Microsoft Word - 02-Artikel 2.docx Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1421 Received : 03-09-2021 Revised : 25-09-2021 Published : 30-10-2021 Kontribusi Pemaknaan Pemali dalam Komunitas Budaya Helong Terhadap Pendidikan Karakter Karus Maria Margaretha, Semuel H Nitbani, Karolus Budiman Jama Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Nusa Cendana, Indonesia monisitakarus@gmail.com, nitbanisemuel2@gmail.com, karolus1007@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan mengangkat kekayaan budaya dan bahasa Helong, khususnya tentang pemali. Salah satu warisan masa lampau yang masih berkembang sampai saat ini atau biasa disebut dengan pantangan. Konsep pemali yang diangkat yaitu hal-hal yang dipanggap perlu dihindari dan yang perlu dilaksanakan dalam kehidupan KBH supaya dapat dijadikan sumber belajar untuk membentuk karakter dan memperkuat identitas etnis KBH. Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif dan berfokus pada bahasa Helong (Darat) dan makna budaya yang menjadi konsep pemikiran dan pemahaman KBHD terhadap hal-hal yang dianggap pemali, baik yang masih bertahan maupun yang telah ditinggalkan oleh KBHD. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Linguistik Kebudayaan perspektif Gary B. Palmer. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan FGD. Hasil penelitian menunjukkan pemali dalam KB Helong secara tidak langsung menyumbang sejumlah filosofi hidup yang bermuara pada penanaman nilai-nilai moral baik dari sisi psikososial maupun ekologis. Kontribusi pemaknaan pemali KBHD bagi pendidikan karakter yaitu Kecerdasan Sosial, Kecerdasan Kognitif, Kecerdasan Spiritual, dan Kecerdasan Lingkungan. Kata Kunci: pemali; bahasa helong; pendidikan karakter Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1422 PENDAHULUAN Nusa Tenggara Timur adalah miniatur Indonesia. Sebutan atau predikat ini patut disandangkan kepada provinsi ini karena keberagaman bahasa dan budayanya. Kebhinekaan ini telah menjadikan NTT sebagai sebuah sumber belajar bagi pendidikan karakter berbangsa dan bernegara. Sebagai warisan yang berharga bagi generasi bangsa, budaya dan bahasa yang beraneka ragam ini, perlu diangkat ke permukaan dan diperkuat statusnya menjadi identitas etnis komunitas pemiliknya. Salah satu diantara sekian banyak etnis di NTT yang perlu diangkat adalah bahasa dan budaya komunitas Helong yang berdomisili di Kota Kupang. Bahasa Helong termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia serta menjadi identitas komunitas Helong. Bahasa ini dituturkan di empat kelurahan di ujung barat pulau Timor yaitu di wilayah kecamatan Alak, Maulafa, Kota Kupang hingga wilayah Amarasi yang termasuk wilayah kabupaten Kupang, dan pulau Semau. Menurut penelitian para linguis sebelumnya, terdapat beberapa dialek dalam bahasa Helong, yaitu Helong Pulau, Helong Darat, dan Funai. Komunitas tutur Helong Darat bermukim di Pulau Timor sedangkan komunitas Helong Pulau yang merupakan leluhur etnis Helong, bermukim di Pulau Semau (Jhon Bowden,2010). Komunitas Helong sebagai penduduk asli kota Kupang kian termarjinalkan oleh kuatnya arus migrasi lokal sehingga eksistensi kebudayan Helong seakan tenggelam. Kekayaan budaya Helong berupa karya sastra dan bahasa menjadi topik yang sangat menarik untuk diangkat dan dikaji. Hal ini bertujuan memperkuat identitas jati diri pemiliknya dan menjadi sumber belajar bagi generasi penerusnya. Untuk alasan inilah dipandang perlunya sebuah kajian ilmiah berupa penelitian untuk mengangkat kekayaan budaya dan bahasa Helong. Penelitian ini dimulai dari hal-hal sederhana terkait konsep berpikir KBH khususnya tentang pemali. Konsep pemali yang diangkat yaitu hal-hal yang dipanggap perlu dihindari dan yang perlu dilaksanakan dalam kehidupan KBH supaya dapat dijadikan sumber belajar untuk membentuk karakter dan memperkuat identitas etnis KBH. Pemali merupakan salah satu warisan masa lampau yang masih berkembang sampai saat ini atau biasa disebut dengan pantangan. Pemali merupakan salah satu budaya yang diwariskan oleh leluhur kepada anak cucunya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemali adalah pantangan; larangan yang didasarkan pada adat. Maksudnya, pantangan adalah segala yang dipantangkan atau dilarang, berupa perintah atau aturan yang melarang suatu perbuatan. Pantangan ini, tentunya berawal dari banyaknya kasus yang terjadi akibat pelanggaran terhadap aturan-aturan tradisi yang telah digariskan oleh leluhur. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian dan Subyek Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Kota Kupang khususnya kecamatan Maulafa dan terpusat pada dua komunitas tutur di wilayah Kolhua dan Kuasaet, wilayah domisili KBH. Fokus penelitian ini adalah bahasa Helong (Darat) dan makna budaya yang menjadi konsep pemikiran dan pemahaman KBHD terhadap hal-hal yang dianggap pemali, baik yang masih bertahan maupun yang telah ditinggalkan oleh KBHD. Pelaksanaan penelitian ditentukan melalui teknik snowball sampling dan sosiometri, yaitu tokoh masyarakat adat Helong Darat dan komunitas asli yang berbahasa Helong di daratan pulau Timor. Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1423 Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif. Pengumpulan data wawancara mendalam dan pengamatan terlibat dilakukan melalui pembinaan hubungan baik terlebih dahulu dengan KBHD. Teknik pencatatan lapangan memungkinkan peneliti untuk menganalisis data selama pengambilan data berlangsung. Untuk kelengkapan data, juga dikumpulkan data sekunder melalui pendekatan kepustakaan dan dokumentasi. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara, catatan lapangan dan alat perekam audiovisual. Analisis dan Interpretasi Data Data hasil wawancara maupun pengamatan lapangan yang dicatat saat pengambilan data, ditata ulang untuk mencari pemaknaan pemali yang masih bertahan maupun yang sudah hilang. Hal ini bertujuan untuk merincikan kompleksitas realitas ke dalam bagian-bagian dengan memberi nama (labeling) pada setiap catatan lapangan sesuai dengan informasi datanya. Pada proses ini, data adalah satuan informasi yang berfungsi untuk menentukan atau mendefenisikan kategori. Setelah itu, dilakukan penafsiran atas relitas dan fenomena bahasa dan budaya yang ditemukan untuk dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian. PEMBAHASAN Kontribusi Pemaknaan Pemali KBHD Bagi Pendidikan Karakter Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak pakar dan orang bijak yang mengatakan bahwa faktor moral (akhlak) merupakan hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh para orang tua dan pendidik adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak-anak. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Theodore Roosevelt bahwa mendidik seorang (anak) hanya dalam aspek kecerdasan otak bukan pada aspek moral adalah ancaman marabahaya dalam masyarakat (Megawangi, 2004: 3). Secara umum, istilah karakter sering diasosiasikan dengan arti temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat yang khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan- bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir (Koesoema, 2010: 79-80).” Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi, memberikan tiga matra penting setiap tindakan edukatif maupun campur tangan intensional bagi sebuah kemajuan pendidikan. Matra ini adalah individu, sosial, dan moral. Oleh karena itu, pembaruan dalam dunia pendidikan, serta penerapan program pendidikan karakter dalam setiap lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga matra ini jika pembaruan itu ingin disebut sebagai sebuah pembaruan yang integral (Koesoema, 2010: 143). Pemali dalam KB Helong, juga secara tidak langsung, menyumbang sejumlah filosofi hidup yang bermuara pada penanaman nilai-nilai moral baik dari sisi psikososial maupun ekologis. Nilai-nilai moral ini, pada akhirnya dapat membentuk sebuah karakter mulia bagi Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1424 siapa pun (khususnya masyarakat KB Helong) yang menerima serta menjalankannya sebagai sebuah postulat (dalil yang diterima sebagai sebuah kebenaran serta keharusan mutlak tanpa perlu pembuktian). Kontribusi pemaknaan pemali dalam KB Helong bagi pendidikan karakter, selanjutnya akan dibahas dalam empat kategori kecerdasan. Kategori-kategori tersebut adalah kecerdasan sosial, kecerdasan kognitif, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan lingkungan. Kecerdasan Sosial Kecerdasan sosial (social intelligence) merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial terutama dalam mengaktualisasikan diri. Selain itu, kecerdasan sosial dapat dimaknai sebagai kemampuan mencapai kematangan pada kesadaran berpikir dan bertindak untuk menjalankan peran manusia sebagai makhluk sosial ketika menjalin hubungan dengan sesama dalam lingkungan sosialnya. Dalam menjalankan perannya sebagai makhluk sosial, masyarakat KB Helong memiliki sejumlah nilai hidup yang terkandung dalam pemali sosial. Pemali ini memiliki kontribusi bagi pendidikan karakter khususnya pada ranah kecerdasan sosial. Berikut pemali beserta kontribusinya. atuil helong un nin mukit, si dasi, ola bi bingin dua, un tao dasi oe nin pait mukit ta Pemali ini diterjemahkan secara gramatikal ke dalam bahasa Indonesia bermakna “Suku Helong akan memberikan daging kepada pihak yang mengadakan acara dan pihak yang mengadakan acara harus mengembalikan pemberian mereka berupa bagian dada dari daging hewan tersebut sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada pihak pemberi hewan”. Berdasarkan terjemahan di atas, peristiwa pengembalian daging dalam KB Helong, terungkap sebuah pesan yang telah dipahami bersama oleh mereka. Kontribusi dari pemali ini terhadap pendidikan karakter, dapat dimaknai sebagai berikut. a. Manusia sebagai makhluk sosial, sudah selayaknya untuk saling berbagi. Dalam konteks pendidikan karakter, berbagi yang dimaksudkan adalah “pengetahuan”. Hal membagi pengetahuan, secara tidak langsung, kita sedang memperdalam pengetahuan itu. Semakin banyak kita berbagi, semakin kita menguasai pengetahuan tersebut; b. Berbagi pengetahuan secara sosial dimaknai sebagai proses penggalian pengetahuan. Semakin banyak kita berbagi, maka semakin banyak kekayaan ilmu yang kita gali. Dalam filsafat ilmu, baik teoretis maupun praktis, memori atau ingatan merupakan salah satu aspek penting. Kontribusi dari pemaknaan pemali ini berdampak langsung terhadap konstruksi daya ingat seseorang. Hal ini seperti yang dikemukan oleh Lubis (2014), bahwa, ada dua hal penting dalam memori (otak), yakni (1) ada pihak lain yang terlibat dalam “proses mengingat”; (2) ingatan itu menjadi konsisten saat berbagi karena sifatnya pragmatis. c. Keterbukaan terhadap berbagai pengetahuan, artinya, pengetahuan yang telah diolah menjadi intisari, kemudian diinformasikan secara terbuka. Sebaliknya, informasi pengetahuan yang telah dibagikan, siap untuk dikritik. Hal ini berdampak pada proses melatih akal sehat (logika sosial). Dengan kata lain, keterbukaan terhadap berbagai pengetahuan, melatih serta memperkuat otak manusia untuk bernalar terhadap fakta maupun fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1425 Kecerdasan Kognitif (Antroposentris) Pengkajian bahasa dan kebudayaan tidaklah terbatas pada tataran menelaah kata-kata dan kalimat-kalimat semata tetapi kata dan kalimat tersebut ditelaah sebagai bagian dari teks secara keseluruhan, karena bahasa dalam penggunaannya sebagai alat komunikasi, merupakan wadah makna yang menggambarkan tentang dunia, persepsi, pandangan hidup, dan konsepsi diri mikrokosmos pemakainya dalam hubungannya dengan dunia makrokosmos. Miller (1978: 29) menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar kumpulan kata-kata tetapi merupakan satu kesatuan (keseluruhan) dari pikiran pemakainya. Pengkajian bahasa, tidak hanya ditentukan oleh aspek lingual semata, tetapi juga aspek non-lingual. Pengkajian aspek lingual mencakup isi dan bentuk atau ekspresi. Sedangkan, pengkajian aspek non-lingual melibatkan kemampuan/pengetahuan kognisi yang terimplikasi dalam kecerdasan penutur untuk merepresentasikan konsep berpikirnya berdasarkan pelibat, waktu, tempat, tujuan, sarana, situasi serta kondisi yang terjadi di luar (di sekitar) dirinya melalui nalar berpikir. Orang Helong memiliki pemali yang secara tidak langsung berkontribusi bagi kecerdasan kognisi manusia. Kontribusi tersebut dapat dilihat dalam pemali berikut. bel bar kit anan si bon den Terjemahan gramatikal dalam bahasa Indonesia dari pemali di atas adalah “dalam hal mendidik anak, tidak diperbolehkan untuk memukulnya di kepala”. Konsekuensi jika pemali ini dilanggar dalam kebudayaan Helong adalah anak tersebut akan menjadi kurang pandai. Pemali ini menekankan pentingnya kecerdasan yang terpusat pada manusia. Pusat kecerdasan manusia adalah pada otak. Dalam hal ini, bagian alat vital manusia yakni otak (yang menjadi pusat kecerdasan) harus dijaga serta dirawat sedemikian mungkin karena merupakan komponen utama bukti eksistensi manusia di muka bumi ini. Pemaknaan pemali ini merupakan pencegahan perilaku kekerasan terhadap anak. Memukul anak di kepala tidak hanya dimaknai secara denotatif, namun juga dimaknai secara konotatif. Penyebab kurang pandai terhadap anak akibat kepalanya dipukul, dimaknai sebagai pencegahan terhadap gangguan mental anak. Dasar pembentukan karakter kognisi maupun mental anak adalah otaknya, oleh karena itu, segala jenis tindak kekerasan (fisik maupun psikis) dihindari sedapat mungkin agar anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Hal inilah yang ingin ditekankan oleh masyarakat Helong bahwa kontribusi mereka bagi pendidikan karakter khususnya pada poin kecerdasan kognisi, terimplikasi melalui pemali yang ada dalam kebudayaan mereka terkait hal mendidik anak. Pemali “jangan memukul kepala seorang anak” dalam KB Helong, dimaknai sebagai lawan dari proses kebebasan berpikir. Dalam filsafat pendidikan, kebebasan berpikir mengarah pada penggalian ide-ide tertentu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan. Pemali ini dipandang sebagai dorongan proses inovasi atau proses kreatif. Proses kreatif berada pada lingkaran kebebasan berpikir, kebebasan berpikir berseberangan dengan tekanan yang disimbolkan pada “memukul kepala”. Inilah yang dimaksudkan pemali yang berhubungan dengan antroposentris. Bahwa manusia sebagai pusat inovasi dan pengetahuan kreatif. Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1426 Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai- nilai positif. SQ (Spiritual Quotien) merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai dengan persoalan (dikutip dari laman Wikipedia Indonesia 11 Oktober 2021). Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna kehidupan, nilai-nilai, dan keutuhan diri. Melalui kecerdasan spritual. Manusia dapat menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Lewat kerjadasan ini juga manusia mampu menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang menjadi lebih bermakna ataupun sebaliknya. Masyarakat KB Helong meyakini bahwa semua perbuatan yang mereka lakukan di dunia semasa hidupnya akan mendapatkan ganjaran yang setimpal saat mereka masih hidup maupun saat mereka telah meninggal. Orang Helong juga percaya bahwa segala sesuatu di dunia mempunyai hubungan timbal-balik. Segala sesuatu yang diberikan kepada orang lain, akan kembali dan berdampak pada diri si pemberi tersebut. Jika sesuatu yg diberikan itu baik, maka akan diterima hal-hal yang baik. Begitu pun sebaliknya, jika yang kita berikan itu sesuatu yang tidak baik, maka akan diterima kembali dalam bentuk yang tidak baik pula. Jika dipahami secara mendalam, ada semacam “hukum karma” yang dipercaya oleh orang Helong dalam menapaki tiap fase kehidupan mereka di dunia ini. Berikut kontribusi bagi pendidikan karakter-kecerdasan spiritual dalam pemali KB Helong. atuil helong un nin mukit, si dasi, ola bi bingin dua, un tao dasi oe nin pait mukit ta Pemali ini, dalam bahasa Indonesia memiliki makna secara gramatikal yakni, “suku Helong akan memberikan daging kepada pihak yang mengadakan acara dan pihak yang mengadakan acara harus mengembalikan pemberian mereka berupa bagian dada dari daging hewan tersebut sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada pihak pemberi hewan.” Kontribusi pemali di atas terhadap kecerdasan spiritual yakni toleransi dan rasa empati. KB Helong melihat segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia merupakan anugerah serta rezeki dari sang pemilik kehidupan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya, sebagai sesama manusia harus saling berbagi dan berempati dalam keadaan serta situasi apapun. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari istilah “homo socius” yang disematkan kepada manusia sebagai makhluk sosial. Selain itu, manusia juga merupakan makhluk moral yang selalu mempertimbangkan baik serta buruk terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap, tindakan, serta tutur katanya. Oleh karena itu, sikap saling berempati, simpati maupun toleransi haruslah ditanamkan sejak dini dalam diri anak agar ia tahu bahwa dia tidak sendirian serta selalu membutuhkan sesama yang lain. Kontribusi pemali dalam pendidikan karakter semacam pertanyaan-pertanyaan ontologis- spiritual yang muncul dalam pemali-pemali pada masyarakat KB Helong. Pertanyaan- pertanyaan seperti “bagaimana aku dan alam semesta diciptakan?”; “bagaimana segala sesuatu ini berada?”; “apakah segala sesuatu ini hadir begitu saja ataukah ada yang menjadikannya ada?”; dan “bagaimana sikap kita terhadap segala yang ada ini?”, merupakan sebuah refleksi kehidupan yang begitu dalam dan luas yang dimaknai oleh orang Helong. Dalam kepercayaan orang Helong, dunia ini tidak hanya terdiri atas satu tingkat melainkan lebih. Menurut mereka, dunia ini bukan hanya alam yang mereka huni tetapi ada juga dunia lain yakni dunia gaib Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1427 (metafisis), dunia para leluhur atau nenek moyang serta tempat tertinggi yang dimiliki oleh wujud tertinggi dalam sistem kepercayaan primitif mereka, wujud tertinggi itu disebut dengan istilah “Lamtua”. Dunia gaib biasanya dihuni oleh makhluk-makhluk gaib, makhluk gaib tersebut dalam kepercayaan orang Helong disebut dengan istilah “Kutuklu” dan “baos”. Makhluk-makhluk gaib ini, dalam KB Helong, berwujud burung (burung hantu) dan roh-roh halus yang mendiami pohon-pohon besar serta tempat-tempat tertentu seperti mata air. Oleh karena itu, ada pemali dalam KB Helong yang melarang agar anak kecil serta ibu hamil berjalan ke luar rumah ketika malam hari dan jangan mandi dalam keadaan bugil pada lokasi mata air karena akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib tersebut. Helong percaya bahwa roh leluhur atau nenek moyang mereka tinggal di sebuah tempat yang disakralkan, tempat itu adalah rumah adat. Konsekuensinya, sebelum memasuki rumah adat tersebut, terlebih dulu dibuat sebuah ritual permohonan kepada leluhur agar dapat diizinkan masuk ke dalam rumah adat itu. Kontribusi yang dapat dipetik dari metafisika kepercayaan orang Helong ini adalah manusia bukanlah satu-satunya unsur yang ada di alam ini. Ada hal-hal lain (selain alam dan makhluk hidup lain) yang secara metafisika tidak dapat dicerna secara akal sehat, ada dan berbaur bersama manusia. Kehidupan di dunia ini hanyalah bersifat sementara, oleh karena itu, sudah selayaknya manusia sebagai homo religiosus menyadari dan menghormati serta menghargai hal-hal metafisik tersebut serta tidak merusaknya karena semuanya merupakan sebuah kesatuan utuh dari makrokosmos yang besar ini dan pada akhirnya akan kembali kepada wujud tertinggi yakni sang pemilik kehidupan. Kecerdasan Lingkungan (Ekosentris dan Biosentris) Kecerdasan lingkungan (Ecology Intelligence) berupa pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur dan makhluk hidup lain. Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai kontrol terhadap lingkungan. Kecerdasan ekologis menghendaki manusia untuk menerapkan apa yang dialaminya dan dipelajarinya tentang hubungan aktivitas manusia dengan ekosistem. Kecerdasan ekologis menempa manusia menjadi sebuah ekosistem yang menata emosi, pikiran, dan tindakan dalam menyikapi alam dan lingkungannya. Apapun yang dapat kita lakukan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk meraih kualitas hidup dan kehidupan adalah berpikir, bertindak dan berperilaku dengan pertimbangan ekologis. Hal tersebut di atas, berkaitan dengan beberapa pemali dalam masyarakat Helong tentang lingkungan. Bagi mereka, lingkungan (alam) dan ekosistem membentuk sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan dengan eksistensi peradaban manusia. Alam menyediakan semua kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh manusia (orang Helong). Alam merupakan rumah induk tempat terciptanya segala keharmonisan, keseimbangan serta kedamaian jika dikelola dengan baik oleh manusia. Masyarakat Helong percaya bahwa jika alam dikelola, ditata serta dijaga dengan baik, maka akan memberikan hasil yang berkecukupan untuk kemaslahatan umat manusia. Namun, jika alam (ekologi) tidak dirawat, dijaga dan ditata dengan baik bahkan dieksploitasi secara semena-mena, maka akan mendatangkan musibah serta malapetaka yang yang dapat merugikan bahkan membinasakan manusia. Seperti halnya pada kegiatan bercocok tanam dalam masyarakat Helong. Cara menanam jagung dan padi, pada umumnya adalah hal yang lumrah namun berbeda dengan suku Helong yang memiliki pemali (luli) dan aturan tersendiri ketika menanam. Dalam menanam bibit jagung dan padi, bibit yang sudah disediakan harus disimpan di tempatnya (sebuah mazbah Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1428 yang tersedia di kebun tersebut) dengan ukuran tinggi sekitar empat puluh sentimeter dan lebarnya hampir satu meter. Padi dan jagung yang telah disimpan tersebut tidak boleh diambil sekaligus atau dipindahkan. Melainkan bertahap, meskipun luas ladang tersebut sangat besar dan yang mengambilnya pun yaitu pemilik bibit, kemudian dibagikan untuk ditanam. Jika hal ini tidak dilakukan, maka bibit yang disediakan sekalipun banyak dan sesuai perhitungan namun tetap saja bibit tersebut tidak akan cukup. Saat bekerja di kebun, para pekerja tidak boleh pulang sebelum pekerjaannya tuntas. Setelah menanam jagung, pemilik dilarang untuk ke kebun sebelum empat hari, jika tidak, maka jagung tersebut akan mati/tidak tumbuh. Pada saat memanen jagung atau hasil lainnya di ladang, dilarang membuang sampah dalam bentuk sisa-sisa kotoran (bulir, daun serta tongkol) dari jagung beserta hasil lainnya di kebun itu. Jika tidak, maka tanaman yang ada akan mati. Juga, sebelum memanen jagung, orang Helong harus terlebih dulu melakukan ritual pengucapan syukur kepada leluhur dan wujud yang tertinggi atas hasil yang diperoleh. Sedangkan, pada saat memanggang jagung, dilarang menggunakan kayu kabesak (sejenis kayu yang ada di wilayah Timor). Jika menggunakannya, maka jagung yang disimpan tersebut akan berubah menjadi fufuk (menjadi hancur/halus akibat dimakan oleh ngengat). Kontribusi dari pemali dalam KB Helong tersebut terhadap kecerdasan lingkungan yakni, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal budi, sepatutnya dan selayaknya menggunakan akal budinya untuk memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya (khususnya lingkungan tempat dia tinggal) sebagaimana mestinya. Manusia merupakan pusat segala aktivitas yang terjadi, oleh karena itu dia diberikan istilah “antroposentris”. Tetapi, manusia jangan lupa bahwa di luar dirinya, ada sesuatu yang lebih besar melampaui kapasitas akal budinya. Sesuatu yang lebih besar itu adalah lingkungan (ekosentris dan biosentris). Lingkungan mempunyai peranan penting dalam proses pembentukan karakter manusia. Penanaman nilai dasar “cinta terhadap lingkungan” haruslah dilakukan sedini mungkin dalam diri individu (anak). Pada titik ini, orang tua mempunyai peran serta tanggung jawab yang besar untuk mengajarkan anaknya perihal sikap mulia mencintai lingkungan, minimal dimulai dari lingkungan di sekitarnya. Anak harus dididik serta diarahkan untuk merawat, memelihara serta menjaga semua yang ada di lingkungannya dengan cara pemanfaatan tanpa eksploitasi secara berlebihan terhadap lingkungan. Merawat lingkungan akan menumbuhkan keseimbangan, sebaliknya, mengeksploitasi serta merusak lingkungan akan mendatangkan musibah, malapetaka dan bencana yang dapat membinasakan peradaban manusia (human beings civilization) SIMPULAN Pemali dalam suku Helong dikenal dengan istilah “Luli” yang artinya larangan. Larangan menurut etnik Helong merupakan sesuatu yang disepakati bersama dan sudah ada sejak lama serta menjadi hukum alam. Bagi komunitas masyarakat Helong, pemali atau luli ini merupakan way of life yang bertujuan untuk mengatur setiap perilaku serta hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam serta manusia dengan wujud tertinggi. Pemali dalam KB Helong, juga secara tidak langsung, menyumbang sejumlah filosofi hidup yang bermuara pada penanaman nilai-nilai moral baik dari sisi psikososial maupun ekologis. Nilai-nilai moral ini, pada akhirnya dapat membentuk sebuah karakter mulia bagi siapa pun (khususnya masyarakat KB Helong) yang menerima serta menjalankannya sebagai sebuah postulat (dalil yang diterima sebagai sebuah kebenaran serta keharusan mutlak tanpa perlu pembuktian). Vol.2 No.10 2021 ISSN: 2745-6056 | e-ISSN: 2745-7036 https://doi.org/10.47387/jira.v2i10.228 1429 Berpijak pada pendapat Megawangi dan Koesoemo, diperoleh empat kontribusi pemaknaan pemali dalam KB Helong bagi pendidikan karakter. Kategori-kategori tersebut adalah kecerdasan sosial, kecerdasan kognitif, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan lingkungan (ekosentris dan biosentris) DAFTAR RUJUKAN Adung Nursela, dkk. 2020. Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, seni dan budaya e-ISSN 2549-7715 Volume 4: Nomor 2 Akhlak, Annisa, dkk. 2019. Pemali dalam Masyarakat Etnik Banjar di Kota Samarinda: Suatu Tinjauan Semiotika. Jurnal Ilmu Budaya vol. 3, no. 2, April 2019 hal. 121- 130 Albertus, Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global. Jakarta: PT. Grasindo (IKAPI) Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bowden, Jhon. 2006. Documentation of Tthree Dialects of Helong: Endangered language of Eastern Indonesia. The Endangered Language Archived (ELAR) Bowden, John . 2010. Metathesis in Helong. Presentation. Diakses tanggal 26 April 2017. Bustan, Fransiskus. 2018. Guratan Makna Religius Ritual Penti Dalam Kebudayaan Manggarai Di Flores. Kupang: LP2M Undana Danesi, Marcel. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra (IKAPI) Fox, James T. (2003). Out of The Ashes. ANU Press. diakses tanggal 26 April 2017 Grimes, Charles. Therik, and Jacob. 1997. “A guide to the people and languages of Nusa Tenggara. Kupang: Artha wacana Press Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu Koentjaraningrat. 2004. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Magnis-Suseno, Franz. 2013. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (IKAPI) Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Yang Tepat Untuk Membangun Bangsa. Jakarta: IHF Palmer, Gary B. 1996. Pengantar Teori Linguistik Kebudayaan (Terjemahan Kletus Erom). Buku terjemahan. Universitas Nusa Cendana (Tidak dipublikasikan) Rachel, James. 2013. Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius (IKAPI) Steinhauer, Hein. Synchronic Metathesis and Apocope in Three Austronesian Languages of the Timor Area. Thesis. Leiden University, 1996. Diakses tanggal7 Maret 2017. Toding, Iman. 2019. Pemali dalam Masyarakat Mamasa dan Implikasinya terhadap Nilai Pendidikan Karakter: Pendekatan Hermeneutika. Tesis: Universitas Negeri Makassar. Diakses pada http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/13173