JURNAL AL-BALAGH_Vol.2 no.2-2 2017 KONSELING ISLAMI DENGAN TEKNIK SCALING QUESTION UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PASIEN Khoirun Nisa Dwi Martina Supandi IAIN Surakarta Keywords: Anxiety, Islamic Counseling, Scaling Question Technique http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: khoirunnisa@gmail.com supandiirfan@gmail.com Abstract This article attempts to describe the process of Islamic counseling with scaling question technique in order to reduce patient’s anxiety. The method used is qualitative descriptive and the determination of the subjects is chosen with the purposive sampling. The results of the study show the practice of scaling question technique with the following sequence of processes: (1) rapport, (2) asking for complaints during hospitalization, (3) asking the patient to take a comfortable position with his eyes closed then feel what the burden of his mind , (4) asking the patient to tell what he is feeling when his eyes are closed, (5) asking the level of problem between 0-10, (6) dialogue plus exposing the wisdom or risk until the patient raises the insight or gets enlightenment, (7) reinforced with the verses of the Qur’an or hadith, (8) Asking the level of problem between 0-10 back, (9) farewell. Artikel ini berupaya mendeskripsikan proses konseling islami dengan teknik scaling question dalam rangka mengurangi kecemasan pasien. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dan penentuan subyek dipilih dengan sampling purposif. Hasil penelitian menunjukkan praktik teknik scaling question islami dengan urutan proses sebagai berikut: (1) rapport, (2) menanyakan keluhan-keluhan selama rawat inap, (3) meminta pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan mata terpejam kemudian merasakan apa yang menjadi beban pikirannya, (4) meminta pasien menceritakan apa yang sedang dirasakannya saat mata terpejam tadi, (5) menanyakan tingkatan masalah antara 0–10, Abstrak DOI Number 10.22515/ balagh.v2i2.1022 210 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik (6) melakukan dialog ditambah memaparkan hikmah atau resiko sampai pasien memunculkan insight atau mendapatkan pencerahan, (7) dikuatkan dengan ayat-ayat Alquran atau hadits, (8) menanyakan tingkatan masalah antara 0-10 kembali, (9) berpamitan. I. PENDAHULUAN Kehidupan umat manusia tidak bisa lepas dari ujian yang dapat membuatnya berduka. Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. akan berupaya memahami hikmah di balik semua itu, berusaha menghayati dan lalu mencari solusi untuk mendapat rida dan taufik serta hidayah dari Allah Swt. Namun, jika ujian itu terus menerus ditentang dan dibiarkan tanpa solusi, pada umumnya akan memunculkan tekanan psikis yang membuat manusia semakin terpuruk dalam masalah. Hal tersebut dapat dicontohkan saat seseorang mengalami sakit parah hingga dirawat inap di rumah sakit dalam waktu yang cukup lama. Dalam kondisi ini, seseorang akan mengalami perubahan tidak hanya secara fisik, tetapi diikuti dengan perubahan kognitif (cara berpikir), afektif (cara berperilaku), motorik (gerak tubuh), dan psikososial. Orang yang tidak seimbang antara kognitif, afektif, motorik, dan psikososial akan mengalami rasa cemas. Kecemasan adalah reaksi terhadap ancaman dari rasa sakit maupun dunia luar yang tidak siap ditanggulangi dan berfungsi mengingatkan individu akan adanya bahaya (Triantoro, 2009). Jika reaksi berupa ego tidak mampu mengatasi kecemasan, maka ego akan memunculkan pertahanan ego. Sigmund Freud (Corey, 2009) membagi mekanisme pertahanan ego yaitu (1) penyangkalan/penolakan, (2) proyeksi, (3) fiksasi, (4) regresi, (5) rasionalisasi, (6) sublimasi, (7) displacement, (8) represi, (9) reaksi formasi. Beberapa hal itu merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kecemasan merasa tidak tahan dan ingin segera bebas dari hal-hal yang membuatnya cemas. Bukti lain yang dapat memperkuat bahwa seseorang mengalami kecemasan ditunjukkan dengan coping (ketahanan batin) yang kurang, seperti cemberut, murung, lebih banyak diam, cenderung menghindar, Kata Kunci: Kecemasan, Konseling Islami, Teknik Scaling Question – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 211 bahkan menyendiri. Jika hal itu tidak dikontrol dan dibiarkan mengikuti hawa nafsunya, maka seseorang yang sakit akan mengalami proses penyembuhan fisik dalam waktu yang lebih lama. Selain itu, dampak yang dirasakan juga bisa menimbulkan penyakit baru yang tidak memberikan kenyamanan pada fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, pegal–pegal, nyeri badan, meriang, sulit tidur, mata berkunang–kunang, dan sebagainya. Musfir (2005) berpendapat bahwa kecemasan juga bisa mempengaruhi tubuh hingga tubuh menggigil, berkeringat, jantung berdegup kencang, lambung terasa mual, dan tubuh terasa lemas. Pikiran seseorang akan bekerja sesuai hukumnya. Hukum yang mengatur cara kerja pikiran dimaksud adalah: Pertama, setiap pikiran atau ide mengakibatkan reaksi fisik. Hal ini dikarenakan simtom yang muncul dari emosi cenderung mengakibatkan perubahan pada fisik apabila simtom ini bertahan cukup lama. Kedua, dari pikiran–pikiran itu bisa menjadikan kondisi fisik semakin memburuk. Misalnya, apabila seseorang berpikir secara konsisten dan meyakini dirinya bahwa ia sakit jantung, maka cepat atau lambat ia akan mulai merasa tidak nyaman di sekitar dada, yang ia yakini sebagai gejala jantung. Apabila ide tersebut terus–menerus dipikirkan dan akhirnya ia menjadi yakin karena gejalanya memang “benar” adalah gejala sakit jantung, maka sesuai hukum yang kedua ia akan menderita sakit jantung. Ketiga, biasanya orang tidak menginginkan mengalami sakit tertentu. Pada umumnya, ia merasakan suatu perasaan yang tidak nyaman, tetapi tidak mengerti bahwa perasaan tidak nyaman ini merupakan salah satu bentuk komunikasi dari pikiran bawah sadar ke pikiran sadar. Ada lima cara pikiran bawah sadar berkomunikasi dengan pikiran sadar, yaitu melalui perasaan, kondisi fisik, intuisi, mimpi, dan dialog internal. Tetapi, pada umumnya pikiran bawah sadar menyampaikan pesan melalui emosi tertentu. Apabila emosi itu tidak ditanggapi, ia akan semakin memuncak menjadi sebuah gangguan fisik yang semakin parah (Fathonah, 2011). Ada sebuah penelitian tentang keterbukaan pikiran terhadap apa yang mungkin terjadi dan yang dapat membuat manusia lebih panjang 212 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik usia, lebih sehat, dan pikiran lebih kuat. Usia lebih panjang dan lebih sehat dapat dicapai dengan tidak bersikap pesimis. Hal itu sudah jelas bahwa keterbukaan pikiran akan mengakibatkan ketenangan jiwa (Michael & Howwel, 2015). Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, masih ada manusia yang berpikir dan menyikapi sesuatu dengan keliru. Padahal, berpikir keliru dan negatif bisa mengakibatkan orang menjadi khawatir dan gelisah. Jika kegelisahan itu dibiarkan, dapat membuat dirinya tidak fokus pada semua hal, menambah beban, dan masalah sulit diselesaikan. Pendapat tersebut juga memberikan penguatan, jika seseorang mengalami kegelisahan maupun kekhawatiran maka dia harus segera sadar, bangkit, dan tidak membiarkan perasaan tidak nyaman itu. Selain itu, orang yang gelisah dan cemas harus cepat berpikir untuk mengevaluasi tentang apa yang terjadi dan mencari solusi. Pendapat Sigmund Freud sebagaimana dikutip oleh Oktastika (2004) menjelaskan tentang cara kerja pikiran manusia meliputi pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.Pikiran sadar adalah bagian dari sistem pikiran yang mengendalikan perilaku seseorang dengan sengaja atau direncanakan secara logis. Selain itu, pikiran sadar selalu berangkat dari pertanyaan–pertanyaan di balik setiap tindakan yang diambil. Pertanyaan–pertanyaan itu misalnya: Nanti bagaimana jika ternyata salah? Apakah mungkin saya bisa melakukannya? Bagaimana jika saya dianggap aneh atau tidak normal? Bagaimana jika saya dipermalukan? Pertanyaan–pertanyaan tersebut yang dicetuskan secara sadar oleh manusia dan akhirnya mengakibatkan kecemasan. Pikiran sadar ini berbeda dengan pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar bersifat spontan, tanpa rencana yang digambarkan pada orang yang fobia atau mengalami kecemasan realita seperti takut pisang, jarum, darah, ambulans, dan sebagainya. Kecemasan realita ini terjadi pada orang yang bersangkutan sampai mendapatkan terapi yang cocok dan berbeda dengan kecemasan umum yang biasa terjadi kapan saja pada pengalaman sehari–hari. Kecemasan umum ini termasuk jenis state-trait anxiety atau stait anxiety yang timbul apabila seseorang dihadapkan pada situasi mengancam, berlangsung – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 213 sementara dan ditandai dengan perasaan subyektif akan tekanan–tekanan tertentu, kegugupan, dan aktifnya susunan syaraf pusat (Spielberger, 1996). Sebagai contoh, kecemasan jenis stait anxiety dapat terjadi pada pasien yang menderita sakit namun tidak kunjung sembuh atau bertambah parah, mencemaskan keadaan keluarga di rumah karena posisinya sedang dirawat di rumah sakit, mencemaskan pekerjaan tetapnya, dan sebagainya. Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan psikologis tersebut, dapat diatasi dengan cara konseling. Konseling merupakan usaha membantu orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan agar subyek bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi subyek. Seorang konselor bukan subyek namun subyeknya adalah konseli itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang dihadapi. Seiring berjalannya waktu, tindakan konseling mengalami perkembangan membentuk layanan baru, salah satunya konseling Islami. Konseling Islami merupakan layanan bantuan kepada konseli untuk mengingatkan kembali pada fitrahnya, menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya baik dari segi baik–buruknya atau kekuatan dan kelemahannya sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Allah Swt. Selain itu, konseling Islami memberikan penyadaran kepada konseli bahwa dirinya perlu melakukan ikhtiar. Kelemahan yang ada pada dirinya bukan untuk disesali secara terus– menerus dan kekuatan atau kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri (Diponegoro, 2011). Adz-Dzaki sebagaimana dikutip oleh Diponegoro (2011), konseling Islami berlandaskan pada paradigma wahyu dan keteladanan pada Nabi, Rasul, dan ahli warisnya. Kesemuanya memiliki kekuatan nilai yang dapat memberikan petunjuk (bimbingan) bagi pemintanya. Allah Swt. telah memerintahkan kepada manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan menjauhi segala keburukan. Hal ini tertuang dalam firman-Nya yang mengisyaratkan tentang kebenaran Alquran dan petunjuk bagi orang yang beriman dan bertakwa yaitu: (1) QS. Al-Baqarah (2) 2 : Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan kepadanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (2) QS. 214 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik Yunus (10) 57 : Alquran telah memberikan pelajaran dan Allah Swt. sebaik- baik penyembuh; itu semua sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Begitu pula Rasulullah Saw. merupakan sosok teladan yang juga memberikan contoh serta pendidikan Islami yang dapat mengantarkan manusia kepada kebaikan dengan iman, Islam, dan ihsan yang selalu istiqamah. Praktek konseling Islam mempunyai prinsip–prinsip, yaitu memberikan kabar gembira dan kegairahan hidup, melihat konseli sebagai hamba Allah Swt., menghargai konseli tanpa syarat, dialog Islami yang menyentuh (Willis, 2004). Ketika memberikan konseling juga diperlukan beberapa metode yang disesuaikan dengan kondisi setiap konseli yaitu metode keteladanan, penyadaran, penalaran logis, atau metode kisah. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam konseling Islami adalah metode penyadaran dan penalaran logis. Metode penyadaran merupakan metode yang menggunakan ungkapan–ungkapan nasihat dan juga al- Targhib wa al-Tarhib (janji dan ancaman). Sedangkan metode penalaran logis merupakan metode yang berkisar tentang dialog akal dan perasaan individu. Kemudian, aspek – aspek konseling Islami mengarah pada aspek preventif (pencegahan), perkembangan, dan terapi yang kesemuanya itu dirangkum menjadi satu dalam upaya membentuk kepribadian muslim kaffah (Az-Zahrani, 2005). Salah satu teknik konseling yang memungkinkan untuk menjadi konseling Islami adalah konseling dengan teknik scaling question. Sebelum dijelaskan tentang teknik scaling question, ada perlunya mengetahui pendekatan SFBC (Solution Focused Brief Counseling) yang merupakan induk atau sumber dari beberapa teknik salah satunya teknik scaling question. Nicols sebagaimana dikutip oleh Inayah (2012) menjelaskan bahwa pendekatan SFBC atau Solution Focused Brief Counseling yaitu sebuah pendekatan yang memandang individu memiliki kemampuan untuk bertingkah laku secara efektif dalam menyelesaikan masalahnya, hanya saja selama ini kemampuan tersebut tertutupi oleh adanya anggapan negatif. Individu lebih diarahkan – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 215 untuk lebih memerhatikan kelebihan–kelebihan yang ia miliki agar tidak terokupasi oleh kegagalan yang dialaminya. Lundin sebagaimana yang dikutip oleh Perry (2010) juga menjelaskan tentang pendekatan SFBC, yakni pendekatan konseling yang berfokus pada masa kini (present) dan masa depan (future) yang dirancang untuk diciptakan melalui solusi. Adapun scaling question merupakan teknik yang digunakan dalam konseling dimana konseli diminta untuk memberikan penilaian dari skala 0 atau 1 untuk nilai yang paling baik (tidak memiliki kendali sama sekali terhadap masalah) hingga skala 10 untuk nilai yang sangat buruk (memiliki kendali terhadap masalah), mengenai penghayatan terhadap masalah, serta keyakinan akan keberhasilan solusi yang ia ciptakan. Tujuan teknik scaling question ini membantu terapis/konselor dan konseli dalam menjadikan topik masalah yang sebelumnya samar–samar menjadi konkrit, karena konseli tidak hanya menjelaskan perasaan/pemikirannya, namun juga menerjemahkannya dalam bentuk penilaian (Inayah, 2012). Menurut Capuzzi dan Gross, teknik scaling question termasuk teknik yang memungkinkan konseli lebih memperhatikan apa yang telah ia lakukan dan bagaimana ia mengambil langkah yang mengarahkan pada perubahan yang diinginkan (Sumarwiyah, 2015). Pertanyaan–pertanyaan yang disampaikan dalam menggunakan teknik scaling question diantaranya : “Pada rentang angka yang mana Anda menempatkan diri Anda dalam skala tersebut? dan apa yang akan Anda perlukan agar Anda dapat naik ke skala yang lebih baik?” (Lestari, 2016). Melihat perkembangan kognitif manusia dalam kurun waktunya kini, bahwa setiap manusia mengharapkan suatu ketenangan dan kedamaian jiwa sehingga tidak ada beban pikiran yang mengitarinya. Dalam upaya mewujudkan harapan itu diperlukan beberapa teknik mengurangi atau bahkan menghilangkan kecemasan, salah satunya adalah scaling question. Teknik scaling question tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Akan tetapi, dalam konteks masyarakat religius (terlebih lagi pada konteks masyarakat Islam), teknik scaling question ini belum menyentuh ranah 216 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik spiritualitas. Sehingga, teknik ini dapat dimodifikasi dengan menjalankan teknik tersebut secara Islami. Harapannya, modifikasi teknik scaling question secara Islami tersebut dapat membuahkan hasil yang lebih maksimal. Hal itu juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kaharja (2016) yang meneliti tentang pengaruh Solution Focused Brief Therapy sebagai salah satu teknik konseling Islami untuk meningkatkan self esteem. Hasil penelitian ini secara kuantitatif dibuktikan dari perolehan skor uji Wilcoxon signed rank test sebesar 0,46 dengan p-value <0,05. Selain itu, peningkatan skor self esteem subyek dapat diketahui dari meningkatnya rata–rata (mean) antara pretest dan postest yakni dari 1,963 menjadi 3,088. Kemudian, hasil penelitian kualitatif dibuktikan dari teknik–teknik pada Solution Focused Brief Therapy mampu memberikan dukungan atau pelengkap bagi pelaksanaan konseling Islami (adanya kolaborasi) yaitu memudahkan subyek untuk terbuka dan bercerita tentang masalahnya. Selain itu, Solution Focused Brief Therapy dapat merubah pola pikir atau pandangan negatif menjadi positif yang dapat memotivasi diri untuk mengaktualisasikan diri. Hal itu akan bermanfaat bagi subyek untuk diajak dialog tentang ajaran–ajaran agama Islam yang akan dilakukan ke depannya dalam mendukung perkembangan pribadinya sehingga subyek tidak lagi gundah, takut, dan gelisah. Berdasarkan penjelasan tersebut, pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana tata cara dan langkah-langkah dalam menjalankan konseling Islami dengan teknik scaling question guna mengurangi kecemasan pasien? II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Subyeknya dipilih melalui purposive sampling atau dengan kriteria tertentu. Kriteria sampel tersebut adalah: (1) pasien rawat inap reguler yang memiliki usia antara 18 – 40 tahun (tergolong usia dewasa awal), mengalami kecemasan jenis stait anxiety, merupakan orang yang tanggap, memiliki konsentrasi yang baik, dan aktif, serta memiliki pendidikan terakhir minimal SMA/ – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 217 SMK/SMEA/MAN, (2) keluarga pasien yang menemaninya. Sedangkan untuk konselor dan terapisnya memiliki kualifikasi psikolog yang memiliki kriteria beragama Islam dan salah satunya merupakan ketua rohis/rohani Islam. Penelitian dilakukan di rumah sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selain itu, didukung oleh teknik keabsahan data berupa peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi sumber, dan metode (kredibilitas). III. MODEL HIPOTETIK KONSELING ISLAMI DENGAN TEKNIK SCALING QUESTION UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PASIEN Layanan psikologi di rumah sakit menempati posisi yang sangat penting dalam upaya mewujudkan pasien menjadi pribadi yang sehat secara jasmani dan rohani. Karena itu, diperlukan upaya layanan yang dilakukan secara terkonsep dan sistematis yang nantinya bisa memberikan pengaruh bagi proses konseling di rumah sakit. Sebagai sebuah pusat kejiwaan di rumah sakit pada masa modern ini, pihak psikolog berupaya menambahkan layanan baru dan mendukung layanan dasar yang telah diterapkan. Penambahan layanan ini berupa konseling Islami. Kesimpulan ini atas dasar observasi/pengamatan di lapangan bahwa tidak semua pasien beragama nonmuslim sehingga perlu ditambahkan layanan konseling secara Islami sebagai penguatan konseling barat. Hal ini yang akan menambah ciri khas dari rumah sakit sebagai lembaga yang menawarkan konsep sehat secara jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan keseimbangan spiritual, moral, dan intelektual. Layanan baru yang dikembangkan oleh psikolog ini berwujud model hipotetik yakni mengkolaborasikan konseling Islami dengan teknik konseling Barat. Model hipotetik ini dilakukan dengan harapan kedua konseling tersebut memberikan kontribusi yang saling melengkapi demi terwujudnya konseli/pasien yang pandai mengelola emosi dan kemudian dampaknya bisa dirasakan, yakni tidak mudah cemas. Selain itu, perpaduan 218 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik dua perspektif ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan psikologis individu/pasien dan juga memperkuat spiritualitasnya. Bentuk kontribusi dari konseling barat salah satunya dengan teknik scaling question ini yaitu memberikan alternatif penghayatan masalah dengan mata terpejam serta bantuan level masalah antara 0 sampai 10 kepada pasien yang belum bisa mengungkapkan permasalahannya secara terbuka. Kemudian, kontribusi dari konseling Islami ini berupa metode penyadaran dan diskusi penalaran logis yang bertujuan agar konseli/pasien muslim lebih sadar akan cobaan dari Allah Swt., selalu mengambil hikmah dan mantab menjalani kehidupan. Kedua metode itu berupa dialog logis tentang janji dan ancaman, manfaat dan madharat, serta penegasan komitmen dan perencanaan tentang tindakan–tindakan yang akan dilakukan konseli/ pasien ke depannya secara Islami. Keinginan mulia dari psikolog untuk memunculkan konsep baru berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu : 1. Model konseling Islami dengan teknik scaling question berorientasi membawa pasien ke arah perkembangan yang optimal. Model ini memberikan penguatan bagi pasien muslim yang diantaranya masih lemah dalam akidah Islam sehingga layanan yang diberikan tidak hanya konseling barat yang bersifat umum, namun ada penyadaran dan pemantapan akidah. Status muslim (sebagai orang Islam) menjadi prioritas utama supaya pasien tetap dapat menyempurnakan agama secara menyeluruh meski dalam kondisi sakit. Di sinilah urgensi konseling Islami model hipotetik, yakni supaya seseorang yang ditimpa sakit tidak banyak mengeluh, tidak menyakiti diri, dan tidak putus asa. 2. Model konseling Islami dengan teknik scaling question akan terlaksana secara efektif ketika didukung oleh lingkungan yang kondusif. Proses perkembangan layanan terjadi melalui interaksi individu/pasien dengan lingkungan. Lingkungan rumah sakit yang beranggotakan tenaga medis dan psikolog diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang positif dan bisa membina pasien. Selain itu, lingkungan keluarga yang juga – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 219 menjadi lahan untuk membantu mengembangkan kemampuan pasien dalam mencegah terjadinya masalah juga harus terpenuhi. Apabila peran keluarga tidak terlaksana dengan baik maka pasien akan semakin bermasalah, sulit menemukan solusi, dan pelaksanaan konseling tersebut tidak maksimal. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka implementasi model hipotetik konseling Islami di rumah sakit dalam rangka mewujudkan insan kamil/muslim kaffah (sempurna) penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan status muslim pasien yang terkadang membutuhkan pelayanan secara Islami. Akan tetapi, di sisi lain kemampuan dalam mengungkapkan masalahnya secara terbuka sangat minim atau bahkan malu. Maka, model hipotetik ini diperlukan teknik lain yang berupaya melengkapi proses konseling Islami, salah satunya teknik scaling question yang mendorong keterbukaan masalah. Setelah pasien terbuka dan sadar atas apa sesuatu yang telah terjadi maka pasien akan mudah menerima pelajaran–pelajaran Islami yang dilakukan diantaranya dengan metode penyadaran maupun penalaran logis. Sebelum melakukan konseling, ada beberapa persiapan yang perlu diperhatikan. Dalam persiapan ini dilakukan pencarian informasi dalam mendukung proses layanan terkait hal–hal sebagai berikut : 1. Profil pasien 2. Penyebab masalah pasien 3. Perilaku pasien 4. Kebutuhan pasien 5. Deskripsi aktual terkait implementasi proses konseling Islami, yaitu a. Rapport b. Identifikasi masalah c. Pemahaman masalah d. Konseling dengan pendekatan Islami e. Terminasi/penutup yang berisi penguatan ayat-ayat Alquran, hadits, atau nasehat Islami 220 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik 6. Mengkaji konseptual model konseling Islami dengan teknik scaling question 7. Mengkaji hasil penelitian yang relevan 8. Mengkaji ketentuan–ketentuan formal pelaksanaan model hipotetik konseling Islami, meliputi kriteria pembina dan pasien yang dijabarkan sebagai berikut : a. Persyaratan Pembina : 1) Persyaratan berdasarkan pendidikan a) Pembina harus menempuh studi minimal S2 Magister Psikologi Profesi agar resmi sebagai psikolog. Berdasarkan sejarahnya, tahun 2000 sampai sekarang, orang–orang yang mendapat sebutan psikolog itu harus menempuh studi S2 Magister Psikologi Profesi. b) Pembina harus menguasai bidang–bidang terkait pemahaman tentang individu, informasi tentang ilmu pengetahuan umum, materi tentang agama Islam, administrasi dan kaitannya dengan program layanan, metode dan strategi sesuai dengan permasalahan konseli/pasien, dan prosedur penilaian layanan. c) Pembina mempunyai kemampuan berdakwah dan membumikan kaidah–kaidah agama Islam secara garis besar sesuai permasalahan konseli/pasien. 2) Persyaratan berdasarkan kepribadian a) Pembina merupakan orang Islam. b) Pembina memiliki akhlak yang baik dan dapat dijadikan contoh, menerima konseli/pasien apa adanya, penuh pengertian, jujur dan bersungguh–sungguh, bersikap sopan, ramah, dan penuh hangat, memiliki kemampuan empati, dan memiliki keterbukaan pikiran/menerima perbedaan budaya. 3) Persyaratan berdasarkan kepemimpinan Dalam agama Islam, pembina konseling dapat diidentikkan dengan pemimpin karena tugas pembina termasuk memimpin dan – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 221 mengarahkan diri sendiri untuk berupaya menyempurnakan menjadi orang yang lebih baik. Selain itu, pembina konseling atau konselor dan psikoterapis menjadi pemimpin bagi orang–orang yang dipimpinnya atau sedang bermasalah supaya mereka bisa memahami dan menerima dengan baik serta beradaptasi dengan lingkungannya. Sebutan pemimpin tidak serta–merta merasa lebih pintar atau bersikap menggurui. Sikap menggurui ini yang harus dihindari dari proses konseling karena konseli/pasien akan mudah tertutup, kecewa, dan tidak nyaman. b. Persyaratan pasien : 1) Konseli yang sakit secara fisik termasuk golongan usia remaja (11 – 17 tahun), dewasa awal (18 – 40 tahun), dan dewasa madya (40 – 60 tahun). 2) Konseli/pasien yang mengalami kecemasan jenis stait anxiety. 3) Konseli yang sehat maupun sakit secara fisik merupakan orang yang tanggap, memiliki konsentrasi bagus, dan aktif. Dengan mencari informasi tentang pasien/konseli ini diharapkan bisa mengetahui latar belakang dan perkembangan mereka hingga proses mengalami kecemasan. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mencapai totalitas layanan dan ketepatan sasaran yang kemudian manfaatnya bisa dirasakan oleh konseli/pasien. Harapan setelah mengikuti konseling Islami model hipotetik ini mereka dapat mengontrol pola pikir dan senantiasa berusaha merencanakan tentang apa yang harus dilakukan dalam rangka mengurangi beban yang membuatnya cemas. Tanpa niat dan komitmen yang kuat serta keseriusan dalam konseling, maka kecemasan itu akan mengakar di benaknya dan bisa bertambah parah. Selain hal yang telah dijelaskan tersebut, tindakan mempelajari konsep konseling Islami dengan model hipotetik merupakan upaya pembandingan dan untuk mencari best practice. Dalam merancang model hipotetik ini dibutuhkan pula kriteria pembina dan konseli/pasien yang sesuai serta mendukung layanan. Pembuatan kriteria untuk pembina maupun konseli/ pasien sangat penting dilakukan dalam rangka menyiapkan layanan yang 222 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik sistematis dan terprogram sehingga bukan berdasarkan pengalaman semata. Pembuatan kriteria untuk pasien juga sangat penting karena hal ini berkaitan dengan kesesuaian teknik dengan kondisinya berdasarkan usia, pendidikan, normalitas kejiwaan, dan dalam kondisi sehat atau sakit. Dalam hal ini perlu dibedakan kondisi psikologis orang sakit dengan orang yang sehat. Orang sakit biasanya ada yang mengalami keterpurukan, sensitif, merengek, menangis, marah–marah, membuang barang–barang di sekitarnya bahkan putus asa sehingga ketika diajak berkomunikasi tidak bisa mengikuti. Salah seorang psikolog di RS. Ortopedi menjelaskan bahwa pasien yang menanggung beban berat kemudian menyikapinya dengan emosional, terus menerus fokus terhadap masalahnya serta tidak ada manajemen diri maka itu akan menjadikan pertahanan diri yang negatif dan masalah yang tersembunyi tidak akan terungkap dan dia sulit diajak komunikasi. Berkaitan hal tersebut, maka kriteria pasien yang akan diberikan tindakan konseling dipilih mulai dari usia remaja hingga dewasa madya. Jika konseling tersebut diterapkan pada anak–anak atau lansia yang sakit, maka terlalu sulit menerimanya. Namun, jika konseling tersebut diterapkan pada orang sehat maka, anak–anak sampai lansia bisa mengikuti dan diajak kerja sama dalam memecahkan permasalahannya serta lebih mudah menemukan solusi. IV. TAHAP–TAHAP MODEL HIPOTETIK KONSELING ISLAMI DENGAN TEKNIK SCALING QUESTION 1. Rapport Tahap rapport ini merupakan tahap awal dari proses konseling. Seorang psikolog membangun komunikasi netral dan belum menyinggung permasalahan pasien, seperti mengucapkan salam, menanyakan kondisi pasien, menceritakan biografi psikolog maupun pasien, serta hal lain yang merupakan dialog santai. Hal tersebut – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 223 dilakukan untuk membangun hubungan yang akrab antara psikolog dengan pasien, memberikan kepercayaan kepada pasien, dan memberikan kenyamanan dan ketentraman bagi pasien bahwa dirinya merasa diperhatikan dan ada seseorang yang ahli yang membantu memecahkan permasalahannya. Akan tetapi, ada batasan–batasan yang perlu diperhatikan dalam konseling bahwa tindakan rapport hanya seperlunya (tidak seperti ngobrol dengan orang sehat), mengingat pasien perlu waktu untuk istirahat dan kesempatan pasien untuk menceritakan permasalahannya bisa tersampaikan (memiliki waktu cukup untuk proses selanjutnya). 2. Menanyakan keluhan–keluhan pasien selama rawat inap Pada tahap kedua ini, psikolog mulai menjelaskan kepada pasien tentang tujuan dia berkunjung, kemudian menanyakan keluhan–keluhan yang dialami pasien selama rawat inap meliputi keluhan fisik maupun psikis. Dalam hal ini, psikolog fokus pada permasalahan psikis yang dialami pasien untuk dipahami dan dicari titik masalah yang membuat pasien cemas. Ketika menanyakan keluhan–keluhan pasien, psikolog harus memiliki keahlian dalam berkomunikasi, salah satunya dengan pertanyaan terbuka agar nantinya jawaban dari pasien bisa menyambung menjadi pembahasan panjang hingga ditemukan titik masalahnya. 3. Meminta pasien untuk mengambil posisi yang nyaman dengan mata terpejam, supaya merasakan apa yang menjadi beban pikirannya Tahap ketiga ini merupakan tahap penghayatan masalah yang dilakukan dalam posisi yang nyaman dan mata terpejam. Dalam posisi mata terpejam ini diupayakan pasien merasa rileks dan menghayati segala hal yang telah terjadi sekaligus menjadi beban pikirannya. Pasien diupayakan bisa meluapkan segala emosi yang nantinya bisa sebagai bukti assessment bagi psikolog. Tahap ini memberikan alternatif kepada pasien yang belum bisa menceritakan permasalahannya secara terbuka kepada psikolog. Pada kondisi mata terpejam segala emosi yang menjadi titik masalah 224 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik akan muncul di benaknya seperti emosi–emosi yang dibesar-besarkan, sugesti yang berlebihan, afektif yang mendalam, dan sebagainya yang dapat menghambat diri pasien. Semua itu termasuk pengecualian masalah yang merupakan hal–hal yang tidak diketahui/disadari atau diketahui tetapi sebagai pertahanan diri sehingga mengakibatkan cemas. Hal itulah yang dibutuhkan psikolog sebagai bukti bahwa pasien serius mengalami dan merasakan masalahnya secara mendalam. 4. Meminta pasien mendeskripsikan apa yang sedang dirasakannya saat mata terpejam Setelah melakukan penghayatan masalah, pasien diminta untuk menceritakan hal–hal yang sebenarnya mengganggu dirinya dan mengakibatkannya menjadi sebuah masalah. Dalam hal ini sangat diperlukan pemahaman yang teliti dari seorang psikolog dalam hal sinkronisasi mimik wajah dengan apa yang diungkapkan pasien. Hal itu dikarenakan, latar belakang dan kepribadian pasien yang beragam sehingga penyampaiannya pun beragam pula. Apabila seorang psikolog tidak teliti, maka hal–hal yang tidak seharusnya menjadi masalah malah diceritakan. Dan sebaliknya, hal–hal yang menjadi penyebab masalah belum tersampaikan oleh pasien. Berkaitan hal tersebut, perlu adanya inovasi lain dari psikolog untuk mendukung kebenaran cerita pasien. Misalnya, refleksi perasaan atau penganalogian masalah sehingga nantinya pasien bisa lebih terbuka menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Psikolog juga perlu meyakinkan pasien kembali bahwa jika tidak bercerita, maka solusi akan sulit didapat. 5. Menanyakan tingkatan/level masalah antara 0 – 10 Setelah pasien bisa merasakan dan menceritakan masalahnya secara terbuka, ia diminta untuk memberikan level pada masalahnya sesuai penghayatan masalahnya tersebut. Dalam hal ini, psikolog juga harus teliti memahami mimik wajah pasien dengan pengucapan level masalah, agar didapatkan informasi yang jelas dan nyata tentang level yang diberikan dengan penyebab masalah yang diceritakan oleh – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 225 pasien. Kejelasan informasi itu akan memudahkan proses konseling selanjutnya. 6. Melakukan dialog–dialog ditambah memaparkan hikmah atau resiko sampai pasien memunculkan insight atau mendapat pencerahan Dialog–dialog yang dilakukan oleh psikolog menggunakan metode penyadaran dan penalaran logis. Dialog ini dilakukan dengan cara mengarahkan pasien pada titik penyadaran tentang bukti penciptaan, kekuasaan, dan kehendak Allah Swt. sehingga pasien bisa lebih yakin kepada Allah Swt. dan jiwanya (qalb) kembali pada keimanan. Mengingat kekuasaaan Allah Swt. memberikan kenyamanan dan ketenangan hati yang kemudian memberikan kekuatan akidah pasien dan memudahkannya untuk diajak dialog. Setelah dia yakin, psikolog mengajak pasien untuk berdialog mengkaitkan masalah pasien dengan kehendak Allah Swt. Pasien diajak berdialog secara logis bahwa semua yang terjadi di dunia ini memang atas kehendak-Nya dan sudah diatur oleh-Nya. Sehingga, dia tidak perlu terlalu lama meratapi hal yang tidak pasti dan menyulitkan. Pasien diajak berdialog logis bahwa semua yang terjadi di dunia ini memang atas kehendak-Nya dan sudah diatur oleh-Nya. Berkaitan hal itu, kita sebagai orang utama yang memahami kondisi dan harapan kita sebaiknya berupaya untuk menelusuri apa yang membuat diri kita tidak nyaman, mudah galau, khawatir, takut, dan bahkan memahami apa yang menjadi kebutuhan kita. Jika kita sering fokus terhadap masalah, nanti kita malah sulit memahami diri pribadi. Jadi, ini tergantung pilihan kita antara tetap bertahan dalam masalah atau berusaha sedikit demi sedikit mengurai penyebab dari masalah itu agar nanti mudah menemukan solusi serta merencanakan hal–hal positif yang berguna untuk ke depannya. Psikolog melakukan dialog dalam rangka memberikan penyadaran dan penalaran logis itu untuk mengantisipasi pasien berbicara yang tidak senyatanya atau di luar kendalinya hingga menyulitkan dirinya mendapatkan penyelesaian namun menguncinya dengan masalah. 226 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik 7. Dikuatkan dengan ayat–ayat Alquran atau Hadits Setelah psikolog dan pasien melakukan dialog secara sehat, psikolog memaparkan ayat–ayat Alquran atau hadits yang sesuai masalah pasien dan pelajaran–pelajaran yang bisa diambil dari ayat atau hadits tersebut. Penjelasan ayat atau hadits ini dilakukan setelah pasien menemukan insight (pencerahan). Di samping menambah keyakinan pasien kepada Allah Swt., penyampaian ayat Alquran juga memberikan kesadaran dan semangat hidup bahwa tidak selamanya masalah mengakar pada diri seseorang. Penyampaian ayat Alquran juga bertujuan menyadarkan pasien bahwa Allah Swt. senantiasa memberikan kemudahan dan kenikmatan di balik kesulitan. Selain itu, pasien tidak perlu takut yang berlebihan karena Allah Swt. senantiasa membimbing dan mengarahkan kita jika kita mau berusaha khususnya ikhtiar mencari solusi. 8. Menanyakan kembali tingkatan/level masalah antara 0 – 10 Setelah melewati beberapa tahap di atas, saatnya psikolog untuk menanyakan kembali level masalah pasien. Penyampaian level atau tingkat masalah ini merupakan suatu keharusan bagi pasien sebagai bukti masalah pasien benar–benar terpecahkan atau belum. Selain itu, tahap ini memang sangat urgen dan sebagai bukti kepuasan pasien dalam layanan konseling. Apabila ada hal–hal yang masih mengganjal dalam diri pasien dan masalah belum teratasi, maka psikolog melakukan dialog konseling kembali dengan metode penyadaran dan penalaran logis secara tuntas. Dialog konseling kembali ini dilakukan sampai pasien menemukan insight (pencerahan) dan dia juga merasa lega (tidak ada beban). 9. Berpamitan Tahap ini merupakan tahap akhir dari konseling dan merupakan suatu keharusan bagi setiap pembina konseling untuk selalu bersikap sopan. Jika pertemuan diawali dengan salam, maka ketika berpamitan juga diakhiri salam. Selain ucapan salam, psikolog juga menyampaikan – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 227 permohonan maaf atas segala khilaf maupun kesalahan yang tidak sengaja selama proses konseling. Hal ini dilakukan untuk memberikan kelonggaran hati kepada psikolog maupun pasien. Selain itu, berpamitan sebagai upaya menjaga image profil seorang psikolog yang menjadi teladan, khususnya bagi pasien dan keluarganya, serta civitas rumah sakit yang memiliki kepribadian dan tata krama yang baik. V. KESIMPULAN Berdasarkan uraian terdahulu beberapa kesimpulan bisa dirumuskan, yaitu: 1. Model hipotetik konseling Islami dengan teknik scaling question merupakan model konseling Islami yang telah mengalami penambahan teknik (kolaborasi teknik) dan kedua teknik tersebut saling mendukung serta melengkapi yakni berupaya mengembalikan manusia pada fitrahnya. Dalam hal ini tentu dibutuhkan niat dan keseriusan untuk kembali pada fitrah (kesucian). Tanpa kedua hal itu maka usaha mereka tidak akan berarti apa-apa dan terasa hampa. 2. Konseling Islami dengan teknik scaling question menempuh sejumlah tahap yang harus dilakukan secara berurutan. Pengabaian terhadap salah satu urutan tersebut dapat mengakibatkan hasil yang cacat dan menghasilkan kesimpulan yang salah. 3. Teknik scaling question sebagai pendukung konseling Islami yang memudahkan pasien bercerita secara terbuka dengan tujuan agar pengecualian masalah yang menghambat dirinya bisa tersampaikan. Selain itu, teknik ini memberikan bukti nyata tentang level masalah dalam indikator ringan, sedang, atau berat yang ditunjukkan sesuai penghayatan emosinya. Saran. Konseli/pasien disarankan untuk berupaya fokus dan memperhatikan setiap perubahan diri yang dirasakan ketika atau setelah mengikuti konseling tersebut. Dalam hal ini diharapkan pasien serius, fokus, dan teliti dalam penghayatan masalah agar keseluruhan masalah yang 228 | Khoirun Nisa Dwi Martina dan Supandi – Konseling Islami dengan Teknik terjadi padanya bisa terungkap semua serta solusi akan mudah didapatkan. Di sisi lain, diperlukan ketelitian dari psikolog maupun pasien serta kerja sama antar keduanya dalam proses konseling. Selain itu, psikolog juga harus teliti dalam melihat perkembangan konseli/pasien misalnya terkait mimik wajah mereka ketika penghayatan masalah dan penyampaian level masalah antara 0 sampai 10. Hal ini dikarenakan, konseli/pasien ada yang kurang memahami permasalahannya dan bahkan malu untuk mengungkapkan keluhannya. DAFTAR PUSTAKA Agustin, Inayah. (2012). Terapi dengan Pendekatan Solution – Focused pada individu yang mengalami Quarterlife Crisis. Tesis Universitas Indonesia (Tidak Diterbitkan). Corey, Gerald. (2009). Teori Praktik Konseling dan Psikoterapi. Cet. 4. Bandung: Refika Aditama. Fathonah. (2011). Penyakit Psikosomatis. Jurnal Kesehatan, 1-3. Gelb, Michael J. & Howell, Kelly. (2015). Optimalisasi Otak. Jakarta: PT.Indeks. Kaharja. (2016). Pengaruh Solution Focus Brief Therapy sebagai Salah Satu Pendekatan Konseling Islami untuk Meningkatkan Self Esteem (Penelitian Eksperimen pada Siswa Mts Negeri Bantul Kota Yogyakarta Tahun Pelajaran 2015/2016). Tesis Pascasarjana Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (Tidak Diterbitkan). Lestari, F.W. (2016). Konseling Singkat Berfokus Solusi dalam Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jurnal Pendidikan, 6. Musfir (ed). (2005). Konseling Terapi. Jakarta : Gema Insani Press. Nirmala, Oktastika Badai. (2004). Terapi Pikiran Bahagia. Jakarta: Emir Cakrawala Islam dan Erlangga. Perry, W. (2010). Dasar-Dasar Teknik Konseling (Edisi Kedua). Yogyakarta : Pustaka Pelajar Safaria, Triantoro & Eka Saputra, Nofrans. (2009). Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi Aksara. – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 229 Spielberger. C. (1966). Anxiety and Behaviour. New York : Academic Press. Sumarwiyah, Zamroni, E., Hidayati, R. (2015). Solution Focused Brief Counseling (SFBC) : Alternatif Pendekatan Dalam Konseling Keluarga. Jurnal Konseling. Vol. 1, No.2, 8. Willis, Sofyan S. (2004). Konseling Individu Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.