TINDAKAN KOMUNIKATIF: Sekilas tentang Pemikiran Jürgen Habermas Anwar Nuris Aktivis dakwah di PP. Al-Mukminin Lohbener, Indramayu Abstrak Ketika membahas tentang propaganda dan komunikasi lintas budaya, setidaknya ada tiga kata kunci untuk membongkar masalah ini, yaitu propaganda, komunikasi, dan budaya. Ketiga hal ini memiliki makna dan fungsi masing-masing. Di sinilah perlunya penguraian lebih mendalam tentang hal tersebut. Mempelajari komunikasi lintas budaya adalah wajib karena itu merupakan tiket untuk kita agar mampu beradaptasi di manapun kita berada, terutama di Indonesia di mana berbagai suku dan budaya hidup berdampingan. Konflik berkepanjangan dapat terjadi jika seseorang tidak memahami perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak melakukan melakukan apapun untuk komunikasi lintas budaya. Dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, seseorang bisa memahami perbedaan dengan bersikap netral atau moderat. Sehingga konflik yang timbul antar budaya etnis yang berbeda tidak akan terjadi. Lebih lanjut, mempelajari komunikasi lintas budaya dapat membuat kita lebih berhati-hati dalam membangun hubungan dengan budaya lain. Para pendakwah harus memahami tempat, budaya, kebiasaan dan bahasa objek dakwahnya karena hal tersebut menentukan kesuksesan dakwah yang dilakukannya. Keywords: Jürgen Habermas, action rationality, communicative action. http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2016 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: nuris_ui@yahoo.com Abstract Benefiting from Jürgen Habermas, an intellectual figure, the study intends to answer two key questions. How is Jürgen Habermas’ epistemologic construction, and what is communicative actions in Habermas’ concept? The answers are next going to include the basic critical theories of Habermas. The beginning part the writing is intended to be the starting point of understanding Habermas’ thought by placing Habermas’ basic epistemology as a basic concept purposed afterward. The writing concludes that the concept of Habermas’ communicative actions is an anchor for all of Habermas’ social theories. 40 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif A. Pendahuluan Dengan standar apapun, Jürgen Habermas merupakan satu dari sedikit filosuf dan teoritisi ilmu sosial Eropa yang sangat terkemuka dan menonjol selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir. Terutama ketika dia dengan mengagumkan menuntaskan “warisan-warisan” teori kritis pendahulunya pada Madzhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) seperti Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903- 1969), dan Herbet Marcuse (1898-1979). Meski demikian, baru belakangan ini saja Ia memperoleh audiens yang signifikan di kalangan para akademisi Amerika. Satu alasan bagi penerimaan yang terlambat ini kemungkinan besar adalah karena adanya kerumitan yang cukup terkenal pada karya-karya Habermas, yang mensintesakan beragam disiplin dan pendekatan teoritis yang berbeda – termasuk teori tindakan-komunikasi dalam filsafat bahasa, sosiologi fenomenologis, teori sistem sosiologis, tradisi madzhab Frankfurt dengan karya-karya teoritisi sosial keagamaan (Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, George Herbert Mead dan Talcott Parsons), Pragmatisme, hermeneutik, psikoanalisa, psikologi pembangunan serta teori sosial neo- evolusioner. Habermas lahir di Dusseldorf, Jerman pada tanggal 18 Juni 1929 dan dibesarkan di sebuah kawasan kecil Grummersbach, sebuah kota kecil dekat Dusseldorf, dimana ayahnya menjadi seorang pengusaha dan menjabat sebagai ketua kamar dagang di sana. Habermas mendalami filsafat, psikologi, kesusastraan dan ekonomi, ketika menempuh pendidikan sarjana muda dan sarjana di Universitat Gottingen (1949-1950), Universitat Zurich (1950-1951), serta berhasil meraih gelar doktoralnya dari Fakultas Filsafat, Rheinischen-Friedrich-Wilhelms-Universitat, Bonn, pada tahun 1954, dengan disertasi bertajuk Das Absolute und die Geschichte: Vonder Zwiespaltigkeit in Schelling Denken (Yang Mutlak dan Sejarah: Dualitas dalam Pemikiran Schelling). Tahun berikutnya, ketika Habermas berusia 25 tahun, ia bergabung di Institut Fur Sozialforschung dan terlibat aktif dalam – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 41 proyek Teori Kritis (Kritische Theorie) dua tahun berikutnya, 1956, ketika dipercaya sebagai asisten Adorno. Ini merupakan sebuah perjalanan yang mengharu-biru, karena di lembaga itulah Habermas menemukan identitas intelektualnya. Tulisan ini mencoba mereview secara ringkas pemikiran Jurgen Habermas, filosuf Jerman pada Madzhab Frankfurt dengan filsafat kritisnya terutama yang menyangkut pemikiran-pemikiran sosial. Tulisan ini difokuskan pada bagian pendahuluan pemikiran Habermas yang terangkum dalam hasil penelitiannya tentang fenomena sosial yang kemudian dipublikasikan dengan judul The Theory of Communicative Action: vol. 1. Reason and The Rasionalization of Society. B. Basis Epistemologis Habermas Kepiawaian Habermas dalam mengekspresikan dasar-dasar epistemologinya terlihat pada peristiwa debat ilmiah yang diadakan oleh Deustche Gesselchaft fur Soziologic pada bulan Oktober 1961 di Tubingen Jerman. Debat ilmiah yang mengangkat topik “logika ilmu-ilmu sosial” itu berhasil memperhadapkan sosok Sir Karl Raimund Popper (sebagai pengusung bendera Rasionalisme Kritis/Realisme Modern) dengan Theodor W. Adorno (sebagai wakil dari teori kritis) yang kemudian dilanjutkan oleh Jurgen Habermas sebagai di pihak Adorno dan Hans Albert sebagai di pihak Popper. Perdebatan ini kemudian meniscayakan perang pemikiran positivis dua aliran yang saling kontradiksi yakni Madzhab Frankfurt dan Rasionalisme Kritis. Kubu Madzhab Frankfurt menganggap rasionalisme kritis sebagaimana yang diyakini Popper adalah positivisme sedangkan kubu Popper menilai teori kritis Madzhab Frankfurt merupakan totaliter dan penuh mitos. Salah satu kritik Habermas terhadap kaum positivis yang memisahkan antara fakta dan “keputusan” (menyangkut pemilihan dan pemihakan nilai-nilai), yaitu satu tesis yang menganggap terdapatnya – 42 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif pada satu sisi – keberaturan empiris pada fenomena alam dan manusia yang dapat diformulasikan ke dalam hukum-hukum tertentu; serta – pada sisi lain – peraturan-peraturan yang menyangkut tingkah laku manusia, yaitu norma-norma sosial. Konsekuensi dari dualisme semacam ini adalah bahwa ilmu pengetahuan yang “mungkin” terbatas dan dibatasi pada ilmu- ilmu empiris saja. Bagi Habermas, meskipun “kesulitan-kesulitan dalam kehidupan praktis” bisa didapati jawabannya dalam ilmu, dan keputusan-keputusan menyangkut norma-norma sosial tergantung sepenuhnya pada keberpihakan masing-masing individu dan masyarakat, tetapi ia menyatakan bahwa “komitmen terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan suatu keputusan, yang diekspresikan dalam bentuk “kepercayaan kepada kekuatan rasio” [faith in reason]”. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa realitas sosial manusia begitu kompleks dan tidak bisa direduksi sebagaiamana realitas alam yang sebenarnya. Oleh karena itu, metode ilmu-ilmu alam tidak bisa digunakan untuk menangkap realitas manusia dan kemanusiaan. Penelitian terhadap manusia dan kemanusiaan harus dilakukan secara total, yaitu keseluruhan yang mengandung unsur-unsur fenomena kehidupan manusia yang saling bernegasi, saling berkontradiksi dan saling bermediasi. Sehingga praktek memberikan sesuatu kepada teori, sesuatu yang dipelajari oleh para teoritisi dan praktisi sendiri merupakan suatu tahap penting dari pembentukan teori. Dengan demikian, objektifitas bukan terletak pada jauhnya para teoritikus dari praktek sosial. Dalam kerangka ini, ia melakukan kritik terhadap kelompok ilmuwan positivisme dari dua jurusan yaitu, pertama, soal bebas nilai dan kedua, menyangkut keterlibatan ilmuwan dalam praktek sosial masyarakat. Akhirnya, Habermas menyatakan bahwa “keragu-raguan apakah ilmu-ilmu pengetahuan – yang berhadapan dengan dunia hasil produksi manusia – dapat mendatangkan hasil yang berbeda dari sukses besar yang dicapai oleh ilmu-ilmu pasti alam, timbul karena ilmu-ilmu sosial harus – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 43 menghadapi realitas yang belum pasti, harus berhadapan dengan “konteks kehidupan sosial sebagai suatu totalitas yang bahkan turut mempengaruhi riset ilmu pengetahuan itu sendiri”, yang tetap berada diluar dunia pengalaman yang diteliti”. C. Tindakan Komunikatif Salah satu keberatan Habermas terhadap pemikiran positivistis adalah bahwasanya positivisme dengan terang-terangan mengabaikan logika khusus dari proses-proses komunikasi. Dalam konsep rasionalitas bertujuan Weber misalnya, Weber mengasumsikan bahwa setiap orang melakukan tindakan karena ada tujuan di balik melakukan tindakan tersebut. Padahal, sebenarnya, Weber tidak hanya memahami rasionalisasi sebagai dari rasionalitas tujuan, melainkan dia juga memiliki pandangan tentang rasionalitas yang berhubungan dengan pandangan dunia (worldview) dan logika sistem-sistem simbol yang bermakna. Hanya saja konsep rasionalitas Weber merupakan realisasi sebagian dari struktur-struktur kesadaran modern yang potensial dikembangkan kalau rasionalitas sistem berada dalam kontrol rasionalisasi kehidupan. Rasionalitas ini pada akhirnya memusatkan perhatiannya pada proses rasionalisasi sistem kapitalis dan birokrasi modern yang salah satu tela’ahnya berkenaan dengan etos agama-agama dunia memperlihatkan bagaimana peranan penghayatan nilai-nilai tertentu dalam transformasi sosial. Rasionalitas ini (rasionalitas sistem kapitalis) kemudian mengandaikan rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan. Dalam hal ini, Habermas mencoba menjelaskannya dengan menggunakan “hubungan pragmatis-formal” (Formal-Pragmatic Relations) manusia yaitu kenyataan objektif, kenyataan sosial dan kenyataan subjektif yang dapat menghasilkan tiga macam sikap diantaranya mengobjektifkan (objectivating), konformatif-norma (norm-conformative) atau sikap kritis (critical) dan sikap ekspresif. 44 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif Konsep Rasionalitas Komunikatif timbul dari analisis sementara tentang penggunaan ekspresi bahasa “Rasional” dan dari perdebatan antropologis tentang pengertian dunia. Rasionalitas komunikatif disini dimaksudkan sebagai rasionalitas yang dipahami sebagai usaha-usaha perbincangan argumentatif yang mengarah pada konsensus. Konsep Rasionalitas Komunikatif ini kemudian mampu menganalisa bentuk hubungan-hubungan dengan upaya pencapaian pemahaman bahasa. Yaitu sebuah konsep pencapaian pemahaman yang mampu menyarankan suatu persetujuan yang termotivasi antar peserta-peserta yang diukur melawan kritik klaim kesahihan (validity claim). Klaim kesahihan (kebenaran proposisi, kebenaran normatif dan keikhlasan subjektif) menggolongkan kategori ilmu yang berbeda dalam ekspresi simbol. Jadi, ketidak-berpusatan pemahaman kita tentang dunia membuktikan banyaknya dimensi kepentingan dalam mengembangkan pandangan-dunia (worldview). Dalam menjelaskan konsep dunia objektif, dunia sosial dan dunia subjektif, Habermas menggunakan beberapa cara diantaranya: Pertama, menguji teori Popper tentang dunia tiga, kedua, menganalisa konsep teleologi, yang diatur secara normatif, dan tindakan dramaturgis dalam term hubungan aktor-dunia. Rekonstruksi ini kemudian akan memberikan kemungkinannya untuk yang ketiga, memperkenalkan konsep tindakan Komunikatif. Dalam pidatonya pada tahun 1967: “Epistemology Without a Knowing Subject”, Popper menyatakan: “Kita boleh membedakan pengikut tiga dunia atau alam semesta: pertama, dunia objek fisik atau bagian fisik; kedua, dunia kognitif, atau bagian mental, atau boleh jadi watak perilaku tindakan; dan ketiga, dunia pemikiran kandungan objektif, khususnya pemikiran ilmiah dan puitis dan pekerjaan seni.” Lebih lanjut Popper menyebutnya dengan dunia “hasil pikiran manusia” (the Product of Human Being). Dia menekankan pada hubungan internal antara bentuk simbol dan menganalisa pikiran manusia yang akan – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 45 dimasukkan dalam tiga dunia. Ketertarikan Habermas disini tidak pada pertimbangan epistemologi yang dimasukkan Popper untuk dipasangkan dengan konsep Gedanken Frege, dengan mengambil kritik psikologisme Husserl, dan mengklaim status kebebasan tindakan mental dan status kandungan semantik simbol – sebagai sebuah aturan, secara linguistik objektif – hasil pikiran manusia, melainkan pada solusi yang diajukannya tentang problem hubungan antara pikiran dan bodi yang dikembangkan dengan bantuan tiga-dunia. Hal ini, bagaimanapun, yang menarik dari kedua kasus Popper adalah kritik terhadap konsep dasar empiris tentang subjek yang berhadapan dengan dunia, menerima pesan melalui persepsinya, atau mempengaruhi keadaan melalui tindakannya. Konteks ini menyatakan mengapa mereka memahami doktrin akal objektifnya sebagai sebuah kepanjangan kritik konsep empiris dan memperkenalkan akal objektif dan akal subjektif sebagai “dunia”, yaitu, sebagai keseluruhan entitas yang istimewa. Teori lama tentang akal objektif yang dikembangkan dalam sejarah dan tradisi Neo-Hegelian dari Dilthey sampai Theodor Litt dan Hans Freyer memulainya dari akal aktif yang menjelaskan dirinya dalam dunianya. Dengan ini, Popper tetap memegang erat keunggulan dunia dalam hubungannya dengan akal dan menerangkan dunia kedua dan ketiga yang dapat disamakan dengan yang pertama, dalam term ontologi. Dalam hal ini, konstruksinya tentang tiga dunia mengingatkan pada teori Nicolai Hartmann tentang mental being [geistigen Seins]. Adalah Nicolai Hartmann yang membedakan antara keobjektifan (objectivated) dan objektif Geist, sedangkan Popper membedakan antara kandungan eksplisit semantik yang siap mewujud dalam fonem dan tanda tulisan, dalam warna atau batu, dalam mesin dan seterusnya, dalam sebuah pandangan, dan kandungan implisit semantik yang masih belum “ditemukan”, belum diobjektifkan dalam objek dunia pertama, tetapi secara inheren artinya sudah termasuk didalamnya. Dua konsekuensi yang perlu diperhatikan yang terdapat dalam deskripsi tiga dunia. Pertama adalah interaksi antar dunia, kedua, kesadaran 46 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif membatasi interpretasi tentang tiga dunia. Dalam pandangan Popper, dunia, yang pertama dan kedua adalah penukaran tempat yang segera, seperti yang kedua dan ketiga. Oleh karenanya interaksi dunia yang pertama dan yang ketiga, hanya disambungkan oleh yang kedua. Hal ini memerlukan sebuah penolakan terhadap dua konsepsi dasar empiris. Pada satu sisi, beberapa entitas di tiga dunia tidak dapat bereduksi – seperti bentuk ungkapan pada akal subjektif – bagian mental, yaitu kepada beberapa entitas dalam dunia kedua. Pada sisi lain, relasi antara entitas-entitas pada dunia pertama dan kedua tidak dapat disusun tertutup dalam term model kausal yang berpegang pada hubungan antara entitas-entitas dalam dunia pertama mereka sendiri. Popper mengecualikan dua cara pada konsepsi psikologis tentang akal objektif dan pada konsepsi fisik akal subjektif. “Dan (demikian) ini merupakan hal yang mustahil untuk menafsirkan baik dunia yang ketiga sebagai ekspresi belaka atas yang kedua, atau yang kedua sebagai refleksi belaka atas yang ketiga”. Dalam hal lain, Popper tetap menghubungkan kontek empirik personal yang menjauhi dirinya sendiri. Instrumen-kognitif menghubungkan antara pengetahuan dan tindakan subjektif pada satu sisi, dan sesuatu dan peristiwa kemunculan didunia pada sisi lain, yang banyak menyita pusat perhatiannya bahwa mereka mendominasi pertukaran antara akal subjektif dan akal objektif. Proses yang membawa seterusnya, eksternalisasi, penetrasi, dan asimilasi hasil pikiran manusia terutama dalam menjalankan perkembangan pengetahuan teoritis dan perluasan atas kemampuan menggunakan pengetahuan. Perkembangan ilmu, seperti yang dipahami Popper sebagai proses umpan balik komulatif yang meliputi masalah awal, hipotesis formasi kreatif, pengujian kritik, revisi, dan penemuan masalah baru, tidak hanya memahami model akal subjektif yang berkembang pada dunia akal objektif; menurut Popper, ketiga dunia tersebut secara esensial terbangun atas masalah-masalah, teori-teori dan argumen-argumen. Pada hakekatnya, menurut Habermas, ketiga dunia Popper adalah totalitas dari Gedanken Frege, yang mampu mewujudkan – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 47 “Teori atau Proposisi, atau statemen sebagai hal yang sangat penting dalam entitas bahasa tiga-dunia.” Popper tidak hanya memahami tiga-dunia dalam term ontologi sebagai sebuah keseluruhan entitas dengan adanya sebuah model spesifik; akan tetapi dia juga memahaminya dari perspektif konseptual tentang perkembangan ilmu yang menjadikan tiga dunia sebagai bagian dari proses ilmiah, komponen kognitif tradisi kebudayaan. Adalah I. C. Jarvie yang kemudian berusaha menjadikan konsep tiga- dunia Popper berguna bagi sosiologi, yang menyusun masyarakat sebagai sebuah konstruksi sosial dari dunia sehari-hari tentang proses penafsiran tindakan subjektif dan pembekuan terhadap objektifitas. Jarvie juga menganalisa status ontologi pada kontek kehidupan sosial, yang dihasilkan oleh pikiran manusia dan masih mempertahankan kebebasan relatif dalam hubungan dengan model tiga dunia. Strategi Jarvie dalam menggunakan teori tiga-dunia Popper yaitu menginstruksikan sekaligus menyatakan perkiraan ontologinya kedalam konsep sosiologi tentang tindakan. Jarvie mengatakan: Kita berargumen, kemudian, bahwa dunia sosial adalah alam bebas antara dunia fisik yang keras dan dunia mental yang halus: Alam ini, realitas, dunia, apapun kita dapat menyebutnya, sangat bermacam-macam dan komplek dan orang-orang dalam masyarakat adalah yang terus mencoba-coba untuk mendekati term dengannya; untuk memetakannya: untuk menyelaraskan pemetaan mereka atasnya. Tinggal didalam sebuah kebesaran yang tidak dapat dikendalikan dan merubah beberapa surat izin masyarakat baik pemetaan secara langsung, maupun penyelarasan pemetaan langsung. Ini artinya bahwa anggota masyarakat belajar tentangnya secara terus menerus; kedua masyarakat dan anggotanya adalah dalam proses konstan tentang penemuan diri dan pembinaan diri. 48 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif Orang hidup didalam sebuah masyarakat adalah untuk menemukan jalan hidup mereka, sekaligus untuk mengerjakan apa yang mereka inginkan dan untuk menjauhi apa yang mereka tidak inginkan. Kita boleh berkata bahwa untuk melakukan ini mereka membangun sebuah peta konseptual tentang masyarakat dan ciri-cirinya, posisinya diantara mereka, jalan yang mungkin memegang peranan penting bagi tujuan mereka, dan resiko dalam setiap jalannya. Peta-peta adalah sebuah jalan yang “lebih mudah” ketimbang peta geografis – seperti peta-peta impian mereka untuk membuat daerah yang dipetakan. Masih dalam jalan ini yaitu kenyataan yang kuat: peta geografis adalah tidak pernah nyata tapi suatu saat mencerminkan daerah nyata, peta sosial adalah daerah yang disengaja dan dipetakan oleh orang lain. Rencana ini sekaligus mengajukan sebuah hubungan menarik antara konsep sosiologi tentang tindakan dan relasi aktor-dunia yang dicontohkan didalamnya. Dalam menggunakan konsep tiga dunia Popper untuk menggolongkan hubungan dan institusi sosial, Jarvie menggambarkan tindakan subjektif sosial dalam model pembentukan teori dan pemecahan masalah oleh para ilmuwan yang dalam kehidupan dunia sehari-hari teori- teori bersaing dengan teori ilmiah. Bagi Habermas, ada tiga kelemahan dalam konsep Jarvie ini, yaitu: a. Jarvie mengaburkan perbedaan antara pelaksanaan dan sikap hipotetis- reflektif terhadap tradisi kebudayaan. Dalam praktek komunikasi sehari-hari, agen mengambil dasar pengetahuan kebudayaan yang ada untuk mencapai ketentuan konsensus. Sedangkan dalam prosesnya, pertentangan-pertentangan dapat timbul untuk memperbaiki pola interpretasi perorangan; tapi aplikasi pengetahuan tradisi dari dasar tidak sesuai dengan laporan hipotesis pengetahuan yang sistematis. Dalam hal ini, orang awam berinteraksi dengan tujuan menyelaraskan tindakan peserta-peserta melalui sebuah proses pencapaian – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 49 pemahaman, yaitu, dengan memakai pengetahuan kebudayaan umum. Tentu saja, pada konteks ini, para ilmuwan dapat berinteraksi dengan baik. Tapi dalam hal ini, proses kerjasama interpretasi menjalani pengujian validitas masalah pokok ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah tidak menyelaraskan tindakan, tetapi kritik dan mengembangkan ilmu pengetahuan. b. Lebih lanjut Jarvie mengabaikan elemen tradisi kebudayaan yang tidak dapat direduksikan kepada Gedanken atau dalil yang mengakui kebenaran. Dia membatasi arti kompleks objektif dengan tindakan subjek sekaligus menghasilkan dan menemukan interpretasi kognitif dalam pengertian sempit. Dalam hal ini model Popper tentang tiga dunia adalah fakta-fakta yang tidak masuk akal, untuk mengorientasikan kekuatan tindakan terhadap nilai kebudayaan yang cukup penting untuk berinteraksi dengan teori tersebut. Meskipun status entitas sosial berasimilasi kepada teori tersebut – yang kemudian tidak mampu menjelaskan bagaimana struktur sosial dapat membentuk motifasi terhadap tindakan; atau, dalam pengamatan terhadap fakta deskriptif, normatif, dan evaluatif yang mengartikan interpretasi dalam teori-teori harian, model teori ilmiah yang tidak mengandung arti yang serius – yang kemudian dapat menyusun sebuah hubungan timbal balik antara motifasi dan konsep tiga-dunia; bagaimanapun pendekatan ini akan menjadi penting dalam mengembangkan konsep tiga-dunia versi Popper dalam sebuah cara agar realitas normatif masyarakat dapat memperlihatkan kebebasannya vis a vis akal subjektif tidak hanya – bukan yang utama – kepada otonomi klaim kesahihan, tetapi untuk mengikat ciri nilai-nilai dan norma-norma. Itu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana komponen tradisi kebudayaan menjadi relevan terhadap integrasi sosial yang dapat dipahami sebagai sistem ilmu pengetahuan dan tersambung dengan klaim kesahihan yang sejalan dengan kebenaran. 50 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif c. Dalam pandangan saya, banyak kelemahan yang serius dalam usulan Jarvie yaitu perizinannya tidak jelas antara nilai kebudayaan dan nilai perwujudan institusi dalam norma-norma. Institusi adalah isu yang dianggap benar dari proses mencapai pemahaman diantara tindakan subjek (dan menguat menjadi arti komplek objektif dalam hubungannya dengan mereka) dalam sebuah cara yang sama didalamnya, dalam pandangan Popper, masalah-masalah, teori-teori dan argumen-argumen berasal dari proses kognitif. Dengan model ini kita dapat, dan ini benar-benar, menjelaskan konsepsi dasar dan kebebasan relatif dalam realitas sosial, tapi bukan perlawanan spesifik dan bukan ciri pemaksaan terhadap pendirian norma dan pengadaan institusi yang melalui itu (keduanya) formasi sosial dibedakan dari kebudayaan. Jika kita ingin menghindari kelemahan usulan Jarvie, lebih lanjut Habermas mengatakan, kita perlu membatasinya pada tiga hal berikut ini: 1. Untuk memulainya, saya ingin mengganti konsep ontologi tentang “dunia” dengan suatu konsep lain dari tradisi fenomenologi dan memakai pasangan konsep tentang “dunia” dan “kehidupan dunia”. Subjek sosial, itu sendiri, ketika berpartisipasi dalam proses kerjasama penafsiran, mereka sendiri menggunakan konsep tentang dunia secara implisit. Tradisi kebudayaan, sebagaimana yang diperkenalkan Popper sebagai “hasil pikiran manusia”, memainkan peranan yang berbeda dan bergantung pada fungsi awalnya sebagai sebuah stok ilmu pengetahuan kebudayaan peserta-peserta dalam interaksi penafsiran mereka atau dalam usahanya menciptakan topik intelektual. Pada kasus pertama, tradisi kebudayaan diberikan oleh komunitas yang terdapat dalam kehidupan dunia yang setiap individunya siap mengetahui penafsiran. Intersubjektif ini telah memberikan bentuk dasar kehidupan dunia bagi tindakan komunikasi. Jadi, fenomenologi seperti yang dikatakan Alfred Schurtz bahwa kehidupan dunia sebagai un-tematik yang – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 51 dapat memberikan horizon pada peserta-peserta dalam melakukan perpindahan komunikasi yang mengarah secara tematik pada sesuatu di dunia. Pada kasus yang kedua, sebuah elemen tradisi kebudayaan adalah mereka sendiri membuat tematik. Peserta-peserta dengan demikian harus mengambil sikap reflektif terhadap pola kebudayaan interpretasi yang biasanya membuat kemungkinan atas penyelesaian interpretasinya. Perubahan sikap ini mengandung arti bahwa validitas tema pola interpretasi ditutup dan ilmu pengetahuan yang cocok telah memberikan masalah; pada waktu yang sama, problem elemen tradisi kebudayaan membawa urusan kelompok kepada salah satu yang dapat mengarahkan pada cara pengobjektifan. Teori Popper tentang dunia ketiga menjelaskan bagaimana isi semantik kebudayaan dan objek simbol dapat dimengerti sebagai sesuatu di dunia, dan pada waktu yang sama dapat diperkenalkan sebagai objek tingkat tinggi dari (yang tampak) fisik dan (pengalaman) peristiwa mental. 2. Lebih lanjut saya ingin mengganti secara menyebelah interpretasi kognitif pada konsep “akal objektif ” dengan konsep ilmu pengetahuan kebudayaan yang telah dibedakan menurut beberapa klaim kesahihan. Dunia ketiga Popper mencakup tingkatan tertinggi entitas, yang dapat diperoleh dalam sikap reflektif yang memelihara otonomi relatif dalam hubungannya dengan akal subjektif karena bentuknya, dalam dasar hubungan mereka terhadap kebenaran, jaringan komplek masalah yang terbuka terhadap penyelidikan. Kita dapat mengatakan dalam bahasa Neo-Kantian bahwa dunia ketiga memperoleh kebebasan dilingkungan validitas. Entitas dunia mengakui pendirian kebenaran dalam sebuah hubungan yang khas terhadap dunia yang pertama. Masalah-masalah, teori-teori, dan argumen-argumen adalah atribut dunia ketiga dalam menjalankan analisis akhir untuk menggambarkan dan menjelaskan peristiwa dan orang-orang dalam dunia pertama. Dan keduanya merupakan media dalam pertukaran dunia akal subjektif, tindakan pertukaran dalam pengetahuan dan dalam melakukan. Dengan cara 52 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif demikian elemen non-kognitif kebudayaan dapat menyelinap masuk kedalam posisi marginal yang khas. Tapi justru elemen ini merupakan teori sosiologi tindakan yang signifikan. Dari perspektif teori tindakan, aktifitas akal manusia tidak mudah membatasi konfrontasi instrumen kognitif dengan alam eksternal; tindakan sosial berorientasi kepada nilai kebudayaan dan ini tidak mempunyai hubungan kebenaran. Jadi kita berhadapan dengan alternatif berikut: tiap kita menyangkal elemen non-kognitif pada tradisi kebudayaan yang statusnya sebagai entitas tiga dunia yang mempergunakan sifat berada (being) yang tertanam dalam bidang hubungan validitas, dan menggolongkan mereka kedalam sebuah sikap empirik sebagai bentuk ekspresi dari akal subjektif, atau kita mencari padanan kata untuk hubungan kebenaran yang hilang. 3. Pertukaran ini memperlengkapi kita dengan kesempatan untuk membersihkan konsep dunia dari keterbatasan konotasi ontologi. Popper memperkenalkan perbedaan konsep dunia dengan memisahkan berada (being) didalam satu dunia objektif. Dalam karya terakhirnya dia menganggap pentingnya untuk tidak mengatakan perbedaan dunia, tentang satu dunia dengan indeks “1”, “2”, dan “3”. Saya menginginkan, sebaliknya, untuk melanjutkan pembicaraan tiga dunia (yang merupakan pertukaran berbeda dari kehidupan dunia). Disini, hanya satu, dinamakan dunia objektif, dapat dipahami sebagai korelasi totalitas dalam proposisi yang benar; hanya konsep ini yang memelihara dengan kuat signifikansi ontologi dalam keseluruhan entitas. Dalam pandangan lain, sebuah sistem referensi yang diambil dari bentuk dunia adalah saling mensyaratkan dalam proses komunikasi. Dengan sistem referensi ini peserta-peserta meletakkan sebuah kemungkinan dimengerti tentang semuanya. Peserta-peserta dalam komunikasi merupakan orang yang mencoba memahami satu sama lain tentang sesuatu yang tidak mengambil satu hubungan saja dalam satu dunia objek, sebagaimana yang dianjurkan oleh model komunikasi sebelumnya yang dominan dalam empirisisme. Pembicara – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 53 dan pendengar beroperasi dengan sebuah sistem dunia primordial yang sama. Yaitu, dengan membedakan kemampuan berbicara mereka yang berinduk tidak hanya pada sebuah tingkatan yang mereka dapat menggambarkan--sebagaimana yang dianjurkan oleh klasifikasi Popper--sebuah “deskripsi”, “pemberian isyarat” dan “ekspresi diri” – terletak dalam satu dan banyak bidang evolusioner. Pada analisis selanjutnya, Habermas mencoba keluar dari jebakan terminologi Popperian. Tujuannya dalam pengamatan atas teori tindakan Jarvie yang diterjemahkan kedalam teori tiga dunia Popper adalah hanya untuk mempersiapkan mempersiapkan sebuah tesis dengan melalui pemilihan spesifik atas konsep sosiologi tindakan secara umum yang dengannya dapat membuat asumsi spesifik tentang “ontologi”. Konsep-konsep tindakan dalam sosiologi banyak menggunakan teori sosial-ilmiah yang dapat direduksikan dalam empat esensi dasar yaitu, model teleologis, model tindakan normatif, model tindakan dramaturgis dan model tindakan komunikatif. Model teleologi tentang tindakan merupakan perluasan dari sebuah model strategis yang dapat masuk kedalam perhitungan agen tentang keberhasilan keputusan antisipasi dalam salah satu bagian dari tujuan langsung seorang aktor. Model ini sering ditafsirkan dalam term- term utilitarian; seorang aktor diharapkan mampu untuk memilih dan menghitung arti dan tujuan dari sudut pandang kegunaan maksimal atau kegunaan harapan (expectations). Ini adalah model tindakan yang berada dibelakang pendekatan teoritis keputusan dan pendekatan teoritis permainan dalam ekonomi, sosiologi, dan psikologi sosial. Konsep tindakan yang diatur secara normatif tidak dapat mengarah kepada dasar perilaku aktor yang datang atas aktor lain dalam lingkungan mereka, tetapi untuk anggota sebuah kelompok sosial yang mengorientasikan tindakan mereka pada nilai adat. Setiap aktor tunduk pada (atau melanggar) sebuah norma dalam sebuah situasi dan kondisi 54 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif yang ada untuk mengaplikasikan norma. Norma menandakan sebuah persetujuan yang berlaku dalam sebuah kelompok sosial. Semua anggota dari kelompok yang telah diberikan norma yang sah boleh mengharap satu sama lain tentang situasi yang akan mereka laksanakan (atau menjauhkan diri dari) dengan tindakan yang telah diperintahkan (atau yang telah dilarang). Konsep pokok dari mengikuti dengan sebuah norma berarti pemenuhan harapan umum tentang perilaku (behavior). Yang terakhir ini tidak mempunyai pengertian kognitif tentang sebuah perkiraan keadaan yang diramalkan, tetapi pengertian normatif anggota yang berhak untuk mengharapkan beberapa perilaku. Model tindakan normatif ini berada dibelakang teori peran yang dikembangkan secara luas dalam sosiologi. Konsep tindakan dramaturgis berkenaan terutama dengan aktor terpencil maupun anggota sebuah kelompok sosial, bukan peserta-peserta dalam hubungan dasar sebuah publik, sebelum mereka memperkenalkan diri mereka sendiri. Aktor menyebabkan image khusus dalam masyarakatnya, sebuah pengaruh dalam dirinya, kurang lebih dengan maksud memperlihatkan subjektifitasnya. Setiap agen dapat menangkap akses publik kepada sistem tujuannya sendiri, pemikiran, sikap, keinginan, perasaan, dan sepertinya, hanya bagi dia yang mempunyai akses istimewa. Dalam tindakan dramaturgis, peserta-peserta menggunakan ini dan mengemudikan hubungan mereka melalui perhitungan akses untuk subjektifitas mereka. Jadi konsep pokok penyajian-diri tidak mampu memberitahukan secara spontan perilaku ekspresi, tapi hanya menyesuaikan ekspresi pengalamannya dengan pengamatan terhadap audien. Model tindakan dramaturgis ini digunakan terutama dalam fenomenologi yang berorientasi pada deskripsi interaksi; tapi ini masih belum dikembangkan kedalam sebuah pendekatan teoritis secara umum. Akhirnya konsep tindakan komunikatif mengarah kepada hubungan dengan paling sedikit dua subjek yang mampu berbicara dan bertindak yang membentuk hubungan interpersonal (baik dalam arti verbal maupun extra verbal). Aktor mencoba mencapai sebuah pemahaman tentang – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 55 situasi tindakan dan rencana tindakan mereka agar supaya mereka dapat menyelaraskan tindakan mereka dengan cara yang telah disetujui. Konsep pokok interpretasi berhubungan dengan contoh yang pertama untuk merundingkan definisi tentang situasi yang disetujui oleh konsensus. Seperti yang akan kita lihat, bahasa adalah sebuah bagian yang menonjol dalam model ini. Selanjutnya kita membersihkan pengertian mencapai pemahaman bahasa dengan memperkenalkan sebuah peralatan untuk mengkoordinasikan tindakan. Bahkan model tindakan strategis dapat dimengerti dengan cara seperti itu yaitu tindakan peserta-peserta, yang diatur melalui kalkulasi kebutuhan egosentris dan telah dikoordinasikan dengan posisi menarik, yang ditengahi oleh perbuatan-tutur (speech-act). Model tindakan teleologis misalnya, mengambil bahasa sebagai satu dari beberapa media pembicara yang telah diorientasikan kepada kesuksesan mereka yang pada akhirnya--dengan menarik--dapat mempengaruhi dan membawa lawan kepada sebuah bentuk keyakinan dan keinginan. Konsep bahasa ini-- adalah, sebagai contoh, dasar kemauan semantik. Model tindakan normatif memisalkan bahasa sebagai sebuah media yang mengirimkan nilai kebudayaan dan membawa undang-undang yang dihasilkan oleh tindakan pemahaman tambahan. Konsep bahasa kulturalis disini menyebar-luas dalam antropologi dan kandungan orientasi linguistik. Model tindakan dramaturgis memisalkan bahasa sebagai sebuah media penyajian-diri; signifikansi kesadaran tentang komponen proposisi dan signifikansi interpersonal tentang komponen illocutionary yang dapat mengurangi fungsi ekspresi dalam perbuatan-tutur. Bahasa diasimilasikan kepada bentuk style dan estetik dari ekspresi. Hanya model tindakan komunikatif memisalkan bahasa sebagai media komunikasi yang tidak dibatasi oleh pembicara dan pendengar, diluar kontek pra-pengertian tentang kehidupan dunia mereka, mengarah secara serempak kepada sesuatu dalam dunia objektif, dunia sosial dan dunia subjektif agar memperundingkan definisi situasi secara umum. 56 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif Hal ini menerjemahkan konsep bahasa berada dibelakang berbagai upaya mengembangkan sebuah pragmatis formal. Dalam soal pengaturan secara normatif dan dalam tindakan dramaturgis kita berharap untuk mampu membentuk undang-undang antar peserta-peserta terutama dalam prinsip dasar linguistik. Meskipun demikian, dalam tiga model tindakan ini bahasa telah dipahami secara satu sisi dalam respek yang berbeda. Kesatu-sisian dalam tiga konsep bahasa ini dapat dilihat dalam kenyataan yang sejalan dengan tipe komunikasi yang telah dipilih: pertama, komunikasi tak langsung itu hanya merupakan realisasi bagian dasar mereka dalam pengamatan; kedua, tindakan konsensual darinya yang secara sederhana mengaktualisasikan sebuah persiapan adanya persetujuan normatif; dan ketiga, penyajian diri dalam hubungannya dengan audien. Sebaliknya model tindakan komunikasi, yang menegaskan tradisi ilmu pengetahuan sosial berhubungan dengan interaksionisme simbolik Mead, konsep permainan bahasa Wittgenstein, teori perbuatan-tutur Austin, dan hermeneutika Gadamer, mengambil semua fungsi bahasa secara bersama-sama kedalam pertimbangan. Seperti yang dapat kita lihat dalam pendekatan etnometodologi dan pendekatan hermeneutik, dengan bahaya dalam mengurangi tindakan sosial kepada penyelesaian interpretasi peserta dalam komunikasi, tentang mengasimilasikan tindakan kepada tutur, interaksi kepada percakapan. Dalam konteks inilah Habermas mencoba memperkenalkan konsep tindakan komunikasi seraya menjelaskan: (a) karakter tindakan independen dan (b) hubungan reflektif dunia aktor dalam proses pemahaman. Dia mengawalinya dengan mencoba mengkarakteristikkan tingkatan kompleksitas perbutaan-tutur yang secara serempak menyatakan isi proposisi, tawaran hubungan interpersonal, dan tujuan pembicara dengan tetap menyandarkan penyelidikannya pada filosofi bahasa Wittgenstein serta menjelaskan mereka dengan arti konsep keinginan yang didasarkan atas aturan kesadaran pada saat konvensi linguistic didasarkan atas perspektif pengikut aturan. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 57 Dengan menggunakan term “tindakan” sebagai ekspresi simbolik aktor yang paling tidak mampu mengambil hubungan dengan satu dunia (dunia objektif) yang telah diuji oleh model teleologis, regulasi normatif, dan tindakan dramaturgis, dia mencoba membedakan tindakan pergerakan jasmaniyah dan operasi yang dilaksanakan secara bersama. Pergerakan jasmaniyah ini adalah dasar bagi setiap tindakan yang dilakukan yang juga dikontrol oleh susunan saraf pusat. Dengan tindakan ini seorang agen dapat merubah sesuatu di dunia. Kita dapat, tentu saja, membedakan pergerakan subjek yang dapat menghalangi dunia (tindakan instrumental) dengan subjek yang dapat mewujudkan sebuah pengertian (mengungkapkan dirinya secara komunikatif). Dalam hal kedua-duanya pergerakan jasmaniyah menghasilkan sebuah perubahan fisik di dunia; dalam satu hal ini berarti keterkaitan kausal, dan yang lain keterkaitan semantik. Contoh keterkaitan kausal dalam pergerakan jasmaniyah adalah menegakkan badan, menjalarnya tangan, mengangkat lengan, menekuk kaki dan seterusnya. Contoh keterkaitan semantik dalam pergerakan jasmaniyah adalah pergerakan pangkal tenggorokan, lidah, bibir, etc., dalam generasi bunyi fonetik, menganggukkan kepala, mengangkat bahu, pergerakan jari ketika bermain piano; pergerakan tangan ketika menulis, menggambar dan seterusnya. Adalah Arthur Danto yang telah menganalisa pergerakan ini sebagai “dasar tindakan.” Hal ini telah membangkitkan diskusi besar dengan ide bahwa pergerakan jasmaniyah tidak dapat menggambarkan lapisan yang paling bawah yang mana tindakan masuk kedalam dunia dalam wujud tind/akan primitif dari diri mereka sendiri. Dalam pandangan ini, tindakan komplek dikarakteristikkan oleh kenyataan yang dilakukan “melalui” tindakan lain: “melalui” mengibaskan tombol lampu saya menyalakan lampu; “melalui” menaikkan lengan saya menyambut seseorang; “melalui” menendang dengan keras bola saya mencetak gol. Ini merupakan contoh tindakan yang dilakukan “melalui” sebuah dasar tindakan. Sebuah dasar tindakan dikarakteristikkan dengan mengarahkan kenyataan bahwa ia tidak 58 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif dapat dilaksanakan oleh sebuah tindakan tambahan. Saya menganggap strategi konseptual ini sebagai yang menyesatkan. Dalam beberapa pengertian, tindakan telah berealisasi melalui pergerakan pada jasmani, tapi hanya dalam cara yang serupa bahwa aktor, mengikuti tekhnik atau aturan sosial, melaksanakan pergerakan ini secara bersamaan. Pelaksanaan secara bersamaan berarti bahwa aktor memaksudkan sebuah tindakan tetapi bukan dengan bantuan pergerakan jasmaniyah dalam merealisasikannya. Sebuah pergerakan jasmaniyah adalah sebuah elemen tindakan tapi bukan sebuah tindakan. Sepanjang posisinya masih sebagai tindakan yang terikat, pergerakan jasmaniyah hanya serupa dengan operasi itu seperti yang dikembangkan oleh Wittgenstein dalam konsepnya tentang aturan dan penganut aturan. Operasi pemikiran dan bicara/tutur selamanya hanya dilaksanakan secara bersamaan dalam tindakan lain. Ini menjelaskan kegunaan khusus heuristik pada model permainan sosial. Wittgenstein lebih suka menguraikan aturan operasional dengan referensi catur. Dia tidak dapat melihat bahwa model ini hanya mempunyai nilai yang terbatas. Kita dapat mengerti beberapa perkataan atau penghitungan sebagai praktek yang diatur oleh tata bahasa partikular atau aturan aritmatika, dalam sebuah cara yang serupa dengannya yang mana permainan catur diatur oleh aturan familiar permainan. Dalam upaya mengaplikasikan aturan aritmatika dan tata bahasa ini, kita dapat menghasilkan objek simbol sebagaimana hitungan atau kalimat; akan tetapi mereka tidak dapat menjalani sebuah eksistensi yang bebas. Kita secara normal melaksanakan tindakan lain dengan pengertian hitungan dan kalimat – sebagai contoh, pekerjaan sekolah atau perintah. Secara operatif struktur yang dihasilkan dapat, diambil oleh diri mereka sendiri, dikritik sebagai kurang lebih membenarkan, keserasian dengan sebuah aturan, atau diformat dengan baik; tapi mereka tidak, sebagai tindakan, membuka kritik dari sudut kebenaran (truth), kamanjuran (efficacy), keadilan (rightness), atau ketulusan (sincerity), bagi mereka yang mendapatkan hubungan dunia hanya sebagai infrastruktur dari tindakan lain. Operasi-operasi tidak mampu melakukannya dengan dunia. – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 59 Ini dapat kita lihat dalam kenyataan bahwa aturan operasional dapat melayani pengenalan sebuah pelaksanaan struktur secara operatif sebagai kurang lebih bentuk yang baik, yaitu, untuk membuatnya komprehensip bukan untuk menjelaskan pertunjukannya. Mereka mengizinkan sebuah jawaban bagi pertanyaan apakah simbol diluar tulisan buruk adalah kalimat, ukuran, perhitungan, etc.; dan jika mereka, berkata, sebuah perhitungan, tapi hanya salah satunya. Untuk menunjukkan bahwa seseorang yang sudah diperhitungkan, dan tentu saja dengan teliti, tidak dapat, bagaimanapun, menjelaskan mengapa dia mengadakan perhitungan ini. Jika kita akan menjawab pertanyaan ini, kita harus mempunyai jalan lain dalam sebuah aturan tindakan; sebagai contoh, pada kenyataan bahwa seorang murid menggunakan sehelai kertas untuk memecahkan masalah matematika. Dengan bantuan aturan aritmatika, kita dapat, ini adalah benar, mengatakan alasan mengapa dia meneruskan rentetan nomor 1,3,6,10,15 . . . . dengan 21,28,36 dan seterusnya; tapi kita tidak dapat menjelaskan mengapa dia menulis rentetan ini pada sepotong kertas. Kita dapat menjelaskan dan menganalisa pengertian struktur simbol dan tidak dapat memberikan sebuah penjelasan rasional tentang asal-muasalnya. Aturan operasional ini tidak mempunyai kekuatan yang bersifat menjelaskan: mengikuti mereka tanpa arti, dengan mengikuti aturan tentang tindakan, bahwa aktor berhubungan dengan sesuatu di dunia dan dengan demikian dapat diorientasikan pada klaim validitas yang terhubung atas alasan mendorong tindakan. Bagi model tindakan komunikasi, bahasa relevan hanya dari sudut pragmatis pembicaranya, terutama dalam menggunakan kalimat yang mengorientasikan pencapaian pemahaman, mengambil hubungan dunia, bukan hanya secara langsung seperti dalam teleologi, pengaturan normatif, atau tindakan dramaturgis, tapi dalam sebuah cara reflektif. Pembicara menggabungkan konsep formal tiga dunia, yang muncul dalam model tindakan lain secara satu-satu atau berpasangan, kedalam sebuah sistem dengan memisalkan sistem ini sebagai sebuah kerangka kerja 60 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif interpretasi sampai mereka mencapai sebuah pemahaman. Mereka tidak dapat berhubungan secara jauh dengan sesuatu dalam dunia objektif, dunia sosial, atau dunia subjektif; malahan mereka merelatifkan ucapan mereka melawan kemungkinan validitas mereka yang akan diperebutkan oleh aktor lain. Pencapaian sebuah pemahaman berfungsi sebagai sebuah mekanisme kordinasi tindakan yang melalui peserta-peserta dalam interaksi yang datang pada sebuah persetujuan klaim validitas tentang ucapan mereka, yaitu, melalui intersubjektifitas yang mengakui klaim validitas mereka secara berbalas-balasan. Di awal, seorang pembicara meletakkan kemampuan mengkritik klaim dalam hubungannya dengan ungkapannya tentang satu “dunia”; dengan demikian dia menggunakan fakta bahwa hubungan antara aktor dan dunia ini pada prinsipnya dapat membuka penilaian objektif. Konsep tindakan komunikasi memisalkan bahasa sebagai salah satu media mencapai pemahaman, selama peserta-peserta tetap berhubungan kepada sebuah dunia dan secara berbalasan menaikkan klaim validitas yang dapat diterima atau diperjuangkan. Kerangka kerja institusional: Interaksi simbolik Sistem-sistem tindakan rasional bertujuan (instrumental dan strategi) Aturan-aturan yang mengorientasikan tindakan Norma-norma sosial Aturan-aturan tekhnis Taraf definisi Bahasa sehari-hari yang dilaksanakan secara intersubjektif Bahasa yang bebas konteks Mekanisme- mekanisme kemahiran Internalisasi peran Mempelajari keahlian- keahlian dan kecakapan- kecakapan – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 61 Fungsi macam tindakan Pemeliharaan pranata-pranata (kepatuhan pada norma-norma atas desakan timbale balik) Pemecahan masalah (pencapaian tujuan ditentukan dalam relasi- relasi sarana tujuan) Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran aturan- aturan Hukuman atas dasar sanksi-sanksi konvensional kegagalan melawan otoritas. Ketidaksuksesan: kegagalan dalam kenyataan. “Rasionalisasi” Emansipasi, individuasi, perluasan komunikasi bebas dari penguasaan. Perkembangan kekuatan- kekuatan produksi; perluasan kekuasaan kontrol tekhnis. Dengan model tindakan ini kita dapat berharap bahwa peserta-peserta dalam interaksinya dapat mengarahkan potensi akal – menurut analisis kita sebelumnya berada dalam tiga hubungan aktor pada dunia – dengan jelas untuk mengejar secara kooperatif tujuan dalam mencapai pemahaman. Jika kita meninggalkan satu sisi bentuk kebaikan ekspresi simbol yang digunakan, seorang aktor yang berorientasi kepada pemahaman dalam pengertian ini harus dapat menaikkan setidak-tidaknya tiga klaim validitas dengan ungkapannya, yaitu: 1. Bahwa sebuah pernyataan menjadi benar (atau bahwa perkiraan eksistensial tentang kandungan proposisi yang disebutkan adalah kenyataan yang cukup) 2. Bahwa sebuah perbuatan-tutur adalah benar dengan respek bagi adanya konteks normatif (atau bahwa konteks normatif tentangnya disangka benar untuk mencukupi legitimasi dalam dirinya); dan 3. Bahwa tujuan nyata pembicara adalah sesuai dengan apa yang diungkapkannya. 62 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif Jadi pembicara mengklaim kebenaran atas statemen atau perkiraan eksistensi, kebenaran dalam pengaturan tindakan secara sah dan konteks normatifnya, dan keadaan yang sebenarnya atau ketulusan atas manifestasi pengalaman subjektif. Kita dapat mengakui dengan mudah bahwa disanalah tiga hubungan aktor kepada dunia yang disyaratkan oleh ilmuwan sosial dalam analisa konsep tindakan berada; tapi dalam konsep tindakan komunikasi mereka dianggap berasal dari perspektif pembicara dan pendengar mereka sendiri. Itu adalah aktor mereka sendiri yang mencari konsensus dan mengadunya melawan kebenaran, keadilan, ketulusan, yaitu, melawan “pantas” atau “tak pantas” antara perbuatan-tutur, pada satu sisi, dan tiga dunia yang mana ak tor mengambil hubungan dengan ucapannya, pada sisi lain. Sungguh hubungan menarik antara sebuah ucapan dan: 1. Dunia Objektif (sebagai keseluruhan dari semua entitas yang mana statemen yang benar merupakan kemungkinan) 2. Dunia Sosial (sebagai keseluruhan dari semua regulasi hubungan interpersonal yang sah) 3. Dunia Subjektif (sebagai keseluruhan pengalaman pembicara yang mana dia mempunyai hak-hak akses yang istemewa) Setiap proses mencapai pemahaman melawan dasar kebudayaan yang berurat-berakar pada pra-pengertian. Dasar pengetahuan ini tetap tidak menjadi masalah secara keseluruhan; hanya pada bagian stok pengetahuan yang mana peserta-peserta menggunakan dan men-tematisasi-kan pada waktu yang telah diberikan. Secara luas, situasi definisi dihasilkan dari perundingan peserta-peserta mereka sendiri, segmen tematik kehidupan dunia ini merupakan bentuk penyelesaian mereka secara negosiasi atas setiap situasi definisi baru. Sebuah situasi definisi menetapkan sebuah perintah. Melalui ini, peserta-peserta dalam komunikasi menentukan bermacam elemen situasi tindakan kepada satu dari tiga dunia yang dengan demikian mereka dapat menggabungkan situasi tindakan aktual kedalam pra-pengertian kehidupan dunia mereka. Sebuah situasi definisi dengan kelompok lain – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 63 yang utama adalah menyimpang dari sebuah jenis masalah khas yang hadir; terutama dalam proses kerjasama interpretasi yang mana peserta tidak dapat memonopoli atas interpretasi yang benar. Bagi kedua kelompok ini, tugas interpretasi adalah menggabungkan situasi interpretasi lain kedalam dirinya yaitu dalam model yang telah diperbaiki oleh dunia eksternal “miliknya” dan dunia eksternal “milik saya” yang dapat – melawan dasar kehidupan dunia “kita” – menjadi relatif dalam hubungan dengan “sebuah” dunia, dan situasi definisi yang menyimpang dapat dibawa sejalan dengan waktu yang cukup. Tentu saja ini tidak berarti bahwa interpretasi harus memimpin dalam kestabilan setiap hal dan tidak ambigu dalam membedakan tugas. Stabilitas dan ketidak-ambiguan ini agaknya pengecualian dalam praktek komunikasi kehidupan sehari-hari. Banyak gambaran realitas yang dilukiskan oleh etnometodologi – yang tersebar luas dan komunikasi ini akan berhasil baik jika peserta-peserta menyandarkan masalah dan tidak menjelaskan perkiraan dan kebiasaan perasaan mereka untuk yang selanjutnya. Untuk menghindari salah pengertian saya ingin mengulang bahwa model tindakan komunikasi tidak menyamakan tindakan dengan komunikasi. Bahasa adalah media komunikasi yang melayani pemahaman, mengingat aktor, datang kepada sebuah pemahaman dengan satu sama lain untuk menyesuaikan tindakan mereka, mengikuti tujuan partikular mereka. Pada hal ini struktur teleologi merupakan dasar bagi semua konsep tindakan. Konsep tindakan sosial dibedakan, bagaimanapun, menurut bagaimana mereka menetapkan koordinasi antara tujuan langsung (goal- directed) tindakan peserta yang berbeda: seperti menjalin keperluan perhitungan egosentris (untuk tingkat konflik dan kerjasama yang berubah dengan posisi kepentingan yang telah diberikan); seperti persetujuan integrasi sosial tentang nilai dan norma yang ditanamkan melalui tradisi kebudayaan dan sosialisasi; seperti persetujuan hubungan antara pemain dan publiknya; atau seperti pencapaian pemahaman dalam pengertian proses kerjasama interpretasi. 64 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif Dalam semua hal struktur tindakan teleologis yang disyaratkan, dalam kapasitas tujuan dasar (goal-setting) dan tujuan langsung (goal-directed) dari tindakan yang dianggap berasal dari aktor, sama baik dengan sebuah kepentingan dalam melaksanakan rencana tindakan mereka. Tapi hanya model tindakan strategis yang meletakkan isi dengan sebuah penjelasan dan analisa tentang ciri-ciri tindakan yang diorientasikan secara langsung kepada keberhasilan; sebaliknya model tindakan lain menentukan kondisi dibawah aktor yang mengejar cita-citanya – kondisi yang sah, tentang penyajian diri, atau tentang persetujuan yang diambil dalam komunikasi, diluar yang dapat mengubah “hubungan” tindakannya dengan ego itu. Dalam hal tindakan komunikasi, sebuah penyelesaian interpretasi atas proses kerjasama interpretasi harus berdasarkan pada gambaran mekanisme dalam mengkoordinasikan tindakan; tindakan komunikasi tidak kehabisan tenaga oleh perbuatan mencapai pemahaman dalam sebuah gaya penerjemahan. Jika kita mengambil unit analisis kita sebuah perbuatan- tutur yang sederhana yang dilaksanakan oleh S, setidak-tidaknya satu peserta dalam interaksi dapat mengambil “Ya” atau “Tidak”, kita dapat menjelaskan kondisi koordinasi tindakan komunikasi dengan memulai apa artinya bagi seorang pendengar untuk mengerti apa yang telah dikatakan. Tapi tindakan komunikasi menandakan tipe interaksi yang telah berkoordinasi melalui perbuatan tutur dan tidak serupa dengan mereka. Dan untuk menghindari distorsi-distorsi komunikasi, lanjut Habermas, masyarakat harus sesegera mungkin membangun diskursus etika, yaitu suatu justifikasi normatif untuk mencapai kesesuaian kepentingan antar anggota (generelizable interest). Dengannya tindakan komunikatif dengan argumen-argumen terbaiknya dapat dimengerti dengan “keyakinan-keyakinan rasional”. Demi mencapai “keyakinan-keyakinan rasional” tersebut, Habermas kemudian merumuskan syarat-syarat komunikatif sebagaimana yang terangkum dalam the ideal speech situation (situasi percakapan yang ideal), yaitu: – Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2016 | 65 1. Semua peserta mempunyai peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan dalam diskusi itu mempunyai peluang yang sama untuk mengemukakan argumen-argumen dan mengkritik argumen-argumen peserta lain; 2. Diantara peserta-peserta tidak ada perbedaan kekuasaan yang dapat menghindari bahwa argumen-argumen yang mungkin relevan sungguh-sungguh diajukan juga; dan akhirnya: 3. Semua peserta mengungkapkan pemikirannya dengan ikhlas, sehingga tidak mungkin terjadi yang satu memanipulasi yang lain tanpa disadarinya. IV. Penutup Meskipun banyak kritikan yang datangnya kemudian terhadap pemikiran Habermas ini, diantaranya adalah tentang konsensus rasional yang mana--menurut para kritikusnya--tindakan komunikatif mengandung asumsi filosofis terutama dalam bentuk wacana post-metafisikanya yang pada akhirnya menyebabkan Habermas terperosok dalam kecenderungan yang disebut Fondasionalisme, yaitu pandangan bahwa pengetahuan manusia memiliki fondasi terakhir yang bersifat objektif, yang kemudian mengandaikan adanya perbedaan mendasar antara penampakan dan hakikat, ilusi dan kenyataan, kesadaran palsu dan pengetahuan sejati. Sosok intelektual Jurgen Habermas dengan teori kritisnya masih tetap dikenal sebagai sosok pembaharu dalam tradisi intelektual Jerman mutakhir yang dirintis bersama Max Horkheimer cs. dengan Madzhab Frankfurt-nya. 66 | Anwar Nuris – Tindakan Komunikatif Referensi Buku Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer Inggris – Jerman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Fauzi, Ibrahim Ali. 2003. Jurgen Habermas: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Teraju Lubis, A. Hamid Hasan. 1994. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa Ritzer, George. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers Jurnal al-Maula, Maulidin. 2003. Teori Kritis Civil Society, Jurnal Gerbang no.13, vol. V Oktober 2002 - Januari 2003