130 Volume 46, Number 3, September 2013 Research Report Analisis heteroplasmy DNA mitokondria pulpa gigi pada identifikasi personal forensik (Heteroplasmy analysis of dental pulp mitochondrial DNA in forensic personal identification) ardyni febri K,1 retno Pudji rahayu1 dan agung Sosiawan2 1 Departemen Patologi Mulut dan Maksilofasial 2 Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya – Indonesia abstract Background: Mitochondrial DNA (mtDNA) sequence analysis of the hypervariable control region has been shown to be an effective tool for personal identification. The high copy and maternal mode of inheritance make mtDNA analysis particularly useful when old samples or degradation of biological samples prohibits the detection of nuclear DNA analysis. Dental pulp is covered with hard tissue such as dentin and enamel. It is highly capable of protecting the DNA and thus is extremely useful. One of the diasadvantages of mitochondrial DNA is heteroplasmy. Heteroplasmy is the presence of a mixture of more than one type of an organellar genome within a cell or individual. It can lead to ambiguity in forensic personal identification. Due to that, the evidence of heteroplasmy in dental pulp is needed. Purpose: The study was aimed to determine the heteroplasmy occurance of mitocondrial DNA in dental pulp. Methods: Blood and teeth samples were taken from 6 persons, each samples was extracted with DNAzol. DNA samples were amplified with PCR and sequencing to analyze the nucleotide sequences polymorphism of the hypervariable region 1 in mtDNA and compared with revised Cambridge Reference Sequence (rCRS). results: The dental pulp and blood nucleotide sequence of hypervariable region 1 mitochondrial DNA showed polymorphism when compared with rCRS and heteroplasmy when compared between dental pulp with blood. Conclusion: The study showed that heteroplasmy was found in mithocondrial DNA from dental pulp. Key words: Personal identification, mtDNA, dental pulp, heteroplasmy abstrak latar belakang: Analisis sekuens DNA mitokondria (mtDNA) regio kontrol hypervariable telah terbukti menjadi alat efektif untuk identifikasi personal. Kopi DNA yang banyak dan pewarisan maternal membuat analisis mtDNA sangat berguna ketika sampel lama atau sampel biologis yang terdegradasi menghambat deteksi analisis DNA inti. Pulpa gigi terlindung jaringan keras seperti dentin dan enamel. Hal ini membuat pulpa mampu melindungi DNA dan dengan demikian sangat berguna untuk identifikasi. Salah satu kekurangan DNA mitokondria adalah heteroplasmy. Heteroplasmy adalah adanya campuran lebih dari satu jenis genom dalam sel atau individua. Hal ini dapat menyebabkan ambiguitas pada identifikasi pribadi forensik. Oleh sebab itu, identifikasi personal menggunakan pulpa gigi harus memperhatikan kejadian heteroplasmy. tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kejadian heteroplamy DNA mitokondria pada pulpa gigi. Metode: Sampel darah dan gigi diambil dari 6 orang, masing-masing sampel diekstraksi dengan metode DNAzol. Sampel DNA diamplifikasi dengan PCR dan sequencing untuk menganalisis polimorfisme urutan nukleotida di hypervariable region 1 mtDNA dan dibandingkan dengan revised Cambridge Reference Sequence (rCRS). hasil: Sekuens nukleotida pulpa gigi dan darah daerah pada hypervariable region 1 DNA mitokondria menunjukkan polimorfisme bila dibandingkan dengan rCRS dan heteroplasmy 131Febri, dkk.: Analisis heteroplasmy DNA mitokondria pulpa gigi bila dibandingkan antara pulpa gigi dengan darah. Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa heteroplasmy dapat ditemukan pada DNA mitokrondia pulpa gigi. Kata kunci: Identifikasi personal, mtDNA, pulpa gigi, heteroplasmy Korespondensi (correspondence): Ardyni Febri K, Departemen Patologi Mulut dan Maksilofasial, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia. Email: rumahnya.ve@gmail.com pendahuluan Identifikasi personal menggunakan gigi merupakan hal yang sudah lama dilakukan. Menurut Heinemann, sebagaimana dikutip oleh Svensson,1 penggunaan sampel gigi ini ditemukan pertama kali sejak permulaan abad 49 sebelum Masehi yaitu Agrippina dari Romawi dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik dari gigi. Darah merupakan spesimen identifikasi forensik yang sering digunakan dan merupakan gold standard akan tetapi ketika terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan tubuh seseorang hancur, maka diperlukan spesimen lain yang digunakan sebagai sampel yaitu gigi.2 Apabila kecelakaan terjadi di mana anggota tubuh yang lain telah hancur atau rusak akan tetapi kondisi gigi masih relatif baik maka akan didapatkan DNA mitokondria pulpa gigi.3 Menurut Tsutsumi2 hal tersebut disebabkan dentin dan enamel memberikan semacam perlindungan bagi DNA gigi. Perlindungan tersebut menyebabkan DNA gigi 100% secara tepat masih dapat digunakan untuk analisis gender dengan analisa polymerase chain reaction (PCR) setelah gigi dipanaskan pada suhu 100° C selama 15 menit.4 Mitochondrial DNA (mtDNA) sebagai sampel identifikasi personal dalam bidang forensik banyak digunakan karena mempunyai struktur molekul berbentuk sirkuler yang stabil dan kemampuan menggandakan diri yang banyak pada tiap sel sehingga mtDNA lebih efektif daripada DNA inti.5 Rangkaian analisa (sequence analysis) pada mtDNA manusia telah digunakan secara luas untuk menggambarkan spesimen forensik secara biologis terutama ketika tidak ada sampel DNA inti yang mencukupi untuk diambil. Terdapat permasalahan pada mtDNA yang perlu diketahui antara lain pewarisan maternal mtDNA, heteroplasmy dan diperlukan sensitifitas peralatan yang tinggi untuk deteksi mtDNA. mtDNA terdiri dari 13 polipeptida untuk protein kompleks rantai respirasi, 22 tRNA dan 2rRNA yang berfungsi dalam proses sintesis protein mitokondria, serta daerah yang tidak terkode (non coding region) yang disebut displacement loop (D-loop). Daerah ini memiliki makna sangat besar bagi pemeriksaan forensik karena sekuens yang terdapat pada D-loop ini cenderung bervariasi (polymorphism) pada masing-masing individu, yaitu pada daerah HVR1 (nt16024-16383) dan HVR2 (nt 57-372).6 Variasi nukleotida (transisi, transversi dan insersi) lebih banyak muncul pada HVR 1 yaitu sebanyak 77 posisi (24,8%) daripada HVR 2 sebanyak 56 posisi (19,9%).2 Heteroplasmy adalah suatu keadaan di mana terdapat dua atau lebih tipe mtDNA dalam mitokondrion tunggal, pada sel atau individu.7 Heteroplasmy yang terjadi pada DNA mitokondria terjadi karena mitokondria berhubungan erat dengan sistem transportasi elektron sehingga hal ini menyebabkan DNA mitokondria rentan terjadi mutasi.8 Berdasarkan uraian di atas maka identifikasi forensik yang menggunakan DNA mitokondria pulpa gigi harus memperhatikan kemungkinan terjadi heteroplasmy untuk menghindari ambiguitas identitas seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kejadian heteroplasmy DNA mitokondria pada pulpa gigi. bahan dan metode Jenis penelitian yang digunakan adalah analitic observational cross-sectional study. Ethical clearance penelitian diperoleh dari Komisi Kelaikan Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Sampel yang digunakan ialah gigi premolar utuh dan sehat yang didapatkan dari pasien yang akan dilakukan perawatan ortodontik pada BPG Puskesmas Pegirian dan praktek pribadi peneliti dengan usia 20–30 tahun dan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jumlah sampel pada penelitian ini ditetapkan sebanyak 6 sampel pada kelompok darah dan 6 sampel pada kelompok pulpa gigi. Bahan untuk ekstraksi DNA: DNAzol Reagent, Larutan 100% dan 70% ethanol serta destilated water (Sigma). Bahan untuk amplifikasi DNA: a) DNA target: DNA sasaran yang berasal dari DNA mitokondria gigi premolar dan darah sebagai gold standard; b) Primer yang digunakan: Hypervariable Region (HVR) 1 (nt34-159) primer mtDNA amplicon size 126 bp. Forward: 5’GGG AGG TCT CCA TGC ATT TGG TA 3’, Reverse: 5’AAA TAA TAG GAT AGG CAG GTC 3’; PCR Mix 25 μl yang terdiri : 2.5 μl 10x buffer, 1 μl dNTP (ATP, CTP, TTP, GTP), 1 μl primer F, 1 μl primer R, 0.6 μl MgCl2 , 0.3 μl Taq Polymerase, 16.6 μ l dH2O dan 2 μl sampel mtDNA (Promega Corp). Gigi premolar yang sehat diambil jaringan pulpanya dengan cara mencari orifice pulpa menggunakan mikromotor lowspeed, kemudian pulpa diambil menggunakan jarum ekstirpasi dan pulpa yang didapat dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan disonikasi selama 15 menit.2 Pengambilan darah sampel sebanyak 5 ml dari vena cubiti dilakukan sebagai kontrol. 132 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 46, Number 3, September 2013: 130–134 Isolasi DNA gigi dengan menggunakan DNAzol (Invitrogen Tech-Linesm): pellet gigi yang sudah dicuci yang berasal dari pulpa gigi yang telah diambil dicampur dengan 1 ml DNAzol dengan cara divorteks kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar. Dilakukan sentrifuse 10.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4° C kemudian supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung baru. Selanjutnya ditambahkan 0.5 ml ethanol absolute (100%), dicampur perlahan, kemudian diinkubasi selama 3 menit. Dilakukan sentrifuse 4.000 rpm selama 2 menit pada suhu 4° C, kemudian supernatan dibuang secara hati-hati agar DNA tidak ikut terbuang. Dilakukan pencucian pellet dengan ethanol 75% 1 ml dan setiap kali dicuci dengan ethanol 75%, diulang selama 6 kali. Selanjutnya disentrifuse 4000 rpm selama 2 menit. Tabung diletakkan dengan posisi tegak selama 1 menit setelah itu buang ethanol 75% dengan cara pippeting atau decanting. Pencucian dengan ethanol 75% sebanyak 2 kali. Pellet dikeringkan dengan cara membiarkan tabung terbuka selama 15 detik sesudah ethanol 75% dibuang. Pellet ditambah dengan larutan NaOH 8mM sebanyak 0,3 ml sebagai pelarut DNA, divorteks kemudian di spindown dan disimpan pada suhu -20° C.10 Pengukuran kadar dan kemurnian DNA melalui UV-Spectrophotometer. Pada larutan DNA hasil UV spektrofotometer pada panjang gelombang 260 dan 280 nm, dihitung sebagai berikut: kadar DNA = (bacaan pada λ 260) x FP (Faktor Pengenceran) x 1 OD, dimana 1 optical density (OD) setara 50 ng/μl atau 50 μg/ml untuk DNA untai ganda. Kemurnian DNA dihitung dengan rasio perbandingan absorpsi panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (A260/A280). Hasil ekstraksi DNA dari gigi dilakukan elektroforesis dengan menggunakan agarose gel 2% untuk mengetahui band/pita pada tiap sampel.10 Kemudian dilakukan amplifikasi PCR mtDNA 126 bp (nt34-159) dengan tahapan: seluruh reagen PCR serta DNA sampel yang telah dimasukkan pada tabung eppendorf divorteks dengan di spin down selama 10 detik kemudian diamplifikasi sesuai dengan primer yang digunakan sesuai petunjuk referensi. Primer: mtDNA 126 bp, Initial Denaturation: 95° C 3 menit, Denaturation: 94° C 1 menit, Annealing: 56° C 1 menit, Ekstension: 72° C 1 menit, Final Extention: 72° C 3 menit, Cycle: 30X, Elongation: 72° C–5 menit. Hasil PCR yang positif dimurnikan (purification), DNA Quantity, labelling, purifying extention product/precipitation kemudian dilakukan proses sequencing. hasil Berdasarkan hasil PCR DNA dari gigi premolar dan darah sampel, didapatkan gambaran elektroforesis mtDNA sebagai berikut (Gambar 1). Keenam sampel mtDNA darah dan gigi yang telah dipurifikasi kemudian dilakukan proses sequencing dan analisa mtDNA untuk mengetahui polimorfisme dan heteroplasmy yang mungkin terjadi pada basa nukleotidanya. Polimorfisme yang terjadi pada sampel darah jika dibandingkan dengan Cambridge Reference Sequence r a t a - r a t a s e b e s a r 0 , 8 0 % d a r i 1 2 6 b p ( T a b e l 1 ) . Gambar 1. Hasil elektroforesis DNA gigi dan darah. Keterangan: D1-6: Sampel darah; G1-6: Sampel gigi; K (-): Kontrol negatif; M: Marker 100 bp. D1 D2 D3 D4 D5 D6 K (-) M K (-) G1 G2 G3 G4 G5 G6 K(-) M tabel 1. Polimorfisme pada sampel darah Sampel Deteksi polimorfisme Jumlah % 1 Terdeteksi 1 0,80 2 Terdeteksi 1 0,80 3 Terdeteksi 1 0,80 4 Terdeteksi 1 0,80 5 Terdeteksi 1 0,80 6 Terdeteksi 1 0,80 Rata-rata 0,80 133Febri, dkk.: Analisis heteroplasmy DNA mitokondria pulpa gigi penjumlahan total persentase keenam sampel dibagi enam. Rata-rata terjadi heteroplasmy sebesar 20,90% dari 126 bp (Tabel 3). Persentase heteroplasmy tiap sampel didapatkan berdasar perhitungan jumlah titik yang terjadi heteroplasmy dibagi 126 bp. Kemudian untuk persentase rata-rata didapatkan dari penjumlahan total persentase keenam sampel dibagi 6. Berdasarkan hasil pengamatan keenam sampel antara sampel darah dan gigi didapatkan rata-rata transisi sebanyak 1.650% dan rata-rata transversi sebanyak 1.852% dari penjumlahan persentase rata-rata tiap kelompok (Tabel 4). pembahasan Heteroplasmy merupakan suatu kejadian di mana terdapat dua atau lebih mtDNA dalam satu mitokondrion. Pada banyak penelitian dikatakan bahwa heteroplasmy merupakan suatu situasi yang umum terjadi (1-2% dari genom mitokondria) namun keberadaan heteroplasmy bisa jadi akan mengubah penilaian investigasi identitas individu di bidang forensik. Sampel darah sukarelawan digunakan sebagai kontrol (pembanding) karena darah merupakan sumber DNA yang handal untuk digunakan secara identifikasi dan menjadi gold standard dalam pemeriksaan forensik. 10 Berdasar hasil penelitian (Tabel 1 dan 2) nampak perbedaan antara sampel darah dengan pulpa gigi di mana titik-titik terjadi polimorfisme pada mtDNA darah lebih sedikit yaitu dengan rerata sebesar 0.80% dari mtDNA pulpa gigi sebesar 19,31% jika dibandingkan dengan Cambridge Reference Sequence. Begitu pula hasil sequencing mtDNA pulpa gigi (Tabel 3) banyak menunjukkan titik basa nukleotida yang mengalami heteroplasmy dibandingkan dengan mtDNA darah dengan rerata persentase heteroplasmy sebesar 20.9%. Level mutasi mtDNA yang tinggi biasa ditemukan pada jaringan post- mitotic seperti tulang dan otak sedangkan level mutasi yang rendah ditemukan pada jaringan dengan tingkat pembelahan (mitosis) yang cepat seperti darah.11 Jaringan post-mitotic ialah jaringan yang tidak memiliki kemampuan untuk bermitosis. Sel-sel pada darah akan mengalami mitosis terus menerus yang diproduksi dari tulang belakang. Selama siklus sel, replikasi DNA terjadi pada fase S (synthesis) dan berlangsung selama 10 jam. Keuntungan mengetahui pola sekuens, tidak hanya membantu proses identifikasi forensik tetapi juga dalam bidang antropologi dan arkeologi oleh karena perbedaan posisi heteroplasmy pada tiap suku bangsa disebabkan oleh perbedaan karakteristik haplotypes mtDNA yang terjadi sejak adanya migrasi manusia dari Afrika sehingga perbedaan posisi mutasi dan heteroplasmy antara darah dan gigi dengan rCRS disebabkan karena pada rCRS menggunakan haplogroup ras Caucasian (Eropa) yaitu H2a2a sedangkan pada orang Indonesia (Asia Tenggara) termasuk pada haplogroup N9a.12 Mutasi adalah perubahan tabel 2. Polimorfisme pada sampel gigi Sampel Deteksi polimorfisme Jumlah % 1 Terdeteksi 15 11,90 2 Terdeteksi 29 23,02 3 Terdeteksi 21 16,67 4 Terdeteksi 28 22,22 5 Terdeteksi 20 15,87 6 Terdeteksi 33 26,19 Rata-rata 19,31 tabel 3. Analisis heteroplasmy antara sampel darah dengan gigi Sampel Deteksi heteroplasmy Jumlah % 1 Terdeteksi 18 14,29 2 Terdeteksi 29 23,02 3 Terdeteksi 28 22,22 4 Terdeteksi 28 22,22 5 Terdeteksi 22 17,46 6 Terdeteksi 33 26,19 Rata-rata 20,90 tabel 4. Karakteristik polimorfisme pada keenam sampel antara gigi dan darah Tipe Jumlah % Rata-rata tiap kelompok AG 11 1,455 GA 8 1,058 TC 18 2,380 CT 13 1,720 Rata-rata% transisi 1,650 AT 10 1,323 AC 11 1,455 GT 23 3,042 GC 22 2,910 CA 8 1,058 CG 6 0,794 TA 17 2,249 TG 15 1,984 Rata-rata transversi 1,852 Insersi - Delesi - Persentase rata-rata didapatkan dari penjumlahan total persentase keenam sampel dibagi enam. Polimorfisme yang terjadi pada sampel gigi jika dibandingkan dengan Cambridge Reference Sequence rata-rata sebesar 19,31% dari 126 bp (Tabel 2). Persentase rata-rata didapatkan dari 134 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 46, Number 3, September 2013: 130–134 pada materi genetik yang terjadi secara tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisme hidup yang bersifat terwariskan (heritable). Mutasi terdiri atas dua jenis yaitu mutasi kromosom dan mutasi gen. Mutasi kromosom adalah perubahan yang terjadi pada kromosom, meliputi: duplikasi (penambahan), delesi (lenyapnya gen dari suatu kromosom), inversi (perubahan letak segmen kromosom), pindah silang (pertukaran gen dari kromosom homolog), translokasi (pertukaran dari kromosom (nonhomolog). Mutasi gen secara umum adalah perubahan apapun dalam bahan genetik yang disebabkan oleh lima hal, yaitu: mutasi noktah yang meliputi perubahan pada kodon tunggal, transisi, transversi, insersi dan delesi namun secara lebih terbatas mutasi lebih menunjuk ke perubahan dalam gen (intragenik). Tabel 4 menunjukkan karakteristik polimorfisme antara sampel darah dan gigi dari keenam sampel yaitu rata-rata persentase transisi sebesar 1.65% dan transversi sebesar 1.85% sedangkan 0% untuk delesi dan insersi. Mutasi transisi adalah penggantian purin yang satu dengan purin yang lain atau pirimidin yang satu dengan pirimidin yang lain, dan umumnya terjadi selama replikasi DNA. Pada peristiwa ini terjadi pergeseran elektron yang menyebabkan bentuk molekul menjadi sedikit berubah. Pergeseran tautomer pada basa DNA mengubah sifat pasangan basa sehingga A dapat berpasangan dengan C, dan T dengan G. Mutasi transversi yaitu penggantian basa purin dengan pirimidin atau sebaliknya.13 Penyebab transversi berbeda dengan penyebab transisi karena penyebab transversi terkait dengan sistem reparasi DNA yang rentan terhadap kesalahan.14 Secara teori faktor yang mempengaruhi level heteroplasmy mtDNA seseorang antara lain kecepatan mutasi tiap individu, banyaknya mutasi yang dibawa ibu, jumlah efektif molekul mtDNA per sel, jumlah pembelahan sel tiap generasi.15 Teori bottleneck mechanism yang terjadi pada segregasi mtDNA ditengarai juga menjadi penyebab variasi level heteroplasmy. Penelitian ini menunjukkan bahwa heteroplasmy dapat ditemukan pada DNA mitokondria pulpa gigi daftar pustaka 1. Svensson K. A proposal of an investigation of the reliability of mitochondrial DNA as a tool in forensic dentistry. Huddings. Sweden: Institute of Odontology. Karolinska Institute. 2002. p. 345–39. 2. Tsutsumi H, Komuro T, Mukoyama R, Nogami H. Hypervariable region structure and polymorphism of mtDNA from dental pulp and a family analysis. J Oral Sci 2006 Sep;48(3):145–52. 3. Singh D, Bastian T.S, Anil S, Rohit J. Use of mitochondrial DNA in forensic odontology: A Review. Indian J Forensic Odontology 2008; 1(2): 35–40. 4. Urbani C, Lastrucci RD, Kramer B. The effect of temperature on sex determination using DNA-PCR analysis of dental pulp. J Forensic Odontostomatology 1999; 17(2): 35–39. 5. Butler JM. Advanced topics in forensic DNA typing: Methodology. San Diego: Elsevier Academic Press; 2012. p. 112. 6. Soekry EK, Sosiawan A. Efek temperatur ekstrim terhadap kualitas DNA inti dan DNA mitokondria sebagai bahan identifikasi forensik. Surabaya: Laporan Penelitian DIK Rutin Unair; 2006. h. 1–30. 7. Salas A, MV, Lareu. A. Carracedo. Heteroplasmy in mtDNA and the weight of evidence in forensic mtDNA analysis: a Case Report. Int J Legal Med 2001; 114: 186–90. 8. Taylor RW, Doug M.T. Mitochondrial DNA mutations in human disease. Nat Rev Genet 2005; 6(5): 389–402. 9. Yudianto A. Analysis of nucleotide damage on STR CODIS, mini STR CODIS, Y-STR, & mtDNA due to high temperature exposure in molecular forensic identification. Disertasi. Surabaya: Universitas Airlangga; 2010. h. 57–85. 10. Lindstrom JD. A More efficient means to collect and process reference DNA samples. NIJ Cooperative Agreement 2009-DN- BX-K160. 2012; p. 8. 11. Kujoth GC, Hiona A, Pugh TD, Someya S, Panzer K, Wohlgemuth SE, Hofer T, Seo AY, Sullivan R, Jobling WA, Morrow JD, Van Remmen H, Sedivy JM, Yamasoba T, Tanokura M, Weindruch R, Leeuwenburgh C, Prolla TA.. Mitochondrial DNA mutations, oxidative stress and apoptosis in mammalian aging. Science 2005; 309(5733): 481–4. 12. van Oven M, Kayser M. Updated Comprehensive Phylogenetic Tree of Global Human Mitochondrial DNA Variation. Hum Mutat 2009; 30(2): E386–94. 13. Bandelt HJ, Quintana-Mu rci L, Salas A, Macaulay V. The Fingerprint of Phantom Mutations in Mitochondrial DNA Data. Am J Hum Genet . 2002; 71(5): 1150–60. 14. Brown TA. Genomes. 2nd ed. England: Garland Science; 2002. p. 14. 15. Goto H, Dickins B, Afgan E, Paul IM, Taylor J, Makova KD, Nekrutenko A. Dynamics of mitochondrial heteroplasmy in three families investigated via a repeatable re-sequencing study. Genome Biol. 2011; 12(6): R59.