16 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 Remaja Bisa Mencegah Gizi Lebih dengan Meningkatkan Self-Efficacy dan Konsumsi Sayur-Buah Fauzan Widianto1, Sigit Mulyono2, Poppy Fitriyani2 1 Departemen Keperawatan Akper Setih Setio, Muara Bungo, 37211 Indonesia 2 Departemen Keperawatan Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: Fauzanwidianto31@gmail.com ABSTRAK Prevalensi gizi lebih pada remaja setiap tahunnya mengalami peningkatan. Gizi lebih merupakan suatu masalah yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya kurangnya konsumsi sayuran dan buah. kurangnya konsumsi sayuran dan buah di asumsikan tidak adanya keyakinan (self-efficacy) pada remaja untuk mengonsumsi sayuran dan buah karena beberapa hal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan self-efficacy dengan konsumsi sayuran-buah dan kejadian gizi lebih. Metode yang digunakan adalah crossectional. Jumlah sampel yang digunakan adalah 156 remaja kelas 7 dan 8. Tekhnik pengambilan sample yang digunakan adalah stritified propotional random sampling. kuesioner yang digunakan adalah Self- efficacy for fruit, vegetable and water intake dan food recall. Penelitian ini menunjukan bahwa self-efficacy berhubungan dengan konsumsi sayuran dan buah dan kejadian gizi lebih (OR=9,467, 2,093). Hasil regersi logistik menunjukan preferensi merupakan variabel confounding pada konsumsi sayuran dan buah. sedangkan jenis kelamin, genetik dan konsumsi sayuran dan buah merupakan variabel confounding dari gizi lebih. Kata kunci:, Gizi Lebih, Konsumsi Sayuran dan Buah, Obesitas, Remaja, Self-efficacy ABSTRACT The prevalence of overweight in adolescents each year has increased. Overweight is a complex issue that is influenced by many factors, one of the cautions is the lack of consumption vegetables and fruit. Lack of consumption vegetables and fruit in the adolescents is assumed to Info Artikel: Masuk : 4 Januari 2017 Revisi : 12 Mei 2017 Diterima : 22 Mei 2017 DOI Number : 10.18196/ijnp.1257 17 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 be absence of confidence (self-efficacy) in adolescents to eat vegetables and fruit for several reasons. The purpose of this study was to determine the relationship self-efficacy with vegetable-fruit consumption and the incidence of overweight. The method of research used way cross sectional. A total samples of 156 teenagers grade 7 and 8 in Junior high schools was involved in this study. Using stratified proportional random sampling. The questionnaires used are Self-efficacy for Fruit, Vegetable and Water Intake and Food Recall. This study showed that self-efficacy associated with the consumption of vegetables and fruit and the incidence of overwight (OR=9,467, 2,093).. The results of regresion logistic showed preferences had confounding variable in the consumption of vegetables and fruit. whereas gender, genetics and consumption of vegetables and fruit is a confounding variable of nutrition Keywords : Adolescents, Obese, overwight, Self- efficacy, Vegetables Fruits Intakes PENDAHULUAN Permasalahan gizi remaja di beberapa negara seperti di negara maju dan berkembang tidak jauh berbeda. Di negara maju terjadi pergeseran permasalahan gizi, dimana terjadi penurunan gizi kurang dan meningkatnya gizi lebih. Hal tersebut merupakan fenomena di beberapa tiga dekade ahir ini. Berdasarkan Riskesdas (2013) angka kejadian gizi kurang pada remaja umur 13-15 tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2007 angka kejadian gizi kurang pada remaja umur 13-15 tahun sebanyak 11,5 % turun menjadi 7,8% pada tahun 2013. Penurunan kejadian gizi kurang berbanding terbalik dengan kejadian gizi lebih yaitu 2,4% pada tahun 2007 naik menjadi 10,8% pada tahun 2013. Prevalensi gizi lebih setiap tahun mengalami peningkatan, Rosner (2002) menyatakan lebih dari setengah milyar dari total 6,2 milyar jiwa penduduk di dunia mengalami gizi lebih. World Health Organitation (2000) telah mendeklarasikan obesitas sebagai epidemi global. Pada tahun 2008 CDC melaporkan bahwa 20% anak usia sekolah (6 – 17 tahun) di Amerika Serikat mengalami overweight dan lebih dari 40% mengalami obesitas (CDC, 2010). Prevalensi obesitas di Eropa juga mengalami peningkatan dua kali lipat setiap tahunnya terutama di Eropa Barat dan Selatan (Lobstein, 2003). Meningkatnya prevalensi gizi lebih pada remaja di Indonesia disebabkan oleh perubahan gaya hidup pada remaja. Sekarang ini terjadi perubahan pola makan dimana remaja lebih suka makan-makanan yang berlemak, manis dan cepat saji dari pada makan sayuran dan buah. Pola aktivitas remaja seperti jalan kaki, bersepeda, melakukan permainan yang mengeluarkan keringat, dan berolahraga sangat minim dan kebanyakan remaja lebih suka menonton televisi dan bermain gadget. Menurut Riska (2010) faktor seseorang yang menyebabkan gizi lebih pada remaja diantaranya ketidak-seimbangan asupan makan dan aktifitas fisik serta kurang memperhatikan faktor-faktor lain yang secara terintegrasi seperti aspek psikologis (Body image), aspek psikiatrik (depresi), dan aspek gender. Maurer dan Smith (2011) dalam penelitiannya mengatakan remaja yang berjam-jam di depan komputer, televisi dan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan gula merupakan faktor penyebab obesitas. Gizi lebih pada remaja harus segera ditangani karena mempunyai banyak dampak yang sangat merugikan. Akibat gizi lebih negara maju seperti Amerika Serikat mengalami permasalahan financial sebesar US$ 146 milyar (Trogdon, 2012). Dampak selanjutnya Menurut Palilingan (2010), masalah kesehatan yang dapat terjadi pada remaja yang mengalami gizi lebih seperti penyakit hipertensi, diabetes melitus (DM tipe II), kardiovaskuler, dan gangguan fungsi hati (displidemia). Intervensi promosi kesehatan di sekolah seperti konsumsi sayuran dan buah merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh perawat komunitas dalam mengatasi permasalahan status gizi, sehingga remaja dengan gizi lebih terhindar dari permasalahan penyakit kronik lainnya. Kecenderungan dampak negatif yang ditimbulkan oleh gizi lebih menyebabkan remaja dengan gizi lebih termasuk dalam populasi berisiko (at risk populations) 18 Chong dan Hoer (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa remaja yang mengonsumsi sayuran dan buah-buahan 5 porsi dalam sehari mengalami penurunan berat badan. Selain itu, konsumsi sayuran dan buah dikaitkan dengan penurunan resiko penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler (Dauchet et al, 2006; Guillanie, 2012). Sayuran dan buah mencegah resiko kanker tertentu, terutama dari sistem pencernaan (Boffetta et al, 2007; Guillanie, 2012). Promosi kesehatan melalui edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya pembelajaran, dan pembelajaran merupakan cara untuk menambah pengetahuan, sikap, dan keterampilan melalui sebuah praktik dan pengalaman tertentu (Smeltzer & Bare, 2008; Potter & Perry, 2009). Edukasi mengenai gizi adalah metode yang paling umum digunakan untuk mempromosikan perilaku makan akan tetapi hasilnya sangat kurang (Mann et al, 2007; Annesi, 2011). Meta-analisis juga menunjukan bahwa program edukasi kelompok biasanya membawa dampak positif terhadap konsumsi sayuran dan buah akan tetapi dampak klinis seperti perilaku dianggap marginal (Gullianie, 2012). Selain itu sebagian besar edukasi tidak secara teoritis mengidentifikasi perubahan perilaku dan variabel psikososial yang memediasi perubahan perilaku. Kurang efektifnya edukasi kesehatan untuk mengubah perilaku makan di dukung beberapa penelitian yang menunjukan bahwa keterampilan dalam pengaturan diri (self-regulatory) diterapkan untuk mengendalikan perilaku makan. Hal tersebut merupakan faktor yang jauh lebih penting daripada pengetahuan tentang nutrisi dalam mengubah perilaku diet pada remaja dengan obesitas (Powell et al., 2007; Annesi, 2011). Lippke dan Ziegelmann (2008) menyatakan untuk mengubah perilaku diet seseorang, tidak bisa dilakukan hanya dengan memberikan pengetahuan dasar tentang gizi saja, tetapi juga perlu adanya motivasi dan kehendak dari individu tersebut yang kemudian memandu sebuah proses dalam mengontrol perilaku (self-regulatory). Kemampuan seseorang dalam mengontrol sebuah perilaku atau self-regulatory tergantung pada keyakinan seseorang dalam melakukan sebuah tindakan tertentu. Faktor motivasi dan kehendak dalam mengontrol perilaku sangat dipengaruhi oleh self-efficacy. Tinjauan sistematis akhir-akhir ini mengidentifikasikan bahwa selain kebiasaan dan niat, self-efficacy juga merupakan faktor yang konsisten dalam perubahan perilaku konsumsi sayuran dan buah pada remaja (Guillaume, Godin & Vezina Im, 2010). METODE Penelitian ini menggunakan desain crossectional. Populasi dalam penelitan ini adalah seluruh remaja yang bersekolah di SMPN di jagakarsa. Jumlah sample dalam penelitian ini berjumlah 164 remaja kelas 7 dan 8.. Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah remaja dengan status IMT < 1 SD (gizi kurang). tekhnik sampling yang digunakan adalah multistage stratified propotional random sampling. Penilaian self-efficacy menggunakan quesioner Self- efficacy for fruit, vegetable and water intake. Penilain IMT dengan microtois dan timbangan berat badan. Pengukuran intake makanan dan aktifitas fisik pada remaja menggunakan food recall dan adolescent phisycal activity recall quesiober. Pengkategorian self-efficacy dinyatakan dengan cutt of point dari skor mean self-efficacy (Baik: ≥ 85; kurang : ˂ 85). Selanjutnya pengkategorian konsumsi sayur-buah menggunakan jumlah porsi konsumsi sayur-buah setiap hari berdasarkan standar WHO. Dikategorikan kurang apabila jumlah konsumsi sayur buah pada remaja < 4 porsi/hari. Dikategorikan cukup apabila jumlah konsumsi sayur-buah ≥ 4 Porsi/Hari. Pengkategorian Indeks Masa Tubuh berdasarkan standar WHO yaitu Sangat kurus (< -3SD), Kurus (-2 SD sampai -3SD), Normal (-2 SD sampai + 1SD), Overweight (+ 1 SD sampai +2 SD), Obesitas (> +2SD). Pada penelitian ini IMT dikategorikan menjadi dua yaitu gizi lebih (jika IMT/U > + 1SD) dan normal (jika IMT/U -2 - 1 SD). Sedangkan gizi kurang dalam penelitian ini dieksklusikan. Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Universitas Indonesia. Analisis bivariat 19 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 dalam penelitian ini menggunakan uji kai kuadrat dan untuk multivariatnya menggunakan regresi logistik. HASIL Dari 164 remaja hanya 154 yang menjadi responden. Delapan responden dikeluarkan dari penelitiann ini dikarenakan tidak lengkap dalam pengisian kuesioner. Dari jumlah tersebut jenis kelamin responden perempuan lebih banyak dari pada laki-laki yaitu 92 (59%). Penghasilan keluarga responden lebih banyak di atas UMR yaitu 86 (55,1%). Lebih banyak responden tidak ada riwayat keturunan kegemukan dari orang tuanya 96 (61,5%). Rata-rata berat badan remaja adalah 50,62 kg (SD:10,579), Tinggi badan remaja rata-rata 155,55 cm (SD:6,977) dan jumlah anggota dari keluarga adalah 4,74 (SD:1,153). Remaja mayoritas menyukai sayuran dan buah 131 (84%). Orang tua mayoritas menyediakan sayuran dan buah sebanyak 139 (89,1%). Aktifitas fisik remaja lebih banyak kurang yaitu 94 (60,3%). Self-efficacy remaja lebih banyak baik yaitu 80 (51,3%) dan jumlah konsumsi sayurannya lebih banyak kurang yaitu 119 (76,3%). Status IMT remaja lebih banyak normal yaitu 92 (59%). Analisis Bivariat self-efficacy dengan konsumsi sayuran dan buah ditunjukan dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Self-efficacy dan Konsumsi Sayuran-Buah pada Remaja di SMPN Jagakarsa (n=156) Self- efficacy Konsumsi sayuran dan buah Total OR (95% CI P Value Kurang Cukup N % N % n % Kurang 71 93,4 5 6,6 76 100 9,467 3,444- 26,022 0,000 Baik 48 60,0 32 40 80 100 Jumlah 119 76,3 37 23,7 156 100 Hasil analisis dari hubungan antara self-efficacy dengan konsumsi sayuran dan buah diperoleh bahwa sebanyak 71 (93,4%) remaja dengan self-efficacy yang kurang jumlah konsumsi sayuran dan buahnya kurang. Remaja dengan kategori self-efficacy baik yang jumlah konsumsi sayurannya baik sebanyak 32 (40,0%). Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan konsumsi sayuran dan buah. Hasil analisis diperoleh nilai OR=9,467, artinya remaja yang memiliki self-efficacy yang baik mempunyai peluang 9,467 kali untuk mengonsumsi sayuran dan buah dibanding remaja yang self-efficacynya kurang. Adanya hubungan antara self-efficacy dengan konsumsi sayuran dan buah menggambarkan semakin tinggi self-efficacy remaja maka semakin tinggi konsumsi sayuran dan buah. Selanjutnya hubungan dari self-efficacy dengan kejadian gizi lebih ditunjukan pada tebel 2 berikut ini. Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Self-efficacy dan kejadian gizi lebih pada Remaja di SMPN Jagakarsa (n=156) Self-ef- ficacy Kejadian Gizi Lebih Total OR (95% CI) P Value Gizi lebih Normal N % N % N % Ku- rang 41 53,9 35 46,1 76 100 2,903 1,498- 5,627 0,002 Baik 23 28,8 57 71,3 80 100 Jumlah 64 41,0 92 59,0 156 100 Hasil analisis tersebut adalah remaja dengan tingkat self- efficacy yang kurang mengalami kejadian gizi lebih sebanyak 41 (53,9%). Selanjutnya remaja dengan tingkat self-efficacy yang baik yang berstatus gizi normal sebanyak 57 (71,3%). Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan kejadian gizi lebih. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR=2,903, artinya remaja yang memiliki self-efficacy yang baik mempunyai peluang 2,903 kali untuk memiliki berat badan normal dibanding remaja yang self-efficacy-nya kurang. Uji multivariat menggunakan regresi logistik dilakukan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh setelah dikontrol variabel counfounding. Hasil uji multivariat ditunjukan pada tabel 3 dan 4. Hasil uji multivariat yang pertama didapatkan persamaan regresinya adalah Zself-efficacy= 19,34 + ẞ konsumsi sayur-buah + ẞpreferensi. didapatkan hasil bahwa remaja yang self-efficacy-nya baik mempunyai peluang 8,97 kali konsumsi sayuran dan buahnya cukup 20 dibandingkan remaja yang self-efficacy-nya kurang setelah dikontrol variabel preferensi. Tabel 3. Pemodelan Akhir Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Mempengaruhi Konsumsi Sayuran dan Buah pada Remaja di SMPN Jagakarsa (n=156) No Variabel Koefisien B P Value 1 Self-efficacy 8,970 0,000 2 Preferensi 3,412 0,123 Hasil uji multivariat kedua didapatkan persamaan regresinya adalah Zself-efficacy= 19,34 + ẞgizi lebih + ẞself- efficacy + ẞjenis kelamin + ẞkons sayur-buah + ẞ genetik. Hasilnya adalah remaja yang self-efficacy-nya baik mempunyai peluang status gizi normal sebanyak 2,327 kali dibandingkan remaja yang self-efficacy-nya kurang setelah dikontrol variabel jenis kelamin, konsumsi sayuran-buah dan genetik. Tabel 4 Pemodelan Akhir Analisis Multivariat Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Lebih pada Remaja di SMPN Jagakarsa (n=156) No Variabel Koefisien B P Value 1 Self-efficacy 2,327 0,032 2 Jenis kelamin 0,581 0,153 3 Konsumsi sayuran-buah 2,053 0,009 4 Genetik 4,662 0,000 PEMBAHASAN Adanya hubungan self-efficacy dengan konsumsi sayuran dan buah bisa dijadikan dasar untuk intervensi guna meningkatkan sayuran dan buah pada remaja. Lizaur (2008) menjelaskan self-efficacy merupakan salah satu faktor utama untuk memodifikasi perilaku dan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah. Annesi (2011) menjelaskan dengan meningkatkan keterampilan self-regulatory seperti self-efficacy konsumsi sayuran dan buah seseorang akan meningkat hal ini dikarenakan self-efficacy membuat seseorang cenderung berfokus pada pengaturan diri seperti pengaturan diit yang tinggi sayuran dan buah serta pengendalian perilaku makan makanan yang kurang sehat. Pengaturan diri menurut Kreausukon (2012) akan lebih efektif jika ada perencanaan (planning) pada setiap individu sehingga dalam penelitiannya kreausukon menggunakan planning disamping self-efficacy untuk meningkatkan konsumsi sayuran dan buah. Kefektifitasan dari penelitian Kreasukon dapat meningkatkan jumlah konsumsi sayuran sebanyak 1,5 – 2 porsi perhari. Tidak hanya penelitian dari Kreausukon penelitian dari Schwarzer (2012) menghasilkan bahwa untuk mengubah perilaku seseorang pertama kali yang dilakukan adalah mempunyai niat untuk berubah dan niat tersebut dibentuk dari keyakinan diri (self-efficacy ) yang sudah direncanakan terlebih dahulu sebelum di implementasikan untuk mencapai target tertentu. Perilaku dalam mengonsumsi sayuran dan buah pada remaja bisa ditingkatkan dengan cara pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal, umpan balik fisiologis dan kondisi emosional. (Bandura, 1997). Cara tersebut tentunya akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan program pemerintah yang ada yaitu Program Gizi Seimbang (PGS) dimana edukasi dalam program tersebut bisa dimasukan intervensi seperti peningkatan self-efficacy guna meningkatkan konsumsi sayuran dan buah. Selama ini kejadian gizi lebih memang lebih diidentikan dengan faktor genetik aktifitas fisik dan konsumsi sayuran dan buah. pada penelitian ini faktor genetik sangat dominan mempengaruhi status gizi pada remaja. Menurut Maglaya (2009) Genetik merupakan faktor penting terhadap terjadinya gizi lebih. Remaja yang mempunyai salah satu orang tua yang mengalami kegemukan maka berpeluang besar untuk mengalami kegemukan. Menurut penelitian Ogden (1996) jika salah satu orang tua tergolong dalam gemuk atau obesitas, maka kemungkinan 40% remaja akan memiliki berat badan berlebih dan apabila kedua orang tuanya mengalami overweight atau obese maka 80% remaja memiliki peluang terjadinya berat badan berlebih. Sebaliknya, orang tua dengan berat badan yang kurus memiliki peluang 7% memiliki anak remaja yang kelebihan berat badan. Menurut Annesi (2012) dan Moreno (2014) self-efficacy berhubungan dengan penurunan gizi lebih setelah dicontrol variabel konsumsi sayuran dan aktifitas fisik (p< 0,0001; R2 : 0,12). Pada penelitian tersebut Annesi (2012) menekankan pada peningkatan konsumi sayuran dengan cara meningkatkan self-efficacy, akan tetapi tidak hanya melalui self-efficacy Annesi menggunakan aktifitas fisik untuk mengurangi rasa kejenuhan 21 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 dan mengurangi dampak droop out dari responden. Hasil penelitian dari Linde et al (2004) menjelaskan bahwa tingkat self-efficacy berbanding terbalik dengan berat badan, seseorang yang memiliki self-efficacy rendah maka mempunyai berat badan yang tinggi atau dengan kata lain mengalami kegemukan (P<0,001; OR:4,82). Adanya hubungan antara self-efficacy dalam mengonsumsi sayuran dan buah secara langsung dengan kejadian gizi lebih membuat self-efficacy menjadi hal yang penting untuk intervensi pencegahan gizi lebih. Self-efficacy tidak hanya menjadi prekdiktor utama dari konsumsi sayuran dan buah akan tetapi secara langsung berhubungan dengan kejadian gizi lebih. KESIMPULAN Penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan antara self-efficacy dan konsumsi sayuran dan buah setelah dikontrol preferensi serta adanya hubungan antara self-efficacy dengan kejadian gizi lebih setelah dikontrol jenis kelamin, konsumsi sayuran dan buah dan geneitik pada remaja di SMPN jagakarsa. Berdasarkan hasil tersebut perlunya pengembangan program promosi kesehatan dengan menggunakan intervensi self- efficacy yang dimasukan dalam edukasi kesehatan. Intevensi tersebut seperti: pengalaman akan keberhasilan sebelumnya (Enactive Mastery Experience), pengalaman orang lain (vicarious experience), keadaaan fisiologis atau emosional (Physichological and emotional states) dan dukungan sosial dari orang lain (social persuasion). Intervensi tersebut bisa menggunakan beberapa pendekatan salah satunya adalah konseling. DAFTAR PUSTAKA Annesi, James J. (2011). Relationship of initial self-regulatory ability with changes in self-regulation and associated fruit and vegetable consumption in severely obese women initiating an exercise and nutrition treatment: moderation of mood and self-efficacy. Journal of Sports Science and Medicine (2011) 10, 643-648 CDC (2010). Healthty youth, coordinate Scholl Health. Http// www.cdc.gov/healthtyyouth/CSHPP. Diakses tanggal 10 februari 2016. Chung, S. J., & Hoerr, S. L. (2005). Predictors of fruit and vegetable intakes in young adults by gender. Nutrition Research, 25, 453–463 Guillaumie, L., Godin, G., & Vezina Im, L.A. (2010). Psychosocial determinants of fruit and vegetable intake in adult population: A systematic review. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 7, 1–12 Guillaumie, Laurence., Gaston., Jeans-Claude M., Elisabeth S., Laurent M. (2012). The impact of self-efficacy and implementation intentions-based interventions on fruit and vegetable intake among adults. Psychology and Health Vol. 27, No. 1, January 2012, 30–50 Maglaya, Archelis. (2009). Nursing Practice in the Comunity, (5th ed). Philippine: Argounauta Corporation Kemenkes R.I. (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. http://www.kemenkes.go.id. Diakses tanggal 2 Desember 2015 Lippke, S., & Ziegelmann, J. P. (2008). Theory-based health behavior change: Developing, testing and applying theories for evidencebased interventions. Applied Psychology, 57, 698–716. Lobstein T, Frelut ML. Prevalence of overweight among children in Europe. Obes Rev 2003;4(4):195–200 Maurer, F.A., & Smith, C.M. (2005). Community Public Health Nursing Practice: Health for Family and Populations. Third editions. St. Louis Ogden, J. 1996. Health Psyckology: A Text Book. Open University Press: Buckhingham-Philadelphia Pingkan, Palilingan. (2010). Apakah Anak Anda Obesitas?. Betterhealth Tahun II/ Edisi 3/ Triwulan/ September 2010 online. Avaible at http://www.ekahospital.com/ uploads/bulletins/final/%/20/draf.pdf\. [accesed 01/10/2015] Rizka, Ruhul Aflah, Rahayu Indiya Lestari, Yustini (2010). Hubungan Pola Makan dengan KejadianObesitas pada Remaja Di SMA Katholik Cendrawasih. Tesis: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Rossner S. (2002). Obesity. The Disease of The Twenty -First Century. Internat. J. Obesity & Related Metabolic Disorders 2002; 2 6(Suppl 4):S2-4. 22 Smeltzer, Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC Trogdon, J. G., Finkelstein, E. A., Feagan, C. W., & Cohen, J. W.(2012). State- and payer-specific estimates of annual medial expenditures attributable to obesity. Obesity, 20, 214–22 WHO (2000). Report of a WHO Consultation, Report No.894. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. WHO: Geneva, Switzerland.