BUDAYA DAN KEARIFAN DAKWAH Masykurotus Syarifah, M.H.I. Dosen Tetap STAI Nazhatut Thullab, Sampang, Madura Abstrak Ketika membahas tentang propaganda dan komunikasi lintas budaya, setidaknya ada tiga kata kunci untuk membongkar masalah ini, yaitu propaganda, komunikasi, dan budaya. Ketiga hal ini memiliki makna dan fungsi masing-masing. Di sinilah perlunya penguraian lebih mendalam tentang hal tersebut. Mempelajari komunikasi lintas budaya adalah wajib karena itu merupakan tiket untuk kita agar mampu beradaptasi di manapun kita berada, terutama di Indonesia di mana berbagai suku dan budaya hidup berdampingan. Konflik berkepanjangan dapat terjadi jika seseorang tidak memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak melakukan melakukan apapun untuk komunikasi lintas budaya. Dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, seseorang bisa memahami perbedaan dengan bersikap netral atau moderat. Sehingga konflik yang timbul antar budaya etnis yang berbeda tidak akan terjadi. Lebih lanjut, mempelajari komunikasi lintas budaya dapat membuat kita lebih berhati-hati dalam membangun hubungan dengan budaya lain. Para pendakwah harus memahami tempat, budaya, kebiasaan dan bahasa objek dakwahnya karena hal tersebut menentukan kesuksesan dakwah yang dilakukannya. Keywords: Wisdom, propaganda, culture. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: masykurohs@gmail.com 24 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah A. PENDAHULUAN Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya (Enjang, 2009. 24-34). Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Cara berkomunikasi sangat bergantung pada budaya: bahasa, aturan, dan norma masing-masing (Liliweri, 2011. 9). Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memperhatikan pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. Alo liliweri dalam buku “Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya” menjelaskan tentang komunikasi antar budaya yaitu merupakan interaksi dan komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memilki latarbelakang kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2009. 12-13 ). Komunikasi merupakan hal yang berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan Abstract When talking about propaganda and cross-cultural communication, there are at least three key words to unravel these issues, namely propaganda, communication, and culture. All of the three have their own meaning and function. Here the need for more in-depth decomposition. Learning cross-cultural communication is necessary because it is a ticket for us to be able to adapt wherever we are, particularly in Indonesia where the various tribes and cultures live together. A prolonged conflict would occur if the person does not understand the differences and does nothing with cross-cultural communication. By studying how to build the cross-cultural communication, people will understand the differences and be neutral or moderate. So the conflict rose among different ethnic cultures will not happen. In addition, studying the cross-cultural communication will make us more cautious in building relationship to the different cultures. Preachers should be able to understand the place, culture, customs, and language of his objects because it will determine the success of their preaching. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 25 manusia lainnya. Setiap orang membutuhkan hubungan social dengan orang lainnya dan kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia yang tanpa komunikasi akan terisolasi. Dalam bukunya, Abraham laswell mengatakan bahwa komunikasi adalah who says what to whom in this channel with what effect (siapa berbicara apa dengan media apa yang menghasilkan efek). Efek disini merupakan sikap dan tingkah laku dari hasil berkomunikasi tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran pesan dari komunikator dan komunikan yang menghasilkan efek. Disini jika kita runtut, kebanyakan para ahli mendefiniskan komunikasi dari unsur-unsurnya. Adapun unsur- unsur komunikasi adalah: komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Untuk memahami interaksi antar budaya, terlebih dulu kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut. Adapun komunikasi lintas budaya adalah, komunikasi yang dilakukan untuk segala macam budaya. Sudah diketahui bahwa di dunia ini banyak sekali ragam budaya. Kita ambil contoh Indonesia saja. Di negri ini, ratusan macam budaya berbeda. Kebanyakan kegagalan berkomunikasi adalah akibat faktor ketidak pahaman akan budaya. Sementara itu Noise yang paling berpengaruh dalam proses komunikasi adalah budaya. Komunikasi lintas budaya mencoba untuk melakukan pendekatan pendekatan dengan berbagai cara, seperti psikologis, sosiologi, kritik budaya, dialog budaya dan lain lain. Di sini komunikasi lintas budaya mencoba untuk memberikan pemahaman bersama dan mencoba untuk mengerti akan keragaman budaya di Indonesia. Dari sini akan terbentuk suatu pengertian bersama akan adanya perbedaan budaya. Komunikasi lintas budaya mencoba 26 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah untuk memahami akan keragaman tersebut. Sehingga benturan-benturan kebudayaan atau disintregasi social tidak akan terjadi (Mulyana, 2001. 12). Menurut teori komunikasi antar budaya, Edward T. Hall, komunikasi dan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Hall terlebih dahulu membedakan budaya konteks tinggi (high context culture ) dengan budaya konteks rendah (low context culture). Budaya konteks rendah ditandai dengan komunikasi konteks rendah seperti pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus terang. Para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan (the say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean what they say). Sebaliknya, budaya konteks tinggi, seperti kebanyakan pesan yang bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dibalik perilaku non- verbal, intonasi suara, gerakan tangan, pemahaman lebih kontekstual, lebih ramah dan toleran terhadap budaya masyarakat. Terkadang pernyataan verbal bisa bertentangan dengan pesan non-verbal. Manusia yang terbiasa berbudaya konteks tinggi lebih terampil membaca perilaku non-verbal dan juga akan mampu melakukan hal yang sama. Watak komunikasi konteks tinggi yaitu tahan lama, lamban berubah dan mengikat kelompok penggunanya. Orang-orang berbudaya konteks tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya daripada orang-orang berbudaya konteks rendah. Dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah, pengkajiannya dengan pendekatan komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah. Bagaimana para da’i melakukan tugasnya sebagai pengayom masyarakat, penyelamat masyarakat dan memajukan masyarakat dengan pendekatan- pendekatan yang lebih dekat dan ramah dengan budaya yang dianut masyarakat setempat (Aripuddin, 2011. 16). Kemudian dalam kaitannya dengan ilmu dakwah adalah pada tujuan dan fungsi dari komunikasi antar budaya itu sendiri. Tujuan studi dari komunikasi antar budaya menurut Litvin bersifat kognitif dan afektif, yaitu untuk mempelajari keterampilan komunikasi yang membuat seseorang – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 27 mampu menerima gaya dan isi komunikasinya sendiri (Mulayana, 1998. xi). Tentunya dengan terlebih dahulu kita perluas dan perdalam pemahaman kita terhadap kebudayaan seseorang tersebut. Selanjutnya dalam segi fungsi, seperti yang kita ketahui sebelumnya, ilmu dakwah adalah ilmu yang mengkaji tentang upaya mengajak umat manusia kepada jalan Allah, dibangun dan dikembangkan dengan metode ilmiah sehingga dapat berfungsi dalam rangka memahami, memprediksi (prediction), menjelaskan (explanation) dan mengontrol (control) berbagai fenomena dan persoalan yang terkait dengan dakwah. Metode ilmiah yang dimaksud oleh Ilmu Dakwah, tercantum pula pada Komunikasi antar budaya seperti yang dipaparkan Alo Liliweri pada bukunya “Dasar-dasat komunikasi antar budaya”. Bahwa menurut beliau komunikasi antar budaya memiliki Fungsi sosial, diantaranya : 1. Sosialisasi Nilai Sosialisasi nilai merupakan fungsi untuk mengajarkan dan mengenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain. 2. Menjembatani Dalam poses komunikasi antar peibadi, termasuk komunikasi antar budaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan diantara mereka. Fungsi menjembantani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. 3. Pengawasan Praktik komunikasi antar budaya diantara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antar budaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan perkembangan tentang lingkungan (Liliweri, 2011. 9). Dengan adanya ketiga fungsi komunikasi antar budaya tersebut, komunikasi antar budaya dapat dijadikan sebagai ilmu bantu dalam mengembangkan ilmu dakwah. Dalam hal ini yang dimaksud adalah 28 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah Dakwah Syu’ubiyah Qabailiyah (dakwah antar suku, budaya dan bangsa), dimana Da’i dan mad’u berbeda suku dan budaya dalam satu kesatuan bangsa atau pun berbeda bangsa (Enjang, 2009. 69). Sebagai pengembang teoritis dakwah, komunikasi antar budaya dapat menjelaskan secara sistematis fenomena yang berkembang berkaitan dengan proses dakwah (fungsi pengawasan), kontrol (pengendalian) suatu fenomena yang berkaitan dengan proses kegiatan dakwah dengan harapan agar fenomena itu dapat terjadi sesuai dengan tujuan yang hendak di capai (fungsi menjembatani), serta mampu memberikan penjelasan berbagai fenomena di suatu masyarakat, agar pengembangan dan pelaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien (fungsi sosialisasi nilai). B. Strategi Dakwah Antar Budaya Fenomena dan objek dakwah yang sangat beragam, maka beragam pula tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di manapun dan kapanpun. Melihat beragamnya objek dakwah, maka beragam pula strategi dakwah yang dilakukan oleh da’i. Demikian juga budaya dari objek dakwah sangat beragam. Apa sebetulnya yang disebut dengan dakwah? Kata dakwah sering diungkapkan dalam al-Qur’an secara langsung oleh Allah dalam ayat al- Qur’an. Ini membuktikan bahwa dakwah adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan menusia. Tidak salah jika M.Iqbal, seorang pembaru dari Pakistan berkata “sesuatu yang paling berpengaruh dalam kehidupan saya adalah nesehat ayah yang mengatakan; anakku, bacalah al-Qur’an seakan akan ia diturunkan padamu” (Basith, 2006. 26). Dakwah menurut bahasa berasal dari kata دعوه -يدعو -دعا يِّيَن َرُسوال ِمْنھُْم يَ ھَُو الَِّذي بََعَث فِي َويَُعلُِّمھُُم اْلِكتَاَب َواْلِحْكَمةَ َوإِْن ْتلُو َعلَْيِھْم آيَاتِِه َويَُزكِّيِھمْ األمِّ ُمبِينٍ َكانُوا ِمْن قَْبُل لَفِي َضاللٍ , yang berarti panggilan, seruan dan ajakan (Pimay, 2005. 3). Sedangkan menurut istilah, banyak sekali definisi dakwah. Menurut Saifudin Azhari, dakwah adalah segala aktivitas yang mengubah suatu situasi lain yang lebih baik menurut ajaran islam. Tetapi juga berupa usaha usaha meneruskan dan menyampaikan kepada perorangan dan umat. Konsepsi Islam tentang – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 29 pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia dan akhirat ini yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai media dan cara yang diperbolehkan akhlak yang membimbing pengalamannya dalam kehidupan perseorangan berumah tangga tangga, bermasyarakat, bernegara (Anshari, 1969. 87). Dakwah secara normatif yakni mengajak manusia kepada jalan kebaikan dan petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat (Mahfud, 1970. 27). Pengertian Dakwah Antar budaya Dakwah pada hakikatnya adalah upaya aktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kehidupan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara berpikir, merasa, bersikap dan berperilaku manusia pada dataran individual maupun sosiokultural dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Rozi, 2007. 34). Dalam dakwah, unsur dakwah meliputi dai, mad’u, metode, materi, media. Dan dalam komunikasi, unsurnya dalah komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Keduanya hampir sama maknanya, hanya saja dalam unsur dakwah, efek tidak dicantumkan. Namun pasti setiap komunikasi baik dilakukan dengan kemasan dakwah, akan tetap meberikan efek tersendiri. Seorang da’i, dituntut untuk bisa menyampaikan materi kepada mad’u secara gamblang dan dapat diterima oleh mad’u, ini merupakan keharusan. Karena seorang da’i dianggap berhasil apabila ia telah mampu memahamkan mad’u-nya. Dalam komunikasi, hal ini disebut komunikasi efektif. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, seorang dai harus bisa memahami kondisi mad’u. Di sinilah letak pentingnya komunikasi lintas budaya, karena dengan memahami budaya yang ada, maka dakwah dapat dilaksanakan dengan baik. Salah satu metode yang digunakan dalam berdakwah adalah dakwah bil hikmah, dakwah bil hikmah dilakukan dengan cara yang arif dan bijaksana, yaitu melalui pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah 30 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan, mapun konflik. Inilah yang bisa diterapkan dalam konsep dakwah lintas budaya. Penekanannya adalah cara melaksanakan dakwah Rasulullah dan menjadi rujukan dan referensi dakwah bagi kita saat ini. Melakukan dakwah yang sebenarnya adalah hal yang sangat mudah. Karena kita dapat melakukan dakwah dimana saja dan kapan saja. Dalam menyampaikan dakwah kita harus merujuk kepada Al-Quran dan Hadis Nabi. Salah satu metode dakwah yang sampai saat ini masih relevan dipraktekkan oleh para dai adalah dapat merujuk kepada Hadis Nabi sebagai berikut: Permudahlah, jangan mempersulit, sampaikan Kabar gembira dan jangan membuat orang lari (HR. Bukhari). Mempermudah urusan bukanlah membolehkan segala sesuatu hal dalam kehidupan ini. Misalnya, apabila seseorang baru masuk Islam, setelah mengucapkan dua kalimah syahadah. Maunya jangan langsung dengan serta merta kita menyuruh membayar zakat, dan naik Haji. Akan tetapi ia baru saja masuk Islam maka kita memberikan kabar-gembira, kabar yang menyenangkan serta menyejukkan tentang Islam. Misalnya kita memberikan penjelasan bahwa Islam Agama yang menghormati sesama manusia. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi dengan orang lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman itu banyak ditemui dalam berbagai kejadian yang – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 31 mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Komunikasi dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Karena dakwah adalah aktifitas berkomunikasi. Namun lebih khusus komunikasi tentang agama Islam, penyebaran Islam, dan juga anjuran baik dan buruk. Disini dakwah dan komunikasi lintas budaya diperlukan. Mengingat majemuknya budaya di Indonesia menuntut seorang da’i untuk bisa menjadi da’i yang profesional. Penggunaan metode dakwah yang benar adalah keharusan. Eksistensi dakwah akan senantiasa bersentuhan dengan realitas sosio-kultural yang mengitarinya, sesuai konsekuensi posisi dakwah, dakwah sebagai satu variabel dan problematika kehidupan sosial sebagai variabel yang lain, maka keberadaan dakwah dalam suatu komunitas dapat dilihat dari fungsi dan perannya dalam mempengaruhi perubahan sosial tersebut, sehingga lahir masyarakat baru yang diidealkan (khoiru ummah). Secara substansial dakwah merupakan pendidikan masyarakat, yang dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan cita-cita pendidikan nasional. Tujuan seperti diamanahkan pendidikan nasional tersebut menempatkan dimenasi moral keagamaan sebagai bagian penting dalam proses berdakwah. Dakwah antar budaya merupakan proses dakwah yang mempertimbangkan keragaman budaya antar da’i (subjek dakwah) dan mad’u (objek dakwah), dan keragaman penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat antar budaya, agar pesan dakwah dapat tersampaikan, dengan tetap terpeliharanya situasi damai (Aripudin, 2012. 25). Dakwah antar budaya merupakan kajian proses berdakwah mengajak seorang manusia untuk menyampaikan pesan-pesan agama Islam dan perilaku Islami sesuai dengan konsep budaya yang berkembang di masyarakat. Hakikat dakwah antar budaya itu bagaimana kita dalam berdakwah, menggunakan budaya sebagai materi, metode, alat, dan strategi sesuai dengan kondisi budaya sasaran dakwah (mad’u). Karena setiap orang, setiap tempat wilayah dan lingkungan mempunyai kondisi sosial 32 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah budaya yang berbeda-beda. Maka dalam pendekatannya pun berbeda pula. Kajian dakwah antar budaya memiliki ruang lingkup kajian ilmu dakwah yang meliputi : 1. Mengkaji dasar-dasar tentang adanya interaksi simbolik da’i dengan mad’u yang berbeda latarbelakang budaya yang dimilikinya dalam perjalanan dakwah para da’i. 2. Menelaah unsur-unsur dakwah dengan mempertimbangkan aspek budaya yang berhubungan dengan unsur da’i, materi, metode, media, mad’u dan dimensi ruang dan waktu dalam keberlangsungan interaksi berbagai unsur dakwah. 3. Mengkaji tentang karakteristik-karakteristik manusia baik posisinya yang menjadi da’i maupun yang menjadi mad’u melalui kerangka metodologi dalam antropologi. 4. Mengkaji tentang upaya-upaya dakwah yang dilakukan oleh masing- masing etnis. 5. Mengkaji problem yang ditimbulkan oleh pertukaran antar budaya dan upaya-upaya solusi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi jati diri budaya masing-masing (Aripudin, 2012. 55-56 ). Wilayah yang memiliki masyarakat multikultur dan multietnis mempunyai tantangan untuk mengakomodasi perbedaan kebangsaan dan etnis secara stabil dan dapat dipertahankan secara moral. Tantangan multikultur ini juga menjadi tantangan dalam aktivitas dakwah Islam dengan cara mengubah dan menata kembali cara-cara serta orientasi dakwah. Dakwah adalah seruan, ajakan, atau perubahan (Aripudin, 2012. 133). Kegiatan dakwah di masyarakat, dan di media massa selama ini, relatif telah responsif, terhadap kondisi masyarakat yang modern. Setidaknya telah berupaya agar pesan-pesan keagamaan yang disampaikan bisa diterima secara baik. Mereka biasa menggunakan berbagai metode dalam berdakwah. Namun masih menjadi pertanyaan besar: apakah substansi dakwah telah menyesuaikan dengan kemajemukan dan atau – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 33 keperbedaan kultur di masyarakat; Apakah kebijakan dakwah multikultur telah terformulasi dengan baik. Demikian juga para da’i sebagai nara sumber atau aktor, supaya mempunyai kemampuan meramu kemajemukan tersebut dengan memperhatikan; isi atau pesan-pesan yang disampaikan, metode penyampaian, narasumber atau da’i yang berperan serta media yang digunakan. Dakwah merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai ajaran Islam kedalam masyarakat, oleh karena itu dakwah tidak akan pernah berhenti untuk berinteraksi dengan budaya dari masyarakat itu sendiri. Terdapat konsep dakwah yang mengedepankan cara-cara simpatik, bijaksana dan lebih humanis (Pimay, 2005. 45). Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kini telah diwarnai oleh mobilitas sosial yang sangat tinggi. Terjadi akulturasi (percampuran budaya) dan transkulturasi (tarik menarik antar budaya), sejalan dengan kemajuan tekonologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan yang spektakuler adalah pada teknologi komunikasi, yang kemudian sangat mempengaruhi pola dakwah masa kini. Secara tematik, ada beberapa jenis kegiatan dakwah di masyarakat. Sebagian adalah pendalaman pengetahuan agama yang dilakukan secara rutin dan terjadwal. Sebagian lagi adalah mengusung tema tertentu yang melekat dengan pelaksanaan peringatan hari besar Islam, menyongsong event nasional dan lainya. Seperti pendekatan sosial dan budaya yang diterima oleh masyarakat luas. Memperhatikan ruang dan waktu, topik-topiknya aktual, menyentuh kebutuhan dasar mad’u dan isu-isu terkini dalam masyarakat. Teori-teori dakwah antar budaya berusaha mengetahui karakter budaya suatu masyarakat merupakan kunci utama dalam memahami dan mengembangkan dakwah antar budaya. Rumusan konseptual hasil pengamatan terhadap proses pelaksanaan dakwah baik diterima atau ditolak oleh mad’u. Menurut Acep Aripudin diperlukan beberapa teori untuk membantu mengamati fenomena dakwah dari sisi analisis ilmu sosial, yaitu: 34 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah 1. Resistance theory (teori resistensi) atau teori penolakan. Dasar asumsi teori ini adalah bahwa setiap aktivitas dakwah akan selalu menghadapkan variabel da’i dan mad’u. Ketika interaksi terjadi pertentangan bahkan sikap dan respons penolakan tidak terelakan khususnya penolakan dari mad’u. Penolakan tersebut adalah konsekuensi logis akibat proses difusi budaya dari budaya yang berbeda. Da’i menyampaikan pesan-pesan dakwah yang termasuk baru bagi komunitas masyarakat tertentu. Maka budaya baru itu jelas mengancam eksistensi budaya lama yang telah dipeluk masyarakat sejak lama yang sudah berakar di kehidupannya. Umumnya mad’u menganggap budaya baru itu aneh bahkan menyalahkan. Budaya baru itu terkadang berbentuk gagasan, teori, dan tindakan yang teraktualisasi dalam proses interaksi masyarakat. Apabila gagasan-gagasan baru itu tidak memiliki landasan kuat dan tidak tersosialisasikan dalam pengalaman hidup, maka budaya baru itu mendapat dukungan dari komponen masyarakat dan terisolasi secara terus-menerus maka perlahan-lahan budaya baru itu, apa pun bentuknya akan diterima masyarakat. 2. Acculturation theory (teori akulturasi) atau teori percampuran. Era globalisasi tak hanya berpengaruh terhadap pola komunikasi dan sisitem informasi, lebih dari itu, konsekuensi terjadinya pembauran budaya global, baik ranah fisik maupun mental. Sarana tekhnologi informasi dan transportasi telah mempermudah hubungan antar budaya semakin cepat dan kuat. Dalam era informasi, hubungan antarmanusia tak hanya sebatas satu wilayah antarnegara, tetapi mencakup manusia sejagat. Kemudahan hubungan (relasi) dan interaksi antarsesama manusia dan berbagai komponen budaya menjadi bagian dari hubungan dalam dakwah antar budaya. Dari landasan teori ini, percampuran budaya karena interaksi manusia akan kehadiran bentuk budaya baru merupakan keniscayaan. Setiap manusia, komponen bangsa penghuni bumi ini memiliki kebudayaan, bahkan kebudayaan unggulan masing-masing anggota masyarakat untuk saling tukar secara terus-menerus dalam proses kehidupannya. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 35 3. Receptie theory (teori resepsi). Menerima sepenuhnya atau menerima sebagian gagasan budaya yang lain adalah landasan utama teori ini. Penerimaan bisa terjadi karena gagasan dan budaya baru itu dianggap lebih baik dan menjanjikan terhadap perbaikan nasib hidup masyarakat. Fakta sejarah pengalaman ideal suatu masyarakat sering menjadi sandaran utama proses penerimaan terhadap gagasan-gagasan dan budaya baru dalam teori resepsi. Kondisi sosial masyarakat akan tampak lebih harmoni dan berjalan lebih terkendali karena terjadi kesepahaman dan atau paksaan. 4. Complementery theory (teori komplementer) yaitu terjadi proses pertukaran antar budaya di dunia berjalan dengan cepat sehingga memungkinkan terjadi gesekan dan perpaduan budaya-budaya tersebut. Pada kenyataannya tak sepenuhnya suatu budaya baru/budaya lain dapat diterima pihak suatu masyarakat dengan mulus bahkan bisa terjadi penolakan. Akan tetapi lambat laun sebagian budaya luar dan baru itu diterima, bahkan dijadikan model dalam hubungan interaksi antar masyarakat. Antara budaya baru suatu masyarakat dan budaya lainnya bukan saling berbenturan (clash culture), tetapi menjadi budaya yang saling mengisi (complementary culture) (Aripudin, 2012. 19-22). Dengan teori-teori di atas, maka akan lebih membantu menganalisis berbagai proses interaksi sosial dan dinamika dakwah yang menjadi realitas dalam masyarakat multikultural (Aripudin, 2012. 19-22). Strategi dakwah antar budaya adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan-kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu : 1. Strategi merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan dakwah) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya atau kekuatan. Dengan demikian strategi merupakan proses penyusunan rencana kerja, belum sampai pada tindakan. 2. Strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. 36 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, pelu dirumuskan tujuan yang jelas serta dapat diukur keberhasilannya. Penentuan strategi dakwah juga berdasarkan surat al- Jumu’ah ayat 2, yaitu tentang tugas para rasul sekaligus bisa dipahami sebagai strategi dakwah. يِّيَن َرُسوال ِمْنھُْم يَْتلُو َعلَْيِھْم آيَاتِِه َويَُزكِّيِھمْ َو الَِّذي بََعَث فِيھُ األمِّ ُمبِينٍ َويَُعلُِّمھُُم اْلِكتَاَب َواْلِحْكَمةَ َوإِْن َكانُوا ِمْن قَْبُل لَفِي َضاللٍ “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (Al Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Q.S. Al-Jumu’ah : 2) Fokus kajian strategis kebudayaan dakwah Islam, hakikatnya memandang dakwah antar budaya sebagai sebuah proses berpikir dan bertindak secara dialektis dengan segala unsur-unsur dakwah dan budaya yang melingkupinya, demi tujuan dakwah, yakni menciptakan sebuah masyarakat Islam. Strategi dakwah antar budaya merupakan upaya aktif untuk menyatukan ide pikiran dan gerakan-gerakan dakwah dengan mempertimbangkan keragaman sosial budaya yang melekat pada masyarakat. Strategi ini membutuhkan perencanaan matang dan bijak tentang dakwah Islam secara rasional untuk mencapai tujuan Islam dengan mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun lingkungan tempat dakwah berlangsung (Aripudin, 2012. 119). C. Kesimpulan Apabila dakwah ingin berhasil dengan efektif dan efisien adalah dengan proses transformasi nilai-nilai budaya, baik dari dalam ke luar atau sebaliknya, hal ini akan berdampak pada keterputusan atau keberlangsungan – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 37 nilai-nilai budaya yang baru. Proses transformasi ini jalan tengah terhadap keberlangsungan kontinuitas budaya. Dakwah Islam menjadi tawaran dalam proses pembangunan dengan tidak mengabaikan ataupun menerima khazanah budaya lokal. Sebagaimana dalam prinsip kaidah- kaidah yurisprudensi Islam, yakni “ memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik”. Konsep umatan wahidah (ketunggalan umat) dalam isyarat al- Quran mesti dipahami sebagai ketunggalan dalam iman dan peradaban. Proses terbentuknya masyarakat beradab sedang terjadi dan akan terus berlangsung, yaitu melalui terjadinya pertukaran budaya manusia melalui kemajuan sains dan tekhnologi komunikasi, dalam rangka globalisasi. Kenyataan yang sedang berlangsung akan berdampak positif dan negatif bagi tatanan kehidupan umat. Strategi mengenali budaya setempat merupakan enterpoint (titik pembuka) terhadap tindakan-tindakan dan kebijakan proses transformasi nilai-nilai Islam. Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrum) merupakan keadaan yang diidamkan setiap masyarakat. Keserasian masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Dalam keadaan demikian, individu secara psikologis merasakan akan adanya ketentraman karena tidak adanya pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai. Referensi Buku Abdullah. 2012. Dakwah Kultural dan Struktural. Bandung: Citapustaka Media Perintis. Anshari, Saifudin. 1969. Pokok Pokok Pikiran Tentang Islam. Bandung: Pelajar. 38 | Masykurotus Syarifah – Budaya dan Kearifan Dakwah Aripudin, Acep. 2011. Pengembagan Metode Dakwah: Respons Da’i Terhadap Dinamika Kehidupan di Kaki Ceremai. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Aripudin, Acep. 2012. Dakwah Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Basit, Abdul. 2006. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahan Departemen Agama RI dengan Transliterasi Model Per Baris., 2001. Semarang : CV. Asy Syifa’. Enjang, Aliyudin. 2009. Dasar-dasar ilmu dakwah. Bandung : Widya Padjadjaran. Liliweri, Alo. 2011. Dasar-dasat komunikasi antar budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Liliweri, Alo. 2009. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS Mahfud, Syeh Ali. 1970. Hidayah Al-Mursyidik terj. Yogyakarta:, Usaha Penerbit Tiga A. Mulyana, Dedy. Jalaludin Rachmat. 2001. Komunikasi Antar Budaya, Bandung: Rosdakarya. Pimay, Wafiah Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis, Strategi dan Metode Dakwah Saefudin Zuhri. Semarang: Rasail. Pimay, Wafiah Awaludin. 2005. Sejarah Dakwah. Semarang: Rosail. Qardhawi, Yusuf. 1996. Fatwa-Fatwa, Kontemporer Jilid 2, Jakarta: Gema Insani Press Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Jurnal Rozi, Fachrur, 2007. “Kontroversi Dakwah Inklusif ”. Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 27, No. 1, Januari-Juni 2007