Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 1 PENGUATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PLS DALAM MEMASUKI ERA KOMPETITIF MEA Oong KomarDosen PLS Universitas Pendidikan Indonesia,email: oongkomar@yahoo.com AbstrakPLS (pendidikan luar sekolah) adalah modus pendidikan kreatifitas, yaituusaha pendidikan yang kesengajaan/berlangsungannya di dasarkan pilihankeinginan/kebutuhan dan kesungguh-sungguhan belajar peserta didik darimasyarakat tertentu, sehingga penyelenggaraan PLS berbeda dengansekolah terutama menyangkut sistem pengelolaan materi/isi, media danwaktunya yang acapkali disesuaikan dengan kesempatan peserta didiknya.Ternyata kiprah PLS meliputi kelembagaan, program aksi dan ketenagaan,yang stake-holdernya tersebar, yaitu berada di masyarakat, praktisi, ahlidan pemerintahan, sehingga kondisi PLS bak seluas samudra dan seolahkompleksitas suatu spektrum. Namun, PLS yang sangat dibutuhkanmasyarakat, dalam optimalisasi pelaksanaannya masih jauh dari harapan.Saat ini jumlah dan kualitas ketenagaan PLS masih belum standar dan yangmenjadi penyuplai akademisnya (kelembagaan, program dan ketenagaan)pun hanya setingkat jurusan dan program studi. Kebutuhan nyatamasyarakat mestinya mendorong peningkatan lembaga akademis PLSsetidanya setingkat fakultas.Oleh karena itu, PLS perlu mengubah prioritas kegiatan, yang saat ini PLSberorientasi program harus diubah menjadi berorientasi penataankelembagaan, seperti pembagian kerja antar stakeholder di pusatpemerintahan hingga daerah, peningkatan kemampuan organisasi, menatajaringan kerja, kemampuan layanan, spesifikasi disiplin ilmu,profesionalisasi ketenagaan dan kejelasan lokasi lapangan prakteknya. Kata Kunci: PLS, Lingkup PLS, Tenaga PLS, Kapasita Lembaga PLS A. Masalah 1. PLS “Penyelamat” Kebutuhan Pendidikan MasyarakatKiprah PLS sering menjadi aspirasi lahirnya solusi alternative pendidikan ataupenyelamat. Contoh, siswa yang tidak lulus ujian nasional SMP atau SMA mendapat“penyelamatan” dengan mengikuti ujian persamaan Paket B atau C. Akibat masyarakatyang ragu pada sekolah, muncul alternatif rumah sekolah. Lembaga bimbingan belajardijadikan alternatif persiapan menghadapi UN oleh sejumlah masyarakat.Ketika sekolah masih langka, orang berusaha membebaskan diri dari ketergantungandengan mengikuti program latihan. Ketika manusia terdidik masih langka, Ia (tenagaPLS) tetap mengabdikan diri untuk membebaskan buta huruf. Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 2 Saat ini untuk lolos menembus “lubang jarum” saringan masuk perguruan tinggi, banyaksiswa menyiapkan diri mengikuti bimbingan belajar. Selain itu, sejumlah masyarakatyang akan memasuki dunia kerja, menyiapkan diri mengikuti kursus bahasa, komputeratau pengemudi, agar memenangi persaingan seleksi pegawai.Ivan Illich (1974) memandang PLS sebagai alternative to schooling. Oleh karena itu,masyarakat harus membuang anggapan bahwa hanya sekolah yang mampu memberibekal bermutu. Padahal PLS pun terbukti dalam banyak hal menjadi pendidikanalernatif atau penyelamat. 2. PLS Hidup dengan Pandangan “Sebelah Mata”Dikala manusia yang mengenyam sekolah masih langka, sebenarnya telah tumbuhdalam masyarakat suatu gerakan pendidikan yang disebut pendidikan masyarakat ataupendidikan di luar sekolah (PLS). Kendati gerakannya terbukti survive, tetapi masihdianggap “kecil” dan dipandang “sebelah mata”. Gerakan PLS, begitu tidak dianggapberartinya, Ia tidak eksis dalam UU No. 4/1950 tentang Dasar Pendidikan danPengajaran.Meskipun begitu, tak menyurutkan diri, gerakan pendidikan masyarakat terus makintumbuh subur, sampai akhirnya terekam oleh TAP MPR No IV/1978 tentang GBHN,berbunyi “pendidikan juga menjangkau program luar sekolah, yaitu pendidikan yangbersifat kemasyarakatan”. Dengan TAP tersebut, gerakannya semakin nyata dandinamis, sehingga dalam TAP MPR No II/1983 dimasukkan ke dalam Bab Pendidikan.Dalam perjalanan selanjutnya, gerakan PLS terbukti makin semarak dan memiliki dayatahan hidup yang tinggi, maka wajar tersurat dalam UU No 2/1989 tentang Sisdiknassebagai salah satu jalur pendidikan di samping jalur sekolah. Bahkan dalam UU itu,dianggap kurang memadai lagi, sehingga perlu disempurnakan agar sesuai denganperkembangan masyarakat. Usaha penyempurnaannya sebagaimana yang terbit dalamUU No. 20/2003 tentang Sisdiknas.Secara logis, daya tahan hidup (survive) PLS dimungkinkan karena (a) gerakannyaberakar kuat pada masyarakat berhubung menyangkut kebutuhan dan kesadaran untukmaju, (b) kreativitas lembaga PLS menawarkan perubahan dan pembebasan dariketergantungan, (c) dipandang sebagai alternatif pilihan untuk menata masa depanmelalui penciptaan lapangan kerja, dan (d) turut serta mencerdaskan masyarakatdengan sikap otodidak dan ulet. Artinya, PLS merupakan alternatif pendidikan untukmenjadi sukses, pandai dan berhasil (kreatif).Selain itu, salah satu program unggulan PLS ialah pendidikan kesetaraan. Program inidikenal dengan sebutan Paket A, Paket B, dan Paket C. Program ini banyak dimanfaatkanmasyarakat, terutama siswa yang hasilnya kurang beruntung dalam mengikuti UN.Masyarakat memanfaatkan pendidikan kesetaraan pun untuk berbagai tuntutanpersyaratan. Pendidikan kesetaraan ini diakui hasilnya untuk melanjutkansekolah/kuliah dan memasuki dunia kerja. Sehingga, akhir-akhir ini pendidikankesetaraan menjadi semakin populer. Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 3 Sebenarnya penganugrahan gelar DR (HC) kepada seseorang yang memenuhi syarat,telah eksis lebih dulu dari pada kehadiran Paket A, B, dan C, padahal hakekat DR (HC)merupakan pendidikan kesetaraan jenjang PT dan merupakan bukti pengakuan ataskeberhasilan PLS. Meskipun hal itu belum menjadi wacana masyarakat, dan belumtersurat dalam perundang-undangan sebagai program kesetaraan PLS. Kendati begitu,masyarakat mestinya melepas anggapan bahwa pendidikan hanya sekolah, padahal hasilPLS pun dapat disetarakan dengan sekolah, bahkan sampai kesetaran PT sebagaimanagelar DR (HC).Program PLS ke depan kiranya perlu menuju masyarakat belajar atau masyarakat yangmampu memanfaatkan realita untuk belajar. Yaitu belajar dari situasi dan yang tengahdihadapi, belajar berusaha sendiri dalam mengatasi masalah. Masyarakat belajarmerupakan usaha menolong dirinya. Dari masyarakat belajar akan tumbuh sikap engganmenunggu uluran pihak lain.Hasil dari masyarakat belajar dapat menciptakan lapangan kerja sendiri. Contoh,seorang penjahit “jalanan” dengan tulus mengangkat asisten seorang anggotamasyarakat yang dipandang memiliki dedikasi, ulet dan jiwa wirausaha. Penjahit ini,dalam jiwanya tak terlintas pikiran bahwa asistennya itu kelak akan menjadi calonsaingan. Bahkan, terus dipupuk keterampilannya menuju kemandirian, agar mampumerintis usaha sendiri. Dan terbukti banyak yang berhasil. Kegiatan ini dalam istilahilmiah disebut career education dan juga magang. 3. PLS Bak “Seluas Samudra”PLS “hidup” seiring kebutuhan masyarakat. Di antaranya dibutuhkan untukpemberdayaan diri, peningkatan keterampilan kerja, penyesuaian diri dan penyesuaiandengan lingkungan. Bahkan kebutuhan inservice training pekerja untuk memenuhituntutan profesionalitas dan layanan prima.Pilihan PLS oleh sejumlah masyarakat disebabkan pembelajarannya bersifat instant dandapat ditempuh sambil bekerja. Selain itu, PLS dijadikan sebagai (1) wahana pendidikanalternatif, (2) cara belajar untuk maju, mandiri, wirausaha dan kerja kreatif, (3)mengembangkan watak lepas dari ketergantungan dan mencitptakan lapangan kerja, (4)magang dan (5) penciptaan iklim masyarakat belajar (learning society).Kiprah PLS secara nasional meliputi kelembagaan, program aksi dan ketenagaan. Pertama, kelembagaan PLS meliputi: PAUD (kelompok bermain, TPA, TK/RA dan yangsejenis), PKBM, Kursus, TBM, Forum satuan PLS (Majelis Taklim, Organisasi Perempuan,HIPKI, HISPPI, Asosiasi Propesi Kursus, Forum PAUD, Forum PKBM, dan sebagainya),UPT P2PNFI dan BPPNFI, UPTD BPKB dan SKB. Kedua, program aksi PLS meliputi: PAUD, keaksaraan fungsional, Paket A, B, dan C,kursus, KBU, magang, peningkatan budaya baca dan perpustakaan, pengarusutamaanjender, program PLS sejenis seperti life skills, beasiswa, belajar jarak jauh danpendidikan maya. Ketiga, ketenagaan PLS terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik PLSmeliputi: (1) pamong belajar UPT P2PNFI dan BPPNFI, UPTD BPKB/SKB, (2) fasilitator Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 4 desa intensif (FDI), (3) tutor KF, (4) tutor Paket A, B, C, (5) pendidik dan pengasuhPAUD, (6) pendidik dan penguji praktek kursus, (7) nara-sumber teknis KBU, (8)pendidik PLS sejenis, seperti instruktur diklat, magang, widyaiswara dan penyuluh.Sementara, tenaga kependidikan PLS meliputi: (1) penilik, (2) tenaga lapangan dikmas(TLD), (3) pengelola PKBM, (4) pengelola kelompok belajar, (5) pengelola kursus, (6)pengelola TBM, (7) pengelola PAUD dan (8) tenaga kependidikan satuan PLS lainnya(pengelola KBU/magang, laboran, pustakawan, dan sebagainya).Oleh karena itu, kondisi PLS seolah merupakan kompleksitas suatu spektrum dan bakseluas samudra. PLS sangat dibutuhkan masyarakat, tetapi ternyata optimalisasinyamasih jauh dari harapan. Saat ini yang menjadi penyuplai akademis (kelembagaan,program dan ketenagaan) hanya setingkat jurusan dan program studi. Kebutuhan nyatamasyarakat mestinya mendorong peningkatan lembaga akademis PLS setingkat fakultas. B. Solusi 1. Penguatan Kapasitas Kelembagaan PLS Capacity development adalah sebuah pendekatan yang sekarang secara luas digunakandalam community development. Istilah ini telah digunakan sejak tahun 1990-an olehnegara-negara donor untuk memperbaiki kapasitas negara partner (negara yangmendapat bantuan). Upaya pengembangan kapasitas merupakan bagian yang penting didalam berbagai aspek kehidupan. Pentingnya bagi aparatur pemerintahan untukmeningkatkan performa aparatur dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara,menjalankan regulasi dan deregulasi kebijakan pemerintahan, sehingga dalam kontekspembangunan secara keseluruhan pun upaya pengembangan kapasitas menjadi bagianyang tidak terpisahkan. Artinya, tidak mungkin terjadi suatu proses pengembangandalam hal apapapun tanpa upaya pengembangan kapasitas bagi pelaku maupun jugasistem yang mengaturnya.Di antaranya melalui penguatan kapasitas (Capacity Building) yaitu serangkaian strategiyang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan responsifitas dari kinerja.Artinya, sebagai kemampuan dari suatu organisasi atau perusahaan untuk menciptakannilai dimana kemampuan tersebut didapatkan dari berbagai jenis sumber daya yangdimiliki oleh perusahaan.Tujuan Capacity Building yaitu : Secara umum untuk perwujudan sustainabilitas suatusistem. Secara khusus untuk mewujudkankinerja yang lebih baik dilihat dari: (1)Efisiensi waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan mencapai suatuoutcome. (2) Efektifitas berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yangdiinginkan. (3) Responsifitas yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dankemampuan maksud tersebut. (4) Pembelajaran yang terindikasi pada kinerja individu,group, organisasi dan sistem.Manfaat kegiatan Capacity Building dalam pengembangan sumber daya manusia, untuk:(1) Mengurangi dan menghilangkan kinerja yang buruk. (2) Meningkatkanproduktivitas. (3) Meningkatkan fleksibilitas dari angkatan kerja. (4) Meningkatkankomitmen karyawan. (5) Mengurangi turn over dan absensi. Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 5 Oleh karena itu, penguatan kapasitas akan mengubah secara sistematis dan konsistensistem mekanisme kerja organisasi yang berpola pikir (mind-set) dan berbudaya kerja(culture-set) belum efisien, efektif, produktif, profesional serta birokrat yang belummemiliki pola pikir melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik(better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes). Pelayanan publikbelum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belummemenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publikbelum sesuai dengan harapan bangsa yang semakin maju dalam persaingan global yangsemakin ketat.Sehingga, PLS dituntut penguatan kapasitas kelembagannya, sepertimempertimbangkan prodi PLS setingkat fakultas, mengubah orientasi program keorientasi penguatan kapasitas kelembagaan PLS dan membangun jejaring kerja. a. Pertimbangan Peningkatan Prodi PLS Setingkat Fakultas.PLS dibebani tugas melaksanakan komitmen dunia melalui program aksi pendidikanuntuk semua (EFA) dan tujuan pembangunan millennium (MDGs), bahkan mulai tahun2016-2030 dilanjutkan dengan SDGs. Sasaran EFA terdiri atas: pendidikan usia dini,pendidikan dasar formal, life skill, keaksaraan, kesetaraan jender dalam pendidikan danpeningkatan mutu pendidikan. Adapun sasaran MDGs terdiri atas (a) penghapusankemiskinan dan kelaparan ekstrem, (b) pendidikan dasar untuk semua, (c) promosikesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, (d) penurunan angka (jumlah)kematian anak, (e) perbaikan kesehatan ibu hamil, (f) penghentian penyebaranHIV/AID, malaria dan penyakit lainnya, (g) pembangunan berwawasan lingkungan yangberkelanjutan, dan (h) kemitraan global dalam perdagangan dan sistem keuangan.Sasaran nasional program PLS meliputi: (a) pendidikan kesetaraan untuk mendukungkesuksesan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, (b) pendidikan keaksaraanfungsional untuk kesuksesan penurunan jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun keatas, (c) PAUD untuk persiapan anak masuk sekolah, (d) kursus dan pelatihan untukpemenuhan kebutuhan belajar masyarakat, (e) life skill untuk membekali warga belajarhidup mandiri, (f) pemberdayaan perempuan untuk pengarusutamaan jender bidangpendidikan, (g) budaya baca masyarakat untuk peningkatan kualitas pendidikanmasyarakat, dan (h) pengembangan kelembagaan pendidikan nonformal untukmenunjang keberhasilan programnya.Sasaran program PLS, kesuksesannya sangat tergantung pada kuantitas dan kualitasketenagaan PLS. Prakiraan kebutuhan ketenagaan nasional PLS seluruhnya 569.790tenaga. Jumlah ketenagaan yang ada sekitar 25,5%. Sebanyak 1,65% berstatus PNS dan98,35% bukan PNS. Adapun kualitas ketenagaan PLS masih jauh dari harapan.Oleh karena itu, lima tahun mendatang, kondisi PLS menghadapi permasalahanketenagaan, baik jumlah maupun kualitasnya, seiring tantangan pendidikan nasionalmenghadapi masalah kinerja out put satuan pendidikan untuk meningkatkan daya saing.Pemecahan masalah ketenagaan PLS dengan syarat kualifikasi akademis S1 dankualifikasi sertifikasi profesional pendidik akan lambat bila lembaga akademis masih Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 6 setingkat jurusan dan program studi. Karena itu, perlu peningkatan lembaga akademisPLS menjadi setingkat fakultas.Pertimbangan PLS setingkat fakultas, tidak hanya berkaitan dengan kiprahnya, tetapijuga berdasarkan analisis yuridis. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem pendidikan Nasional, mengatur eksistensi PLS, terutama Pasal 26 PendidikanNonformal, Pasal 27 Pendidikan Informal dan Pasal 28 PAUD. Bahkan, Pasal 30Pendidikan Keagamaan dan Pasal 31 Pendidikan Jarak Jauh, kiranya termasuk cakupanPLS. b. Mengubah Orientasi Program ke Orientasi Penguatan Kapasitas Kelembagaan PLS.Menurut Umbirtu Sihombing (1999: 20) dalam pelaksanaannya program PLS yangterdapat di masyarakat terdapat dua jenis kelompok: (a). Program Pokok yaituprogram PLS yang diadakan oleh pemerintah, seperti program pemberantasan butaaksara dan pendidikan dasar, masing-masing program ini terdiri dari pengembangananak usia dini, kejar paket A setara SD, kejar paket B setara SMP, kejar paket C setaraSMA. Program pendidikan berkelanjutan, terdiri dari program: kejar usaha, kursus,pembinaan kursus, dan pendidikan kewanitaan.(b). Program Penunjang, yaitu program PLS berupa kegiatan rintisan-rintisanberdasarkan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan kebutuhanmasyarakat, seperti program pemberdayaan ekonomi pedesaan, program kursus masukdesa, penyediaan dan pengembangan sarana belajar pokok dan pelengkap, antara lainmelalui latihan ketenagaan, bantuan teknis,serta monitoring dan evaluasi.Adapun sasaran program PLS meliputi seluruh warga masyarakat yang membutuhkanpendidikan berhubung warga tersebut tidak dapat/sempat mengikuti pendidikan dijalur sekolah sepenuhnya, usia warga masyarakat yang harus dibelajarkan tidakterbatas, namun secara prioritas diutamakan mereka yang berusia 10-44 tahun. Jikadiklasifikasikan sasaran pendidikan masyarakat menjadi warga masyarakat yang butahuruf,putus sekolah antar jenjang,lulus sekolah tidak melanjutkan, pencari kerja yangmenuntut ketrampilan tertentu dan mereka yang sudah bekerja tetapi inginmeningkatkan jenjang karir dan perlu memenuhi persyaratan ketrampilan.Saat ini PLS secara nasional memiliki program utama, yang garis besarnya terdiri atas:(a). Layanan pendidikan keaksaraan dan Multi Keaksaraan, (b). Layanan pendidikanOrang Dewasa, Pemberdayaan Perempuan dan Anak, (c). Layanan Peningkatan BudayaBaca, (d). Layanan Pengarusutamaan gender dalam bidang Pendidikan, (e). LayananRintisan Program dan (f). Layanan Penataan Kelembagaan.Program PLS lainnya, yaitu: Program pengarustamaan gender untuk dalam membatasijumlah anak dalam suatu keluarga secara umum atau massal sehingga dapatmengurangi jumlah angka kelahiran serta pengetahuan pentingnya menunda masaperkawinan. Program kecakapan hidup (KWK, KWD, PKH) dalam rangka penambahandan penciptaan lapangan kerja. Program PAUD, Pendidikan keaksaraan sertapendidikan Kesetaraan Paket A, B dan C guna meningkatkan kesadaran dan pendidikankependudukan. Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 7 Program PLS di atas tampak kurang berpihak pada program peningkatan kapasitaskelembagaan PLS. Dimana program peningkatan kapasitas kelembagaan PLS, terdiriatas delapan jenis, yaitu: Peningkatan Mutu Dikmas Melalui Kerjasama PerguruanTinggi (PT), Pendampingan Rumah Pintar, peningkatan Kapasitas KelembagaanPSW/PSG, Penguatan Balai Belajar Bersama, Pendampingan PKBM, Peningkatan MutuKelembagaan PKBM, dan Peningkatan Mutu Forum Komunikasi PKBM dan LembagaSejenis. Tentu saja bila di terapkan seiring dengan kondisi kelembagaannya baik, makaprogram-program PLS mampu menjawab tantangan masa depan dan permasalahan-permasalahan kehidupan bermasyarakat. c. Membangun Jejaring KerjaPraktik birokrasi cenderung percaya kepada kemampuan sendiri dalam pemecahanberbagai persoalan pelaksanaan pembangunan. Selain itu, kurang fleksibel dalammelaksanakan tugas-tugas pelayanan terhadap masyarakat, serta belum dapatmenjawab tuntutan yang terus berkembang cepat. Konsekwensinya, menimbulkanresiko dampak negatif, seperti inefisiensi dan inefektivitas pelaksanaan pembangunan.Praktik-praktik birokrasi yang kurang menguntungkan bagi terciptanya tanggungjawabtugas-tugasnya kepada masyarakat dalam jangka panjang sudah tidak mungkin lagiditeruskan.Bahkan, trend globalisasi dan demokratisasi menuntut penyelenggaraan pemerintahanyang profesional (good governance), sehingga mengharuskan birokrasi melakukanreinventing government agar birokrasi tidak kehilangan momentum dalam setiapperubahan yang terjadi di masyarakat.Oleh karena itu, melalui program pembangunan jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama erat yang saling mendukung, maka dalam jangka panjangsaling menguntungkan.Membangun jejaring kerja hakekatnya adalah proses membangun komunikasi, berbagiide, pertukaran informasi dan sumber aya atas dasardalam bentuk nota kesepahamanatau kesepakatan (Mou).Dengan pola kerjasama dan kemitraan pada akhirnya, (1) secara gradual dalam jangka-panjang menempatkan pemerintah berposisi fasilitator, mediator, dan advokator dalamsegenap pelaksanaan proses pembangunan, sehingga beban birokrasi(bureaucracy burden) akan relatif ramping. (2) Masyarakat pun mengambil inisiatif yang bersifataspiratif-partisipatif-proaktif dalam keterlibatannya di setiap tahap pelaksanaan prosespembangunan.Dalam kerangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas danberorientasi masa depan yang akan menjadi pilar utama pembangunan di berbagaisektor, pendidikan luar sekolah dapat memegang peranan yang sangat strategis.Pendidikan luar sekolah baik yang dilaksanakan pemerintah maupun yang dilaksanakanswasta ataupun masyarakat. dalam arti mereka yang tertarik melakukan pendidikanyang berorientasi masa depan melalui pendidikan luar sekolah dapat mengambil peranyang lebih nyata di masyarakat.Jaringan kerja merupakan suatu sistem kerja sama antara pusat dengan daerah,antardaerah, dan antarunsur di daerah dalam mengembangkan satuan-satuan PLS yang Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 8 sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan perkembangan daerah. Model Jejaring PLSdikembangkan dengan tujuan: (1). membangun jaringan kerja sama antara pusat dandaerah, serta antardaerah, (2). membantu daerah dalam membentuk danmemberdayakan Tim Jaringan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing.Organisasi Jaringan kerja PLS berkedudukan di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ditingkat pusat dikordinasikan oleh Direktorat PAUD dan Penmas. Di tingkat provinsidikoordinasikan oleh Kasi Dikmas Dinas Pendidikan Provinsi. Di tingkatKabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Kasi Dikmas Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Jaringan Kerja PLS bekerja sama dengan lembagaterkait. Koordinasi Jaringan Kerja PLS dilakukan melalui pembagian tugas danwewenang, perencanaan kegiatan bersama, pemantauan pelaksanaan kegiatan, dan kajisilang kegiatan yang telah dilakukan. Sementara koordinasi antar-jaringan dilakukanmelalui rapat atau pertemuan rutin/ berkala pada tingkat pusat dan daerah. 2. Spesifikasi Disiplin ilmu PLS.PLS berfungsi melayani kebutuhan pendidikan di luar sistem sekolah, sehinggakehdirannya sebagai bidang layanan masyarakat khusus. Yaitu untuk (1) meningkatkankualitas hidup bagi masyarakat tertinggal (pengentasan), dan (2) membebaskanmasyarakat yang tertindas (pemberdayaan). Profesi PLS harus melakukan layanan yangbaik terhadap kliennya. Layanan yang baik ditopang disiplin ilmu yang kokoh. Sehinggaprofesi PLS harus melakukan layanan yang baik dan ditopang disiplin ilmu yang kokoh.Paling tidak, ada dua asumsi pemikiran keilmuan PLS. Pertama, masyarakat yangtertinggal disebabkan kelemahan sendiri. Fungsi layanan PLS bagi masyarakat tertinggaladalah meningkatkan kualitas SDM dan mengentaskannya menuju tarap hidup yanglebih baik. Andragogi termasuk disiplin ilmu PLS utama yang menopang upayapeningkatan masyarakat tertinggal. Prinsip-prinsip Andragogi: (1) menganggapmanusia bersifat dewasa, (2) manusia memiliki kekayaan pengalaman, (3) siap belajaryang praktis.Kedua, masyarakat yang terlantar disebabkan struktur sosial yang hegemoni. Fungsilayanan PLS bagi masyarakat tertindas adalah melakukan pemberdayaan danpembebasan menuju terciptanya transformasi sosial yang bebas dari struktur sosialyang hegemoni. Pedagogik Kritis termasuk disiplin ilmu PLS utama yang menopangupaya pembebasan terlantar/tertindas. Prinsip-prinsip Pedagogik kritis: (1) penyadarandiri melalui refleksi, aksi, kreasi dan kritisi (evaluatif/assessment), (2) transformatifemensipatoris.Selain itu, disiplin ilmu PLS memiliki sifat akademik dan profesional. Yang bersifatakademik adalah bidang kajian dengan obyek disiplin ilmu layanan PLS pada aktivitasyang melembaga. Sementara yang bersifat profesional adalah bidang layanan denganobyek operasional kelembagaan dan gerakan praktisi PLS. 3. Profesionalisasi PLS dan lapangan prakteknya.Istilah profesi telah dimengerti setiap orang, yaitu bidang keahlian yang dihasilkan dari Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 9 pendidikan (tinggi), yaitu penguasaan ilmu/teori yang mendasari praktek pelaksanaan,dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Profesi memiliki tolak ukurperilaku, paling tidak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalamrangka kepentingan masyarakat. Sehingga standar profesional akan menciptakan suatukualitas masyarakat semakin baik.Profesi memiliki Watak Kerja, yaitu: (1) Kerja beritikad merealisasikan kehormatanprofesi yang digeluti, tanpa mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil,(2) Kerja dilandasi kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melaluiproses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang dan ekslusif. (3) Kerja berpedomanpada kualitas moral pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yangdikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.Gambar proses profesionalisasi PLS, sebagai berikut: Oleh karena itu, tenaga PLS dalam memberikan layanan profesionalnya harus: (1)merasa panggilan jiwa dalam melayani kliennya, (2) dibekali disiplin ilmu yang kokohdalam menunaikan tugasnya, dan (3) memiliki kode etik PLS guna melindungi otonomiprofesinya.Profesi PLS, sebagai berikut: • Pamong Belajar • TLD (Tutor, Fasilitator, Instruktur, Widyaiswara, Penyuluh, Kader masyarakat) • Penilik PLS • Pendampingan/Pemberdayaan • Pengelola PKBM (Rumpin, KF, Paket, PAUD, Parenting, Kons-Keluarga ) C. PENUTUPUntuk peningkatan kapasitas kelembagaan PLS dalam memasuki era kompetitif MEA,kata kuncinya adalah: akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipatif,akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal. Terdapat dua prinsip dasar yangseyogyanya dianut. Pertama, menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untukmengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri.Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkanruang atau peluang yang tercipta tersebut. Sementara itu ada lima garapan yang perludilaksanakan, yaitu penyediaan pelayanan dasar, peningkatan kapasitas pemerintahan Jurnal EMPOWERMENTVolume 6, Nomor 2 Oktober 2017, ISSN No. 2252-4738 10 lokal, peningkatan kapasitas pemerintahan nasional, pengembangan pasar yang prorakyat, dan pengembangan akses untuk bantuan keadilan dan hukum. Pustaka RujukanCoombs, P.H. et al. (1973). New Path to Learning for Rural Children and Youth. New York:International Council for Education Development.------- and Ahmed, M. (1984). Attacking Rural Poverty, How Nonformal Education Can Help. Diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: C.V. Rajawali.deJong, J.C.N. (1984). Sosiologi Pendidikan, Suatu Ihtisar Teoretis tentang Pendidikan, Perkembangan dan Modernisasi. Jakarta: Sangkala Pulsar.Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung. (1981). Pengarahan Menteri P dan K RepublikIndonesia. Laporan Hasil Munas ISMS. Bandung: FIP-IKIP.Gerstner, L.V. et al. (1995). Reinventing Education Entrepreneurship in America’s PublicSchools. New York: Publishid by Plum.Hassan, F. (1984). Filsafat Pendidikan Tinggi. Jurnal Thesa. 2. 4-11.Illich, I. (1974). Deschooling Society. London: Galder & Boyars.Kian Gie, K. (1984). “Beberapa Bentuk Konkret Kontribusi Pengusaha dalamPembangunan Nasional”. Jurnal Analisa. 11, 867-877.Soelaiman, J (2004), Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.Syuaeb, J (2002), Pendidikan Luar Sekolah. Cirebon: CV. Alawiyah.Sanapiah, F (1981), Pendidikan Luar Sekolah . Surabaya: CV. Usaha Nasional.Sihombing Umberto, (1999) Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta. Mahkota.Sudarsono, J. (1998). Pembaharuan Pendidikan Nasional dalam Era Reformasi. Jurnal Ilmiah Kajian. 015. 4-10.Wahyudi, R. (1994). Peranan Pendidikan dalam Pengembangan Masyarakat Miskin.Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.Yoesoef, D. (1984). Peranan Dunia Usaha dan Kewirausahaan dalam PembentukanBangsa. Jurnal Analisa. 11, 861-867.http://www.bp3ls.dikmentidkia.go.id/skb-jaksel.phpSH/emmy kuswandari, artikelPendidikan Luar Sekolah (internet)http://nidaimekingofblue.blogspot.com/2011/05/pengembangan-kapasitas-sumberdaya.html.ebook-pdf.org/.../twelve-principles-for-effectien.wikipedia.org/.../The_Seven_Habits_of_Hien.wikipedia.org/wiki/Reg_Revans eprints.undip.ac.id/9664/1/MANAJEMENhttp: //seputarpengertian.blogspot.com/2014/04/pengertian-tutor.html)