Microsoft Word - E_Journal_Wiratini.doc


 1

 
 
 

PERANAN WANITA  
DALAM SENI PERTUNJUKAN BALI 

DI KOTA DENPASAR 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Oleh: 
Ni Made Wiratini 

e-mail: made_wiratini@yahoo.co.id 

 
Promotor/Ko-promotor: 

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. 
Prof. Dr. R.M. Soedarsono 

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. 
 
 
 
 
 
                                                                 
 
 

 PROGRAM KAJIAN BUDAYA 
PROGRAM PASCASARJANA 

UDAYANA UNIVERSITY  
DENPASAR 

2007 
 



 2

 
 
 

PERANAN WANITA  
DALAM SENI PERTUNJUKAN BALI 

DI KOTA DENPASAR 
 
 

Ni Made  Wiratini1 
 
Abstrak: Artikel ini dimaksudkan untuk membahas semakin dominannya peranan wanita 
dalam seni pertunjukan Bali, khususnya yang ada di Kota Denpasar, selama dua puluh 
lima tahun belakangan ini. Ada lima belas genre seni pertunjukan Bali, terutama dalam 
kelompok seni pertunjukan hiburan atau balih-balihan, yang kini telah dimainkan oleh 
wanita. Melalui proses  glokalisasi, pengadaptasian budaya asing (global) ke budaya 
lokal (Bali), peranan dan partisipasi kaum wanita Kota Denpasar dalam seni pertunjukan 
Bali meliputi pelaku, pencipta, dan pengatur/penyaji. Artikel ini menunjukkan bahwa 
perubahan-perubahan yang terjadi bukanlah suatu bentuk gerakan feminist untuk 
mengambil alih dan mengganti posisi pria dalam seni pertunjukan Bali, melainkan suatu 
realisasi dari upaya sadar kaum wanita Bali untuk ikut menjaga, melestarikan, dan 
mengembangkan nilai-nilai seni dan budaya tradisional Bali. Singkatnya, meningkatnya 
ketertarikan wanita Kota Denpasar untuk terjun dalam seni pertunjukan Bali bukan 
diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan gender tetapi oleh hasrat kaum wanita untuk ikut 
berpartisipasi dalam menjaga kelangsungan dari seni pertunjukan Bali. 
 
Kata-kata kunci: peranan wanita, seni pertunjukan, glokalisasi, gender. 
 
 
Pendahuluan 

 Di dalam kurun waktu 25 tahun, dari 1980 sampai dengan 2005, telah terjadi 

suatu perubahan penting dalam aktivitas seni pertunjukan di Kota Denpasar. Perubahan 

ini ditandai oleh meningkatnya dominasi peranan wanita dalam aktivitas seni pertunjukan 

di daerah ini. Akibatnya, kini kaum wanita di kota ini telah mampu tampil dan 

memainkan peranan penting dalam lima belas genre seni pertunjukan Bali terutama yang 

tergolong kelompok seni hiburan atau balih-balihan. Di samping peningkatan dalam hal 

kuantitas, kualitas penampilan mereka juga meningkat secara signifikan yang dibuktikan 

dengan telah mampunya kaum wanita melakukan tugas-tugas dan peran yang mereka 

belum pernah lakukan di masa lampau. 

                                                 
              1 Ni Made Wiratini adalah seorang Dosen dari Jurusan Tari  Fakultas Seni Pertunjukan Institut  
Seni Indonesia (ISI) Denpasar. 



 3

Di Bali termasuk Kota Denpasar, masyarakat telah lama dapat menerima kaum 

wanita untuk ikut ambil bagian dalam seni pertunjukan wali atau sakral dan seni 

pertunjukan bebali sebagai pengiring upacara.  Kendatipun demikian, peluang bagi kaum 

wanita untuk ikut berperan dalam seni pertunjukan sekuler atau  balih-balihan, hingga 

tahun 1980an, masih terbatas.  Hal ini disebabkan oleh pandangan negatif dari warga 

masyarakat yang cenderung menilai wanita-wanita pelaku seni pertunjukan sebagai orang 

tidak bermoral atau wanita murahan.  Akan tetapi sejak awal tahun 1980an pandangan 

seperti itu telah mulai berkurang karena masyarakat Bali mulai bisa menerima kaum 

wanita untuk ikut berperan dalam kegiatan seni pertunjukan.  Kondisi seperti ini sangat 

mendorong kaum wanita di Kota Denpasar untuk meningkatkan peranan dan partisipasi 

mereka dalam aktivitas seni pertunjukan. 

Hingga kini fenomena menyangkut meningkatnya keterlibatan wanita dalam seni 

pertunjukan Bali di Kota Denpasar belum pernah diteliti secara mendalam. Selain 

menunjukkan terjadinya perubahan prilaku berkesenian dalam seni pertunjukan Bali, 

fenomena budaya seperti ini mengisyaratkan terjadinya kesejajaran gender dalam 

berbagai kegiatan sosial dan kultural di kalangan masyarakat Bali. 

Dalam mencapai tujuan yang telah disebutkan di atas, pembahasan ini akan 

difokuskan kepada tiga hal: a) berbagai genre seni pertunjukan Bali di mana kaum wanita 

memainkan peranan dan fungsi penting; b). peranan dan makna dari partisipasi kaum 

wanita dalam seni pertunjukan Bali di wilayah ini, dan c) faktor-faktor pendorong atas 

meningkatnya peranan wanita dalam seni pertunjukan Bali.  

 

Genre-genre Seni Pertunjukan 

Dewasa ini kaum wanita di Kota Denpasar telah mampu memainkan peranan 

penting dalam lima belas genre seni pertunjukan terutama dari kelompok seni hiburan 

yang bersifat sekuler atau balih-balihan.  Genre-genre seni pertunjukan ini tersebar di 

empat bidang seni yaitu: seni tari, seni musik, seni pewayangan, dan seni drama/teater. 

Bidang seni tari (seni audio visual atau teater gabungan) mencakup dramatari Gambuh, 

tari Legong Keraton, dramatari Calonarang, dramatari Arja, tari-tarian Kakebyaran, tari 

Janger, Joged Bumbung, dan Sendratari.  Bidang musik meliputi Gender Wayang, Gong 



 4

Kebyar, dan Balaganjur.  Seni pewayangan diwakili oleh Wayang Kulit, dan seni drama 

oleh Drama Gong dan Drama Klasik. 

Di dalam seni-seni pertunjukan Bali yang lebih muda seperti Sendratari, Drama 

Gong, dan Drama Klasik, bahkan dapat dijumpai integrasi elemen budaya Bali (lokal) 

dengan elemen-elemen budaya luar dan asing (global). Hal ini menunjukkan terjadinya 

proses glokalisasi (Barker, 2004:120, Piliang, 2005:1) dalam seni pertunjukan Bali sejak  

masuknya dua epos, Mahabharata and Ramayana, ke dalam budaya Bali.   

 Meningkatnya minat wanita di Kota Denpasar untuk ikut ambil bagian dalam 

kegiatan seni pertunjukan Bali bukanlah merupakan suatu gerakan dari kaum wanita di 

wilayah ini untuk mengambil alih peranan kaum lelaki, atau suatu pemberontakan dari 

kaum wanita Bali terhadap dominasi kaum laki-laki di bidang seni seni pertunjukan.  

Peningkatan partisipasi dan keterlibatan mereka dalam kegiatan seni pertunjukan adalah 

suatu realisasi dari upaya mereka untuk bersama-sama kaum laki-laki untuk ikut 

mempertahankan, memperkuat, dan mengembangkan seni dan budaya tradisional Bali.  

Sungguhpun demikian, keterlibatan dan partisipasi mereka seperti ini telah merubah 

sikap masyarakat setempat dalam memperlakukan kaum wanita, terutama yang ikut 

dalam seni pertunjukan, dalam aktivitas sosial dan kultural.  Jika di masa lampau kaum 

wanita lebih banyak dipandang sebagai ibu rumah tangga, dengan keterlibatan mereka 

dalam seni pertunjukan, kini mereka dilihat dan diperlakukan sebagai seniman seperti 

halnya kaum laki-laki.  

 

Peranan  dan Makna 

 Tiga peranan yang dominan dari kaum wanita di Kota Denpasar dalam seni 

pertunjukan Bali adalah sebagai pemain, pencipta, dan pengelola.  Sebagai pemain, kaum 

wanita berperan sebagai penari/aktor (pragina), penabuh (juru gambel), dan dalang. 

Ketiga peranan ini mulai berkembang di tahun 1970an.  Sebagai pencipta, kaum wanita 

berperan sebagai koreografer, komposer, dan penata busana.  Peranan sebagai 

koreografer dan komposer mulai muncul sejak pertengahan tahun 1980an. Peranan 

mereka sebagai pengelola, yang mulai berkembang sejak tahun 1990an, meliputi 

pengelola sanggar-sanggar tari dan kegiatan seni pertunjukan (khususnya untuk sajian 

turistik). 



 5

Dominannya peranan dan partisipasi kaum wanita sebagai pelaku  berdampak 

kuat baik terhadap bentuk maupun kandungan isi dari seni pertunjukan yang mereka 

pentaskan.  Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam repertoar seni pertunjukan 

yang mereka mainkan, walaupun merupakan  karya-karya hasil ciptaan kaum pria, telah 

terintegrasi nilai-nilai artistik yang merupakan ekspresi seni laki dan wanita.  Namun 

demikian, partisipasi kaum wanita telah merubah penampilan dari seni pertunjukan yang 

mereka bawakan bahwa kini kesenian-kesenian itu tidak lagi hanya milik kaum laki-laki.  

Sajian seni pertunjukan Bali yang dimainkan oleh wanita memiliki makna yang 

cukup kompleks dari kultural, sosial, dan kesejahteraan.  Makna kulturalnya menyangkut 

pertahanan, revitalisasi, dan pengembangan dari tradisi budaya lokal. Makna sosialnya 

terkait dengan meningkatnya rasa kebersamaan dari warga masyarakat setempat serta 

terbukanya ruang kiprah kreativitas seni bagi kaum wanita. Makna kesejahteraan 

menyangkut bertambahnya kemakmuran warga masyarakat termasuk kepuasan spiritual 

dan material yang mereka dapatkan dari beraktivitas seni. 

 

Faktor-faktor Pendorong 

 Ada tujuh faktor utama yang telah mendorong kaum wanita di Kota Denpasar 

untuk ikut berpartisipasi dalam dunia seni pertunjukan.  Faktor-faktor yang dimaksud 

adalah: 1) emansipasi wanita di Bali, 2) Perubahan sosial dikalangan masyarakat Bali, 3) 

tumbuhnya kesadaran kaum wanita dalam berak-tivitas seni, 4) adanya dukungan yang 

besar dari masyarakat dan pemerintah daerah Kota Denpasar, 5) pengaruh pariwisata di 

Bali, 6) lahirnya sekolah-sekolah kesenian di pulau ini (di Denpasar), dan 7) diadakannta 

Pesta Kesenian Bali (PKB). Tiga faktor yang disebutkan pertama dapat digolongkan 

sebagai faktor internal dan selebihnya merupakan faktor eksternal. 

 

Kesimpulan 

 Meningkatnya partisipasi kaum wanita Bali di Kota Denpasar dalam seni 

pertunjukan, selama dua puluh lima tahun terakhir ini, menandakan terjadinya  perubahan 

sosial, atau apa yang disebut Dibia sebagai demokratisasi di bidang seni (1992:3), di Bali.  

Terjadi melalui proces glokalisasi, fenomena budaya ini adalah jawaban terhadap 

modernisasi yang terjadi di pulau ini. Keterlibatan dan partisipasi kaum wanita Bali 



 6

dalam aktivitas seni pertunjukan di daerah ini dimaksudkan untuk merubah pandangan 

negatif terhadap kaum wanita di mata masyarakat serta anggapan masyarakat terhadap 

kaum wanita yang selalu tergantung kepada bantuan kaum laki-laki. 

 
Daftar Referensi  
Bandem, I Made and Frederik deBoer. 1981. Kaja and Kelod: Balinese Dance in 
 Transsition. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 
Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari  
 (ASTI) Denpasar. 
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. 
  
deZoete, Beryl and Walter Spies. 1973. Dance and Drama in Bali. Kuala Lumpur: 
 Oxford University Press. 
Dibia, I Wayan. 1992. Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and 
 Transformation. (Dissertation). Los Angeles: University of California. 
________. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: MSPI 
 (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia) 
Dibia, I Wayan and Rucina Ballinger. 2004. Balinese Dance, Drama and Music. 
                  Singapore: Periplus. 
Piliang, Yasraf Amir. 2005. ”Menciptakan Keunggulan Lokal Untuk Merebut Peluang 
 Global: Sebuah Pendekatan Kultural”. Makalah dalam Seminar Membedah 

Keunggulan Lokal Dalam Konteks Global, 26 Juli 2005 di ISI Denpasar. 
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Dramatari Tradisionil 
 di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 
Wicaksana, I Dewa Ketut. 2000. “Eksistensi Dalang Wanita di Bali: Kendala dan 
 Prospeknya dalam Mudra.  No. 9 tahun VIII. Denpasar: Sekolah Tinggi 

Seni Indonesia (STSI). 
 
Ucapan Terima Kasih 

 Pertama-tama penulis menghaturkan penghargaan yang tulus kepada Direktur 

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar beserta staf atas kepercayaan yang 

telah diberikan kepada penulis untuk menulis artikel ini. Ucapan terima kasih 

disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Denpasar yang telah memberikan 

penulis kesempatan untuk memasukkan artikel ini dalam Jurnal Elektrik ini.  Rasa terima 

kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada Prof. I Wayan Ardika, Prof. R.M. 

Soedarsono, Prof. Emiliana Mariyah, begitu pula Prof. Suciati Beratha, atas saran-saran 

dan bimbingan yang diberikan.  Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan 

kepada suami tercinta Prof. I Wayan Dibia atas dukungan dan kasih sayangnya dalam 

penyelesaian naskah ini. 



 7

THE ROLE OF WOMEN  
IN BALINESE PERFORMING ARTS 

IN DENPASAR CITY 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

By 
Ni Made Wiratini 

e-mail: made_wiratini@yahoo.co.id 

 
Supervisor/Co-supervisors: 

Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. 
Prof. Dr. R.M. Soedarsono 

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. 
 
 
 
 
 
                                                                 
 
 

CULTURAL STUDIES PROGRAM  
POSTGRADUATE PROGRAM  

UDAYANA UNIVERSITY  
DENPASAR 

2007 
 



 8

0THE ROLE OF WOMEN 
IN BALINESE PERFORMING ARTS 

IN THE CITY OF DENPASAR 
 
 

Ni Made  Wiratini2 
 
Abstract: This article is about the increasing dominant role of women in Balinese 
performing arts, especially in Denpasar City, during the last twenty five years.  There are 
fifteen genres of Balinese performing arts, mainly in the area of secular entertainment or 
balih-balihan group, within which women performers play important roles. Through 
glocalization process; an acculturation between elements of local (Bali) and global 
(foreign) cultures, the role and participation of women in Denpasar City in Balinese 
performing arts activities includes performers, creators, and organizers. This article 
shows that the change is not a form of feminist movement to take over and replace the 
role of men in Balinese performing arts, but rather as a realization of the conscious 
endeavor of the local women in guarding, preserving, and developing the artistic and 
cultural values of Balinese tradition. In short, the increasing interest of women in the city 
of Denpasar to take part in the various forms of local performing arts is not because of 
the gender gap, but rather because of their desire to participate in the perpetuation of 
Balinese performing arts.  
 
Key words: the role of women, performing arts, glocalization, gender. 
 
 
Introduction  

During the last twenty five years, from 1980 to 2005, a significant change has 

taken place in Balinese performing arts activities in Denpasar City. This is due to 

growing dominant women’s role in performing arts activities in the region.  As a result, 

today women performers in the city have appeared and played important roles in fifteen 

genres of Balinese performing art especially of the secular or balih-balihan group 

(Bandem, 1981).  In addition to the incretion in quantity, the quality of their performance 

is also improving significantly that nowadays women performers are able to play parts 

and roles that they have never been able to do in the past.  

In Bali, including the City of Denpasar, the community members have long 

welcomed women to take role in the sacred wali and the ceremonial bebali group 

performing arts. However, the opportunity for women to take role in secular balih-

balihan art forms, up until 1980, remained limited. This is due to the negative perception 
                                                 
              2 Ni Made Wiratini is a dance lecturer in the Faculty of  Performing Arts,  Indonesia Institute of 
the  Arts (ISI) Denpasar. 



 9

of the community members who tend to associate women performing artists as immoral 

and cheap women. Since the early 1980s, however, such a negative perception has 

gradually changed that Balinese community began to welcome women to take roles in all 

kinds of performing arts. This condition strongly stimulates Balinese women in Denpasar 

City to increase their role and participation in performing arts activities.   

Up to now the cultural phenomenon concerning the growing interest of women 

taking part in Balinese performing arts in the city of Denpasar has never been seriously 

investigated. In addition to indicating the change of performance behaviour in Balinese 

performing arts in the region, such a cultural phenomenon strongly suggests the growing 

gender equalization in various social and cultural activities of the Balinese.  

In this paper, the discussion is focussed on three main issues: a) the variety of 

genres of Balinese performing arts in which women play important role and the function 

of the performing arts in the context of the sosio-cultural activities of the Denpasar 

communities; b) the roles and meanings of women participation in Balinese performing 

arts of the region; and c) the stimulating factors contributing to the increasing role of 

women in Balinese performing arts. 

 

Genres of Performing Arts  
 

 Presently women of Denpasar City have played important role in fifteen genres 

of Balinese performing art forms, especially of the secular or balih-balihan art group. 

These performing art forms cover four areas: dance, music, shadow puppet play, and 

drama/theatre.  The dance field (audio visual form or total theatre) encompasses Gambuh 

dance drama, Legong Keraton dance, Calonarang dance drama, Arja dance drama, 

Kakebyaran dance, Janger dance, Joged Bumbung dance, Prembon dance drama, and 

Sendratari/Seni drama tari, Ballet dance alike. The music field includes Gender Wayang, 

Gong Kebyar, and Balaganjur. The field of shadow puppet is represented by Wayang 

Kulit, and the drama field by the vernacular Drama Gong and the modern Drama Klasik.  

 In more recent Balinese performing art forms, such as Sendratari, Drama Gong, 

and Drama Klasik, one can in fact find the integration of Balinese (local) cultural 

elements with those coming from outside of foreign (global) culture. This indicates the on 

going glocalization (Barker, 2004:120, Piliang, 2005:1) process within Balinese 



 10

performing arts since the introduction of two Indian epics, Mahabharata and Ramayana, 

into Balinese culture.  

The growing interest of women in the city of Denpasar in taking role in Balinese 

performing arts is not a movement of the local women to take over the male roles, or a 

rebellion of Balinese women against domination of males in the field of performing arts. 

Instead, their increasing participation and involvement in Balinese performing arts is a 

realization of their efforts to join the male community to conserve, revitalize, and develop 

the traditional art and culture of Bali. However, their involvement and participation have 

greatly changed the way in which the local community members locate women, 

especially the member of the local performing art groups, in their social and cultural 

activities. While in the past they were mainly perceived as house workers, with their 

participation in performing arts, they are now treated and regarded as artists almost on the 

same footing as  the male performers.  

 

Roles and Meanings  
 

Three most dominant roles for women of Denpasar City in Balinese performing 

arts are performer, creator, and organizer. As performer, women take role as 

actor/dancers (pragina), musicians (juru gambel), and puppeteer (dalang).  These roles 

evolved since the 1970s. As creator, women artists have taken role as choreographer, 

composer, and as costumes/make-up designer. The role of women as choreographer and 

composer evolved around mid 1980s. Their role as art organizer, evolving since the 

1990s, includes manager of private dance studio and as performing art organizer (mainly 

for tourist entertainment).  

With their dominant role as performers, women participation has no strong impact 

either on the form or on the content of the performing arts form being performed. This is 

mainly because these performing arts repertoires, although these are creation of male 

creators, strongly convey the integration of male and female artistic expression. The 

participation of female performers has altered the appearance of the performing arts, in 

that, these art forms are longer belong to the male community. 

The performing arts of Bali featuring women performers hold complex meanings 

ranging from cultural to social and welfare. The cultural meaning of the performing arts 



 11

concerns conservation, revitalization, and development of the local traditional art forms. 

Its social meaning relates to the increasing solidarity of the local people and the widening 

opening room for artistic creativities for women.  Its welfare meaning concerns the 

prosperity of the local community members including the spiritual and materialistic 

satisfaction they may gain from performing the arts.  

 

Stimulating Factors  

 There are seven stimulating factors for women in the city of Denpasar to 

participate in Balinese performing arts world. These factors include 1) Women 

emancipation on Bali, 2) the social change in Balinese culture, 3) the increasing 

awareness of Balinese women in making arts, 4) the incearing great support from the 

community and local (Denpasar) government, 5) the influence of tourism in Bali, 6) the 

establishment of performing art school on the island (in Denpasar),  and 7) the 

conducting of the Annual Bali Arts Festival or Pesta Kesenian Bali (PKB). The first three 

can be identified as internal factors, and the rest are the external factors.  

 

Conclusion  

The growing participation of Balinese women in the local performing arts in 

Denpasar, for the last twenty five years , is an indication of social change, or what Dibia 

refers to as art democratization (Dibia,1992:3) in Bali. Evolving through a glocalization 

process, this cultural phenomenon is in response to the modernization on the island. The 

involvement and participation of Balinese women in the local performing arts activities is 

once intended to change the negative image of women in the eye of the local community 

members, and to change the public perception of women being always dependent on the 

help of men.  

 

 

 

 

 

 



 12

References  
 
Bandem, I Made and Frederik deBoer. 1981. Kaja and Kelod: Balinese Dance in 
 Transsition. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 
Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedi Tari Bali. Denpasar: Akademi Seni Tari  
 (ASTI) Denpasar. 
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. 
  
deZoete, Beryl and Walter Spies. 1973. Dance and Drama in Bali. Kuala Lumpur: 
 Oxford University Press. 
Dibia, I Wayan. 1992. Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and 
 Transformation. (Dissertation). Los Angeles: University of California. 
________. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung: MSPI 
 (Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia) 
Dibia, I Wayan and Rucina Ballinger. 2004. Balinese Dance, Drama and Music. 
                  Singapore: Periplus. 
Piliang, Yasraf Amir. 2005. ”Menciptakan Keunggulan Lokal Untuk Merebut Peluang 
 Global: Sebuah Pendekatan Kultural”. Makalah dalam Seminar Membedah 

Keunggulan Lokal Dalam Konteks Global, 26 Juli 2005 di ISI Denpasar. 
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat Perkembangan Dramatari Tradisionil 
 di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 
Wicaksana, I Dewa Ketut. 2000. “Eksistensi Dalang Wanita di Bali: Kendala dan 
 Prospeknya dalam Mudra.  No. 9 tahun VIII. Denpasar: Sekolah Tinggi 

Seni Indonesia (STSI). 
 
 
 
Acknowledgement  

 First of all, I wish to extent my sincere gratitude to the Dean of Postgraduate 

School of Udayana University of Denpasar and Stafs for trusting me to write this article. 

Special thanks to the Rector of  Udayana University Denpasar for giving me chance to 

write an article for Electric Jurnal.  And also special thanks go to Prof. I Wayan Ardika, 

Prof. Soedarsono, Prof. Emiliana Mariyah, as well as Prof. Suciati Beratha for their 

advised. My sincere gratitute goes to my husband Prof. I Wayan Dibia for helping me 

with the text and his love.