87 Volume 47, Number 2, June 2014 Aplikasi teori belajar sosial dalam penatalaksanaan rasa takut dan cemasan anak pada perawatan gigi (Application of social learning theory in the management of children dental fear and anxiety) arlette Suzy Setiawan Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung - Indonesia abstract Background: Dental anxiety is a prevalent problem faced by dentists till nowadays, especially in treating child patients. Several methods in managing anxiety are available, but there is no single method can be applied extensively. Purpose: This article was aimed to describe the application of social learning theory in preventing or reducing dental anxiety in children. literature review: Anxiety and fear are psych feelings that is experienced by a person. A child developed these feelings by learning from their own past experienced or by information obtained from their environment. If fear and anxiety can be learned by a child, thus the opposite term which is preventing the feelings is assumed can be also offered to learned. This application actually being applied in the field of dentistry as modeling, but the exploration of how this process is due is often being ignored. Conclusion: Social learning theory provides an easy preventive approach and effective intervention that can be applied to children in 4-9 years old to reduce dental anxiety. Key words: Anxiety, children, dental treatment, social learning abstrak latar belakang: Kecemasan pada perawatan gigi merupakan hal yang paling sering dijumpai dan merupakan masalah yang dihadapi oleh dokter gigi sampai saat ini, terutama pada pasien anak. Berbagai metode penatalaksanaan kecemasan banyak tersedia, namun tidak satu pun metode yang dapat diterapkan secara luas. tujuan: Makalah ini disusun untuk membahas mengenai aplikasi teori belajar sosial dalam mencegah kecemasan pada anak saat perawatan gigi. tinjauan pustaka: Rasa cemas dan takut merupakan perasaan psikis yang dialami seorang individu. Perasaan ini pada seorang anak lebih banyak didapat dari proses belajar dalam menyerap informasi berdasarkan pengalaman pribadi ataupun informasi dari lingkungan sekitar. Bila rasa cemas dan takut dapat dipelajari oleh seorang anak, maka diasumsikan bahwa menghindari timbulnya perasaan ini dapat pula diajarkan pada anak. Aplikasi hal tersebut sebenarnya telah diterapkan di bidang Kedokteran Gigi melalui modeling, namun eksplorasi bagaimana proses pembelajaran ini berlangsung sering kali terabaikan. Simpulan: Teori belajar sosial memberikan pendekatan preventif yang mudah dan intervensi yang efektif yang dapat digunakan pada anak usia 4-9 tahun untuk mengurangi kecemasan anak saat perawatan gigi. Kata kunci: Kecemasan, anak, perawatan gigi, belajar social Korespondensi (correspondence): Arlette Suzy Setiawan, Departemen Kedokteran Gigi Anak, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Jl. Sekeloa Selatan I Bandung Indonesia. E-mail: a.suzy@unpad.ac.id Literature Reviews 88 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 47, Number 2, June 2014: 87–91 pendahuluan Saat ini telah banyak dicapai kemajuan dalam teknologi Kedokteran Gigi dalam tatalaksana nyeri dan berbagai strategi yang dapat membuat pasien nyaman dalam menjalani perawatan gigi, namun hal tersebut tetap tidak merubah persepsi sebagian individu yang membuat Kedokteran Gigi ditakuti. Klasifikasi Internasional telah memasukkan kecemasan dan rasa takut terhadap Kedokteran Gigi ini di bawah seksi “fobia spesifik”. 1 Dalam praktek dokter gigi, sering dialami bahwa sebagian besar anak tidak bekerja sama selama perawatan sehingga kadang-kadang menjadi sangat sulit untuk mengendalikannya. Kesulitan tersebut tidak hanya terkait dengan prosedur teknis perawatan, tetapi juga dengan gangguan emosional yang berbeda dari anak. Gangguan emosional yang paling umum ditunjukkan selama perawatan gigi adalah rasa takut dan cemas.2 Menurut Gao et al.,3 rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi (dental fear and anxiety, DFA) merupakan masalah besar bagi sebagian individu, terutama anak dan remaja. Prevalensi DFA pada anak dan remaja berkisar antara 5-20% di berbagai negara, dengan beberapa kasus menunjukkan kasus yang mengarah pada dental phobia (DFA berat). Perilaku anak dan remaja dengan DFA dapat mempengaruhi hasil perawatan, menciptakan stres kerja pada dokter gigi dan stafnya,serta tidak jarang menjadi penyebab perselisihan antara dokter gigi dengan pasien atau orang tua mereka. Anak akan mencoba segala cara untuk menghindari atau menunda pengobatan, sehingga kesehatan rongga mulut tidak terjaga.4,5 Selain dampaknya terhadap perawatan gigi, DFA juga dapat menyebabkan gangguan tidur, mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan memiliki dampak negatif pada seseorang fungsi psikososial. DFA diperoleh di masa kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa dan merupakan prediktor signifikan untuk menghindari kunjungan ke dokter gigi pada usia dewasa. Hal tersebut merupakan tahap penting untuk mencegah DFA sehingga kesehatan mulut anak dapat dicapai secara optimal.3 Makalah ini membahas konsep mengurangi DFA pada anak menggunakan teori belajar sosial..6 Konsep takut atau kecemasan merupakan suatu konsep yang dikembangkan di bidang Psikologi, namun bila konsep ini diaplikasikan pada bidang kedokteran gigi, maka kedua bidang ini harus berkerja sama dalam membantu pasien dan dokter gigi mencapai penatalaksanaan terbaik terhadap anak dengan DFA. rasa takut dan cemas pada perawatan gigi Takut (fear) adalah respon emosional terhadap ancaman atau bahaya. Hal tersebut terdiri dari perubahan fisiologis, perasaan dari dalam diri, suatu tindakan perilaku luar.7 Rasa takut dapat menyebabkan berbagai perubahan fisiologis, seperti pucat, dilatasi pupil, takikardia, spasme jantung, hiperperistaltik, hiper/hiposekresi gastrointestinal, dan peningkatan aliran adrenalin. Selain itu dapat menyebabkan sejumlah perasaan tidak menyenangkan seperti perasaan akan teror, pucat, jantung berdebar, ketegangan otot, kekeringan pada tenggorokan dan mulut, perasaan tenggelam di perut, mual, muntah, diare, iritabilitas, kesulitan bernafas, kehilangan nafsu makan, insomnia, dan dorongan untuk lari dan bersembunyi. Perubahan perilaku eksternal dapat tercermin sebagai pola mengagetkan, penarikan atau penghindaran, atau melarikan diri. Hal ini dapat menyebabkan individu untuk tetap terdiam atau bergerak.8,9 Kecemasan (anxiety) adalah salah satu yang paling umum dari semua emosi manusia.3,10 Hal ini termasuk: (1) kesadaran fisik dan mental terhadap ketidakberdayaan; (2) adanya ancaman yang akan dating; (3) perasaan bahaya yang berasal dari dalam, hasil penilaian kognitif; dan (4) sebuah keraguan yang tidak dapat terpecahkan tentang sifat ancaman, cara terbaik untuk menguranginya, dan kapasitas subjektif seseorang untuk secara efektif memanfaatkan sarana tersebut. Bagaimana seseorang menilai situasi tersebut tergantung pada dua faktor: (1) faktor-faktor tersebut berasal dalam objek stimulus atau peristiwa itu sendiri; dan (2) variabel interpersonal. Berkenaan dengan yang pertama, beberapa individu dikondisikan untuk bereaksi secara negatif pada perawatan gigi dan banyak aspek yang terkait dengannya. Kedua, kemampuan seseorang untuk mengatasi atau mengelola situasi yang mengancam mengatur respon yang akan menyertainya.8 Kedua faktor di atas dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu, kepribadian, dan kemampuan untuk menghadapi kejadian yang menyebabkan rasa tersebut. Ketakutan dibedakan dari kecemasan atas dasar kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi objek eksternal yang mengancam dan untuk mengenali adanya perilaku yang akan mengurangi atau memperbaiki bahaya yang dirasakan. Kecemasan juga dapat dipertimbangkan sebagai keadaan emosional di mana seseorang merasa tidak nyaman, gelisah, atau takut. Seseorang biasanya akan mengalami kecemasan bila menghadapi peristiwa yang mereka tidak dapat mengendalikan atau memprediksi, atau tentang peristiwa atau situasi yang mereka dapat mempertimbangkan mengancam dan berbahaya. Ada perasaan kerentanan, dan kecemasan yang parah dapat bertahan dan akhirnya bahkan mengarah pada ketidakberdayaan.8,11 Bidang psikologi mendokumentasikan DFA pada tahun 1947 dengan diterbikannya buku “Dental Anxiety: Fear of Going to the Dentist” oleh Coriat. Buku tersebut menuangkah bahwa rasa takut pergi ke dokter gigi adalah salah satu bentuk yang paling umum dari ketakutan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman psikologis tentang rasa takut ini dapat bermanfaat dalam menangani pasien12 Secara garis besar bidang psikologi memahami rasa takut dipelajari oleh seorang anak. Jika rasa takut dapat dipelajari, maka secara logika dapat pula untuk tidak dipelajari.13 Rachman pada akhir tahun 1990-an mengembangkan suatu model yang menggambarkan bagaimana rasa takut dipelajari seorang individu. Model yang dikembangkan Rachman terdiri dari tiga jalur utama dalam mempelajari rasa takut, yaitu pengkondisian, jalur 89Setiawan: Aplikasi teori belajar sosial dalam penatalaksanaan rasa takut dan cemasan anak informasi, dan pembelajaran modeling.14 Makalah ini hanya membahas mengenai pembelajaran modeling karena keterkaitannya dengan teori pembelajaran sosial dari Albert Bandura. teori belajar sosial Teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura pada akhir tahun 1960-an mengenai proses belajar sosial pada awalnya dimaksudkan untuk mengembangkan sifat agresi anak dari usiah 3-5 tahun melalui percobaan boneka BoBo.6 Kemudian teori tersebut lebih dikembangkan secara luas dalam menggambarkan bagaimana anak mendapatkan rasa takut dan juga bagaimana agar anak dapat mengatasi rasa takut ini.13 Teori belajar sosial menyatakan bahwa anak dapat mempelajari rasa takut melalui observasi dari anak lain atau dari pengalaman masa lalu. Pada intinya, teori tersebut memahami bahwa seorang inidividu dapat belajar dari menonton pengalaman individu lainnya mengenai situasi yang serupa. Melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain, maka bagian dari pengalaman tersebut juga akan menjadi pengalaman anak. Bandura menyatakan bahwa “many intractable fears arise not from personally injurious experiences, but seeing others respond fearfully toward or be hurt by threatening objects. Similarly, evaluations of places, persons, or things often originate from exposure to modeled attitudes.”6 Seorang anak yang melihat anak lain menunjukkan reaksi tantrum saat perawatan gigi dapat menjadikan anak tersebut mengalami DFA yang berkaitan dengan teori belajar sosial. Beberapa penelitian yang dirangkum oleh Do menunjukkan bahwa observasi dan pengalaman mengamati anak lain mempengaruhi DFA, antara lain hasil penelitian Ost dan Hughdahl mengenai dental phobia membuktikan bahwa 68% subjek mendapatkan rasa takut melalui pengkondisian, tetapi hasil lain yang lebih penting dari penelitian ini adalah bahwa penelusuran DFA pada orang dewasa menunjukkan 12% mendapatkan DFA dari pengalaman dalam mengamati pengalaman anak lain.15 Teori belajar sosial tidak hanya menempatkan anak sebaya lain sebagai pelaku transfer rasa takut pada anak. Orang tua berpotensi menurunkan rasa takut pada anaknya melalui modeling.16-18 Penelitian Townsend et al. seperti yang dikutip oleh Do15 melaporkan bahwa ibu dari anak yang mengalami DFA lebih cemas dibandingkan dengan ibu dari anak yang non DFA.19 Lara20 juga melaporkan bahwa ayah juga berperan penting dalam transfer rasa takut kepada anaknya. Proses belajar sosial bekerja melalui lima elemen berbeda, yaitu efikasi diri, pencapaian kinerja, pengalaman yang mewakili, persuasi verbal, dan gairah emosional.6 Efikasi diri adalah konsep lain dalam teori belajar sosial. Tujuan teori tersebut adalah membangun efikasi diri atau membentuk persepsi individu mengenai kemampuan kinerjanya.15,21 Bandura menyatakan, “Perceived self- efficacy not only reduces anticipatory fear and inhibitions but, through expectations of eventual success, it affects coping effort once they are initiated.”6 Terbentuknya efikasi diri terjadi melalui pencapaian kinerja, pengalaman yang serupa, persuasi verbal, dan gairah emosional. Pencapaian kinerja dipertimbangkan sebagai sumber terkuat dari efikasi diri. Pengalaman pribadi yang berhasil dapat meningkatkan ekspektasi keberhasilan selanjutnya; keberhasilan pribadi yang berulang mengarah pada terbentuknya efikasi diri yang kuat.6,15 Pengalaman yang serupa membentuk efikasi diri melalui “seeing others perform threatening activities without adverse consequences can create expectations in observers they too will eventually succeed if they intensify and persist in their efforts.”6 Persuasi verbal terdiri dari rasa seseorang dipimpin orang lain melalui sugesti persuasive, menjadikan seseorang percaya bahwa mereka dapat mengatasi apa yang menghambatnya di masa lalu. Persuasi verbal merupakan kemungkinan terlemah dalam membentuk efikasi diri yang dapat bertahan lama. Gairah emosional berkaitan dengan efikasi diri dalam persepsi situasi yang mengancam. Meningkatnya gairah emosional secara tipikal menurunkan kinerja, sehingga individu cenderung lebih berhasil jika mereka tidak dalam keadaan emosi tinggi atau tidak merasa sensasi fisik atau emosi yang berhubungan dengan kecemasan dan takut.6 aplikasi teori belajar sosial pada anak dengan dfa Saat ini dokter gigi menggunakan berbagai teknik dalam mengendalikan perilaku negative anak seperti teknik tell-show-do, voice control, hand over mouth, dan sedasi N2O.22,23 Beberapa anak dapat menunjukkan perubahan perilaku dengan teknik tersebut di atas, namun pada beberapa kasus tertentu teknik tersebut tidak efektif, terutama bila anak mengalami DFA. Aplikasi teori belajar sosial di kedokteran gigi dimaksudkan untuk mengurangi atau mencegah timbulnya DFA pada anak sebelum anak tersebut pergi ke dokter gigi. Atau dengan kata lain, teori belajar sosial ini diaplikasikan pada tingkat preventif. Anak diharapkan mendapatkan aspek teori belajar sosial sebelum perawatan gigi pertamanya. Intervensi preventif dapat berbentuk modeling film/ in vivo dan modeling partisipan.15 Teori belajar sosial dimaksudkan Bandura untuk anak usia antara 3 sampai 5 tahun,6 namun penelitian yang ditujukan untuk mengetahui efek teori belajar sosial dalam mengurangi DFA terbatas pada anak usia 4 hingga 9 tahun. Dengan kata lain, aplikasi teori belajar sosial efektif pada anak 4-9 tahun dan berpotensi efektif pada anak kurang dari 4 tahun.15 Modeling in-vivo/film Modeling in vivo adalah teknik yang menempatkan anak menonton individu lain (model) baik dalam bentuk film atau in vivo (kehidupan nyata) menjalani perawatan gigi. Selama sesi modeling, anak menonton model menjalani setiap tahap perawatan gigi. Hal tersebut menunjukkan dua komponen kunci dari teori belajar sosial, yaitu pembelajaran melalui situasi yang sama dan pencapaian kinerja. Anak akan mengobservasi model menunjukkan keterampilan dalam mengatasi situasi yang kurang menyenangkan melalui bernapas dalam, relaksasi, selama perawatan gigi.15 90 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 47, Number 2, June 2014: 87–91 Proses ini mengajarkan anak berbagai alternatif dalam mengatasi DFA, bukan dengan tantrum atau penolakan. Hal penting dalam modeling in vivo/ film adalah pencapaian kinerja. Anak harus melihat model secara sukses menyelesaikan perawatan gigi yang disebabkan oleh perilaku model dalam mengembangkan keterampilan coping yang positif. Keberhasilan bisa ditunjukkan dalam bentuk selesainya perawatan gigi atau pemberian positive reinforcement.15 Modeling partisipan Proses ini melibatkan partisipasi aktif dari observer. Secara tipikal observer diminta untuk menonton model yang serupa dengan yang ada pada modeling in vivo atau film. Selain itu, anak diminta untuk berlatih keterampilan yang ditunjukkan oleh model selama proses modeling. Penggunaan pencapaian kinerja dan pengalaman yang serupa sama pentingnya seperti dalam modeling in vivo atau film. Anak harus melihat model berhasil dalam pengalamannya mengatasi rasa cemas mereka dalam perawatan gigi.15 pembahasan Dental fear and anxiety pada anak seringkali merupakan penyebab utama masalah penatalaksanaan tingkah laku yang mengganggu perawatan gigi reguler. Efek negatif lain dari DFA adalah terbentuknya internalisasi secara alami reaksi penolakan secara psikologis maupun perilaku hingga menghindari perawatan gigi. Hal tersebut akan berdampak timbulnya konsekuensi negatif bagi kesehatan gigi anak yang tentu berpotensi menciptakan masalah lain yang saling berkaitan, seperti stigma sosial atau berkembangnya rasa rendah diri pada anak.24,25 Berbagai penelitian telah mengembangkan dalam tatalaksana DFA. Intervensi musik,26,27 modifikasi lingkungan kerja,28,29 biofeedback,30,31 adalah contoh beberapa penelitian yang ditujukan dalam mengurangi DFA saat perawatan gigi. Peneliti bidang psikologi sendiri telah banyak melakukan penelitian mengenai DFA sejak tahun 1980-an.32-36 Intervensi psikolog dalam mengurangi anxiety disorder melalui cognitive behavior therapy telah memasukkan poin khusus mengenai DFA.37,38 Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya masalah DFA untuk diatasi. Faktor yang dapat memberikan kontribusi bagi timbulnya DFA penting untuk diketahui agar tatalaksana memberikan hasil yang memuaskan.1,39 Bila dikaitkan dengan teori belajar sosial yang menyatakan bahwa rasa takut dipelajari oleh anak, maka faktor yang dapat membentuk perilaku tersebut dapat dimodifikasi. Walaupun hasil penelitian Brown pada pertengahan thun 1980-an menunjukkan bahwa DFA lebih merefleksikan kecemasan secara umum dibendingkan dengan takut yang dipelajari sebagai respon terhadap situasi spesifik,40 namun penelitian mengenai hubungan pola pengasuhan dengan DFA menunjukkan adanya hubungan yang positif.41 Inti dari pengembangan teori belajar sosial itu sendiri berada dalam tingkat preventif, yaitu mencegah terjadinya DFA, yang dapat merupakan masukan berharga dalam bidang kedokteran gigi. O l l e n d i c k d a n K i n g m e l a l u i p e d o m a n y a n g dikembangkan oleh American Psychological Association Divisi 12, yaitu kriteria Chambless menemukan bahwa modeling film efektif dalam perawatan fobia. Penelitian lain pada anak-anak antara usia 5-11 tahun yang belum pernah ke dokter gigi diperlihatkan film yang menunjukkan anak usia 4 tahun menjalani perawatan gigi. Anak yang menonton film tersebut memiliki skor yang lebih rendah secara signifikan pada Behavioral Profile Rating Scale (BPRS) dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menonton film yang tidak berkaitan dangan modeling.15 Penelitian yang menelaah modeling in vivo menemukan bahwa bila anak mengamati perawatan gigi anak lain sebelum jadwal perawatan giginya menujukkan bahwa anak yang mengamati memiliki reduksi signifikan dalam perilaku negatif. Williams et al. juga menemukan bahwa anak yang diobservasi anak lain juga menunjukkan penurunan signifikan dalam perilaku negatifnya.15 Seiring dengan hasil penelitian tersebut, Farhat-McHayleh42 melaporkan bahwa model in vivo lebih efektif dibandingkan dengan metode tell-show-do. Modeling partisipan telah terbukti sebagai perawatan untuk fobia. Ollendick dan King menemukan bahwa modeling partisipan lebih efektif dibandingkan baik modeling film/ in-vivo dan perawatan pengkondisian klasik dari desensitisasi sistematik dalam perawatan fobia. Bukti lain yang mendukung superioritas modeling partisipan adalah hasil penelitian Klingman et al. yang menyatakan bahwa anak dari kelompok modeling lebih kooperatif dan kurang cemas dibandingkan kelompok modeling film.15 Beberapa cara meningkatkan keefektifan modeling secara umum, baik secara film ataupun partisipan. Karakteristik model itu sendiri dapat mengganggu keefektifan intervensi. Model yang baik harus serupa dengan pengamat. Model untuk anak dengan DFA harus anak yang serupa karakteristik secara demografi. Model dapat menjadi sangat efektif bila pengamat melihat model tersebut dalam pandangan yang tinggi. Contoh yang baik dari model yang dipandang tinggi oleh anak dapat berupa karakter kartun popular saat ini, misalnya karakter seperti Sponge Bob atau Barney.15 Keefektifan model dapat ditingkatkan dengan menggunakan model “coping”. Untuk anak dengan DFA, model coping lebih efektif dibandingkan dengan model mastery. Model coping akan mengekspresikan rasa takut dan kesulitan dalam situasi modeling sementara model mastery akan menunjukkan keahliannya dalam situasi modeling. Namun utnuk anak yang baru ke dokter gigi dan pernah menonton model coping, menunjukkan penurunan perilaku tidak kooperatif dibandingkan kelompok yang menonton model mastery.15 Terakhir, anak harus memiliki pencapaian kinerja. Anak harus terdorong memperlihatkan keterampilan coping yang 91Setiawan: Aplikasi teori belajar sosial dalam penatalaksanaan rasa takut dan cemasan anak positif. Setelah perawatan selesai, anak akan merasi efikasi dirinya meningkat dalam perawatan gigi.15 Dapat disimpulkan bahwa DFA merupakan masalah yang cukup serius dan membutuhkan penatalaksanaan yang komprehensif antara bidang kedokteran gigi dan psikologi. Teori belajar sosial memberikan pendekatan preventif yang mudah dan intervensi yang efektif yang dapat digunakan pada anak usia 4-9 tahun. Dokter gigi dapat menyediakan film, atau pun kesempatan observasi in vivo pada ruang prakteknya. Setelahnya dokter gigi dapat menurunkan perilaku disrupsi dengan meminta anak mempraktekkan dengan model. Modeling in vivo dapat merupakan teknik yang lebih aplikatif bagi dokter gigi. Model yang digunakan dapat ibu atau ayah, ataupun saudara pasien anak. Namun hal penting yang tidak bisa dilupakan adalah usia anak. daftar pustaka 1. Nicolas E, Bessadet M, Collado V, Carrasco P, Rogerleroi V, Hennequin M. Factors affecting dental fear in French children aged 5-12 years. Int J Paediatr Dent 2010; 20(5): 366–73. 2. Sharma M, Mittal R. Assessment of psychological effects of dental treatment on children. Contemp Clin Dent 2012; 3(5): 2. 3. Gao X, Hamzah SH, Yiu YCK, McGrath C, King MN. Dental fear and anxiety in children and adolescents: qualitative study using YouTube. J Med Internet Res 2013; 15(2): e29. 4. Sartory G, Heinen R, Pundt I, Jöhren P. Predictors of behavioral avoidance in dental phobia: The role of gender, dysfunctional cognitions and the need for control. Anxiety, Stress & Coping 2006; 19(3): 279–91. 5. Watson RJ. An exploration of children’s dental anxiety. In: Jones L, editor. New Zealand: Massey University; 2010. p. 1–134. 6. Bandura A. Social learning theory. Oxford, England: Prentice-Hall; 1977. p. 61, 80-1. 7. Nolen-Hoeksema S, Fredrickson BL, Loftus GR, Wagenaar WA. Atkinson and Hildegard’s introduction to psychology. 15th ed. Farmington Hill: Wadsworth/Cengage Learning; 2009. 8. Weiner AA. The fearful dental patient. 1st ed. Iowa: Wiley-Blackwell; 2011. p. 1–311. 9. Mostofsky DI, Fortune F. Behavioral dentistry. 2nd ed. Oxford: John Wiley & Sons, Inc; 2014. 10. Kennedy B. Anxiety disorders. Farmington Hill: Wadsworth/ Cengage Learning; 2010. p. 1–113. 11. Shiota MN, Kalat JW. Emotion. 2nd ed. Belmont: Wadsworth Cancage Learning; 2012. p. 1–484. 12. Capps D, Carlin N. Sublimation and symbolization: the case of dental anxiety and the symbolic meaning of teeth. Pastoral Psychol 2011; 60(6): 773–89. 13. Craske MG, Hermans D, Vansteenwegen D. Fear and learning. Washington: American Psychological Association; 2006. p. 1–313. 14. Rachman SJ. Fear and courage. 2nd ed. New :York: WH Freeman and Company; 1990. 15. Do C. Applying social learning theory to children with dental anxiety. J Contemp Dent Pract 2004; 5(1): 126–35. 16. Salem K, Kousha M, Anissian A, Shahabi A. Dental fear and concomitant factors in 3-6 year-old children. J Dent Res Dent Clin Dent Prospects 2012; 6(2): 70–4. 17. Goettems ML, Ardenghi TM, Romano AR, Demarco FF, Torriani DD. Influence of maternal dental anxiety on oral health–related quality of life of preschool children. Qual Life Res. 2010; 20(6): 951–9. 18. Kulkarni S, Jain M, Mathur A, Mehta P, Gupta R, Goutham B, et al. A relation between dental anxiety, the parental family and regularity of dental attendance in India. JOHCD 2009; 3(2): 29–35. 19. Walton JW, Johnson SB, Algina J. Mother and child perceptions of child anxiety: effects of race, health status, and stress. J Ped Psych 2009; 24(1): 29–39. 20. Lara A, Crego A, Romero-Maroto M. Emotional contagion of dental fear to children: the fathers’ mediating role in parental transfer of fear. Int J Paediatr Dent. 2012; 22(5): 324–30. 21. Pajares F, Urdan TC. Self-efficacy beliefs of adolescents. Illustrated. New York: IAP - Information Age Pub., Incorporated; 2006. 22. Widmer RP, McNeil DW, McNeil CB, Hayes-Cameron L. Child development, relationships and behaviour management. In: Cameron AC, Widmer RP, editors. Handbook of pediatric dentistry (Fourth Edition). Fourth Edition. Sydney: Mosby; 2013. p. 9–24. 23. Yeung Y. Distraction techniques for anxious dental patients. Saad Digest 2013; 29: 82–7. 24. Berge M. Dental fear in children: clinical consequences Suggested behaviour management strategies in treating children with dental fear. Eur Arch Paediatr Dent 2008; 9(1): 41–6. 25. Moore R, Brødsgaa rd I, Rosenberg N. The contr ibution of embarrassment to phobic dental anxiety. BMC Psychiatr 2004; 4(1): 10. 26. Setiawan A, Sasmita IS. The Mozart effect towards dental anxiety in–year old children. Dent J (Maj Ked Gigi) 2010; 43(1): 1–4. 27. Moola S. Effectiveness of music interventions in reducing dental anxiety in paediatric and adult patients. In: Pearson A, Jordan Z, Hagger C, editors. Adelaide: The University of Adelaide; 2011. p. 1–76. 28. Saphiro M, Melmed RN, Sgan-Cohen HD, Eli L, Parush S. Behavioural and physiological effect of dentl environment sensory adaptation on children’s dental anxiety. Eur J Oral Sci 2007; 115(6): 479–83. 29. Menezes Abreu DM, Leal SC, Mulder J, Frencken JE. Patterns of dental anxiety in children after sequential dental visits. Eur Arch Paediatr Dent 2011; 12(6): 298–302. 30. Morarend Q, Spector M, Dawson D, Clark S, Holmes D. The use of a respiratory rate biofeedback device to reduce dental anxiety: an exploratory investigation. Appl Psychophysiol Biofeedback 2011; 36(2): 63–70. 31. Dedeepya P, Nuvvula S, Kamatham R, Nirmala SV.. Behavioural and physiological outcomes of biofeedback therapy on dental anxiety of children undergoing restorations: a randomised controlled trial. Eur Arch Paediatr Dent 2014; 15(2): 97-103. 32. Nocella J, Kaplan RM. Training children to cope with dental treatment. J Ped Psych 2005; 7(2): 175–8. 33. Dahlquist LM, Gil KM, Hodges J, Kalfus GR, Ginsberg A, Holborn S. The effects of behavioral intervention on dental flossing skills in children. J Ped Psych 2005; 10(4): 403–12. 34. Knapp LG. Effects of type of value appealed to and valence of appeal on children’s dental health behavior. J Ped Psych 2004; 16(6): 675–86. 35. Christiano B, Russ SW. Matching preparatory intervention to coping style: the effects on children’s distress in the dental setting. J Ped Psych 2005; 23(1): 17–27. 36. Bernard RS. Pediatric procedural approach-avoidance coping and distress: a multitrait-multimethod analysis. J Ped Psych 2004; 29(2): 131–41. 37. Prangnell SJ, Green K. A cognitive behavioural intervention for dental anxiety for people with learning disabilities: a case study. British J Learning Disabilities 2008; 36(4): 242–8. 38. Nash M. Dental anxiety: How CBT might help support anxious patients. Dent Nurs 2013; 9(2): 85–7. 39. Klingberg G. Dental anxiety and behaviour management problems in paediatric dentistry — a review of background factors and diagnostics. Eur Arch Paediatr Dent 2008; 9(1): 11–5. 40. Brown D, Clive Wright FA, McMurray N. Psychological and behavioral factors associated with dental anxiety in children. J Behav Med 1986; 9(2): 213–8. 41. Krikken JB, Veerkamp JSJ. Child rearing styles, dental anxiety and disruptive behaviour; an exploratory study. Eur Arch Paediatr Dent 2008; 9(1): 23–8. 42. Farhat-McHayleh N, Harfouche A, Souaid P. Techniques for managing behaviour in pediatric dentistry. J Can Dent Assoc 2009; 75(4): 283–283f.