ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2018 Editorial Team Editor-In-Chief Imam Mujahid, (SCOPUS ID : 57208214175); IAIN Surakarta, Indonesia Editorial Board Waryono Abdul Ghafur, UIN Sunan Kalijaga, Indonesia Diajeng Laily Hidayati, IAIN Samarinda, Indonesia Akhmad Anwar Dani, IAIN Surakarta, Indonesia Ahmad Saifuddin, IAIN Surakarta, Indonesia Abraham Zakky, IAIN Surakarta, Indonesia Rhesa Zuhriya Pratiwi, IAIN Surakarta, Indonesia Alamat Redaksi : Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Surakarta Jl. Pandawa No. 1, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah 57168 Phone : +62 271 - 781516 Fax : +62 271 - 782774 Surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id Laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 3, No. 2, Juli - Desember 2018 Daftar Isi Fatwa MUI tentang Atribut Keagamaan dalam Perspektif Komunikasi Dakwah Muhd. Maryadi Adha 149 - 174 Refleksi Kebenaran: Prinsip Kejujuran Sebagai Komunikasi Spiritual Anak di Era Digital Muhamad Iqbal & Cesilia Prawening 175 - 192 Hambatan Komunikasi Pendamping Sosial Imam Alfi 193 - 210 Korelasi Penggunaan Gadget Terhadap Kepuasan Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa Disabilita Nisa Azizah & Arina Rahmatika 211 - 234 Mahasiswa dan Keputusan Memilih Jurusan (Analisis Kuantitatif Pada Mahasiswa KPI IAIN Surakarta Angkatan 2017/2018) Agus Sriyanto 235 - 258 Kepuasan Mahasiswa KPI IAIN Surakarta dalam Pemilihan Konsentrasi Jurusan Eny Susilowati & Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi 259 - 292 FATWA MUI TENTANG ATRIBUT KEAGAMAAN DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI DAKWAH DOI : http://dx.doi.org/10.22515/balagh.v3i2.1405 Muhd. Maryadi Adha Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda Keywords: communication of da’wah, MUI, fatwa of religious attribute http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2018 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: maryadiadha245@gmail.com Abstract Fatwa of MUI Number 56 in 2016 concerning about “Religious Attributes of Non-Muslims” issued as guideline for Indonesian Muslims addressing the phenomenon of using non-muslim religious attributes, while promoting good relations between Muslims and other religious people. The purpose of this study is to analyze how the MUI fatwa efforts to maintain the harmony between religious communities and the harmonious life in society, nation, and state. Using qualitative research methods in communication of da’wah perspective, this study focuses direct attention into 3 (three) things that’re: 1) analysing about some keywords contained in the fatwa; 2) understanding the quality of fatwa messages; and 3) analysing the implications of fatwa in Indonesian religious life. Generally, in communication of da’wah perspective, the fatwa still raises multi-interpretations, particularly among the communicants, especially on keywords in the fatwa which have an impact on the tension of religious relations in Indonesia, though not too significant. Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang “Atribut Keagamaan Non-Muslim” muncul sebagai pedoman bagi umat Islam di Indonesia dalam menyikapi fenomena penggunaan atribut keagamaan non- muslim, dengan tetap mengedepankan hubungan baik antara umat Islam dan umat beragama lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana fatwa MUI tersebut berupaya memelihara kerukunan hidup antarumat beragama dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan metode Abstrak Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 Kata Kunci: komunikasi dakwah, MUI, fatwa atribut keagamaan Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 150 kualitatif dalam perspektif komunikasi dakwah, penelitian ini terfokus pada 3 (tiga) hal yaitu: 1) analisis pada sejumlah istilah kunci yang terdapat dalam fatwa; 2) pemahaman mengenai kualitas pesan fatwa; dan 3) analisis implikasi fatwa terhadap kehidupan umat beragama di Indonesia. Secara umum, perspektif komunikasi dakwah, fatwa tersebut dinyatakan masih menimbulkan multitafsir, khususnya di kalangan komunikan, terutama mengenai istilah-istilah kunci dalam fatwa yang turut berdampak pada ketegangan hubungan umat beragama di Indonesia, meski tidak terlalu signifikan. I. PENDAHULUAN Fatwa mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas sosial. Perubahan sosial sebagai hasil dinamika budaya sering menimbulkan gesekan di masyarakat, Islam sebagai agama universal dengan panduan spesifik berdasarkan Alquran dan Hadis memerlukan peran ulama untuk menerjemahkan transformasi sosio-kultural dalam bentuk fatwa. Namun tidak sedikit fatwa yang kontroversial yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat (Hamzah, 2017). Adanya fatwa tidak selalu dapat diterima dengan baik di masyarakat, terjadi pro-kontra pada saat fatwa tersebut dikeluarkan. MUI sebagai salah satu lembaga yang merumuskan fatwa memiliki peran penting menciptakan stabilitas sosial dalam hal hubungan umat beragama yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam merumuskan fatwa-fatwa berkaitan tentang kerukunan antar umat beragama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama (Arifin, 2015). Fungsi MUI adalah sebagai wadah mewakili umat Islam terutama dalam hal hubungan umat beragama. Fungsi itu bertujuan untuk menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia. Peran MUI untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, MUI sebagai organisasi yang memiliki tugas memberi nasehat. Berperan pada tataran moral misalnya memberi fatwa, himbauan, ajakan, memberi rekomendasi dan saran terhadap organisasi keagamaan sejenis (Iswahyudi, 2017). Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 151 Pada Tahun 2016 MUI mengeluarkan fatwa tentang penggunaan atribut keagamaan non-muslim. Fatwa ini diputuskan dalam fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 14 Rabiul Awal 1438 H bertepatan dengan tanggal 14 Desember 2016 dinyatakan bahwa, menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram (R. Indonesia, 2018). Ketua MUI menyatakan fatwa tersebut dikeluarkan karena banyaknya keluhan dari masyarakat yang dipaksa menggunakan atribut keagamaan agama lain saat hari besar agama tersebut (Kompas, 2016). Kendati demikian keputusan yang dikeluarkan MUI tentang haramnya memakai atribut non-muslim menjadi perbincangan dan perdebatan. Seperti diketahui MUI memegang peran dalam hal menjaga kerukunan umat beragama. Idealnya fatwa tersebut memberikan solusi terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia, faktanya munculnya fatwa ini memicu berbagai gerakan, mulai dari sosialisasi di tempat publik seperti sweeping yang dilakukan oleh FPI (C. Indonesia, 2016), hingga kekerasan di kafe atas nama sosialisasi tapi menimbulkan keresahan. Bahkan dianggap intoleransi mulai berkembang (Kompas, 2016). Fatwa ini juga mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan yang bersifat positif, mendukung fatwa, dan negatif yang mempertanyakan urgensi dari dikeluarkannya fatwa tersebut. Majelis Ulama Indonesia sebagai otoritas pembuat fatwa utama seharusnya dapat menjadi pihak yang inklusif dan menaungi semua kepentingan, tidak cenderung eksklusif pada satu golongan. Fatwa yang cenderung eksklusif akan mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat, terutama bagi mereka yang merasa dirugikan dengan hadirnya fatwa(Iswahyudi, 2017). Fatwa merupakan produk yang diharapkan dapat meningkatkan maslahah masyarakat, melindungi dan menghindarkan masyarakat dari kekeliruan memahami dan menjalankan ajaran agama (Fathoni, 2015). Namun setiap bentuk redaksi fatwa berdampak terhadap pemahaman masyarakat terhadap fatwa tersebut. Dalam beberapa kasus, Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 152 fatwa yang dikeluarkan oleh MUI dianggap menghalangi kebebabasan beragama bahkan berdampak pada munculnya reaksi negatif satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain (Hasyim, 2015). Hal ini telah terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama, bahkan beberapa waktu setelah berdirinya MUI sebagai lembaga fatwa (Sajari, 2015). Banyak kasus penganiaan, persekusi hingga pengusiran kelompok lain terjadi akibat dari muncul fatwa yang dikeluarkan oleh MUI (Wibowo, 2015). Demikian pula dalam konteks penggunaan atribut keagamaan non-muslim bagi umat Islam. Menarik untuk menganalisis fatwa tersebut baik secara konten maupun pemahaman masyarakat terhadap fatwa tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana fatwa MUI tersebut berupaya memelihara kerukunan hidup antarumat beragama dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. II. METODE PENELITIAN Meninjau keputusan MUI diatas penulis ingin meneliti kualitas pesan fatwa MUI tentang atribut keagamaan ditinjau dari perspektif komunikasi dakwah dan aspek di masyarakat tentang implikasi fatwa terhadap masyarakat mengenai haramnya memakai atribut non-muslim terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Data-data dalam artikel ini didapatkan dari wawancara terhadap beberapa informan yang berasal dari pekerja, mahasiswa IAIN Samarinda dan perwakilan Ikatan Keluarga Alumni Program Kaderisasi Ulama Kalimantan Timur. Data pendukung didapatkan dari studi dokumen atas fatwa MUI yang dimaksud. Fatwa MUI dianalisis dengan pendekatan analisis isi, sedangkan respon masyarakat terhadap fatwa MUI dianalisis dengan wacana. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 153 III. FATWA ATRIBUT KEAGAMAAN: UPAYA MENDUKUNG HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA? A. Fatwa Atribut Keagamaan dan Hubungan Antar Agama di Indonesia Untuk memahami peran sentral MUI dalam menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan, peneliti terlebih dahulu mendeskripsikan dua hal; pertama,gambaran singkat tentang Fatwa MUI No Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim dan kedua, relevansi fatwa dalam menjawab tantangan kehidupan beragama di Indonesia. 1. Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim Pada tahun 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang larangan menggunakan atribut keagamaan non-muslim. Larangan tersebut tertuang dalam fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 14 Rabiul Awal 1438 H bertepatan dengan tanggal 14 Desember 2016. Atribut keagamaan yang dimaksud dalam fatwa tersebut adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu. Fatwa tersebut ingin menegaskan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah juga haram (MUI, 2016a). Selain soal pengharaman atribut keagaman non-muslim, fatwa ini turut merekomendasikan pentingnya menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 154 ibadah Islam dengan keyakinan agama lain. Fatwa tersebut juga menegaskan pentingnya umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satunya adalah dengan menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan saling mengakui kebenaran teologis. Pernyataan- pernyataan tersebut tertuang dalam poin-poin rekomendasi fatwa yang ditandatangani oleh Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA, Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA selaku penanggungjawab Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dari format penyusunan, fatwa ini terdiri dari empat bagian, dan masing-masing bagian memuat penjelasan-penjelasan detail terkait isu penggunaan atribut keagamaan agama lain. Bagian pertama memuat pertimbangan-pertimbangan logis di balik lahirnya fatwa tersebut sementara di bagian kedua merinci berbagai dalil yang menjadi dasar dalam penetapan fatwa, baik dari Alquran, hadis maupun kaidah-kaidah fiqhiyyah. Pada bagian ketiga, fatwa ini mengutip berbagai pendapat ulama terkait isu-isu yang dianggap serupa dengan isu penggunaan atribut keagamaan. Pada bagian akhir, fatwa merumuskan tiga poin utama yaitu definisi atribut keagamaan, ketentuan hukum penggunaan atribut keagamaan non-muslim dan 6 poin rekomendasi. 2. Fatwa dan Tantangan Hubungan Umat Beragama di Indonesia Salah satu fungsi dan tugas utama MUI adalah memberikan fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam serta memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama(MUI, 2016b). Oleh karena itu, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI harus mempertimbangkan kemaslahatan umat Islam, tak terkecuali kepentingan umat beragama yang lain. Lahirnya fatwa atribut keagamaan ini, menurut MUI, sebagai pedoman umat Islam Indonesia dalam menyikapi fenomena penggunaan atribut Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 155 kegamaan non-muslim, khususnya di hari perayaan keagamaan, dengan tetap mengedepankan hubungan baik antara umat Islam dan umat beragama lainnya. Lalu, sejauhmana fatwa tersebut berperan dalam menjawab tantangan kerukunan antar-umat beragama di Indonesia? Kerukunan antar-umat beragama yang dimaksud di sini adalah perihal hidup dalam suasana yang baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati, dan bersepakat antar umat beragama yang berbeda-beda agamanya atau antar umat beragama dalam satu agama. Kerukunan antar umat beragama bukan berarti melebur agama-agama yang ada menjadi satu totalitas (sinkretisme agama), melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam setiap proses kehidupan sosial kemasyarakatan.Yaitu semua orang bisa “hidup bersama tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama (Daulay, 2001). Kerukunan atau hidup rukun adalah sikap yang berasal dari lubuk hati yang terdalam, terpancar dari kemauan untuk memang berinteraksi satu sama lain sebagai manusia tanpa tekanan dari pihak manapun (Taher, 2009), dengan adanya yang satu mendukung keberadaan yang lain (Haq, 2002). Hubungan antar agama di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan, tantangan dan juga mengalami pasang surut. Ada kalanya hubungan tersebut berlangsung harmonis, tetapi tidak jarang berujung pada konflik yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Rangkaian konflik dan kekerasan bernuansa agama terus terjadi di Indonesia, mulai dari kerusuhan bernuansa agama di kota-kota provinsi pada 1995-1997, kampanye anti hukum santet di Jawa dan konflik antar kelompok agama di Sulawesi Tengah dan Maluku 1998-2001, hingga mobilisasi laskar berbasis agama dan Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 156 pengeboman yang dilakukan kelompok teroris atas nama jihad pada 2000-2005 (Fauzi, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antarumat beragama di Indonesia harus selalu menjadi perhatian (Indiyanto, 2013). Untuk itu baik pemerintah maupun non-pemerintah seperti Ormas-ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga keagamaan lainnya, perlu membuat pedoman atau fatwa-fatwa berkaitan dengan kerukunan umat beragama dalam menjalankan praktik keagamaan dan menjaga agar tidak terjadi konflik. Data laporan CRCS dan Wahid Foundation, konflik antar- agama yang terjadi di Indonesia masih mengalami pasang surut. Dari tahun ke tahun kasus-kasus yang terjadi hampir sama, dengan kapasitas kasus yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan beragama di Indonesia masih butuh perhatian serius dari berbagai pihak. Tabel 1 Kasus-Kasus Kehidupan Umat Beragama di Indonesia NO Tahun Jumlah Kasus Deskripsi Kasus 1 1990-2008 832 kasus (versi CRCS) Insiden kekerasan, isu keagamaan, bentrok 2 2009 25 kasus ( versi CRCS) Larangan rumah ibadah, penyesatan penodaan agama 3 2010-2011 75 kasus (versi CRCS) 93 kasus (versi Wahid Foundation) Penyerangan rumah ibadah (masjid dan gereja), pelalarangan Ahmadiyah, pengalihfungsikan, pembekuan, penyegelan, penutupan rumah ibadah, teror ledakan bom, pembakaran, pelemparan bangunan Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 157 NO Tahun Jumlah Kasus Deskripsi Kasus 4 2012 22 kasus (versi CRCS) 110 kasus ( versi Wahid Foundation) Aliran sesat, pelarangan rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, intimidasi 5 2013 245 kasus (versi Wahid Foundation) Masjid, penyebaran kebencian 6 2014 158 kasus (versi Wahid Foundation) Rumah ibadah, pengungsi umat Syiah, pembakaran gereja, masjid 7 2015 190 kasus (versi Wahid Foundation) Pelarangan ibadah, rumah ibadah, terorisme, pengunsi umat syiah 8 2016 204 kasus (versi Wahid Foundation) Penodaan agama, Gafatar, Syiah, Ahmadiyah 9 2012-2018 Belum(berbagai sumber) Deradikalisasi, aliran sesat Sumber: Laporan Kehidupan Beragama, CRCS, 1990-2012 dan laporan Kehidupan Beragama, Wahid Foundation, 2010-2016 Lalu muncul pertanyaan apakah fatwa larangan penggunaan atribut keagamaan non-muslim mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”? 3. Analisis Fatwa dalam Konteks Komunikasi Dakwah Untuk menguji fatwa dalam konteks komunikasi dakwah, peneliti menguji 3 aspek yang terkandung dalam fatwa yaitu 1) efektivitas penggunaan kata-kata/istilah dan kalimat yang digunakan MUI selaku komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan fatwa tersebut kepada komunikan (masyarakat). 2) menguji kualitas pesan fatwa. 3) mengkaji implikasi fatwa terhadap kehidupan beragama di masyarakat. Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 158 a. Kata-kata/istilah yang digunakan Pada tahap ini peneliti mengumpulkan beberapa kata atau istilah kunci serta kalimat-kalimat pokok yang terdapat dalam fatwa untuk diuji efektivitasnya. Efektivitas yang dimaksud di sini adalah sejauh mana komunikan dapat menafsirkan atau memahami secara tepat istilah atau pesan fatwa yang disampaikan oleh komunikator (lembaga fatwa). Adapun kata atau istilah yang diujikan adalah sebagai berikut: Tabel 2 Kata/istilah dalam Fatwa MUI No Kata/istilah Contoh Kalimat Penjelasan 1 Fatwa ..dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim.. Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam 2 Atribut Keagamaan menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram Atribut diartikan tanda kelengkapan, adapun atribut keagamaan adalah atribut yang digunakan sebagai identitas umat beragama tertentu 3 Akidah ..tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.. Akidah berarti kepercayaan, keyakinan, atau keimanan, dalam Alquran akidah adalah keimanan kepada Allah SWT yakni mengakui kewujudan- Nya 4 Toleransi ..sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan non-muslim.. Suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau individu dalam masyarakat 5 Bid’ah Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka.. Perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 159 No Kata/istilah Contoh Kalimat Penjelasan 6 Tasyabuh ..sikap menyerupai (tasyabuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya.. Memiliki arti menyerupai atau mencontoh Pada tahapan berikutnya, peneliti menguji tingkat pemahaman komunikan Muslim yang bekerja di tempat usaha non-muslim seperti hotel, mal, rumah makan, kafe, pusat penjualan handphone serta kalangan mahasiswa tentang penggunaan kata-kata/istilah tersebut di atas. Uji coba dilakukan dengan menggunakan teknik tanya jawab. Komunikan yang dipilih terdiri dari 10 orang pekerja dan 10 orang mahasiswa IAIN Samarinda serta 10 perwakilan Ikatan Keluarga Alumni Program Kaderisasi Ulama Kalimantan Timur. Pemahaman masing-masing komunikan dapat terlihat pada saat peneliti memberikan beberapa pertanyaan di atas sehingga dapat disimpulkan pemahaman mereka tentang kata-kata atau istilah yang digunakan tidak sama. Tabel 3 Kesimpulan Hasil PemahamanKomunikan Terhadap Kata/istilah dalam Fatwa MUI No Komunikan Kata/istilah Tingkat Pemahaman 1 Pekerja, Mahasiswa, IKA PKU Kaltim Fatwa 46% paham 27% tidak paham 27% kurang paham Atribut keagamaan 63% paham 0% tidak paham 37% kurang paham Akidah 90% paham 0% tidak paham 10% kurang paham Toleransi 70% paham 0% tidak paham 30% kurang paham Bid’ah 40% paham 33% tidak paham 27% kurang paham Tasyabuh 47% paham 33% tidak paham 20% kurang paham Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 160 Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap kata/istilah pesan fatwa tersebut berbeda-beda: 1) Kalangan pekerja memiliki tingkat pemahaman yang rata-rata tidak memahami 6 kata/istilah tersebut. 2) Begitu pula kalangan mahasiswa sebagian kurang paham dengan kata/istilah pesan tersebut. 3) Adapun tingkat pemahaman pada kalangan Alumni Program Kaderisasi Ulama lebih sedikit paham akan kata/ istilah pesan tersebut. Kendati demikian peneliti hanya ingin melihat sejauh mana pemahaman yang dipahami dari kata/istilah dalam penggunaan pesan fatwa tersebut di dalam masyarakat. Secara khusus penggunaan kata/istilah dalam fatwa ini cukup efektif, karena bisa dipahami oleh komunikan meskipun tingkat pemahamannya berbeda-beda. Kata-kata/istilah yang di gunakan dalam fatwa ini ditanggapi oleh anggota komisi fatwa MUI Provinsi Kalimantan Timur pada saat peneliti melakukan wawancara. Disampaikan bahwa istilah yang digunakan tersebut telah dipertimbangkan dalam musyawarah yang dilakukan. Penggunaan kata/istilah (fatwa, atribut keagamaan, akidah, toleransi, bid’ah, tasyabuh) merupakan kata-kata umum, walaupun sebagian orang ada yang tidak memahami akan kata seperti bid’ah, tasyabuh. b. Kalimat-Kalimat Pokok dalam Fatwa Pada tahap ini peneliti mengumpulkan beberapa kalimat- kalimat pokok yang terdapat dalam fatwa untuk diuji efektivitasnya. Efektivitas yang dimaksud di sini adalah sejauhmana komunikan dapat menafsirkan atau memahami secara tepat pesan fatwa yang disampaikan oleh komunikator (lembaga fatwa). Adapun kalimat yang diujikan adalah sebagai berikut: Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 161 Tabel 4 Contoh Kalimat/Pesan Pokok Fatwa MUI No Kalimat-kalimat Pokok 1 Kalimat atau pesan tentang pelarangan menggunakan atribut keagamaan 2 Kalimat atau pesan mengenai haramnya fatwa tentang atribut keagamaan tersebut Nomor 56 Tahun 2016 3 Latar belakang dikeluarkannya fatwa dalam hal ini dijelaskan bahwa ada sebagian kafe, hotel, mal, restoran mengharuskan karyawan Muslim menggunakan atribut keagamaan non-muslim 4 Penetapan fatwa tersebut, memperhatikan bahwa keluarnnya fatwa ini terkait pula adanya fatwa perayaan Natal bersama yang ditetapkan tanggal 7 Maret 1981 5 Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Sama halnya dengan uji kata-kata/istilah, pada tahapan ini peneliti menguji tingkat pengetahuan komunikan Muslim yang bekerja di tempat usaha non-muslim seperti hotel, mal, rumah makan, kafe, pusat penjualan handphone serta kalangan mahasiswa tentang pengetahuan akan kalimat tersebut di atas. Uji coba dilakukan dengan menggunakan teknik tanya jawab. Untuk menguji akurasi jawaban komunikan, peneliti melakukan wawancara dengan berpedoman kepada penjelasan yang ada di tabel 4.2. Komunikan (responden) yang dipilih terdiri dari 10 orang pekerja dan 10 orang mahasiswa IAIN Samarinda serta 10 perwakilan Ikatan Keluarga Alumni Program Kaderisasi Ulama Kalimantan Timur. Berdasarkan hasil tanya jawab dan wawancara, tingkat pengetahuan komunikan terhadap kalimat pesan fatwa yang disampaikan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 162 Tabel 5 Kesimpulan Hasil Pengetahuan Komunikan terhadap Kalimat/pesanFatwa MUI No Komunikan Pernyataan Kalimat/pesan Fatwa Tingkat Pengetahuan 1 Pekerja, Mahasiswa dan IKA PKU Kaltim Kalimat atau pesan tentang pelarangan menggunakan atribut keagamaan 33% Iya 30% Tidak tahu 37% Kurang tahu Kalimat atau pesan mengenai haramnya fatwa tentang atribut keagamaan tersebut Nomor 56 Tahun 2016 33% Iya 40% Tidak tahu 27% Kurang tahu Latar belakang dikeluarkannya fatwa dalam hal ini dijelaskan bahwa ada sebagian kafe, hotel, mal, restoran mengharuskan karyawan Muslim menggunakan atribut keagamaan non- muslim 27% Iya 50% Tidak tahu 46% Kurang tahu Penetapan fatwa tersebut, memperhatikan bahwa keluarnya fatwa ini terkait pula adanya fatwa perayaan Natal bersama yang ditetapkan tanggal 7 Maret 1981 27% Iya 50% Tidak tahu 23% Kurang tahu Dasar Negara Republik Indonesia 1945 23% Iya Tidak tahu 33% Kurang tahu Hasil dari tiga komunikan, dalam tingkat pengetahuan di atas mulai dari kalangan pekerja sebanyak 10 komunikan, mahasiswa 10 komunikan dan Ikatan Alumni Program Kaderisasi Ulama sebanyak 10 komunikan. Secara umum dapat disimpulkan pengetahuan tentang kalimat/pesan fatwa tersebut dalam tiga kalangan yang berbeda. 1) Pada kalangan pekerja tingkat pengetahuan akan kalimat/pesan fatwa tersebut tidak tahu adanya fatwa MUI. 2) Adapun di kalangan mahasiswa tidak berbeda jauh dengan para pekerja yang tingkat pengetahuannya tentang kalimat/ Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 163 pesan fatwa menunjukkan kurang tahu akan adanya fatwa tersebut. 3) Adapun tingkat pengetahuan pada tataran Alumni Program Kaderisasi Ulama akan kalimat/pesan fatwa mereka lebih dominan tahu akan fatwa tersebut walaupun sebagian kurang tahu. Kendati demikian peneliti hanya ingin melihat sejauh mana pemahaman yang dipahami dari kata/istilah dalam penggunaan pesan fatwa tersebut di dalam masyarakat. Secara khusus kalimat/pesan fatwa ini kurang diketahui oleh para komunikan khusunya para pekerja dan mahasiswa, adapun pada kalangan IKA PKU Kaltim lebih megetahui tentang adanya fatwa tersebut. Setelah mengetahui tingkat pengetahuan komunikan terhadap fatwa tersebut, peneliti kemudian melakukan wawancara kepada anggota Komisi fatwa MUI Provinsi Kalimantan Timur, untuk mendapatkan informasi mengenai sosialisasi fatwa tersebut kepada masyarakat.Dalam hal ini disampaikan bahwa sosialisasi yang dilakukan mengenai atribut keagamaan khususnya di Kalimantan Timur hanya sebatas pemberitahuan melalui surat yang ditujukan kepada pihak terkait, seperti hotel, mal, restaurant, dan kafe. Hal ini sebenarnya telah dilakukan khususnya ditujukan kepada umat Islam agar senantiasa menjaga akidahnya (Wibowo, 2015). Namun di satu sisi hal tersebut kembali kepada masyarakat, karena pada dasarnya tugas MUI menyampaikan fatwa tersebut bertujuan agar umat Islam terhindar dari perayaan-perayaan atau mengikuti hal- hal yang menjadi bagian dari tradisi agama non-muslim. c. Substansi/Kualitas Fatwa Secara substansi, ada pesan yang akurat dan ada yang asal- asalan, ada yang benar dan ada yang dusta. Dalam kategori ini pesan tidak selalu mengandung kebenaran. Di antara jenis pesan dalam Alquran yang memiliki pengaruh luas adalah pesan yang disebut dengan istilah naba’, apakah berita itu benar atau salah. Adapun Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 164 pesan yang mengandung kemungkinan benar atau dusta, salah atau benar, yang kedua-duanya memungkinkan disebut dengan khabar. Pada tahap ini peneliti mencoba menguji kualitas atau pesan fatwa yang disampaikan kepada masyarakat tentang fatwa atribut keagamaan. Jika kita melihat sejarah menunjukkan bahwa kepemilikan terhadap suatu atribut sesungguhnya dari mengikuti perkembangan zaman, apa yang sebelumnya menjadi tradisi agama atau budaya lain dan kemudian menjadi tradisi bersama (Fachruddin, 2016). Salah satu contohnya adalah tasbih (dalam Kristen: rosario), yang tidak murni berasal dari Islam, karena itu dianggap bid’ah oleh satu kelompok dalam Islam. Di Indonesia, ada kentongan untuk masjid yang pernah menjadi perdebatan di kalangan kiai NU generasi awal, satu menganggapnya bid’ah yang lain membolehkannya (Syafaq, 2014). Selanjutnya menara yang berasal dari kata Arab manarah (tempat perapian) untuk masjid; satu pendapat menyatakan menara diadopsi dari tradisi Zoroastrian; pendapat lain menyatakan ia berasal dari gereja Kristen Suriah yang ketika berada di bawah dinasti Umawi, diubah menjadi masjid. Hal lain seperti baju koko, yang bermula dari tradisi Tionghoa (tampak dari namanya: “engkoh-engkoh” menjadi “koko”). Lebih jauh bila atribut juga mencakup simbol, bahwa lambang nasional kita, burung Garuda, yang berasal dari tradisi Hindu: Garuda adalah tunggangan (vahana) Wisnu. Dengan melihat sejarah tersebut maka timbul pertanyaan, atribut seperti apa yang dimaksud dalam fatwa MUI tersebut? Pertama, pada tataran judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah non-muslim adalah umat atau pemeluk agama Kristen. Namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah umat Kristen. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 165 Kedua, definisi atribut keagamaan yang dimaksudkan oleh fatwa MUI tersebut, tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut atau simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram. Kendati demikian pada keputusan, ketentuan umum dinyatakan bahwa dalam fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi agama tertentu. Fatwa tersebut tidak menyebut Natal dan umat Kristiani secara eksplisit (Manan, 2016). Namun lebih jauh timbul pertanyaan mengenai luasanya cakupan makna atribut non-muslim ini. Kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernak-pernik yang digunakan banyak orang untuk merayakan hari Natal, misalnya pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa, kereta salju, lilin. Dengan itu untuk mempertajam makna dari atribut keagamaan yang dimaksud oleh MUI, selain musyawarah dengan para ulama, perlu pula adanya ahli sejarah yang termasuk di dalamnya. Sehingga fatwa tersebut dapat dipahami dengan jelas oleh masyarakat (Iswahyudi, 2017). Walaupun sebenarnya sebagian masyarakat mengetahui apa itu atribut keagamaan, namun pengetahuan mereka tentang atribut keagamaan yang dimaksud oleh isi fatwa MUI belum dipahami secara jelas. Fatwa ini sebenarnya mengandung pesan untuk umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain (Muzakka, 2018). Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 166 Namun apabila fatwa MUI yang dimaksudkan adalah penggunaan atribut Natal, maka terbitnya fatwa haramnya menggunakan atribut keagamaan non-muslim, orang yang tadinya biasa saja menggunakan atribut sinterklas, akan menolak karena alasan keagamaan. Padahal, tak sedikit tahun-tahun sebelumnya menggunakan atribut sinterklas tetapi tetap dapat menjalankan perintah agama Islam dengan baik. Artinya, tidak ada pendangkalan akidah setelah menggunakan atribut keagamaan non-muslim (seperti yang ditakutkan MUI). Adapun pesan fatwa MUI tersebut merupakan hal yang patut dihargai. Komisi fatwa MUI menyebutkan terkait fatwa tentang atribut keagamaan non-muslim yang disampaikan mengandung hal yang kurang dipahami dan kurang diterima oleh masyarakat, namun di satu sisi fatwa itu merupakan hal penting agar umat Islam senantiasa dapat menjaga akidahnya. Karena pada dasarnya MUI adalah tempat wadah para ulama, dimana tugas pokoknya adalah untuk menyampaikan pesan kepada umat agar senantiasa berada di jalan Allah SWT. d. Implikasi Fatwa dalam Upaya Mendukung Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Lahirnya fatwa MUI tentang atribut keagamaan telah melahirkan perdebatan publik, baik dari segi substansi fatwa, momentum maupun penafsiran. Perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya menimbulkan pertanyaan penting lainnya, sejauhmana fatwa ini mampu menjadi wahana bagi upaya “menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memelihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”? Sebagaimana tertuang dalam fatwa, salah satu tujuan fatwa ini adalah agar umat Islam tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama dan memilihara harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 167 ajaran agama. Lebih jauh, umat Islam diajak untuk memahami kebhinekaan sebagai “kesadaran terhadap perbedaan”(Rumapea, 2016). Sadar terhadap perbedaan bukan hal yang salah di dalam dirinya sendiri. Masalahnya ialah bagaimana perbedaan itu dikelola. Apakah dengan menajamkannya, sehingga perbedaan-perbedaan perlu dipertegas hingga hal-hal minor perlu disengketakan dan dibesar-besarkan, atau menjembataninya, sehingga saling memahami didahulukan, dialog diutamakan, dan penghakiman bisa ditunda, tentu tanpa maksud menyamakan atau mencapuradukkan. Kita memahami bahwa keputusan yang ditetapkan oleh MUI adalah keputusan yang baik bagi umat Islam, tujuannya agar umat Islam tidak terpengaruh dengan keyakinan selain agama Islam. Para ulama khawatir jika di masyarakat akan timbul keyakinan baru pada saat mengikuti perayaan-perayaan non-muslim apalagi sampai memakai atribut keyakinan mereka dan mempengaruhi akidah umat Islam (Hapsin, 2014). Lebih jauh fatwa yang dikeluarkan MUI Nomor 56 tahun 2016 tentang larangan menggunakan atribut keagamaan non- muslim ini telah menjadi salah satu perbincangan khalayak, baik media konvensional maupun sosial. Persoalan ini menjadi sangat sensitif di tengah kondisi kebangsaan kita yang belakangan kurang kondusif akibat diterpa isu-isu yang cenderung bernuansa SARA sampai kepada persoalan kasus penistaan agama yang cukup banyak menghabiskan energi bangsa ini. Sehingga wajar jika kemudian sebuah fatwa yang semestinya tidak mengikat bagi umat Muslim, justru menjadi diskursus viral di berbagai media (Hamidah, 2016). Seperti diketahui MUI memegang peran penting dalam hal menjaga kerukunan umat beragama. Idealnya, fatwa tersebut memberikan solusi terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks nasional, fatwa ini telah memicu berbagai aksi dan reaksi, mulai dari sosialisasi ditempat publik seperti Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 168 sweeping yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (C. Indonesia, 2016). Aksi sweeping tersebut dilakukan di berbagai tempat yang ada di Surabaya. Hingga kekerasan di kafe atas nama sosialisasi yang telah menimbulkan keresahan (Kompas, 2016). Fatwa ini juga memunculkan pro kontra, bukan saja di dalam internal umat Islam, tetapi juga di kalangan umat non-muslim. Pro kontra tersebut bersumber dari bervariasinya pandangan di kalangan umat Islam mengenai masalah pemakaian atribut non-muslim. Salah satu poin penting yang dipersoalkan dalam fatwa tersebut adalah penggunaan kata “kafir” untuk non-muslim. Menurut Jan Sihar Aritonang (JSA), dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, pelabelan “kafir” bagi orang-orang non-muslim (khususnya umat Kristiani) bisa memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama di Indonesia. Menurutnya, penggunaan kata “kafir” yang digunakan sebagai penanda (signifier) oleh umat Islam bisa juga bermakna peyorasi dan dianggap meresahkan bagi umat agama lain (R. Indonesia, 2018). Kontroversi penggunaan istilah “kafir” dan munculnya ragam penafsiran pasca fatwa tersebut dikeluarkan turut mengancam harmonisasi hubungan antar agama di Indonesia. Meskipun MUI menyatakan bahwa fatwa tersebut dibuat dalam rangka penghormatan kepada prinsip kebhinekaan dan kerukunan beragama, tetapi faktanya justru berpotensi memperlebar jurang komunikasi, terutama antara umat Islam dan umat Kristiani (Wijayanti, 2016). Keputusan MUI tentang hukum haram menggunakan atribut non-muslim dianggap tidak relevan dengan situasi kondisi bangsa ini, karena negara Indonesia merupakan negara yang plural (Haryanto, 2013). Berbagai suku dan agama yang berbeda terdapat di negara Republik Indonesia ini. Apabila fatwa itu diberlakukan untuk umat Islam, bagaimana dengan masyarakat yang bekerja di tempat usaha non-muslim, akankah Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 169 tidak berpengaruh dengan pekerjaannya. Namun di balik itu, ada pula yang menilai bahwa tidak ada masalah dikeluarkannya fatwa ini, bahkan baik untuk menjaga akidah umat Islam. Dalam konteks lokal, khususnya Samarinda, peneliti juga berusaha melihat sejauhmana implikasi fatwa tersebut terhadap umat Islam, khususnya mereka yang bekerja di tempat usaha non-muslim. Dengan menggunakan teknik wawancara, temuan penelitian ini menunjukan bahwa mereka yang bekerja di tempat usaha non-muslim cenderung menganggap penggunaan atribut keagamaan non-muslim, khususnya atribut natal, tidak mempengaruhi akidah mereka. Bagi mereka, pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan secara profesional tanpa harus dikait-kaitkan dengan urusan agama. Walaupun demikian, sebagian pekerja yang lain mengatakan bahwa mereka tetap menghormati putusan MUI dan setuju pelarangan fatwa tersebut. Fatwa tersebut dianggap penting agar pihak perusahaan non-muslim tidak semena-mena memberikan keputusan dalam penggunaan atribut keagamaan mereka. Temuan penelitian ini juga menunjukan bahwa dari 4 tempat usaha yang peneliti kunjungi terdapat 1 tempat yang mengharuskan karyawannya menggunakan atribut yang biasa digunakan saat Natal, sementara 3 tempat yang lain masih memberikan toleransi kepada karyawannya, dalam arti tidak memaksa karyawan menggunakan atribut dalam perayaan hari besar mereka. Berdasarkan kajian peneliti, dari sisi substansi, fatwa MUI tersebut lebih mengedepankan persepektif teologisnya dan cenderung mengabaikan perspektif lain dalam melihat feonomena perayaan keagamaan, termasuk Natal. Akibatnya, berpedoman pada persepektif teologis saja bisa memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakan-tindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi social Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 170 (Rumapea, 2016). Dalam konteks lokal, persepsi masyarakat muslim di kota Samarinda terhadap fatwa tersebut juga cukup beragam. Meski dianggap penting, fatwa pelarangan penggunaan atribut agama lain tidak selalu harus dikaitkan dengan isu akidah, tapi juga merupakan bagian dari aksesoris yang dinikmati publik, sebagai bagian dari profesionalitas pekerjaan. Pada akhirnya, peneliti ingin menegaskan bahwa berbagai data terkait aksi dan reaksi pro-kontra pasca fatwa menjadi bukti bahwa fatwa tersebut turut berdampak kepada hubungan umat beragama di Indonesia, meskipun dampaknya tidak terlalu signifikan. IV. KESIMPULAN Mayoritas komunikan dari kalangan pekerja dan mahasiswa memiliki pemahaman yang rendah terhadap terhadap kata-kata/istilah yang terkandung dalam fatwa, adapun kalangan Ikatan Keluarga Alumni Program Kaderisasi Ulama memiliki pemahaman yang lebih baik tentang fatwa tersebut. Selanjutnya ditinjau dari segi kualitas pesan, fatwa yang disampaikan dalam definisi atribut keagamaan tidak secara rinci menyebutkan apa saja yang dimaksud dengan atribut keagaman. Sehingga persepsi masyarakat akan definisi tersebut berbeda-beda. Pada ranah nasional muncul aksi sweeping yang dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti FPI. Salah satu poin penting yang dipersoalkan dalam fatwa tersebut adalah penggunaan kata “kafir” untuk non-muslim. Berdasarkan kajian peneliti dari sisi substansi, fatwa MUI tersebut lebih mengedepankan persepektif teologis dan cenderung mengabaikan persepektif lain dalam melihat fenomena perayaan keagamaan, termasuk Natal. Akibatnya, berpedoman pada persepektif teologis saja bisa memicu penafsiran-penafsiran lain yang pada gilirannya menyebabkan tindakan- tindakan yang dampaknya bisa merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial. Dalam konteks lokal, persepsi masyarakat muslim di kota Samarinda Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 171 terhadap fatwa tersebut juga cukup beragam. Meski dianggap penting, fatwa pelarangan penggunaan atribut agama lain tidak selalu harus dikaitkan dengan isu akidah, tapi juga merupakan bagian dari aksesoris yang dinikmati publik, sebagai bagian dari profesionalitas pekerjaan. Pada akhirnya, peneliti ingin menegaskan bahwa berbagai data terkait aksi dan rekasi pro-kontra pasca fatwa menjadi bukti bahwa fatwa tersebut turut berdampak kepada hubungan umat beragama di Indonesia, meskipun dampaknya tidak terlalu signifikan. DAFTAR PUSTAKA Arifin, B. (2015). Fatwa Dan Demokrasi : Studi Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). At-Tahdzib: Jurnal Studi Islam Dan Muamalah, 3(1), 11–34. Daulay, M. Z. (2001). Mereduksi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Fachruddin, A. A. (2016). Fatwa MUI, Atribut Natal, dan Soal Kerukunan. In My Hat’s Off to the pauses that refreshes. Yogyakarta: CRCS. Fathoni, N. (2015). Analisis Normatif-Filosofis Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) Tentang Transaksi Jual Beli pada Bank Syari’ah. Al-Ahkam, 25(2), 139. https://doi. org/10.21580/ahkam.2015.25.2.596 Fauzi, I. A. (2009). Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990- 2008). In Laporan Penelitian. Jakarta: The Asia Foundation, MPRK- UGM, YWP. Hamidah, H. (2016). Strategi Membangun Kerukunan Umat Beragama. Wardah : Jurnal Dakwah Dan Kemasyarakatan, 17(2), 123–136. Hamzah, M. M. (2017). Peran dan Pengaruh Fatwa MUI dalam Arus Transformasi Sosial Budaya di Indonesia. Millah: Jurnal Studi Agama, 1(1), 127–154. https://doi.org/10.20885/MILLAH. VOL17.ISS1.ART7 Hapsin, A. (2014). Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik Umat Beragama: Perspektif Tokoh Lintas Agama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 22(2), 351–380. https://doi.org/10.21580/ Fatwa MUI Tentang Atribut Keagamaan – Muhd. Maryadi Adha 172 WS.22.2.270 Haq, H. (2002). Jaringan Kerjasama Antarumat Beragama: Dari wacana ke aksi nyata. Jakarta: Titahandalusia Press. Haryanto, J. T. (2013). Kontribusi Ungkapan Tradisional dalam Membangun Kerukunan Beragama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 21(2), 365–392. https://doi.org/10.21580/WS.21.2.250 Hasyim, S. (2015). Fatwa Aliran Sesat dan Politik Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Al-Ahkam, 25(2), 241. https://doi. org/10.21580/ahkam.2015.25.2.810 Indiyanto, A. (2013). Agama di Indonesia dalam Angka. Yogyakarta: CRCS. Indonesia, C. (2016). Polri dan MUI Sepakat Larang Razia Atribut Natal. Retrieved June 26, 2018, from https://m.cnnindonesia.com/ nasional /20161220215053-20-181113/polri-mui-sepakat-larang- razia-atribut-natal,html Indonesia, R. (2018). Menimbang Fatwa MUI tentang larangan Memakai Atribut Non-Muslim. Iswahyudi, . (2017). MUI dan Nalar Fatwa-fatwa Eksklusif. Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 11(2), 361. https://doi.org/10.19105/al- ihkam.v11i2.785 Kompas. (2016). MUI Tak Boleh Ada Sweeping Atribut Keagamaan. Manan, A. (2016). Diskursus Fatwa Ulama Tentang Perayaan Natal. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 40(1). https://doi.org/10.30821/miqot. v40i1.213 MUI. (2016a). Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non Muslim. MUI. (2016b). Pedoman Dasar MUI 1975. Muzakka, A. K. (2018). Otoritas Keagamaan dan Fatwa Personal di Indonesia. Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 13(1), 63– 88. https://doi.org/10.21274/epis.2018.13.1.63-88 Rumapea, M. E. (2016). Kedewasaan Beragama Salah Satu Wujud Kerukunan Beragama. JUPIIS: JURNAL PENDIDIKAN ILMU- ILMU SOSIAL, 8(1), 15–25. https://doi.org/10.24114/JUPIIS. V8I1.3679 Sajari, D. (2015). Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976- 2010). MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 39(1). https://doi. org/10.30821/miqot.v39i1.38 Syafaq, H. (2014). Kontroversi Seputar Tradisi Keagamaan Popular dalam Masyarakat Islam. ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 2(1), 1. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2018, pp. 149 - 174 173 https://doi.org/10.15642/islamica.2007.2.1.1-15 Taher, E. P. (2009). Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi. Jakarta: ICRP. Wibowo, R. A. (2015). Fatwa MUI tentang Penyimpangan Ajaran Islam dan Tindakan Pelanggaran Kebebasan Berkeyakinan. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 3(1), 117. https://doi.org/10.15642/ teosofi.2013.3.1.117-145 Wijayanti, T. Y. (2016). Konsep Kebebasan Beragama Dalam Islam dan Kristen. Profetika: Jurnal Studi Islam, 17(01), 16. https://doi. org/10.23917/profetika.v17i01.2097