Kata Pengantar HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI Mandala Pendidikan Seni (The Mandala of Art Education) M. Jazuli Ketua Program Studi Pendidikan Seni Program Pascasarjana Unnes Abstrak Pendidikan seni memiliki peranan krusial dalam membantu pendewasaan peserta didik, dalam kerangka The values of Education in the context of Nation and Character Building'. Pendidikan seni merupakan pendidikan nilai yang berdimensi mental (moral), analisis, dan sistesis sehingga dapat membantu kecerdasan emosional dan intelektual, menghargai pluralitas budaya dan alam semesta, menumbuhkan daya imajinasi, motivasi dan harmonisasi peserta didik dalam menyiasari dan menanggapi setiap fenomena sosial budaya yang muncul ke permukaan. Atas dasar itulah, pendidikan seni mempunyai tujuan seperri halnya tujuan pendidikan umumnya, pengembangan pribadi secara utuh. Perbedaannya di dalam tujuan pendidikan seni hal-hal yang berkaitan dengan norma dan sistem nilai tidak bisa diamari secara langsung (intangible). Gejala rohani dan sistem nilai hanya dapat direfleksikan secara filosofis, dalam arti dapat ditangkap makna simbolisnya berdasarkan aktualisasi sikap dan perilaku lahiriah. Untuk itu, pendekatan teoreris dan metodologik 'mandala' menjadi strategi pilihan guna memetakan dan mendekonstruksi khasanah pendidikan seni. Kata kunci: pendidikan seni, pendidikan nilai, pengembangan pribadi. A. Pendahuluan Berangkat dari suatu keprehatinan atas kondisi bangsa kita, yang belum se- penuhnya lepas dari lingkaran krisis-krisis nilai atau dalam terminologi F. Capra ‘krisis eksistensial’, ‘krisis multikultural’ menurut Habermas. Krisis nilai ini ter- cermin dari merebaknya berbagai macam peristiwa dan tindak kekerasan yang cen- derung melecehkan martabat manusia sa- tu dengan lainnya. Misalnya: perampok- an, pemerkosaan, tawuran antar pelajar maupun antar kampung, serta bentuk tin-dakan korupsi, manipulasi, sampai men-jamurnya pornografi dan porno-aksi. Se-mua ini dapat kita simak pada kehidupan sehari-hari, terutama tayangan media massa baik cetak maupun elektronik. Me- dia massa yang seharusnya melayani ma-syarakat tentang kebutuhan informasi, hiburan, dan pendidikan secara seim-bangkan, ternyata lebih menekankan segi hiburan segar, komersial, glamour, kocak dan sensasional. Pada sisi lain, dunia pendidikan kita cenderung menekankan aspek kognitif yang bermuara pada kecerdasan intelek- tualitas semata, sehingga kecerdasan emosional terasa terpinggirkan. Padahal, Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI pengetahuan yang baik belum tentu men- jamin perilaku baik. Kecerdasan intelek- tual hanya akan melahirkan manusia ro- bot, sumber daya manusia yang tak pu- nya ruh dan kurang berkarakter, manusia terampil yang kering etika, moral dan spiritual, serta melahirkan manusia yang berpikiran pragmatis dan berselera ins- tant, dalam arri mencari sesuatu dengan cara relatif mudah dan pintas, cepat di-nikmati, dan cepat pula dibuang. Atas dasar inilah, kecerdasan intelektualitas perlu diimbangi dengan kecerdasan emo-sional dalam hal ini pendidikan nilai, yang salah satunya dapat dilakukan me- lalui pendidikan seni. Dalam Quantum Learning (Bobbi dan Mike Hernacki,1999), pendidikan nilai merupakan wacana utama dan kompo- nen pendidikan seni menempati posisi strategis pada metode dan proses penga- jarannya. Hal ini barangkali pendidikan seni dipandang dapat membantu sese- orang untuk mengembangkan imajinasi dan harmonisasi dalam menyiasati ber- bagai masalah kehidupan. Persoalan yang muncul kemudian adalah, seberapa jauh- kah pendidikan seni dipahami sebagai pendidikan nilai? Apa dan bagaimana pendiikan seni memberi kontribusi terha- dap dunia pada umumnya? Nilai-nilai macam apa saja yang mampu diberikan oleh pendidikan seni kepada pendidikan generasi muda bangsa ini? Deretan perta- nyaan seperti ini dapat diperpanjang dan dipertajam lebih jauh lagi, karena pendi- dikan seni merupakan keniscayaan dari sebuah perpectual grappling (pergulatan te- rus-menerus) terutama dalam bentuk ke- giatan experience dan experiment-exploration. Tulisan ini hendak mencoba meme- takan dan mendekonstruksi pendidikan seni dalam perspektif ‘mandala’ pende- katan teo-retik dan metodologik. B. Mandala Dalam tulisan ini ’mandala’ dime- ngerti sebagai ’diagram magis’, artinya sebuah peta pembagian ruang, wilayah, kawasan kehidupan guna menentukan bagian-bagian mana yang memiliki ke- kuatan mistis-magis yang lebih daripada yang lainnya. Dengan pemahaman ter- sebut menandakan mandala berada pada tataran filosofis (Jazuli, 2004). Mandala sebagai diagram magis mempunyai satu titik tengah sebagai inti atau pusatnya sebagai sumbu dari garis- garis imajiner yang membentang ke po- ros horizontal dan poros vertikal untuk menghubungkan tata ruang atau kawasan dalam mandala. Sungguh pun secara kos- mologis kedua garis itu mempunyai jang- kauan tak terhingga atau tak terbatas, (pada gambar disimbolkan huruf S). Titik pusat inilah secara kualitatif merupakan kristalisasi power, substansi otoritas, sum- ber energi, sekaligus simbol ‘aku’ yang dapat memercik (bagai percikan api) ke berbagai dimensi ruang-waktu. Apa yang dimaksud inti merupakan simbolisasi dari sesuatu yang dianggap suci, dianggap paling tinggi, paling penting, substansial. Mandala pada dasarnya merupakan se- buah peta dari rekonstruksi teori Jawa, sadular papal kalima pancer. Spirit mandala adalah kearifan, wisdom, humanis, dan bukan pengkultusan atau pengagungan. Spirit ini dimaksudkan agar orang mam- pu memahami posisi dan perannya ma- sing- masing dalam kerangka memayu ha-yuning bawana. Dengan cara pandang se-perti ini akan tercipta kesadaran menda- lam tentang siapa jati dirinya, sehingga tertubuhkan kebanggaan dan keterlibatan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, apa pun bila hendak dilihat melalui konsep mandala harus dipandang dalam bentangan alam budaya (cultural landscape), bukan bentangan Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI politik kekuasaan maupun tata ekonomi kapitalis liberal (Jazuli, 2004). Kearifan itu dapat dimak- nai sebagai rambu-rambu planologi, ram- bu-rambu sikap dan aktivitas pengem-bangan, maupun rambu- rambu bagi pe-ngembangan proyek atau program apa pun yang tengah digeluti. Adapun pola dasar mandala saya rumuskan pada diagram berikut ini. Pola dasar mandala adalah berben- tuk lingkaran konsentris. Di dalam ling- karan ada satu titik pusat dua garis ordi- nat yang membentang poros vertikal dan horizontal. Pada poros vertikal terkan- dung tiga lingkaran berjenjang (tahapan), yang menunjuk pada tingkat kualitas capaian bersifat transen-den, metaphisik (habluminallah). Lingkaran 1 digambarkan sebagai kawasan bawah dengan kualitas dasar, lingkaran 2 adalah kawasan tengah dengan tingkat kualitas di antara kualitas dasar dan tinggi, dan lingkaran 3 adalah kawasan puncak dengan kualitas terting- gi. Ketiga lingkaran berjenjang itu berhu- bungan secara sintagmatik, yakni sam- bung-menyambung bagaikan mata rantai. Pada poros horizontal, dari titik pusat konsentris terbagi menjadi empat dalam bentuk wilayah, zone sesuai de- ngan arah mata angin, yang pada konteks ini saya sebut dengan istilah ‘jagat’. Wilayah Timur identik dengan Jagat Timur (2), wilayah Selatan identik dengan Jagat Selatan (3), wilayah Barat dengan Jagat Barat (4), dan wilayah Utara identik dengan Jagat Utara (5). Masing-masing jagat secara struktural mempunyai kedu-dukan sebagai subsistem, dan secara fungsional mempunyai sistem sendiri yaitu memiliki titik pusat yang memben-tang ke poros horizontal dan vertikal. Dengan kata lain bahwa kedudukan se- tiap jagat merupakan subsistem dari kese-luruhan sistem mandala yang bersifat kuantitatif, imanen (habluminannas). Un- tuk menapaki tahapan menuju puncak kualitas sasaran (garis vertikal), masing-masing jagat harus berputar searah jarum jam, yang dimulai dari Timur (angka 2) sebagai awal orbit sekaligus simbol awal kehidupan. Ibarat nginteri (Jawa) atau tha-waf (berlari kecil mengelilingi ka’bah). Akselerasi dan keseriusan putaran meru-pakan simbol kedinamisan sistem yang hidup untuk menemukan ketenangan esensial, sebagaimana kisaran kipas angin atau kekhusukan berdzikir. Keempat ja- gat ini dapat disimbolisasikan bumi yang berfungsi sebagai ‘penyangga’ tiga ling-karan vertikal mandala atau simbolisasi angkasa. Berikut ini hendak dipaparkan peta pendidikan seni yang meliputi konsep, visi, misi, refleksi pada poros horizontal, serta tahapan kualitas yaitu pengajaran, kompe-tensi, dan pembentukan karakter pada poros vertikal. Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI C. Konsep Pendidikan Seni Suatu kecerdasan yang matang ba- rangkali hanya bisa ditunjukkan dengan cara mengimbangkan (equilibrium) antara kemampuan mengoptimalkan fungsi otak belahan kanan dan kiri. Hal ini ber- arti bahwa kecerdasan intelektual yang ber- sumber pada pengoptimalan fungsi otak belahan kiri harus sebanding dengan pengembangan fungsi otak belahan kanan sebagai sumber potensi emosi dan seni. Pada konteks inilah peranan pendi- dikan seni sangat krusial dalam memban- tu pendewasaan peserta didik. Asumsi tersebut cukup beralasan, mengingat di dalam pendidikan seni berdimensi mental (moral), analisis, dan sistesis sehingga da- pat membantu kecerdasan emosional dan intelektual, menghargai pluralitas budaya dan alam semesta, menumbuhkan daya imajinasi, motivasi dan harmonisasi pe- serta didik dalam menyiasati atau me- nanggapi setiap fenomena sosial budaya yang muncul ke permukaan. Oleh karena itu, pendidikan seni mempunyai tujuan seperti halnya tujuan pendidikan umum- nya. Perbedaannya di dalam tujuan pen- didikan seni hal-hal yang berkaitan dengan norma dan sistem nilai tidak bisa diamati secara langsung (intangible). Gejala rohani dan sistem nilai hanya dapat dire- fleksikan secara filosofis, dalam arti dapat ditangkap makna simbolisnya berdasar- kan sikap dan perilaku lahiriah. Berdasarkan perspektif di atas, pendidikan seni harus mengarah pada suatu hal yang paling mendasar tentang kebutuhan dasar manusia untuk me- ngembangkan diri secara alamiah mau- pun ilmiah berdasarkan kompetensi se- tiap individu. Dengan demikian, kedu- dukan pendidikan seni akan memiliki arti penting dalam usaha pengembangan ke- cerdasan emosional (EQ) dan intelektual (IQ), serta merupakan bentuk pendidikan yang mampu memberikan keseimbangan (equilibrium) antara kebutuhan intelektua- litas dan sensibilitas kehidupan sese- orang. Dengan pertimbangan tersebut, konsep pendidikan seni harus mencakup perencanaan dan pelaksanaan secara sis- temik dan sistematik guna menunjang fungsi pendidikan pada umumnya, Pen- didikan Nasional, di antaranya ikut me- ngembangkan kemampuan dan memben- tuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, da- sar pendidikan seni harus dilandasi oleh ke- mampuan rasional, keserasian dan ke- seimbangan, kesadaran tujuan hidup dan pandangan hidup yang menghendaki ada-nya pengendalian diri dan kepentingan- kepentingannya dalam upaya mencapai kebahagiaan bersama. 1. Visi Dalam rangka mewujudkan pem- bangunan nasional di bidang pendidikan, maka upaya peningkatan dan penyem- purnaan penyelenggaraan pendidikan na- sional khususnya pendidikan seni, hen- daknya disesuaikan dengan tuntutan si- tuasi, yakni perkembangan ilmu pengeta- huan, teknologi dan perkembangan ma- syarakat serta kebutuhan pembangunan. Visi pendidikan seni perlu meng- arah kepada: pemahaman terhadap pe- Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI ranan seni dalam kehidupan manusia yang beradab dan berbudaya; membantu kemampuan persepsi dan sensitivitas terhadap berbagai fenomena sosial bu- daya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan lingkungannya; mening- katkan kemampuan menilai (justifycation) dan berpengalaman seni yang bermakna dalam kerangka kehidupan berbudaya dalam kapasitas pribadi maupun kelom- pok; meningkatkan kompetensi untuk menggali, mengungkap, dan mengkomu- nikasikan gagasan, pandangan, perasaan melalui media seni. Dengan visi pendidikan seni terse- but, peserta didik memperoleh peluang untuk mengungkapkan segenap penga- laman cipta, karsa, dan rasa estetikanya, serta kese-luruhan aspek kemampuan ma- nusia dapat terjangkau dan terbina secara utuh dan harmonis. 2. Misi Misi pendidikan seni yaitu mendidik dan membelajarkan peserta didik melalui media seni dalam kerangka untuk: me- ngembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan bidang seni (musik, tari, rupa) untuk memenuhi kebutuhan dasar estetika, serta mempersiapkan peserta di- dik (SD, SLTP, SMU) untuk mengikuti pendidikan selanjutnya; meningkatkan kesadaran dan kepekaan sensoris sehing- ga peserta didik memiliki daya persepsi memadai terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya; memberikan kebebasan un- tuk berekspresi kreatif sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan rasa percaya diri, tanggung jawab dalam kehidupan bersama (bermasyarakat); membangun kebersamaan dalam perbe- daan, pluralitas budaya (Tim FBS UNNES, 2001; Jazuli, 2005). Dengan misi pendidikan seni se- macam itu, dalam diri peserta didik dapat ditanamkan hal-hal yang berkaitan de- ngan konsep diri; pemahaman terhadap orang lain, budaya lain, dan lingkungan yang beragam; kehendak untuk belajar dan keterampilan belajar; tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa; kearifan dalam menggunakan ilmu pe- ngetahuan dan teknologi; dan kesadaran terhadap berbagai perubahan yang ter- jadi. 3. Tujuan Seni mempunyai peran yang sangat penting, sebagai: kebutuhan dasar pendi- dikan manusia (Basic Experience in Educa- tion), sarana berkomunikasi kepada orang lain maupun lingkungan budayanya, pe- ngembangan sikap dan kepribadian, de- terminan atau memberi peluang terhadap kecerdasan lainnya (Lansing, 1990; Holden, 1977). Oleh karena itu, pengem- bangan tujuan pendidikan seni hendak- nya mendasarkan nilai-nilai, gagasan (ci- ta-cita dan tingkat kedewasaan) peserta didik, dan pola-pola hidup kreatif melalui latihan- Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI latihan. Dengan kata lain bahwa tujuan tersebut hendaknya diarahkan ke-pada pemahaman sepenuhnya terhadap seni berdasarkan nilai-nilai sosial budaya, sehingga memberikan peluang bagi pe- serta didik untuk melakukan kegiatan kreatif. Kegiatan kreatif tersebut meru- pakan manifestasi dari kemampuannya berkomunikasi dengan sesama dan ling- kungannya, serta merupakan bentuk ak- tualisasi diri dalam kehidupannya. Atas dasar itulah pendidikan seni perlu me- mfokuskan perhatian kepada kebutuhan dan kemampuan peserta didik beserta berbagai fenomena (tuntutan dan tan- tangan zaman) yang sedang berlangsung di sekitarnya. Keberhasilan kegiatan pendidikan di sekolah perlu memperhatikan berbagai dimensi perilaku. Brent G. Wilson me- nafsirkan tiga dimensi perilaku dari Bloom, yaitu kognitif, afektif dan psiko- motorik menjadi tujuh dimensi perilaku seni, meliputi: 1) persepsi, 2) pengetahu- an, 3) pemahaman, 4) analisis, 5) evaluasi, 6) apresiasi, 7) produksi. Ketujuh aspek tersebut bersifat berjenjang dan perlu di- pelajari peserta didik melalui seni yang beragam. Untuk itu dalam penyusunan peta kompetensi dasar pendidikan seni perlu digariskan perilaku yang akan dica- pai, dengan mempertimbangkan visi, mi- si, jenjang pendidikan, dan perkembang- an peserta didik (Surono, 2001). 4. Refleksi Berdasarkan pemahaman semacam itu pendidikan seni diharapkan dapat me- refleksikan empati, pengendalian diri, ke- mandirian, dan kenikmatan hidup. Em- pati dapat ditimbulkan melalui kegiatan seni yang melibatkan banyak peserta di- dik agar senantiasa bekerjasama untuk mencapai tujuan kegiatan seni yang ber- sangkutan. Kerjasama itulah akan mam- pu menumbuhkan kesetiakawanan, tole- ransi, dan komunikasi sosial yang kon- dusif. Pengendalian diri dapat dipupuk dan dikembangkan melalui aktivitas seni kreatif yang melibatkan sensitivitas peser- ta didik dalam merespons suatu fenome- na. Kemandirian tidak jarang mampu menimbulkan sikap percaya diri. Keman- dirian dapat dilatih dengan cara mem- berikan peluang seluas-luasnya untuk ber- ekspresi kreatif dan keberanian menam- pilkan diri. Kemampuan untuk menik- mati hidup merupakan pengalaman yang perlu dibiasakan. Sebab kenikmatan hi- dup hanya bisa dirasakan oleh peserta didik atau orang yang telah mampu me- nunjukkan ketenangan, kepercayaan diri, toleransi, sikap sopan dan perilaku san- tun, serta cerdas dan kreatif mengan- tisipasi masa depan. Kenikmatan hidup yang dirasakan peserta didik menandakan pada pembentukan dan pengembangan pribadi peserta didik secara utuh. Jika keempat refleksi tersebut bisa terpenuhi, maka pendidikan seni dapat menjadi wahana pembentukan dan pengembang- an sumber daya manusia yang kualitas, manusia yang selalu berusaha untuk mengaktualisasikan diri, serta menjadi wahana pelestarian nilai-nilai budaya bangsa, khususnya nilai-nilai etis dan es-tetis seni-budaya bangsa yang muaranya dapat memperkuat bagi pembentukan identitas diri, budaya lokal, dan identitas budaya Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI nasional. Dengan demikian, im-plikasi pendidikan seni berada pada The values of Education in the context of Nation and Character Building. D. Pengajaran Seni Pembelajaran seni pada dasarnya merupakan upaya untuk membelajarkan peserta didik dengan menggunakan seni sebagai media (education through art), seni sebagai alat, seni sebagai materi ajaran, dan seni sebagai bentuk rekreasi bagi peserta didik. Seni sebagai media (wahana) untuk menggali subject matter melalui aspek-as- pek seni dari suatu konsep mata pelajar- an, seperti belajar matematika mengguna- kan perlengkapan yang berbentuk dan bernilai seni. Seni sebagai alat dalam arti untuk memahami subject matter dari suatu mata pelajaran tertentu. Misalnya belajar anatomi manusia dengan cara mengupas fungsi dan struktur bentuk manusia seba- gai ciptaan Tuhan, meskipun bentuknya sama tetapi rupanya berbeda-beda. Seni sebagai materi ajaran, yaitu menggali, me- mahami, mencipta dan mengekspresikan berbagai konsep dan prinsip seni dalam karya seni. Seni sebagai bentuk rekreasi, artinya dalam pengajaran seni hendaknya selalu menumbuhkan rasa senang pada diri peserta didik harus merasa menik- mati kegiatan belajar. Berangkat dari rasa senang dan nikmat inilah merupakan modal dasar untuk pengembangan priba- di peserta didik. Dengan strategi pengajaran seperti itu diharapkan agar peserta didik mem- peroleh pengetahuan dan pengalaman baru. Pengetahuan dan pengalaman baru itu tidak selalu harus bersifat fungsional atau lang-sung bermanfaat dalam kehi- dupan nyata, melainkan lebih merupakan perpetual grappling (pergulatan terus-me- nerus) deng-an pengetahuan yang ada. Arti- nya pergulatan tersebut dipahami sebagai pemikiran kritis, konstruktif, dan inovatif terhadap gagasan yang telah ada sebe- lumnya. Oleh karena itu, bentuk kegiatan seni harus be-rupa penggalian experience dan experiment-exploration. Adapun metode pendekatan yang dipilih dan dikembangkan hendaknya berupa pemberian bimbingan kepada peser- ta didik dalam mempelajari hal-hal yang bersifat praktis ke teoretis, konkret ke abstrak, dan inderawi ke intelektual (Crea- tive Problem Solving). Dengan demikian, dalam pembelajaran seni di sekolah (SD sampai SMU) harus diarahkan pada: 1) pengembangan kreativitas dan sensitivi- as pribadi peserta didik; 2) pembentukan dan pengembangan pribadi peserta didik; 3) pemberian kesempatan yang luas ke- pada peserta didik untuk berekspresi dan berapresiasi lewat aktivitas-aktivitas seni yang mampu mengungkapkan pengalam- an yang telah diperoleh peserta didik. Hal tersebut secara konkret dapat ditem- puh melalui berbagai macam pcndekatan. Misalnya: (1) stimulus-respons, (2) non- indoktriner, (3) meningkatkan motivasi terus menerus, (4) kritik konstruktif, (5) kecukupan alokasi waktu yang sesuai atau proporsional (2 jam per minggu untuk tiap bidang seni musik, tari, rupa), (6) peniruan (imitation) untuk peserta didik SD, (7) eksplorasi atau penemuan untuk SMU. Pengajaran seni (baik materi mau- pun metode) disesuaikan dengan taraf perkembangan (psikologis) peserta didik. Pengenalan elemen-elemen musikal, ele- men-elemen tari dan elemen-elemen rupa melalui kegiatan yang diawali dengan ke- giatan meniru (imitation), dan kemudian dikembangkan pada kegiatan yang meng- arah kebebasan berekspresi dan berapre- Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI siasi sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik. E. Pendidikan Nilai Sebuah pendidikan nilai mensyarat- kan adanya kompetensi dasar. Kompe- tensi dasar adalah kemampuan yang me- madai atas pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan nilai yang harus dimiliki dan dikem-bangkan pada diri peserta didik (Yulaelawati, 2001). Kompetensi dasar yang penting dikembangkan mela- lui pendidikan seni adalah kemampuan yang mampu menjebatani dan mendu- kung tercapainya tujuan pendidikan (art education should be the basic of education). Dengan kata lain bahwa pendidikan seni sebagai education throught art. Berdasarkan hal tersebut, kompe- tensi dasar yang harus dimiliki peserta didik di antaranya adalah: (1) kemam- puan menganti-sipasi masa depan secara kritis dengan men-dasarkan kepada pengetahuan dan pengala-mannya; (2) kemampuan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi; (3) kemampuan mengako-modasi atas perubahan-perubahan yang terjadi; (4) kemampuan mengaplikasikan dan mengembangkan nilai-nilai, sikap, pikiran sesuai dengan identitas diri dan budayanya. Untuk sampai pada kompetensi tersebut, maka setiap peserta didik perlu dilatih dan dibimbing dengan kegiatan seni yang mengarah kepada: kemampuan dan keterampilan menyajikan bidang seni yang diminati, seperti musik, tari, dan atau rupa; kemampuan berekspresi dan berapresiasi untuk keperluan aktualisasi diri; kemampuan untuk mengembangkan gagasan sebagai dasar berkreasi; dan ke- mampuan merefleksikan fenomena sosial budaya yang terjadi di sekitarnya. Dari sinilah diperlukan standar materi dan standar pencapaian hasil belajar. Standar materi merupakan bagian dari struktur keilmuan yang menyajikan suatu bahan kajian yang dapat berupa ba-han ajar, gugus isi, proses, keterampilan, konteks, dan atau pengertian konseptual yang dipilih untuk mencapai kompetensi dasar yang ditentukan. Standar penca- paian hasil merupakan ukuran dan ting- katan kemampuan, pengetahuan, kete- rampilan, dan sikap yang telah ditetapkan untuk dipahami, dilakukan dan dihayati oleh peserta didik agar mampu member- dayakan dirinya dalam kegiatan belajar yang efektif. Contoh standar materi, seperti peserta didik memiliki pengeta- huan dan keterampilan dasar menguasai elemen-elemen bidang seni tertentu, se- perti elemen musikal (seni musik), kom- posisi gerak, ruang dan waktu (elemen dasar seni tari), dan elemen dasar seni rupa (garis, bentuk, warna dan seba- gainya), serta mampu mengaktualisasikan dalam bentuk ekspresi kreatif dan apre- siasi. Disamping itu peserta didik me- miliki sikap dan kepribadian yang positif yang tercermin pada perilaku atau tin- dakannya. Standar pencapaian hasilnya bergantung pada kriteria-kriteria yang te- lah ditetapkan dalam perencanaan pem- belajaran sebelumnya. F. Pembentukan Karakter Bertolak dari pemahaman pendidik- an seni sebagai salah satu bentuk pendi- dikan nilai berarti telah menunjukkan pada The values of Education in the context of Nation and Character Building. Tingkat per- sepsi dan aktualisasi peserta didik terha- dap nilai-nilai yang termuat dalam visi, misi, tujuan pendidikan seni merupakan wahana utama pembentukan karakter. Sebab, nilai-nilai semacam itu akan men- Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI jadi daya dan spirit kekuatan guna mela- hirkan sebuah pemikiran, tindakan, dan pemikiran positif dan konstruktif. Oleh karena itu, amat disayangkan sebagian besar guru masih sering terjebak pada kompetensi akhir (produksi) saja di da- lam proses pembelajaran seni, sehingga cenderung mengesampingkan kepekaan indrawi. Cara pengajaran semacam itu jelas tidak sesuai dengan tujuan pemben- tukan karakter, meskipun mungkin peser- ta didik sangat terampil, tetapi cenderung tidak mempunyai kepekaan estetis, ima- jinatif, dan kreatif. Demikian pula dalam kegiatan apresiasi seni, peserta didik ha- nya diberi pengetahuan teoretis, hafalan, cara berkarya seni, tetapi tidak dengan serta merta diberi bagaimana berempati, merenungkan, merasakan, mengevaluasi, dan menghargai. Dengan demikian, pro- ses dari kompetensi itu sendiri sangat penting, bahkan lebih utama dari produk akhir. Oleh karenanya, materi pendidikan seni harus dirancang sesuai dengan ting- kat kemampuan dan keterampilan, minat, kematangan pemahaman dan imajinasi, serta kebutuhan peserta didik. Misalnya: untuk usia 12 tahun bisa dimulai dengan materi pembelajaran berupa pengenalan konsep, gagasan, dan pemikiran; untuk usia 17 tahun dengan materi yang berupa topik-topik berhubungan dengan sensory experience with concrete rather that abstract learning, dan sebagainya. Pengembangan materi sebagai sub- sistem kurikulum hendaknya taat asas atau kontinu, artinya dari tingkat kelas ke tingkat kelas yang lain (jenjang studi beri- kutnya) harus ada kesinambungan materi ajar. Dengan kata lain, bahwa materi ajar untuk SD, SLTP, dan SMU harus berke- sinambungan dan perbedaanya terletak pada ke-luasan, kedalaman, dan tingkat abstraksinya. Pemilihan dan pengem- bangan materi juga harus memperhatikan signifikansi, daya tarik atau perhatian, dan kemampuan belajar peserta didik. Semua itu dalam usaha untuk menum-buhkan karakter peserta didik agar dapat berkembang secara alami dan sesuai dengan cara-cara dan potensi-potensi yang ada pada setiap peserta didik. G. Simpulan Berdasarkan pemetaan pendidikan seni yang telah dipaparkan, dapat dike-mukakan implikasi-implikasi sebagai beri-kut. Pertama, pendidkan seni merupakan salah satu bentuk pendidikan nilai yang sangat diperlukan bagi pembentukan ka- rakter seseorang agar memiliki kepriba- dian yang relatif kokoh. Oleh karena itu, pema-haman guru agar senantiasa mena- namkan nilai-nilai yang termuat dalam visi, misi, tujuan, dan refleksi pendidikan seni kepada peserta didik menjadi perso- alan penting dan mendesak. Tingkat per- sepsi peserta didik terhadap nilai-nilai tersebut, yang kemudian diaktualisasikan dalam sikap dan tindakan merupakan to- lak ukur sebuah pendidikan nilai. Kedua, Pendekatan dalam pendidikan seni harus selaran dengan minat dan kemampuan peserta didik, serta kondisi sosial budaya ekonomi lingkungan belajar. Ketiga, kepekaan etik dan estetis serta kemampuan berimajinasi dan berkreasi dapat dikem- bangkan dengan cara belajar dengan seni, belajar melalui seni, belajar tentang seni, dan belajar dengan senang dan enak. Dari ketiga rumusan tersebut ber- implikasi pula terhadap peranan dan kompetensi guru seni. Guru seni ditun- tut dapat memenuhi persyaratan terten- tu, di antaranya adalah: 1) berwawasan luas, terampil, dan bertanggungjawab ter- hadap profesinya; 2) menguasai bidang ilmu (seni) dan kreatif dalam mengem-bangkan Vol. VI No. 3/September-Desember 2005 HARMONIA: JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI materi ajar; 3) memahami ma-turitas dan perkembangan peserta didik dalam belajar seni; 4) menguasai teori dan prakrik dalam kerangka pembelajaran seni; 5) mampu merancang dan menge- lola pembelajaran seni; (6) dan yang lebih utama adalah guru harus benar-benar memahmi bahwa pendidikan seni meru-pakan pendidikan nilai yang terus berpro- ses dan berubah sesuai dengan situsi dan kondisi lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi, lingkungan sekitarnya. � Daftar Pustaka DePorter, Bobbi, dan Mike Hernacki, 1999, Quantum Learning, diterjemah-kan oleh Alwiyah Aburrahman, Bandung: Kaifa. Golberg, Merryl, 1997, Arts and Learning: An Integrated Approach to Teaching and Learning in Multicultural and Multili- ngual settings, New York: Longman. Holden, D.C., 1977, ”The art in General Education: Aethetic Education”, dalam Rubin, L. (ed.), Curriculum Handbook, Boston: Allyn and Bacon, hal. 122-132. Jazuli, M, 2000, ”Tiada Keunggulan Tanpa Kekuasaan”, Makalah Kongres Pendidikan Nasional, Hotel Indonesia Jakarta 11-20 September 2000. ---------------, 2001, ”Mempertimbangkan Konsep Pendidikan Seni”, Harmo- nia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol 2, No. 2/Mei-Agustus 2001, Sendratasik, FBS, Universitas Negeri Semarang. -------------, 2005, ”Membangun Kecer- dasan melalui Pendidikan Seni”, dalam Meningkatkan Kualitas Pendi- dikan Tinggi, Semarang: LUSTRUM VIII UNNES. Lansing, K.M., 1990, Art, Artists and Edu- cation, London: MsGraw-Hill Book Company. Read, Herbert, 1982, The Meaning of Art, New York: Faber and Faber. Salam, Sofyan, 2001, ”Pendekatan Eks- presi-Diri, Disiplin, dan Multikul- tural dalam Pendidikan Seni Rupa”, Wacana Sent Rupa, Vol. 1 No. 3, hal. 12-22. Shapiro, Lawrence E. 1997. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Alih Bahasa Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Surono, Cut Kamaril, 2001, ”Konsep Pendidikan Seni Tingkat SD-SLTP- SMU”, Makalah Semiloka Pendidikan Seni, Jakarta 18-20 April 2001. Tim Pengembang Pendidikan Seni FBS Semarang, 2001. ”Konsep Pendi- dikan Seni di Indonesia”, Makalah Semiloka Pendidikan Seni, Jakarta 18-20 April 2001. Yulaelawati, Ella, 2001, ”Pendekatan Kompetensi dalam Perubahan Ku- rikulum Nasional Pendidikan Seni”, Makalah Semiloka Pendidikan Seni, Jakarta 18-20 April 2001. aru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. William Vol. VI No. 3/September-Desember 2005