44 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 Pengaruh Active Cycle Of Breathing Technique Terhadap Peningkatan Nilai VEP1, Jumlah Sputum, dan Mobilisasi Sangkar Thoraks Pasien PPOK ABSTRAK Salah satu bagian integral dari manajemen COPD adalah membersihkan jalan nafas untuk mengatasi gejala klinis seperti produksi sputum dan sesak napas yang menyebabkan penurunan VEP1, produksi sputum yang berlebihan, dan terganggunya mobilisasi toraks. Perawat dapat membantu pasien PPOK untuk memulihkan kondisi fisiknya dan memperbaiki pola nafasnya dengan memutus mata rantai keluhan yang ada dengan Active Cycle of Breathing Technique (ACBT). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ACBT terhadap peningkatan nilai VEP 1 , pengurangan jumlah volume sputum, dan peningkatan mobilisasi sangkar toraks pada penderita PPOK. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experiment dengan rancangan pre–post test with control group design. Sebanyak 30 orang pasien dibagi kedalam 2 kelompok yaitu 15 responden untuk kelompok intervensi dan 15 responden untuk kelompok kontrol dengan menggunakan teknik quota sampling. Analisis yang digunakan adalah uji t-test. Kelompok intervensi diberikan terapi ACBT dan farmakologi dan kelompok kontrol hanya diberikan terapi farmakologi. ACBT memberikan pengaruh yang bermakna terhadap jumlah sputum dan ekspansi toraks pada kelompok intervensi daripada kelompok kontrol dengan nilai p = 0,026 untuk jumlah sputum dan p = 0,004 untuk ekspansi toraks, sedangkan pada nilai VEP 1 , ACBT tidak memberikan pengaruh yang bermakna dengan nilai p = 0,058. Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) efektif dalam membantu pengeluaran sputum dan meningkatkan ekspansi toraks pasien PPOK, tetapi kurang efektif dalam meningkatkan nilai VEP 1 . Kata Kunci: Active Cycle of Breathing Technique (ACBT), Penyakit Paru Obstruksi Kronik, Bersihan Jalan Napas, Ekspansi Toraks, VEP 1 . Titih Huriah1, Dwi Wulandari Ningtias 1 Magister Keperawatan, Program Pasca Sarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Email : titih.huriah@umy.ac.id Info Artikel: Masuk : 21 Januari 2017 Revisi : 19 Mei 2017 Diterima : 11 Juni 2017 DOI Number : 10.18196/ijnp.1260 45 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 ABSTRACT Airway clearance is an integral part of the management of COPD to cope clinical symptoms such as sputum production and shortness of breath that causes impairment VEP 1 , excessive sputum production, and impaired toraks mobilization. Nurses can help COPD patients to break the chain of the existing complaint with the Active Cycle of Breathing Technique (ACBT). The purpose of this study was to determine the effect of ACBT in increasing VEP 1 , reducing amount of sputum, and increasing mobilization of the thoracic cage in COPD patients. This is a Quasi Experimental study with pre-post test with control group design. The 30 participants were divided into experimental group (15 subjects) and control group (15 subjects) by using quota sampling. The experimental group received ACBT and pharmacological therapy and the control group just received pharmacological therapy. Result findings show that ACBT give a significant effect on the amount of sputum and thoracic expansion in the intervention group than the control group, with p = 0.026 and p = 0.004 respectively, while for the value of VEP 1 , ACBT not provide significant effect with p = 0.058. ACBT effective in helping expenditures sputum and increasing thoracic expansion COPD patients, but less effective in enhancing the VEP 1 . Keywords: Active Cycle of Breathing Technique (ACBT), Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Airway Clearance, Thoracic Expansion, VEP 1 . PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, menyatakan bahwa PPOK merupakan penyebab utama ke- empat morbiditas kronis dan kematian di Amerika Serikat, dan diproyeksikan akan menjadi peringkat ke-lima pada tahun 2020 sebagai beban penyakit di seluruh dunia. Pada Tahun 2020, diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat, dimana lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, dan menyumbang 6% dari seluruh penyebab kematian (Dipiro, et al, 2015). Indonesia dalam Riskesdas Tahun 2013, menyebutkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 3,7 persen per mil, dengan prevalensi lebih tinggi pada laki-laki yaitu sebesar 4,2% (Kemenkes RI, 2013). Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada urutan ke-23 berdasarkan jumlah penderita PPOK di Indonesia, dengan prevalensi sebesar 3,0% (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan data dari Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada tahun 2015, PPOK menempati urutan pertama dari 10 besar penyakit pasien rawat inap maupun rawat jalan. Jumlah pasien rawat inap sebanyak 104 orang, sedangkan pasien rawat jalan sebanyak 402 orang (Respira, 2015). Rabe et al (2007) menyatakan bahwa PPOK adalah penyakit kronis saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat, disebabkan oleh pajanan faktor resiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan (Kemenkes RI, 2013). Onset biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan (Lestari, 2015). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) menyatakan bahwa inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK yang menyebabkan penurunan VEP1 dan penyempitan saluran napas periferal. Besarnya inflamasi, fibrosis, dan eksudat pada saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/FVC. Ikalius (2007) menyatakan bahwa untuk memperbaiki ventilasi dan menyelaraskan kerja otot abdomen dan thoraks dengan teknik latihan yang meliputi latihan pernafasan. Tujuan latihan pernafasan pada pasien PPOK adalah untuk mengatur frekuensi dan pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thoraks, mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga sesak nafas berkurang (Khotimah, 2013). Perawat dapat membantu pasien PPOK untuk memulihkan kondisi fisiknya dan memperbaiki pola nafasnya, untuk memutus mata rantai keluhan yang ada dengan Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) yang bertujuan untuk membersihkan jalan nafas dari sputum agar diperoleh hasil pengurangan sesak nafas, pengurangan batuk, dan perbaikan pola nafas yang terdiri dari Breathing Control (BC), Thoracic Expansion Exercise (TEE), dan Forced Expiration Technique (FET). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experiment dengan rancangan pre–post test design with control group, 46 yang akan mengungkapkan hubungan sebab akibat pemberian intervensi Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) terhadap nilai VEP 1 , jumlah volume sputum, dan mobilisasi sangkar toraks pada penderita PPOK. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis dua kelompok independen beda rerata (mean). Hasil perhitungan didapatkan masing- masing kelompok adalah 13 orang. Peneliti menambahkan 2 responden pada masing-masing kelompok untuk antisipasi drop out sehingga jumlah masing-masing kelompok adalah 15 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah kuota sampling. Kuota sampling diterapkan karena keterbatasan pasien rawat inap yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel diambil dari populasi yang mempunyai ciri-ciri sesuai kriteria inklusi dan eksklusi sampai memenuhi jumlah (kuota) yang diinginkan. Pembagian antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan dengan cara purposive sampling dimana kelompok intervensi dan kelompok kontrol berbeda ruangan. Kriteria inklusi yang ditetapkan adalah pasien sesak nafas grade 0 sampai 3. Kriteria eksklusi adalah pasien PPOK dengan komplikasi kardiovaskuler, pasien PPOK dengan gangguan jiwa, dan pasien PPOK dengan penyakit penyerta lain yang kronik. Kelompok intervensi diberikan ACBT dan terapi standar farmakologi, sedangkan kelompok kontrol diberikan terapi standar yaitu terapi farmakologi. Intervensi dilakukan 30 menit sebelum responden minum obat. Durasi treatment untuk kelompok intervensi adalah satu kali sehari selama 15 – 20 menit perhari selama 3 hari. Selama latihan peneliti membimbing responden untuk melakukan tahapan dalam ACBT, yaitu : 1) Breathing control : Responden diposisikan duduk rileks diatas tempat tidur atau di kursi, kemudian dibimbing untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi secara teratur dan tenang, yang diulang sebanyak 3 – 5 kali oleh responden. Tangan peneliti diletakkan pada bagian belakang toraks responden untuk merasakan pergerakan yang naik turun selama responden bernapas. 2) Thoracic Expansion Exercises : masih dalam posisi duduk yang sama, responden kemudian dibimbing untuk menarik napas dalam secara perlahan lalu menghembuskannya secara perlahan hingga udara dalam paru-paru terasa kosong. Langkah ini diulangi sebanyak 3 – 5 kali oleh responden, jika responden merasa napasnya lebih ringan, responden dibimbing untuk mengulangi kembali dari kontrol pernapasan awal. 3) Forced Expiration Technique : setelah melakukan dua langkah diatas, selanjutnya responden diminta untuk mengambil napas dalam secukupnya lalu mengkontraksikan otot perutnya untuk menekan napas saat ekspirasi dan menjaga agar mulut serta tenggorokan tetap terbuka. Huffing dilakukan sebayak 2 – 3 kali dengan cara yang sama, lalu diakhiri dengan batuk efektif untuk mengeluarkan sputum. Bila ketiga langkah diatas telah dilakukan oleh responden, selanjutnya peneliti membimbing responden untuk merilekskan otot-otot pernapasannya dengan tetap melakukan kontrol pernapasan dan kemudian mengulangi siklus tersebut 3 hingga 5 siklus atau sampai responden merasa dadanya telah bersih dari sputum. Alat yang digunakan untuk mengukur VEP 1 adalah spirometri, jumlah volume sputum diukur dengan menggunakan gelas ukur, dan mobilisasi sangkar toraks diukur dengan menggunakan midline. Pengukuran dilakukan pre-post dilakukan setiap hari selama tiga hari yaitu di hari pertama, hari kedua dan hari ketiga. Analisis data penelitian menggunakan software SPSS. Nilai pre post VEP 1 , jumlah volume sputum dan mobilisasi sangkar toraks pada kelompok intervensi maupun kontrol dianalisis menggunakan paired t-test sedangkan untuk menilai perbedaan nilai VEP 1 , jumlah volume sputum dan mobilisasi sangkar toraks antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggunakan analisis independent t-test. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Tabel 1 memperlihatkan bahwa karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak adalah laki-laki yang berjumlah 17 orang responden (56,7%), yang terbagi menjadi 9 orang responden (60%) pada kelompok perlakuan dan 8 orang responden (53,3%) pada kelompok kontrol. Usia responden yang paling banyak adalah berusia dibawah 65 tahun yang berjumlah 16 orang responden (53,3%). Sebagian besar responden (83,3%) baik pada kelompok intervensi maupun kontrol tidak memiliki riwayat infeksi paru dengan riwayat terpapar polusi udara yang berjumlah 24 orang responden (80%), serta riwayat merokok sebanyak 17 orang responden (56,7%). 47 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden PPOK yang Rawat Inap di RS Paru Respira Yogyakarta (n=30) Karakteristik Intervensi (n=15) Kontrol (n=15) Total f % f % f % Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 9 6 60 40 8 7 53,3 46,7 17 13 56,7 43,3 Umur <65 ≥65 10 5 66,7 33,3 6 9 40 60 16 14 53,3 46,7 Riwayat Infeksi Paru Ya Tidak 3 12 20 80 2 13 13,3 86,7 5 2 5 16,7 83,3 Riwayat Terpapar Polusi Udara Ya Tidak 12 3 80 20 12 3 80 20 24 6 80 20 Riwayat Merokok Ya Tidak 9 6 60 40 8 7 53,3 46,7 17 13 56,7 43,3 Sumber: Data Primer Nilai Volume Ekspirasi Paksa detik Pertama (VEP1) Perubahan nilai rerata VEP1 pada kedua kelompok dapat dilihat pada grafik berikut ini: Grafik 1. Rerata VEP1 pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Grafik 1 memperlihatkan bahwa rerata nilai VEP1 kelompok intervensi mengalami peningkatan sebesar 214 poin setelah diberikan latihan ACBT, yaitu dari 272,7 ml/dtk saat pre-tes hari pertama menjadi 486,7 ml/dtk pada saat post-tes hari ke-3. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan ACBT, ketika pre-tes hari pertama sebesar 231,3 ml/dtk, lalu meningkat menjadi 290,7 ml/dtk pada saat post-tes hari ke-3. Tabel 2. Distribusi Hasil Uji Beda Nilai VEP1 pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Kelompok Nilai VEP1 Pre dan Post Hari ke- t p value* Intervensi (n=15) I Pre-Post -1,13 0,257 II Pre-Post -2,95 0,003 III Pre-Post -2,81 0,005 Kontrol (n=15) I Pre-Post 0,54 0,595 II Pre-Post -3,95 0,001 III Pre-Post -1,79 0,095 *Nilai p<0,05 berdasarkan uji paired sample t-test Berdasarkan tabel 2, latihan ACBT yang diberikan pada awal pertemuan (hari ke-I) pada kelompok intervensi, tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap nilai VEP1 dengan nilai p=0,257, namun pada hari ke-2 dan ke-3, latihan ACBT memberikan pengaruh yang bermakna dengan nilai p=0,003 pada hari ke 2 dan nilai p=0,005 pada hari ke-3. Hasil uji paired sample t-test perbedaan nilai VEP1 pre-tes dan post-tes hari pertama pada kelompok kelompok kontrol, diperoleh nilai p > 0,05 yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan. Akan tetapi pada hari ke-2, nilai p=0,001 (< 0,05) yang mengindikasikan adanya perbedaan yang signifikan pada nilai VEP1 dan pada hari ketiga kembali tidak terlihat adanya perubahan. Nilai Volume Jumlah Sputum Perubahan nilai rerata jumlah sputum pada kedua kelompok dapat dilihat pada grafik 2 berikut ini : 48 Grafik 2. Rerata Jumlah Sputum pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Berdasarkan grafik diatas, nampak bahwa rerata jumlah sputum kelompok intervensi mengalami peningkatan sebesar 0,7 poin setelah diberikan latihan ACBT, yaitu dari 0,7 ml saat pre-tes hari pertama menjadi 1,4 ml pada saat post-tes hari ke-3. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan ACBT, ketika pre-tes hari pertama sebesar 1,37 ml menjadi 1,6 ml pada saat post-tes hari ke-3. Tabel 3. Distribusi Hasil Uji Beda Jumlah Sputum pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Kelompok Nilai Jumlah Sputum Pre dan Post Hari ke- t P value* Intervensi (n=15) I Pre-Post -1,63 0,102 II Pre-Post -1,38 0,168 III Pre-Post -1,62 0,106 Kontrol (n=15) I Pre-Post -1,00 0,317 II Pre-Post -0,35 0,728 III Pre-Post -1,46 0,144 *Nilai p<0,05 berdasarkan uji paired sample t-test Sumber: Data Primer Tabel 3 menyajikan data analisis jumlah sputum pre-tes dan post-tes pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil uji menunjukkan bahwa, pada kelompok intervensi dan kelompok control terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengeluaran jumlah sputum responden baik pada hari pertama, ke-dua maupun ke-tiga. Begitu pula pada kelompok kontrol hari ke-1 dan ke-3. Nilai Ekspansi Thoraks Perubahan nilai rerata jumlah sputum pada kedua kelompok dapat dilihat pada grafik 3 berikut ini : Grafik 3. Rerata Ekspansi Toraks pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Grafik 3 memperlihatkan bahwa rerata nilai ekspansi thoraks kelompok intervensi mengalami peningkatan sebesar 1,7 poin setelah diberikan latihan ACBT, yaitu dari 1,3 cm saat pre-tes hari pertama menjadi 3,0 cm pada saat post-tes hari ke-tiga. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan ACBT hanya meningkat 0,13 cm, yaitu ketika pre-tes hari pertama sebesar 1,27 cm, lalu menjadi 1,4 cm pada saat pos-tes hari ke-3. Tabel 4. Distribusi Hasil Uji Beda Nilai Ekspansi Thoraks pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Kelompok Nilai Ekspansi Thoraks Pre dan Post Hari ke- t P value Intervensi (n=15) I Pre-Post -1,13 0,257 II Pre-Post -2,35 0,019 III Pre-Post -2,16 0,031 Kontrol (n=15) I Pre-Post -2,24 0,025 II Pre-Post -2,12 0,034 III Pre-Post -1,34 0,180 Sumber: Data Primer Hasil uji menunjukkan bahwa, pada kelompok intervensi yang awalnya pada hari pertama pemberian ACBT tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara nilai pre-tes dan pos-tesnya, akan tetapi pada hari ke-2 dan ke-3 49 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 terlihat ada pengaruh yang bermakna pemberian latihan ACBT terhadap perubahan nilai ekspansi thoraks pasien PPOK. Sedangkan pada kelompok kontrol yang terlihat ada perubahan namun pada hari ke-3 tidak terlihat perbedaan yang signifikan pada nilai ekspansi thoraks pasien PPOK.. ACBT terhadap Nilai VEP1, Jumlah Sputum, dan Ekspansi Toraks pada Pasien PPOK Tabel 5 memperlihatkan bahwa latihan ACBT memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah sputum dan ekspansi toraks kelompok intervensi daripada kelompok kontrol yang tidak diberikan ACBT dengan nilai p = 0,026 untuk jumlah sputum dan p=0,004 untuk ekspansi toraks. Sedangkan pada nilai VEP1, ACBT tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan nilai p = 0,058. Hasil ini mengartikan bahwa ACBT efektif dalam membantu pengeluaran sputum dan meningkatkan ekspansi toraks pasien PPOK, tetapi kurang efektif dalam meningkatkan nilai VEP1. Tabel 5. Analisis Pengaruh ACBT terhadap Nilai VEP1, Jumlah Sputum, dan Ekspansi Toraks Pasien PPOK di RS Respira Yogyakarta Variabel Kelompok t p value* VEP1 Intervensi Kontrol -1,89 0,058 Jumlah Sputum Intervensi Kontrol -2,22 0,026 Ekspansi Toraks Intervensi Kontrol -2,88 0,004 *Nilai p berdasarkan uji independent t-test Sumber: Data Primer PEMBAHASAN Karakteristik Responden Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden menunjukkan jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki yang menderita PPOK adalah yang paling banyak yaitu berjumlah 17 orang responden (56,7%). Peran jenis kelamin sebagai faktor resiko untuk PPOK masih belum jelas. Di masa lalu, beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi PPOK dan kematian lebih besar di antara laki-laki daripada perempuan, sedangkan studi terbaru menunjukkan bahwa dari negara-negara maju, prevalensi penyakit ini hampir sama pada pria dan wanita yang mungkin mencerminkan perubahan pola merokok tembakau dan akan meningkat pada kelompok usia > 45 tahun (Potter, Perry, 2006; Oemiyati, 2013). Hasil penelitian menunjukkan antara kategori usia < 65 tahun dan ≥ 65 tahun memiliki prosentase yang hampir sama pada kejadian PPOK. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestari yang mendiskripsikan mayoritas penderita PPOK adalah usia 67 – 74 tahun dengan perhitungan statistik diperoleh rerata usia yaitu 60,8 tahun (Oemiyati, 2013). Haraguchi et al (2016) menyatakan semakin bertambah usia terutama pada lanjut usia, kejadian PPOK semakin tinggi dan dampak PPOK akan semakin berat dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Selain jenis kelamin dan usia, variabel lain dalam penelitian ini adalah riwayat kesehatan responden yang terdiri dari riwayat infeksi paru, terpapar polusi udara, dan riwayat merokok yang merupakan faktor resiko PPOK berdasarkan PDPI tahun 2011 (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden pada kelompok intervensi maupun kontrol tidak memiliki riwayat infeksi paru dengan jumlah 25 orang responden (83,3%). Beberapa responden yang memiliki riwayat terpapar polusi udara yaitu berjumlah 24 orang responden (80%), serta riwayat merokok sebanyak 17 orang responden (56,7%). PDPI tahun 2011 menyatakan bahwa polusi udara mempunyai pengaruh buruk terhadap nilai VEP 1 . Zat polutan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zink, dan debu, serta bahan asap pembakaran / pabrik / tambang. Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu oraganik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas), dan lingkungan industri (PDPI, 2011). Merokok adalah faktor resiko utama PPOK walaupun partikel dari berbagai gas juga memberi kontribusi, secara umum telah diterima bahwa merokok merupakan faktor resiko terpenting PPOK namun hanya 10% – 20% perokok mengalami gangguan fungsi paru berat yang terkait PPOK. Dalam GOLD tahun 2015, menyatakan bahwa perokok memiliki prevalensi lebih tinggi dari kelainan fungsi paru-paru dan gangguan pernafasan, riwayat merokok yang menahun menunjukkan penurunan VEP1 yang lebih besar, dan tingkat kematian yang lebih tinggi untuk PPOK dibanding bukan perokok. Paparan pasif asap rokok juga dapat menyebabkan 50 gejala pernapasan dan meningkatkan beban total paru-paru (Oemiyati, 2011; Maranata, Daniel, 2010). Kesenjangan teori dan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak hanya merokok yang dapat mengakibatkan PPOK tapi terpajannya dengan zat polutan juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Responden banyak yang mengakui bahwa terpapar asap rokok dari teman atau keluarga merokok atau bahkan klien mengaku sudah berhenti merokok tapi penyakitnya dirasakan ketika menginjak umur 40 tahunan. Proses patogenesis yang panjang beriringan dengan proses penuaan memberikan dampak yang buruk terhadap kondisi saluran napas. Nilai Volume Ekspirasi Paksa detik Pertama (VEP1) Pre-Post Test pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai VEP 1 pada kedua kelompok sama-sama mengalami peningkatan pada post-tes I, post-tes II, dan post-tes III, karena baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol mendapatkan terapi medikasi sebagai standar penatalaksanaan PPOK di Rumah Sakit guna mengurangi sesak yang dirasakan pasien. Peningkatan nilai VEP 1 pada kelompok intervensi yang diberikan latihan ACBT, jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi medikasi. Smeltzer (2002) menyatakan bahwa sebagian besar pasien dapat menghembuskan sedikitnya 75% atau 80% dari nilai normal kapasitas vital yang berkisar 4500 ml dari kapasitas vital mereka dalam satu detik (VEP 1 ) dan hampir semuanya dalam 3 detik (VEP3). Ketika VEP1 dan FVC pasien menurun secara proporsional, aliran udara pulmonal menjadi abnormal dan ekspansi paru maksimal dapat terbatas. Jika penurunan VEP1 sangat melebihi penurunan FVC, pasien mungkin mengalami obstruksi jalan napas sampai tingkat tertentu (Sherwood, 2015). Dalam penelitian ini, didapatkan nilai VEP 1 yang paling tinggi dari responden mencapai 1600 ml, dengan nilai mean 272,7 – 486,7 pada kelompok intervensi dan 231,3 – 290,7 pada kelompok kontrol, jika dibandingkan antara nilai normal VEP 1 berdasarkan teori tersebut, maka hasil ini sangatlah kecil. Namun sejak hari pertama pemberian latihan ACBT, telah menunjukkan peningkatan nilai mean dan terus meningkat hingga hari ke-3 intervensi. Nilai normal pada teori tersebut merupakan nilai normal yang telah ditetapkan oleh GOLD tahun 2015 berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di negara-negara Amerika maupun Eropa yang memiliki suku bangsa, kebiasaan, keadaan lingkungan, postur tubuh, dan nutrisi yang berbeda dengan Indonesia. Menurut Subagyo (2013), dari beberapa publikasi yang paling mewakili nilai faal paru orang Indonesia adalah penelitian Tim Pneumobile yang dilakukan di Jakarta dan Surabaya yang telah disesuaikan dengan rekomendasi ATS. ACBT merupakan metode terapi yang fleksibel yang dapat digunakan pada semua pasien yang mempunyai masalah peningkatan sekresi sputum dan ACBT dapat dilakukan dengan dengan atau tanpa asisten. Dari penatalaksanaan ACBT juga dilaporkan bahwa keluhan sesak nafas yang dirasakan responden menjadi berkurang serta nilai SpO2 yang adekuat berkisar 95% - 98%. Latihan pernafasan yang dilakukan saat ACBT menghasilkan peningkatan tekanan transpulmonar, memperluas jaringan paru dan memobilisasi secret dari bronkus. Suman Sheraz et al (2015 dalam Lamuvel et al, 2016) meneliti respon saturasi oksigen pada pasien yang telah diberikan ACBT. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perbedaan yang signifikan pada PCO2 dan saturasi oksigen pada kelompok eksperimen. Beberapa Penelitian lain yang juga mendukung yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Mohamed Faisal, C.K et al (2012), penelitian Senthil et al (2015) dan penelitan Lamuvel et al (2016) yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas ACBT sebagai sarana perawatan pasien PPOK. Hasil penelitian menunjukkan ACBT dapat meningkatkan nilai FVC, VEP 1 , PEFR, dan SpO2. ACBT memiliki makna yang sangat tinggi dalam keberhasilan pengelolaan pasien dengan nilai ẞ<0.05. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian latihan ACBT yang diberikan, mampu meningkatkan nilai VEP 1 pada pasien PPOK (Faisal, C.K et al , 2012; Senthil et al, 2015; Lamuvel et al, 2016; Melam et al, 2012). Nilai Volume Jumlah Sputum Pre-Pos Test pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian menunjukkan rerata jumlah volume sputum pada kedua kelompok sama-sama mengalami peningkatan, karena baik kelompok intervensi maupun 51 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 kelompok kontrol mendapatkan terapi medikasi sebagai standar penatalaksanaan PPOK di Rumah Sakit. Meskipun demikian, jumlah volume sputum yang mampu dikeluarkan pasien pada kelompok intervensi yang diberikan latihan ACBT jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi medikasi. Hasil uji beda jumlah sputum pada penelitian ini menunjukkan nilai p > 0,05 pada kedua kelompok, yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengeluaran jumlah sputum responden. Meskipun hasil uji beda menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok, namun berdasarkan jumlah rerata volume sputum yang dapat dikeluarkan oleh responden menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi mengalami peningkatan sebesar 0,7 poin setelah diberikan latihan ACBT, yaitu dari 0,7 ml saat pre- tes hari pertama menjadi 1,4 ml pada saat post-tes hari ke-3. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan ACBT, ketika pre-tes hari pertama sebesar 1,37 ml menjadi 1,6 ml pada saat post-tes hari ke-3. Sputum adalah bahan yang dikeluarkan dengan batuk, kira-kira 75-100 cc sputum disekresikan setiap hari oleh bronkus. Peningkatan jumlah produksi sputum merupakan manifestasi klinis dari PPOK (bronkhitis) yang paling dini. Sputum dapat mengandung debris sel, mukus, darah, pus, atau mikroorganisme (Swartz, 1995). Beberapa penelitian menyatakan bahwa ACBT merupakan teknik yang efektif dalam pembersihan sputum, dengan rata-rata perbedaan menunjukkan peningkatan jumlah sputum yang dapat dikeluarkan selama dan sampai satu jam setelah diberikan ACBT (Melam et al, 2012: Lewis et al, 2012). Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) sebagai salah satu terapi nonfarmakologi mempunyai tujuan utama membersihkan jalan nafas dari sputum yang merupakan produk dari infeksi atau proses patologi penyakit tersebut yang harus dikeluarkan dari jalan nafas agar diperoleh hasil pengurangan sesak nafas, pengurangan batuk, perbaikan pola nafas, serta meningkatkan mobilisasi sangkar thoraks (Lestari, 2015; Pawadshetty et al, 2016). Latihan ACBT yang diberikan kepada responden, sangat membantu responden dalam usahanya untuk mengeluarkan sputum yang menumpuk dan lengket tanpa menimbulkan rasa tidak nyaman pada tenggorokan dan dada mereka. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan jumlah sputum yang mampu dikeluarkan oleh responden, serta laporan responden yang mengatakan bahwa dengan menerapkan langkah-langkah yang diajarkan dalam latihan ACBT membuatnya dapat mengeluarkan sputum dengan lebih mudah dan tidak merasa perih pada tenggorokannya dan sakit pada dada. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lestari pada tahun 2015 yang mendapatkan hasil bahwa jumlah sputum yang dapat dikeluarkan responden setelah penatalaksanaan ACBT meningkat, yaitu sebanyak 1,00 ml pada saat pre tes menjadi 6,56 ml pada saat post tes. Eaton et al menyatakan studi pertama yang secara sistematis mengevaluasi penerimaan akut dan keadaan yang dapat ditoleransi sebagai efek akut dari teknik bersihan jalan napas (Flutter dan ACBT dengan dan tanpa postural drainage) pada bronkiektasis. ACBT dengan postural drainage (PD) lebih unggul dibanding pemberian ACBT saja yang diukur dengan produksi sputum. ACBT secara signifikan lebih nyaman daripada ACBT dengan PD yang menyebabkan gangguan yang lebih besar dengan kehidupan sehari-hari (Eaton et al, 2007). Hasil ini menunjukkan bahwa dengan latihan ACBT, penderita PPOK dapat lebih mudah mengeluarkan sputum sehingga jalan nafas menjadi bersih, selain itu, responden juga melaporkan bahwa keluhan batuk yang dirasakan jauh lebih berkurang. Nilai Ekspansi Thoraks Pre-Pos Test pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Hasil penelitian menunjukkan rerata nilai ekspansi toraks pada kedua kelompok sama-sama mengalami peningkatan, namun nilai ekspansi toraks pada kelompok intervensi yang diberikan latihan ACBT, jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi medikasi. Berdasarkan hasil uji beda pada kelompok intervensi menunjukkan peningkatan signifikansi dari hari ke-1 hingga hari ke-3 pemberian latihan ACBT, tapi tidak demikian dengan kelompok kontrol. Ini membuktikan bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian latihan ACBT terhadap perubahan nilai ekspansi toraks pasien PPOK. Berbagai macam keadaan dapat mengganggu ventilasi yang memadai, dan konfigurasi dada mungkin menunjukan penyakit paru. Peningkatan diameter anteroposterior dijumpai pada PPOK tingkat lanjut. Diameter anteroposterior 52 cenderung mendekati diameter lateral, sehingga terbentuk dada berbentuk tong. Iga-iga kehilangan sudut 45º dan menjadi lebih horizontal. Smeltzer (2002), menyatakan barrel chest terjadi sebagai akibat inflasi berlebihan paru-paru, terdapat peningkatan diameter anteroposterior toraks pada pasien dengan emfisema, iganya lebih melebar dan spasium interkostanya cenderung untuk mengembang saat ekspirasi (Swartz, 1995). Ketidakmampuan beraktivitas pada pasien PPOK terjadi bukan hanya akibat dari adanya kelainan obstruksi saluran nafas pada parunya saja, tetapi juga akibat pengaruh beberapa faktor, salah satunya adalah penurunan fungsi otot skeletal. Adanya disfungsi otot skeletal akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK (Khotimah, 2013). Dasar mekanika pernafasan dari rongga dada adalah inspirasi dan ekspirasi yang digerakkan oleh otot-otot pernafasan. Ketika dada membesar karena aksi otot-otot inspirasi, maka kedua paru mengembang mengikuti gerakan dinding dada. Dinding dada bagian atas dan sternum mempunyai gerakan ke atas dan ke depan (anterocranial) atau mekanisme pump handle pada inspirasi dan kembali ke posisi semula pada ekspirasi, dinding dada bagian tengah mempunyai gerakan ke samping dan ke depan (lateroanterior) pada inspirasi dan kembali ke posisi semula pada ekspirasi dan dinding dada bagian bawah mempunyai gerakan ke samping dan terangkat (latero cranial) atau mekanisme bucket handle selama inspirasi dan kembali ke posisi semula pada ekspirasi (Pryor, 2008). Breathing exercise yang menjadi salah satu bagian dari ACBT ini didesain untuk melatih otot-otot pernafasan dan mengembalikan destribusi ventilasi, membantu mengurangi kerja otot pernafasan dan membetulkan pertukaran gas serta oksigen yang menurun. Breathing exercise dengan metode thoracic expansion exercise, bertujuan untuk meningkatkan fungsi paru dan menambah jumlah udara yang dapat dipompakan oleh paru sehingga dapat menjaga kinerja otot- otot bantu pernafasan dan dapat menjaga serta meningkatkan ekspansi sangkar thorak (Rab, 2010). Hasil pengukuran yang telah dilakukan pada penelitian ini memperlihatkan bahwa rerata nilai ekspansi thoraks kelompok intervensi mengalami peningkatan sebesar 1,7 poin setelah diberikan latihan ACBT, yaitu dari 1,3 cm saat pre-tes hari pertama menjadi 3,0 cm pada saat post-tes. Sedangkan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan latihan ACBT hanya meningkat 0,13 cm, yaitu ketika pre-tes hari pertama sebesar 1,27 cm, lalu menjadi 1,4 cm pada saat pos-tes hari ke-3. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2015) yang memperlihatkan peningkatan ekspansi sangkar thorak pada saat inspirasi setelah dilakukan metode breathing exercise sebanyak 6 kali terapi yaitu pada daerah axilla dari T0 = 1 cm selisihnya menjadi T6 = 2 cm, pada daerah intercostalis ke-4 dari T0 = 2 cm selisihnya menjadi T6 = 3 cm, pada daerah processus xyphoideus dari T0 = 2 cm selisihnya menjadi T6 = 3 cm. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) mampu membantu meningkatkan nilai ekspansi toraks dan mengatasi masalah kesulitan untuk mengeluarkan sputum pada pasien PPOK di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta. Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) belum mampu meningkatkan nilai VEP1 pada pasien PPOK di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta. ACBT dapat diterapkan sebagai evidance based practice dalam profesionalisme pemberian asuhan keperawatan bagi masyarakat, untuk mengembangkan bentuk pelayanan nonfarmakologis sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam mengatasi masalah pada pasien PPOK. Bagi pasien, ACBT ini bisa dijadikan pola hidup pasien, untuk mengurangi akumulasi sputum dalam saluran pernapasan, mengurangi sesak nafas, dan meningkatkan mobilisasi sangkar toraks sehingga kebutuhan oksigennya terpenuhi. DAFTAR PUSTAKA Dipiro, Cecily V, Wels, Barbara G, Dipiro, Joseph T, Schwinghammer, Terry L. (2015). Pharmacotherapy Handbook, 9th Edition. United States: McGraw-Hill Education. Kementrian Kesehatan RI. (2015). Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015 – 2019. Jakarta: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/52/2015. Eaton, T., Young, P., Zeng, I., et al. (2007). A randomized evaluation of the acute efficacy, acceptability and tolerability of Flutter and Active cycle of breathing with 53 VOL. 1 NO. 2 JUNI 2017 and without postural drainage in non-cystic fibrosis bronchiectasis, Chron. Respir. Dis.; 4 (1) :23-30. Faisal, Mohamed, C.K., Puneeth, B., Devi, Renuka.M., & Ajith S. (2012). Efficacy Of Active Cycle Breathing Technique and Postural Drainage In Patients With Bronchiectesis – A Comparative Study. Innovative Journal of Medical and Health Science 2: 6 Nov – Dec (2012) 129 – 132. Retrievied from http://www. innovativejournal.in/index.php/ijmhs. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2015). Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Update 2015. GOLD. USA. Haraguchi Mizuha, Nakamura Hidetoshi, Sasaki Mamoru, Miyazaki Masaki, Chbachi Shotaro, Takahashi Saeko, Asano Koichiro, Jones Paul, Betsuyaku Tomoko, K-CCR group. (2016). Determinants of chronic obstructive pulmonary disease severity in the late- elderly differ from those in younger patients, BMC Res Notes (2016), 9:7 Hidayat Faqih. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi pada PPOK di BBKPM Surakarta. Naskah Publikasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, UMS. Ikalius, Yunus F, Suradi, dan Rachma N. 2007. Perubahan Kualitas Hidup dan Kapasitas Fungsional Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis setelah Rehabilitasi Paru.Majalah Kedoteran Indonesia.Vol 57. No12: Desember. hal 447 Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta: BPPK KEMENKES RI. Khotimah, S. (2013). Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas Hidup Lebih Baik dari pada Latihan Pernafasan Pada Pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Sport and Fitness Journal. Volume 1, No. 1: 20-32. Lamuvel, MW.,Kazi A.,Gunjal S.,Jaiswal Amit. (2016). Effect of ACBT and TENS on Pulmonary Function and Pain Perception in Abdominal Surgeries: A Randomized Control Trial, International Journal of Health Sciences & Research. 2016; 6 (6) : 211-217. Lewis, L.K., Williams, M.T., & Olds, T.S., (2012). The Active Cycle Breathing Techniques : A Systematic Review and Meta-Analysis. Respir Med. 2012 Feb;106 (2) :155-72. doi: 10.1016/j.rmed.2011.10 Maranata, Daniel. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair- RSUD Dr.Soetomo. Melam, G.R., Zakaria, A.R., Buragadda, S., Sharma, D., & Alghamdi, M.A. (2012). Comparison of Autogenic Drainage & Active Cycle Breathing Techniques on FEV1, FVC & PERF in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. World Applied Sciences Journal, 20 (6): 818-822, 2012, ISSN 1818-4952, DOI: 10.5829/ idosi.wasj.2012.20.06.71125. Oemiyati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta: KEMENKES RI Pawadshetty Vishvanath, Munde Sarita, Sureshkumar, Pawadshetty Uma. (2016). A Study To Evaluate The Effect Of ACBT Over Autogenic Drainage Technique In COPD Patients-A Comparative Study (Abstract). Indian Journal of Physiotherapy and Occupational Therapy- An International Journal Abstract, Volume 10, Issue 4, DOI : 10.5958/0973-5674.2016.00125.8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Dignosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta Potter, P.A., Perry, A.G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 4, Volume 2. Jakarta: EGC. Pryor J., Prasad S. (2008). Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems Adults and Paediatrics, 4th Edition. London: Churchill Livingstone. Rab, T. (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media. Rabe, KlausF., Hurd, Suzanne., Anzueto, Antonio., Barnes, Peter J., Buist, Sonia A., Calverley, Peter., Fukuchi, Yoshinosike., Jenkins, Christine., Rodriguez-Roisin, Roberto., Weel, Chris van., and Zielinski, Jan. (2007). Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, GOLD Executive Summary. Leiden University Medical Center, Pulmonology, Leiden, The Netherlands Respira. (2015). Data 10 Besar Penyakit Pasien Rawat Inap dan Rawat Jalan. Yogyakarta: Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta. Lestari, Ririt Ika. (2015). Manfaat Active Cycle Of Breathing Technique (ACBT) Bagi Penderita PPOK. Naskah Publikasi, Program Studi Fisioterapi, Universitas Muhammadiyah Surakarta 54 Senthil P, Suchithra E, Koushik Kumar N. (2015). Effectiveness of active cycle of breathing techniques [Acbt] Versus Acbt with Acapella on airway clearance in bronchiectasis, International Journal of Physical Education, Sports and Health 2015; 1(4): 10-13. Sherwood, L. (2015). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Edisi 8. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C., Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 1. Jakarta: EGC. Subagyo, Ahmad. (2013). Nilai normal faal paru orang Indonesia pada usia sekolah dan pekerja dewasa berdasarkan rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987 oleh Alsagaff H, Mangunegoro H. Airlangga University Press. Surabaya 1993. diakses dari: http:// kolegiumpulmonologi.com/pdf/Nilai_Normal_Faal_ Paru_Orang_Indonesia.pdf dan http://www.klikparu. com/2013/09/nilai-normal-faal-paru-indonesia.html Swartz, Mark H. (1995). Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC