ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2018 Editorial Team Editor-In-Chief Imam Mujahid, (SCOPUS ID : 57208214175); IAIN Surakarta, Indonesia Editorial Board Waryono Abdul Ghafur, UIN Sunan Kalijaga, Indonesia Diajeng Laily Hidayati, IAIN Samarinda, Indonesia Akhmad Anwar Dani, IAIN Surakarta, Indonesia Ahmad Saifuddin, IAIN Surakarta, Indonesia Abraham Zakky, IAIN Surakarta, Indonesia Rhesa Zuhriya Pratiwi, IAIN Surakarta, Indonesia Alamat Redaksi : Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Surakarta Jl. Pandawa No. 1, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah 57168 Phone : +62 271 - 781516 Fax : +62 271 - 782774 Surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id Laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2018 Daftar Isi Fatwa MUI tentang Atribut Keagamaan dalam Perspektif Komunikasi Dakwah Muhd. Maryadi Adha 149 - 174 Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran Sebagai Komunikasi Spiritual Anak di Era Digital Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 175 - 192 Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial Imam Alfi 193 - 210 Korelasi Penggunaan Gadget Terhadap Kepuasan Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Disabilita Nisa Azizah & Arina Rahmatika 211 - 234 Mahasiswa dan Keputusan Memilih Jurusan (Analisis Kuantitatif Pada Mahasiswa KPI IAIN Surakarta Angkatan 2017/2018) Agus Sriyanto 235 - 258 Kepuasan Mahasiswa KPI IAIN Surakarta dalam Pemilihan Konsentrasi Jurusan Eny Susilowati & Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi 259 - 292 REFLEKSI KEBENARAN: PRINSIP KEJUJURAN SEBAGAI KOMUNIKASI SPIRITUAL ANAK DI ERA DIGITAL DOI : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1402 Muhamad Iqbal Cesilia Prawening Institut Agama Islam Negeri Purwokerto Keywords: Honesty and Spiritual Communication Principles, Religious truths http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: iqbalabu54@gmail.com cesiliaprawening@gmail.com Abstract The digital era is shown by the swift flow of information that is directly consumed by every layer of society, including children. Children who always witness public lies with claims of religious truth result in low social and emotional attitudes of children. This type of research is library research and this research is a qualitative descriptive study. Research concludes that the principle of honesty through reflective efforts will provide space for awareness of God and humans. This paper contributes to describing the understanding of spiritual communication in the digital era Era digital ditunjukkan dengan derasnya arus informasi yang secara langsung dikonsumsi oleh setiap lapisan masyarakat termasuk anak- anak. Anak-anak yang selalu menyaksikan kebohongan publik dengan klaim kebenaran beragama berakibat pada rendahnya sikap sosial dan emosi anak. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian menyimpulkan bahwa prinsip kejujuran melalui upaya reflektif akan memberikan ruang kesadaran kepada Tuhan dan juga manusia. Tulisan ini berkontribusi untuk mendeskripsikan pemahaman komunikasi spiritual di era digital. Abstrak Kata Kunci: Prinsip Kejujuran dan Komunikasi Spiritual, Kebenaran beragama Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 176 I. PENDAHULUAN Salah satu fenomena digital yang dihadapi masyarakat abad 21 adalah kecepatan akses informasi yang tidak terbendung. Munculnya teknologi informasi yang sederhana atau yang kita kenal dengan media sosial turut memengaruhi, bahkan menumbuhkan pola kepribadian masyarakat. Media sosial yang memuat informasi dengan mudah memberikan kepercayaan publik. Rendahnya nalar kritis masyarakat membuat mereka tidak mampu membedakan informasi yang benar dan salah. Dalam bahasa agama, tidak sedikit masyarakat menjadi taqlid. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2018) menunjukkan, bahwa pengguna internet di Indonesia pada 2017 mencapai 143,26 juta orang. Sedangkan, tahun sebelumnya 132,7 juta orang. Mayoritas pengguna internet di Indonesia mengakses media sosial (medsos). Derasnya informasi media sosial tersebut tidak diimbangi dengan literasi digital masyarakat kita. Ujaran kebencian dan informasi palsu/hoax yang meresahkan, bahkan berujung pada pertikaian dan saling tuduh. Hal ini diperparah dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas yang menunjukkan bahwa hanya sepertiga bagian responden (36,7 persen) yang selalu mengecek kebenaran sebuah berita. Lebih dari separuh responden menyatakan jarang memeriksa atau sesekali mengecek kebenaran informasi. Padahal, hampir separuh bagian responden mengaku tidak yakin dengan kebenaran berita yang mereka sebarkan. Hal yang lebih miris adalah banyak pengguna media sosial tidak saja menebarkan informasi aktual, tetapi juga meneguhkan klaim kebenaran dan menganggap pihak lain salah. Hal ini tentu menciptakan kekhawatiran tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk anak-anak sebagai generasi bangsa. Anak-anak berbeda dengan orang dewasa yang memiliki nalar kritis lebih baik. Apabila anak-anak tidak bisa mengenali batas antara kecurangan dan kejujuran, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang pragmatis dan mudah mendapat pengaruh negatif (Dewayani, 2016). Anak-anak adalah aset berharga bangsa yang harus dipersiapkan sehingga, anak-anak membutuhkan perkembangan dan pertumbuhan yang baik. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 177 Saat ini anak-anak tumbuh di zaman yang mengandung arus informasi yang sangat deras. Selain itu, alat teknologi dan informasi, seperti gawai, internet, dan sejenisnya, mudah dijangkau oleh anak-anak. Isi dari informasi-informasi tersebut ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Informasi positif adalah informasi yang mengandung unsur pembelajaran yang bermanfaat bagi perkembangan anak-anak. Adapun konten informasi yang bersifat negatif adalah informasi yang berpotensi merusak pemikiran dan perkembangan anak-anak. Pengaruh negatif dari kemajuan teknologi dan informasi ini menurut Ngafifi (2014) dan Nurhaidah & Musa (2015) misalkan kemerosotan moral, kenakalan, dan penyimpangan. Terlebih lagi, ketika saat ini kehidupan dipenuhi oleh dinamika politik dan agama, terdapat banyak sekali informasi palsu yang memuat kebencian yang berasal dari oknum yang mengatasnamakan agama. Bahkan, hal itu disukai dan diamini oleh ribuan orang. Banyak orang yang menerima informasi semacam ini kemudian tidak mengklarifikasi. Justru, muncul banyak prasangka. Prasangka memang berpotensi besar terjadi ketika seseorang menerima informasi karena menurut Baron & Byrne (2004) ketika seseorang berprasangka maka, tidak perlu repot-repot melakukan pengecekan. Selain itu, menurut Martono (2012) perkembangan teknologi yang mengandung banyak informasi membuat seseorang mengalami perubahan kecenderungan berpikir. Di sisi lain, menurut Susanto (2016), hal terpenting bagi masyarakat adalah memenuhi kebutuhan informasi sepihak sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Faktor-faktor ini menyebabkan seseorang menerima informasi, meskipun validitas dan kebenaran informasi tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berbagai kondisi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan arus informasi tersebut bisa berdampak pada diri anak, salah satunya akan berpotensi mengganggu perkembangan emosi dan sosial anak. Terlebih lagi jika meninjaunya berdasarkan perspektif bioekologi (Bronfenbrenner, 2005; (Mubasyaroh, 2017; Kamenopoulou, 2016; Alvi, Usman, & Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 178 Amjad, 2018), apapun yang terjadi pada lingkugan anak, baik lingkungan mikrosistem, mesosistem, kronosistem, dan makrosistem, akan dapat berdampak pada perkembangan anak. Salah satunya adalah informasi yang dibawa oleh teknologi. Anak-anak akan memahami bahwa informasi yang didapatkannya adalah benar. Tentu hal ini bisa berpotensi menimbulkan dampak buruk jika anak tidak memahami bahwa tidak setiap informasi adalah benar. Dengan demikian, anak-anak harus diberikan pemahaman tentang perbedaan mana informasi dan pengetahuan. Pada titik ini, anak sejak dini membutuhkan prinsip kejujuran sebagai resistensi moral anak. Kejujuran sebagai prinsip moral pertama yang dikenalkan Nabi Muhammad SAW sebelum masa kenabiannya. Bukan tanpa sebab, prinsip kejujuran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW terbukti menguatkan dan memperkokoh karakter dan kepribadian Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW tumbuh dengan kerendahan hati, sikap terbuka, disiplin diri, lemah lembut dan kasih sayang yang berlimpah. Sehingga, kejujuran inilah yang membuat Nabi Muhammad SAW mendapat gelar Al-Amin serta membawa masyarakat yang memiliki peradaban. Dengan demikian, kejujuran yang berasal dari nurani manusia tentu tidak akan memunculkan kebencian ataupun kekerasan. Prinsip kejujuran yang diperkenalkan Nabi Muhammad SAW merupakan kejujuran sebagai upaya reflektif dalam memberikan respons yang baik kepada orang lain. Kejujuran inilah yang kemudian dapat bertahan dan menjadi komunikasi spritual dalam menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn. Penelitian tentang kejujuran sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Suud & Subandi (2017) melakukan penelitian yang membahas dampak dari kejujuran ditinjau dari perspektif psikologi Islam. Tulisan tersebut menjelaskan kajian konsep dan empiris kejujuran. Kajian tersebut menghasilkan bahwa makna kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan, perbuatan, dan perasaan yang sebenarnya. Kejujuran dideskripsikan dapat menghasilkan ketenangan, baik secara fisik maupun psikis. Fokus dari Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 179 penelitian tersebut ada pada pendekatan psikologi dalam Islam. Persamaan antara tulisan peneliti dengan tulisan tersebut adalah subjek yang dikaji sama-sama mendalami tentang kejujuran. Hanya saja gambaran yang diberikan masih sangat umum. Penelitian lain tentang kejujuran dalam konteks anak dan pendidikan adalah penelitian Karuniawati, Agusti, & A’izzatunni’mah (2018) tentang assertive training untuk meningkatkan karakter jujur pada siswa SD; penelitian Fadillah (2012) mengenai kejujuran sebagai salah satu pendongkrak pendidikan karakter di sekolah; penelitian Sukmawati (2016) tentang peran kejujuran akademik (academic honesty) dalam pendidikan karakter studi pada mahasiswa; penelitian Fitri, Safei, & Marjuni (2016) yang menghasilkan bahwa kejujuran berpegaruh pada hasil belajar siswa; penelitian Arianto (2016) tentang pengaruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka terhadap pembentukan karakter jujur mahasiswa; penelitian Khotimah, Fadhli, & Habibi (2017) yang menghasilkan teknik Classroom Developmental Bibliotherapy efektif dalam meningkatkann kejujuran akademik dalam pembelajaran; penelitian Muhasim (2017) tentang studi fenomenologi terhadap kejujuran masyarakat modern; penelitian Messi & Harapan (2017) tentang menanamkan nilai nilai kejujuran di dalam kegiatan madrasah berasrama; penelitian Liana (2018) mengenai strategi menanamkan kejujuran pada peserta didik menjelang ujian nasional; penelitian Amin (2017) tentang peran guru dalam menanamkan nilai kejujuran pada lembaga pendidikan; dan penelitian Baharuddin (2016) tentang cara meningkatkan kejujuran siswa dengan konseling kelompok berbasis nilai-nilai Islam. Kajian dalam jurnal ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Pertama, perbedaan tersebut terletak pada metode penelitian yang digunakan, yaitu kajian literatur. Kajian ini merupakan penelitian dokumen (library research) dengan pendekatan tekstual dan fenomenologi. Pendekatan tekstual dilakukan dengan kajian teoritis yang mendalam terhadap objek penelitian, yaitu prinsip kejujuran sebagai komunikasi spritual. Selain itu, penelitian Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 180 ini merupakan penelitian deskriptif sebagai ciri penelitian kualitatif. Kedua, perbedaan dengan penelitian terdahulu terletak pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian. Ketiga, perbedaan terletak pada lokasi penelitian. Selain itu, penelitian mencoba mengelaborasikan perspektif kajian keislaman, komunikasi, dan psikologi. Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana penerapan kejujuran dalam rangka untuk merefleksikan kebenaran sebagai salah satu cara anak berkomunikasi di era digital saat ini? II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Refleksi Kebenaran dalam Beragama Refleksi merupakan upaya melihat kembali innerprocess dalam pikiran dan perasaan. Bagi John Dewey (1997; Wasitohadi, 2014) karakter individu yang reflektif adalah memiliki keterbukaan pikiran, kemauan untuk menerima tanggungjawab terhadap pandangan pribadi, serta keberanian menghadapi rasa takut dan ketidakpastian serta penuh antusiasme. Fenomena peneguhan kebenaran yang tersebar di media sosial (medsos) dengan mengatasnamakan agama menjadi perhatian yang serius. Sangat disayangkan, masyarakat tidak banyak yang melakukan upaya reflektif setiap kali mendapatkan informasi. Dengan kata lain, tidak banyak masyarakat yang mengecek kebenaran dari informasi tersebut. Kebenaran yang disampaikan hanya berlandaskan kepentingan pribadi dan memperkokoh bahwa dirinya benar dan menyudutkan bahwa pihak lain salah. Sudarminta (2007) dalam ceramahnya menjelaskan bahwa upaya peneguhan kebenaran dengan sikap kritis seharusnya tidak saja ditujukan pada klaim kebenaran orang lain, tetapi juga pada dirinya sendiri. Menurutnya, bahwa orang yang benar adalah orang yang jujur dan tulus. Mustahil ketulusan memunculkan kekerasan dan kebencian. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pun dalam menyampaikan ajaran agamanya selalu mengutamakan ketulusan dan kelemahlembutan. Nabi Muhammad SAW memberikan contoh nyata dalam berdakwah melalui upaya reflektifnya. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 181 Beliau memiliki kebiasaan menyuapi seorang nenek tua Yahudi yang selalu menjelekkan Nabi Muhammad SAW di hadapannya sendiri. Ketulusan dan kejujuran tidak dapat memunculkan kebencian dan kekerasan karena ketulusan dan kejujuran tidak mengandung unsur prasangka. Seseorang yang tulus akan mencari kebenaran informasi yang diterima dan kemudian menyampaikan informasi dengan jujur. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan kebenaran ajaran agamanya selalu mengutamakan ketulusan. Sama halnya dengan pernyataan di awal bahwa orang yang benar adalah orang yang jujur dan tulus. Sehingga dalam praktik beragama dan bermoral, orang yang benar adalah orang yang beriman dan berperilaku baik. Sebab penentuan benar dan salah inilah yang harus memiliki keterlibatan dengan manusia sehingga nilai moral manusia sebaiknya dibedakan dengan kebaikan yang diperintahkan Tuhan. Demikian, konsep kejujuran dengan kesesuaian pada prinsip Islam ini menunjukkan pada hubungan kesadaran kepada Tuhan dan hubungan kesadaran kepada manusia. Kejujuran pada prinsip kesadaran kepada Tuhan. Kejujuran ini memiliki dasar dalam kejujuran beragama. Dalam Islam sendiri, agama atau ad-dîn memiliki pengertian asalnya yang berarti berkeadaban. Madjid (2007) menyebutkan bahwa kota Madinah yang sebelumnya memiliki nama Yatsrib ini memiliki pengertian kota peradaban. Kejujuran sepatutnya bukan saja diartikan sebagai nilai moral. Kejujuran juga memiliki ruang spritiual atau ruang komunikasi manusia kepada Tuhannya. Sehingga, kejujuran yang dilakukannya membuatnya menerima perbedaan atas ciptaan Tuhan di sekelilingnya. Jujur adalah perilaku menyatakan apa adanya, terbuka, konsisten antara perkataan dan perilaku, serta tidak curang (Samani, 2013). Selain itu, perilaku jujur merupakan kata dasar dari kejujuran yang berarti lurus hati; tidak berbohong (misal berkata apa adanya); tidak curang (misal dalam permainan mengikuti aturan yang berlaku); tulus; ikhlas (Poerwadarminta, 2007). Berdasarkan pengertian perilaku jujur tersebut, seseorang yang Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 182 jujur akan menyadari tentang perbedaan yang ada. Seseorang yang jujur akan memiliki pandangan seperti apa adanya, bahwa perbedaan itu realitas yang harus diterima. Bukan justru dipermasalahkan untuk diseragamkan sehingga muncul perilaku menganggap salah kelompok dan klaim kebenaran sepihak. Perilaku tidak mengakui perbedaan yang ada sebagai realitas bertolakbelakang dengan perilaku jujur yang memiliki arti terbuka. Maka dari itu, perilaku tidak jujur berupa menutup diri dari perbedaan sebagai realitas tersebut kemudian menyebabkan kaim kebenaran sepihak yang menjadikan seolah otoritas Tuhan menjadi hilang. Kejujuran dalam pengertian sebagai suatu perilaku yang menyatakan apa adanya akan membawa pada kesadaran mengenai upaya reflektif terhadap diri sendiri bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas. Dengan demikian, kejujuran dalam bentuk yang seperti ini memberikan pemahaman bahwa dirinya masih mencari kebenaran, bukan pembenaran seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatasnamakan agama. Adapun kejujuran pada prinsip kesadaran kepada manusia adalah kejujuran yang bersifat horisontal. Kejujuran horisontal ini merupakan wujud kejujuran yang berlandaskan pada nilai moral manusia. Kejujuran pada prinsip ini menekankan pada apa yang tertanam dalam diri manusia. Manusia memiliki kecenderungan nurani yang dapat memunculkan kejujuran diri dengan keseluruhan. Kejujuran hidup bersama dan memiliki cita-cita kesejahteraan bersama adalah kejujuran yang sepatutnya dipublikasikan. Dengan demikian, kejujuran yang bersifat horisontal ini dapat diimplementasikan dalam bentuk perilaku yang menurut Wibowo (2012) dan Yaumi (2014) didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya. Dalam bentuknya yang lebih detil dan konkret, kejujuran semacam ini dapat diwujudkan dengan tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenaran dan mengandung unsur kebencian. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 183 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kejujuran merupakan bagian dari komunikasi spiritual. Hal ini dikarenakan dalam kejujuran terdapat nilai moral dan agama. Di sisi lain, kejujuran mengandung sikap kesadaran akan keterbatasan diri secara apa adanya sekaligus mengakui perbedaan secara apa adanya sebagai realitas yang diciptakan oleh Tuhan. Dalam konteks derasnya arus informasi yang mengandung konten negatif berupa unsur kebencian atas nama agama dan klaim kebenaran secara sepihak, kejujuran dalam arti sebagai perilaku menerima realitas secara apa adanya dan menyatakan secara apa adanya pula menjadi penting. Oleh karena itu, kejujuran hendaknya diinternalisasikan dengan sistematis terhadap anak di era digital. B. Prinsip Kejujuran sebagai Rahmatan Lil ‘Âlamîn Aktualisasi prinsip kejujuran melahirkan sistem pemahaman yang relevan dengan cita-cita peradaban melalui agama Islam sebagai rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk mewujudkan ini, implementasi pemahaman harus dilakukan dengan internalisasi pengetahuan sebagai gerakan aktualisasi pemahaman mengenai prinsip kejujuran. Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan, maka aktualisasi prinsip kejujuran sebagai komunikasi spiritual bagi anak pada era digital ini dengan melalui pemahaman sebagai berikut. Pertama, pemahaman tentang hak. Orangtua atau pendidik dapat memberikan penjelasan sederhana mengenai hak. Misalnya, menjelaskan kepunyaan pribadi dan orang lain dengan baik. Dengan memberikan pemahaman mengenai hak, anak akan mengerti untuk menghormati orang lain. Dengan memberikan pengertian sederhana tentang hak kepada anak. Anak akan menyadari tentang caranya memberikan penghargaan kepada orang terdekat termasuk orangtua. Misalnya, dapat menjaga atau merawat barang pribadi dan orang lain. Kedua, pemahaman dan pengajaran tentang keberanian. Banyak anak-anak diliputi rasa takut dan membuat mereka menjadi tidak jujur. Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan membuat mereka takut Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 184 untuk secara terbuka bersikap jujur. Anak-anak masih takut dengan bayang-bayang hukuman menimpa mereka. Di sinilah orangtua atau guru sebaiknya memberikan perhatian dan pemahaman mengenai hukuman. Ketakutan yang menimpa diri anak dapat disebabkan oleh bayangan hukuman fisik yang diterima. Pemberian hukuman ini pada titik tertentu memang penting karena memang didasarkan pada paradigma dan konsep teori yang kuat, yaitu paradigma psikologi keperilakuan yang dicetuskan oleh B.F. Skinner tentang penguatan negatif yang berupa hukuman (Amutan, 2014; Omomia & Omomia, 2014). Meskipun demikian, pemberian hukuman terhadap anak yang tidak jujur hendaknya menggunakan teknik yang tidak memunculkan pengalaman traumatis pada anak. Dengan kata lain, pemberian hukuman diberikan bukan semata-mata memunculkan efek jera, tetapi juga mengandung unsur edukatif. Misalnya, menyuruh anak membaca buku 10-20 halaman saat anak melakukan kesalahan yang disengaja. Dengan begitu, keberanian anak tidak terhambat untuk tumbuh. Di sisi lain, pemberian hukuman secara fisik akan berdampak buruk pada anak (McKee et al., 2007). Dalam konteks pendidikan kejujuran, memberikan hukuman pada anak yang tidak jujur akan menimbulkan ketakutan dan hambatan untuk memperbaiki kejujurannya. Ketiga, pemahaman inklusif/bersikap terbuka. Ketidakjujuran adalah bentuk lain dari pribadi yang tertutup atau tidak transparan. Anak-anak yang mengalami hal ini dapat ditunjukkan dengan sikap yang cenderung tidak suka dikoreksi. Anak-anak pada umumnya memang tidak suka dikoreksi atau ditegur saat mendapatkan kesalahan. Di sinilah seharusnya orang tua dapat memberikan ruang pribadi saat anak hendak diberikan teguran. Misalnya, tidak menegur anak di hadapan banyak orang atau teman- temannya. Orangtua sebaiknya menegur anak saat ia tengah sendirian. Hal ini akan mengurangi rasa malu anak atas kesalahan yang dilakukannya. Orang tua harus pandai memberikan nasihat dengan lemah lembut dan tidak menyudutkan anak. Cara menasihati semacam ini termasuk pada teknik induktif, yaitu teknik pendisiplinan yang mengandung unsur empati Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 185 pada anak (Lestari, 2016). Dengan begitu, anak-anak akan lebih mengerti dan memahami kesalahannya agar tidak mengulanginya saat ia dihargai. Selain itu, orang tua atau pendidik hendaknya memberikan solusi yang baik kepada anak sesuai dengan kemampuannya agar dapat memperbaiki perilaku jujur. Keempat, pemahaman sosial. Jujur tidak saja menyangkut diri sendiri. Bersikap jujur adalah juga menyangkut pribadi orang lain. Memberitahukan bahwa sikap jujur akan memberikan kemudahan orang lain untuk mendapatkan informasi. Orangtua dapat memberitahukan pada anak bahwa bersikap jujur berarti tidak merekayasakan sesuatu. Bila perlu, orang tua bisa menceritakan tentang sosok inspiratif yang dikenal sebab kejujurannya. Menceritakan sosok inspiratif ini termasuk upaya pembentukan perilaku dengan teknik pemodelan atau modeling. Menurut Albert Bandura (Feist, Feist, & Roberts, 2017), pemodelan meliputi proses kognitif yang merepresentasikan secara simbolis suatu informasi dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan. Ketika orang tua menceritakan tokoh inspiratif yang mengutamakan kejujuran dalam menyampaikan kebenaran (bukan menyampaikan kebencian), maka anak akan menyimpan informasi tersebut dan kemudian mengolahnya untuk selanjutnya diimplementasikan di masa mendatang. Di sisi lain, kejujuran dapat diinternalisasikan dengan menanamkan dampak positif dari kejujuran. Menurut Akar & Özkan (2017); Rosenbaum, Billinger, & Stieglitz (2014); Wells & Molina (2017), kejujuran memiliki banyak dampak positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Bahkan, kejujuran dapat meningkatkan integritas. Kelima, pemahaman tentang kejujuran sebagai komunikasi spiritual. Jujur tidak saja mengantarkan anak untuk berkomunikasi pada orang lain. Kejujuran juga dapat dijadikan ruang komunikasi spritual bagi anak. Jujur merupakan suatu titik tempat bertemunya antara pengetahuan, pemahaman, dan tindakan. Orang tua atau pendidik dapat menceritakan kepada anak, bahwa dengan bersikap jujur ruang komunikasi spiritual menjadi terbuka. Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 186 Keenam, pemahaman sebagai kerendahan hati. Kejujuran melahirkan kerendahan hati kepada orang lain. Bersikap jujur memberikan keterbukaan diri dan melapangkan hati. Sebab, kejujuran melahirkan ketulusan dalam memahami orang lain. Dengan begitu, kejujuran menjadi bagian dari pemahaman diri dan orang lain sehingga, dapat melahirkan pengakuan keterbatasan diri (Permatasari, 2016). Enam prinsip ini diimplementasikan dengan memperhatikan perkembangan kognitif, afektif, dan moral anak. Hal ini penting agar proses internalisasi nilai kejujuran yang dapat diimplementasikan dalam berkomunikasi di era digital serta tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya dapat berhasil dengan baik. Jika ditinjau dari perspektif psikologi perkembangan, implementasi internalisasi kejujuran yang disesuaikan dengan taraf perkembangan anak akan menjamin keberhasilan internalisasi tersebut sampai pada puncak perembangan moral. Menurut Lawrence Kohlberg (Kohlberg & Hersh, 1977; Zhang & Zhao, 2017), puncak dari perkembangan moral adalah ketika seorang anak memahami moral berdasarkan prinsip universal dan kata hati individu. Perkembangan moral ini termasuk perkembangan moral puncak, yaitu penalaran moral pascakonvensional. Selain itu, menurut Inten (2017) internalisasi nilai kejujuran juga penting dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas kehadiran orang tua atau orang yang berperan, belaian kasih sayang, kehangatan, dan perhatian. Terbukanya akses informasi menciptakan ruang komunikasi yang tidak dapat dilewatkan oleh setiap lapisan masyarakat termasuk anak-anak. Orang dewasa yang seharusnya dapat memegang teguh kejujuran dengan belajar dari masa lalunya justru banyak dari mereka yang mengingkari kenyataan yang sebenarnya. Pengaruh kebohongan publik yang disaksikan setiap hari di hadapan anak tentu dapat berdampak buruk. Ketika keluarga dan sekolah telah memberikan upaya untuk menumbuhkan kejujuran, namun dalam masyarakat nilai tersebut cenderung dilecehkan, maka anak akan terpengaruh untuk tidak melakukannya. Seperti yang telah dijelaskan, Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 187 menurut Bronfenbrenner (2005), bahwa setiap apapun yang terjadi pada salah satu tingkatan bioekologi, maka akan berdampak pada anak. Maka dari itu, masyarakat luas pun juga perlu berkontribusi dalam rangka menginternalisasi kejujuran pada diri anak sebagai prinsip komunikasi di era digital. Dengan demikian, informasi yang berisi unsur kebencian, belum jelas kebenaran dan mengandung unsur kebohongan bahkan fitnah, informasi yang berisi kebenaran sepihak, dapat diminimalisir. Kejujuran sangat penting ditanamkan bagi anak meskipun hal itu tidak mudah. Orang tua sebagai orang dewasa dapat menjadi alat peraga yang bergerak dan selalu mengedepankan kesesuaian realitas yang ada. Dalam agama Islam pun kejujuran menjadi kepribadian yang pertama kalinya diperkenalkan bahkan sebelum masa kenabian Muhammad SAW. Kejujuran yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah karakter superior yang memiliki komunikasi spiritual. Agama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘âlamîn memiliki prinsip dasar dalam beragama yang dalam terjemahan bebasnya bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Di sinilah prinsip persuasif pada kebenaran sebenarnya merupakan hubungan horizontal yang meneguhkan bahwa Tuhan sepenuhnya yang memiliki otoritas dalam memberikan pemahaman atau yang dalam bahasa agama disebut dengan hidayah. III. KESIMPULAN Kejujuran merupakan karakter superior yang dapat dimiliki setiap manusia. Kesadaran mengenai kejujuran harus ditanamkan sejak dini. Anak-anak yang mengenali kejujuran harus diberikan pemahaman yang relevan mengenai kejujuran. Pemahaman hak, keberanian, inklusif, sosial, komunikasi spiritual dan kerendahan hati adalah beberapa alternatif yang dapat memberikan peningkatan anak dalam mempraktikkan kejujuran. Semua hal itu akan mengantarkan anak pada nilai aktivitas keseharian mengenai kejujuran. Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 188 Kajian ini akan mempermudah proses ruang komunikasi spiritual anak melalui kejujuran untuk menumbuhkan karakter yang baik. Namun, masih terdapat kajian yang kurang mendalam sehingga penelitian ini masih membutuhkan tindakan peneliti selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Akar, C., & Özkan, Ö. (2017). Values of Honesty and Integrity in Kutadgu Bilig. Bilig, 123–145. Alvi, F. S., Usman, A., & Amjad, A. (2018). The Ecological Systems Theory : A Dimension of Understanding the Changing Youth in Pakistan. Journal of the Research Society of Pakistan, 55(1), 95–105. Amin, M. (2017). Peran Guru dalam Menanamkan Nilai Kejujuran pada Lembaga Pendidikan. TADBIR: Jurnal Studi Manajemen Pendidikan, 1(1), 105–124. https://doi.org/10.29240/jsmp.v1i1.222. Amutan, K. I. (2014). A Review of B.F. Skinner’s Reinforcement Theory of Motivation. International Journal of Research in Education Methodology, 5(3), 680–688. Arianto, J. (2016). Pengaruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka terhadap Pembentukan. Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, 4(1), 1–13. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2018). Survei APJII: Penetrasi Internet di Indonesia Capai 143 Juta Jiwa (Buletin APJII Edisi 22). Apjii.or.Id, p. 3. Baharuddin, Y. H. (2016). Konseling Kelompok Berbasis Nilai-Nilai Islam untuk Meningkatkan Kejujuran Siswa (Studi Kasus di SMP-IT Masjid Syuhada Yogyakarta). Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 1(2), 215–232. https://doi.org/10.22525/ balaghv1i2.355 Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Bronfenbrenner, U. (2005). The Bioecological Theory of Human Development. In U. Bronfenbrenner (Ed.), Making Human Beings Human: Bioecological Perspectives on Human Development (pp. 3–15). London: Sage Publication. Dewayani, S. (2016). Agar Anak Jujur. Jakarta: Komisi Pemberantasan Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 189 Korupsi Republik Indonesia Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Dewey, J. (1997). How We Think: A Restatement of The Relation of Reflective Thinking to The Educative Process. New York: Dover. Fadillah. (2012). Kejujuran Salah Satu Pendongkrak Pendidikan Karakter di Sekolah. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, 9(3), 968–980. https://doi. org/10.26418/jvip.v9i3.432 Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T.-A. (2017). Theories of Personality: Teori Kepribadian, Buku 2 (R. A. H. D. Pertiwi, Ed.). Jakarta: Salemba Humanika. Fitri, N., Safei, & Marjuni. (2016). Pengaruh Sikap Kedisiplinan dan Kejujuran Peserta Didik Terhadap Hasil Belajar Biologi. Jurnal Biotek, 4(1), 83–100. Inten, D. N. (2017). Penanaman Kejujuran pada Anak dalam Keluarga. Jurnal FamilyEdu, III(1), 35–45. Kamenopoulou, L. (2016). Ecological Systems Theory: A Valuable Framework for Research on Inclusion and Special Educational Needs/ Disabilities. Pedagogy, 88(4), 515–527. Karuniawati, A., Agusti, I. P. E., & A’izzatunni’mah, R. (2018). Assertive Training untuk Meningkatkan Karakter Jujur pada Siswa SD. Prosiding Seminar Nasional “Penguatan Pendidikan Karakter pada Siswa dalam Menghadapi Tantangan Global,” 135–140. Kudus: Universitas Muria Kudus. Khotimah, S. K., Fadhli, M. I., & Habibi, Y. (2017). Meningkatkan Kejujuran Akademik: Efektivitas Classrom Developmental Bibliotherapy dalam Pembelajaran. HUMANITAS, 14(2), 90–102. https://doi. org/10.26555/humanitas.v14i2.5509 Kohlberg, L., & Hersh, R. H. . (1977). Moral Development : A Review of the Theory. Teory into Practice, 16(2), 53–59. Lestari, S. (2016). Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga (1st ed.). Jakarta: Kencana Prenadamedia. Liana, D. (2018). Penanaman Nilai Kejujuran Saat Ujian Nasioal di SMK Nurul Iman Palembang. BELAJEA: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 23–45. https://doi.org/10.29240/bjpi.v3i1.386 Madjid, N. (2007). Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Bandung: Mizan. Martono, N. (2012). Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran – Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 190 McKee, L., Roland, E., Coffelt, N., Olson, A. L., Forehand, R., Massari, C., … Zens, M. S. (2007). Harsh Discipline and Child Problem Behaviors : The Roles of Positive Parenting and Gender. Journal of Family Violence, 22(4), 187–196. https://doi.org/10.1007/s10896- 007-9070-6 Messi, & Harapan, E. (2017). Menanamkan Nilai Nilai Kejujuran di Dalam Kegiatan Madrasah Berasrama (Boarding School). Jurnal Manajemen, Kepemimpinan, dan Supervisi Pendidikan, 2(2), 279–290. https://doi. org/10.31851/jmksp.v2i2.1476 Mubasyaroh. (2017). Pendekatan Psikoterapi Islam dan Konseling Sufistik dalam Menangani Masalah Kejiwaan. Konseling Religi, 8(1), 193– 210. https://doi.org/10.21043/kr.v8i1.2597 Muhasim. (2017). Budaya Kejujuran dalam Menghadapi Perubahan Zaman (Studi Fenomenologi Masyarakat Islam Modern). Palapa: Jurnal Studi Keislaman Dan Ilmu Pendidikan, 5(1), 174–195. Ngafifi, M. (2014). Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial Budaya. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 2(1), 33–47. Nurhaidah, & Musa, M. I. (2015). Dampak Pengaruh Globalisasi bagi Kehidupan Bangsa Indonesia. Jurnal Pesona Dasar, 3(3), 1–14. Omomia, A. O., & Omomia, T. A. (2014). Relevance of Skinner’s Theory of Reinforcement on Effective School Evaluation and Management. Russian Federation European Journal of Psychological Studies, 4(4), 174– 180. https://doi.org/10.13187/ejps.2014.4.174 Permatasari, D. (2016). Tingkat Kerendahan Hati Siswa SMP. Jurnal Konseling Indonesia, 1(2), 83–87. Poerwadarminta, W. J. S. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rosenbaum, S. M., Billinger, S., & Stieglitz, N. (2014). Let’s be Honest: A Review of Experimental Evidence of Honesty and Truth- telling. Journal of Economic Psychology, 45, 181–196. https://doi. org/10.1016/j.joep.2014.10.002 Samani, M. (2013). Pendidikan Karakter : Konsep dan Model. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudarminta, J. (2007). Setia pada Kebenaran. Sukmawati, F. (2016). Peran Kejujuran Akademik (Academic Honesty) dalam Pendidikan Karakter Studi pada Mahasiswa Jurusan Bimbingan Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 175 - 192 191 Konseling Islam Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah Angkatan 2013/2014. Jurnal Khatulistiwa - Journal of Islamic Studies, 6(1), 87– 100. Susanto, E. H. (2016). Media Sosial sebagai Pendukung Jaringan Komunikasi Politik. Jurnal ASPIKOM, 3(3), 379–398. Suud, F. M., & Subandi. (2017). Kejujuran Perspektif Psikologi Islam: Kajian Konsep dan Empiris. Jurnal Psikologi Islam, 4(2), 121–134. Wasitohadi. (2014). Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey. Satya Widya, 30(1), 49–61. Wells, D. D., & Molina, A. D. (2017). The Truth about Honesty. Journal of Public and Nonprofit Affairs, Vol. 3, p. 292. https://doi.org/10.20899/ jpna.3.3.292-308 Wibowo, A. (2012). Pendidikan Karakter : Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yaumi, M. (2014). Pendidikan Karakter : Landasan, Pilar, dan Implementasi. Jakarta: Kencana Prenadamedia. Zhang, Q., & Zhao, H. (2017). An Analytical Overview of Kohlberg’s Theory of Moral Development in College Moral Education in Mainland China. Open Journal of Social Sciences, 5, 151–160. https:// doi.org/10.4236/jss.2017.58012