191 KESADARAN ESTETIS MENURUT HANS-GEORG GADAMER (1990-2002) Sunarto Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran Gunugpati, Semarang E-mail: sunarto_unnes@yaho.com Abstrak Hans-Georg Gadamer (1900-2002) adalah seorang filsuf dalam bidang hermeneu- tika yang sangat terkenal. Menjelang pensiunnya tahun 1960, kariernya menan- jak dengan diterbitkan bukunya, Wahrheit und Method atau Truth and Method. Dalam bukunya Gadamer memberikan pemahaman pada tingkatan ontologis bu- kan metodologis. Di sini Gadamer ingin mencapai kebenaran tidak lewat metode melainkan dengan dialektika. Alasannya, dengan dialektika mengandaikan suatu kebebasan dalam mengajukan berbagai pertanyaan dibanding dalam proses me- todis. Berangkat dari hal tersebut Gadamer merambah ke persoalan estetik (seni). Gadamer mengatakan bahwa dalam estetis ditemukan kebenaran, tetapi bukan ke- benaran melalui metodis (penalaran) melainkan kebenaran yang menurut faktanya “berlainan dengan kebenaran metodis”. Gadamer juga mencetuskan tentang kon- sep “permainan”. Asthetic Awareness of Hans-Georg Gadamer (1990-2002) Abstract Hans-Georg Gadamer (1990-2002) is a famous philosopher in Hermeneutics. During his retirement in 1960, his career escalated by the publishing of his book, Wahrheit und Method or Truth and Method. In his book, Gadamer gives an ontological and not a methodological understanding. In this case, Gadamer wanted to achieve the truth, not through method but by dialectics. The reason is that the dialectics enables people to imagine freedom in propos- ing various questions rather than those in methodical process. Starting from these things, Gadamer explored more on aesthetic subjects (arts). Gadamer said that in aesthetics, he found truth, but not the truth through methodical process (reasoning) but the truth based on its facts, “different from its methodical truth.” Gadamer also proposed a concept of “games.” Kata kunci: gadamer, filsafat, hermeneutika, estetis, seni PENDAHULUAN Seorang filsuf Yunani Kuno Pra- Socrates, Heraclitus (540-480 SM), pernah mengatakan: panta rhei, ouden menei (se- muanya mengalir, tidak ada yang diam). Semua yang ada bergerak, dinamis, tan- pa henti. Begitu juga dengan bidang ilmu pengetahuan. Ia terus bergerak menuju kepada progresivitas. Ilmu pengetahuan mengalami kemujuan sesuai dengan ke- majuan rasio manusia. Kemajuan dalam bidang ilmu pe- ngetahuan (filsafat) pun berkembang hingga terjadi pemilahan. Pemilahan ilmu ini terjadi pada era sesudah Immanuel Kant, khususnya terjadi pada Neo-Kan- tianisme. Neo-Kantianisme terpecah men- jadi dua aliran, yaitu: Mazhab Marburg dan Mazhab baden. Mazhab Marburg berkembang di Universitas Marburg, Jer- man. Tokoh-tokoh mazhab ini, antara lain: Herman Cohen (1842-1918), Paul Natorp (1854-1942), dan Ernst Cassirer (1874-1945). HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011192 Mazhab Marburg bercirika pendekatan epistemologi pada filsafat sehubungan dengan analisis ilmu-ilmu secara luas. Mi- nat utama mazhab ini adalah epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan. Selanjut, Mazhab Baden atau sering pula disebut Mazhab Heidelberg atau Jer- man Barat Daya. Mazhab ini dipelopori oleh Wilhelm Windelband (1848-1915). Wilayah studi mazhab ini adalah “nilai” (value). Windelband menolak penitikbe- ratan Kant pada ilmu alam dan berupaya mendekonstruksi. Ia membagi dua jenis ilmu pengetahuan yang masing-masing mempunyai sifat-sifatnya sendiri, yaitu: ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan budaya atau historis. Pemikiran Wildelband dilanjutkan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey kemudian membagi ilmu pengetahuan berdasarkan metodenya masing-masing. Pertama, ilmu pengetahuan alam (natur- wissenchaften), yang metodenya berupaya menjelaskan fenomena yang sifatnya fisik berdasarkan hukum-hukum. Kedua, ilmu pengetahuan budaya (geisteswissenchaften), yang metodenya berupaya memahami objeknya dengan berupaya menemukan muatan batiniah adi balik fenomena per- septual semata. Dari pemikiran Dilthey inilah kemu- dian muncul hermeneutika. Bagus (2002: 283) mendefinisikan hermeneutika, seba- gai berikut: Inggris: hermeneutic; dari bahasa Yu- nani hermeneutikos (penafsiran). Herme- neutika berarti ilmu dan teori tentang pe- nafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik obyektif (arti gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya), maupun subyrktif (maksud pengarang). Dari hermeneutika Dilthey inilah kemudian berkembang sampai kepa- da Gadamer. Dalam bukunya, Truth and Method, Gadamer merumuskan bahwa pemahaman dalam hermeneutika bukan bersifat metodologi melainkan sebagai tingkatan ontologis. Sebab, menurut Ga- damer, kebenaran menerangi metode-me- tode individual, sedangkan metode justru atau mengahambat kebenaran (Gadamer, 1976:10). SEKILAS RIWAYAT HIDUP DAN GARIS BESAR PEMIKIRAN HANS- GEORG GADAMER Riwayat Hidup Hans-Georg Gadamer lahir pada tanggal 11 Februari 1900 dan dibesarkan di Breslau, Silesia, di pinggiran timur Ke- kaisaran Jerman yang subur. Ayahnya adalah seorang profesor kimia yang ter- kenal, dan sementara Hans-Georg juga berjalan untuk mengarah pada kehidupan belajar, dari usia awal, semangatnya ada- lah untuk ilmu pengetahuan ‘manusia’ daripada untuk pengetahuan ‘alam’. Pada tahun 1919 Gadamer pergi ke Universitas Marburg untuk belajar filsafat dan filologi. Setelah menyelesaikan doktoralnya ten- tang konsep kehendak Plato, pada tahun 1923 ia pergi belajar di bawah pengajaran Edmund Husserl dan Martin Heidegger di Universitas Freiburg. Gadamer terpe- sona oleh Heidegger dan terus bekerja bersamanya setelah pindahnya Heideg- ger ke Marburg setelah tahun itu. Keti- ka Heidegger kembali ke Freiburg tahun 1927, Gadamer baru saja menyelesaikan bukunya, Habilitationshrift, sebuah bacaan fenomenologis Plato yang pada akhirnya diterbitkan sebagai Etika Dialektika Plato (1931). Gadamer ditangkap penjaga saat kebangkitan Hitler dalam kekuasaan, te- tapi tidak seperti teman-teman dan kolega Jahudinya, seperti Karl Lowith, ia mampu beradaptasi dengan rejim baru dan bah- kan karyanya berkembang subur di ba- wah rejim secara profesional. Pada bulan Januari 1939 Gadamer ditunjuk menjadi Profesor Filsafat di Universitas Leipzig, dimana ia bekerja di sana sampai pen- gunduran dirinya tahun 1947, dan segera dilanjutkan oleh seorang filsuf Marxist, Ernst Bloch. Setelah tinggal sebentar di Frankfurt, pada tahun 1949 Gadamer me- ngambil kursi yang dikosongkan oleh Karl Jaspers di Heidelberg, sebuah posisi yang akan ia tempati sampai pensiun duapuluh tahun kemudian. Meskipun Gadamer me- Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 193 nulis terus-menerus di sepanjang karirnya, namun tidak sampai tahun 1960, dengan publikasi magnus opumnya, Truth and Method (Wahreit und Methode) (Kebenaran dan Metode), dimana ia membuat kontri- busi menentukan untuk tradisi teori kri- tik yang luas. Dalam karya ini, Gadamer menguraikan ciri-ciri pokok dari apa yang ia sebut ‘hermeneutika filsafat’. Gadamer juga telah menulis banyak esai (kebanya- kan darinya merupakan transkripsi mata kuliah) dimana ia menarik implikasi- implikasi hermenutikanya untuk etika fi- losofis, seni, kritikisme sastra, agama dan persoalan-persoalan publik (Bertens, 2002: 254-257) Garis Besar Pemikiran (Bertens, 2002: 257-268; Sumaryono, 1993: 63-79; Bleicher, 2003: 157-170; Grunfeld, 1989: 101-110) a. Lingkaran Hermeneutik. “Mengerti” me- miliki struktur lingkaran. Supaya orang mengerti, harus ada prapengertian. Untuk memperoleh pengertian, orang harus bertolak dari pengertian. Untuk mengerti suatu teks, sebelumnya ha- rus ada prapengertian tertentu tentang yang dibicarakan dalam teks itu. De- ngan membaca teks tersebut, prapen- gertian terwujud menjadi pengertian yang sesungguhnya. Tidak dapat disim- pulkan bahwa lingkaran itu baru timbul jika membaca teks-teks. Lingkaran itu sudah ada pada taraf yang fundamen- tal. Leingkaran itu menandai eksistensi manusia itu sendiri. b. Hermeneutika Kesenian. Perkembangan ilmu alam mengakibatkan beberapa pe- rubahan dalam penilaian manusia ter- hadap bentuk-bentuk pengenalan yang lain, misalnya pengenalan tentang es- tetik. Ilmu mulai menopoli pengenalan objektif, sehingga pengalaman tentang karya-karya seni hanya dapat diinter- pretasikan subjektif belaka. Karya seni tidak lagi mengungkapkan kebenaran bagi manusia, tetapi menyajikan ke- senangan dalam memandang “yang indah”. Karya seni harus betul-betul menyingkapkan kebenaran kepada ma- nusia. Dengan demikian, kesenian pun termasuk dalam wilayah hermeneutik, sejauh hermeneutik membicarkan ba- gaimana manusia mencapai pengertian tentang yang ada. c. Interpretasi: Reproduktif dan Produktif. Arti suatu teks tetap terbuka dan tidak ter- batas pada maksud penulis. Interpretasi tidak hanya bersifat reproduktif tetapi juga produktif. Interpretasi dapat mem- perkaya arti suatu teks. Arti suatu teks tidak hanya terbatas pada masa lampau waktu teks itu ditulis, tetapi terbuka juga terhadap masa depan. Penginter- pretasian suatu teks merupakan peker- jaan yang tak pernah selesai. d. Pengenalan dan Prasangka. Pengenalan ti- dak dapat lepas dari prasangka. Meng- hindari setiap prasangka sama dengan mamatikan pemikiran. Tidak berarti in- terpretasi menjadi usaha yang subjektif yang tidak kritis. Sebanyak mungkin ha- rus disadari prasangka-prasangka yang menjuruskan pemikiran, tetapi adalah naif sekali jika orang sanggung me- ngambil sikap tertentu tanpa prasang- ka. Suatu interpretasi baru menyingkir- kan prasangka-prasangka kurang baik dari masa lampau tetapi dan menerima begitu saja prasangka-prasangka yang baik dan wajar. Harus dibedakan anta- ra prasangka yang sah dan prasangka yang tidak sah. e. Tradisi. Tradisi memiliki otoritas. Tra- disi dibentuk oleh prasangka-prasang- ka yang dimiliki bersama. Ini adalah prasangka-priasangka yang benar yang kebanyakan tanpa disadari. f. Bahasa mempunyai Relevansi Ontologi. “Mengerti” tidak mungkin tanpa baha- sa. “Mengerti” dilakukan dengan per- gulatan dengan teks-teks masa lampau. Hal ini merupakan sikap fundamental dalam eksistensi manusia. Dengan de- mikian, bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Ada” (Being) tampak kepa- da manusia. Jika “Ada” menampak- kan diri sebagai bahasa. Dengan kata lain, bahwa dalam situasi hermeneutik “Ada” tampak sebagai percakapan, se- bagai dialog. Mengeti sama dengan ber- HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011194 cakap-cakap dengan “yang ada”; suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi. Hermeneutika Filosofis Pada dasarnya, hermeneutika Ga- damer adalah refleksi tentang “mengerti” (verstehen). Oleh karena itu, dalam konsep- sinya hermeneutika sebagai filsafat ingin membahas beberapa pertanyaan, seperti: Apa itu mengerti? Apa yang terjadi jika manusia menjalan “pengertian”? Apakah yang harus diandaikan supaya “pengerti- an” itu mungkin? Untuk menjawab pertanyaan per- tama, menurut Gadamer, seperti halnya Martin Heidegger, “mengerti” (understan- ding), harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi ma- nusia. “Mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia itu sendiri; menyang- kut seluruh pengalaman manusia. Justru hal-hal di atas tersebut hermeneutika mempunyai satu problematika yang uni- versal. Dari pemikiran Gadamer seperti ter- sebut, para ahli filsafat mengartikan pemi- kiran Gadamer bukan saja hermeneutika filosofis, tetapi juga merupakan filsafat hermeneutika. Maksudnya adalah bahwa pemikiran Gadamer tidak hanya memu- satkan perhatian pada satu tugas filsafat (hanya teori hermeneutika), tetapi juga memandang semua tema yang ada pada filsafat, dari sudut pandang hermeneutika. Dalam menjawab pertanyaan kedua, Gadamer seperti juga telah ditekankan Heidegger, mengatakan bahwa “menger- ti” mempunyai struktur lingkaran. Supaya orang mengerti (tentang sesuatu), sudah harus ada prapengertian. Untuk menca- pai pengertian, satu-satunya cara adalah dengan bertolak dari prapengertian. Kalau tidak demikian, maka tidak pernah akan sampai pada pengertian. Gadamer mem- berikan contoh, untuk mengerti tentang teks seseorang sebelumnya sudah mesti ada prapengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Dengan demikian, membaca teks tersebut, pra- pengertian tadi menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses seperti itu , baik oleh Heidegger maupun Gadamer, dise- but “lingkaran hermeneutika” (Grunfeld, 1989: 23). Adapun untuk menuntaskan per- tanyaan ketiga, berkenaan dengan “pe- ngandaian pengertian”, bagi Gadamer tidak menutup mata dengan pengadaian (praadaian) dalam metode hermeneutika romantis (termasuk juga pemikiran Schci- macher dan Dilthey), walaupun di sisi ter- tentu, kemudian dikritiknya (seperti juga akan diungkapkan dalam hermeneutika ilmu budaya). Pengadaian utama yang terdapat da- lam hermeneutika romantis adalah bahwa seseorang interpretator sanggup melepas- kan diri dari situasi historisnya. Interpre- tator seolah dapat “pindah” ke zaman lain. Dengan pengadaian ini interpretator akan mungkin mencapai pengertian dari suatu teks secara maksimal. Kemudian, Gadamer membedakan bentuk pemahaman, antara pemahaman terhadap isi (substansi) dan pemahaman terhadap maksud. Bentuk pertama terarah pada pengetahuan substansi sebuah ka- lin (dalam sebuah teks). Sedangkan yang kedua adalah jenis pemahaman yang me- ngarah pada pengetahuan tentang latar be- lakang yang memunculkan pengetahuan (substansi pertama). Jenis pemahaman yang kedua meliputi pemahaman tentang kondisi psokologis, biogragis, dan historis, yang mengitari eksistensi pengetahuan substansi penulisnya. Pada prinsipnya sa- saran pemahaman yang utama adalah pe- mahaman substansi, tetapi jika seseorang menghadapi kesulitan untuk mempero- leh pengetahuan melalui pemahaman ini, maka diperlukan melakukan pemahaman kedua (Gadamer, 1976: 87). Kedua bentuk pemahaman tersebut memiliki arah untuk menghubungkan antara masa kini dengan masa lalu. Jarak waktu antara keduanya menjadi kajian hermeneutika. Pemahaman itu sendiri termasuk dalam upaya menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Di sini antara “yang dikenal” dengan “yang asing” akan berdialog. Melalui partisipasi dan keterbu- Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 195 rikan dasar bagai pemahaman dan dapat merangsang pemahaman baru, sementara itu pemahaman baru berusaha memeliha- ra pemahamannya agar tetap hidup (Ga- damer, 1986: 324). Konsep fusi Gadamer seperti konsep permainan (game). Permainan akan seru dan bagus jika pemain utama turut main dengan serius dan menyatu dengan aturan permainan yang ada. Pemain berarti me- nyerap aturan permainan, lalu disintesis- kan (fusi) dengan ketrampilan dan kebe- ranian pemain, maka akan menghasilkan permainan yang bermutu dan layak untuk ditonton. Menurut Gadamer, cakrawala masa kini tidak dapat dilepaskan begitu saja guna masuk ke masa lalu, sementara masa lalu itu pun tidak dapat dilepaskan begi- tu saja dari masa kini. Dengan demikian, fusi cakrawala (fusion horizon) ini sebagai puncak dari pemahaman dan merupakan proses dialektika interaksi “antar waktu”, dan merupakan pemahaman diri seseo- rang dengan apa yang dialaminya. Pe- mahaman diri seperti ini bukanlah suatu kesadaran kosong, tetapi dalam konteks sejarah dan tradisi. Dan fusi cakrawala ini- tidak bersifat statis, permanen, dan fixed, tetapi sebaliknya. Sebab, antara konteks masa lalu (ketika teks ditulis) dan eksis- tensi masa kini (ketika teks dibaca dan di- kaji), keduanya diproyeksikan untuk masa datang. Jadi, pemahaman tiga dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa depan) (Palemer, 2003: 231-233). Ide pokok Gadamer ditunjukkan dimana-mana di dalam judul karya ter- besarnya. Ada kecenderungan menonjol dalam pemikiran modern, Gadamer per- caya, untuk menafsirkan kebenaran de- ngan menggunakan objektivitas, dimana objektivitas dijamin melalui penggunaan metoda ilmiah yang benar. Keberhasilan ilmu kimia, ilmu fisika, biologi modern dan sebagainya menyatakan bahwa ilmu- ilmu pengetahuan ini benar-benar telah menyatakan metoda benar untuk menilai kebenaran alam. Seperti yang diamati Ga- damer, ilmu pengetahuan alam modern saat ini menikmati ‘otorita tanpa nama kaan, realitas yang asing dapat menying- kap diri. Kemudian secara dialektis dapat dihasilkan suatu pemahaman historis. Proses pemahaman itu sendiri idak terelakkan dari prasangka (prejudire), kare- na memang hal itu tidak dapat dihindari. Menurut Gadamer, permasalahannya bu- kan bagaimana menjauhkan dari prasang- ka-prasangka itu, akan tetapi bagaimana prasangka itu dapat bersifat produktif bagi pemahaman. Sebab, dengan prasang- ka itulah seseorang dapat memahami maksud dari sebuah teks. Jika prasangka tidak ada, pemahaman tidak pernah ada, dan tidak dapat dimunculkan secara tepat. Oleh karena itu, kesadaran akan perlunya prasangka dan pemanfaatannya, perlu di- barengi dengan kesadaran historis yang efektif, sehingga dengan demikian tidak membuah perspektif yang bersifat mani- pulatif (Palmer, 1969: 183). Selain itu, Gadamer juga mengata- kan bahwa pandangan kejiwaan sebagai bagian integral situasi hermeneutika. Ia membagi dalam dua cakrawala, yaitu: per- tama, cakrawala masa lampau (historis); dan kedua, cakrawala masa kini, yang tidak dapat dibentuk tanpa cakrawala pertama. Keduanya saling berkaitan dan berke- sinambungan. Oleh karena itu, pemaha- man tidak lepas dari dua bentu cakrawala tersebut (Gadamer, 1976: 34). Istilah fusi cakrawala merupakan sintesis kreatif dalam kajian hermeneuti- ka Gadamer. Dalam hermeneutika filoso- fis klasik, lingkaran hermeneutika beru- pa relasi gramatikal keseluruhan bagian. “Kata” dipahami dalam konteks satu ka- limat. Sebaliknya, “makna” suatu kalimat dilihat dari fungsi kata per kata. Berbeda dengan itu, hermeneutika romantik justru menjadikan subjektivitas penulis sebagai perhatian utama. Teks dipahami sebagai peristiwa kehidupan kreatif penulis, ke- mudian kehidupan kreatif itu dilihat de- ngan berdasarkan teks yang dimunculkan. Menurut Gadamer, lingkaran kajian hermeneutikanya tidaklah seperti herme- neutika klasik, tetapi berupa tradisi hidup dan pemahamannya yang merupakan ba- gian dari tradisi itu sendiri. Tradisi meme- HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011196 dan tak bisa dibantah’. Menurut sebuah wawasan, seringkali disebut sebagai ‘na- turalisme’, metoda umum yang diterap- kan pada ilmu pengetahuan alam modern yang mampu mengatakan pada kita ten- tang semua yang ingin kita ketahui ten- tang realita. Tetapi menurut kelompok lain, kelompok dominan di Jerman selama masa pelatihan Gadamer, pengetahuan dunia manusia harus mengambil jalan yang berbeda. Bagi Wilhelm Dilthey (1833- 1911), formulasi, menurut pandangannya ini khususnya berpengaruh, karena ilmu pengetahuan manusia berhasil dengan mencapai pemahaman ranah objek mere- ka. Karena metoda ilmu fisika, kimia dan seterusnya digerakkan menuju penjelasan sebab akibat daripada pemahaman itu, yang disalahkan jika menganggap bahwa ilmu pengetahuan alam memberikan se- buah model untuk semua pengetahuan. Naturalisme dipersalahkan bukan karena ilmu pengetahuan manusia tidak membe- rikan semangat secara benar dari dirinya terhadap objektivitas. Poin Dilthey lebih dari pemahaman dan interpretasi di dalam imu pengetahuan dengan haknya sendiri, suatu bentuk penyelidikan dengan aturan dan prosedurnya sendiri yang sah (Gada- mer, 1968). Nama yang diberikan untuk ilmu pengetahuan interpretasi adalah herme- neutika. Gadamer setuju dengan Dilthey bahwa ilmu pengetahuan manusia pada hakekatnya membicarakan pemahaman, atau interpretasi makna, atas tulisan dari mana ilmu pengetahuan manusia memili- ki struktur yang berbeda dengan ilmu pe- ngetahuan alam. Namun demikian, pan- dangan Gadamer atas kritik naturalisme Dilthey tidak cukup radikal. Ini karena me- nurut Dilthey, tradisi teori hermeneutika keseluruhan berasal dari Schleiermacher (1768-1834), yang tetap melihat masalah kebenaran hermeneutika sebagai persa- maan dengan masalah objektivitas metoda hermeneutika. Keterbatasan pendekatan yang terpusat secara epistemologis ini, di- percaya Gadamer, merupakan yang perta- ma dihasilkan dari Heidegger. Heidegger meyakinkan Gadamer bahwa hermenutika jauh lebih dari metoda mengetahui; dalam struktur aslinya, pemahaman merupakan ciri dari Existenz ‘badan-di-dalam-dunia’. Badan-di-dalam-dunia pada hakekatnya dicirikan oleh bentuk pemahaman yang dilibatkan, yang pra-reflektif dan pra-teo- ritis, dan disinilah, lebih dari suatu ‘me- toda interpretatif’ refleksif atau ‘ilmu pe- ngetahuan’ interpretasi, memberikan titik keberangkatan hermeneutika ‘ontologis’ atau filosofis Gadamer (Nicholas, 2002). Hermeneutika filsafat merupakan tugas penting untuk zaman kita, demikian pikir Gadamer, karena hubungan di anta- ra kebenaran dan metoda bertahan melalui epistemologi modern cenderung mengu- bur, menyimpang atau memotong penga- laman pemahaman. Untuk tingkatan yang mana kita ada di bawah kekuasaan epis- temologi, kita harus memulihkan penga- laman melalui re-artikulasi filsafat. Gada- mer mengidentifikasi dua hal dimana kita memerlukan perolehan kembali semacam yang hampir bisa diraba: berhadapan de- ngan seni dan berhadapan dengan sejarah (Gadamer, 1968: 176). Kesadaran Estetis Bagaimana epistemologi modern menaikkan model pengalaman seni yang dipotong? Jawaban Gadamer untuk per- tanyaan ini panjang dan kompleks, tetapi tulisannya bersandar pada munculnya ide ‘estetika’. Adalah sudah biasa, demikian Gadamer mengamati, menghadapi karya seni seakan karya merupakan tempat dari jenis nilai berbeda: yaitu, nilai ‘estetika’. Nilai estetis suatu karya seni adalah nilai yang hanya dimiliki sebagai satu karya seni, nilai yang berbeda, katakan, dari apa- pun kegunaan praktis atau manfaat moral yang bisa dimiliki karya tersebut. Saat ini Gadamer mengamati bahwa cara berpi- kir tentang seni ini sangat dimotivasi oleh perkembangan-perkembagan di dalam epistemologi yang bisa dilacak kembali dari Kant. Dalam filsafat kritiknya, Kant berusaha untuk menentukan dasar validi- tas ilmu pengetahuan modern dan morali- tas. Ini bisa dicapai, menurut pandangan Kant, dengan secara hati-hati membeda- Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 197 kan bidang aplikasi konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah dari aplikasi kon- sep dan prinsip moral. Dan sama seperti ilmu pengetahuan dan moralitas harus membuat perbedaan agar bisa menjamin validitasnya, demikian juga seni harus mengalokasikan bidang nilainya sendi- ri. Legitimasi penilaian estetis, menurut Kant, bukan jenis validitas yang dinikmati oleh klaim ilmiah, karena karya seni, tidak seperti dalil dan teori, bukan penyampai kebenaran; juga tidak seperti legitimasi tuntutan moral, yang secara tidak bersya- rat dan secara universal mengikat. Namun lebih karena, validitas penilaian estetika memiliki dasarnya dari kapasitas obyek- obyek indah yang membangkitkan rasa kenikmatan tetapi rasa tidak memihak, ‘kenikmatan estetis’, di dalam subyek pe- nilaian, yang dihubungkan oleh Kant de- ngan saling pengaruh-mempengaruhinya kecakapan-kecakapan mental manusia yang bebas. Jadi, apabila dasar validitas ilmu pengetahuan dan moralitas adalah obyektif, maka validitas ‘estetis’ hanya memiliki sumber subjektif. Tetapi menurut pandangan Gada- mer, ‘subjektivisasi’ seni yang dihasilkan dari menganggap karya seni sebagai tem- pat nilai estetis berbeda tidak benar untuk fenomenologi seni. Atau yang lebih baik, subyektivikasi merefleksikan bentuk pe- miskinan dan terasing pada mana karya seni ‘muncul’. Karena ia membutakan kita untuk potensial yang dalam fakta, inheren dalam semua karya seni besar: kapasitasnya untuk tampak. Bukannya membuat jarak sendiri dari karya seni dan menilai ‘manfaat estetisnya’, kita bahkan bisa membuka diri terhadap dunia yang diungkap karya seni, dan dengan berbuat demikian, kita memiliki dunia yang bisa kita alami sendiri yang ditranformasikan. Gadamer menggunakan istilah Erfahrung untuk menentukan jenis pengalaman transformatif-diri ini, sebuah pengalaman yang ia kontraskan dengan pengalaman Erlebnis kesadaran estetis diperpendek secara subyektivis. Menurut pandangan Gadamer, kita hanya bisa memahami pe- ngalaman Erfahrung jika kita memberinya suatu bentuk pamahaman, dan karena ala- san ini ‘estetika haru diserap ke dalam her- meneutika’ (Gadamer, 1986b:65). Menurut pandangan Gadamer, pe- nyerapan estetika ke dalam hermeneutika ini bisa memperkuat kita untuk memikir- kan kembali sifat karya seni yang itu juga. Di bawah pengaruh epistemologi modern, kita terbiasa memikirkan karya seni se- bagai obyek diciptakan yang menghada- pi subjek, subjek yang mengalami obyek yang dimasukkan ke dalam kesadarannya. Atas tulisan ini, untuk tingkat mana kita mampu mengatakan bahwa karya memi- liki makna, harus ada sesuatu yang tetap dari ‘keadaan pikiran’. Namun bagi Ga- damer, kesadaran tidak bisa menjadi tem- pat makna; makna dari artis/penulis atau penonton/pembaca. Karena hanya jika, saat kita berada dalam drama, kita dalam pengertian yang diambil alih oleh permai- nan (jadi diwujudkan oleh sesuatu yang, demikiran dikatakan, memiliki kehidu- pannya sendiri) demikian juga karya seni melampaui isi setiap kesadaran khusus: karya seni memiliki eksistensi atau ‘model badan’ yang berjalan melampaui bidang representasi mental. Selanjutnya, sama seperti drama adalah natural, bentuk pre- sentasi-diri kasar, seni juga pada hakekat- nya memiliki karakter ‘dibicarakan’: ka- rya seni eksis secara inheren, jika kurang lebih secara langsung, ‘bagi’ seseorang. Kedekatan antara drama dan seni dinyata- kan oleh Gadamer bahwa karya seni me- miliki ontologi kejadian: ‘kejadian badan yang terjadi di dalam presentasi’. Menurut pandangan Gadamer, secara fundamental salah jika menafsirkan ketahanan tempo- ral karya seni sebagai sesuatu yang me- nyerupai permanensi obyek substansial. Seni adalah drama, seperti Gadamer me- nyebutnya, yang ‘ditransformasi menjadi struktur’. Transformasi menjadi struktur memastikan kemampuan karya seni di- buat untuk mewujud dalam banyak cara. Transformasi juga memungkinkan karya seni membuat klaim pada yang dituju. Te- tapi validitas klaim itu tidak independen dari keterlibatan dan kepentingan orang yang dituju sendiri. Yang mengikuti ada- HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011198 lah bahwa sementara tidak ada karya seni yang pernah utuh selengkapnya, namun juga mengundang penyelesaian melalui berbagai macam model manifestasi dan resepsinya (Gadamer, 1986a:234). Hermeneutika filsafat Gadamer mempertanyakan ‘subjektivisme’ kesa- daran estetis dengan membuat kita was- pada akan fakta bahwa karya seni memi- liki kekuatan untuk mengungkap dunia dan karenanya juga mengekspresikan klaim tentang penerima seni (Gadamer, 1986b:67). Sebagai respon benar terha- dap klaim ini, pengalaman seni Erfahrung pada hakikinya merupakan bentuk dari pemahaman. Tetapi yang penting, pema- haman yang diwujudkan dalam pengala- man seni bukan pemahaman dalam pe- ngertian yang dikenal oleh epistemologi modern. Kita tidak mengatasi kesadaran estetis dengan gagasan pemahaman ori- sinal kita secara utuh. Sebaliknya, penye- rapan estetika ke dalam hermeneutika memaksa kita untuk merevisi ide kita atas apa yang akan memahami sesuatu sama banyaknya seperti ia menantang kita un- tuk memikirkan kembali model kita akan apa yang harus dialami dalam karya seni. Jika gagasan kita dari apa itu adalah untuk memahami sesuatu dengan memasukkan pengalaman seni (dan sesuatu yang lebih kecil, menurut pandangan Gadamer, akan berubah-ubah dan dogmatis) maka pema- haman harus cukup komprehensif agar kita bisa mengartikulasikan karakter pe- ngalaman Erfahrung yang tidak lengkap, terkait-konteks dan pada dasarnya dialo- gis (Gadamer, 1985:67). Dominasi sain modern terhadap jaustifikasi dan klasifikasi konsep ke- benaran dan pengetahuan, meskipun ti- dak dapat dihindari, tidak bersifat legi- timitasi. Fenomena ini membawa dapak terhadap kalim universal metode saitifik. Sebagai konsekuensinya, pengalaman ten- tang kebenaran berada di bawah kontrol metode seintifik, agar mendapatkan legiti- masinya ilmu-ilmu humaniora, seperti: fil- safat, seni, dan sejarah, sedikit terabaikan. Pengalamn-pengalaman ini menyangkut komunikasi tentang kebenaran, seperti seni yang dipandang tidak dapat diveri- fikasi secara metodis oleh ilmu-ilmu mo- dern (Gadamer, 1986:xii). Filsafat Kontemporer, menurut Ga- damer, sangat menyadari hal itu. Namun yang lebih penting, menurut Gadama- er, adalah pertanyaan sejauh mana klaim kebenaran tentang otoritas pengalaman- pengalam yang tidak diakui ilmu itu men- dapatkan legitimasinya secara filosofis. Gadamer menawarkan fenomena herme- neutika sebagai satu-satunya modus fak- tual yang lebih hakiki dalam investigasi fenomena pemahaman, yang memberikan legitimasi kebenaran sekali pun terhadap seni (Gadamer, 1986a:xii). Investigasi tersebut bermula dari suatu kritik terhadap kesadaran estetik, untuk mempertahankan pengalaman ten- tang kebenaran yang muncul melalui ka- rya seni dari teori-teori estetik yang dibata- si oleh konsep saintifik tentang kebenaran (Gadamer, 1975:xiii). Gadamer berpenda- pat bahwa seni tak terpisahkan dari dunia manusia. Berkat seni, dunia tampak cerah dan baru, seakan untuk pertama kalinya muncul. Suatu karya seni adalah suatu du- nia estetis. Seni adalah pengetahuan (kunst ist erkenntnis). Legitimasi seni adalah bah- wa ia mengungkap das Sein, bukan hanya semata-mata kesenangan estetik (Poespo- prodjo, 1987: 112-113). Gadamer berusaha mendirikan subjektivisme tentang seni, seperti tercermin dalam persepsi Kant dan Hegel. Kant berpendapat bahwa seni tidak dapat menghasilkan pengetahuan yang benar. Hegel memandang seni sebagai pe- nampakan idea belaka (Dow, 1996:173). Gadamer berpendapat bahwa penga- laman estetik tidak berpusat pada isi atau bentuk seni, melainkan pada apa yang di- maksud. Hak tersebut yang seluruhnya di- perantai oleh gambar atau visual atau pun bentuk yang berupa “dunia” (welt) dengan segala dinamikanya, berupa suatu kebena- ran dari das Sein sebagai suatu peristiwa (Gadamer, 1986:xii). Gadamer tidak hanya berhenti pada justifikasi kebenaran tentang seni. Dia berusaha mengembangkan dari titik tolak ini sebuah konsep pengetahuan dan kebenaran yang menghubungkannya dengan seluruh pengalaman-pengalaman hermeneutiknya. Pengalaman tentang seni menunjukkan kebenaran-kebenaran esensial yang mengatasi atau melampaui Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 199 batas-batas pengetahuan metodi, tentang kebenaran yang menyeluruh dalam ilmu humanora, tentang tradisi historis manu- sia di mana semua bentuk tertentu mem- bangun objek-objek investigasi (Gadamer, 1986:x). PENUTUP Gadamer telah memberikan sum- bangan pemikiran yang besar, terutama dalam hermeneutika seni. Gadamer juga dianggap sebagai filsuf hermeneutik seja- ti. Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa persoalan hermeneutika bukan- lah persoalan tentang metode dan tidak mengajarkan metode yang dipergunakan untuk geisteswissenchaften. Menurutnya, hermeneutika lebih merupakan usaha me- mahami dan mengiterpretasi sebuah teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan pandangan dunia. Herme- neutik berhubungan dengan suatu teknik atau techne tertentu, dan berusaha kemba- li ke susunan tata bahasa, aspek kata-kata retorik dan aspek dialektik sesuatu baha- sa. Karena techne atau kunstlehle (ilmu tentang seni) inilah maka hermeneutik menjadi sebuah ‘filsafat praktis’, yang juga berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang segala hal yang universal yang mungkin untuk diajarkan (Sumaryono, 1993: 78). Tujuan pokok dari pemikiran Gada- mer adalah menemukan kembali perta- nyaan tentang kebanaran estetik. Dia ber- pendapat bahwa memahami pengalaman tentang seni dimulai dari kritik terhadap kesadaran estetik. Pengalaman tentang seni memberikan pangakuan bahwa seni tidak mencapai kebenaran sempurna, se- perti yang dialami di alam term-term pe- ngetahuan final. Seni bukan perkemba- ngan absolut dan final. Manusia melihat suatu pengalaman sejati di dalam penga- laman tentang seni yang ditampilkan da- lam suatu karya, dan manusia menyelidiki tentang “ada” (mode of being) dari pengala- man yang dialami itu. Lalu manusia beru- saha dapat memahami bentuk kebenaran yang bagaimana yang mempertemukan manusia di alam estetis Menurutnya, her- meneutika lebih merupakan usaha me- mahami dan mengiterpretasi sebuah teks (Gadamer, 1986: 89). DAFTAR PUSTAKA Bagus, Loren. 2002. Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bleicher, Josef. 2003, Hermeneutika Kontem- porer: Hermeneutika sebagai Metode Filsafat dan Kritik, diterjemahkan oleh Ahmad Norma Permata, Yog- yakarta: Fajar Pustaka Baru. Dow, Kathleen. 1966. “Art and the Simbol- ic Elemen of Truth: What Gadamer’s Method Conveys”, International Phil- osophical Quarterly, Vol. XXXVI, No. 2, Issue No. 142, 173-182. Gadamer, Hans-Georg. 1976. Philosophical Hermenutics, trans. and ed. by David E. Linge, Los Angeles: University of California. _______. 1980. Dialogue and Dialectic: Eight Hermeneutical Studies on Plato, trans. by P.C. Smith, New Heaven: Yale University Press. _______. 1985. Philosophical Apprenticeships, trans. by Robert R. Sullivan, Massa- chussets, Cambridge: The MIT Press _______. 1986a. Truth and Method, NewY- ork: Crossroad Publishing. _______. 1986b. The Relevance of the Beau- tiful and Other Essays, trans. by N. Walker, ed. By R. Bernasconi, Cam- bridge: Cambridge University Press. Grunfeld, Joseph. 1989. “Gadamer’s Hermeneutics”, Science et Esprit, XLI/2, 231-236. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teo- ri Baru Mengenai Interpretasi, Yogya- karta: Pustaka Pelajar. Poespoprodjo, 1987, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafati, Band- ung: CV. Remadja Rosda Karya. Smith, Nicholas H, “Hans-Georg Gadam- er”, in in Jon Simon (ed.), 2002. From Kant to Levi-Strauss: The Backgraund to Contemporary Critical Theory, Edin- burgh: Edinburgh University Press, hal. 181-196. Sumaryono, E., 1993, Hermeneutik:Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.