vol 38 no 2-2005 96 Apakah terapi pengendalian plak dapat menurunkan keparahan rinitis alergika pada anak? (Does oral plaque control therapy reduce severity of allergic rhinitis in children?) Haryono Utomo* dan Darmawan Setijanto** *Klinik VIP RSGM **Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya - Indonesia ABSTRACT Allergic rhinitis is one of the most common ailments in children. In clinical practice approximately 50% of patients with symptoms of rhinitis are diagnosed with non-allergic rhinitis. Positive skin prick test or specific IgE in vitro tests that are relevant to aeroallergens are conclusive diagnostic of allergic rhinitis. However, simple diagnostic method such as "sneezing sign" has already proved to be reliable. Hypersensitive children have humoral immune system (Th2) which release inflammatory factors in the presence of allergen or infection that contribute to allergic response. Immunological reactions occurred and antibodies concentration arise, especially specific IgE instead of IgG because of the isotype switching. A lot of procedures such as allergen avoidance, medication and immunotherapy were done in allergic rhinitis management. However, oral plaque controls were not the point of interest in this case. The aim of this study is to find out the effectiveness of oral plaque control in the reduction of severity of allergic rhinitis symptoms using symptom scores. Fifty children, male and female aged 8–14 years, subjective diagnosed as allergic rhinitis using "sneezing sign" were included in this study. Oral plaque control procedures were done by polishing and flossing followed by 4 days of gargling with 1% povidone iodine. Clinical result showed that after 3 days, oral plaque control 2.925 times more effective than control group. The conclusion was oral plaque control is effective reducing the severity of allergic rhinitis symptoms. Key words: rhinitis, children, oral plaque control Korespondensi (correspondence): Haryono Utomo, Klinik VIP Spesialis Terpadu, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Jln. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47 Surabaya 60132, Indonesia. Telp. (031) 5951935. PENDAHULUAN Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa rinitis alergika merupakan penyakit yang sangat sering ditemui dan kurang lebih 2,5% kunjungan ke dokter merupakan penderita rinitis alergika. Dalam setahun terjadi kehilangan dua juta hari sekolah dan enam juta hari kerja sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk obat anti alergi kurang lebih US$ 2,4 milyar dan US$ 1,1 milyar untuk biaya periksa dokter. Kurang lebih 10–20% penduduk Amerika Serikat menderita rinitis alergika dan prevalensi pada daerah perkotaan makin meningkat. Prevalensi terendah terdapat pada anak usia kurang dari 5 tahun dan meningkat pada usia remaja hingga prevalensinya mencapai 24%, pada usia dewasa prevalensi menurun lagi.1 Pada literatur yang berhubungan dengan rinitis alergika, penatalaksanaan terutama berupa penghindaran terhadap alergen atau iritan yang dicurigai sebagai penyebab gejala rinitis alergika. Selain itu juga pengobatan simptomatis dengan memberikan antara lain antihistamin, dekongestan, kortikosteroid lokal, dan munoterapi.1 Sampai saat ini belum ada informasi mengenai tindakan penatalaksaanaan rinitis alergika dengan prosedur perawatan kesehatan gigi dan mulut. Rinitis adalah suatu keradangan dari lapisan mukosa hidung yang disebabkan mekanisme alergi atau non alergi. Pada seorang yang mempunyai predisposisi genetik, paparan pada bahan tertentu dapat menimbulkan terbentuknya antibodi imunoglobulin E (IgE) terhadap alergen spesifik, kemudian terjadi reaksi imunologi yang merupakan tahap awal rinitis alergika (gambar 1).1–3 Gambar 1. Patofisiologi rinitis alergika (paparan pertama pada alergen).3 Gambar 1 menunjukkan bila penderita rinitis alergi terpapar dengan alergen misalnya serbuk bunga, antigen dari serbuk bunga yang masuk ke mukosa hidung akan diproses oleh antigen presenting cell (APC) dan dipresentasikan pada sel Th (pada penderita alergi adalah sel T helper 2). Sel Th2 yang teraktivasi akan melepaskan sitokin IL-4 dan IL-13 (homolog IL-4) yang menimbulkan reaksi isotype switching IgG menjadi IgE pada sel B.1 97Utomo: Apakah terapi pengendalian plak Pada paparan ulang, alergen akan berikatan dengan IgE spesifik pada membran mastosit dan menimbulkan degranulasi mastosit yang akan melepaskan beberapa mediator, histamin, prostaglandin dan leukotrien yang menyebabkan timbulnya reaksi alergi pada hidung, kulit dan paru (gambar 2 dan 3).1–3 Gambar 2. Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya.3 Gambar 2 menunjukkan pada paparan alergen yang pertama, IgE spesifik akan berikatan dengan reseptor pada membran mastosit sehingga pada paparan berikutnya alergen tersebut akan dengan cepat berikatan dengan mastosit sehingga menimbulkan degranulasi.1–3 Patofisiologi rinitis alergika dimulai dengan early- phase nasal reaction yaitu reaksi mediator kimiawi (histamin, PGD2, dll) yang dilepaskan mastosit dengan mukosa hidung dengan gejala gatal, bersin, rhinorrhea dan hidung buntu. Setelah 2 sampai 6 jam mastosit terjadi lagi pelepasan mediator kimiawi (leukotrien B4) dan sitokin yang memicu keradangan dan disebut sebagai late phase reaction dengan gejala hidung buntu, hiperreaktivitas dan anosmia (gambar 3).1,2 Gambar 3 menunjukkan alergen diproses oleh APC dan dipresentasikan pada Limfosit Th2. Pada penderita atopi proses ini memicu produksi sitokin IL4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10 dan IL-13 oleh Th2. Interleukin-4 dan IL-13 selanjutnya akan menstimulasi terjadinya isotype switching IgG menjadi IgE pada limfosit B. Imunoglobulin E yang dilepaskan oleh sel plasma akan berikatan dengan mastosit dan menyebabkan degranulasi. Pelepasan mediator oleh mastosit akan memicu early-phase nasal reaction. Pelepasan mediator berikutnya terjadi 2–6 jam kemudian sehingga terjadi kekambuhan. Late-phase nasal reaction merupakan keradangan yang terjadi karena pelepasan faktor kemotaksis oleh mastosit dan sitokin baik oleh sel Th2 juga mastosit.1 Diagnosa rinitis alergika ditetapkan berdasarkan hasil positif uji skin prick atau IgE spesifik. Dalam praktek sehari-hari 50% penderita dengan gejala rinitis tergolong non alergi dengan gejala hidung buntu yang tidak jelas penyebabnya.2 Kesulitan mendiagnosa secara tepat antara rinitis alergika dan non alergika juga menimbulkan masalah karena perlu pemeriksaan laboratoris yang lebih akurat. Dapat pula dilakukan pemeriksaan sederhana dengan menghitung jumlah eosinofil pada sekret hidung, anamnesa tanda bersin (sneezing sign) di samping ada riwayat keluarga.4,6 Pada negara yang sudah maju, pemeriksaan perawatan kesehatan gigi dan mulut sudah mendapat prioritas utama sehingga faktor fokal infeksi rongga mulut sebagai sumber penyakit sistemik dapat dieliminasi. Di Indonesia, orang tua kurang memperhatikan kesehatan gigi sulung penderita anak, karena banyak yang berpendapat bahwa gigi sulung akan digantikan oleh gigi permanen sehingga perawatannya tidak terlalu penting. Pada anak semua imunoglobulin belum mengalami maturasi optimal sampai usia 4 tahun termasuk sekretori immunoglobulin A. Sekretori IgA pada mukosa rongga mulut berfungsi sebagai penghambat perlekatan bakteri atau virus pada permukaan epitel dan juga mengaglutinasi antigen, sehingga pada anak sistem pertahanan mukosa terhadap alergen termasuk bakteri dan endotoksin belum maksimal.7 Kegagalan sIgA sebagai pertahanan pertama menyebabkan infectious agent menembus membran mukosa.8 Infeksi fokal rongga mulut dapat berasal dari infeksi pulpa gigi atau jaringan periodontal. Infeksi ini berhubungan dengan mikroflora kompleks yang terdiri dari kurang lebih 200 spesies pada periodontitis apikalis dan lebih dari 500 spesies pada periodontitis marginalis. Faktor penyebab terbanyak adalah bakteri anaerobik bentuk Gambar 3. Patofisiologi rinitis alergika (early and late phase reaction).1 98 Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 2 April–Juni 2005: 96–102 batang (rod) gram negatif. Mikroflora tersebut akan masuk ke dalam dengan aliran darah dan mempermudah terjadinya bakteremia serta penyebaran sistemik produk bakteri, komponen bakteri, dan kompleks imun.9–11 Masuknya mikroorganisme rongga mulut ke dalam pembuluh darah terjadi lebih kurang dari satu menit setelah prosedur perawatan gigi (perawatan saraf gigi, pembersihan karang gigi) bahkan menyikat gigi dapat meningkatkan bakteremia (17 sampai 40%) dan dapat menuju ke jantung, paru serta sistem pembuluh darah kapiler perifer.6,9–11 Plak gigi yang merupakan tempat akumulasi bakteri komensal ataupun patogen dapat merupakan faktor penyebab iritasi kronis pada gingiva yang menyebabkan penyakit periodontal. Pada keradangan gingiva terjadi perubahan permeabilitas kapiler sehingga mempermudah bakteri dan endotoksin masuk ke pembuluh darah sehingga akan menimbulkan reaksi imunologis dan produksi imunoglobulin. Pada sistem imun humoral, imunoglobulin yang berperan adalah IgE yang bila terakumulasi berlebihan akan memperparah reaksi alergi penderita rinitis alergika.5 Jaringan periodontal disebut sebagai reservoir sitokin (cytokine reservoir) karena sulkus gingiva merupakan tempat penampungan produk imunologi apabila terjadi keradangan periodontal termasuk IL-1, TNFα, IFNγ, dan prostaglandin E2. 11–14 Prostaglandin E2 merupakan hasil metabolisme asam arakidonat dengan perantaraan enzim cyclooxygenase (COX 1 dan COX 2) (gambar 4).12,15,16 Gambar 4. Mekanisme produksi PGE2 dari fosfolipid membran sel.12,15 Pada gambar 4 menunjukkan bahwa fosfolipid di membran plasma dengan perantaraan enzim fosfolipase A2 akan diubah menjadi asam arakidonat. Asam arakidonat dengan perantaraan enzim cyclooxygenase 1 dan 2 (COX 1 dan COX 2) akan diubah menjadi prostaglandin E2 (PGE2). Peningkatan konsentrasi PGE2 antara lain karena rangsangan dari endotoksin bakteri gram negatif (LPS) pada makrofag yang kemudian akan melepaskan sitokin proinflammatory yaitu IL-1 dan TNF-α yang akan meningkatkan produksi COX 2, yang reaksinya dapat dilihat pada gambar 5.10,11 Pada gambar 5 menunjukkan LPS mempengaruhi secara langung produksi COX 2 atau secara tidak langsung melalui aktivasi sel makrofag yang akan meningkatkan produksi PGE2 seperti pada penjelasan gambar 4. Prostaglandin E2 berfungsi sebagai bahan imunosupresif umum (general immunosuppresant) yang dapat menurunkan daya tahan tubuh.14 Akumulasi PGE2 secara sistemik akan mengakibatkan penghambatan pembentukan sitokin sistem imun jalur Th1 (Th 1 pathway) yaitu IL-2 dan IFNγ sehingga sistem imun lebih kearah jalur Th2 (Th2 pathway), PGE2 dalam hal ini secara tidak langsung merangsang produksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10 oleh sel Th2.14,15-17 Gambar 5. Pengaruh endotoksin (LPS) terhadap produksi PGE2.12, Pada sistem imun terdapat sekelompok sel heterogen yang disebut antigen presenting cells (APC), yaitu: dendritic cell, makrofag, dan sel B. Dendritic cell akan membawa antigen dari jaringan perifer ke limfonoduli sehingga akan berinteraksi dengan reseptor pada sel T helper (CD4+).18 Apabila terjadi invasi bakteri, protozoa intraseluler atau virus maka dendritic cell meningkatkan produksi IL-12. Produksi IL-12 oleh dendritic cell ini membantu sel Th0 (naïve Th cell) berkembang menjadi sel subset Th1, sebaliknya kurangnya rangsangan dari IL-12 atau adanya prostaglandin E2 (PGE2) akan mendorong perkembangan ke arah sel subset Th2 (gambar 6).8,18 Gambar 6. Reaksi sistem imun seluler (Th1) dan humoral (Th2) pada paparan antigen.18 99Utomo: Apakah terapi pengendalian plak Hygiene hypothesis pertama kali dikemukakan oleh Strachan cit. Romagnani 20 dan didukung oleh Romagnani20 menyatakan bahwa anak yang pada usia dini saat perkembangan sistem imunnya belum matur, kurang mendapat paparan infeksi akan lebih mudah menderita alergi. Ini disebabkan karena sistem imun tubuhnya lebih ke arah tipe humoral (jalur Th 2), sehingga respons pertahanan tubuh terhadap alergen memproduksi bahan kimiawi (histamin) dan sitokin (IL-4 dan IL-5) yang dapat menimbulkan reaksi alergi.2,5,15,19,20 Indonesia merupakan negara yang penduduknya banyak tinggal di lingkungan yang mudah terpapar infeksi dini, seperti pasar dengan fasilitas mandi umum, air sarana kebutuhan sehari-hari kurang memenuhi syarat kesehatan dan lain sebagainya sehingga membuat seseorang lebih kebal terhadap imunogen. Walaupun demikian, dengan kemajuan sosioekonomi terutama di kota besar anak usia dini jarang terpapar dengan infeksi dari luar karena sudah tersedia sarana televisi, videogame dan hiburan lain yang membuat anak betah tinggal di rumah. Perubahan pola kehidupan tersebut tidak dapat dihindari, maka untuk tidak lebih memperparah bakat alergi yang sudah dimiliki, sebaiknya memperhatikan kesehatan tubuh secara keseluruhan, antara lain dengan mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit infeksi, terutama yang bersumber dari bagian tubuh sendiri (infeksi fokal) antara lain dengan perbaikan kesehatan rongga mulut.4,9–10 Tujuan penelitian pendahuluan ini adalah untuk mengetahui hubungan kesehatan rongga mulut dengan tingkat keparahan rinitis alergika dan efektifitas penatalaksanaan rhinitis alergika dengan profilaksis pengendalian plak. Dengan adanya perbaikan kesehatan rongga mulut diharapkan faktor infeksi fokal sebagai salah satu pencetus infeksi sistemik dapat dikurangi. Manfaatnya bagi masyarakat adalah untuk dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan rongga mulut dalam mendukung kesehatan tubuh secara keseluruhan. Bagi dunia kedokteran adalah untuk lebih mempererat hubungan antara ilmu kedokteran umum dan ilmu kedokteran gigi dalam upaya menyembuhkan penyakit penderita, khususnya dalam penatalaksanaan rinitis alergika. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah epidemiologi klinis untuk menilai probabilitas keberhasilan terapi dengan rancangan prospektif kohort. Keseluruhan sampel adalah penderita maloklusi yang sedang dalam perawatan ortodonsi peranti lepasan dan cekat. Kriteria pemilihan sampel adalah penderita yang dengan anamnesa tanda bersin positif terhadap debu dan bersin tiap pagi sampai siang hari. Penderita bebas karies atau bila terdapat karies dilakukan penumpatan terlebih dahulu. Sampel terdiri dari 50 penderita, 19 pria dan 31 wanita. Subyek adalah penderita anak yang sedang dalam perawatan ortodonti, berusia 8 sampai 14 tahun. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendapat perlakuan pengendalian plak rongga mulut, kelompok ini disebut kelompok perlakuan, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang tidak dikenai perlakuan sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok telah disetarakan (matching) kondisi keadaan umum subyek. Pengambilan sampel dan pengelompokan dilakukan secara random. Penelitian dilakukan sejak Oktober 2004 sampai Februari 2005 di klinik praktek swasta perorangan jalan Dharmahusada Indah Utara I no 31 Surabaya. Kedua kelompok sampel telah menandatangani informed consent dan persetujuan tindakan medik. Penilaian tingkat keparahan gejala rinitis yaitu bersin, rhinnorhea, hidung buntu, hidung dan mata gatal (5 gejala), dilakukan secara skoring.2,21 Kriteria skoring sebagai berikut: 0 = tidak ada gejala; 1 = ada sedikit gejala, yaitu hanya bersin saja di pagi hari; 2 = gejala sedang, mengalami sedikitnya dua gejala dan terjadi paruh hari saja serta tidak mengganggu kehidupan sehari-hari (gangguan tidur, kegiatan sehari-hari, waktu santai, olahraga, sekolah atau kerja); dan 3 = gejala parah, lebih dari dua gejala rinitis alergika (gejala timbul hampir sepanjang hari dan secara bermakna mengganggu kehidupan sehari-hari).2 Pada kelompok perlakuan dilakukan pemulasan keseluruhan permukaan gigi rahang atas dan bawah dengan menggunakan sikat pada contra-angle handpiece putaran rendah dan pumis. Kemudian dilakukan pembersihan interdental keseluruhan gigi dengan benang gigi dan dilanjutkan dengan irigasi dengan povidon iodin 1%. Untuk perawatan di rumah dianjurkan untuk berkumur dengan obat kumur povidon iodine 1% selama 4 hari. Kelompok kontrol tidak dilakukan pengendalian plak rongga mulut. Evaluasi hasil perawatan dilakukan pada hari ke 3 dengan menanyakan pada orang tua penderita mengenai tingkat keparahan bersin penderita melalui telepon. Kepada orang tua telah diberi instruksi untuk memantau tingkat keparahan rinitis dengan tanda bersin setiap hari mulai dari pagi hari. Efektifitas pengendalian plak rongga mulut dianalisis dengan menggunakan fourfold table, uji Chi-square, Fischer's exact test dan perhitungan relative risk.22 HASIL Pada penelitian ini oral hygiene index (OHI) tidak diperiksa karena semua sampel dianggap sama derajat kebersihan mulutnya pada waktu penelitian, yaitu dengan dilakukan pengendalian plak rongga mulut (pemulasan gigi dengan sikat dan pumis). Untuk mengetahui hasil penatalaksanaan rinitis alergika dengan pengendalian plak rongga mulut dibuat perbandingan skoring sebelum dan sesudah 3 hari. Hasil penatalaksanaan rinitis berdasarkan anamnesa subyektif tanda bersin penderita dengan rinitis alergika dapat dilihat pada tabel 1. 100 Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 2 April–Juni 2005: 96–102 Tabel 1. Perbandingan kesembuhan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol Sembuh dalam 3 hari Kelompok Sembuh Tidak Sembuh Total Perlakuan 26 (81,3%) 6 (18,8%) 32 (100%) Kontrol 5 (27,8%) 13 (72,2%) 18 (100%) 31 (62,2%) 19 (38,0%) 50 (100%) Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan uji statistik Chi- square didapatkan p = 0,001 dan Relative Risk = 2,925 (1,363-6,725 CI=95%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesembuhan yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Sedangkan kemungkinan sembuh kelompok perlakuan 2,925 kali lipat dibandingkan kelompok kontrol. Tabel 2. Perbandingan kesembuhan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol pasien pria Sembuh dalam 3 hari Kelompok Sembuh Tidak Sembuh Total Perlakuan 9 (69,2%) 4 (30,8%) 13 (100%) Kontrol 2 (33,3%) 4 (66,7%) 6 (100%) 11 (57,9%) 8 (42,1%) 19 (100%) Tabel 2 menunjukkan bahwa dengan uji statistik Fischer exact didapatkan p = 0,319 dan Relative Risk = 2,077 (0,633-6,815 CI = 95%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesembuhan yang tidak bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Sedangkan kemungkinan sembuh kelompok perlakuan 2,077 kali lipat dibandingkan kelompok kontrol. Oleh karena terdapat perbedaan kesembuhan yang tidak bermakna, maka efektifitas perlakuan adalah terjadi karena kebetulan saja (by chance). Tabel 3. Perbandingan kesembuhan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol pasien wanita Sembuh dalam 3 hari Kelompok Sembuh Tidak Sembuh Total Perlakuan 17 (89,5%) 2 (10,5%) 19 (100%) Kontrol 3 (25,0%) 9 (75,0%) 12 (100%) 20 (64,5%) 11 (35,5%) 31 (100%) Tabel 3 menunjukkan bahwa dengan uji statistik Fischer's exact didapatkan p = 0,001 dan Relative Risk = 3,579 (1,327-9,651 CI=95%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesembuhan yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Sedangkan kemungkinan sembuh kelompok perlakuan 3,579 kali lipat dibandingkan kelompok kontrol. PEMBAHASAN Banyak penderita alergi ternyata dipengaruhi faktor keturunan dan paparan infeksi pada waktu bayi atau anak usia dini. Paparan infeksi waktu bayi dan usia dini akan merangsang aktivasi respons imun seluler (Th1) karena terjadi stimulasi produksi sitokin IL-12 oleh dendiritic cell sehingga limfosit Th1 sebagai pengatur pertahanan terhadap infeksi akan lebih berperan (gambar 6).8,19,20 Lebih berperannya Th1 pada imunitas tubuh akan mengurangi peranan Th2 yang banyak mensintesa sitokin (interleukin 4, 5, 13) yang merangsang limfosit B untuk memproduksi Ig E yang menyebabkan proses terjadinya alergi. Reaksi keseimbangan sistim imun ini banyak dibahas dalam hygiene hypothesis yang dikemukakan pertama kali oleh David.2,19,20 Perkembangan antibodi pada anak belum matur dan jumlahnya tidak seperti orang dewasa, terutama IgA sebagai pertahanan pertama mukosa terhadap invasi bakteri, virus dan alergen. Pada anak IgA belum mengalami maturasi sebelum umur kurang lebih 4 tahun7 sehingga perkembangan pertahanan mukosa belum sempurna. Hal ini memudahkan terjadinya penetrasi bakteri dan endotoksin yang akan menimbulkan terjadinya reaksi imunologi di dalam gingiva dan pada penderita alergi akan banyak terjadi akumulasi IgE, sitokin proinflammatory dan mediator kimiawi lainnya. Imunoglobulin E, sitokin proinflammatory, kompleks imun, bakteri beserta produknya dan mediator kimiawi lain yang berhubungan dengan reaksi alergi dapat masuk ke aliran darah sehingga kemungkinan dapat menimbulkan reaksi alergi di organ lain yang banyak mengandung mastosit, antara lain hidung, paru atau kulit. Sampel penelitian berusia 8–14 tahun, kelompok usia tersebut mungkin juga dipengaruhi oleh faktor hormonal (puberty gingivitis) juga kesembuhan dipengaruhi oleh faktor internal (daya tahan tubuh) dan eksternal (gizi dan lingkungan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 subyek anak yang didiagnosa sebagai penderita rinitis alergika dengan anamnese tanda bersin, 32 orang dilakukan tindakan pengendalian plak rongga mulut. Setelah dilakukan tindakan pengendalian plak rongga mulut ternyata 26 subyek (81,3%) hilang gejala bersin sebelum atau paling lambat pada hari ketiga. Enam penderita (18,8%) hanya mengalami pengurangan gejala atau sama sekali tidak berkurang. Sedangkan hasil uji Chi- square menghasilkan p = 0,01 (<0,05), hal ini menunjukkan efektifitas pengendalian plak rongga mulut yang bermakna. Persentase kesembuhan pada subyek wanita (19 subyek) adalah 89,5%, dengan hasil perhitungan statistik Fischer exact didapatkan p = 0,001 (< 0,05) sehingga hasil penatalaksanaan rinitis alergika berhasil secara signifikan. Pada penderita pria (13 subyek) didapatkan tingkat kesembuhan 69,2%, dengan hasil 101Utomo: Apakah terapi pengendalian plak p = 0,319 (> 0,05) sehingga hasil tindakan profilaksis tidak signifikan. Keberhasilan penatalaksanaan rinitis sesuai dengan yang perkirakan karena plak sebagai penyebab utama sudah sebagian besar dihilangkan dengan pemulasan gigi, sehingga bakteri dan endotoksin sebagai penyebab keradangan dan bakteremia sudah berkurang. Kurang berhasilnya penatalaksanaan rinitis dengan tindakan profilaksis pada gigi dapat disebabkan antara lain: a) tidak berhasilnya pengurangan keradangan pada gingiva terutama daerah interdental yang sulit dibersihkan; b) subyek tidak mengikuti instruksi perawatan kesehatan rongga mulut di rumah; c) gejala rinitis alergika terkontaminasi dengan infeksi (Upper Respiratory Infection/ISPA); d) keadaan umum subyek pada waktu pengamatan dilakukan (sedang menderita penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh, aktivitas fisik yang berlebihan dan sebagainya); e) terdapat gigi yang sudah mengalami kelainan periapikal walau sudah dilakukan penumpatan tetap merupakan sumber infeksi lokal. Pada penderita alergi, mekanisme pertahanan tubuh terhadap bakteri dan endotoksin dapat meningkatkan konsentrasi IgE karena adanya isotype switching IgG menjadi IgE.1,8 Endotoksin (LPS) juga dapat mengaktivasi makrofag atau monosit untuk meningkatkan sintesa PGE2 dari asam arakidonat,9,12,13,15,16 akibatnya konsentrasi IgE dan PGE2 serum akan meningkat. Dengan berkurangnya gingivitis maka konsentrasi sistemik PGE2 yang merupakan imunosupresan berkurang sehingga keseimbangan respons imun akan lebih mengarah ke respons imun seluler (Th1), akibatnya kepekaan penderita rinitis alergika terhadap rangsangan alergen juga berkurang. Pada penderita rinitis alergika terjadi vasodilatasi dan perubahan permeabilitas pembuluh darah kapiler mukosa hidung. Seharusnya setelah alergen hilang maka gejala rinitis alergika akan berkurang dan menghilang, akan tetapi dengan adanya perubahan permeabilitas pembuluh darah maka endotoksin dalam darah atau kompleks imun yang melibatkan IgE dapat berikatan dengan mastosit yang banyak terdapat pada mukosa hidung. Reaksi inilah yang mungkin akan menyebabkan terjadinya gejala rinitis alergika yang berkesinambungan, penyebabnya bukan alergen dari luar tubuh tetapi dari dalam pembuluh darah sendiri, antara lain dari endotoksin (lipopolisakarida) yang berasal dari infeksi fokal rongga mulut antara lain gingivitis. Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengendalian plak rongga mulut pada penderita dengan cara pemulasan gigi, menggunakan benang gigi dan berkumur dengan povidon iodine 1% dapat mengurangi faktor infeksi fokal yang menyebabkan rinitis alergika sering kambuh. Namun, faktor infeksi fokal lain yang berhubungan dengan gigi dan mulut seperti karies yang tidak terawat harus dihilangkan terlebih dahulu. Di samping itu, kesehatan tubuh secara umum dan faktor kebersihan lingkungan juga perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan rinitis alergika. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah sebenarnya penyebab utama berkurangnya keparahan rinitis alergika setelah dilakukan perbaikan kesehatan mulut dan kemungkinan adanya pengaruh kadar IgA serum umumnya dan kadar sekretori IgA rongga mulut khususnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah melakukan uji imunologis serum IgE spesifik, dan kerok (swab) mukosa hidung untuk mengetahui jumlah eosinofil sebelum dan sesudah penelitian. Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA 1. Goldman L, Auisello D. Cecil: Textbook of medicine. 22nd ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p. 1590–608. 2. Hsu PY, Yang YH, Lin YS, Chiang BL. Serum cationic protein level and disease activity in childhood rhinitis. As Pac J Allergy Immunol 2004; 22:19–24. 3. Benjamini E, Coico R, Sunshine G. Immunology: A Short Course. 4th ed. John Wiley & sons. 2000. Available at: URL http:// www.wiley.com. Accessed March 10, 2005. 4. Behrman R. Nelson: Textbook of paediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders; 2000. p. 650–3. 5. Budiman S. Tanda bersin sebagai alat diagnostik alergi debu rumah pada anak. Karya Tulis Akhir PPDS Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: Fakultas Kedokteran Unair; 2003. h. 4–41. 6. Wang DY, Yeoh KH. The significance and technical aspects of quantitative measurements of inflammatory mediators in allergic rhinitis. As Pac J Allergy Immunol 1999; 17: 219–28. 7. Istiati S. Imunitas mukosa rongga mulut pada anak. Majalah Kedokteran Gigi (Dental Journal) 2005; Edisi khusus Pertemuan Ilmiah Nasional Ilmu Kedokteran Gigi Anak: h. 67–9. 8. Roiti IM, Delves PJ. Roitt's essential immunology. 10th ed. London: Blackwell; 2001. p. 184, 260. 9. Slots J, Taubman MA. Contemporary oral biology and immunology. 1st ed. St Louis: Mosby-Year Book; 1992. p. 500–4. 10. Israelson. Gum disease: what you need to know. Available at: URL. http:/www.periodallas.com. Accessed November 12, 2004. 11. American Medical Network. Oral bacteria from gum disease can cause ailments elsewhere in the body Periodontal disease. Available at: URL http://www.dental.am. Accessed November 10, 2004. 12. Lie XJ, Kolltveit KM, Tronstad L, Olsen I. Systemic diseases caused by oral infection clinical microbiology. Reviews October 2000; 13(4): 547–58. 13. Newman MG. Carranza's clinical periodontology. 10th ed. Philadelphia: Saunders; 2002. p. 113–47. 14. Miyazaki K. Periodontal immunology. Available at: URL:http// www.dent.ucla.edu/. Accessed November 10, 2004. 15. Betz M, Fox BS. Prostaglandin E2 inhibits production of production of Th1 lymphokines but not of Th2 lymphokines. J Immunology 1991;146(1):108–13. 16. Trebble TM. Prostaglandin E2 production and T-cell function after fish-oil supplementation: response to antioxidant cosupplementation. Am J Clin Nutr 2003; 78(3): 376-382. Available from: URL http://www.intl.ajcn.org. Accessed December 19, 2004. 17. Kuroda E, Sugiura T, Okada K, Zeki K, Yamashita U. Prostaglandin E2 Up-Regulates Macrophage-Derived Chemokine Production but Suppresses IFN-Inducible Protein-10 Production by APC. J Immunology 2001; 166: 1650–8. Available at: URL http:// www.jimmunol.com. Accessed December 24, 2004. 18. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. 6th ed. Chicago: Mosby; 2001. p. 105–7. 102 Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 2 April–Juni 2005: 96–102 19. Kay AB,Rosen FS. Allergy and Allergic Diseases. N eng J Med, 2001; (1): 30–6. 20. Romagnani S. The increase prevalence of allergy and the hygiene hypothesis: missing immune deviation, reduced immune suppression, or both?. J Allergy Clin Immunol 2004; 113: 395– 400. 21. Pawankar R. Allergic Rhinitis and its impact on asthma: an evidence-based treatment strategy for allergic rhinitis. As Pac J Allerg Immunol 2002; 20: 43–52. 22. Rebecca G. Knapp, M. Clinton Miller III. Clinical epidemiology and biostatistic. Maryland: Baltimore Williams & Wilkins; 1992. p. 109. << /ASCII85EncodePages false /AllowTransparency false /AutoPositionEPSFiles true /AutoRotatePages /All /Binding /Left /CalGrayProfile (Dot Gain 20%) /CalRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CalCMYKProfile (U.S. Web Coated \050SWOP\051 v2) /sRGBProfile (sRGB IEC61966-2.1) /CannotEmbedFontPolicy /Warning /CompatibilityLevel 1.4 /CompressObjects /Tags /CompressPages true /ConvertImagesToIndexed true /PassThroughJPEGImages true /CreateJDFFile false /CreateJobTicket false /DefaultRenderingIntent /Default /DetectBlends true /DetectCurves 0.0000 /ColorConversionStrategy /LeaveColorUnchanged /DoThumbnails false /EmbedAllFonts true /EmbedOpenType false /ParseICCProfilesInComments true /EmbedJobOptions true /DSCReportingLevel 0 /EmitDSCWarnings false /EndPage -1 /ImageMemory 1048576 /LockDistillerParams false /MaxSubsetPct 100 /Optimize true /OPM 1 /ParseDSCComments true /ParseDSCCommentsForDocInfo true /PreserveCopyPage true /PreserveDICMYKValues true /PreserveEPSInfo true /PreserveFlatness true /PreserveHalftoneInfo false /PreserveOPIComments false /PreserveOverprintSettings true /StartPage 1 /SubsetFonts true /TransferFunctionInfo /Apply /UCRandBGInfo /Preserve /UsePrologue false /ColorSettingsFile () /AlwaysEmbed [ true ] /NeverEmbed [ true ] /AntiAliasColorImages false /CropColorImages true /ColorImageMinResolution 300 /ColorImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleColorImages true /ColorImageDownsampleType /Bicubic /ColorImageResolution 300 /ColorImageDepth -1 /ColorImageMinDownsampleDepth 1 /ColorImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeColorImages true /ColorImageFilter /DCTEncode /AutoFilterColorImages true /ColorImageAutoFilterStrategy /JPEG /ColorACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /ColorImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000ColorACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000ColorImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasGrayImages false /CropGrayImages true /GrayImageMinResolution 300 /GrayImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleGrayImages true /GrayImageDownsampleType /Bicubic /GrayImageResolution 300 /GrayImageDepth -1 /GrayImageMinDownsampleDepth 2 /GrayImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeGrayImages true /GrayImageFilter /DCTEncode /AutoFilterGrayImages true /GrayImageAutoFilterStrategy /JPEG /GrayACSImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /GrayImageDict << /QFactor 0.15 /HSamples [1 1 1 1] /VSamples [1 1 1 1] >> /JPEG2000GrayACSImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /JPEG2000GrayImageDict << /TileWidth 256 /TileHeight 256 /Quality 30 >> /AntiAliasMonoImages false /CropMonoImages true /MonoImageMinResolution 1200 /MonoImageMinResolutionPolicy /OK /DownsampleMonoImages true /MonoImageDownsampleType /Bicubic /MonoImageResolution 1200 /MonoImageDepth -1 /MonoImageDownsampleThreshold 1.50000 /EncodeMonoImages true /MonoImageFilter /CCITTFaxEncode /MonoImageDict << /K -1 >> /AllowPSXObjects false /CheckCompliance [ /None ] /PDFX1aCheck false /PDFX3Check false /PDFXCompliantPDFOnly false /PDFXNoTrimBoxError true /PDFXTrimBoxToMediaBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXSetBleedBoxToMediaBox true /PDFXBleedBoxToTrimBoxOffset [ 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 ] /PDFXOutputIntentProfile () /PDFXOutputConditionIdentifier () /PDFXOutputCondition () /PDFXRegistryName () /PDFXTrapped /False /Description << /CHS /CHT /DAN /DEU /ESP /FRA /ITA /JPN /KOR /NLD (Gebruik deze instellingen om Adobe PDF-documenten te maken voor kwaliteitsafdrukken op desktopprinters en proofers. De gemaakte PDF-documenten kunnen worden geopend met Acrobat en Adobe Reader 5.0 en hoger.) /NOR /PTB /SUO /SVE /ENU (Use these settings to create Adobe PDF documents for quality printing on desktop printers and proofers. Created PDF documents can be opened with Acrobat and Adobe Reader 5.0 and later.) >> /Namespace [ (Adobe) (Common) (1.0) ] /OtherNamespaces [ << /AsReaderSpreads false /CropImagesToFrames true /ErrorControl /WarnAndContinue /FlattenerIgnoreSpreadOverrides false /IncludeGuidesGrids false /IncludeNonPrinting false /IncludeSlug false /Namespace [ (Adobe) (InDesign) (4.0) ] /OmitPlacedBitmaps false /OmitPlacedEPS false /OmitPlacedPDF false /SimulateOverprint /Legacy >> << /AddBleedMarks false /AddColorBars false /AddCropMarks false /AddPageInfo false /AddRegMarks false /ConvertColors /NoConversion /DestinationProfileName () /DestinationProfileSelector /NA /Downsample16BitImages true /FlattenerPreset << /PresetSelector /MediumResolution >> /FormElements false /GenerateStructure true /IncludeBookmarks false /IncludeHyperlinks false /IncludeInteractive false /IncludeLayers false /IncludeProfiles true /MultimediaHandling /UseObjectSettings /Namespace [ (Adobe) (CreativeSuite) (2.0) ] /PDFXOutputIntentProfileSelector /NA /PreserveEditing true /UntaggedCMYKHandling /LeaveUntagged /UntaggedRGBHandling /LeaveUntagged /UseDocumentBleed false >> ] >> setdistillerparams << /HWResolution [2400 2400] /PageSize [612.000 792.000] >> setpagedevice