ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2018 Editorial Team Editor-In-Chief Imam Mujahid, (SCOPUS ID : 57208214175); IAIN Surakarta, Indonesia Editorial Board Waryono Abdul Ghafur, UIN Sunan Kalijaga, Indonesia Diajeng Laily Hidayati, IAIN Samarinda, Indonesia Akhmad Anwar Dani, IAIN Surakarta, Indonesia Ahmad Saifuddin, IAIN Surakarta, Indonesia Abraham Zakky, IAIN Surakarta, Indonesia Rhesa Zuhriya Pratiwi, IAIN Surakarta, Indonesia Alamat Redaksi : Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Surakarta Jl. Pandawa No. 1, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah 57168 Phone : +62 271 - 781516 Fax : +62 271 - 782774 Surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id Laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2018 Daftar Isi Fatwa MUI tentang Atribut Keagamaan dalam Perspektif Komunikasi Dakwah Muhd. Maryadi Adha 149 - 174 Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran Sebagai Komunikasi Spiritual Anak di Era Digital Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 175 - 192 Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial Imam Alfi 193 - 210 Korelasi Penggunaan Gadget Terhadap Kepuasan Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Disabilita Nisa Azizah & Arina Rahmatika 211 - 234 Mahasiswa dan Keputusan Memilih Jurusan (Analisis Kuantitatif Pada Mahasiswa KPI IAIN Surakarta Angkatan 2017/2018) Agus Sriyanto 235 - 258 Kepuasan Mahasiswa KPI IAIN Surakarta dalam Pemilihan Konsentrasi Jurusan Eny Susilowati & Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi 259 - 292 HAMBATAN KOMUNIKASI PENDAMPING SOSIAL DOI : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1397 Imam Alfi Dedi Riyadin Saputro Institut Agama Islam Negeri Purwokerto Keywords: communication; Family Development Session (FDS); social assistant http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: cita47@gmail.com Abstract The role of social assistant is very urgent in the implementation of social assistance programs, social security and social assistance. Citizen assistance is carried out through the Family Capability Improvement Program (P2K2), the activity is called Family Development Session (FDS). This article focuses on the problems that occur in these social assistance activities, especially in the communication barriers between social facilitators and citizens as Beneficiary Families (KPM). The study was conducted based on relevant literature. It was found that active and efficient communication became the determining factor in the implementation of community assistance. An affective strategy needs to be prepared in the assistance of beneficiary citizens so that the program is effective smoothly and efficiently. Peran pendamping sosial sangat urgen dalam pelaksanaan program bantuan sosial, jaminan sosial dan asistensi sosial. Pendampingan warga secara berkala dilakukan melalui Program Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2), kegiatannya disebut dengan Family Development Sesion (FDS). Artikel ini fokus pada masalah yang terjadi dalam kegiatan pendampingan sosial tersebut, khususnya pada hambatan komunikasi antara pendamping sosial dengan warga sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Kajian dilakukan berbasis pada literatur yang relevan. Ditemukan bahwa komunikasi yang aktif dan efisien menjadi faktor yang menentukan dalam pelaksanaan pendampingan warga. Perlu disiapkan strategi afektif dalam pendampingan warga penerima manfaat agar program efektif lancar dan efisien. Abstrak Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 Kata Kunci: Komunikasi, Family Development Session (FDS), pendamping sosial Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 194 I. PENDAHULUAN Keberadaan pendamping sosial dalam penyelenggaraan program sosial pemerintah sangat urgen. Pendamping sosial memiliki tugas yang kompleks dan dinamis. Kompleks karena bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah, menghadapi warga yang unik dan beragam. Dinamis karena dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan kekinian dan siap melaksanakan kebijakan pemerintah kapanpun dan dimanapun (Suradi & Mujiyadi, 2018). Secara khusus tugas pokok pendamping sosial adalah melakukan sosialisasi, validasi dan verifikasi data kemikskinan, mediasi dan advokasi masalah di lapangan serta melaporkan pelaksanaan program (Setiawan & Sunusi, 2015). Dengan tugas berat tersebut, pendamping sosial dituntut untuk profesional dan cerdas, mengedepankan pengetahuan, ketrampilan serta nilai yang dimilikinya. Dalam melaksanakan tugasnya pendamping sosial melakukan komunikasi yang intensif dan efektif. Misalnya dalam program pertemuan kelompok, disebut Family Development Session (FDS) atau Peningkatan Kemampuan Keluarga yang mulai diuji coba tahun 2015. Tahun 2016 juga dilaksanakan di kabupaten/kota kepesertaan 2017. Dengan FDS, pertemuan kelompok menjadi lebih bermakna dan menyenangkan. Sebelumnya, pertemuan kelompok sering disi dengan pengumpulan berkas administrasi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), rapor dan dokumen lain. Kini lebih menarik karena diisi dengan materi-materi penyuluhan terkait masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi keluarga dan perlindungan anak (Habibullah, 2018). Pemerintah melalui kementerian sosial terus membenahi kualitas pertemuan kelompok. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas keluarga penerima bantuan sosial agar mereka mampu dan siap mandiri ketika kepesertaannya selesai (graduasi) (Suyanto & Pudjianto, 2015). Namun, dalam pelaksanaan FDS bukan tanpa masalah. Termasuk ketika berhadapan ketika berkomunikasi dengan warga. Komunikasi yang aktif dan efisien menjadi faktor yang menentukan dalam pelaksanaan FDS. Oleh Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 195 karena itu, penekanan terhadap keterampilan komunikasi pendamping sosial perlu ditingkatkan. Secara teoretis penguasaan komunikasi yang baik akan sangat membantu kesuksesan pelaksanaan FDS. Komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih bertujuan untuk melakukan pertukaran informasi di antara keduanya. Komunikasi ini pada akhirnya akan melahirkan pengertian yang dalam (Wursanto, 2005). Maghfiroh (2016) menyoroti komunikasi dalam perspektif kegiatan dakwah Islam menyatakan bahwa proses komunikasi efektif sangat mendukung lancarnya dakwah. Ia menekankan bahwa tampilan seorang komunikator berpengaruh terhadap proses komunikasi yang aktif. Komunikasi akan efektif atau tidak dipengaruhi oleh kualitas unsur-unsur komunikasi. Komunikasi yang efektif didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima, dan efek, yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi (Effendi, 2009). Pendamping sosial bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks kehidupan sosial. Fungsinya sebagai faktor yang mampu melakukan empowering telah dilaksanakan sejak lama di masyarakat (Fatony, 2017). Pendamping sosial bukan hanya sekedar kegiatan amal namun merupakan sebuah profesi yang mensyaratkan hadirnya tiga unsur pokok, keilmuan, keterampilan dan nilai. Hal ini disyaratkan secara eksplisit oleh pemerintah pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 66 (Setiawan & Sunusi, 2015). Pelaksanaan pendampingan sosial mengalami kendala sesuai dengan konteks dan kondisi penerima manfaat, namun secara umum yang sering terjadi adalah tidak seimbangnya jumlah pendamping sosial dengan penerima manfaat, validitas data yang rendah, beban kerja pendamping sosial melebihi tugas dan fungsinya, miskomunikasi antar pendamping sosial dan penerima manfaat, perubahan kebijakan dan ruang lingkup pekerjaan yang tidak seimbang dengan upah yang diterima sehingga pekerja sosial tidak fokus dengan tugas pokoknya (Suradi & Mujiyadi, 2018). Walaupun begitu, peran pendamping sosial telah memberikan peningkatan kesadaran Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 196 dan kepedulian masyarakat terhadap kondisi kesejahteraan sosial di lingkungannya (Handoyo, 2008). Terdapat berbagai penelitian terdahulu tentang pendamping sosial dan program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Misalkan, penelitian Wulandari & Hakim (2015) tentang gambaran manfaat program Family Development Session Kementerian Sosial Republik Indonesia; penelitian Ekantiningsih (2017) tentang pelaksanaan pendidikan dan pelatihan Family Development Session di BBPPKS Yogyakarta; penelitian Suharto & Thamrin (2012) yang membahas tentang Program Keluarga Harapan; penelitian Rahmawati & Kisworo (2017) mengenai peran pendamping dalam pemberdayaan masyarakat miskin melalui Program Keluarga Harapan; penelitian Hatu (2010) tentang pendampingan sosial masyarakat, penelitian Widyakusuma (2013) mengenai peran pendamping dalam program pendampingan dan perawatan sosial lanjut usia di lingkungan keluarga, penelitian Melviona (2017) tentang pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di kecamatan Batang Peranap kabupaten Indragiri Hulu, penelitian Agustin & Supriyadi (2017) mengenai studi kasus terhadap peran fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat pada program penataan lingkungan permukiman berbasis komunitas; dan penelitian Hendri & Isnaini (2014) tentang evaluasi pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) pada bidang pendidikan di kelurahan Tegal Sari Mandala II kecamatan Medan Denai. Salah satu masalah yang muncul dalam penelitian awal dan belum diteliti oleh para peneliti terdahulu adalah adanya kesalahan dan kelemahan komunikasi antara pendamping sosial dengan penerima manfaat. Dengan demikian, penelitian ini memiliki ciri khas dan pembeda dengan penelitian terdahulu yang sudah dituliskan tersebut. Penelitian tentang hambatan komunikasi sudah pernah dilakukan, akan tetapi bukan dalam konteks pendamping sosial. Misalkan, penelitian Harivarman (2017) yang meneliti tentang hambatan komunikasi internal dalam konteks organisasi pemerintah. Fakta tentang kurang berkualitasnya komunikasi pendamping Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 197 sosial ini tentu penting untuk dikaji dan didalami karena semakin rendah tingkat kesalahan komunikasi antara dua pihak tentu akan lebih baik bagi pelaksanaan program pemerintah di bidang kesejahteraan sosial, maka tingkat keberhasilan pelaksanaan program serta kualitas program yang dijalankan para pendamping akan semakin tinggi. Tulisan ini akan menyoroti persoalan pendamping sosial dalam melaksanakan program FDS dari sisi komunikasi. II. METODE PENELITIAN Artikel ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang menjadi penghambat komunikasi antara pendamping sosial sebagai komunikator dengan masyarakat sebagai komunikan dengan pendekatan komunikasi personal. Analisis dilakukan berdasarkan kajian literatur terhadap hambatan komunikasi yang terjadi dalam proses pendampingan sosial. Data-data didapatkan dari literatur-literatur yang telah membahas hal tersebut baik secara spesifik maupun pada tema yang berbeda namun masih dalam topik yang relevan. III. HAMBATAN KOMUNIKASI PENDAMPING SOSIAL Segala sesuatu yang menghambat komunikasi disebut noise. Kata ini di ambil dari istilah kelistrikan yang diartikan sebagai sebuah keadaan tertentu yang mengakibatkan tidak lancarnya atau berkurangnya ketepatan peraturan. Pencetakan huruf yang saling bertindihan dalam suatu surat kabar atau majalah akan menjadi gangguan bagi pembacanya. Kata-kata yang diucapkan secara tidak tepat oleh seorang penyiar akan mengganggu komunikasi dengan pendengarnya. Apabila kata-kata atau kalimat yang disampaikan tidak atau bukan merupakan kata-kata yang secara luas dipahami oleh pendengar. Penggunaan kata-kata asing yang sulit dimengerti tentu merupakan bagian dari noise atau gangguan yang harus dihindari oleh stasiun radio (Nurdianti, 2014). Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 198 Secara teknis, hambatan adalah hal apapun yang dapat mendistorsi pesan, apapun yang menghalangi penerima dalam menerima pesan. Ada empat tipe hambatan. Sangat penting artinya untuk mengidentifikasi tipe-tipe hambatan dan ketika memungkinkan, untuk mengurangi efek hambatan tersebut. Hambatan fisik, hambatan fisiologi, hambatan psikologi, dan hambatan semantik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi, terdapat berbagai macam hambatan yang dapat merusak komunikasi itu sendiri (Chandra, 2015). Gangguan-gangguan komunikasi dapat muncul dengan sendirinya, setidaknya ada beberapa hambatan dalam proses komunikasi. Hambatan teknis terjadi jika salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yang ditransmisi melalui saluran mengalami kerusakan. Selanjutnya hambatan kerangka berpikir, rintangan kerangka berpikir ialah rintangan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi antara komunikator dan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. Ini disebabkan karena latar belakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda. Hambatan semantik dan psikologis, gangguan sematik adalah gangguan komunikasi yang disebabkan karena kesalahan pada bahasa yang digunakan. Tommy Suprapto menyatakan bahwa gangguan semantik sering terjadi dalam komunikasi. Biasanya disebabkan karena tiga hal yaitu: 1. Kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai jargon bahasa asing, sehingga sulit dimengerti khalayak tertentu. 2. Bahasa yang digunakan tidak sebagaimana mestinya, sehingga membingungkan penerima. 3. Latar belakang budaya yang menyebabkan salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan (Tommy, 2006) Berbeda dengan Effendi (2009) mengatakan bahwa hambatan komunikasi terdiri dari: 1. Hambatan sosio-antro-psikologis Hambatan sosio-antro-psikologis merupakan hambatan proses Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 199 komunikasi dalam konteks situasional (situational context). Artinya seorang komunikator harus mempertimbangkan betul situasi dan kondisi saat melakukan komunikasi dengan komunikan. Terutama pada tiga aspek yaitu sosiologis, antropologis dan hambatan psikologis 2. Hambatan semantik Mengacu pada hambatan sebelumnya yang menekankan pada aspek sistuasi dan kondisi lapangan, artinya berkaitan erat dengan komunikan, maka hambatan semantik lebih menekankan kepada komunikator. Semantik berkaitan dengan bahasa komunikator. Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar memperhatikan gangguan semantik ini, sebab salah ucap atau tulis dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation) yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication). 3. Hambatan mekanis Hambatan mekanis adalah hambatan yang ditimbulkan dari alat/ mekanik yang mempengaruhi kualitas komunikasi. Sering kita jumpai hambatan model ini seperti tulisan yang kurang jelas sehingga susah dibaca, suara yang tidak bisa didengar, perbedaan jenis mutu mekanik yang digunakan sehingga alat tidak dapat melakukan koding dengan baik dan benar 4. Hambatan ekologis. Lingkungan sangat berpengaruh bagi lancarnya proses komunikasi, lingkungan yang tidak mendukung akan memperburuk komunikasi. Misalnya ketika kita melakukan komunikasi di tampat keramaian maka kita akan meningkatkan suara agar komunikan jelas mendengar pesan yang kita sampaikan, telepon di jalan raya yang bising dengan suara kendaraan juga contoh yang relevan untuk kategori ini. (Effendi, 2009) Hambatan dapat bersifat teknis, hambatan semantik dan hambatan perilaku. Hambatan yang bersifat teknis adalah hambatan yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti; Kurangnya sarana dan prasarana yang Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 200 diperlukan dalam proses komunikasi; Penguasaan teknik dan metode berkomunikasi yang tidak sesuai; Kondisi fisik yang tidak memungkinkan terjadinya proses komunikasi yang dibagi menjadi kondisi fisik manusia, kondisi fisik yang berhubungan dengan waktu atau situasi/keadaan, dan kondisi peralatan. Hambatan semantik berkisar di hambatan yang disebabkan kesalahan dalam menafsirkan, kesalahan dalam memberikan pengertian terhadap bahasa (kata-kata, kalimat, kode-kode) yang dipergunakan dalam proses komunikasi. Sedangkan hambatan perilaku disebut juga hambatan kemanusiaan. Hambatan yang disebabkan berbagai bentuk sikap atau perilaku, baik dari komunikator maupun komunikan. Hambatan perilaku tampak dalam berbagai bentuk, seperti; Pandangan yang sifatnya apriori, Prasangka yang didasarkan pada emosi, Suasana otoriter, ketidakmauan untuk berubah dan sifat yang egosentris (Yuliasari, Saleh, Hubeis, & Sarwoprasodjo, 2017). Kegiatan pendamping sosial didominasi oleh proses komunikasi sehingga potensi terjadinya hambatan komunikasi sangat tinggi. Hambatan komunikasi dalam proses pendampingan sosial dapat berasal dari pendamping maupun penerima manfaat. Pada sisi pendamping dapat terjadi hambatan komunikasi karena minimnya pemahaman pendamping terhadap fokus kegiatan, rendahnya kemampuan pendamping untuk mengkomunikasikan program ke dalam bahasa yang mudah dipahami oleh penerima manfaat, terbatasnya media yang dapat digunakan dalam proses pendampingan sosial (Wijayaptri, 2015). Sedangkan pada sisi penerima manfaat hambatan komunikasi dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pemahaman antar penerima manfaat, rendahnya kesadaran penerima manfaat terhadap urgensi kegiatan pendampingan (Luthfiyah, 2016). A. Prinsip Pendamping Sosial Sebagai Pekerja Sosial Pendamping sosial adalah seorang yang diangkat oleh pemerintah atau non pemerintah untuk melakukan dampingan terhadap penyelenggaraan usaha-usaha kesejahteraan sosial di masyarakat. Dalam praktiknya Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 201 didasarkan pada pengetahuan skill/keterampilan dan nilai-nilai pekerja sosial. Pendamping sosial hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi agen perubahan. Pendamping sosial membuat rancangan solusi serta berkolaborasi dengan masyarakat. Fokus kegiatannya merancang program perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, memobilisasi sumber daya masyarakat setempat, memecahkan masalah sosial, menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat (Graha, 2009). Di tengah-tengah kita bisa kita temukan adanya pendamping sosial PKH, pendamping desa dan lain-lain. Kementerian sosial mendefinisikan bahwa pendampingan sosial merupakan suatu proses relasi sosial antara pendamping dengan klien yang bertujuan untuk memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan berbagai sumber dan potensi dalam pemenuhan kebutuhan hidup, serta meningkatkan akses klien terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja, dan fasilitas pelayanan publik lainnya (Nurhasanah, Kamil, & Saepudin, 2016). Pendampingan merupakan satu strategi yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat, yang sesuai dengan prinsip-prinsip pekerjaan sosial yakni, membantu orang- orang agar mampu membantu dirinya sendiri, pemberdayaan masyarakat sangat memperlihatkan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Oleh karena itu, pendamping sosial memiliki bidang tugas Pemukiman (Enabling) atau fasilitasi, Penguatan (In Powering), Perlindungan (Protecting) dan Pendukung (Sporting) (Edi, 2005). Dengan definisi di atas dapat diambil pemahaman bahwa pendamping sosial adalah orang yang bertugas sebagai penghubung masyarakat dan lembaga-lembaga terkait yang keberadaanya dibutuhkan bagi pengembangan masyarakat. Seorang pendamping sosial sering dikaitkan dengan pekerja sosial dan kegiatan pendampingan merupakan pekerjaan sosial. Hal ini bisa ditemukan dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 1 ayat (14) yang Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 202 dimaksud pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya (Astuti, 2015). Kemudian Kepmensos No.10/HUK/2007, pekerja sosial adalah seseorang yang memiliki kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. Dengan demikian pekerja sosial adalah penerima mandat kesejahteraan sosial (Azizah, Zauhar, & Soeaidy, 2015). Dengan ketrampilannya ia melakukan usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi sosial klien demi meningkatakan kualitas hidupnya. Guna mendukung profesionalitas pekerja sosial ia dibekali dengan kerangka pengetahuan (body of knowledge), kerangka keterampilan (body of skill) dan kerangka nilai (body of values) (Sugiyanto, 2014). Di samping ketiga pedoman tersebut dalam praktiknya seorang pekerja sosial berpedoman kepada prinsip-prinsip pekerja sosial yaitu: 1. Acceptance (penerimaan) Pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya tanpa harus membandingkannya dengan orang lain. 2. Individualizasi (individualisasi) Klien merupakan pribadi yang unik yang memiliki karakter kebutuhan- kebutuhan yang berbeda, sehingga pendekatan pekerja sosial harus menyesuaikan dengan individu klien. 3. Non- Judgmental Attitude (sikap tidak menghakimi) Pekerja sosial harus mempertahankan sikap non-judgmental terhadap permasalahan- permasalahan klien. 4. Rationality (rasionalitas) Pekerja sosial harus memberikan pandangan obyektif dan faktual terhadap kemungkinan- kemungkinan yang terjadi serta harus mampu mengambil keputusan. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 203 5. Empaty (empati) Pekerja sosial mampu memahami apa yang dirasakan oleh klien dan mencoba merasakan apa yang dirasakan klien. 6. Genuiness (ketulusan atau kesungguhan) Pekerja sosial harus memiliki prinsip genuiness terutama dalam komunikasi verbal. 7. Impartiality (kejujuran) Pekerja sosial mengutamakan kejujuran, ataupun tidak merendahkan seseorang dan kelompok (menganak-emaskan atau menganak-tirikan). 8. Confidentiality (kerahasiaan) Pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dari klien kepada orang lain. 9. Self Awarneness Pekerja sosial harus sadar akan potensi dan keterbatasan kemampuannya. 10. Partnership Pekerja sosial memandang klien bukan, sebagai korban atau klien atau orang yang tidak berdaya, melainkan klien harus dipandang sebagai individu yang kompeten dan memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup. (Setiawan & Sunusi, 2015) B. Strategi Komunikasi Pendamping Sosial Pendamping sosial sebagai pekerja sosial dalam praktiknya harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Hal ini adalah bagian dari aspek profesionalitas pekerja sosial. Sebelum melakukan praktiknya pendamping sosial perlu assessment untuk mengetahui dan mengenali klien dengan baik. Hasil penelitian Sugiyanto menjelaskan bahwa komunikasi pekerja sosial dengan klien akan menghadapi hambatan ketika belum memahami klien dengan baik dan menyeluruh. Oleh karena itu pendamping sosial perlu melakukan langkah strategis untuk mengatasi hambatuan-hambatan komunikasi yang sering muncul. Strategi tersebut menurut Sugiyanto (2014) antara lain: Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 204 1. Assesment menyeluruh. Sebelum melakukan praktik pendamping sosial hendaknya melakukan assessment menyeluruh kepada klien. Langkah awal ini bertujuan untuk memahami dan mengenali klien dengan baik. Pasalnya klien sangat beragam dan unik. Melalui assessment pendamping sosial akan mengetahui identitas klien, latar belakang klien, masalah klien, keluarga klien dan orang-orang yang ada di sekitanya, lingkungan klien dan lain-lain. Assesment yang cukup akan membantu pendamping dalam menjalin komunikasi awal dengan klien (Fatony, 2017). Di samping itu pendamping sosial akan bisa memprediksi dan meminimalisasi akibat- akibat yang mungkin ditimbulkan dimana bisa saja menghambat komunikasi selanjutnya. 2. Jalin relasi komunikasi alami dan non alami. Menjalin komunikasi dengan klien hendaknya dilakukan sesuai keadaan klien. Oleh karena itu segala media yang membantu klien membuka komunikasi dengan pendamping sosial bisa dimanfaatkan oleh pendamping sosial. Misalnya pendamping sosial menggunakan alat permainan bola, holahope, catur, foto/lukisan, radio, dan alat permainan lainnya. Dengan menggunakan alat-alat ini klien akan merasa nyaman dan membuka diri. Komunikasi berjalan lancar dan efektif. Pendekatuan media ini menuntut pendamping sosial untuk peka dan cerdas memilih permainan yang cocok dengan kondisi klien. Selain media permainan tersebut, pendamping sosial bisa menggunakan lingkungan. Artinya setting lingkungan mempengaruhi klien untuk nyaman menjalin komunikasi dengan pendamping sosial. Misalnya klien dibawa ke pantai, kebun, pekarangan/hutan dan- lain-lain. Komunikasi yang dilakukan tentu menekankan pada aspek akses pendamping kepada klien. Media-media ini berfungsi sebagai aksesibilitas pekerja sosial kepada klien agar lebih mudah dan lebih cepat dalam memulai pembicaraan/komunikasi kepada klien rata-rata pekerja sosial memanfaatkan media atau alat sebagai role komunikasi Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 205 (Rubawati, 2018). 3. Membangun hubungan yang dekat dengan klien Kedekatan pendamping sosial dengan klien menjadi faktor lain membangun komunikasi yang baik. Kedekatan ini dikategorikan menjadi tiga yaitu sangat dekat, dekat dan jauh. Usaha-usaha membangun kedekatan terus dilakukan. Klien dengan pendekatan ini akan meminimalisasi perasaan terasing, cenderung tertutup, merasa orang baru perasaan-perasaan lain yang muncul dan menghambat terjalinnya komunikasi. 4. Mengedepankan prinsip-prinsip komunikasi Selain metode-metode tersebut seorang pendamping sosial juga tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi yang ada yaitu a). proses simbolik, b). setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi, c). komunikasi mempunyai dimensi isi dan dimensi hubungan, d). komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan, e). komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu, f). melibatkan peserta komunikasi, g). bersifat sistemik, h). semakin mirip latarbelakang sosial budaya semakin efektif komunikasi, i). bersifat nonsekuensial, j). bersifat prosesual dinamis dan transaksional, k). bersifat irreversible dan l). bukan panasea untuk menyelesaikan berbagai masalah (Heryadi & Silvana, 2013). 5. Menghindari kata-kata yang menyudutkan klien. Kata adalah salah satu alat penyampai pesan, ide dan gagasan orang. Pilihan kata yang baik dan santun senantiasa mendorong klien terbuka dan menerima kehadiran pendamping sosial. Kata-kata yang mendiskreditkan klien akan mengakibatkan klien tertutup dan menganggap pendamping sosial sebagai orang lain (othering). Pada akhirnya klien sulit untuk dilakukan assessment. Pendamping sosial harus melakukan seleksi kata berbasis pemberdayaan. Berikut contoh kata-kata yang sering digunakan dalam praktik pekerjaan sosial. Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 206 Tabel 1. Kata-Kata yang Sering Muncul dalam Praktik Pekerjaan Sosial No Kata umum Pekerja sosial 1 Cacat fisik, cacat mental Unik, istimewa, berbeda, dissabilitas/diffable 2 Lemah Potensi terpendam 3 Pelaku penyimpangan Korban tidak berdaya 4 Narapidana Victimisme/labeling 5 Anak Terpidana Anak yang berhadapan dengan hukum 6 Wanita/Perempuan Wanita rawan sosial ekonomi 7 Jongos/Pembantu/Babu Pahlawan devisa negara/baby sister/office boy 8 Tua Lanjut usia 9 Anak Anak terlantar 10 Primitif/Badwi Komunitas adat terpencil 11 Miskin Pra sejahtera 12 Kaya Sejahtera Kata-kata tersebut adalah sebagian kecil yang sering ditemukan dalam praktik pekerjaan sosial. Masih banyak kata-kata yang belum ditemukan yang sesuai dengan persoalan persoalan sosial berbasis pemberdayaan. Oleh karena itu pendamping sosial harus cerdas dan teliti dalam memilih kata. Kata yang memiliki makna sama bisa berakibat berbeda ketika disampaikan dengan lebih santun dan memberikan motivasi klien untuk mengatasi disfungsi sosialnya. Strategi komunikasi yang baik memang tidak menjamin komunikasi dapat terjalin dengan baik. Namun dengan strategi yang baik, pendamping sosial dapat meminimalisir kendala-kendala umum yang terjadi dalam proses komunikasi selama kegiatan pendampingan. Kasus-kasus khusus tentu sangat mungkin terjadi, dengan kesiapan strategi yang baik hal tersebut akan cepat diatasi dengan solusi yang terbaik yang memungkinkan dilakukan. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 207 VI. KESIMPULAN Eksisitensi pendamping sosial sebagai ujung tombak pelaksanaan program sosial pemerintah sangatlah penting dalam mempengaruhi efektifitas program. Pendamping sosial sering terjebak dengan hambatan komunikasi. Komunikasi yang kurang efektif berdampak pada penerimaan klien. Klien akan cenderung tertutup dan sulit menerima. Ketertutupan klien ini menjadi hambatan pendamping dalam melakukan assessment dan intervensi sosial. Kemampuan komunikasi pendamping sosial semata-mata bukan persoalan teori yang dikuasai namun, skill/keterampilan pendamping yang harus terus di asah dengan melakukan praktik pekerja sosial. Pengalaman pendamping sosial akan membantunya menemukan ketrampilan baru yang mungkin tidak ditemukan di bangku kuliah. Dengan sinergitas teori, skill dan pengalaman yang terus dikembangkan pendamping sosial akan terampil dan pandai beradaptasi dengan klien dan akhirnya hambatan- hambatan komunikasi bisa diminimalisir sedini mungkin. Sebagai penutup, penulis merekomendasikan strategi yang perlu dilakukan dalam meminimalisasi hambatan-hambatan komunikasi praktik pekerja sosial antara lain dengan melakukan assesment menyeluruh, jalin relasi komunikasi alami dan non alami, membangun hubungan yang dekat dengan klien, mengedepankan prinsip-prinsip komunikasi dan menghindari kata-kata yang menyudutkan klien. DAFTAR PUSTAKA Agustin, W. A., & Supriyadi, S. N. (2017). Peran Fasilitator Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pada Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (Studi Kasus di Desa Kemiri, Kecamatan Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar). Jurnal Sosiologi DILEMA, 32(1), 69–78. Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 208 Astuti, M. (2015). Implementasi Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Sosio Konsepsia, 4(1), 215–235. https://doi.org/10.33007/ ska.v4i1.106 Azizah, R. N., Zauhar, S., & Soeaidy, M. S. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengurangi Angka Pengangguran di Kabupaten Sampang. Wacana, Jurnal Sosial Dan Humaniora, 18(03), 203–212. https://doi. org/10.21776/ub.wacana.2017.018.03.7 Chandra, T. C. (2015). Hambatan Komunikasi dalam Aktivitas Bimbingan Belajar antara Tutor dengan Anak Kelas V SD di Bantaran Sungai Kalimas Surabaya. Jurnal E-Komunikasi, 3(2), 1–12. Edi, S. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT Refika Aditama. Effendi, O. U. (2009). Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Ekantiningsih, P. D. (2017). Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Family Development Session di BBPPKS Yogyakarta. E-Jurnal Prodi Teknologi Pendidikan, VI(6), 508–523. Fatony, A. (2017). Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Berbasis Participatory Poverty Assessment: Kasus Yogyakarta. Sosio Konsepsia, 16(2), 123–142. https://doi.org/10.33007/ska.v16i2.798 Graha, A. N. (2009). Pengembangan Masyarakat Pembangunan Melalui Pendampingan Sosial dalam Konsep Pemberdayaan di Bidang Ekonomi. Jurnal Ekonomi Modernisasi, 5(2), 117–126. https://doi. org/10.21067/JEM.V5I2.243 Habibullah. (2018). Konsep dan Kebijakan Restorasi Sosial di Indonesia. Sosio Informa, 4(1), 348–358. https://doi.org/10.33007/inf. v4i1.1188 Handoyo, E. (2008). Peran Strategis Relawan Pendamping dalam Upaya Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Forum Ilmu Sosial, 35(2), 132–143. https://doi.org/10.15294/FIS.V35I2.1291 Harivarman, D. (2017). Hambatan Komunikasi Internal di Organisasi Pemerintahan. Jurnal ASPIKOM, 3(3), 508–519. https://doi. org/10.24329/aspikom.v3i3.171 Hatu, R. A. (2010). Pemberdayaan Dan Pendampingan Sosial Dalam Masyarakat (Suatu Kajian Teortis). Inovasi, 7(4), 240–254. Hendri, & Isnaini. (2014). Evaluasi Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) Pada Bidang Pendidikan di Kelurahan Tegal Sari Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 193 - 210 209 Mandala II Kecamatan Medan Denai. Jurnal Administrasi Publik, 2(2), 214–231. Heryadi, H., & Silvana, H. (2013). Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat Multikultur. Jurnal Kajian Komunikasi, 1(1), 95. https:// doi.org/10.24198/jkk.v1i1.6034 Luthfiyah, U. Z. (2016). Hambatan Komunikasi Antar Budaya dalam Penerjemahan di Perusahaan Modal Asing Jepang. Jurnal The Messenger, 8(1), 46. https://doi.org/10.26623/themessenger. v8i1.307 Maghfiroh, E. (2016). Komunikasi Dakwah; Dakwah Interaktif Melalui Media Komunikasi. Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam, 2(1), 34–48. Melviona. (2017). Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kecamatan Batang Peranap Kabupaten Indragiri Hulu. Jom FISIP, 4(2), 1–14. Nurdianti, S. R. (2014). Analisis Faktor-Faktor Hambatan Komunikasi dalam Sosialisasi Program Keluarga Berencana pada Masyarakat Kebon Agung-Samarinda. Dunia Komunikasi : Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, 2(2), 145–159. Nurhasanah, S., Kamil, M., & Saepudin, A. (2016). Pelatihan Pendamping Sosial dalam Meningkatkan Kemampuan Fasilitasi Program Kelompok Usaha Bersama. PEDAGOGIA Jurnal Ilmu Pendidikan, 13(2), 296. https://doi.org/10.17509/pedagogia.v13i2.3553 Rahmawati, E., & Kisworo, B. (2017). Peran Pendamping dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Program Keluarga Harapan. Journal of Nonformal Education and Community Empowerment, 1(2), 161–169. https://doi.org/10.15294/pls.v1i2.16271 Rubawati, E. (2018). Media Baru: Tantangan dan Peluang Dakwah. Jurnal Studi Komunikasi (Indonesian Journal of Communications Studies), 2(1), 126–142. https://doi.org/10.25139/jsk.v2i1.586 Setiawan, H. H., & Sunusi, M. (2015). Analisis Yuridis Peran Profesi Pekerja Sosial dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012. Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 27(2), 256. https://doi.org/10.22146/jmh.15887 Sugiyanto. (2014). Strategi Komunikasi Pekerja Sosial dengan Pasien Skizofrenia dalam Proses Rehabilitasi: Studi di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeroyo Magelang Jawa Tengah. Share: Social Work Journal, 4(1), 30–49. https://doi.org/10.24198/share.v4i1.13057 Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial – Imam l 210 Suharto, E., & Thamrin, D. (2012). Program Keluarga Harapan (PKH): Memotong Mata Rantai Kemiskinan Anak. Aspirasi, 3(1), 1–20. Suradi, S., & Mujiyadi, B. (2018). Kinerja Pendamping Sosial pada Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di Kota Tarakan. Sosio Konsepsia, 7(3), 130–145. https://doi.org/10.33007/ska.v7i3.1476 Suyanto, S., & Pudjianto, B. (2015). Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa Sejahtera (Studi Kasus di Kabupaten Sragen). Sosio Konsepsia, 5(1), 340–354. https://doi.org/10.33007/ska.v5i1.164 Tommy, S. (2006). Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Persindo. Widyakusuma, N. (2013). Peran Pendamping Dalam Program Pendampingan Dan Perawatan Sosial lanjut Usia Di Lingkungan Keluarga (Home Care). Informasi, 18(02), 211–224. Wijayaptri, N. W. P. (2015). Hambatan Komunikasi pada Penyandang Autisme Remaja: Sebuah Studi Kasus. INKLUSI, 2(1), 41. https:// doi.org/10.14421/ijds.020103 Wulandari, T., & Hakim, L. N. (2015). Gambaran Manfaat Program Family Development Session Kementerian Sosial Republik Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 6(1). https://doi. org/10.22212/aspirasi.v6i1.468 Wursanto, I. (2005). Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta: Andi Offset. Yuliasari, I., Saleh, A., Hubeis, M., & Sarwoprasodjo, S. (2017). Meretas Hambatan Komunikasi Perdesaan Dengan Media Komunitas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Penelitian Pos Dan Informatika, 5(2), 191. https://doi.org/10.17933/jppi.2015.0502005