DAKWAH MMI (MENGURAI KEKERASAN SOSIAL PADA DISKUSI DI LKiS YOGYAKARTA) Abdul Jalil Dosen Antropologi FIB Universitas Halu Oleo Sulawesi Tenggara Abstrak Kasus penyerangan oleh oknum tertentu ketika terjadi diskusi di LKiS tentu sangat meresahkan masyarakat, apalagi sampai menimbulkan kekerasan sosial. Pada saat yang bersamaan, kondisi masyarakat yang dinamis dan beragam, kerap kali menafsirkan suatu masalah sesuai kondisi masyarakat masing-masing, sehingga persoalan yang timbul tidak kunjung selesei. Dalam kaitan itu, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengapa begitu mudahnya perilaku kekerasan sosial timbul menyertainya, dan selalu identik dengan Dakwah model Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis, menggunakan data primer dan sekunder dengan mempelajari lokus penelitian kekerasan sosial sesaat setelah terjadi diskusi di LKiS Yogyakarta. Faktor internal sebagai penyebab yang perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap komponen bangsa, kondisi kesejahteraan masyarakat yang belum baik dan miskin ilmu pengetahuan agama yang melanda masyarakat serta kerinduan mereka atas sentuhan pembinaan keimanan tidak lagi mereka peroleh, serta kehadiran seorang tokoh yang mampu memberikan pencerahan, dengan mudah dapat membawa mereka menjadi manusia yang berperilaku keras. Sementara ada kelompok umat lain yang merasakan keyakinannya terusik, dan tidak berfungsinya sistem keamanan yang ada, maka muncullah kekerasan sosial untuk menjawab kehadiran para manusia yang melakukan tindakan kekerasan. Keywords: Models of Propagation, MMI, Social Violence, and LKiS. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: jalil_kaya79@yahoo.co.id A. Pendahuluan Akibat kekerasan bernuansa agama di sejumlah daerah di Tanah Air mengakibatkan hilangnya rasa aman warga. Kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, kasus pengusiran warga penganut Syiah di Sampang Madura merupakan contoh fakta hilangnya rasa aman akibat kekerasan agama. Berdasarkan Laporan Tahunan 2012 oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM disebutkan bahwa ada dua kasus yang terus terjadi berulang-ulang, yakni penodaan agama dan perusakan rumah ibadah (Zaenal Abidin Baqir, 2012), termasuk yang baru saja terjadi terkait perusakan rumah ibadah adalah pembakaran masjid di Torikara Papua dan Perusakan gereja di Aceh, jika kedua kasus ini tidak ada, maka gambaran kehidupan beragama di Indonesia akan jauh lebih baik, masalahnya justru dewasa ini, kasus kehidupan beragama dari segi kualitas meningkat, diantara indikatornya adalah ditemukannya empat korban meninggal, tiga korban pada peristiwa penyerangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik 2011 dan satu orang pada kasus Syi ah di Sampang Madura 2012. Abstract Attacks promoted by certain elements during a discussion in LKiS of course disturb the society, moreover when they causes social violence. At the same time, the dynamic and diverse condition of society often interprets a problem according to the social condition so the problem never comes to an end. In accordance to the fact, the research was conducted to investigate why the social violence happens easily and it is always identical with Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). The research applies descriptive analysis method using the primary and secondary data by learning the locus of research on the social violence happened after the discussion in LKiS Yogyakarta. The internal factors as causes that need to get serious attention from all components of the nation include the poor condition of social welfare, the lack of religious knowledge and the need of a figure who is able to enlighten the society. These factors cause the society behave cruelly. Meanwhile, there are other groups of people who feel that their faith was disturbed, and the absent function of existing security system, have resulted the social violence as an answer for the people who commit acts of violence. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 3 Terkait dengan Ahmadiyah, sebenarnya pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota telah bertindak lebih jauh dan lebih keras terhadap komunitas Ahmadiyah dari ketetapan SKB tahun 2008. Sedikitnya ada 19 aturan yang dikeluarkan gubernur, bupati/wali kota atau kepala kantor tingkat pemerintah daerah (Suhadi Cholil, 2012). Termasuk peraturan wali kota Bogor yang cenderung intoleransi. Soal konflik rumah ibadah, ada kasus GKI Taman Yasmin yang berlarut hingga mengundang perhatian internasional. Tren pemerintah daerah bertindak lebih keras dari pemerintah pusat terjadi. KH Dian Nafi’ pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Windan Solo menyatakan melihat potret buram kehidupan keberagamaan di Tanah Air, hal yang mendesak dilakukan yaitu perlunya tindakan peace making dan menumbuhkan sikap “respek diri”. Ada kontradiksi, Indonesia melalui Presiden mendapat penghargaan sebagai Negara yang mampu memberikan kenyamanan antar umat beragama, namun banyak problem di lapangan yang belum terselesaikan secara baik bahkan masih cenderung diskriminatif dalam penanganannya, seperti kasus syiah di Sampang Madura. Bersama dengan itu, begitu banyak masyarakat maupun lembaga ataupun organisasi massa keagamaan yang mulai menampilkan sikap penolakannya serta banyak yang menyatakan rasa bimbang dan resah mereka atas keadaan yang berkembang, melihat keadaan di mana kelompok itu bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Pihak pemimpin yang sering melakukan tindak kekerasan atas nama agama tidak urung menyatakan pembelaanya dengan mengatakan bahwa yang berhak menentukan perilaku salah adalah pihak yang berwajib dan kejaksaan. Sesama manusia biasa tidak punya hak menyatakan orang lain salah, apalagi sampai menduga orang lain memiliki keyakinan yang tidak benar. Justru bagi mereka yang mengatakan tindakan perilaku kekerasan yang dilakukan golongannya dianggapnya sebagai pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa khususnya dan disharmonisasi empat pilat kebangsaan yang lain. Pada akhirnya suasana yang menimbulkan ketegangan bahkan 4 | Abdul Jalil – Dakwah MMI konflik antar pihak di Yogyakarta, seperti yang terjadi pada diskusi buku Allah, Liberty, and Love karya Irshad Manji di Yogyakarta berakhir ricuh. Menurut informasi, aksi ini dilatarbelakangi penolakan atas homoseksual, sosok Manji bagi mereka adalah representasi dari kelompok lesbian. Berdasarkan press release, kelompok penyerang menyatakan propaganda kebebasan dan lesbianisme Manji sebagai bentuk penistaan dan penodaan terhadap Islam serta propaganda atheisme terselubung (S.W Bal Tommy, 2013). Dalam perspektif sosial-budaya, adanya agama tidak terlepas dari masyarakat tempat para pemeluk agama yang bersangkutan berada. Dalam hal ini agama berfungsi sebagai sistem pengetahuan dan keyakinan untuk memenuhi kehidupan didunia dan kesiapan untuk memasuki kehidupan di kemudian hari. Jika fungsi agama seperti itu, maka wajarlah kalau agama dianggap sebagai roh dari kehidupan masyarakat. Dengan demikian, agama diharapkan menjadi perekat persatuan yang bermuara pada upaya mencegah terjadinya kekerasan sosial dan mewujudkan kedamaian, namun untuk mewujudkan harapan seperti ini tidaklah mudah, karena agama juga bisa menjadi sumber ketegangan yang mengarah pada terjadinya kekerasan sosial. Ada dua alasan yang mendasarinya, pertama, di dalam internal umat beragama itu sendiri ada kecenderungan untuk melakukan klaim kebenaran atas agama yang dianut, secara sepihak; kedua, berawal dari klaim sepihak, maka lebih mudah melahirkan pilihan sosial yang cenderung akan melahirkan perbedaan-perbedaan pemahaan, penyikapan dan tindakan- tindakan terhadap berbagai persoalan yang dihadapinya. Fenomena kekerasan seperti ini nampak jelas akhir-akhir ini dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Perbedaan dan variasi keagamaan dalam kehidupan beragama tidak dilihat sebagai khazanah melainkan justru melahirkan kondisi yang berpotensi menimbulkan ketegangan dan kekerasan sosial yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Fenomena yang terjadi di Yogkarta khususnya dan umumnya di Indonesia dewasa ini karena munculnya gerakan-gerakan atas nama agama – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 5 untuk melakukan tindakan kekerasan sosial sebagai reaksi negatif terhadap sebagian masyarakat yang notabene melahirkan pemikiran-pemikiran liberal. Diantara penyebabnya adalah reaksi negatif terhadap alam kebebasan yang dinikmati seperti sekarang ini memungkinkan seseorang atau kelompok orang mendeskripsikan apa saja yang diyakininya dan atau bagian dari hak asasi manusia (HAM) serta reaksi atas ketidakpuasan terhadap agama-agama formal yang banyak disalahgunakan, atau dipakai sebagai topeng untuk menutupi kejelekan perbuatan manusia termasuk keinginan seseorang atau kelompok untuk memformalkan tradisi religiusitas lokal ke dalam agama. Cara-cara kekerasan dengan dalih apapun tidak dapat dibenarkan, baik menurut agama, etika, maupun prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ekses dari tindakan kekerasan maupun teror yang dilakukan tersebut. Bahwa kekerasan sosial bukan merupakan solusi dalam menghadapi perbedaan keyakinan antar umat manusia, bahwa dengan dialog dirasakan suatu cara yang elegan untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan di Yogyakarta. Dengan menggelar dialog, pihak pimpinan maupun pengikutnya akan dihadapkan pada pengujian terhadap argumentasi pemahaman keagamaan mereka, lembaga keagamaan dan tokoh agama lainnya dapat memberikan pencerahan dalam dialog tersebut, sampai kelompok-kelompok keagamaan yang diindikasikan dengan tindakan kekerasan dapat tersadarkan pemahamannya yang salah selama ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi substansi permasalahan dan alternatif pemecahan yang komprehensif dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kekerasan sosial, dengan mencari jawaban mengapa begitu mudahnya perilaku kekerasan atas nama agama dilakukan oleh sebagian organisasi massa yang notabene adalah muslim, solusi apa yang diperlukan dalam mencegah timbulnya kekerasan sosial yang menyertainya. Eksistensi lembaga keagamaan tinggal hanya sebagai lambang saja, para pengikut dan pemimpin aliran- 6 | Abdul Jalil – Dakwah MMI aliran keagamaan tidak mengindahkan pernyataan tersebut. Langkah pemerintah melalui aparat penegak hukum dengan menyeret pemimpin dan pengikut aliran-aliran sesat ke meja hijau dirasa untuk sementara waktu dapat meredam berbagai kegiatan ritual dan perkembangan ajaran mereka. Namun selesai menjalani hukuman, maka pemimpin dan pengikunya masih tetap menjalankan kegiatan mereka sesuai dengan keyakinan yang ada pada diri mereka. Masalah lain yang dirasakan serupa, penggunaan cara pendekatan dengan kekerasan sosial yang dilakukan oleh anggota organisasi sosial keagamaan, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), masyarakat umum maupun aparat keamanan juga tidak membawa hasil yang baik, malah dirasakan terjadi ekses dari kekerasan yang dilakukan, baik kepada pengikut pemimpin dan keluarga mereka. Begitu juga rusaknya sarana fisik yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan tersebut tidak terhitung banyaknya dan lebih banyak membawa kerugian kepada kehidupan sosial yang berkepanjangan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dikatakan bahwa kehidupan beragama dewasa ini mengalami gejolak sosial yang mencekam, disebabkan banyaknya perilaku kekerasan sosial atas nama agama yang bermunculan dan berkembang di tengah masyarakat, sehingga banyak masyarakat dan lembaga sosial keagamaan yang melakukan tindakan kekerasan. Kebijakan pemerintah sering dirasakan tidak bermanfaat dalam menekan munculnya kekerasan sosial atas nama agama dan juga tidak mampu meredam gejolak masyarakat yang melakukan kekerasan. Untuk itulah berdasaran rumusan permasalahan ini, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah: Bagaimana munculnya tindakan kekerasan sosial oleh MMI yang merupakan organisasi berbasis Dakwah pada kasus penyerangan diskusi di LKiS? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja yang melatrbelakangi penyerangan diskusi pada LKiS Mei 2012 dan mengapa kekerasan sosial selalu menyertai dalam kontek Dakwah ormas MMI, sementara manfaatnya adalah dapat berguna bagi penelitian-penelitian dengan tema yang sama serta memberi kontribusi/ bahan masukan bagi pemuka agama dan masyarakat pada umumnya. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 7 Kerangka Teori Kerusuhan atau kekerasan sosial terjadi karena ada ada dua faktor dominan yang mengakibatkannnya, diantaranya: pertama, kerusuhan dan kekerasan sosial karena ada faktor penunggangnya atau aktor intelektual dibalik kerusuhan; kedua, kerusuhan dan kekerasan sosial sebagai akibat dari ketimpangan struktur sosial, ekonomi, dan politik. Meminjam istilah Gusdur, sebagai Pendangkalan Agama. Bagi Gusdur, kerusuhan dan kekerasan sosial terjadi karena masyarakat kurang memahami esensi beragama yang menghargai perdamaian. Agama dijadikan alat legitimasi politik untuk kepentingan dan golongan sendiri. Fenomena pendangkalan agama dipicu oleh intaraksi yang intensif umat Islam Indonesia dengan sejawatnya di Timur Tengah. Termasuk beberapa ideologi yang mampu menjadikan pelaku berlaku kasar adalah beberapa literatur klasik yang salah ditafsirkan. Misalnya Penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa sejumlah kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren banyak mendukung tindakan kekerasan atas nama agama, seperti orang tua diperbolehkan memukul anaknya jika tidak mau sembahyang, selain itu ajaran jihad yang termuat dalam kitab tersebut dianggap mengajarkan tentang kekerasan, selain makna jihad juga diartikan sebagai berperang melawan musuh dalam Islam berkonotasi positif (Gunawan, 2013). Dalam hasil penelitian oleh Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), disebutkan bahwa tidak adanya kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang terjadi di tanah air, merupakan faktor pemicu bagi masyarakat maupun individu melakukan caranya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Aparat hukum tidak melakukan tindakan pengamanan sebagaimana mestinya. Bahkan seringnya, petugas keamanan terlambat tiba di tempat terjadinya kericuhan, sementara masyarakat telah melakukan kekerasan terhadap 8 | Abdul Jalil – Dakwah MMI orang-orang yang tidak bersalah, kemudian setelah aparat hukum menangkap dan memproses orang-orang yang diduga melakukan tindakan kekerasan tertentu, ternyata secara spontan dilepaskan kembali, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana. Pemahaman dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari, pada dasarnya akan membawa umatnya menjauhi sifat anarkis. Setiap orang yang beriman akan menyatakan tidak menginginkan pertumpahan darah, tidak menginginkan penyiksaan/pembunuhan anak-anak, penindasan semua lapisan dari berbagai aspek, dan sebagainya. Tujuan luhur hidup manuisa sama dengan tujuan luhur ajaran agama, yaitu mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan bagi penganutnya, tetapi fakta di lapangan justru yang terjadi paradok, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebijakan yang luhur dan anti kerasan, pada sisi lain ajaran agama bisa mengiringi kehidupan manusia dengan wajah yang tidak bersahabat, hal ini terjadi apabila agamanya atau keyakinannnya dicela, dilecehkan atau dihinakan oleh orang lain (Sukidi, 2002: 13). Sejatinya setiap agama mengajarkan kasih sayang, cinta kasih dan perdamaian di muka bumi. Sejak berabad-abad lamanya, perbedaan entitas agama telah menimbulkan konflik yang paling keras, paling lama, paling luas, dan paling banyak mengambil korban. Pada citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya konflik, penindasan, dan kekerasan. Agama telah menjadi tirani, tercermin dengan atas nama Tuhan, orang dapat melakukan penindasan, kekerasan, dan berkonflik. Tentu ramalan Huntington (L.E Horrison & S.P Huntington, 2006: 15) tidak berlaku lagi karena baginya perbedaan tidak selalu identik dengan konflik, begitu juga konflik tidak pula mesti ada kekerasan, tetapi yang terjadi bentuk-bentuk kekerasan dan konflik agama selalu dapat dihubungkan dengan bangkitnya fundamentalisme agama yang menampilkan cita-cita sosial politiknya. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 9 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis, menggunakan data primer dan sekunder dengan mempelajari lokus penelitian kekerasan sosial sesaat setelah terjadi diskusi di LKiS Yogyakarta, yakni Mei 2012. Data primer didapat dengan observasi dan wawancara terhadap informan kunci, sedangkan data sekunder didapat dengan studi pustaka, termasuk beberapa informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, termasuk media internet. B. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Diskursus mengenai kekerasan sosial hampir tidak pernah terselesaikan secara jelas, sebagaimana para aktivis Komnas HAM selalu menyatakan bahwa maraknya beberapa kekerasan massa di tengah masyarakat tidak lepas dari tindakan yang dilakukan oleh aparat selalu tidak berujung pada penyelesaian, berangkat dari sini, masyarakat cenderung melakukan tindakan karena menganggap alat negara mandul, termasuk kasus penyerangan pada diskusi Mei 2012 di LKiS. Tentu dalam pandangan penulis, bahasan ini bukan sudah basi melainkan perlu diurai siapa saja yang telah melakukan tindakan kekerasan dan mengapa perlu ada tindakan yang seharusnya bisa didialogkan. Masih sangat hangat dalam memori masyarakat Indonesia, terutama ketika sesaat akan dilantiknya Ahok sebagai Gubernur telah terjadi penolakan oleh sebagian masyarakat muslim dengan bendera FPI DKI Jakarta, setelah dilakukan kajian oleh aparat, ternyata tindakan yang cenderung anarkis tersebut telah direncanakan jauh hari oleh seorang yang bernama Habib Novel dengan memberitahukan para anggota FPI. Menariknya, pernyataan Ahok sangat logis dengan nada menantang bahwa wajar jika FPI memberontak karena ijin operasi FPI telah habis pada tahun 2013. 10 | Abdul Jalil – Dakwah MMI Deskripsi Kasus Sebelum terjadi penyerangan oleh oknum dalam diskusi di LKiS bersama Irshad Manji, hari sebelumnya juga ada informasi bedah buku karya Irshad Manji, namun gagal terselenggara karena panitia tidak diijinkan oleh pihak kampus atas desakan organisasi tertentu dengan alasan Irshad Manji sosok yang telah melakukan penodaan agama. Namun akhirnya, Jaringan Perempuan Yogyakarta mencoba mengajak kerjasama dengan pihak LKiS, dan akhirnya terselenggara, meskipun pada awalnya juga terdengar dan desakan agar dibatalkan, seperti beberapa laskar Islam meminta Direktur LKiS Farid Wajid diskusi agar dibatalkan. Menurut Tahksin salah satu panitia LKiS, hal serupa juga telah terjadi di Solo, beberapa ormas mendesak agar tidak terselenggara diskusi dengan sosok yang dianggap sebagai simbol penodahan agama, namun panitia mencoba tetap digelar melalui kerjasama dengan tokoh non-Islam, akhirnya diskusi diselenggarakan dengan aman. Apa yang menjadi unik bagi sebagian orang dengan kegiatan serangkaian oleh Irshad Manji di Indonesia, tentu tidak semua bisa digeneralisasikan, artinya teman-teman yang biasa dengan kebangsaan, atau aliran ormas yang notabene bukan ekstrim dan radikal, atau boleh dibilang pasti pendukungnya para ormas yang lebih cenderung inklusif, atau sedikit sekuler. Namun penulis mencoba memahami banyaknya pertentangan oleh masyarakat Muslim Indonesia dari perspektif akademik, misalnya Dina Y Sulaeman, seorang alumnus magister Hubungan Internasional Unpad dan research associate Global Future Institute menuturkan bahwa Manji membantah jika bukunya ‘Allah, Liberty, and Love’ itu bukan tentang homoseksualitas. Memang, tesis utama yang dia bangun adalah kebebasan, jangan takut untuk melakukan apapun karena yang paling benar hanya Tuhan; dan tidak ada manusia yang boleh mengklaim diri sebagai yang paling benar. Hanya setelah dibaca lebih dalam, salah satu bentuk kebebasan yang dibela Manji adalah kebebasan untuk menjadi homoseks. Menurutnya, penentangan terhadap homoseksualitas adalah penentangan budaya, bukan agama. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 11 Berikut kronologi penyerangan Diskusi buku Irshad Manji di LkiS pada 9 Mei 2012. Menurut penuturan Dian Paramitha, kronologi peristiwa 9 Mei 2012, bermula pada pukul 12.00 Irshad Manji men-tweet, mengajak diskusi bukunya di LKiS Jogja pukul 19.00 untuk umum. Bagi Irshad Manji, info ini mungkin penting karena serangkaian kegiatan di Indonesia, di LKiS merupakan kegiatan yang terakhir di Indonesia. Pada pukul 17.00, Manji juga tweet lagi yang isinya mengajak ekstrimis untuk ikut bertukar pikiran. Tepat pada pukul 19.00, Manji bersama ketiga temannya, Nocky-Jow-Inong, termasuk Dian menuju LKiS, Jalan Paru Sorowajan Banguntapan Bantul. Dan sekitar pukul 19.30, mereka sampai disana. Gerbang dalam keadaan tertutup dan digembok. Dari luar bisa dilihat adanya diskusi di pendopo bagian dalam rumah itu. Setelah 10 menit lamanya, baru kami dibukakan pintu dan ditanyai kami dari mana. Saya hanya menjawab bahwa saya mahasiswa UGM. Saya dan teman- teman saya dipersilahkan masuk. Sekitar pukul 20.00 WIB, mereka berlima dipersilahkan duduk di lantai dalam pendopo. Dian mengambil posisi paling dekat dengan Irshad Manji. Diskusi berlangsung santai dan damai. Bahkan kami disuguhi pisang rebus, ketela, dan teh. Saat itu sedang tanya- jawab menggunakan bantuan translator. Irshad sempat ditanyai mengenai issue utama isi bukunya, mengenai sarannya, bahkan dikritik. Sekitar pukul 20.15 WIB, saat Irshad hendak menjawab, ada seseorang dalam diskusi itu berteriak “FPI!” Terlihat ada segerombolan laki-laki berpakaian ekstrimis, yang baru kemudian diketahui massa dari Majelis Mujahidin Indonesia- menghampiri gerbang sambil berteriak-teriak. Selang beberapa detik mereka mendorong-dorong gerbang hingga rusak dan jebol. Mereka masuk namun sempat dihalangi 2 (dua) temannya sehingga mereka tidak langsung maju menghampiri kami. Saya datangi mereka untuk tau apa yang akan mereka lakukan pada saya. Salah satu berteriak, “karena polisi tidak bisa mengamankan, maka kami!” Saya masih berani disitu sampai kemudian batu-batu mulai dilemparkan ke arah kami dan teman saya, Nocky, meneriaki nama saya untuk mundur. Dia berhasil menggagalkan 12 | Abdul Jalil – Dakwah MMI rencana bodoh saya menghadapi mereka. Saya mundur dan menuju ke pojokan rumah. Saat saya lari, saya menoleh ke belakang, beberapa dari massa MMI menendang dan menginjak-injak makanan sambil berteriak “Allahu Akbar!” Saat itu juga saya menangis. Negaraku dan agamaku dirusak! Lalu mereka melempari buku-buku Irshad, memecahkan pot, dan melempari kaca perpustakaan dengan batu. Salah satu teman Irshad, Emily, seorang wanita kulit putih menangis, tangannya kesakitan. Teman saya, Mas Jow, atas ceritanya langsung kepada saya, dia hampir kena parang dan akhirnya dipukuli bahkan diinjak-injak massa. Keadaan mencekam selama setengah jam, lalu massa pergi. Sekitar pukul 20.30 WIB, Saya mencari dimana Irshad, ternyata dia masih duduk di lantai sambil memeluk kedua temannya. Dia selamat dan dialah yang paling tenang menghadapi serangan ini. Saya datangi dia sambil menangis, saya katakan padanya, I’m so sorry for everything. My country is not this bad. I’m sorry...lalu dia memeluk saya dan mencium pipi saya, dia berkata, Don’t be sorry. I understand. Thank you for being here. Don’t be sorry okay...Sekitar pukul 20.45 WIB, setelah suasana kondusif, Irshad dibawa ke dalam rumah. Saya keluar dan melihat mobil polisi sudah datang. Saya hampiri polisi yang baru saja keluar dari tempat duduk pengemudi. Saya katakan padanya, “kemana aja Pak? Kenapa baru datang setelah seperti ini?” Dia terlihat marah dan menyuruh saya berbicara dengan atasannya. Saya datangi atasannya dan mengeluhkan hal yang sama. Dia hanya bisa terdiam saja dengan wajah bingung. Ada seorang laki-laki menepuk-nepuk pundak saya saat saya mengeluh. Ternyata itu atasan lain. Dia menjelaskan bahwa acara ini tidak ijin sehingga polisi tidak tau. Saya katakan padanya, kalaupun ijin, biasanya polisi justru melarang kami berdiskusi dengan alasan keamanan. Saya tambahkan, besok lagi jika ada diskusi seperti ini, polisi wajib melindungi kami, dan mengungsikan mereka yang melakukan kekerasan. Kekerasan itu melanggar aturan, diskusi itu dilindungi negara!” Dia terlihat tidak senang saya kritik namun dia kooperatir. Dia menyalami saya dan berkata, “besok lagi jika ada acara seperti ini, kita bekerjasama.” Beberapa wartawan merekam – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 13 kejadian itu. Sekitar pukul 21.30 WIB, Setelah semua nampak aman, saya dan ketiga teman saya pulang dengan selamat. Semoga Irshad Manji dan kawan-kawan semua juga selamat dan tetap berani melawan kekerasan (Dian Paramita dalam dianparamita.com, diakses Oktober 2014). Sebuah Analisis Kalau diperhatikan lebih mendalam, berbagai kerusuhan dan kekerasan sosial merupakan fakta sosial yang telanjang di tengah masyarakat dan telah menyayatkan cukup pedih bagi kehidupan kemajemukan bangsa. Peristiwa semacam itu menggoreskan tinta hitam dalam perjalanan sejarah kehidupan berbangsa. Dari sudut pandang psikologi sosial, kekerasan atau kerusuhan sosial sebagai perwujudan dari perilaku tak terkontrol. Sementara menurut pendekatan teori politik, perilaku tak terkontrol muncul sebagai akibat dari mulai merosotnya kewibawaan aturan main yang telah dibuat dan disepakati bersama. Aturan main (rule of game) merupakan pranata sosial yang berfungsi sebagai pengelola interaksi, baik interaktif masyarakat dengan pemerintah maupun antar sesama anggota masyarakat sendiri. Pada kerusushan atau kekerasan sosial tertanggal 9 Mei 2012 di LKiS itu, hanya referensi yang menggambarkan sebagai kasus SARA. Berkaitan dengan timbulnya kekerasan atas nama agama di Yogyakarta, khususnya pada kasus kekerasan oleh sekelompok organisasi masyarakat terhadap pembubaran diskusi di LKiS, maka kekerasan yang bernuansa agama dapat terjadi karena kelompok tertentu menganggap bahwa adanya figure yang dipresentasikan sebagai penistaan dan penodaan terhadap Islam serta propaganda atheisme terselubung, meskipun belum sepenuhnya dibenarkan. Sementara jika diskusi oleh LKiS atau sejenisnya, kemudian mengganggu dan melecehkan kaidah dan kepercayaan dari kelompok umat, maka kelompok umat yang dilecehkan (MMI) tadi akan melakukan tindakan kekerasan untuk melawan kelompok yang melecehkan tersebut. Dan yang sering dilakukan oleh sekelompok organisasi sosial tersebut adalah pemahaman tentang berjihad di jalan Tuhan sering 14 | Abdul Jalil – Dakwah MMI membawa keinginan melakukan kekerasan demi membela agama dan keyakinan yang dipeluknya. Selain nuansa nilai-nilai keagamaan, nilai harga diri juga merupakan faktor pendukung atas terjadinya kekerasan, seperti budaya siri di Makassar, apabila harga dirinya terinjak-injak oleh kelompok masyarakat, maka sebagai jawabannya mereka tidak segan-segan untuk menjawabnya dengan kekerasan, yang menurut budaya mereka pantas dilakukan. Tentu penulis bukan sepenuhnya mengamini budaya semacam ini, karena budaya juga hidup dalam konteks masyarakat Indonesia, yang lebih ada terlebih dahulu dan jauh lebih dikedepankan melalui dialog kebangsaan dan tanpa saling menyakiti antar budaya masing-masing daerah. Melihat kekerasan sosial apapun yang terjadi di depan mata, perlu kiranya mengurai kekerasan sosial atau konflik dari perspektif definisi itu sendiri. Konflik dapat didefinisikan sebagai perilaku kompetitif atau agresif. Konflik adalah mekanisme psikologis dasar yang berpusat disekitar tujuan-tujuan yang saling bertentangan. Konflik dapat hadir kapan saja ketika suatu perangkat tujuan, kebutuhan atau minat tidak sesuai dengan perangkat yang lain. Konflik pada awalnya merupakan hal yang tidak diinginkan, padahal kehidupan seseorang tidak bisa terhindar dari kenyataan berupa konflik, baik kecil atau besar. Konflik memiliki ciri merangsang, membangkitkan, dan menggairahkan, dan memiliki outcome positif (Zulkifli Nasution, 2008: 16). Konflik juga memiliki outcome negative, dengan ciri seperti: tujuan yang tidak tercapai, adanya komunikasi tertutup, dan sikap-sikap permusuhan yang lebih banyak dihasilkan. Konflik dalam suatu kelompok kerja dapat mengganggu bahkan membantu kelompok itu sendiri, tergantung dari sifat pekerjaan. Ketika kelompok mengerjakan tugas-tugas yang rutin, konflik yang berhubungan dengan tugas mungkin berpengaruh bagi para anggota kelompok untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ketika kelompok mengerjakan suatu tugas yang lebih sulit, seperti membuat keputusan, konflik tentang tugas tersebut dapat benar-benar menolong kelompok itu untuk berhasil (Jhon Kelsay and Summer B. Twist (eds), 1994: 4-9). – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 15 Konflik dapat muncul dalam berbagai tingkatan di dalam organisasi. Bisa bersifat intrapersonal, misalnya seseorang harus memilih di antara dua pilihan, yang sama-sama besar pengaruhnya bagi dirinya. Jika konflik interpersonal ini terjadi dalam kelompok, maka konflik ini dapat disebut konflik intragrup. Jika satu kelompok tidak bersepakat dengan kelompok lainnya, maka konflik inter-grup atau intra-organizational akan terjadi. Sementara conflik parties adalah orang-orang, golongan, atau kelompok yang terlibat konflik secara langsung. Dengan demikian, penyelesaian konflik perlu dengan cara-cara mediasi, artinya perlu dicari mediator yang bersifat netral dalam soal perselisihan. Mediator tidak berwenang dalam mengambil keputusan tetapi hanya member arahan atau nasehat atau upaya-upaya agar kedua pihak saling mendekat untuk mengurangi tuntutan-tuntutan yang tidak bisa dipenuhi pihak lain. Selain mediator, perlu juga dibentuk lembaga atau panitia-panitia tetap yang bersifat representatif bagi kedua pihak. Cara ini memungkinkan adanya akomodsi yang bisa dilanjutkan dengan asimilasi, agar asimilasi terwujud, diperlukan upaya penyelesaian tersebut harus menghasilkan atau ada tindaklanjutnya. Adanya lembaga-lembaga yang secara intensif mendorong asimilasi sangat diperlukan. Lembaga tersebut mampu memunculkan benih-benih toleransi, sehingga masyarakat yang bertikai mudah untuk saling mendekat dan bersilaturahim. Pembinaan kebudayaan dan ideology nasional ternyata tidak mampu memupus orientasi agama. Bahkan dampak kebijakan pembangunan yang belum menjamin pemerataan kesempatan dan hasil- hasilnya, telah melanggengkan persaingan laten antara loyalitas agama dan kebangsaan dalam benak sebagian besar anggota masyarakat. Cara penyelesaian konflik yang lazim digunakan adalah konsiliasi (perdamaian), mediasi (perantara), arbitrasi (pengadilan), coercion (paksaan), dan dtente (mengurangi ketegangan). Urutan ini dibuat berdasarkan kebiasaan seseorang dalam mencari penyelesian konflik dari yang lebih mudah (tidak formal) baru ditempuh dengan cara resmi (formal). 16 | Abdul Jalil – Dakwah MMI Selain teori tentang definisi konflik, juga perlunya Teori Integrasi. Integrasi merupakan suatu penyatuan dari berbagai aspek kehidupan suatu bangsa, meliputi: sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Horizontal berarti mempersatukan adanya perbedaan tingkat kehidupan sosial, perbedaan suku, ras, agama, dan budaya masyarakat. Dimensi vertikal berarti mempersatukan adanya perbedaan elit dengan massa yang disebabkan faktor ikatan primordial dalam masyarakat Integrasi nasional mencakup dua masalah pokok, yaitu: pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada tuntutan-tuntutan Negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang dimiliki Negara; kedua, bagaimana meningkatkan consensus normative yang mengatur perilaku politik setiap anggota masyarakat. Konsensus ini tumbuh dan berkembang diatas nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa secara keseluruhan (Lemhanas, 1994: 3). Proses menuju integrasi tidak selalu lancar dan mulus, seringkali menemukan hambatan-hambatan, seperti adanya primordialisme, suku, ras, agama, dan bahasa. Dalam setiap kebijakan pemerintah selalu ada reaksi setuju dan tidak, hal ini wajar karena negara Indonesia dibentuk dari suatu masyarakat yang majemuk, ada yang merasa diuntungkan dengan kebijakan tersebut, dan banyak yang merasa dirugikan, maka kelompok yang dirugikan akan menyalurkan kekecewaanya melalui kelompok- kelompok yang ada didalamnya. Integrasi masyarakat dalam Negara dapat tercapai apabila terciptanya kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial; selain itu sebagian besar anggotanya terhimpun dalam berbagai unit sosial yang saling mengawasi dalam aspek-aspek sosial yang potensial; adanya saling ketergantungan diantara kelompok-kelompok sosial yang terhimpun didalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara menyeluruh (Marihanafiah dalam Teori Integrasi, 2013). – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 17 Dalam konteks kekerasan sosial yang terjadi pada LKiS dengan kemasan diskusi, hampir tidak dapat diungkap secara hukum, bagi pihak kepolisian merasa kecolongan jika hal itu sesuatu yang harus dilindungi, sementara kekerasan begitu mudah terjadi. Bagi kepolisian, menyarankan agar penyelenggara atau panitia (LKiS dan Jaringan Perempuan Yogyakarta) hendaknya ijin atau memberi tahukan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian, apalagi sosok yang didiskusikan penuh dengan fenomenal. Selain itu, ketika Mei 2014 para Jaringan Perempuan Yogyakarta melakukan demo di depan Kapolda DIY dengan tema Menolak Untuk Lupa kekerasan di LKiS adalah sesuatu yang absurd untuk diungkap, bagi kepolisian hal yang sangat tidak bisa ditindak lanjuti jika oknum itu sebuah lembaga bukan nama personil yang diindikasikan melakukan tindakan anarkis, sebagaimana ketika para panitia/pihak LKiS dimintai keterangannya oleh kepolisian tidak bisa menyebut identitas pelaku. Umumnya para jamaah MMI dengan laskar jihadnya, masih sangat susah untuk diajak diskusi, apalagi bagi mereka sosok yang dianggap lesbian (Irsad Manji) hadir di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Muslim. Dan secara administrasi LKiS Sorowajan masih satu kecamatan dengan markaz MMI, yaitu Banguntapan. Meskipun demikian, kiranya perlu direnungkan kembali, bahwa jika pelarangan diskusi Irsad Manji dari himbauan oleh Sri Sultan sebagaimana ketika hendak di UGM dicegah, ternyata juga damai tidak dapat terselenggara, namun ketika hanya sesama masyarakat sipil, anggap LKiS dengan MMI, rasanya negara tidak hadir, kalaupun hadir tidak berperan, karena peristiwa sudah berlalu, baru aparat datang. Dari beberapa stakeholder yang menjadi informan, sampai tulisan ini dikirim, sepertinya memang ada hal yang belum berani diungkap oleh pihak kepolisian, misalnya kalau alasan belum adanya oknum yang disebut sebgai dalang kekerasan, pihak panitia/LKiS atau JPY sudah mengirimkan foto, dan sampai sekarang belum juga ada kejelasan. Artinya apapun jika terkait dengan unsur pidana, semestinya alat negara lebih tajam 18 | Abdul Jalil – Dakwah MMI dan berfungsi bukan terkesan mandul. Selain itu, sebagaimana peristiwa di Jakarta tentang ditangkapnya habib novel atas tindakannya dengan bendera FPI yang secara umum juga ormas yang fundamentalis bahkan radikal, bisa diungkap. Persoalanya, apakah ormas semacam MMI yang ketika diwawancarai bukan satu-satunya pelaku, dan mereka lebih menyebutnya sebagai aksi- reaksi, juga bisa disamakan peristiwa FPI yang di Jakarta, yakni wacana pembubaran ormas yang cenderung anarkis. Tentu dibutuhkan kajian lebih mendalam, menurut UU No.7 tahun 2013, pemerintah memberikan 3 kali peringatan tertulis dengan jenjang waktu 30 hari, jika peringatan di patuhi, alias tidak melakukan kericuhan di masyarakat, pemerintah bisa mencabut peringatan tersebut, namun jika tidak dipatuhi, ormas dilingkup wilayah propinsi dapat dicabut oleh kepala daerah dengan pertimbangan DPRD, Kepala Kejaksaan tinggi dan Kepolisian. Menengok Model Diskusi pada LKiS Sebagian dari generasi muda NU telah membangun komunitas ilmiah yang bernama “LKiS” Lembaga Kajian islam dan Sosial, lembaga ini mencoba mengkonstruk pemikiran islam yang berbeda dengan para generasi tua di NU. LKiS mengkaji sosial keagamaan dan kebangsaan (Mohammad Shodik, 1999). Wacana agama yang mereka kembangkan adalah “Islam Transformatif Dan Toleran”, adapun solidaritas yang dibangun meliputi 3 bentuk: solidaritas sesama muslim, kebangsaan, dan kemanusiaan. Mereka juga ikut membangun “dialog kehidupan umat beragama”, wawasan humanities. Pada tahun 1990an, salah seorang aktivis LKiS menulis dalam perspektif dan wawasan humanities ini, tentu tidak relevan lagi sebagai sesuatu monopoli superioritas dan klaim paling berhak atas kebenaran. Dalam perspektif dan kesadaran seperti itu, terbuka kemungkinan suatu kerjasama dan dialog yang lebih mendasar dan mampu mengoyak kedok-kedok ideologis dan kepentingan dalam pola hubungan sosial politik ekonomi masyarakat. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 19 Dakwah MMI Penulis cenderung menggunakan organisasi ini sebagai organisasi dakwah karena selain visi misinya yang sudah sering didengar menegakkan syariat Islam di Bumi Indonesia dan pentingnya negara Islam, sepak terjangnya cenderung amar makruf nahi mungkar dalam perspektif perjuanganya tanpa melihat kondisi bangsa Indonesia yang lebih dahulu mapan dibanding lahirnya generasi-generasi organisasi Islam semacam ini Gerakan keagamaan Islam ini telah muncul endemik di masa reformasi. Hal ini bisa dimaklumi karena di masa reformasi gerakan- gerakan Islam ini bisa secara bebas muncul dan menggerakkan ide-ide dan kepentingan mereka. Isu-isu penerapan syari’at Islam, mendirikan negara Islam masih menjadi misi utama, sebagaimana ketika masa orde baru. Gerakan Islam di masa reformasi lebih tegas, mereka tidak takut, bahkan mereka ternyata sudah menyiapkan berbagai konsep yang berkaitan dengan berbagai isu penting dilihat dari sisi Islam (Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, 2005: 121-122). Reformasi politik di Indonesia sebenarnya telah ikut mendorong lahirnya kelompok-kelompok Islam yang cukup fundamentalis dan bahkan sebagian radikal. Di masa reformasi ini, lahir pula kelompok dengan nama “Forum Komunikasi Ahli Sunnah Wal Jama’ah, yang didirikan oleh Ja’far Umar Thalib, seorang veteran perang Afganistan. Dahulu, Ja’far merupakan pengikut Al-Irsyad, salah satu organisasi Islam yang cukup tua, seusia organisasi NU dan Muhammadiyah, bagi Ja’far, melalui organisasi ini, berharap bisa menghidupkan sunnah nabi dengan melaksanakan Islam sebagaimana di praktekkan Nabi. Kelompok ini mempunyai sebuah milisi yang dikenal dengan sebutan lasykar jihad (tentara untuk perang). Kelompok laskar jihad (juga Front Pembela Islam), bisa dikategorikan fundamentalis radikal bukan hanya karena mereka mempertahankan Islam dari ancaman para sekularis non-Islam, tetapi karena mereka menegakkan agenda politik untuk menegakkan norma-norma Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 20 | Abdul Jalil – Dakwah MMI Majelis Mujahididin (MM) adalah organisasi atau kelompok Islam yang lain, bisa dikategorikan fundamentalis radikal bahkan kehadirannya sangat penting sekali dalam memperkuat fundamentalisme dan radikalisme Islam di Indonesia. Kelompok ini merekrut anggotanya dari berbagai wilayah Indonesia dan berusaha mendekati berbagai organisasi Islam yang sudah ada, seperti NU dan Muhammadiyah. MM juga mempunyai milisi dengan nama Jundullah (tentara allah). MM berbeda dengan dua organisasi Islam sebelumnya, terutama terkait keanggotaanya. MM selain anggotanya lebih besar, juga mencakup wilayah yang lebih luas, termasuk luar Jawa. Selan itu, MMI adalah Generasi Mujahid, yakni generasi Muslim penerus perjuangan Islam; yang mengamalkan, mendakwahkan, dan memperjuangkan tegaknya Syari’ah Islam, baik secara individual (sendiri) maupun institusional (bersama-sama). Kesadaran Islami, yang didukung dengan hujjah aqliyah maupun naqliyah ini, akan dapat memacu generasi mujahid untuk senantiasa tampil total (kaffah). Yaitu, totalitas dalam kepribadian, totalitas dalam beramal, totalitas dalam berjihad, dan dalam segala dimensi kehidupan sebagai aplikasi keimanannya. Dan untuk tampil total (kaffah) para mujahid hendaknya berpegang pada asas keutuhan dan persatuan (wihdah), persaudaraan (ukhuwah) serta solidaritas (ta’awun). D. PENUTUP Idealnya masing-masing pihak terkait kekerasan sosial yang terjadi tidak perlu ada lagi, apalagi kita hidup di negara Pancasila dan bukan negara Islam. Peristiwa yang selalu sering selain terkait kekerasan atas nama agama, juga antar supporter bola. Pada 23 Oktober 2014 di media harian Tribun Jogja memberitakan bahwa salah satu suporter dari Persis telah tewas pasca laga Persis Solo versus Martapura FC. Sebelumnya juga diberitaka pula bahwa terjadi kekerasan massa antar suporter yang menewaskan salah satu suporter, yang tidak lain juga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, umumnya alasan yang mendasari adalah masing-masing supporter belum secara ksatria menerima kekalahan dari timnya. Kekerasan juga tidak – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 21 hanya fisik, banyak pula yang sekedar curhat atau update status bahkan hanya kicauan yang dianggap menghina masyarakat Yogya di media sosial berdampak hukum, seperti kasus Florence Sihombing, mahasiswi pascasarjana Fakultas Hukum UGM, dan sekarang sudah dianggap lengkap atau P21 untuk diserahkan ke Kejaksaan Tinggi. Referensi Laporan Penelitian: Laporan Tahunan CRCS 2011 tentang Kehidupan Beragama di Indonesia Laporan Tahunan CRCS 2012 tentang Kehidupan Beragama di Indonesia Buku, Tesis, dan Makalah: Baqir, Zainal Abidin. 2013. Laporan Tahunan CRCS: Kualitas Konflik Agama Meningkat, Mediasi Dilematis, Dalam Acara Launching dan Diskusi Laporan Tahunan 2012 Kehidupan Beragama di Indonesia, pada 25 April 2013. Harrison, L.E; Huntington, S.P. 2006. Kebangkitan Peran Budaya, Jakarta: Pustaka LP3ES. Jhon Kelsay and Summer B. Twist (eds). 1994. Religion and Human Right Lemhanas RI. 1994. Kewaspadaan Nasional, Integrasi Nasional. Jakarta: Lemhanas RI. Nasution, Zulkifli. 2008. Aliran-aliran sesat dan Upaya Membangun Kesatuan dan Persatuan Bangsa. Tesis UGM, tidak diterbitkan. Sodik, Mochammad. 1999. Gerakan Kritis Komunitas Lkis-Suatu Kajian Sosiologis. Tesis UGM tidak diterbitlkan. Sukidi. 2002. New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press 22 | Abdul Jalil – Dakwah MMI Informan: Wawancara dengan Suhadi Cholil pada 21 Maret 2012, peneliti Program Studi Lintas Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM di Yogyakarta. Wawancara dengan Takshin pada 7 Oktober 2014, salah satu panitia diskusi LKiS Internet: Dian Paramita, “Kronologi Penyerangan Irshad Manji di LKiS”, http:// www.dianparamita.com/blog/kronologi-penyerangan-irshad- manji-lkis-jogja, diakses pada 12 Oktober 2014 Gunawan, “Sekali lagi Kitab Kuning Mendukung Kekerasan?”, , diakses pada 8 Juni 2012 Marihanafiah, “Teori Integrasi”, http://subpokbarab.wordpress. com/2008/09/ 18/teori-integrasi, diakses 5 Juni 2013. Tommy, s.w bal, “Selenggarakan Diskusi Irshad Manji, Kantor LKiS Diserang”, www.balairungpress.com/2012/025, diakses 25 April 2013, diakses pada 2 Juni 2013