Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 13 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE THEURAPEUTIC COMMUNITY (TC) DALAM MEMBANGUN KESADARAN KELAYAN EKS PENYALAHGUNA NAPZA (Studi di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung) Oleh: Lenny Nuraeni,S.Pd,M.Pd Dosen PS PLS STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Mendeskripsikan dan menganalisis persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung, 2) Mendeskripsikan dan menganalisis tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA setelah mengikuti program pemulihan dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung, 3) Menganalisis hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran pada Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan teknik pengumpulan data wawancara, angket, observasi, studi literatur, dan studi dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA yang ada di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung terdiri dari 3 Panti Rehabilitasi Sosial diantaranya adalah Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang (BPSPP), Yayasan Sekar Mawar, dan Yayasan Rumah Cemara. Sampel diambil sebanyak 62 orang dengan cara proportional random sampling. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh keterangan bahwa variabel X (Metode Theurapeutic Community) memberikan pengaruh terhadap variabel Y (kesadaran) secara signifikan. Persamaan regresi yang dibentuk oleh kedua variabel tersebut adalah Y = 68,218 + 0,765 X. Hubungan di antara kedua variabel tersebut dikategorikan sedang. Hal ini ditunjukan oleh harga koefisien korelasi sebesar 0,571. Namun demikian harga tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %, dimana harga t hitung jatuh di daerah penolakan (H0 ditolak). Atas dasar harga-harga tersebut maka disimpulkan bahwa Metode Theurapeutic Community (TC) efektif dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Kata Kunci: Metode Theurapeutic Community (TC), Kesadaran Kelayan eks penyalahguna NAPZA A. PENDAHULUAN Epidemi penyalahguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) untuk negara berkembang seperti Indonesia, merupakan permasalahan yang sangat besar dan sanggup mengancam keberlangsungan kehidupan manusia. Usaha untuk menghentikan penyebaran epidemi ini telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, namun pada kenyataannya belum mampu menghentikan epidemi penyalahguna NAPZA khususnya di Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 14 Dewasa ini masih banyak sekali remaja yang menimbulkan keresahan masyarakat, seperti banyaknya mengenai bentuk kenakalan remaja. Salah satu persoalan adalah meningkatnya kenakalan remaja yang manjadi penyalahguna NAPZA. Akibat langsung yang dirasakan adalah semakin maraknya penyalahgunaan NAPZA terutama dikalangan remaja, pemuda, bahkan meluas melibatkan banyak siswa SMU dan SLTP bahkan sampai SD. Kondisi ini sangat memprihatinkan jika tidak bisa diatasi secara efektif, maka akan merusak generasi muda Indonesia dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan bangsa dan negara. Salah satu usaha mengatasi hal tersebut pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan beberapa undang-undang yang mengatur produksi, impor, ekspor, menanam, menyimpan, mengedarkan dan menggunakan Narkotika dan Psikotropika. Hampir setiap negara mempunyai ketentuan-ketentuan hukum yang keras dan memiliki satuan-satuan aparat keamanan yang handal dalam usaha menangkal masalah ini. Di Indonesia, ketentuan hukum itu antara lain dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang dalam satu bagiannya, yaitu pasal 23 ayat 2, dengan tegas melarang perbuatan menyimpang untuk memiliki atau menguasai narkotika. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimum selama 10 tahun dan denda setinggi-tingginya sebanyak lima belas juta rupiah dan bagi pemakai narkotika menurut ayat 7, diancam pidana maksimum 3 tahun penjara. Namun demikian mengapa jumlah orang yang menggunakan NAPZA dari tahun ke tahun terus meningkat? Boleh jadi persoalannya bukan hanya terletak pada kecanggihan hukum yang disusun atau tingkat kehandalan aparat keamanannya, melainkan juga pada bagaimana kebiasaan menggunakan NAPZA tersebut tersosialisasikan dalam masyarakat. Kebiasaan semacam itu tentu tidak dengan tiba-tiba atau hanya mencuat sesaat, atau ditularkan melalui proses sosial yang panjang dan secara sosiologis melibatkan sistem serta struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat. Menurut data Mabes POLRI, April 2007 kasus narkoba pada saat ini berjumlah 7735 kasus narkotika, 7151 kasus psikotropika, dan 722 kasus bahan adiktif. Menurut data yang dihimpun dari Depkes, presentase zat yang paling banyak adalah golongan opium. Pengguna jarum suntik pada penyalahgunaan NAPZA terakhir mengalami peningkatan dari 22,2 % pada tahun 2006 menjadi 61,8 % pada tahun 2007. Dilihat dari data yang ada, maka masalah penyalahgunaan NAPZA memerlukan penanganan yang serius dan professional dari berbagai pihak yang terkait. Hal tersebut karena permasalahan NAPZA merupakan masalah yang kompleks Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 15 yang menyangkut kesehatan psikologis, sosial dan keamanan. Dampak yang dialami yakni dapat merusak ciri dan citra masa depan bangsa. Ancaman bagi potensi generasi muda selaku generasi penerus dan generasi yang diharapkan dapat mempertahankan eksistensi bangsa dan negara, merongrong tata kehidupan masyarakat sehingga pada gilirannya akan melemahkan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Dari dampak tersebut, maka keberadaan pusat- pusat rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA sangat diperlukan. Di Wilayah Bandung terdapat beberapa lembaga baik itu lembaga milik pemerintah maupun lembaga milik swasta yang melaksanakan program rehabilitasi bagi remaja penyalahguna NAPZA yang mempunyai tujuan untuk memulihkan, menyadarkan dan menumbuhkan peran serta fungsi kehidupan yang normal dan dapat kembali ke dalam kehidupan yang normal serta diterima oleh masyarakat sebagai manusia yang berguna. Dalam upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat khususnya pada kelompok berisiko tinggi dapat dilakukan melalui penyebaran informasi yang menyeluruh mengenai penyalahguna NAPZA, sehingga pada akhirnya setiap orang akan mampu melindungi dirinya sendiri. Menurut UU pokok kesehatan RI yaitu: “Tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapatkan derajat kesehatan setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan di dalam usaha-usaha kesehatan masyarakat”. (Depkes, 1982 : 5). Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu proses penyadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan adalah melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian terpenting dan integral dari pembangunan nasional yang memiliki nilai dan kekuatan strategis dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam peningkatan Sumber Daya Manusia ini pemerintah terus berupaya untuk memajukan Pendidikan Nasional. Di bidang pendidikan terlihat upaya serius dari pemerintah untuk membangun Sistem Pendidikan Nasional yang mampu mendayagunakan seluruh warga negara agar turut aktif dalam pembangunan. Diupayakan pula pendekatan sinergis atau kerjasama untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar mendukung penyediaan tenaga kerja yang produktif dan efisien melalui pengembangan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Pendidikan di sekolah diselenggarakan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sedangkan Pendidikan Luar Sekolah dilaksanakan di luar sistem pendidikan sekolah dimana dalam pelaksanaannya melalui beberapa program antara lain melalui program: pendidikan keluarga, pendidikan anak usia dini, keaksaraan fungsional, kesetaraan, pendidikan berkelanjutan, pemberdayaan perempuan, dan pendidikan sejenis lainnya. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 16 Pendidikan Non Formal sebagai sub Sistem Pendidikan Nasional memegang peranan penting dalam menggerakan masyarakat salah satunya melalui kegiatan pembelajaran partisipatif yang terefleksi dalam pembelajaran kelompok untuk meningkatkan pengertian, pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan pengertian PNF menurut Coombs (D. Sudjana, 2004:22) Pendidikan Non Formal adalah sebagai berikut: Pendidikan Non Formal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. Dari pengertian tersebut jelas bahwa pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai tidak hanya diperoleh melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah pun dapat menjadikan seseorang lebih berdaya bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. Satu pelaksanaan PLS tersebut diantaranya yaitu melalui Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. Dengan berdiam dalam suatu tempat Panti Rehabilitasi Sosial Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang berada dibawah bimbingan para ahli. Dalam pelaksanaan program rehabilitasi terdapat beberapa pendekatan seperti biologis, psikologis sosial, spritual dan religi. Salah satu metode yang digunakan dalam proses rehabilitasi dari para pecandu NAPZA adalah Metode Theurapeutic Community (TC). Metode ini dianggap lebih efektif untuk menyembuhkan serta menyadarkan para Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Dengan adanya metode tersebut maka Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dapat lebih mengembangkan kemampuan dirinya, memahami diri dan lingkungannya sehingga dalam indvidu terjadi perubahan sikap dan memiliki kecakapan serta mampu menerapkan pola hidup sehat serta meningkatkan kesadarannya terhadap bahaya yang ditimbulkan dari pekerjaannya tersebut. Dalam penelitian ini penulis akan meneliti dan mengkaji permasalahan tentang: Efektivitas Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) Dalam Membangun Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA (Studi di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung). B. TUJUAN Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 17 1. Mendeskripsikan dan menganalisis persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. 2. Mendeskripsikan dan menganalisis tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA setelah mengikuti program pemulihan dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. 3. Menganalisis hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran pada Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. C. METODE Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap dan mengkaji hubungan antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian yang sesuai dalam rangka memudahkan pengumpulan data sesuai dengan ketentuan dalam melakukan kegiatan penelitian. Berkenaan dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1990:34) bahwa: “Metode adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data”. Winarno Surakhmad (1990:21) memiliki definisi metode adalah sebagai berikut: Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu, cara utama ini digunakan setelah penyelidik memperhitungkan kewajarannya, ditinjau dari arti luas, yang biasanya perlu diperjelas lebih spesifik dalam setiap penyelidikan. Berkaitan dengan uraian diatas, maka metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala yang terjadi pada saat sekarang. Dengan kata lain, penelitian deskriptif mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada suatu penelitian dilaksanakan. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Menurut Whitney dalam Nazir (1988: 63) bahwa metode deskriptif adalah sebagai berikut: Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 18 situasi-situasi tertentu termasuk hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pendangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Dari penjelasan tersebut, maka metode deskriptif dianggap sebagai metode yang paling relevan untuk digunakan dalam penelitian. Karena penelitian ditujukan pada masalah yang tejadi pada masa sekarang dan dalam pelaksanaannya tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, akan tetapi lebih jauh lagi dianalisis setiap data yang terkumpul. Sejalan dengan hal tersebut, Winarno Surakhmad (1990: 140) menjelaskan ciri-ciri metode deskriptif, yaitu: (1) Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang aktual; dan (2) Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa serta menginterpretasikan hasil data. Oleh sebab itu metode ini sering dikenal dengan metode analitik. Adapun penelitiannya adalah korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel Metode Theurapeutic Community (X) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA (Y). Nana Sudjana (1989: 77) memberikan definisi mengenai metode korelasional adalah sebagai berikut: Studi korelasional adalah studi yang mempelajari hubungan dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variansi dalam variabel lain. Derajat hubungan antara variabel-variabel dinyatakan dalam suatu indeks yang dinamakan koefisian korelasi. Korelasi dapat menghasilkan dan menguji suatu hipotesis mengenai hubungan antar variabel . Hal diatas dipertegas pula oleh Suharsimi Arikunto (1998: 201) mengemukakan bahwa: Penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan berapa eratnya hubungan serta berarti tidaknya hubungan itu. Studi korelasional itu digunakan untuk menelaah hubungan antara variabel-variabel ini diusahakan dengan mengidentifikasi variabel yang ada kemudian dilihat apakah ada hubungan antara keduanya. Penelitian ini menggunakan dua metode statistik untuk menganalisa data yaitu statistik deskriptif untuk mengukur nilai rata-rata simpangan baku serta statistik inferensial yaitu dalam bentuk analisis regresi dan analisis korelasi. Analisis regresi digunakan untuk mengungkapkan hubungan fungsional antara variabel-variabel penelitian, sedangkan analisis korelasi digunakan untuk mengukur derajat keeratan atau hubungan variabel penelitian. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 19 D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a) Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang Pada mulanya, Panti ini bernama Asrama Pembangunan yang merupakan warisan dari Federal Belanda pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1955, namanya diubah menjadi Panti Karya Mulya yang berfungsi sebagai tempar transit/bimbingan sosial/keterampilan bagi Gepeng (Gelandangan dan Pengemis), pemukiman sementara wanita tuna susila (hasil razia) dan tempat latihan Satgaso (Satuan Tenaga Sosial). Pada Tahun 1978 ditetapkan menjadi sarana rehabilitasi sosial pengemis, gelandangan dan orang terlantar (SRPGOT) “Marga Mulya” Lembang. Selanjutnya berdasarkan SK Menteri Sosial RI No. 58/HUK/1986 tanggal 03 Juni 1986, panti ini digunakan untuk pelaksanaan rehabilitasi sosial korban Narkotika dengan menggunakan sarana dan fasilitas SRPGOT “Marga Mulya” Lembang dengan nama Sarana Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika (SRKN) “Marga Mulya” Lembang. Pada Tahun 1994, berdasakan SK Menteri Sosial No. 6/HUK/1994 tentang pembentukan 18 panti di lingkungan Departemen Sosial RI, nama SRKA “Marga Mulya” Lembang diubah menjadi Panti Sosial Pamardi Putera “Binangkit” Lembang (PSPP “Binangkit” Lembang). Sejalan dengan Otonomi Daerah, pada tanggal 29 Februari, PSPP Binangkit diserahkan dari Departemen Sosial ke Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah provinsi Jawa Barat, Panti Sosial Pamardi Putera “Binangkit” Lembang berubah menjadi Balai Pemulihan Sosial “Pamardi Putera” (BPSPP) Lembang Bandung. b) Yayasan Rumah Cemara Pusat Pemulihan Rumah Cemara adalah sebuah lembaga non-profit yang bertujuan membantu masyarakat bandung khususnya dalam menanggulangi masalah pemakaian NAPZA. Didirikan pada tanggal 1 Januari 2003 oleh sekelompok pecandu dalam pemulihan yang telah menyelesaikan perawatannya dan ingin berbagi pengalaman pemulihan dan pengetahuannya. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 20 Penyelenggaraan dan staf dari Rumah Cemara adalah mantan kelayan dari suatu panti rehabilitasi. Atas dasar keprihatinan mereka terhadap maraknya korban yang berjatuhan akibat barang haram itu, maka akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan suatu tempat pemulihan dengan Metode Theurapeutic Community (TC) yang kemudian berdirilah pusat pemulihan Rumah Cemara. Pusat Pemulihan Rumah Cemara merupakan lanjutan atau pindahan dari panti rehabilitasi yang bernama Agung Pekerti yang terletak di Kota Bandung. Akibat manajemen yang kurang baik maka panti rehabilitasi agung pekerti dibubarkan, oleh pihak-pihak yang peduli maka sisa-sisa dari agung pekerti ini dibentuklah pusat Rumah Cemara. Pertama kali didirikan, Pusat Pemulihan Rumah Cemara terletak di Jalan Setrasari Indah No 4 A. Kemudian karena sesuatu dan lain hal akhirnya Pusat Pemulihan Rumah Cemara berpindah tempat ke Jl. Geger Kalong Girang No 52 RT 01 Kelurahan Isola Kecamatan Sukasari Kota Bandung dibandingkan dengan bangunan di Setrasari Indah, bangunan di Gegerkalong Girang lebih luas dan lingkungannya lebih mendukung terhadap proses pemulihan, maka untuk itu penyelenggara dan staf berusaha menciptakan setting yang menyenangkan bagi para pecandu NAPZA yang ikut program pemulihan. Hal-hal yang menjadi latar belakang berdirinya Pusat Pemulihan Rumah Cemara antara lain adalah: 1) Adanya data yang diperoleh dari rumah sakit di Bandung. Pasien ketergantungan NAPZA yang diterima pada tahun 1998 sebanyak 16 orang tahun 1999 sebanyak 104 orang, dan tahun 2002 mencapai 150 orang. 2) Kemudian di sebuah LSM Yayasan Bahtera Bandung, yang mendampingi pemakai NAPZA suntikan (IDU-Injecting Drug User) dalam rangka pengurangan bahaya, terdapat 460-an IDU yang sedang mengikuti program dampingan tersebut. 3) Di Polda Jawa Barat, 2003 terdapat 19 IDU yang sedang ditahan 4) Polwiltabes Bandung dalam 5 bulan terakhir ini menangani 63 kasus Narkotika dengan 132 tersangka dan 34 kasus psikotropika dengan 53 tersangka. 85 % dari seluruh jumlah tersangka adalah usia produktif, yaitu 17 s/d 45 tahun. 5) Kemudian Bandung Plus Support, sebuah kelompok dukungan bagi pengidap HIV di Bandung, melaporkan 10 orang pengidap HIV menjadi anggota dan secara rutin bertemu. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 21 Data-data tersebut menunjukan peningkatan pemakaian NAPZA ilegal di Bandung beserta dampak negatifnya (angka kriminalitas, kematian akibat over dosis, serta penularan virus hepatitis dan HIV) secara terus menerus. Hal inilah yang menjadi landasan Pusat Pemulihan Rumah Cemara untuk berdiri dan terus bertahan memberikan pelayanan kepada para pecandu yang ingin pulih dari ketergantungan NAPZA. Biaya yang diperoleh untuk mendirikan Pusat Pemulihan Rumah Cemara adalah swadaya dari seluruh penyelenggara. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan kelayan (kelayan) untuk program pemulihan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga kelayan. Bahkan dengan adanya sistem subsidi siang yang ditawarkan oleh Pusat Pemulihan Rumah Cemara dapat membantu para kelayan yang kurang mampu. Saat ini biaya yang harus dikeluarkan kelayan setiap bulannya bervariasi sekitar Rp. 150.000,00 sampai dengan Rp. 1.500.000,00/orang. Biaya yang dihimpun tersebut digunakan sebagai biaya operasional setiap bulan yang jumlahnya berkisar antara 10 juta sampai dengan 15 juta rupiah. Status kepemilikan panti rehabilitasi seluas 900 m² ini adalah milik swasta atau masyarakat, dengan hak sewa. Yaitu gedung atau balai yang digunakan sebagai sarana program pemulihan merupakan rumah milik salah satu penyelenggara Pusat Pemulihan Rumah Cemara.Pusat Pemulihan Rumah Cemara berada di bawah naungan Yayasan Insan Hamdani Jakarta. c) Yayasan Sekar Mawar Yayasan Sekar Mawar adalah sebuah Yayasan Sosial yang berada di bawah naungan keuskupan Bandung yang bergerak dalam bidang pencegahan dan penanggulangan masalah penyalahgunaan dan ketergantungan pada NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).Yayasan ini didirikan oleh para rohaniawan dan pemuka umat dari berbagai bidang keahlian dalam lingkungan keuskupan Bandung. Yayasan Sekar Mawar didirikan atas dasar keprihatinan dan kepedulian terhadap suatu kondisi, dimana semakin meningkatnya jumlah korban NAPZA tengah kehidupan masyarakat, khususnya kalangan generasi muda. Hal ini tentu saja dapat menjadi jerat yang sangat yang dapat menghancurkan kehidupan pribadi dan masa depan korban itu sendiri. Dampak yang lebih luas dari kondisi tersebut adalah hancurnya generasi muda dan masa depan bangsa di masa yang akan datang. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 22 Yayasan Sekar Mawar memiliki dasar hukum yang melindungi dasar hukum yang melindungi berjalannya segala kegiatan yang di adakan, yaitu: 1) Akte Notaris : Nomor 35 tanggal 20 Maret 2000. 2) Notaris : Ibu Lien Tanudirdja, SH. Beralamat di Jln. Naripan 43, Bandung. 3) Terdaftar pada Direktorat Sosial Politik Propinsi Jawa Barat, dengan nomor 289/LK-Yayas/2000, tanggal 14 Oktober 2000. 2. Analisis Penelitian dan Pembahasan a) Persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap Metode Theurapeutic Community (TC) yang diselenggarakan di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung. Persepsi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terhadap Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang diselenggarakan di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung cenderung tinggi. Hal ini dilihat dari skor umum responden sebesar 125.1290, apabila skor ini dibandingkan dengan skor ideal diperoleh skor kecenderungan responden sebesar 75,84 %. Faktor-faktor yang dijadikan indikator dalam menilai efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan kepada Pihak konselor bahwa terdapat beberapa kegiatan atau tahap yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi diantaranya: Pertama melakukan tahap pendekatan awal, yaitu mencakup kegiatan identifikasi dan pemberian motivasi pada Kelayan beserta keluarganya sebelum Kelayan mengikuti program pemulihan di Panti Rehabilitasi. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya. Tahap ini dilaksanakan di lingkungan masyarakat dalam rangka rekruitmen Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Kedua, melakukan tahap penerimaan, yaitu mencakup kegiatan registrasi, pengisian kontrak kerja, penyelesaian administrasi, menempatkan kelayan pada program dan penentuan pembimbing bagi kelayan setelah calon kelayan resmi diterima sebagai Kelayan. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya. Ketiga, melakukan tahap orientasi, yaitu mencakup kegiatan pengenalan program dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan program, serta pengenalan fasilitas yang dimiliki lembaga, termasuk pelaksanaan asesmen terhadap kelayan. Profesi yang terlibat dalam tahap ini adalah pekerja sosial, psikolog dan staf lembaga lainnya. Keempat, melakukan tahap intervensi, yaitu meliputi kegiatan : Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 23 1) Rehabilitasi dalam bentuk kegiatan yang difokuskan pada penanaman disiplin pribadi, pemantapan perubahan tingkah laku, peningkatakan keterampilan, pembinaan mental-spiritual, bimbingan sosial dan pemberian konsultasi pada keluarga kelayan. Profesi yang terlibat adalah pekerja sosial, psikolog dan pembimbing agama dan instruktur keterampilan. 2) Resosialisasi dalam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk melibatkan kelayan pada berbagai aktivitas sosial yang positif di luar lingkungan lembaga, yaitu melalui pelaksanaan Praktek Belajar Kerja (PBK) di perusahan-perusahaan, melakukan pembinaan terhadap lingkungan sosial kelayan, melakukan bakti sosial, menyelenggarakan pameran dan widya wisata, serta melakukan home visit. Profesi yang terlibat adalah pekerja sosial dan staf lembaga lainnya, termasuk instruktur keterampilan. 3) Bimbingan lanjut, yaitu kegiatan bimbingan lanjutan yang dilaksanakan setelah kelayan selesai mengikuti program pemulihan sosial di Panti Rehabilitasi dan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakatnya. b) Tingkat Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung? Dari hasil pengolahan data mengenai variabel kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung menunjukan pada kategori yang sangat tinggi. Hal ini dilihat dari rata- rata skor umum responden sebesar 74,4194, apabila skor ini dibandingkan dengan skor ideal diperoleh skor kecenderungan responden sebesar 78,34 %. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Kartono (1981: 49), yang menyatakan bahwa: “kesadaran itu diartikan sebagai intensionalitas atau relasi antara subjek yang aktif mengalami dengan objek yang dialami”. Selanjutnya kartini Kartono (1981: 6) menyatakan bahwa intensionalitas itu selalu mengandung tiga aspek yaitu aspek kognitif (pengenalan atau ginositis), aspek emosional (afektif, perasaan), dan aspek kemauan (volutif, konatif). Hal ini terbukti dari hasil penyebaran instrumen penelitian yang menyatakan bahwa Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Kenyataan tersebut disebabkan oleh keinginan kelayan eks penyalahguna NAPZA untuk memiliki rasa kesadaran sehingga tidak kembali lagi mengkonsumai NAPZA. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 24 Timbulnya kesadaran bukan semata-mata dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). 67,4 % kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Freud yang mengemukakan pendapatnya tentang kesadaran, dengan membandingkan jiwa dengan gunung es dimana bagian lebih kecil yang muncul di permukaan air menggambarkan daerah kesadaran, sedangkan massa yang jauh lebih besar di permukaan air menggambarkan daerah ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan yang ditekan suatu dunia bawah yang berisi kekuatan- kekuatan vital yang tak kasat mata yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan dasar individu. Dari pendapat Freud tadi, dapat diketahui bahwa ketidaksadaran dapat memberikan kontrol dan dorongan-dorongan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan individu. Hal ini dapat dilihat dari tingkat korelasi sebesar r = 0,571. Sedangkan daerah kesadaran yang diibaratkan gunung es tadi hanya mempu memberikan pengaruh sebesar 32,6 %. c) Apakah tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC)? Penelitian yang dilakukan mengajukan satu hipotesis, hasil analisis ini membuktikan hipotesa penelitian yang menyatakan bahwa: “Terdapatnya hubungan yang berarti antara penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dengan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial Wilayah Bandung”. Dari pengujian yang dilakukan hipotesis yang telah diajukan dalam penelitian ini diterima, hipotesis yang menguji kedua variabel X dan Variabel Y dibuktikan dengan mengujikan t hitung yang memperoleh nilai lebih besar dari t tabel pada tingkat kepercayaan 95 % dengan dk = 60. Hasil analisis data penelitian mengenai penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA, berdasarkan perhitungan menunjukan bahwa persamaan regresi yang diperoleh adalah Y = 68,218 + 0.765 X koefisien regresi yang diperoleh menunjukan harga yang positif. Makin tinggi efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC), maka makin tinggi pula atau semakin baik pula kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA untuk tidak kembali mengkonsumsi NAPZA. Perubahan pada kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terjadi 0,765 satuan setiap penambahan penggunaan Metode Theurapeutic Community sebesar satu satuan dengan persentase setiap peningkatan penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 25 di Panti Rehabilitasi sebesar 100 %, maka kesadaran akan meningkat sebesar 76,5 %. Berarti efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dapat meningkatkan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. oleh karena itu semakin tinggi efektivitas penggunaan Metode Theurpeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi maka semakin tinggi pula kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA untuk tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Dengan demikian, untuk menaikan tingkat kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA perlu lebih ditingkatkan mengenai efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti-panti Rehabilitasi Wilayah Bandung. Pada perhitungan koefisien determinasi menunjukan bahwa efektivitas penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA adalah 32,6 % sedangkan sisanya 67,4 dipengarui oleh faktor lain. Berdasarkan kontribusi tersebut diatas, penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) bukan satu- satunya faktor yang mempengaruhi kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA, namun penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) perlu ditingkatkan dalam membangun kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Menurut Evi Supiadi (2000) memang dalam pelaksanaan penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) dalam sebuah komunitas pecandu dalam program Theurapeutic Community (TC) para Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA yang sedang melaksanakan kegiatan rehabilitasi di Panti dilakukan dengan memanfaatkan pengalaman sejarah pecandu dalam fungsi sosial, kemampuan pendidikan, kemampuan intelektual komunitas yang positif dan ikatan keluarga. Pada pelaksanaannya Metode Theurapeutic Community (TC) pendekatan yang dilakukan dalam penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) adalah: biologis yaitu mengobati semua dampak kesakitan, menahan laju perkembangan virus penyakit (bagi yang terkena NAPZA). Detoksifikasi tidak diperlukan sepanjang tidak mengancam keselamatan jiwa, pendekatan psikologis dilakukan dengan memperbaiki karakter jiwa yang rusak enggan menanamkan pola fikir, sosial dilakukan dengan memulihkan kembali interaksi sosial antara korban atau pecandu dengan lingkungan sosial keduanya, spiritual dilakukan dengan memulihkan eksistensi diri sebagai manusia, merupakan bagian dari makhluk yang ada di alam. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 26 E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis pada BAB IV disimpulkan bahwa penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) di Panti Rehabilitasi Wilayah Bandung berada pada kategori tinggi. Hal ini didukung oleh adanya pendapat responden yang mengatakan bahwa penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) sangat efektif karena dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan kelompok yang menekankan prinsip-prinsip self-help (bantu diri). Kegiatan kelompok yang dilaksanakan oleh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA di Panti Rehabilitasi Sosial misalnya adalah: Morning Meeting, Encounter Group, Peer/Personal Accountability Group Evaluation (P.A.G.E.), Static Group, Evening Wrap Up, Weekend Wrap Up, Discussion Group, Seminar Group. Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA memiliki kecenderungan tinggi. Hal ini didukung oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Persepsi melalui adanya suatu pemberian makna yang ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional, sehingga persepsi bersifat subjektif. Hal inilah yang memungkinkan adanya persepsi yang bersifat positif atau negatif. Apabila yang dipersepsikan berupa informasi tentang bahaya NAPZA dari proses pemaknaan sensasi, maka apabila seseorang berhasil memperoleh pemaknaan yang positif dari penyampaian informasi tersebut, dengan mudah akan sampai pada proses penyadaran, (2) memori dilakukan Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan merekonstruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memori kecil yaitu dengan cara membuang kenangan-kenangan yang negatif ketika mengkonsumsi NAPZA, (3) partisipasi dilakukan oleh Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan mengikuti setiap kegiatan yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi Sosial. Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA berpartisipasi aktif dalam melaksanakan semua kegiatan tersebut karena mereka memiliki motivasi yang kuat. Hasil Uji Empiris menyatakan bahwa pengaruh yang dihasilkan oleh Metode Theurapeutic Community (TC) terhadap kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA bersifat positif. Hasil ini ditunjukan koefisien regresi yang positif. Hal ini memberikan arti bahwa perubahan atau kenaikan yang terjadi pada variabel Metode Theurapeutic Community (TC) dapat meningkatkan kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Hubungan antara kedua variabel bersifat dependent dan signifikan. Artinya kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA secara nyata dipengaruhi oleh penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 27 2. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian tersebut dibuat rekomendasi untuk para pihak yang terkait diantaranya adalah sebagai berikut: a) Bagi Lembaga Penyelenggara Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi di Panti yang dilakukan terhadap Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA pihak pengelola lembaga harus lebih semakin profesional dalam melaksanakan program Rehabilitasi Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA dengan menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC). b) Bagi Konselor Peran konselor dalam penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) sangat besar sehingga konselor harus memusatkan perhatian pada peningkatan kesadaran dan pemahaman kelayan untuk tidak kembali lagi mengkonsumsi NAPZA. Konselor harus lebih banyak terlibat di dalam pelaksanaan Metode Theurapeutic Community (TC) sehingga mampu meningkatkan motivasi dan kesiapan kelayan dalam mengikuti program pemulihan dan menjaga agar kelayan selalu berada dalam kondisi yang memiliki motivasi dan kesiapan yang cukup tinggi dalam mengikuti program pemulihan. c) Bagi Kelayan Kesadaran Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA terbentuk karena adanya penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC). Oleh karena itu Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA diharapkan agar dapat mengikuti kegiatan dengan baik, memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk berubah dengan memperbaiki diri agar benar-benar dapat melepaskan diri dari ketergantungan NAPZA, dapat mengisi waktu luang dengan kegiatan positif terutama setelah selesai menjalani terapi dan rehabilitasi serta berada kembali di tengah-tengah kehidupan masyarakat, serta setelah keluar dari Panti Rehabilitasi Sosial harus terus mempertahankan keinginan untuk tidak menggunakan NAPZA lagi, menjalankan ajaran agama dan mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakat. d) Bagi Masyarakat Penggunaan Metode Theurapeutic Community (TC) yang dilaksanakan di Panti Rehabilitasi dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan dalam penyembuhan Kelayan Eks Penyalahguna NAPZA. Sehingga apabila ada anggota keluarga yang terkena NAPZA dapat mengikuti kegiatan Rehabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial yang menggunakan Metode Theurapeutic Community (TC). Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 28 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (1990). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Badan Narkotika Nasional. (2007). Kamus Istilah Tentang dan Yang Berhubungan Dengan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif Lainnya, Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional. (2007). Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA, Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional. (2007). Memilih Lingkungan Bebas Narkoba, Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional. (2007). Pedoman Pelaksanaan P4GN Melalui Peran Serta Kepala Desa/Lurah Babinkamtibmas dan PLKB di Tingkat Desa atau Kelurahan, Jakarta: BNN. Badan Narkotika Nasional. (2007). Pencegahan Penyalahgunaan NARKOBA Sejak Usia Dini, Jakarta: BNN. Balai Pemulihan Sosial Pamardin Putera.(2006). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Penanganan Anak Nakal dan Korban Narkotika Jawa Barat Tahun Anggaran 2006, Bandung: BPSPP. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat Subdin Pemulihan Sosial Seksi Pemulihan Anak Nakal dan Korban Narkotika. (2005). Pedoman Metode Dua Belas Langkah Pada Rehabilitasi Korban NAPZA Melalui Pendekatan Pekerjaan Sosial, Jakarta: Dinsos. Direktorat Jendral Pelayanan Rehabilitasi dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Departemen Sosial RI. (2003).Standarisasi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Dalam Panti, Jakarta: Depsos RI Direktorat Jendral Pelayanan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI. (2003). Metode Theurapeutic Community (Komunitas Terapeutic) Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA, Jakarta: Depsos RI. Fakih., et, al. (2001). Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogya: Insist. Gerungan .W.A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama. Hamalik, O. (1999). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bumi Aksara. Hariworjanto-S, K. (1987). Metoda Bimbingan Sosial Masyarakat. Bandung. PT. Bale Bandung. Harvill, Jacobs & Masson. (2000). Group Counseling: Strategies & Skills. Virginia: Brooks/Cole Publishing Company. Hastuti, P (2005). Metode Theurapeutic Community pada rehabilitasi Korban NAPZA Melalui Pendekatan Pekerjan Sosial. Bandung. Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Hatimah, I. (2000). Strategi dan Metode Pembelajaran PLS. Bandung: Andira. Hawari, D. (2003). Penyalahgunaan Narkotika atau obat Keras dan penanggulangannya. Jakarta: Gramedia. Hidayat, T. (2000). Materi Simposium Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba. Bekasi : Yayasan Tunas Harapan Bangsa. Idochi-Anwar, M. (2003). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta. Johnson, J.L. (2004). Fundamentals of Subtance Abuse Practice. Toronto: Thomson Learning, Inc. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 29 Kartaatmaja, R. (2002). Pekerjaan Sosial. Bandung. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Kartono, K (1987). Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: CV. Rajawali. Kusuma, W (2008). Pengantar Psikologi. (Edisi Kesebelas). Batam: Interaksara. Mercer, D.E & Woody, G. E. 2000. Individual Drugs Counseling: Therapy Manual For Drugs Addiction Series. Maryland: U.S. Departemen of Health And Human Services. Nazir, M. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nasution, S. (2003). Metode Research (penelitian ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Sosial. (1997). Pedoman Dukungan Keluarga (Family Support) Dalam Rehabilitasi Sosial Bagi Penyalahguna NAPZA, Bandung: Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Jawa Barat Dinas Sosial. (1997). UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Bandung: Dinas Sosial Poerwadarminta. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007. (2007). Perlindungan Anak. Bandung: Citra Umbara. Pramesti, G. (2006). Panduan Lengkap SPSS 13.0 dalam Mengolah Data Statistik. Jakarta. Elex Media Komputindo Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Simanjuntak, B. (1991). Pengantar Kriminologi & Pathologi Sosial. Bandung: Tarsito. Stanislaus-S, U. (2006). Pedoman Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta. Graha Ilmu. Sudjana, D. (2003). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan Filsafah dan Teori Pendukung Azas. Bandung: Nusantara Press. Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Surachmad, W. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Syamsudin-M, A. (2001). Psikologi Kependidikan. Bandung. Remaja Rosda Karya. Togar-M, S. (2007). Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA Bagi Pemuda. Jakarta. Badan Narkotika Nasional (BNN). Triyanti, W. (2004). Pengaruh Kredibilitas Pengelola Terhadap Peningkatan Kesadaran Orang Tua Dalam Mengikutsertakan Anaknya Pada Program PAUD di Kecamatan Lembang. Skripsi pada FIP/PLS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Universitas Pendidkan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI UU RI. No 5 Th. 1997. (2007). PSIKOTROPIKA. Bandung: Citra Umbara UU RI No 22 Th. 1997. (2007). NARKOTIKA. Bandung: Citra Umbara Yanny, D. (2001). Narkoba Pencegahan dan Penangannya. Jakarta: Gramedia. Yatim, D. (1993). Kepribadian, Keluarga dan Narkotika. Jakarta: Arcar. Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Luar Sekolah STKIP Siliwangi Bandung, Vol 1, No.1, Februari 2012 30