KOMUNIKASI AGAMA DAN BUDAYA (Studi atas Budaya Kompolan Sabellesen Berdhikir Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di Bluto Sumenep Madura) Ach. Shodiqil Hafil Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan (IDIA) Sumenep Madura Keywords: communication, Culture, Kompolan Sabellesen, Sufistic proselytizing. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/al-balagh © 2016 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: as.hafil@yahoo.com Abstract The study discusses the types of religious and cultural communication of Kompolan Sabellesen ritual implementing dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Nashabandiyah, and how the people in Bluto village mean the values of sufistic proselytizing internalized in Kompolan Sabellesen. The research is a case study with qualitative approach based on anthropological study. The analysis uses the symbolic interpretative madzhab. The result of the study shows that Kompolan Sabellesen has a very important role in the dynamic life of people in Madura. The collaboration of religious and cultural teaching becomes one unity that influences the way how the people view their religion and socialize its religious teaching in the society. Kompolan Sebellesen is a communication medium of religion and culture packed in religious rite collaborated with cultural practices as a means of strengthening Islamic brotherhood to create harmonic and humanitarian society. Moreover, by contemplating dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah in Kompolan Sabellesen, they feel positive energy that results peace and happiness. In order to get the blessing of sufistic values, they usually use pure water that has been recited some prayers to drink as the manifestation of sacredness in profanity. Thus, the existence of Kompolan Sabellesen should be maintained as mediation and meditation media in approaching the God by using sufistic values internalized in cultural rite. 162 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: Penelitian ini mengkaji bagaimana pola komunikasi agama dan budaya dalam ritual Kompolan Sabellesen yang mengamalkan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Nashabandiyah, serta bagaimana masyarakat desa Bluto memaknai nilai-nilai dakwah sufistik yang terinternalisasikan ke dalam Kompolan Sabellesen ini. Jenis penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang bersandar pada kajian antropologi. Sebagai pisau analisis peneliti menggunakan “madzhab” simbolik interpretatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kompolan Sabellesen memiliki peranan yang sangat penting dalam dinamika kehidupan masyarakat Madura. Perpaduan ajaran religius dan ritual kultural menjadi satu kesatuan yang berdampak pada cara pandang beragama dan cara mensosialisasikan ajaran agama dengan lingkungan sosial. Kompolan Sabellesen ini merupakan media komunikasi agama dan budaya yang dikemas dalam ritual keagamaan yang dipadukan dengan praktik kultural sehingga menjadi sarana memperkokoh Ukhuwwah Islamiyyah dalam rangka membentuk masyarakat yang harmonis dan humanis. Selain itu dari penghayatan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah yang ada dalam Kompolan Sabellesen ini mereka merasakan adanya energi positif yang membawa ketenangan dan kebahagiaan. Untuk mendapatkan keberkahan nilai-nilai sufistik, biasanya mereka menggunakan air putih yang dibacakan dhikir untuk diminum sebagai manifestasi sakralitas dalam profanitas. Dengan demikian budaya Kompolan Sabellesen ini perlu dijaga eksistensinya sebagai sarana mediasi dan meditasi dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan melalui nilai-nilai sufistik yang terinternalisasikan dalam nilai-nilai budaya. Pendahuluan Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Menurut Nurcholis Majid, agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia merupakan sub-ordinat dari agama (Yustion 1993, 172). Komunikasi agama dan budaya merupakan suatu keniscayaan. Pada kondisi tertentu agama dengan kekuatan magis dan berbagai ritualnya Abstrak – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 163 akan mempengaruhi kebudayaan dari sebuah masyarakat. Sehingga agama pada tataran tertentu bisa dikatakan memiliki superioritas atas budaya. Namun demikian, adakalanya juga budaya memberi pengaruh pada proses keberagamaan manusia. Hal ini terkait dengan sifat kodrati manusia yang tidak bisa terlepas dari dimensi sosial. Sehingga penganut agama yang sama di lingkungan masyarakat yang berbeda, akan melahirkan tipologi keberagamaan yang berbeda. Komparasi antara muslim pedesaan dan muslim perkotaan, misalnya. Dalam hal ini muslim perkotaan cenderung lebih fleksibel dan sederhana dalam menjalankan aktivitas keagamaannya daripada muslim pedesaan yang memegang teguh prinsip, tradisi, dan ritual keagamaan yang tidak jarang diinternalisasikan dalam sebuah kebudayaan. Demikian pula masyarakat muslim pedesaan Madura yang dikenal sebagai salah satu etnis yang religius dan fanatik terhadap ajaran agamanya. Menyinggung agama berarti menyinggung harkat dan martabat orang Madura (Soegianto 2003, iii). Hal ini karena Madura memiliki budaya yang berbeda sebagai ciri khasnya, walaupun mungkin ada kemiripan dengan suku yang lain. Kondisi geografis, klimatologis, dan subur tandusnya sebuah daerah akan berpengaruh terhadap watak penghuninya. Sebagaimana telah dikaji oleh Ibn Khaldun yang membagi pola bumi menjadi beberapa klimatologis, bahkan udara suatu daerah akan mempengaruhi perilaku penduduknya (Ibn Khaldun 1981, 57). Oleh karena itu, masyarakat muslim Madura dikenal dengan tingkat religiousitasnya yang tinggi, berupaya dengan teguh menjaga nilai-nilai sakralitas dalam menjalankan ajaran, ritual atau tradisi. Salah satunya adalah tradisi atau budaya Kompolan Sabellesen yang ada di desa Bluto Sumenep Madura. Kompolan Sabellesen ini sejatinya adalah tradisi atau budaya masyarakat Madura yang dibentuk sebagai media mengeksplorasi fungsi nilai sosial dalam bermasyarakat. Istilah kompolan berasal dari kata kumpul dan kumpulan yang dalam bahasa Madura berarti; polong, kompol, kamrat, dan 164 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: kolom (Tim Penyusun Pusat Balai Bahasa Surabaya 2007, 114). Sedangkan yang dimaksud dengan Sabellesen adalah tanggal hari sabelles (sebelas) bulan attas (hijriyah). Pada setiap tanggal sebelas tiap bulan attas (hijriyah) diadakanlah ritual Kompolan Sabellesen ini. Jadi, nama sabellesen diafiliasikan dengan kata sebelas (11). Sebenarnya Kompolan Sabellesen ini sudah menjadi budaya yang telah lama mengakar kuat di Madura. Memang tidak semua masyarakat Madura mengikuti tradisi ini. Tapi bisa dikatakan hampir mayoritas masyarakat Madura sudah familiar dengan istilah Kompolan Sabellesen ini. Menariknya, Kompolan Sabellesen di desa Bluto Sumenep ini berbeda dengan Kompolan Sabellesen di daerah lainnya. Kompolan Sabellesen di desa Bluto Sumenep ini selain dibumbui dengan adanya arisan, yang paling khas adalah ritual pembacaan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di setiap permulaan acara. Sebagaimana kita ketahui tarekat selalu identik dengan nilai-nilai tasawuf. Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan yang harus ditempuh oleh seseorang yang ingin bertasawuf agar ia berada sedekat mungkin dengan Rabb-nya. Tarekat juga mengandung arti organisasi kesufian yang mempunyai syaikh (mursyid) upacara ritual, dan metode dhikir tersendiri (Harun Nasution 1986, 89). Sebagai suatu metodologi, tarekat disebut juga dengan suluk yang artinya kumpulan tata cara dan aturan terkait dengan bagian-bagian di dalam tasawuf. Sedangkan tasawuf menurut Ibn Khaldun adalah salah satu di antara ilmu-ilmu syariat yang baru dalam Islam. Asal mulanya adalah amal perbuatan ulama salaf dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka. Dasar tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan jalan selain yang menuju Allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia, melepaskan diri dari apa yang diinginkan oleh mayoritas manusia, baik berupa harta atau jabatan, serta mengasingkan diri dari makhluk dan berkhalwat untuk beribadah. Yang demikian ini sangat umum dilakukan oleh para sahabat dan para ulama salaf. Lalu ketika manusia mulai condong – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 165 dan terlena dengan urusan duniawi pada abad ke-2 H dan sesudahnya, nama sufi dikhususkan bagi orang-orang yang tekun beribadah saja (Abdul Qadir Isa 2007, 13). Dengan demikian, bisa dikatakan orang yang mengamalkan tarekat adalah orang yang berteguh hati untuk menyelami dunia tasawuf dalam rangka menyucikan hati dan jiwa dengan metode-metode atau ajaran- ajaran yang sudah menjadi suatu ketetapan dalam sebuah tarekat. Untuk itu biasanya pengikut tarekat tertentu harus dibaiat atau ditalqin terlebih dahulu oleh seorang syaikh, mursyid atau wakil talqin, sebelum masuk dan mengamalkan ajaran tarekat yang dipilihnya. Tapi uniknya dalam Kompolan Sabellesen yang mengamalkan dhikir tarekat pada setiap permulaan acara ini tidak semua pesertanya masuk dalam keanggotaan tarekat secara resmi melalui proses baiat atau talqin sebelumnya. Bahkan mayoritas belum ber-talqin. Mereka memiliki pandangan (worldview) tersendiri dalam memaknai tarekat atau cara bertasawuf ini. Mereka memang tidak tahu bagaimana lazimnya orang bertarekat, karenanya mereka tidak mengikuti metode bertarekat sebagaimana kaum sufi. Tapi mereka sangat menjunjung tinggi dan meyakini akan kelebihan bacaan dhikir tarekat ini dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini dhikir tarekat yang menjadi amalan dalam Kompolan Sabellesen adalah dhikir khataman yang diajarkan dalam Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah ajaran Mursyid KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (wafat 2011 M) yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat (Kharisuddin Aqib 2004, 10). Di desa Bluto ini memang banyak penganut ajaran Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah, tapi masih lebih banyak yang tidak masuk ke dalam keanggotaan secara resmi. Di antaranya adalah mereka yang ikut dalam Kompolan Sabellesen ini. Seiring dengan meningkatnya semangat beragama di kalangan masyarakat Madura, meningkat pula masyarakat yang ingin megikuti Kompolan Sabellesen ini. Banyak motif dan makna di balik fenomena sosial 166 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: ini tentunya. Sehingga ritual Kompolan Sabellesen ini tidak bisa hanya disebut budaya, tapi juga sudah merambat ke ranah tertinggi dalam beragama, yaitu nilai-nilai tasawuf. Tulisan berikut akan mengkaji bagaimana pola komunikasi agama dan budaya dalam ritual Kompolan Sabellesen yang mengamalkan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Nashabandiyah, serta bagaimana masyarakat desa Bluto memaknai nilai-nilai dakwah sufistik yang terinternalisasikan ke dalam Kompolan Sabellesen ini. Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah studi kasus (case study), dengan pendekatan kualitatif yang bersandar pada kajian antropologi. Peneliti mencoba memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam penelitian ini, peneliti terjun langsung di lapangan dan berperan serta (participant observation), ikut terlibat dan masuk dalam keanggotaan Kompolan Sabellesen berdhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah, bertanya langsung kepada para jamaah Kompolan Sabellesen serta mendatangi beberapa kiai, nyai, tokoh masyarakat sebagai top figure dalam Kompolan Sabellesen di desa Bluto Sumenep. Dengan participant observation ini diharapkan peneliti lebih peka dan tanggap terhadap situasi yang muncul. Observasi dilakukan terhadap ritual Kompolan Sabellesen yang diadakan setiap tanggal sebelas tiap bulannya (Hijriyah). Observasi dilakukan untuk memahami secara mendalam tentang proses ritual dan amalan dhikir yang dilakukan oleh jamaah Kompolan Sabellesen, pandangan mereka tentang nilai-nilai budaya dan sufistik, dan untuk menemukan relevansinya dengan hasil wawancara. Studi dokumentasi dilakukan untuk mengetahui: (a) Uraian dan penjelasan tentang pengertian budaya, dhikir khataman, tarekat, dan tasawuf dalam berbagai literatur. (b) Sejarah, perkembangan, dan pandangan jamaah Kompolan Sabellesen dalam memahami dan memaknai – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 167 nilai-nilai tasawuf. (c) Rekaman aktivitas jamaah Kompolan Sabellesen di desa Bluto Sumenep Madura. Analisis data yang digunakan adalah teknik simbolik interpretatif dengan analisis verstehen atau analisis emik, yang bertumpu pada pemahaman terhadap kebudayaan suatu entitas dalam sudut pandang pelaku budaya atau subyek penelitian (Richard C. Martin, 1985). Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah simbolik interpretatif. Perspektif simbolik memang menjadi wacana baru di tengah berbagai aliran yang sudah ada sebelumnya dan dirasakan mengalami kejenuhan. Akan tetapi, sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi-interpretatif di dalam kajian-kajian agama, perspektif simbolik ini memiliki kesamaan, yaitu sama-sama ingin memahami apa yang ada di balik fenomena. Ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap lebih mendalam pada dunia noumena yang sering dikonsepsikan sebagai pemahaman interpretatif (Nur Syam 2011, 89). Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya mengamati adanya komunikasi agama dan budaya di balik fenomena sosial Kompolan Sabellesen berdhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah yang dilakukan oleh masyarakat desa Bluto, tapi lebih mendalam lagi kepada pengamatan sistem nilai pemaknaan dan varian motivasi di balik ritual dhikir tarekat dalam Kompolan Sabellesen tersebut. Karena menggunakan perspektif antropologi, maka perlu ditegaskan bahwa ritual dhikir tarekat dalam Kompolan Sabellesen dimaksud adalah bagian dari unsur-unsur keagamaan yang tidak dipandang sebagai doktrin, melainkan sebagai bagian dari kebudayaan. Dalam hal ini acuannya adalah definisi Clifford Geertz yang menyatakan bahwa agama adalah suatu sistem simbol (Spradley 2007, 134-135) yang bertindak sebagai penguatan gagasan dan kelakuan dalam menghadapi kehidupan, yang dengan simbol-simbol itu konsep-konsep yang abstrak diterjemahkan menjadi lebih konkrit (Saifuddin 2011, 69- 70). Oleh karena itu, Geertz menjadikan simbol sebagai sesuatu yang memungkinkan manusia menangkap hubungan dinamik antara dunia nilai 168 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: dengan dunia pengetahuan. Pembatasan agama sebagai kebudayaan ini adalah dalam rangka kepentingan analisa sosial, karena apabila agama dipandang semata-mata sebagai perangkat doktrin (keyakinan) yang dogmatik maka kemungkinan analisa sosial menjadi tertutup. Bahkan menurut Clifford Geertz, agama bukan hanya bagian dari kebudayaan, tetapi juga merupakan inti kebudayaan. Sebagai inti kebudayaan (culture core) agama menjadi pedoman hidup, penentu arah, dan ketepatan kehidupan yang dipandang baik dan buruk. Dengan kata lain, agama menstrukturkan pikiran masyarakat (Saifuddin 2011, 74-75). Dalam antropologi simbolik, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan yang diperlukannya. Dalam pandangan Geertz, kebudayaan dalam konsepsi ini mengandung dua elemen unsur utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan, dan pola dari tindakan. Pola bagi tindakan (model for) adalah representasi sistem nilai, sedangkan pola dari (model of) adalah representasi dari sistem kognitif dan sistem makna (Syam 2011, 90-91). Terkait dengan penelitian ini, maka ritual atau praktik dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah dalam Kompolan Sabellesen yang diamalkan oleh masyarakat desa Bluto dapat dikatakan sebagai suatu pola dari tindakan (model of) atau sistem kognitif. Sedangkan nilai-nilai keyakinan spiritual terhadap keistimewaan dari budaya Kompolan Sabellesen tersebut adalah sebagai pola bagi tindakan (model for) atau sistem nilai. Sebagai hakikat dari pemahaman antropologis, dalam penelitian ini tidak bisa berangkat dari pikiran peneliti sendiri, tetapi harus berdasar atas apa yang diketahui, dirasakan, dan dialami oleh pelaku budaya atau subyek penelitian yang dalam hal ini adalah masyarakat desa Bluto jamaah – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 169 Kompolan Sabellesen yang mengamalkan ritual dhikir khataman dalam Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah. Dengan demikian, penelitian ini lebih mengarah kepada teori Geertz yang melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku. Ini pula yang sering dikonsepsikan oleh ahli antropologi sebagai verstehen atau analisis emik, yang bertumpu pada pemahaman terhadap kebudayaan suatu entitas dalam sudut pandang mereka sebagai pelaku budaya atau subyek penelitian yang dalam hal ini adalah masyarakat desa Bluto yang tergabung dalam jamaah Kompolan Sabellesen berdhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah. Lokasi Penelitian Letak geografis penelitian ini berlokasi di Desa Bluto, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, dan berada di Pulau Madura bagian timur. Dari hasil penelusuran di www.maps.google.com, desa yang dikepalai oleh Amratul Uptija ini berjarak 13.6 km dari pusat perkotaan Sumenep. Sedangkan dari kantor kecamatan hanya berjarak 1 km, karena lokasi penelitian termasuk atau berada di wilayah pusat kecamatan. Desa Bluto ini berbatasan dengan Desa Bumbungan di sebelah utara, Desa Aengbaja Kenek di sebelah barat, Desa Aengdake di sebelah selatan, dan Desa Lobuk di sebelah timur. Desa Bluto adalah salah satu desa dari 20 desa yang ada di Kecamatan Bluto. Sebagai desa yang berada di sepanjang pinggiran jalan raya provinsi atau jalan utama yang menghubungkan antara kabupaten Sumenep dan kabupaten Pamekasan, desa ini memiliki potensi besar dalam bidang perdagangan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pertokoan di sepanjang jalan raya, baik toko eceran maupun toko grosir. Namun demikian, berdasarkan informasi yang didapatkan dari Kepala Desa Bluto, desa ini sama halnya kebanyakan desa di wilayah Madura yang juga memiliki potensi pertanian (Uptija 2016). Bahkan desa ini dijuluki sebagai penghasil buah Srikaya terbesar di Madura selain tentunya juga menghasilkan produksi Tembakau, Jagung, Cabai Jamu, 170 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: Klengkeng, Pisang, dan beberapa jenis tanaman lainnya (Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Bluto, 10 Maret 2016). Dipilihnya daerah ini didasari oleh suatu realitas bahwa: pertama, di wilayah ini tradisi-tradisi lokal sebagaimana dalam fokus kajian ini masih menunjukkan eksistensinya, sekalipun mengalami sedikit perubahan. Kedua, sisi lain masyarakat desa ini begitu kentalnya meyakini budaya Kompolan Sabellesen berdhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah, sehingga dalam anggapan mereka, jika tidak mengikuti budaya tersebut merasa kurang sempurna keberagamaannya. Kompolan Sabellesen: Media Komunikasi Agama dan Budaya Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Identitas budaya tersebut dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jati diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan (Taufiqurrahman 2006, 2). Pandangan ini menegaskan adanya komunikasi agama dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat di Madura. Di antaranya adalah budaya Kompolan Sabellesen. Kompolan Sabellesen jika ditinjau dari segi bahasa (etimologis) berarti acara berkumpul (kompolan) setiap tanggal sebelas (sabellesen). Sedangkan secara terminologis, Kompolan Sabellesen adalah acara berkumpulnya masyarakat Madura secara rutin sebagai media komunikasi yang sudah menjadi tradisi atau budaya untuk menjalin silaturrahim dan memanjatkan doa khusus sebagai parnyo’onan (permohonan) agar terkabul segala hal yang menjadi hajatnya. Acara berkumpul ini dilakukan setiap tanggal sabelles (sebelas) bulan attas (Hijriyah). Dipilihnya tanggal ini karena diyakini sebagai tanggal ganjil yang baik agar segala doa dan hajat yang dipanjatkan terkabul. Sebenarnya tidak ada keterangan tertulis mengenai sejarah asal mula adanya Kompolan Sabellesen ini. Sehingga keterangan sebagai data yang bisa dipakai hanyalah dari sumber wawancara dengan para tokoh atau jamaah Kompolan Sabellesen itu sendiri. Jadi sekedar word of mouth, informasi dari – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 171 mulut ke mulut, dari leluhur ke generasi berikutnya. Menurut Nyai Huzaimah sebagai penggagas diselenggarakannya Kompolan Sabellesen di desa Bluto ini, tujuan awalnya adalah membentuk media silaturrahim antar masyarakat sekitar agar setidaknya dalam satu bulan sekali menyempatkan diri untuk saling bertegur sapa. Untuk menarik minat masyarakat, diadakan pula arisan sebagai “bumbu pelengkap” agar juga bisa membantu masyarakat dalam bidang perekonomian. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pemanjatan doa bersama dengan tujuan dikabulkannya hajat (parnyo’onan) yang menjadi keinginan masing-masing jamaah (Huzaimah 2016). Pada mulanya hanyalah doa umum biasa yang dibaca. Namun pada perkembangannya bersamaan dengan maraknya ajaran Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di desa Bluto, maka ditambahlah pembacaan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah yang dibaca tiap Kompolan Sabellesen itu dimulai. Khataman yang dimaksud adalah kumpulan dhikir yang berisi tawassul kepada mursyid berikut silisilahnya hingga Rasulullah SAW. Selain itu ada pula pembacaan sholawat, kalimat thoyyibah, serta ayat-ayat al-Qur’an dan doa pilihan yang sudah diramu oleh sang mursyid (Mulyadi 2016). Ditambahkannya pembacaan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah dalam Kompolan Sabellesen ini adalah usul dari salah seorang tokoh masyarakat desa Bluto yaitu KH. Mulyadi sebagai orang yang pertama kali membawa ajaran Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah ke desa Bluto. Awalnya tidak serta merta usulan KH. Mulyadi ini diterima oleh masyarakat jamaah Kompolan Sabellesen dengan alasan mereka sudah merasa nyaman dengan bacaan doa yang singkat, sementara jika ditambah dengan dhikir khataman akan menjadi lebih lama lagi. Tetapi dengan segala upaya yang dilakukan oleh pengurus Kompolan Sabellesen akhirnya usul ini diterima dan diterapkan (Rasyid 2016). Sejak ditambahkannya bacaan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah inilah, kegiatan Kompolan Sabellesen tidak hanya sekedar kumpul silaturrahim biasa dengan arisan, tapi juga ada nilai-nilai sufistik 172 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: yang dihayati para jamaahnya. Nilai-nilai sufistik ini tentunya sangat mempengaruhi sikap dan tingkat keberagamaan masyarakat desa Bluto. Hal ini sebagaimana dikatakan Durkheim bahwa agama adalah kesatuan kepercayaan dan praktik-praktik tertentu terhadap sesuatu yang suci. Kepercayaan dan praktik-praktik tersebut kemudian menyatukan kesatuan moral komunitas yang disebut dengan jamaah (Durkheim 1960, 62). Kepercayaan dalam pengertian ini adalah ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal-hal yang suci, sedangkan praktik-praktik adalah aturan- aturan yang menentukan bagaimana seseorang bersikap terhadap kehadiran benda-benda suci. Baik kepercayaan maupun praktiknya menjadikan masyarakat yang tergabung dalam kelompok tersebut sebagai suatu sistem. Oleh karena itu Kompolan Sabellesen ini akhirnya tidak hanya sekedar wadah berkumpul, tapi juga menjadi sarana memperkokoh Ukhuwwah Islamiyyah sebagai bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat (Sugiyanto 2002, 172). Dengan ukhuwwah Islamiyyah, kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) dalam bermasyarakat senantiasa harmonis dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya serta mampu memperkuat persatuan dan kesatuan. Ukhuwwah Islamiyyah menjadi lebih aktual bila dihubungkan dengan masalah solidaritas sosial, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 103 yang memerintahkan manusia untuk bersatu dan melarang untuk bercerai berai dan dalam surah al- Hujurat ayat 13 menyuruh manusia untuk saling mengenal (Wardi 2013, 47). Atas dasar inilah, masyarakat Madura berikhtiar dalam rangka internalisasi nilai-nilai ajaran al-Qur’an yaitu menjalin ukhuwwah Islamiyyah, membangun persatuan dan mempererat tali silaturrahim dalam format lokal yang disebut Kompolan Sabellesen. Kompolan Sabellesen ini tidak hanya sekedar ritus, tapi lebih dari itu mengandung nilai-nilai kepercayaan yang mendalam. Kepercayaan dan ritus dalam kehidupan manusia ditampakkan dalam bentuk simbol- – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 173 simbol suci yang memiliki makna tertentu dan dibedakan dengan simbol- simbol profan. Hubungan antara simbol dan makna yang dimengerti oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan senantiasa diwariskan melalui sosialisasi dan inkulturasi secara terus-menerus dari generasi ke generasi sehingga menjadi pengetahuan dan sikap terhadap hidup. Atas dasar pemikiran tersebut, C. Geertz berpandangan bahwa agama adalah suatu sistem kebudayaan (Geertz 1979, 3). Karenanya, Kompolan Sabellesen ini tidak hanya sekedar ritual keagamaan namun juga sudah menjadi sistem kebudayaan yang berkomunikasi dengan ritual keagamaan. Agama sebagai sistem kebudayaan untuk kepentingan analisis adalah operasional dalam rangka melihat hubungan antara sistem kebudayaan dan sistem tindakan. Agama sebagai sistem simbol dapat menguatkan keteraturan kehidupan masyarakat (Suparlan 1983, 88). Dalam ritual Kompolan Sabellesen ini, simbol-simbol suci yang berupa bacaan dhikir khataman berperan sebagai alat penghubung antara sesama manusia, antara manusia dengan benda, serta sebagai alat penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. Kompolan Sabellesen secara sosiologis menunjukkan bahwa agama sebagai kebutuhan masyarakat, sedangkan dorongan kebutuhan psikologis menunjukkan agama sebagai sumber motivasi. Hubungan antara agama, masyarakat, dan individu mencakup tiga hal, yaitu kognitif, substantif, dan ekspresif. Agama dalam hal ini dilihat sebagai pengetahuan dan juga substansi yang dicari oleh individu masyarakat untuk selanjutnya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Banton 1969, 108-109). Menurut Malinowski, fungsi agama bagi kemasyarakatan adalah dapat terpenuhinya keingintahuan terhadap hal-hal di luar yang nyata, dimana keingintahuan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui filsafat dan ilmu pengetahuan. Selain itu, agama juga berfungsi sebagai pengatur tindakan- tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan penyesuaian terhadap lingkungan dan mengintegrasikan masyarakat melalui upacara atau ritus keagamaan (Malinowski 1972, 71-72). 174 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: Fungsi agama sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dilihat pada kedudukan dan peranan tarekat bagi umat Islam. Tarekat merupakan sistem kepercayaan dan praktik-praktik upacara yang memiliki fungsi pemenuhan kebutuhan sosiologis dan psikologis tersebut. Melalui tarekat atau tasawuf, seorang muslim dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman akan hal-hal yang bersifat adikodrati dan supernatural, seperti kemampuan- kemampuan luar biasa untuk memecahkan persoalan hidup (Mufid 2006, 5-6). Tasawuf dengan aliran-alirannya yang disebut dengan tarekat merupakan salah satu dimensi ajaran Islam yang paling mudah diserap oleh berbagai kebudayaan (Abdurrahman Wahid dalam M. Dawam Raharjo, 1985). Sedangkan istilah tarekat menurut Martin Van Bruinessen, paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli merupakan panduan yang khas dari doktrin, metode, dan ritual (Bruinessen 1994, 61). Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan apa yang menjadi worldview bagi jamaah Kompolan Sabellesen. Bagi mereka tarekat ibarat sebuah masjid yang siapa saja boleh masuk ke dalamnya. Tidak peduli status sosialnya apa, dan tidak perlu ada izin tertentu untuk memasukinya. “Mon terro maso’a ye maso’!” Kalau mau masuk, ya masuk. Begitu pula dhikir tarekat. Tidak ada dhikir tertentu yang hanya boleh dibaca orang tertentu. Apalagi bacaannya mengandung nilai-nilai sufistik yang mampu mendekatkan diri seorang muslim dengan Rabb-nya seperti yang terdapat dalam dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah. Terlebih lagi tarekat ini adalah tarekat dhikir yang mengajarkan bagaimana seorang muslim senantiasa mengamalkan dhikir kapanpun dan dimanapun, tanpa batasan tempat dan waktu (Maysaroh 2016). Dalam konteks masyarakat desa Bluto, Kompolan Sabellesen ini pada prinsipnya menjaga komunikasi horisontal antar warga dan memperkuat harmoni sosial, sehingga setiap warga memperoleh kenyamanan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Membangun dan – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 175 meneguhkan solidaritas sosial untuk memperkuat ketahanan masyarakat atas dasar keterikatan emosional dan pertalian kekerabatan. Mempererat dan memantapkan daya rekat suatu hubungan sosial guna mencegah dan mengeleminasi potensi konflik serta menghindari friksi di dalam masyarakat. Sejak lama, religiusitas masyarakat Madura telah dikenal sebagai bagian dari keberagamaan kaum muslim Indonesia, di mana realitas sosial- budayanya dibentuk dan berpegang teguh pada tradisi dan ajaran Islam. Dalam banyak literatur tentang Madura, hal tersebut terbentuk dari proses sejarah yang panjang, yang turut mempengaruhi secara signifikan sistem sosial budaya. Pola komunikasi agama dan budaya Madura juga dapat dilihat ketika acara dan jamaah Kompolan Sabellesen ini dimanfaatkan sebagai momen untuk mengadakan ritual kebudayaan seperti pelet betteng (Tradisi syukuran tujuh bulan usia kehamilan agar diberi keselamatan dan kemudahan dalam proses melahirkan), toron tana (acara turun tanah atau menginjak tanah pertama kali bagi seorang anak yang berusia tujuh bulan dengan rangkaian acara tertentu), dan ritual budaya lainnya. Hal itu juga didasari keyakinan bahwa tanggal sebelas Hijriyah adalah tanggal baik yang akan mendatangkan keberkahan dan keselamatan (Rasyid, Sitti, dan Maysaroh, 2016). Kompolan Sabellesen adalah wujud dari sistem komunikasi agama dan budaya yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat Madura, khususnya di desa Bluto Sumenep, dengan menginternalisasikan nilai-nilai sufistik Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah ke dalam sebuah sistem sosial budaya. Dengan demikian, praktik beragama di desa Bluto Sumenep ini terasa sangat dimensional, karena Kompolan Sabellesen ini merupakan media komunikasi ritual keagamaan yang dipadukan dengan praktik kultural (kebudayaan yang berlaku). Perpaduan ajaran religius dan ritual kultural ini menjadi satu kesatuan yang berdampak ganda. Yaitu, terhadap cara pandang 176 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: beragama dan cara mensosialisasikan ajaran agama dengan lingkungan sosial. Kondisi ini menarik untuk diungkap ke permukaan secara lebih detail. Karena sifatnya praktik yang berkelindan dengan kehidupan sehari- hari masyarakat kelas bawah. Nilai-nilai Dakwah Sufistik dalam Kompolan Sabellesen Sebagaimana yang dikatakan Geertz, kebudayaan itu terdiri dari tiga hal utama, yaitu sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interpretasi. Adapun titik temu antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol ialah yang dinamakan sistem makna (system of meaning). Dengan begitu, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan. Dalam hal ini, adanya nilai-nilai sufistik di balik Kompolan Sabellesen menjadi sistem pengetahuan masyarakat Madura. Sedangkan sistem simbolnya adalah bacaan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah yang diakhiri dengan meniup air minum agar mengandung barokah dan menjadi obat yang mujarab bagi peminumnya. Setelah itu diperlukan sistem makna atau sistem nilai dalam Kompolan Sabellesen tersebut, sehingga melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan. Sufisme dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi yang juga tidak dapat dipisahkan dari agama tersebut. Islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketundukan atau semacam asketisme kesalehan yang tidak ada urusan dengan doktrin-doktrin filsafat (Hamdi 2004, 29). Setelah dihimpun hasil wawancara dengan beberapa jamaah Kompolan Sabellesen didapatkan beberapa nilai-nilai sufistik yang menjadi motivasi tersendiri bagi para jamaahnya dan juga diyakini mendatangkan banyak – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 177 manfaat dalam menjalani proses kehidupannya. Mereka sangat meyakini adanya koherensi dhikir dalam kehidupan mereka. Dari Kompolan Sabellesen ini mereka merasakan adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka merasakan adanya energi positif dalam dhikir yang menjadikan diri mereka selalu dalam keadaan stabil dan bisa mengontrol emosi. Merasakan hidup yang lebih lapang, tenang, dan bahagia karena rumah tangganya yang utuh, harmonis dan jauh dari perselisihan yang menyebabkan keretakan rumah tangga. Bagi mereka, setiap masalah dan musibah dalam hidup bisa dihadapi dengan mudah karena dhikir selalu memberikan solusi yang tepat dan jalan keluar yang baik (Maysaroh, 2016). Fenomena tersebut merupakan kesadaran spontan pada diri individu-individu muslim yang tulus untuk menyingkap jalan tasawuf, yang didorong oleh cahaya nurani dan semangat keberagamaan. Cahaya sufistik terpancar luas tanpa melalui gerakan yang diorganisir dan sentralisasi. Persaudaraan yang mengikat kalangan jamaah Kompolan Sabellesen adalah suatu realitas tanpa banyaknya koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. Realitas tersebut adalah kesadaran terhadap ibadah yang murni (ikhlash) dan sifat-sifat luhur dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kedidupan yang bersifat lahiriah. Kunci sufistik adalah kesadaran hati, kebebasan dan keriangan jiwa dengan sikap mengakui batasan-batasan lahiriah. Alasan jamaah Kompolan Sabellesen ini tidak menggunakan praktikel sense atau perasaan yang dialami karena pengalaman secara formal (masuk ke dalam keanggotaan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah secara resmi) adalah karena sifat kesadaran hati itu sendiri sangat alamiah, yang sebenarnya merupakan intisari dari nilai-nilai sufistik yang sederhana dan inklusif. Dhikir khataman yang menjadi amalan jamaah Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah bagi jamaah Kompolan Sabellesen juga terasa manfaatnya setiap mengamalkannya. Ada rasa khusyuk dan nikmat ketika meresapi tiap dhikir yang dibacanya. Kesadaran manusia atas keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya mendorong dirinya untuk mencari sesuatu 178 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: yang magic dalam tataran mistisisme. Dalam konteks Kompolan Sabellesen, Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah dipilih sebagai jalan meditasi dan mediasi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhan dalam rangka memohon pertolongan dari-Nya. Selain itu juga hal yang wajar bila antusiasme jamaah Kompolan Sabellesen didasari stimulus-stimulus tertentu yang mendorong mereka untuk mengamalkan dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah. Banyak hal yang memotivasi mereka untuk ikut bergabung dalam tarekat ini dengan berbagai macam tujuan. Mulai dari faktor ekonomi, sosial, kesejahteraan keluarga, kesehatan, hingga faktor psikis (kejiwaan). Dalam hal ini mereka biasanya menggunakan air putih sebagai instrumen (atau yang menurut Mircea Eliade disebut hierofani) untuk dibacakan dhikir yang mereka yakini dapat mengandung barokah dan multi-khasiat(Eliade 2002, 14) Dari sinilah peneliti menemukan adanya persinggungan dan titik temu antara domain spiritual-mistisisme dan domain sosio-kultural. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dalam Kompolan Sabellesen ini mengandung nilai-nilai sufistik yang begitu transenden dan berkelindan dalam sistem nilai budaya sehingga bisa meningkatkan integritas masyarakat Madura sebagai masyarakat yang religius-kulturalis. Penutup Kompolan Sabellesen memiliki peranan yang sangat penting dalam dinamika kehidupan masyarakat Madura. Di dalamnya tercermin pola komunikasi agama dan budaya. Perpaduan ajaran religius dan ritual kultural dalam Kompolan Sabellesen ini menjadi satu kesatuan yang berdampak ganda. Yaitu, terhadap cara pandang beragama dan cara mensosialisasikan ajaran agama dengan lingkungan sosial. Kompolan Sabellesen ini merupakan ritual keagamaan yang dipadukan dengan praktik kultural. Kompolan Sabellesen ini akhirnya tidak hanya sekedar wadah berkumpul, tapi juga menjadi sarana memperkokoh Ukhuwwah Islamiyyah yang menjadi lebih aktual bila dihubungkan dengan masalah solidaritas sosial, karena pada – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 179 hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Selain itu Pola komunikasi agama dan budaya Madura juga dapat dilihat ketika acara dan jamaah Kompolan Sabellesen ini dimanfaatkan sebagai momen untuk mengadakan ritual kebudayaan seperti pelet betteng, toron tana, dan ritual budaya lainnya. Hal tersebut didasari keyakinan masyarakat bahwa Kompolan Sabellesen bisa mendatangkan keberkahan dalam ritual budaya yang dilakoninya. Selain itu, dibacakannya dhikir khataman Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah dalam Kompolan Sabellesen dapat dikatakan sebagai suatu pola dari tindakan (model of) atau sistem kognitif. Sedangkan nilai-nilai keyakinan spiritual terhadap keistimewaan dari budaya Kompolan Sabellesen tersebut adalah sebagai pola bagi tindakan (model for) atau sistem nilai. Dari Kompolan Sabellesen ini mereka merasakan adanya energi positif yang membawa ketenangan dan kebahagiaan. Untuk mendapatkan keberkahan nilai-nilai sufistik, biasanya mereka menggunakan air putih yang dibacakan dhikir untuk diminum sebagai manifestasi sakralitas dalam profanitas (hierofani). Hal ini menunjukkan bahwa dalam Kompolan Sabellesen ini mengandung nilai-nilai sufistik yang begitu transenden dan berkelindan dalam sistem nilai budaya sehingga bisa meningkatkan integritas masyarakat Madura sebagai masyarakat yang religius-kulturalis. Dengan demikian budaya Kompolan Sabellesen ini perlu dijaga eksistensinya sebagai sarana mediasi dan meditasi dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan melalui nilai-nilai sufistik yang terinternalisasikan dalam nilai-nilai budaya. DAFTAR PUSTAKA Aqib, Kharisuddin. Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Surabaya: Bina Ilmu, 2004. Arifin, Ahmad Shohibulwafa Tadjul. Miftah al-Sudur: Kunci Pembuka Dada. Terjemahan oleh Aboebakar Atjeh. Surabaya: Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya Korwil Jawa Timur, Tanpa Tahun. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. 180 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: Barid, Bararah. “Penelitian tentang Islam di Indonesia” dalam Parsudi Suparlan (ed), Pengkajian Agama, Ilmu-ilmu Sosial, dan Agama. Jakarta: Balitbang Depag RI, 1982. Bruinessen, Martin van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994. Bruinessen, Martin van. Tarekat Qadiriyah dan Ilmu Syekh Abdul Qadir Jaelani di India, Kurdistan, dan Indonesia, dalam jurnal Ulumul Qur’an, Vol.2, No.2 (Jakarta: Penerbit Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989. Creswell, J.W. Qualitatif Inquiry and Research Design. California: Sage Publications, Inc., 1998. Durkheim, E. The Elementary Form of The Religious Life. Terj. Joseph Ward Swain. New York: Collier Books, 1960. Eliade, Mircea. Sakral dan Profan, terj. Nuwanto. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Geertz, C. “Religion as a cultural system”, dalam Michael Banton (ed), Anthropological Approaches to Study of Religion. London: Tavistock Publications, 1979. Hamdi, Ahmad Zainul. Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004. Hamka. Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993. I.M., Thoyyib. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Isa, Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf. Jakarta: Qisthi Press, 2010. Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Khaldun, Ibn. Muqaddimah.Beirut: Dâr al-Fikr, 1981. Malinowski, B. “The Role of Magic and Religion”, dalam Lessa & Vogt, Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach. New York: Harper & Row Publisher, 1972. Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies. Arizona: The Universuty of Arizona Press, 1985. Moleong, Lexy, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Mufid, Ahmad Syafii. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Mulder, Niel. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia, – Vol. 1, No. 2, Juli – Desember 2016 | 181 1984. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II. Jakarta: UI Press, 1986. Palak, Mayor. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Ichtiar Biru, 1999. Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Saifuddin, Achmad Fedyani. Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Institut Antropologi Indonesia, 2011. Soegianto. Kepercayaan, Magic, dan Tradisi dalam Masyarakat Madura. Jember: Tapal Kuda, 2003. Spiro, Milford E. “Religion: Problem of Definition and Explanation” dalam Michael Banton (ed), Anthropological Approaches to Study of Religion. London: Tavistock Publications, 1969. Spradley, James P. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007. Suparlan, P. “Kata Pengantar” dalam C. Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Penerbit Pustaka, 1983. Syam, Nur. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS, 2011. Taufiqurrahman, “Islam dan Budaya Madura”, bahan presentasi pada forum Annual Conference on Contemporary Islamic Studies, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI, Bandung, 26-30 November 2006. Tim Pakem Maddhu, Kamus Bahasa Madura, Madura–Indonesia. Pamekasan: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pamekasan, 2007. Tim Penyusun Pusat Balai Bahasa Surabaya, Kamus Dwibahasa Indonesia– Madura. Surabaya: Pusat Balai Bahasa, 2008. UNESCO. The Cultural Dimension of Development: Towards a Practical Approach. Paris: UNESCO Publishing, 1995. Wahid, Abdurrahman. “Pesantren sebagai Subkultur” dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LPES, 1985. Wardi, Moh. Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura dalam Jurnal Karsa, Vol. 21 No. 01, Juni 2013. Yustion, et.al. Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993. 182 | Ach. Shodiqil Hafil – Komunikasi Agama dan Budaya: Wawancara: - Amratul Uptija (Kepala Desa Bluto) - Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Bluto - Ibu Juwairiyah Rasyid (sekretaris Kompolan Sabellesen) - Sitti (jamaah Kompolan Sabellesen) - Maysaroh (jamaah Kompolan Sabellesen) - KH. Mulyadi, S.Ag. (tokoh masyarakat dan jamaah senior Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah di desa Bluto Sumenep - Nyai Huzaimah (Ketua Pengurus Kompolan Sabellesen di desa Bluto)