140 Volume 46, Number 3, September 2013 DNA Epstein-Barr virus (EBV) sebagai biomaker diagnosis karsinoma nasofaring (Epstein-Barr virus (EBV) DNA as biomaker of nasopharyngeal carcinoma diagnosis) Janti Sudiono1 dan irma hassan2 1Bagian Patologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti 2Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Jakarta – Indonesia abstract Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a malignant neoplasm arising from the mucosal epithelium of the nasopharynx with various cells differentiation. Nasopharyngeal carcinoma is vastly more common in certain regions of East Asia, South Asia and Africa with viral, dietary which is typically includes consumption of salted vegetables, fish, meat and genetic factors that implicated in its causation. The undifferentiated is the most common type of NPC and strongly associated with Epstein-Barr virus (EBV) infection. Purpose: This paper was aimed to review about molecular biomarker as non invasive diagnosis of NPC especially in related to EBV infection in nasopharyngeal epithelial cells. reviews: The pathogenesis of NPC particularly the endemic type seems to follow a multi-step process, in which EBV, ethnic background, and environmental carcinogens all seem to play important role. EBV DNA plasm level is used continuously in clinic as a promise, sensitive and specific molecular marker diagnostic that reflected the stage, treatment response and prognosis of NPC. Detection of nuclear antigen associated with Epstein-Barr virus (EBNA) and viral DNA has revealed that EBV can infect epithelial cells and associated with their transformation in carcinogenesis. Latent membrane protein (LMP-1 and LMP-2) oncogenes EBV encoded related to proliferative gene expression indicated invasive and progressive growth of NPC. Conclusion: The new biomarkers for NPC, including EBV DNA in serum; EBV DNA and BamH1-A Reading Frame-1 (BARF1) mRNA in NPC brushings have been developed for the molecular non invasive diagnosis of this tumour. Key words: Nasopharyngeal carcinoma, Epstein-Barr virus, environmental carcinogen, molecular biomarker abstrak latar belakang: Nasopharyngeal carcinoma (NPC), sering dikenal sebagai kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan derajat diferensiasi sel yang bervariasi. Paling banyak ditemukan di Asia Selatan, Asia Timur, dan Afrika. Virus, pola diet tipikal seperti konsumsi sayuran, ikan dan daging yang diasinkan, dan faktor genetik merupakan faktor kausatif. Tipe undifferentiated paling banyak ditemukan dan sangat berkaitan dengan infeksi virus Epstein Barr (EBV). tujuan: Tujuan penulisan ini akan meninjau pustaka mengenai biomarker molekular sebagai alat diagnostik yang non invasif untuk NPC terutama dalam kaitannya dengan infeksi EBV pada sel epitel nasofaring. tinjauan pustaka: Patogenesis NPC terutama pada tipe endemik, merupakan proses multi tahap, dan semua faktor seperti EBV, latar belakang etnik, dan karsinogen lingkungan berperan penting. Level plasma DNA EBV digunakan secara rutin di klinik sebagai suatu marker diagnostik molekular yang menjanjikan, sensitif, dan spesifik sebagai cerminan stadium, respon terhadap pengobatan dan prognosis NPC. Terdeteksinya antigen inti yang berkaitan dengan EBV (EBNA) dan DNA virus menyatakan bahwa EBV menginfeksi sel epitel dan terkait dengan transformasi sel dalam karsinogenesis. Protein membran laten-1 dan 2 onkogen (LMP1 dan LMP2) mengkode EBV berkaitan dengan ekspresi gen pertumbuhan sel yang mengindikasikan pertumbuhan yang sangat invasif dan progesif dari NPC. Simpulan: Biomarker NPC terkini Literature Reviews 141Sudiono dan Hassan: DNA Epstein-Barr virus (EBV) sebagai biomaker diagnosis karsinoma nasofaring seperti pengukuran EBV DNA dalam serum; EBV DNA dan BARF1 (BamH1-A Reading Frame-1) mRNA pada sitologi NPC telah dikembangkan untuk diagnosis molekular yang non invasif. Kata kunci: Nasopharyngeal carcinoma, virus Epstein Barr, karsinogen lingkungan, biomarker molekular Korespondensi (correspondence): Janti Sudiono, Bagian Patologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. Jl. Kyai Tapa, Grogol, Jakarta 11440, Indonesia. E-mail: jantish@hotmail.com pendahuluan The American Cancer Society menyatakan bahwa pada tahun 2009 ditemukan sekitar 35.720 kasus baru dari kanker mulut dan orofaring, meliputi 25.240 pada pria dan 10.480 pada wanita, dengan 7.600 kematian. Kasus baru dan kematian karena kanker rongga mulut dan orofaring semenjak 20 tahun terakhir nampak berkurang. Hal ini kemungkinan karena berkurangnya pemakaian tembakau di Amerika. Kanker nasofaring (nasopharyngeal carcinoma/ NPC) sangat jarang ditemukan di Inggris. Lebih sering ditemukan pada kelompok etnik tertentu yang tinggal di Inggris, contoh populasi Cina. Sekitar 240 kasus didiagnosis pertahun.1 Di Indonesia, di antara kanker tubuh lain, angka kematian kelima tertinggi ditempati oleh NPC yang menempati peringkat ke tiga pada pria, sedangkan pada wanita menempati peringkat tertinggi ke lima.2 Rata-rata prevalensi NPC di Indonesia adalah 6,2/100.000 dengan 13.000 kasus NPC baru setiap tahun, namun demikian data NPC di Indonesia sedikit sekali. Pada periode tahun 1996- 2005 di RSCM terdata kasus NPC sebanyak 1.121.3 Pendapat umum mengakui bahwa NPC berasal dari sel epitel gepeng yang berasal dari mukosa saluran pernapasan dan stroma sub mukosa yang mengandung jaringan limfoid serta kelenjar. Klasifikasi NPC berdasarkan pada topografi dan morfologi sel dominan yang dilihat berdasarkan tingkat diferensiasi dan keratinisasi sel, terbagi dalam tipe berdiferensiasi berkeratin, berdiferensiasi tak berkeratin dan tipe undifferentiated tak berkeratin. Faktor yang berperan dalam patogenesis NPC termasuk virus Epstein Bar, kerentanan genetik dan faktor risiko dari lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang diduga berkaitan dengan NPC adalah diet, paparan bahan kimia di tempat pekerjaan dan tembakau. Banyak penelitian tentang bagaimana infeksi Epstein-Barr virus (EBV) dan faktor risiko lainnya menyebabkan sel nasofaring menjadi kanker. Para peneliti berharap bahwa penelitian pada akhirnya akan dapat berhasil mendapatkan suatu vaksin untuk mencegah terjadinya NPC dengan menghindari terjadinya infeksi EBV. Penemuan terakhir tentang EBV dan interaksinya terhadap sel nasofaring serta reaksi sistem imun terhadap EBV telah berhasil menemukan suatu tes darah untuk mendapatkan biomarker molekular yang dapat membantu mendeteksi NPC stadium awal dan dapat memprediksi respon terhadap pengobatan dengan lebih baik. Tes ini sedang diteliti di daerah belahan dunia di mana kanker ini sering dijumpai.4 Tulisan ini bertujuan meninjau pustaka mengenai infeksi EBV pada sel nasofaring sebagai biomaker molekular untuk alat diagnostik non invasif. Epidemiologi Nasopharyngeal carcinoma merupakan kanker yang umum terjadi di Cina Selatan dan Asia Tenggara.5 NPC merupakan tumor endemis di Asia Selatan terutama pada pria dan sangat jarang ditemui di bagian lain dunia. Predileksi umur dekade 5, 6, dan 7 meskipun dapat pula terjadi pada dekade 2 dan 3.6 Angka kematian penderita NPC etnik Cina yang lahir di Amerika meningkat 20x dibanding pada populasi etnik lainnya. Juga angka insidensi NPC ditemukan tinggi di Tunisia dan Afrika Timur.7 Angka kejadian NPC di Inggris per tahun sekitar 0,3/1.000.000 penduduk pada usia sampai 14 tahun dan 1-2/1.000.000 untuk usia 15-19 tahun. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada populasi Cina dan Tunisia yang tinggal di Inggris. Sekitar 1/3 neoplasma nasofaring ditemukan pada usia anak. Di Cina bagian Selatan, Asia Selatan, Mediterania dan Alaska, insidensi NPC agak meningkat. Angka kejadian di Cina sekitar 2/1000.000. Di negara lain seperti India, insidensi seimbang dengan di Inggris yaitu sekitar 0,9/1000.000, dengan puncak usia sama seperti di Inggris, pada usia lebih muda yaitu pada dekade kedua.8 Di Indonesia, data terbaru tahun 2008 menunjukkan bahwa insidensi dan mortalitas tertinggi ke lima di antara kanker tubuh ditempati oleh NPC. Pada pria insidensi sebanyak 9,4 kasus baru/100.000 orang per tahun dan pada wanita sebanyak 3,8. Angka mortalitas pada pria 6,0 kematian/100.000 orang per tahun sedangkan pada wanita angka mortalitas sebesar 2,4 (Tabel 1).2 Etiologi Meskipun penyebab pasti NPC belum diketahui, namun diduga EBV berperan penting di samping faktor lingkungan.5,6 Terpapar banyak karsinogen lingkungan berperan dalam kecenderungan peningkatan insiden kanker.9 Penelitian patogenesis NPC yang telah dilakukan akhir-akhir ini bertujuan untuk mengetahui peran kombinasi faktor lingkungan dan genetik dan dinyatakan bahwa ada hubungan antara profil human leukocyte antigen (HLA) pada populasi Cina yang mengindikasikan kerentanan genetik.7 Pendapat ini juga didukung oleh peneliti lain yang menyatakan bahwa NPC merupakan hasil dari kerentanan genetik dan interaksi dari karsinogen lingkungan dengan EBV yang menginduksi terjadinya tumor. Peran EBV, sayuran dan ikan yang diawetkan serta peningkatan kerentanan genetik ditemukan pada populasi dengan tipe 142 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 46, Number 3, September 2013: 140–147 HLA tertentu.10 Epstein-Barr virus, latar belakang etnik dan karsinogen lingkungan semuanya berperan penting dalam etiologi NPC terutama pada tipe endemik.8 Interaksi antara faktor host (HLA-A2, HLA-BSin2 loci dan tempat lahir), infeksi oleh EBV dan faktor lingkungan merupakan faktor risiko yang tinggi di antara penduduk Cina Selatan.3,8 Beberapa faktor lingkungan yang diduga berkaitan dengan terjadinya NPC adalah tembakau, paparan bahan kimiawi, obat tradisional Cina dan diet. Di antara makanan, penelitian mengenai makanan yang diawetkan telah banyak dilakukan dengan hasil menyatakan bahwa terjadi peningkatan risiko terkena NPC berkaitan dengan konsumsi ikan yang diasinkan. Makanan lain yang diawetkan yang juga berperan adalah saus ikan yang difermentasi, pasta udang yang diasinkan, kacang kedele yang diasinkan, kacang yang difermentasi, buah plum yang diawetkan, dan telur bebek yang diasinkan, sayuran kalengan. Terpapar oleh bahan aditif pada makanan seperti pengawet nitrit dan zat warna azo berkaitan dengan induksi proses karsinogenesis.11- 13 Nitrit dan nitrat yang digunakan dalam daging akan berikatan dengan myoglobin dan menghambat pembentukan eksotoksin botulinum, namun sangat karsinogenik.14 Studi di Cina dan Hongkong menunjukkan bahwa bayi dan anak muda yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan akan mendapatkan risiko tinggi NPC di kemudian hari. Populasi etnik Cina yang tinggal di Inggris mempunyai angka rata- rata NPC lebih tinggi dibanding etnik lainnya dan hal ini mungkin disebabkan oleh faktor kebiasaan makannya. Beberapa penelitian membuktikan peningkatan risiko NPC di antara populasi yang minum teh yang dibuat dari tanaman obat Cina.1 Diet yang buruk meningkatkan risiko akan NPC, hal ini disebabkan karena kurangnya vitamin dan mineral. Konsumsi banyak sayuran, buah buahan segar dan sumber lain dari vitamin C mempunyai risiko lebih rendah terhadap terjadinya NPC. Hal ini penting dilakukan selama kehidupan terutama pada usia anak.15 Terpapar asap kayu bakar untuk memasak di rumah selama bertahun-tahun dan penggunaan larutan toksik tertentu di tempat pekerjaan berkaitan dengan risiko terjadinya NPC. Studi di Afrika menunjukkan bahwa pemaparan dengan asap batu bara selama masa anak dapat meningkatkan risiko NPC dan ini tidak terjadi bila terpapar pada usia dewasa. Juga ada penelitian yang menyatakan bahwa risiko terkena NPC meningkat pada paparan klorofenol yang digunakan dalam pestisida dan pengawet kayu.1 Merokok menyebabkan peningkatan risiko terkena NPC sebesar 3x lipat bila merokok sudah dilakukan dalam jangka waktu lama (25 tahun atau lebih). Tidak seperti kanker kepala dan leher lainnya, alkohol tampaknya tak meningkatkan risiko terkena NPC. Di Amerika, pemakaian tembakau dan alkohol terutama berkaitan dengan terjadinya NPC berdiferensiasi baik berkeratin.1 Pendapat mengenai pengaruh alkohol terhadap risiko terjadinya NPC masih belum diakui sepenuhnya, namun ada yang menyatakan bahwa konsumsi alkohol berat berkaitan dengan peningkatan risiko terhadap terjadinya NPC.16 Risiko terkena NPC lebih tinggi pada seseorang yang mempunyai anggota keluarga yang mengidap penyakit ini. Risiko anggota keluarga terkena tampaknya lebih tinggi bila ada keluarganya yang terdiagnosis sebelum usia 40 tahun dan hubungan keluarga yang dimaksud adalah yang merupakan satu keluarga inti seperti orang tua, kakak atau adik, anak laki-laki atau perempuan. Penderita penyakit kronis pada telinga, hidung, dan tenggorokan di masa lalu seperti rhinitis, hidung tersumbat kronis, infeksi telinga tengah (otitis media) dan polip, mempunyai risiko lebih tinggi terkena NPC.1 Penelitian menyatakan ada hubungan antara IgA dengan antigen kapsid EBV (VCA). Hasil analisis statistik menyatakan bahwa IgA/VCA merupakan faktor prediktor utama bagi risiko terjadinya NPC dan ikan yang diawetkan merupakan faktor prediktor kuat kedua. Pada tipe NPC undifferentiated terlihat peningkatan titer antibodi IgG dan IgA melawan VCA dan antigen awal.15 Ada pendapat yang mengemukakan bahwa tanpa EBV dan faktor genetik merupakan hal yang berlebihan bila menyatakan bahwa ikan yang diasinkan bukan merupakan faktor etiologi penting bagi NPC.15 Adham dkk.3 menemukan pada penelitian terhadap 1121 kasus NPC di RSCM, infeksi EBV pada usia muda dikombinasi dengan seringnya terpapar karsinogen dan co-carcinogen lingkungan tampaknya merupakan penyebab terjadinya NPC. Patogenesis EBV dalam terjadinya nPC Epstein-Barr virus merupakan virus herpes yang berada di mana mana dan yang menginfeksi lebih dari 90% populasi dewasa di dunia. Infeksi primer EBV umumnya terjadi pada awal kehidupan dan asimtomatik. Infeksi primer EBV yang berlanjut bermanifestasi sebagai infeksi mononukleosis yang merupakan infeksi oleh virus, bersifat self limiting namun sangat menular dengan karakteristik tabel 1. Angka kejadian kanker mulut di Indonesia Kanker Insidensi Kematian Jumlah Jumlah Pria ASR* Wanita ASR* Pria ASR* Wanita ASR* Bibir, rongga mulut 2.693 2,8 2.310 2,1 1.153 1,3 990 0,9 Nasofaring 10.035 9,4 4.230 3,8 6.084 6,0 2.564 2,4 Lainnya 1.317 1,5 619 0,6 1.077 1,2 506 0,5 *ASR= Jumlah kasus baru atau kematian tiap 100.000 orang per tahun.2 143Sudiono dan Hassan: DNA Epstein-Barr virus (EBV) sebagai biomaker diagnosis karsinoma nasofaring demam, sakit pada tenggorok dan kondisi tubuh yang lemah. Pada setiap kasus, infeksi primer diikuti oleh keberadaan virus sepanjang hidup yang pada sebagian besar kasus bersifat asimtomatik.17 Epstein-Barr virus menetap sepanjang kehidupan pada >95% populasi manusia dewasa yang terinfeksi. Epstein-Barr virus dikontrol dengan sempurna oleh sistem imun namun sebagian kecil berkembang menjadi penyakit terkait, pada sebagian besar individu terutama dalam bentuk keganasan primer dari sel B dan sel epitel.18 Selain infeksi EBV, infeksi oleh beberapa virus onkogen lainnya dapat pula berperan dalam terjadinya kanker. Dari total perkiraan kanker terkait infeksi pada tahun 2002, agen utama adalah Helicobacter pylori (5,5%), human papilloma virus (5,2%), virus hepatitis B dan C (4,9%), EBV (1%), human immunodeficiency virus (HIV) bersama human herpes virus 8 (0,9%). Agen penyebab yang paling kecil sebagai penyebab kanker adalah schistosoma (0,1%), virus human T-cell lymphotropic tipe I (0,03%) dan parasit pada liver (0,02%). Bila infeksi ini dicegah maka akan berdampak terhadap angka penurunan kanker, yaitu sebesar 26,3% di negara berkembang (1,5 juta kasus/tahun) dan sebesar 7,7% di negara maju (390,000 kasus).19 Epstein-Barr virus dikategori sebagai kelompok karsinogen pertama oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) kerena keterkaitannya dengan NPC.17 Diduga EBV berperan dalam NPC dengan terdeteksinya EBV pada sel tumor dan limfosit B meskipun hal ini belum terbukti secara luas.7 Virus ini berkaitan dengan sejumlah kanker termasuk limfoma Hodgkin dan limfoma Burkit di samping NPC.1 Epstein-Barr virus terdeteksi pada semua sampel NPC dengan beberapa teknik pemeriksaan seperti sikatan sel epitel nasofaring (brushing), PCR, hibridisasi in situ, dan metode imunohistokimia.20,21 Hubungan NPC dengan EBV telah diakui sejak beberapa dekade yang lalu meskipun peran virus ini dalam patogenesis NPC masih kontroversi. Nasopharyngeal carcinoma sangat berkaitan dengan EBV terutama pada tipe yang undifferentiated. Namun demikian, EBV bukanlah faktor penting satu- satunya dalam patogenesis NPC. Bahan etiologi lain seperti lingkungan dan genetik, merupakan hal penting lainnya yang berperan dalam perkembangan multi tahap dari keganasan. Kerentanan genetik seperti HLA-A2 dan HLA-BSin2 loci berperan sebagai faktor predisposisi.3 Semua kasus tumor tipe undifferentiated menunjukkan EBV positif, terlepas dari asal geografi tumor, virus ditemukan pada semua sel tumor. Infeksi EBV menginduksi ketahanan sel terhadap kematian (immortality) melalui mekanisme aktivasi telomerase yang merupakan suatu ensim yang secara normal tertekan namun teraktivasi selama perkembangan kanker. Akhir akhir ini terbukti bahwa untuk mengaktivasi atau menghambat gen reverse transcriptase telomerase manusia adalah melalui modulasi jalur signal intra selular.5 Pada NPC tipe undifferentiated Gambar 1. N P C t i p e u n d i f f e r e n t i a t e d. T e r l i h a t s e p e r t i limfoepitelioma, sel tumor tampak tipikal dengan inti besar, nukleoli menonjol dan eosinofilik.6 Gambar 2. NPC tipe undifferentiated. Terlihat sel dengan sitokeratin positif mengindikasikan suatu proliferasi dari sel epitel.6 144 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 46, Number 3, September 2013: 140–147 dengan EBV positif pada populasi kulit putih, diduga HPV sebagai faktor etiologi. 22 Penelitian in vitro mendapatkan infeksi EBV yang menetap pada sel epitel menyebabkan sel epitel menjadi rentan terhadap paparan karsinogen lingkungan, contoh bentuk karsinogen lingkungan adalah faktor diet seperti ikan yang diasinkan, mekanisme EBV memasuki sel epitel masih belum terpecahkan.17 Selain potensi perubahan genetik dari infeksi EBV, adanya infeksi laten pada sel epitel tampaknya berperan besar dalam perkembangan NPC.23 Biomarker molekular terkait EBV pada nPC Penelitian menggunakan PCR membuktikan adanya EBV DNA dalam sel darah tepi dapat digunakan sebagai indikator prognostik dari NPC.24 Penelitian lain menyatakan bahwa plasma EBV DNA merupakan marker molekular yang sensitif dan spesifik yang dapat merefleksikan stadium, respon terhadap pengobatan dan prognosis NPC. Konsentrasi EBV dalam plasma sebelum dan sesudah pengobatan dapat digunakan untuk prediksi terhadap kemungkinan terjadinya metastasis jauh, dan dapat menseleksi pasien yang mempunyai risiko tinggi serta dapat digunakan dalam menentukan kombinasi metoda perawatan. 25 Epstein-Barr virus mengkode dua onkogen, Latent Membrane Protein-1 (LMP1) dan BamH1-A Reading Frame-1 (BARF1). LMP1 termasuk famili gen laten dan BARF1 ditetapkan sebagai satu dari famili gen awal. Namun, onkogen BARF1 diekspresikan dalam jumlah tinggi pada NPC dan kanker lambung sebagai suatu keadaan laten tipe II dan pada infeksi primer sel epitel oleh EBV secara in vitro sebagai keadaan laten tipe I. Ekspresi BARF1 juga ditemukan pada limfoma Burkit. Sekresi masif dari protein BARF1 juga ditemukan pada serum dan saliva penderita NPC. BARF1 diekspresikan pada stadium laten dan meningkat ekspresinya selama stadium litik.26 Infeksi EBV laten pada sel B diklasifikasi dalam 3 tipe, tipe I, II dan III. Tipe I umum pada limfoma dan mengekspresikan dengan sangat terbatas protein virus, terutama EBV- encoded nuclear antigens (EBNA1), EBV-encoded nonpolyadenylated RNAs (EBERs) dan BARF0. Tipe II mengekspresikan EBNA1, LMP1, EBERs, BARF0 dan LMP2. Tipe III mengekspresikan beberapa protein virus seperti EBNA1, EBNA2, EBNA3A, 3B dan 3C, LMP1, LMP2A, LMP2B, BARF0 dan EBERs.27 Nasopharyngeal carcinoma termasuk tipe II. Pada percobaan in vitro, sel epitel primer tidak mengalami kematian oleh EBV yang mengekspresikan EBNA1, EBERs, LMP2A dan BARF1,28,29sehingga termasuk infeksi tipe II kecuali bila tak ada ekspresi LMP1. BARF1 secara masif disekresikan dalam serum penderita NPC. BARF1 murni dalam serum menunjukkan aktivitas mitogenik yang sangat kuat. 30 Epstein-Barr virus menginduksi dan mengontrol proliferasi sel melalui ekspresi 10 gen viral yang mengkode 6 protein inti (EBNA1, 2, 3A, 3B, 3C dan LP), 3 protein membran (LMP1, LMP2A, LMP2B) dan 2 RNA kecil. Keterbatasan ekspresi gen viral LMP2A in situ menyatakan bahwa protein ini mungkin mempunyai peran kunci terhadap terjadinya dan menetapnya keadaan laten dan atau reaktivasi dari keadaan laten dan atau reaktivasi infeksi dari keadaan laten. LMP2B terlokalisasi pada daerah perinuklear di sel yang terinfeksi sementara dan terletak bersama dengan LMP2A. LMP2B dapat berfungsi sebagai regulator negatif dari LMP2A karena strukturnya yang hampir identik dengan LMP2A dan ketiadaan dari signaling.31 LMP1 mengkode EBV onkogen merupakan suatu efektor kunci dari transformasi neoplastik sel B dimediasi EBV. LMP1 mengkode EBV onkogen menunjukkan potensi onkogenik pada fibroblas hewan pengerat dan menginduksi proses menuju transformasi neoplastik dalam sel B dan sel epitel. LMP1 mengkode EBV onkogen memungkinkan virus untuk bertahan dalam jangka waktu yang lama dalam sel sistem imun. LMP1 berfungsi aktif pada reseptor famili tumor necrosis factor receptor (TNFR); berikatan dengan membran plasma; mengawali aktivasi jalur signaling seperti NF-kB, mitogen-activated protein kinases (MAPKs), c-Jun N-terminal kinases (JNK), p38, jalur Janus Kinase atau Transducer and Activator of Transcription (JAK/STAT) oleh protein adaptor termasuk TNF, tumor necrosis factor receptor associated factors (TRAFs) dan TNF receptor associated death domain protein (TRADD); meningkatkan ekspresi molekul adhesi lymphocyte function-associated antigen1 (LFA-1), intercellular adhesion molecule 1 (ICAM-1), dan molekul kostimulator B7-1 dari sel B; serta meregulasi sekresi antibodi dan sitokin oleh sel B. Ikatan dari sinyal dan karakteristik interaksi molekular yang meregulasinya merupakan dasar dari kemampuan protein kunci EBV ini untuk melakukan transformasi neoplastik.32 LMP1 dan CD40 mempunyai banyak instrumentasi dalam transduksi sinyal. Aktivasi NF-kB oleh induksi EBV LMP1 penting dalam ketahanan sel B terhadap transformasi neoplastik oleh EBV.33 EBV LMP1 terekspresi pada semua keganasan terkait EBV. Ekspresi LMP1 pada sel B manusia menginduksi aktivasi dan ekspresi molekul adhesi. Interaksi LMP1- TRAF memediasi aktivasi jalur signaling penting untuk mengendalikan ketahanan dan pertumbuhan sel yang terinfeksi EBV.34 Gen LMP2 diekspresikan pada sel B yang terinfeksi laten dan mengkode dua bentuk protein yang sama, LMP2A dan LMP2B identik, kecuali pada tambahan ujung sitoplasma N-119 aa pada LMP2A. EBV LMP2A meregulasi reaktivasi virus laten. EBV LMP2B memodulasi aktivitas EBV LMP2A. EBV LMP2A merupakan protein transmembran yang memblok sinyal tyrosine kinase dan dipercaya dapat mengatur aktivitas replikasi virus pada sel B yang terinfeksi laten. Tidak diketahui apakah LMP2B diperlukan untuk transformasi pertumbuhan neoplastik yang dimediasi EBV. Ada yang melaporkan bahwa LMP2A tidak diperlukan untuk transformasi neoplastik.31 Terdeteksinya EBNA1 mRNA dalam sirkulasi darah merefleksikan peningkatan jumlah sel B positif EBV seperti yang telah dinyatakan oleh 145Sudiono dan Hassan: DNA Epstein-Barr virus (EBV) sebagai biomaker diagnosis karsinoma nasofaring penelitian sebelumnya bahwa peningkatan EBV DNA dalam sel mononuklear darah tepi ditemukan pada penderita NPC populasi Taiwan.35 Fenomena ini berkaitan dengan infeksi sel B oleh EBV yang menyebabkan lisis lokal sel B akibat replikasi EBV pada kasus NPC,36 serta merupakan suatu refleksi reaktivitas IgG and IgA terhadap lytic EBV antigens yang mengindikasikan adanya replikasi virus.37 Frekuensi replikasi sel B positif EBV yang meningkat pada sirkulasi menyebabkan peningkatan kadar ekspresi EBNA1 mRNA.38 Selanjutnya, transkripsi EBNA1 dalam darah mengindikasikan bahwa tidak semua EBV DNA mengalami fragmentasi namun sebagian virus DNA yang bersirkulasi merupakan sel yang utuh dan aktif melakukan transkripsi genom EBV38 sesuai dengan yang ditemukan oleh Lin dkk.35 dan Shotelersuk dkk.39 Kadar EBV DNA dalam plasma darah tampaknya berkorelasi dengan respon terapi radiasi dan kemo serta merupakan indikator prognosis yang bebas dan tidak dipengaruhi oleh indikator lainnya.40 Analisis kinetik secara in vivo terhadap DNA tumor dalam sirkulasi selama perawatan merupakan instrumen yang bermanfaat untuk mengevaluasi respon pengobatan NPC. 41 Kadar EBV DNA terbukti lebih kuat dibanding sistem stadium klinis menggunakan pemeriksaan endoskopi, computed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI) untuk memprediksi penyakit dan juga untuk memperkirakan muncul kembalinya penyakit secara klinis. Oleh karenanya, ini dapat diharapkan sebagai marker tumor yang menjanjikan yang dapat digunakan di klinik secara rutin.42,43 pembahasan Hampir setengah kasus NPC bermanifestasi awal atau terdeteksi sebagai pembesaran kelenjar limfe servikal.3,6,7 Sejauh ini, di antara semua tumor ganas pada suku Cina, NPC merupakan kanker yang paling tinggi frekuensinya. Demikian pula dengan di Indonesia, NPC merupakan kanker dengan angka mortalitas tertinggi di antara kanker tubuh lainnya.2 NPC tipe undifferentiated merupakan tipe yang terbanyak, terutama banyak ditemukan di daerah endemis seperti Asia Tenggara dan bagian dari Afrika. Di Hongkong, NPC tipe undifferentiated berjumlah 18% dari semua kanker, dibandingkan dengan di seluruh dunia yang angka prevalensinya hanya sekitar 0,25%.7 Tipe undifferentiated (Gambar 1 dan 2) merupakan tipe NPC yang paling sering ditemukan dan merupakan endemi di daerah tertentu, terutama di Asia Tenggara.44 Tipe berdiferensiasi berkeratin terjadi pada populasi dengan usia lebih tua dan korelasinya terhadap EBV tidak sama seperti pada tipe undifferentiated dan tipe undifferentiated sangat berkaitan erat dengan EBV.7,17 Bermacam-macam faktor risiko dari lingkungan (diet, paparan substansi kimiawi melalui pernapasan, kebiasaan etnik) berperan terhadap terjadinya NPC namun belum ada pembuktian secara positif mengenai hubungan antar faktor. Penelitian akhir-akhir ini ditujukan pada peran kombinasi faktor lingkungan dan genetik dalam patogenesis NPC misal profil HLA pada populasi Cina mengindikasikan kerentanan genetik terhadap faktor karsinogenik lingkungan.7 Patogenesis NPC terutama pada tipe endemik agaknya mengikuti proses multi tahap di mana EBV, latar belakang etnik dan karsinogen lingkungan semuanya berperan penting dan saling terkait.8 Diet daging dan ikan dengan kadar garam tinggi atau makanan yang diawetkan banyak ditemukan di daerah dengan angka kejadian NPC yang tinggi seperti di bagian Asia, Afrika Utara dan Artic. Makanan ini mengandung nitrat dan nitrit dengan kadar tinggi yang bereaksi dengan protein, membentuk nitrosamin yang merupakan bahan kimiawi yang dapat merusak DNA. Di samping itu zat aditif yang ditujukan sebagai pengawet dengan menghambat pembentukan eksotoksin botulinum akan berikatan dengan myoglobin dan membentuk senyawa yang sangat karsinogenik.14 Dapat dikatakan bahwa yang merupakan faktor risiko tinggi di daerah endemis NPC adalah interaksi antara faktor host (HLA-A2, HLA-BSin2 loci dan tempat lahir), infeksi oleh EBV dan faktor lingkungan.3,8 Ada pula peneliti yang menemukan bahwa infeksi EBV pada usia muda dikombinasi dengan seringnya terpapar oleh karsinogen dan ko-karsinogen lingkungan tampaknya merupakan penyebab terjadinya NPC.3 Penelitian kontrol-kasus yang telah dilakukan di Cina membuktikan adanya hubungan antara kebiasaan makan, paparan dalam pekerjaan, penggunaan tembakau dan alkohol, riwayat keluarga yang menderita NPC dan IgA dengan antigen kapsid EBV (IgA/VCA). IgA/VCA positif dan konsumsi ikan yang diasinkan berhubungan dengan risiko tinggi NPC. 15 Pendapat yang sama menyatakan bahwa 85% pasien NPC menunjukkan antibodi terhadap EBV dan juga mengandung EBV IgA dalam serum. EBV genom terdeteksi pada sekitar 75-100% kasus NPC tipe undifferentiated. EBV dapat dideteksi dengan beberapa teknik seperti sitologi dengan sikat (brush biopsy), pemeriksaan PCR, hibridisasi in situ, dan metode imunohistokimia.20,21 Deteksi EBV pada tipe berdiferensiasi berkeratin bervariasi dan umumnya tersebar pada sel intraepitelial yang displastik,7 namun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk memonitor prognosis pasien NPC, plasma yang bebas dari EBV-DNA lebih sensitif dan dapat diandalkan dibanding dengan VCA/ IgA dan EBV/IgA.45 EBV secara konsisten terdeteksi pada NPC baik di daerah yang insidensinya tinggi maupun rendah.23 Tak ada tumor pada manusia yang mempunyai hubungan sekonsisten hubungan EBV dengan NPC tipe undifferentiated.17 EBV dikategorikan oleh IARC sebagai karsinogen utama dalam keterkaitannya dengan NPC. 17 Gen spesifik EBV secara konsisten terekspresi pada NPC dan pada lesi displastik sebagai stadium awal NPC. Terdeteksinya bentuk tunggal dari DNA virus menyatakan bahwa tumor terjadi dari proliferasi klonal sel tunggal yang awalnya terinfeksi oleh EBV.22 Pada hampir semua sel NPC, EBV menggunakan beberapa mekanisme intraselular 146 Dent. J. (Maj. Ked. Gigi), Volume 46, Number 3, September 2013: 140–147 untuk menyebabkan evolusi onkogenik dari sel yang terinfeksi virus ini. Penelitian membuktikan bahwa >85% NPC primer menunjukkan aktivitas telomerase yang tinggi melalui mekanisme yang terlibat dalam infeksi EBV yang menyebabkan immortalitas sel.5 Infeksi EBV ditemukan pada karsinoma in situ nasofaring yang diduga merupakan lesi prekursor dari NPC. Penemuan ini menyatakan bahwa infeksi EBV terjadi sebelum pertumbuhan invasif dimulai.17 Meskipun penderita NPC menunjukkan respon imun akibat terinfeksi EBV namun tidak cukup untuk membunuh sel kanker. Peneliti berusaha untuk menggunakan jalur lain untuk meningkatkan sistem imun sebagai target yang lebih tahan terhadap infeksi EBV melalui jalur imunoterapi. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah mengekstrak sel limfosit T CD4+ dan T CD8+ dari darah penderita NPC dan mengubahnya di laboratorium untuk meningkatkan jumlah dan ketahanannya untuk membunuh EBV. Sel ini kemudian disuntikkan kembali pada penderita. Hasil awal dengan sejumlah kecil penderita menunjukkan hasil yang menjanjikan dan saat ini studi yang lebih besar sedang dilakukan. Ilmuwan akhir-akhir ini menemukan bagaimana mutasi gen tertentu terjadi pada sel nasofaring yang menyebabkannya menjadi kanker. Uji klinik menggunakan virus untuk menggantikan gen supresor tumor p53 yang rusak pada sel kanker memberikan hasil yang menjanjikan. Pendekatan terapi gen ini sedang diteliti.4 Antibodi terhadap antigen kapsid dari EBV dan antibodi yang menetralisir EBV DNase merupakan faktor prediktor adanya NPC.46 Protein virus, LMP1 dan LMP2 mempunyai efek yang sangat nyata terhadap ekspresi gen pertumbuhan sel dalam bentuk pertumbuhan yang sangat invasif dan ganas dari NPC. 23 LMP1 merupakan suatu molekul membran integral yang diekspresikan oleh EBV selama masa laten virus dan mununjukkan kemampuan mengaktivasi reseptor famili TNF. LMP1 dibutuhkan untuk mematikan sel B atau monosit dengan diinduksi oleh EBV. Potensi transformasi LMP1 dimediasi oleh sitoplasma terminal C yang mengaktivasi bermacam-macam jalur signal selular termasuk NFkB dan JNK. LMP-CT (= LMP mutan) tidak menunjukkan kemampuan sitostatika pada sel yang tak terinfeksi. LMP1-CT menginhibisi ketahanan T-cell line yang mengalami transformasi oleh induksi LMP1 EBV, mengekspresikan keadaan laten virus yang umum dijumpai pada mayoritas tumor terkait EBV pada manusia. 47 LMP1 dapat secara simultan menginduksi dan menginhibisi apoptosis sel B. Induksi apoptosis dilakukan oleh transmembrane domain LMP1. Inhibisi apoptosis sel B dilakukan oleh terminal karboksi dari LMP1 yang membutuhkan unfolded protein response (UPR). Ekspresi dari mRNA dari Bcl-2a1, mengkode apoptotic homolog BCL2, berkorelasi secara langsung dengan ekspresi LMP1 pada sel B positif EBV, dan ekspresinya menginhibisi apoptosis yang diinduksi oleh transmembrane domains LMP1.48 Seringnya dijumpai ekspresi dari LMP1 pada NPC tipe undifferentiated menunjukkan peran protein virus onkogen ini sebagai molekul efektor kunci dalam patogenesis NPC. Gen LMP2 diekspresikan pada sel B yang terinfeksi laten. Tidak diketahui apakah LMP-2 ikut berperan untuk transformasi pertumbuhan yang dimediasi EBV.31 Ekspresi LMP-1 dan -2 onkogen yang mengkode EBV pada jaringan biopsi NPC ditemukan lebih tinggi pada pasien usia muda (<30 tahun) yang mengindikasikan replikasi virus yang tinggi dalam sel. Keadaan ini juga berkaitan dengan progresifitas lokal NPC.3 Sensitivitas dan spesifitas penggunaan EBV DNA sebagai marker diagnostik dalam sirkulasi untuk mendeteksi adanya NPC dengan analisis real-time PCR sangat tinggi.42 Deteksi EBV-DNA dalam plasma akan meningkatkan aplikasi klinis dari sistem klasifikasi TNM dari NPC di dalam praktek berdasarkan tingkatan molekular.49 Adanya EBNA- 1 dan DNA virus dalam sirkulasi darah tepi merupakan faktor penting yang mengindikasikan risiko tinggi yang signifikan untuk berkembangnya metastasis, juga terhadap survival rate (angka kesintasan hidup) yang rendah.24 Kesimpulan dari penulisan ini adalah gen spesifik EBV secara konsisten terekspresi pada NPC terutama pada tipe undifferentiated yang merupakan tipe yang paling sering ditemukan, terutama di daerah endemis seperti Cina bagian Selatan dan pada ras Cina dan Afrika termasuk mereka yang sudah bermigrasi. Biomarker NPC terkini seperti pengukuran EBV DNA dalam serum; EBV DNA dan BARF1 (BamH1-A Reading Frame-1) mRNA pada sitologi NPC telah dikembangkan untuk diagnosis molekular yang non invasif. daftar pustaka 1. Cancer Research UK. http://www.cancerresearchuk.org/cancer- help/type/nasopharyngeal-cancer/about/nasopharyngeal-cancer- risks-and-causes. Accessed 2013. 2. Globocan (IARC) 2008. Section of Cancer Information. http://www. mdguidelines.com/cancer-oral-cavity-and-oropharynx/definition htttp://globocan.iarc.fr/factsheets/populations/facsheet.asp?u. Accessed october 20, 2011. 3. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, Tan IB, Middeldorp JM. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer 2012; 31(4): 185-96. 4. http://www.cancer.org/cancer/nasopharyngealcancer/detailedguide/ n a s o p h a r y n g e a l - c a n c e r-w h a t- i s - n a s o p h a r y n g e a l - c a n c e r, 08/08/2012. 5. Liu JP, Cassar L, Pinto A, Li H. Mechanisms of cell immortalization mediated by EB viral activation of telomerase in nasopharyngeal carcinoma. Cell Res. 2006; 16(10): 809–17. 6. Neville BW, Damm DD, White DH. Color atlas of clinical oral pathology. 2nd ed. London: Deker, Hamilton; 2003. p. 230. 7. Rubin E, Gorstein F, Rubin R, Schwarting R, Strayer D. Rubin’s pathology: Clinicopathologic foundations of medicine. 4th ed. In: The head and neck: Tumors of the nasopharynx. Baltimore: Lippincott; 2005. p. 1294–5. 8. Brennan B. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet J Rare Dis 2006; 1: 23. 9. Belpomme D, Irigaray P, Sasco AJ, Newby JA, Howard V, Clapp R, Hardell L. The growing incidence of cancer: Role of lifestyle and screening detection (Review). Int J Oncol 2007; 30(5): 1037–49. 10. Leung SF, Zee B, Ma BB, Hui EP, Mo F, Lai M, Chan KC, Chan LY, Kwan WH, Lo YM, Chan AT. Plasma Epstein-Barr viral deoxyribonucleic acid quantitation complements tumor-node- metastasis staging prognostication in nasopharyngeal carcinoma. J Clin Oncol 2006; 24(34): 5414–8. 147Sudiono dan Hassan: DNA Epstein-Barr virus (EBV) sebagai biomaker diagnosis karsinoma nasofaring 11. Sasaki YF, Kawaguchi S, Kamaya A, Ohshita M, Kabasawa K, Iwama K, Taniguchi K, Tsuda S. The comet assay with 8 mouse organs: results with 39 currently used food additives. Mutat. Res 2002; 519: 103–19. 12. Belpomme D, Irigaray P, Hardell L, Clapp R, Montagnier L, Epstein S, Sasco AJ. The multitude and diversity of environmental carcinogens. Environ Res 2007; 105(3): 414–29. 13. Irigaray P, Newby JA, Clapp R, Hardell L, Howard V, Montagnier L, Epstein S, Belpomme D. Lifestyle-related factors and environmental agents causing cancer: an overview. Biomed Pharmacother 2007; 61(10): 640–58. 14. Divisi S, Tommaso D, Salvemini S, Garramone M, Crisci R. Diet and cancer. Acta Biomed 2006; 77: 118–23. 15. Yuan JM, Wang XL, Xiang YB, Gao YT, Ross , Yu MC. Preserved foods in relation to risk of nasopharyngeal carcinoma in Shanghai, China. Int J Cancer 2000; 85: 358–63. 16. Chen L, Gallicchio L, Boyd-Lindsley K. Alcohol consumption and the risk of nasopharyngeal carcinoma: A systematic review. Nutr Cancer 2009; 61(1): 1–15. 17. Niedobitek G. Epstein-Barr virus infection in the pathogenesis of nasopharyngeal carcinoma. Mol Pathol 2000; 53(5): 248–54. 18. Chijioke O, Azzi T, Nadal D, Münz C. Innate immune responses against Epstein Barr virus infection. J Leukoc Biol 2013; 94(6): 1185–90. 19. Parkin DM. The global health burden of infection-associated cancers in the year 2002. Cancer 2006; 118(12): 3030–44. 20. Bu rgos JS. I nvolvement of t he Epst ei n-Ba r r v i r us i n t he nasopharyngeal carcinoma pathogenesis. Med Oncol 2005; 22(2): 113–21. 21. Stevens SJ, Verkuijlen SA, Hariwiyanto B, Harijadi, Paramita DK, Fachiroh J, Adham M, Tan IB, Haryana SM, Middeldorp J M. Non i nvasive d iagnosis of nasopha r yngea l ca rci noma: nasopharyngeal brushings reveal high Epstein-Barr virus DNA load and carcinoma-specific viral BARF1 mRNA. Int J Cancer 2006; 119(3): 608–14. 22. Maxwell JH, Kumar B, Feng FY, McHugh JB, Cordell KG, Eisbruch A, Worden FP, Wolf GT, Prince ME, Moyer JS, Teknos TN, Chepeha DB, Stoerker J, Walline H, Carey TE, Bradford CR. HPV-positive/ p16-positive/EBV-negative nasopharyngeal carcinoma in white North Americans. Head Neck 2010; 32(5): 562–7. 23. Raab-Traub N. Epstein-Barr virus in the pathogenesis of NPC. Semin Cancer Biol 2002; ; 12(6): 431–41. 24. Lin JC, Chen KY, Wang WY, Jan JS, Liang WM, Tsai CS, Wei YH. Detection of Epstein-Barr virus DNA the peripheral-blood cells of patients with nasopharyngeal carcinoma: Relationship to distant metastasis and survival. J Clin Oncol 2001; 19(10): 2607–15. 25. Hou X, Zhang L, Zhao C, Li S, Lu LX, Han F, Shao JY, Huang PY. Prognostic impact of plasma Epstein-Barr virus DNA concentration on distant metastasis in nasopharyngeal carcinoma. Ai Zheng 2006; 25(7): 785–92. 26. Fiorini S, Ooka T. Secretion of Epstein-Barr Virus-encoded BARF1 oncoprotein from latently infected B cells. Virol J 2008; 5: 70. 27. Rickinson AB, Kieff E. Epstein-Barr virus. In: Fields BN, Knipe DM, Howley, editors. Fields virology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott- Williams & Wilkins Publishers; 2007. p. 2655–700. 28. Danve C, Decaussin G, Busson P, Ooka T. Growth transformation of primary epithelial cells with a NPC-derived Epstein-Barr virus strain. Virology 2001; 288: 223–35. 29. Feederle R, Neuhierl B, Bannert H, Geletneky K, Shannon-Lowe C, Delecluse HJ. Epstein-Barr virus B95.8 produced in 293 cells shows marked tropism for differentiated primary epithelial cells and reveals interindividual variation in susceptibility to viral infection. Intl J Cancer 2007; 121: 588–94. 30. Houali K, Wang XH, Shimizu Y, Djennaoui D, Nicholls J, Fiorini S, Bouguermouh A, Ooka T. A new diagnostic marker for secreted Epstein-Barr virus-encoded LMP1 and BARF1 oncoproteins in the serum and saliva of patients with nasopharyngeal carcinoma. Clin Cancer Res 2007; 13: 4993–5000. 31. Longnecker R. Epstein–Barr virus latency: LMP2, a regulator or means for Epstein–Barr virus persistence?. Advances in Cancer Research 2000; 79: 175–200. 32. Eliopoulos AG, Young LS. LMP1 structure and signal transduction. Semin Cancer Biol. 2001;; 11(6): 435–44. 33. Tao Y, Zhang XG. Signal transduction and biological characteristics of EB virus-encoded latent membrane protein 1 and its correlation with CD40. Zhongguo Yi Xue Ke Xue Yuan Xue Bao. 2004; 26(5): 585–90. 34. Soni V, Cahir-McFarland E, Kieff E. LMP1 trafficking activates growth and survival pathways. Adv Exp Med Biol 2007; 597: 173–87. 35. Lin JC, Chen KY, Wang WY, Jan JS, Liang WM, Tsai CS, Wei YH. Detection of Epstein-Barr virus DNA in the peripheral blood cells of patients with nasopharyngeal carcinoma: relationship to distant metastasis survival. J Clin Oncol 2001; 19: 2607–15. 36. Feng P, Ren EC, Liu D, Chan SH, Hu H. Expression of Epstein-Barr virus lytic gene BRLF1 in nasopharyngeal carcinoma: potential use in diagnosis. J Gen Virol 2000; 81: 2417–23. 37. Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B, Paramita DK, Harijadi A, Haryana SM, Middeldorp JM. Molecular diversity of Epstein-Barr virus IgG IgA antibody responses in nasopharyngeal carcinoma: a comparison of Chinese, Indonesian and European cases. J Infect. Dis 2004; 190: 53–62. 38. Hochberg D, Middeldorp JM, Catalina M, Sullivan JL, Luzuriaga K, Thorley-Lawson DA. Demonstration of the Burkitt’s lymphoma Epstein-Barr virus phenotype in dividing latently infected memory cells in vivo. Proc Natl Acad Sci 2004; 101: 239–44. 39. Shotelersuk K, Khorprasert C, Sakdikul S, Pornthanakasem W, Voravud N, Mutirangura A. Epstein-Barr virus DNA in serum/ plasma as a tumor marker for nasopharyngeal cancer. Clin Cancer Res. 2000; 6(3): 1046–51. 40. Lin JC, Wang WY, Chen KY, Wei YH, Liang WM, Jan JS, Jiang RS. Quantification of plasma Epstein-Barr virus DNA in patients with advanced nasopharyngeal carcinoma. N Engl J Med. 2004; 350: 2461–70. 41. Lo YM, Leung SF, Chan LY, Chan AT, Lo KW, Johnson PJ, Huang DP. Kinetics of plasma Epstein-Barr virus DNA during radiation therapy for nasopharyngeal carcinoma. Cancer Res 2000; 60(9): 2351–5. 42. Chan KC, Lo YM. Circulating EBV DNA as a tumor marker for nasopharyngeal carcinoma. Semin Cancer Biol 2002; 12(6): 489–96. 43. Chu EA, Wu J M, Tun kel DE, Ishma n SL. Nasopha r yngeal carcinoma: the role of the Epstein-Barr virus. Medscape J Med 2008; 10(7): 165. 44. Spano JP, Busson P, Atlan D, Bourhis J, Pignon JP, Esteban C, Armand JP. Nasopharyngeal carcinomas: an update. Eur J Cancer. 2003; 39(15): 2121–35. 45. Cao SM, Min HQ, Gao JS, Hong MH, Xiao XB, Zhang CQ, Liu XD, Zhang AL, Guo X. Significance of cell-free Epstein-Barr virus DNA in monitoring prognosis of nasopharyngeal carcinoma. Ai Zheng Mar 2003; 22(3):302–6. 46. Chien YC, Chen JY, Liu MY, et al. Serologic markers of Epstein- Barr virus infection and nasopharyngeal carcinoma in Taiwanese men. N Engl J Med 2001; 345 (26): 1877–82. 47. Adriaenssens E, Mougel A, Goormachtigh G, Loing E, Fafeur V, Auriault C, Coll J. A novel dominant-negative mutant form of Epstein-Barr virus latent membrane protein-1 (LMP1) selectively and differentially impairs LMP1 and TNF signaling pathways. Oncogene. 2004; 23(15): 2681–93. 48. Pratt ZL, Zhang J, Sugden B. The latent membrane protein 1 (LMP1) oncogene of Epstein-Barr virus can simultaneously induce and inhibit apoptosis in B cells. J Virol. 2012; 86(8): 4380–93. 49. Zhang Y, Gao HY, Feng HX, Deng L, Huang MY, Hu B, Cheng G, Wu QL, Cui NJ, Shao JY. Quantitative analysis of Epstein-Barr virus DNA in plasma and peripheral blood cells in patients with nasopharyngeal carcinoma. Zhonghua Yi Xue Za Zhi. 2004; 84(12): 982–6.