103 Volume 47, Number 2, June 2014 P a p a r a n z a t b e s i p a d a e k s p r e s i p r o t e i n s p e s i f i k extracellular polymeric substance biofilm Aggregatibacter actinomycetemcomitans (Iron exposure to specific protein expression of extracellular polymeric substance of Aggregatibacter actinomycetemcomitans biofilm) Marchella hendrayanti W dan indah listiana K Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya-Indonesia abstract Background: The study of biofilms bacteria could be an alternative of preventive treatment in reducing prevalence of aggressive periodontitis in the community, because biofilm protects the bacteria from environmental conditions, including the attack of immune system and antimicrobial. Aggregatibacter actinomycetemcomitans is a major cause of bacterial aggressive periodontitis. Purpose: This study aims to examine the iron exposure to specific protein expression of extracellular polymeric substance (EPS) of Aggregatibacter actinomycetemcomitans biofilm. Methods: Protein containing EPS biofilm was isolated from cultures of A.actinomycetemcomitans. The protein was processed through several procedures: electrophoresis , electroelution , immunization of rabbits , serum isolation , and purification of antibodies. After the Western blotting procedure the antibody was used. Protein containing EPS biofilms exposed to iron, then once again isolated from cultures of A. actinomycetemcomitans. The electrophoresis and Western blotting were done on the isolated protein. results: The result showed that the the expression of specific proteins in EPS biofilm decreased in response to iron exposure. Conclusions: Iron exposure could influenced the specific protein expression in EPS biofilm of Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Key words:: Iron, specific protein, extracellular polymeric substance, biofilm, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, specific protein, extracellular polymeric substance, biofilm, Aggregatibacter actinomycetemcomitans abstrak latar belakang: Penelitian terhadap bakteri biofilm dapat menjadi alternatif perawatan preventif dalam menurunkan prevalensi periodontitis agresif di masyarakat, karena biofilm melindungi bakteri terhadap kondisi lingkungan, termasuk serangan sistem imun dan antimikroba. Aggregatibacter actinomycetemcomitans merupakan bakteri penyebab utama periodontitis agresif. tujuan: Studi ini bertujuan meneliti paparan zat besi terhadap ekspresi protein spesifik extracellular polymeric substance (EPS) Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Metode: Protein yang mengandung EPS biofilm diisolasi dari kultur A. actinomycetemcomitans. Protein yang diisolasi ini kemudian melalui beberapa prosedur: elektroforesis, elektroelusi, imunisasi pada kelinci, isolasi serum, dan purifikasi antibodi. Pada prosedur Western blotting di sesi penelitian berikutnya antibodi ini digunakan. Protein yang mengandung EPS biofilm dipapar dengan zat besi, kemudian diisolasi sekali lagi dari kultur A. actinomycetemcomitans. Protein yang diisolasi dilakukandilakukan elektroforesis dan Western blotting. Western blotting. hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil berupa penurunan ekspresi protein spesifik biofilm EPS Research Report 104 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 47, Number 2, June 2014: 103–109 sebagai respon terhadap paparan zat besi. Simpulan:: Paparan zat besi memberi pengaruh ekspresi protein spesifik biofilm EPS Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Kata kunci: Zat besi, protein spesifik, extracellular polymeric substance, biofilm, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, protein spesifik, extracellular polymeric substance, biofilm, Aggregatibacter actinomycetemcomitans Korespondensi (correspondence): Marchella Hendrayanti W, Departemen Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Jl. Mayjend. Prof. Dr. Moestopo no. 47 Surabaya 60132, Indonesia. pendahuluan Periodontitis agresif adalah penyakit periodontal dengan ciri khas early onset, yaitu secara umum menyerang individu berusia di bawah 30 tahun, meskipun terkadang juga menyerang individu berusia lebih dari 30 tahun.1 Periodontitis agresif lebih destruktif pada perlekatan periodontal dan tulang alveolar, biasanya muncul pada periode waktu yang relatif singkat dengan minimal akumulasi dari faktor lokal.2 Prevalensi periodontitis agresif di Indonesia cukup tinggi. Menurut Cho et al. 3 prevalensi rendah didapatkan di Eropa yaitu antara 0,1% dan 0,2%; sedangkan prevalensi tinggi yaitu antara 3% sampai dengan 10% didapatkan di Brazil, Iraq, Indonesia, dan Amerika Serikat. Beberapa mikroorganisme spesifik-Aggregatibacter actinomycetemcomitans (A. actinomycetemcomitans), Capnocytophaga spp., Eikenella corrodens, Prevotella intermedia, dan Campylobacter rectus - sering ditemukan pada pasien periodontitis agresif localized, yang merupakan patogen primer yang berkaitan dengan periodontitis agresif localized adalah A. actinomycetemcomitans.1 A. actinomycetemcomitans bersifat patogen oportunistik dan merupakan bagian flora normal yang berkolonisasi di mukosa rongga mulut, gigi dan orofaring.2 A. actinomycetemcomitans ditemukan dengan frekuensi yang tinggi (sekitar 90%) pada lesi periodontitis agresif localized.1 Penelitian yang telah dilakukan lebih difokuskan pada pengamatan efektivitas berbagai bahan alternatif pengganti antibiotika, yaitu menggunakan bahan herbal dan hewani, dalam menghambat atau bahkan membunuh bakteri penyebab permasalahan gigi dan mulut, namun implementasinya dalam praktik kedokteran gigi masih jarang didapatkan. Antibiotika masih menjadi pilihan utama dokter gigi dalam mengatasi infeksi bakteri di rongga mulut, termasuk untuk mengatasi A. actinomycetemcomitans. Beberapa studi menunjukkan penggunaan tetrasiklin pasca debridement mekanis untuk perawatan pasien periodontitis akibat A. actinomycetemcomitans.1 Penelitian terhadap biofilm bakteri dapat menjadi alternatif tindakan preventif dalam rangka menurunkan kejadian periodontitis agresif di masyarakat. Perkembangan biofilm merupakan proses kompleks yang mengawali adhesi sel bakteri pada suatu permukaan, yang dilanjutkan dengan pembelahan sel yang subsekuen dan pertumbuhan mikrokoloni permukaan.4 Secara alami, pembentukan biofilm dipengaruhi oleh sinyal lingkungan yang beragam, beberapa sudah diidentifikasi, tetapi masih banyak faktor yang yang belum dilakukan penelitian. Faktor yang mempengaruhi pembentukan biofilm maupun menghilangkan biofilm yaitu sinyal mekanis, nutrisi, molekul inorganik, osmolaritas, host-derived signals, antimikroba dan quorum signals.5 Biofilm merupakan suatu kondisi fisiologis yang melindungi bakteri terhadap kondisi lingkungan, termasuk serangan sistem imun dan antimikroba.4 Pada penelitian ini studi biofilm difokuskan pada komponen utama, yaitu eksopolisakarida, yang disebut juga extracellular polymeric substance (EPS). Pada A. actinomycetemcomitans, EPS mengandung polimer dari β-1,6-N-asetil-D-glukosamin, sering disebut PNAG atau PGA. PNAG merupakan salah satu faktor virulensi A. actinomycetemcomitans, selain juga leukotoksin.6 Dengan memfokuskan pada EPS biofilm bakteri, penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari alternatif untuk menurunkan virulensi bakteri, sehingga kejadian penyakit rongga mulut, khususnya periodontitis agresif, dapat ditekan tanpa penggunaan antibiotik. Zat besi merupakan elemen inorganik esensial bagi sebagian besar sistem biologis. Zat besi berfungsi sebagai kofaktor sejumlah enzim dan protein redoks yang berperan vital pada proses penting seperti energetika membran dan biosintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Ketersediaan zat besi menjadi sinyal yang penting yang meregulasi ekspresi dari banyak faktor virulensi pada bakteri patogen.7 Zat besi juga merupakan aktivator pembentukan biofilm, dan pada beberapa kasus, zat besi menghambat pembentukan biofilm.5 Rhodes et al.8 menemukan bahwa beberapa senyawa zat besi berpengaruh terhadap pembentukan biofilm A. actinomycetemcomitans. A. actinomycetemcomitans mendapatkan besi melalui interaksi langsung dengan senyawa seperti haemin, haemoglobin, lactoferrin, dan transferrin meskipun tidak memproduksi siderofor.8 Pada vertebrata, iron-binding protein seperti transferrin, lactoferrin, hemoglobin, dan ferritin, menjaga free iron pada konsentrasi rendah, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri.7 Berdasarkan hal ini, penulis meneliti pengaruh paparan zat besi terhadap ekspresi protein spesifik EPS biofilm A. actinomycetemcomitans dengan menggunakan zat besi sebagai model untuk iron-supplemented conditions. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh paparan zat besi pada ekspresi protein spesifik EPS biofilm A. Actinomycetemcomitans. 105Hendrayanti, et al.: Paparan zat besi pada ekspresi protein spesifik extracellular polymeric substance bahan dan metode Pada penelitian ini ada pemberian perlakuan, tetapi belum dilakukan replikasi. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Malang. Prosedur penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu prosedur untuk pembuatan antibodi primer terhadap protein 100 kDa, yang diidentifikasi sebagai PNAG, dan prosedur untuk melihat pengaruh zat besi terhadap ekspresi PNAG pada EPS biofilm A. actinomycetemcomitans. Prosedur untuk pembuatan antibodi primer terhadap PNAG meliputi: kultur bakteri, isolasi protein bakteri, elektroforesis, elektroelusi, imunisasi pada hewan coba dan isolasi serum, serta purifikasi antibodi. Kultur bakteri dilakukan dengan mengisolasi terpisah untuk mendapatkan koloni murni A. actinomycetemcomitans pada medium Triptone Soya Agar (TSA+). Koloni murni A. actinomycetemcomitans pada TSA+ dimasukkan ke dalam anaerobic jar, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37° C selama 2 x 24 jam. Pertumbuhan koloni A. actinomycetemcomitans diamati. Diambil 1 koloni murni dengan ose sengkelit secara aseptis, lalu dimasukkan kedalam medium cair Triptone Soya Broth (TSB+), diinkubasikan kembali secara anaerob. Pertumbuhan bakteri diamati terhadap standar McFarland 1. Kultur bakteri dicek dengan pewarnaan Gram untuk memastikan tidak adanya kontaminan, lalu diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Suspensi bakteri A. actinomycetemcomitans siap digunakan untuk prosedur isolasi protein bakteri. Isolasi protein dilakukan dengan pemisahan suspensi bakteri A. actinomycetemcomitans dengan sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3.000 rpm pada suhu 4° C. Dari proses sentrifugasi, didapatkan pemisahan antara supernatan dan pellet. Supernatan dibuang. Pellet dihomogenkan dengan vortex selama 10 menit, lalu ditambahkan Phosphate Buffered Saline Tween–Phenyl Methyl Sulfonyl Fluoride (PBST-PMSF) sebanyak 5x volume. Pellet kemudian dimasukkan ke dalam sonicator selama 10 menit, lalu dipisahkan dengan sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 6.000 rpm. Endapan yang terbentuk dari proses sentrifugasi ditambahkan dengan etanol absolut dingin dengan perbandingan 1 : 1, lalu dibiarkan selama 12 jam hingga terbentuk endapan, yang kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Endapan yang terbentuk dikeringkan di udara bebas hingga bau etanol hilang, lalu ditambahkan buffer Tris-HCl dingin 20 mM dengan perbandingan volume 1 : 1. Endapan ini merupakan isolat protein yang mengandung EPS. Prosedur elektroforesis yang dilakukan terhadap isolat protein adalah elektroforesis dengan separating gel 12% dan stacking gel 3%. Isolat protein yang mengandung EPS ditambahkan dengan 10 µL reducing sample buffer (RSB), lalu dididihkan pada suhu 100° C selama 5 menit. Dilakukan running elektroforesis 130 V, 30 mA (2 plates) hingga terbentuk tracking dye 0,5 cm di atas dasar gel. Gel hasil running direndam dalam larutan staining, lalu di-shaker selama 30 menit. Gel direndam dalam larutan destaining untuk menghilangkan pewarna, ditambahkan kertas saring, lalu di-shaker hingga gel menjadi bening. Gel lalu di-scan untuk melihat fraksi-fraksi protein.11 Elektroelusi dilakukan dengan memotong gel hasil running sesuai dengan berat molekulnya. Gel dengan PNAG (protein 100 kDa) lalu dimasukkan dalam kantong selofan, kemudian ditambahkan buffer fosfat 0,2 M. Gel dalam kantong selofan yang mengandung protein 100 kDa dimasukkan ke dalam chamber elektroelusi yang berisi buffer fosfat 0,1 M, lalu dielektroelusi pada 250 V, 20 mA selama 12 jam, kemudian diangkat dari chamber elektroelusi. Buffer fosfat dalam kantong selofan ditambahkan dengan etanol absolut dingin dengan perbandingan 1 : 1, dan diinversi. Diinkubasikan dalam refrigerator selama 1 jam, lalu disentrifugasi dingin dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Dari proses sentrifugasi, didapatkan pemisahan antara supernatan dan pellet. Supernatan dibuang. Pellet dikeringkan dengan diangin-anginkan, lalu ditambahkan dengan buffer Tris-Cl dengan perbandingan 1 : 1, lalu disimpan pada suhu -20º C. Pellet siap digunakan untuk prosedur imunisasi pada hewan coba. Imunisasi pada hewan coba, yaitu kelinci betina (Oryctolagus cunicullus), dilakukan secara subkutan dengan PNAG yang telah ditambahkan dengan Complete Freund Ajuvant (CFA) dengan perbandingan 1:1 (lalu di- vortex hingga terbentuk emulsi). Dua minggu kemudian di-booster menggunakan PNAG yang telah ditambahkan dengan Incomplete Freund Ajuvant (IFA) dengan perbandingan 1 : 1, dan diimunisasikan secara subkutan. Isolasi serum dilakukan sebanyak 3 kali. Isolasi serum pertama dilakukan 1 minggu setelah booster dengan IFA, isolasi serum kedua dilakukan 1 minggu setelah isolasi serum pertama, dan isolasi serum ketiga dilakukan 1 minggu setelah isolasi serum kedua. Serum yang digunakan untuk penelitian adalah hasil isolasi serum ketiga. Prosedur isolasi serum adalah dengan mengambil darah kelinci betina yang sudah diimunisasi dengan PNAG sebanyak 2 cc, lalu dibiarkan selama 1-1,5 jam atau hingga darah dan serum terpisah, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit pada suhu ruang. Dari proses sentrifugasi, didapatkan pemisahan antara presipitat dan supernatan. Presipitat (yang berisi sel darah) dibuang, sedangkan supernatan (yang berupa serum) siap digunakan untuk prosedur selanjutnya.10 Purifikasi serum dilakukan dengan menambahkan serum dengan Saturated Ammonium Sulfate (SAS) 50% dengan perbandingan volume 1 : 1, lalu dibiarkan ± 30 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4º C selama 10 menit. Dari proses sentrifugasi, didapatkan pemisahan antara supernatan dan presipitat. Supernatan dibuang. Presipitat dicuci dengan SAS 50% 10x volume, lalu di-vortex, kemudian disentrifugasi 106 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 47, Number 2, June 2014: 103–109 10.000 rpm pada suhu 4º C selama 10 menit. Dari proses sentrifugasi, didapatkan pemisahan antara supernatan dan presipitat. Supernatan dibuang. Presipitat dilarutkan dalam buffer fosfat 0,2 M, pH 7 dengan perbandingan 1 : 1, lalu dimasukkan dalam kantong selofan, kemudian didialisis menggunakan buffer fosfat 0,1, pH 7 selama 12 jam pada kondisi dingin. Buffer fosfat ditambahkan dengan etanol absolut dingin, lalu diinkubasi dalam refrigerator selama 1 jam atau sampai terlihat endapan, kemudian disentrifugasi dingin dengan kecepatan 6.000 rpm selama 15 menit, lalu didiamkan dalam freezer selama ± 15 menit. Dari proses sentrifugasi, didapatkan pemisahan antara supernatan dan pellet. Supernatan dibuang. Pellet dikeringkan dengan diangin-anginkan, lalu ditambahkan dengan buffer Tris-Cl dengan perbandingan 1 : 1, lalu disimpan pada suhu -20º C. Pellet ini merupakan antibodi terhadap PNAG, dan siap digunakan untuk prosedur Western blotting.10 Prosedur untuk melihat pengaruh zat besi terhadap ekspresi PNAG pada EPS biofilm A. actinomycetemcomitans meliputi: kultur bakteri, isolasi protein bakteri, elektroforesis. Kultur bakteri pada prosedur ini dilakukan seperti kultur bakteri pada prosedur sebelumnya, tetapi dengan modifikasi. Di tahap ini dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu: kelompok kontrol (tanpa perlakuan) dan kelompok perlakuan (pada TSB+ ditambahkan zat besi). Kelompok perlakuan dibagi menjadi 3, yaitu: kelompok perlakuan I (pada TSB+ ditambahkan 250 µM zat besi), kelompok perlakuan II (pada TSB+ ditambahkan 300 µM zat besi), dan kelompok perlakuan III (pada TSB+ ditambahkan 350 µM zat besi). Isolasi protein bakteri dan elektroforesis pada prosedur ini dilakukan seperti isolasi protein bakteri dan elektroforesis pada prosedur sebelumnya.7 Gel dari elektroforesis dilakukan running dengan Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS PAGE). Protein dari gel SDS PAGE ditransfer ke membran nitrocellulose dengan alat semi-dry (kertas saring, membran nitrocellulose, dan gel hasil running disusun seperti sandwich dengan komposisi: 9 lembar kertas saring bagian bawah, membran nitrocellulose, gel hasil running, dan 6 kertas saring). Dilakukan running selama 2 jam, lalu dimatikan, dan membran nitrocellulose diambil. Membran nitrocellulose diblok dalam blocking buffer (PBST skim milk 5%) selama 1 jam, digoyang, lalu dicuci 3 x 5 menit dalam PBST. Diinkubasikan dengan antibodi primer PNAG dengan perbandingan 1:200 dalam PBST skim selama 12 jam pada temperatur 4° C, lalu dicuci 3 x 5 menit dalam Tris Buffered Saline (TBS). Diinkubasikan dengan antibodi sekunder Alkali Phosphatase Conjugated dengan perbandingan 1:2.500 dalam TBS selama 1 jam pada suhu ruang, lalu dicuci 4 x 5 menit dalam Phosphate Buffered Saline Tween (PBST). Diinkubasi dengan Western Blue substrate solution dalam ruang gelap selama 12 jam atau sampai terlihat warna band, lalu dicuci dengan aquadest untuk stop reaksi. Ekspresi protein pada membran (terlihat dalam bentuk protein band) siap untuk diamati. Membran prosedur Western blotting yang telah dilakukan lalu difoto dengan instrumen gel documentation dan dianalisis dengan Quantitione software (raw data dapat dibaca pada lampiran). hasil Dari prosedur elektroforesis didapatkan bahwa EPS biofilm A. actinomycetemcomitans memiliki beberapa fraksi protein, selain protein spesifik 100 kDa. Fraksi- fraksi protein bisa dilihat melalui prosedur elektroforesis (Gambar 1). Dari prosedur elektroforesis, ditemukan 5 fraksi protein yang terekspresi dari EPS biofilm A. actinomycetemcomitans, yaitu protein dengan berat molekul 100 kDa, 61 kDa, 55 kDa, 47 kDa, dan 44 kDa. D a r i p r o s e d u r W e s t e r n b l o t t i n g , d i p e r o l e h gambaran ekspresi protein spesifik EPS biofilm A. actinomycetemcomitans dengan berat molekul 100 kDa (Gambar 2). Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa paparan zat besi berpengaruh pada ekspresi protein spesifik EPS biofilm A. actinomycetemcomitans. Pada penelitian ini terjadi penurunan ekspresi protein spesifik EPS biofilm A. actinomycetemcomitans dengan berat molekul 100 kDa, yang diidentifikasi sebagai polimer dari β-1,6-N-asetil- D-glukosamin (PNAG), pasca paparan zat besi. Ekspresi protein pada kelompok kontrol (tanpa perlakuan) lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan paparan zat besi. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa kadar zat besi yang diberikan berpengaruh pada ekspresi PNAG. Paparan zat besi menyebabkan penurunan ekspresi PNAG yang gradual, dengan kelompok perlakuan I (dengan 250 Gambar 1. Hasil elektroforesis. BM (kDa) = berat molekul dalam satuan kilodalton, M = marker protein, 1 = Reducing Sample Buffer (RSB), 2 = sampel protein bakteri A. actinomycetemcomitans. 107Hendrayanti, et al.: Paparan zat besi pada ekspresi protein spesifik extracellular polymeric substance µM zat besi) memiliki ekspresi tertinggi dan kelompok perlakuan III (dengan 350 µM zat besi) memiliki ekspresi terendah. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa paparan zat besi berpengaruh pada densitas pita protein spesifik EPS biofilm A. actinomycetemcomitans (PNAG). Pada penelitian ini terjadi penurunan densitas pita protein spesifik EPS biofilm A. actinomycetemcomitans dengan berat molekul 100 kDa, yang diidentifikasi sebagai polimer dari β-1,6- N-asetil-D-glukosamin (PNAG), pasca paparan zat besi. Densitas PNAG pada kelompok kontrol (tanpa perlakuan) lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan paparan zat besi. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa kadar zat besi yang diberikan berpengaruh pada densitas pita PNAG. Paparan zat besi menyebabkan penurunan densitas pita PNAG; dengan kelompok perlakuan I (dengan 250 µM zat besi) memiliki densitas pita protein tertinggi (279,8478274667 int/mm2), kelompok perlakuan II (dengan 300 µM zat besi) memiliki densitas pita protein lebih rendah dari densitas pita protein kelompok perlakuan I dan lebih Gambar 2. Hasil Western blotting. BM (kDa) = berat molekul dalam satuan kilodalton, K = ekspresi protein spesifik 100 kDa pada kelompok kontrol, 1 = ekspresi protein spesifik 100 kDa pada kelompok perlakuan I, 2 = ekspresi protein spesifik 100 kDa pada kelompok perlakuan II, 3 = ekspresi protein spesifik 100 kDa pada kelompok perlakuan III. tinggi daripada kelompok perlakuan III (207,1479999351 int/mm2), dan kelompok perlakuan III (dengan 350 µM zat besi) memiliki densitas pita protein terendah (142,2883007712 int/mm2) (Gambar 3 dan Tabel 1). pembahasan Zat besi memiliki peran yang penting untuk pertumbuhan bakteri, baik sebagai nutrisi maupun katalis pembentukan radikal hidroksil.9 Ketersediaan zat besi menjadi sinyal yang penting yang meregulasi ekspresi dari banyak faktor virulensi pada bakteri patogen.7 Zat besi juga merupakan aktivator pembentukan biofilm, dan pada beberapa kasus, zat besi menghambat pembentukan biofilm.5 Paparan zat besi pada A. actinomycetemcomitans menyebabkan protein Fur membentuk kompleks dengan Fe2+ yang berikatan pada sekuen kosensus yang spesifik (yang disebut “Fur box”) pada sRNA. Ikatan ini menyebabkan mutasi pada sRNA, yang menyebabkan penurunan transkripsi gen determinan biofilm. Penurunan transkripsi gen determinan biofilm menyebabkan penurunan ekspresi PNAG EPS biofilm A. actinomycetemcomitans. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa densitas pita protein pada kelompok kontrol (480,8601678454 int/mm2) lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan paparan zat besi; dan paparan zat besi menyebabkan penurunan densitas pita PNAG dengan kelompok perlakuan I (dengan 250 µM zat besi) memiliki densitas pita protein tertinggi (279,8478274667 int/mm2), kelompok perlakuan II (dengan 300 µM zat besi) memiliki densitas pita protein lebih rendah dari densitas pita protein kelompok perlakuan I dan lebih Gambar 3. Diagram data densitas kelompok kontrol, perlakuan I, II, dan III. tabel 1. Data densitas kelompok kontrol, perlakuan I, II dan III Name Identity Density (int/mm2) U1 Kelompok kontrol 480,8601678454 U2 Kelompok perlakuan I 279,8478274667 U3 Kelompok perlakuan II 207,1479999351 U4 Kelompok perlakuan III 142,2883007712 D en si ty 108 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 47, Number 2, June 2014: 103–109 tinggi daripada kelompok perlakuan III (207,1479999351 int/mm2), dan kelompok perlakuan III (dengan 350 µM zat besi) memiliki densitas pita protein terendah (142,2883007712 int/mm2). Menurut Amarasinghe et al.,4 densitas pita protein ini mewakili ekspresi PNAG. Densitas pita protein kelompok kontrol yang lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan paparan zat besi menunjukkan bahwa ekspresi PNAG menurun akibat paparan zat besi. Densitas pita protein yang makin menurun pasca peningkatan kadar zat besi yang diberikan menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar zat besi yang dipaparkan menyebabkan semakin rendah ekspresi PNAG. Paparan zat besi secara signifikan mempengaruhi kuantitas biofilm yang terbentuk. Semakin tinggi ekspresi PNAG, semakin besar resistensi bakteri terhadap antibiotik dan aktivitas makrofag.4 Berdasarkan konteks teori, didapatkan dalam penelitian ini bahwa (a) paparan zat besi menyebabkan penurunan sintesis biofilm dan penurunan resistensi bakteri terhadap antibiotik dan aktivitas makrofag; (b) semakin tinggi kadar zat besi yang diberikan menyebabkan kuantitas biofilm yang terbentuk makin kecil dan resistensi bakteri terhadap antibiotik dan aktivitas makrofag makin rendah. Penelitian ini menggunakan Western blotting sebagai metode utama karena memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang baik. Western blotting merupakan metode yang menggunakan spesifisitas dari interaksi antigen-antibodi untuk mendeteksi protein tertentu yang spesifik dari suatu sampel protein. Metode lain yang dapat digunakan untuk penelitian protein antara lain imunopresipitasi (IP), imunohistokimia/sitokimia, dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Metode-metode ini dapat menimbulkan misinterpretasi jika terjadi reaktivitas silang antara antibodi dan protein selain protein yang akan diteliti. Prosedur Western blotting memiliki keuntungan dengan adanya resolve protein berdasarkan berat molekul (BM), dan protein yang akan diteliti biasanya terpisah dari protein- protein yang bereaksi silang.10 Untuk pembuatan antibodi primer, dilakukan imunisasi PNAG dan adjuvant terhadap kelinci untuk merangsang terbentuknya antibodi terhadap PNAG, yang kemudian digunakan untuk reaksi antigen-antibodi dalam prosedur Western blotting. Antibodi terhadap PNAG ini perlu diteliti lebih lanjut sebagai informasi untuk pengembangan imunisasi pasif terhadap sejumlah bakteri yang memproduksi protein ini. Penelitian terhadap sifat-sifat imunokimia dari PNAG juga perlu dilakukan untuk menambah informasi dalam pengembangan vaksin yang efektif terhadap bakteri-bakteri yang memproduksi PNAG. Bakteri yang memproduksi PNAG antara lain Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Yersinia spp. (termasuk juga Y. pestis), Bordetella spp., dan Actinobacillus spp. (termasuk juga A. actinomycetemcomitans). Dengan mengetahui pengaruh paparan zat besi pada ekspresi PNAG EPS biofilm A. actinomycetemcomitans diharapkan dapat membantu perkembangan perawatan terhadap periodontitis agresif. Dengan meneliti kondisi- kondisi yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan biofilm, diharapkan dapat mengarahkan strategi terapi yang mampu menurunkan pertahanan diri bakteri ini. Zat besi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada pembentukan biofilm A. actinomycetemcomitans. Meneliti zat besi saja tidak cukup untuk menyimpulkan pengobatan yang sesuai, karena masih banyak kondisi-kondisi lain yang dapat mempengaruhi pembentukan biofilm A. actinomycetemcomitans. Namun, penelitian terhadap fraksi-fraksi protein, selain juga PNAG, yang terkekspresi pada EPS biofilm A. actinomycetemcomitans juga perlu dikembangkan lebih lanjut. Dari prosedur elektroforesis, ditemukan 5 fraksi protein yang terekspresi dari EPS biofilm A. actinomycetemcomitans, yaitu protein dengan berat molekul 100 kDa, 61 kDa, 55 kDa, 47 kDa, dan 44 kDa. Identifikasi terhadap masing-masing fraksi protein ini dan fungsinya dapat membantu mengarahkan perkembangan terapi yang lebih signifikan terhadap penyakit periodontitis agresif dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh infeksi A. actinomycetemcomitans. Penelitian ini menunjukkan bahwa paparan zat besi berpengaruh pada ekspresi spesifik biofilm EPS A. actinomycetemcomitans. Semakin tinggi kadar zat besi yang dipaparkan menyebabkan densitas biofilm yang terbentuk menurun dan resistensi A. actinomycetemcomitans terhadap antibiotik dan aktivitas makrofag menurun. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terhadap faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan biofilm A. actinomycetemcomitans. Identifikasi terhadap masing-masing fraksi protein EPS biofilm A. actinomycetemcomitans dan fungsinya juga perlu dilakukan untuk membantu mengarahkan perkembangan terapi yang lebih signifikan terhadap infeksi A. actinomycetemcomitans. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terhadap efek zat besi terhadap flora normal dan bakteri oportunistik patogen lain di rongga mulut karena sifat zat besi yang bisa menghambat pembentukan biofilm, tapi pada beberapa kasus, dapat menjadi aktivator pembentukan biofilm. daftar pustaka 1. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA. Carranza’s clinical periodontology. 11th ed. St. Louis: Elsevier Saunders; 2012. p. 674, 685, 1929. 2. Amalina R. Perbedaan jumlah Actinobacillus actinomycetemcomitans pada periodontitis agresif berdasarkan jenis kelamin. Jurnal Majalah Ilmiah Sultan Agung. 2011. 3. Cho CM, You HK, Jeong SN. The clinical assessment of aggressive periodontitis patients. J Periodontal Implant Sci 2011; 41(3): 143- 8. 4. Amarasinghe JJ, Scannapieco FA, Haase EM. Transcriptional and translational analysis of biofilm determinants of Aggregatibacter actinomycetemcomitans in response to environmental perturbation. Infection and Immunity 2009; 77(7): 2896–907. 109Hendrayanti, et al.: Paparan zat besi pada ekspresi protein spesifik extracellular polymeric substance 5. Karatan E, Watnick P. Signals, regulatory networks, and materials that build and break bacterial biofilms. Microbiology and Molecular Biology Reviews 2009; 73(2): 310-47. 6. Venketaraman V, Lin AK, Le A, Kachlany SC, Connell ND, Kaplan JB. Both leukotoxin and poly-n-acetylglucosamine surface polysaccharide protect aggregatibacter actinomycetemcomitans cells from macrophage killing. Microbial Pathogenesis 2008; 45 (3): 173–80. 7. Haraszthy VI, Lally ET, Haraszthy GG, Zambon JJ. Molecular cloning of the fur gene from Actinobacillus actinomycetemcomitans. Infection and Immunity 2002; 70(6): 3170–9. 8. Rhodes ER, Shoemaker CJ, Menke SM, Edelmann RE, Actis LA. Evaluation of different iron sources and their inf luence in biofilm formation by the dental pathogen Actinobacillus actinomycetemcomitans. Journal of Medical Microbiology 2007; 56: 119–28. 9. Haraszthy VI, Jordan SF, Zambon JJ. Identification of Fur-regulated genes in Actinobacillus actinomycetemcomitans. Microbiology 2006; 152(Pt 3): 787-96. 10. Howard GC, Bethell DR. Basic methods in antibody production and characterization. Boca Raton: CRC Press LCC; 2001. p. 218. 11. Mahmood T, Young P. Western blot: Technique. Theory and trouble shooting. N Am J Med Sci 2012; 4(1): 134-429.