduce risk. cerc combines the risk communication strategy commonly used by the government sector in emergencies and crisis communication that the private sector uses to deal with organizational crises. the cerc stages in sidoarjo regency government public communication in facing the new normal period are applied in the crisis communication lifecycle (ccl) stages, namely pre-crisis, initial, maintenance, resolution, evaluation. public communication is essential to provide directions for the people in their activities and behavior during the new normal period to be safe and still be able to break the chain of covid-19 transmission. the government needs to use communication channels suitable to the characteristics of the sidoarjo people, which is hydrogen so that the public communication delivered can be effective and efficient in accordance with the purposes expected by the local government 338 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of sidoarjo regency. the determination characteristics ensure that the messages and media used in the covid-19 pandemic match the target audience (haddow & haddow, 2009). for the people, communicative public communication is easy to understand and according to the level of media literacy they have. so, the shared communication message of the sidoarjo regency government is understood by urban communities and rural communities who still have low media literacy. methods this study used a qualitative descriptive-analytical method. the descriptive-analytical method is a method that aims to describe or provide an overview of a research object under study through samples or data that have been collected and make generally accepted conclusions (patton, 2001). according to denzin & lincoln (2009), research with a qualitative approach describes the natural setting and social phenomena. the primary data of this study were obtained from interviews with informants who were determined by purposive sampling in accordance with the criteria determined by the researcher. the informants of this research are parties who have the competence and duty to convey public communication to the sidoarjo people and policymakers. they are civil servants and public officials such as the head of the sidoarjo regency communication and information service, the head of the covid-19 handling group who is also the head of the sidoarjo regency health office, the chair of the sidoarjo regency dprd, doctors, health workers, and also the community. meanwhile, the secondary data was obtained from the website covid19.sidoarjo.go.id, ig (igdinkes_sidoarjo, pemkabsidoarjo), socialization materials and reporting applications. data analysts use the crisis and emergency risk communication (cerc) model through the crisis communication lifecycle (ccl) stages, namely pre-crisis, initial, maintenance, resolution, evaluation. 339public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) results and discussion public communication of sidoarjo regency government in crisis communication lifecycle (ccl) in the pre-crisis stage, the sidoarjo regency government has made preparations for socialization with social media and other media such as banners and additional outdoor information. the data was obtained from interviews with informants who were executors of public communication for the sidoarjo regency government. interview with (aa) from the communication and information office of sidoarjo regency said: “the sidoarjo regency government has made preparations and socialization in facing the new normal period after the implementation of psbb by conducting massive socialization through websites, instagram, banners, and billboards in various strategic places” (aa, 2020) in the pre-crisis stage, the sidoarjo regency government still relies on mass media as the channel used in socialization. even though there are still many sidoarjo residents who do not understand or are inactive on social media, the government should have approached the issue through lower-level government entities, such as the neighborhood unit (rt), according to scholarly interviews (ka): “the government relies more on mass media and social media in the socialization of the new normal, even though not all the people are active in media and have good media literacy” (ka, 2020). following who directives through the director-general thedros adhanom on march 10, 2020, who asked the indonesian government, including local governments, to educate and actively communicate with the public through proper risk communication and community involvement. meanwhile, the public communication is done by the sidoarjo regency government mainly uses a one-way communication model, namely mass 340 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) communication or media communication where there is less interaction with the community. in the initial stage of public communication of the sidoarjo regency government, it can be seen that the sidoarjo regency government at the beginning of the crisis implemented a curfew policy for community activities and business activities, for people who have no urgent interest can stay at home. the curfew policy is slightly different from the psbb period when it starts at 9 pm until 6 am, but during the new normal period, it becomes 11 pm until 4 am. the sidoarjo regency government will also take disciplinary action for those who do not wear masks with moral sanctions and fines. the municipal police (satpol pp/ satuan polisi pamong praja), indonesian national armed forces (tni/ tentara negara indonesia), and police will always conduct secrecy and enforce health protocols during the new normal period. the regulations for the new normal period also applied to malls, supermarkets, restaurants, companies, educational and trade institutions such as traditional markets that must comply with the rules that have been enacted during the new normal period. however, from the results of the interview, it can be seen that the communication policy with punishment is not practical because people do not behave on their awareness, such as the results of an interview with an informant (fad) an academic said: “yes, this new normal rule makes people afraid of the sanctions and fines in the regulation, so people using masks are not self-conscious about breaking the chain of transmission, but ... because they are afraid of the sanctions” (fad, 2020). however, almost all informants said the sidoarjo regency government did not explain what to do during the new normal period other than 3m, considering that people would have normal activities as usual during the new normal period. for those who have media literacy, the community can seek information from all sources of information, 341public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) including social media and mainstream media. the government did not explain which activities must maintain distance and congregation because there are still many social and religious activities running as usual as if nothing had happened. public communication for the sidoarjo regency government at the beginning of the new normal period only socialized the existence of a complaint hotline through the application. it formed covid volunteers how the duties and functions of the covid council are not explained in the public communication of the sidoarjo regency government. in the maintenance stage of public communication, the sidoarjo regency government has demonstrated its commitment to public communication by continuing to convey communication messages to ensure that people do not become careless in performing the three ms via social media, print, and electronic media. as broad as public complaints about covid-19. like an interview with the head of covid-19 task force of the sidoarjo regency (dp) said: “we continue to convey about health protocols to the community regarding 3m, wearing masks, keeping a distance and diligently washing hands and also having a healthy lifestyle, we do that through all existing communication channels so that people understand and participate in breaking the transmission of covid-19.” (dp, 2020). numerous term changes are also occasionally confusing, as the new normal transition period is not yet complete with large-scale social restrictions (psbb), the new term for the new normal transition period, and then with the term enforcement of community activity restrictions (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat/ppkm), which lasts for 14 days from january 11 to 25, 2021, with justisi operating simultaneously in all districts. the maintenance tends only to repeat the implementation of 3m. there is no risk communication such as a standard about a team 342 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of trained risk communication professionals that designs and implements risk communication strategies during a crisis. as there is equality between communicators and communicants, communication is built from the top to down and from the down to top and equal horizontally. however, several informants stated that the sidoarjo regency government’s public communication was ineffective and inconsistent; there were no mass verbal communication messages to the public via the government structure from the rt level to the district level, which were limited to websites, banners, and billboards. at the resolution stage, the sidoarjo regency government’s public communication was slow and inconsistent throughout the new normal period, owing to the regions’ inability to make independent choices due to their continued coordination with the head of the covid-19 task group. if any related cases or issues, such as patients who died before the swap test results were available, they would be buried according to the covid-19 protocol, which occasionally resulted in miscommunication between families and covid-19 funeral officers due to the lack of an accurate explanation. at the same time, the objective of risk communication is to communicate plainly and succinctly about the dangerous occurrences and risks associated with covid-19 to affected people (krimsky, 2007). the affected people are heterogeneous people from diverse groups and have different responses to communication messages as perceptions of risk influence them. successful risk communication must consider the population’s unique needs and allow the exchange of information and opinions (austin, liu, & jin, 2012). therefore, the public communication of the sidoarjo regency government must use risk messages related to the dangers of covid-19 by using various communication channels based on applicable regulations (reynolds & seeger, 2005). in the last stage is evaluation, the success of public communication by the sidoarjo regency government can be measured by indicators: 343public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 1) able to decrease positive numbers and suspects due to covid-19 transmission. however, when new normal was done, positive patients and suspects of covid-19 in sidoarjo regency experienced an increase. it became an area that must carry out the treatment of restrictions on community activities (ppkm); 2) increased recovery, which reached 7573 per january 16, 2020, from 8343 positive cases, and the number of deaths was still relatively high, around 541 people (diskominfo kabupaten sidoarjo, 2020); 3) change of status from the red zone to the orange zone. several informants also conveyed that the head of district also delivered the evaluation when visiting the dprd. it was also seen from the level of discipline always to obey health protocols. in the concept of communication evaluation, the managerial process is applied to obtain information as a reference in making decisions (royse, thyer, & padgett, 2015). arifin (2009) defines evaluation as a systematic and continuous process to determine the quality (value and meaning) of something based on specific considerations and criteria in the framework of decision making. willian dunn stated, “evaluation is the analytical policy methods used to produce information about the value or worth of past or future course of action”. evaluation is a method for analyzing policies, producing information about programs that have been implemented, assessing the usefulness and benefits that have been achieved as a basis for making decisions about programs for the future. in public communication, the sidoarjo regency government still has not considered heterogeneous communicants, so selecting message channels using social media is not very effective. the principles of public communication of sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 the first principle of public communication of sidoarjo regency government is how the public gets information as quickly as possible 344 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) from the government and can be accessed massively by the community. even though, in reality, the flow of information related to covid-19 is very much, both social media and mainstream media as a source of information. people, especially in urban areas, get information from various sources and do this independently because they have sufficient literacy. meanwhile, people in rural areas still rely heavily on opinion leaders as the primary source of information. therefore opinion leaders such as community leaders, religious leaders, government structures such as rt-rw, and the role of local village heads as channels of information related to covid-19 are still needed. meanwhile, the public communication of sidoarjo regency government prefers social media, especially on the instagram account of sidoarjo regency government (@igdinkes_sidoarjo); website https:// covid19.sidoarjokab.go.id/ from sidoarjo regency covid-19 information and communication center (kabupaten sidoarjo, 2020); and also the reporting application. as the results of an interview with w (initial), an employee of the communication and information department who said: “all information related to covid-19 in sidoarjo can be seen from the media used by the government in providing information such as instagram (igdinkes_sidoarjo, pemkabsidoarjo) website (https://covid19.sidoarjokab. go.id/), and also the report application. so people do not need to look for information outside the media, the d ata presented is valid and always up to date every day.” (w, 2020). communication in crisis conditions requires speed and accuracy in handling it. the government, in this case, must have a sense of urgency in conveying information related to the crisis because the very fast spread of the covid-19 virus requires immediate action as well. during a crisis like a pandemic, many information distortions will develop and have a confusing impact. therefore, government public communication must be the first to avoid public distrust in handling the crisis. to ensure the speed 345public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of this information delivery, the epidemic response communication team also needs to have a good and accurate information circulation monitoring system. the second principle is that the public communication of sidoarjo regency government tries to reduce disinformation by providing correct information to the sidoarjo community and becoming a reference for the sidoarjo community’s need for information covid-19. the step is to create media channels that the public can easily access. although the flow of public information related to covid-19 is relatively high, people have many choices regarding this covid-19 information. however, communication channels between the community and the government can reduce disinformation on covid-19. as the results of an interview with u (initial), the leader of the sidoarjo regency people’s representative council: “i think for covid-19 data information, such as positive numbers, patients recovering and those who died are very up to date every day, because the government is trying to provide information that is fast and accurate, so that the public can follow covid-19 updates simply from information media of sidoarjo regency government.” (u, 2020). however, some informants think that the information of covid-19 in sidoarjo is still inaccurate because it only presents quantitative data such as positive, recovered, and dead patients. as an interview with ie (initial), a doctor said: “sometimes people are confused when they see information that there is a positive patient in village a, but who is not informed, so the community becomes confused, there are also people who are hospitalized because of congenital disease then claimed as the covid-19 patient, for no clear reason. this must be explained to the public.” (ie, 2020). 346 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the amount of information in the media, especially social media, causes a contradiction in the flow of information in the community. this confusion of information causes the public to seek valid information from several other media sources. therefore, the public communication of the sidoarjo regency government has not been able to be a solution to this confusion because the flow of information outside is many more. while the information presented in the public communication of the sidoarjo regency government is quantitative, mainly data related to the number of positive ones, people who recovered, and people who died. the informant admitted that regarding the data on covid-19 patients, if there was uncertainty, information could be clarified or checked at the health office directly regarding the number of covid-19 patients and their handling through the media provided the task force of handling covid-19 in sidoarjo regency. a crisis such as the covid-19 pandemic, which is invisible, can create uncertainty. the principle of be right in cerc is to overcome uncertain situations with a communication strategy that is fast, accurate, and reliable. this is important to minimize disinformation due to many hoax in various media. wang, mckee, torbica, & stuckler (2019) recorded the number of hoax spreading around health issues such as pandemics and vaccines. hoax in the health sector is very dangerous because it can slow down and prevent the process of handling problems and can even threaten life safety (wang et al., 2019). and in a crisis like this pandemic now, psychologically, it is easier for people to believe the hoax, even in conspiracy theories (muller, 2020). at this point, the principle of accuracy of information is needed. because the success of communication during a pandemic can also be seen from the extent to which it can overcome uncertainty along with rumors and hoax (vaughan & tinker, 2009). the government’s mistakes in choosing communication media can obstruct the communication flow. according to alfi & saputro (2018), communication barriers caused by errors in choosing media are referred 347public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to as technical barriers. these barriers can distort the message and may lead to misunderstandings by the message’s recipient. the consideration of the use of social media, for example, also requires a society’s level of internet literacy. according to tsaniyah & juliana (2019), internet literacy is one of the benchmarks for establishing digital literacy in the community and can prevent the public from hoax news and information. the third principle is that the public communication of sidoarjo regency government is open and transparent in providing information on covid-19 during new normal. information is always up to date delivered every day through the sidoarjo regency government information media such as the website and social media. however, the data or identity of the covid-19 patient is kept secret because it is the patient’s right and the family’s privacy. some informants thought it was not good to keep data on covid-19 patients a secret because it would create new infections due to the lack of information regarding covid-19 patients. as the results of interviews with the following informant hdw (initial): “the identity of the covid-19 patient should have been completely informed to the public so that the public can also be careful to prevent transmission. and the government can take preventive action in the environment around the patient. so far, information is only limited to the number and origin of the village.” (hdw, 2020). another informant said that what is needed now is the government to socialize how the community can accept and continue to interact with patients who have recovered so that the surrounding neighborhood does not isolate them for fear of contracting them. as stated by the following informant ie (initial): “the government must also conduct socialization related to patients who have recovered. so far, the public is still worried that patients who have recovered will transmit covid-19 so 348 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) that they isolate them, both at home and at work, so it needs clear information from the government” (ie, 2020). public communication must hold to the principles of openness, urgency, and accuracy to get information and make the right decisions. in many literature on open communication during a pandemic, it is essential to reduce victims (abraham, 2011; holmes, 2008; siegrist & zingg, 2014; vaughan & tinker, 2009). in the cerc model, public trust results from an open and empathetic communication process (cdc, 2014). the credibility of government communications can be judged by the extent to which they are open to the public about the information they know and do not know. the institutions in charge of dealing with pandemics must treat the public as adults who can think healthily. this needs to be emphasized because sometimes the ‘restriction’ of information is carried out on the assumption of avoiding panic in the community. in fact, it is precisely the complete information that will be an important asset for the community to behave and make reasonable decisions. restrictions, especially the delivery of dishonest information, will only reduce public trust in communicators. while, the indonesian broadcasting commission (kpi) number 123/k/kpi/31.2/03/2020 prohibits broadcasting institutions from mentioning patient identities such as names, photos, and addresses of people under the supervision of health authorities and do not exploit the environment where the patient lives. this becomes a dilemma between the need for public information disclosure to handle the spread of the virus and the protection of patient personal data. the fourth principle is sidoarjo regency government’s public communication, which includes expressions of concern and empathy for those exposed to covid-19. this is manifested in basic food aid to people exposed to covid-19 through connected agencies. regent officials and 349public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the regional leadership communication forum visited families of those who recovered and died randomly to provide motivation and condolences. however, according to the informant ep (initial), said: “there is no public communication statement regarding expression and concern in the media for patients and victims of covid-19, it is only for certain cases, such as if the victims come from health workers, nurses, and doctors who died” (ep, 2020). empathic communication is critical for resolving conflicts sharing feelings with covid-19 victims, and instilling public trust so that there is no panic in the community and the handling can proceed smoothly. the government should demonstrate empathy to alleviate the enormous burden on covid-19 sufferers. empathy communication might also be a sign that the government is taking the epidemic of covid-19 exceptionally seriously. empathy communication must be genuine, only expressing gratitude to all people who have attempted to manage covid-19 cooperatively. there should be no ulterior motive for the government’s expression of appreciation for covid-19 victims. the fifth principle, sidoarjo regency government public communication, has been implemented using proper communication principles, such as speed and accuracy, by establishing one-stop communication between the covid-19 referral hospital and the health office information be accessed and delivered daily by the public. communication has been carried out with a commitment to convey information quickly, precisely, and accurately, using mass media and social media as a place for disseminating information with reliable data and sources. data suspect, data recovered, data died has been updated every day. socialization of the new normal rules via zoom and informative public communication as proof that the plan was implemented successfully. the psc 119 team can immediately assist covid-19 patients and their families. 350 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the informants stated that the sidoarjo regency government’s public message was credible. in general, the sidoarjo regency government’s public communication strategy continues to be limited to communication via media, particularly social media, and to a lesser extent, interpersonal communication and persuasive communication with the population. the sidoarjo regency government’s sixth principle, public communication, is to respect patients and their families, health staff, and anyone else involved in handling covid-19 in sidoarjo. respectful communication fosters collaboration and positive relationships among victims, the community, and the government to alleviate the burden of the covid-19 pandemic. public communication of sidoarjo regency government is expected to be proactive in giving appreciation and reward to health workers, volunteers, donors, and the community, both individuals and groups fighting in the forefront of fighting covid-19. gratitude can also be realized by providing incentives for health workers on time and suitable with existing regulations as proof of their seriousness in appreciating them in dealing with covid-19. there has been no public appreciation through the sidoarjo regency government website or the covid-19 special website. appreciation is not only given to health workers and doctors who have contracted the covid-19 virus or who died, but must be given to all those who participated in breaking the chain of transmission of covid-19. such as appreciation for the establishment of muhammadiyah covid command center (ccc) by muhammadiyah contributed to the handling of covid-19 for the victims or affected families and the general public. likewise, the sidoarjo regional general hospital (rsud/ rumah sakit umum daerah) appreciates health workers and doctors as the front guard in overcoming covid-19. appreciation must be given sincerely and not to build the image of the government and personal leadership, which is often 351public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the main goal in communication activities with the public from many government agencies. the covid-19 pandemic must not be commodified into commodities, objects, and signs used for imaging purposes (hariyanto, 2018). during the new normal period, the public communication of sidoarjo regency government has not continuously given appreciation to all parties who contributed to the handling of covid-19 except for the security apparatus of the police, (tni/ tentara negara indonesia), and municipal police (satpol pp/ satuan polisi pamong praja). conclusion and suggestion conclusion public communication of sidoarjo regency government in facing new normal period has not been effective according to the crisis and emergency risk communication (cerc) model. the reasons are, first, the public communication of sidoarjo regency government in facing the new normal period is more focused on mass media and social media, even though there are still many sidoarjo people who lack media literacy. the communication model that is built is one-way. there is no community involvement in public communication that should exist in a disaster crisis. second, the public communication of sidoarjo regency government in facing the new normal period does not take advantage of persuasive communication in the form of interpersonal communication and group communication, both verbal and nonverbal, by utilizing existing social organization channels. third, the public communication of sidoarjo regency government in facing the new normal period has not fully utilized community leaders, religious leaders, rt, and rw as the foremost opinion leaders in conducting public communication to the community regarding the new normal period. fourth, the public communication of sidoarjo regency government in facing the new normal period still prioritizes instructive, coercive communication techniques in the form of punishments rather than persuasiveness and education. 352 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion it is recommended that the public communication sidoarjo regency government be adjusted to the characteristics of the sidoarjo community who are heterogeneous and have various media literacy skills. the selection of communication channels must be right on target, pay attention to community psychology, the communication messages must be communicative to provide information related to the new normal period. for further research, it is possible to explore public communications done by the government and non-government organizations (ngo), community organizations, and educational institutions in the community during a pandemic. references abraham, t. (2011). lessons from the pandemic: the need for new tools for risk and outbreak communication. emerging health threats journal, 4(1), 7160. https://doi.org/10.3402/ehtj.v4i0.7160 alfi, i., & saputro, d. r. (2018). hambatan komunikasi pendamping sosial. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi jurnal dakwah dan komunikasi, 3(2), 193–210. https://doi.org/10.22515/balagh. v3i2.1397 ansell, c., sørensen, e., & torfing, j. (2020). the covid-19 pandemic as a game changer for public administration and leadership? the need for robust governance responses to turbulent problems. public management review, 23(7), 949-960. https://doi.org/10.1080 /14719037.2020.1820272 arifin, z. (2009). evaluasi pembelajaran. bandung: pt. remaja rosdakarya. ataguba, o. a., & ataguba, j. e. (2020). social determinants of health: the role of effective communication in the covid-19 pandemic in developing countries. global health action, 13(1), 1–5. https:// doi.org/10.1080/16549716.2020.1788263 353public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) austin, l., liu, b. f., & jin, y. (2012). how audiences seek out crisis information: exploring the social-mediated crisis communication model. journal of applied communication research, 40(2), 188–207. https://doi.org/10.1080/00909882.2012.654498 cdc. (2014). crisis and emergency risk communication. united states: cdc. denzin, k. n., & lincoln, y. s. (2009). handbook of qualitative research (dariyatno, ed.). yogyakarta: pustaka pelajar. diskominfo kabupaten sidoarjo. (2020). pusat informasi dan komunikasi covid-19 kabupaten sidoarjo. retrieved from diskominfo kabupaten sidoarjo website: https://covid19.sidoarjokab.go.id haddow, g. d., & haddow, k. s. (2009). disaster communications in a changing media world. amsterdam, netherlands: elsevier inc. hariyanto, d. (2018). komodifikasi ibadah umrah di jawa timur dalam perpektif baudrillard, dissertation doctoral (unpublished). surabaya: airlangga university. hariyanto, d., utomo, d. m. b., & dharma, f. a. (2020). environmental communication strategy of langka sekawan community. advance in social science, education and humanities research, 459, 83–85. dordrecht, the netherlands: atlantis press. https://doi. org/10.24329/aspikom.v3i1.98 holmes, b. j. (2008). communicating about emerging infectious disease: the importance of research. health, risk and society, 10(4), 349– 360. https://doi.org/10.1080/13698570802166431 informant aa (initial). (2020). interview with communication and information department of sidoarjo. informant dp (initial). (2020). interview with the leader of covid-19 task force. informant ep (initial). (2020). interview with the patient of covid-19. informant fad (initial). (2020). interview with academic. informant hdw (initial). (2020). interview with doctor. informant ie (initial). (2020). interview with doctor. informant ka (initial). (2020). interview with academic. informant u (initial). (2020). interview with the sidoarjo regency people’s representative council 354 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) informant w (initial). (2020). interview with communication and information department. krimsky, s. (2007). risk communication in the internet age: the rise of disorganized skepticism. environmental hazards, 7(2), 157– 164. https://doi.org/10.1016/j.envhaz.2007.05.006 muller, r. t. (2020). covid-19 brings a pandemic of conspiracy theories. retrieved december 12, 2021, from psychology today website: https://www.psycholog ytoday.com/us/blog/talking-abouttrauma/202004/covid-19-bringspandemic-conspiracy-theories patrianti, t. (2020). risk messages dan perspektif risk communication di masa pandemi covid-19: pandemi dalam banyak wajah. depok: rajawali press. patton, m. q. (2001). qualitative evaluation and research methods (3rd ed.). thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. pusat informasi dan komunikasi covid-19 kabupaten sidoarjo. (2020). retrieved from https://covid19.sidoarjokab.go.id/ putra, a., & handoko, t. (2021). komunikasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah: kasus dinamika pelaksanaan local lockdown dalam mencegah penyebaran covid-19. jurnal administrasi politik dan sosial, 2(1), 1–15. https://doi.org/10.46730/japs.v2i1.40 reynolds, b., & seeger, m. w. (2005). crisis and emergency risk as an integrative model. journal of health communication, 10(1), 43–55. https://doi.org/10.1080/10810730590904571 royse, d., thyer, b. a., & padgett, d. k. (2015). program evaluation: an introduction to an evidence-based approach (6th ed). boston, massachusetts, united states: cengage learning. rumengan, c., ruru, j. m., & londa, v. y. (2021). partisipasi masyarakat pada pencegahan dan penaggulangan virus corona di kelurahan teling atas kecamatan wanea kota manado. jap: jurnal administrasi publik, 7(102), 18–25. siegrist, m., & zingg, a. (2014). the role of public trust during pandemics: implications for crisis communication. european psychologist, 19(1), 23–32. https://doi.org/10.1027/1016-9040/ a000169 sujoko, a. (2020). komunikasi empati dalam pandemi covid–19. surabaya: aspikom. 355public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) syaipudin, l. (2020). efektifitas media komunikasi di tengah pandemi: respon gugus tugas percepatan penanganan covid-19 kabupaten tulungagung. kalijaga journal of communication, 1(2), 165–178. https://doi.org/10.14421/kjc.12.06.2019 tsaniyah, n., & juliana, k. a. (2019). literasi digital sebagai upaya menangkal hoaks di era disrupsi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 4(1), 121–140. https://doi.org/10.22515/balagh. v4i1.1555 vaughan, e., & tinker, i. (2009). effective health risk communication about pandemic influenza for vulnerable populations. american journal of public health, 99(2), 324–332. https://doi.org/10.2105/ ajph.2009.162537 vidiarti, p., muhlis, a., & rasib, a. (2019). peran media relations dalam mempublikasikan program kedinasan melalui pendekatan informal. humas: jurnal ilmu hubungan masyarakat, 3(2), 20–39. https://doi.org/10.15575/reputation.v2i1.41 wang, y., mckee, m., torbica, a., & stuckler, d. (2019). systematic literature review on the spread of health-related misinformation on social media. social science and medicine, 240, 112552. https://doi.org/0.1016/j.socscimed.2019.112552. weng, s.-h., ni, a. y., ho, a. t.-k., & ruo-xi, z. (2020). responding to the coronavirus pandemic: a tale of two cities. american review of public administration, 50(6–7), 497-504. https://doi. org/10.1177/0275074020941687 who. (2020). questions and answers for coronavirus. retrieved from www.who.int website: https://www.who.int/emergencies/ diseases/novel-coronavirus-2019/question-and-answers-hub widaningrum, a., & mas’udi, w. (2020). dinamika respon pemerintah nasional: krisis kebijakan penanganan covid-19. in w. mas’udi & p. s. winanti (eds.), tata kelolah penanganan covid -19 di indonesia: kajian awal (pp. 46–64). yogyakarta: gajah mada university press. yustitia, s., & ashrianto, p. d. (2020). an analysis on covid-19 disinformation triangle in indonesia. komunikator, 12(2), 116– 128. https://doi.org/10.18196/jkm.122040 356 public communication model of the sidoarjo regency government in facing the new normal covid-19 didik hariyanto, ferry adhi dharma, hendra sukmana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 329 356, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3510 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) untitled political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion keywords: dramatism; dramatistic pentad; great reunion 212; habib rizieq shihab; theory of propaganda http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh abstract this study conducted a study of the rhetorical text of habib rizieq shihab's (hrs) speech at the 212 grand reunion in 2019. this research was trying to map the elements of rhetorical motive construction through burke's pentadic analysis. however, this research also found gaps in political propaganda by figures and religious groups' leaders with propaganda theory. this interpretive research includes five contents of the hrs speech. this study's main conclusion shows that the rhetorical motive is aimed at agent and agency elements that show gaps in political propaganda in mass mobilization nationally and sympathy for hrs religious leaders and acceptance of ideas and ideas in agency elements apolitical political emotions. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian ini melakukan kajian teks dari retorika sambutan habib rizieq shihab (hrs) dalam reuni akbar 212 tahun 2019. tidak hanya mencoba memetakan elemen-elemen konstruksi motif retorika di dalamnya melalui analisis pentadik burke, penelitian ini juga menemukan celah propaganda politik yang dilakukan figur pemimpin kelompok agama dengan teori propaganda. penelitian interpretif ini meliputi kelima isi amanat pidato sambutan hrs. kesimpulan utama dari penelitian ini menunjukkan motif retorika ditujukan pada elemen agent dan agency yang menunjukkan celah propaganda dramatisme; pentad dramatistic; https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 reuni akbar 212; habib rizieq shihab; teori propaganda kata kunci: ilham fariq maulana* universitas indonesia, jakarta correspondence: e-mail: *gilham63@gmail.com 252 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) how to cite this (apa 7th edition): maulana, i. f. (2020). political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(2), 251–294. https://doi.org/10.22515/ al-balagh.v5i2.2327 introduction the 212 alumni brotherhood (pa) held the 212 grand reunion on monday, december 2, 2019, and is planning to return habib rizieq shihab (hrs) to his homeland(maya, 2019; prayoga, 2019). hrs's return was called banned and had become a trending topic on twitter social media(meidinata, 2019). the participants returned only to find remarks and speeches from hrs who were still in saudi arabia via video conference recordings ahead of the day of the grand reunion. hrs conveyed several points aimed at the 212 grand reunion participants who had entered their third year through these remarks and speeches. hrs mentioned several points that were highlighted in his speech. first, hrs apologized for not attending the reunion due to a ban from the saudi arabian government (herlambang, 2019). second, hrs gave five mandates for the participants of the 212 grand reunion, namely asking all followers to maintain the tradition of the 212 grand reunion; do not give up in the struggle for justice; trusting allah's promise; asking to keep fighting; not to stop in defending religion, nation, and state(herlambang, 2019). third, hrs again touched on the problem of basuki tjahaja purnama (ahok) in the 2016 dki jakarta pilkada and his claim of victory politik dalam mobilisasi massa secara nasional dan pencuatan simpati terhadap figur pemimpin agama hrs serta penerimaan gagasan dan ide yang terdapat dalam elemen agency melalui politik emosi secara apolitis. 253political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) over the previous dki jakarta pilkada(herlambang, 2019). fourth, asking his people to continue to defend their religion by judging religious blasphemers. at this point, hrs tends to lead to the recitation of the controversial poem rachmawati soekarnoputri(herlambang, 2019). islamic mass organizations (mass organizations) in indonesia have increasingly gained a place in indonesia’s political field (nastiti & ratri, 2018). one of the prominent incidents in indonesia related to islamic mass organizations in the political realm is the emergence of cases of blasphemy or blasphemy during the dki jakarta governor election (pilgub) in late 2016 and early 2017 (east & miichi, 2019; marshall, 2017, 2018; nawab et al., 2019; power, 2018). a series of demonstrations marked the incident held several times shortly, triggered by blasphemy allegations by the former governor of dki jakarta, ahok, in the 2016 dki jakarta election campaign (marshall, 2018). the anti-ahok movement also emerged at the same time as the islamic defense action, which began in october 2016 which was organized by groups such as the islamic defenders front (fpi), hizbut tahrir indonesia (hti), the national movement for fatwa guards-the indonesian ulema council (gnpf-mui), and islamic community forum (fui) (east & miichi, 2019; nawab et al., 2019). the defend islam action, which was carried out by several islamic organizations, asked ahok’s participation in the election to be canceled and demanded that ahok be prosecuted legally (marshall, 2017; nawab et al., 2019; power, 2018). a number of large-scale islamic defense actions took place in stages starting on 4 november 2016 (action 411) located in central jakarta and culminating in a more extensive action on 2 december 2016 (212 action), which was not only located in jakarta but also in jakarta. a number of other areas with an estimated 50,000 to 200,000 people took to the streets to take action (nawab et al., 2019). 254 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the most significant action resulted in a politically motivated movement driven by religious interests known as the “212 alumni brotherhood” (ipac dalam power, 2018). ahok was eventually sentenced to two years in prison on may 9, 2017 (marshall, 2017). pa 212 annually holds the 212 grand reunion on december 2 to commemorate the “victory” in the islamic defense movement and action. the association of groups in pa 212 then sparked habib rizieq shihab from fpi as the high priest, sabri lubis, the leader of fpi, and bachtiar nasir, the leader of the gnpf-mui (nawab et al., 2019). this group’s existence in the perspective of identity originally appeared to fight against the religious blasphemy committed by ahok in 2016. however, when viewed from a deeper perspective, it will be seen that there are several different motivations from one element of society to another who are members of this group. qadir and wildan in burhani (2016) mentioned that some reasons made the community join pa 212, among them the concern that they would be seen as defenders of blasphemy because they did not want to be left behind by the “mass flow train,” seeing this movement as a festival, ideological motivations, to the political interests of the election at that time. some opinions from various elements of society and observers can be collected, such that this group from pa 212 is not purely a movement driven by religious dogma alone. however, there are political interests from several parties behind it. several legal practitioners and legal and human rights watchdog groups such as human rights watch (hrw) also assessed that the blasphemy article could become a rubber article. the implication is given by this article that has existed since 1968 often ends up being an article for political purposes (vit & erlangga, 2016). however, nothing as serious has been done in the ahok case. hrw sees the form of the case that befell ahok as a manifestation of the “rubber article” of article 156a of the criminal code concerning blasphemy (vit & erlangga, 2016). 255political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) hrw also added that the public ignored significant problems regarding these articles’ use due to the increasing frequency of ensnaring various public figures and figures who mostly came from minority religions in indonesia (vit & erlangga, 2016). it is also considered contrary to a democratic country’s concept, especially regarding freedom of opinion in the public or public sphere. besides, there is a view that the political unrest in the 2016 dki jakarta pilkada is not only due to religious fanaticism or racism accompanied by political motives. however, it became a momentum to fight back against ahok’s marginalizing the lower middle class (vit & erlangga, 2016). several previous studies are used as references, namely research that analyzes rhetoric through drama, face-to-face, and mediated messages (films and media coverage). such as research conducted by murphy & harris (2018). the article written by murphy & harris conducted a dramatic pentad analysis in the film the help. the study was showing how the tendency of the narrative to be hierarchical that whites become agents (white saviors) to liberate blacks who indirectly show the moral form of whites (agency), which ultimately displays the purpose of the white savior’s presence (murphy & harris, 2018). the study concluded that, although storylines involving black characters perpetuated stigmatized tropes, white characters were raised to a higher standard (murphy & harris, 2018). they are presented as an unattainable norm that all other groups should aspire to (murphy & harris, 2018). next, canel & gurrionero’s article (2016) analyzes the news texts and speeches of politicians about the bombing incident at madrid airport, spain. this research presents two theories, namely robert entman’s media framing and dramatic theory. the purpose of this study is to find an explanatory relationship from entman’s four-dimensional framing analysis with burke’s pentad ratio in a case study of speech motifs from two political camps and how the media in spain makes news framing of 256 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the speech (canel & gurrionero, 2016 ). this study found a relationship between dramatic theory and framing analysis because dramaticism adds insight into the speaker’s motives, who then framing creates a bridge from the gap that appears between the social and human knowledge approaches. subsequent articles by cholid, choiriyati, & al khazim (2019), the study conducted a pentad analysis from the results of documentation and text in television media regarding speeches or rhetoric delivered by the presidential candidate for the 2019 election, prabowo subianto. this analysis looks at mediated communication (mediated communication). the results of the analysis of this study found how prabowo’s figure as an agent used the rhetoric of state conditions which he considered under threat, which was then linked to the context of the location where prabowo delivered his speech in semarang, central java, to increase the target voters at that location (cholid et al., 2019). further articles courtesy of tsikata (2019), who analyzed the accusations of yahya jammeh, the president of the gambia that considered western countries using antiretroviral drugs (arvs) for plwha (people living with hiv / aids) (as a tool of exploitation of the african people (tsikata, 2019). this article attempts to interrogate the rhetorical motives, the sociocultural context in jammeh’s rhetoric, and to speculate on the impact of jammeh’s rhetoric (tsikata, 2019). the results of the analysis of this study found scapegoating actions, the spread of fear of colonialism and neo-colonialism, and calls for the meaning of health and healing from elements bound up in jammeh’s rhetoric (tsikata, 2019). as a result, jammeh’s rhetorical strategy led to identifying gambian people living side by side with hiv / aids, encouraging gambians to take herbal remedies, temporarily avoiding arvs from plhiv but failing to build confidence in the country in the long term (tsikata, 2019). previous research shows several things that can be criticisms of the theory of dramaticism. theory of dramaticism can be synthesized with 257political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) other theories in qualitatively expanding studies in the rhetorical tradition. this means that this theory can use different theories to analyze the speaker’s rhetoric more deeply and bridge the research question gap. this is based on the view that this theory is less clear and too complicated in explaining human experience using symbolic interactionism (west & turner, 2017). this study will combine or synthesize other research analysis approaches, namely the propaganda theory proposed by harold d. lasswell. lasswell explained that propaganda manages collective attitudes by manipulating important symbols (lasswell, 1927). the word attitude here is defined as a tendency to act according to a particular pattern of assessment. the perspective in this explanation is represented as an activity or conversation for a specific group activity (lasswell, 1927). some studies related to fpi and alumni 212 previously analyzed the impact of these organizations’ existence, which are considered foster intolerance in indonesia. such research conducted by gabriel facal (2020) called fpi one of the main actors in the political and moral intermediary process. fpi places itself in the public sphere, channels political support, and takes advantage of comprehensive media coverage (facal, 2020). while avoiding providing direct opposition to the ruling government and its constitution, this organization promotes the social morals followed by a large part of the population it encourages radicalism and acts of violence in the name of islam (facal, 2020). this study conducted a literature review or literature study on fpi and other islamic organizations and was divided into several discussions. it can be concluded that the formation is showed the stronger porosity at national borders, democratization, and liberalization processes, which supports organizations’ semi-institutionalization. the institutionalization has contributed to the legitimacy of the fpi discourse (facal, 2020). this institutionalization provides fpi members with the possibility to combine the references of islamic law, indonesian national 258 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rights, and a puritanical moral order that includes local cultural authorities to justify violent operations against minorities (facal, 2020). research conducted by widiyanto (2017)threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364 argued that the idea underlying the establishment of the islamic defenders front (fpi) was the idea of ‘ruling good and forbidding evil’ (al-amr bi al-ma’ruf was al-nahyan al-munkar) (widiyanto, 2017)threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364. the founders of the fpi (especially hrs) thought that the indonesian government was silent about the incidents of crimes that occurred. therefore, they felt the need to ‘govern the good and forbid crime’ by taking the necessary actions to stop crime in indonesian society (widiyanto, 2017)threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364. this research focuses on some research questions, including how hrs justifies violence in islamic doctrine and the national constitution?; what agency does hrs use to convey its idea of ‘enjoining good and forbidding evil’ socio-political factors surround hrs’s thinking about violence? the study concluded that after 2002 there were indications that the fpi had expanded the definition of crime (widiyanto, 2017)threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364. crime is related to alcoholic beverages, gambling, prostitution, and heretical sects such as the ahmadiyya and groups that undermine islam, such as the liberal islam network (jil) (widiyanto, 2017). hrs’s classification as ‘commendable and shameful violence’ is comparable to the idea of ‘legitimate and illegal violence’ (widiyanto, 2017)threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364. the source of the legitimacy of hrs is from the shari’ah rules. hrs is aware that there 259political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) are rules in the qur’an and hadith that advocate violence, but there are also rules that advocate tolerance and a more lenient approach. hrs will not take one and leave the other, but consider both (widiyanto, 2017) threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364. hrs believes that al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar is mandatory for muslims. the argument is based on islamic jurisprudence principles (ushul al-fiqh) (widiyanto, 2017)threatens, or causes injury’, and it is worth asserting that ‘injury may be corporal, written, or verbal’(hall 2013: 364. further research on fpi focused on the politicization of religion and democracy in indonesia, conducted by hasan (2019)spirit for displaying religious symbols, especially islamic symbols, into public sphere in indonesia was getting stronger. in certain contexts, such a spirit has morphed into a political movement, or what is commonly referred to as populism. the most actual populist movement that has attracted attention of many in indonesia recently can be found in aksi bela islam (the islam defense action. this study aims to analyze the politicization of religion in indonesia according to populism theory. the results showed that religious populism in indonesia could be seen from two sides. the populism side is seen as a result of social inequality in both national and global contexts. on the other hand, it is a threat to the future of consolidating democracy in indonesia because of its exclusive nature, anti-multiculturalism and anti-pluralism, so that it can create a tyranny of the majority over minority rights (hasan, 2019)spirit for displaying religious symbols, especially islamic symbols, into public sphere in indonesia was getting stronger. in certain contexts, such a spirit has morphed into a political movement, or what is commonly referred to as populism. the most actual populist movement that has attracted attention of many in indonesia recently can be found in aksi bela islam (the islam defense action. 260 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) subsequent research describes post-islamism and islamism’s study to show the position of this research in islamic studies. research conducted by mojahedi (2016)as opposed to monist (or hegemonic presents a critical assessment of the post-islamized role in islam’s discourse of tolerance. this begins with a critical review of post-islamism and its position on pluralism and tolerance. it contextualizes the post-islamism discourse on the broader context of post-secular criticism of modernity and theoretical debates about pluralist tolerance as opposed to monist (or hegemonic) tolerance. post-islamism will be criticized for losing its pluralist tolerance point (mojahedi, 2016)as opposed to monist (or hegemonic. this research criticizes three things about post-islamism discourse, namely about tolerance, because it fails the point of pluralist tolerance. as a result, it is confused with monist and hegemonic tolerance, the extreme submission to culturalism in understanding the dynamics of political transformation, and unconditional belief in the “secularization thesis” (mojahedi, 2016)as opposed to monist (or hegemonic. the results of the presentation of previous research indicate that no research tries to see the motives and constructs of rhetorical dramaticism of religious figures accompanied by the interests of political propaganda in indonesia with a burkedian perspective and propaganda theory. this study will focus on describing how the construction of motives is built with the possibility of political propaganda dramaticism contained in the rhetoric of habib rizieq shihab’s five mandates at the 212 grand reunion in 2019. the author sees gaps in the rhetoric carried out by hrs not only to give a mandate to alumni 212, but there is also the construction of political motives and the strengthening of group primordialism by mass mobilization through religious doctrine. this research aims to contribute to the interpretive study of the rhetorical tradition of symbolic communication in religious groups in the indonesian political sector. how is the construction of political propaganda 261political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) motives through analysis of rhetorical texts of hrs religious figures? this is done by studying these rhetorical elements using the pentad analysis method described by propaganda theory in the fine art of propaganda (lee & lee, 1939). west & turner (2017) see dramaticism creating gaps in rhetorical criticism and analyzing the speaker’s motives by identifying and testing the elements in them. the focus of criticism was also placed on the acting performances of its various players. so that the theory of dramaticism can be said to present a method in understanding the communication relationship between the text and the audience of the text, meanwhile, the propaganda theory which is synthesized with dramaticism can be a method to find the context of rhetorical messages aimed at influencing public opinion on a value system without seeing the need for physical closeness to several systematic stimuli (lasswell, 1927). based on the social context previously described, this research will use the theory of dramaticism, which kenneth burke put forward in the early 1950s. this theory was developed and much influenced by shakespeare’s rhetoric and aristotle (hartelius, 2008). griffin also stated that burke is a literary critic who uses literary expressions and criticism in his theory (griffin, 2012). west & turner (2017) explain the metaphor of ‘drama’ in burke’s theory into three reasons and basic ideas of dramaticism. first, the drama indicates a range of human experience. second, there are several types of drama genres that are similar to the communication in human life. third, the drama is heard closer to the audience, which shows the involvement of the audience. in brief, this theory’s principle uses humans as subjects in its study; burke stated that human observation is implicit in the terms it uses in defining humans (suparno, 2011). burke places humans as symbols using animal or “animals” which use symbols in this theory (griffin, 2012). according to him, humans’ animal nature and the symbols used motivate humans to do something, and language is emphasized as the most 262 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) important symbol system (griffin, 2012). in addition, humans’ symbols show reflection, representation, selection, and deflection (bending) in reality (suparno, 2011). this theory views that words are the most important actions that become symbolic actions in making a drama (griffin, 2012). so that the basic assumptions of this theory can be described as language and symbols are important systems for humans (burke, 1968); humans are animals that wear symbols (brummet, 1995); humans are animals that make choices (conrad & macom, 1995). the previous description explains dramatic problems that pay attention to sources, limitations, and paradoxes in using certain symbols, especially concerning the motives that occur in the act of communication (burke, 1968). miller (2002) views pentad analysis as a method of analysis in observing events in human life. miller saw five aspects in human life used to understand the types of individuals behaving and communicating in their symbolic world (miller, 2002). the dramatic pentad offers a way to determine why each individual is in a case or context in selecting a communication strategy (suparno, 2011). griffin sees that the statement emphasizes one element related to four other elements. it also shows a specific context, so this analysis method can reveal the communicator’s motives or views as a whole (griffin, 2012). pentad helps researchers map how to identify elements by assessing relationships or comparisons of each part pentad (griffin, 2012). the dramatic pentad elements can be translated into five elements, including act, scene, agent, agency, and purpose. first, a scene or scene is a concept that becomes the background for drama (griffin, 2012). agent, action, and agency have an impact on the scene that happens (griffin, 2012). this element uses the concept of materialism, which explains if all the facts that exist are something that can be explained using the 263political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) assumption that matter or the body is immortal, cannot be penetrated, and is relatively easy to change (suparno, 2011). second, act is the most important element in a dramatic pentad where without action there can be no drama (griffin, 2012). the action or act element shows the motivation for action that comes from motives (suparno, 2011). fergusson (in suparno, 2011) sees the action elements of two things, namely the speaker’s character and thoughts. third, agent or agent in griffin’s view is the perpetrator or person who performs the action. so the term agent itself refers to individuals who can place personal trinkets which include ideas, desires, fears, envy, intuition, imagination, and personal expression (suparno, 2011). fourth, agency or agency is described by burke as an instrument used by humans in achieving their goals (suparno, 2011). so it can be said that this element is a function of the goals achieved (suparno, 2011). griffin explains if agency is the procedure for how the action is carried out by the agent (griffin, 2012). fifth, purpose or purpose is something that is present behind the action that refers to the agent’s motive (griffin, 2012). in addition, the intended purpose is the main goal that drives an action (harter & japp in tsikata, 2019). furthermore, in miles’ view (tsikata, 2019), the pentad elements do not work in isolation but rather like different parts of the organization. the pentad elements complement each other, interdependently informing the body of the speech or oration (tsikata, 2019). according to foss (2008), it designates two ways of placing labels on the pentad, namely internal and external. the pentad used internally, and its elements focus on the content of the original rhetorical artifact, the content is examined from the orator’s point of view or how the orator constructs the world. then the pentad used externally relies on gathering contextual information or information outside of the rhetorical artifact itself. 264 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) meanwhile, the propaganda theory is explained by lasswell (1927) as the management of collective attitudes or behaviors by manipulating symbols that are considered significant. the term collective behavior is described here as a form of effort in describing public opinion (lasswell, 1927). lasswell tries to capture the stimuli, which then produces a reaction which is formed with a “significant symbol.” however, the epistemological meaning of propaganda, is an uptake from modern latin, namely propagate, which means to expand or develop (bachtiar et al., 2016). many academics, especially in a scientific view, assess propaganda as a series of messages that contextually aim to develop a public opinion and collective behavior of society with a number of symbolic stimuli significantly. the purpose of propaganda activities can be carried out for various purposes. lasswell (1927) explain at least four purposes of propaganda. first, as a means of cultivating hatred against the enemy. second, to preserve friendship with allies, the third goal is to maintain friendship and the goal, if possible, is to establish cooperation with neutral parties. fourth, to destroy the enemy’s spirit. if we observe more deeply, political propaganda has developed especially in psychological warfare (bachtiar et al., 2016) for the sake of certain parties to get its essence. herbert blumer, who later developed this theory, stated that the propaganda goals from what lasswell originally put forward had changed a lot to create impulses and beliefs for an action based on these beliefs (bachtiar et al., 2016). so this explains how propaganda theory works using significant symbols. as a means of spreading messages and symbolic meanings, there are at least seven propaganda tools (the device of propaganda) contained in the book the fine art of propaganda. (lee & lee, 1939). first, namely using the term or mention of ridicule, in which the naming of ridicule for an idea, rank, race, religious belief, national group, and others so that the 265political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) wider public can insult and reject without the need to examine its truth. second, using terms or words that are grandiose, namely using grandiose terms so that the public or the public can collectively agree on and accept this. third, the use of power or prestige has an honorific value to be transferred to something so that the public can accept it. fourth, doing quotations, namely by quoting words or sentences from many prominent figures to support the good or bad of an idea or product. fifth, through propaganda techniques, self-humiliation can gain public sympathy and ensure that the character is decent and good. sixth, falsifying, namely by covering the facts and truths through false evidence to deceive the public. seventh, this technique is carried out by inviting the public collectively and in a crowd to accept and agree on an idea or program by provoking their belief that the other group or party has first agreed. methods this study uses an interpretive paradigm in hermeneutics’ study by making symbols that appear in human conversations and actions as research objects. then this research uses a qualitative approach to describe and explain the case study in-depth and explanation. kenneth burke’s dramatic pentad method also provides a framework for interpretive research (griffin, 2012). the analysis discussion was further elaborated using the device of propaganda (lee & lee, 1939) to discover the political propaganda put forward by hrs in the speech at the 212 grand reunion. the stages and processes of this research method include: 1) documenting data in the form of hrs’s speech at the 212 grand reunion held on december 2, 2019, by transcribing the verbatim contents of the speech, the video was uploaded to the youtube channel salingsapa tv; 2) categorizing the hrs speech text by adjusting the concepts used in the study referring to kenneth burke’s dramatic pentad; 3) analyzing the hrs 266 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) speech text to find motives and substance by interpreting the rhetoric carried out by hrs as a speaker in the dramatized pentad method and followed by the device of propaganda. results and discussion based on the transcripts of the contents of habib rizieq shihab’s speech, which was conveyed via video teleconference at the 212 grand reunion at monas, central jakarta, which was held on monday, december 2, 2019, could be dissected and mapped the elements contained therein. this research focuses on the text of hrs’s speech, which conveyed five messages to the 212 grand reunion participants in a video uploaded through the youtube channel salingsapa tv. the contents of rhetoric or speech related to hrs’s five mandates for the 212 grand reunion participants were revealed at 11:52 minutes to 30:15 minutes. it is necessary to underline that the analysis carried out interprets the “drama” in the speech, not the speech itself (griffin, 2012). the analysis will map the elements of act, agent, agency, scene, and purpose in the speech and interpret the symbolic actions in it (griffin, 2012). the analysis continued with the implications that the hrs rhetoric had for the 212 grand reunion participants, which was based on the motives that appeared in the pentad analysis that had been carried out. agent element in the contents of his speech, hrs had repeatedly touched on the problem of “the struggle for justice” in the key points he conveyed. although in the hrs context, the mandate is aimed explicitly at indonesian muslims and general for all indonesians and people. then hrs also touched on ahok’s return, and the group he claimed were ahok’s supporters during the election. hrs also mentioned other groups considered to be blasphemers of religion who are protected by law enforcers. 267political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. hrs rhetoric text snippet on element agent agent element rhetorical context breaking "kepada segenap peserta reuni akbar 212, akhirnya melalui sambutan dalam reuni akbar 212 di tahun 2019 ini saya ingin menyampaikan amanat perjuangan..." god-term t he first m andate "...momentum yang luar biasa, momentum persaudaraan, dan persatuan bagi umat islam di indonesia, pada khususnya, bahkan bagi seluruh rakyat dan bangsa indonesia pada umumnya." god-term "...reuni akbar 212 setiap tahun dengan jutaan peserta tapi tetap menampilkan ketertiban, kesejukan, kedamaian, ketenangan, keselamatan, persahabatan, pergaulan, kekeluargaan aneka ragam keindahan…" god-term "oleh karenanya saya sudah berulang kali dan sudah sering sekali saya sampaikan kepada seluruh umat islam indonesia, bahkan seluruh rakyat dan bangsa indonesia jika 1000 kali kita jatuh dan gagal dalam perjuangan penegakkan keadilan, maka 1001 kali kita harus siap bangun dan bangkit kembali (panitia: allahuakbar! (diikuti seluruh peserta)) ..." god-term t he second m andate "jangan sampai satu-dua kegagalan yang kita alami di dalam suatu rangka perjuangan memupuskan harapan kita untuk meraih kemenangan." god-term t he t hird m andate "...ingat juga akan janji allah swt bahwasanya siapa yang berjuang untuk allah pasti menang..." god-term 268 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) agent element rhetorical context breaking "...an-nabi saw pernah menyatakan dan mengamanatkan kepada kita semua, 'alaikum bil jamaah, wa iyyakum minal furqah, wajib atas kamu kalau berjuang itu, beramal itu, beribadah itu dengan berjamaah, bersatu bergotongroyong di dalam kita melakukan perjuangan." god-term t he fourth m andate "karena itu kita ingatkan pada semua bahwa kita semua membutuhkan pertolongan allah swt, kalau sudah ada pertolongan allah swt tidak ada satupun kekuatan yang dapat mengalahkan kita semua. ingat sekuat apapun kekuasaan kita, sebanyak apapun jumlah kita, sebesar apapun tenaga kita, sekaya apapun harta benda kita dan sehebat apapun strategi kita tanpa pertolongan allah semua itu tidak akan ada artinya dan sebaliknya, sebaliknya, selemah apapun kekuasaan kita, sedikit apapun jumlah kita, sekecil apapun tenaga kita, semiskin apapun harta benda kita dan sepayah apapun strategi kita manakala pertolongan allah swt sudah datang kepada kita, maka semuanya akan berubah menjadi satu kekuatan yang dahsyat dan tidak ada satu kekuatan dari manapun, dari siapapun yang akan mampu mengalahkan kita." god-term "...wajib kita selalu bertakwa kepada allah dengan menjalankan segala perintahnya, meninggalkan segala larangannya." god-term "...saya ingatkan kepada seluruh peserta reuni akbar 212 ini teruslah berjuang dengan keikhlasan, kesabaran, dan kebersamaan." god-term 269political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) agent element rhetorical context breaking "terus kita berjuang dalam membela agama, bangsa, dan negara." god-term t he fifth m andate "...saya ingin serukan kepada segenap umat islam di seluruh indonesia, begitu juga seluruh rakyat dan bangsa indonesia jika terjadi suatu penodaan agama, jika ada yang menghina allah swt atau rasulullah saw atau melecehkan alquranulkarim atau menodai agama islam, maka kita serukan kepada seluruh umat islam untuk memproses secara hukum." god-term "….saya serukan ke seluruh umat islam di tanah air, bahkan seluruh rakyat dan bangsa indonesia, untuk menggelar aksi bela agama yang berjilid-jilid! kepada umat islam gelar aksi bela islam yang berjilid-jilid! sebagaimana pernah kita (panitia: allahuakbar! (diikuti seluruh peserta)) lakukan bersama-sama..." god-term "...kepada seluruh umat islam, tolong buat gelar aksi yang berjilid-jilid! jangan pernah berhenti itu aksi…" god-term when referring to the context of an ongoing activity, the agents in question are people who are committed to action (griffin, 2012). so the agent in the hrs speech was addressed to the participants of reunion akbar 212 and pa 212. this refers to how hrs mentioned explicitly in its first mandate by saying the giving of this mandate to the participants of reunion akbar 212, which means more relevant when the agent’s referral from the content of hrs speech is the participants of reunion akbar 212. participants of reunion akbar 212, including fpi, hti, gnpfmui, fui, and pa 212, were mentioned by hrs at the opening speech. hrs construction rhetorical construction uses god-terms or sentences that describe everything that the orator or speaker values and 270 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) considers to be something true and good (griffin, 2019). the agent’s action commitment is considered in accordance with the construction of the rhetoric delivered by the speaker. the agent is a person who can place ideas, desires, fears, envy, intuition, imagination, and personal expression (suparno, 2011). this can be attributed to hrs’s statement stating that reunion akbar 212 should display order, coolness, peace, tranquility, security, friendship, association, and family that can be created by the participants reunion itself. however, the rhetorical construction of hrs can also be identified by two other groups of agents who become scapegoats, i.e., a person or group accused of a mistake by a speaker or orator (griffin, 2019). identifying these two groups of agents appears to demonstrate the affirmation of the first group of agents’ commitment to action adequately constructed and well. the form of scapegoating performed by hrs on these two groups of agents uses the devil-term to describe things that are considered bad, wrong, and evil by the speaker or orator (griffin, 2019). however, there are god-term forms used repeatedly in the context of scapegoating. table 2. hrs rhetoric text snippet on element agent agent element rhetorical context breaking "...ahok si penista agama lengser dan longsor!" scapegoating; devil-term fourth m andate "...kita sama tahu ahok si penista agama saat itu dinaungi presiden, dijaga kapolri, dilindungi panglima tni, dibela kpu dan kpk, diusung partai-partai besar, dikampanyekan semua media nasional, bersama para pengamat dan berbagai lembaga polling, didanai konglomerat sembilan naga merah, bahkan asn –pegawai negeri diwajibkan untuk memilihnya." scapegoating; devil-term 271political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) agent element rhetorical context breaking "...pbnu ikut berusaha memenangkannya dan tidak kurang preman dan dukun pun dikerahkan serta ahok mendapatkan dukungan dari dalam dan luar negeri." scapegoating; devil-term "…si ahok penista agama yang di-backup (panitia: semua tetap duduk, semua tetap duduk) oleh kekuatan yang dimiliki oleh rezim zalim ini saudara." scapegoating; devil-term t he fifth m andate "...ada orang yang membandingkan rasulullah saw dengan ayatnya, dia merasa ayatnya lebih baik dari rasulullah saw. ada lagi menggambarkan kehidupan masa kecil nabi ‘alaihisshalatuwassalam dengan masa kecil yang dekil, kumel, kotor, tidak terurus. ada ada juga orang yang secara terang-terangan menyebut bahwa terorisme itu punya agama dan agama terorisme itu adalah islam." god-term hrs combines devil-term and god-term in one construction in two groups of agents, even in groups of law enforcement agents and blasphemers are called repeatedly with the same action context. so this can be related to the tendency of hrs’s statement, which assesses law enforcers through the verbal symbol “kapolri,” is on the opposition side of the first agent group, namely pa 212. it also shows hrs sending messages or discourse to law enforcers through god-term rhetoric that contains threats. several times, when hrs constructed this scapegoating in the fifth mandate, the committee in the monas area shouted the takbir sentence, which was followed by the akbar reunion participants, this symbolic act associating the commitment of the first agent group with hrs’s scapegoating. 272 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 3. hrs rhetoric text snippet on element agent agent element rhetorical context breaking "jika penegak hukum tidak mau menegakkan hukum sebagaimana mestinya bahkan para penegak hukum membiarkan penodaan agama itu terjadi, bahkan justru penegak hukum itu yang melindungi para penoda agama." scapegoating; devil-term t he fifth m andate "...kalau aksi bela islam sudah digelar berjilid-jilid tapi penegak hukum tetap saja membiarkan si penoda agama, bahkan melindungi para penoda agama tersebut saudara…" scapegoating; devil-term "kalau aparat penagak hukum tidak ingin menegakkan undang-undang…" scapegoating; devil-term "...jika aksi bela agama yang berjilid-jilid di berbagai daerah, tetep tidak mendapat perhatian bahkan para penegak hukum tetep membiarkan penodaan agama bahkan justru melindungi para penoda agama..." scapegoating; devil-term "...maka jangan salahkan umat islam! jika umat islam mengambil tindakan sendiri, sesuai keyakinannya yang sudah ditetapkan oleh ajaran syariat islam yaitu hukuman mati! secara cerdas." god-term "...maka sekali lagi jangan salahkan umat islam jika mereka mengambil tindakan sendiri, sesuai keyakinan mereka, di dalam ajaran syariat islam bahwa penoda agama, penghina allah, penghina nabi, penista al quran adalah hukuman mati! (panitia: allahuakbar! (diikuti seluruh peserta)) secara cerdas." god-term 273political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) elemen act this element in the hrs speech content symbolically needs to be translated one by one so that it is able to form a network that is connected to one another. because this element refers more to the big context of the actions taken by the agent (tsikata, 2019). table 4. hrs rhetoric text snippet on element act elemen act rhetorical context breaking "...saya ingin menyampaikan amanat perjuangan yang insya allah menjadi pedoman perjuangan kita ke depan." god-term the first mandate "...amanat yang kedua yang ingin saya sampaikan, jangan pernah putus asa dalam perjuangan penegakkan keadilan. hapus kata putus asa dalam kamus perjuangan penegakkan keadilan." godterm t he second m andate "...maka 1001 kali kita harus siap bangun dan bangkit kembali (panitia: allahuakbar! (diikuti seluruh peserta)) untuk melanjutkan perjuangan penegakkan keadilan dengan ketekunan, keistiqomahan, dan dengan tanpa keputusasaan. insya allah, perjuangan kita akan diberkahi oleh allah swt." godterm "insya allah, perjuangan kita akan diberkahi oleh allah swt. " godterm 274 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) elemen act rhetorical context breaking "jangan sampai satu-dua kegagalan yang kita alami di dalam perjuangan penegakkan keadilan memudarkan keyakinan kita akan janji allah swt. ingat, bahwa allah swt menegaskan kepada kita bahwa jalan-jalan kemenangan untuk meraih ridha allah swt sangat banyak, sangat banyak, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk berputus asa. allah firmankan dalam surat al-ankabut ayat 69..." godterm the t hird m andate "selain itu, ingat juga akan janji allah swt bahwasanya siapa yang berjuang untuk allah pasti menang, sebagaimana allah swt berfirman dalam surat muhammad ayat ke7…" godterm "amanat yang keempat yang tidak kalah pentingnya dengan amanatamanat sebelumnya teruslah berjuang dengan keikhlasan dan kebersamaan. karena pertolongan allah swt ada pada keikhlasan dan kebersamaan." godterm t he fourth m andate "jawabnya karena ketika itu islam berjuang dengan ikhlas dengan sabar dan bersatu berjuang bersama melawan kedzaliman untuk menegakkan keadilan. karenanya sekali lagi saya ingatkan kepada seluruh peserta reuni akbar 212 ini teruslah berjuang dengan keikhlasan, kesabaran, dan kebersamaan. " godterm 275political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) elemen act rhetorical context breaking "turun ke jalan aksi! jangan pernah takut! jangan pernah berhenti! dalam membela agama, bangsa, dan negara. " godterm t he fifth m andate "itulah yang bisa sampaikan dalam amanat yang kelima ini semoga kita semua tetap tidak pernah berhenti membela agama, bangsa, dan negara. " godterm hrs’s first mandate mentioned that its mandate guides the struggle to be used in the future. the same thing in the second mandate, namely regarding the “struggle for justice” without feeling hopeless. the three mandate hrs is used to raise the belief in allah’s promise even though it fails in a struggle. hrs uses surat al-ankabut verse 69 and surat muhammad verse 7, which talk about the struggle and upholding justice. almost the same thing also appeared in the fourth and fifth messages delivered by hrs. hrs briefly touched on the history of the pa 212 group, which carried out actions to defend islam in volumes from 2016 to 2017. hrs also called for never ceasing to defend religion, nation, and state. as well as the urgency to take to the streets. so, as a result of elaborating a series of points that could be highlighted earlier, the context that can be linked to the existence of an element of action is “the struggle for justice.” this action results from the formation of motives that tend to be repeated and emphasized to form motivation in drama (suparno, 2011), which is then associated with the agent. the symbolic redundancy of the “struggle for justice” will explain hrs’s rhetoric’s agency element. elemen scene the speech delivered by hrs resulted from a video recording of a teleconference located in mecca, saudi arabia. however, if you look 276 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) at the video’s location, it takes place in the monas area, central jakarta. so that in this scene element, it is necessary to look more contextually from the hrs speech to find symbolic descriptions of the scene. this element is formed in an environment of agency, action, and agency occurs (griffin, 2012). so the symbolic form of the hrs speech context can be the conditions and situations discussed in the speech. furthermore, tsikata (2019) mentions, scene elements are the source or impetus of action. so this analysis tries to interpret the rhetorical constructs formed by hrs in shaping the environmental context. table 5. hrs rhetoric text snippet on scene element breaking elements of scene rhetorical context t he f irs t m an da te "...amanat pertama, jagalah tradisi reuni akbar 212 dengan segala keindahannya…" god-term "sehingga sekali lagi kita perlu tradisikan reuni akbar 212 dengan segala keindahannya, kedamaiannya, kesejukannya, ketertibannya kedisiplinannya begitu juga dengan kebersihannya tunjukkanlah kepada dunia inilah negara republik indonesia…" god-term t he s ec on d m an da te “…jangan pernah putus asa dalam perjuangan penegakkan keadilan. hapus kata putus asa dalam kamus perjuangan penegakkan keadilan…” god-term “…sudah sering sekali saya sampaikan kepada seluruh umat islam indonesia, bahkan seluruh rakyat dan bangsa indonesia jika 1000 kali kita jatuh dan gagal dalam perjuangan penegakkan keadilan, maka 1001 kali kita harus siap bangun dan bangkit kembali god-term 277political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) breaking elements of scene rhetorical context t he t hi rd m an da te “…saya sampaikan dari kota suci mekkah al mukarromah dalam reuni akbar 212 ini adalah percayalah dan yakinlah dengan janji allah swt. jangan sampai satu-dua kegagalan yang kita alami di dalam suatu rangka perjuangan memupuskan harapan kita untuk meraih kemenangan.” god-term “allah sudah menyampaikan kepada kita bahwa jalan kemenangan untuk menuju ridha allah begitu banyak, satu jalan tertutup masih ada jalan-jalan lain yang terbuka. jadi percayalah dengan janji allah, yakinlah dengan janji allah, janji allah swt akan terwujud dalam kehidupan kita…” god-term “sekali lagi percayalah dengan janji allah, yakinlah dengan janji allah, nasrunminallah wakhuqulkarib wabasyir mu’miniin, pertolongan datangnya dari allah dan kemenangan sudah dekat, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.” god-term t he f ou rt h m an da te “…wajib atas kamu kalau berjuang itu, beramal itu, beribadah itu dengan berjamaah, bersatu bergotongroyong di dalam kita melakukan perjuangan.” god-term “kenapa? jamaah, kata nabi, karena sesungguhnya tangan allah, pertolongan allah, ridha allah, rahmat allah ada pada kebersamaan.” god-term “…karena adanya pertolongan allah swt lantaran keikhlasan dan kebersamaan umat islam indonesia dalam melawan arogansi rezim zalim. belajar dari sana disana ada pertolongan allah swt…” god-term “…semua kekuatan pendukung si penista agama rontok, rontok! inilah pertolongan allah swt yang diberikan allah swt kepada umat islam kenapa allah swt memenangkan umat islam ketika itu?” god-term 278 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) breaking elements of scene rhetorical context t he f ift h m an da te “sebagaimana sama kita ketahui bahwa saat ini di kita punya negeri telah terjadi aneka ragam peristiwa penodaan agama…” god-term “…negara indonesia adalah negara hukum dan kita punya undang-undang anti penodaan agama sesuai dengan perpres no. 1 tahun 1965 juga ada kuhp pasal 156a proses secara hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku di negara kesatuan republik indonesia.” god-term “sekali lagi, sekali lagi, saya ingin tekankan di sini jika terjadi penodaan agama, maka proses hukum sesuai undang-undang yang berlaku di negara kita.” god-term “…gelar aksi bela agama berjilid-jilid di semua daerah, gelar dan gelar kembali di ibukota di jakarta secara besar-besaran! gelar! tekan terus!” god-term “…catat baik-baik, agama apapun tidak boleh dinodai, agama apapun tidak boleh dihina, agama apapun tidak boleh dilecehkan. apalagi agama islam yang menjadi agama mayoritas daripada rakyat dan bangsa indonesia!” god-term the first mandate of hrs raises the context of unity and tradition of the 212 grand reunion, then in the second mandate refers to the failure that has been experienced and is being fought back by pa 212. the third mandate has a spiritual and religious context, which is used by hrs as a motive to strengthen the other four mandates. the fourth mandate brings the historical and social context of pa 212. meanwhile, the fifth mandate is more about the mission that needs to be carried out. so contextually, this scene’s elements reinforce the pa 212 movement and other organizations that accompany it. so there is a form of mediated communication through hrs to the grand reunion participants so that there is a strengthening of the agents’ action commitment. 279political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) agency element griffin explains if the agency is how the procedure of action is carried out by the agent (griffin, 2012). it can explain how agencies in the hrs mandate become a procedure that is also a function of the goals to be achieved by the agent. table 6. hrs rhetoric text snippets on element agency breaking agency elemen rhetorical context a m an at p er ta m a “…jagalah tradisi reuni akbar 212 dengan segala keindahannya sebab reuni akbar 212 merupakan momentum yang teramat penting, momentum yang luar biasa, momentum persaudaraan, dan persatuan bagi umat islam di indonesia, pada khususnya, bahkan bagi seluruh rakyat dan bangsa indonesia pada umumnya. sehingga sekali lagi kita perlu tradisikan reuni akbar 212 dengan segala keindahannya, kedamaiannya, kesejukannya, ketertibannya kedisiplinannya begitu juga dengan kebersihannya tunjukkanlah kepada dunia inilah negara republik indonesia yang mampu menggelar acara reuni akbar 212 setiap tahun dengan jutaan peserta tapi tetap menampilkan ketertiban, kesejukan, kedamaian, ketenangan, keselamatan, persahabatan, pergaulan, kekeluargaan aneka ragam keindahan…” god-term a m an at k ed ua “hapus kata putus asa dalam kamus perjuangan penegakkan keadilan. oleh karenanya saya sudah berulang kali dan sudah sering sekali saya sampaikan kepada seluruh umat islam indonesia, bahkan seluruh rakyat dan bangsa indonesia jika 1000 kali kita jatuh dan gagal dalam perjuangan penegakkan keadilan, maka 1001 kali kita harus siap bangun dan bangkit kembali (panitia: allahuakbar! (diikuti seluruh peserta)) untuk melanjutkan perjuangan penegakkan keadilan dengan ketekunan, keistiqomahan, dan dengan tanpa keputusasaan.” god-term 280 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) breaking agency elemen rhetorical context a m an at k ee m pa t “…teruslah berjuang dengan keikhlasan dan kebersamaan. karena pertolongan allah swt ada pada keikhlasan dan kebersamaan…” god-term a m an at k el im a “…saya ingin tekankan di sini jika terjadi penodaan agama, maka proses hukum sesuai undang-undang yang berlaku di negara kita. kalau aparat penagak hukum tidak ingin menegakkan undang-undang tersebut maka gelar aksi bela agama berjilidjilid di semua daerah, gelar dan gelar kembali di ibukota di jakarta secara besar-besaran! gelar! tekan terus! sampai si penoda agama itu diproses hukum, diseret ke meja hijau, dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman penjara yang setimpal.” god-term; seeing the contents of the hrs speech, referring to several parts. in the first mandate, hrs’s procedure wants to construct to the agent through its rhetoric about maintaining the 212 grand reunion tradition with all the positive contexts it carries. the second mandate of the construction of agency elements is shown by the motive of eliminating the word despair in the struggle carried out in the agent’s spiritual strengthening procedure on the previous act element. the fourth mandate binds the agency elements of other mandates, emphasizing civility and togetherness that pa 212 needs to rebuild. then the fifth mandate refers to procedures that are directly related to the elements of act and agent, namely the emphasis on law enforcement in the interests of pa 212 in especially although hrs tends to mention it in the interests of indonesian muslims. seeing the contents of the hrs speech, referring to several parts. in the first mandate, hrs’s procedure wants to construct to the agent through its rhetoric is about maintaining the tradition of the 212 grand reunion with all the positive contexts it carries. the second mandate of 281political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the construction of agency elements is shown by the motive of eliminating the word despair in the struggle carried out in the agent’s spiritual strengthening procedure on the previous act element. the fourth mandate binds the agency elements of other mandates with an emphasis on civility and togetherness that pa 212 needs to rebuild. then the fifth mandate which refers to procedures that are directly related to the elements of act and agent, namely the emphasis on law enforcement in the interests of pa 212 in especially although hrs tends to mention it in the interests of indonesian muslims. the background to the action described in the previous act element can be associated with another element’s symbol. the agent element aimed at the participants of the 212 grand reunion or pa 212 is an essential element related to the elements of the scene, namely the context of pa 212 to be strengthened again. the agency element clearly describes the procedures that are related to one another in the hrs mandate so that it shows the function of the objectives to be achieved. tabel 7. hrs rhetoric text snippet on element purpose breaking purpose element rhetorical context t he t hi rd m an da te “…amanat yang ketiga yang ingin saya sampaikan dari kota suci mekkah al mukarromah dalam reuni akbar 212 ini adalah percayalah dan yakinlah dengan janji allah swt. jangan sampai satu-dua kegagalan yang kita alami di dalam suatu rangka perjuangan memupuskan harapan kita untuk meraih kemenangan. jangan sampai satu-dua kegagalan yang kita alami di dalam perjuangan penegakkan keadilan memudarkan keyakinan kita akan janji allah swt. ingat, bahwa allah swt menegaskan kepada kita bahwa jalan-jalan kemenangan untuk meraih ridha allah swt sangat banyak, sangat banyak, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk berputus asa. allah firmankan dalam surat al-ankabut ayat 69, allah nyatakan, waalladhiina jahaduu fiina lanahdiyannahum subulan wainna allaha lama’almuhsiniin, god-term 282 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) breaking purpose element rhetorical context t he t hi rd m an da te “orang-orang berjihad di jalan kami untuk meraih ridha kami, niscaya akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.” jadi dalam ayat ini allah sudah menyampaikan kepada kita bahwa jalan kemenangan untuk menuju ridha allah begitu banyak, satu jalan tertutup masih ada jalan-jalan lain yang terbuka. jadi percayalah dengan janji allah, yakinlah dengan janji allah, janji allah swt akan terwujud dalam kehidupan kita ingat innallah yu’lifuul mi’aad, sesungguhnya allah tidak pernah dan tidak akan pernah mengingkari janjinya.” god-term so the purpose of hrs’s mandate is strengthening the 212 grand reunion participants on god’s promise, which can then explain as the background for the action’s struggle for justice and scenes from the context of strengthening pa 212 through agencies or procedures carried out by agent. discussion of propaganda theory perspectives when viewed from the hrs speech using a classic analytical framework from the seven propaganda tools, hrs several times used several derisive calls to the 212 alumni group. as in the fourth mandate delivered by hrs, who repeatedly said, “ahok the blasphemer” and on the mandate the fifth also mentions the derogatory name “the blasphemer of religion” where this mention is designed to give nicknames for “enemies” and groups both near and far from alumni 212 (marshall, 2017). these groups are further mentioned in the hrs rhetoric, including the president, the police chief, the tni commander, the kpu and kpk, major political parties, national media, survey poll observers and institutions, conglomerates, asn, and pbnu. the pentadic rhetoric analysis explains the mention of ahok the blasphemer of religion and those who are considered to be his supporters 283political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) as a form of scapegoating using devil-term. so this is related to how in the propaganda theory, the name mockery or name-calling serves to invite and associate agents (212 alumni members) to commit to hrs’s vision in building its rhetoric in viewing groups that are considered enemies or parties, which goes against their goal. the use of name mocking or name-calling is also found in other designations such as “wrongdoing regime,” which is used in the fourth and fifth mandates. this also refers to the assumption that jokowi tends to take ahok’s side, such as the rumors that surfaced in the 2019 presidential election that said jokowi might reconsider ahok as his political partner (marshall, 2017). based on the propaganda perspective, name-calling by hrs is indeed used to label groups or positions so that the audience or alumni 212 are committed to the group’s rejection. the second propaganda tool used in the construction of rhetoric by hrs was the glittering generalities widely used in the opening or preamble of the 212 grand reunion speech. like the first message that emphasized the 212 grand reunion, this is a significant momentum that needs to be rendered with beauty, peace, tranquility, safety, and others. ahyar (2019) explained that the islamic mass action movement, also known as the islamic defense action, is a form of victory for islamic activism in indonesia. if we look back at the early emergence of the islamic defense action, this social movement’s discourse was disseminated through the online activism movement and various social media such as instagram, facebook, and twitter. this action is claimed to be attended by millions of people from all over indonesia. the participants also admitted that they came to the capital voluntarily to voice one thing, namely justice for muslims and muslims (ahyar, 2019). the existence of the 212 grand reunion is seen not only as a form of unity and brotherhood of muslims who have participated in the islamic defense action in volumes. greg fealey sees the action to defend islam as an action to revive the battle for 284 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) primordialism and identity between “native” and “non-native” indonesians to promote their special position among muslims as the majority and are considered to have indonesian political authority (ahyar, 2019). looking at the analysis of agency elements, pentadik burke explains how agencies in the hrs mandate become a procedure that is also a function of the goals to be achieved by the agent (griffin et al., 2019). hrs, in its rhetoric construction, wants the 212 grand reunion to become a tradition for every 212 alumni, so referring back to the cause of the emergence of this movement, the 212 grand reunion is also one of the momentum to remind of the contradiction of primordialism and identity in indonesia (ahyar, 2019). this is also reminiscent of the jargon from the action to defend islam “spirit 212,” which was seen as propaganda jargon to strengthen islamic identity (ahyar, 2019) so that this second propaganda tool fulfills its use of giving grandiose sentences in order for the public to accept and agree with it without trying to check its truth (lee & lee, 1939). the third propaganda tool used by hrs is diversion or transfer. according to lee & lee (1939), this propaganda tool uses prestige or authority with an honorific value in it, which can also use a position or status of honor that others consider influential or charismatic. hrs’s rhetorical construction is a propaganda tool in the opening of the 212 grand reunion speech’s opening remarks. hrs said in his speech that the former ambassador of saudi arabia to indonesia, sheikh osama asshuaibi, stated that hrs would be ready to be sent back to indonesia. hrs also added that the recognition of the former saudi arabian ambassador to indonesia was an extraordinary acknowledgment that there was another purpose from the indonesian government, which made him feel blocked until now. the hrs rhetoric in it also carried out a diversion using a statement from the new saudi arabian ambassador, sheikh esam abid athagafi, who stated that habib rizieq’s affairs in saudi arabia 285political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) were currently in negotiations between high-ranking officials between the two countries between the saudis and the indonesian government. this excerpt can also be explained in a diversion propaganda tool regarding alleged bans that occurred in hrs. the rhetoric construction carried out by hrs is related to the allegation that the government of saudi arabia banned him from being able to return to indonesia during the general election for the president of the republic of indonesia from 2018 to 2019 (taher, 2019). research by pramono (2018) explained that this is related to the initiation of hrs by fpi as of the high imam of the fpi and the grand imam of the islamic community in indonesia. his position is limited to the informal islamic political leader. becoming a formal islamic political leader is still related to the withdrawal of the electoral system and the party system (pramono, 2018). thus, the development of this rhetoric has become a propaganda tool so that the public can accept diversion through the status and officials of the saudi arabian government itself that hrs cannot return to indonesia from 2018 to 2019. this event explains the rhetoric he made about lies and bans by the indonesian government towards hrs’s return from saudi arabia. hrs is known as a figure who is active in indonesian politics by carrying the identity of the islamic religious group as the high priest of fpi. so much of the rhetoric he built in his opening speech for the 212 grand reunion 2019 used quotes from the prophet muhammad saw. quotation propaganda tools are intended to reinforce whether or not an action, idea, or idea is good so that the audience will follow it (lee & lee, 1939). the 212 grand reunion, which began with the action to defend islam movement at the beginning of its appearance, was intended to sue ahok for the act of religious blasphemy during the 2016 jakarta election campaign. as a means of political propaganda. based on the results of pentadic burke’s previous analysis, hrs used quotes from the words 286 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of the prophet muhammad saw several times as in the content of the fourth mandate, which aims to arouse the enthusiasm of the alumni of the defense of islam in the 212 grand reunion to remain committed to the struggle for justice and defending islam. caused by the decline in the number of participants from the 212 grand reunion from year to year, even though they have made national mobilization efforts (power, 2018). the involvement of islamic religious groups in politics is viewed further. it shows the decentralization of apolitically autonomous ulama (pribadi, 2018). there are two reasons why indonesian religious leaders participate in the country’s political sector. first, it shows that they can adapt to the indonesian state’s changing political atmosphere. second, they are continuously needed by society to maintain and preserve islamic religious values and norms (pribadi, 2018). islam continues to be a crucial ideological framework and social movement to mobilize. however, islam is the subject of political debate and its object (sproule, 1994; pribadi, 2018). such claims may be worrying in a democracy where the political debate should be based on rational arguments and where political correctness is seen as ruling the majority of the people (sproule, 1994). the fifth propaganda tool, namely plain folk or hrs’s humiliation, showed his inferiority complex in opening his remarks and the fifth mandate of the opening speech for the 212 grand reunion in 2019. hrs expressed his gratitude and appreciation for holding the 212 grand reunion, which entered its third year along with his supporters. hrs called him a brother, who visited him in mecca. a statement then follows this rhetorical construction that it is a comfort and encouragement source for hrs. the placement of humility hrs will put it at the beginning of his speech. it happened before explaining his suspicion of being banned from returning to indonesia by using a statement of appreciation and gratitude, a label saying “brother” shows hrs trying to attract the sympathy of the audience by ensuring that figures and ideas that he will convey are good 287political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) (lee & lee, 1939). the next form of humiliation carried out by hrs did not explicitly use specific terms or wordings. still, in context, it was constructed to attract sympathy from parties outside the group and its supporters. in the fifth mandate, hrs stated that no religion should be defiled, no religion should be insulted, and no religion should be abused. this statement presents the context that hrs is a figure who respects every religion. in the next statement, hrs re-emphasizes islam’s position as the majority religion of the indonesian people and nation. this propaganda tool’s perspective also shows hrs’s attitude, which aims to convince every party involved in constructing his speech to accept the hrs figure as a leader. pramono (2018) explained that formal leaders have to prioritize their souls and behavior to maintain their leadership’s image in increasing trust in the people they lead. a formal leader’s effectiveness and efficiency are to put society’s interests above personal and group interests to achieve the goals they aspire. based on this view, it can then explain the purpose of using plain folk propaganda tools to construct hrs rhetoric and attract sympathy to accept then the ideas and ideas expressed in the rhetoric. however, it also shapes the acceptance of hrs figures as a leader. hrs’s propaganda tools using card-stacking or counterfeiting were often encountered in the opening of his remarks. apart from using a propaganda tool diversion from the saudi arabian ambassador to indonesia. hrs also repeatedly raised allegations that he was exiled and prevented from remaining in saudi arabia and unable to return to indonesia. hrs stated that indonesia’s government should stop the lies it deemed to be fabricated to be disseminated to the public regarding his current condition. the next form of card-stacking carried out by hrs was that he stated that he had sent reports and statements to the indonesian embassy officials for saudi arabia. still, the embassy said that hrs had never reported and did not know the news from hrs. 288 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this fact needs to be seen from two sides, based on the statement of mahfud md, the coordinating minister for political, legal, and security affairs of the republic of indonesia (menkopolhukam), emphasizing that the government has never issued a letter of blocking against hrs (taher, 2019). the directorate general of immigration at the ministry of law and human rights (kemenhumham) also denied rizieq’s ban. head of subang of immigration public relations sam fernando explained that his party had never received a request to prohibit rizieq from entering indonesia. the indonesian government could not refuse hrs to return to indonesia. this refers to article 14 of law number 6 of 2011 concerning immigration, namely article 14 paragraph (1), where every indonesian citizen (wni) cannot be refused entry into indonesian territory (taher, 2019). the last form of propaganda tool used by hrs is the bandwagon, which is an invitation to agree to an idea or ideas (lee & lee, 1939) by first making other propaganda constructs to convince his followers’ supporters to agree with the statement. in the fifth mandate in hrs’s remarks about the legal prosecution of suspected blasphemers, rachmawati soekarnoputri was considered to have harassed islam by comparing the prophet muhammad saw with the figure of soekarno (fra & rha, 2019). however, it can be said that the fifth mandate tends to explain the prosecution of legal justice against rachmawati’s case to muslims but through mass mobilization nationally. this is described in the construction of the fifth mandate in his speech which contains an invitation to all indonesian muslims and also all indonesian people. hrs divided its invitation into two, specifically for the 212 grand reunion participants and all the people of the republic of indonesia. however, the goal remains the same, namely the mobilization of a national movement to demand legal justice for rachmawati, who is suspected of committing blasphemy of islam through the poetry she delivered at anne avantie’s fashion show. 289political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the context of the bandwagon in this rhetoric is constructed with the explanation of the rachmawati case. it compared the prophet muhammad saw with the figure of soekarno, then followed by an explanation of the existence of indonesia’s formal law regarding blasphemy and an invitation to take action to defend religion if this case is not immediately handled by law enforcement in indonesia. this construction shows that the plot raises emotions and motives for mobilizing the national religious defense action movement. nastiti & ratri (2018) explaining this in emotional politics, namely emotional management for political mobilization, which means that instilling political values by islamic organizations can occur in daily life practices through subtle forms of enforcement. in some cases, political maneuvers’ emotional management is normalized, taking place in activities that cannot be separated from indonesian society’s experiences, such as implementing religious law (nastiti & ratri, 2018). this process’s normalization makes religious practice’s political elements invisible or not explicitly (nastiti & ratri, 2018). so this is why the mobilization of the movement through religious propaganda can occur because it uses messages and communications that touch people’s emotions related to their daily experiences. conclusion and suggestion conclusion the rhetorical construction carried out by habib rizieq shihab at every 212 grand reunion every year has a motive for the interests of his support groups and emotional politics through religious, moral construction. this study maps and dissects the rhetorical constructs of hrs using two stages of analysis and discussion. first, using burke’s pentadic analysis to map each context element of hrs’s rhetoric in his speech at the 212 grand reunion 2019. 290 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) when viewed using pentadik burke’s rhetoric, it can be concluded that hrs has strengthened its rhetorical construction on the agent and agency elements. one of the important points at issue in hrs’s rhetoric in the agent element is the encouragement of the 212 grand reunion participants to carry out justice and struggle to defend religion. it can be seen clearly by using data synthesis analysis in propaganda theory will explain the motive for mobilization to traditionalize the 212 grand reunion. it is also considered a symbol of reviving primordialism and identity to promote their special position among muslims as the majority and are considered to have indonesia’s political authority (ahyar, 2019). the political context raised by hrs through the construction of emotional politics based on religious morals is done to attract sympathy from his supporters or groups that are members of the 212 grand reunion to accept that he was banned, which caused him not to be able to return to indonesia. furthermore, the discussion in the propaganda theory perspective uses seven devices of propaganda that are intended to find possible gaps in political propaganda in agency elements. the rhetoric in hrs’s speech fulfilled the seven propaganda tools or the devices of propaganda, each of which had its agenda in shaping hrs figures. then the emergence of a sense of political emotion to defend religion mobilized the people to prosecute suspected blasphemers by linking messages to the people’s daily experiences. this study explains that hrs’s rhetorical construction in indonesia has a political propaganda gap that uses emotional politics by emphasizing agent and agency elements for mass mobilization nationally. suggestion kenneth burke’s theory of dramaticism is still too broad in describing the symbols used in rhetoric. as in scene elements or scenes described as the location where the agent, action, and agency occur. 291political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) however, it can still be related to the context of the rhetoric content, so that it displays symbols that correlate with the other four elements. the next research, presumably, can use discourse analysis methods of forensic communication and dramatic theory. functionalist thinking in the context of a discourse analysis method is suitable for interpreting content. functionalist thinking sees that signs in context have a formal linguistic function in conveying certain messages. references ahyar, m. (2019). aksi bela islam: islamic clicktivism and the new authority of religious propaganda in the millennial age in indonesia. indonesian journal of islam and muslim societies, 9(1), 1–29. https://doi.org/10.18326/ijims.v9i1.1-29. bachtiar, a. y., perkasa, d. h., & sadikun, m. r. (2016). peran media dalam propaganda. jurnal komunikologi, 13(2), 78–89. brummet, b. (1995). kenneth burke’s symbolic trinity. philosophy & rhetoric, 28(3), 234-251. burhani, a. n. (2016). aksi bela islam: konservatisme dan fragmentasi otoritas keagamaan. jurnal ma’arif, 11(2), 15–29. burke, k. (1968). language as symbolic action: essays on life, literature, and method. berkeley, california, united states: university of california press. canel, m. j., & gurrionero, m. (2016). framing analysis, dramatism and terrorism coverage: politician and press responses to the madrid airport bombing. communication & society, 29(4), 133–149. https://doi.org/10.15581/003.29.4.133-149 cholid, c., choiriyati, w., & khazim, i. al. (2019). rhetoric narrative in prabowo national speech 2019. proceedings of the first international conference on administration science (icas 2019), 253-258. https:// doi.org/10.2991/icas-19.2019.52 conrad, c., & macom, e. a. (1995). re visiting kenneth burke: dramatism/logology and the problem of agency. 292 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) southern communication journal, 61(1), 11–28. https://doi. org/10.1080/10417949509372996 east, s., & miichi, k. (2019). urban sufi and politics in contemporary indonesia: the role of dhikr associations in the anti-‘ahok’ rallies. south east asia research, 27(3), 225-237. https://doi.org/1 0.1080/0967828x.2019.1667110 facal, g. (2020). islamic defenders front militia (front pembela islam) and its impact on growing religious intolerance in indonesia. trans: trans-regional and -national studies of southeast asia, 8(1), 7–20. https://doi.org/10.1017/trn.2018.15 foss, s. k. (2008). rhetorical criticism: exploration and practice (4th ed.). long grove, illinois, united states: waveland press. fra, & rha. (2019). jejak sukmawati: puisi azan hingga bandingkan nabi muhammad. retrieved desember 19, 2019, from cnnindonesia.com. website: https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20191118101751-20-449219/jejak-sukmawati-puisiazan-hingga-bandingkan-nabi-muhammad griffin, e. (2012). a first look at communication theory (8th ed.). new york, new york, united states: the mcgraw-hill companies. griffin, e., ledbetter, a., & sparks, g. (2019). a first look at communication theory (10th ed.). new york, new york, united states: the mcgraw-hill companies. hartelius, e. j. (2008). burke and the bard: a systematization of shakespearean influences in kenneth burke. review of communication, 8(3), 303–306. https://doi.org/10.1080/15358590802074761 herlambang, a. a. (2019). singgung ahok, berikut 4 poin isi pidato habib rizieq di reuni 212. retrieved desember 19, 2019, from ayosemarang.com. website: https://www.ayosemarang.com/ read/2019/12/02/48195/sing gung-ahok-berikut-4-poin-isipidato-habib-rizieq-di-reuni-212 lasswell, h. d. (1927). the theory of political propaganda. the american political science review, 21(3), 627–631. http://www.tandfonline. com/doi/abs/10.1080/15205430709337006 lee, a. m., & lee, e. b. (1939). the fine art of propaganda. in a. m. lee & e. b. lee (eds.), the fine art of propaganda. new york, new york, united states: harcourt, brace & company. 293political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) marshall, p. (2017). conflicts in indonesian islam. current trends in islamist ideology, 23, 122–139. marshall, p. (2018). the ambiguities of religious freedom in indonesia. the review of faith & international affairs, 16(1), 85-96. https:// doi.org/10.1080/15570274.2018.1433588 maya, s. (2019). akan datangi reuni 212, rizieq shihab masih terkendala visa saudi. retrieved desember 19, 2019, from tirto.id. wesbite: https://tirto.id/akan-datangi-reuni-212-rizieq-shihab-masihterkendala-visa-saudi-empj meidinata, n. (2019). rizieq shihab singgung pencekalan dirinya, #boikotboneka212 menggema. retrieved desember 19, 2019, from solopos.com. website: https://www.solopos.com/ rizieq-shihab-singgung-pencekalan-dirinya-boikotboneka212menggema-1030193 miller, k. (2002). organizational communication: approaches and processes (3rd ed.). belmont, california, united states: wadsworth. mojahedi, m. m. (2016). “is there toleration in islam?” reframing a post-islamist question in a post-secular context. reorient, 2(1), 51–72. https://doi.org/10.13169/reorient.2.1.0051 murphy, m. k., & harris, t. m. (2018). white innocence and black subservience: the rhetoric of white heroism in the help. howard journal of communications, 29(1), 49–62. https://doi.org/ 10.1080/10646175.2017.1327378 nastiti, a., & ratri, s. (2018). emotive politics : islamic organizations and religious mobilization in indonesia. contemporary southeast asia: a journal of international and strategic affairs, 40(2), 196–221. https://doi.org/10.1355/cs40-2b nawab, m., osman, m., & waikar, p. (2019). fear and loathing: uncivil islamism and indonesia’s anti-ahok movement. indonesia, 109(106), 89–109. power, t. p. (2018). jokowi’s authoritarian turn and indonesia’s democratic decline. bulletin of indonesian economic studies, 54(3), 307-338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918 pramono, m. f. (2018). phenomena of habib muhammad rizieq shihab. seminar serantau pendidikan tinggi islam (seipti), 843-854. 294 political propaganda, mass mobilization, and narrative of habib rizieq shihab in the akbar 212 reunion ilham fariq maulana al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 2, july – december 2020, pp. 251 294, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i2.2327 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) prayoga, r. (2019). panitia berharap habib rizieq hadiri reuni akbar 212. retrieved desember 19, 2019, from antaranews.com. website: https://www.antaranews.com/berita/1177392/panitia-berharaphabib-rizieq-hadiri-reuni-akbar-212 pribadi, y. (2018). identity contested: cultural resilience in the midst of islamization of politics. al-jami’ah: journal of islamic studies, 56(2), 255–280. https://doi.org/10.14421/ajis.2018.562.255-280 sproule, j. m. (1994). channels of propaganda. bloomington, indiana, united states: edinfo press & eric. suparno, b. a. (2011). pentad analysis dalam dramatisme kenneth burke. in a. ishak, f. junaedi, s. budi hh., a. prabowo. (eds.), mix methodology dalam penelitian komunikasi (dilengkapi dengan aplikasi metode penelitian). yogyakarta: asosiasi pendidikan tinggi ilmu komunikasi. taher, a. p. (2019). benarkah rizieq shihab dicekal saudi atas permintaan indonesia? retrieved oktober 29, 2020, from tirto. id. website: https://tirto.id/benarkah-rizieq-shihab-dicekal-saudiatas-permintaan-indonesia-eluf tsikata, p. y. (2019). a pentadic interrogation of yahya jammeh’s economic rhetoric of antiretroviral drugs: rhetorical motives and implications. howard journal of communications, 30(1), 23-37. https://doi.org/10.1080/10646175.2018.1423653 vit, j., & erlangga, a. m. (2016). human rights watch: kasus ahok adalah “kemunduran bagi demokrasi indonesia.” retrieved agustus 16, 2020, from vice.com website: https://www.vice. com/id_id/article/8qgg73/kasus-ahok-adalah-kemunduran-bagidemokrasi-indonesia west, r., & turner, l. h. (2017). introducing communication theory: analysis and application (6th ed.). new york, new york, united states: mcgraw-hill higher education. widiyanto, a. (2017). violence in contemporary indonesian islamist scholarship: habib rizieq syihab and ‘enjoining good and forbidding evil’. islamic peace ethics, 1, 87–111. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 daftar isi negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma dan theresia octastefani 1 24 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma 25 44 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution dan miswari 45 62 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda 63 86 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas 87 110 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar dan imam mujahid 111 124 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma keywords: dialectic, intrapersonal communication http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: ferryadhidharma@gmail.com abstract abstrak the dialectic of intrapersonal communication help us to understand several sides of metaphysics in the science of communication. at this level of communication, communication activities can be analyzed from the dialectic and the dialogue which is in monologue concept. objectivity of communicative action will be traced from intersubjectivity of each individual. in this article, the communicative action will be reviewed by a phenomenal figure of dimas kanjeng taat pribadi. by reviewing and studying at this level of communication, we will try to understand the construction of knowledge, attitudes, and the subjective actions of individuals that necessitate a distinctive or enchanting communication style when they communicate with others. dialektika komunikasi intrapribadi membantu kita untuk memahami sebagian sisi metafisika dalam ilmu komunikasi. pada komunikasi tingkat ini, aktivitas komunikasi dapat dilihat melalui dialektika dan dialog yang ada dalam konsep monolog. objektifitas dari tindakan komunikatif mampu ditelusuri dari adanya intersubjektifitas pada setiap individu. dalam artikel ini tindakan komunikatif dikaji secara khusus melalui tokoh fenomenal dimas kanjeng taat pribadi. dengan mengkaji dan mendalami level komunikasi intrapersonal yang terjadi, kita akan berusaha memahami konstruksi pengetahuan, sikap, dan tindakan subjektif dari individu yang meniscayakan gaya komunikasi yang khas atau mempesona saat berkomunikasi dengan orang lain. doi number 10.22515/ balagh.v2i1.483 kata kunci: dialektika, komunikasi intrapersonal 26 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal i. pendahuluan manusia, dalam posisinya sebagai makhluk sosial tentu terlibat dengan sejumlah aktivitas komunikasi yang bersifat dinamis. baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat, manusia mau tidak mau harus menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya yang melingkupinya. manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, memiliki keunikan masing-masing terkait dengan cara mereka dalam berkomunikasi. salah satunya dalam kajian komunikasi intrapersonal atau komunikasi dengan diri sendiri, dimana kajian masih dipandang terlalu subjektif dan tidak dapat diketahui kebenarannya oleh orang lain atau dinilai secara umum. subjektivitas dalam komunikasi intrapersonal memang tidak sepenuhnya selaras dengan definisi ilmu komunikasi yang diyakini kebenarannya oleh kebanyakan ahli komunikasi di dunia. secara terminologi, istilah atau kata komunikasi berasal dari kata latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal mula kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang serupa. komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dapat dianut secara sama (mulyana 2010, 46). untuk mendalami eksistensi kajian komunikasi intrapersonal, tulisan ini akan membahas poin penting dari teori tindakan komunikatif yang dicetuskan oleh habermas. sebagai pemikir dan pencetus teori tindakan komunikatif, habermas telah membagi rasionalitas dalam dua arah (tindakan nonkomunikatif dan tindakan komunikatif). tindakan non-komunikatif dikenal dengan rasionalitas instrumental, yaitu dorongan tindakan yang membawa konotasi kesuksesan diri atau mengambil keuntungan secara pribadi melalui disposisi informasi yang berlebihan dan adaptasi cerdas dengan kondisi lingkungan (dinsensus). sedangkan tindakan komunikatif lebih ditekankan pada tercapainya konsensus di antara peserta komunikasi. semua berusaha mengatasi perbedaan subjektif dan menjamin adanya kesatuan pandangan objektif dan intersubjektivitas pada pemikiran dan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 27 tindakan mereka (habermas 1984, 10). secara umum habermas membatasi tindakan komunikatif seseorang dari tujuan tindakannya. dalam hal ini ada pengakuan bahwa subjektivitas individu merupakan hal yang rasional dan menentukan dorongan tindakan non-komunikatif maupun komunikatif. pembagian dua tindakan yang dilakukan oleh habermas memunculkan pertanyaan bagi penulis, yaitu: apakah tindakan komunikatif memang diperuntukkan untuk komunikasi antar manusia saja (dua orang atau lebih) atau dengan kata lain apakah komunikasi intrapersonal bukan termasuk di dalam teori tindakan komunikatif ? untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting bagi tulisan ini untuk memperjelas letak subjektivitas manusia dalam konsep komunikasi itu sendiri. untuk memperjelas letak subjektivitas dari tindakan komunikatif, tulisan ini berupaya menganalisis teori tindakan komunikatif dengan fenomena dimas kanjeng yang terjadi di indonesia. dimas kanjeng terbukti dapat mempengaruhi banyak komunikan atau pengikutnya melalui pesona komunikasi yang dimiliki. asumsinya, tindakan yang dilakukan ini bukan hanya bersifat rasional instrumental, melainkan lebih jauh mengkomunikasikan sejumlah simbol guna mendukung objektivitas dari tindakan komunikatif yang dimaksudkan oleh habermas. dengan demikian, tulisan ini selanjutnya bermaksud untuk mengkaji literaturliteratur yang relevan dengan teori tindakan komunikatif guna menjelaskan peristiwa-peristiwa komunikasi yang dilandasi oleh disensus. ii. metode penelitian artikel ilmiah ini disusun dengan menggunakan metode studi literatur. analisis dilakukan tidak berdasarkan studi lapangan secara langsung, melainkan berdasarkan analisis kajian melalui sejumlah literatur, baik melalui sumber pustaka buku, jurnal, maupun sumber lain yang relevan dan mendukung. lebih lanjut, analisis dalam tulisan ini akan difokuskan pada kajian komunikasi intrapersonal; terkait konsep dialog, dialektika, 28 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal dan monolog yang meniscayakan konstruksi sosial dan mengarah pada pesona komunikasi seorang individu. secara khusus, kasus yang diambil adalah fenomena dimas kanjeng taat pribadi yang populer dalam waktu singkat dengan memanfaatkan konstruksi sosial melalui simbol-simbol komunikasi yang menjadi atribut sosial pada dirinya. iii. taat pribadi, pesona komunikasi dalam atribut sosial kita tak dapat memungkiri bahwa terdapat sejumlah orang yang mampu berkomunikasi dengan baik, dengan “bukan sekedar bicara”, tanpa mempelajari ilmu komunikasi. misalnya saja, fenomena dimas kanjeng yang baru-baru ini populer di media massa karena diketahui berhasil menipu banyak orang selama bertahun-tahun sebelum terbongkarnya kasus pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap pengikutnya sendiri. ini tentu dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua agar tidak mudah tertipu dengan simbol komunikasi yang digunakan oleh seseorang. perlu adanya penalaran dan dialektika intrapribadi bagi seseorang untuk memahami setiap simbol yang disampaikan oleh seseorang agar tidak mengandalkan penilaian umum sebagai referensi utama dalam memahami makna pesan yang simbolis. melalui uraian di atas, adanya pandangan umum tidak dapat dipisahkan dari budaya setempat. pada dasarnya ekspresi manusia yang rasional hendaknya memang memiliki sifat tindakan yang dimengerti oleh komunitas mereka, dimana aktor berhubungan dengan suatu pandangan objektif. kondisi validitas ekspresi simbolik tersebut mengacu pada latar belakang pengetahuan intersubjektif sebuah komunitas komunikasi. (habermas 1984, 13). khususnya dalam konteks budaya, ekspresi simbolis sebuah komunitas merupakan internalisasi secara turun-temurun. ketika ada anggota baru dalam sebuah lingkungan sosial, maka bukan hanya anggota – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 29 tersebut yang diminta untuk mengikuti ekspresi komunitas barunya, melainkan anggota komunitas yang lain hendaknya menghargai nilainilai yang dibawa oleh anggota baru dari pengalaman hidup di komunitas lamanya. hal ini dapat dijadikan sebagai penjelasan bahwa terdapat penghargaan terhadap nilai-nilai subjektif dalam tatanan sosial-budaya. jika sikap empati dan simpati ditiadakan, maka akan muncul kemungkinan terjadinya konflik sosial di antara mereka. sebab, pengalaman hidup seseorang berhubungan secara kontingen dengan keyakinan orang itu sendiri. asumsinya, semakin jelas tindakan seseorang yang sesuai dengan objektivitas terencana-rasional, maka semakin sedikit pula kita butuh pertimbangan psikologis untuk menjelaskannya. di sisi lain, ketika tindakan itu dilakukan secara subjektif, maka akan kurang optimal jika dinilai secara objektif (habermas 1984, 103). artikel ini lebih lanjut menelaah adanya subjektivitas komunikasi yang dilakukan oleh taat pribadi guna menganalisis bagaimana konstruksi dan presentasi diri yang dilakukan oleh taat pribadi. perhatian publik berhasil direbut setelah dimas kanjeng muncul sebagai aktor penggandaan uang dan dugaan pembunuhan berencana terhadap mantan pengikutnya. selain itu, dimas kanjeng juga dilaporkan beberapa mantan pengikutnya atas tuduhan penipuan yang bernilai ratusan juta hingga milyaran rupiah. nama dimas kanjeng baru ditambahkan oleh taat pribadi ketika sudah dikenal oleh masyarakat luas sebagai “orang sakti” dalam mendatangkan dan menggandakan uang secara misterius. gelar itu diberikan oleh ketua asosiasi kerajaan dan kraton indonesia (akki) (kompas.com 2016, 1). hal tersebut tentu saja dapat menguatkan keyakinan pengikut taat terhadap kisah raja-raja jawa terdahulu yang penuh dengan unsur mistis, baik secara tersurat maupun tersirat dalam dongeng, mitos, dan drama kolosal, seperti misteri gunung merapi serta angling dharma. pada dasarnya, muncul sebuah distorsi dari makna yang dilekatkan pada nama atau sebutan dimas kanjeng, di mana dimas kanjeng taat 30 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal pribadi justru lebih dikenal dengan uang gaibnya, dan bukan melalui garis keturunannya. sebuah realitas yang dengan sengaja diciptakan oleh taat pribadi melalui berbagai cara, salah satunya adalah aksi mengeluarkan uang dari balik jubah besar. selain itu, taat pribadi juga meyakinkan pengikutnya melalui ritual mistis seperti penarikan barang-barang gaib berupa emas, benda pusaka, perhiasan, dan lain sebagainya. sampai tulisan ini dibuat, masih banyak pengikut taat pribadi yang rela bertahan di tenda-tenda di sekitar padepokannya dan percaya bahwa taat tidak bersalah dan benar memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya—kanujela. mereka meyakini adanya ilmu ajaib taat berdasarkan pada apa yang telah dilihat, yaitu memindahkan ataupun mendatangkan benda secara gaib, meskipun telah diketahui oleh masyarakat luas bahwa barang-barang tersebut palsu dan didatangkan melalui trik yang menipu. segala atribut dan simbol yang digunakan oleh taat pun begitu meyakinkan, mulai dari penambahan gelar kanjeng, jubah, hingga singgasana yang dibuat menyerupai tempat duduk para sultan. sikap dan perilaku taat pun dikonstruksi layaknya seorang sultan yang sesungguhnya. selain dapat menunjukkan foto dirinya bersama pejabat-pejabat negara, taat juga beristri lebih dari satu seperti kebiasaan para raja. hal tersebut tentu dapat berpotensi menambah keyakinan pengikut taat yang sebelumnya sudah takjub dengan kemampuan taat mendatangkan uang. makna yang dibangun tersebut sangat kuat hingga memunculkan realitas dan kesadaran palsu bagi pengikutnya. taat pribadi terbukti mampu menyelaraskan keduanya sesuai dengan apa yang diekspektasikan, hingga semua pengikutnya—tidak terkecuali bagi mereka yang berpendidikan— sempat percaya pada satu kesimpulan bahwa taat pribadi wajib diagungkan. sejatinya ilmu komunikasi adalah ilmu yang dapat dipelajari oleh semua orang melalui interaksi sosial. pada hakikatnya, bayi tidak lahir dengan pemahaman yang jelas tentang siapa diri mereka. sebaliknya, seseorang akan mengembangkan diri pada proses komunikasi dengan orang lain. seperti saat mengimpor atau menginternalisasi perspektif – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 31 mereka sehingga mereka menjadi saling mengenali perspektif masingmasing dan siapa diri mereka (smith 1977, 42). tidak jarang misalnya, seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang baik akan dijadikan sebagai pemimpin opini dalam sebuah struktur sosial. kendati demikian, tidak semua pemimpin opini menggunakan pengetahuan dan keahlian komunikasinya untuk mencapai konsensus. ini relevan dengan pendapat gramsci mengenai “the notion of ‘the intellectuals’ as a distinct social category independent of class is a myth. all men are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function” (gramsci 1999, 131). penjelasan di atas dapat dimaknai bahwa manusia memiliki naluri untuk selalu belajar berkomunikasi dan mengenal satu sama lain. terkait hal ini, semua orang berpotensi memiliki keahlian dan menggunakannya, tetapi tidak semua orang menggunakan keahlian tersebut untuk kepentingan sosial. bahkan, tidak jarang ilmu pengetahuan digunakan untuk menghegemoni orang lain demi keuntungan pribadi seperti fenomena dimas kanjeng. merujuk pernyataan di atas, muncul adanya pesona komunikasi yang dimaksudkan sebagai konstruksi simbol-simbol komunikasi agar dapat berkomunikasi dengan “indah”. hal ini dapat dinilai sebagai keahlian atau kemampuan seseorang dalam berkomunikasi satu sama lain, yang mana membutuhkan waktu untuk mempelajarinya dengan selalu menggali potensi komunikatif yang ada di dalam diri. asumsinya, ketika saat ini perkembangan teknologi komunikasi telah berkembang sangat pesat dan banyak merubah sifat-sifat komunikasi itu sendiri, tetapi proses dialogis antar manusia akan tetap ada dan selalu ada dalam kehidupan seharihari. hal ini terjadi secara alami karena manusia tidak dapat lepas dari kontak dan konteks sosial, meskipun banyak aspek yang mungkin dapat berpengaruh terhadapnya. fokus pada kajian komunikasi, muncul istilah dramaturgi sebagai bentuk penyesuaian diri pada diri individu terhadap setiap lapisan 32 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal lingkungan yang ada di sekitarnya. dalam hal ini, terdapat sejumlah subjektivitas yang secara sengaja dikelola oleh aktor komunikasi agar tindakan yang diambil sesuai dengan apa yang diharapkan oleh audiens. sebelum aktor mengungkapkan sesuatu pada publik, aktor terlebih dahulu mengungkapkan sesuatu pada dirinya sendiri, yang mana merujuk pada pandangan subjektifnya. konsep dramaturgi ini berkenaan dengan pandangan erving goffman dalam teorinya mengenai presentational self. teori ini merupakan suatu metafora yang menjelaskan tentang bagaimana seorang komunikator mempresentasikan dirinya (littlejohn 2011, 101). lebih lanjut, teori ini menjelaskan tentang asumsi dasar bahwa setiap orang akan selalu memahami tentang setiap kejadian yang ada kehidupan sehari-hari sehingga adanya interpretasi dari situasi yang diciptakan merupakan pengertian dari situasi itu sendiri (littlejohn 2011, 101). dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap individu akan selalu memaknai—konstruksi pemahaman—setiap peristiwa yang pernah dialaminya, untuk kemudian dipahami ke dalam perilaku-perilaku dalam situasi tertentu. sebut salah satu contohnya adalah terkait pandangan-konsep formal memberikan dasar penilaian yang dibagikan oleh seorang agen dan penerjemahnya. penerjemah dapat menafsirkan tindakan rasional sedemikian rupa hingga mampu menangkap unsur penipuan atau penipuan diri. seseorang dapat mengekspos strategi laten karakter presentasi diri mereka dengan membandingkan muatan isi dari ucapan, yaitu tentang apa yang dikatakan dan dengan cara apa itu dikatakan. penafsir dapat lebih jauh lagi mengungkap secara sistematis terdistorsinya karakter pada proses pemahaman dengan menunjukkan bagaimana seseorang mengekspresikan diri secara subjektif, jujur, dan belum objektif dalam mengatakan sesuatu selain dari apa yang mereka ketahui (habermas 1984, 105). analisis uraian di atas, apabila dikaitkan dengan teori tindakan komunikatif, maka konteks dramaturgi ini tergolong sebagai tindakan rasional instrumental, dan bukan tindakan komunikatif. lebih jauh, tindakan ini juga dapat memungkinkan sebuah konsensus, meskipun – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 33 habermas sendiri telah setuju jika dramaturgi dimaksudkan sebagai model tindakan dialogis yang subjektif. merujuk pada pendapat plato, bahwa dialog pada dasarnya berhubungan dengan estetika kuno yang bersifat ideal. konteks estetika ini mengarah pada seni imitasi dari sebuah wujud. terkait hal ini, plato telah mengembangkan seni penalaran yang berusaha menjadi lebih dari sekedar seni, yaitu sebuah metode menangkap kebenaran dari subjek (nikulin 2000, 3). konkretnya, setiap orang pada dasarnya mampu terlihat mempesona ketika berdialog dengan orang lain sehingga perlu pemahaman tersendiri terkait bagaimana memahami gaya komunikasi setiap orang melalui proses penalaran dialog dengan tujuan untuk meminimalisir tindak persuasif negatif yang mungkin saja muncul. berkenaan dengan konsep di atas, taat pribadi merupakan sosok dengan pesona dan gaya komunikasi yang khas. hal ini terkait atribut sosial yang kemudian tersemat pada dirinya, citra diri, sampai pada pemunculan reputasi baik atas nama seorang taat pribadi. lebih lanjut, kekhasan dari komunikasi yang dilakukan juga dapat diberi muatan retorika politis— yakni hegemoni—bagi sejumlah orang. meminjam definisi heidegger, dunia adalah “that in terms of which human reality makes known to itself what it is” (sartre 1956, 104). subjektivitas seseorang berperan dalam menentukan segala kemungkinan yang akan didapatkan sebelum melakukan sebuah tindakan. selain itu, individu juga memegang kendali atas dirinya sendiri dalam membentuk sebuah kesadaran sosial. dengan demikian, konstruksi diri pada akhirnya dapat berubah menjadi konstruksi realitas dalam waktu sekejap. kendati demikian, realitas sendiri tidak serta merta diterima sebagai hal yang nyata terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. guna menganalisis hal ini, para filsuf dan pemikir kemudian mengidentifikasikan sejumlah pertanyaan mengenai "apa itu realitas dan pengetahuan?", "apa yang nyata?", dan "bagaimana hal tersebut diketahui?" (berger dan luckmann 1966, 13). muncul kebingungan dalam menyikapi mana yang benar dan 34 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal mana yang salah. sebagian dari alasan yang diungkapkan telah melalui penalaran, ada kemiripan dari mana yang benar dan mana yang salah. hal inilah yang kemudian terjadi pada konteks argumen. misalnya saja, ada sebagian orang memiliki fisik yang baik, sementara yang lain hanya memiliki kemiripan dengan itu, tetapi dengan memaksa diri mereka keluar dan berpenampilan seragam. kemudian, ada beberapa orang lain yang cantik karena kecantikan mereka sendiri, sementara yang lain memiliki kecantikan atau keindahan karena tipu daya mereka. begitu pula untuk benda mati. beberapa merupakan emas dan perak yang asli, sedangkan sebagian lagi tidak, tergantung respon dari indera kita. dengan cara yang sama penalaran dan sanggahan kadang-kadang nyata dan kadang-kadang tidak, tetapi terlihat nyata (aristotle 1978, 11). terkait hal ini, ada dua bentuk penalaran pada konstruksi realitas yang diciptakan oleh individu saat berkomunikasi. pertama, penalaran yang dilakukan oleh seorang ahli komunikasi, dan yang kedua adalah penalaran yang dilakukan oleh seorang yang bukan ahli komunikasi. ketika prinsip teori tindakan komunikatif habermas digunakan, maka konstruksi realitas yang ada hanya akan ditafsirkan sebagai tindakan rasional instrumental saja dan kurang mengindahkan aspek lain yang melingkupinya. pemaknaan simbolis dari tindakan ini bukan hanya lemah, tetapi juga meniadakan motif konstruksi seseorang dan sistematika konstruksi itu sendiri. prinsipnya, sebuah tindakan komunikatif justru akan dimulai dari tindakan rasional instrumental, di mana seseorang akan mengolah subjektivitasnya untuk meniscayakan objektivitas dalam komunitasnya. benar jika terdapat intersubjektivitas dalam tindak komunikatif yang dimaksudkan oleh habermas. kendati demikian, untuk mengetahui wujud kesepakatan tersebut, perlu analisis lebih jauh terdapat subjektivitas yang lebih dominan dari subjektivitas lainnya, terutama dalam produksi dan sosialisasi makna normatif pada proses serta tindakan komunikasi yang dilakukan. peran individu dalam interaksi sosial sendiri bersifat mutlak. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 35 perwujudan konsensus dengan diri sendiri juga diperlukan untuk mencapai konsensus dengan orang lain atau masyarakat umum. prinsipnya, sebuah konflik tidak akan mungkin statis atau selesai jika persatuan tidak bangkit melawan dirinya sendiri. jauh dari perjuangan, ketika ini muncul, ada di dalamnya, ini adalah kesatuan yang memungkinkan. tidak hanya kesatuan ini mewakili ikatan intim antara masing-masing pihak dan kelompok, juga merupakan makna dari relasi antagonis itu sendiri (sartre 1991, 67). berdasarkan pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa ketika individu memainkan peran yang berbeda dengan konsep kebenaran yang dimiliki, maka individu tersebut telah berkomunikasi dengan diri sendiri untuk menentukan tindakannya. bukan hanya untuk mencapai konsensus, melainkan juga disensus agar dirinya aman dan tidak dikucilkan selama semua subjek sepakat untuk mengakhiri konflik secara objektif. adapun konteks pesona dan kedewasaan komunikasi seseorang tidak serta merta hadir karena pengaruh komunitas tutur. dalam hal ini, seseorang memiliki kemampuan untuk berdialog dan berdialektika dengan dirinya sendiri sehingga melalui kemampuan tersebut, seseorang memungkinkan dirinya sendiri untuk mencapai sebuah disensus dan konsensus dalam satu rangkaian tindakan rasional. lebih khusus, terkait dialektika yang digunakan, ini dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk mencari kebenaran melalui pemikiran pribadi, di mana seseorang dapat melatih pemikirannya agar tidak melakukan tindakan yang salah. lebih jauh lagi, dialektika ini akan berguna dalam menentukan sikap dan tindakan seseorang di dalam pergaulan sosial, yang sangat dialogis dan dinamis. iv. monolog: dialektika dan dialog sejauh ini, kajian monolog lebih kerap dikaitkan dengan pertunjukan seni-budaya, yang mana mengarah pada proses verbal atas peran seorang aktor tanpa lawan main. berbicara sendiri, mbatin, maupun bergumam, bisa jadi merupakan beberapa contoh dari konteks monolog yang dimaksud. 36 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal meski konteks monolog dapat dikatakan kurang mendapat perhatian— dibandingkan dengan dialog—dalam kajian ilmu komunikasi, tetapi di satu sisi, monolog sendiri sebenarnya merupakan bentuk komunikasi intrapersonal yang dilakukan setiap individu dan dapat diwujudkan dalam tindakan yang bersifat objektif. beralih pada tindakan komunikatif, tindakan ini mengarah kepada hubungan komunikasi dan tindakan di antara paling sedikit dua orang atau lebih yang membentuk hubungan interpersonal (baik dalam arti verbal maupun ekstra verbal). dalam hal ini ada usaha dari aktor untuk mencapai sebuah pemahaman tentang situasi tindakan dan rencana tindakan yang akan dilakukan agar tindakan tersebut selaras dengan cara yang telah disetujui (nuris 2016, 54-55). terkait pemahaman di atas, apabila komunikasi intrapribadi atau monolog dianggap sebagai tindakan non-komunikatif, maka anggapan tersebut secara otomatis meragukan validitas dari objek yang dihasilkan dengan adanya intersubjektivitas dalam komunitas tutur. guna menelusuri validitas dari monolog, ilmu komunikasi dapat melibatkan disiplin psikologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji sifat-sifat manusia serta aspek psikis manusia dalam pengaruhnya terhadap tindakan komunikasi yang dilakukan. ada kemungkinan untuk memahami bahwa monolog bisa membangun ikatan yang dekat dengan seseorang. kendati demikian, hal tersebut merupakan hasil yang tidak terduga bahwa monolog, untuk tingkat yang sama seperti dialog, juga dapat menjadi sumber dukungan, harapan, makna hidup, dan perasaan aman, meskipun ditujukan pada pendengar yang diam. untuk mencoba menjelaskan fakta ini, seseorang dapat mengajukan hipotesis interpretatif bahwa monolog memenuhi metafungsi dalam situasi di mana itu adalah satu-satunya, atau jelas berlaku, maupun bentuk kegiatan dialogis intern yang diambil (puchalska-wasyl 2010, 76). dengan kata lain, jika seseorang mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam sebuah dialog batin yang mengandung sumber dukungan yang lebih khas, maka ia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan ini – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 37 dengan berbicara pada pikirannya, seakan-akan orang lain mendengarkan dan memahami apa yang sedang dibicarakan dengan dirinya. pendapat di atas menunjukkan pada kita bahwa terdapat dialog di dalam monolog itu sendiri. dialog yang terjadi akan mencapai derajat yang sama ketika seseorang mampu membayangkan dirinya sendiri sebagai komunikator dan komunikan pada saat yang sama ketika melakukan komunikasi intrapribadi. masih terkait monolog, berkomunikasi dengan diri sendiri nyatanya juga berguna untuk meyakinkan diri sendiri terhadap simbol maupun argumen yang disampaikan oleh orang lain kepada kita. kita mungkin memiliki eksistensi dalam berdialog sebagai makhluk yang berkomunikasi satu sama lain, di saat kita berbicara dengan orang lain. kendati demikian, ketika kita sampai pada satu kesimpulan dengan menerima dan menolak beberapa argumen orang lain, maka kita telah menggunakan metode yang lengkap, yakni rangkaian metode penalaran tradisional yang disebut dengan dialektika. dalam konteks ini, seseorang dapat menggunakan dialektika di dalam dialog yang dilakukan, ataupun tidak menggunakannya, dan dapat juga menggunakannya di luar dialog (nikulin 2000, ix). mempelajari perilaku komunikasi, baik yang berkenaan dengan dialog, monolog, maupun dialektika, pada dasarnya memang diperlukan untuk memahami mekanisme perilaku sosial. apakah kemudian mekanisme-mekanisme yang terlibat dalam transaksi interkasi atau mereka memungkinkan pola yang lebih gigih pada organisasi sosial. hal ini terjadi karena individu-individu yang berpartisipasi dalam interaksi sosial dan memiliki hubungan abadi satu sama lain, tidak dapat melakukannya tanpa sejumlah informasi yang memadai. banyak dari informasi ini dibagikan melalui perilaku yang khusus agar menjadi informatif (smith 1977, 458). pada hakikatnya, manusia memiliki perasaan dan pikiran, yang mana setiap hari akan berdialog secara kontingen untuk menentukan sikap dan tindakannya. harmonisasi dari keduanya menjadi penting agar dapat menghasilkan sikap yang sesuai dengan norma-norma yang ada 38 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal di masyarakat. konsep inilah yang secara tidak langsung merujuk pada bentuk sistem kebaikan manusia yang ada dalam pikiran, sikap, dan tindakannya. manusia dapat menentukan apa yang ingin dilakukan setelah berkomunikasi dengan dirinya sendiri. konteks ini merupakan bentuk komunikasi yang khas, dan meniscayakan sistem kebaikan yang berbeda pada tiap individu. terkait pemahaman di atas, aspek budaya di sisi lain juga memiliki peran yang kuat dalam menentukan tindakan individu. hal ini dapat dilihat dari penjelasan pierre bourdieu (1977, 163) berikut: one of the effects of the ritualization of practices is precisely that of assigning them a time -i.e. a moment, a tempo, and a duration -which is relatively independent of external necessities, those of climate, technique, or economy, thereby conferring on them the sort of arbitrary necessity which specifically defines cultural arbitrariness pierre bourdieu menambahkan bahwa setiap peraturan yang dibuat dalam sebuah komunitas cenderung menghasilkan (derajat yang sangat berbeda dan dengan cara yang sangat berbeda) naturalisasi yang berdasar pada kesewenang-wenangan pribadi. semua mekanisme yang dibuat cenderung menghasilkan efek ini; yang paling penting dan yang terselubung dengan baik adalah kepastian dialektika pada tujuan yang objektif dan aspirasi agen, dari mana muncul pembatasan makna, yang biasa disebut dengan makna realitas atau korespondensi antara kelas objektif dan kelas yang diinternalisasi, struktur sosial dan struktur mental, sebagai dasar bentuk kepatuhan yang paling bisa dihilangkan dengan tatanan yang dibuat (bourdieu 1977, 164). pengalaman yang muncul akibat adanya konstruksi realitas inilah yang disebut sebagai doxa. pandangan ini melekat pada semua masyarakat sebagai kebiasaan dalam kehidupan sosial. ini tentu berbeda dengan keyakinan ortodoks maupun heterodoks yang menyiratkan kesadaran adanya perbedaan pandangan dan keyakinan dalam diri seseorang. beberapa penjelasan mengenai tindakan yang disebut oleh habermas sebagai tindakan normatif, atau yang disebut oleh borudieu sebagai doxa, – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 39 telah disertai dengan penjelasan mengenai subjektivitas dari anggota masyarakat. jika habermas menyebutnya sebagai tindakan rasional instrumental, maka bourdieu menyebutnya dengan keyakinan ortodoks dan heterodoks. namun demikian, kedua tokoh ini sama-sama menyadari bahwa terdapat peran dari setiap subjek komunikasi, meski dalam lingkup antagonis sekalipun. pada dasarnya, setiap individu dapat saling menilai diri satu sama lain. ini berkenaan dengan tindakan komunikasi sebagai akibat dari adanya stimulus yang kemudian dipersepsikan sebagai identitas diri pada masing-masing individu. giddens menyebutkan bahwa identitas diri melibatkan kesadaran kognitif untuk “menjadi manusia” dan bukan hanya menjadi aktor refleksif, tetapi lebih jelas adalah untuk memiliki konsep sebagai manusia (hill 2007, 48). selanjutnya, gross menyebutkan hal ini sebagai konsep diri, di mana konsep diri individu umumnya memiliki tiga komponen utama, yaitu: citra diri, harga diri, dan diri yang ideal. adapun citra diri berada pada tingkat persepsi, sedangkan harga diri terletak pada sikap evaluatif pada diri sendiri, dan diri yang ideal merupakan keinginan untuk menjadi pribadi yang diidamkan (hill 2007, 48). menilik pada kasus taat pribadi, sosok diri yang identik dengan kemewahan, gelar kerajaan, kesaktian dan unsur mistis, sampai pada predikat palsu yang kemudian mengubah kehidupannya secara sekejap, merupakan bentuk konstruksi sosial sebagai bagian dari persepsi masyarakat terhadap apa yang telah dicitrakan pada dirinya. citra taat pribadi pada awalnya merujuk pada sosok yang terhormat yang kemudian disegani banyak orang, terutama bagi orang-orang yang kemudian menjadi pengikutnya. terlebih, atribut sosial mengenai gelar kerajaan yang telah disematkan pada dirinya semakin mendukung image seorang taat pribadi pada saat itu. terkait penjelasan di atas, adapun citra ataupun konsep diri juga berkaitan dengan konsep kebenaran yang telah dijelaskan oleh aristotle. contohnya adalah ketika terdapat sebagian orang cantik karena memang cantik, dan ada orang cantik karena mencoba untuk terlihat cantik sehingga 40 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal dipersepsikan cantik oleh orang lain. lebih lanjut, ketika seseorang berdialektika dengan dirinya sendiri, maka orang tersebut akan mengetahui kebenaran dari citra dirinya. lebih dari itu, dialektika dipandang mampu mengakomodasi sikap evaluatif seseorang untuk menghargai diri sendiri dan orang lain, dan juga menjadi pribadi yang lebih baik sesuai apa yang diinginkan. dialog dan dialektika bersifat pararel, di mana keduanya mampu lebih memperdalam pemahaman seseorang mengenai subjek dengan mempertimbangkannya dari berbagai sisi. seseorang misalnya, bisa saja mampu melanjutkan apa yang dipertanyakan dan dijawab. namun, setelah masalah atau topik dapat diidentifikasi dalam sebuah dialog sekalipun, plato mengemukakan itu sama sekali tidak menjamin bahwa diskusi akan berakhir dengan kesepakatan, apalagi dengan kesimpulan (nikulin 2000, 5). baik keduanya (dialog dan dialektika) akan terjadi ketika seseorang melakukan monolog. dalam monolog, seseorang akan berdialog dan berdialektika dengan dirinya sendiri untuk mencari kebenaran. proses ini akan terus terjadi selama manusia itu masih bisa berpikir. jika dialog dan komunikasi masih dititikberatkan pada terciptanya konsensus, maka dialog dan dialektika dalam monolog berusaha untuk mewujudkan tujuan tersebut. dengan demikian, penting bagi akademisi ilmu komunikasi untuk mempublikasikan tata cara bermonolog yang baik dan benar, agar setiap pembaca dapat mempelajarinya. guna menentukan sikap, seseorang perlu mengevaluasi tindakan yang dianggap benar, sedangkan norma-norma subjektif datang dari adanya kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh, yang mana dapat dipengaruhi oleh orang lain. sikap dan norma-norma subjektif tersebut pada akhirnya membentuk maksud dari tindakan yang akan dilakukan. terkait hal ini, adanya tindakan seseorang tentu sangat berpengaruh pada hubungan yang terjalin. perlu ditegaskan bahwa semua bentuk hubungan melibatkan komunikasi di dalamnya, termasuk hubungan manusia dengan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 41 tuhannya. artinya, perlu ada tindak komunikasi yang baik agar hubungan yang sudah terjalin tetap harmonis. analisis lebih lanjut, klaim benar atau salah adalah tergantung pada hal itu sendiri, yang mana harus dapat dibuktikan kebenarannya oleh sarana dan metode dialektika. menurut pengembang retorika, klaim atas kebenaran adalah jika pembicara dapat membuat sesuatu hal tampak kuat dan meyakinkan. berbeda dengan anggapan shopistic bahwa kebenaran dapat diperoleh dengan berbagai cara, sebut saja seperti mengasingkan, membingungkan, dan akhirnya menaklukkan yang lain. sebenarnya diskusi dialektika sendiri tidak bertujuan untuk menang secara pribadi, tetapi justru pada kebenaran antarpribadi (nikulin 2000, 18). proses pencarian kebenaran dalam dialektika paling sesuai dengan hakikat komunikasi. keduanya meniscayakan kesepahaman bersama, pemahaman bersama, dan kebenaran yang diyakini secara bersama-sama. titik perbedaan dengan retorika jelas terletak pada tujuan komunikasi yang dilakukan. jika dimasukkan dalam komunikasi intrapersonal, maka dialektika secara meyakinkan mencari relasi kebenaran di antara kemampuan dan harapan, sementara retorika lebih berpotensi untuk menjadikan diri atas perlindungan kamuflase yang bukan sebenarnya. dialektika dalam monolog pada akhirnya dapat meniscayakan pribadi yang selalu berusaha menjadi lebih baik. proses evaluatif ini terjadi setiap saat ketika berdialektika dengan diri sendiri. evaluasi tindakan dapat didasarkan pada kepercayaan normatif dan kepercayaan subjektif. dengan demikian, tidak menutup kemungkinan untuk memperjuangkan nilai-nilai subjektif yang dianggap benar, dengan cara yang benar. secara praktis, adanya kepercayaan atau apapun kebenaran yang diyakini nantinya akan membentuk sikap dan perilaku. setiap komunikator atau komunikan akan tahu pada saat apa mereka bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat, dan pada saat apa mereka bertindak sesuai dengan subjektivitasnya. 42 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal v. kesimpulan komunikasi intrapersonal sebagai level awal dalam proses komunikasi memperlihatkan peran yang kuat pada diri individu melalui subjektivitasnya dalam membentuk dan mencapai objektivitas level komunikasi. dalam hal ini, individu dalam kelompok atau organisasi memiliki ekspresi yang rasional dan subjektif. ada peran yang dimainkan oleh komunikator dan komunikan ketika berkomunikasi satu sama lain. hal inilah yang kemudian dapat berbentuk pesona yang sengaja diciptakan oleh individu guna memikat dan menanamkan kesamaan makna pada audiensnya. layaknya fenomena dimas kanjeng yang terjadi di indonesia, objektivitas yang dihadirkan sebenarnya merupakan subjektivitas taat pribadi yang diolah secara mapan dan persuasif. kemampuan atas tindakan komunikasi taat pribadi merujuk pada proses retorika dan persuasi yang dilakukan untuk bermain pada tingkat psikologis para pengikutnya hingga menguntungkan taat pribadi secara sepihak atau disensus. terlebih, muncul konstruksi sosial atas citra taat pribadi, terutama melalui sejumlah atribut sosial yang melekat pada dirinya sehingga semakin memperkuat cara taat pribadi dalam mencitrakan dirinya di mata masyarakat. mengenai konteks disensus, lebih lanjut tidak selamanya merujuk pada tindakan subjektif yang berkonotasi negatif. dalam simpulan terkait dialektika intrapribadi, seseorang dapat mengenali dan mengaplikasikan sistem kebaikan yang ada pada dirinya sehingga tindakan komunikatif yang diambil tidak merugikan orang lain. lebih lanjut, terkait saran penelitian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan terhadap penelitian selanjutnya, terutama dalam menganalisis tentang konsep dialog, dialektika, dan monolog, sebagai bagian dalam level komunikasi intrapersonal agar lebih menarik untuk ditelaah kembali. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 43 daftar pustaka aristotle. 1978. on sophistical refutations. trans. e. s. forster. cambridge: harvard university press (loeb classical library). berger, l. peter, & luckmann, thomas. 1966. the social construction of reality. england: penguin group. bourdieu, pierre. 1977. outline of a theory of practice. trans. richard nice. great britain: cambridge university press. faisol, ahmad. 2016. gelar raja nusantara untuk dimas kanjeng taat pribadi. jakarta: kompas.com. diakses dari http://regional. kompas.com/ read/2016/10/06/11410041/gelar.raja.nusantara.untuk.dimas. kanjeng.taat.pribadi, tanggal 20 november 2016 pukul 16.00 wib. gramsci, antonio. 1971. selection from the prison notebooks, first edition. trans. quintin hoare and geoffrey smith. new york: international publishers. habermas, jürgen. 1984. the theory of communicative action volume one: reason and the rationalization of society. trans. thomas mccarthy. boston: beacon press. hill, anne, watson, james, et.al. 2007. key themes in interpersonal communication: cukture, identity and performance. poland: the mcgraw hill companies. littlejohn, stephen w., dan foss k. a. 2011. theories of human communication. tenth edition. albuquerque. new mexico: wadsworth publishing company. mulyana, deddy. 2010. ilmu komunikasi: suatu pengantar. bandung: remaja. nikulin, dmitri. 2000. dialectic and dialogue. california: stanford university press. nuris, anwar. 2016. “tindakan komunikatif: sekilas tentang pemikiran jürgen habermas”. al-balagh. 1, 1: 39-66. puchalska-wasyl, m. 2010. “dialogue, monologue, and change of perspective –three forms of dialogically”. international journal of dialogical science. 4, 1: 67-79. sartre, jean-paul. 1956. being and nothingness. new york: washington square press. _______. 1991. critique of dialectical reason volume ii (unfinished): the intelligibility of history, arlette elkaïm-sartre, eds. trans. quintin hoare. london: verso. 44 | ferry adhi dharma – dialektika komunikasi intrapersonal smith, w. john. 1977. the behavior of communicating an ethological approach. usa: harvard university press. islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin miftahur ridho* institut agama islam negeri samarinda keywords: islamism; kammi; student organizations https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh correspondence: e-mail: sinka.ilyasin2010@gmail.com *miftahurridho@gmail.com abstract this paper aims to explain the role of kammi (kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesia/ the indonesian muslim university students action union) in universities in east kalimantan in shaping the political dynamics among students in university settings. utilizing a qualitative approach to analyze data collected through interviews with members of kammi in samarinda, findings reveal that kammi’s main strategy to maintain its’ islamist ideology consists of three distinctive steps: 1) introducing kammi to potential members in high schools via vacation trip program (rihlah), 2) recruiting members during admission time via personal approaches, and 3) maintaining solidarity by utilizing small circle study groups. in the first two steps, kammi would introduce potential new members with personal holiness, which aims to guard the students' morality. in the third phase, members would be familiarized with the concept of “muslim negarawan,” in which they are asked to view their campus as a political arena of competition for power. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 358 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak artikel ini bertujuan untuk menjelaskan peran kammi (kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesia) dalam membentuk dinamika politik di kalangan mahasiswa di kalimantan timur. menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis data yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan sejumlah anggota kammi di samarinda, hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi utama kammi dalam mengomunikasikan ideologi islamis mencakup tiga langkah utama: 1) memperkenalkan kammi kepada calon mahasiswa di sekolah menengah atas melalui program karyawisata (rihlah), 2) merekrut anggota selama masa penerimaan mahasiswa melalui pendekatan personal, dan 3) memperkuat solidaritas di kalangan anggota melalui penerapan kelompok belajar kecil yang eksklusif. pada dua langkah pertama, kammi memperkenalkan gagasan tentang pentingnya kesalehan pribadi untuk menjaga akhlak. pada langkah ketiga, para anggota akan diperkenalkan dengan gagasan “muslim negarawan” di mana pada tahap ini mereka akan diminta untuk melihat kampus sebagai arena politik untuk memperebutkan kekuasaan. kata kunci: islamisme; kammi; organisasi kampus how to cite this (apa 7th edition): ilyasin, m. & ridho, m. (2021). islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 6(2), 357–384, https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 introduction islamism refers to the politicization of islam as religion into an ideology of power relation. as a religion, islam is considered a frame of reference about relating to god and performing rituals regarding such ties. at some points, islam as a religion also concerns how to build a harmonious social interaction among people in society. islamism, however, emerged from islam. even though principal differences exist between them, they share several similarities (tibi, 2010). 359islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) revealed during a particular period in a specific place, islam consists of teachings that perfectly correspond to such particularity. however, the rapid expansion of islam soon after the prophet muhammad passed away created tensions about the ideal power configuration among muslims and non-muslims. muslims after the prophet then had to creatively interpret the qur’an to give appropriate responses to the social realities of their time. this dynamic can still be found among muslims in today’s modern world (rahman & moosa, 2000). separation of islam and politics is not applicable during the prophet’s lifetime, as the prophet was the leader of the religion and the ruler of the state. thus, the prophet’s political actions were recognized as a matter of religious importance. without any potential contradiction between the prophet’s power as head of state and religion, islam’s early years demonstrate an attempt to foster organic solidarity among muslims. interestingly, the prophet led the newly formed islamic community in the city of medina in a manner that was conscious of the city’s pluralism. the prophet muhammad made an agreement uniting all of medina’s inhabitants into a single larger community comprised of muslims, jews, and christians (jani, harun, mansor, & zen, 2015). this type of agreement resembles what we would today call a state constitution, or more precisely, a secular state constitution. soon after the time of the prophet muhammad’s leadership, tensions arose regarding authority in the newly born islamic community. therefore, the early caliphs in the islamic community faced challenges from those who disregard the authority of the caliph to rule. however, the prophet was ahead of the state while at the same time the head of the religion, literal and clear teachings on political authority were not set clear. the newly born islamic community was left to decide through a simple mechanism to choose leaders. this, in many ways, has led to the early division of islamic society in which two sects emerged; the sunni and shiite (louër, 2020). 360 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) however, rapid territorial expansions made possible by the spirit of jihad in its militaristic nuance have led muslims of the time not to overthink authority since wars of expansion were preoccupying them. at that time, muslims successfully built a giant locality of islamdom. the exercise of power through culture was made possible by promoting “… the building of expansive patterns of connectedness” (salvatore, 2010). in this context, the course of power accumulation in the muslim world was not enhanced by occupying religion to replace it by creating the state but by increasing the interconnectedness between the two. the turn of the twentieth century, however, turned the table. territorial expansions started in the early day of the islamic caliphate in the arabian peninsula were eventually halted by the rapid modernization in western europe, especially in terms of military capacity. the conquerors became conquered. the muslims lost their conquered foreign land one by one until the muslim lands became objects of conquest by the newly modernized european troops. the caliphate’s fall in the early decades of the twentieth century finally sealed the fate of the once superior muslims (barkey, 2014). unable to turn back the table militarily, muslims, especially in the former center of power, sought other ways of defending islam’s dignity and the umma, the muslim community. during this period of history, the seeds of islamism in its modern sense emerged. both capitalism and socialism are social products that emerged as a distinct conception of what an ideal society in the modern world should look like. when islamic teachings of the perfect community met those ideologies, a host of sub-ideologies about other synthetic forms of ideology resulting from the melting off of such thinking about ideal society emerged. in this context, islamism started to secure a footing ground for its future expansions. since all of these are relatively new phenomena compared to islam as a religion per se, the ideology of islamism could 361islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) safely be categorized as a modern phenomenon (pfadenhauer & berger, 2013). islamism, or political islam, relates closely to the change in demographic composition in many muslim countries. a large cohort of young population that, despite their relatively high education, find themselves on a margin of society. such feeling of being marginalized produces social frustrations articulated around social divisions of class generation. it mainly happened after the failed experiment of global neoliberalism of the 1970s and 1980s that led to economic crises (pfadenhauer & berger, 2013). many muslim countries have found out that the social experimentations in the 1970s to mix islam with socialism ended with significant failure. however, the polarization of the world into two poles, the capitalists and the socialist’s blocs, really brought significant pressure for muslims around the globe to rethink and refine their perception about ideal society in which every person has equal opportunity to fulfill their life, including fulfilling religious and spiritual expectations (bayat, 2013; roy, 1998) regarding this, bayat (2013), for example, argues that during the 1980s and 1990s, when the majority of such social experiments failed, a sizable proportion of muslims in the muslim world began to doubt their long-held assumptions about islam’s capacity as a religious doctrine and muslims as social actors to bring about general social welfare. the majority of debates throughout this decade focused on the uncertainty between islamic ideas about social movements as advocated by most muslim leaders in muslim nations and those leaders’ capacity to implement such doctrines. since islamism relates closely to a younger cohort of muslim populations who have more education than their older generations, one of the most effective ways to seed and spread islamism were institutions 362 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of higher learning. in 1997, bayat argued that the 1950s witnessed the beginning of the mass migration of low-income families into urban centers all around the middle east and the third world. the impact of the migration had not come into being until the early days of the 1980s and 1990s when the second generation of those migrants, which are poor and disenfranchised, step in to challenge the current power relationship that exists in the structure of their society (bayat, 1997). in indonesia, a similar scenario existed too. following the end of the struggle for independence from the dutch and japan’s colonial ruler, the new republic witnessed widespread poverty among people, especially among the landless peasants and peasants with only a tiny share of lands of whom traditional muslims comprised a significant proportion. this situation provided a milieu that heated public discussions regarding how best to address social problems in the newly born nation. consequently, religious and secular ideas have had much to offer (zarkasyi, 2008). assuming indonesia as a purely secular country that adheres to liberal social values is somehow misleading because it emphasizes the importance of religion for the people (mujiburrahman, 1999). however, the indonesian state ideology, the pancasila or the five principles, prioritizes religion as essential for its development. however, demand for the implementation of sharia, lose the term might be interpreted, in indonesia as part of the constitution has been around since the very beginning of the country’s modern history through today such demands seem to gain more support (diprose, mcrae, & hadiz, 2019; hadiz, 2017). during the colonial era, islam was seen as a threat to the dutch government because it was perceived as a potential power that could cause political instability. any attempt to place islam as a potential political force thus would be met with severe responses. this is mostly because islam was perceived to bring about the idea of jihad, the holy war, against the non-muslim invaders of the dutch. 363islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) during colonial times, the dutch policy of non-interference exemplifies how muslims in the netherlands were permitted to practice islam as long as those teachings did not contradict the ruler’s political perspective. a similar policy was also followed during president sukarno’s tenure when various rebellions calling for the implementation of sharia broke out in the country. islam was regarded in much the same way as it was during the colonial era, according to the early post-colonial history of indonesia under president sukarno’s government (fauzia, 2013). the rise of suharto into national politics after he successfully dethrones president sukarno by taking full advantage of the failed attempted coup by the indonesian communist party in 1965 marked a shift in the dynamic interrelation between the state and islam in indonesia. about the position of islam in the country, seo argued that throughout most of history, islam in the country had been placed in an ambiguous situation. in one place, it is deemed necessary for the country’s overall development. on the other hand, it is also seen as a threat to the plural nature of the people of the country (seo, 2012). a closer look into the history of political configuration in indonesia reveals that since its inception as a modern state, the government has been promoting cultural islam and rejecting political islam. thus, the overall picture of indonesia reveals that the country has been pleased to position itself as a paradigm for a peaceful coexistence of islam and democracy. as the world’s fourth most democratic country and home to the world’s most significant muslim population, indonesia is a classic example of how islam and democracy coexist (bourchier, 2019). proponents of the islamic movement in indonesia during the early years of its inception were modernist muslims with relatively high levels of educational attainment. for this group, islam should not be alienated for the sake of anything, and secularization would only bring calamity for the people in general, not only for muslims. this argument was also 364 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) accompanied by other statements claiming for the right of the muslims in indonesia to rule according to sharia or islamic law since muslims considered themselves as having the largest share of the republic. the demand from muslim groups in indonesia during its early years was to make it mandatory for muslims in indonesia to adhere to sharia or islamic law. this demand was effectively articulated in seven additional words to the pancasila, the state official ideology. pancasila, for indonesian, is considered a primary source of values for life, and it contains five principles that all indonesian must revolve around (hefner, 2000). among those five points of pancasila is the principle of the oneness of god. during the drafting process of the indonesian constitution or the uud (undang-undang dasar), there were additional seven words after the phrase of the first principle, “the oneness of god.” those additional words read “and the obligations for muslims to practice sharia.” however, they were removed mysteriously from the constitution due to fear of losing the eastern part of the archipelago, where most of the population was christians. during president sukarno’s term in office, the demand for sharia (islamic law) to indonesian muslims escalated into armed conflicts. proponents of the implementation of sharia in the country felt that it was strange for a country with the largest muslim population not to implement the teachings of their religion. it was, therefore, the right of the muslims whether or not to implement sharia in the country. in the first election held in the middle of the 1950s, four parties had competed fiercely for seats in the parliament. this first election provides decisive evidence for indonesians that the word muslims was never free from political interests. despite the demographic composition of indonesia, in which almost 90 percent of its population are muslims, islam based party could only secure second and third position where the communist party secured fourth place. 365islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) during sukarno’s term in office, poor performance by islamic parties was exacerbated by sukarno’s policies that sought to limit their support bases even further. fully aware that indonesian people wouldn’t want socialism or capitalism, sukarno coined the term “marhaenism” as a modified version of socialism perceived to fit the situation of indonesian people (sirry, 2007). like the two islamic parties and the communist party, sukarno’s nationalist party also had an under-bow organization active in the higher education setting to attract the educated segment of the population to join his cause. this student wing, which later became gmni (gerakan mahasiswa nasional indonesia/national indonesian student movement), managed to attract students of socialist leanings. the gmni soon caught up in the middle of fierce rivalries with other parties’ student bodies, especially those with close relation to the islamist party of masyumi (partai majelis syuro muslimin indonesia). the rise of suharto onto power did not bring opportunity for islamic parties to grow. instead, suharto led indonesia into a long period of dictatorship where dissenting voices would be addressed with severe punishments. during this phase of indonesian history, only cultural islam could grow. muslims who adhere to a more political islam will be scrutinized and kept under the radar. since even the slightest political movement could face deadly consequences, many student movements based on university settings have no choice but to stay silent or face the wrath of the smiling general (heiduk, 2012; ufen, 2008). in the 1980s, loosening ties with the military that once fully supported him, president suharto started to embrace a more islamic way of living to attract widespread support from average traditional and modernist muslims. he set up the indonesian association of muslim intellectuals (icmi/ ikatan cendekiawan muslim indonesia) and even went to mecca to perform hajj (religious pilgrim) (barton, 2010). 366 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) after the collapse of suharto’s new order regime, many dissenting voices started to echo in the air. the opening of political opportunities provided a foundation for the future democratization project of the county. the student movement in indonesia during this particular period of history was vibrant. the overall atmosphere regarding the future of democracy in the country was at its best as webber called the country might mark the rise of “a new muslim democratic star in the far east” (abdulbaki, 2008; webber, 2006). especially for students with islamist leanings, the islamist party was like their second home since it provides room for reflections and testing ideas in a broader public setting. a young activist from islamist parties practically occupied student bodies in universities all around indonesia. the case of pks (partai keadilan sejahtera/ prosperous justice party) and kammi (kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesia/ the indonesian muslim university students action union) is worth noting when talking about the ideal relationship amongst students and between students and academic staff. in conclusion, we can safely assume that the perceived resurgence of the islamist movement in contemporary indonesia has more to do with the local repertoire of reasoning. instead of relying on the scripture, the rise of the islamist movement in the post-reform era of indonesia has been quite successful in implementing several sharia bylaws by referring such demands to local adat (customs or tradition), rituals, and memory of a more religious public space (alimi, 2014). the inferior performance of islamist parties in the election held in 2004 suggests that indonesian people did not even find it serious for an islamist party to enter a broader political arena of contestation. 367islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) methods this exploratory research tries to explain how kammi, as a student organization in east kalimantan, communicates and maintains islamist ideology in universities in this province. this objective is achieved by utilizing qualitative analysis techniques of data collected through interviews with members of student bodies in universities in east kalimantan. samarinda was chosen as a site for research because it is the capital city of east kalimantan province, where most public and private universities are located. this setting allows the researcher to make the case about the spread of islamist ideology among university students. results and discussion student organizations in east kalimantan in indonesia, university students had managed to capture the spotlight of the country’s politics when in 1998, together with many of the disenfranchised population, successfully toppled the authoritarian regime of president suharto. since then, many of the activists in the 1998 movement have now become officials in governments and play significant roles in shaping the overall shape of the indonesian politics. aspinal argues that the origin of indonesia student movement in the 90s can be traced back to similar movements in indonesia during the colonial period (weiss & aspinall, 2012). student bodies in universities in indonesia have always wanted to be independent. thus, they must not be regulated too tightly by the government. however, the government has always wanted to limit the potential of such bodies to have too much political power. this has effectively placed the university student bodies in a diametral position with the government. however, after successfully toppling the authoritarian government of suharto in 1998, the idea that student bodies should 368 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) remain in a diametral position to the government still exists (ubaedillah, 2018). student organizations can be categorized into two domains according to their source of funding, the intra-campus organization and the extracampus organizations. intra-campus organizations are student bodies that receive funding from the college budget, while extra campus organizations collect financing from sources other than the government. the relation between the two is dynamic since the same students run both types of student organizations. it means that if a student is a member of an intracampus organization, they may also be a member of an extra campus organization. even though both types of student organization operate within the same settings, strict differentiation regarding dual membership is practically nonexistent (somawinata, 2017). intra-campus organizations are part of the university structure to serve students’ extracurricular activity needs. it also provides an opportunity for students to exercise their organizational skills. located within the university’s internal network, intra-campus student organizations often influence the overall policy of the respected university where it operates. most importantly, intra-campus organizations have the opportunity to design programs of their own reasonably independently. in general, intra-campus student organizations can be divided into two categories, namely the ukm (unit kegiatan mahasiswa – student activity unit) and bkm (badan kegiatan mahasiswa – student council). ukm usually refers to student bodies whose primary purpose is to provide extracurricular activities in specific areas of interest such as sport, religion, and others. bkm, on the other hand, refers to student bodies whose main purpose is to represent students at the university level. extra campus student organizations, to some extent, are the extension of many social movements in society. those student organizations bring with them distinct ideologies. competitions among 369islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) those ideologies are inevitable since each ideology interprets an ideal world where everybody can live happily. however, within the university’s settings, competition among students from different organizational and ideological backgrounds occurs within the boundary of democratic mechanisms. different ideological orientations among student bodies, both intra and extra campuses, translate into competition in practical politics within their universities (ramdani, negara, & taufika, 2018). extra campus student organizations may adhere to religious values as stated in their names and organizations’ goals and adhere to secular ideology. however, almost all of them agree on the finality of democratic mechanisms of power distribution. even though they set many ambiguous criteria by which democratic mechanism is constantly evaluated and even challenged (arifianto, 2019), in this case, only gema pembebasan came from the newly dissolved and banned hizbut tahrir indonesia (hti now illegal) that secretly promotes the ideology of the caliphate (lufaefi, 2018). more specifically, extra campus student organizations in campuses across east kalimantan can be divided into those that place islamic values and norms as the basis of their movement and those that promote secular ideology as their basis. in the first camp, there are at least three significant organizations, namely pmii (pergerakan mahasiswa islam indonesia/ indonesian muslim student movement), hmi (himpunan mahasiswa islam/ association of muslim students), and kammi (the indonesian muslim university students action union). there are several extra-campus student organizations with more secular leanings in the other camp, such as lmnd (liga mahasiswa nasional untuk demokrasi/ national student league for democracy) and gmni (gerakan mahasiswa nasional indonesia/ indonesia national student movement). these two extra campus student organizations are known for their ideology of struggling against capitalism and neo-capitalism. they 370 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) have been an active force in shaping the fabric of indonesian politics since at least 1998 and 1953, respectively. hmi (association of muslim students) is the oldest among those many extra campus student organizations. established in yogyakarta in 1947, two years after indonesia announced its independence, hmi has been one of the most influential student organizations in the country. the second-largest extra campus student organization is pmii (indonesian muslim student movement). pmii was established on april 17th, 1960. pmii was initially established to be an organization for university students who affiliated structurally or culturally to the nahdhatul ulama (nu), the largest mass organization in the world (ensiklopedia nu, 2016). pmii is relatively more successful in the state islamic university system than in universities with no islamic leanings. however, as the ptkin (perguruan tinggi keagamaan islam negeri/ state islamic religious college), an indonesian higher education system that integrates general science and islamic studies, more and more students with no prior knowledge of islam enroll in the ptkin system, enriching the dynamics inside ptkin. this appears to be the future of indonesia’s ptkin system, and thus anticipating changes in the way religiosity is exercised among university students is fairly normal (afrianty, 2012). besides pmii and hmi, kammi (the indonesian muslim university students action union) is indonesia’s most recent extra campus student organization. established on march 29th, 1998, kammi establishment was a response from many indonesian muslim students towards the future of islam in indonesia, especially towards the end of islamic propagation (da’wah) in the country (fitrianita & ambarsari, 2018). historically, kammi was an extension of lembaga dakwah kampus (ldk campus preaching organization) in indonesia. it was established after fifty-nine ldks in malang, east java, in 1998. thus, in general, kammi members would proudly call themselves aktivis dakwah (activists of da’wah). 371islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) despite being the most recent extra campus student organization with islamic leanings in indonesia, kammi is relatively successful in competing with pmii and hmi in recruiting members in universities across the country. kammi is known for its reputation for winning intracampus student bodies. by putting its personnel in many intra-campus student organizations, kammi could influence campus policies, thus supporting the long-term vision of kammi to islamise indonesia from campuses. generally, kammi maintains a close relationship with a political party named pks (partai keadilan sejahtera – prosperous justice party) since they share the same ideology as the muslim brotherhood of hasan al-banna. thus, most kammi members’ alumni who later enter politics are more likely to join pks than any other political party. it is also safe to assume that most of the kammi members in universities share the same political platform as their pks counterparts, making indonesia a more islamic yet democratic country (surahman, 2018). kammi was popular in secular campuses early but had only a few grips on ptkin systems. most kammi members came from general science backgrounds (afrianty, 2012). however, today, kammi has secured a strong position within the ptkin system of uin (universitas islam negeri/ state islamic university), iain (institut agama islam negeri/ the state institute for islamic studies), and stain (sekolah tinggi agama islam negeri/ state islamic college or state islamic high school) across the country. kammi’s close relation with pks (partai keadilan sejahtera/ prosperous justice party) often led to the accusation that kammi is an islamist organization that wants to implement its version of islamic sharia in indonesia. kammi is one of the main actors in the context of student movements in indonesia that gave birth to the onset of democratization in indonesia in 1998. however, kammi’s willingness to utilize democratic 372 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) means of competition for power is based on its belief that muslims must rule indonesia since most indonesians are muslims (collins, 2004). even though kammi has made it explicitly clear that it is more of a moral movement than a political movement, its involvement in politics through pks signifies a different picture of the organization. this idea of securing political power via democratic means to create an islamic-oriented government means that kammi can be grouped into the islamist bloc. the strategy of communicating and maintaining islamist ideology on campuses in east kalimantan, extra campus student organizations compete to win votes for intra-campus student bodies. in doing so, they need members within their universities. in the hope of winning intracampus bodies, a sense of solidarity among the same members of an extra campus body is expected to translate into votes. thus, for many extra-campus student organizations, having a large number of members in certain universities means they can win more intra student bodies and exercise more influence on the university’s policies. among many extra campus student organizations with islamic attributes on their name, kammi is the only one consistent in preaching islamism or political islam. kammi members, as mentioned earlier, are proud to call themselves da’wah activists. this means that for members of kammi, doing the daily business of recruiting and training members is not very different from doing the holy task of da’wah (arifianto, 2019). infusing religious ideas, mainly islamism, into campus politics is somehow beneficial for kammi in general. by framing the organization as a means for university students to grow in devoutness, kammi can garner support from nearly every segment of the campus, particularly in the outside area of the ptkin system, where the majority of students have never attended previous intensive islamic learning, such as pondok pesantren (islamic boarding school). 373islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kammi is very enthusiastic in promoting itself as the guardian of the students’ morality in general. they pose western lifestyles as a threat to the islamic way of life. hence, it provides students with a simple choice: islam or western lifestyles. in fact, the most effective strategy of kammi for maintaining its’ existence and spreading its’ wingspans lies in its simplicity, its’ fairly simple way of looking the campus life. most of kammi’s programs fall within the daily life of muslims, especially muslim students. for example, they frequently host seminars on how to dress for female students, socialize between males and females in campus life, avoid courtships among different sexes in campus, and many other similar topics. however, once the students joined the organization, kammi would offer them political ideas of islamism, a much more serious topic. here, kammi in almost every campus in east kalimantan is consistent in sharing the same idea. the idea behind this strategy is simple. first, entice new students with the idea of becoming smart and pious, then, draw them with the idea of having political power to entice other students, in general, to become smart and pious. hence, most of the discussions for members with higher seniority levels are about how to wield political power to influence campus policies. operating in the same settings with other islamic extra campus student organizations such as pmii and hmi, kammi is always in constant competition to influence students in general. pmii and hmi are usually more liberal in their understanding of islam, thus offering fewer political islam topics. the two extra campus student organizations are generally against the idea of political islam or islamism. the political standpoint of both pmii and kammi had led them to be in diametral position vis a vis kammi in terms of ideological contestation. pmii and hmi are supporters of liberal democracy even though, to some extent, the two have different opinions about how such liberal democracy works in the context of indonesia. on the other hand, 374 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kammi resembles what most scholars call the post-islamist strategy of securing political power (bayat, 1997). however, kammi is not very well known for its transparency in propagating such a strategy. it is known for its’ exclusiveness when it comes to opening up about political standpoints on the relation between islam and democracy. for example, in mulawarman university (samarinda, indonesia), kammi has secured most of the intra student bodies and thus can undertake many campus-sponsored programs. generally speaking, most of those programs are infused with islamic values and norms. by infusing, and to some extent covering, the programs with islamic symbols, members of kammi who sit in intra campus student bodies expect that students, in general, would associate kammi with youth piety. to entice new students to become its members, kammi usually brands itself as an organization that suits the personification of smart and pious students. this alone can attract a large number of students to become members. however, this strategy usually works better on secular campuses. in many campuses that are well known for their islamic studies, kammi usually can only maintain not very strong grips. the reason is relatively simple; on those campuses, students are usually have undertaken previous studies on islam in madrasah, or islamic school thus are more familiar with islam and islamic lifestyle, even though only in its’ traditional sense. in iain samarinda, for example, kammi can only have a few members compared to those of the hmi and pmii. since most of the students who came to iain samarinda had previous learning on islam in madrasah or pesantren, they are not attracted too much to islamic symbolism brought about by kammi as its’ core branding strategy. they have already experienced islam in their previous study, thus looking for something different on their campuses. moreover, many of those students are also more familiar with traditional ways of being muslims, where they treat lecturers and instructors the same way they treat traditional kyai or ulema. 375islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in secular and islamic campuses, kammi must comply with democratic mechanisms of winning student votes for seats in the intracampus student bodies. this makes kammi apply different strategies for each of those settings. kammi is more successful in secular campuses because most students can easily be enticed with islamic symbols. thus, all it has to do is strengthen the brand of being the religious guardian of the students’ morality. in other parts, most students in islamic campuses in the province have already experienced forms of islam in their previous learning. they are more enticed to a different understanding of islam, such as liberal and progressive schools of thought that hmi and pmii generally offer. in general, kammi’s primary strategy for spreading its wings of islamism in islamic and secular campuses in east kalimantan consists of two main elements: promoting islamic morality and pious modern lifestyle; and utilizing a small-size study circle. solidarity among kammi members is maintained relatively well. there are always connections between existing members and alumni that link them together. for senior members of kammi who soon will graduate from campus, alumni provide information about job vacancies or opportunities to continue studying to master level. for junior and fresh members, alumni provide living examples of how kammi could successfully lead them to become pious successful people in their future lives. for kammi in east kalimantan, recruitment for new members begins even before the academic year on campus starts. alumni of kammi who work in many senior high schools as teachers usually introduce their lifestyle to the students. they would also give brief accounts on how to navigate successfully through university life since most of their students would likely end up being university students. some prospective university students come from sma it (sekolah menengah atas islam terpadu/ islamic integral senior high school), the 376 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) chance of becoming kammi members when they go to university is even higher. since many of kammi alumni work in such schools, they would entice their students to join kammi once they get admitted as university students. since for kammi recruiting, new members are also part of the holy task of da’wah, the incentive for doing so is comparatively more significant. when new student admission comes, members of kammi in the university would organize welcoming programs for potential members. they would make several recruiting points near admission offices in their campuses and offer help for students who work on their paperwork. these kammi members would also circulate brochures about the profile of kammi and its programs both at the national and local levels. in this period, many new students would join kammi, especially those new students who have previous encounters with kammi either in their previous schools or others. competition for new members among many extra campus student organizations is fierce during this time. members from different extra campus student organizations would challenge each other to get attention from potential new members. it is not very rare, therefore, that clashes between them occur. during the early days of the life of the new students on campus, kammi and other organizations would keep trying to recruit new members. for kammi, this is done by promoting islamic morality and pious modern lifestyle. new students are enticed to know more about how to dress and behave in campus life according islam as understood by kammi. in this regard, many new students would be exposed to reading materials that talk about such issues in popular language. on a few occasions, new students would be asked to join for a rihlah, kammi’s term for student trips, without them knowing that the real goal for such a vacation is to get introduced to kammi. this strategy is effective since new students usually feel that they have nothing to lose 377islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) by joining organizations. a member of kammi in one university in samarinda told me during an interview: “we were asked to join a student trip; all we knew was that trip is purely for vacation. however, at the end of the trip, we were asked to join kammi. since we don’t have a problem with kammi and we are comfortable with many of its senior members, we, then, decided to join” (interview, may 2019). kammi’s new members are demanded to behave islamically on campus. they are asked to represent piety in their way of life. this can be very challenging for new members who are young and curious about their new campus environment. when most other students can behave in a relatively more casual way, kammi members are obliged to tell themselves that such a way of life is not very islamic thus, they have to make sacrifices in order to maintain their piety. to overcome challenges brought about by the campus environment deemed un-islamic, kammi members use small circle study groups. each of these small study circles consisting of five to ten members is led by one senior member as a mentor. this mentor is responsible for instilling a sense of solidarity and belonging in new members. on the other hand, new members are demanded to respect their mentor and his/her decisions regarding the course of their small circle. issues discussed in this small circle study can be divided into two main topics. the first set of topics is issues regarding becoming a good muslim in general. it consists of how to pray properly, read the qur’an, pay the zakat, fast during ramadan, avoid zina, and courtship between different sexes, and other issues of the daily life of the students. on the other hand, the second set of topics is more complicated since it relates to issues of political islam. it consists of the issue of state-religion relation, islamic perspectives on political power and its distributions, and the like. 378 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in discussing these topics, a senior member will be tasked to be a mentor to guide the trajectory of the discussions. in this case, senior members upon whom the task is delegated may invite former members of kammi whose work is related to politics. the mentor then helps the members understand the former member’s points correctly. for new members, topics discussed in the small circle study are limited to the first topics. in general, the ultimate aim of small circle study for new members is to bolster their sense of belonging and solidarity. this objective is achieved by signifying the association between being members of kammi and being pious. thus, in the eye of new members, being a member of kammi means that they must try their best to become pious muslims first. many members of kammi interviewed during data collection revealed that this strategy of utilizing small study groups helped them become more pious and prosperous in their study. one informant, for example, said during an interview: “before i attended the study group, i used to wear a small veil just to cover my head merely and part of my chest, i used to dress like other girls in college. after attending a few sessions, i began to understand how to dress properly according to islamic teachings about veil for women. now i always wear long veil” (interview, may 2019). once the new members get used to issues of personal holiness, they would be introduced to issues of political islam. members would no longer be considered new members in this group of topics, but rather “members”. they must also pass various assessments in order to graduate from the status of new members. in this regard, not every new member will pass the assessments. kammi believes that campus should be a place to train future political leaders of the country. campus, therefore, should provide 379islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) democratic atmosphere where students can try real politics. having this in mind, after successfully training its members to become pious students, the next step to take is to win intra campus student bodies in campuses where they belong to. kammi members take this political game very seriously. for kammi, winning intra campus student bodies in their university means that it can influence the dynamic of campus life to be as ideal as possible according to its’ understanding of islamic statesman hood, or “muslim negarawan”. the ultimate aim of winning campus student bodies for kammi members is not for the sake of winning itself. instead, winning those intra campus bodies is an instrument to achieve the ultimate goal of islamizing campus life by crafting decisions that affect students in general. in this regard, kammi would subtly impose its’ version of islamic life upon students. for kammi members, justification for this is that since they win the student bodies democratically, they are the accurate representation of students thus, any decisions made are for the best interest of students in general. this mode of operation utilized by kammi members resembles islamist one. it starts with blurring the line between islam as a religion, thus sacred, and certain interpretations of islamic life, then proposing that supporting the latter means supporting islam therefore, doing otherwise would be considered opposing islam. since kammi self-proclaimed itself as a student body and a campus preaching organization, the first intra-campus student body it wants to secure is the intra-campus preaching body known as lembaga dakwah kampus (ldk/ campus preaching organization). in almost all campuses in east kalimantan, kammi is the main player, if not the only player, in such a preaching body. 380 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this gives kammi significant advantages over other extra campus student organizations, for the ldk is supposed to help the university guard the students’ morality from destructive influences from outside. however, the essential political benefits of securing intra-campus preaching bodies are that it gives kammi more significant opportunity to connect other intra-campus student bodies in the university. conclusion and suggestion conclusion extra-campus student organizations provide an ideological basis for students to compete for intra-campus student bodies seats. once intra-campus student bodies are secured, cycles of recruitment of new members for extra-campus student bodies and placements of members in intra-campus student bodies are undertaken repeatedly to ensure that a specific agenda of the extra-campus student body can be achieved. in universities in east kalimantan, kammi is perhaps the most successful extra campus student organization that leans very much to islamist ideology. operating in campus settings, members of the organization must comply with democratic mechanisms of the distribution of political power. in this regard, kammi utilizes several different strategies for different areas of contestations with other student organizations. kammi’s main strategy to maintain its’ islamist ideology can be divided into three distinctive steps, namely: 1) introducing potential university students in high schools via vacation trip program (rihlah), 2) recruiting new members during admission time in campus via personal approaches, and 3) maintaining solidarity by utilizing exclusive small circle study groups. in the first two steps, kammi would introduce potential new members with the idea of personal piety, which aims to guard the students’ morality from bad influences of western lifestyle. in the third phase of a small circle study group, members would be familiarized 381islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) with the idea of “muslim negarawan”, in which they are asked to view their campus as a political arena of competition for power. this is also considered as a way to train themselves for future political battles in a much more realistic setting. suggestion as digital natives, muslim university students tend to have fewer problems balancing fun appearance and religious commitment. such skill allows them to have much greater flexibility in preaching their belief to their fellow students in the vicinity of their campus and in their online life. therefore, it is fruitful for further research regarding islamic student movements to include similar movements organized through digital media. it will enrich our understanding of how certain islamic teachings, including those that fall within the ideological realm of islamism, spread among the young and educated population. eventually, it will also help us understand the intricate relationship between online and offline islamic movements in the contemporary world. references abdulbaki, l. (2008). democratisation in indonesia: from transition to consolidation. asian journal of political science, 16(2), 151-172. https://doi.org/10.1080/02185370802204099 afrianty, d. (2012). islamic education and youth extremism in indonesia. journal of policing, intelligence and counter terrorism, 7(2), 134-146. https://doi.org/10.1080/18335330.2012.719095 alimi, m. y. (2014). local repertoires of reasoning and the islamist movement in post-authoritarian indonesia. indonesia and the malay world, 42(122), 24-42. https://doi.org/10.1080/13639811. 2014.884315 arifianto, a. r. (2019). islamic campus preaching organizations in indonesia: promoters of moderation or radicalism? asian 382 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) security, 15(3), 323-342. https://doi.org/10.1080/14799855.2018 .1461086 barkey, k. (2014). political legitimacy and islam in the ottoman empire: lessons learned. philosophy & social criticism, 40(4–5), 469-477. https://doi.org/10.1177/0191453714525389 barton, g. (2010). indonesia: legitimacy, secular democracy, and islam. politics & policy, 38(3), 471-496. https://doi.org/10.1111/j.17471346.2010.00244.x bayat, a. (1997). un-civil society: the politics of the “informal people.” third world quarterly, 18(1), 53-72. https://doi. org/10.1080/01436599715055 bayat, a. (2013). life as politics: how ordinary people change the middle east (2nd ed.). redwood city, california, united states: stanford university press. bourchier, d. m. (2019). two decades of ideological contestation in indonesia: from democratic cosmopolitanism to religious nationalism. journal of contemporary asia, 49(5), 713-733. https:// doi.org/10.1080/00472336.2019.1590620 collins, e. f. (2004). islam and the habits of democracy: islamic organizations in post-new order south sumatra. indonesia, 78, 93-120. diprose, r., mcrae, d., & hadiz, v. r. (2019). two decades of reformasi in indonesia: its illiberal turn. journal of contemporary asia, 49(5), 691-712. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1637922 ensiklopedia nu. (2016). sejarah lahirnya pmii. retrieved from nu online website: https://nu.or.id/fragmen/sejarah-lahirnya-pmiiq8tlb fauzia, a. (2013). faith and the state: a history of islamic philanthropy in indonesia. leiden, netherlands: brill. fitrianita, t., & ambarsari, z. a. (2018). menakar kaderisasi kammi komisariat universitas brawijaya malang. jurnal sosiologi pendidikan humanis, 3(1), 16-28. http://dx.doi.org/10.17977/ um021v3i1p16-28 hadiz, v. r. (2017). indonesia’s year of democratic setbacks: towards a new phase of deepening illiberalism? bulletin of indonesian economic studies, 53(3). https://doi.org/10.1080/00074918.2017. 383islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 1410311 hefner, r. w. (2000). civil islam: muslims and democratization in indonesia. princeton, new jersey, united states: princeton university press. heiduk, f. (2012). between a rock and a hard place: radical islam in post-suharto indonesia. international journal of conflict and violence (ijcv), 6(1), 26-40. https://doi.org/10.4119/ijcv-2928 jani, h. h. m., harun, n. z., mansor, m., & zen, i. (2015). a review on the medina charter in response to the heterogeneous society in malaysia. procedia environmental sciences, 28(2015), 92-99. https://doi.org/10.1016/j.proenv.2015.07.014 louër, l. (2020). sunnis and shi’a: a political history. princeton, new jersey, united states: princeton university press. https://doi. org/10.2307/j.ctvp2n4ft lufaefi. (2018). jihad ala gerakan mahasiswa pembebasan: sebuah catatan atas radikalisme di kalangan mahasiswa. al-banjari: jurnal ilmiah ilmu-ilmu keislaman, 17(1), 63-80. https://doi.org/10.18592/albanjari.v17i1.1995 mujiburrahman. (1999). islam and politics in indonesia: the political thought of abdurrahman wahid. islam and christian–muslim relations, 10(3), 339-352. https://doi. org/10.1080/09596419908721191 pfadenhauer, m., & berger, p. l. (2013). the new sociology of knowledge: the life and work of peter l. berger. milton park, abingdon-onthames, oxfordshire, england, uk: routledge. rahman, f., & moosa, e. (2000). revival and reform in islam: a study of islamic fundamentalism. oxford: oneworld publications. ramdani, a. m., negara, c. p., & taufika, r. (2018). dissociative social interaction among extra-campus organizations of islamic students. journal of strategic and global studies, 1(2), 14-27. https:// doi.org/10.7454/jsgs.v1i2.1007 roy, o. (1998). the failure of political islam. cambridge, massachusetts, united states: harvard university press. salvatore, a. (2010). repositioning ‘islamdom’: the culture— power syndrome within a transcivilizational ecumene. european journal of social theory, 13(1), 99-115. https://doi. org/10.1177/1368431009355756 384 islamic student organizations’ strategy of communicating and maintaining islamist ideology among university students in east kalimantan mukhamad ilyasin, miftahur ridho al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 6, no. 2, july – december 2021, pp. 357 384, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v6i2.3511 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) seo, m. (2012). defining ‘religious’ in indonesia: toward neither an islamic nor a secular state. citizenship studies, 16(8), 1045-1058. https://doi.org/10.1080/13621025.2012.735028 sirry, m. a. (2007). transformation of political islam in post-suharto indonesia. in i. abu-rabi’ (ed.), the blackwell companion to contemporary islamic thought (pp. 466-481). hoboken, new jersey, united states: blackwell publishing ltd. somawinata, r. a. (2017). peranan sosialisasi politik organisasi kemahasiswaan ekstra kampus dalam meningkatkan kesadaran politik mahasiswa (studi deskriptif terhadap kegiatan komisariat himpunan mahasiswa islam fkip unpas). thesis undergraduate (unpublished). bandung: universitas pasundan. surahman, t. y. (2018). identitas politik partai keadilan sejahtera. komunika: jurnal dakwah dan komunikasi, 12(2), 257–274. https://doi.org/10.24090/komunika.v12i2.1325 tibi, b. (2010). the politicization of islam into islamism in the context of global religious fundamentalism. the journal of the middle east and africa, 1(2), 153-170. https://doi.org/10.1080/215208 44.2010.517512 ubaedillah, a. (2018). civic education for muslim students in the era of democracy: lessons learned from indonesia. the review of faith & international affairs, 16(2), 50-61. https://doi.org/10.1080 /15570274.2018.1469837 ufen, a. (2008). from aliran to dealignment: political parties in postsuharto indonesia. south east asia research. south east asia research, 16(1). https://doi.org/10.5367/000000008784108149 webber, d. (2006). a consolidated patrimonial democracy? democratization in post-suharto indonesia. democratization, 13(3), 396-420. https://doi.org/10.1080/13510340600579284 weiss, m. l., & aspinall, e. (2012). student activism in asia: between protest and powerlessness. minneapolis, minnesota, united states: university of minnesota press. zarkasyi, h. f. (2008). the rise of islamic religious-political movements in indonesia: the background, present situation and future. journal of indonesian islam, 2(2), 336-378. https://doi. org/10.15642/jiis.2008.2.2.336-378 voluntary counseling and testing untuk orang berisiko hiv/aids diah astuti saputri retnaningsih mahasiswa akhir bimbingan dan konseling islam, iain surakarta abstrak studi dilakukan untuk mengetahui lebih jauh pelaksanaan layanan voluntary counseling and testing (vct) bagi orang berisiko hiv/ aids. ini merupakan program layanan pemerintah, mulai dari proses konseling sampe pada tes dan pasca tes, guna menurunkan risiko tertular hiv/aids. dengan pendekatan deskriptif-kualitatif, studi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan vct ini sangat penting, karena prosesnya menekankan pada pentingnya penerimaan klien, menjalin hubungan, eksplorasi, identifikasi, memberi informasi, perencanaan kegiatan, menentukan keputusan, testing, sampai pada membangun kesiapan klien, membuat perencanaan, membacakan hasil tes, memberikan penjelasan sesuai hasil tes, memberikan dukungan, semangat, dan motivasi. selain bisa meminimalisir resiko tertular, juga menjadikan orang yang sudah tertular bisa lebih optimistis dalam menjalani kehidupan. keywords: counseling, testing, and hiv/ aids. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: diah.astutisr1@gmail.com abstract the study aims to know further about the implementation of voluntary counseling and testing (vct) to people with the possibility of being infected by hiv/aids. it is governmental service program starting from counseling, testing, and post testing in order to minimize the contagious risk of hiv/aids. through the qualitative-descriptive approach, this study showed that the implementation of vct program is very important because the process emphasizes the acceptance of client, building relationship, exploring, identifying, giving information, planning activity, determining decision, testing, up to developing the readiness of client, making planning, reading off the test’s result, explaining result of the test, giving support and motivation. all of these are purposed to minimize the contagious risk, and make the infected one more optimistic in experiencing life. 116 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing a. pendahuluan sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, hiv/aids sudah menjadi perhatian penting, tidak hanya di kalangan dunia kedokteran, tetapi juga di kalangan pengambil kebijakan, pemimpin agama, dan masyarakat dunia pada umumnya. sementara di indonesia, hiv/aids mulai dikenal pada awal januari 1986. sejak saat itu, perkembangan kasus hiv/aids berkembang makin pesat karena vaksin penangkalnya belum ditemukan. kasus hiv/aids ini disebabkan oleh perilaku yang kurang baik, seperti homoseksual, heteroseksual, penguna napza, tato dan tindik, transfusi darah. untuk membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular hiv menurun, pemerintah pun membuka sebuah layanan yang disebut voluntary counseling and testing (vct). layanan yang merupakan gabungan dari proses konseling dan tes hiv. salah satu keistimewaan dari layanan vct ini tidak hanya pada proses konseling, tapi sampai pada proses tes dan pos tes. selain bertujuan untuk membantu perubahan perilaku, juga guna mencegah penularan hiv, meningkatkan kualitas hidup odha, serta untuk sosialisasi dan mempromosikan layanan dini. seperti pada penelitian nila titis asrining tyas (2010), vct dianggap sangat bermanfaat bagi psk dan mampu mengubah paradigma hidup para psk terkait pentingnya kesehatan serta mampu meningkatkan kewaspadaan dan proteksi diri terhadap faktor-faktor risiko yang ada. maka peneliti membatasi penelitian pada pelaksanaan layanan voluntary counseling and testing dalam menangani orang berisiko hiv/aids. penelitian ini berbeda dengan penelitian yang terdahulu karena dalam penelitian ini voluntary counseling and testing tidak hanya untuk orang berisiko hiv/aids, namun juga untuk pasien tb. di klaten sendiri, ada beberapa tempat yang memiliki layanan voluntary counseling and testing yaitu rsup dr. soeradji tirtonegoro, balai kesehatan paru masyarakat (bkpm) klaten, rsjd dr. soedjarwadi, rsi klaten, dan beberapa puskesmas. namun bkpm klaten memiliki keistimewaan dibandingkan dengan tempat lainnya yaitu dari klien yang ditangani dalam – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 117 layanan voluntary counseling and testing. klien layanan vct di bkpm tidak hanya orang berisiko hiv/aids seperti tempat lain, namun juga untuk pasien tb. konselor voluntary counseling and testing konselor adalah seorang ahli yang memberi bantuan kepada klien sesuai permasalahan klien. konselor merupakan unsur utama dalam pelaksanaan suatu layanan konseling, termasuk juga dalam layanan voluntary counseling and testing. untuk menjadi konselor voluntary counseling and testing tidak memiliki banyak syarat. syarat utama menjadi konselor voluntary counseling and testing adalah mengikuti pelatihan khusus tentang hiv/ aids yang berstandar nasional sesuai who yang hanya dilaksanakan beberapa hari dan memiliki sertifikat pelatihan tersebut. selain itu untuk menjadi konselor yang berkompeten harus memiliki kepribadian yang baik, meliputi pribadi yang intelegen, memiliki minat kerjasama, sifat toleransi; pendidikan yang sesuai dengan bidang konseling yaitu strata satu (s1), s2, s3 dan sekurang-kurangnya pernah mengikuti pelatihan tentang bimbingan dan konseling; pengalaman suka membantu mendiagnosis dan mencari alternatif solusi terhadap klien; dan kemampuan, meliputi berbagai keterampilan konseling dan komunikasi. keterampilan tersebut antara lain adalah keterampilan attending (keterampilan untuk menghadirkan klien dalam proses konseling), keterampilan mengundang pembicaraan terbuka untuk memberi kesempatan klien agar mengeksplorasi dirinya sendiri dengan dukungan pewawancara, keterampilan parafrase untuk memperbaiki hubungan antar pribadi, keterampilan refleksi perasaan untuk merespon keadaan perasaan klien terhadap situasi yang sedang dihadapi, keterampilan konfrontasi meliputi keterampilan interpersonal, keterampilan diagnostic, keterampilan memotivasi dan keterampilan manajemen. menurut suherman, konselor profesional harus memiliki etik yaitu melakukan konseling sesuai dengan kemampuannya, memahami hakhak konseling, menjaga kerahasiaan, objektivitas, mengindari terjadinya 118 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing hubungan secara intim dengan klien dan senantiasa meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam konseling. klien voluntary counseling and testing klien adalah seseorang yang membutuhkan bantuan atau seseorang yang diberikan bantuan oleh konselor. suatu layanan konseling tidak dapat berjalan jika tidak ada klien. klien voluntary counseling and testing di bkpm klaten terdiri dari dua jenis yaitu pasien tb dan orang berisiko hiv/ aids. yang termasuk dalam orang berisiko hiv/aids antara lain adalah lsl (laki suka laki), gay, homoseksual, heteroseksual, pemakai narkoba, pemakai jarum suntik bergantian. klien voluntary counseling and testing termasuk klien sukarela, karena klien datang pada konselor atas kesadaran diri sendiri untuk memperoleh informasi atau mencari pemecahan masalah yang dihadapi. menurut farid (2013), klien sukarela ini biasanya memiliki ciri mudah terbuka, hadir atas kehendak sendiri, dapat menyesuaikan diri dengan konselor, sungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling, berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas, bersedia mengungkapkan rahasia, bersikap sahabat, dan mengikuti proses konseling. metode dalam voluntary counseling and testing metode merupakan suatu jalur atau jalan yang harus dilalui untuk pencapaian suatu tujuan. dalam hal mencapai tujuan voluntary counseling and testing yaitu mencegah penularan hiv dan meningkatkan kualitas hidup odha, maka diperlukan adanya suatu metode. metode yang digunakan dalam layanan voluntary counseling and testing adalah metode konseling individual. metode konseling individual adalah upaya pemberian bantuan diberikan secara individual dan langsung bertatap muka (berkomunikasi) antara konselor dengan konseli. dengan perkataan lain pemberian bantuan diberikan melalui hubungan bersifat face to face relationship (hubungan empat mata), yang dilaksanakan dengan wawancara antara konselor dengan konseli. (willis 2004, 66) – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 119 dalam pelaksanaan konseling dengan menggunakan metode konseling individual ini memiliki kelebihan yaitu konselor lebih mudah terpusat kepada klien dan klien lebih mudah percaya kepada konselor. sedangkan untuk kekurangan adalah klien bisa merasa diinterogasi dengan hanya adanya konselor dan klien. teknik pendekatan dalam voluntary counseling and testing suatu layanan pasti memiliki teknik yang digunakan untuk lebih mudah dan cepat mencapai tujuan. dalam voluntary counseling and testing agar tujuan dapat tercapai dengan mudah dan cepat, teknik pendekatan yang digunakan adalah eklektik. teknik pendekatan eklektik merupakan gabungan teknik pendekatan antara direktif dan nondirektif. teknik ini dikembangkan oleh frederick thorne dengan tujuan untuk menggantikan tingkah laku yang terlalu komplusif dan emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih rasional dan konstruktif. kelebihan dari teknik yang dikembangkan oleh frederick thorne yaitu karena menerapkan dan memadukan berbagai pendekatan, menggunakan variasi dalam prosedur dan teknik sehingga dapat melayani klien sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapi klien. serta kekurangan dari teknik pendekatan ini adalah klien merasa binggung jika konselor merubah strategi konseling sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan saat konseling, maka konselor dituntut untuk menguasai semua pendekatan sehingga mengerti kapan harus menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut. (wibowo 2003, 67) prinsip-prinsip voluntary counseling and testing prinsip-prinsip dalam konseling harus berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah individu, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan, dan pelaksanaan pelayanan. sedangan prinsip dasar dalam voluntary counseling and testing ada 4, yaitu rahasia, sukarela, konseling dan persetujuan. 120 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing rahasia. hasil pemeriksaan hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan dan konselor yang menanganinya. boleh dibukakan statusnya kepada orang lain, dengan melalui persetujuan dari yang bersangkutan atau yang bersangkutan menyampaikan sendiri. sukarela. untuk tes hiv sifatnya sukarela (voluntary), tidak ada paksaan dari konselor. konselor hanya mengajaknya secara persuasive, terutama bagi klien yang memiliki risiko tinggi untuk terpapar hiv. konseling. mempelajari pengalaman-pengalaman hidup klien, dalam mengatasi permasalahan yang dapat menimbulkan stres atau depresi pada dirinya. mempelajari latar belakang perilaku berisiko klien termasuk diantaranya kemungkinan-kemungkinan melukai diri sendiri atau melukai orang lain, seandainya hasilnya positif. menilai pemahaman klien mengenai hiv/aids, konseling, keuntungan-keuntungannya melakukan vct, dll. persetujuan. klien harus mengisi formulir persetujuan untuk melakukan tes (inform concent), yang kemudian akan ditandatangani oleh klien dan konselor. namun selain prinsip dasar tersebut prinsip-prinsip yang lainnya adalah empati, mendengarkan, memberikan informasi yang tepat, dan alih tangan. sedang menurut prayitno dan erma amti (2003, ) menyatakan bahwa prinsip-prinsip konseling adalah berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah individu, program layanan, pelaksanaan layanan, tujuan dan proses penanganan masalah. indikator keberhasilan voluntary counseling and testing suatu layanan ada pasti untuk mencapai suatu keberhasilan dengan terwujudnya tujuan dari sebuah layanan tersebut. voluntary counseling and testing ada pun juga untuk mencapai keberhasilan dengan terwujudnya tujuan. keberhasilan layanan voluntary counseling and testing ditentukan oleh konselor dan klien. konselor harus profesional dan berkompeten, minimal menguasi keterampilan konseling dan komunikasi, agar layanan voluntary counseling and testing dikatakan berhasil. klien juga berpengaruh dalam keberhasilan layanan voluntary counseling and testing, untuk mencapai – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 121 keberhasilan klien diperngaruhi oleh kepribadian klien, harapan klien, pengalaman dan pendidikan klien. hal tersebut meliputi sikap, emosi, intelektual, motivasi, usaha mencari informasi untuk memecahkan masalahya merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling. voluntary counseling and testing dikatakan berhasil jika ada perubahan positif pada klien setelah melakukan konseling baik perubahan pada diri sendiri, perilaku, pemahaman, maupun kondisi psikologisnya. contoh nyatanya seperti adanya perubahan pemahaman tentang pengetahuan vct serta hiv/aids; adanya perubahan pola hidup yang baik, seperti patuh minum obat; adanya perubahan psikologis yang lebih baik, tenang, tidak khawatir; dan klien ikut serta dalam pencegahan hiv/aids. tahapan voluntary counseling and testing voluntary counseling and testing pada dasarnya merupakan gabungan dari konseling dan tes. voluntary counseling and testing memiliki 3 tahapan dalam pelaksanaannya, yaitu tahap konseling pra testing, tahap tes hiv, tahap konseling pasca testing. konseling pra testing. konseling yang dilakukan sebelum seseorang melakukan tes hiv yang bertujuan untuk membantu klien dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes hiv atau tidak, dengan sebelumnya klien diberikan informasi yang baik, benar, jelas dan tepat tentang tes hiv dan hiv/aids. langkah-langkah dalam konseling pra testing antara lain adalah pertama, menerima klien. menerima klien dilakukan konselor dengan menyambut kedatangan klien, membukakan pintu jika pintu dalam keadaan tertutup, berjabat tangan, menyapa dengan menyebutkan nama jika sudah kenal, jika belum menanyakan nama. menerima klien dengan hal tersebut agar klien merasa diterima dan diperhatian oleh konselor, sehingga mempermdah proses konseling selanjutnya. kedua, membangun rapport atau menjalin hubungan. menjalin hubungan bertujuan agar konselor dan klien saling mengenal dan menjalin kedekatan emosional untuk pemecahan masalah dengan menciptakan 122 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing suasana yang santai, nyaman, aman, agar klien merasa tidak takut, percaya dan bebas mengungkapkan perasaan dan pernyataan yang ingin disampaikan sehingga klien percaya dan terbuka kepada konselor. untuk mewujudkan hal itu dalam menjalin hubungan dilakukan dengan cara konselor memperkenalkan diri; konselor memberikan pertanyaan basa-basi agar situasi mencair seperti menanyakan kabar, kesibukkannya; konselor menanyakan identitas klien; serta konselor menjelaskan peraturan dalam proses konseling yang akan dilakukan, seperti waktu, tujuan, maksud dan kerahasiaan agar klien mengetahui aturan, maksud dan tujuan dari proses konseling. ketiga, eksplorasi. eksplorasi disebut juga dengan penggalian masalah yang bertujuan untuk mencari tahu permasalahan dan perasaan yang dialami oleh klien. pertanyaan konselor yang diberikan saat eksplorasi antara lain adalah alasan klien datang kesini, perasaan klien, situasi klien, menggali informasi berkaitan dengan faktor perilaku berisiko hiv, seperti perilaku seksual, tato/tindik, jarum suntik, transfusi darah. keempat, identifikasi. identifikasi dilakukan konselor untuk membantu klien menentukan permasalahan yang dialami dan mengetahui penyebab permasalahan yang dialaminya. dalam identifikasi ini konselor membiarkan klien untuk menceritakan permasalahan dan perasaan yang dialaminya. konselor bertugas mendengarkan dan mengarahkan klien. kelima, memberikan informasi. informasi sangat diperlukan dalam voluntary counseling and testing terutama dalam konseling pra testing, karena masih kurangnya informasi tentang voluntary counseling and testing dan hiv/ aids. konselor memberikan informasi dengan baik, jelas, tepat antara lain informasi tentang vct dan prosedurnya, tentang hiv/aids serta penularan hiv/aids. dengan informasi yang didapat dalam tahap ini berguna untuk menentukan keputusan apakah mau menjalani tes hiv atau tidak. keenam, membuat perencanaan. setelah informasi didapatkan, selanjutnya yaitu klien dibantu oleh konselor untuk membuat perencanaan dengan cara konselor memberikan alternatif-alternatif perencanaan, serta – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 123 berdiskusi bersama mengetahui kelebihan dan kekeurangan dari alternatif perencanaan. ketujuh, membuat keputusan. setelah informasi dan berdiskusi perencaanaan, tibalah saatnya eksekusi yaitu menentukan keputusan apakah mau tes hiv atau tidak. jika tidak mau, maka konselor diberi kesempatan untuk menyakinkan dan memberikan penguatan kembali, lalu ditanyakan kembali. jika jawaban tetap tidak, maka konselor tidak boleh memaksa dan proses konseling diakhiri. jika jawaban mau dites hiv, maka masuk ke tahap berikutnya. tes hiv. proses pengambilan darah sebanyak 2cc untuk dites guna mengetahui status klien apakah positif hiv atau negatif hiv. namun sebelum tes hiv dilakukan, klien diwajibkan untuk mengisi dan menandatangani surat pernyataan dan persetujuan melakukan tes hiv yang sering disebut informed consent. konseling pasca testing. konseling yang dilakukan setelah klien melakukan tes hiv yang bertujuan untuk membacakan hasil tes, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu positif maupun negatif serta memberikan informasi dan penguatan kepada klien. langkah-langkah dalam konseling pasca testing adalah pertama, menerima klien. konselor mempersilakan klien kembali masuk ke ruangan voluntary counseling and testing dengan ramah, baik dan sopan sesuai dengan kode etik konselor. kedua, mengembangkan hubungan. konselor mengembangan hubungan dengan klien untuk mengetahui kesiapan mengetahui hasil tes. yang bisa dilakukan dalam langkah ini adalah konselor menanyakan kesiapan klien. jika sudah siap, maka lanjut ke langkah berikutnya. namun jika belum siap, konselor bertugas memotivasi klien hingga siap. ketiga, perencanaan kegiatan. konselor membantu klien membuat perencanaan tentang hasil yang akan didapatkan dengan cara melakukan pengandaian jika hasil positif dan negatif. konselor menanyakan kepada 124 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing klien, jika hasil positif apa yang akan dilakukan dan jika hasil negatif apa yang dilakukan. cara ini dilakukan untuk membuat klien mengetahui apa yang akan dilakukan dan membuat klien bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. keempat, membacakan hasil tes. pada langkah ini, konselor waktunya untuk membacakan hasil tes dan klien mengetahui status kesehatannya. konselor membacakan hasil tes dengan nada suara yang datar, tidak menunjukkan muka tertentu, tidak tergesa-gesa, dan tidak memberikan komentar. setelah membacakan hasil tes, konselor diam sejenak untuk menunggu reaksi klien dan untuk memberi waktu klien menerima hasil tes dirinya. selanjutnya konselor menjelaskan hasil tes yang diterima klien. kelima, integritas hasil tes. dalam langkah integrasi hasil tes ini ada dua, yaitu integrasi kognitif dan integrasi emosional. integrasi kognitif yaitu mengetahui pemahaman klien tentang hiv sesuai hasil yang diterima. integrasi kognitif dilakukan oleh konselor dengan menanyakan pengetahuan tentang hiv mengenai hasilnya, setelah itu konselor menambahan jika ada yang kurang dan memperbaiki jika ada yang kurang tepat. integrasi emosional yaitu mengetahui pengaruh hasil tes yang diterima dengan emosional yang terjadi pada klien. dan memberikan penguatan kepada klien sesuai dengan hasilnya. keenam, memberikan informasi. informasi yang diberikan pada tahap ini disesuaikan dengan hasil tes yang didapatkan klien. jika hasil negatif, konselor memberikan informasi tentang masa jendela (window period), pola hidup yang baik, dan menyarankan untuk tiga bulan setelah hari tes kembali lagi untuk tes ulang. jika hasil positif, konselor memberikan informasi apa yang harus dilakukan oleh klien, pola hidup yang baik, menghindari hal-hal yang dapat menularkan hiv/aids. ketujuh, memberikan harapan, advokasi, motivasi dan pemberdayaan. dalam langkah ini, konselor memberikan harapan, advokasi dan pemberdayaan dengan memberikan pernyataan secara konsisten – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 125 dan realisitis tentang adanya harapan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung, memfokuskan pada masalah kualitas hidup dan mendorong klien agar berpartisipasi aktif untuk meningkatkan status kesehatannya. kedelapan, mengidentifikasi sumber rujukan yang memadai. pada langkah ini konselor membantu klien dalam mengindentifikasi kebutuhan dukungan yang diperlukan oleh klien. rujukan tersebut meliputi kelompok dukungan sebaya, rumah sakit, puskesmas, terapi individual, intervensi krisis, layanan media, informasi terapi alternatif, rehabilitasi pengguna narkoba, layanan hukum, sosial, psikologis, dan spiritual, serta programprogram lainnya. kesembilan, konselor melakukan layanan lanjutan. layanan lanjutan terdiri dari konseling lanjutan dan pelayanan penanganan manajemen kasus. langkah konseling lanjutan ini bisa dilakuan diwaktu lain. dalam langkah ini konselor melakukan konseling lanjutan bisa dengan pasangan jika mempunyai pasangan, bisa dengan orangtua dan bisa dengan anak. namun konseling lanjutan harus sesuai dengan persetujuan dari klien. pelayanan penanganan manajemen kasus bertujuan membantu klien untuk mendapatkan pelayanan berkelanjutan yang dibutuhkan. tahapan dalam manajemen kasus adalah identifikasi, penilaian kebutuhan pengembangan rencana tindak individu, rujukan sesuai kebutuhan dan tepat dan koordinasi pelayanan tindak lanjut. pendukung dan penghambat voluntary counseling and testing pendukung layanan voluntary counseling and testing dapat berjalan dengan baik yaitu karena adanya kebijakan yang tidak hanya untuk orang berisiko hiv/aids namun juga tb, karena tb juga bisa terkena hiv/ aids; ruangan yang nyaman, aman; tim vct yang kompak; klien yang terbuka dan mempunyai kesadaran ingin sembuh; lingkungan yang mau menerima klien sesuai dengan statusnya; dan adanya kelompok dukungan sebaya (kds). 126 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing sedang penghambat layanan voluntary counseling and testing adalah kebijakan tentang alokasi pencegahan yang lebih rendah daripada pengobatan; tim vct yang bertugas merangkap; klien yang tertutup, tidak jujur dan tidak memiliki keinginan untuk sembuh; dan lingkungan yang tidak mau menerima klien sesuai dengan statusnya. kesimpulan dengan berjalannya waktu perkembangan hiv/aids semakin meningkat untuk membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular hiv menurun, maka pemerintah membuka layanan voluntary counseling and testing. voluntary counseling and testing terdiri dari tiga tahap, yaitu pertama, konseling pra testing. konseling pra testing, yaitu konseling yang dilakukan sebelum seseorang melakukan tes hiv yang bertujuan untuk membantu klien dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes hiv atau tidak, dengan sebelumnya memberikan informasi tentang tes hiv dan hiv/aids. dalam tahap pertama ini dimulai dengan menerima klien, membangun rapport, eksplorasi, pemahaman, perencanaan tindakan dan membuat keputusan. kedua, tes hiv. tes hiv, yaitu proses pengambilan darah untuk mengetahui apakah positif hiv atau negatif hiv, sebelum klien tes hiv mengisi surat pernyataan dan persetujuan (informed consent). ketiga, konseling pasca testing. konseling pasca testing, yaitu konseling yang dilakukan setelah klien melakukan tes hiv yang bertujuan untuk membacakan hasil tes, membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif serta memberikan informasi dan penguatan kepada klien. dalam tahap ini sebelum dibacakan hasil, klien dibantu untuk membuat rencana tentang hasil yang akan diterima. proses pelaksanaan tahap konseling pasca testing tergantung dengan hasil tes. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 127 referensi arikunto, suharsimi. 2006. prosedur penelitian suatu penelitian praktik. jakarta: rineka cipta a, hallen. 2005. bimbingan & konseling. jakarta: ciputat pres djoerban, zubairi. 1999. membidik aids; ikhtiar memahami hiv dan odha. yogyakarta: yayasan galang departemen kesehatan ri. 2006. pedoman pelayanan konseling dan tes sukarela hiv (voluntary counseling and testing. direktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan departemen kesehatan. jakarta: departemen kesehatan republik indonesia eddy wibowo, mungin. 2003. teknik bimbingan dan konseling jilid 1. jakarta: tugu publisher green, chris w. 2013. seri buku kecil hiv kehamilan & kesehatan perempuan. yogyakarta: yayasan spiritia . 2013. seri buku kecil hiv & tb. yogyakarta: yayasan spiritia . 2013. seri buku kecil terapi penunjang. yogyakarta: yayasan spiritia iskandar. 2009. metodologi penelitian pendidikan dan sosial (kuantitatif dan kualitatif). jakarta: gp press kartono, kartini. 1996. pengantar metodologi riset sosial. bandung: mandar maju kementerian kesehatan. 2011. pedoman layanan konseling dan tes hiv. jakarta latipun. 2003. psikologi konseling. malang: upt penerbit universitas muhammadiyah malang lumongga lubis, namora. 2011. memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktek. jakarta: kencana media prenada group narbuko, cholid & abu achmadi. 2003. metode penelitian. jakarta: bumi aksara mashudi, farid. 2013. psikologi konseling. jogjakarta: ircisod moleong, lexy j. 2012. metodologi penelitian kualitatif edisi revisi. bandung: rosdakarya murni, suzana, dkk. 2013. seri buku kecil pasien berdaya. yogyakarta: yayasan spiritia 128 | diah astuti saputri retnaningsih – voluntary counseling and testing kpa klaten. 2015. mengenal dan menanggulangi hiv & aids. klaten: kpa klaten prayitno dan amti, erman. 2013. dasar-dasar bimbingan dan konseling. jakarta: rineka cipta surya, moh. 1988. dasar-dasar konseling pendidikan (konsep dan teori). yogyakarta: kota kembang sutopo, hb. 2002. metodologi penelitian kualitatif. surakarta: uns press winkel.w.s. 1991. bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. jakarta: pt gramedia widiasarana indonesia willis, sofyan. s. 2004. konseling individual. bandung: alfabeta yusuf, syamsu dan nurihsan, a. juntika. 2006. landasan bimbingan & konseling. bandung: remaja rosdakarya sumber internet desy arisandy haya, pelaksanaan program voluntary counseling and testing mobile dalam rangka penanggulangan hiv/aids oleh komisi penanggulangan aids kota bontang, ejournal.an.fisipunmul.ac.id (diakses 10 oktober 2015) suherman, pengantar konseling vct (dipresentasikan pada kongres nasional bersama 2007 diselenggarakan oleh fakultas kedokteran unpad rs. dr. hasan sadikin bandung, pada tanggal 2 september 2007), http://pustaka.unpad.ac.id/archives/10886 (diakses 9 januari 2016) http://spiritia.or.id/stats/statcurr.php?lang=id&gg=1, (diakses 8 desember 2015) http://ch2ymanizz.blogspot.co.id/2011/12/psikologi-pasien-hiv-aidsdan-kanker.html (diakses 10 desember 2015) http://m/detik.com/health/read/201106/06/171359/1654272/763/3bersaudara-kompak-bunuh-diri-karena-positif-hiv (diakses 12 januari 2016) http://fisip.unsoed.ac.id/en/content/penang gulangan-hivaids-dipurwokerto-peran-vct-dalam-penanggulangan-hivaids-di-klinikvct-r (diakses 12 januari 2016) fatin’s diary dalam panggung kultur pop-religius siti nur hidayah fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan uin sunan kalijaga yogyakarta claudia tevy muslimah mahasiswa pecinta islam abstrak perkembangan zaman menuntut muslimah untuk berperan lebih tanpa meninggalkan identitas aslinya. saat menjadi wanita karier tentu ia dituntut untuk bekerja di luar rumah. bagaimana jika wanita tersebut menginginkan untuk tetap menjalankan hukum islam, yaitu menutup auratnya dengan mengenakan jilbab? apakah jilbab akan mengganggu aktivitasnya dalam bekerja? dan bagaimana jika lingkungan kerja tidak mau untuk menerimanya? makalah ini mengkaji hubungan antara aktivitas perempuan berhijab dan bentuk penyesuaiannya melalui analisis terhadap buku “fatin’s hijab diary.” dengan bantuan analisis schneiders disimpulkan bahwa fatin shidqia lubis, sebagai seorang entertainer dan public figure melakukan proses penyesuaian diri terhadap realita yang dihadapi dalam usahanya untuk eksis dalam profesinya tanpa menanggalkan identitasnya sebagai muslimah yang memegang prinsip berhijab. proses yang telah berhasil dilakukan oleh fatin ini menunjukkan bahwa jilbab bukanlah penghalang bagi perempuan untuk beraktivitas, serta bukan penghalang bagi mereka yang ingin terkenal. keywords: jilbab, pop culture, religiosity of adolescent http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: enh_hidayah@yahoo.com claudiatevy@gmail.com abstract the development of era demands muslimahs to take roles without leaving their identities. when they became career women, they were asked to work outside their houses. how if the women want to keep their faith and obey the islamic rules by keeping their aurat with jilbab (veil)? will jilbab disturb their activities when working? how if their working environments do not accept them? the paper discusses the relationship between the activities of women with hijab and their 102 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg a. pendahuluan hijab/jilbab identik dengan busana yang dikenakan kalangan perempuan muslim (muslimah). jilbab dapat didefinisikan sebagai kain yang menutup pada bagian kepala, leher sampai dada. di dalam agama islam yang berpegang teguh pada kitab suci al-qur’an telah mewajibkan perempuan untuk mengenakan jilbab. “dan hendaklah kalian mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh kalian,” demikian redaksi yang tertuliskan dalam kitab suci al-qur’an surat al-ahzab ayat 59. seiring dengan perkembangan jaman, jilbab mengalami perubahan. beberapa tahun belakangan tren jilbab di indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai dari tahun 2012, 2013, dan 2014, salah satunya yang ditandai dengan adanya tutorial mengenakan jilbab seperti tutorial yang dilakukan oleh dian pelangi dan ghaida tsurayya. tren jilbab masa kini menyediakan berbagai jilbab dengan bahan yang berbeda-beda: chiffon, katun, kaos, dan satin. pemilihan warnannya pun beragam mulai dari warna cerah “ngejreng” sampai warna yang terkesan kalem, dan banyak pula yang bermotif. kita tinggal memilih sesuai dengan aktivitas yang akan kita kerjakan. ketika era berkembang pesat, peran seorang wanita pun bertambah. tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi mereka juga bekerja di luar rumah. terjadinya peningkatan pembangunan di abad 21 ini menjadikan pandangan bahwa wanita bekerja bukanlah satu hal yang luar biasa. diantaranya ada yang menjadi manajer, pimpinan redaksi, bahkan presiden seperti megawati soekarnoputri yang menjabat dari tahun 2000-2004 adaptation by analyzing fatin’s hijab diary. with scheiders’ analysis, it can be concluded that fatin shidqia lubis, as an entertainer and public figure has conducted the adaptation process toward her working environment in order to be exist in it without leaving her identity as a muslimah who holds the hijab’s principals. the process that has been successfully passed by fatin shows that jilbab is not an obstruction for women who want to work and be famous. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 103 (adibah 2014, 2). era telah menuntut seorang wanita untuk berperan ganda, yaitu menjadi ibu rumah tangga dan sebagai wanita karier. saat menjadi wanita karier tentu ia dituntut untuk bekerja di luar rumah. bagaimana jika wanita tersebut menginginkan untuk tetap menjalankan hukum islam, yaitu menutup auratnya dengan mengenakan jilbab? apakah jilbab akan mengganggu aktivitasnya dalam bekerja? dan bagaimana jika lingkungan kerja tidak mau untuk menerimanya? berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan antara aktivitas perempuan berhijab dan bentuk penyesuaiannya melalui buku “fatin’s hijab diary.” b. seni hijab jilbab adalah busana khas bagi wanita muslim (muslimah). jilbab berfungsi menutupi seluruh tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki dan bersifat longgar. jilbab hukumnya wajib untuk para muslimah. jilbab berasal dari bahasa arab yang jamaknya jalaabin berarti pakaian yang lapang/luas. (afif 2013, 1188) jadi jilbab adalah pakaian yang lebar, dikenakan untuk menutupi aurat wanita meliputi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. berhijab adalah suatu kewajiban, hak, tuntutan, bahkan budaya. merupakan suatu kewajiban jika seseorang yakin dan berpegang teguh pada kitab suci al-qur’an yang di dalamnya terdapat perintah untuk mengenakan jilbab. jilbab menjadi suatu hak, karena memang tidak ada paksaan untuk mereka, boleh mengenakan boleh tidak. bahkan ketika seorang yang awalnya berhijab kemudian melepasnya itu pun suatu hak. hijab sebagai suatu tuntutan, baik lingkungan sekolah, perguruan tinggi, tempat kerja atau acara tertentu. hijab juga dipandang suatu budaya seperti kisah seorang perempuan yang melepas jilbabnya karena merasa tidak nyaman. ia menganggap hijab adalah bagian dari budaya.(jendela buku, media indonesia 15/09/2010, 14) jilbab kini adalah bagian dari fashion, yang turut berkembang sesuai dengan perkembangan era. hal ini terbukti dengan munculnya banyak 104 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg desainer jilbab, salah satunya adalah dian pelangi yang sekarang sedang naik daun. desain hijab dian penuh ragam dan warna. hijab bergaya turban (sorban persia) pun ia populerkan. ia juga turut berderet di antara barisan pendesain hijab bergaya, seperti ria miranda, jenahara, fenny mustafa pemilik label shafira dan windri widhiesta dhari pemilik label nurzahra (lautan hijab masuk salon, tempo 03/08/2014, 58). dari masa ke masa jilbab mengalami perkembangan. jilbab tidak lagi berupa kain segi empat kaku, yang sulit untuk dikreasikan. akan tetapi model jilbab sekarang sangatlah beragam dengan bahan yang mudah untuk dikreasikan. seperti beberapa model berikut: (1) model jilbab pashmina berbahan chiffon sutera, dari bahan yang bersifat lembut, memberikan kesan santai dan ringan namun tetap tampak cantik dan elegan, serta dapat dikreasikan dengan berbagai bentuk. (2) model jilbab phasmina dan bergo berbahan kaos. paling tepat dikenakan saat santai, bahan kaos akan memberikan rasa nyaman karena menyerap keringat, dan model ini terasa simpel serta mudah dikenakan. (3) model jilbab paris segi empat bahan katun. hampir semua hijabers mengenakan ini, karena mudah dikreasikan dengan berbagai macam gaya sesuai keinginan. biasanya dikenakan untuk kegiatan formal, seperti untuk pergi ke kantor. (4) model jilbab satin sawl, berbahan licin memberi kesan mewah, menawan, cocok untuk pergi ke pesta dan pas untuk mereka yang suka berpenampilan glamour. (5) model jilbab chiffon bermotif dan panjang. cocok untuk yang suka mengenakan jilbab panjang. selain di media sosial, model jilbab dapat kita dapatkan dari majalah wanita atau tabloid hijab. seperti majalah ummi yang terbit bulan juli 2013, di dalamnya terdapat banyak sekali iklan boutique. salah satunya adalah boutique khomsah. boutique ini memasang iklan dengan berbagai macam koleksi jilbabnya. jilbab-jilbab tersebut antara lain model ruanika, shafana, navihan, amira, harara, narida, dan afifa.(ummi 25, juli 2013, 126) masingmasing didesain dengan bentuk model yang berbeda-beda. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 105 jilbab juga semakin marak dengan adanya artis yang mengenakan jilbab. seperti oki setiana dewi, zaskia adya mecca, peggy melati sukma, dan artis pendatang baru yaitu fatin sidqia lubis. kemunculan beberapa public figure yang mengenakan jilbab dengan ciri khasnya masing-masing ini maka keluarlah merk jilbab berdasarkan si pemakainya. seperti jilbab ala peggy, atau jilbab ala fatin. menjamurnya mode jilbab menjadikan banyak juga buku-buku tentang jilbab diterbitkan. salah satunya adalah buku yang ditulis fatin sidqia lubis dengan judul fatin’s hijab diary. di dalam buku fatin’s hijab diary ini fatin menuliskan segala bentuk aktivitasnya di dunia baru yang sedang ia jalani saat ini. untuk mengetahui aktivitas fatin yang menurut saya masih dikategorikan pada tahap penyesuaian diri saya menggunakan teori schneiders (1984). teori schneiders ini dapat ditinjau dari tiga sudut pandang.(ali 2009, 173-175) sudut pandang yang saya ambil adalah sudut pandang yang ketiga yaitu penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery). makna dari sudut pandang ketiga ini adalah satu kemampuan mengupayakan dan mengatur segala bentuk tanggapan menggunakan langkah tertentu sehingga tidak menimbulkan pertentangan, kesukaran dan satu kegoncangan jiwa.(ali 2009, 174) dapat dipahami dari sini bahwa penyesuaian diri dengan kemampuan mengendalikan diri secara baik adalah kemampuan diri untuk menghadapi lingkungan beserta realita yang ada di dalamnya. berdasarkan teori tersebut saya hubungkan dengan aktivitas fatin sebagai remaja yang menyesuikan diri dengan lingkungan barunya dengan jilbab yang ia kenakan. menurut saya aktivitas fatin ada hubungannya dengan kemampuan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery). mengapa demikian? karena di sini fatin mulai menghadapi lingkungan maupun orang-orang baru baginya. seperti saat ia harus mengenal public, tentu ia butuh cara yang tepat untuk dapat menghadapinya dengan baik. bukan hanya keluarga dan teman-teman yang membutuhkan, akan tetapi media pun membutuhkannya. bertemu dengan orang-orang baru yaitu para fansnya pun membutuhkan bentuk penyesuaian diri agar terbiasa. di 106 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh fatin semua tidak terlepas dari jilbab yang ia kenakan. di sini tentu ia melakukan proses penyesuaian lagi. bagaimana ia harus memilih jilbab yang pas dan nyaman serta tetap syar’i tanpa meninggalkan unsur stylish.(lubis 2014, 136) dapat disimpulkan bahwa jilbab tidak mengganggu aktivitasnya. individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga, sekolah, pekerjaan dan masyarakat maka akan menjadikannya merasa sengsara dan tidak terwujudnya kesenangan yang diharapkan (mu’tadin, 28). ini berarti individu membutuhkan kemampuan penyesuaian diri yang baik untuk mempersiapkan diri menghadapi realita di dalam lingkungan baru yang akan ia temui. sesuai dengan teori schneiders, bahwa bentuk penyesuaian diri yang baik akan menghindarkan individu dari konflik. hal ini ada hubungannya dengan yang dikatakan mu’tadin tersebut. saat individu tidak mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang baik maka ia akan dihadapkan dengan kesulitan. fatin masih tergolong remaja. siapakah remaja itu? remaja adalah mereka yang bukan anak-anak akan tetapi bukan juga orang dewasa. satu wujud penyesuaian diri remaja terhadap peran dan identitasnya menggunakan cara yang khas yaitu berusaha mendapatkan peran sebagai pelaku dengan watak yang berbeda dengan anak-anak maupun orang dewasa (maentiningsih, 2008). hal ini ditunjukkan fatin saat ia memilih busana hijab dengan warna-warna yang cerah agar terkesan gaya dan muda. peralihan masa ini juga melewati penyesuaian terhadap waktu luang; waktu yang banyak dimiki oleh seorang remaja pada umumnya. di dalam memenuhi waktu ini seorang remaja berkesempatan untuk bertindak bebas. hal ini juga terlihat pada aktivitas fatin ketika ia mempunyai waktu luang, maka ia gunakan untuk berjalan-jalan sendirian maupun bersama temannya. teori schneiders terjadi di dalam diri fatin yang tampak pada aktivitasnya. berdasarkan teori ini berarti fatin mempunyai kemampuan penyesuaian diri cukup baik yang ia terapkan di dalam keluarga, teman, – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 107 dan masyarakat umum. jilbab yang ia kenakan pun senantiasa disesuaikan dan tidak memberi “gangguan” terhadap aktivitas yang ia lakukan. terkait dengan “problema” seorang wanita karier yang menginginkan untuk tetap mengenakan jilbab, maka pada makalah ini saya mencoba menjawabnya melui buku “fatin’s hijab diary.” c. tentang hijab “hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang-orang mukmin: “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” satu redaksi dari al-qur’an surat al-ahzab ayat 59 yang dijadikan dasar bagi umat islam bahwa jilbab adalah suatu kewajiban. jilbab adalah suatu petunjuk bagi perempuan muslim dalam hal menjaga diri dan kehormatan. jilbab sebagai wujud perlindungan bagi perempuan agar tidak diganggu oleh orang-orang fasiq dan pendosa (muhammad, 2008. 114-115). orang fasik adalah orang yang percaya kepada allah swt., tetapi tidak mengamalkan perintah-nya, bahkan melakukan perbuatan dosa (kbbi.web.id). sedang pendosa adalah orang-orang yang senang melakukan tindakan dosa (kbbi.web.id). jilbab hanyalah sebatas milineris; pelengkap dalam berbusana yang berfungsi untuk menutupi rambut atau kepala. beberapa muslimah belum mengerti dan paham arti serta fungsi jilbab. bahkan jilbab hanya difungsikan sebagai penutup kepala untuk menjadikan busana muslim yang dikenakan tampak lebih sempurna (azmi, 2013. 58). jilbab pun dianggap sebagai budaya. sehingga pemakaiannya hanya sebatas kebiasaan ikutikutan saja. tentu ini sangat berlawanan dengan dalil bahwa jilbab adalah suatu kewajiban bagi perempuan muslim. jilbab bukanlah benda bersejarah peninggalan bangsa arab. bukan hanya perempuan arab yang mengenakan jilbab, tapi perempuan non arab pun perlu untuk memakainya. jilbab adalah suatu kewajiban dari allah, apabila menyalahinya berarti tidak mengakui hukum islam yang hakiki(azmi, 2013. 58). 108 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg d. ‘aku’ (fatin) hijabers hijabers sebutan bagi kalangan yang mengenakan hijab, dan fatin adalah salah satu diantaranya. fatin memiliki nama lengkap fatin sidqia lubis, seorang gadis kelahiran jakarta 30 juli 1996. siswi dari sma 97 jakarta ini adalah anak sulung dari pasangan bahari lubis dan nurseha. saat itu ada satu acara yang ditujukan sebagai ajang pencarian bakat, fatin pun turut serta di dalamnya. berkat talenta yang dimiliki, ia mampu meraih jawara x factor indonesia yang pertama di indonesia pada bulan mei 2013 (uniqpost.com). inilah pintu gerbang kesuksesan seorang fatin. selain sukses mengeluarkan album di dunia musik, fatin pun telah menyelesaikan dua buah buku yang berisi tulisannya sendiri. buku yang pertama fantastic fatin-ini baru permulaan, dan yang kedua adalah fatin’s hijab diary. di dalam bukunya yang kedua ini fatin menuliskan tentang aktivitasnya setelah menjadi seorang bintang, dilengkapi dengan berbagai kreasinya dalam mengenakan jilbab plus tutorial cara memakai jilbab ala fatin. seorang fatin kini bukan hanya siswi dengan seragam putih-abu, statusnya telah bertambah. menjadi seorang bintang adalah satu yang menjadi profesinya saat ini. kesibukannya semakin banyak, tidak hanya belajar di sekolah, tapi ia harus menjalankan profesinya sebagai public figur. di tengah-tengah aktivitasnya tersebut fatin tetap mengenakan jilbabnya. ini menunjukkan kalaulah mengenakan jilbab tidaklah mengganggu aktivitas seorang wanita. hanya kemampuan penyesuaian saja yang sebenarnya diperlukan. e. penyesuaian diri bersama hijab penyesuaian diri adalah suatu cara yang dilakukan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya guna mempertahankan hidup. dalam ilmu biologi sering disebut dengan adaptasi. semua makhluk hidup membutuhkan hal ini, baik itu tumbuhan, binatang, maupun manusia. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 109 kemampuan untuk beradaptasi ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang ada di lingkungan dimana makhluk hidup tersebut berada. jenis makhluk yang mampu bertahan adalah jenis yang dapat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang ada di dalam lingkungannya (darwin dalam alex sobur, 2003. 536). jika tumbuhan dan binatang membutuhkan, terlebih lagi manusia. lingkungan yang dihadapi manusia lebih bervariasi, karena berbeda lingkungan berbeda pula orang yang akan dihadapi. di dalam menghadapi realita yang ada di masyarakat seseorang membutuhkan kemampuan untuk menghadapinya. terlebih seorang remaja yang masih berada pada proses peralihan dari masa anak menuju dewasa. remaja adalah mereka yang bukan anak-anak tetapi bukan juga orang dewasa (maentiningsih, 2008). saat saya melihat berbagai macam aktivitas yang fatin lakukan yang ia tuliskan dalam bukunya “fatin’s hijab diary,” ini adalah cerita tentang bagaimana fatin berada di lingkungan barunya, menghadapi orang-orang dan profesi baru. jika dulu hanya sebagai siswi yang belajar bersama teman-temannya kini ia harus menempatkan diri dengan profesi barunya, menjadi seorang artis. seorang artis pendatang baru yang berjilbab. berhadapan dengan public adalah bagian baru dalam hidupnya. di dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh fatin semua tidak terlepas dari jilbab yang ia kenakan. lingkungan yang kini dihadapi menuntutnya untuk melakukan penyesuaian diri. fatin haruslah pandai-pandai menyesuaikan diri bersama dengan hijab yang ia kenakan agar tidak mengganggu segala bentuk kesibukannya. di saat interview ia harus berhadapan dengan orang-orang baru, baik itu para wartawan atau para fansnya. fatin berusaha untuk selalu mempersiapkan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan. bukan sekedar mempersiapkan jawaban, tapi penampilan pun harus dipersiapkan secara apik. di saat acara seperti itu fatin memilih untuk mengenakan gamis dengan warna cerah dipadukan dengan blezer beraksen motif di ujung lengannya. tak lupa untuk menyesuaikan dengan usianya 110 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg yang masih muda belia ia memilih warna-warna cerah agar terkesan menyegarkan (lubis, 2014. 10). menurut schneiders ada tiga sudut pandang di dalam mengartikan suatu penyesuaian diri. sudut pandang yang saya gunakan yaitu sudut pandang yang ketiga yang berarti penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery). makna dari sudut pandang ketiga ini adalah satu kemampuan mengupayakan dan mengatur segala bentuk tanggapan menggunakan langkah tertentu sehingga tidak menimbulkan pertentangan, kesukaran dan satu kegoncangan jiwa (ali, 2009. 173-175). dapat kita pahami bahwa kemampuan mengendalikan diri adalah upaya penyesuaian diri terhadap lingkungan beserta realitas yang akan di dalamnya. fatin kini dihadapkan pada realita bahwa dirinya adalah seorang bintang yang dituntut untuk memberi karya yang mampu dikonsumsi khalayak umum. rekaman adalah kegiatan dari profesinya. disini fatin berusaha untuk bersikap profesional agar dapat pihak yang bekerjasama dengannya merasa nyaman dan puas dengan hasilnya. disaat rekaman ia mengenakan busana yang ia anggap nyaman, simpel, namun tetap gaya. tak lain busana itu adalah busana favoritnya yaitu jumpsuit dengan jaket denim dengan hijab dari bahan katun bermotif bunga (lubis, 2014. 12). bukankah menjadi diri sendiri itu lebih baik daripada harus mengubah apa-apa yang ada pada diri kita demi mendapatkan perhatian orang lain? seperti apa yang selalu diusahakan oleh fatin, selalu berusaha untuk menjadi dirinya sendiri. hal ini sering ia lakukan saat bertemu dengan fans secara tidak sengaja. saat jalan-jalan bersama keluarga tiba-tiba ada beberapa fans mendekatinya kemudian meminta untuk foto bersama. tentu fatin tidak mengenal mereka, hanya sebatas tahu bahwa mereka adalah penggemar yang secara tidak langsung turut andil dalam ketenaran fatin. seperti yang fatin katakan,”apalah arti fatin sidqia tanpa fatinistic”. tak lupa ucapan terimakasih selalu fatin lontarkan untuk mereka. di saat-saat seperti ini fatin suka mengenakan busana berupa atasan dengan bahan kaos berwarna cerah dan celana jeans (lubis, 2014. 29). – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 111 seseorang perlu mempunyai kemampuan berinteraksi yang baik dengan sesama di dalam lingkungannya. tanpa suatu interaksi yang baik seseorang dikhawatirkan akan menghadapi banyak konflik dan merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan realita yang ada dihadapannya. individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga, sekolah, pekerjaan dan masyarakat maka akan menjadikannya merasa sengsara dan tidak terwujudnya kesenangan yang diharapkan (mu’tadin dalam laily safura, 2006. 28). sebagai seorang remaja pada umumnya, fatin tetap membutuhkan teman-teman dekat sebagai tempat untuk mencurahkan perasaannya. ketenaran tidak hanya menyibukkannya, tapi ia tetap punya waktu untuk orang-orang sekitar. masa peralihan usia fatin dari remaja menuju dewasa ini, juga melewati penyesuaian terhadap waktu luang; waktu yang banyak dimiki oleh seorang remaja pada umumnya. di dalam memenuhi waktu ini seorang remaja berkesempatan untuk bertindak bebas (ali, 2009. 180). waktu luang seperti ini sering fatin manfaatkan untuk pergi berkumpul bersama teman-temannya. busana yang menjadi pilihannya adalah celana panjang, kaos berwarna netral, dan jilbab dengan warna menyala. terkesan stylish dan tetap santun (lubis, 2014. 52). suatu proses penyesuaian diri yang fatin lakukan adalah pola penyesuaian yang dikatakan mampu untuk menghadapi realita sesuai dengan teori dari scneiders. hal ini terbukti fatin mempunyai cara-cara tersendiri saat harus berhadapan dengan public. bagaimana saat ia menghadapi para penggemarnya, saat ia harus profesional dengan pekerjaannya dan saatsaat bersama dengan teman-temannya. satu wujud penyesuaian diri remaja terhadap peran dan identitasnya menggunakan cara yang khas yaitu berusaha mendapatkan peran sebagai pelaku dengan watak yang berbeda dengan anak-anak maupun orang dewasa (ali, 2009. 180). hal ini ditunjukkan fatin saat ia memilih busana hijab dengan warna-warna yang cerah agar terkesan gaya dan muda. 112 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg saat seseorang tak mampu untuk menyesuaikan diri maka ia akan dihadapkan pada berbagai kesulitan. misalnya, ada seorang mahasiswa yang pandai, berbagai prestasi ia raih. akan tetapi dia selalu sibuk dengan prestasinya sendiri, tanpa mau berbaur dengan teman-temannya, dan lebih suka menyendiri. oleh sebab sikapnya maka ia dijauhi oleh banyak teman. demikian jika seseorang tak mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri, jika kita lihat dari beberapa aktivitas fatin, maka ia bukanlah tipe individu yang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya. beberapa gambaran aktivitas fatin beserta jilbab yang ia kenakan, ini menunjukkan bahwa jilbab bukanlah satu penghalang seseorang untuk terkenal. berkat satu talenta yang dimiliki maka seseorang akan mampu berkarya untuk diri sendiri dan orang lain. apa yang dilakukan fatin jalan keluar dari apa yang dikhawatirkan ketika seorang perempuan harus menentukan pilihan menjadi wanita karir akan tetapi tetap berjilbab. bukankah dengan jilbab fatin mampu meraih ketenaran? ini adalah bukti jika masyarakat luas pun tak menolak kehadiran fatin sekalipun ia mengenakan jilbab. jika seorang bintang yang harus tampil di atas panggung pun dapat mengenakan jilbab, tentu mereka yang bekerja disebuah instansi pun dapat melakukannya. hanya butuh satu proses penyesuaian diri untuk melakukannya.layaknya makhluk hidup haruslah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. hendaknya seseorang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan gaya hidupnya sendiri untuk menghadapi perubahan-perubahan yang dihadapi (sobur, 2003. 536). f. kesimpulan jilbab tidak hanya bermakna sebagai penutup aurat, ada unsur fashion di dalamnya. jilbab bukanlah penghalang bagi perempuan untuk beraktivitas, serta bukan penghalang bagi mereka yang ingin terkenal. hanya saja dibutuhkan satu proses penyesuaian diri terhadap realita yang dihadapi. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 113 salah seorang hijabers ia lah fatin sidqia lubis. fatin adalah artis pendatang baru yang mengenakan hijab. dari sebelum terkenal sampai tenar pun ia masih tetap mengenakan hijab. disetiap aktivitasnya fatin selalu memilih busana yang dirasa nyaman, simpel dan tetap gaya tentunya. warna yang dipilih pun warna-warna yang cerah guna memberikan kesan muda dan menyegarkan. aktivitas fatin ini menunjukkan reaksi terhadap pola penyesuaian diri. bagaiman ia harus memilih busana dan hijab yang sesuai untuk aktivitasnya. perubahan jaman seakan menuntut seorang wanita untuk berperan ganda: menjadi ibu rumah tangga dan menjadi wanita karier. tidak ada batasan bagi seorang perempuan untuk bekerja menunjukkan telah adanya kebebasan untuk menentukan pilihan. saat seorang perempuan karier menginginkan untuk berjilbab yang dibutuhkan hanyalah kemampuan penyesuaikan diri. referensi buku ali, mohammad dan mohammad asrori. 2009. psikologi remaja. jakarta: bumi aksara lubis, fatin sidqia. 2014. fatin’s hijab diary. jakarta: gramedia muhammad, thal’at. 2008. super muslimah. jawa tengah: inas media sobur, alex. 2003. psikologi umum. bandung: pustaka setia majalah “jendela buku,” media indonesia, sabtu 15 september 2010 ummi, edisi 25, juli 2013 azmi, n. hijab atau jilbab. mpa, agustus 2013 114 | siti nur hidayah dan claudia tevy – fatin’s diary dalam panggungg internet afif, abdullah, ed. 2013. kumpulan tanya jawab islam : hasil bahtsul masail dan tanya jawab agama islam. piss-ktb. diakses dari https://books.google.co.id/ books?id=um61cgaaqbaj&pg=pa1188&dq=definisi+ jilbab&hl=id&sa=x&redir_esc=y#v=onepage&q=definisi%20 jilbab&f=false (diakses 25 agustus 2014) http://uniqpost.com/profil/fatin-shidqia/ (diakses 29 agustus 2014) mu’tadin dalam laily safura dan sri supriyantini, hubugan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar. hal. 28. http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/15722/1/psijun2006-20%284%29.pdf (diakses 23 agustus 2014) desiani maentiningsih, the relation betmeen secure attachment and achievement motivastion in teenagers, 2008. http://www.gunadarma.ac.id/ library/articles/graduate/ psychology/2009/artikel_10509046. pdf (diakses 23 agustus 2014) al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 5, no. 1, january – june 2020, pp. 67 94, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas* universitas pembangunan nasional veteran jakarta jude william genilo university of liberal arts bangladesh keywords: children with autism; healing; spiritual transformation abstract autism can be described as a severe neurobiological developmental disorder with early onset, causing problems in communicating and dealing with other people or their environment. experts are still debating, whether autism should be listed as a disease. this research was conducted to find out the spiritual transformation healing that was applied at rumah autis depok. this research used ethnography of communication through the speaking grid. this research indicated that quran therapy had a significant impact on children with autism. quran therapy might be able to develop expected behaviors, such as controlling emotion, especially tantrums and meltdowns, for children with autism. rumah autis depok applied quran therapy since the opening of this branch (on february 14, 2009), as a part of spiritual transformation healing for families of children with autism. correspondence: e-mail: *1fitria.irwanto@upnvj.ac.id https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh 60 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak autisme dapat digambarkan sebagai gangguan perkembangan neurobiologis parah yang terjadi pada anak-anak, menyebabkan masalah dalam berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain atau lingkungannya. autisme masih menjadi pro dan kontra dari beberapa ahli, baik itu termasuk dalam penyakit. penelitian ini untuk mengetahui spiritual transformation healing yang diterapkan di rumah autis depok. penelitian ini menggunakan etnografi komunikasi melalui speaking grid. penelitian ini menunjukkan bahwa terapi quran memiliki dampak yang signifikan pada anak autis. terapi quran memiliki tindakan yang paling tepat untuk mengembangkan perilaku seperti mengendalikan emosi, terutama tantrum dan meltdown pada anak autis dibandingkan dengan terapi musik. rumah autis depok menerapkan terapi quran sejak pembukaan cabang ini (pada tanggal 14 februari 2009), terapi quran sebagai bagian dari penyembuhan transformasi spiritual bagi keluarga anak autis. kata kunci: anak dengan autisme; penyembuhan; transformasi spiritual how to cite this (apa 7th edition): ayuningtyas, f., & genilo, j. w. (2022). spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 7(1), 59–84, https://doi.org/10.22515/albalagh.v7i1.4710 introduction children are the most beautiful gifts given by allah swt to each parent. every parent hopes for normal children who are physically and psychologically well-adjusted. this is a reasonable expectation for anyone in the world. but, what about when children are born with conditions that different from most children? in essence, every human being was created by allah swt has advantages and disadvantages of each, there 59 84 61spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) is the uniqueness of each in each individual, and human is the best of creation (azzahid, muliadi, & rismanto, 2022). not a single parent in this world desires to have a child who is deficient in any way. some parents and or families of children with autism are unable or unwilling to accept the fact that their child has autism, even if appropriate therapy and education accompanied with patience can help manage the disorder. autism spectrum disorder (asd) is a category of neurodevelopmental disorders that occurs to one out of every 150 children in the united states. autism was initially described as a developmental illness by leo kanner in 1943. it is a condition that begins at birth and affects reciprocal social behavior, language, and communication; as well as causing the person to have limited interest and repetitive conduct (zimmerman, 2008). sunu (2012) listed numerous indications of communication and language behavior that might present in children with autism in order to improve their communication qualities. flat facial expressions, the absence of language or body signs, uncommon communication initiation, the absence of replicating motions or sounds, little or no speaking, parrot words, unusual speech intonation, employing unintelligible words, and limited ability to grasp and use words are among them (yuwono, 2012). autism has no regard for race, ethnicity, social status, family income, lifestyle, or educational level, and it can affect any family and any child. although the global prevalence of autism is consistent, boys are four times more likely than girls (see, 2011). the modern definition for autism is a severe neurobiological development disorder that occurs in children, causing problems in communicating and dealing with other people or their environment. experts still debate whether they should categorize autism as an illness. however, many parents have stated that autism is not a disease, and 62 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) therefore no medicine can cure it. thus, the problem solving should focus on ways that children with autism can show progress in their daily lives, for example, in terms of their emotions and how to blend with their environment or socialize with them (ayuningtyas, venus, suryana, & yustikasari, 2021). the number of people with autism is projected to increase as time goes by. the current estimation is about 4-6 per 10,000 births and a drastic increase may happen in 2030 with 60 per 10,000 births (anam, khasanah, & isworo, 2019). rumah autis depok is a social institution that was founded on behalf of yayasan cahaya keluarga fitrah to bridge the demand for therapy sites and schools for children with autism and children with special needs from low-income households at affordable or even free tuition (rumah autis, 2019). children attending all branches of rumah autis had been diagnosed with a wide range of developmental disorders, including down syndrome, speech delay, adhd (attention-deficit-hyperactivity disorder), cerebral palsy, and other conditions. however, children with autism were the highest in number (rumah autis, 2019). based on 2020 data, there were 18 children diagnosed with autism. rumah autis had seven branches as of july 2019. rumah autis bekasi, rumah autis depok, rumah autis cileungsi, rumah autis tanjung priok, rumah autis bogor, rumah autis karawang, and rumah autis tangerang, as well as rumah autis bogor, rumah autis karawang, and rumah autis tangerang (rumah autis, 2019). for over 50 years, intervention methods informed by the principles of applied behavior analysis (aba) have been empirically researched and clinically implemented to individuals diagnosed with asd\. despite the plethora of evidence for the effectiveness of aba-based interventions, some autism rights and neurodiversity activists have expressed concerns with aba-based interventions (leaf et al., 2021). aba therapy, structured therapy programs that focus on teaching a specific set of skills for children 63spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) with autism; speech therapy, a medical procedure carried out to help a person maximize his or her verbal abilities; sensory integration therapy, a treatment for children with autism and or children with special needs that is often used as a way to make improvements, are all therapies offered at rumah autis depok. they aim to improve developmental abnormalities, as well as learning impairments, social relations, and other behaviors. sensory integration is the process of recognizing, changing, and differentiating sensations from the sensory system in order to produce a response in the form of “aims of adaptive behavior”, this statement of sy (the branch head of rumah autis depok) comparable with results of research conducted by karim and mohammed (2015)., which showed that the sensory integration therapy was effective in the treatment of children with autism as it helps those children to become more independent and participate in everyday activities. meanwhile, an occupational therapy is a type of health service provided to the community or patients with physical and mental disorders that uses exercises/activities to work on specific targets (occupation) in order to increase individuals’ independence in daily life activities based on an interview with sy on january 2, 2020. the primary goal of occupational therapy is to enable people to participate in the daily activities (world federation of occupational therapists [wfot], 2012). as time goes by, rumah autis depok found that quran therapy had shown to have the most prominent event in developing certain behaviors such as controlling emotion, especially tantrums and meltdowns, compared to music therapy. tantrums and meltdowns are both emotional outbursts, but a meltdown is an emotional outburst due to outside interference, thus the disturbance must be removed immediately. mayrani and hartati (2013) found that audio therapy with surah arrahman murottal decreased behavioral disturbances of the children with autism in social interaction, motor behavior, and emotion aspects. the 64 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) research can be a reference and consideration for parents and schools for special needs children to implement audio therapy with surah ar-rahman murottal as a companion therapy that is affordable and does not cause side effects (mayrani & hartati, 2013). similar with the previous, azzahid et al. (2022) concluded that audio therapy murottal al-quran at sd plus al-ghifari was able to provide a calming effect on autistic children and reduce the intensity of emotional disorders in children with autism. sadly, there is no separate session for this murottal al-quran treatment. this murottal al-quran therapy can be used by parents at home because it is simple and affordable (azzahid et al., 2022). interestingly, anam et al. (2019) found that audio therapy with murottal al quran can decrease disorders in emotion, communication and social interaction compared to music therapy (anam et al., 2019). based on research conducted by faradilla et al. (2020), there was a significant effect of listening to ar-rahman murottal in improving various clinical aspects of children with autism. the formulation of the research was to explore the spiritual transformation healing for children with autism implemented at rumah autis depok. methods this research was conducted at rumah autis depok, indonesia. volunteers from rumah autis depok, especially teachers and parents, were involved in this research to learn more about spiritual transformation healing for children with autism, which rumah autis depok offers to both teachers and families (parents). the research participants were chosen because they were knowledgeable about children with autism at rumah autis depok and could provide as much information as possible regarding the research topic of spiritual transformation treatment. 65spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) purposive sampling was used to select these participants. according to sugiyono (2016), purposive sampling is a data source sampling technique with specific considerations. the purposive sampling technique was chosen since not all samples meet the criteria for this research. as a result, the researcher employed the purposive sampling technique, which specified particular criteria or factors that must be addressed (sugiyono, 2016). an informant, according to moleong (2009), is a person who provides valuable knowledge about all aspects of the research problem. as a result, an informant must be wellversed in the topic of discussion and have a strong foundation in it. the following were the criteria used by the researcher to select informants for this research. first, they were volunteer teachers from rumah autis depok. volunteers who had worked at rumah autis depok for at least three years were familiar with children with autism and their families (parents). the researchers also included the children’s family members (parents) as informants. volunteers had education backgrounds in special education and psychology. second, the researchers established criteria for children with autism, as well as for the families or parents whose children would benefit from quran therapy. the role of parents is very influential on the development of children with autism. through preparation, explanation and guidance, they will be better prepared to accept the changes in themselves (nugraheni & tsaniyah, 2020). the role of parents for children with autism in their daily lives is very important. mother’s role for the development of children with autism is especially dominant. table 1 and 2 showed the data of selected informants. 66 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. informants from volunteer teachers no volunteers positions year of entry to rumah autis depok 1 sy (55 years old) branch head 2015 2 lp (32 years old) head of program 2012 3 mg (27 years old) transition’s teacher 2009 source: the interview results with sy on january 2, 2020. table 2. selected parents informants no parents children diagnosis in children 1 mr (mother) mr (15 years old) autism spectrum disorder (hypersensitivity) 2 ma (mother) mj (14 years old) autism spectrum disorder (hypersensitivity) 3 my (mother) ya (12 years old) autism spectrum disorder (hypersensitivity) source: the interview results with sy on january 2, 2020. guba (denzin & lincoln, 2009) argued that a paradigm is a set of basic beliefs that guide action that is a human construct. paradigm is a way of looking at understanding the complexity of the real world. paradigms show them what is important, abash and plausible, paradigms are also normative, showing their practitioners what to do without the need to do long considerations of existence or epistemology (mulyana, 2018). a paradigm is a model or framework for observation and understanding, which forms both what we see and how we understand it. the conflict paradigm causes us to see social behavior, whereas the interaction paradigm causes us to see differently (babbie, 2011). ethnography is a qualitative design in which researchers describe and 67spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) interpret the same patterns of values, behaviors, beliefs and language of a group of similar cultures (harris, 2001). ethnography studies the meaning of behavior, language, and interaction among members of such similar culture groups (creswell, 2014). the approach used in this research was a qualitative research approach. the definition of qualitative research in simple terms, according to mulyana (2018), is interpretive research (using interpretation) which involves many methods in examining research problems (mulyana, 2018). this research places humans as dynamic beings and considers the ever-changing life of humans. qualitative research is a located activity that places its research in the world. qualitative research consists of a series of material interpretation practices that make the world visible. these practices are transforming the world. they turn the world into a series of representations, which include various field notes, interviews, conversations, photographs, recordings and personal notes. in this case, qualitative research involves a naturalistic approach to interpretation of this world. this means that qualitative researchers study objects in their natural environment, seeking to interpret phenomena in the point of view of the society to see the meanings given to them (denzin & lincoln, 2009; creswell, 2016). the research method used in this research was the ethnography of communication. the ethnography of communication in this research covers various aspects and inter-aspect relations. ethnography of communication is different from anthropology, linguistics, and sociolinguistics because communication ethnography focuses its study on communication behaviors involving language and culture (kuswarno, 2011). qualitative research is relevant to the ethnography of communication in researching spiritual transformation healing for children with autism. the ethnography communication is different from conventional 68 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ethnography. this is expressed by kuswarno (2011), who said that “in the ethnography of communication, the focus of attention is the behavior of communication in a particular cultural theme, so not the whole behavior as in ethnography. communication behavior according to communication science is the action or activity of a person, group or audience, when engaged in the process of communication”. the ethnography of communication begins the investigation by recognizing typical behaviors and then ending them with an explanation of communication patterns in a sociocultural context. hymes (kuswarno, 2011) put forward the stages for conducting ethnographic research on communication in a speech society, namely: 1) identification of communication events that occur repeatedly (recurrent events); 2) inventory of communication components that build these repetitive communication events; and 3) finding relationships between communication components that build communication events that will be known later as communication management (communication patterning). recurrent communication events are the characteristics of the communication behavior of a community group. communication components according to communication ethnography are communication units that support the occurrence of a communication event. hymes (kuswarno, 2011) introduced a model containing these communication components with an acronym “speaking”, which consisted of: setting/scene, participants, ends, act sequence, keys, instrumentalities, norms of interaction, genre. the relationship between the components in question is how each component of communication cooperates with each other to create a communication behavior that is unique to the group. this relationship between components is then called communication pattering (kuswarno, 2011). the validity of data that were collected by the researcher was tests of internal validity (credibility). these tests were carried out to meet 69spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the true value of the data and information collected. this means that research results must be critically trusted by all readers and respondents. this criterion served to conduct an investigation in such a way that the confidence of its findings can be achieved (sugiyono, 2016). for credible research results, there are several techniques proposed, namely as follows: first, triangulation. triangulation in credibility testing is to check data from various sources, methods, and time periods. in this process, the researcher tried to compare the results of interviews conducted with the results of observations. so that researchers achieved conclusions about the effective learning communication in the classroom for children with autism. researchers used data various data sources for triangulation, namely field observations and in-depth interviews. second, discussion with colleagues. researchers conducted discussions with colleagues to increase validity of data interpretation. in this case, the researcher conducts discussions with colleagues (lecturers at the faculty of social and political sciences, universitas pembangunan nasional veteran jakarta). this discussion intended to provide researchers with suggestions, inputs, and criticism that can provide enlightenment for data interpretation. third, using reference materials. researchers used recording tools for observation and interviews that serve to document research data. in this section, the researcher used various reference sources as a supplement to the observations and interviews related to spiritual transformation healing for children with autism. fourth, member check. the data collected by the researcher were clarified to the respondents to ensure validity of interpretation. this was done to obtain the validity of the appropriate data (sugiyono, 2016). researchers often clarified the data obtained during field observations to the head of the branch and the teachers at rumah autis depok. 70 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) results and discussion characteristics of children with autism thus far, no clinical tests have been found todiagnose autism directly. the most appropriate and inexpensive diagnosis is to carefully observe the child’s behavior in terms of communication, behavior, and level of development. the characteristics of autism are diverse, so the most appropriate and ideal way is to work with professionals (e.g., neurologists, pediatric psychologists, pediatricians, language therapists, and other experts in the field of autism) to perform the diagnosis. from birth to age 24-30 months, children diagnosed with autism generally look like most children. but gradually, as the children grow older, parents begin to see significant changes such as delay in speech, disinterest in playing, and difficulty in making friends with the surrounding environment (refusing to socialize). autism is a combination of several abnormalities in brain development. autism in kamus besar bahasa indonesia is a developmental disease that causes children to be unable to speak and express their feelings and desires, disrupting their connections with others. autism, according to gunadi (2011), can affect anyone of any race, social, cultural, economic, or educational background. according to a survey conducted in 2002, there were 60 children with autism out of of 10,000 children. boys outnumber girls by by four times. according to the findings of that 2002 survey, boys are more likely than girls to have autism. however, the fundamental reasons have yet to be discovered. autism disorders can be managed if parents keep a close eye on their children and recognize deviations or impeded behavioral growth as soon as possible. the presence of a behavioral development issue in toddlers with autism might cause developmental activities that are appropriate for their age to be delayed. failure to complete the developmental goal 71spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) will result in the delay of socialization process and a lack of autonomy (rinawati, 2008). autism can be classified into two types based on sensory disorders: hyposensitivity and hypersensitivity. hyposensitivity is a condition where an autistic children are under sensitive to sensory inputs, while hypersensitive is a condition where the children are hyper-aware of them. intelligence varies greatly, some are very high, but some are very low. children with autism are often described with wing’s triad of impairment. as well as children with autism, who struggled with social contact, communication, and inventiveness (what they called the “triad of impairment”), as well as a stereotyped pattern of activity. this concept refers to the requirements for swiftly diagnosing autistic youngsters (yuwono, 2012). figure 1. wing’s triad of impairment source: (positive psychology network, 2021) figure 1 shows a part of a paradigm known as the triad of impairments. the ‘triad of impairments’ paradigm is used to describe the main characteristics of people with autism. 72 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 3. wing’s triad of impairment no name of activities descriptions 1 social interaction treats individuals as objects and acts as though they do not exist. can be unresponsive to other people's voices/ communication attempts. making friends and forming connections is challenging for him/her. uncertainty about how to handle unstructured periods of the day 2 communication and language processing and interpreting of linguistic information are both difficult. jokes/sarcasm/literal interpretation, social language, body language, and paralinguistic characteristics are all difficult to grasp (intonation, stress, tone of voice) 3 imagination/rigidity of thinking likes everything to be structured and routine. rituals are obsessively followed. imaginative play may be hampered (especially with others) empathy for others is lacking has a poor sense of danger (forecasting/what might happen). source: (positive psychology network, 2021) al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas no name of activities descriptions and language are both difficult. jokes/sarcasm/literal interpretation, social language, body language, and paralinguistic characteristics are all difficult to grasp (intonation, stress, tone of voice) 3 imagination/rigidity thinking likes everything to be structured and routine. rituals are obsessively followed. imaginative play may be hampered (especially with others) empathy for others is lacking has a poor sense of danger (forecasting/what might happen). source: (positive psychology network, 2021) figure 2. level of autism spectrum disorder (asd) source: (chandra, 2018) referring to figure 2, autism spectrum disorder (asd) is divided into three levels: 1) level 1, at this stage, children with autism needed sufficient support; 2) level 2, children with autism needed substantial support; and 3) level 3 children with autism needed very substantial support. spiritual transformation healing children with autism may develop language ability at a later time than their peers. however, language is not the only issue that they face. they will likely to experience a lack of social interaction, poor communication/language, and limited autism spectrum disorder (asd) level 1 require support level 2require substantial support level 3-require very substantial support figure 2. level of autism spectrum disorder source: (chandra, 2018) 73spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) referring to figure 2, autism spectrum disorder (asd) is divided into three levels: 1) level 1, at this stage, children with autism needed sufficient support; 2) level 2, children with autism needed substantial support; and 3) level 3 children with autism needed very substantial support. spiritual transformation healing children with autism may develop language ability at a later time than their peers. however, language is not the only issue that they face. they will likely to experience a lack of social interaction, poor communication/ language, and limited imagination/rigidity of thinking (positive psychology network, 2021). in many cases, children with autism also have lack of control of their emotions. as time goes by, rumah autis depok found that quran therapy had the most appropriate action to develop behavior such as controlling emotion, especially tantrums and meltdowns compared to music therapy. based on observation and interview, the researcher defined meltdown as a reaction given by children due to being overwhelmed by excessive sensation input. meanwhile, tantrum is an excessive emotional outbursts, usually associated with children whose emotional difficulties are usually characterized by stubbornness, crying, screaming, anger, et cetera (ayuningtyas, 2020). spiritual transformation healing is a new term for rumah autis, indonesia. spiritual transformation healing was introduced by mr. aris ahmad jaya, one of the motivational speakers in indonesia. generally, the sessions are conducted in a workshop or group setting. spiritual transformation healing is an expansion of spiritual healing, especially for families of children with autism. this definition describes the aim to transform consciousness or spirituality through the combination of different spiritual healing approaches. human beings are surrounded by positive and transformational energy that can be used for healing. 74 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the beginning of spiritual transformation healing, according to mr. aris ahmad jaya, occurred when during the late 1960s in czechoslovakia; stanislav grof began to research transformative experiences. he led a clinical trial for sandoz pharmaceuticals’ hallucinogenic drug. many of the participants, grof realized, were in a “non-ordinary state” that was “indistinguishable from those described in old mystical traditions and spiritual philosophies of the east.” after migrating to america, he founded a new discipline known as “transpersonal psychology” with colleagues abraham maslow and anthony sutich. grof quit his tenure as an assistant professor at john hopkins university and the maryland psychiatric research center’s as a chief of psychiatric research (interview with jy, 2019). according to samovar (rinawati, 2008), there are three different understanding/conceptions of ‘sick’ which in turn causes differences in treatment efforts, namely: first, biomedical system is s a system of beliefs about pain that focuses on the results of diagnoses and scientific explanations. in this approach, the illness will be related to medical issues. the disease is the result of abnormalities in the structure or function of the body. agents such as bacteria and viruses, or a body condition such as injuries, are generally the cause of illness. thus, treatment through destruction or transfer (such as through surgery) to the agent that causes it is a powerful weapon to restore health. second, personalistic system. in a personalistic system, illness is the result of active intervention by some supernatural beings (god, ghost, or evil spirit), or made by humans (magic or witchcraft). people who are sick are victims of punishment or who have been donated by diseases. in a personalistic system, healing is done through non-medical channels, namely efforts to eliminate the influence of the supernatural, so that treatment is carried out by way of something unseen like ruwatan in javanese-indonesian context. 75spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) third, naturalistic system. the naturalistic approach tends to look at pain by explaining the balance of the elements that exist in the human body. in this system, the disease is caused by an imbalance between the elements that exist in humans. according to this view, humans consist of cold and heat elements, which imbalance can lead to disease. food becomes an agent that affects the imbalance of heat and cold elements in the human body. the healing effort carried out in this approach is through efforts of balancing the hot and cold elements. from the three treatment efforts, rumah autis depok was included in the category of personalistic system. the personalistic system is related to spiritual transformation healing. in a personalistic system, “illness” is the result of active intervention by some supernatural thing, in this case, allah swt. several therapies had been carried out at rumah autis depok. one therapy that was considered quite effective at rumah autis depok was quran therapy. quran therapy is part of spiritual transformation healing. based on an interview with mg, rumah autis depok applied quran therapy since the opening of the branch (on february 14, 2009) as part of spiritual transformation healing for families of children with autism. but apparently, rumah autis depok did not realize that quran therapy was a part of the spiritual transformation healing. quran therapy could develop behavior such as controlling emotion, especially tantrums and meltdowns compared to music therapy. is the finding was aligned to the research by astuti et al.(2017), which showed that there was a significant difference in the mean of behavioral development following the intervention, with p = 0.034 (p<0.05). the murrotal al-quran audio treatment is beneficial in helping children with autism develop their behavior. as a result, this audio therapy is projected to be used as an alternative therapy for children with autism (astuti et al., 2017). it was also aligned with anam et al.’s (2019) finding that murottal al-quran was more effective than music therapy 76 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in improving emotional expression, communication skills, and social interaction in children with autism. speaking grid speaking consists of setting/scene, participants, ends, act sequences, keys, instrumentalities, norms of interaction, and genre. the components are briefly explained below: first, setting. it refers to the setting and scenes of the communication practice. this section delves into two parts of context: the actual space in which it takes place and the scene, or the participants’ perceptions of what transpires when the technique is in use. analyzing the practice’s environment and scenic features helps to pinpoint the analysis in specific social situations (carbaugh & boromisza-habashi, 2015). this research was conducted at rumah autis depok, located in sukmajaya, depok. there were four classrooms and two floors. islamic study was only provided every wednesday. however, rumah autis depok held for common prayers and al-quran reading every school day, from monday to friday. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas figure 3. rumah autis depok, located in sukmajaya, depok source: documentation on january 2, 2020. second, participants, meaning participants in the practice. a significant shift is marked here in conceptualizing communication as an event in which people participate, and thus, the key concept is "participant" (in the event). this part moves away from typical encoding and decoding models, that focus initially on senders and receivers of messages. what will happen if a practice such as "reading the paper" is considered an event? who are the participants in that practice (carbaugh & boromiszahabashi, 2015)? the participants of this research were 22 children with special needs at rumah autis depok, most of them had been diagnosed with asd, and their ten volunteer teachers. however, because only three children with autism received the quran therapy at rumah autis depok and at home, the researchers only focused on them (including their families). figure 3. rumah autis depok, located in sukmajaya, depok source: documentation on january 2, 2020. 77spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) second, participants, meaning participants in the practice. a significant shift is marked here in conceptualizing communication as an event in which people participate, and thus, the key concept is “participant” (in the event). this part moves away from typical encoding and decoding models, that focus initially on senders and receivers of messages. what will happen if a practice such as “reading the paper” is considered an event? who are the participants in that practice (carbaugh & boromisza-habashi, 2015)? the participants of this research were 22 children with special needs at rumah autis depok, most of them had been diagnosed with asd, and their ten volunteer teachers. however, because only three children with autism received the quran therapy at rumah autis depok and at home, the researchers only focused on them (including their families) figure 4. quran therapy at rumah autis depok source: documentation on january 2, 2020. 78 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) third, ends refers to the objective of the practice. this element asks two ends: the goals of participants to practice and the outcomes to achieve. in the joke-telling activity, many people are familiar with an off-color joke whose goal is to entertain with the offending outcome. communication practice may generally target some goals yet attain other outcomes (intended and not) (carbaugh & boromisza-habashi, 2015). the formulation of the research was for finding out the spiritual transformation healing for children with autism. therefore, in the end, children with autism have basic independence and the ability to control their emotions. fourth, act sequence means the actions involved in this practice. the practice is a part of social interaction. it encompasses the timing and the procedure as well. act sequence also refers to the content and delivery of the practice. this component invites a careful look at the sequential organization of the practice, its message content, and form (sit, 2017). the quran therapy was very helpful in controlling mr’s emotions. mr was the second child of two siblings. mr (15 years old) had an older sister. he was born in 2005. he was diagnosed with autism at three years old. mr could speak and read well. he began to learn to read the quran when he was five years old (10 years ago). but over the past five years, he began to memorize the quran. his emotions were easily overflowed and he often threw tantrum or meltdown before learning to read the quran. when his teacher played the quran recording, after listening to it, he gradually calmed down. at the time of the research, mr had memorized nearly 30 juz of the quran, and was very fluent in reading the quran. it was a different case with mj. mj (14 years old), was an only child. mj could speak and read well. he was born in 2006. he was diagnosed as children with autism – pdd-nos (a pervasive developmental disorder not otherwise specified) criteria when he was three years old. after 79spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) returning to the hospital for re-diagnosis when he was ten years old, mj was diagnosed with asd. based on an interview with mg and ma as informants, the asd stages were more challenging than pdd-nos. mj had just learned to recognize the letter of hijaiyah and frequently listen to quran. when it comes to emotion management, mj was better than mr. but when he learned more about the quran, he could manage his emotion better than before. the last one was ya (12 years old). he was the second child of two siblings. he could not speak and read well. he could only perform nonverbal communication. his big brother was also diagnosed with autism. ya was diagnosed with autism when he was 1,5 years old. his mother suspected that he was autistic because he showed similar behaviors as his brother. he often threw tantrums at home and or rumah autis depok, but when his teachers or mother turned on the quran recording, he gradually calmed down and often fell asleep. fifth, keys. it refers to the emotional pitch, feeling, or spirit of the communication practice. the key aspects of funerals are their most respectful and serious nature. other events, such as talk shows, can be keyed as more light-hearted. the ways practices are keyed and how the key can shift from moment to moment are questions raised and analyzed with this component (carbaugh & boromisza-habashi, 2015). the learning process for children with autism is certainly very different from that for normal children. dealing with children with autism requires more patience, as the children need much more time to adapt to their surroundings, especially to new friends or new teachers. moreover, children with autism are easily distracted by unique images, eye-catching colors, and other glaring objects. therefore, quran therapy is very useful for children with autism because it calms them down. sixth, instrumentalities refers to the instrument or channel that the communication technique employ. it may be required to use the oral mode, 80 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) or it may be disallowed in favor of a certain gesture or bodily activity. debate about using digital channel in communication is also included in this topic. should the exercise be done in writing or in person, with singing or chanting? the variety of tools used to create practice, as well as each manner they are evaluated, are analyzed in depth (carbaugh & boromiszahabashi, 2015). learning process must use simple words, and slow-speech. not infrequently, most children with autism use nonverbal language because they cannot speak well. even though a child is good at reading, it does not always indicate their ability to communicate reciprocally. most children with autism communicate in one direction. however, mr and mj, showed good progress after receiving quran therapy. they were able to speak and read fluently. seventh, norms of interaction means what norms are active when communication is practiced in this way, and in a certain community. this component distinguishes the two senses of norms that may be relevant to a communication practice: what is done normally as a matter of habit (e.g., few votes) and the appropriate thing to do (e.g., one should vote in every election). standards of normalcy can be productively distinguished from the morally infused and normative dimensions of communication practices. there is a second distinction that guides this component: norms for interaction can be distinguished from norms of interpretation. the norm for interaction can be formulated as a rule for how one should properly interact when conducting the practice of concern: e.g., respecting the elders. the norm for interpretation can be formulated as a rule for what practice means. both norms are analyzed through this component (carbaugh & boromisza-habashi, 2015). because children with autism have problems in communication, social interaction, and behavior, there are only norms of interaction between students and teachers or between students and parents or families. as per observation by the researcher, children with could not easily get close to and get along with people. they 81spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) could be close to people they often see in their daily lives. they have difficulty adjusting behavior to social contexts, showing no interest in their peers, minimal eye contact or none at all. it happens since interactions between students are very rare. eighth, genre means the a genre of communication in which this practice is implemented. this part might involve practicing verbal dueling, a riddle, or a narrative. as a result, the properties of the formal genre become relevant to its analysis. alternately, the practice might be understood as part and parcel of a folk genre and be analyzed accordingly (carbaugh & boromisza-habashi, 2015). rumah autis depok implemented islamicbased learning, including prayers before and after learning, embracing the teacher’s hand (as a form of respect) when entering class, and saying greeting when going in and out of class, and others. conclusion and suggestion conclusion based on qualitative exploration about quran therapy implemented at the research location, the therapy have a potential significant impact on children with autism. findings in this research implied that the therapy might be able to reduce tantrums and meltdowns for children with autism. rumah autis depok applied quran therapy since the opening of this branch (on february 14, 2009), as a part of spiritual transformation healing for families of children with autism. suggestion suggestions for further researchers is to examine the effect of spiritual transformation healing therapy using experimental methods so that its effectiveness can be known with certainty. parents and families with children with autism can also play a role in providing reinforcement for spiritual transformation healing therapy so that the results are optimal. 82 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) references anam, a., khasanah, u., & isworo, a. (2019). terapi audio dengan murottal al quran terhadap perilaku anak autis. journal of bionursing, 1(2), 163-170. https://doi.org/https://doi. org/10.20884/1.bion.2019.1.2.21 astuti, a., suryono, widyawati, m., suwondo, a., & mardiyono. (2017). effect of audio therapy using al-qur’an murrotal on behavior development in children with autism. belitung nursing journal, 3(5), 470–477. https://doi.org/10.33546/bnj.189 ayuningtyas, f. (2020). pengalaman sebagai relawan di rumah autis depok. in ketika guru berbagi pengalaman (pp. 10–19). bogor: azkiya publishing. ayuningtyas, f., venus, a., suryana, a., & yustikasari, y. (2021). using e-social story to improve the social behavior of children with autism during the covid-19 pandemic at rumah autis depok, indonesia. library philosophy and practice, 2021(february), 1–16. azzahid, a., muliadi, & rismanto, f. (2022). terapi audio murotal alqur’an terhadap emosi anak autis (studi kasus sd plus al-ghifar. jurnal riset agama, 2(1), 147–161. https://doi. org/10.15575/jra.v2i1.17121 babbie, e. (2011). the basics of social research (5th ed.). ohio, united states: wadsworth. carbaugh, d., & boromisza-habashi, d. (2015). the ethnography of communication. hoboken, new jersey, united states: wiley online library. chandra, a. (2018). gangguan perkembangan anak. depok: rumah autis institute. creswell, j. w. (2014). research design: qualitative, quantitative and mixed methods approaches (4th ed). thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. denzin, n. k., & lincoln, y. s. (2009). handbook of qualitative research. yogyakarta: pustaka pelajar. faradilla, l. d., hidayah, n., & yasmina, a. (2020). pengaruh terapi murottal al-quran terhadap perbaikan klinis anak dengan autism spectrum disorder. homeostasis, 3(3), 371–378. 83spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) gunadi, t. (2011). deteksi dini autis dan penanganannya. depok: rumah autis institute. harris, m. (2001). the rise of anthropological theory: a history of theories of culture. lanham, maryland, united states: altamira press. karim, a. e., & mohammed, a. h. (2015). effectiveness of sensory integration program in motor skills in children with autism. egyptian journal of medical human genetics, 16(4), 375–380. https:// doi.org/10.1016/j.ejmhg.2014.12.008 kuswarno, e. (2011). etnografi komunikasi suatu pengantar dan contoh penelitiannya. bandung: widya padjadjaran. leaf, j. b., cihon, j. h., leaf, r., mceachin, j., liu, n., russell, n., … khosrowshahi, d. (2021). concerns about aba-based intervention: an evaluation and recommendations. journal of autism and developmental disorders, 52(6), 2838–2853. https://doi. org/10.1007/s10803-021-05137-y mayrani, e. d., & hartati, e. (2013). intervensi terapi audio dengan murottal surah ar-rahman terhadap perilaku anak autis. jurnal keperawatan soedirman (the soedirman journal of nursing), 8(2), 69– 76. http://dx.doi.org/10.20884/1.jks.2013.8.2.470 moleong, l. (2009). metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). bandung: remaja rosdakarya. mulyana, d. (2018). metodologi penelitian kualitatif: paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. bandung: remaja rosdakarya. nugraheni, s., & tsaniyah, n. (2020). urgensi pendidikan seks pada remaja autis. iqro: journal of islamic education, 3(1), 2622–3201. https://doi.org/10.24256/iqro.v3i1.1324 positive psychology network. (2021). the triad of impairments and other autism myths. retrieved december 12, 2021, from https:// ppnetwork.org/triad-impairments-autism-myths/ rinawati, r. (2008). pola komunikasi terapeutik perawat dan pasien hemodialisis. mediator : jurnal komunikasi, 9(1), 18–28. https://doi. org/10.29313/mediator.v9i1.1149 rumah autis. (2019). rumah autis. retrieved june 20, 2020, from https:// www.rumahautis.org/ 84 spiritual transformation healing for children with autism at rumah autis depok, indonesia fitria ayuningtyas, jude william genilo al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 59 84, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4710 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) see, c. (2011). the use of music and movement therapy to modify behaviour of children with autism. pertanika journal of social science and humanities, 20(4), 1103–1116. sit, m. (2017). psikologi perkembangan anak usia dini. jakarta: kencana prenadamedia group. sugiyono. (2016). metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r&d. bandung: alfabeta. sunu, c. (2012). unlocking autism. yogyakarta: lintang terbit wfot. (2012). definitions of occupational therapy. world federation of occupational therapists, (june), 1–68. retrieved from https:// fabble.cc/uploads/attachment/content/14089/wfot_ definitions_2017_updated_june_2017.pdf yuwono, j. (2012). memahami anak autis: kajian teoritis dan empirik. bandung: alfabeta. zimmerman, a. w. (2008). autism: current theories and evidence (current clinical neurology). new york, new york, united states: springer. jurnal al-balagh_vol.2 no.2-2 2017 logika kebahagiaan mahasantri di pesantren (studi kasus di kampus idia prenduan sumenep madura) iwan kuswandi stkip pgri sumenep keywords: logic blissfulness, pesantren http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: iwankus@stkippgrisumenep.ac.id abstract the blissfulness means a happiness that is felt (enjoyed) by someone. in addition, the life of pesantren students (santri) are often connoted to simplicity in standing alone and live what it is worth. but they live simplicity, the university students in idia prenduan have logic happiness in their life. therefore, this writing covered about logic happiness of university students in idia prenduan, and the factors of happiness for university students. by qualitative descriptive method found that they are happy live in pesantren campus because they have new friends in all of corner indonesian archipelago. in addition, the existence of program and learning system that put forward pesantren subject (ma’hadi) and islamic syari’at, so that they are happy study in idia prenduan. the togetherness in learning and worship makes them happy. what else all of kiai often take the theme of thankful in lecturing and learning idia prenduan. the thankful connected to happiness, in addition, in importance education, idia prenduan directs to university students to be a patient and sincere. the sincerity is spirit all branches of human belief. kebahagiaan berarti rangkaian bahagia-bahagia yang dialami (dinikmati) oleh seseorang. di samping itu, kehidupan santri sering dikonotasikan dengan kesederhanaan dalam kemandirian serta hidup apa adanya dalam perantauan jauh dari kedua orang tua. namun walaupun hidup dengan sederhana, para mahasantri di idia abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.992 192 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren prenduan memiliki pembenaran (logika) kebahagiaan tersendiri dalam menjalani kehidupannya. untuk itu tulisan ini mengupas tentang logika kebahagiaan mahasantri idia prenduan, serta faktor yang menjadikan mahasantri idia prenduan bahagia. dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif ditemukan bahwa mereka menjadi senang hidup di kampus pesantren tersebut karena memiliki teman baru dari seluruh penjuru nusantara indonesia. selain itu, sistem pembelajaran yang mengedepankan pelajaran kepesantrenan (ma’hadi) dan mengedepankan syari’at islam, menjadi faktor penyebab kebahagiaan bagi mahasantri di kampus idia prenduan. kebersamaan dalam belajar dan beribadah juga menjadi faktor lain kebahagiaan mereka. ditambah lagi para kiai sering mengangkat tema syukur dalam ceramah dan pembelajaran yang diberikan oleh para kiai di idia prenduan. di samping itu, dalam rangka kepentingan pendidikan, idia prenduan mengarahkan mahasantrinya untuk menjadi tipe orang yang sabar dan ikhlas. keikhlasan adalah roh yang melandasi segala macam cabangcabang keimanan manusia. buah dari itu adalah kebahagiaan seseorang. i. pendahuluan dalam menempuh kehidupan, manusia selalu mencari kebenaran. manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran. kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia, sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha memeluk suatu kebenaran. manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. aturan berpikir benar inilah yang dikenal oleh para ilmuwan sebagai logika. namun pada akhir-akhir ini, dalam kehidupan manusia, kebenaran tak lagi penting. sebagai contoh, tidak sedikit para politisi yang tidak berpijak kembali kepada kebenaran, namun mengumbar kebohongan demi kemenangan dalam ajang pemilihan politik. demi sebuah jabatan, tidak sedikit para pejabat yang menanggalkan prinsip-prinsip kebenaran, demi karir bisa melejit, itu dilakukan dengan penuh kebohongan dan tipu daya. namun sukses mencapai tujuan dengan ketidakbenaran, tidak lantas memberikan kebahagiaan orang tersebut. tidak ada kamus bahagia, bagi kata kunci: logika kebahagiaan, pesantren – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 193 pencuri dan koruptur, walaupun mereka sudah memiliki apa yang mereka inginkan, namun rasa takut dan khawatir selalu menghantui kehidupan mereka, maka wajar kalau kemudian manusia itu selalu mencari kebenaran demi mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan. kebanyakan orang ingin bahagia. finlandia merupakan negara kecil yang membuat kaget dunia karena siswa-siswanya yang masih berusia 15 tahun berhasil sukses pada kegiatan programme for international student assesment (pisa) pada tahun 2001. ternyata kesuksesan pendidikan di negara tersebut karena yang dijadikan fokus dalam pendidikan di negara finlandia adalah kebahagiaan. di negara ini kebahagiaan diberi tempat yang utama dalam kurikulum. selain itu, pendidikan di finlandia sangat memperhatikan kesejahteraan (well-being), baik itu murid maupun guru. pendidikan di finlandia memperhatikan dengan sungguh, kesejahteraan, baik fisik maupun batin setiap individu. ini tampak pula dalam kebijakan bagi para siswa. para siswa di finlandia gemar memanfaatkan waktu rehat untuk bermain dan berkejar-kejaran, bahkan tiap sekolah menyediakan alat bermain (walker, 2017). bagaimana kebahagiaan di indonesia? menurut hasil survei yang dilakukan oleh badan pusat statistik (bps) tahun 2017 menunjukkan bahwa indeks kebahagiaan masyarakat indonesia mencapai angka 70,69 dalam skala 0-100. pada 2014, indeks kebahagiaan masyarakat indonesia adalah 68,28. dengan demikian ada peningkatan indeks kebahagiaan secara cukup signifikan dalam rentang waktu 2014-2017. indeks kebahagiaan itu diukur dengan memakai tiga dimensi, yaitu kepuasaan hidup, perasaan, dan makna hidup (kompas.com). selanjutnya, bagaimana kontribusi pendidikan di indonesia dalam upaya membahagiakan masyarakatnya? pondok pesantren yang merupakan salah satu sub sistem pendidikan yang ada di indonesia, tentu pondok pesantren sangat strategis posisinya dalam rangka mencerdaskan generasi bangsa. dalam perkembangan terakhir, sistem pendidikan pesantren sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima tipe, yakni: 194 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren (1) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (mi, mts, ma, dan pt agama islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (sd, sltp, smu, smk, dan perguruan tinggi umum), seperti pesantren tebuireng jombang, pondok pesantren annuqayah gulukguluk sumenep madura. (2) pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren gontor ponorogo, pondok pesantren al-amien prenduan sumenep madura, pesantren maslakul huda kajen pati (matholi’ul falah) dan darul rahman jakarta. (3) pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, seperti pesantren salafiyah langitan tuban, lirboyo kediri dan pesantren tegalrejo magelang. (4) pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim), dan (5) pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa (arif, 2008). merebaknya pendidikan pesantren tipe ke-5 (pesantren yang didalamnya terdapat mahasiswa) menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati. hal ini bukan saja karena usia kelahirannya yang masih relatif muda, akan tetapi manajemen atau pengelolaan pesantren mahasiswa memiliki spesifikasi tersendiri. berbeda dengan pesantren pada umumnya yang rata-rata menyelenggarakan pendidikan keagamaan untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah saja. mengingat masalah di atas, maka lulusan perguruan tinggi agama islam diharapkan memiliki dua kemampuan yang seimbang, yaitu lulusan yang memiliki penguasaan yang baik terhadap ilmu keagamaan dan keilmuan professional. kegagalan lembaga perguruan tinggi agama islam di indonesia dalam mendidik dan membina spiritualitas mahasiswa adalah karena lembaga perguruan tinggi tersebut tidak memiliki sarana yang memadai untuk belajar, mengkaji dan mengamalkan aspek-aspek keagamaan tersebut, sehingga wawasan keagamaan mereka kering dan rentan untuk diombang-ambingkan oleh gelombang pemikiran yang lebih – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 195 besar dan menyesatkan, sehingga bagi perguruan tinggi, adanya pondok pesantren adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. institut dirosat islamiyah al-amien (idia) prenduan merupakan salah satu perguruan tinggi pesantren yang mengintegrasikan antara ilmu agama dan umum, dengan kata lain di dalam lembaga ini terjadi integrasi antara tradisi pesantren dan tradisi perguruan tinggi atau mengintegrasikan sistem pendidikan kampus dengan sistem pendidikan pesantren. sistem ini dikenal dengan sebutan sistem kurikulum integral atau integrated curriculum. para mahasiswa yang datang ke idia prenduan sumenep mempunyai niat sejak awal untuk nyantri. sejak awal masuk itulah mahasiswa tersebut mempunyai status ganda, yakni sebagai mahasiswa sekaligus santri, namun status santri diutamakan daripada status mahasiswanya. maka wajar kalau kemudian status yang tepat untuk mereka sebagai mahasantri. menjadi santri banyak suka dukanya. sukanya mungkin banyak teman, dapat belajar ilmu agama secara mendalam kepada kiai yang alim ilmunya. namun dukanya tentu banyak sekali, dan semuanya cukup menguji mental dan fisik. walaupun hidup sederhana penuh dengan pengorbanan hidup dengan ketatnya disiplin pesantren, namun mahasantri idia prenduan, tidak lantas menyerah putus asa. mereka seringkali mencari pembenaran melalui logika, bahwa mereka hidup bahagia, kuliah sekaligus nyantri di idia prenduan. membahas tentang kebahagiaan santri, menarik untuk mengkaji tulisan iwan kuswandi, “konsep happiness santri” dalam abd rahman, dkk (2017). dalam tulisannya, dijelaskan bahwa dalam beberapa kegiatan ekstra kurikuler yang ada di pesantren tarbiyatul muallimien al-islamiyah (tmi) al-amien prenduan, ada beberapa kegiatan yang memiliki nilai humor edukatif. selain bertujuan untuk memberikan hiburan bagi santri, dengan adanya kegiatan yang mengundang tawa, menjadi solusi tersendiri bagi para santri yang tidak kerasan hidup di pesantren. suasana pendidikan pesantren yang hidup adalah gambaran suasana edukatif dimana para pendidik baik kiai atau para ustad (guru) mampu membuat setiap santri 196 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren yang mengikuti kegiatan belajar mengajar terlihat bahagia. kebahagiaan santri ditandai dengan ketekunan dan semangat mereka dalam mengikuti semua program pendidikan yang dicanangkan di lembaga tmi al-amien prenduan. pada sisi lain, kebahagiaan mahasantri juga dapat distimulasi oleh tingkat kesejahteraan dan kepuasan materi, seperti yang terjadi pada mahasiswa dual mode system di stai pati yang menerima beasiswa dari pemerintah. penerimaan beasiswa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan mereka. walaupun faktor ini tidak menjadi faktor penentu utama namun cukup berpengaruh (fatah, 2014). selain faktor tersebut, faktor-faktor lain berpotensi menstimulasi kebahagiaan mahasantri. tulisan ini secara khusus mencoba untuk mengkaji tentang logika kebahagiaan mahasantri idia prenduan, serta faktor yang menjadikan mahasantri idia prenduan menjadi bahagia. ii. metode penelitian tulisan disusun berdasarkan penelitian dengan metode deskriptif kualitatif, metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. sedangkan sumber data pada penelitian ini terdiri dari dosen dan mahasiswa idia prenduan. adapun analisa data yang digunakan adalah analisis data interaktif model miles dan huberman dengan tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. iii. idia, potret pesantren perguruan tinggi institut dirosah islamiyah al-amien (idia) prenduan adalah lembaga perguruan tinggi yang memiliki 3 program sekaligus dengan mengusung 4 fakultas dan 7 program studi di dalamnya. ketiga program tersebut adalah program plus, program intensif dan program reguler. fakultas yang ada di idia prenduan pun kemudian berlatar belakang – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 197 keagamaan. yaitu, fakultas dakwah dengan dua program studi; bimbingan dan penyuluhan islam (bpi) dan komunikasi dan penyiaran islam (kpi), fakultas tarbiyah dua program studi; program studi pendidikan agama islam (pai) dan pendidikan bahasa arab (pba), fakultas usuluddin dengan dua program studi pula; aqidah filsafat islam (afi) dan ilmu alquran dan tafsir (iat), yang terakhir fakultas ekonomi dan bisnis islam, dengan satu program studi; perbankan syariah. dari masing-masing jurusan yang ada, para mahasiswa bebas menentukan fakultas dan program studi yang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat mereka. kampus idia prenduan ingin mengantarkan para lulusannya memiliki empat kekuatan, yaitu; 1). beriman sempurna, 2). berilmu luas, 3). beramal sejati, 4). professional. dua kekuatan yaitu beriman sempurna dan beramal sejati dikembangkan melalui jalur sistem pendidikan pesantren. sedangkan dua kekuatan berikutnya yaitu berilmu luas dan profesional dikembangkan lewat jalur sistem pendidikan yang dilaksanakan di perguruan tinggi melalui bangku perkuliahan di masingmasing fakultas/ program studi. pembagian kategori kekuatan tersebut tentu tidak dipahami secara kaku, melainkan keduanya saling mengisi dan juga peran itu dilakukan secara integral dan simultan. bagi mahasiswa idia, pertama status mereka sebagai muslim, kemudian sebagai santri, baru yang ketiga status mereka sebagai mahasiswa. menurut wakil rektor iii idia prenduan, dr. kh. muhtadi abdul mun’im (2017), kampus idia prenduan menerapkannya dalam konsep kerja ikhlas, kerja cerdas, dan kerja keras. kerja ikhlas merupakan implementasi dari prinsip al-amien prenduan yang tercantum dalam visi idia yaitu: beriman sempurna. kerja cerdas adalah implementasi dari prinsip berilmu luas. sedangkan yang ketiga, kerja keras adalah implementasi dari prinsip amal sejati. jadi, implementasi dari keimanan dan ketaqwaan kepada allah dalam seluruh kegiatan idia tercermin dalam keikhlasan, profesional, dan kegigihan. 198 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren hal ini diperkuat oleh pernyataan ustad dr. musleh wahed (2017), selaku wakil rektor i idia prenduan, bahwa kampus idia prenduan tak lepas dari motto, keimanan sempurna. menurutnya, semua program dan kegiatan berangkat dari sana, makanya nilai-nilai pendidikan yang ada di idia memang untuk memantapkan keimanan. selain itu, kalau ilmu nafi’ atau ilmu yang bermanfaat, adalah ilmu yang berguna bagi masyarakat sekitar. dalam hal ini, kampus idia mengacu pada motto, berilmu luas. bahkan ustad musleh wahed menambahkan bahwa pendidikan yang dipraktikkan di idia prenduan merupakan pendidikan integral. jadi idia prenduan bukanlah semata-mata sebuah pesantren di perguruan tinggi atau perguruan tinggi di pesantren. sebagaimana tradisi kehidupan pesantren, tentu pendidikan akhlak yang sangat diutamakan. menurut kh.mujammi abdul musyfi, lc (2017) selaku mudir ma’had lil banin idia prenduan, kampus idia sebagaimana pesantren-pesantren yang lain menitikberatkan pada penanaman akhlak dan karakter, terutama dalam internalisasi nilai dan budaya islam dan kepesantrenan dalam diri mahasiswa. penanaman nilai pesantren tersebut, diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka. maksudnya hidup di pesantren itu ataupun kehidupan yang ada di pondok itu, yang meliputi: kesopanan, kesantunan, kebersamaan dan lain sebagainya. dari hal-hal itulah kemudian nilai-nilai kepesantrenan langsung diaplikasikan atau diperaktekkan dalam kehidupan sehari-hari. salah satu bentuk kesopanan model pesantren yang ada di kampus idia adalah dalam bertatakrama dengan dosen. di idia seluruh mahasiswa tidak ada yang memanggil bapak ke dosen. namun mereka memanggil lumrahnya kepada guru di pesantren, yaitu panggilan ustadz dan kiai. sebagaimana diuraikan di atas, bahwa para mahasiswa idia memanggil para dosennya dengan panggilan ustadz. pengertian ustadz menurut kamus bahasa arab dalam kitab al-mu’jamul wasith, karangan syauqi dhaif (2011), kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut: pertama, sebagai pendidik. kedua, orang yang ahli dalam suatu bidang – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 199 industri dan mengajarkan pada yang lain. ketiga, julukan akademis level tinggi di universitas, sebutan untuk seorang dosen dengan gelar doktor, professor atau guru besar. di berbagai universitas negara arab, istilah ustadz merujuk pada dosen atau ahli/akademisi yang memiliki kepakaran di bidang tertentu. menurut m miftachul munif, panggilan ustad itu adalah fenomena baru yang dihadirkan oleh pondok-pondok pesantren modern. pondok modern darussalam, gontor ponorogo bisa disebut sebagai pelopornya. hal ini bisa dimaklumi, karena percakapan pergaulan kesehariannya di dalam pesantren mereka menggunakan bahasa arab, dimana guru itu terjemahan bahasa arabnya adalah ustad. dalam perkembangannya, istilah ustad ini tak hanya digunakan oleh orang-orang pesantren modernis saja. di lingkunan masyarakat perkotaan, dimana ada orang yang bisa ngaji, maka orang itu akan dipanggil dengan sebutan ustad. bahkan meskipun orang itu tidak mengajar ngaji pun, kalo dalam lagak pakaian dan omongan kesehariannya itu agak kearab-araban, maka orang itu pun akan dipanggil ustad, oleh masyarakat perkotaan yang modernis itu (https://www. facebook.com/piss.ktb/posts/64943825 1776258). iv. logika kebahagiaan mahasantri idia menurut ibnu khaldun, ilmu mantiq (logika) merupakan undangundang yang dapat dipergunakan untuk mengetahui pernyataan yang benar dari pernyataan yang salah (mundiri, 2000). dalam kajian filsafat islam, nama filosof muslim al-farabi (latin: alpharabius) begitu istimewa. bukan saja posisinya yang sentral karena dapat mengawinkan antara filsafat dan agama, melainkan juga karena prestasinya dalam menjelaskan dan mengulas-ulang pandangan aristoteles. ia mendapat gelar istimewa sebagai al-mu‘allim al-tsa>ni> (guru kedua), karena ia merupakan orang pertama yang memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan arab – sebagaimana aristoteles mendapat predikat guru pertama karena ia orang pertama yang menemukan ilmu logika (dzulhadi, 2014). 200 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren aristoteles mengatakan bahwa logika merupakan ilmu, logika merupakan cabang dari ilmu filsafat yang menentukan penghargaan dan penelitian tentang suatu cara berfikir atau mengemukakan alasanalasan, jika fakta-fakta yang dingunakan dalam cara berfikir itu sebelumnya sudah dinyatakan benar. logika bukanlah suatu ilmu empirik tetapi ilmu yang bersifat normatif (baihaqi, 1996). manfaat mempelajari logika ialah: pertama, membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. kedua, mendidik manusia bersikap objektif, tegas, dan berani; suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat. ketiga, melatih kekuatan akal pikiran dan perkembangannya dengan latihan dan selalu membahas dengan metode-metode berpikir. dan keempat, dapat meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan melaksanakan pekerjaan tepat pada waktunya (poespoprodjo, 1999). menurut ibnu thufail dalam karyanya hayy ibn yaqdzan kebenaran bisa ditemukan manakala ada keserasian antara akal manusia dan wahyu. dengan akalnya, manusia mencari tuhan dan bisa sampai kepada tuhan. namun, penemuannya itu perlu konfirmasi dari tuhan melalui wahyu, agar dapat menemukan yang hakiki dan akhirnya ia bisa berterima kasih kepada tuhan atas segala nikmat yang diperolehnya terutama nikmat bisa menemukan tuhan dengan akalnya itu (nurwardani, dkk, 2016). walaupun hidup dengan kesederhanaan di pesantren, mahasantri dapat betah tinggal di lingkungan kampus pesantren idia prenduan. menurut salah seorang mahasantri jurusan bpi, m. ali akbar asal palembang sumatera selatan, ia mengatakan yang membuat dia betah di idia karena merantau dari palembang ke prenduan merupakan suatu kehormatan, bagi dirinya dan keluarganya. sehingga sangat memalukan apabila pulang sebelum lulus dari idia prenduan. sedangkan menurut syahrir ridho, salah seorang mahasiswa asal pragaan kabupaten sumenep madura, yang membuat dia memilih idia sebagai tempat kuliah dan merasa betah, karena menurutnya idia satu-satunya kampus yang ada di madura, yang – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 201 memiliki mahasiswa dari seluruh penjuru nusantara indonesia. baginya suatu kebanggaan dan kebahagiaan diri dengan memiliki teman baru dari luar madura, baik ada yang dari jawa, sumatera, papua, dan daerah lainnya. setelah menjadi mahasantri di kampus idia prenduan, ada beberapa hal yang membuat mereka lebih bahagia hidup di pesantren. menurut fathurrahman, mahasiswa jurusan kpi asal palembang (2017), menurutnya bahwa dirinya memilih idia karena di idia menerapkan sistem belajar yang mengedepankan pelajaran kepesantrenan (ma’hadi), mengedepankan syari’at islam, dan juga adanya program intensif yang di sana terdapat kegiatan yang sebagaimana ada pada pondok pesantren pada umumnya, hal ini karena idia juga termasuk lembaga yang dinaungi oleh pondok pesantren al-amien prenduan. di samping itu, karena di idia juga ada program menghafal kitab alquran, jam’iyatul qurra’ wa al-huffadh (jqh), di dalamnya para santrinya diwajibkan menggunakan bahasa pengantar komunikasi dengan bahasa arab dan inggris. pada intinya banyak santri memilih kuliah di idia karena selain kuliah sekaligus bisa nyantri. kebersamaan dalam belajar dapat menjadi faktor stimulan kebahagiaan bagi mahasiswa. menurut moh hasanuddin, salah seorang mahasiswa bpi, cara untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan serta memunculkan rasa betah hidup dan kuliah di idia dengan cara sering berkunjung dan membaca buku yang ada di perpustakaan kampus. di saat itulah mahasiswa dengan bersama teman lainnya melakukan diskusi tentang buku yang sedang di baca. kebersamaan dalam diskusi inilah menjadi salah satu faktor yang membuat mahasiswa idia bahagia di pondok pesantren. bukan hanya dalam belajar, mahasiswa di idia prenduan, sangat senang pada saat melaksanakan shalat berjamaah dan mengaji alquran bersama setelah shalat maghrib. sebagaimana penuturan ibnu syawaludin (2017), salah seorang mahasiswa program intensif dari fakultas dakwah. menurutnya yang menimbulkan rasa betah di idia adalah suasana 202 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren menjelang terbenam matahari, muncul perasaan senang saat pulang kuliah, pulang ke asrama lalu melaksanakan shalat maghrib berjamaah, mengaji bersama, suasana tersebut yang memunculkan rasa bahagia tinggal di kampus pesantren. dalam kehidupan santri, kata bersama merupakan hal yang sudah tertanam pada diri seorang santri, senang, sedih, jenuh, bahagia, susah dan berbagai macam perasaan yang dijalani. hidup di pesantren penuh dengan kebersamaan, mulai dari shalat, sekolah, belajar, makan, tidur, belajar dan berbagai kegiatan yang sudah ditetapkan oleh pesantren. memang kehidupan di pesantren dapat membuka wacana seseorang tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan tanpa keegoisan semata, ketika ada sahabatnya sakit bersama-sama membantu, mencucikan baju, menjaganya sampai merawatnya hingga sembuh. kebersamaan dalam kehidupan pesantren membuat persahabatan santri sangat erat dan terasa iklim kekeluargaannya antara mereka. dengan persahabatan ini, nilai gotong royong yang hampir pudar di tengah menguatnya hedonisme, individualisme, dan egoisme, tetap tertanam begitu kuat di lingkungan pesantren. menurut myers dalam marcham darokah (2005), individu yang ceria, banyak memberi, memberikan pertolongan, dan jarang mengeluh merupakan individu yang memiliki skor tinggi dalam kebahagiaan. para peneliti menemukan individu yang tinggal di lingkungan agamawan dan dalam masyarakat atau keluarga yang hubungannya juga memiliki skor tinggi dalam kebahagiaan. selain itu, untuk menjadikan para mahasiswa/mahasantri senantiasa bahagia, para kiai senantiasa memotivasi hidup mereka dengan tema-tema syukur dalam ceramah dan pembelajaran yang diberikan oleh para kiai di idia prenduan. menurut salah seorang anggota majlis kiai pondok pesantren al-amien prenduan, kh. fauzi rasul, lc (2017), setiap risalah dalam kehidupan ini tidak lepas yang namanya rahmat dari allah swt, sebagaimana dalam kehidupan manusia, karena manusia tidak mampu – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 203 menghitung setiap nafas yang dihirup. hal ini sebagaimana firman allah, dan jika kamu menghitung nikmat allah, niscaya kamu tak akan mampu menghitungnya. (qs.ibrahim : 34). kiai alumni universitas ummul qura’ makkah saudi arabia tersebut menambahkan bahwa begitu banyak di kalangan kita yang saat ini ada di rumah sakit, banyak dari kalangan mereka bernafas dengan oksigen, mereka juga harus membayar dengan sangat mahal. untuk itu, mahasiswa di idia selalu diberikan materi tentang syukur agar mereka bisa bahagia terhadap nikmat yang diterimanya saat ini. orang kaya tidak bersyukur apa yang ia punya maka hidupnya tidak akan merasa senang, selalu merasa susah.dan sebaliknya, orang miskin tetapi ia bersyukur dengan apa yang ia punya, maka hidupnya akan bahagia. syukur adalah bentuk rasa berterima kasih individu terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya, baik kejadian maupun menerima sesuatu dari pihak lain. termasuk juga di dalamnya respon kegembiraan dan kecenderungan untuk melihat kehidupannya sebagai anugerah. syukur memiliki hubungan dengan berbagai aspek dan komponen terhadap kebahagiaan, individu yang memiliki pola pikir untuk terus bersyukur adalah individu yang bahagia. pada individu yang memiliki tingkat syukur yang tinggi, akan memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi pula karena ada kecenderungan untuk lebih puas dan optimis jika dibandingkan dengan individu yang tidak bersyukur. kecemasan dan depresi diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak bersyukur (sativa & helmi, 2017). hal ini senada dengan pendapat untung wardoyo (2008), bahwa bahagia menikmati apapun yang sudah diperoleh wujud lain dari makna kata bersyukur. setelah lulus dari kuliah dan nyantri di idia, maka untuk program intensif, diwajibkan untuk melakukan tugas pengabdian. dalam menjalankan tugas pengabdian, mereka menjalankan dua tugas utama, sebagai staf tenaga kependidikan, dan ikut membantu dalam perkuliahan kepondokan yang diselenggarakan di pagi hari. tenaga pengabdian di idia merupakan pekerjaan mulia berdasarkan panggilan hati nurani, 204 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren bukan semata-mata sebagai sumber penghasilan. menurut penuturan salah seorang dosen di fakultas dakwah idia prenduan, rosyidi, m.sos (2017). ia menjelaskan bahwa pondok pesantren al-amien prenduan, terutama di idia, tujuan pendidikannya salah satunya untuk membentuk pemimpin yang tangguh, yang sabar, dan yang bisa menerima apa adanya. di dalamnya senantiasa melatih santri dan mahasiswanya untuk bersabar dalam pengabdian, karena di bayar atau tidaknya, bukan persoalan utama, namun mereka senantiasa diajari dan dididik untuk selalu mengedepankan keikhlasan dalam bekerja dan beramal shalih. intinya pendidikan yang ditanamkan agar mereka juga menjadi tipe orang yang sabar dan ikhlas. bahkan dalam benak para santri dan mahasiswa diajarkan bahwa uang itu bukan sebuah kesuksesan, akan tetapi keikhlasan itu yang akan menjadi kesuksesan di dunia dan di akhirat. menurut siska wulandari dan ami widyastuti (2014), pekerjaan bukan hanya alat untuk mendapatkan uang tetapi juga isyarat bahwa individu dihargai, dibutuhkan orang lain, dan meyakinkan bahwa individu mampu melakukan sesuatu sehingga pekerjaan memberikan makna lain pada kehidupan individu. ada tiga konsep kerja, yaitu pekerjaan yang berfokus pada keuangan sehingga memandang pekerjaan sebagai keuntungan yang diperoleh dari provider untuk kebutuhan keluarga. kedua, pekerjaan merupakan suatu karir dengan cara memfasilitasi motivasi berprestasi, mensimulasi kebutuhan untuk berkompetisi, atau meningkatkan harga diri dan kepuasan. ketiga, pekerjaan merupakan suatu panggilan hati yang bersumber dari kebermaknaan pribadi yang berasal dari keyakinan individu melakukan tujuan sosial yang bermanfaat sebagai bentuk pengembangan ke arah yang lebih baik. individu yang bekerja dengan rasa bahagia adalah individu yang memiliki perasaan positif setiap waktu, karena individu tersebut yang paling tahu bagaimana mengelola dan mempengaruhi dunia kerjanya sehingga memaksimalkan kinerja dan memberikan kepuasan dalam bekerja. ada lima faktor yang membuat seseorang bahagia di tempat – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 205 kerja. faktor-faktor tersebut adalah hubungan positif dengan orang lain, prestasi, lingkungan kerja fisik, kompensasi, dan kesehatan. hubungan positif dengan orang lain merupakan faktor terbesar yang membuat seseorang bahagia di tempat kerja. walaupun status sosial sebagai guru/asisten dosen, namun tetap saja sebagai tenaga pengabdian, yang hanya hidup dengan kesederhanaan. walaupun hanya mendapat fasilitas mandi seadanya, makan gratis dan uang saku sekadarnya, namun tidak mengurangi kebahagiaan tenaga pengabdian di idia prenduan. hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh muhammad ghafur wibowo (2016), bahwa pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kebahagiaan masyarakat. bahkan menurut untung wardoyo (2008), bahwa kesuksesan bukan hidup kaya raya atau sukses bukanlah kebebasan finansial. anggapan kesuksesan yang selalu diidentikan dengan uang, merupakan anggapan yang sudah usang dan kuno. anggapan seperti itu, justru diucapkan oleh merekamereka yang sudah atau pernah berada pada puncak tangga kesuksesan yang tinggi. di awal-awalnya mereka memang pernah beranggapan seperti itu. tetapi anggapan sukses adalah memiliki uang banyak, akhirnya mereka runtuhkan sendiri. mereka lebih suka menganggap bila sukses adalah bahagia menikmati apa yang sudah diperoleh. dan mereka juga yang mengatakan jika sukses tidak harus kaya, karena uang (harta kekayaan) bukanlah segalanya. itu sebabnya komentar mereka sangat sederhana sekali terhadap masalah kesuksesan, nikmati saja hidup ini. selain tidak beroirentasi kepada uang sebagai tujuan utama, di idia prenduan, ditanamkan tentang nilai-nilai keikhlasan. menurut salah seorang tenaga pengabdian, khairul basyar (2017), bahwa motivasi kerja para tenaga pengabdian dalam melaksanakan tugas karena adanya spirit keikhlasan. menurut untung wardoyo (2008), keikhlasan adalah roh yang melandasi segala macam cabang-cabang keimanan manusia. hanya niat ikhlas sajalah yang sudah dijamin (diridhoi) dapat menyelamatkan kelangsungan hidup manusia di kehidupan abadi nanti. karena niat 206 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren ikhlas adalah niat yang sudah pasti baik dan benar. di dunia, niat ikhlas adalah tiket masuk menuju pintu gerbang tol taqwa guna menempuh jalan yang lurus (jalur keikhlasan) yang diridhoi dan berada langsung dalam pengawalannya. v. kesimpulan setelah dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh, maka dihasilkan kesimpulan bahwa logika kebahagiaan mahasantri di kampus idia prenduan, mereka menjadi senang hidup nyantri di kampus pesantren tersebut karena memiliki teman baru dari seluruh penjuru nusantara indonesia. untuk mereka yang dari luar madura, karena menjadi santri perantauan menjadi salah satu kebanggaan dan kebahagiaan diri bagi setiap mahasiswa. selain itu, alasan mereka memilih idia sebagai tempat kuliah karena mempunyai program dan sistem belajar yang mengedepankan pelajaran kepesantrenan (ma’hadi), mengedepankan syari’at islam, di dalamnya terdapat beberapa program unggulan yang dikenal dengan istilah program intensif. dalam pelaksanaannya terdapat beberapa keunggulan diantaranya ada program tahfidh alquran (jqh), di dalamnya juga para santrinya diwajibkan menggunakan bahasa pengantar komunikasi dengan bahasa arab dan inggris. selain itu, ada beberapa faktor yang membuat mereka bahagia hidup di idia prenduan, banyak diantara mereka mendapatkannya dengan cara sering berkunjung dan membaca buku yang ada di perpustakaan kampus. di saat itulah maka mahasiswa dengan bersama teman lainnya melakukan diskusi tentang buku yang sedang di baca. kebersamaan dalam diskusi inilah menjadi salah satu faktor yang membuat mahasiswa idia kerasan di pondok pesantren. bukan hanya dalam belajar, para mahasiswa di idia prenduan, sangat senang pada saat melaksanakan shalat berjamaah, dan mengaji alquran bersama setelah shalat maghrib. untuk menstimulasi kebahagiaan para mahasantri, para kiai senantiasa memotivasi hidup mereka dengan tema-tema syukur dalam ceramah dan pembelajaran yang – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 207 diberikan oleh para kiai di idia prenduan. di samping itu, santri dan mahasiswanya senantiasa dilatih untuk bersabar dalam pengabdian, mereka senantiasa diajari dan dididik untuk selalu mengedepankan keikhlasan dalam bekerja dan beramal shalih bukan berorientasi pada materi yang didapatkan. daftar pustaka arif, mahmud. (2008). pendidikan islam transformatif, yogyakarta: lkis. baihaqi, (1996). ilmu mantik teknik dasar berpikir logika. bandung: darul ulum press. darokah, marcham. (2005). peran akhlak terhadap kebahagiaan remaja islam. jurnal humanitas : indonesian psychological journal. 2(1) dhaif, syauqi. (2011). al-mu’jam al-wasith. mesir: maktabah shurouq addauliyah. dzulhadi, qosim nursheha, (2014) al-fa>ra>bi> dan filsafat kenabian. jurnal kalimah 12(1) fattah, ahmad. (2000). pengaruh tingkat pendapatan dan kepuasan menerima beasiswa terhadap kebahagiaan psikologis mahasiswa program dual mode system di stai staistai stai pati tahun 2013. wahana akademika : jurnal studi islam dan sosial, 1(1), 59-78. https://www.facebook.com/piss.ktb/posts/649438251776258, ditulis oleh m miftachul munif, diposting pada 4 oktober 2017, pukul 15.39 wib kompas.com. (2017) menyoal indeks kebahagiaan orang indonesia setelah 72 tahun merdeka. selasa, 22 agustus 2017. mundiri. (2000). logika. jakarta: pt raja grafindo persada. nurwardani, paristiyanti, dkk. (2016). pendidikan agama islam untuk perguruan tinggi. jakarta: dirjen pembelajaran dan kemahasiswaan kemenristekdikti. poespoprodjo, w. (1999). logika scientifica. bandung: pustaka grafika. rahman, abd. (2017). mahalnya sebuah identitas: guru yang termajinalkan. 208 | iwan kuswandi – logika kebahagiaan mahasantri di pesantren yogyakarta: lembaga ladang kata. sativa, alissa rosi & avin fadilla helmi. syukur dan harga diri dengan kebahagiaan remaja. fakultas psikologi universitas gajah mada yogyakarta. wardoyo, untung. (2008). teka-teki sukses. surabaya: bina ilmu. walker, timothy d. (2017). teach like finland: mengajar seperti finlandia. jakarta: grasindo. wibowo, muhammad ghafur. (2016). kebijakan pembangunan nasional: dari pertumbuhan (growth) menuju kebahagiaan (happiness). jurnal asy’syir’ah: jurnal ilmu syari’ah dan hukum. 50(1) wulandari, siska & ami widyastuti. (2014). faktor-faktor kebahagiaan di tempat kerja. jurnal psikologi, 10(1) issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 daftar isi negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma dan theresia octastefani 1 24 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma 25 44 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution dan miswari 45 62 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda 63 86 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas 87 110 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar dan imam mujahid 111 124 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution miswari institut agama islam negeri langsa keywords: charlie hebdo, framing, kompas. com, media, terror http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: ismailfahmiarraufnasution@yahoo.co.id miswariusman@yahoo.com abstract abstrak mass media is an effective instrument in building public opinionthough mass media is believed to be transparent and independent principally, the information which is presented to public is the result of human’s constructionbased on their knowledge about realities understanding. in this topic, the majority of moslem, recently, claimed that some popular mass medias are not objective in reporting terrorism. for that reason, this article showed that the image of islam as a terror of religion is constructed, especially from the online media framing in kompas.com about the incident in charlie hebdo’s media in paris. media massa adalah alat yang sangat efektif dalam membentuk opini masyarakat. sekalipun diyakini berprinsip transparan dan independen, tetapi informasi yang disiarkan pada dasarnya merupakan hasil konstruksi manusia sebagai bentuk pemahaman mengenai realitas pengetahuan. terkait hal tersebut, belakangan mayoritas kaum muslim mengklaim beberapa media massa populer dipandang berbias dalam meliput pemberitaan tentang terorisme. untuk itu, artikel berupaya membuktikan sejauh mana citra islam sebagai agama teroris dimunculkan, terutama melalui pembingkaian media onlinekompas. com tentang peristiwa penyerangan kantor berita satire charlie hebdo di paris. doi number 10.22515/ balagh.v2i1.753 kata kunci: charlie hebdo, pembingkaian, kompas.com., media, teror 46 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? i. pendahuluan islam dalam sejumlah pemahaman dan stereotif saat ini, dapat dikatakan rentan untuk dibahas. sebagai salah satu bagian dari topik sosial, pemahaman tentang agama—islam—oleh sebagian masyarakat, boleh jadi merupakan sebuah konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan media. menurut eriyanto (2002, 3), setiap manusia memiliki kebebasan dalam bertindak di luar kontrol struktur serta pranata sosial yang ada di sekitarnya. dalam hal ini, manusia bertindak aktif dan kreatif dalam mengembangkan dirinya terhadap stimulus ataupun rangsangan kognitif yang diterimanya. dengan demikian, muncul adanya proses sosial yang selanjutnya mengkonstruksi pemikiran dan pemahaman manusia, termasuk pula bagaimana membentuk realitas sosial yang bebas di dalam masyarakat. media adalah pengkonstruksi realitas. dalam fungsi informatif, media jelas berupaya menyiarkan informasi berdasarkan realitas dari sejumlah peristiwa guna menjadi sebuah wacana yang bermakna (hamad 2004, 11 dalam flora 2014, 350). terkait hal ini, fakta dari peristiwa ataupun kejadian tidak secara langsung diberitakan, melainkan diolah sedemikian rupa melalui proses redaksi yang ada pada media. dengan demikian, muncul pemahaman bahwa realitas yang dimunculkan melalui media pada dasarnya merupakan sebuah konstruksi yang merujuk pada realitas kedua (second hand reality). adapun konstruksi realitas yang dimunculkan media secara dominan memang melibatkan individu yang ada di dalamnya. terutama melalui proses redaksi, sebut saja wartawan, redaktur, dan editor, secara langsung mengemban tugas dalam proses terciptanya sebuah berita yang akan disiarkan. pada akhirnya, muncul istilah khusus yang mana menurut marshall mcluhan bahwa medium is the message. hal ini mengindikasikan bahwa media pada akhirnya tidak hanya menjadi komunikator, melainkan juga pesan itu sendiri. media massa dalam posisinya tentu dianggap sebagai saluran independen yang tidak berbias dan tidak memiliki orientasi tertentu. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 47 idealnya, media massa hanya mengusung transparansi dan independensi. masyarakat hanya akan mempercayai dan menerima media massa yang konsisten mengusung transparansi dan independensi. sebuah media massa hanya dapat bertahan karena diterima masyarakat. maka itu, hampir mustahil media massa populer membingkai informasi yang tidak independen. begitu pula dengan framing yang dibuat oleh media massa populer tentu tidak berbias. merujuk pada konstruksi realitas media, dewasa ini banyak bermunculan pemberitaan mengenai islam, yang secara khusus justru diarahkan pada konsep dan doktrin terorisme. sadar ataupun tidak, tidak semua media kemudian memiliki sudut pandang yang sama dalam pemberitaannya. pro kontra pun saling bermunculan, seiring dengan pemberitaan media yang pada akhirnya turut mempengaruhi perspektif sosial masyarakat dalam memaknai islam. sebut salah satunya, ketika suatu media terlalu membesar-besarkan terorisme dan mengindentifikasikannya sebagai bagian dari agama islam, maka media inilah yang secara tidak langsung memberikan sugesti kepada masyarakat untuk berpikir demikian. ini pun berlaku sebaliknya, terlepas dari sejauh mana intensitas audiens dalam mengkonsumsi dan menyerap pemberitaan melalui media. posisi media tentunya harus seimbang. konteks ini menjelaskan bahwa media memiliki tanggung jawab yang besar atas kebebasan yang diperoleh (nurdin 2001, 253). terlebih, dewasa ini penyebaran suatu informasi terjadi dengan sangat cepat. bahkan dunia yang diakui sangat luas pun, diibaratkan seperti daun kelor dalam hal penyebaran informasi (bungin 2006, 133). hal ini dapat dilihat melalui kemunculan media-media online yang begitu cepat penyiaran informasinya. karena itu, media massa massa harus terus ingat akan tanggung jawab mereka. media harus selalu sadar bahwa peran mereka dalam membentuk opini masyarakat sangat besar (suryomukti 2012, 200). 48 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? hasrullah (2001, 38 dalam flora 2014, 351) menjelaskan kekuatan media sebagai saluran untuk mempengaruhi khalayak sekaligus pembentukan opini publik. namun demikian, terkait dengan pemberitaan mengenai islam dan tindak terorisme yang merebak dewasa ini, banyak kalangan masyarakat muslim yang mempersoalkan kredibilitas dan independensi media massa populer. secara tidak langsung, hal ini cukup merugikan setiap umat islam, khususnya di indonesia. mengingat indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. terkait hal tersebut, penelitian ini berupaya untuk menelaah bagaimana pembingkaian yang dilakukan oleh media, terutama dalam mengemas pemberitaan islam dan terorisme. merujuk secara khusus pada kasus penyerangan kantor berita satire charlie hebdo di kota paris, bagaimana pembingkaian media populer online kompas.com terhadap pemberitaan kasus tersebut. ii. metodologi penelitian tulisan ini bertujuan untuk meneliti framing atau pembingkaian yang digunakan kompas.com dalam memberitakan peristiwa yang menjadi sasaran kemarahan umat islam. peristiwa penyerangan kantor berita charlie hebdo di paris menjadi pilihan tulisan ini karena peristiwa tersebut dianggap mampu mewakili permasalahan mengenai konstruksi islam dan terorisme yang saat ini kerap dimunculkan. pemilihan media atas kompas.com pada dasarnya merujuk pada posisi kompas.com sebagai media online terbesar di indonesia. dalam hal ini, kompas.com dipandang mampu mewakili media-media online lainnya, dengan konsep pemberitaan yang lebih menyeluruh. selain itu, kekuatan media online juga dapat dilihat dari kecepatan media dalam mengaktualisasi informasi sehingga pemberitaan lebih cepat mengalami pembaruan sehingga merujuk pada aspek aktualitas data. penelitian ini menggunakan analisis framing model pan dan kosicki. perangkat framing ini dibagi ke dalam empat struktur besar, yakni : struktur – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 49 sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retoris (eriyanto 2002, 255-256). lebih lanjut, metode analisis ini berupaya melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan menafsirkan makna suatu teks melalui pembingkaian media. iii. pembingkaian berita kompas.com analisis framing atau pembingkaian berita media pada dasarnya berupaya untuk menelaah bagaimana batasan media melekat pada teks sebuah berita. dalam hal ini, bingkai yang melekat dalam teks akan membuat teks tersebut lebih menonjol serta berimplikasi pada pikiran (entman 2002, 391 dalam junaedi 2016, 214). terkhusus dalam penelitian ini, analisis framing yang digunakan adalah model analisis framing dari zhongdang pan dan robert kosicki (pan-kosicki). model framing ini merupakan modifikasi dimensi operasional dalam analisis wacana yang dikembangkan oleh van dijk. seperti yang telah disinggung sebelumnya, perangkat dalam menentukan serta menganalisis pembingkaian media dibagi menjadi empat struktur besar, yakni sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. masingmasing perangkat ini dapat dinyatakan saling berhubungan dalam merepresentasikan serta menganalisis bingkai media terhadap kasus ataupun pembahasan tertentu. aspek sintaksis dalam framing media berkenaan dengan cara jurnalis dalam menyusun peristiwa dalam bentuk hasil berita. hal ini dapat diamati melalui bagan berita (lead, latar, kutipan, dan sebagainya). sedangkan aspek skrip, ini berkaitan dengan bagaimana jurnalis menceritakan peristiwa dalam bentuk berita. aspek ketiga adalah tematik, dimana aspek ini merujuk pada cara jurnalis mengungkapkan pandangan dan perspektifnya terhadap peristiwa yang diberitakan. analisisnya dapat ditinjau dari proporsi dan komposisi kalimat, kohesi serta koherensi setiap kalimat dan paragraf, yang kesemuanya merupakan penyusun berita secara keseluruhan. terakhir adalah aspek retoris. aspek ini berusaha 50 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? menganalisis pola wartawan dalam menekankan makna tertentu ke dalam berita. boleh jadi, ini berkenaan dengan sudut pandang media—melalui wartawan—terhadap berita yang disiarkan, termasuk pula diksi, grafik, idiom, dan gambar sebagai pendukung tulisan (eriyanto 2002, 255-256). objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah media online kompas.com dengan sejumlah berita terkait penyerangan kantor majalah satire di paris, perancis. seperti yang dilansir pada salah satu berita kompas. com edisi 23 september 2016 berikut: kantor majalah satire perancis diserang, 11 orang tewas paris, kompas.com — setidaknya 11 orang tewas ketika penyerang bersenjatakan senapan serbu kalashnikov dan peluncur roket menembaki kantor majalah satire charlie hebdo, rabu (7/1/2015). presiden perancis francois hollande tiba di lokasi kejadian dan langsung menggelar rapat kabinet darurat. pemerintah perancis meningkatkan kewaspadaan hingga ke level tertinggi, terutama di sekitar kawasan paris. seorang sumber yang dekat dengan penyidik mengatakan, dua orang bersenjatakan kalashnikov dan peluncur roket menyerbu kantor majalah tersebut di pusat kota paris. para penyerang sempat terlibat baku tembak dengan aparat keamanan. sumber itu menambahkan, seorang penyerang membajak sebuah mobil dan menabrak seorang pejalan kaki saat berusaha melarikan diri. majalah satire ini menjadi pusat perhatian pada februari 2006 saat mencetak ulang kartun nabi muhammad yang sebelumnya diterbitkan harian denmark, jylland-posten. penerbitan kartun ini mendapat kecaman dari umat muslim sedunia. pada november 2011, kantor majalah ini diserang bom molotov saat kembali menerbitkan kartun nabi muhammad dengan judul “charia hebdo”. selanjutnya, pada september 2012, majalah ini kembali berulah dengan menerbitkan kartun nabi muhammad tanpa busana di saat aksi unjuk rasa tengah bergolak di seluruh dunia memprotes film innocence of muslims yang dianggap menghina agama islam. (sumber : http://internasional. kompas.com/read/2015/01/07/19274031/kantor.majalah.satir.perancis. diserang.11.tewas pada 23 september 2016:) fokus berita di atas sekilas mengarah pada peristiwa penyerangan di kantor majalah satire charlie hebdo oleh sejumlah orang, yang kemudian – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 51 menewaskan 11 orang korban. kompas.com memuat berita tentang serangan dua pemuda muslim asal perancis ke kantor majalah charlie hebdo karena kantor majalah ini dianggap melecehkan umat islam dengan membuat kaikatur nabi muhammad. di satu sisi, menggambar tokoh nabi muhammad pada dasarnya merupakan larangan bagi umat islam. hal inilah yang kemudian menimbulkan kritik dan perdebatan, di mana tindakan kantor majalah charlie hebdo dipandang telah melakukan pelecehan terhadap umat islam di seluruh dunia. framing dalam segi sintaksis dapat dilihat dari latar atau setting yang digunakan media. dalam hal ini, secara latar, layar laman kompas. com berlatar belakang dominan putih dengan warna dasar tulisan hitam sehingga membuat portal tersebut sangat sederhana. kemasan ini mampu membuat pembaca nyaman dengan tampilannya, sekaligus dipermudah dalam pemahaman berita. terlepas dari konteks iklan tertentu yang kemudian kerap kali muncul iklan dan menutup setengah layar. informasi berita selanjutnya juga muncul pada kompas.com edisi rabu 7 januari 2015. kompas.com memuat berita dengan judul: kantor majalah satire perancis diserang, 11 orang tewas, dengan jenis karakter huruf arial 21. dalam berita ini, kompas.com yang mengemas berita dengan menggunakan jenis karakter helvetica 11, dengan format non gelap sehingga karakter judulnya menjadi tampak sangat mencolok. namun demikian, dari segi redaksional judul, pada dasarnya tidak ditemukan indikasi tertentu yang cenderung menyudutkan islam. analisis lebih lanjut dari segi sintaksis muncul pula pada bagian lead. dalam lead berita kompas.com edisi 23 september 2016, dijelaskan bahwa “… setidaknya 11 orang tewas ketika penyerang bersenjatakan senapan serbu …”. lead merupakan bagian awal dalam sebuah berita, di mana bagian ini merupakan intisari awal sebuah berita yang memuat informasi pokok pada berita keseluruhan. melalui lead, garis besar mengenai data informasi yang dibaca akan dapat dipahami, meski tanpa membaca berita secara keseluruhan. terkait berita tersebut, lead ditonjolkan sebagai sebuah 52 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? informasi mengenai peristiwa penyerangan bersenjata terhadap kantor majalah charlie hebdo dan menewaskan korban jiwa. lead merupakan bagian penting di dalam sebuah berita. dalam susunan berita, sebut saja straight news, penggunaan lead sangatlah penting. berita pada dasarnya berita disusun dalam format segitiga terbalik sehingga bagian awal merupakan bagian terpenting dalam informasi berita, sampai pada bagian akhir yang menunjukkan bagian kurang dan tidak terlalu penting. keberadaan lead tentu diletakkan di awal paragraf berita sehingga dapat dikatakan bahwa lead di sini merupakan “jantung” sebuah berita dan menentukan bagaimana informasi di dalam berita mampu dihidupkan. salah satu kelebihan media online adalah pada tampilan karakter yang secara visual dapat dibuat lebih mencolok. namun demikian, hal ini tidak dilakukan oleh kompas.com. terkait dengan informasi berita, fokus ulasan merujuk pada senjata senapan serbu kalashnikov sehingga penafsiran pembaca cenderung diarahkan menuju afghanistan, tepatnya militan taliban yang kerap menggunakan senjata yang populer dengan sebutan “ak” tersebut. dalam hal ini, secara tidak langsung pembaca memiliki benang merah terkait istilah senjata “ak” tersebut dengan hampir setiap pemberontakan dan perlawanan yang dipandang telah dilakukan oleh para kaum muslimin. penjelasan untuk jenis senjata yang dipakai penyerang pada lead berita adalah hal yang dilakukan media tulis, baik cetak maupun elektronik. senjata peluncur roket juga ikut digunakan bersama kalashnikov. senjata peluncur roket ini belakangan terkonstruksi di benak khalayak, terutama ketika digunakan oleh para pejuang muslim di irak yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan amerika serikat. kata “teroris” memang belum muncul dalam lead. namun demikian, dua kata kunci tersebut merujuk kepada jenis senjata yang dianggap merepresentasikan sosok pelaku penyerangan yang sangat terkait dengan pejuang islam. merujuk pada analisis retoris framing media, adanya pemilihan diksi berfungsi untuk menekankan makna yang ingin dikonstruksi – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 53 media. kompas.com dipandang cerdas dalam memilih kata (diksi) guna menciptakan penafsiran ataupun pemaknaan tertentu tanpa melalui penggunaan literasi. namun demikian, kata kunci terkait pemilihan kata yang dimunculkan di dalam lead justru menjadi penegasan tentang posisi terorisme dalam pemaknaan berita. terkait analisis di atas, penggunaan kata “satire” atau satir di lain sisi, sebelum menyebut nama kantor majalah charlie hebdo, dinilai mampu mengimbangi framing negatif terhadap islam melalui dua kata kunci tadi. kata “satire” justru mengkonstruksi keseimbangan makna dengan memunculkan tafsir dalam benak pembaca untuk memaklumi tindakan penyerangan terhadap kantor charlie hebdo. lebih lanjut, hal ini mungkin akan berbeda dalam pemahaman apabila lead berita yang dicantumkan menghilangkan kata “satire”. dengan demikian, klaim framing negatif media tidak dapat dituduhkan kepada kompas.com, salah satunya dalam tinjauan analisis dengan mencantumkan kata “satire” pada judul berita. kompas.com sama sekali tidak bisa dituduh sebagai media penyebar kebencian terhadap islam, terutama dalam mencitrakan islam sebagai agama teroris. dalam konteks media online, berita dalam kompas.com tentu cenderung lebih singkat dibandingkan dengan berita-berita dalam media cetak. namun demikian, dari segi analisis skrip (teks), alur cerita dalam informasi berita yang dimuat mengarah pada sikap keras kepala charlie hebdo yang telah memancing kemarahan umat islam akibat memuat karikatur nabi muhammad. ini pun dapat dilihat melalui sejumlah paragraf akhir pemberitaan tentang charlie hebdo : majalah satire ini menjadi pusat perhatian pada februari 2006 saat mencetak ulang kartun nabi muhammad yang sebelumnya diterbitkan harian denmark, jylland-posten. penerbitan kartun ini mendapat kecaman dari umat muslim sedunia. pada november 2011, kantor majalah ini diserang bom molotov saat kembali menerbitkan kartun nabi muhammad dengan judul “charia hebdo”. selanjutnya, pada september 2012, majalah ini kembali berulah dengan menerbitkan kartun nabi muhammad tanpa busana di saat aksi unjuk rasa tengah bergolak di seluruh dunia memprotes film innocence of muslims yang 54 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? dianggap menghina agama islam. (http://internasional.kompas.com/ read/2015/01/07/19274031/kantor.majalah.satir.perancis.diserang.11. tewas pada 23 september 2016:) kalimat “penerbitan kartun ini mendapat kecaman dari umat muslim sedunia” pada akhir paragraf kelima merupakan awal penegasan bahwa serangan itu terjadi karena kecerobohan charlie hebdo yang kembali mengulangi kesalahan, yakni dengan memuat kembali karikatur nabi muhammad sebagaimana yang telah mereka lakukan pada februari 2006. diberitakan bahwa media charlie hebdo tetap kembali memuat karikatur nabi muhammad pada november 2011 yang selanjutnya memicu perdebatan. akibatnya, muncul serangan bom molotov yang secara terang-terangan langsung ditujukan ke kantor charlie hebdo. namun demikian, media charlie hebdo justru tetap melakukan hal yang sama pada september 2012. analisis framing kompas.com selanjutnya mengarah mengenai penegasan atas senjata yang digunakan dalam penyerangan merujuk pada paragraf ketiga berita : seorang sumber yang dekat dengan penyidik mengatakan, dua orang bersenjatakan kalashnikov dan peluncur roket menyerbu kantor majalah tersebut di pusat kota paris. para penyerang sempat terlibat baku tembak dengan aparat keamanan. (http://internasional.kompas.com/ read/2015/01/07/19274031/kantor.majalah.satir.perancis.diserang.11. tewas pada 23 september 2016:) dituliskan oleh kompas.com pada paragraf ketiga, dimana sumber yang dikutip adalah sumber pernyataan dari penyidik. sumber ini menerangkan tentang senjata yang dipakai penyerang sehingga memunculkan penegasan lead atas istilah senjata yang digunakan pada saat peristiwa penyerangan. sebagaimana telah ditegaskan zhongdang pan dan robert kosicki, pengutipan sumber adalah klaim yang dibuat wartawan bahwa berita yang disampaikan adalah sesuai dengan peristiwa. tentunya pembuat berita telah memaknai dan mengkonstruksi peristiwa berlandaskan pemaknaannya tersebut. pengutipan sumber itu pastinya bertujuan memperkuat berita – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 55 yang dikonstruksi wartawan bahwa pelaku serangan kantor berita charlie hebdo. maka pernyataan sumber yang dekat dengan penyidik itu untuk menguatkan argumentasi pembuat berita. sumber yang dikutip hanya sebuah usaha mengaitkan pemberitaan wartawan dengan pernyataan sumber. kalimat “sumber itu menambahkan, seorang penyerang membajak sebuah mobil dan menabrak seorang pejalan kaki saat berusaha melarikan diri” menyatakan bahwa ada penegasan di mana pelaku penyerangan melakukan pembajakan mobil terlebih dahulu kemudian menabrak seorang pejalan kaki, yang tentunya seorang yang ditabrak itu bukanlah pengikut dengan charlie hebdo. tidak jelas bagaimana bisa ada orang yang masih berjalan kaki di sekitar lokasi kejadian setelah mendengar suara tembakan bertubi-tubi. atau mungkin orang yang ditabrak tersebut mengalami cedera pendengaran parah karena memang tidak disebutkan berapa jarak lokasi penembakan dengan peristiwa tabrakan tersebut. beralih ke aspek retoris pada framing media, kompas.com meletakkan foto berukuran sekitar 7 inci di bawah judul dengan caption penjelas. dalam berita terkait, gambar yang dicantumkan adalah kesibukan petugas medis yang sedang mengevakuasi mayat-mayat korban penembakan. secara tidak langsung, foto –lengkap dengan caption—ini merujuk pada angle berita kompas.com terkait akibat dari peristiwa penembakan, di mana terdapat sejumlah korban yang tewas dan harus dievakuasi. namun demikian, foto ini sebenarnya terkesan berbeda dengan foto jurnalistik media lainnya yang juga dimuat dalam berita yang serupa topiknya, yaitu gambar dua pelaku penyerangan yang sedang menembak ke arah kantor berita charlie hebdo. kompas.com selanjutnya juga menyiarkan pemberitaan pada 2 januari 2013, dengan menulis pada salah satu paragrafnya: majalah charlie hebdo sudah beberapa kali menerbitkan kartun nabi muhammad dengan “bersembunyi” di belakang kebebasan berbicara dan berpendapat. berulang kali pula umat muslim marah atas terbitan charlie hebdo. (http://internasional.kompas.com/read/2015/01/07/19274031/ kantor.majalah.satir.perancis.diserang.11.tewas pada 23 september 2016:) 56 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? berita itu dibuat ketika media kompas.com memuat informasi bahwa charlie hebdo telah menerbitkan komik biografi nabi muhammad. dalam analisisnya, dinyatakan bahwa kompas.com menulis mengenai charlie hebdo yang “bersembunyi di balik kebebasan berbicara dan pendapat”. hal ini melahirkan makna bahwa seolah kompas.com juga tidak sependapat dengan tindakan-tindakan charlie hebdo yang melecehkan islam dengan dalih kebebasan pers. mengenai konteks pemberitaan kompas.com yang dipandang oleh sebagian muslim menyakiti umat islam karena dengan mudah memaknai tindakan teroris yang erat kaitannya dengan islam, dapat dikatakan bahwa dalam berita yang dianalisis di atas, belum mampu menegaskan bahwa posisi kompas.com sesuai dengan citra yang dinyatakan sebagian muslim itu. pada sejumlah berita yang dimuat kompas.com dalam waktu yang tidak jauh berbeda, di satu sisi media mengkonstruksi anggapan bahwa pelaku penyerangan kantor berita charlie hebdo adalah bagian dari teroris. anggapan ini dimaknai bahwa kompas.com meyakini adanya pelaku penyerangan tersebut adalah bagian dari militan yang terkait dengan gerakan ekstrem di timur-tengah, atau setidaknya mereka yang distereotipkan sebagai teroris karena mereka adalah orang islam. selanjutnya pada berita yang dimuat 10 januari 2015, kompas.com menyiarkan tentang seorang pria yang dianggap sebagai pahlawan karena telah membantu tertangkapnya dua penyerang. sebagaimana diakses dan dilansir dari sumber berita berikut : saat bersembunyi di sebuah gudang percetakan dan dikelilingi polisi, teroris said dan cherif kouachi tidak menyadari bahwa pasukan komando sedang diberi informasi tentang setiap gerakan mereka. informasi tersebut disampaikan lilian lepere (27 tahun) yang bersembunyi dalam sebuah kotak kardus hanya beberapa meter jauhnya dari kedua teroris itu. lepere bisa memberi tahu polisi tentang lokasi orang-orang bersenjata itu dan tata letak bangunan tersebut. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 57 selama lebih dari enam jam, desainer grafis itu menyampaikan informasi penting hingga pengepungan itu berakhir dalam baku tembak berdarah saat dua teroris bersaudara itu, yang telah bersumpah untuk mati sebagai martir, keluar dari persembunyian dan mengeluarkan tembakan, tetapi mereka kemudian menjadi sasaran hujan peluru polisi. dari tempat persembunyiannya di bawah wastafel, lepere pertama kali mengirim pesan teks kepada ayahnya saat kouachi bersaudara mengambil alih gudang percetakan di dammartin-en-goele, sebuah kota kecil di utara paris. dia menulis, “saya bersembunyi di lantai satu. saya pikir mereka telah membunuh orang lain. beri tahu polisi untuk turun tangan.” dia diketahui berada di sebuah ruangan yang terkunci. dia terus memberikan informasi penting kepada polisi dan pasukan khusus melalui teleponnya saat para penembak jitu mengambil posisi di atas atap gedunggedung di sekitarnya dan helikopter berdengung di atas kepala. lepere keluar tanpa cedera setelah baku tembak dan dibawa ke unit penilaian psikologis. seorang sandera yang ditawan di bawah todongan senjata oleh teroris itu juga dibebaskan. kouachi bersaudara lari sejak membunuh 12 wartawan dan polisi dalam serangan teror di kantor majalah satire charlie hebdo di paris, rabu lalu. saat perburuan besar-besaran terhadap mereka berlangsung, mereka membuang mobil curiannya dan melarikan diri dengan berjalan kaki ke hutan yang berjarak 50 km di sebelah utara paris. sabtu pagi kemarin mereka berhasil lolos dari cegatan polisi dan setelah pukul 8 pagi membajak sebuah mobil peugeot 206 abu-abu yang dikendarai seorang guru perempuan di dekat montagny-sainte-felicite, 30 km sebelah timur laut paris. jean paul douet, wali kota desa itu, mengatakan, seorang rekan melihat orang-orang itu memaksa perempuan itu untuk pindah ke kursi belakang. “dia melihat senjata mereka, dan khususnya roket peluncur granat,” katanya. guru tersebut kemudian dibebaskan tanpa cedera segera setelah itu, lalu puluhan mobil polisi mulai mengejar buronan itu di sepanjang jalan raya n2 menuju paris. selama pengejaran, baku tembak pun terjadi. kedua orang itu kemudian membuang mobil curiannya dan melarikan diri dengan berjalan kaki ke sebuah gudang percetakan yang dikelola keluarga di sebuah kawasan industri di dammartin-en-goele. mereka menyerbu masuk ke tempat itu, menyamar sebagai polisi bersenjata, dan menjadikan bos perusahaan itu sebagai sandera. polisi bersenjata mengepung gedung dan menutup kota berpenduduk 8.000 orang itu. semua tempat usaha ditutup, hampir 1.000 anak diungsikan dari sekolah dan jalan-jalan dibiarkan sepi, kecuali untuk jalur kendaraan polisi dan unit petugas bersenjata dengan perlengkapan perang. polisi bertopeng dan memakai helm dengan senjata otomatis terlihat mengintip keluar dari helikopter yang berdengung di udara. 58 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? michel carn, seorang warga, mengatakan, “seluruh kawasan dikepung. kami terkurung dalam rumah kami.” terdapat setidaknya empat kata ‘teroris yang ditulis. dan remuanya dengan jelas merujuk kepada said kouachi dan cherif kouachi yang meripakan dua bersaudara penyerang kantor berita charlie hebdo. namun benarkan kedua pelaku yang diklaim sebagai teroris itu adalah bagian dari jaringan militan timur-tengah, atau klai tersebut adalah klaim general bahwa setiap tindakan ekstim yang dilakukan seorang muslim, langsung disebut sebagai teroris? sad kouachi (lahir 7 september 1980) dan chrif kouachi (lahir 29 november 1982) yang sudah terindentifikasi oleh kepolisian perancis sebagai tersangka utama yang menggunakan topeng dan melakukan penembakan. kedua pria ini berasal dari gennevilliers berlatang belakang etnis aljazair kelahiran perancis berumur 34 dan 32. media dw.com memberitakan melalui http://www.dw.com/id/iniprofil-dua-tersangka-utama-penembakan-paris/a-18181066 profil kedua pelaku penyerangan sebagai berikut: cherif dan said kouachi dua tersangka utama penembakan di kantor redaksi charlie hebdo diduga menjalin kontak dengan al qaida di yaman dan islamic state di suriah dan irak. ini profil dua tersangka pelaku teror itu. cherif kouachi (dalam foto kiri berkepala botak) lahir 28 november 1982 di paris dari orang tua asal aljazair dan berstatus warga negara perancis. cherif pernah ditangkap aparat keamanan perancis 2005 saat berusaha terbang ke irak via suriah. pengacaranya vincent ollivier dalam wawancara dengan pittsburgh tribune mengatakan: cherif kouachi yang saat itu berusia 22 tahun tidak benar-benar taat beragama. cherif mengatakan kepada pengacaranya, ia minum alkohol, merokok ganja dan hidup bersama tanpa nikah dengan pacarnya. di pengadilan cherif mengatakan ia bergiat di bidang musik dan ingin menjadi penyanyi rap. beberapa rekaman video amatir dari saat itu menunjukkan cherif memakai atribut khas pemusik rap dan menyanyi rap sebagai sumber penghasilan sehari-hari, ia bekerja sebagai pengantar pizza dan bekerja sebagai tenaga lepas di supermarket. tapi cherif ketika itu juga sudah menjalin kontak dengan jaringan “buttes chaumont” yang membantu mengirimkan jihadis muda perancis ke irak untuk bergabung dengan al qaida saat dilancarkannya invasi amerika serikat ke irak pertengahan tahun 2000. nama aliasnya dalam jaringan itu adalah abu issen. tahun 2008 ia divonis penjara selama 3 tahun tapi hanya meringkuk 18 bulan di penjara dan setelah itu dibebaskan. cherif menyebutkan ia ingin – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 59 terbang ke irak karena terinspirasi oleh penyiksaan tahanan di penjara abu ghraib. sesaat setelah dibebaskan, polisi melacak keterlibatan cherif dalam upaya pelarian smain ait ali belkacem dari penjara. belkacem yang mantan anggota kelompok militan gia di aljazair divonis penjara seumur hidup pada 2002 akibat melancarkan serangan bom di stasiun kereta musee d’orsay tahun 1995 yang melukai 30 orang. cherif juga diduga menjalin kontak dengan jihadis beken asal perancis, djamel beghal. cherif bersama beghal diduga melakukan pelatihan militer bersama di afghanistan. tapi dugaan ini hanya terbukit bagi beghal dan ketelibatan cherif masih terus dilacak. said kouachi (dalam foto kanan berjenggot) kakak cherif lahir 7 september 1908 di paris juga berstatus warga negara perancis. tidak banyak rekam jejak said yang diketahui. petugas penyidik di kepolisian perancis memperkirakan said beberapa waktu silam melakukan perjalanan ke yaman. tidak diketahui apakah di sana ia melakukan pelatihan militer atau bergabung dengan kelompok militan yaman. sejauh ini yang diketahui dari laporan saksi mata pembantaian di kantor redaksi charlie hebdo paris, kedua tersangka pelaku menyatakan mereka anggota al qaida di yaman sebelum menembak mati 12 orang dan melukai 11 lainnya. (sumber : http://internasional.kompas.com/ read/2015/01/10/13513491/pria.ini.jadi.pahlawan.saat.melumpuhkan. penyerang.charlie.hebdo) sesuai dengan berita kompas.com tersebut, sebenarnya tidak ada klaim dari sumber berita online dw.com mengenai kedua sosok lelaki yang diberitakan sebagai bagian dari gerakan militan timur-tengah. dijelaskan pula bahwa segala yang berkaitan dengan gerakan militan dalam berita tersebut disinyalir hanya sebagai dugaan. terkait hal ini, kompas.com sebagai media online pengkonstruksi realitas, pada akhirnya turut mengkonstruksi makna bahwa kasus penyerangan kantor majalah charlie hebdo merupakan campur tangan dari teroris. namun demikian, konstruksi ini pun tidak terlepas dari akar permasalahan kritik satire majalah charlie hebdo yang memuat konten karikatur nabi muhammad, yang mana pada dasarnya hal tersebut sangat ditentang di dalam kepercayaan islam. analisis inilah yang kemudian secara aspek tematik—dalam framing 60 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? media—mengarah pada perspektif dan sudut pandang media terhadap siapa pelaku penyerangan. alhasil, stereotip inilah yang kemudian merebak di masyarakat tentang anggapan bahwa islam merupakan agama teror. iv. kesimpulan bad news is a good news. anggapan demikian boleh jadi merupakan sentilan bagi sejumlah media di seluruh dunia. dalam artian bahwa sejumlah pemberitaan yang kemudian mampu menimbulkan perdebatan dan sensitif terhadap sejumlah isu justru menjadi fenomena menarik yang harus dikabarkan oleh media. namun, sejumlah media hanya bermain pada pemberitaan fenomena, dan bukan merujuk pada akar fenomena peristiwa. tentu aspek ini, perlu adanya objektivitas, kredibilitas, dan tanggung jawab atas transparansi yang jelas terkait kebebasan media dalam menghimpun pemberitaan. media populer, tak terkecuali kompas.com secara tidak langsung mencitrakan adanya terorisme dalam tubuh islam. namun, tentu umat islam dalam hal ini tidak sepakat bahwa islam adalah agama terorisme. alasannya, tindakan teror tersebut jelas bukan tujuan islam. paradigma mengenai islam sebagai agama teroris yang dimaknai kompas.com dapat dikatakan berangkat dari prasangka tertentu terhadap islam dan pandangan kaum muslimin. hal inilah yang selanjutnya akan berdampak pada munculnya stereotip ataupun label identik bahwa islam adalah teroris. islam dan teroris pada dasarnya adalah isu sensitif. melalui penelitian ini, diharapkan secara sosial masyarakat, khususnya umat islam harus berhati-hati terhadap pemberitaan media. terutama dalam menyimpulkan ataupun memahami esensi dari sebuah berita, perlu adanya literasi masyarakat dalam posisinya sebagai khalayak media. terlebih, harus dapat dibedakan mana media yang kemudian menyebar hoax dan syiar kebencian, dan mana media yang benar-benar valid dan faktual dalam menyiarkan pemberitaan. lebih lanjut melalui penelitian ini, para cendekiawan muslim harus menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki harus didedikasikan bagi – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 61 kepentingan islam dan kaum muslimin. cendikiawan muslim memiliki tanggung jawab untuk melakukan literasi serta klarifikasi atas beritaberita yang oleh masyarakat diduga telah menyudutkan islam dan kaum muslimin. hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan dan konfirmasi mengenai posisi islam serta doktrin teroris yang kemudian dipandang sarat dimunculkan, terutama melalui sejumlah media. daftar pustaka bungin, burhan. 2006. sosiologi komunikasi, jakarta: kencana. eriyanto. 2002. analisis framing: konstruksi, ideologi, dan politik media. yogyakarta: lkis. flora, elina. 2014. “analisis framing berita calon presiden ri 2014-2019 pada surat kabar kaltim post dan tribun kaltim.” jurnal ilmu komunikasi universitas mulawarman vol. 2 no. 3. ejournal.ilkom. fisip.unmul.ac.id. (diakses tanggal 9 juni 2017). international kompas.com. 2013. majalah perancis terbitkan biografi nabi muhammad. http://internasional.kompas.com/ read/2013/01/02/17565774/majalah.perancis.terbitkan. biografi.nabi.muhammad (diakses 08 november 2016). _______. 2015. kantor majalah satir perancis diserang, 11 tewas. http:// inter nasional.kompas.com/read/2015/01/07/19274031/ kantor.majalah.satir.perancis.diserang.11.tewas (diakses 23 september 2016) _______. 2015. pria ini jadi pahlawan saat melumpuhkan penyerang charlie hebdo. http://internasional.kompas.com/read/2015/01/10/13513491/ pria.ini.jadi.pahlawan.saat.melumpuhkan.penyerang.charlie. hebdo (diakses 23 september 2016) junaedi, fajar. 2016. “jawa pos membela persebaya : bingkai pemberitaan jawa pos tentang persebaya dalam kongres pssi 2016.” ettisal journal of communication unida gontor vol. 1 no. 2 http://ejournal. unida.gontor.ac.id/index.php/ettisal/article/view/720. (diakses tanggal 9 juni 2017). nasional kompas.com. 2015. jk: teror terhadap majalah charlie hebdo tak bisa dibenarkan. http://nasional.kompas.com/ 62 | ismail fahmi arrauf nasution, miswari – islam agama teror? read/2015/01/08/21345091/jk. teror.terhadap.majalah.charlie. hebdo.tak.bisa.dibenarkan (diakses 08 november 2016). nurdin. 2001. pengantar komunikasi massa, jakarta: rajawali press. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 daftar isi negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma dan theresia octastefani 1 24 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma 25 44 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution dan miswari 45 62 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda 63 86 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas 87 110 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar dan imam mujahid 111 124 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas institut agama islam negeri surakarta keywords: broadcasting, journalism, profession, public relations, http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: zainul.abas@iain-surakarta.ac.id abstract this research is focused on the development of science profession course in the program of communication studies and islamic broadcasting since when it became a part of the department of da’wah, stain surakarta, to becoming part of the da’wah and communication major, faculty of ushuluddin and da’wah, iain surakarta. some problems in this research are: (1) how does the distribution map of the existing profession in the major of communication and islamic broadcasting (kpi)? (2) how does the development of profession-based courses in the major of communication and islamic broadcasting (kpi)? researchers categorize that the distribution map of subjects in kpi major into six components, namely component institute, component department, component science courses of kpi major, professional components of kpi major in journalism concentration, professional components of kpi major in broadcasting concentration, professional components of kpi major in public relation concentration. with such a profession component in kpi major, it can be expected to create students for becoming professionals in their field with the result by targeting appropriate academic skills in learning outcomes and the standards graduates competency will be achieved. doi number 10.22515/ balagh.v2i1.628 88 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi abstrak penelitian ini fokus pada pengembangan keilmuan mata kuliah profesi pada program studi komunikasi dan penyiaran islam sejak ketika menjadi bagian dari jurusan dakwah stain surakarta sampai menjadi bagian dari jurusan dakwah dan komunikasi fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta. permasalahan dalam penelitian adalah: (1) bagaimana peta persebaran mata kuliah profesi yang ada di program studi (prodi) komunikasi dan penyiaran islam (kpi)? (2) bagaimana pengembangan mata kuliah berbasis profesi selama ini program studi (prodi) komunikasi dan penyiaran islam (kpi)? peneliti dapat melakukan kategorisasi bahwa peta persebaran mata kuliah pada prodi kpi ke dalam enam komponen, yaitu komponen institut, komponen jurusan, komponen keilmuan program studi kpi, komponen profesi prodi kpi konsentrasi jurnalistik, komponen profesi prodi kpi konsentrasi broadcasting (penyiaran), komponen profesi prodi kpi konsentrasi public relation. dengan komponen profesi seperti itu prodi kpi diharapkan mampu mengantarkan mahasiswa menjadi tenaga-tenaga profesional di bidangnya sehingga targetan academic skill sesuai dengan learning outcomes dan standar kompetensi lulusan akan tercapai. i. pendahuluan iain surakarta, sebagai lembaga pendidikan tinggi, pada dasarnya memiliki orientasi dan output dari produk yang dihasilkannya. salah satu aspek yang dapat mengarahkan pada pembentukan output mahasiswa adalah desain kurikulum. dengan demikian, kurikulum mempunyai nilai strategis serta menjadi ujung tombak dari lembaga pendidikan. terdapat beberapa jenis mata kuliah yang dikembangkan di iain surakarta, yaitu: mata kuliah mandiri, mata kuliah prasyarat, dan mata kuliah co-syarat. dalam kenyataannya, pada tingkatan masing-masing fakultas dan jurusan atau program studi di lingkungan iain surakarta mempunyai mata kuliah yang berbeda-beda, meskipun hal tersebut adalah mata kuliah mandiri. adapun aspek yang menarik adalah adanya mata kuliah pengembangan yang berbasis program studi (prodi) yang disesuaikan dengan life skill, baik yang berupa general skill seperti self awareness (kesadaran diri), thinking skill (keterampilan berpikir), dan social skill (keterampilan kata kunci: jurnalistik, humas, penyiaran, profesi – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 89 sosial), maupun berupa spesific skill seperti academics skill (keterampilan akademik) dan vocational skill (keterampilan kejuruan atau tugas tertentu). mahasiswa harus memiliki basis keterampilan tersebut. adapun tujuan dari mata kuliah pengembangan yang berbasis prodi dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaktualisasikan diri mahasiswa dengan potensi yang dimiliki sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan hidup, seperti dengan jalan memberikan bekal, wawasan dan latihan dasar serta memberikan kesempatan secara luas kepada mahasiswa untuk bisa mengembangkan karirnya. secara umum, kurikulum dan pendidikan yang berorientasi kepada kecakapan hidup di lingkungan iain surakarta pada dasarnya berorientasi kepada kemandirian mahasiswa, dengan penguasaan keterampilan bahasa, informasi teknologi (it), serta kewirausahaan. demikian juga pada mata kuliah pengembangan yang ada di iain surakarta, terutama program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi). mahasiswa diharapkan mampu mewujudkan visi, misi, dan tujuan fakultas yang telah dirumuskan dengan mata kuliah berbasis profesi tersebut. adapun visi, misi, dan tujuan fakultas yang selaras dengan visi, misi, dan tujuan lembaga adalah menghasilkan sarjana muslim dalam bidang dakwah dan komunikasi yang profesional dan kompetitif serta mampu menjawab tantangan problem agama, sosial, dan budaya. hal ini diperkuat dengan visi dari program studi kpi yang menginginkan menjadi program studi yang unggul dalam membentuk sarjana muslim profesional dalam bidang komunikasi dan penyiaran dan mampu menjawab tantangan zaman, melalui penyelengaraan pendidikan di bidang komunikasi dan penyiaran. visi tersebut kemudian diturunkan dalam berbagai rumusan misi program studi kpi, yang diantaranya adalah mahasiswa diharapkan mampu memiliki kemampuan serta dapat mengembangkan konsep keilmuan komunikasi penyiaran yang islami ke arah aplikasi fungsional. prodi kpi kemudian menentukan kompetensi lulusan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan kelembagaan prodi kpi tersebut, yaitu: lulusan prodi kpi mampu memahami ajaran islam, ilmu komunikasi dan penyiaran; 90 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi mampu menyampaikan dakwah islamiyah baik melalui mimbar maupun media; serta mampu mengadakan dan mendesain penyiaran pesan islam, baik melalui mimbar maupun media. dalam konteks pengembangan kurikulum yang berbasis profesi ini, maka sebagai perangkat lunaknya (software), prodi kpi mendesain kurikulum spesific skill yang di dalamnya mencakup academics skill (keterampilan akademik) maupun vocational skill (keterampilan kejuruan) yang terdiri dari lima aspek. adapun beberapa komponen tersebut (sebelum kurikulum 2015 yang mengacu pada kkni) diantaranya komponen mpk (mata kuliah pengembangan kepribadian), komponen mkk (mata kuliah keilmuan dan keterampilan), komponen mkb (mata kuliah keahlian berkarya), komponen mpb (mata kuliah perilaku berkarya), dan komponen mbb (mata kuliah berkehidupan bermasyarakat). sedangkan dalam kurikulum iain surakarta tahun 2015 yang mengacu pada kkni dibagi menjadi komponen mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan. di dalam mata kuliah wajib, ada komponen mata kuliah konsentrasi. dengan komponen-komponen mata kuliah tersebut, prodi kpi berharap untuk menghasilkan lulusan yang profesional. keberhasilan prodi kpi mengantarkan lulusannya menjadi profesional sangat ditentukan oleh penyusunan desain pengembangan kurikulumnya. setelah penyusunan kurikulum, masih akan ditentukan oleh sosialisasi kepada seluruh civitas akademika. apabila hal ini dikaitkan dengan output, maka kualitas lulusan yang tidak seperti harapan merupakan indikator adanya hal yang perlu diperbaiki dalam proses belajar mengajar dengan kurikulum yang ada di prodi kpi selama ini. hal ini perlu segera dikaji untuk mengetahui apakah permasalahan berada pada titik sosialisasi desain kurikulum yang kurang jelas dan terarah, atau pada persoalan kemampuan dosen untuk merealisasikan kurikulum tersebut, atau pada kurangnya sarana pembantu, atau pada evaluasinya? titik ini yang menjadi fenomena menarik untuk dikaji secara mendalam dan analitis mengenai peta mata kuliah berbasis pengembangan profesi yang ada pada prodi kpi. selain itu, juga untuk – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 91 mengetahui pola pengembangan mata kuliah tersebut serta implikasinya terhadap output yang dihasilkannya. berdasarkan pemaparan tersebut, secara umum permasalahan mengenai kurikulum pada prodi kpi dapat dirumuskan dalam berbagai rumusan masalah yang akan menjadi fokus penelitian ini, yaitu: 1. bagaimana peta persebaran mata kuliah profesi yang ada di program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta? 2. bagaimana pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam (kpi) fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta? ii. metode penelitian penelitian ini dilaksanakan di program studi komunikasi penyiaran islam sejak ketika menjadi program studi dari jurusan dakwah dan komunikasi fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta sampai menjadi program studi komunikasi dan penyiaran islam di fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta. sumber data utama dalam penelitian ini adalah rumusan naskah kurikulum program komunikasi penyiaran islam jurusan dakwah dan komunikasi fakultas ushuluddin dan dakwah iain surakarta sebagaimana tercantum dalam buku panduan iain surakarta tahun 2011-2012 dan kurikulum iain surakarta tahun 2015. rumusan naskah kurikulum dalam buku panduan tersebut adalah implementasi dari kurikulum yang dipakai oleh program studi kpi selama beberapa tahun terakhir. teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui metode dokumentasi (mencatat dokumen). dalam proses pencatatan diusahakan mencatat berbagai hal secara cermat mengenai rumusan naskah kurikulum program studi kpi untuk mencari gambaran tentang sebaranmata kuliah profesi. ada beberapa alasan penting mengenai 92 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi pencatatan dukumen dalam penelitian ini, yaitu dapat digunakan sebagai sumber data utama dalam penelitian dan digunakan sebagai rangsangan/ stimulus dalam menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan. penelitian ini menggunakan teknik deskriptif-kritis analitis. selain digunakan untuk mendeskripsikan fenomena, metode kritis analitis juga memahami dan memberikan makna secara kritis terhadap gagasan primer dengan menggunakan pendapat atau teori lain dalam upaya menemukan arti, makna, dan nuansa yang khas. kemudian analisis kritis-analitis ini digunakan untuk menemukan pandangan-pandangan mengenai model pengembangan kurikulum yang berbasis profesi di iain surakarta, terlebih pada jurusan dakwah prodi kpi. secara operasional langkahlangkah analisis kritis-analitis penelitian ini dapat ditempuh dengan empat cara. pertama, dalam analisis kritis-analitis gagasan primer dideskripsikan terlebih dahulu. kedua, pada dasarnya menguraikan gagasan primer sama halnya dengan memberikan penafsiran secara kritis terhadap gagasan tersebut. ketiga, melakukan kritik, yaitu melihat dan menunjukkan kelebihan dan kekurangan gagasan tersebut, dalam konteks penelitian ini mengenai pengembangan kurikulum berbasis profesinya. keempat, setelah dianalisis kemudian dapat ditarik kesimpulan hasil penelitian. penelitian ini juga menggunakan yang oleh babble (2002, 369) dan miles & huberman (1984) disebut dengan analisis data kualitatif (qualitative data analisys). model analisis yang digunakan adalah analisis interaktif (interactive model of analysis), yang meliputi tiga tahapan yaitu reduksi data (data reduction), penyampaian data (data display), dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing). iii. hasil penelitian 1. persebaran mata kuliah profesi berdasarkan kurikulum sebelum kkni berdasarkan buku pedoman akademik iain surakarta (2012), persebaran mata kuliah pada program studi komunikasi dan penyiaran islam dapat diklasifikasi menjadi lima komponen. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 93 a. mata kuliah komponen institut no kode mata kuliah sks 1 ins.001 pancasila 2 2 ins.002 civic education 2 3 ins.007 iad/ibd/isd 3 4 ins.014 bahasa indonesia 2 5 ins.010 bahasa inggris i 3 6 ins.012 bahasa arab i 3 7 ins.011 bahasa inggris ii 3 8 ins.013 bahasa arab ii 3 jumlah 21 b. mata kuliah komponen jurusan no kode mata kuliah sks 1 dak.019 ushul fiqh 2 2 dak.009 ilmu mantiq/logika 2 3 dak.015 ulumul qur’an 2 4 dak.024 bta *) 0 5 dak.003 ilmu kalam 2 6 dak.017 ulumul hadits 2 7 dak.020 fiqh 2 8 dak.004 ilmu tasawuf 2 9 dak.006 metodelogi studi islam 3 10 dak.021 filsafat ilmu 2 11 dak.030 ilmu dakwah 3 12 dak.029 filsafat dakwah 3 13 dak 032 sejarah dakwah 3 14 dak 005 sejarah peradaban islam 3 jumlah 31 94 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi c. mata kuliah komponen keilmuan program studi no kode mata kuliah sks 1 kpi.009 ilmu komunikasi 3 2 kpi.012 teori komunikasi 3 3 kpi 010 komunikasi massa 3 4 kpi. 019 psikologi komunikasi 3 5 kpi .004 public relation 3 6 kpi.003 jurnalistik 3 7 kpi. 013 dasar-dasar penyiaran 2 8 kpi 015 periklanan 3 9 kpi 008 sosiologi komunikasi 3 10 kpi.018 desain grafis 3 11 kpi. 015 komunikasi antar budaya 3 12 kpi 013 teknik fotografi 3 13 kpi 011 sospedkot 2 14 kpi.016 teknologi informasi 3 15 kpi 022 jurnalistik online 3 16 kpi 023 riset-riset komunikasi 3 jumlah 46 d. mata kuliah komponen profesi program studi kpi konsentrasi jurnalistik no kode mata kuliah sks 1 kpij.001 penulisan berita, feature, dan editorial 2 2 kpij.002 manajemen pers 2 3 kpij.003 investigatif reporting 2 4 kpij.004 jurnalistik foto 2 5 kpij.005 layout 3 6 kpij.006 teknik wawancara 2 7 kpij.007 produksi media cetak 3 8 kpij.008 hukum dan etika jurnalistik/ pers 2 jumlah 18 – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 95 e. mata kuliah komponen program studi kpi konsentrasi broadcasting (penyiaran) no kode mata kuliah sks 1 kpib.001 manajemen penyiaran 2 2 kpib.002 teknik kepenyiaran rtv 2 3 kpib.003 penulisan naskah siaran rtv 2 4 kpib.004 teknik kamera 2 5 kpib.005 programming 2 6 kpib.006 sinematografi 3 7 kpib.007 produksi radio dan tv 3 8 kpib.008 hukum dan etika penyiaran 2 jumlah 18 f. mata kuliah komponen program studi kpi konsentrasi public relations no kode mata kuliah sks 1 kpip.001 manajemen pr 2 2 kpip.002 public speaking 2 3 kpip.003 media relation 2 4 kpip.004 protokoler dan mc 2 5 kpip.005 event organiser 2 6 kpip.006 human relations 2 7 kpip.007 manajemen krisis 2 8 kpip.008 marketing pr 2 9 kpip.009 perencanaan komunuikasi pr 2 jumlah 18 2. persebaran mata kuliah profesi berdasarkan kurikulum kkni berdasarkan buku pedoman akademik iain surakarta (2015), pembagian mata kuliah dibagi menjadi mata kuliah wajib dan mata kuliah pilihan. 96 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi a. mata kuliah wajib no kode nama mata kuliah sks kkni w / p 1 ins 201 pancasila 2 w 2 ins 202 pendidikan kewarganegaraan 2 w 3 ins 203 sejarah peradaban islam 2 w 4 ins 204 islam & budaya jawa 2 w 5 ins 205 ilmu kalam 2 w 6 ins 206 akhlak tasawuf 2 w 7 ins 207 metodologi studi islam 2 w 8 ins 208 filsafat ilmu 2 w 9 ins 209 bahasa indonesia 2 w 10 ins 210 kewirausahaan 2 w 11 kpi 301 ilmu komunikasi 3 w 12 kpi 302 teori komunikasi 3 w 13 kpi 304 jurnalistik 3 w 14 kpi 203 komunikasi massa 2 w 15 kpi 205 dasar-dasar penyiaran 2 w 16 kpi 209 psikologi komunikasi 2 w 17 kpi 213 sosiologi agama 2 w 18 kpi 206 public relation 2 w 19 kpi 207 periklanan 2 w 20 kpi 308 sosiologi komunikasi 3 w 21 kpi 312 desain grafis 3 w 22 kpi 228 ushul fiqh 2 w 23 kpi 229 ulumul quran 2 w 24 kpi 230 ulumul hadis 2 w 25 kpi 231 logika 2 w 26 kpi 222 bahasa arab 2 w 27 kpi 221 bahasa inggris 2 w 28 kpi 210 komunikasi antar budaya 2 w 29 kpi 211 teknik fotografi 2 w 30 kpi 220 statistik sosial 2 w 31 kpi 314 teknologi informasi 3 w 32 kpi 315 jurnalistik online 3 w 33 kpi 417 mpk kualitatif 4 w 34 kpi 318 mpk kuantitatif 3 w 35 kpi 227 manajemen dakwah 2 w 36 kpi 232 fiqh 2 w 37 kpi 233 tafsir 2 w 39 kpi 234 hadis 2 w 40 kpi 316 mp 3 w – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 97 41 kpi 323 ilmu dakwah 3 w 42 kpi 224 filsafat dakwah 2 w 43 kpi 325 sejarah dakwah 3 w 44 kpi 226 publik speaking 2 w 45 kpi 219 kajian media islam 2 w 46 kpij 302 penulisan artikel* 3 w 47 kpij 306 penulisan feature* 3 w 48 kpij 201 manajemen pers* 2 w 49 kpij 303 teknik wawancara & investigatif reporting* 3 w 50 kpij 305 jurnalistik foto* 3 w 51 kpij 307 layout* 3 w 52 kpij 308 produksi media cetak* 3 w 53 kpij 303 hukum dan etika* jurnalistik/pers* 2 w 54 kpib 201 manajemen penyiaran** 2 w 55 kpib 205 teknik reportase** 2 w 56 kpib 407 produksi siaran radio** 4 w 57 kpib 304 programming dan editing 3 w 58 kpib 308 produksi siaran televisi** 3 w 59 kpib 302 teknik kamera** 3 w 60 kpib 306 sinematografi** 3 w 61 kpib 203 hukum dan etika penyiaran** 2 w 62 kpip 201 manajemen pr*** 2 w 63 kpip206 csr*** 2 w 64 kpip 205 media relation*** 2 w 65 kpip 304 protokoler dan mc*** 3 w 66 kpip 308 riset pr*** 2 w 67 kpip 302 human relations*** 3 w 68 kpip 203 marketing pr*** 2 w 69 kpip 309 perencanaan komunikasi pr*** 3 w 70 kpip 307 event organizer 3 w 71 kpi 435 ppl kkl 4 w 72 kpi 436 kkn 4 w 73 kpi 637 skripsi 6 w jumlah mata kuliah wajib 137 keterangan : * mk konsentrasi jurnalistik (kpij) ** mk konsentrasi broadcasting (kpib) *** mk konsentrasi public relations (kpip) 98 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi b. mata kuliah pilihan pilihan no kode nama mata kuliah pilihan sks w / p keterangan 1 kpix 301 penulisan artikel 3 p mk pilihan selain konsentrasi jurnalistik 2 kpix 302 penulisan feature 3 p 3 kpix 303 teknik wawancara dan invest reporting 3 p 4 kpix 304 teknik kamera 3 p mk pilihan selain konsentrasi broadcasting 5 kpix 305 programing dan editing 3 p 6 kpix 306 sinematografi 3 p 7 kpix 307 human relation 3 p mk pilihan selain konsentrasi public relations 8 kpix 308 protokoler dan mc 3 p 9 kpix 309 event organizer 3 p jumlah sks mk pilihan ditawarkan setiap konsentrasi = 18 sks, dipilih 9 sks iv. pembahasan sebagaimana disebutkan dalam buku panduan akademik 2011-2012 (2012, 20), bahwa ada tiga aspek keilmuan (science) yang dikembangkan oleh iain surakarta. pertama, naqliyah yaitu keilmuan yang bersumber dari alqur’an dan sunnah, seperti tafsir, hadits, kalam, tasawuf, fiqh, dan lainnya. kedua, insaniyah yaitu keilmuan yang bersumber dari akal manusia, seperti fisika, kimia, manajemen, public relation (pr), dan lainnya. ketiga, qauniyah yaitu keilmuan yang bersumber dari fenomena alam semesta. berbagai konstruksi keilmuan tersebut dalam perangkat metodologinya, kemudian didesain oleh masing-masing fakultas, jurusan, dan prodi masing-masing yang ada di lingkungan iain surakarta dengan berbagai spesifiksasi keilmuan yang dimiliki serta disesuaikan dengan mata kuliah umum (mku), mata kuliah dasar keahlian (mkdk), mata kuliah keahlian (mkk), mata kuliah pengembangan (mkpb), mata kuliah pengayaan (mkpy), mata kuliah spesifikasi (mks) maupun mata kuliah pilihan (mkp) dipadukan dengan dengan ilmu-ilmu umum (sains, ilmu sosial dan humaniora) pada level objek formalnya. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 99 sementara itu, dalam buku panduan akademik iain surakarta tahun 2015, sejak tahun akademik 2015/2016 seluruh jurusan (program studi) di iain surakarta, menerapkan kurikulum yang mengacu kepada standar nasional pendidikan tinggi (snpt) dan kerangka kualifikasi nasional pendidikan (kkni). hal terpenting dari kkni adalah bahwa suatu pendidikan tinggi harus berbasis pada outcomes. kurikulumnya pun juga harus mencerminkan berbasis pada outcomes. karena itu, kurikulum iain surakarta tahun 2015 adalah kurikulum berbasis outcomes/outcomesbased curriculum dengan mengacu pada kkni. langkah awal dari implementasi dalam kurikulum berbasis outcomes/outcomes-based curriculum yang mengacu kkni adalah menetapkan kompetensi, learning outcomes, dan struktur mata kuliah pada lingkup institut. setelah itu, dilanjutkan dengan penyempurnaan dan implementasi kurikulum pada jurusan (program studi) yang dikoordinasi oleh masing-masing fakultas. dengan dijadikannya kkni sebagai rujukan pengembangan kurikulum, maka lulusan iain surakarta diharapkan dapat memenuhi tuntutan pasar kerja, kebutuhan stakeholder lainnya, serta dapat berkiprah aktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan pergaulan internasional. melalui penerapan kurikulum yang mengacu pada kkni, iain surakarta dapat menghasilkan lulusan yang dapat memenuhi berbagai karakter, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja pada era global dan pengakuan kesetaraan lainnya pada level dunia internasional. pengelompokan mata kuliah didasarkan pada capaian pembelajaran (learning outcomes). learning outcomes merupakan internalisasi dan akumulasi ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kompetensi yang dicapai melalui proses pendidikan yang terstruktur dan mencakup suatu bidang ilmu/keahlian tertentu atau melalui pengalaman kerja. rumusan capaian pembelajaran mengandung parameter deksripsi tentang sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skills). pengelompokan mata kuliah dalam kurikulum baru itu dibagi menjadi mata kuliah wajib dan 100 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi mata kuliah pilihan, dan dalam konteks program studi komunikasi dan penyiaran islam terdapat mata kuliah konsentrasi, yaitu konsentrasi jurnalistik, konsentrasi broadcasting, dan konsentrasi public relation. secara substansi, pengelompokan kurikulum lama dengan istilah-istilah lama, masih terdapat pada sebaran mata kuliah dalam kurikulum baru. karena itu, beberapa penyebutan istilah lama masih dipakai dalam tulisan ini untuk mempermudah memahami pembagian konsentrasi mata kuliah tersebut. berbagai sebaran mata kuliah tersebut kemudian ditopang dengan pengembangan life skill (kecakapan hidup), baik yang general skill maupun spesific skill, yang dilakukan oleh iain surakarta. secara umum, general skill ini mencakup beberapa aspek, seperti: self awarences (kesadaran diri), thinking skill (keterampilan berpikir) dan social skill (keterampilan sosial). sedangkan spesific skill mencakup academic skill (keterampilan akademik) dan vocational skill (keterampilan kejuruan). life skill ini dimunculkan oleh kampus sebagai bentuk keterampilan dasar (basic skill) yang harus dimiliki oleh semua mahasiswa iain surakarta, baik fakultas, jurusan, dan prodi sesuai dengan spesifikasi keilmuan masing-masing. terdapat tujuan dari pembekalan life skill ini. pertama, mengaktualisasi potensi mahasiswa sehingga dapat digunakan untuk memecahkan persoalan hidup yang dihadapi. kedua, memberikan wawasan yang luas dalam berkarir. ketiga, memberikan bekal dan latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. keempat, memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas. kelima, mengoptimalkan sumber daya yang ada di masyarakat. konstruksi kurikulum mata kuliah di iain surakarta, baik fakultas, jurusan maupun prodi seharusnya mengintegrasikan antara basis teori dengan life skill yang ada. aspek tersebut pada dasarnya sejalan dengan keilmuan yang dikembangkan oleh iain surakarta, yaitu qauniyah, insaniyah, dan naqliyah. dengan pengembangan kurikulum mata kuliah tersebut, maka ada dua mandat yang harus ditunaikan oleh iain surakarta. pertama, – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 101 mandat sebagai lembaga dakwah, maka iain surakarta memainkan diri sebagai agent of islamization. kedua, mandat sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan, maka iain surakarta memainkan diri sebagai agent of change. kedua mandat yang diemban oleh iain surakarta tersebut pada dasarnya dikonstruksikan pada tiga aspek dasar sebagai nilainya, yaitu religiousity, civility, and modernity. tidak adanya desain pengembangan kurikulum integral pada prodi kpi iain surakarta dengan penekanan pada aspek pembinaan keagamaan (religiousity) dalam tataran agama sebagai having religion, dimana kekokohan dimensi aqidah, akhlak, dan spiritual sangat diperlukan, membuat kurikulum perlu dievaluasi. kurikulum mata kuliah prodi kpi iain surakarta juga menekankan pada dimensi agama sebagai basis epistemologis yang memungkinkan untuk didekati, dikaji, dan dikembangkan dengan paradigma keilmuan sosial-humaniora dan academic skill. hal ini dimaksudkan sebagai bentuk penyeimbang wacana bahwa prodi kpi tidak hanya menjadi bagian dari domain iain surakarta yang berbicara dalam konteks keagamaan saja, tetapi juga merespons pendekatan keilmuan umum. pada titik ini letak kontribusi dari studi paradigmatik kurikulum mata kuliah prodi kpi untuk membuat pemetaan terhadap persoalan dan rumusan secara filosofis, baik dalam ontologi, epistemologi, aksiologi, visi, misi maupun pengembangan core values iain surakarta agar mempunyai output yang dapat diandalkan di tengah masyarakat. pengembangan keilmuan mata kuliah berbasis profesi di prodi kpi iain surakarta dari aspek paradigmatik hendaknya memotret pada tiga hal, yakni metodologi, teori, dan pendekatan. prodi kpi iain surakarta tidak akan berkembang apabila hanya mempertahankan desain kurikulum dengan paradigma klasik. harus disadari bahwa metodologi dalam kajian keislaman hendaknya jangan dibatasi agar mampu menyelesaikan persoalan dikotomi keilmuan yang ada. dengan prinsip integratif-interkonektif diharapkan menjadi tawaran alternatif baru dalam kajian keislaman agar terbuka, inklusif, dan mau berdialog dengan metodologi keilmuan sosial, 102 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi humaniora, serta basic skill. nilai penting dengan pendekatan integratifinterkonektif adalah bentuk pemahaman baru bahwa satu disiplin keilmuan tidak bisa berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan disiplin kajian yang lain. dalam konteks ini, prodi kpi seharusnya memposisikan kurikulum mata kuliahnya menjadi sesuatu yang menarik minat dan layak dibeli masyarakat. prodi kpi harus mampu mengemas kurikulum mata kuliahnya sedemikian rupa hingga dapat meyakinkan masyarakat sebagai konsumen. hal yang harus diperhatikan oleh prodi kpi adalah bahasa pada kurikulum harus dikemas dalam keadaan yang menarik, efektif, serta dapat meyakinkan masyarakat luas karena kurikulum mata kuliah yang layak dijual, dikedepankan, dan diprioritaskan untuk menarik konsumen. masyarakat sebagai konsumen harus dapat diyakinkan bahwa program pendidikan dan kurikulum di prodi kpi telah dirancang dengan cermat, filosofis, dan paradigmatik sehingga tidak akan membuang waktu, tenaga, dan dana mahasiswa yang belajar di lembaga ini. sebagai bukti dari by design tersebut yaitu adanya persebaran kurikulum dengan komponen mata kuliah keahlian berkarya terdiri atas: manajemen dakwah, teknik pidato, jurnalistik, public relation (pr), komunikasi antar budaya, filsafat dakwah, ilmu dakwah, teknik fotografi, komunikasi massa, manajemen humas, komunikasi antar pribadi, perencanaan komunikasi, sosiolinguistik, dan lainnya. mengenai cakupan komponen mata kuliah perilaku berkarya, terdiri atas mata kuliah, seperti: periklanan, teknologi informasi (it), desain grafis, jurnalistik online, penulisan berita, manajemen pers, investigasi reporting, jurnalistik foto, desain layout, hukum dan etika junalistik, manajemen penyiaran, teknik penyiaran rtv, penulisan naskah siaran rtv, teknik kamera, programming, sinematografi, teknik wawancara, produksi media cetak, produksi siaran radio, televisi dan film, dan berbagai mata kuliah komponen mpb lainnya. untuk mendukung pengembangan kurikulum berbasis profesi tersebut, maka pihak prodi kpi menjalin kerja – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 103 sama dengan berbagai lembaga kursus atau pengembang keterampilan, seperti: harian joglo semar, solo pos, radar solo, radio solo pos fm, radio mh fm, radio media advertising, majalah wisata hati, tatv, sejumlah rumah sakit di lingkungan surakarta, kua di wilayah surakarta, dan lembaga kursus lainnya. semua komponen mata kuliah perilaku berkarya pada dasarnya mata kuliah yang berbasis profesi prodi kpi, mampu menjadi bahan acuan dan landasan teoritis mahasiswa dalam mengembangkan academic/spesific skill sesuai dengan minat-bakatnya masing-masing. semua komponen mpb prodi kpi yang ada berjumlah 31 mata kuliah dengan total sebanyak 73 sks, secara umum cukup untuk memberikan landasan teoritis mengenai bidang pengetahuan tertentu. prodi kpi dengan mpb ini banyak menaruh harapan bahwa mahasiswa mampu mengambil peran aktif sehingga target academic skill sesuai dengan standar kompetensi lulusan akan tercapai. bagi prodi kpi, hanya komponen mpb ini yang layak dijual kepada masyarakat, bahwa produk yang dihasilkan minimal akan menguasai kemampuan dasar mata kuliah ini. komponen mpb ini pada dasarnya dikuatkan dengan komponen yang lain, yaitu mkb, sebagai aspek penunjangnya. sesuai dengan nama prodi (komunikasi dan penyiaran islam), maka komponen mpb ini tidak jauh dengan dunia jurnalistik, baik itu cetak maupun elektronik. sebaran komponen mpb ini mulai dikenalkan pada semester iv, meskipun hanya beberapa pilihan saja. dalam kenyataannya, prodi kpi secara tidak langsung mengarahkan profesi yang akan digeluti oleh mahasiswa pada tiga pilihan yaitu jurnalistik, broadcasting, dan public relation. bagi mahasiswa yang berminat terhadap profesi jurnalistik, tentu pilihan mata kuliahnya akan berbeda dengan yang mengambil jalur broadcasting atau public relation. misalnya yang berminat terhadap jurnalistik, pada semester v mulai ada mata kuliah academic skill, seperti penulisan berita, feature, dan editorial; manajemen pers; dan investigatif reporting. sedangkan mahasiswa yang ingin menekuni broadcasting akan dikenalkan mata kuliah manajemen penyiaran, teknik penyiaran rtv, dan penulisan 104 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi naskah siaran rtv. bagi mahasiswa yang menekuni bidang public relations, maka prodi kpi memberikan tawaran mata kuliah manajemen pr, public speaking dan media relation. pada semester vi, untuk peminat jurnalistik terdapat komponen mpb yang harus diambil seperti statistik sosial, sospekdot, dan teknologi informasi. sementara bagi mahasiswa yang mengambil profesi broadcasting pihak kpi menawarkan mata kuliah programming, sinematografi, dan produksi radio-tv. ada beberapa mata kuliah untuk peminat public relation, seperti protokoler dan mc, event organiser, human relations, manajemen krisis dan marketing pr. pada semeter vii, peminat jurnalistik hanya ada satu tawaran mpb, yaitu hukum dan etika jurnalistik. sedangkan untuk broadcasting juga hanya ada satu tawaran mpb, yaitu hukum dan etika penyiaran. sementara, peminat public relation hanya ada mata kuliah perencanaan komunikasi pr. komponen mpb dalam prodi kpi, terutama yang mengambil spesifikasi dan keahlian jurnalistik, maka mata kuliah yang ada berusaha membawa mahasiswa untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip mendasar, struktur, dan sistem kerja dalam media massa. sedangkan bagi yang berminat pada broadcasting, semua komponen mpb mengarahkan agar mahasiswa lebih menguasai, mampu, dan memahami nilai-nilai dasar, struktur, dan pola-pola kerja penyiaran serta produksi radio maupun tv. bagi yang mengambil spesifikasi public relation, semua komponen mata kuliah tersebut akan memperkuat landasan teori mengenai pola, sikap, karakter, dan identitas dalam berkomunikasi. keinginan prodi kpi untuk menjadikan mahasiswa profesional dalam bidang tertentu tentu tidak terlepas dari sistem belajar, kurikulum mata kuliah, dan sarana belajar yang ada. misalnya dalam sisi software, maka kurikulum mata kuliah menjadi nilai dasar yang harus mendapat perhatian, dan harus ada galian secara filosofis yang kemudian dimunculkan dalam bentuk ontologi, epistemologi dan aksiologi rumusan mata kuliah tersebut. karena itu, adalah wajib bagi dosen yang mengajar memiliki pegangan silabus (sap) yang memadai, serta dosen pengajarnya harus pelaku atau orang yang menggeluti profesi tersebut. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 105 kondisi seperti ini akan semakin membantu mempermudah langkah dan strategi dari prodi kpi dalam mewujdukan output yang berkualitas, ahli dan profesional dalam bidang minat-bakat yang digelutinya. di sisi lain, melihat tampilan mata kuliah dan desain kurikulum yang tertulis dalam buku pedoman akademik iain surakarta, terutama prodi kpi, maka masih belum dapat memperoleh gambaran tentang hal-hal penting dalam pola pengembangan lembaga. persoalan tersebut dikarenakan sebaran mata kuliah yang ada belum menemukan format ideal mengenai kurikulum serta pola pengembangan yang dapat menunjang kebutuhan dasar mahasiswa (basic skill) dan masyarakat. secara umum, gambaran mata kuliah prodi kpi yang ada sekarang ini harus menuju kepada standar kurikulum yang memadai. untuk menguji hal tersebut, dapat diukur dengan berbagai pertanyaan mendasar, seperti: apakah yang akan dibentuk oleh prodi kpi ian surakarta melalui kurikulum yang ada sekarang?; bagaimanakah output atau profil lulusan prodi kpi iain surakarta yang diharapkan?; bagaimana sikap hidup (world view) mereka?; pengetahuan (knowlegde) dan keterampilan (life skill) apa yang akan mereka peroleh sebagai hasil belajar mereka selama di prodi kpi iain surakarta?; bagaimana metode prodi kpi iain surakarta untuk mewujudkan produk atau output yang dapat diandalkan tersebut?; aspek-aspek apakah yang akan dikembangkan oleh prodi kpi iain surakarta melalui sebaran mata kuliah dengan desain kurikulum tersebut?; bagaimana cara prodi kpi iain surakarta untuk mengembangkan aspek-aspek perilaku, pengetahuan, dan keterampilan mahasiswa?; dengan cara seperti apa prodi kpi iain surakarta akan mengevaluasi?; apakah mahasiswa telah menguasai aspekaspek tersebut, telah bekerja sesuai dengan bidang profesi yang digeluti selama belajar di kampus atau belum?; bagaimana cara iain memastikan bahwa tujuan mata kuliah dan desain kurikulum yang berbasis profesi tersebut dinyatakan telah tercapai atau belum?; apa standar kelulusan atau standar kualitas yang dijadikan pedoman oleh prodi kpi iain surakarta?. 106 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pedoman yang sangat penting dalam rangka mendesain pengembangan mata kuliah profesi pada program studi komunikasi penyiaran islam sehingga lulusan kpi memiliki bekal yang professional dalam bidang jurnalistik, penyiaran, atau public relations. prodi kpi dalam menyusun mata kuliah dan pengembangan kurikulum seharusnya mengedepankan aspek rekonstruksi paradigmatik agar sebaran mata kuliah yang dihasilkan benar-benar mencerminkan basis prodi sebagai bentuk pengembangan life skill mahasiswanya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. dalam desain landasan filosofis untuk pengembangan kurikurum hendaknya memperhatikan pada tiga aspek utama, yakni pre-text, text dan post-text. dalam tataran pre-text, dalam penyusunan kurikulum harus melihat setting sosial, potensi lokal serta kebutuhan materi mata kuliah prodi kpi iain surakarta. dalam tataran text, pada titik ini berkaitan dengan substansi atau urgensitas mata kuliah, arah kurikulum, serta pola untuk desain pengembangannya sehingga akan menghasilkan output yang sesuai dengan visi, misi, dan kompetensi lulusan prodi kpi sendiri. sedangkan pada aspek post-text, pengembangan mata kuliah dan arah kurikulum prodi kpi pasti mempunyai implikasi (cause-effect) terhadap mahasiswa dalam ukuran keberhasilannya, baik secara langsung atau tidak, misalnya tingkah laku, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya. dengan demikian, prodi kpi lebih kreatif dalam penyusunan mata kuliah dan kurikulum agar mempunyai kompetensi dan tujuan (goal), maka diperlukan metodologi (method) baru di samping pendekatan (approach), epistemologis (epistemologic) dan kajian keilmuan (scientific) lainnya seperti ilmu alam, studi sosial, kesusastraan, dan seni (saidi 2004, 96). dalam rancang bangun mata kuliah mkb (mata kuliah keahlian berkarya) berbasis profesi prodi kpi iain surakarta seperti komponen: manajemen dakwah, teknik pidato, jurnalistik, public relations (pr), komunikasi antar budaya, filsafat dakwah, ilmu dakwah, teknik fotografi, komunikasi massa, manajemen humas, komunikasi antar – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 107 pribadi, perencanaan komunikasi, sosiolinguistik, dan lainnya, dalam pengembangannya seharusnya melibatkan seluruh disiplin keilmuan, baik yang ilmu-ilmu keislaman (’ulumuddin, islamic studies) dengan kajian ilmuilmu sosial agar ada sikap saling tegur sapa di antara keduanya sehingga kurikulum prodi kpi iain surakarta tidak hanya didominasi oleh ilmuilmu keagamaan an sich atau sebaliknya didominasi ilmu-ilmu umum an sich. dalam hal ini, kurikulum hendaknya menekankan pada pola integrasiinterkonektif antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu sosial, dimana social-humaniora scientific menjadi penopang bagi islamic thought pada aplikatif di masyarakat (caps 1995, 87). dalam desain pengembangan mata kuliah berbasis profesi, terutama mpb (mata kuliah perilaku berkarya), hendaknya memperhatikan pada tiga prinsip. pertama, pengembangan pendekatan religios kepada dan melalui semua cabang ilmu pengetahuan. kedua, isi pelajaran yang bersifat religios seharusnya bebas dari materi yang jumud (statis) dan tidak bermakna. ketiga, perencanaan dan pembuatan kurikulum harus memperhitungkan setiap komponen yang oleh tylor disebut sebagai tiga prinsip, yakni kontinuitas/kesinambungan (contiunity), sekuensi, dan integrasi (samana 1994, 42). berangkat dari pemahaman tersebut maka upaya pengembangan mata kuliah berbasis profesi tersebut dengan pendekatan kesinambungan, sekuensi, dan integrasi akan sejalan dengan visi prodi kpi iain surakarta yang unggul dalam membentuk sarjana muslim profesional dalam bidang komunikasi dan penyiaran yang berparadigma islam, memiliki akhlak yang mulia dan kompetitif. dalam setiap perancangan mata kuliah mpb (mata kuliah perilaku berkarya) prodi kpi iain surakarta harus mengedepankan pula rumusan kompetensi lulusan sebagai bentuk output dari kurikulum yang disusun itu sendiri. pertama, mahasiswa prodi kpi diharapkan mampu memahami ajaran islam, komunikasi, dan penyiaran. kedua, menyampaikan dakwah islamiyah, baik melalui mimbar, media cetak, maupun elektronik. ketiga, mengadakan dan mendesain penyiaran pesan islam baik melalui mimbar, media cetak, maupun elektronik. 108 | zainul abbas – pengembangan kompetensi profesi v. kesimpulan mata kuliah profesi pada prodi kpi tercakup dalam komponen mata kuliah perilaku berkarya sebagai bahan acuan dan landasan teoritis mahasiswa dalam mengembangkan academic dan spesific skill sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. prodi kpi dengan komponen seperti itu banyak menaruh harapan bahwa mahasiswa mampu mencapai kompetensi menjadi tenaga tengah professional di bidangnya masingmasing sesuai pilihan konsentrasinya. bagi prodi kpi, komponen mata kuliah profesi atau perilaku berkarya ini yang menjadi daya untuk menarik perhatian masyarakat. saran. konstruksi kurikulum mata kuliah di iain surakarta, baik fakultas, jurusan, maupun prodi seharusnya mengintegrasikan antara basis teori dengan life skill yang ada. dalam setiap perancangan mata kuliah, prodi kpi iain surakarta harus mengedepankan pula rumusan kompetensi lulusan sebagai bentuk output dari kurikulum yang disusun itu sendiri. kurikulum hendaknya menekankan pada pola integrasiinterkoneksi antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu sosial, dimana social-humaniora scientific menjadi penopang bagi islamic thought pada aplikatif di masyarakat. daftar pustaka babble, e. 2002. the basic of social research, ed. ii. belmont usa: wadsworth. caps, walter h. 1995. religion studies. the making of a discipline. minneapolis: four trees press miles, m. b. & huberman, a.m. 1984. qualitative data analysis: a source of new method, beverly hill: sage publications. prodi kpi. 2007. kurikulum dan silabi program studi komunikasi penyiaran islam jurusan dakwah sekolah tinggi agama islam negeri surakarta. saidi, a. 2004. makalah pada workshop pengembangan penelitian nonpositivistik bagi dosen-dosen ptai se-indonesia, wisma haji armina donohudan boyolali, p3m stain surakarta-ditjen binbaga – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 109 islam depag ri. samana. 1994. profesionalisme keguruan. yogyakarta: kanisius. tim penyusun. 2012. panduan akademik 2011-2012 iain surakarta. tim penyusun. 2016. panduan akademik iain surakarta tahun 2015. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 daftar isi negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma dan theresia octastefani 1 24 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma 25 44 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution dan miswari 45 62 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda 63 86 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas 87 110 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar dan imam mujahid 111 124 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda pascasarjana pengembangan masyarakat islam uin imam bonjol padang, sumatera barat keywords: community empowerment, orphans, social reality http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: mardan.mahmuda@yahoo.com abstract the economic and religious condition of orphans in the coastaland confine areas of padang city arebeing concerned. while the attention of moslem to empower their economic and religiousness is still lacked. this research focused on the disclosure of realitiesin poverty and religiousness of orphans in the coastal and confine areas of padang city, then it would be analyzed based on the perspective of community empowerment by using descriptive qualitative method. the results of this study show that: (1) the reality of poverty of orphans in the coastal and confine areas of padang city is very worrying and requires special empowerment. the poverty can beobserved from the condition of house that is suffered a lot of damage and the difficulty of the expense of basic foods they encountered. (2) the reality of religiousness of orphans is also being concerned. the religious problem is considered from the implementation of prayers and reading qur’an that they have not done best yet. meanwhile, the attention had been given by the board of mosque and musala was only a bit advice when distribute of compensation money. this research is expected to be a contribution for da’wah practitioners, empowerment agencies, mosque and musala administrators, religious institutions and other social institutions in padang city and throughout indonesia for the welfare of orphans through empowerment activities. doi number 10.22515/ balagh.v2i1.688 64 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang abstrak kondisi ekonomi dan keberagamaan anak yatim di daerah pesisir dan perbatasan kota padang sangat mengkhawatirkan. sedangkan perhatian umat islam untuk memberdayakan ekonomi dan keberagamaan mereka masih sangat kurang. penelitian ini fokus pada pengungkapan realitas kemiskinan dan keberagamaan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang, dianalisis berdasarkan perspektif pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. hasil penelitian ini mengungkap bahwa: (1) realitas kemiskinan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang sangat mengkhawatirkan dan membutuhkan pemberdayaan khusus. kemiskinan tersebut terlihat dari kondisi rumah yang banyak mengalami kerusakan dan kesulitan biaya sembako yang mereka alami. (2) realitas keberagamaan anak yatim juga sangat mengkhawatirkan. masalah keberagamaan tersebut terlihat dari pelaksanaan salat dan baca al-qur’an yang belum secara maksimal mereka lakukan. sementara, perhatian yang diberikan pengurus masjid dan musala hanya berupa sedikit nasehat ketika penyaluran uang santunan. penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi bagi para praktisi dakwah, agen pemberdayaan, pengurus masjid dan musala, lembagalembaga keagamaan dan lembaga-lembaga sosial lainnya di kota padang dan di seluruh indonesia untuk mensejahterakan anak yatim melalui kegiatan pemberdayaan. i. pendahuluan setiap anak yatim cenderung lebih dekat dengan penyimpangan karena hilangnya faktor jaminan ekonomi yang disebabkan tidak adanya orang yang menafkahi mereka dan hilangnya faktor moral karena tidak ada yang membimbing dan mengarahkan mereka (al-brigawi 2012, 88). oleh karena itu, faktor lingkungan berperan lebih besar dalam mempengaruhi kondisi fisik dan psikis mereka. kalau kita bertindak sebagai kurator (pembina) dan tidak bisa berbuat baik kepada anak yatim layaknya seperti anak sendiri, maka kita tidak pantas menyebut diri sebagai orang islam, meski secara formal kita telah beragama islam (ridwan 2008, 148). islam memberikan perhatian besar terhadap anak yatim. hal ini dapat dilihat dari penyebutan kata yatim dalam al-qur’an sebanyak 23 kali kata kunci: pemberdayaan masyarakat, anak yatim, realitas sosial – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 65 dengan berbagai bentuk tashrif (perubahan kata) yang terdapat dalam 12 surat (al-baqiy 1992, 770). hal ini mengisyaratkan bahwa allah swt telah mengangkat permasalahan terkait dengan anak yatim sedemikian serius agar mendapat perhatian besar dari nabi muhammad saw dan umatnya (harahap 1999, 84). oleh karena itu, anak yatim harus mendapat perhatian secara baik layaknya seperti keluarga sendiri. allah swt berfirman: ’îû$u‹÷ρ‘‰9$#íοtåzfψ$#uρ3y7tρθè=t↔ó¡o„uρç⎯tã4’yϑ≈tgušø9$#(ö≅è%óyÿξô¹î)öνçλ °;×öyz(βî)uρ öνèδθäüï9$sƒéböνä3çρ≡uθ÷zî*sù4ª!$#uρãνn=÷ètƒy‰å¡øßϑø9$#z⎯ïβëxî=óáßϑø9$#4öθs9uρu™!$x©ª!$#öνä3tfuζôãv{4 ¨βî)©!$#í•tãòοšå3ym∩⊄⊄⊃∪ “tentang dunia dan akhirat. mereka menanyakan kepadamu (muhammad) tentang anak yatim. katakanlah, “berbuat kebajikan kepada mereka adalah perbuatan baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka itu adalah saudaramu. dan allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan jikalau allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. sesungguhnya allah mahaperkasa lagi mahabijaksana.” (q.s al-baqarah: 220) berdasarkan ayat ini, anak yatim harus menjadi perhatian umat islam. mereka tentu harus diperhatikan secara khusus oleh semua lapisan masyarakat islam, baik pengurus masjid, pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga sosial lainnya. perhatian yang diberikan tentunya mencakup semua aspek, baik aspek moril maupun materiil. dalam konteks ini, perhatian tersebut akan lebih baik jika disertai dengan kegiatan pemberdayaan, bukan hanya sekedar memberikan uang santunan. berdasarkan penelitian pendahuluan yang penulis lakukan di daerah pesisir dan daerah perbatasan, diketahui bahwa masih banyak anak yatim terlantar, tidak mendapatkan haknya secara layak dan harus diberdayakan. hal ini terlihat dari kegiatan sehari-hari anak yatim yang didominasi dengan bekerja membantu orang tuanya, baik berjualan di sekitar rumah ataupun mencari ikan di laut. kondisi ini menyebabkan proses pendidikan mereka 66 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang terbengkalai. sementara perhatian yang diberikan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut hanya sebatas pemberian santunan secara langsung setahun sekali. kesibukan bekerja, tidak diberikannya pendidikan secara layak, serta ketidakmampuan orang tua dalam membimbing, tentu berdampak pada pemahaman keberagamaan anak yatim baik secara langsung maupun tidak langsung. oleh karena itu, sangat menarik untuk diteliti secara mendalam mengenai kemiskinan dan keberagamaan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang dari sudut pandang pemberdayaan masyarakat. permasalahan pemberdayaan anak yatim telah dikaji oleh beberapa penulis sebelumnya. secara psikologis anak yatim memiliki dua sisi dalam memandang persoalan kehidupan. ada yang memandang secara positif karena mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya sehingga meningkatkan rasa optimis dalam dirinya. namun beberapa yang lain memandang berbagai persoalan secara negatif karena merasa diri kurang berarti, rasa pesimis yang tinggi yang disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar (yuniana 2013, t.n). peran masyarakat sekitar sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak yatim. panti asuhan merupakan tempat yang tepat untuk memberikan dukungan dalam bentuk pengasuhan fisik, intelektual, moral, spiritual, mental, keterampilan dan aktivitas sosial yang sangat dibutuhkan oleh anak yatim (magdalena 2014, t.n). program pembentukan karakter anak yatim adalah sesuatu yang tidak bisa didapatkan oleh anak yatim yang tidak tinggal di panti asuhan sehingga mereka yang tidak berada di panti asuhan cenderung tidak mendapatkan perhatian dan perlu diberikan pemberdayaan secara khusus. untuk dapat melakukan pemberdayaan dengan tepat maka harus berdasarkan data yang valid tentang kondisi dan kebutuhan utama mereka. berdasarkan asumsi diatas, maka penelitian ini difokuskan pada realitas kemiskinan dan keberagamaan anak yatim daerah pesisir dan perbatasan yang pasti memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 67 lainnya. realitas kemiskinan berkaitan dengan kenyataan atau kondisi ril tentang kondisi rumah dan kesulitan biaya sembako anak yatim. realitas keberagamaan berkaitan dengan kenyataan atau kondisi riil tentang pelaksanaan salat fardu dan pelaksanaan baca al-qur’an anak yatim di daerah pesisir dan perbatasan kota padang, realitas tersebut akan dikupas secara mendalam dari sudut pandang pemberdayaan masyarakat. ii. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. penelitian dilakukan di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang, sumatera barat. tepatnya di beberapa daerah pesisir (kelurahan bungus selatan dan kelurahan teluk kabung utara di kecamatan bungus teluk kabung, kelurahan batang arau di kecamatan padang selatan, kelurahan belakang tangsi dan kelurahan purus di kecamatan padang barat, kelurahan ulak karang selatan di kecamatan padang utara, kelurahan pasia nan tigo di kecamatan koto tangah) dan daerah perbatasan (kelurahan padang sarai, kecamatan koto tengah). subjek penelitiannya adalah anak yatim yang ditetapkan melalui teknik purposive sampling. data utama diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. selanjutnya, untuk analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis data interaktif dari miles-hubberman. iii. realitas sosial anak yatim kata “realitas” berasal dari bahasa latin yaitu “res” yang berarti “benda”, yang kemudian menjadi kata “realis” yang berarti “sesuatu yang membenda, aktual atau mempunyai wujud”. dalam wacana keilmuan modern ini, realitas lazim diartikan sebagai semua yang telah dikonsepkan sebagai sesuatu yang mempunyai wujud, meskipun hanya ada dalam alam konseptual yang imajinatif (bungin 2008, 18-19). kemudian secara terminologi, realitas sosial merupakan suatu peristiwa yang memang benar terjadi di tengah-tengah masyarakat. 68 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang sebagai contoh seorang pemulung yang mencari nafkah dengan mengorek sampah, pengemis di jalanan dan lain sebagainya (harisongko 2016). peristiwa yang benar-benar terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut merupakan suatu hal yang real atau nyata terkait dengan kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan. durkheim dalam veeger (1985, 143) menyebutkan beberapa bentuk realitas sosial seperti struktur-struktur masyarakat, negara, keluarga dan nilai-nilai seperti kedaulatan, agama, adat, norma-norma kesusilaan, perbuatan bunuh diri dan sebagainya. sementara itu, sanderson (2003, 225-226) menyebutkan dalam tulisannya “makro sosiologi: sebuah pendekatan terhadap realitas sosial” bahwa keterbelakangan ekonomi (kemiskinan) merupakan bagian dari realitas sosial. meskipun sanderson tidak menyebutkan secara tegas, tetapi berdasarkan analisis penulis, keterbelakangan ekonomi (kemiskinan) sengaja ia masukkan dalam bukunya untuk menerangkan cakupan sosiologi makro melalui pendekatan realitas sosial. dengan demikian, keterbelakangan ekonomi (kemiskinan) merupakan bagian dari realitas. secara sederhana dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk realitas sosial terdiri dari struktur-struktur masyarakat, negara, keluarga dan nilai-nilai seperti kedaulatan, agama, adat, norma-norma kesusilaan dan perbuatan bunuh diri, serta keterbelakangan ekonomi (kemiskinan) dalam suatu masyarakat. berdasarkan defini tersebut maka penelitian ini hanya fokus pada bentuk realitas kemiskinan dan realitas keberagamaan anak yatim di kota padang. hal ini dikarenakan luasnya cakupan realitas sosial seperti yang telah disebutkan oleh durkheim dan sanderson sehingga tidak mungkin semua bentuk realitas tersebut penulis teliti untuk mendeskripsikan kondisi anak yatim. pada dasarnya, terdapat beberapa pengertian mengenai anak yatim. untuk itu, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan beberapa pendapat para ahli yakni sebagai berikut: – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 69 1. menurut mahmud syaltut (1991, 116), anak yatim adalah mereka yang sudah tidak memiliki orang tua lagi dan keluarga yang memeliharanya. 2. djunaedi dan syarif dalam djunaedi (1991, 119) mendefinisikan anak yatim sebagai seorang anak yang masih kecil, lemah dan belum mampu berdiri sendiri yang ditinggalkan oleh orang tua yang menanggung biaya penghidupannya. 3. raghib al-isfahami dalam aziz (1997, 1962) menjelaskan bahwa istilah yatim bagi manusia digunakan untuk orang yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan belum dewasa, sedangkan bagi binatang yang disebut yatim adalah binatang yang ditinggal mati ibunya. namun, kata “yatim” itu juga digunakan untuk setiap orang yang hidup sendiri tanpa kawan, misalnya terlihat dalam ungkapan “durrah yatimah”. kata durrah (intan) disebut yatim, karena ia menyendiri dari segi sifat dan nilainya. 4. mahmud yunus (1973, 508) mengartikan istilah yatim sebagai anak yang kematian bapak sebelum ia baligh. dari beberapa definisi yatim tersebut, penulis mendefinisikan anak yatim sebagai anak yang telah meninggal salah satu atau kedua orang tuanya sebelum ia baligh, laki-laki atau perempuan, baik kaya atau miskin, sehingga membutuhkan pendidikan dan bimbingan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan material maupun non-material seperti kebutuhan ekonomi dan keberagamaannya. iv. pemberdayaan masyarakat kata pemberdayaan secara etimologi berasal dari bahasa inggris yakni “empowerment” (mardikanto dan poerwoko 2013, 25 dan anwas 2014, 48). secara terminologi, pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat dan dipahami sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (theresia dkk 2014, 115). 70 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang dari pemahaman tentang pemberdayaan tersebut, dapat dicermati bahwa pemberdayaan yang sering dikenal dengan istilah empowerment merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk memberikan power (daya, kekuatan, tenaga, kemampuan dan kekuasaan) kepada individu maupun kelompok dengan tujuan perubahan perilaku ke arah kemandirian, guna perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan mereka secara mandiri dari segala aspek seperti aspek ekonomi, pendidikan, spiritual, ataupun aspek sosial. impelementasi pemberdayaan setidaknya mengarah pada dua kecenderungan : 1. pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau menjadikan sebagian kekuatan, kekuasaan pada masyarakat bersangkutan agar lebih berdaya (survival of the fittes). 2. menekankan pada proses stimulus, mendorong atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan akan keberdayaan (aziz 2010, 126). kedua kecenderungan tersebut memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial yang merupakan inti dari konsep pemberdayaan masyarakat sehingga bisa dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan yang berorientasi pada “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (hafsah 2006, 136). implementasi pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan tiga model, yaitu tradisional, aksi langsung, dan transformasi. pertama, strategi tradisional menekankan pada kebebasan dalam memilih kepentingan dengan sebaik-baiknya dalam berbagai keadaan. kebebasan yang dimaksud pada strategi tradisional sangat umum sehingga seolah terlalu mewacana tetapi akan muncul tindakan-tindakan yang real dari sekelompok orang yang berkuasa—dan cenderung oligarkis. kedua, tindakan langsung, yaitu dimunculkannya dominasi kepentingan yang dihormati oleh semua pihak yang terlibat dan mempunyai peluang yang besar untuk terjadinya perubahan. kondisi seperti ini dapat diawali oleh kebutuhan dasar kolektif (basic need collectivity) dari masyarakat seperti tuntutan reformasi supaya keluar dari krisis multidimensi. ketiga, strategi pemberdayaan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 71 transformatif, yaitu pemberdayaan yang berbasis pendidikan masyarakat secara paritisipatif yang menekankan kesadaran-kesadaran kritis untuk menjunjung nilai-nilai kebersamaan dan hubungan yang mutualistik. ketiga strategi pemberdayaan ini dapat terjadi seperti siklus yang selalu berulang tidak putus. proses pemberdayaan pada umumnya dilakukan secara kolektif. namun pada praktik di lapangan, strategi pemberdayaan dapat juga dilakukan secara individual, meskipun pada dasarnya strategi ini tetap melibatkan unsur kolektivitas. alhasil, pemberdayaan hanya dapat dilakukan dengan sempurna jika ada political will dan good will dari seluruh stakeholder yang ada pada suatu masyarakat, yang pada gilirannya akan memunculkan target-target capaian pemberdayaan. diantaranya, target yang paling fundamental adalah penanggulangan kemiskinan melalui berbagai aktivitas ekonomi. target selanjutnya adalah menumbuh kembangkan kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan melalui aktivitasaktivitas sosial dan terakhir proses difusi kesadaran pembangunan dalam bentuk gerakan kolektif melalui proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sejumlah kegiatan pembangunan baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. v. realitas kemiskinan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang perspektif pemberdayaan masyarakat berdasarkan penelusuran data di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang selama satu tahun, ada dua hal yang berhasil penulis ungkap terkait dengan realitas kemiskinan anak yatim di daerah tersebut, yakni tentang kondisi rumah dan kesulitan biaya sembako. 1. daerah pesisir a. kondisi rumah kondisi rumah tersebut sangat mengkhawatirkan karena banyak terdapat kerusakan seperti berikut ini: 1) kondisi atap; banyak mengalami kebocoran sehingga air hujan 72 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang masuk ke dalam rumah. 2) kondisi loteng; ada yang tidak memiliki loteng, ada yang memiliki loteng hanya sebagian saja, dan kebanyakan lotengnya bocor. 3) kondisi dinding; ada yang terbuat dari tripleks tetapi sudah bocor dan ada yang terbuat dari semen tapi sudah banyak yang retak bahkan ada yang roboh. 4) kondisi lantai; ada yang beralaskan tanah, kebanyakan terbuat dari kayu dan semen, namun kondisinya sudah rusak bahkan ada yang roboh terkena air laut. berpedoman pada kondisi rumah tersebut, dapat diketahui bahwa sebanyak 18 unit rumah anak yatim di daerah pesisir kota padang sangat mengkhawatirkan, dengan uraian sebagai berikut: 1) 2 unit rumah di lingkungan masjid nurul yaqin pasar laban, kelurahan bungus selatan, kecamatan bungus teluk kabung, yakni rumah adly (rusak parah) dan rumah putra (rusak ringan). 2) 1 unit rumah di lingkungan masjid darussalam pasar laban, kelurahan bungus selatan, kecamatan bungus teluk kabung, yakni rumah rian (rusak parah). 3) 2 unit rumah di lingkungan masjid al-mukarramah kampung seberang pebayan, kelurahan batang arau, kecamatan padang selatan, yakni rumah rian dan dea (rusak parah), rumah randa (rusak parah). 4) 3 unit rumah di lingkungan masjid al-munawwarah kampung parak kerambil, kelurahan belakang tangsi, kecamatan padang barat, yakni rumah aulia dan alfis (rusak ringan), rumah gilang dan supia (rusak parah), rumah fajri (rusak parah). 5) 5 unit rumah di lingkungan masjid al-kamil, kelurahan purus, kecamatan padang barat, yang merupakan kawasan langganan banjir. rumah tersebut yakni rumah irfan (rusak ringan), rumah willa (rusak parah), rumah sarah (rusak parah), rumah ibrahim / baim (rusak ringan), dan rumah rachel (rusak parah). – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 73 6) 3 unit rumah di lingkungan masjid baiturrahmi, kelurahan ulak karang selatan, kecamatan padang utara, yang juga kawasan langganan banjir. rumah tersebut yakni rumah stevie dan aldi (rusak parah), rumah ronald (rusak parah), rumah alif dan azlan (rusak ringan). 7) 2 unit rumah di lingkungan musala ihdinassirotol mustaqim pasia jambak, kelurahan pasia nan tigo, kecamatan koto tangah, yang juga kawasan langganan banjir. rumah tersebut yakni rumah savia dan shintia (rusak parah), rumah abang dan adek (rusak parah). (hasil observasi dan wawancara agustus 2015 s/d agustus 2016) merujuk pada pendapat widyosiswoyo (1991, 211-213), bahwa rumah merupakan tempat untuk pertahanan diri dan berfungsi sebagai tempat tinggal suatu keluarga. rumah merupakan kebutuhan pokok manusia yang berfungsi sebagai tempat seseorang untuk beristirahat, berlindung dari hujan dan kepanasan serta memberikan kenyamanan kepada orang yang menghuninya. sementara itu, rumah anak yatim yang telah penulis jelaskan sangat jauh dari kriteria tersebut. b. kesulitan biaya sembako kemiskinan anak yatim juga tergambar di daerah pesisir kota padang, terutama dari kesulitan biaya sembako yang mereka rasakan dan berdampak negatif kepada diri mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. diketahui bahwa kebanyakan dari mereka terpaksa menahan rasa lapar karena tidak adanya biaya untuk membeli sembako. ada yang berhutang ke tetangga dan ada juga yang takut berhutang karena takut tidak akan bisa membayarnya. ada yang membantu orang tuanya berjualan di warung, jualan keliling ke sekolah dan tempat mengajinya. ada juga yang membantu orang tuanya membuat bungkus ketupat yang hanya dihargai rp. 15.000,00 untuk 1.000 bungkus ketupat. 74 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang berdasarkan realita tersebut, sangat jelas bahwa kesulitan anak yatim dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari cukup sulit. padahal kebutuhan pangan tersebut merupakan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat untuk dapat bertahan hidup dan bekerja (anwas 2014, 84). jika demikian yang terjadi pada diri anak yatim, tentu mereka akan mengalami kesulitan dalam memberdayakan diri mereka secara maksimal. 2. daerah perbatasan a. kondisi rumah di daerah perbatasan kota padang, rumah anak yatim yang sangat mengkhawatirkan kondisinya hanya satu unit rumah, yakni rumah keyla yang terletak di daerah perbatasan kota padang dengan kabupaten padang pariaman. tepatnya di dekat perumahan harka sarai kelurahan padang sarai kecamatan koto tangah. kondisi atap rumah keyla (2016) sudah mulai rapuh dan bocor. dapur di belakang rumah hanya berdinding kayu bekas dan beratap hilalang. selain itu, berdasarkan observasi penulis, terlihat bahwa rumah keyla berada dekat dengan rumah mewah lainnya yang ada di kompleks perumahan harka sarai sehingga seolah terkesan kontradiktif. b. kesulitan biaya sembako kesulitan biaya sembako yang dirasakan anak yatim di daerah perbatasan kota padang tentunya mampu menjadi perhatian umat islam secara umum. mereka turut merasakan kesulitan yang diderita oleh anak yatim di daerah pesisir, seperti terpaksa menahan lapar jika tidak ada makanan dan ikut membantu orang tua demi terpenuhinya kebutuhan sehari-hari mereka. berdasarkan data-data tersebut, jelas bahwa kemiskinan anak yatim kota padang sangat mengkhawatirkan dan tentunya membutuhkan perhatian khusus dari seluruh lapisan masyarakat islam. sementara, perhatian yang diberikan oleh masyarakat islam kota padang kepada mereka kebanyakan hanya berupa santunan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 75 (charity), bukan dalam kegiatan pemberdayaan sehingga anak yatim tersebut cenderung bergantung dengan uang santunan yang diberikan. anwas (2014, 85) berpendapat bahwa untuk pengentasan kemiskinan, pemerintah indonesia telah melakukan kegiatankegiatan seperti bantuan raskin, bantuan langsung tunai, beasiswa, jamkesmas dan lain sebagainya. namun, realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, mereka lebih suka mengaku sebagai fakir miskin dengan harapan mendapat berbagai bantuan gratis tersebut. akibatnya, sifat ketergantungan masyarakat miskin semakin meningkat. oleh sebab itu, jika anak yatim dibiarkan berlarut-larut hanya terbiasa menerima santunan, maka kemiskinan akan terus menjadi realitas bagi masyarakat indonesia, khususnya masyarakat kota padang. apabila hal ini tidak diatasi secara bersama melalui kegiatan pemberdayaan, maka jelas kemiskinan akan tetap menjadi “penyakit komplikasi” dan akan sulit untuk dituntaskan secara maksimal. vi. realitas keberagamaan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat terkait dengan realitas keberagamaan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang, maka ada dua hal yang berhasil penulis ungkap yakni tentang pelaksanaan salat dan pelaksanaan baca alqur’an mereka dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk ketaatannya dalam beragama. 1. daerah pesisir a. pelaksanaan salat berdasarkan hasil observasi penulis (2016), diketahui bahwa kebanyakan dari anak yatim masih bermasalah dengan pelaksanaan salatnya. terkait permasalahan ini adalah masih terdapat anak yatim 76 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang yang salatnya sangat kurang, yakni ketika teringat saja. terutama, mayoritas dari mereka seringkali meninggalkan salat subuh, isya dan ashar. sedangkan salat zuhur dan magrib tidak terlalu sering tertinggal. hal tersebut terjadi karena memang pada waktu salat subuh, isya dan salat ashar tersebut, kebanyakan dari mereka kelelahan setelah beraktivitas seharian di sekolah dan juga di rumah mereka sehingga membuat mereka malas dan tertidur lelap pada waktu salat tersebut. belum lagi perhatian orang tua yang sangat sedikit sekali dalam mengingatkan mereka untuk melaksanakan salat fardu, kecuali salat magrib. berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa pelaksanaan salat anak yatim dalam kehidupan sehari-hari merupakan bentuk ketaatannya dalam beragama. namun demikian, ketaatan ini belum dapat dikatakan maksimal untuk diamalkan. di satu sisi, ketaatan salat pada dasarnya mampu mencegah diri manusia dari perbuatan keji dan munkar. allah swt berfirman: “...sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar...” (qs. al-ankabut: 45) b. pelaksanaan baca al-qur’an terkait dengan pelaksanaan baca al-qur’an tersebut, ternyata semua anak yatim yang penulis teliti di daerah pesisir kota padang sangat jarang sekali membaca al-qur’an, bahkan ada yang tidak lagi membaca al-qur’an semenjak tamat dari tpa. padahal sebagai anak yang sedang kehilangan orang tuanya dan untuk mengobati kesedihan yang sedang menerpanya, tentu mereka bisa membaca alqur’an sebagai obat dan rahmat bagi dirinya. allah swt berfirman: – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 77 ãαíi”t∴çρuρz⎯ïβèβ#u™öà)ø9$#$tβuθèδö™!$xï©×πuη÷qu‘uρt⎦⎫ïζïβ÷σßϑù=ïj9 ÿωuρ߉ƒì“tƒt⎦⎫ïϑî=≈©à9$# ωî)#y‘$|¡yz∩∇⊄∪ “dan kami turunkan dari al-qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman. sedangkan bagi orang yang zalim (al-qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (qs. al-isra’: 82) 2. daerah perbatasan a. pelaksanaan salat diketahui bahwa pelaksanaan salat anak yatim di daerah perbatasan kota padang, kebanyakan dari mereka masih belum melaksanakannya dengan maksimal. salat yang sering tinggal oleh mereka adalah salat subuh, isya dan ashar. mereka hanya melaksanakan salat di masjid ketika penyaluran infak diberikan. akan tetapi, apabila tidak ada penyaluran infak anak yatim, maka mereka sangat jarang sekali salat ke masjid (hasil observasi dan wawancara agustus 2015 s/d agustus 2016). hal ini sama saja dengan realita yang terjadi pada anak yatim di daerah pesisir yang telah penulis jelaskan sebelumnya. b. pelaksanaan baca al-qur’an pelaksanaan baca al-qur’an anak yatim di daerah perbatasan tidak jauh berbeda dengan anak yatim yang tinggal di daerah pesisir kota padang. hal tersebut terjadi karena ada beberapa dari mereka yang tidak ingat sama sekali untuk membaca al-qur’an. hal ini disebabkan oleh kebiasaan bermain, kelelahan, sampai pada kesibukan membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan seharihari. berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis jelaskan, terutama mengenai kondisi rumah, kesulitan biaya sembako yang dialami, serta kurang maksimalnya pelaksanaan salat dan membaca 78 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang al-qur’an para anak yatim ini, pada akhirnya menjadi realitas sosial yang benar-benar terjadi di lingkungan masyarakat kota padang. analisis tersebut merujuk pada pendapat harisongko (10 januari 2016) bahwa realitas sosial merupakan suatu peristiwa yang memang nyata terjadi di tengah-tengah masyarakat. mengenai realitas sosial anak yatim tersebut, fenomena ini membuat kita sangat khawatir akan kesejahteraan mereka sebagai umat islam. belum lagi, bentuk-bentuk perhatian masyarakat kepada anak yatim di kota padang sangat banyak lebih berupa santunan saja. termasuk bantuan yang diberikan oleh pengurus masjid dan musala di daerah pesisir dan perbatasan kota padang kebanyakan hanya berupa infak. padahal kebutuhan mereka lebih dari itu. sangat jarang ada kegiatan khusus yang dilakukan oleh pengurus masjid dan musala untuk memberdayakan anak yatim secara maksimal, selain hanya berbentuk santunan atau charity. hal tersebut menggambarkan bahwa masyarakat islam belum sepenuhnya memahami kewajiban mereka terhadap anak yatim. sebab, masyarakat hanya memberikan uang santunan yang dikumpulkan dalam kotak infak. selanjutnya, pengurus masjid dan musala menyalurkannya kepada anak yatim tanpa melakukan kegiatan pemberdayaan. bahkan pengurus tersebut tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk melakukan sesuatu yang bernilai lebih, selain memberikan uang santunan. sementara, hal ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun dan bahkan sudah menjadi tradisi di tengah-tengah masyarakat islam. anak yatim di kota padang pada dasarnya perlu memperoleh pemberdayaan dan tidak hanya cukup diberikan uang santunan oleh pengurus masjid dan musala. mengutip pendapat azwar (2014, 151): banyak proyek-proyek pembangunan atau kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat justru mematikan kreatifitas masyarakat, bahkan menjadikan masyarakat menggantungkan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 79 diri kepada pemberi bantuan penting adanya bentuk pemberdayaan bagi para anak yatim guna meningkatkan kreativitas mereka dalam berkarya dan bekerja. dalam hal ini, adanya program pembangunan dan kegiatan sosial bagi dalam bentuk santunan justru mampu menjadikan masyarakat penerima bantuan menjadi tergantung dan tidak berkembang. selanjutnya, allah swt telah mengisyaratkan kepada seluruh umat islam melalui firman-nya: (#θè=tgö/$#uρ4’yϑ≈tgušø9$##©¨lym#sœî)(#θäón=t/yy%s3ïiζ9$#÷βî*sùλä⎢ó¡nς#u™öνåκ÷]ïiβ#y‰ô©â‘(#þθãèsù÷š$$sùöνíκös9î) öνçλm;≡uθøβr&(ÿωuρ!$yδθè=ä.ù's?$]ù#uó î)#·‘#y‰î/uρβr&(#ρçy9õ3tƒ4⎯tβuρtβ%x.$|‹ïψxîô#ï÷ètgó¡ušù=sù(⎯tβuρ tβ%x.#zé)sùö≅ä.ù'ušù=sùå∃ρá÷èyϑø9$$î/4#sœî*sùöνçf÷èsùyšöνíκös9î)öνçλm;≡uθøβr&(#ρ߉íκô−r'sùöνíκön=tæ44‘xx.uρ «!$$î/$y7šå¡ym∩∉∪ “dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. dan janganlah kamu memakan (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah) kamu tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa...” (qs. al-nisa’:6). kata-kata ujilah, cukup umur, cerdas, dan kata dewasa dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa belum boleh menyerahkan harta anak yatim sebelum mereka mampu atau berdaya dalam mengelola harta secara mandiri, yang ditandai dengan kecerdasan dan kedewasaan dalam segala hal. maka hal ini merupakan isyarat allah kepada para wali anak yatim ataupun kepada umat islam secara keseluruhan agar menjadikan anak yatim tersebut berdaya terlebih dahulu. dalam ayat lain, allah swt juga menjelaskan bahwa nabi muhammad saw sendiri diberdayakan oleh allah melalui kakek dan paman beliau. 80 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang öνs9r&x8ô‰égs†$vϑšïktƒ3“uρ$t↔sù∩∉∪ “bukankah dia mendapatimu (muhammad) sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu.”(qs. al-dhuha: 6) kata âwâ pada akhir ayat terambil dari kata awâ yang pada mulanya berarti “kembali ke rumah” atau “tempat tinggal”. biasanya seseorang yang kembali ke tempat tinggalnya akan merasa aman dan terlindungi. melalui makna tersebut dipahami dan digunakan dalam al-qur’an dengan makna “perlindungan yang melahirkan rasa aman dan ketentraman,” baik sumbernya adalah allah, maupun dari makhluk seperti manusia atau lainnya. ibn ‘asyur dalam shihab (2005, 335) memahami “perlindungan” yang dimaksud adalah menjadikan nabi muhammad mencapai kesempurnaan dan istiqamah, memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang sempurna. sejarah menguraikan bahwa ayah nabi saw yakni abdullah wafat saat usia beliau dua bulan dalam kandungan. pada usia enam tahun, ibu beliau yakni aminah juga meninggal dunia sehingga beliau dipelihara dan diasuh oleh kakeknya abdul muthalib. dua tahun kemudian kakek beliaupun meninggal dunia sehingga beliau diasuh dan dilindungi oleh pamannya abu thalib hingga nabi saw dewasa (shihab 2005, 335). berdasarkan tafsiran ayat tersebut, jelas sekali bahwa “perlindungan” terhadap nabi saw yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah memberikan rasa aman, memberikan ketenteraman, memberikan pendidikan dan pemeliharaan yang sempurna, bukan memberikan uang santunan. semua bentuk perlindungan tersebut tentunya merupakan wujud dari pemberdayaan yang dilakukan oleh kakek dan paman beliau hingga beliau dewasa. tentunya, semua itu adalah rahmat dari allah swt kepada nabi muhammad saw. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 81 di samping itu, nabi muhammad saw menjelaskan melalui sabda beliau sebagai berikut: أَنَا وََكاِفُل : م .قَاَل َرُسْوُل اِهللا ص: ْبِن َسْعِد قَاَل َعْن َسْهِل يـَْعِين السَّّبابََة , َوَأَشاَر بِِإْصبَـَعْيِه , اْلَيِتْيِم ِيف ْاجلَنَِّة َكَهاتـَْنيِ )َرَواُه التّـْرِمِذى. (ىَواْلوْسطَ “dari sahl bin sa’ad ia berkata; rasulullah saw bersabda; aku (kedudukanku) dan orang yang mengasuh anak yatim di surga (sangat dekat), seperti dua jari ini. dan (rasulullah) mengisyaratkan dengan kedua jarinya, yakni jari telunjuk dan jari tengah” (h.r attirmidzi dalam bin saurah 1994, 368). kata kâfilu dalam hadits tersebut terambil dari kata kâfili yang pada mulanya berarti orang yang menanggung, yang menjamin, yang menjaga anak yatim (yunus 1973, 379). dari makna tersebut dipahami bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah “mengasuh” anak yatim, bukan memberikan uang santunan. namun demikian, realita yang terjadi di kota padang tidak demikian. perhatian yang diberikan oleh pengurus masjid dan musala kepada anak yatim di kota padang hanya berupa infak yang ditujukan untuk membantu meringankan beban material mereka saja. padahal, berdasarkan realitasnya, masih banyak anak yatim tersebut yang sangat membutuhkan perhatian pada aspek keberagamaan mereka, termasuk aspek ekonomi yang jelas tidak akan mampu diselesaikan hanya dengan uang santunan saja. oleh karena itu, seluruh umat islam bertanggung jawab untuk menyelesaikan problematika tentang kemiskinan dan keberagamaan anak yatim melalui program pemberdayaan. dalam hal ini, mereka tentunya harus diberdayakan secara layak oleh seluruh umat islam, agar mereka terbebas dari kemiskinan dan kehampaan spiritual. 82 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang hal yang mesti diperhatikan secara bersama bahwa berdasarkan realitasnya, anak yatim menghadapi berbagai macam persoalan hidup yang membuat mereka tidak berdaya seperti persoalan ekonomi, persoalan keberagamaan, termasuk persoalan intelektual. oleh karena itu, pemberdayaan aspek ekonomi dan aspek keberagamaan anak yatim harus diupayakan secara bersamaan dan ditunjang dengan pemberdayaan intelektual mereka. strategi pemberdayaan yang bisa dilakukan adalah tindakan langsung dan transformatif. lewat tindakan langsung pemberdayaan aspek ekonomi dapat dilakukan melalui suatu upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi ekonomi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya (mubyarto 2000, 263-264) dengan tujuan agar sasaran dapat mengelola usahanya, kemudian memasarkan dan membentuk siklus pemasaran yang relatif stabil (adi 2008, 78). adapun pemberdayaan aspek ekonomi anak yatim dapat dilakukan dengan cara memberikan modal usaha, memotivasi, dan memberikan pelatihan khusus kepada orang tua ataupun wali yang mengasuh anak yatim untuk berwirausaha sehingga mereka benar-benar terberdaya dari segi ekonomi. hal tersebut juga dapat dilakukan dengan melatih anak-anak yatim berjualan, berwirausaha, dan lain sebagainya sampai mereka benar-benar berdaya. selain pendekatan transformatif, upaya pengentasan masalah kemiskinan anak yatim juga dapat dilakukan secara kolektif oleh lembaga-lembaga sosial seperti masjid, baznas, pkpu dan lembaga sosial lainnya. hal tersebut dapat dilakukan dengan tidak hanya memberikan bantuan yang bersifat santunan (charity) kepada anak yatim, tetapi juga ditunjang dengan kegiatan pemberian motivasi dan pelatihan berwirausaha dan lain sebagainya. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 83 pemberdayaan selanjutnya adalah terkait masalah keberagamaan anak yatim. bentuk pemberdayaan ini dapat dilakukan melalui pemberdayaan pada aspek spiritual. pemberdayaan aspek spiritual atau pemberdayaan pada aspek rohaniah dapat dilakukan melalui desain besar kurikulum pendidikan untuk setiap wilayah pendidikan (formal maupun nonformal) yang benar-benar berorientasi pada pemberdayaan rohani islamiyah dengan tidak bertentangan dengan perjuangan kebenaran ilmiah dan kemodernan (machendrawaty 2001, 44). pemberdayaan aspek keberagamaan tersebut tentu harus bersinergi dengan pemberdayaan ekonomi dan intelektual anak yatim seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya. sebab, mengutip pendapat aziz (2005, 55) : konsep utama dari pemberdayaan adalah memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya dari pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan lingkup kegiatan pemberdayaan anak yatim tidak seharusnya terpaku pada pemberdayaan aspek ekonomi saja, melainkan juga dapat dilakukan dengan memberdayakan intelektual, spiritual, dan memberdayakan aspek sosial anak yatim secara bersamaan. hal ini bertujuan untuk menciptakan anak yatim yang tidak hanya mengutamakan penyelesaian dalam kehidupan ekonomi semata, seperti biaya hidup, makanan, dan tempat tinggal. perlu adanya upaya pemberdayaan bagi anak yatim yang dapat berimplikasi pada kepentingan rohani serta keluhuran akhlak, khususnya dalam mengembangkan daya kemampuan intelektual, spiritual, serta sosial. dengan demikian, terciptalah generasi yang berjiwa sosial tinggi karena setiap individu maupun kelompok anak yatim yang sudah berdaya berusaha membantu masyarakat lainnya agar turut berdaya dalam segala aspek kehidupan. 84 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang vii. kesimpulan realitas kemiskinan anak yatim di daerah pesisir dan daerah perbatasan kota padang memerlukan perhatian serius dari seluruh lapisan masyarakat islam. dalam hal ini, perlu adanya pemberdayaan khusus guna mengatasi kemiskinan yang dialami oleh anak yatim tersebut. kemiskinan ini tergambar dari kondisi rumah yang banyak mengalami kerusakan dan kesulitan biaya sembako yang mereka alami. adapun perlunya pemberdayaan khusus bagi keberagaman anak yatim di daerah pesisir dan perbatasan kota padang juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keberagamaan, khususnya terkait ibadah salat dan kemampuan membaca al-qur’an. pemberdayaan secara komprehensif harus dilakukan untuk dapat mengentaskan permasalahan tersebut, baik dengan menggunakan strategi tindakan langsung maupun transformatif. namun, strategi transformatif dirasakan lebih tepat karena lebih menjanjikan sustainability yang lebih baik bagi kehidupan anak yatim ke depannya. daftar pustaka adi, isbandi rukminto. 2008. intervensi komunitas pengembangan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. jakarta: pt. raja grafindo persada. anwas, oos m. 2014. pemberdayaan masyarakat di era global. bandung: alfabeta. aziz, dahlan addul. 1997. ensiklopedi hukum islam. jakarta: pt. ichtiar baru van hoeve. aziz, moh. ali. 2005. dakwah pemberdayaan masyarakat: paradigma aksi metodologi. yogyakarta: pustaka pesantren. aziz, rohmanur. 2010. “dakwah dalam paradigma pemberdayaan masyarakat muslim.” ilmu dakwah : academic journal for homiletic studies 5, 16 : 117144 http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/idajhs/article/view/358 diakses 12 februari 2017. azwar, welhendri. 2014.sosiologi dakwah. padang: imam bonjol press. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 85 al-baqiy, muhammad fuad ‘abd. 1992. al-mu’jam al-mufahras li al-fazh al-qur’an al-karim. beirut, lebanon: dar al-ma’rifat. al-brigawi, abdul lathif. 2012. fiqh keluarga muslim; rahasia mengawetkan bahtera rumah tangga. (diterjemahkan oleh muhammad misbah). judul asli; fiqh al-usrah al-muslimah. jakarta: amzah. bin saurah, al-abi ‘isa muhammad bin ‘isa. 1994. sunan al-tirmidzi, aljuz’i 3; kitab al-birru wa al-washilati; babu mâ jâ a fî rahmatî al-yatîmi wa kafâlatihi. beirut, lebanon: dar al-fikr. bungin, burhan. 2008. penelitian kualitatif komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. jakarta: kencana. djunaedi, achmad zurzani. 1991. sepuluh inti perintah allah. jakarta: fikahati aneska. hafsah, m. jafar. 2006. pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. bandung: iris press harahap, syahrin. 1999. islam; konsep dan implementasi pemberdayaan. yogyakarta: tiara wacana yogya. harisongko, http://harisongko.blogspot.co.id/2012/11/realitas-sosial. html. diakses hari minggu, 10 januari 2016. machendrawaty, nanih. 2001. pengembangan masyarakat islam; dari ideologi, strategi sampai tradisi. bandung: remaja rosda karya. magdalena. 2014. “pola pengasuhan anak yatim terlantar dan kurang mampu di panti asuhan bunda pengharapan (pabp) di kecamatan sungai raya kabupaten kubu raya.” jurnal program magister ilmu sosial universitas tanjungpura 2, 2 : t.n http://id.portalgaruda. org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article =174945 diakses 12 februari 2017. mardikanto, totok dan poerwoko soebiato. 2013. pemberdayaan masyarakat dalam perspektif kebijakan publik. bandung: alfabeta. mubyarto. 2000. membangun sistem ekonomi. yogyakarta: bpfe. ridwan, nur khalik. 2008.tafsiran surah al-ma’un; pembelaan atas kaum tertindas. jakarta: erlangga. sanderson, stephen k. 2003. makro sosiologi; sebuah pendekatan terhadap realitas sosial. jakarta: pt. raja grafindo persada. shihab, m. quraish. 2005. tafsir al-mishbah; pesan, kesan, dan keserasian alqur’an. vol. 15. jakarta: lentera hati. syaltut, syaikh mahmud. 1991. metodologi al-qur’an. solo: cv ramadhani. 86 | mardan mahmuda – realitas sosial anak yatim di kota padang theresia, aprillia dkk. 2014. pembangunan berbasis masyarakat. bandung: alfabeta. veeger, k.j. 1985. realitas sosial; refleksi filsafat sosial atas hubungan individumasyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi. jakarta: gramedia. widyosiswoyo. 1991. ilmu alamiah dasar. jakarta: ghalia indonesia. yuniana. 2013. “kesejahteraan subjektif pada yatim piatu (mustadhâafin).” empathy 2, 1 : t.n http://id.portalgaruda.org/ index.php?ref=browse&mod =viewarticle&article=123278 diakses 12 februari 2017. yunus, mahmud. 1973. kamus arab-indonesia. jakarta: pt. hidakarya agung. jurnal al-balagh_vol.2 no.2 2017 mediatisasi agama (pembingkaian media kompas.com terhadap isu pemerkosaan oleh oknum pengasuh pesantren) syihabul furqon busro uin sunan gunung djati bandung keywords: awareness, discourse, framing, information, media http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: syihabulhajj2@gmail.com busro@uinsgd.ac.id abstract framing analysis, methodically is used to dissect discourse impulses that leading to stigma crystallization. media frames an issue by using language tools and plays a subconscious role in the attitude and understanding of society. although, basically, every media does framing, but the problem that comes next is when this framing becomes an interest to postulate the lame proposition socially and logically. this research efforts to analyze in narrative about how religion is mediated by kompas.com, through framing information issue about the rape by the board of pesantren issue in framing analysis of zhongdang pan and gerald m. kosicki. in conclusion, the kompas electronic media framing gives rise to a certain tendency toward the negative stigma of pesantren in the public through a narrowing of news content in the media, especially from the interpretation and reporting analysis that revolves around closed syntactic and syntagmatic interactions. analisis framing secara metodis digunakan untuk membedah impulsimpuls pembelokan wacana yang berujung pada kristalisasi stigma. media membingkai sebuah isu dengan menggunakan perangkat bahasa dan memainkan peran bawah sadar atas sikap dan pemahaman masyarakat. meski pada dasarnya setiap media melakukan pembingkaian, tetapi permasalahan yang muncul adalah ketika pembingkaian ini menjadi sebuah kepentingan untuk mempostulatkan proposisi yang timpang secara sosial dan juga nalar. penelitian ini berupaya untuk menganalisis abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.981 126 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama secara naratif tentang bagaimana agama dimediatisasi oleh media kompas.com, yakni melalui pembingkaian informasi mengenai isu pemerkosaan oleh oknum pengasuh pesantren dengan analisis pembingkaian dari zhongdang pan dan gerald m. kosicki. dalam simpulannya, pembingkaian media elektronik kompas memunculkan adanya tendensi tertentu ke arah stigma negatif pesantren di mata masyarakat melalui penyempitan konten berita di media, terutama dari tafsir dan analisis pemberitaan yang berkisar pada interaksi sintaksis dan sintagmatis yang tertutup. i. pendahuluan syahdan, barang siapa yang mengendalikan media (informasi), maka ia yang berkuasa. di era percepatan teknologi digital, informasi dapat tersebar dengan serentak tak terkecuali (foucault dalam hardiman, 2008). slogan “dunia dalam genggaman” pada akhirnya bukan lagi suatu hal yang utopis. informasi apa pun dapat tersiar dalam hitungan detik sehingga tak dapat dipungkiri bahwa arus informasi bersifat melimpah dan tidak terbendung lagi. citizen journalism adalah fakta selanjutnya yang menarik bahwa setiap orang mampu mereportase kejadian apa pun dan sekaligus membagikannya (piliang, 1998). dalam hal ini, tentu saja dengan adanya peran portal digital dalam dunia internet. namun demikian, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah informasi yang kita dapatkan sesuai dengan fakta yang terjadi? lalu apa jaminan sebuah berita—dalam satu media tertentu baik itu cetak, tv, internet, atau radio—memuat sebuah reportase utuh tanpa suatu hal yang tendensius, memuat kepentingan agenda, ataupun serupa dengan hal ini? (ibrhim, 2004). secara retorik dapat dikatakan “ya” dan “tidak”. merunut jauh pada pendapat plato yang membedakan antara doxa dan episteme, dimana doxa dalam bahasa yunani bermakna opini atau kabar burung yang kejelasannya belum dapat diverifikasi. sedangkan episteme menunjukkan sebuah pengetahuan yang utuh dan sistematis sehingga tingkat kesahihan dan validasinya tinggi (rond, 2003). lantas dalam konteks berita (informasi), kategori mana yang relevan? adanya relevansi sebuah berita akan menentukan arus kesadaran dan sikap. berita yang kata kunci: kesadaran, wacana, pembingkaian, informasi, media – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 127 benar dan dengan tingkat agenda yang kecil akan menghasilkan validitas sehingga pada akhirnya datum yang membentuk kesadaran (o’hara, 2002). secara filosofis, ada dua kesadaran yang berimplikasi pada hasil yang dimunculkan. pertama adalah kesadaran individu, dimana kesadaran ini membentuk sebuah medan kesadaran atau horisonnya sendiri. seberapa jernih seseorang memandang medan ini, maka akan menghasilkan objektivitas—sedangkan semakin kabur caranya memandang maka akan berujung pada subjektivitas. kedua adalah kesadaran komunal, yang mana kesadaran ini terikat pada kesadaran yang lebih besar, misalnya saja kesadaran struktur (baca: negara, ideologi, tata sosial, agama) (hardiman, 2008). dua aspek kesadaran ini sangat menentukan adanya skema kesadaran konsensus bersama. sebab ketika satu aspek dari kesadaran ini membeku dan tidak mengalir dengan semestinya, maka akan muncul aspek lain yang membahayakan. jika kesadaran individu mengkristal dan tidak mendapat konfirmasi secara komunal, maka yang terjadi adalah dogmatisme buta serta fundamentalisme naif. ketika aspek kesadaran kedua yang mengkristal, maka sudah dipastikan muncul agenda tersembunyi yang mengakibatkan terhambatnya arus informasi dan kesadaran ini. terakhir, pemahaman ini kerap muncul dalam suatu sistem politik yang mengarah pada agenda tertentu ataupun ideologi tertentu. mengenai asas jurnalisme, sebuah berita harus memenuhi kerangka 5w 1h (ibrhim, 2004). di samping itu, harus terdapat kode etik jurnalisme di dalamnya, bahwa sebuah berita harus jujur, berimbang, dan berdasarkan data yang valid. seseorang yang hendak mereportase sebuah berita, secara etis tidak dibenarkan hanya menampilkan satu aspek parsial dalam sebuah peristiwa. dengan demikian, maka sebuah peristiwa dapat disajikan secara objektif sehingga menciptakan sistem kesadaran baru yang bersifat objektif. namun demikian, apabila data yang diperoleh telah disortir dan disesuaikan dengan sudut pandang editor, dewan redaksi, pimpinan media, satu ideologi atau sebuah tendensi kepentingan politik—misalnya—maka akan muncul berita yang telah terbingkai (frame). tentu saja kompleksitas 128 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama tendensi terkait akan sangat ruwet, mengingat saat ini kita menyadari adanya realitas yang sedang berjalan dibentuk oleh kekuatan kapitalis secara masif, yang pada akhirnya memunculkan satu kecenderungan konsumtif dan mendorong terjadinya aspek komodifikasi yang manipulatif (ibrhim, 2004). di titik inilah sebuah analisis framing dibutuhkan dalam membaca arah media dalam mengkonstruksi sebuah berita. berbicara mengenai konstruksi realitas pada media, topik khusus mengenai islam dan seputarnya dewasa ini banyak menjadi perbincangan. meski demikian, tidak jarang bahwa masing-masing media memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengemas pemberitaan serta informasinya. dalam hal ini, kerap pemberitaan media pada akhirnya turut mempengaruhi perspektif sosial masyarakat dalam memaknai islam (nasution dan miswari, 2017), tak terkecuali pada sejumlah hal yang juga berkaitan dengan islam itu sendiri. dengan demikian, media seolah menjadi sah dalam memunculkan angle dan framing untuk mengatur bagian mana yang akan ditonjolkan dalam beritanya. mengkonsumsi media saat ini bagaimanapun juga tidak sama dengan mengkonsumsi wacana dalam buku yang bersifat akademik. malangnya, secara umum semua orang mengamini bahwa media mempunyai aspek-aspek manipulasi tinggi dan kepentingan. benar bahwa kode etik jurnalisme memungkinkan sebuah data yang valid dan objektif, tetapi ketika ini diudarakan kerapkali proses editing memainkan peran tersendiri. belum lagi munculnya stigma umum bahwa media selalu bekerja atas dasar momentum yang tentu saja selalu bisa dipermasalahkan. oleh karena itu, ketika seseorang membaca sebuah berita, hendaknya menangguhkan sedemikian rupa adanya konklusi yang dimuat. atau setidaknya tidak menelan bulat-bulat sebuah berita sebagaimana ia disajikan, baik itu melalui elektronik ataupun cetak. di titik inilah masyarakat memerlukan edukasi dalam menalar logika media. sebab apabila pemahaman ini tidak disadari oleh masyarakat, maka masyarakat secara umum hanya akan menjadi korban isu, yang pada gilirannya mampu memunculkan kesadaran umum yang tidak sampai pada esensi berita yang sebenarnya. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 129 ii. metode penelitian framing digunakan untuk menyajikan peristiwa dalam sebuah pemberitaan. dalam praktiknya, penyajian dilakukan dengan menonjolkan satu aspek dan menghilangkan aspek yang lain dari peristiwa tersebut. ada beberapa teori mengenai analisis framing yang dapat digunakan untuk membaca sebuah berita dalam media. terkait penelitian ini, analisis akan diterapkan pada pemberitaan yang tersiar dalam media kompas elektronik (kompas.com). hal ini menarik untuk dicermati mengingat bahwa media tersebut adalah salah satu media nasional yang memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan opini publik. yang menarik dan akan dibedah dengan analisis framing secara spesifik di sini ketika media kompas elektronik menampilkan berita mengenai pemerkosaan oleh oknum pengurus pesantren. tujuannya adalah untuk melihat apakah ada tendensi dalam berita tersebut atau tidak. lebih jauh, analisis sederhana ini hendak menunjukkan bahwa dalam pemberitaan yang meski tidak terlalu minor sekalipun, framing kerap kali memainkan peran penting. guna menganalisis serta membaca berita data penelitian, penulis menggunakan pendekatan analisis framing zhongdang pan dan gerald m. kosicki (eriyanto, 2002), yang bermain dalam operasional empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing, yakni: 1) sintaksis; 2) skrip; 3) tematik; dan 4) retoris. keempat dimensi ini menjadi acuan standar (kerangka teoritis) struktural yang akan mempertautkan setiap elemen semantik di dalam narasi berita pada satu kesatuan koherensi global (eriyanto, 2002). model pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap berita memiliki—atau telah— dibingkai sebelumnya, yang berfungsi sebagai pusat pengorganisasian gagasan berita. kemudian, bingkai atau frame di sini merupakan satu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berlainan, baik dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. dengan demikian frame berhubungan erat dengan makna yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana seseorang 130 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama memaknai sebuah peristiwa, dan kesemuanya itu dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. iii. hasil penelitian a. data penelitian tabel. 1. data berita kompas.com data a pengasuh pesantren dilaporkan setubuhi 4 santriwatinya kamis, 18 september 2014 | 16:49 wib jember, kompas.com — seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di kecamatan ambulu, jember, jawa timur, berinisial ik (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya. kini, pengasuh ponpes tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah diamankan di mapolres jember. aksi bejat yang dilakukan ik terbongkar setelah salah satu santriwatinya, berinisial e, yang turut menjadi korban, akan dinikahi keponakan pelaku. “saat dilamar, e kemudian menceritakan jika sudah tidak perawan lagi karena pernah disetubuhi oleh pengasuh ponpes tersebut,” ujar kasubag humas polres jember akp edy sudarto, kamis (18/9/2014). saat itu, e juga menceritakan bukan hanya dirinya yang pernah disetubuhi pelaku, melainkan juga beberapa orang santriwati. “namun, e sendiri tidak melaporkan kasus tersebut. justru yang melaporkan tiga orang rekannya, yakni m (15), t (16), dan s (17),” ungkap edy. setelah mendapat laporan, petugas kepolisian kemudian melakukan visum terhadap tiga orang korban tersebut dan ternyata diketahui selaput dara mereka sudah rusak. “karena bukti sudah kuat, ik langsung kita tetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. (sumber, kompas kamis, 18 september 2014 | 16:49 wib [http://regional. kompas.com/read/2014/09/18/16490021/pengasuh.pesantren.dilaporkan. setubuhi.4.santriwatinya]) – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 131 data b pengasuh ponpes setubuhi santriwati sambil pimpin doa bersama jumat, 19 september 2014 | 11:17 wib jember, kompas.com — aparat di kepolisian resor jember, jawa timur, terus melakukan penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan ik (38), seorang pengasuh pondok pesantren di wilayah kecamatan ambulu, terhadap sejumlah santriwatinya. “kami masih terus melakukan pendalaman atas kasus ini. untuk itu, kami akan periksa lokasi kejadian,” ungkap kasubag humas polres jember akp edy sudarto, jumat (19/9/2014). edy mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, santri yang menjadi korban disetubuhi pada saat acara doa bersama. “jadi, hampir setiap malam, antara pukul 21.00 dan 22.00, di ponpes tersebut digelar acara doa bersama semua santri. doa bersamadipimpin pelaku,” ujar akp edy sudarto. pada saat itulah, korban yang akan disetubuhi diajak masuk ke dalam ruangan khusus, tempat pelaku memimpin acara doa bersama tersebut. “alasannya untuk menemani pelaku membacakan wiridan-wiridan. begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban-korbannya. karena ramainya suara pembacaan doa bersama tersebut, suara dari dalam ruangan tidak akan terdengar,” ujar edy. acara doa bersama tersebut hampir digelar setiap malam, dengan durasi setengah hingga satu jam. “jadi, setiap malam, secara bergantian, satu per satu para korban ini disetubuhi oleh pelaku. pasca-kejadian ini, acara doa bersama tersebut sudah dihentikan,” kata dia. seperti diberitakan sebelumnya, ik, seorang pengasuh ponpes di kecamatan ambulu, dilaporkan karena diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan yang menjadi anak didiknya. polisi sudah menetapkan ik sebagai tersangka. ik pun langsung ditahan di mapolres jember. (sumber, kompas jumat, 19 september 2014 | 11:17 wib [http://regional.kompas.com/read/2014/09/19/11171821/pengasuh. ponpes.setubuhi.santriwati.sambil.pimpin.doa.bersama%c2%a0]) 132 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama b. peta analisis, (a): tabel 2 peta analisis data berita a judul berita data a. pengasuh pesantren dilaporkan setubuhi 4 santriwatinya struktur perangkat framing keterangan sintaksis headline: pengasuh pesantren dilaporkan setubuhi 4 santriwatinya lead seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di kecamatan ambulu, jember, jawa timur, berinisial ik (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya. latar kecamatan ambulu, jember, jawa timur sumber kasubag humas polres jember akp edy sudarto kutipan “saat dilamar, e kemudian menceritakan jika sudah tidak perawan lagi karena pernah disetubuhi oleh pengasuh ponpes tersebut,” “namun, e sendiri tidak melaporkan kasus tersebut. justru yang melaporkan tiga orang rekannya, yakni m (15), t (16), dan s (17),” “karena bukti sudah kuat, ik langsung kita tetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” pernyataan kini, pengasuh ponpes tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah diamankan di mapolres jember. aksi bejat yang dilakukan ik terbongkar setelah salah satu santriwatinya, berinisial e, yang turut menjadi korban, akan dinikahi keponakan pelaku. e juga menceritakan bukan hanya dirinya yang pernah disetubuhi pelaku, melainkan juga beberapa orang santriwati. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 133 setelah mendapat laporan, petugas kepolisian kemudian melakukan visum terhadap tiga orang korban tersebut dan ternyata diketahui selaput dara mereka sudah rusak. penutup kompas menutup pemberitaan dengan kutipan: “karena bukti sudah kuat, ik langsung kita tetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. skrip kelengkapan berita: 5w+1h dari sudut skrip, pemberitaan ini meliputi: (who) ik (38) pengasuh pesantren. (when) kejadian perkara tak diungkapkan persis. berita tersiar setelah polisi menyidik tertanggal 19/9/2014. (where) pondok pesantren nurul huda-desa karanganyar-kec. ambulu-jember-jawa timur. (what) seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di kecamatan ambulu, jember, jawa timur, berinisial ik (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya. (how) kronologiketerungkapan kejadian ditunjukkan sejak dari paragraf 3 hingga 8. tematik detail, maksud kalimat, hubungan n o m i n a l i s a s i antarkalimat koherensi 1. bentuk kalimat 2. kata ganti paragraf proposisi 1. secara tematik, berita ini mengetengahkan beberapa aspek di antaranya: 2. telah terjadi kasus pemerkosaan oleh oknum pengasuh pesantren. 3. kronologis terbongkarnya aksi bejat oknum ustad. 4. pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka berdasarkan penyidikan retoris leksikon kata “dilaporkan” dalam headline menunjukkan bahwa perkara ini baru saja mencuat dan tersiar. gambar siluet wanita sedang duduk di kursi dengan sikut berpangku pada lutut dan lengan menutup wajah; menunjukkan ada suatu gejada depresi. 134 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama metafor dan pengandaian kata pembuka, “pengasuh pondok pesantren (ponpes)” mengarahkan imajinasi pembaca pada sosok seorang yang diandaikan alim. penggunaan kata pembuka ini sebenarnya terlalu vulgar karena menunjuk status sosial dalam skala umum (common senses). ketelanjangan bahasa ini juga menunjukkan aspek yang hendak ditonjolkan dalam kasus ini. a. peta analisis, (b): tabel 3 peta analisis data berita b judul berita data b. pengasuh ponpes setubuhi santriwati sambil pimpin doa bersama struktur perangkat framing keterangan sintaksis headline: pengasuh ponpes setubuhi santriwati sambil pimpin doa bersama lead aparat di kepolisian resor jember, jawa timur, terus melakukan penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan ik (38), seorang pengasuh pondok pesantren di wilayah kecamatan ambulu, terhadap sejumlah santriwatinya. latar kecamatan ambulu-jember, jawa timur sumber kasubag humas polres jember akp edy sudarto, kutipan “kami masih terus melakukan pendalaman atas kasus ini. untuk itu, kami akan periksa lokasi kejadian,” “jadi, hampir setiap malam, antara pukul 21.00 dan 22.00, di ponpes tersebut digelar acara doa bersama semua santri. doa bersamadipimpin pelaku,” “alasannya untuk menemani pelaku membacakan wiridan-wiridan. begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korbankorbannya. karena ramainya suara pembacaan doa bersama tersebut, suara dari dalam ruangan tidak akan terdengar,” – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 135 “jadi, setiap malam, secara bergantian, satu per satu para korban ini disetubuhi oleh pelaku. pasca-kejadian ini, acara doa bersama tersebut sudah dihentikan,” seperti diberitakan sebelumnya, ik, seorang pengasuh ponpes di kecamatan ambulu, dilaporkan karena diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan yang menjadi anak didiknya. pernyataan aparat di kepolisian resor jember, jawa timur, terus melakukan penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan ik (38) ik, seorang pengasuh ponpes di kecamatan ambulu, dilaporkan karena diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan yang menjadi anak didiknya. penutup polisi sudah menetapkan ik sebagai tersangka. ik pun langsung ditahan di mapolres jember. skrip kelengkapan berita: 5w+1h 1. (who) ik (38), seorang pengasuh pondok pesantren. 2. (when) berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, santri yang menjadi korban disetubuhi pada saat acara doa bersama. “jadi, hampir setiap malam, antara pukul 21.00 dan 22.00. 3. (where) kecamatan ambulu-jember, jawa timur. 4. (what) alasannya untuk menemani pelaku membacakan wiridan-wiridan. 5. (how) korban yang akan disetubuhi diajak masuk ke dalam ruangan khusus, tempat pelaku memimpin acara doa bersama tersebut. begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban-korbannya. 136 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama tematik detail maksud kalimat, hubungan n o m i n a l i s a s i antarkalimat koherensi 1. bentuk kalimat 2. kata ganti paragraf proposisi secara tematik, berita ini mengetengahkan beberapa aspek di antaranya: 1. penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan oleh seorang pengasuh pondok pesantren. 2. pendalaman kasus 3. alasan dan modus pelaku dalam melaksanakan aksinya. retoris leksikon headline “pengasuh ponpes setubuhi santriwati sambil pimpin doa bersama” dibuat telanjang disamping membenturkan kata “pengasuh ponpes” dengan kata “setubuhi santriwati sambil pimpin doa”. ada penjudulan dalam headline yang menggeser makna. gambar kaca buram menampilkan sepasang telapak tangan wanita menempel pada permukaan kaca (close up) dengan blur sosoknya di balik kaca tersebut. ada sesuatu yang erotis berkenaan dengan asosiasi antara gestur samar, telapak tangan yang melekat pada kaca dan, tentu saja headline. metafor dan pengandaian lagi-lagi tak ada metafor. pemilihan judul pada headline mengarah langsung dan dapat diterjemahkan secara harfiah. hal ini mencirikan ada sesuatu yang hendak disajikan secara utuh, atau dengan kata lain: provokatif. d. interpretasi i pencacahan atas data a dan data b di atas belum sampai pada tingkat interpretasi lebih jauh. meski demikian, secara periodik dan kronologis dapat ditarik satu garis simpul bahwa terdapat pergeseran dan interpretasi tekstual tertutup pada pemberitaan atas data a dan b pada media kompas elektronik terkait. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 137 data a, headline menggunakan penghalusan kata dengan tidak menunjukan langsung pada pelaku dengan menggunakan kata “dilaporkan”. sebenarnya tak ada yang spesial jika kita tidak melihat bahwa pada data selanjutnya headline menjadi lebih vulgar. untuk sampai pada pergeseran tersebut kita dapat melihat secara sintaksis bagaimana berita tersebut dideskripsikan dan diberitakan. dalam data a, kita akan mendapati kalimat pembuka: “seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di kecamatan ambulu, jember, jawa timur, berinisial ik (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya.” kalimat di atas sepintas mendukung apa yang ingin diungkapkan headline. alih-alih demikian, justru ada yang menarik jika kalimatnya dipotong hanya pada bagian: seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes). merujuk pada kalimat di atas, orang akan mengasosiasikan pandangannya tentang pengasuh dan pondok pesantren sebagai seorang yang memelihara. “pengasuh” memiliki arti bukan saja mendidik, tapi juga sekaligus menjadi teladan yang baik bagi yang diasuh. sama halnya dengan “pondok pesantren”, orang akan mengandaikan bahwa di dalamnya, para murid (santri) akan mendapatkan pendidikan agama dan moral-etika yang baik. tapi apa yang kemudian terjadi justru menghantam dengan sangat telak pada imajinasi tentang “pengasuh” dan “pondok pesantren”, terutama karena kalimat selanjutnya berbunyi, “di kecamatan ambulu, jember, jawa timur, berinisial ik (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya.” jika dibaca dengan cara terpisah seperti ini, kita menemukan konfrontasi langsung terhadap imajinasi massa mengenai makna “pengasuh pondok pesantren” dan perbuatannya menyetubuhi santriwati didikannya. pertanyaannya adalah mengapa tidak ada penghalusan bahasa atau—dalam kerangka analisis aspek retoris— mengapa tak digunakan metafor untuk menghaluskan bahasa? mengapa bentuknya menjadi oksimoron, yakni dengan membenturkan dua antonim dalam satu hubungan sintaksis yang mengaosiasikan pada sesuatu yang buruk? 138 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama title headline menggunakan kata “pengasuh pesantren” yang pada dasarnya berkaitan dengan pembuka berita yang menggunakan kata “seorang pengasuh pondok pesantren”. di sini, terdapat sedikit ketidaksesuaian dengan etika jurnalime yakni mengenai penghalusan bahasa. misalnya, dalam kedua kata tersebut tidak ditambah kata “oknum” untuk sekedar menghindari imajinasi pembaca supaya tidak mengarah pada generalisasi. penggunaan kata “oknum” tentu saja sangat penting untuk mempersempit skala general yang tekandung dalam kata “pengasuh pesantren”. dalam kamus besar bahasa indonesia (kbbi), kata “oknum” digunakan untuk menunjukkan: orang seorang (satu orang); perseorangan—yang mengarah pada anasir (dengan arti yang kurang baik). dengan demikian, menggunakan kata “oknum” menjadi sangat penting di dalam headline tersebut. jika tidak, maka kompas.com—dalam hal ini adalah media yang mengusung—dapat dipersalahkan atau paling tidak dianggap lalai dalam menyajikan berita karena dirasa tendensius. persoalannya, jika dibiarkan telanjang, kemungkinan generalisasinya akan semakin tinggi. meskipun tindakan pelaku sangat amoral secara umum, tetapi pemberitaan semacam ini dapat sangat mencemarkan nama pesantren, sekaligus para pimpinan pesantren. kata “dilaporkan setubuhi 4 santriwatinya” sebagai penegasan tindak pidana pelaku yang secara sintaksis juga berhadapan dengan kata “diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya.” penggunaan kata “dilaporkan” menunjukkan bahwa perkara yang terjadi itu baru. sedangkan ketika menilik pada kalimat pembuka, kita hadapkan pada kata “diduga” yang menunjukkan bahwa perkara yang “dilaporkan” telah ditindaklanjuti oleh tim penyidik. menariknya adalah pada makna dari kalimat pembuka awal diakhiri dengan, “yang menjadi anak didiknya.” padahal dengan tidak menggunakan kata tersebut, makna kalimat telah cukup. jika kita masuk lebih dalam berdasarkan analisis sintak, pada bagian sumber keterangan yang dihimpun oleh sang reporter hanya berdasarkan – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 139 pada hasil penyelidikan polisi. reporter dalam hal ini—jika dilihat dari data artikel pemberitaan a—tidak menghimpun data berdasarkan korespondensi langsung dengan keluarga korban, melainkan menggunakan data sekunder. dengan demikian, menjadikan berita ini kurang valid dalam segi berimbang dan objektif. sebuah data untuk diberitakan dikatakan berimbang apabila memuat sejumlah korespondensi dengan sumber data utama selengkap-lengkapnya. kutipan dan pernyataan yang disajikan dalam berita menunjukkan keterkaitan kronologis mengenai proses terungkapnya kasus. dalam hal ini, terkhusus pada pemberitaan data a, informasi menjelaskan bahwa pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka karena data di tangan penyidik telah lengkap. e. interpretasi ii beranjak ke data b, headline dalam data b tentu saja menggunakan susunan kalimat baru, “pengasuh ponpes setubuhi santriwati sambil pimpin doa bersama.” sepintas kalimat ini tidak menjadi masalah. namun, apabila kita terapkan analisis dan interpretasi simbolik pada headline tersebut, kita akan mengetahui apa yang janggal dalam headline data b ini, bahwa sama-sama tak dicantumkan kata “oknum” untuk menunjuk pada subjek pelaku. subjek pelaku—jika ditelaah secara logis—telah ditarik dan digeneralisasi (atau seakan-akan digeneralisasi) dengan menyebut langsung dan lugas menggunakan kata ganti subjek secara telanjang, yakni “pengasuh ponpes”. mengapa kemudian tidak menggunakan istilah dengan inisial pelaku dengan dilengkapi atribut sebagai apa. misalnya saja kalimat dapat diubah menjadi “ik (38), yang juga merupakan oknum pengasuh salah satu pesantren, telah melakukan tindakan asusila pada beberapa santriwatinya.” headline yang lugas jelas menyiratkan bahwa terdapat logika yang melompat. mengingat, tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah headline atau title harus dibuat semenarik mungkin, tetapi memenggal sejumlah informasi dan menampilkannya secara terbuka dapat dikatakan sangat tendensius. 140 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama pada bagian ini, rincian data yang diungkapkan ke publik sudah mulai detail, meski menyatakan data yang telah diperoleh oleh tim penyidik. artinya, sampai berita tersebut disebar ke khalayak, kompas tidak atau belum melakukan konfirmasi kepada beberapa pihak, baik korban ataupun pada warga sekitar mengenai kejadian terkait. detail mengenai kapan tepatnya aksi pelaku bermula juga tidak diungkapkan. kita hanya bisa menemukan informasi melalui pernyataan polisi bahwa modus operandi yang dilakukan pelaku adalah dengan mengajak salah satu korban santriwatinya untuk menemani pelaku di ruangan khusus untuk membaca doa. merujuk pada sumber data berita, informasi mengenai kejadian diperkirakan berkisar antara pukul 21.00 sampai 22.00 dalam keadaan doa bersama sedang dilakukan. dalam pernyataan ini, ada sejumlah hal yang mengundang pertanyaan, misalnya saja mengapa tidak ada pendalaman dalam arti kalimat “disetubuhi pada saat doa bersama”. tentu ini penting karena pemahaman pembaca dapat begitu saja merasa apriori bahwa kejadian memang berlangsung seperti pada apa yang tertulis dalam berita. tak ada pendalaman di wilayah kemungkinan apakah memang demikian atau dilakukan dengan cara lain. pasalnya, pada kalimat “disetubuhi pada saat doa bersama” akan mengarahkan kita pada tindakan pelaku pada saat turut memimpin doa. ada perbedaan tentunya antara pelaku dalam keadaan memimpin doa berarti turut membaca doa, dengan pelaku melakukan aksinya di tengah acara doa berlangsung (mencuri waktu). pertanyaan selanjutnya yang bisa diajukan berkenaan dengan doa bersama (istigasah) ini, antara lain adalah: 1) pesantren dengan sistem seperti apa yang melakukan istigasah bersama setiap malam? 2) apakah sebuah kumpulan dengan satu struktur dengan kurikulum pengajaran pesantren, atau hanya majelis biasa? dalam hal ini, skala untuk standar ukuran pesantren dengan majelis tentu saja berbeda. anehnya kenapa di dalam pemberitaan terkait—tanpa verifikasi lebih jauh—menetapkan begitu saja bahwa itu memang pesantren. yang sukar dibayangkan adalah – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 141 dengan acara yang melibatkan orang banyak, mengapa pelaku bisa melakukan tindakan asusilanya. perincian tindakan dalam konteks berita menjadi penting karena berpengaruh terhadap pemahaman dan perspektif dari para pembaca. masih dalam pembacaan mengenai tindakan pelaku, terkhusus dalam data b dikatakan juga misalnya, “begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban-korbannya.” pertanyaannya adalah: 1) dengan cara seperti apa pelaku (yang dibayangkan menjadi pemimpin doa dan juga bersama-sama dalam satu majelis) melakukan perbuatannya? 2) lalu, apabila doa tak dipimpin langsung, maka sebenarnya siapa yang memimpin acara doa? ketika kemudian pelaku menggunakan ruang ekslusif untuk memimpin doa—sejauh yang bisa dibayangkan—belum ada orang yang memimpin doa di dalam ruangan tertutup sedangkan jemaatnya berada di ruangan terpisah. pun apabila dipisah, biasanya dalam tradisi sebuah pesantren atau majelis, pemisahnya adalah sebuah tirai (hijab). sayangnya kemungkinan-kemungkinan ini tidak ditelusuri lebih dalam. berdasarkan uraian analisis di atas, kita harus kembali pada aktualitas serta faktualitas dalam menyajikan berita yang seharusnya juga diimbangi dengan pemilihan diksi dan perangkat bahasa yang baik. selain itu, apa yang sebenarnya melatari pemberitaan ini begitu sembrono, terutama dari segi etika dan data yang ditampilkan. pertanyaan ini tentunya dapat direfleksikan pada hasil analisis di atas. meski pada akhirnya penafsiran berita bisa sangat beragam, tetapi apabila penafsiran muncul dari interpretasi intertekstual data a dan b menunjukkan satu tendensi tertentu, hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan. imbas dari pemberitaan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada keseluruhan pesantren, mulai dari para pemimpin, santri, sampai pada imajinasi publik terhadap label negatif pesantren. media pada dasarnya tidak diperkenankan menggunakan bahasa yang sifatnya provokatif, terutama yang mampu memunculkan pergeseran pada kata dan makna 142 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama yang digunakan. misalnya, sebenarnya pelaku hanya seorang ustaz dan tempat kejadian perkara bukan pesantren. namun, untuk memunculkan bahasa yang dapat dipahami, maka penutur data kronologis—dalam hal ini polisi—menggunakan bahasa yang cenderung digeneralisasi. terkait hal ini, tentu wartawan wajib untuk menghimpun data yang berimbang sebelum menyiarkan berita ke media. selanjutnya, logika yang disusun di dalam pemberitaan cenderung melompat. hal ini dapat dilihat dari data a yang diunggah tanggal 18 september dengan headline kunci pada pelaku “dilaporkan”. namun, pada bagian paragraf penutup sampai berita diudarakan, pelaku telah ditetapkan sebagai “tersangka”. ada proses hukum yang panjang—apabila merunut dengan satu aspek yurisprudensi kepolisian—dalam menetapkan “terlapor” menjadi “tersangka”. hal serupa terjadi dalam kasus di data b yang diunggah sehari berikutnya. logika melompat ini menghilangkan adanya pendalaman mengenai korban, pelapor, saksi, dan proses hukum yang berlangsung. karena tentu saja sangat sulit dalam kasus asusila menetapkan tersangka sebab barang bukti dan validasi fakta sangat kabur. bisa saja misalnya, korban-korban tak hanya disetubuhi oleh satu oknum, atau aksi tersebut dilakukan dengan satu tindakan suka sama suka. dalam hal ini, perlu adanya detail dalam berita. tujuannya bukan hanya supaya pembaca mendapat satu sajian informasi yang akurat, melainkan juga memberikan kepastian informasi, yang menarik selanjutnya adalah judul headline yang berubah secara drastis. bagian ini telah disinggung sebelumnya dalam data, tertanggal 18 september, pada headline bertajuk “pengasuh pesantren dilaporkan setubuhi 4 santriwatinya”. headline bagian ini masih dalam status dilaporkan dan belum menjadi tersangka. pasalnya dalam data b, headline berubah tajam menjadi “pengasuh ponpes setubuhi santriwati sambil pimpin doa bersama”, yang secara jelas langsung mengarah pada kasus yang diberitakan sehingga muncul pertanyaan, apa sebenarnya tendensi dari media kompas.com ketika menggunakan headline yang cenderung – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 143 mengandung esensi negatif terhadap salah satu institusi agama islam. hal inilah yang pada akhirnya dapat menyerang imajinasi masyarakat terhadap label ataupun stereotif negatif tentang posisi pesantren. iv. kesimpulan bertolak dari interpretasi sintaksis analisis framing, kita akan mengaitkan asumsi-asumsi awal mengenai media masa secara primordial dan keterkaitannya dengan hal-hal yang bersifat politis. menarik bahwa imajinasi massa, media, dan kepentingan adalah ibarat pribahasa “setali tiga uang”. terkait media kompas khususnya, apakah kemudian terdapat kepentingan yang mendasarinya sehingga menggunakan perangkat bahasa lugas seperti yang terdapat pada data berita yang diambil. dalam hal ini, satu sisi secara tidak langsung akan berimplikasi pada penurunan kredibilitas institusi islam. namun, bertolak dari analisis yang ditampakkan di atas, jelas bahwa dalam berita tersebut ada sesuatu yang “ditampakkan” dan ada bagian lain yang “disortir”. penyortiran dan pemunculan memang sesuatu yang biasa, tetapi pasalnya kecenderungan ini bermakna lebih dari itu. mengenai terminologi framing, dijelaskan bahwa sebuah berita dikemas melalui proses seleksi sehingga dapat diubah dan disesuaikan dengan satu kepentingan atau kebutuhan pasar. yang terakhir disebut memang merupakan satu aspek penting selain kepentingan-kepentingan yang lain. namun demikian, pada akhirnya arah pemberitaan kompas. com tetap menunjukkan adanya tendesi ke arah stigma tertentu. analisis yang dilakukan dalam penelitian ini tentu saja hanya terhadap dua data dari pemberitaan di media kompas.com. dengan kata lain, tafsir dan analisis hanya berkisar pada interaksi sintaksis dan sintagmatis tertutup. kata dan frasa dalam teks dibenturkan dengan hal serupa pada teks terkait. dalam analisis ini, tidak dilibatkan teks lain atau analisis intertekstual yang melibatkan data dari media yang lain. tentu saja itu menjadi menarik, karena bagaimanapun kompas, termasuk kompas. com, adalah media berskala nasional dan sudah sangat pasti memberikan 144 | syihabul furqon dan busro – mediatisasi agama andil dan pengaruh dalam pemberitaan yang disampaikan. di titik ini, tak dapat dipungkiri akan muncul kemungkinan pemberitaan selanjutnya di media yang lain menggunakan kata lebih tajam dan vulgar, terlepas dari penyajian dan kedetailan data. kompas boleh jadi menjadi media dengan kekuatan mayor yang dapat memantik efek domino pada sebuah berita— dan selanjutnya media mana saja yang cenderung menginduk ke dalamnya. selanjutnya, kita dapat menentukan siapa yang harus mengklarifikasi dan meralat. konklusi atas pembedahan berita di atas adalah betapa dalam satu isu minor saja, sebuah media nyata melakukan framing tertentu atas pemberitaan yang disajikan—terlepas dari agenda yang dirumuskan— sehingga ketika membaca media dewasa ini, lebih memerlukan kewaskitaan dan kesabaran dalam menyimpulkan. benar adanya bahwa saat ini merupakan era keserentakan sebagaimana pendapat foucault dan juga era fragmentasi. false of consciousness menjadi gejala tersendiri yang kemudian harus diselesaikan. karenanya, persoalan-persoalan yang tampak “sepele” dan dikemas begitu saja dalam media apa pun selalu menyimpan sebuah pesan enigmatik. maka tidak berlebihan apabila kita meninjau ulang cara memandang dan berpikir instan yang cenderung tergesa ini dalam tahapantahapan epistemis yang proporsional. sebab kebijaksanaan, sebagai apa yang ditekankan j. sudarminta (2004), memungkinkan kita menilai, menata, serta mengintegrasikan pelbagai hal yang dalam pengalaman dan pengetahuan kita, sepintas tampak berserakan menjadi suatu kesatuan dan keseluruhan yang bermakna. saran terkait penelitian ini lebih kepada analisis framing selanjutnya yang mungkin dapat diaplikasikan terhadap isu-isu sejenis. dalam artian, sejumlah isu yang mungkin sensitif di masyarakat dan mampu memunculkan stigma tertentu terhadap stereotif suatu pihak, bisa jadi menarik dibahas dengan jenis analisis framing lain yang lebih mendalam. mengingat penelitian ini lebih mengarah pada analisis dengan pendekatan pan dan kosicki dengan empat kriteria utama, yakni sintaksis, skrip, – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 145 tematik, dan retoris, maka diharapkan pada penelitian selanjutnya, dapat merujuk pada pendekatan framing lainnya sebagai keberlanjutan kelengkapan penelitian. selain itu, terkait media yang dianalisis, diharapkan pula dapat lebih diperluas dengan penggunaan media lain—tentu dengan topik dan isu sejenis—agar diperoleh sisi lain pembingkaian media yang lebih menguatkan terhadap penelitian ini. daftar pustaka eriyanto. (2002). analisis framing: konstruksi, ideologi dan politik media. yogyakarta: lkis. hardiman, f. budi. (2008). manusia sebagai penafsir, yogyakarta: kanisius. _______ . (2008). menuju masyarakat komunikatif. yogyakarta: kanisius. ibrhim, idi subandy. (2004). komunikasi empatik. jakarta: pbq. nasution, ismail fahmi arrauf dan miswari. (2017). “islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo)”. jurnal al-balagh vol. 2 no. 1 januari-juni 2017. htttp://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-balagh/ article/view/753/ 198. doi http://dx.doi.org/10.22515/balagh. v2i1.753 (diakses tanggal 11 desember 2017). o’hara, keiron. (2002). plato dan internet. yogyakarta: jendela. piliang, yasraf amir. (1998). sebuah dunia yang dilipat. bandung: mizan. _______ . (2005). hipersemiotika. yogyakarta: jalasutra. regional kompas.com. kamis, 18 september 2014 | 16:49 wib [http:// regional.kompas.com/read/2014/09/18/16490021/pengasuh. pesantren.dilapor an.setubuhi.4.santriwatinywa]). regional kompas.com., jumat, 19 september 2014 | 11:17 wib [http://regional.kompas.com/read/2014/09/19/11171821/ pengasuh.ponpes.setub hi.santriwati.sambil.pimpin.doa. bersama%c2%a0]). rond, ayn. (2003). epistemologi objektif. yogyakarta: bentang. sudarminta, j. (2004). epistemologi. yogyakarta: kanisius. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 2, no. 1, januari juni 2017 daftar isi negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma dan theresia octastefani 1 24 dialektika komunikasi intrapersonal: mengkaji pesona komunikasi dengan diri sendiri ferry adhi dharma 25 44 islam agama teror? (analisis pembingkaian berita media online kompas.com dalam kasus charlie hebdo) ismail fahmi arrauf nasution dan miswari 45 62 realitas sosial anak yatim di kota padang dalam perspektif pemberdayaan masyarakat mardan mahmuda 63 86 pengembangan kompetensi profesi program studi komunikasi dan penyiaran islam zainul abbas 87 110 bimbingan dan konseling dengan pendekatan rational emotive behavior therapy untuk penerima manfaat muhamad abdul kohar dan imam mujahid 111 124 negosiasi dakwah dan politik praktis: membaca orientasi organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bayu mitra a. kusuma jurusan manajemen dakwah, uin sunan kalijaga, yogyakarta theresia octastefani departemen politik dan pemerintahan, universitas gadjah mada, yogyakarta keywords: da’wah, islamic religious wing, nationalist party, practical politics http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: bayumitraa.kusuma@yahoo.com theresiaoctastefani@gmail.com abstract islam is a da’wah religion which disseminate the truth. but on the other hand, islam is a political religion that is often used as the basis of ideology and struggling in the democratics era to uphold the constitution. nowadays, moslems have various political channels through islamic political party. but each islamic party has different interests, although equally portray itself as the da’wah party or indonesian moslem political place. in this dynamics, political behavior by using da’wah symbols and labeling are also performed by the parties with nationalist genealogy, like partai demokrasi indonesia – perjuangan, partai golongan karya, and partai demokrat, through the islamic religious organization. one of some actual cases that we can make it referral is the dki jakarta governor election. that phenomenon is an authentic evidence that the negotiation between da’wah and practical politics was happened. to analyze the phenomenon, this research used qualitative study, descriptive approach, and interactive data analysis methods by miles and huberman. the result of research showed that the da’wah agendas which organized tends to be incidental to adjust with the political constellation that they face and optimized toward of key moments in the political calendar like regional head election. it can be concluded that the orientation of islamic religious organization which use genealogy nationalist of political party are the doer of the political da’wah rather than politics of da’wah itself. so that, in the negotiations between da’wah and politics practical, the political aspect is more advantaged than the aspect of da’wah.doi number 10.22515/ balagh.v2i1.690 2 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis islam adalah agama dakwah yang di dalamnya terdapat usaha untuk menyebarluaskan kebenarannya. namun di sisi lain islam juga merupakan agama politik yang sering kali dipakai sebagai basis ideologi dan perjuangan di era demokrasi yang menjunjung tinggi konstitusi. saat ini umat islam memiliki berbagai saluran politik melalui partai politik bercorak islam. namun masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda meskipun sama-sama mencitrakan dirinya sebagai partai dakwah atau rumah politik umat islam indonesia. dalam dinamikanya, perilaku politik dengan menggunakan simbol dan pelabelan dakwah ternyata juga dilakukan oleh partai-partai bergenealogi nasionalis, seperti partai demokrasi indonesia perjuangan, partai golongan karya, dan partai demokrat melalui organisasi sayap keagamaan islam. salah satu kasus teraktual yang dapat kita jadikan rujukan adalah pemilihan gubernur dki jakarta. fenomena tersebut adalah bukti otentik bahwa terjadi negosiasi antara dakwah dan politik praktis. untuk memperdalam fenomena tersebut, penelitian ini menggunakan jenis kualitatif, pendekatan deskriptif, dan metode analis data interaktif miles dan huberman. hasil penelitian menunjukkan bahwa agendaagenda dakwah yang diselenggarakan lebih cenderung dilakukan secara insidental menyesuaikan dengan konstelasi politik yang mereka hadapi dan hanya dioptimalkan menjelang saat-saat penting dalam kalender politik seperti pemilu kepala daerah. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orientasi dari sayap keagamaan islam partai politik bergenealogi nasionalis lebih pada dakwah politik dibandingkan dengan politik dakwah, sehingga dalam negosisasi dakwah dan politik praktis maka aspek politik lebih diuntungkan dibandingkan dengan aspek dakwah. i. pendahuluan islam adalah agama dakwah. sebagaimana yang dikemukakan oleh max muller bahwa yang dimaksud dengan agama dakwah adalah agama yang di dalamnya terdapat usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum mempercayainya (amin 2009, 23). jika mengacu pada definisi muller tersebut, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa islam adalah agama dakwah. di samping itu, berbagai literatur telah menyatakan dengan tegas bahwa dakwah hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim. atau dengan kata lain menyampaikan kebenaran yang bersumber dari al-qur’an dan al-hadits adalah suatu kewajiban yang abstrak kata kunci: dakwah, sayap keagamaan islam, partai nasionalis, politik praktis. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 3 harus dijalankan bagi setiap pemeluk agama islam. meskipun demikian, di sebagian literatur lainnya juga disebutkan bahwa hukum dakwah adalah fardlu kifayah, sehingga apabila dakwah telah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang maka kewajiban dakwah bagi muslim lainnya menjadi gugur. perbedaan pendapat akan hukum dakwah tersebut terjadi karena penafsiran yang berbeda dari para ulama terhadap al-qur’an surat âli ‘imrân ayat 104. namun, bagaimanapun juga, keberadaan dakwah begitu vital dalam eksistensi agama islam, sehingga antara islam dan dakwah adalah satu tubuh yang tak terpisahkan. setiap individu memiliki kemampuan dan keunikan yang berbedabeda dalam menyampaikan kebenaran islam. maka dari itu, dakwah dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan masingmasing. mulai dari dakwah yang dilakukan dengan lisan (bil lisân), dengan tulisan (bil kalâm), maupun dengan harta benda (bil hal). terlepas dari caranya yang beragam, tujuan dakwah telah sangat jelas dan terukur yaitu merubah perilaku manusia dan kondisi masyarakat dari pola perilaku yang buruk menjadi lebih baik, dari hidup tanpa tata nilai dan aturan menjadi hidup berlandaskan nilai-nilai islam yang mulia, dari pola berpikir yang individualis atau mementingkan diri sendiri menjadi hidup berjamaah untuk tolong menolong di dalam kebaikan. memang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi masyarakat masih terus membutuhkan rekayasa sosial agar terlepas dari berbagai penyimpangan seperti kemusyrikan, kefasikan, kebodohan, kerancuan visi, nilai-nilai dan pertimbangan, dan penyimpangan adat istiadat (munir dan ilahi 2015, 267-268). di sisi lain, islam merupakan agama politik, antara politik dan islam seolah-olah menyatu dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya (tibi 2016, 1). upaya apapun untuk memisahkan keduanya seakan begitu sulit dilakukan dan bahkan dianggap sebagai suatu langkah untuk mendegradasi agama islam itu sendiri. oleh karena itu, islam seringkali dipakai sebagai basis ideologi politik dan basis perjuangan politik (geovanie 2013, 179), yang kemudian ideologi dan basis perjuangan politik 4 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk partai islam ataupun partai berbasis massa islam. memang di dalam sistem politik modern seperti saat ini upaya mencapai kekuasaan secara formal dan legal adalah melalui partai politik. karena bagaimanapun juga, partai politik dipandang sebagai institusi resmi di era demokrasi yang menjunjung tinggi konstitusi ini. saat ini umat islam memiliki beberapa saluran politik formal melalui partai politik bercorak islam yang masih eksis meliputi partai persatuan pembangunan (ppp), partai kebangkitan bangsa (pkb), partai keadilan sejahtera (pks), partai amanat nasional (pan), dan partai bulan bintang (pbb). bukan hanya itu, baru-baru ini muncul lagi partai baru yang lebih berani mencantumkan islam sebagai namanya yaitu partai islam damai aman (idaman) besutan rhoma irama yang selama ini lebih populer sebagai seniman musik dangdut. sisi positifnya adalah semakin bertambahnya saluran partisipasi politik bagi umat islam sebagai penyampai aspirasi atau mobilisasi politik vertikal. adapun sisi negatifnya adalah semakin banyak saluran politik umat islam juga mengakibatkan aspirasi politik umat islam menjadi terpecah-pecah dan tidak terfokus. padahal jika partai-partai tersebut bersatu, maka estimasi kekuatan yang dapat dihimpun berdasarkan pemilu 2014 adalah sekitar 30% (jawa pos 31 maret 2017, 2). namun, faktanya masing-masing memiliki kepentingan tertentu meskipun partai-partai tersebut secara tersurat maupun tersirat sama-sama telah mencitrakan dirinya sebagai partai dakwah atau rumah politik bagi umat islam indonesia. dalam dinamika politik yang penuh dengan kepentingan tersebut, perilaku politik dengan menggunakan simbol dan pelabelan dakwah tidak hanya dilakukan oleh partai islam ataupun partai berbasis massa islam. catatan politik indonesia menunjukkan bahwa penggunaan aktivitas dakwah dalam kontestasi politik juga dilakukan oleh partai-partai yang lebih identik dengan genealogi nasionalis melalui organisasi sayap keagamaan islam. padahal, dalam dinamikanya partai nasionalis ini kerap – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 5 dipertentangkan dengan partai islam. bila partai islam berkecenderungan meletakkan dasar agama dalam argumen bernegara, sebaliknya partai nasionalis dalam batas-batas tertentu berusaha mensekulerkan negara (pamungkas 2012, 121). akan tetapi, dalam realitanya kecenderungan tersebut dapat menjadi bias saat harus berbenturan dengan kepentingan menarik dukungan umat. seperti partai demokrasi indonesia perjuangan (pdi-p) melalui baitul muslimin indonesia (bamusi), partai demorat (pd) dengan ikhwanul muballighin, dan partai golongan karya (golkar) bahkan memiliki beberapa sayap keagamaan islam meliputi majelis dakwah islamiyah (mdi), satuan karya ulama, dan pengajian alhidayah. maraknya kehadiran organisasi sayap keagamaan islam pada partai bergenealogi nasionalis menggambarkan bahwa aktivitas dakwah adalah salah satu cara yang dipandang efektif untuk menarik simpati. atau dengan kata lain, di indonesia simbol dan konsep islam begitu atraktif dalam kontestasi politik (ricklefs 2012, 275). salah satu contoh kasus teraktual yang dapat kita saksikan adalah pada konstelasi pemilihan gubernur dki jakarta 2017. pilgub dki jakarta kali ini dapat dikatakan sebagai salah satu pemilu kepala daerah yang paling panas dan gaduh. disamping munculnya tokoh-tokoh populer dalam kontestasinya, adanya bumbu sentimen suku, ras, ataupun agama tak pelak membuat sayap keagamaan islam menjadi salah satu organisasi yang paling sibuk dalam upaya pemenangan kandidat. besarnya peranan sayap keagamaan islam pada partai bergenealogi nasionalis merupakan bukti otentik bahwa terjadi negosiasi antara dakwah dan politik praktis. keduanya memiliki relasi dekat, saling berkelindan, dan bersimbiosis dalam upaya mencapai tujuan tertentu. karena itu, negosiasi antara dakwah dan politik praktis menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis eksistensi sayap keagamaan islam pada partai-partai bergenealogi nasionalis tersebut. berdasarkan pemaparan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah arah eksistensi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis meliputi 6 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis partai demokrasi indonesia – perjuangan (pdi – p), partai golkar, dan partai demokrat (pd)? ketiga partai tersebut dipilih karena beberapa alasan. pertama, ketiga partai tersebut secara silih berganti memenangkan pemilihan umum di indonesia dan banyak memenangkan pilkada di berbagai daerah. kedua, dalam konteks pilgub dki jakarta, ketiga partai tersebut memiliki andil besar dalam menciptakan peta persaingan. ketiga, partai-partai tersebut memiliki basis massa yang fanatik dan mengakar mulai dari perkotaan sampai pedesaan. keempat, partai-partai tersebut dinilai sukses dalam menarik dan memobilisasi umat islam melalui sayap keagamaan islam yang mereka miliki. terlebih khusus pd bila dibandingkan dengan pdi-p dan golkar masih tergolong partai muda dalam kontestasi politik indonesia namun telah mampu menorehkan berbagai catatan keberhasilan. ii. metode penelitian fenomena tersebut didalami dengan metode kualitatif untuk dapat memahami makna dimensi motif dalam serangkaian peristiwa yang membentuk negosiasi dakwah dan politik praktis melalui sayap keagamaan islam pada tiga partai bergenealogi nasionalis yang telah ditetapkan sebelumnya. penelitian ini juga menggunakan pendekatan deskriptif untuk menggambarkan secara detail realitas sosial yang begitu kompleks sehingga relevansi sosiologis dan politisnya dapat dipahami secara mendalam (layder 1998, 30). teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menekankan pada studi literatur. adapun metode analis data yang digunakan adalah metode interaktif yang terdiri dari empat tahap meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (miles dan huberman 1998, 12). iii. politik dakwah vs dakwah politik pembahasan mengenai dialektika ataupun negosiasi dakwah dan politik praktis memang selalu menarik untuk terus dikaji. misalnya – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 7 penelitian dari krismono (2015, t.n) yang dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul ekonomi politik salafisme di pedesaan jawa yang menjelaskan bagaimana dakwah dan politik dapat berjejaring dan bernegosiasi untuk membawa perubahan sosial dan ekonomi sebuah desa di pegunungan dieng jawa tengah. begitu pula dalam buku berjudul islam, oligarki politik, dan perlawanan sosial karya abdur rozaki (2016, t.n) yang mendeskripsikan bahwa untuk mencapai kekuasaan politik, seorang elit memanfaatkan jawara (blater) dan juga tokoh-tokoh islam atau pelaku dakwah di madura jawa timur. namun demikian, penelitian tentang negosiasi dakwah dan politik yang mengkaitkan langsung dengan sayap keagamaan islam partai politik bergenealogi nasionalis di indonesia belum begitu banyak dijumpai. salah satu penelitian yang dapat dihimpun oleh peneliti adalah karya ahmad asroni et al (2013, 47 – 48) yang berjudul dakwah dan politik: menakar kontribusi organisasi sayap islam partai politik bagi masyarakat muslim yogyakarta. dalam kesimpulannya mengemukakan bahwa di yogyakarta dakwah yang dilakukan oleh dua sayap islam parpol dari pdi-p dan golkar dilakukan dengan setengah hati pada saat mendekati pemilihan umum saja. hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan sayap islam ini hanya untuk pencitraan dan meraih simpati umat islam yogyakarta. karya sejenis yang juga sangat menarik adalah artikel berjudul the politics of benevolence: political patronage of party-based charitable organizations in contemporary indonesian islam dari hilman latief (2013, t.n) yang menyimpulkan bahwa negosiasi dakwah dan politik dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan amal atau social charity. kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh partai islam tapi juga partai-partai lainnya melalui sayap keagamaan islam partai politik sebagai upaya menarik simpati konstituen. namun, pada saat yang bersamaan perilaku tersebut justru memperlemah perspektif muslim mengenai pembangunan dan transformasi sosial. adapun bila dibandingkan dengan penelitian asroni et al (2013, 47 – 48) dan latief (2013, t.n) tersebut, penelitian ini lebih memposisikan diri 8 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis untuk mengkomparasikan arah eksistensi sayap keagamaan islam pada tiga partai bergenealogi nasionalis meliputi pdi-p, golkar, dan pd melalui isuisu kontemporer teraktual hingga tahun 2017 secara general di indonesia, meskipun tidak dapat dipungkiri dalam kajian ini banyak membahas tentang pilgub dki jakarta 2017 sebagai contoh aktual. hal ini karena dki jakarta dipandang sebagai miniatur indonesia dan memenangkan kontestasi pilgub dki jakarta dapat menjadi salah satu akses untuk mengikuti pemilihan presiden di masa mendatang. berdasarkan pengkajian tersebut nantinya akan diketahui orientasi dari eksistensi tersebut secara lebih luas, antara berdakwah melalui jalur politik atau berpolitik melalui aktivitas dakwah, apakah aspek dakwah dan politik diuntungkan secara berimbang ataukah menguntungkan salah satu aspek saja. bila kita flashback sekitar dua dekade ini, tepatnya pasca runtuhnya rezim orde baru, islam muncul sebagai kekuatan yang mampu bersuara secara cukup signifikan setelah sekian lama hanya bisa melihat konstelasi politik dari pinggiran kekuasaan pemerintah. posisi islam yang selama orde baru untuk sebagian dipaksa bergerilya di bawah permukaan karena distigmasi sebagai ekstrimis maupun fundamentalis kini menemukan ruang legalnya untuk menjadi pelaku politik utama (lay 2006, 212). tetapi, rupanya kran demokrasi yang telah terbuka lebar tersebut belum mampu dimanfaatkan oleh partai-partai islam untuk meraup target maksimal. dalam hal ini, islam politik tidak pernah benar-benar menjadi kekuatan masyarakat yang masif apalagi menguasai negara dalam waktu yang lama (hadiz 2016, 3). di indonesia, suara dari umat islam justru banyak diraih oleh partai-partai bergenealogi nasionalis. selain memanfaatkan fanatisme yang telah mengakar, salah satu strategi yang diandalkan adalah melalui organisasi sayap keagamaan islam melalui aktivitas-aktivitas dakwah yang selanjutnya memunculkan istilah politik dakwah dan dakwah politik. politik dakwah dapat dipahami sebagai pemanfaatan jalur politik untuk menyampaikan dakwah islam. atau dengan kata lain politik dakwah merupakan strategi dalam melaksanakan dakwah lewat politik (rosa – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 9 2014, 70). memang interpretasi dan implementasi ajaran islam kerap didasarkan pada kadar intelektual seorang manusia meliputi beberapa hal seperti latar belakang pendidikan, ideologi, ekonomi, budaya, sosial, dan politik dimana memperspektifkan islam dari sisi politik adalah menyampaikan syiar agama melalui politik praktis (dermawan 2013, 161). hal ini terjadi karena adanya pandangan bahwa kekuasan dan politik tidak selalu negatif. dalam perspektif michael foucault, politik dan kekuasaan lebih dipandang sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupan (zainal 2014, 39). politik dan kekuasaan lebih diletakkan pada relasi yang harmoni antara subyek dan lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi sosial di masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga keagamaan atau lembaga dakwah. sehingga, berdakwah melalui jalur politik dinilai sebagai suatu kewajaran dan kecerdasan dalam memaksimalkan peluang dakwah. kekuasaan politik bisa diraih oleh siapa saja dan bagaimana pemanfaatannya tergantung dari karakter pemimpinnya. jika pemimpin hakiki sebuah masyarakat memegang tampuk manajemen politik, maka ia akan menjalankan “politik ideal” dengan berpegang teguh pada prinsip keadilan dan mengantarkan umat kepada kesempurnaan (kheradmardi 2012, 138). pada akhirnya, dakwah islam di indonesia akan tetap pada koridor yang benar meski dilakukan melalui jalur politik praktis yang penuh dengan ketidakpastian. sebaliknya, dakwah politik dapat dipahami sebagai upaya memanfaatkan daya tarik aktivitas dakwah untuk meraih kepentingan politik. atau dapat dikatakan bahwa dakwah politik merupakan ajakan untuk tujuan politik (rosa 2014, 70). harus diakui memang seringkali muncul masalah saat islam disalahgunakan untuk kepentingan politik. saat islam dibawa ke ranah politik praktis, maka akan memunculkan politisasi terhadap dakwah. perebutan kekuasaan yang semestinya diselesaikan di dalam lingkup politik, pada kenyataannya turut menyeret islam dalam pusaran konflik kepentingan elit. pada dasarnya fenomena ini telah jamak ditemukan di belahan bumi manapun, bukan hanya di indonesia 10 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis saja. dalam hal ini, agama kerap menjadi kendaraan politik, ditunggangi oleh orang atau kelompok tertentu dalam upaya meraih puncak syahwat politik. melalui aktivitas-aktivitas dakwah, cara pandang dan pemikiran masyarakat di akar rumput diarahkan untuk sejalan dengan kepentingan politisi. proses seperti ini jika meminjam istilah antonio gramsci lekat dengan upaya hegemoni. menurut gramsci, akibat proses hegemoni akan sangat mempengaruhi kehidupan pribadi sosial, moralitas, prinsip keagamaan, dan intelektual mereka yang dihegemoni (fakih 2004, xix). dalam hal ini aktivitas dakwah dapat dijadikan sebagai media strategis bagi politisi untuk menghegemoni pemikiran umat atau masyarakat awam terkait pilihan politik. iv. orientasi sayap keagamaan islam parpol bergenealogi nasionalis manusia memiliki tabiat alami untuk selalu berusaha mencapai berbagai keinginan dan tujuan. salah satunya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, baik secara individu maupun berkelompok (kusuma 2015, 2). demikian pula seorang muslim sebagai manusia pada umumnya. meskipun sebagian telah dibekali dengan ilmu agama yang cukup, secara naluri tentu juga memiliki keinginan untuk mencapai kekuasaan duniawi. terlepas dari fakta bahwa mayoritas penduduk indonesia adalah pemeluk agama islam, sadar maupun tidak sadar islamisasi dalam birokrasi dan institusi-institusi politik telah berjalan yang dibuktikan dengan dominasi umat islam dalam struktur kekuasaan negara. dalam hal ini menurut effendy (2009, 247-248) ada muslim yang memilih jalur politik melalui partai islam. di sisi lain, ada muslim yang memutuskan berafiliasi pada partai yang berkuasa terutama partai nasionalis. alasan mereka antara lain adalah untuk mengembangkan hubungan politik yang lebih inklusif dan memasukkan misi dakwah dalam berpolitik, yang salah satunya dimanifestasikan ke dalam organisasi sayap keagamaan islam pada partai bergenealogi nasionalis. berikut ini adalah penjabaran bagaimana eksistensi sayap keagamaan islam di pdi-p, golkar, dan pd beserta analisis untuk melihat arah orientasinya. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 11 sebagai bahasan yang pertama adalah partai demokrasi indonesia perjuangan (pdi-p) yang memiliki sayap keagamaan islam bernama baitul muslimin indonesia (bamusi). bamusi dibentuk dengan semangat revitalisasi dan reaktualisasi dimensi-dimensi pemikiran islam dan kebangsaan dari bung karno. sebuah upaya penegasan bahwa sejatinya perjuangan nasionalisme pdi-p adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan umat islam di indonesia secara lebih luas. jika melihat aktivitas bamusi, maka agenda teraktual yang dilakukan adalah pelatihan mubaligh kebangsaan pada 31 oktober 2016 yang diselenggarakan di kantor dpp pdi-p jakarta dengan tema “meneguhkan islam rahmah: islam nusantara berkemajuan untuk indonesia raya” (jawa pos 1 november 2016, 2). kegiatan ini secara konsep ditujukan untuk mendukung program dakwah nahdlatul ulama (nu) dan muhammadiyah. sebagaimana amanat dari musyawarah kerja nasional (mukernas) bamusi yang pertama di jakarta selatan pada tanggal 27-29 februari 2016 (qodir, 2016). memang, saat ini frasa islam nusantara sangat kental dengan dakwah nu khususnya sejak muktamar jombang 2015 dan islam berkemajuan identik dengan garis perjuangan muhammadiyah hasil muktamar makassar 2015. melalui agenda ini, bamusi seolah berupaya memposisikan diri berada di tengah untuk menyatukan ide besar dari keduanya atau di belakang untuk mendorong keduanya tanpa mengutamakan salah satunya. pelatihan ini dilakukan secara bergelombang dengan peserta non kader pdi-p sejumlah 120 orang. para peserta berasal dari ormas-ormas islam yang dilatih untuk menjadi pendakwah yang memiliki kesadaran mensyiarkan islam yang cinta tanah air, dimana cinta tanah air sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran islam. harus diakui memang hal ini dapat dikatakan belum dipahami oleh sebagian umat islam. dibuktikan dengan munculnya kelompok muslim fundamental. melalui pelatihan tersebut ingin dimunculkan citra bahwa pdi-p rela memberikan akses politiknya untuk dimanfaatkan sebagai media dakwah. bila benar-benar dilaksanakan dengan baik dan konsisten dari tingkat elit sampai akar rumput, konsep agenda bamusi tersebut sangat 12 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis bagus karena memiliki inti nasionalisme atau semangat kebangsaan yang dipadukan dengan nilai-nilai religiositas. melalui agenda-agenda ini, bamusi berupaya mencitrakan diri bukan hanya terkait kepentingan politik praktis, namun juga menggunakan kegiatan dakwah demi menjaga keutuhan negara yang terancam oleh pemahaman agama islam yang melenceng. namun apakah benar agenda pelatihan mubaligh atau pendakwah ini benar-benar diselenggarakan bamusi tanpa adanya kaitan dengan agenda politik? sulit sekali melepaskan agenda tersebut dengan kepentingan politik praktis karena disebabkan beberapa hal. pertama, agenda tersebut dilaksanakan di saat masa krusial menjelang pemilihan umum gubernur dki jakarta. perlu diingat bahwa komisi pemilihan umum daerah (kpud) dki jakarta menetapkan bahwa 26 oktober 2016 sampai 11 februari 2017 adalah masa kampanye sehingga pada masa ini semua kandidat dan partai pengusung tentu berlomba-lomba menarik perhatian dan dukungan masyarakat dki jakarta. kedua, agenda tersebut dipandang sebagai upaya pdi-p untuk menyelamatkan basuki tjahaja purnama alias ahok sebagai calon gubernur yang mereka usung dari perkara sensitif yang membelitnya. perlu diingat pula bahwa dalam kontestasi pilgub dki jakarta ahok berpasangan dengan djarot syaiful hidayat yang merupakan kader pdi-p. perkara sensitif yang dimaksud adalah terkait dengan pidato ahok di pulau pramuka kepulauan seribu pada tanggal 27 september 2016 yang banyak memicu kecaman dari berbagai pihak karena dianggap melecehkan al-qur’an. dalam pidato kontroversial tersebut ahok sempat menyinggung surat al-maidah ayat 51. meskipun ahok telah membantah adanya tendensi untuk menistakan al-qur’an dalam pidatonya, tapi mau tidak mau masalah ini terus menjadi bola panas yang menuai protes dari berbagai kelompok (the jakarta post 2016, 6). terlepas dari salah atau tidaknya ahok dalam perkara yang saat penelitian ini dilakukan masih dalam tahap persidangan, kejadian tersebut tentu berpengaruh pada elektabilitas ahok dan kredibilitas pdi-p sebagai partai pengusung utama. – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 13 selepas kejadian tersebut banyak sekali serangan bernuansa suku, ras, dan agama yang mengarah kepada ahok. pdi-p tentu merasa perlu menangkal serangan-serangan tersebut dan pelatihan pendakwah dengan konten “nasionalisme” dipandang sebagai langkah strategis. dengan mengadakan pelatihan dakwah, maka citra yang akan didapatkan pdi-p melalui bamusi adalah bahwa pdi-p merupakan partai yang peduli dengan dakwah islam sehingga akan mengurangi tekanan kepada mereka terkait pencalonan ahok. namun sayangnya tidak dapat dihindari adanya pandangan bahwa agenda pelatihan mubaligh tersebut justru mengindikasikan bahwa aktivitas dakwah telah digunakan pdi-p untuk mencapai kepentingan politik seiring meningkatnya konstelasi politik pada pilgub dki jakarta. indikasi tersebut semakin kuat tatkala bamusi menyelenggarakan kegiatan pengajian bertema kebangsaan di cakung jakarta timur pada 25 maret 2017 (burhani 2017). agenda ini dalam tataran konsep dimaksudkan sebagai media untuk menebarkan toleransi dan keanekaragaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. dalam pengajian tersebut disebutkan bahwa umat islam indonesia harus selalu menjaga persatuan dan kesatuan. hal ini karena islam adalah entitas terbesar umat indonesia sehingga umat islam indonesia harus menjadi penjaga pilar utama kerukunan. akan tetapi, agenda tersebut menjadi kental dengan aroma politik pilgub karena dalam prosesi acara terdapat materi tentang mempertajam program-program kerja basuki-djarot (badja) yang selama ini oleh pdi-p dicitrakan pro umat islam. program-program tersebut seperti perhatian pembangunan tempat ibadah umat islam seperti masjid raya di setiap wilayah kota administrasi di dki jakarta, meningkatkan anggaran untuk kesejahteraan imam, muadzin, ustadz dan ustadzah serta marbot masjid di wilayah dki dengan memberikan tunjangan bulanan, melanjutkan program umroh buat marbot masjid, dan lain sebagainya (lintas parlemen 2017). programprogram yang dipaparkan tersebut memang benar adanya, namun muatan politik dalam pengajian tersebut seolah menjadi momen untuk menggiring opini publik jakarta agar mendukung pasangan badja dalam pilgub dki 14 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis jakarta khususnya di putaran kedua. fokus utama dari materi pengajian bukan lagi pada nilai dakwah, tapi pada pemaparan program dan janji politik kandidat yang dikemas secara islami. oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aktivitas dakwah islam melalui pengajian kebangsaan tersebut lebih dimanfaatkan untuk menyampaikan misi politik pdi-p untuk memenangkan pasangan “badja” dalam pilgub dki jakarta. apabila kita komparasikan dengan kota-kota lain pun tidak jauh berbeda. misalnya di yogyakarta, agenda-agenda yang diselenggarakan oleh bamusi cenderung dilakukan insidental, kurang terencana, minim anggaran, kurang adanya kontrol dan evaluasi, dan hanya diptimalkan menjelang saat-saat penting dalam kalender politik seperti menjelang pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilu kepala daerah (asroni et al. 2013, 47-48). dengan demikian, semakin jelas bahwa orientasi atau arah dari eksistensi bamusi lebih pada dakwah politik dibandingkan dengan politik dakwah. atau dengan kata lain, dalam negosiasi antara dakwah dan politik praktis yang terjadi di bamusi lebih menguntungkan aspek politik dibandingkan dengan aspek dakwah. adapun bahasan kedua adalah partai golongan karya (golkar) yang memiliki sejarah panjang dalam dinamika islam dan politik. partai ini memiliki tiga sayap keagamaan islam yakni majelis dakwah islamiyah (mdi) untuk jamaah pria, pengajian al-hidayah untuk jamaah wanita, dan satuan karya ulama (satkar ulama). mdi, al-hidayah, dan satkar ulama indonesia didirikan partai golkar bersama dengan organisasi sayap golkar lainnya seperti angkatan muda pembaharuan indonesia (ampi) dan himpunan wanita karya (hwk) pada 24 mei 1978 dengan persetujuan dari presiden soeharto yang sedang berkuasa kala itu. pada awal terbentuknya organisasi sayap keagamaan islam ini didirikan untuk mengikat ormas-ormas islam agar tidak melakukan kegiatan dakwah yang bersifat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan pada masa orde baru. selain itu, pendirian organisasi sayap keagamaan islam ini dilakukan sebagai sebuah respon partai golkar sebagai partai pendukung penguasa – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 15 untuk melakukan tindakan preventif terhadap munculnya kelompok muslim garis keras bahkan memberontak seperti darul islam/tentara islam indonesia seperti pada zaman pemerintahan orde lama. bagi partai golkar, massa umat islam menjadi salah satu kekuatan potensial untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintahan. meskipun peranannya tidak secara signifikan dapat mempengaruhi kebijakan partai golkar, setidaknya organisasi sayap keagamaan islam ini dapat menjadi alat politik partai golkar untuk meraup suara umat muslim di indonesia. sebagaimana yang tercantum dalam keputusan musyawarah nasional luar biasa partai golongan karya tahun 2016 nomor: vi/ munaslub/golkar/2016 tentang perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai golongan karya, pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa “partai golkar memiliki organisasi sayap yang merupakan wadah perjuangan sebagai pelaksana kebijakan partai yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan strategis, dalam rangka memperkuat basis dukungan partai”. dengan demikian, jika dikontekstualisasikan dengan keberadaan organisasi sayap keagamaan islam, maka keberadaannya diharapkan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan strategis di bidang keagamaan dengan semangat nasionalisme dalam rangka memperkuat basis dukungan partai golkar. pendekatan sayap keagamaan islam dapat menjadi salah satu elemen kekuatan partai golkar untuk memperkuat dan meningkatkan suara pemilih, serta untuk meningatkan solidaritas dan citra partai politik. jika ditarik pada kontestasi pilgub dki jakarta, sayap keagamaan islam partai golkar ini juga turut bergerak untuk menangkal berbagai serangan kepada ahok yang juga mereka usung. kasus ahok tersebut menegaskan adanya hubungan antara agama dan politik yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. kasus penistaan agama ini tidak hanya menjadi pembahasan politik, tetapi juga masuk ke ceramah keagamaan, khutbah jumat, dan lain sebagainya. 16 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis untuk menghadapi situasi tak menguntungkan tersebut, partai golkar melalui sayap keagamaan islamnya berupaya untuk meredam perdebatan pro dan kontra yang terjadi di masyarakat sebagai pemegang hak pilih. misalnya, dengan mengadakan pengajian golkar dan konsolidasi semua saksi golkar seperti yang dilaksanakan di kecamatan pesanggrahan jakarta selatan pada rabu 29 maret 2017. pengajian ini mengambil tema membumikan islam rahmatan lil ‘alamin (taufiqurrohman 2017). pengajian ini adalah salah satu agenda yang mengindikasikan bahwa sayap keagamaan islam golkar all out dalam bergerak mendapatkan dukungan politik umat islam. tujuannya jelas agar “badja” mampu memenangkan suara dalam pilgub dki jakarta. sayap keagamaan islam golkar juga turut mencitrakan bahwa ahok memiliki keberpihakan terhadap islam sebagaimana yang juga dilakukan oleh bamusi. dalam hal ini, sayap keagamaan islam pada partai golkar menjadi alat politik untuk menghimpun dukungan dari masyarakat muslim di dki jakarta. sama dengan bamusi, apabila dikomparasikan dengan kota-kota lain pun tidak akan jauh berbeda. di yogyakarta misalnya, agenda dakwah sayap keagamaan islam partai golkar juga cenderung dilakukan secara insidental dan hanya dioptimalkan menjelang saat-saat penting dalam kalender politik saja (asroni et al. 2013, 48). dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa orientasi atau arah dari eksistensi dari mdi, al-hidayah, dan satkar ulama juga lebih bersifat dakwah politik dibandingkan dengan politik dakwah, sehingga dalam negosiasi antara dakwah dan politik praktis yang terjadi di sayap keagamaan islam partai golkar lebih mengutamakan aspek politik dibandingkan dengan aspek dakwah. masuk pada bahasan ketiga dalam kajian ini, yaitu sayap keagamaan islam dari partai demokrat (pd). sebagai partai politik pemenang pilpres tahun 2004 dan 2009, partai demokrat terus memperkuat basis politiknya, salah satunya dengan memperkuat organisasi sayap keagamaan islam melalui ikhwanul muballighin (im) dan majelis dzikir sby “nurussalam”. im merupakan sebuah organisasi masyarakat yang didirikan oleh para – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 17 muballigh sejak tahun 2011. semula ormas ini merupakan pendukung dari partai persatuan pembangunan (ppp), namun ormas ini selanjutnya membuat keputusan politik yang memutar haluan dengan secara resmi menyatakan berafiliasi dengan pd. dalam menjalankan kegiatan dakwah dan politiknya, im aktif dalam mengisi kegiatan ceramah subuh, diskusi keagamaan, dan juga pengajian. sedangkan, majelis dzikir sby “nurussalam” merupakan sebuah kelompok pengajian yang dibentuk oleh sby dan orang-orang terdekatnya pada tahun 2004 untuk mendukung kemenangan sby dalam pilpres 2004. nurussalam sendiri memiliki arti cahaya kedamaian atau cahaya keselamatan. penamaan ini ternyata dapat mengantarkan sby menjadi presiden ri periode 2004 dan 2009. majelis ini didirikan dan dibina oleh sby yang notabene akan mencalonkan diri sebagai presiden ri kala itu. dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan majelis dzikir ini tidak hanya digunakan sebagai sarana dakwah tetapi juga digunakan untuk kegiatan politik. dalam konteks ini, dzikir dan politik dipahami sebagai sebuah aktivitas yang saling melengkapi, di satu sisi sangat dimungkinkan berdzikir untuk mendukung kegiatan politik, maupun sebaliknya kegiatan politik juga dilakukan untuk berdzikir. kolaborasi antara im dan majelis dzikir sby “nurussalam” setidaknya mampu menjadikan sby sebagai presiden ri dua kali periode. keberadaan organisasi sayap keagamaan islam ini menjadi semakin penting sebagai penyeimbang, mengingat masa pemerintahan sby banyak diwarnai dengan kasus-kasus intoleransi yang ditandai dengan meningkatnya kekerasan keagamaan dan isu hak minoritas (bush 2015, 254). sayap keagamaan islam pd turut mencitrakan bahwa sby adalah seorang muslim yang mau menerima perbedaan dan keragaman umat. tetapi, sayangnya citra yang dibangun rezim sby melalui pd runtuh ketika terungkap banyaknya anggota partai dan pejabat di kementeriannya tersangkut korupsi. hal ini tentunya membawa pengaruh negatif pada citra pd pada kontestasi pilkada di berbagai daerah di indonesia. angin segar demokrasi yang ingin dibawa dalam pilgub dki jakarta 2017 melalui 18 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis pasangan calon agus yudhoyono-silvia murni dengan latar belakang militer-akademisi pun ternyata tidak berhasil membawa kemenangan bagi pd. padahal, pd dalam mengusung kandidatnya berkoalisi dengan partai-partai berbasis massa islam seperti ppp, pan, dan pkb. yang menarik adalah organisasi sayap ini dalam aktivitas dakwahnya disinyalir ikut memberi dukungan terhadap tokoh-tokoh yang ingin menjatuhkan elektabilitas ahok dalam pilgub dki jakarta. ada tudingan dan dugaan bahwa pd terlibat dalam demo aksi 411 dan 212. benar atau tidaknya keterlibatan mereka pun masih menjadi pembicaraan hangat di tengah suasana pilgub dki jakarta. meskipun telah didukung oleh partai politik dengan basis massa islam dan sayap partai islam ternyata hasil perhitungan suara agus-silvi tak mampu mengungguli ahok-djarot maupun aniessandiaga untuk maju ke putaran kedua. kondisi ini dapat dibaca sebagai tersingkirnya pd dalam hajatan demokrasi pilgub dki jakarta. jika melihat pada konstelasi politik tersebut, maka aktivitas sayap keagamaan islam pd lebih ditujukan sebagai gerakan dakwah politik. dengan demikian, dapat diartikan bahwa kepentingan politik pd lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan dakwah. pada akhirnya, keberadaan organisasi sayap keagamaan islam menjadi media yang sangat strategis bagi partai-partai bergenealogi nasionalis untuk merebut suara pemilih muslim dan menjadi pesaing bagi partai politik berbasis islam. sayap keagamaan islam sangat diharapkan dapat memberikan dampak politik dalam mendapatkan kekuasaan terlebih ketika disadari bahwa mayarakat indonesia mayoritas beragama islam. kiai dan tokoh pesantren juga menjadi basis dukungan yang diharapkan oleh partai politik nasionalis. semakin banyak kiai dan tokoh pesantren yang menjalin relasi dan tergabung dalam sayap keagamaan islam maupun partai politik nasionalis, maka pengikut setia kiai dan santrinya akan mengikuti apa yang didakwahkannya. dengan begitu, dakwah dapat menjadi alat aktivitas politik keseharian (daily politics) dalam kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. hal ini menjelaskan bahwa urusan – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 19 spiritual seringkali dibenturkan urusan duniawi dan menjadi fenomena dalam ruang politik indonesia. secara kontekstualnya, partai politik masih sangat mengandalkan kekuatan agama untuk membangun relasi antara partai politik dan masyarakat. dengan terjalinnya relasi tersebut, sayap keagamaan dalam partai diorientasikan dapat mempengaruhi pemilih muslim dalam menjatuhkan pilihannya pada partai politik bergenealogi nasionalis tersebut. oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan oleh partai politik bergenealogi nasionalis untuk memaksimalkan kekuatan politik dari sayap keagamaan islam. v. kesimpulan berdasarkan pemaparan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan. pertama, bamusi dibentuk oleh pdi-p dengan semangat revitalisasi dan reaktualisasi pemikiran islam kebangsaan bung karno. program dakwah yang dilakukan antara lain adalah pelatihan da’i untuk menjadi pendakwah yang nasionalis. konsep bamusi tersebut sangat bagus namun sulit untuk dilepaskan dari kepentingan politik praktis karena dilaksanakan di saat masa krusial menjelang pilgub dki jakarta dan dipandang sebagai upaya pdi-p untuk menyelamatkan ahok sebagai calon gubernur yang mereka usung dari perkara pidato di kepulauan seribu yang banyak memicu kontroversi. pelatihan da’i dengan konten “nasionalisme” juga dipandang sebagai langkah strategis untuk mempertajam program-program kerja basukidjarot (badja) yang selama ini oleh pdi-p dicitrakan pro umat islam. oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa aktivitas dakwah islam melalui pengajian kebangsaan tersebut lebih dimanfaatkan untuk menyampaikan misi politik pdi-p untuk memenangkan pasangan “badja” dalam pilgub dki jakarta. bila dikomparasikan dengan kota-kota lain pun agenda-agenda bamusi cenderung dilakukan insidental, kurang terencana, minim anggaran, dan hanya dioptimalkan menjelang saat-saat krusial dalam kalender politik. dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa orientasi bamusi lebih pada dakwah politik dibandingkan dengan politik dakwah. atau dengan 20 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis kata lain dalam negosisasi dakwah dan politik praktis, aspek politik lebih diuntungkan dibandingkan dengan aspek dakwah. kedua, mdi, al-hidayah, dan satkar ulama pada mulanya didirikan untuk mencegah ormas-ormas islam melakukan kegiatan dakwah yang mengkritisi pemerintah orde baru dan tindakan preventif terhadap munculnya kelompok muslim garis keras seperti di/tii. partai golkar memandang bahwa organisasi sayap islam penting untuk memperkuat basis dukungan partai. jika ditarik pada kontestasi pilgub dki jakarta, sayap keagamaan islam partai golkar ini juga turut bergerak untuk menangkal berbagai serangan kepada ahok yang juga mereka usung. partai golkar melalui sayap keagamaan islamnya berupaya meredam pro dan kontra ahok dengan mengadakan pengajian dan konsolidasi saksi dengan tema membumikan islam rahmatan lil ‘alamin. pengajian ini mengindikasikan bahwa sayap keagamaan islam golkar all out dalam bergerak mendapatkan dukungan politik umat islam. sayap keagamaan islam golkar juga turut mencitrakan bahwa ahok memiliki keberpihakan terhadap islam sebagaimana yang juga dilakukan oleh bamusi. seperti bamusi, bila dibandingkan dengan kota-kota lain pun agenda-agenda sayap islam golkar cenderung hanya dioptimalkan saat mendekati hajatan politik. dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa orientasi dari mdi, al-hidayah, dan satkar ulama juga lebih bersifat dakwah politik dibandingkan dengan politik dakwah. sehingga dalam negosiasi antara dakwah dan politik praktis, porsi politik lebih diutamakan. ketiga, im merupakan sebuah ormas yang semula merupakan pendukung dari ppp dan berubah haluan afiliasi menjadi pendukung pd. sedangkan nurussalam merupakan sebuah kelompok pengajian yang dibentuk oleh sby pada tahun 2004 untuk mendukung sby dalam pilpres 2004. kolaborasi antara im dan nurussalam setidaknya mampu menjadikan sby sebagai presiden ri dua kali periode. dalam kontestasi pilgub dki jakarta 2017, im dan nurussalam mendukung pasangan calon agus-silvi namun tidak berhasil membawa kemenangan meski berkoalisi – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 21 dengan partai-partai berbasis massa islam seperti ppp, pan, dan pkb. sama dengan sayap keagamaan islam pdi-p dan golkar, sayap keagamaan islam pd juga lebih beorientasi dakwah politik dibandingkan dengan politik dakwah. negosiasi antara dakwah dan politik praktis pada sayap keagamaan islam pd juga lebih mementingkan aspek politik dibandingkan dengan dakwah. dengan demikian, arah eksistensi sayap keagamaan islam di pdi-p, golkar, maupun pd sama-sama lebih berorientasi politik praktis dibandingkan dengan dakwah. penting untuk mengoptimalkan fungsi dan peran organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis, sehingga organisasi sayap keagamaan islam pada partai nasionalis bukan hanya sebatas alat pencitraan dan menarik simpati masyarakat pada hajatan pemilihan umum. lebih dari itu, organisasi sayap tersebut diharapkan mampu mengadakan program yang berkesinambungan dan kontinyu untuk memberdayakan masyarakat. hal ini bertujuan agar organisasi sayap keagamaan islam partai nasionalis tidak hanya mengadakan kegiatan untuk memperbaiki citra dan kepentingan pemilihan umum saja, tetapi menelurkan program dan kegiatan yang terus menerus diadakan. karena jika organisasi sayap keagamaan islam partai nasionalis hanya mengadakan kegiatan untuk kepentingan pemilihan umum, maka sama halnya dengan mempermainkan masyarakat dan menggunakan agama untuk kepentingan politik. daftar pustaka amin, samsul munir. 2009. ilmu dakwah. jakarta: amzah. asroni, ahmad et al. 2013. “dakwah dan politik: menakar kontribusi organisasi sayap islam partai politik bagi masyarakat muslim yogyakarta”. jurnal dakwah: media dakwah dan komunikasi xiv, 1-48. burhani, ruslan. 2017. bamusi pertajam program “badja” yang pro umat islam. diakses melalui http://www.antaranews.com/berita/620339/ 22 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis bamusi-pertajam-program-badja-yang-pro-umat-islam pada 31 maret 2017. bush, robin. 2015. “religious politics and minority right during the yudhoyono presidency”. dalam edward aspinall et al. the yudhoyono presidency: indonesia’s decade of stability and stagnancy. singapura dan sidney: institute of southeast asian studies dan the australian national university. dermawan, andy. 2013. “dialektika dakwah, politik, dan gerakan keagamaan kontemporer: telaah pemikiran nasir al-din al-albani dan pengaruhnya terhadap pembentukan salafy kontemporer”. jurnal dakwah: media dakwah dan komunikasi 14, 2: 161. effendy, bahtiar. 2009. islam dan negara: transformasi gagasan dan praktik politik islam di indonesia. jakarta: paramadina. fakih, mansour. 2014. “gramsci di indonesia: pengantar”. dalam roger simon. gagasan-gagasan politik gramsci. terj. kamdani dan imam baehaqi. yogyakarta: pustaka pelajar dan insist press. geovanie, jeffrie. 2013. civil religion: dimensi sosial politik islam. jakarta: gramedia pustaka utama. hadiz, vedi r. 2016. islamic populism in indonesia and the middle east. cambridge: cambridge university press. jawa pos. 2017. perolehan suara partai peserta pemilu 2014. edisi jumat, 31 maret 2017: 2. jawa pos. 2016. gerakan bamusi pdi-p latih para mubaligh: sebarkan islam berkemajuan ke penjuru nusantara. edisi selasa, 31 oktober: 2. kheradmardi, husain r. 2012. manajemen politik: perspektif khajeh nasirudin. jakarta: sadra international institute. krismono. 2015. ekonomi politik salafisme di pedesaan jawa. yogyakarta: sekolah pascasarjana uin sunan kalijaga. kusuma, bayu mitra a. 2015. “dialectics of islam, politics, and government in southeast asian countries: a comparison of indonesia and thailand”. dipresentasikan di 6th joint international conference and graduate workshop on islamic studies revisited in cooperation with geőrg august universität gottingen. yogyakarta, 2730 oktober. latief, hilman. 2013. “the politics of benevolence: political patronage of party based charitable organizations in contemporary – vol. 2, no. 1, januari – juni 2017 | 23 indonesian islam”. al-jāmi‘ah: journal of islamic studies 51, 2. lay, cornelis. 2006. involusi politik: esei-esei transisi indonesia. yogyakarta: program s2 plod dan jip fisipol ugm. layder, derek. 1998. sociological practice: linking theory and social research. london: sage publication. lintas parlemen. 2017. bamusi pertajam program ahok yang pro islam. diakses melalui https://www.lintasparlemen.com/bamusi-pertajamprogram-ahok-yang-pro-islam/ pada 31 maret 2017. miles, matthew b. dan huberman, michael a. 1998. qualitative data analysis: a source book of new methods. london: sage publication. munir, muhammad dan ilahi, wahyu. 2015. manajemen dakwah. jakarta: kencana. pamungkas, sigit. 2012. partai politik: teori dan praktik di indonesia. yogyakarta: institute for democracy and welfarism. qodir, abdul. 2016. organisasi sayap pdip, baitul muslimin indonesia gelar mukernas pertama. diakses melalui http://www.tribunnews.com/ nasional/2016/02/27/ organisasi-sayap-pdip-baitul-muslimin-indonesia-gelar-mukernas-pertama pada 31 maret 2016. ricklefs, merle calvin. 2012. islamisation and its opponents in java: a political, social, cultural and religious history c. 1930 to the present. singapura: national university of singapore press. rosa, andi. 2014. “politik dakwah dan dakwah politik di era reformasi indonesia” walisongo: jurnal penelitian sosial keagamaan 22, 1: 70. rozaki, abdur. 2016. islam, oligarki politik, dan perlawanan sosial. yogyakarta: sekolah pascasarjana uin sunan kalijaga dan suka press. taufiqurrohman. 2017. golkar kerahkan sayap keagamaan menangkan ahok-djarot. diakses melalui http://pilkada.liputan6.com/ read/2903716/golkar-kerahkan-sayap-keagamaan-menangkanahok-djarot pada 7 april 2017. the jakarta post. 2016. ahok denies he insulted the quran. edisi jumat, 7 oktober: 6. tibi, bassam. 2016. islam dan islamisme. terj. alfathri adlin. bandung: mizan. zainal, asliah. 2014. “aisyiyah di muna: negosiasi dakwah dan politik”. 24 | bayu mitra a. kusuma, theresia octastefani – negosiasi dakwah dan politik praktis jurnal dakwah: media dakwah dan komunikasi xv, 1: 39. issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 editorial team editor-in-chief imam mujahid, iain surakarta editorial board kamaruzzaman bin yusof, universiti teknologi malaysia waryono abdul ghafur, uin sunan kalijaga, yogyakarta moch. choirul arif, uin sunan ampel, surabaya imas maesaroh, uin sunan ampel, surabaya syakirin al-ghazali, iain surakarta ahmad hudaya, iain surakarta m. endy saputro, iain surakarta managing editor akhmad anwar dani, iain surakarta ahmad saifuddin, iain surakarta rhesa zuhriya briyan pratiwi, iain surakarta alamat redaksi : fakultas ushuluddin dan dakwah, iain surakarta jl. pandawa no. 1, pucangan, kartasura, sukoharjo, jawa tengah 57168 phone : +62 271 781516 fax : +62 271 782774 surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) vol. 3, no. 1, januari juni 2018 daftar isi motif syekhermania mengakses video dakwah habib syech bin abdul qodir assegafs uwes fatoni dan eka octalia indah librianti 1 26 pertobatan wanita pekerja seks komersial (psk) di majelis asy-syifa: studi deskriptif bimbingan sosio-spiritual titik rahayu 27 44 analisis wacana kritis berita “kematian terduga teroris siyono” di harian solopos fathan 45 72 analisis framing pesan kesalehan sosial pada buku ungkapan hikmah karya komaruddin hidayat muhammad reza fansuri dan fatmawati 73 102 syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional sebagai media dakwah di era budaya populer nor kholis 103 125 peran masjid dalam mempersatukan umat islam: studi kasus masjid al-fatah, pucangan, kartasura syakirin 127 148 syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional sebagai media dakwah di era budaya populer doi : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i1.984 nor kholis peneliti label, uin sunan kalijaga yogyakarta keywords: popular culture, da’wah, traditional art, transformation. http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2018 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: annurkholis24@gmail.com abstract traditioanl art in the era of popular culture has begun to be abandoned. one form of traditional art can be used as a medium of propaganda. this research want to see hoe the existetence, fungtion and value of traditional art kubro siswo in the era of popular culture. the method used in this research is descriptive – analysis. the results show traditional art still in demand because it has its own fascination after transformation happened. the transformation is a result of planned chance from the internal aspect. while the function of the art that still can be used as syiar media and also as social relation bond. while the values there are accepted by the society toward those only limited on entertainment, not yet understood its philosopical values. however with those art, the society can be used as facility to strengththen and increase quality of the relationship one another. abstrak kesenian tradisional di era budaya populer sudah mulai ditinggalkan. padahal salah satu fungsi kesenian tradisional bisa digunakan sebagai media dakwah. penelitian ini ingin melihat bagaiamana eksistensi, fungsi dan nilai-nilai kesenian tradisional kubro siswo di era budaya populer. metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif– analisis. hasil penelitian menunjukan bahwa kesenian tradisional masih diminati karena memiliki daya tarik tersendiri setelah adanya transformasi. terjadinya trasformasi dikarenakan perubahan yang direncanakan dari internal. sementara fungsi dari kesenian tersebut masih bisa digunakan sebagai media syiar dan berfungsi sebagai pengikat hubungan sosial. adapun nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat luas terhadap kesenian tersebut baru sebatas hiburan, belum dipahami nilai-nilai filosofisnya. meskipun demikian dengan adanya kesenian tersebut oleh masyarakat luas bisa sebagai sarana untuk saling mempererat dan meningkatkan silaturahmi antara individu dengan individu yang lain. kata kunci: budaya populer, dakwah, kesenian tradisonal, transformasi. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 104 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional i. pendahuluan salah satu metode dakwah islam yang dikembangkan di indonesia yaitu melalui media kesenian tradisional. kesenian tradisional biasanya identik dengan syair yang digunakan untuk mengiringinya pada saat pertunjukan. dalam syair tersebut terkandung nilai–nilai dakwah yang ingin disampaikan. salah satu kesenian tradisional yang mengunakan syair ialah kubro siswo. di era globalisasi dengan maraknya budaya populer, eksistensi kesenian tradisional, termasuk kubro siswo perlu menyesuaikan dengan permintaan masyarakat. jika tidak maka akan tergantikan dengan kesenian populer. dengan hilangnya kesenian tradisional maka nilai–nilai kearifan tidak bisa dikembangkan sebagai syiar agama (syarifah, 2016). inilah yang menjadi tantangan bagaiamana supaya kesenian tradisional tetap bisa dilestarikan di era globalisasi saat ini. menurut bustamam, ada beberapa isu yang harus diperhatikan mengenai globalisasi. pertama, globalisasi menyebabkan hilangnya batas– batas negara (borderless) sehingga terjadi penyatuan umat manusia yang melampaui batas negara, bangsa, suku, ras dan agama. kedua, terjadinya krisis identitas yang terjadi akibat proses asimilasi dan akulturasi karena penyebaran manusia (diaspora) yang bisa menghilangkan keaslian budaya setempat. ketiga, terjadinya distingsi terutama dalam bidang ekonomi antara negara maju dan negara yang belum maju (bustamam-ahmad, 2004). dalam konteks ini budaya barat memainkan peran signifikan terhadap pembentukan peradaban manusia. konvergensi media dakwah di era globaliasi berkembangan seiring dengan cepatnya gerak perubahan yang terjadi di masyarakat. konvergensinya dapat dibagi dalam beberapa bentuk, pertama transformasi nilai-nilai dakwah lewat media digital. nilai-nilai dakwah disebarkan dalam berbagai format media baru seperti film (pratiwi, 2018), musik (satria & mohamed, 2017), novel (fitriyah, lubis, & mardhiah, 2016), puisi, game, media sosial (aminuddin, 2018) dan berbagai media digital lainnya (saefulloh, 2014). kedua, penggunaan media lama dengan format 105 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 dan materi baru seperti pagelaran wayang kulit, kesenian hadrah (mansur, 2015), kompolan (halik, 2012; hafil, 2016) dan berbagai kesenian lama yang dimodernisasi. ketiga, optimalisasi organisasi sosial di masyarakat sebagai wadah penyebaran nilai-nilai dakwah (slamet, 2014). hal ini terlihat dari maraknya kegiatan dakwah di organisasi kepemudaan baik yang formal di sekolah dan perguruan tinggi maupun masyarakat secara umum (ja’far, 2016; shodiq, 2016). konvergensi media dakwah harus dilakukan terutama untuk membentengi generasi muda dari berbagai masalah keagamaan kekinian yang semakin kompleks. beberapa isu yang menjadi tantangan dakwah di era digital adalah liberalisme dalam beragama (idris, 2017), penyebaran paham radikalisme (nuraida, 2011), stigmatisasi islam sebagai agama teror (huda, 2015), tindakan anarkis ormas keagamaan hingga pergeseran otoritas keagamaan di era digital (epafras, 2016). kubro siswo merupakan salah satu kesenaian tradisional yang berkembang di tanah jawa yang serat dengan nilai–nilai dakwah islami. di era globalisasi saat ini, kesenian tersebut telah melakukan transformasi agar bisa mengikuti perkembangan zaman, tujuanya supaya kesenian tersebut tetap diminati oleh kalangan masyarakat luas. jika dilihat perkembang kubro siswo, sejak memasuki era modernisasi sudah kurang diminati oleh masyarakat. kesenian tersebut biasanya hanya ditampilkan pada acara–acara tertentu, seperti peringatan hari kemerdekaan atau untuk penyambutan tamu dan itu pun hanya ditampilkan dengan durasi waktu yang cukup singkat. sehingga nilai–nilai filosofis yang ingin dibawakan dalam pertunjukan tersebut tidak bisa dinikmati secara utuh. kesenian tradisional saat ini ibarat hidup tak mau mati pun tak mau. setidaknya ada beberapa penyebab hidup matinya kesenian tradisional, diantaranya karena faktor politik, ekonomi, perubahan selera masyarakat dan kalah saing dengan pertunjukan yang lain (soedarsono, 2002). oleh karena itu kesenian kubro siswo kemudian melakukan transformasi dengan tanpa meninggalkan pakem yang sudah ada. 106 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional salah satu transformasi yang dilakukan yaitu dengan memberikan iringan pada setiap syair-syairnya yang digunakan ketika pertunjukan dimulai, yaitu dengan mengkombinasikan antara instrumen musik tradisional dengan instrumen yang lebih modern menggunakan alat musik yang biasanya digunakan untuk mengiringi musik dangdut, seperti kendang, keyboard, drum dan seruling. sehingga masyarakat meyebutnya dengan nama “brodut” yang merupakan kependekan dari kubro dangdut. sejak mulai dirintis kurang lebih tiga tahun yang lalu kesenian hasil perubahan dari kubro ini telah berkembang pesat dan saat ini telah memiliki penggemar (fans) dari seluruh lapisan masayarakat termasuk dari kalangan para remaja dan pemuda (ahmad, 2017). penelitian ini akan melihat (1) bagaimana terjadinya proses transformasi kesenaian kubro siswo dalam mengikuti perkembangan zaman. (2) bagiamana fungsi dari kubro siswa sendiri setelah mengalami transformasi, apakah masih memiliki nilai-nilai sebagai media dakwah pada awalnya (3) bagaiamana nilai – nilai yang diterima oleh masyarakat dengan hadirnya kesenian tersebut. ii. metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) kualitatif. pada rentang waktu satu bulan, mulai dari tanggal 17 agustus 17 september 2017. lokasi penelitian dilakukan selain di desa gunung lemah, juga dilakukan di beberapa tempat mengikuti tempat dimana pertunjukan ditampilkan. pertujukan kesenian dimulai dari pukul 21.00 – 24.00 wib. data dikumpulkan melalui tiga aspek. pertama, observasi, dilakukukan di desa gunung lemah dan beberapa tempat mengikuti ketika pementasan pertunjukan. kedua, wawancara. ditujukan kepada beberapa nara sumber, seperti ketua, pengurus kesenian tradisional kubro siswo desa gunung lemah dan para pengemar (fans). ketiga, dokumentasi, dilakukan melalui telaah sumber-sumber dan arsip-arsip terkait dengan penelitian seperti buku, artikel, skripsi, desertasi, maupun foto -foto. 107 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif – analisis dengan menggunakan teori perubahan sosial dan identitas sosial sebagai pisau analisis. kesenian kubro siswo di gunung lemah telah ada sejak tahun 1997. namun kesenian ini mengalami pasang surut karena menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian tersebut. oleh karenanya saat ini mengalami transformasi. melalui teori perubahan sosial akan digunakan untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi dalam kesenian tradisional kubro siswo yang saat ini telah mengalami transformasi menjadi kesenian yang lebih modern (brodut). iii. perkembangan dakwah di indonesia salah satu metode dakwah yang dikembangkan di indonesia dilakukan dengan mengunakan media kesenaian tradisional, sehingga dakwah tersebut dapat dipahami dan diterima secara baik oleh masyarakat. inilah yang dimaksud oleh harold laswell bahwasanya komunikasi yang dilakukan oleh komunikator kepada komunikan denganjika mengunakan media maka bisa menimbulkan efek tertentu (suhadang, 2013). dengan demikian pesan yang dimaksudkan oleh komuniktor dapat dipahami secara baik oleh komunikan dan memberikan efek tertentu. dalam konteks pesan dakwah yang dikembangkan di indonesia, maka media dakwah melalui kesenian tradisional merupakan cara efektif untuk menimbulkan efek ketertarikan kepada komunikan. lebih lanjut menurut suhadang, dalam menyampaikan pesan perlu memperhatikan beberapa hal. pertama, proses pembuatan pesan, dalam proses pembuatan komunikasi yang lengkap perlu melibatkan tujuh unsur di dalamnya yaitu: sumber, komunikator, pesan, media, komunikan, tujuan, dan akibat. kedua, penyesuaian pesan, dalam hal ini persamaan pengalaman antara komunikator dengan komunikan akan membantu terjadinya proses komunikasi yang baik, selain itu juga perlu adanya daya tarik dari seorang komunikator. ketiga, karakter pesan, dalam menentukan karakter pesan jika ditinjau dari teori psikologi, bahwasanya untuk melanjutkan komunikasi 108 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional maka harus diperhatikan terlebih dahulu tentang beberapa aspek seperti organisasi, struktur dan bahan pesan tersebut. keempat, dimenensi karakter komunikator. ada tiga hal pengaruh dari komunikasi yang terjadi pada orang lain, yaitu internalisasi, identifikasi, dan pengaruh ketundukan. pengaruh internalisasi, apabila orang menerima pengaruh dikarenakan gagasan, pikiran dan anjuran yang ditawarkan oleh orang lain yang memiliki kesesuaian dengan sistem nilai yang dimiliki. pengaruh identifikasi yaitu saat orang menerima pengaruh dan mengambil perilaku dari orang lain atau organisasi kerena keduanya telah mendifinisikan dirinya secara memuaskan. pengaruh ketundukan, yaitu apabila orang menerima pegaruh dari orang lain karena berharap ia mendapatkan reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok tersebut (suhadang, 2013). dari kaca mata komuniaksi sebagaimana dijelaskan suhadang yang mengutip pendapat wilbur schramm dalam mempengaruhi seseorang perlu terlebih dahulu disesuaikan dengan kondisi–kondisi yang ada pada si penerima, yaitu sesuai dengan status pribadinya, situasi, dan norma – norma kelompok yang ada di lingkungan dari penerima. bentuk – bentuk tersebut sepertinya telah dipahami oleh para da’i pada waktu itu. islam disebarkan ke indonesia melalui beragam cara salah satunya dengan mengunakan media kesenian tradisional. wayang kulit umpamanya merupakan salah satu kesenian yang dikembangkan sebagai sarana dakwah dalam menyebarkan islam di indonesia. kesenian tersebut dikembangkan oleh sunan kalijaga untuk menarik masyarakat. penggunakan kesenian wayang kulit tidak lepas dari latar belakang dimana pada waktu itu wayang sedang berkembang pesat di tengah para penganut kepercayaan agama hindu – budha. sehingga secara internalisasi masyarakat merasakan nilai-nilai yang sama dari yang telah dimiliki sebelumnya. kepandaian sunan kalijaga dalam mengkreasikan kesenian wayang pada akhirnya bisa menarik masyarakat untuk datang menyaksikan pertunjukan tersebut, sehinga pada akhirnya mereka mau memeluk agama 109 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 islam berkat syarat yang dianjurkan oleh sunan kalijaga yakni dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. apa yang dilakukan oleh sunan kalijaga merupakan strategi internalisasi yakni dengan cara mengkuti trend yang sedang berkembang dan itu merupakan bagian dari masyarakat. dengan demikian dakwah yang disampaikan bisa masuk dan diterima oleh semua pihak. dengan metode dakwah yang dikembangkan tersebut maka islam bisa tersebar secara luas karena islam mampu menunjukan wajah islam yang akomodatif (supriyanto, 1970). jika dilihat penyebaran islam di indonesia perkembangan dakwah dimulai sejak awal masuknya islam ke indonesia, setidaknya ada tiga yang berkembang mengenai teori tentang masuknya islam di indonesia, yaitu teori arab, gujarat, dan persia. namun berdasarkan hasil seminar di medan yang kemudian dikukuhkan kembali oleh seminar di aceh menghasilkan beberapa keputusan dimana salah satunya memaparkan mengenai masuknya islam ke indonesia, diantaranya: pertama, islam masuk pertama kali ke indonesia dari arab sejak abad pertama hijrah sekitar abad ke 7 dan 8 m, ini sebagai koreksi atas teori yang dikembangkan oleh sarjana barat yang mengatakan bahwa baru abad ke 13 masuknya islam ke indonesia melalui persia dan india. kedua, islam disebarkan secara damai di indonesia bukan dengan cara kekerasan. hal ini tidak lepas dari yang pengetahuan di publik yang banyak disalahpahami bahwa runtuhnya kerajaan majapahit disebabkan kerena islam. ketiga, islam datang ke indonesia dengan membawa peradaban yang tinggi dalam upaya pembentukan kepribadian bangsa indonesia (hasymy, 1993). dari beberapa versi mengenai masuknya islam ke indonesia ada titik kesamaan mengenai islam di indonesia, yaitu bahwasanya islam disebarkan secara damai, baik melalui perdagangan, perkawinan maupun kesenian. dengan cara-cara tersebut islam bisa diterima oleh masyarakat secara baik. islam mampu mengakomodasi dari kepercayaan masyarakat dari pemahaman terhadap agama–agama yang sudah ada sebelumya. dengan cara demikian maka islam secara perlahan memberikan stimulus 110 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional atas ajaranya sehingga islam bisa diterima secara luas, karena islam mampu menyesuaikan dengan ketidaksamaan dengan paham maupun kepercayaankepercayaan yang sudah ada sebelumnya. menurut buztaman ahmad (2004), ada tiga kemungkinan ketika islam tidak sesuai dengan konteks yang ada maka, pertama, terjadinya pengubahan terhadap aspek – aspek tersebut untuk disesuaikan dengan ajaran islam. dalam konteks ini memunculkan gerakan gerakan yang ingin memurnikan agar disesuaikan dengan ajaran islam. kedua, melakukan interpretasi ajaran islam terhadap konteks yang ada sehingga aspek – aspek yang ada sebelumnya tidak bertentangan dengan ajaran islam yang kemudian dari sinilah memunculkan kelompok modernis. ketiga, ajaran islam menjadi bagian otonom dalam kehidupan masyarakat sehingga islam tidak perlu dicapurkan oleh aspek-aspek tersebut karena islam hanya sebagai ajaran pribadi, dalam hal ini munculah kelompok sekularisme. dengan demikian perkembangan dakwah islam di indonesia bisa dilakukan secara akomodatif, yakni tidak melawan arus dengan budaya yang sudah ada, tidak juga sebaliknya, akan tetapi islam justru mampu menyesuaikan dan berkompromi terhadap antara ajarannya dengan konteks masyarakat yang telah ada sebelumnya. dengan demikian dapat dipahami bahwasanya penyebaran dakwah di indonesia dilakukan secara damai tanpa dilakukan kekerasan, sehingga sampai saat ini islam bisa berkembang secara baik di indonesia. iv. kesenian tradisional sebagai media dakwah ada beragam kesenian tradisional yang digunakan sebagai media dakwah agama islam di indonesia. masing – masing memiliki metode yang persuasif sebagai ajakan kepada masyarakat secara luas. namun seiring perkembangan zaman dan tuntunan selera masyarakat maka kesenian tradisional harus bisa ikut menyesuaikan agar mampu bertahan di era modernisasi saat ini. dengan demikian nilai yang dibawakan oleh kesenian tersebut bisa semakin dilestarikan dan tetap bisa digunakan sebagai sarana 111 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 dakwah. beberapa kesenian tradisional yang digunakan sebagai media dakwah islam diantaranya: a. wayang sebagai kesenian tradisional, wayang merupakan satu media untuk dakwah yang dulu digunakan oleh para wali dalam menyebarkan agama islam di indonesia. wayang memiliki alur cerita tentang agama–agama yang ada sebelum islam seperti hindu dan budha. kedua agama tersebut telah ada jauh sebelum islam datang ke indonesia sehingga alur cerita yang dibawakan dalam pertunjukan wayang alur cerita yang dibawakan juga menceritakan tidak jauh mengenai agama yang ada sebelum islam datang ke indonesia. namun demikian ketika para wali sanga mulai menyebarkan islam ke indonesia, kesenian wayang diadopsi oleh para wali sanga untuk digunakan sebagai media dakwah dalam menyebarkan agam islam. mereka merubah alur cerita yang terkadnug di dalamnya yang diganti dengan nilai – nilai islami. ada beberapa pertimbangan yang dilakukan oleh sunan kalijaga mengunakan jalur kesneian sebagai mendia dakwah. pertama, masyarakat jawa masih dipengaruhi oleh ajaran hindu – budha. kedua, masyarakat jawa masih kuat dengan paham anemisme dan dinamisme (hadinata, 2015). dengan demikian fleksibilitas dakwah yang dibawakan oleh para wali sanga memiliki dampak positif terhadap penyebaran islam di indonesia. terkait dengan kesenain tradisional wayang, sampai saat ini wayang telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. perkembangan wayang tersebut ditandai dengan munculnya berbagai jenis pertunjukan wayang seperti: wayang kulit yang pertunjukannya dilakukan oleh seorang dalang. sementara wayang manusia atau wong pertujukan dilakukan oleh manusia dangan membawakan alur cerita masing – masing tokoh-tokoh tertentu. 112 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional b. tarian tari merupakan salah satu kesenian yang juga berwawasan nilainilai islami. salah satunya yaitu tari saman yang berasal dari daerah aceh. tarian saman merupakan sebuah tarian yang mengungkapkan semangat untuk mengajarkan dan menanamkan semangat akidah dan syariah kepada masyarakat yang diekspresikan melalui gerak dan syair – syair. tari saman merupakan santapan estetis yang menjelaskan kehidupan sosio-agama, filosofis dan norma serta etika dalam kehidupan masyarakat aceh. tari saman berkembang bersamaan dengan masuknya islam di aceh pada abad ke-13 yang kemudian menjadi kesenian yang memiliki fungsi sosialbudaya dan merupakan akulturasi budaya islam yang dibawa oleh para ulama dan saudagar dari timur tengah. (yusnizar herniawati, 2015) v. kubro siswo sebagai media dakwah kesenain tradisional ini awal mula berasal dari dasa mendut, magelang yang ada sekitar tahun 1960-an. tujuan didirikan kesenian ini yaitu untuk digunakan sebagai media dakwah agama islam, selain itu juga adanya kesenian ini sebagai upaya dalam membentengi paham komunis yang pada saat itu sedang marak– maraknya berkembang di indonesia, oleh karena itu maka didirikan kesenian kubro, dimana kesenian tersebut melibatkan banyak orang sebagai pemainya. (ahmad, 2017). kesenian ini pada mulanya digunakan sebagai sarana dakwah syiar islam, hal ini bisa dilihat sebagaimana tertulis dalam syair–syair yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan tersebut. kubro merupakan singkatan dari kata kesenian ubahing badan lan rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa) maka dalam setiap pertunjukanya identik dengan semangat(burhanuddin, 2016). ketiga kesenian tersebut merupakan contoh dari beberapa kesenian tradisional yang digunakan sebagai media pada kesenian tersebut terkandung nilai-nilai religius dan filosofis bagi masyarakat dalam memahami ajaran islam. kesenian wayang dengan alur cerita yang bisa 113 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 dijadikan teladan kehidupan sebab biasanya alur cerita yang dibawakan mengisahkan tentang tokoh-tokoh tertentu. sementara dalam tarian, setiap gerakannya melambangkan sikap manusia yang semesinya yang harus semangat dalam menjalankan kehidupan beragamanya. adapun kubro siswo dalam setiap syairnya selalu mengajak manusia dalam kebaikan. dengan demikian masing-masing kesenian tradisional tersebut membawakan ciri khasnya masing – masing dalam membawakan syiar agama islam di indonesia. kesenian yang terakhir yang kemudian menjadi fokus utam kajian penelitian ini. vi. eksistensi kesenian tradisional: transformasi kesenian kubro siswo era tahun 1980-an dunia mulai mengalami pendewasaan dengan mengenal globalisasi yang identik dengan modernisasi di berbagai sektor, seperti teknologi, ekonomi, politik dan agama (bustamam-ahmad, 2004). modernitas ini muncul di eropa sekitar abad ke – 17. modernisasi sebagai konsekuensi dari hadirnya globalisasi yang menjadikan semua bidang mengalami pergesaran dan hal ini telah menjamah semua lini kehidupan, termasuk dalam kesenian tradisional. perkembangan kesenian tradisional di era modernisasi mendapatkan tentangan sendiri sebagai upaya mempertahankan eksistensinya. maka tidak mengherankan jika saat ini beberapa kesenian tradisional telah melakukan transformasi pada beberapa bagianya. sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hal ini tidak bisa dilepaskan atas pengaruh arus globalisasi, yang mana dengan hadirnya era globalisasi para seniman juga memiliki kebebasan untuk memunculkan ide dan gagasanya, sehingga bersamaan dengan ini muncul istilah dengan apa yang disebut sebagai multikulturalisme. paham tersebut menghargai karya seni yang bervariasi, baik pada aspek gaya maupun dari asal negara (soedarsono, 2002). kesenian tradisional di indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh kesenian yang telah ada sebelumnya yang berasal dari 114 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional beberapa bangsa, seperti india, arab, china, dan eropa. pembentukan produk budaya termasuk di dalamnya kesenian tradisional secara umum melewati proses akulturasi, asimilasi, dan sikretisme terhadap budaya yang sudah ada sebelumya. namun pengaruh itu mampu ditanggapi secara kreatif oleh penduduk pribumi sehingga bentuk–bentuk kesenian yang masuk ke indonesia bisa disesuaikan dengan kesenian yang ada, sehingga lebih berwarna ke-indonesiaan, baik kesenian yang berasal dari india, arab, china, maupun eropa. menurut sudarsono (2002) pengaruh budaya barat yang paling berpengaruh terhadap kesenian indonesia yaitu dalam bidang musik. hal ini bisa dilihat sejak tahun 1970-an mulai banyak dilakukanya kerjasama antara komponis indonesia dengan komponis asing, sehingga perpaduan antara kedua genre musik tersebut bisa saling mengisi. sebelum itu juga di tahun sekitar 1950 – 1960 lahir juga musik pop indonesia yang juga dipengaruhi oleh musik pop amerika yang kemudian melahirkan penciptaan eksperimental, misalnya terjadinya transformasi dari gamelan ke dalam idiom musik modern. selain itu juga secara bersamaan pada waktu itu musik dangdut telah berhasil mencuri perhatian publik karena mampu menyerap genre dari musik-musik lainnya yang telah ada. musik dangdut menurut penjelasan suka harjana, berasal dari musik melayu yang telah bersinggungan dengan musik india, islam timur tengah. oleh sebab itu, saat ini musik dangdut telah menjamah dan diterima oleh masyarakat secara luas sampai kemudian telah divariasikan dengan kesenian tradisional kubro siswo, misalnya. untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi dari kubro siswo menjadi brodut (kubro dangdut) maka dapat digunakan teori perubahan sosial untuk menelusuri penyebab terjadinya perubahan dana perkembangan dari kesenian kubro siswo menjadi brodut. teori perubahan sosial menurut ruswanto, yaitu bahwasanya perubahan sosial dapat terjadi oleh sebab yang bersifat alamiah dan atau oleh suatu yang direncanakan. perubahan yang bersifat alamiah terjadi karena perubahan dari masyarakatnya sendiri. sementara perubahan sosial 115 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 yang direncanakan terjadi karena memang adanya suatu progam yang direncanakan, progam tersebut bisa muncul dari dalam individu atau dari dalam masyarakat itu sendiri yang dibuat atau ditentukan oleh sekelompok anggota masyarakat yang ditujukan bagi kelompokkelompok yang lain (masyhuril, 2008). teori ini akan digunakan untuk melihat sejauh mana perubahan yang terjadi dalam kesenian tradisional kubro siswo yang saat ini telah mengalami transformasi menjadi kesenian yang lebih modern (brodut). sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kubro siswo awal mulanya berasal dari desa mendut magelang sekitar tahun 1960-an, dan kini telah menyebar ke beberapa daerah di sekitar desa mendut, salah satunya yaitu di desa gunung lemah. kesenian kubro siswo di gunung lemah telah ada sejak tahun 1997. namun sebagaimana disampaikan oleh salah satu pengurus kesenian tersebut, kesenian ini mengalami pasang surut karena menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian tersebut (ahmad, 2017). atas latar belakang seperti itu maka kemudian muncul inisiatif dari para pemuda yang terkumpul dalam satu wadah yang sudah ada pada waktu itu ketika mereka sedang kompak-kompaknya untuk mencoba memberikan sentuhan baru terhadap kesenian kubro tersebut. sekitar tahun 2014 para pemuda yang memiliki gagasan tadi mengutarakan maksudnya kepada para sesepuh untuk memberikan penjelasan mengenai perubahan yang akan dilakukan. meskipun pada saat itu ada beberapa golongan dari sesepuh yang tidak sepakat, namun dengan dilakukanya musyawarah secara baikbaik dan juga melalui kompromi – kompromi, maka pada akhirnya tawaran perubahan tersebut bisa disepakati oleh semua kalangan di desa tersebut. setelah semua warga sepakat untuk melakukan perubahan dengan tetap tidak mengubah dari pakem yang sudah ada, kemudian meraka mengajukan maksud tersebut ke dinas kebudayaan kabupaten magelang. sebagaimana disampaikan oleh ketua pengurus kesenian, pada awalnya dinas kebudayaan tidak menyetujui dilakukannya perubahan atau variasi 116 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional pada kesenian kubro siswo tersebut, karena dikhawatirkan nantinya malah akan merusak orisinalitas kesenian tersebut. pihak dinas berargumentasi nanti kesenian ini malah akan rusak seperti yang terjadi pada beberapa kesenian tradisional lainya yang ketika ditambah atau divariasikan dengan kesenian yang lainya, namun justru malah rusak. kepala dinas tersebut mencontohkan pada kesenian jathilan yang divariasikan dengan leak dan akhirnya justru malah rusak. meskipun demikian pada akhirnya pihak dinas tidak melarang dan mengamini atas gagasan baru yang ingin dilakukan oleh masyarakat tersebut. hal itu berawal dari inisiatif pemuda yang mengundang pihak dinas kebudayaan untuk melihat pertunjukan secara langsung. setelah dinas melihat pertunjukan secara langsung akhirnya mereka justru senang dan memberikan persetujuan terhadap kesenian tersebut. dengan demikian saat ini semua pihak telah sepakat atas perubahan dari kubro siswo yang divariasikan dengan iringan musik modern dangdut tersebut. ketika dilihat mengunakan teori perubahan sosial di atas maka dapat dipahami bahwasanya perubahan yang terjadi dalam kesenian tradisional kubro siswo menjadi brodut maka hal tersebut merupakan sebuah perubahan yang memang direncanakan oleh pihak internal untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. latar belakang dilakukanya perubahan adalah tidak lebih karena ingin agar kesenian tradisional kubro siswo tetap bisa langgeng dan eksis di tengah budaya populer saat ini. selain itu juga supaya masyarakat tetap meminati kesenian tersebut. adapun bagian kedua dalam penelitian ini akan melihat bagaimana fungsi dari kubro siswa sendiri setelah mengalami transformasi, apakah masih memiliki nilai yang sama dengan tujuan awal didirikan kubro yang ingin digunakan sebagai media dakwah. ini bisa dilihat dari aspek internal para pihak yang melestarikan kesenian kubro tersebut setelah kesenian kubro siswo mengalami transformasi dan sejauh mana mereka tetap ada pada pekem yang telah ada. untuk melihat nilai-nilai ini digunakan teori identitas sosial untuk memetakan mengenai nilai-nilai dalam kesenian tradisional tersebut. 117 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 menurut teori identitas sosial perilaku kelompok menekankan adanya tiga struktur dasar. pertama, kategorisasi, yaitu proses dimana individu mempersepsi dirinya sama atau identik dengan anggota lain dalam kelompok yang sama. kedua, identitas, dapat didefinisikan sebagai citra diri, konsep diri atau pemaknaan seseorang terhadap diri sendiri. setiap individu memiliki dorongan kuat untuk menganggap bahwa dirinya baik dan memiliki identitas serta harga diri yang positif. dalam hal ini individu cenderung memiliki penilain yang lebih mengutamakan kelompoknya sendiri. ketiga, perbandingan sosial. penilaian sesorang terhadap diri sendiri tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perbandingan dengan orang lain. individu memaknai dan menilai dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. individu juga memperoleh identitas sosial melalui keanggotaanya pada kelompok tersebut. sehingga bisa dipahami bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep individu yang berasal dari pengetahuanya selama berada dalam kelompok sosial tertentu dengan disertai internalisasi akan pentingnya nilai – nilai seperti emosi, partisipasi, kepedulian dalam kelompoknya tersebut bentuk-bentuk internalisasi yang ada pada masyarakat di desa gunung lemah, mereka memiliki persamaan dalam upaya mengangkat dan membesarkan kesenian ini menjadi sampai saat ini. mereka bangga karena bagaimanapun juga ketika pada waktu itu mereka bersama-sama melakukan upaya dalam pelestarian kesenian kubro siswo. mereka untuk menomboki setiap pertunjukan mereka mengunakan uang kas yang didapatkan dari hasil mencari batu dan pasir di sungai. karena pada waktu itu ketika ada orang yang menyewa kesenian tersebut, mereka malah kebanyakan minus dan tidak mendapatkan pemasukan (inggi, 2017). sementara bentuk identitas yang mereka lakukan ialah tidak melakukan perubahan atas pakem yang sudah ada. mereka hanya menambahkan variasi pada instrumen alat musiknya semata. dengan demikian mengenai pesan dakwah yang terdapat dalam syair yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan kesenian kubro siswo tetap sama pada pakem yang sudah 118 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional ada. sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kesenian tradisional kubro siswo dalam setiap pertujukanya diiringi dengan syair. ada sekitar dua puluh syair yang digunakan dalam pertujukan kubro siswo yang dilagukan selama enam pertemuan. setiap pertemuan diisi dengan 3 – 4 syair yang berbeda-beda. menurut pemaparan ketua pengurus brodut bahwa syair yang dibawakan sekitar 60% benuansa islami, sementara sisanya bertemakan lagu-lagu nasional dan lagu sesuai kondisional. semisal disana sedang ada hajatan ulang tahun maka ada lagu yang dinyanyikan tentang ucapan selamat ulang tahun. bukan hanya itu saja, ketika ada salah satu rekan dari personilnya yang sedang ulang tahun maka lagu tersebut juga digunakan untuk mengiringi pertunjukan kesenian tersebut. meskipun ketika pertunjukan dimulai syair yang digunakan untuk mengiringinya divariasikan dengan instrumen modern, namun tetap tidak mengubah pakem yang ada. sebagaimana yang telah disampaikan oleh salah satu anggota kesenian tersebut. jadi muatan nilai – nilai yang terkandung dalam setiap syair yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan masih berisikan tentang nilai-nilai dakwah yang mengajak kepada kebaikan. misalnya, syair tentang ajakan beribadah. tidak hanya itu saja nilai-nilai yang terdapat dalam syair juga mengandung nilai-nilai sebagai ajakan untuk menghormati orang lain. dari konten yang ada sebagaimana telah dipaparkan, bahwasanya kesenain kubro siswo yang saat ini telah mengalami trasformasi, namun tidak mengubah pola pakem yang sudah ada sebelumnya. selain itu juga muatan yang dibawakan dalam setiap syiar yang digunakan dalam mengirinya juga bermuatan ajakan kebaikan dan juga sikap menghormati kepada orang lain yang bernafaskan islami. dengan demikian syair yang digunakan dalam kesenian kubro masih sama seperti yang dulu. inilah yang menjadi kebanggaan yang tersendiri oleh para anggota kesenian kubro di desa gunung lemah. 119 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 adapun bentuk perbandingan sosial yang ada pada kesenian tersebut yang dimiliki oleh masing-maisng anggota bahwasanya mereka tidak mempermasalahkan ketika ada kelompok maupun dari desa lain yang “menyaingi” bentuk-bentuk kesenian seperti yang mereka. meraka tetap merasa bangga karena mereka menjadi pelopor pertama adanya model kesenian seperti itu. menurut ketua pengurus kesenian tersebut kesenian di desanya menurut sebagian besar masyarakat adalah yang paling bagus dan menariki jika dibandingkan dengan yang alainya, karena kesenian brodut di desa gunung lemah merupakan cikal bakalnya. dengan demikian dapat dipahami perbandingan sosial dari masyarakat gunung lemah atas kesenian yang dimilikinya, meskipun saat ini sudah banyak yang menyaingi, namun mereka tetap merasa bangga, karena mereka merupakan pelopor pertama adanya kesenian seperti itu. pertanyaan selanjutnya adalah bagaiamana nilai–nilai yang diterima oleh masyarakat luas dengan hadirnya kesenian tersebut. apakah masyarakat memahami konten muatan yang sebenarnya yang ada dalam kesenian kubro atau hanya menganggapnya sebagai hiburan semata. dengan kacamata ini pada dasarnya setiap orang memiliki cara pandang yang beragam terhadap pertujukukan kesenian. menurut sudarsono jika ditinjau dari segi fungsi, maka fungsi seni pertujukan dibagi menjadi dua kelompok yaitu fungsi primer dan sekunder. seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer (1) sebagai sarana ritual (2) sebagai hiburan pribadi (3) sebagai presentasi estetis (soedarsono, 2002). dalam konteks kesenian ini, sebagaimana telah diketahui brodut merupakan wujud transformasi dari kesenian tradisional kubro siswa yang salah satu perubahannya pada alat musik atau instrumen yang digunakan untuk mengiringinya. dengan adanya perubahan tersebut ternyata memiliki pengaruh yang cukup baik dalam upaya menjaga eksistensi kesenian kubro siswo. jika dilihat perkembangannya sejak tiga tahun yang lalu sampai dengan saat ini, para peminat kesenian ini mengalami peningkatan yang signifikan. bisa dilihat misalnya dengan jumlah fans atau penggemar yang 120 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional semakin banyak, selain itu juga jumlah anggota yang tergabung melalui media sosial juga sangat banyak dan semakin mengalami peningkatan. hal ini memperlihatan bahwa peminat kesenian ini pada saat ini mengalami peningkatan yang baik dibandingkan ketika sebelum kesenian melakukan perubahan. sebagaimana disampaikan oleh salah pengurus yang mangatakan sebelum ini belum ada fans-fans yang bermunculan, namun seiring dilakukanya modifikasi dalam penampilan pertujukan, jumlah penggemarnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan (soedarsono, 2002). hal ini bisa dilihat secara langsung ke lapangan pada saat pertunjukkan dimulai jumlah penontonnya memenuhi area lapangan. sebagaimana disampaikan oleh salah satu pengemarnya yang mengatakan kalau datang harus awal supaya bisa dapat tempat (kikit, 2017). dari kemajuan dan peningkatan jumlah penggemar brodut desa gunung lemah, pertanyaan adalah apakah nilai-nilai yang diterima olah masyarakat sama dengan tujuan yang ingin disampaikan dalam kesenian kubro atau masyarakat menganggapnya hanya sebatas hiburan saja. menurut salah satu informan yang merupakan salah satu dari penggemar kesenian tersebut mengatakan bahwa dengan adanya kesenian tersebut bisa digunakan sebagai sarana hiburan. mereka mengatakan ketertarikanya karena ada musik dangdut yang ditampilkan ketika akan perpindahan antara satu babak ke babak lain dan juga variasi musik yang digunakan ketika mengiringi saat pertujukan dimulai (semurup, 2017). jika dilihat mengenai daya tarik masyarakat misalnya dari para fans terhadap kesenian ini, maka kesenian ini masih hanya menjadi sebatas hiburan semata, mereka belum meresapi mengenai fungsi dari kesenian yang sebenarnya. hal ini bisa dilihat misalnya ketika pertunjukan dimulai masih sering terjadi pertengkaran antara satu penggemar dengan penggemar lainnya, sehingga pertunjukan harus diberhentikan sejenak untuk mengkondisikannya. setelah keadaan bisa dikondisikan baru pertujukan dimulai kembali. selain itu juga bukti bahwasanya belum dipahaminya nilai-nilai dalam kesenian tersebut yaitu menurut apa yang disampaikan 121 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 oleh masyarakat luas, ketika akan menanggap kesenian tersebut maka dari segi keamanan harus dipersiapkan secara baik-baik untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. hal ini sebagaimana dipaparkan oleh sudarsono (2002), bahwa masyarakat saat ini sedang mengalami masa kebingungan, ketika mau mengacu pada nilai–nilai yang lama takut dianggap ketinggaan jaman, sementara ketika mau mengacu pada nilai – nilai yang modern belum sampai. akibatnya masyarakat saat ini lebih suka menonton pertunjukan yang sifatnya menghibur dari pada yang memuat nilai–nilai filosofis atau pendidikan. sejalan dengan ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh mengenai bentuk apresiasi kesenian tradisional kubro siswo di desa tempel menjelaskan bahwasanya seiring perkembangan zaman kesenian tersebut berubah fungsinya sebagai pertunjukan hiburan, tetapi tidak mengurangi identitas dari pertunjukan kesenian tontonan saja namun sebagai tuntunan (masyhuril, 2008). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai sebenarnya yang terkandung dalam kesenian tersebut belum bisa dipahami dan diresapi oleh masyarakat secara baik. namun demikian ada nilai-nilai lain yang sebenarnya telah bisa diimplementasikan melalui kesenian tersebut, yaitu timbulnya rasa kebersamaan dan saling memiliki antara masyarakat yang ada, meskipun adakalanya terjadi pertentangan atau perkelahian ketika pertujukan, namun itu hanya bagian kecilnya saja, sementara dengan adanya kesenian tersebut mereka bisa merasakan bahwa kesenian tersebut bisa mempererat persaudaraan dan kesatuan antar sesama teman. vii. kesimpulan kesenian kubro siswo merupakan salah satu kesenian tradisional yang digunakan sebagai media dakwah agama islam melalui syair-syair yang dibawakan ketika pertunjukan. seiring perkembangannya kubro siswo mengalami pasang surut, terutama di era globalisasi saat ini yang identik dengan modernisasi yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh 122 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional budaya populer. kesenian tradisional saat ini sudah kurang diminati karena kalah saing dengan kesenin yang lebih populer. untuk menjaga eksistensi kesenian ini agar bisa tetap dilestarikan dan diminati oleh masyarakat maka kesenian kubro siswo melakukan transformasi dengan menambahkan beberapa variasi, baik melalui syair atau pertunjukan yang ditampilkan. dengan dilakukanya variasi tersebut maka kesenian kubro siswo di desa gunung lemah saat ini semakin banyak diminati oleh masyarakat dan mendapatkan tanggapan positif dari berbagai pihak. namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai (1) bagaiamana terjadinya proses transformasi (2) bagaimana identitas sosial dari para pelaku kesenian (3) bagaimana nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat, ditinjau menggunakan teori perubahan sosial dan identitas sosial. permata, terjadinya transformasi dari kesenian tradisional kubro siswo menjadi brodut dikarenakan perubahan yang direncanakan dari internal. kedua, pelaku kesenian kubro siswo banga dengan kesenian tersebut, karena mereka masih memahami sebagai sarana dakwah. ketiga, nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat luas terhadap kesenian kubro siswo baru sebatas hiburan semata, belum bisa dipahami nilainilai filosofis, meskipun demikian dengan adanya kesenian tersebut bisa saling mempererat dan meningkatkan silaturahmi antara individu dengan individu yang lain. daftar pustaka aminuddin, a. (2018). facebook sebagai media dakwah. al-munzir, 10(1), 31–50. retrieved from http://ejournal.iainkendari.ac.id/almunzir/article/view/796 burhanuddin, j. (2016). identitas sosial kesenian tradisional kubro siswo dusun sedayu ii, sedayu, muntilan, magelang. uin sunan kalijaga yogyakarta. 123 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 bustamam-ahmad, k. (2004). wajah baru islam di indonesia. yogyakarta: uii press. epafras, l. (2016). religious e-xpression among the youths in the indonesian cyberspace. jurnal ilmu komunikasi, 13(1), 1. https://doi.org/10.24002/jik.v13i1.596 fitriyah, d. h., lubis, z., & mardhiah, i. (2016). analisis pesan dakwah dalam novellet “ketika mas gagah pergi’ karya helvy tiana rosa. jurnal online studi al-qur an, 12(1), 22. https://doi.org/10.21009/ jsq.012.1.02 hadinata, y. (2015). sunan kalijaga: biografi, sejarah, kearifan, peninggalan dan pengaruh – pengaruhnya. yogyakarta: dipta. hafil, a. s. (2016). komunikasi agama dan budaya (studi atas budaya kompolan sabellesen berdhikir tarekat qadiriyah naqshabandiyah di bluto sumenep madura). al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 1(2), 161. https://doi.org/10.22515/ balagh.v1i2.350 halik, f. (2012). rokat bhuju’ vis-à-vis kompolan (metamorfosis elit madura pasca keruntuhan orde baru). karsa: journal of social and islamic culture, 12(2), 119–131. https://doi.org/10.19105/ karsa.v12i2.137 hasymy, a. (1993). sejarah masuk dan berkembangnya islam di indoensia. almaarif. huda, m. (2015). the project of islamophobia. qijis (qudus international journal of islamic studies), 3(2), 192–209. https://doi.org/10.21043/ qijis.v3i2.1586 idris, m. (2017). potret pemikiran radikal jaringan islam liberal (jil) indonesia. kalam, 8(2), 367. https://doi.org/10.24042/klm. v8i2.227 ja’far, j. (2016). peran al jam’iyatul washliyah dalam merevitalisasi madhhab shafi’i di era kontemporer. justicia islamica, 13(1), 1. https://doi.org/10.21154/justicia.v13i1.451 mansur, m. (2015). pola dakwah yang dikembangkan pada masyarakat etnis muslim bali di desa sulemandara kecamatan pondidaha kabupaten konawe. al-izzah: jurnal hasil-hasil penelitian, 8(1), 143–159. https://doi.org/10.31332/ai.v8i1.92 masyhuril, s. (2008). perubahan apresiasi masyarakat terhadap kesneian tradisional. uin sunan kalijaga, yogyakarta. 124 nor kholis – syiar melalui syair: eksistensi kesenian tradisional nuraida. (2011). gerakan radikalisme islam di indonesia. wardah : jurnal dakwah dan kemasyarakatan, 12(2), 153–162. retrieved from http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/ view/235 pratiwi, a. f. (2018). film sebagai media dakwah islam. aqlam: journal of islam and plurality, 2(2). https://doi.org/10.30984/ajip.v2i2.523 saefulloh, a. (2014). cyberdakwah sebagai media alternatif dakwah. islamica: jurnal studi keislaman, 7(1), 138. https://doi. org/10.15642/islamica.2012.7.1.138-160 satria, e., & mohamed, r. (2017). analisis terhadap peranan nasyid dalam dakwah. jurnal ilmiah islam futura, 16(2), 227. https://doi. org/10.22373/jiif.v16i2.1329 shodiq, m. (2016). eksistensi dan gerakan dakwah tarekat siddîqîyah di tengah masyarakat urban surabaya. teosofi: jurnal tasawuf dan pemikiran islam, 5(2), 346. https://doi.org/10.15642/ teosofi.2015.5.2.346-375 slamet, s. (2014). nadhlatul ulama dan pluralisme: studi pada strategi dakwah pluralisme nu di era reformasi. komunika: jurnal dakwah dan komunikasi, 8(1), 60–78. https://doi.org/10.24090/ komunika.v8i1.749 soedarsono, r. m. (2002). seni pertunjukan indonesia di era globaliasasi. yogyakarta: gajah mada press. suhadang, k. (2013). ilmu dakwah prespektif komunikasi. bandung: remaja rosda karya. supriyanto, s. (1970). dakwah sinkretis sunan kalijaga. komunika: jurnal dakwah dan komunikasi, 3(1), 10–19. https://doi. org/10.24090/komunika.v3i1.111 syarifah, m. (2016). budaya dan kearifan dakwah. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 1(1), 23. https://doi.org/10.22515/ balagh.v1i1.43 125 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 3, no. 1, january – june 2018, pp. 103 126 wawancara ahmad, ketua kesenian kubro siswo desa gunung lemah, tanggal 10 september 2017 andung, ketua fans benteng semurup, tanggal 15 sepetember 2017 kikit, ketua fans pengkik indah, tanggal 15 sepetember 2017 nur, penggurus kesenian kubro siswo desa gunung lemah, tanggal 12 september 2017 jurnal al-balagh_vol.2 no.2-2 2017 world muslimah sebagai budaya populer dalam bingkai media online islam izziya putri ananda pascasarjana fakultas ushuluddin dan pemikiran islam, uin sunan kalijaga, yogyakarta keywords: arrahmah.com, framing, online media, world muslimah http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: izziya.putri@gmail.com abstract world muslimah is a beauty contest set up by eka shanty and aimed as a forum for women in veil to join the beauty queens contest, especially by highlighting the side of spiritualism in women. however, the contest attracts criticism from online media, one of them is arrahmah.com, which is one of the popular online islamic media with high number of visitors. this research aims to know the framing of arrahmah.com media against the world muslimah beauty contest. the authors use pan and kosicki framing theory to analyze the media ideology to the construction of the reality that is raised. methodically, this article is a qualitative study based on literature research. from this research, it can be seen from the media perspective through the subjective side of the author, which states that this a beauty contest event is not taught in islam and women who follow the event is considered to have taken off her side of virtuousness. world muslimah adalah kontes kecantikan yang didirikan oleh eka shanty dan bertujuan sebagai wadah bagi para perempuan berhijab guna mengikuti kontes ratu kecantikan, terutama dengan menonjolkan sisi spiritualisme perempuan. namun demikian, kontes ini menuai kritik dari sejumlah media online, salah satunya arrahmah. com. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembingkaian media arrahmah.com terhadap kontes kecantikan world muslimah. penulis menggunakan teori pembingkaian pan dan kosicki untuk menganalisis ideologi media terhadap konstruksi realitas yang dimunculkan. secara abstrak doi number 10.22515/ balagh.v2i2.983 166 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer metodis, artikel ini merupakan penelitian kualitatif yang didasarkan pada penelitian pustaka. dari penelitian ini, dapat diketahui sudut pandang media melalui sisi subjektif dari penulis yang menyatakan bahwa sebuah ajang kontes kecantikan tidak diajarkan dalam islam dan perempuan yang mengikuti ajang tersebut dipandang telah menanggalkan sisi kesalihannya. i. pendahuluan berkembangnya media menjadi indikasi yang menunjukkan perkembangan zaman yang semakin maju. bukan hanya dari bidang teknologi, budaya dalam hal ini juga terkena implikasinya. salah satunya adalah pengapdosian budaya barat yang bagi umat islam dianggap tidak sesuai syariat, walaupun sebagian ada yang disyariatkan. misalnya, terdapat sebuah ajang yang fenomenal yang diadopsi dari budaya barat, yaitu world muslimah. world muslimah diadopsi dari kontes kecantikan miss universe atau miss world. berbeda dengan miss universe dan miss world yang fokus kepada pengetahuan umum dan pakaian yang lebih terbuka, world muslimah ini diusung dengan konsep 3s (sholeha, smart, stylish). selain itu dalam hal berpakaian lebih tertutup sesuai dengan syariat islam atau dengan kata lain menutup aurat. ajang pemilihan muslimah ini dicetuskan oleh eka shanty sebagai bentuk apresiasinya terhadap wanita. menurutnya, ajang tersebut dapat mencetak generasi muslimah yang mampu berprestasi di masyarakat (muftiarini, 2013). munculnya world muslimah sebagai ajang pemilihan muslimah nyatanya menuai pro dan kontra. banyak pihak yang mempermasalahkan label “muslimah” yang melekat pada pemilihan ini (ayu, 2016). salah satunya karena dianggap perempuan menjadi “konsumsi” laki-laki dengan mempertontonkan kecantikan fisik melalui keikutsertaannya dalam ajang pemilihan tersebut. media online yang memiliki ideologi tertentu pun juga turut mengkritik world muslimah ini, salah satunya adalah arrahmah.com, yang mengkritik dengan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap agenda ini melalui artikel yang diunggah di website, yaitu world muslimah budaya latah dan world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah. kata kunci: arrahmah.com, pembingkaian, media online, world muslimah – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 167 arrahmah.com termasuk salah satu media islam online populer dengan jumlah pengunjung yang tinggi, yakni sejumlah 705.070 pengunjung, dimana jumlah ini meningkat sebanyak 36,87% dari bulan sebelumnya. pada peringkat dunia, situs arrahmah.com menduduki peringkat 57,167 dan di indonesia menduduki peringkat 792 (https://www. similarweb.com, n.d.). dari data ini, dapat dilihat bahwa meningkatnya jumlah pengunjung arrahmah.com pada akhirnyamampu mempengaruhi naiknya peringkat website. dengan demikian, media islam online arrahmah. com, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang sudah maju, dapat membentuk opini pembaca dan atau masyarakat terhadap sebuah penafsiran alquran. sebagai sebuah media, tidak bisa dipungkiri bahwa arrahmah. com dapat membentuk opini pembaca melalui artikel yang diunggah di website. hal ini menjadi menarik dan penting ketika dianalisis secara lebih jauh. apalagi muncul klaim pada tahun 2013, dimana arrahmah.com dipandang sebagai website jihad yang populer di indonesia, yang memiliki 200.000 pembaca tetap pada setiap artikelnya (ken, 2016). namun, agar lebih spesifik, artikel ini akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana media online arrahmah.com membingkai artikel tentang ketidaksetujuannya terhadap world muslimah. dalam hal ini, meski sumber data merujuk pada bentuk artikel media, tetapi mengenai pencantuman artikel terkait di dalam media online arrahmah.com, secara tidak langsung mampu merepresentasikan bagaimana sudut pandang atau angle dari media terhadap pembingkaian world muslimah. ii. metode penelitian framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. analisis ini digunakan untuk menganalisis ideologi media saat mengkonstruksi fakta (sobur, 2012) dengan mencermati seleksi isu, penonjolan pada isu, dan pertautan fakta ke dalam berita agar 168 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer lebih bermakna, lebih menarik, lebih mudah diingat, lebih berkesan, dan bertujuan untuk menggiring interpretasi masyarakat. secara metodis, artikel ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research). penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. penelitian jenis ini bertujuan untuk mengungkapkan gejala secara holistic-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci (sugiarto, 2015). objek penelitian ini adalah pandangan media online arrahmah.com terhadap fenomena world muslimah. lebih lanjut, artikel yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah artikel world muslimah budaya latah tulisan naila ridla dan world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah tulisan syahrul efendi d. dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori framing yang digagas oleh pan dan kosicki, dengan perangkat framing yang dibagi ke dalam empat struktur besar, yaitu: 1. sintaksis dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dan bagian berita (headline, lead, latar informasi, sumber, dan penutup) dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan (eriyanto, 2002). sintaksis mempunyai fungsi untuk mengantarkan pembaca kepada ide yang ingin dikemukakan oleh wartawan dan dapat memunculkan asumsi sementara dari pembaca. sintaksis terdiri dari headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan dan penutup. 2. skrip bentuk umum dari unsur penulisan berita atau skrip adalah pada 5w+1h (who, what, where, when, why, dan how). meskipun pola ini tidak selalu ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan (eriyanto, 2002). what berarti peristiwa apa yang dilaporkan kepada khalayak. who yang berarti siapa yang menjadi – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 169 pelaku dalam peristiwa berita itu. when berarti kapan berita itu terjadi. where berarti di mana peristiwa itu terjadi. why adalah alasan mengapa peristiwa yang diberitakan itu terjadi. how berarti bagaimana jalan peristiwa itu terjadi. 3. tematik bagi pan dan kosicki, struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis. bagaimana kalimat yang dipakai, bagaimana menempatkan, dan menulis sumber ke dalam teks berita secara keseluruhan (eriyanto, 2002). perangkat dari struktur tematik adalah koherensi, yaitu pertalian atau jalinan antarkata, proposisi atau kalimat. dua buah kalimat atau preposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi yang terdiri dari beberapa macam, yaitu: pertama, koherensi sebab-akibat, yaitu kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari kalimat lainnya. umumnya proposisi ini ditandai dengan kata hubung “sebab” atau “karena”. kedua, koherensi penjelas, yaitu kalimat satu dilihat sebagai penjelas terhadap kalimat yang lain. umumnya ditandai dengan kata hubung “dan” atau “lalu”. ketiga, koherensi pembeda, yaitu kalimat satu dipandang sebagai kebalikan dari kalimat lainnya. umumnya ditandai dengan kata hubung “dibandingkan” atau “sedangkan” (eriyanto, 2002). 4. retoris struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, menonjolkan sisi tertentu berita dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. ada beberapa elemen struktur retoris, yaitu leksikon, grafis, dan metafora (eriyanto, 2002). 170 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer iii. sekilas tentang world muslimah ajang world muslimah diselenggarakan oleh world muslimah foundation yang secara khusus didirikan oleh hj. eka triyatna shanty, hj. sylvia djardjis husman, hj. ningrum maurice, dan hj. ofiyati sobriyah, s.h (miasih, 2014) pada tanggal 1 agustus 2011 (www.facebook.com, n.d.). world muslimah foundation adalah sebuah organisasi internasional dengan sebuah proyek yang menciptakan inisiatif untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan, dengan berpusat pada sumberdaya manusia, dan untuk meningkatkan persamaan bagi wanita muslim dan anak perempuan melalui pemberian akses efektif melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (www.facebook.com, n.d.). misi dari world muslimah foundation ini adalah menjadi perantara yang “ramah” dalam komunikasi antar dunia muslim dan masyarakat secara umum. khususnya pada bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam rangka menciptakan dunia yang lebih harmonis. yayasan ini tidak didirikan karena sentimen keagamaan, melainkan karena ketertarikan pada berbagai isu yang menyelimuti dunia perempuan, khususnya pada perempuan muslim (muslimah) (www.facebook.com, n.d.), yaitu: 1. perempuan muslim dengan kurangnya akses pendidikan. 2. perempuan muslim yang memiliki peran penting dalam keluarga, yaitu sebagai tulang punggung keluarga. 3. perempuan muslim yang memiliki potensi tinggi, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkannya. 4. perempuan muslim yang terlantar. 5. perempuan muslim yang mengungsi akibat bencana atau konflik. dalam artikel yang diakses pada laman facebook resminya, disebutkan bahwa world muslimah yang digelar oleh world muslimah foundation memiliki visi 3s (smart, sholeha, stylish). sholeha merupakan akronim dari sincerity, honesty, organize, lovely, emphatic, humble, dan affirmative-positive thinking, tujuh kata ini dianggap sebagai karakter yang seharusnya dimiliki oleh seorang muslimah. sedangkan stylish bukan berarti gaya dalam hal fashion – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 171 saja, namun kepada life style seorang muslimah. stylish dijabarkan sebagai tujuh “f”, yaitu i wear islamic fashion, i deal with islamic finance, i consume halal food, i study an islamic fundamental education, i empowered by islamic fund, i entertained by islamic festive tourism, dan i donate to foundation (miasih, 2014). iv. arrahmah.com sebagai media online islam arrahmah.com adalah salah satu media online yang memberikan informasi tentang pengetahuan berbasis islam. arrahmah.com merupakan sebuah jaringan media islam yang bertujuan memberikan informasi berimbang tentang islam dan dunia islam di tengah-tengah arus informasi modern dan globalisasi dengan visi menebarkan islam sebagai rahmatan lil alamin, mencerahkan, dan mencerdaskan umat, serta meneladani generasi terbaik umat (salafus shaleh) (www.arrahmah.com, n.d.). media online arrahmah.com adalah media online yang dibentuk oleh muhammad jibriel abdul rahman, anak dari abu jibril, salah satu anggota islam garis keras di indonesia (rahman, 2016). arrahmah.com merupakan anak perusahaan dari arrahmah media network, yaitu sebuah jaringan media islam yang bertujuan memberikan informasi berimbang tentang islam dan dunia islam di tengah-tengah arus informasi modern dan globalisasi. arrahmah media network dalam aktivitasnya berupaya mengembangkan strategi jurnalisme investigatif, argumentatif, serta persuasif. investigatif dalam artian berimbang dengan konsep tabayyun. argumentatif yang berarti mengedepankan argumentasi kuat sekaligus ilmiah, yang bersumber dari alquran dan as-sunnah tanpa meninggalkan realitas kekinian. persuasif dalam makna berupaya untuk mengajak serta membuka diri terhadap seluruh komponen umat kepada kebaikan (www. arrahmah.com, n.d.). visi dari arrahmah.com adalah menebarkan islam sebagai rahmatan lil alamien, mencerahkan dan mencerdaskan umat, serta meneladani generasi terbaik umat (salafus shaleh). sedangkan misi dari arrahmah.com adalah dakwah menuju tatanan dunia yang lebih baik dan membangun 172 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer jaringan kerjasama secara luas demi tegaknya izzul islam wal muslimin (www. arrahmah.com, n.d.). namun demikian, arrahmah.com dipandang sebagai website yang mengandung muatan negatif sekaligus penggerak paham radikalisme atau simpatisan radikalisme sehingga menjadikannya sebagai salah satu website yang pernah diblokir pemerintah. namun, selanjutnya pada 9 april 2015, pemerintah mengaktifkan kembali 12 situs islam yang diblokir, termasuk arrahmah.com. alasannya karena pihak pengelola situs telah menemui bagian forum penanganan situs internet bermuatan negatif (fpsibn) untuk berdiskusi dan meminta pemerintah untuk menormalkan kembali situs yang telah diblokir. kemudian pemerintah membuka kembali situs, tetapi dengan syarat masih dalam pantauan fpsibn (siagan dan sumari, 2015). v. membaca ulasan arrahmah.com tentang world muslimah secara kritis pada dasarnya, world muslimah yang diklaim berbeda dengan miss world, mengusung 3s (sholeha, smart, stylish). dalam konsepnya, pemenang world muslimah tidak hanya menjadi duta fashion saja, tetapi juga menjadi duta kemanusiaan yang memiliki 5 misi sosial, diantaranya berperan aktif untukmembantu muslimah lain guna memperoleh kemudahan akses pendidikan, membantu para pengungsi yang terlantar, serta mendukung para muslimah yang berpotensi besar tetapi tidak memiliki kesempatan. terkait dengan ulasan dalam arrahmah.com, ketidaksetujuan media online arrahmah.com terhadap world muslimah dimunculkan melalui artikel tulisan naila ridla yang berjudul world muslimah budaya latah. artikel ini muncul pada tanggal 17 september 2013 dan diunggah oleh a. z. muttaqin. selain itu, ketidaksepakatan arrahmah.com terhadap kontes world muslimah juga tereksplisit dalam artikel world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah. artikel ini ditulis oleh syahrul efendi d. pada tanggal 19 september 2013, dua hari setelah artikel sebelumnya milik naila ridla diunggah. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 173 awalnya, world muslimah bernama world muslimah beauty. namun demikian, meski kata “beauty” telah dihilangkan, tak bisa dipungkiri bahwa sisi kecantikan secara fisik dari para muslimah tetap diperhitungkan. misalnya adalah ketika ada seorang muslimah yang dapat menghafal 30 juz, tetapi berbibir sumbing, memiliki gigi yang tidak beraturan, pincang saat berjalan, atau bahkan berusia lebih dari 30 tahun, pada akhirnya tidak dapat mengikuti ajang ini. sosok muslimah yang dicari dalam ajang world muslimah adalah seorang perempuan yang sholeha, smart, dan stylish, dimana konsep kesalihan seorang perempuan adalah mencakup keseluruhan pikiran, ucapan, dan perbuatan. di satu sisi, keseluruhan hal tersebut tidak dapat dinilai hanya dengan aktivitas mengaji bersama saat masa karantina saja. penulis menyatakan bahwa muslimah yang mengikuti ajang world muslimah pada akhirnya justru telah ”merenggut” kesalihannya sebagai seorang muslimah karena secara sadar telah memilih untuk memamerkan kecantikannya kepada juri dan penonton, yang dalam hal ini juga dihadiri oleh sejumlah laki-laki, lengkap dengan pemakaian make up, wewangian, serta berjalan di atas catwalk yang bertujuan untuk menarik perhatian. hal inilah yang kemudian dianggap sebagai tabarruj yang dilarang dalam islam. lebih jelas, ulasan dalam media arrahmah.com merujuk pada hadis untuk memperkuat pernyataannya, yaitu: rasulullah saw bersabda, “seorang wanita yang mengenakan wewangian kemudian melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka wanita tersebut adalah seorang pelacur.” [hr an nasa’i, abu daud, tirmidzi dan ahmad]. rasulullah saw bersabda, “wanita mana saja yang berwangiwangian lalu keluar, dan melewati satu kaum sehingga mereka mencium baunya, maka wanita itu pezina, dan setiap mata berbuat zina.” [hr annasa’i ]. untuk kategori smart, penulis menjelaskan bahwa seorang muslimah yang cerdas tidak serta mertadibuktikan melalui jawaban-jawaban saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh juri, tetapi perlu pembuktian 174 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer lewat cobaan dan ujian hidup yang teraplikasi dalam tindakan nyata. pernyataan ini diperkuat oleh qs. al-ankabut [29]: 2-3), yaitu: allah swt berfirman, “apakah manusia menyangka bahwa mereka dibiarkan berkata: “kami beriman,” tanpa diberi cobaan sedikitpun? sungguh orang-orang mukmin dahulu telah kami beri berbagai cobaan. dengan cobaan-cobaan itu allah tampakkan siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang palsu imannya.” (qs. alankabut [29] : 2-3). lebih jauh lagi, apabila seorang muslimah adalah seorang yang cerdas (smart), maka ia tidak mempertontonkan kecantikan dan kepintarannya agar dikagumi. selanjutnya adalah kriteria ketiga, yakni stylish, yang berarti sebagai gaya hidup di dalam islam. dalam islam, gaya hidup seorang muslimah harus sesuai dengan hukum syariat-nya. sementara dalam world muslimah, gaya hidup yang dimaksud dimungkinkan merujuk pada gaya hidup selama dikarantina, yang pada dasarnya dapat dikondisikan sesuai kebutuhan. menilik pada ajang world muslimah sebagai salah satu produk media, tak dapat dipungkiri bahwa dalam konsep produk media ini, adanya muatan kapitalisme mungkin saja muncul di dalamnya. melalui konsep utama bahwa pasar adalah tujuan utama sebuah media hidup, maka dalam hal ini, sisi lain world muslimah yang berupaya menawarkan nilai berbeda atas sejumlah ajang kecantikan lainnya, pada akhirnya memberikan angin segar bagi media yang menayangkan guna meraup keuntungan. banjir iklan, rating tinggi, sampai pada maraknya masyarakat yang menyaksikan kontes kecantikan ini turut menjadi penghias dalam bentuk kemasan komodifikasi agama dalam tayangan media. uraian di atas, salah satunya dimunculkan dalam artikel world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, terutama dalam paragraf pertama tulisan syahrul efendi. dinyatakan bahwa : “satu watak kapitalisme ialah tidak pernah berhenti dan selalu menemukan cara untuk mengakali, memanipulasi, dan mengeksploitasi publik demi pertumbuhan kapital. dan itulah yang – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 175 mereka lakukan kepada publik muslim dewasa ini. publik muslim dengan tololnya menerima begitu saja kriteria-kriteria syariah versi kapitalisme,” muncul istilah “syariah kapitalisme” yang dapat diartikan sebagai kemasan syariah berkonten kapitalisme atau muatan kapitalisme dalam bingkai syariah. dalam hal ini, konsep syariah kapitalisme mengarah pada bentuk komodifikasi agama melalui media. dengan mengemas komodifikasi produk media dengan daya tarik agama, maka dengan kondisi dan konteks masyarakat saat ini, dapat dikatakan mudah bagi media untuk masuk ke dalam mind masyarakat guna menyampaikan pesan ataupun sudut pandang media dalam mengemas pentingnya tayangan pada ajang world muslimah tersebut. dikatakan bahwa dalam ajang world muslimah, perempuan muslimah dikonstruksi sebagai sosok yang peduli terhadap kemanusiaan. namun demikian, sebenarnya tanpa adanya kontes muslimah ini, sudah banyak wanita salihah yang peduli dengan sesamanya. pendapat ini diperkuat dengan adanya ayat alquran, yaitu: allah berfirman, “tolong-menolonglah kalian untuk berbuat kebajikan dan ketaatan. janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (qs. al maidah [5]: 2). “segeralah kalian melakukan kebajikan-kebajikan yang diperintahkan allah kepada kalian. dimanapun kalian berada, allah pasti akan mengumpulkan kalian di akhirat. allah mahakuasa melakukan apa saja “ (qs. al-baqarah [2]: 148). kesimpulan dari artikel world muslimah budaya latah adalah fenomena world muslimah dipandang tidak mengikuti syariat. selain itu, budaya ini tidak pernah diajarkan dalam islam. lebih jelas, analisis terhadap artikel dalam media arrahmah.com antara lain adalah sebagai berikut: perangkat framing hasil pengamatan i. sintaksis headline world muslimah budaya latah dan world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah 176 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer lead penyelenggaraan world muslimah di jakarta pada tanggal 18 september 2013 yang diasumsikan sebagai ajang tandingan miss world. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) satu watak kapitalisme ialah tidak pernah berhenti, dan selalu menemukan cara untuk mengakali, memanipulasi, dan mengeksploitasi publik demi pertumbuhan kapital. dan itulah yang mereka lakukan kepada publik muslim dewasa ini. publik muslim dengan tololnya menerima begitu saja kriteria-kriteria syariah versi kapitalisme. (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) latar informasi world muslimah diklaim berbeda dengan miss world, yaitu selain mengusung penilaian 3s (sholeha, smart, dan stylish), pemenang dari ajang kontes kecantikan muslimah ini juga memiliki misi sosial yang diembannya. hanya saja perlu tolak ukur yang jelas dan sesuai syariat karena dalam kontes kecantikan, tak bisa dipungkiri, sisi kecantikan secara fisik tetap menjadi atribut utama dalam penilaian. hal ini dapat menggugurkan predikat “sholeha” pada diri seorang muslimah. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) setelah mereka berhasil memanipulasi bank syariah sebagai instrumen kapitalisme, kini yang teranyar mereka pun tengah memanipulasi event kontes kecantikan perempuan dengan label world muslimah. pembandingnya tentulah miss world yang terkenal itu. seolah mereka hendak menyampaikan pesan: “tidak perlu repot-repot. anda tetap dapat menikmati indahnya perempuan, tanpa harus melanggar syariat.” persis seperti yang mereka buat terhadap bank syariah. masalahnya, benarkah hal itu tidak melanggar syariat? (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) kutipan sumber menyantumkan hadis riwayat an-nasa’i, abu daud, tirmidzi, dan ahmad. selain itu juga dicantumkan firman allah, yaitu: qs. al-‘ankabut (29): 2-3, qs. almaidah (5): 2, dan qs. al-baqarah (2): 148. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) pernyataan penulis naila ridla dalam world muslimah budaya latah mengemukakan sejumlah alasan mengenai ketidaksetujuannya terhadap ajang world muslimah dengan menyantumkan dalil-dalil alquran dan hadis, yaitu: – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 177 • rasulullah saw bersabda, “seorang wanita yang mengenakan wewangian kemudian melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka wanita tersebut adalah seorang pelacur.” [hr an nasa’i, abu daud, tirmidzi dan ahmad]. • wanita mana saja yang berwangi-wangian lalu keluar, dan melewati satu kaum sehingga mereka mencium baunya, maka wanita itu pezina, dan setiap mata berbuat zina [hr annasa’i]. • allah swt berfirman, “apakah manusia menyangka bahwa mereka dibiarkan berkata: “kami beriman,” tanpa diberi cobaan sedikitpun? sungguh orang-orang mukmin dahulu telah kami beri berbagai cobaan. dengan cobaan-cobaan itu allah tampakkan siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang palsu imannya.” (qs. al-ankabut [29] : 2-3). • allah berfirman, “tolong-menolonglah kalian untuk berbuat kebajikan dan ketaatan. janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (qs. al maidah: 2). • “segeralah kalian melakukan kebajikan-kebajikan yang diperintahkan allah kepada kalian. dimanapun kalian berada, allah pasti akan mengumpulkan kalian di akhirat. allah mahakuasa melakukan apa saja “ (qs. al-baqoroh: 148). (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) syahrul efendi dalam tulisannya world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, menyatakan ketidaksetujuannya dengan ajang world muslimah karena adanya muatan bisnis dan komodifikasi agama yang dibawa oleh ajang tersebut. uraian ini dapat dilihat dari pernyataan syahrul efendi dalam kutipan sebagai berikut: "demikian pun dengan world muslimah yang diadakan di indonesia dewasa ini. kita bisa pastikan bahwa motif kontes tersebut sematamata bisnis, tapi dengan seenaknya memanipulasi simbol-simbol islam untuk meraih perhatian publik. kalau bukan bisnis, tentulah mereka tidak akan mencari-cari sponsor dan menonjolkan logo sponsor itu di setiap media yang mereka gunakan. 178 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer prinsip sponsor ialah hanya akan mendukung suatu acara, jika benar-benar memberikan keuntungan, baik terhadap citra lembaga mereka, maupun lainnya," (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) penutup menjelaskan bahwa ajang kontes world muslimah tidak pernah diajarkan dalam islam. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) menyatakan bahwa pada akhirnya komodifikasi agama dalam world muslimah mengindikasikan adanya perkawinan bentuk konsep kapitalisme agresif dengan konsep syariah di indonesia. (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) ii. skrip what world muslimah budaya latah dan world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah where when 17 september 2013 dan 19 september 2013 who world muslimah why world muslimah diklaim berbeda dengan miss world dengan mengusung penilaian 3s (sholeha, smart, dan stylish), dalam hal ini juga termasuk mengenakan pakaian yang syar’i dan menutup aurat, serta memiliki misi sosial yang diemban oleh pemenang world muslimah. meskipun begitu, kecantikan fisik, tak dapat dipungkiri, menjadi atribut utama dalam penilaian. hal ini, menurut naila ridla, ajang world muslimah memiliki kerancuan karena bertentangan dengan syariat. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) world muslimah dinyatakan sebagai salah satu kontes kecantikan perempuan berlabel islam. dalam hal ini, world muslimah dinyatakan sebagai instrumen kapitalisme layaknya bank syariah, yang mana menyampaikan pesan bahwa : “tidak perlu repot-repot. anda tetap dapat menikmati indahnya perempuan, tanpa harus melanggar syariat.” (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 179 how mencantumkan ayat alquran dan hadits dalam memaparkan ketidaksetujuannya tentang konsep penilaian dari world muslimah. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) menguraikan serta menganalisis bagaimana world muslimah yang diadakan di indonesia merupakan sebuah ajang kecantikan yang turut membawa motif bisnis. dalam hal ini, motif bisnis tersebut dipandang sebagai ajang yang memanipulasi simbol-simbol islam, salah satunya hijab, untuk menarik perhatian masyarakat. (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) iii. tematik koherensi: paragraf, preposisi, hubungan antar kalimat merujuk pada artikel pertama, world muslimah budaya latah, menekankan adanya aspek tematik bahwa konsep world muslimah pada dasarnya tidak pernah diajarkan dalam islam. • paragraf pertama, memaparkan tentang munculnya world muslimah yang dianggap sebagai event tandingan dari miss world. • paragraf kedua, memaparkan tentang perbedaan penilaian pada world muslimah. jika pada miss world yang dinilai adalah 3b (brain, beauty, behavior), sedangkan pada world muslimah, menurut pernyataan dari eka shanty selaku ceo dari world muslimah, yang dinilai adalah 3s (smart, sholeha, stylish). selain itu, yang terpilih sebagai pemenang juga akan menjadi duta kemanusiaan. • paragraf ketiga, pernyataan lebih lanjut oleh eka shanty tentang 5 misi sosial yang diemban oleh pemenang world muslimah. • paragraf keempat, memaparkan tentang pengklaiman bahwa world muslimah berbeda dengan miss world karena pakaian yang dikenakannya menutup aurat dan syar’i. • paragraf kelima, memaparkan tentang kecantikan fisik tetap menjadi atribut utama dalam penilaian meskipun kata beauty sudah tidak disematkan pada world muslimah. disini dijelaskan bahwa muslimah yang tidak cantik seperti sumbing, gigi tidak beraturan, pendek tidak bisa mengikuti acara ini. • paragraf kelima, memaparkan tentang kategori umur finalis yang mengikuti ajang world muslimah harus dibawah 30 tahun tang secara kasat mata berada pada kondisi “paling menarik”. 180 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer • paragraf keenam, memaparkan tentang penilaian 3s pada muslimah dalam world muslimah sangat tak cukup hanya dinilai dari aktifitas mengaji bersama dan saat dalam masa karantina yang hanya beberapa hari. • paragraf ketujuh, memaparkan tentang mengikuti ajang world muslimah dapat menggugurkan predikat salihah pada dirinya karena finalis muslimah telah memilih dengan sadar untuk memamerkan kecantikannya. karena tidak layak bagi seorang muslimah yang sholehah membanggakan dan melombakan kecantikan diri yang datangnya dari allah. lagipula “sholehah” hanya dipandang allah hanya berdasarkan taqwa, bukan cantiknya, apalagi menangnya pada kontes muslimah. • paragraf kedelapan, memaparkan bahwa jika benar “sholehah” yang diusung pada miss world, maka seharusnya tidak ada aksi berjalan lengak-lenggok di atas catwalk yang tentunya agar menarik perhatian, sementara banyak laki-laki non-muhrim yang menatap dengan penuh kekaguman. • paragraf kesembilan, memaparkan tentang terdapat tabarruj dalam world muslimah karena peserta memakai make up, lipstik dan wewangian. meskipun menutup aurat, hal tersebut dilarang dalam islam, karena menurut islam, bersolek hanya boleh dilihat oleh suami atau mahrom. pernyataan ini dikuatkan dengan dalil hadis yang mengatakan bahwa seorang wanita yang mengenakan wewangian kemudian melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka wanita tersebut adalah seorang pelacur. hadis ini diriwayatkan oleh an-nasa’i. abu daud, tirmidzi dan ahmad. selain itu juga menyantumkan hadis riwayat an-nasa’i yang mengatakan bahwa wanita mana saja yang berwangiwangian lalu keluar, dan melewati satu kaum sehingga mereka mencium baunya, maka wanita itu pezina, dan setiap mata berbuat zina. • paragraf kesepuluh, memaparkan tentang smart. smart dalam islam tak sekedar pintar dan cerdas saat menjawab berbagai macam pertanyaan, tetapi perlu pembuktian lewat cobaan hidup yang teraplikasi dalam tindakan nyata. hal ini diperkuat dengan firman allah: “apakah manusia menyangka bahwa mereka dibiarkan berkata: “kami beriman,” tanpa diberi cobaan sedikitpun? sungguh orang-orang mukmin dahulu telah kami beri berbagai cobaan. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 181 dengan cobaan-cobaan itu allah tampakkan siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang palsu imannya.” (qs. al-ankabut [29]: 2-3). • paragraf kesebelas, memaparkan tentang pengaplikasian smart pada perilaku keseharian sebagai amalan yang ikhlas, ridho, dan tidak riya. orang smart berpikir jauh kedepan, bahkan kepada kehidupan setelah kematian. bukan justru dipertontonkan dan dinilai orang yang pasti terdapat laki-laki. hal ini dianggap telah merelakan diri dibenci dan dilakanat allah. • paragraf kedua belas, memaparkan tentang stylish yang dalam islam gaya hidup seseorang harusnya terlihat nyata dari ucapan dan perbuatannya selama ia hidup, sementara dalam world muslimah gaya hidup bisa saja dibuat-buat. bahkan memilih dengan sadar mengadakan, menyelenggarakan dan mengikuti world muslimah pun adalah bagian dari gaya hidup muslimah yang tak sesuai dengan syari’ah. • paragraf ketiga belas, memaparkan tentang tanpa adanya ajang world muslimah, banyak wanita sholehah yang peduli terhadap sesamanya. bukan dengan ajang world muslimah akan menghasilkan wanita yang peduli dengan kemanusiaan. tanpa world muslimah pun banyak wanita yang memiliki stylish islam karena wanita sholehah hanya mengharap penilaian allah semata, bukan dari penilaian manusia. peduli dan tolong-menolong terhadap sesama pun dapat dilakukan kapan pun. pernyataan ini dikuatkan dengan firman allah: “tolong-menolonglah kalian untuk berbuat kebajikan dan ketaatan. janganlah kalian tolongmenolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (qs. al-maidah: 2) “segeralah kalian melakukan kebajikankebajikan yang diperintahkan allah kepada kalian. dimanapun kalian berada, allah pasti akan mengumpulkan kalian di akhirat. allah mahakuasa melakukan apa saja.” (qs. albaqoroh: 148). • paragraf keempat belas, memaparkan tentang kesimpulan yang menjelaskan bahwa ajang kontes wanita tak pernah diajarkan dalam islam. hanya allah yang dapat menilai hamba-nya dan yang mencatat hanyalah malaikat raqib dan atid bukanlah manusia. 182 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer • paragraf kelima belas, mengemukakan pernyataan dari eka shanty yang mengatakan bahwa meski berlabel world muslimah, tetapi terdapat beberapa bintang tamu tidak berhijab yang mengisi acara tersebut. lebih lanjut ia mengatakan bahwa sholeha, smart, dan stylish tidak hanya dipakai oleh perempuan berhijab saja, tetapi juga dapat dipakai oleh perempuan manapun, agama apapun. • paragraf keenam belas, pernyataan yang dikembalikan kepada pembaca. selanjutnya pada artikel kedua, world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, dinyatakan bahwa aspek ajang world muslimah dianalogikan sebagai bentuk tayangan yang memuat aspek bisnis dan kapitalisme sehingga sarat akan bentuk komodifikasi agama. • paragraf pertama, menjelaskan tentang muatan kapitalisme yang disinyalir menyerang para umat muslim, salah satunya melalui ajang kecantikan yang menawarkan kriteria syariah dalam versi kapitalisme. • paragraf kedua dan ketiga merujuk pada analogi tayangan world muslimah dengan bank syariah, dimana keduanya sama halnya dipandang sebagai instrumen kapitalisme. • paragraf keempat memaparkan tentang penjelasan world muslimah sebagai ladang bisnis, yakni melalui manipulasi simbol-simbol islam untuk menarik dukungan dan perhatian publik. paragraf keempat ini juga menjelaskan bagaimana salah satu simbol islam, yakni hijab, justru tidak dipandang berada pada esensi awalnya lagi, melainkan lebih kepada hijab yang dikemas dalam bentuk komodifikasi. selain itu, penulis menjelaskan bagaimana seorang kontestan dalam world muslimah justru secara sengaja memamerkan dirinya secara ragawi dan mempublikasikannya secara luas. hal ini yang kemudian tidak dianggap sesuai dengan hukum dan syariat islam. • paragraf kelima menjelaskan adanya peneguhan pernyataan bahwa ajang world muslimah dinyatakan sebagai bentuk “perkawinan” kapitalisme agresif dengan konsep syariah di indonesia. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 183 iv. retoris leksikon, grafis dan metafora penggunaan kata memamerkan, membanggakan, melombakan, laknat, pezina dan pelacur. (world muslimah budaya latah, 17 september 2013) penggunaan kata “mengakali, memanipulasi, dan mengeksploitasi” dalam konteks publik atau masyarakat terhadap pertumbuhan kepentingan kapital (bisnis). menggunakan pilihan kata “perkawinan kapitalisme agresif dengan aspek syariah” sebagai bentuk metafora atas bentuk komodifikasi agama, terutama melalui simbol tertentu dalam merepresentasikan perempuan islam, yakni hijab. (world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, 19 september 2013) melalui empat dimensi struktural teksdalam analisis framing gagasan pan dan kosicki, adanya frame dalam berita berfungsi sebagai organisasi ide yang dihubungkan dengan elemen-elemen berbeda pada sebuah teks berita, seperti kutipan sumber, latar informasi, sampai pada sejumlah pernyataan lengkap dengan pilihan diksi yang digunakan. terkait artikel world muslimah budaya latah dari naila ridla, dapat disimpulkan bahwa media online arrahmah.com sependapat dengan isi dari artikel ini, yaitu tidak setuju dengan penyelenggaraan world muslimah. artikel tersebut berupa artikel bebas yang memuat opini penulis mengenai ketidaksetujuannya terhadap ajang world muslimah yang dinilai tidak sesuai dengan syara’. lebih lanjut, adanya sejumlah elemen berupa sumber kutipan dipadukan 184 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer dengan mencantumkan sumber referesi ilmiah guna menguatkan konten artikel, terutama dengan dalil-dalil alquran dan hadits. dalam analisis sintaksis, lead dan latar informasi dijelaskan tentang ketidaksetujuan penulis terhadap world muslimah karena dinilai mengikuti miss world. hal ini ditinjau dari tiga hal dasar pelaksanaannya, yaitubahwa penilaian miss world adalah berdasar 3b (brain, beauty, behaviour), sedangkan world muslimah mengusung nilai 3s (sholeha, smart, dan stylish). selain itu, pemenang dari world muslimah juga diharuskan mengemban misi sosial kemanusiaan yang harus dilakukan. meski demikian, ajang world muslimah dinilai penulis tidak mengikuti syariat sehingga muslimah yang mengikuti ajang ini sebenarnya telah menanggalkan sisi kesalihannya. di bagian penutup, terdapat kesimpulan dari penulis bahwa sebuah kontes kecantikan pada dasarnya tidak pernah diajarkan dalam islam, tak terkecuali pada contoh ajang world muslimah. terakhir, dilihat dari sisi sintaksis, simpulan artikel yang dianalisis sudah dapat mengantarkan pembaca kepada ide yang dikemukakan oleh penulisterkait pandangan ketidaksetujuannya terhadap penyelenggaraan world muslimah. begitu pula dalam artikel world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah, sesuai dengan judul yang diangkat, penulis mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap ajang world muslimah melalui bentuk analogi dan analisis dalam konteks kapitalisme. secara tematik dijelaskan bahwa world muslimah memuat aspek bisnis dan kapitalisme yang bertujuan untuk memodifikasi agama melalui simbol-simbol yang dimanipulasi, salah satunya hijab. perempuan islam dikonstruksi sebagai sosok yang harus memiliki ketiga kriteria dalam world muslimah. namun demikian, penulis memandang terdapat aspek tersembunyi yang berkenaan dengan motif mengapa world muslimah ini seolah gencar dilaksanakan. salah satunya adalah terkait dengan apa yang diistilahkan oleh penulis sebagai bentuk perpaduan kapitalisme agresif dengan aspek syariah islam di indonesia, dan hal inilah yang kemudian dijual sebagai bentuk komodifikasi melalui simbol agama. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 185 berdasarkan analisis struktur skrip, kedua artikel tidak memenuhi keseluruhan unsur 5w+1h dalam pemberitaannya. unsur yang tidak tercantum adalah where, yang menunjukkan di mana peristiwa tersebut terjadi. akan tetapi, ketidaksetujuan terhadap kontes kecantikan muslimah ini pun dipaparkan dengan tegas, begitupula dengan alasan-alasannya yang beberapa dilengkapi dengan dalil alquran dan hadits. sedangkan berdasarkan analisis struktur tematiknya, arrahmah.com berupaya menginformasikan bahwa world muslimah sebenarnya tidak diajarkan dalam islam dan tidak mengikuti syariat agama. merujuk pada segi koherensi yang melihat kepaduan wacana sehingga bersifat komunikatif dan mengandung sebuah ide (wijana dan rohmadi, 2009), adanya pertalian atau jalinan antarkata serta proposisi atau kalimat, terkhusus pada artikel world muslimah budaya latah, ini termasuk dalam koherensi pembeda atau kalimat satu dipandang sebagai kebalikan dari kalimat lainnya (eriyanto, 2002). dalam artikel, hampir setiap paragraf terdapat perbandingan antara nilai yang diterapkan pada world muslimah dan nilai yang diterapkan dalam islam. pada beberapa kalimat terdapat kata “sementara” untuk membandingkan kalimat satu dan kalimat yang lainnya dalam artikel ini, yaitu: pertama, pada paragraf keenam, yaitu “perlu tolak ukur yang jelas dan sesuai syariat. bisakah seseorang dikatakan salihah sementara tindakannya justru melanggar hukum syara.” kedua, pada paragraf ketujuh, yaitu: “bila benar ‘sholeha’ yang diusung, seharusnya dalam ajang world muslimah tidak ada aksi lenggak-lenggok, runway di atas catwalk, apalagi jalannya pun diatur dengan koreografi, yang tentunya agar menarik perhatian. lalu untuk apa hal itu tetap dilakukan? dan apakah tindakan seperti itu menunjukkan sholiha? sementara ratusan pasang mata pria nonmuhrim bebas menatap lekat, mungkin dengan penuh kekaguman atas benda yang bergerak indah nan cantik bernama wanita.” ketiga, pada paragraf kedua belas, yaitu: “pendek kata, muslimah yang baik harus mengikatkan diri segala hal dalam dirinya pada aturan sang maha rahman. tutur katanya, 186 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer dan tindakannya harus sesuai dengan hukum allah. tak setitik pun berniat menyalahi syariat-nya. sementara dalam world muslimah bisa saja gaya hidup dibuat-buat, atau dikondisikan sesuai kebutuhan.” selanjutnya dari segi retoris, penggunaan kata “memamerkan” dalam kbbi berarti mempertunjukkan dan membanggakan (kekayaan, kehebatan, dll); mempertunjukkan (hasil karya); memperagakan (kbbi, 1989), “membanggakan”dalam kbbi berarti menimbulkan perasaan bangga; menjadikan besar hati; mengagungkan (kbbi, 1989), “melombakan” dalam kbbi berarti menjadikan perlombaan (kbbi, 1989), menegaskan bahwa ajang world muslimah, salah satunya bertujuan untuk memamerkan kecantikan fisik dan kepintaran yang dimiliki oleh para kontestan sehingga hal ini dinilai tidak sesuai dengan syariat islam. seringnya kata-kata ini diulang dalam artikel oleh penulis, maka dapat dikatakan bahwa terdapat penekanan dalam makna yang akan dimunculkan oleh penulis dalam tulisannya. selanjutnya, penulis dalam artikel pertama juga menggunakan kata “pezina” yang berasal dari asal kata “zina”, yang bermakna perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dengan hubungan pernikahan; perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. pezina adalah orang yang melakukan zina (kbbi, 1989). selain itu juga muncul kata “pelacur”yang dalam kbbi (1989), berarti perempuan yang melacur dan kata “laknat” yang berarti kutuk; orang yang terkutuk, sedangkan kata melaknat adalah mengutuk (kbbi, 1989). katakata ini dapat menggambarkan bagaimana penulis jelas menyampaikan ketidaksepakatannya dengan world muslimah ini. secara sarkas, penulis seolah ingin menegaskan bahwa mengikuti ajang pemilihan world muslimah ini, sama halnya dengan melanggar syariat karena islam tidak pernah mengajarkan adanya ajang mempertontonkan diri dan kemampuan layaknya pada world muslimah. – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 187 masih dalam segi retoris bahasa, artikel kedua lebih menekankan adanya kata “mengakali”, “memanipulasi”, dan “mengeksploitasi”. kata “mengakali” berasal dari kata “akal” yang bermakna daya pikir (untuk memahami sesuatu); pikiran; ingatan. namun, kata “akal” juga dapat diartikan sebagai tipu daya; muslihat; kecerdikan; kelicikan (kbbi, 2002) sehingga istilah “mengakali” apabila disesuaikan dengan konteks kalimat dalam artikel tersebut bermakna memberdayakan; menipu secara licik sekali (kbbi, 2002). selanjutnya adalah kata “memanipulasi”, dimana kata ini berasal dari kata dasar “manipulasi” yang berarti upaya kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain, tanpa orang itu menyadarinya; penyelewengan, penggelapan (kbbi, 2002). terkait dengan aspek pragmatis dalam penggunaaan kata dalam artikel terkait, jelas yang dimaksud dengan “memanipulasi” adalah berbuat curang atau menyelewengkan (menggelapkan). dalam konteks ini, bentuk manipulasi dilakukan melalui ajang world muslimah melalui simbol-simbol islam, salah satunya hijab, untuk memperoleh pangsa pasar yang tinggi terhadap bentuk komodifikasi agama yang dilakukan. terakhir adalah kata “mengeksploitasi” dari kata “eksploitasi” yang berarti pengusahaan, pendayagunaan; pemanfaatan untuk kepentingan sendiri, pengisapan, pemerasan (kbbi, 2002). sesuai dengan konteks kalimat yang digunakan dalam artikel, dapat dikatakan bahwa makna “mengeksploitasi” diartikan sebagai pemanfaatan untuk kepentingan diri sendiri. dalam hal ini, adanya ajang world muslimah pada akhirnya diarahkan pada bentuk eksploitasi publik ataupun masyarakat, guna dimanfaatkan demi pertumbuhan kapital dan modal sehingga sudah barang tentu bahwa adanya manipulasi simbol-simbol islam dalam world muslimah dikemas serta dikonstruksi sedemikian rupa sebagai bentuk komodifikasi agama. dari segi grafis atau gambar, pengarang mencantumkan gambar atau foto dari sejumlah finalis world muslimah menghadiri konferensi pers jelang grand final penganugerahan 3rd annual award world muslimah 2013 188 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer di jakarta. kesemua finalis ini tampak menonjolkan kecantikan fisik dan tabarruj-nya, yakni melalui penggunaan make up, gaun yang indah, serta tatanan hijab modern yang dikemas sedemikian rupa. vi. kesimpulan berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka hasil dari penelitian terhadap artikel world muslimah budaya latah dan world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah yang diunggah dalam media online arrahmah. com, dapat dilihat melalui segi bahasa yang disajikan serta diksi yang digunakan. arrahmah.com secara tegas tidak sependapat dengan adanya pemilihan kontes muslimah ini. secara eksplisit, hal tersebut dapat dilihat dari kalimat opini yang diuraikan dalam artikel. opini tersebut juga mengandung unsur dakwah yang menekankan bahwa dengan mengikuti world muslimah, maka perempuan tersebut dipandang telah “merenggut” sisi kesalihan yang dimilikinya dan terdapat penekanan bahwa ajang ini dipandang tidak sesuai dengan syariat islam. mendukung pernyataan tersebut, dinyatakan pula bahwa ajang world muslimah merujuk pada bentuk komodifikasi agama dalam bentuk eksploitasi serta manipulasi simbolsimbol islam, salah satunya hijab, guna melanggengkan kepentingan bisnis dan kapitalis. terkait dengan penelitian ini, masyarakat terutama para perempuan, hendaknya lebih kritis dalam menghadapi sejumlah pengaruh budaya populer yang ada di masyarakat, tak terkecuali tentang apa yang disiarkan melalui layar media. dalam hal ini, perlu adanya review dan peninjauan kembali mengenai sejumlah budaya baru yang muncul, tak terkecuali yang tersiar melalui layar media. di samping itu, media secara khusus juga harus memperhatikan mengenai sejauh mana frame, angle, ataupun sudut pandang informasi yang disampaikan. dalam tujuannya, agar maksud berita ataupun informasi dapat disampaikan secara berimbang, beritikad baik, serta tidak bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak. penelitian ini diharapkan dapat diperluas dengan penelitianpenelitian selanjutnya, terutama dalam pengembangan kasus sejenis – vol. 2, no. 2, juli – desember 2017 | 189 melalui media yang berbeda ataupun perangkat analisis framing lain yang mungkin lebih sesuai. mengingat masih terbatasnya objek penelitian yang dibahas, terutama terkait informasi ataupun teks yang dibingkai, maka diharapkan penelitian selanjutnya dapat menyertakan sejumlah informasi sebagai pelengkap guna mencapai validitas data serta hasil penelitian yang memadai. daftar pustaka ayu, rizka kurnia. (2016). “objektifikasi dan komodifikasi tubuh perempuan berkedok agama, studi kasus: pemilihan putri muslimah indonesia 2016”, dalam konferensi internasional feminisme: persilangan identitas, agensi dan politik (20 tahun jurnal perempuan). bungin, m. burhan. (2006). sosiologi komunikasi: teori, paradigma, dan diskursus teknologi komunikasi di masyarakat. jakarta: kencana. burton, graeme. (2002). media dan budaya populer, ed. alfathri adlin. yogyakarta: jalasutra. d, syahrul efendi. (2013). “world muslimah, strategi kapitalisme manipulasi syariah”, dalam https://www.arrahmah.com/2013/09/19/ world-muslimah-strategi-kapitalisme-manipulasi-syariah/ (diakses tanggal 7 desember 2017). eriyanto. (2002). analisis framing: konstruksi, ideologi, dan politik media. yogyakarta: lkis. ken, miichi. (2016). “looking at links and nodes: how jihadists in indonesia survived”, jurnal southeast asian studies, vol. 5, no. 1, april 2016. miarso, yusufhadi. (1986). teknologi komunikasi pendidikan: pengertian dan penerapannya di indonesia. jakarta: pustekkom dikbud dan cv rajawali. miasih, turi. (2014). “konstruksi perempuan muslim dalam pemberitaan ajang world muslimah 2013 di kompas.com”, skripsi fakultas dakwah dan ilmu komunikasi uin syarif hidayatullah, jakarta. muftiarini, ainun fika. (2013). “world muslimah bukti kesetaraan wanita muslim, dalam https://lifestyle.okezone.com/ r e a d / 2 0 1 3 / 0 6 / 3 0 / 1 9 5 / 8 2 9 6 3 8 / wo r l d m u s l i m a h b u k t i 190 | izziya putri ananda – world muslimah sebagai budaya populer kesetaraan-wanita-muslim, diakses pada 20 september 2017. rahman, taufiqur. (2016). “islamic identity online: the discourse of umat and jihad in online news services in indonesia”. thesis. school of social science of the university of western australia. ridla, naila. (2013). “world muslimah budaya latah”, dalam https:// www.arrahmah.com/2013/09/17/world-muslimah-budayalatah/. (diakses pada 12 september 2017). siagan, bonan dolok oktavianus dan arwin d. w. sumari. (2015). “radicalism discourse analysis on online sites in indonesia”. jurnal pertahanan, vol. 1, no. 2, may-agustus 2015. sobur, alex. (2012). analisis teks media: suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik, dan analisis framing. bandung: pt. remaja rosdakarya. sugiarto, eko. (2015). menyusun proposal penelitian kualitatif: skripsi dan tesis. yogyakarta: suaka media. tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. (1989). kamus besar bahasa indonesia. jakarta: balai pustaka. _______. (2002). kamus besar bahasa indonesia. jakarta: balai pustaka. wijana, i dewa putu. dan muhammad rohmadi. (2009). analisis wacana pragmatik: kajian teori dan analisis. surakarta: yuma pustaka. https://web.facebook.com/pg/theworldmuslimahfoundation/ about/?ref=page_internal, diakses pada 19 september 2017. https://www.arrahmah.com/about. (diakses pada 14 september 2017). https://www.arrahmah.com/about. (diakses pada 18 desember 2016). https://www.similarweb.com/website/arrahmah.com. (diakses pada 3 januari 2017). pola komunikasi di pesantren: studi tentang model komunikasi antara kiai, ustadz, dan santri di pondok pesantren tmi al-amien prenduan rudi hartono dosen sosiologi pendidikan di fkip universitas djuanda bogor abstrak interaksi sosial adalah proses komunikasi yang senantiasa menyambung hubungan interpersonal manusia yang satu dengan yang lainnya. setiap peristiwa komunikasi mesti membangun sebuah model komunikasi, yang menjadi indentitas individu atau sekelompok manusia. kegiatan komunikasi sudah terjadi secara rutin dalam kehidupan manusia sehari-hari, sehingga perlu kiranya memperhatikan dari setiap proses komunikasi sebagai penentuan dan tindakan korektif pada model komunikasi itu sendiri. penelitian ini mendiskripisikan model proses komunikasi kiai, ustadz dan santri pondok pesantren tmi al-amien selama selama 24 jam pada kegiatan formal dan non-formal. metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. peneltian ini menganalisis proses komunikasi dengan menggunakan model transaksi, model transmisi, model ritual dan ekspresif, model publisitas, dan model resepsi. hasil analisa yang ditemukan, bahwa model komunikasi kiai, ustadz, dan santri adalah: pertama. pada saat acara penerimaan santri baru, acara dialog jum’at, dan ketika menangani santri yang bermasalah arus komunikasi yang digunakan dua arah, dengan menyepakati model komunikasi devito. kedua. ketika acara perlantasi, arus komunikasi yang digunakan satu arah, dengan menyentuh model komunikasi yang diterbitkan oleh harold dwight lasswell. keywords: social interaction, communication pattern, pondok pesantren http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 iain surakarta issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alamat korespondensi: e-mail: rahel_rudi@yahoo.com 68 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren a. pendahuluan pesantren memiliki tradisi yang kuat dalam mensosialisasikan nilainilai dan menurunkan pemikiran para pendahulunya dari generasi ke generasi. para pemimpin pesantren, yaitu kiai dan nyai adalah tokoh utama dalam proses ini. transimisi ilmu yang dilakukan oleh seorang kiai dan nyai berlangsung secara monolog, mengingat posisi tradisional mereka sebagai pemegang otoritas keagamaan. oleh karena itu, transmisi keilmuan yang berlangsung di pesantren lebih bersifat dogmatis dan ideologis (ema, 2010:1). dalam posisi ponpes sebagai lembaga tempat berprosesnya pembudayaan bagi para kiai, ustadz, dan santri, yang berada di tengah-tengah kehidupan suatu masyarakat sub-kultul (intrabudaya), ponpes merupakan konsentrasi yang tidak dipisahkan dengan kondisi lingkungannya, termasuk budaya yang berkembang di sekitar ponpes. abstract social interaction is a communication process that connects human interpersonal relationship among people. each communication process must build a communication model that becomes an individual’s or group’s identity. communication activities have been conducted regularly in the daily life so it needs to be observed, evaluated and corrected, especially related to its communication models. the research describes the communication process among kiai, ustadz (teachers), and santri (students) of tmi al-amien in 24-houractivities, formal and non-formal activities. the method of the research is descriptive qualitative with phenomenological approach. it analyzes the communication process using the transaction, transmission, ritual, expressive, publicity and reception models. the result of analysis includes the two models of communication among kiai, ustadz (teachers), and santri (students): first, in the process of new students acceptance, friday dialog program, and student conseling, the communication is modeled as two-direction communication dealing devito’s communication model, second, in perlantasi program, the communication model used is one-direction communication dealing with harold dwight lasswell’s communication model. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 69 sebagai lembaga pendidikan yang berlatar belakang agama islam sudah barang tentu model komunikasi yang diaplikasikan harus fokus dan dikembangkan ke arah yang konstruktif. ponpes harus lihai untuk menjadikan apresiasi budaya lokal sebagai salah satu strategi dalam berintegrasi dengan masyarakat di sekitarnya. bahkan ponpes merupakan sub-kultur yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri. jika ada pesantren yang ekslusif maka seperti hidup di atas menara gading, maka sejatinya dia telah kehilangan akar historis dan sosiologis kehadiran pesantren. pondok pesantren sungguh pun sebagai sebuah lembaga pendidikan tradisional islam, namun dalam perkembangannya menyelenggarakan sistem pendidikan formal. nilai-nilai dan norma-norma kepesantrenan yang tadinya sangat sentral, sekarang hanya dilengketkan sebagai nilai tambah (added value) pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang didirikan. perubahan ini terjadi terutama setelah belanda pada abad 19 memperkenalkan sistem pendidikan barat, sebuah sistem pendidikan yang menurut zamakhsyari dhofir (1982:39) melahirkan lulusan yang kemudian menjadi golongan terdidik yang dapat mengganti kedudukan kiai sebagai kelompok inteligensia dan pemimpin-pemimpin masyarakat. perubahan dari sistem semata pondok pesantren ke sistem pendidikan formal itu dalam literatur kepesantrenan menurut zamakhsyari dhofir, (1982, 39) lazim disebut “perubahan sistem pesantren ke sistem madrasah” atau “dari sistem halaqah ke sistem klasikal”. perubahan ini ternyata berhasil menarik kembali perhatian masyarakat jawa ke pesantren. perubahan yang demikian hingga kini belum dapat menarik perhatian para peneliti untuk melihat bagaimana kiai sebagai pemeran sentral dalam sebuah pesantren menerapkan kekuasaan dan otoritasnya ke dalam praktek-praktek kependidikan. kiai biasanya selalu dilihat sebagai pemimpin informal keagamaan suatu masyarakat tertentu (informal leader of society) dan tidak dilihatnya secara khusus sebagai pemimpin manajemen pendidikan (formal leader of educational intitute). karena itu maka setiap 70 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren pembahasan tentang tipe kekuasaan dan otoritas kiai selalu mengidentifikasi “kharismatik” dan “otoriter” sebagai modelnya. asumsi “kharismatik” didasarkan semata pada alasan kiai itu pemimpin tradisonal yang kaya dengan sumber keteladanan dan moral. sementara “ototiter” yang biasanya dikonotasikan pada makna otoritarianisme semata didasarkan pada kekuasaan kiai yang sangat sentral dan tidak dapat dilawan oleh siapapun kecuali oleh kiai lain yang lebih besar dan mantan gurunya (zamakhsyari dhofir, 1982:56). model komunikasi di pesantren dapat dilihat dari bagaimana seorang kiai, ustadz, dan santri dalam berintraksi. pemahaman mengenai model ini dijelaskan oleh liliweri (2010:74) bahwa model merupakan contoh, teladan, atau tiruan untuk mewakili “sesuatu” yang asli. dari model itulah kita dapat membayangkan “sesuatu” yang asli. dalam semua ilmu pengetahuan, para ilmuan sering menggunakan model untuk menjelaskan suatu teori, konsep dan proposisi tentang suatu yang abstrak. dilihat dari sisi proses komunikasi di pesantren, hampir seluruh pesan yang disampaikan pada hakikatnya adalah keagamaan. sebaliknya dari sisi keagamaan, pelestarian keagamaan pada hakikatnya dicapai melalui proses komunikasi. proses komunikasi antara kiai, ustadz, dan santri dapat dilakukan di berbagai macam aktivitas-rutinitas diantaranya; proses pemebelajaran klasikal dan tutorial, latihan retorika, kegiatan organisasi, dialog mingguan dan sebagainya. semua kegiatan tersebut mengkonstruksi berbagai macam model komunikasi yang disesuaikan dengan strata sosial, psikologis, dan situasi. atas dasar itu maka penulis berusaha untuk melihat secara objektif proses komunikasi di pesantren antara kiai, ustadz, dan santri yang merupakan bagian unsur-unsur terbentunya sebuah pesantren. aplikasi kekuasaan dan otoritas kiai dalam menjalankan tugas-tugas manajemen pendidikan seringkali mengundang persepsi yang beragam di kalangan ustadz dan santri, sehingga hal tersebut berinplikasi pada aktivitas mereka sehari-hari yang akhirnya terbentuk sebuah budaya. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 71 kerangka teori sejak dilahirkan, manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang menjadi wadah kehidupannya. ia memerlukan bantuan dari orang lain disekitarnya. untuk itu ia melakukan komunikasi. dapat dikatakan bahwa secara kodrati manusia merasa perlu berkomunikasi sejak masih bayi sampai akhir hayatnya, atau ungkapan lain untuk menggambarkan hal ini adalah bahwa secara emperis tiada kehidupan tanpa komunikasi. sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk berbicara, tukar menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, dan sebagainya. berbagai keinginan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kegiatan komunikasi dengen orang lain dalam suatu sistem sosial tertentu. (suranto, 2010:1). istilah komunikasi kian hari kian populer. begitu populernya sampai muncul berbagai macam istilah komunikasi. ada komunikasi timbal balik, komunikasi tatap muka, komunikasi langsung, komunikasi tidak langsung, komunikasi vertikal, komunikasi horisontal, komunikasi dua arah dan lain sebagainya. sebenarnya istilah-istilah seperti ini tidak perlu membingungkan kita. apapun istilahnya bila kita tetap berpijak pada objek formal ilmu komunikasi dan memahami ruang lingkupnya, maka semua istilah itu dapat diberi pengertian secera jelas dan dapat dibedakan menurut karakteristiknya. (cangara, 2009:13). komunikasi merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. dan bahkan komunikasi telah menjadi suatu fenomena bagi terbentuknya suatu masayarakat atau komunitas yang terintegrasi oleh informasi, di mana masing-masing individu dalam masyarakat itu sendiri saling berbagi informasi (information sharing) untuk mencapai tujuan bersama. secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampai pesan dan orang yang menerima pesan. senada dengan hal ini bahwa komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin “communis.” communis atau dalam bahasa inggrisnya “commun” yang artinya 72 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren sama. apabila kita berkomunikasi (to communicate), ini berarti bahwa kita berada dalam keadaan berusaha untuk menimbulkan kesamaan. suwardi dalam (rohim, 2009:8). sementara liliweri (2011:36) meyatakan komunikasi merupakan gambaran abstrak dari situasi sosial yang hanya dapat di pandang dalam relasi melalui relasi sosial yang diciptakan manusia. dalam komunikasi, sejumlah orang yang mempertukarkan sinyal dan tanda-tanda, kemudian menunjukkan pesan yang berisi dan mengandung subjek atau substansi tertentu untuk dinyatakan melalui tulisan/bahasa tulisan; karena itu maka bahasa juga merupakan komunikasi yang disuntik ke dalam pesan. menurut arifin (2010:11) obyek studi ilmu komunikasi dengan sendirinya bukan hanya suratkabar (ilmu pers/jurnalistik), bukan pula hanya media massa (ilmu komunikasi massa) atau pernyataan umum (publisistik) melainkan komunikasi mencakup semua pernyataan antar manusia. dengan demikian ilmu komunikasi mencakup semua pernyataan antar manusia baik melalui media massa dan retorika maupun yang dilakukan secara langsung. justru itu kehadiran ilmu komunikasi, sama sekali tidak menghilangkan eksistensi kajian-kajian sebelumnya seperti jurnalistik, pers dan media massa, retorika dan komunikasi personal. bahkan semua itu merupakan “bidang studi” dari ilmu komunikasi. dalam komunikasi terjadilah pertukaran kata dengan arti dan makna. dari sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai “proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan dan informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu”. pertukaran makna merupakan inti yang terdalam dari kegiatan komunikasi karena yang disampaikan orang dalam komunikasi bukan kata-kata, tetapi arti atau makna dari kata-kata. yang ditanggapi orang dalam komunikasi bukan katakata, tetapi makna dari kata-kata. karena merupakan interaksi, komunikasi merupakan kegiatan yang dinamis. selama komunikasi berlangsung, baik pada pengirim maupun pada penerima, terus-menerus terjadi saling memberi dan menerima pengaruh dan dampak dari komunikasi tersebut. (hardjana, 2003:11). – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 73 sebagai pertukaran makna, komunikasi bersifat khas-unik dan tidak dapat diulangi persis sama. karena, meski orang yang berkomunikasi sama, isi dan maksudnya sama, namun bila diulang, waktu, situasi, dan keadaan batin orang yang berkomunikasi sudah berbeda. karena itu, dalam setiap komunikasi, baik orang yang mengirim maupun yang menerima, dampaknya tidak dapat dihilangkan karena mereka tidak dapat mencabut kata yang sudah mereka ucapkan dan mengganti dampak yang diakibatkannya. mereka hanya dapat mengubah kata-kata. (hardjana, 2003:11). menurut littlejohn dan a. foss (2009:5) sebuah definisi haruslah dinilai berdasarkan seberapa baik definisi tersebut membantu akademisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sedang mereka hadapi. jenis penelitian yang berbeda-beda memerlukan definisi komunikasi yang terpisah, bahkan bertentangan. jadi, pendefinisian merupakan alat yang harus digunakan secara fleksibel. kiranya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari kita tidak lepas dari kegiatan komunikasi; komunikasi antar pribadi, berbicara dengan anggota keluarga, tetangga, dan rekan sejawat. pada saat berbicara dengan diri sendiri, meyakinkan diri dalam memutuskan sesuatu, maka itu merupakan komunikasi intra pribadi. pada sebuah organisasi, orang dalam memecahkan masalah atau mengembangkan ide-ide atau inovasi, saling berinteraksi dalam komunikasi dengan pihak lain yang mempunyai latar belakang budaya berbeda, maka hal tersebut sudah melakukan komunikasi antar budaya. untuk memenuhi kebutuhan informasi, manusia megakses media massa; membaca surat kabar, mendengarkan radio, atau menonton televisi. sejalan dengan liliweri (2009:24) bahwa komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui. jadi komunikasi itu selalu terjadi sekurang 74 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren kurangnya dua orang peserta komunikasi atau mungkin lebih banyak dari itu (kelompok, organisasi, publik dan massa) yang melibatkan pertukaran tanda-tanda melalui; suara, seperti telpon atau radio; kata-kata, seperti pada halaman buku dan surat kabar tercetak; atau suara dan kata-kata, yaitu melalui televisi. memahami komunikasi berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, manfaat apa yang dirasakan, akibat-akibat apa yang ditimbulkannya, apakah tujuan dari aktivitas berkomunikasi sesuai apa yang diinginkan, memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut. komunikasi disebut efektif apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim. kenyataannya, sering kita gagal saling memahami. sumber utama kesalahfahaman dalam komunikasi adalah cara penerima menangkap makna suatu pesan berbeda dari yang dimaksud oleh pengirim, karena pengirim gagal dalam mengkomunikasikan maksudnya dengan tepat (supratikya, 1995:34). kita bisa melihat pada diri kita sendiri untuk menilai kebenaran pernyataan berikut sebelum anda lebih jauh ke sesi-sesi berikutnya. bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan lingkungan di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain supaya merasa, berfikir atau berprilaku seperti yang kita inginkan. sebagaimana yang dinyatakan oleh lukiati (2009:7) bahwa komunikasi merupakan sebuah proses intraksi pertukaran lambang. lambang juga disebut tanda, kode atau simbol. manusia berbeda dengan makhluk lainnya, selalu menggunakan simbol serta memaknai simbol-simbol yang digunakannya. manusia harus berkomunikasi, karena komunikasi merupakan prasyarat kehidupan manusia. kehidupan manusia akan tampak tidak bermakna apabila tidak berkomunikasi. bahkan seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, akan bertambah berat penderitaannya apabila – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 75 komunikasi dengan orang-orang yang dicintainya terputus. jelas, komunikasi merupakan suatu yang sangat penting dalam melangsung kehidupan sosial manusia. komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu-arah. namun pandangan kedua ini masih membedakan para peserta sebagai pengirim dan penerima pesan, karena itu masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran tersebut dianggap bergantian. jadi, pada dasarnya proses interaksi yang berlangsung juga masih bersifat mekanis dan statis (mulyana, 2008:73). peristiwa komunikasi bisa terjadi dalam berbagai konteks kehidupan manusia, dengan berbagai macam warna yang mewarnainya. dapat kita lihat dari aktivitas yang bersifat individual, kelompok, keluarga, organisasi, melalui media atau dalam bentuk publik secara lokal, regional, nasional dan global. manusia tidak akan pernah lepas dari peristiwa komunikasi, karena komunikasi merupakan hahekat hidup manusia. cara kita memandang apa itu hakekat komunikasi setidaknya dapat melalui cara pandang tentang makna komunikasi antara transmisi dan meaning. cara berfikir semacam ini sangat fundamental dalam mereka memahami makna komunikasi. sehingga dengan begitu mereka dapat menghubungkan dengan berbagai macam realitas komunikasi. sehingga kemudian mereka dapat mengkaitkan dengan model-model komunikasi. misalkan model shannon weaver itu berkaitan dengan komunikasi sebagai transmisi. demikian model lain seperti stimulus respon, berlo, dan sebagainya. sedangkan model meaning dapat dijumpai dalam pesan non verbal, atau juga dalam cultural studies (zamroni, 2009:8). jadi jelas komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan ummat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. ia diperlukan pengaturan tatakrama pergaulan antarmanusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat, apakah ia seorang dokter, dosesn, manajer, pedagang, pramugari, pemuka agama, penyuluh lapangan, pramuniaga, dan lain sebagainya (cangara, 2009:3). 76 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren metode penelitian metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. peneltian ini menganalisis proses komunikasi antara santri, ustadz dan kiyai dengan menggunakan model transaksi, model transmisi, model ritual dan ekspresif, model publisitas, dan model resepsi. data primer didapat dengan observasi dan wawancara terhadap informan kunci, sedangkan data sekunder didapat dengan studi pustaka, termasuk beberapa informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, termasuk media internet. b. temuan penelitian dan pembahasan proses komunikasi antarmanusia. kata “proses” ini berasal dari bahasa latin yang berarti “bergerak maju” atau “tindakan”. suatu proses meliputi gerak maju yang berlangsung secara terus menerus. suatu proses merupakan rangkaian dan tindakan. dimanapun berbanding lurus dengan pertumbuhan waktu. suatu komunikasi terjadi, jika komunikasi merupakan suatu proses, pergerakan; yang bergerak maju dalam waktu yang sama. suatu proses adalah sebuah fenomena “dinamis” adalah lawan dari kata “statis”, atau “istirahat”. suatu proses perubahan berjalan secara konstan seiring dengan pertumbuhan waktu; ada gerakan kontinyu (lukiati, 2009:84). setiap orang memiliki hasrat untuk berbicara, mengungkapkan pendapat, dan memperoleh informasi. atas alasan-alasan itulah, tercipta apa yang dinamakan proses komunikasi. bila melihat pada dasawarsa lalu, komunikasi masih sederhana. sebagian besar masih bersifat satu arah, sehingga komponen yang terlibat dalam sebuah proses komunikasi tidak banyak. proses tersebut hanya melibatkan seseorang atau kelompok sebagai komunikator dan pihak lain sebegai pendengar. berbeda halnya dengan saat ini, ketika muncul era reformasi dan timbur berbagai inovasi baik kalangan ahli maupun pelaku komunikasi itu sendiri (ilaihi, 2010:121). – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 77 berbagai proses komunikasi dalam masyarakat terkait dengan struktur dan lapisan (layer) maupun ragam budaya dan proses-proses sosial yang ada di masyarakat tersebut, serta tergantung pula pada adanya pengaruh dan khalayaknya, baik secara individu, kelompok, ataupun masyarakat luas, sedangkan substansi bentuk atau wujud komunikasi ditentukan oleh (1) pihak pihak yang terlibat dalam komunikasi (komunikator dan khalayak); (2) cara yang ditempuh; (3) kepentingan atau tujuan komunikasi; (4) ruang lingkup yang melakukannya; (5) salauran yang digunakan; dan (6) isi pesan yang disampaikan. sehubungan dengan itu, maka kegiatan komunikasi dalam masayarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang terjdi pada komunikasi interpersonal dan kelompok serta kegiatan komunikasi yang terjadi pada komunikasi massa (bungin, 2009:67). menurut suranto (2011:10) proses komunikasi ialah langkahlangkah yang menggambarkan terjadinya kegiatan komunikasi. memang dalam kenyataannya, kita tidak pernah berpikir terlalu detail mengenai proses komunikasi. hal ini disebabkan, karena kegiatan komunikasi sudah terjadi secara rutin dalam hidup sehar-hari, sehingga kita merasa tidak lagi perlu menyusun langkah-langkah tertentu secara sengaja ketika akan berkomunikasi. secara sederhana proses komunikasi digambarkan sebagai proses yang menghubungkan pengirim dengan penerima pesan. proses tersebut terdiri dari enam langkah sebagaimana tertuang dalam tabel sebagai berikut: tabel 1 : proses komunikasi interpersonal (suranto, 2011: 11) 78 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren dari proses komunikasi tersebut suranto (2011:11-12) memberi penjelasan sistematis sebagai berikut: langkah 1: keinginan berkomunikasi. seorang komunikator mempunyai keinginan untuk untuk berbagi gagasan dengan orang lain. langkah 2: encoding oleh komunikator. encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran atau gagasan ke dalam simbol-simbol, kata-kata, dan sebagainya sehingga komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaiannya. langkah 3: pengiriman pesan. untuk mengirim pesan kepada orang yang dikehendaki, komunikator memilih saluran komunikasi seperti telpon, sms, e-mail, surat, ataupun secara tatap muka. pilihan atau saluran yang akan digunakan tersebut bergantung pada karakteristik pesan, lokasi penerima, media yang tersedia, kebutuhan tentang kecepatan penyampaian pesan, karakteristik komunikan. langkah 4: pengiriman pesan. pesan yang dikirim oleh komunikator telah diterima oleh oleh komunikan. langkah 5: decoding oleh komunikan. decoding merupakan kegiatan internal pada diri penerima. melalui indra, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah ke dalam pengalaman-pengalam yang mengandung makna. dengen demikian, decoding merupakan proses memahami pesan. apabila semua berjalan lancar, komunikan tersebut menerjemahkan pesan yang diterima dari komunikator dengan benar, memberi arti yang sama pada simbol-simbol sebagaimana yang diharapkan oleh komunikator. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 79 langkah 6: umpan balik. setelah menerima pesan dan memahaminya, komunikan memberikan respon atau umpan balik. dengan umpan balik ini, seorang komunikator dapat mengevaluasi efektivitas komunikasi. umpan balik ini biasanya juga merupakan awal dimulainya suatu siklus proses komunikasi baru, sehingga proses komunikasi berlangsung secara berkelanjutan. pesan komunikasi terdiri dari berbagai bentuk. kita mengirimkan dan menerima pesan tersebut melalui salah satu atau kombinasi tertentu dari pancaindra kita. pesan dalam bentuk verbal (lisan atau tertulis) bukanlah satu-satunya jenis pesan dalam komunikasi karena kita juga berkomunikasi secara non-verbal (tanpa kata), misalnya busana yang dikenakan, cara berjalan, berjabatan tangan, menggelengkan kepala, menyisir rambut, duduk dan tersenyum. pendeknya segala hal yang kita ungkapkan dalam melakukan komunikasi merupakan pesan tersendiri. itulah sebabnya dimana ada kehidupan maka disitulah terdapat komunikasi (sthepen, 2011:10). pondok pesantren tmi al-amien prenduan merupakan institusi pendidikan yang mendidik santri 24 jam, yang tentunya dari berbagai macam dinamika pesantren tidak lepas dari kegiatan komunikasi. komunikasi menjadi suatu hal yang urgen dalam rangka mengotimalkan kinerja kiai dan ustadz dalam mengurus santri. hal ini juga dikemukakan oleh lukiati (2009:83) bahwa proses komunikasi terjadi manakala manusia berinteraksi: menyampaikan pesan mewujudkan motif komunikasi. proses tahap pertama adalah penginterpretasian: yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi pada diri komunikator. artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa yang ia pikir dan rasakan kedalam pesan yang masih bersifat abstrak. interaksi antara kiai, ustadz dan santri merupakan proses komunikasi, sebagaimana yang dinyatakan oleh liliweri (2011:64) bahwa interaksi 80 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren adalah proses untuk menghubungkan pengirim pesan dengan penerima pesan, dan konsep interaksi merupakan kata kunci untuk memahami proses komunikasi, karena komunikasi merupakan ’jembatan’ untuk menghubungkan dua atau lebih orang melalui pengiriman dan penerimaan pesan dan membuat pesan itu menjadi bermakna. dalam proses komunikasi kiai, ustadz dan santri dapat digambarkan juga oleh flippo (dalam moekijat, 1993:150) bahwa proses komunikasi dapat dilukiskan melalui tiga unsur pokok yaitu pengirim isyarat, media untuk mengirim isyarat dan penerima isyarat. pengirim isyarat dapat berupa seseorang yang berusaha menyampaikan suatu jenis pesan atau maksud kepada orang lain. media terdiri atas saluran-saluran komunikasi dan mekanisme khusus yang digunakan untuk menyampaikan isyarat. penerima memperoleh simbol-simbol yang telah disampaikan dan membacanya untuk membuat suatu ide. dari gambaran proses komunikasi di atas dapat penulis ungkap peristiwa proses komunikasi di pesantren tmi al-amien prenduan bahwa yang bertindak sebagai pengirim adalah kiai dengan berbicara dengan simbol kata-kata sementara penerima pesan verbal adalah ustadz dan santri. tentunya proses komunikasi tersebut dapat dimaknai sebagai berlangsungnya segala pola dan model penyampaian pesan atau informasi, baik menggunakan simbol yang dapat diterima dan dipahami oleh peserta komunikasi. proses penganyoman oleh kiai terhadap santri selama 24 jam, oleh karena kiai zainullah menyatakan ”bagi kami santri adalah anak-anak kami” karena cara mengurus santri seperti mengurus anaknya sendiri. sementara pernyataan ”proses komunikasi di mana saja” artinya santri dan ustadz tidak dibatasi hanya pada waktu-waktu formal saja, akan tetapi di luar itu santri dan ustadz boleh melakukan komunikasi. dengan demikian kiai merupakan sosok yang berpengaruh di pesantren, sehingga segala apa yang disampaikan hampir semua dituruti oleh santri dan ustadznya. sejalan dengan yang disampaikan ema (2010:79) – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 81 bahwa kiai adalah figur sentral di pesantren. posisi mereka bukan hanya sebagai pemimpin, melainkan juga sebagai guru dan model bagi prilaku para santri dan elemen sosial lainnya di pesantren. para kiai menjalin ikatan emosional dengan santri mereka dalam kehidupan sehari-hari sebagai jalan untuk memberikan ruang bagi proses duplikasi yang efektif atas tindakan, peran, dan kepribadian kiai dalam bersosialisasi. pondok pesantren tmi al-amien prenduan menampung santri dan santriwati yang diatur secara terpisah. untuk santriwati yang lebih banyak mengurus aktivitas mereka sehari-hari adalah nyai dan ustadzah sedangkan kiai hanya pada waktu-waktu tertentu saja melakukan tindakan komunikasi dengan mereka: seperti kuliah umum kepondokan, kuliah umum kemasayaratan, pelajaran klasikal dan lain sebagainya. sementara santri putra lebih sering melakukan komunikasi dengan kiai, karena selain waktuwaktu formal mereka bisa berkomunikasi di rumahnya, di masjid, atau ketika berpapasan di jalan. bagi kiai al-amien santri itu sudah dianggap seperti anak sendiri yang kelak akan menyambung perjuangannya, oleh karenanya apa pun yang menjadi keluh kesah mereka di pesantren itu bisa langsung dikomunikasikan kepada kiai. pada prinsipnya kehidupan di pesantren sangat dinamis, bisa dilihat pada saat berinteraksi antara kia, ustadz/h, dan santri/i yang mampu memposisikan sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing. sebagai seorang santri selalu tunduk dan patuh terhadap apa yang dikatakan oleh kiai dalam bahasa pesantren santri tersebut adalah ”santri sami’atan wa tho’atan”. chifford (dalam umiarso dan zazin, 2011:33) mengemukakan bahwa santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai yang memimpin sebuah pesantren. oleh karena itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kiai dan pesantren. santri memmiliki arti sempit dan luas. pengertian sempit santri adalah seorang pelajar sekolah agama, sedangkan pengertian yang lebih luas, santri mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk jawa yang menganut islam dengan 82 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren sungguh-sungguh menjalankan ajaran islam, shalat lima waktu dan shalat jum’at. jelas bahwa di dalam pondok pesantren sudah terkonstruksi kultur yang sistematis dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. seorang kiai, ustadz dan santri menyadari posisinya masing-masing sehingga tercipta suasana yang dinamis. seorang ustadz (guru) dapat diilustrasikan oleh ema (2009:93) bahwa guru berperan utama sebagai sumber informasi dan pengetahuan dalam aktivitas belajar-mengajar di madrasah. lebih dari itu guru menjadi model dan sumber rujukan bagi santri-santrinya. hal ini mengingatkan kita pada idiom lama bahwa guru adalah orang yang dapat ”digugu dan ditiru”. pada prinsipnya komunikasi dengan kiai dapat dilakukan sesuai dengan etika yang menjadi tradisi di pesantren tmi al-amien. pada umumnya menghadap kiai seringkali dengan maksud-maksud tententu, misalnya: santri bisa konsultasi masalah persoalan hidup dipesantren, mengadu, keluh kesah dan sebagainya. sementara ustadz bisa konsultasi masalah bagaimana cara mengurus santri dengan baik agar dirinya tetap kridibel di hadapan santri. proses komunikasi santri dengan kiai dijelaskan oleh berger (dalam liliweri, 2001:57) bahwa santri dalam berkomunikasi dengan kiai menggunakan sistem ”jemput bola” artinya santri selalu menunggu kesempatan untuk menghadap kiai. sistem ini dilakukan santri untuk mencari informsi dari kiai dengan cepat keberkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan santri. berdasarkan teori pengurangan tingkat ketidak pastian, seorang yang mempunyai kebutuhan atau kepentingan yang ingin segera ditanyakan maka akan selalu berusaha secepatnya untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu. dengan demikian, agar terhindar dari ketidak pastian tersebut maka santri mendatangi kiai, dari kiai inilah jawaban dan informasi yang diinginkan didapatkan. melihat mekanisme komunikasi tersebut muncul istilah ”jemput bola”, tapi istilah ini bukan suatu yang paten karena diluar – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 83 kesibukan seorang kiai senantiasa mendatangi santri baik ke rayon (tempat mereka tidur), ke kelas, dan tempat-tempat lain dimana santri dan ustadz beraktivitas. sementara tindakan komunikasi santri dengan ustadz lebih cenderung memposisi sebagaimana antara kakak dengan adik. berbagai macam persoalan yang di hadapi santri ditampung oleh ustadz, kalau dianggap bisa diselesaikan dengan ustadz berarti kiai hanya diinfokan terkait dengan persoalannya, tapi kalau persoalan yang dihadapi santri tidak bisa diselesaikan oleh ustadz, maka ustadz menyampaikan kepada kiai dan kiai langsung yang menyelesaikan masalah tersebut. dari berbagai macam pernyataan baik itu kiai, ustadz dan santri, dengan pola dan gaya komunikasi yang berbeda, tetapi pada prinsipnya memiliki pemahaman yang sejalan. pernyataan mereka (kiai, ustadz, dan santri) mengantarkan pemahaman penulis pada proses komunikasi di pesantren; bahwa komunikasi terjadi di waktu-waktu formal dan nonformal, artinya terencana dan tidak terencana sebelumunya. dengan demikian, seringnya berkomunikasi akan memudahkan kiai, ustadz dan santri memahami karakternya masing-masing, sehingga efektivitas komunikasi terbentuk. model komunikasi kiai, ustadz dan santri model prilaku komunikasi sering disebut ”model kelompok”. model ini mengatakan bahwa ideal komunikasi hanya akan terjadi jika pesan-pesan yang bertujuan tentu dapat dikirim kemudian diterima oleh sekelompok orang yang merasa yakin (ditunjukan melalui prilaku) bahwa komunikasi telah terjadi. pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat menentukan tujuan atau maksud suatu pesan menurut apa yang dipikirkan seorang pengirim (pembicara tau penulis)? salah atu tujuan model komunikasi mengatakan bahwa semua jenis pesan yang bertujuan tertentu yang dikirim oleh pengirim lalu diterima oleh penerima dapat dipertimbangkan sebagai tindakan komunikasi itu sendiri (liliweri, 2011:83). 84 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di pondok pesantren tmi al-amien, terhadap proses komunikasi kiai, ustadz dan santri dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, ternyata arus komunikasi yang mereka gunakan kadang satu arah dan kadang dua arah, tergantung pada situasi dan kondisi. komunikasi satu arah seringkali dilakukan seorang kiai, ustadz, dan santri pada saat acara-acara di media komunikasi (rasda fm), mereka menyampaikan pesan kepada komunikan sementara pesan yang disampaikan tidak secara langsung ada umpan balik. sedangkan komunikasi dua arah terjadi pada acara-acara diolog jum’at, di kelas atau di tempat-tempat yang tidak terencanakan. komuniksi dua arah ini terjadi bila seorang kiai (komunikator) menyampaikan pesan kepada komunikan (ustadz/h atau santri/i) melalui media kemudian pesan tersebut sampai kepada komunikan dan terjadi peristiwa umpan balik, begitulah seterusnya proses komunikasi terjadi secara interaktif. untuk lebih jelasnya kita simak analisis hasil wawancara penulis dengan kiai, ustadz/h, dan santri/i pondok pesantren tmi al-amien prenduan, sebagai berikut: 1. model transaksi dalam model transaksi seorang komunikator menyampaikan pesan kepada penerima, ketika pesan itu tiba pada penerima, maka penerima dapat memberikan umpan balik yang jelas yang memungkinkan pesan itu dapat dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh pengirim. diperjelas oleh liliweri (2011:102), bahwa model komunikasi transaksional, yang kini banyak digunakan oleh para ahli merupakan kebalikan dari teori linier. model transaksional menggambarkan proses komunikasi manusia yang lebih akurat karena menghadirkan peran bersama antara pengirim dan penerima pesan. jika dua orang berada dalam satu ruangan yang sama, maka mereka dapat berkomunikasi tatap muka, mereka dapat mengirim dan menerima pesan secara simultan, mereka dapat mengatasi gangguan komunikasi, kecuali ”gangguan” yang berasal dari perbedaan budaya. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 85 berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, bahwa poondok pesantren tmi al-amien melakukan transaksi penerimaan santri baru 2 kali dalam setahun (gelombang pertama dan gelombang kedua). dalam proses transaksi ini tercipta tindakan dialogis antara kiai dan santri. seorang kiai menjelaskan sejarah singkat pesantren, budaya dan sistem kemudian ditawarkan kepada calon santri baru, ketika santri tersebut menyatakan siap maka seorang kiai secara resmi menyampaikan bahwa anak itu sudah resmi menjadi santri tmi al-amien. model transaksi ini membentuk pribadi terbuka, artinya; bisa mengungkapkan segala ide dan hasrat yang diilustarasikan lewat komunikasi verbal dan nonverbal. pristiwa proses transaksi penyerahan santri baru kepada kiai mendapatkan perlakuan sama antara putra-putri. dan yang menjadi aspek pertimbangan adalah psikologi dari masing-masing anak itu karena dengan latar belakang yang berbeda baik itu budaya dan lingkungan yang membangun kepribadian anak itu sebelumnya. sementara model transaksi yang apresiasikan oleh kiai dan ustadz ketika merencanakan dan menyepakati pola kerja di pesantren dalam hal mengurus santri 24 jam. proses komunikasi mereka dapat dilihat ketika seorang ustadz mendatangi seorang kiai untuk mengajukan ide atau meminta restu untuk mengadakan suatu acara, maka terjadilah pola pertukaran pemikiran dan pendapat yang kemudian disepakati bersama dengan sikap yang toleran terhadap masing-masing ide. dari hasil pengamatan dan wawancara di atas, membawa nalar pikir penulis pada model komunikasi. model transaksi antara kiai dengan santri, dan kiai dengan ustadz pada prinsipnya sama menggunakan arus komunikasi dua arah dan interaktif. kalau dilihat dari model komunikasi berarti sepakat dengan model komunikasi devito (model interaktif, umpan balik, dua arah). walaupun dalam prosesnya tidak mutlak sama seperti yang di modelkan oleh devito, tapi pada prinsipnya sama. 86 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren 2. model ritual dan ekspresif model ritual atau ekspresif, berkaitan dengan bagaimana memelihara sebuah masyarakat pesantren dalam keyakinan dan ideologi atau deskripsi informasi tertentu yang bersesuaian dengan nilai-nilai yang diyakini dalam kelompok masyarakat pesantren. jadi bukan bagaimana menyampaikan dan menanamkan sebuah informasi kepada ustadz dan santri oleh seorang kiai. yang menjadi penekanan dalam komunikasi ekspresif adalah kepuasan dari pelaku komunikasi. pesan-pesan yang disampaikan biasanya bersifat ambigu karena tergantung dengan pemahaman atas nilai dan simbol-simbol yang disepakati dalam kelompok masyarakat tertentu atau yang berhubungan langsung dengan budaya tersebut. mulyana (2007:133) menyatakan: model memberi teoritkus suatu struktur untuk menguji temuan mereka dalam ”dunia nyata”. meskipun demikian, model juga seperti definisi atau teori, pada umumnya tidak pernah sempurnah dan final. di pondok pesantren tmi al-amien, model ritual dan ekspresif dapat dilihat pada acara dialog jum’at yang dilasksanakan setiap minggu sekali yang lasung secara interaktif antara kiai, ustadz, dan santri. berdasarkan pengamatan penulis dalam acara tersebut: yang menjadi objek pembahasannya seputar persoalan keagaman dan pola hidup yang ideal di pesantren yang berlangsung secara dialogis. dalam acara dialog juam’at, yang diisi langsung oleh jajaran majlis kiai pondok pesantren tmi al-amien ini, bukan hanya semata-mata membangun spritual dan intelektual santri dan ustadz akan tetapi agar ada komunikasi yang intens antara kiai, ustadz dan santri. hal ini sejalan dengan rakhmat (2009:vii) bahwa dengan komunikasi kita saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. tetapi dengan komunikasi juga kita akan menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran. begitu penting, begitu meluas, dan begitu akrab komunikasi – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 87 dengan diri kita sehingga kita semua merasa tidak perlu lagi mempelajari komunikasi. berbagai macam simbol-simbol keagaaman yang di interaksikan pada saat acara dialog jum’at. siapapun yang membaca akan peka dengan pernyataan ustadz ikhwan ”acara dialog jum’at menurut kami, upaya seorang kiai agar santri-santrinya menemukan jati dirinya”. berbicara jati diri bererti berbicara hakekat dan ma’rifat manusia. kita bisa menjumpai jati diri seseorang apabila orang itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, mengenal dirinya, mengenal orang lain, tentu pertama harus mengenal tuhannya. kiai memiliki kapasitas untuk melakukan perubahan yang konstruktif dari waktu ke waktu. kiai memberikan penyadaran pada santri untuk memperkuat ajaran agama. para kiai al-amien tentunya menginginkan pendalaman ilmu agama maupun ilmu pengetahuan yang lain sebagai bentuk kepentingan dari proses pendidikan di pesantren demi terwujudnya nilai-nilai dasar pondok pesantren tmi al-amien, yakni: keislaman, keindonesiaan dan kepesantrenan. banyak hal yang mesti dijadikan pijakan dalam menjalin hubungan interpersonal, salah satunya adalah bahwa dialog jum’at menciptakan sikap tolerasi yang mampu membangun pola pikir yang tajam terhadap realitas, karena salah satu terapi intelektual, emosional dan spritual dengan proses dealektika. proses dealektika juga memudahkan mengenal psikologi orang, karena hal itu menjadi faktor penentu ketepatan komunikasi yang dilakukan. sebagaimana yang dinyatakan hardjana (2003:11) bahwa dari proses terjadinya komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan sebagai ”kegiatan di mana seseorang menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya”. 88 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren deskripsi proses komunikasi dengan model ritual dan ekspresif ini menanamkan falsafah hidup di pesantren ”beriman sempurna, berilmu luas dan beramal sejati”. kalau ditinjau dari arus komunikasi, proses komunikasi yang diterapkan adalah dua arah dengan menyentuh model komunikasi devito: yang mengandalkan peranan sumber dan penerma yang secara bergantian bertindak sebagai encoder dan decoder atas pesan dan feedback yang berlangsung secara kontinu. 3. model publisitas menganalisis dari model komunikasi publisitas ini benar-benar memposisikan komunikan sebagai subjek yang berada di luar batas komunikator, misalnya jika dia adalah penikmat program radio maka posisinya adalah hanya sebagai pendengar. tidak ada hubungan partisipatif yang terjadi. komunikasi ini profit-minded dan hanya ditujukan untuk merangsang minat dan emosi komunikan untuk menjadi atau menangkap setiap atensi dari komunikator. di pondok pesantren tmi al-amien, setiap tahun sekali mengadakan acara perlantasi (pekan perkenalan dan orientasi) dalam rangka memperkenalkan sejarah, budaya dan sistem pendidikan sekaligus fungsionarisnya. dalam hal ini, seorang kiai menceritakan, menjelaskan, meyakinkan santri agar senantiasa berfikir positif terhadap segala aktivitas di pesantren, disamping itu juga seorang pengasuh pesantren memperkenalkan fungsionaris pesantren satu persatu kepada seluruh santri dengan harapan santri mampu mengenal dan mengetahui sehingga mempermudah santri dalam memposisikan kiai dan ustadz sebagaimana mestinya. artinya: seorang santri tahu kapasitas dari seorang kiai dan ustadz, sehingga memfungsikannya secara profesional dan proporsional. proses komunikasi model publisitas ini merupakan komunikasi dalam model santri bersifat pasif, karena tidak ada komunikasi secara interatif antara santri dan kiai. pada prosesi perkenalan di pesantren alamien, semua fungsionaris pondok diperkenalkan dan dijelaskan tugasnya – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 89 masing-masing oleh kiai, jadi hilangkan pikiran bahwa ini ”semata-semata untuk terkenal”, ini merupakan cara kiai untuk mengoptimalkan proses pendidikan di pesantren. setiap interaksi mesti ada peristiwa komunikasi, dan setiap komunikasi mesti bisa dimaknai, karena ada pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. model komunikasi publisitas sebagai transportasi dan metafora kontrol dengan memindahkan paradigma berpikir orang dari satu titik ketitik yang lain. sebaimana yang dinyatakan oleh liliweri (2011:99) bahwa metafora kontrol dapat membuat kita ”menikmati” komunikasi yang dihasilkan oleh interaksi antarpersonal yang asietris atau yang simetris. bukanlah metafora kontrol seperti yang diperankan oleh para pengarang, penulis, dan sutradara yang mengontrol. para pemain agar mereka tidak main-mainkan peran sebagaimana yang telah disekenariokan sebelumnya. jadi, peranan penting dari sutradara itu adalah melakukan kontrol terhadap peran yang dilakoni oleh para pemain. ini perlu penghayatan, dan komunikasi perlu penghayatan atas peran seseorang dalam komunikasi. di pesantren tmi al-amien kiai merupakan sutradara sekaligus aktor dalam sebuah dinamika pesantren. kiai juga merupakan sosok orang yang senantiasa mempelajari sebuah keadaan terutama ketika melakukan tindakan komunikasi di depan santri atau ustadz. model komunikasi publisitas ini membutuhkan kemampuan retorika, karena posisi komunikan dalam keadaan pasif, menarik penggalan pernyataan ihda ”kiai seringkali melakukan improvisasi agar santri tetap serius mendengarkan pesannya”. improvisasi merupakan cara untuk merenyahkan suasana, menghilangkan ketegangan atau kejenuhan, dan sebagainya. target yang ingin dicapai dalam model komunikasi publisitas adalah upaya melancarkan hubungan interpersonal kiai, ustadz, dan santri. liliweri (2011:469) menyatakan bahwa komunikasi publisitas akan membuat seseorang lebih terkenal, dia membuat kita lebih sibuk lelah tetapi publisitas membuat kita lebih banyak beristirahat. 90 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren suaranto (2011:10) juga menjelaskan model proses komunikasi ialah langkah-langkah yang menggambarkan terjadinya kegiatan komunikasi. memang dalam kenyataannya, kita tidak pernah terlalu detail mengenai model komunikasi. hal ini disebabkan, kegiatan komunikasi sudah terjadi secara rutin dalam hidup sehari-hari, sehingga kita merasa tidak perlu menyusun langkah-langkah tertentu secara sengaja ketika akan berkomunikasi. kredibilitas menjadi pijakan dalam publisitas, karena proses komunikasi yang dilakukan adalah memperenalkan dan mempromosikan ala kadarnya, seperti halnya acara perlantasi di pesantren tmi al-amien yang mempromosikan strata sosial dalam sebuah organisasi pesantren. acara perlantasi merupakan acara untuk memperkenalkan fungsionaris pesantren kepada santri, yang nantinya diharapkan tumbuh kasih sayang. mengenal juga kunci untuk membentuk persepsi dan emosional yang baik terhadap organisasi pesantren, sehingga terbangun komunikasi yang efektif antara kiai, ustadz dan santri. seperti yang dinyatakan oleh supratiknya (1995:34) komunikasi disebut efektif apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim. kenyataannya, sering kita gagal untuk saling memahami. sumber utama kesalahfahaman dalam komunikasi adalah cara penerima menangkap makna suatu pesan berbeda dari yang dimaksud oleh pengirim, karena pengirim gagal mengkomunikasikan maksudnya dengan tepat. salah satu konstruksi komunikasi yang efektif di pesantren, dilihat dari seorang kiai dan ustadz membawa karismanya sehingga tingkat kredibilitas di hadapan santri begitu tinggi. implikasinya pada aktivitasrutinitas di pesantren, seorang santri percaya sepenuhnya kepada kiai dan ustadz sehingga benar-benar perkataannya didengarkan, perbuatannya dipercaya dan ditiru. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 91 sangat manusiawi bila seseorang punya perasaan lebih ketika dihadapkan dengan sebuah peristiwa, seperti halnya penggalan kalimat yang dinyatakan oleh ustadz ikhwan “kami merasa bangga ketika diperkenalkan di depan santri”. bentuk interaksi yang dimainkan adalah status sosial atau peran di pesantren, yang pada dasarnya adalah mengkomunikasikan jabatan, dan jabatan itulah yang akan mengangkat jerajat sosial; berupa “karisma” di pesantren. prinsipnya dalam model komunikasi publisitas ini adalah: upaya mempertahankan cara-cara lama yang baik, dan mengakomodasi caracara baru yang lebih baik, yang ditekankan pada konstruksi keteladalan, pembiasan, nasehat dan pengarahan, penugasan, dan pengawasan demi tercapainya transformasi ilmu dengan pengembangan kepribadian santri dan ustadz. proses komunikasi dengan model publisitas di pesantren tmi alamien ini, mengantarkan kita pada arus komunikasi satu arah dengan menyepakati model komunikasi harold dwight lasswell. model publisitas tidak harus menggunakan media seperti televisi, radio atau media cetak yang lain, karena pada prinsipnya model publisitas ini adalah proses tindakan komunikasi dalam rangka memperkenalkan sesorang atau organisasi ke publik, agar ada kesadaran fungsi dan juang dari masing-masing pihak yang berjuang di wiyah pesantren. 4. model transmisi model komunikasi transmisi ini bertujuan untuk melakukan perubahan pola berpikir dari komunikator dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi komunikan (penerima pesan). komunikator diharapkan mampu membaca kepentingan komunikan. misalnya siaran di radio swara dakwah al-amien (rasda fm) dengan menyajikan beragam acara yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pesantren, meliputi: sentuhan rohani, berita, entertainment atau hiburan, pendidikan, budaya, dan sebagainya. kebijakan informasi yang akan disampaikan 92 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren sangat bergantung kepada apa yang menjadi kebutuhan utama santri dan masyarakat sehingga dapat meningkatkan mutu pendengar. komunikasi model transmisi ini tidak memiliki tujuan akhir atau khusus, terpenting adalah apa yang menjadi kebutuhan masyarakat pesantren diharapkan dapat terpenuhi secara baik. triartanto (2010:48) menyatakan, bahwa khalayak radio adalah pendengar. para pendengar diterpa pesan-pesan yang disampaikan oleh penyiar sebagai ujung tombak siaran radio. pesan-pesan yang tersaji dalam bentuk program tersebut, bisa menimbulkan beragam efek. bisa kognitif, afektif, juga konatif. di dalam dunia radio siaran, penyiar merupakan komunikator yang paling mendapat perhatian terbesar dari para pendengar. hal ini senada dengan morissan (2009:13) bahwa media penyiaran, yaitu radio dan televisi merupakan salah satu bentuk media massa yang efisien dalam mencapai audiennya dalam jumlah yang sangat banyak. karenanya media penyiaran memegang peranan yang sangat penting dalam ilmu komunikasi pada umumnya dan khususnya ilmu komunikasi massa. dengan demikian, model komunikasi transmisi ini yang diperankan oleh seorang kiai, dalam menjumpai khalayak (komunikan) dengan suara, tentu berbagai macam penafsiran yang muncul, gampangnya; ada yang merespon positif ada pula yang negatif, semua itu tidak secara langsung diketahui oleh komunikator. tapi komunikator bisa memprediksikan, apakah pesan yang disampaikan benar-benar berada dalam zona aman, artinya: tidak menyinggung pribadi orang, tidak mencelah golongan, atau ditopangi dengan persiapan yang baik sehingga pesan yang disampaikan benar-benar kredibel. ada perbedaan mendasar antara kiai dengan ustadz dalam mekanisme penyampaian pesan. kalau kiai pesan yang disampaikan di rasda fm tidak secara langsung mendapatkan umpan balik dari pemirsa, sementara ustadz langsung mendapatkan umpan balik, dapat dilihat pada petikan pernyataan ”kami memperkenankan kepada pemirsa bergabung melalui line telephone, sms dan atensi”. bila pemirsa bergabung lewat line telephone berarti terjadi – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 93 peristiwa komunikasi secara interatif atau dialogis. kalo kiai hanya sebatas menyampaikan pesan dengan metode ceramah. dengan demikian di samping mendidik, rasda fm juga menghibur dengan tembang-tembang kesukaan pemirsa. berdasarkan pengamatan penulis, penyiar rasda fm senantiasa memberikan analisis terhadap lagu yang direquest oleh pemirsa. pemirsa dibawa pada pemahan yang positif, dengan membenturkan lagu pada nilai-nilai agama yang membumi (aplikasi sosial yang dinamis). kultur yang terbangun di pondok pesantren tmi al-amien berbeda dengan di luar (non-pesantren). santri putri tidak diperbolehkan untuk siaran di rasda fm dengan alasan teknis, khawatir ada hal yang tidak diingin bila digabung putra dengan putri dalam menjalankan aktivitas. oleh karenanya pesantren putri menyediakan media komunikasi secara terpisah dengan pesantren putra, media itu adalah ragil (radio pangil), yang acaranya tidak sama dengan rasda fm. dari pengamatan secara fenomenologis terhadap interakasi kiai, ustadz dan santri di media komunikasi (radio), mengantarkan penulis pada pemahaman model komunikasi transmisi, bahwa model ini dikaitkannya dengan sejauh mana menciptakan efek tertentu pada audiens. dalam hal ini morissan (2009:16) menyatakan, dinamika interaksi (interaktional dynamic) menjelaskan hubungan dan adanya saling ketergantungan di antara peserta komunikasi serta penciptaan makna secara bersama-sama. dinamika interaksi membahas hubungan timbal balik, penciptaan dan penerimaan pesan di antara pihak-pihak dalam suatu transaksi komunikasi, tanpa memandang bahwa pihak itu perorangan atau kelompok. sebagaimana yang dinyatakan oleh mulyana (2008:63-64), bahwa dalam pengembangan pengetahuan, suatu teori atau model sering diilhami oleh teori atau model sebelumnya, meskipun teori yang muncul kemudian itu, hingga derajat tertentu juga menampakkan orisinalitasnya. adapun klasifikasi yang dapat penulis jabarkan dari hasil wawancara dalam model transmisi ini, sebagai berikut: 94 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren pertama. informan kiai melakukan tindakan komunikasi di rasda fm dengan arus komunikasi satu arah, yakni; seorang kiai menyampaikan pesan kepada khalayak dengan tujuan tertentu sementara umpan baliknya tertunda. hal ini, sepakat dengan model komunikasi yang di gagahi oleh harold dwight lasswell. kedua. informan ustadz dan santri putra, menyatakan bahwa tindakan komunikasi yang disampaikan di rasda fm secara interaktif dengan khalayak, melalui line-telephone. dengan demikian arus komunikasinya dua arah, dan menyepakati model komunikasi devito. ketiga. informan ustadzah dan santri putri, menyepakati model komunikasi harold dwight lasswell. karena tindakan komunikasi yang diterbitkannya; proses menyampaikan pesan kepada khalayak dan efek yang menerpanya tidak secara langsung direspon oleh komunikator. dengan demikian arus komunikasinya satu arah. efektivitas komunikasi tidak bisa ditentukan dengan arus komunikasi, karena setiap acara itu mempunyai karakter masing-masing, oleh sebab itu; penentuan arus komunikasi sifatnya kondisional. model komunikasi yang diilustrasikan oleh para ilmuan komuniikologi, bukan suatu hal yang mutlak ditiru, akan tetapi sebagai pijakan atau pedoman dalam meraba realitas interaksi sosial. interaksi kiai, ustadz/h, dan santri/i berada dalam model komunikasi yang multivarian, artinya: setiap tindakan komunikasi yang dilakukan oleh mereka masih ditentukan oleh keadanan yang menuntut mereka untuk bertindak. 5. model resepsi model komunikasi resepsi ini berkaitan erat dengan simbol dan bagaimana kiai, ustadz atau santri menerima simbol-simbol yang disampaikan komunikator. komunikan tidak harus selalu menafsirkan dan menerima simbol-simbol dari komunikator sebagai hal yang ideologis, tetapi dapat menafsirkan simbol tersebut sesuai dengan konteksnya – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 95 masing-masing sehingga sikap apapun yang diambil baik itu afirmatif ataupun kontradiktif adalah suatu hal yang dapat dimaklumi. sebagaimana yang dinyatakan oleh fiske (dalam sobur, 2009:viii) bahwa relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut signifikasi (significtion). semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. sementara liliweri (2011:92) menerjemahkan resepsi, atau penerimaan (berwarna hijau) merupakan proses di mana penerima menerima sebuah ujaran verbal, dia mendeteksi ucapan melalui indra pendengaran (tingkat fisiologis) dan kemudian menerjemahkan ekspresi itu ke dalam linguistik (tingkat linguistik) dan akhirnya dia menarik kesimpulan atas pesan dengan ekspresi linguistik. di pondok pesantren tmi al-amien peristiwa komunikasi antara kiai dengan santri dan santri dengan ustadz dapat terjadi karena ada masalahmasalah yang menerpanya. bagi santri yang melanggar aturan pondok tentu mendapatkan saksi sesuai dengan kadar pelanggarannya begitupun ustadz atau bahkan kiai. proses komunikasi bagi santri yang melanggar ditangani secara khusus oleh ustadz dengan cara mengintrogasi, membuat kronologi secara tertulis kemudian hasilnya disampaikan kepada kiai untuk meminta kebijakan sanksi yang tepat. setelah sanksi itu dijatuhkan oleh kiai maka santri yang bersangkutan mendapatkan siraman rohani dari seorang kiai. dari gambaran singkat di atas jelas proses komunikasi yang berlangsung tidak akan lepas dari simbol-simbol verbal maupun non verbal. pada saat kiai, ustadz dan santri berekspresi itu merupakan bahasa yang mesti diterjemahkan dengan baik dan tepat, oleh karenanya butuh kekuatan kognitif, spritual dan emosional yang jitu, agar terbentuk daya sensor yang tajam terhadap realitas. sanksi merupakan akibat dari perbuatan salah, tapi jarang sekali menemukan orang yang bisa menerima sanksi walaupun sebenarnya dia 96 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren sadar bahwa dia salah. tapi di pesantren tmi al-amien, bagi santri yang melanggar bukan hanya sekedar sanksi yang diberikan kiai atau ustadz, tapi ada bimbingan, pengarahan, dan pantauan khusus dalam menjalankan aktivitas di pesantren. dengan tujuan; ingin mengetahui sejauh mana efek sanksi terhadapnya. berdasarkan interpretasi tindakan orang lain, individu dapat mengubah tindakan berikutnya agar sesuai dengan tindakan orang lain. modifikasi perilaku ini menuntut orang untuk memastikan terlebih dahulu makna, motif atau maksud apa yang terdapat di belakang tindakan orang lain. proses demikian hanya akan dimungkinkan bila manusia memiliki dan berbagi simbol (mulyana, 2008:8-82). proses komunikasi interpersonal kiai, ustadz, dan santri bisa terjadi pada saat terbangunnya sebuah masalah, misalnya: santri melanggar aturan pondok, santri sakit, atau ustadz berpacaran dengan ustadzah, dan sebagainya. dalam proses introgasi terhadap santri, terbangun komunikasi yang interaktif antara kiai dengan santri, kiai dengan ustadz, atau ustadz dengan santri. sebagaimana leary (dalam liliweri, 2011:93) menyatakan, telaah komunikasi antarpersonal sedapat mungkin memperhatikan dua demensi ini, yaitu demensi dominasi-patuh dan perasaan benci-cinta, dan dua demensi ini selalu terjadi selama dua orang berinteraksi. model ini mengatakan bahwa, ketika individu berkomunikasi, maka dia akan mengirimkan pesan dan pesan tersebut memiliki kualitas konten yang dominan-submisif dan persaan benci-cinta. masing-masing pihak akan memberikan tanggapan itu berdasarkan perasaan mereka terhadap pesan. model peran para agen sosialisasi di pesantren tmi al-amien dapat di kategorikan ke dalam tiga kategori: maksimalis, moderat, dan minimalis. peran maksimalis diperankan oleh kiai yang memegang otoritas kepemimpinan di pesantren. selain sebagai pemangku atau pemegang pesantren, ia juga mengajarkan ilmu kepada santri putra-putri. peran ini juga termasuk memberikan keputusan-keputusan strategis menyangkut kebijakan-kebijakan pesantren. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 97 dengan demikian, proses komunikasi seorang kiai atau ustadz/h terhadap santri/i yang bermasalah, tergantung respon dari santri yang bersangkutan. karena berdarsarkan pemaparan kiai, ustadz dan santri dalam wawancara bersama penulis, terdapat perdedaan persepsi diantara mereka, walaupun pada prinsipnya sama. oleh karenanya, dalam model komunikasi resepsi ”menempatkan makna pada penerima pesan”. sementara arus komunikasi yang di perankan oleh kiai, ustadz/h, dan santri/i dua arah dengan menyepakati model komunikaisi devito. c. kesimpulan proses komunikasi antara kiai, ustadz, dan santri terjadi pada saat acara-acara pondok, seperti: penerimaan santri baru, acara dialog jum’at, pelantasi (pekan perkenalan dan orientasi), acara di radio (rasda fm), ketika menangani santri yang bermasalah, dan sebagainya. sedangkan model komunikasi kiai, ustadz, dan santri adalah: pertama. pada saat acara penerimaan santri baru, acara dialog jum’at, dan ketika menangani santri yang bermasalah arus komunikasi yang digunakan dua arah, dengan menyepakati model komunikasi devito. kedua. ketika acara perlantasi, arus komunikasi yang digunakan satu arah, dengan menyentuh model komunikasi yang di terbitkan oleh harold dwight lasswell. referensi arifin, anwar. 2010. ilmu komunikasi; sebuah pengantar ringkas. jakarta: rajawali press. cangara, hafied. 1998. pengantar ilmu komunikasi. jakarta: pt. rajagrafindo persada. dhofir, zamakhsyari. 1982. tradisi pesantren; studi tentang hudup kyai. jakarta: lp3s. bungin, burhan. 2009. sosiologi komunikasi; teori, paradigma, dan diskursus teknologi di masyarakat. jakarta: kencana. 98 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren dzanuryadi. 2011. goes to pesantren; panduan lengkap belajar di pesantren. jakarta: pt. lingkar pena kreativa. efendi, uchjana, onong. 2008. dinamika komunikasi. bandung: pt. remaja rosdakarya. el-karimah, kismiyati dan uud wahyudin. 2010. filsafat dan etika komunikasi; aspek ontologis, epistemologis, dan akseologis dalam memandang ilmu komunikasi. bandung: widwa padjadjaran. hamidi. 2010. teori komunikasi dan strategi dakwah. malang: ummpress. hasan, suwardi, sandi. 2011. pengantar cultural studis; sejarah pendekatan konseptual & isu menuju budaya kapitalisme lanjut. yogyakarta: ar-ruzz media. hardjana. 2003. komunikasi intrapersonal dan interpersonal. yogyakarta: kanisius. haryatmoko. 2007. etika komunikasi; manipulasi media, kekerasan, dan pornografi. yogyakarta: kanisius. harun, rochjat. 2008. komunikasi organisasi. bandung: cv. mandar maju. ilahi, wahyu. 2010. komunikasi dakwah. bandung: pt. remaja rosdakarya. jauhari, idris, muhammad. tanpa tahun. hakekat pesantren dan kunci sukses belajar di dalamnya. prenduan: mutiara press. ______________________. 2004. tmi (tarbiyatur mua’alimin alislamiyah); apa, siapa, mana, kapan, bagaimana dan...mengapa?. prenduan: mutiara press. komala, lukiati. 2009. ilmu komunikasi; persepektif, proses, dan konteks. bandung: widya padjadjaran. liliweri, alo. 2011. komunikasi serba ada serba makna. jakarta: kencana. __________. 2009. dasar-dasar komunikasi antarbudaya. yogyakarta: pustaka pelajar. __________. 2001. gatra-gatra komunikasi antarbudaya . yogyakarta: pustaka pelajar. marhumah, ema. 2011. konstruksi sosial gender di pesantren; studi kuasa kiai atas wacana perempuan. yogyakarta: lkis. – vol. 1, no. 1, januari – juni 2016 | 99 morissan. 2009. teori komunikasi organisasi. bogor: ghalia indonesia. _______ . 2010. psikologi komunikasi. bogor: ghalia indonesia. mulyana, dedy. 2004. komunikasi populer; kajian komunikasi dan budaya kontemporer. bandung: pustaka bani quraisy. _____________. 2005. nuansa-nuansa komunikasi; meneropong politik dan budaya komunikasi masyarakat kontenporer. bandung. pt. remaja rosdakarya. _____________. 2008. komunikasi efektif; suatu pendekatan lintasbudaya. bandung. pt. remaja rosdakarya. _____________. 2010. komunikasi lintas budaya; pemikiran perjalanan dan khalayan. bandung. pt. remaja rosdakarya. mulyana, deddy dan rakhmat, jalaluddin (editor). 2006. komunikasi antarbudaya; panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. bandung: pt. remaja rosdakarya. nurhadi (penerjemah bukunya; jurgen habermas). 2009. teori tindakan komunikatif; rasio dan rasionalisasi masyarakat. bantul: kreasi waacana. rakhmat, jalaluddin. 2009. psikologi komunikasi. bandung: pt. remaja rosdakarya. rahman, musthofa. 2011. humanisasi pendidikan islam;plus minus sistem pendidikan pesantren. semarang: walisongo press. rohim, syaiful. 2009. teori komunikasi; persepektif, ragam dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. sihabuddin, ahmad. 2011. komunikasi antarbudaya; satu persepektif multidimensi. jakarta: bumi aksara. soemati, koesdarini dan jusuf, gary. 2006. komunikasi kelompok; proses-proses diskusi dan penerapannya. jakarta: ui-press. sobur, alex. 2009. semeotika komunikasi. bandung: pt. remaja rosdakarya. sunarto, kamanto. 1993. pengantar sosiologi. jakarta: fakultas ekonomi universitas indonesia. supratikya. 2009. tinjauan psikologis; komunikasi antarpribadi. yogyakarta. kanisius. suranto. 2010. komunikasi sosial budaya. yogyakarta: graha ilmu. ______. 2011. komunikasi interpersonal. yogyakarta: graha ilmu. 100 | rudi hartono – pola komunikasi di pesantren stephen, littlejohn, & a. foss, karen. 2005. theories of human communication. usa: thomson wadsworth. syam, w, nina. 2009. sosiologi komunikasi. bandung: humaniora. umiarso dan zazin, nur. 2011. pesantren di tengah arus mutu pendidikan; menjawab problematika kontemporer manajemen mutu pesantren. semarang: rasail media group. wisnuwardhani, dian dan mashoedi, fatmawati. 2012. hubungan interpersonal; cemburu, cinta, kometmen, keintiman dan perselingkuhan. jakarta: salemba humanika. zamroni, muhammad. 2009. filsafat komunikasi; pengantar ontologis, epistemologis, aksiologis. yogyakarta: graha ilmu. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti sultan zainal abidin university, malaysia wahyu saefudin* sultan zainal abidin university, malaysia adinda shofia universitas pendidikan muhammadiyah sorong, indonesia mujib politeknik negeri pontianak, indonesia keywords: mental health; online learning; self-efficacy; social support correspondence: e-mail: si3863@putra.unisza.edu.my *si3864@putra.unisza.edu.my adindashofia@unimudasorong.ac.id mujib@polnep.ac.id abstract the covid-19 pandemic influenced education policy in indonesia; the consequence of traditional learning switched to online learning. this transition affects students’ mental health at various universities in indonesia. this study aimed to examine the mental health level of 82 students who took online learning course and explained the effect of social support and self-efficacy on students’ mental health. the present study utilized three measuring tools namely the indonesian versions of child and adolescent social support scale (casss), general self-efficacy scale, and mental health continuum (mhc-sf). regression analysis was used to determine the effect of social support and self-efficacy on students’ mental health. the results obtained from this study were that the majority of respondents’ mental health, 81.7% were in the high category, 17.1% were in the moderate category, and 1.2% of respondents were in the low https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh 2 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e abstrak pandemi covid-19 mempengaruhi kebijakan pendidikan di indonesia, dampaknya pembelajaran tatap muka harus beralih menjadi pembelajaran daring. peralihan ini berdampak pada kondisi kesehatan mental mahasiswa di berbagai universitas di indonesia. penelitian ini bertujuan untuk melihat level kesehatan mental pada 82 mahasiswa yang mengikuti pembelajaran secara daring dan menjelaskan pengaruh dukungan sosial dan efikasi diri terhadap kesehatan mental mahasiswa. instrumen pengukuran yang digunakan dalam penelitian adalah child and adolescent social support scale (casss), general self-efficacy scale, and mental health continuum (mhcsf). pengaruh dukungan sosial dan efikasi diri terhadap kesehatan mental mahasiswa, peneliti menggunakan analisis regresi ganda. hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah mayoritas kesehatan mental responden, 81,7% berada pada kategori tinggi, 17,1 % berada pada kategori sedang, dan 1,2% berada pada kategori rendah. selanjutnya, dukungan sosial dan efikasi diri juga berpengaruh sebesar 71,9% (r square=0,719, p=0,000) terhadap kesehatan mental, dengan sumbangan efektif sebesar 41,9% oleh dukungan sosial dan 30% efikasi dari. dengan demikian, dukungan sosial dan efikasi diri merupakan kunci penting yang mampu meningkatkan kesehatan mental mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran online. kata kunci: kesehatan mental; pembelajaran daring; efikasi diri; dukungan sosial category. furthermore, social support and self-efficacy also affect 71.9% (r square = 0.719, p = 0.000) of mental health, with an effective contribution of 41.9% by social support and 30% by self-efficacy. thus, social support and self-efficacy are important keys to improving students’ mental health in online learning. 3social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) how to cite this (apa 7th edition): sriwiyanti, saefudin, w., shofia, a., & mujib (2022). social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 7(1), 1–30, https:// doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 introduction the pandemic impacts the whole level of public activities, forcing a shift from offline to online mode, including the educational system. however, most students refuse online learning due to technological and financial constraints (baloran, 2020). the migration process of traditional education settings to online learning also becomes controversial due to the absence of appropriate planning, design, and development of online instructional programs because of the emergency (adedoyin & soykan, 2020). this condition leads to decreased student motivation, self-efficacy, and cognitive engagement (patricia aguilera-hermida, 2020). direct social interactions in school were also related to students’ quality of life (cleofas, 2020). for example, involvement in school organizations in traditional settings has been known to decreased depression levels. therefore, the transition to online learning affects student mental health. recent literature reviews regarding the psychosocial impact of previous epidemics found that fears, anxieties, and depression were common psychological symptoms (chew et al., 2020). a cross-sectional study involving 746,217 students in china found psychological problems among students during the lockdown (ma et al., 2020). students experienced acute stress (34.9%), anxiety (21.1%), and depressive symptoms (11.0%). in addition, 24.9% of college students experienced increased anxiety levels due to disturbance in student academic activities, social distancing, and parental economic prospects (cao et al., 2020). 4 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e according to westerhof and keyes (2010), mental illness and mental health are not opposites but occur and overlap on separate continua. levels of mental illness co-exist with levels of mental health, creating different states of subjective well-being. in our research, emotional well-being refers to the presence or absence of emotional difficulties on the mental illness continuum. meanwhile, mental health refers to the continuum between flourishing and languishing, well-functioning, and experiencing subjective feelings of incompleteness, emptiness, or stagnation. mental health includes the following three core components: emotional health (happiness and satisfaction), psychological well-being (purpose in life, self-realization), and social well-being (being of social value) (westerhof & keyes, 2010). various factors may influence adolescents’ mental health. one critical factor is social support from family members, peers, and significant others. social support effectively decreases depression and anxiety among adolescents during the outbreak of covid-19 (qi et al., 2020). social support also plays a primary role in mediating trait gratitude and subjective well-being in chinese adolescents. adolescents with high trait gratitude can build positive relationships and gain high social support from family, peers, and significant others. it may increase their subjective well-being (kong et al., 2021). furthermore, a study by cohen and wills (1985) identified the correlation between social support and general well-being. their findings discuss the structure and function of social support in an individual and whether social support plays a role as a buffering or primary process. they also emphasized that social support could directly affect well-being by enhancing the social network, and on additionally side social support plays a role as stress buffer. similar to this study, sarason et al. (1987) also described the implications of social support where the relationship is a provider of support, and the absence of this support drives anxiety. 5social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) besides that, sandler and barrera (1984) explained that when people perceive that they are receiving a proper level of support, the adverse outcomes of stress are not manifested. furthermore, support satisfaction showed a direct association with any psychological symptomatology. social support in an educational context focuses on types of support and sources of support perceived by students (nolten, 1994). this theory was also developed by malecki and elliot (1999), which primarily based on a work by tardy (1985). it emphasized the operational definitions of social support, which primarily discuss the source of support for children and adolescents. providing support to students in educational and psychological difficulties is a natural disclosure and consequently is a fragment of interventions designed to strengthen the functioning of children and adults. in addition, malecki and demaray (2002) stated that social support plays a role in decreased clinical and school maladjustment indicators that arise from family support, friends’ support (peers and close friends), and teachers’ support. child and adolescents social support scale (casss) is a measurement that encompasses all of those facets. the casss contains a different aspect of social support (malecki & demaray, 2002). first, emotional support consists of various types such as trust, caring, empathy, acceptance, and intimate interaction (tardy, 1985). second, instrumental support consists of helping behaviors in various forms, such as giving money, helping act in a difficult situation, spending precious time together, and providing necessities (wills & shinar, 2000). third, informational support is defined as providing knowledge or advice such as valuable insight as a problem solving, providing information, guidance, and advices. fourth, appraisal support means providing evaluative feedback and rewards in many ways; e.g., giving verbal affirmation, praising, and delivering feedback regarding the progress (birch, 1998). it also includes constructive critique or evaluation for maintaining self-evaluation. 6 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e in addition, self-efficacy is also a variable that can reduce the negative impact of anxiety and doubt in online learning (saefudin et al., 2021a). high self-efficacy prepares an individual to face various online learning difficulties, such as anxiety, stress, and depression (lemay et al., 2021; tsuroya, 2020). various studies related to self-efficacy during the pandemic also confirmed the important role of self-efficacy for students. self-efficacy was found to be related to procrastination, academic flow, and academic performance (khotimatussannah et al., 2021; pantu, 2021; rahmadina et al., 2020). furthermore, self-efficacy is a variable that can predict an individual’s mental health. self-efficacy refers to an individual’s belief in his ability to succeed in something (bandura, 1977). it includes knowing what needs to be done and being emotionally capable of doing it. people’s belief in their abilities will affect how they respond to certain situations or conditions (shofia, 2021). in general, self-efficacy is self-confidence or individual belief in their ability to do something, produce something, organize, achieve their goals, and implement actions to realize certain skills (saefudin, 2020). self-efficacy affects the mental health of medical students in learning during covid-19 pandemic (arima et al., 2020). therefore, self-efficacy can predict psychological distress in medical students in japan during the pandemic. in addition, self-efficacy is a strong variable in predicting mental health among people in turkey (yıldırım & güler, 2020). therefore, if a student has high self-efficacy, the student will also have good mental health. high self-efficacy will help students avoid the negative effects of online learning during the pandemic; including burnout, depression, anxiety, and somatic symptoms (bolatov et al., 2021). studies about social support and mental health have been conducted multiple times in many countries (colarossi & eccles, 2003; daly et al., 2015; laird & kuhn, 2014; qi et al., 2020). it also includes studies about 7social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) self-efficacy and mental health (annisa et al., 2020; bolatov et al., 2021; deliviana et al., 2021; jin et al., 2021; walean et al., 2021). however, there is a lack of research in the educational context, specifically in pandemic situations, related to the emergency regulation of online learning that bring out various challenges (adedoyin & soykan, 2020; patricia aguilerahermida, 2020). also, it is crucial to examine the influence of social support and self-efficacy on students’ mental health, which will significantly affect various aspects of the educational system. in addition, this study had two hypotheses. firstly, the alternative hypotheses: 1. there was a significant effect of social support on students’ mental health in online learning during the pandemic; 2. there was a significant effect of self-efficacy toward students’ mental health in online learning during the pandemic. 3. there was a significant effect of social support and self-efficacy toward students’ mental health in online learning during the pandemic. the study also proposed three null hypotheses: 1. there was no significant effect of social support on students’ mental health in online learning during the pandemic; 2. there was no significant effect of self-efficacy on students’ mental health in online learning during the pandemic. 3. there was no significant effect of social support and self-efficacy toward students’ mental health in online learning during the pandemic. methods this study was a correlational research between three variables. first, the study examined the mental health level among university students during online learning. second, it aimed to identify the effect of social support and self-efficacy on university students’ mental health during online learning. the entire survey consisted of 67 items and took about 15 minutes to complete. the sampling method used in this research is non-probability, namely convenience sampling. further, the scale was 8 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e delivered using google form to distribute the form online to students. we also announced the survey using a flyer on social media to reach eligible participants. respondents in this study were 82 college students. the data collection period was from december 1-15, 2021. the inclusion criteria include college students in indonesia, students who at that time underwent online learning in university for at least a semester, and aged 18-25. the instruments used in this study were: the social support scale, the general self-efficacy scale, and the mental health scale. the scale used to measure social support was originally developed by malecki and demaray (2002), namely the child and adolescent social support scale (casss) in germany and the english language. however, a theses research from the university of islam indonesia by suharti (2020) has modified the scale to indonesian language and online learning context in senior high school participants. therefore, this study modified the latest scale based on the research requirement and try-out result. moreover, the researchers reduced the 48 items into 43 items to fit the participants’ backgrounds. as a result, cronbach’s alpha score was 0.980, categorized as a high score. the scale used to measure self-efficacy, originally from the general self-efficacy scale from schwarzer and jerusalem (1995), consisted of 10 items and was available in indonesian language. the scale was constructed to assess perceived self-efficacy to predict coping ability to daily hassles and adaptation after experiencing stressful life events. the basis for using this scale is that in a sample of 23 countries, the obtained cronbach’s alpha scores ranged from 0.76 to 0.90, with the majority being 0.80. the mental health continuum (mhc-sf) assesses mental health as keyes (2002) defined. this 14-item scale contains three items that assess emotional health, six items that measure ryff ’s dimensions of psychological well-being (i.e., self-realization, positive relationships, autonomy, mastery, purpose in life, and personal growth), and five items 9social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) that measure keyes’ dimensions of social well-being (i.e., being of value to society). on a 4-point scale, the mhc-sf measures the frequency of respondents’ experiences of each mental health dimension. this study used the mhc-sf indonesian version scale by alfikalia (2020) with a good internal consistency of 0.881 and item discrimination indices ranging between 0.3 – 0.807. high score indicates flourishing mental health, whereas a low score indicates languishing mental health (keyes, 2002). in conducting the analysis, this study utilized spss version 25. moreover, two statistical analysis techniques were implemented in this study. first, researchers used the normality, linearity, heteroscedasticity, and multicollinearity test to test the assumption. the normality test checked whether the research data comes from a population normally distributed as a requirement for the next analysis step. in this study, the normality test shown from the kolmogorov smirnov table was assessed by obtaining skewness and kurtosis values. the probability value is > 0.05 indicates that the data is normally distributed. however, if the probability value is < 0.05, the data is not normally distributed. then, the skewness or kurtosis value is divided by the standard error value, not more than 1.95 (5%) or 2.58 (1%). furthermore, the linearity test determines whether the dependent variable has a linear relationship (george & mallery, 2020). if the value of deviation of linearity sig>0.05, then there is a significant linear relationship between the independent and dependent variables. moreover, if the value of deviation of linearity sig<0.05, then there is no significant linear relationship between the independent and dependent variables. moreover, the heteroscedasticity test is a test that assesses whether there is an inequality of variance from the residuals for all observations in the linear regression model. this test is one of the classical assumption tests performed on linear regression. in this study, the researcher focuses on looking at the dots that form a certain regular pattern (wavy, widened, 10 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e narrowed, or vice versa), then indicating that heteroscedasticity occurs. patterns can also occur with the dots spreading above the y-axis or below. if there is no clear pattern, homoscedasticity occurs and is declared to meet the classical assumption test. the second analysis used in this study was multiple regression analysis to test the hypothesis. again, the r square showed the effect of the dependent variable on the independent variable. results and discussion research results descriptive data analysis aims to describe the tendency of respondents’ answers to the questions posed in the questionnaire, then used to obtain respondents’ answers regarding the condition of the variables. based on the data processing results, the value of the frequency distribution is divided into three categories: low, medium, and high. figure 1 explains that student’s mental health during online learning was mostly in the high category. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) social support, self-efficacy, and student's mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib in this study, the researcher focuses on looking at the dots that form a certain regular pattern (wavy, widened, narrowed, or vice versa), then indicating that heteroscedasticity occurs. patterns can also occur with the dots spreading above the y-axis or below. if there is no clear pattern, homoscedasticity occurs and is declared to meet the classical assumption test. the second analysis used in this study was multiple regression analysis to test the hypothesis. again, the r square showed the effect of the dependent variable on the independent variable. results and discussion research results descriptive data analysis aims to describe the tendency of respondents' answers to the questions posed in the questionnaire, then used to obtain respondents' answers regarding the condition of the variables. based on the data processing results, the value of the frequency distribution is divided into three categories: low, medium, and high. figure 1 explains that student's mental health during online learning was mostly in the high category. figure 1. scatterplot figure 1. mental health’s respondents chart. 11social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. frequency distribution frequency percent valid percent cumulative percent valid low 1 1.2 1.2 1.2 moderate 14 17.1 17.1 18.3 high 67 81.7 81.7 100.0 total 82 100.0 100.0 based on the table 1, most respondents have mental health scores in the high category, with 67 respondents or around 81.7%. meanwhile, there were 14 respondents in the moderate category or around 17.1%. finally, respondents who scored in the low category amounted to 1 student or 1.2% from total respondents. the first stage in the classical assumption test is the normality test by looking at the normal probability plots. data is normally distributed if the lines (dots) follow the diagonal line. therefore, based on the normal probability plots in figure 2, it can be concluded that the data in this study are normally distributed. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) social support, self-efficacy, and student's mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib table 1. frequency distribution frequency percent valid percent cumulative percent valid low 1 1.2 1.2 1.2 moderate 14 17.1 17.1 18.3 high 67 81.7 81.7 100.0 total 82 100.0 100.0 based on the table 1, most respondents have mental health scores in the high category, with 67 respondents or around 81.7%. meanwhile, there were 14 respondents in the moderate category or around 17.1%. finally, respondents who scored in the low category amounted to 1 student or 1.2% from total respondents. the first stage in the classical assumption test is the normality test by looking at the normal probability plots. data is normally distributed if the lines (dots) follow the diagonal line. therefore, based on the normal probability plots in figure 2, it can be concluded that the data in this study are normally distributed. figure 2. normal probability plots the second stage in the classical assumption test is the heteroscedasticity test by observing the image scatterplot. based on the observation in figure 3, it can be seen that there are points that spread below and above the y-axis and do not have a regular pattern. thus, it can be concluded that there is no heteroscedasticity or homoscedasticity between the independent variables. figure 2. normal probability plots 12 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e the second stage in the classical assumption test is the heteroscedasticity test by observing the image scatterplot. based on the observation in figure 3, it can be seen that there are points that spread below and above the y-axis and do not have a regular pattern. thus, it can be concluded that there is no heteroscedasticity or homoscedasticity between the independent variables. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) social support, self-efficacy, and student's mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib figure 3. scatterplot the third stage in the classical assumption test is the autocorrelation test by observing the results of the durbin-watson test. based on table 2, it can be seen that the results of the durbin-watson test are 2.174. this value is greater than the value of the table durbin-watson test, which is 1.45. therefore, there is no autocorrelation in the residuals in this research data. table 2. autocorrelation test result r r square adjusted r square r square change f change p durbin-watson .848a .719 .712 .719 101.175 .000 2.174 the fourth stage in the classical assumption test is the multicollinearity test by observing the vif value (table 3). the magnitude of the value tolerance (a) used is 10 percent, so the vif is 10, the calculation results show that each independent variable has a vif value of less than 10, so it can be concluded that there is no multicollinearity between independent variables. table 3. multicollinearity test result figure 3. scatteplot of heteroscedasticity. the third stage in the classical assumption test is the autocorrelation test by observing the results of the durbin-watson test. based on table 2, it can be seen that the results of the durbin-watson test are 2.174. this value is greater than the value of the table durbin-watson test, which is 1.45. therefore, there is no autocorrelation in the residuals in this research data. 13social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 2. autocorrelation test result r r square adjusted r square r square change f change p durbinwatson .848a .719 .712 .719 101.175 .000 2.174 the fourth stage in the classical assumption test is the multicollinearity test by observing the vif value (table 3). the magnitude of the value tolerance (a) used is 10 percent, so the vif is 10, the calculation results show that each independent variable has a vif value of less than 10, so it can be concluded that there is no multicollinearity between independent variables. table 3. multicollinearity test result variable vif tolerance value description social support 2.647 .378 no multicollinearity self-efficacy 2.647 .378 no multicollinearity researchers used a multiple linear regression test to determine the effect of social support and self-efficacy on students’ mental health during online learning. based on the anova table (table 4), it is found that the social support and self-efficacy variables can predict mental health variables with the regression equation (f= 101.175, p<0.05) and the significance value obtained is 0.000 (p<0.05). this study’s coefficient of determination (r square) was 0.719 or 71.9% (table 5). therefore, the two independent variables can predict the dependent variable by 71.9%. therefore, social support and self-efficacy can predict students’ mental health during online learning with a prediction rate of 71.9%. 14 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e table 4. multiple linear regression test result mental health social support self-efficacy pearson correlation mental health 1.000 .815 .787 social support .815 1.000 .789 self-efficacy .787 .789 1.000 sig. (1-tailed) mental health . .000 .000 social support .000 . .000 self-efficacy .000 .000 . n mental health 82 82 82 social support 82 82 82 self-efficacy 82 82 82 table 5. multiple regression analysis dependent variable predictors contribution f p r r2 description mental health social support 0.419 101.175 0.000 (p<0.05) .848 .719 there is correlation self-efficacy 0.300 the effective contribution of social support and self-efficacy variables to student’s mental health during online learning is obtained by using the following calculation formula: se(x)% = β x x r xy x 100% based on the results of statistical calculations, it is known that several coefficients are shown in table 5. the calculation results of the effective contribution formula show that the effectiveness of social support provides an effective contribution of 0.419 or 41.9, and selfefficacy provides an effective contribution of 0.300 or 30%. 15social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the description of student’s mental health based on the research results, most respondents have a high mental health condition. the number of respondents in the high category was 67, or about 81.7% of the total respondents in this study. furthermore, 14 respondents were in the medium category and one in low. these results are in line with research conducted by aziz et al. (2021) that the pandemic affects the mental condition of students in online learning. in a study to 123 respondents, 70% reported good mental health conditions, and 30% had poor conditions. in addition, students often experience mental health forms, including burnout, anxiety, depression, anxiety, and somatic symptoms (annisa et al., 2020; bolatov et al., 2021). furthermore, these results are also in line with hasanah et al.’s (2020) study conducted to measure the psychological state of 190 students. the study results explained that 96.32% of respondents had normal levels of depression, 87.89% had normal stress levels, and 41.5% experienced mild anxiety levels during online learning. therefore, the score can mean that all students have good mental health. furthermore, research from walean et al. (2021) also confirmed that most students have a level of anxiety in the mild category. good mental health will impact students’ success in following and completing the online learning process. in addition, students with good mental health can also face various situations in life and adapt well (deliviana et al., 2021). conversely, poor mental health may cause failure in following online learning. other negative impacts of declined mental health are burnout, depression, and other anxiety symptoms (bolatov et al., 2021). academic burnout due to poor mental health during online learning also causes student to feel tired, become cynical, and experience a sense of incompetence in completing assigned tasks (novianti, 2021). 16 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e the effect of social support on student’s mental health according to the result of regression analysis, it can be concluded that social support strongly affects mental health in online learning during the pandemic. this finding has proven the finding to be aligned with some previous studies. a systematic review by harandi et al. (2017) examined 64 similar studies and concluded that social support is related to mental health. for instance, perceived social support can inhibit the damaging physiological complications of diseases. while in university, students are likely to contact social networks and be more used to receiving social support when encountering stressful situations. another study by karaca et al. (2019) found that social support in students’ education is a protective factor for mental health. students’ main social support sources were their families, peers, and spouses or partners. in a more detailed explanation, every source of social support has also been proven to have a direct link to mental health. for instance, family support as a form of social support, is one of the predictors that lower mental health service use, levels of depression, and the prevalence of suicide attempts (lecloux et al., 2016). family support also becomes an effort to prevent mental health problems. family support program developed by counselor becomes a part of the treatment for adolescents diagnosed with mental health problems (laird & kuhn, 2014). adolescents with warm family relationships believe that their family can be trusted and reliable. this condition leads to higher self-efficacy and motivation to achieve goals (triana et al., 2019). it means positive mental health in adolescents is affected by family functions as strong support systems. specifically, family influences emotional well-being, psychological wellbeing, and social well-being (florensa et al., 2019). family support is service-oriented and aims to improve family functioning and conduct supportive relationships. this service is mainly 17social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) about care, psychological support to family members, and economic provision to establish well-being (daly et al., 2015). moreover, emotional or esteem support includes giving positive regard and encouragement, tangible or instrumental support such as direct assistance and offering help or money, and informational support such as giving advice or suggestions (sarafino & smith, 2011). however, lower emotional support reduces family cohesion and increases conflict (pierce et al., 1996). therefore, students living independently at home or dormitory, far away from their families have lower social support and are more vulnerable to those who live with a family (tahmasbipour & taheri, 2012). in addition, friends or peer support also plays a role in mental health particularly in relation to self-esteem and the prevalence of depression. perceived support may affect mental health outcomes by increasing beliefs that are negatively associated with depression and low self-esteem, such as acceptance, self-worth, the belief that significant others will help, and connectedness to others (or lack of loneliness) (colarossi & eccles, 2003). another study found that general friendships and support predict students’ social integration at university. then, social integration predicts students’ mental health and well-being (rubin & kelly, 2015). the next corroborating study (rubin et al., 2016) also stated that social contact with university friends negatively correlated with depression and positively predicts well-being. social contact with university friends acts as a significant mediator toward satisfaction with life (rubin et al., 2016). additionally, teacher is one of the sources of support in students’ mental health. a better teacher-student relationship is linked to lower student mental health issues. reversely, the absence of teachers’ support is associated with higher psychological distress (harding et al., 2018). teachers also have a role in delivering school mental health interventions as they offer the most effective mental health services to students in school settings (franklin et al., 2012). therefore, teachers should implement their 18 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e support in many ways, such as discussions of real cases related to practical guidance on how to help students dealing with difficulties, focused on supporting rather than solving a student’s problem, and engaging and being active in educational processes (shelemy et al., 2019). we can conclude that in university students, social support can positively affect mental, physical, and social health; it has protective and fundamental effects (tahmasbipour & taheri, 2012). furthermore, perceived social support predicted greater mental health levels in college students, including fewer depressive and anxiety symptoms, lower stress level, and higher satisfaction with life (shelton et al., 2017). in this study context, a similar insight also arises from the finding; students’ mental health remained high in online learning processes during pandemics and was affected by social support from family, friends, and teachers. therefore, during difficult times, students need different types of support: emotional support, informational support, instrumental support, and appraisal support. this study also confirmed the previous research conducted by arima et al. (2020) on students in japan, explaining that self-efficacy affects students’ mental health during the covid-19 pandemic. if schools expect students’ mental health to be good, intervention programs are needed to improve their self-efficacy. furthermore, yıldırım and güler’s (2020) study in turkey supported the findings, that self-efficacy can be used as a preventive measure in preventing mental health. this finding might be explained by high self-efficacy in individuals that helps them deal with stressful conditions experienced during a pandemic, through effective coping strategies (yunita et al., 2021). students also experience some negative mental health conditions during the pandemic, including burnout syndrome, depression, anxiety, somatic symptoms, and declined academic performance (bolatov et al., 2021; saefudin et al., 2021b). 19social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) high self-efficacy can also reduce student academic stress, so students will handle pressure, demands, competition, and expectations from the environment better (wistarini & marheni, 2018). other studies have demonstrated that high self-efficacy also affects students’ academic procrastination. students with high self-efficacy will not delay the completion of a given task in ongoing online learning (rahmadina et al., 2020). self-efficacy plays an important role in determining attitudes and the amount of effort that students put toward their study, so they can think and react to complete tasks. concerning online learning activities, selfefficacy also affects strategic self-regulated learning (lee et al., 2020). selfregulated learning is one of the important factors influencing academic success in face-to-face learning. furthermore, alemany-arrebola et al. (2020) also confirmed that the covid-19 pandemic affected student anxiety (state anxiety and trait anxiety). students with high trait anxiety also showed an increased state anxiety during covid-19 pandemic. therefore, it is inseparable from the covid-19 pandemic, which impacts the stressful situation (sriwiyanti et al., 2021). students’ self-efficacy can reduce the anxiety experienced in learning during covid-19 pandemic. the higher the anxiety rate, the lower the self-efficacy (alemany-arrebola et al., 2020). poor individual self-efficacy may also lead to emotional, physical, and mental exhaustion due to excessive and prolonged stress, a condition known as burnout (ulfa & aprianti, 2021). burnout made individuals feel emotionally exhausted; causing them unable to carry out daily responsibilities. as stressful conditions continue, burnout people can lose interest and motivation. self-efficacy affects motivation to solve the problems at hand; therefore, high self-efficacy reduces burnout in students (pellerone, 2021; ulfa & aprianti, 2021). a study by chen et al. (2020) to young chinese nurses revealed self-efficacy can also be a mediator of job stress and mental health 20 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e problems, including depression and anxiety . self-efficacy is also able to mediate adverse childhood experiences and mental health. thus, the effects of adverse childhood experiences such as social, emotional, and health problems can be reduced (treat et al., 2020). among children who experienced bullying, self-efficacy can also be a mediator in reducing the prevalence of poor mental health state (lin et al., 2020). the various studies above confirm that students’ confidence in their ability to master situations and produce positive affects their mental health. in conclusion, this study has proved that social support and selfefficacy can affect the students’ mental health in online learning during a pandemic. the effect of independent variables that conclude social support and self-efficacy can predict students’ mental health during online learning with a predictive rate of 71.9%. there are other variables outside these two independent variables that influence students’ mental health. moreover, this study does not discuss the demographic factors of the respondent that may contribute to dependent factor. this study also had a small sample size (82 students). conclusion and suggestion conclusion this study explained online learning students’ mental health levels during the covid-19 pandemic. from the results of the data analysis conducted, the majority of respondents have mental health scores in the high category. this study also explained the simultaneous contribution of social support and self-efficacy toward students’ mental health with a coefficient of determination of 0.719. social support has a bigger contribution towards mental health. the greater the social support students receive and the higher their level of self-efficacy, the moreincrease of mental health conditions they will gain while participating in online learning. 21social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion future researchers can advance this research topic by perfecting the limitations of this study. there is space for further researchers to study other variables in improving students’ mental health. future studies can analyze other related topics, especially related to the challenges and complex adaptation in pandemic situations. furthermore, it can be organized by involving more participants from various regions or varying levels of education. future studies may also involve the demographic factors of the respondents to make the study more holistic. therefore, the broader research scope will help future researchers to achieve robust results. references adedoyin, o. b., & soykan, e. (2020). covid-19 pandemic and online learning: the challenges and opportunities. interactive learning environments, 1–14. https://doi.org/10.1080/10494820.2020.181 3180 alemany-arrebola, i., rojas-ruiz, g., granda-vera, j., & mingoranceestrada, á. c. (2020). influence of covid-19 on the perception of academic self-efficacy, state anxiety, and trait anxiety in college students. frontiers in psychology, 11(october), 1–7. https:// doi.org/10.3389/fpsyg.2020.570017 annisa, n., efendi, r., & chairani, l. (2020). hubungan sistem pembelajaran daring dengan kesehatan mental mahasiswa di era covid-19 menggunakan chi-square test dan dependency degree. seminar nasional teknologi informasi komunikasi dan industri (sntki), 600–607. arima, m., takamiya, y., furuta, a., siriratsivawong, k., tsuchiya, s., & izumi, m. (2020). factors associated with the mental health status of medical students during the covid-19 pandemic: a cross-sectional study in japan. bmj open, 10(12), 1–7. https:// doi.org/10.1136/bmjopen-2020-043728 22 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e aziz, z. a., ayu, d. a., bancin, f. m., syara, s. g., manalu, w. b., artika s, r., lia, s. f., tanjung, l. p., manalu, a. s. b., br karo, s. i. k., br bangun, c. a., limbong, f. w., & siregar, n. f. (2021). gambaran kesehatan mental mahasiswa di masa pandemi covid-19. jurnal dunia kesmas, 10(1), 130–135. https://doi.org/10.33024/jdk. v10i1.3256 baloran, e. t. (2020). knowledge, attitudes, anxiety, and coping strategies of students during covid-19 pandemic. journal of loss and trauma, 25(8), 635–642. https://doi.org/10.1080/15325024. 2020.1769300 bandura, a. (1977). self-efficacy: toward a unifying theory of behavioral change. psychological review, 84(2), 191–215. https://doi. org/https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/0033-295x.84.2.191 birch, d. (1998). identifying source of social support. the journal of school health, 68(4), 159-161. bolatov, a. k., seisembekov, t. z., askarova, a. z., baikanova, r. k., smailova, d. s., & fabbro, e. (2021). online-learning due to covid-19 improved mental health among medical students. medical science educator, 31(1), 183–192. https://doi.org/10.1007/ s40670-020-01165-y cao, w., fang, z., hou, g., han, m., xu, x., dong, j., & zheng, j. (2020). the psychological impact of the covid-19 epidemic on college students in china. psychiatry research, 287(march), 112934. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112934 chen, j., li, j., cao, b., wang, f., luo, l., & xu, j. (2020). mediating effects of self-efficacy, coping, burnout, and social support between job stress and mental health among young chinese nurses. journal of advanced nursing, 76(1), 163–173. https://doi. org/10.1111/jan.14208 chew, q. h., wei, k. c., vasoo, s., & sim, k. (2020). psychological and coping responses of health care workers toward emerging infectious disease outbreaks: a rapid review and practical implications for the covid-19 pandemic. the journal of clinical psychiatry, 81(6), 350–356. https://doi.org/10.4088/jcp.20r13450 cleofas, j. v. (2020). student involvement, mental health and quality of life of college students in a selected university in manila, 23social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) philippines. international journal of adolescence and youth, 25(1), 435–447. https://doi.org/10.1080/02673843.2019.1670683 cohen, s., & wills, t. a. (1985). stress, social support, and the buffering hypothesis. psychological bulletin, 98(2), 310–357. https://doi. org/10.1037/0033-2909.98.2.310 colarossi, l. g., & eccles, j. s. (2003). differential effects of support providers on adolescents’ mental health. social work research, 27(1), 19–30. https://doi.org/10.1093/swr/27.1.19 daly, m., bray, r., bruckauf, z., byrne, j., margaria, a., pecnik, n., & samms-vaughan, m. (2015). family and parenting support. policy and provision in a global context. innocenti insight, 106. italia: united nations children’s fund deliviana, e., maria helena erni, putri melina hilery, & novi melly naomi. (2021). pengelolaan kesehatan mental mahasiswa bagi optimalisasi pembelajaran online di masa pandemi covid-19. jurnal selaras: kajian bimbingan dan konseling serta psikologi pendidikan, 3(2), 129–138. florensa, m. v. a., keliat, b. a., wardani, i. y., & sulistiowati, n. m. d. (2019). promoting the mental health of adolescents through cognitive behavior group therapy and family psychoeducation. comprehensive child and adolescent nursing, 42(sup1), 267–276. https://doi.org/10.1080/24694193.2019.1594459 franklin, c. g. s., kim, j. s., ryan, t. n., kelly, m. s., & montgomery, k. l. (2012). teacher involvement in school mental health interventions: a systematic review. children and youth services review, 34(5), 973–982. https://doi.org/10.1016/j. childyouth.2012.01.027 george, d., & mallery, p. (2020). ibm spss statistics 26 step by step (a simple guide and reference) (16th ed.). milton park, abingdon-onthames, oxfordshire united kingdom: taylor & francis. https:// doi.org/10.4324/9780429056765 harandi, t. f., taghinasab, m. m., & nayeri, t. d. (2017). the correlation of social supprt with mental health: a metaanalysis. electornic physician, 9(9), 5212–5222. https://doi.org/doi. org/10.19082/5212 24 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e harding, s., morris, r., gunnell, d., ford, t., hollingworth, w., tilling, k., & evans, r. (2018). is teachers’ mental health and wellbeing associated with students’ mental health and wellbeing? journal of affective disorders, 242, 180-187. https://doi.org/10.1016/j. jad.2018.08.080 hasanah, u., ludiana, immawati, & ph, l. (2020). gambaran psikologis mahasiswa dalam proses pembelajaran selama pandemi covid-19. jurnal keperawatan jiwa, 8(3), 299–306. https://doi.org/10.26714/ jkj.8.3.2020.299-306 jin, y. q., lin, c. l., zhao, q., yu, s. w., & su, y. s. (2021). a study on traditional teaching method transferring to e-learning under the covid-19 pandemic: from chinese students’ perspectives. frontiers in psychology, 12(march), 1–14. https://doi.org/10.3389/ fpsyg.2021.632787 karaca, a., yildirim, n., cangur, s., acikgoz, f., & akkus, d. (2019). relationship between mental health of nursing students and coping, self-esteem and social support. nurse education today, 76(december 2018), 44–50. https://doi.org/10.1016/j. nedt.2019.01.029 khotimatussannah, n., khairunisya, n., pitaliki, t., & anggraeni, a. (2021). pengaruh efikasi diri terhadap penyesuaian akademik di masa pembelajaran online pada mahasiswa universitas muhammadiyah bandung. jurnal sosial dan humaniora, 3(1), 29–36. kong, f., yang, k., yan, w., & li, x. (2021). how does trait gratitude relate to subjective well-being in chinese adolescents? the mediating role of resilience and social support. journal of happiness studies, 22(4), 1611–1622. https://doi.org/10.1007/ s10902-020-00286-w laird, r., & kuhn, e. (2014). family support programs and adolescent mental health: review of evidence. adolescent health, medicine and therapeutics, 5, 127–142. https://doi.org/10.2147/ahmt. s48057 lecloux, m., maramaldi, p., thomas, k., & wharff, e. (2016). family support and mental health service use among suicidal adolescents. journal of child and family studies, 25(8), 2597–2606. https://doi.org/10.1007/s10826-016-0417-6 25social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) lee, d., watson, s. l., & watson, w. r. (2020). the relationships between self-efficacy, task value, and self-regulated learning strategies in massive open online courses. international review of research in open and distance learning, 21(1), 1–22. https://doi.org/10.19173/ irrodl.v20i5.4564 lemay, d. j., bazelais, p., & doleck, t. (2021). transition to online learning during the covid-19 pandemic. computers in human behavior reports, 4, 1–9. https://doi.org/10.1016/j.chbr.2021.100130 lin, m., wolke, d., schneider, s., & margraf, j. (2020). bullying history and mental health in university students: the mediator roles of social support, personal resilience, and self-efficacy. frontiers in psychiatry, 10(january), 1–9. https://doi.org/10.3389/ fpsyt.2019.00960 ma, z., zhao, j., li, y., chen, d., wang, t., zhang, z., chen, z., yu, q., jiang, j., fan, f., & liu, x. (2020). mental health problems and correlates among 746 217 college students during the coronavirus disease 2019 outbreak in china. epidemiology and psychiatric sciences, 29(e-181), 1-10. https://doi.org/10.1017/ s2045796020000931 malecki, c. k., & demaray, m. k. (2002). measuring perceived social support: development of the child and adolescent social support scale (casss). psychology in the schools, 39(1), 1–18. https://doi.org/10.1002/pits.10004 malecki, c. k., & elliot, s. n. (1999). adolescents rating of perceived social support and its importance: validation of the students social support scale. psychology in the schools, 36(6), 475–483. https:// doi.org/10.1002/(sici)1520-6807(199911)36:6<473::aidpits3>3.0.co;2-0 nolten, p. w. (1994). conceptualization and measurement of social support: the development of the student social support scale. madison, wi, united states: university of wisconsin-madison. novianti, r. (2021). academic burnout pada proses pembelajaran daring. jurnal kesehatan perintis, 8(2), 128–133. https://doi.org/10.33653/ jkp.v8i2.656 pantu, e. a. (2021). online learning: the role of academic selfefficiency in creating academic flow. psychological research and 26 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e intervention, 4(1), 1–8. https://doi.org/10.21831/pri.v4i1.40381 patricia aguilera-hermida, a. (2020). college students’ use and acceptance of emergency online learning due to covid-19. international journal of educational research open, 1(july), 100011. https://doi.org/10.1016/j.ijedro.2020.100011 pellerone, m. (2021). self-perceived instructional competence, selfefficacy and burnout during the covid-19 pandemic: a study of a group of italian school teachers. european journal of investigation in health, psychology and education, 11(2), 496–512. https://doi.org/10.3390/ ejihpe11020035 pierce, g. r., sarason, b. r., & sarason, i. g. (1996). handbook of social support and the family. berlin, germany: springer science+business media. qi, et al. (2020). the effect of social support on mental health in chinese adolescents during the outbreak of covid-19. journal of adolescent health, 67(4), 514–518. https://doi.org/10.1016/j. jadohealth.2020.07.001 rahmadina, n. a., sulistiyana, & arsyad, m. (2020). kontribusi dukungan sosial dan efikasi diri terhadap prokrastinasi akademik pada siswa kelas vii di smp negeri 27 banjarmasin. jurnal bimbingan dan konseling ar-rahman, 6(2), 83–87. http://dx.doi. org/10.31602/jbkr.v6i2.3510 rubin, m., evans, o., & wilkinson, r. b. (2016). a longitudinal study of the relations among university students’ subjective social status, social contact with university friends, and mental health and well-being. journal of social and clinical psychology, 35(9), 722–737. https://doi.org/10.1521/jscp.2016.35.9.722 rubin, m., & kelly, b. m. (2015). a cross-sectional investigation of parenting style and friendship as mediators of the relation between social class and mental health in a university community. international journal for equity in health, 14(87), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12939-015-0227-2 saefudin, w. (2020). psikologi pemasyarakatan. jakarta: kencana prenada media. saefudin, w., sriwiyanti, s., & yusoff, s. (2021a). role of social support toward student academic self-efficacy in online learning 27social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) during pandemic. jurnal tatsqif, 19(2), 133–154. https://doi. org/10.20414/jtq.v19i2.4221 saefudin, w., sriwiyanti, s., & yusoff, s. (2021b). spiritual well-being sebagai prediktor performa akademik siswa di masa pandemi. kariman, 09(02), 247–262. sandler, i. n., & barrera, m. (1984). toward a multimethod approach to assessing the effects of social support. american journal of community psychology, 12(1), 37–52. https://doi.org/10.1007/ bf00896927 sarafino, e. p., & smith, t. w. (2011). health psychology: biopsychosocial interactions (7th ed.). hoboken, new jersey, united states: john wiley & sons, inc. sarason, i. g., sarason, b. r., shearin, e. n., & pierce, g. r. (1987). a brief measure of social support: practical and theoretical implications. journal of social and personal relationships, 4(4), 497– 510. https://doi.org/10.1177/0265407587044007 schwarzer, r., & jerusalem, m. (1995). generalized self-efficacy scale. in j. weinman, s. wright, & m. johnston (eds.), measures in health psychology: a user’s portfolio. causal and control beliefs. nfernelson. shelemy, l., harvey, k., & waite, p. (2019). supporting students’ mental health in schools: what do teachers want and need? emotional and behavioural difficulties, 24(1), 100–116. https://doi.org/10.108 0/13632752.2019.1582742 shelton, a. j., wang, c. d. c., & zhu, w. (2017). research perceived social support and mental health: cultural orientations as moderators. journal of college counseling, 20(october), 194–207. https://doi. org/10.1002/jocc.12062 shofia, a. (2021). validasi modul pelatihan komunikasi interpersonal untuk meningkatkan efikasi diri orang tua dalam berkomunikasi dengan remaja di lingkungan berisiko. thesis master (unpublished). yogyakarta: gadjah mada university. sriwiyanti, s., saefudin, w., & yusoff, s. (2021). social support and academic resilience in online learning during pandemic. al-tazkiah: jurnal bimbingan dan konseling islam, 10(2), 95–114. https://doi.org/10.1201/9781315274508-20 28 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e suharti, v. (2020). dukungan sosial dan resiliensi akademik dengan efikasi diri akademik sebagai mediator pada siswa smk yang mengikuti pembelajaran jarak jauh/ daring. thesis master (unpublished). yogyakarta: universitas islam indonesia. tahmasbipour, n., & taheri, a. (2012). a survey on the relation between social support and mental health in students shahid rajaee university. procedia social and behavioural sciences, 47, 5–9. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.603 tardy, c. h. (1985). social support measurement. american journal of community psychology, 13(2), 187–202. https://doi.org/10.1007/ bf00905728 treat, a. e., sheffield-morris, a., williamson, a. c., & hays-grudo, j. (2020). adverse childhood experiences and young children’s social and emotional development: the role of maternal depression, self-efficacy, and social support. early child development and care, 190(15), 2422–2436. https://doi.org/10.10 80/03004430.2019.1578220 triana, r., keliat, b. a., wardani, i. y., sulistiowati, n. m. d., & veronika, m. a. (2019). understanding the protective factors (self-esteem, family relationships, social support) and adolescents’ mental health in jakarta. enfermeria clinica, 29(supplement 2), 629–633. https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.04.096 tsuroya, f. i. (2020). dampak pembelajaran online di tengah pandemi covid-19 terhadap proses pembelajaran metode yanbu’a di kelas 2 mi at-taqwa bondowoso. iq (ilmu al-qur’an): jurnal pendidikan islam, 3(2), 199–214. https://doi.org/10.37542/iq.v3i02.124 ulfa, s., & aprianti, m. (2021). pengaruh efikasi diri terhadap burnout dan perbedaannya berdasarkan gender. psychosophia: journal of psychology, religion, and humanity, 3(1), 24–35. https://doi. org/10.32923/psc.v3i1.1651 walean, c. j. s., pali, c., & sinolungan, j. s. v. (2021). gambaran tingkat kecemasan pada mahasiswa di masa pandemi. jurnal biomedik (jbm), 13(2), 132–143. https://doi.org/10.35790/ jbm.13.2.2021.31765 westerhof, g. j., & keyes, c. l. m. (2010). mental illness and mental health: the two continua model across the lifespan. journal 29social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of adult development, 17(2), 110–119. https://doi.org/10.1007/ s10804-009-9082-y wills, t. a., & shinar, o. (2000). measuring perceived and recieved social support. in s. cohen, l. g. underwood, & b. h. gottlieb, (eds.) social support measurement and intervention (pp. 86–90). oxford, united kingdom: oxford university press. https://doi. org/10.1093/med:psych/9780195126709.001.0001 wistarini, n. n. i., & marheni, a. (2018). peran dukungan sosial keluarga dan efikasi diri terhadap stres akademik mahasiswa baru fakultas kedokteran universitas udayana angkatan 2018. jurnal psikologi udayana, 164–173. yıldırım, m., & güler, a. (2020). covid-19 severity, self-efficacy, knowledge, preventive behaviors, and mental health in turkey. death studies, 46(4), 979-986. https://doi.org/10.1080/07481187. 2020.1793434 yunita, r., isnawati, ii. a., & wahyunisari, s. (2021). efikasi diri dengan koping mahasiswa sarjana keperawatan menghadapi pandemi covid 19. jurnal keperawatan, 13(1), 213–226. https://doi. org/10.32583/keperawatan.v13i2.1352 30 social support, self-efficacy, and student’s mental health in online learning during pandemic sriwiyanti, wahyu saefudin, adinda shofia, mujib al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 1 30, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4914 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani* ratna yunita setiyani subarjo komarudin universitas ‘aisyiyah yogyakarta keywords: adolescence; hypnotherapy; smoking intention correspondence: e-mail: *zahrovarisna@unisayogya.ac.id abstract this study aimed to test the effectiveness of islamic hypnotherapy and anchor technique in reducing smoking intentions in adolescents. there were 18 participants in the study: 6 people in the experimental group i (given intervention in the form of islamic hypnotherapy), 6 people in the experimental group ii (given intervention in the form of anchor hypnotherapy), and 6 people in the control group or a waiting list group which would be given intervention after the completion of intervention process in the experimental group i and ii. data were analyzed using the wilcoxon signed rank test and kruskal wallis test. the data showed that islamic hypnotherapy was effective in lowering smoking intention (p=0.027), but anchor hypnotherapy was ineffective in lowering smoking intention (p=0.343). the control group showed no change in smoking intention (p=0.596). qualitatively, participants in experimental groups i and ii reported decreased smoking frequency but the decrease was higher in the experimental group i. meanwhile, the control group did not experience a decrease. 32 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak artikel ini bertujuan menguji efektivitas hipnoterapi islami maupun teknik anchor dalam mengurangi niat merokok pada remaja. ada 18 partisipan dalam penelitian ini, yang dibagi ke dalam tiga kelompok, enam orang dalam kelompok eksperimen i (diberikan intervensi dalam bentuk hipnoterapi islam), enam orang dalam kelompok eksperimen ii (diberikan intervensi dalam bentuk hipnoterapi menggunakan teknik anchor), dan enam orang dalam kelompok kontrol yang masuk daftar tunggu atau diberi intervensi setelah proses intervensi dalam kelompok percobaan i dan ii selesai. teknik analisis yang digunakan wilcoxon signed rank test dan kruskal wallis test. hasil analisis data menemukan bahwa hipnoterapi islam efektif dalam menurunkan niat merokok (p=0,027), hipnoterapi anchor tidak efektif dalam menurunkan niat merokok (p=0,343), dan kondisi kelompok kontrol tidak berubah (p=0,596). secara kualitatif, partisipan dalam kelompok eksperimen i dan ii mengalami penurunan frekuensi merokok dengan tingkat penurunan lebih tinggi terjadi pada kelompok eksperimen i. sementara pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan frekuensi merokok. kata kunci: remaja; hipnoterapi; intensi merokok how to cite this (apa 7th edition): rohmadani, z. v., subarjo, r. y. s., & komarudin. (2022). islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in teens: a pilot study. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 7(1), 31–58, https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 introduction the transition from child to adulthood is a part of human development, where at this time, a teenager goes from being dependent to developing autonomy and maturity. during this period, teenagers experience many physiological and biological changes, which encompass 33islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) a change of emotional conditions. in addition, adolescents are also experiencing various cognitive changes as they develop abstract thinking capacities, understand new ways of information processing, and become more critical. this change is quite challenging and, if coupled with common pressures experienced by teenagers, can make them sometimes less able to cope. however, teenagers who successfully cope with stress usually have good coping or problem-solving strategies (berzonsky, 1981; cole, 1963; geldard, 2012; hurlock, 1973; jersild, 1965; santrock, 2003; santrock, 2011). adolescents in the transition stage usually experience many problems (casey et al., 2010; hashmi, 2013)suicide, and accidental death during this time of life. yet some teens emerge from adolescence with minimal turmoil. we provide a neurobiological model of adolescence that proposes an imbalance in the development of subcortical limbic (e.g., amygdala. teenagers, who are still immature, tend to explore new things. they might be influenced by the behaviours of their friend circle, better known as a peer group. if their friends are smokers, the teenager might follow the behavior and become a smoker. puspaningtyas and zuraya (2022) mentioned that from 2019 to 2021, the number of smokers had increased by 2.1 million. the number went from 57.2 million in 2019 to 59.3 million by 2021 and the total of national cigarette consumption reached 248.7 billion sticks that year. according to the central bureau of statistics (2022), 3.69% of the smokers in indonesia are under 18 years old or categorized as teens. although many people including teenagers adopt smoking habit, it has adverse effects. the adverse effects encompass several aspects. from health aspect, smoking increases the prevalence of lung diseases, liver diseases, respiration problems, cancers, infertility, and other health issues (west, 2017). financially, smoking causes the person to spend a significant 34 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) amount of money to purchase the cigarettes. in psychological aspect, smoking habit might be categorized under impulse-control disorder. smoking is often a maladaptive coping strategy when someone feels anxious, depressed, or troublesome. when a smoker faces a problem that triggers a negative emotional reaction, they will likely smoke to neutralize the negative emotions rather than focusing on the problem (lyvers, hall, & bahr, 2009; mousavi, matinkhah, maadani, & masjedi, 2012). adolescence is a transitional stage that includes a period of vulnerability to negative influences such as crime, drugs, sexuality, and behaviors that endanger health (hurd, zimmerman, & xue, 2009; myers & kelly, 2006). willis (2012) wrote that the stage is an excellent period to develop human’s potentials. desmita (2017) stated that the age range for adolescence period set by experts is from 12 to 21 years-old. there are three categories within the period: early adolescence (from 12-15 yearsold), middle adolescence (from 15-18 years-old), and late adolescence (from 18-21 years-old). willis (2012) explained that teenagers typically encounter some problems, such as adjustment difficulty, religious issues, health problems, economic problems, employment, desire to take a part in society, and problems with spending their leisure time or others. for example, adjusting to society is quite hard for teenagers because they must obey religious norms and community rules. in addition, adolescents must instill positive attitudes towards health. at this stage, adolescents develop autonomy and maturity. a common health problem among teenagers is smoking. based on an interview in september 2018 with guidance and counseling teacher of madrasah aliyah (high school level) x in yogyakarta, five students smoked at school, both within the school perimeter and outside the gate. the behavior is easy to spread out among peer groups and difficult to take care of with only reprimand, so it requires special handling. the school 35islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) has taken action by punishing students who are caught smoking in school, e.g., counseling, offering alternative activities, reporting to parents, and awarded penalty points. however, the smoking behavior was still rampage. smoking behavior, especially in adolescents, can be influenced by many factors, including identity seeking which causes them to try new things in their environment (liang, liao, lee, & liu, 2022; sen & basu, 2000; sumiatin, ningsih, & su’udi, 2022; windahsari, candrawati, & warsono, 2017; yahya, hammangabdo, & omotara, 2010). environmental factors that affect smoking behavior in adolescents include family factors, such as lack of attention from busy parents or family problems. in addition, adolescents might also imitate the smoking behavior from their parents. smoking can damage the health of the smokers and others through passive smoking. the widespread of this behavior can lower the wellbeing of indonesian people, physically and psychologically. previous studies (paschke, scherer, & heller, 2002; rodgman, smith, & perfetti, 2000; vijayaraghavan, messer, white, & pierce, 2013) found that a single cigarette stick contains 20-40 nanograms of benzo(a)pyrene. benzo(a)pyrene causes mutation in the p53 gene (tumor suppressor genes), originally cancerprotection genes, which leads to cancer development. therefore, smoking is not good for health because it increases risks of diseases, especially in tandem with other risk factors like high stress level. smoking is also referred to as a bridge to drug abuse because smoking and drug abuse start in similar fashion, curiosity, and both behaviors may lead to addiction (baumeister, 2017; windahsari et al., 2017). in addition, smoking and drug abuse become a symbol of courage and lifestyle for certain circles. therefore, eradicating or at least reducing smoking prevalence is the first step to take as it may reduce the rate of drug abuse too. economically, the government benefits from the cigarette industry due to its large taxes; which costs are passed down to consumers. in addition, the industry provides many employment opportunities. still, 36 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the government’s advantage is paired by significant losses, namely health problems and declining life, which are intangible. data also show that billions of rupiah were spent to purchase cigarettes across indonesia (windahsari et al., 2017). therefore, the government needs to take action. treatment approach that is often applied to overcome the intention of smoking is psychoeducation using a picture card that shows the dangers of smoking (kuhu, 2012; song, huttunen-lenz, & holland, 2009). psychoeducation is a modality delivered by professionals through the integration of psychotherapy and educational interventions (economou, 2015; shaban & jafernodeh, 2019). psychoeducation increases selfefficacy through vicarious experience and social influence (shaban & jafernodeh, 2019). sari (2012) also implemented a psychoeducation called sadar (sehat, adaptif, reflektif/ healthy, adaptive, and reflective) for adolescents. the program introduced thought management, emotion regulation, behavior management, and emotional internalization management, selfmapping, and environmental mapping. sari’s (2012) study showed that the psychoeducation was not effective to reduce smoking intention. on the other hand, other studies (antari, 2019; .faizah & haq, 2019), proved that psychoeducation effectively lowers smoking behavior in adolescents. in addition to psychoeducation, preventive smoking behavior touches a person’s subconscious level by using hypnosis/hypnotherapy and improving self-efficacy. another strategy that can be used to reduce adolescent smoking intention is cognitive behavioral therapy (cbt). cbt can help an adolescent to restructure thoughts that cause anxiety or stress. these thoughts are likely to cause them turn into smoking as a coping strategy. when an adolescent is able to restructure their thoughts and irrational beliefs in the problems that they currently encounter, they can come up with adaptive responses to their problems. additionally, rational thoughts and 37islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) beliefs can help an individual to neutralize negative emotions. therefore, the adolescent would be able to avoid maladaptive behavioral response, such as smoking (farooq, puranik, & uma, 2020; hargiana, keliat, & mustikasari, 2018; martínez-vispo et al., 2019). the next treatment strategy for smoking teenagers is hypnotherapy. hypnotherapy is one of the most effective treatments for people who smoke. at the time when a person in a trance state will be given a treatment to weaken their desire to smoke (mohamed & el-mwafy, 2015)the researchers trained the students in practicing self hypnosis, and asked them to practice it at home and to document the frequency of daily smoked packs for nine weeks. results: the present study findings indicated that the rate of male smokers among secondary school students in benisuef city was 52.4%, about two third of studied students (65.4%. sunarti and noorjannah (2019)’s study proved that hypnotherapy is effective in reducing the frequency of smoking by giving impulses to weaken the desire to smoke. budiman (2017)a design study aimed at testing the causal relationship (polit & beck, 2006 also stated that hypnotherapy with anchor techniques could reduce the frequency of smoking in adolescents by 78%; 11 out of 15 participants who received the hypnotherapy with anchor techniques had quit smoking. additionally, javel (1980) found that hypnotherapy contains induction and suggestion from an expert and it has a 60% effectiveness rate to reduce smoking intention. margiyati, dwidiyanti, and wijanti’s (2018) study implemented hypnotherapy in 20 smokers and the experiment found that the participants showed decrease in smoking intention. other studies also support the notion that hypnotherapy is effective in helping people to stop smoking (carmody, duncan, solkowitz, huggins, & simon, 2017; elkins & rajab, 2004; elkins, marcus, bates, & rajab, 2006). hassan (2014) wrote that hypnotherapy consists of hypnosis and therapy. hypnosis comes from the greek hypnos, which means sleep. 38 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the term means a semi-conscious state resembles the characteristics of a sleeping person. this is because the individual’s suggestion of relaxation and attention is concentrated on an object. individuals who are suggestive and responsive to the influence of hypnotizing can recall events that have been forgotten and can relieve psychological symptoms. hypnotherapy was found to improve quality of life and happiness (hassan, 2014); reduce depression, stress, and anxiety (alladin, 2018; hammond, 2013; setyadi, murti, & demartoto, 2016; whorwell, 2005); alleviate psychological problems in sports (mukhopadhyay, 2021); solve psychological problems in educational context (drigas, mitsea, & skianis, 2021; wark, 2011); and help people from cigarette dependence (margiyati et al., 2018). islamic hypnotherapy was proposed by carson (1983), with the objective to tame the inner gremlin. gremlin means something that interferes with the operation of the machine (the entity) or can also be referred to as a negative ego that distorts the dynamics of nafs or self (frager, 2013). islamic hypnotherapy involves delivering suggestion towards a person throughout the process of transforming the gremlin (negative ego) to positive ego. anchor hypnotherapy technique is used for cases that require symbols for empowerment as well as lasting post-hypnotic effects. this technique introduces “anchor”, which aims to help clients reaching a peak of positive emotional state. the anchor should be a “unique” symbol. the concept of anchor hypnotherapy is creating an intense emotional situation in which connecting to the client will be easier, and they can capture the symbol introduced in the therapy. when the symbol is recognized in other occasions, a similar emotional state reappears due to the association process (budiman, 2017; sugiyono et al., 2021)central jakarta. this research method uses quasi experiment design. the results of the chisquare test showed that after the intervention, the level of anxiety and 39islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) depression was obtained in the intervention and control groups for the anxiety variables p=1.000 (p>0.05). the hypnotherapy method or procedure usually goes through five stages: pre-induction, induction, deepening, therapeutic procedure, and termination (gunawan, 2009; hunter & eimer, 2012; winarsih & rohmadani, 2020). the pre-induction stage is when the client and the therapist build a good relationship (building rapport), and explore the problem. the second stage/induction is a technique that brings the client to a state of hypnosis by lowering the frequency of alpha brain wave. the third stage is deepening, to lower the client’s theta brain waves towards a deeper hypnotic state after which followed by the stage of the therapeutic procedure, which is the intervention process given to the client; in this case, to lower the frequency of smoking the client is given treatment. the last stage is termination, the process of “reawakening” the client from his “hypnotic sleep” state. comparison between islamic hypnotherapy and anchors because islamic hypnotherapy is new and has never been studied before to reduce smoking intention. meanwhile, anchor hypnotherapy has been studied before and shows effective results. this is in accordance with budiman (2017)a design study aimed at testing the causal relationship (polit & beck, 2006 who found that hypnotherapy with anchor technique can reduce the frequency of smoking in adolescents by up to 78%, even from 15 people treated as many as 11 participants quit smoking. the study aimed to test the effectiveness of islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy techniques in decreasing smoking intention in adolescents. hypotheses proposed in the study were islamic hypnotherapy techniques and anchor hypnotherapy techniques effectively lower adolescent smoking intention. 40 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) methods the research design used in this study is quasi-experimental with multiple treatment and control with pretest design, where this treatment design uses several treatment groups and control groups with pretests (latipun, 2015; saifuddin, 2019; seniati, yulianto, & setiadi, 2005; shadish, campbell, & cook, 2002). the participants in this study were in mid-adolescence (aged 1518 years old), attended ma (madrasah aliyah) x in yogyakarta, javanese, and lived with their parents. researchers chose the participants at the school because it is a smoke-free school and applies strict rules in schools, but there are still students who smoke clandestinely. in addition, the participants intend to attend a therapy session. researchers chose the age range of middle adolescence (15-18 years) because they already develop self-control (berzonsky, 1981; hurlock, 1973; papalia, olds, & feldman, 2008; santrock, 2011). madrasah aliyah x was chosen because the school applies a rigid smoke-free policy, but some students still smoke. participants living with parents were chosen because parents can be both positive and negative models for students. it might provide an insight about how these dynamics affect the decrease in intention and frequency of smoking. the population size (students who had smoking intention) was 45, but there were 29 students who had moderate to high smoking intention. smoking intention was measured using a smoking intention scale (rohmadani, 2016). the scale had been tested for content validity using aiken’s v with a validity score of 0.667, and also for reliability using cronbach’s alpha, with a score of 0.914 (saifuddin, 2021). based on pretest scores, participants were grouped in experimental group i, ii, and control group. researchers made sure that all groups had equal mean score. at the end, each group consisted of students. 41islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the experimental group i was given intervention in the form of islamic hypnotherapy, the experimental group ii was given intervention in the form of anchor hypnotherapy, and the third group as a control group (waiting list and given intervention when the treatment had been completed). each experimental group was given intervention at different times (sessions 1 and 2). before the intervention, participants were asked to fill out an informed consent sheet and given information about the intervention process and its effects. the treatment was given to two experimental groups, starting material about the dangers of smoking by the speaker, then collecting qualitative data about the beginning of their smoking behavior, the rate of smoking intention, and the frequency of smoking. each group showed different attitude; experimental group i had prominent character. they talked more, liked to tell stories, were not shy about expressing opinions, were cooperative in participating in the program, suggestible, and had close bond with the peers. additionally, some of them were active smoker, even had smoked before the school started. on the other hand, experimental group 2 displayed a different attitude. they were difficult to suggest even some found it hard to create imagination during the anchor-stage, and generally seemed like they did not enjoy the therapy hypnotherapy. experimental group ii also reported lower smoking intention compared to the experimental group i. the stages of the intervention can be seen in the table 1. 42 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. stages of islamic intervention and anchor hypnotherapy number stages in hypnotherapy description 1 pre-induction talk in this stage, the hypnotherapist builds a rapport with the participants. this is done by: talking about the participants daily lives and their smoking behaviors then perform a suggestibility test to the participants 2 induction induction is a technique to guide the participants into a state of hypnosis, which was carried out in this study through relaxation. it is was carried out in conjunction with the hypnotherapy process of each group 3 deepening guiding the participants to achieve a deeper state of hypnosis using counts as well as imagining a place of comfort 4 suggestion this stage is an the participants because at this stage participants were given suggestion that smoking is an unhealthy behavior. they were also suggested to change their behavior to a more healthy and productive one. at this stage, there are differences: 1. islamic hypnotherapy: given suggestion with islamic principles and taming the inner gremlin (ego negative) and transforming into a positive ego 2. anchor hypnotherapy: given a positive suggestion and then associated with the anchor (a certain symbol that the participants believe can be a trigger for lowering smoking when remembering the symbol) 5 termination gradually pulling the participants back to their conscience, is carried out gradually. in the intervention process, there were three participants in experimental group ii not participating in session one. to make the number of participants in each group equal, three participants from experimental group i and control group were dropped during the analysis. after the conclusion of intervention, experimental and control groups were asked 43islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to fill a posttest scale. the data were then analyzed using the wilcoxon signed rank test and the kruskal wallis test with the help of spss. results and discussion research results figure 1, 2, and 3 present the score comparison of each group (experimental group i, ii, and control group) during pretest and posttest. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intentions in teens: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin number stages in hypnotherapy description 1. islamic hypnotherapy: given suggestion with islamic principles and taming the inner gremlin (ego negative) and transforming into a positive ego 2. anchor hypnotherapy: given a positive suggestion and then associated with the anchor (a certain symbol that the participants believe can be a trigger for lowering smoking when remembering the symbol) 5 termination gradually pulling the participants back to their conscience, is carried out gradually. in the intervention process, there were threeparticipants in experimental group iinot participating in session one. to make the number of participants in each group equal, three participants from experimental group i and control group were dropped during the analysis. after the conclusion of intervention, experimental and control groups were asked to fill a posttest scale. the datawere then analyzed using the wilcoxon signed rank test and the kruskal wallis testwith the help of spss. resultsand discussion research results figure 1, 2, and 3present thescore comparison ofeach group (experimental group i, ii, and control group) during pretest and posttest. figure1. the difference in pretest and posttest scoresof participantsin experimental group i 0 50 100 150 ad ih fa sa ba ar experiment i (islamic hypnotherapy) pretest posttest figure 1. the difference in pretest and posttest scores of participants in experimental group ial-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intentions in teens: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin figure 2. the difference in pretest and posttest score of participants in experimental group ii figure3. the difference in pretest and posttest score of participants in the control group based on figure1, the experiment i group showed decreasedscores in smoking intention after receivingislamic hypnotherapy. while in experimental group ii,three participants tended to decrease, but the other three were relatively the same, and the control group relatively did not experience differences during pretest or posttest. table 1. three group significance score group number of participants mean rank asymp. sig. (2tailed) experimental i (islamic hypnotherapy) 6 14.00 .027 experimental ii (anchor hypnotherapy) 6 9.58 .343 control 6 4.92 .596 0 50 100 150 ra lu mu az af am experiment ii (anchor hypnotherapy) pretest posttest 0 50 100 150 da ba al ti ra raa control group pretest posttest figure 2. the difference in pretest and posttest score of participants in experimental group ii 44 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. xxxx, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn 2527-5704 (p) issn 2527-5682 (e) islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intentions in teens: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin figure 2. the difference in pretest and posttest score of participants in experimental group ii figure3. the difference in pretest and posttest score of participants in the control group based on figure1, the experiment i group showed decreasedscores in smoking intention after receivingislamic hypnotherapy. while in experimental group ii,three participants tended to decrease, but the other three were relatively the same, and the control group relatively did not experience differences during pretest or posttest. table 1. three group significance score group number of participants mean rank asymp. sig. (2tailed) experimental i (islamic hypnotherapy) 6 14.00 .027 experimental ii (anchor hypnotherapy) 6 9.58 .343 control 6 4.92 .596 0 50 100 150 ra lu mu az af am experiment ii (anchor hypnotherapy) pretest posttest 0 50 100 150 da ba al ti ra raa control group pretest posttest figure 3. the difference in pretest and posttest score of participants in the control group based on figure 1, the experiment i group showed decreased scores in smoking intention after receiving islamic hypnotherapy. while in experimental group ii, three participants tended to decrease, but the other three were relatively the same, and the control group relatively did not experience differences during pretest or posttest. table 2. three group significance score group number of participants mean rank asymp. sig. (2-tailed) experimental i (islamic hypnotherapy) 6 14.00 .027 experimental ii (anchor hypnotherapy) 6 9.58 .343 control 6 4.92 .596 based on table 1 above, it can be seen that islamic hypnotherapy is effective in lowering smoking intention (p=0.027; p<0.05). in contrast, anchor hypnotherapy does not effectively lower smoking intention (p=0.343; p>0.05). and the control group did not change (p=0.596; p>0.05). based on table 1, the highest mean rank or drop score (pretest and posttest difference) is found in experimental group i with a mean rank= 45islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 14.00, followed by the second experimental group with a mean rank = 9.58 and the control group with a mean rank = 4.92. based on analysis with the kruskal wallis test, it is known that chi square=8.741 and p=0.013 (p<0.05), so it was concluded that there was a significant difference between the scores of the three groups, and the highest decrease happened in the experimental group i. discussion in general, although the group given the anchor hypnotherapy technique did not significantly affect the intention of adolescent smoking, this group of experiment ii experienced a decrease in smoking intention. while the control group also showed a decrease smoking intention (although not due to research factors), it was possible because they feared that their school was a smoke-free school and when bk teachers awaited the collection of posttest data. this is aligned with a study by sunarti and noorjannah (2019) which found that hypnotherapy can reduce the intensity of adolescent smoking by giving impulses that weaken the desire to smoke. indonesian translation. experimental group i (given islamic hypnotherapy) experienced the significance of the results. after being given treatment, they experienced a decrease in the intention and frequency of smoking. this was influenced by the characteristics of participants in that group, who were cooperative, open to the therapists, and seemed to enjoy the therapy process. hypnotherapists would be able to work together with participants with such an open attitude. they confided to the therapist (evidenced by telling stories about the experience of smoking), did not worry if the therapist would report them to the teacher. islamic hypnotherapy is given at the suggestion stage by incorporating islamic elements (using self-transformation by taming the gremlin/negative ego). the gremlin is the narrator of our heads; it can be an imaginary being/creature that interferes with the smooth working 46 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) plan of machines (carson, 1983; collins-donnelly, 2013; frager, 2013). in the islamic hypnotherapy, nearly all participants experienced a decrease in smoking intention; judging from the results of post-hypnotic interviews, all participants could meet their inner gremlins and transform them into positive forms/positive egos. indonesian translation. islamic hypnotherapy worked by giving suggestions to participants about smoking. the suggestion was that smoking has more adverse effects than the positive ones. the adverse effect not only influences oneself but also others. thus, the suggestion develops conscientiousness in students to block the smoking intention. suggestion in hypnotherapy can alter individual’s thought pattern and perception towards an object or an event (capafons et al., 2006; lynna, laurenceb, & kirsch, 2015). at the end, hypnotherapy can change individual behavior, including stopping the urge or intention to smoke. the results presented above are aligned with the results of budiman’s (2017)a design study aimed at testing the causal relationship (polit & beck, 2006 study stating that hypnotherapy with anchor techniques could reduce the frequency of smoking in adolescents. although the anchor technique used in the study was not significant, the results showed decreased in number. the effectiveness of the anchor technique given to the participants depends heavily on the hypnotherapist providing the therapy and the characteristics of the participants. individuals in the anchor group were more introverted and did not have a cohesive group dynamics. the therapist aimed to build rapport with the individuals in the anchor group but did not achieve an expected result. mirroring skills in the hypnotherapy process is essential. but it is also strongly influenced by the character of the participants. participants in second experimental group were quiet, less cooperative, and seemed less interested in following the hypnotherapy process. indonesian translation. 47islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) there were obstacles in conducting the present study. the target school/madrasah aliyah, had a strict regulation about smoking on the school ground and students who caught in action would be given 50 penalty points. therefore, the researchers had to convince students about the confidentiality of the data being used in this study during the baseline data collection. the research team also re-affirmed this when providing treatment to the participants. thus, rapport building had been done appropriately, aligned with ethical guideline about good relationship between researcher and the respondents (dang, westbrook, njue, & giordano, 2017; goldstein & glueck, 2016). however, the experimental group ii seemed less enthusiastic to participate in the anchor hypnotherapy. indonesian translation. thabrany (2012) wrote that advertising can have a far-reaching impact that people who smoke are dashing, courageous, and handsome people. if a woman then she is considered more beautiful by smoking. a study by nurhasana et al. (2020) also revealed that a perception that smoking makes someone looks “cool” or attractive leads them to start smoking. environment is another risk factor, such as the ease of obtaining cigarettes and the low price (thabrany, 2012). liang et al. (2022) also mentioned that the environment is a factor in smoking behaviour. when an individual is surrounded by people who are smoking, they might develop an urge to start smoking. adolescents also have limited knowledge about the dangers of smoking and assume that smoking can drive away loneliness, sadness, anger and frustration. socio-cultural factors such as the influence of parents and peer groups influence individuals to smoke. the peer group commonly has a bigger influence because adolescents are usually afraid of being isolated and ruled out by their peers. similarly, what happens in ma x is that students smoke because of peer influence. they also imitated the behavior of their fathers or older brothers who were active smokers, despite prohibitions from their 48 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mothers. this finding is aligned with previous findings that role model is an important factor in one’s smoking behavior (green et al., 2008; meier, 1991; wiium, breivik, & wold, 2006). in psychology, the process of imitating behavior is called modeling. the concept was introduced by albert bandura. modeling is a part of social learning theory. there are four stages in modeling and social learning theory; attention, retention, reproduction, and motivation (bandura, 1977, 2001, 2003). in the context of adolescent smoking behavior, the attention stage is when the adolescent observes someone close to him smoking. from that, the adolescent forms a certain perception about smoking. meanwhile, at the retention stage, the people around the adolescent maintain the smoking behavior and cause the adolescent to think that smoking is something that they can do too. in the reproduction stage, the adolescent adapt to the smoking behavior of people around them and try out the behavior. then, in the motivation stage, the adolescent has adopted the behavior and receive reinforcement to repeat the behavior. this reinforcement may come in the form of compliments or positive perception from others. the participants ultimately decided to smoke, even if they just smoked a stick of cigarette in one week. participants in this study generally had a positive attitude towards smoking, for example being sure that smoking will not cause cancer, and they will stay healthy by smoking. they mentioned it prior to the hypnotherapy session, saying that many people who smoke still live a long life. the participants also thought that they should behave similarly to their smoking peers and considered smoking behavior as “masculine”. those findings represent the three aspects of smoking intention, namely attitudes towards behavior, subjective norms towards behavior and perceived behavioral control (ajzen & fishbein, 2000; fishbein & ajzen, 2015). before hypnotherapy, therapists had discussions with participants from both groups about their reasons for smoking and what they 49islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) had expected from it. from the discussion researcher found that the participants realized the harm smoking can cause to one’s health but they became smokers because of peer influence. after the hypnotherapy process (anchor and islamic) the participants showed a decrease of tsmoking intention. conclusion and suggestion conclusion islamic hypnotherapy technique effectively lowers the intention and frequency of adolescent smoking. in contrast, anchor hypnotherapy technique is ineffective in lowering the intention and frequency of adolescent smoking. in addition, participants in the control group experienced no decrease in smoking intention. the hypnotherapy method transformed the inner gremlin to positive ego. additionally, it suggested the client that the negative aspects of smoking outweigh its benefits. the limitation of this study is caused by the incomparable condition in the islamic hypnotherapy group and the anchor hypnotherapy group, namely the difference in therapists’ skill and participants’ attitude between the two groups. suggestion this research offers several suggestions. future researchers should make an effort to match the conditions between the two experimental group, e.g., by involving experienced therapists and paying attention to participants’ openness or self-disclosure. additionally, future researchers also need to add more samples to the study to improve generalizability through parametric tests. meanwhile, schools can work with psychologists to provide treatment for students who smoke and to help combat students’ smoking intention. the community also needs to understand that every behavior is potentially 50 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) imitated by adolescents. so, people need to control smoking behavior or smoking in certain places and thus adolescents would have a lower chance of imitating this behavior. in addition, the public, establishments that are selling cigarettes, need to pay attention to age limit. they should refuse to sell cigarettes to children and adolescents under legal age. acknowledgement the authors would like to thank to the ministry of research, technology, and higher education of indonesia for providing a grant to fund this study namely the pdp (beginner lecturer research) scheme. the author also thanks the therapists and participants involved in the present study. references ajzen, i., & fishbein, m. (2000). attitudes and the attitude– behavior relation: reasoned and automatic processes. european review of social psychology, 11(1), 1–33. https://doi. org/10.1080/14792779943000116 alladin, a. (2018). cognitive hypnotherapy for psychological management of depression in palliative care. annals of palliative medicine, 7(1), 112–124. https://doi.org/10.21037/apm.2017.08.15 antari, i. (2019). penggunaan psikoedukasi dalam meningkatkan efikasi diri berhenti merokok pada siswa. jurnal kesehatan madani medika, 10(2), 132–136. bandura, a. (1977). social learning theory. new york, new york, united states: general learning cooperation. bandura, a. (2001). social cognitive theory: an agentic perspective. annual review of psychology, 52, 1–26. https://doi.org/10.1146/ annurev.psych.52.1.1 bandura, a. (2003). on the psychosocial impact and mechanisms of spiritual modeling. the international journal for the psychology 51islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of religion, 13(3), 167–173. https://doi.org/10.1207/ s15327582ijpr1303_02 baumeister, r. f. (2017). addiction, cigarette smoking, and voluntary control of action: do cigarette smokers lose their free will? addictive behaviors reports, 5, 67–84. https://doi.org/10.1016/j. abrep.2017.01.003 berzonsky, m. d. (1981). adolescent development. new york, new york, united states: macmillan publishing. bps. (2022). persentase merokok pada penduduk usia ≤ 18 tahun, menurut jenis kelamin (persen), 2019-2021. retrieved june 3, 2022, from bps.go.id website: https://www.bps.go.id/indicator/30/1533/1/ persentase-merokok-pada-penduduk-usia-18-tahun-menurutjenis-kelamin.html budiman. (2017). efektivitas hypnoterapi teknik anchor terhadap perubahan perilaku merokok remaja. psikis: jurnal psikologi islami, 2(2), 135–148. capafons, a., selma, m.-l., cabañas, s., espejo, b., alarcón, a., mendoza, m.-e., & nitkin-kaner, y. (2006). change of attitudes toward hypnosis: effects of cognitive-behavioural and trance explanations in a setting of hetero-hypnosis. australian journal of clinical and experimental hypnosis, 34(2), 119–134. carmody, t. p., duncan, c. l., solkowitz, s. n., huggins, j., & simon, j. a. (2017). hypnosis for smoking relapse prevention: a randomized trial. american journal of clinical hypnosis, 60(2), 159–171. https:// doi.org/10.1080/00029157.2016.1261678 carson, r. d. (1983). taming your gremlin: a guide to enjoying yourself. family resource. casey, b. j., jones, r. m., levita, l., libby, v., pattwell, s. s., ruberry, e. j., … somerville, l. h. (2010). the storm and stress of adolescence: insights from human imaging and mouse genetics. developmental psychobiology, 52(3), 225–235. https://doi.org/10.1002/dev.20447 cole, l. (1963). psychology of adolescence. new york, new york, united states: holt, rinehart & winston. collins-donnelly, k. (2013). starving the anxiety gremlin: a cognitive behavioural therapy workbook on anxiety management for young 52 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) people. london, united kingdom: jessica kingsley publishers. dang, b. n., westbrook, r. a., njue, s. m., & giordano, t. p. (2017). building trust and rapport early in the new doctor-patient relationship: a longitudinal qualitative study. bmc medical education, 17(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/s12909-0170868-5 desmita. (2017). psikologi perkembangan peserta didik (panduan bagi orang tua dan guru dalam memahami psikologi anak usia sd, smp, dan sma). bandung: remaja rosdakarya. drigas, a., mitsea, e., & skianis, c. (2021). the role of clinical hypnosis & vr in special education. international journal of recent contributions from engineering science & it (ijes), 9(4), 4–18. https://doi.org/10.3991/ijes.v9i4.26147 economou, m. p. (2015). psychoeducation: a multifaceted intervention. international journal of mental health, 44(4), 259–262. https://doi. org/10.1080/00207411.2015.1076288 elkins, g. r., marcus, j., bates, j., & rajab, m. h. (2006). intensive hypnotherapy for smoking cessation: a prospective study. international journal of clinical and experimental hypnosis, 54(3), 303–315. https://doi.org/10.1080/00207140600689512 elkins, g. r., & rajab, m. h. (2004). clinical hypnosis for smoking cessation: preliminary results of a three-session intervention. the international journal of clinical and experimental hypnosis, 52(1), 73–81. https://doi.org/10.1076/iceh.52.1.73.23921 faizah, r., & haq, a. l. a. (2019). peran psikoedukasi tentang perilaku merokok pada remaja. jurnal riset aktual psikologi unp, 10(1), 102–107. https://doi.org/10.24036/rapun.v10i1.105018 farooq, m. u., puranik, m. p., & uma, s. r. (2020). effectiveness of cognitive-behavioral therapy compared with basic health education for tobacco cessation among smokers: a randomized controlled trial. journal of indian association of public health dentistry, 18(1), 25-30. https://doi.org/10.4103/jiaphd. jiaphd_106_19 fishbein, m., & ajzen, i. (2015). predicting and changing behavior : the reasoned action approach. palmeira, united kingdom: psychology press. 53islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) frager, r. (2013). heart, self, and soul: the sufi psychology of growth, balance, and harmony. wheaton, illinois: quest books. geldard, k. (2012). konseling remaja intervensi praktis bagi remaja berisiko. yogyakarta: pustaka pelajar. goldstein, f., & glueck, d. (2016). developing rapport and therapeutic alliance during telemental health sessions with children and adolescents. journal of child and adolescent psychopathology, 26(3), 204–211. https://doi.org/10.1089/cap.2015.0022 green, k. j., hunter, c. m., bray, r. m., pemberton, m., & williams, j. (2008). peer and role model influences for cigarette smoking in a young adult military population. nicotine & tobacco research, 10(10), 1533–1541. https://doi.org/10.1080/14622200802398763 gunawan, a. w. (2009). hypnotherapy the art of subconscious restructuring. jakarta: gramedia pustaka utama. hammond, d. c. (2013). a review of the history of hypnosis through the late 19th century. american journal of clinical hypnosis, 56(2), 174–191. https://doi.org/10.1080/00029157.2013.826172 hargiana, g., keliat, b. a., & mustikasari. (2018). the effect of cognitive behavioral therapy on heads of families’ smoking behavior and anxiety. jurnal keperawatan indonesia, 21(2), 117–126. https:// doi.org/10.7454/jki.v21i2.770 hashmi, s. (2013). adolescence: an age of storm and stress. review of arts and humanities, 2(1), 19–33. hassan, w. m. a. (2014). hypnosis and clinical hypnotherapy in the treatment of psychological and psychosomatic ailments. medical journal of babylon, 11(2), 1–15. hunter, c. r., & eimer, b. n. (2012). the art of hypnotic regression therapy: a clinical guide. high st, bancyfelin, carmarthen, united kingdom: crown house publishing. hurd, n. m., zimmerman, m. a., & xue, y. (2009). negative adult influences and the protective effects of role models: a study with urban adolescents. journal of youth and adolescence, 38(6), 777–789. https://doi.org/10.1007/s10964-008-9296-5 hurlock, e. b. (1973). adolescent development. new york, new york, united states: mcgraw hill. 54 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) javel, a. f. (1980). one-session hypnotherapy for smoking: a controlled study. psychological reports, 46(3), 895–899. https://doi. org/10.2466/pr0.1980.46.3.895 jersild, a. t. (1965). the pscyhology of adolescent. new york, new york, united states: macmillan publisher. kuhu, m. m. (2012). pengaruh penggunaan kartu bergambar sebagai media promosi kesehatan di sekolah terhadap peningkatan pengetahuan bahaya merokok pada siswa sd negeri karangmangu kabupaten banyumas. thesis master (unpublished). yogyakarta: gajah mada university latipun. (2015). psikologi eksperimen. malang: umm press. liang, y. c., liao, j. y., lee, c. t. c., & liu, c. m. (2022). influence of personal, environmental, and community factors on cigarette smoking in adolescents: a population-based study from taiwan. healthcare (switzerland), 10(3), 1–13. https://doi.org/10.3390/ healthcare10030534 lynna, s. j., laurenceb, j.-r., & kirsch, i. (2015). hypnosis, suggestion, and suggestibility: an integrative model. american journal of clinical hypnosis, 57(3), 314–329. https://doi.org/10.1080/00029 157.2014.976783 lyvers, m., hall, t., & bahr, m. (2009). smoking and psychological health in relation to country of origin. international journal of psychology, 44(5), 387–392. margiyati, m., dwidiyanti, m., & wijayanti, d. y. (2018). the effect of hypnotherapy using induction hanung technique on the level of cigarette dependence and carbon monoxide in exhaled breath among active smokers. holistic nursing and health science, 1(1), 12–33. https://doi.org/10.14710/hnhs.1.1.2018.12-23 martínez-vispo, c., rodríguez-cano, r., lópez-durán, a., senra, c., del río, e. f., & becoña, e. (2019). cognitive-behavioral treatment with behavioral activation for smoking cessation: randomized controlled trial. plos one, 14(4), 1–20. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0214252 meier, k. s. (1991). tobacco truths: the impact of role models on children’s attitudes toward smoking. health education quarterly, 18(2), 173–182. https://doi.org/10.1177/109019819101800203 55islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) mohamed, n. a., & el-mwafy, s. m. (2015). effect of hypnotherapy on smoking cessation among secondary school students. journal of nursing education and practice, 5(2), 67–77. https://doi. org/10.5430/jnep.v5n2p67 mousavi, a. s., matinkhah, f., maadani, m. r., & masjedi, m. r. (2012). psychological problems and cigarette smoking in tehran university students in 2010. tanaffos, 11(3), 42–48. mukhopadhyay, k. (2021). mental imagery and self hypnosis in sports performance. international journal of advanced research in science, communication and technology, 7(1), 105–115. https://doi. org/10.48175/ijarsct-1615 myers, m. g., & kelly, j. f. (2006). cigarette smoking among adolescents with alcohol and other drug use problems. alcohol research & health: the journal of the national institute on alcohol abuse and alcoholism, 29(3), 221–227. nurhasana, r., shellasih, n. m., novitasari, d., & ratih, s. p. (2020). santri’s perception of cigarettes on smoking behavior in lirboyo islamic boarding school, east java. jurnal profesi medika : jurnal kedokteran dan kesehatan, 14(1), 91–98. https://doi.org/10.33533/ jpm.v14i1.1590 papalia, d. e., olds, s. w., & feldman, r. d. (2008). human development (10th ed). new york: mcgraw-hill education (asia). paschke, t., scherer, g., & heller, w.-d. (2002). effects of ingredients on cigarette smoke composition and biological activity: a literature overview. contributions to tobacco research, 20(3), 107– 247. https://doi.org/10.2478/cttr-2013-0736 puspaningtyas, l., & zuraya, n. (2022). ideas: meski pandemi, jumlah perokok di indonesia bertambah 2,1 juta orang. retrieved june 3, 2022, from republika website: https://www.republika.co.id/ berita/rct5n5383/ideas-meski-pandemi-jumlah-perokok-diindonesia-bertambah-21-juta-orang#:~:text=%22antara 2019 -2021%2c jumlah,1%2f6%2f2022). rodgman, a., smith, c. j., & perfetti, t. a. (2000). the composition of cigarette smoke: a retrospective, with emphasis on polycyclic components. human & experimental toxicology, 19, 573–595. 56 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) rohmadani, z. v. (2016). upaya preventif untuk menurunkan intensi merokok pada remaja melalui program “peduli diri”. master thesis (unpublished). surakarta: muhammadiyah university of surakarta. saifuddin, a. (2019). penelitian eksperimen dalam psikologi. jakarta: kencana prenadamedia. saifuddin, a. (2021). validitas dan reliabilitas alat ukur psikologi. depok: rajagrafindo persada. santrock, j. w. (2003). psikologi perkembangan remaja. jakarta: erlangga. santrock, j. w. (2011). developmental psychology. new york, new york, united states: mcgraw hill. sari, m. y. (2012). pelatihan program remaja sadar sebagai usaha alternatif pencegahan merokok dengan sekolah menengah pertama. thesis master (unpublished). yogyakarta: gajah mada university. sen, u., & basu, a. (2000). factors influencing smoking behavior among adolescents. asian pacific journal of cancer prevention: apjcp, 1(4), 305–309. seniati, l., yulianto, a., & setiadi, b. n. (2005). psikologi eksperimen. jakarta: penerbit indeks. setyadi, a. w., murti, b., & demartoto, a. (2016). the effect of hypnotherapy on depression, anxiety, and stress, in people living with hiv/aids, in “friendship plus” peer supporting group, in kediri, east java. journal of health promotion and behavior, 1(2), 100–109. https://doi.org/10.26911/thejhpb.2016.01.02.05 shaban, j., & jafernodeh, a. h. (2019). students’ smoking abstinence self-efficacy toward early maladaptive schemas. journal of community health research, 8(2), 83–91. https://doi.org/10.18502/ jchr.v8i2.1178 shadish, w. r., campbell, d. t., & cook, t. d. (2002). experimental and quasi-experimental designs for generalized causal inference. boston, massachusetts, united states: houghton mifflin. song, f., huttunen-lenz, m., & holland, r. (2009). effectiveness of complex psycho-educational interventions for smoking relapse prevention: an exploratory meta-analysis. journal of public health, 32(3), 350–359. https://doi.org/10.1093/pubmed/fdp109 57islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sugiyono, s., azzam, r., mustikasari, m., jumaiyah, w., & novianti k, d. (2021). hipnoterapi sugesti langsung dan anchoring terhadap penurunan kecemasan dan tingkat depresi pada pasien odha. jurnal keperawatan silampari, 4(2), 433–441. https://doi. org/10.31539/jks.v4i2.1925 sumiatin, t., ningsih, w. t., & su’udi, s. (2022). determinants of smoking behavior in adolescents. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 9(1), 18–27. https://doi.org/10.26699/jnk. v9i1.art.p018-027 sunarti, s., & noorjannah, n. (2019). pengaruh hypnoterapi terhadap perilaku berhenti merokok pada mahasiswa s1 kesehatan masyarakat universitas muhammadiyah kalimantan timur. jurnal dunia kesmas, 8(4), 266–274. https://doi.org/10.33024/jdk. v8i4.1527 thabrany, h. (2012). rokok mengapa haram. jakarta: unit pengendalian tembakau fkm ui & the fogarty international center-national institute of health. vijayaraghavan, m., messer, k., white, m. m., & pierce, j. p. (2013). the effectiveness of cigarette price and smoke-free homes on low-income smokers in the united states. american journal of public health, 103(12), 2276–2283. https://doi.org/10.2105/ ajph.2013.301300 wark, d. m. (2011). traditional and alert hypnosis for education: a literature review. american journal of clinical hypnosis, 54(2), 96– 106. https://doi.org/10.1080/00029157.2011.605481 west, r. (2017). tobacco smoking: health impact, prevalence, correlates and interventions. psychology and health, 32(8), 1018–1036. https://doi.org/10.1080/08870446.2017.1325890 whorwell, p. j. (2005). review article: the history ofhypnotherapy and its role in the irritable bowel syndrome. alimentary pharmacology and therapeutics, 22(11–12), 1061–1067. https://doi.org/10.1111/ j.1365-2036.2005.02697.x wiium, n., breivik, k., & wold, b. (2006). the relationship between smoker role models and intentions to smoke among adolescents. journal of youth and adolescence, 35(4), 551–562. https://doi.org/10.1007/s10964-006-9065-2 58 islamic hypnotherapy and anchor hypnotherapy to reduce smoking intention in adolescents: a pilot study zahro varisna rohmadani, ratna yunita setiyani subarjo, komarudin al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 7, no. 1, january – june 2022, pp. 31 58, doi: https://doi.org/10.22515/al-balagh.v7i1.4830 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) willis, s. s. (2012). remaja dan masalahnya. bandung: cv alfabeta. winarsih, t., & rohmadani, z. v. (2020). islamic hypnotherapy to reduce parent’s anxiety towards the future of children with autistic spectrum disorders. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 5(1), 1–26. https://doi.org/10.22515/al-balagh.v5i1.1953 windahsari, n., candrawati, e., & warsono. (2017). hubungan faktor lingkungan dengan perilaku merokok pada remaja laki laki di desa t kabupaten mojokerto. journal nursing news, 2(3), 68–82. https://doi.org/10.33366/nn.v2i3.568 yahya, s. j., hammangabdo, a., & omotara, b. a. (2010). factors influencing the onset of cigarette smoking among adolescents in konduga local government area. nigerian journal of medicine, 19(3), 275–278. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi* sekolah tinggi agama islam as-sunnah deli serdang sumatera utara syukur kholil universitas islam negeri sumatera utara medan achar zain universitas islam negeri sumatera utara medan keywords: al-qur’an; anger emotions; islamic communication psychology correspondence: e-mail: *kesjimail@gmail.com abstract this study aims to explain human anger in the qur’an from the perspective of islamic communication psychology. this is because anger is a dangerous emotion. this type of research aims to find the essence of words and sentences in the language paradigm. the subject of this research is self-communication in the qur’an. the theory used is the cognitive dissonance theory. this type of research is qualitative with a thematic interpretation approach. data collection techniques are interviews, literature review, and documentation. data analysis techniques include collecting, reducing, presenting, and drawing credible conclusions. the research shows that there are four anger emotions in islamic psychology communication, people who vent their anger, people who hold back their anger, people who forgive others, and people who do good to people who do evil. based on islamic communication psychology's perspective, the four actualizations of angry emotions add to the types of anger. furthermore, these four types of angry emotions form a hierarchy so that individuals can learn to reach the highest hierarchy. 42 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kemarahan manusia dalam al-qur'an dari perspektif psikologi komunikasi islam karena kemarahan adalah emosi yang berbahaya. jenis penelitian ini adalah kualitatif dalam paradigma bahasa, yang bertujuan untuk menemukan esensi makna kata dan kalimat. subyek penelitian ini adalah komunikasi diri dalam al-qur’an. teori yang digunakan adalah teori interaksi simbolik. jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan interpretasi tematik. teknik pengumpulan data adalah wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi. teknik analisis data adalah mengumpulkan data, mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan yang kredibel. hasil dari penelitian ini adalah terdapat empat emosi marah dalam psikologi komunikasi islam, yaitu orang yang melampiaskan amarahnya, orang yang menahan amarahnya, orang yang memaafkan orang lain, dan orang yang berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat. keempat aktualisasi emosi marah tersebut menambah jenis-jenis aktualisasi kemarahan berdasarkan perspektif psikologi komunikasi islam. keempat jenis emosi marah tersebut merupakan hierarki sehingga individu bisa belajar untuk mencapai hierarki tertinggi. kata kunci: al-qur’an; emosi marah; psikologi komunikasi islam how to cite this (apa 7th edition): munardi, b., kholil, s., & zain, a. (2023). anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 8(1), 41–72, https://doi.org/10.22515/ albalagh.v8i1.5559 introduction every human being that god created must have various emotions. according to psychologist goleman (2005), emotion is a distinctive feeling and thought that affects a person’s psychological condition in doing something. in everyday life, we often experience various emotional upheavals at any time, with different levels of emotion depending on each 43anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) individual’s experience (obee & hasan, 2017). paul ekman said there are six basic human emotions: anger, happiness, sadness, fear, disgust, and surprise (ekman, 2003, 2007, 2013). it is argued that if one understands these emotions well, one should be able to read the emotional states of one’s own and others. emotions arise from feelings. emotions can be the realization of affection, anger, annoyance, hate, etc. the more intense the emotion, the more difficult it is to decide what to expect to express it. emotions are something that motivates our lives. we organize our lives to maximize the language of positive emotions and minimize the language of negative emotions (brewer & hewstone, 2004). anger is an innate feeling. a six-month-old baby expresses his anger by crying. a baby who wants to be held by his mother but is not held by her feels angry. however, according to harry mills (hendricks, bore, aslinia, & morriss, 2013), anger is not an emotion one is born with; rather, the feeling of anger is learned. we learn about anger in many ways (heilman, 2022). expression of anger can be learned through active or passive behavior. anger triggers affect our bodies a lot, causing stress hormones, adrenaline, and non-adrenaline to surge throughout the body. as a result, the muscles in the body become tense; the higher the intensity of a person’s anger, the higher the heart rate and hormone secretion (gundogdu, 2018; nasir & ghani, 2014; pashupati & dev, 2011; rozi, baharun, tohet, aini, & imamah, 2022; yadav, yadav, & sapkota, 2017). usually, a person’s heart rate is 80 beats per minute, but due to the turmoil of angry emotions, the heart rate could go up to 180 beats per minute. likewise, the average human blood pressure is 120 over 80 and rises to 220 over 130, increasing the likelihood of a heart attack or stroke for people who are constantly angry. both of these can be fatal. 44 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) anger emotions are usually negative because they are often followed by aggressive behavior toward others (afdal, fikri, pane, & andriani, 2020; brezina, 2010). however, anger emotions are not always harmful because they function as self-defense energy when expressed appropriately. moreover, one should have the self-awareness to improve social relations with others. some people find holding anger to be very difficult to do. this needs to be trained to get used to holding anger emotions and not venting the negative. anger and hostility refer to feelings and attitudes of aggression that cause destructive behavior toward other people or objects (spielberger, reheiser, & sydeman, 1995). as explained, emotions of anger that cannot be controlled may have a detrimental effect in interpersonal contexts. for example, the emergence of aggressive behavior is due to a person’s inability to control angry emotions or tends to have the potential to cause interpersonal conflict. the emergence of angry emotions can be caused by a negative assessment of an event or mistaking a possibility that tends to exaggerate adverse events and use inflammatory words or swear words to express anger. therefore, it is necessary for individuals, especially teenagers, to be able to have the ability to manage emotions or regulate furious emotions. this is a consideration because adolescence is when a person has emotional instability (utami, lasan, & hambali, 2019). the average adult experiences anger about once a day and can feel upset three times daily (hendricks et al., 2013). usually, anger is considered an inseparable part of the nature of aggression, cruelty, and violence, so it is judged by society as harmful and destructive action. when someone is angry, they can become cruel because they lose their minds. all the bad qualities in a person are difficult to control, and even shame sometimes disappears. some people think that anger is the hallmark of a brave person. this perception is very wrong because an actual brave person is a person who can control himself and his passions when angry. excessive anger emotions can worsen social conditions with other people. 45anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) many things can trigger angry emotions, such as feeling depressed, restricted, prevented, frustrated, or treated differently because they are insulted, scolded, underestimated, or even unfulfilled desires are the cause of angry emotions. this is a spontaneous and unplanned reaction. paul ekman mentions factors that can cause angry emotions are when someone experiences interference from other people and the surrounding environment. frustration can trigger someone’s anger because of disappointment with people we consider essential in our lives. it is also triggered by resentment, hurt, hatred, and a desire for revenge. therefore, anger is the most dangerous emotion because it tries to hurt the target of our anger (ekman, 2013). aggression is a manifestation of anger. angry and aggressive adolescents often experience a bias in perceiving social situations. this encourages them to behave aggressively when facing conflicts or unpleasant conditions (hayati & indra, 2018; ahmadia, besharata, azizia, & larijani, 2011; ayub, kimong, & ahmad, 2020). as a kaffah religion, islam guides all human activities, including communication activities. because the paradigm used in this paper is islamic, the object of the study should be analyzed through the lens of islam (hefni, 2014; hefni, 2017). many people regret having committed a disgraceful act due to being ignited by the fire of uncontrollable anger. in the qur’an, we often encounter words of anger and the like in the stories of the people from the past. it is important to know to be a warning and teaching for humans. as in surah al-baqarah verse 263, allah provides therapy for angry emotions. managing anger is very important in the study of islamic communication because islamic communication guides people to the right path and is not based on mere lust in dealing with all problems in everyday life. humans are creatures of god who are equipped with reason and lust. lust tends to invite people to do evil, so when someone is angry, satan 46 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) participates in the success of negative deviant behavior, which tends to be destructive, destructive, and leads to other negative actions. therefore, the signs of islamic communication need to be considered in straightening angry behavior. at this time, a very complicated and prolonged problem is faced by the world community in general and especially in indonesia due to the covid-19 pandemic, which has caused various life problems that demand solutions. however, many behaviors of people who fall into frustration and anger can be said to be in a severe stage to be handled. various events and examples of cases can be easily known from social media facilities, print media, and phenomena that occur in the community and the surrounding environment, even in their own families. many cases, especially those related to angry emotions, include stress, frustration, and suicide. there are several reasons why people experience this. in the case of education, one of the reasons is the mental problems of students during the covid-19 pandemic using online learning. according to the komisi perlindungan anak indonesia (kpai), many students feel bored, lonely, angry, and depressed during the pandemic, to the point that some students commit suicide. according to a survey conducted by kementerian pemberdayaan perempuan and perlindungan anak (kpppa), more than 3,200 students from elementary to high school experienced depression when studying online. it was recorded in july 2020 that about 13% of the symptoms that occurred in children were depression, emotions, and irritability. and from other data, it turns out that more female students experience this kind of thing. in the age range of 14-18 years, about 93% of students experience depression, and 7% are students at the age of 10-13 years. there was even a case of a madrasah tsanawiyah al-khairat tarakat student committing suicide in october 2020 due to having to deal with many assignments from the school. likewise, in gowa, south sulawesi, some students 47anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) committed suicide because of stress and anger because of many lessons from teachers that they could not handle. the same thing also happened in sman 5 jambi, where many students were stressed and easily angry, so they took unwanted actions. in education, among problems that cause students to become angry and stressed, one of them is because of too many demands given by teachers in online learning with no clear learning solutions and no understanding of children’s learning capacity, especially with limited internet facilities for remote areas as learning may take internet data. in society, especially among married couples, it is noted that most women or housewives experience severe stress due to thinking about the many problems that occur in their families, such as the work stress of their husbands due to the implementation of social distancing, termination of employment, or wfh (work from home). tension in the family includes the large workload at home, such as accompanying children who study online, unemployed husbands, lack of income and decreased income and many other factors that cause anger in the family household, such as a husband and wife relationship that is less harmonious and the stress of dealing with the behavior of their children. another cause of public anger is no less important that needs to be considered in economic matters to provide for themselves and the people they depend on. there are several reasons that make people angry due to this economic factor, such as the existence of self-quarantine, which causes people to be stressed and angry, salary cuts, job losses, inability to pay bills, and soaring prices of daily necessities. in 2009 there were 665 thousand unemployed people in indonesia, which happened before the pandemic, where previously unemployment in indonesia also reached a relatively high number in 1982 which is 695 thousand unemployed people. at this time, millions of indonesians have lost their jobs due to covid-19. according to research, people who 48 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) are financially impacted lost their jobs, and are depressed will be more vulnerable to mental health. other factors cause people in indonesia and our environment to experience severe anger, including the ban on going home for two consecutive years. with the limitation of regional mobility, the space for human movement is limited and cannot be adapted. this has caused public anger and disappointment in the government, which has not yet found the best solution to this problem. solution management is not the only way to provide a way out of this problem. as well as emotional management through spirituality and literacy at the micro level, the community hopes to solve solutions at the macro level by establishing government policies. due to this, the anger that is vented by the community is in the form of frustration, cursing, discomfort, rage, and loss of control. this will trigger serious problems that can be harmful. the covid-19 pandemic has left a deep wound for a family whose members have contracted covid-19. the problem is that there is an error from the health team to analyze the disease suffered by the patient. there have been many statements from people who are not exposed to covid-19 that said they must be willing to be declared positive for covid-19. moreover, treating bodies exposed to covid-19 has its health protocol. this results in disappointment and anger towards certain parties. on the other hand, anger is common in everyday life. various factors can trigger anger. in addition, anger can result in other problems. in addition to aggressive behavior, anger can also cause someone to fight and kill. anger can hurt a person or others. as a departure from the explanation above, the researchers aimed to examine the issue of anger that occurs in society more deeply at this time as a phenomenon faced at this time, making the qur’an a way of life that teaches humans how to deal with anger emotions, as exemplified by prophets and apostles who serve as role models for human life as a whole. 49anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) many previous researchers have researched anger. for example, alavinezhada, mousavia, & sohrabi (2014) investigated the effects of art therapy on anger and self-esteem in children with aggressive behavior; elfina, utami, & latipun (2018), and utami & elfina (2018) investigated the effect of anger management on aggressive behavior; alawiyah, taufiq, and hafina (2019) examined the impact of sociodrama on anger management. hendricks et al. (2013) and yadav et al. (2017) researched the effects of anger on the body and brain. claudio & antonio (2014) conducted studies on the relationship between anger and sexual behavior; brezina (2010), ahmadia et al. (2011), and ayub et al. (2020) researched the relationship between anger and aggressive behavior; nasir & ghani (2014) studied the behavioral and emotional effects of anger expression and anger management among adolescents; pashupati & dev (2011) focused on anger and its management; gundogdu (2018) analyzed about the influence of choice theory anger management program (ctamp) on the ability of prospective psychological counselors for anger management; watson, rapee, & todorov (2015) examined on forgiveness that can reduce anger in the context of bullying; sukhodolsky, kassinoveb, & gorman (2004) and sukhodolsky, solomon, & perine (2000) researched cognitivebehavioral therapy to reduce anger; ruiz-robledillo & moya-albiol (2013) examined the role of anger and anxiety traits in increasing the hormone cortisol in people with asperger’s syndrome; and sikumbang, munardi, zaein, & kholil (2022) researched about representation of the anger of prophet musa in the qur’an from the perspective of the psychology of human intrapersonal communication in islam. this research is different from previous studies in several aspects. first, previous studies discussed anger in relation to anger management, aggressive behavior, and sexual behavior. this research focuses on anger based on islamic communication psychology. second, some previous studies used experimental and quantitative methods. previously conducted 50 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) research similar to this was conducted by sikumbang et al. (2022), who examined prophet musa’s anger from the perspective of islamic communication psychology. however, this research only focuses on the anger of prophet musa, while this research discusses the anger of other prophets from an islamic perspective. additionally, this research will use qualitative methods and a literature review to analyze the data. the anger of the prophets in the qur’an. meanwhile, this research used the literature review method. methods this study used qualitative research in the postpositivism paradigm. this paradigm refers to the search for the meaning behind the data and the flow of the language paradigm to find the meaning of words, the meaning of sentences, and the meanings contained in a text, including interpretive texts. in this study, the author focuses on anger words and translations into indonesian in the qur’an and is a collaboration of qur’an research and communication with the tahlili interpretation approach, as well as supporting sources obtained from the library research method approach. the tahlili interpretation method is a method used to interpret the verses of the qur’an sequentially and explain the meaning of each verse in detail (ainun, aisyiyyah, & yunus, 2023). one characteristic of the tahlili interpretation method is discussing everything related to the verse being discussed (rosalinda, 2020). the verses discussed in this study are the verses of the qur’an which discuss anger. the primary source is the qur’anul karim with a translation into indonesian, an interpretation using the tahlili method, and supporting books that refer to islamic and general communication. data collection techniques are conducted by choosing a specified topic, namely anger in the qur’an, then collecting all the verses related to this topic and linking various verses to each other, which are also explanatory with the hadith of 51anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the prophet so that conclusions can be drawn scientifically. communication is relevant to the study. the data analysis technique in this study is to collect all the verses of the qur’an related to anger, then analyze them with a tahlili interpretation approach and connect it to islamic communication, which includes islamic communication principles and anger therapy from a psychological review of islamic communication. results and discussion in islamic communication psychology, humans are always in the framework of the relationship between humans, nature, and god. this is based on the concept of the qur’an: a human who is saved is a human who has a relationship with other humans, nature, and allah. therefore, according to islamic psychology, these dimensions cannot be separated. they are intertwined dimensions in studying, assessing, evaluating, and determining human concepts (arbi, 2019). communication with god the human relationship with god is called transcendental communication (mulyana, 2017). this communication area deserves to be studied further so that it can be realized naturally in a comprehensive description (djafar, 2015). communication that is formed between humans and their creators is natural and a tangible manifestation of the spirit of life that god created in human form. allah breathed the spirit into a mother’s womb and allowed the spirit to take the form of a perfect human born into the world, so humans will need their god to communicate even more in challenging times (hefni, 2017). human communication, spiritual communication, and environmental communication are not separated. spiritual communication, such as 52 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) god’s love, is integrated into daily life. reviewing islamic communication requires a process (arbi, 2019). according to rahmiana (2019), the power of communicating within oneself through the power of reason, the heart, the spirit, and the nafs is embraced by the power of fitrah. this power is instrumental in fostering self, family, and community. allah swt has promised the human ability to choose the right path in the letter asy-shams (91) verses 7 and 8. human communication with god is worship, and the term transcendental communication has not long been known in communication science. therefore, it is not surprising that there are many kinds of understanding of this (thadi, 2017). communication with fellow humans human relations can be divided into three types: interpersonal, group, and mass communication. they are explicitly discussed in general communication science, while in islamic paradigm, it is called hablun minannās, ta’āruf, and society (hefni, 2017). interpersonal communication is carried out face to face so that the communicant can directly assess the effects that occur in touch now through verbal and nonverbal modes. this is the specialty of dyadic communication, which consists of two or more people, such as husband and wife, friends, teachers and students, and so on. the signs of this dyadic communication are the closeness of the distance between communicators who convey messages spontaneously and thoroughly, either verbally or nonverbally (mulyana, 2017). this communication has a significant portion to be discussed in human life because many problems can be solved with this communication approach. for example, kind, gentle, and polite words can attract the sympathy of friends or opponents of communication. likewise, when the emotion peaks in a state of anger, when faced with the opposite attitude 53anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) will be extinguished. then, hatred and revenge disappear, replaced with longing, love, and affection, when someone can lure the other person into speaking with sweet and touching words by emitting sincerity and patience (badri, 2017). group communication is also part of communication between humans, which takes place between several people in a small group, such as in meetings, meetings, conferences, and so on, to share information and solve problems face-to-face (ngalimun, 2017). communication with oneself communication with oneself, or intrapersonal communication, is the beginning of creating interpersonal communication and other types of communication. although in the communication discipline, it is not discussed in depth. this could be when we perceive the meaning of messages conveyed by others. sometimes, we do not succeed because we do not understand communicating with ourselves effectively (mulyana, 2017). anger in islamic communication psychology this study raises the verses in the qur’an related to irritation in human intrapersonal communication. the verses of anger can be traced in 10 surah in the qur’an, as shown in the table below. table 1. verses of anger in the al-qur’an in intrapersonal communication no information al-qur’an 1 prophet musa’s (moses) anger q.s. al a’raf verse 150 q.s. thaha verse 86 q.s. al a’raf verse 154 2 prophet yunus’ (jonas) anger q.s. al anbiya verse 87 q.s. al qalam verse 48 54 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no information al-qur’an 3 the anger of the jahiliyyah q.s. az zukhruf verse 17 4 the anger of the hypocrite q.s. ali imran verse 119 q.s. at taubah verse 58 5 prophet jacob’s (yakub) anger q.s. yusuf verse 84 6 holding on to anger q.s. ali imran verse 134 source: results of research analysis symbolic interaction theory is also applied to this study. symbolic interaction theory states that our understanding of ourselves and the world is shaped by our interactions with the people around us. selfawareness is our understanding of who we are. self-concept is the first step to understanding our self-esteem (turistiati, 2019). prophet musa a.s. is characterized as someone who has a positive self-concept. he has self-respect and a vital principle of life and can endure it, even though he has to deal with unjust, robust, and influential people. he has a high sense of confidence and the ability to face and solve various problems. prophet musa a.s. he can express his anger to love for his people, from disappointment and sadness to love for his people (sikumbang et al., 2022). cognitive dissonance theory also supports the anger process of prophet musa a.s. because this theory explains changes in a person’s attitudes and behavior to overcome psychological discomfort caused by inconsistency between beliefs, thoughts, attitudes, and behaviors of his people (sikumbang et al., 2022). prophet musa a.s thought that his people had thrown the teachings of the torah back and worshiped the statue of samiri as a rival idol of allah, so he got angry. as a self-image, he was a prophet and apostle who was sent to his people as a warning so that they return to the right path (sikumbang et al., 2022). 55anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) intrapersonal communication in prophet yūnus a.s. was causing the effect of contact with his lord because he felt disappointed and almost desperate when prophet yūnus preached to his people. he decided to leave them to make decisions through a process of observation that gives intellectual and emotional meaning to the environment. he decided to go to his people in a state of anger. likewise, in the behavior of ignorant people in surah an-na l/ 16:58, the word kazhīm comes from the word kazhama, which means to restrain. it means he is holding back anger over the information or news he gets (shihab, 2017). when one of them is given the news of the birth of a baby girl, his face is black (red) because he feels unfortunate for the misery they have received, and he is furious. in silence because of the profound sadness he felt. he hid from the crowd because he hated being seen by people because of the bad news conveyed to him (katsir, 2017). allah also describes the behavior of hypocrites in surah ali ‘imrān verse 119. this verse tells that hypocrites are stingy of property. the hypocrites reproached the messenger of allah when he distributed alms from the spoils of war. if the hypocrites are given some of it, they are willing and satisfied; if it is not provided, they continue to be angry with the prophet muhammad. as for the word of allah swt. in surah yusuf verse 84, the phrase kazhim means to bind very firmly and tightly. feelings of sadness enter the human heart, then encourage the owner of the heart to do something unnatural, but if the heart’s owner tightly binds the door of his heart, the impulse from within will not come out, and there will be no unnatural things. as a muslim, you must withstand this turmoil by remembering allah swt and the rewards of patience (shihab, 2017). prophet jacob, a.s turned away from his children and did not look at them because he hated what was heard from them, and his eyes turned white with sadness. prophet jacob could not see, and his eyes were weak because of weeping for his great son. he is a person who holds his anger 56 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) against his children, his heart is full of anger, but he hides it in his heart (shabuni, 2020). anger as a part of basic human emotions emotion is a very complex concept, so no universally accepted definition exists. the study of emotions is carried out by psychology and sociology, neurology, ethics, and philosophy, which can add diversity to the definition of emotion (sarwono, 2018). the definition that can be used as a guide in understanding emotions, namely emotion is a complex judgment response (positive or negative) from a person’s nervous system to stimuli from outside or from within a person. humans are social beings who live and carry out all their activities as individuals in social groups, communities, organizations, and society. in everyday life, every human being interacts with each other. therefore, humans cannot avoid an action called communication. communication is an interpersonal interaction that uses a linguistic symbol system, such as a verbal system (words), verbal and nonverbal. can the system be socialized directly/face to face or through other media (written, oral, and visual)? whether or not we realize it, communication is a part of human life (sinaulan, 2016). some positive emotional states involve changes in the individual’s understanding of, or knowledge of, the world. these emotions can be considered positive epistemological emotions. they can, for example, involve searching for new information (i.e., interest) or realizing that an expected adverse event will not occur (i.e., favor). of course, the new information itself is not necessarily positive, but a change in knowledge results in a positive emotional state. epistemological positive emotions include interest, relief, amusement, and admiration (sauter, 2017). the presence of emotions has a strong influence on the quality of human life experience. for example, the anger sent by prophet musa a.s 57anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) is an intense human feeling addressed to his people and prophet harun a.s. this should be a person’s attitude or reaction to an event. moreover, gestures usually indicate a reaction’s emergence. expressing anger in a person can use practical problem-solving strategies to resolve disputes. in addition, anger emotions can increase energy or intensity in achieving goals, and this expression helps convey something we feel when anger hits. the essence of the application of patience is silence. because in silence, it is motion. even the movement in silence is faster and more numerous than we do. it means that true silence is the managed one. in silence, relaxation techniques can be practiced, namely, the position of the body sitting upright, eyes closed, hands on both thighs, and sitting cross-legged. silence can also be in a lying condition or also in a standing condition. the point is that when we feel comfortable, then close our eyes and pay attention to our thoughts to clear them (sarwono, 2014). well-managed silence will indeed find something extraordinary. patience in silence is a movement that is difficult to read and describe, but we can admit and believe in it. for example, the silence of the prophet yunus alaihisalam while in the belly of a fish acknowledged his injustice to allah, so the famous prayer he recited was “la ilaha illa anta subhanaka i ni kuntu minadh dhalimin”. many mistakes and mistakes that we make can be realized with silence to introspect ourselves. however, on the contrary, if only anger is released from our mouths and body movements, it will only give birth to regret after venting it. when anger emotions are high, one needs to be quiet and listen. it is very dangerous to speak in anger. in such a condition, the mood condition must be chaotic and emotionally unstable. even the brain cannot think calmly, and it is difficult to put it forward logically so that what comes out is only swearing. silence is one of the most essential elements in life. as the saying goes, “speaking is silver, silence is gold.” silence must be done when we feel angry. not a few events prove that 58 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) silence can reduce anger when you do not want to give in to the other person. when the anger has subsided, then start talking. therefore, the tone of speech will sound better and seem wiser. they will make others salute you and will learn from you. they choose to be silent when angry, which is a positive force that tremendously benefits him and his life. with silence, we can enjoy effective communication, good learning, personal growth, peace, harmonious relationships, and enriching feelings about life (aditya, 2015). sadness is an emotional pain associated with or characterized by feelings of weakness, loss, hopelessness, and helplessness. an overflow of sad feelings can arise when individuals are faced with disappointing, disturbing, unfortunate situations or arise as a result of suffering due to injury. crying is one of the most common emotional expressions of sadness, but the expression of sadness is not only crying. it can be isolating oneself from others, not wanting to be friends or harboring feelings that can cause health problems. even for some people feeling sad can make those who were initially active in communicating with anyone turn into a person who tends to withdraw from others. what is worse is the emergence of depression. a person’s facial expression usually looks gloomy, and at the climax, he will cry because he cannot hold back his sadness. however, if appropriately managed, sadness helps build one’s character. acknowledging sadness prevents a person from feeling more emotionally severe states, a common expression in society. however, if this sadness piles up and is not expressed, the owner will be depressed. for example, sadness is in the learning process, which can cause positive feelings. when a child is separated from his parents during the study period, the separation will make him independent and learn to deal with his sadness. in addition, sadness is a means to change a person’s temperament, nature, and personality for the better by reflecting on all the episodes of his life that have passed to be contemplated for a better future (obee & hasan, 2017). 59anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sad emotions cause people to feel depressed and moody and can also be fatal to health. therefore, when feelings of sadness come from anger, we must be able to control them well. according to masaru emoto, sad emotions harmonize with blood in his book the secret life of water, which reveals the secret of why water can heal. that is why when people feel sad, humans will have a tendency and have a high chance of developing leukemia and bleeding strokes. furthermore, feelings of sadness that occur continuously can damage the nervous system. it can cause pain, sensitivity, and stiffness of the lower neck and shoulder muscles. in addition, sad emotions affect the performance of the human body’s lungs, heart, liver, and other vital organs (aditya, 2015). emotions experienced by a person are very personal (subjective). when someone experiences certain emotions, he wants to take action because of it, but not necessarily the same thing happens to others with the same condition. to mature emotions and personality, allah swt teaches humans from an early age to get used to thinking and using knowledge to manage their emotions understand their surroundings, practice patience and understand everything more regularly (adhim, 2017). according to al-jauzy, humans perform an action based on their point of view, argumentation, and character and then according to their motives and beliefs. in addition, each individual makes effort based on their experiences, making individual communication continuously related to emotional signals (basit, 2019). anger or wrath (al-ghadhab) is the opposite of like (ar-ridhā). anger is a feeling that rages in the human heart. there is commendable anger and reprehensible anger. blasphemy anger is anger that is not true. at the same time, commendable anger is our religion and truth (dawud, 2018). anger means the turmoil of blood in the heart because it wants revenge. anger that is done not because of god is an act of satan. therefore, angry people should take refuge in god from satan’s temptations because 60 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) that protection is the cause of the loss of anger (dawud, 2018). rasulullah saw has taught me how to communicate well to allah, oneself, and the environment. the point is that humans are privileged compared to other creatures. in addition to the ability to think (super-rational), humans also have communication skills that are more beautiful and more sophisticated (super sophisticated system of communication), so that in communicating, they can overcome distance and time (cangara, 2019). prophet muhammad saw always spoke according to the existing conditions and gave figurative words that matched the intent he wanted to convey. a good dialogue with each group of people according to their abilities makes it easier to receive the message conveyed to change their behavior. in conveying messages through advice, warnings, lessons, and learning to humans, the thing that must be considered is how to touch the sides of humanity in humans themselves. the soul, mind, and conscience related to humanity cannot be touched without knowing which sides should be stimulated, which will eventually cause changes in human beings. it has been widely studied and researched in communication science regarding how humans interact, one of which makes the qur’an a source of inspiration in this communication. human-to-human communication, communication to oneself, communication to allah swt, and communication to the environment. in the qur’an, there are many stories about the previous people whom allah gave teaching and warning, advice and gave lessons on human behavior, which often ended up in the wrath of allah and as a warning to those who disobeyed the path of truth. moreover, all of that has been enshrined by allah in the qur’an. therefore, the core of the da’wah of prophet musa alaihisalam and prophet yunus alaihisalam is maw’izhah, namely advice, warning, teaching, and lessons. they are essential to preaching, as stated in surah an-nahl/16:125. 61anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the need for advice, warning, giving lessons, and good teaching in the concept of maw’izhah is needed by humans who live on this earth, which is the human soul’s need to navigate a life full of various kinds of problems that occur. because humans are social creatures interacting with each other, both towards god and each other, mistakes, mistakes, and damage occur very often. allah swt teaches us to be patient in the story of the prophet yunus alaihisalam. in the verse above, it is recommended that someone be able to hold his anger and not take it out on others even though he can. patience is at the heart of this study. patience is being able to accept bad things with a balanced mind. patience is being able to swallow all forms of disappointment. patience is being calm and balanced when facing rejection, insults, and even blasphemy. patience can also restrain ourselves so that our words and actions are not only moved by momentary emotional desires. as a superior practice, keeping anger is difficult because a wise person can restrain his anger. however, as the benefit is obtained and avoid mafsadat for angry people, a friend asked for the prophet’s will. he said, “la tagdhab” (do not be angry). he gave a choice which turns out to be anger that invites all evil. when one vent anger, then hatred and revenge pollute the heart. all sins can start from here. ibn qayyim al-jauziyah said that among the roots of sin is indulging in anger and the worst fruit of this root is the great sin of killing the soul for no reason justified by the shari’ah. there have been many ways that were taught by the prophet muhammad about ending anger, such as reading istiazah, ablution, trying to be quiet, remembering the harmful effects of venting anger, and remembering the virtues of holding back anger. 62 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) today with various means of communication, the development of social media is getting wider, enabling people to interact with each other from various backgrounds. with this condition, there is the inevitable chance of misunderstanding, differences, gossip, and criticizing each other. as a result, anger triggers are more frequent; unfortunately, it also happens among fellow muslims. as muslims, we must have a more forgiving nature than ordinary people. to be successful, we must be forgiving so that when we negotiate with other people, we do not find a deadlock. just imagine that when we negotiate or communicate with our interlocutor, we are easily offended by the words or behaviour of our negotiator, so in the end, what happens is only a protracted debate. all available research shows that anger is a state of mind that is very detrimental to human health. on the other hand, although it is hard, forgiveness feels happy and is a commendable character so that we can enjoy a healthy life both physically and mentally. however, the real purpose of forgiving is to hope for the pleasure of allah (rafanany, 2013). prophet yunus a.s while sailing in the middle of the ocean was swallowed by a large fish, carried to the bottom of the pitch-dark ocean. moreover, he also heard the prayer beads offered by the ocean and their contents to the lord, the highest, the all-powerful, who accepted the destiny decreed by him. at that time, the prophet yūnus a.s cried out in the dark, as stated in the qur’an surah al-anbiya ‘verse 87. the story of the prophet yakub alaihisalam teaches us always to be patient, not to despair from the grace of allah, and to take lessons from what has happened. humans are full of colors, patterns, and traits. nothing is perfect because allah is the most perfect and most accepting of the repentance of his servants. in the story of ignorant people, there is a lesson. the people in the story were not grateful for the birth of a daughter, even though men and women are equal in the sight of allah, and 63anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the noblest person is the pious one. in ali ‘imrān verse 119 and sura attaubah verse 58, hypocrites are angry because of envy towards believers, even though the messenger of allah is always fair and honest and sound. this shows that the principle of islamic communication is that fair dealing is the nature of believers, as in surah al-an’ām verse 152: “... if you say, speak fairly...” the prophet muhammad succeeded in changing the face of the world because he was trusted, intelligent, always conveyed trust, and behaved honestly. the noble character or behavior turned out to be very successful. james m kouzes and barry z postner researched successful managers in 1987 and 1993. the results showed that managers were successful because they had good character, honest behavior, never lied in word and deed, could contribute creative ideas, and inspired others. they are successful because of being fair, very supportive of each other, always willing to coordinate, collaborating with others, having an attitude of sharing, feeling the suffering of others, caring for others, being loyal, and always independent. that is what makes them always appear different from other work teams. as a result of this positive energy and fruitful success, to raise their rank to become international ceos. the carnegie institute of technology analyzed the success of ten thousand people, and it turns out that in its conclusion, about 15% of success in life can be achieved due to efforts to practice technical thinking skills and skills in the world of work. then the amazing thing turned out that 85% of success was completed due to personality factors. in 1999 june, in fortune magazine, chaharan, and geoffrey colvin, article writers, inked in their writings that the secret to ceo success lies in their traits, namely integrity, wisdom, firmness, toughness, and the ability to communicate well. moreover, attitudes and behaviors can foster a sense of trust. in the philosopher aristotle’s opinion, the communicator’s 64 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) credibility, namely the communicator, then there are at least three essential points that must be considered so that the messages conveyed bear fruit and can influence the communicant audience. the attitudes that a communicator must possess are ethos, pathos, and logos. the strong ability of a speaker in speech and the power in his character are aspects of ethos so that the effect is that the messages he conveys to others can be trusted and accounted for the truth. when a communicator wants to have the power and identity to attract the sympathy of the communicant, then the power that a speaker or communicator must have is being able to arouse the emotions of his listeners. moreover, the attitude that a communicator must have is the power to convey reasons that can be accepted by reason through his arguments (agustian, 2006). healthy personality according to islam in arabic, personality is called syakhshiyah, and this term is one of many ways used to show the meaning of personality. some call it nafsiyah. the psychological process about personality emphasizes psychological elements. however, unfortunately, attention to the spiritual dimension causes humans not to be able to understand their personality perfectly because we only pay attention to humans from the biological, social, and cultural dimensions. at the same time, we ignore the spiritual dimension (basit, 2019). humans consist of bodies and spirits that form the substance of nafsani consisting of al-qalb, which is related to emotions, reason, and lust so that these potentials can shape human personality. in islam, a healthy personality will be formed when two basic human needs are fulfilled: the body’s and spirit’s requirements. humans can control emotional ethics with the spiritual values that god has outlined. then all of them will be of good value even though they experience unpleasant emotions or feelings such as anger. 65anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in overcoming the power of anger, there are three degrees. the first one is the person who is not commendable because he gets rid of reason and religion because he cannot think, consider and decide properly when angry. the second is a person who is not angry because they fail to train themselves to defend something that must be defended. lastly, the third person is the middle person, who can control his lust when something unpleasant comes to him. being a healthy person in communication means they can control angry emotions because they think about the consequences after the anger is vented inappropriately. the concept of anger in the qur’an will give its fruit to those who live it. the influence of this blessed interaction will be refracted into the human psyche. god gives humans capital in the form of a heart. as a smiling person, the heart is a place to feel peace, happiness, serenity, and tranquillity. in addition, the liver collects energy and releases positive energy until it reaches the lips. the circulation of energy from the objects of the senses and the brain that moves continuously makes the heart always accommodate the positive side. they are where human happiness lies when the heart feels the energy of a smile constantly flowing from time to time (pranowo & hartono, 2009). research conducted by american scientists explained that those who like to forgive are mentally and physically healthier. the people studied stated their suffering was reduced after forgiving the person who hurt them. the study explains that people who learn to forgive are good mentally but physically. for example, according to research, mental and physical symptoms such as back pain due to stress, insomnia, and abdominal pain are significantly reduced. the article entitled forgiveness, published in the september-october 1996 edition of healing current magazine, explains that anger towards someone or an event causes negative emotions in a person and damages their emotional balance and physical health (aditya, 2015). 66 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) apologizing is one of the everyday expressions whose meaning and role are seen as unimportant because apologies are thought to symbolize weakness but, in reality, require enormous strength. there are four things in sincerely apologizing or forgiving others sincerely, namely acknowledging, regretting, clarifying, and compensating, all of which aim to restore interpersonal relationships. conclusion and suggestion conclusion anger, in the perspective of islamic communication psychology, is an emotion that can be handled wisely and does not always have a negative effect. for different reasons, in eleven verses, communicators carry out anger in the qur’an on the theme of self-communication. islamic communication must build upon the principles taught in the qur’an and hadith when communicating to allah, others, or oneself. these principles always include being cheerful (beautiful face) when meeting other people, speaking gently, mentioning good things about the communicant, saying good or silent, doing justice, and communicating with humans according to their minds. islamic communication is the most effective solution for dealing with angry emotions. people in anger experience three levels: they cannot control themselves and fall into detrimental actions to themselves and others. they can hold their anger. forgive others and do good to those who have done evil to him. allah’s examples in the qur’an are positive values, such as the prophets’ and apostles’ anger. however, unfortunately, some are negative, namely ignorant people and hypocrites who do not believe in allah and his messenger. so, islam has provided an excellent solution to dealing with angry emotions in humans. 67anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion this research results from a literature study using the tahlili interpretation method. thus, the results of this study are focused on the theme of anger and generate levels of anger based on the perspective of islamic communication psychology. thus, the results of this study have not been able to examine the relationship between each type of anger and other variables, such as sexual behavior and aggressive behavior. therefore, future researchers are expected to be able to examine the results of this study by linking them to other variables using the quantitative method and assessing the effectiveness of the types of anger from this study on variables using the experimental procedure. references adhim, m. f. (2017). positive parenting. yogyakarta: pro-u media. aditya, c. (2015). berbagai terapi jitu atasi emosi sehari-hari. yogyakarta: flashbooks. afdal, a., fikri, m., pane, n., & andriani, w. (2020). exploration of aggressive behavior among adolescent in indonesia. konselor, 9(4), 165–173. https://doi.org/10.24036/0202094111914-0-00 agustian, a. g. (2006). rahasia sukses membangkitkan esq power : sebuah inner journey melalui al-ihsan. jakarta: penerbit arga. ahmadia, s. s., besharata, m. a., azizia, k., & larijani, r. (2011). the relationship between dimensions of anger and aggression in contact and noncontact sports. procedia social and behavioral sciences, 30(2011), 247 – 251. https://doi.org/10.1016/j. sbspro.2011.10.049 ainun, i. n., aisyiyyah, l., & yunus, b. m. (2023). metode tafsir tahlili dalam menafsirkan al-qur’an: analisis pada tafsir al-munir. jurnal iman dan spiritualitas, 3(1), 33–42. https://doi.org/10.15575/ jis.v3i1.21788 68 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) alavinezhada, r., mousavia, m. o., & sohrabi, n. (2014). effects of art therapy on anger and self-esteem in aggressive children. procedia social and behavioral sciences, 113, 111–117. https://doi. org/10.1016/j.sbspro.2014.01.016 alawiyah, i. t. a., taufiq, a., & hafina, a. (2019). the effectiveness of sociodrama to improve students’ anger management skills. islamic guidance and counseling journal, 2(2), 56–65. https://doi. org/10.25217/igcj.v2i2.397 arbi, a. (2019). komunikasi intrapribadi: integrasi komunikasi spiritual, komunikasi islam, dan komunikasi lingkungan. jakarta: prenadamedia. ayub, n., kimong, p. j., & ahmad, p. h. m. (2020). the relationship between anger and aggression among drug-dependent males. international journal of social science and humanity, 10(2), 51–56. https://doi.org/10.18178/ijssh.2020.v10.1013 badri, m. a. (2017). cerdas berkomunikasi ala nabi muhammad. jakarta: pustaka imam asy-syafii. basit, a. (2019). konseling islam. jakarta: kencana prenadamedia. brewer, m. b, & hewstone, m. (2004). emotion and motivation (m. b. brewer & m. hewstone, eds.). hoboken, new jersey, united states: blackwell publishing. brezina, t. (2010). anger, attitudes, and aggressive behavior: exploring the affective and cognitive foundations of angry aggression. journal of contemporary criminal justice, 26(2), 186 –203. https:// doi.org/10.1177/1043986209359849 cangara, h. (2019). pengantar ilmu komunikasi. depok: rajagrafindo persada. claudio, c., & antonio, b. (2014). the relationship between anger and sexual behavior: a review of theories and research. mediterranean journal of clinical psychology, 2(1), 1–29. https://doi. org/10.6092/2282-1619/2014.2.977 dawud, a. i. a. (2018). bekal seorang dai. solo: insan kamil. djafar, w. s. (2015). komunikasi transendental manusia-tuhan. farabi (e-journal), 12(1), 150–163. ekman, p. (2003). emotions inside out: 130 years after darwin’s the expression of the emotions in man and animals. annals 69anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of the new york academy of sciences, 1000, 1–6. https://doi. org/10.1196/annals.1280.002 ekman, p. (2007). emotion revealed: recognizing faces and feelings to improve communication and emotional life (2nd ed). new york, new york, united states: henry holt and co. ekman, p. (2013). membaca emosi orang. yogyakarta: think. elfina, m. l., utami, r. r., & latipun. (2018). the effect of anger management on aggression with social skills as a moderating variable. the international journal of indian psychology, 6(4), 39–47. https://doi.org/10.25215/0604.104 goleman, d. (2005). emotional intelligence: why it can matter more than iq. new york, new york, united states: random house publishing group. gundogdu, r. (2018). the influence of choice theory anger management program (ctamp) on the ability of prospective psychological counselors for anger management. international education studies, 11(4), 43–53. https://doi.org/10.5539/ies.v11n4p43 hayati, r., & indra, s. (2018). hubungan marah dengan perilaku agresif pada remaja. jurnal edukasi: jurnal bimbingan konseling, 4(1), 67–74. https://doi.org/10.22373/je.v4i1.3523 hefni, h. (2014). perkembangan ilmu komunikasi islam. jurnal komunikasi islam, 4(2), 326–343. https://doi.org/10.15642/jki.2014.4.2.%25p hefni, h. (2017). komunikasi islam. jakarta: prenadamedia. heilman, e. e. (2022). anger is all the rage: a theoretical analysis of anger within emotional ecology to foster growth and political change. teachers college record: the voice of scholarship in education, 124(4), 205–234. https://doi.org/10.1177/01614681221093285 hendricks, l., bore, s., aslinia, d., & morriss, g. (2013). the effects of anger on the brain and body. national forum journal of counseling and addiction, 2(1), 2–5. katsir, i. (2017). al qur’an dan tafsir ibnu katsir (m. a. ghafar, trans.). bogor: pustaka imam asy-syafi’i. mulyana, d. (2017). ilmu komunikasi: suatu pengantar. bandung: remaja rosdakarya. 70 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nasir, r., & ghani, n. a. (2014). behavioral and emotional effects of anger expression and anger management among adolescents. procedia social and behavioral sciences, 140, 565 – 569. https://doi. org/10.1016/j.sbspro.2014.04.471 ngalimun. (2017). ilmu komunikasi: sebuah pengantar praktis. yogyakarta: pustaka baru press. obee, & hasan, f. (2017). seven secrets: membaca pikiran orang seketika. jakarta: bintang wahyu. pashupati, m., & dev, s. v. (2011). anger and its management. journal of nobel medical college, 1(3), 9–14. https://doi. org/10.1080/09585189008408480 pranowo, & hartono, p. (2009). spiritual quantum smile: rahasia sukses dunia akhirat dengan senyum dahsyat memikat. yogyakarta: pro-u media. rafanany, b. (2013). tips & trik dahsyat negosiasi 15 menit taklukkan lawan bicara. yogyakarta: pinang merah. rahmiana, r. (2019). komunikasi intrapersonal dalam komunikasi islam. jurnal peurawi: media kajian komunikasi islam, 2(1), 77–90. http:// dx.doi.org/10.22373/jp.v2i1.5072 rosalinda, r. (2020). tafsir tahlili: sebuah metode penafsiran al-qur’an. hikmah: journal of islamic studies, 15(2), 181–216. https://doi. org/10.47466/hikmah.v15i2.134 rozi, f., baharun, h., tohet, m., aini, q., & imamah, n. n. (2022). anger management in improving teacher performance in school. al-tanzim: jurnal manajemen pendidikan islam, 6(1), 243–253. https://doi.org/10.33650/al-tanzim.v6i1.3299 ruiz-robledillo, n., & moya-albiol, l. (2013). self-reported health and cortisol awakening response in parents of people with asperger syndrome: the role of trait anger and anxiety, coping and burden. psychology and health, 28(11), 1246–1264. https://doi.org /10.1080/08870446.2013.800517 sarwono, a. (2014). the miracle of patient: sabar dimasa sulit, melatih diri mengendalikan emosi. jakarta: uhamka press. sarwono, s. w. (2018). pengantar psikologi umum. depok: rajagrafindo persada. 71anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) sauter, d. a. (2017). the nonverbal communication of positive emotions: an emotion family approach. emotion review, 9(3), 222–234. https://doi.org/10.1177/1754073916667236 shabuni, m. a. a. (2020). shafwatut tafasir : tafsir-tafsir pilihan. jakarta: pustaka al kautsar. shihab, m. q. (2017). tafsir al-mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al qur’an. jakarta: lentera hati. sikumbang, a. t., munardi, b., zaein, a., & kholil, s. (2022). representation of the anger of the prophet musa in the qur’an from the perspective of the psychology of human intrapersonal communication in islam. psikis: jurnal psikologi islami, 8(2), 121– 132. https://doi.org/10.19109/psikis.v8i2.13758 sinaulan, r. l. (2016). komunikasi terapeutik dalam perspektif islam. jurnal komunikasi islam, 6(1), 129–157. https://doi.org/10.15642/ jki.2016.6.1.129-157 spielberger, c. d., reheiser, e. c., & sydeman, s. j. (1995). measuring the experience, expression, and control of anger. issues in comprehensive pediatric nursing, 18(3), 207–232. https://doi. org/10.3109/01460869509087271 sukhodolsky, d. g., kassinoveb, h., & gorman, b. s. (2004). cognitivebehavioral therapy for anger in children and adolescents: a meta-analysis. aggression and violent behavior, 9(3), 247–269. https://doi.org/10.1016/j.avb.2003.08.005 sukhodolsky, d. g., solomon, r. m., & perine, j. (2000). cognitivebehavioral, anger-control intervention for elementary school children: a treatment-outcome study. journal of child and adolescent group therapy, 10(3), 159–170. https://doi. org/10.1023/a:1009488701736 thadi, r. (2017). komunikasi transendental: shalat sebagai bentuk komunikasi transendent. jurnal ilmiah syi’ar, 17(2), 43–52. https://doi.org/10.29300/syr.v17i2.894 turistiati, a. t. (2019). kompetensi komunikasi antarbudaya. jakarta: mitra wacana media. utami, f. p., lasan, b. b., & hambali, i. m. (2019). tingkat kemampuan kelola emosi marah siswa sma. jurnal pendidikan: teori, penelitian, dan pengembangan, 4(2), 262–266. https://doi.org/10.17977/jptpp. 72 anger emotions in the qur’an from an islamic communication psychology perspective benny munardi, syukur kholil, achar zain al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 41 72, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) v4i2.12033 utami, r. r., & elfina, m. l. (2018). the influence of anger management on aggression behavior and peer acceptance as a mediation variable. advances in social science, education and humanities research (assehr), 304, 174–179. https://doi.org/10.2991/ acpch-18.2019.43 watson, h., rapee, r., & todorov, n. (2015). forgiveness reduces anger in a school bullying context. journal of interpersonal violence, 32(11), 1642–1657. https://doi.org/10.1177/0886260515589931 yadav, p. k., yadav, r. l., & sapkota, n. k. (2017). anger: its impact on human body. innovare journal of health sciences, 4(5), 3–5. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik universitas serang raya liza diniarizky putri* universitas serang raya keywords: panjang mulud; social action; social communication; social relations abstract the panjang mulud tradition in serang, banten is one of the traditions that aims to pay homage and a form of happiness for the birth of the prophet muhammad saw. this tradition is meant as a feeling of gratitude for all the pleasures of life, as well as an effort by the community to tighten the social relations between one another. this study aims to examine social communication that occurs in the panjang mulud tradition and the meaning of social action in it for supporting a harmonious social life. this research was conducted through a qualitative approach of ethnomethodology. the data was collected through observation, interviews, and documentation triangulation. moreover, data analysis was carried out through data reduction, data presentation, and conclusions, which were then analyzed by relating social action theory with the social communication concept. based on data findings, it was concluded that panjang mulud is a space created consciously to reinforce their religious and cultural identity. the activities in the panjang mulud tradition are believed to be a form of social action carried out consciously and more value-oriented compared to other motives. correspondence: e-mail: kangdoel2002@gmail.com *lizadiniarizky@gmail.com https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh 74 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak tradisi panjang mulud di serang, banten, menjadi salah satu tradisi yang bertujuan untuk memberikan penghormatan dan wujud kebahagiaan atas kelahiran nabi muhammad saw. tradisi ini bermakna sebagai rasa syukur atas segala nikmat hidup yang dirasakan, sekaligus sebagai upaya masyarakat untuk mempererat hubungan sosial antara satu dengan yang lainnya. tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah komunikasi sosial yang terjadi di dalam tradisi panjang mulud serta makna tindakan sosial di dalamnya guna mendukung kehidupan sosial yang harmonis. penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif, khususnya dalam ranah etnometodologi. sejumlah data dikumpulkan melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. analisis data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, yang selanjutnya dianalisis dengan mengkaitkan antara teori tindakan sosial dengan konsep komunikasi sosial. berdasarkan temuan data, disimpulkan bahwa panjang mulud adalah ruang yang diciptakan secara sadar untuk meneguhkan identitas agama dan budaya mereka. adapun kegiatan di dalam tradisi panjang mulud diyakini sebagai bentuk tindakan sosial yang dilakukan secara sadar dan lebih berorientasi pada nilai, dibandingkan dengan motif lain seperti motif ekonomi atau motif lainnya. kata kunci: panjang mulud; tindakan sosial; komunikasi sosial; hubungan sosial how to cite this (apa 7th edition): malik, a. & putri, l. d. (2023). panjang mulud tradition as a medium of social communication. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 8(1), 73–104, https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.6120 introduction there are three patterns of the spread of islam in nusantara: integrative, dialogic, and integrated dialogic-integrative. these three patterns can be seen in religious traditions and rituals still practiced by society today (suriadi, 2019). one of the traditions is called muludan, a 75panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) religious celebration of the birth of prophet muhammad saw on the 12th of rabi’ul awwal, the third month in the islamic calendar. although prophet muhammad saw is believed to have died on the same date and month, his death is not included in this celebration. in addition, the month of rabi’ul awwal is considered the second most meaningful month for muslims after the month of ramadan (muhammad, 1999). the muludan tradition for the people of banten has an important meaning, namely, as a form of their love for the prophet muhammad. therefore, the celebration always includes telling the events of the birth of the prophet muhammad and his morals as role models for all muslims worldwide. one proof of love for the prophet muhammad by the people of banten is to read more blessings and marhaban in every celebration of muludan. according to their beliefs, the tradition of reading this prayer is manifested from allah’s command which reads: indeed, allah and his angels pray for the prophet. o you who believe, pray for him and salute him. (q.s. al-ahzab verse 56). a number of ceremonies carried out in the banten region basically continue, even though there have been various changes in their implementation, especially in adjustments to the changing times. the ceremony carried out by the people of banten is not only an effort to preserve ancestral culture, but is also to build social solidarity for its actors (fauziyah, 2016). in this case, the interesting thing about the implementation of these ceremonies is that there are gender differences which also affect the mulud celebration in banten (fauziyah, 2015). the most popular tradition for mulud celebration in serang city is panjang mulud. panjang mulud is a distinctive tradition of the muslim 76 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) community in banten province, especially in the serang (regency) and cilegon, to celebrate the birth of the prophet muhammad. this tradition which has been going on since the time of the banten sultanate, is carried out annually based on the hijri calendar, namely during the month of rabbiul awwal, coinciding with the month of the birth of the prophet muhammad. moreover, the month is also known as the month of mulud or the month of mawlid. meanwhile, the celebration itself is called muludan or maulidan. the tradition is called panjang mulud because its activities involve community processions that carry panjang containers in the shape of boats or stretchers, or various other shapes such as animals decorated with colorful paper or banknotes of various denominations made such as flags, or boiled eggs that are decorated and made to resemble flowers. in panjang, various basic necessities are contained, which include rice, cooking oil, noodles, and so forth. in addition, panjang can also contain clothing, and fabrics, including various household furniture. in some places, even panjang consists of luxury items that range widely, such as furniture and motorcycles. during the month of rabbiul awwal, people in various places like in kampung tanggul, serang city, carry out the tradition. some occur at the same time, some at different times, depending on the agreement of the community itself. when compared to other traditions that aim to celebrate the birthday of the prophet muhammad, a number of other locations also celebrate similar celebration traditions. like the panjang mulud tradition in banten, several other areas have similar traditions, but are packaged under different names. for example, in kendal regency, central java, it is known as the weh-wehan tradition, which means the tradition of exchanging food between neighbors. in solo, central java, there is the grebeg maulud tradition, which consists of a mountain procession filled with goods. in the east java region, especially banyuwangi, there is also the endog-endogan 77panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) tradition, namely carrying eggs decorated and made to look like flowers as a symbol of the birth of the prophet muhammad saw. there is a tradition of cooking beulangong kuah in aceh, namely the tradition of cooking beef or goat and jackfruit to be served and enjoyed with the community in commemoration of the birthday of the prophet muhammad saw. furthermore, in kudus regency, central java, there is the ampyang maulid tradition, namely the tradition of parading a stretcher filled with kepel rice wrapped in teak leaves. still in the east java region, namely in pacitan, there is also a tradition of making ulam sari sacred rice. this tradition is carried out by cooking rice which consists of uduk rice and chicken sticks, as a symbol of purity and birth. whereas in cirebon, it is known as the panjang jimat tradition, which is a procession tradition that is usually carried out at the kasepuhan palace, kanoman palace, and kacirebonan palace, cirebon (farid, 2016; manullang, risa, trihudiyatmanto, masri, & aslan, 2021). based on comparing the traditions above, panjang mulud appears as a special tradition unique to the banten region. in this case, the name panjang mulud indirectly gives an idea of the community’s procession, which is synonymous with carrying a long vessel like a boat, complete with ornaments. this is a characteristic of the banten region because, in historical records, the panjang mulud has been going on since the days of the banten sultanate. al-ayubi (2017) in his research mentions that some parties argue that the panjang mulud tradition was born during the time of sultan ageng tirtayasa (1651-1672), while others state that the panjang mulud tradition began during the second sultan of banten, namely maulana yusuf (1570 1580). the panjang mulud has existed since banten was led by sultan abdul mafakhir, namely in 1634 ad (munawaroh, suhendi, putri, safitri, nadiyah, & mulyadi, 2022). therefore, based on these historical facts, panjang mulud is an old tradition that still survives to this day, is preserved and developed, and continues to experience various 78 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) renewals in its content and packaging, celebrated yearly by the community, including the local government and business actors. in fact, more than a decade ago, in 2003, tourism actors such as the indonesian hotel and restaurant association (persatuan hotel dan restoran indonesia/phri) of serang regency had also used this tradition as momentum to increase the number of tourists, especially to the beaches in the anyer-cinangka area by making panjang in the form of a giant tumpeng two meters high consisting of 3 quintals of rice, 1 quintal of sticky rice, 25 chickens, 2 crates of eggs, 10 kilograms of fish, 3 kilograms of emping, and 10 kilograms of giant prawns, cooked by hotel and restaurant chefs (hakim, 2006). meanwhile, by the district and city governments of serang, this tradition has also become a tourist calendar (sahabudin, tahir, hadian, & nugraha, 2019). in fact, not every tradition in the community is well maintained and preserved. this tradition has been able to survive across space and time, be preserved, celebrated in such a way, and receive very special treatment both culturally and structurally, because it is considered to have a meaning that is not only an individual-spiritual ritual, but also a cohesive-collective ritual for the social life of the community. it is a social fact understood and interpreted as a space for developing social cohesiveness. this understanding and meaning is congruent with what is stated by about religion, namely as a set of beliefs and practices related to sacred things, namely something that is set aside and forbidden beliefs and practices that unite one another in a single moral community all those who submit to it (shonhaji, 2012; ismanto, & mulia, 2021). this is in line with the view of sociology, where religion’s primary concern is its function for society. religion contributes in maintaining the integrity of society (bauto, 2014). in a similar manner is the panjang mulud. the tradition of celebrating the birth of prophet muhammad saw, considered a part of religious practice, can survive and be well 79panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) preserved because it is based on religious beliefs and sacredness, thus forming and uniting its people, as durkheim calls it, a single moral community. in the context of social relations, the panjang mulud tradition is seen as a social sphere that functions to unite fellow members of society and contains a sense of kinship. in this case, panjang mulud is a forum as well as a social media in order to enable the community as individual communicators to interact within it. furthermore, through implementing panjang mulud activities, communities can establish close relationships with one another, both local (indigenous or native) communities and immigrant communities, including with communities outside the village. thus, at first glance, panjang mulud’s existence is interpreted not only as a mere tradition but also as a medium of communication in relation to the social communication that occurs within it. in terms of communication, the panjang mulud tradition can also be interpreted as a medium of social communication which has positive implications for the creation of a harmonious social life. the panjang mulud tradition or other traditions carried out by the community, apart from having ritual and spiritual significance, also contain different meanings in social life, namely as a medium of social communication which has positive implications for the creation of the development of a harmonious social life. for example, in traditions related to the celebration of eid al-fitr, the tradition carried out is seen as an effective medium of communication in building social relations in society (yanti, 2019). thus, the panjang mulud tradition is able to create a sense of togetherness among social beings. the context is that the panjang mulud tradition is also considered capable of building harmony with nature (natasari, 2021). the panjang mulud tradition is simply also concerned with aspects of social communication. conceptually, social communication is an interactional process with several characteristics, one of which is that it occurs in a physical and social context. social communication can assist 80 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) individuals in forming self-concept, self-actualization for survival, obtaining happiness, avoiding pressure and tension, and building relationships with others. therefore, social communication can help individuals to work together with other community members to achieve common goals that have been directed, as well as to shape and support the process of social integrity (mulyana, 2017), either in the form of controlling conflicts and social deviations, within a particular social system or in the framework of uniting certain elements in a society so as to create a social order (ritzer & stepnisky, 2017). in this context, the panjang mulud tradition is a spiritually oriented (religious) ritual that can be considered important and bind the congregation in one community, carried out in mutual cooperation, symbolizing togetherness, as well as being a powerful communication medium for members of the community (tihami, 1999). the communication container in question contains a process in the pattern of social interaction that occurs. social interaction is established, both involving relationships between individuals, between groups, and between individuals and groups. this social interaction is capable of being the beginning of the establishment of social relations and social communication between humans (liliweri, 2009). the existence of social communication as part of the human communication process allows for substance as verbal and nonverbal communication. regarding panjang mulud, the existence of nonverbal communication can be said to be a part of it. nonverbal communication is a strategic site that aims to show the inseparable link between nature and culture in human behavior (segerstrale & molnár, 2018). thus, humans interact and behave not only in relation to other humans, but it is possible to come into contact with nature, the environment, and the cultural aspects that surround them. on a different side, the panjang mulud tradition socially has special focus for the perspective of social action 81panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) theory as another study within it. in fact, the panjang mulud tradition, which is still maintained and carried out every year, belongs to actions that are rational in nature, based on awareness based on a certain orientation. this orientation is then narrowed down to two things, namely the existence of motives and goals. therefore, max weber’s views are essential to support when he asserts that rational actions carried out by humans are basically related to conscious considerations and choices when declaring these actions (kalberg, 1980). a number of communication behaviors, although subjective, actually have a meaning, which is intended to influence or orient the behavior of others. weber then bases the analysis of social action in relation to individual communication behavior on four criteria. the first one is value-oriented rationality. this refers to actions taken by individuals based on the rationality of more dominant values, based on idealistic interests, rather than aspects of habit and emotion. the second criterion is instrumental rationality which is based on materialistic interests that are more dominant and its rationality is oriented towards the most profitable choices. the third is affective actions, namely actions that are mostly controlled by feelings or emotions without reasoning. fourth, traditional actions are believed to be actions that are formed from habits, without conscious reflection or planning. concerning the above points, the authors consider it important to study this issue further with the research locus centered in waqf village, tembong village, cipocok jaya district, serang city. administratively and regionally, the waqf village is located in the serang city area, with high community mobility, complex social life, and of course having diverse religious understandings. however, they still maintain various religious traditions. on every thursday night, or friday night, for example, they usually hold yasinan activities (read the yasin verse) together at the mosque, accompanied by marhabanan activities (to welcome the ramadhan month), 82 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) including other religious traditions such as rewahan, tahlilan, khaul, tujuh bulanan (sevenmonth commemoration), rebo wekasan, mulud fatimah, and the commemoration of islamic holidays (peringatan hari besar islam/ phbi) such as isra mikraj and nuzulul quran. similarly, the birth of the prophet muhammad, or muludan, is always commemorated, accompanied by the panjang mulud activity. similar to other places, the panjang mulud activity in waqf village was also lively, attended by all levels of society, both natives and immigrants, even involving people from other villages. various religious activities in wakaf village are also centered in the mosque. likewise, with the panjang mulud tradition, the mosque is used as a place as well as a center of activity. because, apart from functioning as a place of worship, the mosque is also a place for various other community activities. al-ghazali (2018) in his research stated that the mosque is an instrument of community empowerment which has a very strategic role in improving quality and can unite the community. they were very enthusiastic in participating in this activity from the beginning to the end of the activity. local culture (local wisdom) must be one of the basic considerations in formulating policies development in banten province (syarbini, 2011). the study of the transformation of religious understanding at the local level is part of the way to map changes in people’s ways of thinking, as well as the occurrence of cultural shifts in a broader sense (abdullah, mujib, & ahnaf, 2010). there have been many studies conducted on the panjang mulud tradition by researchers from various disciplines. some examples are the research from said (2016); al-ayubi (2017); sahabudin et al. (2019); and suriadi (2019). however, among many studies, there has not been any prior research related to the panjang mulud that is carried out based on the perspective of communication science, specifically in the perspective of social communication. on the other hand, panjang mulud is rich with communication aspects that are not only interesting but also important 83panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) subject to study. among the aspects that the researcher wants to study is the panjang mulud tradition as a medium of social communication. this research was conducted with the aim of knowing how social communication takes place in the panjang mulud tradition, and what the meaning of social action from the panjang mulud tradition is for the establishment of a harmonious social life. it is expected that there will be more of similar studies based on the perspective of communication science from diverse aspects in the future. thus, in addition to enriching the repertoire of research in the field of communication science and other social sciences, it can also bring a real contribution to the development of science and provide solutions to social problems in the community. it is hoped that in the future there will be more and more similar studies based on the point of view of communication science, from various aspects of course, so that in addition to enriching research treasures in the field of communication science and other social sciences. it also has a real contribution to the development of science and provides solutions to social problems in society. methods this research was conducted using a qualitative approach, which means that this research usually occurs at a natural level, allowing many human behaviors and events to occur, as well as emphasizing aspects of the participants’ perceptions and experiences and their way of interpreting life (creswell, 2014) . the method used is ethnomethodology, which was developed by harold garfinkel and is rooted in the phenomenological tradition of albert shultz. shultz’s thinking, which is appreciated by garfinkel, is a thinking that places humans as subjects who have the ability to construct a social world based on their strength and ability to interpret (interpret) things. in this case, social actors interpret situations for their actions, reach goals, and other motivations to gain intersubjective 84 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) understanding, while coordinating their actions which are generally able to direct the social world that surrounds them (ritzer & stepnisky, 2017). furthermore, ethnomethodology is the empirical study of how a person responds to their everyday experiences in the social world. ethnomethodology in this case aims to study the social reality of daily interactions (basrowi & sukidin, 2002; salim, 2006). in other words, from an ethnomethodological point of view, a ‘social fact’ is created because of the interpretive actions of each member of society – activities that become a vehicle for actors to produce and organize conditions in everyday life itself (denzin & lincoln, 2009). likewise, the panjang mulud tradition, how to interpret panjang mulud as a tradition and medium of communication, the social facts born in panjang mulud are basically created based on the interpretive actions of the people or society within it, who believe in, carry out, and at the same time celebrate it. data sources in this study consisted of primary data sources and secondary data sources. primary data sources consist of original objects or documents in the form of raw materials from the main actor, or what is referred to as first-hand information and is primary in nature. the data collected in this primary source usually comes from the actual situation at the time an event occurred, either based on the results of interviews or direct observation. the second source, is a secondary data source, in which this data source comes from a second party or other sources that were available before the research was conducted (silalahi, 2006). this research uses interactive data analysis. data analysis in this study starts from the data reduction process, followed by data presentation, and the last is drawing conclusions. all data collected as research data was obtained through observation techniques, interviews, and documentation of the data related to the panjang mulud tradition. for observation, this stage was carried out by observing the process of implementing the panjang mulud tradition. as for interviews, this data 85panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) collection technique was carried out through a number of questions in the interview guide which were addressed to several informants. the informants were selected based on considerations (purposive sampling) in accordance with the required data requirements. the number of informants referred to include, first, a local community leader who serves as chair of the mosque welfare council (dewan kesejahteraan masjid/ dkm) and a village elder named misna. this informant was considered to have authority in religious affairs, including the implementation of the panjang mulud tradition by the local community. second, musoffa, a former head of the neighborhood known to be active in every religious activity, including implementing the panjang mulud tradition. third, fahrurozi who represents the presence of migrants in the village. fourth, samsudin, a native who is also actively involved in every panjang mulud activity. given their role and position in society, the four residents were considered representative to be used as informants in this study. the aim was to obtain as much information as possible and understand the implementation of the panjang mulud tradition as the location where this research was conducted. furthermore, the finding data that was successfully collected was then analyzed and interpreted based on the theory of social communication and social action as the analytical knife in order to further draw conclusions and verification. in the documentation stage, data collection was carried out by examining other data outside the primary data that was deemed relevant and in accordance with the research focus. data based on documentation can be obtained through literary sources, media texts both conventional and digital, as well as documents from the public. 86 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) results and discussion social communication in the panjang mulud tradition the panjang mulud tradition is one of the community traditions involving many people, ranging from planning to implementation. apart from being a spiritually (religiously) oriented ritual that is considered important to be followed by every element of society, the implementation of panjang mulud also consists of various activities that require the involvement of many parties. therefore, the spirit of mutual cooperation and togetherness among the community elements in the context of implementing the panjang mulud tradition is absolutely necessary, from the beginning to the end of the activity. the implementation of activities and the involvement of various parties in the panjang mulud tradition subsequently creates a communicative situation between community elements, both communication in the social and cultural contexts that take place simultaneously. panjang mulud as a tradition which contains rigid aspects of communication, in relation to communication in a cultural and social context. social communication in the panjang mulud tradition is created from planning, implementation, to the end of the activity. the planning stage begins with a community meeting held in the courtyard of the nurul hikmah mosque, with the initiator consisting of the rt chair, religious leaders who are concurrently the mosque welfare council (dewan kesejahteraan masjid/dkm) administrators, and youth leaders. in the meeting, all residents were invited to be involved in discussions about the committee, implementation time, form of activity, and the number of dues that must be paid by each head of the family. in this meeting, there were intense communication and interaction between community members, both indigenous people who used to carry out the panjang mulud tradition and immigrant communities who were new 87panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to and following the tradition, young and old. the discussion usually begins with determining the implementation date, adjusting to the community’s free time, and considering the timing of the muludan implementation in neighboring villages so there are no clashes. the next discussion is the formation of a committee consisting of the chairman, secretary, treasurer, and other sections, followed by discussion of the activities and determining the number of invitees from other villages, groups of tahlil and marhaban readers, extended pick-up groups, and so on. the final discussion is usually about the amount of fees charged to residents. the amount of this fee is adjusted based on need. the livelier the activities, the more significant the contributions issued by the community. in order not to be burdensome, contributions are made in installments which are billed by the committee periodically. for this reason, this planning stage is usually carried out one or two months before the implementation of activities. according to the agreement, the implementation stages of the 2021 muludan and panjang mulud activities would be held on sunday, october 3rd, coinciding with the 26th of safar 1443 hijri. the implementation date was deliberately moved forward (not in the month of rabbiul awwal) and was mutually agreed so that the activities would not clash with other villages. this is the interview results with the head of dkm as well as the head of the wakaf village: “this year we decided to move muludan forward, not exactly in the month of rabiul awal to avoid clashing with muludan in other places. if the time is the same as in the neighboring village, it will be difficult later on how we can invite each other. because, every muludan we must invite the village next door. likewise, the village next door, definitely invite our village.” on the d-day of the activity, the entire committee in black and white uniforms with caps were busy working in accordance with their respective roles. some were coordinating the event, some were welcoming 88 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) guests, and so on. likewise, the community in general was preparing to welcome the implementation, including preparing the panjang they make. figure 1. one of the long (panjang) shaped boat for residents, the panjang that is made or purchased with all its contents is a form of alms which will later be divided and given to other parties who have been determined by the committee. because of the nature and motivation of charity, residents would compete to make and prepare the best possible panjang, even as large and complete as possible. some are in the form of animals such as camels, in the form of boats, planes, miniature mosques, to the simplest ones such as boxes but decorated with various knick-knacks. the contents, ranging from basic ingredients such as rice, cooking oil, noodles, to clothes, towels and the like, including household furniture. in fact, not infrequently, the panjang are decorated with banknotes with various nominal values that are shaped like flags and so on, thereby adding to the lively atmosphere and inviting the attraction of people to be involved in. the panjang mulud contain usually depends 89panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) on the natural potential possessed by each region. however, in wakaf village, the community makes expression according to their wishes and abilities. the community believe that charity is part of religious teachings, and whoever gives charity will surely get the reward and blessing of life. therefore, the costs incurred by each resident in making the panjang vary greatly. some reach millions of rupiah because the shape and panjang consist of goods with above-average prices. there are also those who only pay a small fee because the long form only contains basic necessities. all of that depends on the ability of each citizen, which is based on volunteerism, and what is certain is that the form and all the panjang made reflect the joy and expression of joy and togetherness of the citizens in commemorating and celebrating the birthday of the prophet muhammad saw. this is the former head of rt 002 of the wakaf village said: “regarding the amount of costs incurred for making the length, it’s relative, depending on the ability of each. so, there is no benchmark for the amount of costs incurred and there is no coercion, whether to make it or not is up to each one. if you want to make it this long, it’s up to you. but the point is that no matter how much money we spend, we are willing to spend it because this is part of our alms.” furthermore, on the scheduled day of implementation, the panjang mulud activity was comprised of a number of activities. it started with the recitation of tahlil and continued with reading the book of bar promise containing praises to the prophet muhammad saw. it is also called marhabanan which is carried out alternately by a group of people – usually ustad or santri who are brought in from the pesantren (islamic boarding school) or from the surrounding village – which is centered in the mosque where the activities are carried out. the event took place, accompanied by the arrival of panjang mulud which were collected in front of the mosque. 90 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) meanwhile, the community on the day of the implementation, both men and women, children, teenagers, youth, and parents, left their houses with joy, and interact with one another to welcome the presence of the committee and the team. they also mingled with the community members from other villages who wanted to witness the excitement of the event. on the other hand, the reception committee was busy receiving and inviting guests from neighboring villages and other invitees to enter the mosque to join the group of tahlil and readers. at the same time, a long pick-up was carried out to the residents’ homes by the committee and a special pick-up group of 10-25 people dressed in taqwa (koko) clothes. while carrying and sounding the beat of terbang gede (big flying musical instruments), they read tahlil and sholawat to the prophet muhammad, which is usually also followed by the residents together. the recitation is a combination of the word of tawhid and salawat (salutation) to the prophet pbuh. the sentence “laa ilaha illallah muhammad rasulallah” is the most profound sentence of dhikr because it implies the belief that allah is the only god and there is no god but allah. the sentence also contains a belief that the prophet muhammad is the messenger of allah the almighty. in addition, the salawat that is chanted along with the tawhid word is a prayer as well as a form of respect and love of muslims for their prophet, muhammad pbuh. in addition to arabic pronunciation, they also sing songs in the local language as follows: hayu kabeh dulur-dulu dadi wong ajeu takabur… hayu kabeh dulur-dulur dadi wong ajeu takabur… hayu kabeh dulur-dulur, maring allah kudu syukur inget kangge ning kubur… 91panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) which means: come on, brothers and sisters, do not be arrogant/takabur as humans come on, brothers and sisters, do not be arrogant/takabur as humans come on, brothers and sisters, to allah we must be grateful, we must remember the grave the song in the local language contains an encouragement to all people not to be arrogant. instead, everyone is obliged to always be grateful to allah for all the blessings given. in addition, everyone must also always remember death or remember the grave. therefore, in addition to being grateful, one must also always increase worship to allah the almighty. the panjang were then paraded around the village to be taken to an open field and then lined up in the yard or field in front of the mosque. to make the event even more lively, the committee set firecrackers to cause a loud bang mixed with the sound of the beat of musical instruments and the singing of the long accompaniment group. the situation was so expressive, reflecting the joy and happiness of the community. the long contents were collected and separated by the committee according to the type and designation. some were specially designated for religious leaders, for invited guests from the surrounding village community, orphans, for families who cannot afford it, and those with other rights. likewise, the money that has been collected from panjang made like flags, is collected and then counted and distributed as alms to those who are entitled. at the same time, without being commanded, people who are not included in the committee voluntarily also participate in the process of counting, distributing, and distributing long content. this process is usually completed before dawn arrives. 92 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the stage after implementation was the last stage of the muludan activity and the panjang mulud tradition, in the form of a community meeting containing get-togethers to evaluate activities as well as the disbandment of the committee. in these activities, community leaders who are also religious leaders will be involved in conducting a thorough evaluation of the running of the action. because the atmosphere was fluid, the evaluation activities were also fluid, so all parties openly accepted the shortcomings and weaknesses of implementing the activities. the event ended with shaking hands with each other and continued with eating together as a form of togetherness and gratitude for the smooth running of the muludan and panjang mulud activities. typically, this activity is carried out one or two weeks after the muludan and panjang mulud tradition is held. dingley and catterall (2020) find that traditional religion, mysticism, and past references have a relatively significant influence on identity in orality. through the lens of participatory communication, religion’s roles pertaining to environmental issues can be comprehended. religion plays a role in participatory communication via faith-based organizations, religious gatherings, and sites of worship. religion is a factor that promotes effective communication, knowledge creation, and the development of sustainable communities (akhda, admin, haryadi, & andarwati, 2019). meaning of panjang mulud tradition as social action the people of waqf village have a high spirit in welcoming and preparing for the panjang mulud. they view panjang mulud as a religious tradition that must be cared for, maintained, and preserved as a manifestation of love for the prophet muhammad saw and a form of obedience to religious teachings. as a result, they always carry out the tradition with joy, without coercion, and no matter how much it costs for these activities, they are willing to spend it. therefore, it is not surprising 93panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) that they seem to be competing with each other to make and prepare the panjang with all its contents as well and as much as possible. the people of waqf village even believe that the better the form and the more varied the content, the more rewards, and blessings they would get. in this case, they relate it to the religious commandment about alms. according to them, making the panjang and its contents is a form of alms. alms are a religious commandment which has implications for the reward to be obtained. therefore, the more charity you do, the more rewards you will get. they also believe that if you have issued a long form of alms with all its contents, sustenance will usually flow smoothly. moreover, even with the business or work they do, it will produce doubled sustenance. this is the interview with the former head of rt 002 the wakaf village: “giving alms is a religious order, so we are obliged to release some of what we have in the form of long products and their contents such as basic necessities, household utensils, money or others. and we believe that everything you give in charity will be replaced by allah with even more sustenance.” in addition, the panjang mulud tradition is also a moment for people to interact and communicate with each other. it is said so because this momentum from planning to the end of implementation always involves all components of society, young and old, men and women, indigenous people and immigrants, including people from other villages who are deliberately invited, either as guests or recipients of blessings in the form of basic necessities and other things coming from the panjang from the community contributions. through this momentum, community members can interact, communicate, and chat with each other. thus, in addition to expressing gratitude and happiness for the birth of the prophet muhammad saw, panjang mulud is also a momentum to share happiness by giving alms, including sharing and exchanging stories between residents about various things. 94 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) in the perspective of communication, this muludan and panjang mulud tradition can be referred to as a social fact, a medium of communication with various meanings for the establishment of harmony and social cohesiveness. one of them is the meaning of friendship. in the kamus besar bahasa indonesia (kemendikbud, 2017), silaturrahmi means friendship or brotherhood, connecting kinship and affection that wants goodness. based on this understanding, it can be understood that silaturrahmi has meaning as a form of social action to establish relationships, both friendship and brotherhood, including re-knitting cracked or tenuous relationships, which are based on the principle and nature of love in order to obtain goodness. in this context, the panjang mulud tradition is also a bridge for people to meet and interact with each other to knit friendship and kinship relations based on the values of love to build social harmony between them. for the people themselves, silaturrahmi is a manifestation of awareness in carrying out religious orders that are oriented towards joint efforts to build harmonious social relations. this awareness was recognized by both indigenous people and immigrants, including people from neighboring villages who were invited to this activity, as well as religious leaders and village elders. they also realize that along with the dynamics of the times and era, there are currently various obstacles and challenges in an effort to create a harmonious situation in social life. these obstacles and challenges can come from within or outside, which can potentially cause conflicts and disrupt social relations that have been established so far. therefore, through this panjang mulud, the community continues to build awareness to bind themselves to each other, to knit friendship with each other. because through this tradition, they are always intensely involved in interacting, communicating, admonishing each other, gathering, and working together to make this long tradition of mulud a success. as a previous study said, the development of the harmony messages disseminated through the media 95panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) related to religious community tolerance has a positive impact on other villages as literacy and promotion to build tolerance between religious communities (susanto, sumardjo, sarwoprasodjo, & kinseng, 2022). more specifically, for the local community, the panjang mulud tradition is a consciously created space to affirm their religious and cultural identity. in terms of religious identity, the panjang mulud tradition is part of the attitude of a muslim who has a sense of love for the great prophet muhammad saw, so that the momentum of his birth is always celebrated with joy. meanwhile, in terms of cultural identity, panjang mulud is a tradition that has been passed down from generation to generation, so they feel obliged to continue to care for and preserve it. as for the immigrant community, they also choose to be actively involved in this panjang mulud tradition. in addition to respecting the traditions that grow in the community where they currently live, this participation is also interpreted as a form of unification, or in the sociological language referred to as part of the community itself (in group), so that its existence is not considered different or as something else. more specifically, some of them even said that their involvement and participation in this tradition was an effort to entrust themselves as migrants to local residents, so that they could feel safe and comfortable where they live now because they feel protected. therefore, they are happy to be actively involved in the long tradition of mulud, starting from involvement in the preparatory meeting as committee members, making the long, until the end of the activity. the migrant resident said: “yes… we can meet each other, talk and even joke with our neighbors, even with people from other villages, because of this muludan event. that way, we greet and ask each other how they are. also, the muludan is a part of the intercommunity friendship. moreover, i am a newcomer, so it is important to interact with the indigenous people here to be actively involved. yes…., at least to entrust me.” 96 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) on the other hand, the friendship that has been established during this long tradition of mulud also crossed the geographical boundaries of the area where they lived. on this occasion, residents from other villages were invited to celebrate and revitalize the activities, including special guests such as government officials, community leaders, religious leaders, and other parties. they blend in with the local community, interacting with one another. according to some of them, this kind of gathering is the right momentum to get to know each other between residents as well as a place to entrust each other. thus, the relationship between the residents of the villages can be harmonious, and if there are any problems, they can be immediately addressed and resolved because of the bonds of friendship that have been built, though, among others, the long tradition of mulud. furthermore, each invitation received a blessing as a form of respect and the establishment of the bond of friendship. likewise, those coming from lower economic groups who were specially invited to participate also received the same blessing. the blessings that are used as gifts to take home come from the community’s property. after being paraded around the village, the long pieces are then collected in one place. the contents, whether basic necessities, cloth, clothes, money, or other things, are collected and selected according to their type and purpose. only after that is it divided into plastic bags to be given to each invited guest and other parties deemed entitled to receive it. meanwhile, the community that owns the panjang does not receive it at all and does not even have the right to recover the content of the long term because, from the beginning, they have intended to make the panjang and its contents to be donated or give to those who deserve it. according to residents and community members, this is where the true wisdom of the panjang mulud tradition is. in addition to friendship, the long tradition of mulud is a form of joy, gratitude, as well as an opportunity to share. therefore, they reject the notion that the panjang mulud tradition 97panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) is a place to show off, part of a wasteful act, or a fabricated activity. on the other hand, the panjang mulud is not only a celebration of the birth of the prophet muhammad but also an event for friendship and sharing. one of the residents said: “let it be if there are people who say that this panjang mulud is a show-off, or there are also those who say this is a redundant act. for me, if someone thinks that muludan is a show-off or a redundant act, that means they don’t understand the essence of muludan. muludan is a form of our joy at the birth of the prophet muhammad, a sign of our gratitude. his name is also grateful, it’s only natural that this and that activity is made (long mulud, pen.), but later we will donate it to those in need. so, where’s the show? where is the waste too?” for residents and community members, silaturrahmi is a mandatory command that must be fulfilled by every muslim, as many commands are contained in the qur’an and al-hadith. they also believe that friendship in addition to strengthening the bonds of relations between members of the community, can also prolong life, according to the meaning of the word long in the term panjang mulud, namely longevity, which some people believe that mulud will surely be given a blessing in the form of a long life. local culture can build a civilization where the human, as the actors of the civilization, is able to formulate a system of values contained in the tradition. to this end, local culture can build national civilization when the local culture is formulating as the ontological level of culture (anggraeni, hakam, mardhiah, & lubis, 2019). panjang mulud has become community-based urban tourist attractions in serang and can attract more comprehensive tourists (sahabudin et al., 2019). the motives underlying the participants in panjang mulud traditions are the motives of worship, economy, feelings and social motive, acknowledgments, and worship. participants judge themselves as devout 98 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) muslim, generous, and capable. the meanings formed in this tradition are as self-expression, identity, moment, and the way to reach destinations. transcendental communication exists in every process of panjang mulud tradition and is directly interpreted by the participants through verbal actions such as prayer, dhikr’s mulud, marhaban, and recitation or nonverbal such as alms to bring out the panjang, hospitality, and pilgrimage that returned to the participants’ belief as a form of faith, which being characterizes of transcendental communication (nurushaumy, jaiz, & muldi, 2019). the commemoration of the birthday of the prophet muhammad is an islamic culture, the legality of its implementation as its super culture. meanwhile, the culture is the form and manner of the activities of the prophet’s birthday which are carried out based on region, class, ethnicity, and profession. when maulid is carried out based on local wisdom (region, class, ethnicity, profession), then special diversity appears in certain areas and does not conflict with the main culture. this is referred to as a subculture (syaifudin, 2021). the diversity of art performance of bantenese culture, evolving from generation to generation, and it cannot be separated from the influences of religion, especially islam (said, 2016). the shift in the period from the government structure affects the practices in realizing the panjang mulud tradition, not only social beings but also in harmony with nature. people can give charity in this panjang mulud tradition (natasari, 2021). islamic tradition and religious culture in the halal tourism industry have a very important role in the halal tourism industry. these two elements are the main attraction in the attraction of halal tourism destinations in indonesia. tourists can learn and feel about islamic tradition and religious culture in halal tourism packages that have religious and kindness values. the integration of islamic tradition and religious culture in halal tourism is allowed in islam as long as it does not conflict with islamic law (sholehuddin, munjin, & adinugraha, 2021). various cultures that exist in serang regency can be used as characteristics 99panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) to the region so that the area can develop its own cultural potential (hermana & halimah, 2019). character education based on cultural and religious values in the panjang mulud tradition is expected to be the basic capital of each individual so that they are not only good at academics but also have to be good at character. the purpose of building character education based on cultural and religious values in the panjang mulud tradition is to form characters and souls aware of their identity. it is necessary to be planted from a young age. the character formed will make the individual adaptive to change (murni, hendrayana, leksono, & hufad, 2021). conclusion and suggestion conclusion based on the data and findings of the research above, it can be concluded that, first, the panjang mulud is a space created consciously to confirm their religious and cultural identity. in terms of religious identity, carrying out the panjang mulud is part of the attitudes and actions of a muslim with a sense of love for the great prophet muhammad saw, so that the momentum of his birth is always celebrated with joy, voluntarily. meanwhile, in terms of cultural identity, panjang mulud is a tradition that has been passed down from generation to generation, so the people feel obliged to continue to care for and preserve it. furthermore, it is at the same time also a social space for the community to interact and communicate in order to build a spirit of togetherness, solidarity, including harmony that is woven by the spirit of religion. second, panjang mulud tradition activities are a form of social action that is carried out consciously and is more value-oriented than other motives such as economic or other motives. it is said to be more value-oriented because the social actions it performs are based on the religious spirit, namely believing that panjang mulud is a religious tradition that must be cared for, maintained, and preserved 100 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) as a manifestation of love for the prophet muhammad saw as well as a form of obedience to religious teachings. as a result, the people of banten always observe the tradition with pleasure, without coercion, and regardless of the cost, they are willing to spend their money on these activities. since the commitment to these values is so deeply rooted in the community, rational considerations regarding utility, efficiency, etc., are irrelevant. suggestion this topic’s research object can be expanded in subsequent investigations. future phenomenological researchers of this islamic tradition are encouraged to investigate the meaning of loyalty to panjang mulud and the social construction of society in the celebration of panjang mulud. references abdullah, i., mujib, i., & ahnaf, m. . (2010). agama dan kearifan lokal dalam tantangan global. yogyakarta: sekolah pascasarjana universitas gadjah mada. akhda, t., haryadi, f. t., & andarwati, s. (2019). the roles of religion in participatory development communication in the environmental issues in indonesia. journal of agriculture and environment for international development (jaeid), 113(2), 171–180. https://doi.org/10.12895/jaeid.20192.887 al-ayubi, s. (2017). agama dan tradisi lokal banten: studi ritualitas panjang mulud di serang banten. journal of tajdid, 24(1), 162– 190. al-ghazali, s. (2018). peran masjid dalam mempersatukan umat islam: studi kasus masjid al-fatah, pucangan, kartasura. albalagh:jurnal dakwah dan komunikasi, 3(1), 127–148. https://doi. 101panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) org/10.22515/balagh.v3i1.1092 anggraeni, d., hakam, a., mardhiah, i., & lubis, z. (2019). membangun peradaban bangsa melalui religiusitas berbasis budaya lokal (analisis tradisi palang pintu pada budaya betawi). jurnal studi al-qur’an, 15(1), 95–116. https://doi.org/10.21009/jsq.015.1.05 basrowi, & sukidin. (2002). metode penelitian kualitatif perspektif mikro. surabaya: insan cendekia. bauto, l. m. (2014). perspektif agama dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat indonesia (suatu tinjauan sosiologi agama). jpis: jurnal pendidikan ilmu sosial, 23(2), 11–23. https:// doi.org/10.17509/jpis.v23i2.1616 creswell, j. w. (2014). research design: qualitative, quantitative and mixed methods approaches (4th ed). thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. denzin, k. n., & lincoln, y. s. (2009). handbook of qualitative research (dariyatno, ed.). yogyakarta: pustaka pelajar. dingley, j., & catterall, p. (2020). language, religion and ethno-national identity: the role of knowledge, culture and communication. ethnic and racial studies, 43(2), 410–429. https://doi.org/10.1080/ 01419870.2019.1587309 farid, e. k. (2016). substansi perayaan maulid nabi muhammad saw (tinjauan historis dan tradisi di indonesia). humanistika: jurnal keislaman, 2(1), 25–31. fauziyah, s. (2015). mulud fatimah di banten (gender dalam upacara keagamaan). tsaqofah: jurnal agama dan budaya, 13(2), 115–129. https://doi.org/10.32678/tsaqofah.v13i2.3393 fauziyah, s. (2016). upacara-upacara dalam budaya masyarakat banten. tsaqofah: jurnal agama dan budaya, 14(2), 142–158. https://doi. org/10.32678/tsaqofah.v14i2.3396 hakim. (2006). banten dalam perjalanan jurnalistik. banten: divisi publikasi banten heritage. hermana, b., & halimah, s. (2019). potensi budaya kabupaten serang provinsi banten. bandung: bpnb jawa barat. ismanto, k., & mulia, r. a. (2021). kebesaran agama dalam negara (studi atas pandangan emile durkheim). journal of islamic studies 102 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) and humanities, 5(2), 154–167. https://doi.org/10.21580/jish. v5i2.5665 kalberg, s. (1980). max weber’s types of rationality: cornerstones for the analysis of rationalization processes in history. american journal of sociology, 85(5), 1145–1179. https://doi. org/10.1086/227128 kemendikbud. (2017). kamus besar bahasa indonesia, edisi kelima. jakarta: kementerian pendidikan dan kebudayaan. liliweri, a. (2009). makna budaya dalam komunikasi antar budaya. yogyakarta: lkis. manullang, s. o., risa, r., trihudiyatmanto, m., masri, f. a., & aslan, a. (2021). celebration of the mawlid of prophet muhammad saw: ritual and share islam value in indonesian. fikri : jurnal kajian agama, sosial dan budaya, 6(1), 36–49. https://doi.org/10.25217/ jf.v6i1.1324 muhammad, s. (1999). haul al-ihtifal bidzikri almaulud al-nabawi alsyarif (bolehkah perayaan maulid nabi saw?). pekalongan: pp. daar al-nabaw. mulyana, d. (2017). ilmu komunikasi: suatu pengantar. bandung: remaja rosdakarya. munawaroh, m., suhendi, a., putri, p., safitri, b., nadiyah, a., & mulyadi, s. (2022). pkm pengenalan pentingnya peran digital dalam mengenalkan wisata budaya dan wisata religi kasunyatan banten. jipam: jurnal ilmiah pengabdian kepada masyarakat, 2(1), 21–31. https://doi.org/10.55883/jipam.v2i1.36 murni, hendrayana, a., leksono, s. m., & hufad, a. (2021). membangun pendidikan karakter berbasis nilai-nilai budaya dan religi dalam tradisi panjang mulud. pelita bumi pertiwi, 3(3), 38–50. natasari, n. (2021). tradisi panjang mulud di kesultanan banten lama analisis semiotika roland barthes. dakwah: jurnal kajian dakwah dan kemasyarakatan, 25(1), 93–101. https://doi.org/10.15408/ dakwah.v25i1.23178 nurushaumy, n., jaiz, m., & muldi, a. (2019). konstruksi makna tradisi panjang mulud sebagai media komunikasi transendental. jrk: jurnal riset komunikasi, 8(2), 85–102. http://dx.doi.org/10.31506/ jrk.v8i2.6020 103panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ritzer, g. & stepnisky, j. n. (2017). modern sociological theory (8th ed.). thousand oaks, california, united states: sage publications, inc. sahabudin, a., tahir, r., hadian, m. s. d., & nugraha, a. (2019). budaya panjang mulud sebagai daya tarik wisata perkotaan berbasis masyarakat di kota serang. journal of indonesian history, 8(2), 169–176. https://doi.org/10.15294/jih.v8i2.36017 said, h. a. (2016). islam dan budaya di banten: menelisik tradisi debus dan maulid. kalam, 10(1), 109–140. https://doi.org/10.24042/ klm.v10i1.338 salim, a. (2006). teori dan paradigma penelitian sosial. yogyakarta: tiara wacana. segerstrale, u., & molnár, p. (2018). nonverbal communication: where nature meets culture. milton park, abingdon-on-thames, oxfordshire, england, uk: aha, h. h. (2021). islamic tradition and religious culture in halal tourism: empirical evidence from indonesia. ibda`: jurnal kajian islam dan budaya, 19(1), 79–100. sholehuddin, m. s., munjin, m., & adinugraha, h. h. (2021). islamic tradition and religious culture in halal tourism: empirical evidence from indonesia. ibda` : jurnal kajian islam dan budaya, 19(1), 79–100. https://doi.org/10.24090/ibda.v19i1.4470 shonhaji, s. (2012). agama sebagai perekat sosial pada masyarakat multikultural. al-adyan: jurnal studi lintas agama, 7(2), 1–19. https://doi.org/10.24042/ajsla.v7i2.502 silalahi, u. (2006). metode penelitian sosial. bandung: unpar press. suriadi, a. (2019). akulturasi budaya dalam tradisi maulid nabi muhammad di nusantara. khazanah: jurnal studi islam dan humaniora, 17(1), 167–190. http://dx.doi.org/10.18592/ khazanah.v17i1.2946 susanto, t., sumardjo, sarwoprasodjo, s., & kinseng, r. a. (2022). the message of peace from the village: development of religious harmony from nglinggi village. al-balagh : jurnal dakwah dan komunikasi, 7(1), 119–150. https://doi.org/10.22515/albalagh. v7i1.5016 syaifudin, m. (2021). pendidikan rahmatan lil alamin: internalisasi nilai pada peringatan maulid nabi muhammad saw. qudwatuna, 104 panjang mulud tradition as a medium of social communication abdul malik, liza diniarizky putri al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp.73 104, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5559 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) 4(2), 74–95. syarbini, h. a. (2011). islam dan kearifan lokal (local wisdom): menelusuri nilai-nilai islam dalam praktik ritual adat masyarakat banten. the 11th annual conference on islamic studies, 170–182. bangka belitung: iacis. tihami, h. m. a. (1999). kepemimpinan kiyai di banten, studi tentang agama dan magi di desa pesanggrahan serang banten. serang: p3m stain serang. yanti, f. (2019). komunikasi sosial dalam membangun komunikasi umat (kajian makna tradisi ied (lebaran) pada masyarakat muslim di bandar lampung). komunika, 2(1), 1–16. https://doi. org/10.24042/komunika.v2i1.4752 al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh* islamic psychology study program, iain pontianak, indonesia kiki amalia islamic psychology study program, iain pontianak, indonesia keywords: counseling; peer counselor; training for trainer (tft); training program correspondence: e-mail: *emazati.baroroh@gmail.com abstract counseling training programs need to be held because there is still a lack of student skills related to this program. thus the competence of peer counselors needs to be improved. this training program's purposes are to provide participants with new knowledge and insight regarding the treatment of peer counselors. the research sample was 47 students undergraduate. the experimental design used is one group pre-test and posttest design. this training was held in two days with different durations. the research methods used here were mixed methods. the qualitative data were gained through a self-reflection form. then, the quantitative data were taken through a knowledge test. the result of the quantitative test was based on the analysis of the paired sample t-test, the result is p = 0.00 (p < 0.01). this implies that there is a clear difference before and after the training program. as can be seen from the qualitative results, the majority of the participants have experienced positive changes which can be detected in the self-reflection form exclusively in the section of new skills, skill upgrades, insights, and impressions. in the end, this article discusses findings, limitations, and recommendations for further peer counselor research and training program. https://ejournal.uinsaid.ac.id/index.php/al-balagh 2 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) abstrak program pelatihan konseling perlu diadakan karena masih kurangnya keterampilan siswa terkait program ini. dengan demikian kompetensi konselor sebaya perlu ditingkatkan. program pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan wawasan baru kepada peserta terhadap konselor sebaya. sampel penelitian berjumlah 47 mahasiswa. desain eksperimen ini adalah one group pretest and posttest design. pelatihan ini berlangsung selama 2 kali dengan durasi yang berbeda. pengambilan data pada penelitian ini mengunakan metode kualitatif berupa lembar refleksi diri dan kuantitatif berupa pengukuran pengetahuan. uji kuantitatif menunjukkan berdasarkan analisis uji paired sample t-test didapati hasil nilai p = 0,00 (p < 0,01). hal ini menandakan adanya terdapat perbedaan sebelum dan sesudah program pelatihan. jika dilihat dari hasil kualitatif secara umum sebagian peserta mengalami perubahan jika dilihat dari lembar refleksi, baik dari keterampilan baru, peningkatan kemampuan, wawasan, dan kesan. artikel ini juga membahas temuan, keterbatasan dan rekomendasi untuk studi dan pelatihan konselor sebaya selanjutnya. kata kunci: konseling; konselor teman sebaya; traning for trainer (tft); program pelatihan how to cite this (apa 7th edition): baroroh, e. z. & amalia, k. (2023). peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors. al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, 8(1), 1-40, https://doi.org/10.22515/ albalagh.v8i1.5833 introduction contemporary college students encounter a multitude of challenges arising from diverse technological advancements and the process of industrialization. the inevitability of technological progress necessitates the acceleration and immediacy of all facets of human existence. hence, 3peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) we must adjust ourselves to the progress of technology; otherwise, we risk being left in a state of stagnation. technology plays a pivotal role in facilitating and supporting our various needs. however, conversely, it can pose a potential threat similar to a dual-bladed weapon. the dynamic, as mentioned above, is explained by the perspective of rajab et al. (2016), which states that the acceleration of activities and various pleasures are the goals of modern progress. despite this advancement, it causes individuals and societies to depart from their natural state and humanity. idealistically, modernization must be balanced with humanity and way of life, which should be in accordance with their fitrah (god-desired natural disposition). if technological advancements do not conform to human nature, obstacles and even negative consequences will result. examples of the negative effects include moral decline, deviations, the dissemination of pornographic material, etc. in addition, information and communication technologies give birth to a number of immoral practices, such as fraud, plagiarism, and the dissemination of pornographic material, which have a negative effect on the nation's morality (garlick, 2010; wang, 2014; astuti & nurmalita, 2018). the global covid-19 pandemic has the potential to exacerbate this deviation condition. the covid-19 pandemic outbreak compels all humans to engage in intensive technological interaction. this dynamic has the potential to bring individuals closer to the previously mentioned negative effects. clearly, the transition from conventional to digital transformation is novel for indonesia, particularly in education. the pandemic conditions have affected the higher education education system (onyema, et al., 2020; willies, 2023). as the primary focus of higher education, students are at the vanguard of addressing the problems posed by globalization. nonetheless, students 4 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) encounter numerous academic and non-academic issues. almost every generational stratum of students faces unique obstacles and difficulties in concluding their studies. ramadanti et al. (2021) explained about the impact of the pandemic on higher education in malang which, stated that apart from the unpreparedness of facilities and internet access, students had other complaints, such as a decreasing level of concentration and even cases of sore eyes. based on this opinion, it can be concluded that students can get adverse effects both directly and indirectly. decreased motivation is one of the negative effects, causing lethargy to delay work. this effect can hinder the academic achievement of students. student achievement disruption will become a concern and a burden for students. unfortunately, students do not comprehend the source of the problem or how to remedy it. problem-solving must be done effectively by understanding the root of the problem itself. one of the things that can be done is counseling. this is supported by ulfah's (2020) assertion that through the counseling process, clients who do not comprehend the problem will be assisted in identifying its root and examining potential solutions. one of the most important aspects of the counseling process is assisting the client in locating the origin of the issue. hartini and ariana (2016); kaplan, tarvydas, & gladding (2014); and rajagopal (2013) explained that counseling is professional interaction both individually and in groups who have problems and seek help from a third party, namely a counselor, to get help. the framework for obtaining assistance must remain within the framework of professional services. this professional service is framed with goals and directs the process of achieving these goals. in line with this, counseling is a trained professional service from a counselor to a client in a planned and face-to-face manner to help others (ulfah, 2020). thus counseling is a planned professional interaction from the help seeker (counselee) to the counselor, with certain 5peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) agreed goals relating to the provision of help. this is in accordance with the al-quran q.s al-maidah verse 3. o ye who believe! profane not the landmarks of allah nor any sacred month nor the offering nor the victims with the garlands nor those repairing to the sacred house seeking the grace of their lord and his goodwill. and when ye have put off the state of sanctity, ye may chase. and let not the hatred against a people, because they kept you from the sacred mosque, incite you to trespass. assist each other to virtue and piety, and assist not each other to sin and transgression, fear allah: verily allah is severe in chastising. from the verse above, the islamic view regarding counseling is a helping behavior. helping behavior in islamic guidance is called amar ma'ruf nahi munkar, namely the behavior of helping clients to achieve goodness that allah blesses. therefore the counselor not only helps the client to be in a comfortable condition but also allows the client to do good things in accordance with religious teachings. however, in order for the process of helping in counseling to remain in line with applicable scientific principles, it is still necessary to have limitations within the professional framework and scope. thus, counseling is also a reciprocal relationship within the professional framework of the counselor (guidance) and the counselee (help seeker) with specific goals and systematic steps. the counseling process has certain methods and stages which guide clients to solve their problems through suggestions, advice, and guidance from the counselor. the counselor chooses a variety of counseling approaches/methods that can be applied to direct the counselee to become independent, have a 6 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) positive mindset, and be responsible (soedarmadji, 2012). in the end, the process framework helps a counselor make the counselee independent in solving their problem. in the long term, the counselor can make the client independent in facing life's challenges. peers are one of the parties with the best opportunity to help, guide, and mutually support the student environment. peers in the campus environment are one of the supporting systems that play a vital role, apart from the family. peers can enrich the development process of an individual. in addition, peers are a comfortable environment because the counselor comes from the same background (status, age, educational path, etc.) as the counselee. in addition, peers have the same understanding of the times, which is undoubtedly different from the eyes of friends and even family members of different ages. thus, unexcavated personal feelings can be taken. students are more trusting and comfortable with others. thus, peer relations are easier for mutual trust to occur. this is in line with the opinion of maliki (2015) that state some of students often tell, talk about their problems to their peers or friends, and have strong bonds in friendship. therefore, peers can have a more influential role, if they are properly trained and given a role to become peer counselors. hartini (azam, 2016) explained that peer counselor training is a promising alternative solution. peer counselors involved in the peer counseling process can be interpreted as an effort to create a form of psychological guidance between peers that maintains ethical and systemic values. peer counselors can be applied at various ages and levels. besides that, peer counselors do not connote replacing the role of professional counselors. in essence, peer counselors facilitate peers to find solutions to their problems. this is in accordance with the opinion of maliki (2015) that whatever the name is, the most important thing is how their interaction with each other can be used to enhance their development. 7peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the key to counseling effectiveness lies in the role of the counselor. the success factor of the counseling process is also determined by the abilities and skills a counselor possesses. counselors must have sufficient competence to be able to conduct counseling. thus the need to train counselors becomes very important. this is in line with the opinion of trisnowati (2016), which states that the most strategic effort is to increase the professional competence of counselors. the essential role of a peer counselor, like counselors in general, lies in the counselor's ability to guide and direct the counseling process. therefore training must be provided as a support for the competence of peer counselors. this training is important in line with pre-research data conducted through a random survey of 60 psychology student subjects in pontianak. students who were asked to fill out the sheet had taken and completed a counseling psychology course. the survey contents were about the knowledge provided in the training materials. based on the data in the tables and diagrams below, sub-optimal scores were generally found on the subject, whereas most of these scores are still in the average range. this is found in therapeutic communication materials, where the subject category is in the average range of 76% and the lowest at 9%. besides that, in empathetic communication material, around 66.67% of the subjects are in the average category, and the remaining 6.67% are in the low category. however, there are the most low-level categories in basic counseling material, 73% of which are in the low category. a more precise description can be seen in the following table. 8 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 1. knowledge catagorization diagram based on material material categorization number of subjects percentage basic counseling low 44 73,33% average 14 23,33% high 2 3,33% amount 60 100% therapeutic communication low 9 15,00% average 46 76,67% high 5 8,33% amount 60 100% empathic communication low 4 6,67% average 40 66,67% high 16 26,67% amount 60 100% figure 1. knowledge categorization diagram based on the material given 9peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) ideally, the competence of peer counselors needs to be improved. it is because being a counselor is one of the critical competencies psychology students must have. this fact refers to association of indonesian psychological higher education providers/asosiasi penyelenggara perguruan tinggi psikologi indonesia (ap2tpi, 2019) that states the future occupation of psychology graduates can be carried, one of which is to become a counselor. in line with the decree of the director general of islamic education no. 2500 in 2018, “the personality of a bachelor of islamic psychology should be kind, knowledgeable and up to date able to carry out as a counselor, designer and development facilitator scientific communities psychology and based on islamic values. in short, the graduates should have a good personality, be knowledgeable,, upto-date, capable of carrying out duties, and be responsible based on islamic teachings and ethics, knowledge and expertise” (kementerian agama ri, 2018). thus practical knowledge and skills related to counseling need to be mastered. ideally, students who have taken counseling psychology courses should understand and be able to apply counseling skills. so, it is expected that the score found ranges from medium to high. however, the reality is that there are still quite a lot of students who are in the low category with a different distribution of knowledge of the three materials presented in this study. qualitative data also corroborate this through interviews. in the interviews conducted with two psychology students (f and y) in pontianak, it is found that they only possess a general understanding of being a counselor. according to respondent f, it was unclear what direction to study counseling psychology during the counseling psychology course. he also added that after studying in college, he only knew that the point of counseling psychology is that there is a client and a counselor, where the client tells the problem, and then the counselor takes care of the client. however, it is not yet clear what practical steps should be made and how to execute them. the question was then deepened by asking whether counseling psychology lessons were valuable without direct peer 10 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) counseling training. the two respondents also answered in the same way that additional training was needed related to improving counseling skills. respondent y said, "if i have a course, it's not enough, ma'am. there should be additional training as well, ma'am." supported by the opinion of respondent f, it can be concluded that reliance on counseling psychology courses alone is insufficient. the researcher seeks to create a peer training program based on the description above. this training program includes adding basic knowledge about counselors and skills that can be achieved through practice. the program is implemented by integrating several methods, including lecture methods, games, watching videos, role-playing, reflection, and training. these methods offer a unique update in counseling subjects due to their variation. this intended program is a combination of theory and practice through the activeness of the participants. in addition, the treatment design made in this study is quite detailed compared to other similar studies. the first is research by linayaningsih et al. (2017). the difference between this study and ours is that this research looks at the effect of peer counseling in increasing psychological well-being, while our study refers to increasing counselor competence. in addition, linayaningsih et al.’s (2017) research focuses on junior high school students located in maria mediatrix semarang, while our research focuses on psychology students in pontianak. there is also another study of peer counselors in junior high schools. research from trisnowati (2016), this study was conducted in the same location as ours, but there are differences in the sample criteria. this research focuses on formulating a training program to improve counseling skills for counselors in carrying out their daily tasks. the research approach used is descriptive-analytic, while our research uses experimental research methods. 11peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) subsequent research from astiti (2019) is also used here. the focus or objective of this research is to determine the implementation of peer counseling and what factors hinder and support the effectiveness of peer counseling. in comparison, our research focuses on providing capacity building for peer counselors. the next difference is in location and sample criteria, where previous research was conducted on man/madrasah aliyah negeri (islamic senior high school) yogyakarta ii students, while our research was on psychology students in pontianak. previous research is a field research with a qualitative descriptive-analytic approach, while our research uses a mixed method approach. sharing snippets of previous research above shows that this research is novel to be carried out. it can be viewed from various elements, such as research objectives, focus, research type, and research approach. the location and characteristics of the sample and so on also count as the novel elements that this research offers. thus, this training program's purposes are to provide participants with new knowledge and insight regarding the treatment of peer counselors. this intervention is useful to help improve their abilities when they graduate. the research hypothesis is that peer counseling training effectively increases peer counselors' competence. this research focuses on studying student groups of the islamic psychology study program, faculty of ushuluddin, adab, and da’wa, institut agama islam negeri pontianak as peer counselors. methods the design used in this research is the one group pre-test-post-test design. this research is intended to use only one treatment group without a comparison to other groups (saifuddin, 2019; marsden & torgerson, 2012). one group pretest-posttest design was chosen because this research is a preliminary study. in this condition, internal validity, external validity, and several other elements have not been fully controlled. in minimalizing 12 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the disruption and invalidity of the experiment, the researchers minimized the effect of learning by randomizing the order of the question in both post-test and pre-test sessions. this is because the one group pretestposttest as a pre-experiment is a design still of incomplete quality. non-r o1 x o2 figure 2. one group pretest posttest design annotation: non-r : there is no randomization in the research o1 : measurement before treatment (pretest) o2 : measurement after treatment (posttest) x : training the selection of sample in this research used a quota sampling technique. the set of quotas is limited to 40 students. this is due to the effectiveness of the training. the researcher urges the quality in understanding the materials presented and the intensity of the interaction made by both the trainer and co-trainers with the trainee (research sample). the guidance for the participant of this research is through lectures and role-playing. based on fauzy (2019), quota sampling techniques must meet the target standard. therefore, the registration was opened widely and gathered as many as 65 participants. these 65 participants attended the training, but there were only 47 participants who joined the entire session of: pre-test, post-test, a series of training agendas, and qualitative data collection. all 47 participants met this research's criteria: the islamic psychology study program students who had passed the counseling psychology subject. 13peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) the data collection method uses two data collection techniques; quantitative and qualitative methods. first, knowledge level questionnaire. objective tests were used to measure the result of the development of participants. the test is in the form of multiple choice based on knowledge about the material. this is in accordance with khaerudin (2016) that tests in learning can be used to determine the extent of students' mastery of the learning provided. thus, the measurement of the objective test here is to measure the level of knowledge of the sample. the element that measured is the level of knowledge and the competence of the counselor. the competencies referred to in this study are basic counseling, therapeutic communication, and empathetic communication. the measurement used 36 questions which were constructed from training materials, using multiple choices of a, b, and c. this statement is useful for measuring participants' knowledge about counseling. the data were analyzed by testing the questions' validity, reliability, power differentiation and difficulty level through the spss (statistical product and service solutions) program. the results of the analysis showed that of the 36 total question items, 25 items (69%) were declared valid, while 11 items (31%) were declared invalid. in this study, 25 items were used, and the remaining items were dropped. the validity test was carried out using the product moment validity method. the validity score of each item was obtained through the pearson correlation significance output. the validity score range for each item ranges from 0.301 – 1. meanwhile, item reliability is categorized as high reliability, with cronbach's alpha value of 0.784. furthermore, testing the discrimination item and the level of difficulty of the items was carried out on 25 items that were valid. the item discriminatory power ranges from 0.301 in the moderate category to 1 in the excellent discriminatory category. first, discriminating the items is divided into 3 categories: very good, good, and sufficient. in the very 14 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) good category there were 3 questions or 12%, in the good category there were 14 questions or 56%, while in the sufficient category there were 8 questions or 32%. further processing is at the difficulty level of the questions. there were 16 items (64%) in the easy category, 9 items (36%) in the medium category. second, self reflection. in addition to using quantitative data collection methods, this research also used a qualitative method in the form of a questionnaire. according to nugrahani (2014), a questionnaire in qualitative research can be defined as a list of open-ended questions that can provide an opportunity for the sample to provide an explanation. the questionnaire used was in the form of a self-reflection sheet after the training. this method was chosen to find out personal opinions regarding the skills acquired during the training, including the provision of material and practice. the points recorded were explanations related to the new skills acquired, the extent to which skill upgrades occurred, the extent to which they gained insight, and the impression of participating in the training. the researcher wrote down questions on this reflection sheet that guided the participants to answer. the questions are as follows: what new skills did the trainees obtain after attending the training (parameter of unable to able)?; update skills trainees obtained after participating in this training (parameter from general to expertise); insights obtained after attending the entire training series; based on trainees’ opinions, describe the phases that are impressive for you in the context of the whole series of events in this training. peer counseling training is the independent variable, while the counselor's competence is the dependent variable. the intervention carried out in this research was a counseling training program. this training involves one co-trainer (psychology student) and one trainer (psychologist). the training program methods included lecture methods, games, watching videos, role play, reflection, and practice. this training 15peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) lasted for two days, from 08.00-15.00 for day 1 and 08.00-14.00 for day 2. the following is the intervention plan: table 2. intervention design meeting session name objective duration 1 opening 1. participants understand the training procedures 2. building participants’ commitment to attend the training regularly 3. obtaining participants’ pre-test data 30 minutes introduction to material 1 1. ice-breaking session 2. brainstorming about the material given 15 minutes basic counseling 1. participants gain knowledge of the basics of counseling 2. participants understand the basics of counseling 1 hour introduction to material 2 1. ice-breaking session (in line with therapeutic communication materials) 2. brainstorming about the material given 15 minutes therapeutic communication 1. participants understand the helping profession 2. participants understand the islamic view of counseling in islam 3. participants understand the meaning and purpose of the theoretical relationship 4. participants understand the counselor's duties 5. participants understand the essential characteristics and principles of the therapeutic relationship 6. participants understand the stage of the therapeutic relationship 1 hour 15 minutes introduction to material 3 1. ice-breaking session (in line with empathic communication materials) 2. brainstorming about the material given 15 minutes 16 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) meeting session name objective duration empathic communication 1. participants understand and explain emotion in neuropsychology 2. participants understand and explain the islamic view of empathy 3. participants understand and explain the pattern of empathic communication 4. participants understand ways to empathize with other people 5. participants understand and explain the definition of empathy 6. participants understand and explain the characteristics of empathic abilities 7. participants understand and explain the forms of empathy 1 hour closing 1. to trigger participants to review the material 2. close the session 15 minutes 2 opening participants gain a general understanding of the training procedures 15 minutes introduction to training 1 briefing participants on the exercises 15 minutes training 1 trainee role play 1. participants are able to practice counseling among other participants 2. participants can evaluate each other's appearance 1 hour 15 minutes introduction to training 2 briefing participants on the exercises 15 minutes training 2 involving external clients 1. participants are able to practice counseling with other people 2. participants are able to apply appropriate counseling procedures 3. participants are able to apply therapeutic and empathic communication in counseling 1 hour reflection and closing 1. getting an overview that participants obtained during the session 2. getting the post-test 15 minutes 17peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) results and discussion research results the following research results were summarized based on selfreflection collected from an open questionnaire given to participants. selfreflection sheets were given after the training at the end of two sessions. the following data results from the sample's self-reflection are as follows: table 3. sample’s self-reflection results no. name new skills obtained upgraded skills insight impression changes 1 s 1 understanding counseling in terms of material and practice. building rapport with clients so that clients could consult with me. gained new experience as a counselor and learned to empathize with and understand the client's problems. becoming a counselor yes 2 s 2 building rapport and doing termination probing and communication skills as a counselor everyone has problems and they must be heard and understood. the practice session with clients, both fellow participants and external clients. from that part i learned a lot. yes 3 s 3 facing fear when dealing with real cases (fear of being unable to give advice). speak with eye contact and maintain expression/ gesture. by meeting clients, i feel that my life is easier than others. dealing with the problems of other people's lives is not easy. the most memorable moment is during the counseling process with clients. yes 4 s 4 skills in communicating with clients. becoming a good listener with empathy. getting a new experience that has never been experienced before. becoming a counselor and also a counselee. as a counselor, i learned to listen well to other people's stories and how to respond properly. yes 5 s 5 courage to share experiences communicate, professionality and courage useful knowledge or theory and impressive, enjoyable practice. meeting clients yes 18 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. name new skills obtained upgraded skills insight impression changes 6 s 6 putting oneself in empathy for other people's problems. learn to listen actively to client’s stories. trained myself to adapt to the people i was dealing with. communication skills, trained to talk to others even if they are strangers. skill to be good at choosing to quickly decide on the problems faced and how to handle them. made me realize there are many problems to study. you have to have the courage to face other people. newly met a client in counseling, a totally new experience. yes 7 s 7 the right style of speaking when counseling and the right face expression how to respond well. gained more knowledge on how to communicate and what to say in counseling to avoid repeating questions or statements. the trainers, committee, and mc have done their best to make the training process very interesting. yes 8 s 8 better communication, controlling feelings, building good relationships, and increasing confidence in communication. building a conducive atmosphere and build client trust. special problems from clients as learning media for counselors. facing directly with clients and feel the real counseling process. yes 9 s 9 adapting to counselee focused communication with counselee creating the theory to be entertaining and developed facing counselee directly turns out to be a challenge. yes 10 s 10 real counseling is not mere sharing session listening, probing and termination enhanced counseling skills in various phases counseling practice yes 11 s 11 starting the conversation with the consented objectives. more listening than talking. digging information. acknowledging how to deal with people who have problems. counseling practice yes 12 s 12 understanding and listening to other people better. becoming a better listener and understanding on how to be a good counselor knowing how to listen to people's stories or problems well. part of the learning process to be a good counselor. yes 13 s 13 knowledge to be more accepting of clients unconditionally. learning practically about the science of counseling and learn to observe. listening skills, sensitivity and empathy. gaining more experience. interacted with a client who did not have an emotional connection before. the material presented and the counseling process. yes 19peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. name new skills obtained upgraded skills insight impression changes 14 s 14 becoming a good listener, increased empathy, easier to talk to strangers increasing empathy, able to be a good listener, able to accept people unconditionally gaining knowledge, sharpened skills through practice self-improvement in order to face the challenges in counseling practice yes 15 s 15 understanding the process of counseling, learning on how to do proper counseling, showing empathy to clients counseling practice, since it is the first time to face clients starting from the basics of counseling to practicing counseling every phases of training provided is very interesting yes 16 s 16 ability to gain information and control voice intonations consistently active through listening listening to others’ stories well gained the opportunity to answer the questions given. speakers delivered the materials well. yes 17 s 17 becoming a good listener, an empath, learning to give suggestions to other people’s issues learning how to be a counselor and learning to give suggestions new knowledge on counseling psychology counseling with clients yes 18 s 18 understanding how to become a good counselor to be a friendly, responsive, empath and a good listener gained an astounding experience from lecturers and peers counseling process yes 19 s 19 communicating clients’ feelings well. controlling emotions when clients share their emotional burdens communicating well with clients astounding experience and knowledge internal role-play yes 20 s 20 communicating with strangers, building an adequate rapport, giving suggestions communicating in front of people well. able to give empathy and sympathy to strangers. amazing experience memorable counseling process and materials yes 21 s 21 trying to communicate well. able to listen to people’s stories persuading clients to tell their issues. able to give good suggestions to clients. learning to respond to others’ stories, either strangers or not. able to cooperate as a counselor or clients communication session with clients. yes 22 s 22 acknowledging the ways to gain information on people’s issues and participating on giving suggestions and solutions learning how to communicate in front of the public and to understand the problems faced by others understanding on how to face people with problems gaining theories yes 20 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. name new skills obtained upgraded skills insight impression changes 23 s 23 communicating without stuttering. able to end conversations well and make people understand the message conveyed curious, learning how to be soft-spoken, understanding people’s feelings 2-way communication or increasing selfappreciate astounding speakers and the knowledge transfer process were engaged very well. yes 24 s 24 new knowledge, counseling practice, learning how to be a good listener learning how to make probing on gaining the root of the issues that the clients faced new beneficial knowledge and practicing the knowledge above on the spot counseling process yes 25 s 25 understanding counseling, the process, and the procedures being selective about the dictionary used in the counseling process understanding and not forcing others to share their issues. the counseling process can be done better than before when facing clients that i do not recognize and the problems they face are unpredictable yes 26 s 26 empathy, calmer, and to be a good listener understanding people’s problems with reading non-verbal language. honing communication skills learning to be more empathic and gaining new knowledge on facing other people. doing the right way of communication on-the-spot practice and meeting other people while implementing the principles as a counselor yes 27 s 27 able to be consulting openly with newly met people. able to make people comfortable with opening up and sharing their stories. gaining experience in counseling gaining knowledge and understanding other people’s feelings gaining a lot of knowledge on the phases and process of counseling. able to acknowledge the procedures of counseling counseling process yes 28 s 28 the way of counseling with peers, communicating with newly met people, and the proper way of communicating being tolerant with newly met people, communicating effectively, and building a rapport tolerant of newly met people since i learned how to build a rapport with them counseling process. yes 29 s 29 able to adapt or communicate with strangers. giving solutions to newly met people. making them comfortable understanding them, listening well without asking questions to practice more since the application of the theories are quite different in reality gaining an amazing experience in the counseling process yes 30 s 30 communication skills are improved enhancing communication skills and interacting with newly met people beneficial materials supported with adequate materials counseling role play with clients yes 21peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. name new skills obtained upgraded skills insight impression changes 31 s 31 gaining knowledge on how to build a good relationship with newly met people actively communicating with newly met people excellent training for future psychologists becoming a counselor for the first time yes 32 s 32 sympathize with the problems others face and eliminate the apathy towards other people’s problems. learning to be confident to talk to others gaining live experience with clients how to face unfamiliar clients, adapt to new people, and try to sympathize yes 33 s 33 acknowledging the basics of counseling and the behavior to appreciate the experiences of counselees, to be emphatic, and to listen to their stories beneficial knowledge and amazing experience the counseling process, the materials given, and the speakers’ delivery method are easily understandable. yes 34 s 34 to build a rapport with the clients to make them comfortable with the counselor to build trust with clients for them to consult and to make clients feel comfortable after counseling communication could affect the counseling process. counseling process, especially when we have to listen and to conclude in order to make clients feel validated yes 35 s 35 to be better in communication to be a better listener to understand a person deeply doing the practice to understand on how to do a proper counseling yes 36 s 36 to be more empathetic to others. listening skills are improved to learn how to be a good counselor in handling clients gaining new knowledge from the training based on the materials given and the practice sessions the materials delivered are new to me. being a counselor, handling clients, and giving suggestions and motivations yes 37 s 37 to be able to handle the clients’ issues and to acknowledge the right assistance method to acknowledge the counseling process to gain the new materials counseling process yes 38 s 38 giving suggestions and solutions to clients as i could. listening to clients’ consultation on what burdens their minds. to improve skills in order to be better facing counselees on the spot and to be familiar with them in a short time yes 39 s 39 acknowledging the proper process of counseling assisting when someone consults. to be able to give the feedback the clients expected various knowledge on how to become a good counselor based on the procedures feeling of kinship. how the trainers made the situation to be comfortable yes 40 s 40 to be able to talk to people with problems, be empathetic, observe, and be helpful to others to improve speaking skills, understand the situations well, and train language and verbal skills. to have experience as a counselor. to feel that it is not a trivial matter to be someone to consult. counseling with clients yes 22 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) no. name new skills obtained upgraded skills insight impression changes 41 s 41 orientation skills in counseling, controlling intonation and expressions when assisting and facing clients to respond to clients with facial expressions and gestures the experience doing counseling on the spot to face newly met people and how to conduct counseling yes 42 s 42 acknowledging the ethics of counseling, being a good listener, controlling emotions when handling clients knowing how to assist clients, not forcing them to talk to control own emotions, accept and understand client’s burdens, to make clients comfortable in consulting on-the-spot practice with clients, having fun learning while playing games, the materials given provide new insights. yes 43 s 43 trying to be an individual with problem-solving skills. to be someone capable of observing in-depth interviews to know what needs to be done. increasing knowledge of counseling a need to learn and sharpen communication skills, interview clients, and end a conversation as a counselor counseling process yes 44 s 44 gaining a beneficial knowledge understanding the situation and the condition of others to be more attentive and to give suggestions empathy yes 45 s 45 to train skills or to measure the skills of individuals to communicate with newly met people, to give instructions, and to give them trust beneficial knowledge, amazing experience to assist clients and to give instructions or opinion yes 46 s 46 to adapt to clients politely to increase experience and knowledge and acknowledge that counseling is not easy. increased knowledge and to know how to be a counselor the material delivery method from the trainees is very detailed and easy to understand yes 47 s 47 to be relaxed on assisting clients to be a good listener and to respond to clients' problems adequately. know how to interact and end a conversation on counseling. there is a need to have a mutual understanding between the counselor and the client. the client’s response to what i have suggested has been received well. the client is comfortable and trusting of me as a counselor. yes based on the results of the qualitative self-reflection table, there are changes in the four aspects presented. several conclusions were conveyed that almost all participants were impressed with the training methods provided. during the training, they were not only given theory but were also provided with good practice role-playing with friends or dealing with 23peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) external clients. in addition, participants generally understood the science of counseling and its application, as well as the detailed and interesting material provided. therefore, participants have an idea of how to be a good counselor. more than that, the participants were more enthusiastic during the practice session, which was held on the second day. accordingly, based on the participant's responses, all of the participants stated that the practice session was the most interesting. some of the responses that were conveyed included those where they felt that practice could enhance the knowledge that had been given. the participants also obtained the opportunity to apply the theory that has been given directly. in addition, they are very enthusiastic when they deal directly with clients. thus, the practice session provided them with a new experience as if they were a “real” counselor for the first time. activities carried out in groups indirectly affect the success rate of the training. the holding of group-based training can allow the dynamics within the group. this gives rise to mutual discussions and feedback between fellow participants. this is in accordance with the opinion of maryatun (2013), who states that group activities provide opportunities for participants to learn from each other and work together. in addition, the dynamics in the group lead to the cultivation of mutual support and motivation to learn and practice together in this program. in addition to qualitative data, this research also produces quantitative data. the table 4 is the result of the knowledge level description test. generally viewed, the majority of participants have experienced changes. the differences in the data are obtained from the difference in scores on the post-test and pre-test. the difference in the data shows the difference in scores before and after the treatment. the table 4 shows the results: 24 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) table 4. test results of description of knowledge level no. intitial difference in scores changes 1 s 1 2 yes 2 s 2 2 yes 3 s 3 2 yes 4 s 4 4 yes 5 s 5 1 yes 6 s 6 7 yes 7 s 7 2 yes 8 s 8 2 yes 9 s 9 9 yes 10 s 10 6 yes 11 s 11 7 yes 12 s 12 5 yes 13 s 13 9 yes 14 s 14 4 yes 15 s 15 7 yes 16 s 16 4 yes 17 s 17 1 yes 18 s 18 0 no 19 s 19 6 yes 20 s 20 6 yes 21 s 21 7 yes 22 s 22 7 yes 23 s 23 4 yes 24 s 24 4 yes 25 s 25 1 yes 26 s 26 4 yes 27 s 27 0 no 28 s 28 10 yes 29 s 29 8 yes 30 s 30 5 yes 31 s 31 2 yes 32 s 32 8 yes 33 s 33 4 yes 34 s 34 0 no 35 s 35 11 yes 36 s 36 7 yes 37 s 37 5 yes 38 s 38 9 yes 39 s 39 3 yes 40 s 40 10 yes 41 s 41 7 yes 42 s 42 1 yes 43 s 43 3 yes 44 s 44 -8 no 45 s 45 5 yes 46 s 46 6 yes 47 s 47 13 yes 25peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) for sample number 44, the researcher chose to mature it since there was an irregularity where the decline occurred quite far for this sample. this condition made the researcher cross-check the observation data. it was found from these data that during the entire session, sample 44 looked unfocused. it was known that she (sample 44) was pregnant in trimester 1 (a period when a pregnant person tends to experience physical discomfort and an unstable emotional condition). influenced by other conditions, she might also experience fatigue because her house is very far from the training location. based on these reasons, the researcher decided not to use the sample’s data. if the data is used, it will significantly impact the overall results, especially the normality of the data. table 5 is a description of the categorization of knowledge levels on the subject before and after the intervention. table 5. description of knowledge level categorization (n=46) pre-post test category score range total sample percentage pre-test low x < 8 2 4,35 average 8 ≤ x < 17 36 78,26 high x ≥ 17 8 17,39 amount 46 100 post-test low x < 8 0 0 average 8 ≤ x < 17 13 28,26 high x ≥ 17 33 71,74 amount 46 100 26 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) peer cou ema zati befor test s from categ findin bas the shap value of test data vol. 8 no. 1 nseling train baroroh, kiki fi the tables a re and after samples from 78.26% to gory, compar ngs in this st pretest posttest sed on the r piro wilk tes sig. for a po a are typicall 1, january – ju ing to improv amalia igure 3. diag and diagram training in 4 m 4.35% to 28.26%. in red to 17.39% tudy even m kolmo statistik .86 .122 results of the st section, it ost test valu ly distribute levene s .851 0.0 50.0 100.0 une 2023, pp. ve the comp gram of kno ms above sh 46 samples. 0.00% in th addition, t % before tra more convinc test o ogorov-smir df 46 46 e spss analy is known th ue of 0,168 > ed. test of tatistic 1 00% 00% 00% pre t 4.35% 78 knowla low a xxxx, doi: h petence of so owledge lev how the diffe both showe e post-test. the majority aining. this r cing. table 6. of normalit rnox sig .200* .085* ysis, obtaine hat the sig. > 0,05 it can table 7 f homogene df 1 test po % 0.00 .26% 17.39% ge catagorizat avarege h al-balagh: jur https://doi.or issn 25 ophomore pe vel pre-test a erences in th ed a change then, at the y of sample result is one ty sh statistik .986 .964 ed from the for the pre be conclude eity df2 90 ost test 0% 28.26% 71.74% tion high rnal dakwah rg/10.22515/a 527-5704 (p) i eer counselor and post-tes he level of s from a low e average le es were 71.7 e of the thing hapiro-wilk df 46 46 "test of no test of 0,84 ed that the p sig .359 h dan komun albalagh.v8i1 issn 2527-568 rs t ample categ w level in the evel, it decre 74% in the gs that make sig .849 .168 ormality" tab 49 > 0,05 an pre test and nikasi .5833 82 (e) gories e preeased high es the ble in d the d post figure 3. diagram of knowledge level pre-test and post-test the tables and diagrams above show the differences in the level of sample categories before and after training in 46 samples. both showed a change from a low level in the pre-test samples from 4.35% to 0.00% in the post-test. then, at the average level, it decreased from 78.26% to 28.26%. in addition, the majority of samples were 71.74% in the high category, compared to 17.39% before training. this result is one of the things that makes the findings in this study even more convincing. table 6. test of normality kolmogorov-smirnox shapiro-wilk statistik df sig statistik df sig pretest .86 46 .200* .986 46 .849 posttest .122 46 .085* .964 46 .168 based on the results of the spss analysis, obtained from the "test of normality" table in the shapiro wilk test section, it is known that the sig. for the pre test of 0,849 > 0,05 and the value of sig. for a post test value of 0,168 > 0,05 it can be concluded that the pre test and post test 27peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) data are typically distributed. table 7 test of homogeneity levene statistic df df2 sig .851 1 90 .359 based on the results of the spss analysis in the output table above, the sig. 0,359. because of the value of sig. 0.359 > 0.05, it can be concluded that the data variance is the same or can be called homogenate. table 8 are the results of the knowledge-level questionnaire with the paired sample t-test analysis. this data analysis is used because these two groups have normally-distributed data. table 5 shows a significant difference in the level of knowledge at the level of 0.05 before and after receiving the training program (sig = 0.00, p < 0.01). the mean value is -5.00000, which indicates the difference between the average pre-test (variable) result and the post-test (variable) result of -5.00000. the following table of data processing results is contained in the table: table 8. test results of paired sample t-test knowledge level t sig. (1-tailed) -10.653 .000 discussion this study aims to provide participants with new knowledge and insight regarding the treatment of peer counselors. in addition, it provides a better chance in the competence of participants to become peer counselors. this finding aligns with maliki's (2015) opinion that peer counseling is a deliberate and systematic education that can improve the implementation of skills in providing peer assistance. by providing 28 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) education in the form of training to become peer counselors, it is hoped that participants could implement the given theory to become peer counselors with the expected qualities. the achievement of the first objective can be seen from the quantitative results where most samples experienced changes in the range of numbers personally, although with different ranges (can be seen in table 3). this fact aligns with the findings on categorizing the hypothetical mean in the sample group changes. this condition shows that after training, most samples are at a high level of 71.74% compared to before training (can be seen in table 4 and figure 3). in line with that, there is an increase in the description of the categorization of knowledgelevel data on the sample before and after training. during the post-test, the number of samples in the low category was 33 samples, while on the pre-test, there were eight samples. the average category decreased from 36 samples in the pre-test to 13 samples during the post-test. in addition, the high category eight samples in the pre-test increased to 33 samples in the post-test. these findings are supported by qualitative findings viewed per sample, where the majority of samples experienced changes in meaning and insight towards training. all samples generally experienced changes in various ranges of new knowledge and insights (see table 3). one of the conclusions supporting the achievement of the first objective is that all samples claim that they better understand the science of counseling and its application. this training is especially useful for psychology students to provide enrichment of knowledge and practical experience on becoming a good counselor. most participants felt that this training helped them understand counseling better, even though they already knew counseling psychology subject at class. it is in accordance with the capacity training function from devi v and shaik (2012), where the training function empowers human resources to reach their potential. thus, psychology students can improve their quality and qualifications to become qualified counselors. 29peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) a competence increase in all samples to become a counselor is also an achievement this study produces. the following is a quote from the reflection sheet given by sample 28. she wrote the impression “counseling process. i had an amazing experience during the counseling process.” furthermore, sample 35 conveyed a similar opinion to the previous sample. she conveyed, "doing the practice session to know more about how to do counseling". one last example on sample 45 who stated, "to be able to deal with clients and give suggestions or opinions." thus, the implications of practice sessions, both role-playing with friends and dealing with external clients, have a positive impact on providing new experiences for the sample in practicing being a peer counselor. the majority of samples also feel that practice can enhance the knowledge that has been given and the opportunity to apply the material. this is in line with the opinion of gaho, telaumbanua, & laia (2021) that in counseling, using the role play technique enables individuals to exchange information, discuss problems, and exchange experiences, feelings, and knowledge of each other to form active group dynamics or the occurrence of interactions between individuals. thus, role-play as a training not only helps participants apply theory through concrete steps, but can also build the participants' dynamics during training. this dynamic is of course formed from a combination of role-play with the discussion method. for example, this research provided the samples with two role-playing sessions. after the role-play, they were asked to share their experiences and stories when they (as if) became counselors. sharing experiences and discussions create momentum to increase the dynamics within the training group. this research confirms the hypothesis given at the introductory section: peer counseling training effectively increases peer counselors' competence. this is indicated by the acquisition of quantitative data (can be seen in table 8). there is a significant difference in the knowledge level of counseling before and after training (sig = 0.00; p < 0.01). the results 30 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) of the data analysis show that peer counseling training effectively increases the participants' knowledge as counselors. counseling knowledge is very important for a counselor. counselors do not just listen to the counselees’ stories but also have to understand the counselee and the whole counseling process thoroughly. it is in line with pratiwi and karneli (2021), who state that the better the counselor's self-skills, the individual will be able to experience the benefits of a counselor's services. the professionalism of a counselor in carrying out his duties in helping to solve existing problems is a quality reflection. theoretically, this research is sufficient to contribute to the development of psychology related to counseling psychology, especially peer counselors. in addition, it can be useful to add to the body of knowledge about intervention models that can be carried out related to peer counseling. with this kind of research, readers can see the materials provided. this training is comprehensive in accommodating the needs of participants regarding counseling psychology (can be seen in table 2). in addition to being an enrichment, it is also related to using various methods that can be combined into one unit. these multiple things can be a reference for future researchers to develop training related to the competence of peer counselors. these quantitative and qualitative results are supported by the achievement of material targets that are considered good. this is because the material designed has been conveyed as a whole, accompanied by integrating several methods. integrating the lecture method with applicable examples in the field and playing videos and giving games related to the material offers a novel approach to developing peer counseling programs. in addition, this training also combines various practice sessions to overcome boredom in participants. in the end, participants can enjoy and be enthusiastic about implementing the training. 31peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) this is in line with the results of observations where almost all participants were actively involved in the sessions. in addition, the participant's responses also seemed enthusiastic through their answers whenever asked. it is strengthened by the fact that learning media can build active interactions and utilize students' potential to achieve educational goals (febrita & ulfah, 2019). this means that using learning media will make the training more dynamic, including building a two-way interaction between participants and trainers, inviting participants to be actively involved, and bringing out more potential for participants to achieve the training objectives. in this case, the learning media is one element that contributes to achieving the two training objectives above. in addition, providing varied and interactive methods is an important component predicted to impact training outcomes positively. this is in line with the findings of nurrita (2018) that learning media can be a guide for teachers to design learning objectives by presenting more interesting material to improve the quality of learning and understanding of the material. therefore, using learning media can attract participants to the training process to support quality improvement and help participants understand the training. the various things above are the novelty of this research. this uniqueness can be seen in the preparation of methods and materials that are quite comprehensive. this research emphasizes the theoretical mastery of counseling basics and improving skills through practice. the simulations session was held at the second meeting, with the first two roleplaying practices with friends and handling cases from external clients. thus, implementing the practice is expected to help the sample easily understand what has been conveyed during the material session. this is in line with the opinion that simulation can help to become equipped in dealing with real situations and enrich the knowledge, attitudes, and skills needed in dealing with various social situations, hone creativity and 32 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) increase enthusiasm in the learning process (listyorini, 2012). thus, roleplay sessions have many benefits when applied in this training program. besides enriching participants' knowledge and experience, practice can also be a suggestion to apply directly about the experience of being a counselor. with a variety of expertise and experience, peer counselors who have been trained are expected to be able to carry out support functions amid their environment. the difference between the results of this study compared to risnawaty et al. (2019), whose research is similarly themed, is that this study shows the results through a short questionnaire in the quantitative form of material and instructor evaluations. the current study also uses several knowledge questions compiled from the materials given in the training. it is constructed in line to syafitri and rahmah (2021). in addition to numerical measurements, this study is also equipped with qualitative data in the form of sample responses which were filled in on reflection sheets. qualitative data is useful in providing descriptive and contextual data (can be seen in table 3). thus, this research is believed to have novelty in terms of enriching other research with similar themes. humans are social creatures who cannot live without other people. individuals require others to live their life, for example, to interact, communicate, bond, ask for help, and so on to create mutual interaction and support each other. thus, the role and the meaning of peers is significant in the psychological development of any individual. susanto (2018) states that every human being needs to socialize. humans' potential can only be developed if they interact with other people. it is also closely related to peer counseling, where peer counseling is a very good opportunity to prevent various kinds of psychological disorders and deviations that may occur. when most people face problems or obstacles, they will be more comfortable talking to peers to share their feelings or find solutions than authoritative figures. this dynamic also happens to college 33peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) students. for instance, they will be more comfortable telling stories to their peers on campus than their parents, academic supervisors, heads of study programs, and so on regarding the problems they are experiencing. thus, peer counseling, especially on campus, is essential for preventing psychological disturbances and deviations in college student behavior, academic obstacles, etc. hence, peer counseling training programs really need to be developed in various segments of life, for example, teenagers, college students, and even housewives. the crucial role of peer counselors can increase the level of understanding, trust, and mutual support in life. therefore, it is necessary to conduct peer counseling program training that is increasingly widespread and with appropriate debriefing methods. the counselor's role as life support is concretely manifested through acts of providing enthusiasm, motivation and even solutions in helping clients. this is in line with what is conveyed by permatasari et al. (2021), that the feeling of wanting to help others is the main motivation that a peer counselor must possess. however, it does not eliminate the important role for experts, professional counselors, psychologists, and psychiatrists in dealing with psychological problems. this means that experts in mental health still have a central role in psychological problems, especially for clients who have experienced abnormalities and dysfunction in daily life and already have symptoms that can be classified as psychiatric disorders. peer counselors can connect adolescent individuals (for example, students) to professional counselors (maliki, 2015). thus, peer counselors' role and contributions are useful as a bridge between their friends and experts. professional counselors act as the final treatment needed to tackle psychological problems, while peer counselors are the preventors (initial treatment) to cope with psychological problems. peer counselors can refer their clients to seek help from professional counselors if highly needed (rapisa, 2018). the essence of referring is very important, where it can prevent the client's 34 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) condition from worsening and so that the client gets the right treatment. conditions when counselors need to refer, according to the american school counselor association (afiati 2017) are clients who have problems such as having the intention to end their life, wanting to do crime, having depression, and having chronic illnesses and drug addiction. other than the contextual conditions of the clients, peer counselors should also understand the administrative path of referral to help the clients. thus it becomes important for counselors to understand the right time to refer to mental health experts. the participation of experts and peer counselors is a collaborative effort to improve community mental health. efforts to increase mental health literacy require collaboration between various parties. this notion is supported by the opinion of arifin and satriah (2018), who state that strategies with institutional efforts to establish cooperation or collaboration with elements of society are seen as relevant to improve counseling guidance services quality. it hereby highlights the need for collaboration and support of every societal institution for more effective policies and programs for mental health prevention and treatment. in addition, people need to be encouraged to become more aware of the importance of mental health. one example is always maintaining mental health as well as maintaining physical health. mental health awareness is still low in indonesia. there are still many who view taking counseling services is only for “crazy people”. we need to educate people to maintain their mental health. one simple effort that can be done is to express feelings to the people around us. this can be mediated by increasingly promoting counseling facilities in the community. supported by baharudin's opinion (2021) that states the existence of guidance and counseling services for the community makes it an excellent means of developing human resources, counseling has a role in finding a way out of every problem or difficulty faced by an individual in society in 35peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) developing their potential. the higher the pressure of life, and social problems, there is fundamental need to create more peer counselors in society. this can be done by providing counseling knowledge and skills to representative members of community groups. peer counselors can encourage the achievement of optimal mental health. this is in line with the opinion of syafitri dan rahmah (2021) that the need for a peer counselor program to improve psychological services through students who are selected and trained in mental health literacy so they can identify psychological disorders that are common in adolescents, and know how to help themselves and others when experiencing certain psychological problems is highly needed. that way, peer counselors can bridge between students or in-between communities in dealing with existing mental health problems. however, it should be noted that mental health awareness has slightly increased in recent years. conclusion and suggestion conclusion it can be concluded that all participants generally experienced increased knowledge competence. these competencies include enhanced knowledge and skills in peer counseling. based on quantitative data processing, there was a significant difference in knowledge before and after training (sig = 0.00; p < 0.01). when viewed from the qualitative data in the participants' responses on the reflection sheet, it can be concluded that all participants experienced changes in new skills, skill upgrades, and insights after participating in the peer counselor training program. furthermore, most of them were also impressed with the implementation of this program. improvement efforts must continue to be made. some essential development suggestions can be seen in the next section. 36 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) suggestion researchers admit that there are some weaknesses in this study. thus there is a need for this kind of research in the future. some of these weaknesses will be described. first, the author admits that the onegroup pretest-posttest design is less convincing in concluding the results. this design was chosen because of the limitations of the researcher, as mentioned in the previous section. thus, further research is needed to improve the quality of the experimental design. second, adding one more day on implementation makes it even better. this is to prevent overcrowdedness in the implementation of activities. this condition is also unfavorable, related to the possibility of fatigue in the trainer team and participants. third, it is also necessary to add other theories or materials. the addition of materials further enhances the sample's understanding of counseling practice. some materials can be added for example: counseling techniques; goals setting; identifying client problems; and the counselor's code of ethics. furthermore, it is necessary to pay more attention to technical matters which also greatly affect the success of the training. references afiati, e. (2017). bimbingan dan konseling komprehensif: pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. seminar nasional pendidikan dasar dan anak usia dini 3: upi kampus serang. ap2tpi. (2019). tentang perubahan surat keputusan asosiasi penyelenggara pendidikan tinggi psikologi indonesia (ap2tpi) nomor 01/kep/ap2tpi/2014 tentang kurikulum inti program studi psikologi sains jenjang magister. retrieved february 1, 2023, from ap2tpi.or.id website: https://ap2tpi.or.id/dokumen/suratkeputusan-ap2tpi-nomor-02-tahun-2019-tentang-perubahanatas-surat-keputusan-ap2tpi-nomor-01-tahun-2014-tentang-intiprogram-studi-psikologi-sains-jenjang-magister/ 37peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) arifin, i. z., & satriah, l. (2018). model dakwah bi al-irsyãd untuk pemeliharaan kesehatan mental spiritual pasien di rumah sakit. ilmu dakwah: academic journal for homiletic studies, 12(1), 99–120. https://doi.org/10.15575/idajhs.v12i1.1908 astiti, s. p. (2019). efektivitas konseling sebaya (peer counseling) dalam menuntaskan masalah siswa. ijip : indonesian journal of islamic psychology, 1(2), 243–263. https://doi.org/10.18326/ijip.v1i2.243263 astuti, a. p., & nurmalita, a. r. (2018). teknologi komunikasi dan perilaku remaja. jurnal analisa sosiologi, 3(1), 91–111. https://doi. org/10.20961/jas.v3i1.17452 azam, u. (2016). bimbingan dan konseling perkembangan di sekolah teori dan praktik. yogyakarta: deepublish. baharudin, y. h. (2021). profesi bimbingan dan konseling dalam masyarakat. jurnal tawadhu, 5(1), 35–43. https://doi.org/10.52802/ twd.v5i1.160 devi v, r. & shaik, n. (2012). evaluating training & development effetiveness a measurement model. asian journal of management research, 2(1), 722-735. fauzy, a. (2019). metode sampling (2nd ed). tangerang selatan: universitas terbuka. febrita, y., & ulfah, m. (2019). peranan media pembelajaran untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. prosiding dpnpm unindra 2019, 5(1). 181-188. gaho, j., telaumbanua, k., & laia, b. (2021). efektivitas layanan konseling kelompok dengan teknik role playing dalam meningkatkan interaksi sosial siswa kelas x sma negeri 1 lahusa tahun pembelajaran 2020/2021. counseling for all: jurnal bimbingan dan konseling, 1(2), 13–22. garlick, s. (2010). taking control of sex?: hegemonic masculinity, technology, and internet pornography. men and masculinities, 12(5), 597–614. https://doi.org/10.26623/10.1177/109718 4x09341360 hartini, n., & ariana, a. d. (2016). psikologi konseling: perkembangan dan penerapan konseling dalam psikologi. surabaya: airlangga university press. 38 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) kaplan, d. m., tarvydas, v. m., & gladding, s. t. (2014). 20/20: a vision for the future of counseling: the new consensus definition of counseling. journal of counseling & development, 92, 366–372. https://doi.org/10.1002/j.1556-6676.2014.00164.x kementerian agama ri. (2018). standar kompetensi lulusan (skl) dan capaian pembelajaran lulusan (cpl) program studi jenjang sarjana pada perguruan tinggi keagamaan islam dan fakultas agama islam (fai) pada perguruan tinggi direktorat. retrieved february 1, 2023, from kemenag.go.id website: https://pendispress. kemenag.go.id/index.php/ppress/catalog/book/6%0a khaerudin. (2016). teknik penskoran tes obyektif model pilihan ganda. jurnal madaniyah, 2(11), 2086–3462. linayaningsih, f., virgonita, m., & dian, a. (2017). pengaruh pelatihan peer group counseling dalam meningkatkan psychological wellbeing pada siswa sekolah menengah pertama. philantrophy journal of psychology, 1(1), 26–35. https://doi.org/10.26623/philanthropy. v1i1.774 listyorini, t. (2012). perancangan game simulasi pendaftaran skripsi pada program studi teknik informatika universitas muria kudus. jurnal teknik mesin, elektro dan ilmu komputer, 2(1), 56–63. https:// doi.org/10.24176/simet.v2i1.101 maliki. (2015). bimbingan dan konseling di sekolah dasar (suatu pendekatan imajinatif). al-tazkiah: jurnal bimbingan dan konseling islam, 7(2), 1–14. https://doi.org/10.20414/altazkiah.v4i2.99 maryatun, s. (2013). pengaruh terapi kelompok terapeutik terhadap perkembangan remaja di panti sosial marsudi putra dharmapala inderalaya sumatera selatan. jurnal ilmu kesehatan masyarakat, 4(3), 212–219. marsden, e., & torgerson, c. j. (2012). single group, preand post-test research designs: some methodological concerns. oxford review of education, 38(5), 583–616. https://doi.org/10.1080/03054985 .2012.731208 nugrahani, f. (2014). metode penelitian kualitatif dalam bidang pendidikan bahasa. sukoharjo: universitas veteran bangun nusantara sukoharjo. 39peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) nurrita, t. (2018). pengembangan media pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. jurnal misykat: jurnal ilmu-ilmu al-qur'an, hadits, syariah, dan tarbiyah, 3(1), 171-210. https://doi. org/10.33511/misykat.v3n1.171 onyema, e.m., eucheria, n.c., obafemi, f.a., sen, s., atonye, f.g., sharma, a., & alsayed, a.o. (2020). impact of coronavirus pandemic on education. journal of education and practice, 11(13), 108-121. https://doi.org/10.7176/jep/11-13-12 permatasari, n., makaria, e. c., simon, i. m., & setiawan, m. a. (2021). bagaimana remaja menjadi peer-counselor di masa pandemi? buletin konseling inovatif, 1(1), 32–44. https://doi.org/10.17977/ um059v1i12021p32-44 pratiwi, r., & karneli, y. (2021). counseling with self-management techniques to improve learning motivations. jurnal neo konseling, 3(3), 1–4. https://doi.org/10.24036/00451kons2021 rajab, k., zein, m., & bardansyah, y. (2016). rekontruksi psikoterapi islam. pekanbaru: cahaya baru. rajagopal, m. (2013). counseling: a misunderstood profession. iosr journal of humanities and social science, 11(3), 30–37. https://doi. org/10.9790/0837-1133037 ramadanti, e., mukhlis, i., & utomo, s. h. (2021). dampak pandemi covid-19 terhadap pendidikan tinggi di kota malang. jurnal ekonomi, bisnis dan pendidikan, 1(3), 209–218. https://doi. org/10.17977/um066v1i32021p209-218 rapisa, d. r. (2018). kemampuan guru dalam melakukan identifikasi anak berkebutuhan khusus. pedagogia: jurnal ilmu pendidikan, 16(1), 16-24. https://doi.org/10.17509/pdgia.v16i1.10731 risnawaty, w., kartasasmita, s., & suryadi, d. (2019). peer counselor training for high school students in west jakarta. mitra: jurnal pemberdayaan masyarakat, 3(2), 108–119. https://doi. org/10.25170/mitra.v3i2.350 saifuddin, a. (2019). penelitian eksperimen dalam psikologi. jakarta: kencana prenadamedia. soedarmadji, h. (2012). psikologi konseling. jakarta: kencana prenadamedia. susanto, a. (2018). bimbingan dan konseling di sekolah: konsep, teori, dan aplikasinya. jakarta: kencana prenadamedia. 40 peer counseling training to improve the competence of sophomore peer counselors ema zati baroroh, kiki amalia al-balagh: jurnal dakwah dan komunikasi, vol. 8, no. 1, january – june 2023, pp. 1 40, doi: https://doi.org/10.22515/albalagh.v8i1.5833 issn: 2527-5704 (p) issn: 2527-5682 (e) syafitri, d. u., & rahmah, l. (2021). pelatihan konselor sebaya daring untuk meningkatkan literasi kesehatan mental siswa di sma islam xy semarang. gadjah mada journal of professional psychology (gamajpp), 7(1), 39-54. https://doi.org/10.22146/gamajpp.62299 trisnowati, e. (2016). program pelatihan keterampilan konseling bagi konselor di smp/mts negeri se-kota pontianak. sosial horizon : jurnal pendidikan sosial, 3(2), 193–205. https://doi.org/10.31571/ sosial.v3i2.364 ulfah. (2020). psikologi konseling : teori dan implementasi. jakarta: kencana prenadamedia. wang, y. y. (2014). whorish representation: pornography, media, and modernity in fin-de-siecle beijing. modern china, 40(4), 351–392. https://doi.org/10.31571/10.1177/0097700413499732 willies, d. (2023). the impact of covid-19 pandemic on the education system in developing countries. african journal of education and practice, 9(1), 15–26. https://doi.org/10.47604/ajep.1882