19 
 

ANALISIS KESESUAIAN KONSTITUSI EKONOMI INDONESIA TERHADAP 
EKONOMI ISLAM 

 
Ali Rama1   
Makhlani 

 
Abstract. The Similarities of Indonesian Economy Constitution to Islamic Economy. This 
study invistigates the similarities between the constitution of the Indonesian economy and  Islamic 
economic system. It finds that the constitution of Indonesian economy contained in the 1945 
Section 33, 34, 23, 27 and 28 have in common with the Islamic economic system, especially at the 
basic values, basic principles and instrumentals. The main similarities lie in the principle of 
economic activities based on the principles of solidarity and togatherness and the role of the state 
in the allocation of economic  resources for economic prosperity and welfare of the whole people. 
Another important similarity is the presence of high concern towards the needy and neglected 
children through various economic policy instruments such as social security and social protection 
programs. Therefore, it is no longger relevant to polorize between the Indonesian economic 
constitution or Pancasila economic system and Islamic economic system. Because each is derived 
from an understanding of the Islamic teaching. 
Keywords: constitution of Indonesian economy, UUD 1945, Islamic economic system, the role of 
the state 
 
Abstrak. Analisis Kesesuaian Konstitusi Ekonomi Indonesia Terhadap Ekonomi Islam. 
Penelitian ini berusaha untuk melihat kesamaan antara kandungan konstitusi ekonomi Indonesia 
dengan ekonomi Islam. Secara garis besar konstitusi ekonomi Indonesia yang tertuan dalam UUD 
1945 Pasal 33, 34, 23, 27 dan 28 memiliki kesamaan dengan sistem ekonomi Islam khususnya pada 
tataran nilai dasar, prinsip dasar dan instrumentalnya. Kesamaan dasarnya terletak pada asas 
kegiatan ekonominya yang didasarkan pada prinsip kekeluaragaan dan kebersamaan beserta 
peranan penting negara dalam pengalokasian sumber daya ekonomi untuk kemakmuran dan 
kesejahteraan bersama. Kesamaan penting lainnya adalah adanya kepedulian yang tinggi 
terhadap kaum fakir miskin dan anak-anak yang terlantar melalui instrumen-intrumen kebijakan 
ekonomi berupa jaminan dan perlindungan sosial. Olehnya, tidak perlu dilakukan pertentangan 
antara konstitusi ekonomi Indonesia atau ekonomi Pancasila dengan ekonomi Islam. Karena 
masing-masing merupakan turunan dari pemahaman terhadap agama Islam.  
Kata kunci: konstitusi ekonomi Indonesia, UUD 1945, ekonomi Islam, peran negara. 

 
 

  

                                                           
1 Naskah diterima: 12 Oktober 2013, direvisi: 12 Nopember 2013, disetujui: 20 Nopember 2013 
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, e-mail: rama_clb_ku@yahoo.com  
ex.IDB Representative Indonesia, e-mail: makhlani@yahoo.com 

mailto:rama_clb_ku@yahoo.com


20 
 

PENDAHULUAN 
Corak sistem perekonomian suatu negara bisa saja sangat dipengaruhi oleh sistem 
ekonomi global seperti kapitalisme dan sosialisme yang hampir menjadi rujukan setiap 
negara dalam mendesain kebijakan ekonomi. Begitupula dengan Islam sebagai sistem 
kehidupan (way of life) suatu masyarakat memberikan pengaruh dalam desain sistem 
perekonomian suatu negara. Pedoman dan arah perekonomian suatu negara umumnya 
tertuan dalam undang-undang dasar atau konstitusi yang menjadi konsesus bersama 
negera tersebut.   

Konstitusi harus dijadikan sebagai acuan substantif dalam setiap kebijakan yang 
diambil dalam proses pembangunan ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang 
diterapkan tidak seharusnya mengikut begitu saja terhadap arus perkembangan 
ekonomi yang terjadi, baik pada tataran nasional maupun global. Logika pembangunan 
ekonomi tidak semestinya dibangun semata atas pertimbangan pengalaman empiris di 
lapangan atau pun teori-teori dan kisah-kisah sukses di negara-negara lain yang 
dipandang layak dijadikan sebagai rujukan. Misalnya, Teori pembangunan seperti yang 
dikembangkan di Barat banyak dipengaruhi oleh karakteristik unik, masalah spesifik, 
nilai eksplisit dan implisit serta infrastruktur sosial-politik ekonomi Barat (Ahmad, 
1997). Teori demikian jelas tidak bisa secara serta merta diaplikasikan di dunia Muslim 
yang memiliki nilai-nilai yang berbeda. Dengan demikian suatu teori yang cocok dan 
dapat diterima dalam suatu sistem masyarakat dengan pandangan hidup tertentu, 
belum tentu cocok bagi yang lain (An-Nabhani, 1996) (Ash Shadr, 2008).   

Berdasarkan perspektif tersebut, teori ekonomi yang dipengaruhi oleh doktrin 
(sistem) suatu masyarakat tertentu belum tentu cocok dengan suatu masyarakat yang 
memiliki doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang berbeda. Teori ekonomi 
pembangunan yang sukses di suatu daerah belum tentu cocok dan sukses di tempat lain, 
dikarenakan perbedaan pandangan hidup (Chapra, 2000). Alasan ini yang mendasari 
kenapa sistem sosialisme teruatama pola strategi pembangunan yang diadopsi bahkan 
dipaksakan pada  negara-negara berkembang terutama negara-negara Muslim 
mengalami kegagalan bahkan berujung pada chaos dalam segala bidang (Matta, 1997). 
Kegagalan ini utamanya disebabkan oleh sistem atau doktrin yang terkandung dalam 
sosialisme memiliki perbedaan yang tajam dengan masyarakat Muslim yang sangat 
dipengaruhi oleh doktrin Islam. Sistem sosialisme yang diimpor ke dalam negara-negara 
muslim menghadapi akal yang berbeda dengan akal yang berbeda dengan akal yang 
menciptakannya, ditawarkan kepada masyarakat yang berbeda di mana sistem itu 
diterapkan – baik pada latar historisnya maupun struktur kesadarannya – dan 
disosialisasikan pada tanah dan waktu yang lain yang berbeda dengan tanah dan waktu 
darimana ia berasal. Maka yang terjadi kemudian adalah munculnya hasil yang berbeda 
(Matta, 1997). 

 Meskipun kenyataan saat ini,  negara-negara dituntut untuk bergaul dengan 
sistem ekonomi global yang lebih cenderung kepada sistem ekonomi pasar kapitalisme 
yang mengedepankan liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi. Hegemoni 
sistem ekonomi global yang lebih cenderung dipengaruhi oleh sistem kapitalisme 
memberikan pengaruh yang besar dalam penyusunan dan pembuatan kebijakan-
kebijakan ekonomi di negara-negara berkembang dan atau di negara-negara Muslim di 
mana Indonesia salah satu di dalamnya. Negara yang terbelakang dari berbagai aspek 
umumnya akan mengikut ke negara yang sudah relatif maju (Khaldun, 2000). Olehnya, 
untuk mencegah arus pengaruh sistem eksternal terhadap kebijakan ekonomi nasional 
maka seluruh kebijakan ekonomi yang diambil harus mengacu dan tidak boleh 
bertentangan dengan konstitusi ekonomi, UUD 1945 yang sudah menjadi konsensus 



21 
 

bersama bangsa Indonesia yang disusun berdasarkan tujuan dan national interest yang 
ingin dicapai secara bersama sebagai bangsa Indonesia. Apalagi, UUD 1945 memuat 
dokumen ekonomi tentang ketentuan-ketentuan dalam bidang perekonomian yang 
merupakan cita-cita luhur yang diperjuangkan oleh para founding fathers dari Republik 
ini. 
 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi mengatur mengenai pilihan-pilihan 
kebijakan ekonomi dan anutan prinsip-prinsip tertentu di bidang hak-hak ekonomi 
(economic rights). Konstitusi ekonomi memuat ketentuan mengenai perekonomian 
nasional. Banyak kalangan yang menilai bahwa konstitusi ekonomi Indonesia memiliki 
corak sesuai dengan nilai-nilai dan karakter budaya Indonesia yang sangat dipengaruhi 
oleh agama. Meskipun secara redaksional simbol-simbol agama tidak terlalu nampak 
dalam konstitusi ekonomi Indonesia tetapi nilai-nilai agama memiliki pengaruh yang 
kuat terhadap substansi yang dikandungnya.  
 Apalagi banyak kalangan yang menilai bahwa konstitusi ekonomi Indonesia 
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Bung Hatta yang terutama tertuang dalam Pasal 33 
dan 34 UUD 1945. Bung Hatta adalah merupakan tokoh nasional yang mempunyai 
kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Barat sehingga tahu betul dinamika 
sistem ekonomi yang berkembang di Barat seperti sistem kapitalisme dan sosialisme. 
Beliau tahu betul kelemanan dari sistem kapitalisme dan sosialisme sehingga tidak 
cocok untuk diimplementasikan di Indonesia. Meskipun diakui bahwa pemikiran 
ekonomi Bung Hatta banyak dipengaruhi oleh paham  sosialisme, tetapi sosialisme yang 
ingin dibangun di Indonesia adalah sosialisme yang berwatak agama atau sosialisme 
religius yang sesuia dengan agama masyarakat Indonesia secara umum. Bukan justru 
sosialisme yang anti agama atau ateis. Bahkan Bung Hatta sebenarnya memiliki 
pemikiran ekonomi yang sangat sesuai dengan pemikiran ekonomi Islam, tetapi 
pendekatan yang beliau lakukan lebih bersifat substansial dibandingkan dengan 
simbolistis (Abbas, 2008). 

Kandungan konstitusi ekonomi yang ada dalam UUD 1945 bisa saja dipengaruhi 
oleh sistem ekonomi global di awal perumusannya. Seperti misalnya pengaruh prinsip-
prinsip sosialisme dalam penyusunan beberapa Pasal tentang ekonomi dalam UUD 
1945. Akan tetapi banyak pula kalangan yang menilai bahwa Pasal-pasal ekonomi dalam 
UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang berkembang di tengah-tengah 
masyarakat Indonesia. Dalam artian, pemahaman dan kepercayaan agama khususnya 
Islam memiliki pengaruh kuat dalam filosofi dan prinsip dasar serta tujuan yang ingin 
dicapai yang terkandung dalam konstitusi ekonomi Indonesia. 

Menurut Dawam Raharjo, konstitusi ekonomi Indonesia dilandasi oleh nilai-nilai 
yang terdapat dalam lima sila Pancasila. Pancasila, katanya, pada intinya adalah 
kombinasi tiga ideologi, yaitu Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi, tetapi 
kesemuanya didasarkan pada Humanisme dan kepercayaan Monoteisme. Bahkan Bung 
Karno menyebut pancasila sebagai hasil gabungan dari tiga ideologi, yaitu Nasionalisme, 
Islamisme dan Komunisme yang biasa disebut sebagai Nasakom. Sementara Bung Hatta 
menyebut tiga sumber lain, yaitu Islam, Sosialisme dan budaya Indonesia. 
 Konstitusi ekonomi Indonesia memuat beberapa ketentuan-ketentuan ekonomi 
nasional seperti sistem kepemilikan sumber daya ekonomi, tujuan pembangunan 
ekonomi, pengelolaan sumber daya ekonomi, bentuk usaha ekonomi, sistem jaminan 
sosial, peran negara dalam pembangunan ekonomi, dan lainnya. Berdasarkan pada 
ketentuan-ketentuan pengaturan ekonomi yang terkandung dalam konstitusi ekonomi 
Indonesia maka perlu dilakukan analisis kesesuaian antara konsep ekonomi yang 
terkandung dalam konstitusi ekonomi Indonesia dengan konsep ekonomi dalam Islam. 



22 
 

Sehingga akan ditemukan sejauh mana kesesuaian dan atau paralelitas antara konstitusi 
ekonomi Indonesia dengan konsep ekonomi Islam sehingga didapatkan kesimpulan 
yang utuh, komprehensif dan akurat tentang konstitusi ekonomi Indonesia ditinjau dari 
perspektif ekonomi Islam yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.  
 
UUD 1945 SEBAGAI KONSTITUSI EKONOMI INDONESIA 
Pada umumnya, organisasi negara selalu memiliki naskah yang disebut sebagai 
konstitusi atau undang-undang dasar (UUD). Berlakunya suatu konstitusi sebagai 
hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip 
kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan 
rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Begitu pula jika yang 
berlaku adalah kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu 
konstitusi. Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi 
menempatkan rakyat sebagai penentu berlakunya suatu konstitusi. 
 UUD bukanlah undang-undang biasa. Konstitusi atau UUD dalam konteks 
Indonesia tidak ditetapkan oleh legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih 
khusus dan lebih tinggi kedudukannya, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 
Jika terdapat suatu undang-undang bertentangan dengan norma dasar yang terkandung 
di dalam UUD, maka UUD itulah yang berlaku.   

Konstitusi menurut Asshiddiqie, adalah perjanjian, konsensus, atau kesepakatan 
tertinggi dalam kegiatan bernegara. Kesepakatan adalah hukum bagi siapa saja yang 
mengikatkan diri di dalamnya. Demikian pula konstitusi sebagai kesepakatan tertinggi, 
tentunya memiliki daya paksa yang juga bersifat tinggi. Konstitusi ekonomi adalah 
konstitusi yang mengatur mengenai pilihan-pilihan kebijakan ekonomi dan anutan 
prinsip-prinsip tertentu di bidang hak-hak ekonomi (Abbas, 2014). 
 Oleh sebab itu, para perumus kebijakan ekonomi harus menjadikan UUD 1945 
sebagai hukum dan kebijakan yang tertinggi di bidang perekonomian. Setiap kebijakan 
ekonomi yang bertentangan dengan konstitusi ekonomi dapat dibatalkan dan dianggap 
tidak berlaku melalui mekanisme konstitusional, yaitu judical review di Mahkamah 
Konstitusi (MK). 
 UUD 1945 dikatakan sebagai konstitusi ekonomi karena mengatur ketentuan 
mengenai kebijakan ekonomi seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal 
33 menentukan, (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas 
asas kekeluargaan; (2) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya 
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
Hasil amandemen paska reformasi atas UUD 1945, Bab XIV yang semula hanya, 
“Kesejahteraan Sosial” direvisi menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan 
Sosial” dimana memuat dua Pasal, yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 beserta penyempurnaan 
ayat-ayatnya. 
 Pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan ekonomi yang ada dalam UUD 1945 
adalah Pasal 23 mengenai keuangan negara dan hal-hal yang terkait, Pasal 27 Ayat 2 
tentang pekerjaan dan peghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan Pasal 28 tentang 
hak asasi manusia. Bahkan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berisi prinsip-prinsip 
dasar Pancasila dan Tujuan Bernegara secara tidak langsung juga mengandung gagasan 
mengenai kesejahteraan sosial dan ekonomi.  
 Jika dilihat dari segi sistem ekonomi, ekonomi Indonesia tidak bisa sepenuhnya 
dikatakan menganut sistem kapitalisme ataupun sosialisme ataupun gabungan dari 
kedua dari sistem tersebut (mixed economy). Misalnya dari segi kepemilikan sumber 
daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk mengatakan bahwa 



23 
 

sistem ekonomi Indonesia adalah kapitalisme. Sama halnya, tidak terdapat argumentasi 
yang cukup untuk mengatakan, bahwa kita menganut sistem ekonomi sosialis. Indonesia  
mengakui kepemilikan individual atas faktor-faktor produksi, kecuali untuk sumber 
daya-sumber daya yang menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh negara 
(Tambunan, 2011). Hal ini secara tegas diatur oleh Pasal 33 UUD 1945. Jadi secara 
konstitusional, sistem ekonomi Indonesia tidak mengikut secara absolut terhadap 
sistem ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Indonesia, menurut 
Mubyarto (1987), adalah sistem ekonomi Pancasila yang didasarkan pada lima sila yang 
dimilikinya. Akan tetapi jika dilihat dari nilai-nilai dan sistem kepemilikan yang 
dianutnya, sistem ekonomi Indonesia memiliki kesamaan yang besar dengan sistem 
ekonomi Islam.  
SISTEM EKONOMI INDONESIA 
Pengertian tentang sistem ekonomi sangat beragam. Sanusi (2010) menjelaskan sistem 
ekonomi merupakan suatu organisasi yang terdiri atas sejumlah lembaga dan pranata 
(ekonomi, sosial-politik, ide-ide) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya 
dan ditujukan ke arah pemecahan problem-problem serta produksi-distribusi konsumsi 
yang merupakan problem dasar setiap perekonomian. Dengan kata lain, sistem ekonomi 
dapat diartikan sebagai suatu totalitas terpadu yang terdiri dari atas unsur-unsur yang 
saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling tergantung untuk 
mencapai tujuan bersama. 
 Selanjutnya, Dumairy (2011) mengartikan sistem ekonomi adalah suatu sistem 
yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antarmanusia dengan seperangkat 
kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sebuah sistem ekonomi terdiri atas 
unsur-unsur manusia sebagai subjek; barang-barang ekonomi sebagai objek; serta 
seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam kegiatan 
perekonomian. Perangkat kelembagaan dimaksud meliputi lembaga-lembaga ekonomi 
(formal maupun informal); cara kerja; mekanisme hubungan; hukum dan peraturan-
peraturan perekonomian; serta kaidah dan norma-norma lain (tertulis maupun tidak 
tertulis); yang dipilih atau diterima atau ditetapkan oleh masyarakat di tempat tatanan 
kehidupan yang bersangkutan berlangsung. Jadi dalam perangkat kelembagaan ini 
termasuk juga kebiasaan, perilaku, dan etika masyarakat; sebagaimana mereka terapkan 
dalam berbagai aktivitas yang berkenaan denga pemanfaatan sumber daya bagi 
pemenuhan kebutuhan. Berdasarkan definisi ini menunjukkan bahwa mengkaji sistem 
ekonomi berarti meliputi tentang pelaku-pelaku ekonomi, lembaga-lembaga ekonomi, 
mekanisme, aturan-aturan dan doktrin atau paradigma ekonomi yang dianut.  
 Definisi serupa juga dikemukan oleh Grossman (1995) yaitu sistem ekonomi 
adalah sekumpulan komponen atau unsur terdiri atas unit dan agen ekonomi serta 
lembaga (institusi) ekonomi, yang bukan saja saling berhubungan dan berinteraksi 
melainkan juga sampai tingkat tetentu saling menopang dan mempengaruhi. 
 Sementara itu, Triono (2011) menganggap bahwa sistem ekonomi berkaitan 
dengan pandangan, keyakinan, kepercayaan ataupun ideologi tertentu, khususnya 
terhadap alokasi sumber daya ekonomi yang ada di bumi ini. Sehingga sistem ekonomi 
akan menyangkut pandangan terhadap kepemilikan, pemanfaatan, maupun distribusi 
sumber daya ekonomi. Sehingga sistem ekonomi itu tidak netral dan bersifat subjektif 
karena dipengaruhi oleh pandangan-pandangan hidup atau paradigma tertentu di mana 
sistem ekonomi itu diterapkan. Konsekuesinya, berdasarkan definisi ini, sistem ekonomi 
yang diterapkan dan dianut dalam suatu perekonomian negara sangat memungkinkan 
berbeda dengan sistem ekonomi yang diterapkan di tempat atau negara lain, tergantung 
pada pandangan dan paradigma yang dianutnya terutama dalam hal kepemilikan, 



24 
 

pemanfaatan dan distribusi sumber daya ekonomi yang dimiliki dalam suatu 
perekonomian. 
 Kahf (1999) mendefinisikan sistem ekonomi sebagai seperangkat prinsip-prinsip 
yang merupakan kerangka organisasi kegiatan ekonomi. Sehingga sistem ekonomi 
tertentu tersusun dari seperangkat nilai-nilai yang dapat membangun kerangka 
organisasi kegiatan ekonomi menurut kerangka referensi tertentu. Perangka nilai-nilai 
ini di satu pihak akan berdasarkan pandangan filsafat tentang kegiatan ekonomi, dan 
dipihak lain interaksi nilai-nilai ini membentuk perangkat nilai dasar dan nilai 
instrumental bagi kegiatan ekonomi yang dikehendaki oleh sistem. 
 Dalam literatur ekonomi dan bahkan tataran penerapan perekonomian, dikenal 
dua sistem ekonomi yang sering diperbincangkan dan mempengaruhi suatu 
perekonomian, yaitu kapitalisme pasar dan sosialisme terpimpin. Dua sistem ekonomi 
ini sebenarnya saling terkait. Sistem ekonomi sosialisme muncul atas kritik terhadap 
sistem kapitalisme yang tidak bisa mewujudkan kesejahteraan bagi berbagai lapisan 
masyarakat. Inti dari sistem ekonomi kapitalisme adalah pemecahan masalah ekonomi 
yang meliputi produksi, konsumsi dan distribusi melalui mekanisme pasar bebas demi 
tercapainya kesejahteraan masyarakat secara bersama. Sementara ekonomi sosialisme 
meyakini bahwa penghapusan kepemilikan individu terhadap aset-aset produksi adalah 
solusi untuk menyelesaikan problem ekonomi yang dihadapi oleh manusia dan 
merupakan pendekatan yang paling ampuh untuk mewujudkan kesejahetaraan yang 
merata. 
 Kehadiran dua sistem ekonomi itu, berkontribusi dalam menciptakan polarisasi 
hegemonis sistem ekonomi dalam tataran global. Kedua sistem ekonomi ini saling 
berusaha mencari pengikut (follower) dan situasi ini memicu munculnya konflik seperti 
yang pernah terjadi pada perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat (AS) sebagai 
pengusung utama sistem ekonomi Kapitalisme dengan Uni Soviet sebagai pengusung 
sistem Sosialisme. Kedua sistem ekonomi itu menghegemoni khususnya di negara-
negara berkembang. Akhirnya banyak negara-negara berkembang meyakini bahwa 
untuk mencapai kemajuan ekonomi caranya adalah dengan mengadopsi salah satu 
sistem ekonomi tersebut, sistem kapitalisme atau sistem sosialisme. 
 Akan tetapi dalam peraktiknya, sistem ekonomi yang dijalankan oleh negara-
negara di dunia saat ini tidak sepenuhnya seperti sistem Kapitalisme atau sistem 
Sosialisme yang berada pada titik ekstrim sebagaimana dicetuskan oleh masing-masing 
penggagasnya yaitu Adam Smith dan Karl Max. Justru sistem perekonomian yang 
diterapkan di berbagai negara saat ini berada di sepanjang spektrum dua sistem 
tersebut. Apa yang disebut Kapitalisme dan Sosialisme memiliki banyak bentuk 
variannya dalam tataran prakteknya. Akan tetapi perlu diakui kedua sistem tersebut 
sangat mempengaruhi sistem ekonomi yang berlaku di dunia ini dengan penyesuaian 
sesuai dengan kepentingan pragmatis negara yang mengadopsinya. Kedua sistem 
tersebut dalam tataran implementasinya juga disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-
norma serta agama yang berlaku dalam suatu masyarakat. 
 Selain kedua sistem tersebut, dalam perekonomian modern juga dikenal sistem 
ekonomi campuran (mixed economy) yaitu sistem yang mengandung beberapa elemen 
dari sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme. Sebagaimana 
dikemukan sebelumnya, tidak ada perekonomian yang ada saat ini yang mengadopsi 
sepenuhnya sistem ekonomi sosialis atau kapitalis. Yang berlaku justru campuran 
antara kedua ekstrim sistem ekonomi tersebut, dengan berbagai varian kadar 
dominasinya. 



25 
 

 Deklarasi Indonesia sebagai negara merdeka terjadi bersamaan dengan puncak 
perseturuan antara sistem ekonomi kapitalisme yang diwakili oleh Amerika Serikat 
yang kemudian membuat sekutu dengan sebutan Blok Barat dan sistem ekonomi 
sosialisme yang dikomandoi oleh Uni Soviet dengan Blok Timurnya. Pertanyaannya 
kemudian adalah apakah pembentukan sistem ekonomi Indonesia seteleh proklamasi 
kemerdekaannya (17 Agustus 1945) dipengaruhi oleh dua arus sistem tersebut atau dua 
Blok politik tersebut? 

Sebagaimana diketahui setelah kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Presiden 
Pertama RI, Soekarno justru memploklamirkan Blok Baru bernama Gerakan Non-Blok 
yang tidak berafiliasi dengan Blok Barat maupun Blok Timur yang lagi berebutan 
mencari pengaruh dan sekutu pada saat itu. Pandangan politik ini sebenarnya juga 
berpengaruh pada sistem ekonomi yang dianut Indonesia yang tidak menganut sitem 
ekonomi kapitalis ataupun sistem ekonomi sosialis sepenuhnya. 
 Sistem ekonomi apa yang diterapkan di Indonesia, Kapitalisme, sosilisme, atau 
gabungan (mixed) dari kedua sistem tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, Dumairy 
(1996) menegaskan sebagai berikut, “Ditinjau berdasarkan sistem kepemilikan sumber 
daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk menyatakan 
bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalisme. Sama halnya, tak pula cukup 
argumentasi untuk mengatakan, bahwa kita menganut sistem ekonomi sosialis. 
Indonesia mengakui pemilikan individual atas faktor-faktor produksi, kecuali untuk 
diatur dengan tegas oleh Pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara konstitusional, sistem ekonomi 
Indonesia bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.” 
 Untuk memahami sistem ekonomi apa yang diterapkan di Indonesia paling tidak 
secara konstitusional maka perlu memahami terlebih dahulu ideologi yang dianut oleh 
Indonesia. Sistem ekonomi atau perekonomian Indonesia tidak terlepas dari prinsip-
prinsip dasar dari pembentukan negara Republik Indonesia yang tercantum dalam 
Pancasila dan Undang-Undangan Dasar (UUD) 1945.  
SISTEM EKONOMI PANCASILA 
1. Pancasila dan Agama 
Pancasila sebagai ideologi Indonesia sebenarnya dalam proses pembentukannya sangat 
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Pancasila sebagaimana dituliskan oleh Adian 
Husaini (2010) adalah merupakan hasil karya bersama, bukanlah rumusan semata 
seorang Bung Karno sendirian. Pancasila adalah hasil kesepakatan tokoh-tokoh Islam 
yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk tokoh-tokoh Islam yang tergabung 
dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH. Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno 
Tjokrosoejoso dan Abdul Kahar Muzakkir. Salah satu bukti utama jikalau Pancasila yang 
kemudia menjadi landasan Ideologi bangsa Indonesia begitupula dalam sistem 
ekonominya sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam atau pandangan Islam (Islamic 
worldview) adalah adanya rumusan tujuh kata pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan, 
dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang 
kemudian dikenal sebagai rumusan Piagam Pancasila vesi Piagam Jakarta (Pembukaan 
UUD 1945). Akan tetapi karena suatu hal, sila pertama Pancasila ini diganti menjadi 
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama ini menurut Adian Husaini adalah 
representasi dari ajaran tauhid dalam agama Islam. Bukti-bukti lainnya bahwa Pancasila 
sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam adalah bisa dilihat dari sila-sila lainnya. Karim 
(2004) mengungkapkan penilaian yang sama. Ia menganggap bahwa nilai-nilai universal 
Islam secara eksplisit menjiawai muatan Pancasila yang berprinsip ketuhanan, 
kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Hal ini sejalan dengan Islam 
yang menekankan persamaan, persaudaraan, permusyawaratan, keadilan dan 



26 
 

ketuhanan. Oleh karenanya, rumusan dan penafsiran sila-sila Pancasila terutama sila 
pertama jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut. 
 Harus diakui bahwa pada masa lalu ada mutual understanding antara Islam 
sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Kesalahpahaman itu lebih banyak pada 
berbagai kepentingan politik daripada dalam substansinya; atau lebih dikarenakan oleh 
ketidakjelasan paradigma dan cara pandang. Substansinya keduanya jelas berbeda. 
Islam adalah agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi. Esensi (hakekat) Islam dan 
Pancasila tidak bertentangan, namun kenyataan eksistensinya (sejarahnya) dapat saja 
dipertentangkan terutama untuk melayani kepentingan-kepentingan kelompok sosial 
(Karim, 2004). Contohnya misalnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Adnan Buyung 
Nasution sebagaimana dikutip oleh Adian Husaini terjadinya polemik dan komprontasi 
ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia adalah akibat 
dikembangkannnya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan hidup 
(worldview) yang kompleks dan khas, sehingga berbenturan dengan pandangan dunia 
lain, seperti Islam. Bahkan lebih jauh rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai 
landasan amal dan moral dimana wilayah ini sebenarnya menjadi wilayah agama. 
Pancasila berusaha ditafsirkan oleh penguasa melampaui kewenangannya bahkan 
masuk ke kewenangan agama. Justru Pancasila sebagai landasan negara jika dilihat 
dalam konteks sejarahnya tidak bertentangan dengan ajaran agama khususnya agama 
Islam, bahkan nilai-nilai universalnya terinspirasi oleh nilai-nilai universal Islam 
sebagaimana tercantum dalam sila-sila Pancasila. 
 Pancasila sebagai ideologi sebenarnya merupakan objektivikasi dari Islam. 
Objektivikasi adalah penterjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori 
objektif. Atau dengan kata lain, objektivikasi adalah merupakan konkritisasi dari 
keyakinan internal. Hal ini berarti unsur-unsur objektif agama ada dalam pancasila.   
2. Sistem Ekonomi Pancasila 
Istilah ‘ekonomi pancasila’, menurut Dawam Rahardjo, dipopulerkan oleh Emil Salim 
dalam salah satu artikelnya pada tahun 1976. Menurut beliau ekonomi pancasila 
merupakan suatu konsep kebijakan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti 
bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik keseimbangan. Ke kanan artinya 
bebas mengikuti aturan pasar, sedangkan ke kiri artinya mengalami intervensi negara 
dalam bentuk perencanaan memusat. Ekonomi pancasila juga dapat diartikan sebagai 
sistem ekonomi pasar dengan pengendalian pemerintah atau “ekonomi pasar 
terkendali”. Mungkin istilah lain yang lebih mendekati dan populer dengan pengertian 
‘ekonomi pancasila’ adalah ‘sistem ekonomi campuran’ (mixed economy), maksudnya 
campuran antara sistem akpitalisme dan sosialisme atau ‘sistem ekonomi jalan tengah’. 
 Pancasila menurut Soekarno adalah merupakan hasil kombinasi ideologi 
‘nasionalisme’, ‘islamisme’, dan ‘komunisme’. Sedangkan Bung Hatta menyebutnya 
sebagai kombinasi dari ‘Islam’, ‘sosialisme’, dan ‘budaya Indonesia’. Dengan demikian, 
jika ekonomi pancasila dirumuskan sebagai ‘ekonomi yang mendasarkan dari nilai-nilai 
pancasila’, maka ekonomi pancasila sebenarnya adalah sebuah sistem ekonomi 
campuran. Ekonomi pancasila juga biasa disebut sebagai ‘ekonomi kerakyatan’, 
sebagaimana dijelaskan oleh Mubyarto (1987) bahwa praktek ekonomi pancasila atau 
ekonomi pancasila in action, dengan mudah dapat dijumpai dan dikenali di mana-mana 
di seluruh Indonesia. praktek ekonomi ini seringpula disebut ‘ekonomi rakyat’ yang 
bersifat moralistik, demokratik dan mandiri. Dengan gambaran dan pembahasan itu 
sering ekonomi pancasila diidentikkan dengan ekonomi rakyat. Perekonomian rakyat 
pada dasarnya adalah perekonomian pasar yang didasarkan pada sistem kepemilikan 
individu dan kolektif. 



27 
 

 Ekonomi pancasila disebut juga sebagai ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, 
kegotong-royongan dan kerjasama. Ini adalah nilai-nilai tradisional yang bersumber dari 
budaya Indonesia, yang bisa saja sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang dianut 
oleh masyarakat Indonesia. Asas kekeluargaan ini, yang berdasarkan pada solidaritas 
mekanis, menurut Dawam Rahardjo, telah ditransformasikan menjadi solidaritas 
fungsional, dengan nilai-nilai individualitas dalam lembaga koperasi. Jika ekonomi 
pancasila didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa cabang-cabang 
penting kebutuhan rakyat dikuasai oleh negara, sehingga melahirkan BUMN. Jika ini 
menjadi ciri ekonomi pancasila, maka ekonomi pancasila mengikuti model negara 
kesejahteraaan (welfare state) yang umumnya berkembang di negara-negara Eropa. 

Mubyarto (1987) mendefinisikan ekonomi pancasila sebagai sistem ekonomi, 
atau sistem perekonomian yang dijiwai oleh ideologi pancasila, yaitu ekonomi yang 
dijiwai oleh usaha berdasarkan pada asas kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. 
Mengenai ekonomi pancasila, Mubyarto mengemukakan lima karakter utamanya. 
Kelima ciri tersebut masih harus dikembangkan, ditumbuhkan dan diperjuangkan dalam 
sistem perekonomian Indonesia. Kelima ciri ekonomi pancasila tersebut diserap dari 
UUD 1945 dan dari keseluruhan jiwa pancasila itu sendiri. Kelimanya adalah sebagai 
berikut: Pertama, dalam sistem ekonomi pancasila, koperasi merupakan soko guru 
perekonomian. Kedua, perekonomian digerakkan oleh ransangan-ransangan ekonomi, 
sosial dan moral. Ketiga, egalitarianisme yaitu bahwa kemerataan sosial mengandaikan 
terpenuhinya semangat kekeluargaan, saling menyayanging sesama manusia dan 
solidaritas persaudaraan. Keempat, bagian ini berhubungan dengan sila ketiga 
“Persatuan Indonesia”. Kelima, pengandalan pada sistem desentralisasi dalam 
pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi, diimbangi dengan perencanaan yang kuat 
sebagai pemberi arah bagi perkembangan ekonomi. 
 Sebagian menilai bahwa ekonomi pancasila sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai 
agama, meskipun menggunakan bahasa yang universal tanpa simbol-simbol agama di 
dalamnya. Ekonomi pancasila adalah ekonomi yang didasarkan pada monoteisme dan 
humanisme. Prinsip dalam sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kelima; 
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan hasil pemikiran manusia 
Indonesia yang berakar dari prinsip-prinsip nilai agama (tauhid), demikian pula dengan 
humanisme, berakar pada nilai-nilai agama. 
 Namun demikian, kajian terhadap ekonomi pancasila terutama dari segi ontologi, 
epistimologi dan aksiologi masih jarang dilakukan. Dari segi ontologinya misalnya, apa 
itu ekonomi pancasila secara teoritis-konseptual maupun empirisnya? Selanjutnya 
adalah masalah epistimologis yang menyangkut pemahamam dan praktek 
pengembangan ekonomi pancasila. Sementara dari segi epistimologi juga masih belum 
bayak dikaji. Masalah ini membutuhkan kajian teori dan empiris guna mengetahui 
tujuan dan hasil akhir proses ekonomi pancasila. 
KONSTITUSI EKONOMI INDONESIA BERDASARKAN UUD 1945 

Dalam pembukaan UUD 1945 secara jelas dikemukakan kembali istilah 
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini menandakan bahwa konstitusi negara Republik 
Indonesia didasarkan pada agama (tauhid). Artinya, penafsiran dari lima sila dari 
pancasila tidak bisa dipisahkan dari cara pandang agama (worldview). Hal ini secara 
jelas termaktub dalam pasar 29 ayat 2: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha 
Esa”. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya kalimat tersebut merujuk pada ajaran tauhid 
dalam agama Islam. 
 Ketentuan-ketentuan dasar konsttusional mengenani kehidupan ekonomi 
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 antara lain tercermin dalam pasal-pasal berikut: 



28 
 

23, 33 dan 34 UUD 1945. Secara rinci, pasal 33 UUD 1945 menetapkan tiga hal, yaitu: 
Pertama, ‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas 
kekeluargaan’. Menurut Gunadi (1981), pernyataan ini adalah pernyataan asasi dan 
monumental bagi sistem perekonomian Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945. 
Dari pernyataan ini menunjukkan bahwa perekonomian dilakukan secara bersama yang 
menggambarkan adalanya kehidupan sosial yang harmonis. Penyebutan asas 
kekeluargaan menunjukkan bahwa hasil produksi yang diperoleh dari pengembangan 
perekonomian itu dipergunakan untuk kesejahteraanb bersama/sosial. Azas 
kekeluargaan menurut Asshiddiqie (2010) menunjukkan bahwa perekonomian 
Indonesia tidak didasari pada persaingan yang sengit tetapi lebih mengutamakan 
kerjasama. Istilah ‘disusun’ menurut Sri Edi Swasono menunjukkan bahwa 
perekonomian harus ‘disusun’ tidak dibiarkan ‘tersusun’ sendiri melalui mekanisme 
pasar ala competitive economics. Pada pasal ini mengindikasikan perlunya keterlibatan 
negara dalam perekonomian. Sementara itu, Gunadi (1981) menganggap bahwa Pasal 
33 ayat 1 ini adalah merupakan cita-cita perekonomian yang dipandang sebagai jalan 
terbaik untuk membela ekonomi yang lemah. 

Kedua, ‘Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat 
hidup orang banyak dikuasai oleh negara’. Ketentuan dalam pasal ini mengarah kepada 
sistem sosial dalam arti hasil produksi yang penting jangan sampai dikuasai oleh orang 
per orang, akan tetapi oleh negara dalam arti agar pendistribusiannya dapat 
dilaksanakan secara merata. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri yang menjadi 
pemilik dan sekaligus pelaku usaha dengan bentuk organisasi pengelolaannya di 
lapangan.  

Ketiga, Bumi dan Air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai 
oleh negara dan dipergunkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini 
menunjukkan bahwa semua kekayaan yang terkandung di dalam bumi, air, dan alam 
tidak dikuasai oleh perseorangan atau suatu kelompok, melainkan dikuasai oleh negara 
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Ayat ini 
memperjelas bahwa sistem ekonomi Indonesia menganut sistem kepemilikan individu, 
umum dan negara. 

Sedangkan pasal 27 ayat 2 menerapkan bahwa setiap warga negara (WNI) 
berhak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak; dan pasal 34 menetapkan bahwa 
kaum masyarakat miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara. Pasal ini 
melindungi warga negara yang karena keterbatasannya tidak mampu mencari sumber 
penghidupan atau mereka yang mampu memperoleh pekerjaan tetapi hasilnya tidak 
mencukupi. Begitupula dengan anak-anak terlantar, fakir miskin, patut mendapatkan 
perlindungan dan santunan dari pemerintah agar mereka dapat menikmati hasil 
pembangunan ekonomi Indonesia. Ini menunjukkan bahwa negara punya peranan besar 
dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.  

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Indonesia tercermin 
dalam Pancasila dan UUD 1945. Bahkan banyak kalangan seperti misalnya Mubyarto, 
Muhammad Hatta, Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, dll mengatakan bahwa sistem 
ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila. Menurut Dawam Rahardjo (1997) 
ekonomi Pancasila dapat disebut sebagai sistem ekonomi Pancasila. Akan tetapi ia 
membedakan antara sistem ekonomi pancasila dengan sistem ekonomi Indonenesia. 
Ekonomi pancasila yang dia maksud adalah suatu konsep yang sifatnya teoritis. 
Sementara sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi nasional berdasarkan 
pancasila dan UUD 1945. Artinya sistem ini adalah konsep operasional sistem ekonomi 
yang berlaku di Indonesia. Keduanya tidak identik atau sama, bahkan sistem ekonomi 



29 
 

Indonesia yang berlaku bisa saja berbeda bahkan bertentangan dengan sistem ekonomi 
pancasila. Bahkan lebih jauh Dawam Rahardjo setelah melihat persamaan dan kesamaan 
prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam sistem ekonomi Pancasila mengambil 
kesimpulan bahwa sistem ekonomi pancasila adalah sistem ekonomi Islam dalam 
konteks Indonesia. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Abdul Karim 
sebelumnya bahwa pancasila pada hakekatnya adalah hasil objektifikasi dari ajaran-
ajaran yang dianut oleh masyarakat Indonesia. 

Sementara itu, Sri-Edi Swasono (2012) mengatakan bahwa ekonomi pancasila 
bisa dikatakan seiring dan selaras dengan  apa yang sering diungkapkan oleh sebagai 
ekonomi syariah/Islam, keduanya compatible meskipun tidak sepenuhnya substitutable, 
dengan kata lain ekonomi pancasila sudah sangat Islami. 

Namun dalam perakteknya, sistem ekonomi Indonesia dalam praktek 
penerapannya dalam beberapa dekade belakangan ini sejak era orde baru cenderung 
kapitalis dan cenderung bersifat sosialis di era Soekarno. Ini jelas bertentangan dengan 
konstitusi negara yang tidak menganut sistem kapitalis dan sosialisme. Ini 
mengindikasikan bahwa sistem ekonomi Indonesia selalu berjalan sesuai dengan selera 
dan kepentingan politik para penguasa yang sedang berkuasa. Padahal jika dilihat 
secara historis dan isi dari konstitusi Republik Indonesia dimana sistem ekonominya 
dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945 justru sangat sejalan dengan ajaran-ajaran Islam 
khususnya dalam bidang ekonomi Islamnya.  

Akan tetapi perjalanan bangsa Indonesia dalam membangun ekonomi 
berdasarkan pada landasan konstitusinya (pancasila dan UUD 1945) cenderung terbawa 
arus pada pola pembangunan ala sistem sosialisme dan sistem kapitalisme justru 
menjadi warisan kekayaan atau aset bangsa Indonesia dalam menemukan format 
pembangunan ekonomi yang sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Warisan 
pola pembangunan ini tentunya juga akan memperkaya konsep ekonomi Islam yang 
sangat normatif untuk melakukan eksperimentasi dalam mencari bentuknya. 

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Dawam Rahadjo (1997) bahwa 
penafsiaran dan pengembangan ekonomi Islam ternyata lebih kaya dan yang lebih 
penting menjadi relevan jika didasarkan pada pengalaman-pengalaman konkrit 
pembangunan, baik di negara-negara Muslim maupun di Indonesia. Dalam mencari 
hukum-hukum ekonomi sejalan dengan asas tauhid, pengalaman-pengalaman praktik 
nerupakan bahan bagi validasi hukum-hukum ekonomi Islam. Dengan pendekatan ini, 
maka perlu mememulai kerja praktik pembangunan, berdasarkan teori dan konsep-
konsep yang garis besar saja. Dewasa ini pengalaman praktik pembangunan di 
Indonesia telah dipakai sebagai bahan untuk mengembangkan ekonomi Islam lebih 
lanjut dan relevan. 
UUD 1945 DAN EKONOMI ISLAM 

Pembukaan UUD 1945 memuat empat tujuan negara Indonesia yaitu, “…. Untuk 
membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa 
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan 
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abad dan keadilan sosial,…”. Untuk mencapai 
keempat tujuan tersebut, terutama untuk memajukan kesejahteraan umum dan 
mencerdaskan kehidupan bangsa, diadakan pengaturan-pengaturan mengenai anggaran 
pendapatan dan belanja negara ( Bab VIII dan Bab VIIIA); mengenai hak-hak asasi 
manusia dan warga negara di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat (Bab XA); 
didukung oleh bab tentang pendidikan bagi warga negara Indonesia sebagai subjek 



30 
 

pembangunan kesejahteraan tersebut; dan (Bab XIII); dan khusus mengenai kebijakan 
perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial diatur dalam Bab XIV. 
 Hasil amandemen UUD 1945 pasca reformasi, Pasal-pasal perekonomian 
dirumuskan dalam bab tersendiri, yaitu Bab XIV yang semula berjudul “Kesejahteraan 
Sosial” diamandemen menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. 
Adapun kandungan pasalnya terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 33 yang terdiri atas 5 
ayat dan Pasal 34 yang terdiri atas 4 ayat. 
1. Pasal 33 UUD 1945 

Pasal 33 UUD 1945 terdiri dari  5 ayat, tiga ayat pertama adalah merupakan warisan 
dari the founding leaders. Sementara dua sisanya merupakan hasil amandemen pada 
tahun 2002. Adapun ayat yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah sebagai 
berikut: 

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas 
kekeluargaan; 

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat 
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh 
Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemamkmuran rakyat; 

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi 
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, 
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan  
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; 

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang. 

Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Perekonomian disusun sebagai usaha 
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Sri-Edi Swasono menginterpretasikan 
kata ‘disusun’ sebagai bentuk imperatif yang berarti harus disusun dan tidak boleh 
dibiarkan tersusun dengan sendirinya. Artinya, perekonomian harus disusun dan tidak 
boleh dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar bebas. Karena jika 
perekonomian dibiarkan tersusun sendiri seperti dalam aliran competitive economics, 
maka akan berdampak pada persaingan yang tidak adil. Pemodal yang besar punya 
peluang untuk menguasai dan mengeksploitasi para pemodal kecil (Lihat QS Al-Hasy: 7). 
Semangat pengaturan ini menempatkan pemerintah/negara sebagai salah satu elemen 
penting dalam perekonomian. Dalam perspektif ekonomi Islam, negara melalui dengan 
lembaga hisbah-nya punya otoritas untuk melindungi kepentingan orang-orang yang 
lemah supaya terjadi keseimbangan dalam perekonomian. 

Penafsiran yang agak berbeda terhadap kata “disusun” dikemukakan oleh 
Asshiddiqie (2010). Menurutnya, kata ‘disusun’ berarti susunan kebijakan yang 
sistematis dan menyeluruh, mulai dari susunan tingkat nasional sampai ke susunan di 
daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Susunan 
perekonomian merupakan suatu bentuk “Usaha bersama” atas dasar ‘asas 
kekeluargaan”. Usaha bersama atas dasar kekeluargaan dapat dilihat dari tiga aspek, 
yaitu pengertian mikro, pengertian makro dan usaha bersama sebagai prinsip atau 
sebagai jiwa. 
 Pengertian mikro dari usaha bersama dapat dikaitkan pada bentuk usahanya 
yaitu koperasi sebagai bentuk usaha bersama. Pengertian ini tidak bisa sepenuhnya 
digunakan karena susunan perekonomian Indonesia tidak sepenuhnya berbentuk 
koperasi. Sementara pengertian makro diartikan sebagai usaha bersama seluruh rakyat 
Indonesia di bidang perekonomian. Pengertian kebersamaan tidak hanya berkaitan 



31 
 

dengan konsep bentuk usaha, tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan konsep pelaku 
ekonomi yang tidak hanya dijalankan oleh bangun perusahaan. Pengertian pelaku 
ekonomi tidak hanya terbatas pada BUMN, perusahaan swasta dan koperasi, tetapi 
mencakup juga semua subjek ekonomi seperti produsen, distributor, maupun konsumen 
baik dilakukan secara perorangan, kelompok, organisasi ataupun badan hukum. 
Sementara pengertian yang ketiga aadalah berjiwa koperasi, artinya yang terpenting 
adalah bahwa di semua bentuk-bentuk usaha koperasi, perseroan, dan/atau badan 
usaha milik negara selalu harus berjiwa koperasi yang di dalamnya terdapat usaha 
bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Misalnya, meskipun bentuk usahanya  adalah 
perusahaan swasta, akan tetapi karyawan diberikan peluang untuk memiliki perusahaan 
dalam bentuk kepemilikan saham, maka hal tersebut bisa dianggap memiliki jiwa 
koperasi. 
 Selanjutnya, kata ‘usaha bersama’ dapat diartikan sebagai usaha berjamaah, yang 
dalam bahasa ekonominya disebut mutualism, melalui perserikatan ini, yang berarti 
menolak individualisme atau asas perorangan. Demikian pula dengan kata ‘asas 
kekeluargaan’ yang dalam bahasa ekonominya disebut brotherhood, yang dalam bahasa 
agamanya disebut ukhuwah, baik persaudaraan secara agama, kemanusiaan, maupun 
bangsa. Kehidupan bermasyarakat dimana sektor ekonomi termasuk di dalamnya 
adalah merupakan prinsip-prinsip dasar yang sangat dianjurkan dalam Islam.  
 Istilah ‘usaha bersama’ dan ‘asas kekeluargaan’ sering dikaitkan dengan kata 
kerjasama dan persaudaraan. Salah satu prinsip dasar ekonomi Islam setelah tauhid 
menurut Abu Sulayman (1968) adalah persaudaraan (brotherhood). Prinsip 
persaudaraan yang terkandung dalam ajaran Islam dapat membentuk karakter 
masyarakat Muslim untuk saling memandang dengan posisi yang sama dan saling 
kerjasama (Lihat QS Al-Hujurat: 10). 
 Ekonomi Islam secara instrumental demi memperkuat persaudaraan di tengah 
masyarakat Muslim menganjurkan adanya zakat, infak dan sedekah untuk memperkuat 
ikatan persaudaraan mereka sekaligus untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di 
antara mereka. Dalam konteks aktivitas ekonomi, ekonomi Islam memperkenalkan 
konsep kerjasama usaha yang biasa disebut mudharabah  dan musyarakah. Bentuk 
kerjsama aktivitas ekonomi ini adalah merupakan nilai instrumental sistem ekonomi 
Islam untuk membangun perekonomian yang seimbang tanpa adanya eksploitasi. 
 Pengertian ‘usaha bersama’ kadang direduksi maknanya dalam bentuk mikro dan 
sempit, yaitu dikaitkan dengan koperasi sebagai bentuk usaha bersama. Hal ini tentunya 
tidak salah, tetapi pengertian ini menafikan bahwa bentuk usaha dalam perekonomian 
Indonesia bukan hanya koperasi saja. Penafsiran mikro ini merujuk pada Bung Hatta 
sebagai salah satu pencetus dari Pasal 33 ini yang kemudian bentuk konkritnya 
diterjemhakan sebagai koperasi.  
 Secara historis gagasan tentang koperasi sebagai soko guru perekonomian 
digagas oleh Bung Hatta. Koperasi adalah wujud konkrit dari “usaha bersama 
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Koperasi menurut Bung Hatta dianggap sebagai 
soko guru perekonomian karena: (i) Koperasi mendidik self-helping; (ii) Koperasi 
mempunyai sifat kemasyarakatan di mana kepentingan masyarakat harus lebih 
diutamakan daripada kepentingan diri dan golongan sendiri; (iii) Koperasi digali dari 
budaya asli bangsa Indonesia; (iv) Koperasi menentang segala bentuk individualisme 
dan kapitalisme. 
 Hal ini menunjukkan bahwa secara ideologi, Bung Hatta ingin membangun 
sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang religious dan 
memiliki nilai-nilai yang luhur yang menjunjung tinggi prinsip dan cita-cita tolong 



32 
 

menolong, persaudaraan dan kerjasama, bukan mementingkan diri sendiri sekuler dan 
ateistis (Lihat QS. Al Maidah: 2 dan at-Taubah: 71).  
 Ayat-ayat al-Quran dan al-Hadist di atas menerangkan secara tegas pentingnya 
sikap saling tolong menolong di antara sesama manusia. Ia menjadi elemen penting 
dalam membangun hubungan sosial yang harmonis, integrasi antar semua elemen 
masyarakat dan memperkuat solidaritas sosial. Bahkan Hadist di atas menganggap 
seorang mukmin sebagai sebuah bangunan yang saling menyangga, dan tentunya sifat 
dan akhlak saling tolong menolong adalah elemen perekatnya. Sehingga bisa dikatakan 
bahwa asas kekeluargaan dalam redaksi UUD 1945 memiliki semangat dan cita-cita 
yang sama dengan ajaran-ajaran Islam atau maqashid syariah. 
 Islam secara terang-terang melarang umatnya untuk tidak berbuat dzalim demi 
untuk meraup keuntungan sendiri, yang mana berlawanan dari asas kekeluargaan 
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 (Lihat QS An-Nisaa: 29). 

Untuk memperkuat nilai kekeluargaan dan kerjasama di tengah-tengah 
masyarakat, Islam memperkenalkan beberapa instrumen yang harus dilakukan, yaitu 
zakat, infak dan sedekah. Instrumen religius ini bertujuan untuk memperkuat bangunan 
solidaritas sosial sehingga terwujud masyarakat yang berdiri di atas asas kekeluargaan 
dan kebersamaan serta tolong-menolong (QS Al-Baqarah: 267). 

Dalam pandangan ekonomi Islam  memang tidak secara spesifik  mengatur 
bentuk usaha dalam perekonomian. Usaha bisa dilakukan secara perorangan, kelompok, 
organisasi maupun badan hukum. Yang diatur secara detail dalam ekonomi Islam adalah 
nilai-nilai dan prinsip-prinisp umum yang harus diterapkan oleh para pelaku ekonomi 
dalam menjalankan aktivitas usahanya.  

Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Cabang-cabang produksi yang penting 
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. 
“Dikuasai oleh negara” dimaknai sebagai penguasaan dalam arti yang luas. Penguasaan 
di sini bisa berarti kepemilikan dalam arti publik dan termasuk kekuasaan dalam 
mengendalikan dan mengelola bidang-bidang usaha secara langsung oleh pemerintah. 
Kata “penguasaan” itu tidak bisa diartikan sebagai kepemilikan seratus persen. Artinya, 
meskipun sebagian sahamnya tidak dimiliki oleh pemerintah, tetapi perusahaan itu 
tetap dikuasai oleh pemerintah. Sementara yang dikuasai oleh negara adalah “cabang 
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak”.  

Pasal 33 (2) UUD 1945 ini menunjukkan pentingnya intervensi pemerintah 
dalam pengelolaan sumber daya ekonomi yang strategis dan penting untuk dikuasai 
oleh negara untuk digunakan atas nama rakyat dan digunakan sepenuhnya untuk 
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Jika diberikan kebebasan kepada sektor 
swasta, maka dikhawatirkan digunakan untuk meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat secara umum. Berdasarkan 
pada maksud ini, Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Al-Arif (2011) secara moral 
mengimbau untuk tidak mencari keuntungan pada penjualan barang-barang pokok 
dengan mengatakan: 
“Karena makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal 
mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui 
pengenaan harga yang lebih tinggi dan keuntungan yang lebih besar. keuntungan 
semacam ini seyogyanya dicari dari barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan 
pokok.” 

Kandungan makna Pasal 33 (2) sebenarnya menjelaskan tentang sistem 
kepemilikan dalam perekonomian. Berdasarkan pada pasal tersebut, konstitusi ekonomi 
Indonesia mengakui adanya kepemilikan individu atas faktor-faktor produksi atau 



33 
 

sumber daya ekonomi, kecuali sumber daya ekonomi yang menguasai hajat hidup orang 
banyak, dikuasai oleh negara. Ini menunjukkan bahwa UUD 1945 mengakui adanya jenis 
kepemilikan individu dan kepemilika negara atas sumber daya ekonomi. Jika dilihat dari 
perspektif ekonomi Islam, kepemilikan (al-milkiyah) sumber daya ekonomi dibagi 
menjadi tiga (An-Nabhani, 1996), yakni:  kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan  
kepemilikan negara.  

Ekonomi Islam, sebagaimana juga konstitusi ekonomi Indonesia, tidak mengakui 
kepemilikan sepenuhnya hanya pihak individu atau swasta seperti yang berlaku pada 
sistem kapitalisme, atau kepemilikan sepenuhnya hanya dimiliki oleh negara atas nama 
rakyat sebagaimana berlaku pada sistem sosialisme. Kepemilikan oleh individu 
terhadap sumber-sumber ekonomi menjadi insentif bagi setiap orang untuk bekerja dan 
mengembangkan kekayaan/harta. Sementara kepemilikan umum dan kepemilikan 
negara dilandasai pada tujuan syariah. 
 Fungsi negara dalam perspektif ekonomi Islam sangat penting dalam 
menciptakan perimbangan dan pemerataan kekayaan dan pendapatan. Negara memiliki 
tanggung jawab untuk mencegah terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan dalam 
penguasaan dan pendistribusian sumber daya ekonomi. Maksud ini sejalan dengan 
hadist Nabi SAW: “Imam adalah (laksana) pengembala (pelayan). Dan dia akan dimintai 
pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari). 
 Agar negara dapat melaksanakan kewajibannya, maka negara diberikan 
kekuasaan untuk mengelola harta kepemilikan umum dan kepemilikan negara dan tidak 
mengijinkan bagi individu atau swasta untuk mengambil dan memanfaatkannya demi 
meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kepemilikan umum menurut pandangan sistem 
ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga, yakni (Triyono, 2011): barang kebutuhan  
umum, barang tambang yang besar, dan  sumber daya alam, yang sifat pembentukannya 
menghalangi untuk dimiliki individu. Sementara, kepemilikan negara adalah harta yang 
tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik pribadi, namun barang-barang 
tersebut terkait dengan hak kaum Muslimin secara umum. Pengelolaannya menjadi hak 
sepenuhnya dari pemerintah atas dasar kepentingan masyarakat secara umum. Harta 
jenis ini dalam konteks ekonomi Islam adalah seperti jizyah, ghanimah, fa’i, kharaj, 
‘usyur, dan khumuz. Untuk konteks kontemporer yang menjadi harta milik negara adalah 
pajak, dividen dari badan usaha milik negara (BUMN), hibah, dan lain-lain.  
 Olehnya, semangat yang terkandung pada Pasal 33 (2) UUD 1945 yang mengatur 
tentang kepemilikan sumber daya ekonomi, terutama sumber daya ekonomi yang 
strategis dan menguasai hidup hajat orang banyak dikuasai oleh negara, sangat sejalan 
dengan tujuan dari ajaran Islam (maqashid syariah) yang mengharapkan terciptanya 
pemerataan kekayaan dan pendapatan di tengah-tengah masyarakat. Negara diharapkan 
dapat berperan secara startegis dalam menciptakan distribusi kekayaan ekonomi secara 
adil dan merata kepada rakyatnya melalui pengelolaan dan penguasaan sumber daya 
ekonomi strategis untuk kepentingan masyarakat umum. 
 Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menentukan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang 
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar 
kemakmuran rakyat”. Maksud dari ayat ini adalah penguasaan oleh negara atas segenap 
sumber daya yang terdapat di dalam bumi, air, wilaya udara Indonesia serta segenap 
kekayaan yang terkandung di dalamnya, haruslah dipergunakan hanya sebesar-
besarnya kemakmuran seluruh rakyat, bukan hanya kemakmuran untuk orang per-
orang. Tujuan akhir dari kegiatan ekonomi yang pokok justru adalah terwujudnya ide 
masyarakat adil dan makmur berdasarkan amanat dari UUD 1945. Dengan demikian, 
yang harus mendapat manfaat dari usaha pemanfaatan kekayaan alam yang tersedia itu 



34 
 

adalah seluruh rakyat. Kepemilikan perseorangan, dalam perspektif ekonomi Islam, 
tidak diperbolehkan pada sumber-sumber daya ekonomi yang menyangkut kepentingan 
umum atau berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Sumber-sumber ekonomi 
tersebut menjadi miliki bersama, atau milik umum, atau negara. Menurut mayoritas 
ulama, sumber daya alam yang strategis tidak bisa dijadikan sebagai milik pribadi, harus 
dijadikan sebagai milik bersama yang penggunaan dan pemanfaatannya untuk 
kepentingan seluruh masyarakat. Secara detail, Rasulullah mengemukakan contoh 
bentuk jenis sumber daya ekonomi yang harus dijadikan milik bersama, “Semua orang 
Islam berserikat dalam tiga hal; dalam hal air, rumput dan api, dan garam” (HR Ahmad 
dan Abu Dawud)  
 Sementara itu, Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 berbunyi “Perekonomian nasional 
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, 
efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta 
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Konsep 
demokrasi ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 (4) tersebut menempatkan 
pengutamaan kepentingan rakyat, khususnya hajat hidup orang banyak, yang 
bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Format demokrasi yang ingin 
dikembangkan di Indonesia bukan demokrasi liberalisme dan individualieme seperti 
yang berkembang di negara-negara Barat, tetapi demokrasi yang didasari pada 
kebersamaan yang berdasarkan pada sikap saling tolong-monolong (ta’awun), 
persaudaraan (ukhuwah), dan kerjasama, bukan mengutamakan persaingan (free 
competition). 
 Prinsip kebersamaan dan kekeluargaan menjadi hal utama dalam pengelolaan 
ekonomi negara. Kepentingan masyarakatlah yang diutamakan, bukan kepentingan 
orang-per orang, namun hal-hal dan harkat martabat individu orang per orang tetap 
dilindungi dan dihargai. Pandangan seperti ini sangat jelas sesuai dengan nilai-nilai dan 
ajaran Islam yang menghormati manusia dan menekankan masalah persaudaraan. 
 Perekonomian nasional selanjutnya dibangun di atas prinsip efisiensi-
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian dan keseimbangan. 
Efisiensi-berkeadilan sebagaiman dimaknai oleh Jimly Asshiddiqie (2010) adalah bahwa 
untuk memajukan dan menciptakan etos kerja dikalangan para pelaku ekonomi perlu 
diciptakan iklim persaingan yang sehat di antara mereka untuk mewujudkan efisiensi 
ekonomi, akan tetapi efisiensi ini dalam bingkai untuk mencapai keadilan. Persaingan 
sekaligus melindungi kepentingan orang-orang lemah (prinsip keadilan) sangat selaras 
dengan nilai dan ajaran Islam. Islam mendorong terjadinya persaingan yang berbasiskan 
pada saling tolong menolong dan juga mendorong terjadinya keadilan. 
 Sementara itu, ayat terakhir dari Pasal 33 UUD 1945 itu adalah Ayat (5) yang 
berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang”. Semua ketentuan yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 itu berisi 
kebijakan-kebijakan konstitusional mengenai perekonomian nasional, yang rinciannya 
serta operasionalisasinya masih perlu dijabarkan secara konkrit dan dapat dijadikan 
pedoman yang secara hukum mengikat secara umum. Artinya, DPR bersama pemerintah 
masih harus menjabarkan kebijakan konstitusional di bidang perekonomian nasional 
dalam bentuk undang-undang sebagai produk legislasi. Namun demikian, jika terdapat 
produk-produk legislasi atau kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan 
konstitusi ekonomi maka bisa diajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi untuk 
dibatalkan dangan dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku lagi. 
 
 



35 
 

2. Pasal 34 UUD 1945 
Pasal 34 UUD 1945 mengandung 4 ayat. Pasal 34 memperkuat peran negara dalam 

perekonomian, khususnya dalam hal perlindungan terhadap fakir miskin dan anak-anak 
terlantar melalui, penyediaan sistem jariangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Pasal ini juga mewajibkan negara untuk atas penyediaan fasilitas-fasilitas umum yang 
berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum, seperti kesehatan, pendidikan, 
infrastruktur, dan sebagainya. 
 Adapun kandungan ayat dari Pasal 34 UUD 1945 adalah sebagai berikut: 

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; 
(2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan 

memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan 
martabat kemanusiaan; 

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan 
fasilitas pelayanan umum yang layak; dan 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang. 

Pasal 34 Ayat (1) menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar 
dipelihara oleh negara”. Artinya, konstitusi negara memerintahkan negara untuk 
menjamin kelangsungan hidup terhadap (setidaknya) tiga golongan, yaitu kaum fakir 
dan miskin dan anak-anak yang terlantar. Negara memiliki kewajiban mengikat untuk 
melindungi hak-hak, khususnya hak hidup dari orang-orang miskin, fakir dan anak-anak 
yang terlantar.  
 Dalam prakteknya, menurut Asshiddiqie (2010), tidak mungkin semua orang 
yang fakir, miskin dan anak terlantar dipelihara langsung oleh institusi atau badan-
badan atau petugas-petugas pemerintahan. Partama, sudah sejak lama, bahkan sebelum 
kemerdekaan Republik Indonesia, sudah hadir lembaga-lembaga sosial yang melakukan 
pemeliharaan terhadap anak yatim dan terlantar serta orang fakir dan miskin. Misalnya, 
institusi-institusi keagamaan, seperti lembaga zakat, infak dan shadaqah sudah 
berkemban sejak masa awak perkembangan agama Islam di Indonesia. Kegiatan-
kegiatan lembaga swasta tersebut tidak perlu “dinegarakan” semuanya. Kedua, jumlah 
orang fakir, miskin dan anak terlantar banyak sekali, tidak mampu sepenuhnya 
ditangani oleh pemerintah. Artinya, negara bisa mengembangkan berbagai macam cara 
baik terlibat secara lagsung ataupun tidak, asalkan kekuasaan negara tidak hilang dan 
beban tanggungjawab negara tidak dilupakan. Selain itu, pemeliharaan terhadap tiga 
golongan tersebut dapat pula dilakukan dengan sistem asuransi dan jaminan sosial. 
 Berdasarkan pada isi Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 serta penjelasannya di atas, 
semangat yang terkandung dalam konstitusi ekonomi tersebut sangat sesuai dengan 
ajaran Islam terutama pada keberpihakannya terhadap perlindungan kaum lemah,  fakir 
dan miskin. Dalam ajaran Islam, negara memiliki kewajiban untuk melindungi 
kepentingan orang-orang yang tidak mampu dari eksploitasi orang-orang kuat.  
 Salah satu penekanan dalam ekonomi Islam adalah keberpihakan terhadap 
golongan lemah, seperti kaum fakir dan miskin serta orang tidak mampu. Ajaran Islam 
menempatkan negara sebagai pihak yang harus melindungi hak-hak mereka, khususnya 
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Bahkan, Islam tidak hanya 
menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab, tetapi juga seluruh umat 
Muslim yang mampu diwajibkan untuk membantu mereka, melalui mekanisme zakat, 
infak dan sedekah. 
 Adanya perbedaan dalam kemampuan serta perbedaan dalam kesempatan dapat 
diduga sebagai sebab-musabab dari perbedaan dalam rezeki yang meungkin diterima 



36 
 

oleh seseorang. Perbedaan tingkatan kemampuan serta spesialisasi menunjukkan 
keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing orang dalam kehidupan 
pada umumnya, dan proses produksi khususnya. Di samping itu orang menghadapi 
kenyataan keterbatasan dalam kesempatan, baik karena waktu maupun karena 
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Konsekuenisnya adalah lahirnya golongan 
kaya dan miskin dalam masyarakat. 
 Islam memiliki prinsip-prinsip tersendiri di dalam memandang masalah kaya-
miskin serta cara yang harus ditemput untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu 
Saefudin, 1987): (i) Bahwa dalam hidup ini orang diharuskan untuk saling kenal-
mengenal dan bantu-membantu. (ii) Seorang mukmin dengan yang lain adalah 
bersaudara, dan selayaknya dapat merasakan penderitaan yang lain. Dalam sebuah 
hadist Rasululullah SAW berkata, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hubungan 
kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu badan; apabila salah satu anggota 
badan merasa sakit, maka seluruh badan ikut merasakannya dengan rasa panas dan 
tidak dapat tidur”. (iii) Umat Islam diwajibkan memperhatikan dan membantu orang 
miskin dan orang-orang yang dalam kesulitan. (iv) Islam selalu mendorong umat untuk 
selalu beramal dan bersedekah. (v) Bahwa setiap Muslim wajib membayar zakat, sesuai 
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.  

Secara umum Pasal 34 Ayat (1,2,3,4) UUD 1945, menjelaskan tentang peran 
negara dalam perekonomian khususnya dalam melindungi kehidupan orang-orang yang 
lemah, seperti orang yang fakir dan miskin dan anak-anak yang terlantar dalam 
memenuhi kehidupan dasar mereka. Untuk menjamin hal tersebut negara 
mengembangkan sistem jaringan sosial untuk memberdayakan masyarakat yang lemah. 
Pasal tersebut juga memberikan tanggung jawab kepada negara untuk menyediakan 
fasilitas umum yang layak bagi seluruh rakyatnya. 
 Salah satu elemen penting menurut ekonomi Islam adalah negara. Negara 
memiliki beberapa tanggung jawab terkait dalam memberikan jaminan sosial dan 
keseimbangan sosial. Menurut Abu A’la Al-Maududi (1990), negara diberi tanggung 
jawab untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan pokok hidup, sandang, pangan, papa, 
kesehatan, dan pendidikan, bagi semua warga negara tanpa pembedaan ras atau agama, 
kepada yang mungkin tidak mampu, baik untuk sementara maupun selamanya; untuk 
memperolehnya karena menganggur, sakit atau alasan-alasan lainnya. Sementara itu, 
penguasa sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekayaan umum menurut Umar 
bin Khattab layaknya sebagai seorang pengasuh anak yatim. Artinya, kekayaan umum 
seperti anak yatim yang tidak dapat digunakan langsung dengan sepengetahuan 
pemiliknya, sebab pemiliknya adalah rakyat yang pengaturannya diwakilkan kepada 
penguasa di negara Islam.  
 Bahkan lebih jauh Islam mengatur secara terperinci bagaimana cara menjamin 
kelangsungan hidup orang-orang miskin, yaitu melalui instrumen zakat, infak dan 
sedekah.  Islam membebankan kewajiban bagi setiap individu yang memiliki kekayaan 
yang sudah memenuhi nasab dan kepemilikannya sudah lebih dari satu tahun untuk 
mengeluarkan zakatnya yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan. 
Selain hal tersebut, Islam juga menganjurkan untuk banyak berinfak demi menegakkan 
saling tolong-monolong dan peduli antar sesama terutama bagi mereka yang 
kekuarangan secara ekonomi. 
 Peran negara yang termaktub pada Pasal 34 UUD 1945 terutama dalam 
menjamin kehidupan orang-orang lemah dan penyedian fasilitas umum sangat sejalan 
dengan peran negara dalam konsep ekonomi Islam. Menurut Muhammad Baqir Ash 



37 
 

Shadr (2008) tanggung jawab negara dalam ekonomi Islam terdiri dari penyediaan 
jaminan sosial dan keseimbangan sosial. 

1. Jaminan Sosial 
Islam telah menugaskan negara untuk menyediakan jaminan sosial guna 

memelihara standar hidup seluruh individu dalam masyarakat Islam. Lazimnya, negara 
menunaikan kewajibannya ini dalam dua bentuk.  Pertama, negara memberi individu 
kesempatan yang luas untuk melakukan kerja produktif, sehingga ia bisa memenuhi 
kebutuhan hidupnya dari kerja dan usahanya sendiri. Namun, jika negara tidak mampu 
menyediakan pekerjaan buat mereka, maka berlakulah bentuk yang kedua di mana 
negara mengaplikasikan prinsip jaminan sosial dengan cara menyediakan uang dalam 
jumlah yang cukup untuk membiayai kebutuhan individu tersebut dan untuk 
memperbaiki standar hidupnya. 
 Prinsip jaminan sosial didasarkan pada dua basis doktrin ekonomi Islam, yakni; 
kewajiban timbal balik masyarakat dan hak masyarakat atas sumber daya (kekayaan) 
publik yang dikuasai oleh negara. Islam telah mewajibkan (fardhu al kifayah) setiap 
muslim untuk saling tolong menolong. Negara punya hak memaksa terhadap setiap 
individu yang ada di bawah kekuasaanya untuk melaksanakan kewajiban agamanya. 
Islam mengaitkan jaminan sosial dengan prinsip umum persaudaraan Islam guna 
menunjukkan bahwa kewajiban tersebut bukanlah semacam pajak penghasilan khusus, 
melainkan sebuah ekspresi praktis dari persaudaraan di antara sesama Muslim. 
Sehingga kerangka moral Islamnya adalah hak seorang individu atas bantuan dan 
pemeliharaan individu lain beroleh pengertian islaminya dari rasa persaudaraan dan 
pertalian dalam keluarga besar manusia yang berkeadilan. 
 Basis lain dari aplikasi jaminan sosial adalah hak masyarakat atas sumber-
sumber kekayaan. Dasar teoritis dari gagasan ini adalah pengakuan Islam terhadap hak 
masyarakat atas seluruh sumber kekayaan (alam), karena seluruh sumber kekayaan 
alam telah diciptakan bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya untuk 
sekelompok orang. “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk 
kalian….”. 

Maksudnya, setiap individu berhak atas pemanfaatan kekayaan alam dan berhak 
atas hidup yang layak berkat manfaat tersebut. Jadi siapa saja yang mampu bekerja, 
negara harus memberinya kesempatan keraja. Sementara, bagi mereka yang tidak 
mampu bekerja, negara wajib memberinya manfaat kekayaan alam dengan 
menyediakan berbagai sarana bagain agar dapat mempertahankan standar hidup yang 
layak. Demikianlah tanggung jawab negara berkenaan hak masyarakat atas kekayaan 
alam. Penjelasan-penjelasan di atas sangat sejalan dengan Pasal 34 Ayat (1 dan 2) UUD 
1945.  
 Berdasarkan pada doktrin ekonomi Islam tersebut agar negara menjamin 
pemenuhan hak bagi seluruh rakyatnya termasuk mereka yang fakir, miskin dan anak 
terlantar adalah dengan menciptakan sektor publik Islam yang dibiayai dari sumber-
sumber keuangan publik dan properti negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 34 Ayat (3), 
terkait kewajiban negara dalam menyediakan fasilitas umum bagi seluruh rakyatnya. 

2. Keseimbangan Sosial 
Pada prinsipnya, Islam mengakui adanya perbedaan tingkat kekayaan di antara 

masyarakat sebagai konsekuensi dari perbedaan bakat dan kemampuan di antara 
mereka. Yang diinginkan oleh Islam menurut Baqir Ash Shadr adalah keseimbangan 
sosial, yaitu keseimbangan standar hidup di antara para individu dalam masyarakat. 
Islam menjadikan keseimbangan sosial, yakni keseimbangan standar hidup, sebagai 



38 
 

sasaran dan tujuan yang harus diperjuangkan oleh negara dengen sebaik-baiknya, dalam 
batasan-batasan kemapuan dan kapasitasnya. 

Secara eksplisit, tujuan yang ingin dicapai oleh Islam di sini adalah 
memakmurkan setiap individu anggota masyarakat. Pemerataan kemakmuran adalah 
tujuan yang dibebankan oleh teks-teks kepada imam selaku kepala negara.  
Kemakmuran menurut Baqir Ash Shadr adalah keadaan dimana seseorang mampu 
menghidupi diri dan keluarganya, di mana ia sejajar dengan masyarakat umum, yang 
berarti dalam menjalani kehidupannnya ke depan ia memiliki pijakan yang sama dengan 
masyarakat umum, menikmati standar hidup yang sama dengan mereka tanpa ada 
kesulitan dan kesukaran. Pandangan ini sesuai dengan konstitusi ekonomi kita yang 
tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 dan 34. 
 Dalam menciptakan keseimbangan sosial, Islam tidak hanya memberlakukan 
pajak dan zakat saja, tetapi juga mewajibkan negara untuk memanfaatkan sektor-sektor 
publik guna mencapai tujuan tersebut. Dalam konteks negara  Islam, pemerintah dapat 
mengambil kekayaan dan baitul mal untuk menciptakan keseimbangan sosial dengan 
menyejahterahkan orang-orang miskin dan meningkatkan taraf hidupnya. Al Quran 
merinci pemanfaatan fay’ sebagai salah satu sumber pendapatan baitul mal. 
3. Pasal 27 Ayat (2)  
 Pasal-pasal lain yang berkaitan dengan ekonomi yang ada dalam UUD 1945 
adalah Pasal 23 tentang keuangan negara dan hal-hal yang terkait dan Pasal 27 Ayat 2 
tentang pekerjaan dan peghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan Pasal 28 tentang 
hak asasi manusia. Bagian ini hanya akan membahas Pasal 27 Ayat (2) yang berkaitan 
dengan hak warga negara untuk mendapatka penghidupan yang layak. 
 Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas 
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam rangka hidup layak, 
seseorang atau suatu keluarga harus bekerja untuk menghidupi dan memenuhi 
kebutuhan dasarnya. Oleh karenanya, setiap warga negara berhak melakukan pekerjaan 
yang halal  selama dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum yang 
berlaku, atau melanggar hak orang lain. Setiap orang tidak boleh dihalangi untuk 
mendapatkan kesempatan pekerjaan dengan imbalan yang layak, adil dan tanpa 
diskriminasi. 
 Hak mendapatkan kesempatan bekerja adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. 
Negara atau pihak siapa saja tidak boleh berlaku diskriminasi dalam pemberian 
kesempatan kerja. Semua warga negara memiliki kesamaan status dalam mendapatkan 
pekerjaan, meskipun memiliki latar belakang agama, suku, bahasa, ras dan budaya yang 
berbeda. Hak mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang layak adalah hak asasi setiap 
manusia. 
 Secara normatif, agama Islam sebagaimana juga dalam konstitusi ekonomi 
mendorong setiap individu untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri 
dan keluarganya atau orang yang menjadi tanggungannya.  Al Quran penuh dan sering 
serta berkali-kali mendesak manusia untuk bekerja. Semua insentif yang ada 
diperuntukkan untuk manusia agar dia terlibat dalam aktivitas yang produktif (Ahmad, 
2006). Sikap Islam terhadap anjuran untuk bekerja dapat dilihat dari ayat-ayat Al Quran 
berikut ini:” 
 Selain ayat suci Al Quran, banyak Hadist juga yang mendesak manusia untuk 
bekerja, misalnya: “Harta yang paling baik adalah harta yang diperoleh lewat tangannya 
yang menginginkan kebaikan lewat produksi.” 
 Menurut Abdil’ati sebagaimana dikutip Ahmad (2006), Islam sangat 
menghormati segala bentuk pekerjaan untuk menghasilkan sarana hidup, sepanjang 



39 
 

tidak ada kesenonohan dan tindakan yang salah dan merugikan. Dalam sebuah hadist 
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang mengambil seutas tali, lalu memotong ranting 
pohon dan mengikatnya dengan tali pula, lalu menjualnya untuk memenuhi kebutuhan 
hidupnya dan menyedekahkannya adalah lebih baik daripada meminta-minta pada orang 
lain. Baik orang yang dia minta itu memberi ataupun menolak.” (HR Bukhari dan Ibnu 
Majah) 
 Dalam konteks peran negara, menurut Baqir Ash Shadr (2008), negara 
selayaknya memberi individu kesempatan yang luas untuk melakukan kerja produktif, 
sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan dasar dari kerja dan usahanya sendiri. Negara 
juga harus memastikan tidak terjadinya perlakuan tidak adil dan diskriminasi di tempat 
kerja dan tingkat upah atau gaji atas setiap pekerja. Bagi mereka karena suatu hal 
tertentu sehingga tidak dapat bekerja, maka negara berkewajiban untuk membiayai 
kebutuhan hidupnya dan memperbaiki standar hidupnya.  
 Yang menjadi hak setiap individu sebagaimana tercantum pada Pasal 27 Ayat (2) 
bukan hanya hak untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga penghidupan yang layak. 
Setiap warga negara berhak hidup secara layak sesuai dengan standar atau kehidupan 
rata-rata di mana mereka menetap. Fungsi negara, sebagimana diungkapkan oleh 
Monzer Kahf (1991) adalah “guaranteeing a minimum level of living for all those whose 
own earning fall shorter than satisfying their basic needs”. Pernyataan Kahf ini 
menunjukkan bahwa negara berkewajiban untuk menjamin standar hidup yang layak 
bagi mereka yang memiliki pendapatan di bawah dari kemampuan untuk memenuhi 
kebutuhan dasar hidupnya. Pendapat Kahf tentang peran negara dalam memberikan 
kehidupan yang layak bagi warganya sejalan dengan pendapat Baqir Ash Shadr yang 
menempatkan negara sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan jaminan atas 
pemberian bantuan dan sarana agar individu bisa hidup sesuai dengan standar hidup 
masyarakat Islam (sesuai dengan standar hidup di mana mereka berada) dan 
mempertahankannya. Negara dapat menggunakan kekayaan negara untuk memberikan 
kelayakan hidup bagi masyarakatnya.  
 Berdasarkan pada argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 27 Ayat 
(2) yang berhubungan dengan hak setiap individu untuk mendapatkan pekerjaan dan 
penghidupan yang layak serta bagaimana peran negara untuk mewujudkannya sangat 
sesuai dengan teks-teks yang terkandung dalam Al Quran dan Al Hadist yang 
menganjurkan untuk berkerja dan mencari penghidupan yang layak. Peran negara 
dalam perekonomian dalam ajaran Islam juga menempatkan negara sebagai pihak yang 
berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi 
warganya. 
 

SIMPULAN 

Undang-Undang Dasar suatu negara atau biasa disebut konstitusi negara tidak hanya 
terbatas sebagai dokumen politik, tetapi juga dokumen ekonomi yang setidak-tidaknya 
mempengaruhi dinamika perkembangan perekonomian suatu negara. Konstitusi 
ekonomi menjadi hukum tertinggi dan harus dijadikan sebagai acuan dan rujukan dalam 
setiap pengembangan kebijakan ekonomi. Jika terjadi pertentangan antara undang-
undang, peraturan ataupun kebijakan dengan konstitusi ekonomi (UUD 1945) maka 
dapat dibatalkan melalui mekanisme judical review melalui Mahkamah Konstitusi. 
 Konstitusi ekonomi Indonesia tertuan dalam beberapa pasal yang ada dalam UUD 
1945, khususnya Pasal 33, 34, 23, 27 dan 28. Bahkan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 



40 
 

yang berisi prinsip-prinsip dasar Pancasila dan Tujuan Bernegara secara tidak langsung 
juga mengandung gagasan mengenai kesejahteraan sosial dan eonomi. 
 Jika dilihat dari segi sistem ekonomi, ekonomi Indonesia tidak bisa sepenuhnya 
dikatakan menganut sistem kapitalisme ataupun sosialisme ataupun gabungan dari 
kedua dari sistem tersebut (mixed economy). Misalnya dari segi kepemilikan sumber 
daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk mengatakan bahwa 
sistem ekonomi Indonesia adalah kapitalisme. Sama halnya, tidak terdapat argumentasi 
yang cukup untuk mengatakan, bahwa Indonesia menganut sistem ekonomi sosialis. 
Indonesia  mengakui kepemilikan individual atas faktor-faktor produksi, kecuali untuk 
sumber daya-sumber daya yang menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. 
 Kemunculan ekonomi Islam belakangan yang secara historis memiliki perbedaan 
dengan sistem kapitalisme dan sosialisme dipandang memiliki banyak kesamaan 
dengan konstitusi ekonomi Indonesia yang tertuang dalam beberapa pasal yang ada 
dalam UUD 1945. Secara garis besar dalam konstitusi ekonomi khususnya Pasal 33 
mengatur tentang asas dasar perekonomian Indonesia yang berdasarkan pada asas 
kekeluargaan, bukan kompetisi murni. Juga mengatur sistem kepemilikan yang 
mengakui adanya kepemilikan individu dan kepemilikan bersama. Di Pasal yang sama 
juga ditekankan perlunya intervensi negara dalam penguasaan sektor-sektor ekonomi 
yang strategis yang penggunaannya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Di sisi 
yang sama, ekonomi Islam sangat mengedepankan prinsip kebersamaa, persaudaraan 
dan tolong meolong sebagai asas utama dalam aktivitas ekonomi. Ekonomi Islam 
memperkenalkan sistem bagi hasil yang memiliki kesamaan dengan bentuk usaha 
kekeluargaan yang disebut sebagai koperasi. Begitupula dengan sistem kepemilikan, 
ekonomi Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan bersama, akan tetapi 
ekonomi Islam secara spesifik mengatur tatacara memperolehnya dan pemanfaatannya. 
Sstem ekonomi Islam menempatkan negara sebagai salah satu variabel penting dalam 
perekonomian baik dalam bentuk intervensi kebijakan maupun sebagai pelaku ekonomi. 
 Ekonomi Islam juga memiliki perhatian yang tinggi terhadap golongan yang tidak 
mampu, seperti fakir miskin dan anak-anak yang terlantar. Bahkan ekonomi Islam 
menyediakan sistem untuk melindungi hak-hak mereka melalui mekanisme infak, 
sedekah dan zakat begitupula dengan kehadiran lembaga-lembaga keuangan seperti 
BMT dan micro finance lainnya. Di sisi lain negara punya kewajiban untuk menyediakan 
barang-barang publik untuk kesejahteraan masyarakat. Prinsip ekonomi Islam ini 
sangat sejalan dengan kandungan UUD 1945 Pasal 34. 
 Di samping itu pula saat ini sudah bermunculan undang-undang, peraturan dan 
kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan ekonomi Islam di Indonesia yang 
secara langsung menunjukkan bahwa perangkat-perangkat regulasi yang mengatur 
eksistensi ekonomi Islam tidak bertentangan dengan konstitusi ekonomi. Karena jika 
bertentangan maka akan digugat di Mahkamah Konstitusi untuk dibatalakan 
pemberlakuannnya. 
 Oleh karenanaya tidak perlu ada usaha untuk membenturkan antara konstitusi 
ekonomi Indonesia dengan ekonomi Islam atau antara ekonomi pancasila dengan 
ekonomi Islam karena masing-masing sistem tersebut diinspirasi dari ajaran Islam. Hal 
tersebut terlihat pada adanya kesamaan prinsip dasar dan tujuan yang ingin dicapai.  
 
 
 
PUSTAKA ACUAN 
Abbas, Anwar. 2008. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Yogyakarta: Multi Pressindo 



41 
 

Ahmad, Kurshid. 1997. “Pembangunan Ekonomi Dalam Perspektif Islam”, dalam Etika 
Ekonomi Politik. Surabaya: Risalah Gusti 

Ahmad, Mustaq. 2006. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al Kautsar 
Al Arif, M. N. R. 2011. Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Surakarta: Era Adicitra 
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah 

Gusti 
Ash Shadr, M. Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam “Iqtishaduna”, edisi terjemahan 

Jakarta: Zahra 
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas 
Chapra, Umar. 2000. Islam dan Pembangunan Ekonomi, edisi terjemahan. Jakarta: Gema 

Insani 
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Airlangga, 1996 
Grossmen, Gregory. 1995. Sistem-sistem Ekonomi. Jakarta: Bumi Aksara 
Gunadi, Tom. 1981. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD 1945. Bandung: 

Angkasa 
 Husaini, Adian. 2010. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. 

Jakarta: Gema Insani Press 
Kahf, Monzer. 1991.  “Economic Role of State in Islam”, lecture presented at the seminar 

of Islamic economic, Dakka Bangladesh. 
-----------------. 1999. “Islamic Economic System – A Review”, dalam An Introduction to 

Islamic Economics. New Delhi India: Kitab Bhavan. 
Khaldun, Ibn. 2000. Mukaddimah, edisi terjemahan. Jakarta: Pustaka Firdaus  
Limbong, Bernhard. 2011. Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi. Jakarta: 

Margaretha Pustaka 
Matta, Anis. 1997. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” dalam Wawasan Islam dan 

Ekonomi: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit FE UI 
Maududi, Abu A’la Al. 1990. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Jakarta: Mizan 
Mubyarto. 1987. Ekonomi Pancasila, Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES 
Quthb, M. I. 2002. Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam 
Rahardjo, Dawam. 1997. “Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi 

Indonesia” dalam buku Etika Ekonomi Politik. Malang: Risalah Gusti 
Saefuddin, A.M. 1987. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam. Jakarta: Rajawali 

Press 
Sanusi, Bachrawi. 2010. Sistem Ekonomi: Suatu Pengantar. Jakarta: Lembaga Penerbit FE 

UI 
Sulayman, A., dan Abdul-Hamid A. 1968.  “The Theory of The Economics of Islam: The 

Economics of Tauhid and Brotherhood”, dalam Contemporary Aspects of Economic 
Thinking in Islam, Proceedings of the third East Coast Regional Conference of the 
Muslim Students’ Association of the United States and Canada  

Swasono, Sri-Edi. 2008. Bung Hatta dan Ekonomi Islam. Yogyakarta: Multi Pressindo 
---------------------. 2012. Paradigma Baru Ilmu Ekonomi, Makalah disampaikan pada 

“Workshop Nasional Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam”, UIN Syarif Hidayatullah 
Jakarta, Februari 2012. 

Tambunan, Tulus. 2011. Perekonomian Indonesia: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. 
Bogor: Ghalia Indonesia Press 

Triono, D. Condro. 2011. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Yogyakarta: Irtikaz