01 Arieszetni.pmd Hidayatul Khusnah, Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention 3535 Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention Hidayatul Khusnah Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya e-mail: hidayatul.khusnah@unusa.ac.id Abstract: This study aims to investigate the factors that can encourage individuals to do whistleblowing. Factors that are predicted to affect whistleblowing intention are organizational Ethical Culture and Moral intensity and Ethical Decision Making. The sample in this study were 63 respondents. Total questionnaires distributed were 78 questionnaires, but as many as 65 question- naires were returned, there were 2 questionnaires that were not filled out completely, so were excluded from testing. Data analysis techniques in this study used SEM-PLS. The results of this study found a positive effect of organizational ethical culture on whistleblowing intention. This shows that organizations that have a high ethical culture tend to have high whistleblowing inten- tions. The next finding is that moral intensity has a positive effect on ethical decision making and whistleblowing intention. This shows that individuals who have high moral intensity decisions that are made tend to be more ethical. The final finding in this research is ethical decision making which has a positive effect on whistleblowing intention. the higher the Ethical Decision Making, the higher the Whistleblowing Intention. When someone is able to make decisions ethically, it will go hand in hand with the whistleblowing intention. Keywords: organizational ethical culture, moral reasoning, ethical decision making, whistleblowing intention PENDAHULUAN Beberapa tahun terakhir ini, di provinsi Jawa Timur kasus skandal keuangan semakin meningkat, baik pada sektor swasta ataupun sektor publik. Pada sektor publik, kasus skandal keuangan di Provinsi Jawa Timur terutama de- ngan pelaku pejabat daerah bisa dikatakan sangat tinggi (BPK.go.id). Kasus skandal keuangan di jawa timur sudah mencapai 81 kasus dan telah merugikan keuangan negara mencapai Rp4,16 M (Detik.com). Tjahjono (2013) mengatakan hanya sekitar seperempat dari kasus fraud terungkap karena internal audit, dan seperempatnya lagi terungkap oleh adanya proses internal control atau bahkan secara tidak sengaja. Berdasarkan hal tersebut, maka peran whistleblower menjadi sangat penting untuk mengungkap tindak kecurangan yang terjadi. Dewasa ini banyak perusahaan yang tertarik dengan whistleblowing. Istilah whistle- blowing erat kaitannya dengan tindakan pelapor- an yang dilakukan oleh karyawan atau mantan karyawan perusahaan terkait dengan tindakan pelanggaran kepada pihak-pihak yang berwenang. Whistleblowing telah menjadi bagian integral dalam program penegakan peraturan di seluruh dunia. Whistleblowing merupakan masalah organi- sasi yang kontroversial, whistleblower dapat membantu organisasi memperbaiki atau menye- diakan sumber informasi yang penting dan kom- pleks (Near dan Miceli, 1985). Whistleblower merupakan penegak keadilan ketika terjadi suatu kesalahan dalam suatu perusahaan (Near dan Miceli, 1985). Pandangan akan whistleblower yang bertentangan, kerap menjadikan seorang Business and Finance Journal, Volume 5, No. 1, March 2020 36 whistleblower berada dalam situasi yang membi- ngungkan dalam menentukan sikap yang pada akhirnya dapat melakukan whistleblowing in- tention. Tindakan pengungkapan kecurangan (whis- tleblowing) perlu adanya keberanian, evaluasi moral dan seseorang harus menempatkan kepen- tingan publik dari pada kepentingan pribadinya. Saat ini, banyak whistleblower telah mengalami konsekuensi negatif termasuk kehilangan peker- jaan dan ancaman balas dendam. Namun, dengan konsekuensi tersebut, melakukan pengungkapan kecurangan merupakan sesuatu yang harus me- reka lakukan sebagai bentuk dalam melindungi organisasi mereka dari ancaman yang dapat membahayakan perusahaan. Tindakan whistle- blowing tidak dimaksudkan untuk menyebabkan bahaya tetapi untuk melindungi, mencegah peni- puan dan kesalahan (Zakaria, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk menginves- tigasi faktor-faktor yang dapat mendorong indi- vidu untuk melakukan whistleblowing. Faktor- faktor yang diprediksi dapat memengaruhi whis- tleblowing intention adalah organizational ethi- cal culture dan moral reasoning dan ethical decision making. Beberapa penelitian terdahulu telah memprediksi bahwa organizational ethical culture adalah faktor antecedent dari whistle- blowing intention (Keenan, 1990; Rothwell dan Baldwin, 2006; Hwang et al., 2013; Zakaria, 2018). Organizational ethical culture dikonsep- tualisasikan sebagai persepsi karyawan tentang sejauh mana komitmen organisasi dalam kaitan- nya dengan masalah etika terhadap karyawan dan manajemennya (Victor dan Culen, 1988). Organisasi yang memiliki nilai etika tinggi maka karyawan akan merasa bahwa selalu didukung ketika akan melakukan hal-hal yang terpuji, salah satunya whistleblowing, hal tersebut akan mendorong lebih banyak lagi niat karyawan untuk melakukan whistleblowing. Faktor kedua yang diprediksi memiliki dam- pak terhadap whistleblowing intention adalah moral intention. Moral reasoning atau intensitas moral adalah tingkatan kuat atau lemahnya pera- saan dalam melakukan suatu perbuatan. Inten- sitas moral dapat berhubungan dengan persepsi kontrol perilaku yang tecermin dalam teori perilaku yang terencana (theory of planned be- havior) yaitu persepsi yang dimiliki oleh sese- orang yang merupakan hasil dari kontrol diri seseorang dalam melakukan suatu tindakan (Krehastuti dan Prastiwi, 2014). Beberapa penelitian sebelumnya yang ada di Indonesia juga mengaitkan faktor moral rea- soning dengan whistleblowing intention. Fidya- wati (2016), Krehastuti dan Prastiwi (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh inten- sitas moral terhadap niat untuk menjadi whistle- blower. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas moral berpengaruh terhadap niat un- tuk menjadi whistleblower. Hal tersebut tidak didukung oleh penelitian yang dilakukan Ahyar- uddin dan Asnawi (2017) yang menyatakan bah- wa moral individu dan lingkungan etis organisasi tidak berpengaruh terhadap kecenderungan individu untuk melakukan whistleblowing pada auditor BPKB perwakilan provinsi Riau. Penelitian ini diharapkan akan dapat mem- berikan sumbangan konseptual dalam literatur khususnya di bidang akuntansi serta memberikan kontribusi praktis bagi organisasi terutama di sektor publik untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka mengurangi kecurangan yang ter- jadi serta memberikan fasilitas kepada whistle- blower untuk mengungkap kecurangan tersebut tanpa ada rasa takut. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 63 responden. Total kuesioner yang disebar adalah 78 kuesioner, akan tetapi yang kembali sebanyak 65 kuesioner, terdapat 2 kuesioner yang tidak diisi dengan lengkap, sehingga dikeluarkan dari Hidayatul Khusnah, Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention 37 pengujian. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan SEM-PLS. Hasil penelitian ini menemukan pengaruh positif dari organizational ethical culture terhadap whistleblowing inten- tion. Hal tersebut menunjukkan bahwa organi- sasi yang memiliki budaya etika yang tinggi maka cenderung memiliki niat untuk melakukan whistleblowing yang tinggi juga. Temuan selan- jutnya yaitu moral reasoning berpengaruh positif terhadap ethical decision making dan whistle- blowing intention. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang memiliki intensitas moral yang tinggi keputusan yang diambil cenderung akan lebih beretika. Temuan terakhir dalam penelitian ini yaitu ethical decision making ber- pengaruh positif terhadap whistleblowing inten- tion. semakin tinggi Ethical Decision Making maka semakin tinggi pula whistleblowing Inten- tion. Ketika seseorang mampu mengambil kepu- tusan dengan etis, maka akan beriringan positif dengan niat untuk melakukan whistleblowing. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis Istilah whistleblowing sudah banyak dide- finisikan oleh beberapa peneliti terdahulu, salah satunya yaitu Near & Miceli (1985), McLain & Keenan (1999) mendefinisikan whistleblowing sebagai pengungkapan oleh anggota organisasi (anggota yang masih berada dalam organisasi maupun yang sudah keluar dari organisasi) terkait dengan praktik ilegal, tidak bermoral, atau praktik yang tidak dapat dilegitimasi secara hukum di bawah kontrol majikan mereka, kepada orang ataupun organisasi yang mungkin mampu untuk memengaruhi suatu tindakan. Whistleblowing dianggap menjadi alat yang berharga dalam strategi tata kelola perusahaan (corporate governance), sebagai suatu pelaporan pelanggaran yang dapat membantu menjaga ke- amanan tempat kerja, sekaligus melindungi keun- tungan dan reputasi perusahaan (Susmanschi, 2012). Orang atau pihak yang melihat beberapa tindakan yang salah dan melaporkan tindakan tersebut kepada manajemen atau regulator (pe- merintah) disebut whistleblower. Whistleblower merupakan salah satu sumber yang penting da- lam pengungkapan kecurangan (fraud). Hal ini karena whistleblower yang menjadi salah satu bagian dari internal organisasi merupakan pihak yang paling tahu mengenai terjadinya fraud di dalam organisasi. Victor dan Cullen (1988) mengonseptuali- sasikan organizational ethical culture sebagai persepsi karyawan tentang sejauh mana komit- men organisasi dalam kaitannya dengan masalah etika terhadap karyawan dan manajemennya. Marta (1999) menegaskan bahwa organizational ethical culture diciptakan dalam organisasi mela- lui praktik manajemen kebijakan etika, penegak- an dan tindakan. Fang (2006), budaya etis orga- nisasi menciptakan dan menanamkan keyakinan etis di antara anggotanya tentang apa yang dira- sakan oleh anggota organisasi mereka akan me- ningkatkan kewajiban moral mereka untuk melindungi kepentingan organisasi yang mereka layani. Sebagai imbalannya, organisasi harus mendukung tindakan mulia anggota melalui penghargaan dan saluran pelaporan birokrasi yang lebih sedikit. Organizational ethical culture dapat sangat memengaruhi niat pengungkap fakta. Manaje- men organisasi bertanggung jawab atas budaya etika yang sehat dan dengan demikian mencer- minkan komitmen etis manajemen (Mendonca, 2011) dalam mendorong niat anggota untuk melakukan whistleblowing penting bahwa baik manajemen dan anggota memainkan peran pen- ting dalam memperkuat dan memperkuat perlin- dungan terhadap whistle-blower. Oleh karena itu, budaya etika yang sehat dan perlindungan yang diberikan kepada whistle-blower akan Business and Finance Journal, Volume 5, No. 1, March 2020 38 merangsang kemungkinan whistleblowing inten- tion di antara anggota. Organizational Ethical Culture dengan Whistle- blowing Intention Organizational ethical culture menciptakan dan menanamkan keyakinan etis di antara anggo- ta organisasi, lingkungan etis yang kuat dapat membantu mengurangi kecenderungan manajer untuk berperilaku oportunistik ketika terdapat masalah agensi (agency problems) (Booth & Schulz, 2004). Menciptakan sebuah lingkungan etis yang kuat dapat menjadi pilihan pengendalian yang sangat diharapkan bagi organisasi secara umum (Akhyarudin dan Asnawi, 2017). budaya organisasi yang etis akan meningkatkan moral seseorang sehingga dapat mendorong niat sese- orang untuk melaporkan ketika terjadi tidak kecurangan, maka dari itu hipotesis yang diaju- kan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H1: Organizational ethical culture berpengaruh positif terhadap whistleblowing intention Moral Reasoning, Ethical Decision Making, dan Whistleblowing Intention Ethical decision making atau pengambilan keputusan etis terjadi ketika seseorang dalam kondisi dilema etika di tempat kerja (Jones, 1991). Pengambilan keputusan etis dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan internal individu itu sendiri (O’Fallon dan Butterfield, 2005; Craft, 2013). Jones (1991) mengatakan bahwa moral reasoning memengaruhi penalaran seseorang. Semakin tinggi moral reasoning seseorang maka penalaran yang ia lakukan juga semakin lebih baik. Penelitian sebelumnya yang mengaitkan moral reasoning dengan pengambilan keputusan etis (Cohen dan Bennie 2006; Har- rington, 1997; Mei dan Pauli, 2002; Valentine dan Godkin, 2019). Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut. H2: Moral reasoning berpengaruh positif terha- dap ethical decision making Salah satu faktor penting yang memenga- ruhi keputusan individu untuk melakukan whis- tleblowing adalah perilaku moral (Near & Miceli,1995). Keputusan seseorang memutuskan untuk melakukan whistleblowing dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni karakter pribadi indi- vidu, lingkungan sekitar serta ketakutan adanya pembalasan (Near & Miceli, 1995). Individu yang memiliki penalaran moral yang lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk melakukan whis- tleblowing dibandingkan dengan individu yang memiliki penalaran moral yang lebih rendah (Liyanarachchi & Newdick, 2009). Semakin tinggi penalaran moral individu, maka kecende- rungan untuk mengungkapkan tindak kecurangan yang terjadi juga semakin tinggi, maka dari itu hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. H3: Moral reasoning berpengaruh positif terha- dap whistleblowing intention Ethical Decision Making dengan Whistleblowing Intention Whistleblowing yaitu tindakan oleh seorang karyawan, mantan karyawan atau anggota organi- sasi untuk melaporkan tindak kecurangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang berdam- pak terhadap masyarakat umum (Shawver, 2011). Akan tetapi, niat seseorang untuk melakukan whistleblowing sering kali hilang ketika dihadap- kan pada ancaman pembalasan di masa yang akan datang. hal tersebut tidak berlaku ketika Hidayatul Khusnah, Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention 39 seseorang tersebut memiliki penalaran moral yang tinggi. Valentine dan Godkin (2019) meng- gabungkan faktor individu, organisasi dan sosial untuk mendorong niat seseorang lam melakukan whistleblowing. Faktor yang diusulkan tersebut adalah ethical decision making atau pengambilan keputusan etis. Pengambilan keputusan etis terjadi ketika seseorang dalam kondisi dilema etika di tempat kerja (Jones, 1991). Ketika seseorang berniat melakukan sesuatu maka seseorang tersebut harus memahami terlebih dahulu situasi yang ada, apakah memiliki implikasi etis atau tidak (Trevino, 1986; Rest, 1986; Jones, 1991). Ketika seseorang mampu mengambil keputusan dengan etis, maka akan beriringan positif dengan niat untuk melakukan whistleblowing. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut. H4: Ethical decision making berpengaruh positif dengan whistleblowing intention METODE PENELITIAN Sampel Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Sampel dalam penelitian ini adalah Manajer Akuntansi atau Manajer Keuangan Perusahaan Manufaktur di kawasan PT Surabaya Industrial Estate (SIER) yang terdaftar dalam Buku Daftar Investor Tahun 2017. Pemilihan sampel pada satu jenis industri diharapkan dapat mengurangi kemungkinan industry effect terhadap data yang dianalisis. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Adapun kriteria penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seba- gai berikut. 1. Bekerja di perusahaan manufaktur yang ter- daftar dalam Buku Daftar Investor/Investor Guidance Book (2017) di kawasan industri SIER. 2. Mempunyai jabatan sebagai manajer akun- tansi atau manajer keuangan. 3. Bekerja minimal selama satu tahun. Manajer akuntansi atau manajer keuangan yang beker- ja selama satu tahun dianggap sudah meme- nuhi kualifikasi mengenai pengetahuan terha- dap lingkungan perusahaan dengan baik se- hingga bisa menilai bagaimana perusahaan dalam menangani kecenderungan kecurangan akuntansi. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menyebarkan kuesioner langsung kepada Mana- jer Akuntansi atau Manajer Keuangan Perusahaan Organizational Ethical Culture Whistleblowing Intention Ethical Decision Making Moral reasoning Gambar 1.1 Desain Penelitian Business and Finance Journal, Volume 5, No. 1, March 2020 40 Manufaktur di kawasan PT Surabaya Industrial Estate (SIER). Penelitian ini menggunakan kue- sioner cetak yang diantar langsung ke Perusa- haan Manufaktur di kawasan PT Surabaya Indus- trial Estate (SIER). Jumlah kuesioner yang disebar sebanyak 78 kuesioner dan yang kembali sebanyak 65 kuesioner. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 2 kuesioner yang tidak diisi dengan lengkap sehingga total kuesioner yang dapat diolah sebanyak 63. Persentase tingkat respons dalam penelitian ini sebesar 81%, jumlah persen- tase tersebut menunjukkan bahwa tingkat res- pons dari responden sangat tinggi. Pengukuran Variabel Variabel organizational ethical culture di- ukur menggunakan instrumen yang dikembang- kan oleh Hunt et al. (1989) yang digunakan oleh Falah (2006) dan Nurfarida (2011) yang setiap item pertanyaan berisi tentang tindakan- tindakan yang dilakukan pimpinan terhadap bawahannya pada tindakan etis maupun tidak etis yang berhubungan dengan whistleblowing intention. Variabel organizational ethical culture diukur menggunakan lima pertanyaan. Variabel moral reasoning diukur mengguna- kan instrumen yang dikembangkan oleh Jones (1991). Instrumen tersebut diukur dengan meng- gunakan enam pernyataan dengan menggunakan skala likert 5 (lima) point. Variabel Ethical de- cision making diukur menggunakan 8 (delapan) item pernyataan, yang terdiri dari 4 (empat) item yang didasarkan pada persepsi individu tentang situasi yang disorot dalam skenario etika, sedangkan 4 (empat) item pernyataan penilaian etis yang dinilai dengan skala “moral equity” yang menunjukkan sejauh mana responden perca- ya bahwa situasi benar-benar tidak etis (Valen- tine and Godkin, 2019). Variabel whistleblowing intention dalam penelitian ini diukur menggunakan instrumen dari Liyanarachchi & Newdick (2009) yang digunakan oleh peneliti di Indonesia Ahyaruddin dan Asnawi (2017), Pratiwi (2015), Abdilla (2017), dan Rodiyah (2014). Whistleblowing in- tention dalam penelitian ini menggunakan 5 item pertanyaan. Hasil Analisis data dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan structural equation modeling (SEM) dengan metoda alternatif par- tial least square (PLS) dengan menggunakan soft- ware WarpPLS 3.0. Ada dua tahap dalam peng- ujian menggunakan SEM-PLS, yaitu analisis model pengukuran dan analisis model struktural. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeva- luasi model pengukuran terlebih dahulu, setelah itu baru mengevaluasi model struktural. Proses perancangan model struktural dalam penelitian ini dengan menggunakan tujuh kon- struk (variabel laten). Konstruk tersebut terdiri dari satu konstruk eksogen dan enam konstruk endogen. Konstruk yang ada di dalam model struktural masing-masing memiliki indikator yang berfungsi sebagai alat ukur untuk indikator ter- sebut. Evaluasi model pengukuran bertujuan untuk mengetahui kualitas dari alat ukur (instrumen) dari sebuah konstruk. Terdapat dua pendekatan untuk mengukur konstruk dalam evaluasi model pengukuran, yaitu pengukuran reflektif dan peng- ukuran formatif. Penelitian ini hanya mengguna- kan satu pendekatan saja yaitu pendekatan peng- ukuran reflektif. Konstruk reflektif dinilai ber- dasarkan nilai cross loading masing-masing kon- struk. Uji validitas dalam model pengukuran terdiri dari dua parameter, yaitu validitas konver- gen dan validitas diskriminan. Hidayatul Khusnah, Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention 41 Uji validitas konvergen didasarkan pada faktor loading masing-masing indikator dari kon- struk yang mana loading indikator lebih besar dari 0.70, sedangkan untuk uji validitas diskri- minan dinilai dengan cara membandingkan akar kuadrat dari average variance extracted (AVE) dengan korelasi antar konstruk, atau bisa juga dengan cara membandingkan loading konstruk yang diukur dengan loading konstruk yang lain- nya (Sholihin dan Ratmono, 2013). Pengujian reliabilitas diukur menggunakan composite reli- ability dan cronbach alpha. Rule of thumb dari composite reliability dan cronbach alpha adalah lebih besar dari 0,70 (Sholihin dan Ratmono, 2013). Validitas konvergen berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi (Hartono dan Abdillah, 2014). Uji validitas konvergen dinilai berdasarkan pada faktor loading masing- masing konstruk lebih besar dari 0.70 (Sholihin dan Ratmono, 2013). Tabel 1.1 menyajikan hasil uji validitas kon- vergen masing-masing konstruk. Hasil dari uji validitas konvergen tersebut menunjukkan ada beberapa indikator dari beberapa konstruk ada yang memiliki nilai faktor loading di bawah 0,7. Beberapa indikator tersebut yang dicetak tebal di dalam tabel di atas. Untuk P-Value masing- masing indikator telah memenuhi kriteria, yaitu kurang dari 0,05. Indikator-indikator yang memi- liki nilai faktor loading kurang dari 0,7 tidak dimasukkan dalam pengolahan data karena di- anggap tidak memenuhi kriteria validitas konver- gen. Pengujian selanjutnya adalah uji validitas diskriminan. Uji validitas diskriminan dinilai dengan cara membandingkan akar kuadrat dari average variance extracted (AVE) dengan kore- lasi antar-konstruk, atau bisa juga dengan cara membandingkan loading konstruk yang diukur dengan loading konstruk yang lainnya (Sholihin dan Ratmono, 2013). Tabel 1.2 Korelasi antar-Variabel Laten Variabel Item Loading P-Value Organizational Ethical Culture (OEC) OEC1 0,712 <0,001 OEC2 0,844 <0,001 OEC3 0,851 <0,001 OEC4 0,846 <0,001 OEC5 0,583 <0,001 Moral reasoning (MI) MI1 0,656 <0,001 MI2 0,724 <0,001 MI3 0,693 <0,001 MI4 -0,609 <0,001 MI5 -0,685 <0,001 MI6 -0,738 <0,001 Ethical Decision Making (EDM) EDM1 0,788 <0,001 EDM2 0,866 <0,001 EDM3 0,768 <0,001 EDM4 0,828 <0,001 EDM5 0,829 <0,001 EDM6 0,682 <0,001 EDM7 0,838 <0,001 EDM8 0,768 <0,001 Whistleblowing Intention (WI) WI1 0,758 <0,001 WI2 0,851 <0,001 WI3 0,815 <0,001 WI4 0,785 <0,001 WI5 0,772 <0,001 Tabel 1.1 Nilai Loading Kombinasi dan Faktor Loading OEC MI EDM WI OEC 0,528 0,422 0,285 0,326 MI 0,422 0,476 0,378 0,328 EDM 0,285 0,378 0,554 0,240 WI 0,326 0,328 0,240 0,553 Tabel 1.2 menyajikan hasil pengujian validi- tas diskriminan dari konstruk dalam penelitian ini. Hasil pada tabel di atas menunjukkan bahwa validitas diskriminan dalam penelitian ini telah terpenuhi dilihat dari nilai akar kuadrat dari AVE pada kolom diagonal lebih besar dari pada korelasi antarkonstruk pada kolom yang sama. Pengujian selanjutnya Pengujian reliabilitas diukur menggunakan composite reliability dan Business and Finance Journal, Volume 5, No. 1, March 2020 42 cronbach alpha. Rule of thumb dari composite reliability dan cronbach’s alpha adalah lebih besar dari 0,70 (Sholihin dan Ratmono, 2013). Hasil pengujian reliabilitas konsistensi internal dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.3. Tabel 1.3 Hasil Uji Reliabilitas Konsistensi Internal pada level 10%). Gambar 1.2 menunjukkan hasil pengujian hipotesis dalam penelitian ini. Organizational Ethical Culture dengan Whistle- blowing Intention Hasil pengujian hipotesis yang disajikan dalam Gambar 1.2 menunjukkan nilai p-value dan koefisien jalur organizational ethical culture (OEC) terhadap whistleblowing intention (WI) sebesar 0,002 dan 0,113 (signifikan pada level 1%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa Hipo- tesis 1 terdukung. Semakin tinggi budaya etika dalam suatu organisasi maka kecenderungan keinginan untuk melakukan whistleblowing juga tinggi. hasil penelitian ini sesuai dengan argumen yang ditulis dalam penelitian (Zakaria, 2015). Moral Reasoning, Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention Hasil pengujian hipotesis berikutnya adalah pengaruh moral reasoning terhadap ethical deci- sion making. Berdasarkan hasil pengujian yang tertera dalam gambar di atas menunjukkan p- value dan nilai koefisien jalur sebesar <0,001 dan 0,376. Berdasarkan hasil tersebut maka hipotesis 2 terdukung. Semakin tinggi moral Koefisien OEC MI EDM WI Composite reliability 0,869 0,001 0,933 0,897 Cronbach’s alpha 0,806 0,374 0,917 0,856 AVE 0,579 0,470 0,636 0,635 Pengujian selanjutnya adalah evaluasi model struktural. Evaluasi model struktural dalam SEM-PLS dengan menggunakan nilai koefisien determinasi (R!) dan nilai Q-Squared. Berikut adalah hasil pengujian evaluasi model struktural yang tersaji dalam Tabel 1.4. Tabel 1.4 Koefisien Variabel Laten Koefisien OEC MI EDM WI R! 0,290 0,332 Q-Squared 0,307 0,370 Penelitian ini mengajukan empat hipotesis. Hipotesis dalam penelitian ini dikatakan terdu- kung apabila memiliki nilai p-value <0,01 (sig- nifikan pada tingkat 1%), p-value <0,05 (signi- fikan pada level 5%) dan p-value <0,1 (signifikan Gambar 1.2 Hasil Pengujian Hipotesis Hidayatul Khusnah, Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention 43 intensiti individu maka semakin tinggi pula pengambilan keputusan etisnya. Moral reason- ing memengaruhi penalaran seseorang. Semakin tinggi moral reasoning seseorang maka penalaran yang ia lakukan juga semakin lebih baik (Jones, 1991). Hasil penelitian ini sesuai dengan peneli- tian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya (Cohen dan Bennie 2006; Harrington, 1997; Mei dan Pauli, 2002; Valentine dan Godkin, 2019). Hipotesis ketiga yaitu Moral reasoning ber- pengaruh positif terhadap whistleblowing inten- tion. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat diketahui p-value dan nilai koefisien jalurnya sebesar 0,063 dan 0,184 (signifikan pada level 10%) sehingga hipotesis 3 terdukung. Semakin tinggi penalaran moral individu maka semakin tinggi pula niat untuk melakukan whistleblowing. Individu yang memiliki penalaran moral yang lebih tinggi memiliki kecenderungan untuk me- lakukan whistleblowing dibandingkan dengan individu yang memiliki penalaran moral yang lebih rendah (Liyanarachchi & Newdick, 2009). Ethical Decision Making dengan Whistleblowing Intention Hipotesis terakhir yang diajukan dalam penelitian ini adalah ethical decision making berhubungan positif dengan whistleblowing In- tention. Berdasarkan pengujian hipotesis yang telah dilakukan diketahui p-value dan nilai koefi- sien jalurnya adalah sebesar 0,086 dan 0,164 (signifikan pada level 10%) sehingga hipotesis 4 diterima. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin tinggi Ethical Decision Making maka semakin tinggi pula whistleblowing Intention. Ketika seseorang mampu mengambil keputusan dengan etis, maka akan beriringan positif dengan niat untuk melakukan whistleblowing. KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk menginves- tigasi faktor-faktor yang dapat mendorong indi- vidu untuk melakukan whistleblowing. Faktor- faktor yang diprediksi dapat memengaruhi whis- tleblowing intention adalah organizational ethi- cal culture dan moral reasoning dan ethical decision making. Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh positif dari organizational ethical culture terha- dap whistleblowing intention. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi budaya etika dalam suatu organisasi maka kecen- derungan keinginan untuk melakukan whistle- blowing juga tinggi. Individu yang berada pada lingkungan organisasi yang memiliki budaya etika tinggi cenderung melakukan apa pun sesuai de- ngan etika yang berlaku. Salah satunya ketika melihat adanya tindak kecurangan, maka individu tersebut cenderung memiliki niat yang lebih tinggi untuk melaporkan tindakan tersebut. Penelitian ini juga menemukan pengaruh positif dari moral reasoning terhadap ethical decision making. Moral reasoning memengaruhi penalaran moral seseorang. Semakin tinggi moral reasoning seseorang maka penalaran yang ia lakukan juga semakin lebih baik (Jones, 1991). Semakin baik penalaran moral seseorang maka keputusan yang akan diambil cenderung kepu- tusan yang tidak keluar dari aturan yang berlaku. Selain menemukan pengaruh positif dari moral reasoning terhadap ethical decision making, pene- litian ini juga menemukan pengaruh positif dari moral reasoning terhadap whistleblowing inten- tion. Ketika seseorang memiliki penalaran moral yang baik atau tinggi maka cenderung akan melakukan hal-hal yang baik dan meninggalkan atau menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan etika. Seseorang dengan tingkat moral yang tinggi ketika melihat tindak kecurangan yang dilakukan Business and Finance Journal, Volume 5, No. 1, March 2020 44 oleh orang lain cenderung berniat untuk melapor- kan tindakan tersebut. Semakin tinggi moral reasoning seseorang maka semakin tinggi pula whistleblowing intention. Temuan terakhir dalam penelitian ini yaitu Ethical decision making berpengaruh positif ter- hadap whistleblowing intention. Ketika seseorang mampu mengambil keputusan yang tidak berten- tangan dengan etika yang ada maka dia juga mampu mengungkap tindakan-tindakan yang ber- lawanan dengan etika. Semakin tinggi ethical decision making seseorang maka semakin tinggi pula whistleblowing intention. Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa etika itu sangat penting, baik dari lingkungan sekitar maupun dari diri seseorang itu sendiri. Seseorang yang berada dalam lingkungan organisasi yang memi- liki budaya etika yang tinggi serta memiliki moralitas yang tinggi pula cenderung akan mela- kukan hal-hal yang sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Termasuk salah satunya adalah niat untuk melaporkan tindak kecurangan yang dilakukan oleh orang lain. DAFTAR RUJUKAN Ahyaruddin, M. & Asnawi, M. 2017. “Pengaruh Moral Reasoning dan Ethical Environment Terhadap Kecenderungan untuk Melaku- kan Whistleblowing”. Jurnal Akuntansi & Ekonomika, Vol. 1. Booth, P. & Schulz, A.K.-D. 2004. The Impact of an Ethical Environment on Managers’ Project Evaluation Judgments under Agency Problem Conditions. Accounting, Organizations and Society, 29(5-6), 473– 488. Cohen, J.R. & Bennie, N.M. 2006. The Appli- cability of a Contingent Factors Model to Accounting Ethics Research. Journal of Business Ethics, 68(1), 1–18. Craft, J. 2013. A Review of the Empirical Ethi- cal Decision-Making Literature: 2004– 2011. Journal of Business Ethics, 117(2), 221–259. Fang, M.L. 2006. Evaluating Ethical Decision- Making of Individual Employees in Orga- nizations – An Integration Framework. Journal of American Academy of Business, 8(2), 105–113. Fleischman, G.M., Valentine, S., & Finn, D.W. 2007. Ethical Reasoning and Equitable Relief. Behavioral Research in Accounting, 19, 107–132. Harrington, S.J. 1997. A Test of a Person-Issue Contingent Model of Ethical Decision- making in Organizations. Journal of Busi- ness Ethics, 16, 363–375. Hartono, J., and Abdillah, W. 2014. Konsep and Aplikasi PLS (Partial Least Square) untuk Penelitian Empiris. Edisi pertama. Yogya- karta: BPFE. Hwang, D.B.K, Staley, A.B., Tsai, Y., & Chui, C.L., 2013. A Comparative Study of the Propensity of Whistle-Blowing Empirical Evidence from China, Taiwan and the United States. International Journal of Accounting and Financial Reporting, 3 (2), 202–204. Jones, T. 1991. Ethical Decision Making by Individuals in Organizations: An Issue- Contingent Model. Academy of Manage- ment Review, 16(2), 366–395. Keenan, J.P. 1990. Upper-Level Managers and Whistleblowing: Determinants of Percep- tions of Company Encouragement and Information about Where to Blow the Whistle. Journal of Business and Psychol- ogy, 5 (2), 223–235. Hidayatul Khusnah, Organizational Ethical Culture, Moral Reasoning: Pengaruhnya terhadap Ethical Decision Making dan Whistleblowing Intention 45 Keenan, J.P. 2000. Blowing the Whistle on Less Serious Forms of Fraud: A Study of Ex- ecutives and Managers. Employee Respon- sibilities and Rights Journal, 12 (4), 199– 217. Kreshastuti, D.K. dan Prastiwi, A. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensi Auditor untuk Melakukan Tindakan Whis- tleblowing (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik di Semarang). Diponegoro Journal of Accounting, Vol. 3, No. 2, pp. 2–8. Liyanarachchi, G. & Newdick, C. 2009. The Impact of Moral Intensity and Retaliation on Whistle-Blowing: New Zealand Evi- dence. Journal of Business Ethics, 89(1), 37–57. Marta, J.K.M. 1999. An Empirical Investigation into Significant Factors of Moral intensity and their Influences on Ethical Judgments and Intentions. Doctoral dissertation, Old Dominion University. (UMI No: 9928703). Retrieved May, 24, 2006 from http:// www.proquest.umi.com.html/. May, D.R. & Pauli, K.P. 2002. The Role of Moral Intensity in Ethical Decision Mak- ing. Business & Society, 41(1), 84–117. McLain, D.A. & Keenan, J.P. 1999. Risk, Infor- mation, and the Decision about Response to Wrongdoing in an Organization. Jour- nal of Business Ethics, 19, 255–271. Mendonca, M. 2001. Preparing for Ethical Lead- ership in Organizations. Canadian Journal of Administrative Science, 18 (5), 266– 276. Near, J.P. & Miceli, M.P. 1985. Organizational Dissidence: The Case of Whistle-Blow- ing. Journal of Business Ethics, 4(1), 1–16. O’Fallon, M.J. & Butterfield, K.D. 2005. A Review of the Empirical Ethical Decision- making Literature: 1996–2003. Journal of Business Ethics, 59, 375–413. Rocha, E. & Kleiner, B.H. 2005. To Blow or Not to Blow the Whistle? That is the Question. Management Research News, 28(11/12), 80–87. Rothwell, G.R. & Baldwin, J.N. 2007. Ethical Climate Theory, Whistle-Blowing, and the Code of Silence in Police Agencies in the State of Georgia. Journal of Business Eth- ics, 70(4), 341–361. Shawver, T. 2011. The Effects of Moral Intensity on Whistleblowing Behaviors of Account- ing Professionals. Journal of Forensic and Investigative Accounting, 3(2), 162–190. Sholihin, M. & Ratmono, D. 2013. Analisis SEM-PLS dengan WarpPLS 3.0. Yogya- karta: Andi Offset. Susmanschi, G. 2012. Internal Audit and Whis- tle-Blowing. Economics, Management, and Financial Markets, 7(4), 415–421. Tjahjono, S. 2013. Business Crimes and Ethics: Konsep dan Studi Kasus Fraud Di Indone- sia dan Globa. Yogyakarta: ANDI. Trevino, L.K. 1986. Ethical Decision Making in Organizations: A Person-Situation Interac- tionist Model. Academy of Management Review, 11, 601–617. Victor, B. & Cullen, J.B. 1988. The Organiza- tional Bases of Ethical Work Climate. Administrative Science Quarterly, 33 (5), 101–125. Zakaria, M. 2015. Antecedent Factors of Whistle- blowing in Organizations. Procedia Eco- nomics and Finance, Vol. 28, No. 1, pp. 230–234.