1Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 PESAN ALQURAN DALAM KERJASAMA MUSA DENGAN SYU‘AYB TENTANG PENGELOLAAN BISNIS Alimin Mesra Abstract: A Message in the Quran about Moses and Syu'ayb Cooperation on Business Management. Prophet Moses and Prophet Syu'ayb companion ultimately led them to work together. This case reveals a number of values that should be developed and applied in life related to business manage- ment. This story (Q.s. al-Qashash [28]: 23-28) reveals a relation between employyees and owners of capital, recruitment patterns, appreciation of performance, professionalism, and some related matters. The cooperation between them can be considered as a symbolic learning delivered by the Quran, especially in business development. This story also shows that a partnership should be based on a clear contract that shows such related materials, working period, the amount of wages, security, and others rela- ted to their right and obligation. Keywords: contextualization, messages, stories, effort, business Abstrak: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb tentang Pengelolaan Bisnis. Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Syu‘ayb yang pada akhirnya mengantar mereka pada kerja sama mengungkap sejumlah nilai yang patut dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan terkait dengan pengelolaan usaha. Penggalan kisah ini (Q.s. al-Qashash [28]: 23-28) meng- ungkap relasi antara karyawan dan pemilik modal, pola rekrutmen, apre- siasi terhadap kinerja, profesionalisme, dan beberapa hal yang terkait. Kerja sama antara keduanya dapat diletakkan sebagai pembelajaran simbolik yang disampaikan Alquran tentang upaya pengembangan bisnis. Kisah ini juga menunjukkan bahwa jalinan kerjasama harus didasarkan pada kon- trak yang secara jelas menyebutkan segala materi yang terkait, seperti ma- sa kerja, jumlah upah, jaminan keamanan, dan hal-hal lainnya yang ter-kait dengan hak dan kewajiban keduanya. Kata Kunci: kontekstualisasi, pesan, kisah, usaha, bisnis Naskah diterima: 2 Juli 2011, direvisi: 8 Oktober 2011, disetujui: 13 Oktober 2011.  Nusa Istitute. Jl. Kertamukti, Gg. Nipan, No. 15, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. E-mail: aliminmesra@yahoo.co.id DAFTAR ISI 1 Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb tentang Pengelolaan Bisnis Alimin Mesra 15 Penerapan Teori Akad pada Perbankan Syariah Abdurrauf 37 Strategi Alternatif Marketing Perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah Sofyan Rizal 51 Efek Multiplier Zakat terhadap Pendapatan di Provinsi DKI Jakarta M Nur Rianto Al Arif 67 Ihtikâr dan Dampaknya terhadap Dunia Ekonomiˇ Moch. Bukhori Muslim 81 Zakat di Malaysia dalam Perspektif Ekonomi Nurhasanah 101 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengambilan Nilai Pembiayaan Murâbahah Nina Rusydiana & AM Hasan Ali 111 Sistem Ekonomi Islam: Suatu Pendekatan Filsafat, Nilai-nilai Dasar, dan Instrumental Anwar Abbas 125 Prosedur Underwriting Bancassurance dan Asuransi Jiwa Syariah pada PT. Asuransi Takâful Keluarga Ela Patriana & Rijal Assidiq Mulyana 137 Peran Negara dalam Hisbah Akhmad Mujahidin 2 Alimin Mesra: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb Pendahuluan Sebuah kenyataan bahwa selain memuat aturan mengenai ibadah dan ketetapan hukum, Alquran juga memuat kisah-kisah umat pada masa lampau, terutama para nabi yang diutus Allah sebelum Nabi Muhammad Saw. Bahkan, hal yang terakhir ini tampak mendapatkan porsi besar dalam lembaran kitab suci Alquran, melebihi jumlah ayat-ayat Alquran yang berbicara mengenai hukum. Menurut pakar ilmu Alquran, ayat-ayat hukum dalam Alquran berjumlah sekira 600 ayat atau 10% dari keseluruhan ayat. Sementara ayat-ayat mengungkap kisah umat terdahulu dan para nabi-Nya jauh lebih dari itu, yakni sekitar 1600 atau mencapai 30% dari seluruh ayat dalam Alquran.1 Ditemukan surah tertentu yang relatif panjang, ayat-ayatnya didominasi oleh kisah, seperti surah Yûsuf yang sepenuhnya memuat cerita tentang Nabi Yûsuf, surah al-Kahfi yang setidaknya memuat tiga kisah, dan lain-lain. Pengungkapan kisah dalam Alquran bukan tanpa tujuan, atau hanya sekadar pengenalan peristiwa yang diceritakan, melainkan bagian dari kera- gaman cara Allah untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya. Dengan kata lain, kisah tidak menyimpang dari posisi Alquran sebagai petunjuk (guidance). Kisah-kisah itu dipaparkan oleh Allah agar orang-orang yang mengimaninya dapat mengambil pelajaran. Tidak sedikit kisah yang dimaksud memberi pesan dengan kalimat ringkas, ‚Fa ‘tabirû yâ ulî al-albâb‛ (maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berpikir), dan beberapa kalimat yang semakna dengan itu. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa kisah-kisah Alquran tidaklah dimaksudkan sebagai suatu uraian sejarah yang utuh dan lengkap mengenai kehidupan satu bangsa dan tokoh tertentu, tetapi hanyalah sebagai suatu bahan pelajaran bagi manusia. Dengan demikian, pengungkapan kisah dalam Alquran adalah salah satu ciri penyampaian dakwah dalam meyakinkan objeknya.2 Nabi Musa adalah salah seorang nabi yang paling banyak diceritakan di dalam Alquran. Pengamatan selintas yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa nama ‚Musa‛ disebut sampai 135 kali di dalam Alquran yang tersebar pada 34 surah.3 Dia disebutkan Alquran dalam pelbagai konteks, mulai dari 1 Hanafi MA., Segi-segi Kesusastraan Kisah-kisah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1983), h. 23. 2 Sayid Quthb, al Tashwîr al-Fanniy fî al-Qur’ân, (al-Qâhirah: 1962), h. 117. 3 Data ini didasarkan pada hasil pencarian dengan menggunakan program Holy Qur’an melalui kata kunci ‚Musa’ (Arab). Pencarian dengan menggunakan kata kunci yang sama (Indonesia/Melayu) menemukan hasil lebih dari itu. Perbedaan ini terjadi karena pencarian melalui tulisan Melayu dengan area pencarian pada terjemahan mengakomodasi nama Musa yang di dalam teks Arab disebut dengan menggunakan dhâmir (kata ganti). 3Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 Pendahuluan Sebuah kenyataan bahwa selain memuat aturan mengenai ibadah dan ketetapan hukum, Alquran juga memuat kisah-kisah umat pada masa lampau, terutama para nabi yang diutus Allah sebelum Nabi Muhammad Saw. Bahkan, hal yang terakhir ini tampak mendapatkan porsi besar dalam lembaran kitab suci Alquran, melebihi jumlah ayat-ayat Alquran yang berbicara mengenai hukum. Menurut pakar ilmu Alquran, ayat-ayat hukum dalam Alquran berjumlah sekira 600 ayat atau 10% dari keseluruhan ayat. Sementara ayat-ayat mengungkap kisah umat terdahulu dan para nabi-Nya jauh lebih dari itu, yakni sekitar 1600 atau mencapai 30% dari seluruh ayat dalam Alquran.1 Ditemukan surah tertentu yang relatif panjang, ayat-ayatnya didominasi oleh kisah, seperti surah Yûsuf yang sepenuhnya memuat cerita tentang Nabi Yûsuf, surah al-Kahfi yang setidaknya memuat tiga kisah, dan lain-lain. Pengungkapan kisah dalam Alquran bukan tanpa tujuan, atau hanya sekadar pengenalan peristiwa yang diceritakan, melainkan bagian dari kera- gaman cara Allah untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya. Dengan kata lain, kisah tidak menyimpang dari posisi Alquran sebagai petunjuk (guidance). Kisah-kisah itu dipaparkan oleh Allah agar orang-orang yang mengimaninya dapat mengambil pelajaran. Tidak sedikit kisah yang dimaksud memberi pesan dengan kalimat ringkas, ‚Fa ‘tabirû yâ ulî al-albâb‛ (maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berpikir), dan beberapa kalimat yang semakna dengan itu. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa kisah-kisah Alquran tidaklah dimaksudkan sebagai suatu uraian sejarah yang utuh dan lengkap mengenai kehidupan satu bangsa dan tokoh tertentu, tetapi hanyalah sebagai suatu bahan pelajaran bagi manusia. Dengan demikian, pengungkapan kisah dalam Alquran adalah salah satu ciri penyampaian dakwah dalam meyakinkan objeknya.2 Nabi Musa adalah salah seorang nabi yang paling banyak diceritakan di dalam Alquran. Pengamatan selintas yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa nama ‚Musa‛ disebut sampai 135 kali di dalam Alquran yang tersebar pada 34 surah.3 Dia disebutkan Alquran dalam pelbagai konteks, mulai dari 1 Hanafi MA., Segi-segi Kesusastraan Kisah-kisah al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1983), h. 23. 2 Sayid Quthb, al Tashwîr al-Fanniy fî al-Qur’ân, (al-Qâhirah: 1962), h. 117. 3 Data ini didasarkan pada hasil pencarian dengan menggunakan program Holy Qur’an melalui kata kunci ‚Musa’ (Arab). Pencarian dengan menggunakan kata kunci yang sama (Indonesia/Melayu) menemukan hasil lebih dari itu. Perbedaan ini terjadi karena pencarian melalui tulisan Melayu dengan area pencarian pada terjemahan mengakomodasi nama Musa yang di dalam teks Arab disebut dengan menggunakan dhâmir (kata ganti). wahyu yang didapatkan oleh ibunya, perjalanannya ke Madyan, perjalanannya bersama dengan Haidir, dan tentu saja perseteruannya dengan Firaun.4 Artikel ini mengangkat satu episode dari kisah Nabi Musa sebagai fokus untuk dimaknai secara kontekstual sebagai upaya mengejawantahkan pesan- pesan kitab suci di dalam kehidupan. Bagian yang dimaksud adalah Q.s. al- Qashash [28]: 22-28 tentang pertemuannya dengan Nabi Syu‘ayb yang kemudian berkembang menjadi jalinan kerjasama ekonomi, Nabi Musa bekerja menjalan- kan peternakan milik Nabi Syu‘ayb dan keluarganya. Pertanyaan yang akan dijawab dalam artikel ini adalah pesan apa yang disampaikan di dalam rangkai- an kisah tersebut yang patut dan memungkinkan untuk diterapkan dalam dunia usaha pada sistem ekonomi modern saat ini? Pertanyaan ini penting untuk dikaji, sebab jika hanya dipahami sebagai kisah tentu merupakan cerminan pengabaian posisi utama Alquran sendiri sebagai petunjuk. Kerjasama Nabi Musa-Nabi Syu‘ayb Dua pelaku kerjasama di dalam kisah ini mempunyai tingkat kejelasan yang berbeda. Musa disebutkan dengan menampilkan nama dirinya (prover name) di dalam teks, sementara pihak kedua ditampilkan dalam bentuk kata ganti (personal pronoun). Karena itulah, figur yang dimaksud tampaknya di- perselisihkan oleh para pakar tafsir. Menurut mayoritas mufassir, bahwa sosok yang digambarkan sebagai ayah dari dua orang perempuan pada rangkaian ayat yang sedang dibahas ini adalah Syu‘ayb, nabi yang diutus oleh Allah kepada penduduk Madyan.5 Keterangan ini sama dengan informasi yang ditemukan di dalam Kitab Taurat sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Asyur di dalam kitabnya, ‚Syu‘ayb adalah pemilik kambing dan Musa adalah gembalanya‛.6 Informasi lain menyebutkan bahwa laki-laki yang dimaksud adalah keponakan Nabi Syu‘ayb, adapula yang menyebutkannya dengan nama Yitro, atau Ruhael, dan yang lebih kabur lagi sebuah riwayat yang menyatakan bahwa ia adalah seorang warga Madyan.7 Artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendiskusikan hal tersebut. Yang sangat dibutuhkan di sini adalah penyebutan nama ‚mitra kerja Musa‛, terutama untuk keperluan teknis penulisan. Untuk itu, penulis mengikuti pandangan 4 Alquran juga memaparkan kisah Nabi Musa pada saat menerima wahyu, pelariannya me- lintasi laut merah saat dikejar oleh Firaun, permohonan agar ia ditemani saudaranya, Harun, untuk menyampaikan dakwah, kisah penyembelihan sapi betina, patung anak sapi, dan lain-lain. 5 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Vol. 10, h. 331; Ibn Katsîr, Tafsir Ibn Katsîr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid VI, h. 228. 6 Thâhir Ibn Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 10, h. 374. 7 Ibn Katsîr, Tafsir Ibn Katsîr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid VI, h. 228. 4 Alimin Mesra: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb mayoritas bahwa figur yang disebut sebagai ayah bagi kedua perempuan itu adalah Nabi Syu‘ayb.8 Episode perjalanan Nabi Musa yang membawa dirinya ke Madyan berawal dari upayanya melerai dua orang laki-laki yang berkelahi, seorang dari Bani Israil dan yang lainya dari Bani Qibthi. Secara tidak sengaja, salah satu di antaranya, Bani Qibthi, terkena pukulan Nabi Musa yang mengakibatkan bersangkutan tewas. Tidak lama kemudian, datang seorang laki-laki dari kota menyampaikan padanya tentang adanya pertemuan yang membicarakan rencana pembunuhan atas dirinya. Guna menghindari rencana tersebut, Musa meninggalkan Mesir tan- pa mengetahui tempat pelarian yang akan dituju. Hal ini terungkap pada Q.s. al- Qashash [28]: 22. Seolah di luar kesadarannya, akhirnya Musa sampai di suatu tempat di wilayah Madyan, sebuah sumur yang sedang ramai dengan para gembala yang hendak meminumkan ternak-ternak mereka, di antara mereka terdapat dua orang gadis yang di dalam tafsir diidentifikasi sebagai putri Nabi Syu‘ayb, nama- nya Shafira dan Layya.9 Mereka ada di bagian belakang antrean menghalangi ternak-ternaknya agar tidak bercampur dengan ternak milik orang lain. Melihat kejadian itu, Musa bertanya pada mereka tentang apa gerangan yang sedang mereka lakukan. Mereka pun menjawab bahwa mereka hendak meminumkan kambingnya dan baru akan mendapatkan giliran setelah semua orang selesai, padahal orang tuanya yang sudah renta pasti sudah menunggunya (Q.s. al- Qashash [28]: 24). Setelah mendengar pengakuan keduanya, Musa membantu meminum- kan ternak-ternaknya. Ditemukan riwayat yang dikutip para mufassir yang menjelaskan bahwa sumur itu tertutup batu besar yang kira-kira dapat diangkat oleh sepuluh orang dewasa, namun Musa mampu melakukannya seorang diri.10 Setelah selesai, ia kembali berteduh di bawah pohon seraya berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". Para mufassir menjelaskan bahwa doa tersebut dipanjat- kan oleh Musa, lahir dari kondisi yang dia alami pada saat itu. Setelah melakukan perjalanan dia merasa sangat lapar, penat, di samping kebingungan ke arah mana dia akan melanjutkan perjalanan.11 8 Thâhir Ibn Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 10, h. 374. 9 Nama ini juga tampil dalam versi yang beragam di kitab-kitab tafsir. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 7, h. 487. 10 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, h. 483 11 Fakhr al-Râzî, Tafsîr al-Râzî, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 12, h. 73. 5Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 mayoritas bahwa figur yang disebut sebagai ayah bagi kedua perempuan itu adalah Nabi Syu‘ayb.8 Episode perjalanan Nabi Musa yang membawa dirinya ke Madyan berawal dari upayanya melerai dua orang laki-laki yang berkelahi, seorang dari Bani Israil dan yang lainya dari Bani Qibthi. Secara tidak sengaja, salah satu di antaranya, Bani Qibthi, terkena pukulan Nabi Musa yang mengakibatkan bersangkutan tewas. Tidak lama kemudian, datang seorang laki-laki dari kota menyampaikan padanya tentang adanya pertemuan yang membicarakan rencana pembunuhan atas dirinya. Guna menghindari rencana tersebut, Musa meninggalkan Mesir tan- pa mengetahui tempat pelarian yang akan dituju. Hal ini terungkap pada Q.s. al- Qashash [28]: 22. Seolah di luar kesadarannya, akhirnya Musa sampai di suatu tempat di wilayah Madyan, sebuah sumur yang sedang ramai dengan para gembala yang hendak meminumkan ternak-ternak mereka, di antara mereka terdapat dua orang gadis yang di dalam tafsir diidentifikasi sebagai putri Nabi Syu‘ayb, nama- nya Shafira dan Layya.9 Mereka ada di bagian belakang antrean menghalangi ternak-ternaknya agar tidak bercampur dengan ternak milik orang lain. Melihat kejadian itu, Musa bertanya pada mereka tentang apa gerangan yang sedang mereka lakukan. Mereka pun menjawab bahwa mereka hendak meminumkan kambingnya dan baru akan mendapatkan giliran setelah semua orang selesai, padahal orang tuanya yang sudah renta pasti sudah menunggunya (Q.s. al- Qashash [28]: 24). Setelah mendengar pengakuan keduanya, Musa membantu meminum- kan ternak-ternaknya. Ditemukan riwayat yang dikutip para mufassir yang menjelaskan bahwa sumur itu tertutup batu besar yang kira-kira dapat diangkat oleh sepuluh orang dewasa, namun Musa mampu melakukannya seorang diri.10 Setelah selesai, ia kembali berteduh di bawah pohon seraya berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". Para mufassir menjelaskan bahwa doa tersebut dipanjat- kan oleh Musa, lahir dari kondisi yang dia alami pada saat itu. Setelah melakukan perjalanan dia merasa sangat lapar, penat, di samping kebingungan ke arah mana dia akan melanjutkan perjalanan.11 8 Thâhir Ibn Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 10, h. 374. 9 Nama ini juga tampil dalam versi yang beragam di kitab-kitab tafsir. Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 7, h. 487. 10 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, h. 483 11 Fakhr al-Râzî, Tafsîr al-Râzî, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 12, h. 73. Doa yang dipanjatkan Musa itu didengar oleh kedua putri Syu‘ayb dan menjadi bagian cerita yang disampaikan kepada ayahnya. Ibn Katsîr menuturkan bahwa ketika mereka sampai di rumah, Syu‘ayb bertanya perihal kedatangannya yang lebih cepat dari biasanya. Mereka pun menceritakan pengalaman perte- muannya dengan Musa dan pertolongan yang diberikannya. Atas dasar cerita itu, Nabi Syu‘ayb meminta salah satu putrinya menyampaikan undangan agar Musa berkenan datang ke rumahnya. Lalu datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami". Sebagian mufassir meletakkan panggilan dari Syu‘ayb ini sebagai jawaban atas doa Musa yang telah dipanjatkannya itu. Musa menyambut baik undangan itu, dan ia pun datang menemui Syu‘ayb. Kisah populer mengenai perjalanan mereka pulang ke rumah menyebutkan bahwa Musa meminta putri Syu‘ayb itu berjalan di belakangnya sembari mem- beri isyarat jalan mana yang harus dilalui.12 Percakapan tentu saja berlangsung di antara keduanya setelah sampai. Materinya antara lain tuturan Nabi Musa tentang dirinya. Setelah mengetahui perihal pelarian Musa, Nabi Syu‘ayb pun menyatakan jaminan keamanan atas dirinya, yakni dari ancaman orang-orang Mesir. Selanjutnya, salah seorang putri Syu‘ayb mengusulkan kepada Syu‘ayb agar Musa dipekerjakan dengan alasan dia adalah orang jujur dan kuat. Tampaknya Syu‘ayb menyetujui usulan tersebut, dan dia pun memintanya menggembalakan kambing selama delapan hingga sepuluh tahun dengan upah menikahkan salah satu putrinya dengannya (Musa). Musa menyetujui permintaan tersebut dan menegaskannya sebagai perjanjian di antara mereka, seraya menyatakan Allah sebagai saksi atas apa yang mereka sepakati. Kontekstualisasi Kisah dalam Dunia Bisnis Secara umum, tujuan kisah tidak berbeda dengan tujuan ayat-ayat Alquran secara umum, yakni sebagai petunjuk kepada manusia. Namun dari pelbagai konteks, kita dapat mengatakan bahwa tujuan kisah-kisah Alquran antara lain: Pertama, mengukuhkan keberadaan wahyu dan kerasulan; Kedua, menjelaskan bahwa agama yang didakwakan oleh para Nabi semuanya bersumber dari Allah, karena itu mereka yang beriman merupakan satu ummat yang berserah diri me- ngakui keesaan Allah Swt. sebagai Tuhan yang patut disembah, kisah mengenai figur yang taat merupakan keteladanan dan figur yang berperangai buruk tentu 12 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (al-Maktabah al-Syâmilah), Jilid 7, h. 487. 6 Alimin Mesra: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb membawa pesan untuk menghindar dari sikap yang mereka tunjukkan agar tidak mendapat celaka atau azab.13 Nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah ini patut digali dan diterapkan di dalam kehidupan sosial, terutama dalam konteks kerjasama dalam kegiatan bisnis adalah sebagai berikut: Pertama, keterlibatan perempuan dalam satu usaha. Di dalam rangkaian kisah ini diceritakan bahwa putri Nabi Syu‘ayb sehari- hari menggembalakan kambingnya. Dapat dipahami bahwa bagian dari peker- jaan itu adalah memberi minum ternak-ternak tersebut setiap hari. Alquran menyebutkan bahwa pertemuan antara Nabi Musa dan putri Nabi Syu‘ayb terjadi pada saat yang bersangkutan mengalami kesulitan ketika akan meminumkan kambing-kambingnya di sebuah sumur di wilayah Madyan. Beberapa Tafsir mengklarifikasi bahwa kesulitan itu karena sumur yang dijadikan sebagai sumber air tertutup oleh batu besar sehingga tidak memungkinkan menimbanya. Namun jika mengikuti alur cerita sebagaimana yang tertuang di dalam teks, tersirat makna bahwa kesulitan yang mereka temui terkait dengan banyaknya orang yang ingin meminumkan ternaknya sementara sebagai perempuan, mereka memiliki keterbatasan. Entri poin yang penting untuk ditekankan pada bagian ini bahwa dunia usaha bukan domain salah satu jenis kelamin (baca: laki-laki) melainkan wilayah yang dapat dirambah oleh baik laki-laki maupun perempuan. Dalam sebuah tulisannya, Nasaruddin Umar meletakkan pengalaman putri Nabi Syu‘ayb dan profesi yang dilakoninya ini sebagai argumen untuk membantah pandangan yang membatasi perempuan pada ranah domestik sekaligus menegaskan boleh- nya perempuan berkiprah di sektor publik untuk kegitan-kegiatan ekonomis.14 Senada dengan itu, Ibn Asyur meletakkan ayat ini sebagai dalil bahwa perem- puan boleh terlibat dalam mengurus harta, tidak terkecuali dalam kondisi yang menuntut interaksi dengan kaum laki-laki. Yang mesti diperhatikan dalam hal ini, lanjut Asyur, adalah memelihara etika seperti menutup apa yang menurut agama tidak boleh ditampakkan.15 Pandangan ini didasarkan pada argumen bahwa apa yang diungkapkan oleh Alquran dalam hal ini merupakan bagian dari syariat ummat terdahulu (syar’ man qablanâ) dan hal itu merupakan syariat bagi kita (Islam) selama tidak ada pernyataan tegas menasakhnya.16 13 Sayyid Quthub, al-Tashwîr al Fannî fî al-Qur’ân, h. 144 155. 14 Nasaruddin Umar, ‚Pembagian Peran dalam Islam‛, h.7; Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 331. 15 Thâhir ibn Asyûr, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 10, h. 376. 16 Thâhir ibn Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid 10, h. 376. 7Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 membawa pesan untuk menghindar dari sikap yang mereka tunjukkan agar tidak mendapat celaka atau azab.13 Nilai-nilai yang terkandung di dalam kisah ini patut digali dan diterapkan di dalam kehidupan sosial, terutama dalam konteks kerjasama dalam kegiatan bisnis adalah sebagai berikut: Pertama, keterlibatan perempuan dalam satu usaha. Di dalam rangkaian kisah ini diceritakan bahwa putri Nabi Syu‘ayb sehari- hari menggembalakan kambingnya. Dapat dipahami bahwa bagian dari peker- jaan itu adalah memberi minum ternak-ternak tersebut setiap hari. Alquran menyebutkan bahwa pertemuan antara Nabi Musa dan putri Nabi Syu‘ayb terjadi pada saat yang bersangkutan mengalami kesulitan ketika akan meminumkan kambing-kambingnya di sebuah sumur di wilayah Madyan. Beberapa Tafsir mengklarifikasi bahwa kesulitan itu karena sumur yang dijadikan sebagai sumber air tertutup oleh batu besar sehingga tidak memungkinkan menimbanya. Namun jika mengikuti alur cerita sebagaimana yang tertuang di dalam teks, tersirat makna bahwa kesulitan yang mereka temui terkait dengan banyaknya orang yang ingin meminumkan ternaknya sementara sebagai perempuan, mereka memiliki keterbatasan. Entri poin yang penting untuk ditekankan pada bagian ini bahwa dunia usaha bukan domain salah satu jenis kelamin (baca: laki-laki) melainkan wilayah yang dapat dirambah oleh baik laki-laki maupun perempuan. Dalam sebuah tulisannya, Nasaruddin Umar meletakkan pengalaman putri Nabi Syu‘ayb dan profesi yang dilakoninya ini sebagai argumen untuk membantah pandangan yang membatasi perempuan pada ranah domestik sekaligus menegaskan boleh- nya perempuan berkiprah di sektor publik untuk kegitan-kegiatan ekonomis.14 Senada dengan itu, Ibn Asyur meletakkan ayat ini sebagai dalil bahwa perem- puan boleh terlibat dalam mengurus harta, tidak terkecuali dalam kondisi yang menuntut interaksi dengan kaum laki-laki. Yang mesti diperhatikan dalam hal ini, lanjut Asyur, adalah memelihara etika seperti menutup apa yang menurut agama tidak boleh ditampakkan.15 Pandangan ini didasarkan pada argumen bahwa apa yang diungkapkan oleh Alquran dalam hal ini merupakan bagian dari syariat ummat terdahulu (syar’ man qablanâ) dan hal itu merupakan syariat bagi kita (Islam) selama tidak ada pernyataan tegas menasakhnya.16 13 Sayyid Quthub, al-Tashwîr al Fannî fî al-Qur’ân, h. 144 155. 14 Nasaruddin Umar, ‚Pembagian Peran dalam Islam‛, h.7; Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 331. 15 Thâhir ibn Asyûr, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 10, h. 376. 16 Thâhir ibn Asyûr, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Jilid 10, h. 376. Bukan hanya itu, penjelasan yang lebih konkret, sebagaimana ditampilkan di dalam Tafsir-tafsir, memberikan pemahaman bahwa perempuan mempunyai hak untuk menjalin kerjasama dan sinergi dengan laki-laki sepanjang semua pihak dapat menjaga etika dan moral yang diatur dalam agama. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa selama bantuan diberikan kepada kedua putri Syu‘ayb itu, Musa As. berusaha untuk menahan pandangannya kepada mereka. Bagian teks juga menggambarkan bahwa putri Syu‘ayb berjalan malu-malu ketika akan menyampaikan panggilan Syu‘ayb ke rumahnya. Kata istihyâ (malu-malu ) yang digambarkan oleh Abû Bakr R.a. dengan ‚menutup kepala dan wajahnya. 17 Kedua, urgensi curiculum vitae. Segera setelah hewan ternak selesai diberikan minum, kedua perempuan itu melaporkan kejadian yang dialaminya kepada ayahnya, Nabi Syu‘ayb. Setelah mendengarkan keterangan maka Nabi Syu‘ayb meminta putrinya untuk menemui Musa dan mengundangnya ke rumah. Musa menerima undangan itu dan meminta kepada putri Syu‘ayb berjalan di belakangnya. Dalam konteks dunia usaha, hal ini dapat diletakkan sebagai proses negosiasi antara dua pihak yang bakal menjalin kerjasama. Lebih tegas lagi, bahwa pada pembicaraan yang terjadi dalam pertemuan antara Nabi Musa dan Syu‘ayb, Musa mengenalkan diri dengan menceritakan jati dirinya. Agaknya, tidak berlebihan jika kita meletakkan hal ini sebagai simbol upaya meyakinkan pihak lain, yang dalam kontekss kekinian terwujud dalam bentuk riwayat hidup (curiculum vitae) untuk individu, atau profil perusahaan (company profile) dalam konteks kerjasama antar dua perusahaan. Ketiga, urgensi rekomendasi. Pentingnya preferensi dan rekomendasi yang didasarkan pada track record dalam rangkaian seleksi calon pekerja atau mitra usaha juga terungkap secara simbolik dalam kisah ini, tepatnya pada ungkapan putri Nabi Syu‘ayb yang meminta ayahnya merekrut Nabi Musa untuk pekerjanya, "Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita‛. Tentu saja, usulan tersebut didasarkan pada track record yang benar sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian. Hal yang penting ditegaskan dalam hal ini, bahwa Alquran mencontohkan melalui kisah ini bahwa rekomendasi itu diberikan oleh pihak yang mengerti masalah dan memihak kepada siapa rekomendasi itu ditujukan, bukan karena keberpihakan pada siapa rekomendasi itu diberikan. Putri Syu‘ayb sebagai pihak pemberi rekomendasi dalam hal ini tentu lebih memihak pada kepentingan Syu‘ayb. Keempat, jaminan keamanan bagi karyawan. Deskripsi kisah yang dipa- parkan di atas menyiratkan bahwa ketika pertemuan keduanya terjadi, Nabi 17 Fakhr al-Râzî, Tafsîr al-Râzî, h. 73. 8 Alimin Mesra: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb Musa dalam kondisi ‚tak berdaya‛, baik secara politik maupun secara ekonomis. Secara politis, dia adalah seorang pelarian menghindari tekanan para penguasa di negerinya, sementara secara ekonomis dia datang tanpa membawa apa-apa, bahkan dalam kondisi lapar pada saat itu. Gambaran kisah pada teks mengarahkan pemahaman bahwa jaminan yang diberikan oleh Nabi Syu‘ayb adalah jaminan/perlindungan politik. Syu‘ayb adalah seorang tokoh masyarakat di Madyan, suatu wilayah di luar kekuasaan Firaun. Dengan demikian dia mempunyai kapasitas untuk memberikan jaminan keamanan itu kepada Musa, apalagi setelah mengetahui bahwa yang bersang- kutan memang patut dilindungi. Jaminan ekonomi tergambar pada penafsiran yang diberikan oleh para ulama. Tidak lama setelah Musa tiba di rumah, Syu‘ayb menawarkan makanan kepadanya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Musa bertanya perihal makan- an itu, apakah disuguhkan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikannya. Lalu Syu‘ayb menjawab bahwa apa yang dia lakukan berdasarkan kebiasaan penduduk setempat, memperlakukan tetamu dengan baik dan memberi makan bagi orang-orang yang lapar.18 Sedang dalam teks, jaminan ekonomi ini ter- gambar pada kebaikan hati Nabi Syu‘ayb dan keluarganya untuk merekrut Nabi Musa menjadi pekerjanya. Pemahaman ini semakin menguat berdasarkan informasi yang menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Nabi Syu‘ayb pada saat itu juga tidak dalam keadaan baik. Kisah ini dapat diletakkan sebagai pesan bahwa dalam konteks relasi kerja, majikan sepatutnya memberikan jaminan keamanan—dalam pelbagai hal—bagi karyawannya. Jaminan itu diperlukan agar karyawan dapat melak- sanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Dalam konteks kekinian, tampaknya hal ini diterapkan pada perusahan-perusahan besar dalam bentuk asuransi kesehatan dan jaminan sosial tenaga kerja. Kelima, kejujuran karyawan. Kejujuran Nabi Musa dalam rangkaian kisah ini diungkapkan dengan kata ‚amîn‛. Sifat itu dijadikan sebagai salah satu dasar sehingga putri Nabi Syu‘ayb merekomendasikannya ‚karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Usaha adalah upaya untuk mencari keuntungan material melalui penge- lolaan sejumlah modal (capital). Dalam praktiknya, pada skala tertentu pemilik modal membutuhkan karyawan untuk menjalankan usahanya. Ini artinya, pemilik usaha tertuntut untuk menyerahkan pengelolaan modal kepada pihak 18 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, h. 488. 9Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 Musa dalam kondisi ‚tak berdaya‛, baik secara politik maupun secara ekonomis. Secara politis, dia adalah seorang pelarian menghindari tekanan para penguasa di negerinya, sementara secara ekonomis dia datang tanpa membawa apa-apa, bahkan dalam kondisi lapar pada saat itu. Gambaran kisah pada teks mengarahkan pemahaman bahwa jaminan yang diberikan oleh Nabi Syu‘ayb adalah jaminan/perlindungan politik. Syu‘ayb adalah seorang tokoh masyarakat di Madyan, suatu wilayah di luar kekuasaan Firaun. Dengan demikian dia mempunyai kapasitas untuk memberikan jaminan keamanan itu kepada Musa, apalagi setelah mengetahui bahwa yang bersang- kutan memang patut dilindungi. Jaminan ekonomi tergambar pada penafsiran yang diberikan oleh para ulama. Tidak lama setelah Musa tiba di rumah, Syu‘ayb menawarkan makanan kepadanya. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Musa bertanya perihal makan- an itu, apakah disuguhkan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikannya. Lalu Syu‘ayb menjawab bahwa apa yang dia lakukan berdasarkan kebiasaan penduduk setempat, memperlakukan tetamu dengan baik dan memberi makan bagi orang-orang yang lapar.18 Sedang dalam teks, jaminan ekonomi ini ter- gambar pada kebaikan hati Nabi Syu‘ayb dan keluarganya untuk merekrut Nabi Musa menjadi pekerjanya. Pemahaman ini semakin menguat berdasarkan informasi yang menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Nabi Syu‘ayb pada saat itu juga tidak dalam keadaan baik. Kisah ini dapat diletakkan sebagai pesan bahwa dalam konteks relasi kerja, majikan sepatutnya memberikan jaminan keamanan—dalam pelbagai hal—bagi karyawannya. Jaminan itu diperlukan agar karyawan dapat melak- sanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Dalam konteks kekinian, tampaknya hal ini diterapkan pada perusahan-perusahan besar dalam bentuk asuransi kesehatan dan jaminan sosial tenaga kerja. Kelima, kejujuran karyawan. Kejujuran Nabi Musa dalam rangkaian kisah ini diungkapkan dengan kata ‚amîn‛. Sifat itu dijadikan sebagai salah satu dasar sehingga putri Nabi Syu‘ayb merekomendasikannya ‚karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Usaha adalah upaya untuk mencari keuntungan material melalui penge- lolaan sejumlah modal (capital). Dalam praktiknya, pada skala tertentu pemilik modal membutuhkan karyawan untuk menjalankan usahanya. Ini artinya, pemilik usaha tertuntut untuk menyerahkan pengelolaan modal kepada pihak 18 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, h. 488. lain. Keterlibatan pemilik modal dalam menjalankan manajemen tentu saja tetap ada, meski bukan jaminan tertutupnya semua peluang bagi karyawan untuk berlaku curang. Selalu ada peluang untuk melakukan ragam kecurangan dan penyalahgunaan kepercayaan demi kepentingan pribadi. Apalagi seperti disebut- kan oleh Alquran, harta benda memiliki daya tarik dan sikap rakus merupakan salah satu potensi jahat dalam diri setiap manusia. Perpaduan kedua hal ini melahirkan potensi besar bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Cara mengetahui kejujuran calon karyawan, tidak semata-mata didasar- kan pada penuturan yang bersangkutan mengenai dirinya. Dalam kisah ini, kejujuran Nabi Musa bagi Syu‘ayb diketahui melalui penuturan putrinya setelah melihat indikator-indikator ketakwaan yang dilakukan terlepas dari pretensi apapun. Para mufassir umumnya mengungkapkan bahwa pengakuan putri Syu‘ayb atas kejujuran Nabi Musa didasarkan pada pengamalan yang dialaminya pada saat menjemput dan menemani menemui ayahnya. Nabi Musa pada saat itu meminta putri Nabi Syu‘ayb itu berjalan di belakangnya karena menghindari pandangannya tertuju pada seorang perempuan yang bukan muhrimnya.19 Hal ini juga menunjukkan bahwa bukti kejujuran tidak mesti terkait dengan tugas yang bakal diembankan kepada karyawan. Jujur adalah sebuah sifat universal, dan sifat jujur seseorang dalam arti yang sesungguhnya tentu tetap terjaga dalam hal apapun. Orang yang tidak jujur dalam satu masalah kemungkinan tidak jujur dalam masalah yang lain. Kita juga dapat berkata bahwa kejujuran seseorang dapat diketahui melalui ekspresi ketakwaan yang tampak pada perbuatan- perbuatannya. Keenam, profesionalisme. Di dalam rangkaian kisah ini secara implisit terungkap juga penekanan pentingnya prrofesionalisme dalam pengembangan usaha. Hal ini antara lain dapat diukur berdasarkan kesesuaian antara kapasitas/ keahlian seseorang dengan tugas (job description) yang bakal diembannya. Pekerjaan yang ditawarkan oleh Nabi Syu‘ayb kepada Nabi Musa adalah menggembalakan ternak, dan ini selaras dengan kelebihan Nabi Musa. Rangkai- an kisah ini menggambarkan kelebihan tersebut dengan kata ‚qawiyy‛. Jika dihubungkan dengan kisah lain, kita mengetahui bahwa kekurangan yang ada pada diri Nabi Musa tidak ada hubungannya dengan tugas yang ditawarkan oleh Syu‘ayb dan keluarganya. Kisah lain mengenai profil Nabi Musa mengungkap bahwa dia memiliki kekurangan dalam soal komunikasi, dan ini tidak dibutuh- kan dalam melaksanakan tugas untuk menggembalakan kambing. Karena kekurangan Nabi Musa itulah, ketika akan menjalankan tugas suci dari Allah 19 Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr, h. 230. 10 Alimin Mesra: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb untuk menyampaikan kerasulan dan menyerukan misi/agama, dia memohon kepada Allah agar saudaranya, Harun, menjadi rekannya. Sekali lagi, permohon- an ini juga mengisyaratkan prosfesionalisme. Pemilihan Harun untuk menjadi rekan dalam menyampaikan dakwah berdasarkan atas kenyataan bahwa saudaranya itu mempunyai komunikasi yang lebih baik, ‚Innahû afsah minnî lisâna-n‛ (sesungguhnya Harun lebih fasih dari saya dalam soal komunikasi). Dalam ayat lain yang masih terkait, Nabi Musa menyampaikan permohonannya agar Allah memilih keluarganya untuk menutupi kekurangan yang dimilkinya itu, ‚Jadikanlan bagiku pembantu dari kalangan keluargaku‛. Pengetahuan akan kelebihan yang dibutuhkan Syu‘ayb terdapat di dalam diri Nabi Musa juga didasarkan pada keterangan dari orang dekatnya sebagai pemilik usaha/modal, yakni putrinya sendiri, bukan orang dekat Nabi Musa sebagai calon pekerja. Hal ini juga mengisyaratkan satu nilai bahwa rekomendasi itu hendaklah dari orang yang diyakini membela kepentingan kita. Rekomendasi itupun didasarkan pada bukti konkret. Para mufassir tampaknya seragam dalam hal ini. Bahwa ketika Musa sampai pada sumur di daerah Madyan dia me- nemukan sumur itu tertutup batu besar, yang menurut perkiraan hanya dapat digerakkan oleh sepuluh orang. Namun Nabi Musa dapat melakukan hal itu seorang diri. Sejenak kita melihat bukti kejujuran dan bukti kekuatan yang dimiliki Musa dalam ungkapan kisah ini. Dalam soal kejujuran bukti yang dirujuk adalah indikator implisit yang menguatkan dugaan, sementara ketika berbicara soal kekuatan merujuk pada bukti yang konkret. Kiranya hal ini dapat diterapkan dalam upaya atau proses rekrutmen karyawan. Ketujuh, optimalisasi kinerja/pelayanan. Pada rangkaian kisah, terungkap bahwa ada dua alternatif masa kerja yang disepakati oleh Musa dan Syu‘ayb yakni delapan atau sepuluh tahun. Pelaksanaan isi perjanjian secara maksimal terungkap di dalam sejumlah riwayat dalam pelbagai Tafsir. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsîr menukil beberapa riwayat, salah satunya adalah riwayat yang menyatakan bahwa Musa menunaikan masa yang sempurna, yakni sepuluh tahun. Pemenuhan aspek waktu secara sempurna dalam kisah ini sepatutnya dipahami sebagai simbol optimalisasi pelayanan/kinerja yang ditunjukkan oleh karyawan kepada pemilik modal. Pemahaman yang demikian didukung oleh sejumlah ayat-ayat Alquran menyangkut tanggung jawab dan pelaksanaan amanah. Sejumlah pernyataan Alquran mengenai hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi kinerja atau menunaikan kewajiban hendaknya didahulukan dari- pada menuntut hak. Pesan ini bukan berarti meletakkan kewajiban lebih penting 11Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 untuk menyampaikan kerasulan dan menyerukan misi/agama, dia memohon kepada Allah agar saudaranya, Harun, menjadi rekannya. Sekali lagi, permohon- an ini juga mengisyaratkan prosfesionalisme. Pemilihan Harun untuk menjadi rekan dalam menyampaikan dakwah berdasarkan atas kenyataan bahwa saudaranya itu mempunyai komunikasi yang lebih baik, ‚Innahû afsah minnî lisâna-n‛ (sesungguhnya Harun lebih fasih dari saya dalam soal komunikasi). Dalam ayat lain yang masih terkait, Nabi Musa menyampaikan permohonannya agar Allah memilih keluarganya untuk menutupi kekurangan yang dimilkinya itu, ‚Jadikanlan bagiku pembantu dari kalangan keluargaku‛. Pengetahuan akan kelebihan yang dibutuhkan Syu‘ayb terdapat di dalam diri Nabi Musa juga didasarkan pada keterangan dari orang dekatnya sebagai pemilik usaha/modal, yakni putrinya sendiri, bukan orang dekat Nabi Musa sebagai calon pekerja. Hal ini juga mengisyaratkan satu nilai bahwa rekomendasi itu hendaklah dari orang yang diyakini membela kepentingan kita. Rekomendasi itupun didasarkan pada bukti konkret. Para mufassir tampaknya seragam dalam hal ini. Bahwa ketika Musa sampai pada sumur di daerah Madyan dia me- nemukan sumur itu tertutup batu besar, yang menurut perkiraan hanya dapat digerakkan oleh sepuluh orang. Namun Nabi Musa dapat melakukan hal itu seorang diri. Sejenak kita melihat bukti kejujuran dan bukti kekuatan yang dimiliki Musa dalam ungkapan kisah ini. Dalam soal kejujuran bukti yang dirujuk adalah indikator implisit yang menguatkan dugaan, sementara ketika berbicara soal kekuatan merujuk pada bukti yang konkret. Kiranya hal ini dapat diterapkan dalam upaya atau proses rekrutmen karyawan. Ketujuh, optimalisasi kinerja/pelayanan. Pada rangkaian kisah, terungkap bahwa ada dua alternatif masa kerja yang disepakati oleh Musa dan Syu‘ayb yakni delapan atau sepuluh tahun. Pelaksanaan isi perjanjian secara maksimal terungkap di dalam sejumlah riwayat dalam pelbagai Tafsir. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsîr menukil beberapa riwayat, salah satunya adalah riwayat yang menyatakan bahwa Musa menunaikan masa yang sempurna, yakni sepuluh tahun. Pemenuhan aspek waktu secara sempurna dalam kisah ini sepatutnya dipahami sebagai simbol optimalisasi pelayanan/kinerja yang ditunjukkan oleh karyawan kepada pemilik modal. Pemahaman yang demikian didukung oleh sejumlah ayat-ayat Alquran menyangkut tanggung jawab dan pelaksanaan amanah. Sejumlah pernyataan Alquran mengenai hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi kinerja atau menunaikan kewajiban hendaknya didahulukan dari- pada menuntut hak. Pesan ini bukan berarti meletakkan kewajiban lebih penting daripada hak, sebab sekiranya semua pihak mengerti dan menunaikan kewajib- annya dengan baik, maka niscaya tidak ada hak yang terabaikan. Kewajiban karyawan bekerja dengan baik adalah hak bagi pemilik modal, dan kewajiban pemilik modal membayar upah adalah hak bagi karyawan. Dengan demikian, jika karyawan dan dan pemilik modal mengerti dan menunaikan kewajibannya dengan baik maka dengan sendirinya hak-hak mereka pun terlaksana dengan baik. Dunia usaha yang kerap diwarnai demonstrasi dewasa ini disebabkan karena pesan ini tidak terejawantahkan dengan baik. Mental kapitalis mewujud- kan kegiatan eksploitatif, keinginan perusahan atau pemilik modal mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya memaksa para karyawan untuk bekerja siang- malam, namun di sisi lain memberikan upah yang tidak seimbang. Sebaliknya, keinginan karyawan mendapatkan salary yang tinggi kadang tidak dibarengi dengan optimalisasi pelayanan/kinerja. Kedelapan, reward atas prestasi. Perjanjian kerjasama yang berimbang meniscayakan kesiapan menunaikan hak orang lain sebagaimana harapan agar karyawan yang dipercaya melaksanakan kewajibannya secara maksimal. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kewajiban dan hak dalam relasi antar manusia selalu terwujud dalam bentuk silang, maksudnya kewajiban satu pihak merupa- kan hak pihak lain, dan demikian sebaliknya. Dalam konteks dunia usaha, harapan pemilik modal untuk mendapatkan hak-hak secara sempurna atau lebih dari target minimal sebagaimana yang disepakati dalam kontrak kerja semesti- nya harus dibarengi dengan kesiapan memberikan reward, yakni lebih dari apa yang menjadi kewajiannya. Dalam bahasa atau istilah lain hal tersebut disebut bonus. Pesan inipun terungkap di dalam hubungan kerja antara Musa dengan Syu‘ayb. Berdasarkan perjanjian, kewajiban Musa adalah delapan tahun. Nabi Syu‘ayb tidak memiliki alasan untuk menuntut sekiranya masa kerja delapan tahun itu terpenuhi oleh Musa. Namun yang terjadi adalah Musa melakukan tugas itu selama sepuluh tahun, target maksimal yang disebutkan di dalam per- janjian. Di sisi lain, berdasarkan kontrak yang disepakati, Nabi Syu‘ayb menjanji- kan upah dalam bentuk menikahkan Musa dengan salah seorang putrinya. Lalu reward atau tambahan apa yang diberikan Syu‘ayb kepada Musa atas kinerjanya yang ditunaikan secara maksimal? Sebuah riwayat menceritakan bahwa pada tahun terakhir Syu‘ayb menjanjikan bahwa setiap kambingnya yang beranak dengan warna tertentu akan menjadi bagiannya dan atas karunia Allah semua kambing melahirkan anak dengan warna yang dimaksud. Lalu pada tahun itu juga, Musa pergi 12 Alimin Mesra: Pesan Alquran dalam Kerjasama Musa dengan Syu‘ayb bersama dengan istrinya pergi dan membawa kambing-kambing yang telah menjadi bagiannya itu.20 Terlepas dari validitasnya, riwayat yang banyak ditampilkan di dalam Tafsir ini menunjukkan bahwa baik Musa demikian pula Syu‘ayb sama-sama membuk- tikan diri sebagai karyawan dan pemilik modal yang tidak hanya menuntut hak, tetapi juga mengerti dan memahami kewajibannya dengan baik. Sebagai karyawan, Musa telah menunaikan tugasnya sesempurna mungkin sementara Syu‘ayb sebagai pemilik modal menghargai prestasi itu dalam bentuk reward/ bonus. Perlu disampaikan di sini, bahwa meski tidak disebutkan secara eksplisit di dalam kontrak, namun optimalisasi kinerja dan reward yang akan diberikan telah diisyaratkan sedari awal. Ini terlihat pada ungkapan Syu‘ayb, kelak engkau akan mendapati saya sebagai bagian dari orang-orang yang berbuat baik. Artinya, meski tidak disebutkan secara tegas, isyarat tentang kemungkinan adanya bonus dan penghargaan khusus bagi karyawan berprestasi sebaiknya diberikan sebagai rangsangan (insentif), dengan catatan hal tersebut benar-benar diunaikan. Kesembilan, memorandum of understanding. Kejelasan kontrak sedari awal di antara karyawan dan pemilik modal juga merupakan pesan penting yang terungkap melalui kisah ini, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi).‛ Bagian inilah yang menandai kontrak antara Nabi Musa dengan Nabi Syu‘ayb. Tentu saja, karena alasan keterbatasan sarana pendukung pada saat itu, kontrak yang dimaksud tidak dibuat secara tertulis, melainkan hanya dengan cara lisan. Namun seiring dengan perkembangan, dunia usaha dewasa ini menuntut kontrak dibuat secara tertulis. Disamping sarana pendukung lebih dari memadai untuk mewujudkannya, hukum dan perundang-undangan yang berlaku saat ini meniscayakan kontrak tertulis untuk menjaga hak-hak kedua belah pihak yang terikat kontrak. Perbedaan bentuk ini bukanlah bentuk penyimpangan melainkan semata perbedaan tekhnis sebagai konsekuensi perkembangan radikal yang terjadi dalam pelbagai hal. Ditinjau dari perspektif hukum Islam, perkembangan ini merupakan terapan dari kaidah ‚memelihara nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik‛. Kejelasan kontrak/ perjanjian adalah satu nilai yang dikenal sejak dulu, dan tentunya harus dipelihara, tetapi budaya 20 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, h. 487; Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr, h. 233. 13Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1, Januari 2012 bersama dengan istrinya pergi dan membawa kambing-kambing yang telah menjadi bagiannya itu.20 Terlepas dari validitasnya, riwayat yang banyak ditampilkan di dalam Tafsir ini menunjukkan bahwa baik Musa demikian pula Syu‘ayb sama-sama membuk- tikan diri sebagai karyawan dan pemilik modal yang tidak hanya menuntut hak, tetapi juga mengerti dan memahami kewajibannya dengan baik. Sebagai karyawan, Musa telah menunaikan tugasnya sesempurna mungkin sementara Syu‘ayb sebagai pemilik modal menghargai prestasi itu dalam bentuk reward/ bonus. Perlu disampaikan di sini, bahwa meski tidak disebutkan secara eksplisit di dalam kontrak, namun optimalisasi kinerja dan reward yang akan diberikan telah diisyaratkan sedari awal. Ini terlihat pada ungkapan Syu‘ayb, kelak engkau akan mendapati saya sebagai bagian dari orang-orang yang berbuat baik. Artinya, meski tidak disebutkan secara tegas, isyarat tentang kemungkinan adanya bonus dan penghargaan khusus bagi karyawan berprestasi sebaiknya diberikan sebagai rangsangan (insentif), dengan catatan hal tersebut benar-benar diunaikan. Kesembilan, memorandum of understanding. Kejelasan kontrak sedari awal di antara karyawan dan pemilik modal juga merupakan pesan penting yang terungkap melalui kisah ini, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi).‛ Bagian inilah yang menandai kontrak antara Nabi Musa dengan Nabi Syu‘ayb. Tentu saja, karena alasan keterbatasan sarana pendukung pada saat itu, kontrak yang dimaksud tidak dibuat secara tertulis, melainkan hanya dengan cara lisan. Namun seiring dengan perkembangan, dunia usaha dewasa ini menuntut kontrak dibuat secara tertulis. Disamping sarana pendukung lebih dari memadai untuk mewujudkannya, hukum dan perundang-undangan yang berlaku saat ini meniscayakan kontrak tertulis untuk menjaga hak-hak kedua belah pihak yang terikat kontrak. Perbedaan bentuk ini bukanlah bentuk penyimpangan melainkan semata perbedaan tekhnis sebagai konsekuensi perkembangan radikal yang terjadi dalam pelbagai hal. Ditinjau dari perspektif hukum Islam, perkembangan ini merupakan terapan dari kaidah ‚memelihara nilai-nilai lama yang baik, dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik‛. Kejelasan kontrak/ perjanjian adalah satu nilai yang dikenal sejak dulu, dan tentunya harus dipelihara, tetapi budaya 20 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, h. 487; Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr, h. 233. menulis kontrak menyusul perkembangan yang terjadi merupakan nilai-nilai yang lebih baik, karenanya harus diterima. Pesan universal yang dapat dipahami dari kisah ini adalah kejelasan materi yang disepakati. Ungkapan ‚itulah perjanjian antara aku dan kamu‛ yang ditegaskan oleh Nabi Musa merujuk kepada beberapa materi yang disepakati di antaranya masa kerja yang harus ditunaikan minimal delapan tahun dan maksimal sepuluh tahun. Kaitannya dengan penyebutan dua masa, ditegaskan lagi melalui klausul lain bahwa yang manapun di antara keduanya ditunaikan maka tidak ada pihak yang dapat berkeberatan. Upah Nabi Musa juga disebutkan secara jelas, yakni dia dinikahkan dengan salah seorang putri Nabi Syu‘ayb. Karena itu, sekiranya Syu‘ayb tidak meberikan apa-apa lagi, maka Musa tentunya tidak mempunyai alasan untuk menuntut. Dari segi etika, pernyataan kesiapan tampaknya kisah ini mengungkapkan bahwa kontrak harus dibuat tanpa ada tekanan. Penerimaan karyawan terhadap kontrak yang ditawarkan harus diputuskan oleh yang bersangkutan berdasarkan pilihan dan kebebasannya. Kesepuluh, religiusitas. Bagian terakhir dari kisah ini menunjukkan pen- tingnya kesepakan kontrak didasarkan pada relegiusitas. Di dalam teks, Alquran tidak menyebutkan keberadaan pihak ketiga sebagai saksi atas perjanjian/ kontrak yang disepakati oleh keduanya. Namun ini bukan berarti bahwa saksi tidak dibutuhkan atau tidak disyaratkan dalam perjanjian. Bagian lain dari Alquran justru meletakkan keberadaan saksi sebagai hal penting untuk menguat- kan perjanjian. Perjanjian antara dua orang salih ini menyebutkan Allah sebagai saksi atas kesepakatan yang terjadi di antara mereka, ‚Allah menjadi saksi atas apa yang kita katakan‛. Ungkapan yang sama ditemukan pada perjanjian antara Nabi Ya’kub dan putera-puteranya, sebelum menyerahkan putera bungsunya kepada mereka untuk dibawa serta menemuai Nabi Yusuf. Relegiusitas kedua pihak sesungguhnya lebih menjamin terpeliharanya perjanjian/kontrak. Bagian penting relegiusitas adalah keyakinan bahwa tiada sesuatu perbuatan dan perkataan yang luput dari pengetahuan Allah, dan pengingkaran atas perjanjian merupakan dosa yang akan mendapat balasan siksa. Keyakinan inilah menjadi pengawasan melekat, dan menghalangi sese- orang inkar dari janji-janji yang telah diberikan kepada sesamanya. Selain itu, kitapun dapat memahami bahwa pelibatan seoang saksi dalam pembuatan kontrak/perjanjian, hendaknya saksi yang memiliki religiusitas. Bukankah banyak fakta yang telah membuktikan bahwa dewasa ini seringkali saksi berbohong karena motif-motif tertentu?