Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 1 PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL) DI PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KEMANDIRIAN SANTRI Agus Hasbi Noor agoeshasby@gmail.com STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang pendidikan kecakapan hidup yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Baleendah dan di Pondok Pesantren Al Ittifaq Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh data yang mendeskripsikan tentang sistem pendidikan life skills, proses pembelajaran life skills, hasil pembelajaran life skills dalam peningkatan kemandirian yang dicapai santri di pondok pesantren. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa: (1) sistem pendidikan di pondok pesantren dilaksanakan secara terpadu, dimana terdapat struktur keterkaitan yang erat antara semua komponen dan hubungan saling pengaruh yang ada diantara komponen tersebut dalam meningkatkan kemandirian santri; (2) Proses pembelajarannya merupakan salah satu bentuk pembelajaran dengan menggunakan kegiatan pembelajaran yang bersifat dialogis, partisipatif-andragogis, namun penerapannya belum begitu komprehensif; terutama dalam tahap perencanaan dan penilaian; (3) Hasil pembelajaran menunjukkan adanya peningkatan dalam aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap kemandirian yang dicapai santri; 4) Kemandirian yang dicapai santri ditunjukkan dengan adanya kemandirian dalam aspek emosional, perilaku, dan nilai yang tercermin pada peningkatan kepribadian seperti memiliki tanggungjawab, disiplin, tidak tergantung pada orang lain, semangat berprestasi, ulet dan gigih, percaya diri dan kegiatan membelajarkan orang lain serta peningkatan partisipasi dalam kegiatan sosial dan pengembangan masyarakat. Kesimpulannya adalah bahwa sistem pendidikan dan proses pembelajaran di pondok pesantren pada dasarnya merupakan model pendidikan kecakapan hidup (life skill education model) dimana santri belajar dan dilatih untuk memecahkan dan mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapinya secara mandiri. Kata kunci : Kecakapan Hidup, Kemandirian. PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini memiliki peranan dan andil cukup besar dalam menciptakan perubahan sosial, nilai moral, gaya hidup dan berbagai problematika kehidupan manusia ke dalam situasi mailto:agoeshasby@gmail.com Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 2 yang semakin kompleks. Hampir disemua bidang kehidupan dan pranatanya menuntut sesuatu yang serba cepat dan instan, oleh karena itu, wajar apabila saat ini berbagai pihak menuntut adanya sumber daya manusia mandiri dan siap pakai. Dalam menghadapi situasi dan tuntutan yang demikian itulah, peranan pendidikan menjadi sangat penting. Di dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, disebutkan secara tersirat bahwa melalui pendidikan diharapkan potensi peserta didik dapat dikembangkan agar berani menghadapi problema kehidupan tanpa merasa tertekan, memiliki kemauan dan kemampuan, serta senang mengembangkan diri untuk menjadi manusia unggul. Melalui pendidikan juga diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memelihara diri sendiri, menyadarkan manusia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kemandirian serta mampu menjalin hubungan dengan masyarakat dan lingkungan yang ada disekitarnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan pada hakekatnya harus berupaya menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang dapat memberikan bekal bagi peserta didik dengan berbagai kecakapan hidup (life skills). Pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan semata tetapi harus ada proses pengembangan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai tertentu yang dapat direfleksikan dalam kehidupan peserta didik dimasa yang akan datang. Tuntutan akan peningkatan kualitas pendidikan harus disikapi dengan sangat serius dan seksama, karena ketertinggalan dalam bidang pendidikan akan menimbulkan dua persoalan besar yakni kebodohan dan kemiskinan. Sektor pendidikan harus ditempatkan dalam tatanan khusus dan menjadi prioritas pertama serta utama yang amat sangat penting dalam kontek pembangunan suatu bangsa. Berbagai kenyataan telah membuktikan bahwa kemajuan peradaban yang diperoleh bangsa-bangsa maju, salah satu indikasinya adalah kemajuan di bidang pendidikan. Sungguh ironis bahwa pendidikan yang semula diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru menjadi penyumbang pengangguran terbesar dan menjadi beban masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2010 mencapai Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 3 8,320 juta jiwa atau 7,14 persen dari total angkatan kerja. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi tahun 2009 sebesar 8,963 juta jiwa (7,87 persen), namun yang menarik adalah bahwa pengangguran terbuka didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26 persen dari jumlah penganggur. Kemudian disusul lulusan Sekolah Menengah Atas (14,31 persen), lulusan universitas 12,59 persen, diploma 11,21 persen, baru lulusan SMP 9,39 persen dan SD ke bawah 4,57 persen. Salah satu faktor tingginya angka pengangguran lulusan pendidikan formal tersebut disebabkan oleh masih rendahnya tingkat keterampilan (vocasional skills) dan kesiapan mental (generic skills) para lulusan sekolah umum maupun kejuruan untuk memasuki dunia kerja baik bekerja mandiri (wirausaha) dan atau bekerja pada perusahaan lain. Konsep kecakapan hidup (life skills) telah lama menjadi perhatian para ahli dalam pengembangan kurikulum, Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja. Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1) kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan peserta didik. Kecakapan hidup memiliki arti yang lebih luas dari sekedar keterampilan vokasional atau keterampilan untuk bekerja. kecakapan hidup (life skills) pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk berjuang berani hidup (survival). Untuk itu pengembangan kecakapan hidup (life skills) pada seseorang perlu proses pendidikan dan latihan yang pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh kemampuan dasar. Karena tanpa bekal kemampuan dasar, seseorang akan sulit untuk mengembangkan kecakapan hidupnya (Satori, D. 2002). Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skills) pada dasarnya merupakan upaya untuk memperkecil perbedaan (gap) antara dunia pendidikan dengan Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 4 kehidupan nyata sehingga pendidikan akan lebih realistis dan lebih konstektual dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari. Menurut Slamet (2005) peranan dan fungsi serta tugas dari Pendidikan Formal (PF) dan Pendidikan Non Formal (PNF) adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu : (1) mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, (2) mengembangkan kehidupan untuk bermasyarakat, (3) mengembangkan kehidupan untuk bernegara dan berbangsa, (4) mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Paradigma yang berbeda dalam aspek filosofis dan teoritis terhadap pendidikan kecakapan hidup menyebabkan adanya perbedaan pada tataran implementasi dilapangan khususnya pada pendidikan formal. Dari hasil penelitian Saribanon (2007) bahwa sekolah formal yang diteliti mengapresiasi pendidikan kecakapan hidup dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler, intrakulikuler maupun pendidikan ketrampilan kerja (job vocasional). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa pendidikan kecakapan hidup yang dikemas dalam bentuk pendidikan kerja (vocasional) mengalami banyak hambatan diantaranya : membutuhkan biaya yang besar, membutuhkan ketrampilan pemasaran, dan adanya keterbatasan minat dan bakat siswa, sehingga pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup dalam bentuk pendidikan ketrampilan kerja (vocasional skill) sifatnya menjadi temporer disesuaikan dengan kondisi yang ada. Sementara pendidikan kecakapan hidup yang dikemas kedalam bentuk ektrakulikuler maupun intrakulikuler lebih mudah dilaksanakan dan berbiaya rendah sehingga dapat dilaksanakan secara terus menerus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurchyati (2006) dan Amalia (2007). Pendidikan kecakapan hidup juga telah lebih dulu dikembangkan di pondok pesantren. Keberadaan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat pedesaaan menyebabkan banyak lulusan pondok pesantren tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena berbagai faktor. Kenyataan inilah yang mendorong pondok pesantren sejak awal telah mengembangkan pola pendidikan yang berbasis kecakapan hidup (life skills). Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 5 Menumbuhkan kemandirian santri ternyata tidaklah mudah, beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian para santri, yakni faktor dari dalam (internal factors) dan faktor dari luar (external factors). Faktor dari dalam berhubungan dengan mental dan kejiwaan seseorang, yang sangat menentukan dari faktor ini adalah kekuatan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Faktor luar yang mempengaruhi kemandirian adalah; lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan lain- lain. Hadari Nawawi menyebut beberapa ciri kemandirian, yakni: (1) Mengetahui secara tepat cita-cita yang hendak dicapai. (2) Percaya diri dan dapat dipercaya serta percaya pada orang lain. (3) Mengetahui bahwa sukses adalah kesempatan bukan hadiah. (4) Membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang berguna. (5) Mensyukuri nikmat Allah SWT. Adapun pesantren yang ideal adalah pesantren yang mampu mengangkat dan menyetarakan antara kepandaian, keilmuan dan kecerdasan dengan bungkusan keimanan. As-Shiddiqie, J.( 2006) berpendapat bahwa eksistensi bangsa kita di tengah-tengah percaturan global abad mendatang akan dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia Indonesia terutama yang bercirikan kemampuan penguasaan teknologi dan kemantapan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, maka peranan pondok pesantren menjadi sangat strategis dalam konteks pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Rumusan Masalah Secara umum hasil penelitian pendahuluan dilapangan diperoleh kenyataan bahwa pola pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren sangat beragam dan memiliki keunikan tersendiri, selain mengajarkan ilmu keagamaan juga beberapa pondok pesantren mengajarkan ilmu-ilmu umum termasuk berbagai jenis pendidikan keterampilan (vocasional skills) sebagai dasar dalam menunjang kecakapan hidup (life skills). Keleluasaan waktu dan tempat menjadi salah satu faktor yang memungkinkan dapat diselenggarakannya beragam metode dan sistem pendidikan di pondok pesantren. Selain itu, pengaruh kharisma Kyai juga sangat menentukan terhadap Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 6 arah kebijakan pendidikan di pondok pesantren. Kyai merupakan soko guru sekaligus panutan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan yang hampir mutlak. Para guru (ustadz) dan siswa (santri) biasanya melaksanakan sebagian besar tugas berdasarkan petunjuk dan arahan dari Kyai, apa yang diperintahkan Kyai mutlak harus diikuti dengan ikhlas dan tawadlu. Dengan segala keterbatasan yang ada di pondok pesantren baik dari sarana prasarana, biaya, maupun kemampuan manajerialnya ternyata pondok pesantren mampu tumbuh dan menjelma menjadi lembaga yang mandiri yang mengakar dimasyarakat dan kemandirian pondok pesantren membawa pengaruh yang positif terhadap sikap kemandirian para santrinya, hal ini terbukti dengan banyaknya lulusan pondok pesantren yang meraih banyak kesuksesan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penelitian tentang pola pendidikan di pondok pesantren dalam meningkatkan kemandirian santri melalui pendidikan kecakapan hidup menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. KAJIAN TEORI Definisi kecakapan hidup (life skills) menurut World Health Organization (WHO) adalah kemampuan untuk berperilaku yang adaptif dan positif yang membuat seseorang dapat menyelesaikan kebutuhan dan tantangan sehari-hari dengan efektif, „Life skills are abilities for adaptive and positive behaviour that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life‟. Kecakapan Hidup (life skills) dapat pula diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2003). Secara garis besar kecakapan hidup (life skills) terdiri atas : kecakapan hidup yang bersifat generik (Generic skill), yaitu kecakapan yang diperlukan oleh siapa saja, apapun profesinya dan berapapun usianya dan kecakapan hidup yang spesifik (Specific skill), yaitu kecakapan hidup yang hanya diperlukan oleh orang yang menekuni profesi tertentu (Samani, 2006:93). Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 7 Di dalam Penjelasan UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal (26) Ayat 3, disebutkan bahwa „Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberikan kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri‟. Dengan demikian maka yang dimaksudkan pendidikan kecakapan hidup di pondok pesantren dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran di pondok pesantren agar para santri secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Kemandirian yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu kepada teori kemandirian yang dikembangkan oleh Steinberg (1995). Kemandirian yang berasal dari kata “autonomy” yang diartikan sebagai suatu kondisi di mana seorang tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap kepercayaan diri. Steinberg mengkonsepsikan kemandirian sebagai self governing person, yakni kemampuan menguasai diri sendiri. Secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga dimensi pokok yaitu: (a) Kemandirian emosi (emotional autonomy) yaitu aspek yang berhubungan dengan perubahan kedekatan / keterikatan hubungan emosional individu, terutama sekali dengan orang tua, (b) Kemandirian bertindak (behavioral autonomy) yaitu aspek kemampuan untuk membuat keputusan secara bebas dan menindaklanjutinya dan (c) Kemandirian nilai (value autonomy) yaitu aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, yang wajib dan yang hak, apa yang penting dan apa yang tidak penting (Steinberg, 1995:289). Pondok pesantren adalah sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan sebagaimana dinyatakan di dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 30 Ayat (4) yaitu „Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis‟. Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di atur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 8 dan Pendidikan Keagamaan khususnya yang berkaitan dengan Pondok Pesantren termuat dalam Pasal 1 Ayat (4) sebagai berikut : „Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya‟ Secara umum pesantren dapat dikatagorikan antara lain : Pesantren Salafiyah adalah pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Bahan ajar meliputi ilmu-ilmu Agama Islam, dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pesantren Salafiyah sering disebut sebagai Pesantren Tradisional dan santrinya dinamakan santri salafiyah. Pesantren Kholafiyah adalah pondok pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah, dengan kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pemerintah baik dari Departemen Agama, maupun Departemen Pendidikan Nasional. Pesantren Kholafiyah disebut juga Pesantren Modern dan santrinya dinamakan santri kholafiyah. Santri adalah warga belajar atau peserta didik yang belajar, tinggal dan menetap di pondok pesantren terdiri atas santri salafiyah dan santri kholafiyah. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat (3) disebutkan, bahwa „Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional‟. Di dalam sistem pendidikan nasional terbagi menjadi sub sistem pendidikan nasional yang terdiri atas pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Dengan mengacu kepada Undang-Undang Sisdiknas tersebut di atas, maka dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan Sistem Pendidikan Kecakapan Hidup adalah struktur keterkaitan yang erat dan terpadu antara semua komponen pendidikan kecakapan hidup dan hubungan saling pengaruh yang ada diantara komponen tersebut untuk mencapai tujuan pendidikan kecakapan hidup yakni bekerja atau usaha mandiri. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 9 Adapun komponen pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Sudjana (2010 :1) yaitu : (a) masukan mentah (raw input), (b) masukan lingkungan (instrumental input), (c) proses, (d) keluaran (output), (e) masukan sarana (instrumental input), (f) masukan lain (other input), dan (g) pangaruh / dampak (outcome). Pembelajaran menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat (20) menyebutkan bahwa „Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar‟. Sehingga dengan mengacu kepada pengertian tersebut, maka proses pembelajaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan suatu proses pembelajaran kecakapan hidup yang didalamnya terjadi interaksi edukatif antara santri yang melakukan kegiatan belajar dengan para ustadz serta Kyai sebagai pendidik dan sumber belajar sebagai pendukung kegiatan pembelajaran dilingkungan pondok pesantren. Sumber pendukung kegiatan pembelajaran mencakup fasilitas dan alat-alat bantu pembelajaran (Sudjana, 2000:6). Menurut Sudjana (2010:87) terdapat enam unsur dalam proses pembelajaran (1) Tujuan belajar, (2) peserta didik yang termotivasi, (3) tingkat kesulitan belajar, (4) stimulus dari lingkungan, (5) peserta didik yang memahami situasi, (6) pola respon peserta didik. Dalam penelitian ini hasil pembelajaran bermakna sebagai suatu kemampuan yang dicapai oleh santri (warga belajar) setelah melalui kegiatan belajar atau sesudah mengalami belajar sebagai proses pembelajaran program kecakapan hidup. Berkenaan dengan pengertian belajar sebagai hasil, Benjamin Bloom et.al (dalam Sudjana, 2010: 82) menyusun klasifikasi tujuan pendidikan (Taxonomy of Educational Objective) yang terdiri atas tiga ranah yaitu (1) ranah kognitif, yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.; (2) ranah afektif, yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi- reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian/penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup; dan (3) ranah psikomotor, yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 10 terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas. Orang dapat mengamati tingkah laku seorang yang telah belajar dibandingkan dengan sebelum belajar. Pada penelitian ini yang dimaksud “pengaruh / dampak pembelajaran” adalah mengacu kepada pendapat Sudjana (2010: 3) yaitu pengaruh adalah manfaat yang diperoleh peserta didik atau lulusan, upaya pembelajaran orang lain, dan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Pengaruh (outcome) pembelajaran merupakan tujuan utama dan keluaran (output) menjadi tujuan antara. Dalam penelitian ini dampak pembelajaran adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik positif maupun negatif bagi santri setelah melalui kegiatan belajar atau sesudah mengalami belajar sebagai proses pembelajaran kecakapan hidup yaitu dampak sosial ekonomi, yang tercermin pada peningkatan kemandirian santri. Penilaian atau evaluasi pembelajaran merupakan kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan menyajikan data atau informasi pembelajaran yang diperlukan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan (Sudjana, 2010: 245). Pelaksanaan evaluasi pembelajaran kecakapan hidup dalam penelitian ini diarahkan untuk menilai bagaimana proses pembelajaran kecakapan hidup dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan. Penentuan komponen evaluasi pembelajaran mencakup; bahan belajar, proses kegiatan pembelajaran, kegiatan evaluasi, fasilitas, alat-alat bantu dan biaya, serta pendampingan akan menentukan efektif atau tidaknya proses pembelajaran kecakapan hidup. Evaluasi dampak diarahkan kepada bagaimana hasil pembelajaran yang telah dilakukan oleh santri, dan bagaimana penguasaan santri terhadap bahan atau materi yang telah diberikan ketika proses belajar berlangsung. Tujuan penilaian menurut Sudjana, D.(2010:247) yaitu: (1) memberi masukan untuk perencanaan program, (2) memberi masukan untuk keputusan tentang kelanjutan, perluasan, dan penghentian (sertifikasi) program, (3) memberi masukan untuk keputusan tentang memodifikasi program, (4) memperoleh informasi tentang faktor pendukung dan penghambat, dan (5) memberi masukan untuk memahami landasan keilmuan bagi penilaian. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 11 Dari tujuan-tujuan yang dikemukakan tersebut, maka pelaksanaan evaluasi mempunyai manfaat yang sangat besar. Manfaat itu dapat ditinjau dari pelaksanaannya dan ketika akan memprogramkan serta melaksanakan proses belajar mengajar di masa mendatang. Adapun aspek-aspek penilaian terhadap sistem pendidikan menyangkut penilaian terhadap masukan lingkungan (environmental input), masukan sarana (instrumental input), masukan mentah (raw input), proses, keluaran/hasil (output), masukan lain (other input), dan pengaruh/dampak (outcome). METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan Metode analisis deskriptif dengan maksud untuk mendeskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan dalam bentuk narasi secara lebih mendalam dan rinci. Peneliti mengadopsi penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus dengan tujuan untuk mendapatkan penghimpunan data, memperoleh pemahaman secara mendalam akan fenomena. Menurut Sukmadinata (2005), Penelitian studi kasus (case study) difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam dengan mengabaikan fenomena-fenomena yang lain. Pendekatan dan metode ini digunakan karena sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan bagaimana implementasi pendidikan kecakapan hidup (life skills) di pondok pesantren dalam peningkatan kemandirian santri. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Pendidikan life skills yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Modern Al Ihsan dan Pondok Pesantren Al Ittifaq bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada para santri agar mempunyai kecakapan dalam mengatasi dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya secara mandiri. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 12 Dari temuan dilapangan diperoleh hasil bahwa kegiatan pendidikan life skills yang diselenggarakan pondok pesantren tersebut merupakan bentuk pendidikan yang berorientasi kepada kemandirian duniawi dan kemandirian ukhrawi. Sehingga untuk dapat mencapai tujuan tersebut, pondok pesantren memerlukan dukungan berbagai komponen pendidikan, antara lain : peserta didik (santri) sebagai masukan mentah, masukan sarana, masukan lingkungan, masukan lain, proses, hasil dan dampak pembelajaran. Komponen-komponen sistem tersebut mempunyai kaitan yang erat dan saling berpengaruh dalam menentukan keberhasilan pendidikan life skills di pondok pesantren. Dari hasil temuan dan analisis data penelitian, bahwa sarana dan prasarana pendukung bagi pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup sudah memenuhi persyaratan dalam pencapaian sasaran dan tujuan kemandirian santri. Masukan lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat Sudjana (2004: 34) adalah: „Unsur-unsur lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya program pendidikan nonformal. Unsur-unsur ini meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sosial seperti teman bergaul, kelompok sosial dan sebagainya, serta lingkungan alam mencakup biotik dan abiotik dan sumber daya buatan. Kemudian lingkungan daerah, lingkungan nasional dan lingkungan internasional. Misalnya kebijakan, lapangan kerja/usaha, hubungan antar negara‟. Apabila mengacu kepada pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa keluarga santri, kondisi lingkungan di dalam pondok pesantren, kondisi sosial dan alam di sekitar pondok pesantren cukup mendukung untuk terciptanya suasana belajar bagi pengembangan kemandirian santri. Pembelajaran di pondok pesantren tidak sepenuhnya menggunakan pendekatan partisipatif terutama dalam perencanaan pembelajaran, karena tidak semua proses pembelajaran tersebut harus melibatkan santri. Akan tetapi, bagi santri yang telah dewasa (santri salafiyah) karena mereka mempunyai pengalaman, mempunyai konsep diri, kesiapan untuk belajar, orientasi terhadap belajar sehingga dilibatkan dalam perencanaan pembelajaran. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 13 Tabel 1. Karakteristik Santri Karakteristik Santri Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Pondok Pesantren Al Ittifaq Faktor Internal Asal santri Dari berbagai latar belakang lingkungan keluarga Dari berbagai latar belakang lingkungan keluarga Asal Daerah Dari berbagai wilayah di Jawa Barat, khususnya Bandung dan sekitarnya Dari berbagai wilayah di Indonesia, terutama wilayah yang berbasis pertanian Jenis kelamin Lebih banyak santri laki-laki dibanding santri wanita. Lebih banyak santri laki-laki dibanding santri wanita. Usia Siswa tamatan SD/MI dan atau tamatan SLTP/MTs (Usia berkisar antara 13-18 tahun).  Jenjang sekolah formal (Kholafiyyah) ; Siswa tamatan SD/MI dan atau tamatan SLTP/MTs (Usia berkisar antara 13-18 tahun)  Jenjang Salafiyyah tidak ada batasan usia. Motivasi ke pesantren  Berilmu dan menjadi anak yang sholeh  Tertarik dengan kecakapan berbahasa asing ala Pontren Gontor  Berilmu dan menjadi muslim yang sholeh  Belajar sambil bekerja  Tertarik dengan pendidikan agribisnis Status sosial ekonomi Menengah ke atas Menengah ke bawah (fakir miskin, yatim/ piatu) Faktor Eksternal Kebiasaan belajar  Belum memiliki kemandirian dalam belajar  Santri kholafiyah belum memiliki kemandirian  Santri salafiyyah : sudah terbiasa untuk bekerja Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 14 Dukungan keluarga Sebagian besar santri mendapat dukungan keluarga Sebagian besar santri mendapat dukungan keluarga Sistem Pondokan Santri wajib tinggal di asrma termasuk putra/cucu Kyai Santri tidak diharuskan tinggal di asrama Sumber : diolah dari hasil analisis data penelitian Pendidikan life skills yang diselenggarakan oleh pondok pesantren walaupun secara eksplisit tidak melibatkan santri, namun secara implisit pihak pondok pesantren telah mempertimbangkan akan kebutuhan belajar santri, sehingga pada pelaksanaannya santri tidak menolak ketika kegiatan belajar ala pesantren tersebut diberikan. Tabel 2. Instrumental Input Pembelajaran Life Skills Instrumental Input Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Pondok Pesantren Al Ittifaq Kurikulum MTs / MA dengan KMI (Kulliyatul Mu‟alimin al-Islamiyyah) 6 tahun ala Pondok Pesantren Gontor Kholafiyyah (MTs/MA) dan kurikulum Salafiyyah dengan muatan Agribisnis Komptensi Pendidik Kualifikasi akademik S1, S2, dan S3 (1 orang) sebagian para alumnus Pondok Pesantren Gontor Kualifikasi akademik S1, S2, serta alumnus santri Al Ittifaq dibantu tenaga dari dinas instansi terkait. Saran a Fisik Mesjid Mesjid bangunan permanen kapasitas ± 500 jamaah Mesjid permanen kapasitas ± 500 jamaah Pondokan Asrama bagi putra / putri dengan daya tampung ± 350 santri Kobong putra / putri kapasitas ± 200-300 santri Bangunan lain Gedung olah raga, lapangan olah raga, gedung kegiatan belajar mengajar (KBM) MTs/MA, Aula Gedung kegiatan belajar mengajar (KBM) MTs/MA, lapangan olah raga, Aula Laboratori Lab. IPA/Komputer Lab. Lapangan agribisnis Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 15 um (TI), Lab. Bahasa seluas ± 14 ha Sarana lain peralatan untuk tata boga, tata busana, olah raga, kesenian, dan teknik tersedia cukup lengkap peralatan dan perlengkapan produksi pertanian tersedia cukup lengkap Biaya Donatur, sumbangan orangtua , bantuan pemerintah, dan unit- unit usaha Pondok Pesantren. Hasil dari kegiatan melalui unit - unit usaha agribisnis Sumber : diolah dari hasil analisis data penelitian Proses pembelajaran (learning process), menurut Abdulhak (2000: 25) adalah “interaksi edukatif antara peserta dengan komponen-komponen pembelajaran lainnya” Fokus program pembelajaran pada hakekatnya ingin menjawab empat pertanyaan dasar, yaitu: 1) tujuan apa yang akan dicapai, 2) materi apa yang akan disampaikan, 3) strategi apa yang akan digunakan, 4) bagaimana penilaian yang akan dilakukan (Abdulhak, 2000:36). Proses pembelajaran yang berlangsung dalam kegiatan pendidikan kecakapan hidup di pondok pesantren berlangsung melalui proses interaksi edukasi kesemua arah antara santri dengan santri, santri dengan ustadz, santri dengan dirinya sendiri, dan santri dengan lingkungannya. Penyampaian materi dilakukan dengan sistem belajar sambil bekerja (learning by doing) dengan perbandingan sekitar 30% teori dan 70% praktek. Materi pembelajaran atau bahan pembelajaran disusun dalam bentuk diktat, dimulai dengan materi yang sederhana sampai yang kompleks. Dari deskripsi di atas, penulis menyimpulkan penentuan materi pembelajaran pada pendidikan life skills di pondok pesantren telah disusun secara berurutan dari yang mudah sampai yang sulit, sehingga memungkinkan santri dapat melakukan kegiatan belajar melalui langkah- langkah yang berurutan pula, sebagaimana yang disampaikan oleh Sudjana (2000: 202) bahwa “bahan belajar yang baik memiliki prinsip-prinsip berkesinambungan (continuity), urutan (sequence) dan keterpaduan (integration)”. Tabel 3. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup di Pondok Pesantren Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 16 Temuan Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Pondok Pesantren Al Ittifaq Spesific Skill Jenis Kegiatan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris Agrobisnis Jenjang Pelaksanaan Semua Kelas I - VI Semua Santri Salafiyyah Sifat Kegiatan Pilihan Wajib Pilihan Wajib Waktu Pelaksanaan Setiap hari Setiap hari Profesi lulusan Pondok Pesantren Guru Agama Islam Wirausaha Muslim dalam bidang agrobisnis Generic Skill Substansi dengan mata pelajaran Terintegrasi Terintegrasi Jenjang Pelaksanaan Semua Kelas I-VI Santri kholafiyyah dan Salafiyyah Sifat kegiatan Pilihan Pilihan Waktu Pelaksanaan Intra dan ekstra kulikuler Ekstra kulikuler Jenis kegiatan Tata Boga, busana, jahit, kepemudaan, pidato, IT, forum diskusi, elektronik, Koperasi Pondok Pesantren, unit produksi, gudang, BMT, Pemasaran, packing. Sumber : diolah dari hasil analisis data penelitian Strategi pembelajaran yang digunakan sangat beragam disesuaikan dengan tingkatan kebutuhan dan latar belakang santri itu sendiri. Metode yang digunakan dalam pembelajaran adalah kelompok. Teknik pembelajaran yang digunakan adalah ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, praktek lapangan. Pendekatan pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan usia santri. Media pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan bentuk atau jenis keterampilan yang sedang dipelajari dan cenderung lebih banyak memanfaatkan benda yang ada di sekitar lokasi pembelajaran. Artinya strategi pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan santri sehingga terwujud kegiatan belajar yang efektif dan efisien (Sudjana,2000:6). Dengan demikian strategi pembelajaran yang dilakukan pada pendidikan life skills sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan bersentral pada peserta didik/santri. Menggunakan metode pembelajaran kelompok memungkinkan Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 17 dapat terwujud intensitas saling belajar yang tinggi diantara peserta didik. Teknik pembelajaran yang dapat dipilih adalah teknik-teknik yang cocok atau sesuai dengan metode pembelajaran yang ditetapkan. Penggunaan metode dan teknik di atas sudah sesuai dengan pembelajaran partisipatif. Pada proses pembelajaran partisipatif baik tutor maupun santri merasa tidak ditekan, sehingga suasana belajar terasa nyaman. Secara umum penilaian pada pendidikan life skills di pondok pesantren belum dilakukan tes secara khusus, baik itu pre-test maupun post-test, tes formatif dan tes sumatif sehingga tidak diperoleh data secara tertulis yang dapat mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut berhasil atau tidak, baik itu menyangkut proses, hasil dan dampak. Tutor program hanya melihat melalui pengamatan cara bekerja dan hasil pekerjaan santri, dengan begitu maka tutor dan pondok pesantren dapat menilai apakah santri telah menguasai materi yang diberikan. Melihat kenyataan ini, maka penulis ingin menyampaikan bahwa penilaian yang dilakukan tersebut di atas kurang komprehensif, artinya tutor hanya menekankan pada aspek psikomotornya saja, belum dilakukan penilaian terhadap pengetahuan dan sikap santri. Penilaian proses pembelajaran yang dilakukan oleh pihak pondok pesantren yang berkaitan dengan kegiatan pemantauan dan pembinaan perlu dilengkapi dengan alat ukur penilaian, sehingga akan menjadi sistem kontrol terhadap proses pembelajaran. Keberhasilan santri dapat ditunjukkan oleh penilaian yang dilakukan. Penilaian perlu dilakukan dari beberapa segi yaitu menyangkut penilaian terhadap santri dan terhadap proses pembelajaran. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran life skills yang diselenggarakan oleh pondok pesantren sudah berlangsung dengan cukup baik. Kondisi ini didukung oleh keterampilan yang diberikan diminati oleh santri, ini terlihat dari keaktifan santri selama kegiatan berlangsung. Komposisi materi sudah sesuai yaitu lebih banyak praktek daripada teori yang diberikan kepada santri. Penggunaan metode, teknik dan pendekatan sudah tepat sesuai materi pembelajaran dan kondisi santri, tetapi belum sepenuhnya menggunakan pendekatan partisipatif karena santri belum sepenuhnya dilibatkan dalam menentukan tujuan pembelajaran, penyusunan materi pembelajaran. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 18 Namun demikian, penilaian proses, hasil dan dampak pembelajaran belum dilaksanakan secara maksimal. Padahal penilaian tersebut bertujuan untuk: 1) mengetahui efektivitas materi, proses, metode, teknik dan alat bantu pembelajaran menurut persepsi santri dan tutor; 2) mengetahui sejauhmana perubahan perilaku peserta didik dalam ranah kognisi, afeksi dan psikomotor; 3) mengetahui dampak pembelajaran bagi diri santri, tugas pekerjaan dan atau partisipasinya dalam masyarakat Selama mengikuti kegiatan pembelajaran life skill di pondok pesantren, diperoleh temuan lapangan bahwa santri telah bertambah pengetahuannya yaitu mereka mampu mengingat materi yang sudah disampaikan oleh pembimbing / ustadz / mandor (santri senior), meliputi materi teori dan juga praktek. Para santri memahami bagaimana cara beradaptasi di lingkungan pondok pesantren dan dilingkungan masyarakat sekitar pondok pesantren dengan baik, mereka sudah dapat menerapkan pengetahuan dan pemahaman teori ke dalam praktek yaitu berbahasa Arab dan Inggris maupun keterampilan agrobisnis. Para santri juga dapat menilai baik buruk hasil praktek yang telah mereka kerjakan. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran life skill di pondok pesantren, santri dapat menerima dan merespons hasil pembelajaran tersebut dengan cara saling bekerjasama di dalam kelompoknya. Mereka dapat menilai bahwa program di pondok pesantren ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran life skill dan bahkan berkeinginan untuk dapat mengembangkan diri di lingkungan masyarakat. Dari deskripsi penelitian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pada umumnya santri telah memiliki sikap dalam bertindak dan telah mengembangkan nilai-nilai yang ada dari pembelajaran life skill di pondok pesantren sehingga dapat diambil manfaatnya. Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran di pondok pesantren, santri mempunyai keterampilan (skills) dalam semua aspek kehidupan, ini dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam mempraktekkan hasil pembelajarannya walaupun masih di lingkungan pondok pesantren. Para santri memiliki tambahan pengetahuan, wawasan, kemampuan berpikir dan menentukan sikap. Para santri tersebut mampu bekerjasama dengan santri maupun orang-orang di lingkungan pondok pesantren. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 19 Para santri juga mempunyai kemampuan manajerial misalnya mampu menggunakan waktu sehari-hari untuk menyelesaikan tugas pekerjaan untuk pribadinya dan atau tugas-tugas dari pondok pesantren. Dengan demikian pada umumnya santri telah mampu dan berusaha memanfaatkan perolehan ilmunya untuk dijadikan peluang dalam meningkatkan kemandiriannya. Perubahan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotor pada diri santri sebagai subyek penelitian seperti yang dibahas di atas, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kebutuhan, keinginan serta harapan yang datang dari dalam diri santri. Sedangkan faktor eksternal meliputi hubungan interpersonal, pengalaman belajar dan keadaan lingkungan. Selain faktor di atas, peran kyai bersama para ustadz merupakan faktor yang sangat berarti bagi santri dalam perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka di mana kyai dan ustadz tersebut mampu mengelola strategi pembelajaran dengan tepat. Capaian Kemandirian Santri Dari hasil analisis data penelitian, penulis berpendapat bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren secara umum telah berhasil mencapai tujuannya, yakni peningkatan kemandirian santri. Kemandirian emosional santri merupakan dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional santri dengan orang lain, terutama dengan orang tuanya. Dari temuan di lapangan di peroleh gambaran bahwa pada saat anak mulai memasuki lingkungan pondok pesantren maka kemandirian emosional anak berubah dengan sangat cepat. Dilingkungan pondok pesantren seorang santri harus belajar mengurus dirinya sendiri, begitupula waktu yang diluangkan orang tua terhadap anaknya semakin berkurang dengan sangat tajam. Perkembangan dalam interaksi sosial santri berubah dari lingkungan keluarga menuju lingkungan di luar keluarga, artinya bila selama ini santri ketika masih belum menjadi santri berkutat dalam keluarga atau keluarga menjadi lingkungan inti dalam kehidupan sehari-hari, maka ketika memasuki lingkungan pondok pesantren hal ini mulai berkurang seiring dengan perluasan lingkungan santri Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 20 yang dialaminya. Santri akan berusaha melepaskan ikatan dengan orang tuanya dan berusaha menjadi dirinya sendiri, serta berusaha mencari model idealis yang sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian pendidikan di pondok pesantren secara tidak langsung mampu mengurangi ketergantungan emosional anak terhadap orang tuanya, menyusul semakin meningkatnya kemandirian emosional yang dicapai oleh santri, meskipun ikatan emosional santri terhadap orang tua tidak pernah dapat diputuskan sepenuhnya. Peningkatan kemandirian perilaku santri di lingkungan pondok pesantren bahkan lebih dramatis daripada peningkatan kemandirian emosional. Secara psikologis santri mendapatkan kemandirian perilaku ini secara perlahan-lahan dimulai dari pendistribusian wewenang yang diberikan oleh orang tuanya tatkala santri mulai memasuki lingkungan pesantren. Pemberian kepercayaan dari para ustadz secara sedikit demi sedikit terhadap santri akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian perilaku santri. Di lingkungan pondok pesantren santri diberi tangungjawab, diberi kebebasan untuk beradu pendapat, sehingga santri dapat menggunakan kemampuannya sendiri dalam menyelesaikan masalah, namun santri tetap dibimbing agar tidak memasuki wilayah kebebasan yang liberal atau kebebasan yang menyesatkan. Dari temuan di lapangan diperoleh gambaran perkembangan kemandirian perilaku yang dicapai santri meliputi antara lain : Pertama, para santri memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai oleh: (1) menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya, (2) memilih alternative pemecahan masalah, (3) bertanggung jawab dari konsekuensi yang diambilnya. Kedua, para santri memiliki kekuatan terhadap pengaruh dari pihak lain yang ditandai oleh (1) tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas, (2) tidak mudah terpengaruh tekanan sebaya dan orang tua dalam mengambil keputusan, dan (3) memasuki kelompok sosial tanpa tekanan. Ketiga, para santri memiliki rasa percaya diri yang ditandai oleh (1) merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di asrama dan di sekolah, (2) merasa mampu memenuhi tanggung jawab di asrama dan disekolah, (3) merasa mampu mengatasi sendiri masalah, dan (4) berani mengemukakan ide atau gagasan. Aspek Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 21 kemandirian yang ketiga ini dapat diungkapkan dari data dan informasi hasil wawancara dengan. Kemandirian yang ketiga adalah kemandirian nilai (value autonomy). Kemandirian nilai merupakan kemampuan santri dalam mengambil keputusan- keputusan dan menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya, daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. Dari temuan di lapangan di peroleh gambaran bahwa diantara ketiga komponen kemandirian, kemandirian nilai merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, dan umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kedua tipe kemandirian lainnya. Kemandirian nilai menjadi lebih berkembang setelah sebagian besar keputusan menyangkut cita-cita pendidikan, rencana pekerjaan, dan perkawinan dialami dan dicapai. Setelah mengalami proses pendidikan di pesantren, pada umumnya sistem nilai santri dan orang tua sedemikian sama sehingga nilai-nilai orang tua akan dilestarikan pada masa dewasa. Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi santri tentang moral, politik, ideologi dan persoalan-persoalan akidah. Perkembangan kemandirian nilai yang dicapai santri ditandai oleh: (a) cara berpikir santri terhadap segala sesuatu menjadi semakin abstrak, (b) keyakinan-keyakinan santri menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa basis ideologis, (c) keyakinan-keyakinan santri menjadi semakin bertambah tinggi terhadap nilai-nilai mereka sendiri yang disebabkan bukan hanya karena sistem nilai yang ditanamkan oleh para ustadz dan kyainya. Kemandirian nilai (values autonomy) yang dicapai santri dapat terlihat dari kemampuannya dalam menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan pihak lain tentang keyakinan baik akidah maupun syariah. Terdapat tiga perubahan kemandirian nilai yang terjadi pada santri. Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak, perilaku yang dapat dilihat yaitu santri mampu menimbang berbagai kemungkinan, misalnya santri mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral. Kedua, Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 22 keyakinan akan nilai-nilai semakin prinsip (principle belief), perilaku yang dapat dilihat ialah (a) berpikir dan (b) bertindak sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Ketiga, keyakinan akan nilai-nilai yang terbentuk dalam diri santri yang dapat dilihat yaitu (a) santri mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain, (b) berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan (c) bertingkah laku sesuai dengan nilainnya sendiri. Perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif santri. Semakin berkembangnya kognitif santri maka kemandirian nilai juga semakin berkembang dan semakin kritis dalam memandang sesuatu. Oleh karena itu, maka perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi santri tentang moral, etika, politik, ideologi, dan persoalan- persoalan akidah dan syariah Islam. Kemandirian yang dicapai santri selama di pondok pesantren berlangsung tidak sekaligus, akan tetapi secara bertahap dimulai dari kemandirian dasar (basic autonomy), meningkat ke tahap kemandirian menengah (middle autonomy) dan selanjutnya santri mencapai kemandirian tinggi (high autonomy) yang ditandai dengan pemberian tanggungjawab dan kewenangan oleh kyai sebagai santri senior (mandor). Secara umum tahapan pencapaian kemandirian santri serta indikator kemandirian yang dicapai santri dapat dilihat pada tabel Tahapan Pencapaian Kemandirian Santri berikut ini. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 23 Tabel 4. Tahapan Pencapaian Kemandirian Santri Tahapan Pencapaian Indikator Kemandirian Kemandirian Tinggi (high autonomy) Santri berada pada tahap pemantapan :  Memperoleh tanggungjawab dan kewenangan dari Kyai / Ustadz untuk mengawasi dan membimbing adik-adik kelasnya.  Diberi tanggungjawab sebagai santri senior /mandor  Memiliki kemapanan terhadap keyakinan dan prinsip hidup Kemandirian Menengah (Middle autonomy) Santri berada pada tahap perkembangan :  Memiliki disiplin dan tanggungjawab dalam berbagai hal.  Punya semangat berprestasi  Berani berargumentasi  Berani tampil berpidato  Berani mempraktekan keterampilan yang dipelajarinya (Bahasa maupun Agribisnis) Kemandirian Dasar (Basic autonomy) Santri berada pada tahap penyesuaian :  Mulai dapat bertanggungjawab bagi dirinya sendiri.  Mulai dapat mengurus keperluan sendiri.  Mulai dapat berinteraksi dan menjalin hubungan dengan sesama santri lainnya. Sumber : diolah dari hasil analisis data Dari temuan di lapangan diperoleh gambaran bahwa secara umum pemahaman konsep kemandirian santri di pondok pesantren menekankan kemandirian yang tidak keluar dari nilai-nilai ketauhidan, yakni mengesakan Allah SWT. yang mengandung arti bahwa seseorang yang berkepribadian Islam harus bersikap menurut syariat Islam. Begitu juga dengan kemandirian harus di dasarkan pada sumber utama hukum agama Islam yaitu Al Quran dan al Hadist. Konsep kemandirian dalam Islam tidak terlepas dari nilai religius, seperti yang di kemukakan filosof Islam Ibnu Miskawih, ia mengemukakan bahwa ada empat keutamaan jiwa yang dapat mengarahkan kepada pemiliknya untuk mengatur tingkah laku dirinya sendiri secara bermoral dan benar, empat keutamaan jiwa itu Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 24 adalah kearifan (al-hikmah), keberanian (syaja‟ah), keadilan (al-adalah), kesederhanaan (al „iffah). Dengan demikian maka pendidikan kecakapan hidup yang diselenggarakan di pondok pesantren secara umum telah mampu meningkatkan kemandirian yang dicapai santri baik aspek kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian perilaku (behavioral autonomy), maupun kemandirian nilai (value autonomy). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan sejumlah temuan dilapangan, bahwa sistem pendidikan dan proses pembelajaran di pondok pesantren pada dasarnya telah menerapkan model pendidikan kecakapan hidup (life skills education model), hal ini dapat diamati dari substansi materi dan proses pembelajaran yang dilaksanakan secara terintegrasi terhadap berbagai aspek kecakapan hidup (life skills), yaitu generic skills yang mencakup : personal skills dan social skills, serta specific skills yang mencakup : vocational skills, dan academic skills yang dipelajari dan dipraktekan setiap hari oleh para santri. Pengembangan salah satu materi pelajaran unggulan yang dilakukan secara konsisten dan terus menerus menjadi suatu bentuk vocational skills ternyata menjadi ciri khas bagi pondok pesantren yang bersangkutan, seperti misalnya Bahasa Arab dan Bahasa Inggris menjadi ciri khas bagi santri Pondok Pesantren Modern Al Ihsan Baleendah sementara Agrobisnis menjadi ciri khas para santri di Pondok Pesantren Al Ittifaq Ciwidey. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan kecakapan hidup yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Modern Al Ihsan dan Pondok Pesantren Al Ittifaq telah mencapai tujuannya yakni peningkatan terhadap kemandirian santri. Peningkatan kemandirian santri ditandai dengan adanya kemandirian secara emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai bahkan terbentuknya kemandirian secara ekonomi seiring dengan meningkatnya ranah kognitif (cognitive domain), ranah psikomotorik (psychomotor domain), dan ranah afektif (afective domain ) santri. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 25 Proses pembelajaran kecakapan hidup (life skills) yang diajarkan di kedua pondok pesantren secara kuantitas telah berhasil diselenggarakan, namun menurut konsep pendidikan nonformal penerapannya belum komprehensif, sehingga perlu dibenahi baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Ini terlihat dari beberapa kegiatan pembelajaran life skills masih belum sepenuhnya melibatkan partisipasi santri yaitu: (a) kegiatan identifikasi kebutuhan belajar (need assessment), (b) penentuan tujuan pembelajaran, (c) penentuan materi pembelajaran, dan (d) kegiatan evaluasi. Padahal partisipasi santri dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi mempunyai pengaruh positif (feed back). Hasil Pembelajaran menunjukkan suatu kemajuan yang cukup baik, karena pada umumnya santri secara terus menerus menerima bimbingan baik selama proses pembelajaran formal maupun ekstra dan intra kulikuler. Efektifitas penerimaan materi pembelajaran baik secara teori dan praktek dapat diterima, dipahami dan dipraktekkan oleh santri. Dari hasil pembelajaran ini terlihat bahwa santri mempunyai motivasi, minat dan dapat mengaplikasikan pengetahuan serta keterampilan yang didapat secara mandiri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kemandirian yang dicapai oleh santri merupakan dampak dari pendidikan kecakapan hidup (life skills) di pondok pesantren yaitu adanya peningkatan perubahan sikap di mana mereka mempunyai kepercayaan diri, tanggungjawab, disiplin, berorientasi tugas dan hasil, berorientasi ke masa depan, berjiwa kepemimpinan, berani mengambil resiko, kreatif dan inovatif serta mencoba memanfaatkan hasil pembelajarannya baik untuk diri sendiri maupun bagi lingkungannya tanpa tergantung pada orang lain. Peningkatan kemandirian santri tercapai melalui tiga tahapan yaitu : (a) Kemandirian dasar (basic autonomy); (b) Kemandirian menengah (middle autonomy); (c) Kemandirian tinggi (high autonomy). Pencapaian kemandirian tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain usia, latar belakang keluarga, lingkungan, serta faktor internal santri („niat dan bakat‟). Akan tetapi proses Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 26 pembelajaran dan pembiasaan di lingkungan pesantren mampu mempercepat kemandirian yang dicapai santri. Saran  Pesantren dituntut untuk dapat melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan untuk mencari bentuk baru yang relevan dengan perkembangan jaman tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam.  Masuknya pengetahuan umum dan berbagai keterampilan ke dalam sistem pendidikan pesantren membawa problematika internal dan eksternal. Problema internal adalah kualitas lulusan dalam memahami disiplin bidang ilmu agama akan mengalami penurunan, sehingga perlu dicari solusi yang salah satunya dengan mendirikan kelas takhasus dengan konsentrasi bidang tertentu seperti hadist, fiqh, tafsir, dan lain-lain. Problema eksternal berupa perkembangan globalisasi saat ini yang mengubah pola pikir masyarakat dan santri menjadi pragmatis (orientasi kerja), oleh karena itu perlu dicari pola pendidikan pesantren yang ideal berbasis agama (tafaqquh fi al-din) agar tradisi keilmuan pesantren tetap terjaga.  Terdapat resiko memilih yang perlu diambil oleh pesantren yang sesuai dengan kemampuannya, jangan sampai pesantren sama saja dengan madrasah/sekolah agama yang penguasaan ilmu pengetahuan umum kurang, ilmu dan pengetahuan agama juga kurang. Bila sebuah pesantren diharapkan menjadi wahana kaderisasi ulama, maka pilihan yang harus diambil adalah memberikan porsi dominan subjek ilmu-ilmu agama.  Dampak pembelajaran terhadap kemandirian santri dapat diukur dengan mengadakan penelitian berupa angket, wawancara, atau observasi terhadap tingkat kepuasan orangtua dan masyarakat lingkungannya. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 27 DAFTAR PUSTAKA Abdulhak, I.(2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: CV. Andira. Abdulhak, I.(2000). Strategi Membangun Motivasi Dalam Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: CV. Andira. Amalia, R. (2007). “Upaya Meningkatkan Kemadirian Santri Di Pondok Pesantren Modern Putri Al-Kautsar Sumbersari Srono Banyuwangi” Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam. Malang : UIN Malang. Anwar. (2004). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Bandung : Alfabeta. Arief, Z. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa. Baskoro, D. (2002). Life Skills: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta : VISI No. 13. Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional. Bently, T.(2000). Learning Beyond The Classroom; Educational For Changing World. London : Routledge Falmer. Brolin, D.E.(1999). Life Centered Career Education; A Competency Based Approach (Third Edition). Reston VA Daulay, H.P. (2007). Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (edisi pertama). Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Depdiknas.(2001). Kebijakan Pemerintah di Bidang PLSP. Jakarta: Ditjen PLSP, Depdiknas. Depdiknas.(2003). Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) PLS. Jakarta: Ditjen PLSP, Depdiknas. Depdiknas.(2003). 15 Langkah Pelaksanaan Program Pendidkan Kecakapan Hidup. Jakarta: Ditjen PLSP, Depdiknas. Dhofier, Z.(1990). Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES. Dimyati dan Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 28 Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. (2002). Broad Based Education Life Skill dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Kecakapan Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama. Ditjen PLSP. (2003). Program Life Skils Melalui Pendekatan Broad Based Education (BBE) Jakarta: Direktorat Tenaga Teknis Depdiknas. Dirjen PNF dan Informal. (2008). Life Skills Pendidikan Kecakapan Hidup PLS. (online). Tersedia : http://luarsekolah.blogspot.com/2008/06/life-skills- pendidikan-kecakapan-hidup.html. (05 Maret 2011). Djamarah, S.B dan Zain, A. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Emilia, E.(2009). Menulis Tesis dan Disertasi. Bandung : Alfabeta. Farhan. (2009). Pembelajaran Konstektual dan Pendidikan Kecakapan Hidup. Inovasi Pendidikan (online). Tersedia : http://inovasipendidikan.net/dbe2- 5.html (05 Maret 2011). Fathurrohman, P. (2000). Keunggulan Pendidikan Pesantren : Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abad XXI . Bandung : Tunas Nusantara. Fathurrohman, P.(Eds). (2004). Kontroversi dalam Pendidikan. Bandung : Q-Center Bandung. Hamdiati, Y. (2002). Manajemen Pelatihan Keterampilan Usaha Budidaya Ikan dan Dampaknya Bagi Kemandirian Pemuda Penganggur. Bandung: PPS, UPI. Hermana,D.,dan Muhafidin, D. (2009). Life Skill Dan Pasar Kerja. (Online). Tersedia: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/12/life_ skills dan pasar kerja.pdf .(07 Maret 2011). Kartika, I. (2005). Pengangguran dan Kemiskinan. Bandung: Pikiran Rakyat. Kartika, I.(2009). Mengelola Pelatihan Partisipatif. Bandung: Nusantara Press. Knowles, M. (1977). The Modern Practice of Adult Education: Andragogy versus Pedagogy. New York: Association Press. Mappa, S. (1994). Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta: Ditjen Dikti Depdikbud. Marzuki, S.(2010). Pendidikan Non Formal : Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan, dan Andragogi. Bandung : Remaja Rosdakarya. http://luarsekolah.blogspot.com/2008/06/life-skills-pendidikan-kecakapan-hidup.html http://luarsekolah.blogspot.com/2008/06/life-skills-pendidikan-kecakapan-hidup.html http://inovasipendidikan.net/dbe2-5.html http://inovasipendidikan.net/dbe2-5.html http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/12/life_%20skills%20dan%20pasar%20kerja.pdf http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/12/life_%20skills%20dan%20pasar%20kerja.pdf Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 29 Moleong, J.L.(2004). Metodologi Penelitian Kualitati. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, A. (2004). Penerapan Pembelajaran Partisipatif dalam Pendidikan Kecakapan Hidup Usaha Budidaya Stroberi. Bandung: PPS, UPI. Mulyasana, D. (1992). “Pengelolaan Program PLS Sebagai Upaya Pengembangan Pola Hidup Mandiri Bagi Narapidana Pelaku Delik Pencurian di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung”.Disertasi. Bandung: PPS, IKIP. Nawawi. (2006). “Sejarah dan Perkembangan Pesantren”. Jurnal Studi Islam dan Budaya.P3M STAIN Purwokerto. 4(1), 4-19. Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nazir, M. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Peraturan Pemerintah RI Nomor : 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah RI Nomor : 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor : 49 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan NonFormal. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor : 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Poerwadarminta, W.J.S. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Purwanto, R. (2008). Pendidikan Kecakapan Hidup. (online). Tersedia : Error! Hyperlink reference not valid. (05 Maret 2011). Rudiyanto, R. (2003). “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Berpendekatan Kontekstual dan Kecakapan Hidup”. Journal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja (Edisi Khusus). Sagala, S. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Samani, M. (2007). Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya : SIC. Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 30 Saribanon, S.M.(2007). “Program Pendidikan Kecakapan Hidup Sebagai Upaya Perluasan Pilihan Bagi Peserta Didik”. Tesis Program Magister Studi Pembangunan. Bandung : ITB. Satori, D. (2002). “Implementasi Life Skills dalam Konteks Pendidikan di Sekolah”. Journal Pendidikan dan Kebudayaan. Satori, D., dan Komariah, A. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. Suderadjat, H. (2003). Konsep dan Implementasi Pendidikan Berbasis Luas (BBE) yang Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life Skills). Bandung: CV. Cipta Cekas Grafika. Sudjana, D. (1993). Metode dan Teknik Pembelajaran Paritipasif dalam PLS. Bandung: Nusantara Press. Sudjana, D.(2000). Strategi Pembelajaran PLS. Bandung: Falah Production. Sudjana, D.(2000). Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production. Sudjana, D.(2004). Pendidikan Nonformal, Wawasan Sejarah Perkembangan, Filsafat & Teori Pendukung serta Asas. Bandung: Falah Production. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta. Sukmadinata, N.S., Mulyasa, E., dan Purwadhi.(2007). Panduan Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Program Pasca Sarjana UNINUS. Sumahamijaya,S. Yasben, D. Agus, D D.(2003). Pendidikan Karakter Mandiri Dan Kewiraswastaan: Suatu Upaya Bagi Keberhasilan Program Pendidikan Berbasis Luas/Broad Based Education Dab Life Skills. Bandung: Angkasa. Sumantri, S. (2001). Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Fakultas Psikologi Unpad. Suprayogi, U. (2005). Pengembangan model program pendidikan luar sekolah dalam memberdayakan kelompok masyarakat lanjut usia mencapai kemandirian (Stud di karang lansia Wargi Saluyu Desa Ranjeng Kecamatan Cisitu Kabupaten Jurnal EMPOWERMENT Volume 3, Nomor 1 Februari 2015, ISSN No. 2252-4738 31 Sumedang). Disertasi Doktor Ilmu Pendidikan pada Prodi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Supriatna, M.(2005). Pengembangan Kecakapan Hidup Di Sekolah. (online). Tersedia : http://file.upi.edu/Direktori/ .(05 Maret 2011). Slamet PH. (2009). Pendidikan Kecakapan Hidup : Konsep Dasar. (online). Tersedia : http://www.infodiknas.com/pendidikan-kecakapan-hidup- konsep-dasar-2/ . (05 Maret 2011). Syaodih, N. (1993). Pengembangan Kemandirian: Suatu tinjauan kurikuler Psikologis. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada IKIP Bandung, tidak diterbitkan. Steinberg, Laurence. (1995). Adolescene Sanfrancisco : McGraw-Hill Inc. Steenbrink, K. A. (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES. WHO. (2000). Skills for Health : Skills-based health education including life skills: An important component of a Child-Friendly / Health-Promoting School. (online). Tersedia: http://www.who.int/school youth_health/ media/ en/sch skills4health 03.pdf. .(08 Maret 2011). Tim Broad Based Education Depdiknas. (2002). Kecakapan Hidup, Life Skill Melalui Pendekatan pendidikan berbasis Luas. Surabaya: SIC bekerjasama dengan LPM Universitas Negeri Surabaya. Trisnamansyah, S. (1992). Pendidikan Kemasyarakatan. Bandung: FIP IKIP. Trisnamansyah,S. (2003). Filsafat, Teori dan Konsep Dasar PLS. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. http://file.upi.edu/Direktori/ http://www.infodiknas.com/pendidikan-kecakapan-hidup-konsep-dasar-2/ http://www.infodiknas.com/pendidikan-kecakapan-hidup-konsep-dasar-2/ http://www.who.int/school%20youth_health/%20media/%20en/sch%20skills4health%2003.pdf http://www.who.int/school%20youth_health/%20media/%20en/sch%20skills4health%2003.pdf