ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 4, No. 1, Januari - Juni 2019 Editorial Team Alamat Redaksi : Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Surakarta Jl. Pandawa No. 1, Pucangan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah 57168 Phone : +62 271 - 781516 Fax : +62 271 - 782774 Surel : journal.albalagh@gmail.com, journal.albalagh@iain-surakarta.ac.id Laman : http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh Editor-In-Chief Imam Mujahid, Institut Agama Islam Negeri Surakarta Editor Waryono Abdul Ghafur, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Soiman, Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia (APDI) Diajeng Laily Hidayati, Institut Agama Islam Negeri Samarinda Akhmad Anwar Dani, Institut Agama Islam Negeri Surakarta Ahmad Saifuddin, Institut Agama Islam Negeri Surakarta Rhesa Zuhriya Briyan Pratiwi, Institut Agama Islam Negeri Surakarta Abraham Zakky Zulhazmi, Institut Agama Islam Negeri Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Vol. 4, No. 1, Januari - Juni 2019 Daftar Isi Astri Fajar Atikasari, Vera Imanti 1 - 24 Model Dakwah Milenial untuk Homoseksual Melalui Teknik Kontinum Konseling Berbasis Alquran Khilman Rofi Azmi 25 - 58 Mubalig Youtube dan Komodifikasi Konten Dakwah Ferdi Arifin 91 - 120 Tren Pengembangan Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dalam Transformasi IAIN Menjadi UIN Surakarta Kamila Adnani 141 - 168 Optimalisasi Penghimpunan Zakat Melalui Digital Fundraising Ade Nur Rohim 59 - 90 Menurunkan Kecemasan Menghadapi Praktik Belajar Kerja Penyandang Disabilitas Fisik dengan Bimbingan Kelompok Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana 121 - 140 LITERASI DIGITAL SEBAGAI UPAYA MENANGKAL HOAKS DI ERA DISRUPSI Naimatus Tsaniyah1 Kannisa Ayu Juliana2 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Keywords: digital literacy; disruption era; hoax http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/al-balagh Alamat korespondensi: e-mail: nikmahtsaniyah22@gmail.com kannisaayujuliana@gmail.com Abstract One of the big problems facing this nation is the spread of hoaxes or fake news. This was triggered partly because of the strengthening of the post truth phenomenon and the ease of disseminating information through social media and conversation applications such as WhatsApp. This study intends to describe the use of digital literacy to counteract hoaxes in the era of disruption. This era was marked by information flooding, rapid and deep-seated changes, and the use of very high internet-based technology. The literature review is used as this research method. The conclusion of this study is that hoaxes can be resisted by developing massive digital literacy skills. Digital literacy skills include eight essential elements: cultural (understanding context), cognitive (expanding mind), constructive (creating positive things), communicative (capable of communicating and networking), confident (confident and responsible), creative (doing new things), critical (critically addressing content), civic (supporting the realization of civil society). The development and strengthening of digital literacy can be done especially in schools, campuses, and other educational institutions. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) 122 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Abstrak Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa ini adalah merebaknya hoaks atau berita palsu. Hal tersebut dipicu antara lain karena menguatnya fenomena post truth dan kemudahan menyebarkan informasi melalui media sosial dan aplikasi percakapan seperti WhatsApp. Penelitian ini bermaksud menggambarkan penggunaan literasi digital untuk menangkal hoaks di era disrupsi. Era tersebut ditandai dengan banjir informasi, perubahan yang cepat dan mengakar, serta penggunaan teknologi berbasis internet yang sangat tinggi. Kajian literatur digunakan sebagai metode peneltian ini. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hoaks dapat ditangkal dengan mengembangkan kemampuan literasi digital secara masif. Kemampuan literasi digital meliputi delapan elemen esensial: cultural (memahami konteks), cognitive (meluaskan pikiran), constructive (menciptakan hal positif), communicative (cakap berkomunikasi dan berjejaring), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal baru), critical (kritis menyikapi konten), civic (mendukung terwujudnya civil society). Pengembangan dan penguatan literasi digital dapat dilakukan terutama di sekolah, kampus, dan lembaga-lembaga pendidikan lain. Kata kunci: era disrupsi; hoaks; literasi digital How to cite (APA 6th Style): Tsaniyah, N., & Juliana, K. A. (2019). Literasi Digital Sebagai Upaya Menangkal Hoaks di Era Disrupsi. Al-Balagh: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 4(1), 121–140. https://doi.org/10.22515/balagh.v4i1.1555 PENDAHULUAN Setiap aspek kehidupan selalu terdapat permasalahan. Permasalahan yang paling sering menjadi pembahasan saat ini dan memiliki dampak yang besar adalah hoaks. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) melaporkan pada Januari 2019 ditemukan 109 hoaks, dengan rincian 58 hoaks politik, 7 hoaks kriminalitas, dan 19 bertema lain. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan jumlah hoaks pada Desember 123Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) 2018, yakni 88 hoaks (Sani, 2019). Sebelumnya, masih menurut Mafindo, sepanjang 2018 terdapat 997 hoaks yang tersebar dan hampir setengahnya bertema politik (Samodro, 2019). Data yang disampaikan Mafindo menjadi semacam peringatan bagi setiap orang perihal masifnya hoaks yang tersebar dan bahaya yang mengikutinya. Hoaks secara sederhana dimaknai sebagai berita bohong, berita yang tidak sesuai dengan kenyataan. Biasanya, berita tersebut tampil dengan kalimat bombastis, cenderung dibesar-besarkan. Seolah mengandung informasi yang benar, padahal kenyataannya tidak. Ali (2017)menuliskan bahwa meningkatnya persebaran hoaks di Indonesia adalah ketika media sosial semakin banyak digunakan oleh masyarakat. Hoaks yang cukup sering beredar adalah hoaks bertema politik. Salah satu contoh hoaks bertema politik adalah hoaks yang tersebar pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Sebuah riset mencatat bahwa dari 15 hoaks, 14 di antaranya menyerang calon gubernur petahana, Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Hoaks politik selama pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 secara umum berisi tentang para kandidat yang berlaku curang atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin (Utami, 2018). Senada dengan riset tersebut, hoaks disebut sebagai alat kampanye dan propaganda pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Media sosial menjadi ladang persebaran hoaks. Jika tidak ditangani dengan baik, hoaks dapat memicu konflik (Sutantohadi & Wakhidah, 2017). Tidak hanya di Indonesia, hoaks juga beredar pada pemilu Amerika Serikat tahun 2016. Hal ini terungkap pada penelitian yang menyatakan bahwa pada pemilu Amerika Serikat tahun 2016, hoaks paling banyak dibagikan di media sosial Facebook (Allcott & Gentzkow, 2017). Berita- berita palsu yang populer lebih banyak mengenai kebaikan Trump dibanding Hilary. Maka, tak mengherankan jika sejumlah pakar mengatakan kemenangan Trump adalah karena bantuan berita palsu/hoaks. 124 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Mengapa hoaks begitu marak dan masif tersebar akhir-akhir ini? Kiranya terdapat banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. Namun, salah satu jawaban yang dapat diajukan adalah karena penggunaan internet (khususnya media sosial) yang semakin tinggi. Hal tersebut menjadi penanda era disrupsi. Disrupsi memantik lahirnya pola interaksi baru yang dianggap lebih inovatif dan masif. Disrupsi mengubah banyak hal, mulai dari pendidikan, politik, usaha, perbankan, transportasi, hingga perilaku dan sikap beragama (Bashori, 2018). Berkaitan dengan disrupsi, terdapat sejumlah ciri disrupsi, misalkan teknologi mengubah manusia dari peradaban time series menjadi real time. Statistik time series atau deret berkala merupakan data yang digunakan untuk menginterpolasi data-data masa lalu sehingga dapat digunakan untuk memprediksi masa depan (Putra, 2018). Berbeda dengan zaman sekarang, ketika setiap sesuatu menjadi serba real time. Data dapat seketika terolah dalam big data serta secepat itu pula disimpulkan dan ditindaklanjuti. Ciri lain dari era disrupsi adalah masyarakat hidup pada era aset-aset konsumtif terbuka untuk digunakan secara bersama, saling berbagi dan berkolaborasi tanpa harus memiliki sumber daya sendiri. Teknologi masa lalu tidak memungkinkan untuk mendapatkan dan melakukan sesuatu dengan segera, harus melalui antrean sehingga membutuhkan waktu. Berbeda dengan saat ini, konsumen dapat memperoleh setiap hal yang dibutuhkan pada waktu itu juga. Teknologi dan pemanfaatan big data memungkinkan terjadinya kondisi tersebut (Putra, 2018). Melihat ciri-ciri disrupsi dapat disimpulkan betapa cepat perubahan dunia. Termasuk dalam hal cara berkomunikasi di dunia digital yang dalam hal ini ditopang media sosial. Selain menyimpan peluang yang besar, media sosial tentu juga membawa tantangan tersendiri. Data Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyebutkan hoaks paling banyak tersebar di media sosial (Librianty, 2017). Sebagian orang menganggap media sosial adalah sebuah wilayah tanpa batas. Sehingga, setiap orang merasa 125Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) bebas melakukan apa saja, termasuk menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Tidak mengherankan apabila beberapa orang dengan mudah membagikan hoaks dan menyebarkan ujaran kebencian di media sosial (Herawati, 2016). Bicara media sosial, sebetulnya telah dikenal istilah netiquette, yang dapat diartikan sebagai etika berkomunikasi yang diimplementasikan di internet (Nasrullah, 2015). Prinsip, aturan, norma, dan etika komunikasi (konvensional) seharusnya juga diimplementasikan atau diterapkan ketika seseorang melakukan komunikasi di dunia maya atau media sosial. Permasalahan yang muncul dari penggunaan media sosial saat ini antara lain adalah persepsi sebagian pengguna yang membuat dikotomi atau pembagian yang ketat antara dunia maya dan dunia nyata. Mereka menganggap bahwa di balik setiap sesuatu yang bersifat virtual dan anonimitas seorang pengguna dapat berbuat semaunya, termasuk mencaci maki, melakukan perisakan (cyber bullying), menebar ujaran kebencian (hate speech), dan menyebar kabar bohong (hoax). Terdapat banyak jenis media sosial, misalkan Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp. Media sosial, atau dalam hal ini media berbasis aplikasi percakapan instan (WhatsApp misalnya), juga menjadi arena persebaran hoaks. Hal ini dapat dilihat pada riset yang menyoal cara perempuan memproses pesan hoaks penculikan anak di aplikasi WhatsApp. Perempuan cenderung memiliki motivasi yang tinggi untuk memproses pesan yang diterima karena mereka merasa terlibat dengan masalah tersebut. Meskipun demikian, motivasi untuk mengeksplorasi beragam argumen dan menikmati pemikiran kritis seringkali diabaikan. Dalam hal kemampuan, perempuan mampu berpikir kritis, tetapi pesan-pesan tentang penculikan anak cenderung bias oleh respons emosional daripada analisis atau kritik terhadap konten pesan. Jadi, ketika mereka menerima pesan hoaks tentang penculikan anak, mereka akan lebih mudah tergoda untuk mengirimnya lagi ke yang lain. Mereka menganggap seolah-olah tidak ada yang akan dirugikan karena ini tentang kemanusiaan (Ilahi, 2018). 126 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana menangkal hoaks atau informasi bohong di era yang bergerak sedemikian cepat ini? Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan, di antaranya meningkatkan literasi masyarakat melalui peran aktif pemerintah, pemuka masyarakat dan komunitas, menyediakan akses yang mudah kepada sumber informasi yang benar atas setiap isu hoaks, melakukan edukasi yang sistematis, dan berkesinambungan serta tindakan hukum yang efektif bagi penyebarnya (Rahadi, 2017). Pemerintah juga bisa mendukung komunitas anti hoaks yang sudah ada. Salah satu komunitas yang telah eksis adalah Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH). Sebuah riset mencatat dalam grup FAFHH, setiap orang dapat berpartisipasi dengan bertanya dan mengklarifikasi informasi yang diterimanya. Kategori pesan yang saling dibagi adalah informasi dengan beragam topik. Beberapa informasi yang terlihat seperti sebuah kebenaran dan bukan hoaks, setelah didiskusikan dan ditelusuri asal muasal serta dikaji dengan menggunakan berbagai rujukan yang terpercaya, ternyata termasuk kategori disinformasi, artinya bahwa penjelasan informasi tersebut kurang tepat. Anggota FAFHH cenderung mempunyai pemaknaan yang hampir sama terhadap sebuah pesan yang diterima, terlebih lagi apabila berkaitan dengan hoaks (Juditha, 2018). Apabila bicara peran pemerintah, pada mulanya pemerintah memilih untuk mengambil jalan pintas dengan memblokir web yang diduga sering menyebarkan hoaks, provokasi, dan fitnah. Namun, langkah tersebut dinilai kurang tepat. Kemudian, pemerintah melakukan beberapa strategi lain untuk mencegah semakin merebaknya hoaks. Pemerintah membentuk lembaga nasional yang bertugas mengelola seluruh kegiatan siber yang melibatkan dan membawa dampak serta pengaruh bagi individu, organisasi, maupun perusahaan di Indonesia. Pemerintah juga mengadakan dan menjalin kerjasama dengan Dewan Pers dan Facebook, untuk membantu menangkal penyebaran hoaks (Siswoko, 2017). 127Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Selain mengharapkan peran pemerintah, masyarakat sipil tentu saja dapat menghimpun diri dan melakukan sejumlah gerakan penanggulangan hoaks. Hal itu seperti yang dilakukan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) selama ini. Mafindo menggunakan strategi crowdsourcing dalam membatasi peredaran hoaks di Indonesia. Partisipasi masyarakat menjadi penting dalam pelaksanaan strategi crowdsourcing. Meski dinilai efektif, strategi crowdsourcing yang bersifat terbuka memiliki kekurangan. Kekurangan tersebut di antaranya kemungkinan adanya penyusup dan rendahnya komitmen anggota (Silalahi, Bestari, & Saputra, 2017). Pada kajian yang lebih luas, literasi media dipercaya sebagai solusi atas masalah hoaks. Jalan utama untuk menanggulangi hoaks adalah dengan membangun kompetensi publik dalam menghadapi banjir informasi. Usaha membangun kompetensi publik dilakukan melalui literasi media (Gumilar, Adiprasetio, & Maharani, 2017). Misalkan, literasi media dapat diberikan kepada setiap orang yang duduk di bangku SMA, sebagai kelompok usia yang mengunakan gawai secara intens. Penggunaan gawai di kalangan anak muda hendaknya mendapatkan perhatian dari keluarga. Tujuannya adalah tentu agar mereka dapat memanfaatkan gawai dengan baik dan berdampak positif (Kurniawati & Baroroh, 2016). Para pengguna gawai berusia muda itu diarahkan untuk tidak menggunakan gawai sebagai piranti mengakses pornografi, tidak merisak sesama teman di media sosial, tidak menyebarkan kebohongan dan kebencian. Sejak dini mereka dibentuk untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dengan gawai yang mereka gunakan. Sebab lingkungan keluarga punya andil dan pengaruh besar dalam masa tumbuh kembang mereka. Literasi media bahkan dianggap belum memadai untuk menghentikan hoaks sehingga, perlu dipadukan dan diintegrasikan dengan meningkatkan pemahaman agama (Aliasan, 2017). Berkenaan dengan hoaks dan pemahaman agama, Islam sebetulnya memiliki konsep tabayun 128 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) atau verifikasi. Artinya, jika seseorang telah memiliki pemahaman agama Islam yang cukup mendalam, semestinya ia menjauhkan diri dari menyebar informasi yang masih simpang siur atau belum jelas kebenarannya. Ia akan mengecek berulang kali informasi yang meragukan. Sebab ia tahu jika hoaks sama berbahayanya dengan fitnah. Upaya penanggulangan hoaks juga dapat dilakukan dengan cara- cara yang populer, misalnya dengan membuat komik strip (Saputro & Haryadi, 2018). Komik strip dianggap efektif karena merupakan medium yang dekat anak muda dan mudah disebarkan di dunia maya (media sosial). Hasil penelitian menunjukkan pengguna media pada kelompok usia 15-30 tahun memiliki keecenderungan yang lebih tinggi dalam mengonsumsi dan mempercayai berita bohong atau hoaks (Manalu, Pradekso, & Setyabudi, 2018). Maka, sudah seyogyanya kampanye anti hoaks dikemas dengan cara-cara atraktif dan selaras dengan perkembangan zaman. Perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan, dapat pula turut serta melakukan perang melawan hoaks. Misalnya, seperti yang dilakukan program studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Yogyakarta dengan program ADUIN (Advertising UIN Sunan Kalijaga) Fest 2017 “Nyepik Becik” (Pikirkan Apa yang Kamu Katakan) (Astuti, 2017). Karya kreatif yang dihasilkan pada kegiatan tersebut untuk melawan hoaks antara lain berupa print-ad, TVC, dan film pendek. Program tersebut juga berisikan sejumlah acara pendukung, yaitu awarding night, sharing session, pameran karya, dan seminar. Inisiatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan merancang web klarifikasi berita (Firmansyah, 2017). Kecanggihan teknologi yang berpadu dengan ketersediaan sumber daya manusia memungkinkan perancangan web untuk mengklarifikasi informasi yang masih diragukan kebenarannya. Semakin banyak masyarakat terlibat dalam penangangan hoaks tentu semakin baik. Pasalnya, apabila hanya mengandalkan peran pemerintah saja tentu tidak memadai untuk melemahkan hoaks di era disrupsi seperti saat ini. 129Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Sejumlah riset mengenai hoaks dan langkah-langkah penanganannya telah dilakukan. Hanya saja belum terdapat riset yang secara spesifik membahas penanganan hoaks dengan literasi digital. Kebaruan yang dihadirkan penelitian ini adalah mengenai literasi digital sebagai solusi masalah hoaks yang sudah sedemikian mengkhawatirkan. Literasi digital yang dimaksud adalah literasi digital yang dijalankan secara kontinu, bukan artifisial dan simbolis. Penelitian-penelitian terdahulu perihal literasi digital telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang menyebut bahwa literasi digital yang baik dapat berpengaruh pada kondisi psikologis remaja dan anak-anak (Pratiwi & Pritanova, 2017). Jika literasi digital diberikan secara tepat dimungkinkan dapat mencegah remaja dan anak-anak untuk melakukan hal-hal negatif di dunia maya, seperti menghina orang lain, berbahasa tidak sopan, merisak, dengki, menyebar informasi palsu, dan hal-hal negatif lain. Literasi digital dalam arti sempit, yakni mampu mengoperasikan secara optimal teknologi digital. Pembahasan tersebut dapat dibaca dalam penelitian mengenai hubungan literasi digital dan self directed learning mahasiswa (Akbar & Anggaraeni, 2017). Dapat pula dibaca pada penelitian tentang literasi digital dan penggunaan media sosial oleh anak remaja (Stefany, Nurbani, & Badarrudin, 2017). Pada dua penelitian tersebut literasi digital berada pada ranah praktis, belum mencakup makna literasi digital dengan semangat kritisisme di dalamnya. Penelitian lain menemukan literasi digital telah memberikan dampak positif bagi pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan dalam menggunakan media sosial yang kini menjadi sumber informasi khalayak, terutama generasi muda (Silvana & Darmawan, 2018). Generasi muda dianggap sebagai generasi yang rentan dalam menyalahgunakan media sosial dan internet, mengingat interaksi mereka yang intens dengan sosial media. Mereka diharapkan dapat memahami pesan-pesan yang tersebar di media sosial yang memiliki lapis-lapis makna. Di sanalah peran literasi digital dibutuhkan. 130 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Literasi digital dianggap mutlak diberikan agar media baru (internet) benar-benar menghadirkan manfaat bagi penggunanya (Rianto, 2016). Terlebih lagi jika berkaca pada kenyataan bahwa individu-individu di masa sekarang sangat aktif dalam mencari informasi. Pada satu sisi, keaktifan dalam mencari informasi tersebut adalah suatu sikap yang baik. Akan tetapi, apabila tanpa bekal literasi digital yang cukup, individu-individu yang aktif mencari informasi itu berpotensi tersesat. Melalui literasi digital diharapkan masyarakat tidak hanya berlaku kritis dalam mengakses informasi dan tidak hanya bersandar pada satu sumber informasi (perspektif tunggal) (Rianto, 2016). Mencermati penelitan terdahulu tentang literasi digital seperti yang sudah dibahas tersebut, terlihat belum adanya penelitian yang secara khusus membahas literasi digital dalam kaitannya dengan hoaks. Fokus penelitian ini adalah tentang pemanfaatan literasi digital untuk penanggulangan hoaks di era disrupsi. Bagaimanapun, kabar bohong sudah disebarkan sejak dahulu kala, dengan medium berbeda-beda. Internet yang membawa arus besar gelombang informasi menjadikan era disrupsi ini banjir dengan pelbagai macam berita, termasuk berita bohong atau hoaks. METODE PENELITIAN Riset ini adalah riset kualitatif deskriptif. Studi pustaka dipilih sebagai metode pengumpulan data. Menggunakan cara tersebut peneliti ingin menggambarkan penggunaan literasi digital untuk menangkal hoaks di era disrupsi. Peneliti menggunakan buku, catatan, laporan, koran, majalah, jurnal dan internet yang sesuai dengan tema riset ini sebagai rujukan. Setelah data yang diperoleh dianggap memadai, selanjutnya data diolah untuk kemudian disimpulkan. 131Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Delapan Elemen Esensial Literasi Digital Belshaw (2011) merumuskan delapan elemen esensial literasi digital, yakni cultural (memahami konteks), cognitive (meluaskan pikiran), constructive (menciptakan hal positif), communicative (cakap berkomunikasi dan berjejaring), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal baru), critical (kritis menyikapi konten), dan civic (mendukung terwujudnya civil society). Elemen cultural dapat dimaknai dengan kemampuan memahami beragam macam konteks digital. Misalnya, seorang mahasiswa yang mampu mengikuti perkuliahan dengan metode e-learning. Atau, contoh yang lebih sederhana, seseorang dapat berkomunikasi dengan teman dan koleganya melalui Facebook. Ringkasnya, hal ini terkait masalah teknis, tentang “melek internet”. Artinya, dengan literasi digital diharapkan sesorang tidak gagap di hadapan internet dengan segala varian dan perkembangannya yang cepat. Selanjutnya adalah cognitive atau yang dapat diartikan sebagai sikap memperluas cakrawala berpikir. Elemen ini merupakan elemen dasar dari literasi. Sudah semestinya literasi mampu meluaskan pikiran seseorang. Luasnya cakrawala berpikir menuntun orang untuk semakin berhati-hati dalam bertindak. Jika dikaitkan dengan konteks digital, sebagaimana diketahui dunia digital dan media sosial menyimpan permasalahan yang kompleks. Tidak hanya hoaks, namun juga radikalisme, ujaran kebencian, cyberbullying, kecanduan gadget, pornografi, cyber crime, dan sejenisnya. Berbekal luasnya pengetahuan, seseorang akan menjadi lebih terlindungi ketika memanfaatkan internet. Constructive atau menciptakan hal positif, berarti melakukan hal- hal bermanfaat dengan perantara internet. Bagaimanapun, internet adalah sesuatu yang bebas nilai sehingga, positif dan negatifnya internet 132 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) kembali kepada pengguna. Oleh karena itu, literasi digital berupaya terus mendorong para pengguna untuk menciptakan hal positif. Pada konteks Indonesia, dapat ditemukan sejumlah orang telah memanfaatkan internet untuk hal-hal konstruktif. Kemunculan gerakan filantropi yang digerakkan di media sosial adalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh. Adapun elemen communicative, confident dan creative memiliki makna jika seseorang telah terliterasi secara digital maka, ia hendaknya mampu bekomunikasi dengan baik, bertanggung jawab, dan mampu menghadirkan inovasi. Sedangkan, elemen critical mensyaratkan pengguna internet tidak hanya menggunakan jempol dalam mengoperasikan gawai atau laptop namun, juga mengaktifkan nalar kritisnya. Terakhir, civic berarti internet mampu dijadikan alat untuk menciptakan masyarakat madani atau tatanan sosial yang lebih baik. Delapan elemen literasi digital yang dikemukakan Belshaw(2011) tersebut dapat menjadi pijakan untuk memahami mekanisme atau cara kerja literasi digital. Pada perkembangannya, literasi digital dapat dimanfaatkan untuk sejumlah kepentingan. Literasi digital untuk membendung radikalisme, menangkal cyberbullying, menanggulangi hoaks, dan sebagainya. Pada penelitan ini dijabarkan tentang proses literasi digital yang dimanfaatkan untuk menangkal hoaks di era disrupsi. Sejumlah pakar berbeda pendapat terkait permasalahan atau fenomena laju teknologi dan pola komunikasi di internet (media sosial). Wilhem membagi perbedaan pendapat tersebut menjadi tiga perspektif, yaitu utopian, dystopian dan technorealism. Pandangan utopian menganggap bahwa internet berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan dan perilaku manusia. Internet dinilai memberikan arah dan cara baru dalam berkomunikasi. Adapun kelompok dystopian menganggap bahwa internet telah menyebabkan kekacauan komunikasi manusia, mengaburkan nilai- nilai, serta merusak ikatan emosional (berpengaruh hingga dunia nyata). Sedangkan kelompok technorealism mengambil sikap di antara kedua 133Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) kelompok tersebut. Kata kunci penting dari kelompok ini adalah “kritik”. Ini berarti internet dan segala pernak-perniknya dapat diterima, tetapi kritik tetap harus diberikan (Nasrullah, 2015). Mengacu pada pembagian pandangan terhadap internet dan media sosial, kiranya cara pandang technorealism sejalan dengan gerakan literasi digital. Keduanya sama-sama melakukan kritik terhadap penggunaan media sosial dan internet. Internet tidak ditolak mentah-mentah, tidak pula diikuti habis-habisan. Sisi positif dan negati internet dihadapi dengan kritisisme dan bekal pengetahuan yang memadai. Implementasi Literasi Digital untuk Menangkal Hoaks di Era Disrupsi Salah satu elemen esensial literasi digital adalah critical atau kritis dalam menyikapi konten. Elemen ini menjadi elemen yang paling menentukan dalam menangkal hoaks. Kritis artinya tidak menelan mentah- mentah informasi yang didapat dari internet, termasuk di media sosial dan aplikasi percakapan. Pada praktiknya, pengguna internet dipantik untuk selalu kritis dan skeptis, terutama pada konten-konten yang bersifat terlalu bombatis, kurang masuk akal, dan bernuansa kebencian. Sebab bisa jadi konten yang demikian mengandung hoaks atau informasi manipulatif. Sejak kapan literasi digital yang berbasis kritisime diberikan? Hendaknya sedini mungkin, terlebih saat ini kita mudah menemukan kanak-kanak yang sudah terbiasa mengoperasikan gawai yang terkoneksi internet. Menangkal hoaks juga berkaitan dengan pendidikan karakter. Anak-anak mesti dilatih jujur sedari kecil. Peran guru dan orangtua sangat penting pada fase itu. Perkembangan teknologi yang ditandai dengan menguatnya penggunaan media sosial telah banyak mengubah pola komunikasi dan pengetahuan digital pada anak-anak dalam keluarga. Terlebih pada anak- anak yang tumbuh di era digital seperti sekarang ini. Mereka menggunakan 134 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) gawai yang kadang tanpa pengawasan orang tua. Oleh karena itu, diperlukan berbagai langkah untuk merespons fenomena tersebut, salah satunya adalah dengan gerakan literasi digital. Gerakan itu tidak sebatas mengenalkan anak-anak pada dunia maya, tetapi juga mengajarkan anak- anak untuk bisa ikut mereproduksi atau menciptakan konten-konten kreatif dan positif. Diperlukan peran aktif orang tua mendukung gerakan literasi digital bagi anak (Alia & Irwansyah, 2018; Sunita & Mayasari, 2018). Para orang tua harus lebih banyak menyediakan waktu khusus, ketika anak-anaknya mengunakan gawai dan berselancar di internet. Para orang tua harus bisa memberikan penjelasan tentang berbagai perilaku kreatif yang dapat dilakukan hingga berbagai aspek yang harus dihindari dari pengunaan teknologi infromasi. Termasuk kemudian ikut aktif memilah dan memilih fitur-fitur teknologi mana saja yang bermanfaat dan mana yang harus dihindari oleh anak-anaknya. Sehingga, para orang tua bisa terlibat aktif menerapkan proses verifikasi sebelum membagikan konten. Ini selaras dengan elemen communicative, confident dan creative seperti yang dikemukakan Belshaw (2011). Selanjutnya, orang dapat pula menyisipkan pesan-pesan moral tentang kejujuran ketika mendampingi anak (Putri, 2018). Orang tua menjelaskan kepada anak-anak tentang bahaya menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Hal tersebut merupakan wujud pengembangan elemen cognitive dan constructive Belshaw (2011). Sejak awal anak-anak harus diberi pengetahuan bahwa hal yang utama bukanlah bisa mengetahui cara mendapatkan informasi namun mengetahui cara menyeleksi informasi sesuai kebutuhan. Pada tataran yang lebih formal, literasi digital perlu dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah. Gagasan tersebut berkaca dari besarnya tantangan yang akan dihadapi peserta didik/generasi muda di era digital. Sebagaimana disebutkan di awal, geenrasi muda tidak 135Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) hanya berhadapan dengan hoaks, tapi juga ujaran kebencian, radikalisme, cyberbullying, dan sejenisnya. Maka, bekal literasi digital mutlak untuk mereka miliki (Silvana & Darmawan, 2018; Wahono & Effrisanti, 2018). Sehingga, kita tidak lagi mendengar kasus remaja bunuh diri karena depresi setelah dirisak di Instagram atau menjadi korban penculikan setelah berkenalan di Facebook atau dipenjara karena menyebar berita palsu atau diamankan pihak kepolisian karena mencaci kepala negara di media sosial. Meski berbasis kritisisme, secara mendasar, literasi digital berkaitan dengan “melek internet”. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang pesat berdampak pada penelusuran sumber informasi berbasis digital sebagai sebuah pekerjaan yang cukup rumit bagi pengguna yang belum terbiasa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Maka, hal-hal teknis dan elementer harus sudah selesai terlebih dahulu. Sebelum nantinya bergerak ke elemen-elemen berikutnya. Pada level nasional, pihak-pihak terkait semestinya mengambil bagian dalam gerakan literasi digital. Sayangnya, sampai sekarang belum banyak pihak yang secara serius fokus mengelola literasi digital. Salah satu lembaga yang paling bertanggung jawab dalam gerakan literasi digital adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Hari ini, Kemenkominfo bekerja sama dengan sejumlah lembaga menginisiasi laman literasidigital.id. Pada laman tersebut tersedia buku-buku tentang literasi digital yang dapat diunduh gratis. Di antara judul-judul buku itu adalah: Internet Sehat Pedoman Berinternet Sehat, Aman, Nyaman dan Bertanggungjawab, Kerangka Literasi Digital Indonesia, Kajian Dampak Media Sosial bagi Anak dan Remaja, Eksploitasi Seksual Pada Anak Online, Sebuah Pemahaman Bersama, Literasi Digital Keluarga, Antisipasi Hoaks, Digital Parenting: Mendidik Anak di Era Digital. Tersedia pula video dan inforafis yang mudah diakses. Upaya yang dilakukan Kemenkominfo beserta lembaga-lembaga pendukung tersebut kiranya dapat direplikasi oleh lembaga lain. Medium yang dipilih literasidigital.id sangat tepat untuk generasi muda, terutama 136 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) yang berupa video dan infografis. Dua medium itu merupakan medium yang dekat dan disukai generasi muda hari ini. Literasi digital diibaratkan sebagai vaksin untuk menjaga daya tahan tubuh (Heryanto, 2017). Sedangkan, hoaks seperti penyakit yang bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Jika telah diberi vaksin, seseorang setidaknya menjadi lebih terlindungi dari pelbagai penyakit. Demikian juga dengan hoaks dan literasi digital. Saat tameng literasi digital sudah disiapkan, harapannya hoaks tidak dapat menyerang masuk. Berpegang pada literasi digital, diharapkan seseorang mampu menyaring sebuah informasi, apakah informasi itu masuk akal atau tidak; punya landasan argumentasi, data, fakta atau tidak. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian adalah bahwa literasi digital bukan hanya perkara “melek internet” atau cakap memanfaatkan internet (untuk berkomunikasi, jual-beli, mengunduh referensi, dan sebagainya), tapi juga tentang kemampuan memilah berita/informasi. Era disrupsi yang ditandai dengan banjir informasi menjadikan filter informasi tidak semudah era sebelumnya ketika internet belum digunakan secara masif. Sehingga tidak mengherankan jika hoaks begitu mudah tersebar di masa sekarang yang pada tataran tertentu dapat memecah belah masyarakat, mengingat sifat hoaks yang destruktif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menangkal hoaks adalah dengan mengembangkan delapan elemen esensial literasi digital, yakni cultural (memahami konteks), cognitive (meluaskan pikiran), constructive (menciptakan hal positif), communicative (cakap berkomunikasi dan berjejaring), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal baru), critical (kritis menyikapi konten), civic (mendukung terwujudnya civil society). Pengembangan literasi digital dapat menyasar 137Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) anak-anak muda, sebagai kalangan yang banyak memanfaatkan internet (sosial media). Pengembangan tersebut kiranya dapat dilakukan di sekolah, universitas dan lain-lain. Misalnya, dengan menjadikan literasi digital sebagai salah satu mata pelajaran atau mata kuliah. Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dirumuskan saran untuk beberapa pihak. Pertama, peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait efektivitas dan dampak dari literasi digital, baik dengan pendekatan kuantitatif, eksperimen, maupun kualitatif. Kedua, institusi pendidikan dapat merancang suatu kegiatan yang memuat komponen pembelajaran literasi digital. Ketiga, meningkatkan edukasi terhadap orang tua agar dapat menerapkan literasi digital kepada anak sedini mungkin. DAFTAR PUSTAKA Akbar, M. F., & Anggaraeni, F. D. (2017). Teknologi dalam Pendidikan: Literasi Digital dan Selfdirected Learning pada Mahasiswa Skripsi. Jurnal Indigenous, 2(1), 28–38. https://doi.org/10.23917/ indigenous.v1i1.4458 Ali, M. (2017). Antara Komunikasi, Budaya dan Hoax. In A. Wahyudin & M. Sunuantari (Eds.), Melawan Hoaks di Media Sosial dan Media Massa. Yogyakarta: Trust Media Publishing & Askopis Press. Alia, T., & Irwansyah. (2018). Pendampingan Orang Tua pada Anak Usia Dini dalam Penggunaan Teknologi Digital. A Journal of Language, Literature, Culture and Education, 14(1), 65–78. https:// doi.org/10.19166/pji.v14i1.639 Aliasan. (2017). Pengaruh Pemahaman Keagamaan dan Literasi Media terhadap Penyebaran Hoax di Kalangan Mahasiswa. JKPI: Jurnal Komunikasi Islam Dan Kehumasan, 1(2), 126–147. https://doi. org/10.19109/jkpi.v1i2.2197 138 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social Media and Fake News in the 2016 Election. Journal of Economic Perspectives, 31(2), 211–236. https://doi.org/10.1257/jep.31.2.211 Astuti, Y. D. (2017). Peperangan Generasi Digital Natives Melawan Digital Hoax Melalui Kompetisi Kreatif. Informasi, 47(2), 229–242. https://doi.org/10.21831/informasi.v47i2.16658 Bashori, K. (2018). Pendidikan Politik di Era Disrupsi. Sukma: Jurnal Pendidikan, 2(2), 287–310. https://doi.org/10.32533/02207.2018 Belshaw, D. A. J. (2011). What is’ Digital Literacy’? A Pragmatic Investigation. Durham University. Firmansyah, R. (2017). Web Klarifikasi Berita Untuk Meminimalisir Penyebaran Berita Hoax. Jurnal Informatika, 4(2), 230–235. https:// doi.org/10.31311/ji.v4i2.2138 Gumilar, G., Adiprasetio, J., & Maharani, N. (2017). Literasi Media: Cerdas Menggunakan Media Sosial Dalam Menanggulangi Berita Palsu (Hoax) Oleh Siswa SMA. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 35–40. Herawati, D. M. (2016). Penyebaran Hoax dan Hate Speech sebagai Representasi Kebebasan Berpendapat The Spread of Hoax and Hate Speech as The Representation of Freedom of Opinions Abstract : Abstraksi : Promedia: Jurnal Public Relation Dan Media Komunikasi, II(2), 138–155. Heryanto, G. G. (2017). Bisnis Hoaks dan Literasi Digital. Retrieved May 29, 2019, from mediaindonesia.com website: https://mediaindonesia. com/read/detail/120440-bisnis-hoaks-dan-literasi-digital Ilahi, H. N. (2018). Women and Hoax News Processing on WhatsApp. JSP: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 22(2), 98–111. https://doi. org/10.22146/jsp.31865 Juditha, C. (2018). Interaksi Simbolik Dalam Komunitas Virtual Anti Hoaks Untuk Mengurangi Penyebaran Hoaks. Jurnal (PIKOM) Penelitian Komunikasi Dan Pembangunan, 19(1), 17–32. https://doi. org/10.31346/jpkp.v19i1.1401 Kurniawati, J., & Baroroh, S. (2016). Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Jurnal Komunikator, 8(2), 51–66. 139Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Librianty, A. (2017). Survei: Media Sosial Jadi Sumber Utama Penyebaran Hoax. Retrieved May 27, 2019, from www.liputan6.com website: https://www.liputan6.com/tekno/read/2854713/survei-media- sosial-jadi-sumber-utama-penyebaran-hoax Manalu, S. R., Pradekso, T., & Setyabudi, D. (2018). Understanding the Tendency of Media Users to Consume Fake News. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(1), 1–16. https://doi.org/10.24002/jik.v15i1.1322 Nasrullah, R. (2015). Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. In Bandung: Simbiosa Rekatama Media. https://doi. org/10.1007/978-1-4614-3137-4 Pratiwi, N., & Pritanova, N. (2017). Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan Remaja. Jurnal Semantik, 6(1), 11–24. https:// doi.org/10.22460/semantik.v6i1.p11-24 Putra, R. M. D. (2018). Inovasi Pelayanan Publik di Era Disrupsi (Studi tentang Keberlanjutan Inovasi E-Health di Kota Surabaya). Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik, 6(2), 1–13. Putri, D. P. (2018). Pendidikan Karakter pada Anak Sekolah Dasar di Era Digital. Ar-Riayah: Jurnal Pendidikan Dasar, 2(1), 37. https://doi. org/10.29240/jpd.v2i1.439 Rahadi, D. R. (2017). Perilaku Pengguna dan Informasi Hoaks di Media Sosial. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, 5(1), 58–70. https:// doi.org/10.26905/jmdk.v5i1.1342 Rianto, P. (2016). Media Baru, Visi Khalayak Aktif dan Urgensi Literasi Media. Jurnal Komunikasi, 1(2), 90–96. https://doi.org/10.25008/ jkiski.v1i2.54 Samodro, D. (2019). Mafindo Sebut Ada 997 Hoax Sepanjang 2018. Retrieved May 28, 2019, from www.antaranews.com website: https://www.antaranews.com/berita/811092/mafindo-sebut- terjadi-997-hoaks-sepanjang-2018%0A Sani, A. F. I. (2019). Mafindo Sebut Kabar Hoaks Politik Meningkat di Januari. Retrieved May 27, 2019, from nasional.tempo.co website: https://nasional.tempo.co/read/1185261/mafindo-sebut-kabar- hoaks-politik-meningkat-di-januari/full&view=ok Saputro, G. E., & Haryadi, T. (2018). Edukasi Kampanye Anti Hoax Melalui Komik Strip. Demandia: Jurnal Desain Komunikasi Visual, Manajemen Desain Dan Periklanan, 03(02), 94–111. https://doi. 140 Literasi Digital sebagai Upaya Menangkal Hoaks Di Era Disrupsi Naimatus Tsaniyah, Kannisa Ayu Juliana Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, January – June 2019, pp. 121 - 140, DOI: 10.22515/balagh.v4i1.1555 ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) org/10.25124/demandia.v3i02.1550 Silalahi, R. R., Bestari, P., & Saputra, W. T. (2017). Karakteristik Strategi Crowdsourcing untuk Membatasi Penyebaran Hoaks di Indonesia Studi Kasus: Masyarakat Anti Fitnah Indonesia. MetaCommunication; Journal Of Communication Studies, 2(2), 128–154. Silvana, H., & Darmawan, C. (2018). Pendidikan Literasi Digital di Kalangan Usia Muda di Kota Bandung. Pedagogia: Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(2), 146–156. https://doi.org/10.17509/pdgia.v16i2.11327 Siswoko, K. H. (2017). Kebijakan Pemerintah Menangkal Penyebaran Berita Palsu atau “Hoax.” Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, Dan Seni, 1(1), 13–19. https://doi.org/10.24912/jmishumsen.v1i1.330 Stefany, S., Nurbani, & Badarrudin. (2017). Literasi Digital dan Pembukaan Diri: Studi Korelasi Penggunaan Media Sosial Pada Pelajar Remaja di Kota Medan. Sosioglobal: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Sosiologi, 2(1), 10–31. Sunita, I., & Mayasari, E. (2018). Pengawasan Orangtua Terhadap Dampak Penggunaan Gadget pada Anak. Jurnal Endurance, 3(3), 510–514. https://doi.org/10.22216/jen.v3i3.2485 Sutantohadi, A., & Wakhidah, R. (2017). Bahaya Berita Hoax dan Ujaran Kebencian Pada Media Sosial Terhadap Toleransi Bermasyarakat. DIKEMAS (Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat), 1(1), 1–5. https://doi.org/10.32486/jd.v1i1.153 Utami, P. (2018). Hoax in Modern Politics: The Meaning of Hoax in Indonesian Politics and Democracy. JSP: Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 22(2), 85–97. https://doi.org/10.22146/jsp.34614 Wahono, H. T. T., & Effrisanti, Y. (2018). Literasi Digital di Era Millenial. In A. Prianto (Ed.), Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran STKIP PGRI Jombang (Vol. 4, pp. 185– 193). Jombang: STKIP PGRI Jombang. 1. Artikel bersifat ilmiah berisi hasil riset empiris atau gagasan konseptual dan belum pernah dipublikasikan di sebuah jurnal. Artikel juga bukan merupakan satu bab utuh dari tesis atau disertasi. 2. Panjang artikel antara 15-30 halaman, tidak termasuk judul, abstrak (abstract), kata kunci (keywords), dan bibliografi. 3. Artikel terdiri dari beberapa bagian, yaitu: judul, nama penulis, abstrak (200-250 kata), kata kunci (maksimal 5 kata), dan bibliografi, dengan detil ketentuan sebagai berikut: • Penulisan judul tidak boleh lebih dari lima belas (15) kata. • Nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, dilengkapi dengan asal institusi, alamat korespondensi (e-mail address), serta nomor telephone/handphone. • Abstrak terdiri dari konteks diskursus area disiplin; tujuan penulisan artikel; metodologi (jika ada); temuan riset; kontribusi tulisan di dalam area disiplin. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. • Pendahuluan terdiri dari pemetaan penelitian terdahulu (literature review, sebaiknya temuan riset sepuluh tahun terakhir) dan novelti tulisan; batas permasalahan yang dibahas; dan argumentasi utama tulisan. • Pembahasan berisi proses reasoning argumentasi utama tulisan. • Kesimpulan berisi jawaban atas permasalahan tulisan, berdasarkan perpektif teoritis dan konseptual yang dibangun oleh penulis. • Referensi mencantumkan sumber pustaka yang menjadi rujukan. • Gaya kutipan menggunakan American Psychological Association (APA) 6th Edition, memakai model pengutipan body note (penulis tahun), dengan ketentuan detail sebagai berikut: KETENTUAN PENULISAN ARTIKEL 1. Book Dalam referensi ditulis : Azwar, S. (2016). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Di dalam kutipan ditulis : (Azwar, 2016) 2. Edited book(s) Dalam referensi ditulis : Cone, J. D. (1999). Observational assessment: Measure development and research issues. dalam P. C. Kendall, J. N. Butcher, & G. N. Holmbeck (Eds.), Handbook of research methods in clinical psychology (pp. 183-223). New York: Wiley. Di dalam kutipan ditulis : (Cone, 1999) 3. E-book(s) Dalam referensi ditulis : Sukanta, P. O., ed. (2014). Breaking the Silence: Survivors Speak about 1965-66 Violence in Indonesia (translated by Jemma Purdey). Clayton: Monash University Publishing. Diakses dari http://books.publishing. monash.edu/apps/bookworm/view/Breaking+the+Silence%3A+ Survivors+Speak+about+1965%E2%80%9366+Violence+in+Ind onesia/183/OEBPS/cop. htm, tanggal 31 Maret 2016. Di dalam kutipan ditulis : (Sukanta, 2014) 4. Article of the Journal a. Journal With Digital Objective Identifier (DOI) Dalam referensi ditulis : Tekke, M., & Ghani, F. (2013). Examining Career Maturity Among Foreign Asian Students : Academic Level. Journal of Education and Learning. Vol. 7 (1), 29-34. DOI: http://dx.doi. org/10.11591/edulearn.v7i1.173 Di dalam kutipan ditulis : (Tekke & Ghani, 2013) b. Journal Without Digital Objective Identifier (DOI) Dalam referensi ditulis : Arbiyah, N., Nurwianti, F., & Oriza, D. (2008). Hubungan bersyukur dengan subjective well being pada penduduk miskin. Jurnal Psikologi Sosial, 14(1), 11-24. Di dalam kutipan ditulis : (Arbiyanti, Nurwianti, & Oriza, 2008) c. E-Journal Dalam referensi ditulis : Crouch, M. (2016). “Constitutionalism, Islam and the Practice of Religious Deference: the Case of the Indonesian Constitutional Court.” Australian Journal of Asian Law 16, 2: 1-15. http://papers. ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2744394, diakses 31 Maret 2016. Di dalam kutipan ditulis : (Crouch, 2016) 5. Article Website a. Dengan Penulis Dalam referensi ditulis : Hendrian, D. (2016, Mei 2). Memprihatinkan Anak Pengguna Narkoba Capai 14.000. Retrieved September 27, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/memprihatinkan-anak-pengguna- narkoba-capai-14-ribu/ Di dalam kutipan ditulis : (Hendrian, 2016) b. Tanpa Penulis Six sites meet for comprehensive anti-gang initiative conference. (2006, November/December). OJJDP News @ a Glance. Retrieved from: http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/news_ acglance/216684/topstory.htmI tanggal 10 Agustus 2012. Di dalam kutipan ditulis : (http://www.ncjrs.gov/htmllojjdp/ news_acglance/216684/topstory.htmI, 2006) Saifuddin, A. (2016). Peningkatan Kematangan Karier Peserta Didik SMA Melalui Pelatihan Reach Your Dreams dan Konseling Karier (Tidak Diterbitkan). Surakarta : Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Di dalam kutipan ditulis : (Saifuddin, 2016) 7. Manuskrip Institusi Pendidikan Yang Tidak Dipublikasikan Dalam referensi ditulis : Nuryati, A., & Indati, A. (1993). Faktor-faktor yang memengaruhi prestasi belajar. Unpublished Manuscript, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di dalam kutipan ditulis : (Nuryati & Indiati, 1993) 4. Penulisan gaya pengutipan dihimbau menggunakan perangkat citation manager, seperti Mendeley, Zotero, EndNote, RefWorks, BibText dan lain sebagainya dengan memakai American Psychological Association (APA) 6th Edition. 5. Transliterasi bahasa Arab menggunakan standar International Journal of Middle Eastern Studies, detail transliterasi dapat diunduh di http:// ijmes.chass.ncsu.edu/docs/TransChart.pdf 6. Artikel bebas dari unsur plagiat, dengan melampirkan bukti (screenshot) bahwa artikel telah dicek memakai piranti lunak antiplagiat, misalnya, tetapi tidak terbatas pada, plagiarism checker (plagramme.com). 6. Skripsi, Tesis, atau Disertasi Yang Tidak Dipublikasikan Dalam referensi ditulis :