vol 38 no 2-2005 77 Respons inflamasi pada pulpa gigi tikus setelah aplikasi ekstrak etanol propolis (EEP) (The inflammatory response on rat dental pulp following ethanolic extract of propolis (EEP) application) Ardo Sabir Bagian Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar – Indonesia ABSTRACT Propolis is a resinous hive product collected by bees from tree buds and mixed with secreted bee wax in order to avoid bacterial contamination in the hive, and also to seal it. Propolis is employed for the treatment of various infectious diseases because it is well- known that is has antibacterial and anti-inflammatory properties. The therapeutic use of propolis in dentistry has been done in recent years as in treatment gingivitis and dental caries, in treatment wound healing after surgical procedures, etc. The purpose of this investigation was to study the inflammatory response on rat's dental pulp following application of ethanol extract of propolis (EEP). Twelve male Spraque-Dawley rats of 8–16 week old and 200–250 grams in weight were used in this study. The rats were randomly divided into two groups. Pulp exposures were performed on the occlusal surface of right maxillary first molars. At the first group, as the control group, zinc oxide-based filler was directly applied on pulp exposure. Meanwhile at the second group, as the sample group, pulp exposure was applied with EEP. After that, all cavities were filled with glass ionomer cement as permanent filling. Animals were sacrificed on the 7th, 14th, and 28th day. The criterion of histological examination was based on the inflammatory responses of the dental pulp, which were the presence of polymorph nuclear leukocytes and macrophages. Kruskall-Wallis and Mann-Whitney tests were employed to analyze the data. The results of this research demonstrated that the inflammatory response of EEP group was numerically milder compared to the control group, even though statistical analysis showed no significant difference (p > 0.05) between the two groups. Key words: ethanol extract of propolis, inflammatory response, dental pulp, rat Korespondensi (correspondence): Ardo Sabir, Bagian Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin. Jln. Kandea 5 Makassar, Indonesia. PENDAHULUAN Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro berarti pertahanan dan polis berarti kota, sehingga propolis bermakna pertahanan kota (atau sarang lebah).1,2 Propolis atau lem lebah adalah nama generik yang diberikan untuk bahan resin yang dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai macam jenis tumbuhan, terutama dari bagian kuncup dan daun tumbuhan tersebut.1,3 Lebah kemudian mencampur bahan resin ini dengan enzim yang disekresikan dari kelenjar mandibula lebah,4 meskipun demikian komponen yang terdapat di dalam propolis tidak mengalami perubahan.1 Lebah menggunakan propolis sebagai: 1) memperkuat sarang lebah;1 2) bahan pelapis untuk melindungi sarangnya dari faktor pengganggu dari luar, misalnya serangga, kumbang, atau tikus;3,5 3) meratakan dinding sarang lebah;4 4) bahan pengisi lubang atau celah dan perekat keretakan yang terdapat pada sarang lebah,5,6 5) melindungi sel sarang tempat ratu lebah menetaskan telurnya sehingga larva lebah terlindungi dari penyakit6 dan 6) antibakteri.7 Komposisi propolis sangat bervariasi dan erat hubungannya dengan jenis dan umur tumbuhan di mana propolis tersebut berasal.4,5 Umumnya propolis terdiri dari:4 campuran resin dan getah 39–53%, polifenol 1,2–17%, polisakarida 2–3%, lilin (wax) 19–35%, dan bahan lain 8–12%. Menurut Kaal,6 komposisi propolis meliputi: resin dan balsem ± 50%, lilin ( wax) ± 30%, minyak esensial ± 10%, pollen ± 5%, dan senyawa organik dan mineral ± 5%. Penelitian terhadap propolis yang berasal dari 15 daerah yang berbeda di Rusia menunjukkan hasil yang hampir sama, yaitu:5 resin 50–55%, lilin (wax) maksimal 30%, minyak esensial ± 8–10%, dan bahan padat ± 5%. Jenis senyawa kimia yang terdapat pada propolis sangat kompleks. Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) yang dilakukan oleh Greenaway et al.3 terhadap propolis yang dihimpun oleh lebah yang berasal dari tumbuhan poplar menunjukkan bahwa propolis mengandung berbagai macam senyawa, yaitu: asam amino, asam alifatik dan esternya, asam aromatik dan esternya, alkohol, aldehida, khalkon, dihidrokhalkon, 78 Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 2 April–Juni 2005: 77–83 flavanon, flavon, hidrokarbon, keton, dan terpenoid. Hasil yang hampir sama juga diperoleh oleh Marcucci8 yang menemukan senyawa alkohol, aldehida, asam alifatik dan esternya, asam amino, asam aromatik dan esternya, flavanon, keton, dan glukosa dalam propolis. Propolis telah digunakan sejak dahulu kala sebagai obat tradisional, yaitu sebagai bio-kosmetik dan makanan untuk kesehatan. Penelitian di bidang kesehatan terhadap propolis telah banyak dilakukan luar negeri, baik secara in vitro maupun in vivo. Hasilnya menunjukkan bahwa propolis memiliki beberapa aktivitas biologis dan farmakologis, antara lain: 1) bersifat antibakteri baik terhadap bakteri Gram positif 9–11 maupun Gram negatif;12 2) bersifat antiinflamasi;9,13,14 3) memiliki aktivitas antijamur, terutama terhadap spesies dermatofita dan kandida;9,10,15 4) propolis meningkatkan regenerasi jaringan tulang dan kartilago,16,17 dan 5) Propolis bersifat antioksidan karena mampu menangkap radikal bebas.18 Penggunaan propolis di bidang kedokteran gigi baru dilaporkan beberapa tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa propolis dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengobatan alternatif yakni: 1) dalam perawatan penyakit gingivitis oleh karena mampu mencegah pembentukan plak;19–21 2) digunakan untuk mengobati ulserasi pada rongga mulut;19 3) mencegah terjadinya karies gigi.22,23 Hal ini disebabkan karena propolis memiliki aktivitas antibakteri, mengurangi daya adhesi bakteri rongga mulut pada permukaan gigi, menghambat sintesis glukan yang tidak larut dalam air (water-insoluble glucan), dan menghambat enzim glukosiltransferase;20,22–25 4) meningkatkan aktivitas mineralisasi pada permukaan email gigi;26 5) mempercepat perbaikan jaringan dan penyembuhan luka setelah prosedur bedah mulut (pasca ekstraksi maupun terjadinya dry socket),27 dan 6) pada perawatan gangren pulpa28 serta periodontitis,29 namun demikian, pengaruh propolis terhadap pulpa gigi belum diketahui, oleh karena itu timbul suatu permasalahan yakni: bagaimana respons pulpa gigi akibat aplikasi propolis, sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui respons inflamasi yang terjadi pada pulpa gigi tikus setelah aplikasi ekstrak etanol propolis (EEP), yang merupakan tahap awal kemungkinan penggunaan EEP di bidang endodontik. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris, dan dilakukan di 3 tempat yakni: Laboratorium Galenika Fakultas Farmasi, Unit Pengembangan Hewan Percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, dan Laboratorium Histologi dan Biologi Sel Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Propolis yang digunakan pada penelitian dikumpulkan dari sarang lebah yang jenis lebahnya adalah Trigona sp yang banyak terdapat di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun teknik pembuatan EEP adalah dengan dengan teknik maserasi yakni: propolis dilarutkan dengan larutan etanol 95% dan diaduk sampai rata, kemudian didiamkan selama 5 hari, selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan filtrat dari ampas. Filtrat yang diperoleh diuapkan hingga kandungan etanolnya menguap sehingga diperoleh EEP dengan konsistensi yang kental. Dua belas ekor tikus galur Spraque-Dawley jantan, umur 8–16 minggu dengan berat badan 200–250 g digunakan dalam penelitian ini. Semua tikus diberi pakan standar dan air minum ad libitum. Tikus dibagi menjadi 2 kelompok secara random, yaitu: kelompok I terdiri dari 3 ekor tikus sebagai kelompok kontrol dan kelompok II terdiri dari 9 ekor tikus sebagai kelompok perlakuan (kelompok EEP). Alat yang akan dipergunakan terlebih dahulu didisinfeksi dengan menggunakan alkohol 95%. Semua tikus dianestesi secara intramuskular dengan ketamin (Ketalar®, Warner Lambert, Irlandia) (65 mg/kg berat badan) dan xylazine HCl (Rompun®, Bayer, Leverkusen, Jerman) (7 mg/kg berat badan) yang dilarutkan dalam phosphat buffered saline (PBS) steril. Permukaan oklusal gigi yang akan dibur didisinfeksi dan dibersihkan dengan cotton pellet yang sebelumnya dicelup ke dalam larutan alkohol 70%. Suatu kavitas klas I (klasifikasi Black) dibuat pada permukaan oklusal gigi molar pertama kanan rahang atas menggunakan handpiece dengan bur intan bundar (diameter 0,84 mm) dengan kecepatan rendah hingga hampir mencapai ruang pulpa. Kedalaman preparasi diperkirakan sebesar kepala bur. Tindakan perforasi terhadap ruang pulpa dilakukan dengan menggunakan bur intan bundar (diameter bur 0,46 mm). Setelah perforasi, kavitas diirigasi dengan larutan salin steril dan dikeringkan dengan cotton pellet. Perdarahan yang timbul dihentikan dengan menggunakan ujung paper point steril. Pada kelompok I, diaplikasikan zink oxide (Dentorit®, Dentoria, Perancis) sedangkan pada kelompok II diaplikasikan EEP masing-masing ± 0,5 mg. Aplikasi bahan pada permukaan pulpa dilakukan dengan menggunakan aplikator (ball aplicator) (diameter ujung aplikator 0,63 mm). Semua gigi kemudian ditumpat dengan bahan tumpatan semen ionomer kaca (SIK) (Fuji IX®, GC Tokyo, Jepang). Tiga ekor tikus kelompok perlakuan dan 1 ekor tikus kelompok kontrol dikorbankan dalam waktu 1, 2, dan 4 minggu setelah perlakuan. Setelah tikus didekapitasi, tulang rahang di daerah interdental gigi molar pertama kanan rahang atas diambil. Potongan jaringan dimasukkan ke dalam larutan fiksasi (formalin 10%) selama 4 hari pada temperatur kamar, dilanjutkan dengan proses dekalsifikasi dengan menggunakan larutan EDTA 10% selama ± 30 hari pada temperatur kamar, selanjutnya dilakukan proses dehidrasi terhadap spesimen menggunakan alkohol secara bertingkat. Spesimen dimasukkan ke dalam larutan alkohol toluol (1:1), dan dilanjutkan dengan proses penjernihan menggunakan toluol murni, kemudian spesimen dimasukkan ke dalam larutan toluol parafin jenuh. Setelah itu, dilakukan proses infiltrasi di dalam oven dengan cara 79Sabir: Respons inflamasi pada pulpa gigi tikus spesimen dimasukkan ke dalam parafin cair. Dilakukan proses embedding terhadap spesimen dan diberi label/ kode. Setelah tahap embedding selesai, maka jaringan diiris secara seri dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan ± 6 mm paralel sumbu panjang gigi. Untuk melihat ada atau tidaknya sel inflamasi pada pulpa gigi, maka dilakukan pewarnaan Hemaktosilin dan Eosin (H & E). Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol dan alkohol, yang dilanjutkan dengan proses rehidrasi dengan alkohol lalu dicuci dengan air mengalir, dibilas dengan aquades, dan dilap. Kemudian, kaca benda dimasukkan ke dalam hematoksilin Meyer's dan dicuci dengan air mengalir serta dibilas dengan aquades, selanjutnya proses pewarnaan dilanjutkan dengan memasukkan kaca benda ke dalam eosin dan dibilas dengan aquades, kemudian pewarnaan dinilai di bawah mikroskop cahaya. Bila pewarnaan telah dianggap baik, maka langkah selanjutnya ialah proses dehidrasi dengan alkohol secara bertingkat kemudian dilap. Setelah itu, dimasukkan ke dalam larutan xylol dan terakhir object glass ditutup dengan deck glass dan dilakukan pengamatan mikroskop cahaya (Leitzwetzlar®, Jerman). Respons inflamasi dievaluasi berdasarkan ada atau tidaknya leukosit polimorfonuklear (polymorphonuclear leukocytes = PMNL), dan sel makrofag. Penilaiannya dibagi atas 4 kriteria, yaitu:30 0 = tidak terdapat infiltrasi sel inflamasi; 1 = infiltrasi oleh PMNL dan sel makrofag dalam jumlah sedikit; 2 = infiltrasi oleh PMNL dan sel makrofag dalam jumlah moderat; dan 3 = infiltrasi oleh PMNL dan sel makrofag dalam jumlah banyak. Data yang diperoleh merupakan hasil pengamatan secara histologis dari ke-2 kelompok berskala ordinal yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan statistik non- parametrik. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan respons inflamasi ke-2 kelompok pada setiap periode waktu, dilakukan analisis dengan uji Kruskal- Wallis, sedangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan respons inflamasi antara ke-3 periode waktu tiap kelompok dan antara ke-3 periode waktu terhadap kelompok, dilakukan analisis dengan uji Mann- Whitney.31,32 HASIL Hasil pengamatan histologis respons inflamasi (jumlah PMNL dan sel makrofag) pada kelompok kontrol dan kelompok EEP pada 3 periode waktu dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar berikut ini. Pada tabel 1 tampak bahwa respons inflamasi (tingkat kepadatan PMNL dan sel makrofag) yang terjadi pada ke-2 kelompok hewan uji cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu pengamatan. Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan respons inflamasi yang timbul antara ke-3 periode waktu pada setiap kelompok, maka dilakukan uji Kruskal-Wallis dan hasilnya dapat dibaca pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil uji Kruskal-Wallis mengenai perbedaan respons inflamasi antara ke-3 periode waktu pada setiap kelompok Mean Rank Kelompok Minggu 1 Minggu 2 Minggu 4 Uji Kruskal Wallis p Kontrol EEP 1,00 2,15 2,50 5,17 2,50 7,83 2,00 7,245 0,368 0,027* Keterangan: * = Signifikan pada p < 0,05 Analisis statistik dengan uji Kruskal-Wallis di atas menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan respons inflamasi yang signifikan (p > 0,05) antara ke-3 periode waktu (minggu 1, 2, dan 4), sebaliknya, pada kelompok EEP terjadi perbedaan respons inflamasi secara signifikan (p < 0,05) antara ke-3 periode waktu. Tabel 1. Hasil pengamatan histologis respons inflamasi pada kelompok kontrol dan kelompok EEP pada minggu ke-1, ke-2, dan ke-4 Respons inflamasi Periode waktu (minggu) Kelompok Jumlah spesimen (n) Tidak ada Ringan Moderat Berat 1 Kontrol EEP 1 3 − 2 1 1 − − − − 2 Kontrol EEP 1 3 − − − 2 1 1 − − 4 Kontrol EEP 1 3 − − − 1 1 2 − − 80 Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 2 April–Juni 2005: 77–83 Analisis lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney untuk mengetahui respons inflamasi antara ke-3 periode waktu pada kelompok EEP (tabel 3). Tabel 3. Hasil uji Mann-Whitney mengenai perbedaan respons inflamasi antara ke-3 periode waktu pada kelompok EEP Pada tabel 3 terlihat bahwa pada kelompok EEP terdapat perbedaan respons inflamasi yang signifikan (p < 0,05) antara minggu ke-1 dengan minggu ke-2 dan antara minggu ke-1 dengan minggu ke-4, sebaliknya, tidak terdapat perbedaan respons inflamasi yang signifikan (p > 0,05) antara minggu ke-2 dengan minggu ke-4. Untuk mengetahui perbedaan respons inflamasi antara ke-2 kelompok pada setiap periode waktu dapat diketahui dengan melakukan uji Mann-Whitney dan hasilnya dapat dibaca pada tabel 4. Tabel 4. Hasil uji Mann-Whitney mengenai perbedaan respons inflamasi antara ke-2 kelompok pada setiap periode waktu Pada tabel 4 tampak bahwa tidak terdapat perbedaan respons inflamasi yang signifikan (p > 0,05) dari kelompok kontrol maupun kelompok EEP pada ke-3 periode waktu. Gambar 1, 2, dan 3 di bawah ini memperlihatkan respons inflamasi yang terjadi pada pulpa gigi tikus kelompok EEP berturut-turut pada minggu ke-1, ke-2, dan minggu ke-4 setelah aplikasi. Gambar 1. Foto mikroskopik pulpa gigi tikus pada kelompok EEP. Tidak tampak adanya sel inflamasi 1 minggu setelah aplikasi EEP. H & E, 40×. Gambar 2. Foto mikroskopik respons inflamasi ringan yang terjadi pada pulpa gigi tikus kelompok EEP 2 minggu setelah aplikasi. Terlihat sel inflamasi (panah) H & E, 40×. Gambar 3. Foto mikroskopik respons inflamasi moderat yang terjadi pada pulpa gigi tikus kelompok EEP 4 minggu setelah aplikasi. Terlihat sel inflamasi (panah). H & E, 40×. 81Sabir: Respons inflamasi pada pulpa gigi tikus PEMBAHASAN Untuk mengetahui respons inflamasi yang terjadi pada pulpa gigi setelah aplikasi ekstrak etanol propolis (EEP), maka pada penelitian ini digunakan tikus sebagai hewan model. Hal ini disebabkan karena selain tikus mudah penanganannya dan relatif ekonomis dibandingkan dengan hewan primata, juga yang penting ialah reaksi pulpa gigi tikus terhadap suatu bahan pada prinsipnya mirip dengan reaksi yang terjadi pada pulpa gigi manusia. Sementara pemilihan gigi molar pertama pada rahang atas tikus didasarkan atas pertimbangan bahwa struktur dan bentuk anatomi gigi tikus tersebut mirip dengan gigi molar manusia. Selain itu, kecepatan atrisi akibat mastikasi pada permukaan oklusal gigi molar tikus lebih lambat dibandingkan dengan permukaan insisal gigi insisivus tikus.30,33 Hasil pemeriksaan histologis menunjukkan bahwa 1 minggu setelah aplikasi zink oxide maupun EEP respons inflamasi yang terjadi pada pulpa gigi tikus dapat dikatakan hampir sama. Pada kelompok kontrol hanya terjadi inflamasi ringan, walaupun hingga saat ini belum diketahui pengaruh zink oxide (Dentorit®) terhadap pulpa gigi (tabel 1). Pemilihan zink oxide sebagai bahan kontrol pada penelitian ini disebabkan karena zink oxide merupakan bahan yang mempunyai pH yang netral sehingga tidak menimbulkan iritasi terhadap pulpa gigi,34sementara pada kelompok EEP, tampak 2 dari 3 spesimen tidak memperlihatkan terjadinya inflamasi, dan hanya 1 spesimen yang mengalami inflamasi ringan (tabel 1). Rendahnya respons inflamasi yang terjadi pada minggu ke-1 ini mungkin berhubungan dengan beberapa faktor, antara lain: 1) karakteristik dari bahan tumpatan permanen yang digunakan SIK; 2) sifat antibakteri dan antiinflamasi dari EEP; dan 3) konsentrasi dari EEP. Semen ionomer kaca diketahui memiliki sifat antibakteri karena bahan tumpatan ini memiliki pH yang rendah saat mengeras (setting) dan mampu melepaskan ion fluor.35 Ion fluor mempengaruhi pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat aktivitas enzim glikolitikenolase; penghambatan aktifitas enzim ini dapat dihubungkan dengan penurunan jumlah phospho- enolpyruvate yang dibutuhkan untuk transportasi gula ke dalam sel. Sebagai akibatnya, terjadi hambatan pada glikolisis yang akan menghasilkan asam dan sintesis glukan intraselular.36 Propolis diketahui memiliki beberapa efek farmakologis yang penting, antara lain sifat antibakteri baik terhadap bakteri Gram positif9–11 maupun Gram negatif.12 Sifat antibakteri dari propolis ini bukan semata-mata disebabkan karena senyawa tunggal, namun karena efek sinergis dari beberapa senyawa yang terdapat pada propolis yang bersifat antibakteri yakni: flavonoid, asam ferulat, ester asam fenol, asam sinamat, dan berbagai ester asam kafeat. 8,37 Mekanisme propolis dalam menghambat pertumbuhan bakteri belum sepenuhnya diketahui, namun demikian Šimuth et al.38 melaporkan adanya beberapa komponen yang terdapat pada propolis yang mampu mengabsorbsi sinar ultraviolet sehingga menghambat kerja enzim polimerase RNA bakteri untuk melekat pada DNA sehingga replikasi DNA bakteri tidak terjadi. Selain itu, komponen tersebut juga menghambat kerja dari enzim endonuklease restriksi sehingga transkripsi tidak terjadi pada RNA dan hal ini mengakibatkan pembelahan sel bakteri tidak terjadi karena terganggunya sintesis protein. Mekanisme lain dikemukakan oleh Takaisi-Kikuni dan Schilcher39 yang pada penelitiannya mendapatkan bahwa EEP bersifat antibakteri terhadap bakteri Streptococcus agalactiae melalui beberapa mekanisme, yakni dengan mencegah pembelahan sel bakteri dengan cara menghambat replikasi DNA sehingga menyebabkan terbentuknya Streptococcus pseudo-multicellular. Selain itu EEP juga menyebabkan terjadinya disorganisasi dari sitoplasma, membran sitoplasmik, serta dinding sel yang kesemuanya mengakibatkan bakteriolisis parsial dan penghambatan sintesis protein, sehingga dikatakan bahwa mekanisme antibakteri propolis terhadap bakteri sangat kompleks dan tidak dapat dianalogikan dengan cara kerja antibiotika klasik. Selain bersifat antibakteri, propolis juga bersifat antiinflamasi.9,13,14 Hal ini disebabkan karena adanya kandungan senyawa flavonoid, asam amino, terpen, serta derivate asam sinamat pada propolis.9,14 Mekanisme propolis dalam menghambat inflamasi disebabkan karena propolis menghambat sintesis eikosanoid. Penghambatan ini akan menyebabkan penurunan kandungan asam arakidonat pada jaringan membran fosfolipid sel40 yang lebih lanjut akan mengakibatkan terhambatnya pelepasan sejumlah mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrin dan tromboksan.41,42 Oleh karena ekstrak etanol propolis yang digunakan pada penelitian ini mempunyai konsistensi yang kental, maka diduga bahwa 1 minggu setelah aplikasi, konsentrasi ekstrak ini relatif masih tinggi. Konsentrasi yang masih tinggi ini erat hubungannya dengan kemampuan antibakteri dari ekstrak flavonoid maupun ekstrak non flavonoid. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelzcar dan Chan 43 bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan antibakteri, maka daya antibakterinyapun semakin besar. Hasil pengamatan histologis menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 dan ke-4 terjadi peningkatan respons inflamasi yang cukup tinggi pada kelompok EEP dibanding minggu ke-1 (tabel 1). Hal ini didukung oleh hasil analisis statistik yang menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) respons inflamasi yang terjadi antara minggu ke-1 dengan minggu ke-2 dan ke-4 pada kelompok EEP (tabel 3). Terjadinya peningkatan respons inflamasi mungkin disebabkan karena: 1) mulai berkurangnya jumlah atau konsentrasi ion fluor yang dilepaskan oleh bahan tumpatan SIK;44–46 2) konsentrasi dari EEP yang mulai menurun akibat metabolisme dari EEP sehingga sifat antibakteri dan antiinflamasinyapun semakin berkurang;47 dan 3) terjadinya kebocoran mikro (microleakage) antara 82 Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 2 April–Juni 2005: 77–83 permukaan email gigi dengan permukaan tumpatan SIK walaupun secara visual hal ini tidak terlihat. Kebocoran mikro yang terjadi pada pertemuan antara permukaan tumpatan dengan permukaan email gigi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri pada pulpa gigi, karena bakteri dapat berkembang biak di bawah tumpatan SIK. Kondisi ini dapat disebabkan karena kekuatan dan resistensi untuk terjadinya fraktur pada bahan tumpatan SIK sangat rendah48 akibat sifat SIK yang kurang menguntungkan, yaitu rapuh dan daya regang (tensile strength) yang rendah.49 Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa respons inflamasi yang terjadi pada pulpa gigi tikus kelompok EEP secara numerik lebih ringan dibanding kelompok kontrol, walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara ke-2 kelompok (p>0,05). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan penggunaan EEP di bidang Endodontik. DAFTAR PUSTAKA 1. Ghisalberti EL. Propolis: a review. Bee World 1979; 60: 59–84. 2. Dadant CC. The hive and the honey bee. Illinois: Dadant and sons; 1984. p. 25–35. 3. Greenaway W, Scaysbrook T, Whatley FR. The composition and plant origins of propolis: A report of work at Oxford, Bee World 1990; 71: 107–18. 4. Chen Y. Apiculture in China. 1st ed. Agricultural Publishing House; 1993. p. 96–7. 5. Hill R. Propolis: the natural antibiotic. 6th ed. Wellingborough: Thorsons Publishers Ltd; 1981. p. 7–8. 6. Kaal J. Natural medicine from honey bees (apitherapy). Amsterdam: Kaal's Printing House; 1991. p. 9–12. 7. Sammataro D. Avitabile A. The beekeeper's handbook. Michigan: Peach Mountain Press Ltd. 1978; p. 15. 8. Marcucci MC. Propolis: chemical composition, biological properties and therapeutic activity. Apidologie 1995; 26: 83–99. 9. Dobrowolski JW, Vohora SB, Sharma K, Shah SA, Naqvi SAH, Dandiya PC. Antibacterial, antifungal, antiamoebic, antiinflamatory and antipyretic studies on propolis bee products. J Ethnopharmacol 1991; 35: 77–82. 10. Kujumgiev A, Tsvetkova I, Serkedjieva Y, Bankova V, Cristov R, Popov S. Antibacterial, antifungal and antiviral activity of propolis of different geographic origin. J Ethno-pharmacol 1999; 64: 235–40. 11. Moreno MIN, Isla MI, Cudmani NG, Vattuone MA, Sampietro AR. Screening of antibacterial activity of Amaicha del Valle (Tucumán, Argentina) propolis. J Ethno-pharmacol 1999; 69: 97–102. 12. Grange JM, Davey RW. Antibacterial properties of propolis (bee glue). J R Soc Med 1990; 83(3): 159–60. 13. Park EH, Kim SH, Park SS. Anti-inflammatory activity of propolis. Arch Pharm Res 1996; 19(3): 337–41. 14. Khayyal MT, el Ghazaly MA, el Khatib AS. Mechanisms involved in the antiinflammatory effect of propolis extract. Drugs Exp Clin Res 1993; 19(5): 197–203. 15. Cafarchia C, De Laurentis N, Milillo MA, Losacco V, Puccini V. Antifungal activity of apulia region propolis. Parassitologia 1999; 41: 587–90. 16. Scheller S, Stojko A, Szwarnowiecka I, Tustanowski J, Obuszko Z. Biological properties and clinical application of propolis. VI. Investigation of the influence of the ethanol extracts of propolis (EEP) on cartilaginous tissue regeneration. Arzneim-Forsch 1977; 27(2): 2138–40. 17. Stojko A, Scheller S, Szwarnowiecka I, Tustanowski J, Obuszko Z. Biological properties and clinical application of propolis. VIII. Experimental observation on the influence of ethanol extract of propolis (EEP) on the regeneration of bone tissue. Arzneim-Forsch 1978; 28(1): 35–7. 18. Scheller S, Wilczok T, Imielski S, Krol W, Gabrys J, Shani J. Free radical scavenging by ethanol extract of propolis. Int J Radiat Biol 1990; 57(3): 461–5. 19. Martinez-Silveira G, Gou-Godoy A, Ona-Torriente R, Palmer-Ortiz MC, Falcon-Cuellar MA. Preliminary study of the effect of propolis in the treatment of chronic gingivitis and oral ulceration. Rev Cubana Estomatol 1988; 25(3): 36–44. 20. Murray MC, Worthington HV, Blinkhorn AS. A study to investigate the effect of a propolis-containing mouthrinse on the inhibition of de novo plaque formation. J Clin Periodontol 1997; 24: 796–8. 21. Horax S. Efek antimikroba obat kumur propolis terhadap penderita gingivitis. Disertasi. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin; 2000. h.1. 22. Ikeno K, Ikeno T, Miyazawa C. Effects of propolis on dental caries in rats. Caries Res 1991; 25(5): 347–51. 23. Koo H, Rosalen PL, Cury JA, Park YK, Ikegaki M, Sattler A. Effect of Apis mellifera propolis from two brazilian regions on caries development in desalivated rats. Caries Res 1999; 33: 393–400. 24. Park YK, Koo MH, Abreu JAS, Ikegaki M, Cury JA, Rosalen PL. Antimicrobial activity of propolis on oral microorganisms. Current Microbiol 1998; 36: 24–8. 25. Koo H, Gomes BPFA, Rosalen PL, Ambrosano GMB, Park YK, Cury JA. In vitro antimicrobial activity of propolis and Arnica montana against oral pathogens. Arch Oral Biol 2000; 45: 141–8. 26. Giamalia I, Steinberg D, Grobler S, Gedalia I, The effect of propolis exposure on micro- hardness of human enamel in vitro. J Oral Rehab 1999; 26: 941–3. 27. Magro-Filho O, de Carvalho AC. Topical effect of propolis in the repair of sulcoplasties by the modified kazanjian technique. J Nihon Univ Sch Dent 1994; 36(2): 102–11. 28. Gafar M, Sacalus A, David N, David E. Treatment of simple pulp gangrene with the apitherapy product propolis. Stomatologie 1986; 33: 115–7. 29. Kosenko SV, Kosovich TI. The treatment of periodontitis with prolonged-action propolis preparations (clinical x-ray research). Stomatologia-Mosk 1990; 69(2): 27–9. 30. Kirk EEJ, Lim KC, Khan MOG.A comparison of dentinogenesis on pulp capping with calcium hydroxide in paste and cement form. Oral Surg Oral Med Oral Path 1989; 68(2): 210–9. 31. Dayan A. Pengantar metode statistik. Jilid II. Cetakan ke-10. Jakarta: LP3ES; 1986. h. 27–35. 32. Daniel WW. Statistika nonparametrik terapan. Jakarta: PT Gramedia; 1989. h. 25-31. 33. Lim KC, Kirk EEJ. Direct pulp capping: a review. Endod Dent Traumatol 1987; 3: 213–9. 34. Brosur Dentorit®. France: Dentoria; 2001. 35. Mc Comb D, Ericson D. Antimicrobial action of new proprietary lining cements. J Dent Res 1987; 66: 1026–8. 36. Roth GI, Calmes R. Oral Biology. St Louis: The CV Mosby Co; 1981. p. 434–5. 37. Bonvehi JS, Coll FV, Jordà RE. The composition, active components and bacteriostatic activity of propolis in dietetics. JAOCS 1994; 71(5): 529–32. 38. Šimúth J, Trnovsk J, Jeloková J. Inhibition of bacterial DNA- dependent RNA polymerases and restriction endonuclease by UV- absorbing components from propolis. Pharmazie 1986; 41(3): 131–2. 39. Takaisi-Kikuni NB, Schilcher H. Electron microscopic and microcalorimetric investigations of the possible mechanism of the antibacterial action of a defined propolis provenance. Planta Med 1994; 60(3): 222–7. 40. Landolfi R, Mower RL, Steiner M. Modification of platelet function and arachidonic acid metabolism by bioflavonoids. Biochem Pharmacol 1984; 33(9): 1525–30. 83Sabir: Respons inflamasi pada pulpa gigi tikus 41. Yoshimoto T, Furukawa M, Yamamoto S, Horie T, Watanabe- Kohno S. Flavonoids: potent inhibitors of arachidonate 5- lipoxygenase. Biochem Biophys Res Communs 1983; 116(2): 612–18. 42. Tordera M, Ferrandiz ML, Alcaraz MJ. Influence of anti- inflamatory flavonoids on granulation and arachidonic acid release in rat neutrophils. Z Naturforsch 1994; 49: 235–40. 43. Pelzcar MJ, Chan ECS. Dasar-dasar mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 1977. h. 450–8. 44. Hatibovic-Kofman S, Koch G. Fluoride release from glass ionomer cement in vivo and in vitro. Swed Dent J 1991; 15: 253–8. 45. Seppä L, Forss H, Øgaard B. The effect of fluoride application on fluoride release and the antibacterial action of glass ionomers. J Dent Res 1993; 72(9): 1310–4. 46. Diaz-Arnold AM, Holmes DC, Wistrom DW, Swift Jr EJ. Short- term fluoride release/uptake of glass ionomer restoratives. Dent Mater 1995; 11: 96–101. 47. Havsteen BH. The biochemistry and medical significance of flavonoids. Pharmacol Ther 2002; 96: 67–202. 48. Mathis RS, Ferracane JL. Properties of a glass-ionomer/resin- composite hybrid material. Dent Mater 1989; 5: 355–8. 49. van de Voorde A, Gerdts GJ, Murchison DF. Clinical uses of glass ionomer cement: a literature review. Quintessence 1988; 19(1): 53–61. << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice