191

KESADARAN ESTETIS MENURUT HANS-GEORG 
GADAMER (1990-2002) 

Sunarto
Universitas Negeri Semarang, Kampus Sekaran Gunugpati, Semarang

E-mail: sunarto_unnes@yaho.com

Abstrak

Hans-Georg Gadamer (1900-2002) adalah seorang filsuf dalam bidang hermeneu-
tika yang sangat terkenal. Menjelang pensiunnya tahun 1960, kariernya menan-
jak dengan diterbitkan bukunya, Wahrheit und Method atau Truth and Method. 
Dalam bukunya Gadamer memberikan pemahaman pada tingkatan ontologis bu-
kan metodologis. Di sini Gadamer ingin mencapai kebenaran tidak lewat metode 
melainkan dengan dialektika. Alasannya, dengan dialektika mengandaikan suatu 
kebebasan dalam mengajukan berbagai pertanyaan dibanding dalam proses me-
todis. Berangkat dari hal tersebut Gadamer merambah ke persoalan estetik (seni). 
Gadamer mengatakan bahwa dalam estetis ditemukan kebenaran, tetapi bukan ke-
benaran melalui metodis (penalaran) melainkan kebenaran yang menurut faktanya 
“berlainan dengan kebenaran metodis”. Gadamer juga mencetuskan tentang kon-
sep “permainan”. 

Asthetic Awareness of Hans-Georg Gadamer (1990-2002)
 

Abstract

Hans-Georg Gadamer (1990-2002) is a famous philosopher in Hermeneutics. During his 
retirement in 1960, his career escalated by the publishing of his book, Wahrheit und Method 
or Truth and Method. In his book, Gadamer gives an ontological and not a methodological 
understanding. In this case, Gadamer wanted to achieve the truth, not through method but 
by dialectics. The reason is that the dialectics enables people to imagine freedom in propos-
ing various questions rather than those in methodical process. Starting from these things, 
Gadamer explored more on aesthetic subjects (arts). Gadamer said that in aesthetics, he found 
truth, but not the truth through methodical process (reasoning) but the truth based on its 
facts, “different from its methodical truth.” Gadamer also proposed a concept of “games.”
 

Kata kunci: gadamer, filsafat, hermeneutika, estetis, seni

PENDAHULUAN

Seorang filsuf Yunani Kuno Pra-
Socrates, Heraclitus (540-480 SM), pernah 
mengatakan: panta rhei, ouden menei (se-
muanya mengalir, tidak ada yang diam). 
Semua yang ada bergerak, dinamis, tan-
pa henti. Begitu juga dengan bidang ilmu 
pengetahuan. Ia terus bergerak menuju 
kepada progresivitas. Ilmu pengetahuan 
mengalami kemujuan sesuai dengan ke-
majuan rasio manusia.

Kemajuan dalam bidang ilmu pe-
ngetahuan (filsafat) pun berkembang 
hingga terjadi pemilahan. Pemilahan ilmu 
ini terjadi pada era sesudah Immanuel 
Kant, khususnya terjadi pada Neo-Kan-
tianisme. Neo-Kantianisme terpecah men-
jadi dua aliran, yaitu: Mazhab Marburg 
dan Mazhab baden. Mazhab Marburg 
berkembang di Universitas Marburg, Jer-
man. Tokoh-tokoh mazhab ini, antara lain: 
Herman Cohen (1842-1918), Paul Natorp 
(1854-1942), dan Ernst Cassirer (1874-1945). 



HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011192

Mazhab Marburg bercirika pendekatan 
epistemologi pada filsafat sehubungan 
dengan analisis ilmu-ilmu secara luas. Mi-
nat utama mazhab ini adalah epistemologi 
dan filsafat ilmu pengetahuan.

Selanjut, Mazhab Baden atau sering 
pula disebut Mazhab Heidelberg atau Jer-
man Barat Daya. Mazhab ini dipelopori 
oleh Wilhelm Windelband (1848-1915). 
Wilayah studi mazhab ini adalah “nilai” 
(value). Windelband menolak penitikbe-
ratan Kant pada ilmu alam dan berupaya 
mendekonstruksi. Ia membagi dua jenis 
ilmu pengetahuan yang masing-masing 
mempunyai sifat-sifatnya sendiri, yaitu: 
ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan 
budaya atau historis. 

Pemikiran Wildelband dilanjutkan 
oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey 
kemudian membagi ilmu pengetahuan 
berdasarkan metodenya masing-masing. 
Pertama, ilmu pengetahuan alam (natur-
wissenchaften), yang metodenya berupaya 
menjelaskan fenomena yang sifatnya fisik 
berdasarkan hukum-hukum. Kedua, ilmu 
pengetahuan budaya (geisteswissenchaften), 
yang metodenya berupaya memahami 
objeknya dengan berupaya menemukan 
muatan batiniah adi balik fenomena per-
septual semata.

Dari pemikiran Dilthey inilah kemu-
dian muncul hermeneutika. Bagus (2002: 
283) mendefinisikan hermeneutika, seba-
gai berikut:

Inggris: hermeneutic; dari bahasa Yu-
nani hermeneutikos (penafsiran). Herme-
neutika berarti ilmu dan teori tentang pe-
nafsiran yang bertujuan menjelaskan teks 
mulai dari ciri-cirinya, baik obyektif (arti 
gramatikal kata-kata dan variasi-variasi 
historisnya), maupun subyrktif (maksud 
pengarang).

Dari hermeneutika Dilthey inilah 
kemudian berkembang sampai kepa-
da Gadamer. Dalam bukunya, Truth and 
Method, Gadamer merumuskan bahwa 
pemahaman dalam hermeneutika bukan 
bersifat metodologi melainkan sebagai 
tingkatan ontologis. Sebab, menurut Ga-
damer, kebenaran menerangi metode-me-
tode individual, sedangkan metode justru 

atau mengahambat kebenaran (Gadamer, 
1976:10). 

SEKILAS RIWAYAT HIDUP DAN 
GARIS BESAR PEMIKIRAN HANS-
GEORG GADAMER

Riwayat Hidup
Hans-Georg Gadamer lahir pada 

tanggal 11 Februari 1900 dan dibesarkan 
di Breslau, Silesia, di pinggiran timur Ke-
kaisaran Jerman yang subur. Ayahnya 
adalah seorang profesor kimia yang ter-
kenal, dan sementara Hans-Georg juga 
berjalan untuk mengarah pada kehidupan 
belajar, dari usia awal, semangatnya ada-
lah untuk ilmu pengetahuan ‘manusia’ 
daripada untuk pengetahuan ‘alam’. Pada 
tahun 1919 Gadamer pergi ke Universitas 
Marburg untuk belajar filsafat dan filologi. 
Setelah menyelesaikan doktoralnya ten-
tang konsep kehendak Plato, pada tahun 
1923 ia pergi belajar di bawah pengajaran 
Edmund Husserl dan Martin Heidegger 
di Universitas Freiburg. Gadamer terpe-
sona oleh Heidegger dan terus bekerja 
bersamanya setelah pindahnya Heideg-
ger ke Marburg setelah tahun itu. Keti-
ka Heidegger kembali ke Freiburg tahun 
1927, Gadamer baru saja menyelesaikan 
bukunya, Habilitationshrift, sebuah bacaan 
fenomenologis Plato yang pada akhirnya 
diterbitkan sebagai Etika Dialektika Plato 
(1931). Gadamer ditangkap penjaga saat 
kebangkitan Hitler dalam kekuasaan, te-
tapi tidak seperti teman-teman dan kolega 
Jahudinya, seperti Karl Lowith, ia mampu 
beradaptasi dengan rejim baru dan bah-
kan karyanya berkembang subur di ba-
wah rejim secara profesional. Pada bulan 
Januari 1939 Gadamer ditunjuk menjadi 
Profesor Filsafat di Universitas Leipzig, 
dimana ia bekerja di sana sampai pen-
gunduran dirinya tahun 1947, dan segera 
dilanjutkan oleh seorang filsuf Marxist, 
Ernst Bloch. Setelah tinggal sebentar di 
Frankfurt, pada tahun 1949 Gadamer me-
ngambil kursi yang dikosongkan oleh Karl 
Jaspers di Heidelberg, sebuah posisi yang 
akan ia tempati sampai pensiun duapuluh 
tahun kemudian. Meskipun Gadamer me-



Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 193

nulis terus-menerus di sepanjang karirnya, 
namun tidak sampai tahun 1960, dengan 
publikasi magnus opumnya, Truth and 
Method (Wahreit und Methode) (Kebenaran 
dan Metode), dimana ia membuat kontri-
busi menentukan untuk tradisi teori kri-
tik yang luas. Dalam karya ini, Gadamer 
menguraikan ciri-ciri pokok dari apa yang 
ia sebut ‘hermeneutika filsafat’. Gadamer 
juga telah menulis banyak esai (kebanya-
kan darinya merupakan transkripsi mata 
kuliah) dimana ia menarik  implikasi-
implikasi hermenutikanya untuk etika fi-
losofis, seni, kritikisme sastra, agama dan 
persoalan-persoalan publik (Bertens, 2002: 
254-257)

Garis Besar Pemikiran (Bertens, 2002: 
257-268; Sumaryono, 1993: 63-79; Bleicher,    
2003: 157-170; Grunfeld, 1989: 101-110)

a.  Lingkaran Hermeneutik. “Mengerti” me-
miliki struktur lingkaran. Supaya orang 
mengerti, harus ada prapengertian. 
Untuk memperoleh pengertian, orang 
harus bertolak dari pengertian. Untuk 
mengerti suatu teks, sebelumnya ha-
rus ada prapengertian tertentu tentang 
yang dibicarakan dalam teks itu. De-
ngan membaca teks tersebut, prapen-
gertian terwujud menjadi pengertian 
yang sesungguhnya. Tidak dapat disim-
pulkan bahwa lingkaran itu baru timbul 
jika membaca teks-teks. Lingkaran itu 
sudah ada pada taraf yang fundamen-
tal. Leingkaran itu menandai eksistensi 
manusia itu sendiri.

b. Hermeneutika Kesenian. Perkembangan 
ilmu alam  mengakibatkan beberapa pe-
rubahan dalam penilaian manusia ter-
hadap bentuk-bentuk pengenalan yang 
lain, misalnya pengenalan tentang es-
tetik. Ilmu mulai menopoli pengenalan 
objektif, sehingga pengalaman tentang 
karya-karya seni hanya dapat diinter-
pretasikan subjektif belaka. Karya seni 
tidak lagi mengungkapkan kebenaran 
bagi manusia, tetapi menyajikan ke-
senangan dalam memandang “yang 
indah”. Karya seni harus betul-betul 
menyingkapkan kebenaran kepada ma-

nusia. Dengan demikian, kesenian pun 
termasuk dalam wilayah hermeneutik, 
sejauh hermeneutik membicarkan ba-
gaimana manusia mencapai pengertian 
tentang yang ada. 

c. Interpretasi: Reproduktif dan Produktif. Arti 
suatu teks tetap terbuka dan tidak ter-
batas pada maksud penulis. Interpretasi 
tidak hanya bersifat reproduktif tetapi 
juga produktif. Interpretasi dapat mem-
perkaya arti suatu teks. Arti suatu teks 
tidak hanya terbatas pada masa lampau 
waktu teks itu ditulis, tetapi terbuka 
juga terhadap masa depan. Penginter-
pretasian suatu teks merupakan peker-
jaan yang tak pernah selesai. 

d. Pengenalan dan Prasangka. Pengenalan ti-
dak dapat lepas dari prasangka. Meng-
hindari setiap prasangka sama dengan 
mamatikan pemikiran. Tidak berarti in-
terpretasi menjadi usaha yang subjektif  
yang tidak kritis. Sebanyak mungkin ha-
rus disadari prasangka-prasangka yang 
menjuruskan pemikiran, tetapi adalah 
naif sekali jika orang sanggung me-
ngambil sikap tertentu tanpa prasang-
ka. Suatu interpretasi baru menyingkir-
kan prasangka-prasangka kurang baik 
dari masa lampau tetapi  dan menerima 
begitu saja prasangka-prasangka yang 
baik dan wajar. Harus dibedakan anta-
ra prasangka yang sah dan prasangka 
yang tidak sah.

e.  Tradisi. Tradisi memiliki otoritas. Tra-
disi dibentuk oleh prasangka-prasang-
ka yang dimiliki bersama. Ini adalah 
prasangka-priasangka yang benar yang 
kebanyakan tanpa disadari.

f.  Bahasa mempunyai Relevansi Ontologi. 
“Mengerti” tidak mungkin tanpa baha-
sa. “Mengerti” dilakukan dengan per-
gulatan dengan teks-teks masa lampau. 
Hal ini merupakan sikap fundamental 
dalam eksistensi manusia. Dengan de-
mikian, bahasa mempunyai relevansi 
ontologis. “Ada” (Being) tampak kepa-
da manusia. Jika “Ada” menampak-
kan diri sebagai bahasa. Dengan kata 
lain, bahwa dalam situasi hermeneutik 
“Ada” tampak sebagai percakapan, se-
bagai dialog. Mengeti sama dengan ber-



HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011194

cakap-cakap dengan “yang ada”; suatu 
percakapan di mana sungguh-sungguh 
terjadi.

Hermeneutika Filosofis
Pada dasarnya, hermeneutika Ga-

damer adalah refleksi tentang “mengerti” 
(verstehen). Oleh karena itu, dalam konsep-
sinya hermeneutika sebagai filsafat ingin 
membahas beberapa pertanyaan, seperti: 
Apa itu mengerti? Apa yang terjadi jika 
manusia menjalan “pengertian”? Apakah 
yang harus diandaikan supaya “pengerti-
an” itu mungkin?

Untuk menjawab pertanyaan per-
tama, menurut Gadamer, seperti halnya 
Martin Heidegger, “mengerti” (understan-
ding), harus dipandang sebagai sikap yang 
paling fundamental dalam eksistensi ma-
nusia. “Mengerti” itu tidak lain daripada 
cara berada manusia itu sendiri; menyang-
kut seluruh pengalaman manusia. Justru  
hal-hal di atas tersebut hermeneutika 
mempunyai satu problematika yang uni-
versal.

Dari pemikiran Gadamer seperti ter-
sebut, para ahli filsafat mengartikan pemi-
kiran Gadamer bukan saja hermeneutika 
filosofis, tetapi juga merupakan filsafat 
hermeneutika. Maksudnya adalah bahwa 
pemikiran Gadamer tidak hanya memu-
satkan perhatian pada satu tugas filsafat 
(hanya teori hermeneutika), tetapi juga 
memandang semua tema yang ada pada 
filsafat, dari sudut pandang hermeneutika.

Dalam menjawab pertanyaan kedua, 
Gadamer seperti juga telah ditekankan 
Heidegger, mengatakan bahwa “menger-
ti” mempunyai struktur lingkaran. Supaya 
orang mengerti (tentang sesuatu), sudah 
harus ada prapengertian. Untuk menca-
pai pengertian, satu-satunya cara adalah 
dengan bertolak dari prapengertian. Kalau 
tidak demikian, maka tidak pernah akan 
sampai pada pengertian. Gadamer mem-
berikan contoh, untuk mengerti tentang 
teks seseorang sebelumnya sudah mesti 
ada prapengertian tertentu tentang apa 
yang dibicarakan dalam teks itu. Dengan 
demikian, membaca teks tersebut, pra-
pengertian tadi menjadi pengertian yang 

sungguh-sungguh. Proses seperti itu , baik 
oleh Heidegger maupun Gadamer, dise-
but “lingkaran hermeneutika” (Grunfeld, 
1989: 23).

Adapun untuk menuntaskan per-
tanyaan ketiga, berkenaan dengan “pe-
ngandaian pengertian”, bagi Gadamer 
tidak menutup mata dengan pengadaian 
(praadaian) dalam metode hermeneutika 
romantis (termasuk juga pemikiran Schci-
macher dan Dilthey), walaupun di sisi ter-
tentu, kemudian dikritiknya (seperti juga 
akan diungkapkan dalam hermeneutika 
ilmu budaya).

Pengadaian utama yang terdapat da-
lam hermeneutika romantis adalah bahwa 
seseorang interpretator sanggup melepas-
kan diri dari situasi historisnya. Interpre-
tator seolah dapat “pindah” ke zaman lain. 
Dengan pengadaian ini interpretator akan 
mungkin mencapai pengertian dari suatu 
teks secara maksimal.

Kemudian, Gadamer membedakan 
bentuk pemahaman, antara pemahaman 
terhadap isi (substansi) dan pemahaman 
terhadap maksud. Bentuk pertama terarah 
pada pengetahuan substansi sebuah ka-
lin (dalam sebuah teks). Sedangkan yang 
kedua adalah jenis pemahaman yang me-
ngarah pada pengetahuan tentang latar be-
lakang yang memunculkan pengetahuan 
(substansi pertama). Jenis pemahaman 
yang kedua meliputi pemahaman tentang 
kondisi psokologis, biogragis, dan historis, 
yang mengitari eksistensi pengetahuan 
substansi penulisnya. Pada prinsipnya sa-
saran pemahaman yang utama adalah pe-
mahaman substansi, tetapi jika seseorang 
menghadapi kesulitan untuk mempero-
leh pengetahuan melalui pemahaman ini, 
maka diperlukan melakukan pemahaman 
kedua (Gadamer, 1976: 87).

Kedua bentuk pemahaman tersebut 
memiliki arah untuk menghubungkan 
antara masa kini dengan masa lalu. Jarak 
waktu antara keduanya menjadi kajian 
hermeneutika. Pemahaman itu sendiri 
termasuk dalam upaya menghubungkan 
masa lalu dengan masa kini. Di sini antara 
“yang dikenal” dengan “yang asing” akan 
berdialog. Melalui partisipasi dan keterbu-



Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 195

rikan dasar bagai pemahaman dan dapat 
merangsang pemahaman baru, sementara 
itu pemahaman baru berusaha memeliha-
ra pemahamannya agar tetap hidup (Ga-
damer, 1986: 324). 

Konsep fusi Gadamer seperti konsep 
permainan (game). Permainan akan seru 
dan bagus jika pemain utama turut main 
dengan serius dan menyatu dengan aturan 
permainan yang ada. Pemain berarti me-
nyerap aturan permainan, lalu disintesis-
kan (fusi) dengan ketrampilan dan kebe-
ranian pemain, maka akan menghasilkan 
permainan yang bermutu dan layak untuk 
ditonton.

Menurut Gadamer, cakrawala masa 
kini tidak dapat dilepaskan begitu saja 
guna masuk ke masa lalu, sementara masa 
lalu itu pun tidak dapat dilepaskan begi-
tu saja dari masa kini. Dengan demikian, 
fusi cakrawala (fusion horizon) ini sebagai 
puncak dari pemahaman dan merupakan 
proses dialektika interaksi “antar waktu”, 
dan merupakan pemahaman diri seseo-
rang dengan apa yang dialaminya. Pe-
mahaman diri seperti ini bukanlah suatu 
kesadaran kosong, tetapi dalam konteks 
sejarah dan tradisi. Dan fusi cakrawala ini-
tidak bersifat statis, permanen, dan fixed, 
tetapi sebaliknya. Sebab, antara konteks 
masa lalu (ketika teks ditulis) dan eksis-
tensi masa kini (ketika teks dibaca dan di-
kaji), keduanya diproyeksikan untuk masa 
datang. Jadi, pemahaman tiga dimensi 
waktu (masa lampau, masa kini, dan masa 
depan) (Palemer, 2003: 231-233).

Ide pokok Gadamer ditunjukkan 
dimana-mana di dalam judul karya ter-
besarnya. Ada kecenderungan menonjol 
dalam pemikiran modern, Gadamer per-
caya, untuk menafsirkan kebenaran de-
ngan menggunakan objektivitas, dimana 
objektivitas dijamin melalui penggunaan 
metoda ilmiah yang benar. Keberhasilan 
ilmu kimia, ilmu fisika, biologi modern 
dan sebagainya menyatakan bahwa ilmu-
ilmu pengetahuan ini benar-benar telah 
menyatakan metoda benar untuk menilai 
kebenaran alam. Seperti yang diamati Ga-
damer, ilmu pengetahuan alam modern 
saat ini menikmati ‘otorita tanpa nama 

kaan, realitas yang asing dapat menying-
kap diri. Kemudian secara dialektis dapat 
dihasilkan suatu pemahaman historis.

 Proses pemahaman itu sendiri idak 
terelakkan dari prasangka (prejudire), kare-
na memang hal itu tidak dapat dihindari. 
Menurut Gadamer, permasalahannya bu-
kan bagaimana menjauhkan dari prasang-
ka-prasangka itu, akan tetapi bagaimana 
prasangka itu dapat bersifat produktif 
bagi pemahaman. Sebab, dengan prasang-
ka itulah seseorang dapat memahami 
maksud dari sebuah teks. Jika prasangka 
tidak ada, pemahaman tidak pernah ada, 
dan tidak dapat dimunculkan secara tepat. 
Oleh karena itu, kesadaran akan perlunya 
prasangka dan pemanfaatannya, perlu di-
barengi dengan kesadaran historis yang 
efektif, sehingga dengan demikian tidak 
membuah perspektif yang bersifat mani-
pulatif (Palmer, 1969: 183).

Selain itu, Gadamer juga mengata-
kan bahwa pandangan kejiwaan sebagai 
bagian integral situasi hermeneutika. Ia 
membagi dalam dua cakrawala, yaitu: per-
tama, cakrawala masa lampau (historis); 
dan kedua, cakrawala masa kini, yang tidak 
dapat dibentuk tanpa cakrawala pertama. 
Keduanya saling berkaitan dan berke-
sinambungan. Oleh karena itu, pemaha-
man tidak lepas dari dua bentu cakrawala 
tersebut (Gadamer, 1976: 34).

Istilah fusi cakrawala merupakan 
sintesis kreatif dalam kajian hermeneuti-
ka Gadamer. Dalam hermeneutika filoso-
fis klasik, lingkaran hermeneutika beru-
pa relasi gramatikal keseluruhan bagian. 
“Kata” dipahami dalam konteks satu ka-
limat. Sebaliknya, “makna” suatu kalimat 
dilihat dari fungsi kata per kata. Berbeda 
dengan itu, hermeneutika romantik justru 
menjadikan subjektivitas penulis sebagai 
perhatian utama. Teks dipahami sebagai 
peristiwa kehidupan kreatif penulis, ke-
mudian kehidupan kreatif itu dilihat de-
ngan berdasarkan teks yang dimunculkan.

Menurut Gadamer, lingkaran kajian 
hermeneutikanya tidaklah seperti herme-
neutika klasik, tetapi berupa tradisi hidup 
dan pemahamannya yang merupakan ba-
gian dari tradisi itu sendiri. Tradisi meme-



HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011196

dan tak bisa dibantah’. Menurut sebuah 
wawasan, seringkali disebut sebagai ‘na-
turalisme’, metoda umum yang diterap-
kan pada ilmu pengetahuan alam modern 
yang mampu mengatakan pada kita ten-
tang semua yang ingin kita ketahui ten-
tang realita. Tetapi menurut kelompok 
lain, kelompok dominan di Jerman selama 
masa pelatihan Gadamer, pengetahuan 
dunia manusia harus mengambil jalan 
yang berbeda. Bagi Wilhelm Dilthey (1833-
1911), formulasi, menurut pandangannya 
ini khususnya berpengaruh, karena ilmu 
pengetahuan manusia berhasil dengan 
mencapai pemahaman ranah objek mere-
ka. Karena metoda ilmu fisika, kimia dan 
seterusnya digerakkan menuju penjelasan 
sebab akibat daripada pemahaman itu, 
yang disalahkan jika menganggap bahwa 
ilmu pengetahuan alam memberikan se-
buah model untuk semua pengetahuan. 
Naturalisme dipersalahkan bukan karena 
ilmu pengetahuan manusia tidak membe-
rikan semangat secara benar dari dirinya 
terhadap objektivitas. Poin Dilthey lebih 
dari pemahaman dan interpretasi di dalam 
imu pengetahuan dengan haknya sendiri, 
suatu bentuk penyelidikan dengan aturan 
dan prosedurnya sendiri yang sah (Gada-
mer, 1968).

Nama yang diberikan untuk ilmu 
pengetahuan interpretasi adalah herme-
neutika. Gadamer setuju dengan Dilthey 
bahwa ilmu pengetahuan manusia pada 
hakekatnya membicarakan pemahaman, 
atau interpretasi makna, atas tulisan dari 
mana ilmu pengetahuan manusia memili-
ki struktur yang berbeda dengan ilmu pe-
ngetahuan alam. Namun demikian, pan-
dangan Gadamer atas kritik naturalisme 
Dilthey tidak cukup radikal. Ini karena me-
nurut Dilthey, tradisi teori hermeneutika 
keseluruhan berasal dari Schleiermacher 
(1768-1834), yang tetap melihat masalah 
kebenaran hermeneutika sebagai persa-
maan dengan masalah objektivitas metoda 
hermeneutika. Keterbatasan pendekatan 
yang terpusat secara epistemologis ini, di-
percaya Gadamer, merupakan yang perta-
ma dihasilkan dari Heidegger. Heidegger 
meyakinkan Gadamer bahwa hermenutika  

jauh lebih dari metoda mengetahui; dalam 
struktur aslinya, pemahaman merupakan 
ciri dari Existenz ‘badan-di-dalam-dunia’. 
Badan-di-dalam-dunia pada hakekatnya 
dicirikan oleh bentuk pemahaman yang 
dilibatkan, yang pra-reflektif dan pra-teo-
ritis, dan disinilah, lebih dari suatu ‘me-
toda interpretatif’ refleksif atau ‘ilmu pe-
ngetahuan’ interpretasi, memberikan titik 
keberangkatan hermeneutika ‘ontologis’ 
atau filosofis Gadamer (Nicholas, 2002).

Hermeneutika filsafat merupakan 
tugas penting untuk zaman kita, demikian 
pikir Gadamer, karena hubungan di anta-
ra kebenaran dan metoda bertahan melalui 
epistemologi modern cenderung mengu-
bur, menyimpang atau memotong penga-
laman pemahaman. Untuk tingkatan yang 
mana kita ada di bawah kekuasaan epis-
temologi, kita harus memulihkan penga-
laman melalui re-artikulasi filsafat. Gada-
mer mengidentifikasi dua hal dimana kita 
memerlukan perolehan kembali semacam 
yang hampir bisa diraba: berhadapan de-
ngan seni dan berhadapan dengan sejarah 
(Gadamer, 1968: 176).

Kesadaran Estetis
Bagaimana  epistemologi modern 

menaikkan model pengalaman seni yang 
dipotong? Jawaban Gadamer untuk per-
tanyaan ini panjang dan kompleks, tetapi 
tulisannya bersandar pada munculnya ide 
‘estetika’. Adalah sudah biasa, demikian 
Gadamer mengamati, menghadapi karya 
seni seakan karya merupakan tempat dari 
jenis nilai berbeda: yaitu, nilai ‘estetika’. 
Nilai estetis suatu karya seni adalah nilai 
yang hanya dimiliki sebagai satu karya 
seni, nilai yang berbeda, katakan, dari apa-
pun kegunaan praktis atau manfaat moral 
yang bisa dimiliki karya tersebut. Saat ini 
Gadamer mengamati bahwa cara berpi-
kir tentang seni ini sangat dimotivasi oleh 
perkembangan-perkembagan di dalam 
epistemologi yang bisa dilacak kembali 
dari Kant. Dalam filsafat kritiknya, Kant 
berusaha untuk menentukan dasar validi-
tas ilmu pengetahuan modern dan morali-
tas. Ini bisa dicapai, menurut pandangan 
Kant,  dengan secara hati-hati membeda-



Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 197

kan bidang aplikasi konsep-konsep dan 
prinsip-prinsip ilmiah dari aplikasi kon-
sep dan prinsip moral. Dan sama seperti 
ilmu pengetahuan dan moralitas harus 
membuat perbedaan agar bisa menjamin 
validitasnya, demikian juga seni harus 
mengalokasikan bidang nilainya sendi-
ri. Legitimasi penilaian estetis, menurut 
Kant, bukan jenis validitas yang dinikmati 
oleh klaim ilmiah, karena karya seni, tidak 
seperti dalil dan teori, bukan penyampai 
kebenaran; juga tidak seperti legitimasi 
tuntutan moral, yang secara tidak bersya-
rat dan secara universal mengikat. Namun 
lebih karena, validitas penilaian estetika 
memiliki dasarnya dari kapasitas obyek-
obyek indah yang membangkitkan rasa 
kenikmatan tetapi rasa tidak memihak, 
‘kenikmatan estetis’, di dalam subyek pe-
nilaian, yang dihubungkan oleh Kant de-
ngan saling pengaruh-mempengaruhinya 
kecakapan-kecakapan mental manusia 
yang bebas. Jadi, apabila dasar validitas 
ilmu pengetahuan dan moralitas adalah 
obyektif, maka validitas ‘estetis’ hanya 
memiliki sumber subjektif.

Tetapi menurut pandangan Gada-
mer, ‘subjektivisasi’ seni yang dihasilkan 
dari menganggap karya seni sebagai tem-
pat nilai estetis berbeda tidak benar untuk 
fenomenologi seni. Atau yang lebih baik, 
subyektivikasi merefleksikan bentuk pe-
miskinan dan terasing pada mana karya 
seni ‘muncul’. Karena ia membutakan 
kita untuk potensial yang dalam fakta, 
inheren dalam semua karya seni besar: 
kapasitasnya untuk tampak. Bukannya 
membuat jarak sendiri dari karya seni dan 
menilai ‘manfaat estetisnya’, kita bahkan 
bisa membuka diri terhadap dunia yang 
diungkap karya seni, dan dengan berbuat 
demikian, kita memiliki dunia yang bisa 
kita alami sendiri yang ditranformasikan. 
Gadamer menggunakan istilah Erfahrung 
untuk menentukan jenis pengalaman 
transformatif-diri ini, sebuah pengalaman 
yang ia kontraskan dengan pengalaman 
Erlebnis kesadaran estetis diperpendek  
secara subyektivis. Menurut pandangan 
Gadamer, kita hanya bisa memahami pe-
ngalaman Erfahrung jika kita memberinya 

suatu bentuk pamahaman, dan karena ala-
san ini ‘estetika haru diserap ke dalam her-
meneutika’ (Gadamer, 1986b:65).

Menurut pandangan Gadamer, pe-
nyerapan estetika ke dalam hermeneutika 
ini bisa memperkuat kita untuk memikir-
kan kembali sifat karya seni yang itu juga. 
Di bawah pengaruh epistemologi modern, 
kita terbiasa memikirkan karya seni se-
bagai obyek diciptakan yang menghada-
pi subjek, subjek yang mengalami obyek 
yang dimasukkan ke dalam kesadarannya. 
Atas tulisan ini, untuk tingkat mana kita 
mampu mengatakan bahwa karya memi-
liki makna, harus ada sesuatu yang tetap 
dari ‘keadaan pikiran’. Namun bagi Ga-
damer, kesadaran tidak bisa menjadi tem-
pat makna; makna dari artis/penulis atau 
penonton/pembaca. Karena hanya jika, 
saat kita berada dalam drama, kita dalam 
pengertian yang diambil alih oleh permai-
nan (jadi diwujudkan oleh sesuatu yang, 
demikiran dikatakan, memiliki kehidu-
pannya sendiri) demikian juga karya seni 
melampaui isi setiap kesadaran khusus: 
karya seni memiliki eksistensi atau ‘model 
badan’ yang berjalan melampaui bidang 
representasi mental. Selanjutnya, sama 
seperti drama adalah natural, bentuk  pre-
sentasi-diri kasar, seni juga pada hakekat-
nya memiliki karakter ‘dibicarakan’: ka-
rya seni eksis secara inheren, jika kurang 
lebih secara langsung, ‘bagi’ seseorang. 
Kedekatan antara drama dan seni dinyata-
kan oleh Gadamer bahwa karya seni me-
miliki ontologi kejadian: ‘kejadian badan 
yang terjadi di dalam presentasi’. Menurut 
pandangan Gadamer, secara fundamental 
salah jika menafsirkan ketahanan tempo-
ral karya seni sebagai sesuatu yang me-
nyerupai permanensi obyek substansial. 
Seni adalah drama, seperti Gadamer me-
nyebutnya, yang ‘ditransformasi menjadi 
struktur’. Transformasi menjadi struktur 
memastikan kemampuan karya seni di-
buat untuk mewujud dalam banyak cara. 
Transformasi juga memungkinkan karya 
seni membuat klaim pada yang dituju. Te-
tapi validitas klaim itu tidak independen 
dari keterlibatan dan kepentingan orang 
yang dituju sendiri. Yang mengikuti ada-



HARMONIA, Volume 11, No.2 / Desember 2011198

lah bahwa sementara tidak ada karya seni 
yang pernah utuh selengkapnya, namun 
juga mengundang penyelesaian melalui 
berbagai macam model manifestasi dan 
resepsinya (Gadamer, 1986a:234).

Hermeneutika filsafat Gadamer 
mempertanyakan ‘subjektivisme’ kesa-
daran estetis dengan membuat kita was-
pada akan fakta bahwa karya seni memi-
liki kekuatan untuk mengungkap dunia 
dan karenanya juga mengekspresikan 
klaim tentang penerima seni (Gadamer, 
1986b:67). Sebagai respon benar terha-
dap klaim ini, pengalaman seni Erfahrung 
pada hakikinya merupakan bentuk dari 
pemahaman. Tetapi yang penting, pema-
haman yang diwujudkan dalam pengala-
man seni bukan pemahaman dalam pe-                       
ngertian yang dikenal oleh epistemologi 
modern. Kita tidak mengatasi kesadaran 
estetis dengan gagasan pemahaman ori-
sinal kita secara utuh. Sebaliknya, penye-
rapan estetika ke dalam hermeneutika 
memaksa kita untuk merevisi ide kita atas 
apa yang akan memahami sesuatu sama 
banyaknya seperti ia menantang kita un-
tuk memikirkan kembali model kita akan 
apa yang harus dialami dalam karya seni. 
Jika gagasan kita dari apa itu adalah untuk 
memahami sesuatu  dengan memasukkan 
pengalaman seni (dan sesuatu yang lebih 
kecil, menurut pandangan Gadamer, akan 
berubah-ubah dan dogmatis) maka pema-
haman harus cukup komprehensif agar 
kita bisa mengartikulasikan karakter pe-
ngalaman Erfahrung yang tidak lengkap, 
terkait-konteks dan pada dasarnya dialo-
gis (Gadamer, 1985:67).

Dominasi sain modern terhadap 
jaustifikasi dan klasifikasi konsep ke-
benaran dan pengetahuan, meskipun ti-
dak dapat dihindari, tidak bersifat legi-
timitasi. Fenomena ini membawa dapak 
terhadap kalim universal metode saitifik. 
Sebagai konsekuensinya, pengalaman ten-
tang kebenaran berada di bawah kontrol 
metode seintifik, agar mendapatkan legiti-
masinya ilmu-ilmu humaniora, seperti: fil-
safat, seni, dan sejarah, sedikit terabaikan. 
Pengalamn-pengalaman ini menyangkut 
komunikasi tentang kebenaran, seperti 
seni yang dipandang tidak dapat diveri-
fikasi secara metodis oleh ilmu-ilmu mo-

dern (Gadamer, 1986:xii).
Filsafat Kontemporer, menurut Ga-

damer, sangat menyadari hal itu. Namun 
yang lebih penting, menurut Gadama-
er, adalah pertanyaan sejauh mana klaim 
kebenaran tentang otoritas pengalaman-
pengalam yang tidak diakui ilmu itu men-
dapatkan legitimasinya secara filosofis. 
Gadamer menawarkan fenomena herme-
neutika sebagai satu-satunya modus fak-
tual yang lebih hakiki dalam investigasi 
fenomena pemahaman, yang memberikan 
legitimasi kebenaran sekali pun terhadap 
seni (Gadamer, 1986a:xii).

Investigasi tersebut bermula dari 
suatu kritik terhadap kesadaran estetik, 
untuk mempertahankan pengalaman ten-
tang kebenaran yang muncul melalui ka-
rya seni dari teori-teori estetik yang dibata-
si oleh konsep saintifik tentang kebenaran 
(Gadamer, 1975:xiii).  Gadamer berpenda-
pat bahwa seni tak terpisahkan dari dunia 
manusia. Berkat seni, dunia tampak cerah 
dan baru, seakan untuk pertama kalinya 
muncul. Suatu karya seni adalah suatu du-
nia estetis. Seni adalah pengetahuan (kunst 
ist erkenntnis). Legitimasi seni adalah bah-
wa ia mengungkap das Sein, bukan hanya 
semata-mata kesenangan estetik (Poespo-
prodjo, 1987: 112-113). Gadamer berusaha 
mendirikan subjektivisme tentang seni, 
seperti tercermin dalam persepsi Kant dan 
Hegel. Kant berpendapat bahwa seni tidak 
dapat menghasilkan pengetahuan yang 
benar. Hegel memandang seni sebagai pe-
nampakan idea belaka (Dow, 1996:173).

Gadamer berpendapat bahwa penga-
laman estetik tidak berpusat pada isi atau 
bentuk seni, melainkan pada apa yang di-
maksud. Hak tersebut yang seluruhnya di-
perantai oleh gambar atau visual atau pun 
bentuk yang berupa “dunia” (welt) dengan 
segala dinamikanya, berupa suatu kebena-
ran dari das Sein sebagai suatu peristiwa 
(Gadamer, 1986:xii). Gadamer tidak hanya 
berhenti pada justifikasi kebenaran tentang 
seni. Dia berusaha mengembangkan dari 
titik tolak ini sebuah konsep pengetahuan 
dan kebenaran yang menghubungkannya 
dengan seluruh pengalaman-pengalaman 
hermeneutiknya. Pengalaman tentang 
seni menunjukkan kebenaran-kebenaran 
esensial yang mengatasi atau melampaui 



Sunarto, Kesadaran Estetis Menurut Hans-Georg Ganamer 199

batas-batas pengetahuan metodi, tentang 
kebenaran yang menyeluruh dalam ilmu 
humanora, tentang tradisi historis manu-
sia di mana semua bentuk tertentu mem-
bangun objek-objek investigasi (Gadamer, 
1986:x).

PENUTUP

Gadamer telah memberikan sum-
bangan pemikiran yang besar, terutama 
dalam hermeneutika seni. Gadamer juga 
dianggap sebagai filsuf hermeneutik seja-
ti. Gadamer secara mendasar menegaskan 
bahwa persoalan hermeneutika bukan-
lah persoalan tentang metode dan tidak 
mengajarkan metode yang dipergunakan 
untuk geisteswissenchaften. Menurutnya, 
hermeneutika lebih merupakan usaha me-
mahami dan mengiterpretasi sebuah teks.

Hermeneutik merupakan bagian dari 
keseluruhan pandangan dunia. Herme-
neutik berhubungan dengan suatu teknik 
atau techne tertentu, dan berusaha kemba-
li ke susunan tata bahasa, aspek kata-kata 
retorik dan aspek dialektik sesuatu baha-
sa. Karena techne atau kunstlehle (ilmu 
tentang seni) inilah maka hermeneutik 
menjadi sebuah ‘filsafat praktis’, yang juga 
berarti sebuah ilmu pengetahuan tentang 
segala hal yang universal yang mungkin 
untuk diajarkan (Sumaryono, 1993: 78).

Tujuan pokok dari pemikiran Gada-
mer adalah menemukan kembali perta-
nyaan tentang kebanaran estetik. Dia ber-
pendapat bahwa  memahami pengalaman 
tentang seni dimulai dari kritik terhadap 
kesadaran estetik. Pengalaman tentang 
seni memberikan pangakuan bahwa seni 
tidak mencapai kebenaran sempurna, se-
perti yang dialami di alam term-term pe-
ngetahuan final. Seni bukan perkemba-
ngan absolut dan final. Manusia melihat 
suatu pengalaman sejati di dalam penga-
laman tentang seni yang ditampilkan da-
lam suatu karya, dan manusia menyelidiki 
tentang “ada” (mode of being) dari pengala-
man yang dialami itu. Lalu manusia beru-
saha dapat memahami bentuk kebenaran 
yang bagaimana yang mempertemukan 
manusia di alam estetis Menurutnya, her-
meneutika lebih merupakan usaha me-
mahami dan mengiterpretasi sebuah teks 

(Gadamer, 1986: 89).

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Loren. 2002. Kamus Filsafat, Jakarta: 
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: 
Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia 
Pustaka Utama.

Bleicher, Josef. 2003, Hermeneutika Kontem-
porer: Hermeneutika sebagai Metode 
Filsafat dan Kritik, diterjemahkan 
oleh Ahmad Norma Permata, Yog-
yakarta: Fajar Pustaka Baru.

Dow, Kathleen. 1966. “Art and the Simbol-
ic Elemen of Truth: What Gadamer’s 
Method Conveys”, International Phil-
osophical Quarterly, Vol. XXXVI, No. 
2, Issue No. 142, 173-182.

Gadamer, Hans-Georg. 1976. Philosophical 
Hermenutics, trans. and ed. by David 
E. Linge, Los Angeles: University of 
California.  

_______. 1980. Dialogue and Dialectic: Eight 
Hermeneutical Studies on Plato, trans. 
by P.C. Smith, New Heaven: Yale 
University Press.

_______. 1985. Philosophical Apprenticeships, 
trans. by Robert R. Sullivan, Massa-
chussets, Cambridge: The MIT Press

_______. 1986a. Truth and Method, NewY-
ork: Crossroad Publishing.

_______. 1986b. The Relevance of the Beau-
tiful and Other Essays, trans. by N. 
Walker, ed. By R. Bernasconi, Cam-
bridge: Cambridge University Press.

Grunfeld, Joseph. 1989. “Gadamer’s 
Hermeneutics”, Science et Esprit, 
XLI/2, 231-236. 

Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teo-
ri Baru Mengenai Interpretasi, Yogya-
karta: Pustaka Pelajar.

Poespoprodjo, 1987, Interpretasi: Beberapa 
Catatan Pendekatan Filsafati, Band-
ung: CV. Remadja Rosda Karya.

Smith, Nicholas H, “Hans-Georg Gadam-
er”, in in Jon Simon (ed.), 2002. From 
Kant to Levi-Strauss: The Backgraund 
to Contemporary Critical Theory, Edin-
burgh: Edinburgh University Press, 
hal. 181-196.

Sumaryono, E., 1993, Hermeneutik:Sebuah 
Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.