JURNAL AL-BALAGH_Vol.2 no.2 2017 MEDIATISASI AGAMA (PEMBINGKAIAN MEDIA KOMPAS.COM TERHADAP ISU PEMERKOSAAN OLEH OKNUM PENGASUH PESANTREN) Syihabul Furqon Busro UIN Sunan Gunung Djati Bandung Keywords: Awareness, Discourse, Framing, Information, Media http://ejournal.iain-surakarta.ac.id/index.php/al-balagh © 2017 IAIN Surakarta ISSN: 2527-5704 (P) ISSN: 2527-5682 (E) Alamat korespondensi: e-mail: syihabulhajj2@gmail.com busro@uinsgd.ac.id Abstract Framing analysis, methodically is used to dissect discourse impulses that leading to stigma crystallization. Media frames an issue by using language tools and plays a subconscious role in the attitude and understanding of society. Although, basically, every media does framing, but the problem that comes next is when this framing becomes an interest to postulate the lame proposition socially and logically. This research efforts to analyze in narrative about how religion is mediated by Kompas.com, through framing information issue about the Rape by the Board of Pesantren issue in framing analysis of Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki. In conclusion, the Kompas electronic media framing gives rise to a certain tendency toward the negative stigma of pesantren in the public through a narrowing of news content in the media, especially from the interpretation and reporting analysis that revolves around closed syntactic and syntagmatic interactions. Analisis framing secara metodis digunakan untuk membedah impuls- impuls pembelokan wacana yang berujung pada kristalisasi stigma. Media membingkai sebuah isu dengan menggunakan perangkat bahasa dan memainkan peran bawah sadar atas sikap dan pemahaman masyarakat. Meski pada dasarnya setiap media melakukan pembingkaian, tetapi permasalahan yang muncul adalah ketika pembingkaian ini menjadi sebuah kepentingan untuk mempostulatkan proposisi yang timpang secara sosial dan juga nalar. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis Abstrak DOI Number 10.22515/ balagh.v2i2.981 126 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama secara naratif tentang bagaimana agama dimediatisasi oleh media Kompas.com, yakni melalui pembingkaian informasi mengenai isu Pemerkosaan Oleh Oknum Pengasuh Pesantren dengan analisis pembingkaian dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dalam simpulannya, pembingkaian media elektronik Kompas memunculkan adanya tendensi tertentu ke arah stigma negatif pesantren di mata masyarakat melalui penyempitan konten berita di media, terutama dari tafsir dan analisis pemberitaan yang berkisar pada interaksi sintaksis dan sintagmatis yang tertutup. I. PENDAHULUAN Syahdan, barang siapa yang mengendalikan media (informasi), maka ia yang berkuasa. Di era percepatan teknologi digital, informasi dapat tersebar dengan serentak tak terkecuali (Foucault dalam Hardiman, 2008). Slogan “dunia dalam genggaman” pada akhirnya bukan lagi suatu hal yang utopis. Informasi apa pun dapat tersiar dalam hitungan detik sehingga tak dapat dipungkiri bahwa arus informasi bersifat melimpah dan tidak terbendung lagi. Citizen Journalism adalah fakta selanjutnya yang menarik bahwa setiap orang mampu mereportase kejadian apa pun dan sekaligus membagikannya (Piliang, 1998). Dalam hal ini, tentu saja dengan adanya peran portal digital dalam dunia internet. Namun demikian, yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah informasi yang kita dapatkan sesuai dengan fakta yang terjadi? Lalu apa jaminan sebuah berita—dalam satu media tertentu baik itu cetak, tv, internet, atau radio—memuat sebuah reportase utuh tanpa suatu hal yang tendensius, memuat kepentingan agenda, ataupun serupa dengan hal ini? (Ibrhim, 2004). Secara retorik dapat dikatakan “ya” dan “tidak”. Merunut jauh pada pendapat Plato yang membedakan antara doxa dan episteme, dimana doxa dalam bahasa Yunani bermakna opini atau kabar burung yang kejelasannya belum dapat diverifikasi. Sedangkan episteme menunjukkan sebuah pengetahuan yang utuh dan sistematis sehingga tingkat kesahihan dan validasinya tinggi (Rond, 2003). Lantas dalam konteks berita (informasi), kategori mana yang relevan? Adanya relevansi sebuah berita akan menentukan arus kesadaran dan sikap. Berita yang Kata Kunci: Kesadaran, Wacana, Pembingkaian, Informasi, Media – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 127 benar dan dengan tingkat agenda yang kecil akan menghasilkan validitas sehingga pada akhirnya datum yang membentuk kesadaran (O’hara, 2002). Secara filosofis, ada dua kesadaran yang berimplikasi pada hasil yang dimunculkan. Pertama adalah kesadaran individu, dimana kesadaran ini membentuk sebuah medan kesadaran atau horisonnya sendiri. Seberapa jernih seseorang memandang medan ini, maka akan menghasilkan objektivitas—sedangkan semakin kabur caranya memandang maka akan berujung pada subjektivitas. Kedua adalah kesadaran komunal, yang mana kesadaran ini terikat pada kesadaran yang lebih besar, misalnya saja kesadaran struktur (baca: negara, ideologi, tata sosial, agama) (Hardiman, 2008). Dua aspek kesadaran ini sangat menentukan adanya skema kesadaran konsensus bersama. Sebab ketika satu aspek dari kesadaran ini membeku dan tidak mengalir dengan semestinya, maka akan muncul aspek lain yang membahayakan. Jika kesadaran individu mengkristal dan tidak mendapat konfirmasi secara komunal, maka yang terjadi adalah dogmatisme buta serta fundamentalisme naif. Ketika aspek kesadaran kedua yang mengkristal, maka sudah dipastikan muncul agenda tersembunyi yang mengakibatkan terhambatnya arus informasi dan kesadaran ini. Terakhir, pemahaman ini kerap muncul dalam suatu sistem politik yang mengarah pada agenda tertentu ataupun ideologi tertentu. Mengenai asas jurnalisme, sebuah berita harus memenuhi kerangka 5W 1H (Ibrhim, 2004). Di samping itu, harus terdapat kode etik jurnalisme di dalamnya, bahwa sebuah berita harus jujur, berimbang, dan berdasarkan data yang valid. Seseorang yang hendak mereportase sebuah berita, secara etis tidak dibenarkan hanya menampilkan satu aspek parsial dalam sebuah peristiwa. Dengan demikian, maka sebuah peristiwa dapat disajikan secara objektif sehingga menciptakan sistem kesadaran baru yang bersifat objektif. Namun demikian, apabila data yang diperoleh telah disortir dan disesuaikan dengan sudut pandang editor, dewan redaksi, pimpinan media, satu ideologi atau sebuah tendensi kepentingan politik—misalnya—maka akan muncul berita yang telah terbingkai (frame). Tentu saja kompleksitas 128 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama tendensi terkait akan sangat ruwet, mengingat saat ini kita menyadari adanya realitas yang sedang berjalan dibentuk oleh kekuatan kapitalis secara masif, yang pada akhirnya memunculkan satu kecenderungan konsumtif dan mendorong terjadinya aspek komodifikasi yang manipulatif (Ibrhim, 2004). Di titik inilah sebuah analisis framing dibutuhkan dalam membaca arah media dalam mengkonstruksi sebuah berita. Berbicara mengenai konstruksi realitas pada media, topik khusus mengenai Islam dan seputarnya dewasa ini banyak menjadi perbincangan. Meski demikian, tidak jarang bahwa masing-masing media memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengemas pemberitaan serta informasinya. Dalam hal ini, kerap pemberitaan media pada akhirnya turut mempengaruhi perspektif sosial masyarakat dalam memaknai Islam (Nasution dan Miswari, 2017), tak terkecuali pada sejumlah hal yang juga berkaitan dengan Islam itu sendiri. Dengan demikian, media seolah menjadi sah dalam memunculkan angle dan framing untuk mengatur bagian mana yang akan ditonjolkan dalam beritanya. Mengkonsumsi media saat ini bagaimanapun juga tidak sama dengan mengkonsumsi wacana dalam buku yang bersifat akademik. Malangnya, secara umum semua orang mengamini bahwa media mempunyai aspek-aspek manipulasi tinggi dan kepentingan. Benar bahwa kode etik jurnalisme memungkinkan sebuah data yang valid dan objektif, tetapi ketika ini diudarakan kerapkali proses editing memainkan peran tersendiri. Belum lagi munculnya stigma umum bahwa media selalu bekerja atas dasar momentum yang tentu saja selalu bisa dipermasalahkan. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca sebuah berita, hendaknya menangguhkan sedemikian rupa adanya konklusi yang dimuat. Atau setidaknya tidak menelan bulat-bulat sebuah berita sebagaimana ia disajikan, baik itu melalui elektronik ataupun cetak. Di titik inilah masyarakat memerlukan edukasi dalam menalar logika media. Sebab apabila pemahaman ini tidak disadari oleh masyarakat, maka masyarakat secara umum hanya akan menjadi korban isu, yang pada gilirannya mampu memunculkan kesadaran umum yang tidak sampai pada esensi berita yang sebenarnya. – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 129 II. METODE PENELITIAN Framing digunakan untuk menyajikan peristiwa dalam sebuah pemberitaan. Dalam praktiknya, penyajian dilakukan dengan menonjolkan satu aspek dan menghilangkan aspek yang lain dari peristiwa tersebut. Ada beberapa teori mengenai analisis framing yang dapat digunakan untuk membaca sebuah berita dalam media. Terkait penelitian ini, analisis akan diterapkan pada pemberitaan yang tersiar dalam media Kompas elektronik (Kompas.com). Hal ini menarik untuk dicermati mengingat bahwa media tersebut adalah salah satu media nasional yang memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan opini publik. Yang menarik dan akan dibedah dengan analisis framing secara spesifik di sini ketika media Kompas elektronik menampilkan berita mengenai pemerkosaan oleh oknum pengurus pesantren. Tujuannya adalah untuk melihat apakah ada tendensi dalam berita tersebut atau tidak. Lebih jauh, analisis sederhana ini hendak menunjukkan bahwa dalam pemberitaan yang meski tidak terlalu minor sekalipun, framing kerap kali memainkan peran penting. Guna menganalisis serta membaca berita data penelitian, penulis menggunakan pendekatan analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (Eriyanto, 2002), yang bermain dalam operasional empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing, yakni: 1) sintaksis; 2) skrip; 3) tematik; dan 4) retoris. Keempat dimensi ini menjadi acuan standar (kerangka teoritis) struktural yang akan mempertautkan setiap elemen semantik di dalam narasi berita pada satu kesatuan koherensi global (Eriyanto, 2002). Model pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap berita memiliki—atau telah— dibingkai sebelumnya, yang berfungsi sebagai pusat pengorganisasian gagasan berita. Kemudian, bingkai atau frame di sini merupakan satu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berlainan, baik dalam teks berita, kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Dengan demikian frame berhubungan erat dengan makna yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana seseorang 130 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama memaknai sebuah peristiwa, dan kesemuanya itu dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. III. HASIL PENELITIAN A. Data Penelitian Tabel. 1. Data Berita Kompas.com Data A PENGASUH PESANTREN DILAPORKAN SETUBUHI 4 SANTRIWATINYA Kamis, 18 September 2014 | 16:49 WIB Jember, Kompas.com — Seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur, berinisial IK (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya. Kini, pengasuh ponpes tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah diamankan di Mapolres Jember. Aksi bejat yang dilakukan IK terbongkar setelah salah satu santriwatinya, berinisial E, yang turut menjadi korban, akan dinikahi keponakan pelaku. “Saat dilamar, E kemudian menceritakan jika sudah tidak perawan lagi karena pernah disetubuhi oleh pengasuh ponpes tersebut,” ujar Kasubag Humas Polres Jember AKP Edy Sudarto, Kamis (18/9/2014). Saat itu, E juga menceritakan bukan hanya dirinya yang pernah disetubuhi pelaku, melainkan juga beberapa orang santriwati. “Namun, E sendiri tidak melaporkan kasus tersebut. Justru yang melaporkan tiga orang rekannya, yakni M (15), T (16), dan S (17),” ungkap Edy. Setelah mendapat laporan, petugas kepolisian kemudian melakukan visum terhadap tiga orang korban tersebut dan ternyata diketahui selaput dara mereka sudah rusak. “Karena bukti sudah kuat, IK langsung kita tetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. (Sumber, Kompas Kamis, 18 September 2014 | 16:49 WIB [http://regional. kompas.com/read/2014/09/18/16490021/Pengasuh.Pesantren.Dilaporkan. Setubuhi.4.Santriwatinya]) – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 131 Data B PENGASUH PONPES SETUBUHI SANTRIWATI SAMBIL PIMPIN DOA BERSAMA Jumat, 19 September 2014 | 11:17 WIB Jember, Kompas.com — Aparat di Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, terus melakukan penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan IK (38), seorang pengasuh pondok pesantren di wilayah Kecamatan Ambulu, terhadap sejumlah santriwatinya. “Kami masih terus melakukan pendalaman atas kasus ini. Untuk itu, kami akan periksa lokasi kejadian,” ungkap Kasubag Humas Polres Jember AKP Edy Sudarto, Jumat (19/9/2014). Edy mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, santri yang menjadi korban disetubuhi pada saat acara doa bersama. “Jadi, hampir setiap malam, antara pukul 21.00 dan 22.00, di ponpes tersebut digelar acara doa bersama semua santri. Doa bersamadipimpin pelaku,” ujar AKP Edy Sudarto. Pada saat itulah, korban yang akan disetubuhi diajak masuk ke dalam ruangan khusus, tempat pelaku memimpin acara doa bersama tersebut. “Alasannya untuk menemani pelaku membacakan wiridan-wiridan. Begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban-korbannya. Karena ramainya suara pembacaan doa bersama tersebut, suara dari dalam ruangan tidak akan terdengar,” ujar Edy. Acara doa bersama tersebut hampir digelar setiap malam, dengan durasi setengah hingga satu jam. “Jadi, setiap malam, secara bergantian, satu per satu para korban ini disetubuhi oleh pelaku. Pasca-kejadian ini, acara doa bersama tersebut sudah dihentikan,” kata dia. Seperti diberitakan sebelumnya, IK, seorang pengasuh ponpes di Kecamatan Ambulu, dilaporkan karena diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan yang menjadi anak didiknya. Polisi sudah menetapkan IK sebagai tersangka. IK pun langsung ditahan di Mapolres Jember. (Sumber, Kompas Jumat, 19 September 2014 | 11:17 WIB [http://regional.kompas.com/read/2014/09/19/11171821/Pengasuh. Ponpes.Setubuhi.Santriwati.Sambil.Pimpin.Doa.Bersama%C2%A0]) 132 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama B. Peta Analisis, (a): Tabel 2 Peta Analisis Data Berita A Judul Berita DATA A. PENGASUH PESANTREN DILAPORKAN SETUBUHI 4 SANTRIWATINYA STRUKTUR PERANGKAT FRAMING KETERANGAN SINTAKSIS Headline: Pengasuh Pesantren Dilaporkan Setubuhi 4 Santriwatinya Lead Seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur, berinisial IK (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya. Latar Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur Sumber Kasubag Humas Polres Jember AKP Edy Sudarto Kutipan “Saat dilamar, E kemudian menceritakan jika sudah tidak perawan lagi karena pernah disetubuhi oleh pengasuh ponpes tersebut,” “Namun, E sendiri tidak melaporkan kasus tersebut. Justru yang melaporkan tiga orang rekannya, yakni M (15), T (16), dan S (17),” “Karena bukti sudah kuat, IK langsung kita tetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” Pernyataan Kini, pengasuh ponpes tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sudah diamankan di Mapolres Jember. Aksi bejat yang dilakukan IK terbongkar setelah salah satu santriwatinya, berinisial E, yang turut menjadi korban, akan dinikahi keponakan pelaku. E juga menceritakan bukan hanya dirinya yang pernah disetubuhi pelaku, melainkan juga beberapa orang santriwati. – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 133 Setelah mendapat laporan, petugas kepolisian kemudian melakukan visum terhadap tiga orang korban tersebut dan ternyata diketahui selaput dara mereka sudah rusak. Penutup Kompas menutup pemberitaan dengan kutipan: “Karena bukti sudah kuat, IK langsung kita tetapkan sebagai tersangka, dan sudah kita tahan untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. SKRIP Kelengkapan berita: 5W+1H Dari sudut skrip, pemberitaan ini meliputi: (Who) IK (38) Pengasuh Pesantren. (When) Kejadian perkara tak diungkapkan persis. Berita tersiar setelah polisi menyidik tertanggal 19/9/2014. (Where) Pondok Pesantren Nurul Huda-Desa Karanganyar-Kec. Ambulu-Jember-Jawa Timur. (What) Seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur, berinisial IK (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya. (How) kronologiketerungkapan kejadian ditunjukkan sejak dari paragraf 3 hingga 8. TEMATIK Detail, maksud kalimat, hubungan N o m i n a l i s a s i antarkalimat Koherensi 1. Bentuk kalimat 2. Kata ganti Paragraf Proposisi 1. Secara tematik, berita ini mengetengahkan beberapa aspek di antaranya: 2. Telah terjadi kasus pemerkosaan oleh oknum pengasuh pesantren. 3. Kronologis terbongkarnya aksi bejat oknum ustad. 4. Pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka berdasarkan penyidikan RETORIS Leksikon Kata “dilaporkan” dalam headline menunjukkan bahwa perkara ini baru saja mencuat dan tersiar. Gambar Siluet wanita sedang duduk di kursi dengan sikut berpangku pada lutut dan lengan menutup wajah; menunjukkan ada suatu gejada depresi. 134 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama Metafor dan Pengandaian Kata pembuka, “pengasuh pondok pesantren (ponpes)” mengarahkan imajinasi pembaca pada sosok seorang yang diandaikan alim. Penggunaan kata pembuka ini sebenarnya terlalu vulgar karena menunjuk status sosial dalam skala umum (common senses). Ketelanjangan bahasa ini juga menunjukkan aspek yang hendak ditonjolkan dalam kasus ini. A. Peta Analisis, (b): Tabel 3 Peta Analisis Data Berita B Judul Berita DATA B. PENGASUH PONPES SETUBUHI SANTRIWATI SAMBIL PIMPIN DOA BERSAMA STRUKTUR PERANGKAT FRAMING KETERANGAN SINTAKSIS Headline: Pengasuh Ponpes Setubuhi Santriwati Sambil Pimpin Doa Bersama Lead Aparat di Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, terus melakukan penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan IK (38), seorang pengasuh pondok pesantren di wilayah Kecamatan Ambulu, terhadap sejumlah santriwatinya. Latar Kecamatan Ambulu-Jember, Jawa Timur Sumber Kasubag Humas Polres Jember AKP Edy Sudarto, Kutipan “Kami masih terus melakukan pendalaman atas kasus ini. Untuk itu, kami akan periksa lokasi kejadian,” “Jadi, hampir setiap malam, antara pukul 21.00 dan 22.00, di ponpes tersebut digelar acara doa bersama semua santri. Doa bersamadipimpin pelaku,” “Alasannya untuk menemani pelaku membacakan wiridan-wiridan. Begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban- korbannya. Karena ramainya suara pembacaan doa bersama tersebut, suara dari dalam ruangan tidak akan terdengar,” – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 135 “Jadi, setiap malam, secara bergantian, satu per satu para korban ini disetubuhi oleh pelaku. Pasca-kejadian ini, acara doa bersama tersebut sudah dihentikan,” Seperti diberitakan sebelumnya, IK, seorang pengasuh ponpes di Kecamatan Ambulu, dilaporkan karena diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan yang menjadi anak didiknya. Pernyataan Aparat di Kepolisian Resor Jember, Jawa Timur, terus melakukan penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan IK (38) IK, seorang pengasuh ponpes di Kecamatan Ambulu, dilaporkan karena diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan yang menjadi anak didiknya. Penutup Polisi sudah menetapkan IK sebagai tersangka. IK pun langsung ditahan di Mapolres Jember. SKRIP Kelengkapan berita: 5W+1H 1. (Who) IK (38), seorang pengasuh pondok pesantren. 2. (When) berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, santri yang menjadi korban disetubuhi pada saat acara doa bersama. “Jadi, hampir setiap malam, antara pukul 21.00 dan 22.00. 3. (Where) Kecamatan Ambulu-Jember, Jawa Timur. 4. (What) Alasannya untuk menemani pelaku membacakan wiridan-wiridan. 5. (How) korban yang akan disetubuhi diajak masuk ke dalam ruangan khusus, tempat pelaku memimpin acara doa bersama tersebut. Begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban-korbannya. 136 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama TEMATIK Detail Maksud kalimat, hubungan N o m i n a l i s a s i antarkalimat Koherensi 1. Bentuk kalimat 2. Kata ganti Paragraf Proposisi Secara tematik, berita ini mengetengahkan beberapa aspek di antaranya: 1. Penyidikan mendalam atas kasus dugaan pemerkosaan oleh seorang pengasuh pondok pesantren. 2. Pendalaman kasus 3. Alasan dan modus pelaku dalam melaksanakan aksinya. RETORIS Leksikon Headline “Pengasuh Ponpes Setubuhi Santriwati Sambil Pimpin Doa Bersama” dibuat telanjang disamping membenturkan kata “pengasuh ponpes” dengan kata “setubuhi santriwati sambil pimpin doa”. Ada penjudulan dalam headline yang menggeser makna. Gambar Kaca buram menampilkan sepasang telapak tangan wanita menempel pada permukaan kaca (close up) dengan blur sosoknya di balik kaca tersebut. Ada sesuatu yang erotis berkenaan dengan asosiasi antara gestur samar, telapak tangan yang melekat pada kaca dan, tentu saja headline. Metafor dan Pengandaian Lagi-lagi tak ada metafor. Pemilihan judul pada headline mengarah langsung dan dapat diterjemahkan secara harfiah. Hal ini mencirikan ada sesuatu yang hendak disajikan secara utuh, atau dengan kata lain: provokatif. D. Interpretasi I Pencacahan atas data A dan data B di atas belum sampai pada tingkat interpretasi lebih jauh. Meski demikian, secara periodik dan kronologis dapat ditarik satu garis simpul bahwa terdapat pergeseran dan interpretasi tekstual tertutup pada pemberitaan atas data A dan B pada media kompas elektronik terkait. – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 137 Data A, headline menggunakan penghalusan kata dengan tidak menunjukan langsung pada pelaku dengan menggunakan kata “dilaporkan”. Sebenarnya tak ada yang spesial jika kita tidak melihat bahwa pada data selanjutnya headline menjadi lebih vulgar. Untuk sampai pada pergeseran tersebut kita dapat melihat secara sintaksis bagaimana berita tersebut dideskripsikan dan diberitakan. Dalam data A, kita akan mendapati kalimat pembuka: “seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur, berinisial IK (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya.” Kalimat di atas sepintas mendukung apa yang ingin diungkapkan headline. Alih-alih demikian, justru ada yang menarik jika kalimatnya dipotong hanya pada bagian: seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes). Merujuk pada kalimat di atas, orang akan mengasosiasikan pandangannya tentang pengasuh dan pondok pesantren sebagai seorang yang memelihara. “Pengasuh” memiliki arti bukan saja mendidik, tapi juga sekaligus menjadi teladan yang baik bagi yang diasuh. Sama halnya dengan “pondok pesantren”, orang akan mengandaikan bahwa di dalamnya, para murid (santri) akan mendapatkan pendidikan agama dan moral-etika yang baik. Tapi apa yang kemudian terjadi justru menghantam dengan sangat telak pada imajinasi tentang “pengasuh” dan “pondok pesantren”, terutama karena kalimat selanjutnya berbunyi, “di Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur, berinisial IK (38), diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya.” Jika dibaca dengan cara terpisah seperti ini, kita menemukan konfrontasi langsung terhadap imajinasi massa mengenai makna “pengasuh pondok pesantren” dan perbuatannya menyetubuhi santriwati didikannya. Pertanyaannya adalah mengapa tidak ada penghalusan bahasa atau—dalam kerangka analisis aspek retoris— mengapa tak digunakan metafor untuk menghaluskan bahasa? Mengapa bentuknya menjadi oksimoron, yakni dengan membenturkan dua antonim dalam satu hubungan sintaksis yang mengaosiasikan pada sesuatu yang buruk? 138 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama Title headline menggunakan kata “pengasuh pesantren” yang pada dasarnya berkaitan dengan pembuka berita yang menggunakan kata “seorang pengasuh pondok pesantren”. Di sini, terdapat sedikit ketidaksesuaian dengan etika jurnalime yakni mengenai penghalusan bahasa. Misalnya, dalam kedua kata tersebut tidak ditambah kata “oknum” untuk sekedar menghindari imajinasi pembaca supaya tidak mengarah pada generalisasi. Penggunaan kata “oknum” tentu saja sangat penting untuk mempersempit skala general yang tekandung dalam kata “pengasuh pesantren”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “oknum” digunakan untuk menunjukkan: orang seorang (satu orang); perseorangan—yang mengarah pada anasir (dengan arti yang kurang baik). Dengan demikian, menggunakan kata “oknum” menjadi sangat penting di dalam headline tersebut. Jika tidak, maka Kompas.com—dalam hal ini adalah media yang mengusung—dapat dipersalahkan atau paling tidak dianggap lalai dalam menyajikan berita karena dirasa tendensius. Persoalannya, jika dibiarkan telanjang, kemungkinan generalisasinya akan semakin tinggi. Meskipun tindakan pelaku sangat amoral secara umum, tetapi pemberitaan semacam ini dapat sangat mencemarkan nama pesantren, sekaligus para pimpinan pesantren. Kata “dilaporkan setubuhi 4 santriwatinya” sebagai penegasan tindak pidana pelaku yang secara sintaksis juga berhadapan dengan kata “diduga menyetubuhi sejumlah santri perempuan (santriwati) yang menjadi anak didiknya.” Penggunaan kata “dilaporkan” menunjukkan bahwa perkara yang terjadi itu baru. Sedangkan ketika menilik pada kalimat pembuka, kita hadapkan pada kata “diduga” yang menunjukkan bahwa perkara yang “dilaporkan” telah ditindaklanjuti oleh tim penyidik. Menariknya adalah pada makna dari kalimat pembuka awal diakhiri dengan, “yang menjadi anak didiknya.” Padahal dengan tidak menggunakan kata tersebut, makna kalimat telah cukup. Jika kita masuk lebih dalam berdasarkan analisis sintak, pada bagian sumber keterangan yang dihimpun oleh sang reporter hanya berdasarkan – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 139 pada hasil penyelidikan polisi. Reporter dalam hal ini—jika dilihat dari data artikel pemberitaan A—tidak menghimpun data berdasarkan korespondensi langsung dengan keluarga korban, melainkan menggunakan data sekunder. Dengan demikian, menjadikan berita ini kurang valid dalam segi berimbang dan objektif. Sebuah data untuk diberitakan dikatakan berimbang apabila memuat sejumlah korespondensi dengan sumber data utama selengkap-lengkapnya. Kutipan dan pernyataan yang disajikan dalam berita menunjukkan keterkaitan kronologis mengenai proses terungkapnya kasus. Dalam hal ini, terkhusus pada pemberitaan data A, informasi menjelaskan bahwa pelaku telah ditetapkan menjadi tersangka karena data di tangan penyidik telah lengkap. E. Interpretasi II Beranjak ke data B, headline dalam data B tentu saja menggunakan susunan kalimat baru, “Pengasuh Ponpes Setubuhi Santriwati Sambil Pimpin Doa Bersama.” Sepintas kalimat ini tidak menjadi masalah. Namun, apabila kita terapkan analisis dan interpretasi simbolik pada headline tersebut, kita akan mengetahui apa yang janggal dalam headline data B ini, bahwa sama-sama tak dicantumkan kata “oknum” untuk menunjuk pada subjek pelaku. Subjek pelaku—jika ditelaah secara logis—telah ditarik dan digeneralisasi (atau seakan-akan digeneralisasi) dengan menyebut langsung dan lugas menggunakan kata ganti subjek secara telanjang, yakni “pengasuh ponpes”. Mengapa kemudian tidak menggunakan istilah dengan inisial pelaku dengan dilengkapi atribut sebagai apa. Misalnya saja kalimat dapat diubah menjadi “IK (38), yang juga merupakan oknum pengasuh salah satu pesantren, telah melakukan tindakan asusila pada beberapa santriwatinya.” Headline yang lugas jelas menyiratkan bahwa terdapat logika yang melompat. Mengingat, tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah headline atau title harus dibuat semenarik mungkin, tetapi memenggal sejumlah informasi dan menampilkannya secara terbuka dapat dikatakan sangat tendensius. 140 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama Pada bagian ini, rincian data yang diungkapkan ke publik sudah mulai detail, meski menyatakan data yang telah diperoleh oleh tim penyidik. Artinya, sampai berita tersebut disebar ke khalayak, Kompas tidak atau belum melakukan konfirmasi kepada beberapa pihak, baik korban ataupun pada warga sekitar mengenai kejadian terkait. Detail mengenai kapan tepatnya aksi pelaku bermula juga tidak diungkapkan. Kita hanya bisa menemukan informasi melalui pernyataan polisi bahwa modus operandi yang dilakukan pelaku adalah dengan mengajak salah satu korban santriwatinya untuk menemani pelaku di ruangan khusus untuk membaca doa. Merujuk pada sumber data berita, informasi mengenai kejadian diperkirakan berkisar antara pukul 21.00 sampai 22.00 dalam keadaan doa bersama sedang dilakukan. Dalam pernyataan ini, ada sejumlah hal yang mengundang pertanyaan, misalnya saja mengapa tidak ada pendalaman dalam arti kalimat “disetubuhi pada saat doa bersama”. Tentu ini penting karena pemahaman pembaca dapat begitu saja merasa apriori bahwa kejadian memang berlangsung seperti pada apa yang tertulis dalam berita. Tak ada pendalaman di wilayah kemungkinan apakah memang demikian atau dilakukan dengan cara lain. Pasalnya, pada kalimat “disetubuhi pada saat doa bersama” akan mengarahkan kita pada tindakan pelaku pada saat turut memimpin doa. Ada perbedaan tentunya antara pelaku dalam keadaan memimpin doa berarti turut membaca doa, dengan pelaku melakukan aksinya di tengah acara doa berlangsung (mencuri waktu). Pertanyaan selanjutnya yang bisa diajukan berkenaan dengan doa bersama (istigasah) ini, antara lain adalah: 1) Pesantren dengan sistem seperti apa yang melakukan istigasah bersama setiap malam? 2) Apakah sebuah kumpulan dengan satu struktur dengan kurikulum pengajaran pesantren, atau hanya majelis biasa? Dalam hal ini, skala untuk standar ukuran pesantren dengan majelis tentu saja berbeda. Anehnya kenapa di dalam pemberitaan terkait—tanpa verifikasi lebih jauh—menetapkan begitu saja bahwa itu memang pesantren. Yang sukar dibayangkan adalah – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 141 dengan acara yang melibatkan orang banyak, mengapa pelaku bisa melakukan tindakan asusilanya. Perincian tindakan dalam konteks berita menjadi penting karena Berpengaruh terhadap pemahaman dan perspektif dari para pembaca. Masih dalam pembacaan mengenai tindakan pelaku, terkhusus dalam data B dikatakan juga misalnya, “begitu acara doa bersama dimulai, tersangka langsung menyetubuhi korban-korbannya.” Pertanyaannya adalah: 1) Dengan cara seperti apa pelaku (yang dibayangkan menjadi pemimpin doa dan juga bersama-sama dalam satu majelis) melakukan perbuatannya? 2) Lalu, apabila doa tak dipimpin langsung, maka sebenarnya siapa yang memimpin acara doa? Ketika kemudian pelaku menggunakan ruang ekslusif untuk memimpin doa—sejauh yang bisa dibayangkan—belum ada orang yang memimpin doa di dalam ruangan tertutup sedangkan jemaatnya berada di ruangan terpisah. Pun apabila dipisah, biasanya dalam tradisi sebuah pesantren atau majelis, pemisahnya adalah sebuah tirai (hijab). Sayangnya kemungkinan-kemungkinan ini tidak ditelusuri lebih dalam. Berdasarkan uraian analisis di atas, kita harus kembali pada aktualitas serta faktualitas dalam menyajikan berita yang seharusnya juga diimbangi dengan pemilihan diksi dan perangkat bahasa yang baik. Selain itu, apa yang sebenarnya melatari pemberitaan ini begitu sembrono, terutama dari segi etika dan data yang ditampilkan. Pertanyaan ini tentunya dapat direfleksikan pada hasil analisis di atas. Meski pada akhirnya penafsiran berita bisa sangat beragam, tetapi apabila penafsiran muncul dari interpretasi intertekstual data A dan B menunjukkan satu tendensi tertentu, hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan. Imbas dari pemberitaan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada keseluruhan pesantren, mulai dari para pemimpin, santri, sampai pada imajinasi publik terhadap label negatif pesantren. Media pada dasarnya tidak diperkenankan menggunakan bahasa yang sifatnya provokatif, terutama yang mampu memunculkan pergeseran pada kata dan makna 142 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama yang digunakan. Misalnya, sebenarnya pelaku hanya seorang ustaz dan tempat kejadian perkara bukan pesantren. Namun, untuk memunculkan bahasa yang dapat dipahami, maka penutur data kronologis—dalam hal ini polisi—menggunakan bahasa yang cenderung digeneralisasi. Terkait hal ini, tentu wartawan wajib untuk menghimpun data yang berimbang sebelum menyiarkan berita ke media. Selanjutnya, logika yang disusun di dalam pemberitaan cenderung melompat. Hal ini dapat dilihat dari data A yang diunggah tanggal 18 September dengan headline kunci pada pelaku “dilaporkan”. Namun, pada bagian paragraf penutup sampai berita diudarakan, pelaku telah ditetapkan sebagai “tersangka”. Ada proses hukum yang panjang—apabila merunut dengan satu aspek yurisprudensi kepolisian—dalam menetapkan “terlapor” menjadi “tersangka”. Hal serupa terjadi dalam kasus di data B yang diunggah sehari berikutnya. Logika melompat ini menghilangkan adanya pendalaman mengenai korban, pelapor, saksi, dan proses hukum yang berlangsung. Karena tentu saja sangat sulit dalam kasus asusila menetapkan tersangka sebab barang bukti dan validasi fakta sangat kabur. Bisa saja misalnya, korban-korban tak hanya disetubuhi oleh satu oknum, atau aksi tersebut dilakukan dengan satu tindakan suka sama suka. Dalam hal ini, perlu adanya detail dalam berita. Tujuannya bukan hanya supaya pembaca mendapat satu sajian informasi yang akurat, melainkan juga memberikan kepastian informasi, Yang menarik selanjutnya adalah judul headline yang berubah secara drastis. Bagian ini telah disinggung sebelumnya dalam data, tertanggal 18 September, pada headline bertajuk “Pengasuh Pesantren Dilaporkan Setubuhi 4 Santriwatinya”. Headline bagian ini masih dalam status dilaporkan dan belum menjadi tersangka. Pasalnya dalam data B, headline berubah tajam menjadi “Pengasuh Ponpes Setubuhi Santriwati Sambil Pimpin Doa Bersama”, yang secara jelas langsung mengarah pada kasus yang diberitakan sehingga muncul pertanyaan, apa sebenarnya tendensi dari media Kompas.com ketika menggunakan headline yang cenderung – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 143 mengandung esensi negatif terhadap salah satu institusi agama Islam. Hal inilah yang pada akhirnya dapat menyerang imajinasi masyarakat terhadap label ataupun stereotif negatif tentang posisi pesantren. IV. KESIMPULAN Bertolak dari interpretasi sintaksis analisis framing, kita akan mengaitkan asumsi-asumsi awal mengenai media masa secara primordial dan keterkaitannya dengan hal-hal yang bersifat politis. Menarik bahwa imajinasi massa, media, dan kepentingan adalah ibarat pribahasa “setali tiga uang”. Terkait media Kompas khususnya, apakah kemudian terdapat kepentingan yang mendasarinya sehingga menggunakan perangkat bahasa lugas seperti yang terdapat pada data berita yang diambil. Dalam hal ini, satu sisi secara tidak langsung akan berimplikasi pada penurunan kredibilitas institusi Islam. Namun, bertolak dari analisis yang ditampakkan di atas, jelas bahwa dalam berita tersebut ada sesuatu yang “ditampakkan” dan ada bagian lain yang “disortir”. Penyortiran dan pemunculan memang sesuatu yang biasa, tetapi pasalnya kecenderungan ini bermakna lebih dari itu. Mengenai terminologi framing, dijelaskan bahwa sebuah berita dikemas melalui proses seleksi sehingga dapat diubah dan disesuaikan dengan satu kepentingan atau kebutuhan pasar. Yang terakhir disebut memang merupakan satu aspek penting selain kepentingan-kepentingan yang lain. Namun demikian, pada akhirnya arah pemberitaan Kompas. com tetap menunjukkan adanya tendesi ke arah stigma tertentu. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini tentu saja hanya terhadap dua data dari pemberitaan di media Kompas.com. Dengan kata lain, tafsir dan analisis hanya berkisar pada interaksi sintaksis dan sintagmatis tertutup. Kata dan frasa dalam teks dibenturkan dengan hal serupa pada teks terkait. Dalam analisis ini, tidak dilibatkan teks lain atau analisis intertekstual yang melibatkan data dari media yang lain. Tentu saja itu menjadi menarik, karena bagaimanapun Kompas, termasuk Kompas. com, adalah media berskala nasional dan sudah sangat pasti memberikan 144 | Syihabul Furqon dan Busro – Mediatisasi Agama andil dan pengaruh dalam pemberitaan yang disampaikan. Di titik ini, tak dapat dipungkiri akan muncul kemungkinan pemberitaan selanjutnya di media yang lain menggunakan kata lebih tajam dan vulgar, terlepas dari penyajian dan kedetailan data. Kompas boleh jadi menjadi media dengan kekuatan mayor yang dapat memantik efek domino pada sebuah berita— dan selanjutnya media mana saja yang cenderung menginduk ke dalamnya. Selanjutnya, kita dapat menentukan siapa yang harus mengklarifikasi dan meralat. Konklusi atas pembedahan berita di atas adalah betapa dalam satu isu minor saja, sebuah media nyata melakukan framing tertentu atas pemberitaan yang disajikan—terlepas dari agenda yang dirumuskan— sehingga ketika membaca media dewasa ini, lebih memerlukan kewaskitaan dan kesabaran dalam menyimpulkan. Benar adanya bahwa saat ini merupakan era keserentakan sebagaimana pendapat Foucault dan juga era fragmentasi. False of consciousness menjadi gejala tersendiri yang kemudian harus diselesaikan. Karenanya, persoalan-persoalan yang tampak “sepele” dan dikemas begitu saja dalam media apa pun selalu menyimpan sebuah pesan enigmatik. Maka tidak berlebihan apabila kita meninjau ulang cara memandang dan berpikir instan yang cenderung tergesa ini dalam tahapan- tahapan epistemis yang proporsional. Sebab kebijaksanaan, sebagai apa yang ditekankan J. Sudarminta (2004), memungkinkan kita menilai, menata, serta mengintegrasikan pelbagai hal yang dalam pengalaman dan pengetahuan kita, sepintas tampak berserakan menjadi suatu kesatuan dan keseluruhan yang bermakna. Saran terkait penelitian ini lebih kepada analisis framing selanjutnya yang mungkin dapat diaplikasikan terhadap isu-isu sejenis. Dalam artian, sejumlah isu yang mungkin sensitif di masyarakat dan mampu memunculkan stigma tertentu terhadap stereotif suatu pihak, bisa jadi menarik dibahas dengan jenis analisis framing lain yang lebih mendalam. Mengingat penelitian ini lebih mengarah pada analisis dengan pendekatan Pan dan Kosicki dengan empat kriteria utama, yakni sintaksis, skrip, – Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2017 | 145 tematik, dan retoris, maka diharapkan pada penelitian selanjutnya, dapat merujuk pada pendekatan framing lainnya sebagai keberlanjutan kelengkapan penelitian. Selain itu, terkait media yang dianalisis, diharapkan pula dapat lebih diperluas dengan penggunaan media lain—tentu dengan topik dan isu sejenis—agar diperoleh sisi lain pembingkaian media yang lebih menguatkan terhadap penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS. Hardiman, F. Budi. (2008). Manusia Sebagai Penafsir, Yogyakarta: Kanisius. _______ . (2008). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. Ibrhim, Idi Subandy. (2004). Komunikasi Empatik. Jakarta: PBQ. Nasution, Ismail Fahmi Arrauf dan Miswari. (2017). “Islam Agama Teror? (Analisis Pembingkaian Berita Media Online Kompas.com dalam Kasus Charlie Hebdo)”. Jurnal al-Balagh Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2017. htttp://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-balagh/ article/view/753/ 198. DOI http://dx.doi.org/10.22515/balagh. v2i1.753 (diakses tanggal 11 Desember 2017). O’hara, Keiron. (2002). Plato dan Internet. Yogyakarta: Jendela. Piliang, Yasraf Amir. (1998). Sebuah Dunia Yang Dilipat. Bandung: Mizan. _______ . (2005). Hipersemiotika. Yogyakarta: Jalasutra. Regional Kompas.com. Kamis, 18 September 2014 | 16:49 WIB [http:// regional.kompas.com/read/2014/09/18/16490021/Pengasuh. Pesantren.Dilapor an.Setubuhi.4.Santriwatinywa]). Regional Kompas.com., Jumat, 19 September 2014 | 11:17 WIB [http://regional.kompas.com/read/2014/09/19/11171821/ Pengasuh.Ponpes.Setub hi.Santriwati.Sambil.Pimpin.Doa. Bersama%C2%A0]). Rond, Ayn. (2003). Epistemologi Objektif. Yogyakarta: Bentang. Sudarminta, J. (2004). Epistemologi. Yogyakarta: Kanisius.