93 Muhammadiyah Journal of Nursing Ferika Indarwati, Rahmah, Bayu Panggita, Syarif Indrawan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta E-mail: ferika.sonumy@gmail.com Perspektif Perawat Tentang Manejemen Terpadu Balita Sakit di Puskesmas Wilayah Kabupaten Bantul Yogyakarta ABSTRACT Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) is an integrated approach to the treatment of sick children in primary helath care services which include promotive, preventive and curative programs. The role of nurses in providing nursing care must be in accordance with the system of the health care centers. The purpose of this study was to determine Nurses Perspective on Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) in Primary Health Care Centres, Bantul, Yogyakarta. The method used in this research is descriptive qualitative. The sampling was recruited by purposive sampling, 6 respondents was involved in this research. Data analysis was done by thematic analysis. The results of this study found that 5 out of 6 respondents can explain IMCI defi nition, objectives and actions of nurses that had been taken in IMCI. Respondents said that the biggest obstacle in implementing IMCI at health centers is the time, facilities and infrastructures. Sources like fi nancial support and the support of the leadership is very important to support the implementation of IMCI in health centers. Based on this research can be concluded that the implementation of IMCI in PHC requires the commitment of all parties, not only nurses but also doctors, health center leaders and other health workers. Advice can be given to Primary Health Care Centres associated with IMCI is conducting training for nurses, repair facilities and infrastructure so that implementation of IMCI in health centers could have better. Keywords: Nurse, Knowledge Level, IMCI, Health Center PENDAHULUAN Angka kematian balita diseluruh negara pada tahun 2011 mencapai 6,9 juta jiwa, tercatat 1900 kematian balita dalam sehari dan 800 kematian balita setiap jam. Sekitar 80% kematian balita terjadi dinegara-negara berkembang (WHO, 2012). Indonesia sebagai salah satu Negara yang berkembang mempunyai masalah yang serius secara global tentang angka kematian bayi dan balita. Angka kematian bayi (AKB) di indonesia mencapai 34/1.000 kelahiran hidup, angka kematian balita (AKBA) 44/1.000 kelahiran hidup dan angka kematian anak umur satu sampai lima tahun mencapai 10/1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) angka kematian balita pada tahun 2002 mencapai mencapai 43/1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2003 turun menjadi 23/1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2010). Kasus angka kematian balita pada kabupaten Bantul pada tahun 2011 tercatat ada 136 balita/mil. Kasus kematian balita ini terjadi disemua wilayah kecamatan kabupaten bantul (Dinkes Kabupaten Bantul, 2012). Sebagian besar kematian tersebut atau hampir 12 juta anak meninggal sebelum usia lima tahun dan (70%) diantaranya disebabkan karena penyakit infeksi, Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA), diare, malaria, kekurangan gizi dan campak dengan komplikasinya atau gabungan dari penyakit itu (SDKI, 2003). Penyakit infeksi bakteri, penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA) dan pneumonia pada balita tahun 2008 pada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebanyak 97.621 kasus. Meliputi pneumonia sebesar 1.388 balita 94 Muhammadiyah Journal of Nursing dan non pneumonia 970.233 balita (Depkes RI, 2008). Pada tahun 2010 penyakit pneumonia dikabupaten bantul mencapai 434 kasus dan pada tahun 2011 penyakit pneumonia pada balita meningkat menjadi 606 kasus (Dinkes Kabupaten Bantul, 2012). Upaya World Health Organization (WHO) dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Dep.kes RI) untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan secara global adalah dengan mengenalkan Sick Child Initiative (SCI) atau Intergrted Management Of Childhood Illness (IMCI) yaitu langkah-langkah pengambilan keputusan dalam mengelola anak balita sakit. Dalam usaha meningkatkan cakupan penemuan dan meningkatkan tatalaksana penyakit yang mengancam kehidupan pada anak balita, Dep. Kes telah menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di unit pelayanan kesehatan dasar/ PUSKESMAS (Depkes RI, 2008). Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di Puskesmas memiliki peranan yang sangat penting dalam kesuksesan program MTBS tersebut. Kemampuan mengenali tanda dan gejala atau mendeteksi dini masalah secara cepat dan tepat dapat mengetahui penyakit dan intervensi yang tepat (Pott er dan Perry, 2005). Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengetahui perspektif perawat tentang penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas wilayah Kabupaten Bantul Yogyakarta. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mengetahui perspektif perawat tentang Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas wilayah Kabupaten Bantul Yogyakarta. Populasi dalam penelitian ini perawat puskesmas di kabupaten bantul. Tehnik pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling Responden pada penelitian ini diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yaitu perawat yang bersedia menjadi responden, telah bekerja minimal 1 tahun di Puskesmas dan telah mengikuti pelatihan MTBS. Kriteria ekslusi perawat yang tidak bersedia menjadi responden. Responden penelitian ini berjumlah 6 orang perawat puskesmas yang berada di kabupaten Bantul. Indeep interview dilakukan untuk mengambil data responden. Panduan wawancara digunakan untuk memandu jalannya wawancara sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam hasil wawancara dengan responden. Metode analisis data menggunakan thematic analysis. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karateristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah perawat Puskesmas sekabupaten Bantul. Gambaran umum karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama bekerja. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Distribusi frekuensi perawat puskesmas sekabupaten Bantul berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama bekerja No Karakteristik Frekuensi (f) Presentase (%) 1 Umur 20-40 Tahun 40-60 Tahun 3 3 50 % 50% 2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 0 6 0% 100% 3 Tingkat Pendidikan DIII S1 4 2 75% 25% 4 Lama Kerja 6-10 Tahun 11-15 Tahun 4 2 75% 25% Sumber: Data Primer 95 Muhammadiyah Journal of Nursing Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa pada karakteristik responden berdasarkan umur, responden berumur 20-60 tahun). Semua responden berjenis kelamin perempuan. Mayoritas responden berpendidikan D III Keperawatan, dan rata – rata lama bekerja 6 – 10 tahun. 2. Perspektif perawat tentang MTBS Tema yang muncul dalam penelitian ini adalah pengetahuan perawat tentang MTBS, pengetahuan perawat tentang pelaksanaan MTBS di Puskesmas, sumber dukungan dalam pelaksanaan MTBS dan hambatan dalam pelaksanaan MTBS. A. Pengetahuan perawat tentang MTBS Responden pada penelitian ini mampu menyebutkan defi nisi dari MTBS dengan tepat. MTBS menurut sebagian besar responden merupakan suatu program manajemen kasus balita sakit yang merupakan integrasi pelayan kesehatan pada tingkat dasar. Penegtahuan ini mereka dapatkan dari training MTBS yg diberikan oleh pihak Puskesmas. MTBS juga diangap sebagai bentuk pelayanan paling komprehensif bagi anak anak. “MTBS merupakan salah satu bentuk pelayan kesehatan terintegrasi di tingakt pelayan dasar, ada form nya dan ada panduannya.” (R2) “MTBS sebetulnya sangat membantu, MTBS memberikan panduan terutama perawat bila dokter tidak ada.” (R1) B. Pelaksanaan MTBS di Puskesmas Pelaksanaan MTBS secara konsisten dijelaskan oleh responden sebagai memakan waktu, tetapi ini juga dilihat sebagai bermanfaat dalam meningkatkan hubungan dengan ibu, dan keyakinan responden meningkat bila menggunakan pendekatan MTBS menyebabkan ibu melihat mereka dengan rasa hormat yang lebih karena menunjukkan keprofesionalan perawat dalam bekerja. “ Dengan MTBS kita harus memeriksa anak dari kepala sampai kaki, jadi waktu yang dibutuhkan sangat lama.” (R 3) Selain hal di atas, responden juga menyebutkan bahwa tidak semua Puskesmas menerapkan MTBS sebagai bagian dari pelayanan. Satu dari responden mengatakan bahwa Puskesmas yang memiliki klinik MTBS saat ini di Bantul hanya ada 1 Puskesmas, Puskesmas lain belum memilikinya. Responden mengatakan bahwa apabila pasien banyak maka perawat harus bekerja cepat oleh karena itu jarang memakai MTBS. “Kalau pasennya banyak, perlu cepat ditangani, tidak sempat pakai MTBS” (R 4). “Pasien sudah antri dari pagi, kalau pakai MTBS tidak selesai selesai” (R 2). C. Sumber dukungan dalam pelaksanaan MTBS Responden menyebutkan faktor-faktor yang memfasilitasi pelaksanaan MTBS adalah dukungan dari rekan-rekan, terutama mereka yang sudah terlatih, dukungan dari pimpinan dan obat yang direkomendasikan oleh MTBS tersedia di klinik. “Kami memiliki motivasi dari orang-orang yang dilatih sebelum Anda, dukungan dari rekan-rekan kami” (FGD3). “Satu hal yang bisa saya katakan adalah pengobatan, karena kita punya itu di klinik, jadi jika buklet grafi k mengatakan ‘ memberikan ini untuk itu Anda tahu bahwa Anda [telah] mendapatkannya” (R4). D. Hambatan pelaksanaan MTBS di Puskesmas Hambatan terbesar untuk pelaksanaan MTBS, yang secara konsisten disebutkan, adalah bahwa konsultasi MTBS memakan waktu lebih lama, yang merupakan masalah khusus yang diberikan kekurangan staf di Puskesmas. 96 Muhammadiyah Journal of Nursing “Saya satu-satunya orang yang dilatih MTBS, sehingga tidak mudah untuk melakukannya dengan cara yang benar karena saya tidak akan mampu menyelesaikan anak-anak ini sampai dengan jam 4 sore” (R4). Kurangnya dukungan dari rekan-rekan di klinik, khususnya mereka yang tidak terlatih dalam MTBS, diidentifi kasi sebagai penghalang utama . Mendorong anggota lain dari tim kesehatan, termasuk layanan ambulans dan dokter di rumah sakit rujukan, untuk mendukung MTBS dinyatakan sebagai sebuah tantangan . “Orang-orang yang tidak [MTBS] dilatih, mereka tampaknya memiliki sikap negatif terhadap orang- orang yang dilatih MTBS, karena orang itu tidak akan mengerti mengapa Anda terlalu lama untuk mengobati/melayani klien Anda” (R4). ‘Jika pimpinan/perawat bertanggung jawab atas klinik tidak menjalani pelatihan ini dia tidak akan mengerti bahasa MTBS dan jika saya ingin menerapkan MTBS itu akan menjadi masalah” (FGD2). Waktu yang dibutuhkan untuk konsultasi MTBS itu menyebabkan waktu tunggu lebih lama. Responden mengatakan kadang MTBS hanya diimplementasikan secara parsial. “Untuk [mengurangi antrian], kita harus cpat jadi kadang pakai MTBS tidak selesai..langsung dilanjutkan klien berikutnya” (R 1). “kadang juga pasien tidak sabar, mereka ingin cpat di atasi dan diberi obat, mau yang praktis dan cepat saja” (R5). Responden juga mengatakan bahwa dukungan pimpinan sangat penting karena hal ini berhubungan dengan dukungan fi nancial seperti pengadaan booklet MTBS, form MTBS termasuk gaji perawat ketika melaksanakan MTBS. “Pimpinan harus tahu, kalau tidak uang tidak cair, tidak ada dukungan” (R 2). “Sarana dan prasaran juga harus memadai, sekarang ini Puskesmas sangat penuh, antrian saja panjang. Tidak ada tempat khusu seperti klinik MTBS” (R6). PEMBAHASAN Perspektif perawat tentang MTBS dibagi kedalam 4 tema yaitu: pengetahuan perawat tentang MTBS, pelaksanaan MTBS di Puskesmas, Sumber dukungan pelaksanaan MTBS di Puskesmas dan Hambatan pelaksanaan MTBS di Puskesmas. Berdasarkan hasil wawancara tentang pengetahuan perawat tentang MTBS diketahui bahwa sebagian besar perawat mampu menyebutkan tentang defi nisi MTBS. Seluruh responden mampu menjelaskan apa itu MTBS dan bagaimana melaksanakan dan menggunakan form form nya. Menurut Notoatmodjo pengetahuan adalah hasil dari tahu, yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan ini berasal dari penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba, tetapi sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011). Pengetahuan perawat yang baik dapat di mungkinkan karena tingkat pendidikan dari responden berasal dari tingkat pendidikan diploma sampai dengan sarjana yang merupakan jenjang pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Lehrer (2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan umumnya berasal dari pendidikan, perjalanan individu, informasi yang di proleh dari guru, orang tua, buku, surat kabar dan lainnya (Hanafi ah, 2008). Faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap perbedaan prilaku individu (Hanafi ah 2008 dan Sudarmayanti, 2001). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin tinggi 97 Muhammadiyah Journal of Nursing pengetahuan seseorang (Hanafi ah, 2008). Responden mengatakan bahwa pelaksanaan program MTBS di Puskesmas belum konsisten, hal tersebut sangat terkait dengan sumber dukungan dan hambatan yang ada. Responden menuturkan bahwa pelaksanaan MTBS juga bervariasi di Kabupaten Bantul. Ada yang melaksanakan secara baik dan konsisten namum juga ada yang melaksanakan secara parsial atau bahkan tidak melaksanakannya. Hal - hal yang dilihat dari gambaran proses ini yaitu proses berjalannya program MTBS. Dalam proses manajemen kasus MTBS setelah menilai dan mengklasifi kasikan penyakit anak, langkah selanjutnya adalah menentukan tindakan dan memberi pengobatan yang dibutuhkan. Pengobatan anak sakit dapat dimulai di klinik dan diteruskan dengan pengobatan lanjutan di rumah. Pada beberapa keadaan, anak yang sakit berat perlu dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut. Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan pra rujukan sebelumanak di rujuk (Depkes RI, 2008). Sebagian besar puskesmas dalam menangani balita sakit masih menggunakan metode konvensional sehingga semua pasien yang datang ditangani secara umum tanpa melihat jenjang umurnya. Petugas mengungkapkan bahwa tidak ada waktu untuk menggunakan formulir MTBS karena banyak pasien dan kegiatan yang harus ditangani. Jika menggunakan formulir MTBS, waktu yang digunakan untuk melayani pasien tidak akan cukup, karena 1 pasien memerlukan waktu sekitar 10-15 menit. Dengan demikian sebagian besar petugas tidak mematuhi prosedur dalam MTBS. Dalam pelaksanaannya, penggunaan MTBS belum berjalan secara efektif. Kondisi tersebut dialami oleh sebagian besar puskesmas di Kabupaten Bantul, karena berbagai kendala antara lain terbatasnya jumlah tenaga yang dilatih MTBS, perpindahan tenaga yang sudah dilatih, kurang lengkapnya sarana dan prasarana pendukung serta peran pimpinan. Pratono 2012, mengungkapkan bahwa peran dari seorang pemimpin dalam pelaksanaan MTBS sangat penting. Pemimpin yang tegas dan konsisten menjaga terlaksananya program MTBS dapat menggantikan peran dinas ksehatan yang juga kurang dapat dirasakan untuk program MTBS ini (Pratono, 2012). Penelitian Boymau dkk, 2009 sejalan dengan hasil penelitain ini, Boymau dkk mengatakan bahwa prosentase tenaga kesehatan yang dilatih program MTBS dapat mempengaruhi terlaksananya program MTBS tersebut atau tidak. Lebih lanjut lagi Boymau dkk menjelaskan bahwa kelengkapan sarana prasana serta komunikasi antara puskesmas dengan dinas kesehatan perlu ditingkatkan (Boymau et al, 2009). Hal tersebut sesuai dengan temuan penelitian ini bahwa sarana dan prasarana yang kurang memadai dapat mengganggu kelancaran penerapan program MTBS di Puskesmas. Pada pelaksanaan proses manajemen kasus MTBS penggunaan sarana seperti formulir dan pengisian secara lengkap sangat menentukan keberhasilan penerapan proses manajemen kasus dalam rangka menangani balita sakit dan bayi muda secara komprehensif di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2008). KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perawat menganggap pelaksanaan MTBS di Puskesmas Kabupaten Bantul belum terlaksanan dengan baik. Pengetahuan perawat tentang MTBS itu sendiri berada dalam kategori baik akan tetapi dalam melaksanakan MTBS tidak hanya dari sisi pengetahuan saja yang harus baik melainkan juga dari sisi yang lain, sebaggai contoh sisi kecukupan sumber daya, sarana prasarana dan dukungan dari pimpinan atau pengelola Puskesmas itu sendiri. 98 Muhammadiyah Journal of Nursing DAFTAR PUSTAKA Boymau, A; Kendjam, Y; Sinaga, M., 2009, Evaluasi program manajemen terpadu balita sakit (MTBS) pneumonia pada Puskesmas di Kota Kupang tahun 2008. Jurnal gizi & kesehatan masyarakat .Universitas Nusa Cendana. Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat Depkes RI, 2008, Buku Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta. Depkes RI, 2010, Pemerintah Berkomitmen Mempercepat Upaya Pencapaian MDGS. http://depkes.go.id/index.php/berita/ p r e s s - r e l e a s e / 1 1 1 5 - p e m e r i n t a h - b e r k o m i t m e n - m e m p e r c e p a t - u p a ya - pencapaian-mdgs.html. Diunduh tanggal 12 November 2012. Dinkes Kabupaten Bantul. (2012). Profi l Kesehatan Bantul Tahun 2012. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Hanafi ah,Said, 2008, Pengaruh Karakteristik Individu dan Sistem Imbalan Terhadap Aktivitas. Supervisi Pada Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur. USU Jurnal e-Repository. Notoatmodjo, 2011, Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta Pott er & Perry, 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik Edisi IV. Jakarta: EGC Pratono, 2012, Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Di Puskesmas Di Kabupaten Tanah Laut Propinsi Kalimantan Selatan. Skripsi. Tidak dipublikasikan SDKI, 2003, Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2002-2003. Jakarta SDKI, 2007, Indonesia Demographic and Healthy survey 2007. Jakarta Sudarmayanti, 2001, Sumber Daya manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung : Madar Maju WHO, 2012, Health service. htt p://www.who. int/topics/health_services/en/. Diunduh tanggal 12 november 2012 Blank Page