ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2018 Editorial Team Editor-In-Chief Imam Mujahid, IAIN Surakarta Editorial Board Kamaruzzaman bin Yusof, Universiti Teknologi Malaysia Waryono Abdul Ghafur, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Moch. Choirul Arif, UIN Sunan Ampel, Surabaya Imas Maesaroh, UIN Sunan Ampel, Surabaya Syakirin Al-Ghazali, IAIN Surakarta Ahmad Hudaya, IAIN Surakarta M. Endy Saputro, IAIN Surakarta Managing Editor Akhmad Anwar Dani, IAIN Surakarta Ahmad Saifuddin, IAIN Surakarta Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi, IAIN Surakarta Alamat Redaksi : Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Surakarta Jl. Pandawa No. 1, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah 57168 Phone : +62 271 - 781516 Fax : +62 271 - 782774 Surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id Laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2018 Daftar Isi Motif Syekhermania Mengakses Video Dakwah Habib Syech Bin Abdul Qodir Assegafs Uwes Fatoni dan Eka Octalia Indah Librianti 1 - 26 Pertobatan Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Di Majelis Asy-Syifa: Studi Deskriptif Bimbingan Sosio-Spiritual Titik Rahayu 27 - 44 Analisis Wacana Kritis Berita “Kematian Terduga Teroris Siyono” Di Harian Solopos Fathan 45 - 72 Analisis Framing Pesan Kesalehan Sosial pada Buku Ungkapan Hikmah Karya Komaruddin Hidayat Muhammad Reza Fansuri dan Fatmawati 73 - 102 Syiar Melalui Syair: Eksistensi Kesenian Tradisional Sebagai Media Dakwah Di Era Budaya Populer Nor Kholis 103 - 125 Peran Masjid dalam Mempersatukan Umat Islam: Studi Kasus Masjid Al-Fatah, Pucangan, Kartasura Syakirin 127 - 148 ANALISIS WACANA KRITIS BERITA “KEMATIAN TERDUGA TERORIS SIYONO” DI HARIAN SOLOPOS DOI : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i1.1088 Fathan Institut Agama Islam Negeri Surakarta Keywords: Critical discourse analysis, SoloPos, terrorist http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh © 2018 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: askha69@gmail.com Abstract Abstrak Critical discourse analysis of Fairclough model is applied to investigate the news of the death of Siyono, the suspected terrorist, in SoloPos newspaper. This research efforts to analyse three levels of analysis are used to criticize the discourse, namely: texts, discourse practice, and sociocultural practice. Based on the result of analysis, it reveal that SoloPos chooses some words that tend to be more neutral in the news. SoloPos has also the independent position in exposing the news without any intervention from other parts. It seems helps to create condusive and peaceful circumstances in Solo in informing the news to the society. Analisis wacana kritis model Fairclough diterapkan untuk menganalisis berita kematian Siyono, tersangka teroris, di koran SoloPos. Penelitian ini berupaya untuk menelaah tiga tingkat analisis dalam analisis wacana kritis, yaitu: teks, praktik diskursus, dan praktik sosiokultural. Berdasarkan hasil analisisnya, dapat diungkapkan bahwa SoloPos memilih beberapa diksi yang cenderung lebih netral dalam berita. SoloPos juga memiliki posisi independen dalam mengekspos berita tanpa intervensi dari bagian lain. Tampaknya membantu menciptakan situasi yang kondusif dan damai di Solo dalam menginformasikan berita kepada masyarakat. Kata kunci: Analisis wacana kritis, SoloPos, teroris Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 46 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita I. PENDAHULUAN Eksistensi atau keberadaan media di tengah-tengah masyarakat memainkan peran yang penting dalam mengonstruksi suatu opini masyarakat terhadap suatu objek. Peran tersebut dimanifestasikan melalui tulisan atau berita yang berasal dari wartawan, reporter, redaktur, kolumnis, pengamat, kritikus, sastrawan dan penulis lainnya dalam bentuk teks. Teks dalam media menyoroti berbagai masalah yang mengisi halaman surat kabar, majalah, atau tabloid atau disiarkan melalui radio dan televisi dalam bentuk penyampaian informasi kepada masyarakat. Media massa sebagai sarana komunikasi dan informasi dapat melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat di akses oleh masyarakat secara massal pula baik dalam bentuk cetak maupun melalui teknologi internet sebagai informasi online. Informasi yang diberikan oleh media sangat memungkinkan dalam mempengaruhi perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat. Media massa adalah institusi pelopor perubahan dalam penyebaran informasi melalui teks yang disampaikan oleh penulisnya karena teks merupakan salah satu bentuk praktek ideologi, bahasa, tulisan, pilihan kata maupun struktur gramatika dipahami sebagai pilihan yang diungkapkan membawa makna ideologi tertentu dalam taraf memenangkan dukungan publik (Eriyanto, 2001). Media dalam posisinya memiliki pengaturan atas agenda yang hendak dimunculkan. Mulai dari pengaturan media agenda, menghubungan perspektif publik melalui public agenda, serta melakukan interaksi dengan pembuat kebijakan sehingga memunculkan policy agenda (Littlejohn dan Foss, 2011). Ketiganya saling berkaitan sekaligus mempengaruhi satu sama lain sehingga menciptakan pengaruh tersendiri bagi masyarakat atas terpaan informasi yang disiarkan. Menanggapi pernyataan di atas, Eriyanto (Nasution & Miswari, 2017) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk bertindak di luar kontrol struktur dan pranata yang ada di sekitarnya. 47 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 Manusia adalah makhluk yang aktif dan kreatif dalam mengembangkan dirinya terhadap rangsangan yang diterimanya sehingga muncul proses bangunan pemikiran dan pemahaman dalam membentuk realitas sosial yang bebas di masyarakat. Lebih lanjut dalam kaitannya, terdapat hubungan khusus antara media, publik, isu, serta elit politik yang berkuasa. Hal ini bertolak dari adanya pandangan bahwa antara sumber pesan, komunikator, serta komunikan, berada dalam situasi dan proses komunikasi yang dinamis. Dalam hal ini, McLeod dan Chaffee (Sendjaja, Rahardjo, Pradekso, & Sunarwinadi, 2014) menyebutnya sebagai teori ko-orientasi yang terfokus pada komunikasi antar anggota masyarakat secara interaktif-dua arah. Singkat kata, setiap manusia memiliki kontrol atas pemikirannya terhadap pemaknaan informasi yang diterima. Namun demikian, adanya proses komunikasi yang dinamis juga turut mempengaruhi bagaimana kekuatan terpaan atas pemaknaan manusia terhadap pesan, tak terkecuali pada realitas sosial yang terkonstruksi di sekelilingnya. Adapun media massa sebagai penyampai informasi kepada masyarakat, salah satunya dapat diwujudkan melalui produk berita. Berita dinyatakan oleh William S. Maulsby dalam Djuroto (2004) dan Nashirudin (2017) sebagai bagian dari penuturan secara benar dan tidak memihak atas fakta, memiliki arti penting dan bersifat baru serta dapat menarik perhatian pembaca. Dalam hal ini, secara sederhana, berita mengandung unsur 5W+1H, yang terdiri dari what, where, when, who, why, dan how (Kusumaningrat dalam Nashirudin, 2017). Mengenai muatan dalam berita, setidaknya terdapat dua kecenderungan mengenai bagaimana berita dimunculkan. Mark Fisherman dalam Eriyanto (2006), yang dikutip Nashirudin (2017), kecenderungan dalam berita merujuk pada adanya seleksi berita yang mengindikasikan bahwa berita diproduksi berdasarkan proses seleksi ataupun pemilihan. Di lain sisi, ada kecenderungan lain yang menjelaskan bahwa berita bukan bermakna diseleksi, melainkan dibentuk dan dikonstruksi oleh wartawan. 48 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita Salah satu prinsip dalam konsep berita adalah objektivitas. Aspek ini mengarah pada seberapa jauh wacana atas fakta sosial identik dengan wacana fakta media (Siregar dalam Mansyur, 2005 dan Nashirudin, 2017). Ini berkaitan dengan posisi berita sebagai konstruksi fakta sosial yang selanjutnya diceritakan. Dengan demikian, tidaklah mustahil apabila sebuah berita pada akhirnya tidak hanya mengandung konstruksi atas wacana fakta sosial, melainkan juga terpaut dengan wacana atas fakta yang dibentuk oleh media berdasarkan fakta sosial di masyarakat. Terkait dengan konstruksi pemikiran atas realitas sosial ini, adanya analisis wacana kritis memfokuskan analisisnya masalah sosial melalui perspektif kritis. (Van Dijk dalam Wodak dan Meyer (Ed), 2001). Lebih lanjut, critical discourse analysis (CDA) merujuk pada sejumlah permasalahan sosial, khususnya peran wacana dalam produksi dan reproduksi dari suatu penyalahgunaan kekuasaan atau dominasi. Teks yang hadir di tengah-tengah masyarakat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik, maupun budaya pada suatu tempat dan waktu. Demikian juga dengan kemunculan berita yang tidak lepas dari pengaruh unsur-unsur tersebut di atas. Merujuk pada salah satu pendapat Marshal McLuhan bahwa medium is the message, yang mengindikasikan bahwa media tidak hanya menjadi penyampai pesan saja, melainkan juga menjadi pesan itu sendiri sehingga konstruksi realitas pada berita media pada akhirnya memang secara dominan melibatkan individu yang ada di dalamnya. Sebut saja dalam proses redaksi, terdapat para jurnalis, editor, dan redaktur, yang secara serta merta bertugas untuk mengelola terbitnya sebuah berita (Nasution & Miswari, 2017). Namun demikian, konstruksi sebuah berita nyatanya tidak hanya berhenti pada bagaimana kemasan media membentuk berita tersebut. Muncul aspek selanjutnya yang kemudian mengarah pada apa yang sebenarnya hendak dimunculkan melalui berita yang disiarkan. Dalam hal ini, aspek wacana yang ada dalam masyarakat merupakan representasi budaya agama, yang dimunculkan dalam pemberitaan untuk menyikapi keadaan sosial yang dihadapi seseorang atau sekelompok orang. 49 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 Wacana yang dimunculkan dalam media pada dasarnya merupakan suatu konstruksi ideologis. Sedikit berbeda dengan konteks framing, adapun pembingkaian media merupakan pendekatan yang berupaya untuk mengetahui perspektif atau cara pandang para wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Ananda, 2017). Sobur (2012) dalam Ananda (2017) menyatakan bahwa analisis ini digunakan untuk menganalisis ideologi media saat mengkonstruksi fakta dengan menonjolkan isu apa yang menarik agar kemasan berita menjadi lebih berkesan guna menggiring interpretasi masyarakat. Di satu sisi, wacana dapat dikatakan lebih bermain dalam konteks makna dan pemaknaan. Wacana memiliki kepentingan terhadap pihak- pihak tertentu, dimana kepentingan tersebut bisa dari pengusaha media cetak maupun praktisi pers. Teks-teks yang diproduksi oleh media tertentu merefleksikan adanya formasi-formasi diskursif. Teks tersebut diproduksi dengan tujuan tertentu demi suatu ketercapaian suatu kepentingan. Menelaah besarnya pengaruh media massa dalam mengonstruksi sebuah wacana, maka gejala tersebut perlu diteliti secara ilmiah. Dalam memproduksi teks, media mempertimbangkan berbagai aspek misalnya tingkat urgensi berita bagi masyarakat, sikap masyarakat terhadap berita di lokal tersebut, dan bagaimana media menempatkan posisinya dalam pemberitaan tersebut. Sebagai gambaran, kota Surakarta atau sering dikenal dengan Solo, sering mendapatkan stigma negatif terkait dengan terorisme yang terjadi di Indonesia. Hal ini terkait dengan adanya tokoh agama yang memiliki santri di kota Solo yang sering dihubungkan dengan teroris yang selama ini menjadi musuh di dunia ini. Dalam keadaan ini, media yang ada di kota Solo yaitu SoloPos, memiliki sikap tersendiri dalam memroduksi teks karena pertimbangan politik, agama, dan budaya yang ada dalam masyarakat Solo. Harian SoloPos memunculkan kasus Siyono yang diduga sebagai teroris pada bulan April 2016 sebanyak 10 kali. Siyono merupakan terduga teroris yang ditembak oleh Densus 88 karena dianggap melawan ketika 50 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita akan ditangkap. Pro dan kontra muncul karena ada lembaga dan keluarga yang mempertanyakan prosedur penangkapan dan kebenaran bahwa Siyono merupakan seorang teroris. Banyaknya teks yang dimunculkan mengindikasikan bahwa berita tersebut menyedot perhatian masyarakat secara luas sehingga dianggap perlu untuk mengulas kasus terduga teroris Siyono tersebut secara lebih mendalam. Hal yang menarik dalam pemroduksian teks yang dilakukan oleh SoloPos adalah bagaimana media ini memposisikan diri sebagai bagian dari lokal Solo namun tetap memertahankan netralitasnya dalam pemberitaan. Teks yang diproduksi oleh media dapat menunjukkan sikap atau posisi media terhadap kondisi sosial, buadaya, dan politik. Penelitian yang dilakukan oleh Ardianto (2012) dengan judul “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat dan Harian Kompas sebagai Public Relations Politik dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi teks Pikiran Rakyat cenderung melakukan branding reputation negatif terhadap Presiden SBY. Sedangkan produksi teks Kompas cenderung melakukan branding reputation positif terhadap Presiden SBY. Konsumsi teks Pikiran Rakyat adalah pembaca mempersepsi sama (negatif) dengan produksi teks yang dibuat oleh Pikiran Rakyat. Konsumsi teks Kompas adalah pembaca berseberangan (negatif) dengan produksi teks yang dibuat oleh Kompas bahwa pemberitaan itu cenderung branding reputation positif Presiden SBY. Sikap dan posisi Koran SoloPos terhadap kasus terduga teroris Siyono yang dimunculkan dalam teks dianalisis menggunakan model analisis wacana kritis Norman Fairclough yang menjelaskan bahwa untuk memahami wacana dan bagaimana wacana itu bekerja, analisis diperlukan untuk menggambarkan bentuk dan fungsi dari teks, cara teks terkait dengan caranya diproduksi dan dikonsumsi, dan hubungan teks dengan masyarakat yang lebih luas dimana teks tersebut terjadi. Teks lebih jauh dianalisis pada level texts, discourse practice, dan sociocultural discourse. Selanjutnya, 51 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 terkait bagaimana cara redaksi menyampaikan berita, dinyatakan memiliki kekhasan dalam aspek kebahasaan maupun pengkonstruksian keadaan sosial yang melingkupi teks. Teks dianalisis secara kritis guna mengetahui representasi ideologi sekaligus menganalisis bagaimana teks tersebut bekerja dalam mengemas kondisi sosial dan budaya yang direpresentasikan oleh koran SoloPos. Terdapat beberapa penelitian dengan menggunakan analisis wacana, misalkan penelitian Lado (2014) yang menganalisis program Mata Najwa “Balada Perda” Di Metrotv; Suciarti (2017) mengenai analisis wacana kritis “Semua Karena Ahok” program Mata Najwa Metrotv; Payuyasa (2017) yang juga menganalisis program Mata Najwa Metrotv tetapi secara umum; Kaldun (2016) yang mengkaji labelisasi radikalisme oleh BNPT dalam situs Islam; Setiawan (2011) yang mengkaji dengan analisis kritis mengenai berita kekerasan gender di surat kabar harian Suara Merdeka; Budiwati (2011) yang menganalisis wacana gender dalam ungkapan berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris; Maghvira (2017) tentang analisis wacana kritis pada pemberitaan Tempo.co tentang kematian Taruna STIP Jakarta; Kusno, Rahmad dan Bety (2017) mengenai analisis wacana kritis pembentukan stereotip pemerintah oleh HTI; Antoni (2013) yang melakukan analisis wacana kritis bedah wacana Pendidikan Kewarganegaraan; Munfarida (2014) yang menuliskan tentang analisis wacana kritis dalam perspektif Fairclough; Noverino (2015) yang melakukan penelitian analisis wacana kritis terhadap bacaan buku anak-anak yang menggunakan dua bahasa; dan Mardikantoro (2014) yang meneliti tentang tajuk anti korupsi dengan analisis wacana kritis. Pada penelitian ini terdapat perbedaan dengan penelitian terdahulu yang sudah disajikan tersebut. Perbedaannya terletak pada berita yang dianalisis dan jenis objek yang dianalisis, yaitu berita tentang kematian Surono pada surat kabar harian SoloPos. Berita dan surat kabar tersebut belum pernah dikaji menggunakan analisis wacana kritis. 52 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita II. METODE PENELITIAN Analisis wacana kritis merupakan salah satu dimensi ilmu yang sangat menarik untuk dikaji karena terkait dengan keadaan sosial, budaya, ideologi, dan hegemoni yang terjadi dalam masyarakat secara nyata. Teks yang diproduksi oleh suatu media dapat memberikan efek secara sosial ketika teks tersebut dikonsumsi oleh pembaca atau pendengar. Data berupa teks mengenai berita kasus kematian terduga teroris Siyono yang dimuat oleh koran pada bulan April 2016 sebanyak 10 kali. Teks tersebut dianalisis dengan menggunakan model analisis wacana kritis Norman Fairclough yang memiliki konsep bahwa untuk memahami wacana dan bagaimana wacana itu bekerja, perlu adanya analisis untuk menggambarkan bentuk dan fungsi dari teks, cara teks terkait dengan caranya diproduksi dan dikonsumsi, serta hubungan teks dengan masyarakat yang lebih luas dimana teks tersebut terjadi. Teks dianalisis pada level texts, discourse practice, dan sociocultural discourse. III. TEORI ANALISIS WACANA KRITIS A. Teks dan Wacana Teks dan konteks merupakan hal yang sentral dalam pengertian wacana (Cook, 1994). Teks adalah bahasa yang berfungsi, yaitu bahasa yang sedang melaksanakan tugasnya dalam konteks situasi tertentu pula (Halliday & Hasan dalam Mulyana, 2005). Teks sering juga disebut sebagai wacana. Ragam teks dapat berupa ragam lisan, tulisan, atau tanda yang diidentifikasi untuk tujuan analisis (Crystal dalam Nunan, 1993). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan pengertian teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas untuk mengekspresikan fungsi atau makna sosial dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Teks juga dapat dinyatakan sebagai peristiwa komunikatif, dimana peristiwa ini harus memuat unsur kohesi, koherensi, intensionalitas, akseptabilitas, informativitas, situasionalitas, dan intertekstualitas (Anggoro & Amin, 2017). Terkait hal ini, adanya unsur eksternal selanjutnya 53 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 memainkan peran penting dalam konteks wacana dalam teks. Lebih jauh, Van Dijk (1977) membatasi konsep wacana ini sebagai teks dan konteks, sekaligus bukti yang harus diuraikan secara empiris, serta bahwa wacana lebih lanjut hendaknya dimaknai sebagai sebuah tindakan (Titscher, Meyer, Wondak, & Vetter, 2009; Anggoro & Amin, 2017). Wacana adalah kelenturan penggunaan bahasa, pengambilan makna dalam konteks untuk pemakainya, dan dirasa bertujuan, bermakna, dan berkaitan (Cook, 1994). Crystal (dalam Nunan, 1993) menyatakan bahwa wacana adalah rentangan yang berkelanjutan (terutama bahasa lisan), yang lebih panjang daripada sebuah kalimat, sering merupakan unit yang koheren, seperti argumen, lelucon atau narasi. Firth (dalam Alex Sobur, 2004) menyatakan bahwa wacana adalah bahasa dan tuturan yang ada dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh sehingga makna suatu bahasa berada pada rangkaian konteks dan situasi. Dapat diartikan bahwa dalam wacana terdapat hubungan antara konteks-konteks yang terdapat di dalam teks. Alex Sobur menjelaskan bahwa wacana adalah semua ujaran atau teks yang mempunyai makna serta efek dalam dunia nyata. Weber (Leeuwen, 2008) menjelaskan adanya rasionalisasi sebagai bentuk organisasi sosial, dimana sebuah aksi sosial tertentu tidak hanya berhenti pada makna, nilai, dan kepercayaan, melainkan juga mengarah pada strategi tertentu yang mendasarinya. Tidak hanya berbicara mengenai benar atau salah atas sebuah makna, tetapi juga merujuk pada dasar dan tujuan apa yang akan dicapai dengan makna yang dimunculkan. Berdasarkan pernyataan ini, Leeuwen (2008) memaparkan bahwa wacana dapat merupakan rekontekstualisasi dari sebuah praktis sosial, dimana harus dapat dibedakan secara tegas antara representasi praktis sosial dan praktis sosial itu sendiri. Sebagai sebuah proses kognisi sosial, wacana dalam hal ini secara khusus berupaya untuk mengetahui bagaimana praktis sosial dilakukan, bagaimana praktis ini ada, serta bagaimana praktis ini digunakan sebagai sumber untuk merepresentasikan sesuatu melalui teks. 54 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita Dinyatakan bahwa analisis mengenai teks adalah bagian dari analisis wacana. Namun demikian, analisis wacana tidak serta merta hanya merupakan analisis teks secara linguistik saja. Analisis wacana “bergerak” antara fokus analisis teks dengan apa yang disebut sebagai wacana, yang secara relatif bersifat sosial, berstruktur, serta terhubung dengan praktis sosial (Fairclough, 2003). Wacana secara bersama dimaknai sebagai teks dan konteks. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi (Eriyanto, 2001). Johnstone (2002) menulis bahwa para penganalisis wacana menyatakan bahwa wacana biasanya berarti kejadian aktual dari suatu komunikasi dalam media bahasa. Komunikasi sendiri dapat melibatkan media lain selain bahasa. Dari berbagai pengertian yang telah dinyatakan oleh para ahli bahasa, wacana adalah teks dan konteks yang dimaknai secara bersama- sama. Hal ini seperti apa yang dinyatakan oleh Eriyanto. Teks dan konteks dapat menggambarkan suatu proses komunikasi. Dapat dikatakan bahwa suatu teks muncul karena adanya konteks situasi dan konteks kultural di dalamnya. Dengan demikian kepaduan suatu wacana dapat dikaji dari kedua unsur tersebut. Dalam penelitian ini, pemilihan teks difokuskan pada pemberitaan kasus kematian terduga teroris Siyono yang ditembak oleh Densus 88 yang diterbitkan oleh koran SoloPos pada bulan April 2016. Lebih jelas, terdapat 10 pemberitaan mengenai kasus kematian terduga teroris Siyono dalam periode tersebut. Koran SoloPos memunculkan berita kematian terduga teroris Siyono dengan mengambil isu berita dari pihak pemerintah (Wantimpres dan POLRI), LSM (Kontras), Ormas keagamaan (Muhammadiyah), dan keluarga (Ayah dan Kakak Siyono). Hal tersebut menunjukkan bahwa SoloPos menunjukkan netralitas berita dengan mengambil beberapa sumber yang pro dan kontra dengan kasus kematian dan penembakan terhadap terduga teroris Siyono yang dilakukan oleh Densus 88. Masing- 55 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 masing pihak memiliki argumen untuk menguatkan pendapatnya terhadap penembakan terhadap Siyono tersebut. Teks-teks yang dimuat pada koran Solo Pos dengan tema kematian terduga teroris Siyono pada bulan April 2016 tersebut dianalisis dengan menggunakan model analisis wacana kritis Norman Fairclough. Nunan (1993) menyatakan bahwa analisis wacana melibatkan kajian bahasa dalam penggunaannya. Tujuan utama dari analisis wacana adalah untuk menunjukkan dan menginterpretasikan hubungan antara regularitas dan makna serta tujuan yang diekspresikan melalui wacana. Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari semantik karena semantik adalah kerangka analisis wacana. Van Dijk dalam Alex Sobur (2004) memberikan pengertian semantik sebagai makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks (makna yang eksplisit ataupun implisit). Semantik mendefinisikan bagian yang penting dari struktur wacana dan menggiring kearah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Halliday & Hasan dalam Cohesion in English (1976) menyatakan bahwa suatu teks tidak dapat dievaluasi tanpa mengetahui sesuatu tentang konteks situasi. Petunjuk-petunjuk linguistik dan situasi digunakan dalam mengkaji suatu teks. Secara linguistik, fitur-fitur yang terikat dalam teks, pola hubungan, ketergantungan secara struktur, yang mengacu pada kohesi akan direspon. Secara situasi, semua pengetahuan tentang lingkungan: apa yang terjadi, bagian apa dari bahasa yang berperan, dan siapa yang terlibat juga dipertimbangkan (Halliday & Hasan, 1976). Syafi’ie (Alex Sobur, 2004) mendefinisikan konteks sosial (social context) adalah relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar. Dalam studi wacana, aspek-aspek kebahasaan sering disebut dengan istilah aspek internal dan aspek situasi disebut aspek eksternal. Halliday & 56 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita Hasan (1976) juga menambahkan bahwa ketika membuat suatu penilaian terhadap suatu wacana, peneliti bahasa terikat untuk membuat observasi pada dua perhatian. Yang pertama adalah hubungan dalam bahasa, yaitu pola makna yang direalisasikan oleh tata bahasa dan kosakata. Kedua, hubungan antara bahasa dan fitur-fitur yang relevan dengan materi pembicara (penutur) dan pendengar (mitra tutur) serta lingkungan sosial dan ideologi penutur dan mitra tutur. Van Dijk (1985) menyatakan bahwa wacana khususnya dalam media terdapat fitur-fitur konteks, yaitu dalam produksi dan resepsi sebagaimana dalam situasi sosial dan budaya. Kebanyakan hasil karya media massa memasukkan dimensi sosial dalam proses komunikasi. Jacobs dalam Littlejohn (1999) menuliskan bahwa ada tiga jenis masalah yang ditangani dalam Analisis Wacana. Pertama, masalah makna (problem of meaning). Dalam masalah makna, hal yang penting untuk diketahui adalah bagaimana seseorang memahami pesan. Dalam hal ini, informasi apa yang ada dalam suatu struktur pernyataan, ada sesuatu yang membuat orang lain memahami makna pernyataan tersebut. Kedua, analisis wacana adalah masalah tindakan, atau mengetahui bagaimana mendapatkan sesuatu yang dilakukan melalui percakapan. Kita memiliki pilihan ketika kita ingin melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, meminta, atau menyapa. Di sinilah seseorang menentukan bagaimana seseorang menyatakan sesuatu. Ketiga, masalah koherensi, yang menggambarkan bagaimana membuat pola percakapan itu masuk akal. Untuk membuat suatu pernyataan dipahami orang lain, dan mempengaruhi keberlangsungan suatu percakapan, maka ada pengetahuan yang diketahui bersama oleh penutur dan mitra tutur sehingga komunikasi terjadi secara logis. B. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis atau CDA) Analisis wacana kritis mengambil minat tertentu dalam hubungan antara bahasa dan kekuasaan. Istilah ‘CDA’ saat ini digunakan untuk mengacu secara lebih spesifik pada aliran pendekatan linguistik kritis 57 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 yang menemukan unit diskursif dari teks sebagai unit dasar komunikasi (Anthonissen dalam Weiss & Wodak (Ed), 2003). Kajian ini secara khusus mempertimbangkan lebih kurang hubungan dari perjuangan dan konflik dalam semua ranah (Weiss & Wodak (Ed), 2003). Akar dari CDA terletak pada retorik, teks-linguistik dan sosiolinguistik, sebagaimana dalam linguistik terapan dan pragmatik. Pengertian dari ideologi, kekuasaan, hirarki, gender dan variabel sosiologi dilihat sebagai sesuatu yang relevan untuk suatu interpretasi atau penjelasan dari suatu teks. Subjek-subjek dalam investigasi tersebut berbeda berbeda untuk setiap aliran yang mengaplikasikan CDA untuk diskusi yang yang lebih luas pada perkembangan dan karakteristik CDA (Wodak dalam Weiss & Wodak (Ed), 2003). Isu gender, isu rasisme, wacana media, wacana politik, wacana organisasi atau dimensi kajian identitas menjadi sangat penting (Weiss & Wodak (Ed), 2003). CDA dalam analisisnya berupaya untuk memperluaskan tradisi kritis, terutama dalam analisis wacana. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa CDA merupakan perpanjangan dari tradisi kritis dalam konteks kajian isi media, terutama sebagai perluasan dari analisis wacana, terutama mengenai bagaimana bahasa memiliki fungsi sosial dalam mengkonstruksi sebuah realitas. Dalam pemahamannya, CDA juga berupaya untuk menjembatani adanya relasi antara wacana dalam teks dengan konteks sosial yang melingkupinya, termasuk yang berkenaan dengan power, institusi sosial, ideologi, organisasi, maupun identitas sosial (Fairclough & Fairclough, 2012). Mendukung pemaparan di atas, Tischer et al dalam Wodak dalam Richardson (2007) menyimpulkan prinsip umum CDA sebagai berikut: 1. CDA terkait dengan masalah sosial. CDA tidak terkait dengan bahasa atau penggunaan bahasa, tetapi dengan karakter kebahasaan dari konteks sosial dan proses serta struktur budaya. 2. Hubungan kekuasaan terkait dengan wacana, dan CDA mengkaji baik kuasa dalam wacana maupun kuasa terhadap wacana. 58 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita 3. Masyarakat dan budaya dibentuk oleh wacana, dan pada saat yang bersamaan membentuk wacana. Setiap bahasa yang digunakan mereproduksi atau menranformasi masyarakat dan budaya, termasuk hubungan kuasa. 4. Penggunaan bahasa memungkinkan bersifat ideologis. Untuk mengujinya, penting untuk menganalisis teks untuk menginvestigasi interpretasi, resepsi, dan efek sosial. 5. Wacana adalah bersifat historis dan hanya dapat dipahami dalam hubungannya dalam konteks. Dalam level metateori sesuai dengan pendekatan Wittgenstein, sesuai dengan makna suatu tuturan dalam penggunaannya dalam situasi tertentu. 6. Analisis wacana adalah interpretatif dan eksplanatoris. Analisis kritis menyiratkan metodologi yang sistematis dan hubungan antara teks dan kondisi sosial, ideologi dan hubungan kuasa. Terdapat beberapa istilah yang menjadi kajian yaitu kuasa sosial, ideologi, dan hegemoni. Kuasa sosial dalam kajian politis dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dibuat untuk mengkaji capaian tertentu agar dapat memantapkan siapa yang sebenarnya memenangkan dalam membuat keputusan dalam masyarakat (Polsby & Lukes dalam Richardson, 2007). Ideologi dipahami tidak hanya sebagai sistem gagasan dari kepercayaan tetapi cara berpikir yang secara historis bersifat eksploitatif dari organisasi sosial direpresentasikan, yakni sifatnya abadi, natural, dan rasional (Jones dalam Richardson, 2007). Hegemoni dideskripsikan sebagai prosess kelas atau kelompok yang mengatur dan mampu mempengaruhi kelas atau kelompok yang lain untuk menerima peraturannya dan posisi kelas bawahnya. Dalam hal ini, hegemoni adalah kondisi dimana yang diatur atau diperintah menerima atau menyetujui dalam suatu kekuasaan tanpa keinginan untuk menerapkan kekuatan (Cox dalam Richardson, 2007). CDA berupaya untuk menguraikan lebih jauh mengenai proses, perubahan, serta praktis sosial melalui tindakan wacana dalam hubungan dialektis atas setiap bagiannya. Adanya pengembangan secara teoritis pada 59 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 CDA, segi metodis, dan agenda, CDA melalui dialog transdisipliner mampu memunculkan integrasi koherensi dalam wacana yang dimunculkan, termasuk pula kaitannya dengan analisis teks dalam pandangan teori sosial dan penelitian. Selain itu, pengembangan dari teori wacana ini, secara sederhana juga menjadi cara yang konsisten dalam menonjolkan pandangan dialektis terhadap realitas sosial yang ada (Wodak, 2001). Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa CDA bertujuan untuk mengilustrasikan hubungan antara teks dan kondisi sosialnya, ideologi dan hubungan kuasa. Penggunaan bahasa dibentuk oleh masyarakat dan berjalan untuk mereproduksi penggunaan bahasa tersebut. C. Analisis Wacana Kritis Metode Fairclough Fairclough membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya sehingga ia mengombinasikan tradisi analisis tekstual yang selalu melihat dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Fairclough melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan (Eriyanto, 2001). Dalam CDA terjadi proses sirkular yaitu praktik sosial yang memengaruhi teks, melalui pembentukan konteks dimana mereka diproduksi, dan sebaliknya teks membantu memengaruhi masyarakat melalui pembentukan sudut pandang bagi mereka yang membacanya atau mengonsumsinya (Richardson, 2007). CDA model Fairclough memiliki tiga aspek analisis, yakni textual analysis, discursive practices, dan social practices. 1. Textual Analysis Fairclough (1995) menyatakan bahwa analisis tekstual dilihat sebagai pelibatan dua bentuk analisis yang berbeda: analisis linguistik dan analilisis intertekstualitas. Mengambil dari pernyataan Fairclough, Richardson (2007) menyatakan bahwa analisis tekstual melibatkan analisis dari cara praanggapan dibangun dan cara praanggapan dikombinasi dan diurutkan. 60 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita 2. Discursive Practices Dimensi discursive practices dalam peristiwa komunikatif melibatkan bermacam aspek dan proses produksi teks dan konsumsi teks. Aspek ini lebih pada aspek karakter institusional, proses wacana dalam makna yang lebih sempit adalah decoding teks yang dilakukan oleh pembaca atau penonton (Richardson, 2007). Tahap discursive practices lebih bersifat analisis wacana daripada analisis tekstual. Analisis wacana ini melibatkan antara analisis teks yang dihubungkan dengan kondisi sosial dalam produksi dan konsumsi teks. 3. Social practices Fairclough dalam Richarson (2007) menyatakan gagasannya bahwa CDA harus melibatkan analisis sosiokultural suatu teks atau social dan budaya yang sedang terjadi dimana peristiwa kominakatif adalah bagian dari kondisi tersebut. Intinya, CDA melibatkan suatu analisis bagaimana wacana (bahasa yang digunakan) saling berhubungan dan penyiratan dalam reproduksi hubungan sosial – khususnya ketidakadilan, hubungan kuasa yang diskriminatif. Analisis tetap menjaga detil dari analisis tekstual dan analisis wacana. Eriyanto (2001) mengulas model analisis wacana kritis dalam tiga dimensi: texts, discourse practice, dan sociocultural practice. 1. Texts Dengan model ini, teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Fairclough juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Tujuannya adalah untuk melihat tiga masalah: a) Representasi: bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. b) Relasi: bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. 61 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 c) Identitas: bagaimana idemtitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dalam dan digambarkan dalam teks. d) Discourse practice Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita dihasilkan lewat proses produksi teks yang berbeda. Proses konsumsi teks bisa juga berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula. Menurut Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks (di pihak khalayak). 2. Sociocultural practice Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Menurut Fairclough, hubungan antara teks dengan sociocultural practice harus dijembatani oleh discourse practice. Lebih lanjut Fairclogh membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional, dan sosial. a) Situasional merupakan konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi diantaranya memerhatikan aspek situasional ketika teks diproduksi. Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas, unik, sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. Jika wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu adalah upaya untuk merespons situasi atau konteks social tertentu. b) Institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita. c) Sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Fairclough menyatakan bahwa wacana yang muncul 62 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita di media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Aspek sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. IV. PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian CDA dalam teks “Kematian Terduga Teroris Siyono” di Harian SoloPos Pemakaian bahasa dalam pemberitaan “Kematian Terduga Teroris Siyono” di harian SoloPos merepresentasikan tema dan tokoh melalui pemilihan diksi dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Selama periode bulan April 2016, SoloPos memuat berita “Kematian Terduga Teroris Siyono” sebanyak 10 kali, atau selama kurun waktu 10 hari, dalam bentuk headline berita sebagai berikut : 1. Wantimpres Minta Densus 88 Transparan (1 April 2016) 2. Kontras : Banyak Pelanggaran HAM (2 April 2016) 3. Densus Tak Kebal Hukum (4 April 2016) 4. Kapolri Dukung Advokasi Muhammadiyah soal Siyono (5 April 2016) 5. Muhammadiyah Sebut Pernyataan Polri Janggal (6 April 2016 ) 6. Kapolri : Perlu Rekonstruksi Kematian Siyono (7 April 2016) 7. Advokasi Siyono Tak Berarti Bela Teroris (8 April 2016) 8. Siyono Tidak Melawan(12 April 2016) 9. Kematian Siyono Jadi Acuan Revisi UU Terorisme (13 April 2016) 10. Ayah dan Kakak Siyono Diperiksa 3 jam (14 April 2016) Judul berita yang di pakai untuk menggambarkan peristiwa Kematian terduga Teroris Siyono, SoloPos menyebutkan 6 (enam) kata “Siyono“ yang memiliki makna bahwa berita yang sedang di muat di harian ini menitikberatkan perhatian terhadap seseorang yang bernama “Siyono”. Tidak ada satupun judul teks yang menuliskan “Siyono” sebagai “terduga teroris“. Dari sepuluh judul berita tersebut, SoloPos ingin memberikan 63 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 gambaran utuh kepada pembaca bagaimana peristiwa terjadi dari awal sampai pada pencarian bukti dan saksi untuk proses persidangan. Hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam penulisan berita adalah pemilihan diksi atau kata. Pilihan diksi pada berita selama pemuatan kasus “Siyono” dapat di golongkan menjadi 3 bagian : pertama, berkaitan dengan peristilahan terorisme, Kedua, berkaitan dengan istilah prosesnya, Ketiga, sebutan dari korban. Pertama, SoloPos cenderung memvariasikan istilah terorisme dengan militansi, radikalisme. Ketiga diksi tersebut memberikan makna bahwa ada penjenjangan proses untuk menyebut seseorang itu sampai pada kategori terorisme. Militansi mempunyai makna cenderung positif, kata ini jika di kaitkan dengan sebuah sikap atau pilihan maka orang akan memilih kata militan sebagai wujud dari sikap positifnya. Kata kedua, radikalisme, maknanya berpotensi pada sisi negatif, artinya penggunaan kata ini akan memperlihatkan bahwa seseorang atau kelompok yang di beri kata radikal, mempunyai sikap yang keras. Terorisme, pilihan kata ini makna nya negatif dank keras. SoloPos memilih diksi ini sebagai gambaran atas faham seseorang atau kelompok bahkan Negara. Kedua, kategori pemilihan istilah proses, seperti penangkapan, penyergapan, penggerebegan, pemberantasan. Kata penangkapan mempunyai makna netral dibandingkan kata penyergapan yang cenderung berkonotasi negatif, dan kata penyergapan lebih sering dan lazim di gunakan untuk mengilustrasikan memakan mangsa bagi binatang. Kata penggerebegan juga memiliki konotasi negatif karena kata ini biasa di gunakan pihak kepolisian dalam menangkap seseorang atau kelompok yang sudah lama menjadi target operasinya. Makna kata pemberantasan, lebih bersifat massal dan berkonotasi negatif. Pilihan kata ini merupakan tahap akhir dari sebuah usaha. Ketiga, kategori sebutan korban seperti terduga teroris, tersangka teroris, pelaku teroris. Ketiga diksi ini, merupakan tahapan seseorang dihadapan kaidah hukum. Diksi terduga, dimaknai seseorang 64 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita yang masih belum lengkap bukti sebagai pelaku dalam sebuah peristiwa. Sementara istilah tersangka diberikan kepada seseorang dengan memiliki kekuatan hukum atas perbuatannya. Kata tersangka merupakan tahapan proses setelah terduga dengan disertai dua alat bukti. Selanjutnya pelaku merupakan diksi yang mengandung makna sama dengan tersangka. Ketiga diksi tersebut biasa dimaknai sesuatu yang bersifat netral karena digunakan dalam bahasa hukum. Analisis wacana kritis dalam Fairclough menggunakan sumber berita sebagai basis analisis teks. Dalam menyuarakan inspirasi akurasi dan netralitasnya, menggunakan kutipan langsung tokoh yang menjadi narasumber. Dalam muatan teksnya, cenderung lebih banyak memuat kutipan dari berbagai pihak baik non pemerintah maupun dari pihak Polri sebagai lembaga pemerintah yang menangani kasus terorisme di Indonesia. Kutipan-kutipan tersebut antara lain: 1. “Secara hukum saya selalu mengingatkan BNPT dan Kepolisian agar tidak over dalam menangani terorisme, karena kalau over akan memperkuat militansi mereka”(KH. Hasyim Muzadi, anggota Wantimpres). 5. Ini perlu ditindaklanjuti apa yang jadi penyebab almarhum Siyono, karena baru terduga teroris (Putri Kanesia, aktivis Kontras). 8. Kita setuju bergerak bersama-sama menangani radikalisme dan terorisme, tetapi jangan melanggar HAM (Hafid Abbas, Komisioner Komnas HAM) 25. “Kasus Siyono ini salah satu yang menjadi bahan evaluasi saat membahas RUU terorisme” (Martin Hutabarat, anggota komisi III) 26. Polri harus transparan dalam menjelaskan kematian Siyono yang masih berstatus terduga teroris (Desmond J Mahesa, Wakil ketua Komisi III) 65 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 Dari beberapa contoh diatas terlihat bahwa, SoloPos memilih narasumber yang lebih bervariasi untuk menjaga netralitas beritanya. Namun, ada kecenderungan lebih memihak kepada pihak yang menuntut adanya transparansi dan advokasi terhadap kasus Siyono dalam pemberitaanya sebagaimana adanya kutipan pernyataan dari KH. Hasyim Muzadi (Anggota Wantimpres), Putri Kanesia (Aktivis Kontras), Hafid Abbas (Komisioner Komnas HAM), Martin Hutabarat dan Desmon J Mahesa (Komisi III DPR RI). Dengan model ini, teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Fairclough juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Tujuannya adalah untuk melihat tiga masalah: 1. Representasi: bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. 2. Relasi: bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. 3. Identitas: bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dalam dan digambarkan dalam teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek kebahasaan teks, pemilihan sumber dalam kutipan langsung yang di gunakan media telah menempatkan tema pemberitaan kematian terduga teroris Siyono sebagai wacana masyarakat dalam menyikapi kasus tersebut. Keterlibatan sumber berita yang dikutip cenderung akses langsung dari Mabes Polri untuk klarifikasi berita, jarang menggunakan aparat kepolisian di tingkat bawahnya. Hal tersebut disebabkan karena untuk kasus-kasus terorisme kewenangan memberi keterangan hanya di tingkat Mabes. Level kedua dalam CDA Fairclough yaitu discourse practice pemberitaan “Kematian Terduga Teroris Siyono” di . Surat kabar harian umum SoloPos diterbitkan pada tahun 1997. Peristiwa Mei 1998 dengan lengsernya presiden Suharto menimbulkan tragedi yang diwarnai dengan 66 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita tindakan brutal dan anarkis di Surakarta. SoloPos menjadi satu-satunya surat kabar di Surakarta yang mendapatkan keberuntungan dari peristiwa tersebut karena masyarakat Surakarta saat itu sangat menunggu berita tentang tergedi Mei khususnya di Wilayah Surakarta yang dapat diperoleh beritanya dari harian ini. Berbeda dengan sebagian koran-koran daerah lainya yang biasanya mengklaim sebagai Koran nasional yang terbit di daerah, SoloPos justru menempatkan diri sebagai Koran daerah yang terbit di daerah, karena SoloPos melihat peluang kota Solo, sebagai salah satu ikon kota batik, kota berbudaya dan sebagainya, inilah yang menjadikan SoloPos bersama Pemkot Surakarta berniat menjadi Solo sebagai pusatnya pulai Jawa The spirit of Java. Visi yang diemban harian SoloPos adalah sebagai penyaji informasi utama, terpercaya dengan pengelolaan usaha yang profesional. Sebagai penyaji informasi utama, SoloPos menjadi koran yang pertama di daerah Surakarta yang selalu menyajikan berita yang pertama di masyarakat Solo Raya. Terpercaya adalah berita atau informasi yang di sampaikan dapat di percaya, SoloPos sebagai penyampai informasi yang selalu menggunakan format check dan re-check. Profesional bermakna bahwa dalam setiap usaha yang di jalankan, SoloPos memenuhi kode etik jurnalistik dalam bekerja dan memenuhi standar kompetensi kewartawanan. Sebagai media terbesar di daerah Surakarta dan mendapat apresiasi masyarakat maka SoloPos mempunyai potensi untuk mempengaruhi opini masyarakat Surakarta khususnya. Sejalan dengan visi Koran SoloPos, penyaji informasi utama dalam kasus kematian terduga teroris Siyono, Koran ini memberitakan informasi secara cepat dan berimbang, antara kubu non pemerintah maupun kubu pemerintah, meskipun dari sisi produksi berita tidak menjadikan kasus tersebut menjadi opini redaksionalnya. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita dihasilkan lewat proses produksi teks yang berbeda. Proses konsumsi teks bisa juga berbeda 67 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 dalam konteks sosial yang berbeda pula. Menurut Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks (di pihak khalayak). Pada tataran discourse practice, sistem produksi berita dari SoloPos memiliki independensi dalam membuat berita, tidak ada intervensi pemilik modal yang secara langsung mempengaruhi pemberitaan kasus tersebut. Asas praduga tak bersalah dan check and recheck menjadi pedoman wartawan dalam menggali berita tersebut. Level ketiga CDA Fairclough adalah sosiocultural practice. Kematian Terduga Teroris Siyono merupakan peristiwa yang memang menjadi perhatian publik khususnya. Terlebih lagi, Surakarta memiliki lokasi yang cukup dekat dengan tempat kejadian. Dalam kasus ini, Densus 88 adalah lembaga yang memang mempunyai tugas dan wewenang khusus untuk menangani masalah terorisme. Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Menurut Fairclough, hubungan antara teks dengan sociocultural practice harus dijembatani oleh discourse practice. Lebih lanjut Fairclogh membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional, dan sosial. Tataran praktik sosiocultural, media SoloPos cenderung mengedepankan kondisi aman dan damai karena sosial politik wilayah Solo Raya memang sering diguncang kasus-kasus terorisme. SoloPos lebih memilih menerapkan fungsi kontrol sosial atas pemberitaan yang dipilihnya. Harian ini tidak menjadikan kasus kematian terduga teroris ini sebagia opini media, akan tetapi tetap mengikuti proses kasus tersebut sampai tuntas. 68 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita V. KESIMPULAN Analisis wacana kritis dengan menggunakan metode Fairclough meliputi tiga ranah yaitu aspek texts, sociocultural practice, dan sosiocultural practice. Pemilihan sumber dalam kutipan langsung yang di gunakan media telah menempatkan tema pemberitaan kematian terduga teroris Siyono sebagai wacana masyarakat dalam menyikapi kasus tersebut. SoloPos memilih bersikap netral dalam penyampaian berita kematian terduga teroris Siyono dengan memilih diksi yang cenderung tidak memiliki konotasi negatif maupun positif. Lalu tataran discourse practice, sistem produksi berita memiliki kebebasan dalam proses produksi berita dan tidak ada intervensi pemilik modal secara langsung mempengaruhi pemberitaan kasus tersebut. Pada tataran sosiocultural practice, media SoloPos mengedepankan keadaan yang tetap terkontrol, aman dan damai di wilayah sosial politik Solo Raya. SoloPos lebih memilih menerapkan fungsi kontrol sosial atas pemberitaan yang dipilihnya dan tidak menjadikan kasus kematian terduga teroris ini sebagai opini media melainkan mengikuti proses kasus tersebut sampai tuntas. Lebih lanjut, secara praktis pihak SoloPos disarankan mempertahankan fungsinya sebagai media kontrol sosial yang netral sehingga aspek objektivitas media tetap terjaga dalam setiap proses pemberitaannya. DAFTAR PUSTAKA Ananda, P. I. (2017). “World Muslimah Sebagai Budaya Populer dalam Bingkai Media Online Islam”. al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 2 No. 2 Tahun 2017. DOI : 10.22515/balagh. v2i2.983. Diakses tanggal 28 Mei 2018. Anggoro, D. A. & Wan Abd. Aziz bin Wan Mohd, A. (2017). “Pengembangan Model Teun Van Dijk: Analisis Wacana Pemberitaan Pilkada Jakarta di Media Indonesia.com pada bulan Oktober”. Prosiding Komunikasi Berkemajuan dalam Dinamika Media dan Budaya. Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah 69 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 (APIK PTM) dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Halaman 295-309. Yogyakarta: Buku Litera. Antoni, C. (2013). Analisis Wacana Kritis Bedah Wacana Pendidikan Kewarganegaraan. Linguistika Kultura, Vol. 7, No. 1, Juli 2013, 44- 53. Ardianto, E. (2012). “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat dan Harian Kompas sebagai Public Relations Politik dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)”. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.2 No.1 April 2012. Budiwati, T. R. (2011). Representasi Wacana Gender Dalam Ungkapan Berbahasa Indonesia Dan Bahasa Inggris: Analisis Wacana Kritis. KAWISTARA Vol. 1, No. 3, 22 Desember 2011, 213-320. Cook, G. (1994). Discourse and Literature: The Interplay of Form and Mind. Oxford: Oxford University Press. Eriyanto. (2005). Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis. Fairclough, I. & Fairclough, N. (2012). Political Discourse Analysis: A Method for Advanced Student. New York: Routledge. Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language. London and New York: Longman. Fairclough, N. (2003). Analysing Discourse Textual Analysis for Social Research Norman Fairclough. New York: Routledge. Halliday, M.A.K. & Hasan, R. (1976). Cohesion in English. London: Longman Group Ltd. Johnstone, B. (2002). Discourse Analysis. Massachusetts: Blackwell Publishers Inc. Kaldun, K. (2016). Kajian Wacana Kritis Pada Labelisasi Radikalisme Oleh BNPT Dalam Situs Islam. Jurnal Retorika Vol. 2 No. 2 Oktober 2016, 271-292. Kusno, A., Rahmad, A., & Bety, N. (2017). Analisis Wacana Kritis Pembentukan Stereotip Pemerintah Oleh HTI. Jurnal BAHASA DAN SENI, Tahun 45, No. 2, Agustus 2017, 143-154. Lado, C. R. (2014). Analisis Wacana Kritis Program Mata Najwa “Balada Perda” Di Metrotv. Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Surabaya Vol. 2 No. 2 Tahun 2014, 2-12. 70 Fathan – Analisis Wacana Kritis Berita Leeuwen, T. V. (2008). Discourse and Practice New Tools for Critical Discourse Analysis. New York: Oxford University Press. Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2011). Theories of Human Communication 10th Edition. Long Grove: Waveland Press Inc. Littlejohn, S. W. (1999). Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth Publishing Company. Maghvira, G. (2017). Analisis Wacana Kritis Pada Pemberitaan Tempo. co Tentang Kematian Taruna STIP Jakarta. Jurnal THE MESSENGER, Vol. 9, No. 2, Edisi Juli 2017, 120-130. Mardikantoro, H. B. (2014). Analisis Wacana Kritis Pada Tajuk (Anti) Korupsi Di Surat Kabar Berbahasa Indonesia. LITERA Vol. 13, No. 2, Oktober 2014, 215-225. Mulyana. (2005). Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. Munfarida, E. (2014). Analisis Wacana Kritis Dalam Peprspektif Norman Fairclough. Komunika Vol. 8, No. 1, Januari - Juni 2014, 1-19. Nasution, I. F. A. & Miswari. “Islam Agama Teror? Analisis Pembingkaian Berita Media Online Kompas.com dalam kasus Charlie Hebdo”. al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 2 No. 1. Tahun 2017. DOI : 10.22515/balagh.v2i1.753. Noverino, R. (2015). A Bathtub Of Popcorn: Kajian Analisis Wacana Kritis Buku Cerita Anak Dwi Bahasa. UNS Journal of Language Studies Vol. 4, No. 1, April 2015, 41-55. Nunan, D. (1993). Introducing Discourse Analysis. London: Penguin Group. P., Achmad Nashrudin. (2017). “Positioning Radar Banten dalam Mengkonstruksi Pilkada Banten 2017. Prosiding Komunikasi Berkemajuan dalam Dinamika Media dan Budaya. Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APIK PTM) dan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Halaman 229-265. Yogyakarta: Buku Litera. Payuyasa, I. N. (2017). Analisis Wacana Kritis Model Van Dijk Dalam Program Mata Najwa Di Metrotv. Segara Widya Vol. 5 November 2017, 14-24. Richardson, J. E. (2007). Analysing Newspaper. An Approach from Critical Discourse Analysis. New York. Palgrave Macmillan. Sendjaja, S. D., Rahardjo, T., Pradekso, T., & Sunarwinadi, I. R. (2014). Teori Komunikasi. Banten: Universitas Terbuka. 71 Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, January – June 2018, pp. 45 - 72 Setiawan, Y. B. (2011). Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Kekerasan Berbasis Gender Di Surat Kabar Harian Suara Merdeka. Jurnal Ilmu Komunikasi MAKNA Vol. 2, No. 1, Pebruari 2011, 13-20. Sobur, A. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Suciarti, N. A. (2017). Analisis Wacana Kritis “Semua Karena Ahok” Program Mata Najwa Metrotv. Aksara, Vol. 29, No. 2, Desember 2017, 267-282. Titscher, S., Meyer, M., Wondak, R., & Vetter, E. (2009). Methods Of Text And Discourse Analysis. London: SAGE Van Dijk, T. A. (1985). Discourse and Communication. Walter de Gruyter. Weiss, G. & Wodak, R (Ed). (2003). Critical Discourse Analysis. Theory and Interdisciplinarity. New York: Palgrave McMillan. Wodak, R. & Chilton, P. A. (2005). A New Agenda In (Critical) Discourse Analysis Theory, Methodology, and Interdisciplinary. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Wodak, R. & Meyer, M. (Ed). (2001). Methods of Critical Discourse Analysis. London: Sage Publication Ltd.