ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 362-366 362 potential of methanol extracts the stem bark lannea coromandelica (houtt.) merr. against staphylococcus aureus and analysis of the main secondary metabolites potensi ekstrak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr. terhadap staphylococcus aureus dan analisis metabolit sekunder utamanyanya syamsurya * , ahyar ahmad, firdaus department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, +6281342748502, email: suryasymkim@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract this study aims to determine the potential of the methanol extract of the stem bark lannea coromandelica (houtt.) merr. against staphylococcus aureus and to analyze the main secondary metabolites. staphylococcus aureus antibacterial activity test was performed by mueller-hinton agar medium whereas the secondary metabolite analysis of the methanol extract of the stem bark is conducted by gc-ms instrument. results of research the methanol extract of bark lannea coromandelica (houtt.) merr showed antibacterial activity against staphylococcus aureus with inhibition zone diameter each at a concentration of 2.5% by 7.3 mm by 8.6 mm 5% and 10% of 10.4 mm. selanjunya result of analysis by using gc-ms showed the presence of compounds 5-hidroksimetilfurfural and compounds 1, 2, 3-benzenetriol potential as an antibacterial staphylococcus aureus. furthermore, the results of analysis by gc-ms instrumeny showed the presence of compounds 5-hidroksimetilfurfural and compounds 1, 2, 3-benzenetriol potential as an antibacterial staphylococcus aureus. keywords: lannea coromandelica (houtt.) merr, extract, staphylococcus aureus, antibacterial, gc-ms pendahuluan penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di negara berkembang dan beriklim tropis termasuk indonesia. kini, ancaman dari penyakit infeksi itu makin bertambah dengan tingginya penggunaan antibiotik berlebihan yang memicu resistensi bakteri terhadap antibiotic (pdpersi, 2017). persoalan resistensi antibiotik terhadap bakteri tidak hanya terjadi di indonesia tetapi telah menjadi salah satu persoalan global yang cukup pelik dan harus segera diatasi secara bersama-sama. berdasarkan laporan dari badan kesehatan dunia (who) dalam antimicrobial resistance: global report on survellience menunjukkan bahwa asia tenggara memiliki angka tertinggi dalam kasus resistensi antibiotik, khususnya yang disebabkan oleh staphylococcus aureus (depkes, 2015). staphylococcus aureus merupakan bakteri flora normal di tubuh manusia yang dapat tumbuh secara opurtunistik dan bersifat patogen pada kondisi jaringan nekrosis pasca bedah, penekanan respon imun yang terkait dengan virus, atau perubahan mekanisme-mekanisme pertahanan hospes (shulman, et al.,1994; roitt 2002). infeksi yang disebabkan oleh staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit infeksi serius antara lain septikimia, pneumonia, endokarditis, osteomielitis, gastrointeristis dan asbes (ryan, et al.,1994; mandal, et al., 2006). penanganan kasus infeksi yang resisten terhadap antibiotik akan mempersulit proses pengobatan dan tentu juga akan berpengaruh pada biaya pelayanan kesehatan menjadi lebih tinggi. oleh karena itu perlu upaya lain untuk menaggulangi masalah tersebut melalui riset pengembangan obat tradisional. hal ini juga sesuai dengan program pemerintah untuk menjadikan tanaman obat sebagai produk fitofarmaka yang dapat dipertanggungjawabkan khasiat dan kegunaannya (dalimartha, 2003). salah satu tanaman obat yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat antibakteri terhadap bakteri staphylococcus aureus adalah lannea coromandelica tanaman ini secara mailto:suryasymkim@gmail.com syamsurya, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 362-366 363 empiris telah digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan luka dalam maupun luka luar. berdasarkan uraian di atas telah dilakukan penelitian untuk menentukan efek antibakteri dan analisis komponen metabolit sekunder utama yang terdapat di dalam ekstrak kulit batang lannea coromandelica metodologi alat alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium, timbangan digital, oven, alat kruiser, kertas saring, cawan petri, mistar geser, botol semprot, ose, pembakar bunsen, vial, pensil, seperangkat alat destilasi rotary evaporatory, tabung reaksi dan seperangkat alat gs ms. bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr., pelarut metanol yang berkualitas teknis yang telah didestilasi, biakan murni staphylococcus aureus, medium nutrien agar (na), aquadest dan kapas. prosedur kerja kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr., dibersihkan, dikeringkan dalam oven pada suhu 40 o c dan dihaluskan dengan alat kruiser. sebanyak 250 gram serbuk kulit batang kemudian diekstraksi dengan pelarut metanol dengan cara maserasi selama 1 x 24 jam, sebanyak 3 kali perlakuan. maserat yang dihasilkan kemudian disaring dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporatory hingga diperoleh ekstrak kental. uji daya antibakteri dilakukan dengan metode difusi kertas cakram. hasil uji anti bakteri didasarkan pada luas diameter daya hambat bakteri yang terbentuk disekeliling kertas cakram. masing-masing sebanyak 20 µl ekstrak metanol dengan konsentrasi 2,5%. 5% dan 10% dipipet dan diteteskan pada kertas cakram yang telah disterilkan. mueller hinton agar (mha) dituangkan ke dalam cawan petri dengan ketebalan ± 0,5 cm dibiarkan memadat pada suhu kamar. kemudian bakteri uji diinokulasikan secara merata ke dalam medium mueller hinton agar (mha). media agar tersebut didiamkan dalam laminar aseptik selama 30 menit atau sampai agar membeku. setelah media mha tersebut membeku, setiap kertas cakram yang telah ditetesi dengan ekstrak metanol kulit batang kayu kuda dengan konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% kertas cakram control negatif yang telah dijenuhkan dengan dimetilsulfoksida (dmsa) dan control positif menggunakan kertas cakram klororamfenikol 30 µg. kemudian diletakkan di atas medium tersebut dengan menggunakan pinset yang telah disterilkan terlebih dahulu. selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 o c selama 24 jam, setelah 24 jam diamati diameter daya hambat yang terbentuk disekitar cakram menggunakan jangka sorong. analisis metabolit sekunder dengan menggunakan seperangkat alat kromatografi gas gc ms thermo scientific trace 1310. sampel ditimbang sebanyak 0,02 gram dan dilarutkan dalam 3 ml metanol kemudian diinjeksikan ke gc-ms yang dioperasikan menggunakan kolom kapiler tg-5 ms dengan panjang 30 m, diameter 0,25 mm dan ketebalan 0,25 µm dengan temperatur oven diprogram antara 50 – 300 o c. hasil dan pembahasan aktivitas antibakteri ekstrak metanol kulit batang tanaman lannea coromandelica dari tabel terlihat, pada konsentrasi 2,5% sebesar 7,3 mm atau 30,54% terhadap zona daya hambat kloramfenikol. gambar 1. hasil uji antibakteri ekstrak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr. terhadap bakteri staphylococcus aureus konsentrasi 5% sebesar 8,6 mm atau 36,13% terhadap zona daya hambat syamsurya, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 362-366 364 kloramfenikol dan pada konsentrasi 10% sebesar 10,4 mm atau 43,69% terhadap zona daya hambat kloramfenikol (gambar 1). aktivitas daya hambat antibakteri terbesar terlihat pada konsentrasi 10%. hal ini karena semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka jumlah senyawa aktif yang berinteraksi dengan bakteri uji. juga semakin tinggi dan jumlah senyawa antimikroba yang dilepaskan semakin besar, sehingga akan mempermudah penetrasi senyawa ke dalam sel bakteri (zuhud et al.,2001). tabel 1 rata-rata diameter zona hambat ekstrak ekstrak metanol kulit batang (lannea coromandelica (houtt.) merr. terhadap bakteri staphylococcus aureu ekstrak/senyawa diameter zona hambat (mm) terhadap bakteri staphylococcus aureu metanol 2,5% 7,3 metanol 5,0% 8,6 metanol 10% 10,4 kloramfenikol 30µg 23,8 hasil uji antibakteri ekstrak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr., menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri staphylococcus aureus (tabel 1). analisis metabolit sekunder ekstak metanol dengan alat gas chromatography mass spectrometry (gc-ms), didasarkan pada waktu retensi dari senyawa yang diinjeksikan. keberhasilan identifikasi dengan kromatografi antara lain dipengaruhi oleh suhu, tekanan, konsentrasi fase gerak dan dimensi kolom. fase gerak untuk gc-ms digunakan pada penelitian ini adalah gas helium (he) dan jenis kolom kapiler tg-5 ms yang bersifat non polar. proses pemisahan senyawa-senyawa dalam kolom, terjadi dimana senyawa yang bersifat nonpolar akan tertahan lebih lama dalam kolom dengan waktu retensi yang lebih lama dibandingkan dengan senyawa yang bersifat polar. selain itu pemisahan juga terjadi karena perbedaan titik didih, senyawa dengan titik didih yang lebih rendah akan memiliki waktu retensi yang lebih singkat. kromatogram hasil analisis sampel ekstrak metanol kulit batang memperlihatkan 9 peak utama, masing-masimg dengan waktu retensi masing-masing 3,55; 5,28; 5,79; 6,07; 6,29; 7,34; 7,82; 9,08 dan 11,35 (gambar 2). kemudian ke kembilan puncak utama ini dianalisis dan dibandingkan dengan library yang terdapat di dalam alat gc-ms (tabel 2). gambar 2 kromatogram sampel lannea coromandelica syamsurya, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 362-366 365 tabel 2. hasil analisis spektrum massa kromatogram sampel gambar 3 spektrogram fraksinasi massa senyawa puncak 5 gambar 4 spektrogram fraksinasi massa senyawa puncak 6 syamsurya, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 362-366 366 data hasil analisis kesembilan puncak utama pada tabel 2, terlihat pada waktu retensi 6,29 dan 7,34 masing-masing diduga sebagai senyawa 5-hidroksimetilfurfural dan 1,2,3benzenetriol (gambar 3). senyawa5-hidroksimetilfurfural, merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi (khodaei, h., dan alizadeh, m., 2016), sedangkan 1,2,3-benzenetiol merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri (duke, et.al., 2002). infeksi yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus dapat menyebabkan radang supuratif (bernanah) pada jaringan lokal dan cenderung menjadi abses. pemberian obat yang mempunyai efek antinflamasi dan antibakteri diharapkan dapat mempecepat penyembuhan penyakit akibat infeksi. kesimpulan ekstrak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr. mempunyai efek antibakteri terhadap bakteri staphylococcus aureus dan diduga mengandung senyawa aktif 5-hidroksimetilfurfural serta antibakteri 1,2,3benzenetiol. sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat alternatif untuk penanganan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus. daftar pustaka anonim: www.depkes.go.id jakarta, 5 agustus 2015 dalimartha, s. 2003. atlas tumbuhan obat indonesia jilid 2. penerbit trubus agriwidya , jakarta james a. duke., mary jo bogenschutzgodwin., judi ducellier., penggy-ann k. duke, 2002. handbook of medicinal speces crc press boca raton london new york washington, d.c. khodaei, h., alizadeh, m. 2016. inhibition of il-4 not ifn -ɣ production by splenocytes of mice immunized with ovalbumin after oral administration of 5-hydroxymethylfurfural. journal food and agricultural immunology, tabriz university of medical sciences, tabriz, iran mandal, k.b., wilkins, g.e.,dunbar, m.e.,white, m, t.r., 2006. penyakit infeksi, ed. ke 6 penerbit erlangga, jakarta publishers. pusat data dan informasi persatuan rumah sakit seluruh indonesia. 2017 diambil dari http://www.pdpersi.co.id/ content/ news.php? mid=5&catid=2&nid=2483 ray, m., and chikindas, m., 2011. naural antimicrobials in food safety quality, cook college rutgers university, usa roitt, i., 2002. imunologi, edisi 8, penerbit widya medika, jakarta ryan kj, ray cg.2004.sherris medical microbiology: an introduction to infectious diseases. edisi ke-4. mcgraw hill ryan, k.j., j.j. champoux, s. falkow, j.j. plonde, w.l. drew, f.c. eidhardt, shulman, s.t., phai, p.j., sommers, m.h., 1994. dasar biologis dan klinis penyakit infeksi. edisi-4. penerbit gajah mada university, yogyakarta zuhud, e.a.m., w.p. rahayu, c.h. wijaya dan p.p. sari. 2001. aktivitas antimikroba ekstrak kedaung (parkia roxburghii g, don) terhadap bakteri patogen. jurnal teknologi dan industri pangan 12(1):6-12 http://www.pdpersi.co.id/ ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 344-347 344 synthesis of compound n-phenetyl 4-o-acetyl ferulamide from ferulic acid through indirect amidation method sintesis senyawa n-fenetil 4-o-asetil ferulamida dari asam ferulat melalui reaksi amidasi tidak langsung muhammad fajar islam 1* , firdaus 2 , nunuk hariani soekamto 2 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, phone: 082349451822, email:ahmadfajr8860@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract compound n-phenetyl 4-o-asetil ferulamide had been synthesized from ferulic acid and phenetylamine through esterification and indirect amidation method. esterification reaction of ferulic acid with anhydride acetate was done in pyridine solvent at room temperature. indirect amidation was perform by chlorination using tionyl chloride in benzene solvent at 70°c and continued by amidation with phenetylamine, catalyzed by pyridine in dichloromethane solvent at room temperature. the compound obtained is brown yellowish crystal with melting point 118-120°c. the rendemen of target compound is 53.81%. keywords: n-phenetyl 4-o-acetyl ferulamide, ferulic acid, indirect amidation pendahuluan asam ferulat merupakan asam hidroksisinamat yang banyak ditemukan pada bagian biji, bunga, kulit, dan buah dari tumbuhan padi, gandum, nanas, dan biji kopi (paiva et al., 2013). asam ferulat juga ditemukan banyak pada dedak gandum, maize, barley, oats dengan rentang jumlah antara 250-470 µg/g tepung (boz, 2015). asam ferulat terbagi dalam konfigurasi cisdan transpada rantai samping tak jenuhnya (khumar dan pruthi, 2014). oh o ho o gambar 1. struktur asam ferulat asam ferulat merupakan senyawa yang banyak dimanfaatkan dalam bidang medis sebagai: antioksidan, antialergi, antikanker, antiinflamasi, antimikroba, antivirus, dan pengawetan makanan. sifat antioksidannya dapat menetralisir radikal bebas (superoksida, oksida nitrat, dan radikal hidroksil) yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap sel dan dna (khumar dan pruthi, 2014). studi in vitro menjelaskan bahwa asam ferulat memiliki sifat antioksidan dan antikanker yang dianggap sangat berguna bagi pengobatan beberapa penyakit. bagian struktur asam ferulat yang berfungsi sebagai sisi aktif adalah: gugus metoksi yang saling menstabilkan dengan gugus hidroksil pada cincin benzena, dan gugus asam karboksilat yang berdekatan dengan karbon tak jenuh dapat berperan lebih jauh menyediakan sisi aktif tambahan (barone et al., 2009). salah satu kelemahan asam ferulat adalah bersifat hidrofilik sehingga sulit menembus membran sel yang tersusun atas lipid. sifat hidrofilik ini dapat diubah melalui reaksi amidasi dan esterifikasi (texeira et al., 2013). salah satu cara yang dapat ditempuh dengan menurunkan kepolaran melalui reaksi amidasi. kepolaran yang lebih rendah menyebabkan senyawa dapat menembus dinding sel. semakin besar konsentrasi senyawa aktif yang teradsorbsi oleh sel maka aktivitasnya semakin tinggi (firdaus et al., 2012). hasil penelitian rajan et al.,(2000) menunjukkan bahwa turunan amida asam kafeat memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. muh. fajar islam, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 344-347 345 banyak penelitian amidasi asam hidroksisinamat yang telah dilakukan antara lain: jitareanu et al., (2012) melakukan amidasi asam hidroksisinamat dengan menggunakan katalis benzotriazol-tris(dimethylamin)phosphomium hexafluorophosphate (bop) dalam pelarut diklorometana. reaksi ini dilakukan pada pada suhu 0°c. rendemen senyawa yang diperoleh dengan katalis bop sekitar 55%. metode lain yang oleh (tang, 2005) dengan katalis asam borat, (nomura et al. 2003) yang mensintesis senyawa turunan amida dari asam ferulat dengan katalis isobutilkloroformat dalam pelarut diklorometana pada suhu -15°c dalam atmosfir nitrogen. namun, kondisi reaksi yang sulit serta reagen dan katalis yang digunakan mahal dan sulit didapatkan. sehingga amidasi asam ferulat dengan metode tidak langsung dipilih yang kondisi reaksi dan reagennya lebih mudah. dalam penelitian ini, reaksi esterifikasi asam ferulat dilakukan dengan menggunakan anhidrida asetat dalam pelarut piridina pada suhu ruang (lu dan ralph, 1998). dilanjutkan dengan reaksi amidasi tidak langsung yang digunakan merupakan modifikasi dari reaksi esterifikasi oleh (helm et al., 1992) dengan mengganti alkohol dengan amina. tahapan reaksi ini terdiri atas reaksi klorinasi menggunakan socl2 dilanjutkan dengan amidasi menggunakan fenetilamina yang dikatalisis dengan piridina dalam pelarut diklorometana pada suhu ruang. metodologi alat alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: satu set alat refluks, neraca analitik, termometer, hotplate, magnetic stirrer, rotary evaporator, melting point apparatus, lampu uv, corong buchner, kolom kromatografi, spektrofotometer ft-ir shimadzu, serta alat-alat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium. bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini semua dalam kualitas p.a. antara lain: asam ferulat, piridina, anhidrida asetat, benzena, tionil klorida, diklorometana, piridina, trietilamina, fenetilamina, etil asetat, n-heksana, aseton, hcl, nh4cl, mgso4 anhidrat, gas n2, silika gel 7733 dan 7734, plat klt, kertas saring whatmann 42 dan pipa kapiler. prosedur kerja esterifikasi sebanyak 1 gram asam ferulat dilarutkan dalam 3 ml piridina, larutan kemudian ditambahkan 1,5 ml anhidrida asetat. campuran diaduk selama ± 4 jam pada suhu ruang. setelah reaksi selesai, ditambahkan 50 ml akuades dingin hingga terbentuk endapan putih. endapan dicuci dengan akuades dan dikeringkan. setelah kering, direkristalisasi dengan metanol panas lalu disaring. filtrat kemudian didiamkan hingga terbentuk kristal 4-o-asetil ferulat. kristal yang terbentuk dianalisis kemurniannya dengan klt 3 macam sistem eluen dan dianalisis strukturnya menggunakan spektrofotometer ft-ir amidasi tidak langsung sebanyak 0,5 gram kristal 4-o-asetil ferulat dilarutkan dalam benzena, ditambahkan 2 ml tionil klorida. campuran reaksi direfluks pada suhu 70°c selama 2 jam sambil dialiri gas n2. setelah reaksi selelsai, campuran dievaoprasi hingga diperoleh padatan kuning. padatan kuning hasil klorinasi ditambahkan 0,58 ml fenetilamina dan dilarutkan kedalam diklorometana. campuran ditambahkan dengan 0,15 ml piridina dan 0,3 ml trietilamina dan distirrer selama 4 jam. setelah rekasi selesai, campuran dicuci dengan 30 ml hcl 3% dan 30 ml nh4cl masing-masing dua kali. hasil pencucian kemudian dikeringkan dengan mgso4 anhidrat dan dievaporasi. senyawa target dimurnikan dengan kolom gravitasi. hasil pemurnian senyawa target kemudian diuji titik leleh, analisis kemurnian dengan klt 3 macam sistem eluen, serta analisis struktur dengan spektrofotometer ft-ir hasil dan pembahasan senyawa n-fenetil 4-o-asetil ferulamida telah disintesis melalui tahapan reaksi esterifikasi,dan amidasi tak langsung. tahap pertama dengan reaksi esterifikasi dilakukan untuk menghindari pembentukan polimer ferulat, karena dapat terjadi reaksi esterifikasi antara gugus –oh fenolik dengan gugus karboksilat antara molekul asam ferulat. hasil dari reaksi asetilasi berupa kristal putih dengan titik leleh 194-196°c dengan rendemen sebesar 77%. analisis klt senyawa 4-o-asetil ferulat menunjukkan bahwa senyawa telah murni muh. fajar islam, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 344-347 346 dengan adanya satu noda pada tiga macam sistem eluen (gambar 2). gambar 2. kromatogram klt produk tahap esterifikasi data hasil ft-ir menunjukkan bahwa reaksi esterifikasi telah berhasil ditandai dengan hilangnya serapan –oh fenolik pada bilangan gelombang 3300 cm -1 . hal ini juga diperkuat dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 1761 cm -1 yang mengindikasikan adanya gugus c=o ester yang berasal dari gugus asetil (gambar 3). gambar3. spektrum ft-ir senyawa 4-o-asetil ferulat reaksi klorinasi dilakukan dengan mereaksikan antara 4-o-asetil ferulat dengan tionil klorida, pada suhu 70°c. reaksi tersebut dialiri gas n2 yang berfungsi untuk mendorong gas so2 keluar yang merupakan produk samping reaksi. hasil reaksi berupa padatan kekuningan dilanjutkan dengan reaksi amidasi menggunakan fenetilamina dengan katalis piridina serta trietilamina untuk menjerap hcl yang terbentuk. hasil yang diperoleh berupa padatan kecoklatan dengan titik leleh 118-120°c. hasil kromatogram klt pada gambar 4 menunjukkan hanya satu noda pada masing-masing sistem eluen sehingga disimpulkan bahwa senyawa nfenetil 4-o-asetil ferulamida telah murni. gambar 4. kromatogram klt senyawa n-fenetil 4-o-asetil ferulamida data spektrum ft-ir senyawa n-fenetil 4o-asetil ferulamida secara lengkap dilihat pada gambar 5 membuktikan bahwa reaksi amidasi telah berhasil ditandai hilangnya serapan melebar pada bilangan gelombang antara 3000-2500 cm -1 menunjukkan hilangnya gugus –oh karboksilat. adanya serapan tajam pada 3400-3200 cm -1 menunjukkan adanya n-h, serapan c-n amida pada 1281cm -1 ,serapan c=o amida pada 1654 cm -1 . serapan-serapan lain yang menjelaskan struktur senyawa n-fenetil 4-o-asetil ferulamida dijelaskan dalam tabel 1. gambar 5. spektrum ft-ir senyawa n-fenetil 4o-asetil ferulamida tabel 1. spektrum ftir senyawa n-fenetil 4-oasetil ferulamida bilangan gelombang (cm -1 ) gugus hasil sintesis teoritis 3249 3400-3100 n-h amida 3076 3150-3050 aromatic 2927 3000-2850 c-h alkana 1764 1750 c=o ester 1610 dan 1454 1600 dan 1450 c=c aromatic 1654 1650 c=o amida 1475 dan 1373 1450 dan 1375 ch3 metoksi 1281 1300 c-n amida 904 dan 792 900 dan 810 benzena trisubstitusi muh. fajar islam, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 344-347 347 kesimpulan senyawa n-fenetil 4-o-asetil ferulamida dapat disintesis dengan metode amidasi tidak langsung. rendemen senyawa yang diperoleh sebesar 53,81 %, dan titik leleh senyawa sebesar 118-120°c daftar pustaka barone, e., calabrese, v., & mancuso, c., 2009, ferulic acid and its therapeutic potential as a hormetin for age-related diseases. biogerontology, 10(2) boz, h., 2015, ferulic acid in cereals – a review. czech j. food sci., 33 (1),1–7. firdaus, soekamto, n. h., permatasari, n. u., seniwati, makmun, sukarti, 2012, sintesis senyawa turunan sekunder dan tersier pkumaramida dan uji aktivitasnya sebagai antitumor sel leukemia p-388. indonesia chimica acta, 5(2), 10-16. helm, r. d., ralph, j., & hatfield, r. d., 1992, synthesis of feruloylated and pcoumaroylated methyl glicoside. carbohydrate research, 229 , 183-194. jitraenu, a., tataringa, g., zbanovic, a.-m., tuchilus, c., balan, m., & stancescu, u. (2013). cinnamic acid derivatives and 4aminoantipyrine amides – synthesis and evaluation of biological properties. research journal of chemical sciences, 3(3) , 09-13. khumar, n., & pruthi, v., 2014, potential applications of ferulic acid from natural sources. biotechnology report, 4 , 86-93. lu, f., & ralph, j., 1998, facile synthesis of 4hydroxycinnamyl p-coumarates. j. agric. food chem., 46 , 2911−2913. nakamura, k., nakajima, t., aoyama, t., & okitsu, s., 2014, one-pot esterification and amidation of phenolic acids. tetrahedron, 30, 1-11. nomura, e., kashiwada, a., hosoda, a., nakamura, k., morishita, h., tsuno, t., 2003, synthesis of amide compounds of ferulic acid and their simulatory effect on insulin secretion in vitro. bioorganic and medicinal chemistry, 11 , 3807-3813. paiva, b. l., goldbeck, r., dos santos, w. d., & squina, f. m., 2013, ferulic acid and derivatives: molecules with potential application in pharmaceutical field. brazilian journal of pharmaceutical sciences, 49(2), 395-411. rajan, p., vedernikova, i., cos, p., berghe, d. v., augustyns, k., & haemers, a., 2001, synthesis and evaluation of cafeic acid amides as antioxidants. bioorganic & medicinal chemistry letters, 11 , 215-217. sarangi, p. k., & sahoo, h. p., 2010, ferulic acid production from wheat bran using staphylococcus aureus. newyork science journal , 79-81. sharmaa, p., 2011, cinnamic acid derivatives: a new chapter of various pharmacological activities. journal of chemical and pharmaceutical research, 3(2) , 403-423. tang, 2005, boroc acid catalyzed amide formation from carboxylic acid and amines n-benzyl-4-phenylbutyramide, org.syn.,81: 262 texeira, j. gaspar, a. garrido, e.m. garrido, j. borges, f., 2013, hydroxycinamic acid antioxidants: an electrochemical overview, biomed research international. ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 348-351 348 analysis of heavy metal cd at algae eucheuma cottoni in bantaeng region coastal analisis logam berat cd dalam alga eucheuma cottoni di perairan kabupaten bantaeng muhammad tasjiddin teheni *1 , nursiah la nafie 2 , seniwati dali 2 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, 082393293070, muh.tasjiddin.teheni@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract algae is a plant which life in the marine with a lot of diversification such as: single and multi-cellular. commonly, it contains chlorophyll without stem and roots. a species of algae in indonesia which has high economic value is eucheuma cottoni. it is cultured in bantaeng as the central production of algae in south sulawesi. the aim of this research is to know the concentration of heavy metals cadmium in algae at region bantaeng coastal. concentration of cadmium was determined by atomic absorption spectrophotometer (aas). this analysis was done by destruction process using concentrated hno3. sampling was done at 6 different location, they are: nipa-nipa, bakara, boroloe, tapaloe, baruga village and baruga from north to south. the experiment result show that the highest concentration of cd is in nipa-nipa village, with 0.2920 ppm and the lowest in baruga village is 0.1824 ppm. the concentration of cd in algae eucheuma cottoni in those 6 different location had been more than limited which had been determined by the decision of national of environmental ministry number 51 year 2004, they are 0.01 and 0.05 ppm. keywords: algae, cadmium metal, eucheuma cottoni, bantaeng pendahuluan alga merupakan tumbuhan yang hidup diperairan dengan keragaman jenisnya, baik dalam bentuk sel tunggal atau sel majemuk, yang pada umumnya mengandung klorofil, tetapi tanpa batang dan akar nyata. alga dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan ukurannya. makroalga atau yang biasa dikenal dengan nama rumput laut dan mikroalga, organisme sel tunggal dengan ukuran bervariasi dari beberapa mikrometer (µm) sampai beberapa ratus mikrometer (milledge, dkk, 2014). rumput laut merupakan kata untuk menggambarkan alga makroskopis dan multiselular. terdapat tiga jenis rumput laut yaitu alga merah, coklat dan hijau (aboweidan ezekiel, 2013). rumput laut merupakan komponen ekosistem perairan yang penting secara ekologi dan memegang peranan penting dalam keragaman pesisir (sathessh dan wesley, 2012). biomassa yang berasal dari alga telah menarik minat banyak peneliti dikarenakan kandungan karbohidrat dan polisakarida yang menjadikan rumput laut dijadikan bahan pangan dan pupuk (jang, dkk, 2012). selain itu penggunaan rumput laut banyak di manfaatkan pada penelitian seperti digunakan sebagai produksi bioetanol (candra, 2011), bioakumulasi logam (raya, 2012), produksi sebagai antioksidan (sitrat, 2012), antibakteri (siregar, 2012), antibiotika (naid, 2013). rumput laut hidup di dalam air laut sedangkan di dalam air laut dan air tawar terkandung beberapa mineral dan logam berat pencemar akibat kegiatan industri dan buangan limbah yang mengandung zat beracun (darmono, 2001). beberapa logam berat dalam perairan laut seperti pb (timbal), cd (kadmium), m. tasjiddin teheni, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 348-351 349 hg (merkuri), zn (seng) dengan jumlah konsentrasi berlebih merupakan logam beracun dan berbahaya. logam-logam tersebut termasuk dalam unsur non esensial bagi organisme, terutama pada rumput laut (lamai, 2005). sedangkan pada beberapa logam berat seperti cu (tembaga), fe (besi), co (kobalt), mn (mangan) dan lainnya merupakan jenis logam berat esensial yang dalam kuantitas tertentu sangat diperlukan oleh organisme hidup, terutama rumput laut. namun, dalam kadar tertentu juga bersifat toksik (nopriani, 2011). adapun mineral yang masih bersifat toksik dan tergolong logam berat menurut yaitu as, cu, cd, dan pb (rao, 2007). berdasarkan keputusan menteri negara lingkungan tahun 2004 tentang status mutu air berdasarkan kandungan logam berat pada air yaitu : kadmium (cd) 0,01 dan tembaga (cu) 0,05 ppm, maka pada penelitian ini, telah dilakukan penentuan kadar logam berat kadmium (cd) dalam rumput laut. logam tersebut merupakan logam berat yang dalam ambang batas tertentu akan membahayakan dan beracun apabila dikonsumsi. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini semua dalam kualitas p.a. antara lain: asam nitrat (hno3), makroalga eucheuma cottonii, aquades, aquabides, air laut steril, larutan induk cd, kertas whatman 42. alat alat-alat yang akan digunakan adalah alatalat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium, atomic absorption spectroscopy buck scientific 205, cawan petri, corong, furnace, gps, penangas listrik, ph meter, neraca digital, ice boox, freezer, salinometer prosedur kerja pembuatan deret standar kadmium (cd) deret larutan standar cd 0,00 0,01, 0,05, 0,1, 0,2, dan 0,4, 0,8 dan 1,6 ppm,. selanjutnya sampel di analisis dengan atomic absorption spectrometer buck scientific 205. pengujian sampel untuk analisis logam kadar logam yang terkandung pada rumput laut di analisis dengan cara: sampel dibersihkan dari material pengotor menggunakan aquadest kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o c sampai berubah menjadi coklat kehitaman. sampel yang sudah kering kemudian dihancurkan menjadi serbuk dan dihomogenisasi dengan mortar lalu disimpan dalam aluminium foil. sampel yang sudah kering ini ditimbang sebanyak 5 g dalam cawan porselin bersih ditambah dengan 20 ml larutan asam nitrat (hno3) pekat, lalu disaring dengan mengunakan kertas whatman 42 sehingga di peroleh larutan jernih. filtrat lalu ditempatkan dalam labu ukur 50 ml dan siap di analisis. hasil dan pembahasan analisis kadar logam kadmium (cd) pada rumput laut eucheuma cottoni rumput laut merupakan salah satu tumbuhan memiliki potensi budidaya tinggi dan berkembang dengan pesat, terutama di sulawesi selatan. salah satu daerah yang termasuk berkembang pesat budidaya rumput lautnya di provinsi sulawesi selatan adalah kabupaten bantaeng. kabupaten bantaeng merupakan sentra pengolahan rumput laut melalui surat keputusan direktur jenderal pengolahan dan pemasaran hasil perikanan nomor: kep.08/djp2hp/2009, dan menjadi salah satu dari 15 sentra pengembangan industri perikanan di indonesia (fachry, 2009). berdasarkan data statistik dari dinas kelautan dan perikanan kabupaten bantaeng menunjukkan bahwa produksi rumput laut di kabupaten bantaeng mengalami perubahan dari tahun ke tahun. tahun 2009 produksi rumput laut sebanyak 5.214,4 ton, 2010 sebanyak 6.897,6 ton, 2011 sebanyak 8.392,3 ton tahun 2012 sebanyak 8.551,8 ton dan 8.971,1 ton dengan potensi produksi dari tahun 2009-2013 seluas 5375 ha (jasrah, 2014). hasil pengukuran kadar logam kadmium (cd) pada rumput laut di kabupaten bantaeng dengan metode spektrofotometri serapan atom dapat dilihat pada gambar 1 m. tasjiddin teheni, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 348-351 350 gambar 1. kadar rata-rata logam kadmium (cd) pada rumput laut d kabupaten bantaeng berdasarkan keputusan kementrian negara lingkungan hidup no 51 tahun 2004 nilai ambang batas cemaran logam kadmium pada air laut adalah 0,01 ppm. dari hasil yang diperoleh dari data pada gambar 1, kandungan logam kadmium pada air laut di kabupaten bantaeng yaitu desa nipa-nipa sebesar 0,2920 ppm, desa kampung bakara sebesar 0,2627, desa boroloe sebesar 0,2909, desa tapaloe sebesar 0,2476, desa baruga sebesar 0,1997 dan desa baruga sebesar 0,1824. kadar logam di setiap lokasi di kabupaten bantaeng telah melewati nilai ambang batas yang telah ditetapkan oleh keputusan kementrian negara lingkungan hidup no 51 tahun 2004. kadar logam berat kadmium pada rumput laut euchema cottoni berbeda – beda di setiap lokasi, kadar logam kadmium yang tertinggi pada rumput laut euchema cottoni pada desa nipa-nipa 0,2920 ppm sedangkan yang terendah pada desa baruga 0,1824 ppm sehingga hal ini berpengaruh pada kadar logam yang terdapat pada rumput laut. akibat adanya logam berat dalam perairan dapat mengakibatkan kerusakan pada biota laut bila secara terus menerus biota laut ini mengakumulasi logam berat tersebut, terkhususnya pada rumput laut apabila kadar logam kadmium (cd) melewati ambang batas maka akan menghambat pertumbuhan rumput laut dan pada akhirnya rumput laut bisa rusak . masuknya logam dalam air laut dapat dilihat dari sirkulasi logam dalam kehidupan biologi air laut dan air tawar seperti gambar 2. gambar 2. sistem biogeokimia sirkulasi logam dalam kehidupan biologi air laut dan air tawar (darmono, 1995). logam kadmium diabsorpsi oleh rumput laut dari lingkungan air atau pakan yakni fitoplankton dan tumbuhan renik yang sudah terakumulasi kadmium dan akan terikat dengan protein yaitu metalotionin (mt) banyak mengandung gugus sulfhidril (sh) dan dapat mengikat 11% cd dan seng (zn), dimana kadmium terikat dengan gugus sulfhidril (sh) dalam enzim karboksil sisteinil, histidil dan hidroksil dari protein dan purin. kemungkinan besar pengaruh toksisitas kadmium disebabkan oleh interaksi antara kadmium dan protein tersebut sehingga memunculkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim (wahyu widowati, 2008). kesimpulan kandungan logam kadmium pada air laut di kabupaten bantaeng yaitu desa nipa-nipa sebesar 0,2920 ppm, desa kampung bakara sebesar 0,2627, desa boroloe sebesar 0,2909, desa tapaloe sebesar 0,2476, desa baruga sebesar 0,1997 dan desa baruga sebesar 0,1824. kadar logam di setiap lokasi di kabupaten bantaeng telah melewati nilai ambang batas yang telah ditetapkan oleh keputusan kementrian negara lingkungan hidup no 51 tahun 2004. 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 k o n se n tr a si c d (p p m ) m. tasjiddin teheni, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 348-351 351 daftar pustaka abowei, j.f.n. and ezekiel e. n. 2013, the potentials and utilization of seaweeds, j. sci. agri. 4 (2), 58-66 candra. p. k, sarwana, sarinah, 2011, study bioetanol production using red seaweed eucheuma cottonii from bontang sea water, j. of coastal develop, 15 (1), 45-50 darmono,1995, logam dalam sistem biologi makhluk hidup, jakarta: universitas indonesia press., darmono. 2001. lingkungan hidup dan pencemaran. cetakan i. jakarta : universitas indonesia press. fachry. m. e. 2009. analisis potensi pengembangan budidaya rumput laut di kabupaten bantaeng. kerjasama dkp provinsi sulsel. sulawesi selatan jasrah, r. s., 2014, aplikasi citra landsat 8 untuk estimasi potensi produksi rumput laut di kabupaten bantaeng, universitas hasanuddin jang, s.s , shirai. y, uchida m, wakisaka, m, 2012, production of mono sugar from acid hydrolysis of seaweed, african journal of biotechnology vol. 11 (8), 1953-1963. lamai, c., maleeya. k., prayad. p., e. suchart.u. dan varasaya. s. 2005. toxicity and accumulation of lead and cadmium in the filamenous green algae cladopora fracta (o. f. muller ex vahl) kutzing. a laboratory study. scienceasia. vol 31, 121127 milledge, j. j. smith b, dyer, p. w and harvey p, 2014, macroalgae-derived biofuel: a review of methods of energy extraction from seaweed biomass, j. energies, 7, 71947222. naid. t , kasim. s, marzuki. a, dan sumarheni. 2013, produksi antibiotika secara fermentasi dari biakan mikroorganisme simbion rumput laut eucheuma cottonii. majalah farmasi dan farmakologi.17 (3). 61-68 nopriani, l.s. 2011. teknik ui cepat untuk identifikasi pencemaran logam berat di lahan apel batu. disertasi. malang: fakultas pertanian, universitas brawijaya rao, p.v., mantri, v. dan ganesan, k. 2007. mineral composition of edible seaweed porphyra vietnamensis. food chemistry 102, 215–218. raya. i, ramlah, 2012, the bioaccumulation of cd (ii) ions on eucheuma cottoni. marine chemical acta, 13 (2), 13-18 satheesh, s & wesley, s. g, 2012, diversity and distribution of seaweeds in the kudankulam coastal waters, south-eastern coast of india, biodiversity journal, 3 (1) : 79-84 siregar. f .w. sabdono.a, pringggenies. d, 2012, potensi antibakteri ekstrak rumput laut terhadap bakteri penyakit kulit pseudomsaeroginosa, staphylococcus epidermis, dan micrococcus loteus, j. of marine research, 1 (2), 152-160 sitrat. d.w, sukesi, 2012, antioksidan dalam bakso rumput laut merah eucheuma cottoni, jurnal sains dan seni pomits, 1 (1) 1-4. wahyu widowati, dkk. 2008, efek toksik logam. yogyakarta: andi. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 120-124, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-tri 120 penyingkiran merkuri dari minyak mentah berat: konversi merkuri ion ke merkuri metalik mercury removal from heavy crude oil: conversion of ionic mercury to metallic mercury tri partono adhi 1* , harris prabowo 2 , antonius indarto 1 1 program studi teknik kimia, fakultas teknologi industri, institut teknologi bandung, jl. ganesha 10, bandung 2 downstream research technology center, pt. pertamina, sopo del tower, jl. kh. guru mughni 21, jakarta * corresponding author: tpadhi@che.itb.ac.id received: 2020-8-20 received in revised: 2020-8-23 accepted: 2020-9-26 available online: 2020-9-30 abstract the presence of mercury in crude oil creates problems in the oil processing in refineries, both in terms of operations and health. the previous removal process of mercury has not yet optimally removed mercury in the product, due to ionic and metallic mercury species. in this study, to obtain optimum results, the process of removal of mercury begins with the process of converting ionic (non-metallic) mercury into metallic mercury thermally in the liquid phase, followed by the transfer of metallic mercury to the gas phase by instant evaporation (flashing) and reinforced by gas stripping using internal gas cone from the evaporation of an instant. the results of the optimization of the process carried out can eliminate mercury with an efficiency of more than 95%. keywords: mercury removal, ionic mercury, metalic mercury, crude oil, refinery. abstrak (indonesian) keberadaan merkuri dalam minyak mentah memberikan permasalahan dalam proses pengolahan minyak di kilang, baik dari sisi operasional maupun kesehatan. proses penyingkiran merkuri terdahulu masih belum secara optimum menghilangkan merkuri pada produk, dikarena spesies merkuri ionik dan metalik. dalam studi ini, untuk mendapatkan hasil yang optimum, proses penyingkiran merkuri diawali dengan proses konversi merkuri ionik (non-metalik) menjadi merkuri metalik secara termal di fasa cair, dilanjutkan dengan pemindahan merkuri metalik ke fasa gas dengan penguapan sekejap (flashing) dan diperkuat dengan pelucutan gas (stripping) menggunakan gas pelucut internal hasil penguapan sekejap. hasil optimasi proses yang dilakukan dapat menghilangkan merkuri dengan efisiensi 93,8 99,6% pada waktu tinggal 10-20 menit dengan rentang temperatur operasi berkisar 200 225 °c. kata kunci: penyingkiran merkuri, merkuri ionik, merkuri metalik, minyak mentah, kilang. pendahuluan merkuri (hg) merupakan salah satu logam berat beracun, yang dapat terserap melalui permukaan kulit, mulut, atau pernapasan serta merugikan kesehatan manusia (virtanen dkk., 2007; bernhoft, 2011; park dan zheng, 2012). keberadaan merkuri dalam peralatan industri itu juga dapat menyebabkan kerusakan, bahaya operasional, dan permasalahan kesehatan bagi operator pabrik. salah satu industri yang erat kaitannya dengan keberadaan merkuri adalah industri pengolahan minyak bumi. kandungan merkuri dalam minyak mentah dapat mencapai nilai 30.000 ppb (wilhelm, 2007). merujuk pada rekomendasi us epa (enivornmental protection agency), nilai batas tertinggi untuk konsentrasi merkuri dalam air minum adalah 2 ppb. untuk konsentrasi uap merkuri pada udara lingkungan kerja hanya diperbolehkan mengandung 50 µg/m 3 menurut occupational safety and health administration (osha). oleh karena itu, kandungan merkuri dalam minyak misalnya minyak bakar untuk kebutuhan alat transportasi, harus diturunkan nilainya serendah mungkin (trace). dalam beberapa tahun terakhir, berbagai teknologi untuk menyingkirkan merkuri dari fluida cair (air) telah diteliti dan dievaluasi (jan dkk., 2009; chiarle dkk., 2000; wang dkk., 2011; oh dkk., 2012; tavares dkk., 2016; ahmed dkk., 2017; tunsu dan wickman, 2018; indarto dkk., 2019; indarto dan tri partono hadi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 120-124, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-tri 121 handoyo, 2020). namun, penyingkiran merkuri dari minyak mentah berat bertitik tuang tinggi memiliki kendala dan kerumitan yang belum tuntas terselesaikan oleh banyak teknik penyingkiran yang sudah ada. kondisi minyak yang berwarna gelap dan kental menyebabkan kesulitan teknik penyingkiran yang berdasarkan reaksi merkuri membentuk padatan. kondisi minyak mentah berat yang keruh juga tidak memungkinkan penerapan teknik penyingkiran menggunakan adsorben yang sudah dikembangkan khusus untuk fasa cair karena terlalu cepat terjadinya blokade permukaan aktifnya (sui dkk., 2014). teknik penyingkiran yang berdasarkan pelucutan gas secara langsung telah dapat mengurangi kandungan merkuri dalam minyak mentah tetapi dirasa kurang optimum. spesies merkuri dalam minyak mentah berat lebih banyak berupa merkuri ionik (wilhelm dan bloom, 2000) yang sangat larut dalam minyak sehingga tidak mudah dilucuti untuk dipindahkan ke fasa gas. untuk mengatasi permasalahan di atas, proses konversi termal untuk mengubah merkuri non-metalik menjadi merkuri metalik perlu dilakukan sehingga merkuri yang terkandung dalam fasa cair akan lebih mudah diuapkan (lord dkk., 2014). namun proses terdahulu menggunakan gas pelucut tersirkulasi yang memerlukan tambahan peralatan kompresor, tambahan kebutuhan energi untuk kompresor, serta kehilangan fraksi minyak yang terbawa gas pelucut eksternal meskipun menghasilkan efisiensi hingga mencapai 95%. selain itu, teknik penyingkiran ini juga belum menerapkan teknik untuk meminimalkan kebutuhan utilitas pemanas untuk proses konversi termal dan utilitas pendingin untuk mengembalikan temperatur minyak ke kondisi penyimpanan, sehingga optimalisasi mutlak diperlukan. pada studi ini, metode penyingkiran merkuri dari minyak mentah berat bertitik tuang tinggi dilakukan dengan mengoptimasi teknik dan kondisi operasi konversi termal, pembentukan gas pelucut internal sekali jalan, serta pelucutan merkuri dari minyak ke fasa gas dan pembersihannya. metode penyingkiran merkuri yang meminimalkan kebutuhan energi dan kehilangan produk akan memberikan dampak positif terhadap efisiensi proses dan meningkatkan margin keuntungan perusahaan. metodologi desain instrumentasi gambar skematik unit proses penyingkiran merkuri ditampilkan pada gambar 1. rangkaian unit penyingkiran merkuri terdiri dari rektor konversi termal (r-1), unit penguapan sekejap (v-1), unit pemisahan gas/cair (s-1), penyingkiran merkuri fasa gas (a-1 dan a-2), dan unit pelucutan gas (s-2). umpan yang digunakan merupakan minyak mentah dari salah satu lapangan produksi minyak milik salah satu perusahaan nasional yang siap untuk dikirim ke kilang minyak dengan kadar air maksimum 0,3%-vol. gambar 1. skematik diagram rangkaian unit pemisahan merkuri. prosedur kerja dan analisis hasil aliran umpan minyak segar dari tangki umpan t-101 akan ditingkatkan tekanannya menggunakan pompa p-1 hingga 5 – 40 bar, bergantung pada jenis umpan. selanjutnya, dilakukan pemanasan menggunakan pemanas h-1 untuk meningkatkan temperatur umpan (>125 °c) yang menjamin tercapainya tingkat konversi yang diinginkan di reaktor konversi termal r-1. nilai ini sesuai dengan percobaan lord, dkk. (2014) bahwa pada temperatur >100c, keseimbangan redoks merkuri bergeser ke pembentukan merkuri elemental (hg 0 ). waktu tinggal minyak di dalam reaktor r-1 berkisar 5-30 menit dengan temperatur operasi berkisar antara 175-250 °c. aliran efluen reaktor akan diturunkan tekanannya secara cepat melalui kerangan v-1 yang selanjutnya masuk ke bejana pemisahan gas/cair s-1. efisiensi penyingkiran merkuri dinyatakan sebagai persentase jumlah merkuri yang terpindahkan dari fasa minyak yang bernilai antara 0 100% yang diambil pada keluaran pendingin c-2 (gambar 1). hasil dan pembahasan evaluasi spesies merkuri untuk mengevaluasi spesies merkuri yang terkandung dalam umpan, percobaan sederhana dilakukan dengan memanaskan umpan sebesar 650 ml pada temperatur 145°c selama 3 jam. hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan spesies tri partono hadi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 120-124, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-tri 122 merkuri pada temperatur tinggi. hasil analisis kandungan merkuri disajikan pada tabel 1 menunjukkan bahwa hampir 90% merkuri yang terkandung dalam minyak umpan berupa merkuri non-metalik yang tidak mudah menguap. komposisi ini berkesusaian dengan data review oleh wilhelm dan bloom (2000) bahwa kandungan merkuri ionik memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan merkuri metalik/elemental. meskipun relatif kecil, pemanasan pada temperatur tersebut menunjukkan terjadinya konversi termal merkuri ionik menjadi metalik/elemental (hg 0 ) yang tampak dari penurunan kandungan merkuri ionik dan diikuti penambahan kandungan merkuri metalik. hal ini berkesesuaian dengan percobaan lord dkk. (2014) pada temperatur >100 o c, reaksi keseimbangan redoks metalurgi akan mengikuti persamaan reaksi berikut: hg 2+ + 2 e → hg 0 (1) sedikit penguapan (total penurangan volume sample sebesar 50 ml) terjadi selama proses pemanasan 145 °c dalam waktu 3 jam. kecilnya pengurangan volume minyak yang hanya berkisar 7,6% menunjukkan bahwa umpan minyak yang digunakan tergolong minyak berat. bersamaan dengan terjadinya penguapan, kandungan merkuri total juga berkurang yang menunjukkan adanya perpindahan merkuri terbawa oleh 50 ml minyak yang teruapkan sebagai fasa gas. berdasarkan perhitungan neraca massa secara seksama menunjukkan bahwa komponen merkuri yang teruapkan tersebut adalah merkuri metalik. perhitungan simulasi dari sanchez (2013) menujukkan bahwa jumlah merkuri yang berpindah ke fasa gas akan meningkat pada tekanan rendah dan temperatur tinggi. dengan demikian, studi ini membuktikan keabsahan prinsip dasar proses penyingkiran merkuri bahwa merkuri ionik dapat disingkirkan dari fasa minyak setelah dikonversi secara termal menjadi merkuri metalik untuk selanjutnya diuapkan. tabel 1. komposisi spesies merkuri dalam minyak sebelum dan setelah pemanasan pada 145 °c. spesies merkuri awal pemanasan (ppb) akhir pemanasan (ppb) hg 2+ , merkuri ionik 293,0 275,6 hg 0 , merkuri metalik 33,06 43,27 merkuri total 326,1 318,9 konversi merkuri ionik studi selanjutnya dilakukan dengan mengalirkan umpan minyak pada rangkaian unit penyingkiran merkuri (skema unit dapat disajikan pada gambar 1). dalam percobaan ini, waktu tinggal minyak di dalam reaktor konversi termal divariasikan antara 5 – 30 menit dengan temperatur operasi berkisar antara 150 – 250 °c. kurva kandungan merkuri ionik pada produk keluaran reaktor konversi termal (r-1) sebagai fungsi temperatur dan waktu konversi disajikan dalam gambar 2. sebaran data dalam bentuk titik (dot) merupakan data eksperimen sedangkan garis kurva menyatakan hasil perhitungan kinetika menggunakan persamaan arrhenius. seperti ditunjukkan pada gambar 2, kandungan merkuri ionik akan berkurang secara cepat saat reaksi dilangsungkan pada temperatur yang lebih tinggi dari 125 °c. hal ini sejalan dengan percobaaan lord dkk. (2014). tetapi, penentuan temperatur reaksi harus tetap dijaga agar tidak melebihi temperatur yang dapat menyebabkan banyaknya minyak yang teruapkan. dari hasil eksperimen, temperatur proses konversi merkuri ionik menjadi merkuri metalik terbaik diperoleh dalam rentang antara 175 dan 250 °c. pada temperatur 250 °c, nilai konversi merkuri ionik menjadi metalik/elemental mencapai 50% dengan waktu tinggal reaktan 5 menit dan mencapai nilai mendekati 100% untuk waktu tinggal 30 menit. laju reaksi konversi termal fasa cair dari merkuri ionik menjadi merkuri metalik, hg 2+ + 2e → hg 0 , dapat diprediksi mengikuti karakteristik reaksi elementer orde satu dengan konstanta laju reaksi yang bergantung pada temperatur sesuai dengan persamaan arrhenius (lord dkk., 2014). gambar 2. kandungan merkuri produk sebagai fungsi temperatur dan waktu konversi. gambar 3 memperlihatkan pengaruh temperatur operasi terhadap tekanan operasi minimum dan tri partono hadi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 120-124, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-tri 123 pencapaian tingkat konversi di reaktor r-1. makin tinggi temperatur operasi akan memberikan tingkat konversi yang makin tinggi, tetapi juga memerlukan tekanan operasi yang makin tinggi untuk mempertahankan kondisi minyak tetap sebagai fasa cair di dalam reaktor. oleh karena tekanan operasi unit pelucutan gas s-2 dijaga tetap 2,5 bar, maka kenaikan temperatur operasi unit r-1 juga berarti meningkatkan beda tekanan yang tercipta di kerangan v-1 (antara 1,5-6,5 bar), sehingga memberikan nisbah gas/cair di unit s-1 yang juga makin meningkat (antara 6-26 l/l), yang akhirnya memberikan efisiensi penyingkiran merkuri di unit s-1 dan s-2 yang juga makin meningkat. hasil studi ini mengarahkan pemilihan rentang temperatur yang disukai adalah berkisar antara 200 – 215 °c untuk menghasilkan konversi termal lebih dari 95% hingga mendekati 100% dan nisbah gas/cair antara 15 21 l/l sehingga memberikan efisiensi penyingkiran merkuri total di unit s-2 antara 93,8 99,6%. merujuk pada hasil di atas, waktu tinggal minyak dalam reaktor optimum antara 10 – 20 menit dengan temperatur operasi berkisar antara 200 – 225 °c agar diperoleh tingkat konversi merkuri ionik menjadi merkuri metalik/elemental diatas 95%. gambar 3. pengaruh temperatur operasi terhadap tekanan operasi minimum dan konversi termal. kesimpulan proses penyingkiran merkuri telah dilakukan dengan mempertimbangkan spesies merkuri yang terlarut dalam minyak mentah. metode penyingkiran telah berhasil menghilangkan merkuri dapat produk hingga mencapai nilai >95%. merujuk pada hasil diatas, waktu tinggal minyak dalam reaktor yang direkonedasikan adalah antara 10 – 20 menit dengan rentang temperatur operasi berkisar antara 200-225 °c. nilai optimum akan bergantung pada tipe minyak berat yang nantinya akan diolah. ucapan terimakasih penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dari research and technology center, pt pertamina (persero). daftar pustaka ahmed, s., brockgreitens, j., xu, k. and abbas, a., 2017. a nanoselenium sponge for instantaneous mercury removal to undetectable levels, adv. funct. mater., 27:1606572. bernhoft, r.a., 2011. mercury toxicity and treatment: a review of the literature, j. environ public health, 2012, 1-10. chiarle, s., ratto, m. and rovatti, m., 2000. mercury removal from water by ion exchange resins adsorption, water res., 11, 2971-2978. indarto, a., hartanto, y., putranto, a. dan bunaidi, r., 2019. penentuan model adsorpsi metil merah pada karbon aktif berbasis torefaksi arang batubara, indo. j. chem. res, 7(1),41-50. indarto, a. dan handojo, l., 2020. mekanisme teoritis pembentukan senyawa siklik hidrokarbon dari reaksi c4h5 dan c4h2, indo. j. chem. res, 7(2),101-106. jan, a. t., murtaza, i., ali, a. and haq, q. m. r., 2009. mercury pollution: an emerging problem and potential bacterial remediation strategies, world j. microbio. biotech., 25, 1529-1537. lord, c. j., lambertsson, e. l., bjorn, e. l., frech, w. and thomas, s. a., 2014. removing mercury from crude oil, european patent, ep2969123a1. oh, c. s., kim, h., rengaraj, s. and kim, y., 2012. in situ detection and removal of metal ion by porous gold electrode, micro. mesopor mat., 147, 1-4. park, j. d. and zheng, w., 2012. human exposure and health effects of inorganic and elemental mercury, j. prev. med. public health, 45(6), 344-352. sanchez, g. s., 2013. mercury in extraction and refining process of crude oil and natural gas, master thesis, university of aberdeen, scotland. sui, h., zhang, m. h., dong, y. and wang, p., 2014. research progress of adsorption and oxidation mechanism of elemental mercury from coalfired flue gas, chem. ind. eng. prog., 33, 15821588. tri partono hadi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 120-124, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-tri 124 tavares, d. s., c. b.lopes, a.l.daniel-da-silva, c. vale, t. trindade and m. e.pereira, 2016. mercury in river, estuarine and seawaters. is it possible to decrease realist environmental concentrations in order to achieve environmental quality standards? water res., 106, 439-449. tunsu, c. and wickman, b., 2018. effective removal of mercury from aqueous streams via electrochemical alloy formation on platinum, nat. commun., 9, 4876. virtanen, j. k., rissanen, t.h., voutilainen, s. and tuomainen, t. p., 2007. mercury as a risk factor for cardiovascular diseases, j. nutri. biochem., 18(2), 75-85. wang, z., lim, b. and choi, c., 2011. removal of hg 2+ as an electron acceptor coupled with power generation using a microbial fuel cell, bioresour. technol., 102, 6304-6307. wilhelm, s. m., 2007. estimate of mercury emissions to the atmosphere from petroleum, environ. sci. tech., 35(24), 4704-4710. wilhelm, s. m. and bloom, n., 2000. mercury in petroleum, fuel process. technol., 63,1-27. indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 53-57 53 pengaruh pemanasan basah dengan autoklaf terhadap aktifitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri (aleurites moluccana (l.) willd) effect of moist heating using autoclav to toxalbumine activities in candlenut (aleurites moluccana (l.) willd) mamang 1* , mariyati bilang 1 , salengke 2 1 department of food science and technology faculty of agriculture, hasanuddin university indonesia 2 department of agricultural engineering faculty of agriculture, hasanuddin university indonesia *corresponding author, e-mail: mamang.estepe@yahoo.com received: nov. 2017 published: jan. 2018 abstract in addition to nutritional and non-nutritional content, candlenut also contains toxalbumin, toxic compound that can inhibit protein synthesis. this study aims to inhibit toxalbumin activity in candlenut through moist heating treatment, using hemagglutination method. defatted candlenut powder was being treated under moist heating using autoclave at the temperature of 121 o c for 5,10, 15 and 20 minutes followed by oven heating at the temperature of 70 o c for 7 hours and control, continued by dry heating using oven at the temperature of 70 o c for 7 hours and extraction using 0.15 m nacl at room temperature then precipitated using ammo nium suplhate (60%) at room temperature for 4 hours. supernatant was dialyzed with water and 0.15 m nacl for 1 night each then being freeze dried. 1 g of obtained protein fraction was purified in sephadex g-75 (10 cm x 1.0 cm) column. resulted extract was re-dried using freeze dryer for hemagglutination test towards a, b, ab and o blood types. the result shows that toxalbumin acitivities were inhibited by moist heating in autoclave at the temperature of 121 o c for 10 minutes followed by drying in oven 70 o c for 7 hours. keywords: candlenut, moist heating, toxalbumin, hemagglutination. pendahuluan tanaman kemiri (aleurites moluccana (l.) willd) merupakan salah satu tanaman dari keluarga euphorbiaceae (lawrence, 1964) yang tersebar di daerah tropik dan subtropik (purseglove, 1981). di indonesia sendiri, kemiri tersebar ke berbagai propinsi dan dapat tumbuh dengan baik. kemiri mengandung zat gizi dan non gizi. banyak peneliti telah membuktikan bahwa ketiga komponen ini memiliki arti besar bagi kesehatan. kandungan zat gizi mikro yang terdapat dalam kemiri adalah protein, lemak dan karbohidrat. mineral dominan yang terdapat dalam kemiri adalah kalium, fosfor, magnesium, dan kalsium. dalam kemiri juga terkandung zat besi, seng, tembaga dan selenium dalam jumlah sedikit. kandungan penting lainnya adalah vitamin, folat, serta fitosterol yang dapat merusak enzim pembentuk kolesterol dalam hati sehingga dapat menghambat pembentukan kolesterol. protein pada biji kemiri terdiri dari asam amino essensial maupun non esensial, fungsi asam amino esensial antara lain untuk pertumbuhan karena asam amino terdapat di semua jaringan dan membentuk protein dan antibodi. asam amino non esensial yang menonjol pada kemiri yaitu asam glutamate dan asam aspartat. keberadaan asam glutamate yang memberikan rasa nikmat ketika kemiri digunakan sebagai bumbu dapur yang dapat menjadi pengganti penyedap masakan seperti msg (wiyono dan poedji, 1993). selain mengandung komponen gizi dan non gizi, biji kemiri mengandung senyawa racun yaitu toxalbumin. toxalbumin merupakan glikoprotein bersifat toksik yang dapat berpengaruh pada darah yang ditandai dengan adanya aglutinasi atau penggumpalan pada darah (aregheore, et al, 1998). toxalbumin adalah fitotoxin protein (racun yang diproduksi oleh tanaman) yang dapat menghambat sintesis protein. senyawa ini menjadi salah satu faktor pembatas pemanfaatan kemiri didalam industri pangan. sementara disatu sisi produksi buah kemiri yang melimpah merupakan potensi yang mamang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 53-57 54 sangat besar untuk pegembangan industri pengolahan pangan, termasuk sebagai bahan substitusi kacang-kacangan seperti almond dan kacang mete pada industri pengolahan cokelat. toxalbumin merupakan racun yang terdapat secara alami dalam tanaman. ricin merupakan salah satu senyawa toxalbumin yang terdapat pada biji jarak (ricinus communis) dan tanaman yang berasal dari family euphorbiaceae. ricin adalah protein yang sangat berbahaya dan keras, racun ini dapat menimbulkan beberapa penyakit pada beberapa organ yang berbeda dan kemudian akan berakibat pada kematian (saeidnia dan abdollahi, 2013). aktifitas hemaglutinasi pada glikoprotein lectin yang diekstrak cissus popluena dalam darah terhambat dengan kenaikan konsentrasi glukosa dan fruktosa (ayowinka and dada, 2011) mekanisme kerja ricin yang merupakan senyawa glikoprotein pada tanaman jarak melibatkan molekul yang terdiri dari rantai-a (32 kda) yang bersifat netral terikat dengan rantai-b (34 kda) yang bersifat asam. subunit-b mengikat glikoprotein pada permukaan sel epitel, sehingga memungkinkan subunit-a untuk masuk ke dalam sel melalui receptor-mediated endocytosis. sub unit ini akan menginaktivasi rna ribosom dengan cara mendepurinasi residu ribosom tertentu, sehingga menghambat sintesis protein (lord et al., 1994 dalam schep et al, 2009). 1 molekul risin dapat menginaktivasi 2000 ribosom per menit yang secara luar biasa dapat menyebabkan kematian sel (schep et al., 2009). pada manusia, 500 µg ricin dapat menimbulkan kematian setelah 36 – 72 jam (anonim, 2010). racun toxalbumin pada biji kemiri dapat dihilangkan dengan perlakuan pemanasan sebelum mengkonsumsi biji kemiri. masyarakat pada umumnya memberikan perlakuan pemanasan singkat seperti pembakaran ataupun penggorengan pada biji kemiri sebelum diolah menjadi bahan campuran makanan (paimin, 1997). dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemanasan terhadap aktivitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri. pada penelitian ini pemanasan yang dilakukan adalah pemanasan basah menggunakan autoklaf dengan variasi waktu. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah, biji kemiri, aluminium foil, nacl, ammonium sulfate, pbs (phospat buffer saline) ph 7.4, n-heksan, kloroform, dialysis sach 12 kda, darah manusia golongan a, b, ab dan o. alat alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoklaf, timbangan analitik, oven, pipet volumetric 5 ml, sentrifuge, tabung eppendorph, gelas piala, labu ukur 50 dan 100 ml, mikropipet, well plate, erlenmeyer, magnetic stirrer, tabung reaksi, pipet volume, freeze dryer, alat press lemak. perlakuan penelitian perlakuan pada penelitian ini meliputi tanpa pemanasan sebagai kontrol (p0), pengeringan dalam oven 70 o c selama 7 jam (p1), pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c selama 5 menit (p2), pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c selama 10 menit (p3), pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c selama 15 menit (p4), pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c selama 20 menit (p5). untuk p2, p3, p4 dan p5 masing-masing dilanjutkan dengan pengeringan pada oven dengan suhu 70 o c selama 7 jam. prosedur penelitian preparasi biji kemiri sebanyak 0,1 gram ekstak kemiri ditambahkan dengan 10 ml pbs, dihomogenisasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 menit atau 2 x 2,5 menit berturut-turut. selama selang waktunya, sampel disimpan dalam es atau air es. homogenat kemudian disentrifugasi pada 3500g selama 10 menit. supernatan diambil dan dimasukkan dalam tabung eppendorph. disentrifugasi pada 9500g selama 5 menit. supernatan diambil dan digunakan sebagai untuk pengujian hemagglutinasi dengan beberapa serial pengenceran larutan pbs. prosedur diatas dilakukan pada masing-masing biji kemiri hasil perlakuan. preparasi sel darah merah sebanyak 2 ml darah dimasukkan kedalam tabung 15 ml ditambahkan pbs sampai tanda batas, kemudian disentrifugasi pada 800 rpm mamang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 53-57 55 selama 10 menit. supernatan dikeluarkan, pellet (sel darah merah) dicuci dengan menambahkan 12 ml pbs, dicampurkan dengan membalikkan tabung, disentriugasi pada 800 rpm selama 5 menit. proses pencucian ini diulangi 2 kali. supernatan setelah pencucian terakhir dikeluarkan, sel darah merah ditambahkan dengan pbs secukupnya sampai diperoleh 10 % larutan sel darah merah. kemudian dibuat 0,5 % larutan sel darah merah (sdms) dalam pbs, yang akan digunakan pada tahap analisa selanjutnya. prosedur diatas dilakukan pada masing-masing sampel darah (golongan a, b, ab dan o). pengujian hemaglutinasi disiapkan microtiter plate 96-well. kedalam setiap well (lubang) baris pertama diisi dengan 50 μl pbs. pada well pertama, ditambahkan 50 µl ekstrak glikoprotein kemiri yang telah disiapkan sebelumnya, kemudian diencerkan menggunakan mikropipet dengan cara menghisap dan menekannya lalu dipindahkan 50 µl ke well kedua. dicampur dan diencerkan lagi kemudian pindahkan 50 µl ke well ketiga, diulangi pada well selanjutnya sampai pada well 12. pada well 12 diambil dan dibuang 50 µl. selanjutnya, kedalam masingmasing well ditambahkan 50 µl 0.5 % sdms dalam pbs, digoyang selama 1 menit dan dibiarkan pada suhu kamar selama 30 – 60 menit. kemudian dilakukan pengamatan. gambar 1 hasil uji hemaglutinasi hasil uji hemaglutinasi dinyatakan positif jika pada dasar microtiter plate tampak presipitat halus seperti pasir yang berarti terjadi aglutinasi (penggumpulan) sel darah merah (batson dalam haryanto, dkk., 2012), sebagaimana terlihat pada gambar 1. hasil dan pembahasan uji hemaglutinasi merupakan suatu uji untuk mengetahui keberadaan antigen virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah. pada penelitian ini uji hemaglutinasi dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas perlakuan pemanasan basah terhadap keberadaan senyawa toxalbumin dengan melihat daya aglutinasi senyawa tersebut pada sel darah merah. hasil uji hemaglutinasi ekstrak biji kemiri dari berbagai perlakuan pada sel darah merah a, b, ab dan o dapat dilihat pada masing-masing pada gambar 2. berdasarkan gambar 2, terlihat bahwa daya aglutinasi ekstrak biji kemiri pada sel darah merah golongan darah a dan ab mulai tidak terlihat pada pengenceran ke-7 (n7) perlakuan p3. hal ini berarti perlakuan pemanasan basah dengan autoklaf pada suhu 121 o c selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan pada oven suhu 70 o c selama 7 jam (p3) sudah mampu menghambat aktifitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri. hasil uji hemaglutinasi pada golongan darah b, memperlihatkan bahwa pada pengenceran ke-8 (n8) perlakuan pemanasan basah dengan autoklaf pada suhu 121 o c selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan pada oven suhu 70 o c selama 7 jam (p3) tidak menunjukkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, yang berarti bahwa perlakuan tersebut telah menghambat aktifitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri. begitupun dengan hasil uji hemaglutinasi pada golongan darah o, diketahui bahwa senyawa toxalbumin pada biji kemiri perlakuan pemanasan basah dengan autoklaf pada suhu 121 o c selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan pada oven suhu 70 o c selama 7 jam (p3) pada pengenceran ke-6 (n6) sudah tidak aktif lagi. hal ini ditandai dengan tidak terjadinya aglutinasi pada sel drah merah. mamang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 53-57 56 penentuan kadar logam cd pada sampel gambar 2 hasil uji hemaglutinasi dari berbagai perlakuan pemanasan basah pada berbagai golongan darah hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh situru m (2014), yang melaporkan bahwa senyawa toxalbumin pada biji kemiri sudah berkurang yang ditandai dengan sudah tidak terjadi lagi aglutinasi pada sel darah merah dengan pemanasan basah suhu 121 o c, 15 menit kemudian pengeringan suhu 80 o c, 8 jam, begitupun dengan penelitian anggareni (2014) melaporkan bahwa hasil uji hemaglutinasi ekstrak biji kemiri yang telah dipanaskan pada suhu 121 o c, 15 menit tidak menunjukkan aglutinasi. aregheore et al (1998), melaporkan hasil uji hemaglutinasi lektin inaktif dengan pemanasan pada suhu 121 o c selama 10 40 menit. lektin ini merupakan salah satu senyawa glikoprotein yang bersifat toksik yang terdapat pada tanaman jarak. dari hasil penelitian, diketahui bahwa aktifitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri dengan konsentrasi yang rendah pada semua golongan darah (a, b, ab dan o) sudah dapat dihambat dengan perlakuan pemanasan basah dengan autoklaf pada suhu 121 o c selama 10 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan pada oven suhu 70 o c selama 7 jam (p3). pada golongan darah a dan b sudah terhambat pada pengenceran ke-7, golongan darah ab pada pengenceran ke-8 dan golongan darah o pada pengenceran ke-6. hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis golongan darah tidak memberikan pengaruh terhadap aktifitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri. hal ini sesuai dengan hasil penelitian ayowinka dan dada (2011), bahwa aktivitas hemaglutinasi lectin (senyawa glikoprotein cissus populnea) terhadap sel darah manusia tidak selektif terhadap jenis golongan darah. ikatan yang menghubungkan antara gula dan asam amino pada kebanyakan glikoprotein adalah ikatan hidrogen. ikatan hidrogen sangat dipengaruhi oleh peningkatan suhu, dimana pada suhu tinggi ikatan hidrogen akan putus (jaya dkk., 2016; taufik 2011). hal ini menyebabkan molekul gula dan asam amino akan terpisah sehingga kemampuan untuk mengaglutinasi darah akan hilang. menurut lord et al., 1994 dalam schep et al., 2009, mekanisme kerja ricin yang merupakan senyawa glikoprotein pada tanaman jarak melibatkan molekul yang terdiri dari rantai-a (32 kda) yang bersifat netral terikat dengan rantai-b (34 kda) yang bersifat asam. subunit-b mengikat glikoprotein pada permukaan sel epitel, sehingga memungkinkan subunit-a untuk masuk ke dalam sel melalui receptor-mediated endocytosis. sub unit ini akan menginaktivasi rna ribosom dengan cara mendepurinasi residu ribosom tertentu, sehingga menghambat sintesis protein. kesimpulan aktivitas senyawa toxalbumin pada biji kemiri terhambat dengan pemanasan basah pada autoklaf suhu 121 o c selama 10 menit dilanjutkan dengan pengeringan dalam oven suhu 70 o c selama 7 jam dan tidak selektif terhadap jenis golongan darah. daftar pustaka anggareni, a., 2014, pengaruh pemanasan basah dan pemanasan kering terhadap kadar toxalbumin dan mutu biji kemiri (aleurites moluccana). skripsi. program studi ilmu dan teknologi pangan, universitas hasanuddin. anonim, 2015a, ricin toxin from castor bean plant, ricinus communis. diakses 20 mei keterangan : p0 : kontrol (tanpa pemanasan) p1 : tanpa pemanasan basah, pengeringan dalam oven 70 0 c, 7 jam p2 : pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c, 5 mnt dan pengeringan dlm oven 70 o c, 7 jam p3 : pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c, 10 mnt dan pengeringan dlm oven 70 o c, 7 jam p4 : pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c, 15 mnt dan pengeringan dlm oven 70 o c, 7 jam p5 : pemanasan basah dengan autoklaf 121 o c, 20 mnt dan pengeringan dlm oven 70 o c, 7 jam ni : pengenceran ke-i (+) : teraglutinasi mamang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 53-57 57 2015.available from: http://www.ansci. cornell.edu/plants/toxicagents/ricin. html. anonim, 2015b, hemagglutination (ha) assay protocol. diakses 20 mei 2015. available from : http://www.virapur.com aregheore, e.m., makkar, h.p.s, bekker, k., 1998, assessment of lectin activity in a tonic and a non-tonic variety of jatropha curcas using latex agglutination and haemagglutination methods and inactivation of lectin by heat treatments, j sci food agric. 1998, 77. 349-352. awoyinka, o.a., dada, o.o., 2011, partial purification and characterization lectin from the seeds of cissus popluena. european journal of medicinal plants. 1(4): 130-139, 2011. haryanto, a., kristanti, b., irianingsih, s.h., yudianingtyas, d.w., 2012, diagnosis molekuler virus flu burung-a subtipe h5 berdasarkan amplifikasi gen m dan h5 dengan metode onestep simplex rt-pcr. jurnal veteriner. 13(2): 92-101. jaya, r.s., ginting, s., ridwansyah, 2016, pengaruh suhu pemanasan dan lama penyimpanan terhadap perubahan kualitas nira aren, jurnal rekayasa pangan dan pertanian, 4(1). lawrence, 1964, taxonomi of vascular plants, new york: the mc milan co. paimin, f.r., 1997, kemiri : budidaya dan prospek bisnis, penebar swadaya. jakarta. purseglove, j.w., 1981, aleurites moluccana wild, tripocal crops dicotyledons, vol 1. the print house (pte) ltd, singapore l: 140-144. schep, l.j., temple, w.a., butt, g.a., beasley, m.d., 2009, ricin as a weapon of mass terror-separating fact from fiction, environment international. 35 (2009) 12671271. situru, m. 2014, studi pengaruh pemanasan basah dan pemanasan kering terhadap kandungan toxalbumin pada biji kemiri (aleurites mollucana). skripsi. program studi ilmu dan teknologi pangan, universitas hasanuddin, makassar. taufik, m., 2011, kajian potensi kulit kaki ayam broiler sebagai bahan baku gelatin dan aplikasinya dalam edible film antibakteri, disertasi, fakultas peternakan universitas gadjah mada, yogyakarta wiyono, b., poedji h., 1993, pengaruh perlakuan pendahuluan biji kemiri terhadap rendemen dan sifat minyaknya, jurnal penelitian hasil hutan. 11(5) 173174. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 83-87, 2022 determination of band gap energy of zno/au nanoparticles resulting in laser ablation in liquid mardiana julita 1 , muhandis shiddiq 2* , miftahul khair 3* 1,3 department of chemistry, faculty of mathematics and natural science, universitas negeri padang, jl. prof. hamka, padang 25131, indonesia. 2 physics research center, national research and innovation agency, building 442 puspiptek, south tangerang, banten 15314 * corresponding author: miftah@fmipa.unp.ac.id; muhandis.shiddiq@gmail.com received: july 2022 received in revised: july 2022 accepted: august 2022 available online: september 2022 abstract the synthesis of zno and zno/au nanoparticles using the laser ablation method in liquid has been successfully carried out. characterizing the optical properties of zno and zno/au using a uv-vis spectrophotometer (ocean optic maya pro 2000) measured in the wavelength range of 275-875 nm. the characterization results obtained are absorbance and band gap values of zno and zno/au nanoparticles. this study found the absorbance values of zno nanoparticles at wavelengths 330 and 335 nm. after obtaining the absorbance value, the band gap value was analyzed for zno and zno/au nanoparticles, respectively, 3.23 ev and 3.17 ev. the decrease in the band gap value in zno is due to the presence of au in zno nanoparticles which can replace one of the lattices in the zno crystal structure. keywords: band gap, nanoparticle, zno/au, laser ablation, crystal. introduction zinc oxide (zno) is a metal oxide that is a semiconductor with a wide band gap (3.37 ev) and has violet absorption in the ultraviolet (uv) at room temperature (fageria et al., 2014). zno is considered one of the most widely used metal oxides for various applications today. in particular, zno can be used as optoelectronic, piezoelectric, and photochemical materials. zno is a multifunctional material because of its outstanding properties, high resistance efficiency, high absorbance peak in the uv region, piezoelectric crystals, transparency, and good electrical conductivity (jaber et al., 2021). in addition, various zno nanostructures such as zno nanorods, nanowires, nanobelts, nanocombs, and nanoparticles (nps) can be synthesized and studied for their optical properties. they can be adapted by changing their morphology, structure, size, and surface state. zno in the form of nanoparticles is one of the zno nanostructures that has attracted much attention because it has more potential in its application. in addition, doping and surface decoration can change the properties of zno nanoparticles, expanding the application scope of zno nanoparticles and improving the performance of zno-based applications. in the photovoltaic field, zno nanoparticles and composites containing zno nanoparticles are considered promising metal oxides (chen et al., 2020). zno nanoparticles have the potential for photocatalytic applications (mulyati & panjaitan, 2021). the zno nanoparticle photocatalytic performance can be improved by doping, decorating, or forming heterostructures with other materials (yao et al., 2021). however, zno has a significant disadvantage as a photocatalyst, namely its low charge separation efficiency. therefore, efforts have been made to modify the physical and chemical properties of zno by introducing metal impurities to shift the zno valence band gap to the conduction band region and reduce the band gap energy to the uv region (kumar, 2017). increasing the photocatalytic activity of zno as a catalyst can be doped with precious metals. doping is a way to change the electrical and optical properties of semiconductors. doping is done to increase the conductivity of zno. in this study, the starting metal to be used is au. au is an element that can be used as a dopant because it can be an absorber to collect electrons from the zno conduction band (rutu et al., 2020), and it is essential in inhibiting electron recombination. the precious metal doped zno will affect the optical and structural properties (pathak et al., 2018). doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mar 83 mailto:miftah@fmipa.unp.ac.id mardiana julita, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 83-87, 2022 many methods can synthesize nanoparticles (taba et al., 2019). one of them is synthesizing zno nanoparticles using a laser ablation method in a liquid. the laser ablation method in liquid is a simple method to produce nanoparticles. laser ablation has several advantages compared to other techniques. the nanoparticles produced are of high purity because they do not involve chemicals during the synthesis process and only require pure metal and a liquid medium such as deionized water (avicenna et al., 2021). the laser ablation mechanism depends on the physical properties of the metal and the environmental medium. the ablation of metal begins with the absorption of laser light energy. when the laser beam interacts with a metal target, it will photoionize the metal. afterward, the metal nanoparticles will be released from the metal plate in different phases depending on the absorbed energy (reza sadrolhosseini et al., 2019). based on the explanation above, zno/au has been synthesized using the laser ablation method in liquid and will determine the change in band gap value between zno and zno nanoparticles doped with au. methodology materials and instrumentals the tools used in this research are nd: yag laser, analytical balance, uv-vis spectrophotometer (ocean optic maya pro 2000), micropipette, glass equipment: measuring flask, measuring pipette, measuring cup, erlenmeyer and beaker. as for the materials used in this study, namely the zn plate (1.6 x 1.6 cm) with a plate thickness of ±3mm, the au plate (99.9%) with a plate thickness of ±3mm, and the solution used in the synthesis process, namely aquabidest. methods synthesis of zno/au. nanoparticles the synthesis of zno/au nanoparticles using the laser ablation method in a liquid was carried out in two stages. this method is by research by (anugrahwidya et al., 2020). first, the zinc plate was ablated for 30 minutes (pure zno and zno/au samples). the resulting zno colloid will be used for au plate ablation. second, the au plate was ablated in zno colloid for 1 minute to produce zno/au nanoparticles (figure 1). furthermore, the band gap values between zno and zno/au nanoparticles will be analyzed. the band gap values are derived from absorbance and wavelength data obtained from uvvis measurements. figure 1. (a) zno nanoparticle (b) zno/au nanoparticle absorbance measurement using uv-vis the absorbance values of zno and zno/au nanoparticles were measured using a uv-vis spectrophotometer (ocean optic maya pro 2000). characterization using uv-vis aims to obtain absorbance in the wavelength range of 275-825 nm. thus, the band gap value of each sample can be determined using the tauc plot method. results and discussion the optical properties characterization of zno doping au and zno nanoparticles. zno and zno/au nanoparticles synthesized by laser ablation method in liquid were characterized using a uv-vis spectrophotometer (ocean optic maya pro 2000) at a wavelength of 275-825 nm. the measurement aims to determine the absorbance and band gap values of zno and zno/au nanoparticles. the absorbance spectra of zno and zno/au nanoparticles are presented in figure 2. figure 2. graph of the absorbance spectra of zno and zno/au nanoparticles doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mar 84 mardiana julita, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 83-87, 2022 based on the graph in figure 2, it can be seen that the absorbance values of zno nanoparticles are at wavelengths 330 and 335 nm. the absorbance value of au is at a wavelength of 525 nm. this number shows that the absorbance of zno nanoparticles is in the ultraviolet region and is in line with research that has been carried out by (yudasari et al., 2021) showed that zno nanoparticles had absorbance values at wavelengths between 300 to 400 nm. this condition is caused by the absorption of the zno semiconductor when electrons move from the valence band (vb) to the conduction band (cb) (anugrahwidya et al., 2020) at each addition of the ablation time, the wavelength shifts to the right or towards the redshift area. the wavelength values obtained respectively 330 nm and 335 nm, as shown in figure 2. this result is because, when zn metal is ablated, zn nanoparticles will be released from the metal surface subjected to the laser, causing a change in the crystal structure of zn. the resulting nanoparticles will come out and spread in the liquid (aquabidest) and oxidize with the surrounding oxygen. when the au atoms are doped to zno, the au atoms will occupy the zn position in the zno lattice (sathya et al., 2017). determination of band gap value of zno and zno/au nanoparticles based on the data from uv-vis measurements that have been obtained, these data are used to determine the band gap value of zno and zno/au nanoparticles using the tauc plot method as in equations (1) and (2) (makuła et al., 2018) with the speed of light, h planck’s constant, wavelength, α is the absorption coefficient, a is the proportional constant, eg is the band gap energy value, and n indicates the nature of the electron transition. if the sample used is a direct band gap, then n=1//2 while the model, which is an indirect band gap, has a value of n=2 (kumar, a, 2017). because the sample used is an indirect band gap, then n=2. then the relationship between hυ and (αһυ) 2 will be plotted (daniyati et al., 2015). the band gap value is on the x-axis. the comparison of the band gap values between zno and zno/nanoparticles is presented in figure 3. (a) (b) figure 3. band gap plot (a) zno (b) zno/au based on the graph in figure 3, the band gap value for zno is 3.23 ev, and zno/au is 3.17 ev. the decrease in the energy gap is in line with the increase in concentration (the length of ablation time given); the quality of the synthesized sample can cause this. the longer ablation time causes the resulting colloid to be more purplish because of the au atoms involved. the energy gap shows electrons moving from the valence band to the conduction band. the smaller the band gap value indicates that more electrons move in the excitation area so that it can affect the absorbance intensity of the nanoparticles. the absorbance intensity shows the transition activity from the excitation region to the ground state. changes in the band gap value occur due to the presence of au in the zno nanoparticle structure. the au atom can replace one of the lattices in the zno crystal structure, namely hexagonal wurtzite, so that it can change the crystallinity of (1) (2) doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mar 85 mardiana julita, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 83-87, 2022 zno, characterized by a reduced band gap energy value (ayuwulanda et al., 2021). conclusion in this study, it can be concluded that the absorbance value of zno nanoparticles is in the wavelength range of 330-335 nm, and the absorbance value of au is in the wavelength of 525 nm. the band gap value of zno decreased after being doped with au from 3.23 ev to 3.17 ev. the decrease in the band gap value in zno occurs because the presence of au in zno can be substituted in one of the zno crystal structure lattices. acknowledgment acknowledgments are given to the national research and innovation agency for the funding granted for this research. thanks to mr. dr. muhandis shiddiq from the brin physics research center for his assistance in guiding the author during the research. the author would also like to thank mr. miftahul khair, m.sc., ph.d., who also conducted the author in completing this research. references anugrahwidya, r., yudasari, n., & tahir, d. (2020). optical and structural investigation of synthesis zno/ag nanoparticles prepared by laser ablation in liquid. materials science in semiconductor processing, 105. https://doi.org/ 10.1016/j.mssp.2019.104712 avicenna, s., nurhasanah, i., & khumaeni, a. (2021). synthesis of colloidal silver nanoparticles in various liquid media using pulse laser ablation method and its antibacterial properties. indones. j. chem., 21(3), 761–768. https://doi.org/ 10.22146/ ijc.60344 ayuwulanda, a., saputro, a. h., permana, y. n., & saputra, s. (2021). green dekorasi au/zno nanokomposit melalui media ekstrak daun gaharu (aquilaria malaccenensis l.) dan penentuan nilai sun protection factor. jurnal kimia dan kemasan, 43(2), 126–132. chen, w., yao, c., gan, j., jiang, k., hu, z., lin, j., xu, n., sun, j., & wu, j. (2020). zno colloids and zno nanoparticles synthesized by pulsed laser ablation of zinc powders in water. materials science in semiconductor processing, 109 (december 2019), 104918. https://doi.org/10.1016/j.mssp.2020.104918 daniyati, r., zharvan, v., & pramono, y. h. (2015). penentuan energi celah pita optik film tio2 menggunakan metode tauc plot. seminar sains dan teknologi, august, 1–5. fageria, p., gangopadhyay, s., & pande, s. (2014). synthesis of zno/au and zno/ag nanoparticles and their photocatalytic application using uv and visible light. rsc advances, 4(48), 24962–24972. https://doi.org/ 10.1039/c4ra03158j jaber, g. s., khashan, k. s., & abbas, m. j. (2021). study the antibacterial activity of zinc oxide nanoparticles synthesis by laser ablation in liquid. materials today: proceedings, 42, 2668–2673. https://doi.org/10.1016/j.matpr. 2020.12.646 kumar, a. (2017). a review on the factors affecting the photocatalytic degradation of hazardous materials. material science & engineer. inter. j., 1(3). https://doi.org/ 10.15406/mseij.2017.01.00018 makuła, p., pacia, m., & macyk, w. (2018). how to correctly determine the band gap energy of modified semiconductor photocatalysts based on uv-vis spectra. journal of physical chemistry letters, 9(23), 6814–6817. https://doi.org/10.1021/acs.jpclett.8b02892 mulyati, b., & panjaitan, r. s. (2021). karakterisasi fotokatalis untuk fotoreduksi karbon dioksida menjadi asam format dalam fasa akuatik. indo. j. chem. res, 9(2), 129–136. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.8-jen pathak, t. k., kroon, r. e., & swart, h. c. (2018). photocatalytic and biological applications of ag and au doped zno nanomaterial synthesized by combustion. vacuum, 157, 508–513. https://doi.org/10.1016/j.vacuum. 2018. 09.020 rutu, i., zakir, m., & budi, p. (2020). sintesis nanopartikel perak dan pengaruh penambahan asam p-kumarat untuk aplikasi deteksi melamin. indo. j. chem. res., 7(2), 141–150. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.7-irw reza sadrolhosseini, a., adzir mahdi, m., alizadeh, f., & abdul rashid, s. (2019). laser ablation technique for synthesis of metal nanoparticle in liquid. laser technology and its applications. chapter 4. https://doi.org/ 10.5772/intechopen.80374 sathya, b., benny anburaj, d., porkalai, v., & nedunchezhian, g. (2017). raman scattering and photoluminescence properties of ag doped zno synthesized by sol-gel method. j. materials science: materials in electronics, doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mar 86 mardiana julita, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 83-87, 2022 28(8), 6022–6032. https://doi.org/10.1007/ s10854-016-6278-3 taba, p., parmitha, n. y., & kasim, s. (2019). synthesis of silver nanoparticles using syzygium polyanthum extract as bioreductor and the application as antioxidant. indo. j. chem. res., 7(1), 51–60. yao, c., chen, w., li, l., jiang, k., hu, z., lin, j., xu, n., sun, j., & wu, j. (2021). zno: au nanocomposites with high photocatalytic activity prepared by liquid-phase pulsed laser ablation. optics and laser technology, 133, 106533. https://doi.org/10.1016/j.optlastec. 2020.106533 yudasari, n., anugrahwidya, r., tahir, d., suliyanti, m. m., herbani, y., imawan, c., khalil, m., & djuhana, d. (2021). enhanced photocatalytic degradation of rhodamine 6g (r6g) using zno–ag nanoparticles synthesized by pulsed laser ablation in liquid (plal). j. alloys and compounds, 886, 161291. https://doi.org/ 10.1016/j.jallcom.2021.161291 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mar 87 indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 1 5 1 1 synthesis of 3,4-methylendioxy isoamyl cinnamic as the sunscreen compound from cullilawang oil sintesis senyawa tabir surya 3,4-metilendioksi isoamil sinamat dari minyak kulit lawang mario rowan sohilait 1 , hanoch j. sohilait 2 , eirene fransina 3 1,2,3 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: juni 2013 published: juli 2013 abstract synthesis of 3,4-methylendioxy isoamyl cinnamic as the sunscreen compound from safrole isolation of cullilawang oil had been concluded. the reactions begin from isolation safrol with reduction pressure destilation fractination yield 74.71% safrol. the isomerization of safrole to isosafrole using koh without solvent at temperature 130 0 c for 5 hours yield 86.50% isosafrole . the oxidation of isosafrole using kmno4 with polysorbate (tween 80) catalyst, yield 72.33% pyperonal crystal.. the crystal of pyperonal was synthesis to become sunscreen compound of 3,4-methylendioxy isoamyl cinnamic through claissen condensation reaction using isoamylacetate and sodium metal, yield 56.87% with 88.16% purity. the purity was tested by gc and the elucidation of those structure was analyzed by ftir, 1 h-nmr abd ms. the sunscreen efectivity of 3,4methylendioxy isoamyl cinnamic was exam using uv-vis spectrofotometer according to petro method showed that the compound have a protection against uv-a light with the spf value = 5.31 keywords: sunscreen, isoamyl cinnamic, safrole, cullilawang oil. pendahuluan indonesia terkenal kaya akan jenis tumbuhan penghasil minyak atsiri. salah satu dari minyak tersebut adalah minyak kulit lawang. minyak kulit lawang ini diperoleh dari destilasi uap kulit lawang. tanaman lawang (cinnamomum cullilawan, blume) banyak terdapat di kepulauan maluku dan papua barat (guenther, 1990, ketaren, 1985). dewasa ini kebutuhan bahan dasar kosmetika dan kesehatan bagi manusia semakin beragam. salah-satunya adalah bahan kimia tertentu yang diketahui memiliki karakteristik mampu untuk menyerap sinar ultraviolet (uv) dari sinar matahari dan digunakan pada campuran pelindung kulit manusia. bahan tersebut dikenal dengan istilah senyawa tabir surya (sunscreen) (wahyuningsih dkk, 2002). tabir surya (sunscreen) adalah suatu senyawa yang digunakan untuk menyerap sinar matahari secara efektif terutama pada daerah emisi gelombang ultra violet (uv) sehingga dapat mencegah gangguan pada kulit akibat pancaran secara langsung sinar uv (soeratri, 1993). riset pengembangan produk-produk senyawa tabir surya saat ini banyak dilakukan dalam rangka menemukan senyawa baru yang berkhasiat baik dan tidak menyebabkan efek samping pada pemakaian. senyawa tabir surya adalah senyawa yang melindungi kulit dari pengaruh sinar uv yang dipancarkan dari matahari. mekanisme perlindungan sinar uv dari suatu senyawa tabir surya adalah berupa penyerapan energi sinar uv yang digunakan untuk eksitasi keadaan elektronik senyawa (kimbrough, 1997). sinar uv diketahui memiliki potensi bahaya terhadap kulit manusia dan berdasarkan efek kesehatannya maka sinar uv dibedakan menjadi 3 golongan yakni uv-a (315-400 nm), uv-b (290-315 nm) dan uv-c (100-290 nm), (groves dan forber, 1982). sinar uv-a akan mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi coklat kemerahan, sinar uv-b akan menyebabkan terbakar sel-sel kulit (eritema), sedangkan sinar uv-c menyerang daerah germicidal yang dapat menyebabkan terjadinya kanker kulit (davis dan quigley, 1995). senyawa yang melindungi secara fisik, contohnya adalah titanium oksida, petrolium merah, dan seng oksida sedangkan senyawa tabir surya yang menyerap secara kimia adalah turunan asam para amino benzoat (paba), turunan salisilat, turunan antranilat, turunan m. r. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 1 5 1 2 benzofenon, turunan kamfer dan senyawasenyawa turunan sinamat. senyawa turunan sinamat yang telah digunakan sebagai tabir surya antara lain oktil sinamat, etil 4-isopropilsinamat, dietanolamin p-metoksisinamat dan isoamil pmetoksisinamat (shaath, 1990). senyawa turunan alkil sinamat lain diharapkan juga dapat menyerupai sifat dari oktil sinamat tersebut. selain itu, senyawa tabir surya juga masih harus memenuhi persyaratan yaitu senyawa tersebut tidak atau sukar larut dalam air. beberapa turunan sinamat yang memenuhi persyaratan ini diantaranya oktil pmetoksisinamat, isoamil p-metoksisinamat, sikloheksil p-metoksisinamat, 2-etoksi etil pmetoksisinamat, dietanolamin p-metoksisinamat dan turunan-turunan lain dari sinamat yang mempunyai rantai panjang dan sistim ikatan rangkap terkonjugasi yang akan mengalami resonansi selama terkena pancaran sinar uv (soeratri, 1993). riset di indonesia perlu dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai bahan alam yang tersedia seperti minyak kulit lawang. minyak kulit lawang mengandung dua komponen utama yaitu eugenol dan safrol (guenther, 1990, haris, 1987). safrol akan dikonversi menjadi senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat yang merupakan salah-satu turunan oktil sinamat yang dipercaya sebagai senyawa tabir surya. penentuan efektivitas senyawa tabir surya secara in vitro dilakukan dengan menentukan nilai spf menggunakan metode spektrofotometri cara petro (petro, 1981 dalam soeratri dan purwanti, 2004). metode petro mensyaratkan bahwa untuk menghitung spf kadar sampel dalam kuvet harus ekivalen dengan 0,001% atau 0,01 g/l atau 10 mg/l bahan aktif. dengan demikian nilai serapan yang diperoleh diubah ke dalam bentuk serapan dalam 10 mg/l. selanjutnya angka yang diperoleh dimasukkan dalam rumus auc (soeratri dan purwanti, 2004). nilai spf dihitung dengan rumus log spf = auc/λn -λ1 yaitu luas daerah di bawah kurva dibagi selisih λ pengamatan (soeratri dan purwanti, 2004). nilai log spf dihitung dengan cara membagi jumlah seluruh area di bawah kurva dengan selisih panjang gelombang terbesar dan terkecil lalu dikalikan dua. selanjutnya nilai log spf diubah menjadi nilai spf (soeratri dan erawati, 2004). senyawa tabir surya dikatakan dapat memberikan perlindungan apabila memiliki nilai spf 2-8, tetapi untuk memberikan perlindungan ultra, senyawa tabir surya harus memiliki nilai spf lebih dari 15 (shaath, 1990). penelitian ini terdiri dari 5 tahap yaitu 1) isolasi safrol dari minyak kulit lawang, 2) isomerisasi safrol menjadi isosafrol tanpa menggunakan pelarut, 3) sintesis piperonal melalui oksidasi isosafrol menggunakan kmno4 dengan katalis polisorbat (tween 80), 4) sintesis senyawa target 3,4-metilendioksi isoamil sinamat melalui reaksi kondensasi piperonal dengan isoamil asetat, dan 5) penentuan efektivitas dan nilai spf. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitan ini adalah minyak kulit lawang diperoleh dari piru, kabupaten seram bagian barat,maluku, naoh, koh, hcl, logam na, na2so4 anhidrous, asam sulfat, polisorbat (tween 80) (brataco), asam asetat glasial, diklorometana, petrolium benzene, etanol, dietil eter, natrium bisulfit, isoamil asetat, isoamil alkohol, natrium karbonat, metanol, akuades (semua pereaksi dan pelarut dan reagent grade dari e.merck). alat alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat destilasi fraksinasi pengurangan tekanan, seperangkat alat refluks, corong pisah, pengaduk magnet, pemanas listrik, evaporator buchi, seperangkat alat gelas, refraktometer (abbe type refraktometer ar12, schmidt & haensch), kromatografi gas (gc, 2010, shimadzu), ftir (ir, prestige21,shimadzu), spektrofotometer 1 h-nmr (jeoljnm-my60), spektrofotometer massa (gc-ms qp-2010 plus, shimadzu), spektrofotometer uvvis (uv-1700 pharmaspec, shimadzu) prosedur kerja isolasi safrol sebanyak 305,62 g minyak kulit lawang dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 2 l dan ditambahkan 50 g naoh dalam 300 ml air. campuran diaduk kuat hingga terbentuk dua lapisan. lapisan atas dipisahkan dari lapisan bawah. lapisan atas berupa safrol ditambahkan 40 ml naoh 10%, diekstraksi dua kali dengan 100 ml petrolium benzene, kemudian dicuci dengan air hingga ph-nya netral dan dikeringkan dengan na2so4 anhidrous. petroleum benzene m. r. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 1 5 1 3 dipisahkan dengan evaporator dan dilakukan destilasi pengurangan tekanan. kemurnian senyawa yang diperoleh dianalisis dengan gc dan penentuan struktur dengan 1 h-nmr dan ms. isomerisasi safrol menjadi isosafrol ke dalam labu leher tiga ukuran 500 ml yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, termometer, pendingin bola dan tabung yang berisi silika gel biru dimasukkan 40 g (0,25 mol) safrol, dan 56 g (1 mol) koh. campuran direfluks pada suhu 130 0 c selama 5 jam, didinginkan dan ditambahkan 250 ml air lalu diekstraksi dua kali dengan 20 ml dietil eter. hasil yang diperoleh dikeringkan dengan na2so4 anhidrous dan dietil eter dipisahkan dengan evaporator dan dilakukan destilasi pengurangan tekanan. kemurnian senyawa yang diperoleh dianalisis dengan gc dan penentuan struktur dengan ftir, 1 h-nmr dan ms. sintesis piperonal melalui oksidasi isosafrol menggunakan kmno4 dengan katalis polisorbat (tween 80) ke dalam labu alas bulat ukuran 250 ml, dimasukkan 2,97 g (0,02 mol) isosafrol, 100 ml akuades, 2 ml asam asetat glasial, 15 ml larutan h2so4 50%, 100 mg tween 80, dan 100 ml diklorometana. selanjutnya 9,79 g (0,062 mol) padatan kmno4 ditambahkan sekitar 500 mg setiap menit sambil suhu dipertahankan di bawah 30 0 c dengan menempatkan labu dalam penangas es. setelah semua kmno4 ditambahkan, labu dipanaskan perlahan-lahan pada suhu 40 0 c sampai semua warna ungu kmno4 tidak tampak (15 menit). larutan kemudian didinginkan dalam penangas es selama beberapa menit, setelah itu disaring dengan menggunakan silika gel dan residunya dipisahkan dengan menggunakan corong pisah. lapisan atas diekstraksi dengan diklorometana. lapisan organik digabungkan dan diekstraksi dengan naoh 20%, dicuci dengan akuades sampai ph-nya netral, dikeringkan dengan menggunakan na2so4 anhidrous, disaring dan dievaporasi dengan evaporator buchi. ke dalam erlenmeyer 100 ml yang dilengkapi dengan pengaduk magnet dimasukkan 25 g na2o5s2, 30 ml akuades, dan distirer sampai larut sempurna. kemudian dimasukkan piperonal (masih ada pengotor), diaduk sampai 2 jam dan setelah terbentuk 2 lapisan, disaring filtratnya lalu dicuci dengan 3 x 10 ml etanol, dan dicuci lagi dengan 3x10 ml dietil eter. ke dalam erlenmeyer 100 ml dimasukkan 3 g natrium karbonat, 28 ml akuades kemudian filtrat dimasukkan dan diaduk selama 10 menit. setelah itu lapisan bawah dipisahkan dan lapisan atas diekstraksi dengan diklorometana, kemudian dicuci dengan akuades sampai ph netral, dikeringkan dengan na2so4 anhidrous, disaring dan dievaporasi dengan menggunakan evaporator buchi. hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan gc, ftir dan 1 h-nmr dan ms. sintesis 3,4-metilendioksi isoamil sinamat melalui reaksi kondensasi piperonal dengan isoamilasetat ke dalam labu leher tiga ukuran100 ml yang dilengkapi dengan pendingin refluk pendek, silika gel biru dan pengaduk mekanik dimasukkan 3 ml isoamil alkohol, 0,25 g (0,01 mol) logam natrium yang telah dipotong kecilkecil, diaduk sampai logam natrium larut sempurna. selanjutnya ditambahkan 7 g (0,05 mol) isoamil asetat dan 1,5 g (0,01 mol) piperonal secara perlahan sambil campuran diaduk. suhu dijaga antara 0-50 0 c. reaksi dimulai segera setelah piperonal ditambahkan dan hal ini ditunjukkan oleh produk yang berwarna kemerahan. pengadukan diteruskan sampai semua natrium bereaksi (6 jam setelah piperonal ditambahkan). bila sebagian besar na telah hilang, ditambahkan 2 ml asam asetat glasial dan campuran diencerkan dengan air secara hati-hati. lapisan ester dipisahkan kemudian lapisan air diekstraksi dengan 1 ml isoamilasetat. lapisan ester yang diperoleh kemudian digabung, dicuci dengan 3 ml hcl 6 n dan dikeringkan dengan na2so4 anhidrous, disaring, dan isoamilasetat didestilasi menggunakan pengurangan tekanan. senyawa yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan gcms, ftir dan 1 h-nmr. m. r. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 1 5 1 4 penentuan nilai spf senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat dilarutkan dengan etanol absolut dengan konsentrasi 0,01 g/l atau 1 mg/l bahan aktif dan kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 200 nm sampai 400 nm yaitu panjang gelombang sinar uv dengan interval 2 nm. untuk menentukan apakah senyawa tersebut termasuk dalam anti uv-a, uv-b dan uv-c diambil panjang gelombang maksimum yang terbaca pada spektrum hasil. selanjutnya dihitung nilai log spf yang merupakan nilai ratarata dari serapan dan kemudian ditentukan nilai spf serta jenis proteksi tabir surya dari 3,4metilendioksi isoamil sinamat. hasil dan pembahasan isolasi safrol dari minyak kulit lawang identifikasi minyak kulit lawang asal desa piru, kabupaten sbb, maluku dengan kromatografi gas diperoleh kandungan safrol sebesar 92,71%. pemurnian safrol dengan destilasi pengurangan tekanan pada suhu 109 0 c/10 mmhg diperoleh safrol sebanyak 77,98%, dengan kemurnian 100%. spektrum ir (cm -1 ): 2900, 1608,63 , 1639,49, 1246,02. spektrum 1 hnmr-60mhz (ppm); δ = 3,2 (d, -ch2-), δ = 5,0 (d, =ch2), δ = 5,0 (d, =ch2), δ = 5,8 (s, och2o-), δ = 6,2 (m, =ch-), δ = 6,8 (m, 3h, ar). spektrum massa safrol (m/z) : 39, 51, 63, 77, 91, 104, 119, 131, 132, 135 dan 162 [c10h10o2] +. (puncak dasar) isomerisasi safrol menjadi isosafrol isomerisasi safrol tanpa menggunakan pelarut dengan perbandingan mol safrol : koh adalah 1 : 4 pada suhu 130 0 c selama 5 jam dan diperoleh isosafrol sebanyak 34,60 g (86,50%) berupa cairan kental yang berbau harum dengan kemurnian 100% yang terdiri dari cis isosafrol (17,02%) dan trans isosafrol (82,98%). spektrum ir (cm -1 ): 2900, 1606,70, 1639,49, 1192,01. spektrum 1 h-nmr-60mhz (ppm); δ = 1,8 (d, -ch3), δ = 5,8 (s, -och2o-), δ = 6,2 (m, -ch=ch-), δ = 6,8 (m, 3h, ar). sintesis piperonal melalui oksidasi isosafrol dengan menggunakan kmno4 reaksi oksidasi ikatan rangkap pada gugus allil isosafrol dilakukan dengan kalium permanganat dengan menggunakan katalis polisorbat (tween 80) dalam suasana asam dan suhu reaksi harus dipertahankan di bawah 30 0 c, diperoleh hasil berupa kristal putih berbau harum (72,33%) dengan kemurnian 100% . spektrum ir (cm -1 ): 2900, 2738,92, 1600,92, 1687,71, 1097,70. spektrum 1 h-nmr-60mhz (ppm); δ = 5,9 (s, -och2o-), δ = 7,0 (m, 3h, ar), 9,9 (s, cho). spektrum ms piperonal (m/z) : 28, 39, 53, 63, 74, 91, 105, 121, 149 (puncak dasar) dan 150[c8h6o3] +. sintesis 3,4-metilendioksi isoamil sinamat reaksi kondensasi piperonal dengan isoamil asetat dengan menggunakan logam natrium pada suhu 50 0 c selama 6 jam diperoleh senyawa 3,4metilendioksi isoamil sinamat sebanyak 68,87%) berupa cairan kuning muda kental dan berbau harum dengan kemurnian 90,92%. spektrum ir (cm -1 ): 1708,93, 1604,77, 1631,78, 1249,87, 1168,88. spektrum ir senyawa 3,4metilendioksi isoamil sinamat dapat dibuktikan dengan adanya pita serapan pada daerah 1708,93 cm -1 yang merupakan ikatan c=o dari senyawa ester. spektrum massa (m/z); 29, 41, 63, 70, 89, 105, 117, 135, 145, 164, 175, 192 (puncak dasar), 205, 219, 245 dan 262 [c15h18o4] +. (gambar 1). spektrum massa membuktikan bahwa senyawa dengan berat molekul 262 adalah senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat. penentuan efektivitas dan nilai spf dari 3,4metilendioksi isoamil sinamat hasil spektrum uv-vis dari senyawa ini terlihat bahwa terdapat 3 puncak yaitu puncak 1 gambar 1. spektrum massa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat m. r. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 1 5 1 5 pada panjang gelombang 326,00 nm dengan absorbansi 0,411, puncak 2 dengan panjang gelombang 290,40 nm dengan absorbansi 0,343 serta puncak 3 dengan panjang gelombang 234,60 dengan absorbasi 0,350. dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa senyawa 3,4metilendioksi isoamil sinamat mempunyai perlindungan terhadap sinar uv-a(315-400nm). gambar 2. spektrum uv-vis senyawa3,4metilendioksi isoamil sinamat penentuan efektivitas dan nilai spf dari senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat dengan metode petro bahwa senyawa ini memberikan perlindungan terhadap sinar uv-a dengan nilai spf = 5,31. dari hasil perhitungan spf tersebut maka senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat digolongkan sebagai senyawa yang mempunyai perlindungan sedang. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan dapat disimpulkan bahwa ; 1. senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat dapat disintesis dari safrol melalui 3 tahap reaksi yaitu isomerisasi safrol menjadi isosafrol isosafrol, oksidasi isosafrol menjadi piperonal dan kondensasi piperonal dengan isoamil asetat. 2. senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat memiliki aktivitas perlindungan terhadap sinar uv-a dengan nilai spf sebesar 5,31. daftar pustaka davis, m.r., & quigley, m.n. 1995. liquid chromatographic determination of uv absorbens in sunscreen. j.chem educ, 72, 279. guenther, e. 1990. the essential oils, diterjemahkan oleh s. ketaren, minyak atsiri, jilid ivb, penerbit universitas indonesia, jakarta. harris, r. 1987. tanaman minyak atsiri, cetakan kesatu, pt penebar swadaya, jakarta, 60. ketaren, s. 1985. pengantar minyak atsiri, pn. balai pustaka, jakarta. kimbrough, d.r. 1997. the photochemistry of sunscreen, j.chem.educ,74(1), 51. shaath, n.a., 1990, sunscreens: development, evaluation, and regulatory aspects, marcel dekker inc., new york. soeratri, w. 1993. studi proteksi radiasi uv sinar matahari tahap 1 : studi efektivitas protektor kimia, lembaga penelitian universitas airlangga, surabaya. soeratri, w & purwanti, t. 2004. pengaruh penambahan asam glikolat terhadap efektivitas sediaan tabir surya kombinasi anti uv-a dan anti uv-b dalam basis gel, majalah farmasi airlangga, vol.4, no.3. soeratri, w & erawati, t. 2004. peningkatan nilai spf (sun protecting factor) kombinasi tabir surya oksibenson dan oktilmetoksisinamat oleh asam glikolat, majalah farmasi airlangga, vol.4, no.2. wahyuningsih, t.d., raharjo, t.j., tahir, i., & noegrohati, i. 2002. sintesis senyawa tabir surya 3,4-dimetoksi isoamil sinamat dari bahan dasar minyak cengkeh dan minyak fusel. indo. j. chem. vol.2, no.1, 46-52. indonesiann journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 97-101, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-fir 97 analysis of the heavy metal levels (cd, fe, hg and pb) at losari beach tourism reclamation of makassar firnanelty 1,*) , sitti chadijah 2) , syarifah rabiatul adawiah 3) , firdaus 4) , muh. imam dyan nugraha 5) 1.3 inorganic chemistry laboratory, department of chemistry, faculty of science and technology, alauddin state islamic university makassar, jalan hm yasin limpo no. 36, samata, gowa, south sulawesi, indonesia 2.4.5 analytical chemistry laboratory, department of chemistry, faculty of science and technology, alauddin state islamic university makassar, jalan hm yasin limpo no 36. samata, gowa, south sulawesi, indonesia *) corresponding author: firnanelty.rasyid@uin-alauddin.ac.id received: july 2022 received in revised: august 2022 accepted: september 2022 available online: september 2022 abstract the process of stockpiling reclamation areas and disposing of waste streams can pollute the environment and cause the attendance of dangerous heavy metals. in this research was conducted to determine heavy metals cd, fe, hg, and pb levels in water and sediment on losari beach. the method used was an atomic absorption spectrophotometer. the result showed that the levels of cd and fe in the water for the north point were 0.0278 and 0.0432 mg/l, the south point was 0.0031 and 0.0674 mg/l, the point around the platform showed 0.0028 and 0.0534 mg/l and the levels of sediment were 0.0010 and 31.2417 mg/l. the levels of hg and pb in water were 0.0235 and 0.0390 mg/l (north point) 0.0105 and 0.0420 mg/l (south point) 0.0027 and 0.0460 mg/l (around the platform), sediments were 0.0027 and 0.071 mg/l. the result concluded that the concentration of cd had crossed the threshold only at the north point namely 0.01 mg/l, while the concentration of fe that crossed the threshold was only in sediment namely 20 mg/l. the level of hg and pb pollution in the water and sediment of losari beach tourism is polluted because it exceeds quality standards. keywords: losari beach, cd, fe, hg, pb. introduction losari beach is one of the centre points of makassar city which is an alternative recreational place for residents of makassar city who are experiencing very rapid changes. the reclamation of losari beach has changed the condition of losari beach to be more modern with the rapid construction of tourist and business attractions. the physical changes seen in the losari beach area are constructing three losari beach platforms and building the terapung mosque. losari beach has developed a coastal city mitigation model (arisaputra. 2013). coastal reclamation is an example of human efforts to address land limitations in urban areas as in makassar city. the reclamation activities are the construction of the center point of indonesia in the losari beach area. makassar city regional regulation number 4 of 2015 concerning makassar city spatial planning for 2015-2034 designated the center point of indonesia (cpi) area as an integrated global business center (alfan, lukman, handoyo, & ernas, 2021). various community activities in coastal areas threaten environmental damage one of which is by increasing levels of heavy metals in waters. waste that enters the waters and settles in soil sediments can be both organic and inorganic matter. material entering coastal waters is transported by tidal currents, dilution, coagulation and sedimentation, associated with sedimentary organic matter. and is absorbed by plankton (djainal. 2022). most of the waste comes from inorganic waste materials. inorganic waste materials derived from the remaining production of the printing industry, chemical factories, textiles, pharmaceuticals and electronics have the potential to damage the environment because they contain harmful and toxic materials, including heavy metals (noor, kabangnga, & fathuddin, 2021). another factor that can pollute the waters on the losari coast is the coastal reclamation process carried firnanelty et al indo. j. chem. res., 10(2), 97-101, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-fir 98 out by the local government. reclamation is an effort to increase the area of territory carried out by the government to accommodate the growing population. beach reclamation efforts will continue to grow along with the increasing number of visitors and the area of losari beach is now unable to accommodate so many residents or visitors (djainal, 2022). reclaiming the losari coast also hurts the survival of marine life because it can result in ecosystem changes such as changes in current patterns, erosion and sedimentation and increased turbidity in the waters. the process of hoarding on coastal reclamation and the disposal of waste that is discharged into seawater can pollute the oceans and reduce the value of environmental sustainability, which is one of the harmful heavy metal content (puspasari, hartati, anggawangsa, 2017). the factor that causes heavy metals to belong to the group of contaminants is the presence of non-degradable and easily absorbable properties of heavy metals. the spread of heavy metals in the environment is mainly due to the disposal of waste products (marzuki & putra, 2022) (kurnia, kaseside, & iwamony, 2021). the waste parameters that need to be known the most in the environment are toxic or toxic metal levels such as lead (pb) and nickel (marzuki & putra, 2022; wibowo et al. 2020). several researchers have conducted studies to analyze heavy metal levels in waters. the results of the analysis shows of the presence of heavy metal levels of lead (pb), cadmium (cd), and mercury (hg) in the coastal tourist waters of akkarena and tanjung bayang areas. lead heavy metal (pb) pollution has been identified in the citarum hulu river dayuhkolot segment waters to nanjung (desriyan, wardhani, & pharmawati, 2015) with reclamation activity around the coastal area. one method that can be used in determining metal levels in water is spectroscopy using an atomic absorption spectrophotometer (aas) (rahayu, tanasale, & bandjar, 2020; hasmizal. 2020). one of the requirements for metal analysis using aas is that the sample must be a solution. so before the metal content in the sample is analysed, it is the first destruction to remove/separate the content of other ions. with the initial treatment expected that the error at the time of analysis can be suppressed to a minimum and using adsorbents (subroto. tarmidzi. wati. & armans. 2022). based on the description above we have conducted analyzed the content of heavy metals cadmium (cd), iron (fe), market (hg), and lead (pb) in losari beach tourism to see the level of heavy metal pollution. the reclamation of losari beach and compare it with the standards for seawater quality standards for marine tourism according to the decree of the minister of environment no. 51 of 2004 and several other regulations such as regulation of the governor of south sulawesi no. 69 of 2010 to determine the level of metal pollution. methodology materials the tools used are aas, oven, desiccator, analytical balance sheet, hot plate, porcelain dish, 50 ml measuring flask, 10 ml volume pipette, 2.000 ml beaker, 250 ml and 500 ml beaker, 100 ml measuring cup, 250 ml erlenmeyer, funnel, bulb. paragon pipe, electric stove and sample bottle. the materials used are nitric acid (hno3) p.a. perchloric acid (hclo4) p.a. bi-distilled water, filter paper whatman no. 41, boiling stone, cadmium nitrate (cd(no3)2), iron sulphate (feso4), mercury (i) nitrate (hgno3) and lead (ii) nitrate (pbno3), distilled water, seawater and soil at losari coastal reclamation. methods sample preparation at this stage observations are made at the research site to determine the sampling point and time which will then be tested at the analytical laboratory of the faculty of science and technology uin alauddin makassar. seawater samples were taken at the study site consisting of 4 points. seawater samples were taken at point 1 of the northern losari beach and point 2 of the southern losari beach, and point 3 was carried out around the losari beach platform. meanwhile, point 4 was carried out for soil sampling around the losari beach platform. sampling sampling was carried out at losari beach tourism with the sampling technique used was purposive sampling. the sampling technology makes it easier to determine the sampling point. seawater samples were taken using sample bottles that had been sterilized using distilled water, the sampling distance from the shoreline was 20 meters with a depth of 50 cm. soil sampling using paragon pipes measuring 1-1.5 m then taken to the analytical laboratory for analysis. firnanelty et al indo. j. chem. res., 10(2), 97-101, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-fir 99 water sampling water samples taken at 3 points are each put into a bottle picketed as much as 10 ml and put in a 250 ml erlenmeyer flask then added (distilled water) as much as 90 ml then 5 ml of hno3 solution is added using a drip pipette. furthermore, the sample is heated using an electric stove for about 40 minutes until the sample undergoes a volume reduction of about 2 ml. furthermore, the sample is cooled and put into a 50 ml measuring flask by filtering using whatman filter paper no. 41 so that no sediment is included in the sample and bidistilled water are added to the boundary mark, then it is analyzed using aas. soil sampling the cleaned soil sample was weighed ± 3 g and put into a 250 ml beaker. then 100 ml of bi-distilled water are added and stirred. furthermore, 5 ml of nitric acid (hno3) and 1 ml of concentrated perchloric acid (hclo4) were added and stirred until mixed evenly. amount 3 grains of boiling stone are added and then heated until white smoke arises and the volume of the test sample ±10 ml, and then sample solution is cooled. it is filtered using whatman filter paper no. 41, then the filtrate is tested on a 50 ml measuring flask and added distilled water to the limit mark. furthermore, the filtrate of the sample test is ready to be measured using an atomic absorption spectrophotometer (ssa). results and discussion the results of the analysis of cadmium metal (cd), iron (fe), mercury (hg), and lead (pb) contained in water and soil samples reclaimed from losari beach tourism makassar shows in table 1. table 1. the metal contents of cd, fe, hg and pb in water and soil reclaimed beach tourism losari makassar sampling point cd (mg/l) fe (mg/l) hg (mg/l) pb (mg/l) a 0.0278 0.0432 0.0235 0.0390 b 0.0031 0.0674 0.0105 0.0420 c 0.0028 0.0534 0.0027 0.0460 d 0.0010 31.2417 0.0027 0.0710 note: a: north point water, b: platform area point water, c: south point water, d: reclaimed land according to the regulation of the ministry of environment no. 51 of 2004 and the regulation of the governor of south sulawesi no. 69 of 2010 the northern point has exceeded the required cd metal content quality standard of 0.01 mg/l. the result can threaten the sustainability of the waters on the coast of losari makassar because it has passed the permissible threshold. one way to reduce the level of pollutants in the form of metals is to use adsorbents such as the chitosan-cuo combination (firnanelty, chadijah, figure 1. sampling location a) makassar city, b) losari beach (sampling point a-d) a b firnanelty et al indo. j. chem. res., 10(2), 97-101, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-fir 100 ratna, nurhuda, & sittiama. 2021). at the southern point and the platform area, the results of measuring levels are still monitored safely. however, this must also remain a concern for the community and local government in becoming the balance of the ecosystem in the forest. the soil condition is still within the quality standard of 0.001 mg/l. the result does not exceed the threshold set by permenkes no. 416/menkes/per /ix/1990 which is 0.005 ppm. the threshold value set by the regulation of the governor of south sulawesi no. 69 of 2010 concerning fe metal quality standards is 0.3 mg/l. based on the measurement of each point results are obtained that do not exceed the quality standards. this shows that the metal content especially fe is still in a safely controlled condition. the quality standard for the presence of ferrous metal (fe) in sediments according to the wisconsin department of natural resources in 2003 is 20 mg/l while the results of the analysis of land reclamation of losari makassar beach tourism are 31.2417 mg/l. this figure is very high from the predetermined threshold. this is due to the presence of heavy metals' non-degradable and easily absorbable properties. the spread of heavy metals in the environment is mainly due to the disposal of waste products and human activities (saavedra, gonzález, fernández, & blanco, 2004). the presence of heavy metals in the environment is a grave concern for the government because it can pollute the environment, especially in waters. heavy metals with a high concentration can be toxic to life in the waters. therefore, it is imperative to maintain environmental cleanliness especially in waters so that the concentration of heavy metals does not increase and becomes toxic (boran & altınok, 2010). the pb metal content data analysis shows results that are still below the standard of the south sulawesi governor regulation no. 69 of 2010, namely 0.05 mg/m 3 . only at this point the sediment tested has passed the quality standard. the high level of heavy metals entering the waters based on the results of observations cannot be separated from several factors, namely the existence of reclamation activities that have the potential to damage coastal arrangements, boat parking and canals that directly lead to the sea. the mercury (hg) quality standard based on government regulation 82 of 2001 concerning water quality management and water pollution control is 0.001 mg/l. this high level of hg indicates that the waters are polluted. for this reason, it is necessary to have proper handling to reduce the amount of hg. one is by using adsorbents that can degrade heavy metals using organic and inorganic materials (firnanelty et al., 2021). conclusion based on the result show the status of heavy metal pollution levels namely cd, fe, hg, and pb, is relatively high at several testing points based on the quality standard values of the decree of the minister of environment no. 51 of 2004 and regulation of the governor of south sulawesi no. 69 of 2010. at the northern point with a cd content of 0.0278 mg/l, the sediment contains a high fe level of 31.2417 mg/l. hg levels at all points show values that exceed the threshold. this is very dangerous for marine life in the waters. pb levels obtained at one point also exceeded the threshold (0.05 mg/m 3 ) which was 0.0710 mg/l. although some measurement results exceeded the threshold this is a severe concern to the community and local governments to maintain the sustainability of life in waters and people. acknowledgments the author would like to thank the inorganic. analytical and instrument laboratory of the department of chemistry, faculty of science and technology uin alauddin makassar for all sample testing that has been carried out. references alfan, m., lukman. k., handoyo. t., & ernas. b. m. (2021). analisis masalah sosial dampak reklamasi pantai losari. development policy and management review (dpmr), 1(1), 68-78. arisaputra, m. i. (2013). penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan reforma agraria di indonesia. yuridika. 28(2). https://doi.org/10.20473/ydk.v28i2.1881 boran, m., & altınok, i. (2010). a review of heavy metals in water. sediment and living organisms in the black sea. turkish journal of fisheries and aquatic sciences. 10(4). 565-572. desriyan, r., wardhani, e., & pharmawati, k. (2015). identifikasi pencemaran logam berat timbal (pb) pada perairan sungai citarum hulu segmen dayeuhkolot sampai nanjung. jurnal reka lingkungan, 10(2), 1-12. djainal, h. (2022). reklamasi pantai dan pengaruhnya terhadap lingkungan fisik di wilayah kepesisiran kota ternate. jurnal lingkungan sultan agung. 1(1). 16-28. firnanelty, chadijah, s., ratna. nurhuda, s., & sittiama. (2021). synthesis of chitosan-cuo firnanelty et al indo. j. chem. res., 10(2), 97-101, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-fir 101 composite and it’s application as heavy metal adsorbent. journal of physics: conference series. 1899(1). 012029. https://doi.org/ 10.1088/1742-6596/1899/1/012029 hasmizal, b. (2020). analysis of hg metal levels in perna viridis l. amina. 19(1), 120-125. kurnia, k., kaseside, m., & iwamony, s. (2021). study microstructure of fe3o4 modification using peg 4000 form iron sand at wari ino beach as a biosensor application. indonesian journal of chemical research. 8(3). 168-171. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.8-kur marzuki, i., & putra, i. p. (2022). investigation of microplastic exposure to marine fish in the marine tourism area of makassar city. indonesian journal of chemical research. 10(1). 38-46. https://doi.org/10.30598/ ijcr.2022.10-ism noor, r. j., kabangnga, a., & fathuddin, f. (2021). distribusi spasial dan faktor kontaminasi logam berat di pesisir kota makassar. jurnal kelautan tropis. 24(1). 93-101. https://doi.org/ 10.14710/jkt.v24i1.9619 rahayu, tanasale, m. f. j. d. p., & bandjar, a. (2020). isoterm adsorpsi ion cr(iii) oleh kitosan hasil isolasi limbah kepiting rajungan dan kitosan komersil. indonesian journal of chemical research. 8(1). 28-34. https://doi.org/ 10.30598/10.30598//ijcr.2020.8-ayu puspasari, r., hartati, s.t., anggawangsa, r. f. (2017). analisis dampak reklamasi terhadap lingkungan dan perikanan di teluk jakarta puspasari jurnal kebijakan perikanan indonesia. retrieved september 30. 2022. from http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/ index.php/jkpi/article/view/1976 saavedra, y., gonzález, a., fernández, p., & blanco, j. (2004). interspecific variation of metal concentrations in three bivalve mollusks from galicia. archives of environmental contamination and toxicology. 47(3). 341-351. https://doi.org/10.1007/s00244-004-3021-5 subroto, n. n. p., tarmidzi, f. m., wati, i., & armans. v. m. (2022). lead ion removal in water using low methoxy pectin-guar gum beads hybrid adsorbent. indonesian journal of chemical research. 10(1). 53-57. https://doi.org/10.30598/ijcr.2022.10-nad wibowo, d., basri, b., adami, a., sumarlin, s., rosdiana, r., ndibale, w., & ilham, i. (2020). analisis logam nikel (ni) dalam air laut dan persebarannya di perairan teluk kendari. sulawesi tenggara. indo. j. chem. res., 8(2). 144-150. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.8dwi ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 356-361 356 effect of agno3 concentration and synthesis temperature on surface plasmon resonance (spr) of silver nanoparticles pengaruh konsentrasi agno3 dan suhu sintesis terhadap surface plasmon resonance (spr) nanopartikel perak irwan r * , muhammad zakir, prastawa budi department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, +6281343821348, email: irwan07kimia@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract the research aims to synthesis of silver nanoparticles (agnps) via bio-reduction method using mangosteen skin extract. the growth of agnps was characterized by ultraviolet-visible spectroscopy (uv-vis). based on surface plasmon resonance (spr) data, observation suggested that an increase of initial agno3 concentration along with temperature, had affected its surface plasmon resonance trend. spr absorption indicates that the concentration of agno3 and the synthesis temperature was instrumental in the formation of silver nanoparticles. keywords: silver nanoparticles, surface plasmon resonance, mangosteen pendahuluan nanopartikel perak (agnps) merupakan material koloid yang saat ini berkembang sangat pesat. material agnps merupakan material dengan skala 1-100 nm yang memiliki sifat optik yang berbeda dari material bulknya. material agnps telah banyak diaplikasikan dalam bidang kesehatan, katalis, biosensor dan lain sebagainya. pembentukan agnps dapat dilakukan dengan berbagai metode sintesis seperti metode sonolisis, elektrokimia, metode radiolysis, metode reduksi dan metode bioreduksi. metode bioreduksi dengan menggunakan bahan alam saat ini menjadi branch dalam riset nanoteknologi. produk alam seperti ekstrak tanaman, sel bakteri, jamur, dan fungi dapat digunakan untuk mereduksi logam ag + (agno3) menjadi ag 0 . metode bioreduksi mengindikasikan metode yang relatif cepat, menggunakan sedikit pelarut, dan murah sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa metode bioreduksi merupakan metode ramah lingkungan. karakterisasi nanopartikel dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti pengukuran serapan ultraviolet-visible (uv-vis), analisis scanning electron microscopy (sem), analisis transmission electron microscopy (tem), selected-area electro diffraction (saed) dan xray diffraction (xrd). namun, pengamatan terhadap spektrum uv-vis berupa pita serapan surface plasmon resonance (spr) merupakan indikasi terbentuknya nanopartikel (mittal, et al. 2013) surface plasmon resonance (spr) merupakan kumpulan oskilasi terhadap konduksi elekton. surface adalah polarisasi muatan permukaan yang dihasilkan dari kumpulan oskilasi elektron, dan plasmon analog untuk kumpulan oskilasi elektron dengan gas plasma. ketika suatu material berinteraksi dengan cahaya (gelombang elektromagnetik) maka akan tercipta oskilasi pada permukaan material. muatan yang beroskilasi dapat ditingkatkan pada permukaan material yang disebut dengan local surface plasmon resonance (lspr). beberapa penelitian memperlihatkan pengamatan terhadap serapan spr agnps. pengamatan spr sebagai indikasi terjadinya nanopartikel perak terjadi pada panjang gelombang 430 nm (yosefzadi, et al., 2014), 421 nm (vijayan, et al., 2014), 421-431 nm (zakir, et al., 2014), 420 nm (mittal, et al., 2013). konsentrasi dan suhu sintesis merupakan faktor penting dalam proses sintesis agnps. huang, et al. (2011) melaporkan bahwa adanya irwan r., dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 356-361 357 perbedaan konsentrasi agno3 dan suhu sintesis berpengaruh terhadap pertumbuhan dan sebaran nanopartikel perak. dalam penelitian ini, sintesis nanopartikel perak secara sederhana dan ramah lingkungan menggunakan ekstrak kulit buah manggis telah dilakukan. pola pita serapan uvvis (spr) serta sebaran agnps dalam koloid terhadap perbedaan konsentrasi awal agno3 dan suhu sintesis menggambarkan bahwa suhu dan konsentrasi sangat berperan penting dalam pertumbuhan nanopartikel. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perak nitrat (agno3, 99.8%, merck) dan serbuk ekstrak kulit buah manggis (masten), akuabides, alat alat yang diperlukan dalam penenlitian ini yaitu alat-alat gelas yang umum dalam laboratorium, oven (gen lab), neraca analitik (ohaus), spektrofotometer uv-vis (uv-2600), centrifuge mx-305, centrifuge model 800, multistirrer 15, hot plate-stirrer (ika rh basic 1), magnetic bar, ph meter, blender (kirin), botol semprot, dan sendok tanduk. prosedur kerja sebanyak 1.5 g serbuk kering ekstrak kulit buah manggis dimasukkan ke dalam 100 ml akuabides, selanjutnya didispersi dengan blender (kirin) selama 9 menit. kemudian sampel disentifuse pada 5000 rpm selama 9 menit. larutan supernatan dikumpulkan dan disimpan pada suhu 6 c. untuk mereduksi ag + menjadi ag 0 , sebanyak 1 ml ekstrak kulit buah manggis 0.015 g/ml dicampurkan ke dalam 4 ml larutan agno3 1 mm dan diaduk dengan pengadukan magnetik selama 30 menit pada suhu 30 c. larutan agno3 konsentrasi 3 mm dan 5 mm serta suhu sintesis 60 dan 90 c masing-masing digunakan dalam sintesis agnps. reduksi ag + atau pertumbuhan agnps diamati setiap selang waktu tertentu menggunakan spektrofotometer uv-2600 pada resolusi 0.5 nm. sampel agnps diamati pada waktu ke 0; 2; 4; 6; 18; 24; 48; 50 dan 54 jam. hasil dan pembahasan sintesis agnps pertumbuhan nanopartikel perak (agnps) dapat dengan mudah diamati menggunakan serapan uv-vis. analisis kualitatif terhadap pertumbuhan agnps dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spesifik surface plasmon resonance (spr) nanopartikel. spr merupakan kumpulan oskilasi terhadap konduksi elektron yang terjadi pada permukaan material. adanya medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh gelombang elektromagnetik menyebabkan eksitasi kumpulan oskilasi elektron pada nanopartikel logam, yang disebut dengan localized surface plasmon resonance (willets, et al. 2007). pita serapan spr agnps terjadi pada panjang gelombang () 400-450 nm (yosefzadi, dkk. 2014; vijayan, dkk. 2014). adanya perubahan warna dari kuning menjadi kuning kecoklatan mengindikasikan terbentuknya nanopartikel perak sebagai hasil dari fenomena spr. perbedaan konsentrasi awal agno3 dan suhu sintesis dilakukan untuk mengetahui pola pertumbuhan agnps dalam koloid. secara umum, spektroskopi uv-vis digunakan untuk menentukan pita serapan spr. gambar 1 (a-c) menunjukkan spektra serapan uv-vis koloid agnps dalam rentang = 350 – 550 nm sebagai fungsi terhadap waktu. puncak spr yang khas pada daerah sekitar 443 nm sesuai untuk karakteristik spr agnps (zakir, et al. 2014) . hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan agnps. posisi puncak spr agnps berada pada panjang gelombang 443.5, 433.5; dan 442.5 nm untuk masing-masing konsentrasi awal agno3 1, 3, dan 5 mm. dalam analisis serapan spr, frekuensi dan lebar pita serapan spr bergantung pada bentuk dan ukuran partikel logam dan juga konstanta dielektrik dan medium sekitar patikel logam (wiley, et al. 2006). meningkatnya intensitas serapan spr dapat dihubungkan dengan peningkatan jumlah partikel dalam medium reaksi (umadevi, et al. 2013). pada gambar 1, pita serapan spr dengan intesitas serapan yang lebih tinggi pada konsentrasi awal agno3 3 dan 5 mm setelah waktu inkubasi 6 jam (gambar 1 (b-c)) menggambarkan pertumbuhan agnps yang relatif lebih cepat dibanding agnps yang disintesis dengan agno3 1 mm (gambar 1a). namun, pita serapan spr irwan r., dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 356-361 358 dengan intensitas yang cukup tinggi terjadi pada agnps yang disintesis dengan agno3 1 mm setelah waktu ke-54 jam (gambar 1a). hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan agnps yang relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan agnps hasil sintesis dengan agno3 konsentrasi 3 dan 5 mm setelah waktu ke-54 jam. stabilitas nanopartikel dapat diketahui dari pita serapan spr (huang, et al. 2011). untuk memonitor kestabilan koloid perak, spektra serapan koloid diukur berdasarkan perbedaan waktu inkubasi. adanya penurunan intensitas serapan spr setelah waktu ke-18 jam (gambar 1d) untuk masing-masing agnps dengan konsentrasi awal agno3 3 mm pada pengenceran dengan rasio 1:9 (agnps : akuabides) dan 5 mm memberikan indikasi ketidakstabilan nanopartikel perak. ketidakstabilan agnps terlihat pada warna koloid yang berubah dari kuning muda menjadi hijau lumut disertai dengan munculnya endapan di dasar wadah penyimpanan. hal ini berbeda untuk agnps yang disintesis menggunakan agno3 1 mm. peningkatan intensitas serapan spr sampai waktu ke-54 jam (gambar 1d) menggambarkan kestabilan nanopartikel perak. kestabilan ini dapat dilihat dari perubahan warna koloid dari kuning muda menjadi kuning kecoklatan yang konsisten selama waktu inkubasi tanpa adanya endapan akibat penggumpalan material. puncak spr yang khas pada daerah sekitar 443 nm sesuai untuk karakteristik spr agnps (zakir, et al. 2014) . hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan agnps. posisi puncak spr agnps berada pada panjang gelombang 443.5, 433.5; dan 442.5 nm untuk masing-masing konsentrasi awal agno3 1, 3, dan 5 mm. dalam analisis serapan spr, frekuensi dan lebar pita serapan spr bergantung pada bentuk dan ukuran partikel logam dan juga konstanta dielektrik dan medium sekitar patikel logam (wiley, et al. 2006). meningkatnya intensitas serapan spr dapat dihubungkan dengan peningkatan jumlah partikel dalam medium reaksi (umadevi, et al. 2013). pada gambar 1, pita serapan spr dengan gambar 1 spektra serapan uv-vis agnps selama waktu reaksi dengan mereduksi masing-masing (a) 1, (b) 3, dan (c) 5 mm larutan agno3 menggunakan ekstrak kulit buah manggis 0.015 g/ml. (d) perubahan intensitas serapan spr selama waktu reaksi. irwan r., dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 356-361 359 intesitas serapan yang lebih tinggi pada konsentrasi awal agno3 3 dan 5 mm setelah waktu inkubasi 6 jam (gambar 1 (b-c)) menggambarkan pertumbuhan agnps yang relatif lebih cepat dibanding agnps yang disintesis dengan agno3 1 mm (gambar 1a). namun, pita serapan spr dengan intensitas yang cukup tinggi terjadi pada agnps yang disintesis dengan agno3 1 mm setelah waktu ke-54 jam (gambar 1a). hal ini mengindikasikan adanya pertumbuhan agnps yang relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan agnps hasil sintesis dengan agno3 konsentrasi 3 dan 5 mm setelah waktu ke-54 jam. stabilitas nanopartikel dapat diketahui dari pita serapan spr (huang, et al. 2011). untuk memonitor kestabilan koloid perak, spektra serapan koloid diukur berdasarkan perbedaan waktu inkubasi. adanya penurunan intensitas serapan spr setelah waktu ke-18 jam (gambar 1d) untuk masing-masing agnps dengan konsentrasi awal agno3 3 mm pada pengenceran dengan rasio 1:9 (agnps : akuabides) dan 5 mm memberikan indikasi ketidakstabilan nanopartikel perak. tabel 1. hasil serapan spr terhadap nanopartikel perak pada berbagai konsentrasi agno3 dengan suhu sintesis 30 c. waktu inkubasi (jam) surface plasmon resonance (nm) [agno3] = 1 mm, 30 c [agno3] = 3 mm, 30 c [agno3] = 5 mm, 30 c 0 382.5 2 425.5 433.5 4 416.0 430.5 439.5 6 427.0 433.5 442.5 18 439.0 442.0 455.0 24 440.0 442.0 451.0 48 443.0 443.0 439.0 50 443.5 443.5 451.0 54 443.5 443.5 437.0 ketidakstabilan agnps terlihat pada warna koloid yang berubah dari kuning muda menjadi hijau lumut disertai dengan munculnya endapan di dasar wadah penyimpanan. hal ini berbeda untuk agnps yang disintesis menggunakan agno3 1 mm. peningkatan intensitas serapan spr sampai waktu ke-54 jam (gambar 1d) menggambarkan kestabilan nanopartikel perak. kestabilan ini dapat dilihat dari perubahan warna koloid dari kuning muda menjadi kuning kecoklatan yang konsisten selama waktu inkubasi tanpa adanya endapan akibat penggumpalan material. pita serapan spr agnps diamati mulai dari jam ke-0 sampai jam ke-54 setelah sintesis. dari data tabel 1., pertumbuhan agnps diamati setelah waktu ke-4 jam untuk konsentrasi agno3 1 mm, sedangkan spr untuk kedua konsentrasi agno3 3 dan 5 mm masing-masing teramati pada waktu ke-2 jam dan 0 jam. dari data tabel 1 adanya pergeseran spr ke- yang lebih besar dapat disebabkan oleh ukuran partikel yang menjadi lebih besar. penelitian huang, et al. (2011) melaporkan bahwa pergeseran nilai spr ke- yang lebih besar (pergeseran merah) merupakan hasil dari ukuran material yang menjadi lebih besar. stabilitas nanopartikel dapat diketahui dari pita serapan spr (huang, et al., 2011). untuk memonitor kestabilan koloid agnps, spektra serapan koloid diukur berdasarkan perbedaan waktu inkubasi. adanya penurunan intensitas serapan spr setelah waktu ke-18 jam (gambar 1d) untuk masing-masing agnps dengan c0 agno3 3 mm (pengenceran 10x dengan akuabides) dan 5 mm memberikan indikasi ketidakstabilan nanopartikel perak. ketidakstabilan agnps terlihat pada warna koloid yang berubah dari kuning muda menjadi hijau lumut disertai dengan munculnya endapan di dasar wadah penyimpanan. hal ini berbeda untuk agnps yang disintesis menggunakan agno3 1 mm. peningkatan intensitas serapan spr sampai waktu ke-54 jam (gambar 1d) menggambarkan kestabilan nanopartikel perak. kestabilan ini dapat dilihat dari perubahan warna koloid dari kuning muda menjadi kuning kecoklatan yang konsisten selama waktu inkubasi tanpa adanya endapan akibat penggumpalan material. berdasarkan data serapan spr agnps yang konsisten selama waktu inkubasi, maka c0 agno3 1 mm digunakan sebagai prekursor pada sintesis agnps untuk variasi suhu sintesis. dalam penelitian ini digunakan variasi suhu sintesis 30, 60, dan 90 c untuk mengetahui pola pertumbuhan agnps berdasarkan suhu reaksi. pengaturan suhu dilakukan selama proses pengadukan campuran agno3 1 mm dengan ekstrak sampel. serapan spr agnps berdasarkan suhu sintesis selama waktu inkubasi irwan r., dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 356-361 360 ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2 menunjukkan perubahan spektra serapan uv-vis agnps hasil reduksi agno3 1 mm menggunakan ekstrak sampel 0.015 g/ml masing-masing pada suhu (t) 30 c (a), 60 c (b), dan 90 c (c), puncak spr pada masingmasing agnps terjadi pada 443 nm (t=30 c), 413-432 nm (t=60 c), dan 424-429 nm (t=90 c) setelah waktu inkubasi tertentu. puncak spr agnps yang disintesis pada suhu 30 c relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang disintesis pada 60 c. hal ini berbeda dengan puncak spr yang disintesis pada suhu 90 c dimana puncak relatif tajam terjadi pada menit ke-30 mengindikasi reduksi ion ag + menjadi ag 0 dapat dipercepat dengan mengganti suhu sintesis dari 30 menjadi 90 c (gambar 2 a,c). puncak spr agnps berdasarkan perbedaan suhu secara signifikan mengalami pergeseran biru. reduksi ukuran logam nanopartikel memungkinkan adanya pergeseran biru dengan distribusi ukuran yang beragam (huang, et al., 2011). pertumbuhan agnps dapat dilihat pada serapan spr selama waktu inkubasi. puncak spr agnps yang relatif muncul setelah hari ke3 pada agnps yang disintesis dengan suhu 60 c mengindikasi adanya perlambatan proses pertumbuhan partikel. berbeda dengan agnps yang disintesis pada suhu 30 dan 90 c dimana puncak spr relatif muncul masing-masing setelah waktu ke-4 jam dan menit ke-30. hal ini mengindikasi pada suhu sintesis 90 c, proses nukleasi berlangsung cepat mengakibatkan terjadi pertumbuhan yang relatif cepat dibanding pada suhu sintesis 30 dan 60 c. pergeseran nilai spr (424-429 nm) dan penurunan intensitas serapan spr agnps pada t= 90 c (gambar 2c) setelah waktu inkubasi hari ke-1 mengindikasi waktu berperan penting dalam sintesis agnps. kesimpulan nanopartikel perak (agnps) dapat disimtesis dengan ekstrak kulit buah manggis konsentrasi 0.015 g/ml. berdasarkan data nilai serapan dan pola spektra spr, maka c0 agno3, gambar 2 spektra serapan uv-vis agnps selama waktu inkubasi dengan suhu (a) 30, (b) 60, dan (c) 90 c irwan r., dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 356-361 361 suhu sintesis dan waktu inkubasi yang disarankan adalah 1 mm, 30 c dan 54 jam. konsentrasi ekstrak sampel adalah 0.015 g/ml. daftar pustaka huang, j., zhan, g., zheng, b., sun, d., lu, f., lin, y., chen, h., zheng, z., zheng, y. dan li, q. 2011b. biogenic silver nanoparticles by cacumen platycladi extract: synthesis, formation mechanism, and antibacterial activity. ind. eng. chem. res. 50: 90959106. mittal, a.k., chisti, y. dan banerjee, u.c. 2013. synthesis of metallic nanoparticles using plant extracts. biotechnol. adv. 31: 346-356. umadevi, m., bindhu, m.r. dan sathe, v. 2013. a novel synthesis of malic acid capped silver nanoparticles using solanum lycopersicums fruit extract. j. mater. sci. technol. 29(4): 317-322. vijayan, s.r., santhiyagu, p., singamuthu, m., ahila, n.k., jayaraman, r. dan ethiraj, k. 2014. synthesis and characterization of silver and gold nanoparticles using aqueous extract of seaweed, turbinaria conoides, and their antimicrofouling activity. sci. world j. 1-10. wiley, b.j., im, s.h., li, z.y., mclellan, j., siekkinen, a. dan xia, y. 2006. maneuvering the surface plasmon resonance of silver nanostructure through shape-controlled synthesis. j. phys. chem. b. 110: 1566615675. willets, k.a., hall, w.p., sherry, l.j., zhang, x., zhao, j. dan duyne, r.p.v. 2007. nanoscsale localized surface plasmon resonance biosensors. nanobiotech. ii. 159173. yousefzadi, m., rahimi, z. dan ghafori, v. 2014. the green synthesis, characterization and antimicrobial activities of silver nanoparticles synthesized from green alga enteromorpha flexuosa (wulfen) j.agardh. mater. lett. 137: 1-4. zakir, m., maming, lembang, e.y. dan lembang, m.s. 2014. synthesis of silver and gold nanoparticles through reduction method using bioreductor of leaf extract of ketapang (terminalia catappa). int. con. adv. mater. & prac. nanotech. jakarta. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 27-31, 2022 doi: 10.30598//ijcr 27 the comparison effects of naoh and koh as solvents for silica extraction from two different coal fly ashes farrah fadhillah hanum*, aster rahayu, iqbal hapsauqi magister of chemical engineering department, faculty of industrial technology, universitas ahmad dahlan, jl. ringroad selatan, tamanan, banguntapan, bantul, d. i. yogyakarta, indonesia *corresponding author: farrah.hanum@che.uad.ac.id received: january 2022 received in revised: february 2022 accepted: may 2022 available online: may 2022 abstract one of the environmental problems is the waste from the coal combustion process from coal power plants or other industries that use coal as an energy source. the combustion process produces coal fly ash, which will accumulate in the environment. subsequently, much research about the utilization of coal fly ash has been developed. silica extraction from coal fly ash is one of the methods that can be used to utilize coal fly ash. this study carried out silica extraction using the direct alkaline leaching (dal) method. the coal ash was contacted with alkaline solvents (koh and naoh) with the variations of concentrations and the leaching time. the leaching solution filtrate will be precipitated with the addition of hcl. the characteristics of this silica from cfa and cfa b were analyzed by using scanning electron microscopy (sem). based on the results, it could be known that each of the coal fly ashes has different results for both alkaline solvents. cfa a has relatively less silica extraction results in both types of solvents. meanwhile, cfa b gave higher silica extraction results with coal fly ash and solvent contact time for one hour. keywords: coal, fly ash, leaching, silica, utilization introduction the problem of waste and its handling and utilization is still the main topic in research with environmental themes to date. one of the research topics with environmental themes is waste from the combustion process that uses coal as its energy source. based on data from japan coal energy center (jcoal) in 2008, generally, coal ash contains 5-15% bottom ash and 85-95% fly ash (rifa’i et al., 2010). fly ash results from the combustion process in the form of very fine particles and most of the trace elements contained in it. based on the previous research, it is known that fly ash or coal fly ash contains trace elements such as as, se, f, b, and hg. these trace elements are classified as heavy metals. handling these elements by providing some additives is proven to withstand these metals that do not dissolve into the environment (hanum et al., 2018; hanum et al., 2019; hartuti et al., 2017). in indonesia, research on handling heavy metal waste in indonesia is very rare even though the amount of coal ash produced is very abundant. in general, research on coal ash in indonesia leads to its use, such as in the chemical/industrial field as a metal adsorbent, in civil and construction uses as hollow blocks, and in agriculture as a mixed planting medium (munir, 2008; wardani, 2012; wardhani et al., 2012). in previous research, the author has studied the characterization of coal ash from one of the industries in indonesia for its use in agriculture (hanum et al., 2020). from the characterization results, it is known that one of the main compositions of coal ash is silica. silica can be extracted from burning waste, one of which is rice husk ash. mujiyanti et al. (2021) have extracted silica from rice husk ash using naoh solvent and obtained silica as much as 8.59 grams with a content of 85.97%. silica extracted from rice husk waste is widely used (agung et al., 2013; kalapathy et al., 2000). this silica can then be utilized, including silica gel (tigabu, 2017), used for sewage treatment (chuang et al., 2007; masrofah, 2017), and as the main ingredient in the formation of teos, which is much needed in the industry (mujiyanti et al., 2020). silica extraction methods have varied from year to year over the last ten years. in general, silica extraction is carried out by researchers to be used as material for zeolite synthesis (cornelius, 2019; kamarudin et al., 2009; matlob et al., 2012; moreno et al., 2002). the most recent is its use as nano-silica, which can be used as a material for making catalysts and membranes (aphane et al., 2019; miricioiu et al., 2021). however, from the results of these researches, it is also known that the characteristics of coal fly ash and its use affect the farrah fadhillah hanum et al. indo. j. chem. res., 10(1), 27-31, 2022 doi: 10.30598//ijcr 28 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1 hour 2 hours 3 hours s il ic a w e ig h t/ 5 0 g ra m c f a contact time naoh 1m naoh 2m naoh 3m appropriate silica extraction method (hanum & rahayu, 2021). this study used two coal fly ash samples from coal combustion processes in different industries. therefore, this study aims to determine the effect of different alkaline solvents used on the silica extraction results from these two types of coal fly ash. it is hoped that the information from this research can be a solution to handling coal fly ash waste in indonesia. methodology materials and instrumentals two samples of coal fly ash (cfa a and cfa b) are waste products from the coal combustion process in different industries, namely power plants and the cement industry in java. in this study, analysis of coal fly ash samples will be carried out using an x-ray fluorescence spectrometer (xrf; wdxrf s8 tiger, bruker axs) to determine the percentage of sio2 contained in each sample. after the extraction process, the silica precipitate was analyzed using scanning electron microscopy (sem; hitachi, tm4000plus, miniscope) to see the morphology of the silica obtained. procedure silica extraction was carried out using the direct alkaline leaching method. this method is where the coal fly ash sample was reacted directly with alkaline solvents, namely naoh and koh, with varying concentrations of 1, 2, and 3 m, respectively, with certain contact times (1, 2, and 3 hours) at temperature 85-90 ᵒc with a speed of 200 rpm. the na2sio3 solution was obtained after the specified contact time variation. the filtrate was separated from the residue and added 1 m hcl to form a silica precipitate. results and discussion the process of stripping silica from coal fly ash is generally carried out using an alkaline solvent in naoh. in addition to naoh, koh was also used to compare the silica yields obtained. the silica leaching process from coal fly ash begins with washing coal fly ash, where this process aims to dissolve the impurities contained in the coal ash sample so that the concentration of metal oxides that are not needed can be reduced and silica oxide levels can be maximized. furthermore, the silica extraction process is carried out by adding naoh/koh base at a specific time variation. the formation of silica by naoh and koh is described in the following reaction, respectively: reaction with naoh: sio2 + 2naoh na2o.xsio2 reaction with koh: sio2 + koh k2sio3 + h2o effect of solvent concentration naoh and koh samples of cfa a and cfa b from the combustion process of two different industries have their characteristics. based on the x-ray fluorescence spectrometer (xrf), the percentage of silica oxide in two types of coal fly ash is 41.56% for cfa a and 45.35% for cfa b. after contact with heating between coal fly ash and naoh and koh was made, three concentration variations (1, 2, and 3 m) were obtained, as shown in figures 1 and 2. figure 1. comparison of silica extraction results from cfa a (a) and cfa b (b) samples with naoh solvent figure 1 compares the amount of silica obtained for the extraction reaction using naoh 1, 2, and 3 m solvents. based on figure 1, it can be seen that the cfa a sample gives relatively small silica yields compared to the amount of silica produced by the cfa b sample. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 1 hour 2 hours 3 hours s il ic a w e ig h t/ 5 0 g ra m c f a contact time naoh 1m naoh 2m naoh 3m a b farrah fadhillah hanum et al. indo. j. chem. res., 10(1), 27-31, 2022 doi: 10.30598//ijcr 29 concentration 2m naoh gives better silica yield, among others. meanwhile, the results of silica extraction for cfa b with naoh solvent showed the more significant the concentration of naoh, the greater the silica yield obtained. figure 2. comparison of silica extraction results from cfa a (a) and cfa b (b) samples with koh solvent cfa a and cfa b were also tested with alkaline koh solvent under operating conditions. figure 2 shows that with a different primary solvent, koh, the amount of silica produced by cfa b to cfa a is relatively higher. in cfa b, the results were more consistent with the reversed pattern with the previous use of naoh solvent. in cfa b, the higher the concentration of koh used, the silica extraction results from coal fly ash became smaller, with the maximum yield shown by using 1 m koh as a solvent. this is in line with what was stated in the existing reference that a high concentration of naoh or koh base will affect the activity of silica ions in solution so that the amount of silica formed is reduced (la harimu et al., 2019). based on figure 2, it can be stated that the silica in cfa b has a higher leaching tendency, with the average yields produced at each concentration of 1, 2, and 3 m naoh being 0.174; 0.36; and 1.34 percent per 50 grams of ash sample, as well as 1.96; 0.69; and 0.48 percent per 50 grams of ash sample. figure 3. effect of extraction time on the extraction yield of cfa b silica with naoh (a) and koh (b) solvents. effect of concentration of extraction time samples of cfa a and cfa b were added with a solution of naoh and koh. the silica extraction process from coal fly ash was accompanied by heating at a temperature of 80 ᵒc with a variation of extraction times of 1, 2, and 3 hours. figure 3 shows the extraction time for cfa b with naoh and koh solvents. it can be concluded that the use of koh solvent can increase the yields of silica separated from coal fly ash with a contact time between coal fly ash and koh for 1 hour. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 1 hour 2 hours 3 hours s il ic a w e ig h t/ 5 0 g ra m c f a contact time koh 1m koh 2m koh 3m 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 1 hour 2 hours 3 hours s il ic a w e ig h t/ 5 0 g ra m c f a contact time koh 1m koh 2m koh 3m 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1 2 3 s il ic a y ie ld s (% ) concentration of naoh (m) 1 hour 2 hours 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1 2 3 s ili ca y ie ld s (% ) cncentration of koh (m) 1 hour 2 hours 3 hours a b a b farrah fadhillah hanum et al. indo. j. chem. res., 10(1), 27-31, 2022 doi: 10.30598//ijcr 30 the sio2 characterization using sem the results of silica analysis of cfa b samples from the extraction process with naoh and koh using scanning electron microscopy (sem) are shown in figure 4. sem observations were carried out at a magnification of 10000 times to obtain the morphology of the silica extracted from these two alkaline solvents. a b figure 4. photo of the appearance of silica extracted with naoh (a) and koh (b) with sem for cfa b samples with scanning electron microscopy (sem) based on figure 4, it can be seen that with naoh the surface morphology is more rigid and dense. likewise, the particles on the surface with naoh solvent are more uneven than with koh solvent. this shows that the characteristics of the silica produced from the leaching process with these two solvents have differences. therefore, further research is needed to study the characteristics of the extracted silica from each of these solvents in more detail. conclusion between two different types of coal fly ash, it is known that the extraction yield of cfa b is more stable and greater than cfa a for both types of solvents. and cfa b has a higher yield with koh, which is 1.96%, with a koh concentration of 3 m at a contact time of 1 hour. acknowledgment the authors would like to thank ahmad dahlan university for funding the research. as well as we thank prof. shinji kambara (environmental and renewable energy system division). and also, thank prof. fusheng li (river basin research center) from the faculty of engineering, gifu university, japan, facilitated the implementation of this research. references agung m, g. f., hanafie sy, m. r., & mardina, p. (2013). ekstraksi silika dari abu sekam padi dengan pelarut koh. konversi, 2(1), 28-31. aphane, m. e., doucet, f. j., kruger, r. a., petrik, l., & van der merwe, e. m. (2019). preparation of sodium silicate solutions and silica nanoparticles from south african coal fly ash. waste and biomass valorization, 11, 4403–4417. chuang, s. h., chang, t. c., ouyang, c. f., & leu, j. m. (2007). colloidal silica removal in coagulation processes for wastewater reuse in a high-tech industrial park. water science and technology, 55(1–2), 187–195. cornelius, m.-l. u. (2019). synthesis and characterisation of high silica zeolites with mor and mfi framework type from south african coal fly ash. (dissertation). university of western cape, south africa. hanum, f f, desfitri, e. r., hayakawa, y., & kambara, s. (2019). the role of calcium compound on fluorine leaching concentration. iop conference series: materials science and engineering, 543(1), 012091. hanum, farrah fadhillah, desfitri, e., hayakawa, y., & kambara, s. (2018). preliminary study on additives for controlling as, se, b, and f leaching from coal fly ash. minerals, 8(11), 493, 1-11. hanum, farrah fadhillah, & rahayu, a. (2021). a study for silika utilization and its separation method from coal fly ash. open science and technology, 02(01), 26-32. hanum, farrah fadhillah, rahayu, a., sutopo, u. m., & mufrodi, z. (2020). coal fly ash characterization from cement industry “x” as an initial study in its utilization. chemica. jurnal teknik kimia, 7(1), 57-62. hartuti, s., kambara, s., & takeyama, a. (2017). arsenic leachability of coal fly ashes from farrah fadhillah hanum et al. indo. j. chem. res., 10(1), 27-31, 2022 doi: 10.30598//ijcr 31 different types of coal fired power plants. journal of materials science and engineering a, 7(4), 169–177. kalapathy, u., proctor, a., & shultz, j. (2000). a simple method for production of pure silica from rice hull ash. bioresource technology, 73(3), 257-262. kamarudin, r. a., matlob, a. s., jubri, z., & ramli, z. (2009). extraction of silica and alumina from coal fly ash for the synthesis of zeolites. 2009 3rd international conference on energy and environment (icee), 456–461. la harimu, la rudi, aceng, h., giswa, a. p. s., & asriyanti. (2019). studi variasi konsentrasi naoh dan h2so4 untuk memurnikan silika dari abu sekam padi sebagai adsorben ion logam pb2+ dan cu2+. indonesian journal of. chemical. research, 6(2), 81–87. masrofah, i. (2017). kajian pemanfaatan silika dari sekam padi dalam pengolahan limbah tekstil. jurnal media teknik dan sistem industri, 1, 6065. matlob, a. s., kamarudin, r. a., jubri, z., & ramli, z. (2012). using the response surface methodology to optimize the extraction of silica and alumina from coal fly ash for the synthesis of zeolite na-a. arabian journal for science and engineering, 37(1), 27–40. miricioiu, m., niculescu, v.-c., filote, c., raboaca, m., & nechifor, g. (2021). coal fly ash derived silica nanomaterial for mmms-application in co2/ch4 separation. membranes, 11(2), 1-48. moreno, n., querol, x., plana, f., andres, j. m., janssen, m., & nugteren, h. (2002). pure zeolite synthesis from silica extracted from coal fly ashes. journal of chemical technology & biotechnology, 77(3), 274–279. mujiyanti, d. r., ariyani, d., & lisa, m. (2021). silica content analysis of siam unus rice husks from south kalimantan. indonesian journal of. chemical. research 9(2), 81-87. mujiyanti, d. r., nisa, h., rosyidah, k., ariyani, d., & abdullah, a. (2020). pengaruh waktu reaksi terhadap viskositas dan densitas tetraetil ortosilikat dari silika abu sekam padi. indo. j. chem. res., 8(1), 72–78. munir, m. (2008). pemanfaatan abu batubara (fly ash) untuk hollow block yang bermutu dan aman bagi lingkungan (thesis). diponegoro university, semarang. rifa’i, a., yasufuku, n., omine, k., & tsuji, k. (2010). utilization of coal ash as recycling material options in view point of geoenvironment. in y. chen, l. zhan, & x. tang (eds.), advances in environmental geotechnics (pp. 715–720). berlin, heidelberg: springer berlin heidelberg. tigabu, t. (2017). production and characterization of silica gel for textile wastewater treatment (methylene blue dye) (thesis). addis ababa university, ethiopia. wardani, r. k. (2012). utilization of coal ash (bottom ash) activated as adsorbent of cd2+ metal ion (undergraduated thesis). airlangga university, surabaya. wardhani, e., sutisna, m., & dewi, a. h. (2012). evaluasi pemanfaatan abu terbang (fly ash) batubara sebagai campuran media tanam pada tanaman tomat. jurnal itenas rekayasa, 16(1), 44–56. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 108-113, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-fas 108 patchouli oil isolation and identification of chemical components using gc-ms fensia analda souhoka 1* , andi zulkifli al aziz 2 , nazudin 2 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences, university of pattimura, ir. m. putuhena street, ambon 97233. 2 chemistry education study program, faculty of teacher training and education, university of pattimura, ir. m. putuhena street, ambon 97233. * corresponding author: fensianalda@yahoo.com received: 2020-6-10 received in revised: 2020-7-12 accepted: 2020-8-19 available online: 2020-8-21 abstract this research aims to isolate oil from patchouli (pogostemon cablin benth) and identify the chemical components of patchouli oil using gas chromatography-mass spectrometry (gc-ms). patchouli plant samples were obtained from welulu village, kolaka regency, southeast sulawesi province. fresh patchouli leaves are dried in the sun for four days to a constant weight. patchouli leaves water content is 77.41% (w/w). dry patchouli leaves are distilled using the water and steam method for two hours. water and oil distillates are separated using a separating funnel. patchouli oil obtained was dried using na2so4 anhydrous and yield 0.73% (w/w). the results of gc-ms analysis showed that patchouli oil contained 13 chemical components compounds, namely β-patchoulene (4.56%), cedr-8-ene (1.24%), trans-caryophyllene (7.96%), α-guaiene (18.61%), seychellene (5.70%), patchoulene (2.88%), eremophilene (1.33%), azulene (8.74%), -guaiene (18.90%), cyclohexanone (1.10%), globulol (1.88%), veridiflorol (4.39%), and alcohol patchouli (22.7%). keywords: gc-ms, isolation, identification, isolation, patchouli oil. introduction patchouli plants produce essential oils known as patchouli oil. there are three types of patchouli plants that grow in indonesia, namely patchouli aceh (pogostemon cablin benth) with an oil content of 2.5-5%, javanese patchouli or forest patchouli (pogostemon heyneanus benth), and patchouli soap (pogostemon hortensis backer) with an oil content 0.5-1.5% each (herdiani, 2011). patchouli oil is used in perfume, aromatherapy, incense, flavorings, cosmetics, medicinal, and pharmaceutical industries (ramya et al., 2013). patchouli oil is used as a binder or fixator and until now has not been replaced by other ingredients. indonesia is the world's leading producer of patchouli oil. patchouli oil won 85% of indonesia's essential oil exports, with a volume of 1,200-1,500 tons/year. patchouli oil is exported to singapore, united states, britain, spain, france, switzerland, germany, the netherlands, hong kong, egypt, and saudi arabia (ditjenbun, 2020). patchouli oil consists of a mixture of compounds of terpenes with alcohol, aldehydes, and esters, which give a distinctive odor. patchouli alcohol is the main component and determined the odor of patchouli oil. isolation of essential oils from plant parts (roots, stems, bark, leaves, flowers) is carried out by water and steam distillation methods. patchouli oil can be isolated from patchouli leaves by the water and steam distillation method. the gas chromatography method determines the amount and relative percentage of the components of patchouli oil (sastrohamidjojo, 2007). patchouli is an antiseptic and insecticide used in traditional chinese, malaysian, and japanese medicine. characteristics of the aroma of patchouli distinguish indian ink. patchouli scents and improves ink color, while patchouli alcohol helps the ink to dry faster. patchouli contains aldehyde, ketone patchoulenone, sesquiterpenes, monoterpene pinene, azulene, and eugenol (achs, 2012). idris et al. (2014), conducted an analysis of sni for patchouli oil quality, including specific gravity, refractive fensia analda souhoka, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 108-113, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-fas 109 index, amount of acid, ester number, and solubility in alcohol. several studies on the analysis of patchouli oil chemical components using gc-ms have been conducted. harahap (2009), identified patchouli leaves oil from aceh, obtained five main components, namely -patchoulene (3.13%), diepi-α-cendrene (4.06%), -guiaene (4.36%), delta-guiaene (4.82%), and alcohol patchouli (62.59%). aisyah (2010), identified patchouli leaves oil from south aceh, obtained five main components, namely alcohol patchouli (32.60%), δ-guaiene (23.07%), αguaiene (15.91%), seychellene (6.95%), and αpatchoulene (5.47%). permana (2012), identified patchouli leaves oil from west java, obtained five main components, namely alcohol patchouli (31.5%), α-bulnesene (12.3%), α-guaiene (11.7%), α-patchoulene (5%), and α-selinene (3.9%). different environmental conditions in each region affect the chemical components of plant constituents (munwar, 2011). ramayana dan widyawati (2013), tested the steam distillation method to isolate the essential oil components of patchouli plants. this method has the advantage of producing good quality oil from the leaves of the patchouli plant through the hydro diffusion process. around 80% of the population of kolaka regency is engaged in the plantation sector (tamrin et al., 2015). in recent years, people in kolaka regency have begun cultivating patchouli plants in addition to farming that has been occupied previously. as an effort to improve production quality in accordance with sni for patchouli oil, a study was conducted on the isolation of patchouli oil from kolaka regency and the identification of chemical components using gc-ms as one of the determinants of patchouli oil quality. methodology materials and instrumentals the materials used are patchouli leaves from welulu village, kolaka regency, southeast sulawesi province, na2so4 anhydrous (p.a. merck), bi-distilled water, and filter paper. the instrumentals used are gas chromatography-mass spectrometers (gc-ms qp-2010 plus, shimadzu), a set of distillation equipment (stainless steel), laboratory glassware (pyrex), hot plate (cimarec 1), and analytical scales (ohaus). methods patchouli leaves samples were taken in welulu village, kolaka regency, southeast sulawesi province. patchouli plants at the age of harvest, the leaves are taken, sorted, cleaned, washed, and dried in the sun for four days to a constant weight, then the water content is calculated. 1.05 kg of dry patchouli leaves were put into the kettle and distilled for two hours. the resulting distillate forms two layers, the upper layer is patchouli oil, and the lower layer is water. the oil is separated using a separating funnel, then added anhydrous sodium sulfate (na2so4), filtered, and weighed as water-free oil. patchouli oil is obtained analyzed using gcms to identify chemical components. results and discussions isolation oil from patchouli leaves patchouli leaves water content is calculated based on the weight difference before and after drying. patchouli leaves water content obtained 77.41% (w/w). according to sumarsono (2005), patchouli leaves water content after drying is around 70%. the process of drying patchouli leaves serves to provide resistance to the leaves so they do not get attacked by fungi quickly due to an enzymatic process that can reduce oil yield. drying the sample also speeds up the refining time by assisting in hydro diffusion, which is the process of the entry of steam into the plant cell walls. water molecules contained in the leaf cell layer can be minimized so that the distillation process runs more efficiently (abdjul et al., 2012). patchouli oil isolation from 1.05 kg of dried patchouli leaves was done by distilling water and steam for two hours. patchouli oil is obtained as much as 0.73% with bright yellow color and the typical aroma of patchouli by indonesian national standards quality (sni 062385-2006) of yellow to reddish-brown patchouli oil’s color (bsn, 2019). patchouli oil yield in this study is similar to the results of risnawaty et al. (2017), which is 0.88% and slamet et al. (2019), is 0.98%, but relatively low compared to other studies using the steam distillation method with pressure reduction and fermentation methods (harimurti et al., 2012 and muharam et al., 2017). patchouli plants in indonesia are widely cultivated by farmers using random seeds, simple technology, and minimal production fensia analda souhoka, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 108-113, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-fas 110 facilities. therefore, both production and productivity and the quality of oil produced are still low. harvesting and postharvest handling activities have not been done correctly and adequately, such as how to harvest, harvesting time, handling material collected before refining. the handling of the harvested plant material to be extracted is closely related to the quality and yield of patchouli oil produced (ministry of agriculture, 2012). according to arpi et al. (2011), the patchouli raw material source and the distillation method used will affect the clarity of patchouli oil and patchouli alcohol content. the longer the distillation time, the higher the patchouli oil yield, and the higher the content of patchouli alcohol. patchouli oil component identification the identification of patchouli oil components using gc-ms obtained 13 peaks, as shown in figure 1 and table 1. figure 1. patchouli oil chromatogram each peak is further identified by comparing the mass spectrum with reference compounds in the gc-ms database. patchouli leaf oil component is determined based on si (similarity index) value, which refers to compatibility with the compound fragmentation pattern. peak 1, with a retention time of 12.759 minutes, is -patchoulene (m +. , m/z=204). peak 2 with a retention time of 13.077 minutes is cedr-8-ene (m +. , m/z=204). peak 3, with a retention time of 13,141 minutes, is transcaryophyllene (m +. , m/z=204). peak 4, with a retention time of 13.304 minutes, is α-guaiene (m +. , m/z=204). peak 5, with a retention time of 13.420 minutes, is seychellene (m +. , m/z=204). peak 6, with a retention time of 13.629 minutes, is patchoulene (m +. , m/z=204). peak 7, with a retention time of 13.742 minutes, is eremophylene (m +. , m/z=204). peak 8, with a retention time of 13.870 minutes, is azulene (m +. , m/z=204). peak 9, with a retention time of 13.944 minutes, is -guaiene (m +. , m/z=204). peak 10, with a retention time of 14.531 minutes, is cyclohexanone (m +. , m/z=206). peak 11, with a retention time of 15.028 minutes, is globulol (m +. , m/z=222). peak 12, with a retention time of 15.310 minutes, is veridiflorol (m +. , m/z=204). peak 13, with a retention time of 15.440 minutes, is alcohol alcohol (m +. , m/z=222). table 1. patchouli oil components peak area% component name 1 4.56 -patchoulene 2 1.24 cedr-8-ene 3 7.96 trans-caryophyllene 4 18.61 α-guaiene 5 5.70 seychellene 6 2.88 patchoulene 7 1.33 eremophilene 8 8.74 azulene 9 18.90 -guaiene 10 1.10 cyclohexanone 11 1.88 globulol 12 4.39 veridiflorol 13 22.70 alcohol patchouli the three main components of patchouli oil are α-guaiene (18.61%), δ-guaiena (18.90%), and alcohol patchouli (22.70%). the results of this study are almost the same as abdjul et al. (2012), that identified patchouli leaves oil from malang, obtained three main components, namely alcohol patchouli (20.36%), -guaiene (14.50%), and α-guaiene (12.89%). differences in the composition of patchouli oil are qualitatively and quantitatively due to fensia analda souhoka, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 108-113, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-fas 111 differences in environmental factors, the area of origin of the sample, differences in harvesting methods, postharvest processing, refining conditions, and oil storage (aisyah, 2010). the α-guaiene mass spectrum (m/z): 30, 41, 55, 67, 79, 93, 105, 119, 133, 147 [c15h24] +. (base peak), 161, 175, 189, and 204 as shown in figure 2. the structure of α-guaiene is shown in figure 3. figure 2. α-guaiene mass spectrum figure 3. α-guaiene the -guaiene mass spectrum (m/z): 30, 41, 55, 67, 79, 93, 107 [c15h24] +. (base peak), 119, 133, 148, 161, 175, 189, and 204 as shown in figure 4. the structure of -guaiene is shown in figure 5. figure 4. -guaiene mass spectrum figure 5. -guaiene the guaienes are used in the fragrance and flavoring industries to impart spicy aromas and tastes. the α-guaiene and -guaiene compounds in the industry are usually used as room fresheners (abdjul et al., 2012). the alcohol patchouli mass spectrum (m/z): 30, 41, 55, 67, 83 [c15h26o] +. (base peak), 98, 125, 138, 151, 161, 179, 189, 207, and 222 as in shown figure 6. fensia analda souhoka, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 108-113, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-fas 112 figure 6. alcohol patchouli mass spectrum the structure of alcohol patchouli is shown in figure 7. figure 7. alcohol patchouli alcohol patchouli level is one of the parameters that determine the quality of patchouli oil. alcohol patchouli has a high selling value because it can bind the scent, so it is widely used in the perfume industry ermaya et al. (2019). the national standard for the best quality of patchouli oil is at least 31% alcohol patchouli (bsn, 2019). patchouli oil produced in indonesia has an alcohol patchouli level of <30% because the handling of postharvest material before refining is not proper; the distillation process is not optimal with a short distillation time, and the influence of the origin of the raw material. therefore alcohol patchouli content still needs to be increased to expand its market reach (aisyah et al., 2010). conclusions patchouli leaves oil isolation obtained 0.73% yield. the results of gc-ms analysis showed that patchouli oil contained 13 chemical components compounds, namely -patchoulene (4.56%), cedr-8-ene (1.24%), transcaryophyllene (7.96%), α-guaiene (18.61%), seychellene (5.70%), patchoulene (2.88%), eremophilene (1.33%), azulene (8.74%), guaiene (18.90%), cyclohexanone (1.10%), globulol (1.88%), veridiflorol (4.39%), and alcohol patchouli (22.7%). references abdjul, n., paputungan, m. and duengo, s., 2012. analysis of chemical components of essential oils in patchouli plants from steam distillation using gc-ms, thesis, chemistry education department, faculty of mathematics and natural sciences, universitas negeri gorontalo, gorontalo. aisyah, y., 2010. identification of physicochemical properties of patchouli oil components. j. hasil penelitian industri, 23(2), 79–87. aisyah, y. and hastuti, p., sastrohamidjojo, h., hidayat, c., 2010. increase of the content of patchouli alcohol in patchouli (pogostemon cablin benth) oil using cellulose acetate membrane, agritech, 30(3), 79-87. arpi, n., erika, c., and ermaya, d., 2011. survey and study on yield and quality of patchouli oil in southwest aceh district, indonesia based on original area of raw materials, methods, and length of distillation. proceedings of the annual international conference syiah kuala university 2011, 1(1), 22–27. bsn (national standardization agency), 2019. bsn regulation number 7 of 2019 concerning scheme of conformity evaluation of sni in chemical sector, ins 06-2385-2006 patchouli oil. ditjenbun., 2020. the fragrance of the world's best pride patchouli. directorate general of plantations, ministry of agriculture, http://ditjenbun.pertanian. go.id/harumnyanilam-primadona dunia, [may 18, 2020]. ermaya, d., sari, s.p., patria, a., hidayat, f., and razi, f., 2019. identification of patchouli oil chemical components as the results on distillation using gc-ms. iop conference series: earth and environmental science, 365, 012039. fensia analda souhoka, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 108-113, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-fas 113 harahap, f.a., 2009. simplisia characterization, isolation, and chemical analysis of essential oils from patchouli leaves (pogostemon cablin benth) from southeast aceh, thesis, faculty of pharmacy, universitas sumatera utara, medan. harimurti, n., soerawidjaja, t.h., and sumangat, d., 2012. patchouli oil (pogostemon cablin benth) extraction with hydrodifusion technique at 1-3 bar pressure, j. pascapanen, 9(1), 1–10. herdiani, e., 2011. patchouli, primadona indonesian aromatic plants. lembang agricultural training center. http://www.bbpp-lembang.info/index.php /arsip/artikel/artikel-pertanian/494-nilamprimadona-tanaman-aromatik-indonesia, [may 18, 2020]. idris, a., jura, m.r. and said, i., 2014. analysis of patchouli (pogostemon cablin benth) oil production quality in buol regency jurnal akademika kimia, 3(2), 301–308. ministry of agriculture, 2012. attachment to regulation of the minister of agriculture number 54 of 2012 concerning technical guidelines for patchouli post harvest management. muharam, s., yuningsih, l.m. and rohana, i.s., 2017. quality improvement of patchouli (pogostemon cablin benth) oil using combination methode of fermentation, delignification and distillation. j.kimia valensi, 3(2), 117–122. munwar, 2011. soil fertility and plant nutrition ipb press, bogor. permana, a.i., 2012. characterization of aceh patchouli (pogostemon cablin benth) oil aroma, thesis, faculty of agricultural technology, bogor agricultural university, bogor. ramayana, and widyawati, 2013. the influence of the performance of refiners and land suitability for patchouli oil production in aceh jaya regency, agrisep, 14(2), 21–27. ramya, h.g., palanimuthu, v. and singla, r., 2013. an introduction to patchouli (pogostemon cablin benth.) – a medicinal and aromatic plant: it’s importance to mankind, agric eng int: cigr journal, 15(2), 243–250. risnawaty, r., nurliana, l. and kurniawati, d., 2017. microencapsulation of essential oils from patchouli plants (pogostemon cablin benth) as an antifungal candida albicans. indo. j. chem. res., 4(2), 386–393. sastrohamidjojo, h., 2007. essential oil chemistry, third edition, ugm press, yogyakarta. slamet, s., ulyarti, u. and rahmi, s.l., 2019. effect of fermentation time on yield and physical quality of patchouli (pogostemon cablin benth) oil. j.teknologi dan industri pertanian indonesia, 11(1), 19–25. sumarsono, 2005. patchouli leaf drying moisture content behavior with traydryer. jurnal ilmu-ilmu pertanian indonesia, 7(1), 59–67. tamrin, asyik, n. and gunsawaty, 2015. efforts to improve quality and patchouli oil certification in north kolaka, proceedings of the fkpt-tpi agroindustry seminar and national workshop, tip-utm study program, 202-211. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 183-187 1 183 bioremediation of pb and cd metal from inner ambon bay sediment which contaminated with heavy metal using aspergillus niger yusthinus t. male1*, cecilia a. seumahu2, dominggus malle3 1department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university 2department of biology, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university 3department of animal husbandry, faculty of agriculture, pattimura university *corresponding author, e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: nov. 2019 published: jan. 2020 abstract bioremediation is a method that use microorganism to extract heavy metal from contaminated waste. in this research aspergillus niger was used to extract heavy metal such as pb and cd of marine sediment from waiheru shore, inner part of ambon bay, which was detected as significantly high heavy metal contaminated site among seven sites. bioremediation were done using aspergillus nigers to extract pb and cd metal from sediment, then their solubility being measured in filtrate media. result shows that cd metal were only detected 15 days after incubation while pb were detected since the first day incubation. this result also showing the fluctuating solubility of pb metal. it is suspected that this occurs due to biosorption ability of the fungi that being used which triggers metal accumulation in the cell structure. it is therefore can be concluded that aspergillus niger can be used in bioremediation of sediment that are being contaminated by pb and cd heavy metals. keywords: ambon bay, bioremediation, aspergillus niger, metal, pb, cd. introduction coastal towns and industries, together with power stations, have historically discharged their waste either directly into the sea, or into estuary which then quickly reaches the sea. in more recent times sewage effluent is treated to a reasonable standard before direct discharge, but most storm water drains, which are most highly polluted, discharged directly with no treatment at all. storm water from industrial and urban areas has been identified as a source of organic and inorganic pollution (reichelt-brushett, 2012). high oil concentration, and metal concentration including zinc, lead, nickel, mercury, copper and chromium in sediments and organisms have been related to discharge from both industrial and urban areas. high lead concentrations in waters around urban areas have been attributed to the combustion of lead petrol. sadiq (1992) suggests that as the consumptions of leaded petrol products decreases, will decreases the lead concentrations. agricultural runoff often consists of a combination of contaminants including fertilizers, pesticides (halogenated hydrocarbons) and hydrocarbon pollutants. there are several sources of trace metals in agricultural runoff. phosphate fertilizers contain 5-10 μg/g of cadmium, and the cadmium concentration is directly correlated with the amount of total phosphorus in the fertilizer (o’neil, 1985, logantahan et al., 1997). inner part of ambon bay (teluk ambon bagian dalam-tad) is the traffic lanes and port for many ships and ferry. ambon bay also became a big pond for effluent, plastic, organic, chemicals and many wastes from domestic and industrial activity in those area. some of toxic heavy metals were accumulated in sediments, e.g. cd, pb, as, and hg (widowati et al., 2008). river and bay sediments were proportionately higher in available mercury than elemental mercury (male et al., 2013). cadmium (cd) and lead (pb) are heavy metals that are harmful to human health so that the us-epa (united states environmental protection agency) establish maximum levels of metal in sediment for was 5 ppm (mg/l) for cd and 15 ppm for pb. anthropogenic sources of cd metal were paints, pigments, plastic stabilizers and waste from metal coating industries whereas pb metal comes from burning leaded fuel, battery waste, insecticides and herbicides (dixit et al., 2015). yusthinus t. male et al. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 183-187 1 184 to reduce the heavy metal content in the sediment, some method can be used, including remediation. conventionally, the remediation of heavy metal contaminated objects can be done with excavation and solidification/stabilization. although this technique is sufficient to maintain the amount of pollutants, it does not dispose of heavy metals well so that heavy metals still present in contaminated objects (yanga et al, 2009). chemical extraction with strong acids, chelators or organic acids can also be used to extract heavy metals from contaminated objects (peters, 1999). fungi are organisms that can be exploited as heavy metal bioremediation agents because the fungi are capable of producing large amounts of organic acids in large quantities, the fungus is able to withstand large ph vulnerabilities and even fungi have high tolerance limits for heavy metal contamination (white et al., 1997; iram et al., 2012). aspergillus is one of the fungi who have the ability to reduce the heavy metals concentration (congeevaram et al., 2006). aspergillus niger has been reported to be capable of removing lead, cadmium, copper and nickel ions in wastewater (kapoor et al., 1998). she-bardan et al. (2012) reported that aspergillus fumigates is capable of producing oxalic and citrate acids capable of removing pb from contaminated soils of heavy metals. the sampling focus was in the inner part of ambon bay which associated with domestic, industrial and agriculture activity. samples of marine sediments were collected from seven sites around tad by van veen grab at deeper marine locations (figure 1). samples were stored in polyethylene bags and transported on ice to the inorganic chemistry laboratory, university of pattimura, where they were immediately frozen. samples were dried at 60 ºc, ground then thoroughly homogenized and kept in a silica gel desiccator until analyzed. all glassware and other containers were soaked in 10% hno3 for 24 h and rinsed three times with deionized water prior to use. samples were weighed into separated 100 ml beaker glass and digested using aqua regia (5.0 ml hno3:15 ml hcl) on hotplate at 140 ºc for one hour. after cooling, the solution was filtered with whatman no.1 filter paper and diluted with deionized water to 25 ml in volumetric flask. solution then transferred to 30 ml polypropylene vials, stored in fridge prior to analysis with aas (atomic absorption spectroscopy). the results of pb and cd concentrations in sediments are show that from the seven sampling sites, the sediments in the waiheru marine waters contain the highest levels of pb and cd metals. this result is supported by sediment type analysis where sediment on waiheru marine waters is fig. 1. the map of the inner part of ambon bay (tad) with the sampling sites yusthinus t. male et al. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 183-187 1 185 dominated by silt and clay which has high affinity to heavy metals (male et al., 2017). the availability of heavy metals in sediments is closely related to the nature and size of the sediments. sediments containing clay and organic quantities will tend to accumulate higher metals, since they have binding properties (arifin et al., 2006). the size of sediment particles (grain size) is one of the factors that influence concentration and heavy metal adsorption process in sediment. the affinity of heavy metals is generally greater in finer sediments, so that heavy metal concentrations are larger on the surface of sediments having smaller particle sizes (parera, 2004). the highest concentrations of heavy metals are found in sediments in the form of mud, clay, muddy sand or mixtures of the three compared to pure sand (schaule and patterson, 1981).the purpose of this study was to investigate the separation of heavy metals from contaminated sediments with bioremediation (bioleaching) methods using aspergillus niger fungi. methodology experimental details standard curve of pb and cd from stock solution of pb and cd (1.000 ppm), 10 ml of each solution were transferred 100 ml volumetric flasks and diluted with deionized water. from the new stock solutions (100 ppm), 10 ml of each solution were transferred 100 ml volumetric flasks and diluted with deionized water to make 10 ppm stock solution. to obtain working solutions with each concentration was 0.1; 0.2; 0.3; 0.4 and 0.5 ppm respectively, 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml and 5 ml from 10 ppm stock solution were transferred into single 100 ml volumetric flasks and diluted with deionized water prior to analyzed with aas. preparation of microorganisms the microbes used are aspergillus niger from the moldy copra that has been provided from the microbiology laboratory, f-mipa unpatti. potato dextrose agar (pda) was used as a growth medium for aspergillus niger fungi. some of 100 g of potatoes that have been peeled and washed and then diced then boiled with 500 ml deionized water and filtered. then add 10 g dextrose and the aqueous mixed medium added to the volume of 500 ml. the medium is then fed into a 500 ml erlenmeyer and capped with cotton, then sterilized using an autoclave at 121° c with 1 atm pressure for 15 minutes. c. bioleaching of pb and cd metals from sediments after aspergillus niger inoculant was growth for 7 days, inoculant was added in spore form into 250 ml liquid medium potato dextrose broth (pdb) as nutrient and 2 g fine sediment samples. medium contains samples was transferred into a 500 ml erlenmeyer flask and incubated at 37 °c for 0, 5, 10 and 15 days. after the bioleaching process was finish, the sample were centrifuged at 2200 rpm for 10 minutes then filtered to separate the filtrate and residue prior to filtrate was analyzed with aas. results and disscusion bioleaching of pb metal the concentration of pb metal as product of bioleaching process are shown in figure 2. based on the figure 2 it can be seen that from the 1st day until the 5th day, there was an increase of dissolved lead metal concentration (pb). at 1st day, concentration of lead metal (pb) was 6.825 mg/kg and on the 5th day became to 36.775 mg/kg. in the bioleaching process, the concentration tends to increase linier to bioleaching period. the effectiveness of the bioleaching process depends on the ability of microorganisms and the mineral and chemical composition of the extracted metal (zhang et al., 2008). fig. 2. the result of bioleaching pb metal concentration of pb metal at the 1st day until the 10th day greatly decreased. this differs considerably from the concentration on the 5th day. according to iskandar et al. (2011), aspergillus niger tend to bioacumulate pb up to 54 mg/g of mycelium. in this study, pb detection was not detected in mycelium but most likely that 0 10 20 30 40 1 5 10 15 p b c o n c e n tr a ti o n s (m g /k g ) days yusthinus t. male et al. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 183-187 1 186 pb was accumulated in the cell structure so that the amount of dissolved pb decreased. this results also shows that fluctuations in pb concentration occur because the process was done using non-sterile sediments so it possible for contaminated with other microorganisms which influence the biosorption and bioleaching processes (sabra et al., 2012). factors affecting the bioleaching process was nutrition, oxygen demand, ph and temperature as well as types of microorganisms that can increase or inhibit the bioleaching process (kurniawan et al., 2011). bioleaching of cd metal concentration of cd metal which extracted from waiheru marine sediments is shown in figure 3. concentration of cd metal at 15th days was 0.0249 ppm while at 0, 5th and 10th days was not detected. this happens because fungi can accumulate heavy metals. fazli et al. (2015) have reported that aspergillus versicolor and aspergillus fumigates were able to accumulate cd in cell structures with amounts greater than 7.0 mg and 5.0 mg respectively per 1 g of mycelium. in addition, another factor that is suspected to be influential is also the concentration of cd weight metal which is found also very low compared to other heavy metals so that during bioleaching process, citric acid produced from aspergillus niger is more easily dissolved other metals contained. fig. 3. the result of bioleaching cd metal aspergillus niger fungi, organic acids produced greatly affect the solubility of heavy metals. she-bardan et al. (2012) also observed that aspergillus fumigates was able to release 88% pb through a two-stage process in the presence of citric acid production as the dominant acid. zeng et al. (2015) even uses aspergillus niger to perform heavy metal bioleaching in contaminated sediments and found that cd metal is capable of removing with a 99.5% extraction efficiency through a two-stage process. this occurs because in the two-stage process, organic gluconic acid and succinate are produced in greater quantities than the one-stage process. conclusion aspergillus niger can be used to extract pb and cd heavy metals in marine contaminated sediment. fluctuations in extract concentrations are due to the ability of fungal accumulation in cell structure and the use of non-sterile sediments that allow biosorption and bioleaching by other microorganisms. acknowledgments this research was funded by pattimura university through the scheme of penelitian unggulan daerah 2017 under contract number: 08.74.2h /spk-pj /un13-ppbj /pudlp2m/2017. references arifin, z., d. hindarti, t. agustini, p. widiawanwari, e. matondang, purbonegoro, t., 2006, nasib kontaminan logam dan implikasinya pada komunitas bentik, penelitian kompatitif-lipi. laporan akhir, p2o-lipi, jakarta. congeevaram, s., dhamarani, s., park, j., dexilin, m., thamaraiselvi, k., 2006, biosorption of chromium and nickel by heavy metal resistant fungal and bacterial isolates, school of civil and environmental engineering, seoul: yonsei university, 120749. dixit a., dixit, s., goswami, c.s., 2015, ecofriendly alternatives for the removal of heavy metal using dry biomass of weeds and study the mechanism involved, j. of bioremed. and biodegrad., 6(3), 2-7. fazli, m.m., soleimani, n., mehrasbi, m., darabian, s., mohammad, j., ramazani, a., 2015, highly cadmium tolerant fungi: their tolerance and removal potential, j. env. health sci. and eng., 13 (19), 1-9. iram, s., parveen, k., usman, j., nasir, k., akhtar, n., arouj, s., ahmad, i., 2012, heavy metal tolerance of filamentous fungal strain isolated from soil irrigated with industrial waste water, biologija, 58(3), 107-116. 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 1 5 10 15c d c o n c e n tr a tt io n s (m g /l days yusthinus t. male et al. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 183-187 1 187 iskandar, n., zainudin, n. a., tan, s. g., 2011, tolerance and biosorption of copper (cu) and lead (pb) by filamentous fungi isolated from a freshwater ecosystem, j. environt. sci. (china), 23(5), 824-830. kapoor, a., viraraghavan, t., cullimore, d. r., 1998, removal of heavy metals using the fungus aspergillus niger, regina water research institue, canada: university of regina. kurniawan, r., juhanda, s., banimulyanti, v., 2015, aplikasi bioleaching dalam pemisahan logam dari batuan mineral pyrite dengan menggunakan bakteri thiobacillus ferooxidans dan fungi aspergillus niger, prosiding seminar nasional pengembangan teknologi kimia untuk pengolahan sda, yogyakarta. logantahan, p., hedley, m.j. donward, 1997, movement of cadmium and phosphorus from phosphatic fertilizers in a pasture soil in new zealand, environt. poll., 95, 319324. male, y.t., brushett-amanda j.r., pocock, m., nanlohy, a., 2013, recent mercury contamination from artisanal gold mining on buru island, indonesia-potential future risk to environmental health and food safety, marine poll. bull., 77, 428-433. male, y.t., malle, d., bijang, c.m., fransina, e.g., seumahu, c.a., dolaitery, m.l., landu, s., gasperz, n., 2017, analisis kadar logam cadmium (cd) dan timbal (pb) pada sedimen di teluk ambon bagian dalam, indo. j.chem. res., 5(1), 434-443. o’neil, p., 1985, environmental chemistry, willey & son, london: george allen and unwin ltd. 232 parera, p., 2004, heavy metal concentrations in the pacific oyster; crassostrea gigas, thesis, auckland university of technology, auckland. peters, w. r..1999, chelant extraction of heavy metals from contaminated soils. j. of hazardous materials, 66(1), 151-210. reichelt-brushett, a., 2012, pollution of the marine environment, study guide, southern cross university, australia. sabra, n., dubourguier, h., hamieh, t., 2012, fungal leaching of heavy metals from sediments dredged from the deule canal, france, adv. in chem. eng. and sci., 2, 1-8. sadiq, m., 1992, toxic metal chemistry in the marine environment, new york: marcel dekker, 390. schaule, b. k., patterson, c.c., 1981, lead concentrations in the northeast pacific: evidence for global anthropogenic perturbations, earth and planetary sci. letters, 54(1), 97-116. she-bardan, b. j., othman, b., wahid, s. a., husin, a., sadegh-zadeh, f., 2012, bioleaching of heavy metals from mine tailings by aspergillus fumigates, bioremed. j., 16(2), 57-65. white, c., sayer, j. a., gadd, g. m., 1997, microbial solubilization and immobilization of toxic metals: key biogeochemical processes for treatment of contamination, microbiology res., 2, 503-516. widowati, w., sastiono, a., raymond, j, r., 2008, efek toksik logam: pencegahan dan penanggulangan pencemaran, penerbit andi, yogyakarta. yanga, j. s., leea, j. y., baekb, k., kwonc, t. s, choi, 2009, extraction and behavior of as, pb, and zn from mine tailings with acid and base solutions, j. hazard mater, 171, 443-451 zeng, x., wei, s., sun, l., jacques, d. a., tang, j., linn, m., ji, z., wang, j., zhu, j., xu, z. 2015, bioleaching of heavy metals from contaminated sediments by aspergillus niger strain sy1, j. soils sediments, 15, 1029-1038. zhang, lin., qiu guan-zhou. 2008, bioleaching of pyrite by a. ferrooxidans and l. ferriphilum. changsa, school of minerals processing and bioengineering, central south university, china. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 66-71, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-nur 66 karakterisasi biopolimer kitosan hasil deasetilasi limbah kepiting rajungan (portunus sanginolentus) menggunakan nabh4 dalam naoh characterization of chitosan biopolymers as result of deacetylation of rajungan crab waste (portunus sanginolentus) using nabh4 in naoh nurani hasanela * , matheis f.j.d.p. tanasale, helna tehubijuluw chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon-indonesia 97134 * corresponding author: hasanela.nurani@yahoo.co.id received: 2019-12-12 received in revised: 2020-2-1 accepted:2020-5-20 available online: 2020-5-31 abstract the chitosan isolation from crab waste (portunus sanginolentus) has been carried out. chitin production is carried out by the de-proteination, demineralization and depigmentation processes. chitosan biopolymer is produced from chitin through deacetylation method using base solution (naoh) and the addition of nabh4 which aims to increase the degree of de-acetylation (dd) of chitosan. the results of 25 g of chitin obtained chitosan amounted to 16.67 g (66.68%). chitin and chitosan were identified by a fourier transform infrared (ft-ir) spectrophotometer. keywords: chitin, chitosan, de-proteination, de-mineralization, de-pigmentation. abstrak (indonesian) telah dilakukan isolasi kitosan dari limbah kepiting rajungan (portunus sanginolentus). produksi kitin dilakukan dengan proses deproteinasi, demineralisasi dan proses depigmentasi. biopolimer kitosan dihasilkan dari kitin melalui metode deasetilasi menggunakan larutan basa (naoh) dan penambahan nabh4 yang bertujuan untuk menaikkan derajat deasetilasi (dd) dari kitosan. dari hasil 25 g kitin diperoleh kitosan sebesar 16,67 g (66,68%). kitin dan kitosan diidentifikasi dengan spektrofotometer fourier transform infrared (ft-ir). kata kunci: kitin, kitosan, de-proteinasi, de-mineralisasi, de-pigmentasi. pendahuluan selain ikan yang merupakan salah satu sumber protein bernilai tinggi, banyak juga dari golongan crustacea yang dijadikan andalan komuditi ekspor produk perikanan. salah satu golongan crustacea yang paling digemari dan melimpah adalah kepiting rajungan (portunus sanginolentus). rajungan merupakan jenis kepiting yang paling terkenal diantara kepiting lainnya. kepiting rajungan yang akan diekspor diproses terlebih dahulu. pada proses ini, daging rajungan dipisahkan dari cangkangnya, sehingga cangkang yang dihasilkan akan menjadi limbah. hasil limbah dari cangkang kepiting rajungan ini, jika tidak dikelola dengan baik maka akan mencemari ekosistem laut (adriana dkk., 2001). pemanfaatan limbah cangkang kepiting rajungan dapat memiliki nilai guna salah satunya yaitu dijadikan produk kitosan (sartika d kk ., 2016). kitin adalah polisakarida kedua terbanyak di alam setelah selulosa. kitin disamakan dengan selulosa dengan gugus hidroksil pada posisi c-2 digantikan dengan satu gugus asetamida (kumar, 2000; ali-komi, 2016). kitin dapat ditemukan dalam struktur seluler jamur, bakteri, serangga, arakhnida, krustasea, nematoda, dan invertebrata lainnya seperti annelida, muloska, cumi dan hemichordata (ramírez dkk., 2010; agustina dkk., 2015; teli dan sheikh 2012). kitin dapat didegradasi dengan enzim kitinase. seperti halnya selulosa, fungsi alami kitin juga sebagai struktur polisakarida. o l e h k arena kitin mempunyai sifat kristalinitas tinggi, maka kitin tidak larut dalam pelarut air, dan pelarut organik (sartika dkk., 2016). kitin tidak beracun dan mempunyai berat molekul (bm) sekitar 1,2 x 10 6 g/mol (purwatiningsih dkk.,1993). struktur monomer kitin dapat ditujukkan pada gambar 1. nurani hasanela dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 66-71, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-nur 67 gambar 1. struktur monomer kitin (kumar, 2000). melalui proses deasetilasi, kitin dapat dijadikan kitosan. kitosan adalah modifikasi dari senyawa polimer karbohidrat yang berasal kitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan crustacea seperti udang dan kepting. kitosan hasil deasetilasi dapat digunakan sebagai zat penyerap logam-logam berat dan zat-zat pencemar lainnya yang terdapat dalam air (adriana dkk., 2001). pada proses deasetilasi kitin menghasilkan kitosan, digunakan larutan basa naoh dan nabh 4. penggunaan nabh 4 ini akan berpengaruh pada berat molekul (bm) dan derajat deasetilasi (dd). penambahan nabh 4 pada waktu deasetilasi menghasilkan kitosan dengan bm dan dd yang besar. hal ini disebabkan karena kondisi terbaik dari preparasi kitosan didapat dengan menggunakan suatu larutan naoh dan nabh 4 yang berfungsi sebagai reduktor yang menyumbangkan h + pada proses reaksi deasetilasi menjadi kitosan (beaulieu, 2006). gambar 2. struktur mo n o m e r kitosan kitosan merupakan produk dari proses deasetilasi kitin melalui reaksi kimia dengan menggunakan enzim kitin deasetilase. unit penyusun kitosan merupakan disakarida (1,4)-2amino-2-deoksi-d-glukosa yang saling berikatan ß. seperti halnya polisakarida lain, kitosan memiliki kerangka gula, tetapi dengan sifat yang unik karena polimer ini memiliki gugus amina bermuatan positif (kumar dkk., 2000). struktur monomer kitosan dapat ditujukkan pada gambar 2. metodologi alat dan bahan alat-alat yang digunakan yaitu spektrofotometer uv-vis spectronik 20 + series,. spektrofotometer ft-ir (perkin elmer) 1600 series, viskometer ostwald, timbangan analitik, corong pisah, pipet vakum, pipet volum, oven (memert), termometer, penyaring buchner, hot plate, ayakan ukuran 40 mesh. bahan-bahan yang digunakan yaitu limbah cangkang kepiting rajungan, naoh p.a (e. merck), hcl p.a (e. merck), h2so4 p.a (e. merck), k2s2o8 p.a (e. merck) dan nabh4 p.a (e. merck). prosedurkerja isolasi kitin dari limbah cangkang kepiting rajungan tahap deproteinasi dimulai dengan penimbangan 400 g limbah cangkang kepiting rajungan yang suda dihaluskan ditambah 100 g/l naoh, kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 3 hari selanjutnya disaring dengan kertas saring, residu yang dihasilkan dicuci dan dikeringkan pada suhu 40 o c. dalam tahap demineralisasi residu hasil deproteinasi ditambahkan 172 ml hcl 1 n, kemudian ditambahkan 2 l h2o kemudian dipanaskan pada suhu 40 o c selama 3 jam selanjutnya disaring dengan kertas saring. residu yang dihasilkan dicuci dan dikeringkan pada suhu 40 o c. tahap depigmentasi diakhiri dengan residu hasil depigmentasi ditambahkan 500 ml h 2 o dan 50 ml h2so4 kemudian dilakukan pemutihan dengan penambahan k2s2o8 100 g/l kemudian dicuci dan dikeringkan dalam oven pada suhu 40 o c. kitin yang dihasilkan dikarakterisasi dengan spektrofometer ftir. deasetilasi kitin menghasilkan biopolimer kitosan sebanyak 25 g kitin yang dihasilkan ditambahkan 150 g/l naoh kemudian dipanaskan pada suhu 110 o c selama 2 jam, selanjutnya disaring dan dicuci kemudian dikeringkan. kitosan yang dihasilkan dikarakterisasi dengan spektrofometer ftir dan berat molekul dengan viskometer ostwald. sebanyak 25 g kitin yang dihasilkan ditambahkan 150 g/l naoh dan 0,75 g/l nabh 4 kemudian dipanaskan pada suhu 110 o c selama 2 jam, selanjutnya disaring dan dicuci kemudian dikeringkan. kitosan yang dihasilkan dikarakterisasi dengan spektrofometer ft-ir dan berat molekul dengan viskometer ostwald. nurani hasanela dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 66-71, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-nur 68 sebanyak 25 g kitin yang dihasilkan ditambahkan 150 g/l naoh kemudian dipanaskan pada suhu 110 o c selama 2 jam, selanjutnya disaring dan dicuci kemudian dikeringkan. proses ini dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan. kitosan yang dihasilkan dikarakterisasi dengan spektrofometer ft-ir dan berat molekul dengan viskometer ostwald. sebanyak 25 g kitin yang dihasilkan ditambahkan 150 g/l naoh dan 0,75 g/l nabh4 kemudian dipanaskan pada suhu 110 o c selama 2 jam, selanjutnya disaring dan dicuci kemudian dikeringkan. proses ini dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan. kitosan yang dihasilkan dikarakterisasi dengan spektrofometer ft-ir dan berat molekul dengan viskometer ostwald. penentuan bobot molekul kitosan dengan metode viskometri larutan berisi 0,001 g kitosan dalam 100 ml hcl 0,02 ml disiapkan kemudian dibuat 100 ml larutan kitosan dengan masing-masing konsentrasi: 0,001%, 0,002%, 0,003%, 0,004%, 0,005%. selanjutnya 5 ml dari masing-masing larutan kitosan dipipet ke dalam viskometer yang kering, bersih dan yang telah dipasang dalam penangas air dengan suhu tetap dijaga 30 ± 0,1 o c. waktu alir diukur dan dilakukan dengan 2 x pengulangan. penentuan derajat deasetilasi (dd) dengan metode uv-vis (liu dkk., 2006) sebanyak 4 mg kitosan hasil deasetilasi yang dihasilkan, dipisahkan pada masingmasing k1, k2, k3 dan k4. kemudian dilarutkan dengan hcl 0,1 m dan dikarakterisasi dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 201 nm. derajat deaseitalasi ditentukan dengan menggunakan persamaan 1 dan 2. untuk berat molekul kitosan dihitung dengan menggunakan persamaan 3. (1) dd = (1-da)100% (2) [ɳ] = km a atau log [ɳ]= log k + a log m (3) hasil dan pembahasan isolasi kitin dari limbah kepiting rajungan. proses isolasi kitin dari limbah kepiting rajungan (portunus sanginolentus) diperoleh melalui tiga tahap yaitu tahap penghilangan protein (deproteinasi), pada tahap ini secara visual terjadi perubahan warna pada serbuk cangkang kepiting rajungan yang awalnya berwarna kecoklatan menjadi kuning kecoklatan. selanjutnya tahap penghilangan mineral (demineralisasi) ditandai dengan perubahan warna menjadi putih kecoklatan. tahap terakhir yaitu penghilangan zat warna (depigmentasi) warna yang terbentuk lebih putih. dari hasil isolasi kitin, dapat diketahui komponenkomponen kimia yang terkandung dalam limbah kepiting rajungan (portunus sanginolentus) yang ditunjukkan pada tabel 1. gambar 3. spektrum ft-ir kitin hasil nurani hasanela dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 66-71, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-nur 69 tabel 1. komponen dalam limbah kepiting rajungan kandungan bobot (g) % protein 26,67 6,66 mineral 220,11 58.95 zat warna 27,31 17,82 kitin 125,91 16,57 hasil isolasi kitin yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi gugus fungsinya dengan menggunakan spektrofotometer ft-ir, yang diperlihatkan pada gambar 3. spektra ft-ir kitin memperlihatkan beberapa pola serapan antara lain serapan yang muncul pada 3109,25 cm -1 merupakan serapan dari gugus hidroksil, serapan pada 1681,55 cm -1 adalah vibrasi bending –n-h. menurut kusumaningsih dkk.,2004 serapan yang merupakan ciri khas dari kitin yaitu gugus –n-h dalam –nh-co(gugus amina yang terasetilasi). gugus metil (ch 3 ) muncul pada daerah 1311,59 – 1371,39 cm -1 . serapan gugus amina kitin pada 3100,00 -1371,39 cm -1 , serapan 2829,57 – 2 879,72 cm -1 dari vibrasi streaching –ch alifatik yang menyatu dengan pita serapan ulur – oh. adanya pita serapan pada 1004,51 – 1255,66 cm -1 menunjukkan vibrasi –c-o dari cincin kitin sedangkan serapan –ch 2 muncul pada 1450 cm -1 . tabel 2. daerah serapan gugus fungsi hasil analisa ft-ir dari kitin hasil isolasi gugus fungsi bilangan gelombangan (cm -1 ) oh 3109,25 ch alifatik 2829,57-2879,72 c=o 1681,93 ch2 1450 ch3 1311,59-1371,39 c-o 1004,91-1255,66 n-h (stretching) 3100,00-3631,96 n-h (binding) 1556,55 proses deasetilasi kitin menghasilkan kitosan. transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi amina pada kitosan yang dikenal dengan proses deasetilasi. pada penelitian ini, proses deasetilasi dilakukan dengan cara hidrolisis gugus asetoamida oleh basa kuat naoh 0% dan nabh4 pada suhu 110 o c. kondisi ini digunakan karena struktur sel-sel kitin kuat. menurut chang dkk. (1997) tingkat deasetilasi meningkat dengan meningkatnya suhu atau konsentrasi naoh. kitosan hasil deasetilasi kitin dapat ditunjukkan pada gambar 4. gambar 4. kitosan hasil deasetilasi kitin kitosan yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin sebesar 16,67 g (66,68%) selanjutnya dianalisis gugus fungsinya dengan menggunakan spektrofotometer ft-ir. hasil karakterisasi ft-ir kitosan tidak berbeda jauh dengan kitin. perbedaan yang terjadi setelah proses deasetilasi adalah pergeseran spektrum serapan kitin pada gugus c=o pada daerah 1681,93 cm -1 yang muncul sebagai pita serapan baru pada daerah 1691,57 cm -1 dan pita serapan n-h dalam bidang co-n-h pada 1556,55 cm -1 muncul pada spektrum kitosan pada serapan 1583,56 cm -1 . masih adanya serapan gugus karbonil pada daerah 1691,57 cm -1 menunjukan sampel belum sepenuhnya terdeasetilasi. hal ini disebabkan karena proses deasetilasi yang dilakukan belum mencapai waktu dan suhu maksimum. menurut ramadhan dkk., (2010) proses deasetilasi kitin secara bertahap dengan peningkatan waktu dan suhu dapat meningkatkan derajat deasetilasi karena faktor morfologi rantai kitin pada gugus asetamidanya semakin berkurang. hasil spektrum ftir kitosan dapat dianalisa gugus fungsinya seperti yang ditampilkan pada tabel 3. tabel 3. beberapa daerah serapan gugus fungsi hasil analisa ft-ir kitosan gugus fungsi bilangan gelombangan (cm -1 ) oh 3039,81 ch alifatik 2823,79-2997,38 c=o 1691,57 ch2 1413,82-1483,26 c-o 1151,50-1294,24 ch3 1325,1 n-h (binding) 1583,56 derajat deasetilasi berdasarkan metode uv-vis. kitosan hasil deasetilasi dari kitin isolasi dibagi menjadi 4 sampel yaitu k1, k2, k3, dan k4 untuk masing-masing sampel dilarutkan dengan hcl 0,1 m. nurani hasanela dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 66-71, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-nur 70 kemudian hasil sampel kitosan diuji absorbansinya dengan spekrofotometer uv-vis. penentuan dd pada studi ini diperoleh sebesar 93,99% terdapat pada sampel k4. perbedaan besarnya derajat deasetilasi ini disebabkan kerena pada proses deasetilasi kitin menjadi kitosan, dilakukan dengan penambahan nabh 4 dan dilakukan dua kali pengulangan. oleh karena itu kondisi terbaik dari karakterisasi kitosan didapat dengan menggunakan suatu larutan nabh 4 dalam naoh yang berfungsi sebagai reduktor dalam menyumbangkan h + pada proses reaksi deasetilasi menjadi kitosan (rinaudo, 2006, mohammed dkk., 2013; gyliene dkk., 2003). perbedaan kitin dan kitosan terletak pada besarnya derajat deasetilasi. kitosan memiliki derajat deasetilasi antara 70100% (kusumaningsih dkk., 2004; khan, 2002). rendamen dari hasil penelitian ini, menunjukan sudah hampir sepenuhnya merupakan kitosan. derajat deasetilasi dari kitosan dapat dilihat pada tabel 4. tabel. 4. derajat deasetilasi dari kitosan hasil isolasi kitosan derajat deasetilasi (%) k1 93,02 k2 92,05 k3 93,15 k4 93,99 tabel 5. bobot molekul kitosan hasil isolasi dari limbah cangkang kepiting rajungan kitosan berat molekul (g/mol) k1 3,9 x 10 6 k2 4,3 x 10 6 k3 3,44 x 10 6 k4 3,47 x 10 6 bobot molekul (bm) kitosan selain dd salah satu karakteristik kitosan yang paling penting adalah bm. pada penelitian ini, berat molekul terbaik diperoleh pada k4 sebesar 3,47x10 6 . hal ini disebabkan karena adanya penambahan nabh 4 dan dua kali pengulangan pada deasetilasi kitin menjadi kitosan. bobot molekul kitosan dapat ditentukan dengan menggunakan metode viskositas dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 5. kesimpulan dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa penambahan 0,75 g nabh 4 dalam 25 g kitin menghasilkan kitosan yang memiliki derajat deasetilasi sebesar 93,99% dengan nilai bobot molekul yaitu 3,47 x 10 6 g/mol. daftar pustaka adriana, a. a. mudjijati., selvy elvira dan vera setijawati., 2001. adsorpsi co(vi) dengan adsorban kitosan, j. kimia lingkungan, 3, 3136. agustina, s., swantara, i.m.d., dan suartha, i.n., 2015. isolasi kitin, karakterisasi dan sintesis kitosan dari kulit udang, j. kimia 9 (2), 271278. ali-komi, d.e., and hamblin, m. r., 2016. chitin and chitosan: production and application of versatile biomedical nanomaterials, int. j. adv. res. (indore)., 4(3): 411–427. chang k.l.b., tsai g., lee j., and fu w.r., 1997. heterogeneous n-deacetylation of chitin in alkaline solution, carbohyd. res., 303, 327– 332. mohammed, m.h. peter a.w., olga t., 2013. extraction of chitin from prawn shells and conversion to low molecular mass chitosan, food hydrocolloids, 31(2),166-171. gyliene, o., razmute, i., tarozoute, r. and nivinskiene, o., 2003. chemical composition and sorption properties of chitosan produced from fly larva shells, chemija (villnius), t. 14 nr. 3. 121-127 khan, t.a., peh, k.k., and ching, h.s., 2002. reporting degree of deacetylation values of chitosan: the influence of analytical methods, pharmaceut sci, 205-212. kumar, m.n.v.r, 2000. a review on chitin and chitosan applications, reactive and func. poly, 46 : 1-27 kusumaningsih, t., suryanti,v dan permana, w., 2004. karakterisasi kitosan hasil deasetilasi kitin dari cangkang kerang hijau (mytilus viridis linneaus), alchemy, 3, 63-71 liu, d., wei, y., yoa, p., y and jiang, l., 2006. determination of the degree of the acetylation of chitosan by uv spectrofotometry using dual standards, carbohydrate research, 341, 782785. ramadhan, l.o.a.n., wahyuningrum, d., suendo, v., radiman, l.c., dan ahmad, l.o., 2010. deasetilasi kitin secara bertahap dan pengaruhnya terhadap derajat deasetilasi serta massa molekul kitosan, j. kimia indo. 5 (1), 17-21. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=hamblin%20mr%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=27819009 https://www.sciencedirect.com/science/journal/0268005x nurani hasanela dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 66-71, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-nur 71 rinaudo, m., 2006. chitin and chitosan: properties and applications, progress in poly. sci., 31(7), 603-632. sarni, 2017. toksisitas oligomer kitosan derajat deasetilasi rendah enzimatis menggunakan metode brine srimp lethality test (bslt), indo. j. chem. res., 4(2), 373-377. sartika, i. d., alamsjah, m.. amin., sugijanto, n.e. n., 2016. isolasi dan karakterisasi kitosan dari cangkang rajungan (portunus pelagicus), j. biosains, 18(2), 1-15. tanasale, m. f.j.d.p., telussa, i., sekewael, s. j., 2016. ekstraksi dan karakterisasi kitosan dari kulit udang windu (penaeus monodon) serta proses depolimerisasi kitosan dengan hidrogen peroksida berdasarkan variasi suhu pemanasan, indo. j. chem. res., 3(2), 308-318. tanasale, m. f.j.d.p., bandjar, a., sewit, n., 2018. isolasi kitosan dari tudung jamur merang (vollvariella volvaceae) dan aplikasinya sebagai absorben logam timbal (pb), indo. j. chem. res., 6(1), 44-50. teli, m.d., sheikh, j., 2012. extraction of chitosan from shrimp shells waste and application in antibacterial finishing of bamboo rayon, inter. j. biological macromolecules, 50(5), 1195-1200. https://www.sciencedirect.com/science/journal/00796700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/115 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/115 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/115 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/124 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/124 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/124 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/124 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/s0141813012001213#! https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/s0141813012001213#! https://www.sciencedirect.com/science/journal/01418130/50/5 indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 63-68 1 63 imobilisasi asam humat pada kitin dan aplikasinya sebagai adsorben cr(iii) the immobilization of humic acid on chitin and its application as adsorbent of cr(iii) muhamad sehol 1* , sri juari santosa 2 , dwi siswanta 2 1 program of biology education, teacher and education faculty, iqra university, district of buru-maluku indonesia 2 department of chemistry, faculty mathematics and natural science, universitas gadjah mada yogyakarta – indonesia *corresponding author, e-mail:lasehol@gmail.com received: dec. 2017 published: jan. 2018 abstract the immobilization of humic acid on chitin has been conducted and applied to the adsorption of cr(iii). the immobilization of humic acid on chitin has been successfully done by reacting chitin solution in hcl 0.5 m and humic acid solution in naoh 0.1 m. the humic acid on adsorbent a and adsorbent b obtained was stable up to ph 11. adsorption of cr(iii) was maximum at ph 5, with rate of constants was in the orde of chitin ii>adsorbent b>adsorbent a>chitin i, there are 0.3509; 0.2488; 0.1553; 0.0568 minute -1 respectively. the capacity of adsorption was in the orde of chitin i>adsorbent b>chitin ii>adsorbent a, there are 944.77; 912.53; 895.37; 893.81 mg/g respectively. the energy of adsorption of cr(iii) was in orde of chitin ii>chitin i>adsorbent a>adsorbent b, there are 22.932; 20.945; 20.312; 19.615 kj/mol respectively. sequential extraction showed that the adsorption of cr(iii) was dominated by chemical adsorption with the role of chitin on adsorbent a and adsorbent b was much higher in adsorbing cr(iii). on adsorbent a, the adsorbed cr(iii) was 50.84 mg/g chitin and 1.1 mg/g humic acid. the similar result was also observed for adsorbent b there are 20.40 mg cr(iii)/g chitin and 0.80 mg cr(iii)/g humic acid. keywords: immobilization, humic acid, chitin, adsorption, cr(iii) pendahuluan ilmu dan tekhnologi yang berkembang dengan pesat dapat memberikan dampak yang sangat positif bagi kesejahteraan manusia, namun di lain segi ternyata menghasilkan juga dampak yang negatif berupa pencemaran lingkungan dari limbah industri dan aktivitas manusia lainnya. menurut palar (1994), salah satu sumber pencemaran yang dihasilkan adalah masuknya logam ke dalam lingkungan terutama tanah dan air secara berlebihan yang akibat buruknya telah banyak dilaporkan misalnya, penyakit mengerikan yang menyerang manusia dan hewan di teluk minamata, jepang, akibat keberadaan merkuri yang berlebihan dalam perairan di teluk tersebut, serta penyakit itai-itai di jepang akibat keberadaan logam kadmium yang berlebihan dalam perairan. krom (cr) merupakan salah satu jenis logam berat yang dapat mencemari lingkungan, dan jika terakumulasi dalam tubuh dapat menimbulkan masalah yang serius, yaitu dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti : sakit kepala, kulit bernanah, serta kanker paru-paru (shofiyani, 2001). berbagai usaha untuk menurunkan konsentrasi logam berat dalam perairan telah dilakukan. beberapa metode telah dikembangkan untuk menghilangkan logam-logam berat dari air buangan, seperti pengendapan secara kimia, koagulasi, kompleksasi, ekstraksi pelarut, separasi dengan membran, pertukaran ion dan adsorpsi. dari berbagai teknik tersebut, adsorpsi sering digunakan karena prosesnya yang relatif sederhana dan biaya yang dibutuhkan relatif tidak tinggi. senyawa humat dan kitin merupakan dua jenis senyawa yang sering digunakan sebagai adsorben terhadap polutan logam di perairan, dan akhir-akhir ini keduanya sering mengalami modifikasi dalam rangka untuk meningkatkan daya adsorpsinya. bahan humat keberadaannya tersebar luas di lingkungan, dan untuk m. sehol dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 63-68 64 memperolehnya sangat mudah, karena ada di semua tanah, perairan dan sedimen (gaffney dkk, 1996). sedangkan kitin umumnya diperoleh dari cangkang kepiting atau udang dan merupakan senyawa penyusun utama diding sel fungi atau kulit keras krustasea serta merupakan polimer dengan kelimpahan terbesar kedua di alam setelah sellulosa. baik humat maupun kitin, keduanya memilki gugus-gugus fungsional pada permukaan padatannya dengan daya adsorpsi yang tinggi terhadap polutan-polutan logam di perairan. hal ini disebabkan oleh adanya gugusgugus fungsional utama seperti –oh, -cooh, -co, dan -nhcomasing-masing pada senyawa humat dan kitin (no dkk, 1989). asam humat merupakan senyawa humat yang tidak larut dalam air pada kondisi asam tetapi larut pada kondisi ph alkalis. menurut hasil penelitian alimin (2000) dan sudiono (2001) pada ph di atas 2 asam humat sudah mulai larut dan pada ph 6 asam humat praktis telah larut semua. sedangkan, di satu sisi senyawa kitin tidak dapat larut dalam kondisi ph asam ataupun ph alkalis. adanya fenomena pengaruh kelarutan asam humat oleh ph, maka beberapa peneliti berusaha untuk menurunkan kelarutan asam humat pada ph tinggi. impregnasi asam humat pada silika gel telah dilakukan oleh sujandi (2002) dan dihasilkan adanya asam humat yang stabil hingga ph 8. usaha yang sama telah dilakukan dengan cara imobilisasi asam humat pada permukaan silika gel oleh koopal yang dikembangkan oleh artech, inc melalui crosslinking dan imobilisasi, sehingga didapatkan kelarutan asam humat yang sangat rendah sampai ph 12 (sanjaya dkk, 1999). selain itu, irawati (2004) telah melakukan imobilisasi asam humat pada kitosan dan didapatkan kelarutan asam humat yang menurun sampai ph 11,55. adanya kenyataan bahwa, salah satu sifat karakteristik asam humat menurut stevenson (1994) adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan ion-ion logam, oksida, hidroksida, mineral-mineral dan bahan organik, termasuk polutan-polutan toksik lainnya untuk membentuk persenyawaan yang larut maupun yang tidak larut dalam air, serta adanya dukungan hasil penelitian yang telah disebutkan di atas, maka dengan adanya hasil isolasi dan pengidentifikasian gugus-gugus kitin maupun asam humat diharapkan dapat dilakukan perbaikan metode untuk lebih meningkatkan daya adsorpsinya masing-masing melalui imobilisasi asam humat pada senyawa organik kitin dengan memanfaatkan gugus-gugus kimianya untuk berinteraksi. tujuan dari penelitian ini adalah mengimobilisasikan asam humat pada senyawa kitin dengan harapan dapat memperbaiki daya adsorpsinya dan menurunkan kelarutan asam humat pada ph tinggi, serta mempelajari dan menentukan laju reaksi, kapasitas, dan energi adsorpsi dalam aplikasinya sebagai adsorben cr(iii). metodologi isolasi dan pemurnian asam humat dari tanah gambut ambarawa-jateng bahan tanah gambut yang diperoleh dari ambarawa jawa tengah digunakan untuk mengisolasi asam humat menggunakan pelarut naoh 0,1 m (perbandingan tanah dengan pelarut 1:10), sebagaimana proses yang telah dilakukan oleh stevenson (1994), alimin (2000), dan sudiono (2001). untuk mengetahui keberhasilan isolasi asam humat, asam humat tanpa pemurnian dan asam humat hasil pemurnian yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penetapan kadar abu dan identifikasi secara spektroskopi inframerah. isolasi kitin dalam penelitian ini cangkang kepiting dipreparasi dalam dua tahap perlakuan yaitu: (1) kepiting direbus selama 40 menit hingga 1 jam, selanjutnya daging dipisahkan dari cangkangnya. cangkang yang diperoleh langsung dikeringkan dalam oven pada suhu 120 o c, (2) dalam keadaan mentah, cangkang kepiting dipisahkan kemudian direndam dalam larutan kaporit teknis (4%) sambil diaduk selama 30 menit. selanjutnya cangkang dikeringkan pada suhu udara dengan cara diangin-anginkan. cangkang kepiting yang telah dikeringkan berdasarkan kedua proses perlakuan di atas, masing-masing digerus halus dan selanjutnya dilakukan proses isolasi kitin menurut metode yang telah dilakukan oleh no, dkk (1989). hasil isolasi kitin yang diperoleh dari proses perlakuan pertama selanjutnya disebut kitin i, sedangkan kitin yang diperoleh dari proses perlakuan ke dua disebut kitin ii. gugus-gugus fungsional utama kitin diidentifikasi dengan spektroskopi ft-ir. m. sehol dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 63-68 65 imobilisasi asam humat pada kitin (pembuatan adsorben a dan b) sebanyak 40 gram kitin i diaktivasi dengan 250 ml hcl 0,5 m hingga larut, selanjutnya 4 gram asam humat yang telah dilarutkan dalam 500 ml naoh 0,5 m diambil sebanyak 250 ml kemudian dicampurkan dengan larutan kitin hasil aktivasi dan diaduk selama 2 malam. hasil imobilisasi selanjutnya dibilas dengan aquades, lalu dipanaskan pada oven dengan suhu 70 o c selama 30 menit, kemudian dikeringkan pada temperatur kamar. adsorben hasil imobilisasi selanjutnya disebut adsorben a. hal yang sama dilakukan juga untuk mendapatkan adsorben b dengan bahan dasar kitin ii sebanyak 30 gram dan asam humat sebanyak 3 gram. perubahan gugus fungsional ke-dua adsorben diidentifikasi dengan spektroskopi ft-ir. penentuan banyaknya asam humat yang terimobilisasi pada kitin sebanyak 0,1gram adsorben a dilarutkan dalam aquades, kemudian ph larutan diatur pada interval 2-12 dengan menggunakan hno3 untuk ph asam dan naoh untuk ph basa. campuran diaduk selama 2 jam kemudian didiamkan semalam dan hasil yang diperoleh disaring. supernatan yang diperoleh ditentukan kandungan asam humat terlarutnya menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 400 nm dengan metode kurva kalibrasi menggunkan larutan standar asam humat 100 ppm. banyaknya asam humat yang terimobilisasi pada kitin dihitung secara tidak langsung berdasarkan kandungan asam humat yang terlarut pada berbagai ph tersebut. hal yang sama dilakukan pula pada adsorben b. stabilitas asam humat terimobilisasi pada kitin sebanyak 0,1 gram adsorben a dilarutkan dalam aquades, kemudian ph larutan diatur pada interval 2-12 dengan menggunakan hno3 untuk ph asam dan naoh untuk ph basa. campuran diaduk selama 2 jam kemudian didiamkan semalam dan hasil yang diperoleh disaring. supernatan yang diperoleh ditentukan kandungan asam humat terlarutnya menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 400 nm dengan kurva standar standar menggunkan larutan standar asam humat 100 ppm. hal yang sama dilakukan pula pada adsorben b. interaksi adsorben dengan cr(iii) pengaruh ph terhadap proses adsorpsi logam. sebanyak 0,01 gram kitin i, kitin ii, adsorben a, dan adsorben b masing-masing direndam dalam 15 ml larutan cr(iii) dengan konsentrasi 50 mg/l. harga ph larutan divariasikan pada ph 2, 4, 6, 8, dan 10. setelah interaksi selama 1 jam, larutan disaring, kemudian konsentrasi logam dalam filtrat diukur secara aas. harga ph optimum digunakan sebagai dasar untuk kondisi pengamatan lebih lanjut. laju adsorpsi cr(iii) pada setiap adsorben. sebanyak 10 ml larutan cr(iii) dengan konsentrasi 100 mg/l diinteraksikan dalam kondisi ph optimum dengan 0,01 gram kitin i, kitin ii, adsorben a, dan adsorben b menggunakan waktu interaksi yang bervariasi, yaitu 0; 2; 4; 10; 20; 30; 60; 90; dan 120 menit. larutan disaring dan konsentrasi logam yang tersisa dalam filtrat diukur dengan spektroskopi serapan atom. penentuan konstanta laju adsorpsi (kads) dan konstanta kesetimbangan adsorpsi (k) diperoleh dengan menerapkan model persamaan kinetika usulan santosa (2001) yang diturunkan dari persamaan kinetika langmuir hinshenwold. persamaan kinetikanya dapat dituliskan : ln (co/ca)/ca = kads/ca + k (1). penetapan energi dan kapasitas adsorpsi cr(iii) pada setiap adsorben. sebanyak 0,01 gram kitin i, kitin ii, adsorben a, dan adsorben b, masing-masing diinteraksikan dengan larutan cr(iii) sebanyak 10 ml pada kondisi ph optimum. konsentrasi untuk setiap larutan divariasikan dari 50; 100; 150; 200; 250; 300; 500; dan 1000 mg/l. setelah diinteraksikan selama 24 jam, larutan disaring. filtratnya dianalisis dengan metode aas untuk mengetahui jumlah logam yang tersisa dalam larutan. penentuan kapasitas adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (k), dan energi adsorpsi (e) diperoleh dengan menggunakan persamaan isoterm langmuir: ca/m = 1/bk + ca/b (2). m. sehol dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 63-68 66 hasil dan pembahasan identifikasi spektra ft-ir asam humat dan kitin hasil isolasi hasil identifikasi spektra ft-ir asam humat sebelum dan sesudah pemurnian menunjukkan pita serapan utama yang cenderung sama pada daerah 3398,3 cm -1 (vibrasi –oh), 2925,8 cm -1 (-c-h alifatik), 1616,2; 1508,2; 1541 cm -1 (-c=caromatic), 1215,5 cm -1 (-c-o), dan pita serapan dengan bilangan gelombang di sekitar 1700-an (c=o). pada asam humat murni menghasilkan spektra dengan intensitas yang lebih tajam sebagai tanda hilangnya pengotor. hasil kajian menunjukkan gugus –cooh terdapat sebagai gugus dominan pada asam humat. spektra ft-ir kitin i dan kitin ii menunjukkan hasil yang juga cenderung sama, namun kitin ii menghasilkan spektra dengan intensitas yang lebih baik akibat pengaruh pencucian dengan larutan kaporit yang mampu menghilangkan pengotor organik kitin. pita serapan utamanya muncul pada 3442,7 cm -1 (vibrasi –oh), 2854,5 cm -1 (c-h alifatik), 1431,1 cm -1 (-nh-), dan 1624 cm -1 (c=o). hasil ini menunjukkan bahwa gugus amida (-nhco-) merupakan gugus utama yang terdapat pada kitin. setelah asam humat diimobilisasikan pada kitin didapatkan dua jenis adsorben (adsorben a dan b) dan mengalami perubahan spektra ft-ir bila dibandingkan dengan spektra ft-ir kitin, yaitu: pita serapan 1541 cm -1 dan 1654,8 cm -1 mengklarifikasi adanya asam humat dalam adsorben, sedangkan pita serapan 1157,2 cm -1 mengklarifikasi munculnya gugus baru -c-o-c-. kemungkinan reaksi yang ada dalam proses imobilisasi adalah: n h c o ho c o ah h oh n h c oh o c ah o kitin + kitin jumlah dan stabilitas asam humat pada adsorben ditunjukkan pada gambar 1. terlihat bahwa jumlah asam humat pada adsorben a dan b, masing-masing berkisar sebesar 9,25 % dan 1,64 % dan dapat stabil hingga ph 11. gambar 2 pengaruh ph terhadap adsorpsi cr(iii) pada kitin dan adsorben pengaruh ph terhadap adsorpsi cr(iii) gambar 2 memperlihatkan pengaruh ph terhadap adsorpsi cr(iii) oleh kitin i, kitin ii, adsorben a, dan adsorben b. pada ph rendah terjadi adsorpsi cr(iii) dalam jumlah sedikit akibat adanya kompetisi cr(iii) dengan h + yang konsentrasinya tinggi pada ph rendah, selanjutnya mengalami peningkatan seiring kenaikan ph sehingga tercapai adsorpsi maksimum (ph optimum) pada ph 5-6. pada gambar 1 jumlah dan stabilitas asam humat pada adsorben a dan b m. sehol dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 63-68 67 ph>6 semakin mengalami penurunan adsorpsi karena harga ksp cr(oh)3 terlampaui sehingga membentuk endapan cr(iii) hidroksida. penentuan laju reaksi adsorpsi cr(iii) pada setiap adsorben berdasarkan persamaan (1), maka dengan membuat kurva linear ln (co/ca)/ca vs t/ca dapat ditentukan harga konstanta laju adsorpsi (kads) dan konstanta kesetimbangan adsorpsi (k) masing-masing dari intersep dan slope kurva linear yang didapat. dalam penelitian ini, besarnya harga kad dan k kitin maupun adsorben diperlihatkan pada table 1. terdapat kecenderungan bahwa kads kitin ii dan adsorben b lebih besar daripada kitin i dan adsorben a sebagai akibat dari tidak terhalanginya proses adsorpsi cr(iii) oleh pengotor-pengotor organik yang telah dihilangkan oleh pencucian dengan larutan kaporit pada saat proses isolasi kitinnya. penetapan energi dan kapasitas adsorpsi cr(iii) pada setiap adsorben. perhitungan kapasitas dan energi adsorpsi cr(iii) pada kitin i, kitin ii, adsorben a, dan adsorben b adalah berdasarkan model isoterm langmuir menurut persamaan : ca/m = 1/bk + ca/b (2), di mana ca adalah konsentrasi ion logam saat adsorpsi diperoleh dari intersep dan slope. nilai k yang diperoleh digunakan untuk menentukan harga energi adsorpsi yang dihitung menurut persamaan: e = rt ln k (3). berdasarkan asumsi ini, maka tabel 2 memperlihatkan besarnya energi dan kapasitas adsorpsi yang diperoleh dari hasil interaksi cr(iii) dengan kitin dan adsorben. gambar 3 menunjukkan pola adsorpsi yang semakin naik dari konsentrasi awal dan mengalami kesetimbangan pada konsentrasi tertentu. gambaran ini mengindikasikan terjadinya pola adsorpsi isoterm langmuir yang juga diperkuat oleh harga r dalam tabel 2. tabel 1 konstanta laju adsorpsi (kads) dan konstanta kesetimbangan adsorpsi (k) kitin dan adsorben adsorben parameter kads (menit -1 ) k (mol/l) -1 kitin i 0,0568 68167 adsorben a 0,1553 104 kitin ii 0,3509 1958 adsorben b 0,2488 942 tabel 2 parameter isoterm langmuir kitin dan adsorben yang diinteraksikan dengan cr(iii) adsorben r 2 k (mol/l) -1 b (mol/gram) e (kj/mol) kitin i 0,94 4438 1,817x10 -2 20,946 adsorben a 0,86 3442 1,719x10 -2 20,312 kitin ii 0,90 9840 1,722x10 -2 22,932 adsorben b 0,99 2602 1,755x10 -2 19,615 data pada gambar 3 merupakan data yang digunakan sebagai acuan dalam pembuatan kurva ca/m vs ca sehingga nilai b, k, dan e yang tercantum pada tabel 2 dapat diketahui. dari tabel 2 terlihat bahwa energi yang dihasilkan pada proses adsorpsi berkisar 19,165-22,932 kj/mol dengan kapasitas adsorpsi kitin i yang lebih besar bila dibandingkan dengan kitin ii, adsorben a, dan adsorben b. kesimpulan berdasarkan hasil kajian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. asam humat dapat diimobilisasikan pada kitin dan mampu stabil hingga ph 11 2. adsorpsi cr(iii) pada adsorben maksimum pada ph 5-6, dengan konstanta laju sesuai urutan kitin ii>adsorben b>adsorben a>kitin i yang besarnya masing-masing 0,3509; 0,2488; 0,1553; 0,0568 menit -1 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0 0,0005 0,001 0,0015 0,002 0,0025 0,003 0,0035 ca (mol/l) c r( iii ) te ra d so rp (m o l/g ra m ) kitin i adsorben a kitin ii adsorben b gambar 3 isoterm langmuir adsorpsi cr(iii) pada adsorben m. sehol dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 63-68 68 3. kapasitas adsorpsi sesuai dengan urutan kitin i > adsorben b> kitin ii > adsorben a yang besarnya masing-masing adalah 1,817 x 10 -2 ; 1,755 x 10 -2 ; 1,722 x 10 -2 ; 1, 719 x 10 -2 mol/g. 4. energi adsorpsi cr(iii) pada kitin dan adsorben mengikuti urutan kitin ii>kitin i>adsorben a>adsorben b masing-masing sebesar 22,932; 20,946; 20,312; 19,615 kj/mol. daftar pustaka alimin, 2000, fraksinasi asam humat dan pengaruhnya pada kelarutan ion zn 2+ , cd 2+ , mg 2+ , dan ca 2+ , tesis, kimia fmipa, universitas gadjah mada, yogyakarta. gaffney, j.s., marley, n.a., dan clack, s.b., 1966, humic and fulvic acid : isolation, structure and environmental role, american chemical society, washington, dc. irawati, u., 2004, immobilisasi asam humat pada kitosan dan aplikasinya sebagai adsorben cd (ii), skripsi, kimia fmipa, universitas gadjah mada, yogyakarta. no, h., meyers, s.p., lee, k.s., 1989, isolation and characterization of chitin from crawfish shell waste, j. agric. food. chem., 27, 575-579. palar, h., 1994, pencemaran dan toksikologi logam berat, rineka cipta, jakarta sanjaya, h.g., fataftah, a.k., walia, d.s., dan srivastava, k. c., 1999, humasorp – cs tm : a humic acid – based adsorbent to remove organic and inorganic contaminant, (dalam ghabbour, e.a., dan davie, g.), properties and applications, the royal society of chemistry, cambridge. santosa, s.j., 2001, single and competitive adsorption kinetics of cd(ii) and cr(iii) by humic acid, prosiding seminar nasional kimia anorganik, universitas gadjah mada, yogyakarta. shofiyani, a., 2001, studi adsorpsi cr(iii) dan cr(vi) pada kitosan dan kitosan sulfat dari cangkang udang windu (phenaus monodon), tesis, universitas gadjah mada, yogyakarta. stevenson, f.j., 1994, humus chemistry: genesis, compositions, reactions, 2 nd . ed., john w iley & sons, inc., new york sudiono, s., 2001, sifat asam basa asam humat dan interaksinya dengan logam kromium (iii), tembaga (ii), kobalt(ii) dan nikel (ii), tesis, kimia fmipa, universitas gajah mada, yogyakarta. sujandi, 2002, impregnasi asam humat pada silika gel dan aplikasinya untuk adsorpsi tembaga (ii), dan kalsium (ii), skripsi kimis fmipa, universitas gajah mada, yogyakarta. indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 1 6 1 1 analisis kadar sianida pada rebung berdasarkan volume ukuran dari kecamatan bajeng kabupaten gowa analysis of sianida contents on bamboo shoot based on the size volume from bajeng sub-district, district of gowa dewi arisanti * , nur qadri rasyid, muh.nasir study program of health analyst, academy of health analyst muhammadiyah makassar-indonesia *corresponding author, e-mail: dewiharimuswarah@gmail.com received: april 2018 published: july 2018 abstract bamboo shoots are young shoots from bamboo shoots. bamboo shoots contain cyanide content if consumed can cause shortness of breath, decreased blood pressure, rapid pulse, headache, nausea, diarrhea, mental disorders and seizures. continuous consumption with low doses causes mumps and dwarfism and neurological diseases. this study aims to determine how much cyanide levels in bamboo shoots and this type of research is a descriptive laboratory experiment. the sample that used in this study is 3 samples based on the size of the volume. the sampling technique is by means of purposive sampling that is looking at the criteria based on large, medium and small size types. analysis of cyanide levels was obtained by uv-vis spectrophotometer with a wavelength of 582 nm. the results showed that large size bamboo shoots were height = 27 cm; diameter = 16 cm has a cyanide content of 21.84 mg/kg, medium size were height = 18 cm; diameter = 7 cm has a cyanide content of 18.40 mg/kg and a small size of height = 8 cm; diameter = 4 cm has cyanide content of 4.65 mg/kg. thus it can be concluded that the greater the size of bamboo shoots, the greater the level of cyanide. keywords: analysis, bamboo shoot, cianida, spektrofotometer uv-vis pendahuluan indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dengan kesuburan tanah yang luar biasa. semua kekayaan alam yang ada di indonesia memiliki banyak kegunaan dan manfaat oleh setiap manusia. misalnya rebung bambu yang telah membudaya sebagai salah satu bahan masakan tradisional yang cukup popular di masyarakat (kencana dkk., 2009). rebung mengandung nilai gizi yang cukup baik dimana setiap 100 gr rebung mengandung, 27 kkal energi, 2.6 gr protein, 0.3 gr lemak, 5.2 gr karbohidrat, 13 mg kalsium, 59 mg fosfor, 0.5 mg besi, 20 si vitamin a, 0.15 mg vitamin b1 dan 4 mg vitamin c, dan merupakan makanan yang kaya serat dan sumber kalium yang baik sehingga dapat menurunkan kolesterol darah serta resiko penyakit kardiovaskuler. namun, dari beberapa manfaat dari rebung terdapat kandungan asam sianida yang tidak diketahui masyarakat umum. kandungan sianida yang terdapat pada rebung berpengaruh pada volume ukuran dan lamanya usia rebung tersebut. semakin tua rebung maka akan terasa pahit dan kadar sianidanya semakin tinggi. rebung bambu mengandung asam sianida sekitar 245 mg/100 g dan bervariasi tergantung pada jenis bambunya (kencana dkk., 2012). asam sianida merupakan senyawa yang berbahaya baik bagi manusia maupun hewan. fsanz (2005) menyatakan dosis letal asam sianida pada manusia dilaporkan 0.5-3.5 mg/kg berat badan. gejala keracunan akut asam sianida pada manusia meliputi: nafas tersengal, penurunan tekanan darah, denyut nadi cepat, sakit kepala, sakit perut, mual, diare, pusing, kekacauan mental dan kejang. mengkonsumsi terus menerus dalam dosis yang rendah menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit gondok, kekerdilan serta penyakit neurologis (bradbury dan holloway, 1988). cara pengolahan rebung yang baik agar dapat mengurangi sianida yaitu dicuci pada air yang mengalir, dilakukan pengupasan menggunakan pisau stainless, perendaman dengan air garam, pemotongan secara halus, dan perebusan kurang lebih 30 menit serta jika belum dewi arisanti dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 6-11 2 ingin dimasak, alangkah baiknya disimpan pada lemari es agar kualitas rebung terjaga. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kadar sianida yang terdapat pada rebung pada kondisi mentah berdasarkan volume ukuran (kecil, sedang dan besar). penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang bagaimana cara mengolah bahan makanan yang baik agar kesehatan masyarakat dapat terjaga. metodologi bahan bahan yang digunakan adalah sampel rebung, larutan kcn, larutan agno3 0,1 m, nacl, rhodamin, larutan indikator k2cro4 5%, larutan naoh 2%, larutan ammonium amidosulfat 10%, larutan edta, asam fosfat h2po4 asam asetat pekat (1+8), larutan indikator fenolftalein 0,5%, larutan kalium di-hidrogen fosfat 20%, larutan baku fosfat ph 7,2, larutan kloramin-t, larutan hcl (1+10), larutan 4-piridin asam karboksilat-pirazolon/ asam barbiturat handscoon, masker, dan akuades. alat alat yang digunakan adalah pisau, ember, blender, labu ukur 50 ml, 100 ml, 250 ml, 1000 ml, timbangan analitik, gelas ukur 100 ml, alat destilasi, alat spektrofotometer uv-vis prosedur kerja pengambilan sampel sampel penelitian diambil secara langsung dari lahan warga di kecamatan bajeng kabupaten gowa. sampel diambil dengan kriteria berdasarkan kriteria ukurannya (yuningsih, 2008) 1. sampel a = sampel rebung yang diambil dengan volume ukuran kecil (dengan diameter kurang lebih 5 cm dengan tinggi 515 cm). 2. sampel b = sampel rebung yang diambil dengan volume ukuran sedang (dengan diameter 5-10 cm dengan tinggi 15-20 cm). 3. sampel c = sampel rebung yang diambil dengan volume ukur besar (dengan diameter 10-20 cm dengan tinggi lebih dari 20 cm) setelah pengambilan sampel selesai, dilakukan perlakuan pada sampel rebung yaitu dibersihkan dan dihaluskan kemudian dilakukan pengukuran kadar asam sianida. b. pengolahan sampel sampel kemudian disimpan pada suhu ruang 25 0 c 30 o c, lalu sampel dikupas, kemudian dibersihkan, dipotong dan dihaluskan menggunakan blender dengan penambahan akuades untuk memudahkan penghalusan dan melarutkan sianida yang terkandung dalam sampel. setelah halus, sampel kemudian dikeluarkan dari blender kemudian dimasukkan kedalam gelas kimia dan ditutup dengan aluminium foil untuk mencegah autohidrolisisnya sampel kemudian dilakukan pengukuran kadar asam sianida. c. persiapan pengujian asam sianida (hcn) 1. pembakuan larutan induk. pipet 50 ml larutan induk sianida, tambahkan 0,25 ml indikator rhodamin. titrasi dengan larutan agno3 0,1 m sampai titik akhir (warna kuning menjadi merah), hitung kadar sianida dalam larutan induk dengan persamaan berikut: c= a x f x 5,204 x 1/5 keterangan : c = kadar ion sianida cn dan larutan induk (mg/ml). a = volume larutan agno3 0,1 m yang dibutuhkan untuk titrasi (ml). f = faktor larutan agno3 0,1 m. 5,204 = ion sianida setara dengan 1 ml agno3 0,1 m 2. pembuatan kurva kalibrasi dioptimasikan alat spektrofotometer untuk pengujian kadar asam sianida sesuai petunjuk penggunaan alat pipet 0,1; 0,5; 1; 2; 4; 5; 7; dan 9 ml larutan baku sianida cn 1 mg/l masing masing kedalam labu ukur 50 ml. tambahkan air suling sehingga volume menjadi kurang lebih 10 ml. ditambahkan 1 tetes indikator fenolftalein dan netralkan dengan asam asetat sampai warna merah menghilang. tambahkan kurang lebih 10 ml larutan buffer fosfat ph 7,2. ditambahkan 0,5 ml larutan kloramin-t dan dibiarkan pada suhu ruang 25 o c – 30 o c selama 5 menit. ditambahkan 10 ml larutan 4-piridin asam karboksilat-pirazolon lalu tepatkan dengan akuades, ditutup, dikocok dan dibiarkan pada dewi arisanti dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 6-11 3 suhu ruang kurang lebih 30 menit. setelah ditepatkan, kadar sianida cn dalam larutan adalah 0,01; 0,02; 0,04; 0,08; 0,10; 0,14; dan 0,18 mg/l. buat kurva kalibrasi dengan membaca dan mencatat absorbansi masuknya pada panjang gelombang optimal disekitar 582 nm. 3. destilasi sampel ditimbang 50 gr sampel yang telah dihaluskan dan masukkankedalam labu didih, tambahkan akuades hingga volume kurang lebih 200 ml, tambahkan 3 tetes larutan indikator fenolftalein 0,5%, lalu ditambahkan ammonium amidosulfat 10% sebanyak 1 ml sampai larutan bersifat asam dan larutan berwarna merah. ditambahkan lagi dengan asam phophat 10 ml ditambahkan larutan edta 10 ml, pasang alat destilasi dan alat penampung destilat pada erlenmeyer yang berisi 20 ml larutan naoh 2%. bilas injection funnel dengan akuades. alat destilasi dipanaskandan kecepatan destilasi sekitar 2-3 ml/menit. destilat ditampung sampai kurang lebih 100 ml dan dibilas pendingin dengan akuades. 4. pengujian asam sianida (hcn) dinetralkan hasil destilat dengan hcl 1:1 sampai bersifat asam. kemudian sampel dipipet 1mlmasukkan kedalam labu ukur 100 ml yang telah dicukupkan dengan akuades sampai tanda tera. lalu sampel yang telah dicukupkan dengan akuades dipipet sebanyak 20 ml dan dimasukkan kedalam gelas ukur lalu ditambahkan dengan 4ml larutan nah2po4 lalu ditambahkan lagi dengan kloramin t sebanyak 2 ml dan terakhir ditambahkan lagi dengan asam barbipurat sebanyak 5 ml, lalu dikocok sampai berubah warna menjadi ungu keping pingan jika positif sianida, dimasukkan kedalam kuvet pada spektrofotometer, ukur dan catat absorbannya dengan panjang gelombang 582 nm. selanjutnya dilakukan pengukuran yang sama pada blanko. 5. perhitungan kadar sianida dimasukkan hasil pembacaan absorbansi larutan blanko ke dalam kurva kalibrasi. masukkan hasil pembacaan absorbansi larutan sampel kedalam kurva kalibrasi. kadar sianida yang sesungguhnya adalah: cn (mg/kg) = x fp keterangan : a = konsentrasi sampel dari alat spektrofotometer b = sampel uji yang di destilasi (100 ml) dijadikan ke liter c = berat sampel yang ditimbang dari gr dijadikan kg. d = faktor pengenceran hasil dan pembahasan hasil pemeriksaan kadar sianida diperoleh dalam bentuk mg/kg kemudian hasilnya sesuai dengan penelitian tentang kadar sianida yang tidak berbahaya <50mg/kg rebung dan berbahaya >100 mg/kg rebung (julistiana, 2009). kandungan kadar sianida pada rebung berdasarkan volume ukuran dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1 hasil pemeriksaan analisis kadar sianida pada rebung berdasarkan volume ukuran yang berada di kecamatan bajeng kabupaten gowa. no. sampel ukuran satuan kadar sianida 1. rebung besar d: 10-20 cm t : ≥ 20 cm mg/kg 21,84 2. rebung sedang d: 5-10 cm t:15-20 cm mg/kg 18,40 3. rebung kecil d: ≤ 5 cm t :5-15 cm mg/kg 4,65 rebung berdasarkan varietas ukuran ini diambil didaerah kecamatan bajeng kabupaten gowa. sebelum dilakukan pemeriksaan rebung tersebut dikupas kulitnya dan dibersihkan namun tidak dibilas dengan menggunakan air karena sianida yang terkandung didalam rebung sangat mudah larut didalam air. rebung di potong dadudadu agar sianida yang terkandung didalam rebung tidak mudah menguap, lalu di blender agar mempermudah pemeriksaan. lalu dilakukan proses destilasi guna untuk pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan atau teknik pemisahan kimia berdasarkan perbedaan titik didih. dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap dan uap ini kemudian didinginkan kembali kedalam bentuk cairan. dewi arisanti dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 6-11 4 pada proses destilasi ini penambahan ammonium amidosulfat berfungsi untuk mengikat kation-kation yang ada pada sampel dan sifatnya sangat larut didalam air. penambahan larutan edta 10% berfungsi untuk pemisahan logam-logam yang lantanida melalui kromatorgrafi penukaran ion. penambahan larutan naoh 2% yaitu sebagai larutan baku yang bersifat basa yang berfungsi untuk membentuk larutan alkalis yang kuat, sangat mudah larut didalam air, sifatnya lembab, cair dan secara spontan menyerap karbondioksida dari udara bebas dan penambahan indikator phenolftalein atau disebut indikator pp digunakan dalam titrasi asam-basa dan mempermudah reaksi dalam proses perubahan warna. sebelum pengujian sianida hasil destilasi sampel rebung harus bersifat asam dengan penambahan larutan hcl yang berfungsi untuk mengatur keasaman yang telah ditetapkan dalam pengukuran spekrofotometer. penambahan dapar posphat berfungsi untuk mengatur ph. ph asam<7 dan ph basa >7, larutan agar tetap konstan di area mendekati ph 7. penambahan larutan kloramin t berfungsi untuk menghasilkan sianogen klorida (cncl) ph kloramin t akan bereaksi pada ph ≤ 8 dan penambahan asam barbiturat untuk memberikan intensitas warna ungu yang berbanding lurus dengan kadar sianida pada sampel. pembacaan sianida menggunakan alat spektrofotometer uv-vis dengan panjang gelombang 582 nm. karena panjang gelombang maksimumpada pengujian sianida yaitu 582 nm. oleh karena itu panjang gelombang ini yang digunakan dan panjang gelombang pada parameter pemeriksaan berbeda-beda tergantung dari jenis pemeriksaannya. pada penelitian ini pada saat pembacaan kadar sianida pada alat ditemukan nilai yang melebihi dari standar maka sampel rebung tersebut dilakukan pengenceran agar nilai absorban yang didapatkan sesuai dengan standar kalibrasi pada alat. berdasarkan volume ukuran diperoleh hasil dalam bentuk kadar sianida pada rebung yakni sampel rebung dengan ukuran besar dengan tinggi 27 cm dengan diameter 16 cm dengan kadar 21,84 mg/kg, sampel rebung dengan ukuran sedang dengan tinggi 18 cm dengan diameter 7 cm dengan kadar 18,40 mg/kg dan rebung dengan ukuran kecil dengan tinggi 8cm dengan diameter 4 cm dengan kadar 4,65 mg/kg. perbedaan kadar pada rebung dapat dilihat pada diagram batang dibawah ini yang menunjukkan bahwa kadar sianida lebih tinggi pada rebung besar dibandingkan rebung sedang dan rebung kecil. gambar 1. grafik kenaikan sianida berdasarkan volume ukuran faktor yang mempengaruhi terdapat perbedaan kadar sianida berdasarkan volume ukuran karena adanya getah yang berwarna putih secara alami disetiap tunas rebung tersebut. dimana getah putih itu mengandung zat glukosida sianogenik. semakin besar rebung maka getah yang dihasilkan juga semakin banyak. rasa rebung juga semakin pahit yang menandakan kandungan sianidanya juga semakin banyak. begitupula sebaliknya jika semakin kecil rebung getah putih yang dihasilkan juga sedikit sehingga kadar sianida dalam rebung tersebut juga sedikit. hubungan dari zat glikosida sianogenik dengan sianida yaitu dimana kita ketahui bahwa glikosida sianogenik adalah senyawa hidrokarbon yang terikat dengan gugus cn dan gula. beberapa tanaman tingkat tinggi dapat melakukan sianogenesis yakni membentuk glikosida sianogen sebagai hasil sampingan reaksi biokimia dalam tanaman. glikosida dewi arisanti dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 6-11 5 sianogenik ini terdapat pada tanaman singkong, almond, bambu, shorgum. tahap pelepasan asam sianida, glikosida sianogenik dapat terhidrolisis secara enzimatis menghasilkan asam sianida (hcn). hidrolisis ini dilakukan oleh enzim beta glikosida. menghasilkan gula dan sianohidrin. degradasi sianohidrin menjadi hcn dan senyawa keton aldehid. asam sianida dilepaskan oleh glikosida sianogenik merupakan senyawa toksik berspektrum luas pada setiap organisme hal ini disebabkan karena kemampuannya mengikat fe 2+ , mn 2+ dan cu 2+ (smith dan mudder 1991). racun alami pada rebung yaitu glikosida sianogenik dimana gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan pada singkong. jika kadar sianida masuk kedalam tubuh dengan jumlah kecil maka akan berikatan dengan vitamin b12 sehingga dapat di ekresikan melalui urine. namun jika kadar sianida masuk kedalam tubuh dalam jumlah yang banyak maka akan berikatan dengan tiosianat yang menyerang bagian enzim oksidase sehingga dapat menghentikan metabolisme secara aerobik. cara untuk mengurangi kadar sianida pada rebung yaitu dengan cara dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir, dilakukan perendaman pada air garam, dimasak dengan menggunakan air yang mendidih dan jika dimasak usahakan tutup wajan dibuka agar sianida menguap. berdasarkan data pengamatan uji kuantitatif pada sampel rebung berdasarkan volume ukuran kadar yang didapatkan tidak melebihi ambang batas karena kadar yang diperoleh kurang dari 50 mg/kg rebung (juliastina, 2009). pada hasil penelitian ini kadar sianida tertinggi masih layak untuk dikonsumsi karena hasil yang diperoleh yaitu kurang dari 50 mg/kg hcn. hal ini menunjukkan bahwa rebung dapat dikonsumsi namun, jangan keseringan dan alangkah baiknya pilih rebung yang masih muda dan ukurannya yang lebih kecil. menurut fao, untuk rebung yang dikonsumsi kandungan asam sianida maksimal yang diperbolehkan dikonsumsi yaitu kurang dari 50mg/kg oleh karena itu, dalam penggunaan rebung sebagai bahan pangan perlu dilakukan perlakuan-perlakuan khusus untuk menurunkan kandungan kadar sianida. prinsip pengujian pada pemeriksaan sianida pada rebung yaitu larutan yang mengandung ion sianida (cn) dalam destilat dinetralkan dengan asam phosphat. ion sianida (cn) bereaksi dengan kloramin t menghasilkan cncl ini kemudian bereaksi dengan asam barbiturat menghasilkan senyawa yang berwarna ungu, warna ungu ini kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 582 nm. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian analisis kadar sianida pada 3 sampel rebung yang dianalisis kadar masing-masing sampel yaitu sampel rebung dengan ukuran besar dengan tinggi 27 cm dengan diameter 16 cm dengan kadar 21,84 mg/kg, sampel rebung dengan ukuran sedang dengan tinggi 18 cm dengan diameter 7 cm dengan kadar 18,40 mg/kg dan rebung dengan ukuran kecil dengan tinggi 8cm dengan diameter 4 cm dengan kadar 4,65 mg/kg. perbedaan kadar sianida yang menunjukkan kadar sinida lebih tinggi pada rebung ukuran besar dibandingkan ukuran sedang dan kecil. namun, kadar sianida pada sampel ketiga tidak melebihi ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 50 mg/kg hcn rebung. daftar pustaka bradbury, j.h.dan w.d holloway, 1988, chemistry of tropical root crops: significance for nutrition and agriculture in the pacific. australian centre of international agricultural research, canberra. fsanz, 2005, rebung kaya serat penangkal stroke, diakses tanggal 27 agustus 2010. julistiana, ra etika, 2009, pengembangan dan validasi metode pengujian kadar sianida dalam limbah cair secara spektroskopi uvvis., skripsi, departemen kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam institut pertanian bogor. kencana p.k., diah, 2009, fisiologi dan teknologi pascapanen rebung bambu dewi arisanti dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 6-11 6 tabah (gigantohloa nigrociliata kuiz), disertasi program pascasarjana fakultas pertanian universitas branisya malang. kencana, p.k.d,b.s widia w.n.s antara, 2012, praktek baik budidaya daya bambu rebung bambu tabah (gigantochloa nigrociliatabuze-kuiz), team unudunsad-tpc prpject. smith, a and mudder, t., 1991, the chemistry and treatment of cyanidation waste, mining journal books ltd., london. yuningsih, 2008, kandungan dan stabilitas sianida dalam tanaman picung (pangium edule reinw) serta pemanfaatannya. balai besar penelitian veteriner, hal. 102-109. nadya nursidah pratiwi subroto et al. indo. j. chem. res., 10(1), 53-57, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 53 lead ion removal in water using low methoxy pectin-guar gum beads hybrid adsorbent nadya nursidah pratiwi subroto, fadhil muhammad tarmidzi*, ina wati1, velia mulya armans chemical engineering department, faculty of industrial and process technology, institut teknologi kalimantan, jalan soekarno hatta km 15, balikpapan, indonesia *corresponding author: fadhil.tarmidzi@lecturer.itk.ac.id received: february 2022 received in revised: march 2022 accepted: may 2022 available online: abstract a high level of lead in the sediment will cause contamination of aquatic biota. lead pollutants in water may be treated by an easy and common adsorption process. a combination of both environmentally friendly and renewable materials, low methoxy pectin (lmp), and guar gum as adsorbents can reduce the need of activated carbon which requires high temperatures in its synthesis process. lmp was prepared from high methoxy pectin using a demethylation process under alkaline conditions. lmp and guar gum are diluted in 1 m calcium chloride as a crosslinking agent. the degree of esterification was carried out to determine the demethylation process. adsorption of lead was carried out with a lead concentration of 165 ppm in acidic conditions for 24 hours. lead concentration was measured using aas. results show that the optimal ph for demethylation was 12. the ratio of 1:2 pectin-guar gum produces the strong beads related to more o-h bonds in guar gum that can be developed. pectin-guar gum beads can adsorb 63% of lead at ph 6 due to the development of hydro-complex metal ions under more basic conditions. keywords: lead, beads adsorbent, low methoxy pectin, guar gum introduction pulp and paper are the biggest contributors of lead pollutants in water. a lead pollutant can be found in black liquor, especially in aerosol synthesize, along with a non-volatile sulfur compounds (kevlich, shofner, & nair, 2017). the presence of nonbiodegradable lead in waters causes damage to aquatic ecosystems so that waters that meet quality standards are not obtained that are safe for the environment (tanheitafino, zaharah, & destiarti, 2016). lead also has a bad influence on human health, both children and adults which can cause cancer, hypertension, coronary heart disease, and other. lead levels in water also cause damage to mammalian organs (male et al., 2017). therefore, special attention is needed in the form of treatment of the waste to be discharged into the waters. there are various methods to reduce metal levels in wastewater, including chemical precipitation filtration, ion exchange, adsorption, and membrane systems (darjito, purwonugroho, & ningsih, 2014). the adsorption process is popular because of several advantages, including relatively high efficiency, does not have a bad impact on the environment, and is effective (bijang, tanasale, kelrey, mansur, & azis, 2021). in addition, adsorption has a simple process, can work with low concentrations, and can be recycled. adsorption is a separation process that can be used for the removal of low concentration pollutants from large volumes of process, wastewater, and solution water. there are 3 types of adsorption systems, namely gasliquid, liquid-liquid, solid-liquid, and solid gas (nwodika & onukwuli, 2017). pectin can be used as an adsorbent to absorb heavy metals where pectin content can be obtained, one of which is orange peel waste. pectin is a polymer derived from d-galacturonic acid which can be found in plant cell walls linked by 1,4 glycosidic bonds and is commonly found in the middle lamellae of the wall (latupeirissa, fransina, tanasale, & batawi, 2019) (rahayu, harisma, syamsuddin, sofyana, & mulyati, 2021). pectin has the ability to form a good gel with the level of esterification of galacturonic acid residues as a parameter of the effect of solubility and gelling on pectin (liu, fishman, & hicks, 2007). pectin contains a carboxylate group which causes pectin to be used to absorb metals. the carboxylate group reacts with heavy metal ions to form complex compounds that can be excreted through feces and are insoluble in water. the reactivity of pectin on heavy metal ions depends on the value of the degree of esterification. as an adsorbent, the type of pectin used is pectin with many carboxyl groups (tahir, safitri, & suhaenah, 2019). based on the degree of esterification, pectin is divided into two from the methoxy group. low methoxy pectin (lmp) has less than 50% while high methoxy pectin (hmp) has more than 50% (santos et nadya nursidah pratiwi subroto et al. indo. j. chem. res., 10(1), 53-57, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 54 al., 2020). hmp can be found in fruit peels and it needs modification through a demethylation step to convert to lmp. one of the modifications has been done by using the alkaline demethylation method to convert pectin into low methoxyl pectin (yapo & koffi, 2014) (sarandi, alhusna, & pandia, 2015). this study focus on the synthesis of hybrid bead adsorption using lmp and guar gum. guar-gum is a natural hydrocolloid as an interpenetrating agent that helps improve the mechanical strength of the gel formed (sugita, sjahriza, & lestari, 2015). the addition of guar-gum is expected to increase the resistance of the beads so that they are not easily destroyed during the adsorption process. methodology materials and instrumentals this study was using hmp from citrus peel, guar, and gum as the main precursors. the demethylation process was done by using isopropanol alcohol, naoh, and ethanol 96% from merck. cacl2 was also added as a crosslinker in beads synthesis. the adsorption process was done by using hcl 37% and pb(no3)2 from merck. lead concentration in water was measured using atomic adsorption spectrophotometer (aas) in the center for standardization and industrial services, samarinda. methods the demethylation process was adapted and modified from sarandi et al., (2015). the process begins with dissolved pectin in ipa with the concentration of 1.5% w/v. the base condition was adjusted and varied by using 3m naoh solution to achieve a ph level of 10-12. the solution was incubated at 55 oc for 6 hours. next, the solution was cooled to room temperature and then 3n hcl solution was added until the ph became 3. lmp was precipitated by adding ethanol 96% at 18 oc for 2 hours. the solid was filtered and washed with ethanol and dried using the oven at 50 oc. the degree of esterification was analyzed by dissolving 0.2 grams of lmp with distilled water and a phenolphthalein (pp) indicator was added. the sample was titrated with 1 n naoh and the titration results were recorded as initial conditions where the initial conditions indicated the number of carboxyl groups of beads. then, 10 ml of 1 n naoh solution was added to the sample and shaken vigorously until polygalacturonic acid was neutral and left for 2 hours at room temperature to de-esterify pectin. figure 1. lmp from the demethylation process then, 1 n hcl solution was added to the sample to neutralize the naoh and shaken until the pink color in the sample disappeared. then 3 drops of pp indicator were added and titrated with 1 n naoh. then the titration results were recorded as final conditions. to calculate the degree of esterification of pectin that has undergone a demethylation process, the following equation 1 can be used. 𝐷𝐸 = 𝐹𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐼𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙+ 𝐹𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 × 100% (1) synthesize hybrid bead adsorbent was adapted from (jakóbik-kolon, milewski, karoń, & bokbadura, 2016). pectin and guar gum mixed with water with a ratio of lmp: guar gum are 1:0, 2:1, 1:1, and 1:2. the sample was stirred at 70°c for 4 hours and cooled to room temperature. then the solution was dropped into a cold 1 m cacl2 solution to form beads. beads were allowed to stand for 24 hours in a cold 1 m cacl2 solution at 12 oc for 24 hours. the chloride ions in the beads are removed by washing them with distilled water. finally, the beads were filtered and dried at 35 °c for 24 hours. to durability test of the beads was performed by adding 0.3 grams beads to 300 ml distilled water the stirring was done at 1000 rpm for 24 hours. the beads were observed to determine the beads resistance to shear stress. the adsorption step was carried out by making a solution of pb(no3)2 with a concentration of 165 ppm. hcl solution was added to vary its condition at ph level of 3-6. adsorption of lead was done by adding 1% of beads into 300 ml of lead solution and stirring for 24 hours (jakóbik-kolon et al., 2016). lead concentration in water was analyzed using aas. nadya nursidah pratiwi subroto et al. indo. j. chem. res., 10(1), 53-57, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 55 figure 2. lmp guar gum hybrid beads pectin results and discussion effect of ph on lmp degree of esterification the process used to decrease the degree of esterification is base demethylation caused by the reaction rate factor which when compared with all available methods, base demethylation is relatively faster (el-nawawi & heikal, 1995), the reaction that occurs in the process is irreversible, and the need for high temperatures in the process (einhorn-stoll et al., 2020). hmp from citrus peel was used for this process have a degree of esterification (de) of 63%. after the demethylation process is carried out, then an analysis of the de is carried out which has a function so that the number of carboxyl groups esterified by methyl to the total galacturonic acid in a number of pectin samples is known. the titration method was used to test the degree of esterification of pectin. from the pectin esterification degree test that has been carried out, the results are as shown in figure 3. among all the variations in ph values that have been tested, ph 12 has the lowest esterification degree value which is in accordance with previous research conducted by (kesuma, widarta, & permana, 2018). lowering ph during the process that will bring the methoxy content higher by promoting the esterification of the carboxyl group. higher ph means that there is more hydroxyl ion, which represents more ester groups will be demethylated to carboxylic acids and replace the ester groups in galacturonic acid in the pectin chain. the ratio of the number of galacturonic acid groups esterified by methyl to the total galacturonic acid in a number of pectin samples is called the degree of esterification. the number of demethylated ester groups from the galacturonic acid group of pectin affects the value of the esterification degree because the more galacturonic acid groups in the demethylated pectin chain, the smaller the value of the degree of esterification of pectin will be. this pectin can be referred to as lmp. therefore, ph 12 is the optimal condition for demethylating under alkaline conditions because it produces the lowest esterification degree value is 20%. figure 3. effect of ph toward degree of esterification beads resistance from shear stress to increase the resistance of the beads from shear stress during the adsorption process, lmp was mixed with guar gum to develop a strong bead (figure 4). because the molecular weight of pectin is greater than guar gum, when pectin is mixed with guar gum, the amount of guar gum must be 40% more so that it can be completely mixed (satyamaiah, prasad, chandrasekhar, suhasini, & suryanaraya, 2014). figure 5 shows that the beads with a ratio of 1:2 (d) have the best shear stress resistance ability at 1000 rpm for 24 hours. with a ratio of 1:2 (d) the amount of guar gum used has met the requirements so that pectin and guar gum can be mixed perfectly so that the beads formed have better resistance characteristics in stirring. effect of ph to lead adsorption using hybrid beads adsorbent the initial lead concentration in the water was 165 ppm. the adsorption was carried out for 24 hours in acidic conditions by varying from ph level of 3-6 (figure 6). it is shown that the value of ph is inversely proportional to the value of the concentration of the lead solution that is removed through the adsorption process. the higher the ph variable, the lower the concentration of the pb solution that has been adsorbed. the efficiency of the adsorption of beads is directly proportional to the ph value, where the greater the ph value, the greater the adsorption efficiency (yantyana, amalia, & fitriyani, 2018). 15 20 25 30 35 9 10 11 12 d e g re e o f e st e ri fi c a ti o n (% ) ph nadya nursidah pratiwi subroto et al. indo. j. chem. res., 10(1), 53-57, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 56 figure 4. hybrid beads adsorbent after shear stress test figure 5. shear stress resistance of beads at 1000 rpm with ratio lmp: guar gum a. 1:0, b. 2:1, c. 1:1. and d. 1:2. figure 6. final lead concentration at various ph from initial lead concentration 165 ppm based on figure 7, it is known that the percentage of decrease in lead concentration was highest at ph 6, which was 63%. this is because the active site on the adsorbent can absorb more lead metal ions because the number of h+ ions has decreased at this condition. otherwise, a low ph value will result in low absorption of metal ions because the surface of the adsorbent is surrounded by h+ ions, and the surface of the adsorbent will be positively charged which will cause the adsorbent's repulsion with metal ions (yantyana et al., 2018). the metal ions of hydro-complexes do not dissociate in solution and have a large size making it difficult to bind to the active groups present in the beads. therefore, it can be concluded that ph 6 is the optimal condition for adsorption. figure 7. percentage of lead removal in water after 24 hours of adsorption conclusion this study shows that the demethylation process can be done in base conditions with the optimum de 10% was achieved at ph 12 because more ester groups will be demethylated to carboxylic acids and replace the ester groups in galacturonic acid in the pectin chain. hybrid beads adsorbent from lmp and guar gum have successfully developed. the ratio of 1:2 pectin-guar gum produces the best characteristics with stirring resistance at 1000 rpm for 24 hours. the bond that occurs between lmp and guar gum increases the mechanical strength and increases the resistance of the beads to temperature and solvent. as well as pectinguar gum beads can adsorb pb metal well. the largest pb adsorption capacity was obtained when the pb solution was at ph 6 which was the optimal condition for adsorption. this happens because at ph 6 the carboxyl group is not protonated and metal ions do not become hydro-complex ions. under these conditions, the pectin-guar gum beads can adsorb as much as 104.08 mg/l of pb or the concentration of the pb solution decreased by 63%. the metal ions of hydrocomplexes do not dissociate in solution and have a large size making it difficult to bind to the active groups present in the beads. therefore, it can be concluded that ph 6 is the optimal condition for adsorption. 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 a b c d t im e ( m in u te s) sampel 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 a b c d t im e ( m in u te s) sampel 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 3 4 5 6 l e a d a d so rb e d ( % ) ph nadya nursidah pratiwi subroto et al. indo. j. chem. res., 10(1), 53-57, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 57 references bijang, c. m., tanasale, m. f. j. d. p., kelrey, a. g., mansur, i. u., & azis, t. (2021). preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indonesian journal of chemical research, 9(1), 15–20. darjito, d., purwonugroho, d., & ningsih, r. (2014). the adsorption of cr ( vi ) ions using chitosanalumina adsorbent. journal of pure and applied chemistry research, 3(june), 53–61. einhorn-stoll, u., kastner, h., fatouros, a., krähmer, a., kroh, l. w., & drusch, s. (2020). thermal degradation of citrus pectin in low-moisture environment–investigation of backbone depolymerisation. food hydrocolloids, 107, 104–115. el-nawawi, s. a., & heikal, y. a. (1995). production of a low ester pectin by de–esterification of high ester citrus pectin. carbohydrate polymers, 27, 191–195. jakóbik-kolon, a., milewski, a. k., karoń, k., & bok-badura, j. (2016). new, hybrid pectinbased biosorbents. separation science and technology (philadelphia), 51(15–16), 2604– 2611. kesuma, n. k. y., widarta, i. w. r., & permana, i. d. g. m. (2018). effect of acid type and ph solution on characteristics of pectin from lemon peel (citrus limon). jurnal ilmu dan teknologi pangan (itepa), 7(4), 192. kevlich, n. s., shofner, m. l., & nair, s. (2017). membranes for kraft black liquor concentration and chemical recovery: current progress, challenges, and opportunities. separation science and technology, 52(6), 1070–1094. latupeirissa, j., fransina, e. g., tanasale, m. f. j. d. p., & batawi, c. y. (2019). extraction and characterization of pectin from the oranges peel of kisar (citrus sp.). j. chem. res, 7(1), 61–68. liu, l. s., fishman, m. l., & hicks, k. b. (2007). pectin in controlled drug delivery-a review. cellulose, 14(1), 15–24. male, y. t., malle, d., bijang, c. m., fransina, e. g., seumahu, c. a., dolaitery, l. m., gaspersz, n. (2017). analysis of cadmium (cd) and lead (pb) metal content in sediments in inner ambon bay. indonesian journal of chemical research, 5(1), 22–31. nwodika, c., & onukwuli, o. d. (2017). adsorption study of kinetics and equilibrium of basic dye on kola nut pod carbon. gazi university journal of science, 30(4), 86–102. rahayu, w. p., harisma, i. w., syamsuddin, y., sofyana, s., & mulyati, s. (2021). extraction of pectin from orange peel and banana peel as biosorbent in heavy metal fe adsorption. jurnal serambi engineering, 6(2), 1899–1907. santos, e. e., amaro, r. c., bustamante, c. c. c., guerra, m. h. a., soares, l. c., & froes, r. e. s. (2020). extraction of pectin from agroindustrial residue with an ecofriendly solvent: use of ftir and chemometrics to differentiate pectins according to degree of methyl esterification. food hydrocolloids, 107, 105921. sarandi, r. r., alhusna, y., & pandia, s. (2015). production of pectin from yellow passion fruit (passiflora edulis). jurnal teknik kimia, 4(4), 71–76. satyamaiah, g., prasad, m., chandrasekhar, m., suhasini, d.m., suryanaraya, c., subha, m.c.s. and chowdoji rao, k. 2014. miscibility studies on guargum/pectin blends. indian journal of advances in chemical science, 2(2): 116-123. sugita, p., sjahriza, a., & lestari, s. (2015). synthesis and optimization of chitosan-guar gum gel, jurnal natur indonesia, 9(1), 32–36. tahir, m., safitri, i., & suhaenah, a. (2019). analysis of pamelo citrus albedo pectin as adsorbent for heavy metals lead (pb), cadmium (cd) and copper (cu). jurnal farmasi galenika, 5(2), 158–165. tanheitafino, s., zaharah, t., & destiarti, l. (2016). chitosan modification with kaolin and its application as lead(ii) adsorbent, jurnal jkk, 5(2), 33–42. yantyana, i., amalia, v., & fitriyani, r. (2018). lead(ii) metal ion adsorption using ca-alginate microcapsules. al-kimiya, 5(1), 17–26. yapo, b. m., & koffi, k. l. (2014). extraction and characterization of highly gelling low methoxy pectin from cashew apple pomace. foods, 3(1), 1–12. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 120-126 1 120 identifikasi batuan paf, naf dan uncertain dengan menggunakan metode ntapp pada area pt. trubaindo coal mining, melak-kalimantan timur identification rock of paf, naf and uncertain using the ntapp method in the area of pt. trubaindo coal mining, melak-east of kalimantan alfian irviansyah1, saibun sitorus2, aman sentosa panggabean2* 1magister program, department of chemistry, mulawarman university, samarinda, 75119, east kalimantan, indonesia 2department of chemistry, mulawarman university, samarinda, 75119, east kalimantan, indonesia *corresponding author, e-mail: amanspanggabean@yahoo.com received: nov. 2019 published: jan. 2020 abstract the research about identification of paf, naf and uncertain rock using ntapp method in the pt. trubaindo coal mining has been done. this research was conducted as an effort to control the potential for the formation of acid mine drainage, with identifying the types of mine rocks using certain testing methods. some important parameters such as total sulfur level, slurry ph, total actual acidity (taa), chromium reducible sulfur (crs) and acid neutralizing capacity (anc) using the ntapp method on mine rocks have been determined to identify mining rock category categories. based on the results of tests on 101 samples, 63 samples were identified included in the category of rocks that are not naf (slurry ph value = 4.1 8.9; total sulfur = 0.01-0.60 %; crs = 0.010.10 % and ntapp = 0.030-0.959 %), 38 samples were classified as paf (ph slurry = 2.9-7.9; total sulfur = 0.01-5.10 %; crs = 0.11-2.04 % and ntapp = 0.053-4.571 %), and no sample was included in the uncertainty category. the ntapp testing method can facilitate the geology team to enter data in rock modeling software to control the potential for acid mine drainage formation through paf and naf by rock pile management in the former mine disposal area of pt.trubaindo coal mining. keywords: ard, coal, naf, ntapp method, paf. pendahuluan pertambangan batubara telah banyak melibatkan beberapa perusahaan baik perusahaan modal asing (pma) maupun perusahaan modal dalam negeri (pmdn), yang melakukan aktivitas kegiatannya di berbagai wilayah di seluruh indonesia. proses yang umum dilakukan dalam penambangan batubara meliputi aktivitas penggalian lapisan tanah dalam usaha pengambilan batubara yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan industri dan masyarakat. proses penambangan umumnya dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik open pit dan teknik underground. kedua teknik penambangan ini, dapat menghasilkan air limbah yang bersifat asam yang biasa disebut sebagai air asam tambang (acid mine drainage) (abfertiawan, 2016; warwick, 2005). namun proses kegiatan tersebut dapat berdampak negatif seperti berubahnya tampak dataran bumi dan yang paling dominan adalah timbulnya air asam tambang (aat) atau dengan nama lain dikenal dengan acid rock drainage (ard) atau acid mine drainage (amd) (nasir dkk., 2014; anshariah dkk., 2015). aat ini dapat terjadi akibat reaksi oksidasi antara mineral sulfida yang mungkin terdapat dalam batubara dengan oksigen bebas yang ada di udara pada lingkungan berair (said, 2014). mikroorganisme juga berperan dalam pelarutan logam sulfida menghasilkan aat (male dkk., 2019). limbah aat ini akan menjadi permasalahan yang sangat serius dan harus diselesaikan oleh perusahaan pertambangan, karena di era sekarang setiap perusahaan harus juga berwawasan lingkungan. limbah aat dapat mengubah kondisi lingkungan, salah satu diantaranya adalah berdampak pada menurunnya kualitas air tanah yang terkontaminasi oleh limbah tersebut. air yang naik ke permukaan, alfian irviansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 120-126 1 121 apabila sampai ke badan perairan akan memberikan dampak negatif kepada biota-biota perairan, mulai dari tingkat terendah hingga konsumen tertinggi (islamunisa dkk., 2018; wahyudin dkk., 2018). pada akhirnya akibat limbah aat ini akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai yang menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari (sayoga, 2007). berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi antara mineral sulfida dengan air dan udara. salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi keberadaan jenis batuan yang berpotensi pembentuk keasaman (potential acid forming, paf) dan yang tidak berpotensi pembentuk keasaman (non acid forming, naf) (scott et al, 2000). penentuan jenis batuan menggunakan uji statik adalah dengan metode pengujian napp (net acid potential produce). metode pengujian napp adalah metode pencegahan pembentukan aat dengan cara mengidentifikasi jenis batubatuan yang diduga mengandung mineral sulfida (ian et al, 2007). metode pengujian napp tersebut memiliki beberapa kelemahan, yaitu hasil identifikasi paf dan naf memiliki ketidakpastian (uncerntainty) yang tinggi. kondisi ini mengakibatkan setiap laboratorium penguji kesulitan memperkirakan apakah sampel tanah tersebut berpotensi menghasil air asam tambang. untuk mengatasi kelemahan ini beberapa laboratorium mengembangkan teknik pengujian baru yaitu dengan metode pengujian net total acid producing potential (ntapp). metode ini terdiri dari tahapan penentuan ph slurry, penentuan total actual acidity (taa), penentuan chromium reducible sulphur (crs), penentuan acid neutralizing capacity (anc) dan penentuan total sulfur. metode tersebut dapat mengatasi kelemahan metode napp. salah satunya adalah munculnya klasifikasi jenis batuan yang tidak tergolong dalam paf dan naf, atau yang biasa disebut uc (uncertain) (mills, 2001; sari dkk., 2016). berdasarkan latar belakang di atas maka pada penelitian ini telah dilakukan identifikasi sampel batuan di area pt.trubaindo coal mining dengan metode analisis ntapp untuk mengurangi potensi munculnya klasifikasi batuan uc sehingga memudahkan untuk identifikasi paf dan naf pada area tambang pt.trubaindo coal mining. metodologi penelitian ini bersifat observasi lapangan dan dilanjutkan dengan analisis laboratorium. metode yang digunakan untuk penentuan paf dan naf adalah dengan metode ntapp. metode ntapp ini dilakukan dengan tahapan penentuan ph slurry, taa, crs, anc dan ts. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah leco sulfur s144dr, neraca analitik (ohaus), drying sheed, rotary sample divider, jaw crusher, raymond mill, peralatan gelas laboratorium standar, hot plate, pengaduk digital dan magnetic dan ph meter (orion), pengolah data originpro 8. bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah, bubuk chrom, etanol, kcl, hidrogen peroksida (h2o2), hcl, naoh, zn(ch3coo)2, amilum, i2 dan aquadest. teknik pengujian net acid produce potential (ntapp) ph slurry sampel tanah ditimbang sebanyak 4 g dan dimasukkan ke dalam botol plastik, kemudian ditambahkan 20 ml akuades pada sampel dan dimasukkan ke dalam botol ekstraksi. selanjutnya dilakukan proses ekstraksi sampel dengan menggunakan bantuan alat pengaduk digital dan magnetic selama 1 jam, didiamkan selama 1 jam. ph larutan diukur dengan alat ph meter. total actual acidity (taa) sampel tanah ditimbang sebanyak 2 g menggunakan neraca analitis (dicatat beratnya dengan teliti). ditambahkan 80 ml kcl 1 m, lalu dimasukkan pada botol sampel. sampel larutan diekstrasi menggunakan alat pengaduk digital dan magnetic selama 4 jam. selanjutnya larutan didiamkan selama 12 jam. hal yang sama dilakukan selama periode 5 menit untuk mengkocok botol yang berisi larutan sampel. ph larutan sampel diukur, dimana yang diukur hanya pada larutan sampel yang tersuspensi. chromium reducible sulfur (crs) sebanyak 1,0 ± 0,01 g sampel tanah atau bebatuan ditimbang pada erlenmeyer crs. ditambahkan 1,0 ± 0,1 g bubuk chrom dan 10 ml etanol. selanjutnya erlenmeyer yang berisi larutan alfian irviansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 120-126 1 122 sampel dipasang ke dalam sistem destilator yang bersebelahan dengan erlenmeyer yang berisi 40 ml larutan penangkap zink asetat (zn(ch3coo)2) dan kedua erlenmeyer dihubungkan dengan kondesor pada alat destilasi. pastikan kondensor yang berisi air pendingin berfungsi sebagaimana fungsinya, dan dan semua pereaksi bercampur sempurna pada hcl 6m. pada sistem destilasi dipastikan aliran gas n2, dengan melakukan pengaturan gas agar didapat ketentuan setiap detiknya terjadi 3 kali terbentuknya gelembung dan berlangsung selama 3 menit. pada alat destilasi dilakukan pengaliran 60 ml hcl 6m yaitu dengan cara melakukan penekanan pada tombol pompa. sampel dipanaskan selama 35 menit, lalu ditambahkan 20 ml hcl 6m ke dalam larutan hasil destilasi. ditambahkan ± 0,3 g indikator amilum, lalu dititrasi dengan larutan standar i2 hingga warna ungu pekat. dilakukan pencatatan volume iodium. acid neutralizing capacity (anc) sebanyak 1,0 g sampel tanah, ditimbang dalam gelas piala 250 ml, lalu ditambahkan dengan 50 ml akuades dan 25 ml hcl 0,1m. campuran larutan dipanaskan menggunakan hot plate selama 2 menit, kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. setelah dingin larutan sampel diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet dan dilakukan pengukuran ph larutan sampel. apabila mencapai ph = 3, dilakukan penambahan kembali 25 ml hcl 0,1m. prosedur yang sama dilakukan hingga ph larutan < 3. larutan dititrasi dengan naoh 0,1 n hingga mencapai ph 7, dicatat banyaknya volume naoh yang digunakan. total sulphur (ts) tahapan pengukuran nilai ts dilakukan di dalam peralatan leco sulfur s144dr. prosedur kerja dilakukan dengan melakukan penimbangan kosong crucible contoh/sampel dengan berat sampel tanah ± 0,2500 g (± 0,0002 g), sampel diletakkan merata pada crucible. setiap pengukuran dilakukan duplo untuk setiap sampel. setelah diperoleh pembacaan yang konstan, ditekan tombol analyze sehingga proses analisis bisa dimulai. hasil persentase ts akan muncul dan wadah contoh/sampel dapat dikeluarkan. kemudian dilakukan pencatatan persentase sulfur. pengujian sulfur tersebut dilakukan sebanyak dua kali dan dengan memperhatikan nilai antara 2 pengujian tersebut. teknik pengujian net acid produce potential (ntapp) pengujian yang dilakukan untuk melakukan pengklasifikasian, penetapan kemungkinan asam yang terbentuk dari berbagai macam komponen (pirit dan organik) dan juga pengklasifikasian serta penetapan banyaknya campuran sulfat lainnya sebagai bagian dari tahapan dekomposisi campuran pirit. ntapp = (taa + crs) – anc hasil dan pembahasan nilai ph slurry secara tidak langsung mempengaruhi identifikasi tipe sample tanah. nilai ph tersebut diperlukan sebagai pertimbangan departemen geologi untuk pengolahan data hasil analisa saat di lapangan (wark, 2002). hasil pengukuran ph slurry tanah pada gambar 1. gambar 1. analisis ph slurry tanah dari sebaran data seperti pada gambar 1. menunjukkan bahwa pada 101 sampel tanah (semakin ke kanan, semakin dalam litologi tanahnya), menghasilkan nilai ph yang beragam. nilai ph terendah berada di nilai 2,2 dan ph tertinggi di nilai 8,9. hasil pengukuran ini menunjukkan nilai ph tersebut bervariasi tidak berdasarkan kedalaman suatu litologi tanah pada 1 seam di area pt.trubaindo coal mining. analisis total actual acidity (taa) pengukuran nilai taa dilakukan pada sampel tanah tambang untuk mengetahui kandungan sulfur organik dalam sampel pada saat penentuan nilai ntapp (ian et al., 2007). hasil alfian irviansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 120-126 1 123 pengukuran nilai taa tanah terdapat pada gambar 2. gambar 2. analisis total actual acidity (taa) tanah berdasarkan sebaran data pada gambar 2. menunjukkan bahwa semakin dalam kedalaman tanah, tidak ada korelasi langsung dengan besarnya nilai taa. nilai taa yang diperoleh mempunyai hubungan langsung dengan ph slurry. semakin rendah nilai ph slurry, maka nilai taa yang dihasilkan semakin tinggi. data ini ditunjukkan pada pengukuran sampel pada perulangan nomor 799, nilai ph yang diperoleh terendah yaitu 2,2; menghasilkan nilai taa yang tertinggi yaitu 667. data ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah sulfur organiknya, maka semakin tinggi nilai taa yang dihasilkan. hasil ini diperkuat dengan nilai ph slurry yang dihasilkan semakin kecil (semakin asam). nilai taa yang tinggi ini dihasilkan dari adanya pembusukan asam organik dari tanaman pada tiap litologi tanahnya (said, 2014). analisis chromium reducible sulphur (crs) pengukuran chromium reducible sulphur (crs) sampel tanah pertambangan bertujuan untuk mengetahui banyaknya kadar sulfur anorganik yang terkandung dalam sampel yang akan digunakan untuk penentuan nilai ntapp (michael, 2010). dari 101 sampel yang dianalisis ditemukan 31% sampel dengan nilai % crs diatas 0,15%. hasil ini menunjukkan bahwa terdapat 31% sampel yang dapat memberikan kontribusi pada peningkatan nilai ntapp dan memungkinkan untuk masuk kategori paf. sementara itu 69% sampel berpotensi masuk kategori naf. data ini masih harus ditinjau kembali dengan membandingkan nilai anc yang diperoleh dari hasil perhitungan. hasil pengukuran nilai crs tanah pada gambar 3. dari sebaran data pada gambar 3 menunjukkan bahwa semakin dalam litologi tanah tidak berkorelasi langsung dengan besarnya nilai crs. hal ini dikarenakan nilai crs berasal dari banyaknya kadar sulphur anorganik yang terkandung pada sample tersebut, dimana ditunjukkan bahwa kadar sulfur anorganik pada area pt. trubaindo coal mining bervariasi untuk setiap litologinya (wark, 2002). gambar 3. analisis chromium reducible sulfur (crs) tanah berdasarkan sebaran data diatas menunjukkan bahwa nilai crs terendah adalah 0,005 dan nilai crs tertinggi adalah 2,042. data tersebut menunjukkan bahwa nilai crs dipengaruhi oleh nilai ph slurry dan taa. apabila nilai ph slurry rendah dan nilai taa tinggi akan ada kecenderungan nilai crs yang tinggi, begitu pula sebaliknya. untuk nilai crs > 0,1 ada kecenderungan masuk kategori paf dan untuk nilai crs ≤ 0,1 ada kecenderungan masuk kategori naf (departement of natural, resources and energy; 2004). data crs ini menunjukkan banyaknya sulfur anorganik yang tereduksi dihitung sebagai jumlah sulfur dari pirit (fes2) yang dapat membentuk asam sulfat dan berpotensi menyebabkan penurunan ph tanah (destiana dkk., 2017). analisis acid neutralizing capacity (anc) penentuan anc bertujuan untuk menentukan kadar mineral penetral keasaman dalam sampel tanah pertambangan (as 4969.12 standards australia, 2009). dari 101 sampel yang diujikan, terdapat 38% sampel dengan nilai % anc diatas 0,3% (% anc > 0,3). data ini menunjukkan terdapat 38% sampel yang akan alfian irviansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 120-126 1 124 memberikan kontribusi untuk penurunan nilai ntapp dan berpotensi masuk pada kategori sampel sebagai naf dan untuk 62% sample lainnya berpotensi pada kategori sample paf. hasil pengukuran nilai anc tanah pada gambar 4. gambar 4. analisis acid neutralizing capacity (anc) tanah berdasarkan sebaran data pada gambar 4. menunjukkan bahwa semakin dalam litologi tanah tidak ada korelasi dengan besarnya nilai anc. hal ini dikarenakan bervariasinya keberadaan senyawa mineral yang bersifat menetralkan pada litologi tanah di area pt. trubaindo coal mining (wark, 2002). data di atas menunjukkan bahwa nilai anc terendah adalah 6,39 dan anc tertinggi adalah 12,67. data ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi nilai ph slurry maka nilai anc akan cenderung semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. ini sesuai dengan pernyataan bahwa ph yang tinggi menandakan bahwa banyak terkandung senyawa mineral yang bersifat menetralkan sampel tanah tersebut (as 4969.12 standards australia, 2009). analisis total sulfur (ts) nilai % ts ditentukan sebagai nilai koreksi terhadap hasil analisis total % sulfur yaitu merupakan jumlah dari % sulfur organik dan % sulfur anorganik. nilai dari % sulfur dalam analisis ntapp adalah nilai sulfur pembentuk asam sedangkan sulfur lainnya yang tidak membentuk keasaman tidak terakumulasi oleh proses reaksi. koreksi dilakukan oleh karena nilai % ts adalah nilai sulfur keseluruhan, yaitu nilai sulfur yang terkandung dalam sampel baik yang membentu keasaman ataupun yang tidak membentuk keasaman. oleh karena itu koreksi dilakukan jika jumlah nilai tersebut melebih %ts (%taa + %crs > %ts) (iso, 2014). hasil pengukuran nilai total sulfur tanah pada gambar 5. gambar 5. analisis total sulfur (ts) tanah berdasarkan sebaran data pada gambar 5. menunjukkan semakin dalam litologi tanah, tidak mempunyai korelasi langsung terhadap besarnya nilai ts. hal ini dikarenakan tiap-tiap litologi tanah berbeda-beda berdasarkan lingkungan pengendapannya, khususnya pada area pt.trubaindo coal mining (gautama, 2012). pada data di atas, nilai ts terendah adalah 0 dan nilai ts tertinggi adalah 5,1. gambar 6. analisis keseluruhan (ntapp report) tanah data ini menunjukkan bahwa pada nilai ts tertinggi tersebut terdapat kecenderungan nilai ph slurry rendah dan begitu pula sebaliknya. hal ini sesuai dengan semakin tinggi nilai ts akan alfian irviansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 120-126 1 125 sebanding dengan besarnya senyawa pirit (fes2) yang terbentuk sehingga memungkinkan terbentuknya asam (destiana dkk., 2017). hal ini ditunjukkan dengan nilai ph yang rendah. analisis keseluruhan (ntapp report) untuk mengetahui klasifikasi dari sampel tanah batuan, apakah dapat dikategorikan sebagai naf dan paf, maka dilakukan analisis keseluruhan (ntapp report). tipe sampel dapat dikategorikan berdasarkan kriteria klasifikasi ntapp, seperti pada tabel 1 (amira international ltd, 2002). tabel 1. kriteria klasifikasi ntapp hasil pengukuran nilai ntapp tanah pada gambar 6. berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh, terdapat sejumlah 56% sampel kategori sebagai material bukan pembentuk asam (naf) dan sisanya sebanyak 44% sampel kategori sebagai pembentuk asam (paf). hasil pengukuran ini menunjukkan semua sampel tanah terklarifikasi dengan baik dan tidak ada sampel tanah dengan kategori uncertain (bias). gambar 7. estimasi modeling geologi estimasi modeling geologi berdasarkan hasil pengukuran serta pengolahan data penelitian yang dilakukan untuk mengklasifikasi sampel tanah pada batuan di areal tambang pt trubaindo coal mining, dapat diestimasi suatu modeling geologi seperti gambar 7. melalui gambar permodelan diatas dapat dengan jelas dibedakan posisi batuan yg berpotensi menjadi paf dan naf, sehingga akan memudahkan untuk membuat permodelan paf/naf pada areal disposal, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya air asam tambang. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: untuk sampel batuan naf diperoleh kisaran nilai ph slurry ≥ 4,5; ts < 0,1 ; crs ≤ 0,1 dan ntapp ≤ 5. untuk batuan paf diperoleh kisaran nilai ph slurry < 4,0 ; ts > 0,1 ; crs > 0,1 dan ntapp > 5 dan tidak ditemukan hasil yang uncertain (bias). dari 101 sampel tersebut diperoleh 56% sampel batuan kategori naf dan 44% sampel batuan kategori paf, serta tidak ada yang masuk kategori uncertain (bias). dengan tidak adanya hasil uncertain (bias) pada 101 sampel tersebut. hasil ini memudahkan dalam memasukkan data pada modeling batuan paf/naf untuk modeling disposal. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf pt. trubaindo coal mining melak, kalimantan timur untuk fasilitas laboratorium dan sampel yang disediakan dalam pelaksanaan penelitian ini. daftar pustaka abfertiawan, 2016, model transpor air asam tambang melalui pendekatan daerah tangkapan air, institut teknologi bandung, bandung. anshariah, widodo, s., nuhung, r., 2015, studi pengelolaan air asam tambang pada pt. rimau energy mining kabupaten barito timur provinsi kalimantan tengah, j. geomine, 1, 46-54. amira international ltd., 2002, ard test handbook: project 287a prediction and kinetic control of acid mine drainage, ian wark research institute and environmental geochemistry international pty ltd. as 4969.12 2009, analysis of acid sulfate soil dried samples methods of test complete suspension peroxide oxidation combined acidity and sulphur (spocas) method, standards australia publisher. ahern c.r., mcelnea a.e., sullivan l.a., 2004), acid sulfate soils laboratory methods guidelines, queensland department of natural resources, mines and energy, indooroopilly, queensland, australia. destiana, l.g. v., panggabean, a.s., kartika, r., 2017, pengembangan metode rapid test preparation dalam penentuan kadar https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=13890186646482162908&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=13890186646482162908&btni=1&hl=id alfian irviansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 120-126 1 126 inherent moisture dan total sulfur dengan menggunakan metode yang dipergunakan oleh iso (international organization for standardization), j.atomik, 2(1), 175-182. gautama, r.s., 2012, pengelolaan air asam tambang, bimbingan teknis reklamasi dan pascatambang pada kegiatan pertambangan mineral dan batubara, ditjen mineral dan batubara, esdm, yogyakarta. ian, r., taylor, j., pape, s., yardi, r., bennett, j., 2007, managing acid and metalliferous drainage, report for departement of industry tourism and resources, australian government, australia. islamunisa, f., bohari dan panggabean, a.s., 2018, pemanfaatan air asam tambang batubara sebagai sumber energi listrik alternatif, j. atomik, 3(1), 22-25. michael, 2010, chromium reducible sulphur suite. australian laboratory services pty ltd. brisbane-stafford, queensland, australia. mills c., 2001, acid base accubting (aba) test procedures, environmental geochemistry international pty ltd. sysney australia. nasir, s., purba, m., sihombing, o., 2014, pengolahan air asam tambang dengan menggunakan membran keramik berbahan tanah liat, tepung jagung dan serbuk besi, j.teknik kimia, 3(20), 22-30. said, n.i., 2014, teknologi pengolahan air asam tambang batubara “alternatif pemilihan teknologi”, j. air indonesia, 7(2), 119-138. sari, e.l., as panggabean, a.s., hindryawati, n, 2016, validasi metode rapid test dalam penentuan total moisture, ash content, calorific value (ar) pada batubara terhadap standar iso ukuran 3 mm pt. kaltim prima coal, j.atomik, 1(2), 64-72. sayoga, 2007, classification of acid sulphate soils: a proposal for the improvement of the soil taxonomy system, paper presented at the workshop on acid sulphate soils in the humid tropics, bogor, indonesia. scott, p.a., eastwood, g., johnston, g., carville, d., 2000, early exploration and prefeasibility drilling data for the prediction of acid mine drainage for waste rock, proceedings of the third australian acid mine drainage workshop, townsville, australian centre for minerals extension and research, brisbane. wahyudin, i., widodo, s., nurwaskito, a., 2018, analisis penanganan air asam tambang batubara, j.geomine, 6(2), 85-89. wark, i., 2002, protocol booklet for assessment of the acid forming potential of mine waste materials. australia. warwick, s., 2005, development of acid rock drainage prediction methodhologies for coal mine wastes, ian wark research institute university of south australia, australia. male, y.t., modok, d.w.s., seumahu, c.a., malle, m., 2019, isolasi mikroba dari air asam tambang pada area pertambangan tembaga di pulau wetar, provinsi maluku, indo. j. chem. res., 6(2), 101-106. https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=13890186646482162908&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=13890186646482162908&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=13890186646482162908&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=13890186646482162908&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=3952494165946987346&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=3952494165946987346&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=3952494165946987346&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=3952494165946987346&btni=1&hl=id https://scholar.google.co.id/scholar?oi=bibs&cluster=3952494165946987346&btni=1&hl=id indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 172 synthesis of glucopyranosyl acetic from sago flour as raw material for the synthetic polymers arniah dali1*, nasriadi dali2, seniwati dali3, hilda ayu melvi amalia4 1department of chemistry education, faculty of teacher training and education, halu oleo university, kampus hijau bumi tridharma anduonohu, kendari 93232 2department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, halu oleo university, kampus hijau bumi tridharma anduonohu, kendari 93232 3department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan km.10 tamalanrea, makassar 90245 4study program of tadris biology, faculty of tarbiyah and teacher training, institut agama islam negeri, jl. sultan qaimuddin no. 17, kendari 93563 *corresponding author: arniahdali64@gmail.com received: september 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract synthesis of glucopyranosyl acetic from sago flour as raw material for the synthetic polymers has been successfully carried out. the synthesis product is obtained through two reaction stages, namely the hydrolysis and esterification reactions. sago flour is hydrolyzed with 25% hcl and neutralized with 45% naoh. glucose hydrolysis of sago starch and acetic anhydride was esterified using a zinc chloride catalyst. synthesis product was obtained as a white solid substance (57.31% recovery), a melting point of 110 111oc, and rf 0.79 on tlc (sio2, n-hexane : ethyl acetate = 9:1 v/v). the results of the analysis of synthesis products with ftir and gc-ms spectrometers showed that the synthesis product was glucopyranosyl acetic or 2,3,4,6-tetra-o-acetyl glucopyranose. keywords: synthesis, glucopyranosyl acetic, sago flour, hydrolysis, esterification introduction the main product of the sago tree (metroxylon sp.) is sago flour. sago flour is a starch extract obtained by extracting the pith of the sago tree trunk. extraction is carried out using water solvent so that the starch and other water-soluble components are released. sago flour is one of the staple foods of people in indonesia. sago flour has good nutrition for the body because the nutritional content in sago is relatively complete. in 100 g of dry sago flour, there are 209 kcal of energy, 0.3 g of protein, 51.6 g of carbohydrates, 0.2 g of fat, 27 mg of calcium, 13 mg of phosphorus, and 0.6 mg of iron. sago flour also contains vitamin a of 0 iu, vitamin b1 of 0.01 mg, and vitamin c of 0 mg. the amount of sago flour that can be consumed is 100% (usman, 2020). sago flour can be used as a raw material for producing glucose because it contains 98.49% of carbohydrates (djoefrie, 1999; flach and rumawas, 1996; rahmawati et al., 2019). sago flour can be used as a raw material for making meatballs, crackers, peanut brittle, pempek, dry and wet cakes (heryani and silitonga, 2017; bantacut, 2011; haryanto and pangloli, 1992). sago flour has many health benefits. the carbohydrate content in this product is safe for diabetics because it can help slow down the increase in blood sugar levels. sago flour is also able to boost the immune system. apart from being a gluten-free food ingredient, sago flour can also be used as a raw material for various modern industries, such as the food industry, textiles, cosmetics, pharmaceuticals, pesticides, flavorings, perfumes, synthetic polymers, and other chemical industries. sago flour or starch is a polymeric carbohydrate consisting of numerous glucose units joined by glycosidic bonds. the glycoside bonds can be broken by hydrolysis reaction using an acid catalyst (purwanti and dampang, 2017; ardiansyah et al., 2018). glucose is a carbohydrate compound that has a hydroxyl (-oh) functional group. the -oh group can be converted into an ester through an esterification reaction (arniah, 2010; bandjar et al., 2014). esterification reactions can be carried out using three types of the alkylating agent, namely carboxylic acids, acyl halides, and acid anhydrides. for the same alcohol, the reactivity sequence of the alkylating agent for the corresponding acyl groups is acyl halide > acid anhydride > carboxylic acid (carey, 1992; solomons, 1988). arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 173 if the glucose produced by sago flour hydrolysis is esterified, the resulting compound will have a fragrant aroma, so that this compound can be used in the fragrance industry as well as other ester compounds. ester compounds can also be used as raw materials for the production of synthetic polymers. so, the results of this study are expected to develop synthetic organic chemistry based on natural ingredients and improve the welfare of sago farmers because it can increase the economic value of sago. methodology materials and instrumentals the materials used are the sago flour, hcl 25% (merck), naoh 45% (merck), iodine solution with dropping pipette (merck), benedict's reagent with dropping pipette (merck), anhydrous zinc chloride (merck), acetic anhydride (merck), glucose (merck), aquabidest (onelab waterone), methanol (merck), filter paper (commercial), and tlc plate. the instrumentals used are erlenmeyer, analytical balance (explorer ohaus), electrothermal 9100, dropper pipette (pyrex), measuring cup (pyrex), chemical beaker (pyrex), stirring rod, chamber, thermometers (100 oc), 1 cm magnetic stirrers, heating mantles, funnels, and a set of reflux devices consisting of 100 ml three-neck round bottom flask and liebig coolers. spectrometers used included the ftir prestige-21 shimadzu and gc-ms. methods hydrolysis of sago flour sago starch (20 g) and aquabidest (100 ml) are put into a 250 ml beaker. the mixture was stirred with a magnetic stirer for 1 hour. the suspension was washed with aquabidest until the filtrate volume was 250 ml. the suspension is filtered and the residue is removed from the filter paper into the erlenmeyer. aquabidest (250 ml) and 25% hcl (40 ml) are added to the erlenmeyer which contains the residue. erlenmeyer covered with cooling back and heated in a water bath for 6 hours. the solution was tested with iodine solution every 2 hours to control the starch hydrolysis time. once cool, the solution is neutralized with 45% naoh then the solution is diluted to a volume of 500 ml (sudarmadji, 1984). the solution was filtered and the filtrate was pipette 2 ml into test tubes 1 and 2. iodine solution (2 drops) were added to test tube 1 and the colour change was recorded. benedict's reagent (2 ml) was added to the test tube 2. the mixture was heated in a water bath at a temperature of 60 oc for 3 minutes and the colour change was recorded (eduqas, 2020; amrita, 2020). esterification of glucose anhydrous zinc chloride (0.5 g) and acetic anhydride [13.5 g (12.5 ml, 0.13 mol)] of were put into a 100 ml three neck round bottom flask. the flask was connected to the liebig cooler. the mixture was refluxed at 60 oc for 1 hour. furthermore, glucose (2.5 g, 0.014 mol) was added slowly to the mixture while stirring with a magnetic stirer. cold water (125 ml) was added to the mixture while stirring with a magnetic stirer for 30 minutes without heating. after that, the solution was filtered and washed with cold water. the filtrate was recrystallized with methanol (furmiss et al., 1989). the crystals were identified by tlc test, melting point, ft-ir and gc-ms spectrophotometer (arniah, 2010). determination of the glucopyranosyl acetic structure the glucopyranosyl acetic was determined using spectroscopic techniques, namely ftir and gc-ms. the physical data, spectrum of ftir and gc-ms of the glucopyranosyl acetic are as follows. results: 57.31% yield; mp 110 111 °c; tlc (sio2, n-hexane : ethyl acetate = 9 : 1 v/v, rf = 0.79); ftir (kbr) νmaks (cm-1): 3442.7 (-oh stretch of alcohols), 1436.9 (coh deformation of alcohols), 1043.4 (c-oh stretch of secondary alcohols), 1755.1 (c=o stretch of esters), 1149.5 (c-o-c stretch in dialkyl ethers), 1232.4 (co-c stretch in cyclic ethers), 2933.5 (c-h stretch in c-ch3 compounds), 1371.3 (-o-co-ch3 sym deformation), 2916.2 (-ch2antisym stretch), 2885.2 (c-h stretch in >ch-); gc-ms (m/z): 348 [c14h20o10] , 333 [c13h17o10] +, 318 [c12h14o10] +, 301 [c12h13o9] +, 242 [c10h10o7] +, 198 [c9h10o5] +, 154 [c8h10o3] +, 95 [c6h7o] +, and 81 [c5h5o] +. result and discussion the glucopyranosyl acetic was obtained as a white solid substance (57.31% yield), a melting point of 110 111 oc, and rf 0.79 on tlc (sio2, n-hexane :ethyl acetate = 9 : 1 v/v). the glucopyranosyl acetic was obtained through a two steps of the reactions. the first step is the hydrolysis reaction of sago flour. sago flour hydrolysis is the hydrolysis reaction of starch (amylose) to glucose. hydrolysis reaction of acidcatalyzed sago flour (starch) forming glucose is shown in figure 1. the results of qualitative identification of sago flour hydrolysis by iodine test showed a blue black discoloration of the starch solution before hydrolysis became colorless after hydrolysis (table 1). this arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 174 shows that starch (amylose) has been fully hydrolyzed into glucose after the starch has been hydrolyzed for 6 hours. the blue black colour of starch solution before hydrolysis arises because iodine in an aqueous solution of potassium iodide reacts with starch to form a starch-iodide complex. the starch-iodide complex is formed as the charge is transferred between the starch and iodide ions triiodide or pentaiodide. the transfer of charge between the starch and the iodide ion changes the spacing between the energy levels orbitals. this change results in the starch-iodide complex absorbing light at a different wavelength which gives the characteristics of blue black colour to the reaction mixture. showed a deep blue colour change from the starch solution before and during hydrolysis to brick red after hydrolysis (table 1). the qualitative identification results of the hydrolysis of sago flour with the benedict's test. figure 1. hydrolysis reaction of acid catalyzed sago flour (starch) to form glucose (carey, 1992) table 1. results of qualitative identification of sago flour hydrolysis by iodine and benedict's test time of hydrolysis (hr) 0 2 4 6 observation (colour changes of sample + iodine solution) blue black colour violet colour red colour colourless interpretation polysaccharides (starch/amylose) is present dextrins monosaccharide (glucose) is present oligosaccharides is present disaccharides is present observation (colour changes of sample + benedict's reagent) deep blue colour deep blue colour deep blue colour brick red colour interpretation non-reducing sugar present in the sample non-reducing sugar present in the sample non-reducing sugar present in the sample reducing sugar present in the sample arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 175 the result shows that starch (amylose) has been completely hydrolyzed into glucose after the starch was hydrolyzed for 6 hours. the qualitative identification results of the hydrolysis of sago flour with the benedict's test the the deep blue colour formed before and during the hydrolysis process of the starch solution it indicating the polysaccharides (starch/amylose), oligosaccharides, and disaccharides cannot reduce benedict's reagent. the ability of a sugar to reduce alkaline test reagents depends on the availability of an aldehyde or ketone group for reduction reactions. a number of sugars especially disaccharides or polysaccharides have glycosidic linkages which involve bonding a carbohydrate (sugar) molecule to another one, and hence there is no reducing group on the sugar; like in the case of sucrose, glycogen, dextrin and starch (carey, 1992). the brick red color formed after hydrolysis of the starch solution indicates that monosaccharide (glucose) can reduce a solution of copper(ii) sulfate as its citrate complex (benedict's reagent). carbohydrate that contains a free hemiacetal function is a reducing sugar. in order to oxidation occur, the cyclic hemiacetal form must first ring-open to give the reactive aldehyde. therefore, these sugars become potential agents capable of reducing deep blue solution of copper(ii) ions (cu2 +, cupric ions) to copper(i) ions (cu+, cuprous ions). these ions form precipitate as brick red coloured cuprous [copper(i) oxide] (amrita, 2020) (fig. 2). the second stage is the esterification of glucose with acetic anhydride by zinc chloride catalyst. the reaction of esterification of glucose with acetic anhydride by zinc chloride catalyzed to form glucopyranosyl acetic and acetic acid is shown in figure 3. in this reaction, acetic anhydride, a derivative of carboxylic acid anhydride, acts as an oxidizer and glucose, a monosaccharide containing the -oh group, acting as nucleophile. the most important reaction of acetic anhydride involves breaking the bond between oxygen from one of the carbonyl groups. the single bonds found in oxygen are converted into acyl groups. the acyl group (ch3co-) attacking nucleophiles (glucose) to form glucopyranosyl acetic. figure 2. the formation of a brick red precipitate of copper(i) oxide by reduction of cu(ii) figure 3. the reaction of glucose esterification with acetic anhydride by zinc chloride catalyzed to form glucopyranosyl acetic and acetic acid arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 176 while the acetate ion (ch3co2 -) attacking protons from nucleophiles (glucose) to form acetic acid. the success of the glucopyranosyl acetic synthesis reaction from sago flour (starch) can be seen from the ftir spectrum. the comparison of the ftir spectrum of starch (raw material) and glucopyranosyl acetic (product) is shown in table 2. the ftir spectrum of the synthesis product showed a strong absorption band at 1755.1 cm-1 originating from the vibrations of the c=o ester range. the absorption band of the c=o ester stretch vibration is not found in the starch spectrum (raw material). the ftir spectrum of the synthesized product also showed a strong absorption band at 2933.5 and 1371.3 cm-1 derived from the vibrations of the c-h range in c-ch3 and the deformation of symmetry -o-co-ch3. these two strong absorption bands are also not found in the starch spectrum (raw material). the emergence of vibrations of the c=o ester, c-h in c-ch3, and deformation of symmetry -o-co-ch3 in the ftir spectrum of the synthesis product showed that the table 2. the comparison of ftir spectrum of starch (raw material) and glucopyranosyl acetic (product) no frequency (cm-1) and intensities frequency ranges (cm-1) and intensities* group or class remarks raw material) synthesis product 1 2 3 3450.5 (s) 1439.7 (s) 1057.5 (s) 3442.7 (s, br) 1436.9 (s) 1043.4 (s) 3500-3200 (s, br) 1440-1260 (s) 1120-1080 (s) alcohols roh secondary -chroh -oh stretch c-oh deformation c-oh stretch; lower when r is a cyclic 4 1755.1 (s) 1765-1720 (vs) esters rcoor’ c=o stretch 5 6 1145.3 (vs) 1245.9 (s) 1149.5 (vs) 1232.4 (s) 1150-1110 (vs) 1250-1170 (s) ethers ror’ c-o-c stretch in dialkyl ethers c-o-c stretch in cyclic ethers 7 8 9 10 2850.79 (s) 1465.9 (m) 2933.5 (s) 1371.3 (s) 2916.2 (s) 2885.2 (m) 2970-2850 (s) 1385-1365 (s) 2940-2920 (s) 2890-2880 (w) aliphatic rh methyl -ch3 methylene -ch2 methine >ch c-h stretch in c-ch3 compounds -o-co-ch3 sym deformation -ch2antisym stretch c-h stretch in >ch ◦notes: vs = very strong; v = variable; s = strong; m = medium; w = weak; br = broad. *sources: (kemp, 1991; lambert et al., 2011; silverstein et al., 1981; sastrohamidjojo, 1992) table 3. the gc-ms spectrum of synthesis product m/z groups associated with the mass lost ion missing fragment remarks 348 [c14h20o10] m molecular ion 333 [c13h17o10] + m-15 [ch3] methyl radical 318 [c12h14o10] + m-15 [ch3] methyl radical 301 [c12h13o9] + m-17 [oh] hydroxyl radical 242 [c10h10o7] + m-59 [o2c2h3] acetate radical 198 [c9h10o5] + m-44 [co2] carbondioxide 154 [c8h10o3] + m-44 [co2] carbondioxide 95 [c6h7o] + m-59 [o2c2h3] acetate radical 81 [c5h5o] + m-14 [ch2] methylene radical arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 177 reaction of glucose esterification of starch hydrolysis to form glucopyranosyl acetic has been successful. the success of the glucopyranosyl acetic synthesis reaction from sago flour (starch) was also supported by gc-ms spectrum data of the synthesis product (table 3). the m/z peak 348 indicates molecular ions figure 4. rationalization of glucopyranosyl acetic fragmentation arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 178 (m) or the molecular weight of the compound. the m/z peaks of 333 and 318 show the breakdown of a methyl group, respectively. the m/z 301 peak indicates the breakdown of the hydroxyl group. peak m/z 242 shows loss of acetate fragments. the m/z 198 and 154 peaks indicate the loss of one carbon dioxide fragment, respectively. the m/z 95 peak indicates loss of acetate fragments. the m/z 81 peak indicates loss of the methylene fragment. the results of the gc-ms spectrum interpretation of the synthesis product above show that the compound produced was glucopyranosyl acetic or 2,3,4,6-tetra-o-acetyl glucopyranose. this can also be seen in the rationalization of glucopyranosyl acetic fragmentation in figure 4. conclusion the synthesis product was obtained through two reaction stages, namely the hydrolysis and esterification reactions. synthesis product was obtained as a white solid substance (57.31% recovery), a melting point of 110-111 oc, and rf 0.79 on tlc (sio2, n-hexane : ethyl acetate = 9: 1 v/v). the results of the analysis of synthesis products with ftir and gc-ms spectrometers showed that the synthesis product was glucopyranosyl acetic or 2,3,4,6-tetra-oacetyl glucopyranose. acknowledgements the authors would like to thank the staff of integrated laboratory chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences university of hasanuddin makassar and chemical research center of indonesian institute of sciences for its assistance in analyzing the sample by ftir and gc-ms spectrometer. references amrita, 2020. qualitative analysis of carbohydrates, [on-line]. available: amrita.olabs.edu.in/?sub= 73&brch=8&sim=209&cnt=1 [july 15, 2020]. ardiansyah., nurlansi., and musta, r., 2018. optimum time waste processed starch hydrolysis of cassava (manihot esculenta crantz var. lahumbu) into liquid sugar using enzymes α-amylase and glucoamylase, ind. j. chem. res., 5(2), 86-95. arniah, 2010. esterification of glucose from hydrolysis of sago flour, paradigma., 14(2), 189-196. bandjar, a., sutapa, i. w., rosmawaty., and mahulau, n., 2014. the utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous catalyst, ind. j. chem. res., 1. 166-170. bantacut, t., 2011. sago: a resource for staple food diversification, pangan., 20(1), 27-40. carey, a. f., 1992. organic chemistry, 2nd ed., mcgraw-hill, inc., new york. djoefrie, m. h. b., 1999. empowerment of sago plants as producers of alternative food materials and potential agro-industry raw materials in the framework of national food security, faculty of agriculture, ipb bogor. eduqas., 2020. qualitative identification of starch (iodine), glucose (benedict's) and protein (biuret), [on-line]. available: resource.download.wjec.co. uk.s3.amazonaws.com/vtc/2016-17/eduqas%20 roundup/biology/teacher%20sheets/qualitative%20idenfication%20of% 20starch%20%28iodine%29%2c%20glucose% 20%28benedicts%29%20and%20protein.pdf [july 17, 2020]. flach, m., and rumawas, f., 1996. plant resources of southeast asia (prosea) no.9: plants yielding non-seed carbohydrates, leyden university, blackhuys. furmiss, b. s., hana, a. j., ford, p. w. g., smith, and tatcheli, a. r., 1989. vogels texbook of practical organic chemistry, 5th ed., john wiley & sons, inc., new york. haryanto, b., and pangloli, p., 1992. potential and utilization of sago, kanisius, yogyakarta. heryani, s., and silitonga, r. f., 2017. use of sago flour (metroxylon sp.) as raw material for chocolate cookies, j. agro-based industry., 34(2), 53-57. kemp, w., 1991. organic spectroscopy, 3rd ed., macmillan education ltd., london. lambert, j. b., gronert, s., shurvell, h. f., and lightner, d. a., 2011. organic structural spectroscopy, 2nd ed., pearson prentice hall, new jersey. purwanti, e., and dampang, s., 2017. the effect of hydrolysis condition differences on isolation results of nanocrystalline cellulose from corncob, ind. j. chem. res., 5(1), 12-16. rahmawati, s., wahyuni, s., and khaeruni, a., 2019. effect of modification on chemical characteristics of modified sago flour: literature study, j. sains dan teknologi pangan (jstp)., 4(2), 2096-2103. sastrohamidjojo, h., 1992. infrared spectroscopy, 1st ed., liberty, yogyakarta. arniah dali, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 173-179, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-dal 179 silverstein, bassler and morril., 1981. spectrometric identification of organic compounds, 4th ed., john wiley & sons, inc., new york. solomons, t. w. g., 1988. organic chemistry, 4th ed., john wiley & sons, inc., new york. sudarmadji, s., 1984. analytical procedures for food and agricultural material, liberty, yogyakarta. usman, u., 2020. definition, function, and nutritional composition of sago flour, [online]. available: www.academia.edu/37745061/pengertian_fungsi_dan_komposisi_zat_gizi_ tepung_sagu [july 16, 2020]. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 170-1766 1 170 kinetika kimia antibakteri fraksi alkana alifatik hasil pirolisis cangkang biji jambu mete (cns) chemical kinetics antibacterial of aliphatic alkane fraction from the results of pyrolysis cashew nut shell (cns) rustam musta1*, laily nurliana2, andraysno1 1chemistry department, teacher training dan education faculty, halu oleo university, kendari 2chemistry department, mathematic and nature science faculty, halu oleo university, kendari *corresponding author, e-mail: rustammusta04@gmail.com received: oct. 2019 published: jan. 2020 abstract chemical kinetics research antibacterial of aliphatic alkane fraction from the results of pyrolysis cashew nut shell (cns) (annacardium occidentale l.) on eschericia coli have been carried out. cashew nuts are prepared by separating the shell and seeds for pyrolysis and purifying using a fractional distillation device. the results of e. coli anti-bacterial activity test from aliphatic alkane fractional distillation results of cashew nut shell pyrolysis products showed that the inhibitory power was different from each concentration variation of 100%, 75%, 50%, 25%, and 12.5%, with inhibitor zone: 8.02; 7.16; 5.56; 4.52 dan 4.26 mm which indicates that the inhibition is weak category for 12.5% and 25%, medium category for 50%, 75% and 100%. the clear zone that has been formed are calculated in terms of its chemical kinetics including the reaction order and the activity rate constant. the reaction order (n) antibacterial of aliphatic alkane fraction from the results of pyrolysis cns on e. coli was 0.3145 with a constant activity rate of (k) = 1,7791. relation at-ao-t is expressed at 0.7 = a0 0.7 − 1,2t and 𝑡1/2 = 0,32 ao 0.7. keywords: cashew nut shells, pyrolysis, aliphatic, e. coli, chemical kinetics. pendahuluan senyawa alkana yang terkandung dari bagian tumbuhan dapat digunakan sebagai antibakteri sebagaimana dilaporkan oleh kanimozi (2012) tentang kandungan ekstrak etanol pada coriandrum sativum l. penelitian lainnya tentang aktivitas alkana sebagai antibakteri yaitu minyak atsiri allium nigrum l. (rouis-soussi, 2014) dan minyak atsiri kayu kielmiera corieacea mart & zucc. (martins, 2015). di lain pihak, penelitian tentang antibakteri e. coli dengan memanfaatkan bagian tumbuhan tertentu sebagai antibakteri telah banyak dilakukan antara lain aktivitas penghambatan e. coli dari ekstrak daun binara (lia, 2017) dan ekstrak lamun (septiani, 2017). namun demikian, hal berbeda dilaporkan pada penelitian suryati dkk. (2017) bahwa ekstrak aloevera tidak memiliki daya hambat terhadap bakteri e. coli. hal ini menunjukkan bahwa komponen tumbuh-tumbuhan tidak semuanya memberikan aktifitas antibakteri pada e. coli. limbah cangkang biji jambu mete atau cashew nut shell (cns) dapat dimanfaatkan cairan ekstraknya yang disebut cashew nut shell liquid (cnsl) (saenap, 2016) yang mengandung senyawa asam anakardat, kardanol, kardol dan 2metil kardol (towaha dan nur, 2011). pirolisis adalah suatu teknik alternatif untuk mendapatkan senyawasenyawa dari cns dengan dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa oksigen, material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas (wiraputra, 2017). proses pirolisis menghasilkan produk berupa uap panas yang kemudian dikondensasi menjadi liquid (bio-oil), syngas (bio-gas) dan char (bio-arang) (saenap, 2016). pada proses ini, liquid (bio-oil) yang dihasilkan dari proses pirolisis diperkirakan masih mengandung tar yang kemudian harus dimasukkan ke dalam tungku destilasi. dimana dalam proses destilasi, pemisahannya suhu pemanasan dijaga agar tetap konstan sehingga diperoleh destilat yang terbebas dari tar (tima, 2016). kajian tentang antibakteri dapat dilakukan dengan meninjau berbagai sudut pandang antara rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 170-1766 1 171 lain pada konsentrasi hambat minimum (khm), lc50 dan signifikansi pengaruh anti bakteri tersebut. khusus untuk pengaruh biasanya dilakukan dengan menggunakan uji statistik. namun demikian masih ada cara lain untuk melihat pengaruh antibakteri terhadap bakteri yang diujikan yakni melalui pendekatan kinetika kimia. kinetika kimia adalah suatu cabang ilmu kimia yang memberikan informasi mekanisme reaksi (triyono, 1998). dogra (1990) menyatakan bahwa kinetika kimia membahas antara lain laju, orde reaksi dan tetapan laju. sebagai suatu hasil reaksi kimia, zona bening dapat dilihat sebagai efek reaksi dari antibakteri yang telah dikenakan pada suatu bakteri uji misalnya e. coli. dengan demikian, aktivitas antibakteri fraksi alkan dan turunannya terhadap bakteri e. coli dapat dipandang sebagai suatu reaksi kimia yang perlu ditelaah mekanismenya dari sudut pandang kinetika kimia. penelitian sebelumnya tentang kinetika telah dilakukan yaitu penentuan konsentrasi minimum efektif minyak daun cengkeh pada penghambatan jamur candida albicans yaitu sebesar 17,6% (musta, 2019) dan berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka akan dilakukan kajian tentang kinetika kimia antibakteri fraksi alkana dari hasil pirolisis cns (annacardium occidentale linn) terhadap bakteri e. coli. metodologi alat alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat gelas seperti cawan petri, gelas ukur, gelas kimia, erlenmeyer, corong, alat destilasi semuanya merek (pyrex), alat kromatografi gasspektrometri massa (kgsm), inkubator, autoklaf (wisecclave), waterbath (hws24), timbangan analitik, kulkas laminar air flow cabinet, shaker incubator (ratex), hot plate, lampu uv, spidol, mistar, tabung eppendorf, pipet ukur, oven, kawat ose, spritus, spatula, pipet tetes, botol vial. bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak hasil pirolisis pada penelitian sebelumnya (nurliana, 2019), escherichia coli atcc 35219, amoxilin, pepton 2%, agar 4%, 1% naci, minyak tween, akuades, kertas saring whatman, plastik wrap, kasa, kertas label, kapas steril dan alumunium foil. prosedur kerja pemurnian hasil pirolisis cns hasil pirolisis cns, diambil sebanyak 500 ml, kemudian dimasukkan dalam wadah alat destilasi. proses destilasi berlangsung sampai didapatkan fraksi. kemudian hasil fraksi tersebut diidentifikasi dengan menggunakan alat kg-sm. pengujian aktivitas antibakteri sterilisasi alat dan bahan seluruh alat dicuci bersih dan dikeringkan. botol vial, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan petri dibungkus dengan kertas. kemudian semuanya disterilkan dengan autoklaf pada tekanan 121mpa selama 15 menit. pengerjaan aseptis berlangsung dalam laminar air flow yang sebelumnya telah dibersihkan dengan larutan alkohol 70%, lalu proses sterilisasi dengan lampu uv yang telah menyala selama kurang lebih 1 jam sebelum digunakan dalam proses uji antibakteri (sultana, 2014). pembuatan dan sterilisasi media medium yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme adalah nutrient agar (na). medium ini mengandung 2% pepton, 1,5% yet ekstrak, 4% agar dan 1% nacl. dalam penelitian ini digunakan nutrien agar (merck 2017) sebanyak 22,1 gr na dilarutkan dengan 260 ml akuades dalam erlenmeyer, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada tekanan 121 mpa (daud, 2015) peremajaan mikroorganisme bakteri e. coli diremajakan dengan menginokulasi 2 ose e. coli, kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media cair steril (2% pepton, 1,5% yeast estrak dan 4% nacl) dan diinkubasi selama 24 jam (daud 2015). pengujian aktivitas antibakteri media na cair dipipet sebanyak 20 ml, lalu dimasukkan dalam eppendorf kemudian ditambahkan 10 ul inokulum bakteri e. coli dan dihomogenkan. setelah homogen lalu dituang kedalam cawan petri dan diperlakukan dengan gerak melingkar agar media merapat pada permukaan cawan petri, selanjutnya didiamkan beberapa saat sampai memadat. selanjutnya ditempatkan kertas cakram (berdiameter 0,5 cm) yang telah direndam dalam larutan uji (100% fraksi hasil pirolisis cns, 75, 50, 25, dan 12,5% serta minyak tween sebagai kontrol negatif, digunakan karena dipakai sebagai pelarut dalam rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 170-1766 1 172 pengenceran dan amoxilin sebagai kontrol positif, digunakan karena merupakan antibiotic yang sudah lazim) pada permukaan media padat. setelah itu, cawan petri ditutup rapat dan dibungkus dengan plastik wrap dan diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu ruang lalu diukur zona hambat yang terbentuk (bangjavicenna, 2008). tabel 1. senyawa utama fraksi alkana hasil pirolisis cns pengolahan dan analisis data data yang diperoleh antara lain data komponen senyawa utama anti bakteri hasil kgsm dan diameter zona bening. data lainya berupa orde reaksi dan tetapan laju reaksi aktivitas antijamur yang diperoleh dari hasil pengolahan data menggunakan metode regresi linear yang diturunkan dari persamaan dybkov (2013): r = k [a]a………………………….........(1) laju reaksi (r) adalah besarnya peningkatan hasil reaksi atau penurunan konsentrasi reaktan setiap satuan waktu (petrucci 1992). sementara itu zona bening merupakan hasil reaksi antibakteri, yang diukur setelah masa inkubasi. zona bening yang terbentuk meningkat dari waktu ke waktu. zona bening yang terbentuk merupakan fungsi konsentrasi (saeed, 2013). hubungan ini menunjukkan bahwa laju pembentukan zona bening sebanding dengan laju reaksi dan karenanya akan hubungan seperti pada persamaan 2. zb ≈ r ……………….………………………...(2) sehingga persamaan 2 dapat juga dituliskan seperti persamaan 3. zb = kzb r ………………..…………….………(3) yang dapat dituliskan kembali menjadi persamaan 4. zb = kzb k [a] n ……………….……..………...(4) dan disederhanakan menjadi: zb = k’[a]n ……………….…………………..(5) akhirnya dengan menerapkan ln pada kedua sisi persamaan akan diperoleh persamaan 6. ln zb = ln k + n ln [a]………………………....(6) persamaan (6) dapat dibuat menjadi persamaan regresi linear: y = a+bx yang berarti bahwa jika dibuat plot hubungan ln [a] terhadap ln zb maka akan diperoleh : a = ln k’ k’ = ea b = n = orde keterangan : r = laju, k = konstanta laju reaksi, [a] = kosentrasi zat, a = n = orde reaksi, zb = diameter zona bening, kzb = tetapan no nama senyawa waktu retensi (menit) % luas area 1 tridekana 24.157 8.80 2 undekana 17.753 8.67 3 1-tetradekana 26.803 6.91 4 dodekana 21.070 6.89 5 dekana 14.131 6.33 gambar 1. kromatogram fraksi alkana hasil pirolisis cns rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 170-1766 1 173 pembentukan zona bening, k = tetapan laju reaksi dan k’ merupakan konstanta untuk konsentrasi pada pembentukan zona bening yang merupakan gabungan k dan kzb. hasil dan pembahasan identifikasi senyawa fraksi alkana hasil pirolisis cns gambar 1. menunjukan terdapat 20 komponen pada hasil kg-sm fraksi hasil produk pirolisis cns dan terdapat 5 komponen utama sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1. uji aktivitas antibakteri e. coli fraksi alkana hasil pirolisis cns aktivitas antibakteri fraksi senyawa alkana hasil pirolisis cns terhadap e. coli dapat ditunjukkan pada gambar 7. gambar tersebut menunjukkan bahwa berturut-turut untuk konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25% dan 12,5% fraksi alkana hasil pirolisis cns memberikan zona bening sebesar 8,02; 7,16; 5,56; 4,52 dan 4,26 mm. adapun kontrol posisif memberikan diameter zona bening sebesar 5,56 mm dan kontrol negatif tidak memberikan respon. menurut rastina et al., (2015), kriteria kekuatan daya hambat antibakteri dijelaskan berdasarkan parameter sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. berdasarkan kriteria tersebut, maka diketahui bahwa fraksi alkana hasil pirolisis cns untuk konsentrasi 12,5 dan 25% masuk kategori daya hambat lemah sedangkan konsentrasi 50%, 75% dan 100% masuk kategori daya hambat sedang. kinetika kimia aktivitas antibakteri e. coli fraksi alkana hasil pirolisis cns gambar 8. memperlihatkan persamaan regresi linear yang diperoleh adalah y = 0,3145x + 0,5761 dengan r2 = 0,9176. hal ini memperlihatkan bahwa orde reaksi (n) senyawa alifatik hasil pirolisis cns terhadap bakteri e. coli adalah 0,3145 yang terletak pada nilai orde (n) antara nol dan satu; dengan k’ = e0,5761= 1,7791. nilai k, ini berlaku pada temperatur ruang yang dipilih dalam penelitian selama masa inkubasi yaitu 24 jam dengan dimensi satuan mm. dogra (1990) menyatakan bahwa apabila suatu reaksi berorde nol maka laju reaksinya tidak gambar 5. spektum massa senyawa dodekana dengan waktu retensi 21.070 menit gambar 6. spektum massa senyawa tridekana dengan waktu retensi 24.157 menit gambar 3. spektum massa senyawa undekana dengan waktu retensi 17.753 menit gambar 2. spektum massa senyawa dekana dengan waktu retensi 14.131 menit gambar 4. spektum massa senyawa 1tetrakana dengan waktu retensi 20.803 menit rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 170-1766 1 174 bergantung pada konsentrasi reaktan, sementara itu suatu reaksi yang berorde satu menunjukkan bahwa laju reaksi berbanding langsung dengan konsentrasi reaktannya. triyono (1998) mengemukakan bahwa orde reaksi dapat berupa angka pecahan tergantung dari jenis reaksinya. laju reaksi dalam penelitian ini sebanding dengan zona bening ini, sehingga dapat dikatakan bahwa ada pengaruh konsentrasi senyawa alifatik hasil pirolisis cns terhadap zona bening yang terbentuk sebagai indikasi daya hambat pada bakteri e. coli. pengaruhnya dapat dilihat apa bila konsentrasi meningkat maka akan ada peningkatan zona bening sebesar pangkat 0,3145. dogra (1990) mengemukakan bahwa konstanta laju menggambarkan laju reaksi bila konsentrasi sebesar 1. sehingga dapat diketahui bahwa apabila konsentrasi senyawa alifatik hasil pirolisis cns sebesar 1% maka akan diperoleh zona bening sebesar 0,5761 mm. − ∂a ∂t = kan − ∂a an = k. ∂t − ∫ ∂a a0,1913 = ∫ k. ∂t -∫ 1 a0,3145 ∂a = ∫ k. ∂t − ∫ a−0,3145 ∂a = k. t −( 1 −0,3145 + 1 a−0,3145+1 ∫ ) = kt at a0 −( 1 0,6855 a0,6855 ∫ ) = kt at a0 −( 1 0,6855 at 0,6855 − 1 0,6855 a0 0,6855 ) = kt 1 0,6855 a0 0,6855 − 1 0,6855 at 0,6855 = kt 1 0,6855 ( a0 0,6855 − at 0,6855 ) = kt a0 0,6855 − at 0,6855 = 0,6855kt a0 0,6855 − at 0,6855 = 0,6855x1,7791t. a0 0,6855 − at 0,6855 = 1,2196t at 0,6855 = a0 0,6855 − 1,2196t jika 0,6855 ≈ 0,7 dan 1,2196 ≈ 1,2 maka dapat diperoleh hubungan yang lebih sederhana: at 0,7 = a0 0,7 − 1,2t gambar 8. plot ln [a] vs ln zona bening gambar 7. hasil uji aktivitas antibakteri fraksi alkana hasil pirolisis cns rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 170-1766 1 175 hubungan at-ao-t yang sudah diketahui dapat digunakan untuk menentukan waktu paruh dari reaksi senyawa alifatik hasil pirolisis cns terhadap bakteri e. coli yaitu: ao 0,7 − at 0,7 = 1,2𝑡1/2 ao 0,7 − ( 1 2 ao) 0,7 = 1,2𝑡1/2 ao 0,7 − ( 1 2 )0,7(ao) 0,7 = 1,2𝑡1/2 ao 0,7 − 0,6156 ao 0,7 = 1,2𝑡1/2 0,3844 ao 0,7 = 1,2𝑡1/2 𝑡1/2 = 0,3844 1,2 ao 0,7 𝑡1/2 = 0,32 ao 0,7 hal ini mengindikasikan bahwa waktu paruh dalam penghabatan bakteri e. coli oleh fraksi alifatik hasil pirolisis cns ditentukan oleh konsentrasi awal. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa senyawa fraksi alifatik hasil pirolisis cns terdiri atas 5 senyawa utama yaitu tridekana, undekana, 1-tetradekana, dodekana dan dekana dengan persen area berturut-turut: 8,80; 8,67; 6,91; 6,89 dan 6,33%. fraksi alkana hasil pirolisis cns untuk konsentrasi 12,5 dan 25% masuk kategori daya hambat lemah sedangkan konsentrasi 50%, 75% dan 100% masuk kategori daya hambat sedang. orde reaksi (n) senyawa alifatik hasil pirolisis cns terhadap bakteri e. coli sebesar 0,3145 dengan k’ = 1,7791 sehingga diperoleh persamaan zb = 1,7791 [a]0,3145 dengan persamaan untuk menghitung waktu paruh (t1/2)=0,032[a]o 0,7. adaptunun hubungan at-ao-t dinyatakan dalam persamaan at 0,7 = a0 0,7 − 1,2t. daftar pustaka bagjavicenna, e., 2008, potensi propolis lebah trigona spp sebagai bahan antimikroba ketombe, skripsi, biokimia, fakultas mipa institut pertanian bogor, bogor. daud, n. z., 2015, uji aktivitas anti bakteri kombinasi ekstrak etanol 70% kelopak bunga rosella (hibiscus sabdariffa l) dan daun teh (thea sinensis l) terhadap staphylococcus aureus atcc 25922, jurnal ilmiah universitas surabay, 4(2),1-15 dogra, s.k., dogra, s., 1990, kimia fisik dan soal-soal. ui press. jakarta dybkov v. i., 2013, chemical kinetics. ipms publications, kyiv, ukraine. kanimozi, d., ratha, bai, v.r., 2012, analysis of bioactive components of ethanolic extract of coriandrum sativum l, ijrps. 2(3), 97-110. lia, f., ida, d.r., silaban, s., 2017, uji aktivitas antibakteri terhadap escherichia coli dan antioksidan dari ekstrak air tumbuhan binara (artemisia vulgaris l.), jurnal pendidikan kimia (9)2,311-317 martins, c.dem., oliveira, a.de, do nascimento e.a., chang, r., martins, c.h.g., da silva, c.v., de morais, s.a.l., cunha, l.c.s., moraes t.das., and de aquino, f.j.t., martins, m.m., rodrigues, p.v., 2015, chemical constituents and evaluation of antimicrobial and cytotoxic activities of kielmeyera coriacea mart & zucc, essential oils, evidence-based complementary and alternative medicine. id 842047, 1-9. musta, r., dan nurliana, l., 2019, studi kinetika efektifitas minyak daun cengkeh (syzygium aromaticum) sebagai antijamur candida albicans, indo. j. chem. res. 6(2) ,107-111 nurliana, l. dan musta, r., 2019, studi kinetika antibakteri dari hasil pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap staphylococcus aureus. indo. j. chem. res. 6(2), 16-22. petrucci, r.h., 1992, kimia dasar prinsip dan terapan modern. alih bahasa: suminar a. edisi ke-empat, jilid 2. erlangga. jakarta. rastina, mirnawati s. dan letje, w., 2015, aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun kari (murraya koenigii) terhadap staphylococcus aureus, escherichia coli, dan pseudomonas sp., jurnal kedokteran hewan, 9(2),185-188 rouis-soussi, l.s., ayeb-zakhama, a.e., mahjoub, a., flamini, g., jannet, h.b., harzallah-skhiri, f., 2014, chemical composition and antibacterial activity of essential oil from the tunisian allium ningrum l, excli journal, 13,526-535. saeed, m., nadeem, m., khan, m.r., shabbir m.a., shehzad, a., amir, r.m., 2013, antimicrobial actifity of syzygium aromaticum extracts againts food spoilage bacterial, african journal of microbiology research, 7(41),4848-4856. saenab, a., wiryawan, k.g., retnany dan wina, e., 2016, karakteristik fisik dan kimia dari rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 170-1766 1 176 produk bioindustri cangkang jambu mete (annacardium occidentale l.), jurnal littri. 22(2),81-90 septiani, eko, n.d. dan wijayanti, i., 2017, aktifitas antibakteri ekstrak lamun (cymodocea rotundata) terhadap bakteri staphylococcus aureus dan escherichia coli. indonesian j. fisheries science and technology, (13) 1,1-6 sudijono, a., 2015, pengantar statistik pendidikan. rajagrafindo persada. jakarta sultana s, shahidullah a.s.m, islam m.dm., wasey a.f.s.a. nahar s., 2015, antibacterial effect of aqueous neem (azadirachta indica) leaf extract, crude neem leaf paste, and ceftriaxone against staphylococcus aureus, escherichia coli and pseudomonas aeruginosa, malays. j. med.bio.res., 2(2), 89-100. suryati, n., bahar, e., ilmiawati., 2017, uji efektivitas antibakteri antibakteri ekstrak aloe vera terhadap pertumbuhan escherichia coli secara in vitro, jurnal kesehatan andalas, 6(3),518-521. tima, s.t., yopi, ifa, l., 2016, pemanfaatan asap cair kulit biji mete sebagai pestisida, journal of chemical proses engineering. (1) 2,16-22. towaha, j. dan nur, r.a., 2011, pemanfaatan cashew nut shell liquid sumber fenol alami pada industri. buletin ristri, 2(2),187-198 triyono, bambang, s. dan iqmal, t., 1998, buku ajar kinetika kimia. jurusan kimia fmipa ugm, yogyakarta. wiraputra, a.f., 2017, pengaruh pyrolysis nonisothermal terhadap kualitas bio-oil dari sampah real kota bandar lampung, skripsi, jurusan teknik mesin fakultas teknik universitas lampung. riani, e., y. sudarso, m. r. cardova., 2014, heavy metals effect on unviable larvae of dicrotendipes simpsoni (diptera: chironomidae), a case study from saguling dam, indonesia. aquacultur, aquarium, conservation and legislation (aacl), inter. j. bioflux soc., 2(7), 76-84. riani, e., 2015, the effect of heavy metals on tissue damage in different organs of goldfish cultivated in floating fish net in cirata reservoir, indonesia, paripex – ind. j. res., 4(2), 54-58. rifardi., 2008, deposisi sedimen di perairan laut paya pesisir pulau kundur-karimun-riau, ilmu kelautan, 13(3), 147-152. schwarzenbach, r.p., escher, b.i., fenner, k., hofstetter, t.b., johnson, c.a., von gunten, u., wehrli, b., 2006, review: the challenge of micropollutans in aquatic systems, science, 313 (5790), 1072-1077. setiawan, h., 2014, pencemaran logam berat di perairan pesisir kota makassar dan upaya penanggulangannya, info teknis eboni, 11(1), 1-13. strokal, m., kroeze, c., 2013, nitrogen and phosphorus inputs to the black sea in 19702050, reg. environ. change 13, 179-192. sudirman, n., s. husrin, ruswahyuni., 2013, baku mutu air laut untuk kawasan pelabuhan dan indeks pencemaran perairan di pelabuhan perikanan nusantara kejawanan cirebon, j. saintek perikanan 9(1),14-22. supriyanti c, zainul kamal, saman., 2008, analisis cemaran logam berat pb, cu dan cd pada ikan air tawar dengan metode spektrofotometri serapan atom (ssa). seminar nasional iii sdm teknologi nuklir, yogyakarta. suwarsito, e. sarjanti, 2014, analisa spasial pencemaran logam berat pada sedimen dan biota air di muara sungai serayu, kabupaten cilacap, geoedukasi, 3(1), 30-37. testa, j.m., brady, d.c., di toro, d.m., boynton, w.r., kemp, w.m., 2013, sediment flux modeling: nitrogen, phosphorus and silica cycles. estuarine, coastal and shelf sci., 131, 245-263. yang t., liu q., chan l., and liu z., 2007, magnetic signature of heavy metals pollution of sediments: case study from the east lake in wuhan, china. j. environ. geology, 52(8), 1639-1650. yu, x., y. yana, w. wang., 2011, the distribution and speciation of trace metals in surface sediments from the pearl river estuary and the daya bay, southern china, marine pollution bull., 60(8), 1364–137. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 6-14, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 6 sintesis tetrapeptida linear (dpap) menggunakan metode sintesis peptida fasa padat (spps) dan aktivitas insektisidanya terhadap ulat krop kubis synthesis of a linear tetrapeptide (dpap) using solid phase peptide synthesis (spps) methode and insecticidal activity toward cabbage cluster caterpillar eka fitri yanti 1,2 , rani maharani 3 * 1 fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, universitas bondowoso, jl. diponegoro no.247 bondowoso 2 program studi studi farmasi stikes harapan bangsa jember, jl. slamet riyadi no.64 patrang-jember 3 departemen kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas padjadjaran jl. raya bandung sumedang km.21, jatinangor * corresponding author: r.maharani@unpad.ac.id received: 2020-1-15 received in revised: 2020-4-30 accepted: 2020-5-1 available online: 2020-5-31 abstract crop cabbage worm (crocidolomia pavonana) is one of the pests that has a bad effect on the cabbage production in indonesia. one of the efforts that has been applied to control this pest is by using bayrusil. however, the bayrusil can cause negative effects such as poisoning and environmentally polluting effects. to prevent the undesired effects, it has been developed the use of environmentally friendly insecticide and one of them is the use of insecticidal peptide. tripsin-modulating oostatic factor (tmof) and ist analogues is one of the peptides that has an insecticidal activity. the aim of this research is to synthesise a linear tetrapeptide (dpap) an analogues of tmof and to test insecticidal activities against crop cabbage worm. a dpap has been synthesised by solid phase peptide synthesis on 2-chlorotrytil chloride resin. fmoc strategy was applied on the synthesis and a combination dic/oxime was employed in the coupling reaction.the tetrapeptidyl resin was cleaved by tfa:water:edt (90:5:5). the peptide was purified by reverse-phase column chromatography and characterized by tof esms spectroscopy. a linear peptide was biologically tested towards the c. pavonana, showing percentage of mortality values at 1000 ppm. keywords: tetrapeptide, tmof, solid phase peptide synthesis, 2-chlorotrytil chloride, crocidolomia pavonana. abstrak (indonesian) ulat krop kubis (crocidolomia pavonana) merupakan salah satu hama yang dapat menurunkan produksi kubis di indonesia. salah satu upaya pengendalian hama ulat krop kubis adalah penggunaan bayrusil. namun hal ini memiliki dampak negatif yaitu dapat menimbulkan pencemaran udara, gangguan kesehatan dan residu pada produk pangan. salah satu upaya untuk mengurangi dampak tersebut adalah penggunaan insektisida yang ramah lingkungan seperti insektisida golongan peptida. tripsinmodulating oostatic factor (tmof) dan analog merupakan salah satu peptida yang memiliki aktivitas insektisida. tujuan dari penelitian ini adalah menyintesis linear tetrapeptida (dpap) yang merupakan analog dari tmof serta menguji aktivitas insektisida terhadap ulat krop kubis. dpap telah berhasil disintesis menggunakan metode sintesis peptida fasa padat pada resin 2-klorotritilklorida. dalam sintesis dpap digunakan strategi gugus pelindung fmoc dan kombinasi dic/okxima sebagai reagen kopling. pelepasan peptida dari resin menggunakan tfa:air:edt (90:5:5), dimana peptida di murnikan menggunakan metode kromatografi kolom terbalik dan dikarakterisasi dengan spektroscopi tof es-ms. kata kunci: tetrapeptida, tmof, sintesis peptida fasa padat, 2-klorotritilklorida, crocidolomia pavonana. eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 7 pendahuluan indonesia merupakan negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan kekayaan hasil alamnya yang memiliki banyak manfaat. penggunaan bahan alam dipercaya dapat menyembuhkan penyakit, sehingga masyarakat banyak memanfaatkan sebagai pengobatan (aeni dkk., 2017). selain itu bahan alam juga dimanfaatkan pada sektor pertanian. indonesia yang beriklim tropis sangat cocok untuk bidang pertanian. data menunjukkan lebih dari 26,13 juta rumah tangga memiliki usaha di bidang pertanian. jika dibandingkan dengan data tahun 2003, jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 5,04 juta rumah tangga (bps, 2013). bidang usaha di bidang pertanian sangatlah luas dan tentunya menjadikan hasil pertanian sangat banyak dan beragam. salah satu hasil pertanian yang melimpah adalah kubis (brassica oleracea). berdasarkan pusat data dan sistem informasi pertanian pada tahun 2013, produksi kubis di indonesia pada tahun 2000-2011 mengalami peningkatan sebesar 2,05%. namun, di pulau jawa pada tahun 2011 justru mengalami penurunan sebesar 0,33%. salah satu penyebab penurunan produksi kubis tersebut adalah hama ulat krop kubis (crocidolomia pavonana). ulat krop kubis dapat menyebabkan penurunan produksi kubis sebesar 65,0% (sari dan prijono, 2004). bahkan pada musim kemarau penurunan produksi kubis mencapai 100% (uhan, 2007). upaya yang sudah dilakukan petani dalam mengendalikan ulat krop kubis adalah penggunaan insektisida sintesis, seperti bayrusil yang merupakan golongan pestisida karbamat (anonim, 1993). namun hal ini memiliki dampak negatif yaitu dapat menimbulkan pencemaran udara, gangguan kesehatan dan residu pada produk pangan (indraningsih, 2008). salah satu upaya untuk mengurangi dampak tersebut adalah dengan mengoptimalkan penggunaan bahan alam yang tersedia (sohilait dkk., 2013). sehingga penggunaan bahan alam yang memiliki aktivitas insektisida sangatlah mungkin karena lebih ramah lingkungan dan berpotensi mengalami degradasi secara alami (arnason dkk., 1993). salah satu insektisida yang dapat digunakan adalah insektisida dari golongan peptida yaitu trypsinmodulating oostatic factor (tmof). tmof dan beberapa analognya telah terbukti memiliki aktivitas insektisida pada larva nyamuk (borovsky, 2003) dan larva tobacco budworm (heliothis virescens; lepidoptera) (nauen dkk., 2002) yang bekerja melalui penghambatan biosintesis tripsin. tmof merupakan suatu dekapeptida (pro-propro-pro-pro-pro-ala-pro-asp-tyr) yang dapat diisolasi dari ovarium nyamuk aedes aegypty betina (borovsky dkk., 1993). namun, produksi tmof lebih efisien dengan sintesis dibandingkan dengan mengisolasi dari ovarium nyamuk a. aegypty betina untuk beberapa alasan di antaranya yaitu prosedur kerja yang cukup panjang sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. tmof telah berhasil disintesis dengan menggunakan metode sintesis peptida fasa larutan (borovsky dan nauen, 2007). namun sintesis tmof dan analog menggunakan metode sintesis fasa larutan memiliki beberapa kelemahan, misalnya membutuhkan material awal banyak, secara teknis menghabiskan banyak waktu karena setiap tahap reaksi membutuhkan pemurnian, dan efisiensi kopling kurang dari 90% (walker dan rapley, 2008). sintesis peptida juga dapat dicapai menggunakan metode sintesis peptida fasa padat. sintesis peptida fasa padat merupakan suatu teknik sintesis peptida menggunakan penyangga padat. spps memiliki beberapa keuntungan diantaranya tidak dibutuhkan pemurnian pada setiap tahap reaksi, sehingga waktu sintesis yang dibutuhkan lebih sedikit (scott, 2009). tmof dan analog (ydpappp, pp, pppppp, apppppp) telah berhasil disintesis menggunakan metode spps. tmof dan analog hasil sintesis menunjukkan aktivitas insektisida dengan persentase mortalitas sebesar 13,33%, 30%, 23,33%, 30% dan 23,33% terhadap crocidolomia pavonana (maharani dkk., 2015; maharani dan yanti, 2016; maharani dkk., 2016). berdasarkan (borovsky, 2003), analog tetrapeptida dpap (h-asp-pro-ala-pro-oh) dari tmof memberikan aktivitas insektisida terhadap larva nyamuk yang cukup signifikan. sehingga pemilihan analog dpap diharapkan memiliki aktivitas insektisida yang lebih baik dibandingkan tmof dan analog lainnya yang telah disintesis. senyawa dpap disintesis menggunakan metode sintesis fasa padat dengan strategi fmoc, seperti yang diaplikasikan pada sintesis tmof dan analog ((ydpappp, pp, pppppp, apppppp). senyawa dpap hasil sintesis akan dimurnikan menggunakan kromatografi fasa terbalik dan dikarakterisasi dengan spektroskopi massa. sintesis senyawa tetrapeptida dpap menggunakan metode spps belum pernah dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang insektisida dari golongan peptida yang lebih mudah disintesis. eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 8 metodologi alat dan bahan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung sintesis peptida fasa padat, freeze dryer, rotary evaporator, shaking incubator, desikator, analytical (rp-hplc), spektrometer massa, dan alat gelas yang umum digunakan di laboratorium. bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah resin 2klorotritil klorida, diklorometana (dcm), dimetilformamida (dmf), n-n-diisopropilkarbodiimida (dic), n-n-diisopropiletilamina (dipea), fmoc-prolin-oh, fmoc-alanin-oh, fmoc-asam aspartat(t-bu)-oh, trifluoroacetic acid (tfa), etil 2siano-2-(hidroksiimino)asetat/oksima, eter, n-heksana, metanol, piperidin, kloroform, asam asetat, kloranil, asetaldehid, silica gf254, ods rf18, plat ods, plat silica gf254 dan larva crocidolomia pavonana instar pertama. prosedur kerja penempelan asam amino pertama pada resin sebanyak 0,5 g resin 2-klorotritil klorida (1,0-1,6 mmol klorida/g resin) disuspensikan kedalam ke dalam larutan dcm, kemudian dikocok selama 5 menit dan disaring. larutan 0,5 mmol fmoc-p-oh dan 1,25 mmol dipea dilarutkan dalam 4 ml dcm ditambahkan ke resin yang kemudian dikocok selama 30 menit pada suhu ruang. resin disaring, kemudian dicuci dengan dmf dan dcm. sebanyak 5 ml campuran larutan dcm/metanol/dipea (80:15:5) di tambahkan ke resin yang kemudian dikocok selama 10 menit. resin di saring dan perlakuan diulangi sekali lagi. resin dicuci dengan dmf dan dcm lalu disaring. pelepasan gugus pelindung fmoc reagen pelepas gugus pelindung fmoc (piperidin 25% dalam dmf(v/v)) ditambahkan hingga resin terendam dan campuran reaksi dikocok selama 2 menit yang kemudian reagen pelepas gugus pelindung dikeluarkan dengan cara filtrasi. reagen pelepas gugus pelindung yang baru ditambahkan kembali, dikocok, dan dikeluarkan. perlakuan ini dilakukan hingga 4-5 kali. lepasnya gugus pelindung fmoc ditandai dengan tidak adanya noda pada uji klt di bawah sinar uv pada panjang gelombang 254 nm. setelah itu resin dicuci dengan dmf dan dcm. penyusunan fragmen peptida sebanyak 0,8077 g fmoc-alanin-oh (4 ekuivalen) dan 0,3682 g oksima (4 ekuivalen) ditambahkan 5 ml dmf dan dikocok hingga larut. sebanyak 0,4456 ml dic (4 ekuivalen) ditambahkan dan diaduk secara menyeluruh hingga larutan berwarna kuning dan larutan tidak panas. larutan dicampurkan dengan resin dalam tabung sintesis dan diaduk perlahan selama 24 jam (overnight). keberhasilan sintesis ditunjukkan dengan uji kloranil. hasil uji negatif (reaksi kopling sempurna) ditunjukkan dengan larutan tidak berwarna dengan butiran resin berwarna kekuning-kuningan. selanjutnya resin dicuci menggunakan dmf dan dcm. lalu dilanjutkan ke tahap pelepasan gugus fmoc. urutan asam amino berikutnya yaitu, fmocprolin-oh dan fmoc-asp(t-bu)-oh, disusun menggunakan prosedur kopling dan pelepasan gugus pelindung fmoc hingga didapatkan rantai peptida yang sesuai. pelepasan peptida dari gugus samping dan resin peptida yang telah disusun kemudian dilepas dari resin menggunakan 10 ml campuran tfa : air : edt (90:5:5) dalam diklorometana dan diaduk selama 45 menit pada suhu ruang. lepasnya peptida dari resin ditandai dengan berubahnya warna resin menjadi merah terang. resin disaring dan dicuci menggunakan 7 ml tfa campuran tfa : air : edt (90:5:5) dalam diklorometana. filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary evaporator. padatan peptida yang diperoleh kemudian dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer massa. uji aktivitas biologi terhadap ulat krop kubis uji ini bertujuan untuk menentukan korelasi antara konsentrasi sampel dengan tingkat kematian dari larva c.pavonana. sampel diujikan pada konsentrasi 1000 ppm. dua pasang daun kubis dengan ukuran 4x4 cm direndam dalam campuran larutan dan dikeringkan. setelah larutan diuapkan, dua pasang daun ditempatkan dalam cawan petri dengan diameter 9 cm dan dibungkus dengan kertas saring. kemudian setelah 10 detik, larva c. pavonana instar pertama ditempatkan pada setiap cawan petri. setiap hari larva diberi makan daun tanpa perlakuan hingga mencapai instar 4. observasi selesai setelah perlakuan selama 48 jam hingga larva mencapai instar ke 4. hasil dan pembahasan sintesis senyawa tetrapeptida (dpap) dilakukan dengan menggunakan metode sintesis peptida fasa padat dengan strategi fmoc. skema sintesis peptida dengan metode spps dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu loading resin, deproteksi gugus pelindung, kopling dan pelepasan peptida dari resin (clevege), seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 9 gambar 1 diagram alir spps (walker dan rapley, 2008) pada sintesis dpap fasa padat (resin) yang digunakan adalah resin 2-klorotritil klorida yang memiliki gugus yang meruah sehingga dapat mengurangi terjadinya rasemisasi dan menekan pembentukan diketopiperazin (chan dan white, 2000). setiap penyusunan rantai peptida digunakan kombinasi reagen kopling dic/oksima. kombinasi dic/oksima digunakan sebagai reagen kopling karena menghasilkan intermediet o-asilisourea yang bersifat labil dan mudah terbentuk ester aktif yang memudahkan pembentukan ikatan peptida. perpanjangan rantai peptida dilakukan dari ujung-c ke ujung-n. hal ini disebabkan perpanjangan dengan arah sebaliknya sangat rentan terhadap reaksi samping rasemisasi. rasemisasi dapat menyebabkan perubahan konfigurasi absolut dari asam amino penyusun peptida (chan dan white, 2000). pengikatan asam amino pertama pada resin pengikatan asam amino fmoc-pro-oh pada resin 2-klorotritil klorida dilakukan dengan menambahkan campuran fmoc-pro-oh dan dipea dalam diklorometana ke resin, dimana sebelumnya resin telah dikembangkan dalam diklorometana. reaksi yang terjadi pada proses pengikatan asam amino pertama tidak melibatkan aktivasi gugus karboksil sehingga mencegah rasemisasi. reaksi yang terjadi adalah reaksi asam basa antara dipea dan fmoc-prooh (gambar 2). selanjutnya nukleofil yang terbentuk akan menggantikan atom klorida pada atom kuartener resin 2-klorotritil klorida sehingga asam amino terikat pada resin. resin 2-klorotritil klorida memiliki kemampuan mencegah terbentuknya diketopiperazin seiring dengan meruahnya gugus aktif pada resin tersebut (chan dan white, 2000). gambar 2. reaksi pengikatan asam amino prolin sebagai ujung terminal c ke resin 2-klorotritil klorida (chan dan white, 2000; maharani dan yanti, 2016) eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 10 gambar 3. reaksi pelepasan gugus fmoc dari asam amino sehingga membentuk gugus amino bebas (chan dan white, 2000). reaksi pengikatan asam amino pada resin dilakukan selama 4 jam. hal ini bertujuan untuk memaksimalkan pengikatan asam amino pada resin. tahap selanjutnya adalah menambahkan metanol, yang bertujuan untuk menutup gugus aktif resin yang belum berikatan dengan asam amino dengan gugus metoksi. pengikatan gugus metoksi ini bertujuan agar asam amino selanjutnya tidak terikat pada gugus aktif resin yang masih tersisa, melainkan perpanjangan rantai peptida pada asam amino prolin yang telah terikat pada resin. pelepasan gugus pelindung fmoc pelepasan gugus pelindung fmoc dilakukan dengan menambahkan 20% piperidin dalam dmf selama 30 menit. reaksi (gambar 3) dimulai dengan pengambilan atom hidrogen dari cincin fluoren oleh piperidin yang berperan sebagai basa, sehingga terbentuk intermediet aromatik siklopentadiena. intermediet ini mudah terurai menjadi senyawa dibenzofulvena dan karbonkdioksida, sehingga dihasilkan suatu gugus amino bebas (chan dan white, 2000). lepasnya gugus pelindung fmoc dapat dimonitoring dengan tidak adanya noda pada kromatografi lapis tipis (klt) dibawah sinar uv (254 nm). hal ini dikarenakan gugus pelindung fmoc memiliki dua cincin benzena dengan elektron π yang terdelokalisasi diantara kedua cincin benzena tersebut. delokalisasi elektron π menyebabkan gugus pelindung fmoc berpendar di bawah sinar uv (254 nm). penyusunan peptida linear penyusunan rantai peptida menggunakan kombinasi reagen kopling dic/oksima. penggunaan reagen kopling dic/oksima dipilih karena memiliki kemampuan menekan rasemisasi dan memiliki efisiensi kopling tinggi. langkah pertama yang dilakukan yaitu menambahkan reagen kopling oksima ke asam amino kedua (fmoc-ala-oh), serta melarutkan kedua campuran tersebut dalam pelarut dmf. selanjutnya dic ditambahkan ke dalam campuran reaksi dan dikocok hingga terjadi perubahan warna, suhu dan kekentalan. perubahan ini menunjukkan bahwa ester aktif oksima asam amino fmoc-ala-oh telah terbentuk. keberhasilan kopling ditunjukkan dengan berubahnya warna resin menjadi biru pada uji kloranil. hal ini disebabkan gugus nh (amina sekunder) telah bereaksi dengan kloranil. sedangkan tabel 1. uji aktivitas insektisida senyawa dpap terhadap c. pavonana perlakuan 0 jam 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam mortaliti (%) hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati kontrol 30 0 30 0 30 0 30 0 29 1 3,33 dpap 30 0 30 0 30 0 28 2 28 2 13,33 eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 11 gambar 4. skema sintesis dpap (a) 25% piperidin dalam dmf, 30 menit (b) (1) fmoc-pro, dic/oksima, dmf (2) 25% piperidin dalam dmf, 30 menit (c) (1) fmoc-ala, dic/oksima, dmf (2) 25% piperidin dalam dmf, 30 menit (d) fmoc-asp, dic/oksima, dmf (2) 25% piperidin dalam dmf, 30 menit (e) tfa:air:edt (90:5:5) pada uji klt kesempurnaan reaksi ditandai dengan munculnya noda pada panjang gelombang 254 nm yang berasal dari gugus pelindung fmoc dari asam amino kedua. hasil identifikasi uji kloranil dan klt yang saling mendukung menunjukkan reaksi kopling sudah sempurna. langkah selanjutnya adalah deproteksi fmoc menggunakan piperidin 20% dalam dmf. penambahan dua asam amino selanjutnya dilakukan dengan tahapan reaksi yang sama dengan sebelumnya (kopling dan deproteksi fmoc). skema sintesis senyawa tetrapeptida dpap secara lengkap ditunjukkan pada gambar 4. pelepasan peptida dari gugus samping dan resin sebelum pelepasan peptida dari resin, dilakukan sampling resin-pro-ala-pro-asp-nh ditambahkan beberapa tetes tfa : air : edt (90:5:5) dalam diklorometana. kemudian larutan dianalisis menggunakan tof es-ms yang memberikan puncak ion molekul senyawa dpap [m+h] + pada 399,0171. adanya puncak senyawa dpap menunjukkan sintesis berhasil sehingga peptida siap untuk dilepaskan dari resin. senyawa tetrapeptida dilepaskan dari resin menggunakan 10 ml campuran tfa : air : edt (90:5:5) dalam diklorometana selama 45 menit. lepasnya peptida dari resin ditandai dengan berubahnya warna resin menjadi merah terang. filtrat yang diperoleh disaring dan dipekatkan, sehingga didapatkan krud sebanyak 205 mg. selanjutnya, sampling sedikit krud dari peptida untuk dilakukan uji klt yang bertujuan kemurnian peptida yang dihasilkan. hasil uji klt menunjukkan banyaknya noda sehingga menunjukkan senyawa peptida belum murni, sehingga dilakukan pemurnian menggunakan kromatografi fasa terbalik dengan ods (oktadesil) yang bersifat non polar. penggunakan kromatografi fasa terbalik karena peptida yang memiliki banyak gugus polar berpotensi membentuk ikatan hidrogen dengan gugus silanol pada silika gel dan terbentuk ekor yang lebar, sehingga peptida akan sulit terpisah dari pengotornya. oleh sebab itu digunakan ods yang merupakan gugus non polar (c18). pada struktur ods masih memiliki gugus sio yang berpotensi berikatan hidrogen dengan peptida. namun dalam hal ini eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 12 ditambahkan tfa pada eluen yang bertujuan untuk memprotonasi gugus silan sehingga menekan adanya ikatan hidrogen (chan dan white, 2000). gambar 5. hasil uji klt dengan ods dari dpap peptida hasil pemurnian selanjutnya diuji klt menunjukkan adanya satu noda yang berarti peptida telah murni (gambar 5). senyawa peptida murni yang didapatkan berupa serbuk putih dengan berat 86,4 mg. peptida murni tersebut selanjutnya di analisis menggunakan tof es-ms, larutan dianalisis menggunakan tof es-ms yang memberikan puncak ion molekul [m+h] + pada 399,0171 (gambar 6). data tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu senyawa tetrapeptida pady. kedua senyawa tetrapeptida ini hanya memiliki satu asam amino yang berbeda yaitu tirosin pada pady digantikan dengan prolin pada dpap. pada sintesis pady menunjukkan adanya puncak ion molekul [m+h] + pada 465,1917 dan [m+na] + 487,1471 (sumiarsa dkk., 2019). dengan demikian, hasil karakterisasi spektroskopi massa telah dapat memastikan bahwa senyawa target (dpap) telah berhasil disintesis menggunakan metode spps dengan rendemen 10,85%. senyawa peptida h-pro-ala-pro-asp-nh murni kemudian dilakukan uji hayati terhadap ulat krop kubis (c. pavonana). konsentrasi senyawa peptida yang digunakan adalah 1000 ppm dengan dosis 200 µl yang dioleskan pada daun kubis berukuran 4x4 cm. observasi dilakukan selama 48 jam hingga larva mencapai instar ke 4. persentasi mortalitas penghambatan pertumbuhan ulat krop kubis oleh senyawa peptida sebesar 13,33% (tabel 1). hasil ini menunjukkan bahwa senyawa peptida h-pro-ala-proasp-nh tidak efektif dalam mengontrol dan menghambat pertumbuhan ulat krop kubis (c. pavonana). gambar 6. hasil analisis spektrofotometer massa (tof es-ms) senyawa h-pro-ala-proasp-nh yaitu adanya puncak ion molekul [m+h] + pada 399,0171. eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 13 kesimpulan senyawa tetrapeptida linear (dpap) berhasil disintesis menggunakan metode sintesis peptida fasa padat (spps) dengan rendemen yang dihasilkan sebesar 10,85%. keberhasilan sintesis ditunjukkan dengan analisis menggunakan tof es-ms yang memberikan puncak ion molekul senyawa dpap [m+h] + pada 399,0171. senyawa tetrapeptida linear (dpap) tidak efektif dalam mengontrol dan menghambat pertumbuhan larva ulat krop kubis (c. pavonana) dengan persentasi mortalitas 13,33%. ucapan terimakasih penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada indonesian toray science foundation (itsf) yang telah memberikan hibah penelitian. daftar pustaka arnason, j. t., mackinnon, s., durst, a., philogene, b. j. r., hasbun, c., sanchez, p., poveda, l., roman, l. s., isman, m. b., satasook, c., towers, g. h. n., wiriyachitra, p., and mclaughlin, j. l., 1993. insecticides in tropical plants with non-neurotoxic modes of action. conference proceedings. phytochemical potential of tropical plants, downum k.r., romeo j.t., stafford h.a.: springer, boston, ma, 107-131. borovsky, d., 2003. trypsin-modulating oostatic factor: a potential new larvicide for mosquito control. j. experimental bio., 206 (21), 38693875. borovsky, d., carlson, d. a., griffin, p. r., shabanowitz, j., and hunt, d. f., 1993. mass spectrometry and characterization of aedes aegypty trypsin modulating oostatic factor (tmof) and its analogs. insec biochem. molec. biol, 23 (6), 703-712. borovsky, d., and nauen, r., 2007. biological and biochemical effec of organo-synthetic analogues of tripsin modulating oostatic factor (tmof) on aedes aegypty, heliothis virescent and plutella xylostella, pestycydy, 3 (4), 17-26. bps., 2013. data sosial ekonomi [laporan bulanan], badan pusat statitik, republik indonesia, jakarta. chan, w. c., and white, p. d., 2000. fmoc solid phase peptide synthesis. new york: oxford university press. aeni h.m., n., soekamto, n. h., dan firdaus., 2017. uji fitokimia dan toksisitas ekstrak kloroform kulit batang melochia umbellata (houtt.) stapf var. visenia dengan metode bhrine shrimp lethality test (bslt). indo. j. chem. res., 4 (2), 382-385. indraningsih, 2008. pengaruh penggunaan insektisida karbamat terhadap kesehatan ternak dan produknya, wartazoa, 18 (2), 101-114. anonim, 1993. budidaya tanaman kubis. lembar informasi pertanian (liptan) bip irian jaya, jayapura. maharani, r., hardianto, a., ishmayana, s., yanti, e. f., m, d. i. m., sihotang, d., puspitasari, l. t., and dono, d., 2016. synthesis of three analogues of trypsin-modulating oostatic factor (tmof) and screening of their insecticidal properties towards cabbage cluster caterpillar, inter. j. scientific & tech. res., 5 (05), 147-150. maharani, r., dan yanti, e. f., 2016. sintesis heptapeptida linear (h-tyr-asp-pro-ala-propro-pro-oh) dengan menggunakan dic/oksima sebagai reagen pengkopling. alkimia, 4 (1), 1-12. maharani, r., yanti, e. f., m, d. i. m., and sihotang, d., 2015. synthesis of trypsin-modulating oostatic factor (tmof) and its analogues by solid-phase peptide synthesis using dic/oxyma as coupling reagent, procedia chem., 17, 125-131. nauen, r., sorge, d., sterner, a., and borovsky, d., 2002. tmof-like factor controls the biosynthesis of serine proteases in the larval gut of heliothis virescens, archives of insect biochem. and phy., 49, 65. sari, n. j., and prijono, d., 2004. perkembangan dan reproduksi crocidolomia pavonana (f.) (lepidoptera: pyralidae) pada pakan alami dan semi buatan, hama dan penyakit tumbuhan tropika, 4 (2): 53-61. scott, p. j. h., 2009. linker strategies in solid-phase organic synthesis, wiley & sons ltd. chichester. sohilait, m. r., sohilait, h. j., dan fransina, e., 2013. sintesis senyawa tabir surya 3,4-metilendioksi isoamil sinamat dari minyak kulit lawang. indo. j. chem. res., 1 (1), 1-5. sumiarsa, d., marpaung, c., zainuddin, a., hidayat, a. t., harneti, d., nurlelasari, supratman, u., dan maharani, r., 2019. sintesis tetrapeptida pady menggunakan metode fasa padat dan aktivitas antioksidannya, j. kimia valensi, 5 (1), 87-96. eka fitri yanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 6-4, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-eka 14 uhan, t. s., 2007. efikasi ekstrak kasar baculovirus crocildolomia pavonana terhadap ulat krop kubis di rumah kaca, hort, 17 (3), 253-260. walker, j. m., and rapley, r., 2008. molecular biomethods handbook, 2 nd edition. humana press. totowa. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 1 synthesis and characterization of chitosan-citrate microparticle using ionic gelation methods jolantje latupeirissa1*, matheis. f. j. d. p. tanasale, eirene grace fransina, alesya noya chemistry departement, faculty of mathematics and natural science, pattimura university, jl. ir. putuhena, ambon, 97233, indonesia. *corresponding author: latupeirissajola@gmail.com received: march 2022 received in revised: march 2022 accepted: april 2022 available online: may 2022 abstract a study has been conducted which aims to synthesize chitosan-citrate using the ionic gelation method and its characterization with ftir, sem, saa, and psa, as well as solubility and swelling tests. the results showed that chitosan reacted with sodium citrate producing chitosan-citrate particles. the product of chitosan-citrate has a rough and thickened surface morphology. the surface area of chitosan-citrate obtained is 35.233 m2/g and the pore size is 0.027 cc/g, smaller than chitosan. based on solubility and swelling tests in acidic, alkaline, and neutral media, chitosan-citrate has good resistance and low swelling effect. keywords: chitosan, method of ionic gelation, sodium citrate. introduction biopolymers are polymers that are naturally found in the cell. the prefix 'bio' indicates that the polymer is produced by living organisms, so it is renewable and able to decompose naturally. some examples of commonly used and environmentally friendly biopolymers are chitin, chitosan, carrageenan, alginates, starches, gelatin, and casein gluten. increasing public awareness about environmental issues makes these biopolymers have been used as an alternative to replace petrochemical-based polymers (dhote et al., 2019). chitosan is a natural polysaccharide. it is composed of ß-(1-4)-linked d-glucosamine and nacetyl-d-glucosamine with random distribution. chitosan is produced through the deacetylation process of chitin biopolymer, which are the main components in the shells of crustacea animals such as crabs and shrimps (rahayu et al., 2020; hasanela et al., 2020). today, chitosan has been widely applied commercially to the chemicals, foods, and pharmaceutical industries (li et al., 2007). for example, chitosan has been an adsorbent for heavy metals (bijang et al. 2021; rahayu et al., 2020; tanasale et al., 2018) and a capping agent for nanoparticles (badi’ah, 2021). due to its special properties such as mucoadhesive, biocompatible, biodegradable, non-toxic, and low levels of immunogenicity, chitosan is a very promising biomaterial for its use as a carrier in drug delivery systems (mardliyati et al., 2012). pharmaceutical ingredients in microparticle form can offer number of advantages, for example, they can be used for controlled release dosage and can maintain the stability of the active ingredients. the process of incorporating the active ingredients can be achieved through the encapsulation process and can be used to deliver drugs with a controlled release profile over a long period of time (sari et al., 2012). drug delivery through microparticles can be applied in the field of tissue engineering, replace or regenerate tissue through the manufacture of tissue outside the body and then implanted into the body to replace damaged tissue. microparticles can be used to encapsulate bioactive substances for cell growth and then release these substances in a controlled manner over a certain period of time so that cells differentiate into the desired tissue (sukmawati et al., 2015). chitosan can form microparticles using a variety of methods, one of that is ionic gelation. ionic gelation is a method that attracts a lot of attention from researchers because the process is simple, does not use organic solvents, and can be controlled easily (mardliyati et al., 2012). this method is based on the gelation of chitosan when associated with certain polyanions due to the formation of inter and intramolecular cross-linking mediated by polyanions (elzatahry and eldin, 2008). the process of ionic cross-linking can use compounds such as citrate and tripolyphosphate because it is not toxic and multivalent (nurbaiti, 2015). putra and khabibi, (2014) synthesized chitosan microparticles by ionic gelation process, showing that chitosan microparticles from 1% and 2% chitosan jolantje latupeirissa, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 2 solutions obtained particle sizes of 15-115 μm and 30220 μm, respectively. mardliyati (2012) synthesized chitosan-tripolyphosphate nanoparticles with the ionic gelation method: the effect of concentration and volume ratio to particle characteristics, the results of the study showed that under preparation conditions of 0.2% chitosan concentration, 0.1% tpp concentration and 5:1 chitosan volume ratio, chitosan nanoparticles formed were below 100 nm, fairly-uniform, and relatively stable. many studies have been carried out on the preparation and characterization of chitosantripolyphosphate. modification of chitosan tripolyphosphate causes an increase in the value of the tensile strength, the percentage of elongation, and the flexibility of the film (astriyani, 2011). besides the modification of chitosan with tripolyphosphate, the ionic cross-linking of chitosan can also be carried out using sodium citrate as a crosslinking agent. chitosancitrate cross-linking films have been carried out by immersing the chitosan film into the citrate solution. the chitosan-citrate crosslinked film showed that there was a relationship between the ph of the sodium citrate solution and the swelling ability and drug release properties. a crosslinked film of chitosan with sodium citrate has also been made as a moxifloxacin drug delivery system. chitosan-citrate cross-linked films were made using the immersion method, which was chitosan films, made from 4% chitosan solution in 4% acetic acid, being soaked with 4% sodium citrate in ph 5 producing good tensile strength and film folding resistance, and good physicochemistry (chinta et al., 2013). the ability of chitosan to interact with negative charges from the mucosal surface is because chitosan is a polyelectrolyte compound that can be combined with polyanions, such as sodium citrate. in addition, chitosan is a polycation polymer that can cause interactions with negatively charged (anionic) components. ionic interactions occur between the negative charge of the crosslinking agent and the positive charge of chitosan. the ionic cross-linking method is a simple and easy procedure. the presence of ionic crosslinking allows the modified chitosan to be formed into a variety of drug delivery systems, such as microparticles and nanoparticles (iswandana et al., 2014). based on the explanations above, a study about the synthesis and characterization of chitosan-citrate microparticles using the ionic gelation method has been conducted methodology materials and instrumentals material: analytical balance (ohaus), magnetic stirrer, hot plate, buchner filter, spatula, stir bar, test tube, sieve, ftir, psa, sem-edx, and saa. commercial chitosan (sigma aldrich), sodium citrate (merck), acetic acid (merck), naoh (merck), distilled water, whatman filter paper no.42. this research took place for 6 months at the chemical physics laboratory, department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, ambon. characterization of samples with ftir was carried out at the laboratory of organic chemistry, department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, ambon. characterization of samples with psa, sem-edx, and saa was carried out at the integrated laboratory of undip, semarang. methods initial preparation of chitosan-citrate chitosan-citrate was made using the ionic gelation method through the complexation of a polyelectrolyte positively charged chitosan and negatively charged sodium citrate. dissolved 2 g of commercial chitosan into 100 ml of 2% acetic acid solution, then stirred using a magnetic stirrer and allowed to stand at room temperature for 24 hours. prepared 1 g of sodium citrate and dissolved with distilled water in a 50 ml volumetric flask. synthesis of chitosan-citrate a total of 50 ml of sodium citrate solution was added slowly into 100 ml of the prepared chitosan solution until a suspension of chitosan-citrate microparticles was formed. stirring was continued for 1 hour so that the cross-linking process took place perfectly to produce a gel. the chitosan-citrate gel formed was slightly yellowish in color, filtered, and dried in an oven at 70 – 80 ˚c. the granules were ground and filtered using a 100-mesh sieve (mardliyati et al., 2012). the sample was characterized using ftir, psa, sem-edx, and saa instruments solubility test of chitosan-citrate commercial chitosan and chitosan-citrate powders were tested to see their solubility in 2% (v/v) acetic acid, 1m naoh and 100 ml of distilled water, respectively. about 0.1 g of chitosan and chitosancitrate powders were added to the three different solutions and stirred for 24 hours (ngah and fatinathan, 2010). jolantje latupeirissa, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 3 solubility test of chitosan-citrate a total of 0.1 g of commercial chitosan and chitosan citrate powder were each put into 3 different test tubes then the powder level of each tube was marked and measured as h0. then each tube was filled with 2 ml of 2% (v/v) acetic acid, 1 m naoh and distilled water, and allowed to stand for 24 hours. after 24 hours, the height of the powder in the tube was measured as ht. the percentage of swelling is calculated based on the following equation 1. s = ℎ𝑡−ℎ𝑜 ℎ0 x 100 (1) where s is the swelling percentage, ht is the swelling powder height at time t, and h0 is the initial height of chitosan and chitosan-citrate powder (ngah and fatinathan, 2010). results and discussion synthesis of chitosan-citrate the synthesis of chitosan-citrate microparticles uses the ionic gelation method, which involves the interaction between positive ions from chitosan and negative ions from sodium citrate. chitosan is first dissolved in the acetic acid solvent so that the chitosan undergoes protonation (figure 1) which produces nh3 + ions. figure 1. chitosan undergoes protonation reaction. the protonated chitosan was reacted with sodium citrate solution. when the sodium citrate solution is added to the chitosan solution, there will be a crosslinking process between the negative charges of sodium citrate with a positive charge of chitosan to form a suspension of chitosan-citrate nanoparticles. the chitosan-citrate suspension was then filtered to produce a gel which was then dried in an oven at a temperature of 70-80 ˚c to remove the water content. the dried solid of chitosan-citrate crosslinks was ground using a mortar and pestle as soon as possible. this is because the chitosan-citrate sample formed is hygroscopic so if it is exposed to air for too long it will make the sample elastic and cannot be ground to form a powder. then sifted using a 100-mesh sieve to obtain a chitosan-citrate powder. physical appearance sodium citrate modified chitosan showed changes in physical appearance. chitosan powder (figure 2a) has a white color while chitosan-citrate (figure 2b) is yellow. figure 2. (a) chitosan and (b) chitosan-citrate powder this color change occurs due to the drying process of the chitosan-citrate gel. chitosan has a fine powder form while the resulting chitosan-citrate is in the form of flakes. the hygroscopic nature of chitosan-citrate makes the grinding process difficult, so the resulting chitosan-citrate was in the form of flakes. chitosan is also odorless, while chitosan-citric smells sour. the sour smell of chitosan-citrate comes from acetic acid which is used as a solvent for chitosan during the protonation process of chitosan before being reacted with sodium citrate. characterization of chitosan-citrate using ftir characterization of functional groups using ftir was carried out to determine whether the chitosancitrate crosslinking process was formed or not. this can be seen by comparing the chitosan ftir spectrum (figure 3) which was used for the synthesis, with the chitosan-citrate spectrum (figure 4). the absorption peaks in the chitosan and chitosan-citrate spectra did not differ much, there were only some changes in the chitosan-citrate spectrum which indicated a crosslinking process occurred. the ftir spectrum of chitosan and chitosan-citrate has a peak at 3300-3100 cm-1 which indicates the presence of an –oh group. this is due to the –oh group peak covering the peak of the –nh2 group. the spectrum of 1600-1500 cm -1 shows the presence of n-h and c=o groups in chitosan and chitosan-citrate. ftir analysis of chitosan-citrate found that there was a sharper carbonyl group absorption compared to the chitosan spectrum which indicated the increase in the number of the carbonyl group. this is due to the interaction between the amide in chitosan and the carboxylate group of citrate so that the amide group is reduced because it turns into nh3 + and c=o increases due to the carboxylate group of citrate (figure 3). jolantje latupeirissa, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 4 figure 3. chitosan ftir spectrum. figure 4. chitosan-citrate ftir spectrum. the spectrum of chitosan and chitosan-citrate has typical absorption bands as shown in table 1. the peak of 1469-1454 cm-1 in chitosan-citrate is a cooh group formed from cross-linking between chitosan and citrate. the chitosan-citrate spectrum (figure 4) also showed a shift from the peak of 1392-1328 cm-1 to 1373-1317 cm-1 the chitosan spectrum. this is in accordance with the wavenumber of the c-o group on the cooion (nurbaiti, 2015). the spectrum of chitosan and chitosan-citrate has typical absorption bands as shown in table 1. sem-edx characterization of chitosan-citrate chitosan has a surface morphology similar to surface chitosan which is slightly rough, but there is a change in chitosan-citrate (figure 5a) which shows the surface morphology as clumping and denser than the surface morphology of chitosan (figure 5b) which looks more tenuous. table 1. ftir spectrum data of chitosan and chitosan citrate. functional group wave number (cm-1) chitosan chitosancitrate -oh stretching 3352-3116 3311-3174 -ch stretching 2881 2885 c=o 1666-1633 1681-1614 -nh (nh2) 1566-1537 1566-1517 -coo1469-1454 -c-o 1373-1317 1392-1328 the results of the edx analysis of chitosan and chitosan-citrate showed the presence of the following elements: c, o, na, cl, and cu with the compositions presented in table 2. jolantje latupeirissa, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 5 figure 5. (a) sem chitosan magnification 3000x. (b) sem chitosan-citrate magnification 3000x. table 2. edx data of chitosan and chitosan-citrate. element mass (%) chitosan chitosancitrate c 57.25 38.45 o 42.21 49.44 na 0.13 11.24 cl 0.15 cu 0.25 0.87 the presence of na, cl, and cu on the surface of chitosan detected by edx was considered an impurity. chitosan is a natural polymer obtained from the deacetylation of chitin from shrimp shells and crab shells which may contain metals or pollutants found in the sea (wowor et al., 2015). the na and cl elements contained in chitosan are thought to come from the chitin deacetylation process using naoh and hcl solutions. after the crosslinking process between chitosan and citrate, there was a change in the composition of all elements (table 2). the elemental composition of o and na increased indicating that the chitosan had been modified by citrate. surface area analyzer (saa) characterization of chitosan-citrate based on the results of the bet analysis, the chitosan surface area obtained was 108.080 m²/g and the chitosan-citrate surface area was 35.233 m²/g. this change indicates that chitosan has been modified by citrate so that the surface area of chitosan-citrate is smaller than that of chitosan. in addition to surface area data, from the nitrogen adsorption analysis, pore size data from chitosan and chitosan-citrate samples were also obtained, after being calculated using the bjh method, the pore diameter data were 38.138 å for chitosan and 30.530 å for chitosan-citrate. this shows that the pore size of chitosan-citrate is smaller than that of chitosan because chitosan-citrate undergoes agglomeration of several particles to form larger granules and reduce the pores. particle size analyzer (psa) characterization of chitosan-citrate the particle size of chitosan-citrate was determined based on the average volume diameter. based on the results of psa analysis, chitosan particles have a larger average diameter than chitosan-citrate which indicates that chitosan has been modified as shown in (table 3). however, the measurement results show micrometer-sized (μm) chitosan-citrate particles because of the chitosan-citrate agglomerates during the drying process. table 3. particle size of chitosan and chitosan-citrate. samples average particle diameter (μm) chitosan 92.628 chitosan-citrate 89.653 chitosan has a larger size than chitosan-citrate because the chitosan particles are very large and dense, so that they clump together to form aggregates into larger particles making it difficult to break up into smaller particles (mardliyati et al., 2012). the addition of citrate to chitosan can reduce the size of the microparticles and increase the strength of the chitosan matrix. jolantje latupeirissa, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 6 chitosan and chitosan-citrate solubility test the results of the quantitative solubility test (table 4) showed that chitosan was soluble in acid, insoluble in distilled water, and partially soluble in base. in contrast to chitosan, chitosan-citrate has better resistance in all three media. the solubility of chitosancitrate in acid decreased so that it was only partially soluble, which was because most of the amino groups in chitosan had reacted with citrate and reduced the number of primary amino groups present in chitosan. the lack of h+ ions in basic and neutral media and the reduction of amino groups in chitosan-citrate in the protonation process causes chitosan-citrate to be insoluble in both basic and neutral media. table 4. solubility test results of chitosan and chitosan-citrate samples solubility effect in 100 ml solution 2% ch3cooh distilled water 1 m naoh chitosan soluble insoluble insoluble chitosancitrate insoluble insoluble insoluble chitosan and chitosan-citrate swelling test the swelling of the polymer chains is determined by the nature of the solvent used during immersion. in this study, the swelling power test was carried out on chitosan and chitosan-citrate in acidic, basic, and neutral solutions (nasution et al., 2013). based on the results of measurements and calculations presented in table 5, the percentage effect of polymer chain swelling is different for each solution based on the nature of the solvent used. after soaking for 24 hours in each medium, the height of the chitosan and chitosan-citrate powder showed that the swelling of chitosan was much greater than that of chitosan-citrate. the swelling power of chitosan-citrate decreased because it was influenced by the density of the crosslinks. the tight bonds between chitosan-citrate polymers resulted in a small swelling ability. chitosan is soluble in 2% ch3cooh due to protonation of amino groups in chitosan. meanwhile, chitosan-citrate can expand in an acidic medium due to protonation of the amine group to nh3 + so that chitosan-citrate can expand in an acidic medium due to the presence of an amine group in chitosan. similar to the acid medium, swelling in the alkaline medium also occurs because the carboxylic group (-cooh) turns into a carboxylate ion (-coo-) (yuliani, 2012). table 5. swelling test results of chitosan and chitosan-citrate samples swelling effect (%) 2% ch3cooh distilled water 1 m naoh chitosan soluble 110.5 110 chitosancitrate 116.67 23 85 conclusion based on the research results obtained, it can be concluded that the chitosan-citrate can be synthesized through a cross-linking process using chitosan and sodium citrate. chitosan-citrate has a rough and thickened surface morphology. chitosan-citrate has a surface area of 35.233 m2/g and a smaller pore size than chitosan, which is 30.53 å. acknowledgment thanks to the head and staff of the physical chemistry and organic chemistry laboratory, fmipa pattimura university, who have supported researchers with tools and chemicals used during the research. thanks to the diponegoro university integrated laboratory for the analytical instrument assistance. references astriyani, f. (2011). preparasi kitosan tripolifosfat sebagai eksipien dalam sediaan tablet enterik. undergraduated thesis. universitas indonesia. badi'ah, h.i. (2021). chitosan as a capping agent of silver nanoparticles. indonesian journal of chemical research, 9(1), 21-25. bijang, c.m., tanasale, m.f.j.d.p., kelrey, a.g., mansur, i.u., & aziz, t. (2021). preparation of natural ouw-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indonesian journal of chemical research, 9(1), 15-20. chinta, d. p., katakam, p., murthy, v. s. n., & newton, m. j. (2013). formulation and in-vitro evaluation of moxifloxacin loaded crosslinked chitosan films for the treatment of periodontitis. journal of pharmacy research, 7(6), 483–490. dhote, v. k., dhote, k., pandey, s. p., shukla, t., maheshwari, r., mishra, d. k., & tekade, r. k. (2019). fundamentals of polymers science applied in pharmaceutical product development. in r. k. tekade (ed.), basic fundamentals of drug delivery (pp. 85–112). academic press. jolantje latupeirissa, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 1-7, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 7 elzatahry, a. a., & eldin, m. s. m. (2008). preparation and characterization of metronidazole-loaded chitosan nanoparticles for drug delivery application. polymers for advanced technologies, 19(12), 1787–1791. iswandana, r., jufri, m., & effionora anwar. (2014). formulasi nanopartikel verapamil hidroklorida dari kitosan dan natrium tripolifosfat dengan metode gelasi ionik. jurnal farmasi indonesia, 6(4), 201–210. hasanela, n., tanasale, m.f.j.d.p. & tehubijuluw, h. (2020). karakterisasi biopolimer kitosan hasil deasetilasi limbah kepiting rajungan (portunus sanginolentus) menggunakan nabh4 dalam naoh. indonesian journal of chemical research, 8(1), 66-71. li, y., chen, x. g., & liu, n. (2007). physicochemical characterization and antibacterial property of chitosan acetates. carbohydrate polymers, 67. mardliyati, e., muttaqien, s. el, & setyawati, d. r. (2012). sintesis nanopartikel kitosan-trypoly phosphate dengan metode gelasi ionik : pengaruh konsentrasi dan rasio volume terhadap karakteristik partikel. prosiding pertemuan ilmiah ilmu pengetahuan dan teknologi bahan, 90–93. nasution, z., & harry agusnar, zul alfian, b. w. (2013). pengaruh viskositas kitosan dari berbagai berat molekul terhadap pembuatan kitosan nanopartikel menggunakan ultrasonic bath. jurnal teknologi kimia unimal, 2(2), 68– 79. ngah, w. s. w., & fatinathan, s. (2010). adsorption characterization of pb(ii) and cu(ii) ions onto chitosan-tripolyphosphate beads: kinetic, equilibrium and thermodynamic studies. journal of environmental management, 91(4), 958–969. nurbaiti, r. (2015). preparasi dan karakterisasi kitosan-sitrat sambung silang sebagai eksipien dalam sedian film yang mengandung veramil. undergraduated thesis. uin syarif hidayatullah. putra, h. w., & khabibi, k. (2014). sintesis mikropartikel kitosan dengan proses gelasi ionik sebagai adsorben logam cd(ii). jurnal kimia sains dan aplikasi, 17(3), 104–108. rahayu, r., tanasale, m.f.j.d.p., & bandjar, a. (2020). isoterm adsorpsi ion cr (iii) oleh kitosan hasil isolasi limbah kepiting rajungan dan kitosan komersil. indonesian journal of chemical research, 8(1), 28-34. sari, r., a, d. p. r., & rijal, m. a. s. (2012). pengaruh perbandingan obat-polimer terhadap ketoprofen-kitosan. mikropartikel pharma scientia.1(2), 7-11. sukmawati, a., yuliani, r., & wahyuni, a. s. (2015). formulasi dan evaluasi mikropartikel dexamethasone lepas lambat dengan matriks ethyl cellulose (ec). university research colloquium, 18–26. tanasale, m.f.j.d.p., bandjar, a. & sewit, n. (2018). isolasi kitosan dari tudung jamur merang (vollariella volvaceae) dan aplikasinya sebagai adsorbent logam berat timbal (pb). indonesian journal of chemical research, 6(1), 44-50. wowor, a. r. y., bagau, b., untu, i., & liwe, h. (2015). kandungan protein kasar, kalsium, dan fosfor tepung limbah udang sebagai bahan pakan yang diolah dengan asam asetat (ch3cooh). zootec, 35(1), 1. yuliani, a. a. (2012). preparasi dan karakterisasi mikrosfer kitosan suksinat tersambung silang natrium sitrat. undergraduated thesis. universitas indonesia. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 144 analisis kandungan logam nikel (ni) dalam air laut dan persebarannya di perairan teluk kendari, sulawesi tenggara analysis of nickel (ni) metal content in seawater and its distribution in kendari bay, southeast sulawesi dwiprayogo wibowo 1 *, basri 1 , aryani adami 1 , sumarlin 1 , rosdiana 1 , wa ndibale 1 , ilham 2 1 program studi teknik lingkungan, fakultas teknik, universitas muhammadiyah kendari, jl. k.h. ahmad dahlan no. 10 wowawanggu, kec. kadia, kota kendari 93127 – sulawesi tenggara, indonesia. 2 fakultas teknik, universitas halu oleo, jl. hea mokodompit kampus baru uho, kendari 93231 sulawesi tenggara, indonesia. * corresponding author: dwiprayogowibowo@yahoo.com received: 2020 received in revised: accepted: available online: abstract this study presents several correlations between community activity and the level of ni metal content around kendari bay was analyzed using atomic absorption spectroscopy (aas) instrumentation. the 5 different location points were chosen based on the number of community activities. furthermore, each sample was taken as much as 1 liter as far as ± 100 m from the coastline then analyzed using the aas instrument. the results showed that there was a relationship between community activities and the high content of ni metal which accumulated in the seawater of kendari bay. the ni metal content obtained varied of t1<t4<t3<t2>t5, namely 0.047; 0.052; 0.063; 0.068; 0.073, respectively. based on the quality standard, the ni content in seawater is 0.05 mg/l refers to the ministry of environment so that at t2, t3, t4, and t5 are exceeded the threshold. it is due to the high community activities so that the probability of ni metal value also increases from waste disposal. based on this study, it provides the latest information in 2020 regarding areas of ni metal contamination due to community activities and also for the community not to consume fish obtained from kendari bay. keywords: kendari bay, metal, aas, nickel, population. abstrak (indonesian) studi ini menyajikan beberapa korelasi antara aktivitas masyarakat dengan kadar logam nikel (ni) di sekitar teluk kendari yang dianalisis menggunakan instrumentasi spektroskopi serapan atom (ssa). 5 titik lokasi berbeda dipilih berdasarkan jumlah kegiatan masyarakat. selanjutnya setiap sampel diambil sebanyak 1 liter sejauh ± 100 m dari garis pantai dan dianalisis menggunakan instrumen ssa. hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara aktivitas masyarakat dengan tingginya kandungan logam ni yang terakumulasi di perairan laut teluk kendari. kadar logam ni yang diperoleh bervariasi masing-masing t1<t4<t3<t2>t5, yaitu 0,047; 0,052; 0,063; 0,068; 0,073. berdasarkan baku mutu, kadar ni dalam air laut adalah 0,05 mg/l mengacu pada peraturan klh sehingga pada t2, t3, t4, dan t5 sudah melebihi ambang batas. hal ini dikarenakan aktivitas masyarakat yang tinggi sehingga kemungkinan nilai logam ni juga meningkat dari pembuangan limbah. berdasarkan kajian ini memberikan informasi terkini ditahun 2020 mengenai kawasan pencemaran logam ni akibat aktivitas masyarakat agar tidak mengkonsumsi ikan yang diperoleh dari perairan teluk kendari. kata kunci: teluk, kendari, logam, aas.nikel, penduduk. pendahuluan wilayah perairan merupakan suatu wilayah yang dinamis dan identik dengan tempat berkumpulnya masa air (anggraeni dkk., 2015; kartika dkk., 2020). hal ini tentu didasari oleh keberadaan siklus hidrologi alam yang selalu bersirkulasi dan tidak pernah dwiprayogo wibowo dkk. indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 145 berhenti dari atmosfer bumi (suntana, 2018). ketika terjadi proses presipitasi, air hujan akan turun dan mengalir membawa beberapa unsur-unsur kimia yang bermanfaat atau dapat membawa bencana bagi umat manusia (sunarsa, 2018). aliran air ini akan kembali menuju ke laut untuk melanjutkan siklus hidrologi dengan membawa beberapa unsur kimia terlarut yang akan terakumulasi di perairan (soegianto, 2019). tidak heran bahwa beberapa zat-zat pencemar baik dari limbah domestik dan industri juga terbawa melalui aliran sungai atau drainase perkotaan menuju ke wilayah laut/teluk. hal ini jelas akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan efek racun bagi biota makhluk hidup lainnya (awal dkk., 2015; ningsih, 2018). akibat adanya logam berat dalam perairan dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian pada biota laut bila secara terus menerus terakumulasi dengan logam berat (teheni dkk., 2016). terkhusus di provinsi sulawesi tenggara (sultra) indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki kandungan unsur logam berlimpah di dunia yang dibuktikan dengan banyaknya perusahaan tambang nikel (ni) yang tersebar diberbagai wilayah kabupaten di sultra (muzakkar dkk., 2019; nurdin dkk., 2016; nurdin dkk., 2016; nurhidayani dkk., 2017). selain itu didukung juga dengan maraknya aktivitas masyarakat terkait kegiatan hiburan dan industri memungkinkan tingkat pencemaran logam renik semakin meningkat (fiskanita dkk., 2018). tentu kondisi ini juga akan berdampak pada persebaran unsur logam di sultra baik yang dapat ditemukan di daerah pesisir maupun daratan sehingga memungkinkan tingginya pencemaran logam berat terakumulasi dalam bentuk sedimen atau ion-ion terlarut dalam air (haryadi, 2016; mandasari dkk., 2019). diperparah lagi ketika memasuki musim penghujan daerah sultra selalu mengalami banjir kiriman dari wilayah pegunungan akibat kegiatan pertambangan, pembukaan lahan kelapa sawit, dan perkebunan. tentu seiring dengan bertambahnya waktu peningkatan pencemaran ini juga terus meningkat (hidayat, 2015). beberapa cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi banjir selain mengungsikan para masyarakat yang tinggal dibantaran sungai-sungai besar juga dibuat beberapa bendungan untuk mengurangi debet aliran sungai (das) (pua dkk., 2019; purwanto dkk., 2017). aliran air di sultra melalui beberapa sungai besar yang tersebar di empat kabupaten dan sebagian besar bermuara ke pesisir gambar 1. denah lokasi titik pengambilan sampel di perairan teluk kendari dwiprayogo wibowo dkk. indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 146 timur perairan kendari dan laut banda. sungaisungai tersebut antara lain adalah sungai lasolo, sungai roraya, sungai sampolawa, sungai wandasa, sungai kabangka balano dan sungai laeya. gambar 2. diagram alir kajian analisis kualitas air perairan teluk kendari aliran sungai-sungai tersebut melintasi berbagai kawasan, antara lain kawasan permukiman, pertanian dan industri/pertambangan, sehingga banyak membawa lumpur/sedimen dan kontaminan yang bersifat toksik ke perairan teluk kendari (lesmana dkk., 2019; sentosa dan satria, 2015). logam berat yang terakumulasi di perairan dapat mengkontaminasi manusia melalui rantai makanan. logam berat dalam kadar yang rendah dibutuhkan oleh organisme perairan, namun dalam kadar tinggi yang melebih nilai ambang batas dapat bersifat racun dan mengganggu kesehatan (hananingtyas, 2017; ketaren dkk., 2019). logam berat merupakan salah satu bahan kimia beracun yang dapat memasuki ekosistem bahari dan seringkali memasuki rantai makanan dan berpengaruh pada hewan-hewan, serta dari waktu ke waktu dapat berpindah-pindah dari sumbernya (mariwy dkk., 2020; tanasale dkk., 2018). keberadaan perairan pesisir sebagai penampungan terakhir bagi sungai yang bermuara dan membawa limbah, baik yang berasal dari industri maupun rumah tangga, sangat membahayakan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya, utamanya masyarakat yang mengkonsumsi hasil laut yang telah terkontaminasi logam berat (galib dkk., 2017; triantoro dkk., 2018). tabel 1. lokasi dan titik pengambilan sampel di perairan teluk kendari titik lokasi lintang selatan bujur timur t1 pesisir pantai nambo 4 o 0’5.16”s 122 o 37’12.31”t t2 pelabuhan perikanan samudera 3 o 58 ’ 55.46”s 122 o 34’20.89”t t3 wisata agribisnis kendari 3 o 59’22.67”s 122 o 32’36.68”t t4 kendari beach 3 o 58’26.72”s 122 o 32’16.80”t t5 pelabuhan nusantara kendari 3 o 58’26.72”s 122 o 35’5.32”t dengan demikian pentingnya wilayah perairan untuk terus dikaji kualitas airnya agar tidak mengalami dampak pencemaran lingkungan yang serius untuk kedepannya. sehingga dalam penelitian ini, telah dikaji hubungan aktivitas keramaian kegiatan masyarakat terhadap tingginya kandungan logam ni yang terakumulasi dalam air laut teluk kendari, dengan harapan bahwa memberikan informasi terkini terkait wilayah pencemaran lingkungan akibat akumulasi logam berat dan juga bagi masyarakat agar tidak mengkonsumsi ikan yang diperoleh dari teluk kendari. metodologi titik pengambilan sampel pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan di perairan teluk kendari, yang diambil berdasarkan 5 titik lokasi berbeda seperti yang ditunjukkan pada tabel 1 dan gambar 1. penyiapan sampel sampel air sebanyak 1 liter diambil berdasarkan setiap titik yang ditentukan di perairan teluk kendari dengan kriteria yang ditetapkan (sni 6964.8:2015) sejauh ± 100 meter dari garis pantai yang bertujuan agar data yang diperoleh benar-benar valid untuk melihat kondisi akumulasi kandungan logam berat di teluk kendari. selanjutnya sampel air dipreparasi untuk penyiapan analisis kadar ni skala laboratorium yakni dengan cara sampel air masing-masing diambil pelaksanaan penelitian tingginya aktivitas masyarakat pengambilan sampel air laut ±100 m dari garis pantai analisis kandungan logam nikel (ni) menggunakan instrumen ssa persebaran pencemaran logam ni di teluk kendari baku mutu klh no. 51 tahun 2004 hubungan aktivitas masyarakat dengan tingkat pencemaran logam ni dwiprayogo wibowo dkk. indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 147 sebanyak 500 ml dan dimasukkan dalam wadah beaker kemudian diteteskan sebanyak 5 tetes larutan hno3 pekat dan panaskan diatas hotplate dengan suhu 100°c selama 10 menit. setelah sampel telah dingin selanjutnya masuk ketahap penentuan konsentrasi menggunakan instrmentasi ssa pada panjang gelombang ni 232,0 nm (sni 6989.18:2009). alur penelitian dapat dilihat pada gambar 2. hasil dan pembahasan persebaran logam nikel pentingnya mengetahui persebaran kandungan logam nikel (ni) karena beberapa zat-zat pencemar baik dari limbah domestik dan industri terbawa melalui aliran sungai dan drainase perkotaan terakumulasi di teluk kendari. berdasarkan penelitian fiskanita dkk. (2018) bahwa wilayah perairan air laut sangat mudah tercemar oleh logamlogam berat. sebelum dilakukannya analisis menggunakan instrumentasi ssa, sampel diambil menggunakan botol ukuran 1 liter dengan 5 titik lokasi berbeda yaitu (t1) pelabuhan perikanan samudera (t2) wisata agribisnis kendari (t3) masjid al-alam (t4) kendari beach (t5) pelabuhan nusantara kendari (tabel 1). pengambilan sampel berjarak ±100 dari garis pantai dengan kedalaman 1 meter yang diambil dengan waktu bersamaan di pagi hari bertujuan agar data yang diperoleh benar-benar valid untuk melihat kondisi akumulasi kandungan logam berat di teluk kendari. hasil analisis logam nikel dalam preparasi larutan, sampel disaring menggunakan kertas saring whatmann ukuran 150 mm yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat pengotor di dalam larutan sampel, sebab di dalam sampel masih banyak zat-zat yang kemungkinan akan mengganggu nilai dari identifikasi kandungan ni. selanjutnya sampel diberikan sedikit larutan asam encer berupa hno3, h2o2 dan amnium hidroksida yang bertujuan untuk melarutkan analit logam dan menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam sampel air (nugraheni dkk., 2018). hasil analisis ssa dari air laut teluk kendari dapat dilihat pada tabel 2. hasil tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan logam nikel di perairan teluk kendari pada tiap titik sangat bervariasi. jika dibandingkan dengan nilai baku mutu berdasarkan klh no. 51 tahun 2004 (klh, 2018) dengan batas maksimum kandungan logam terlarut ni sebesar 0,05 mg/l untuk biota laut menunjukkan bahwa perairan teluk kendari pada titik t1 < 0,047 mg/l masih dibawah batas maksimum sedangkan, t2 > 0,068 mg/l, t3 > 0,063 mg/l, t4 > 0,052 mg/l dan t5 < 0,073 mg/l telah melebihi ambang batas yang ditetapkan. walaupun t1 kurang dari 0,05 mg/l hal ini menunjukkan bahwa kondisi juga mulai mengalami pencemaran. sedangkan jika dibandingkan dengan baku mutu untuk pemanfaatan wisata bahari kondisi ini tidak tergolong dalam melebihi ambang batas yakni dengan standar yang ditetapkan yaitu 0,075 mg/l. ini menunjukkan bahwa perairan teluk kendari sudah melebihi baku mutu klh untuk biota laut dikategorikan tercemar ringan karena hasil analisis dengan baku mutu menunjukkan nilai yang tidak terlalu signifikan dalam rentang 0,045< 0,050< 0,075 mg/l. sedangkan baku mutu untuk wisata bahari masih sesuai dengan baku mutu klh dan dikategorikan belum tercemar dalam kisaran 0,045< 0,075 mg/l. berdasarkan kategori pencemaran biota laut tentu hal tersebut tidak sesuai untuk kehidupan organisme perairan. logam berat di perairan dapat menimbulkan efek toksik jika keberadaannya telah melebihi nilai ambang batas sehingga akan berdampak langsung pada organisme akuatik, ekosistem perairan juga secara tidak langsung berdampak kepada kesehatan manusia dalam pemanfaatan hasil laut disekitaran wilayah tersebut (ramlia dan djalla, 2018). sifat logam berat yang sulit terurai sehingga mudah tabel 2. hasil analisis kadar ni di perairan teluk kendari titik lokasi sampel baku mutu biota laut baku mutu wisata bahari parameter satuan hasil pengukuran t1 pelabuhan perikanan samudera 0,05 0,075 mg/l 0,047 t2 wisata agribisnis kendari mg/l 0,068 t3 masjid al-alam mg/l 0,063 t4 kendari beach mg/l 0,052 t5 pelabuhan nusantara kendari mg/l 0,073 dwiprayogo wibowo dkk. indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 148 terakumulasi dalam lingkungan perairan juga pada beberapa kasus, dapat menyebabkan kematian baik itu kepada organisme, ekosistem ataupun manusia (wali, 2020). selain itu, keracunan logam berat biasanya disebabkan kebiasaan memakan makanan yang berasal dari laut misalnya ikan, kepiting dan tiram yang sudah terkontaminasi akibat cemaran logam berat di perairan. tingginya kandungan logam ni jika terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi toksik bagi kehidupan perairan dan manusia yang mengkonsumsi hasil laut tersebut. pemetaan persebaran kandungan logam ni di perairan teluk kendari pemetaan persebaran kandungan logam ni di perairan teluk kendari (gambar 3) menunjukkan bahwa faktor sedimentasi dan aktivitas masyarakat mempengaruhi persebaran kandungan logam dalam teluk kendari. berdasarkan penelitian fiskanita dkk. (2018) jarak 5-10 meter dari lokasi pengambilan sampel air tidak terlalu signifikan terhadap kenaikan konsentrasi logam yang dianalisis yaitu berkisar ±0,005 mg/l. kegiatan aktivitas masyarakat di t1 tidak terlalu padat jika dibandingkan dengan t2, t3, t4, dan t5. t2, t3, dan t4 merupakan lokasi wisata bahari yang merupakan objek wisata kuliner dan taman bakau kota kendari merupakan destinasi wisata yang sering dikunjungi oleh masyarakat. hal ini tentu mengakibatkan kemungkinan masuknya limbah yang mengandung nikel di perairan. sedangkan t5 menunjukkan lokasi bongkar muat barang di pelabuhan sehingga tentu meningkatkan beberapa limbah pencemar dalam perairan. hal ini diperparah lagi ketika masuk musim penghujan aliran air menuju ke teluk kendari mengakibatkan terjadinya sedimentasi, dimana logam yang tidak mudah larut mengalami proses pengendapan air laut dan mengendap dalam bentuk sedimen. selain mencemari perairan, logam berat juga akan mengendap pada sedimen yang mempunyai waktu tinggal (residence time) sampai ribuan tahun dan terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu melalui saluran pernafasan, makanan, dan melalui kulit (wali, 2020; yusuf dan nurliana, 2015). menurut achyani dan weliyadi (2013) bahwa pencemaran lingkungan oleh nikel terjadi secara anthropogenic seperti pertambangan, peleburan, dan pemurnian logam nikel. menurut adam dan maftuch (2015) bahwa peningkatan kadar nikel dalam air terjadi karena masuknya limbah yang mengandung nikel ke perairan. tingginya konsentrasi logam ni dalam lingkungan perairan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti aktivitas manusia yang menghasilkan beberapa limbah rumah tangga, penggerusan batuan atau lapisan tanah serta beberapa partikel logam yang turun bersama aliran air (wali, 2020). beberapa penelitian yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti untuk mengatasi permasalahan pencemaran logam berat diperairan laut dan teluk yaitu dengan memanfaatkan tumbuhan rumput laut sebagai biosorben (bijang dkk., 2018). hubungan penentuan secara kimia juga berkaitan dengan kajian parameter oseanografi fisik perairan diantaranya seperti suhu, arus, ph (derajat keasaman), kecerahan dan salinitas. parameter oseanografi fisik pada dasarnya dapat mempengaruhi konsentrasi gambar 3. persebaran kandungan ni di perairan teluk kendari (merah melebihi 0,05 mg/l, oranye kurang dari 0,05 mg/l) dwiprayogo wibowo dkk. indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 149 logam berat di perairan. suhu dan salinitas serta faktor fisika lainnya sangat mempengaruhi proses kelarutan akan logam-logam berat yang masuk ke perairan. selain itu, logam berat dalam suatu lingkungan baik itu air maupun sedimen dapat melalui banyak proses akumulasi yaitu secara fisik, kimia dan biologis. secara umum kandungan logam berat pada sedimen lebih tinggi dibanding yang terdapat pada air laut (hutagalung, 1984; male dkk., 2017). logam berat mempunyai sifat mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air (amriarni dkk., 2011; nugraha, 2009). oleh sebab itu, tingginya sedimentasi dan logam ni yang terjadi di teluk kendari pemerintah telah berupaya membuat beberapa talud untuk pemisahan sedimentasi walaupun belum optimal dan menghimbau para nelayan untuk tidak mengkonsumsi beberapa organisme laut dari teluk kendari. kesimpulan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya hubungan aktivitas keramaian kegiatan masyarakat terhadap tingginya kandungan logam ni yang terakumulasi dalam air laut teluk kendari. kandungan logam ni yang diperoleh bervariasi berturut-turut t1< t4< t3< t2> t5 yaitu 0,047; 0,052; 0,063; 0,068; 0,073. berdasarkan baku mutu, standar kandungan ni dalam air laut sebesar 0,05 mg/l, sehingga pada t2, t3, t4, dan t5 dinyatakan telah melebihi ambang batas. tingginya konsentrasi logam ni dalam lingkungan perairan teluk kendari disebabkan oleh berbagai faktor seperti aktivitas manusia yang menghasilkan beberapa limbah rumah tangga, penggerusan batuan atau lapisan tanah dari aktivitas pembukaan lahan baru dan pertambangan di sekitaran kota kendari. ucapan terimakasih para penulis mengucapkan terima kasih kepada laboratorium forensik – universitas halu oleo atas bantuan analisis menggunakan instrumentasi ssa. daftar pustaka achyani, r. dan weliyadi, e. 2013. analisis dan evaluasi kontaminasi logam berat pada sedimen, air dan rumput laut euchema cottoni di kota tarakan, j. harpodon borneo, 6, 1–6. adam, m.a. dan maftuch, m., 2015. evaluasi optimasi instalasi pengolahan air limbah terhadap pencemaran sungai wangi pasuruan, j. environ. eng. sustain. technol., 2, 1–5. amriarni, a, hendrarto b. dan hadiyarto a., 2011. bioakumulasi logam berat timbal (pb) dan seng (zn) pada kerang darah (anadara granosa l.) dan kerang bakau (polymesoda bengalensis l.) di perairan teluk kendari, j. ilmu lingkung., 9, 45–50. anggraeni, t.d., wulandari, s.y. dan marwoto, j., 2015. kajian konsentrasi nitrat dan silikat pada kondisi pasang dan surut di perairan morosari kabupaten demak, j. oceanogr., 4, 635–640. awal, j., tantu, h. dan tenriawaru. e.p., 2015. identifikasi alga (algae) sebagai bioindikator tingkat pencemaran di sungai lamasi kabupaten luwu, dinamika, 5, 21–34. bijang, c.m., tehubijuluw, h. dan kaihatu, t.g., 2018. biosorption of cadmium (cd 2+ ) metal ion in brown seaweed biosorbent (padina australis) from liti beach, kisar island, indo. j. chem. res., 6, 563–570. fiskanita, f., hamzah, b. dan supriadi, s., 2018. analisis logam timbal (pb) dan besi (fe) dalam air laut di pelabuhan desa paranggi kecamatan ampibabo, j. akad. kim., 4, 175– 180. galib, s., said, i. dan napitupulu, m., 2017. digesti logam zink (zn) dalam sedimen estuaria sungai palu dengan kombinasi asam mineral, j. akad. kim., 6,247–251. hananingtyas, i., 2017. studi pencemaran kandungan logam berat timbal (pb) dan kadmium (cd) pada ikan tongkol (euthynnus sp.) di pantai utara jawa, biotropic, 1, 41–50. haryadi, h., 2016. analisis dampak pembangunan smelter nikel terhadap perekonomian daerah di provinsi sulawesi tenggara, bul. sumber daya geol., 11, 25–39. hidayat, h., 2015. pengelolaan hutan lestari: partisipasi, kolaborasi dan konflik, yayasan pustaka obor indonesia. hidup, m.l., 2018. keputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004. tentang baku mutu air laut untuk biota, jakarta: menlh. , hutagalung, h.p., 1984. logam berat dalam lingkungan laut, pewarta ocean. ix, 1, 45–59. kartika, d.d., novitasari, d,c,r. dan setiawan f., 2020. prediksi kecepatan arus laut di perairan selat bali menggunakan metode exponential smoothing holt-winters, mathvision, 2, 12–17. ketaren, c.b.b., hakim, a.a. dan fahrudin a., 2019, wardiyatno y. kandungan logam berat pb undur-undur laut dan implikasinya pada dwiprayogo wibowo dkk. indo. j. chem. res., 8(2),144-150, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 150 kesehatan manusia, j. biol. trop., 19, 90–100. lesmana d.m.m, waterman w. dan maimina m., 2019. kajian teknis sistem penyaliran tambang terbuka pada pit alpha pt. timah investasi mineral, kecamatan kabaena barat, kabupaten bombana, sulawesi tenggara, prosiding seminar nasional sains dan teknologi terapan. 501–506. male y.t, malle d. dan bijang c.m., 2017. analysis of cadmium (cd) and lead (pb) metals content on sediment inner part of ambon bay, indo. j. chem. res., 5, 434–443. mandasari j, andarani p. dan sarminingsih a., 2019. analisis pengaruh kebisingan terhadap daya pendengaran pekerja di feni plant pt. antam (persero) tbk. unit bisnis pertambangan nikel sulawesi tenggara, j. tek. lingkung., 6, 1–11. mariwy, a., dulanlebit, y.h. dan yulianti, f., 2020. awar-awar (ficus septica burm f) heavy metal mercury accumulation study using awar-awar (ficus septica burm f) plants, indo. j. chem. res., 7, 159–169. muzakkar, m.z., nurdin, m., ismail, i,, maulidiyah., m., wibowo, d., ratna, r., saad, s.k.m. dan umar, a.a., 2019. tio2 coated-asphalt buton photocatalyst for high-performance motor vehicles gas emission mitigation, emiss. control sci. technol., 6, 28–36. ningsih, r.w., 2018. dampak pencemaran air laut akibat sampah terhadap kelestarian laut indonesia, j. univ. muhammadiyah yogyakarta, 1, 1–12. nugraha, w.a., 2009. kandungan logam berat pada air dan sedimen di perairan socah dan kwanyar kabupaten bangkalan, j. kelaut. indones. j. mar. sci. technol., 2, 158–164. nugraheni, z.v., utomo, w,p., a’yuni, q., agustina, n.a., kholik, j. dan puspita, c., 2018, penggunaan pektin kulit jeruk manis (citrus sinesis) sebagai absorben untuk mengurangi kadar ion kromium (vi) pada sampel air sungai jagir, akta kim. indones., 3, 112–120. nurdin, m., maulidiyah, a.h.w., abdillah, n. dan wibowo, d., 2016a. development of extraction method and characterization of tio2 mineral from ilmenite, int. j. chemtech res, 9, 483–491. nurdin, m., zaeni, a., maulidiyah, natsir, m., bampe, a. dan wibowo. d., 2016b. comparison of conventional and microwave-assisted extraction methods for tio2 recovery in mineral sands, orient. j. chem., 32, 2713–2721. nurhidayani, muzakkar, m.z., maulidiyah, wibowo, d. dan nurdin, m., 2017. a novel of buton asphalt and methylene blue as dye-sensitized solar cell using tio2/ti nanotubes electrode, iop conf. ser. mater. sci. eng., 267, 12035. pua, m., sumarauw, j.s.f. dan manoppo, f.j., 2019, kajian efisiensi pembangunan waduk kuwil untuk reduksi banjir di manado akibat sungai tondano, j. ilm. media eng., 7, 908–919. purwanto, p.i., juwono, p.t. dan asmaranto, r., 2017, analisa keruntuhan bendungan tugu kabupaten trenggalek, j. tek. pengair., 8, 222– 230. ramlia, r. dan djalla, a., 2018. uji kandungan logam berat timbal (pb) di perairan wilayah pesisir parepare, j. ilm. mns. dan kesehat., 1, 255–264. sentosa, a.a. dan satria, h., 2015. kebiasaan makan beberapa jenis ikan yang tertangkap di rawa kaiza sungai kumbe kabupaten merauke, papua, limnotek-perairan darat trop. di indones., 22, 32–41. soegianto, a., 2019. ekologi air tawar, airlangga university press. sunarsa, s., 2018. isyarat sains tentang air dalam al-qur’an, j. naratas, 1, 9–18. suntana, i., 2018. keabadian air: telaah teologi energi dalam islam dan hukum termodinamika. afkaruna indones, interdiscip. j. islam. stud., 14, 242–261. tanasale, m.f.j.d.p., bandjar, a. dan sewit, n., 2018. isolasi kitosan dari tudung jamur merang (vollvariella volvaceae) dan aplikasinya sebagai absorben logam timbal (pb), indo. j. chem. res., 6, 44–50. teheni, m.t., nafie. n. la. dan dali, s., 2016. analysis of heavy metal cd at algaee eucheuma cottoni in bantaeng region coastal, ind. j. chem. res., 4, 348–351. triantoro, d.d., suprapto, d. dan rudiyanti, s., 2018. kadar logam berat besi (fe), seng (zn) pada sedimen dan jaringan lunak kerang hijau (perna viridis) di perairan tambak lorok semarang, j. manag. aquat. resour., 6, 173– 180. wali, w., 2020. kandungan logam berat nikel (ni) pada sedimen dan air di perairan desa tapuemea kabupaten konawe utara, j. sapa laut (jurnal ilmu kelautan), 5, 37–47. yusuf, b. dan nurliana, s., 2015. analisa pb 2+ pada lobster (panulirus sp) dengan metode adisi standar spektrofotometer uv-vis menggunakan pengompleks ditizon, j. kim. mulawarman, 11, 56–58. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 72 pengaruh waktu reaksi terhadap viskositas dan densitas tetraetil ortosilikat dari silika abu sekam padi the effect of reaction time on viscosity and density of tetraethyl orthosilicate from silica rice husk ash dwi rasy mujiyanti 1 *, hayatun nisa 2 , kholifatu rosyidah 2 , dahlena ariyani 1 , abdullah 1 1 program studi kimia fmipa universitas lambung mangkurat jl. ahmad yani km. 35,8 banjarbaru 70714 kalimantan selatan 2 laboratorium kimia anorganik, laboratorium fmipa ulm banjarbaru 70714, indonesia * corresponding author: drmujiyanti@ulm.ac.id received: 2020-1-20 received in revised: 2020-1-25 accepted: 2020-5-20 available online: 2020-5-31 abstract tetraethyl ortosylicate (teos) is a material is widely used in industrial fields. one source of silica (sio2) is rice husk ash. in this study was determined the effect of reaction time on viscosity and density in making teos from silica rice husk. silica resulting from the purification of rice husk ash is used in the teos manufacturing process by examining the variation of reaction time. one mole of ethanol and 0.25 mole of silica powder were added into 250 ml of round bottom flask followed by the addition of 1 gram of cuo/al2o3 catalyst then the mixture was refluxed for 30, 35, 40, 45 and 50 hours with sufficient stirring and a temperature of 90 °c. the ftir characterization results show that there are three main functional groups, namely the oh, si-o and c-o groups in the five teos synthesis results. wavenumbers of the – oh functional groups obtained ranged from 3349 cm -1 3315 cm -1 ; si-o functional groups range from 813 cm -1 606 cm -1 and c-o functional groups range from 1105 cm -1 1040 cm -1 . reaction time has no significant effect on viscosity. reaction time has no significant effect on the density and density of the resulting teos. keywords: rice husk, reaction time, viscosity, density, teos. abstrak (indonesian) tetraetil ortosilikat (teos) merupakan bahan yang banyak digunakan pada berbagai bidang industri. salah satu sumber penghasil silika (sio2) adalah abu sekam padi. pada penelitian telah ditentukan pengaruh waktu reaksi terhadap viskositas dan densitas dalam pembuatan teos dari silika sekam padi. silika hasil dari pemurnian abu sekam padi digunakan dalam proses pembuatan teos dengan mengkaji variasi waktu reaksi. sebanyak 1 mol etanol (58,4 ml) dan 0,25 mol (7 gram) serbuk silika ditambahkan kedalam 250 ml labu alas bulat diikuti oleh penambahan katalis cuo/al2o3 sebesar 1 gram kemudian campuran direfluks selama 30, 35, 40, 45 dan 50 jam dengan pengadukan yang efektif dan temperatur sebesar 90 ° c. hasil karakterisasi ftir menunjukan bahwa terdapat 3 gugus fungsi utama yaitu gugus -oh, si-o dan c-o pada kelima sampel hasil sintesis teos. bilangan gelombang gugus fungsi –oh yang didapatkan berkisar antara 3349 cm -1 3315 cm -1 ; gugus fungsi si-o berkisar 813 cm -1 606 cm -1 dan gugus fungsi c-o berkisar antara 1105 cm -1 1040 cm -1 . waktu reaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap viskositas waktu reaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap densitas dan densitas teos yang dihasilkan. kata kunci: sekam padi, waktu reaksi, viskositas, densitas, teos. pendahuluan tetraetil ortosilikat (teos) banyak digunakan oleh pabrik semikonduktor yang ada di indonesia. penggunaan teos sangat banyak diantaranya dalam pembuatan keramik, lapisan tahan korosi, alat-alat semikonduktor, bahan dasar komposit (rahim dkk., 2011), katalis heterogen (fatimah dkk., 2008), substrat elektronik, substrat lapisan tipis, adsorben (suarya dkk., 2010) dan insulator listrik (alhussein dkk., 2016; zawrah dkk., 2009). keuntungan penggunaan teos sebagai sumber atau perkursor silika karena teos menghasilkan partikel silika yang dwi rasy mujiyanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 73 sangat halus (alhussein dkk., 2016). selama ini teos masih diimpor dari cina dan jepang. di sisi lain, silika banyak sekali terdapat di alam seperti pasir, kuarsa, gelas, sekam padi dan sebagainya (soltani dkk., 2014) sekam padi merupakan residu pertanian yang jumlahnya melimpah di indonesia, termasuk provinsi kalimantan selatan. badan pusat statistik provinsi kalimantan selatan (2016) mencatat produksi padi di kalimantan selatan pada tahun 2015 mencapai 2,14 juta ton atau meningkat sebesar 45 ribu ton yang setara 2,18% jika dibandingkan dengan produksi padi pada tahun 2014 yang tercatat sebesar 2,09 juta ton. abu sekam padi mengandung silika sebanyak 87% 97% berat kering (handayani dkk., 2014; harimu dkk., 2019; tanasale dkk., 2015) sedangkan penelitian yang dilakukan oleh mujiyanti dkk. (2010) abu sekam padi mengandung silika sebanyak 95,6%. tingginya kandungan silika pada sekam padi berpotensi sebagai bahan baku pembuatan teos. pembuatan teos dari serbuk silikon dan etanol dengan menggunakan katalis alumina oksida telah dilakukan oleh (alhussein dkk., 2016) dengan rendemen produk sebesar 80%. reaksi tersebut berlangsung selama 40 jam dengan perbandingan mol etanol:silika sebesar 4:1. oleh karena itu pada penelitian pembuatan teos dari sekam padi ini, mengikuti metode yang dilakukan oleh alhussein dkk.(2016) dengan variasi waktu reaksi. senyawa teos yang dihasilkan dianalisis sifat fisikanya meliputi viskositas, densitas, dan gugus fungsinya menggunakan fourier transform infrared (ftir). metodologi alat dan bahan alat–alat yang digunakan adalah hot plate stirrer (stuart), neraca analitik (ohaus), furnace muffle, ayakan 240 mesh, peralatan gelas (pipet tetes, pipet gondok, erlenmeyer, gelas piala, corong, labu alas bulat), fourier transfrom infra-red spectroscopy (shimadzu prestige 21), oven (memmert), cawan porselin, piknometer, viskometer. bahan-bahan yang digunakan adalah sekam padi, etanol 95-97% (merck), hcl 37% (merck), al2o3, kertas saring whatman no 42, dan akuades. prosedur kerja preparasi abu sekam padi sekam dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran terutama tanah liat, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. sekam yang telah kering ditimbang 50 gram sampel. sampel kemudian dibakar pada suhu 600 ºc selama 4 jam. proses pemanasan dengan suhu tinggi dilakukan untuk menghilangkan komponen organik dengan menggunakan tungku pemanas. abu sekam digerus dan diayak dengan ayakan 240 mesh sehingga didapat ukuran yang homogen (ginanja dkk., 2014) pemurnian silika abu sekam padi proses pemurnian dilakukan dengan cara memasukkan sampel berupa abu sekam padi ke dalam gelas piala dan dibasahi dengan akuades panas, kemudian ditambahkan hcl pekat sebanyak 5 ml dan diuapkan sampai kering. penambahan hcl dilakukan sebanyak tiga kali. sampel telah kering ditambahkan 20 ml akuades dan 1 ml hcl pekat dan dibiarkan di atas penangas air selama 30 menit. sampel tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci 4 sampai 5 kali dengan akuades panas. hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300 ºc selama 3 jam hingga kertas saring menjadi arang. dilanjutkan dengan memanaskan pada suhu 600 ºc hingga yang tersisa hanya endapan silika (sio2) berwarna putih (mujiyanti dkk., 2010) pembuatan katalis cuo/al2o3 dengan metode impregnasi penyangga γ-al2o3 diaktivasi di dalam oven selama 2 jam sebanyak 9 gram pada suhu 110°c, dibuat larutan impregnan yaitu 9 gram γ-al2o3 dilarutkan dalam 30 ml aquades dalam gelas beker 250 ml dan diaduk (larutan i). ditimbang sebanyak 2,683 gram tembaga (ii) klorida dihidrat (cucl2.2h2o) larutkan dalam 70 ml akuades dalam gelas beker 100 ml dan diaduk (larutan ii). setelah itu, larutan i dan larutan ii dicampurkan ke dalam gelas piala lain kemudian dipanaskan pada suhu 6070 °c sambil diaduk hingga terbentuk kering atau pasta. pasta yang telah terbentuk dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 120 °c selama 2 jam. terakhir, dikalsinasi dalam tanur pada suhu 500 °c selama 5 jam. proses sintesis teos sebanyak 1 mol etanol (58,4 ml) dan 0,25 mol (7 gram) serbuk silika ditambahkan kedalam 250 ml labu alas bulat diikuti oleh penambahan katalis alumina oxide sebesar 1 gram kemudian campuran direfluks pada waktu reaksi yang telah divariasikan selama 30, 35, 40, 45 dan 50 jam dengan pengadukan yang efektif dan temperatur sebesar 90 o c. reaksi dimonitor sampai keadaaan gas hidrogen yang terbentuk stabil. pada akhir reaksi campuran disaring untuk memisahkan silikon dan katalis. produk teos yang dihasilkan dilakukan uji viskositas dan uji dwi rasy mujiyanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 74 densitas kemudian dianalisis menggunakan ftir (alhussein dkk., 2016) penentuan viskositas sampel dimasukkan dalam viskometer dan dibiarkan dalam penangas air hingga mencapai temperature 40 o c. waktu yang diperlukan sampel untuk mengalir dari tanda pertama hingga tanda kedua dicatat (detik). pengukuran dilakukan dilakukan dua kali dan dihitung harga rata-rata viskositasnya. sesuai dengan persamaan 1. ( ) ( ) (1) dimana v adalah viskositas (mm 2 /s), c1 dan c2 adalah konstanta pada viskometer dan t1 adalah waktu alir (detik) awal, t2 adalah waktu alir akhir (detik). penentuan densitas piknometer yang kering dan bersih ditimbang beratnya, kemudian sampel dimasukkan ke dalam piknometer sampai tanda batas tanpa adanya gelembung udara. bagian luar piknometer harus dalam keadaan bersih dan kering, setelah itu ditimbang beratnya. dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali. densitas (d) dari sampel dapat dihitung berdasarkan persamaan 2. d= (2) dimana w1 adalah berat piknometer berisi sampel, w0 adalah berat piknometer kosong (g), dan v adalah volume piknometer (ml). analisis data analisis data dilakukan dengan menampilkan data yang diperoleh dari penelitian ini yaitu data viskositas, densitas, dan spektrum ft-ir dalam bentuk tabel atau grafik yang kemudian dianalisis secara deskriptif untuk melihat pengaruh waktu reaksi terhadap pembentukan teos dengan membandingkan dengan refeensi dari penelitian sebelumnya. untuk data viskositas dan densitas dibandingkan dengan referensi yaitu viskositas dan densitas teos komersial. hasil dan pembahasan preparasi abu sekam padi tahapan preparasi ini dilakukan untuk menghilangkan komponen organik seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang ada pada sekam padi (chandra dkk., 2012, ginanja dkk., 2014, harimu dkk., 2019). tahapan preparasi dimulai dengan pencucian sekam padi untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada sekam padi seperti lumpur, debu dan lain sebagainya. sekam padi yang telah dicuci kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kering. gambar 1. hasil pencucian dan pengeringan sekam padi gambar 2. hasil pembakaran sekam padi proses pengabuan dilakukan pada suhu 600 °c selama 4 jam untuk menghilangkan senyawa organik dalam sekam padi dan mencegah terjadinya transformasi silika yang berstruktur amorf menjadi kristalin (chandra dkk., 2012). hasil dari pembakaran sekam padi berupa abu yang berwarna putih keabuabuan kemudian diayak menggunakan ayakan 240 mesh untuk menyeragamkan ukuran partikel agar pemurnian yang dilakukan pada tahap berikutnya lebih efektif (sari, 2013). kadar abu sekam padi yang diperoleh sebesar 24,45%. penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh (nopianingsih dkk., 2015) 1000 g sekam padi dibakar dalam tanur dengan suhu 700 °c didapatkan kadar abu dalam sekam sebesar 20,20%, berwarna putih. analisis terhadap sekam padi yang dipanaskan dalam tungku pembakaran yang sudah diatur temperatur pembakarannya 300-700 °c untuk dibandingkan warna abu yang terbentuk. hasil yang dwi rasy mujiyanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 75 diperoleh menunjukkan semakin rendah temperatur pembakaran maka waktu yang diperlukan untuk menghasilkan abu sekam padi berwarna keputihputihan menjadi lebih lama. hal ini dikarenakan pembakaran pada karbon dalam sekam padi pada temperatur yang rendah memiliki kecepatan pembakaran yang rendah (chakraverty, 1988). gambar 3. hasil pembuatan katalis cuo/al2o3 dengan metode impregnasi pemurnian silika abu sekam padi kadar silika abu sekam setelah dimurnikan adalah 87,87%. berdasarkan penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh maulidiyah (2017) abu sekam padi yang telah dimurnikan menggunakan katalis kemudian dikarakterisasi dengan xrf didapatkan hasil kadar kandungan silika (si) dalam abu sekam padi sebesar 89%. maulidiyah (2017) juga melaporkan bahwa dengan melakukan pemurnian abu sekam padi menggunakan hcl dapat meningkatkan persentase kandungan unsur si pada abu sekam padi. pembuatan katalis cuo/al2o3 dengan metode impregnasi pembuatan katalis cuo/al2o3 dengan metode impregnasi dengan terlebih dahulu melakukan pengeringan pengemban γ-al2o3 di dalam oven selama 2 jam untuk menguapkan zat pengotornya yang dapat menghalangi penetrasi larutan impregnan kedalam bahan pengemban (dewi dkk., 2016). kemudian γ-al2o3 dilarutkan dalam 30 ml akuades (larutan i) dan tembaga (ii) klorida dihidrat (cucl2.2h2o) dilarutkan dalam 70 ml akuades (larutan ii) diaduk hingga larut. larutan i dan larutan ii dicampurkan dalam gelas beker lain kemudian dipanaskan pada suhu 60-70 °c sambil diaduk hingga terbentuk kering atau pasta. setelah terbentuk pasta dilakukan pengeringan di oven pada suhu 120 °c selama 2 jam. pengeringan bertujuan untuk mengkristalkan garam logam pada permukaan pori pengemban. jika tidak dilakukan dengan benar, akan dihasilkan distribusi konsentrasi yang tidak merata (dewi dkk., 2016). terakhir, dikalsinasi dalam tanur pada suhu 500 °c selama 5 jam. kalsinasi adalah proses pemanasan dengan temperatur tinggi, tetapi masih di bawah titik lebur yang bertujuan untuk menghilangkan pelarut. proses kalsinasi hasil impregnasi menyebabkan pelepasan air sehingga luar permukaan pori-pori katalis bertambah yang meningkatkan kemampuan absorpsi (dewi dkk., 2016). analisis menggunakan ftir analisis gugus fungsional dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi senyawa yang terdapat pada larutan hasil refluks. senyawa hasil refluks dianalisis pada rentang bilangan gelombang 400-4500 cm -1 . spektrum ftir senyawa hasil refluks dengan variasi waktu reaksi dapat dilihat pada gambar 4. berdasarkan spektrum ftir pada gambar 4 dapat dilihat bahwa tidak tampak perubahan transmitan secara signifikan dari kelima sampel tersebut. hasil pengukuran dengan ftir, diperoleh beberapa gugus fungsi dengan bilangan gelombang tertentu pada 5 perlakuan sampel tersebut yang dapat dilihat pada tabel 1. proses sintesis teos sintesis teos dilakukan dengan variasi waktu reaksi 30, 35, 40, 45 dan 50 jam dengan pencampuran 1 mol etanol (58,4 ml), 0,25 mol (7 gram) serbuk silika dan 1 gram katalis cuo/al2o3 dan direfluks pada suhu 90 °c. penambahan katalis berfungsi untuk mempercepat proses reaksi. hasil refluks yang didapatkan disaring untuk memisahkan antara padatan dan cairan. filtrat yang didapatkan berupa cairan bening agak keruh dan berbau seperti alkohol, sifat ini menyerupai sifat teos (niosh, 2005) volume masing masing dari variasi waktu reaksi adalah 30 ml, 39 ml, 27 ml, 22 ml dan 18 ml. gambar 4. spektrum ir hasil refluks a). 30 jam, b). 35 jam, c). 40 jam, d). 45 jam, dan e). 50 jam gugus fungsi si-o dapat dilihat pada tiap-tiap variasi waktu ada perbedaan bilangan gelombang baik dari si-o simetris maupun asimetris. pada variasi a30 (30 jam) didapatkan gugus fungsi si-o asimetris dengan pita serapan 813 cm -1 , sampel a35 (35 jam) terjadi pergeseran bilangan gelombang menjadi 800 cm -1 , sampel a40( 40 jam) kembali terjadi pergeseran menjadi 798 cm -1 kemudian pada sampel a 45 (45 jam) bilangan gelombang si-o terjadi pergeseran kembali menjadi 800 cm -1 seperti pada sampel a35 yaitu 800 cm -1 kemudian pada sampel a50 (50 jam) dwi rasy mujiyanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 76 bilangan gelombang si-o asimetris sama dengan bilangan gelombang pada sampel a40 yaitu 798 cm -1 . gugus fungsi si-o simetris pada a30 memiliki bilangan gelombang yang sama dengan bilangan gelombang a45 yaitu 640 cm -1 , sedangkan untuk variasi yang lain memiliki bilangan gelombang yang berbeda-beda. gugus fungsi si-o simetris masingmasing pada a35, 40 dan 50 ditunjukkan pada bilangan gelombang 650 cm -1 , 616 cm -1 dan 606 cm -1 . selain itu gugus fungsi c-o juga menunjukkan pita serapan yang berbeda-beda pada masing-masing variasi waktu yaitu pada sampel a30 yaitu pada 1104 cm -1 , 1050 cm -1 , sampel a35 yaitu pada 1105 cm -1 , 1040 cm -1 , sampel a50 yaitu pada 1105 cm -1 , 1056 cm -1 , serta sampel a40 dan a45 untuk gugus c-o pada bilangan gelombang 1098 cm -1 , 1050 cm -1 dan 1095 cm -1 , 1056 cm -1 . dari kelima sampel ini dapat dilihat perbedaan bilangan gelombang yang tidak teralu jauh. pergeseran bilangan gelombang pada setiap gugus di atas menunjukkan adanya pengaruh dari lamanya waktu reaksi yang telah dilakukan dan juga dipengaruhi oleh gugus-gugus lain yang berikatan dengannya (pavia dkk., 2015) gugus fungsi c-h dari kelima sampel juga mengalami pergeseran bilangan gelombang. pergeseran yang terjadi pada bilangan gugus fungsi regangan asimetris dan simetris c-h tidak terlalu besar yakni untuk simetris c-h terjadi pergeseran kearah bilangan gelombang tinggi tetapi pada sampel a50 bilangan gelombang kembali begeser kearah bilangan gelombang rendah. untuk gugus asimetris c-h mengalami pergeseran flukluatif yaitu untuk a30 2967, 2888 cm -1 ; a35 2980, 2895 cm -1 ; a40 2975, 2887 cm -1 ; a45 2970, 2892 cm -1 ; dan a50 2960, 2895 cm -1 . data pita serapan ini menunjukkan bahwa terdapatnya gugus c-h pada pada setiap sampel. gugus c-h ini kemungkinan dari teos yaitu si(oc2h5)4 atau kemungkinan juga dari etanol. gugus fungsi o-h terbaca pada kelima sampel baik regangan maupun bengkokan. dari tabel 1 diperoleh pita serapan untuk regangan gugus o-h masing-masing sampel yaitu 3349 cm -1 , 3315 cm -1 , 3344 cm -1 , 3325 cm -1 , dan 3315 cm -1 . sampel a35 dan a50 memiliki bilangan gelombang o-h yang sama. gugus fungsi -oh ini dapat diasumsikan berasal dari etanol yang masih ada dalam sampel seperti penelitian yang telah dilakukan oleh alhussain dkk. (2016). berdasarkan perbandingan hal tersebut, didapatkan bahwa dari kelima sampel yang telah dianalisis mempunyai spektrum yang hampir mirip. tabel 2 . hasil penentuan viskositas sampel viskositas nilai viskositas teos (zhangjiagang fortune chemical co., ltd) a30 3,67 4-7 cps (grade-40) ; 1-3 cps (grade-32) dan 0,97 cps (grade-28) a35 3,21 a40 2,90 a45 3,16 a50 2,74 penentuan viskositas penentuan viskositas bertujuan untuk mengetahui kecepatan alir suatu larutan. hasil viskositas dari larutan hasil reaksi dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2 menunjukkan bahwa pada waktu 30, 35, dan 45 jam memiliki viskositas yang hampir mirip yaitu sebesar 3,67 cps; 3,21 cps dan 3,16 cps sedangkan pada sampel 40 dan 50 jam sebesar 2,90 cps dan 2,74 cps. nilai viskositas yang diperoleh pada bilangan gelombang (cm -1 ) jenis vibrasi a30 a35 a40 a45 a50 3349 3315 3344 3325 3315 regangan o-h 2967, 2888 2980, 2895 2975, 2887 2970, 2892 2960, 2895 regangan asimetris c-h 2615 2625 2709 2750 2744 regangan simetris c-h 1650 1656 1 670 1648 1665 bengkokan o-h 1465, 1393, 1332 1470, 1400, 1325 1458, 1396, 1336 1470, 1389, 1335 1480, 1351, 1328 bengkokan c-h 1278 1260 1280 1287 1290 goyangan ch3 1104, 1050 1105, 1040 1098, 1050 1095, 1056 1105, 1056 regangan c-o 870 884 875 890 884 regangan c-c 813 800 798 800 798 regangan asimetris sio4 640 650 616 640 606 regangan simetris sio4 tabel 1. nilai bilangan gelombang dan gugus fungsi dari kelima perlakuan terhadap sampel dwi rasy mujiyanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 77 tabel 2 telah memenuhi standar nilai viskositas teos komersial yaitu 1-3 cps. penentuan densitas penentuan densitas bertujuan untuk mengetahui massa jenis dari suatu larutan atau senyawa. hasil densitas atau massa jenis dari larutan hasil reaksi dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3. hasil penentuan densitas sampel viskositas nilai densitas teos (zhangjiagang fortune chemical co., ltd) a30 0,7917 1,05-1,07 g/ml(grade-40) 0,97-1,00 g/ml(grade-32) 0,93-0,94 g/ml (grade-28) a35 0,8101 a40 0,8144 a45 0,8204 a50 0,8131 tabel 3 menunjukkan hasil yang diperoleh dari proses refluks atau reaksi selama 30, 35, 40, 45 dan 50 jam. variasi waktu reaksi ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh terhadap densitas. dapat dilihat massa jenis dari setiap perlakuan tidak terlalu jauh berbeda satu sama lain. akan tetapi hasil yang diperoleh belum memenuhi nilai densitas teos komersial. hal ini dikarenakan massa setiap volumenya rendah sehingga tidak dapat mencapai nilai densitas teos (saputra dkk., 2017) kesimpulan hasil karakterisasi ftir menunjukan bahwa terdapat 3 gugus fungsi utama yaitu gugus -oh, sio dan c-o pada kelima perlakuan terhadap sampel hasil refluks. bilangan gelombang gugus fungsi –oh yang didapatkan berkisar antara 3349-3315 cm -1 , gugus fungsi si-o berkisar 813-606 cm -1 , dan gugus fungsi c-o berkisar antara 1105-1040 cm -1 . waktu reaksi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap viskositas dan densitas teos. nilai viskositas yang didapat bekisar 2,74-3,67 cps dan densitas berkisar 0,7917-0,8204 g/ml. ucapan terimakasih ucapan terima kasih ditujukan fmipa universitas lambung mangkurat (ulm) yang telah mendanai penelitian ini melalui penelitian dipa tahun anggaran 2019, sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor: 136/un8.1.28/ sp/2019. juga kepada laboratorium fmipa ulm, laboratorium kimia anorganik yang telah memberikan fasilitas untuk pelaksanaan penelitiannya. daftar pustaka alhussein, o., elgorashi, e., and bayahia, h., 2016. a novel method for synthesis of ethylsilicates and its applications, asian j. chem., 28, 2741– 2744. badan pusat statistik provinsi kalimantan selatan, 2016. survei pertanian produksi tanaman padi dan palawija provinsi kalimantan selatan 2016, bps, kalimantan selatan. chandra, a., miryanti, y. a., widjaja, l. b., & pramudita, a., 2012. isolasi dan karakterisasi silika dari limbah sekam padi, res. report engin. sci., 2, 1-37. dewi, t. k., mahdi, dan novriyansyah, t., 2016. pengaruh rasio reaktan pada impregnasi dan suhu reduksi terhadap karakter katalis kobalt/zeolit alam aktif, j. teknik kimia, 22(3), 34-42. fatimah, i., rubiyanto, d., dan huda, t., 2008. peranan katalis tio2/sio2-montmorillonit pada reaksi konversi sitronelal menjadi isopulegol, reaktor, 12(2), 83-89. ginanja, r. r., ma’ruf, a., dan mulyadi, a. h., 2014. ekstraksi silika dari abu sekam padi menggunakan pelarut naoh. prosiding seminar nasional hasil-hasil penelitian dan pengabdian lppm ump 2014, purwokerto. handayani, p. a., nurjanah, e., dan rengga, w. d. p., 2014. pemanfaatan limbah sekam padi menjadi silika gel, j. bahan alam terbarukan, 3(2), 55-59. harimu, l., rudi, l., haetami, a., santoso, g. a. p., dan asriyanti, a., 2019. studi variasi konsentrasi naoh dan h2so4 untuk memurnikan silika dari abu sekam padi sebagai adsorben ion logam pb 2+ dan cu 2+ . indo. j. chem. res., 6(2), 81-87. maulidiyah, a. n., 2017. sintesis dan karakterisasi nanozeolit y dari abu sekam padi dengan variasi suhu hidrotermal, tesis, jurusan kimia. universitas islam negeri maulana malik ibrahim, malang. mujiyanti, d. r., astuti, m. d., dan umaningrum, d., 2010. pembutan silika amorf pada limbah sekam padi gambut di kabupaten banjar kalimantan selatan, laporan penelitian, lppm universitas lambung mangkurat, banjarmasin. niosh, 2005. niosh pocket guide to chemical hazards: department of health & human services, centers ofr disease control & prevention, [on-line], available: www.amazon.com /niosh-pocket-guidedwi rasy mujiyanti dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 72-78, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwi 78 chemical-hazards/dp/1470098857 [oct 17, 2019]. nopianingsih, n. n. s., sudiarta, i. w., dan sulihingtyas, w. d., 2015. sintesis silika gel terimobilisasi difenilkarbazon dari abu sekam padi melalui teknik sol gel, j. kimia , 9(2), 226-234. pavia, d. l., lampman, g. m., kriz, g. s., and vyvyan, j. a., 2015. introduction to spectroscopy fifth edition, cengage learning, usa. saputra, a.t., muhammad, a.w. dan irsan. 2017. pemanfaatan minyak goreng bekas untuk pembuatan biodiesel menggunakan katalis zeolit alat teraktivasi, j. chemurgy, 1(2), 1-6. sari, d. m., 2013. uji fisis komposit polimer resin epoksi berbasis abu sekam padi dengan agregat pasir sungai, skripsi, universitas lampung, lampung. soltani, n., bahrami, a., pech-canul, m. i., and gonzález, l. a., 2014. review on the physicochemical treatments of rice husk for production of advanced materials, chemical engin. j., 264, 899-935. suarya, p., putra, a. a. b., dan wisudawan, d., 2010. interkalasi tetraetil ortosilikat (teos) pada lempung teraktifasi asam sulfat dan pemanfaatannya sebagai adsorben warna limbah garmen, j. kimia, 4(1), 43-48 tanasale, m. f. j. d. p., tuhalauruw, e., and latupeirissa, j., 2015. the capability test of rice husk (oryza sativa) as active carbon for phenol adsorption, indo. j. chem. res., 2(2), 223-230. rahim, t. n. a., mohamad, d., ismail, a., and md akil, h., 2011. synthesis of nanosilica fillers for experimental dental nanocomposites and their characterizations, j physical sciences, 22, 93-105. zawrah, m., el-kheshen, a. a., and abdelaal, h. 2009. facile and economic synthesis of silica nanoparticles, j.ovonic res., 5, 129-133. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 179-184, 2022 doi: 10.30598//ijcr 179 utilization of aur-aur grass as a natural hand sanitizer in order to prevent the spread of the covid-19 virus adilla lina putri amutya1, alfianzilham rifa’i1, yogi prasetiyo1, arum sari2, lestari hetalesi saputri1* 1teknik kimia, politeknik lpp yogyakarta, jl. lpp no. 1a, kota yogyakarta, indonesia 2fakultas biologi, universitas gadjah mada, jl. teknika selatan, bulaksumur, yogyakarta, indonesia *corresponding author: eta@polteklpp.ac.id received: october 2021 received in revised: october 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract indonesia is currently amid a covid-19 virus pandemic. one of the efforts that can be done to prevent the spread of the covid-19 virus is to wash your hands with soap, or you can use a hand sanitizer. however, hand sanitizers are mostly made of chemicals, many people feel side effects including dry skin, dermatitis, and irritation. this research aims to make hand sanitizer products made from natural ingredients, namely from extracts of aur-aur grass (commelina diffusa burm f.). phytochemical tests showed that aur-aur grass contained 5,188.73 ppm flavonoid compounds, 8,673.60 ppm total phenol (tannin), and 466.30 ppm alkaloids. the manufacture of hand sanitizers was carried out in four variations with each sample having aur-aur extract levels of 5%, 10%, 15%, and 20%. of the existing hand sanitizer products, all of them have a ph of ±5 and get good responses from satisfaction values above 80%. hand sanitizer products also can inhibit bacterial growth. the increase in extract levels in the hand sanitizer is directly proportional to the ability to inhibit bacteria, as shown by sample d which has an average inhibition zone of 9.77 mm. keywords: covid-19, hand sanitizer, aur-aur grass, flavonoid, tannin, alkaloids. introduction virus covid-19 was first discovered in december 2019 in wuhan, the capital of hubei, china, which is thought to have originated from bats (yuliana, 2020). this virus spread so fast that it became a worldwide pandemic, including in indonesia. this virus was first detected in indonesia on march 2, (sukur & kurniadi, 2020). various efforts have been made by the government to break the chain of the spread of covid19. one of the most effective ways to prevent the spread of covid-19 is to cultivate 5m habits (wearing masks, washing hands with soap and running water, maintaining distance, staying away from crowds, and limiting mobilization and interaction). washing hands using soap and running water is an effective way to clean dirt and bacteria that stick to the surface of the skin. however, washing hands is a hassle because, in the current new normal, many places do not provide proper handwashing facilities. one of the innovations in cleaning products that are used without the need for running water is hand sanitizer. hand sanitizer is a type of cleaning fluid that can kill microorganisms on hands, made from alcoholbased ingredients with use without rinsing water. according to the center for disease control (2009), hand sanitizers are divided into two types, namely hand sanitizers that contain alcohol and do not contain alcohol. alcohol-based hand sanitizers have an antimicrobial effect 60-95% better than non-alcoholic hand sanitizers. the use of hand sanitizers has several side effects such as dry skin, dermatitis (burning sensation and peeling skin), and irritation caused by chemical contact with the skin (wicaksono & zuhri, 2020). to overcome the side effects of using these chemicals, natural ingredients can be used. one type of plant that can be used as an alternative in overcoming the side effects of using chemicals is aur-aur grass (commelinadiffusa burmf.). commelina diffusa burm f. is a creeping plant, round and soft, the leaves are light green and long, the roots and shoots are branched, and the tips of the stems are curved with a height of 560 cm. this plant lives mainly in humid areas, with an altitude of 1-2000 m above sea level, and is mostly found in ditches, landfills, and under bamboo trees, especially on clay-rich in humus. the leaves of the aur-aur plant can be used to treat wounds, fever, headaches, and laxative sweat adilla lina putri amutya, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 179-184, 2022 doi: 10.30598//ijcr 180 (widhyastini, yuliani, & nurilmala, 2017). based on the results of phytochemical tests conducted by (mensah, mireku, oppong-damoah, & amponsah, 2014) and (suganya & jothi, 2014) showed that auraur leaves contain several compounds such as alkaloids, flavonoids, triterpenoids, tannins, and phytosterols. these secondary metabolites have biological activity as antimicrobial substances. , antioxidant, anticancer, and antiallergic (mere, bintang, & safithri, 2021). alkaloids are found in plant and animal tissues and are the most abundant secondary metabolite compounds containing nitrogen. alkaloids in aur-aur plants can be found in flowers, seeds, twigs, leaf roots, and bark. these compounds are efficacious as antidiarrheal, antidiabetic, antimicrobial, and antimalarial (supriningrum, fatimah, & purwanti, 2019). in addition, alkaloids also have benefits that can stimulate the nervous system, raise low blood pressure, reduce pain, as a sedative and heart disease medication. according to (wang et al., 2016), flavonoid compounds are secondary metabolites of polyphenols and have various bioactive effects including antibacterial, antiviral, and anti-inflammatory. flavonoids play a role in reducing immunity in target organisms through protein denaturation in organism cells (nur, mu’nisa, & hala, 2019). potentially medicinal plants containing flavonoids generally have antioxidant, anti-inflammatory, anti-allergic, antibacterial, antiviral, and anticancer activities. meanwhile, tannins are active compounds of secondary metabolites that are efficacious as antibacterial, astringent, antidiarrheal, and biological antioxidants (malangngi, sangi, & paendong, 2012). tannins can inhibit and prevent the perfect formation of bacterial cell walls so that bacterial cells will die (sapara, 2016). based on the three compounds contained in auraur grass, it can be said that this plant has the potential to be used as raw material for hand sanitizers, especially when viewed from its antibacterial and antiviral benefits. flavonoids, alkaloids, and tannins can be obtained by extraction through the maceration method. maceration is an extraction process by immersing the sample using a compound solvent at room temperature. this process is very beneficial in taking compounds from natural ingredients because immersion of plant samples can break cell membranes due to pressure differences on the inside and outside of the cell so that the compounds to be extracted will be dissolved in organic solvents. the choice of the type of extractor (solvent) for the maceration process will provide high effectiveness by paying attention to the level of solubility of the compound from the extracted natural ingredients (yulianingtyas & kusmartono, 2016) .the advantage of the maceration method is that it is easy and does not require heating so the material is less likely to be damaged. the old maceration method will cause a lot of compounds to be extracted so that compounding is more effective (susanty & bachmid, 2016) . previous research on aur-aur grass has existed, but is only limited to its use as an analgesic or pain reliever. meanwhile, other studies that use natural ingredients for hand sanitizers exist, for example: (triyani, pengestuti, khotijah, fajarwati, & ujilestari, 2021) who made hand sanitizers from betel leaf and lime leaf extracts, (lestari, suci, & latief, 2020) from jeruju leaves (achantusilicifolious) and (noviardi, himawan, & anggraeni, 2018) from sweet fragrant mango seed extract. considerations in the selection of natural ingredients are also based on the presence of alkaloids, flavonoids, and tannins in them. in this study, the manufacture of hand sanitizers is made from natural ingredients of aur-aur leaf extract. in addition to increasing the use value of this weed plant, its use is also expected to overcome the side effects of using chemicals that are commonly used in hand sanitizers that exist today. methodology materials and instrumentals the equipment used in this study were: knife, cutting board, digital kitchen scale, dark amber bottle, beaker, filter, distillation set, universal ph, petri dish, test tube, erlenmeyer, whatman filter paper, cotton bud, caliper, ose, bunsen, cotton, and tweezers. the materials used in this study were an aur-aur leaf, 96% technical ethanol, 96% antiseptic ethanol, glycerol, distilled water, nutrien agar (na), mc. farland 0.5, and 0.9% nacl. the test bacteria used were staphylococcus aureus, bacillus subtilis, and escherichia coli. methods the study began with the extraction of aur-aur leaves. aur-aur leaves are cleaned by washing and draining, then chopped. samples weighing 250 g were macerated with 96% technical ethanol solvent in a ratio (1:6). maceration was carried out for 3x24 hours, shaking once every 1 day. the results of the maceration are filtered to separate the solids from the liquid. then distillation was carried out to separate the solvent from the aur-aur leaf extract. aur-aur leaf extract was sampled for phytochemical test using uv-vis spectrophotometry method. adilla lina putri amutya, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 179-184, 2022 doi: 10.30598//ijcr 181 the manufacture of hand sanitizers begins by mixing 178.5 ml of 96% antiseptic ethanol, 10 ml of glycerol, aur-aur leaf extract with various extracts of 5%, 10%, 15%, and 20% of the 255 ml hand sanitizer. then, distilled water was added to a volume of 255 ml and stirred until homogeneous. after that, it is packed in spray bottles with a volume of 15 ml per bottle. data analysis analysis of the quality of hand sanitizers includes organoleptic tests, ph tests, and antibacterial activity tests. the organoleptic test was carried out with the experimental method of using hand sanitizer products on the palms of the hands. an organoleptic test was carried out by spraying hand sanitizer on samples a, b, c, and d which had extract concentrations of 5%, 10%, 15%, and 20%. the test was conducted on 15 respondents to determine the effects of using hand sanitizer products. then test the ph, which is carried out using universal ph paper. the antibacterial activity test was carried out using the paper disc method or the kirby bauer method, namely inoculation of bacteria from slanted media into a test tube containing 0.9% nacl using the standard mc. farland 0.5 to produce bacterial inoculum with the amount of 1.5x108 bacteria/ml. then inoculate the bacterial inoculum in 0.9% nacl into a petri dish containing na using a sterile cotton bud and then incubate for 15 minutes. the filter paper that had been given the sample was placed on top of the inoculum in a petri dish, then incubated for 24 hours. the diameter of the zone of inhibition of bacterial growth around the paper disc was measured. the best results have the largest inhibition zone diameter. results and discussion phytochemical test aur-aur plants are weeds that are commonly found in rice fields. this plant is not widely known let alone used, but behind all that this plant contains several compounds that are very useful for humans, including flavonoid compounds, tannins, and alkaloids. from the results of quantitative tests carried out on aur-aur leaf extract using the uv-vis spectrophotometric method, it is known that the phytochemical content in the aur-aur grass extract is as shown in table 1. with the content possessed, this plant can be used as one of the natural ingredients for the good of humans. one of the products that can be produced is a hand sanitizer product to prevent the spread of the covid-19 virus. table 1. phytochemical testing result of aur-aur extracts parameter content (ppm) flavonoids 5188.73 tannins 8673.60 alkaloids 466.30 even the content of flavonoid compounds, tannins, and alkaloids in aur-aur is greater than that of mangrove leaves which only contain 1,195.00 ppm flavonoids, 576.70 ppm tannins, and 123.77 ppm alkaloids (kasitowati, yamindago, & safitri, 2017). in addition, high levels of tannins and flavonoids in the aur-aur extract also increase antioxidant activity. as stated by (mahardika & roanisca, 2018) which states that there is a relationship between increased antioxidant activity and increased tannin and flavonoid compounds. natural antioxidants can protect the human body from damage caused by free radicals, so it is very beneficial if aur-aur extract is used as a raw material for hand sanitizers because, in addition to functioning as antibacterial and antiviral, it can also prevent cancer due to its high antioxidant capacity. hand sanitizer production making hand sanitizer is done by mixing each ingredient in a glass beaker and stirring until homogeneous. hand sanitizer is made with 4 variations of aura extract levels, namely 5%, 10%, 15%, and 20%. physically, the hand sanitizer product produced is clear yellow in color and has a distinctive smell with an increasing color and odor in line with the increasing extract content. the resulting hand sanitizer product was then subjected to a feasibility test which included a ph test, organoleptic test, and antibacterial activity test. ph test the ph or acidity test of hand sanitizers is carried out using universal indicators. in each sample, the test resulted in a ph reading of 5-6. this indicates that the aur-aur extract does not have a major influence on the acidity of the solution. these results, it shows that the ph of the sample has met the requirements of sni 062588:2017 regarding the quality requirements of liquid soap. organoleptic test an organoleptic test is a test that aims to determine the most comfortable hand sanitizer sample to use. this was done by testing hand sanitizer products on 15 respondents to try to use the samples that had been prepared, starting from samples a, b, c, and d. adilla lina putri amutya, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 179-184, 2022 doi: 10.30598//ijcr 182 after using them, each respondent was given several questions to find out which sample was the most comfortable to use. from the organoleptic test, the results are as shown in table 2. table 2. organoleptic test result effect on skin results (%) a b c d not itchy 80.0 80.0 86.7 80.0 not hot 86.7 80.0 86.7 80.0 not dry 86.7 86.7 93.3 100.0 no smell 73.3 60.0 53.3 26.7 no sticking 66.7 66.7 53,3 53.3 colorless 100.0 100.0 100.0 100.0 no rash 100.0 100.0 93.3 100.0 not peeling off 100.0 93.0 100.0 100.0 average 86.7 83.3 83.3 80.0 the significant difference from the questionnaire is in several question points, namely, it does not cause dryness, does not leave an odor, and does not leave a sticky residue. from these three points, it is known that sample a has the highest percentage, so it can be seen that sample a is the best sample among the four samples tested in the organoleptic test which is assessed from the side of the convenience of use and positive response to the absence of side effects caused by the use of hand sanitizer products. antibacterial activity test the antibacterial activity test was carried out using the kirby bauer method to determine how much ability each hand sanitizer sample had in inhibiting bacterial growth. table 3. antibacterial activity test results sample e.coli b.subtilis s. aureus a (5%) 3.6 mm 5.3 mm 7.1 mm b (10%) 6.6 mm 8.6 mm 7.5 mm c (15%) 7.45 mm 15.6 mm 5.1 mm d (20%) 9.3 mm 11.3 mm 8.7 mm k0 mm 0 mm 0 mm k+ 9.96 mm 13.5 mm 9.3 mm ketanol 5.8 mm 12.3 mm 6.6 mm this test is carried out by giving the sample to the media that has been overgrown with bacteria. table 3 shows that the negative control in the form of blank filter paper (k-) did not produce an inhibition zone. in escherichia coli bacteria, the higher the concentration of the extract, the greater the inhibition zone produced. this is following this research (idrus, kurniawan, mustapa, & wibowo, 2021) which also showed the same thing, namely increasing the concentration of extracts with high antibacterial content will cause an increase in the diameter of the inhibition zone for microorganisms. meanwhile, bacillus subtilis showed that sample c gave a large inhibition zone, but samples a, b, and d also showed an increase in direct proportion to the concentration of the extract. for staphylococcus aureus, the resulting inhibition zone was greater in samples a, b, and d but decreased in sample c. thus, the ability to inhibit antibacterial activity is directly proportional to the extracted content contained in the hand sanitizer. this means that the more aur-aur extract is added, the better the antibacterial effectiveness against staphylococcus aureus, bacillus subtilis, and escherichia coli. from all the samples tested, it can be concluded that sample d with 20% auraur extract had the greatest antibacterial power compared to other samples, as indicated by the average diameter of the inhibition zone of 9.77 mm. figure 1. bacterial inhibition growth zone figure 1 shows the area of inhibition of the sample against bacterial growth. inhibition of bacteria can be due to the presence of flavonoid compounds, tannins, and alkaloids that can damage cells in bacteria. flavonoids are able to form complex compounds with bacterial cell proteins through hydrogen bonds, resulting in the bacterial cell membrane becoming unstable and eventually cell lysis (rupture) (ainurrochmah, ratnasari, & lisdiana, 2013). tannins also have antibacterial activity through protein deposition, inactivating enzymes, and inactivating genes, while alkaloids have the ability as antibacterial through disruption of peptidoglycan in bacterial cells, so that the cell wall layer cannot be formed completely and eventually causes cell death (ernawati & sari, 2015). with the proof of this antibacterial activity test, adilla lina putri amutya, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 179-184, 2022 doi: 10.30598//ijcr 183 it is hoped that this product can be useful in the community, and it is not impossible that the community can produce their own hand sanitizer from this aura. moreover, this product, apart from being able to reduce spending during a difficult time of the pandemic, is also safer for health. conclusion from the research that has been done, it can be seen that aur-aur grass contains flavonoid compounds, tannins, and alkaloids. as for the hand sanitizer sample, it is known that the ph value is following the standard, which is in the range of 5-6. the results of the skin irritation test show that sample a with a level of 5% is the sample with the best response when used by respondents. the antibacterial activity test showed that sample d with an extract content of 20% was the sample with the greatest ability to inhibit bacterial growth as indicated by the average diameter of the inhibition zone of 9.77 mm, so it can be concluded that the hand sanitizer product from aur-aur grass is effective. in inhibiting the growth of bacteria of the type escherichia coli, bacillus subtilis, and staphylococcus aureus. acknowledgment the author's deepest gratitude goes to the directorate general of vocational higher education who has funded this 2021 pkm research activity so that researchers can develop their work. in addition, we also express our gratitude to the yogyakarta lpp polytechnic which has facilitated the pkm and lppt ugm activities and has assisted in carrying out phytochemical analysis. references ainurrochmah, a., ratnasari, e., & lisdiana, l. (2013). efektivitas ekstrak daun binahong (anredera cordifolia) terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri shigella flexneri dengan metode sumuran, lenterabio, 2(3), 233–237. ernawati, & sari, k. (2015). kandungan senyawa kimia dan aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah alpukat (persea americana p.mill) terhadap bakteri vibrio alginolyticus. jurnal kajian veteriner, 3(2), 203–211. https://doi.org/10.35508/jkv.v3i2.1043 idrus, i., kurniawan, f., mustapa, f., & wibowo, d. (2021). concentration effect of leaf extract from kekara laut (canavalia maritima thou.) in inhibiting of staphylococcus epidermidis bacteria with a statistical science approach. indo. j chem. res., 8(3), 180–185. https://doi.org/10.30598 //ijcr.2021.8-irm kasitowati, r. d., yamindago, a., & safitri, m. (2017). potensi antioksidan dan skrining fitokimia ekstrak daun mangrove rhizophora mucronata, pilang probolinggo. jfmr (journal of fisheries and marine research), 1(2), 72–77. https://doi.org/10. 21776/ub.jfmr.2017.001.02.4 lestari, u., suci, u., & latief, m. (2020). uji iritasi dan efekttifitas spray handsinitizer ekstrak etanol daun jeruju (achantus ilicifolious) sebagai antibakteri, jambi medical journal "jurnal kedokteran dan kesehatan", 9(1), 34-39. https://doi.org/10. 22437/jmj.v9i0001.12891 mahardika, r. g., & roanisca, o. (2018). aktivitas antioksidan dan fitokimia dari ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum). indonesian journal of chemical research, 5(2), 69–74. https://doi.org/10. 30598//ijcr.2018.5-rob malangngi, l., sangi, m., & paendong, j. (2012). penentuan kandungan tanin dan uji aktivitas antioksidan ekstrak biji buah alpukat (persea americana mill.). jurnal mipa, 1(1), 5. https://doi.org/10.35799 /jm.1.1.2012.423 mensah, a. y., mireku, e. a., oppong-damoah, a., & amponsah, i. k. (2014). anti-inflammatory and antioxidant activities of commelina diffusa (commelinaceae). world journal of pharmaceutical sciences, 2(10), 1159–1167. mere, j. k., bintang, m., & safithri, m. (2021). antibacterial effectiveness of syzygium cumini (l.) skeels leaves to escherichia coli pbr322. indonesian journal of chemical research, 9(1), 8–14. https://doi.org/10. 30598//ijcr.2020.9-jan noviardi, h., himawan, h. c., & anggraeni, r. (2018). formulasi dan aktifitas antibakteri sediaan gel hand sanitizer dari ekstrak etanol biji mangga harum manis ( mangifera indica l.) terhadap escherichia coli dan staphylococcus aureus. jurnal farmamedika (pharmamedika journal), 3(1), 1–9. https://doi.org/10.47219/ath. v3i1.20 nur, r. m., mu’nisa, a., & hala, y. (2019). skrining fitokimia ekstrak metanol karang lunak lobophytum sp. bionature, 20(1). https://doi.org/10.35580/bionature.v20i1.9761 sapara, t. u. (2016). efektifitas antibakteri ekstrak daun pacar air (impatiens balsamina l.) terhadap pertumbuhan porphyromonas gingivalis. pharmacon, 5(4). https://doi.org /10.35799/pha.5.2016.13968 suganya, r. a., & jothi, g. j. (2014). preliminary phytochemical screening, antibacterial and adilla lina putri amutya, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 179-184, 2022 doi: 10.30598//ijcr 184 antioxidant activities of commelina nudiflora (commelinaceae). international research journal of pharmacy, 5(11), 851–855. https://doi.org/10.7897/2230-8407. 0511174 sukur, m. h., & kurniadi, b. (2020). penanganan pelayanan kesehatan di masa pandemi covid19 dalam perspektif hukum kesehatan, inicio legis 1(1), 17. https://doi.org/10.21107/il.v1i1.8822 supriningrum, r., fatimah, n., & purwanti, y. e. (2019). karakteristik spesifik dan non spesifk ekstrak etanol daun putat (planchonia valida). al ulum jurnal sains dan teknologi, 5(1), 6. https://doi.org/10.31602/ajst.v5i1.2468 susanty, s., & bachmid, f. (2016). perbandingan metode ekstarksi maserasi dan refluks terhadap kadar fenolik dari ekstrak tongkol jagung (zea mays l.). jurnal konversi, 5(2), 87–92. https://doi.org/ 10.24853/konversi.5.2.87-92 triyani, m. a., pengestuti, d., khotijah, s. l., fajarwati, d., & ujilestari, t. (2021). aktivitas antibakteri hand sanitizer berbahan ekstrak daun sirih dan ekstrak jeruk nipis, nectarjurnal pendidikan biologi, 2(1), 16–23. https://doi.org/10.31002 /nectar.v2i1.1559 wang, q., jin, j., dai, n., han, n., han, j., & bao, b. (2016). anti-inflammatory effects, nuclear magnetic resonance identification, and highperformance liquid chromatography isolation of the total flavonoids from artemisia frigida. journal of food and drug analysis, 24(2), 385– 391. https://doi.org/10.1016/j.jfda.2015. 11.004 wicaksono, a. j., & zuhri, u. m. (2020). hand cleaning activities during covid-19 pandemic and the manifestation on human skin: a retrospective study. indonesian journal of pharmacology and therapy, 1(1). https://doi.org/10.22146/ijpther.633 widhyastini, i. g. a. m., yuliani, n., & nurilmala, f. (2017). identifikasi dan potensi gulma di bawah tegakan jati unggul nusantara (jun) di kebun percobaan universitas nusa bangsa, cogreg, bogor. jurnal sains natural, 2(2), 186–200. https://doi.org/10.31938/jsn.v2i2.48 yuliana, y. (2020). corona virus diseases (covid-19): sebuah tinjauan literatur. wellness and healthy magazine, 2(1), 187–192. https://doi.org/10.30604/well.95212020 yulianingtyas, a., & kusmartono, b. (2016). optimasi volume pelarut dan waktu maserasi pengambilan flavanoid daun belimbing wuluh, jurnal teknik kimia, 10(2), 58-64. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 102 effect of heating coarse extract of brown macroalgae (padina australis) from tial waters, salahutu district, central maluku regency on antioxidant activity nurani hasanela * , fensia analda souhoka department of chemistry, faculty mathematics and natural sciences, pattimura university, jl. ir. m. putuhena, ambon, 97233, indonesia * corresponding author: hasanela.nurani2@gmail.com received: july 2022 received in revised: august 2022 accepted: september 2022 available online: september 2022 abstract physical and chemical factors influence antioxidant activity. one of the physical factors that can affect antioxidant activity is heat. this study aims to determine the phytochemical content and the effect of heating the crude extract of marine macroalgae padina australis on antioxidant activity. the research method used, namely maceration using methanol as a solvent to obtain a crude extract, then evaporation of the solvent at a temperature of 45 °c. furthermore, phytochemical tests were carried out, characterization using tlc and uv-vis spectrophotometer, and determination of free radical scavenging activity of dpph. the results of the phytochemical test showed that the crude extract of padina australis was positive for bioactive compounds, namely saponins, alkaloids, terpenoids, steroids, and flavonoids. characterization by tlc and uv-vis spectrophotometer showed the presence of secondary metabolites, namely chlorophyll a and carotenoids. the use of temperature in the solvent evaporation process affects the stability of bioactive compounds and secondary metabolites. the results of the antioxidant activity test (ic50) of the crude extract of padina australis against dpph obtained 163 ppm, so it is classified as an antioxidant in the medium category. keywords: antioxidant activity, biopigments, crude extracts, free radicals, padina australis introduction free radicals are atoms, molecules, or compounds with unpaired electrons, so they are reactive and easy to react (winarti, 2010). several free radicals such as hydroxyl radicals (oh*), alkoxyl radicals (ro*), superoxide anions (o2*), nitric oxide (no*), peroxy nitrite (oono*), and hydrogen peroxide (h2o2) in the body are formed naturally. continuously through normal cell metabolic processes (sayuti & yenrina, 2015). free radicals outside the body come from gamma, ultraviolet (uv) radiation, environmental pollution, and cigarette smoke (wijaya, 1996). diseases that the influence of free radicals can cause are cancer, heart disease, alzheimer's, parkinson's, arthritis, and immune system disorders (seyoum, asres, & elfiky, 2006). antioxidants are components that can fight or reduce a compound's oxidation rate (wanasundara & shahidi, 2005). antioxidants can work effectively because they can donate an electron to pair with free radicals to eliminate the reactive nature of radicals. antioxidants that form new radicals have lower reactivity. this is because antioxidants have a structure with a conjugated system, which can delocalize free electrons in its structure. these new radicals can then be neutralized with other antioxidants or mechanisms to restore them to their original form (lü, lin, yao, & chen, 2010). one of the antioxidant compounds that can be produced is from marine macroalgae. indonesia has vast waters and is rich in biodiversity, one of which is macroalgae. macroalgae or algae are aquatic organisms with high economic value and play an ecological role as producers and food chains. macroalgae have many benefits that can be used in industry, medicine, food, and energy sources. macroalgae or marine algae (seaweed) produce chemical compounds from primary metabolites known as hydrocolloids. several sources of hydrocolloid are known to come from marine algae, which are used as industrial raw materials such as raw materials for making agar, carrageenan, and alginate. macroalgae generally consist of 3 divisions, namely rhodophyta (red algae), chlorophyta (green algae), and phaeophyta (brown algae) (hoek, 1998). phaeophyta is autotrophic organisms because they can carry out photosynthesis. one of the macroalgae nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 103 of the phaeophyta division (brown algae), abundant in tial waters, salahutu district, central maluku, is padina australis. padina australis macroalgae have the potential to be used as antioxidants, biogas, and bioethanol in addition to being used as food products. this is because padina australis contains many organic chemicals and secondary metabolites. secondary metabolite compounds contained in padina australis can be isolated using an organic solvent called crude extract. the potential activity of padina australis as an antioxidant can be attributed to its ability to interact with free radicals. antioxidant activity is strongly influenced by bioactive compounds in marine macroalgae padina australis. physical and chemical factors strongly influence bioactive compounds found in marine macroalgae. heat is one of the physical factors that affect bioactive compounds' stability. methodology materials and instrumentals the materials used were marine macroalgae padina australis, distilled water, filter paper, chemicals with p.a. quality, namely methanol, hydrochloric acid, mayer reagent, fecl3, anhydrous acetic acid, concentrated sulfuric acid, mg powder, ethyl acetate, 1,1-diphenyl-2-picryhydrazil (dpph), and quercetin. the tools used in this study, namely a set of glassware (pyrex), analytical balance (denver instrument xp-3000), blender (miyako bl-152f), shaker (gfl), rotary evaporator (rotavapor r-215 buchii), hot plate (cimarec 2), tlc plate, capillary tube, and uv-vis spectrophotometer 20 + series. methods sampling the macroalgae padina australis was taken from tial waters, salahutu district, central maluku regency. the part of the sample taken is the thallus. samples were fresh and brought to the laboratory of basic chemistry, university of pattimura. sample extraction the marine macroalgae of padina australis were cleaned of impurities such as sand, stone, and other types of macroalgae. the macroalgae were washed with running water until clean and then weighed. the sample extract was made by the maceration method using methanol as solvent. the cleaned macroalgae sample was put into an erlenmeyer, and 150 ml of methanol was added until the sample was submerged. then the sample was shaken for 24 hours at room temperature. the extraction results were filtered, then the filtrate was evaporated using a rotary evaporator at 45 c. the extracts obtained were then used for phytochemical tests. phytochemical test saponin test as much as 2 ml of the extract was put into a test tube, and then 2 ml of distilled water was added and shaken until homogeneous. then, the extract is heated for 2-3 minutes. then cooled and shaken vigorously. test positive when foaming. alkaloid test macroalgae sample extract as much as 2 ml of the extract was put into a test tube, and then 5 ml of 2 m hcl and three drops of mayer's reagent were added. the formation of a yellow or red-brown precipitate on the tube indicates the presence of alkaloids. phenolic test as much as 2 ml of the extract was put into a test tube, and two drops of 1% fecl3 were added and then shaken. the test is positive if it produces a deep blue color. steroid test as much as 2 ml of the extract was put into a test tube, and then 10 drops of anhydrous acetic acid and 3 drops of concentrated sulfuric acid were added. the test is positive if it produces a blue or green color. flavonoid test as much as 2 ml of the extract was put into a test tube and added a little mg powder and 1 ml of 1% hcl. the test is positive if it produces foam and orange color. characterization of the crude extract of padina australis by thin layer chromatography (tlc) tlc characterization was carried out to determine the amount and type of secondary metabolism in the form of photosynthetic pigments that had been successfully extracted. a 25 l of crude macroalgae extract was spotted on a 2×10 cm silica plate. the eluent in the form of ethyl acetate was prepared in a vessel, and then the tlc plate was eluted in a tlc vessel. nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 104 characterization of bio pigments with uv-vis spectrophotometer chlorophyll and carotenoid compounds contained in the photosynthetic pigment fraction were characterized using a uv-vis spectrophotometer. the crude extract of the sample was placed on a uv-vis spectrophotometer, and an absorption scan was performed with a wavelength from 380-800 nm. preparation of 40 ppm dpph solution a total of 0.01 g of dpph was put into a 250 ml volumetric flask, and then methanol was added to the mark. the solution is used immediately, kept at a low temperature, and protected from light. determination of the maximum wavelength of dpph using a methanol blank, a 5 ml of 40 ppm dpph solution was observed for absorption in the wavelength range of 400-600 nm. determination of dpph free radical scavenging activity a total of 0.1 g of extract was made into a solution of 1000 ppm, and then diluted to concentrations of 5; 10; 15; 20; 25; 50; and 100 ppm. a total of 1 ml was taken from each sample solution that had been made, put into a test tube and added to 1 ml of 40 ppm dpph solution, then allowed to stand for 30 minutes at room temperature. absorbance measurements were carried out at the maximum wavelength (514 nm) using a uv-vis spectrophotometer. the test was carried out with two measures. the same procedure was also performed on standard quercetin. the percentage of inhibition or inhibition of the dpph radical from each concentration of the sample solution can be calculated using the formula (equation 1). i = 𝐴0−𝐴1 𝐴0 × 100% (1) i: percentage of inhibition/inhibitor (%), a0: absorbance blank (solvent + dpph), a1: sample absorbance (solvent+dpph+sample). after obtaining the percentage of inhibition from each concentration, the antioxidant activity was determined using the line equation of % inhibition as the y axis and the sample concentration as the x axis (µg/ml). antioxidant activity expressed by ic50 is calculated by entering the value of 50 into the line equation as y and then calculating the value of x as the concentration of ic50. results and discussion padina australis marine macroalgae marine macroalgae padina australis is a brown alga that lives in the waters of tial village, salahutu district, central maluku regency. the characteristics of the marine macroalgae padina australis are elephant ear-shaped and pale brown in color. padina australis lives attached to rocks at a depth of about 10-30 cm. the morphology of the marine macroalgae padina australis is shown in figure 1. figure 1. padina australis marine macroalgae sample extraction the marine macroalgae padina australis was cleaned of impurities so as not to be contaminated during the extraction process. then 150 g were weighed and put into a 500 ml erlenmeyer. the extraction process is carried out by maceration. the organic solvent used is methanol. furthermore, the sample was shaken for 24 hours at room temperature to extract the marine macroalgae perfectly. organic solvents have different abilities in dissolving bioactive compounds. to dissolve bioactive compounds, methanol can dissolve polar compounds such as alkaloids, flavonoids, saponins, and carbohydrates (kuppusamy, yusoff, parine, & govindan, 2015). the stability of bioactive compounds is strongly influenced by physical and chemical factors such as temperature, ph, oxygen, and storage time (hasanela, gaspersz, silaban, & sohilait, 2020). the extraction of bioactive compounds was successfully characterized by the rupture of padina australis cells resulting in a dark green extract with a distinctive marine odor and is referred to as crude extract. the resulting crude extract is then evaporated with an evaporator. in this study, the temperature used is 45 c (rohmat, ibrahim, & riyadi, 2014). this is intended to determine the effect of heat on nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 105 bioactive compounds and the ability of antioxidant activity contained in marine macroalgae padina australis. the crude extract of marine macroalgae padina australis before and after the evaporator showed differences in the color of blackish green and fresh green. the evaporation process with heat causes the degradation of bio pigment compounds and bioactive compounds. the crude extract of the marine macroalga padina australis is shown in figure 2. figure 2. crude extract of marine macroalgae padina australis (a) crude extract after evaporation with heat (b) fresh crude extract without heating padina australis phytochemical test the screening was carried out to identify bioactive compounds from marine macroalgae padina australis, which act as secondary metabolites in the antioxidant process by phytochemical tests. phytochemical testing of marine macroalgae padina australis using crude extract. the results of the phytochemical test of marine macroalgae padina australis showed that there were bioactive compounds with positive effects, namely saponins, alkaloids, steroids, terpenoids, flavonoids and negative results for phenolics. the results of the phytochemical test of marine macroalgae padina australis are shown in figure 3. figure 3. color changes that occur in the phytochemical test (a) saponin test, (b) alkaloid test, (c) phenolic test, (d) steroid test, (e) flavonoid the saponin test was characterized by the formation of foam after shaking. this is because saponins have active functional groups (polar and nonpolar) that can form micelles (fajriaty, ih, andres, & setyaningrum, 2018; robinson, 1995). the foam appearing in the saponin test also shows the presence of glycosides that can create foam in water so that it is hydrolyzed into glucose and other compounds (marliana, suryanti, & suyono, 2005). a change indicated positive results from the alkaloid test in color to reddish, but no precipitate was formed. this is because the alkaloids in plant tissues are found to be around only 1% (kristanti, aminah, tanjung, & kurniadi, 2008). alkaloids in marine macroalgae padina australis showed positive results but were present in small amounts. steroid and terpenoid tests showed positive results, indicated by the formation of brownish and blue-green rings. this test is based on the ability of the compound to form a color with concentrated h2so4 in an anhydrous acetic acid solvent (ergina, nuryanti, & pursitasari, 2017; septiadi, pringgenies, & radjasa, 2013). a color change indicates a positive test for flavonoids to slightly reddish. flavonoids have various types and are aglycones (free form) or bound as glycosides. polymethoxy and polyhydroxy aglycones are nonpolar and semipolar, while flavonoid glycosides are polar because they contain several hydroxy groups and sugars solvent (ergina, nuryanti, & pursitasari, 2017; septiadi, pringgenies, & radjasa, 2013). this causes the flavonoid group to be extracted by methanol. the results of phytochemical testing of marine macroalgae padina australis are presented in table 1. table 1. phytochemical test of marine macroalgae padina autralis phytochemical test positive results according to the library test result discoloration + saponin stable foam stable foam alkaloid a red precipitate is formed reddish orange fenol green/dark green yellow steroid green/blue green terpenoid red/purple purplish red flavonoid dark red, yellow/orange red b a d c e nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 106 characterization of padina australis coarse extract by tlc thin layer chromatography (tlc) can be used as a preliminary test to determine the antioxidant potential of the marine macroalgae padina australis. tlc characterization chose the amount and type of bio pigment contained in the crude extract of marine macroalgae padina australis (figure 4). the bio pigments were eluted on a tlc plate composed of a silica matrix using ethyl acetate as the eluent. based on the qualitative test with the tlc plate, it was seen that there were two pale and thin bands identified, namely green color suspected of chlorophyll and brownish yellow color suspected of carotenoids. the presence of carotenoid pigments causes the marine macroalga padina australis to brown (kailola, 2012). figure 4. chromatogram of crude extract of marine macroalgae padina australis biopigments such as chlorophyll and carotenoids are secondary metabolite bioactive compounds that act as antioxidants. the antioxidant activity shown by the crude extract of marine macroalgae padina australis is not only given by a mixture of bio pigments but also compounds soluble in methanol solvents. the antioxidant activity of biopigments is due to many conjugated double bonds. heating in the evaporation process at a temperature of 45 c makes the chromatogram on tlc pale and thin. this is because bio pigments such as chlorophyll and carotenoids are very sensitive to temperature, sunlight, and oxygen, so they will be easily degraded into their derived molecules (arrohmah, 2007). characterization of padina australis coarse extract with uv-vis uv-vis spectrophotometric analysis was conducted to determine the bio pigment spectrum contained in the crude extract of marine macroalgae padina australis. biopigments generally have chromophore groups that absorb energy at a reasonably high wavelength (380-800 nm). this allows for an electronic transition to a higher orbital level. the number of heteroatoms and conjugated double bonds in the bio pigment structure will determine the characteristic absorption area so that it can be used as a quantitative analysis of bio pigments (rodriguez-amaya & kimura, 2004). the absorption pattern showed the presence of bio pigments, namely chlorophyll a, which was identified at a typical sharp absorption of 430 and 665.5 nm, while carotenoid compounds were identified at 480 nm. analysis with uv-vis spectrophotometry can answer the initial test using tlc. to determine the content and type of bio pigment from marine macroalgae padina australis, purification can be performed, and then the purification results can be re-tested with uv-vis spectrophotometry. the effects of the absorption spectrum of the crude marine macroalgae extract padina australis are shown in figure 5. figure 5. spectrum of crude extract of marine macroalgae padina australis determination of maximum wavelength dpph the antioxidant activity was determined using the electron transfer method with dpph as a free radical. the purpose of using dpph is because the measurement is simple, fast, and does not require a lot of reagents (sayuti & yenrina, 2015). determination of the maximum wavelength of dpph is carried out to obtain the absorbance value with the highest measurement sensitivity. the maximum absorbance value of dpph was achieved at a wavelength of 514 nm. the maximum absorbance of dpph is between the wavelength of 510-520 nm (miliauskas, venskutonis, & van beek, 2004). furthermore, the maximum wavelength of dpph was used to determine antioxidant activity. chlorophyll a carotenoid nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 107 the standard curve for the dpph wavelength is shown in figure 6. figure 6. dpph wavelength determination of dpph free radical antidote activity determination of the free radical scavenging activity of dpph was expressed by the ic50 value using a control, quercetin. the concentration of the standard quercetin solution was 2.5; 5; 7.5; and 10 ppm. the results of the quercetin standard curve are obtained y = 5.576x + 42.67 with a linear regression value of r 2 = 0.958. based on this data, the ic50 value for the quercetin standard was 1.31 ppm. quercetin (2-(3,4-dihydroyphenyl)-3,5,7-trihydroxy 4 hchromen-4-one) is a flavonoid of the flavonol group with a keto group at c-4 and has a hydroxyl group at c-3 or c-atoms 5, which are neighbors of flavones and flavonols. flavonoid compounds have potential as antioxidants because they have a hydroxyl group bound to the carbon of the aromatic ring to ward off free radicals (dewi, puspawati, swantara, asih, & rita, 2014). the reaction mechanism between antioxidants and dpph radicals depends on the structural conformation of antioxidants (wanasundara & shahidi, 2005). the advantage of dpph is that it can react with weak antioxidants (aruna, rigelhof, & miller, 2001) and can be used to test hydrophilic or lipophilic antioxidants (prior, wu, & schaich, 2005). the standard curve of dpph free radical scavenging activity with quercetin is shown in figure 7. the antioxidant activity produced in the crude extract of marine macroalgae padina australis is not only obtained from secondary metabolites of bio pigments but also from the solvent extraction process in producing bioactive compounds. antioxidant activity was determined by calculating the difference in the decrease in the absorbance value of the extract mixture with dpph. the results showed that the higher the concentration of the extract, the higher the level of inhibition. figure 7. standard curve of free radical scavenging activity with quercetin this is because the activity of antioxidant compounds is improving at inhibiting free radicals (rohmat et al., 2014). based on the calculation results, the free radical scavenging activity of dpph crude extract of marine macroalgae padina australis with the regression equation y = 0.231x + 12.25 has an ic50 value of 163 ppm and is classified as a moderate antioxidant. the antioxidant ability of the crude extract of marine macroalgae padina australis decreased due to the influence of the heating factor during solvent evaporation. according to husni (husni, putra, & lelana, 2014), marine macroalga padina australis in fresh conditions has an ic50 value of 37.68 ppm and is classified as a potent antioxidant. the state of the marine macroalgae extracts that undergoes a heating process will affect the ability of antioxidant activity. this is because secondary metabolites such as bio pigments and bioactive compounds are very sensitive to high temperatures. the antioxidant activity of marine macroalgae padina australis is shown in figure 8. figure 8. antioxidant aktivity of marine macroalgae padina australis 0.42 0.44 0.46 0.48 0.5 0.52 0.54 500 505 510 515 520 525 a b so rb a n c e wavelength (nm) y = 5.576x + 42.67 r² = 0.958 0 20 40 60 80 100 120 0 5 10 15 % i n h ib it io n concentration (ppm) y = 0.2317x + 12.253 r² = 0.9524 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 20 40 60 80 100 120 % i n h ib it io n concentration (ppm) nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 108 the antioxidant activity of the crude extract is estimated to be relatively low due to the low concentration of components that contain antioxidant activity. in addition, natural extracts may also include components that can interfere with the electron transfer reaction between antioxidants and free radicals, such as weak acid groups. the effect of the solvent on the extraction process can also affect the antioxidant activity. the methanol solvent used can only dissolve polar compounds and cannot dissolve non-polar and semi-polar compounds. the best antioxidant activity was achieved in the extraction process using ethyl acetate solvent, while the n-hexane and methanol extracts were classified as weak antioxidants (hidayati, yudiati, pringgenies, arifin, & oktaviyanti, 2019). conclusion phytochemical tests on marine macroalgae padina australis showed positive results for saponins, alkaloids, terpenoids, steroids, and flavonoids and a negative result for phenolics. the use of temperature in the solvent evaporation process affects the stability of bioactive compounds and secondary metabolites. the results of the antioxidant activity test on marine macroalgae padina australis were in the medium category with an ic50 value of 163 ppm. references arrohmah. (2007). studi karakteristik klorofil pada daun sebagai material photodetector organic. retrieved from https://digilib.uns.ac.id/ dokumen/5894/studi-karakteristik-klorofil-pada -daun-sebagai-material-photodetector-organic aruna, p., rigelhof, f., & miller, e. (2001). antioxidant activity. medallion laboratories analytical progress, 9(2), 1-6. dewi, n. w. o., puspawati, n. m., swantara, i. m. d., asih, i. a. r. a., & rita, w. s. (2014). aktivitas antioksidan senyawa flavonoid ekstrak etanol biji terong belanda (solanum betaceum, syn) dalam menghambat reaksi peroksidasi lemak pada plasma darah tikus wistar. cakra kimia (indonesian e-journal of applied chemistry), 2(1), 7-16. ergina, e., nuryanti, s., & pursitasari, i. d. (2017). uji kualitatif senyawa metabolit sekunder pada daun palado (agave angustifolia) yang diekstraksi dengan pelarut air dan etanol. jurnal akademika kimia, 3(3), 165-172. fajriaty, i., ih, h., andres, a., & setyaningrum, r. (2018). skrining fitokimia dan analisis kromatografi lapis tipis dari ekstrak etanol daun bintangur (calophyllum soulattri burm. f.). jurnal pendidikan informatika dan sains, 7(1), 54-67. https://doi.org/10.31571/saintek. v7i1.768 hasanela, n., gaspersz, n., silaban, r., & sohilait, m. r. (2020). pengaruh lama penyimpanan ekstrak kasar makroalga ulva lactuca terhadap kestabilan pigmen fotosintesis. jurnal inovasi pendidikan dan sains, 1(3), 7278. hidayati, j. r., yudiati, e., pringgenies, d., arifin, z., & oktaviyanti, d. t. (2019). antioxidant activities, total phenolic compound and pigment contents of tropical sargassum sp. extract, macerated in different solvents polarity. jurnal kelautan tropis, 22(1), 73-80. https://doi.org/10.14710/jkt.v22i1.4404 hoek, c. van den. (1998). algae: an introduction to phycology (vol. 1). new york: cambridge university press. husni, a., putra, d. r., & lelana, i. y. b. (2014). aktivitas antioksidan padina sp. pada berbagai suhu dan lama pengeringan. jurnal pascapanen dan bioteknologi kelautan dan perikanan, 9(2), 165–173. https://doi.org/10. 15578/jpbkp.v9i2.109 kailola, i. n. (2012). pengaruh beberapa metode pengeringan pada kom posisi pigmen dan kandungantransfukosantin rumput laut cokeiiit padina australis. universitas kristen satya wacana, salatiga. kristanti, a. n., aminah, n. s., tanjung, m., & kurniadi, b. (2008). buku ajar fitokimia. surabaya: airlangga university press. kuppusamy, p., yusoff, m. m., parine, n. r., & govindan, n. (2015). evaluation of in-vitro antioxidant and antibacterial properties of commelina nudiflora l. extracts prepared by different polar solvents. saudi journal of biological sciences, 22(3), 293–301. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2014.09.016 lü, j.-m., lin, p. h., yao, q., & chen, c. (2010). chemical and molecular mechanisms of antioxidants: experimental approaches and model systems. journal of cellular and molecular medicine, 14(4), 840–860. https://doi.org/10.1111/j.15824934.2009.00897.x marliana, s. d., suryanti, v., & suyono, s. (2005). the phytochemical screenings and thin layer nurani hasanela et al. indo. j. chem. res., 10(2), 102-109, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-nur 109 chromatography analysis of chemical compounds in ethanol extract of labu siam fruit (sechium edule jacq. swartz.). asian journal of natural product biochemistry, 3(1), 26–31. https://doi.org/10.13057/biofar/f030106 miliauskas, g., venskutonis, p. r., & van beek, t. a. (2004). screening of radical scavenging activity of some medicinal and aromatic plant extracts. food chemistry, 85(2), 231–237. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2003.05.007 prior, r. l., wu, x., & schaich, k. (2005). standardized methods for the determination of antioxidant capacity and phenolics in foods and dietary supplements. journal of agricultural and food chemistry, 53(10), 4290–4302. https://doi.org/10.1021/jf0502698 robinson, t. (1995). kandungan organik tumbuhan tingkat tinggi. bandung: itb press. rodriguez-amaya, d. b., & kimura, m. (2004). harvestplus handbook for carotenoid analysis. washinton: international food policy research institute. rohmat, n., ibrahim, r., & riyadi, p. h. (2014). pengaruh perbedaan suhu dan lama penyimpanan rumput laut sargassum polycystum terhadap stabilitas ekstrak kasar pigmen klorofil. jurnal pengolahan dan bioteknologi hasil perikanan, 3(1), 118–126. sayuti, k., & yenrina, r. (2015). antioksidan alami dan sintetik. padang: andalas university press. septiadi, t., pringgenies, d., & radjasa, o. k. (2013). uji fitokimia dan aktivitas antijamur ekstrak teripang keling (holoturia atra) dari pantai bandengan jepara terhadap jamur candida albicans. journal of marine research, 2(2), 76–84. https://doi.org/10.14710/jmr. v2i2.2355 seyoum, a., asres, k., & el-fiky, f. k. (2006). structure-radical scavenging activity relationships of flavonoids. phytochemistry, 67(18), 2058–2070. https://doi.org/10.1016/j. phytochem.2006.07.002 wanasundara, p. k. j. p. d., & shahidi, f. (2005). antioxidants: science, technology, and applications. in bailey’s industrial oil and fat products. john wiley & sons, ltd. https://doi.org/10.1002/047167849x.bio002 wijaya, a. (1996). radikal bebas dan parameter status antioksidan. forum diagnosticum, 4, 16. winarti, s. (2010). makanan fungsional. jakarta: graha ilmu. indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 6 analyzed the resistant starch content of some types of sago starch in embarrassment with heating temperature variations analisis kandungan pati resisten dari beberapa jenis pati sagu di maluku dengan variasi suhu pemanansan petrus lapu 1, i. telussa 2 1biology department, 2chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: juni 2013 published: july 2013 abstract analyzed the resistant starch content of some types of sago starch in embarrassment with heating temperature variations have been conducted. in this analysis was done processing sago starch suspension, determination of the fat content of flour, qualitative test and analysis of starch digestibility and resistant starch manufacture of some types of sago starch in maluku (sago ihur, sashes, molat) by varying the temperature of the heating method. the results were obtained moisture content of the sample base for this type of sago ihur 49.61%, 45.85% and sashes molat 47.77% while for the corn starch to the type ihur 9.329%, 6,245% and molat sashes 5,793% while the tannin-free corn starch to type ihur 5.362%, 5,407% and molat sashes 4,719% and ash content of corn starch to the type ihur 0.09656%, 0.0761% and molat sashes 0.07146%. fat content of corn starch of type ihur 0.222%, 0.225% and molat sashes 0.218%, while the tannin-free starch of the ihur 0206%, 0182% and molat sashes 0.209%. glucose levels in samples of corn starch (type ihur, sashes and molat) is hydrolyzed by the enzyme pancreatin is greater than the resistant starch glucose levels ranged from 1-1.4 mg / ml whereas for resistant starch samples with smaller temperature variation which is equal to 0.6-1.0 mg / ml. the difference is due to the significant levels of starch which are being subjected to the temperature structure of the starch has been changed because it has undergone a process gelatinasi. keywords : analyzed, resistant starch, qualitatif, digestibility, enzyme. pendahuluan saat ini, pati dan turunannya digunakan secara luas dalam berbagai industri, baik industri pangan seperti pada makanan beku, sereal dan kue, minuman dingin dan flavor, roti, produk susu, pengalengan, maupun industri non-pangan seperti industri tekstil, kertas, kosmetik dan farmasi, pertambangan, perekat (morton, 2012). berbagai macam nilai tambah aplikasi pati ini membutuhkan karakteristik fungsional khusus. persoalannya, penggunaan pati alami (native) menyebabkan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan retrogradasi, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang rendah terhadap ph dan perubahan suhu. hal tersebut menjadi alasan dilakukan modifikasi pati secara fisik, kimia, dan enzimatik atau kombinasi dari cara-cara tersebut (fortuna, juszczak, palansinski, 2001). alasan utama pati dimodifikasi adalah untuk memodifikasi karakteristik pemasakan, meningkatkan stabilitas selama proses dan pembekuan, menurunkan retrogradasi, dan mengembangkan sifat pembentukan film (richardson, gorton, 2003). salah satu bahan baku pembuatan pati adalah sagu. daerah maluku dikenal sebagai daerah asal agihan sagu (lubis, 1953 dalam louhenapessy, j. l., 1997), dimana hampir di seluruh daerahnya ditemukan sagu. beberapa jenis sagu di maluku antara lain : sagu tuni (m. rumphii mart), sagu ihur (m. sylvester mart), sagu molat (m. sagu root), sagu makanaru (m. microcanthum mart), sagu duri rotan (m. microcanthum mart) (louhenapessy, j. l., 1997). terdapat 51.146 ha tanaman sagu di maluku dengan jumlah 100 pohon/ha dengan persentase panen sebesar 40 % pohon/ha. tiap pohon yang dipanen dapat menghasilkan 400 kg tepung pati basah (sagu tomang) atau setara dengan 250 kg tepung sagu kering. sehingga potensi produksi tepung sagu p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 7 kering di maluku diperkirakan sebesar 818.000 ton tepung sagu basah setara dengan 511.250 ton tepung sagu kering (bank indonesia-ambon, 2011). permasalahan yang dihadapi oleh petani dan pengolah industri rumah tangga sagu di maluku adalah minimnya penguasaan teknologi pengolahan berbahan dasar tepung sagu dalam rangka diversifikasi produk olahan (bptp maluku, 2011). pati sagu digunakan sebatas sebagai makanan pokok (papeda, sagu lempeng) dan makanan jajanan (sagu gula, sagu tumbuk, kue sarut, sagu mutiara, bagea). selain itu, harga pati sagu sangat rendah. dengan kemajuan teknologi pangan, tepung sagu dapat dimodifikasi menjadi tepung pati resisten sehingga memberikan lebih banyak manfaat, diantaranya pada produksi makanan khusus buta penderita dibetes melitus. hingga saat ini, belum dilakukan penelitian tentang pembuatan pati resisten dari pati sagu maluku. pati resisten merupakan fraksi pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan amylase dan perlakukan pullulanase secara in vitro. seperti halnya pangan, pati resisten juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau scfa) (prangdimurti,2007). secara analitik, pati resisten bersifat sebagai serat tak larut. tetapi, secara fisiologis pati resisten memiliki sifat-sifat fisiologis serat larut. beberapa efek fisiologis potensial dari pati resisten adalah menjaga kesehatan usus besar, sebagai prebiotik yang membantu menjaga kesehatan kolon, mengontrol gilkemik dan respon insulin, memberi rasa kenyang dan menurunkan intake energy, serta memperbaiki profil lipid darah. seperti serat larut, pati resisten merupakan substrat untuk mikroflora kolon. pati resisten bersifat prebiotik yang secara selektif akan meningkatkan populasi bakteri kolonik yang menguntungkan yaitu bifidobacteria dan lactobacilli. bifidobacteria dan lactobacilli adalah bakteri kolonik yang paling menguntungkan pada manusia sebagai inangnya. peningkatan jumlah bifidobacteria dan lactobacilli di dalam saluran cerna bisa menekan kanker kolorektal dengan cara meningkatkan kecepatan produksi scfa (terutama asetat, propionat dan butirat), menurunkan ph lingkungan usus, bersifat proapotopsis dan menekan pertumbuhan patogen dengan meningkatkan kemampuan kompetisinya terhadap ketersediaan nutrisi, reseptor dan faktor pertumbuhan lainnya. pati resisten meningkatkan kesehatan usus dengan efek laksatif (pencahar) yang lebih rendah daripada serat pangan. di dalam kolon, fermentasi pati resisten meningkatkan kekambaan fekal (fecal bulk) dan menurunkan ph kolon. pati resisten juga meningkatkan kesehatan kolon dengan meningkatkan kecepatan produksi sel crypt, atau juga menurunkan atropi epitelial kolon dibandingkan makanan yang tidak berserat. juga ditemukan indikasi bahwa pati resisten dapat mempengaruhi tumorigenesis. aplikasi pati resisten di dalam suatu produk pangan secara teknis jauh lebih menguntungkan dibandingkan jika menggunakan serat pangan konvensional seperti biji-bijian, buah atau dedak. tidak seperti serat makanan konvensional, pati resisten dapat meningkatkan kandungan serat produk dengan hanya sedikit mempengaruhi karakteristik sensori produk, dan memiliki sifat fungsional seperti kapasitas pembengkakan, viskositas, pembentukan gel dan kapasitas mengikat air, yang cocok untuk diaplikasikan pada beberapa produk tertentu. selain itu, pemanfaatan pati resisten sebagai serat pangan sangat diperlukan bagi penderita diabetes melitus, oleh karena itu, perlu dikembangkan pengolahan pati sagu yang merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang melimpah di maluku menjadi pati resisten yang dapat aplikasikan untuk pembuatan bahan makanan salah satunya yaitu biskuit untuk penderita diabetes melitus. metodologi bahan bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tiga jenis pati sagu (sagu ihur, tuni dan molat), aquades, enzim pancreatic, pereaksi dns (3,5-asam dinitrosalisilat, na-k tartarat, naoh), glukosa anhidrat, larutan standar karbohidrat (glukosa dan maltose), larutan eluen (campuran butanol, etanol, aquades (5:5:3)), iodium, alfa – naftol, nacl, cacl2, buffer fosfat ph 7 (k2hpo4 dan kh2po4), dan kertas saring whatman no. 4. alat alat-alat yang akan digunakan adalah : beaker glas, labu takar, gelas ukur, pipet,pengaduk, thermometer, ph meter, ayakan, neraca, pengaduk motor, waterbath, oven, seperangkat alat eksraksi, seperangkat alat p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 8 hidrolisis, spektrofotometer uv/vis, chamber, plat klt, hot plate, orbital shaker dan aotuklaf. prosedur kerja pengolahan suspensi pati sagu menjadi tepung sagu dengan variasi jenis sagu di maluku (sagu ihur, tuni, molat) bebas protein dan lemak. bubur sagu disaring dengan kain saring sehingga pati lolos dari saringan sebagai suspensi pati, dan serat tertinggal pada kain saring. suspensi pati ini ditampung pada wadah pengendapan. penyaringan juga dapat dilakukan dengan mesin penyaring mekanis.pengendapan pati. suspensi pati dibiarkan mengendap di dalam wadah pengendapan selama 12 jam. pati akan mengendap sebagai pasta. cairan diatas endapan dibuang. pasta pati dijemur diatas tampah, atau dikeringkan dengan alat pengering sampai kadar air dibawah 14%. hasil pengeringan ini disebut dengan tepung kasar. tepung kasar selanjutnya ditumbuk atau digiling sampai halus menjadi tepung sagu. tepung sagu yang dihasilkan kemudian dianalisis untuk mengetahui mutunya. variabel yang diamati adalah kadar air, kadar abu, warna, dan ph. hasil yang diperoleh dibandingkan dengan persyaratan tepung sagu sni 01-3729-1995. penentuan kandungan lemak tepung pati sagu dari beberapa jenis pati sagu di maluku tepung pati sagu dari beberapa dengan variasi jenis sagu di maluku, masing-masing ditimbang 30 gram diekstraksi dengan 100 ml petroleum benzene selama semalam. hasil ekstraksi kemudian disaring dan dikeringkan dalam oven suhu 70oc kemudian dihitung kadar lemaknya. uji kualitatif dan analisa daya cerna tepung pati sagu tepung sagu uji kualitatif sebanyak 0.5 gram tepung pati sagu dari beberapa jenis sagu di maluku ditambahkan 50 ml akuades dipanaskan dan do stirer di atas hotplate pada suhu 160oc sampai semua tepung larut. hasilnya merupakan larutan pati 1%. larutan pati 1% dilakukan uji iodium untuk membedakan polisakarida dari disakarida dan monosakarida. 100 µ l larutan pati 1% dari beberapa pati jenis sagu di maluku (sagu ihur, tuni, molat) masing-masing ditambahkan 900 µ l akuades dan 2 tetes larutan iodium (i2). 1000 µ l akuades yang yang ditambahkan 2 tetes larutan iodiumbsebagaikontrol.perubahan warna pada setiap sampel menunjukkan secara kualitatif kadar pati yang terkandung dalam tiap larutan pati. uji kualitatif yang kedua yaitu uji molisch yang merupakan uji umum untuk mengidentifikasi adanya karbohidrat secara kualitatif. sebanyak 500 µ l larutan pati 1% dan akuades (control) ditambahkan dengan 3 tetes larutan alfa-naftol, kemudian dikocok dan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat. jika ada terbentuk cicin ungu antara lapisan larutan dan asam sulfat pekat menandakan adanya karbohidrat. analisa daya cerna 1 gram tepung pati sagu bebas protein dan lemak ditambahkan dengan 100 ml buffer fosfat ph 6 dan 200 µ l alfa amylase dalam erlenmeyer 250 ml. proses hidrolisis terjadi di atas hot plate dengan keadaan stirrer pada suhu ruang selama 20 jam. setelah 20 jam, sampel direndam dalam air panas, didinginkan dan disaring filtratnya. filtrate larutan tepung sampel hasil hidrolisis di uji kadar glukosa dengan metode dns. pembuatan pati resisten dari beberapa pati jenis sagu di maluku (sagu ihur, tuni, molat) dengan metode pemanasan yang memvariasikan suhu 20 gram pati sagu ditambahkan dengan 100 ml buffer fosfat ph 7 dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian dipanaskan dalam autoklaf dengan suhu 70oc selama 20 menit, selanjutnya didinginkan pada suhu ruang. setelah dingin, masukkan dalam freezer bersuhu -17oc selama semalaman. dipindahkan sebagian sampel pati pada cawan petri, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 70 oc. hal yang sama juga dilakukan dengan memvariasikan suhu pemanasan autoklaf dengan suhu 105, 110, 115 dan 120oc. hasil dan pembahasan tiga jenis sagu di maluku (sagu tuni, ihur dan molat) diperoleh dari 3 lokasi yang berbeda yaitu sagu ihur diperoleh di daerah leihitu, sagu tuni diperoleh di daerah saparua, sagu molat diperoleh di daerah tulehu. tiga jenis sagu ini yaitu sagu tuni, ihur dan molat diolah menjadi tepung sagu dengan hasil yang dapat dilihat pada gambar 5.1. p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 9 a b c gambar 5.1 sampel pati sagu; a. pati sagu basah, b. pati sagu hasil pengeringan, c. tepung sagu tepung sagu umumnya mengandung tannin yang diduga dapat menghambat hidrolisis enzim, maka pada pembuatan tepung sagu dibuat juga tepung sagu bebas tannin dengan cara tepung pati sagu yang diperoleh dicampur dengan etanol dan distirer selama 6 jam. hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.2 molat bebas tannin tuni bebas tannin ihur bebas tanin gambar 5.2 tepung sagu bebas tannin analisa sifat fisiko-kimia tepung sagu tiga jenis pati sagu yang digunakan dalam pembuatan tepung sagu ditentukan kadar air dari masing-masing pati sagu tersebut, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.1. tabel 5.1 hasil analisa kadar air dari pati sagu basah komponen pati sagu basah ihur tuni molat kadar air (%) 49.61 45.85 47.77 tepung sagu yang diperoleh dari 3 jenis sagu ini di analisa sifat fisiko-kimia antara lain kadar lemak, kadar air, kadar abu, warna, dan ph dengan hasil dapat dilihat pada tabel 5.2 tabel 5.2 hasil analisa sifat fisikokimia antara lain kadar lemak, kadar air, kadar abu, kadar glukosa, kadar maltosa, warna, dan ph komponen tepung sagu ihur ihur bebas tanin tuni tuni bebas tanin molat molat bebas tanin kadar air (%) 9.329 5.362 6.245 5.407 5.793 4.719 kadar lemak (%) 0.222 0.206 0.225 0.182 0.218 0.209 kadar abu (%) 0.09656 t.a 0.076 1 t.a 0.0714 6 t.a warna putih kekuninga n putih kekuninga n putih putih putih putih uji kualitatif karbohidrat sampel tepung sagu uji yodium uji yodium dilakukan untuk mengidentifikasi adanya polisakarida (pati) dalam sampel tepung sagu. hasilnya dapat dilihat pada gambar 5.3 k e t e gambar 5.3 hasil uji yodium dari gambar tampak secara kualitatif bahwa sampel tepung sagu (sgu ihur, tuni, dan molat) mengandung pati yang cukup banyak. perubahan warna larutan terjadi karena dalam larutan pati terdapat unit-unit glukosa yang membentuk rantai heliks karena adanya ikatan dengan konfigurasi pada tiap unit glukosanya. bentuk ini yang menyebabkan pati dapat membentuk kompleks dengan molekul yodium yang dapat masuk kedalam spiralnya. uji molisch uji molisch secara kualitatif menentukan adanya karbohidrat dalam sampel tepung sagu. hasilnya positif pada sampel tepung sagu dan tepung sagu bebas tannin yang ditandai dengan terbentuknya cincin ungu antara sampel dan asam sulfat. hasil diperlihat pada gambar 5.4 gambar 5.4 hasil uji molisch; (kiri ke kanan) sampel ihur bebas tannin, molat bebas tannin, tuni bebas tannin, kontrol (aguades), sampel tepung tuni, sampel molat, dan sampel ihur. dari gambar 5.4 terlihat adanya cincin furfural diantara kedua larutan (interface) pada sampel yang merupakan indikator adanya kandungan karbohidrat namun tidak terlihat pada kontrol (k). p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 10 penentuan daya cerna pada sampel tepung sagu dengan metode dns (penentuan kadar pereduksi) pembuatan pati resisten tepung sagu pati resisten dari tepung sagu dibuat dengan perlakuan autoclaving-cooling dengan variasi suhu sabagi berikut 105,110,115,dan 120 oc. hasil tepung pati resisten dari tepung sagu yang dibuat dengan variasi suhu dapat dilihat pada gambar 5.7 dan 5.8 molat tuni ihur gambar 5.7 tepung pati resisten dari tepung sagu (kiri ke kanan : molat, tuni dan ihur) a b c d e gambar 5.8 pati resisten dari tepung sagu dibuat dengan perlakuan autoclaving-cooling (a) dengan variasi suhu sabagi 105 (b) ,110 (c) ,115,(d) dan 120 oc (e) penentuan daya cerna secara in vitro penentuan daya cerna pati tepung sagu sampel tepung sagu dihidrolisis dengan enzim pancreatin yang kemudian diuji dengan metode dns. hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.5 sebagai pembanding digunakan glukosa 10 mg/ml dan maltosa 10 mg/ml. tabel 5.5 data absorbansi dan kadar glukosa tepung sagu sampel t (jam) konsentrasi glukosa konsentrasi maltose ihur 1 1.1758 1.5538 2 1.2090 1.5943 4 1.3665 1.7863 molat 1 1.1740 1.5516 2 1.2230 1.6113 4 1.2877 1.6903 tuni 1 1.0813 1.4386 2 1.1758 1.5538 4 1.2545 1.6497 ihur bebas tanin 1 1.1985 1.5815 2 1.2702 1.6689 4 1.3367 1.7500 molat bebas tanin 1 1.2423 1.6348 2 1.3157 1.7244 4 1.4067 1.8353 tuni bebas tanin 1 1.2318 1.6220 2 1.2912 1.6945 4 1.3612 1.7799 glukosa 10 mg/ml 0 2.2428 2.8549 maltosa 10 mg/ml 0 1.2598 1.6561 perubahan struktur pati pada sampel tepung mengubah sifat granula pati menjadi lebih mudah dihidrolisis oleh enzim pancreatin sehingga kadar glukosa dan maltosa lebih besar dari 1 mg/ml penentuan daya cerna tepung pati resisten sampel tepung pati resisten dibuat dengan perbedaan 4 variasi suhu yaitu suhu 105, 110, 115 dan 120 o c. selanjutnya dilakukan diuji dengan metode dns. hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.6 p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 11 tabel 5.6 data absorbansi dan kadar glukosa tepung pati resisten perlakuan autocalaving 105 oc sampel t (jam) konsentrasi glukosa konsentrasi maltosa ihur 1 0.9169 1.2381 2 0.9467 1.2743 4 0.9956 1.3340 molat 1 0.8120 1.1101 2 0.9327 1.2573 4 0.9991 1.3383 tuni 1 0.8539 1.1613 2 0.9414 1.2679 4 1.0219 1.3660 ihur bebas tanin 1 0.8190 1.1186 2 0.9152 1.2359 4 0.9834 1.3191 molat bebas tanin 1 0.8365 1.1399 2 0.9467 1.2743 4 1.0079 1.3490 tuni bebas tanin 1 0.8574 1.1655 2 0.9816 1.3170 4 1.0324 1.3788 tabel 5.7 data absorbansi dan kadar glukosa tepung pati resisten perlakuan autocalaving 110 oc sampel t (jam) konsentrasi glukosa konsentrasi maltosa ihur 1 0.5199 0.7538 2 0.8714 1.1826 4 0.9886 1.3255 molat 1 0.7700 1.0589 2 0.9781 1.3127 4 1.0149 1.3575 tuni 1 0.8452 1.1506 2 0.9974 1.3362 4 1.0568 1.4087 ihur bebas tanin 1 0.6615 0.9266 2 0.8872 1.2018 4 0.9904 1.3276 molat 1 0.8400 1.1442 bebas tanin 2 1.0603 1.4130 4 1.0761 1.4322 tuni bebas tanin 1 0.7805 1.0717 2 0.9519 1.2807 4 0.9851 1.3212 tabel 5.8 data absorbansi dan kadar glukosa tepung pati resisten perlakuan autocalaving 115 oc sampel t (jam) konsentrasi glukosa konsentrasi maltosa ihur 1 1.0114 1.3532 2 1.0936 1.4535 4 1.1391 1.5090 molat 1 1.0411 1.3895 2 1.1163 1.4812 4 1.1600 1.5346 tuni 1 1.0009 1.3404 2 1.0691 1.4236 4 1.1356 1.5047 ihur bebas tanin 1 0.9711 1.3042 2 1.0988 1.4599 4 0.0000 0.0000 molat bebas tanin 1 1.0254 1.3703 2 1.1356 1.5047 4 0.0000 0.0000 tuni bebas tanin 1 1.0848 1.4428 2 1.1723 1.5495 4 0.0000 0.0000 tabel 5.9 data absorbansi dan kadar glukosa tepung pati resisten perlakuan autocalaving 120 oc sampel t (jam) konsentrasi glukosa konsentrasi maltosa ihur 1 0.7280 1.0077 2 0.9589 1.2892 4 1.0551 1.4066 molat 1 0.5811 0.8285 2 0.7490 1.0333 4 0.8539 1.1613 p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 12 tuni 1 0.6161 0.8712 2 0.7315 1.0119 4 0.7665 1.0546 ihur bebas tanin 1 0.5653 0.8093 2 0.7315 1.0119 4 0.8085 1.1058 molat bebas tanin 1 0.6720 0.9394 2 0.7140 0.9906 4 0.7420 1.0247 tuni bebas tanin 1 0.5583 0.8008 2 0.7752 1.0653 4 0.8032 1.0994 dibuat perlakuan perbedaan suhu pemanasan suhu tinggi dengan autoclave yakni pemanasan pada suhu 105, 110, 115, 120oc. keempat sampel perlakuan pemansan pada autoclave dengan suhu 105, 110, 115, 120oc selama 20 menit akan dalam bentuk suspensi pati. pada tahap pemanasan ini pati akan mengalami proses gelatinasi sehingga granula pati rusak akibat pemanasan di dalam air berlebih dan amilosa dilepaskan dari granula ke dalam larutan (suriani, 2008), terutama untuk sampel perlakuan penambahan buffer karena berbentuk suspensi sedangkan pada pati yang tidak ditambahkan buffer fosfat tidak nampak mengalami gelatinasi namun, pemanasan suhu tinggi pada autoclave masih tetap dapat merubah struktur pati. greenwood (1979) dalam suriani (2008) melaporkan bahwa pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intermolekul. ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula. terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati. faktorfaktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah kandungan amilosa dan ukuran granula pati (banks dan greenwood, 1973 dalam suriani, 2008). selanjutnya keempat sampel pati didinginkan pada suhu ruang dan dilanjutkan dengan pendinginan dalam freezer pada suhu 17oc selama semalam. pada tahap ini gel pati akan mengalami proses retrogasi yaitu proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi (winarno, 1997), amilosa yang ada diluar granula kembali menyatu dengan cabang amilopektin melalui ikatan hidrogen (sunarti dkk., 2007). proses retrogasi pada amilosa dapat terjadi terutama setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan (autoclaving-cooling). selama retrogradasi granula pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (suriani, 2008). proses retrogradasi yang terjadi dapat meningkatkan kadar pati resisten (zabar et al. 2008 dalam suriani, 2008 dan soto et al. 2007). tiap sampel pati sagu hasil perlakuan yang telah didinginkan kemudian diambil sebagian untuk dikeringkan, digerus dan ditapis. selanjutnya dilakukan uji dns dan analisis kadar pati resisten dari pati gayam dan sampel pati gayam hasil perlakuan autoclaving-cooling. berikut disajikan data hasil analisis kadar glukosa (tabel 5.5-5.8) jika dibandingkan dengan sampel tepung sagu, hasil analisis kadar glukosa pada pati resisten lebih kecil dari kadar glukosa sampel tepung sagu. perbedaan ini dikarenakan struktur pati pada sampel tepung sagu akan mengubah sifat granula pati pada tepung sagu sehingga sampel tepung menjadi lebih mudah dihidrolisis oleh enzim pancreatin. hal ini terlihat dari perbedaan absorbansi dari sampel tepung denga pati resisten. hasil penelitian juga menunjukkan kadar glukosa dalam empat sampel pati hasil perlakuan pemanasan suhu tinggi-pendinginan yang masing-masing mengalami perlakuan berbeda pada perbedaan pemanasan yang telah dihidrolisis oleh enzim pancreatin lebih kecil dibandingkan kadar glukosa tepung sagu hasil. perbedaan kadar glukosa ini dikarenakan perlakuan yang berbeda pada masing-masing pati yang mana terkait dengan proses gelatinasi pati. gelatinasi pati ditandai dengan terjadinya pengembangan (swelling up) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan pati (faridah, 2011). srichuwong (2006) dalam faridah (2011) menyatakan setiap jenis pati memiliki profil gelatinisasi yang khas yang membedakan antara satu jenis pati dengan jenis pati yang lainnya. dari parameter profil gelatinisasi tersebut, viskositas setback dapat menggambarkan kecenderungan pasta pati untuk mengalami retrogradasi selama fase pendinginan, yaitu semakin tinggi viskositas setback maka kecenderungan retrogradasi semakin meningkat. kadar glukosa pati pada sampel pati resisten p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 13 lebih kecil dikarenakan struktur granula pati tidak terlalu berubah dibandingkan dengan sampel tepung sagu sehingga pada proses retrogasi pati, struktur kristal yang terbentuk pada sampel pati reisten lebih stabil karena lebik sedikit air yang dilepas (sinersis) (winarno, 1997). retrogradasi pati dipengaruhi oleh jenis pati, nisbah amilosa dan amilopektin, panjang dan distribusi rantai luar amilopektin, berat molekul amilosa dan amilopektin, dan distribusi ukuran granula pati. molekul amilosa lebih cepat mempengaruhi pembentukan gel dan retrogradasi pati dibandingkan molekul amilopektin, sehingga pati yang mengandung amilosa cenderung mengalami retrogradasi lebih cepat (gudmundsson, 1994 dalam faridah, 2011). kesimpulan 1. kadar air dari sampel sagu basa untuk jenis ihur 49.61%, tuni 45,85% dan molat 47.77 % sedangkan untuk tepung sagu untuk jenis ihur 9.329%, tuni 6.245% dan molat 5.793 % sedangkan tepung sagu bebas tannin untuk jenis ihur 5.362%, tuni 5.407% dan molat 4.719 % dan 2. kadar abu untuk tepung sagu untuk jenis ihur 0.09656%, tuni 0.0761% dan molat 0.07146 % 3. kadar lemak untuk tepung sagu untuk jenis ihur 0.222%, tuni 0.225% dan molat 0.218 % sedangkan tepung sagu bebas tannin untuk jenis ihur 0.206%, tuni 0.182% dan molat 0.209 % 4. kadar glukosa dalam sampel tepung sagu ( jenis ihur, tuni dan molat) yang dihidrolisis oleh enzim pancreatin lebih besar dari kadar glukosa pati resisten yakni berkisar antara 1-1.4 mg/ml sedangkan untuk sampel pati resisten dengan variasi suhu lebih kecil yakni sebesar 0.6-1.0 mg/ml. perbedaan kadar yang signifikan ini disebabkan pati yang mengalami perlakuan temperatur struktur patinya telah berubah karena telah mengalami proses gelatinasi. ucapan terima kasih penulis menyampaikan terima kasih kepada lembaga penelitian universitas pattimura yang telah membiayai penelitian ini melalui dipa universitas pattimura tahun 2013. daftar pustaka ahmad, b. f., p. a. williams, j. doublier, s. durand and a. buleon., 1999. physicochemical characterisation of sago starch. carbohydrate polymer 38 : 361-370. bptp maluku, 2011. sagu instan sebagai produk alternatif olahan tradisional dari maluku. edisi khusus penas xiii, 21 juni 2011. cui, w., 2006., food carbohydrate, francise and taylor, england.. daramola, b. and osanyinlusi, s.a., 2006. investigation on modification of cassava starch using active components of ginger roots (zingiber officinale roscoe), african journal of biotechnology, 2006, vol. 5, pp. 917-920. dina, lena yosina krey 1998. teknik pembibitan dan penanaman sagu (metroxylon spp) secara tradisional oleh penduduk asli sentani di kabupaten dati ii jayapura. universitas cendrawasih, manokwari. englyst h.n., s.m kingman, j.h cummings. 1992. classification and measurements of nutrionally important starch fraction. eourope journal clinical nutrition. weageningen academic publishers. netherlands faridah, d.n. 2011. perubahan karakteristik kristalin pati garut (maranta arundinaceae l.) dalam pengembangan pati resisten tipe iii (disertasi). sekolah pascasarjana. institut pertanian bogor. bogor. haryanto dan pangloli, 1992. potensi dan pemanfaatan sagu. kanisius. yogyakarta heath, h.b. 1986. flavor chemistry and technology. avi van wostrand reinhold company.inc, westport, connecticut. herawati, heni., 2011. potensi produk pati tahan cerna sebagai pangan fungsional. jurnal litbang pertanian, 30(1). jawa tengah higgins j.a., 2004. resistant starc : metabilic effects and potential health benefits. journal of aoac internasional 87(3): 761768 louhenapessy, j. e., 1997. kondisi sagu di maluku : potensi, alternatif pemanfaatan dan pola pengolahan tepung. jurnal ilmu pengetahuan dan teknologi universitas pattimura, volume 2, april 1997. p. lapu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 6 14 1 14 maluku dalam angka, 2009. badan pusat statistik maluku, ambon prangdimurti e., palupi n.s., zakaria f.r., 2007. metode evaluasi nilai biologis karbohidrat dan lemak. modul e-leraning enbp, depertemen ilmu dan teknolpgi pangan, ipb. bogor richana, n., p. lestari, n. chilmijati, dan s. widowati. 2000. karakterisasi bahan berpati (tapioka, garut dan sagu) dan pemanfaatannya menjadi glukosa cair. dalam l. nuraida, r. dewanti., hariyadi, s. budjianto (ed). prosi-ding seminar nasional industri pangan. volume i. patpi, surabaya. hal. 396-406 richardson, s., & gorton, l. (2003). characterisation of the substituent distribution in starch and cellulose derivatives. analytica chimica acta, 497, 27–65. sajila m.g., rekha s.s., puspha r.k., 2006. resisteant starcha review. j comprehensive reviewin food science and food safetty 6:1-13 soto, r.a.g, r.m. escobedo, h.h. sanchez, m.s. rivera, & l.a.b. perez. 2007. the influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. j food research int. 40: 304–310. suriani, a. i. 2008. mempelajari pengaruh pemanasan dan pendinginan berulang terhadap karakteristik sifat fisik dan fungsional pati garut (marantha arundinacea) termodifikasi. fakultas teknologi pertanian. institut pertania bogor. bogor sunarti, t.c., n. richana., f. kasim., purwoko, a. budiyanto., 2007. karakterisasi sifat fisiko kimia tepung dan pati jagung varietas unggul nasional dan sifat penerimaannya terhadap enzim dan asam. departemen teknologi industri pertanian. fakultas teknologi pertanian. ipb bogor. syamsir e., purwiyatno h., nuri a., dan feri k., 2007. pengaruh proses heat-moisture threatment (hmt) terhadap karakteristik fisikokimia pati. j. teknologi dan indutri pangan, vol xxiiino.1. bogor winarno, f. g. 1997. kimia pangan dan gizi. gramedia pustaka utama. jakarta. indochem indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 26 biosorpsi ion logam tembaga (cu2+) pada biosorben rumput laut coklat (padina australis) biosorption of copper metal ions (cu2+) on brown seaweed (padina australis) biosorbent catherina m. bijang*, jolantje latupeirissa, marike ratuhanrasa department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university-indonesia *corresponding author: rina@fmipa.unpatti.ac.id received: may 2018 published: july 2018 abstract the research on the biosorption of cu 2+ metal ions in brown seaweed biosorbent (padina australis) has been done. this study aims to determine moisture content, ash content, biomass content, ph and optimum contact time of cu 2+ metal ions absorption ph and optimum contact time of cu 2+ metal ions absorption. the method used is batch method. the adsorption result of cu 2+ metal ions was analyzed by atomic absorption spectrophotometer (aas). the results showed that the optimum ph was 7 with 99.8308 % absorption abilit y of biosorbent and the optimum contact time was 5 hours with 99.5570 % biosorbent absorbency. keywords: biosorption, biosorbent, seaweed, padina australis, cu 2+ pendahuluan perkembangan di bidang industri saat ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia yang kemudian memberikan dampak positif dan negatif. pertambahan jumlah industri dan kepadatan penduduk berakibat negatif yaitu bertambahnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah industri secara sembarangan ke lingkungan. limbah yang dihasilkan dari industri jika tidak diolah dengan benar dan dibuang ke lingkungan akan berdampak buruk bagi lingkungan sekitarnya, karena mengandung zat-zat beracun dan berbahaya jika terkonsumsi atau bahkan terakumulasi dalam sistem biologis. keberadaan logam berat di lingkungan yang melebihi ambang batas akan merusak lingkungan dan menimbulkan masalah kesehatan bagi makhluk hidup di lingkungan tersebut. adanya logam berat di perairan berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat yaitu sulit terurai, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (ika dkk., 2012). sumber pencemaran logam berat ada dua, yaitu akibat peristiwa alam dan non alami. akibat peristiwa alam seperti pengikisan dari batuan mineral, debu, dan partikel yang ada dalam lapisan udara dibawa turun oleh air hujan ke perairan. secara non alami, logam berat masuk lingkungan akibat aktivitas manusia, seperti buangan limbah rumah tangga dan industri di darat maupun laut, alatalat rumah tangga, dan galangan kapal. salah satu logam yang terdapat pada limbah hasil kegiatan-kegiatan tersebut adalah logam tembaga. tembaga adalah konduktor terbaik dari panas dan listrik, serta merupakan komponen penting pada berbagai enzim. logam ini merupakan logam berat esensial yang dibutuhkan oleh tubuh makluk hidup dalam jumlah yang sangat kecil. kelebihan logam berat ini mengakibatkan penyakit perut dan usus, kerusakan hati, kerusakan ginjal, menurunnya tingkat intelegensia anak-anak dalam masa pertumbuhan, kerusakan otak, pendarahan pada gastrointestinal, penyakit kuning, anemia, dan bahkan bisa menyebabkan kematian. manusia biasanya terpapar melalui tanah, debu, makanan, serta minuman yang tercemar logam ini. keracunan logam berat bersifat kronis dan dampaknya baru terlihat setelah beberapa tahun (widowati dkk., 2008, sutapa dkk. 2014). untuk itu pencemaran catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 27 lingkungan oleh logam ini harus mendapat perhatian kita semua. bahayanya harus dikurangi atau bahkan ditiadakan (male dkk, 2017). berbagai macam metode telah digunakan untuk menanggulangi pencemaran lingkungan oleh logam berat seperti penjerapan, presipitasi, elektrodeposisi, penukar ion dan pemisahan secara membran telah dilakukan (bijang dkk. 2014). di antara metode-metode ini, pengolahan limbah menggunakan metode penjerapan adalah yang banyak dilakukan. penjerapan atau disebut juga adsorpsi merupakan metode yang melibatkan adsorben sebagai penjerap. beberapa biosorben yang dapat digunakan dalam penanganan limbah adalah serbuk gergaji, hasil samping pertanian, limbah industri makanan, bakteri, mikroalga, dan rumput laut. keunggulan biosorben ini adalah mudah didapat, ramah lingkungan, dan dapat diperbaharui. rumput laut merupakan salah satu sumber daya hayati kelautan yang dimiliki indonesia. rumput laut dibedakan atas empat kelas, yaitu rhadophyceae (rumput laut merah), phaeophyceae (rumput laut cokelat), chlorophyceae (rumput laut hijau) dan cyanophyceae (rumput laut hujau biru) (munaf, 2000). seiring dengan perkembangan teknologi rumput laut telah ditingkatkan pemanfaatannya sehingga memberikan nilai yang lebih tinggi. salah satu pemanfaatannya adalah sebagai biosorben dalam proses biosorpsi. khususnya rumput laut coklat sampai saat ini belum optimalkan penggunaannya, bila dibandingkan dengan jenis rumput laut merah maupun hijau. di daerah perairan laut maluku, diantaranya adalah di pulau kisar sangat banyak ditemukan rumput laut coklat yang terbuang percuma di pesisir pantai, khususnya rumput laut coklat padina australis. rumput laut coklat padina australis memiliki banyak potensi, sebagai penghasil alginat, fukosantin, antioksidan, dan antibakteri yang sangat berguna bagi industri farmasi, pangan, obat-obatan, dan kosmetika, serta dapat menjerap logam karena memiliki gugus-gugus fungsional seperti karbonil (co), karboksil (cooh), amina (-nh2), dan hidroksil (-oh) yang berperan sebagai situs aktif pengikat ion logam. di maluku rumput laut coklat padina australis belum dimanfaatkan secara optimal. rumput laut ini tidak dikonsumsi oleh masyarakat sehingga terbuang percuma di pesisir pantai dan merupakan sampah. oleh karena itu, sampah rumput laut coklat padina australis ini perlu dikembangkan untuk memberikan nilai tambah baik secara ekonomi maupun pemecahan masalah-masalah lingkungan terutama pencemaran oleh limbah logam berat. penggunaan rumput laut coklat sebagai biosorben telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. indriani dan suzuki (1998) menggunakan rumput laut coklat sebagai biosorben, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi rumput laut coklat terhadap logam berat sangat dipengaruhi oleh ph. wewra (2011) mengisolasi alginat dari rumput laut coklat sargassum policystum sebagai biosorben ion cd(ii). hasil penelitian menunjukkan bahwa ph optimum biosorpsi adalah ph 5 dan waktu kontaknya selama 36 jam dengan kapasitas biosorpsi terhadap ion logam cd(ii) sebesar 0,588 mg/g. tentua (2011) juga melakukan penelitian yang sama terhadap rumput laut coklat turbinaria ornatta, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan waktu kontak yang sama ph optimum biosorpsi adalah ph 4 dengan kapasitas biosorpsinya sebesar 0,55 mg/g. jumlah rumput laut coklat padina australis yang melimpah dan mudah diperoleh di pesisir pantai dan berpotensi sebagai sampah, maka potensi rumput laut ini perlu dikembangkan untuk pemanfaatannya sebagai adsorben logam berat cu dalam upaya mengurangi tingkat pencemaran lingkungan. berdasarkan latar belakang tersebut telah dilakukan biosorpsi ion logam tembaga (cu 2+ ) pada biosorben bumput laut coklat (padina australis). metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan antara lain: rumput laut coklat padina australis, larutan standar ion logam c u 2 + dari larutan cuso4.5h2o, akuades, kcl (p.a merck), hcl (p.a merck), asam asetat (p.a merck), natrium asetat (p.a merck), c8h5ko4 (p.a merck), na2hpo4 (p.a merck), nah2po4 (p.a merck), kertas saring. alat alat-alat yang digunakan antara lain: seperangkat alat gelas (pyrex), blender, ayakan 100 mesh, oven (memmert), desikator, cawan catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 28 porselin, neraca analitik (ada 210/le), tanur listrik, indikator universal, sheker gfl 3005, spektrofotometer serapan atom, 6300 a, shimadzu, spektrofotometer ftir. prosedur kerja penyiapan biosorben rumput laut coklat padina australis dicuci hingga bersih dan dibilas dengan akuades, kemudian dikeringkan. setelah kering, rumput laut diblender dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh. serbuk rumput laut tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 o c selama 1 jam agar benar-benar kering, kemudian disimpan di dalam desikator. penentuan kadar air cawan porselin bersih dan kering ditimbang beratnya untuk bobot wadah kosong. serbuk rumput laut coklat padina australis ditimbang sekitar 3 g, selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dimasukkan ke dalam oven selama 4-6 jam dengan suhu 105 o c kemudian ditimbang kembali hingga dicapai berat konstan. proses ini dilakukan secara duplo. penentuan kadar abu cuplikan yang diperoleh dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 400-600 o c. setelah itu abu sampel dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator dan dibiarkan kira-kira 1 jam sampel ditimbang kembali. pembuatan larutan standar cu 2+ timbang 0,1255 g kristal cuso4 kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml, tambahkan akuades sampai tanda batas, diperoleh larutan induk cu 2+ 100 ppm. untuk membuat larutan standar cu 2+ 50 ppm dengan ph 2, diambil 25 ml larutan induk cu 2+ 100 ppm, dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan 25 ml larutan buffer ph 2. untuk membuat larutan cu cu 2+ 50 ppm dengan ph 3, ph 4, ph 5, ph 6, dan ph 7 dibuat dengan cara yang sama di atas. penentuan ph optimum ke dalam 6 buah erlenmeyer 100 ml, dimasukkan masing-masing 0,50 g serbuk rumput laut dan ditambahkan 25 ml larutan standar cu 2+ 50 ppm dengan ph larutan masingmasing 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 yang diatur menggunakan buffer. buffer yang digunakan untuk ph berturut turut yaitu : kcl 0,2 m, hcl 0,2 m ; c8h5ko4 0,1 m, hcl 0,1 m ; asam asetat, natrium asetat; na2hpo4 0,1 m, nah2po4 0,1 m, akuades dengan perbandingan volume masing-masing berbeda untuk tiap buffer. kemudian campuran dishaker dengan kecepatan 250 rpm selama 5 jam. setelah itu campuran disaring, filtratnya dianalisis menggunakan ssa dan filtrannya diuji menggunakan spektrofotometer ftir. penentuan waktu kontak optimum sebanyak 0,50 g serbuk rumput laut dimasukkan ke dalam 5 buah erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan 25 ml larutan cu 2+ 50 ppm dengan ph optimum yang diperoleh. campuran kemudian dishaker dengan kecepatan 250 rpm selama 3, 4, 5, 6, dan 7 jam. setelah itu campuran disaring, filtratnya dianalisis menggunakan ssa dan filtrannya diuji menggunakan spektrofotometer ftir. hasil dan pembahasan pengambilan sampel rumput laut coklat (padina australis) diambil dari pantai litti pulau kisar, kabupaten maluku barat daya. sampel diambil pada tanggal 7 juni 2016 keadaan cuaca pada saat itu cerah namun keadaan lautnya bergelombang, karena sudah peralihan/ pergantian musim sehingga tiupan angin dari arah timur (musim timur). tempat pengambilan sampel jaraknya 1,5 km dari pemukiman masyarakat yang ditempuh dalam perjalanan 30 menit. tempat pengambilan sampel adalah tempat yang kosong yang tidak dihuni oleh masyarakat dan tidak ada hunian. tempat pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 1. penyiapan biosorben sampel rumput laut coklat (padina australis) yang diambil dari pantai litti pulau kisar, kabupaten maluku barat daya dibawa ke laboratorium. sampel dibilas dengan akuades hingga bebas garam klorida (uji agno3). sampel yang telah bersih dikeringkan dalam oven dengan suhu 60-68 o c selama 2 hari, digunakan suhu 60-68 o c agar gugus fungsi dari catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 29 rumput laut ini tidak rusak. setelah kering sampel dihaluskan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 100 mesh yang bertujuan untuk memperbesar luas permukaan biosorben. serbuk biosorben selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 o c selama 1 jam untuk menghilangkan kadar air agar sel-sel rumput laut yang masih hidup cepat mati dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme. setelah dikeringkan, serbuk biosorben siap diaplikasikan untuk penentuan ph optimum dan waktu kontak optimum. untuk mengetahui kadar logam cu dalam sampel rumput laut, sampel didestruksi basah dan hasilnya di uji menggunakan ssa. dari hasil uji ssa menunjukan bahwa sampel rumput laut tidak terdeteksi logam cu. artinya sampel bebas logam cu. hal ini didukung oleh lokasi pengambilan sampel yang sangat jauh dari pemukiman warga. penentuan kadar air, kadar abu, dan kadar biomassa pada penelitian dilakukan penentuan kadar air, kadar abu, dan kadar biomassa terhadap biosorben rumput laut coklat padina australis. proses ini diawali dengan penentuan kadar air. kadar air adalah banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan. pada proses ini cawan porselin kosong dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 °c selama 1 jam. pemanasan ini bertujuan menguapkan kadar air yang melekat di permukaan cawan. selain itu, dimasukkannya cawan ke dalam desikator untuk mencegah cawan terkontaminasi uap air dan udara. setelah diketahui bobot cawan kosong maka dilakukan proses pemanasan terhadap sampel biosorben rumput laut coklat padina australis. proses pemanasan menggunakan suhu 105 °c. pemanasan dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan dengan total waktu pemanasan 9 jam hingga diperoleh berat yang gambar 1 tempat pengambilan sampel (a. peta kabupaten maluku barat daya; b. peta pulau kisar; c. pantai litti) catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 30 konstan. dari hasil perhitungan, diperoleh data kadar air biosorben rumput laut coklat padina australis seperti pada tabel 1. tabel 1 data kadar air, kadar abu, dan kadar biomassa pada biosorben rumput laut coklat padina australis dari data tabel 1 diketahui rata-rata kadar air rumput laut coklat padina australis 12,1886 %. kadar air sangat berpengaruh terhadap kualitas biosorben. hilangnya molekul air yang ada pada biosorben menyebabkan pori-pori pada biosorben semakin besar sehingga semakin besar luas permukaannya. bertambahnya luas permukaan ini mengakibatkan semakin meningkatnya kemampuan adsorpsi dari biosorben. proses selanjutnya adalah penentuan kadar abu. abu merupakan bahan tersisa hasil pembakaran yang merupakan zat-zat anorganik berupa mineral. hal tersebut terjadi karena proses pembakaran menyebabkan zat-zat organik pada bahan akan terbakar dan menyisakan abu. nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. bahan makanan sebagian besar, yaitu sekitar 96 % terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari mineral. dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak. rumput laut merupakan bahan yang kaya akan mineral seperti na, k, ca, dan mg. pada proses penentuan kadar abu ini digunakan sampel hasil proses kadar air, hal ini dikarenakan sampel biosorben ini telah dihilangkan airnya sehingga mempermudah untuk menghilangkan bahan-bahan organik dari sampel biosorben rumput laut coklat padina australis. proses ini menggunakan suhu tanur 600 °c dengan waktu pemanasan selama 4 jam hingga menjadi abu. dibiarkan kurang lebih 1 jam didalam tanus sebelum dimasukkan ke desikator. dari hasil perhitungan, diperoleh data kadar abu biosorben rumput laut coklat padina australis seperti pada tabel 1 dan diketahui rata-rata kadar abu biosorben rumput laut coklat padina australis adalah 29,1659 %. data berat kering dan berat abu sampel dapat dipergunakan untuk menghitung kadar biomassa dari biosorben rumput laut coklat padina australis. biomassa adalah semua bahan yang dihasilkan dari melalui fotosintesis, dengan kata lain, tanaman atau komponen utamanya (selulosa, pati, gula). beberapa biomassa dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar. biomassa lain juga dapat diubah menjadi gas, cairan atau padatan utuk digunakan sebagai bahan bakar atau bahan baku (petrucci., 1987). biomassa meliputi limbah kayu, limbah pertanian, limbah perkebunan, limbah hutan, dan komponen organik dari industri maupun rumah tangga. biomassa terdiri atas beberapa komponen yaitu kandungan air (moisture content), zat mudah menguap (volatile matter), karbon terikat (fixed carbon), dan abu (ash). dari hasil perhitungan, diperoleh data kadar biomassa biosorben rumput laut coklat padina australis seperti pada tabel 1 dari hasil perhitungan yang ada juga, diperoleh rata-rata biomassa biosorben rumput laut coklat padina australis sebesar 66,7857 %, yang didalamnya terdapat gugusgugus fungsi yang berperan dalam proses adsorpsi. penentuan ph optimum nilai ph adalah salah satu variabel utama yang mempengaruhi proses adsorpsi ion logam karena langsung mempengaruhi kelarutan ion logam atau derajat disosiasi kelompok fungsional yang terletak di permukaan biosorben (alhomaidan dkk, 2014). penentuan ph optimum dilakukan untuk mengetahui ph interaksi ion logam cu 2+ dimana biosorben menyerap biosorbat secara maksimum. pada penentuan ph optimum, perlakuan yang diberikan adalah mereaksikan serbuk rumput laut (biosorben) dengan larutan logam cu 2+ 50 ppm pada ph 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 yang kemudian dishaker dengan kecepatan 250 rpm. setelah itu larutannya disaring dan filtratnya dianalisis dengan spektrofotometer serapan atom. konsentrasi logam tersisa setelah penyerapan dapat dilihat pada tabel 2. berdasarkan hasil yang diperoleh, ion cu 2+ yang diadsorpsi oleh rumput laut coklat padina australis pada ph 2 adalah 49,8246 ppm. catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 31 jumlah ini naik pada ph 3 dan kemudian turun kembali pada ph 4, naik lagi pada ph 5, turun lagi pada ph 6. pada ph 7 jumlah ion yang diadsorpsi naik lagi. hal ini dapat dijelaskan dari hasil pengamatan secara visual yang menunjukkan adanya endapan yang terbentuk pada ph tersebut. hal ini didukung oleh svehla (1990) bahwa c u 2 + mulai membentuk endapan cu(oh)2 pada ph sekitar 5,6 dan mengendap sempurna pada ph 7,1. adanya endapan menyebabkan jumlah ion cu 2+ yang terdapat dalam larutan berkurang dan sebagian ion tersebut hilang karena terikat pada gugus –oh membentuk endapan cu(oh)2, sehingga analisis ssa memberikan konsentrasi ion yang lebih kecil daripada yang sebenarnya dalam larutan. tabel 2 adsorpsi logam cu 2+ pada beberapa ph dengan co = 50 ppm dimana: co = konsentrasi cu awal ce = konsentrasi cu tersisa co-ce = konsentrasi cu terserap q = persentase penjerapan ion logam cu ph optimum hasil penyerapan adalah pada ph 7 karena pada ph ini terjadi penyerapan logam cu 2+ terbanyak yaitu sebesar 49,9154 ppm, dapat dilihat dari konsentrasi cu 2+ yang tersisa sangat sedikit yaitu 0,0846 ppm. hasil ini didukung oleh penelitian dari al-homaidan dkk (2014) yang memanfaatkan biomassa spirulina platensis untuk menyerap logam cu 2+ dan diperoleh ph optimumnya adalah ph 7. setelah ph optimum diperoleh selanjutnya digunakan untuk penentuan waktu kontak optimum. penjerapan logam pada dinding sel terjadi akibat adanya berbagai senyawa pembangun dinding sel seperti senyawa polisakarida serta ligan-ligan ionik seperti asam karboksilat, amino, fosfat. senyawa-senyawa ini dianggap sebagai komponen aktif yang membentuk senyawa-senyawa kompleks dengan logam. karena senyawa-senyawa ini dipengaruhi oleh ph, karena ph mempengaruhi permukaan biosorben (ramadhan dan handajani, 2010 dalam tentua, 2010). biosorben rumput laut coklat padina australis merupakan biosorben yang efektif untuk adsorpsi ion logam cu 2+ , dimana kemampuan serap biosorben ini adalah 99,6426 99,8308%. penentuan waktu kontak optimum penentuan waktu kontak dilakukan dengan mereaksikan biosorben dengan ion logam c u 2 + yang telah diketahui ph optimumnya yaitu ph 7 pada penentuan sebelumnya dengan waktu kontak 3, 4, 5, 6, dan 7 jam, kemudian dishaker dan filtratnya diuji menggunakan spektrofotometer serapan atom. konsentrasi logam tersisa setelah penyerapan dapat dilihat pada tabel 3 . penentuan waktu kontak bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan biosorben rumput laut coklat padina australis dalam menjerap ion logam c u 2 + secara maksimum. betambahnya waktu diperlukan untuk molekulmolekul adsorbat bergerak mencapai sisi aktif (kemisorpsi) dan menempati pori-pori biosorben rumput laut coklat padina australis (fisisorpsi). tabel 3 adsorpsi logam c u 2 + pada beberapa waktu kontak dengan co = 50 ppm data hasil penelitian tabel 3 menunjukkan bahwa kemampuan menjerap c u 2 + oleh biosorben rumput laut coklat padina australis meningkat seiring berjalannya waktu, tetapi penjerapannya tidak terlalu signifikan. pada waktu kontak 3 jam, 4 jam, dan 5 jam terjadi penjerapan yang baik, tetapi pada waktu kontak catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 32 6 jam dan 7 jam kemampuan untuk menjerap logam c u 2 + berkurang. berdasarkan data yang diperoleh maka waktu kontak optimum penjerapan ion logam cu 2+ oleh biosorben rumput laut coklat padina australis adalah waktu kontak 5 jam. karena pada waktu kontak 5 jam penjerapannya naik 0,2226 % dari sebelumnya. gambar 2 spektrum ftir biosorben rumput laut coklat padina australis sebelum dan sesudah dikontakkan dengan logam cu2+ untuk ph ((a) tanpa perlakuan; (b) ph 2 ; (c) ph 7)) catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 33 di atas waktu kontak optimum (5 jam) sebagian besar sisi aktif dan poripori biosorben rumput laut coklat padina australis telah ditempati oleh adsorbat sehingga penambahan waktu tidak berpengaruh secara signifikan. waktu kontak optimum juga dipengaruhi oleh konsentrasi adsorben. proses adsorpsi rumput laut coklat padina australis pada konsentrasi logam cu 2+ 100 ppm dengan waktu kontak yang dipakai adalah waktu kontak 1, 3, dan 5 jam, hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan adsorpsi biosorben ini menurun dari 1-5 jam. dengan bertambahnya waktu kontak, jumlah adsorbat yang terserap pada permukaan adsorben semakin meningkat hingga tercapai titik setimbang. pada saat tercapai kesetimbangan, permukaan adsorben telah penuh tertutupi oleh adsorbat yang diserap dan adsorben mengalami titik jenuh sehingga adsorben tidak dapat menyerap adsorbat lagi. karakterisasi ftir biomassa rumput laut coklat padina australis gugus fungsi merupakan bagian penting untuk diketahui pada proses biosorpsi logam oleh biosorben. interaksi biosorpsi terjadi melalui pengikatan logam oleh pada biosorben. ganggang coklat mengandung pikmen klorofil a, b, dan c; β-karoten; violasantin dan fukosantin; pirenoid dari filakoid (lembaran fotosintesis) (indriani dan suminarsih, 2003). dinding sel rumput laut coklat mengandung jumlah polisakarida yang berbeda yaitu antara lain alginat, laminarin, dan fukoidan. senyawa kimia yang paling banyak dalam rumput laut coklat adalah alginat (40%). sedangkan senyawa lain dalam jumlah kecil diantaranya fukoidan, laminarin, selulosa, manitol dan senyawa bioaktif lainnya. selain itu rumput laut coklat juga mengandung protein, lemak, serat kasar, vitamin serta mineral (bilan, 2006 ; yunizal, 2004 dalam sinurat, 2011). karakterisasi gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer ftir. karakterisasi ini dilakukan pada biosorben rumput laut coklat padina australis. karakterisasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkiraan gugus fungsi apa yang bertanggungjawab dalam mengikat ion logam c u 2 + . karakterisasi terhadap biosorben rumput laut coklat padina australis dilakukan sebelum (tanpa perlakuan) dan sesudah proses biosorpsi. untuk biosorben sesudah biosorpsi diuji untuk ph 2, ph 7, waktu kontak 3 dan 5 jam. spektrum ftir dari biosorben sebelum dan sesudah proses biosorpsi disajikan pada gambar 2 dan gambar 3. spektrum ftir biosorben rumput laut coklat padina australis memperlihatkan serapan yang beragam dari gugus fungsi yang terkandung didalamnya. data spektrum ftir dari biosorben tanpa perlakuan dapat dilihat pada tabel 4. spektrum biosorben rumput laut coklat padina australis menunjukkan serapan pada daerah 3414 cm -1 untuk gugus hidroksil, pita lebar dan kuat pada 2717,70 cm -1 menunjukkan asam karboksilat, dan serapan yang tampak pada daerah 1643,35 cm -1 menunjukkan gugus karbonil, sedangkan 1423,47 cm -1 menunjukkan ikatan c–o–h serta terlihat adanya ikatan c–o–c dan –cooh pada daerah 1076,28 dan 1056,99 cm -1 . hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh moe dkk., (1996) dalam mushollaeni dan rusdiana (2011) bahwa adanya alginat ditunjukkan oleh vibrasi hidroksil, karboksil, karbonil dan ikatan antar karbon –cooh dan c–o–c. spktrum khas daerah sidik jari guluronat juga muncul pada daerah 904,12 cm -1 dan manuronat muncul pada bilangan gelombang 856,39 dan 819,75 cm -1 . hal ini didasarkan pada puncak serapan 900-890 cm -1 yang menunjukkan daerah khas sidik jari guluronat, sedangkan 850-810 cm -1 menunjukkan daerah khas sidik jari manuronat (ashar dan wahab, 2013). spektrum ftir biosorben rumput coklat padina australis mirip dengan spektrum ftir natrium alginat hasil ekstraksi. spektrum ftir sesudah proses biosorpsi ion c u 2 + oleh biosorben rumput laut coklat padina australis menunjukkan ada beberapa pita serapan yang mengalami pergeseran bilangan gelombang. spektrum ftir sesudah proses adsorpsi untuk ph dapat dilihat pada tabel 5 dan waktu kontak dapat dilihat pada tabel 6. berdasarkan data pada tabel 5 dan 6 dapat dilihat bahwa ada pergeseran bilangan gelombang yang mengindikasikan bahwa adanya interaksi ion c u 2 + dengan gugus-gugus fungsi diatas. intensitas serapan yang berbeda antara catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 34 biosorben sebelum dan sesudah dikontakkan dapat memberikan informasi tentang gugus fungsi yang bertanggung jawab dalam mengikat ion logam c u 2 + . penjerapan logam gambar 3 spektrum ftir biosorben rumput laut coklat padina australis sebelum dan sesudah dikontakkan dengan logam cu 2+ untuk waktu kontak ((a) tanpa perlakuan; (d) 3 jam ; (e) 5 jam)) catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 35 terjadi pada sisi aktif hidroksil (-oh) dan karboksil (–cooh), hal ini dapat dilihat pada perubahan bilangan gelombang gugus hidroksil dan gugus karboksil. pergeseran yang menonjol dari spektrum ftir biosorben rumput laut coklat padina tabel 4 data spektrum biosorben rumput laut coklat padina australis tanpa perlakuan tabel 5 data spektrum biosorben rumput laut coklat padina australis untuk ph tabel 6. data spektrum biosorben rumput laut coklat padina australis untuk waku kontak catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 36 australis adalah pada daerah serapan 3414,00 cm -1 bergeser ke bilangan gelombang (3419,79; 3442,94; 3444,87) cm -1 dan pada bilangan gelombang 2717,70 cm -1 bergeser ke bilangan gelombang (2719,63; 2721,56) cm -1 dengan intensitas tertentu. pada daerah sidik jari, bilangan gelombang 1249,87 cm -1 bergeser dengan intensitas tertentu menjadi 1251,80 cm -1 dan pada bilangan gelombang 567,07 cm -1 bergeser menjadi (563,21; 561,29) cm -1 yang mengindikasikan bahwa terjadi interaksi antara ion logam c u 2 + dengan atom oksigen (regangan cu-o) (gatial dkk., 2014). berdasarkan hasil analisis ftir, interaksi diperkirakan terjadi antara gugus fungsi hidroksil (-oh) dan karboksil (–cooh) yang berasal dari alginat dengan ion cu 2 + . rumput laut coklat sendiri merupakan sumber alginat. alginat merupakan polimer organik polisakarida yang tersusun oleh 2 unit monomer d-asam guluronat dan l-asam manuronat atau selang seling keduanya. bagian-bagian yang aktif untuk menjerap logam pada alginat adalah gugus karboksil dan hidroksil. struktur alginat dapat dilihat pada gambar 4. gambar 4 struktur alginat (rasyid, 2005) dilihat dari strukturnya alginat berpotensi cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus hidroksil dan karboksil yang terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. hal ini ditunjukkan dengan adanya pergeseran bilangan gelombang dari gugus fungsi tersebut. mekanisme serapan yang terjadi antara gugus oh yang terikat pada biosorben dengan ion logam yang bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion sebagai berikut (yantri,1998 dalam latuihamallo, 2012). m + dan m 2+ adalah ion logam, –oh adalah gugus hidroksil dan y adalah matriks tempat gugus –oh terikat. interaksi antara gugus –oh dengan ion logam juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi karena atom oksigen (o) pada gugus oh mempunyai pasangan elektron bebas, sedangkan ion logam mempunyai orbital d kosong. pasangan elektron bebas tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa biosorben rumput laut coklat padina australis mampu menjerap ion logam c u 2 + dengan baik. kadar air, kadar abu dan kadar biomassa dari biosorben rumput laut coklat padina australis berturut-turut adalah 12,1886 %, 29,1659 %, dan 66,7857 %. ph optimum dari penjerapan ion logam c u 2 + oleh rumput laut coklat padina australis adalah pada ph 7 dengan kemampuan serap biosoben 99,8308 % dan waktu kontak optimumnya adalah pada waktu kontak 5 jam dengan kemampuan serap biosorben 99,5570 %. daftar pustaka al-homaidan, a. a., al-houri, h. j., alhazzani, a. a., elgaaly, g., moubayed, n. m.s., 2014, biosorption of copper ions from aqueous solutions by spirulina platensis biomass. arabian journal of chemistry, 7, 57–62. bijang, c.m., sekewael, s., koritelu, j., 2014, base activated clay and its application as cation exchanger to reduce the mg 2+ and ca 2+ ions concentration in the well, indonesian journal of chemical research, 1(2), 93-98. gatial, a., mudra, m., moncol, j., dankova, m., peter, l., breza martin., 2014, structure and vibrational spectra of copper (ii) 2-pyridylmethanolate tetrahydrate. chemical papers, 68(7), 940949. ika, tahril, said, i., 2012, analisis logam catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 26-37 37 timbal (pb) dan besi (fe) dalam air laut di wilayah pesisir pelabuhan ferry taipa kecamatan palu utara, jurnal akademi kimia, 1(4),181-186. indriani, h. , suminarsih, e., 2003, budi daya, pengolahan dan pemasaran rumput laut. cetakan 9, penerbit penebar swadaya, jakarta. indriani, s. h., suzuki, a., 1998, biosorption of heavy metal ions to brown algae, macrocystis pyrifera, kjellmamiella crassiforia, and undaria pinnatifida. jurnal of colloid and interface science, 206, 297301. latuihamallo, m., 2012, biosorpsi logam timbal (pb) oleh biosorben rumput laut (gelidium amanssi). skripsi. program studi pendidikan kimia, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, universitas pattimura: ambon. male, y., malle, d., bijang, c.m., fransina, e., seumahu, c., dolaitery, l., landu, s., gaspersz, n., 2017, analysis of cadmium (cd) and lead (pb) metals content on sediment inner part of ambon bay. indonesian journal of chemical research, 5(1), 434-443 munaf, d. r., 2000, rumput laut komoditi unggulan, pusat dokumentasi dan informasi ilmiah, lipi, jakarta. mushollaeni, w., rusdiana, e., 2011, karakterisasi natrium alginat dari sargassum sp., turbinaria sp., dan padina sp. jurnal teknol. dan industri pangan, 22(1), 26-31. petrucci r. h., 1987, kimia dasar, prinsip dan terapan modern, penerjemah: suminar, jilid 3 edisi iv, penerbit erlangga-jakarta. rasyid, a., 2005, beberapa catatan tentang alginat. oseana, 30(1), 9-14. sinurat, e., 2011, isolasi dan karakterisasi serta uji aktivitas fukoidan sebagai antikoagulan dari rumput laut coklat (sargassum crassifolium), tesis, program magister ilmu kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas indonesia-depok. stumm, w., morgan j.j.. 1996. aquatic chemistry : chemical equilibria and rates in natural waters, 3 rd edition, jhonwileys and sons, inc., new york. sutapa, i., siahay, v., tanasale, m.f.j.d.p., 2014, adsorption cu 2+ metal ion of pectin from “tongka langit” banana’s crust (musa speices van balbisiana), indonesian journal of chemical research, 1(2), 72-77. svehla, g., 1990, vogel: buku teks analisis anorganik kualitatif makro dan semimikro bagian i, pt. kalman media pusaka, jakarta. trihatmoko, k., 2015, padina australis (alga coklat). http: // www. kompasiana. com/ kharisrama / padina-australis-alga-coklat 5530211c6ea83423318b45a5, diakses pada tanggal 13 januari 2016. tentua, m. k., 2011, isolasi alginat dari rumput laut coklat turbinaria ornatta dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd(ii), skripsi, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura-ambon. wewra, s. c., 2011, isolasi alginat dari rumput laut coklat sargasum policystum dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd(ii), skripsi, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura-ambon. widowati w., sastiono a., jusuf r., 2008, efek toksik logam pencegahan dan penanggulangan pencemaran, penerbit andi, yogyakart indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 38 investigation of microplastic exposure to marine fish in the marine tourism area of makassar city ismail marzuki*, selviayu lestari, irhampratama putra chemical engineering, faculty of engineering, fajar university, jl. prof. dr. abdurrahman basalamah, 101. makassar, south sulawesi, indonesia. *corresponding author: ismailmz@unifa.ac.id received: january 2022 received in revised: february 2022 accepted: march 2022 available online: may 202 abstract plastic waste pollution in the marine environment triggers the formation of microplastics dissolved in seawater. microplastics are one of the nutrients for plankton and phytoplankton. through the food chain, microplastics can accumulate in the bodies of marine biota, until they finally reach the human body. the purpose of this research is to investigate and determine the microplastic group in fish in makassar city kwb destinations. the method applied is maceration extraction using 70% c2h5oh for 3 days, then extracted with n-hexane. the non-polar extracts identified the microplastic components using ftir spectroscopy and analyzed the types of microplastics based on their absorption spectrum images. the results of the study were that all fish samples coded ps.b.1, ps.b.2, ps.b.3, were contaminated with secondary microplastics. types of microplastics were identified, namely pp, pvc, pe, ps, pet and pc. the microplastic contaminants are thought to be the result of community activities. the public needs to be aware of the potential for microplastic accumulation in the bodies of marine fish that are consumed. managers of makassar city kwb destinations are advised to apply a pattern of supervision to the community to care about waste and educate the implementation of plastic waste recycling management. keywords: marine fish, pollutant, microplastic, maceration extraction, ftir spectroscopy introduction makassar city is known as one of the tourist cities which is visited by both local and foreign tourists. in addition to natural and cultural tourism, there is also marine tourism, such as marine tourism areas with small island destinations, including samalona island, barrang caddi, barrang lompo, kodingareng keke, langkai, and several other islands (i. marzuki et al., 2021). the presence of tourists in marine tourism destinations (kwb) is included in the spermonde archipelago with biota of thousands of species of fish, sponges, shells, and the beauty of coral reefs, making makassar worthy of a visit, but the potential of the kwb is predicted to put negative pressure on the quality of the marine ecosystem (bijang, tanasale, kelrey, mansur, & azis, 2021; ismail marzuki et al., 2021) tourist visits to the makassar city kwb area with various activities are very likely to produce domestic waste and various types of waste, especially plastic waste. plastic waste is very likely to be wasted in the sea, so it is vulnerable as a component of pollution to marine ecosystems including the biota in it. plastic waste in marine waters undergoes a degradation process due to interactions with high salinity seawater, currents, waves, sunlight, and various characteristics that exist in the sea (afdal, werorilangi, faizal, & tahir, 2019; santos & nascimento, 2015). degradation of plastic waste produces small pieces and eventually dissociates to form dissolved particulates called secondary microplastics (alfaro-núñez et al., 2021; chiu et al., 2020). plastic pollution in the environment is causing serious problems because of concerns about the implications it has for marine ecosystems, the ecosystem services it provides, and most importantly the health status of its penetration on human health (germanov et al., 2019). in some coastal areas, we often see plastic waste scattered widely from the shoreline to the open sea and deep-sea bodies. in several coastal areas around the world, we often see plastic waste scattered widely from the coastline to the ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 39 open sea and in marine bodies (hasti et al., 2022). the volume of plastic waste is estimated to reach 5.8–13.6 million tons that enter the sea in 2020. this figure tends to increase from year to year, following the trend of increasing the human population. this condition is exacerbated by the increasingly varied community activities (hantoro, löhr, van belleghem, widianarko, & ragas, 2019; armus et al., 2021). several types of waste are currently trending on a global scale and are of global concern, namely heavy metals, hydrocarbons, especially pahs, microplastics, and pesticide residues (ismail marzuki, kamaruddin, & ahmad, 2021). the general, there are six types of microplastic waste that are known to be the most widely circulated in the environment and are most often used as containers, media, packaging, or as certain equipment, namely the types of polypropylene (pp), polystyrene (ps), polyethylene (pe), polyvinyl chloride (pvc), polycarbonate (pc) and polyethylene terephthalate (pet) (mazur et al., 2021; alfaro-núñez et al., 2021). microplastic contaminants in the aquatic environment are a threat to the quality of marine ecosystems. the microplastic components undergo a food web cycle, where these microplastics serve as a source of nutrition for marine organisms, then the organisms are eaten by small fish, then by larger fish, and finally caught by fishermen (arienzo, ferrara, & trifuoggi, 2021). fish caught by fishermen through traders are purchased by the general public for consumption as a source of protein and other nutritional requirements (basri, syaputra, & handayani, 2021). the nature of microplastics is very difficult to decompose and even form an accumulation in the body, blending with body cells through metabolic processes (claessens, meester, landuyt, clerck, & janssen, 2011). the accumulation of microplastics in the body is very susceptible to triggering various diseases in humans (hantoro et al., 2019). marine biota ecosystems include all living things in the sea, whether animals, plants, or corals which are grouped into three types based on their nature, namely planktonic, benthic, and nektonic (izza indah afkarina, sarwanto moersidik, & warno utomo, 2020). plankton can eat microplastic, then plankton is eaten by fish, finally, fish is eaten by humans. this process causes microplastics to move from marine biota to humans (kasamesiri & taimuangpho, 2020). the dangers of accumulation of microplastics for human health, because they can interfere with health, such as disrupting the nervous, hormonal, and immune systems, and increasing the risk of cancer (basri et al., 2021). microplastics interfere with the body's metabolic system because they form interactions with blood particles, being able to change important body proteins such as albumin, globulin, and fibrinogen so that they cannot function properly (büks & kaupenjohann, 2021). the problem of microplastics is difficult to avoid because the potential for interactions with plastic materials is very large, so a strong commitment is needed so that the environment and all living things are avoided exposure to microplastics (chatterjee & sharma, 2019). the problem of microplastics has caused anxiety about the future of the environment and the degree of human health in the future, so concrete steps and efforts are needed to suppress and reduce the use of plastic products, including a series of studies that can be carried out to analyze the impact of microplastic contaminants on environmental ecosystems (mariwy, manuhutu, & frans, 2021; germanov et al., 2019). the marine area is the largest container as the estuary for almost all types of waste and waste disposal, including long-term effects on human health (koelmans, bakir, burton, & janssen, 2016). the investigation of the presence and types of microplastics in marine fish is the initial activity of a series of planned research related to microplastic contaminants in marine ecosystems (widodo et al., 2021; sitorus et al., 2021) methodology materials and instrumentals the materials used were n-hexane, ethanol, 70% c2h5oh p.a., na2so4 p.a., distilled water, whatman filter paper 42, aluminum foil, tissue, three fish samples each with the code ps.b.1; ps.b.2 and ps.b.3, obtained at three sampling points around samalona island. the main equipment used, namely the portable water quality az-8306, ph meter, gps, underwater camera, shimadzu ir prestige 21 fourier transform infrared (ftir) spectroscopy, and a set of glassware. methods the fish sampling was carried out at three different points around samalona island (figure 1). during fish sampling, several physical parameters of the sampling point were measured, such as temperature, salinity, ph, tds, and several other parameters, including morphological analysis of the sample. measurement of sampling parameters is necessary to determine the characteristics of marine ecosystems suspected of being contaminated with microplastics (table 1). ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 40 figure 1. map of fish sampling points on samalona island each sample of marine fish was cleaned, and meat was taken around the head, belly, back, and tail, each ± 3-5 g. fish meat is mixed together and finely chopped. macerated using 70% alcohol for 3 days with a ratio of 1:5 (1 g of fish meat and 5 ml of alcoholic extract (mohamed nor & obbard, 2014). next, the sample is filtered. the filtrate was obtained, taken as much as 10 ml, placed in a separating funnel, added 10 ml of n-hexane, shaken for ± 5 minutes, then allowed to stand and separated. microplastic components will be extracted in n-hexane (duplo). the lightweight microplastic components separate and are in the top layer fused with n-hexane (claessens et al., 2011). furthermore, the sample is ready to be analyzed to determine the presence of contaminants and the type of microplastic components specifically using ftir spectroscopy (zientika, amin, & yoswaty, 2021). data analysis the prepared microplastic sample was placed in a 20 ml vial and wrapped in aluminum foil to prevent contaminants and evaporation. the types of polymers and their abundance were obtained using ftir spectroscopy with the kbr pellet method. the connected software is used to read the resulting spectrum from microplastics and then matched it with a standard spectrum from a polymer database using euclidean distance, aiming to determine the type of polymer in the sample. spectrum recorded over the range of 500-4000 cm-1 at a resolution of 2 cm-1 (schwinghammer, krause, & schaum, 2020; putrawan, natan, & syakuron, 2020). the results of the identification of the type of microplastic in the sample using ftir spectroscopy will be displayed in the form of a microscopic wavenumber chromatogram. the number of microplastics in the sample is expressed in items/m3. the types of polymers that will be identified and analyzed include the types of microplastics in the pp, ps, pe, and other groups (a. l. lusher, mchugh, & thompson, 2013). results and discussion the types of fish that were sampled, selected the types of fish that were liked by the local community, including tourists, and also the fish population was classified as largely based on the catch of fishermen. fish species were also randomly selected during sampling, and two types of fish were obtained, namely the sample codes ps.b.1 (chrysipteraspringeri), ps.b.2 (thalassoma lunare) and ps.b.3 (thalassoma lunare), according to physical details (figure 2). several environmental indicators are measured as characteristics of the sampling point, including coordinates, temperature, depth of fish acquisition from the surface, salinity, total dissolved solids, electrical conductivity, method of obtaining fish samples, and the fish species (table 1). based on the environmental indicator data from the sampling point, it is known that the condition of the waters is fish habitat in kwb makassar city. these conditions are relatively the same as the marine environment in general, meaning that the marine environment is conducive and of good quality for the life of various types of marine biota, especially fish as a source of protein which is very much needed by the community (telussa, hattu, & sahalessy, 2022; ismail marzuki, noor, nafie, & djide, 2018). figure 2. fish sample code ps.b.1 (chrysipteraspringeri); ps.b.2 (thalassomalunare); ps.b.3 (thalassomalunare). the type of fish selected as a physical sample and associated with habitat indicators is healthy, but of course, it is necessary to conduct a more detailed investigation related to the quality of the fish, whether it is free from material contamination that can trigger health problems in the biota itself and on human health, in particular. microplastic components (siahaya et al., 2021; pariatamby et al., 2020). ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 41 table 1. characteristics of the physical environment of fish sampling locations around the waters of samalona island analysis parameters sample ps.b.1 ps.b.2 ps.b.3 coordinate s 5°6’ 38, 13284’’ e 119° 17’70, 75656’ s 5°6’ 11, 5868’’ e 119° 17’60, 05896” s 5°6’ 23, 56183” e 190° 20’27, 62424” sampling time (seconds) 12.25 cit 13.15 cit 11.10 cit temperature (0c) 29,44 30,01 30,12 inside from the surface (m) ± 275 ± 340 ± 325 distance of sampling point (m) 3,20 2,75 3,40 ph 7,3 7,2 7,3 salinity (‰) 28,6 29,2 28,8 tds (mg/l) 7,87 8,25 8,72 dhl (ds/m) 15,85 14,67 16,26 catch method arrow arrow arrow sample species chrysiptera springer thalassomalunare thalassomalunare it is important to investigate the microplastic content in the fish that live around the makassar city kwb, considering that these tourist destinations are vulnerable to exposure to plastic waste, but on the other hand, it is known that the kwb is a habitat for several types of fish that are liked by the community (ismail marzuki, kamaruddin, et al., 2021). this microplastic contamination investigation was carried out to provide data and ensure that fish for public consumption is free from contamination with hazardous materials and is safe for consumption. the selection of the infrared detector is based on the ability to generate a voltage that responds to the incoming interferogram through the sample forming analog, sending it to the data system, so that it is recorded in the recorder (wang, zheng, & li, 2018). when the ir radiation passes through the sample, the sample molecules absorb energy through it with various frequencies which are indicated by the number of radiation waves that are passed through the sample. infrared light is absorbed by the sample functional groups at different frequencies and can be identified based on the resulting spectrum. the spectrum is identical to the content of microplastics, where this pollutant material is very difficult to decompose (selvam, jesuraja, venkatramanan, roy, & jeyanthi kumari, 2021). figure 3. ftir chromatogram of fish sample code ps.b.1, or station 1, obtained from samalona island the information in figure 3 above shows the presence of compounds that are included in the microplastic group according to the instructions contained in the principle of instrumental analysis (li et al., 2021). there is three information on the presence of organic compounds according to the ftir chromatogram, based on the absorption peak region in the range of 4000-2500 cm-1, ranges 2992.16 and 2850.79 cm-1, showing the image of alkane-type compounds, characterized by the c-h functional ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 42 group. the absorption peak region in the range of 2000-1500 cm-1, ranges 1759.08 and 1724.36 cm-1, also shows images of the presence of ketones and esters, indicated by the c=o functional group, while the absorption ranges of 1664.57 and 1589.34 cm-1 indicate the presence of alkenes and aromatic ring functional group, indicated by the functional group c=c (parton et al., 2020). the absorption peak with a range of 1500 to 400 cm-1 in the range of 1442.75 and 1384.89 cm-1, indicated the presence of alkane-type compounds, presumably alkane group compounds with a c-h functional group, and an absorption range of 873.75 cm-1, indicating the presence of an aromatic ring compound characterized by the presence of a c-h functional group (li et al., 2021). the absorption that shows the image of alkane compounds, alkenes, and aromatic rings, is predicted in the fish sample ps.b.1 (chrysiptera springeri), or station 1 on samalona island, is indicated by the spectral image of the c-h functional group. in the ps.b.1 sample (figure 3), it is also suspected to contain components of microplastic types polycarbonate (pc) and polyethylene terephthalate (pet), based on the spectral image of the c=c functional group, aromatic ring, c=o, including the alleged polystyrene (ps) content, which shows an alkene functional group and an aromatic ring (choudhury et al., 2018). the absorption region with peaks in the range of 4000-2500 cm-1 in the range 2924.09 and 2854.65 cm1 shows a spectral image indicating the presence of alkane-type compounds, indicated by the c-h functional group (figure 4). the absorption peak in the range of 2000-1500 cm-1, in the range 1734.01 to 1683.86 cm-1, indicates the presence of ketone and ester-type organic compounds, characterized as carbonyl functional groups (c=o). spectrum range 1653.00 cm-1, showing the image of the spectrum of alkene and aromatic ring compounds, based on the absorption that appears as the c=c functional group (lusher, holman, & mendoza-hill, 2017). spectrum with absorption peaks in the range of 1500-400 cm-1, the range of 1460.11-1338.60 cm-1, indicated the presence of organic compounds from the alkane group, indicated by the presence of the c-h functional group (yusuf, nafie, & dali, 2016). figure 4. ftir chromatogram of fish sample code ps.b.2, or station 2, obtained from samalona island the data in figure 4 also shows the presence of an aromatic ring functional group. this assumption is based on the presence of an absorption peak in the range 881.47 – 721.38, which shows the image of the c-h functional group. estimates of the presence of alkanes, alkenes, ketones, esters, and aromatic rings in the fish sample code sp.b.2 (thalassoma lunare), indicate that the sample is contaminated with polycarbonate and polyethylene terephthalate (pet) microplastic components which are indicated by the presence of an absorption spectrum image of the group carbonyl function (c=c), showing an aromatic ring, c=o. the type of polystyrene (ps) is characterized by the presence of an alkene functional group and an aromatic ring. in sample ps.b.2 (figure 4) is also suspected to be contaminated with microplastic types of polypropylene (pp), polyethylene (pe), and polyvinyl chloride (pvc), this is in accordance with the indications by the presence of absorption images as the c-h functional group (lozano & rillig, 2020; llorca et al., 2020). these results indicate that in the sample code ps.b.2, which is the sampling point for station 2, microplastic contamination is identified, the ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 43 type and type are relatively the same as the type of exposure to microplastics in the code sample ps.b.1. the absorption peak in the range of 4000-2500 cm-1 in the range of 2924.09 and 2771.71 cm-1, it is suspected that there are compounds of the type of alkane, based on the spectral image that appears as the c-h functional group. the absorption peak area in the range of 2000-1500 cm-1, in the range of 17388.01 and 1755.22 cm-1, indicates the presence of ketone and ester type compounds, based on the spectrum image as a c=o group. the absorption ranges of 1633.71 and 1650.77, indicated the presence of alkene-type compounds. absorption with a range of 1510.26, indicating the presence of an aromatic ring, based on the visible spectrum image, identified as a c=c functional group. the absorption peak region in the range of 1500-400 cm-1 in the range of 1415.75 cm-1, indicates the presence of alkane-type organic compounds, according to the spectrum image that appears to indicate the c-h functional group. the absorption peaks were in the range of 875.68 and 707.88 cm-1 , indicating the presence of compounds containing an aromatic ring functional group, indicated by the presence of c-h bonds (arienzo et al., 2021). the allegation of the presence of alkanes, alkenes, ketones, esters, and compounds with aromatic ring functional groups (figure 5), indicates that the fish sample code ps.b.3 (thalassoma lunare) was obtained from the waters around samalona island, a marine tourism destination. makassar city is suspected to have been exposed to pp, pe, and pvc microplastic materials, as indicated by the spectral image that appears as the ch functional group (alfaro-núñez et al., 2021). the sample was also identified as contaminated with pc and pet microplastics, indicated by the presence of a spectrum image indicated as functional groups c=c, and c=o, while the ps type indicated the presence of aromatic ring functional group. the ftir chromatogram shown by the three fish samples as an embodiment of the presence of relatively microplastic components gave the same pattern as polymers or macromolecular compounds (büks & kaupenjohann, 2021). figure 5. ftir chromatogram of fish sample code ps.b.3, or station 3, obtained from samalona island three kinds of fish samples each coded ps.b.1, ps.b.2, and ps.b.3, according to the ftir chromatogram (figure 3, 4 and 5) obtained from the waters around samalona island, kwb area of makassar city, strongly suspected of being contaminated with microplastic types pp, pvc, pe, ps, pet, and pc. the presence of microplastics in foodstuffs such as fish that live in the area of the kwb tourist destination is a warning to all of us, that fish caught around these waters are not safe for consumption freely (lie et al., 2018). the content of microplastics in fish that live in the makassar city kwb tourist destination is a warning so that all of us can make efforts and efforts and care for the environment by not littering, especially plastic-type waste, because the waste is not degraded (chaerul, gusty, marzuki, & nur, 2021). all types of microplastic contaminants identified in the three fish samples obtained from the waters around samalona island are secondary microplastics or microplastics originating from human activities. (kamaruddin, marzuki, burhan, & ahmad, 2021). microplastics are polymers that have long chain functional groups, and are very difficult to decompose, forming accumulations for a long time. the accumulation of microplastics in certain body parts can be trapped in cells, so food contaminated with microplastics is recommended to be avoided and not ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 44 consumed (ismail marzuki, gusty, et al., 2021). some types of microplastics such as polyethylene terephthalate and polycarbonate have aldehyde, ketone, carboxylic acid, and ester functional groups. if one of the polymer bonds is broken, it can metamorphose into small parts, dissolved in water, as microplastics (soo, sabana, chen, & hii, 2021). conclusion important points were concluded based on the results of this study, including: (1) all fish samples coded ps.b.1, ps.b.2, and ps.b.3, which were obtained around the waters of samalona island were contaminated with secondary microplastics. (2) parameters indicating exposure to microplastics in the studied fish samples were based on ftir spectrum images which showed the presence of alkanes, alkenes, aldehydes, ketones, carboxylic acids, esters, and aromatic rings. (3) the types of microplastics contained in fish samples, namely polypropylene (pp), polystyrene (ps), polyethylene (pe), polyvinyl chloride (pvc), and polycarbonate (pc) an impact on community activities. (4) the public needs to be aware of the potential for microplastic accumulation in the bodies of marine fish that are consumed. attention to the public, that there is a tendency to increase the volume of plastic waste in makassar city kwb, so it is recommended that makassar city kwb destination managers can apply a monitoring pattern to every tourist and surrounding community to care about waste and educate the implementation of waste recycling management. acknowledgment thanks are conveyed to the head of the laboratory and the laboratory assistants at the analytical chemistry and integrated laboratory, department of chemistry, fmipa universitas hasanuddin for his participation in receiving and assisting in the provision of test equipment as well as willingness as a consultant in data interpretation, so that this research can be carried out properly and completed according to the planned target. references afdal, m., werorilangi, s., faizal, a., & tahir, a. (2019). studies on microplastics morphology characteristics in the coastal water of makassar city, south sulawesi, indonesia. international journal of environment, agriculture and biotechnology, 4(4). 1028-1033 alfaro-núñez, a., astorga, d., cáceres-farías, l., bastidas, l., soto villegas, c., macay, k. c., & christensen, j. h. (2021). microplastic pollution in seawater and marine organisms across the tropical eastern pacific and galápagos. scientific reports, 11(1), 6424. arienzo, m., ferrara, l., & trifuoggi, m. (2021). the dual role of microplastics in marine environment: sink and vectors of pollutants. journal of marine science and engineering, 9(6), 6424. armus, r., selry, c., marzuki, i., hasan, h., syamsiah, & sapar, a. (2021). journal of physics: conference series, volume 1899, 2021iopscience. journal of physics: conference series, 1899, 012006. basri, s., syaputra, e. m., & handayani, s. (2021). microplastic pollution in waters and its impact on health and environment in indonesia: a review. journal of public health for tropical and coastal region, 4(2), 63-77. bijang, c. m., tanasale, m. f. j. d. p., kelrey, a. g., mansur, i. u., & azis, t. (2021). preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indonesian journal of chemical research, 9(1), 15–20. büks, f., & kaupenjohann, m. (2021). the impact of microplastic weathering on interactions with the soil environment: a review. soil disscussion, 1– 22. chaerul, m., gusty, s., marzuki, i., & nur, n. k. (2021). potential impact of climate change on water resources availability in bantaeng district, south sulawesi province. iop conference, 1088-012109. chatterjee, s., & sharma, s. (2019). microplastics in our oceans and marine health. field actions science reports. the journal of field actions, (special issue 19), 54-61. chiu, c.-y., jones, j. r., rusak, j. a., lin, h.-c., nakayama, k., kratz, t. k., … tsai, j.w. (2020). terrestrial loads of dissolved organic matter drive inter-annual carbon flux in subtropical lakes during times of drought. the science of the total environment, 717, 137052. choudhury, a., sarmah, r., bhagabati, s. k., dutta, r., baishya, s., borah, s., … borah, k. (2018). microplastic pollution: an emerging environmental issue. journal of entomology and zoology studies, 6(6), 340–344. claessens, m., meester, s. d., landuyt, l. v., clerck, k. d., & janssen, c. r. (2011). occurrence and ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 45 distribution of microplastics in marine sediments along the belgian coast. marine pollution bulletin, 62(10), 2199–2204. germanov, e. s., marshall, a. d., hendrawan, i. g., admiraal, r., rohner, c. a., argeswara, j., & loneragan, n. r. (2019). microplastics on the menu: plastics pollute indonesian manta ray and whale shark feeding grounds | marine science. frontiers in marine science, 6, 1-21. hantoro, i., löhr, a. j., van belleghem, f. g. a. j., widianarko, b., & ragas, a. m. j. (2019). microplastics in coastal areas and seafood: implications for food safety. food additives & contaminants: part a, 36(5), 674-711. hasti, f. s., kopon, a. m., baunsele, a. b., tukan, m. b., leba, m. a. u., boelan, e. g., & komisia, f. (2022). identification of phytochemical extract of a combination of young coconut water, ginger and turmeric. indonesian journal of chemical research, 9(3), 208–214. izza indah afkarina, k., sarwanto moersidik, s., & warno utomo, s. (2020). distribution and environmental risk of microplastics pollution in freshwater of citarum watershed. e3s web of conferences, 211, 03012. kamaruddin, m., marzuki, i., burhan, a., & ahmad, r. (2021). screening acetylcholinesterase inhibitors from marine-derived actinomycetes by simple chromatography. iop conference series: earth and environmental science, 679(1), 012011. kasamesiri, p., & taimuangpho, w. (2020). microplastics ingestion by freshwater fish in the chi river, thailand. international journal of geomate, 18(67), 114–119. koelmans, a. a., bakir, a., burton, g. a., & janssen, c. r. (2016). microplastic as a vector for chemicals in the aquatic environment: critical review and model-supported reinterpretation of empirical studies. environmental science & technology, 50(7), 3315–3326. li, y., sun, y., li, j., tang, r., miu, y., & ma, x. (2021). research on the influence of microplastics on marine life. iop conference series: earth and environmental science, 631(1), 012006. lie, s., suyoko, a., effendi, a. r., ahmada, b., aditya, h. w., sallima, i. r., … reza, a. (2018). measurement of microplastic density in the karimunjawa national park, central java, indonesia. indo pacific journal of ocean life, 2(2), 54–58. llorca, m., álvarez-muñoz, d., ábalos, m., rodríguez-mozaz, s., santo, l. h. m. l. m., león, v. m., … farré, m. (2020). microplastics in mediterranean coastal area: toxicity and impact for the environment and human health. lozano, y. m., & rillig, m. c. (2020). effects of microplastic fibers and drought on plant communities. environmental science & technology, 54(10), 6166–6173. lusher, a., holman, p., & mendoza-hill, j. (2017). microplastics in fisheries and aquaculture. food and agriculture organization of the united nations, rome. lusher, a. l., mchugh, m., & thompson, r. c. (2013). occurrence of microplastics in the gastrointestinal tract of pelagic and demersal fish from the english channel. marine pollution bulletin, 67(1–2), 94–99. mariwy, a., manuhutu, j. b., & frans, d. (2021). bioaccumulated mercury by several types of plants in ex-traditional gold processing area, gogorea village, buru island. indonesian journal of chemical research, 9(2), 105–110. marzuki, i., ali, m. y., syarif, h. u., erniati, gusty, s., ritnawati, … nisaa, k. (2021). investigation of biodegradable bacteria as bio indicators of the presence of pahs contaminants in marine waters in the marine tourism area of makassar city. iop conference series: earth and environmental science, 750(1), 012006. marzuki, ismail, asaf, r., paena, m., athirah, a., nisaa, k., ahmad, r., & kamaruddin, m. (2021). anthracene and pyrene biodegradation performance of marine sponge symbiont bacteria consortium. molecules (basel, switzerland), 26(22), 6851. marzuki, ismail, gusty, s., armus, r., sapar, a., asaf, r., athirah, a., & jaya. (2021). secondary metabolite analysis and anti-bacterial and fungal activities of marine sponge methanol extract based on coral cover. aip conference proceedings, 2360(1), 040007. marzuki, ismail, kamaruddin, m., & ahmad, r. (2021). identification of marine spongessymbiotic bacteria and their application in degrading polycyclic aromatic hydrocarbons. biodiversitas journal of biological diversity, 22(3), 1481-1488. marzuki, ismail, noor, a., nafie, n. l., & djide, m. (2018). the potential biodegradation hydrocarbons of petroleum sludge waste by cell biomass sponge callysppongia sp. marina chimica acta 16(2),11-22 ismail marzuki et al. indo. j. chem. res., 10(1), 39-47, 2022 doi: 10.30598//ijcr 46 mazur, a. a., chelomin, v. p., zhuravel, e. v., kukla, s. p., slobodskova, v. v., & dovzhenko, n. v. (2021). genotoxicity of polystyrene (ps) microspheres in short-term exposure to gametes of the sand dollar scaphechinus mirabilis (agassiz, 1864) (echinodermata, echinoidea). journal of marine science and engineering, 9(10), 1-9. mohamed nor, n. h., & obbard, j. p. (2014). microplastics in singapore’s coastal mangrove ecosystems. marine pollution bulletin, 79(1), 278–283. parton, k. j., godley, b. j., santillo, d., tausif, m., omeyer, l. c. m., & galloway, t. s. (2020). investigating the presence of microplastics in demersal sharks of the north-east atlantic. scientific reports, 10(1), 12204. putrawan, i. d. g. a., natan, n., & syakuron, r. a. (2020). synthesis of dimercaptoethyl adipate as raw materials of reverse ester organotin based polyvinyl chloride thermal stabilizer. indonesian journal of chemical research, 8(2), 85–92. santos, a. d., & nascimento, m. (2015). marine pollution: the problematic of microplastics. journal of marine science: research & development, 05(03), 1-5. schwinghammer, l., krause, s., & schaum, c. (2020). determination of large microplastics: wetsieving of dewatered digested sludge, cosubstrates, and compost. water science and technology, 84(2), 384–392. selvam, s., jesuraja, k., venkatramanan, s., ry, p. d., & jeyanthi kumari, v. (2021). hazardous microplastic characteristics and its role as a vector of heavy metal in groundwater and surface water of coastal south india. journal of hazardous materials, 402, 123786. sitorus, e., sutrisno, e., armus, r., gurning, k., fatma, f., parinduri, l., … priastomo, y. (2021). proses pengolahan limbah. yayasan kita menulis. soo, c. l., sabana, s., chen, c. a., & hii, y. s. (2021). understanding microplastics in aquatic ecosystems-a mini review. borneo journal of marine science and aquaculture (bjomsa), 5(2), 63–69. telussa, i., hattu, n., & sahalessy, a. (2022). morphological observation, identification and isolation of tropical marine microalgae from ambon bay, maluku. indonesian journal of chemical research, 9(3), 137–143. wang, j., zheng, l., & li, j. (2018). a critical review on the sources and instruments of marine microplastics and prospects on the relevant management in china. waste management & research, 36(10), 898–911. widodo, d., kristianto, s., susilawaty, a., armus, r., sari, m., chaerul, m., … mastutie, f. (2021). ekologi dan ilmu lingkungan. yayasan kita menulis. yusuf, e. y., nafie, n. l., & dali, s. (2016). analysis of pyrene compounds at the marine algae eucheuma cottoni in bantaeng region coastal. indonesian journal of chemical research, 4(1), 352–355. zientika, z., amin, b., & yoswaty, d. (2021). relationship between microplastics abundance and sediment organic content in dumai coastal waters. journal of coastal and ocean sciences, 2(3), 154–159. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 59 nutrients, phytochemical, antioxidant and antimicrobial analysis of pterocarpus osun stem bark and leaf for their nutritional, medicinal capacity adewale elijah fadeyi1,2*, oluremi isola adeniran1, saheed olatunbosun akiode3 1chemistry department, university of abuja, abuja, nigeria. 2chemistry advanced research centre, sheda science and technology complex, abuja, nigeria. 3biotechnology advanced research centre, sheda science and technology complex, abuja, nigeria. *correspondence author: wale.fade@gmail.com received: april 2022 received in revised: may 2022 accepted: may 2022 available online: may 2022 abstract plants play a crucial role in human well-being and health. they provide some of the essential nutrients that humans require as well as act as medications to alleviate and cure various health problems. the purpose of this study is to look into the nutritional value, mineral composition, and the overall contributions of pterocarpus osun to human nutrition and health. the result of the proximate analysis showed that protein is 9.52% in stem bark and 13.63% in the leaf, while the crude fiber in the stem bark is 37.89% and 46.03%, in the leaf. ash, 6.74% and 7.46% in the stem bark and leaf respectively while carbohydrate content is 15.37% (stem bark) and 3.26% (leaf). alkaloids, flavonoids, terpenoids, steroids, and tannins were detected in both organs of the plant tested. the mineral elements present include ca, mn, fe, ni, mg, zn, cr, co, cd, sulphur, and phosphorus. the antioxidant effect compared favorably well with that of the ascorbic acid used as standard. the extracts were screened for antimicrobial activities using eleven human pathogens. each of the extracts successfully killed six microbes.. keywords: antioxidant, nutrients, secondary metabolites, pterocarpus osun, microbes introduction plants materials have been used for medicinal purposes throughout history. their health benefits are associated with some of their chemical constituents, such as vitamins, flavonoids, terpenoids, carotenoids, phytoestrogens, and minerals (calucci et al., (2003); suhaj, (2006). they are sources of flavorings, aromatic compounds, and medicines. plants have a profound impact on human well-being and health (saidur rahman et al., 2018). they provide some of the essential nutrients that humans require, such as carbohydrates, protein, fat, fiber, and minerals, as well as acting as medications to treat and alleviate their health problems (begum, 2018) . these nutrients play an important part in meeting the needs of the human body. as food, drugs, and nutritional supplements, humans employ a wide range of plants and plants’ products (sen & samanta, (2014); begum, 2018). plants are known to include essential nutrients such as mineral elements, lipids, proteins, fiber, carbohydrates, and plant chemical compounds such as phytochemicals or secondary metabolites, some of which can be used as therapeutic agents for human disease. plants have traditionally been employed raw, boiled, or in liquid combinations for the treatment of ailments without regard for their nutritional makeup, which is essential for the body's correct physiological functioning (adnan et al., (2010); (hussain, (2013). according to the world health organization, 80% of the world's population relies on plants and plant products to survive. medicinal plants have been used in healthcare since time immemorial (sofowora, ogunbodede, & onayade, 2013). studies have been carried out globally to verify the efficacy of plants materials as therapeutic agents and some of the findings have led to the production of plant-based medicines. because medicinal plants contain bioactive chemicals, they can be used as anticancer, antibacterial, anti-inflammatory, antioxidant, antimalaria, and other agents. they do, however, provide nutrients for human health also. the proximate, nutritional, and anti-nutritional assessments can be used to determine the therapeutic benefits and nutritional values of plants (akpabio & ikpe, 2013). the mineral makeup of the plant is determined by the ash content, which may have an impact on the plant's medicinal function (tomescu et al., 2015.). protein concentration in plant parts is adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 60 important in the description of plant parts as nutrient value, classification, plant development, and plant conservation (hussain et al., 2011). a variety of medicinal plants are employed in the diet as a result of their therapeutic restorative benefits. as a result, evaluating medicinal plants for their nutritional contents can be quite useful in determining the usefulness of these specific medicinal plants in the treatment of health disorders. pterocarpus osun is regarded to have significant therapeutic powers in traditional medicine. the stem bark of pterocarpus osun has been used in traditional medicine to treat diarrhea, dysentery, and gastrointestinal problems (burkill, 1995). the bark of the pterocarpus plant is used for tooth and mouth problems, while the bark resin is used as an astringent for severe diarrhea and dysentery (gill, 1992). it's also been demonstrated to work in the treatment of fevers (hutchinson et al.1958). the dry leaf is used in traditional black soap made from ash from burned cocoa pods and palm oil, while the heartwood, bark, and roots are ground into a paste and used as a skin cosmetic. it has been used to treat rheumatism, eczema, gonorrhea, candidiasis, and acne (upholf, 1959). traditional treatments for sickle-cell disease and amenorrhea include p. osun stem (upholf, 1959). other species, such as pterocarpus marsupium, are high in tannins and flavonoids, and are thus used as an astringent, anodyne, cooling, and regenerating agent, as well as for the treatment of leprosy, leucoderma, toothache, fractures, diarrhea, passive hemorrhage, and dysentery, as well as bruises and diabetes. rheumatoid arthritis, gout, diabetic anemia, indigestion, asthma, cough, hair discolouration, bronchitis, ophthalmic problems, elephantiasis, and erysipelas are among the conditions for which it is prescribed (rahman et al., 2018). leucoderma, elephantiasis, diarrhea, cough, hair discolouration, and proctalgia have all been treated with p. marsupium in the past (mankani et al., 2005). it is nontoxic and useful in jaundice, fever, wounds, diabetes, stomachache, and ulcer (jung et al., 2006). the heartwood, bark, and roots are ground into a paste and applied to the skin as a cosmetic (www.prota.org) (www.prota.org). the antioxidant properties, as well as the depigmenting effect, have been established (krumbeigel, 1948). according to investigations, the wood contained red pigments called santarubin and santalin, which can be utilized as histology stains (osuagwu, 2008). the powdered stem protects the freshly severed umbilical cord against infection. rheumatism, eczema, gonorrhea, candidiasis, and acne have all been treated with it (gill, 1992). pterocarpus spp. is an example of a plant that has been used to treat type 2 diabetes (mukherjee, maiti, mukherjee, & houghton, 2006). pterocarpus spp. stem bark powder has also been used to cure diarrhea, and the wood powder has been administered externally to treat inflammations, headaches, mental aberrations, and ulcers (krishna veni & srinivasa rao, 2000). the greatest activity against enterobacter aerogenes, alcaligenes faecalis, escherichia coli, pseudomonas aeruginosa, proteus vulgaris, bacillus cereus, bacillus subtilis, and staphylococcus aureus was found in the stem bark extract (manjunatha, 2006). the heartwood, bark, and roots are mashed into a paste and used as skin cosmetics, while the dry leaf is an ingredient in traditional black soap made from the ash of burned cocoa pods and palm oil. this study is therefore aimed at analyzing the leaf and stem bark's nutritional potential as well as their disease-relieving qualities. methodology proximate analysis for proximate analysis, the aoac (1990) method was employed, which included measurements of moisture content, ash content, crude fat, crude protein, carbohydrate, and energy. the gross energy content was calculated using the atwater's conversion factors: 16.7 kj/g (4 kcal/g) for protein, 37.4 kj/g (9 kcal/g) for fat, and 16.7 kj/g (4 kcal/g) for carbohydrates, and expressed in calories (guyot et al.., 2007). carbohydrate was determined by using the formula: carbohydrate (%) = 100 (%crude lipid + %crude fiber + % ash + % protein + % moisture) mineral analysis two grams (2 g) of each sample were weighed into a beaker, followed by 20ml of nitric acid. this was heated for 30 minutes on the hotplate at 60 degrees celsius. after that, it was taken off the heat and left to cool. in a volumetric flask, the solution was diluted with distilled deionized water and made up to 50ml. in the same way, a blank was made and poured into a polypropylene bottle. using acceptable working standards, the samples were analyzed for metals on a thermo scientific ice 3000aa02134104 atomic absorption spectrometer (fadeyi et al., 2020) using the lamps for ca, mn, fe, ni, mg, zn, cr, co, and cd. the colorimetric method of vanadomolybdate was used to determine phosphorus and sulphur (ologhobo & fetuga, 1983). adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 61 qualitative phytochemical screening test for phenols: this test was performed using the method of sofowora (1993). 2ml extract was taken in a beaker to which, 2ml of ferric chloride solution was added. a deep bluish-green solution indicated the presence of phenols. test for terpenoids: salkowski test was performed by using the method of edeoga et al. (2005). 5ml of aqueous extract was mixed in 2ml of chloroform. then 3ml of concentrated sulfuric acid was added to form a layer. a reddish-brown coloration of the interface indicated the presence of terpenoids. test for saponins: this was performed by using the method of edeoga et al. (2005). 2g of the powdered sample boiled in 20ml of distilled water in a water bath and filtered the solution. then 10ml of the filtrate was mixed with 5ml of distilled water and shaken vigorously for a stable persistent froth. the frothing was mixed with 3 drops of olive oil and shakes vigorously which leads to the formation of the emulsion; indicating the presence of saponins. test for flavonoids: this test was performed using the method of harborne (2005). 1g powdered sample was heated with 10ml ethyl acetate over a steam bath (40–50°c) for 5min. the filtrate was treated with 1ml dilute ammonia. a yellow coloration demonstrated a positive test for flavonoids. test for alkaloids: this was performed by using the method of harborne (2005). 1g powdered sample was extracted with 5ml methanol and 5ml of 2n hydrochloric acid. the filtrate was treated with meyer's and wagner's reagents. the samples were scored positive on the basis of turbidity. test for glycosides: kellar–kiliani test was performed by using the method of parekh and chanda (2007). to 2ml of the filtrate, 1ml of glacial acetic acid was added. then 1ml of ferric chloride was added with 1ml concentrated sulfuric acid. green-blue coloration of the solution indicates that glycoside is present. test for tannins: the test was performed by using the method of kumar et al. (2007). alcoholic ferric chloride solution (10%) was added in 2-3ml of methanolic extract (1:1). the development of the dark blue color of the solution indicated the presence of tannins. test for steroids: identification of steroids was done by adopting the method described by edeoga et al., (2005). to 1ml of extract, 2ml acetic anhydride, and 2 ml concentrated sulfuric acid was added, colour change from blue to dark green indicates the presence of steroids. determination of anti-nutrient/quantitative phytochemicals the existence and quantity of phenols (aoac, 1995), alkaloids (manjunath et al., 2012), tannins (van-burden and robinson, 1981), flavonoids (vabkova and neugebauerova, 2012), and saponins (obadoni and ochuko, 2001) were investigated. free radical scavenging activities the antioxidant activity was measured using a slightly modified method developed by brandwilliams et al. (1995), for discoloration of 2, 2diphenyl-1-picrylhydrazyl radical (dpph) in methanol. the extract was evaluated at the following concentrations: 1000, 500, 250, 125 and 62.5µg/ml, and the absorbance was measured at 517nm after incubation for 30 minutes in the dark. ascorbic acid was used as standard at the same concentrations prepared for the extracts. blank solutions were prepared with the same amount of methanol. the following equation 1 was used to compute the radical scavenging activities: percent inhibition = babs sabs x 100 (1) babs 1 where babs= absorbance of blank solution; sabs = absorbance of the sample the antioxidant capacity was then evaluated by determining the ic50 from non-linear regression. data analysis the descriptive statistics described by olawuyi (1996) was used to analyze all of the data collected. the mean and standard deviation were calculated as statistical values. antimicrobial screening human pathogenic microbes used were obtained from the medical microbiology department, ahmadu bello university, zaria. the extracts were screened using the diffusion method with mueller hinton agar as the bacteria' growth medium. the medium had been prepared by sterilizing it at 121degrees celsius. 15 minutes later, it was put into sterile petri plates and allowed to cool and solidify. the sterilized medium was planted with 0.1ml of the test microorganisms' standard inoculums. a sterile swab was used to disseminate each inoculum equally across the surface adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 62 of the media, and a well was cut in the center of each inoculated medium with a standard cork-borer of 6mm diameter. the extract was dissolved in 0.1ml of water at concentrations of 20 mg/ml, and then injected into the well on the inoculation medium. after a 24-hour incubation period at 37 °c, the plates of the media were examined for the inhibited zones. using the broth dilution procedure, the extract's minimum inhibitory concentration (mic) was measured. mueller hinton broth was made, and 10ml was poured into test tubes. the broths were sterilized at 121 oc for 15 minutes and then allowed to cool. the concentration was calculated using mcfarland's turbidity standard scale number 0.5. the test microorganism was injected and cultured at 37 oc for 6 hours after the normal saline was produced and 10ml poured into a sterile test tube. the test microbe was diluted in normal saline until it became as turbid as mc-scale farland's by visual comparison; at this point, the test microbe has a consensus. the crude methanol extracts of leaf and stem bark were serially diluted two times in sterile broth to generate concentrations of 20mg/ml, 10 mg/ml, 5 mg/ml, 2.5 mg/ml, and 1.25 mg/ml respectively. results and discussion proximate analysis the proximate composition of plants provides valuable information about their medicinal and nutritional qualities. the nutritional analysis result as presented in table 1 and figure 1, indicated that both stem bark and leaf contain high fibre, lipids, proteins, and ash in that order. carbohydrates in the stem bark was significantly higher than that of the leaf. the protein, ash, and lipid contents support the nutritional importance of the plants. plants have been reported to play significant roles in drug discovery and have continue to receive diligent attentions because of their inherent bioactive component attributes such as antioxidants, anticancer, anti-inflammatory, antibacterial. secondary metabolites are the chemical substances responsible for these biological activities of plants. figure 1. bar chart showing the comparison of the nutritional values of the stem bark and the leaf of p. osun phytochemical screening the result of the analysis of the qualitative, quantitative phytochemicals and antinutritional analysis of p. osun secondary metabolites (tables 2 and 3) showed that both organs of p. osun under study contain alkaloids, tannins, saponins, flavonoids, terpenoids, steroids, cardiac glycoside, phenols present. this shows high level of their possible medicinal and dietary values. the saponin content of plant components, notably stem bark (1.216±0.09 mg/g), suggests that the plant can be utilized to decrease blood cholesterol by inhibiting its reabsorption, making it useful for cardiovascular disease prevention (osagie and eka, 1998). the saponin content of the samples may also increase their usefulness, especially the stem bark, in lowering the risk of human cancer since it has been documented that saponin has antitumor and antimutagenic properties (rao & sung, 1995). table 2. qualitative phytochemical analysis metabolites stem bark leaf alkaloids + + flavonoids + + tannins + + phenols + + cardiac glycoside + + saponins + + steroids + + terpenoids + + note: + = present, = absent table 1. proximate analysis of p. osun % moisture %ash %lipid %fibre %protein %carb. energy (kcal) smb: 13.18±0.16 6.74±0.24 7.31±0.27 37.89±0.27 9.52±0.14 15.37±0.90 255.26 leaf: 11.46±0.19 7.46±0.16 8.17±0.27 46.03±0.81 13.63±0.37 3.26±0.62 231.09 note: smb = stem bark, carb = carbohydrate was obtained by difference the given values are mean±sd of three different determinations. 0 10 20 30 40 50 % moisture % ash % lipids % fibre % protein % carb stem bark leaf adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 63 table 3. anti-nutrient/quantitative phytochemical analysis of p. osun metabolites leaf (mg/g) stem bark (mg/g) tannins 1.318±0.21 1.521±0.17 alkaloids 0.690±0.14 0.824±0.25 flavonoid 1.342±0.32 0.174±0.61 saponins 0.830±0.18 1.216±0.09 phenols 0.208±0.22 0.479±0.30 phytate 0.342±0.17 0.256±0.20 oxalate 0.928±0.24 0.680±0.16 the given values are mean±sd of three different determinations figure 2. quantitative values of the stem bark and leaf of p. osun table 4. antioxidant activities measurement concentration (µg/ml) %aa stem bark %aa leaf %aa ascorbic 62.5 64.80±0.17 57.21±0.20 81.27±0.31 125 81.10±0.08 59.30±0. 24 79.77±0.22 250 83.12±0.15 79.36±0.15 79.43±0.16 500 81.30±0.11 74.16±0.21 77.69±0.16 1000 78.21±0.13 62.60±0.32 79.05±0.26 note: aa – antioxidant activity the result of the quantitative phytochemical analysis of the plant parts (table 3 and figure 2) showed that the stem bark and the leaf have tannins values as 10.220 mg/g and 10.100 mg/g respectively. studies have shown that tannins possess antidiarrhoeal (rani et al., (1999); mbagwu & adeyemi, (2008); amabeoku, (2009); tian et al., (2009); yang et al., (2017); bonelli et al., (2018); anti-inflammatory (wijesinghe et al., 2013); antiparasitic (minho, gennari, amarante, & abdala, 2010); and antimicrobial activities (dall’agnol et al., 2003); corrales, han, & tauscher, (2009); tong, he, fan, & guo, (2022). figure 3. %antioxidant activities of the stem bark and the leaf of p.osun with that of ascorbic acid (stem: stem bark, asc:ascorbic acid) figure 4. % antioxidant activities of stem bark, leaf and ascorbic acid at different concentrations the result of the quantitative phytochemical analysis of the plant parts (table 3 and figure 2) showed that the stem bark and the leaf have tannins values as 10.220 mg/g and 10.100 mg/g respectively. studies have shown that tannins possess antidiarrhoeal (rani et al., (1999); mbagwu & adeyemi, (2008); amabeoku, (2009); tian et al., (2009); yang et al., (2017); bonelli et al., (2018); anti-inflammatory (wijesinghe et al., 2013); antiparasitic (minho, gennari, amarante, & abdala, 2010); and table 5. mineral analysis of p. osun stem bark and leaf (mg/kg) elements s p ca mn fe ni mg zn cr co cd leaf 17.77 23.33 34.47 0.26 1.10 0.27 36.84 0.36 0.24 0.22 0.12 stem bark 25.85 19.00 94.40 1.54 1.67 0.27 116.45 0.20 0.58 0.22 0.12 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 leaf stem bark 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 %stem %leaf %ascorbic acid 62.5 125 250 500 1000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1 2 3 4 5 stem leaf asc adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 64 antimicrobial activities (dall’agnol et al., 2003); corrales, han, & tauscher, (2009); tong, he, fan, & guo, (2022). the appreciable quantities of tannin in samples may confer the aforementioned properties on the samples. also, flavonoids and phenols quantities were significant. phenolic compounds are important antioxidant compounds. mineral analysis the result of mineral analysis in table 5 and figure 5 indicates the presence of sulphur (s), phosphorus (p), magnesium (mg), calcium (ca), manganese (mn), iron (fe), nickel (ni), zinc (zn), chromium (cr), cobalt (co), and cadmium (cd) at different concentrations. a higher concentration of ca and mg (94.4 & 116.45mk/kg) was observed in p. osun stem bark. this is in agreement with the findings of orishadipe et al. (2015) on the mineral content of leaf extract of p. osun. antimicrobial analysis in table 6 and figures 6, 7 and 8, the results of the antimicrobial activities of both organs of p. osun are displayed. eleven microbes were tested for activities and six of them were sensitive while five resist. this plant’s parts are effective against multidrug-resistant microbes like s. aureus, e. coli, vre, c. tropicalis, c. krusei. many plants have been used because of their antimicrobial traits, which are due to compounds synthesized in the secondary metabolites of the plant such as tannin and phenol (janssen, scheffer, & svendsen, (1987); saxena, mccutcheon, farmer, towers, & hancock, (1994); corrales et al., (2009); tong et al., (2022). 0 20 40 60 80 100 120 140 s p ca mn fe ni mg zn cr co cd leaf smb figure 5. elemental composition of the stem bark (smb) and the leaf of p.osun adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 65 conclusion the current study concludes that pterocarpus osun, stem bark, and leaf can play essential roles in the preservation of a healthy life and regular body functioning by delivering therapeutic effects and energy-rich nutrients for the growth and development of the human body. in light of the aforesaid findings, p.osun stem bark and leaf may have the capacity to supply nutrients and medicines which are essential for human wellness and maintenance of health, growth, and development of the body. acknowledgments the authors here express their appreciation to the management of sheda science and technology complex (shestco) for making the laboratories available for use, and the supply of some reagents used. references adnan, m., hussain, j., shah, m. t., shinwari, z. k., ullah, f., bahader, a., … watanabe, t. (2010). proximate and nutrient composition of medicinal plants of humid and sub-humid 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 leaf smb cx fz sx figure 6. zones of inhibition of extracts and control drugs figure 7. zones of inhibition for the stem bark figure 8. zones of inhibition for the leaf extract adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 66 regions in north-west pakistan. journal of medicinal plants research, 4(4), 339–345. akpabio, u. d., & ikpe, e. e. (2013). proximate composition and nutrient analysis of aneilema aequinoctiale leaves. asian journal of plant science and research, 3(2), 55–61. amabeoku, g. j. (2009). antidiarrhoeal activity of geranium incanum burm. f. (geraniaceae) leaf aqueous extract in mice. journal of ethnopharmacology, 123(1), 190–193. begum, h. a. (2018). nutritional analysis of some selected medicinal plants of khyber pakhtunkhwa, pakistan. pure and applied biology, 7(3), 955–964. bonelli, f., turini, l., sarri, g., serra, a., buccioni, a., & mele, m. (2018). oral administration of chestnut tannins to reduce the duration of neonatal calf diarrhea. bmc veterinary research, 14(1), 227. burkill, h.m. (1995). the useful plants of west tropical africa. 2nd ed., vol 3, royal botanic gardens, kew, richmond, uk. 857 calucci, l., pinzino, c., zandomeneghi, m., capocchi, a., ghiringhelli, s., saviozzi, f., … galleschi, l. (2003). effects of γ-irradiation on the free radical and antioxidant contents in nine aromatic herbs and spices. journal of agricultural and food chemistry, 51(4), 927– 934. corrales, m., han, j. h., & tauscher, b. (2009). antimicrobial properties of grape seed extracts and their effectiveness after incorporation into pea starch films. international journal of food science & technology, 44(2), 425–433. dall’agnol, r., ferraz, a., bernardi, a. p., albring, d., nör, c., sarmento, l., … schapoval, e. e. s. (2003). antimicrobial activity of some hypericum species. phytomedicine, 10(6–7), 511–516. edeoga, h. o., okwu, d. e., & mbaebie, b. o. (2005). phytochemical constituents of some nigerian medicinal plants. african journal of biotechnology, 4(7), 685–688. fadeyi, a. e., akiode, s. o., falayi, o. e., fatokun, a. o., & orijajogun, j. o. (2020). phytochemical, antioxidant, proximate and ftir analysis of calopogonium mucunoides desv. extracts using selected solvents. world journal of biology pharmacy and health sciences, 4(1), 014–022. gill l.s. (1992). ethno-medical uses of plants in nigeria, university of benin press, nigeria. 276. harbone, j.b. (2005). phytochemical methods: a guide to modern techniques of plants analysis. 3rd edition. chapman and hall ltd, london. isbn-10: 94402415785 hussain, j. (2013). proximate based comparative assessment of five medicinal plants to meet the challenges of malnutrition. european journal of medicinal plants, 3(3), 444–453. hussain, j., khan, f. u., ullah, r., muhammad, z., rehman, n. u., shinwari, z. k., … hussain, s. m. (2011). nutrient evaluation and elemental analysis of four selected medicinal plants of khyber pakhtoon khwa, pakistan. pak. j. bot., 43(1), 427–434. hutchinson, j., dalziel, j.m. & keay. w.j. (1958). flora of west tropical africa. agents for overseas government and administration, london 1: pp531 janssen, a., scheffer, j., & svendsen, a. (1987). antimicrobial activity of essential oils: a 19761986 literature review. aspects of the test methods. planta medica, 53(05), 395–398. jung, m., park, m., lee, h., kang, y.-h., kang, e., & kim, s. (2006). antidiabetic agents from medicinal plants. current medicinal chemistry, 13(10), 1203–1218. krishna veni, k. s., & srinivasa rao, j. v. (2000). a new isoflavone glucoside from pterocarpus santalinus. journal of asian natural products research, 2(3), 219–223. krumbeigel, g.h. (1984). list of economic plants imported in lalbagh botanic garden, bangalore, govt. press. 1948. kumar, g. s., jayaveera, k. n., kumar, c. k., sanjay, u. p., swamy, b. m., & kumar, d. v. (2007). antimicrobial effects of indian medicinal plants against acne-inducing bacteria. tropical journal of pharmaceutical research, 6(2), 717– 723. manjunatha, b. (2006). antibacterial activity of pterocarpus santalinus. indian journal of pharmaceutical sciences, 68(1), 115–116. mankani, k., krishna, v., manjunatha, b., vidya, s., jagadeesh singh, s., manohara, y., … avinash, k. (2005). evaluation of hepatoprotective activity of stem bark of pterocarpus marsupium roxb. indian journal of pharmacology, 37(3), 165. mbagwu, h. o. c., & adeyemi, o. o. (2008). antidiarrhoeal activity of the aqueous extract of mezoneuron benthamianum baill (caesalpiniaceae). journal of ethnopharmacology, 116(1), 16–20. minho, a. p., gennari, s. m., amarante, a. f. t. do, & abdala, a. l. (2010). anthelmintic effects of adewale elijah fadeyi et al. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67, 2022 doi: 10.30598//ijcr 67 condensed tannins on trichostrongylus colubriformis in experimentally infected sheep. semina: ciências agrárias, 31(4), 1009–1016. mukherjee, p. k., maiti, k., mukherjee, k., & houghton, p. j. (2006). leads from indian medicinal plants with hypoglycemic potentials. journal of ethnopharmacology, 106(1), 1–28. nguyen, t. t. t., loiseau, g., icard-vernière, c., rochette, i., trèche, s., & guyot, j.-p. (2007). effect of fermentation by amylolytic lactic acid bacteria, in process combinations, on characteristics of rice/soybean slurries: a new method for preparing high energy density complementary foods for young children. food chemistry, 100(2), 623–631. olawuyi, j.f. (1996). biostatistics: a foundation course in health sciences. 1st edition. university college hospital, published by tunji alabi printing co. total garden, ibadan, nigeria, 1-221 ologhobo, a. d., & fetuga, b. l. (1983). investigations on the trypsin inhibitor, hemagglutinin, phytic and tannic acid contents of cowpea vigna unguiculata. food chemistry, 12(4), 249–254. orishadipe, a., fatokun, o., okolo, s., akanji, f. & thomas, s. (2015) comparative studies of chemical composition of the leaf extracts of pterocarpusosun from different geographical regions of nigeria. american journal of ethnomedicine, vol. 2, no. 5 osagie, a.u & eka, o.u. (1998). mineral elements in plant foods in nutritional quality of plant foods. ambik press, benin city, edo state, nigeria. pp. 8, 14, 43 and 86 osuagwu, g.g.e. (2008) proximate and vitamin content of four nigeria pterocarpus species. nigeria food journal, 26 (1): 21-26. rahman, m. s., md. mujahid, m., siddiqui, m. a., rahman, md. a., arif, m., eram, s., … md azeemuddin, a. (2018). ethnobotanical uses, phytochemistry and pharmacological activities of pterocarpus marsupium: a review. pharmacognosy journal, 10(6s), s1–s8. rani, s., ahamed, n., rajaram, s., saluja, r., thenmozhi, s., & murugesan, t. (1999). antidiarrhoeal evaluation of clerodendrum phlomidis linn. leaf extract in rats. journal of ethnopharmacology, 68(1–3), 315–319. rao, a. v., & sung, m.k. (1995). saponins as anticarcinogens. journal of nutrition, 125(3s), 717s–724s. saxena, g., mccutcheon, a. r., farmer, s., towers, g. h. n., & hancock, r. e. w. (1994). antimicrobial constituents of rhus glabra. journal of ethnopharmacology, 42(2), 95–99. sen, t., & samanta, s. k. (2014). medicinal plants, human health and biodiversity: a broad review. medicinal plants, 59–110. sofowora, a., ogunbodede, e., & onayade, a. (2013). the role and place of medicinal plants in the strategies for disease prevention. afr j tradit complement altern med., 10(5), 210–229. suhaj, m. (2006). spice antioxidants isolation and their antiradical activity: a review. journal of food composition and analysis, 19, 531–537. tian, f., li, b., ji, b., yang, j., zhang, g., chen, y., & luo, y. (2009). antioxidant and antimicrobial activities of consecutive extracts from galla chinensis: the polarity affects the bioactivities. food chemistry, 113, 173–179. tomescu, a., rus, c., pop, g., alexa, e., radulov, i., imbrea, i. m., & negrea, m. (2015). researches regarding proximate and selected elements composition of some medicinal plants belonging to the lamiaceae family. agronomy series of scientific research, 58(2), 175–180. tong, z., he, w., fan, x., & guo, a. (2022). biological function of plant tannin and its application in animal health. frontiers in veterinary science, 8, 1–7. upholf, j.c. (1959). dictionary of economic plant. weinheim. vábková, j., & neugebauerová, j. (2012). determination of total phenolic content, total flavonoid content and frap in culinary herbs in relation to harvest time. acta universitatis agriculturae et silviculturae mendelianae brunensis, lx(1), 167–171. van buren, j. p., & robinson, w. b. (1969). formation of complexes between protein and tannic acid. journal of agricultural and food chemistry, 17(4), 772–777. wijesinghe, w. a. j. p., ahn, g., lee, w.-w., kang, m.-c., kim, e.-a., & jeon, y.-j. (2013). antiinflammatory activity of phlorotannin-rich fermented ecklonia cava processing by-product extract in lipopolysaccharide-stimulated raw 264.7 macrophages. journal of applied phycology, 25(4), 1207–1213. yang, y., luo, h., song, x., yu, l., xie, j., yang, j., … yin, z. (2017). preparation of galla chinensis oral solution as well as its stability, safety, and antidiarrheal activity evaluation. evidencebased complementary and alternative medicine, 2017, 1–8. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 85 sintesis dimerkaptoetil adipat sebagai bahan baku stabiliser termal polivinil klorida berbasis timah organik ester balik synthesis of dimercaptoethyl adipate as raw materials of reverse ester organotin based polyvinyl chloride thermal stabilizer i dewa gede arsa putrawan 1* , nikanor natan 2 , rizal abdan syakuron 2 1 kelompok keahlian perancangan & pengembangan produk, fakultas teknologi industri, institut teknologi bandung, jln. ganesa 10, bandung. 2 program studi teknik kimia, fakultas teknologi industri, institut teknologi bandung, jln. ganesa 10, bandung. *corresponding author: idewa@che.itb.ac.id received: 2020-6-10 received in revised: 2020-7-12 accepted: 2020-8-19 available online: 2020-8-21 abstract this research aimed to study the synthesis of dimercaptoethyl adipate as raw materials for polyvinyl chloride thermal stabilizer from mercaptoethanol and adipic acid in a batch reactor in which water as a side product was removed by azeotropic evaporation. the study was done through comparative experimental tests where the factors studied included entrainer, mercaptoethanol excess, and reactor volume. it was found that the products obtained were liquid at room condition having clarity in the 95%-99% range, sulfhydryl content in the 23.3%-24.3% range, and yield in the 83.7%-92.1% range. clarities, sulfhydryl contents, and yields at 20% and 40% mercaptoethanol excesses were not significantly different. at 1 l and 5 l reactor volumes, sulfhydryl contents were found to be significantly different but clarities and yields were not significantly different. both n-hexane and cyclohexane could be used as entrainers to remove water in the synthesis of dimercaptoethyl adipate. both entrainers gave clarities and yields that are not significantly different. n-hexane resulted in sulfhydryl content which was 0.77% higher than that of cyclohexane. however, bearing in mind health factors, cyclohexane is considered to be better than n-hexane. keywords: dimercaptoethyl adipate, thermal stabilizer, polyvinyl chloride, mercaptoethanol, adipic acid. abstrak (indonesian) penelitian ini bertujuan mengkaji sintesis dimerkaptoetil adipat sebagai bahan baku stabiliser termal polivinil klorida dari merkaptoetanol dan asam adipat dalam sebuah reaktor partaian dimana air sebagai produk samping disingkirkan melalui penguapan azeotropik. kajian dilaksanakan melalui uji eksperimental komparatif dimana faktorfaktor yang dikaji meliputi entrainer, ekses merkaptoetanol, dan volume reaktor. produk yang diperoleh diketahui berwujud cair pada kondisi ruang dengan transparansi pada rentang 95%-99%, kadar sulfhidril pada rentang 23,3%-24,3%, dan perolehan pada rentang 83,7%-92,1%. transparansi, kadar sulfhidril dan perolehan pada ekses merkaptoetanol 20% dan 40% tidak berbeda secara berarti. pada volume reaktor 1 l dan 5 l, kadar sulfhidril diketahui berbeda secara berarti tetapi transparansi dan perolehan tidak berbeda secara berarti. baik n-heksana maupun sikloheksana dapat digunakan sebagai entrainer untuk menyingkirkan air dalam sintesis dimerkaptoetil adipat. n-heksana dan sikloheksana memberikan transparansi dan perolehan yang tidak berbeda secara berarti. n-heksana menghasilkan kadar sulfhidril 0,77% lebih tinggi dibandingkan dengan sikloheksana. akan tetapi, memperhatikan faktor kesehatan, sikloheksana dipandang lebih baik dibandingkan dengan n-heksana. kata kunci: dimerkaptoetil adipat, stabiliser termal, polivinil klorida, merkaptoetanol, asam adipat. i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 85 pendahuluan polivinil klorida atau polyvinyl chloride (pvc) adalah polimer ketiga terbesar dunia dalam volume produksi (ryberg dkk., 2018). kapasitas produksi pvc mencapai 55 juta ton pada tahun 2018 (bahls dkk., 2019). pvc merupakan polimer termoplastik yang memiliki aplikasi luas, antara lain sebagai pipa dan fiting, pembungkus kabel, profil, lembaran termasuk kemasan obat (khoryani dkk., 2018). produk-produk akhir pvc dicetak melalui pemanasan pada temperatur 140-190 o c. kelemahan utama pvc adalah mudah rusak oleh panas, terlebih pada temperatur pencetakan. proses perusakan pvc oleh panas dinamakan degradasi termal (wypych, 2015; yu dkk., 2016). degradasi termal melepaskan hcl dari struktur polimer pvc dan sekaligus meninggalkan ikatan rangkap. hcl yang terbentuk menjadi katalis untuk pelepasan hcl berikutnya sehingga degradasi termal bersifat auto-katalitik. pelepasan hcl secara berantai menghasilkan struktur poliena yang menyebabkan pvc berubah warna, dari tidak berwarna menjadi kuning, oranye, merah, cokelat, hingga akhirnya hitam. sifat mekaniknya juga berubah, lelehan resin yang semula dapat dicetak menjadi tidak dapat dicetak. stabiliser termal ditambahkan ke dalam adonan resin pvc sebelum dicetak untuk mencegah degradasi termal (folarin dan sadiku, 2011; shnawa, 2017). stabiliser termal terbagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu organik (asawakosinchai dkk., 2017), garam timbal (michell, 1986), campuran logam karboksilat (wang dkk., 2017a), dan timah organik (liu dkk., 2012). kelompok organik belum banyak digunakan karena mahal dan kurang efektif. kelompok organik umumnya digunakan sebagai stabiliser pendamping (co-stabilizer). stabiliser termal berbasis timbal kurang diminati karena berbahaya bagi lingkungan. campuran logam banyak diterapkan di eropa. dari sisi harga, campuran logam relatif lebih murah tetapi kurang efektif. efektivitas umumnya ditingkatkan melalui pelibatan stabiliser termal pendamping dan penggunaan dosis yang lebih tinggi. stabiliser termal berbasis timah merupakan stabiliser termal yang sangat efektif dan mulai menggeser penggunaan timbal. stabiliser termal berbasis timah banyak digunakan di amerika dan mengambil hampir 100% pasar di negara tersebut (anders, 2012). salah satu kelompok stabiliser termal berbasis timah yang banyak digunakan adalah timah organik merkaptida yang dikenal sebagai timah organik ester balik (reverse ester organotin). stabiliser ini disintesis melalui dua tahap reaksi. pertama, asam karboksilat dan merkaptoetanol direaksikan menjadi merkaptoetil karboksilat (ester balik) melalui reaksi: rcooh(l) + hoch2ch2sh(l) ⇌ rcooch2ch2sh(l) + h2o(l) (1) ester balik hasil reaksi (1) direaksikan dengan larutan metiltimahklorida menghasilkan timah organik ester balik melalui reaksi: 2rcooch2ch2sh(l) + (ch3)2sncl2(aq) ⇌ rcooch2ch2ssn(ch3)2(aq) + 2hcl(aq) (2) berbeda dengan reaksi transesterifikasi yang umumnya menggunakan katalis berbasis basa, seperti yang dilakukan dalam pembuatan biodiesel dari minyak/lemak (fransina dkk., 2013; musta dkk., 2017; rachim dkk., 2017), reaksi esterifikasi di persamaan (1) umumnya dibantu asam kuat sebagai katalis. tambahan pula, reaksi (1) merupakan reaksi kesetimbangan. untuk menggeser reaksi ke arah produk, merkaptoetanol digunakan dalam jumlah berlebih dan air yang terbentuk secara bersamaan disingkirkan dari campuran reaksi melalui penguapan. asam karboksilat yang digunakan sebagai bahan baku saat ini adalah asam lemak, seperti yang dilakukan oleh wang dkk. (2012) dan putrawan dkk. (2018; 2016; 2019a; 2019b). penggunaan asam lemak menghasilkan ester balik yang tidak bening/transparan. ester balik yang dihasilkan kuning kecokelatan dan sedikit buram jika banyak mengandung fraksi tak jenuh. akibatnya, stabiliser ester balik yang dihasilkan juga tidak bening sehingga hanya dapat digunakan untuk aplikasi buram (opaque), tidak dapat digunakan untuk aplikasi transparan (transparent). larutan metiltimahklorida dan merkaptoetanol tidak berwarna. oleh karena itu, warna stabiliser termal ester balik sangat ditentukan oleh asam karboksilat. jika asam karboksilat yang digunakan tidak berwarna, ester balik yang dihasilkan juga tidak berwarna dan stabiliser termal yang dihasilkan bening sehingga dapat digunakan untuk aplikasi transparan. di sisi lain, asam karboksilat harus cukup berat agar tidak menguap pada temperatur didih air sehingga tetap berada dalam campuran reaksi ketika air diuapkan. tambahan pula, ester balik yang dihasilkan harus berwujud cair pada kondisi ruang untuk menjamin stabiliser timah organik ester balik yang dihasilkan juga cair, seperti yang umum dijual di pasaran saat ini. asam dikarboksilat umumnya memiliki titik didih yang tinggi, serta pada suhu ruangan berupa padatan putih. walaupun asam dikarboksilat berwujud padat, keberadaan dua gugus karboksil menghasilkan dua gugus sulfhidril (sh) dalam ester balik. sebagai akibatnya, titik beku menjadi jauh lebih kecil dibandingkan asam i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 86 dikarboksilat hingga mampu berwujud cair pada temperatur ruang. oleh karena itu, asam dikarboksilat diharapkan mampu menggantikan asam lemak dan menghasilkan stabiliser termal ester balik yang bening. salah satu asam dikarboksilat yang mudah diperoleh adalah asam adipat. penggunaan asam adipat sebagai bahan baku stabiliser termal ester balik telah lama ditemukan (leistner dan hecker, 1959). akan tetapi, kajian detail tentang sintesis ester balik dari asam adipat belum ada yang mempublikasikan. pengaruh kondisi reaksi khususnya ekses merkaptoetanol dan volume reaksi terhadap hasil sintesis belum pernah dibahas. kedua informasi ini sangat penting dalam perancangan proses skala komersial, khususnya dalam penentuan dimensi reaktor. beberapa kajian sintesis ester balik dapat ditemukan di literatur (putrawan dkk., 2018; putrawan dkk., 2016; putrawan dkk., 2019a; putrawan dkk., 2019b; wang dkk., 2012), tetapi menggunakan asam lemak sebagai asam karboksilat. tambahan pula, proses leistner-hecker menyingkirkan air sebagai produk samping melalui penguapan azeotropik menggunakan benzena sebagai pelarut. penggunaan benzena sebagai entrainer tidak tepat lagi saat ini karena benzena bersifat karsinogen (falzone dkk., 2016) sehingga perlu digunakan entrainer alternatif. benzena dikategorikan sebagai bahan karsinogen group 1 (karsinogen terhadap manusia) oleh international agency for research on cancer, sebagai bahan yang “telah diketahui karsinogen terhadap manusia” oleh the national toxicology program, dan sebagai bahan karsinogen group a1 (telah dikonfirmasi karsinogen terhadap manusia) oleh the american conference of governmental industrial hygienists (chevron phillips, 2016). di lain pihak, uni eropa menggolongkan benzena sebagai bahan cmr (carcinogenic, mutagenic, reprotoxic) kategori 1 (joshi dan adhikari, 2019). penelitian ini secara umum diarahkan untuk mengkaji sintesis ester balik dari asam adipat dan merkaptoetanol. secara khusus, penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh entrainer, ekses merkaptoetanol, dan volume reaktor terhadap kualitas dan perolehan ester balik (dimerkaptoetil adipat atau dmea) sebagai bahan baku stabiliser termal pvc berbasis timah organik ester balik. transparansi/kebeningan (clarity) dan kadar gugus sulfhidril digunakan sebagai ukuran kualitas. transparansi dijadikan ukuran karena stabiliser termal pvc dari dmea diharapkan dapat digunakan untuk aplikasi transparan. kadar sulfhidril dikaji karena gugus ini berperan dalam menyetabilkan pvc. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan meliputi 2merkaptoetanol (99,0%, merck) dan asam adipat (99,0%, merck), p-toluena sulfonat sebagai katalis (99,8%, sigma aldrich), n-heksana (97%, merck) dan sikloheksana (99%, merck) dibeli melalui pemasok lokal. alat peralatan percobaan terdiri dari satu rangkaian alat sintesis, sebuah corong pemisah, dan satu rangkaian pengering vakum. alat lain yang dilibatkan meliputi spektrofotometer shimadzu ir-prestige-21, spektrofotometer uv-vis shimadzu uv-1800, spektrometer nmr bruker dpx-400, refraktometer atago nar-1t, dan piknometer. gambar 1 menyajikan alat sintesis. gambar 2 menyajikan pengering vakum. alat sintesis terdiri dari sebuah labu sebagai reaktor yang dihubungkan dengan kondenser dan jebakan barrett (barrett trap) untuk menampung kondensat fase akuatik. pengering vakum terdiri dari sebuah gelas berjaket yang dihubungkan dengan kondenser dan pengumpul kondensat yang disambungkan ke sebuah sistem vakum. air pemanas dan pendingin dipasok dari bak air terpisah, masing-masing dilengkapi dengan pengendali temperatur. gambar 1. rangkaian alat sintesis i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 87 gambar 2. rangkaian alat pengering vakum prosedur kerja prosedur percobaan merujuk pada kajian sebelumnya (putrawan dkk., 2019b). percobaan sintesis dilakukan pada tekanan ruang. sintesis diawali dengan memasukkan merkaptoetanol ke dalam reaktor sambil diaduk. asam adipat kemudian ditambahkan ke dalam reaktor. setelah campuran homogen, katalis dan entrainer dimasukkan, pemanas selanjutnya dinyalakan. setelah campuran reaksi mendidih, entrainer bersama air yang terbentuk menguap menuju kondenser. setelah didinginkan dalam kondenser, uap mengkondensasi, kondensat yang jatuh ke dalam penampung kondensat terpisah menjadi dua fase: fase air (akuatik) di bagian bawah dan fase entrainer (minyak) di bagian atas. fase air tertinggal di dalam tabung kondensat, sedangkan fase pelarut kembali ke dalam reaktor. selama reaksi berlangsung, jumlah kondensat dan temperatur diamati pada berbagai waktu hingga jumlah fase air yang terkumpul tetap (tidak bertambah). campuran reaksi kemudian didinginkan, produk dipisahkan dari entrainer dengan corong pemisah, dicuci dengan air distilasi sebanyak tiga kali, selanjutnya dikeringkan dengan pengering vakum. pengeringan vakum diawali dengan menempatkan produk di dalam gelas berjaket. temparatur air pemanas diatur pada 70 °c. sambil produk diaduk, sistem vakum dijalankan dan tekanan diturunkan perlahan hingga mencapai vakum terendah (20 mmhg). selama pengeringan, air sisa pencucian menguap dan terkumpul dalam penampung kondensat. setelah seluruh air pencucian teruapkan, ditandai dengan jumlah cairan dalam kondensat tidak bertambah dan produk dalam gelas berjaket tidak mengeluarkan gelembung, pengeringan dihentikan. jumlah produk yang diperoleh ditimbang dengan neraca. gugus-gugus penciri keberadaan produk dianalisis melalui pengukuran spektra ir dan nmrh. spektra nmr-h diukur pada frekuensi 125 mhz dengan pelarut (cd3)2co. kadar sulfhidril dalam produk diukur melalui titrasi iodin, mengikuti prosedur sebelumnya (putrawan dkk., 2019a). transparansi produk diukur menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 440 nm dengan aseton murni sebagai standar, sesuai metode pengukuran di industri stabiliser termal. berat jenis diukur dengan piknometer. indeks bias diukur dengan refraktometer. rancangan percobaan didasarkan pada uji komparatif pada dua tingkat (nilai) faktor dengan tingkat keyakinan 95% (tingkat keberartian 5%). faktor percobaan meliputi entrainer, ekses merkaptoetanol dan volume reaktor. setiap tempuhan menggunakan 0,02 mol katalis per mol asam adipat, 2 ml entrainer per g asam adipat, dan basis reaktan 0,1 g asam adipat per cm 3 volume reaktor. setiap tempuhan dilakukan sebanyak dua kali (duplo). tabel 1. kondisi percobaan # kode entrainer ekses volume 1 ne2v1 n-heksana 20%-mol 1 l 2 ne2v5 n-heksana 20%-mol 5 l 3 ne4v1 n-heksana 40%-mol 1 l 4 ce2v1 sikloheksana 20%-mol 1 l dua entrainer yang dibandingkan adalah nheksana dan sikloheksana. sikloheksana termasuk pelarut kategori “dapat digunakan” (usable), tidak termasuk pelarut kategori “merah” (joshi dan adhikari, 2019). n-heksana termasuk beracun tetapi tidak dimasukkan sebagai bahan karsinogen (joshi dan adhikari, 2019; national academy of sciences, 2013). ekses merkaptoetanol divariasi pada nilai 20% dan 40%. sebagai kajian awal skala laboratorium, percobaan divariasi pada dua volume reaktor: 1 l (100 g asam adipat) dan 5 l (500 g asam adipat). tabel 1 menyajikan kondisi masing-masing tempuhan. hasil dan pembahasan karakteristik gugus gambar 3 menyajikan spektra ir dari merkaptoetanol, asam adipat, dan dmea. sebagai pembanding, gambar tersebut juga menampilkan i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 88 spektra dua ester balik yang disintesis dari asam lemak, yakni merkaptoetil palmat (mep) yang disintesis dari distilat asam lemak sawit (putrawan dkk., 2019b) dan merkaptoetil tallat (met) yang disintesis dari tall oil fatty acid (tofa), diperoleh dari pasar. ada tiga dmea yang ditampilkan, yaitu ne2v1, ce2v1, dan ne2v5. spektra ir merkaptoetanol dicirikan oleh keberadaan puncak serapan pada daerah panjang gelombang 300-3750, 2935-2915, 2865-2845, dan 2600-2550 cm -1 yang secara berturut-turut menunjukkan regangan hidroksil (oh), regangan tak simetri metilena (ch2), regangan simetri metilena (ch2), dan regangan sulfhidril (sh). spektra asam adipat dicirikan oleh keberadaan puncak serapan yang lebar pada daerah panjang gelombang 3500-2800 cm -1 dan puncak serapan yang tajam pada daerah 1725-1700 cm -1 , masing-masing menunjukkan keberadaan gugus hidroksil (oh) dan gugus karbonil (c=o). ketiga spektra dmea menunjukkan keberadaan gugus-gugus karbonil dan sulfhidril, sesuai struktur dmea. akan tetapi, ketiga spektra dmea juga menampilkan keberadaan gugus hidroksil walaupun tidak setajam merkaptoetanol. keberadaan sedikit gugus hidroksil terjadi karena reaksi samping. ester balik (ester-o) terbentuk karena pertemuan antara gugus hidroksil dan gugus karboksil. karena gugus sulfhidril (sh) juga aktif, gugus ini dapat mengikat karboksil menghasilkan ester-s (sonnet dan moore, 1989). gambar 3. spektra ir dari merkaptoetanol, asam adipat, dan dmea gambar 4. spektra h-nmr dmea ne2v1 spektra ir dmea yang diperoleh dengan menggunakan n-heksana dan sikloheksana sebagai entrainer identik. perbedaan juga tidak ditemukan antara dmea yang diperoleh pada volume reaktor 1 l dan 5 l. ketiga spektra dmea identik dengan spektra mep dan met. puncak serapan regangan sh pada spektra mep dan met tidak setajam pada spektra dmea karena kadar sulfhidril dalam mep dan met rendah (6%-8%). di samping itu, spektra mep dan met juga menampilkan serapan lemah pada panjang gelombang 3006 cm -1 yang menandakan ikatan tak jenuh asam lemak. gambar 4 menampilkan spektra h-nmr dmea ne2v1 (n-heksana sebagai entrainer, ekses merkaptoetanol 20%, dan volume reaktor 1 l). keberadaan puncak pada 1,65; 1,90; 2,35; 2,75; dan 4,15 ppm secara berturut-turut menunjukkan keberadaan atom hidrogen dalam ikatan c-ch2-c, csh, c-ch2-coo-, c-ch2-s, dan o-ch2-c sebagaimana ditemukan dalam struktur dmea. spektra h-nmr mendukung spektra ir dan memastikan bahwa dmea telah berhasil disintesis. tabel 2. uji komparatif transparansi pada variasi entrainer, ekses merkaptoetanol, dan volume reaktor entrainer t(%) ekses(%) t(%) vol(l) t(%) nhx (1) 98 20 (1) 98 1 (1) 98 nhx (2) 97 20 (2) 97 1 (2) 97 shx (1) 95 40 (1) 96 5 (1) 99 shx (2) 96 40 (2) 98 5 (2) 98 thitung = 2,83 thitung = 0,54 thitung = 1,41 p = 0,11 p = 0,64 p = 0,29 ho = diterima ho = diterima ho = diterima transparansi tabel 2 menyajikan data transparansi relatif terhadap aseton murni, dinyatakan sebagai -och2c-cch 2 s -cch 2 coo -s h -ch2c p e la ru t 1,5 2,5 3,0 4,0 pergeseran kimia (, ppm) 3,5 2,0 i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 89 transmitansi dmea pada panjang gelombang 440 nm, berikut hasil uji komparatif pada kedua nilai masing-masing faktor. angka (1) dan (2) dalam tabel menyatakan tempuhan 1 dan 2. transparansi dmea ada pada rentang 96%-99%. dengan kata lain, produk yang diperoleh praktis sama transparan/bening dengan aseton. untuk tempuhan duplo pada tingkat keyakinan 95%, tabel distribusi t memberikan nilai tkritik sebesar 4,30 (montgomery, 2012). seperti tampak pada tabel 2, uji komparatif untuk ketiga faktor memberikan nilai t hasil perhitungan yang lebih kecil dari nilai t kritik. tambahan pula, peluang kesalahan menolak hipotesis nol (nilai p) untuk ketiga uji melebihi tingkat keberartian (5%). hal ini menunjukkan bahwa ketiga faktor, yakni entrainer, ekses merkaptoetanol, dan volume reaktor, tidak berpengaruh terhadap transparansi dmea yang dihasilkan (hipotesis nol ho diterima). dengan demikian, transparansi lebih dipengaruhi oleh proses fisika, pencucian dan pengeringan. selama pencucian dan pengeringan dilaksanakan dengan baik, dmea yang dihasilkan akan transparan. di lain pihak, mep dan met tidak transparan, masing-masing memberikan transmitansi sebesar 44% dan 47% pada panjang gelombang 440 nm. gambar 5 menampilkan foto sampel dmea, mep, dan met. gambar tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa dua ester balik yang terbuat dari asam lemak berwarna kuning kecokelatan, sementara dmea bening. semua dmea yang dihasilkan berwujud cair pada kondisi ruang, memiliki berat jenis pada rentang 1,159-1,168 g/cm 3 dan indeks bias pada rentang 1,498-1,500. gambar 5. foto sampel ester balik kadar sulfhidril tabel 3 menyajikan kadar sulfhidril berikut hasil uji komparatif yang diperoleh. seluruh variasi menghasilkan produk dengan kadar sulfhidril yang lebih kecil dari kadar sulfhidril dmea murni (24,82%). kadar sulfhidril maksimum yang dapat dicapai adalah 24,30%. hal ini membuktikan kembali bahwa reaksi samping, yakni pembentukan ester-s, hasil pertemuan antara gugus sulfhidril dan hidroksil, tidak dapat dihindari. akan tetapi, perbedaan kadar sulfhidril hasil sintesis terhadap kadar sulfhidril teoritis yang cukup kecil membuktikan bahwa kontribusi reaksi pembentukan ester-s tidak berarti. hal yang sama ditemukan dalam reaksi antara merkaptoetanol dan asam metakrilat (knezevic dkk., 2005). uji komparatif menunjukkan bahwa entrainer dan volume reaktor mempengaruhi kadar sulfhidril, sedangkan ekses merkaptoetanol tidak berpengaruh. dengan kata lain, kesetimbangan telah bergeser ke arah produk walaupun dengan ekses merkaptoetanol yang kecil. hal ini terjadi karena pergeseran kesetimbangan tidak semata-mata oleh ekses merkaptoetanol tetapi juga dibantu penyingkiran air. air yang terbentuk sebagai produk samping menguap bersama entrainer dan terjebak dalam penampung kondensat. dengan demikian, air praktis tidak ada selama reaksi. hal ini menyebabkan reaksi kesetimbangan bergeser terus ke arah produk walaupun dengan ekses merkaptoetanol yang kecil sehingga peningkatan ekses merkaptoetanol selanjutnya menjadi tidak berpengaruh. volume reaktor 5 l menghasilkan produk dengan kadar sulfhidril lebih kecil dibandingkan dengan volume 1 l. hal ini berkaitan dengan kesempurnaan pengadukan selama reaksi. untuk reaksi dengan reaktor 1 l, campuran reaksi dapat diaduk hingga homogen. akan tetapi, untuk reaksi dalam reaktor 5 l, bagian-bagian yang jauh dari pengaduk (batang magnet) kurang homogen. oleh karena itu, dapat diterima jika kadar sulfhidril untuk reaksi dalam reaktor 5 l (berbasis 500 g asam adipat) sedikit lebih kecil dibandingkan dengan dalam reaktor 1 l (berbasis 100 g asam adipat). dengan demikian, untuk praktik dalam skala besar, selama campuran reaksi dapat diaduk dengan sempurna (menggunakan rangkaian motor-impeler), kadar sulfhidril dipastikan mendekati nilai maksimum (teoritik). pengaruh entrainer terhadap kadar sulfhidril dapat dijelaskan dari perbedaan azeotrop entrainer-air. azeotrop n-heksana-air dan sikloheksana-air memiliki titik didih dan kadar air yang berbeda. azeotrop nheksana-air mengandung 8,4%-b air dengan temperatur didih 61,6°c sedangkan azeotrop sikloheksana-air mengandung 5,6%-b air dengan temperatur didih 69,5°c (gould, 1973). perbedaan temperatur azeotrop tersebut menghasilkan perbedaan temperatur reaksi di dalam reaktor karena reaksi berlangsung pada titik didih campuran di dalam reaktor. semakin tinggi temperatur azeotrop, semakin tinggi pula temperatur reaksi. di lain pihak, perbedaan kadar air azeotrop mengakibatkan perbedaan kemampuan menyingkirkan air dari dalam campuran reaksi. semakin besar kadar air azeotrop, semakin besar kemampuan entrainer dalam dmea mep met i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 90 menyingkirkan air. gambar 6 menyajikan volume fase akuatik dalam penampung kondensat pada berbagai waktu untuk n-heksana dan sikloheksana sebagai entrainer. sikloheksana dengan kadar air azeotrop 1,5 kali kadar air azeotrop n-heksana menghasilkan lebih banyak fase akuatik dibandingkan dengan n-heksana dalam waktu yang sama. sebagai akibatnya, pencapaian kondisi tunak (steady) dengan sikloheksana sebagai entrainer lebih cepat dibandingkan dengan n-heksana. dengan sikloheksana, volume kondensat praktis tetap mulai menit ke-300. sementara dengan n-heksana, volume kondensat masih bertambah setelah 300 menit reaksi. gambar 6. volume kondensat akuatik pada berbagai waktu. gambar 7 menyajikan temperatur reaksi pada berbagai waktu untuk n-heksana dan sikloheksana sebagai entrainer, terhitung sejak campuran mendidih. kurva dalam gambar tersebut menampilkan dengan jelas bahwa entrainer sikloheksana menghasilkan temperatur reaksi lebih tinggi dibandingkan dengan entrainer n-heksana. temperatur reaksi yang lebih tinggi menghasilkan laju reaksi yang lebih besar. akan tetapi, temperatur yang lebih besar meningkatkan laju reaksi samping, pembentukan ester-s. tabel 3. uji komparatif kadar sulfhidril pada variasi entrainer, ekses merkaptoetanol, dan volume reaktor. entrainer sh(%) ekses(%) sh(%) vol(l) sh(%) nhx (1) 24,11 20 (1) 24,11 1 (1) 24,11 nhx (2) 24,17 20 (2) 24,17 1 (2) 24,17 shx (1) 23,44 40 (1) 24,20 5 (1) 23,81 shx (2) 23,30 40 (2) 24,30 5 (2) 23,83 thitung = 10,11 thitung = 1,89 thitung = 10,12 p = 0,01 p = 0,20 p = 0,01 ho = ditolak ho = diterima ho = ditolak hal ini menyebabkan entrainer sikloheksana menghasilkan kadar sulfhidril lebih kecil dibandingkan dengan n-heksana. sebagaimana disampaikan dalam literatur, kadar pengotor dalam produk hasil sintesis ester balik sangat dipengaruhi temperatur. semakin tinggi temperatur, semakin besar kadar pengotor. untuk sintesis ester balik dari distilat asam lemak sawit, reaksi ditemukan berlangsung optimum pada 70°c (putrawan dkk., 2018). wang dkk. (2012) menemukan temperatur optimum pada rentang 75-80°c untuk asam oleat sebagai reaktan. gambar 7. temperatur campuran reaksi pada berbagai waktu. pengolahan data untuk variasi entrainer di tabel 3 menunjukkan bahwa n-heksana dan sikloheksana menghasilkan kadar sulfhidril (dalam %-berat) masing-masing pada selang keyakinan 24,14±0,38 dan 23,37±0,89. secara rata-rata, kadar sulfhidril dalam produk dengan menggunakan sikloheksana sebagai entrainer 0,77% lebih kecil dibandingkan dengan n-heksana sebagai entrainer. walaupun dari sisi statistik perbedaan tersebut berarti, sikloheksana menjadi lebih menarik jika ditinjau dari sisi kesehatan. walaupun n-heksana tidak dikategorikan karsinogen seperti benzena, n-heksana masih termasuk pelarut beracun, dikenal sebagai peracun syaraf yang kronis (joshi dan adhikari, 2019; spencer dan schaumburg, 1985; wang dkk., 2017b). sehubungan dengan hal ini, sikloheksana dipandang lebih baik dibandingkan dengan n-heksana. perolehan tabel 4 menyajikan data perolehan produk berikut hasil uji komparatif yang diperoleh. perolehan dinyatakan sebagai jumlah sulfhidril dalam produk dibagi dengan jumlah sulfhidril maksimum yang dapat diperoleh secara teoritik (reaksi berlangsung stoikiometri). hal ini dilakukan mengingat gugus sulfhidril bersama atom timah berperan dalam i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 91 menyetabilkan struktur pvc sehingga tidak mudah terdegradasi oleh panas. uji komparatif menunjukkan bahwa hipotesis nol diterima untuk ketiga faktor yang dikaji. salah satu faktor yang menyebabkan selisih perolehan tidak berarti adalah simpangan baku yang cukup besar, berada pada rentang 1,3%-5,2%. tabel 4. uji komparatif perolehan pada variasi entrainer, ekses merkaptoetanol, dan volume reaktor. entrainer y(%) ekses(%) y(%) vol(l) y(%) nhx (1) 89,4 20 (1) 89,4 1 (1) 89,4 nhx (2) 85,6 20 (2) 85,6 1 (2) 85,6 shx (1) 83,9 40 (1) 83,7 5 (1) 90,3 shx (2) 86,4 40 (2) 91,1 5 (2) 92,1 thitung = 1,05 thitung = 0,04 thitung = 1,74 p = 0,40 p = 0,98 p = 0,22 ho = diterima ho = diterima ho = diterima keterangan: ho:hipotesis nol dua arah; thitung:kebalikan distribusi t dua arah (perhitungan); tkritik: kebalikan distribusi t dua arah (tabel); nhx: n-heksana, p: peluang statistik uji (-); sh: kadar sulfhidril (%); shx: sikloheksana; t: transparansi (%); y: perolehan (%); (1): tempuhan 1; (2): tempuhan 2. galat yang berarti antara lain terjadi pada saat pencucian dan pemindahan produk dari satu alat ke alat lainnya. akan tetapi, perolehan produk secara keseluruhan cukup besar, berada pada rentang 83,7%92,1%. hal ini akan meningkatkan peluang keekonomian sintesis stabiliser termal timah organik ester balik dari asam adipat. kesimpulan sintesis dimerkaptoetil adipat sebagai bahan baku stabiliser termal polivinil klorida telah dibandingkan pada dua nilai ekses merkaptoetanol dan dua volume reaktor dengan menggunakan nheksana dan sikloheksana sebagai entrainer untuk menyingkirkan air sebagai produk samping. produk yang diperoleh berwujud cair pada kondisi ruang, memiliki transparansi pada rentang 95%-99% dan kadar sulfhidril pada rentang 23,3%-24,3%, dengan perolehan pada rentang 83,7%-92,1%. transparansi, kadar sulfhidril, dan perolehan produk tidak berbeda secara berarti pada 20% dan 40%-mol ekses merkaptoetanol. kadar sulfhidril yang diperoleh melalui reaksi dengan volume reaktor 1 l dan 5 l ditemukan berbeda secara berarti, akan tetapi transparansi dan perolehan produk tidak berbeda. baik n-heksana dan sikloheksana dapat dijadikan entrainer alternatif terhadap benzena untuk menyingkirkan air sebagai produk samping dalam sintesis dimerkaptoetil adipat. kedua entrainer menghasilkan transparansi dan perolehan produk yang tidak berbeda secara berarti. n-heksana menghasilkan produk dengan kadar sulfhidril 0,77% lebih tinggi dibandingkan sikloheksana. walaupun demikian, dengan tambahan pertimbangan dari sisi kesehatan, sikloheksana menjadi alternatif entrainer yang lebih baik. daftar pustaka anders, u., 2012. global pvc stabilizer trends for pipes – challenges and practical experience, plastic pipes xvi conf., 1–6. asawakosinchai, a., jubsilp, c., mora, p., and rimdusit, s., 2017. organic heat stabilizers for polyvinyl chloride (pvc): a synergistic behavior of eugenol and uracil derivative, j. mater. eng. perform., 26(10), 4781–4788. bahls, m., mieden, o., mühlschlegel, k., riedmiller, f., and vogel, e., 2019. polyvinyl chloride (pvc), kunststoffe int., 26–29. chevron phillips, 2016. safety data sheet: benzene, san ramon, california: chevron phillips chemical company, 1-14. falzone, l., marconi, a., loreto, c., franco, s., spandidos, d.a., and libra, m., 2016. occupational exposure to carcinogens: benzene, pesticides and fibers, mol. med. rep., 14(5), 4467–4474. folarin, o.m., and sadiku, e.r., 2011. thermal stabilizers for poly(vinyl chloride): a review, int. j. phys. sci., 6(18), 4323–4330. fransina, e.g., sutapa, i.w., dan hehanussa, s., 2013. pengolahan lemak sapi menjadi biodisel dengan katalis naoh dalam metanol, indo. j. chem. res., 1(1), 23–27. gould, r.f., 1973. advances in chemistry series: azeotropic data—iii, washington: american chem. soc., 29-31. joshi, d.r., and adhikari, n., 2019. an overview on common organic solvents and their toxicity, j. pharm. res. int., 28(3),1–18. khoryani, z., seyfi, j., and nekoei, m., 2018. investigating the effects of polymer molecular weight and non-solvent content on the phase separation, surface morphology and hydrophobicity of polyvinyl chloride films, appl. surf. sci., 428, 933–940. knezevic, m., katsikas, l., and popovic, i., 2005. the synthesis and characterization of 2mercaptoethyl methacrylate, hem. ind., 59(11– 12), 321–323. leistner, w.e., and hecker, a.c., 1959. stabilized polyvinyl chloride resins, us patent 2883363, 1–3. i dewa gede arsa putrawan dkk., indo. j. chem. res., 8(2), 84-92, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dwp 92 liu, j.p., shang, h.z., song, x., yuan, w., and zhou, s.m., 2012. evaluation of the thermal stabilization effect of the bis (mercaptoethanol oleate) dimethyl tin on polyvinyl chloride, adv. mater. res., 581–582, 81–84. michell, e.w.j., 1986. true stabilization: a mechanism for the behavior of lead compounds and other primary stabilizers against pvc thermal dehydrochlorination, j. vinyl addit. technol., 8(2), 55–65. montgomery, d.c., 2012. design and analysis of experiments, 8 th edition, hoboken, new jersey: john wiley & sons, 21-46. musta, r., haetami, a., dan salmawati, m., 2017. transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol, indo. j. chem. res., 4(2), 394–401. national academy of sciences, 2013. acute exposure guideline levels for selected airborne chemicals, washington: national academies press, 66-114. putrawan, i.d.g.a., azharuddin, a., arum, k.r., adityawarman, d., and rahim, d.a., 2018. synthesis of mercapto ethyl ester of palm fatty acid distillate, matec web conf. 156, 06010.1-06010.7. putrawan, i.d.g.a.p., azharuddin, a., adityawarman, d., dan rahim, d.a., 2019a. sintesis merkaptoetil karboksilat sebagai bahan baku stabiliser termal polivinil klorida: variasi sumber asam lemak, jtki., 18(2), 47–52. putrawan, i.d.g.a.p., bestari, d.k., dan wicaksana, c.a., 2016. sintesis merkaptoetil ester dari asam lemak minyak dedak padi, seminar teknik kimia universitas katolik parahyangan, c2.1-c2.6. putrawan, i.d.g.a.p., rahim, d.a., wakana, s.r., and sitompul, a.p.a., 2019b. synthesis of mercaptoethyl ester of palm fatty acid distillate: comparison of dehydration methods, soehadi reksowardojo inter. sem. on chem. eng., bcp16.1-bcp16.6. rachim, st.a.g., raya, i., dan zakir, m., 2017. modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas, indo. j. chem. res., 5(1), 47–52. ryberg, m.w., laurent, a., and hauschild, m., 2018. mapping of global plastics value chain and plastics losses to the environment, nairobi, kenya: united nations environment programme, 1-99. shnawa, h.a., 2017. thermal stabilization of polyvinyl chloride with traditional and naturally derived antioxidant and thermal stabilizer synthesized from tannins, j. therm. anal. calorim., 129(2), 789–799. sonnet, p.e., and moore, g.g., 1989. thiol esters of 2-mercaptoethanol and 3-mercapto-1,2propanediol, lipids, 24(8), 743–745. spencer, p.s., and schaumburg, h.h., 1985. organic solvent neurotoxicity: facts and research needs, scand. j. work. environ. health, 11, 53– 60. wang, a., li, j., li, j., zhong, x., and long, s., 2012. study on synthesis technology of mercaptoethyl oleate, chin. plast. addit., 9(1), 34–37. wang, m., song, x., jiang, j., xia, j., li, s., and li, m., 2017a. excellent hydroxyl and nitrogen rich groups-containing tung-oil-based ca/zn and polyol stabilizers for enhanced thermal stability of pvc, thermochim. acta, 658, 84–92. wang, s., li, m., wang, x., li, x., yin, h., jiang, l., han, w., irving, g., zeng, t., and xie, k., 2017b. diallyl trisulfide attenuated n-hexane induced neurotoxicity in rats by modulating p450 enzymes, chem. biol. interact., 265, 1–7. wypych, g., 2015. principles of thermal degradation, pvc degrad. stab., 79–165. yu, j., sun, l., ma, c., qiao, y., and yao, h., 2016. thermal degradation of pvc: a review, waste manag., 48, 300–314. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 125 multi soil layering method for wastewater treatment: a review aster rahayu 1 *, irwan mulyadi 1 , joni aldilla fajri 2 , siti jamilatun 1 , nuraini 1 , nurul wulandari 1 , yuni marlena 1 , devi yogi noviana ningsih 1 , lee wah lim 3 1 department of chemical engineering department, faculty of industrial technology, universitas ahmad dahlan, jl. ringroad selatan, tamanan, banguntapan, bantul, d. i. yogyakarta, indonesia 2 department of environmental engineering, faculty of civil and planning engineering universitas islam indonesia, jl. kaliurang km 14,5, sleman, yogyakarta, indonesia 3 department of biomolecular science, faculty of engineering, gifu university, yanagido 1-1, gifu, japan * corresponding author: aster.rahayu@che.uad.ac.id received: july 2022 received in revised: august 2022 accepted: september 2022 available online: september 2022 abstract liquid waste is the main source of contamination of water bodies, especially river water. this pollution causes decreased water quality in water bodies. one of the wastewater treatment treatments is the multi soil layering (msl) method. some of the advantages of using the msl method are that it is known to be cheap in terms of cost, easy to implement, does not require complicated maintenance so that it can be used continuously, and is also environmentally friendly. one of the constituent materials of the msl reactor is andesol soil, gravel, and pearlite. msl has two wastewater treatment zones, the aerobic zone, and the anaerobic zone. the article review aims to compare the efficiency of reducing the levels of pollutant parameters from aerobic and anaerobic processes in mslmethod in wastewater. keywords: aerobic, anaerobic, multi soil layering, wastewater treatment, msl. introduction the multi soil layering (msl) method is a wastewater treatment method that utilizes the ability of the soil as the main medium to reduce pollutant parameters and how to maximize the function of the soil, which is formed into a structure made in a construction consisting of a mixture of soil (organic) and rock composition. shaped like the arrangement of bricks. the composition of the soil mixture is usually made of selected soil, carbon, and others as well as for rock layers composed of additional materials such as rice husks, sawdust, zeolite, pearlite, gravel, and depending on the type of rock available (latrach et al., 2016; putra et al., 2019; putra et al., 2018). in principle, the msl method has the main treatment zones, namely the aerobic and anaerobic zones. the aerobic zone usually consists of rock (zeolite, gravel, pearlite) while the anaerobic zone usually consists of a mixed layer of soil and activated carbon (charcoal) (adindaet al., 2015; akhyar et al., 2016; latrach et al., 2014; mutia et al., 2015). multi soil layering (msl) is a method of treating wastewater that is effective and efficient, easy, and inexpensive without having to incur expensive costs (an et al., 2016; latrach et al., 2014). currently, the msl method has been widely used as an alternative in wastewater treatment which has been proven to be effective in treating domestic wastewater and small industries (hadrah et al., 2019; sy et al., 2017; (kasman et al., 2021). one example of domestic wastewater that contain of several pollutant such as no3 , treated with the msl method is wastewater from the rest of household activities. the rest of household activities pollute the community environment through substances contained in wastewater which is very dangerous if not handled properly, in addition to household wastewater there is also wastewater from small home industries such as the laundry industry, industrial home batik, coconut industry, screen printing industry. aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 126 similarly, industrial wastewater such as leather and weaving industry, containing some harmful pollutants that necessary to be treated. especially with adsorption method. leather industry that hold some amount of coppers must be removed before spreading the undesirable effect to the environment (maryudi et al., 2021). from previous studies, the msl method has succeeded in reducing levels of biological pollutant parameters such as bod, cod, tss, do, ph, odor, and turbidity as well as heavy metal pollutant parameters such as fe, mn, and phosphate (male, et al., 2020; putri et al., 2019). in numerous of studies, domestic wastewater can reduce bod around 68.67-87.63%, cod around 71.42-87.73%, and tss around 69.11-77.12% the cooking oil industry, it can reduce bod levels around 86-99%, cod around 71-96%, tss around 77-88%, and ph around 6.95-7.24 (sbahi et al., 2020). the article review aims to compare the efficiency of reducing levels of pollutant parameters from aerobic and anaerobic processes in the msl method in wastewater. multi soil layering multi soil layering (msl) is a method used in the wastewater treatment process. the wastewater treatment process using this method is known to be inexpensive in terms of cost, easy to implement, does not require complicated maintenance so that it can be used continuously, and is also environmentally friendly. in addition, the materials used in the msl reactor are widely available and easy to find in indonesia because the materials used can be obtained in nature and the environment around coconut charcoal, zeolite, rice husks, sawdust, activated charcoal from various organic materials, and coatings. anaerobic soil consists of andesol originating from the mountains, while pearlite and gravel are the aerobic layers (fajri et al., 2018) in wastewater treatment using the msl method, the soil is used as the main medium to reduce pollutant parameters and enhance soil function through its structure (haribowo et al., 2019; lamzouri et al., 2016; mutia et al., 2015; song et al., 2018). msl method formed to become a reactor consisting of a mixed layer of soil and rock layers arranged like bricks. the composite layer of soil consists of organic matter, carbon elements found in charcoal, and other additives such as iron filings. commonly used mixed layers such as pearlite, gravel, and zeolite also depend on the type of rock contained in the composition of the bricks. zeolite or perlite which contains silica group could support better performance during the adsorption process (hanum et al, 2022; rahayu, 2022; rahayu et al., 2021). the effective use period for the msl system for waste treatment is 12.8 years (ihsan et al., 2013). (nadhirah et al., 2021). based on the principle of the msl method, there are two zones used in processing, namely the aerobic zone contained in the rock layer (perlite, gravel, and zeolite also depending on the type of rock present) and between the zeolite layer and soil mixture blocks. the function of the aerobic zone is to decompose organic matter, bind phosphate, oxidize ferrous ions to ferric ions, and nitrify. the mixed soil layer is in the anaerobic area. using msl, the wastewater treatment process consists of decomposition, filtration, fixation, nitrification, denitrification, absorption, and adsorption (adindael al., 2015; herman et al., 2017). numerous pieces of researches related to wastewater treatment using the msl which uses many compositions from the reactor-making material and lots of samples have been tested. some parameters investigated from all research parameters that are often sought are cod, bod, tss, ph, turbidity, odor, color, ammonia, nitrate, nitrite, potassium phosphate and metals such as mn, pb, hg, and fe. table 1 shows the composition of msl. aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 127 table 1. multi soil layering (msl) composition no composition waste type aerobic/anaerobic msl conditions success ref 1 coconutshell activated charcoal,perlite,gravel, rice husk, and andasol soil. (with variations of hlr 5,10,20,40 ml/min) coconut industrial waste water aerobes and anaerobes bod (35.68-20.13 and 13.53-33.01) cod (20.13-84.62 and 69.23-88.62) turbidity (84.76-97.99 and 88.35-98.66) e.coli (99.25-99.92 and 25-99.92) (putra et al., 2018) 2 coconut shell activated charcoal, perlite, gravel, rice husk, and andasol soil.(with variations of hlr 5, 10, 20, 40 ml/min ) coconut milk liquid waste aerobes and anaerobes phosphate (99.28 99.80 and 99.82-99.87) nitrite (68.06-76.39 and 67.36-74.31) sulfate (96.97-97.48 and 86.56-97.30) chloride (75.4485.51 and 82.99-88.66) manganese (mn) (79.44 94.39and49.77-80.61) iron(fe) (92.11-97.50 and 94.41-98.82) (putra et al., 2019) 3 crushedstone, perlite, andasol soil, gravel, banana peel charcoaland coconut shell charcoal (variation hlr 500,700,900 l/m 2 /day) district peat water tapung kampar regency anaerobic mn metal (36.6555.83) turbidity (63.8661.45) ph (6.51-6.82) (adinda et al., 2015) 4 msl a reactor ( andasol soil, zeolite and quartz sand) msl b reactor ( andasol soil, isthmus and pumice stone) sasirangan industrial liquid waste bod (63.89%) cod (65.6%) (akhyar et al., 2016) 5 gravel, pearlite, ground activated charcoal of kalapa shell and activated charcoal of banana peel. reactor 1 msl : anaerobic layer of coconut shell activated charcoal and soil reactor 2 msl : anaerobic layer of activated charcoal banana peel and soil (variation of hlr 500, 750, and 1000 l/m 2/ day) palm oil effluent in anaerobic pond ii (outlet) wwtp pt. nusantara v sei pagar plantation, riau. anaerobic tss (coconut)= (79.77-88.76) ammonia (coconut) = (39.85-56.52) tss (banana) = (73.03-79.77) (mutia et al., 2015) 6 msl1 reactor :zeolite layer and gravel and gravel mixed with zeolite msl2 reactor :(soil mixture layer (coconut shell activated charcoal and andasol soil) + (paddy straw activated waste in the wwtp in rt.04 rw.07 tlogomas village. ph (4.25-5.77) tss (58.42-71.05) tds (18.05-31.84) do (75.06-81.88) turbidity (72.9176.69) electrical (megah et al., 2016) aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 128 charcoal and andasol soil) + ( sawdust and andasol soil) (coconut shell and andasol soil layers are more efficient) conductivity (16.4931.77) 7 crushed stone, gravel/zeolite, soil mixture, and plastic nets (with variations of hrl 500,750, and 1000 l/m 2 /day) (more efficient eg with the addition of zeolite is better than without zeolite) laundry liquid waste cod (74-87) bod (75-88) tss (73-88) total phosphate (2078) ph (6.73) mba (85-95) (hadrah et al., 2019) 8 reactor 1 msl : gravel and charcoal, mixed layer of andisol soil, and crushed stone. reactor 2 msl : sawdust and gravel, mixed layer of andisol and crushed stone. domestic wastewater from cafeteria and kitchen at kasetsart university, bangkok anaerobic oils and fats (27,77889,474) (sy et al., 2017) 9 a mixture of andosol soil, zeolite rock, gravel, rice husk, coconut shell charcoal, and sawdust. (most effective with sawdust in lowering heavy metal indicators) dug well water and river or ditch water in teluk nilap village, kubu babussalam, rokan hilir ph (50) cod (31.16) bod (73.16) metal hg (70.75) metal pb (26.74) metal fe (46.94) (putri et al., 2019) 10 reactor msl 1: a layer of gravel mixed with activated charcoal with soil msl 2 reactor: layer of gravel and sawdust with soil, rice field liquid waste anaerobic potassium (19,443 100) (ihsan et al., 2013) 11 andesole soil and charcoal hotel liquid waste anaerobic cod (55-90) ( elystia, et al., 2012) 12 andisol soil, bagasse activated charcoal powder and fine bagasse powder tofu industrial liquid waste aerobic tss (86.86) bod (78.87) cod (89.75) (dessy et al., 2019) 13 ijuk, iron, sawdust, activated charcoal that has been sifted with a size of 50 mesh and volcanic soil (variation of hlr 250, 500, 1000 l/m 2 /day) polluted water in mount nago irrigation area of pasar baru, cupak tangah village, pauh ix district, padang. anaerobic ph (8) cod (97.21)-99.59) bod (98.84-99.73) po4 (>0.03 ppm) nh4 + (<0.2 ppm) (herman et al., 2017) 14 zeolite, gravel sand, porous synthetic cod (98.29) (hong et aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 129 plate and outlet pipe, soil, charcoal and iron powder. waste in rural china tp (100) nh4 + (76.60) al., 2019) 15 mixture of soil, crushed stone and zolite leachate liquid waste cod (96.771%) ammonia (99.966%) fe (99.279%) color (96.53%) ph 7.00 (lamzouri et al., 2016) 16 gravel, zeolite, a mixture of soil and coconut shell charcoal ethanol industrial liquid waste cod (80.85) bod (94.68) tss (83.99) (irmanto et al., 2013) 17 crushed stone, river pebbles, mixed soil and gravel leachate liquid waste cod (53.457) ammonia (98,325) fe (88.5) ph 7.00 (kasman et al., 2021) 18 sand, gravel, humus soil, coconut charcoal. ( innovation with sand with hlr 0.3 ; 0.6 ; 0.9 and 1.2 l/m 2 /hour) liquid waste (wwtp) the last pool of the cpo industry cod (89.06-97.47) bod (88.61-98.37) ph (6.72-7.36) oil and fat content (88.27 -95.48) (sidebang et al., 2017) 19 volcanic soil, rice husk, coconut shell activated charcoal, zeolite, iron powder. (variation of water rate (hlr) 10, 20, 40, 80 ml/m 2 /min) the sample came from the well water of a resident in jati, padang. aerobes and anaerobes turbidity (54.65 and 44.04) mn (66.44 and 47.26) nitrite (58.74 and 49.74) nitrates (58.34 and 45.57) ph (77 and 73) odor (no smell (song et al., 2020) 20 sawdust, andisol soil, coarse gravel and fine gravel, and fine charcoal from coconut shells. cooking oil industry liquid waste bod (98) cod (96) tss (88) (swesty et al., 2019) 21 silica sand, coconut husk, activated carbon, ginger coral, water hyacinth, fine zeolite, soil, coarse zeolite, gravel, and dacron batik liquid waste in binangun village, banyumas district, banyumas regency. ph (7.94) chromium (29.41) turbidity (low) odor (low) (wibowo et al., 2019) table 1 shows that it can be seen that the percentage value for almost all parameters is close to perfect. for example, the cod results of 99.59% in the mount nago irrigation water sample in the pasar baru area, cupak tengah village, pauh ix district, padang. the composition of the msl reactor is palm fiber, iron, sawdust, activated charcoal that has been sifted with a size of 50 mesh, and volcanic soil with variations in hlr or flow rate of 250,500,1000 l/m2/day with anaerobic process conditions (hadrah et al., 2019). aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 130 organic pollutant compound the bod result was 98.8% in the mount nago irrigation water sample in the pasar baru area, cupak tengah village, pauh ix district, padang. the composition of the msl reactor is palm fiber, iron, sawdust, activated charcoal that has been sifted with a size of 50 mesh and volcanic soil and with variations in hlr or flow rate of 250,500,1000 l/m 2 /day with anaerobic process conditions (hadrah et al., 2019). the tss results were 79.77% with banana peel activated carbon and 88.76% with coconut shell activated carbon in the sample of palm oil liquid waste in the anaerobic pond ii (outlet) of wastewater treatment plant pt. nusantara v sei pagar plantation, riau. with the composition of gravel, pearlite, soil activated charcoal of kalapa shell and activated charcoal of banana peel, in this research there are two innovations, namely by making two reactors with activated carbon of banana peel and activated carbon of coconut shell where the reactor with the composition of activated charcoal of coconut shell is more effective, with hlr 500, 750, and 1000 l/m 2 /day under anaerobic conditions (megah et al., 2016). the yield of fe metal is 99% and 99, 27% in samples of coconut milk liquid waste and leachate liquid waste with reactor compositions coconut shell activated charcoal, pearlite, gravel, rice husks, and andasol soil and a mixture of soil, crushed stone and zeolite with an anaerobic process (komala et al., 2012; mutia, et al., 2015). manganese yield was 94.39% in coconut milk liquid waste samples with reactor compositions of coconut shell activated charcoal, pearlite, gravel, rice husks, and andasol soil and with variations in hlr or flow rates of 5, 10, 20, 40, ml/m 2 /minute with aerobic processes (mutia et al., 2015). it can be seen that the msl method can be used to treat industrial, household, and other wastewater. with many reactor composition innovations that are easy to find around us. the parameters that have been tested, each shows the level of success. some samples that have been tested show msl conditions, some are aerobic, and some are anaerobic, some have two states at once. however, in msl conditions, this dramatically affects the success rate. in addition to aerobic and anaerobic process conditions, variations in the hydraulic loading rate (hlr) are also very influential on the success of the multi soil layering method. there is still very little explanation of this condition in aerobic conditions because the aerobic process is less efficient for use in wastewater at high pollutant levels above 3000 mg/l. aerobic aerobic is a biological waste treatment that uses oxygen as a processing process. in the anaerobic process, the wastewater treatment process is carried out biologically; in the process, micro-organisms or bacteria are used to decompose certain pollutant compounds in a biological reactor (fajri et al., 2018; harimu et al., 2020). conditions are created to adjust the growth of micro-organisms or bacteria to be used. based on the oxygen present in the heterotrophic bacteria environment, heterotrophic bacteria are therefore divided into two types, namely: firstly, absolute aerobic bacteria: i.e. bacteria that, if there is no oxygen in the environment, can not live. secondly, aerobic, facultative bacteria: bacteria that can grow even without oxygen, but if there is oxygen in their environment, they will show faster growth. factors that can affect the wastewater treatment process using aerobic such as hydrocarbon, oxygen, the composition of microorganisms, ph, temperature, and nutrients (dewi, 2022; fajri et al., 2021). aerobic bacteria used in wastewater treatment processes contain organic pollutants and other chemical compounds such as sulfides and ammonia. in this process, these compounds will be decomposed first to produce neutral and more environmentally friendly compounds. the aerobic decomposition process can be seen as follows: organic decomposition reaction: co2 + h2o + nh4 + biomas (1) oxygen (o2) heterotropic nitrification reaction: nh4 + + 1.5 o2 no2 + no2 + 2 h + + h2o (2) no2 + 0.5 o2 no3 (3) sulfur oxidation reaction: s 2 + 1 /2 o2 +2 h + s 0 + h2o (4) 2 s + 3 o2 + 2 h2 2 h2so4 (5) based on these chemical reactions, it can be seen that oxygen is very influential because oxygen is needed to decompose pollutants, and the amount of oxygen required is proportional to the amount of organic, sulfide and ammonia present in wastewater (hartaja, 2015). there are advantages in the aerobic process: the reaction is faster than the anaerobic process, and organic pollutants can be degraded to deficient concentrations. aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 131 not only has its advantages, the wastewater treatment process carried out aerobically also has several disadvantages (kasman et al., 2021). it takes much energy to supply oxygen to a wastewater treatment reactor, and the operating costs are high. during the process, the mud will appear so that it requires further handling and requires a relatively expensive cost. on the other hand, it process is less efficient when used in wastewater with high levels of pollutants or waste above 3000 mg/l. treating wastewater using an aerobic method, it can reduce the level of danger from the water with the success rate of each and the type of each waste with variations in the hlr in each process. the following is a table of the success rate of the aerobic process: table 2. the success rate of aerobic methods in wastewater treatment no waste type waste content level of success (%) ref 1 coconut milk industry liquid waste bod cod turbidity e. coli 35.68 20.13 20.13 84.62 84.76 97.99 99.25 99.92 (putra et al. 2018) 2 coconut industry liquid waste phosphate nitrite sulfate chloride manganese (mn) iron (fe) 99.28 99.80 68.06 76.39 96.97 97.48 75.44 85.51 79.44 94.39 92.11 97.50 (putra et al., 2019) 3 tofu industrial liquid waste tss bod cod 86.86 78.87 89.75 (dessy et al., 2019) 4 the sample came from the well water of a resident in jati, padang. turbidity mn nitrite nitrate ph smell 54.63 66.44 58.74 58.34 77 no smell (wibowo et al., 2019) table 2 shows that the highest bod value is 78.7 in the aerobic process, which tests samples of tofu industrial waste. factors that influence this process are hlr or water rate and reactor composition. at the highest cod value of 89.75, this parameter is also shown in the tofu industrial waste test. factors influencing this process are variations in hydraulic loading rate (hlr) or water rate and reactor composition. anaerobic anaerobic is a process that does not involve free oxygen as an oxidant. anaerobic processing is carried out using microorganisms. in wastewater treatment, the use of microorganisms has a relatively high content of organic matter, so it is very potential if developed. microorganisms can directly use wastewater as nutrients for growth. anaerobic microorganisms are sensitive to oxygen because they can inhibit growth (hartaja, 2015; koottatep et al., 2021). methane gas is obtained from an anaerobic process undergoing various stages. the anaerobic process produces single carbon compounds because almost all organic polymers can be decomposed into single carbon compounds. the construction of methane gas comes from acetic acid, h2, and co2. in addition, it can result from the conversion of formic acid and methanol (hartaja, 2015). ch3cooh ch4 + co2 acetic acid co2 + 4h2 ch4 + 2h2o hcooh 0.25 ch4 + 0.75 co2 + 0.5 h2o formic acid ch3oh 0.75 ch4 + 0.25 co2 + 0.5 h2o methanol the anaerobic process has several advantages including: energy saving, because the decomposition process of organic pollutants by microbes is carried out without using air, so energy is not needed to supply air as occurs in aerobic aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 132 processes (hartaja, 2015). produce biogas (methane gas). the final breakdown of pollutant products, methane gas, which can be used as gas fuel, can be used for power generators and also in steam generator boilers (hartaja, 2015). it can treat waste with high concentrations such as bod up to 80,000 mg/l (hartaja, 2015). in addition to advantages, the anaerobic wastewater treatment process has several disadvantages including slow pollutant decomposition reaction (komala et al., 2012). sensitive if exposed to air, temperature, and load fluctuations (komala et al., 2012). if treating low concentration waste is less effective, such as bod below 3,000 mg/l (komala et al., 2012). the development of biomass to be used it takes a long time in start-up (komala et al., 2012). in the anaerobic process, it is known that the pollutant reaction rate is fundamentally influenced by the number of bacteria. in addition, the degradation process will take place quickly if given the addition of nutrients such as nitrogen and phosphate compounds. the anaerobic process will be disrupted if there are chemicals such as cyanide compounds, sulfur, and heavy metals. the following is a table of the success rate of the anaerobic process. table 3. the success rate of anaerobic methods in wastewater treatment no waste type waste content level of success ref. 1 peat water treatment ph mn . metal turbidity 6.51-6.82 36,6555,83 63.86-61.45 (adinda et al., 2015) 2 coconut industry liquid waste phosphate nitrite sulfate chloride manganese (mn) iron (fe) 99.82-99.87 67.36-74.31 86.56-97.30 82.99-88.66 49.77-80.61 94.41-98.82 (putra et al., 2019) 3 coconut milk industry liquid waste bod cod turbidity e. coli 13.53-33.01 69.23-88.62 88.35-98.66 25-99.92 (mutia et al., 2015) 4 palm oil liquid waste tss (coconut) tss (banana) ammonia (coconut) 79.77 – 88.76 73.03-79.77 39.85 – 56.52 (mutia et al., 2015) 5 domestic wastewater from cafeteria and kitchen at kasetsart university, bangkok oils and fats 27,778-89,474 (sy et al., 2017) 6 rice field liquid waste potassium 19,433 -100 (ihsan et al., 2013) 7 hotel liquid waste cod 55-90 (elystia et al., 2012) 8 polluted water in mount nago irrigation area of pasar baru, cupak tangah village, pauh ix district, padang. ph cod bod po4 nh4 + 8 97.21)-99.59 98.84-99.73 (>0.03 ppm <0.2ppm (herman et al., 2017) 9 the sample came from the well water of a resident in jati, padang. turbidity mn nitrite nitrate ph smell 44.04 47.26 49.74 45.57 73 no smell (song et al., 2020) aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 133 based on table 3, the anaerobic msl conditions have been tested with several different samples and waste content which includes potassium, tss (coconut), tss (banana), ammonia, bod, cod, turbidity, e. coli, phosphate, nitrite, sulfate, chloride, manganese (mn), iron (fe), turbidity, mn, nitrate, ph, odor, odorless, oil and fat, po4 , nh4 + and metal mn (latupeirissa, et al., 2014; nurhadini and silalahi, 2017; raksajati et al., 2020; rustiah et al., 2018). conclusion comparing aerobes and anaerobes in handling domestic waste using the msl process, it turns out that using anaerobes is superior to aerobics. aerobic processes are less efficient for use in wastewater at high pollutant levels above 3000 mg/l. at the same time, using this can reduce organic waste with high levels of up to 80,000 mg/l. in using anaerobes, there are several advantages, namely saving energy and producing biogas. besides being profitable, the anaerobic process also has a weakness. the reaction in reducing pollutants tends to be slower, sensitive to air, temperature fluctuations in the load, and less effective in treating waste with low levels below 3000mg/l. references adinda, t., & elystia, s. (2015). metoda multi soil layering dalam pengolahan air gambut dengan variasi hydraulic loading rate dan material organik pada lapisan anaerob. jurnal online mahasiswa (jom) bidang teknik dan sains, 2(1), 1-7. akhyar okviyoandra, antoni pardede, and r. r. a. a. k. w. (2016). penurunan bod dan cod pada limbah cair sasirangan menggunakan metoda multi soil layering (msl). media sains, 9(2), 162–166. aldilla fajri, j., fujisawa, t., trianda, y., ishiguro, y., cui, g., li, f., & yamada, t. (2018). effect of aeration rates on removals of organic carbon and nitrogen in small onsite wastewater treatment system (johkasou). matec web of conferences, 147. https://doi.org/10.1051/matecconf/20181470400 8 an, c. j., mcbean, e., huang, g. h., yao, y., zhang, p., chen, x. j., & li, y. p. (2016). multi-soillayering systems for wastewater treatment in small and remote communities. journal of environmental informatics, 27(2), 131–144. https://doi.org/10.3808/jei.201500328 elystia, s., amelia, d., indah, s., & helard, d. (2012). efficiency of multi soil layering (msl) method for removing cod from hotel wastewater. jurnal teknik lingkungan. 9 (2). dessy novela, i. d. (2019). penurunan cod, bod dan tss pada limbah cair industri tahu melalui sistem multy soil layering (msl) menggunakan arang karbon ampas tebu. journal of residu, 3(21), 8–14. dewi, v.m.i., ragmayanti, m., (2022). the interaction mechanism of papaya seeds (carica papaya l.) as a natural coagulant and remazol red under different ph conditions. indo. j. chem. res., 10(1), 14-18. fajri, j. a., wulandari, d., nurmiyanto, a., & rahayu, a. (2021). penurunan kandungan hidrokarbon menggunakan constructed wetland reactor dalam mengolah limbah minyak removal of hidrocarbon compounds using constructed wetland reactor to treat oily wastewater. open science and technology, 01(02), 246–256. hadrah, h., kasman, m., & septiani, k. t. (2019). analisis penurunan parameter pencemar limbah cair laundry dengan multi soil layering (msl). jurnal daur lingkungan, 2(1), 36. https://doi.org/10.33087/daurling.v2i1.22 hanum, farrah fadhillah; rahayu, a. (2022). studi pemanfaatan dan metode pemisahan silika dari coal fly ash a study for silika utilization and its separation method from. open science and technology, 02(01), 26-32. haribowo, r., megah, s., & rosita, w. (2019). efisiensi sistem multi soil layering pada pengolahan air limbah domestik pada daerah perkotaan padat penduduk. jurnal teknik pengairan, 10(1), 11-27. https://doi.org/10. 21776/ub.pengairan.2019.010.01.2 harimu, l., haetami, a., sari, c. p., haeruddin, h., & nurlansi, n. (2020). perbandingan kemampuan aerasi sembur (spray) dengan metode adsorpsi menggunakan adsorben serbuk kulit buah kakao untuk menurunkan kadar besi dan mangan pada air sumur gali. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.8-hrm hartaja, n. i. s. dan d. r. k. (2015). pengolahan air lindi dengan proses biofilter anaerob-aerob dan denitrifikasi. pusat teknologi lingkungan, bppt, 8(1), 1-20. herman, w., darmawan, d., & gusnidar, g. (2017). pemanfaatan tanah vulkanik dalam sistem multiple soil layering (msl) terhadap aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 134 pemurnian air irigasi terpolusi. jurnal bibiet, 2(2), 49-59. https://doi.org/10.22216/jbbt.v2i1. 3085 hong, y., huang, g., an, c., song, p., xin, x., chen, x., zhang, p., zhao, y., & zheng, r. (2019). enhanced nitrogen removal in the treatment of rural domestic sewage using vertical-flow multisoil-layering systems: experimental and modeling insights. journal of environmental management, 240(november 2018), 273-284. https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2019.03.097 ihsan, t., indah, s., & denny, h. (2013). penyisihan kalium dari limbah cair persawahan dengan metode multi soil layering (msl). jurnal teknik lingkungan, 10(2), 133-141. kasman, m., herawati, p., & hadrah, h. (2021). pengaruh hydraulic loading rate (hlr) terhadap pengolahan leachate dengan menggunakan metoda multi soil layering (msl). sustainable environmental and optimizing industry journal, 1(2), 1-8. https://doi.org/10.36441/seoi.v1i2.178 komala, p. s., helard, d., & delimas, d. (2012). identification of anaerobic dominant microbes in rubber industrial waste water treatment with multi soil layering (msl) system. jurnal teknik lingkungan unand, 9(1), 74-88. koottatep, t., pussayanavin, t., khamyai, s., & polprasert, c. (2021). performance of novel constructed wetlands for treating solar septic tank effluent. science of the total environment, 754(6). https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020. 142447 lamzouri, k., mahi, m., ouatar, s., bartali, e., masunaga, t., latrach, l., & mandi, l. (2016). application of multi-soil-layering technique for wastewater treatment in moroccan rural areas: study of tehe operation process for an engineering design. journal of materials and environmental science, 7(2), 579-585. latrach, l., masunaga, t., ouazzani, n., hejjaj, a., mahi, m., & mandi, l. (2014). removal of bacterial indicators and pathogens from domestic wastewater by the multi-soillayering (msl) system. soil science and plant nutrition, 61(2), 337-346. https://doi.org/10. 1080/00380768. 2014.974480 latrach, l., ouazzani, n., masunaga, t., hejjaj, a., bouhoum, k., mahi, m., & mandi, l. (2016). domestic wastewater disinfection by combined treatment using multi-soil-layering system and sand filters (msl-sf): a laboratory pilot study. ecological engineering, 91, 294-301. https://doi.org/10.1016/j.ecoleng.2016.02.036 latupeirissa, j., & fransina, e. g. (2014). the characterization of clays from latuhalat village activated using ammonium nitrate karakterisasi lempung asal desa latuhalat yang teraktivasi amonium nitrat, 1(2), 78–82. male, y.t., seumahu, c.a., malle, d. (2020). bioremediation of pb and cd metal from inner ambon bay sediment which contaminated with heavy metal using aspergillus niger. indo. j. chem. res., 7(2), 183-188. maryudi, m., rahayu, a., syauqi, r., & islami, m. k. (2021). teknologi pengolahan kandungan kromium dalam limbah penyamakan kulit menggunakan proses adsorpsi: review. jurnal teknik kimia dan lingkungan, 5(1), 90. https://doi.org/10.33795/jtkl.v5i1.207 mutia, r., elystia, s., & yenie, e. (2015). metode multi soil layering dalam penyisihan parameter tss limbah cair kelapa sawit dengan variasi hydraulic loading rate (hlr) dan material organik pada lapisan anaerob. jurnal online mahasiswa fakultas teknik universitas riau, 2(1), 1-6. putra, a., & fitri, w. e. (2018). efektivitas penurunan tss, bod, cod, dan e.coli limbah cair industri santan kelapa dengan metode msl (multi soil layering) yang dimodifikasi. seminar nasional pelestarian lingkungan (senpling) 2018, 209-217. putra, a., & fitri, w. e. (2019). efektivitas multi soil layering dalam mereduksi limbah cair industri kelapa. dalton : jurnal pendidikan kimia dan ilmu kimia, 2(2), 1-15. https://doi.org/10.31 602/dl.v2i2.2394 putri, v. d., & dyna, f. (2019). jurnal katalisator. standarisasi ganyong (canna edulis kerr) sebagai pangan alternatif pasien diabetes mellitus, 4(2), 111-118. rahayu, a., fadhillah hanum, f., aldilla fajri, j., dwi anggraini, w., & khasanah, u. (2021). review: pengolahan limbah cair industri dengan menggunakan silika a review: industrial liquid waste treatment using silica. open science and technology, 02(01), 2776169. https://opscitech.com/journal rahayu, a., lim, l. w., & takeuchi, t. (2015). preparation of a hybrid monolithic stationary phase with allylsulfonate for the rapid and simultaneous separation of cations in capillary ion chromatography. journal of separation science, 38(7), 1109-1116. https://doi.org/10. 1002/jssc.201401264 aster rahayu et al. indo. j. chem. res., 10(2), 125-135, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ast 135 raksajati, a., adhi, t., p., ariono, d. (2020). pengaruh tekanan dan tahap kompresi dalam pemurnian biogas menjadi biometana dengan absorpsi co2 menggunakan air bertekanan. indo. j.chem. res., 8(1), 1-5. rustiah, w., andriani, y. (2018). analisis serbuk biji kelor (moringa oleifera, lamk) dalam menurunkan kadar cod dan bod pada air limbah jasa laundry. indo. j.chem. res., 5(2), 96-100. sbahi, s., ouazzani, n., latrach, l., hejjaj, a., & mandi, l. (2020). predicting the concentration of total coliforms in treated rural domestic wastewater by multi-soil-layering (msl) technology using artificial neural networks. ecotoxicology and environmental safety, 204. https://doi.org/10.1016/j.ecoenv.2020.111118 sidebang, c. p., & syafnil. (2017). use of sand as a component of multi soil layering (msl) system to minimize liquid waste contaminant of crude palm oil (cpo). jurnal agro industri, 7(2), 115-124. nurhadini, n., and silalahi, i. (2017). adsorpsi hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium dengan adanya pb(ii), cu(ii) dan fe(ii). indo. j.chem. res., 5(1), 7-11. song, p., huang, g., an, c., shen, j., zhang, p., chen, x., shen, j., yao, y., zheng, r., & sun, c. (2018). treatment of rural domestic wastewater using multi-soil-layering systems: performance evaluation, factorial analysis and numerical modeling. science of the total environment, 644, 536-546. https://doi.org/10. 1016/j.scitotenv.2018.06.331 song, p., huang, g., hong, y., an, c., xin, x., & zhang, p. (2020). a biophysiological perspective on enhanced nitrate removal from decentralized domestic sewage using gravitational-flow multi-soil-layering systems. chemosphere, 240. https://doi.org/10. 1016/j.chemosphere.2019.124868 swesty, n., zein, r., & zilfa, z. (2019). penjernihan air sumur menuju air layak minum dengan metoda lapisan multi media ( lmm ). jurnal riset kimia, 10(1), 9-19. https://doi.org/10. 25077/jrk.v12i2.297 sy, s., muchtar, h., sofyan, & kasman, m. (2017). the effect of msl reactor influent flow rate on reduction of bod, cod, tss and oils/fats of edible oil industry wastewater. jurnal litbang industri, 7(1), 41-51. wibowo, d. n., wicaksono, r., & naufalin, r. (2019). application of multi soil layer type of batik liquid waste treatment units and phytoremediation on batik sme of binangun, banyumas. prosiding seminar nasional dan call for papers, 8, 19-20. ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 352-355 352 analysis of pyrene compounds at the marine algae eucheuma cottoni in bantaeng region coastal analisis senyawa piren pada alga laut eucheuma cottoni di perairan kabupaten bantaeng evana yuslimah yusuf *1 , nursiah la nafie 2 , seniwati dali 2 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, phone: 085255755731, eyuslimah@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract the compounds pyrene is one of the polycyclic aromatic hydrocarbons (hap) which is derived from petroleum. these compounds are carcinogenic and toxic for the marine biota. the purpose of this study to determine the levels of pyrene compounds in marine algae. in this research, analysis of pyrene compounds in marine algae eucheuma cottonii using the method of gc ms (gas chromatography mass spectrophotometry). sampling was conducted in the waters the bantaeng regency with a 6 point sampling different locations namely nipanipa, bakara, boroloe, tapaloe, baruga village and baruga. the results showed that the concentration of pyrene compounds found in marine algae eucheuma cottonii at 6 locations in waters the bantaeng regency has a concentration low enough pyrene compounds that is 0009-0063 ppm. this means that the concentration of pyrene was obtained below the threshold value determined by the decision of national of environmental ministry for the marine life. keywords: polycyclic aromatic hydrocarbons (pah), pyrene compounds, eucheuma cottonii pendahuluan kabupaten bantaeng sekarang ini menjadi kabupaten yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang sangat pesat. beberapa wilayah di sekitar pesisir sudah dijadikan sebagai kawasan industri dan kawasan ekonomi yang lainnya. perkembangan ini selain akan memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian daerah dan pendapatan masyarakat, juga tidak kalah pentingnya akan memberikan dampak buruk bagi wilayah perairan. dampak buruk itu bisa berupa pencemaran di perairan laut oleh limbah industri atau kegiatan antropogenik dan aktivitas bongkar muat kapal nelayan yang mengarah kepada peningkatan buangan kapal, terutama yang mengandung minyak sehingga minyak merupakan polutan yang memiliki potensi besar mencemari laut (yaqin, dkk., 2014). salah satu senyawa pencemar yang berasal dari tumpahan minyak di sekitar perairan laut adalah senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (hap). senyawa hap merupakan golongan senyawa organik yang memiliki dua atau lebih cincin aromatik yang dapat dihasilkan dari pembakaran yang tak sempurna (pirogenik) ataupun dari kegiatan perminyakan (petrogenik) dan harus mendapat perhatian karena bersifat karsinogen (haritash dan kaushik, 2009; diaz, dkk., 2014). senyawa ini dapat dijumpai di hampir seluruh kompartemen lingkungan, mulai udara, danau, lautan, tanah, sedimen dan biota. menurut maskaoui dkk., (2001) senyawa ini pada perairan laut ditemukan dalam bentuk minyak mengapung, emulsi dan fraksi terendap di dasar perairan serta dapat berinteraksi dengan partikel lain sehingga bersifat persisten terhadap lingkungan. pencemaran yang disebabkan senyawa hap telah menyebabkan penurunan populasi alga laut. kehadiran senyawa hap di lingkungan menjadi ancaman serius terhadap kesehatan manusia, karena umumnya senyawa hap bersifat toksik, karsinogenik dan mutagenik (seo, dkk., 2009). salah satu senyawa hap yang bersifat karsinogen yaitu senyawa piren. evana yuslimah yusuf, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 352-355 353 senyawa piren terdiri atas penggabungan empat cincin benzena dengan rumus kimia c16h10. senyawa ini berupa padatan kecil, tidak berwarna dan terbentuk selama pembakaran tidak sempurna dari senyawa organik. selain itu senyawa piren juga lebih sulit didegradasi, persisten di lingkungan, hidrofobik, lipofilik, serta berpotensi terakumulasi melalui rantai makanan sehingga membahayakan lingkungan dan komponen biotik (hilyard, dkk., 2008). senyawa piren biasa ditemukan sebagai polutan pada udara, air, dan tanah, bersifat karsinogenik dan berbahaya bagi kesehatan serta dapat meningkatkan resiko kanker kulit dan kerusakan paru-paru (sarbini, 2012). berdasarkan kepmen lh no.128 tahun 2003 senyawa piren dimasukkan sebagai salah satu daftar bahan pencemar dan badan perlindungan lingkungan amerika (epa) menetapkan senyawa piren sebagai salah satu zat sangat berbahaya dan beracun (febria, 2012). salah satu potensi biota laut yang dibudidayakan di perairan kabupaten bantaeng adalah alga laut yang berasal dari jenis rhodophyceae yaitu alga laut eucheuma cottonii. menurut penelitian alga laut eucheuma cottonii memiliki kandungan kimia karagenan dan senyawa fenol, terutama flavonoid. karagenan, senyawa polisakarida yang dihasilkan dari beberapa jenis alga merah memiliki sifat antimikroba, antiinflamasi, antipiretik, antikoagulan dan aktivitas biologis lainnya (iskandar, dkk., 2009). klasifikasi eucheuma cottonii menurut doty (1985): kingdom : plantae divisi : rhodophyta kelas : rhodophyceae ordo : gigartinales famili : solieracea genus : eucheuma spesies : eucheuma cottonii kirso dkk., (2010) telah melakukan penelitian tentang konsentrasi senyawa benzopiren (bap) dengan menggunakan berbagai jenis alga laut (phillophora, fucus vesiculosus, furcellaria lumbricalis, pilayella litoralis, ectocarpus confervoides, rhodomela confervoides, cladophora glomerata, enteromorpha intestinalis, dan ceramium tenuicorne) di laut baltik adalah berkisar 0,70 4,51 µg kg -1 berat kering. gambar 1. alga laut eucheuma cottonii kabupaten bantaeng, makassar. sifat senyawa piren yang lipofil menyebabkan senyawa ini cenderung teradsorbsi pada partikel-partikel organik maupun teradsorbsi dalam jaringan lipid biota yang hidup di sekitarnya (lukitaningsih dan sudarmanto, 2010). organisme yang tidak mencerna senyawa piren sama sekali atau hanya dalam jumlah yang sangat kecil seperti alga laut dapat mengakumulasi senyawa piren dalam tubuhnya. sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme satu ke organisme lain melalui rantai makanan. metodologi alat alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium, spatula, pipet volum, autoklaf, gc-ms qp-2010 ultra shimadzu, neraca digital, alat ultrasonik, rotary vacuum evaporator, sentrifugasi, mikropipet, pinset, botol vial, ice box, mesin pcr (ganeamp pcr system 9700, applied biosystem, foster city, ca, usa), botol semprot, kertas ph, salinometer. bahan bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alga laut eucheuma cottonii, air laut steril, senyawa piren (sigma), larutan diklorometan (dcm) (merk), na2so4 anhidrat, naftalen, aquades, gas nitrogen, kertas label, aluminium foil, tissue, plastik wrap. evana yuslimah yusuf, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 352-355 354 prosedur kerja pembuatan larutan induk senyawa piren 1000 mg/l larutan induk senyawa piren 1000 mg/l dibuat dengan melarutkan 0,025 gram senyawa piren dengan diklorometan. setelah larut dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml kemudian diencerkan dengan diklorometan hingga tanda batas dan dihomogenkan. pembuatan larutan internal standar senyawa piren 50 mg/l larutan internal standar senyawa piren 50 mg/l dibuat dari larutan induk 1000 mg/l. larutan induk dipipet sebanyak 0,5 ml kedalam labu ukur 10 ml kemudian diencerkan dengan diklorometan hingga tanda batas dan dihomogenkan. pengujian sampel untuk analisis senyawa piren kadar senyawa piren yang terkandung pada alga laut di analisis dengan cara: sampel alga laut dibersihkan dari material pengotor menggunakan aquadest kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o c sampai berubah menjadi coklat kehitaman. sampel yang sudah kering kemudian dihancurkan menjadi serbuk halus dan dihomogenisasi dengan mortar lalu disimpan dalam aluminium foil. sampel yang sudah halus ini ditimbang sebanyak 5 g dan diekstraksi dengan 10 ml larutan diklorometan (dcm) menggunakan ultrasonik selama 10 menit. selanjutnya supernatan dipindahkan ke dalam erlenmeyer, residu diekstraksi kembali dengan cara yang sama sebanyak 3 kali dengan 10 ml diklorometan menggunakan ultrasonik selama 10 menit. hasil ekstrak/supernatant kemudian disentrifugasi dan dikumpulkan pada erlenmeyer. pelarut diuapkan dengan menggunakan gas nitrogen hingga 2 ml, kemudian ditambahkan na2so4 anhidrat dan dipipet 0.5 ml ke dalam botol vial untuk diinjeksikan ke alat kromatografi gas spektrofotometri massa (gc ms). hasil dan pembahasan analisis senyawa piren pada alga laut eucheuma cottonii hasil pengukuran konsentrasi senyawa piren pada alga laut eucheuma cottonii di 6 lokasi pada kabupaten bantaeng dengan menggunakan metode kromatografi gas– spektrofotometer massa (gc-ms) dapat dilihat pada gambar 2. gambar 2. kadar rata-rata senyawa piren pada alga laut eucheuma cottonii. dari hasil yang diperoleh dari data pada gambar 2, kandungan senyawa piren pada alga laut eucheuma cottonii di beberapa titik lokasi sampling pada kabupaten bantaeng yaitu desa nipa-nipa sebesar 0.052 ppm, desa bakara sebesar 0.009 ppm, desa boroloe sebesar 0.053 ppm, desa tapaloe sebesar 0.051 ppm, desa baruga 0.063 ppm dan desa baruga 0.026 ppm. konsentrasi senyawa piren yang diperoleh di setiap lokasi sampling perairan kabupaten bantaeng memiliki nilai konsentrasi yang cukup rendah dan dibawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan oleh kementrian klh no. 52 tahun 2004 untuk biota laut yakni 3 ppm (khozanah, 2014). data hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 titik lokasi sampling di perairan kabupaten bantaeng cukup rendah oleh senyawa piren karena memiliki kadar senyawa piren <0.1-0.5 ppm, mengingat kadar senyawa hap sebesar 0.1-0.5 ppm sudah dapat menyebabkan keracunan semua larva biota perairan (munawir, 2007). bila alga laut mengandung senyawa hap yang tinggi dan dimakan oleh manusia, maka senyawa ini akan terakumulasi dalam tubuh manusia, dan sampai batas tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 k o n se n tr a si ( p p m ) evana yuslimah yusuf, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 352-355 355 adanya perbedaan konsentrasi senyawa piren di setiap lokasi disebabkan oleh pengaruh arus. arah dan kecepatan arus yang selalu berubah menyebabkan pola penyebaran senyawa piren tidak merata di permukaan laut. kontaminasi senyawa piren dalam suatu perairan dapat bersumber dari berbagai aktivitas baik aktivitas alami (perembesan minyak) ataupun sumber antropogenik (kegiatan industri, transportasi dan aktivitas rumah tangga). kesimpulan kandungan senyawa piren pada alga laut eucheuma cottonii di 6 titik lokasi sampling pada perairan kabupaten bantaeng memiliki nilai yang cukup rendah yakni berkisar antara 0.009 – 0,063 ppm dan dibawah nilai ambang batas untuk biota laut sehingga alga laut eucheuma cottoni yang terdapat di perairan kabupaten bantaeng layak dikonsumsi oleh manusia. daftar pustaka diaz, m., mora, v., pedrozo, f., nichela, d., baffico, g., 2014. evaluation of native acidophilic algae species as potential indicators of polycyclic aromatic hydrocarbon (pah) soil contamination. j. appl. phycol. febria, f.a., 2012. penapisan bakteri pendegradasi piren dari tanah kawasan tambang minyak bumi serta identifikasi berdasarkan gen penyandi 16s rrna dan piren dioksigenase. disertasi tidak diterbitkan. padang: program doktor ilmu biologi universitas andalas. haritash, a.k., dan kaushik, c.p., 2009. biodegradation aspects of polycyclic aromatic hydrocarbons (pahs): a review. j. haz. mat., 169: 1–15. hilyard, e.j., meehan, j.m.j., spargo, b.j dan hill, r.t., 2008. enrichment, isolation, and phylogenetic identification of polycyclic aromatic hydrocarbon-degrading bacteria from elizabeth river sediments. appl. environ. microbiol., 74(4): 1176–1182 iskandar, y., rusmiati, d., dewi, r.r., 2009. uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol rumput laut (eucheuma cottonii) terhadap bakteri escherichia coli dan bacillus cereus. jatinangor: universitas padjajaran. kirso, u., paalme, l., voll, m., irha, n., urbas, e., 2010. distribution of the persistent organic pollutants, polycyclic aromatic hydrocarbons between water, sediments and biota. aquat. ecosystem. health. manage., 4(2): 151-163. lukitaningsih, e. dan sudarmanto, a., 2010. bioakumulasi senyawa poli-aromatik hidrokarbon dalam plankton, ganggang dan ikan di perairan laut selatan jogjakarta. majalah farmasi indonesia., 21(1): 18-26 munawir, k. 2007. kadar polisiklik aromatik hidrokarbon (pah) dalam air, sedimen, dan sampel biota di perairan teluk klabat bangka. oseanol. limnol. indonesia. 33:441453. maskaoui, k., zhou, j.l., hong, h.s., dan zhang, z.l., 2001. contamination by polycyclic aromatic hydrocarbons in the jiulong river estuary and western xiamen sea, china. environ. pollut., 118: 109-202. seo, j.s., keum, y.s., and li, q.x., 2009. bacterial degradation of aromatic compounds. int. j. environ. res. public health., 6(1): 278-309. sarbini, k., 2012. biodegradasi pyrena menggunakan bacillus subtilis c19. skripsi tidak diterbitkan. depok: program studi teknologi bioproses departemen teknik kimia. fakultas teknik – ui. yaqin, k., fachruddin, l., suwarni., umar m.t., dan nadiarti., 2014. status pencemaran logam di perairan kabupaten bantaeng, sulawesi selatan. skripsi tidak diterbitkan. makassar: jurusan perikanan fakultas ilmu kelautan dan perikanan unhas. doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 125 indonesian journal of chemical research studi adsorpsi-desorpsi anion fosfat pada bentonit termodifikasi ctab adsorption-desorption studies of phosphate on ctab modified bentonite syarifah rabiatul adawiah1*, sutarno2, suyanta2 1chemistry department, faculty of science and technology, alauddin state islamic university of makassar, kampus 2 jl. h. m. yasin limpo no.36 samata, kab. gowa, sulawesi selatan 2chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences, gadjah mada university, bulaksumur yogyakarta 55281 *corresponding author: ivhe07@gmail.com received: 2020-8-1 received in revised: 2020-8-5 accepted: 2020-9-28 available online: 2020-9-30 abstract adsorption-desorption studies of phosphate on ctab modified bentonite have been investigated. the results were characterized by ft-ir spectrometer to determine the functional groups in bentonite and x-ray diffractometer to determine the type of minerals in the bentonite. adsorption was conducted by shaking 10 mg adsorbent in 5 ml adsorbate solution at optimum condition of ph, contact time and concentration. furthermore, desorption studies was conducted on 5 ml medium of both water and citric acid 0.33 m and using 6.5 mg of adsorbent which has adsorbed phosphate. the results showed that the bentonite has been successfully modified with ctab. the adsorption capacity of phosphate is 0.028 mmol g-1. desorption studies showed that the solubility percentage of phosphate anion in citric acid was 0.33 m (73.33%) greater than in water (57.81%) which is a requirement for the use of slow release fertilizers (srf). keywords: cta-bentonite, adsorption, desorption, phosphate, srf. abstrak (indonesian) telah dilakukan studi adsorpsi-desorpsi anion fosfat pada bentonit termodifikasi ctab. hasil modifikasi dikarakterisasi dengan menggunakan spektrometer ft-ir untuk mengetahui gugus fungsi dalam bentonit dan difraktometer sinar-x untuk mengetahui jenis mineral yang terkandung dalam bentonit. adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben sebanyak 10 mg digojog dalam 5 ml larutan adsorbat pada kondisi ph, waktu dan konsentrasi optimum. selanjutnya, studi desorpsi dilakukan pada medium air dan asam sitrat 0,33 m sebanyak 5 ml dengan menggunakan 6,5 mg adsorben yang telah mengadsorp anion fosfat. hasil karakterisasi menunjukkan sampel bentonit telah berhasil termodifikasi dengan asam dan ctab. studi adsorpsi menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi fosfat adalah 0,028 mmol g-1. studi desorpsi menunjukkan bahwa persentase kelarutan anion fosfat dalam asam sitrat 0,33 m (73,33% ) lebih besar dibanding dalam air (57,81% ) yang merupakan syarat untuk penggunaaan pupuk lepas lambat. kata kunci: cta-bentonit, adsorpsi, desorpsi, fosfat, srf. pendahuluan air merupakan bahan yang vital bagi makhluk hidup, karena itu kebersihan air dari berbagai polutan sangatlah penting. namun, pada kenyataannya pencemaran air merupakan salah satu masalah utama dengan berbagai dampak pada kehidupan di dunia. hal ini terutama disebabkan oleh pencemaran industri dan aktivitas antropogenik (khatri dkk., 2016). air yang kaya nutrisi atau yang mengandung konsentrasi biogenik yang tinggi menyebabkan terjadinya eutrofikasi. unsur utama dalam masalah eutrofikasi adalah fosfor yang berlebihan, namun dilain pihak, fosfor adalah makronutrien yang sangat penting untuk pertumbuhan organisme di sebagian besar ekosistem. selama beberapa tahun terakhir, eutrofikasi menjadi ancaman serius karena memicu pertumbuhan pesat alga dan cyanobacteriae sehingga http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 mailto:ivhe07@gmail.com http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 126 menurunkan kualitas air (lu dan liu, 2010; yoon dkk., 2014; axinte dkk., 2015; indarto dkk., 2019). hal ini mengakibatkan keanekaragaman hayati yang terbatas, kurangnya oksigen terlarut, populasi ikan yang berkurang dan mempersulit proses pemurnian air (ruzhitskaya dan gogina, 2017; awual, 2019). oleh karena itu, sangat penting dilakukan penghilangan fosfat dari limbah cair sebelum dibuang ke danau dan sungai demi keberlangsungan kehidupan seluruh ekosistem (radheshyam dkk., 2016; tian dkk., 2018). saluran air limbah industri dan perumahan adalah sumber utama yang mencemari waduk yang mengandung fosfor, yang berasal sekitar 30-50% dari kotoran manusia dan sekitar 50-70% dari penggunaan deterjen (ruzhitskaya dan gogina, 2017). selain itu, industri pupuk juga menghasilkan sejumlah besar limbah fluorida dan fosfat (dolar dkk., 2011). permasalahannya adalah tidak semua fasilitas penjernihan air domestik dan industri memiliki kemampuan mengatasi pencemaran fosfat dengan tuntas, sehingga perlu memikirkan cara lain untuk menghilangkan komponen biogenik dari air limbah industri dan perumahan (ruzhitskaya dan gogina, 2017). berbagai metode penghilangan fosfat telah dilakukan, diantaranya adalah presipitasi kimia dengan garam kalsium, aluminium dan besi yang dianggap metode yang paling efektif dan terkini. namun, terkendala pada pengelolaan dengan biaya yang tinggi serta produk imobilisasi berupa lumpur fosfat dengan kandungan fosfor yang relatif tinggi. hal ini akan menimbulkan masalah baru karena penanganannya jauh lebih rumit, sehingga metode ini tidak dikembangkan secara luas (radheshyam dkk., 2016; karageorgiou dkk., 2007). selain itu, metode biologis dan presipitasi kimia umumnya tidak cocok untuk penghilangan fosfat dengan konsentrasi rendah, sedangkan reverse osmosis prosesnya membutuhkan biaya yang mahal (pawar dkk., 2016; lu dkk., 2013). oleh karena itu, perlu dikembangkan metode yang efektif untuk menghilangkan fosfat yang berlebihan dari air limbah, terutama pada konsentrasi rendah dengan biaya terjangkau. adsorpsi adalah metode yang banyak digunakan untuk menghilangkan kontaminan. untuk keperluan industri, adsorben harus memenuhi syarat seperti efisien, ekonomis, tidak berbahaya, dan mudah dimodifikasi (maa dkk., 2012; gok dkk., 2010; nurhadini dkk. 2017; laura dkk., 2019; rahayu dkk., 2020). adsorpsi adalah salah satu metode yang menarik perhatian untuk penghilangan fosfat pada air karena dianggap metode yang sederhana, lebih ekonomis, pengelolaannya mudah, paling efektif karena selektivitasnya yang tinggi bahkan pada konsentrasi fosfor yang relatif rendah serta sederhana (loganathan dkk., 2014; tang dkk., 2012; xie dkk., 2014). selain itu, fosfor yang teradsorpsi dapat diperoleh kembali atau dengan kata lain terdesorpsi jika jumlah fosfor yang teradsorpsi tinggi dan dilakukan metode desorpsi yang sesuai (xie dkk., 2014). karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang efisien, namun memiliki keterbatasan kapasitas adsorpsi terhadap beberapa polutan, biaya pengelolaan yang tinggi dan proses regenerasinya pun sulit (maa dkk., 2012; nguyen dkk., 2014 ; gok, 2010). lempung memenuhi semua syarat sebagai adsorben yang baik untuk diaplikasikan pada industri. oleh karena itu, lempung dapat dijadikan salah satu alternatif adsorben pengganti untuk karbon aktif karena memiliki luas permukaan yang besar, kapasitas tukar kation yang tinggi, stabilitas kimia dan mekanis yang baik, tidak beracun, struktur berlapis, serta murah karena kelimpahannya (sen dan gomez, 2011; ma dkk., 2012; toor dkk., 2015; zhang dkk., 2019). pada beberapa tahun terakhir, mineral alam sebagai adsorben untuk penanganan air limbah menempati posisi yang tak tergantikan. diantara mineral lempung yang ada, bentonit mendapat perhatian lebih besar sebagai adsorben karena kapasitas adsorpsinya yang tinggi dan lebih murah (zhang dkk., 2019). bentonit adalah salah satu mineral lempung yang kandungan utamanya montmorilonit (huang dkk., 2017). montmorilonit adalah mineral yang paling sering digunakan sebagai adsorben yang merupakan lempung dengan kisi kristal 2:1 yang terdiri dari dua lembar lapisan silika tetrahedral mengapit satu lembar alumina oktahedral dengan rumus umum (ca,na,h) (al,mg,fe,zn)2 (si,al)4o10(oh)2·nh2o. lembaran-lembaran yang bersambung antara satu lapisan dengan lapisan lain yang berikatan secara lemah memungkinkan terjadinya interkalasi air dan molekul pada lapisan interlayer, sehingga bisa menyebabkan terjadinya swelling atau mengembang (park dkk., 2011). struktur lamelar dari sel kristal montmorillonit mengandung beberapa kation, seperti cu2þ, mg2þ, naþ, kþ, dan lain-lain, namun sangat tidak stabil sehingga lebih mudah terjadi pertukaran kation. oleh karena itu, bentonit memiliki kinerja yang baik dalam menyerap kontaminan kationik melalui pertukaran kation (huang, 2017). modifikasi permukaan mineral lempung oleh kation organik atau surfaktan menyebabkan peningkatan kapasitas adsorpsi (gok dkk., 2010; anirudhan, 2015). syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 127 modifikasi bentonit alam biasanya dilakukan dengan pencucian asam ataupun interkalasi dengan surfaktan kationik seperti ctab (cetyltrimethyl ammonium bromide) atau hdtma (hexadecyltrimethyl ammonium bromide), sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas adsorpsinya. aktivasi dengan asam memberikan dua efek, pertama adalah menghilangkan kation-kation yang dapat dipertukarkan seperti na+ dan ca2+ dengan proton yang berasal dari asam pengaktivasi. aktivasi dengan asam sulfat atau asam klorida menghilangkan kation kalsium dari permukaan dan tepi lapisan, sehingga meningkatkan muatan negatif secara keseluruhan. kedua adalah penghilangan kation-kation seperti al3+ (dealuminasi), mg2+ dan fe2+ yang berada pada lapisan tetrahedral dan oktahedral, namun gugus sio4 pada lembaran tetrahedral tetap dipertahankan (steudel dkk., 2009; komadel, 2016). aktivasi dengan asam meningkatkan luas permukaan, porositas, dan jumlah situs asam (wang dkk., 2013; stojiljković dkk., 2015). pemilihan asam sulfat sebagai asam pengaktif disebabkan asam sulfat merupakan asam mineral dengan jumlah ekivalen asam (h ) lebih banyak dari asam mineral lain yang umum digunakan seperti asam nitrat dan asam klorida, sehingga lebih efektif untuk mengaktivasi permukaan bentonit (suarya, 2012). bentonit yang diaktivasi h2so4 dapat menyebabkan luas permukaannya semakin besar dikarenakan pengotor dalam bentonit yang menyebabkan pori-pori bentonit tertutup berkurang, sehingga lebih terbuka dan ruang kosong dalam bentonit menjadi lebih besar (sari dan koestiari, 2015). selain itu harga asam sulfat lebih murah dibanding dengan asam klorida serta sifat asamnya tidak sekeras asam klorida (komadel, 2016). modifikasi bentonit oleh kation organik (seperti surfaktan kationik, kuaterner surfaktan amonium) akan mengubah sifat permukaan dari hidrofilik menjadi hidrofobik (guo dkk., 2012). beberapa studi tentang modifikasi bentonit dengan surfaktan menunjukkan kapasitas adsorpsi meningkat terhadap senyawa anionik (utami 2014; hidayati, 2011). struktur tiga dimensi dari bentonit m0endukung dilakukannya interkalasi surfaktan kationik pada permukaan luarnya sehingga akan ada bagian bentonit yang menangkap kation dan anion serta molekul netral pada bagian inti hidrofobiknya yang menjadikan bentonit mampu digunakan sebagai adsorben multifungsi (alkaram dkk., 2009). namun, dalam penelitian ini fokus pada adsorbat berupa anion, yaitu fosfat. pertumbuhan dan kualitas tanaman terutama bergantung pada jumlah pupuk dan sumber air (qin dkk., 2012). pupuk adalah komponen utama dalam perencanaan panen yang maksimal dan dianggap sebagai persyaratan untuk industri pertanian (karunarathna dkk., 2019). pupuk berperan penting dalam peningkatan produksi tanaman dunia setiap tahun. salah satu masalah lingkungan yang menjadi perhatian secara global adalah penggunaan pupuk konvensional yang tidak efisien. hal ini menyebabkan kurangnya asupan nutrisi bagi tanaman berupa unsur hara yang dapat berakibat terhadap kualitas panen dan timbulnya kekhawatiran akan terjadinya pencemaran lingkungan dengan pemakaian pupuk secara berlebihan. pupuk lepas lambat adalah solusi efisiensi pupuk (wang dkk., 2012; andelkovic dkk., 2018). pupuk lepas lambat telah menarik minat yang luar biasa karena kemampuannya dalam mengatasi masalah efisiensi pupuk konvensional yang rendah. pupuk lepas lambat yaitu pupuk yang ditempelkan dalam material pembawa atau bahan pelapis yang sesuai (an dkk., 2020). pupuk dalam bentuk slow release fertilizer (srf) dapat mengoptimalkan penyerapan hara oleh tanaman dan mempertahankan keberadaan hara dalam tanah, karena srf dapat mengendalikan pelepasan unsur sesuai dengan waktu dan jumlah yang dibutuhkan tanaman (yerizam dkk., 2017). adanya potensi terlepasnya kembali anion-anion yang telah teradsorpsi pada material yang dimaanfaatkan sebagai adsorben, menjadi suatu ketertarikan untuk memanfaatkan material tersebut untuk dijadikan material kontrol dalam aplikasi pupuk lepas lambat sehingga mengefisienkan penggunaan pupuk. dengan demikian, syarat untuk menjadi material kontrol pupuk lepas lambat harus mampu menjerap sebanyak-banyaknya adsorbat yang kemudian akan dilepaskan lagi secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu selama fase pertumbuhan tanaman sesuai kebutuhan tanaman akan hunsur hara tersebut (khitome dkk., 1998). uraian yang telah dikemukakan menjadi dasar dilakukannya studi adsorpsi-desorpsi anion fosfat pada bentonit termodifikasi yang merupakan kontaminan utama dalam perairan namun juga merupakan komponen unsur hara yang dibutuhkan tanaman. dari studi yang dilakukan, dapat ditentukan kapasitas adsorpsi bentonit termodifikasi surfaktan kationik terhadap limbah anionik serta kemungkinan bentonit termodifikasi dimanfaatkan sebagai material kontrol untuk aplikasi pupuk lepas lambat. dengan demikian, selain dapat mengatasi masalah lingkungan dengan cara adsorpsi juga adanya manfaat lanjutan yakni berperan penting dalam aplikasi pupuk lepas lambat. syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 128 metodologi alat dan bahan peralatan yang digunakan antara lain botol kaca berkapasitas 25 ml dan 150 ml, ball pipette, alat-alat gelas dari laboratorium, shaker (osk), ph meter (horiba f-52), oven digital (fischer scientific 655k), neraca analitik (mettler tolendo), hot plate, spektrometer uv-vis (optima sp-300). peralatan untuk karakterisasi material meliputi difrraktometer sinar-x (xrd shimadzu 6000) dan spektrometer ft ir (shimadzu prestige-21). bahan yang digunakan antara lain bentonit alam dari thailand, bentonit teraktivasi dan termodifikasi dari penelitian sebelumnya (utami dkk., 2014), nh4vo3, h24mo7n6o24, hno3 68%, h2so4 96%, hcl 37%, asam sitrat dan akuades, semua diperoleh dari merck kecuali akuades yang diproduksi oleh cv. progo mulyo, kertas saring whatmann 42. prosedur kerja studi adsorpsi kajian pengaruh ph adsorpsi fosfat. proses adsorpsi dilakukan dengan menggunakan 10 mg adsorben dimasukkan ke dalam botol kaca berkapasitas 25 ml kemudian ditambahkan 5 ml adsorbat dengan konsentrasi larutan 10 ppm pada masing-masing ph dengan rentang ph 3-7, digojog selama 4 jam, kemudian disaring dan filtrat ditambahkan reagen fosfo-molibdat sebelum dianalisis dengan uv-vis pada panjang gelombang 400 nm. pereaksi fosfo-molibdat dibuat dengan mencampurkan larutan amonium molibdat 5% dan larutan amonium vanadat 0,25%. kajian pengaruh waktu kontak fosfat. variasi waktu dilakukan dengan menggunakan 10 mg adsorben yang dimasukkan ke dalam botol kaca berkapasitas 25 ml dan ditambahkan 5 ml adsorbat dengan konsentrasi 10 ppm pada ph optimum yang diperoleh dari prosedur sebelumnya, kemudian digojog dengan variasi waktu 5; 10; 15; 30; 45; 60; 75; 90; 120; 150; 180 menit, selanjutnya disaring dan filtrat ditambahkan reagen fosfomolibdat sebelum dianalisis dengan uv-vis pada panjang gelombang 400 nm. kajian variasi konsentrasi fosfat. proses adsorpsi dilakukan dengan menggunakan 10 mg adsorben yang dimasukkan ke dalam botol kaca berkapasitas 25 ml dan ditambahkan 5 ml larutan adsorbat dengan variasi konsentrasi dari 2-10 ppm kemudian digojog pada ph dan waktu optimum, selanjutnya disaring dan filtrat ditambahkan reagen fosfo-molibdat sebelum dianalisis dengan uv-vis pada panjang gelombang 400 nm. adsorpsi fosfat. proses adsorpsi fosfat dilakukan pada kondisi optimum yang telah diperoleh pada prosedur sebelumnya yaitu dengan menggunakan 200 mg adsorben yang dimasukkan ke dalam botol kaca berkapasitas 150 ml dan ditambahkan 100 ml larutan adsorbat dengan konsentrasi 10 ppm dengan ph optimum yaitu 5 dan digojog selama 90 menit, selanjutnya disaring dan filtrat yang dihasilkan ditambahkan reagen fosfo-molibdat kemudian dianalisis dengan uv-vis pada panjang gelombang 400 nm studi desorpsi. proses desorpsi dilakukan dengan menggunakan 5 mg adsorben dari hasil proses adsorpsi fosfat yang dimasukkan ke dalam botol kaca berkapasitas 25 ml dan ditambahkan masing-masing 5ml air dan asam sitrat 0,33 m didalam botol terpisah kemudian digojog pada variasi waktu 30; 60; 120; 180; 240; 300; 360; 420 menit, selanjutnya disaring dan filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan uv-vis pada panjang gelombang 400 nm untuk ion fosfat dengan metode fosfo-molibdat. hasil dan pembahasan karakterisasi sampel karakterisasi sampel dilakukan terhadap bentonit alam, bentonit teraktivasi dan bentonit termodifikasi untuk menentukan gugus fungsi dalam sampel dengan menggunakan spektrometer ft-ir dan mineral penyusun sampel dengan menggunakan difraksi sinar x. hasil karakterisasi tersebut dapat menjadi bukti pendukung bahwa sampel pada penelitian sebelumnya masih dalam keadaan yang layak digunakan untuk penelitian selanjutnya jika tidak ada perubahan yang signifikan pada sampel tersebut. spektrometer ft-ir spektra dari bentonit alam dipelajari untuk memastikan bahwa yang dikarakterisasi adalah bentonit sedangkan bentonit teraktivasi dianalisis untuk melihat perubahan yang terjadi setelah proses aktivasi dengan asam sulfat serta membuktikan bahwa aktivasi dengan asam menyebabkan terjadinya dealuminasi pada sampel. bentonit termodifikasi juga dianalisis untuk melihat keberhasilan modifikasi dengan surfaktan ctab, dengan mengidentifikasi keberadaan surfaktan ctab dalam sampel. syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 129 gambar 1. spektra ft-ir (a) bentonit alam, (b) bentonit teraktivasi, dan (c) bentonit termodifikasi dari hasil yang diperoleh dapat dilihat adanya puncak-puncak serapan yang tajam pada daerah panjang gelombang sekitar 500, 1000, 1600, 3400 dan 3600 cm-1 . pada gambar 1 (a) terlihat adanya spektra pada daerah 1033 cm-1 yang merupakan serapan khas aluminosilikat dari vibrasi ulur si-o pada lembar tetrahedral, tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh fauziyati (2019) yaitu pada daerah 1036,98 cm-1. puncak serapan pada daerah 794 cm-1 dan 462 cm1 menunjukkan vibrasi ulur dan vibrasi tekuk si-o dari gugus siloksan (si-o-si) serta pada daerah 516 cm-1 merupakan indikasi adanya si-o-al. puncak serapan pada daerah 918 cm-1 merupakan vibrasi tekuk al-o dari al2oh pada lembar oktahedral dan puncak serapan pada daerah 1635 cm-1 merupakan vibrasi tekuk o-h dari molekul air. hal ini membuktikan bahwa bentonit merupakan mineral terhidrasi namun dengan jumlah molekul air yang terbatas terlihat dari rendahnya intensitas pada puncak tersebut. selanjutnya, puncak serapan pada daerah 3425 cm-1 merupakan vibrasi asimetri dari gugus -oh dari gugus silanol (si-o-h) dan pada daerah 3626 cm-1 merupakan vibrasi ulur –oh dari gugus aluminol (al-o-h). dari data puncak serapan yang muncul dapat disimpulkan bahwa bentonit tersusun atas lembaran tetrahedral dan oktahedral, hal ini bersesuain dengan hasil karakterisasi penelitian terdahulu oleh utami dkk. (2014). pada gambar 1 (b) yaitu bentonit teraktivasi terlihat spektra antara bentonit alam dengan teraktivasi tidak berbeda secara signifikan, hanya terjadi perbedaan intensitas pada puncak puncak tertentu. hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya aktivasi tidak merusak struktur dasar bentonit hanya terjadi dealuminasi serta penghilangan kation kation pengotor. spektra dari bentonit teraktivasi dapat dilihat terjadinya dealuminasi akibat aktivasi bentonit dengan asam ditunjukkan dengan menurunnya intensitas serapan pada bilangan gelombang 516 cm-1 yang merupakan daerah vibrasi bending si-o-al pada lembaran oktahedral dan pada bilangan gelombang 918 cm-1 yang merupakan daerah vibrasi tekuk dari al-o dari al2oh. pada bilangan gelombang 3626 cm -1 juga menunjukkan penurunan intensitas yang merupakan serapan khas vibrasi ulur – oh dari gugus aluminol (al-o-h), sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivasi asam menyebabkan dealuminasi pada bentonit. menurunnya intensitas pada bilangan gelombang 1635 cm-1 yang merupakan serapan khas vibrasi tekuk o-h dari molekul air menunjukkan berkurangnya kandungan air dalam bentonit akibat pengaruh aktivasi asam. pada gambar 1 (c) yaitu karakterisasi bentonit termodifikasi ctab dapat dilihat perbedaan dari puncak serapan yang ada pada bentonit alam dan bentonit teratikvasi yaitu dengan munculnya serapanserapan baru pada daerah bilangan gelombang 1473; 2854; dan 2924 cm-1 . puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 1473 cm-1 merupakan serapan khas n dari r4n + dan pada bilangan gelombang 2854 cm-1 dan 2924 cm-1 merupakan vibrasi ulur simetri dan asimetri dari c-h alkana (sastrohamidjojo, 2007). dari spektra ir yang diperoleh yang muncul pada bilanganbilangan gelombang tersebut dapat disimpulkan bahwa bentonit telah berhasil termodifikasi oleh ctab, hal ini bersesuain dengan hasil karakterisasi pada penelitian sebelumnya (utami dkk., 2014). namun, untuk lebih meyakinkan bahwa material yang berupa bentonit termodifikasi dari penelitian sebelumnya masih layak dipakai dilakukan analisis lanjutan yaitu pola difraksi xrd. pola difraksi sinar x pola xrd dapat digunakan untuk melihat komposisi mineral-mineral yang terkandung dalam bentonit secara kualitatif dengan melihat nilai sudut difraksi 2θ atau nilai basal spacing (d) pada posisi tertentu dalam difraktogram dengan intensitas tertentu yang menunjukkan kristalinitas mineral dalam material tersebut. dari pola difraksi sinar-x pada gambar 2 terlihat adanya pola difraksi utama yaitu pada d (å) 16,75; 5,18; 4,59; 3,28; 2,55; 2,43 dan 1,50. untuk membuktikan keberadaan mineral mineral penyusun bentonit harga d yang diperoleh syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 130 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 3 4 5 ph 6 7 8 4 dicocokkan dengan harga d pada mineral powder diffraction file (mpdf). puncak difraksi dengan harga d 16,75 å, 5,18 å, 4,59 å dan 2,55 å sesuai dengan harga d standar mineral montmorilonit yaitu 15,00 å [001], 5,01 å [003], 4,50 å [020] dan 2,58 å [110] pada mpdf no.13-135. puncak difraksi pada d 1,51 å sesuai dengan harga d standar mineral kaolinit yaitu sebesar 1,49 å [331] pada mpdf no.14-164. gambar 2. pola difraksi sinar-x (a) bentonit alam, (b) bentonit teraktivasi, dan (c) bentonit termodifikasi (m=montmorillonit, k=kaolinit, c=kristobalit, q=quarsa dan i=illit) puncak difraksi pada d 4,20 å sesuai dengan harga d standar mineral kristobalit yaitu sebesar 4,05 å [101] pada mpdf no.11-695 dan puncak difraksi pada d 3,28 å sesuai dengan harga standar d mineral kuarsa yaitu sebesar 3,34 å [101] pada mpdf no.5 490. selanjutnya pada puncak difraksi dengan harga d 2,87 å sesuai dengan harga standar mineral illit yaitu sebesar 2,94 å [115] pada mpdf no. 24-495. dari hasil puncak difraksi yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa mineral penyusun utama bentonit adalah montmorilonit, kristobalit, kuarsa, kaolinit dan illit. perbedaan gambar 2 (a) dan (b) adalah menurunnya intensitas montmorilonit akibat adanya aktivasi, yang menunjukkan terjadinya dealuminasi pada struktur oktahedral mineral montmorilonit. pada gambar 2 (c) jika dibandingkan dengan bentonit alam pada gambar 2 (a), terlihat adanya pergeseran puncak difraksi kearah 2θ yang lebih kecil yang mengindikasikan harga d semakin besar yaitu dari d 16,75 å menjadi 20,51 å. hal ini dikarenakan adanya pelebaran jarak antar bidang pada kisi kristal [001] mineral montmorilonit yang disebabkan surfaktan pemodifikasi masuk kedalam ruang antar lapis bentonit (hong dkk., 2011). dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa bentonit dari penelitian terdahulu yang dikarakterisasi tidak mengalami perubahan yang siginifikan sehingga masih layak digunakan untuk studi adsorpsi desorpsi anion fosfat. kajian adsorpsi kajian adsorpsi fosfat terhadap bentonit termodifikasi ctab meliputi pengaruh ph, penentuan waktu kesetimbangan serta kinetika kimia dan kapasitas adsorpsinya. pengaruh ph penentuan ph dalam proses adsorpsi sangat penting karena proses adsorpsi akan maksimal pada ph optimum baik adsorben maupun adsorbat yang berpengaruh pada kapasitas adsorpsinya serta bentuk spesies anion. penentuan ph optimum larutan adsorbat dapat dilakukan melalui uji laboratorium dengan memperhatikan diagram spesiasi anion yang akan diserap pada berbagai ph. penentuan ph optimum untuk adsorpsi anion fosfat dilakukan melalui uji laboratorium dengan rentang ph 3-7, dimana pada rentang ph ini fosfat dalam larutan berupa spesies anion h2po -. hasil yang diperoleh ditunjukkan pada gambar 3 terlihat bahwa kapasitas adsorpsi meningkat seiring naiknya ph dari ph 3 menuju ph 5 yaitu ph optimum dan menurun setelah mencapai ph optimum tersebut yaitu pada ph 6 dan 7 gambar 3. pengaruh ph terhadap adsorpsi fosfat hal ini disebabkan jumlah ohmeningkat seiring dengan naiknya ph, sehingga ada persaingan antara anion fosfat dengan oh pada proses adsorpsi di permukaan bentonit yang menyebabkan kapasitas adsorpsinya menurun. sebaliknya, pada ph yang rendah dimana konsentrasi ion h3o + lebih tinggi dapat berpengaruh pada lapisan permukaan bentonit yang termodifikasi dengan ctab. lapisan permukaan bentonit akan cenderung mengalami protonasi yang menyebabkan terjadinya tolakan antar q t (m m o l g -1 ) syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 131 4 gugus ammonium kuartener sehingga formasi surfaktan merenggang dan situs positif untuk adsorpsi anion fosfat berkurang (suraiyya, 2014). hasil yang diperoleh bersesuain dengan diagram spesiasi fosfat bahwa spesies h2po4 dan hpo4 2muncul pada ph antara 5-10 dan spesies h2po4 konsentrasinya lebih tinggi pada ph di bawah 7, sementara spesies hpo4 2 berada pada ph antara 7 dan 10, namun pada ph antara 10 dan 12 hpo4 2mendominasi po4 3dan untuk ph lebih tinggi dari 12,5 spesies po4 3menjadi signifikan dan melebihi eksistensi hpo4 (karageorgiou dkk., 2007). dari sisi lain, efek ph juga berpengaruh pada muatan sisi tepi adsorben, yaitu jika pada ph yang lebih tinggi muatan sisi tepi bentonit akan lebih negatif sehingga tolakan antara adsorben dengan adsorbat yang berupa anion akan semakin besar sehingga berpengaruh pada kapasitas adsorpsi (hidayati, 2011). penentuan waktu kontak optimum dan kinetika kimia penentuan waktu optimum adsorpsi untuk melihat waktu yang diperlukan adsorben dan adsorbat untuk berinteraksi secara maksimal dengan mencapai waktu kesetimbangan yaitu waktu dimana adsorben telah jenuh menyerap molekul adsorbat. gambar 4. pengaruh waktu kontak pada adsorpsi fosfat laju adsorpsi dapat ditentukan melalui interaksi adsorben dengan adsorbat pada rentang waktu tertentu hingga mencapai waktu kesetimbangan. laju adsorpsi yang semakin besar diindikasikan dengan semakin cepatnya tercapai waktu kesetimbangan. penentuan laju adsorpsi dalam penelitian ini ditentukan dengan menerapkan model kinetika pseudo orde 1 yang dikembangkan oleh lagergren, pseudo orde 2 yang dikembangkan oleh ho), orde 0, orde 1 dan orde 2. hasil perhitungan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. hasil perhitungan kinetika adsorpsi fosfat pada cta-bentonit kinetika adsorpsi r2 k qe (mmol g-1) pseudo orde 1 lagergren 0,9301 0,0196 0,01914 pseudo orde 2 ho 0,9958 0,1252 0,0423 orde 0 0,7728 -0002 orde 1 0,7847 0,0053 orde 2 0,7676 0,1594 pada persaman model kinetika pseudo orde 1 lagergren dilakukan dengan membuat kurva linear antara t melawan ln(𝑞𝑒 − 𝑞𝑡), dengan slope -k1 dan intersep = ln𝑞𝑒. model kinetika adsorpsi pseudo orde dua ho dilakukan dengan membuat kurva linier t melawan 𝑡 𝑞𝑡 dengan slope 1 −𝑞𝑒 dan intersep 1 𝑘𝑞𝑒2 . model kinetika orde 0 dilakukan dengan membuat kurva linear antara t melawan ce, orde 1 antara t melawan ln 𝐶𝑒 dan orde 2 antara t melawan 1 −𝐶𝑒 dengan slope masing-masing k. tabel 1 memperlihatkan bahwa lineritas yang ditunjukkan dengan nilai r2, yang paling mendekati 1 adalah persamaan model kinetika pseudo orde 2 (ho) dengan nilai r2 yaitu 0,9958, sehingga persamaan tersebut yang digunakan untuk menetukan konstanta laju reaksi yang ditunjukkan pada gambar 5. hasil perhitungan konstanta laju reaksi dengan menggunakan model persamaan kinetika pseudo orde 2(ho) untuk adsorpsi anion fosfat pada cta-bentonit diperoleh 𝑘2= 0,125222 dan 𝑞𝑒= 0,0423 mmol g -1. artinya dalam setiap satu gram berat adsorben yaitu bentonit mampu mengadsorpsi sebanyak 0,0423 mmol adsorbat pada permukaan bentonit dengan laju adsorpsi sebesar 0,125222. hasil yang diperoleh bersesuaian dengan hasil yang diperoleh rodrigues dkk. (2012) pada adsorpsi fosfat dengan oksida zirconium terhidrasi dan yoon dkk. (2014) pada adsorpsi fosfat dengan nanopartikel oksida besi magnetik, serta yan dkk. (2010) pada adsorpsi fosfat dengan bentonit terpilar hidroksibesi-aluminium berair. variasi konsentrasi variasi konsentrasi dilakukan untuk mendapatkan besaran-besaran adsorpsi, dalam penelitian ini diterapkan persamaan isoterm adsorpsi langmuir dan freundlich yang menunjukkan hubungan antara jumlah zat yang di adsorpsi oleh adsorben dengan konsentrasi pada kesetimbangan dan temperatur tetap. persamaan isoterm adsorpsi langmuir mengasumsikan bahwa permukaan adsorben bersifat 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0 50 100 150 200 q t ( m g g -1 ) t (menit) syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 132 homogen yang berarti bahwa proses adsorpsi sama rata diseluruh permukaan dimana satu sisi adsorben hanya mampu menyerap satu molekul adsorbat. gambar 5. kinetika pseudo orde 2 pada adsorpsi fosfat berbeda halnya dengan freundlich yang berasumsi bahwa permukaan adsorben mempunyai permukaan yang heterogen dan tiap molekul mempunyai potensi penyerapan yang berbeda-beda. pada model isoterm langmuir dilakukan dengan membuat kurva linier ce/qe melawan ce sedangkan freundlich dilakukan dengan membuat kurva linier ln qe melawan ln ce, yang hasilnya ditunjukkan pada tabel 2. tabel 2. model isoterm adsorpsi fosfat pada cta-bentonit isoterm adsorpsi freundlich isoterm adsorpsi langmuir r 2 kf (l g -1 ) n r 2 kf (l g -1 ) n 0,987 0,1069 2,3245 0,994 87,609 0,03383 dari data pada tabel 2 terlihat bahwa nilai r2 model isoterm langmuir lebih mendekati 1 dibandingkan nilai r2 pada isoterm adsorpsi freundlich, sehingga dapat disimpulkan bahwa model isoterm adsorpsi yang lebih sesuai untuk adsorpsi anion fosfat pada cta-bentonit adalah model isoterm adsorpsi langmuir yang grafiknya ditunjukkan pada gambar 6. hal ini berarti bahwa proses adsorpsi anion fosfat pada permukaan bentonit terjadi proses adsorpsi monolayer yang diasumsikan bahwa situssitus aktif pada permukaan bentonit bersifat homogen dengan kata lain memiliki kemampuan yang sama untuk menyerap adsorbat dengan energi yang sama rata pada permukaannya yaitu sebesar 22,5637 kj mol-1. dari data energi yang diperoleh tersebut menunjukkan proses adsorpsi melibatkan proses kemisorpsi, hal ini berdasarkan adamson (1990) yang mengatakan bahwa besar energi adsorpsi kimia minimal 20,92 kj mol-1. gambar 6. grafik hubungan ce dan ce/qe pada isoterm langmuir hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil darmadinata dkk. (2019) pada adsorpsi fosfat menggunakan bentonit teraktivasi asam dan juga pohan dkk. (2016) menggunakan zeolit, serta awual (2019) menggunakan komposit. kapasitas adsorpsi fosfat dalam penelitian ini adalah 0,028 mmol g-1. gambar 7. interaksi fosfat dengan bentonit-cta dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa bentonit termodifikasi ctab mampu menyerap limbah anionik melalui interaksi elektrostatik, seperti yang terlihat pada gambar 7. setiap molekul surfaktan cta+ memberikan kontribusi satu muatan positif sehingga hanya membutuhkan satu muatan negatif dari ion fosfat untuk penyeimbang. kajian desorpsi pada subbab ini diuraikan kajian waktu kesetimbangan desorpsi anion fosfat yang teradsorpsi pada bentonit termodifikasi ctab yang dilakukan pada medium air dan larutan asam sitrat 0,33 m. 5000 4000 y = 23,638x + 188,79 r² = 0,9958 3000 2000 1000 0 0 50 100 t (menit) 150 200 2 1,6 1,2 0,8 y = 29,557x + 0,3374 r² = 0,994 0,4 0 0 0,02 ce (mol/g) 0,04 0,06 t/ q t( m e n it .g /m o l) c e /q e ( g /l ) syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 133 asam sitrat dipilih sebagai salah satu medium desorpsi dengan alasan bahwa setiap tanaman mampu mensekresikan mikronutrisi berupa asam-asam organik seperti asam sitrat dan air sebagai pembanding (baligar dkk., 2001). gambar 8. pengaruh waktu kontak pada desorpsi fosfat dalam: (a) air, (b) asam sitrat 0,33 m persentase anion fosfat optimum pada menit ke 300 (5 jam) sebanyak 57,81% dalam air dan 73,33% dalam asam sitrat 0,33 m. dari grafik terlihat bahwa kapasitas desorpsi anion yang terkandung dalam adsorben cta-bentonit terdesorpsi lebih besar pada asam sitrat sampai mencapai waktu kesetimbangan dibanding dalam medium air. gambar 9. protonasi anion yang terjerap pada permukaan adsorben dalam medium asam sitrat (a) protonasi anion yang terjerap pada permukaan adsorben dalam medium air (b). perbedaan kapasitas desorpsi ini disebabkan pada medium larutan asam sitrat terdapat lebih banyak ion h3o + baik yang berasal dari pelarut yakni air maupun dari asam sitrat sendiri, sehingga proses protonasi terhadap anion yang terikat pada permukaan bentonit lebih cepat dibanding pada medium air saja seperti yang terlihat pada gambar 9 (a dan b). hasil yang diperoleh sama dengan hasil yang diperoleh bhattacarrya dkk., (2007) yakni kelarutan komponen komponen atau anion-anion yang ada pada pupuk lepas lambat lebih besar dalam asam sitrat 0,33 m dibandingkan dengan air. hal ini merupakan salah satu syarat untuk pupuk lepas lambat yaitu bahwa ionion nutrisi yang terdapat dalam pupuk seharusnya memiliki kelarutan yang rendah dalam air namun harus memiliki kelarutan yang tinggi terhadap asamasam organik, salah satunya asam sitrat yang disekresikan oleh tanaman, dengan demikian pelepasan ion-ion nutrisi tersebut dikendalikan oleh sekresi aktif akar tanaman bukan proses hidrolisis (bhattacharya dkk., 2007). dari seluruh uraian yang telah dikemukakan dapat diketahui bahwa bentonit alam mampu menyerap polutan anionik dengan baik dan kapasitas adsorpsi meningkat setelah bentonit diaktivasi dengan asam dan dimodifikasi dengan surfaktan. kemampuan bentonit untuk menahan senyawa yang diserap dalam beberapa waktu dan kemudian dilepas perlahan-lahan sampai mencapai kesetimbangan menunjukkan kemungkinan adanya potensi bentonit termodifikasi untuk dijadikan material pembawa atau material kontrol dalam aplikasi pupuk lepas lambat. kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kapasitas adsorpsi anion fosfat adalah 0,028 mmol g-1 dengan kinetika adsorpsi fosfat pada bentonit termodifikasi menggunakan persamaan kinetika pseudo orde 2 (ho) dengan nilai = 0,0423 mmol g -1 dan = 0,1252. model isoterm adsorpsi yang sesuai adalah model persamaan langmuir dengan 𝑚𝑚 = 3,383𝑚10-5 mol g -1 dan 𝑚𝑚 = 87609,847 g mol-1. kelarutan fosfat dalam asam sitrat 0,33 m (73,33%) lebih besar dibanding dalam air (57,81%). daftar pustaka adamson, a.w., 1990. physical chemistry of surface, 5th ed., john wiley and sons inc, new york alkaram, u.f., mukhlis, a.a. and al-dujaili, a.h., 2009. the removal of phenol from aqueous 0,025 0,02 0,01 b a 200 t (menit) 400 600 q e ( m m o l g -1 ) (a) (b) syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 134 solutions by adsorption using surfactantmodified bentonite and kaolinite, j. hazard. mater., 169, 324–332. andelkovic i.b, kabiri s, tavakkoli e, kirby j.k, mclaughlin m.j. and losic d, 2018. graphene oxide-fe(iii) composite containing phosphate, a novel slow release fertilizer for improved agriculture management, j. clean. prod., 185, 97– 104. anirudhan, t.s. and ramachandran, m., 2015. adsorptive removal of basic dyes from aqueous solutions by surfactant modified bentonite clay (organoclay), kinetic and competitive adsorption isotherm, process saf. environ. prot., 1-44. an, x., z. wu, j. yu, l. ge, t. li, x. liu and b. yu, 2020. high-efficiency reclaiming phosphate from an aqueous solution by bentonite modified biochars: a slow release fertilizer with a precise rate regulation, acs sustainable chem. eng. 8, 6090−6099. awual, md. r., 2019. efficient phosphate removal from water for controlling eutrophication using novel composite adsorbent, j. cleaner production, 228, 1311-1319. axinte, o, iulia s. b., cristina s., valeria n., laura b. and dumitru b., 2015. evolution of trophic parameters from amara lake, environ. eng. manag. j., 14(3), 559-565. baligar, v.c., fageria, n.k. and he, z.l., 2001. nutrient use efficiency in plants, commun. soil sci. plant anal., 32 (7), 921-950. bhattacharya, i., bandyopadhyay, s., varadachari, c. and ghosh k., 2007. development of a novel slowreleasing iron-manganese fertilizer compound, ind. eng. chem. res., 46, 2870-2876 darmadinata, m, jumaeri dan t.sulistyaningsih, 2019. pemanfaatan bentonit teraktivasi asam sulfat sebagai adsorben anion fosfat dalam air, indo. j. chem. sci., 8 (1) (2019). dolar, d., k. košutić and b. vučić, 2011. ro/nf treatment of wastewater from fertilizer factoryremoval of fluoride and phosphate, desalination 265, 237–241. fauziyati, m. r., 2019. uji adsorpsi bentonit teraktivasi koh terhadap logam cu(ii), walisongo j. chem. 2(2), 80-88. guo, j., shunwei c., li l., bing li, ping y., lijun zhang and y. feng, 2012. adsorption of dye from wastewater using chitosan-ctab modified bentonites, j. colloid interface sci. 382, 61–66. gok ö., a. s. özcan and a. özcan, 2010. adsorption behavior of a textile dye of reactive blue 19 from aqueous solutions onto modified bentonite, appl. surf. sci. 256, 5439-5443. hidayati, f., 2011. modifikasi bentonit dengan cetiltrimetilammonium bromida untuk adsorpsi anion permanganat dan kromat, skripsi, fmipa, ugm, yogyakarta. hong, k.s., lee, h.m., bae, j.s., ha, m.g., jin, j.s., hong, t.e., kim, j.p., and jeong, e.d., 2011. removal of heavy metal ions by using calcium carbonate extracted from starfish treated by protase and amylase, j. anal. sci. technol., 2, 7582. huang, z. y. li, w. chen, jianhui sh., n.zhang, x.wang, z. li, l. gao and y.zhang, 2017. modified bentonite adsorption of organic pollutants of dye wastewater, mater. chem. and phys. 202, 266-276. indarto, a., hartanto, y., putranto, a. dan bunaidi, r., 2019. penentuan model adsorpsi metil merah pada karbon aktif berbasis torefaksi arang batubara, indo. j. chem. res., 7(1), 4150. karageorgiou, k., paschalis, m. and anastassakis, g.n., 2007. removal of phosphate species from solution by adsorption onto calcite used as natural adsorbent, j. hazar. mater 139, 447 452. karunarathna m. h. j. s., zachery r., hatten, kerri m. bailey, evan t. lewis, amanda l. morris, autumn r. k., jenna c. laib, nathan t., richard a. williams, benjamin t. p., bethany l. a., w. robert m. and alexis d. o., 2019. reclaiming phosphate from waste solutions with fe(iii)− polysaccharide hydrogel beads for photo controlled-release fertilizer, j. agric. food chem., 67, 12155-12163. khatri, n., sanjiv t. and deepak r., 2016. assessment of drinking water quality and its health effects in rural areas of harij taluka, patan district of northern gujarat, environ. claims j., 28, 223246. kithome, m., paul, j.w., lavkulich, l.m. and bomke, a.a., 1998. kinetics of ammonium adsorption and desorption by the natural zeolite clinoptilolite, soil sci. soc. am. j., 62, 622–629. komadel, p., 2016. acid activated clays: materials in continuous demand, appl. clay sci. 131, 8499. laura m. s., vera a., alvarez, romina p. and ollier, 2019. acid-treated bentonite as filler in the syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 135 3 4 development of novel composite pva hydrogels, j. appl. polym. sci., 47663, 1-10. loganathan, p., vigneswaran, s., kandasamy, j. and bolan, n.s., 2014. removal and 19 recovery of phosphate from water using sorption. crit. rev. environ. sci. technol. 44, 847– 20 907. lu, j., huijuan l., ruiping l., xu z., liping s. and jiuhui q, 2013. adsorptive removal of phosphate by a nanostructured fe–al–mn trimetal oxide adsorbent, powder technology 233, 146–154. maa, j., qi, j., yao, c., cui, b. and zhang, t., li, d., 2012. a novel bentonitebased adsorbent for anionic pollutant removal from water, chem. eng. j., 200–202, 97–103. nash, c. lu and j.c. liu, 2010. removal of phosphate and fluoride from wastewater by a hybrid precipitation–microfiltration process, sep. and purif. technol. 74, 329–335. nguyen, t.a.h., ngo, h.h., guo, w.s., zhang, b.j., liang, s., lee, d.j., nguyen, p.d. and bui, x.t., 2014. modification of agricultural waste/by products for enhanced phosphate 3 removal and recovery: potential and obstacles, bioresour. technol., 169, 750–762. nurhadini, n. dan silalahi, i., 2017. adsorpsi hg(ii) the removal of aqueous phosphate, sci. total environ., 572, 1222–1230. rahayu, r., tanasale, m. dan bandjar, a., 2020. isoterm adsorpsi ion cr(iii) oleh kitosan hasil isolasi limbah kepiting rajungan dan kitosan komersil. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34. sastrohamidjojo, h., 2007. spektroskopi, edisi-3, liberty, yogyakarta. sari, f.w. dan koestiari, t., 2015. pengaruh bentonit teknis teraktivasi h2so4 terhadap kapasitas adsorpsi ion pb2+, unesa j. chem., 4:3 stojiljković, s., m. stamenković, d. kostić, m. miljković, b. arsić, i. savić and i. savić, 2015. investigations of the changes in the bentonite structure caused by the different treatments, sci. sinter., 47, 51-59. steudel, a., batenburg, l.f., fischer, h.r., weidler, p.g. and emmerich, k., 2009, alteration of swelling clay minerals by acid activation, appl. clay sci., 44, 105-115 suarya, p., 2012, karakterisasi adsorben komposit aluminium oksida pada lempung teraktivasi asam, j. kim. unud., 6, 93-100 suraiyya, f.n., 2014, bentonit termodifikasi cetiltrimetilammonium sebagai adsorben ion mn2+ dan no -, skripsi, fmipa, ugm, menggunakan sargassum crassifolium dengan adanya pb(ii), cu(ii) dan fe(ii). indo. j. chem. res., 5(1), 7-11. park, y., ayoko, g.a. and frost, r.l., 2011. application of organoclays for the adsorption of recalcitrant organic molecule from aqueous media, j. colloid interface sci., 354, 292-305. pohan, m. s. a., sutarno dan suyanta, 2016. studi adsorpsi-desorpsi anion fosfat pada zeolit termodifikasi ctab, j.penelitian sains, 18(3), 123-135. qin, s., zhansheng w., and aamir r., c. li, 2012. synthesis and characterization of slow-release nitrogen fertilizer with water absorbency: based on poly(acrylic acid-acrylic amide)/na bentonite, j.appl. polym. sci., 5, 1687-1697. rodrigues, l. a., leandro j. m., l. de simone c. coppio, g. p. thim and m. l. c. p. da silva, 2012. adsorption of phosphate from aqueous solution by hydrous zirconium oxide, environmental technology, 33 (12), 1345-1351. ruzhitskaya, o. and gogina, e., 2017. methods for removing of phosphates from wastewater, matec web of conferences, 106, 07006. radheshyam r. pawar, p. gupta, lalhmunsiama, h. c. bajaj and seung-mok l., 2016. alintercalated acid activated bentonite beads for yogyakarta. sen, t.k., and gomez d., 2011. adsorption of zinc (zn2+) from aqueous solution on natural bentonite, desalination 267, 286–294. tang, y., e. zong, h. wan., z. xu, s. zheng and d. zhu, 2012. zirconia functionalized sba-15 as effective adsorbent for phosphate removal, micropor. mesopor. mat. 155, 192–200 tian, y., w.he, d.liang, w.yang, bruce e. logan and n. ren, 2018. effective phosphate removal for advanced water treatment using low energy, migration electricefield assisted electrocoagulation, water res. 138, 129-136. toor, m., jin, b., dai, s. and vimonses, v., 2015, activating natural bentonite as a cost-effective adsorbent for removal of congo-red in wastewater, j. ind. eng. chem., 21, 651-653. utami, m., 2014, adsorpsi ion pb2+dan so 2pada bentonit termodifikasi cetiltrimetilammonium, skripsi, fmipa, ugm, yogyakarta. wang, w., x. wang, c. song, xiaolan w, j. ding, and j. xiao, 2013. sulfuric acid modified bentonite as the support of tetraethylenepentamine for co2 capture, energ. fuels 27, 1538−1546. wang, y., m. liu, b. ni, and l. xie, 2012. j carrageenan sodium alginate beads and syarifah rabiatul adawiah dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 125-136, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sra 136 superabsorbent coated nitrogen fertilizer with slow-release, water-retention, and anticompaction properties, ind. eng. chem. res. 51, 1413–1422. xie, j., yan l., c. li, d. wu and h. kong, 2014. removal and recovery of phosphate from water by activated aluminum oxide and lanthanum oxide, powder technology 269, 351-357. yan, liang-guo, yuan-yuan x., hai-qin y., xiao dong x., qin w. and bin d., 2010. adsorption of phosphate from aqueous solution by hydroxy aluminum, hydroxy-iron and hydroxy-iron– aluminum pillared bentonites, j. hazard. mater 179, 244–250. yerizam, m., i. purnamasari, a. hasan dan r. junaid, 2017. modifikasi urea menjadi pupuk lepas lambat menggunakan fly ash batubara dan naoh sebagai binder, j. teknik kimia, 23 (4), 226-229. yoon, seo-young, chang-gu l., jeong-ann p., jae hyun k., song-bae k., sang-hyup l. and jae woo c., 2014. kinetic, equilibrium and thermodynamic studies for phosphate adsorption to magnetic iron oxide nanoparticles, chem.l eng. j., 236, 341–347. zhang, h., juan zhou, yaseen muhammad, rui t., kun liu, ying zhu and zhangfa tong, 2019. citric acid modified bentonite for congo red adsorption, front. mater. 6, 1-11. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 88-92, 2022 computational calculation of nitrobenzene and its derivatives mirella fonda maahury * , matthew adi honey amos department of chemistry, faculty mathematics and natural science, pattimura university, ambon, maluku, indonesia, 97124 * corresponding author: mirellafonda31@gmail.com accepted: august 2022 available online: september 2022 abstract nitrobenzene is one of benzene derivatives. nitrobenzene can be found naturally and also from the synthesis process. nitrobenzene is used as a raw material to synthesize aniline, textile dyes, pesticides, and drugs. nitrobenzene is a solvent in the paint industry. the computational calculation was performed for nitrobenzene and its derivatives. nitrobenzene and its four nitrobenzene derivatives have been optimized using density functional theory/b3lyp functional. the basis set is 3-21g(d). the optimized structure from geometry optimization of the nitrobenzene and its derivatives are in one plane (planar). the parameter structure is changed when substituents change. the bond length increases, and the bond angle decreases when substituents are present. keywords: nitrobenzene, dft, derivatives, bond length, 3-21g(d). introduction nitrobenzene is a derivative of benzene. nitrobenzene is benzene bound to the no2group. nitrobenzene has derivatives and analogues. nitrobenzene derivatives can be used as a reactant to synthesize other molecules. alkyl nitrobenzene is one of nitrobenzene derivatives. it can be used to synthesize 3h-azepine compounds by a one-step thermal reaction (ulfa et al., 2015). the different substituents present in the compound can give different properties. different structures can cause these different properties due to different molecular groups bonded directly to the primary molecule. the structure and properties of a compound can be known from computational calculations. the nitrobenzene structure is shown in figure 1. figure 1. nitrobenzene structure the potency of a molecule can be known through computational calculations. the computational chemistry calculations provide information in the form of the structure and electronic properties of the molecule. maahury & allo (2021) have optimized geometry of 1-aeroplysinin before using for molecular docking and obtained a stable structure for interaction as antibacterial. muliadi, et al (2021) have done computational analyses for myristicin derivatives and established their properties as antioxidant compounds by qsar. computational calculations can also be helpful before any experimental work is carried out. paramita et al. (2020) investigated 1,3,4-thiadiazole properties using semiempirical method before developing it experimentally. chemical reactions can also be analyzed using computational calculations. indarto & handojo (2020) have analysis formation mechanism of cyclic hydrocarbons from c4h5 and c4h2. the calculation results show that there is growth process mechanism more possible to happen compared with a polyne based process. the stable structure and electronic properties of nitrobenzene and its derivatives can be reached by computational calculation. nitrobenzene has been analyzed with computational calculation by krishnakumar et al. (2016). they use the b3lyp functional dft theory and the cc-pvdz basis set and get . kumer et al. (2017) have calculated aniline and nitrobenzene using the dft/ wb97xd and hf. based on the computational calculation, the result gives good agreement about the presence of atoms in a molecule. soto & algarra (2021) have calculated the electronic structure of nitrobenzene to know the singlet and triplet vertical excitation energies using ms-caspt2/casscf level with a functional reference space of twenty electrons distributed in seventeen orbitals. they get that nitrobenzene has five o2n received: july 2022 received in revised: august 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mir 88 mirella fonda maahury et al. indo. j. chem. res., 10(2), 88-92, 2022 singlet valences, which correspond to single excited configurations. wang et al. (2016) have used dft with the dispersion correction to investigate the structural properties of solid nitrobenzene at ambient pressure. they get that the dft-d calculated results are a good complement to the experiments, which helps to understand the energetic molecular behavior of crystal nitrobenzene under high pressure. the computational calculation of nitrobenzene derivatives has been done. makwani & vijaya (2007) have used the ab-initio theory to calculate the first hyperpolarization of several benzene derivatives and find a good correlation between result from the experiment and calculation. in that calculation, they just used hartree-fock (hf) with 6-31g(d) basis set. there was no calculation of nitrobenzene derivative molecules from makwani & vijaya (2007) using dft. so, this research carried out a calculation on nitrobenzene and its derivatives. there are five molecules; there are nitrobenzene, 1-(4-nitrophenyl) hydrazine (2), 4-nitrobenzamine (3), 1-methoxy-4nitrobenzene (4), and n-ethyl-4-nitrobenzene. these four molecules calculated computationally using dft theory with functional b3lyp/3-21g(d). methodology nitrobenzene and its derivatives structure was built before the optimization. the structures were optimized using density functional theory with b3lyp. the basis for this calculation is 3-21g(d). the structure of nitrobenzene derivatives in this calculation is shown in figure 2. nitrobenzene (nb) 1-(4-nitrophenyl)hydrazine (nb1) 4-nitrobenzamine (nb2) 1-methoxy-4-nitrobenzene (nb3) n-ethyl-4-nitrobenzene (nb4) figure 2. nitrobenzene and its derivatives structure results and discussion the calculation result discussed in this article are optimized geometry, parameter geometry, atomic charge distribution, homo-lumo distribution, and infrared spectrum between nitrobenzene and its derivatives. the explanation based on the result and discussion in this study is as follows: nitrobenzene and its derivatives optimized structure nitrobenzene and its derivatives optimized structure was gained from geometry optimization calculation. the purpose of geometry optimization is to get a structure with a minimum energy of nitrobenzene and its derivatives. the nitrobenzene and its derivatives optimized structure is in one plane. one plane means planar. planar structure has dihedral angle of about zero degrees (0ᵒ) (maahury & martoprawiro, 2019). the planar structure is caused by the ring of benzene which is the main structure of nitrobenzene. benzene in nitrobenzene has six atom carbon connected by turns double bond. the optimized geometry of nitrobenzene derivatives is shown in figure 3. structure parameter of nitrobenzene and its derivatives three structure parameter terms are bond length, angle, and dihedral. three structural parameters changed when our structure was processed for geometry optimization calculation. the change was happening until obtaining the lowest energy. the bond length, angle, and dihedral for these five molecules give the different numbers for the same backbone. it means that the presence of functional groups affects the structure parameters. the structure parameter of nitrobenzene derivatives can be seen in table 1. based on table 1, bond length c1-2 and c1-6 for derivatives are longer than nitrobenzene. bond angle for derivatives are smaller angle than nitrobenzene. the reduced angle indicates the repulsion between the atoms with the different functional groups atomic charge distribution of nitrobenzene and its derivatives besides discussion about the structure after optimization, the other important information to the discussion is the atomic charge. knowing how the functional group affects the molecule’s atomic charge distribution is necessary. the charge distribution explains the changing of charge in backbone when it bonded to different functional group. atomic charge doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mir 89 mirella fonda maahury et al. indo. j. chem. res., 10(2), 88-92, 2022 distribution around the backbone structure (benzene) is shown in table 2. based on data in table 1, there are the different atomic charge distributions for nitrobenzene and its derivatives. the clear difference that can be seen is that the c1 charge in nitrobenzene has a negative number, while its derivatives have positive numbers. the other difference is that the c4 charge in nitrobenzene has a negative number, while its derivatives have negative numbers. this result can be caused by differences in the functional groups attached to the c1 atom and causes the distribution of atomic charge distribution to the c4. in nitrobenzene, c1 is only bonded to a hydrogen atom. at the same time, its derivatives are bound to various functional groups. (a) (b) (c) (d) (e) figure 3. nitrobenzene derivatives optimized structure (a) nb, (b) nb1, (c) nb2, (d) nb3 (e) nb4 homo-lumo distribution of nitrobenzene and its derivatives the homo and lumo show how the distribution of molecular orbitals for the molecule. homo-lumo distribution can also show how an electron can easily be transferred. the overlap between homo and lumo allows electrons to be excited easily (maahury et al., 2019). homo-lumo distribution of nitrobenzene and its derivatives are shown in figure 4. the distribution of homo-lumo shows a difference between homo and lumo in nitrobenzene and its four molecule derivatives. the homo of nitrobenzene is only spread around the no2 functional group. while the homo of its derivatives spread throughout the molecule. lumo of nitrobenzene and its derivatives have the same distribution throughout the molecule but only differ in color distribution table 1. structure parameter of nitrobenzene derivatives molecule bond length (å) bond angle ( o ) dihedral ( o ) r1-2 r1-6 a1-2-6 a3-4-5 d1-2-3-4 nb 1.3985 1.3995 120.292 121.9794 0.00 nb1 1.4124 1.4154 118.584 120.1667 0.00 nb2 1.4168 1.4172 117.9912 120.4117 0.0 nb3 1.4081 1.4031 119.5285 121.0208 0.0 nb4 1.4179 1.4211 117.8236 120.3447 0.0 table 2. atomic charge distribution of nitrobenzene derivatives molecule atomic charge c1 c2 c3 c4 c5 c6 nb -0.168611 -0.187712 -0.173338 0.299667 -0.173400 -0.187715 nb1 0.725499 -0.198390 0.299464 -0.437939 0.286016 -0.259129 nb2 0.734273 -0.239243 0.296337 -0.433888 0.295908 -0.238669 nb3 0.719402 -0.171323 0.227313 -0.314218 0.242897 -0.208716 nb4 0.774191 -0.267382 0.331640 -0.481279 0.303833 -0.278640 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mir 90 mirella fonda maahury et al. indo. j. chem. res., 10(2), 88-92, 2022 infrared spectrum of nitrobenzene derivatives the calculation of the vibration frequency is carried out to see the relationship between ir absorption and its intensity. each type of bond will have a different frequency, so it can be used to determine the type of bond, structure, or functional group. the infrared spectrum shows the fingerprints for each molecule in the calculation (maahury, et al., 2020). it shows the functional group of calculated molecules. the infrared spectrum of nitrobenzene derivatives is shown in figure 4. (a) (b) (c) (d) (e) figure 5. infrared spectrum (a) nb, (b) nb1, (c) nb2, (d) nb3 (e) nb4 conclusion computational calculations for nitrobenzene and its four nitrobenzene derivatives have been successfully done. the optimized structure is in one plane or planar. homo lumo (a) (b) (c) (d) (e) figure 4. homo distribution (a) and lumo distribution (a) nb, (b) nb1, (c) nb2, (d) nb3 (e) nb4 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mir 91 mirella fonda maahury et al. indo. j. chem. res., 10(2), 88-92, 2022 there are changing parameter structures, increasing bond length, and decreasing bond angle when the substituent is present in derivatives. the electronic properties show the same distribution of atomic charge and homo-lumo. acknowledgment the authors would like to thank mr. muhamad martoprawiro for providing the opportunity to calculate molecular optimization using software in his server. references indarto, a., & handojo, l. (2020). mekanisme teoritis pembentukan senyawa siklik hidrokarbon dari reaksi c4h5 dan c4h2. indo. j. chem. res., 7(2), 101-106. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2020.7-ant krishnakumar, s., das, a. k., singh, p. j., shastri, a., & rajasekhar, b. n. (2016). experimental and computational studies on the electronic excited states of nitrobenzene. journal of quantitative spectroscopy and radiative transfer, 184, 89-99. https://doi.org/10.1016/ j.jqsrt.2016.06.005 kumer, a., ahmed, b., sharif, m., & al-mamun, a. (2017). a theoretical study of aniline and nitrobenzene by computational overview. asian journal of physical and chemical sciences, 4(2), 1-12. https://doi.org/10.9734/ ajopacs/2017/38092 maahury, m. f., & allo, v. l. (2021). computational calculation and molecular docking of aeroplysinin-1 as antibacterial. indo. j. chem res., 9(2), 124-128. maahury, m. f., male, y. t., & martoprawiro, m. a. (2020). dft study of leuco-indigo and indigo as active material in dye-sensitized solar cell. molekul, 15(2), 114. https://doi.org/10.20884 /1.jm.2020.15.2.592 maahury, m. f., & martoprawiro, m. a. (2019). perhitungan komputasi potensi lawsone dan turunannya sebagai material aktif pada sel surya tersensitisasi zat warna. jurnal kimia mulawarman, 17(1), 5-12. maahury, m. f., martoprawiro, m. a., & wayan sutapa, i. (2019). computational calculation potency of petunidin and peonidin as photosensitizer in dye-sensitized solar cell. international j. scientific and research publications (ijsrp), 9(11), p95108. https://doi.org/10.29322/ijsrp.9.11.2019.p9510 8 makwani, d., & vijaya, r. (2007). frequencydependent hyperpolarizability of benzene derivatives: ab-initio calculations. journal of nonlinear optical physics & materials, 16(03), 367-380. https://doi.org/10.1142/s0218863507 00372x paramita, s., permata s., m., vaulina y.d., e., nasrokhah, n., & iswanto, p. (2020). pemilihan metode perhitungan kimia komputasi semiempiris untuk pengembangan 1,3,4-thiadiazole. indo. j. chem. res., 8(1), 51-56. https://doi.org/10.30598/10.30598//ijcr.2020.8pon soto, j., & algarra, m. (2021). electronic structure of nitrobenzene: a benchmark example of the accuracy of the multi-state caspt2 theory. the journal of physical chemistry a, 125(43), 9431-9437. https://doi.org/10.1021/acs.jpca.1c04 595 ulfa, s. m., okamoto, h., & satake, k. (2015). sintesis senyawa turunan 2-metoksi-3hazepina melalui reaksi termal antara alkylnitrobenzena dan tributilphosphina. natural, 3(1), 17-23. wang, w.p., liu, f.-s., liu, q.-j., & liu, z.-t. (2016). first principle calculations of solid nitrobenzene under high pressure. computational and theoretical chemistry, 1075, 98-103. https://doi.org/10.1016/j.comptc.2015. 10.014 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-mir 92 indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 177-182 1 177 potensi antibakteri ekstrak daging buah kelubi (eleiodoxa conferta) bangka belitung menggunakan microwave-assisted extraction (mae) antibacterial potential of kelubi fruit meat extract (eleiodoxa conferta) bangka belitung using microwave-assisted extraction (mae) surtina, ratih puspita sari, zulita, rani, occa roanisca, robby gus mahardika* department of chemistry, faculty of engineering, universitas bangka belitung kampus terpadu ubb, balunijuk, merawang, kabupaten bangka, kepulauan bangka belitung *corresponding author, e-mail: robby@ubb.ac.id received: jul. 2019 published: jan. 2020 abstract antibacterial tests were carried out using ethanol extract of kelubi meat (eleidoxa conferta), extraction using the microwave-assisted extraction method with a ratio of 2: 20 for 30 minutes at 60 °c. antibacterial tests using diffusion methods with concentrations of 20%, 40%, 60%, 80%, and 100%; positive control of 0.005% amoxillin and dmso negative control. antibacterial test results showed that the inhibition zone of ethanol extract in e. coli bacteria with a concentration of 20% was in the moderate category, for a concentration of 40% including the strong category while the concentration of 60%, 80% and 100% was very strong. the inhibition zone of ethanol extract for the s. aureus bacterium with a concentration of 20% is included in the strong category while the concentration of 40%, 60%, 80%, and 100% is categorized as very strong. from these results it can be concluded that the inhibitory zone in stapylococcus aureus bacteria is greater than that of e. coli bacteria. keywords: kelubi, microwave-assisted extraction, extracts, antibacterials. pendahuluan di indonesia banyak terdapat tumbuhan yang memiliki buah yang rasanya masam sehingga dikenal dengan nama asam salah satunya yaitu kelubi. biasanya buah kelubi bisa dikonsumsi tanpa diolah sebagai bahan makanan seperti pada makanan khas bangka yaitu lempah kuning. kelubi bisa memberikan rasa asam yang merupakan ciri khas dari makanan tersebut serta kelubi juga banyak diolah menjadi manisan. kelubi merupakan sejenis salak hutan yang termasuk kedalam genus eleiodoxa dan famili arecaceae dengan nama ilmiah (eleiodoxa conferta) (lim, 2012). kelubi atau asam paya banyak tumbuh dilingkungan lembab hutan berpayau di tepi sungai atau rawa. kelubi banyak ditemukan di wilayah malaysia dan indonesia (khususnya sumatera) (lim, 2012). kelubi merupakan tanaman yang mirip dengan tanaman nipah (nypa fruticans) yang dapat mencapai ketinggian maksimal hingga 5 meter. ciri daunnya mempunyai warna hijau lurus dengan susunan saling berhadapan dengan panjang sekitar 1,5 m dan lebar sekitar 3-5 cm. pelepah daun keluar dari batang perdu dan dapat mencapai 3-4 meter. pelepah daun ditutupi oleh duri dengan panjang antara 5-7 meter. ppelepah akan mati setelah ketiak pelepah mengeluarkan bunga dan daun. akar tanaman ini berupa akar serabut, dan antar batang tumbuh rapat (mohamad dkk., 2018). buah kelubi (eleiodoxa conferta) telah dilaporkan mengandung 82,2 % air, 0,8 % protein, 3,1% lemak, 11,8% karbohidrat, 11,8% serat, dan kadar abu 0,7 %. selain itu, buah kelubi juga mengandung mineral dan vitamin seperti k 227 mg, ca 26 mg, mg 22 mg, p 10 mg, fe 5,5 mg, zn 8,9 ppm, mn 5 ppm, cu 2,9 ppm, dan vitamin c 0,6 mg (lim, 2012). buah kelubi (eleiodoxa conferta) ini juga dilaporkan mengandung antosianin dalam ekstrak etanol dan digunakan sebagai dye-sensitized solar cells (dsscs) dengan efisiensi 1,00 % (jaafar dkk., 2018). uji fitokimia ekstrak kasar metanol dari eleiodoxa conferta dilaporkan mengandung flavonoid, fenolik, dan saponin. ekstrak kasar ini surtina dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 177-182 1 178 bersifat sangat kuat sebagai antioksidan dengan nilai ic50 sebesar 26,828 μg/ml (afriani dkk., 2014). mokhtar dan aziz, (2015) melaporkan air buah kelubi mengandung tiga asam organik yaitu asam malat, asam oksalat, dan asam askorbat. air buah kelubi ini mempunyai sifat antibakteri terhadap bakteri s. aureus (zona hambat 10,7 mm), b. cereus (zona hambat 11,3 mm), e. coli (zona hambat 12,7 mm), p. aeruginosa (zona hambat 8,7 mm) dan salmonella spp (zona hambat 10,3 mm). sedangkan ekstrak kasar etanol dilaporkan memiliki zona hambat s. aureus 9,63 mm dan s. thypi 17,61 mm (safitri dkk., 2017). baik air atau ekstrak kasar etanol buah kelubi telah dilaporkan bersifat antibakteri. tetapi berdasarkan penelitian tersebut ekstraksi terhadap buah kelubi yang dilaporkan menggunakan blander maupun dengan perendaman atau maserasi. metode ekstraksi yang dilakukan membutuhkan 1-4 hari untuk mendapatkan ekstrak buah kelubi. sehingga perlu adanya efisiensi ekstraksi buah kelubi mengingat kebutuhan dan pengembangan antibakteri masih perlu dilakukan karena hal penyebaran penyakit, infeksi dan resistensi akan antibakteri yang terus meningkat (kresse dkk., 2007). salah satu metode ekstraksi yang efisien yaitu kombinasi panas dengan gelombang mikro dengan menggunakan microwave-assisted extraction (mae) (mahardika dan roanisca, 2019) (mandal dkk., 2007). jika meserasi membutuhkan waktu lebih dari 24 jam, ekstraksi dengan mae hanya membutuhkan beberapa menit saja. selain itu metode mae tidak membutuhkan banyak pelarut (enggiwanto dkk., 2018). oleh sebab itu perlu dilakukan pengembangan antibakteri ekstrak eleiodoxa conferta menggunakan microwave-assisted extraction (mae). metodologi alat aluminium foil, kertas cakram, botol sampel, microwave assisted extaction (mae), corong, neraca analitik, blender, rotary evaporator, oven, plastik sampel, kertas saring, tabung reaksi, cawan petri, jangka sorong, pipet mikro, bunsen bahan daging buah kelubi, fecl3, aquades, etanol, alkohol, kloroform, pereaksi wagner, asam asetat glasial, pereaksi mayer, bakteri staphylococcuaureus, bakteri e. coli, h2so4, dmso prosedur kerja preparasi sampel sampel penelitian ini merupakan daging buah kelubi (eleiodoxa conferta) yang diambil dari desa pergem, air gegas, bangka selatan. sampel dikeringkan diudara terbuka selama 5 hari, setelah itu digiling dengan blender dan diayak. serbuk dengan ukuran <0,2 mm melalui tahap selanjutnya yaitu ekstraksi, sedangkan ukuran serbuk <0,2 mm diblender kembali (roanisca dkk., 2019) ekstraksi senyawa aktif dan karakterisasi pelarut serbuk kering buah kelubi (eleiodoxa conferta) diambil 2-gram dimasukan 20 ml pelarut dalam tabung microwave. microwave yang digunakan adalah mars 6 dari cem (gambar 1). tabung (vessel) yang digunakan adalah easyprep plus berbahan teflon (gambar 2). pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol. masing-masing pelarut digunakan tabung microwave. tabung selanjutnya dimasukkan dalam microwave-assisted extraction (mae) pada suhu dan pewer 60°c dan 1200 w dengan ramp 20 menit dan hold 10 menit. ekstrak dipisahkan dari residu dengan kertas saring. ekstrak yang didapatkan kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator vacuum hingga didapatkan ekstrak pekat (dahmoune, 2015). gambar 1. mars 6 dari cem corporation uji antibakteri uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak hasil microwave assisted extraction (mae). pengujian dilakukan terhadap jenis bakteri gram (+) dan gram (-) yaitu s. aureus dan surtina dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 177-182 1 179 e. coli. pengujian ini dilakukan dengan difusi agar pada masing-masing hasil ekstraksi dan partisi diuji dalam berbagai konsentrasi sebanyak 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%; kontrol positif 0,05% amoxillin dan kontrol negatif dmso 1 ml. selanjutnya cawan petri yang berisi bakteri s. aureus dan e. coli yang telah diinokulasikan sebanyak 2 ose diinkubasi pada suhu 37℃ selama 24 jam. kemudian diamati pertumbuhan bakteri dan diukur diameter zona hambatannya dengan menggunakan jangka sorong (miranti dkk.,2013). gambar 2. tabung (vessel) yang digunakan untuk mae hasil dan pembahasan preparasi sampel buah kelubi di kupas dan dipisahkan dari bijinya. setelah itu dilakukan penjemuran dibawah sinar matahari selama 5 hari hingga tidak terdapat lagi kadar air dan selanjutnya diblander hingga halus (atisanto dkk., 2017). (a) (b) gambar 3. (a) buah kelubi segar; (b) buah kelubi kering preparasi sampel dilakukan untuk membuat sampel buah kelubi menjadi serbuk yang siap pakai (gambar 3). pembuatan sampel menjadi serbuk untuk memudahkan dalam ekstraksi yang dilakukan dengan metode microwave-assisted extraction. ekstraksi ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode microwave assisted extraction (mae) pada suhu 60°c dan power 1200 w dengan waktu ramp 20 menit dan hold 10 menit. setelah dilakukan ekstraksi kemudian ekstrak tersebut di evaporasi dengan rotary evaporator dengan suhu 60°c hal ini bertujuan untuk menghilangkan pelarut yang digunakan pada saat ekstraksi. ekstrak yang telah dievaporasi yang awalnya berupa larutan menjadi kental. hasil evaporasi didapatkan ekstrak kental berwarna merah kecokelatan dengan rendemen 34,766% (gambar 4). gambar 4. hasil ekstraksi menggunakan mae uji antibakteri ekstrak etanol daging buah kelubi memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri s. aureus dan bakteri e. coli ditandai dengan terbentuk zona hambat (gambar 5). pada umumnya hubungan konsentrasi dan zona hambat berbanding lurus, semakin besar konsentrasi sampel maka zona hambat yang terbentuk semakin besar juga. data pengukuran zona hambat pertumbuhan bakteri s. aureus dan bakteri e. coli menggunakan ekstrak etanol buah kelubi disajikan pada tabel 1. berdasarkan penelitian lestari dan ardiningsih (2016), kategori zona hambat antibakteri sebagai berikut: zona hambatan 20 mm atau lebih termasuk sangat kuat, 10-20 mm termasuk kuat, 5-10 mm termasuk sedang dan 5 mm atau kurang termasuk lemah. dari kategori tersebut maka dapat diketahui bahwa zona hambat ekstrak etanol untuk bakteri s. aureus dengan konsentrasi 20% termasuk kategori kuat sedangkan untuk konsentrasi 40%, 60%, 80%, dan 100% termasuk kategori sangat kuat dan bakteri e. coli dengan konsentrasi 20% dan 40% termasuk dalam kategori kuat sedangkan konsentrasi 60%, 80%, 100% termasuk kategori surtina dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 177-182 1 180 sangat kuat. dari hasil di atas dapat diketahui bahwa ekstrak etanol daging buah kelubi memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri s. aureus dan e. coli. menurut sari dkk., (2019) kandungan fitokimia pada air kelubi mengandung senyawa alkaloid, fenol hidrokuinon, saponin, dan flavonoid. sedangkan steroid tidak ditemukan pada air buah kelubi yang berasa asam. hal ini menunjukkan bahwa sangat kuatnya aktivitas daya hambat bakteri s. aureus dan e. coli diduga disebabkan adanya senyawa fenolik dan alkaloid. hasil pengujian menunjukkan bahwa zona hambat bakteri s. aureus lebih besar dibandingkan dengan zona hambat bakteri e. coli. hal ini dikarenakan s. aureus termasuk dalam bakteri gram positif yang dimana memiliki dinding sel yang lebih sederhana dibandingkan bakteri gram negatif seperti e. coli. oleh sebab tabel 1. hasil diameter zona hambat bakteri uji konsentrasi ekstrak buah kelubi ulangan (mm) total rata-rata (mm) kategori i ii stapylococcus aureus 20% 19,64 19,64 38,64 19,64 kuat 40% 20,21 20,21 40,42 20,21 sangat kuat 60% 21,06 21,06 42,12 21,06 sangat kuat 80% 25,66 25,66 50,33 25,66 sangat kuat 100% 26,17 26,17 52,35 26,17 sangat kuat k (+) 29,16 29,16 58,32 29,32 sangat kuat k (-) 0 0 0 0 escherichia coli 20% 10,61 10,86 20,47 10,73 kuat 40% 12,70 11,61 24,31 12,15 kuat 60% 15,83 17,52 33,35 16,67 sangat kuat 80% 16,02 18,14 34,16 17,08 sangat kuat 100% 19,26 18,69 37,95 18,97 sangat kuat k (+) 21,28 22,54 43,82 21,91 sangat kuat k (-) 0 0 0 0 ket: k(+) = kontrol positif (amoxillin); k(-) = kontrol negatif (dmso) gambar 5. (a) zona hambat s. aureus 40%, (b) zona hambat e. coli 40%, (c) kontrol positif s. aureus (d) kontrol positif e. coli surtina dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 177-182 1 181 itu, senyawa antibakteri lebih mudah masuk ke dalam bakteri gram positif (connel dkk., 2013). berdasarkan penelitian sebelumnya, air buah kelubi (eleiodoxa conferta) yang diekstrak menggunakan blander memiliki zona hambat bakteri s.aureus sebesar 10,7 mm dan e. coli sebesar 12,7 mm (mokhtar dan aziz, 2015). zona hambat ini lebih rendah jika dibandingkan ekstrak etanol menggunakan mae. selain itu, menurut safitri dkk., (2017) ekstrak etanol hasil maserasi buah kelubi (eleiodoxa conferta) pada konsentrasi 80% memiliki zona hambat s. aureus sebesar 9,63 mm. maserasi ini dilaporkan selama 4 hari. hal ini menunjukkan bahwa dengan pelarut yang sama, aktivitas antibakteri ekstrak mae lebih baik jika dibandingkan dengan ekstrak maserasi atau hasil blander. adanya radiasi gelombang mikro dari microwave dapat membantu memecah dinding sel khususnya dari buah kelubi tersebut sehingga difusi pelarut lebih mudah masuk ke dalam sel dan melarutkan senyawa aktif didalamnya (mahardika dan roanisca, 2019). di sisi lain waktu ekstraksi dengan mae lebih singkat jika dibandingkan dengan maserasi. hal ini yang membuat mae lebih efisien dibandingkan maserasi. kesimpulan ekstrak daging buah kelubi memiliki potensi antibakteri terhadap bakteri s. aureus dan e. coli, rata-rata zona hambat ekstrak etanol untuk bakteri s. aureus untuk konsentrasi 20%; 19,64 mm termasuk kategori kuat sedangkan untuk konsentrasi 40%, 60%, 80%, dan 100% secara berurutan yaitu 20,12 mm; 21,06 mm; 25,665 mm; 26,175 mm termasuk kategori sangat kuat dan bakteri e. coli dengan konsentrasi 20%; 10,735 mm dan 40% , 12,155 mm termasuk dalam kategori kuat sedangkan konsentrasi 60%, 80%, 100% secara berurutan 16,675 mm; 17,08 mm; 18,975 mm termasuk kategori sangat kuat. hal ini menunjukkan bahwa antibakteri ekstrak etanol daging buah kelubi bakteri s. aureus lebih bagus di bandingkan bakteri e. coli ucapan terima kasih peneliti berterimakasih kepada kemenristekdikti direktorat jendral pembelajaran dan kemahasiswaan yang telah memberikan bantuan dana penelitian berdasarkan sk no. 1020/b3. 1/km/2019 daftar pustaka afriani, s., idiawati, n., destiarti, l., arianie, l., 2014, uji aktivitas antioksidan daging buah asam paya (eleiodoxa conferta burret) dengan metode dpph dan tiosianat, j. kimia khatulistiwa, 3(1), 4956. atisanto, s. v., mulyani, s., triani, i.g. a. l., 2017, pengaruh jenis pelarut dan suhu pengeringan terhadap karakteristik ekstrak pada buah kelubi (eleiodoxa conferta), jurnal dari rekayasa dan manajemen agroindustri, 5(3), 35-44. connell, k. m. g. o., hodgkinson, j. t., sore, h. f., welch, m., salmond, g. p. c., spring, d. r., 2013, combating multidrug-resistant bacteria: current strategies for the discovery of novel antibacterials, angew. chem. int., 52(41), 2–30. dahmoune, f., 2015, optimization of microwaveassisted extraction of polyphenols from m. communis l. leaves, food chemistry, 166, 585-595. enggiwanto, s., istiqomah, f., daniati, k., roanisca, o., mahardika, r. g., 2018, ekstraksi daun pelawan (tristaniopsis merguensis) sebagai antioksidan menggunakan microwave-assisted extraction ( mae ). indonesian journal of pure and applied chemistry, 1(2), 50–55. hemwimon, s., pavasant, p., shotipruk, a., 2007, microwave-assisted extraction of antioxidative anthraquinones from roots of morinda citrifolia. separation and purification technology, 54(1), 44–50. jaafar, h., ain, m. f., ahmad, z. a., 2018, performance of e . conferta and g . atroviridis fruit extracts as sensitizers in dyesensitized solar cells ( dsscs ), ionics, 24, 891–899. kresse, h., belsey, m. j., rovini, h., 2007, the antibacterial drugs market. nature reviews drug discovery, 6(january), 19–20. lestari, y., ardiningsih, p., 2016, aktivitas antibakteri gram positif dan negatif dari ekstrak dan fraksi daun nipah ( nypa fruticans wurmb.), jurnal kimia katulistiwa, 5(4), 1–8. lim, t. k., 2012, scientific name. in edible medicinal and non-medicinal plants, 1, 396–398. mahardika, r. g., roanisca, o., 2019, microwave-assisted extraction of surtina dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 177-182 1 182 polyphenol content from leaves of tristaniopsis merguensis. asean journal of chemical engineering, 19(2), 110–119. mandal, v., mohan, y., hemalatha, s., 2007, microwave-assisted extractionan innovative and promosing extraction tool for medicinal plant research. pharmaconosy reviews, 1, 7-18. miranti, m., prasetyorini., suwary, c., 2013, perbandingan aktivitas antibakteri ekstrak etanol 30% dan 96% kelopak bunga rosella (hibiscus sabdariffa) terhadap bakteri s. aureus, ekologia, 13(1), 9-18 mohamad, n. i., manan, m. a., abdullah sani, n., 2018, antibacterial potential of lactic acid bacteria isolated from local pickled eleiodoxa conferta (kelubi) against selected foodborne pathogens. malaysian journal of microbiology, 14(6), 490-496. mokhtar, s. i., aziz, n. a. a., 2015, organic acid content and antimicrobial properties of eleiodoxa conferta extracts at different maturity stages, j. trop. resour. sustain. sci., 3, 72–76. roanisca, o., mahardika, r. g., setiawan, y., 2019, tristaniopsis merguensis griff . extract as inhibitor for corrosion of stainless steel. iop conference series: earth and environmental science, 353 012020. safitri, g. l., wibowo, m. a., idiawati, n., 2017, uji aktivitas antibakteri ekstrak kasar buah asam paya (eleiodoxa conferta (griff.) buret) terhadap bakteri staphylococcus aureus dan salmonella thypi, jurnal kimia khatulistiwa, 6(1), 17– 20. sari, r. p., surtina, nazrun, mahardika, r. g. (2019). uji fitokimia dan aktivitas antibakteri pada air kelubi (eleiodoxa conferta ) terhadap bakteri staphylococcus aureus, seminar nasional penelitian dan pengabdian pada masyarakat iii, 61–63. pangkalpinang: universitas bangka belitung. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 15-20, 2020 doi: 10.30598//ijcr. 2020.8-yun 15 stability indicating rp-hplc for quantification mangiferin in extract of three species mango leaves yuni retnaningtyas*, nia kristiningrum, hidayah dwi renggani, indah purnama sary 1 departement of chemistry, faculty of pharmacy, university of jember jl. kalimantan 37 kampus tegal boto jember * corresponding author: ifir_retnaningtyas@yahoo.co.id received: 2019-12-20 received in revised: 2020-4-29 accepted: 2020-5-28 available online:2020-5-31 abstract the stability indication of reversed phase-high performance liquid chromatography (rp-hplc) method was validated for quantitative determination of mangiferin on three species mango leaves (mangifera odorata griff, mangifera foetida lour, and mangifera indica l.). the samples were extracted by maseration method using methanol and concentrated using rotary evaporator. the method carried out on stationary phase a purospher rp-18 endcapped (25 cm × 4.6 mm i.d., 5 µm) column with a mobile phase consisting of methanol: phosphoric acid 0.1% (v/v) (31:69); flow rate:0.8 ml/min; solvent methanol, detection was carried out at 258 nm. the analytical performace this measurement is good with the value of linearity (r 2 =0.998), precision (%rsd=0.649%), and accuration (10.67%). the forced degradation studies were carried out according to the international conference on harmonization (ich) guidelines. the results indicating that the complete separation between degradation products and mangiferin peak occured. the degradation limit of mangiferin 5–20% (according to the guideline of ich) except in basic condition (100%). the method was succesful applied to determine of the mangiferin in pakel (mangifera foetida), kweni (mangifera indica) and kopyor (mangifera odorata) extract. the mangiferin content was obtained are pakel (9.95%), kopyor (7.40%) and kweni (mangifera odorata) (2.49%) respectively. keywords: mangiferin, mango leaf, mangifera odorata griff., mangifera foetida lour, mangifera indica l., rp-hplc, validation introduction the mango was easily found in indonesia and distributed in all region of indonesia. indonesia was one of the country with the highest production of mango (husen et al., 2012). but, until now only the fruit have been used while the leaves not yet. mango leaves (mangifera indica l.) from anarcadiaceae family contains many chemical compounds such as phenol, β-carotene, flavonoid, tannin, saponin, alkaloid and steroid (palafox-carlos et al., 2012 ; pino et al., 2011). one of the phenolic compounds that found in mango was mangiferin. mangiferin can be found in all parts of mango plants as peel, pulp, seed kernel (luo et al., 2012) , bark (garcía-rivera et al., 2011) and leaves (jutiviboonsuk et al., 2010). the mangiferin was a phenolic compound that has poten antioxidant activity, and multifactorial pharmacological effects, including antidiabetic, antitumor, lipometabolism regulating, cardioprotective, anti-hyperuricemic, neuroprotective, anti-inflammatory, antipyretic, analgesic, antibacterial, antiviral and immunomodulatory effects (mirza et al., 2013; du et al., 2018). mangiferin is cglucosyl xanthone and its structures (figure 1) 2-c-dglucopyranosyl-1,3,6,7-tetrahydroxy xanthone, fulfill to lipinski rules (campa et al., 2012). based on chemotaxonomy, mangiferin can be found in another mango species; more related the plant so the chemical compound will be more similar (subha et al., 2007). but, the amount of the compound can be affected by some factors such as the location of cultivation, variety, and stage of maturity. figure 1. structure of mangiferin mangiferin was quantified only in one species of mango (mangifera indica l.) while there are 62 species of mango (pracaya, 2005). quantification of mangiferin can be done using high-performance thin layer chromatography (hptlc) (subha, et al., 2007), yuni retnaningtyas et al. indo. j. chem. res., 8(2), 15-20, 2020 doi: 10.30598//ijcr. 2020.8-yun 16 liquid chromatography-mass spectrometry (lc-ms) (ilango, et al., 2014) and high-performance liquid chromatography (hplc) (zhang, et al., 2014; eddy, et al., 2014). so, the aim of present study was to develop a stability-indicating rp-hplc assay method for mangiferin. the developed hplc assay method was validated as per ich guidelines q2 (r1) (anonim, 2005) and to determine the highest contents of mangiferin in three species of mango leaves so can be used as traditional medicines. methodology materials and instrumentals mangiferin standard was purchased from sigmaaldrich, india. methanol used for hplc was analytical grade and purchased from sigma-aldrich, germany. water used for hplc was purchased from wida witmunicap. another material used in this analysis were technical methanol, technical phosphoric acid, and membrane filter (0.22 µm). kweni, pakel and kopyor leaves that were used in this study must had dark green color and taken from the plagiotrop branch and cultivated on january 2019. all the species used had been identified by faculty of science university of jember. the research was carried out at the laboratory for analytical chemistry at departement of chemistry faculty of pharmacy jember university. methods instrumentation and analytical condition the chromatographic analysis was performed using hplc shimadzu prominence integrated with uv detector, on a purospher® star rp-18 end capped with 5 μm particle size. 4.6 mm internal diameter and 250 mm lenght (merck, darmstadt, germany) column with flow rate 0.8 ml/min, wavelength 258 nm, injection volume 20 µl and optimum concentration 10 µg ml -1 . mobile phase consists of methanol: phosphoric acid 0.1% (v/v) (31:69) with isocratic elution technique. preparation of mobile phase the water amount 31 ml of was added by 10% of phosphoric acid (solution 1). 69 ml of methanol and solution 1 were mixed using erlenmeyer and filtered through 0.22 µm membrane filter. extraction of kweni, pakel, and kopyor leaves leaves were washed and dried at room temperature for seven days. the leaves were heated with the oven at 50 o c for 30 minutes and blend to make the smaller size. leaves powder weighed 100 mg and extracted by maceration method using methanol 500 ml for 24 hours. then sample concentrated using rotary evaporator at 50 o c under pressure (irmawan, et al., 2018) preparation of standard stock solution the standard stock solution was prepared by weighing 1 mg of mangiferin standard and transferred to 10 ml clean dry volumetric flask. the volume was made up with methanol to obtain 100 µg/ml of mangiferin. the solutions were further diluted with the same solvent to obtain the needed concentration of mangiferin standard. preparation of sample solution the sample solutions were prepared by weighing 1 mg of extract of kweni, pakel and kopyor leaves and transferred to 10 ml clean dry volumetric flask. 4 ml of solvent added and sonicated for 30 min in cold water. finally, the volume was made up using methanol to obtain 100 µg/ml of the extract kweni leaves. the solutions were further diluted with the same solvent to obtain the concentration of extract kweni leaves 10 µg/ml. validation method validations method was performed using kweni leaves extract. the method of analysis was validated using recommendation of ich for parameters like system suitability, linearity, accuracy, precision, detection limit, and quantitation limit. 1. system suitability the system suitability was determined by injected standard solution of mangiferin 10 μg/ml six times into system and chromatograms were recorded. the system suitability was determined by %rsd (relative standard deviation) of retention time and peak area, theoretical plates and tailing factor. 2. specificity the blank solution, standard solution, and sample solution were injected simultaneously into the system and chromatograms were recorded. specifity was determined of analyzing the cromatogram of sample in comparison with those obtained for mangiferin standard solution and blank solution aiming at confirming that none of the matrix interfere with the quantitation of the extract. 3. linearity linearity was determined by a least-square linear regression routine using the compound peak area and concentration of the working standard yuni retnaningtyas et al. indo. j. chem. res., 8(2), 15-20, 2020 doi: 10.30598//ijcr. 2020.8-yun 17 solutions prepared at seven concentration levels (6.08; 8.1; 10.1; 12.1; 16.2; 18.2 and 20.2 μg/ml) were prepared from working standard. 20μl each concentrations were independently injected into hplc system. the linearity of the method was evaluated by calculation of correlation coefficient of calibration curves according to the ich. 4. the limit of detection (lod) and limit of quantitation (loq) the limit of detection (lod) and limit of quantitation (loq) were calculated using following formula: lod= 3.3(sd)/s and loq= 10 (sd)/s, where the sd=standard deviation of response (peak area) and s= average of the slope of the calibration curve (pangabean, et al., 2016). 5. intraday and interday precision the precision was assessed at intraday and interday time. the intraday precision was determined by measuring kweni leaves extract 100 μg/ml injected six times on the same day. the intermediate (interday) precision was estimated by injecting kweni leaves extract prepared at the same concentrations on three different days. results were reported in terms of relative standard deviation (rsd) (napitupulu, et al., 2019). 6. accuracy the accuracy of the method was determined by calculating percentage recovery using standard addition method. the concentration of the standard had been added was 30, 45, and 60% of the concentration of the kweni leaves extract. procedure for forced degradation studies forced degradation studies were carried out to provide some information about the standard mangiferin and sample solutions stability during analysis. those solutions were analyzed over a period of 24 h at room temperature. the force degradation studies were conducted by exposing the standard and sample solution with various degradation conditions such as acidic (2 n hcl for 30 min at 60 °c), basic (2 n naoh for 30 min at 60 °c), neutral (refluxing the extract in water for 6 hours at 60 °c), oxidative (20 % h2o2 for 30 min at 60 °c), thermal (105 °c for 6 h ), and photolytic (uv chamber for 7 days ) (naim, et. al., 2018, bandla, et al., 2018). result and discussion the research indicated that the system suitability parameters were obtained with the mobile phase containing methanol 0.1% (v/v) of phosphoric acid (31:69 % v/v). the mobile phase eluted the extract at retention times 18.939 min. the suitability parameters like resolution, tailing factor, theoretical plate count and % rsd for peak area of five replicate injections of the standard are within limits. the corresponding chromatogram was shown in figure 2 and the data are presented in table 1. figure 2. typical sample chromatogram the calibration curve for mangiferin content was found to be linear over the range of 6.08-20.20 µg ml -1 . the linier regression equation obtained was y = -62737.69 + 88267.09x, where 𝑦 is the peak area and 𝑥 is the standard solution concentration. the correlation coefficient (r 2 ) 0.998171. the data of regression analysis of the calibration curve is shown in table 2 and figure 3. table 1. system suitability parameters no. parameters mangiferin 1 tailing factor (tf) 0.785 2 resolution (rs) 9.690 3 retention time (rt) 18.939 4 theoretical plates (n) 1116.367 table 2. data of linearity results method linierity probability 95% number of data 7 equation y = -62737.69 + 88267.09x correlation coefficient 0.9982 the % rsd value were less than 2.0% for all concentrations tested and confirmed the suitable intraday and interday precision of the method. the results obtained for the intraday and interday precision are shown in table 3. the rt of mangiferin of standard solution and sample solution are identical. moreover, the blank solution doesn't produce any peak. hence the proposed analytical method is specific for estimation of mangiferin. the lod for mangiferin was found to be 0.544 μg ml while loq was 1.633μg ml , respectively. the mean recoveries yuni retnaningtyas et al. indo. j. chem. res., 8(2), 15-20, 2020 doi: 10.30598//ijcr. 2020.8-yun 18 were found to be 101 to 102.5%. these results demonstrate accuracy for the determination of mangiferin in kweni leaves extract. the accuracy test parameters are summarized in table 4. figure 3. curve of calibration the method was continued for testing at the stability of the samples under various stress conditions. solution of mangiferin standard was exposed toward, acid (2.0 n hcl for 30 min at 60 °c), base (2.0n naoh for 30 min at 60 °c), oxidizing agent (20% h2o2 for 30 min at 60 °c), thermal (105 o c for 6 h),uv light (keeping the standard solution in uv chamber for 7 days). degradation of drug substances between 5 and 20% has been accepted for validation of chromatographic assays (taylor et al., 2012). table 3. the result of precision test precision (% rsd) intraday interday* n=6 first day second day third day 0.649% 0.649% 1.295% 1.212% rsd: relative standard deviation, *average of six determination table 4. the result of accuracy test addition of standards *theoretical mass (mg) *experiment mass (mg) #%recovery % rsd 30% 0.1652 0.1669 101.0 1.20 45% 0.1770 0.1791 101.2 1.55 60% 0.1982 0.2036 102.8 1.60 *average of three estimation of extract, #average of three estimation at each level the method was able to detect 18.14 % of decomposition in neutral hydrolysis condition. the chromatograms observed from samples, subjected to various stress conditions, are shown in figures 4a to 4f. the amount of drug decomposed at various stress conditions are shown in table 5. from the results, it was found that mangiferin was degraded 100 % in basic condition. in case of acid hydrolysis, the degradation was below the limit for mangiferin. it makes us choosing the ph of buffer in acidic region. 4(a) 4(b) 4(c) 4(d) 4(e) yuni retnaningtyas et al. indo. j. chem. res., 8(2), 15-20, 2020 doi: 10.30598//ijcr. 2020.8-yun 19 4(f) figure 4. hplc chromatogram (a) acid degradation, (b) basic degradation, (c) neutral degradation (d) peroxide degradation, (e) thermal degradation, (f) photo degradation table 5. degradation study of mangiferin % degradation acid hydrolysis base hydrolysis neutral hydrolysis oxidat ion heat uv 3.79 100 18.14 2.19 11.81 7.90 table 6. quantification results of mangiferin in kweni, pakel and kopyor samples *weight (mg) *mass of analyte (mg) *content (%w/w) %rsd pakel 5.150 0.5493 9.95 2.13 kopyor 5.419 0.4014 7.40 1.41 kweni 5.18 0.1287 2.49 0.65 the next step using the chromatographic analysis is the quantification of mangiferin in kweni, pakel and kopyor. the results of the quantification can be seen in table 6. the highest concentration of mangiferin found in the pakel leaves extract. we hope there is some research in the future about pakel leaves used as traditional medicines. conclusion the proposed stability indicating rp-hplc method was found to be simple, sensitive, rapid, economical and useful for routine analysis of mangiferin in the extract of kweni leaf (mangifera odorata griff.), pakel (mangifera foetida lour.), and kopyor (mangifera indica l.). the statistical parameters and recovery studies were carried out and reported. the obtained results were satisfactory according to the ich guidelines. the study showed the leaves of three mango species contain mangiferin with the highest concentration was species pakel. references husen, s., kuswanto, ashari, s., and basuki, n., 2012. induction of flowering and yield of mango hybrids using paclobutrazol. j agril. food tech., 2(9), 153–158. palafox-carlos, h., yahia, e.m., and gonzálezaguilar, g. a., 2012. identification and quantification of major phenolic compounds from mango (mangifera indica, cv. ataulfo) fruit by hplc-dad-ms/ms-esi and their individual contribution to the antioxidant activity during ripening, j. foodchem, 135(1), 105–111. pino, j. a., and queris, o., 2011. analysis of volatile compounds of mango wine, j. foodchem, 125(4), 1141–1146. luo, f., qiang l.v., yuqin, z., guibing, h., guodi, h., jiukai, z., 2012, quantification and purification of mangiferin from chinese mango (mangifera indica l.) cultivars and its protective effect on human umbilical vein endothelial cells under h2o2-induced stress, int. j. mol. sci., 13(9), 11260-11274. garcía-rivera, d., delgado, r., bougarne, n., haegeman, g., and vanden, w., 2011. gallic acid indanone and mangiferin xanthone are strong determinants of immunosuppressive anti-tumour effects of mangifera indica l . bark in mda-mb231 breast cancer cells, j. canlet, 305(1), 21–31. jutiviboonsuk, a., and chanchai, s., 2010. mangiferin in leaves of three thai mango (mangifera indica l.) varieties, isan j. pharm. sci., 6(3), 123-129. mirza, r.h., nan, c., and yuling, c., 2013. therapeutic potential of the natural product mangiferin metabolic syndrome, j. nutr. ther., 2(2), 74-79. du, s., liu, h., lei, t., xie, x., wang, h., he, x., and wang, y., 2018. mangiferin: an effective therapeutic agent against several disorders (review), mol. med. rep., 18(6), 4775–4786. campa, c., laurence, m., arsene, r., luc, p.r.b., annick, g., and couturon, e., 2012. a survey of mangiferinand hydroxynnamic acid ester accumulation in coffee (coffea) leaves: biological implications and uses, ann. bot., 110, 595. subha, r., madan, p., and ajay r., 2007. a new convenient method for determination of mangiferin, an anti-diabetic compound in mangifera indica l., j. planar. chromat., 20(5), 317-320. yuni retnaningtyas et al. indo. j. chem. res., 8(2), 15-20, 2020 doi: 10.30598//ijcr. 2020.8-yun 20 pracaya, 2005. bertanam mangga, penebar swadaya, jakarta. ilango, k., ananth, k. k., mohan, k.r., agarwal, a., and dubey, g.p., 2014. lc-ms quantification of mangiferin inhydroalcoholic extract of salacia oblonga, salacia roxburghii and polyherbal formulation, int. j. phytopharm., 4(1), 11-15. zhang, x., benwei, s., jing, l., yonghua, l., dong, l., and kaixin, z., 2014. analysis by rp-hplc of mangiferin component correlation between medicinal loranthus and their mango host trees, j chromatogr sci, 52(1), 1-4. eddy, c.g., rolando, g.h., lauro, n.p., and jos, h., 2014. determination of mangiferin in mangifera indica l. stem bark extract (vimang®) and pharmaceuticals by liquid chromatography, emir, j. food agric. 26(7), 592-601. international conference on harmonisation, 2005. validation of analytical procedures: text and methodology q2(r1), inter. conf. on harmonisation of technical requirements for registration of pharmaceuticals for human use, geneva, 1-13. irmawan, m., mandey, f.w., and dali, s., 2018. identification, characteriterization, an toxicity essay of non-polarsecondary metabolite fraction from ageratum conyzoides l., indo. j. chem. res., 6(1), 1-5. panggabean, a.s., and rachman, a., 2016. validasi metode x-ray fluorescence untuk analisis ion fe dalam activated methyl diethanol amine(amdea), ind. j. chem. res., 3(2), 302307 napitupulu, r.m., julia, d., and panggabean, a.s., 2019. validation method on the determination of mn in lubricating oil by direct dilution method using atomic absorption spectrometer indo. j. chem. res., 6(2), 94-100 naim, m., and ahmed, a., gj, k., 2018. stability indicating reverse-phase high-performance liquid chromatography method development and validation for simultaneous estimation of telmisartan and benidipine hydrochloride in pharmaceutical dosage form, asian j pharm clin res, 11(5), 342-350. bandla, j., and ganapaty, s., 2018. new stabilityindicating ultra performance liquid chromatography method development and validation of lenvatinib mesylate in bulk drug and pharmaceutical dosage forms, asian j pharm. clin. res, 11(9), 140-143. taylor, p., bonfilio, r., cristina, e., cazedey, l., araújo, m. b. de, bonfilio, r., and salgado, n., 2012. analytical validation of quantitative high-performance liquid chromatographic methods in pharmaceutical analysis: a practical approach, crit rev anal chem, 42(1), 87–100. indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 28 32 1 28 screening of phytochemicals and bioactivity test of the leaves breadfruit (artocarpus altilis) skrining fitokimia dan uji bioaktivitas daun sukun (artocarpus altilis) rosmawaty 1 , hellna tehubijuluw 2 1,2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 corresponding author e-mail:rose@fmipa.unpati.ac.id received: juni 2013 published: july 2013 abstract screening phytochemical and bioactivity test of breadfruit leaves (arthocarpus altilis) have been done. the samples were used in the study extracted by maceration method with some solvent polarity enhanced, there are: n-hexane, chloroform, ethyl acetate, and methanol. the bioactivity test use bst (brine shrimp lethality test). the activity assay use brine shrimp a. salina leach. content of the secondary metabolites in four crude extract of leaves of breadfruit (a. altilis) are alkaloids, steroids, terpenoids, and flavonoids. whereas only phenolic compounds contained in the crude extract of chloroform and methanol. the saponins content only in the crude extract methanol. the fourth test of bioactivity of the crude extract of leaves of breadfruit there are: n-hexane, chloroform, ethyl acetate, and methanol had lc50: > 1000 mg / ml; 387.436 mg / ml; 415.623 mg / ml; and 392.826 mg / ml respectively. the crude extract of chloroform, ethyl acetate, and methanol classified active in the bst test to brine shrimp a. salina, while the crude extract n-hexane classified as inactive. the leaves of breadfruit (a. altilis) has potential to be used as medicine. keywords : bst, screening, phytochemical, breadfruit leaves (arthocarpus altilis), bioactivity. pendahuluan keanekaragaman tumbuhan yang ada di indonesia dapat dimanfaatkan dalam semua aspek kehidupan manusia, diantaranya sebagai senyawa obat, pewarna, pestisida, pewangi, dan bahan kosmetik. serangkaian penelitian dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa tumbuhan merupakan tempat terjadinya sintesis senyawa organik yang kompleks menghasilkan sederet golongan senyawa dengan berbagai macam struktur. moraceae terdiri atas tiga genus utama yaitu ficus, morus, dan artocarpus. genus artocarpus dikenal sebagai tumbuhan nangkanangkaan yang terdiri dari 60 spesies yang tersebar di asia tenggara dan asia selatan, sekitar 80% dari jumlah tersebut terdapat di indonesia (jarret, 1960 dalam ersam, 2001). beberapa spesies dari genus artocarpus yang sangat populer dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat indonesia antara lain artocarpus heterophyllus (nangka), artocarpus champeden (cempedak), dan artocarpus altilis (sukun). artocarpus altilis tergolong tanaman tropik sejati, tumbuh paling baik di dataran rendah yang panas. tanaman ini tumbuh baik di daerah basah, tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering asalkan ada air tanah dan aerasi tanah yang cukup. a. altilis bahkan dapat tumbuh baik di pulau karang dan di pantai. di musim kering, disaat tanaman lain tidak dapat atau menurun produksinya, justru a. altilis dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat. tidak heran, jika a. altilis dijadikan sebagai salah satu cadangan pangan nasional (koswara, 2006). selain itu tumbuhan ini digunakan antara lain sebagai bahan bangunan dan bahan ramuan obat tradisional untuk pengobatan malaria, disentri, dan penyakit kulit. daun sukun efektif mengobati penyakit seperti liver, hepatitis, sakit gigi, gatal-gatal, pembesaran limpa, jantung, dan ginjal (heyne, 1987). kemampuan daun a.altilis dalam menyembuhkan penyakit tidak lepas dari rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 28 32 1 29 adanya senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada daun tersebut. lima senyawa geranil dihidrocalkon yaitu 1(2,4-dihidroksifenil)-3-{4 hidroksi-6,6,9-trimetil6a,7,8,10a-tetrahidro-6h-dibenzo[b,d]piran-5il}-1-propanon; 1-(2,4-dihidroksifenil)-3[3,4dihidro-3,8-dihidroksi-2-metil-2-(4-metil-3pentenil)-2h-1 benzopiran-5-il]-1-propanon; 1(2,4dihidroksifenil)-3-[8-hidroksi-2-metill-2(3,4-epoksi-4-metill-1-pentenil)-2h-1benzopiran-5-il]-1-propanon;1 (2,4dihidroksifenil)-3-[8-hidroksi-2-metil-2-(4hidroksi-4-metill-2-pentenil)-2h-1-benzopiran5-il]-1-propanon, dan 2-[6-hidroksi-3,7dimetilokta-2(e),7-dienil]-2′,3,4,4′tetrahidroksidihidrocalkon, serta empat senyawa geranil flavonoids telah diisolasi dari daun a. altilis. tiga di antara lima senyawa geranil dihidrocalkon tersebut bersifat sitotoksik terhadap spc-a-1, sw-480, dan sel kanker smmc-7721 (yu dkk., 2007). penelitian mengenai a. altilis di indonesia telah dilaporkan sebelumnya. hasil penelitian tersebut menunjukkan berbagai senyawa turunan flavonoid telah diisolasi dari hampir seluruh bagian tanaman tersebut. pada ekstrak benzen kulit akar diperoleh sikloartobilosanton (1) dan artonol b (2); pada bagian kayu akar terdapat sikloartokarpin (3) dan artoindonesianin f (4). pada bagian kulit batang a. altilis diisolasi senyawa morusin (5) dan artonin e (6) dari ekstrak etilasetat; dari ekstrak kayu batang fraksi n-heksan diperoleh artokarpin (7), caplasin (8) dan artoindonesianin b (9). dari ekstrak etilasetat daun telah diidentifikasi suatu dihidrocalkon yaitu 2-geranil-2’,4’,3,4tetrahidroksi dihidrocalkon (10), serta dua turunan fenolik yang belum teridentifikasi (ersam dkk., 1999; ersam dkk., 2000; erwin dkk., 2001; bachtiar, 2004). sejumlah senyawa tersebut memperlihatkan aktivitas yang menarik seperti antiinflamasi, sitotoksik, dan inhibitor enzim. banyak metode yang dapat digunakan untuk menentukan aktivitas suatu senyawa. salah satunya adalah metode brine shrimp lethality test (bst) dengan menggunakan benur udang artemia salina untuk menentukan toksisitas suatu senyawa. metode bst merupakan metode yang sederhana dan memiliki korelasi positif terhadap aktivitas antikanker (mayer dkk., 1982). penelitian mengenai a. altilis yang telah dilaporkan sebelumnya namun terkonsentrasi pada kawasan barat indonesia, karena semua sampel yang diteliti berasal dari sumatera barat dan jawa barat. adapun isolasi senyawa dari daun a. altilis yang berasal dari wilayah timur indonesia khususnya maluku belum pernah dilaporkan. metode penelitian a. pengumpulan bahan tumbuhan daun sukun (artocarpus altilis) diperoleh dari desa tengah-tengah kecamatan salahutu kabupaten maluku tengah, maluku. b. ekstraksi pada penelitian ini daun sukun dalam bentuk serbuk sebanyak 50 g diekstrak dengan menggunakan pelarut n-heksan dengan cara maserasi selama 24 jam, kemudian residu dari hasil maserasi dengan pelarut n-heksan dimaserasi lagi menggunakan pelarut kloroform selama 24 jam. selanjutnya dimaserasi kembali residu dari hasil maserasi pelarut kloroform dengan menggunakan pelarut etil asetat selama 24 jam. langkah terakhir yaitu maserasi residu etil asetat selama 24 jam dengan pelarut metanol. selanjutnya maserat atau ekstrak dari ke empat pelarut tersebut dipekatkan hingga diperoleh ekstrak kasar. kemudian terhadap keempat ekstrak tersebut dilakukan uji fitokimia dan uji bioaktivitas dengan menggunakan udang artemia salina (brine shrimp lethality test). c. uji fitokimia 1. senyawa alkaloid uji senyawa alkaloid menggunakan pereaksi mayer. pereaksi mayer dibuat dengan melarutkan 0,2 gram hgcl2 dengan 6 ml akuades dan sebanyak 0,5 gram ki dilarutkan dalam 1 ml akuades. kedua larutan tersebut dicampur. cara kerja uji alkaloid, yaitu: sampel dilarutkan dengan asam klorida 0,1 n kemudian dimaserasi selama 2 jam. hasil maserasi tersebut ditambahkan 2-3 tetes pereaksi mayer. adanya warna kuning menandakan positif alkaloid. rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 28 32 1 30 2. senyawa terpenoid, steroid, fenolik dan flavonoid sampel dikocok kuat dengan kloroform lalu ditambahkan akuades, biarkan sampai terbentuk dua lapisan. a. lapisan kloroform diteteskan pada plat tetes dan biarkan kering, tambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat (pereaksi liebermann burchard). terbentuknya warna merah atau jingga menandakan positif untuk senyawa terpenoid dan terbentuknya warna biru atau hijau positif untuk steroid. b. lapisan air 1. beberapa tetes ditempatkan dalam tabung reaksi ditambahkan besi (iii) klorida, jika timbul warna hijau sampai ungu menandakan positif fenolik. 2. beberapa tetes ditempatkan dalam tabung reaksi, ditambahkan asam klorida pekat dan serbuk magnesium, jika timbul warna merah menunjukkan adanya flavonoid. 3. senyawa saponin/ uji froth sedikit ekstrak kasar diekstrasi dengan dietil eter tiga kali dan fraksi yang larut dalam dietil eter dipisahkan. sisa residu yang tidak larut dalam dietil eter ditambahkan 5 ml air lalu dikocok, uji positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil kira-kira 15 menit (simes dkk., 1959 dalam sutisna, 2000). 4. uji bioaktivitas terhadap benur udang artemia salina leach uji bioaktivitas yang digunakan adalah bst yang dilakukan terhadap benur udang a. salina. uji ini mempunyai korelasi positif dengan uji-uji sekunder yang lain, seperti sebagai anti-tumor sel murni leukemia p-388 maupun anti-kanker (mayer dkk., 1982). prosedur uji aktivitas sebagai berikut: 1 mg sampel dalam tabung ependorf dilarutkan dengan dmso sebanyak 100 l kemudian diencerkan dengan 150 l akuabides. dari pengenceran tersebut diambil 200 l diencerkan kembali dengan 600 l akuabides. selanjutnya pengenceran dilakukan dalam mikroplate dengan variasi konsentrasi 500; 250; 125; 62,5; 31,2; 15,6; dan 7,8 g/ml untuk tiap lubang pada mikroplate dan dilakukan secara triplo. benur udang a. salina yang berumur 48 jam dipipet sebanyak 100 l dengan jumlah benur 7-15 ekor lalu dimasukkan pada tiap lubang pada mikroplate yang berisi sampel, kemudian diinkubasi selama 24 jam. perlakuan ini juga dilakukan pada kontrol sebagai kontrol negatif. setelah 24 jam jumlah benur udang yang mati dan yang hidup pada tiap lubang dihitung. data jumlah rata-rata udang yang mati dan jumlah total udang pada tiap variasi konsentrasi sampel kemudian dimasukkan dalam program komputer “bliss method” untuk menentukan nilai lc50, pengeceran tambahan mungkin diperlukan untuk zat yang sangat aktif (mayer dkk., 1982). hasil dan pembahasan 1. uji fitokimia pada penelitian ini sampel daun sukun yang telah dihaluskan, diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut n-heksan selama 24 jam. kemudian residu dari hasil maserasi dengan pelarut n-heksan dimaserasi lagi menggunakan pelarut kloroform selama 24 jam. selanjutnya dimaserasi kembali residu dari hasil maserasi pelarut kloroform dengan menggunakan pelarut etil asetat selama 24 jam. langkah terakhir yaitu maserasi residu etil asetat selama 24 jam dengan pelarut metanol. selanjutnya maserat atau ekstrak dari ke empat pelarut tersebut dipekatkan hingga diperoleh ekstrak kasar. ekstrak kasar yang diperoleh dari keempat pelarut tersebut yaitu: n-heksan 2,10 g; koroform 0,54 g; etil asetat 1,17 g; dan metanol 1,72 g. hasil uji fitokimia daun sukun dari keempat ekstrak kasarnya yaitu: n-heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol, dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3 menunjukkan bahwa keempat ekstrak kasar daun sukun mangandung sebagian besar golongan senyawa berdasarkan uji fitokimia yaitu alkaloid, terpenoid, steroid, fenolik, flavonoid, dan saponin. steroid menurut simes dkk. (1959) dalam sutisna (2000) memberikan hasil yang positif apabila ekstrak kasar sampel ditambah pereaksi libermann-burchard memberikan warna biru atau hijau. sedangkan terbentuknya warna merah hingga jingga dengan rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 28 32 1 31 penambahan pereaksi libermann-burchard manandakan positif adanya terpenoid. warna biru kehijau-hijauan dan merah hingga jingga yang ditimbulkan pada penambahan pereaksi libermann-burchard pada keempat ekstrak kasar daun sukun dimungkinkan adanya steroid dan terpenoid. menurut chozin (1996) dalam sutisna (2000), flavonoid memberikan hasil yang positif apabila ekstrak kasar sampel ditambah serbuk mg dan hcl pekat memberikan warna merah, sedangkan positif fenolik apabila ekstrak kasar sampel berwarna hijau setelah ditambahkan pereaksi fecl3. warna merah yang ditimbulkan pada penambahan serbuk mg dan hcl pekat pada keempat ekstrak kasar daun sukun dimungkinkan adanya flavonoid. warna hijau pada ekstrak kasar etil asetat dan metanol yang ditimbulkan pada penambahan pereaksi fecl3 dimungkinkan adanya fenolik, sedangkan pada ekstrak kasar n-heksan dan kloroform tidak terbentuk warna hijau. saponin menurut simes dkk. (1959) dalam sutisna (2000) memberikan hasil yang positif apabila ekstrak kasar sampel ditambah air lalu dikocok menimbulkan busa yang stabil kira-kira 15 menit. busa yang stabil kira-kira 15 menit yang ditimbulkan pada ekstrak kasar metanol daun sukun dimungkinkan adanya saponin, sedangkan ketiga ekstrak kasar lainnya dari daun sukun larut sempurna dalam pelarut dietil eter. terbentuknya warna kuning dengan penambahan pereaksi mayer menandakan positif adanya alkaloid. warna kuning yang terbentuk dengan penambahan pereaksi mayer pada keempat ekstrak kasar daun sukun tersebut, dimungkinkan adanya alkaloid. 4.2 uji bioaktivitas terhadap benur udang artemia salina leach senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi. oleh karena itu daya bunuh in vivo dari senyawa terhadap organisme hewan dapat digunakan untuk mengetahui ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktivitas. uji bioaktivitas primer yang lazim dilakukan pada ekstrak maupun senyawa-senyawa bahan alam adalah brine shrimp lethality test. uji bioaktivitas ini dilakukan terhadap benur udang artemia salina leach (mayer, dkk., 1982). uji bioaktivitas dari keempat ekstrak kasar daun sukun yaitu: n-heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol terhadap a. salina dapat dilihat pada tabel 4. keempat ekstrak kasar dari daun sukun (a. altilis) yaitu: n-heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol, diuji bioaktivitasnya dengan menggunakan metode bst (brine shrimp lethality test) sesuai dengan cara yang diuraikan oleh mayer. menurut mayer dkk. (1982), suatu ekstrak dikatakan berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan antikanker apabila ekstrak tersebut mampu menyebabkan kematian 50% larva udang a. salina pada kadar lebih kecil atau sama dengan 1000 µg/ml. tabel 4.nilai lc50 dari uji bioaktivitas keempat ekstrak kasar daun sukun (a. altilis) no. ekstrak kasar lc50 (µg/ml) 1. n-heksan >1000 2. kloroform 387,436 3. etil asetat 415,623 4. metanol 392,826 hasil uji menunjukkan adanya bioaktivitas yang cukup tinggi pada ekstrak kasar kloroform, etil asetat, dan metanol. nilai lc50 dari ketiga ekstrak kasar tersebut di bawah 1000 µg/ml. dimana eksrak kasar kloroform merupakan ekstrak daun sukun yang paling aktif, kemudian diikuti dengan ekstrak kasar metanol dan etil asetat. sedangkan ekstrak kasar n-heksan tergolong tidak aktif karena memiliki nilai lc50 di atas 1000 µg/ml. hal ini menunjukkan bahwa no. ekstrak kasar golongan senyawa alkaloid terpen steroid fenolik flavonoid saponin 1. n-heksan + + + + 2. kloroform + + + + 3. etil asetat + + + + + 4. metanol + + + + + + tabel 3. hasil uji fitokimia ekstrak kasar daun sukun dari pelarut n-heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 28 32 1 32 daun sukun (a. altilis) memiliki potensi untuk dijadikan obat. kesimpulan adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam keempat ekstrak kasar daun sukun (a. altilis) adalah alkaloid, steroid, terpenoid, dan flavonoid. sedangkan senyawa fenolik hanya terkandung dalam ekstrak kasar kloroform dan metanol. saponin hanya terkandung dalam ekstrak kasar metanol. 2. uji bioaktivitas keempat ekstrak kasar daun sukun yaitu: n-heksan, kloroform, etil asetat, dan metanol memiliki nilai lc50 berturutturut: > 1000 µg/ml; 387,436 µg/ml; 415,623 µg/ml; dan 392,826 µg/ml. ekstrak kasar kloroform, etil asetat, dan metanol tergolong aktif dalam uji bst terhadap benur udang a. salina, sedangkan ekstrak kasar nheksan tergolong tidak aktif. daftar pustaka bachtiar, e., 2004, flavonoid dari daun artocarpus altilis, tesis, jurusan kimia itb, bandung. ersam, t., achmad, s. a., ghisalberti, e. l., hakim, e. h., tamin, r., 1999, dua senyawa isoprenilflavon dari kulit akar artocarpus altilis (parkinson) fosberg, seminar nasional kimia bahan alam ‘99, universitas indonesia, depok. ersam, t., achmad, s. a., ghisalberti, e. l., hakim, e. h., tamin, r., 2000, isolasi senyawa metabolit sekunder dar artocarpus altilis, seminar kimia bersama itb-ukm iv, 259-266. erwin, hakim e.h., achmad s.a., syah, y.m., aimi n., kitajima m., makmur l., mujahidin d., takayama h., 2001, artoindosianin-b suatu senyawa yang bersifat sitotoksik terhadap sel tumor p338 dari tumbuhan artocarpus altilis, bull. soc. nat. prod. chem., 1, 20-23. ersam, t., 2001, senyawa kimia makromolekul beberapa tumbuhan artocarpus hutan tropika sumatera barat, disertasi, jurusan kimia itb, bandung. koswara, s., 2006, sukun sebagai cadangan pangan alternatif, online, ebookpangan.com, diakses tanggal 08 juli 2011. mayer, n., ferriginii, n. r., putnam, j. e., jacobsen, d. e., nichols, d.,e., mclaughin, j. l., 1982, brine shrimp: a convinient general bioassay for active plant constituens, planta med., 45. 31. sutisna, i., 2000, isolasi dan karakterisasi senyawa triterpenoid lanostana dari kulit kayu danglo (macarango javanica muell arg), skripsi jurusan kimia fmipa, institut pertanian bogor. yu, w., kedi, x., lin, l., yuanjiang, p., dan xiaoxiang, z., 2007, geranyl flavonoids from the leaves of artocarpus altilis, reasearch article. indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 69-74 1 69 aktivitas antioksidan dan fitokimia dari ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) antioxidant activity and phytochemical of extract ethyl acetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) robby gus mahardika * , occa roanisca departement of chemistry, faculty of engineering, universitas bangka belitung jl. kampus peradaban, merawang, bangka, 33172 – indonesia *corresponding author, e-mail: robby-gm@kimia.ubb.ac.id received: nov. 2017 published: jan. 2018 abstract free radicals are one cause of cancer, coronary heart disease, rheumatism, and some other degenerative diseases. neutralizing free radicals can use both synthetic and natural antioxidant compounds. although synthetic antioxidant compounds are more active, but lately the use of synthetic antioxidants is being reduced because they are reported to have carcinogenic side effects. therefore, it is necessary to develop a natural antioxidant tracking of plant extracts. natural antioxidant compounds found in plants are phenolic groups such as flavonoids, tannins, xanthones, and anthraquinones. this compound is widely found in the genus cratoxylum where one of the species is pucuk idat (cratoxylum glaucum). pucuk idat are often used by people of bangka as a flavoring dish and are believed to be traditional medicine to facilitate breastfeeding, tighten skin, treat fever, cough, and diarrhea. the increasing of antioxidants needs and lots efficacy of pucuk idat, hence this study aims to determine the antioxidant activity of ethyl acetate extract cratoxylum glaucum. the antioxidant test in this study used the dpph (diphenylpicrylhydrazyl) method and vitamin c as a positive control. the results of this study indicate that the extract of ethyl acetate cratoxylum glaucum has strong antioxidant activity with value ic50 32,213 μg / ml. phytochemical content itself includes hydroquinone phenols (tannins), flavonoids, and steroids. this shows that ethyl acetate extract cratoxylum glaucum can be used as natural antioxidant. keywords: antioxidant, cratoxylum glaucum, ethyl acetate extract pendahuluan radikal bebas dalam tubuh dengan jumlah besar dapat menyebabkan beberapa penyakit yaitu kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, dan bebrapa penyakit degeneratif (toripah dkk., 2014). hal ini karena radikal bebas dapat menyebabkan peroksidasi dan penurunan fluiditas membran, sehingga menyebabkan kerusakan dan inaktivasi membran. radikal bebas juga dapat menyerang dna dan dapat menyebabkan mutasi yang menyebabkan kanker (cooper dkk., 2004). oleh sebab itu perlu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas tersebut. salah satu senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas dan menghambat laju oksidasi yaitu antioksidan (fajriah dkk., 2012). menurut winarsi dkk., (2007), antioksidan bersifat sangat mudah teroksidasi atau bersifat reduktor kuat dibanding dengan molekul yang lain. karena sifatnya yang mudah teroksidasi, maka antioksidan sering digunakan oleh industri makan sebagai zat aditif untuk meningkatkan nilai gizi, melindungi makanan agar tidak mudah rusak, dan terapeutik (carocho dkk., 2014; karaaslan dkk., 2011; shori dkk., 2013). antioksidan juga digunakan untuk meningkatkan kualitas biodisel dan minyak kelapa (focke, 2012; hermiati dkk, 2013). manfaat antioksidan yang banyak dan diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk sehingga membuat kebutuhan akan antioksidan semakin meningkat (fitri, 2014). oleh sebab itu dilakukan berbagai cara untuk mendapatkan antioksidan lebih cepat dan dalam jumlah banyak yaitu dengan sintesis. senyawa antioksidan hasil sintesis yaitu butil hidroksi anisol (bha), butil hidroksi toluen (bht), t-butil hidroksi kuinon (tbhq), propil galat, dan analog alfa tokoferol. antioksidan tersebut telah digunakan secara luas dan mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat (madhavi dkk., 1995). tetapi, beberapa robby g. m. dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 69-74 70 penelitian melaporakan bahwa antioksidan sintetik mempunyai toksisitas cukup tinggi dan bersifat karsinogen (branen, 1975; caleja dkk., 2017; reddy dkk., 2005). hal ini menyebabkan penggunaan antioksidan sintetik mulai dikurangi dan beralih menggunakan antioksidan alami. antioksidan alami dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung vitamin c, beta karoten, dan senyawa polifenol seperti flavonoid, fenil propanoid, santon, antrakuinon, lignan (cutler dkk., 2000; lisdawati dkk., 2006). tetapi untuk mendapatkan antioksidan alami dalam jumlah banyak dengan aktivitas yang kuat tidaklah mudah, karena tidak semua tumbuhan mempunyai aktivitas antioksidan tinggi. oleh sebab itu, perlu dikembangkan penelusuran ekstrak tumbuhan yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi. ekstrak tumbuhan yang dikenal aktif sebagai antioksidan adalah manggis (garcinia mangostana). manggis banyak mengandung senyawa fenolik dimana metabolit mayornya adalah antrakuinon dan santon (chin dkk., 2008). penelitian yang telah dilakukan, kandungan metabolit sekunder mayor yang ditemukan pada cratoxylum glaucum meliputi antrakuinon dan santon (rahmani dkk., 2007). kemiripan kandungan metabolit sekunder pada spesies yang berbeda akan memiliki bioaktivitas yang hampir sama. sehingga cratoxylum glaucum yang dikenal oleh masyarakat bangka belitung dengan nama pucuk idat ini memiliki aktivitas antioksidan yang sama dengan manggis (garcinia mangostana). kajian fitokimia dan bioaktivitas yang telah dilakukan hanya terbatas pada cratoxylum glaucum dari sabah dan sarawak (rahmani dkk., 2007), sedangkan cratoxylum glaucum dari indonesia belum ada pengkajian. pucuk idat (cratoxylum glaucum) sendiri sangat sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk memperlancar asi, mengencangkan kulit, mengobati demam, batuk, dan diare oleh masyarakat bangka belitung. kebutuhan antioksidan yang semakin meningkat dan khasiat dari pucuk idat yang banyak maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum. metodologi bahan pada penelitian ini bahan-bahan yang digunakan meliputi daun pucuk idat (cratoxylum glaucum), kertas saring whatman no 1, aluminium foil, aseton, metanol, etanol p.a, kloroform, n-heksana, h2so4 pekat, asam asetat glasial, fecl3, hcl, serbuk mg, pereaksi mayer, pereaksi wagner dan aqudest. alat penelitian ini alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi erlenmayer, gelas ukur, corong büchner, rotary evaporator, neraca analitik, pipet tetes, tabung reaksi, batang pengaduk, spatula, labu ukur, rak tabung reaksi, spekrofotometer uv-vis 1800 shimadzu dan hot plate. preparasi sampel daun pucuk idat (cratoxylum glaucum) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari desa sempan, kecamatan pemali, kabupaten bangka, kepulauan bangka belitung. sampel selanjutnya dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk kering yang kemudian dimaserasi menggunakan pelarut etil asetat. ekstraksi serbuk kering daun pucuk idat (cratoxylum glaucum) sebanyak 65 gram kemudian dimaserasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 650 ml. filtrat dan residu dipisahkan menggunakan corong büchner. filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary evaporator yang selanjutnya dilakukan uji fitokimia dengan beberapa metode uji meliputi uji fenol hidrokuinon, flavonoid, alkaloid, saponin, steroid, dan terpenoid (lisdawati dkk., 2006). uji aktivitas antioksidan uji aktivitas antioksidan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. pengujian antioksidan secara kualitatif pada penelitian ini menggunakan plat klt (kromatografi lapis tipis) dengan penyemprotan larutan dpph 0,2%. jika mempunyai aktivitas antioksidan warna dpph dari ungu pada plat klt berubah menjadi kuning (molyneux, 2004). robby g. m. dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 69-74 71 pengujian antioksidan secara kuantitatif menggunakan metode dpph dengan pengukuran secara spektroskopi. terlebih dahulu dicari panjang gelombang maksimum dpph 100 μg/ml. kontrol positif digunakan vitamin c dengan konsentrasi 1, 3, 5, 6, dan 8 μg/ml. sedangkan ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) dibuat dalam konsentrasi 1, 3, 5, 8, dan 10 μg/ml. masing–masing konsentrasi dimasukkan dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml dan ditambahkan larutan dpph 100 μg/ml 1 ml serta metanol p.a. 2 ml. larutan yang telah ditambah dpph diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 o c. larutan terseut diukur absorbansinya menggunakan spektroskopi uv-vis 1800 shimadzu pada panjang gelombang maksimum. aktivitas antioksidan dinyatakan dalam ic50 dengan menghitung persentase inhibisi dari masing-masing konsenrasi larutan sampel dengan rumus : % inhibisi = (1) ic50 yang didapat dari nilai x dengan y = 50 dari hasil persamaan regresi linier antara persentase inhibisi dengan konsentrasi (lisdawati dkk., 2006). hasil dan pembahasan cratoxylum glaucum termasuk dalam famili hipericaceae yang merupakan salah satu golongan tumbuhan berbunga dan berbiji tertutup. spesies ini merupakan salah satu tumbuhan semak atau pohon kecil. penyebaran di indonesia meliputi daerah sumatera, bangka, belitung, dan kepulauan natuna. cratoxylum glaucum dikenal dengan nama pucuk idat oleh masyarakat bangka belitung. daun pucuk idat berbentuk bulat dengan ukutan 2-5 x 1,5-3 cm yang berwarna hijau diatasnya dan berwarna keabu-abuan dibawahnya (wong, 2007) gambar 1. daun mudanya sering digunakan untuk penyedap makanan oleh masyarakat bangka belitung. pada penelitian ini cratoxylum glaucum diekstraksi menggunakan pelarut etil asetat. penggunaan etil asetat yang bersifat semipolar harapannya dapat mengekstrak metabolit sekunder yang bersifat polar maupun non polar. ekstrak tersebut yang selanjutnya dilakukan uji fitokimia dan uji aktivitas antioksidan. pengujian fitokimia ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum pada penelitian ini menggunakan beberapa metode uji meliputi uji alkaloid, fenol hidrokuinon, flavonoid, saponin dan steroid. gambar 1. daun pucuk idat adanya golongan senyawa fenol hidrokuinon (tanin) diketahui dari hasil uji fecl3 yang menunjukkan terbentuk warna hijau atau hijau kebiruan. hal menandakan bahwa terdapat senyawa fenol hidrokuinon dari ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum. hasil uji flavonoid menggunakan metode uji wilstater sianidin menujukkan bahwa terdapat senyawa flavonoid pada ekstrak etil asetat pucuk idat yang ditunjukkan dengan warna jingga. golongan senyawa steroid diidentifikasi dengan metode uji liebermannn-burchard, hasil uji ini menunjukkan uji positif dengan terbentuknya warna hijau tua. sedangkan pengujian alkaloid dan saponin menunjukkan menujukkan hasil uji negatif. jadi, dari hasil uji fitokimia yang dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum mengandung golongan senyawa fenol hidrokuinon, flavonoid, dan steroid. hasil uji fitokimia ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum disajikan pada tabel 1. tabel 1 hasil uji fitokimia ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) uji metode pengujian hasil ket. alkaloid mayer tidak terbentuk endapan putih kekuningan wagner tidak terbentuk endapan coklat fenol hidrokuinon (tanin) fecl3 terbentuk warna hijau atau hijau biru + flavonoid uji wilstater sianidin terbentuk warna jingga. + saponin uji forth tidak ada busa steroid uji liebermann burchard terbentuk warna hijau tua + robby g. m. dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 69-74 72 aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat pucuk idat uji aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum pada penelitian ini menggunakan metode dpph. uji kualitatif menggunakan plat klt yang disemprotkan dpph 0,01% dengan eluen kloroform : metanol (50:1). sedangkan uji kuantitatifnya secara spektroskopi. berdasarkan hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa adanya senyawa yang bertindak sebagai antioksidan yang dibuktikan dengan berubahnya warna ungu dpph menjadi warna kuning pada spot (noda) di klt (gambar 2). hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum dapat bertindak sebagai antioksidan. gambar 2 hasil uji kualitatif menggunakan plat klt yang disemprot larutan dpph 0,01% dengan eluen kloroform: metanol (50:1) penggunaan metode dpph dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat dan memerlukan sedikit sampel. radikal dpph akan mudah bereaksi dengan senyawa antioksidan melalui mekanisme donor atom hidrogen yang menyebabkan terjadi perubahan warna dpph dari ungu menjadi kuning yang diukur pada panjang gelombang 516 nm (hanani dkk., 2005). berdasarkan hasil pengukuran absorbansi maksimum dari dpph 100 μg/ml didapatkan panjang gelombang maksimum 516 nm. panjang gelombang 516 nm ini yang akan digunakan untuk mengukur absorbansi sampel ekstrak etil asetat cratoxylum glaucum dan vitamin c menggunakan spektrofotometer uv-vis. berdasarkan hasil pengkuran absorbansi dpph terhadap sampel ekstrak dan vitamin c menunjukkan bahwa semakin meningkatnya konsentrasi sampel semakin turun absorbansi dpph. hal ini menunjukkan bahwa adanya senyawa yang dapat memberikan radikal hidrogen pada radikal bebas dpph. hasil aktivitas antioksidan disajikan pada tabel 2. gambar 3 kurva hubungan konsentrasi dengan % inhibisi aktivitas antioksidan diukur melalui ic50 yang diturunkan dari persamaan linier antara inhibisi dan konsentrasi (gambar 3). aktivitas ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) mempunyai nilai ic50 sebesar 32,212 µg/ml. sedangkan vitamin c sebagai kontrol positif mempunyai nilai ic50 sebesar 12,092 µg/ml. nilai ic50 vitamin c lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat, berarti vitamin c lebih aktif sebagai antioksidan jika tabel 2 hasil pengujian antioksidan ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) robby g. m. dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 69-74 73 dibandingkan dengan ekstrak etil asetat pucuk idat. menurut suratmo (2009) dalam putri dkk. (2015) kekuatan antioksidan dikelompokkan berdasarkan nilai ic50. jika dikatakan sangat aktif sebagai antioksidan maka nilai ic50 < 50 µg/ml, kuat 50-100 µg/ml, sedang 100-250 µg/ml, dan lemah 250-500 µg/ml. maka nilai ic50 dari ekstrak etil asetat pucuk idat dikatagorikan sebagai aktivitas antioksidan sangat kuat dengan nilai ic50 < 50 µg/ml. apabila dihubungkan antara aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat pucuk idat dengan hasil kajian fitokimia. aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat pucuk idat yang sangat kuat ini disebabkan oleh adanya senyawa fenol hidrokuinon dan flavonoid dalam ekstrak tersebut. senyawa fenol hidrokuinon dan flavonoid merupakan senyawa polifenol yang mudah mendonorkan hidrogen radikal sehingga sangat baik sebagai senyawa antioksidan. akan tetapi pengujian antioksidan pada penelitian ini hanya pada esktrak kasar etil asetat pucuk idat, sehingga memungkinkan senyawa murni yang terkandung dalam pucuk idat memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasarnya. kesimpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan, ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum) dari pulau bangka mempunyai kandungan fitokimia fenol hidrokuinon, flavonoid, dan steroid. ekstrak ini memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai ic50 32,212 µg/ml (<50 µg/ml). hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat pucuk idat berpotensi sebagai antioksida alami untuk menangkal radikal bebas. ucapan terima kasih peneliti mengucapkan terima kasih kepada rektor universitas bangka belitung yang telah memberikan bantuan dana penelitian berdasarkan sk rektor no. 1348/un50/pl/2017 daftar pustaka branen, a. (1975). toxicology and biochemistry of butylated hydroxyl anisole and butylated hydroxytoluene. journal of american oil chemists society, 59-63, 52. caleja, c., barros, l., antonio, a.l., oliveira, m., & ferreira, i.c.f.r. (2017). a comparative study between natural and synthetic antioxidants: evaluation of their performance after incorporation into biscuits. food chemistry, 216, 342-346. carocho, m., barreiro, m. f., morales, p., & ferreira, i. c. f. r. (2014). adding molecules to food, pros and cons: a review of synthetic and natural food additives. comprehensive reviews in food science and food safety, 13, 377-399. chin, y., hyun-ah j., & chai h. (2008). xanthones with quinone reductase-inducing activity from the fruits of garcinia mangostana (mangosteen). phytochemistry, 69, 754–758. cooper, g.m., & hausman, r.e. (2004). the cell: a molecular approach (3 ed.). sunderland: masschusetts. cutler, s.j. & cutler, h. (2000). biologically active natural products: pharmaceuticals. new york: crc press. fajriah, s., darmawan, a., sundowo, a., & artanti, n. (2012). isolasi senyawa antioksidan dari ekstrak etil asetat daun benalu (dendrophthoe pentandra l.miq) yang tumbuh pada inang lobi-lobi. jurnal kimia indonesia, 2, 17-20. fitri, n. (2014). butylated hydroxyanisole sebagai bahan aditif antioksidan pada makanan dilihat dari prespektif kesehatan. jurnal kefarmasian indonesia, 4, 41-50. focke, w. w. (2012). the effect of synthetic antioxidants on the oxidative stability of biodiesel. fuel, 94, 227-233. hanani, e., mun'im, a., sekarini, r. (2005). identifikasi senyawa antioksidan dalam spons callyspongia sp dari kepulauan seribu. majalah ilmu kefarmasian, 2, 127133. hermiati, rusli, manalu, n.y., & sinaga, m.s. (2013). ekstrak daun sirih hijau dan merah sebagai antioksidan pada minyak kelapa. jurnal teknik kimia usu, 2, 37-43. karaaslan, m., ozden, m., vardin, h., & turkoglu, h. (2011). phenolic fortfication of yogurt using grape and callus extracts. food science technology, 44, 1065-1072. robby g. m. dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 69-74 74 lisdawati, v., & kardono, b.s. (2006). aktivitas antioksidan dari berbagai fraksi ekstrak daging buah dan kulit biji mahkota dewa (phaleria macrocarpa). media litbang kesehatan, 16, 1-7. madhavi, d.l., deshpande, s.s., & salunkhe, d.k. (1995). food antioxidant: technologycal: toxicology and health perspectives. new york: crc press . molyneux, p. (2004). the use of the stable free radical diphenyl picrylhidrazyl (dpph) for estimating antioxidant activity. songklanakarin journal of science and technology, 26, 211-219. putri, a.a.s., hidajati, n. (2015). uji aktivitas antioksidan senyawa fenolik ekstrak metanol kulit batang tumbuhan nyiri batu (xylocarpus moluccensisi). unesa journal of chemistry, 4. 1-6. rahmani, m. &, taufiq y.h. (2007). compounds from cratoxylum aborescens, cratoxylum glaucum, garcinia nitida and garcinian mangostana and their potential as anti-cancer lead compounds. pertanika journal of science & technology, 1(15), 43-47. reddy, v., urooj, a., & kumar, a. (2005). evaluation of antioxidant activity of some plant extracts and their application in biscuits. food chemistry, 90, 317-321. shori, a. (2013). antioxidant activity and viability of lactic acid bacteria in soybeanyogurt made from cow and camel milk. journal of taibah university for science , 7, 202-208. sim, w.c., lian, c.g. & aspollah, s.m. (2011). α-mangostin dan β-mangostin from cratoxylum glaucum. research journal chemistry and envirorment, 15, 62-66. toripah, s.s., abidjulu, j. & wehantouw, f. (2014). aktivitas antioksidan dan kandungan total fenolik ekstrak daun kelor (moringa oloefera lam.). pharmacon jurnal ilmiah farmasi, 3. 37-43. winarsi, h. (2007). antioksidan alami dan radikal bebas. yogyakarta: kanisius. wong, k. m. (2007). tree flora of sabah and sarawak. kuala lumpur: forest research institute malaysia indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 23 27 23 cow’s fat processing to biodiesel by naoh as catalyst in methanol pengolahan lemak sapi menjadi biodisel dengan katalis naoh dalam metanol eirene grace fransina 1 , i wayan sutapa 2 , susan hehanussa 3 1,2,3 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 corresponding author e-mail: wayansutapa@fmipa.unpatti.ac.id received: juni 2013 published: july 2013 abstract the research about biodiesel produced from cow’s fat using sodium hydroxide (naoh) as catalyst has been done. biodiesel produced from cow’s fat was done through transesterification process using methanol 1:12 which priory react with 0.3% naoh as catalyst due to oil and methanol weight. the transesterification process was conducted for 5 hours at 65°c. biodiesel f r o m c o w ’ s f a t is characterisized by gc-ms and astm (american society for testing and materials) method. methyl ester which produced from cow’s fat are 31.67% of stearic acid, 25.67% of palmitate acid, and 22.68% of oleate acid. biodisel from cow’s fat are qualified as diesel fuel and biodiesel characterisized by astm for specific density (0.8705 kg/m3), kinematic viscosity (4,481 mm 2 /s), flash point (176,5 0 c), pour point (21 0 c), and conradson’s carbon residu (0.0139% wt). keywords : biodiesel, cow’s fat, methanol, naoh, transesterificatian. pendahuluan biodisel adalah bahan bakar alternatif yang merupakan bahan bakar mesin diesel yang dapat dibuat dari minyak yang dapat diperbaharui seperti minyak nabati dan hewani yang ramah lingkungan, memiliki keunggulan tidak beracun, secara esensial bebas sulfur dan benzen yang karsinogenik, hasil pembakarannya adalah co2 yang dapat dikomsumsi oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis (siklus karbon), dapat teroksigenasi relatif sempurna atau terbakar habis, non-toksik, dan teruai secara alami (biodegradable). secara nyata biodisel dapat mengurangi pencemaran lingkungan, mengurangi hidrokarbon yang tidak terbakar, polisiklikaromatik hidrokarbon, hujan asam, dan tidak iritasi pada kulit jika dibanding dengan sabun (elisabeth dan haryati, 2001). biodisel juga dapat dipergunakan untuk keperluan lain seperti pelindung kayu termasuk interior rumah yang terbuat dari kayu, sebagai pelumas dan pelindung korosi pada peralatan rumah tangga dan pertanian yang terbuat dari logam. biodisel dapat pula dicampur dengan bensin sebagai bahan bakar untuk mesin dua tak (dua langkah) dan pelumasan. biodisel tidak dapat menggantikan minyak tanah untuk keperluan kompor dan lampu minyak karena sifat tidak bisa merambat ke atas. biodisel juga dapat dipergunakan untuk membersihkan noda crayon pada baju dengan lebih baik dibanding deterjen (nasiri, 2010). biodisel mentah dibuat dari trigliseridatrigliserida dan asam-asam lemak dengan reaksi kimia yang disebut transesterifikasi. proses pembuatan biodisel cukup sederhana dan tidak memerlukan peralatan yang rumit. dalam proses ini minyak direaksikan dengan alkohol dengan bantuan katalisator, baik katalisator asam maupun basa (nasiri, 2010). penggunaan katalis dalam proses pembuatan ini sangat diperlukan, karena diharapkan dapat meningkatkan produksi biodisel baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. penggunaan katalis asam diharapkan dapat membantu dalam reaksi esterifikasi dan katalis basa membantu dalam reaksi transesterifikasi, tetapi penggunaannya perlu diperhatikan, karena jika penggunaan katalis terlalu banyak dinilai kurang ekonomis. bertambahnya katalis yang digunakan belum tentu juga dapat meningkatkan eirene f. fransina, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 23 27 24 produksi biodisel, untuk itu perlu mengoptimalkan penggunaan katalis dalam proses pembuatan biodisel. hasil biodisel yang diproduksi harus memenuhi uji astm (american soceity for testing and materials). dari aspek ekonomi, proses transesterifikasi tanpa katalis tampaknya sangat sulit karena ester yang dibakar dalam mesin diesel memerlukan input energi yang tinggi, waktu reaksi yang lama, dan harga pasar yang rendah. oleh karena itu, agar hasil esternya memuaskan, produksi biodisel secara umum perlu menggunakan katalis (andi, 2006). katalis adalah suatu bahan yang digunakan untuk memulai reaksi dengan bahan lain. katalis yang mungkin untuk reaksi biodiesel adalah natrium hidroksida (naoh) dan kalium hidroksida (koh). natrium hidroksida disebut dengan soda api. kalium hidroksida dapat digunakan jika natrium hidroksida tidak tersedia (andi, 2006). semua jenis minyak dapat digunakan, baik itu minyak nabati maupun minyak hewani. minyak tumbuhan dan hewan semuanya merupakan lipid. minyak dibedakan dari lemak berdasarkan sifat fisiknya pada suhu ruang: minyak berwujud cair sedangkan lemak berwujud padat. minyak nabati (tumbuhan) dan hewani merupakan golongan gliserida atau asam lemak, yang mana pada golongan ini biasanya berwujud padat atau cair pada suhu ruang tetapi tidak mudah menguap (winarno, 1984). lemak dan minyak terdiri dari trigliserida campuran, yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. trigliserida dapat berwujud padat atau cair, dan hal ini tergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. lemak hewani pada umumnya berbentuk padat pada suhu kamar, karena banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi (winarno, 1984). lard merupakan istilah yang ditujukan kepada lemak yang diperoleh dari jaringan lemak ternak sapi, babi, atau kambing. pada umumnya lemak banyak terdapat pada rongga perut dan lemak tersebut biasanya akan menghasilkan lemak gajih yang bermutu tinggi. karena sifatnya yang tidak seragam serta sifatsifat lainnya seperti tekstur, cita rasa dan baunya, lemak gajih kini semakin terbatas penggunaanya. lemak gajih mudah sekali menjadi tengik sehingga dalam pembuatannya perlu ditambahkan antioksidan. kebaikan lemak gajih adalah plastisitasnya yang baik serta daya shortening-nya yang tinggi (winarno,1984) kondisi tersebut yang menjadi alasan penelitian ini dirancang dan disusun untuk memberikan kontribusi yang cukup terhadap bahan baku biodisel, dengan mengarahkan suplai bahan baku biodisel pada pemanfaatan lemak hewan. hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan daya guna lemak hewani sehingga dapat dijadikan sumber energi sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. metodologi a. bahan bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : akuades , lemak sapi, metanol p.a., naoh (merck), h2so4 p.a (merck), na2s2o4 anhidrat (merck), kertas saring biasa, dan kertas saring whatman 40. b. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : seperangkat alat gelas, seperangkat alat refluks, pompa vakum, vakum evaporator buchii, neraca analitik, spektrofotometer gcms, dan alat uji astm. c. prosedur kerja preparasi lemak sapi lemak sapi dipanaskan pada suhu 120 0 c untuk menguapkan air. setelah dipanaskan lemak cair disentrifuge untuk memisahkan pengotor padatan yang terlarut kemudian disaring dengan kertas saring untuk memisahkan pengotor padatan yang berukuran besar. sintesis biodiesel melalui reaksi transesterifikasi lemak sapi yang dipanaskan dan bersih dimasukan ke dalam alat refluks, kemudian direaksikan dengan metanol (perbandingan metanol 1:12) dan ditambahkan dengan katalis naoh 1 m sebanyak 0,1%; 0,2%; 0,3%; 0,4%; dan 0,5%. naoh dilarutkan dalam metanol. campuran tersebut direfluks pada temperatur 65 o c selama 5 jam. campuran hasil reaksi didinginkan dan terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan atas adalah metil ester (biodisel) dan lapisan bawah berupa gliserol. lapisan metil ester dan gliserol dipisahkan dengan menggunakan corong pisah, kemudian metil ester dievaporasi selama satu jam untuk menghilangkan sisa metanol. metil ester selanjutnya dicuci dengan akuades dalam corong eirene f. fransina, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 23 27 25 pisah untuk melarutkan sisa gliserol. selanjutnya ditambahkan na2so4 anhidrous secukupnya untuk mengikat sisa-sisa air, lalu disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 40. karakterisasi metil ester (biodisel) metil ester yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan gc-ms dan metode astm. karakterisasi biodiesel yang dianalisis dengan metode astm adalah kerapatan spesifik 60/60 0 f (astm d1298), viskositas kinematik 100 0 f (astm d 445), titik tuang (astm d 97), titik nyala (astm d 93), dan sisa carbon codranson (astm d198). hasil dan pembahasan sintesis biodisel melalui proses transesterifikasi bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah lemak sapi. lemak sapi terlebih dahulu dipreparasi dengan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air, kemudian lemak cair disentrifuge untuk memisahkan pengotor padatan yang terlarut dan selanjutnya disaring dengan kertas saring untuk memisahkan pengotor padatan yang berukuran besar . proses transesterifikasi dilakukan dengan menggunakan katalis basa naoh dengan perbandingan metanol terhadap lemak yaitu 1:12. proses transesterifikasi dilakukan dengan cara mereaksikan metanol dengan trigliserida dengan bantuan katalis basa naoh sebanyak 0,1%; 0,2%; 0,3%; 0,4%; dan 0,5% dari jumlah minyak dan metanol. proses transesterifikasi dilakukan dengan cara direfluks pada suhu titik didih metanol yaitu 60-65 o c selama 5 jam. metil ester hasil transesterifikasi selanjutnya dievaporasi untuk menghilangkan sisasisa metanol. biodisel yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 51,13 %. hasil ini lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh de fretes (2012), yang melakukan pembuatan biodiesel dari lemak sapi menggunakan katalis naoh melalui tahap esterifikasi dan transesterifikasi. hasil konversi biodiesel yang diperoleh de fretes (2012) sebesar 54,28 %. hasil ini menunjukkan bahwa dari proses pembuatan biodiesel dari lemak sapi dengan katalis naoh yang dilakukan melalui tahap esterifikasi kemudian transesterifikasi memberikan rendamen hasil yang lebih besar dibandingkan dengan hasil transesterifikasi langsung, karena kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada lemak telah terputus. hasil konversi metil ester (biodisel) yang dihasilkan dengan variasi berat katalis menunjukan bahwa pada konsentrasi katalis 0,1% dan 0,2%, terjadi kenaikan konsentrasi biodiesel yang diperoleh dengan konversi sebesar 6,42% dan 8,22%. pada konsentrasi katalis 0,3% konversi biodiesel yang dihasilkan sebesar 51,13% sedangkan pada konsentrasi katalis 0,4% dan 0,5% terjadi penurunan hasil konversi biodisel sebesar 13,18% dan 3,47% sehingga dapat dikatakan bahwa konsentrasi optimum katalis naoh adalah 0,3%. hal ini disebabkan karena semakin banyak katalis yang digunakan, maka akan meningkatkan proses penyabunan pada reaksi transesterifikasi dan pembentukan gel yang dapat mengganggu dalam proses pemisahan, sehingga metil ester yang didapat akan sedikit. karakterisasi biodiesel dengan gc-ms analisis gc-ms dilakukan terhadap gambar 1. kromatogram metil ester (biodiesel) dari lemak sapi eirene f. fransina, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 23 27 26 biodiesel hasil reaksi-reaksi transesterifikasi langsung dengan katalis naoh. melalui gc-ms dapat diketahui jenis metil ester yang terkandung dalam biodiesel dari lemak sapi. jumlah puncak pada kromatogram menunjukkan jumlah metil ester hasil transesterifikasi yang masing masing terpisah sempurna menghasilkan puncak puncak dengan waktu retensi yang berbeda-beda. kromatogram (gambar 1) hasil analisis gcms menunjukkan adanya puncak yang dapat terdeteksi sebagai metil ester asam lemak. puncak yang dapat terdeteksi yaitu puncak ke lima dengan waktu retensi 16,936 menit yang merupakan metil palmitat, puncak ketujuh dengan waktu retensi 21,163 menit yang merupakan metil oleat, dan puncak kesepuluh dengan waktu retensi 21,777 menit yang merupakan metil stearat. tiga puncak dengan persen area terbesar dihasilkan oleh metil stearat (31,67%) dengan rumus molekul c19h38o2, metil palmitat (25,67%) dengan rumus molekul c17h34o2, dan metil oleat (22,68%) dengan rumus molekul c19h36o2. selain itu dalam ketentuan biodiesel terdapat syarat adanya bilangan setana di mana memiliki atom c sebanyak 16. jadi ketiga metil ester ini yakni metil sterat, metil palmitat, dan metil oleat memenuhi ketentuan untuk dikatakan sebagai biodisel karena memiliki atom c lebih dari 16. metil palmitat mempunyai rantai karbon yang paling pendek sehingga puncaknya muncul lebih awal dari metil oleat dan metil stearat. sedangkan puncak metil oleat lebih dulu muncul dari metil stearat karena berat molekul metil stearat lebih besar dari berat molekul metil oleat. analisis sifat fisik biodiesel dengan metode astm analisis sifat fisik biodiesel dari lemak sapi yang diperoleh melalui metode pemeriksaan astm (the american society for testing and materials) akan dibandingkan dengan standar minyak diesel dari sni biodisel seperti yang terlihat pada tabel 1. tabel 1 menunjukkan bahwa kerapatan spesifik biodisel dari lemak sapi yaitu sebesar 0,8705 kg/m 3 telah memenuhi spesifikasi sni biodisel. nilai viskositas kinematik yang dihasilkan oleh biodisel yaitu sebesar 4,841 mm2/s juga telah memenuhi spesifikasi sni biodisel. secara umum dapat dikatakan bahwa nilai viskositas kinematik sangat tergantung pada tingkat persentase konversi biodisel. tabel 1. perbandingan sifat-sifat fisik biodiesel dari lemak sapi dengan minyak diesel jenis pemeriksaan metode pemeriksaan hasil uji biodisel lemak sapi sni biodisel *) batasan solar **)) kerapatan spesifik 60/60 °f, kg/m3 astm d 1298 0,8705 0,850-0,890 0,815-0,870 viskositas kinematis 40 °c, mm2/s astm d 445 4,841 2,3 – 6,0 2,0 – 5,0 titik nyala – pm. cc, °c astm d 93 176,5 min. 100 min. 60 titik tuang °c astm d 97 21 maks.18 maks. 18 sisa karbon conradson, %wt astm d 4530 0,0139 maks.0,30 maks. 0,30 *) = sni-04-7182-2006 diterbitkan oleh badan standarisasi nasional (bsn) tanggal 22 februari 2006 **) = spesifikasi solar sesuai sk dirjen migas no. 3675k/24/djm/2006 viskositas metil ester sangat berkaitan dengan kerapatan spesifik, di mana semakin tinggi viskositas maka kerapatan spesifik akan semakin besar. bahan bakar dengan kerapatan spesifik tinggi akan sulit mengalir sehingga memperlambat proses pembakaran. viskositas kinematik biodisel dari lemak sapi cukup rendah sehingga jika digunakan sebagai bahan bakar pada mesin diesel, hasil injeksi dalam ruang pembakaran mudah membentuk kabut dan memudahkan pembakaran. titik nyala yang tinggi akan memudahkan dalam proses penanganan, penyimpanan, dan pengangkutan karena dapat mengurangi resiko penyalaan. juga aman pada daerah yang beriklim tropis yang panas. apabila titik nyala bahan bakar rendah maka bahan bakar tersebut mudah terbakar dalam penyimpanannya. hasil uji titik nyala biodisel dari lemak sapi yaitu sebesar 176,5 °c ini telah memenuhi spesifikasi sni biodisel dan nilainya sangat tinggi jika dibandingkan dengan batasan minyak solar. nilai titik nyala ini membuat biodisel dari lemak sapi aman disimpan walaupun terjadi kenaikan suhu di atas suhu kamar. titik tuang dari biodiesel lemak sapi adalah 21 °c dan nilai titik tuang biodiesel lemak sapi ini telah melebihi standar astm (astm d 97) yaitu maksimal 18 °c. titik tuang yang tinggi akan membuat mesin sulit dinyalakan pada suhu eirene f. fransina, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 23 27 27 yang rendah. semakin rendah titik tuang tentunya lebih baik karena mengurangi kecenderungan bahan bakar untuk membeku pada temperatur yang dingin (tilani dan rachman, 2002). nilai titik tuang biodiesel dari lemak sapi ini membuat penggunaan biodiesel pada mesin diesel akan sulit menyala pada suhu rendah. sisa karbon conradson adalah nilai karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran habis. sisa karbon conradson biodiesel dari lemak sapi yaitu sebesar 0,0139 %wt telah memenuhi spesifikasi sni biodiesel. tingkatan residu karbon tergantung pada jumlah asam lemak bebas, jumlah trigliserida (prihandana dkk, 2006). nilai sisa karbon yang semakin rendah menunjukkan bahwa penguraian trigliserida yang terjadi semakin mendekati sempurna. kesimpulan berdasarkan penelitian yang diakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. konsentrasi optimum naoh sebagai katalis untuk pengolahan lemak sapi menjadi biodisel adalah 0,3% yang menghasilkan metil ester sebesar 51,13 %. 2. biodisel yang dihasilkan dari lemak sapi memiliki kualifikasi sebagai bahan bakar diesel dan memenuhi karakteristik minyak diesel menurut standar astm untuk kerapatan spesifik 0,8705 kg/m 3 , viskositas kinematik 4,481 mm 2 /s, titik nyala 176,5 °c, titik tuang 21 °c, dan sisa karbon conradson 0,0139 %wt. daftar pustaka andi, n.a.s., 2006, biodiesel jarak pagar: bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, agro media pustaka, jakarta. de fretes, m.f., 2012, pembuatan biodisel dari lemak sapi yang menggunakan katalis naoh, skripsi, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas pattimura, ambon. elisabeth, j dan haryati, t., 2001. bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. badan peneliti pada pusat penelitian. nasiri, j., 2010. biodiesel : upaya mengurangi ketergantungan minyak bumi, http://www.sentrapolimer.com prihandana, r., hendroko, r., dan nuramin, m. 2006. menghasilkan biodiesel murah mengatasi polusi dan kelangkaan bbm. pt.agro media pustaka : jakarta selatan. winarno, f.g., 1984, kimia pangan dan gizi, pt gramedia pustaka utama, jakarta. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 167-171, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-kur 167 study nanostructure of fe3o4 modification using peg 4000 from iron sand at wari ino beach kurnia1*, meidy kaseside2, steven iwamony3 1department of physics, faculty of natural sciences and technology, halmahera university,wari ino, halmahera utara 2department of mathematics, faculty of natural sciences and technology, halmahera university,wari ino, halmahera utara 3environmental agency of halmahera utara *corresponding author: kurniakurniarahman@gmail.com received: september 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract fe3o4 encapsulated peg from iron sand at wari ino beach has been successfully synthesized by co-precipitation method. fe3o4 modification peg 4000 was successfully encapsulated the samples by the presence c-o-c and ch bonding that were characterized using fourier transform infra red (ftir), x-ray diffraction (xrd) pattern shows that all samples are formed by single phase cubic spinel magnetite, and scanning electron microscopy (sem) shows the high dispersion capability while encapsulated process using peg. the results showed that the fe3o4 nanoparticle successfully encapsulated by peg 4000. the average particle size of the nanoparticle 11.3 nm was determined by scherrer formula. keywords: fe3o4 nanoparticles, fe3o4 /peg 4000, biosensor, spinel structure introduction halmahera utara island-indonesia has a big natural resources such as gold, nickel, iron sand, and so on. iron sand material is one of the most materials has a ferromagnetic properties (kurniawan et al., 2017). the natural resources are raw formmaterial, and need some exploration to reach a new materials such as iron oxide (fe3o4). on the nanometer scale, the fe3o4 magnetic nanoparticle has the unique properties such as super paramagnetic, large surfaceto-volume ratio, small size and ability to function at the cellular level that have a wide range of applications such as biosensor, magnetic hyperthermia and drug delivery system (wu et al., 2010; patsula et al., 2019; rusnaenah et al., 2017; taba et al., 2019; ren et al., 2005; estelrich., 2015; xiong et al., 2018). there have been many reports of fe3o4 coated peg for applications magnetic fluids as a drugs delivery, contrast agents for magnetic resonance imaging, magnetically guided carriers for drug deliver, or heat mediators for hyperthermia (guibert et al., 2015; peng et al., 2008). these applications needs fe3o4 with the homogeneously particle and particle size less than 100 nm (gupta and gupta, 2004). the fe3o4 nanoparticle have large surface energy (100 dyne/cm) make it easily to agglomerate on the fluids. therefore encapsulated with the polymers (e.g., poly (acrylic acid), chitosan, phosphate, polyethylene glycol were used as a coating agent to avoid the agglomeration of the fe3o4 nanoparticles (wei et al., 2012; nurillah et al., 2016). it is really crucial to expand study an effective surface-modification method to synthesize fe3o4 nanoparticles with narrow size distribution and high dispersion on aqueous or in aqueous solution. in this work we explored iron sand to synthesize fe3o4 nanoparticles using co-precipitation method with narrow size distribution and high dispersion on the fluids and modified with peg 4000 respectively. the effect of the modifiers on the crystal structure, morphology, dispersion and size distribution of fe3o4 nanoparticles will be investigated. fe3o4 nanoparticles with nanometer scale are promising for biomedical and biosensor application. as a biosensor application, the fe3o4 ought to have a narrow size distribution and well dispersibility at aqueous place. however the pure fe3o4 tend to show the agglomeration because of the heavy specific surface area and strong dipole-dipole interactions. it is a crucial research to combine the fe3o4 with peg 4000 as a stabilization and functionalization for biosensor application (anbarasu et al., 2015). methodology materials and instrumentals the reagent to synthesize the fe3o4 nanoparticle was fe2+ and fe3+ ion from iron sand. sodium hydroxide and hydrogen chloride were used as a raw material and peg 4000 as a coating agent. kurnia, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 167-171, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-kur 168 methods total of 20 grams pure iron sand added into 19.9 ml hcl that had been heated at the temperature 65 °c and stirrer for one hour under constant magnetic stirring at 250 rpm. the solution added into 3 m hcl solution for one hour at temperature 70 °c under constant magnetic stirring at 400 rpm. the result of the nanoparticle was magnetically separated and washed repeatedly with deionized water until reach ph 7 the resulted particles then dried at 100 °c for 3 hours until get a slurry. the slurry then coated by peg 4000 with ratio 1:1 (w/w) then dried at room temperature. the product characterized by x-ray diffraction (xrd), fourier-transform infrared spectroscopy (ftir), energy dispersive x-ray (edx), and scanning electron microscope (sem). result and discussion the xrd characterization is used to identify the crystalline structure, particle size, microstrain of the fe3o4 nanoparticles. figure 1 shows the pattern of peak before and after modification surface by peg 4000 confirms that the characteristic peak of invers cubic spinel structure with jcpds no. 19-0629. the size of the nanoparticle was calculated by debyescherrer equation about 11.36 nm without encapsulation. figure 1. diffraction peaks of the nanoparticle fe3o4 and fe3o4 modified by peg 4000. the analysis shows that all samples are formed by single-phase magnetic fe3o4 with the cubic spinel crystalline structure according to diffraction pattern (220), (311), (400), (442), (511), and (440) plane diffraction. we can infer that the modification by peg 4000 does not change the crystalline structure of fe3o4 nanoparticle. fe3o4 modification by peg 4000 shows there is peak (feo)oh that indicates h2o molecule interact with the fe3o4 nanoparticles while encapsulation process. the peak confirmed that the fe3o4 was successfully modified by peg 4000 (heriansyah, 2015). fe3o4 encapsulation using peg 4000 enhance dispersion capability to reduce the agglomeration of the fe3o4 nanoparticle as shown in figure 4. figure 2. ftir spectra of fe3o4 nanoparticles figure 2 shows there is vibration occurs between 586 to 600 cm-1. it characteristics absorption of fe-o bonding that confirmed fe3o4 nanoparticles was successfully synthesized (wei et al., 2012). the similar characteristics peaks are found in figure 3. table 1 shows the vibration that occurs on fe3o4/peg 4000 nanoparticles. we find some new vibration as shown in the table 1 which is the characteristics of peg 4000. it indicates that peg 4000 has been successfully grafted into fe3o4 nanoparticles. in figure 3 shows a new few absorptions of ether bond symmetric and asymmetric at the 1102 and 1361 cm-1. the vibration make the presence of the peg 4000 (chandra mohanta et al., 2018). the c-o-c vibration occurs at 1031 cm-1, it peaks also contributed form peg bonding as shown in figure 3 (kurniawan et al., 2017). feo bonding occurs at 594 and 580 cm-1 (wei et al., 2012). figure 4 shows the combination peaks of the nanoparticle fe3o4 and fe3o4/peg 4000 to compare the vibration between fe3o4 and fe3o4/peg 4000. the result of the peak absorption of feo bonding shows that there is shifted absorption from 594 to 580. it is indicating the peg 4000 was successfully grafted into the surface of fe3o4 nanoparticles is due to the kurnia, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 167-171, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-kur 169 fact that the enhancing vibration energy of feo bonding as the result of fe3o4 and peg bonding. in the table 3 there is no arrow to show the vibration but the fact that there is the vibration after analyze peak using software of the origin pro 9, 32 bit. base on the figure 5, the surface and distribution of the fe3o4 encapsulated by peg 4000 has been characterized by sem micrographs. figure 4. ftir combination of fe3o4 and fe3o4 nanoparticles encapsulated peg 4000 it shows the high dispersion capability while encapsulated process using peg 4000, that could be because the fact that the peg as a stabilizer and dipersant (anbarasu et al., 2015). the high surface energy also dipolar attraction of the nanoparticle fe3o4 successfully reduced after encapsulated by peg 4000 (wei et al., 2012). the elemental compositions were analyzed by energy dispersive spectroscopy (eds) as shown in figure 6. tabel 1. the vibration group of fe3o4/peg 4000 wave number vibration group interpretation 457 fe o stretching (octahedral) 580 fe-o 626 fe-o 950 ch 1031 c-o-c 1062 fe-o-h bending 1102 ether 1344 o-h bending 1361 c-o-c ether asymetric 1471 ch2 1622 c=o 1635 o-h 2889 ch2 figure 3. ftir spectra of fe3o4 nanoparticles encapsulated peg 4000 kurnia, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 167-171, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-kur 170 according to the area electron diffraction pattern shows the fe3o4/peg 4000 is polycrystalline of cubic spinel crystal structure (anbarasu et al. 2015), that is based on the xrd result and sem image as shown in figure 5. the sem images shows the roughly spherical shape, these have been reported that spherical shape is formed due to the nucleation rate per unit areas are isotopic at the interface between the fe3o4 magnetic nanoparticles. figure 5. sem of fe3o4 encapsulated peg 4000 figure 6 shows the edx results to show the elementary analysis of the nanoparticle fe3o4 encapsulated peg 4000. figure 6. eds of fe3o4 encapsulated peg 4000 the result of energy spectra as shown in figure 6 shows that the most dominant element of the nanoparticle is oxygen (o) and iron (fe) which were consecutively in 0.5 kev and 6.4 kev energy with kwavelength. it means that the extraction of fe3o4 nanoparticle has successfully separatedd the iron fe from other impurities and successfully coated using peg 4000 (gunanto et al., 2018). conclusions fe3o4 encapsulated peg 4000 was successfully synthesized by co-precipitation method. the xrd characterization shows that the characteristic of peak is spinel ferrite. the size of the nanoparticle was calculated by debye-scherrer equation that is about 11.36 nm without encapsulation. the c-o-c vibration occurs at 1031 cm-1, we believed that it peaks also contributed form peg bonding and sem micrographs shows that the encapsulated make the nanoparticle have the good distribution and low dipolar attraction of the nanoparticles. acknowledgment the author would like to thank drpm ristek dikti 2019 that full funded this research. references anbarasu, m., anandan, m., chinnasamy, e., gopinath, v., and balamurugan, k., 2015. synthesis and characterization of polyethylene glycol (peg) coated fe3o4 nanoparticles by chemical co-precipitation method for biomedical applications, spectro. acta part a: molecular and biomolecular spectroscopy., 135, 536–539. chandra, m. s., saha, a., and sujatha, d. p., 2018. pegylated iron oxide nanoparticles for ph responsive drug delivery application, materials today: proc.., 5(3), 9715–9725. estelrich, j., sanchez-martin, m.j., and busquets, m.a., 2019. nanoparticles in magnetic resonance imaging from simple to dual contrast agents, int. j. nanomed., 10, 1727-1741. gunanto, y. e., izaak, m. p., jobiliong, e., cahyadi, l., and adi, w. a., 2018. high purity fe3o4 and α-fe2o3 from local iron sand extraction, j. physics: conference series., 1091(1), 0-6. guibert, c., dupuis, v., peyre, v., and fresnais, j., 2015. hypherthermia of magnetic nanoparticles: experimental study of the role of aggregation, j.phys. chem. chem. phys., 17, 27981-27995. gupta, a.k., and gupta,m., 2004. synthesis and surface engineering of iron oxide nanoparticles for biomedical applications, biomaterial, 26, 3995-4021. heriansyah., 2015. kajian sifat dielektrik pada nanopartikel magnetite fe3o4 yang dienkapsulasi polimer polyethylene glycol (peg-4000), thesis, program pasca sarjana ilmu fisika ugm, yogyakarta. kurnia, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 167-171, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-kur 171 kim, d. k., mikhaylova, m., zhan, y., and muhammed, m., 2003. protective coating of superparamagnetic iron oxide nanoparticles, chem. mater., 15, 1617-1627. kurniawan, c., eko, a. s., ayu, y. s., sihite, p. t. a., ginting, m., simamora, p., dan sebayang, p., 2017. synthesis and characterization of magnetic elastomer based peg-coated fe3o4 from natural iron sand, iop conference series: materials sci. eng., 202(1), 1-8 lu, w.s., shen, y.h ., xie, a.j., and zhang, w.q., 2010. green synthesis and characterization of superparamagnetic fe3o4 nanoparticles, j. magn. mater., 322 (12), 1828-1833. nurillah, i., raya, i., maming., 2016. synthesis of fe nanoparticles using bioreductor of phytoplankton extract of spirulina platensis, indo. j. chem. res., 3(2), 277-282. payne, d.b. and hublot, h.g., 2018. technology in biodiesel production, proc. iooc-ecoc, 557998. peng, j., zou, f., liu, l., tang, l., yu, l., chen, w., liu, h., tang, j. b, and wu, l. x., 2008. preparation and characterization of pegpei/fe3o4 nano-magnetic fluid by coprecipitation method, transactions of nonferrous metals society of china (english edition), 18(2), 393–398. patsula, v., horak, d., kucka, j., mackova,h., lobaz, v., francova, p., herynek, v., heizer,t., paral, p., and sefc l., 2019. synthesis and modification of uniform peg-neridronate-modified magnetic nanoparticles determines prolonged blood circulation and biodistribution in a mouse preclinical model, scientific reports., 9, 10765. ren, j., hong, h. y., and ren, t. b., 2005. preparation and characterization of magnetic pla-peg composite particles, journal mater lett., 59 (21), 2655-2658. rusnaenah, a., zakir, m., budi, p., 2017. biosynthesis of silver nanoparticles using ketapang leaf extract, modification with pcoumaric acid for detecting melamine, indo j. chem res.,4(2), 367-372 taba, p., parmitha, n. y., kasim, s., 2019. synthesis of silver nanoparticles using syzygium polyanthum extract as bioreductor and applied as antioxidant, indo j. chem res.,7(1), 51-60 wei, y., han, b., hu, x., lin, y., wang, x., and deng, x., 2012. synthesis of fe3o4 nanoparticles and their magnetic properties, proc. engineering, 27,632–637. wu, a., ou, p., and zeng, l., 2010. biomedical applications of magnetic nanoparticles, nano, 5, 245-270. xiong, f., huang, s., and gu, n., 2018. magnetic nanoparticles: recent developments in drug delivery system, drug. dev. ind. pharm., 44(5), 697-706. ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 339-343 339 expression of inducible nitric oxide synthase (inos) in kidney of carp (cyprinus carpio l.) linear alkylbenzene sulfonat (las) exposure ekspresi inducible nitric oxide synthase (inos) dalam ginjal ikan mas (cyprinus carpio. l) setelah paparan linear alkylbenzene sulfonat (las) ruku r. borut * program studi budidaya perairan, universitas pattimura jl. mr. chr. soplanit kampus poka, ambon, 97234, maluku-indonesia *corresponding author, email: rukubdp76@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract this study aims to determine the expression of inos in renal tissue of carp to contamination las (linear alkyl benzene sulfonate). the method used in this study is an experimental method using laboratory based study of molecular exploration. the experimental design used was completely randomized design (crd), with exposure treatment las namely (a) 0.01 mg / l, (b) 0.02 mg / l, (c) 0.03 mg / l, (d) 0.04 mg / l, (e) 0.05 mg / l and control (without las). the parameters measured were the expression of inducible nitric oxide synthase (inos) in renal tissue cranial carp after 96 hours of exposure to las. detection of inos in renal tissue cranial carp do with immunohistochemical methods. t-test results showed that inos expression in the kidney tissue cranial carp at each treatment las exposure was significantly higher (p <0.05) than controls. the mean value of inos expression in control cells was 6.25%, a 14.5% cell treatment, treatment and 21% of the cells, the cells c treatment 32.5%, 36.5% d treatment of cells, and treatment e 28.25% cell. keywords: las, expression, inos, common carp pendahuluan las berbahaya untuk spesies akuatik (vertebrata, invertebrata dan alga) (the soap and detergent association, 2005). toksisitas las pada beberapa organisme akuatik adalah ikan lc50-96 jam 1,67 mg/l, daphnia ec50–48 jam 1,62 mg/l dan alga ic50–96 jam 29 mg/l (heinze, 2007; oecd, 2005; the soap and detergent association, 2005). toksisitas kronis untuk ikan air tawar nilainya berkisar antara 0,25 – 3,4 mg/l (the soap and detergent association, 2005). ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan setelah berumur diatas tiga bulan dengan ukuran 8-12 cm. di samping itu ikan mas di kolam air tenang (stagnant water) memiliki kecepatan tumbuh 3 cm setiap bulannya. pertumbuhan organisme perairan dipengaruhi oleh ph, do, bod, suhu, salinitas dan alkalinitas berpengaruh nyata terhadap mortalitas ikan mas (cyprinus carpio l.) (suwindere, 1983). secara biologis organisme di lingkungan perairan sensitif dalam merospon perubahan yang terjadi di air. kesatuan biotik dari sistem ekologi menggambarkan kesehatan fauna. perubahan kadar polutan kimia pada populasi ikan dapat menyebabkan perubahan secara biokimia, histologi dan fisiologi. perubahan tersebut mengindikasikan bagaimana kondisi lingkungan mempengaruhi suatu populasi ikan. efek toksik dari suatu polutan dapat ditentukan pada tingkat seluler atau jaringan sebelum terjadi perubahan signifkan pada perilaku atau penampilan pada ikan. respon seluler terhadap stress eksternal di perairan dapat ditunjukkan oleh ginjal ikan mas karena dapat memicu timbulnya inos. akibat dari paparan suatu stressor antara lain penurunan pertumbuhan, resistensi penyakit, keberhasilan reproduksi, pernapasan dan kemampuan renang (barton, 1997 dalam iwama dkk., 1999). oleh karena itu pendeteksian dini keberadaan suatu stressor di perairan sangat penting, untuk sedini mungkin dapat dilakukan upaya rehabilitasi terhadap lingkungan perairan yang tercemar dengan perubahan yang terjadi dalam ekspresi inos selanjutnya dapat dijadikan biomarker, mailto:rukubdp76@gmail.com ruku r. borut / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 339-343 340 yang merupakan sistem peringatan dini adanya paparan polutan dan indikasi adanya perubahan kondisi lingkungan perairan. ginjal adalah tempat utama dari polutan lingkungan penyebab toksisitas, dengan konsekuensi fungsi ginjal yang terganggu akan berpotensi mengancam kehidupan. dengan demikian penting untuk memahami mekanisme seluler yang mendasari fungsi ginjal normal dan menentukan polutan nephrotoksik yang mempengaruhinya. kontribusi penting pada pengetahuan tentang fungsi ginjal dan nephrotoksisitas polutan telah dilakukan oleh para peneliti menggunakan pendekatan komparatif dengan hewan-hewan akuatik. berbagai uraian di atas maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana ekspresi inducible nitric oxide synthase (inos) dalam ginjal ikan mas setelah 96 jam paparan las dengan tujuan untuk mengetahui ekspresi inos dalam jaringan ginjal cranial ikan mas (cyprinus carpio l.) setelah 96 jam paparan las. hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai biomarker untuk menandai kondisi stress pada ikan mas dan menandai keberadaan bahan pencemar las di lingkungan perairan. metodologi a. materi dan metode penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan eksplorasi laboratorium berdasarkan kajian molekuler. rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (ral), dengan perlakuan dosis paparan linear alkylbenzene sulfonat (las): 0,01 mg/l, 0,02 mg/l, 0,03 mg/l, 0,04 mg/l, 0,05 mg/l dan kontrol. kontrol adalah ikan mas yang tidak diberi paparan las. peubah yang diamati adalah inducible nitric oxide synthase (inos) yang terdapat dalam jaringan ginjal ikan mas (cyprinus carpio l.) setelah 96 jam paparan las. pendeteksian inos pada jaringan ginjal ikan mas dilakukan dengan metode imunohistokimia (ramos-vara, 2005). b. alat dan bahan alat dan bahan alat yang digunakan dalam adalah do meter type oxi315i merk wtw; ph meter type ad140ph merk ama-digit; timbangan analitik tipe aa-250 merk denver instrument company; timbangan analitik tipe xl-3100 merk denver instrument; botol sampel; dan perlengkapan bedah.inkubator 55-63oc; hot plate; pinset; pipet tetes, kotak preparat, waterbath suhu 95oc; pembuat blok; freezing mikrotom; pisau mikrotom dan bunsen. sedangkan untuk analisis imunohistokimia inos alat yang digunakan adalah mikropipet 1000µl, 100µl, 20µl dan spuit; mikroskop fluorescent nikon optiphot-2. bahan yang digunakan adalah jaringan ginjal cranial ikan mas; slide; cover slide; 4% paraformaldehid dalam pbs (phosphate buffered saline); ethanol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan absolute); xylol dan parafin. sedangkan untuk analisis imunohistokimia inos bahan yang digunakan adalah pbs ph 7,4 (pembuatan pbs dengan mencampurkan 8 mm na2hpo4; 1,4 mm kh2po4; 140 mm nacl; 2,7 mm kcl; dan ditepatkan pada ph 7,4 dengan menggunakan naoh); aquades; 3% h2o2 dalam pbs; 5% fbs (fetal bovine serum); antibodi primer antibodi primer (antibody nos2 rabit polyclonal lgg merk santa cruz biotechnology no katalog h-174); dab (diamono benzidine); mayer’s hematoxilen dan entellan. c. analisis data data inducible nitric oxide shyntase (inos) dalam jaringan ginjal cranial ikan mas akan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan gambar, untuk menjelaskan apakah sintesis inos pada ikan mas dapat dipicu oleh linear alkylbenzene sulfonat (las). hasil ini akan menjadi dasar dalam penggunaan inos sebagai biomarker keberadaan las di lingkungan perairan budidaya maupun alami. hasil dan pembahasan a. inducible nitric oxide synthesa (inos) analisis inos dalam ginjal ikan mas yang terkontaminasi las, secara kuantitatif dengan metode imunohistokimia. hasil analisis tersebut dapat dilihat pada (tabel 1). hasil analisis statistik dengan menggunakan uji-t menunjukkan bahwa ekspresi inos dalam jaringan ginjal ikan mas pada semua perlakuan konsentrasi las nyata lebih tinggi (p<0.05) dari kontrol, dengan nilai rerata pada kontrol = 6.25 %sel, perlakuan a = 22.00 %sel (p=0.0272), perlakuan b = 28.75 %sel (p=0,0479), perlakuan c = 24.5 %sel (p=0.0229), perlakuan d = 19.25 %sel (p=0,0312), dan perlakuan e = 23.00 %sel (p=0,0117). adapun nilai peningkatan ekspresi ruku r. borut / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 339-343 341 inos pada perlakuan a = 17.00 %sel, perlakuan b = 23.75 %sel, perlakuan c = 19.50 %sel, perlakuan d = 14.25 %sel dan perlakuan e = 18.00 %sel. standar deviasi pada kontrol ± 2.94 sedangkan pada perlakuan berkisar antara ± 2.94 sampai ± 5.44 (tabel 1) ekspresi inos pada ginjal ikan mas terjadi pada jaringan tubulus, dan di jaringan lain seperti sitoplasma dan dalam inti sel. hasil penelitian ini menujukkan sel-sel yang terdistribusi tidak merata. intensitas peningkatan ekspresi sel inos pada waktu pengamatan 96 jam (tabel 1). hal ini didukung oleh data sel secara kuantitatif menunjukkan nilai rerata kuantitas sel yang terekspresi pada tiap perlakuan terdapat fenomena yang berbeda yaitu jumlah sel yang terekspresi inos tidak merata pada jaringan ikan mas. las dapat memicu peningkatan ekspresi inos dalam jaringan ginjal ikan mas. peningkatan ekspresi inos terjadi pada semua perlakuan kontaminasi las berdasarkan waktu pengamatan 96 jam, dengan nilai peningkatan berkisar antara 14.25–23.75 % sel. pengamatan inos dalam penelitian ini menunjukkan bahwa inos dalam sel ginjal cranial ikan mas terdistribusi pada sitoplasma maupun nukleus/inti sel. hal ini dapat didukung dengan pernyataan cronstein et al (1993),huang et al (1995), kendall et al (2000) newton (2000), qiu et al (2004), bahwa inos merupakan molekuler intraseluler yang ditemukan di dalam sitosol, mitokondria, retikulum endoplasma, dan nukleus eukariot. dalam synthase no (nos), ekspresi inos dihasilkan oleh stimulasi beragam cytokiner ataupun infeksi bacteria. nathan (1992). memperlihatkan bahwa adenosin, yang menjadi nukleosida endogenus, punya sejumlah aksi biologis terhadap beragam sel dan dapat memodulasi beragam fungsi sel yang terlibat dalam respon inflamasi. (cronstein et al, 1991, 1993). rangsangan las dapat memicu peningkatan ekspresi inos dalam jaringan ginjal cranial ikan mas. peningkatan ekspresi inos secara kuantitatif terjadi pada perlakuan las selama pengamatan 96 jam. dengan demikian paparan las mulai dari konsentrasi 0,01 mg/l dapat memicu peningkatan ekspresi inos yang dapat terdeteksi mulai dari 24 jam sampai 96 jam setelah paparan las. berdasarkan hasil penelitian ini di dukung oleh pernyataan wang et al. (2001) menunjukkan hasil yang sama, sebab pada ikan mas/karper transkripsi inos dapat dideteksi 4 jam setelah dirangsang dengan lps dan transkripsi maksimum tampak/nyata dalam 12 sampai 48 jam terjadi peningkatan ekspresi inos pada jaringan insang, dan hati ikan mas (cyprinus carpio l.) yang dipapar dengan lps. penelitian (burgner, 1999) yamg menyatakan bahwa, inos secara cepat terekspresi jika terstimuli oleh zat-zat tertentu, misalnya sitokin proinflamasi. sekali terbentuk inos dapat tetap aktif selama 24 sampai 36 jam serta dapat mensintesis no 100-1000 kali lebih banyak daripada nnos dan enos. ekspresi inos dalam ginjal cranial ikan mas diberi perlakuan las tidak merata pada jaringan. hasil penelitian ini dapat dilihat dari tingginya nilai standar deviasi baik pada kontrol maupun perlakuan. kontrol (tanpa las) standar deviasi berkisar antara ± 2,94, sedangkan pada kelompok perlakuan berkisar antara ± 2,94 sampai ± ± 5.44 (tabel 2). kondisi ini menunjukkan bahwa paparan konsentrasi las pada ikan mas yang dicobakan dalam penelitian ini berada dalam kondisi stress, dan pada semua kelompok perlakuan ekspresi inos pada keseluruhan sel di jaringan ginjal cranial bervariasi. konsentrasi las yang dicobakan dalam penelitian ini adalah seperseratus dari nilai ruku r. borut / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 339-343 342 rata-rata lc50-96 jam las untuk ikan. heinze (2007), oecd (2005) dan the soap and detergent association (2005) menyatakan bahwa nilai lc50-96 jam las pada ikan adalah 1,67 mg/l. b. kualitas air hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian pada kelompok kontrol dan perlakuan adalah suhu berkisar antara 22,1-22,8 o c, oksigen terlarut 5,50-6,63 mg/l dan ph 7,47,8 (gambar 9). kisaran parameter kualitas air tersebut berada dalam kondisi optimum bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan mas. (sutisna dan sutarmanto. 1995) menyatakan bahwa lingkungan perairan yang ideal untuk ikan mas di jaringan yang berketinggian 150 -600 m di atas permukaan laut dengan suhu air berkisar antara 20 – 35 o c. selanjutnya (sutisna dan sutarmanto, 1995) menjelaskan bahwa kandungan oksigen terlarut sebesar 5 ppm optimal bagi pembenihan ikan mas. co2 berkisar antara 10 -100 ppm, kandungan amoniak kurang dari 1 ppm, ph air berkisar antara 6,7 – 8,2. berdasarkan hasil penelitian ini kondisi parameter kualitas air tidak fluktuatif. hal ini penting dalam penelitian ini sebab kondisi kualitas air yang fluktuatif pada taraf tertentu dapat menyebabkan stress seluler pada ikan yang memicu ekspresi inos. hasil penelitian ini didukung pernyataan (kerwin junior, et al, 1995) bahwa inos bersifat inducible oleh cytokine dan stimuli lainnya, termasuk hypoxia. hal yang sama dikemukakan oleh (wang et al, 2001) menyatakan bahwa ekspresi inos pada ikan rainbow trout (oncorhynchus mykiss) menunjukkan bahwa ekspresi inos dapat dipicu oleh kejutan suhu dan hypoksia (kondisi tanpa oksigen). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan : kontaminasi las (0.01 mg/l selama 96 jam sudah dapat memicu peningkatan ekspresi inos pada sitoplasma dan inti sel dalam jaringan ginjal ikan mas (cyprinus carpio l.). ucapan terimakasih ucapan terima kasih yang sedalamdalamnya penulis sampaikan kepada: ibu erina ramadiyanti, s.si, m.si. atas perkenannya sehingga penulis dapat bergabung dalam payung riset dengan judul: ekspresi stress protein hsp70 dan mapk p38 pada regulasi inos dalam hepatosit cyprinus carpio l. yang mengalami pemaparan las. daftar pustaka anonymous, 2004. detergen. badan pengawas obat dan makanan republik indonesia. deputi bidang pengawasan produk terapetik dan napza. www.pom.go.id.htm. 23 juli 2007. cronstein bn, eberle ma, gruber he, levin ri, 1991, methotrexate inhibits neutrophil function by stimulating adenosine release from connective tissue cells. proc natl acad sci usa 88:2441-2445. cronstein bn, naime d, ostad e,1993, the antiinflammatory mechanism of methotrexate. increased adenosine release at inflamed sites diminishes leukocyte accumulation in an in vivo model of inflammation. j clin invest 92:2675-2682 iwama, g.k, 2008, stress in fish. institute for marine biosciences, national research council of canada, nova scotia. http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/pdf. 28 pebruari 2008. gambar 1. data pengukuran beberapa parameter kualtas air selama 96 jam yang meliputi suhu, oksigen terlarut dan ph. http://www.pom.go.id/ http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/pdf.%2028%20pebruari%202008 http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/pdf.%2028%20pebruari%202008 ruku r. borut / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 339-343 343 iwama, g.k.; l.o.b. afonso; a. todgham; p. ackerman dan k. nakano, 2003, are hsps suitable for indicating stressed states in fish. the journal of experimental biology 207:15-19. iwama, g.k.; l.o.b. afonso dan m.m. vijayan, 2004a, stress in fish. aquanet workshop on fish walfare. september 27, 2004. http://aquanet.ca/ iwama/pdf. 15 agustus 2007. kendall hk, haase hr, li h, xiao yg, bartold pm, 2000, nitric oxide synthase type-ii is synthesized by human gingival tissue and cultured human gingival fibroblasts. j periodontal res 35:194200. kerwin, j. f., jr, lancaster, j. r., jr and feldman, p. l, 1995, nitric oxide: a new paradigm for second messengers. j. med. chem. 38, 4343-4362. nathan c, 1992, nitric oxide as a secretory product of mammalian cells. faseb j 6:3051-3064. nathan cf, hibbs jb (1991). role of nitric oxide synthesis in macrophage antimicrobial activity. curr opin immunol 3:65-70. newton, 2000, molecular mechanism of glucocorticoid action : what is important?. thorax 2000;55:603-613. heinze, j., 2007, las. general ingredient information. cleangredients a project of greenblue. http://db.cleangredients.org/ingredients.php. 23 juli 2007. wang.t, mike. d, peter. g and christopher j. s., 2001, molecular cloning, gene organization and expression of rainbow trout (oncorhynchus mykiss) inducible nitric oxide synthase (inos) gene.*department of zoology, university of aberdeen, aberdeen ab24 2tz, u.k., and .institute of child health, university of sheffield, sheffield s10 2th, u.k. sudiana, i made, 2004, peran komunitas mikroba lumpur aktif dalam perombakan detergen alkil sulfonat linear dan benzena alkil sulfonat. pusat penelitian biologilipi. bogor. indonesia sutisna, d. h. dan r. sutarmanto, 1995, pembenihan ikan air tawar. kanisius. jogyakarta. http://db.cleangredients.org/ingredients.php.%2023%20juli%202007 http://db.cleangredients.org/ingredients.php.%2023%20juli%202007 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 114-119, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dgr 114 profile analysis of fatty acids of tengkawang (shorea sumatrana) oil using gc-ms and antibacterial activity diah gusti riski 1 , rico gewana resdy maulana 3 , edwin permana 2 , intan lestari 1 , indra lasmana tarigan 1 * 1 chemistry, faculty of science and technology, universitas jambi, jl. jambi-ma. bulian km 15 mendalo darat jambi 36361, indonesia 2 industrial chemistry, faculty of sciences and technology, universitas jambi. , jl. jambi-ma. bulian km 15 mendalo darat jambi 36361, indonesia 3 department of industrial engineering, faculty of engineering, universitas sumatera utara, jl. almamater kampus universitas sumatera utara medan, 20155, indonesia * corresponding author: indratarigan@unja.ac.id received: 2020-7-10 received in revised: 2020-7-14 accepted: 2020-8-20 available online: 2020-9-30 abstract the shorea sumatrana (tengkawang) plant is endemic in indonesia, especially in kalimantan and sumatera regions, which produces chemical diversity especially as natural drug. specific aims to investigate both the profile analysis of fatty acid and antibacterial potential of tengkawang oil. the extract of tengkawang oil was carried out using the soxhlet extraction method. the profile analysis of fatty acid was verified by gc-ms and the antibacterial activity was evaluated using disc-diffusion method. the profile analysis of fatty acid of tengkawang oil indicated the presence of palmitic acid (17.26%), stearic acid (60.68%), oleic acid (11.98%), oleic acid chloride (1.80%), stearic acid chloride (1.86%), glycidyl stearate (1.92%), diethyl phthalate (4%), and 2monopalmitin (0.5%). we determined the antibacterial activity by diameter of inhibition of growth zone against salmonella enteritidis, escherichia coli, staphylococcus aureus, and bacillus cereus at a concentration of 12.5%, 25%, 50%. these were compared with standard tetracycline as positive control and dmso was assigned negative control. it was found that the highest percentage of fatty acid in tengkawang oil is stearic acid, at 60.68%, and that tengkawang oil is an antibacterial agent with concentration optimum at 25% with more susceptibility to gram-positive than gram-negative bacteria. keywords: tengkawang, extraction, soxhlet, fatty acids, antibacterial introduction fatty acids (fas) are carboxylic acids functional group with long, unbranched carbon chains, with both single and double bonds. somehow, mostly of fatty acids with double bonds carbon have cis conformation in nature, while the trans double bonds are rare (tarigan, 2019). fas are known as important constituent of plants and are commonly known to possess biological activity such anti-inflammatory and antimicrobial (mcgaw et al, 2002). the fas content has different chemical contents, for example, alcohols, hydrocarbons, phenols, aldehydes, esters and ketones are some of the major components of essential oil (mcgaw et al., 2002; he et al., 2015). some of those functional groups such as hydroxyl (oh) and carbonyl (c = o) become content in plant oil which has antibacterial properties (et al., 2019). fas are ubiquitous molecules typically found bound to other compounds such as glycerol, sugars or phosphate head groups to form lipids (desbois and smith, 2010). the shorea sumatrana plant, from which tengkawang oil is extracted is endemic to indonesia, especially in kalimantan and sumatera regions, which produces chemical diversity especially as natural drug (hidayat et al., 2019). tengkawang is a non-wood forest product, including in the dipterocarpaceae family. this plant produces tengkawang oil which is high potential as a medicinal compound (riska and manurung, 2018). moreover, tengkawang have been widely used by the people of indonesia as a basic ingredient in making candles, chocolate, margarine, cosmetics, and soaps (kusumaningtyas et al., 2012). the oil plant is a rich source of metabolites for the development of novel drugs. stearic acid, butyric acid and the other of short-chain fatty that mainly produced from plant that can functionally as drug compound (keshari et al., 2019). diah gusti riski et al. indo. j. chem. res., 8(2), 114-119, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dgr 115 tengkawang oil is produced from tengkawang fruit which is removed by the skin and then dried or lightly dried in the sun, then crushed and squeezed until the oil comes out (kusumaningtyas et al. 2012; hidayat et al., 2019). singkawang oil or tengkawang oil is also known as the green butter of tengkawang seed that is ignited (saridan, fernandes and noor, 2013). traditionally, tengkawang oil is used for cooking, food seasoning, and medicinal herbs (saridan et al., 2013; riska and manurung, 2018). in the field of medicine, tengkawang oil is used as an antiseptic, stimulates blood circulation, antiviral, and antitumor (neliyanti, 2013). the anak suku dalam in province of jambi utilized as dysentery medication and wound medication (kusumaningtyas et al., 2012). the specific aim this study to investigate both the profile analysis of fatty acid using gas chromatography-mass spectrophotometry and determine the antibacterial potential of tengkawang oil by the disc diffusion method. methodology materials and instrumentals tengkawang seeds are taken from the sarolangun regency jambi province which is used as a sample to obtain tengkawang oil. other chemicals were used, n-hexane, metanol, etil asetat, butanol, nheksana, natrium sulfat anhidrat, aquades, nutrient agar (na), lactose broth (lb), sabouraud dextrose agar (sda), sabouraud dextrose broth (sdb), alkohol, spirtus, suspension of bacteria s. thypti, s. aeureus, e. coli, b. cereus. there is equipment we used, such as glassware, spatulas, ovens, refrigerators, autoclaves, analytical balances, crucible pliers, shaker incubators, disc-diffusion plates, gas chromatography-mass spectrophotometry, and calibration (hidayat et al., 2019). figure 1. sarolangun regency, jambi province is one of the producers of tengkawang oil (a). trees, seeds and tengkawang oil (b). oil extraction and fatty acids profile tengkawang seeds are dried and mashed in the form of fine powder. a total of 500 grams of the tengkawang seed powder were used in this study and the extract of tengkawang oil was carried out using the soxhlet extraction method using n-hexane at 67 °c for 4 hours then evavorated using rotary evavorator at 65 o c to obtained total oil extract (rassem, nour and r. m., 2016). gc-ms was adjusted using a phenomenex zb-5 column with a size of 30 mm x 0.25 mm x 0.25 mm. the condition of the injector temperature was 280 ° c and the sampling time was 1 minute. the column temperature adjusted at 35 280 °c. at the initial temperature of 35 o c was held for 3 minutes, then the temperature was increased again by 10 °c/minute from 35 °c to 180 °c, then increased 30°c/minute from 180 °c to 250 °c. after reaching a temperature of 250 °c, the oven temperature maintained for 1 minute. the oven temperature was again increased by 30 °c/ minute from 250 °c to 280 °c, then at 280 °c for 7 minutes. the total program time is 29 minutes. the temperature of the detector was 280 °c, an interval temperature of 250 °c. helium carrier gas adjusted with a constant flow rate of 2 ml per minute. electron impact ionization is setting at 70 ev. the sample then injected 1 μl onto gc-ms instrument, dilution factor 1,000 and volume 2 ml, with an oven temperature of 650c, at an injection temperature of 2500c, and a pressure of 74.5 kpa with a total flow of 602.4 ml/min. purge flow 3.0 ml/minute and split ratio 500.0 10 (hartono, et al., 2012). the results of the chromatogram and component analysis from ms were then analyzed through literature studies from previous studies (hidayat et al., 2019; puspita et al., 2019). antibacterial activity in this study was conducted an antibacterial activity test using a modified diffusion method from previous studies (muadifah et al., 2019), against four bacteria s. thypti, s. aeureus, e. coli, and b. cereus. the bacterial suspension is made and etched on nutrient agar medium (na). the discs were dipped in each of three different concentrations of oil extract, 12.5%; 25%; and 50%. the dmso as negative control while tetracycline as a positive control, then put the disk paper which has been contained sample on the agar medium. incubation did at 37 °c with 24 h, the diameter of the clear zone appears as a clear or clean area surrounding the disc that has been dipped in oil extract. observations were made after 24 h of the incubation period. a clear area is an indication of diah gusti riski et al. indo. j. chem. res., 8(2), 114-119, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dgr 116 the sensitivity of bacteria to antibiotics or other antibacterial agents used as test material expressed by the width of the inhibition zone diameter. the inhibition zone diameter is calculated in millimeters (mm) using calipers, then the diameter of the inhibition zone is categorized as the strength of the antibacterial power (desbois and smith, 2010; kada et al., 2016). results and discussions gc-ms analysis result the percentage yield of tengkawang oil obtained was 40.8%. this is because the seeds used are dry seeds with very low moisture content. tengkawang oil extraction then analysed using the gc-ms system. the results of the spectrum are analyzed shown in figure 2. qualitative results of oil samples indicate that tengkawang oil contains six components of fatty acids, diethyl phthalate, palmitic acid, oleic acid, stearic acid, 2-monopalmitin, oleic acid chloride, stearic acid chloride, and glycidyl stearate. the profile analysis of fatty acid of tengkawang oil indicated the presence of palmitic acid (17.26%), stearic acid (60.68%), oleic acid (11.98%), oleic acid chloride (1.80%), stearic acid chloride (1.86%), glycidyl stearate (1.92%), diethyl phthalate (4%), and 2-monopalmitin (0.5%). previous research identified twenty types of sengkawang oil compounds, indicating that the bioactive compounds contained are a group of fatty acid compounds. 9-octadecenoic acid (z)-, methyl ester (c19h36o2) is a fatty acid that has the highest percentage of the 19 other fatty acid compounds. fatty acids that bind to triglycerides are carbon (c) chains with a carboxyl group (cooh) at one end that figure 2. the mass spectrum of the tengkawang oil, (a). diethyl phthalate, (r.t. 16.8 ) (b) palmitic acid (r.t. 21.0), (c) oleic acid (r.t. 22.7), (d) stearic acid (r.t. 22.9), (e) 2-monopalmitin (r.t. 23.6), (f) oleic acid chloride (r.t. 25.1), (g) stearic acid chloride (r.t. 25.3), (h) glycidyl stearate (25.7). diah gusti riski et al. indo. j. chem. res., 8(2), 114-119, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dgr 117 can react with other molecules (hidayat et al., 2019; puspita et al., 2019). this research was focus on fatty acid compounds and using standard compounds to identify them. figure 3. the profile of fatty acid tengkawang oils our results show that stearic acid is the major's product in tengkawang extract with 60.68% n-hexane solvent and its derivative in the form of stearic acid chloride, 1.86%, followed by palmitic acid and oleic acid with 17.26 and 11.98 respectively. table 1. the profile of fatty acids of oil extracted of shorea sumatrana peak no retention time (min) fatty acids number of carbon relative percentage 1 16.8 diethyl phthalate c12h14o4 4 2 21.0 palmitic acid c16h32o2 17.26 3 22.7 oleic acid c18h34o2 11.98 4 22.9 stearic acid c18h36o2 60.68 5 23.6 2monopalmitin c19h38o4 0.5 6 25.1 oleic acid chloride c18h33clo 2.33 7 25.3 stearic acid chloride c18h35clo 1.86 8 25.7 glycidyl stearate c21h40o3 1.92 stearic acid and palmitic acid are saturated fatty acids, while oleic acid is an unsaturated fatty acid with one carbon atom, double bonds (agoramoorthy et al., 2007; tarigan, 2019). in previous studies found several fatty acid compounds in tengkawang oil such as 9-octadecenoic acid (z)-, methyl ester (cas), 9octadecenoic acid (z)-, methyl ester (cas), decanoic acid (cas), cyclohexaneacetic acid, butyl ester (cas), 1,2-benzenedicarboxylic acid, mono (2-ethylhexyl) ester, 4,8-decadien-3-ol, 5,9-dimethyl, citronellyl acetate, and several other compounds (puspita et al., 2019). the antibacterial activity test result stearic acid, lauric acid, butyric acid, lactic acid, oleic acid, linoleic and so on are fatty acids methyl esters (fame) which are known to have good antibacterial activity (agoramoorthy et al., 2007). the results of the antibacterial activity test of tengkawang oil extract showed the optimum concentration value extracted 25% if compared to the extract concentration 12.5% and 50%. our finding at a concentration of 25% the inhibition zone diameter of the bacteria s. thypti (16mm), s. aureus (25 mm), e. coli (17 mm), and b. cereus (22 mm), which on average are categorized as strong inhibitory antibacterial. whereas at concentrations of 12.5% and 50% categorized as moderate inhibition, also at 50% (table 2). the criteria of antibacterial activity refers to previous studied who classified it into: low (<5 mm), moderate (5-10 mm), strong (10-19 mm), and very strong (>20mm) (elya et al., 2016). the ability of fatty acid compounds both the palmitic and stearic acid in crystallite surface displayed antibacterial activity against gramnegative, rod-shaped pseudomonas aeruginosa and gram-positive, spherical staphylococcus aureus cells (ivanova et al., 2017). long fatty acids can be broken down into short-chain fatty acids (scfas) which act as antibacterial and anti-inflammatory compounds through the mechanism of il-6, in vivo knockdown of short-chain fatty acid receptor 2 (ffar2) in mouse skin considerably blocked the probiotic effect of s. epidermidis on suppression of uvb-induced il-6 production. table 2. the diameter of inhibition of growth zone ethanol extract against salmonella thypi species of bacteria the diameter zone of inhibition (mm) concentration control 12,5 25 50 positive negative salmonella typhi 21 16 15 10 7 staphylococcus aureus 22 27 25 17 7 escherichia coli 8 19 17 23 9 bacillus cereus 19 22 15 37 8 diah gusti riski et al. indo. j. chem. res., 8(2), 114-119, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dgr 118 these results demonstrate that butyric acid in the metabolites of fermenting skin probiotic bacteria mediates ffar2 to modulate the production of proinflammatory cytokines induced by uvb (yang et al., 2018; keshari et al., 2019). scfas act on leukocytes and endothelial cells through at least two mechanisms: activation of gpcrs (gpr41 and gpr43) and inhibition of histone de-acetylase (hdac). scfas regulate several leukocyte functions including production of cytokines (tnf-α, il-2, il-6 and il-10), eicosanoids and chemokine (e.g., mcp-1 and cinc-2) (vinolo et al., 2011). in the bacterial inhibition test, the ability of tengkawang oil extract against gram-positive bacteria (s. aureus and b. cereus) is more susceptible than gram-negative bacteria (s. thypi and e. coli). the differences in fatty acid sensitivity between grampositive and gram-negative seem due to the impermeability of the outer membrane counterpart of gram-negative bacteria which is absent in grampositive. the outer membrane is supposed to effectively barrier against hydrophobic substances. somehow, gram-negative bacteria are more resistant to inactivation by medium and long-chain fatty acids than gram-positive bacteria (agoramoorthy et al., 2007). our study confirm that the tengkawang oil contain higher relative percentage of stearic acid, palmitic, and oleic acid that has potential antibacterial principle for clinical application conclusions our finding that % yield 40.8% and the highest percentage of fatty acid in tengkawang oil is stearic acid, at 60.68%. this study confirms that tengkawang oil contains a higher relative percentage of stearic acid, palmitic, and oleic acid that has a potential antibacterial principle for clinical application. tengkawang oil has an antibacterial agent against salmonella thypi, escherichia coli, staphylococcus aureus, and bacillus cereus at a concentration of 12.5% with the inhibition zone were 15 mm, 8 mm, 22 mm, and 15 mm respectively. these were compared with standard tetracycline as a positive control at the concentration 12.5% was 10 mm, 23 mm, 17 mm, and 37 mm. acknowledgment thanks to university of jambi for pnbp research grant funding. references agoramoorthy, g., chandrasekaran, m., venkatesalu, v. and hsu, m. j., 2007. antibacterial and antifungal activities of fatty acid methyl esters of the blind-your-eye mangrove from india. brazilian j. microbiology, 38, 739–742. desbois, a. p. and smith, v. j., 2010. antibacterial free fatty acids: activities, mechanisms of action and biotechnological potential. app. microbiology and biotechnology, 85(6), 1629– 1642. hartono, h. s. o., soetjipto, h. and kristijanto, a. i., 2012. extraction and chemical compounds identification of red rice bran oil using gas chromatography-mass spectrometry (gc-ms) method. eksakta: j. ilmu ilmu mipa, 13(2), 98-110. he, m., tian, h., luo, x., qi, x. and chen, x., 2015. molecular progress in research on fruit astringency. molecules, 20(1), 1434–1451. hidayat, n., darmawan, m. a., intan, n. and gozan, m., 2019. refining and physicochemical test of tengkawang oil shorea stenoptera origin sintang district west kalimantan. iop conf. series: materials science and engineering 543 (2019) 012011. ivanova, e. p., nguyen, s. h., guo, y., baulin, v. a., webb, h. k., truong, v. k. and crawford, r. j., 2017. bactericidal activity of self-assembled palmitic and stearic fatty acid crystals on figure 4. disc-diffusion assay: the inhibition zone diameter oils extract against s. thypti, s. aureus, e. coli, and b. cereus diah gusti riski et al. indo. j. chem. res., 8(2), 114-119, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dgr 119 highly ordered pyrolitic graphite. acta biomaterialia, 59(1), 148-157. kada, s., hamama, b., senator, a., gul, f. and demirtas, i., 2016. phytochemical screening, antioxidant and antimicrobial activities of algerian cistus salvifolius extracts. advances in environmental biology, 10(1), 23–32. keshari, s., balasubramaniam, a., myagmardoloonjin, b., herr, d. r., negari, i. p. and huang, c. m., 2019. butyric acid from probiotic staphylococcus epidermidis in the skin microbiome down-regulates the ultraviolet-induced pro-inflammatory il-6 cytokine via short-chain fatty acid receptor. int. j. mol. sci., 20(18), 4477 kusumaningtyas, v. a., sulaeman, a. and yusnelti., 2012. the potential of tengkawang seed fat on food microbial content in making wet noodles. bionatura j. ilmu-ilmu hayati dan fisik, 14(2), 140–147. mcgaw, l. j., jäger, a. k., van staden, j., 2002. antibacterial effects of fatty acids and related compounds from plants. south african j. botany, 68(4), 417–423. muadifah, a., amini, h. w., astutik, t. k. and tarigan, i. l., 2019. antibacterial activity of ethanol extract and melinjo leaf gel preparation (gnetii gnemonii folium) against staphylococcus aureus bacteria. chempublish j., 4(2), 89–100. neliyanti, n., 2013. tengkawang embryosomatic regeneration (shorea stenoptera burck) at several concentrations of growth regulating substances ga3 and bap. j. chem. information and modeling, 2(2), 82–90. rassem, h. and nour, a., r. m., y., 2016. techniques for extraction of essential oils from plants: a review. australian j. basic and applied sciences, 10(16), 117–127. riska and manurung, t. f., 2018. vegetative morphology of tengkawang tree species (shorea spp) in mensiau village, batang lupar district, kapuas hulu regency. j. tengkawang, 8(2), 110–121. saridan, a., fernandes, a. and noor, m., 2013. distribution and potential of tengkawang trees in lebanan research forest, east kalimantan. j. penelitian dipterokarpa, 7(2), 101–108. tarigan, i. l., 2019. basics of water, food and beverage chemistry. media nusa creative. malang. udawati, w., yusro, f. and sisillia, l., 2019. identification of chemical compounds of clone g3 fragrant lemongrass oil (cymbopogon nardus l.) using peat soil planting media and its potential as antibacterial enteroccous faecalis. j.tengkawang, 9(2), 71–81. yang, j., chang, t., jiang, y., kao, h. and chiou, b., 2018. commensal staphylococcus aureus provokes immunity to protect against skin infection of methicillin-resistant staphylococcus aureus. inter. j. of molecular sciences, 19(1920), 1–14. indochem indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 22-25 22 uji aktivitas antioksidan dari ekstrak buah kawista (limonia acidissima) menggunakan spektrofotometer uv-vis antioxidant activity test from fruit extract kawista (limonia acidissima) using uv-vis spectrofotometer waode rustiah 1* , nur umriani 2 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university 2 study program of health analyst, academy of health analyst muhammadiyah makassar-indonesia *corresponding author: waoderustiah79@gmail.com received: may 2018 published: july 2018 abstract antioxidant activity test has been done from kawista fruit. this study aims to determine the antioxidant activity of kawista based on the test using uv-vis spectrophotometer conducted wavelength () 516 nm. the kawista fruit is extracted by reflux using methanol solvent. the extracts were made at concentrations of 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm and 250 ppm. the results showed that the antioxidant activity based on ic50 values obtained on kawista fruit extract samples had a concentration of 1275 mg/ml. the results obtained are at the level of ic50> 150 g/ml, this indicates that the kawista fruit have weak antioxidant ability. keywords: kawista (limonis acidissima), antioxidant, activity, ic50, dpph, extract. pendahuluan salah satu pemanfaatan tumbuhan adalah sebagai sumber vitamin. vitamin merupakan zat pengatur yang meskipun jumlah yang dibutuhkan sangat sedikit, tetapi harus ada agar system metabolism tubuh dapat seimbang (frei, 1994; sediaoetama, 2008). jika vitamin tidak terdapat dalam tubuh atau tidak memenuhi kebutuhan normal tubuh, maka seseorang dikatakan menderita hipovitaminosa (frei, 1994; sediaoetama, 2008). belakangan ini, antioksidan alami yang berasal dari tanaman herbal menjadi pilihan masyarakat (ji dkk., 2004; li dkk., 2011, rustiah dkk, 2018). beberapa tanaman telah banyak digunakan sebagai antioksidan alami (thomas, 2009), sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit infeksi, salah satunya adalah buah kawista (limonia acidissima) yang berasal dari kabupaten bima, yang secara empiris berkhasiat sebagai penurun panas, tonikum, sakit perut dan sebagai antioksidan. aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh komponen kimia dalam buah. komponen kimia tersebut dipengaruhi oleh tingkat kematangan dari buah tersebut. selain berpotensi sebagai antioksidan, buah kawista juga berpotensi sebagai antidiabetes, serta daun kawista berpotensi sebagai anti hepatoprotektif (nugroho, 2012). antioksidan dapat menangkap radikal bebas dan mendetoksifikasinya. antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron supaya mencapai kestabilan atom atau molekul. reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya. oleh karena itu tubuh memerlukan suatu substansi penting, yaitu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit (kikuzaki and nakatani 1993) waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 22-25 23 antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (halliwel, 1999; winarsi dkk., 2003). berdasarkan asalnya, terdapat dua macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terdapat radikal berlebih, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen. adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik, menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan. antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degenaratif serta mampu menghambat peroksida lipid pada makanan. meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terkahir ini (sayuti dan rina, 2015). aktivitas antioksidan memiliki hubungan yang linier positif dengan kandungan fenol di dalam ekstrak buah kawista (nugroho, 2012). senyawa fenol terutama asam fenolat dan flavanoid merupakan antioksidan alami di dalam buah, sayur, dan tanaman lain (kahkonen et al., 1999; prior et al., 2005; rohman dkk., 2006; tryasmono, dkk., 2016). aktivitas antioksidan diukur berdasarkan peredaman warna ungu. dimana ketika larutan dpph dicampur dengan bahan antioksidan, maka akan terjadi reaksi penangkapan hydrogen yang berasal dari antioksidan oleh dpph yang akan diubah menjadi 1,1 difenil-2-pikrihidrazil dan ditandai dengan perubahan warna dari ungu ke kuning. adapun parameter aktivitas antioksidan adalah nilai ic50 (50% inhibytor concentration), yang diperoleh dari persamaan regresi (molineux, 2004). penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari buah kawista berdasarkan metode pengikatan radikal bebas, diphenyl picryl hidrazil (dpph) secara spektrofotometri uv-vis, berdasarkan atas nilai ic50. metodologi pengambilan dan pengolahan sampel sampel yang digunakan adalah sampel buah kawista yang berasal dari kota bima. sampel buah kawista dicuci kemudian ditiriskan, dipotong-potong kecil, selanjutnya dikeringkan di bawah sinar matahari langsung, kemudian setelah kering, lalu dibawa ke laboratorium untuk dilanjutkan ekstraksi. ekstrak buah kawista dengan metode refluks ekstrak buah kawista (limonia acidissima) dibuat dengan menggunakan alat refluks dengan pelarut methanol. sampel ditimbang sebanyak kurang lebih 200 gram, dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan pelarut organic yaitu methanol, hingga sampel terendam kurang lebih 2 cm, diatas permukaan sampel atau 2/3 dari volume labu alas bulat, kemudian labu alas bulat dipasang kuat pada statif dan pada waterbath, lalu kondensor dipasang pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan statif. aliran air dan pemanas (waterbath) dijalankan sesuai dengan suhu pelarut yang digunakan. setelah 4 jam dilakukan penyaringan. filtratnya ditampung pada wadah penampung dan ampasnya ditambahan lagi dengan pelarut, dan dikerjakan seperti diawal, ekstraksi dilakukan selama 3-4 jam. filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan vakum rotavapor sampai diperoleh ekstrak kental. pengujian aktivitas antioksidan menggunakan dpph ditimbang ekstrak masing-masing sebanyak 10 mg, kemudian ditambahkan 10 ml methanol dan disonikasi selama 15 menit. selanjutnya, sampel dan standard dipipet sebanyak 10, 20, 30, 40 dan 50 l dan dimasukkan ke dalam vial, kemudian ditambahkan methanol hingga 5 ml. dari masing-masing konsentrasi, dipipet 1,5 ml dan dimasukkan ke dalam vial yang berbeda, kemudian ditambahkan 1,5 ml larutan dpph 0,04 mg/ml. vial didiamkan selama 30 menit, agar reaksi berjalan optimum, dihindarkan dari kontak langsung dengan cahaya. selanjutnya diukur serapannya dengan spektrofotometer uvvis pada panjanggelombang () 516 nm. kemudian dilanjutkan pembuatan larutan pembanding/control positif, yang digunakan adalah vitamin c dengan variasi konsentrasi yaitu 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. setelah semuanya siap, dilakukan penentuan aktifitas antioksidan. larutan baku dan larutan uji masing-masing dipipet sebanyak 1,0 ml, dimasukkan ke dalam vial yang diluarnya ditutupi aluminium foil. kemudian ditambahkan 4,0 ml larutan dpph 40 waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 22-25 24 ppm, dikocok hingga homogen dan dibiarkan selama 30 menit. selanjutnya diukur serapannya dengan spketrofotometer uv-vis pada panjanggelombang () 516 nm. sebelumnya dilakukan pengujian blanko dengan cara memipet sebanyak 1,0 ml etanol dan 4,0 ml larutan dpph 40 ppm, dikocok dan dibiarkan selama 30 menit, lalu diukur serapannya dengan spektrofotometer uv-vis. pengumpulan dan analisis data data penelitian dikumpulkan dan diuji aktivitas antioksidan menggunakan rumus : keterangan : a blanko = absorbansi blanko a sampel = absorbansi sampel hasil dan pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang uji aktivitas antioksidan buah kawista (limonia acidissima) dengan metode dpph secara spektrofotometri uv-vis, maka didapatkan hasil seperti pada tabel 1. metode dpph merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu tanaman. antioksidan merupakan senyawa pemberi electron (elektron donor) yang berperan dalam menghambat oksidasi yang diperantarai oksigen. analisis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrument spektrofotometer uv-vis, yang diukur pada panjanggelombang () 516 nm, karena sederhana, mudah dalam pengerjaannya, cepat, akurat dan hanya memerlukan sedikit sampel, serta cocok digunakan untuk analisis sampel yang memiliki kemampuan sebagai senyawa antioksidan. pengujian aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan metode dpph, karena cepat dan efektif untuk memperkirakan aktivitas antiradikal dari suatu senyawa, dimana ketika larutan dpph dicampur dengan bahan antioksidan, maka akan terjadi reaksi penangkapan hidrogen yang berasal dari antioksidan oleh dpph yang akan diubah menjadi 1,1 difenil-2-pikrihidrazil dan ditandai dengan perubahan warna dari ungu ke kuning (molineux, 2003). vitamin c memiliki aktivitas antioksidan lebih kuat dibanding ekstraknya. ekstrak buah kawista memiliki kandungan kimia yang berkhasiat sebagai tonikum, menurunkan panas. selain itu, vitamin c juga bermanfaat menjaga ketahanan tubuh terhadap penyakit infeksi racun, antioksidan dan menurunkan kolesterol. tabel 1. hasil pengukuran, presentasi pengikatan dpph dan nilai ic50 dari ekstrak methanol buah kawista dan pembanding vitamin c sampel % pengikatan dpph ic50 (ppm) nilai ic50 (ppm) vitamin c 2,27 22,85 sangat kuat < 50 ppm 3,48 6,75 18,90 8,60 ekstrak buah kawista (limonia acidissima) 0,33 1275 lemah > 150 ppm 3,31 4,42 6,50 11,4 aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai ic50. dimana nilai ic50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel (ekstrak ataupun vitamin c) yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas dpph sebesar 50%. zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai nilai ic50 yang rendah. hasil uji aktivitas antioksidan pembanding, yaitu vitamin c, berada pada kisaran nilai ic50 dibawah 50 ppm, yaitu sebesar 22,85 mg/ml. hasil nilai yang didapatkan, dikategorikan sangat kuat dalam kemampuannya sebagai antioksidan. setelah dilakukan pengujian, diperoleh bahwa ekstrak methanol buah kawista (limonia accidissima) memiliki kemampuan sebagai antioksidan. namun aktivitas antioksidan yang terkandung pada buah kawista masuk dalam kategori lemah (kecil). hal ini dapat dilihat pada nilai konsentrasi pengikatan dpph dan ic50 pada ekstrak buah kawista, yaitu sebesar 1275 mg/ml, berada di atas 150 g/ml (data literatur). lemah atau kecilnya efek antioksidan dari ekstrak buah kawista yang diperoleh dikarenakan tidak terdapat senyawa asam askorbat yang berpotensi sebagai antioksidan yang sangat kuat. waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 22-25 25 kesimpulan berdasarkan hasil nilai ic50 ekstrak buah kawista, mempunyai nilai ic50 dengan nilai 1275 ppm, yang dikategorikan lemah dalam kemampuannya sebagai antioksidan. daftar pustaka frei, 1994, reactive oxygen species and antioxidant vitamins: mechanisms of action. american jurnal of medicine. excerpta medica inc. halliwel, b., 1999, gutteridge, i. m.c. free radicals in biology and medicine. edisi 3. oxford university pres: london. ji, k, lieu et al., 2004, dpph radical scavenging activity of ten natulan pterphenyl derivatives obtained from three edible mushrooms indigenous to china, chemistry and biodiversity vol. 1. kunming institute of botani, thess chinese academy of sciences, kunming 650204, p.r. china. kahkonen m.p., hopia ai, vourea hj, rauha jp, pihlaja k, kujala ts, heinonen m, 1999, antioxidant activity of extracts containing phenolic compounds, journal of agriculturer and food chemistry, 47, 39543962. kikuzaki h, nakatani n., 1993, antioxidant effects of some ginger constituents. journal of food science, 58,1407–1410. li, p., huo, l., w., lu, r., deng, c., liu, l., deng, y., guo, n., lu, c. he, c., 2011, free radical scavenging capacity, antioxidant activity and phenolic content of (pouzolzia zeylanica), college of pharmacy, j. serb. chem. soc., 76 (5), 709717. molineux, p., 2004, the use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (dpph) for estimating antioksidan activity, songklanakarin j.sci. techol., 26 (2). 211219. nugroho i.a., 2012, keragaman morfologi dan anatomi kawista (limonia acidissima l) di kabupaten rembang, skripsi, departemen biologi, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam. institut pertanian bogor. bogor. prior r.l., wu x, schaich k., 2005, standardized methods for the determination of antioxidant capacity and phenolics in foods and dietary supplements, journal of agricultural and food chemistry, 55, 2698 a-j. rohman a., riyanto s., utari d., 2006, aktivitas antioksidan, kandungan fenolik total dan kandungan flavonoid total ekstrak etil asetat buah mengkudu serta fraksi-fraksinya, majalah farmasi indo-nesia, 17, 136-142. rustiah, w., andriani, y., 2018, analysis of kelor seed powder (moringa oleifera, lamk) in reducing cod and bod levels on wastewater services laundry, indo. j. chem res., 5(2), 508-512. sayuti, k., rina, y., 2015, antioksidan alami dan sintetik, padang: andalas university press. sediaoetama, djaeni, a., 2008, vitaminologi: bagi umum dan tenaga profesi di indonesia, balai pustaka jakarta. tryasmono, l. anwar, k., 2016, kandungan total fenolik, total flavonoid, dan aktivitas antioksidan ekstrak etanol buah mengkudu (morinda citrifolia l), jurnal pharmasaence, 8(1), 83-92. winarsi, h, d. muchtadi, f.r. zakaria, b. purwantara, 2003, status antioksidan wanita premenoupause yang diberi minuman suplemen: susumeno, prosiding, seminar nasional patpi. yogyakarta. indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 58-62 58 sintesis dan karakterisasi selulosa asetat (ca) synthesis and characterization of cellulose acetate (ca) fensia analda souhoka*, jolantje latupeirissa department of chemistry, faculty of matemathic and natural sciences, pattimura university, jl. ir. putuhena no. poka, ambon 97233 indonesia *corresponding author, e-mail: fensia@fmipa.unpatti.ac.id received: nov. 2017 published: jan. 2018 abstract synthesis and characterization of cellulose acetate (ca) has been conducted. the cellulose used in this study is a commercial -cellulose in 92% content. all the ca products were analyzed by ftir spectrometers. determination of cellulose content was done using standart method of tappi t-203, while the determination of the degree of substitution (ds) was based on sni 0444:2009 method. conventional acetylation of cellulose was performed using glacial acetic acid, anhydride acetic acid, and sulfuric acid. the acetylation at 25c for 2.5 hours gave the ds of 1.482 and at 40 c for 5 hours gave the higher ds 2.295. keywords: acetylation, cellulose, cellulose acetate, degree of substitution pendahuluan selulosa merupakan biopolimer alami yang sangat berlimpah di alam. selulosa merupakan polimer rantai lurus dari ratusan hingga puluhan ribu ikatan glikosida β-(1,4) unit d-glukosa, yang menyebabkan molekul-molekul selulosa membentuk rantai yang saling bersisian, kokoh, dan lurus (fessenden dan fessenden, 1999). selulosa tidak larut dalam air dan pelarut-pelarut umum, karena memiliki ikatan hidrogen yang kuat, baik intramolekul maupun antarmolekul. sebab itu, telah dilakukan modifikasi struktur selulosa supaya larut dalam air dan pelarut lainnya, sehingga turunannya banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. proses modifikasi selulosa dapat dilakukan dengan cara esterifikasi dan eterifikasi terhadap gugus hidroksil dari selulosa (kamel et al., 2008). esterifikasi selulosa dilakukan menggunakan asam asetat, asam nitrat, asam sulfat, dan asam fosfat. selulosa trinitrat dapat digunakan sebagai smokeless gunpowder, sedangkan selulosa asetat umumnya dapat digunakan untuk beberapa jenis film dan bahan pelapis. selulosa asetat juga dimanfaatkan dalam aplikasi kedokteran, farmakologi, perlakuan limbah, kromatografi, dan tekstil tiruan (wang et al., 2009). selulosa asetat adalah selulosa yang gugus hidroksilnya diganti oleh gugus asetil. selulosa asetat berbentuk padatan putih, tak beracun, tak berasa, dan tak berbau (sni 0444: 2009). selulosa asetat mempunyai nilai komersial yang tinggi karena memiliki karakteristik fisik dan optik yang baik, sehingga banyak digunakan sebagai serat untuk tekstil, filter rokok, plastik, film fotografi, lak, pelapis kertas, dan membran. di samping itu, ca mempunyai daya tarik yang tinggi karena sifatnya yang biodegradable sehingga ramah lingkungan. gaol, dkk. (2013), membuat ca dari tandan kosong kelapa dengan variasi waktu asetilasi, diperoleh waktu maksimum 2,5 jam dengan ds 1,68. dalam skala industri, ca diproduksi melalui dua cara, yaitu menggunakan asam asetat sebagai agen asetilasi sekaligus pelarut dan asam sulfat sebagai katalis, atau melalui proses metilen klorida yang menggunakan asam asetat anhidrida sebagai agen asetilasi, dan metilen klorida sebagai pelarut, serta asam sulfat sebagai katalis. reaksi asetilasi selulosa ditunjukkan pada gambar 1. gambar 1 reaksi asetilasi selulosa pada penelitian ini dilakukan sintesis selulosa asetat melalui reaksi esterifikasi (asetilasi) fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 58-62 59 -selulosa dan karakterisasi ca meliputi penentuan kadar air, kadar asetil dan ds, identifikasi gugus fungsi menggunakan spektrometer ftir, serta sifat kelarutannya dalam pelarut air, alkohol, aseton, dan kloroform. selulosa asetat hasil sintesis diharapkan dapat diaplikasikan sebagai bahan dasar pembuatan film atau membran pada penelitian selanjutnya. metodologi bahan bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah -selulosa komersil (sigma, cas number 9004-34-6). bahan-bahan lain yang digunakan dengan kualitas pro analisis dari merck, yaitu natrium hidroksida (naoh), asam asetat (ch3cooh), etanol (c2h5oh), asam asetat glasial (ch3cooh), natrium asetat (ch3coona), metanol (ch3oh), asam asetat anhidrida (ch3co)2o, asam sulfat (h2so4), indikator pp, asam klorida (hcl), akuades, aseton (ch3)2co, kloroform (chcl3), aluminium foil, ph universal, dan kertas saring. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain peralatan gelas laboratorium (pyrex), hot plate (cimarec 1), pengaduk magnet, cawan porselin, oven (memert), timbangan analitik (ohaus), satu set alat titrasi, dan desikator. instrumentasi kimia yang digunakan adalah spektrometer infra merah (ftir, shimadzu prestige-21). prosedur kerja preparasi sampel sebelum sintesis ca dilakukan karakterisasi meliputi penentuan kadar-selulosa, penentuan kadar air, dan identifikasi gugus fungsi dengan spektrometer ftir sebagai data awal. penentuan kadar-selulosa sebanyak 1,5 g sampel, 50 ml naoh 7,5% (b/v), dan 300 ml akuades dimasukkan ke dalam beker gelas 500 ml yang telah dilengkapi pengaduk magnet, kemudian diaduk dan didiamkan. endapan yang terbentuk disaring, ditambahkan 40 ml ch3cooh 10% (v/v), didiamkan selama 5 menit, dicuci menggunakan 25 ml etanol 96% (v/v), diletakkan dalam cawan porselin dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 105 c hingga massa konstan. serbuk selulosa kering ditimbang dan dilakukan perhitungan kadar selulosa menggunakan rumus: penentuan kadar air cawan petri kosong dikeringkan selama 1 jam di dalam oven pada suhu 103 c, kemudian didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang beratnya (w1). setelah itu, ditambahkan 1 g sampel (w2), dikeringkan di dalam oven pada suhu 103 c selama 2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator, setelah itu ditimbang beratnya (w3). identifikasi gugus fungsi dengan spektrometer ftir sampel yang akan dianalisis dipreparasi dalam bentuk pellet kbr dengan perbandingan 1:100 (b/b). sintesis ca (gaol dkk., 2013) sebanyak masing-masing 2 g -selulosa dimasukkan ke dalam labu alas bulat lalu ditambahkan 100 ml asam asetat glasial, kemudian diadukselama 3 jam. selanjutnya ditambahkan masing-masing 30 ml asam asetat anhidrit dan 6 tetes asam sulfat pekat, kemudian campuran diaduk (dengan variasi suhu 25 c; 2,5 jam dan 40 c; 5 jam). setelah itu, ditambahkan 4,5 ml akuades dan 10 ml asam asetat glasial sambil diaduk selama 30 menit. lalu ditambahkan 2 g natrium asetat sambil diaduk selama 5 menit. campuran dicuci dengan akuades hingga netral, lalu direndam dalam metanol selama 10 menit. hasil yang diperoleh disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50 c, kemudian digerus menjadi serbuk. selanjutnya dilakukan analisis kadar air, kadar asetil dan ds, identifikasi gugus fungsi dengan spektrometer ftir, serta penentuan kelarutan ca. penentuan kadar asetil dan ds sebanyak 1 g serbuk ca hasil sintesis dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan dengan 40 ml etanol 75% kemudian dipanaskan dalam penangas air pada fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 58-62 60 suhu 55 c selama 30 menit. selanjutnya erlenmeyer dikeluarkan dari penangas, kemudian ditambahkan 40 ml naoh 0,5 n lalu dipanaskan kembali pada suhu 55 c selama 30 menit. erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan didiamkan selama 72 jam. kemudian ditambahkan 2 tetes indikator pp dan dititrasi dengan hcl 0,5 n (dicatat banyaknya hcl yang terpakai). erlenmeyer ditutup kembali dengan alumunium foil dan didiamkan selama 24 jam. kemudian dititrasi dengan naoh 0,5 n (dicatat banyaknya naoh yang terpakai). perlakuan yang sama untuk blanko namun tanpa penambahan serbuk ca. kadar asetil dihitung dengan rumus: x = [(d-c)na + (a-b)nb] x (f/w) sedangkan ds dihitung menggunakan rumus: di mana: x = kadar asetil (%) a = volume naoh yang terpakai untuk titrasi sampel (ml) b = volume naoh yang terpakai untuk titrasi blanko (ml) c = volume hcl yang terpakai untuk titrasi sampel (ml) d = volume hcl yang terpakai untuk titrasi blanko (ml) na = normalitas hcl nb = normalitas naoh f = 4,305 w = berat sampel penentuan kelarutan ca sampel ca hasil sintesis dilarutkan dalam beberapa pelarut, yaitu air, alkohol, kloroform, dan aseton kemudian dicatat hasilnya. hasil dan pembahasan penentuan kadar -selulosa dan kadar air berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh serbuk -selulosa kering sebanyak 1,38 g dengan kadar selulosa 92%. kadar air dalam -selulosa komersil adalah 0,358%. serbuk -selulosa ini digunakan untuk sintesis ca dan karakterisasi pada tahapan selanjutnya. identifikasi gugus fungsi dengan spektrometer ftir analisis ftir dilakukan terhadap sampel -selulosa dan ca hasil sintesis. spektra yang dihasilkan dianalisis secara kualitatif untuk menginterperasikan gugus fungsi yang terkandung dalam masing-masing sampel. analisis dilakukan dengan cara membandingkan spektra yang diperoleh dengan hasil penelitian sebelumnya, seperti disajikan pada tabel 1. souhoka (2013), telah melakukan analisis ftir -selulosa hasil isolasi dari limbah sagu. tabel 1. perbandingan hasil analisis spektra ftir selulosa dengan yang dilaporkan oleh souhoka (2013) bilangan gelombang (cm -1 ) keterangan eksperimen souhoka (2013) 3394-3332 2887 1658 1433 1336 1242 1153 1045 898 3448 2931 1635 1427 1373 1242 1157 1026 856 -oh csp3-h h-o-h (air terserap) -ch2 >ch c-o eter c-o-c eter c-o alkohol ikatan β-glikosida sintesis ca serbuk -selulosa direaksikan dengan asam asetat glasial selama 3 jam. proses pretreatment ini bertujuan untuk melemahkan gaya intramolekul dan intramolekul berupa ikatan hidrogen yang cukup kuat pada rantai lignoselulosa. pelemahan ikatan hidrogen oleh pelarut asam didasarkan oleh adanya sifat protik hidrofilik dari pelarut yang digunakan. ion h + bertindak sebagai proton yang akan menyerang ikatan pada struktur selulosa, sehingga melemahkan ikatan hidrogen (lismeri, 2016). selanjutnya proses asetilasi dilakukan dengan menggunakan asam asetat anhidrit dan asam sulfat pekat. pada penelitian ini dilakukan variasi suhu dan waktu reaksi, di mana eksperimen 1 (suhu 25 c; 2,5 jam) dan eksperimen 2 (40 c; 5 jam). setelah itu, dihidrolisis menggunakan akuades dan asam asetat glasial campuran dicuci dengan akuades hingga netral, lalu direndam dalam metanol. hasil yang diperoleh disaring dan dikeringkan, kemudian digerus menjadi serbuk. diperoleh serbuk putih ca seperti pada gambar 1. gambar 1. ca hasil sintesis salah satu cara analisis kualitatif untuk mengetahui keberhasilan dari reaksi asetilasi adalah dengan mengidentifikasi perubahan gugus fungsi setelah penambahan gugus asetil. fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 58-62 61 identifikasi gugus fungsi dengan spektrometer ftir ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2. spektra ftir selulosa dan ca secara garis besar, spektra ftir ca hasil eksperimen 1 menunjukkan serapan yang sama dengan spektra ir -selulosa. hal ini mengindikasikan bahwa reaksi esterifikasi pada proses sintesis belum berjalan dengan baik pada suhu 25 c selama 2,5 jam. serapan melebar pada bilangan gelombang 3257-3375 cm -1 merupakan karakterisitik gugus hidroksi (-oh) dari selulosa yang belum tersubstitusi oleh gugus asetil. oleh karena itu, dilakukan sintesis ca pada suhu 40 c selama 5 jam. tabel 2 perbandingan hasil analisis spektra ftir selulosa hasil isolasi dengan yang dilaporkan oleh gaol, dkk. (2013) bilangan gelombang (cm -1 ) keterangan eksperimen 1 eksperimen 2 gaol, dkk. (2013) 3257 2941 2889 1242 3294 2943 2885 1730 1246 3400 2950 2860 1750 1235 -oh csp3hasimetrik csp3-h simetrik c=o ester -c-o asetil berdasarkan hasil analisis, terlihat perbedaan yang signifikan pada spektra ftir ca hasil eksperimen 2. intensitas serapan gugus hidroksi (-oh) menurun sedangkan serapan gugus asetil meningkat. adanya serapan pada bilangan gelombang 1730 cm -1 yang merupakan karakteristik dari gugus karbonil (-c=o) ester. hal ini menunjukkan bahwa secara kualitatif selulosa telah mengalami reaksi esterifikasi, sehingga produk ca telah terbentuk. perbandingan hasil analisis spektra ftir ca hasil sintesis dengan yang dilaporkan oleh gaol, dkk. (2013) disajikan pada tabel 2. untuk membuktikan telah terjadi reaksi esterifikasi terhadap selulosa secara kuantitatif, dilakukan penentuan kadar asetil dan ds terhadap ca hasil eksperimen 1 dan 2. penentuan kadar asetil dan ds analisis kadar asetil bertujuan untuk mengetahui jenis selulosa asetat yang dihasilkan termasuk monoasetat, diasetat, atau triasetat. penentuan kadar asetil didasarkan pada reaksi saponifikasi, yaitu reaksi antara basa dan ester asetat membentuk sabun dan asam asetat (fessenden dan fessenden, 1999). pengaruh kondisi reaksi asetilasi terhadap kadar asetil dan ds ca hasil sintesis disajikan pada tabel 3. tabel 3 kadar asetil dan ds selulosa asetat hasil sintesis no suhu (c) waktu (jam) ca (g) kadar air (%) kadar asetil (%) ds 1 2 25 40 2,5 5 2,34 1,64 93,22 91,11 28,413 38,207 1,482 2,295 data di atas menunjukkan bahwa ds ca meningkat dengan bertambahnya waktu dan suhu reaksi, namun jumlah ca yang dihasilkan berkurang. hal ini disebabkan karena pada suhu yang tinggi mulai terbentuk gel. kadar asetil berbanding lurus dengan ds. meningkatnya ds selulosa asetat akan meningkatkan titik lelehnya. titik leleh dari selulosa asetat adalah 170 240 o c. selulosa asetat dengan ds 0-2,0 dan kandungan asetil 13-18,6% tergolong dalam selulosa monoasetat, selulosa diasetat memiliki ds 2,0-2,8 dengan kandungan asetil 35-43,5%, sedangkan selulosa triasetat memiliki ds 2,8-3,5 dan kandungan asetil 43,5-44,8%. berdasarkan nilai ds, maka jenis selulosa yang dihasilkan yaitu monoasetat dan diasetat. selulosa mono asetat digunakan dalam pembuatan plastik dan cat leker, sedangkan selulosa diasetat dimanfaatkan dalam pembuatan benang dan film fotografi (fengel dan wegener, 1995). penentuan kelarutan ca selulosa asetat hasil sintesis tidak larut dalam air dan kloroform, tapi sedikit larut dalam etanol dan aseton. fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 58-62 62 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulasn sebagai berikut: 1. selulosa asetat (ca) dapat disintesis melalui reaksi esterifikasi -selulosa menggunakan asam asetat glasial, asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat. diperoleh ds ca 1,482 (suhu 25 c, waktu 2,5 jam) dan 2,295 (suhu 40 c, waktu 5 jam). 2. karakterisasi ca hasil sintesis yaitu kadar air (0,322 dan 0,3111%), kadar asetil (28,413 dan 38,207%), indentifikasi gugus fungsi dengan ftir diperoleh serapan pada bilangan gelombang 3257-3375 cm -1 (-oh), 1730 cm -1 c=o (ester), 1242-1246 cm -1 (c-o asetil). selulosa asetat hasil sintesis tidak larut dalam air dan kloroform, tapi sedikit larut dalam etanol dan aseton. daftar pustaka fessenden, r. j., dan fessenden, j. s., 1999, kimia organik, diterjemahkan oleh pudjaatmaka, a. h., jilid 2, edisi ketiga, penerbit erlangga, jakarta. fengel, d. dan wegener, g., 1995, kayu: kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi, edisi indonesia, diterjemahkan oleh hardjono sastrohamidjojo, univeritas gadjah mada press, yogyakarta. gaol, m. r. l. l., sitorus, r., yanthi, s., surya, i., dan manurung, r., 2013, pembuatan selulosa asetat dari -selulosa tandan kosong kelapa sawit, jurnal teknik kimia, usu, 2 (3), 33-39. kamel, s., ali, n., jahangir k., shah, s. m., elgendya. a., 2008, pharmaceutical significance of cellulose: a review. express polymer letters, 2(11), 758-778. lismeri, l., zari, p. m., novarani, t., dan darni, y., 2016, sintesis selulosa asetat dari limbah batang ubi kayu. jurnal rekayasa kimia dan lingkungan, 11(2), 82-91. souhoka, f. a., 2013, metilasi green selulosa menggunakan dimetil karbonat (dmc) dengan teknik sonokimia dan gelombang mikro, tesis, jurusan kimia fmipa universitas gadjah mada, yogyakarta. indochem indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 1-6 1 pengaruh variasi garam ammonium terhadap keasaman zeolit alam pada reaksi perengkahan minyak jelantah the effect of ammonium salt variation on natural zeolite acidity in catalytic cracking of waste cooking oil verry andre fabiani 1 *, imelda h. silalahi 2 , endah sayekti 2 1 department of chemistry, faculty of engineering, bangka belitung university jl.kampus peradaban bangka 33172, balunijuk, bangka-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, tanjungpura university jl. prof.dr. hadari nawawi, pontianak-indonesia *corresponding author, e-mail: verry-andre@ubb.ac.id received: dec. 2016 published: july 2017 abstract natural zeolite modification with the addition of ammonium salt variations was conducted. the modification was conducted by demineralization method, dealumination and followed by activation of ammonium salt. the types of activators were ammonium chloride, ammonium nitrate and ammonium fluoride. the effect of ammonium salt was assessed through acidity parameter with si/al ratio variable and applied catalyst for catalytic cracking of waste cooking oil. the results showed that the activation of natural zeolite by using ammonium chloride salt could increase the acidity of natural zeolite with the highest si/al ratio about 15.56. based on the xrf analysis showed that the reduced amount of na metal in zeolite about 92.8%. the effect of ammonium salt variation on the acidity of natural zeolites was observed by applying a catalyst in the catalytic cracking of waste cooking oil. physical characteristic of catalytic cracking products from waste cooking oil indicated all products fulfill the solar standards requirement. the results concluded that ammonium chloride salt was the best activator in natural zeolite modification and generally all ammonium salts gave high acidity effect to natural zeolite in catalytic cracking of waste cooking oil. keywords: ammonium salt, acidity, cracking, waste cooking oil, natural zeolite pendahuluan zeolit umumnya dimanfaatkan sebagai katalis pada industri kimia dan sebagai zat pengemban. zeolit merupakan kristal alumina silika yang mempunyai struktur berongga atau pori yang mempunyai sisi aktif dengan rasio si/al yang cukup tinggi dan bersifat selektif sehingga sangat baik digunakan dalam reaksi perengkahan. bentuk kristal zeolit relatif teratur dengan rongga yang saling berhubungan ke segala arah menyebabkan permukaan zeolit menjadi sangat luas dan baik bila digunakan sebagai adsorben (tarach et al., 2014). umumnya zeolit yang ditambang langsung dari alam masih mengandung pengotor-pengotor organik dan anorganik yang menutupi porinya, sehingga untuk meningkatkan kemampuan daya serap zeolit alam harus dilakukan aktivasi terlebih dahulu. pemakaian zeolit sebagai katalis telah banyak digunakan, diantaranya sebagai katalis dalam perengkahan minyak goreng bekas (li et al., 2015) dan katalis dalam proses konversi etanol menjadi hidrokarbon (ramasamy et al., 2014). kapasitas zeolit sebagai katalis perengkahan didasarkan pada tingkat keasaman dan kestabilan material yang terlihat dari rasio si/al. keasaman yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas katalitik dan stabilitas termal serta ketahanan terhadap asam. inti aktif katalis zeolit yang berfungsi dalam reaksi perengkahan adalah bagian asam bronsted yang berpusat pada atom al (song et al, 2013 ; park et al., 2017). situs asam dalam kerangka zeolit ada dua jenis yaitu situs asam brønsted dan situs asam lewis. modifikasi untuk meningkatkan keasaman dilakukan terhadap zeolit alam dengan aktivasi melalui proses pertukaran ion dengan ion ammonium, dilanjutkan dekomposisi panas verry andre fabiani dkk./ indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 1-6 2 dari bentuk pertukaran amoniumnya sehingga diperoleh situs asam brønsted (tatsumi, 2004). reaksi perengkahan (catalytic cracking) merupakan suatu reaksi katalisis untuk memecah hidrokarbon kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana. penelitian ini berfokus pada kajian pengaruh garam ammonium dalam aktivasi zeolit alam. kombinasi dari peningkatan keasaman dan kestabilan termal zeolit alam merupakan parameter keberhasilan suatu reaksi katalitik perengkahan. pada penelitian ini dilakukan modifikasi zeolit alam dengan aktivator berupa jenis senyawa amonium yaitu amonium klorida (nh4cl), amonium nitrat (nh4no3), dan amonium florida (nh4f). pertukaran ion amonium dengan ion na + pada zeolit akan menambah situs-situs asam pada zeolit sehingga keasaman pada zeolit akan meningkat. hasil aktivasi ini diharapkan dapat meningkatkan keasaman bersamaan dengan peningkatan rasio si/al. selanjutnya akan ditentukan jenis katalis zeolit teraktivasi terbaik yang diperoleh melalui analisis produk reaksi perengkahan minyak jelantah yang dihasilkan. metodologi bahan akuades, minyak jelantah, zeolit alam asal bandung selatan-jawa barat dan bahan kimia merck yaitu nh4f 1 m, nh4cl 1 m, nh4no3 1 m, hno3 8m, na2edta, naoh. alat neraca analitik merk ohaus, oven merk memmert, ph universal, piknometer merk pyrex tipe 26, 28, 34, seperangkat alat destilasi, seperangkat alat gelas standar merk pyrex, seperangkat alat refluks, furnace merk nabertherm mode l3, viskometer otswald merk pyrex tipe 300, x-ray fluoroscence (xrf) tipe advant xp thermo arl. prosedur kerja preparasi sampel sampel dicuci dengan akuades hingga mencapai ph pencuci. dikeringkan di oven hingga kering pada suhu 110 o c selama 4 jam. sampel yang telah kering kemudian ditimbang. sampel kemudian dianalisis dengan x-ray fluoroscence (xrf) (silalahi, dkk., 2011). demineralisasi dengan edta 1 m sampel hasil pencucian kemudian dicuci kembali dengan larutan edta 1m. pencucian dilakukan dengan proses refluks pada suhu 80 o c selama 24 jam. setelah proses refluks selesai, sampel kemudian dicuci dengan akuades hingga mencapai ph pencuci (ph = 6). dikeringkan di oven pada suhu 110 o c selama 4 jam, setelah kering kemudian sampel ditimbang untuk proses berikutnya. sampel hasil pencucian edta ini dianalisis dengan x-ray fluoroscence (xrf) (silalahi dkk., 2011). dealuminasi dengan hno3 sampel yang telah dicuci dengan edta 1m kemudian dileaching dengan hno3 8m. proses ini juga merupakan proses dealuminasi terhadap sampel zeolit. sampel zeolit ditimbang dan kemudian direfluks pada suhu 80 o c selama 24 jam. setelah proses refluks selesai, sampel kemudian dicuci dengan akuades hingga mencapai ph pencuci (ph = 6). dikeringkan di oven pada suhu 110 o c selama 4 jam, setelah kering kemudian sampel ditimbang untuk proses berikutnya (silalahi dkk., 2011). aktivasi dengan variasi garam ammonium (nh4y) sampel hasil dealuminasi kemudian diaktivasi dengan nh4y. pada penelitian ini digunakan aktivator jenis senyawa amonium yaitu amonium klorida (nh4cl), amonium nitrat (nh4no3) dan amonium florida (nh4f). tiaptiap senyawa amonium ini dibuat dengan konsentrasi 1 m kemudian direfluks masingmasing dengan sampel pada suhu 80 o c selama 24 jam. setelah proses refluks selesai, ketiga sampel hasil aktivasi kemudian dicuci dengan akuades hingga mencapai ph pencuci (ph = 6). dikeringkan di oven pada suhu 110 o c selama 4 jam, setelah kering kemudian sampel ditimbang untuk proses berikutnya. sampel hasil aktivasi dianalisis dengan x-ray fluoroscence (xrf). kalsinasi sampel zeolit hasil aktivasi kemudian dikalsinasi pada suhu 500 o c di dalam furnace selama 2 jam. katalis hasil kalsinasi ini kemudian dianalisis dengan x-ray fluoroscence (xrf) (silalahi, dkk., 2011). verry andre fabiani dkk./ indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 1-6 3 proses perengkahan katalitik minyak jelantah sebanyak 40 g bersama dengan zeolit sebanyak 10 g dicampurkan dalam suatu labu destilasi selanjutnya dipanaskan pada temperatur 350-360 °c dalam labu destilasi yang telah dihubungkan dengan kondensor. uap minyak jelantah yang telah direngkahkan oleh zeolit kemudian didinginkan melewati kondensor, sehingga uap tersebut terkondensasi. reaksi dihentikan ketika komposisi minyak dalam labu pemanas sudah habis atau sudah tidak mengeluarkan uap cair. produk perengkahan kemudian dikarakterisasi sifat fisik dan kimianya yang meliputi indeks bias, densitas, viskositas kinematik, dan uji nyala api (silalahi, dkk., 2011). hasil dan pembahasan modifikasi zeolit alam dan karakterisasi zeolit termodifikasi modifikasi zeolit alam meliputi beberapa tahapan yaitu demineralisasi, dealuminasi, aktivasi dengan variasi garam amonium dan kalsinasi. tahapan pertama yaitu dilakukan proses demineralisasi zeolit alam dengan larutan etilen diamin tetra asetat (edta). tujuan demineralisasi ini untuk menghilangkan logamlogam pengotor yang berada pada fasa permukaan struktur zeolit. pada dasarnya edta merupakan ligan kuat yang dapat berikatan dengan logam logam membentuk senyawa kompleks. edta sebenarnya adalah ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina tetraasetat, edta) yang mempunyai dua atom nitrogen penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam molekul (rival, 1995). perlakuan sampel dengan larutan etilen diamin tetra asetat (edta) juga dilakukan untuk mengetahui penyebaran logam-logam yang diembankan pada bagian luar permukaan dan dalam rongga pengemban serta dapat menghilangkan fasa amorf non framework sehingga kristal yang diperoleh lebih murni (triwahyuni, 2003). perlakuan sampel dengan larutan etilen diamin tetra asetat (edta) juga dilakukan untuk mengetahui penyebaran logam-logam yang diembankan pada bagian luar permukaan dan dalam rongga pengemban serta dapat menghilangkan fasa amorf non framework sehingga kristal yang diperoleh lebih murni (triwahyuni, 2003). perlakuan selanjutnya yaitu dealuminasi zeolit dengan menambahkan larutan hno3 8m. menurut handhoyo, dkk., (2005) konsentrasi optimal untuk dealuminasi zeolit dilakukan dengan menggunakan hno3 8m. peningkatan konsentrasi asam dapat meningkatkan intensitas serangan proton h + (ismail dan hanudin, 2005). penyerangan proton terjadi karena ukurannya yang kecil (r = 0,3 a) dan potensial ionnya (q/r) yang besar sehingga ion h + dapat masuk ke dalam kisi-kisi mineral dan menggantikan posisi kation yang lepas. dealuminasi digunakan untuk proses penghilangan logam aluminium pada suatu zeolit dengan menggunakan larutan asam (xu, et al., 2014). tujuan dari proses dealuminasi zeolit ini adalah untuk meningkatkan keasaman dari suatu katalis zeolit dan dapat meningkatkan efisiensi dari katalis itu sendiri (muller, et al., 2014). dealuminasi dapat ditunjukkan melalui peningkatan rasio si/al. proses dealuminasi merupakan suatu metode untuk menjaga stabilitas struktur pori dan menghilangkan alumina dari framework zeolit agar katalis ini tidak mudah mengalami deaktivasi. proses dealuminasi biasanya dilakukan dengan menambah sejumlah asam (misalnya amonium klorida, asam klorida, asam florida, dan sebagainya) pada zeolit (jestyssa, 2010). pada dealuminasi, ion h + yang dihasilkan dari reaksi penguraian hno3 dalam medium air akan mengurai ikatan atom al yang berada pada framework zeolit. ion h + ini akan diserang oleh atom oksigen yang terikat pada si dan al. berdasarkan harga energi disosiasi ikatan al-o (116 kkal/mol) jauh lebih rendah dibandingkan energi disosiasi ikatan si-o (190 kkal/mol), maka ikatan al-o jauh lebih mudah terurai dibandingkan si-o. sehingga ion h + akan cenderung menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan al-o dan akan terbentuk gugus silanol. sedangkan ion no3 hasil penguraian ion hno3 juga akan mempengaruhi kekuatan ikatan al-o dan si-o. ion no3 memiliki elektronegativitas yang tinggi dan berukuran kecil, sehingga menyebabkan ion ini mudah berikatan dengan kation bervalensi besar seperti si 4+ dan al 3+ . tetapi ion no3 akan cenderung berikatan dengan atom al dikarenakan harga verry andre fabiani dkk./ indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 1-6 4 elektronegativitas atom al lebih kecil (1,61) dibanding elektronegativitas atom si (1,90). aktivasi selanjutnya dilakukan dengan garam amonium, pemilihan variasi garam amonium yaitu amonium klorida, amonium nitrat dan amonium florida bertujuan untuk mengetahui jenis garam amonium yang dapat meningkatkan rasio si/al pada zeolit. umumnya zeolit digunakan sebagai katalis terutama dalam reaksi transformasi hidrokarbon dengan memanfaatkan keasamaannya. dalam suatu reaksi, fungsi zeolit adalah membantu pembentukan ion karbonium oleh situs-situs asam yang ada pada zeolit tersebut. selain itu situs-situs basa dan proses radikal bebas juga dilibatkan dalam suatu reaksi. adanya hidroksi dalam saluran zeolit, memungkinkan pembentukan situs asam bronsted yang merupakan donor proton. mekanisme pertukaran ion pada permukaan zeolit (gambar 1) terjadi melalui penukaran kation dengan ion ammonium yang kemudian dipanaskan agar nh3 yang tersisa dapat diuapkan. (saiapina et al., 2012) : naz + nh4 + nh4z + na + nh4z(s) nh3(g) + hz(s) gambar 1. mekanisme pertukaran ion pada permukaan zeolit modifikasi untuk meningkatkan keasaman dilakukan terhadap zeolit alam dengan aktivasi melalui proses pertukaran ion dengan ion ammonium, dilanjutkan dekomposisi panas dari bentuk pertukaran amoniumnya sehingga diperoleh situs asam brønsted (tatsumi, 2004). ion hidrogen yang terbentuk akan membentuk gugus hidroksil dengan tetrahedral alo yang pada temperatur > 200 o c bergerak bebas diantara pusat-pusat aktif. bila temperatur mencapai 500 o c, inti asam bronsted tersebut membentuk situs asam lewis. oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan kalsinasi pada suhu 500 o c yang bertujuan untuk menguapkan basa lewis selain itu proses kalsinasi ini dilakukan untuk menjaga agar katalis yang diperoleh relatif stabil pada suhu tinggi dan dapat mengatur kembali tata letak atom yang tertukar agar lebih teratur (jestyssa, 2010). analisis komposisi kimia komponen kimia yang terkandung berpengaruh terhadap karakteristik zeolit. pada umumnya mineral zeolit mengandung silika dan alumina serta sejumlah kecil kation logam. penentuan kandungan silika dan alumina menjadi parameter awal keberhasilan dalam proses aktivasi zeolit alam. tabel 1. komposisi kimia zeolit alam dan zeolit nh4y (%) sampel za znh4cl znh4no3 znh4f si 24,55 39,07 38,90 40,25 al 4,07 2,51 3,22 2,92 ca 13,26 0,151 0,159 0,197 fe 4,02 0,0683 0,0758 0,0808 mg 2,52 0,0105 0,01 0,0124 na 2,53 0,182 0,223 0,311 k 1,32 1,36 1,39 1,57 cu 0,913 mn 0,137 0,0035 0,0039 0,0036 pb 0,109 ti 0,124 0,175 0,165 0,208 zn 0,0715 cs 0,44 zr 0,0251 0,0247 0,0278 keterangan : za (zeolit alam), znh4cl (zeolitammonium klorida), znh4no3 (zeolit-ammonium nitrat), znh4f (zeolit-ammonium florida) tabel 1 menunjukkan bahwa proses aktivasi dengan aktivator garam amonium menyebabkan terjadinya pengurangan kadar logam na secara signifikan, penambahan garam amonium menyebabkan terjadinya pertukaran ion na + dengan ion amonium sehingga menambah situssitus asam pada zeolit melalui mekanisme pertukaran ion tersebut. berdasarkan tabel 1, kadar na + yang mengalami pengurangan terbesar terjadi pada zeolit teraktivasi amonium klorida (znh4cl) sebesar 92,8% diikuti dengan amonium nitrat (znh4no3) sebesar 91% dan amonium florida (znh4f) sebesar 87,7%. hal ini menunjukkan bahwa terjadi pertukaran ion verry andre fabiani dkk./ indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 1-6 5 na + dan ion amonium dalam jumlah besar pada zeolit dengan aktivator amonium klorida. gambar 2 menunjukkan bahwa rasio si/al yang paling tinggi ditunjukkan oleh zeolit yang diaktivasi oleh garam amonium klorida yaitu sebesar 15,56. tingginya rasio si/al tersebut berkaitan dengan berkurangnya kadar logam na, ca, mg, fe, dan k. penambahan amonium klorida ini selain menyebabkan terjadinya pertukaran ion na + dengan ion amonium juga terjadi pertukaran ion khususnya logam yang mudah membentuk garam klorida. komponen yang mungkin larut dalam pertukaran ion ini adalah mg, ca, k, na dan fe. dengan demikian, rasio si/al pada zeolit akan meningkat. gambar 2. pengaruh aktivasi garam ammonium terhadap rasio si/al pada zeolit alam perbandingan si/al mempengaruhi aktivitas katalis, semakin tinggi rasio si/al maka semakin tinggi stabilitas termal dan kekuatan asam serta diperoleh sifat asam yang lebih besar dari semula. modifikasi zeolit alam dengan variasi garam ammonium berhasil meningkatkan rasio si/al zeolit alam dari 6,03 menjadi > 10. zeolit dengan perbandingan si dan al yang tinggi (10100) dapat menyerap molekul non polar sehingga baik digunakan sebagai katalis asam dalam reaksi perengkahan hidrokarbon (sutarti dan rahmawati, 1994 ; handhoyo dkk., 2005). karakteristik fisik produk perengkahan minyak jelantah sifat fisik produk perengkahan yang diuji meliputi indeks bias, densitas dan viskositas kinematik. hasil pengukuran sifat fisik produk perengkahan hasil penelitian ditunjukkan pada tabel 2. berdasarkan uji produk perengkahan yang dilakukan menunjukkan bahwa karakteristik viskositas kinematik ketiga produk perengkahan telah memenuhi nilai standar astm d975 untuk bahan bakar solar standar. nilai karakteristik densitas berada dibawah nilai standar sni yaitu berkisar antara 0,76-0,77 g/ml dimana produk yang memiliki densitas terbesar yaitu produk perengkahan z-nh4cl, rendahnya densitas ini menunjukkan bahwa pemisahan produk perengkahan masih belum optimal. tabel 2. karakteristik produk perengkahan minyak jelantah yang dibandingkan dengan karakteristik solar standar parameter solar standar produk perengkahan znh4cl znh4no3 znh4f indeks bias 1,3 – 1,45 1,431 (32,3 o c) 1,429 (32,3 o c) 1,435 (32,3 o c) densitas (g/ml) (sni) 0,82 – 0,87 (40 o c) 0,77 (32,3 o c) 0,76 (32,3 o c) 0,76 (32,3 o c) viskositas kinematik (cst) (astm d975) 1,9 – 4,0 (40 o c) 1,9 (40 o c) 1,9 (40 o c) 1,9 (40 o c) gambar 3. produk perengkahan minyak jelantah (a) z-nh4cl, (b) z-nh4no3, (c) z-nh4f gambar 4. hasil uji nyala produk perengkahan yang dibandingkan dengan solar (a) z-nh4cl, (b) z-nh4no3, (c) znh4f produk perengkahan (gambar 3) yang dihasilkan memiliki warna kuning bening dan bau yang tajam. tiap produk perengkahan kemudian dilakukan uji nyala api. uji nyala api dilakukan dengan membandingkan nyala api yang dihasilkan produk perengkahan minyak jelantah dengan nyala api yang dihasilkan oleh solar. hasil uji nyala api pada masing-masing produk ditunjukkan pada gambar 4. 6,03 15,56 12,08 13,78 z alam z nh4cl z nh4no3 z nh4f rasio si/al (a) (b) (c) produk solar produk solar produk solar (b) (a) (c) verry andre fabiani dkk./ indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 1-6 6 hasil uji nyala pada gambar 4 menunjukkan bahwa hasil pembakaran produk perengkahan pada masing-masing produk menghasilkan sedikit asap dibandingkan nyala api yang dihasilkan solar. walaupun nyala api tiap produk berbeda, namun secara tampak fisik hasil dari uji pembakaran ini hampir sama. pembakaran solar menghasilkan asap yang lebih banyak dan berwarna hitam, hal ini membuktikan bahwa produk perengkahan minyak jelantah menghasilkan pembakaran yang sempurna dan emisi gas yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan emisi gas yang dihasilkan oleh solar. kesimpulan aktivator garam ammonium berhasil meningkatkan keasaman zeolit alam dari rasio si/al 6,03 menjadi > 10 (rasio si/al znh4cl = 15,56 ; znh4no3 = 12,08 ; znh4f = 13,78). hal ini menunjukkan bahwa pengaruh garam ammonium terhadap keasaman zeolit alam sangat besar sehingga dapat digunakan sebagai katalis asam dalam reaksi perengkahan minyak jelantah. daftar pustaka handhoyo, r, herry p., siti s., iis n., nita y., amelia, ratna k., 2005, peningkatan rasio si/al zeolit alam modernit sebagai bahan dasar zeolit katalis, j. zeolit indonesia. 4 : 19-23. ismail, hanudin, e., 2005, degradasi mineral batuan oleh asam-asam organik, j. ilm. tan. ling., 5(1):1-17 jestyssa, a.h , maygasari, d.a., 2010. optimasi proses aktivasi katalis zeolit alam dengan uji proses dehidrasi etanol, skripsi: jurusan teknik kimia. fakultas teknik. universitas diponegoro semarang. li, l., zhiyong, d., kun, l., junming, x., fusheng, l., shiwei, l., shitao, y., congxia, x., xiaoping, g., 2015. liquid hydrocarbon fuels from catalytic cracking of waste cooking oils using ultrastable zeolite usy as catalyst, j. anal. appl. pyrol. article in press. muller, j. m., 2014, solid-state dealumination of zeolites for use as catalysts in alcohol, microporous and mesoporous materials. 204 : 50-57. park, s., turgren, b., wang, y., toshiki, n., junko, n.k., toshiyuki, y., 2017, acidic and catalytic properties of zsm-5 zeolites with different al distributions, catal. today. accepted manuscript. ramasamy, k.k., zhang, h., junming, s., yong, w., 2014, conversion of ethanol to hydrocarbons on hierarchical hzsm-5 zeolites, catal. today. article in press rival, harrizul, 1995, asas pemeriksaan kimia. ui press. jakarta. saiapina, o.y., dzyadevych, s.v., walcarius, a., jafrrezic-renault, n., 2012, a novel highly sensitive zeolite-based conductometric microsensor for ammonium determination, analytical letters, 45: 1467–1484. silalahi i.h., sianipar a. sayekti e., 2011, modifikasi zeolit alam menjadi material katalis perengkahan, jurnal kimia mulawarman, 8 : 89-93. song, c., wang, m., zhao, l., nianhua, x., luming, p., xuefeng, g., weiping, d., weimin, y., zaiku, x., 2013, synergism between the lewis and brönsted acid sites on hzsm‐5 zeolites in the conversion of methylcyclohexane, chin. j. catal., 34 : 2153-2159. sutarti, m., dan minta rahmawati, 1994, zeolit: tinjauan literature, pusat dokumentasi dan informasi ilmiah. jakarta. tarach, k., gora-marek, k., tekla, j., brylewska, k., datka, j., mlekodaj, k., makowski, w., igualada lopez, m.c., martinez triguero, j., rey, f., 2014, catalytic cracking performance of alkalinetreated zeolite beta in the terms of acid sites properties and their accessibility, j. catal. 312, 46e57. tatsumi, takashi, 2004, zeolites: catalysis, encyclopedia of supramolecular chemistry, 1, 1610-1616, yokohama national university, yokohama, japan triwahyuni, e., 2003, types and distribution of the iron species formed in the zeolite structure, 7th eurasia chemical conference. karachi. pakistan xu, w., li, l. y. & grace, j. r., 2014, dealumination of clinoptilolite and its effect on zinc removal from acid rock drainage, chemosphere. 111 : 427-433. indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 47-52 47 modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas modification of cao catalyst to produce biodiesel from waste cooking oil st. annisa gani rachim * , indah raya,muhammad zakir 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university jl. perintis kemerdekaan km. 10, tamalanrea, makassar, 90245 indonesia * corresponding author, e-mail: st.annisagr@gmail.com received: june 2017 published: july 2017 abstract research about modification of cao catalyst to produce biodiesel has done. this research aims to know the effectiveness of cao-zncl2 belong to astm d6751 to get a yield biodiesel. modification of the cao with zncl2 was conducted by impregnation method using methanol and n-hexane. for synthesis biodiesel, methanol is used as solvent and waste cooking oil (wco) as raw material. ratio molar of wco and methanol is 12:1 with 3% caozncl2 added. this reaction is carried out at a temperature of 65 o c. the biodiesel is characterized by fourier transform infrared (ft-ir) to determine the presence of ester groups formed. the yield percentage of biodiesel produced is 77.94%. the characterization of biodiesel properties consist of acid number is 73.38 mg koh/g, density is 0.9038 and water content is 0.0053%. keywords: biodiesel, waste cooking oil, cao, zncl2, modification pendahuluan kebutuhan bahan bakar premium (fosil) di indonesia terus mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata 10 persen per tahun.volume kendaraan dan industri yang terus berkembang secara tidak langsung meningkatkan konsumsi bahan bakar fosil sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut sekitar 60-70 persen dari konsumsi bahan bakar fosil diperoleh dari hasil impor. hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap hasil impor sehingga menurunkan devisa negara. untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan upaya dalam mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan bahan bakar fosil.salah satu upaya tersebut adalah pengembangan energi baru terbarukan seperti bahan bakar nabati (bbn).biodiesel merupakan salah satu bbn yang ramah lingkungan dan dapat diperbarui (jupesta, 2010). tahun 2016, pemerintah telah menetapkan penggunaan b20 (campuran 20% biodiesel dan 80% solar) pada industri biodiesel dan diprediksikan akan naik menjadi b30 pada tahun 2030. bahan baku dalam pembuatan biodiesel yang telah banyak digunakan berasal dari bahan alam seperti tumbuhan dan biji-bijian. namun, penggunaan bahan alam sebagai bahan baku pembuatan biodiesel masih kurang efisien jika dibandingkan dengan penggunaan limbah minyak bekas (minyak jelantah) karena membutuhkan lahan yang luas. minyak jelantah sangat mudah diperoleh, baik dari industri rumah tangga maupun dari restoran. minyak jelantah merupakan limbah yang akan bersifat karsinogenik jika digunakan secara berulang. minyak jelantah yang digunakan pada proses pembuatan biodiesel ini adalah minyak jelantah yang telah dimurnikan terlebih dahulu guna menurunkan kandungan asam lemak bebas (ffa) hingga ≤ 0,05%. tingginya kandungan ffa dari bahan baku yang digunakan dapat menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi (sabun) dengan katalis yang digunakan (maneerung dkk., 2016). katalis berfungsi mempercepat laju reaksi dan menurunkan energi aktifasi sehingga proses produksi biodiesel dapat berlangsung singkat. katalis yang umum digunakan adalah katalis homogen seperti naoh dan h2so4 karena waktu reaksinya yang singkat pada suhu rendah. akan tetapi, katalis homogen memiliki kekurangan karena dapat bereaksi dengan ffa yang akan menyebabkan sulitnya pemisahan dan mailto:st.annisagr@gmail.com st. annisa g. rachim dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 47-52 48 pembentukan produk biodiesel. oleh karena itu, katalis heterogen dianggap lebih efektif dan efisien dalam pembuatan biodiesel karena disamping harganya yang murah, mudah diperoleh dan dapat digunakan kembali (komintarachat dan chuepeng, 2009; roschat dkk., 2016; sirimsomboonchai dkk., 2015). katalis cao merupakan katalis heterogen terbaik dengan aktivitas katalitik dan kebasaan yang cukup tinggi, memiliki kelarutan yang rendah dalam metanol serta penggunaannya yang lebih mudah karena tidak membutuhkan air pencucian yang berlebihan.katalis cao dapat diperoleh dari hasil kalsinasi caco3 yang berasal dari limbah cangkang kepiting karena berdasarkan pola difraksi diindikasikan bahwa cangkang kepiting memiliki kandungan caco3 yang tinggi dan setelah dikalsinasi pada suhu 1000 o c diperoleh cao dengan kemurnian yang tinggi.namun dalam penggunaannya, katalis cao mudah bereaksi dengan co2 dan h2o di udara sehingga menyebabkan aktivitas katalitiknya menjadi kurang efektif. inilah alasan diperlukannya penambahan zat aktif dengan mengkombinasikan katalis cao dengan menggunakan katalis logam lain (kesic dkk., 2016). penelitian mengenai kombinasi katalis cao dengan katalis logam lain telah banyak dilakukan, seperti cao/zno, cao/al2o3, cao/li, cao/k dan cao/kf karena dapat meningkatkan aktivitas katalitik, memperbesar luas permukaan dan dapat mengurangi pembentukan sabun dalam produksi biodiesel. hasil konversi yang dihasilkan pun sangat tinggi yakni sebesar 90% (kesic dkk., 2016 dan setiawati dan edward, 2012). menurut jin, dkk (2014), katalis asam lewis baik digunakan dalam reaksi esterifikasi maupun transesterifikasi. katalis asam lewis seperti zncl2 dapat memberikan hasil yang signifikan setelah waktu 6 jam dengan suhu 100–110ᵒc (khan dan fatima, 2016). pada penelitian ini telah dilakukan modifikasi katalis cao dengan mengkombinasikan katalis cao dengan katalis asam lewis zncl2 untuk mengetahui efektivitas dari penggunaan zncl2 terhadap katalis cao beserta yield biodiesel. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak jelantah, abu sekam padi, cao, zncl2 metanol p.a, etanol pa, koh e-merck, naoh e-merck, indikator fenopthalein, asam oksalat, akuades, tissue, kertas saring biasa, kertas saring whatman no. 1, kertas saring whatman no. 42, aluminium foil, kertas label, batu didih, vaselin, n-heksana teknis, natrium sulfat anhidrat. alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah furnace, oven, x-ray diffraction (xrd), xray fluorescence (xrf), fourier-transform infrared spectroscopy (ftir), corong pisah, satu set alat refluks, hotplate, termometer, neraca analitik ohaus, neraca mettler toledo pl602-s, statif dan klem, buret, pipet volume, pipet skala 10 ml, cawan porselin, cawan petri, desikator, lumping besi, ayakan 100 mesh, spatula, batang pengaduk, gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer, bar magnetic stirrer, penangas air, pompa vakum, penyaring buchner, piknometer 10 ml, viscometer ostwald, bulp, corong buchner, adaptor. prosedur kerja pemurnian minyak jelantah proses pemurnian dilakukan melalui proses netralisasi. sebanyak 2 l minyak jelantah ditambahkan 2 l air dan dipanaskan hingga volume air tersisa setengahnya.kemudian minyak tersebut disaring dengan kertas saring whatman untuk memisahkan minyak dari kotoran yang mengendap. selanjutnya, minyak yang telah disaring ini dipanaskan hingga mencapai suhu 35ᵒc dan ditambahkan larutan naoh 6% dengan komposisi 4 ml setiap 100 ml minyak. campuran minyak jelantah dan naoh 6% diaduk selama 10 menit pada suhu 40ᵒc dan selanjutnya didinginkan kemudian disaring untuk memisahkan minyak jelantah dengan kotoran. preparasi katalis katalis cao diperoleh melalui proses kalsinasi cangkang kepiting pada suhu 900ᵒc selama 3 jam. katalis cao yang diperoleh selanjutnya dimodifikasi melalui metode impregnasi menggunakan zncl2. cao dan zncl2 (perbandingan 1:1) dilarutkan ke dalam metanol dan distirer selama 3 jam. larutan ini kemudian disaring dengan pompa vakum sambil dicuci menggunakan n-heksana dan akuades hingga filtratnya berwarna bening. residu yang dihasilkan kemudian dioven selama 2 jam dan selanjutnya difurnace selama 1,5 jam pada suhu 500ᵒc. st. annisa g. rachim dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 47-52 49 sintesis biodiesel 30 g minyak jelantah dimasukkan dalam labu leher tiga dan dipanaskan hingga suhu 70ᵒc. setelah itu, dimasukkan metanol yang sebelumnya telah dicampurkan dengan katalis cao-zncl2 (3% dari berat minyak) dengan perbandingan molar 12:1 dengan minyak jelantah dan direfluks selama 4 jam pada suhu 65ᵒc. campuran ini kemudian dimasukkan dalam corong pisah dan didiamkan selama satu hari.pada campuran terbentuk tiga fasa dimana pada fasa atas dan tengah berupa metil ester dan gliserol sedangkan fasa bawah berupa katalis.fasa bawah kemudian dipisahkan dari campuran dan fasa atas diekstraksi dengan akuades.pada campuran ini terbentuk dua fasa, fasa atas berupa metil ester dan fasa bawah berupa gliserol yang bercampur dengan metanol.fasa atas selanjutnya ditambahkan dengan na2so4 anhidrat dan didiamkan selama satu malam. metil ester yang diperoleh kemudian disaring dan dipanaskan pada suhu 90ᵒc selama satu jam untuk memperoleh metil ester yang murni (biodiesel). uji karakteristik sifat fisik biodiesel analisis densitas biodiesel penentuan densitas biodiesel dilakukan pada suhu 40ᵒc dengan menggunakan alat piknometer.cara kerjanya yaitu : piknometer kosong yang telah dibersihkan dan dikeringkan ditimbang mengunakan neraca analitik. akuades yang sudah dipanaskan pada suhu 40ᵒc dimasukkan dalam piknometer sampai penuh dan suhunya dicatat. bagian dinding luar piknometer dikeringkan dan ditimbang lalu bobotnya dicatat. selanjutnya, akuades diganti dengan biodiesel yang telah dipanaskan pada suhu 40-43ᵒc dan ditimbang. hasil penimbangan dicatat dalam satuan gram. prosedur ini dilakukan sebanyak dua kali. analisis kadar air penentuan kadar air dilakukan dengan memanaskan contoh dalam oven pada suhu 105– 110°c. pertama, wadah tahan panas dioven pada suhu 105–110°c selama 30 menit kemudian ditempatkan pada desikator. setelah dingin, wadah ditimbang sehingga diperoleh berat wadah kosong. selanjutnya, ke dalam wadah ditambahkan 0,5 gram minyak jelantahkemudian dioven pada suhu 105–110°c selama satu jam. wadah yang berisi sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat konstan. pekerjaan ini diulang sebanyak dua kali (sudarmadji, dkk., 1989). analisis asam lemak bebas biodiesel sebanyak 0,2 g dimasukkan dalam labu erlenmeyer 100 ml, ditambahkan 5 ml alkohol netral 95% kemudian dipanaskan dalam waterbath hingga terbentuk larutan homogen. setelah didinginkan kemudian dititrasi dengan koh 0,1n menggunakan indikator phenolphtalein. dihitung kadar asam lemak bebasnya. hasil dan pembahasan karakterisasi katalis cao-zncl2 preparasi katalis cao dilakukan melalui metode impregnasi menggunakan asam lewis zncl2 sebagai pengemban. penambahan pengemban menghasilkan kadar metil ester yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan katalis tanpa menggunakan pengemban. hal ini disebabkan tingginya aktivitas katalitik yang dimiliki oleh katalis cao dengan pengemban (enggawati dan ediati, 2013). gambar 1. pola difraksi hasil xrd (a) cao dan (b) cao-zncl2 pelarut yang digunakan adalah metanol dan nheksana dimana metanol berfungsi menarik zat pengganggu yang bersifat polar sedangkan nheksana berfungsi untuk menarik pengotor yang bersifat non polar. metode ini digunakan untuk meningkatkan aktivitas katalitik dan memperbesar luas permukaan dari cao. hasil impregnasi ini st. annisa g. rachim dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 47-52 50 selanjutnya diuji dengan xrd seperti pada gambar 1. pola difraksi dari hasil kalsinasi cangkang kepiting pada gambar 1(a) memiliki kesesuaian dengan pola difraksi cao murni pada joint committee on powder diffraction standards (jcpds. cao hasil kalsinasi memiliki nilai 2θ = 32,5 o ; 37,72 o ; 54,25 o ; 64,51 o dan 67,74 o , sedangkan 2θ pada jcpds adalah 2θ = 32,59 o ; 37,75 o ; 54,25 o ; 64,54 o dan 67,76 o . adanya penambahan zncl2 pada cao mengakibatkan terjadinya pergeseran 2θ menjadi 31,01; 36,15 o , 51,95 o dan 64 o . nilai ini cukup signifikan dengan nilai 2θ pada cao murni sehingga dapat dikatakan bahwa zncl2 dapat digunakan dalam telah terimpregnasi ke dalam cao. pemurnian minyak jelantah pada proses sintesis biodiesel, minyak jelantah yang digunakan dimurnikan melalui proses netralisasi menggunakan larutan naoh 6% yang bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas (ffa) yang terkandung di dalam minyak jelantah. larutan naoh akan bereaksi dengan ffa membentuk sabun. pembentukan sabun juga dipengaruhi oleh tingginya nilai bilangan asam, dimana semakin tinggi nilai bilangan asam maka semakin tinggi pula kandungan ffa yang terdapat pada bahan baku. hal ini akan menyebabkan sulitnya proses pemisahan pada produk yang dihasilkan (nurhasnawati, 2015).. berdasarkan hasil perhitungan asam lemak bebas dan bilangan asam terhadap minyak jelantah yang digunakan sebagai bahan dasar biodiesel diperoleh nilai ffa sebesar 89% dan bilangan asam sebesar 139,3 (mgkoh/g). hasil ini menunjukan bahwa bilangan asam yang diperoleh pada penelitian ini melebihi standar astm yang ditetapkan yakni sebesar 1,9 mgkoh/g. tingginya bilangan asam pada minyak jelantah yang digunakan menyebabkan terjadinya saponifikasi dan pembentukan emulsi yang mengganggu jalannya reaksi transesterifikasi. proses pemurnian akhir pada produk biodiesel yang dihasilkan sulit untuk dipisahkan. identifikasi lebih lanjut mengenai minyak jelantah yang telah dinetralisasi ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2 menunjukkan adanya gugus ester yang menandakan terbentuknya trigliserida pada proses netralisasi minyak jelantah yang ditandai dengan adanya gugus karbonil pada bilangan gelombang 1745,58 cm -1 dan gugus –c-o pada 1745,58 cm -1 . selain itu, senyawa h2o juga terbentuk yang ditandai dengan munculnya peak lemah pada bilangan gelombang 3471,87 cm -1 . munculnya h2o ini mengakibatkan tingginya kandungan ffa sehingga menyebabkan terbentuknya saponifikasi pada produk akhir. gambar 2. spektrum ir untuk minyak jelantah hasil netralisasi tabel 1.spektrum ir untuk minyak jelantah hasil netralisasi bilangan gelombang (cm -1 ) hasil analisis 723,31 c-h stretching 1163,08 c-o-c stretching dari gugus fungsi ester 1745 c=o stretching vibration 2924,09 -ch2stretching vibration, asimetri 3471,87 o-h, ikatan hidrogen sintesis biodiesel sintesis biodiesel diperoleh melalui reaksi transesterifikasi antara minyak jelantah dan metanol dengan penambahan katalis cao-zncl2 3% dari berat minyak. perbandingan molar antara minyak jelantah dengan metanol yang digunakan adalah sebesar 1:12. penelitian mengenai perbandingan molar ini telah dilakukan oleh musa, 2016 dengan hasil konversi yang tinggi, yaitu sebesar ≥ 77,94%. suhu yang digunakan adalah 65 o c yang merupakan suhu optimum dari pelarut yang digunakan dalam reaksi transesterifikasi ini (muthu dan viruthagiri, 2015). st. annisa g. rachim dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 47-52 51 identifikasi gugus fungsi produk biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini dianalisis menggunakan ftir untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi ester (biodiesel). gambar 3. spektrum ft-ir biodiesel gambar 3 menunjukkan spektra ir untuk bahan baku biodiesel pada spektrum serapan pada bilangan gelombang 1745,58 cm -1 yang menunjukkan adanya gugus karbonil (c=o) dari senyawa ester, 1163,03 cm -1 menunjukkan adanya ikatan c─o. bilangan gelombang pada 1654,92 cm -1 menunjukkan adanya ikatan c=c, sementara pada 3003,17 cm -1 menunjukkan adanya ikatan ch alkena. karakterisasi biodiesel hasil uji karaterisasi biodiesel diperoleh dan dibandingkan dengan hasil uji astm d6751 nampak pada tabel 2. tabel 2. hasil uji karakterisasi biodiesel berdasarkan hasil penelitian dan astm d6751 jenis uji biodiesel astm d6751 kadar air (%) 0,0053 maks. 0,05 densitas 40 o c (kg/m 3 ) 0,9038 0,86-0,9 bilangan asam (mg koh/g) 73,38 maks. 0,8 tabel 2 menunjukkan karakterisasi dari biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini belum sepenuhnya sesuai dengan standar astm yang ditetapkan. hal ini disebabkan masih tingginya kandungan bilangan asam yang terdapat pada bahan baku yang digunakan meskipun telah dinetralisasi, dimana tingginya bilangan asam akan menyebakan terbentuknya saponifikasi yang mengganggu jalannya reaksi transesterifikasi. saponifikasi yang terbentuk juga akan mempengaruhi kekentalan produk sehingga akan menyebabkan tingginya nilai densitas pada biodiesel yang dihasilkan. meskipun demikian, yield biodiesel yang dihasilkan cukup tinggi yaitu sebesar 77,94%. kesimpulan berdasarkan pada hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa : 1. terbentuk gugus ester pada hasil spektrum ftir yang ditandai dengan adanya gugus karbonil pada panjang gelombang 1745,58 cm -1 dan gugus c-o 1163,03 cm -1 adalah ciri khas bahwa biodiesel telah terbentuk 2. yield biodiesel yang dihasilkan sebesar 77,94%. 3. kadar air biodiesel 0,0053%; densitas pada suhu 40 o c adalah 0,9038 kg/m 3 dan bilangan asam adalah 73,38 mg-koh/g. daftar pustaka enggawati, e.r. dan ediati, r., 2013, pemanfaatan kulit telur ayam dan abu layang batubara sebagai katalis heterogen untuk reaksi transesterifikasi minyak nyamplung (calophyllum inophyllum linn), j. sains dan seni pomits, 2(1):2337-3520. jin, b., duan, p., xu, y., wang, b., wang, f., zhang, l., 2014, lewis acid-catalyzed in situ transesterification/esterificationof microalgae in supercritical ethanol, bio tech, 162 : 341-349. kesic, z., lukic, i., zdujic, m., mojovic, l. and skala, d., 2016, calcium oxide based catalysts for biodiesel production : a review, chem ing chem eng q., 22 (4) : 391408. khan, a.m. dan fatima, n., 2016, biodiesel synthesis via metal oxides and metal chlorides catalysis from marine alga melanothamnus afaqhusainii, chinese j. ofchem eng, 24 :388-393. komintarachat, c. dan chuepeng, s. 2009, solid catalyst for biodiesel production from waste cooking oils, ing eng chem res, 48 : 93509353. st. annisa g. rachim dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 47-52 52 jupesta, j., 2010, impact of the introduction of biofuel in the transportation sector in indonesia, sustainability, 2:1831-1848. maneerung, t., kawi, s., dai, y. dan wang, c.h., 2016, sustainable biodiesel production via trasesterification of waste cooking oil bu using cao catalyst prepared from chicken manure, energy conv and man., 123 : 487497. nurhasnawati, h., 2015, penetapan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada minyak goreng yang digunakan pedaganng gorengan dijalan a.w sjahranie samarinda, j. ilmiah manuntung, 1(1):25-30 roschat, w., siritanon, t., kaewpuang, t., yoosuk, b. dan promarak, v., 2016, economical and green biodiesel production process using river snail shells-derived heterogeneous catalyst and co-solvent method, bio tech 209, 343-350. setiawati, e dan edwar, f., 2012, teknologi pengolahan biodiesel dari minyak goreng bekas dengan teknik mikrofiltrasi dan transesterifikasi sebagai alternatif bahan bakar mesin diesel, jurnal riset industri, 6 (2) : 117-127. sirisomboonchai, s., abuduwayiti, m., guan, g., samart, c., abliz, s., hao, x., kusakabe, k., abudula, a., 2015, biodiesel production from waste cooking oil using calcined scallop shell as catalyst, energy conversion and management, 95 : 242-247. indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 88-93 88 analisis kandungan zat besi (fe) pada daun kelor (moringa oleifera lam) yang tumbuh dengan ketinggian berbeda di daerah kota baubau analysis of ferrum content (fe) in the kelor leaves (moringa oleifera lam) with the height growing areas in baubau hasty hamzah*, nur rahmah yusuf study program of pharmacy, politeknik baubau jalan. lakarambau kota baubau 93721 *corresponding author, e-mail: hastyhamzah@gmail.com received: dec. 2018 published: jan. 2019 abstract moringa oleifera lam. is ones of the multipurpose plants. all parts of the plants are useful to human life and efficacious as a medicine. moringa oleifera lam can grow in the lowlands and highlands to an altitude of 1000 masl. this study was conducted to determine the levels of iron (fe) in moringa oleifera lam leaves that grew at different heights using atomic absorption spectroscopy (aas) the results shows the amount of iron (fe) in the lowlands of 14 masl (wameo village) is 6.28 mg per 100 g of moringa leaf, medium plains 58 masl (kantalai village) is 5.57 mg per 100 g of sample while in the highlands 318 masl (kaisabu subdistrict) is 3.86 mg per 100 g of sample. factors that influence the amount of iron content in moringa oleifera lam leaves are height which further affects the intensity of sunlight, humidity. other factors can be caused by soil conditions (texture, moisture, nutrient, and ph). keywords: moringa leaves, herbal, growing height, ferrum, atomic absorption spectroscop(aas) pendahuluan salah satu bahan makanan yang mengandung zat besi tinggi adalah tanaman kelor. tanaman kelor (moringa oleifera lam.) atau yang dikenal dengan nama kaudawa untuk daerah baubau dalam bahasa wolio. kelor, merupakan tanaman perdu dengan tinggi sampai 10 meter, berbatang lunak dan rapuh, dengan daun sebesar ujung jari berbentuk bulat telur dan tersusun majemuk. dari segi anatomi suku moringa ini mempunyai sifat yang khas yaitu terdapatnya sel-sel mirosin dan buluh-buluh gom dalam kulit batang dan cabang. selain dari itu, dalam musim-musim tertentu dapat menggugurkan daun-daunnya (meranggas) (tjitrosoepomo, 2013). daunnya berwarna hijau menyirip ganda dengan anak daun menyirip ganjil dan helaian daunnya bulat telur, bunga kelor merupakan malai yang keluar dari ketiak daun, sedangkan buahnya menggantung sepanjang 20-45 cm dan isinya sederetan biji bulat bersayap tiga (winarti, 2010). di indonesia kelor menyebar mulai dari jawa, sumatra, kalimantan, sulawesi, ntb, ntt dan lainnya. adapun nama lainnya di sulawesi disebut kero, wori, kelo atau keloro (rudianto dkk., 2015 ) kelor dapat tumbuh di dataran rendah sampai di ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (dpl) dan banyak digunakan sebagai pembatas lahan atau pagar di halaman rumah atau ladang bahkan untuk program penghijauan. perbanyakan tanaman tergolong mudah yakni dengan memperbanyak stek maupun menggunakan biji. hampir semua dari bagian tanaman kelor bermanfaat dalam kehidupan manusia dan berkhasiat sebagai obat. tidak hanya itu, biji kelor merupakan salah satu tanaman yang dapat dipergunakan sebagai salah satu koagulan alami alternatif yang tersedia secara lokal (rustiah dan andriani, 2018). daunnya sering dikonsumsi sebagai sayuran. selain untuk bahan makanan, daun kelor mengandung fitosterol yang dapat meningkatkan produksi asi (air susu ibu) bagi wanita yang sedang menyusui dan mengatasi masalah anemia pada anak-anak dan ibu hamil. ekstrak daun keor mengandung fe 5,49 mg/100 g, sitosterol 1,15 %/100 g, dan stigmasterol 1,52 % /100 g (kristina dan syahid, 2014). mailto:hastyhamzah@gmail.com hasty hamzah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 88-93 89 daun kelor yang kaya akan nutrisi merupakan sumber beta karoten, vitamin c, besi dan potasium. hasil analisis kandungan fe dalam daun kelor di balai penelitian tanaman rempah dan obat pada tahun 2014 menunjukkan hasil yang cukup baik, yaitu dari 1 kg simplisia dapat menghasilkan kandungan besi sebanyak 54,92 mg (balittro, 2014) zat besi (fe) adalah mikromineral yang sangat penting dalam tubuh karena berfungsi dalam pembentukan sel darah merah. zat besi (fe) dalam pembentukan sel darah merah yakni proses sintesis hemoglobin (hb) dan dapat pula mengaktifkan beberapa enzim salah satunya yakni enzim pembentuk antibodi. kekurangan zat besi akan mengakibatkan anemia yang merupakan masalah gizi di indonesia. selain itu dapat menurunkan kekebalan tubuh karena berhubungan erat dengan penurunan fungsi enzim pembentuk antibodi (ramli, 2008) kelor selain mudah diperoleh dan tanpa biaya tinggi, mampu membantu pemulihan secara cepat pada anak-anak malnutrisi dibandingkan dengan ibu-ibu yang memberikan nutrisi modern seperti susu bubuk, minyak goreng dan gula. penelitian di beberapa negara menunjukkan serbuk daun kelor berperan dalam memperbaiki sistem imun. di india kelor sudah dijadikan tanaman obat (indian herbs) sejak puluhan tahun, dan telah dilakukan analisa terhadap kandungan zat-zat bioaktif kelor serta fungsinya. salah satu dari 49 phytonutrient yang telah dianalisa adalah beta carotene yang berfungsi sebagai phagocitotic activity (lutfiah, 2012). telah banyak riset yang menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jumlah kadar zat dengan ketinggian. sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh fatchurrozak dkk. (2013) yang menguji pengaruh ketinggian tempat terhadap a b c gambar 1. peta lokasi penelitian pengambilan sampel daun kelor (a) kelurahan wameo (b) kelurahan kaisabu baru (c) kelurahan kantalai hasty hamzah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 88-93 90 kandungan vitamin c dan zat antioksidan pada buah carica pubescens di dataran tinggi dieng. berbagai data dan informasi yang telah disampaikan sebelumnya serta spektrum tumbuh tanaman kelor yang cukup luas maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai analisis kandungan zat besi (fe) pada daun kelor (moringa oleifera lam.) yang tumbuh dengan ketinggian berbeda di kota baubau. berdasarkan latar belakang tersebut maka telah dilakuan studi perbedaan kandungan zat besi (fe) pada daun kelor (moringa oleifera lam.), serta melihat faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perbedan tersebut. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain daun kelor (moringa oleifera lam.), aquabides, hno3 pekat, hcl pekat, larutan induk besi 1000 ppm dan kertas saring. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah spektroskopiserapan atom (ssa), penangas listrik, neraca analitik, oven, tanur listrik, eksikator, labu takar 25 ml, 50 ml, 100 ml, erlenmeyer 300 ml, pipet volume 25 ml, pipet skala 5 ml, pipet skala 10 ml, pisau, cawan penguap, corong, pipet tetes, batang pengaduk, sendok zat dan botol wadah prosedur kerja perlakuan pendahuluan sampel sampel daun kelor (moringa oleifera lam.) pada penelitian ini diambil dari sekitar daerah baubau dengan metode pengambilan sampel secara acak sederhana. pengambilan sampel dilakukan di tiga tempat dengan ketinggian berbeda yaitu di kelurahan wameo kecamatan batupoaro (14 mdpl), kelurahan kantalai kecamatan lea-lea (58 mdpl) dan kelurahan kaisabu baru kecamatan sorawolio (318 mdpl). berikut adalah peta lokasi pengambilan sampel. analisis kandungan zat besi (fe) daun kelor (moringa oleifera) dilaksanakan di laboratorium forensik jurusan biologi fmipa universitas halu oleo. sampel daun kelor yang diambil dari ketiga tempat tumbuh yang berbeda terlebih dahulu diberi perlakuan pendahuluan yakni daun kelor dipisahkan dari tangkainya. gambar 2. pengambilan sampel daun kelor analisis kadar air analisis kadar air ditentukan dengan cara metode gravimetri. objek yang akan dianalisis ditimbang dengan teliti sebanyak 30 gram pada cawan dan dikeringkan pada suhu 105ºc selama 3 jam kemudian ditimbang hingga bobot konstan. preparasi sampel sebanyak 3 gram sampel kering daun kelor ditimbang dengan teliti dalam cawan penguap dan didekstruksi pada tanur listrik dengan suhu 500ºc selama 2 jam kemudian didinginkan pada suhu kamar. abu yang dihasilkan ditambah dengan aquabides sebanyak 10 tetes dan asam nitrat (hno3) pekat : aquabides (1:1) sebanyak 3 ml. kelebihan asam nitrat (hno3) diupkan pada lemari asam. cawan penguap yang berisi sampel dimasukkan dalam tanus listrik dan diabukan selama 1 jam pada suhu 500ºc . abu didinginkan dan ditambah dengan 5 ml asam klorida (hcl) pekat:aquabides (1:1), kemudian disaring. filtrat dipindahkan dalam labu takar 25 ml dan cawan dibilas dengan aquabides sebanyak 3 kali kemudian diimpitkan sampai tanda batas.setelah itu diukur serapan dengan spektroskopi serapan atom (ssa). pembuatan larutan baku fe larutan induk besi (fe) 100 ppm dipipet sebanyak 10 ml dan dihimpitkan dengan aquabides pada labu takar 100 ml dengan konsentrasi larutan 10 ppm. selanjutnya larutan baku 10 ppm dipipet sebanyak 1 ml, 2 ml, 3 ml dan 4 ml dan diimpitkan dengan aquabides dalam labu takar 50 ml hinga tanda batas. larutan tersebut berturut-turut 0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm dan 1,0 ppm. masing-masing larutan standar (0,2 ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm, 0,8 ppm dan 1,0 ppm) ditentukan hasty hamzah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 88-93 91 absorbansinya dengan spektrofotormeter serapan atom (ssa). hasil dan pembahasan analisis kadar air pada sampel daun kelor telah dilakukan penelitian untuk menganalisis kandungan zat besi (fe) berdasarkan perbedaan ketinggian di daerah kota baubau. penelitian diawali dengan penentuan kadar air. adapun hasil analisis kadar air daun kelor dari berbagai ketinggian dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. hasil analisis kadar air pada daun kelor tabel 2. data absorbansi laruan standar fe konsentrasi (ppm) absorbansi (a) 0 0,0002 0,2 0,0052 0,4 0,0114 0,6 0,0168 0,8 0,0219 1 0,0275 pada penelitian ini, kadar air pada daun kelor dianalisis dengan metode gravimetri. kadar air lebih tinggi diperoleh pada ketinggian 318 mdpl (dataran tinggi) yakni 72,55%. hal ini disebabkan karena iklim di daerah ketinggian, dimana intensitas matahari kurang, suhu udara rendah dan kelembaban udara tinggi. menurut tarmedi (2006), semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah dan kelembaban tinggi. pada kondisi kelembaban yang tinggi menandakan kandungan air juga cukup tinggi dan selanjutnya akan mempengaruhi kadar mineral lainnya. analisis kadar zat besi (fe) pada sampel daun kelor hasil pengukuran serapan larutan sampel daun kelor untuk analisis zat besi (fe) dengan spektroskopi serapan atom (ssa), diperoleh hasil konsentrasi zat besi (fe) pada daun kelor yang tumbuh di berbagai ketinggian ditampilkan pada tabel 3. tabel 3. hasil analisis kadar besi (fe) pada daun kelor lokasi sampel kadar zat besi (fe) (mg/100 g) ratarata a ketinggian 14 mdpl ulangan i ulangan ii ulangan iii 6,28 6,31 6,24 6,28 b ketinggian 58 mdpl ulangan i ulangan ii ulangan iii 5,58 5,69 5,55 5,61 c ketinggian 318 mdpl ulangan i ulangan ii ulangan iii 3,76 3,94 3,87 3,86 pada tabel 3 dapat dilihat hasil pengukuran kadar zat besi (fe) pada daun kelor yang tertinggi yaitu daun kelor yang diambil di daerah kelurahan wameo atau berada di dataran rendah 14 mdpl yakni 6,28 mg dalam 100 gram sampel daun kelor. hasil penelitian yang serupa dilakukan nurahma dkk. (2010) di desa matajang kabupaten bone memperoleh hasil kadar zat besi (fe) pada daun kelor di daerah tersebut tertinggi 6,22 mg dalam 100 mg sampel daun kelor. berkurangnya ketinggian, intensitas sinar matahari dan temperatur semakin tinggi. hal ini dikarenakan pada daun terjadi proses fotosintesis yang melibatkan zat besi (fe) sebagai pembawa electron pada fase terang fotosintesis. zat besi (fe) sangat penting dalam pembentukan klorofil, namun tidak menjadi bagian dari molekul klorofil tersebut. dengan demikian, zat besi (fe) lebih banyak terdeposit pada daun. artinya semakin tinggi intensitas matahari akan mempermudah berlangsungnya proses fotosintesis dan zat besi (fe) lebih besar terdeposit. besi bersifat esensial sebab besi (fe) merupakan zat pembawa electron dalam fotosintesis dan respirasi. selain itu pula sifat dan tekstur tanah di sekitar pengambilan sampel merupakan tanah yang mengandung zat oganik lokasi sampel kadar air ratarata (%) (%) a ketinggian 14 mdpl ulangan i ulangan ii ulangan iii 67,18 71,23 69,56 69,32 b ketinggian 58 mdpl ulangan i ulangan ii ulangan iii 71,98 72,06 71,73 71,92 c ketinggian 318 mdpl ulangan i ulangan ii ulangan iii 72,65 72,19 72,81 72,55 hasty hamzah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 88-93 92 yang kaya akan hara tanaman berupa makro nutrien. pengaruh ketinggian terhadap kadar zat dalam daun kelor, juga telah diteliti oleh cahyati dkk. (2016) yang meneliti pengaruh kadar asam askorbat daun kelor berdasarkan ketinggian. dalam penelitiannya diperoleh kandungan kadar asam askorbat pada daun kelor lebih tinggi pada dataran rendah (pesisir) dibandingkan dengan daerah pegunungan (dataran rendah). yulianti dkk. (2017) juga telah melakukan penelitian analisis kadar β-karoten dalam ekstrak petroleum eter daun kelor dari daerah pesisir dan pengunungan, hasil penelitian diperoleh bahwa daun kelor daerah pesisir memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan daerah pengunungan. hasil penelitian pada tabel 2, menunjukan rendahnya kadar fe pada ketinggian 318 mdpl (dataran tinggi) di kelurahan kaisabu. hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu adanya perbedaan kadar mineral pada tanah tempat tumbuh, derajat keasaman tanah (ph) dan tekstur tanah. tekstur tanah dari dataran tinggi (318 mdpl) di kelurahan kaisabu mengandung kapur dengan derajat keasamaan (ph) sedikit asam yakni 6. adanya zat kapur yang berlebihan akan mengurangi ketersediaan zat besi (fe). kationkation logam akan menyusutkan serapan besi (fe) pada tanaman. hal ini dikarenakan kationkation tersebut bersaing dengan besi (fe) selama tahapan penyerapan hara, sehingga mengurangi serapan besi (fe). lebih lanjut menurut tarmedi (2006), semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah dan kelembaban tinggi. pada kondisi kelembaban yang tinggi menandakan kandungan air tinggi, akibatnya unsur hara akan semakin rendah karena proses pencucian pada lahan tersebut. pada kondisi seperti ini, beberapa vegetasi akan mengalami kesulitan dalam proses pencucian pada lahan tersebut. pengaruh umur tanaman dapat dilihat dari hasil penelitian ini, bahwa daun kelor di dataran rendah (kelurahan wameo) yang memiliki kadar zat besi (fe) lebih tinggi dibandingkan dataran sedang (kelurahan kantalai) dan dataran tinggi (kelurahan kaisabu) karena tanaman kelor yang berumur lebih tua dibandingkan kedua tempat lainnya. ismail (dikutip dalam nurrahma dkk., 2010) menyatakan bahwa adanya perbedaan penyerapan mineral tanaman yang berumur lebih tua dengan tanaman yang berumur lebih muda disebabkan karena tanaman berumur lebih muda berkonsetrasi untuk pertumbuhannya yakni meninggikan batang dan lebih memperkuat perakarannya. sedangkan, tanaman yang berumur lebih tua berkonsentrasi pada penyerapan mineral dimana dengan sistem perakaran yang sudah besar menyerap mineral dan zat organik lebih banyak yang dibutuhkan oleh tubuh tumbuhan pada proses metabolismenya. kesimpulan dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai bahwa ada perbedaan jumlah kandungan zatbesi (fe) daunkelor (moringa oleifera lam.) di berbagai ketinggian tempat tumbuh. diperoleh kadar besi (fe) dataran rendah 14 mdpl (kelurahanwameo) adalah 6,28 mg per 100 g sampel daun kelor, dataransedang 58 mdpl (kelurahan lea-lea) adalah 5,57 mg per 100 g sampel sedangkan di dataran tinggi 318 mdpl (kelurahan kaisabu) adalah 3,86 mg per 100 g sampel. faktor yang mempengaruhi jumlah kandungan zat besi pada daun kelor yaitu ketinggian yang lebih lanjut mempengaruhi intensitas cahaya matahari, kelembaban udara. faktor lain dapat disebabkan oleh kondisi tanah (tekstur, kelembaban, nutrient dan ph). daftar pustaka cahyati, r.d., natsir h, wahab, a.b., 2016, analisis kadar asam askorbat dalam ekstrak daun kelor (moringa oleifera lam.) dari daerah pesisir dan pegunungan dan potensinya sebagai antioksidan, skripsi, jurusan kimia fmipa uh. makassar. fatchurrozak, suranto, sugiyarto, 2013, pengaruh ketinggian tempat terhadap kandungan vitamin c dan zat antioksidan pada buah carica pubescens di dataran tinggi dieng, el-vivo, 1 (1): 24-31. kristina n., syahid s., 2014, pemanfaatan tanaman kelor (moringa oleifera) untuk peningkatan produksi air susu ibu, warta penelitian dan pengembangan tanaman industri, 20 (3), 26-29. lutfia, f., 2012, potensi gizi daun kelor (moringa oleifera) nusa tenggara barat, media bina ilmiah, 6 (2), 42-50. hasty hamzah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 88-93 93 nurrahma, a., alimin, rustia, w.a., 2010, analisis kandungan zat besi (fe) pada buah kelor dan daun kelor (moringa oleifera) yang tumbuah di desa matajang kec.dua boccoe kab.bone, alkimia, 1(1), 10-11. ramli, 2007, analisis kadar kalsium (ca) dan besi (fe) pada bawang merah yang beredar di pasaran secara spektrofotometer serapan atom, skripsi, fmipa unm makassar. rudianto, 2015, studi pembuatan analisis zat gizi pada produk biskuit moringa oleifera dengan subtitusi tepung daun kelor, skripsi, program studi ilmu gizi fkm uh, makassar. rustiah, w., andriani, y., 2018, analisis serbuk biji kelor (moringa oleifera, lamk) dalam menurunkan kadar cod dan bod pada air limbah jasa laundry, indo. j. chem. res., 5(2), 508-512. tarmedi, 2006, keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan sub pegunungan kanojang jawa barat, skripsi, institut pertanian bogor, bogor. tjitrosoepomo g., 2013, taksonomi tumbuhan (spermatophyta), gadjah mada university press, yogyakarta, winarti s., 2010, makanan fungsional. graha ilmu, yogyakarta. yulianti, natsir, h., wahab, a.w., 2017, analisis kadar β-karoten dalam ekstrak petroleum eter daun kelor (moringa oleifera lam.) dari daerah pesisir dan pegunungan serta potensinya sebagai antioksidan, skripsi, jurusan kimia fmipa uh, makassar. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 159 biokonsentrasi dan bioakumulasi mercury (hg) pada lamun enhalus acoroides di teluk kayeli kabupaten buru provinsi maluku bioconcentration and bioaccumulation of mercury (hg) in seagrass enhalus acoroides in kayeli bay, buru regency, maluku province fahrul r. fakaubun 1 , yustinus t. male 2* , debby a. j. selanno 3 1 program studi pendidikan biologi, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan institut agama islam negeri ambon 2 jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura 3 jurusan manajemen sumberdaya perairan, fakultas perikanan dan ilmu kelautan, universitas pattimura *corresponding author: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: 2020-8-10 received in revised: 2020-8-22 accepted: 2020-9-27 available online: 2020-9-30 abstract gold reserves on gunung botak (bald mountain), buru island, were discovered in 2011. since then, thousands of illegal miners have used amalgamation methods to extract gold in the areas of gunung botak and gogrea, buru island. the resulting waste is disposed of into the environment directly without any treatment process so it is very dangerous for humans and the environment. this research was conducted to determine the ability of the enhalus acoroides type of sea grass to accumulate heavy metal mercury (hg) in the aquatic environment. this research shows that the heavy metal mercury has been distributed in the water sediments along kayeli bay. mercury bio-concentration (accumulation) was found in enhalus acoroides sea grass, in leaves (0.0243-0.0373 mg/kg), and in rhizomes (0.0453-0.0663 mg/kg). this results shows that the kayeli bay ecosystem has been contaminated with mercury. keywords: gunung botak, kayeli bay, mercury (hg), bioconcenstration, seagrass, enhalus acoroides, kayeli bay abstrak (indonesian) cadangan emas di gunung botak, pulau buru, ditemukan tahun 2011. sejak saat itu ribuan penambang illegal menggunakan metode amalgamasi untuk mengekstrak emas di daerah gunung botak dan gogrea, pulau buru. limbah yang dihasilkan dibuang ke lingkungan secara langsung tanpa proses pengolahan sehingga sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan lamun jenis enhalus acoroides mengakumulasi logam berat merkuri (hg) di lingkungan perairan. penelitian ini menunjukkan bahwa logam berat merkuri telah terdistribusi pada sedimen perairan sepanjang teluk kayeli. biokosenstrasi (akumulasi) merkuri ditemukan pada lamun enhalus acoroides, yaitu pada daun (0,0243-0,0373 mg/kg). dan pada rhizoma (0,0453-0,0663 mg/kg). hal ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan teluk kayeli telah tercemar merkuri. kata kunci: gunung botak, teluk kayeli, merkuri (hg), biokonsentrasi, lamun, enhalus acoroides, pendahuluan biokonsentrasi adalah banyaknya konsentrasi polutan yang ada di lingkungan sekitar yang akan diserap oleh suatu organisme sehingga meningkatkan kadar polutan dalam suatu organisme. bioakumulasi dalam suatu organisme laut merupakan tahap awal sebelum suatu organisme menunjukkan responsnya terhadap pencemar atau kontaminan dalam siklus geokimia (fisher, 2003). proses bioakumulasi logam berat secara kimiawi merupakan reaksi pembentukan senyawaan kompleks antara logam berat dengan selsel organisme yang berfungsi sebagai ligan. proses ini dapat dijelaskan dengan teori ligan biotic model (model ligan biotik) yang dapat memprediksi mekanisme interaksi logam-logam terlarut dengan organisme akuatik (campbell, 2002). penelitian mengenai akumulasi logam berat merkuri (hg) dalam fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 160 jaringan tubuh organisme perairan telah banyak dilakukan, diantaranya oleh noël-lambot (1978), noël-lambot dkk. (1980), kohler dan riisgård (1982), langston dan zhou (1987) tentang akumulasi hg pada kerang-kerangan laut (moluska) mytilus edulis, m. galloprovicialis, littorina littorea, dan patella vulgata (limpet). selain itu study oleh noëllambot dan bouquegneau (1977) dan noël-lambot dkk. (1978) pada anguilla anguilla, zhang dkk. (2009), lasut dan yasuda (2008), kehrig dkk.(2009) pada beberapa jenis ikan. hingga saat ini belum banyak dilakukan penelitian tentang biokonsentrasi logam hg pada lamun. lamun adalah salah satu organisme yang banyak dijumpai dalam suatu perairan. lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, batang, bunga dan buah. lamun hidup dan berkembang biak pada lingkungan perairan dangkal, daerah yang selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air surut pada subtrat pasir, pasir berlumpur, dan karang. secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir, diantaranya merupakan produktifitas primer di perairan dangkal, sumber makanan penting bagi banyak organisme, sebagai habitat biota produsen primer, perangkap sedimen dan berperan pada transfer nutrien (dahuri, 2003). penelitian terhadap enhalus acoroides sebagai bioakumulator telah dilakukan oleh retno (1996) untuk mengukur kandungan logam pb, cd, cr dan zn pada daun, batang dan akar lamun di perairan pantai jepara. ahmad dkk. (2014) meneliti akumulasi logam berat pb dan hg oleh lamun di perairan johor malaysia, menunjukkan bahwa di antara jenis-jenis lamun yang menyerap logam pb dan hg, enhalus acoroides merupakan penyerap hg tertinggi dari semua jenis lamun yang diteliti terutama pada bagian rhizome (akar). penggunaan lamun sebagai bioakumulator juga telah diteliti oleh sahetapy dkk. (2006) pada perairan teluk ambon bagian dalam. male dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai kemampuan enhalus acoroides sebagai bioakumulator logam pb dan cr dan ditemukan bahwa akar lamun di perairan desa waai dan tulehu memiliki kandungan logam pb dan cr yang cukup tinggi. analisi bcf (bioconcentration factor) dari daun dan akar enhalus acoroides terhadap logam berat pb dan cd oleh sugiyanto (2016) menunjukkan bahwa bcf pada akar sebesar 1,44 sedangkan pada daun sebesar 1,76. teluk kayeli yang terletak di pulau buru, provinsi maluku (gambar 1) merupakan perairan estuari yang dipengaruhi oleh daratan sekitarnya, melalui runoff yang masuk melalui sungai-sungai yang bermuara di teluk. nutrien yang kontinyu melimpah menyebabkan peningkatan kesuburan perairan. teluk kayeli merupakan perairan subur dengan nutrien dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi yakni > 6 mg/l (pentury dan waas, 2009). tingginya kandungan klorofil menunjukkan bahwa teluk kayeli sangat subur sehingga sangat melimpah dengan biota laut. tingginya produktivitas perairan teluk kayeli tercemar oleh aktifitas penambangan emas tanpa ijin (peti) di daerah gunung botak dan gogrea, pulau buru (male dkk., 2013). pada penambangan emas tradisional, untuk mengekstraksi emas digunakan metode amalgamasi yang menggunakan merkuri (hg) dalam drum berputar tromol (trommel) untuk mengikat emas (au). metode amalgamasi membutuhkan banyak air untuk proses pembilasan (flushing) sehingga umumnya tromol ditempatkan di dekat aliran sungai (riverbank). limbah merkuri dalam jumlah besar yang dilepaskan ke perairan akan meningkatkan konsentrasi merkuri di perairan maupun sedimen di teluk kayeli. banyak penelitian telah dilakukan di daerah diantarany pada muara sungai waelata. dari penelitian yang dilakukan, ditemukan fenomena peningkatan konsentrasi merkuri pada ekosistem sungai dan perairan (irsan, 2015; salatutin, 2015; male dkk. 2013). aktifitas peti di pulau buru telah dihentikan oleh gubernur maluku tahun 2017, tetapi merkuri dalam jumlah besar telah terendapkan di dasar sungai dan perairan teluk kayeli. hal ini tentu saja akan meningkatkan potensi bioakumulasi dan biokonsentrasi merkuri pada biota dan organisme laut, misalnya lamun. selain itu, perairan teluk kayeli cukup padat dengan populasi lamun enhalus acoroides sehingga lamun jenis ini dapat dijadikan sebagai bioindikator pencemaran logam berat merkuri. berdasarkan kenyataan tersebut telah dilakukan analisis kemampuan lamun jenis enhalus acoroides mengakumulasi logam berat merkuri (hg) di lingkungan perairan. metodologi pengambilan sampel air sampel air diambil pada delapan stasiun penelitian (gambar 1) sepanjang pesisir teluk kayeli. sampel air diambil menggunakan van dorn water dengan jarak 25 cm dari permukaan. sampel air (1,5 l) diambil pada setiap stasiun sampel diawetkan dengan hno3 2 ml, kemudian dimasukkan kedalam fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 161 0,0003 0,0002 0,0002 0,0004 0,0003 0,0002 0,0002 0,0003 0,0003 0 0,0002 0,0004 0,0006 st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9k o n se n tr a si h g p a d a a ir ( m g /l ) konsentrasi hg pada air (mg/l) kotak pendingin (coolbox) dan dibawa ke laboratorium untuk analisis selanjutnya. pengambilan sampel sedimen sampel sedimen diambil pada lokasi yang sama dengan sampel air, dengan ketebalan lapisan ±5 cm. pengambilan sedimen menggunakan ekcman dredge. dengan jumlah sampel sebanyak tiga (triplicate) untuk setiap titik. sampel kemudian dimasukkan ke dalam sandwich bag dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin (coolbox) (male dkk., 2013) dan dibawa ke laboratorium untuk analisis selanjutnya. pengambilan sampel enhalus acoroides sampel diambil dari dua stasiun sesuai dengan keberadaan populasi enhalus acoroides. lamun diambil dengan cara dicabut perlahan agar tidak merusak bagian akar dan daunnya. sampel enhalus acoroides yang telah diambil dimasukkan ke dalam wadah plastik, diberi label dan diletakkan dalam cool box selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk analisis selanjutnya. pengukuran parameterfisik-kimia perairan pengukuran suhu air dilakukan menggunakan thermometer, kedalaman perairan diukur menggunakan tongkat berskala, pengukuran kecepatan arus dilakukan menggunakan current meter, kecerahan perairan diukur menggunakan seichi disk, pengukuran ph dilakukan menggunakan ph meter digital dan pengukuran salinitas menggunakan hand refraktometer. gambar 1. peta lokasi penelitian analisis kandungan merkuri pada sampel air, sedimen, dan enhalus acoroides analisis kadar merkuri menggunakan instrumen atomic absorption spectrophotometry cold vapor (aas-cv) (varian perkin elmer tipe pin acle 900h) pada laboratorium produktivitas dan lingkungan perairan, fakultas perikanan dan ilmu kelautan ipb bogor. hasil dan pembahasan konsentrasi logam berat merkuri pada air hasil analisis kadar merkuri pada badan air disajikan pada gambar 2. berdasarkan hasil yang diperoleh pada gambar 2, terlihat bahwa konsentrasi merkuri tertinggi berada pada stasiun 4 (muara sungai anahoni) yaitu 0,0004 ppm. hasil analisis ini menunjukkan bahwa kadar merkuri pada badan perairan di teluk kayeli masih di bawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh kementerian lingkungan hidup no. 51 tahun 2004 yaitu sebesar 0,001 ppm (mg/l). polutan merkuri masuk ke dalam lingkungan akuatik bersumber dari udara maupun kegiatan antropogenik di daratan dan kegiatan pertambangan (connel dan miller, 1995). gambar 2. konsentrasi merkuri pada badan air rendahnya konsentrasi merkuri disebabkan metode yang digunakan dalam penelitian ini tidak dapat mendeteksi keberadaan metilmerkuri karena senyawa ini mudah menguap (volatile). rendahnya konsentrasi merkuri pada air juga dimungkinkan karena pergerakan air pada wilayah muara yang dinamis dan dipengaruhi oleh beberapa faktor fisika seperti arus, sehingga terjadi pengenceran yang terus menerus yang mengakibatkan rendahnya kandungan merkuri. logam berat di perairan akan menurun karena adanya dinamika perairan seperti adanya arus, gelombang, pengenceran, reaksi dengan bahan organik dan anorganik dalam perairan, serta adanya penyerapan oleh makhluk hidup. selain itu, logam berat dalam air akan mengalami proses pengenceran dengan adanya pengaruh pola arus pasang surut. perpindahan ion logam dalam air ke dalam sedimen terutama melalui proses partisi air-sedimen, yaitu fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 162 perpindahan logam dari bentuk terlarut dalam air ke dalam sedimen melalui fenomena adsorpsi. hal inilah yang menyebabkan merkuri yang berada pada ekosistem pesisir terakumulasi dalam sedimen (nontji, 1987). untuk melihat pengaruh semua variabel terhadap kandungan merkuri di air dilakukan analisis regresi berganda menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α =0,05), ditemukan bahwa untuk variabel suhu, kedalaman, dan kecepatan arus memiliki nilai signifikansi <0,05, yang berati terdapat pengaruh yang signifikan terhadap konsentrasi merkuri di air. sementara itu, variabel salinitas, ph, dan kecerahan memiliki nilai signifikansi >0,05, yang berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kandungan merkuri di air. menurut lecki dan james (1974) dalam connel dan miller (1995), kelarutan logam berat dalam air alamiah pada prinsipnya diatur oleh (1) ph, (2) jenis dan kepekatan ligan dan zat-zat pengkelat, dan (3) keadaan oksidasi komponen mineral dan lingkungan redoks sistem tersebut. hasil pengukuran suhu menunjukkan bahwa suhu perairan pada semua titik sampling berkisar antara 25-32 o c. menurut nontji (1987), pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis. suhu perairan yang tinggi juga akan meningkatkan pembentukan ion logam berat sehingga meningkatan proses pengendapan yang berkaitan dengan penyerapan logam berat oleh sedimen. hasil pengukuran derajat keasaman (ph) perairan berkisar antara 6,79-8,03 dimana ph tertinggi berada pada stasiun 7 (muara sungai marloso) sebesar 8,03, dan terendah berada pada stasiun 6 (sungai waeapo) yaitu 6,79. ph adalah ukuran tentang besarnya konsentrasi ion hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa karena dalam reaksinya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme perairan sehingga nilai ph digunakan sebagai indikator baik buruknya suatu perairan (wardoyo, 1975). pengukuran salinitas perairan pada stasiun penelitian berkisar antara 030‰, dimana salinitas tertinggi terdapat pada stasiun 9 yaitu pantai nametek dengan kadar 30‰. salinitas erat kitannya dengan bentuk persenyawaan kimia pada suatu perairan. pengukuran kedalaman perairan pada setiap stasiun penelitian juga memberikan hasil yang berbeda, kedalaman tertinggi berada pada stasiun 8 (pantai nametek) sebesar 3,57 m, dan stasiun dengan kedalaman terendah berada pada stasiun 7 (muara sungai marloso) dengan kedalaman 0,37 m. kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik. semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat proses fotosintesis lamun di dalam air pengkuran kecepatan arus dilakukan pada bagian permukaan perairan dengan menggunakan current meter (tabel 1). data pada tabel 1 menunjukkan bahwa, kecepatan arus pada lokasi penelitian berkisar antara 0,07-0,41 m/det, dimana kecepatan arus tertinggi berada pada stasiun 9 (pantai nametek), yaitu sebesar 0,41 m/det. tinggi rendahnya kecepatan arus ini, dipengaruhi oleh waktu pengukuran pada tiap stasiun yang tentunya memiliki hubungan dengan pasang surut air laut. tabel 1. kecepatan arus perairan pada setiap stasiun penelitian kode stasiun nama stasiun pengulangan pengukuran (m/det) ratarata (m/det) i ii iii st.1 muara sungai kayeli 0,26 0,25 0,30 0,27 st.2 kali suket-1 0,31 0,33 0,41 0,35 st.3 kali suket-22 0,37 0,39 0,42 0,39 st.4 muara sungai anahoni 0,32 0,31 0,29 0,31 st.5 muara sungai waelata 0,08 0,04 0,08 0,07 st.6 sungai waeapo 0,11 0,12 0,17 0,13 st.7 muara sungai marloso 0,21 0,19 0,25 0,22 st.8 pantai nametek-1 0,33 0,36 0,37 0,35 st.9 pantai nametek-2 0,41 0,42 0,41 0,41 hasil pengukuran kecerahan pada masingmasing stasiun juga berbeda-beda. berdasarkan hasil pengukuran terlihat bahwa kecerahan rata-rata berkisar antara 0,2-2,00 m, dimana kecerahan tertinggi berada pada stasiun 8 (pantai nametek-1) sebesar 2,00 m dan terkecil adalah stasiun 6 (sungai waeapo) sebesar 0,20 m. kecerahan air merupakan ukuran kejernihan suatu perairan, semakin tinggi suatu kecerahan perairan semakin dalam cahaya menembus ke dalam air. kecerahan air menunjang produktifas perairan. berkurangnya kecerahan air akan mengurangi kemampuan fotosintesis tumbuhan air, selain itu dapat pula mempengaruhi fisiologi biota air (effendi, 2003). fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 163 konsentrasi logam berat merkuri pada sedimen berbeda dengan konsentrasi logam berat merkuri pada air yang kecil dan masih berada di bawah ambang batas, konsentrasi merkuri pada sedimen di semua stasiun menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari air namun masih berada di bawah baku mutu anzecc/amrcanz (2000). hasil analisis kadar merkuri pada sedimen disajikan pada dalam bentuk grafik pada gambar 3. gambar 3. konsentrasi merkuri pada sedimen hasil penelitian menunjukkan kisaran konsentrasi merkuri antara 0,067-0,296 mg/kg, dengan konsentrasi tertinggi berada pada stasiun 1 (muara sungai kayeli) sebesar 0,296 mg/kg dan terendah berada pada stasiun 9 (pantai nametek-2) sebesar 0,067 mg/kg. tingginya konsentrasi merkuri pada sedimen dibandingkan dengan pada air disebabkan karena merkuri lebih banyak terakumulasi dan mengendap pada sedimen (male dkk., 2014). tabel 2. tipe sedimen dan rata-rata konsentrasi merkuri pada setiap stasiun penelitian stasiun penelitian tipe sedimen kandungan rata-rata merkuri (mg/kg) persentasi (%) klasifikasi kerikil pasir lumpur st.1 18,27 81,73 lumpur berpasir 0,296 st.2 89,27 10,73 pasir 0,137 st.3 1,42 66,92 31,66 pasir berlumpur 0,146 st.4 19,30 80,70 lumpur berpasir 0,165 st.5 19,67 32,63 47,70 lumpur berpasir 0,141 st.6 86,41 13,59 pasir 0,099 st.7 23,62 42,39 33,99 pasir berlumpur 0,11 st.8 63,88 36,12 pasir berlumpur 0,085 st.9 10,70 69,11 20,18 pasir berlumpur 0,067 tinggi rendahnya kadar merkuri dalam sedimen ditentukan juga oleh ukuran butiran sedimen sehingga dilakukan analisis fraksi sedimen (tabel 2). hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan tekstur sedimen pada setiap stasiun. stasiun 1, 4, dan 5 memiliki tipe sedimen yang didominasi oleh lumpur dengan butiran sangat halus. hal ini menjelaskan tingginya kadar merkuri pada ketiga stasiun tersebut. sedimen yang didominasi oleh lumpur memiliki kandungan rata-rata merkuri yang tinggi, hal ini diduga karena tekstur sedimen mempengaruhi kadar logam berat yang terkandung dalam sedimen, dimana sedimen dengan tekstur berlumpur dan lempung lebih banyak terjadi pengendapan logam berat khususnya merkuri. partikel sedimen yang halus biasanya mempunyai kandungan bahan pencemar yang tinggi. hal ini disebabkan oleh gaya tarik menarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme. selain itu jugaa logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, sehingga biasanya kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. konsentrasi merkuri pada sedimen cenderung tinggi terkait dengan fraksi lempung, partikel tersuspensi, koloid, dan bahan organik yang mengalami proses pengendapan. konsentrasi merkuri pada sedimen berkorelasi dengan karbon organik, akan tetapi bervariasi dan berbanding terbalik dengan fraksi pasir (male dkk., 2014). untuk melihat pengaruh variabel suhu, ph, salinitas, kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, dan kandungan merkuri di air, terhadap kandungan merkuri di sedimen dilakukan analisis regresi berganda dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), semua nilai signifikansi > 0,05. hal ini berarti bahwa tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi kandungan merkuri pada sedimen. konsentrasi logam berat merkuri pada lamun enhalus acoroides lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuhan laut berbunga yang tercatat di lingkungan laut. enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun yang paling melimpah di perairan indonesia dan mempunyai ukuran morfologi yang besar. lamun jenis enhalus acoroides merupakan spesies yang umum tumbuh di substrat lumpur. jenis enhalus acoroides dapat tumbuh menjadi padang yang monospesifik ataupun seringkali tumbuh membentuk vegetasi campuran (mixed vegetation) (dahuri, 2003). berdasarkan hasil pengamatan pada seluruh stasiun di sepanjang teluk kayeli dan pantai nametek, ekosistem padang lamun enhalus acoroides hanya ditemukan pada muara sungai marloso dan pantai nametek. hal ini diduga karena nilai 0,296 0,137 0,146 0,165 0,141 0,099 0,110 0,085 0,067 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 k o n se n tr a si h g ( p p m ) rata-rata konsentrasi hg pada sedimen (mg/kg) fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 164 kecerahan rata-rata di seluruh stasiun penelitian sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai rata-rata kedalaman pada setiap stasiun terkecuali stasiun 1, stasiun 7, dan stasiun 9. salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan dan laju pertumbuhan e. acoroides adalah kekeruhan. tingginya kekeruhan dapat menghambat cahaya masuk ke dalam air sehingga proses fotosintesis lamun dapat terhambat yang menyebabkan laju pertumbuhan rendah bahkan tidak ditemukan dalam lingkungan peraian (dahuri, 2003). keberadaan lamun enhalus acoroides yang ditemukan pada stasiun 7 dan 9 kemudian dianalisis kandungan merkurinya untuk diketahui tingkat bioakumulasinya terhadap logam berat merkuri. adapun hasil analisis konsentrasi merkuri pada lamun enhalus acroides dapat dilihat pada gambar 4. gambar 4. konsentrasi merkuri pada daun dan rhizoma enhalus acoroides berdasarkan gambar 4 terlihat bahwa akumulasi merkuri pada bagian rhizome di kedua stasiun lebih besar dibandingkan dengan akumulasi merkuri di daun yaitu sebesar 0,0453-0,0663 mg/kg pada rhizome dan pada daun sebesar 0,0243-0,0373 mg/kg. perbedaan akumulasi ini dimungkinkan karena adanya perbedaan fungsi dari kedua bagian lamun tersebut, yakni bagian rhizome dan daun. rhizoma dari e. acoroides tertanam di dalam subtrat, mempunyai akar yang kuat dan diselimuti oleh benang-benang hitam yang kaku (dahuri, 2003). secara morfologi akar lamun berfungsi sebagai penyerap nutrient dari subtrat yang ditempati, kemudian nutrient dan logam-logam yang terserap melalui akar tersebut akan ditranslokasikan menuju ke rhizoma dan daun sebagai cadangan makanan. hasil penelitian ahmad dkk. (2014) tentang akumulasi lamun terhadap pb dan hg di perairan johor malaysia, menunjukkan bahwa diantara jenis-jenis lamun yang menyerap logam pb dan hg, enhalus acoroides merupakan penyerap hg tertinggi dari semua jenis lamun yang diteliti terutama pada bagian rhizomanya yang mengakumulasi lebih besar dibandingkan dengan daun dan akar. jika melihat hasil analisis kandungan merkuri pada sedimen dan air dari semua stasiun penelitian, merkuri di sedimen menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan merkuri di air, hal ini memberikan gambaran bahwa proses akumulasi logam berat oleh enhalus acoroides sangat aktif pada bagian akar dan rhizoma. proses penyerapan langsung nutrient oleh daun dari air pada saat proses fotosintesis berlangsung juga mempengaruhi keberadaan merkuri pada lamun, namun tidak sebesar pada rhizoma. pengujian kadar air menunjukkan bahwa daun e. acoroides memiliki kadar air sebesar 71,14%, sementara pada rhizoma sebesar 82,52%. adapun pengujian kadar abu pada daun menunjukkan hasil sebesar 85,35% sementara pada rhizome sebesar 84,60%. bioakumulasi dam biokonsentrasi merkuri pada lamun enhalus acoroides bioakumulasi adalah masuknya bahan pencemar oleh makhluk hidup dari suatu lingkungan melalui suatu mekanisme atau lintasan. proses bioakumulasi dapat dilihat sebagai suatu keseimbangan antara dua proses kinetika, pengambilan dan pelepasan (connel dan miller, 2006). bioakumulasi logam berat bersama dengan nutrient pada lamun enhalus acoroides tidak hanya terjadi di akar namun juga terjadi di daun meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit daripada di akar, sehingga dapat diketahui bahwa konsentrasi logam berat yang terdapat di daun tidak hanya berasal dari mobilitas akar namun juga proses penyerapan oleh daun itu sendiri (sugiyanto, 2016). ivanciuc dkk. (2006) menyatakan bahwa bioakumulasi bahan kimia dalam suatu perairan merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi ekologi dan tingkat pencemaran suatu lingkungan. untuk mengukur kemampuan enhalus acoroides dalam mengakumulasi merkuri, maka perlu diketahui terlebih dahulu nilai biokonsentrasi faktor pada enhalus acoroides. connel dan miller (2006) menyatakan bahwa biokonsentrasi adalah masuknya bahan pencemar secara langsung dari air oleh makhluk hidup melalui jaringan. biokonsentrasi faktor merupakan kecenderungan suatu bahan kimia yang diserap oleh organisme akuatik. lagrega dkk. (2001) menyatakan bahwa biokonsentrasi faktor merupakan rasio antara konsentrasi bahan kimia dalam organisme akuatik dengan konsentrasi bahan kimia di dalam air. namun, untuk menghitung biokonsentrasi faktor enhalus acoroides terhadap logam berat, dibandingkan antara konsentrasi logam berat dalam organisme akuatik dengan konsentrasi bahan kimia di dalam sedimen. analisa bcf dilakukan untuk mengetahui 0,0373 0,0243 0,0453 0,0663 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 stasiun 7 stasiun 9 k o n se n tr a si m e rk u ri (m g /k g ) daun enhalus acoroides rizhoma enhalus acoroides fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 165 tingkat akumulasi logam berat pada rhizoma dan daun enhalus acoroides mengikuti rumus perhitungan bcf yang digunakan oleh baker (1981). hasil perhitungan nilai bcf (tabel 3) dari enhalus acoroides menunjukkan nilai bcf rhizoma enhalus acoroides sebesar 0,412 pada stasiun 7 dan 0,99 pada stasiun 9. sementara nilai bcf daun enhalus acoroisdes sebesar 0,339 pada stasiun 7 dan 0,363 pada stasiun 9. tabel 3. nilai bcf dari enhalus acoroides stasiun penelitian [hg] di sedimen (mg/kg) [hg] di rhizoma (mg/kg) [hg] di daun (mg/kg) bcf (corg/csed) rhizoma daun st.7 0,110 0,045 0,037 0,412 0,339 st.9 0,067 0,066 0,024 0,99 0,363 berdasarkan tabel 6 apabila dikategorikan menurut baker (1981), enhalus acorides termasuk ke dalam tanaman bioindikator terhadap logam berat hg dengan nilai bcf<1 dan mendekati 1. pada penelitian sugiyanto (2016) tentang akumulasi enhalus acoroides terhadap logam berat pb dan cd, ditemukan bahwa nilai bcf pada akar dan daun lamun >1 dan dikategorikan sebagai akumulator pb dan cd, namun dalam penelitian ini nilai bcf pada akar dan daun lamun terhadap logam berat merkuri <1 dan mendekati 1, sehingga dikategorikan sebagai exluder. perbedaan nilai bcf ini diduga akibat perbedaan konsentrasi jenis logam berat pada lokasi perairan yang diteliti, dimana pada penelitian sugiyanto (2016) logam berat pada air mencapai kisaran 0,03520,2759 ppm, jauh lebih tinggi dibandingkan konsentrasi logam berat merkuri di perairan teluk kayeli yaitu berkisar antara 0,0002-0,004 ppm. hal ini sesuai dengan pernyataan lu (1995) bahwa tingginya logam berat di suatu perairan dapat menyebabkan kontaminasi, akumulasi, bahkan pencemaran terhadap lingkungan seperti tumbuhan, biota, sedimen dan sebagainya. kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa logam berat merkuri telah terdistribusi pada sedimen perairan sepanjang teluk kayeli. biokosenstrasi (akumulasi) merkuri ditemukan pada lamun enhalus acoroides, yaitu pada daun (0,0243-0,0373 mg/kg). dan pada rhizoma (0,0453-0,0663 mg/kg). hal ini menunjukkan bahwa ekosistem perairan teluk kayeli telah tercemar merkuri. daftar pustaka ahmad, f., azman, s., said, m, i, m., baloo, l., sabri, s. and salmiati., 2014. metals in tropical seagress-accumulation of mercury and lead. world appl. sci. j., 32 (8), 1468-1473, australian and new zealand environment and conservation council (anzecc) and agriculture and resource management council of australia and new zealand (armcanz). 2000. australian and new zealand guidelines for fresh and marine water quality. volume 1, australian and new zealand environment and conservation council. canberra. baker, a, j., 1981. accumulators and excludersstrategies in the response of plants to heavy metals, j. plant nutr., 3 (1–4), 643–654. campbell, p., 2002. predicting metal bioavailability – applicability of the biotic ligand model; ciesm workshop monographs metal and radionuclides bioaccumulation in marine organisms; ciesm, monaco connel, d.w. and miller, g.j. 2006. kimia dan ekotoksikologi (penerjemah). universitas indonesia press. jakarta. dahuri. r., 2003. keanekaragaman hayati laut asset pembangunan berkelanjutan. pt gramedia pustaka utama, jakarta. effendi, h., 2003. telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perariran. kanisius, yogyakarta. fisher, n., 2003. advantage and problems in the apllication of radiotracer for determining the bioaccumulation of contaminant in aquatic organism, rcm on biomonitoring, iaea, monaco. irsan, 2015. analisis konsentrasi logam berat merkuri (hg) pada air, sedimen, dan kerang polymesoda erosa di muara sungai waelata dan sungai anahoni kabupaten buru, thesis, program studi ilmu kelautan program pascasarjana universitas pattimura, ambon. ivanciuc, t., ovidiu i., and douglas, j.k,. 2006. modelling the bioconcentration factor and bioaccumulation factor of polychlorinated biphenyls with posetic quantitative super structure/activity relationship (qssar), molecular diversity, 10, 133 – 145. kehrig, h. do a., t.g. seixas, e.a. palermo, a.p. baeta, ch.w. castelo-branco, o. malm and i. moreira, 2009, the relationship between mercury and selenium in plankton and fish from a tropical food web, environ. sci. pollut. res., 16, 10-24. fahrul r. fakaubun dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 159-166, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-frf 166 kohler, k., and riisgård, h.u., 1982. formation of metallothionein in relation to accumulation of cadmium in the common mussel mytilus edulis, mar. biol., 66, 53-58. lagrega, m.d., phillip l. buckingham, jeffry c. evans and environmental resources management (firm), 2001. hazardous waste management. second edition. mcgraw hill international edition. new york. langston, w. j., zhou, m., 1987. cadmium accumulation, distribution and metabolism in the gastropod littorina littorea: the role of metal-binding proteins, j. mar. biol. assoc. u.k., 67, 585-601. lasut, m.t. and y. yasuda, 2008. accumulation of mercury in marine biota of buyat bay, north sulawesi, indonesia, coastal mar. sci., 32(1), 33-38. lu. f. c. 1995. toksikologi dasar: asas organ sasaran, dan penilaian resiko, terjemahan dari basic toxycology: fundamentals, target organ, and risk assesment, oleh nugroho, e. bustami, z. s dan darmansyah, i. universitas indonesia press, jakarta. male, y. t., sunarti dan nunumete, n., 2014. analisis kandungan timbal (pb) dan kromium (cr) pada akar lamun (enhalus acoroides) di perairan desa waai dan tulehu kabupaten maluku tengah, ind. j. chem. res., 1(2), 66-77. male, y. t., reichet-brushet, a. j., poccok, m. and nanlohy, a., 2013. recent mercury contamination from artisan gold mining on buru island, indonesia-potential future risks to environmental health and food safety, j. marine pollution bull., 77; 428-433. noël-lambot, f. and j.m. bouquegneau, 1977. comparative study of toxicity, uptake and distribution of cadmium and mercury in the seawater adapted eel anguilla anguilla, bull. environ. contam. toxicol., 18(4), 418424. noël-lambot, f., ch. gerday and a. disteche, 1978. distribution of cd, zn and cu in liver and gills of the eel anguilla anguilla with special reference to metallothioneins, comp. biochem. physiol., 61c, 177-187. noël-lambot, f., j.m. bouquegneau, f. frankenne, and a. disteche, 1980. cadmium, zinc and copper accumulation in limpets (patella vulgata) from the bristol channel with special reference to metallothioneins, mar. ecol.prog. ser., 2, 81-89. nontji, a., 1987. laut nusantara. djambatan. jakarta. pentury, r. dan waas, h. j. d., 2009. penentuan konsentrasi klorofil-a perairan teluk kayeli pulau buru menggunakan metode inderaja, j. triton, 5(2), 60 – 66. retno., 1996. menggukur kadar logam berat pb, cd, zn pada perairan pantai jepara dengan menganalisis lamun berdasarkan bagian daun, batang, dan akar lamun prosiding seminar hasil penelitian ilmu kelautan. pusat penelitian dan pengembangan oseanologi lipi no.27. jakarta. sahetapy, s. dan lewerissa, y. a., 2006. analisis logam berat pb, cd, cr diperairan pantai teluk ambon bagian dalam. lembaga penelitian unpatti kumpulan abstrak, ambon salatutin, f. m., 2015. analisis konsentrasi logam berat merkuri (hg) pada sedimen sungai wamsait, waeapo, dan marloso di pulau buru, skripsi, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, jurusan kimia, universitas pattimura. sugiyanto, r, a, n. dan kasitowati, r, d., 2016. analisis akumulasi logam berat timbal (pb) dan kadmuim (cd) pada lamun enhalus acoroides sebagai agen fitoremediasi di pantai paciran, lamongan, prosiding seminar nasional perikanan dan kelautan vi, fakultas perikanan dan kelautan, universitas brawijaya malang. wardoyo, s.t., 1975. kriteria air untuk keperluan pertanian dan perikanan, departemen tata produksi perikanan. fakultas pertanian. ipb. bogor. zhang, z.s., d. m. zheng, q. c. wang and x. g. lv, 2009. bioaccumulation of total and methyl mercury in three eaerthworm species (drawida sp., allolobophora sp., and limnodrilus sp.), bull. environ. contam. toxicol., 83, 937-942. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 14-18, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 14 the interaction mechanism of papaya seeds (carica papaya l.) as a natural coagulant and remazol red under different ph conditions vina melinda inka dewi, maya rahmayanti* chemistry department, faculty of science and technology, uin sunan kalijaga yogyakarta, papringan, caturtunggal, depok, sleman, yogyakarta 55281, indonesia *corresponding author: maya.rahmayanti@uin-suka.ac.id received: february 2022 received in revised: march 2022 accepted: may 2022 available online: may 2022 abstract batik wastewater contains a high concentration of dye that comes from the batik dyeing process. in this study, papaya seeds were applied as a natural coagulant to reduce the concentration of remazol red in batik wastewater. dried papaya seeds were characterized using fourier transform infrared spectroscopy (ftir). the coagulation method used the batch method in the ph range of 1-6. the ftir spectra showed that the papaya seeds contained compounds with -nh2 and -cooh functional groups. the results of coagulation showed that the ph of batik wastewater had an effect on the ability of papaya seeds to reduce the concentration of remazol red. the optimum ph condition was obtained at ph 2 with a decrease in the concentration of remazol red by 96.1%. the interaction that occurs between the coagulant of papaya seeds and the remazol red of batik wastewater is through electrostatic interactions. keywords: coagulation, papaya seeds, remazol red, batik wastewater, interaction mechanism introduction remazol red is the most widely used dye in the batik industry. remazol red is an anionic dye. this dye has high stability so it is difficult to degrade naturally (safitri & rahmayanti, (2020); maya rahmayanti, nurhikmah, & larasati, (2021). batik wastewater containing remazol red dye if discharged into the environment can last a long time and accumulate to a certain concentration level and cause negative impacts on the environment (pembayun & rahmayanti, 2020); (pambudi, prayogo, nadjib, & ediati, (2021); tanasale, sutapa, & topurtawy, (2014); bijang, nurdin, latupeirissa, aziz, & talapessy, (2022). one of the effective methods to reduce organic compounds is the coagulation method. the coagulation method has advantages, namely the process is simple, the cost is relatively cheaper and is able to absorb organic pollutants such as dyes (m rahmayanti, 2021). coagulation method is colloid stabilization with the addition of coagulant. coagulant has a charge opposite to the charge of the colloidal particles causing an attractive force. finally, the colloidal particles will bond and agglomerate (pembayun & rahmayanti, 2020). the coagulant commonly used for waste treatment is alum. the use of alum is very effective in purifying water, but recently the use of alum is known to contain aluminum residues that are harmful to health. according to jeyakumar, 2014 the use of synthetic coagulants has disadvantages, namely expensive processing costs, non-biodegradable and can cause serious health impacts such as alzheimer's disease. therefore, natural coagulants were chosen to reduce processing costs and minimize negative impacts on the environment and human health. papaya seeds can be used as a natural coagulant because of their protein content. the advantages of using papaya seeds as a natural coagulant are biodegradable, economical, and can reduce agricultural waste. the utilization of papaya seeds has not been widely developed as a dye coagulant (tafera & demissie, 2017). this study used natural coagulant of papaya seeds to reduce the concentration of remazol red in batik wastewater. the protein content in papaya seeds has an active group such as an amine (-nh2) will undergo protonation to –nh3 + at acidic ph and act as a cationic polyelectrolyte (kristianto, kurniawan, & soetedjo, 2018); (hendrawati, syamsumarsih, & nurhasni, 2013). charges of opposite and mutually neutralizing particles can be used to reduce the remazol red dye. optimization of ph was carried out to obtain the optimum coagulation ph in reducing the concentration of remazol red in batik wastewater. mailto:maya.rahmayanti@uin-suka.ac.id vina m. i. dewi and maya rahmayanti indo. j. chem. res., 10(1), 14-18, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 15 methodology materials and instrumentals the tools used in this research were a set of glassware, sungu spoon, magnetic stirer, filter paper, whattman 42 filter paper, ph meter, analytical balance, hot plate, vacuum pump, uv-vis spectrophotometer (1800 double beam shimadzu) and ftir spectrophotometer (ir, shimadzu prestige-21). the materials used in this study were papaya seeds, remazol red, batik wastewater, sodium acetate trihydrate (ch3coona.3h2o), and glacial acetic acid (ch3cooh). the ph adjustment was carried out using a buffer solution. methods preparation of papaya seeds as a natural coagulant papaya seeds were dried in the sun for 5 days. the dried papaya seeds were crushed and stored in a clean and dry container. papaya seeds characterization was carried out using an ftir spectrophotometer (ir, shimadzu prestige-21). preparation of remazol red mother liquor the remazol red mother liquor was prepared by dissolving 1 g of remazol red in 1000 ml of distilled water. the mother liquor was diluted into 10, 15, 20, 25, dan 30 ppm then used as standart solution. determination of the remazol red standart curve the absorbance of remazol red standard solution with various concentrations of 10, 15, 20, 25, and 30 ppm was determined using a uv-vis spectrophotometer. the linier equation of the standar curve was obtain by graphing the concentration versus absorbance. coagulation of remazol red in batik wastewater using papaya seeds papaya seeds as much as 0.0260 mg were put into 25 ml batik wastewater with variations in ph 1, 2, 3, 4, 5, and 6. the mixture was stirred using a magnetic stirrer. stirring was carried out in two stages, namely fast stirring at 950 rpm for 5 min, and slow stirring at 125 rpm for 30 min. furthermore, the concentration of remazol red in batik wastewater was analyzed using a uv-vis spectrophotometer. results and discussion characterization of papaya seed natural coagulants ftir spectrophotometer was used to determine the functional groups contained in papaya seeds. characterization of the functional groups of papaya seeds was carried out on papaya seed powder before and after the coagulation process. the ftir spectra of the results of this study were presented in figure 1. figure 1 showed the absorption peaks that appeared in the papaya seed samples before coagulation (a), remazol red (b) and papaya seeds after coagulation (c). the figure 1(a) and 1(c) showed absorption in the wavenumber area of 1635.54 cm-1 for the -c=o stretching vibration of -cooh and the stretching vibration of the -oh and -nh groups at the wavenumber of 3425.58 cm-1. the presence of -c-h absorption was indicated by the appearance of absorption at a wavenumber of 2924.09 cm-1 and c-o vibrations at a peak of 1219.01 cm-1. this study is in line with kristianto et al., (2018) which characterized the functional groups of papaya seeds using ftir with an absorption at a wavenumber of 3438.8 cm-1 for the stretching vibrations of -oh and -nh and an absorption at a wave number of 2925.8 cm-1 for the -ch group. according to prihatinningtyas, (2013), the carboxyl, hydroxyl and amide groups in the polymer are the active components in the coagulant. the presence of remazol red functional groups (1.b) was indicated by the appearance of specific absorption of -cn at 1211.30 cm-1, absorption of the -n=ngroup at wavenumber 1558.48 cm-1, absorption of sulfite group at wavenumber of 1404.18 cm-1 and the absorption of the -s=o group at a wavenumber of 1126.43 cm-1. the presence of the aromatic -c=c group was indicated by the appearance of absorption at a wavenumber of 1504.48 cm-1, a stretching vibration of c-oh at an absorption of 3448.72 cm-1 and aliphatic ether absorption at a wavenumber of 1049,28 cm-1. the uptake of remazol red from this study was in accordance with the results of the study of waghmode, kurade, kabra, & govindwar, (2012) which showed specific absorption for the sulfonic acid group at 1209.41 cm-1, the sulfite group at wavenumber 1397.96 cm-1, stretching vibration -n=n at wavenumber 1679.19 cm-1, stretching vibration -ch at a wavenumber of 2889.94 cm-1 and the stretching vibration of aromatic -c-oh at a wavenumber of 3479.70 cm-1. based on figure 1, there is no difference in the amount of absorption that appears between the ftir spectra of papaya seeds before and after coagulation. however, there are some absorption shifts. the shift that occurs is in the -oh and -nh groups, the absorption shifts from wavenumber 3425.58 cm-1 to 3425.50 cm-1. in addition, a shift occurs in the absorption of c-o vibrations, before coagulation the absorption appears at a wave number of 1219.01 cm-1, after coagulation it becomes 1256.30 cm-1. the shift in wavenumber in the vina m. i. dewi and maya rahmayanti indo. j. chem. res., 10(1), 14-18, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 16 papaya seed spectra of interactions that occur between papaya seeds and remazol red is not through chemical bonds. natural protein coagulants work in two ways, namely charge neutralization and particle bridging through the interaction of van der waals forces or through electrostatic interactions (hendrawati et al., 2013). figure 1. ftir spectra of (a) papaya seeds before coagulation (b) remazol red and (c) papaya seeds after coagulation coagulation of remazol red in batik wastewater using papaya seeds coagulation of remazol red in batik wastewater using papaya seed as a coagulation was carried out at a ph range of 1-6 to determine the optimum ph conditions of coagulation. based on this study, variations in the ph of batik wastewater have an effect on the percent reduction in the concentration of remazol red. rapid stirring (950 rpm) was carried out in this study to ensure that the papaya seed coagulant was evenly distributed in the batik wastewater, so that microflocs were formed. slow stirring (125 rpm) was carried out so that the small particles (microflocs) became larger clumps (macroflocs) and the formed flocs were stable. the graph of the relationship between ph and % decrease in remazol red using natural coagulants of papaya seeds is presented in figure 4. figure 4 shows the reduction percentage of remazol red concentration in the ph range of 2-5 going well, namely 96.1%, 94.3%, 91, 7%, and 89.03%, respectively. meanwhile at ph 1, the reduction percentage of remazol red concentration was lower at 79.1% and at ph 6 there was no decrease in the concentration of remazol red. this can be explained as follows: papaya seeds have the main content of protein which is composed of amino acids. amino acids have groups which in acidic conditions will experience protonation so that they will be positively charged -nh3 + and -cooh2 + while in alkaline conditions they will be deprotonated to -nh and coo(el boraei & ibrahim, 2019); hendrawati et al., (2013). this is causes in the ph range of 2-5 papaya seeds can reduce the concentration of remazol red better, because at this ph the -nh2 and -cooh groups are protonated to -nh3 + and -cooh2 + and interact with the -so3 group of remazol red through electrostatic interactions. furthermore, the higher of ph, the -nh2 and -cooh groups were deprotonated to -nhand cooand made it difficult to interact with the -so3 remazol red group through electrostatic interactions causes the reduction percentage of remazol red concentration to decrease. figure 4. the relationship between ph of batik wastewater with the reduction percentage of remazol red concentration at ph 6, the reduction percentage of remazol red concentration = 0%, because at this ph the -nh2 and -cooh groups have been completely deprotonated to -nhand cooso there is not electrostatic interaction with remazol red. at ph 1, the reduction percentage of remazol red concentration was lower than at ph 2-5 even though it was more acidic, this was because at ph 1, the -nh2 and -cooh groups were not fully protonated. in this study, the optimum ph of remazol red coagulation in batik wastewater using papaya seed coagulation occurs at ph 2. at this ph, the -nh2 and cooh groups were fully protonated so that the interaction between remazol red and the coagulant was optimal. study of the interaction mechanism between papaya seeds (carica papaya l.) with remazol red in batik wastewater under different ph conditions the natural coagulants of papaya seeds work in two ways, namely charge neutralization and particle bridging through the electrostatic interaction. figure 5 vina m. i. dewi and maya rahmayanti indo. j. chem. res., 10(1), 14-18, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 17 presents an illustration of the interaction that occurs between the coagulant of papaya seeds and the sulfonate group of remazol red. the process of coagulation of remazol red dye occurs due to colloid destabilization. figure 5. illustration of coagulant interaction with remazol red in batik wastewater the colloid destabilization process begins with (a) the presence of a different electric charge between the sulfonate group (so3 -) of remazol red and a positive charge (nh3 +) of papaya seeds (b) there is an electrostatic attraction between the amino acid protein of papaya seeds which is positively charged (nh3 +) with the sulfonate group of remazol red dye (so3 -) (farooq & velioglu, 1989) (c) a charge neutralization process occurs followed by a particle bridging process (d) the merging of microflocs into larger clumps of macroflocs (fitriani, 2016). table 1. the application of natural coagulants for water to reduce the concentration of remazol red in batik wastewater natural coagulant dye in batik wastewater optimum ph the reduction percentage (%) chitosan [1] rhemazol red 2 100 tamarind seeds [3] rhemazol red 3 68.26 this research rhemazol red 2 96.1 protein have long chains on one side of the adsorption on colloidal particles while the other side of the protein extends into the solution. this extended side provides the possibility to bond with other colloids to form bridges with other particles, thus forming larger flocs (viessman & hammer, 1985). conclusion papaya seeds have been successfully applied as a natural coagulant to reduce the concentration of remazol red in batik wastewater. the ph of batik liquid waste affects the reduction percentage of remazol red concentration. the optimum ph condition of the coagulation process occurred at ph 2 with a % decrease in remazol red concentration of 96.1%. the higher of ph, the -nh2 and -cooh groups were deprotonated to -nhand cooand made it difficult to interact with the -so3 remazol red group through electrostatic interactions causes the reduction percentage of remazol red concentration to decrease. acknowledgment the author would like to thank the chemical laboratory of uin sunan kalijaga for the services and facilities provided. the authors also thank the batik craftsmen of the kulon progo yogyakarta area for their cooperation. references bijang, c. m., nurdin, m., latupeirissa, j., aziz, t., & talapessy, f. (2022). the ouw natural clay impregnation using titanium dioxide and its application as a rhodamine b dye stuff degrader. indonesian journal of chemical research, 9(3), 144–149. el boraei, n. f., & ibrahim, m. a. m. (2019). black binary nickel cobalt oxide nano-powder prepared by cathodic electrodeposition; characterization and its efficient application on removing the remazol red textile dye from aqueous solution. materials chemistry and physics, 238, 1–15. farooq, s., & velioglu, s. g. (1989). physico-chemical treatment of domestic technology. houston: gulf publishing company book division. fitriani, a. e. (2016). penurunan konsentrasi methyl orange dengan variasi dosis koagulan ekstrak nacl-biji asam jawa serta ph larutan dan konsentrasi methyl orange. universitas islam negeri maula malik ibrahim, malang. hendrawati, h., syamsumarsih, d., & nurhasni, n. (2013). penggunaan biji asam jawa (tamarindus indica l.) dan biji kecipir (psophocarpus tetragonolobus l.) sebagai koagulan alami dalam perbaikan kualitas air tanah. jurnal kimia valensi, 3(1), 22–33. jeyakumar, p. (2014). purification of pond water by natural seeds and dye water by synthetic vina m. i. dewi and maya rahmayanti indo. j. chem. res., 10(1), 14-18, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 18 coagulant. journal of chemical and pharmaceutical sciences, 4 (2), 50-51. kristianto, h., kurniawan, m. a., & soetedjo, j. n. m. (2018). utilization of papaya seeds as natural coagulant for synthetic textile coloring agent wastewater treatment. international journal on advanced science, engineering and information technology, 8(5), 2071–2077. pambudi, m. a. r., prayogo, n., nadjib, m., & ediati, r. (2021). study of uio-66 and uio-66 modulated with acetic acid as the adsorbent for eriochrome black t dye. indo. j chem. res., 8(3), 183–193. pembayun, s. w. r., & rahmayanti, m. (2020). efektivitas biji asam jawa sebagai koagulan alami dalam menurunkan konsentrasi zat warna remazol red dan nilai cod. jurnal sains dan teknologi, 9(2), 162–169. prihatinningtyas, e. (2013). aplikasi koagulan alami dari tepung jagung dalam pengolahan air bersih. jurnal teknosains, 2(2), 71–158. rahmayanti, m. (2021). pengelolaan limbah: defenisi limbah, klasifikasi dan tahapan pengelolaanya. yogyakarta: graha ilmu. rahmayanti, maya, nurhikmah, i., & larasati, f. (2021). isolation, characterization and application of humin from sumatran peat soils as adsorbent for naphtol blue black and indigosol blue dyes. molekul, 16(1), 67–74. safitri, r. a., & rahmayanti, m. (2020). characterization and application of chitosan as a natural coagulant in reducing remazol red dyestuff concentration and cod value of batik liquid waste. jurnal kimia sains dan aplikasi, 23(9), 333–337. tafera, t., & demissie, a. g. (2017). the use moringa oleifera, carica papayaand aloe debrana plant extract as alternative natural material for water purification. international journal of innovative pharmaceutical sciences and research, 5(6), 34– 36. tanasale, m. f. j. d. p., sutapa, i. w., & topurtawy, r. r. (2014). adsorption of rhodamine b dye by active carbon from durrian shell (durio zibethinus). indonesian journal of chemical research, 2(1), 116–121. viessman, w., & hammer, m. j. (1985). water supply and pollution control (fourth). new york: harper and row publisher. waghmode, t. r., kurade, m. b., kabra, a. n., & govindwar, s. p. (2012). degradation of remazol red dye by galactomyces geotrichum mtcc 1360 leading to increased iron uptake in sorghum vulgare and phaseolus mungo from soil. biotechnology and bioprocess engineering, 17(1), 117–126. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 47-52, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 47 biosurfactant production from pseudomonas aeruginosa atcc27853 with carbon source from crude palm oil for oil recovery said zul amraini1*, sri rezeki muria1, bahruddin1, irdoni hs1, ulfa dwi artha1, reno susanto2 1chemical engineering, faculty of engineering, university of riau, bina widya km 12,5, pekanbaru, indonesia 2chemical engineering, faculty of industrial engineering, bandung institute of technology, bandung, indonesia *corresponding author: saidzulamraini@eng.unri.ac.id received: november 2022 received in revised: december 2022 accepted: may 2022 available online: may 2022 abstract biosurfactants are surfactants that are synthesized by microorganisms using organic materials and have biodegradable properties, making them environmentally friendly. one of the applications of biosurfactants in the recovery of petroleum. this study aims to determine the type of biosurfactant produced by pseudomonas aeruginosa bacteria using crude palm oil as the main carbon source, to determine the effect of variations in ph and cpo concentration on surface tension reduction and emulsification, and compare the best biosurfactant with surfactant synthesis. the production of biosurfactants has 3 stages, namely the bacterial preparation, the biosurfactant production, and the analysis in the form of surface tension, emulsification, crude oil removal, and ftir. the best biosurfactant was obtained at ph 7 and a carbon source concentration of 3% v/v with surface tension and emulsification values of 42.49 mn/m and 58%, respectively. the ph value and cpo concentration can affect the growth in the biosurfactant production process, thus also affecting the surface tension and emulsification values. the biosurfactants obtained were rhamnolipid biosurfactants. the biosurfactants produced in this study have lower crude oil recovery capabilities than synthetic surfactants with crude oil removal values of 57.78% and 79.34%, respectively. keywords: biosurfactant, cpo, ph, pseudomonas aeruginosa, ftir. introduction the need for fuel is increasing as the population increases and technology develops (rezki et al., 2017). in recent years, oil production in indonesia has decreased (sutapa et al., 2013; bandjar et al., 2014). oil production in indonesia from 2016 to 2018 decreased by 4%. in 2016, 2017, and 2018, oil production was 875 thousand, 837 thousand, and 808 thousand barrels/year, respectively. one of the reasons is the condition of the oil field which is old. as much as 72% of crude oil production comes from old fields that have been producing for more than 30 years, thus experiencing a decline in field production of 29% per year (habibullah, 2018). enhanced oil recovery (eor) technology is one of the technologies that can increase petroleum recovery by injecting a material into the reservoir (gozan et al., 2014). one of the eor techniques that can increase oil production by 30% from the reservoir that has been extracted from the oil is the surfactant injection technique (surfactant flooding) (gudina et al., 2012). in general, the surfactants used in eor technology are surfactants synthesized from petroleum such as petroleum sulfonate. however, the use of synthetic surfactants is not environmentally friendly because it contains petrochemicals (ginting et al., 2017; nugroho & buchori, 2019). currently, the development of eor technology is being carried out towards more environmentally friendly biotechnology or known as microbial enhanced oil recovery (meor) technology. meor technology is a technology that is carried out by injecting a bioproduct in the form of a biosurfactant. the manufacture of biosurfactants focuses more on the use of raw materials and microbes to be used. the raw materials used are usually vegetable and animal oils which are cheaper and environmentally friendly (kandasamy et al., 2019). several previous studies have been conducted on the production of biosurfactants using pseudomonas aeruginosa atcc 9027 and varying temperatures of 37 oc and 55 oc and ph 5, 6, 7, and 8. the optimum conditions for reducing surface tension and interfacial tension were at ph 8 and 37 oc with a surface tension value of 71 mn/ m to 34 mn/m and the interfacial tension from 41 mn/m to 8 mn/m (kanna, 2017). the production of biosurfactants using the bacteria said zul amraini et al. indo. j. chem. res., 10(1), 47-52, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 48 pseudomonas putida mtcc 2467 and crude palm oil as a carbon source obtained consists of two types of purity levels, namely low purity (raw) and high purity (pure). the efficiency of pure biosurfactant, crude biosurfactant, sds, and tween-80 at the same concentration was 79.40%; 46.84%; 64.10%; and 36.91% (kanna, 2018). this study used the bacteria pseudomonas aeruginosa and crude palm oil (cpo) or better known as crude palm oil as a carbon source by varying the concentration of the carbon source and the ph of the fermentation medium. the use of crude palm oil (cpo) as a carbon source is due to the production of cpo in riau province in 2006 as many as 7.43 million tons or about 23.58 percent of indonesia's total production (habibullah, 2018). palm oil can be chosen as a raw material for biosurfactant production because of its fatty acid components, which make up triglycerides. fatty acids with c16-c18 carbon chains can be applied because they have detergency properties and are able to play a good role in hard water, while fatty acids with c12-c14 carbon chains have a role in the foaming effect (yuliasari et al, 2014). the use of pseudomonas aeruginosa bacteria are bacteria that have the ability to synthesize several compounds by biotransformation and degrade various types of hydrocarbons (rengga et al., 2018). this study aims to determine the type of biosurfactant produced by the bacterium pseudomonas aeruginosa using crude palm oil as the main carbon source, to determine the effect of variations in ph and cpo concentration on the reduction of surface tension and emulsification, and to compare the best biosurfactant with synthetic surfactant sds in recovering petroleum. methodology materials and instrumentals the raw materials used in this study were pseudomonas aeruginosa atcc 27853 bacteria, nutrient agar, and nutrient broth from the microbial laboratory, university of north sumatra, crude palm oil (smart tbk), distilled water (brataco). methods bacterial preparation this bacterial preparation process consists of bacterial rejuvenation and bacterial cultivation. the bacterial rejuvenation process was carried out in a petri dish containing an agar plate. the agar plate media was made by dissolving 0.28 g of na into 10 ml of distilled water. the solution is to be stirred continuously while heated until it boils. next, the agar solution was transferred into sterile petri dishes and autoclaved at 121 °c for 15 minutes, then cooled to become gelatinous. a pure culture of p. aeruginosa atcc 2785 was taken as much as 1 ose needle and inoculated on the agar plate aseptically, then incubated for 24 hours at 37 °c. after completion of the bacterial rejuvenation process, the next process is the cultivation process which is carried out in a 250 ml erlenmeyer containing liquid media. liquid media was prepared by dissolving 1.3 gr of nb into 100 ml of distilled water. the solution was stirred until homogeneous and autoclaved at 121 °c for 15 minutes. bacteria that have been rejuvenated are taken as many as 2 to 3 ose needles and inoculated on liquid media aseptically, then incubated in a shaker incubator at a speed of 120 rpm, for 24 hours at 37 °c (nurani & marsudi, 2013; gozan et al., 2014)) biosurfactant production the biosurfactant production process used a batch fermentation method in a fermenter with a capacity of 250 ml. the fermentation process was carried out by combining 100 ml of active bacterial culture and concentrations of crude palm oil (1, 3, and 5% v/v). fermentation was carried out for 72 hours (3 days) and was shaken in an incubator shaker at 120 rpm at 37 °c. for 72 hours, the ph of the growth medium was kept constant from 6, 7, and 8. after the fermentation was complete, the biomass was separated by centrifugation at 3300 rpm for 30 minutes and filtered using filter paper. the solids that remain on the filter paper in the form of biomass are discarded, while the liquid that is filtered on the filter paper is a biosurfactant (kanna, 2017; gozan et al., 2014). analytical measurement surface tension analysis is one of the test parameters for the ability of biosurfactants to reduce surface tension. this analysis was carried out using a tensiometer. emulsification is one of the test parameters for the ability of biosurfactants to emulsify the oil. this analysis starts by mixing cooking oil, water, and biosurfactant with as much as 5 ml each in a test tube. the mixture was stirred with the highest speed vortex for 5 minutes. the mixture was allowed to stand for 24 hours and measure the height of the emulsion layer and the total height of the solution. calculation of % emulsification (ie24) can use the following equation 1. said zul amraini et al. indo. j. chem. res., 10(1), 47-52, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 49 ie24 = high emulsion layer total height of solution × 100% (1) crude oil removal analysis was carried out to see the efficiency of biosurfactants in eor technology. this analysis starts with sand sieving with a sieve size of 50 mesh. after that, 40 grams of sand was put into a 250 ml erlenmeyer and 10 ml of kerosene was added. the mixture of sand and kerosene is allowed to stand for ± 7 days. after 7 days, sand and kerosene were weighed as initial weight (oi). next, add 10 ml of biosurfactant into a 250 ml erlenmeyer containing a mixture of sand and kerosene. the mixture of sand, kerosene, and biosurfactant was stirred with a rotary shaker with a rotation speed of 200 rpm for 20 minutes and allowed to stand for 24 hours. after settling, the mixture was washed with dichloromethane twice and heated at 50 oc, and weighed as the final weight (or) (costa et al.,2010). calculation of % crude oil removal can use the following equation 2. % crude oil removal = 𝑂𝑖−𝑂𝑟 𝑂𝑖 × 100% (2) where: oi = weight of sand and kerosene (gr). or = weight of sand after washing with dichloromethane (gr). ft-ir analysis was also carried out for biosurfactants which aim to determine the functional groups of the biosurfactants produced. results and discussion surface tension and emulsification the analysis of surface tension and emulsification aims to determine the best biosurfactant with the lowest surface tension value and the highest emulsification percentage value. the surface tension analysis used distilled water as a positive control and the emulsification analysis used a mixture of water and cooking oil. figure 1 and figure 2 show the effect of increasing ph and concentration of carbon source on the surface tension and emulsification of a biosurfactant. the biosurfactant obtained at ph 7 and the carbon source concentration of 3% v/v had the lowest surface tension value of 42.49 mn/m and the highest emulsification value of 58%. the surface tension value of distilled water as positive control is 73.05 mn/m (ikhwan, 2017) based on the calculation, the decrease in surface tension of biosurfactants at ph 7 treatment and carbon source concentration of 3% v/v was 30.6 mn/m. ph and concentration of cpo can affect the growth of bacteria in the biosurfactant production process so it also affects the surface tension and emulsification. the low acidity (ph) of the growth media will result in bacteria not being able to efficiently produce biosurfactants and the ph of the media will always increase during the bacterial growth period (saikia et al, 2012). in addition, the optimum ph for the growth of pseudomonas aeruginosa bacteria is 6.6 to 7.0 (badal, 2018). the concentration of cpo is a nutrient source of bacterial carbon where excess nutrients can lead to the accumulation of toxic materials and the limited availability of dissolved oxygen can inhibit bacterial growth. however, a lack of nutrients can cause bacteria to compete for nutrients, resulting in inhibition of bacterial growth (radzuan et al., 2016). sari et al., (2018) have conducted research on the manufacture of biosurfactants using the bacterium halomonas meridiana bk-ab4 with palm oil as a carbon source with a surface tension of 49.8 mn/m and emulsification of 75%. meanwhile, the research conducted by ali et al., (2019) using bacillus licheniformis ali5 bacteria with glucose and sucrose carbon sources obtained a surface tension of 26.21 mn/m and emulsification of 66.4%. figure 1. effect of ph and concentration carbon source against (a) surface tension; (b) emulsification a 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 6 7 8 e m u ls if ic a ti o n (% ) ph concentration 1% v/v concentration 3% v/v concentration 5% v/v b 0 10 20 30 40 50 60 6 7 8 s u rf a c e t e n si o n ( m n /m ) ph concentration 1% v/v concentration 3% v/v concentration 5% v/v a said zul amraini et al. indo. j. chem. res., 10(1), 47-52, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 50 fourier transform infra-red (ftir) in the fourier transform infrared (ftir) analysis, the sample used was the best biosurfactant obtained at ph 7 treatment with a carbon source concentration of 3% v/v. figure 2 shows the absorption band at a wavelength of 3347.60 cm-1 indicating the presence of o-h bonds in the rhamnopiranosil compound. the presence of rhamnopiranosil compounds in the resulting biosurfactant indicates that the biosurfactant is a rhamnolipid type (bordoloi & kowar, 2009). in addition, in figure 2, there is an absorption band at a wavelength of 1616.42 cm-1 which indicates the presence of -c=c bonds in carboxylate anion compounds (saikia et al, 2012). in figure 2, there is also an absorption band at a wavelength of 1634.74 cm-1 which indicates the presence of c=o bonds in carbonyl compounds (suryanti et al, 2014). figure 2. ftir spectrum of biosurfactants at ph 7 and carbon source concentration 3% v/v crude oil removal (cor) in crude oil removal (cor) analysis, the biosurfactant used was the best biosurfactant obtained at ph 7 treatment with a carbon source concentration of 3% v/v. figure 3 shows the comparison of crude oil removal values between biosurfactants and synthetic surfactants in the form of sds (sodium dedocyl sulfate). the percentage value of crude oil removal on biosurfactants obtained from this study was 57.78%, while the percentage value of crude oil removal for synthetic surfactants in the form of sds was 79.34%. the biosurfactant from this study had a lower %cor than the synthetic biosurfactant (sds) because this biosurfactan is an impure product, while the synthetic surfactant in the form of sds is a pure product (ikhwan, 2017). unpurified biosurfactant contains mostly water, dissolved biomass, and biosurfactants rhamnolipids (rahayu, 2015). in addition, kanna (2018) conducted research by producing biosurfactants from the bacterium pseudomonas putida mtcc 2467 with crude palm oil as a carbon source. the percentage value of crude oil removal in crude biosurfactant is 46.84%, while the percentage value of crude oil removal in pure biosurfactants by 79.40%. figure 3. crude oil value comparison removal between biosurfactants and synthetic surfactants conclusion the type of biosurfactant produced by pseudomonas aeruginosa bacteria using crude palm oil as the main carbon source is rhamnolipid biosurfactant. the best results were obtained at ph 7 with a carbon source concentration of 3% v/v, a surface tension value of 42.49 mn/m, and emulsification of 58%. the biosurfactant produced in this study had a lower crude oil recovery ability than the synthetic surfactant (sodium dodecyl sulfate/sds) with crude oil removal values of 57.78% and 79.34%, respectively. acknowledgment thank you to lppm riau university who has funded this research with contract number 696/un.19.5.1.3/pt.01.03/2021 references ali, n., wang, f., xu, b., safdar, b., ullah, a., naveed, m., ce, w., rashid, m. t.. (2019). production and application of biosurfactant produced by bacillus licheniformis ali5 in enhanced oil recovery and motor oil removal from contaminated sand. molecules, 24, 4448 badal, m. s (2018). uji aktivitas antibakteri getah batang kamboja putih (plumeria acuminata wt ait) terhadap pertumbuhan bakteri pseudomonas aeruginosa. doctoral dissertation. poltekkes kemenkes kupang. bandjar, a., sutapa, i. w., rosmawaty, r., & mahulau, n. (2014). the utilitasion of beef 450750900120015001800210024002700300033003600390042004500 1/cm -60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 %t 3 3 4 7 ,6 0 3 3 3 2 ,1 7 3 2 9 5 ,5 2 3 2 5 3 ,0 9 3 2 3 2 ,8 3 3 2 0 7 ,7 6 2 1 1 8 ,9 0 1 6 3 4 ,7 4 1 6 1 6 ,4 2 6 8 0 ,9 0 biosurfaktan 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 biosurfactant synthetic surfactant c ru d e o il r e c o v e ry ( % ) said zul amraini et al. indo. j. chem. res., 10(1), 47-52, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 51 tallow into biodiesel with heterogenous catalyst. indonesian journal of chemical research, 2(1), 166-170. bordoloi, n., & konwar, b. (2009). bacterial biosurfactant in enchacing solubility and metabolism of petroleum hydrocarbons. j. hazard mater, 170(1), 495-505 costa, s. g., nitschke, m., lepine, f., deziel, e., & contiero, j. (2010). stucture,properties and applications of rhamnolipids produced by pseudomonas aeruginosa l2-1 from cassava wastewater. process biochemistry, 45, 1511 1516. ginting, h. a., masyithah, z., herawan, t., & silaen, d. s. (2017). optimasi sintesis biosurfaktan karbohidrat ester dari asam palmitat dan fruktosa menggunakan enzim lipase terimobilisasi. jurnal teknik kimia usu, 6(2), 48-54. gozan, m., fatimah, i. n., nanda, c., & haris, a. (2014). produksi biosurfaktan oleh pseudomonas aeruginosa dengan substrat limbah biodiesel terozonasi untuk peningkatan. warta industri hasil pertanian, 31(02), 39-44. gudina, e. j., pereira, j. f., rodrigues, l. r., coutinho, j. a., & teixeira , j. a. (2012). isolation and study of microorganisms from oil samples for application in microbial enhanced oil recovery. international biodeterioration & biodegradation, 68, 56-64. habibullah, m. (2018). indonesian palm oil statistics 2017. (s. s. plantation, ed.) jakatra, dki jakarta, indonesia: central bureau of statistics. ikhwani, a. z. (2017). optimization of biosurfactant production from pseudomonas aeruginosa with differences in media ph and crude oil carbon sources. tesis. institut pertanian bogor, bogor. kandasamy, r., rajasekaran, m., venkatesan, s. k., & uddin, m. (2019). new trends in the biomanufacturing of green surfactants: biobased surfactants and biosurfactants. in next generation biomanufacturing technologies american chemical society, 243-260. kanna, r. (2017). biological surfactant production by pseudomonas aeruginosa atcc 9027 and probable application in microbial enhanced oil recovery (meor). international journal of civil engineering and technology, 8(10), 619 629. kanna, r. (2018). production of biosurfactant using crude palm oil by bacteria pseudomonas putida mtcc 2467 and its application in improved oil recovery. international journal of civil engineering and technology, 9,2132-2138. nugroho, a., & buchori, l. (2019). sintesa metil ester sulfonat dari minyak jarak pagar (jathropa curcas oil) dan aplikasinya pada proses enhanced oil recovery (eor). metana, 15(1), 19-24. nurani, d., & marsudi, s. (2013). produksi biosurfaktan ramnolipid oleh pseudomonas aeruginosa ifo 3924 dengan teknik kultivasi umpan curah dan sumber karbon minyak sawit. in seminar nasional matematika, sains dan teknologi universitas terbuka., 4, 130-142 radzuan, m. n., banat, i., & winterburn, j. (2016). production and characterization of rhamnolipid using palm oil agricultural refinery waste. bioresource technology, 225, 99-105 rahayu, s. (2015). pengaruh sumber karbon dan nitrogen pada produksi biosurfaktan oleh bakteri pseudomonas aeruginosa biopa 2411. undergraduated thesis. institut teknologi sepuluh november, surabaya. rengga, w. d., riyadi, d. h., bintang, a., & kuntoro. (2018). study of production and process of biosurfactants from palm oil industrial waste and its derivatives using pseudomonas aeruginosa. national seminar on energy and technology, 84-94. rezki, r., musta, r., & haetami, a. (2017). minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan etanol. indonesian journal of chemical research, 4(2), 406-412. saikia, r. r., deka, s., & deka, m. (2012). isolation of biosurfactant producing pseudomonas aeruginosa rs29 from oil contaminated soil and evalution of different nitrogen sources in biosurfactant production. annals microbiogy, 62(2),753-763. sari, e. a. (2019). analisis bakteri penghasil metabolit sekunder ekstraseluler dari pemandian air bersih di desa ulak bandung kecamatan muara sahung kabupaten kaur provinsi bengkulu. undergraduated thesis, universitas islam negeri raden suryanti, v., hastuti, s., handayani, d. s., & windrawati. (2014). biosurfactant biosynthesis by pseudomonas aeruginosa using tapioca industrial liquid waste as media. alchemy journal of chemical research, 10(1), 22-30. said zul amraini et al. indo. j. chem. res., 10(1), 47-52, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 52 sutapa, i. w., rosmawaty, r., & samual, i. (2013). biodiesel production from bintanggur oil (callophyllum inophyllum l.) using calsium oxide (cao) catalyst. indonesian journal of chemical research, 1(1), 53-60. yuliasari, s., fardiaz, d., andarwulan, n., & yuliani, s. (2014). characteristics of enriched red palm oil nanoemulsion. littri, 20(3), 111121. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 68-73, 2022 preparation of zno/tio2 nanocomposite sensitized mangosteen rind (garcinia mangostana l) dye for light harvesting efficiency in solar cell arya dwi cahyo utomo 1 , muh. nur khoiru wihadi 2,3* 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences, semarang state university d6 building, kampus sekaran, gunungpati, semarang 50229, indonesia. 2 research center for chemistry, national research and innovation agency republic of indonesia, kawasan puspiptek, serpong, tangerang selatan 15311, indonesia. 3 department of applied chemistry, graduate school of advanced science and engineering, hiroshima university, 1-4-1 kagamiyama higashi-hiroshima 739-8527, japan * corresponding author: muhn002@brin.go.id received: july 2022 received in revised: august 2022 accepted: august 2022 available online: september 2022 abstract the preparation of zno/tio2 nanocomposite is done using the sol-gel method for light harvesting in dye-sensitized solar cell (dssc). the titanium dioxide (tio2) compound was added with different ratios to the zno matrix and measured its effect on solar cells based on the dssc system. the powder x-ray diffractions of nanocomposite revealed anatase (tio2) and wurtzite (zno) phases have the highest peak at 25.26° and 36.97°, respectively. the energy gap was observed by diffuse reflectance-ultra violet (dr-uv) spectroscopy and it revealed that the optimum performance of nanocomposite was 3.16 ev for the 1:2 ratio. the optimum power efficiency was 2.4% with 3.6 cm 2 active area, voc= 788 mv and isc=3.39 ma, respectively. the scanning electron microscope-energy dispersive x-ray (sem-edx) demonstrated the diversity of surface morphology depends on the ratio of tio2 in the nanocomposite. this shows the addition of tio2 to the zno matrix influenced the structure of the nanocomposite, which can be applied as dssc electrodes. keywords: ratio, zno/tio2 nanocomposite, sol-gel, solar cell, dssc introduction the world's energy demand increased rapidly along with the progress of human civilization. the utilization of conventional energy sources such as coal, fuel oil, natural gas, and others has a low operating cost. however, it creates greater problems such as limited natural resources and emitting pollution to the environment. therefore, the study and development of renewable and alternative energy sources were important aspects (saleem et al., 2021). solar energy was known as green-friendly energy (chamanzadeh, ansari, & zahedifar, 2021). in this case, indonesia has a big potential market and resources to develop its solar cell. to reach this goal, dye-sensitized tio2 and zno were introduced as an alternative to conventional photovoltaic devices. this development was important due to the high cost of conventional photovoltaic fabrication. the dyesensitized tio2 has several advantages such as a simple fabrication process, low production cost and is economically acceptable in the market (senthil, muthukumarasamy, & kang, 2013). to improve the efficiency of the tio2 electrode, some modification was performed, such as the formation of the nanocomposite. there are several tio2 based composites were reported, such as tio2/sio2 (nguyen et al. 2007), tio2/al2o3 (zhang et al., 2003), tio2/caco3 (lee et al., 2006), tio2/sno2 (pham et al., 2021), non-metallic elements (khan et al., 2021) and polyoxometalates (gu et al., 2020; wihadi & sadakane, 2020). mane and team reported dssc electrodes using thin-film of zno/tio2 nanocomposite and demonstrated the energy conversion gain was 0.67% (mane, lee, pathan, & han, 2005). however, their result has not been described in detail on the ratio of the nanocomposite. song`s group showed that the composite zno/tio2 with a ratio of 1:0 and 4:1 revealed efficiency of 4.39% and 0.25 %, respectively (song et al., 2014). to enhance the energy efficiency of a solar cell, the study before about calcined the core-shell zno/tio2 nanocomposite at 500 °c and obtained a crystal size of 40 nm has been done (golobostanfard, ebrahimifard, & abdizadeh, 2011). doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ary 68 arya dwi cahyo utomo, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 68-73, 2022 an alternative method to tune the efficiency of dssc is the sensitization of the electrodes using natural dyes such as extract of mangosteen (male, sutapa, & ranglalin, 2015). mursal et al. performed the mg and la-doped tio2 photoelectrodes and extracted mangosteen rind (mursal, malahayati, azmi, & fatmiyah, 2021). ismail et al. (2020) investigated the electrochemical and photovoltaic properties of the natural photosensitizer using mangosteen fruit (ismail et al., 2020). therefore, the presence of mangosteen as natural dyes in photosensitizer was important. to the best of our knowledge, there is no report zno/tio2 nanocomposite sensitized with mangosteen rind (garcinia mangostana l) dye for dssc application. in this study, we reported the preparation of zno/tio2 nanocomposite with different ratios of tio2 and zno. the nanocomposite coupled with mangosteen rind (garcinia mangostana l) dye for the solar cell performance. methodology materials and instrumentals the chemicals such as zn(ch3coo)2-2h2o, ti[och(ch3)2]4 (tipp) 97%, ito glass substrate (812 ω/sq), triethanolamine (tea), isopropanol, graphite, chloroform, acetone, ethanol, acetic acid, methanol, ethylene glycol, peg 4000 (hoch2(ch2och2)mch2oh), iodolyte (ki and i2), and polyvinyl alcohol (pva) were purchased from merck and sigma aldrich (germany) and used without further purification. the mangosteen rind (garcinia mangostana l) was purchased from the traditional indonesian market. the size and surface morphology of zno/tio2 nanocomposite was obtained by scanning electron microscope-energy dispersive x-ray spectroscopy (sem-edx), x-ray diffractometer (shimadzu xrd6000), diffuse reflectance uv spectrophotometer (shimadzu uv 1700 pharmaspec uv-vis), uv lamp (365 nm; 12 lux (goldstar)), multimeter (heles ux 839tr), shear resistance 20 kv. methods the zno/tio2 nanocomposite was prepared based on zno and tio2 ratio. this ratio was 1:0; 1:1; 1:2. the samples were calcined at 500 o c; the time of light exposure was 2 hours, and the ph was 3-4. the photon source was obtained from a uv-vis lamp (λ = 365 nm). the resistance was used according to: 0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 4.0, 8.0 and 1000 ω, respectively. preparation of zno and tio2 four grams of zn(ch3coo)2-2h2o were dissolved in isopropanol and stirred for 60 minutes. tea as a stabilizer was added to the solution. this mixture was aged for 24 hours and then dried at 120 0 c for 3 hours. the sample calcination was performed at 500 o c for 2 hours. tio2 powder was prepared by dissolving 1 ml of tipp into 10 ml of isopropanol. this mixture was dried at room temperature. the drying substance was calcinated at 500 0 c for 2 hours. the substrate was washed using ethanol, acetone, and water for 3 minutes in the reactor. preparation of the electrode with dye the dye was prepared from mangosteen rind (garcinia mangostana l) by dissolving the sample in the solvent containing ethanol: acetic acid: and water (25:4:21 ratio). then, the mixture was filtered off. the maximum wavelength of dye extract was measured using uv-vis spectroscopy. the dye was immersed in the working electrode for 24 hours. preparation of the reference electrode the graphite was prepared by grinding until 100 mesh and contacting 50 ml pva 5% on the ito substrate (150 º c for 3 minutes). this graphite was used for the reference electrode. the electrolyte gel was prepared by dissolution of 7 g of peg 4000 in 25 ml of chloroform-filled iodolyte (ki/i2). the electrolyte solution was heated at 60 ° c for 10 min to form a gel. in the final step, the working electrode and cells have merged. the xrd technique characterized the nanocomposite. the band-gap energy of the nanocomposite was measured by a dr-uv spectrophotometer and analyzed by the kubelkamunk equation (equation 1) (klaas, schulz-ekloff, & jaeger, 1997). 𝐹(𝑅∞) = 𝐾 𝑆 = (1−𝑅∞)2 2𝑅∞ (1) r∞ = 𝑅𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑅𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟𝑑 is the reflectance of an infinitely thick specimen, k and s are absorption and scattering coefficients, respectively. preparation of dssc electrode the preparation of the dssc electrode following the condition in scheme 1 (figure 1). the front and back layer was ito substrate, and the other layer was carbon, electrolyte and zno/tio2 nanocomposite-dye, respectively. doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ary 69 arya dwi cahyo utomo, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 68-73, 2022 results and discussion preparation of zno/tio2 nanocomposite the zno/tio2 nanocomposite have prepared by the sol-gel method. the white emulsion was shown when tipp and isopropanol were mixed in the solution. this indicated the hydrolysis reaction occurred. the preparation method was followed in the experimental section. figure 1. layered formation in the preparation of dssc electrode figure 2 shows the xrd profile of zno, tio2, and the nanocomposite, respectively. the diffractogram profile of zno was compared to the zno standard (jcpds no. 36-1451) and showed the similarity to the standard [2θ = 31.77° (100); 34.42° (002); 36.25° (101); 56.60° (110); 62.86° (103); 67.96° (112) and 69.10° (201)]. the anatase phase was detected at 25.26° (101) and 48.03° (200) and confirmed by standard (jcpds no. 21-1272). the rutile phase was detected at 43.2° in tio2 due to the effect of the hydrolysis reaction of tipp in the preparation and changed when the calcination occurred. zno/tio2 nanocomposite crystallinity decreased when tio2 was added to the zno matrix. figure 2. x-ray diffraction pattern of zno/tio2 nanocomposite with different ratio the signal corresponding to zntio4 at 36.97° was also detected. this might be caused by reduced crystallinity in the nanocomposite and changed crystal structure. energy gap of zno/tio2 nanocomposite figure 3 shows the reflectance uv-vis spectra of zno/tio2 nanocomposite. the additional tio2 on the zno matrix influenced the decreasing absorbance. therefore, the band gap value will decrease, and the electron will easily jump to the conduction band. we have calculated this energy gap using equation 1 (table 1). the gap energy for 1:0, 1:1 and 1:2 ratio was 3.46, 3.51 and 3.16 ev, respectively. rajaram and team (2005) reported that the photon energy of zno/tio2 thin films was 3.26 and 3.58 ev. the band gap energy decreased due to the crystallinity of the composite film being low. in our case, additional tio2 on the zno matrix also decreases the composite's crystallinity and is confirmed by xrd profiles of zno/tio2 in 1:1 and 1:2 ratios (figure 2). figure 3. the reflectance spectrum of zno/tio2 nanocomposite. table 1. energy gap of zno/tio2 nanocomposite. zno/tio2 ratio eg (ev) 1:0 3.46 1:1 3.51 1:2 3.16 surface morphology of zno/tio2 nanocomposite figures 4 and 5 revealed that the nanocomposite has a pore. we have observed the morphological characteristics of the nanocomposite by sem in magnification of: 2000x, 10000x, and 20000x, respectively. doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ary 70 arya dwi cahyo utomo, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 68-73, 2022 figure 4. sem images for zno/tio2 1:0 with magnification of: a). 2000x, b). 10000x, c). 20000x and d). 10000x (zno on ito substrate) figure 5. sem images for zno/tio2 1:2 with the magnification of: a). 2000x, b). 10000x, c). 20000x and d). 10000x (zno/tio2 on ito substrate) figure 4 shows the morphological characteristics of zno/tio2 nanocomposite with 1:2 ratio and uniform sizes. the pore images were clearly observed at 20000 magnifications. figure 4 (d) show that the ito layer is different from the 1:0 ratios in figure 3 (d). we believed that the difference might be caused by long exposure to ultrasonic waves during ito substrate laundering and degradation of ito structure occurred. voltage current characteristics (i-v) the current and voltage testing have been performed to nanocomposite in the dark conditions by uv light (wavelength= 365 nm, light intensity = 12 lux) generated by luxmeter. the light conversion was 1.405 watt/cm 2 . the result was resumed in table 2. this research used the liquid-gel electrolyte to avoid the oxidation-reduction reaction to occur. small value of voc (open circuit voltage) might be caused by leak electrolyte in the solar cell. electrolyte leakage would inhibit the exchange of electrons between the working and reference electrodes. therefore, this condition is unable to keep pace with the speed of electron generation injected into the side of the working electrode after the photosensitization process. the efficiency and gap energy of the zno/tio2 nanocomposite 1:0 ratio minor compare to 1:1 ratio. this energy can facilitate the electron from the ground state to the excited state by dye stimulation. the electrons jump to the hole of semiconductors; then the hole is left with a chemical process where the reaction produced continuous light intensity-dependent, which illuminated the semiconductor surface. lee and team (2005) reported that the energy conversion gain was 1.78% for 1% w/w tio2 and the zno matrix with the active area was 0.226 cm 2 . our conversion gain was 0.16% which was lower than the previous report. the low value was attributed to the instability of zno against dye molecules, presenting the partial termination of zn 2+ ions from the surface. table 2. the current and voltage testing of zno/tio2 nanocomposite. sample parameters voc (mv) isc (a) vmpp (mv) impp (a) ff (%) pmax (w.cm -2 ) light intensity (lux) (%) zno/tio2 (1:0) 778 1.76 650 1.08 54.6 3 0.01881 12 1.3 4 zno/tio2 (1:1) 789 1.59 680 1.11 60.1 6 0.02150 12 1.5 2 zno/tio2 (1:2) 788 3.39 518 2.37 46.5 4 0.03410 12 2.4 0 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ary 71 arya dwi cahyo utomo, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 68-73, 2022 conclusion the zno/tio2 nanocomposite was prepared by the sol-gel method. the powder x-ray diffractions of nanocomposite revealed anatase (tio2) and wurtzite (zno) phases have the highest peak at 25.26° and 36.97°, respectively. this indicated that calcination at 500 °c for 2 hours described the stability of anatase and wurtzite phases. the ratio of tio2 on zno/tio2 nanocomposite influenced solar cell performance. the optimum performance was obtained at a 1:2 ratio. increasing the ratio of tio2 on the zno matrix affects decreasing gap energy of zno/tio2 nanocomposite at 3.16 ev. the crystal was photoactive for absorption of uv-visible light range spectrum with expected phase in wurtzite (zno) and anatase (tio2) by sol-gel method. acknowledgment this research was supported by the directorate of higher education, ministry of education, culture, research and technology, republic of indonesia. adcu gratefully acknowledges harjito, m.sc and dr sri wahyuni at chemistry department, semarang state university, for valuable discussion during this research. mnkw was the main contributor. references chamanzadeh, z., ansari, v., & zahedifar, m. (2021). investigation on the properties of ladoped and dy-doped zno nanorods and their enhanced photovoltaic performance of dyesensitized solar cells. optical materials, 112, 110735. https://doi.org/10.1016/j.optmat.2020. 110735 golobostanfard, m. r., ebrahimifard, r., & abdizadeh, h. (2011). synthesis of tio2/zno core/shell type nanocomposite via sol-gel method. key engineering materials, 471–472, 993–998. https://doi.org/10.4028/www.scienti fic.net/kem.471-472.993 gu, y., wang, t., dong, y., zhang, h., wu, d., & chen, w. (2020). ferroelectric polyoxometalatemodified nano semiconductor tio2 for increasing electron lifetime and inhibiting electron recombination in dye-sensitized solar cells. inorganic chemistry frontiers, 7(17), 3072–3080. https://doi.org/10.1039/d0qi00488j ismail, m., ahmad ludin, n., hamid, n. h., alalwani, m. a. m., muti muhamed, n., sepeai, s., … mat teridi, m. a. (2020). electrochemical properties of natural sensitizer from garcinia mangostana and archidendron pauciflorum pericarps for dye-sensitized solar cell (dssc) application. sains malaysiana, 49(12), 3007– 3015. https://doi.org/10.17576/jsm-2020-491212 khan, m. i., mehmood, b., naeem, m. a., younis, m., mahmoud, k. h., el-bahy, z. m., … iqbal, m. (2021). investigations the structural, optical and photovoltaic properties of la doped tio2 photoanode based dye sensitized solar cells. optical materials, 122, 111610. https://doi.org/ 10.1016/j.optmat.2021.111610 klaas, j., schulz-ekloff, g., & jaeger, n. i. (1997). uv−visible diffuse reflectance spectroscopy of zeolite-hosted mononuclear titanium oxide species. the journal of physical chemistry b, 101(8), 1305–1311. https://doi.org/10.1021/ jp9627133 lee, s., young kim, j., sun hong, k., suk jung, h., lee, j.-k., & shin, h. (2006). enhancement of the photoelectric performance of dyesensitized solar cells by using a caco3-coated tio2 nanoparticle film as an electrode. solar energy materials and solar cells, 90(15), 2405– 2412. https://doi.org/10.1016/j.solmat.2006.03. 013 male, y. t., sutapa, i. w., & ranglalin, o. m. (2015). computational study natural color essence (dyes) as active material on organic solar cell with density functional theory (dft). indonesian journal of chemical research, 2(2), 205–212. mane, r. s., lee, w. j., pathan, h. m., & han, s.-h. (2005). nanocrystalline tio2/zno thin films: fabrication and application to dye-sensitized solar cells. the journal of physical chemistry b, 109(51), 24254–24259. https://doi.org/ 10.1021/jp0531560 mursal, malahayati, azmi, n., & fatmiyah, s. (2021). synthesis of tio2-based photoelectrode and natural dye for dye sensitized solar cell (dssc). journal of physics: conference series, 1882(1), 012006. https://doi.org/10.1088/17426596/1882/1/012006 pham, b., willinger, d., mcmillan, n. k., roye, j., burnett, w., d’achille, a., … sherman, b. d. (2021). tin(iv) oxide nanoparticulate films for aqueous dye-sensitized solar cells. solar energy, 224, 984–991. https://doi.org/10.1016/ j.solener.2021.06.067 saleem, m., irfan, m., tabassum, s., albaqami, m. d., javed, m. s., hussain, s., … zuber, m. (2021). experimental and theoretical study of highly porous lignocellulose assisted metal doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ary 72 arya dwi cahyo utomo, et al. indo. j. chem. res., 10(2), 68-73, 2022 oxide photoelectrodes for dye-sensitized solar cells. arabian journal of chemistry, 14(2), 102937. https://doi.org/10.1016/j.arabjc.2020.10 2937 senthil, t. s., muthukumarasamy, n., & kang, m. (2013). applications of highly ordered paddle wheel like structured zno nanorods in dye sensitized solar cells. materials letters, 102– 103, 26–29. https://doi.org/10.1016/j.matlet. 2013.03.097 song, l., jiang, q., du, p., yang, y., xiong, j., & cui, c. (2014). novel structure of tio2 zno core shell rice grain for photoanode of dyesensitized solar cells. journal of power sources, 261, 1–6. https://doi.org/10.1016 /j.jpowsour. 2014.03.030 wihadi, muh. n. k., & sadakane, m. (2020). solidstate ion migration in the preyssler-type phosphotungstate for the preparation of the dipotassium cation-encapsulated derivative. zeitschrift für anorganische und allgemeine chemie, 646(15), 1297–1302. https://doi.org/ 10.1002/zaac.202000217 zhang, x., sutanto, i., taguchi, t., tokuhiro, k., meng, q., rao, t. n., … uragami, m. (2003). al2o3-coated nanoporous tio2 electrode for solid-state dye-sensitized solar cell. solar energy materials and solar cells, 80(3), 315– 326. https://doi.org/10.1016/j.solmat.2003.08. 006 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ary 73 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 28 isoterm adsorpsi ion cr(iii) oleh kitosan hasil isolasi limbah kepiting rajungan dan kitosan komersil isotherm adsorption of cr(iii) ions by chitosan isolated rajungan crab waste and commercial chitosan rahayu * , matheis.f.j.d.p. tanasale, adriani bandjar chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon-indonesia 97134 * corresponding author: rahayumahmud09@gmail.com received: 2020-1-10 received in revised: 2020-3-10 accepted: 2020-5-25 available online:2020-5-31 abstract the chitin isolation from crab rajungan (portunus sanginolentus) and commercial chitin was done. the chitosan was made by deasetilation of chitin using alkaline solution with addition nabh4. the chitin and chitosan were identified by related instrument. the identification by adsorption cr(iii) ion on chitosan was done by the atomic absorption spectrofotometry. the result of the chitosan isolation was fitted to the freundlich isotherm, with kf = 1.18673 mg/g and 1/n= 0.2712. keywords: chitin, cr(iii) ion, chitosan, freundlich isotherm abstrak (indonesian) isolasi kitin dari kepiting rajungan (portunus sanginolentus) dan kitin komersial telah dilakukan. sintesis kitosan melalui deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan basa dengan penambahan nabh4. identifikasi gugus fungsi kitin dan kitosan dilakukan dengan dengan instrument yang relevan. penentuan adsorpsi ion cr(iii) oleh kitosan dilakukan dengan spektrofotometer serapan atom. hasil yang diperoleh hanya pada kitosan isolasi yaitu mengikuti isotherm freundlich dengan kf = 1,18673 mg/g and 1/n = 0,2712. kata kunci: kitin, ion cr(iii), kitosan, isotherm freundlich pendahuluan rajungan adalah jenis kepiting yang paling terkenal dan banyak dieksport. sebelum dieksport rajungan dipisahkan dari cangkangnya, sehingga cangkangnya dibuang dan menjadi limbah yang dapat mencemari lingkungan karena pemanfaatannya belum maksimal. cangkang kepiting rajungan ini merupakan bagian tubuh yang bersifat sebagai pelindung karena bertekstur keras yang tersusun atas zat tanduk atau kitin. mengingat jumlahnya yang banyak dan hanya menjadi limbah bagi lingkungan saja, maka perlu dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. limbah cangkang dari kepiting rajungan mengandung kitin, protein, dan mineral, sehingga perlu dilakukan proses demineralisasi dan deproteinasi untuk menghasilkan kitin. kitin dapat menghasilkan turunannya melalui proses deasiilasi yang disebut kitosan (tarafdar dkk., 2013). kitosan tidak beracun, bersifat semi kristal dan dapat terbiodegradasi. kitosan efektif dijadikan adsorben karena srukturnya dominan memiliki gugus fungsi hidroksil dan amina. gugus fungsi ini memiliki peran yang signifikan atau kuat dalam mengikat ionion logam berat (islam dkk., 2019). daya serap dari kitosan terhadap bahan pencemar ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ph, kadar garam, dll. kitin dan kitosan juga dapat dimanfaatkan di berbagai industri modern seperti farmasi, biokimia, biotekhnologi, kosmetik, dan industri pangan. proses konversi kitin menjadi kitosan atau yang disebut dengan deasetilasi kitin menjadi kitosan biasanya dilakukan secara kimia dengan hanya menggunakan basa kuat seperti naoh. tanasale dkk, 2012, melakukan konversi kitin menjadi kitosan yang berasal dari kepiting rajungan dengan hasil sebesar 22,06 % sedangkan deasetilasi dari kitin komersil sebesar 62,33%. hal ini dikarenakan kitosan yang berasal dari kitin komersil memiliki kemurnian yang tinggi (tanasale dkk., 2016). akan tetapi suatu kitosan dikatakan paling baik mutunya tidak hanya rahayu dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 29 dilihat dari presentasi kemurniannya saja tetapi juga kitosan yang memiliki derajat deasetilasi dan berat molekul yang besar. dengan demikian, proses deasetilasi kitin yang dapat menghasilkan kitosan yang bermutu paling baik, harus dilakukan dengan suatu proses konversi kitin menjadi kitosan secara kimia dengan menggunakan basa kuat pekat seperti naoh dalam kondisi panas dan dengan adanya penambahan nabh4. karena kondisi terbaik dari suatu preparasi kitosan didapatkan dengan menggunakan suatu larutan naoh dan tambahan nabh4 sebagai zat pelindung yang dapat menghasilkan kitosan dengan berat molekul dan derajat deasetilasi yang besar sebab nabh4 berfungsi sebagai reduktor yang menyumbangkan h + pada proses reaksi desetilasi (gylien dkk., 2003). larutan naoh (40 %) dan nabh4 sebagai zat pelindung untuk melawan oksidasi dan degradasi dari cincin polimer, mengubah aldehida polisakarida menjadi gugus alditol. kegunaan dari bh4 untuk memungkinkan trapping radikal sehingga memperoleh kitosan dengan berat molekul yang besar. perbedaan ini disebabkan karena kitin komersil memiliki kemurnian yang tinggi sehingga kandungan kitosan juga tinggi. ini juga menunjukkan bahwa hasil isolasi yang dilakukan masih mengandung zatzat yang akan larut dalam larutan basa kuat panas limbah merupakan bahan buangan atau zat sisa dari proses pembuatan suatu produk di industri atau limbah domestik yang kurang memiliki nilai guna. kebanyakan limbah dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan. limbah biasanya langsung dibuang ke perairan sehingga menjadi polutan di perairan. polusi air ini merupakan sumber masalah dalam kehidupan yang terakumulasi dari hari ke hari dan memberikan dampak yang cukup besar terhadap kestabilan alam (ramasubramaniam dkk., 2012). logam berat merupakan jenis limbah pencemar yang sangat berbahaya dalam lingkungan hidup karena bersifat tak terbiodegradasi, toksik, serta mampu mengalami bioakumulasi dalam rantai makanan. keberadaan logam di perairan umumnya merupakan limbah industri dan jarang industriindustri terebut hanya menghasilkan satu jenis logam (laksono dkk., 2010). bahaya yang dapat ditimbulkan dari keracunan logam berat bila masuk ke dalam tubuh manusia adalah akan mengganggu atau menghambat sistem kerja enzim dalam tubuh, sehingga sistem metabolisme tubuh pun ikut terganggu. salah satu logam berat yang terutama bersifat racun adalah krom (cr). logam ini dapat masuk ke perairan dan bersifat sebagai pencemar karena akibat dari buangan industri seperti peralatan rumah tangga, mobil, dan bahan pemberi warna cemerlang pada perkakas dari logam. bila terjadi peningkatan kelarutan krom pada perairan sehingga melebihi nilai ambang batas yang seharusnya maka dapat membunuh biota perairan. dengan memiliki sifat reaktifitas kimia yang tinggi maka kitosan hasil deasetilasi dengan penambahan nabh4 dari limbah kepiting dapat berpotensi sebagai teknik alternatif untuk mencegah pencemaran logam cr dengan biaya pengoperasian yang murah dan bahannya yang melimpah di maluku. logam berat pada umumnya memiliki daya racun yang mematikan terhadap organisme pada kondisi yang berbeda-beda, meskipun daya racun yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok dapat terputusnya satu mata rantai kehidupan. keadaan ini akan terjadi bila konsentrasi kelarutan logam berat pada perairan tersebut cukup tinggi. sebagai logam berat, cr termasuk logam yang mempunyai daya racun tinggi. sifat racun yang dibawa oleh logam ini juga dapat mengakibatkan terjadinya keracunan akut dan keracunan kronis. efek keracunan yang dapat ditimbulkannya ini berupa penyakit kanker paru-paru, limpa, ginjal, hati dan tulang. tingginya resiko pencemaran lingkungan oleh ion logam berat seperti cr, memberikan konsekuensi perlunya sistem pengolahan limbah yang baik. sistem pengolahan limbah harus dapat menurunkan kadar polutan seperti ion logam berat hingga batas aman (sulastri dkk., 2014). salah satu metode yang dapat digunakan untuk meminimalkan atau menghilangkan keberadaan logam berat di lingkungan adalah dengan proses adsorpsi. adsorpsi merupakan suatu proses atau teknik yang terjadi secara fisika-kimia dimana terjadi perpindahan massa antara fasa cair (adsorbat) dan fasa padat (adsorben) (rahayu dkk., 2016). metode ini paling banyak digunakan karena aman, dapat didaur ulang dan tidak membutuhkan peralatan yang mahal dan rumit (prambaningrum dkk., 2009). oleh karena itu, dalam metode adsorpsi ini kitosan dapat digunakan sebagai adsorben dan ion cr(iii) sebagai adsorbat. hal ini dikarenakan dalam kondisi asam berair, sisi aktif kitosan yang berupa gugus asam amino (–nh2) akan meangkap h + dari lingkungannya untuk terprotonasi menjadi –nh3 + yang akan berfungsi untuk mengadsorpsi zat warna anionik, sedangkan untuk adsorpsi kation logam atau zat warna kationik dapat memanfaatkan pasangan electron bebas pada gugus oh dan nh3 yang berfungsi sebagai ligan (tanasale dkk, 2012). rahayu dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 30 berdasarkan latar belakang di atas pada penelitian ini dilakukan studi kemampuan adsorpsi kitosan isolasi dari kepiting rajungan dan kitosan komersil terhadap ion cr(iii). metodologi alat dan bahan alat-alat yang digunakan yaitu seperangkat peralatan gelas, blender, hot plate (cimarec 2), oven (memert), penyaring buchner, pompa vakum, shaker (ks 250 basic), spektrofotometer serapan atom (ssa) 6300 shimadzu, tapisan ukuran 40 mesh, termometer, timbangan analitik. bahan-bahan yang digunakan yaitu limbah cangkang kepiting rajungan, asam klorida p.a (e.merck), asam sulfat p.a (e. merck), kertas ph indikator, kertas saring whatman, akuades, natrium hidroksida p.a (e. merck), natrium borohidrat p.a (e. merck), k2s2o8 p.a (e. merck), cr(no3)39h2o p.a (e. merck). prosedur kerja isolasi kitin persiapan sampel limbah dibawa dengan penanganan dingin dengan memakai hancuran es. mula-mula limbah kepiting dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran, kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 65 o c selama 24 jam. setelah itu limbah kepiting dihaluskan untuk mendapatkan ukuran partikel 40 mesh. tahap pemisahan protein (deproteinasi) 400 g limbah kepiting ditambahkan naoh 160 g/l dengan perbandingan 1:10 (w/v), kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 3 hari, selanjutnya disaring dengan kertas saring setelah itu residu yang dihasilkan dicuci dengan aquades sampai ph netral dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o c selama 4 jam. tahap pemisahan mineral (demineralisasi) residu hasil tahap deprotenisasi ditambahkan 172 ml hcl 3,4465 m kemudian ditambahkan 2000 ml h2o, kemudian dipanaskan pada suhu 40 o c selama 3 jam, setelah itu disaring dengan kertas saring, residu yang dihasilkan dicuci dengan aquades sampai ph netral dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o c selama 4 jam. tahap penghilangan zat warna (depigmentasi) residu hasil tahap demineralisasi ditambahkan 500 ml h2o kemudian ditambahkan 50 ml h2so4 1,6727 m dan dilakukan pemutihan dengan penambahan k2s2o8 sebanyak 100g/l kemudian dicuci dengan aquades sampai ph netral dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o c selama 4 jam. deasetilasi kitin menghasilkan kitosan proses deasetilasi kitin dilakukan untuk sampel kitin hasil isolasi dan kitin komersial. kitin yang telah dihasilkan ditimbang sebanyak 25 g ditambahkan 150 g/l naoh kemudian dipanaskan pada suhu 110 o c selama 2 jam, kemudian disaring, dicuci dengan aquades sampai ph netral, dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o c selam 4 jam. selanjutnya, dihasilkan kitosan. pembuatan larutan standar cr (iii) larutan standar cr dibuat dari senyawa cr(no3)39h2o. larutan induk cr dibuat dengan menimbang 7,698 g cr(no3)39h2o ke dalam beaker gelas kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 1000 ml. setelah itu menambahkan aquades sampai tanda batas, larutan standar yang diperoleh mempunyai konsentrasi 1000 ppm. selanjutnya diambil 10 ml dan diencerkan dalam labu takar 100 ml dengan aquades sampai tanda batas sehingga didapatkan cr 100 ppm. dari 100 ppm diambil 5 ml diencerkan sampai 100 ml dengan aquades untuk 5 ppm, selanjutnya dilakukan prosedur yang sama untuk konsentrasi 10; 15; 20 ppm. adsorpsi logam cr (iii) kitosan sebanyak 200 mg ditambahkan dan diinteraksikan dengan 20 ml larutan logam cr (iii) selama 2 jam. konsentrasi larutan cr(iii) 5; 10; 15; 20 mg/l. larutan dishaker dan sisa filtrat yang diperoleh ditentukan kadar cr(iii) dengan ssa. persentase kapasitas penjerapan kitosan dapat dihitung menggunakan persamaan 1 (sekewael dkk. 2013). %100x co ceco q (1) dimana, co = konsentrasi ion cr(iii) sebelum diadsorpsi, ce = konsentrasi ion cr(iii) yang bebas dalam larutan, x/m = jumlah mol ion cr(iii) yang terjerap dan q = persentasi penjerapan. untuk menentukan model isoterm yang diikuti oleh proses adsorpsi logam cr(iii) oleh kitosan isolasi dan kitosan komersil maka digunakan persamaan regresi linear dengan membandingkan nilai koofisien korelasi (r 2 ) dari grafik hubungan nilai ce/(x/m) vs ce untuk isoterm langmuir dan nilai ln ce vs ln(x/m) untuk isoterm freundlich, dimana nilai x/m rahayu dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 31 merupakan jumlah mol logam cr(iii) yang terdsorpsi oleh kitosan isolasi ataupun kitosan komersil. berdasarkan data korelasi yang telah diperoleh maka didapatkan nilai besarnya penjerapan kitosan terhadap ion cr(iii) dengan persamaan : c n k m x f ln1lnln (2) dimana konstanta kf merupakan nilai kapasitas jerap kitosan terhadap logam cr(iii) dan nilai 1/n merupakan indikator ketergantungan konsentrasi adsorpsi. hasil dan pembahasan penjerapan ion cr(iii) oleh kitosan hasil analisa logam krom setelah penambahan kitosan dengan variasi konsentrasi 5, 10, 15 dan 20 ppm dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. data penjerapan logam cr oleh kitosan [cr]0 (ppm) [cr]1 (ppm) [cr]teradsorpsi k isolasi k komersil k isolasi k komersil 5 0,034 0,572 4,965 4,427 10 0,899 0,985 9,1 9,014 15 1,217 0,401 13,783 14,599 20 2,763 0,272 17,236 19,728 keterangan : [cr]0 = konsentrasi logam cr sebelum penjerapan dengan kitosan [cr]1 = konsentrasi logam cr setelah proses penjerapan dengan kitosan [cr]ter = konsentrasi logam cr yang terjerap oleh kitosan k isolasi = kitosan isolasi k komersil = kitosan komersil (a) (b) gambar 1. grafik adsorpsi cr(iii) yang terserap oleh (a) kitosan isolasi, (b) kitosan komersil gambar 1 menunjukkan peningkatan adsorpsi kitosan isolasi dan kitosan komersil akibat kenaikan konsentrasi ion cr(iii). hal ini diakibatkan karena semakin banyak ion cr(iii) yang berinteraksi dengan situs aktif kitosan. untuk menjelaskan penjerapan kitosan terhadap ion logam cr(iii) maka dua persamaan yang umum digunakan yaitu isoterm langmuir dan persamaan freundlisch. isoterm langmuir menghubungkan ce/(x/m) vs ce dan isoterm freundlich menghubungkan ln ce vs ln(x/m). parameter kedua isoterm adsorpsi tersebut terlihat pada tabel 2 dan 3. tabel 2. parameter isoterm langmuir dan isoterm freundlisch kitosan isolasi co (ppm) ce (ppm) co-ce (ppm) q (%) x/m ce/(x/m) ln ce ln (x/m) 5 0,34 4,965 99,312 0,469 0,069 -3,369 -0,700 10 0,899 9,101 91,008 0,910 0,988 -0,106 -0,094 15 1,217 13,783 91,886 1,378 0,882 0,196 0,320 20 2,763 17,263 86,183 1,723 1,603 1,016 0,544 tabel 3. parameter isoterm langmuir dan isoterm freundlisch kitosan komersil co (ppm) ce (ppm) co-ce (ppm) q(%) x/m ce/(x/m) ln ce ln (x/m) 5 0,572 4,427 88,546 0,442 1,293 -0,557 -0,814 10 0,985 9,014 90,149 0,901 1,092 -0,015 -0,103 15 0,401 14,599 97,326 1,459 0,274 -0,913 0,378 20 0,272 19,728 98,640 1,972 0,137 -1,301 0,679 dari data tabel 2 dan 3 maka dapat dibuat kurva isoterm langmuir dan freundlich untuk masingmasing kitosan, sehingga dapat ditentukan isoterm adsorpsi yang sesuai untuk adsorpsi ion cr(iii) pada kitosan hasil isolasi dan kitosan komersil yang terlihat pada gambar 2 dan 3. 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20 25 [ c r( ii i) ] ( p p m ) [kitosan]i (ppm) 0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 [ c r( ii i) ] ( p p m ) [kitosan]k (ppm) rahayu dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 32 (a) (b) gambar 2. (a) kurva isoterm langmuir, (b) kurva isoterm frendlisch dari adsorpsi ion cr(iii) pada kitosan isolasi penentuan tipe isoterm adsorpsi ion cr(iii) dilakukan dengan uji regresi dengan membandingkan koofisien korelasi (r 2 ). dari data, terlihat bahwa kecenderungan adsorpsi kitosan terhadap ion cr(iii) dapat ditentukan dari linearitas yang ada, dimana grafik linearitas yang baik adalah yang mempunyai harga koofisien korelasi (r 2 ) ≥ 0,9 (mendekati 1) kecenderungan adsorpsi ion cr(iii) pada kitosan isolasi adalah cenderung mengikuti isotherm freundlich yang mengartikan bahwa isoterm ini dikembangkan untuk permukaan adsorben yang bersifat heterogen (sutapa dkk, 2014) karena menunjukan koofesien korelasi (r 2 ) yang lebih besar yakni 0,9148 jika dibandingkan dengan isoterm langmuir yang hanya mencapai 0,8218. sebaliknya, yang terjadi pada kitosan komersil, berdasarkan koofesien korelasi yang ditunjukkan pada kurva, maka dapat dilihat bahwa kitosan komersil ini tidak dapat mengikuti isoterm langmuir ataupun freundlich karena memiliki nilai (r 2 ) untuk langmuir hanya sebesar 0,6806 dan freundlich 0,4008. hal ini disebabkan karena kitosan komersil berasal dari kitin murni sehingga pada proses deasetilasi menghasilkan kitosan yang mungkin memiliki permukaan yang merata, sedangkan kitosan isolasi berasal dari kitin yang mengalami pemurnian secara konvensional sehingga pada proses deasetilasi menghasilkan kitosan yang mungkin memiliki permukaan yang amorf. (a) (b) gambar 3. (a) kurva isoterm langmuir (b) kurva isoterm freundlisch dari adsorpsi ion cr(iii) pada kitosan komersil berdasarkan data-data korelasi di atas maka yang dapat dihitung besarnya penjerapan kitosan terhadap ion cr(iii) hanyalah pada kitosan isolasi. berdasarkan persamaan (2) maka diperoleh nilai 1/n yang menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi adsorpsi sebesar 0,2712 dan nilai n = 3,6873. menurut zor (2004) jika n>1 mengindikasikan baiknya penjerapan ion cr(iii) oleh kitosan dan diperoleh nilai kf sebesar 1,18673 mg/g. nilai kf pada penelitian ini berbeda dengan nilai kf yang diperoleh wijayanti dkk. (2018) yaitu 76, 923 mg/g dan 76,9 mg/g untuk adsorben tanah yang dipengaruhi penambahan pupuk organik dan tanah andisol dengan 1 gram pupuk dan hasil yang berbeda juga diperoleh zaharah dkk. (2015) yaitu sebesar 68,965 mg/g untuk adsorben biomassa chlorella sp terimobilisasi pada y = 0.2711x + 0.1709 r² = 0.9148 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 4 3 2 1 0 1 2 y = 0.7716x + 0.4435 r² = 0.8218 0 0.5 1 1.5 2 0 0.5 1 1.5 2 y = 0.7795x 1.2414 r² = 0.6806 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0 0.5 1 1.5 y = -0.7543x 0.4904 r² = 0.4008 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 . 5 1 0 . 5 0 rahayu dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 33 kitosan. hal ini disebabkan karena perbedaan adsorben yang digunakan dalam proses adsorpsi ion cr. hasil yang berbeda pula diperoleh pada nilai kf adsorben kitosan terhadap berbagai adsorbat ion logam, seperti yang diperoleh agustrya dkk (2015) yaitu sebesar 0,315 mg/g untuk adsorsi ion cd(ii) pada kitosan terimobilisasi ditizon, dan juga berbeda dengan hasil yang diperoleh rahayu dkk. (2016) sebesar 0,24 mg/g untuk adsorpsi ion logam ni(ii) oleh kitosan termodifkasi tripolifosfat. berbeda juga dengan hasil yang diperoleh kurniasih dkk. (2014) yaitu sebesar 0,655 mg/g untuk adsorpsi rhodamin b oleh kitosan serbuk dan 3,3 mg/g untuk adsorpsi rhodamin b oleh kitosan beads. hal ini menunjukkan bahwa kemampuan adsorpsi kitosan pun memberikan hasil yang berbeda-beda terhadap berbagai ion logam. menurut (lyman dkk., 1995), semakin besar nilai kf maka semakin besar kapasitas adsorben menyerap adsorbat. nilai kapasitas yang diperoleh dalam penelitian ini dipengaruhi oleh karena adanya perbedaan perlakuan pada proses deasetilasi yakni dengan adanya penambahan nabh4 yang meningkatkan daya jerap kitosan. kesimpulan persentasi penjerapan tertinggi ion cr(iii) terdapat pada konsentrasi 5 ppm sebesar 99,312 % untuk kitin komersil dan pada konsentrasi 20 ppm sebesar 98,64 % pada kitin isolasi.isoterm adsorpsi yang diikuti oleh sistem adsorpsi ion cr(iii) pada kitin isolasi adalah isoterm freundlisch dengan nilai 1/n = 0,2712 dan nilai kf = 1,18673 mg/g. daftar pustaka agustrya, n., destriarti, l., zaharah, t. a., 2015. penentuan kapasitas adsorpsi kitosan terimobilsasi ditizon terhadap cd(ii), j. kimia khatulistiwa, 4, 73-78. gyliene, o., razmute, i., tarozoute, r., nivinskiene, o., 2003. chemical composition and sorption properties of chitosan produced from fly larva shells, chemija (villnius), 14, 121-127. islam, n. m., khan, m. n., malik, a. k, rahman, m. m., 2019. preparation of bio-inspired trimethoxysyl group terminated poly(1vinylimdazole)-modified-chitosan composite for adsorption of chromium(iv) ions, j. hazardous materials, 379, 1-11. kurniasih, m., riapanitra, a., rohadi, a., 2014. adsorpsi rhodamin b dengan adsorben kitosan serbuk dan beads kitosan, sains dan mat., 2, 27-33. laksono, e. w., prodjosantoso, a. k., ikhsan, j., 2010. koadsorpsi cr-fe oleh kitosan, j. penelitian sainstek, 13, 95-109. lynam, m. m., kilduff, j. e., webber, jr. j., 1995. adsorption of p-nitrophenol from oilute aqueous solution, j. chem. ed., 72, 81-82. prambaningrum, w., khabibi., djunaidi, m, c., 2009. adsorpsi ion besi(iii) dan kadmium(ii) menggunakan gel kitosan, j. kimia sains dan aplikasi, 12, 47-51. rahayu, p., khabibi., 2016. adsorpsi ion nikel(ii) oleh kitosan termodifikasi tripolifosfat, jurnal kimia sains dan aplikasi, vol 19. 21-26. ramasubramaniam, s., govindarajan, c., gomathi, t., sudha, p. n., 2012. removal of chromium (vi) from aquous solution using chtosan-strach blend, der pharmacia lettre, vol 4. 240-248. sekewael, s.j., tehubijuluw, h., reawaruw, d. r., 2013. kajian kinetika dan isoterm adsorpsi logam pb pada lempung asal desa ouw, ind. j. chem. res, vol 1. 38-46. sulastri, s., nuryono., kartini i., kunarti, e. s., 2014. kinetika dan keseimbangan adsorpsi ion kromium (iii) dalam larutan pada senyawa silika dan modifikasi silika hasil sintesis dari abu sekam padi, j. penelitian sainstek, 19, 3344. sutapa, i. w., siahay, v.p.d., tanasale, m.f.j.d.p., 2014. adsorpsi ion logam cu 2+ pada pectin dari kulit pisang tongka langit (musa species van balbisina), ind. j. chem. res, 1, 72-77. tanasale, m.f.j.d.p., killay, a. laratmase, m.s, 2012. kitosan dari limbah kulit kepiting rajungan (portunus sanginolentus l.) sebagai adsorben zat warna biru metilena, j. natur indo., vol 14. 165–171. tanasale, m.f.j.d.p., telussa, i., sekewael, s.j., kakerisa, l., 2016. ekstraksi dan karakterisasi kitosan dari kulit udang windu (penaeus monodon) serta proses depolimerisasi kitosan dengan hidrogen peroksida berdasarkan variasi suhu pemanasan, indo. j. chem. res, 3, 308316. tarafdar, a., and biswas, g., 2013. extraction of chitosan from prawn shell waste and examination of its viable commercial applications, inter. j. theoretical and applied res. in mechanical eng., 2. 17-24. wijayanti, a., susatyo, e. b., kurniawan, c., sukarjo., 2018. adsorpsi logam cr(iv) dan rahayu dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ayu 34 cu(ii) pada tanah dan pengaruh penambahan pupuk organik, indo. j. chem. sci., 7, 242-248. zaharah, t. a., shofiyani, a., sayekti, e., 2015. karakteristik biomassa chlorela sp terimobilisasi pada kitosan untuk adsorpsi kromium(iii) dalam larutan, alchemy j. penelitian kimia, 11, 15-28. zor, s., 2004. investigation of the adsorption of anionic surfacftans of different ph values by means of active carbonand the kinetics of adsorption, j. serh. chem. soc., 69, 25-32. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 8-13, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 8 production process of large pore size activated carbon from palm kernel shell using sodium chloride as an activator ahmad nurdin 1*, iriani2, hamidah harahap2, aliyah fahmi3 1master’s student of chemical engineering program, engineering faculty, university of sumatera utara, almamater kampus street, usu medan – 20155, north sumatera, indonesia 2chemical engineering program, engineering faculty, university of sumatera utara, almamater kampus street, usu medan – 20155, north sumatera, indonesia 3 chemistry program, health faculty, university of efarina, wismar saragih street no.1 pematang siantar, north sumatera *corresponding author: nurdinsyschem@gmail.com. received: march 2022 received in revised: april 2022 accepted: may 2022 available online: may 2022 abstract this study aimed to determine the yield of activated carbon, iodine number, and surface area of palm activated carbon. samples were produced by using sodium chloride (nacl) as an activator. palm shells that had been produced by the milling process were then sieved with a 12 mesh sieve and soaked in 20 % nacl solution. the sample solution was heated over a water bath at 70 oc and continued with the drying process at a constant temperature of 105 oc. the activated shells continued the pyrolysis process at temperatures of 300, 400, and 500 oc for 3 hours. the activated carbon obtained from the pyrolysis process was weighed and then washed using hot distilled water. the samples were dried in an oven at a temperature of 105 oc for 24 hours. the results were analyzed for iodine number using iodometric titration method, surface area using brunaueremmett-teller (bet) method, and pore structure using the scanning electron microscope (sem) method. the results showed the best yield was 38.13 % obtained at 20% nacl and a temperature of 400 oc. the best iodine number was 767.745 mg/g and surface area was 6.790 m2/g, pore volume 4.377 cc/g with pore size 9.781 a. keywords: activated carbon, nacl, sem, iodin number, bet introduction indonesia is the largest producer and exporter of palm oil in the world. statically between 2009-2019, there was an increased area of oil palm plantations, with only 7.9 million hectares in 2009, increasing to 14.5 million hectares in 2019 (badan pusat statistik, 2019). the increase in area and production of palm oil resulted in more waste being produced (schleicher et al., 2019). one of the abundant solid residues of palm oil production is the palm kernel shell. currently, palm kernel shells are still underutilized and disposed of by burning. the palm oil processing process produces solid waste similar to empty fruit bunches (efb) ranging from 22-25% and oil palm shells ranging from 5-7% of the total weight of fresh fruit bunches (ffb). the solid waste produced has great potential due to its high carbon content of 49.79% (edmund et al., 2014). in general, coconut shells are used as fuel in electric generators in palm oil processing plants. oil palm shell is a biomass waste composed of 53.40% lignin, 6.92% cellulose, and 26.12% hemicellulose. from this composition, oil palm shells have a lower flash point and thermal reactivity than empty fruit bunches (feb) (baffour-awuah et al., 2021). oil palm shells have the characteristics of a porous particle surface, low sulfur content, high mechanical strength, various functional groups, and insoluble in water (rashidi & yusup, 2021). based on these compositions and characteristics, activated charcoal is one of the products with high economic value that can be utilized from oil palm shells. activated charcoal is a highly porous material widely used in the separation process, both in the purification of liquid waste and the separation of gas phases. according to heidarinejad et al. (2020) activated charcoal is an adsorbent material with a high degree of porosity and surface area and is composed of 90% carbon. activated carbon is the most popular adsorbent for adsorption because it has a high adsorption capacity (tanasale et al., 2014). activated charcoal is a form of charcoal that has been activated by using co2 gas, water vapor, or chemicals so that the pore is open. thus, its adsorption power increases against color and odor substances (sekewael et al., 2015). the carbon structure of activated charcoal consists of main functional groups such as carbonyl, ahmad nurdin and aliyah fahmi indo. j. chem. res., 10(1), 8-13, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 9 carboxyl, phenol, lactone, and quinone, responsible for the contaminant adsorption process. activated charcoal also has the advantages of a simpler production process, resistance to corrosion (acid and alkali), and can be used as a supportive catalyst (rambabu et al., 2015) several studies have produced activated charcoal from oil palm shells, including okoroigwe et al. (2013). purification of ubu river water using activated charcoal adsorbents from oil palm shells succeeded in reducing the content of iron compounds from 1.82 mg/l to 0.29 mg/l. ulfah et al. (2017) reported a study on the recovery of β-carotene compounds from palm oil using activated charcoal from oil palm shells. the adsorption capacity of 14.32 mg/g was obtained with the number of β-carotene compounds recovered was 28-30%. lee et al. (2021) reported that activated charcoal from oil palm shells could be used in the adsorption process of methylene blue compounds with an adsorption capacity of 16.92 mg/g. tan et al. (2021) reported that activated charcoal from oil palm shells could be used as an adsorbent in the pome waste treatment process, with a color removal efficiency of 99.7% and cod of 85.0%. before being used as activated charcoal, oil palm shells go through two stages, namely carbonization, and activation. this process aims to increase oil palm shell-activated charcoal's porosity and surface area (andas et al., 2017). there are three activation processes for charcoal: chemical, physical, and chemical-physical combinations. the physical activation process is carried out under atmospheric pressure using gas o2, co2, n2, and water vapor at a temperature of 800-1100 ᵒc (heidarinejad et al., 2020). the physical activation process has weaknesses such as long activation time, the low adsorption capacity of the adsorbent, and high energy consumption. the chemical activation process or wet oxidation of activated charcoal raw materials will be mixed with an activating agent, and then the mixture is heated at a temperature of 400-900 ᵒc (hidayu & muda, 2016). the chemical activation process has advantages such as a larger surface area of the adsorbent, higher porosity, shorter activation time, and lower energy consumption. the activators that are generally used to make activated charcoal are h3po4, koh, zncl2, naoh, and k2co3. several studies have been carried out on the process of making activated charcoal from oil palm shells with chemical activation methods. hidayu & muda (2016) reported research on the manufacture of activated charcoal using a zncl2 activator and obtained a yield of 44% with a bet surface area was 1.223 m2/g. in a different study, andas et al. (2017) reported making activated charcoal using a koh activator and obtained a yield of 8.93% with a bet surface area of 994.83 m2/g. nicholas et al. (2018) reported the manufacture of palm shell-activated charcoal using the h3po4 activator, and the bet surface area was 1,169 m2/g. in a study conducted by rashidi & yusup (2021), making activated charcoal from palm oil-petroleum coke shells using a k2co3 activator reported a significant increase in bet surface area on activated charcoal 317.746 m2/g from oil palm shells of 1.84 m2/g. each activator commonly used in the production of activated charcoal, especially from biomass waste, has its weaknesses. the h3po4 activator in making activated charcoal from lingo-cellulosic material limits the tar that comes out of the charcoal material during the carbonization process, which affects forming activated charcoal pores (deliyanni, 2019). zncl2 activator is a strong dehydrating agent that prevents tar formation during the process and increases the release of impurities. still, residues from the zncl2 activator will harm the environment (heidarinejad et al., 2020). when used in biomass waste, the koh activator produces low yields than other activators (dzigbor & chimphango, 2019). one of the activators that can be an alternative in making activated charcoal from palm kernel shell biomass waste is nacl. nacl is non-toxic and environmentally friendly, inexpensive, has high thermal conductivity, and is easily available for use in small-scale production processes (dzigbor & chimphango, 2019; maulina et al., 2020). several studies have been carried out to produce activated charcoal from biomass waste using nacl activator. dolas et al. (2011) reported on the manufacture of activated charcoal from pistachio shells biomass waste. nacl activator showed the best bet surface area of 703.3 m2/g compared to alkaline activator naoh of 370.52 m2/g and acid activator hcl of 353.25 m2/g. in the study of making activated charcoal from biomass waste acacia auriculeaformis reported by kra et al. (2019), the nacl activator produced the largest activated charcoal yield of 48.87% compared to the h3po4 acid activator of 41.81%. bet surface area of the nacl activator was 395.40 m2/g, and the iodine value was 380.71 mg/g. dzigbor & chimphango (2019) reported making activated charcoal from mango seed biomass waste using nacl as an activator, the bet surface area of activated charcoal products was 415 m2/g. according to zakaria et al. (2021) apart from the type of activator, the variable concentration of ahmad nurdin and aliyah fahmi indo. j. chem. res., 10(1), 8-13, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 10 activator, pyrolysis temperature, and activation time affect the yield and surface characteristics of the activated charcoal produced. oil palm shells have the potential to be developed as a precursor in the manufacture of activated charcoal. this study aims to examine the effect of the chemical activation method using nacl activator on yield and characteristics of activated charcoal from oil palm shells. the variables used in this study were activator concentration, pyrolysis temperature, and activation time. activated charcoal produced will be used as an adsorbent in absorbing iron and turbidity in the underground water purification process. this study produced palm kernel shell-activated carbon by chemical activation using nacl as an activating agent. this study aims to produce activated carbon and investigate the effect of nacl as an activating agent on the characteristic of activated carbon from palm kernel shells. the research variable was pyrolysis temperature. the activated carbon obtained was analyzed for iodine number, surface area using brunauer-emmett-teller (bet) method and pore structure using scanning electron microscope (sem). methodology materials and instrumentals the material palm kernel shell was obtained from pmks pt. bumi sama ganda – kuala simpang palm oil mill. sodium chloride (nacl, merck millipore) was used as the chemical activator, sodium thiosulfate (na2s2o3, merck millipore), and potassium iodine (merck millipore). instruments used in the study included a vertical tubular reactor equipped with a panel system, a gas cylinder with a regulator, and a nitrogen hose connected to the pyrolysis reactor. methods pre-treatment of palm kernel shell palm kernel shell (pks) was used as the precursor for the activated carbon. the pks were washed using water several times to remove dust and dirt. pks samples were sundried for two days. then samples were dried in an oven at 800c to remove surface moisture. the dry sample was ground and sieved to the size of 12 mesh and placed in a closed container for further use. preparation of activated carbon 30 g of raw pks was mixed with 100 ml of 20% nacl solution. impregnation was done at 70 ᵒc for 3 hours, soaking at room temperature for 24 hours. after impregnation, samples were dried in an oven at a temperature of 105 ᵒc to obtain a constant weight. the dried samples were then carbonized at 300 ᵒc, 400 ᵒc, and 500 ᵒc for 3 hours. meanwhile, the samples without activation directly carbonized after sieving into a size of 12 mesh with the same variation of temperatures. the resulting activated carbon was cleaned using hot water several times. the washed samples were dried in an oven at 100 ᵒc for 24 hours to remove internal moisture. samples were weighed and stored in a closed container for further use and analysis. data analysis the dry sample was weighed, and the yield percentage was calculated using equation 1. yield % = 𝐹𝑖𝑛𝑎𝑙 𝑀𝑎𝑠𝑠 𝐼𝑛𝑖𝑡𝑖𝑎𝑙 𝑀𝑎𝑠𝑠 𝑥 100% (1) where final mass = mass of the product; initial mass = mass of precursor used sem analysis (zeiss-evo-50) was carried out to determine the surface morphology of nacl-ac. na2s2o3 volumetric titration method based on astm d4607 was used to determine the iodine number of nacl-ac. the nacl-ac's specific surface area was determined by brunauer-emmett-teller (bet) method (quanta-chrome novawin version 11.0). results and discussion influence of pyrolysis temperature on yield of activation carbon pyrolysis temperature is related to activated carbon yield as seen in figure 1. figure 1, shows that the yield of activated carbon indicated decreased with an increase in pyrolysis temperature from 300 ᵒc to 500 ᵒc. in this study, the best yield of activated carbon was obtained at a pyrolysis temperature of 300 ᵒc (38.13%). this phenomenon occurs because the pyrolysis process causes the release of more volatile components as the process temperature increase. figure 1 also shows that activated carbon yield before pyrolysis of nacl activation gives slightly better results than without nacl activation. the activating agent nacl acts as dehydrating agent inhibiting tar formation, thereby increasing the carbon yield (rodrfguez-reinoso & sepúlveda-escribano, 2001) ahmad nurdin and aliyah fahmi indo. j. chem. res., 10(1), 8-13, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 11 figure1. effect of activation temperature on yield activated carbon (ac) influence of activation temperature the activation temperature of activated carbon yield is also related to the iodine number as seen in figure 2. figure 2. effect of nacl on iodine number activated carbon (ac) figure 2 shows the iodine values of nacl-ac, which are better than that of ac without chemical activation within the studied temperature range. in this study, the optimum iodine number of activated carbon was obtained at a pyrolysis temperature of 400 ᵒc with 767.745 mg/g. the increase in pyrolysis temperature and processing time will lead to a decrease in activated charcoal yield. according to rodriguez-reinoso (rodrfguezreinoso & sepúlveda-escribano, 2001), the active agent attacks carbon and produces several hydrolysis reactions and causing enhance in the elasticity and swelling of the precursor particles, thus leaving a porous activated carbon when the active agent is removed with distilled water after pyrolysis. in this study, the increase in iodine number was not linear with increasing temperature. this finding is due to the destruction of the carbon surface due to hightemperature carbonization. alkali and salt activators tend to produce activated carbon with maximum micro-porous at the carbonization temperature of less than 500 ᵒc (maulina et al., 2020) bet surface area bet analysis was used to show the surface area of activated carbon. bet analysis shows different ac results without activation and ac using nacl activation in this study. the result presented in table 1 shows that ac with chemical activation using nacl provides a larger surface area of 6.790 m2/g than ac without chemical activation of 5.861 m2/g. nacl-ac also shows the highest pore volume 4.377 cc/g compare to ac without chemical activation 1.505 cc/g. this is because an activating agent has contributed to creating more new pores and enlarging existing pores. bet surface area parameter towards activated carbon with and without nacl as activator is represented in the table 1. table1. bet surface area of carbon parameter ac-without chemical activation naclac surface area (m2/g) 5.861 6.790 pore volume (cc/g) 1.505 4.377 pore size (å) 9.504 9.781 morphological analysis sem investigated the surface morphology of ac nonchemical activation and nacl-ac and the images are shown in figure 3. based on figure 3(a), it can be observed that there was a smooth surface and a small proportion of pores on the particle surface. however, in figure 3(b) there is a lot of development of pores on the particle surface. the activation treatment aims to enlarge the adsorbent pores (priyanto et al., 2021). this finding may have resulted from the intercalation of nacl and the dehydration of volatile materials. 0 10 20 30 40 50 300 400 500 a c ti v a te d c a rb o n y ie ld ( % ) activation temperature ºc nacl-acl without chemical activation-ac 640 660 680 700 720 740 760 780 300 400 500 id o in e n u m b e r (m g /g ) activation temperature ºc without chemical activation-ac nacl-ac ahmad nurdin and aliyah fahmi indo. j. chem. res., 10(1), 8-13, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 12 figure 3. sem images of (a) ac-without chemical activation and (b) nacl-ac conclusion nacl can be used as an activating agent to produce activated carbon from palm shells (pks). this study found the optimum temperature at 400 c with a yield of 38.13% and an iodine value of 767.75 mg/g. activated carbon using nacl activation has a surface area of 6,791 m2/g and a pore volume of 4,377 cc/g with a pore size of 9,781 a. nacl activation in the manufacture of activated carbon from palm shells can be used as an alternative activating agent because it produces many pores on the surface, as shown by sem analysis. acknowledgment all acknowledgments i present to all people who helped this research. references andas, j., rahman, m. l. a., & yahya, m. s. m. (2017). preparation and characterization of activated carbon from palm kernel shell. iop conference series: materials science and engineering, 226, 012156. badan pusat statistik. (2019). indonesian oil palm statistic. bps-statistics indonesia. baffour-awuah, e., akinlabi, s. a., jen, t. c., hassan, s., okokpujie, i. p., & ishola, f. (2021). characteristics of palm kernel shell and palm kernel shell-polymer composites: a review. iop conference series: materials science and engineering, 1107(1), 012090. deliyanni, e. a. (2019). low-cost activated carbon from rice wastes in liquid-phase adsorption. in interface science and technology, 30, 101–123. dolas, h., sahin, o., saka, c., & demir, h. (2011). a new method on producing high surface area activated carbon: the effect of salt on the surface area and the pore size distribution of activated carbon prepared from pistachio shell. chemical engineering journal, 166(1), 191–197. https://doi.org/10.1016/j.cej.2010.10.061 dzigbor, a., & chimphango, a. (2019). production and optimization of nacl-activated carbon from mango seed using response surface methodology. biomass conversion and biorefinery, 9(2), 421–431. edmund, c. o., christopher, m. s., & pascal, d. k. (2014). characterization of palm kernel shell for materials reinforcement and water treatment. journal of chemical engineering and materials science, 5(1), 1–6. heidarinejad, z., dehghani, m. h., heidari, m., javedan, g., ali, i., & sillanpää, m. (2020). methods for preparation and activation of activated carbon: a review. environmental chemistry letters, 18(2), 393–415. hidayu, a. r., & muda, n. (2016). preparation and characterization of impregnated activated carbon from palm kernel shell and coconut shell for co2 capture. procedia engineering, 148, 106–113. kra, d. o., allou, n. b., atheba, p., drogui, p., & trokourey, a. (2019). preparation and characterization of activated carbon based on wood (acacia auriculeaformis, côte d’ivoire). journal of encapsulation and adsorption sciences, 09(02), 63–82. lee, c. l., chin, k. l., h’ng, p. s., rashid, u., maminski, m., & khoo, p. s. (2021). effect of pretreatment conditions on the chemical– structural characteristics of coconut and palm kernel shell: a potentially valuable precursor for eco-efficient activated carbon production. environmental technology & innovation, 21, 101309. maulina, s., handika, g., irvan, & iswanto, a. h. (2020). quality comparison of activated carbon produced from oil palm fronds by chemical activation using sodium carbonate versus sodium chloride. journal of the korean wood science and technology, 48(4), 503–512. (a) (b) ahmad nurdin and aliyah fahmi indo. j. chem. res., 10(1), 8-13, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 13 nicholas, a., hussein, m., zainal, z., & khadiran, t. (2018). palm kernel shell activated carbon as an inorganic framework for shape-stabilized phase change material. nanomaterials, 8(9), 1-14. okoroigwe, e. c., ofomatah, a. c., oparaku, n. f., & unachukwu, g. o. (2013). production and evaluation of activated carbon from palm kernel shells (pks) for economic and environmental sustainability. international journal of physical sciences, 8(19), 1036–1041. priyanto, a., malik, f., muhdarina, m., & awaludin, a. (2021). adsorption and characterization of activated sugarcane bagasse using natrium hydroxide. indonesian journal of chemical research., 8(3), 202–209. rambabu, n., rao, b. v. s. k., surisetty, v. r., das, u., & dalai, a. k. (2015). production, characterization, and evaluation of activated carbons from de-oiled canola meal for environmental applications. industrial crops and products, 65, 572–581. rashidi, n. a., & yusup, s. (2021). co-valorization of delayed petroleum coke-palm kernel shell for activated carbon production. journal of hazardous materials, 403, 123876. rodrfguez-reinoso, f., & sepúlveda-escribano, a. (2001). porous carbons in adsorption and catalysis. handbook of surfaces and interfaces of materials, 5, 309–335. schleicher, t., hilbert, i., manhart, a., & hennenberg, d. k. (2019). production of palm oil in indonesia. country-focused commodity analysis in the context of the bio-macht project. freiburg/bandung. sekewael, s. j., latupeirissa, j., & johannes, r. (2015). adsorption of cd metal using active carbon from cacao shell (theobroma cacao). indonesian journal of chemical research, 2(2), 204–197. tan, y. y., bello, m. m., & abdul raman, a. a. (2021). towards cleaner production in palm oil industry: advanced treatment of biologicallytreated pome using palm kernel shell-based adsorbent. cleaner engineering and technology, 2(100079), 1–9. tanasale, m. f. j. d. p., latupeirissa, j., & letelay, r. (2014). adsorption of tartrazine dye by active carbon from mahagony (swietenia mahagoni jacq) rind. indonesian journal of chemical research, 1(2), 104–109. ulfah, m., raharjo, s., hastuti, p., & darmadji, p. (2017). adsorption of β-carotene in isopropyl alcohol with decolorized activated carbon as model for β-carotene adsorption in crude palm oil. indonesian journal of chemistry, 17(1), 105. zakaria, r., jamalluddin, n. a., & abu bakar, m. z. (2021). effect of impregnation ratio and activation temperature on the yield and adsorption performance of mangrove based activated carbon for methylene blue removal. results in materials, 10, 100183. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 180-185, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.-irm 180 concentration effect of leaf extract from kekara laut (canavalia maritima thou.) in inhibiting of staphylococcus epidermidis bacteria with a statistical science approach irman idrus1, fajar kurniawan1, faizal mustapa2, dwiprayogo wibowo3* 1department of pharmacy, sekolah tinggi ilmu kesehatan pelita ibu kendari, anduonohu, poasia, kendari 93231, southeast sulawesi, indonesia 2department of aquaqulture, faculty of sciences and technology, institut teknologi dan kesehatan avicenna, lepo-lepo, kendari 93117 – southeast sulawesi, indonesia 3department of environmental engineering, faculty of engineering, universitas muhammadiyah kendari, kendari 93117 southeast sulawesi, indonesia. *corresponding author: dwiprayogowibowo@yahoo.com received: september 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract importantly to study the coastal vegetation from kekara laut (canavalia maritima thou.) to observe the antibacterial agents towards staphylococcus epidermidis. the purpose of this study to examine the variation concentration effect of an ethanol leaf extract from canavalia maritima thou. in inhibiting the growth of s. epiderimidis bacteria. the leaf of canavalia maritima thou. was prepared using a physicochemical method to obtain ethanol extract, then varied in several concentrations, namely 5% w/v; 10% w/v; 15% w/v; and 20% w/v. based on these results, we obtain the ethanol leaf extract can inhibit the growth of s. epidermidis with a concentration of 15% w/v for 24 hours having an inhibition zone of 17.17 mm. the statistical analysis test was very significantly different from all antibacterial tests, the value of f count was 682.1 with f table (3.48), at the level of α = 0.05 (3.48) and α = 0.01 (5.99), which indicates that h0 is rejected, but using the variance method in the newman-keuls range approach shows that each concentration has a good inhibitory ability. the use of canavalia maritima thou. leaf extract in low concentrations can significantly inhibit bacterial growth (bacteriostatic). keywords: ethanol, extract, leaf, canavalia maritima thou., antibacterial introduction the last few years the exploration of active compounds as an alternative of natural medicine from plants and organisms were intensified by the researchers under organic chemistry and pharmaceuticals to obtain the information related to its potential activities as antimicrobial materials (ahmad, a., 2016; rahmawati and sudjarwo, 2011). this condition due to the several chemical compounds have different benefits to inhibit several diseases. today, the modern medical also began to re-study the utilization of traditional drugs as it shows no highly significant impact on the emergence of side effects than synthetic drugs (subroto and harmanto, 2013). traditional medicine is considered safer compared with synthetic drugs because it can literally be neutralized in the human body, increase the antibody against virus/ bacterial, and safe to be consumed (astarina et al., 2013; kiromah et al., 2019). however, the utilization of various plants as medicine material is required intensive study related invitro and invivo tests to obtain their activity to various diseases (ariani et al., 2017; pranoto et al., 2012). one of the diseases that suffered by the several community is the infection caused by bacteria (ariani and riski, 2018; kursia et al., 2016). bacteria is an microorganisms and only identified by using microscope tools (bin dan vitria., 2018). besides that, pathogenic bacteria are more dangerous and can lead to infection both sporadic and endemic as in the staphylococcus epidermidis, staphylococcus aureus, escherichia coli and pseudomonas aeruginosa (gaol et al., 2017; taslim and maskoen, 2016). in addition, importantly to investigate bioactive compounds material from nature should be explorated to decrease bacterial resistance of pathogens as antibiotics and dependency of synthetic drugs against human body (kurniawati et al., 2016; mukti, 2017). the exploration of biodiversity within the scope of the beach vegetation is very unique as well as to benefit the coast community to be able to take irman idrus, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 180-185, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.-irm 181 advantage of herbs the infection diseases (bhagya and sridhar, 2009; salimi et al., 2019). this is certainly very beneficial to the indonesian population because most of the majority of living partially coated. one of the beach vegetation that often encountered in indonesia is the canavalia maritima thou. which has not been considered intensively by some researchers related to antibacterial potential of s. epidermidis. several previous studies have reported that marine cabling contains the potentially integrated antibacterial and antiparaciteic compounds because it can inhibit the cell adsion and thin layers of cells by interrupting cell signal (arrudapat et al., 2013). this compound is a derivative of proteins that function to bind gloprotein body cells and glycolipids expressed on the surface of the cell, this condition can disease the surface of the bacterial cell wall (iordache et al., 2015). the potential as an antibacterial of canavalia maritima thou. can be tested in some bacteria. therefore in this study aims to test of ethanol extract from canavalia maritima thou. leaf to obtain potential as an antibacterial material against s. epidermidis with a statistical science approach to determine the effectiveness as antibaterial. methodology apparatus and materials in this research are a set of glassware (iwakipyrex), rotary evaporator (buchi), spray bottles, blender, autoclave, laminar, oven, term, analytic scales. while the material used is distilled water, ethanol 70% w/v (technical), pure briber s. epidermidis, canavalia maritima thou. leaf, disc paper, nutrient medium for nacl 0.9% w/v, muller hilton agar (mha), na.cmc 1% w/v, paper label, sterile swab, and aluminium foil. experimental preparation and extraction the initial stage in this research is the sample preparation through the physical stage, where the canavalia maritima thou. leaf collected from the middle-sulawesi then is cleaned from the impurities. the leaf is washed using water flowing to clean, droign, and dried under the sunlight exposure to dry the sample. furthermore, the sample was milled by using blender and sifted to smoothness of 80 mesh. sample was weighed 500 grams, then incorporated into the maceration tank and incorporated ethanol solvent 70%. maceration was conducted for 5×24 hours with occasional shipments shuffled to increase contact between solvents with a sibling sample. then filtered using filter cloth to separate between residues and rough extracts. the last stage is separated rough extract by using a rotary evaporator until the pure extract is obtained. antibacterial test against s. epidermidis the entire tools used for antibacterial testing was sterilized using detergent, distilled water, ethanol and included in the autoclave at 121°c with 1 atm for 15 minutes. in addition, the sample solution was used by varying concentration extract such as 5% w/v; 10% w/v; 15% w/v; and 20% w/v by weighing 5 g; 10 g; 15 g and 20 g extracts of sample and also negative control of 100 ml of na.cmc solution 1% w/v. to improve the quality of antibacterial testing, the testing rejuvenation of the test of the na media incubated for 1×24 hours. furthermore, testing to the test bacteria prepared mha medium that has sold inserted each paperdisc that has been soaked in the variations of the ethanol extract of canavalia maritima thou. leaf. the negative control used is na.cmc 1% w/v. then put on the surface media that has been complaced aseptically by using a sterile tweezers, with a distance of 2-3 cm from the edge of the petri cared, then incubated at 37°c for 1×24 hours. results and discussion antibacterial test against s. epidermidis this study uses ethanol extract of canavalia maritima thou. leaf with the variation concentration of 5% w/v, 10% w/v, 15% w/v, and 20% w/v. the canavalia maritima thou. leaf has extracted using the maceration method (immersion) in order to the texture of sample is soft which is require the extraction method as coolly easily and quickly. universally, this maceration technique has been widely applied in the exploration of secondary metabolite compounds of plants because it is considered excellent in attracting some of the components of active compounds in plants. importanlty, in this process is the sample size used should be smaller when contacting with the solvent in order to get optimal extraction because the high surface area of the leaf contact is the greater (sa’adah and nurhasnawati, 2017). in addition, the volume of solvent used should be more added because the capability of the saturation also plays a role in its ability to extract. if the saturation conditions, the ability of the extraction is getting weaker (triastiari and harijono, 2019). ethanol solvent for maceration is very safe for antibacterial testing when compared to methanol because of the nature of the polarity and electronegative of the ethanol is weaker than methanol due to the distribution of electrons from the ch3-ch2 irman idrus, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 180-185, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.-irm 182 groups providing stability on the –oh groups (surtina et al., 2020). furthermore, the rough extract is separated using rotary evaporator to obtain a concentrated extract from canavalia maritima thou. leaf. the solvent is evaporated under ambient temperature to obtain dry extract. in this study the test bacteria was applied in this study using s. epidermidis is a pathogenic bacteria in humans. figure 1. antibacterial activity test results of canavalia maritima thou. leaf extract against s. epidermidis, a. na.cmc 1%w/v; b. 5 %w/v; c. 10%w/v; d. 15%w/v; e. 20%w/v. the inhibition test was conducted by using the pour method. the mha medium is persecuted persecutively into the petri's cup is allowed the bacterial suspension tempered at aseptic above the mha medium surface then laid the disc paper that previously immersed with samples and controls then placed in a clockwise. the result of antibacterial test of s. epidermidis can be seen in figure 1 and table 1. based on the results in figure 1 and table 1 are known that the ethanol leaf extract with a variation of concentration of 5% w/v, 10% w/v, 15% w/v, and 20% w/v can inhibit the growth of s. epidermidis with the greatest concentration of the inhibit zone is shown at concentration of 20% w/v. however, the closure of the diameter zone of the 20% w/v is relevanted with 15% w/v. according to muharammy et al. (2016) that the ability inhibitory zone of the compound as an antibacterial is shown that the 15-20 mm range is categorized in moderate hamps. while the inhibitory diameter zone more than 20 mm shows the power of stronger. in this study, the ethanol extract at a concentration of 15% w/v and 20% w/v are categorized as moderate hamps as an antibacterial. according to collins, (2018) the canavalia maritima thou. has a characteristic of bacteriostatic is a condition caused by antibacterial compound inhibits the growth / development of bacteria remains, so that the ability of impartial power may be decreased. other factors may also affect such levels of concentration in ethanol because the difference in compound content is bound to each concentration, where the higher concentration of extract used was proportional with the antibacterial compounds contained in the extract. the result of the diameter zone showed the difference in each concentration due to differences in the concentration of active substances. increased concentrations will generally be followed by an increase inhibition diameter zone as construction by kusuma et al. (2017) that concentration and chemicals will affect microorganisms where the highest concentration will cause the death of microorganisms. however, the inhibition zone formed does not always follow this rule, because several factors may affect the results of the inhibitory power such as ability and the rate of diffusion of active ingredients in the medium, like the growth rate of microorganisms, sensitivity of microorganisms against active substances, and the thickness and viscosity of the medium (bin and vitria, 2018). the antibacterial chemical compounds contained in the marine of the sackeline of lectin and alkaloid compounds working by disrupting the components of b e a c d table 1. the results of diameter zone by using canavalia maritima thou. leaf extract against s. epidermidis bacterial test repeatability diameter zone (mm) total 5% w/v 10% w/v 15% w/v 20% w/v na.cmc 1% w/v control (-) staphylococcus epidermidis 1 13.00 14.00 16.50 18.50 0 62.00 2 14.00 15.00 17.50 19.50 0 66.00 3 13.50 15.00 17.50 19.50 0 65.50 total 40.50 44.00 51.50 57.50 0 193.50 average 13.50 14.67 17.17 19.17 0 std 0.50 0.57 0.57 0.57 0 irman idrus, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 180-185, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.-irm 183 peptidoglican in bacterial cells, as the cell walls are not formed intact and cause deaths to the bacterial cell (nurdin et al., 2018). statistical analysis test the results of statistical analysis using the complete randomized design (crd) by using spss application show that the distilled water as a negative control, the canavalia maritima thou. leaf has significantly diameter zone to inhibit s. epidermidis where the inhibition zone as antibacterial shows that the fcount value of 682.1 is greater than the ftable at the 0.05 (3.48) and ftable at the 0.01 (5.99) (table 2). based on the crd method in table 2 shows that the ethanol extract from canavalia maritima thou. can inhibiting of the s. epidermidis. although the results of the finger variety (table 2) is the h0 denied fcount 3.48 (ftable 0.05), we can observe the effect of each treatment using the variance test in the newman-keuls range approach (table 3). the last step of generating comparative between treatments: a opponent b = 13.50 > 1.38 (significant) a opponent c = 14.67 > 1.70 (significant) a opponent d = 17.17 > 1.90 (significant) a opposite e = 19.17 > 2.05 (significant) b opposite c = 1.17 > 1.38 (significant) b opposite d = 3.67 > 1.70 (significant) b opponent e = 4.20 > 1.90 (significant) c opponent e = 4.07 > 1.70 (significant) d opponent e = 2.0 > 1.38 (significant) c opponent d = 2.5> 1.38 (significant) based on crd method and analysis of variance can be concluded that the variation of concentration of canavalia maritima thou. leaf extract in the low concentration as significantly to inhibit s. epidermidis. conclusions based on the results obtained indicate that the canavalia maritima thou. leaf extract can inhibit the growth of s. epidermidis bacteria with a concentration of 15% w/v incubated during 1×24 hours having a 17.17 mm inhibitory zone (medium). statistical analysis test was very significant or different to the entire antibacterial testing obtained the value of fcount 682.1 with ftable (3.48), at the level of α = 0.05 (3.48) and α = 0.01 (5.99) which showed h0 was rejected but using variance method in the newman-keuls range approach showed that each concentration had good inhibition power capabilities. the use of canavalia maritima thou. leaf extract in low concentrations can significantly inhibit bacterial growth (bacteriostatic). acknowledgment we acknowledge for laboratorium phytochemistry and microbiology at faculty of farmacy, universitas indonesia timur and department of pharmacy, sekolah tinggi ilmu kesehatan pelita ibu kendari to conduct this research. references ahmad, a., and firdaus, s., 2016. potensi ekstrak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr. terhadap staphylococcus aureus dan analisis metabolit sekunder utamanya, indo. j. chem. res., 4(1), 362–366. ariani, n., and riski, a., 2018. aktivitas ekstrak etanol kulit buah pisang kepok mentah (musa paradisiaca forma typica) terhadap pertumbuhan candida albicans secara in vitro, j. pharmascience, 5(1), 39–44. ariani, n. k. i. r., and kurniadewi, f., 2017. uji aktivitas inhibisi enzim ±-glukosidase secara in vitro dari ekstrak metanol daun cryptocarya table 2. statistical analysis results by finger variety source of uniformity db jk kt fcount ftable 0.05 0.01 treatment mistake total 4 10 14 682.1 2.5 170.525 0.250 682.1** 3.48 5.99 table 3. the average treatment by arrange from smallest to the largest data a b c d e treatment na.cmc 1%w/v control (-) extract 5% w/v extract 10% w/v extract 15% w/v extract 20% w/v average 0 13.50 14.67 17.17 19.17 irman idrus, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 180-185, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.-irm 184 densiflora blume dan fraksi-fraksinya, j. ris. sains dan kim. terap., 7(1), 14–20. arrudapat c. t. t., carneiro, v. a., neves, c. c., sousa duarte, h. de, queiroz martins, m. g. de, sousa arruda, f. v., vasconcelos, m. a. de, dos santos, h. s., silva cunha, r. m. da, cavada, b. s., teixeira, e. h., 2013. a cona-like lectin isolated from canavalia maritima seeds alters the expression of genes related to virulence and biofilm formation in streptococcus mutans, adv. biosci. biotechnol, 04(12), 1073–7078. astarina, n. w. g., astuti, k. w., warditiani, n. k., 2013. skrining fitokimia ekstrak metanol rimpang bangle (zingiber purpureum roxb.), j. farm. udayana, 2(4), 279691. bhagya, b., and sridhar, k. r., 2009. ethnobiology of coastal sand dune legumes of southwest coast of india, indian j. tradit. knowl, 8(4), 611–620. bin, a. k. m., and vitria, l., 2018. uji aktivitas ekstrak etanol buah kecombrang (nicolai speciosa) terhadap staphylococcus aureus dan pseudomonas aeruginosa, java heal. jounal, 5(1), 1–8. collins, e., 2018. antibacterial: synthesis, properties and biological activity. in protests and riots past: present and future perspectives, nova science publishers, inc., usa. gaol, y. e. l., erly, e., sy, e., 2017. pola resistensi bakteri aerob pada ulkus diabetik terhadap beberapa antibiotika di laboratorium mikrobiologi rsup dr. m. djamil padang tahun 2011-2013, j. kesehat. andalas, 6(1), 164–170. iordache, f., ionita, m., mitrea, l. i., fafaneata, c., pop, a., 2015. antimicrobial and antiparasitic activity of lectins, curr. pharm. biotechnol, 16(2), 152–161. kiromah, n. z. w., widiastuti, t. c., krisdiyanti, y., kurniawan, y., 2019. tingkat penggunaan dan kesadaran masyarakat dalam konsumsi obat tradisional di wilayah kerja puskesmas gombong, j. ilmu kesehatan keperawatan, 15(1), 47–53. kurniawati, a., lukman, d. w., wibawan, i. w. t., 2016. resistensi antibiotik pada salmonella isolat sapi bakalan asal australia yang diimpor melalui pelabuhan tanjung priok jakarta, j. vet. sept., 17(3), 449–456. kursia, s., lebang, j. s., nursamsiar, n., 2016. uji aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat daun sirih hijau (piper betle l.) terhadap bakteri staphylococcus epidermidis, indones. j. pharm. sci. technol., 3(2), 72–77. kusuma, m. s., susilorini, t. e., surjowardojo, p., 2017. pengaruh lama dan suhu penyimpanan ekstrak daun sirih hijau (piper betle linn) dengan aquades terhadap daya hambat bakteri streptococcus agalactiae penyebab mastitis pada sapi perah, ternak trop. j. trop. anim. prod, 18(2), 14–21. muharammy, f., machmud, r., nelis, s., 2016. perbedaan daya hambat obat anestesi lokal lidocaine 2% dan articaine 4% terhadap pertumbuhan bakteri porphyromonas gingivalis secara in vitro, andalas dent. j., 4(2), 89–97. mukti, a., 2017. the antibiotic resitance escherichia coli in broiler meat at rukoh market, j. ilm. mhs. vet., 1(3), 492–498. nurdin, m., yanti, n. a., suciani, watoni, a. h., maulidiyah, aladin, a., wibowo, d., 2018. efficiency of ilmenite photocatalyst material as modelling for antimicrobial activity, asian j. chem., 30(6), 1590–1592. pranoto, e. n., ma’ruf, w. f., pringgenies, d., 2012. kajian aktivitas bioaktif ekstrak teripang pasir (holothuria scabra) terhadap jamur candida albicans, j. pengolah. dan bioteknol. hasil perikanan, 1(2), 1–8. rahmawati, n., and sudjarwo, e., 2011. uji aktivitas antibakteri ekstrak herbal terhadap bakteri escherichia coli, ilmu-ilmu peternak., 24(3), 24– 31. sa’adah, h., and nurhasnawati, h., 2017. perbandingan pelarut etanol dan air pada pembuatan ekstrak umbi bawang tiwai (eleutherine americana merr) menggunakan metode maserasi, j. ilmu manuntung, 1(2), 149– 153. salimi, y., bialangi, n., abdulkadir, w., parulian, b. r., 2019. senyawa triterpenoid dari ekstrak nheksana daun kelor (moringa oleifera lamk.) dan uji aktivitas antibakteri terhadap staphylococcus aureus dan escherichia coli, indo. j. chem. res., 7(1), 32–40. subroto, a., and harmanto, n., 2013. pilih jamu dan herbal tanpa efek samping, elex media komputindo, jakarta surtina, s., sari, r. p., zulita, z., rani, r., roanisca, o., mahardika, r. g., 2020. potensi antibakteri ekstrak daging buah kelubi (eleiodoxa conferta) bangka belitung menggunakan microwaveassisted extraction (mae), indo. j. chem. res., 7(2), 177–182. irman idrus, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 180-185, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.-irm 185 taslim, e., and maskoen, t. t., 2016. pola kuman terbanyak sebagai agen penyebab infeksi di intensive care unit pada beberapa rumah sakit di indonesia, anesth. crit. care, 34(1), 56–62. triastiari, a., and harijono, h., 2019. pengaruh pengeringan dan lama maserasi dengan pelarut ganda etanol dan heksana terhadap senyawa bioaktif kulit buah palem putri (veitchia merillii), j. pangan dan agroindustri, 7(1), 18– 29. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 93 dinamika reaktor katalitik aliran bolak-balik untuk oksidasi emisi gas metana dynamics of reverse flow catalytic reactor for oxidation of methane gas emission yogi wibisono budhi * , hans gunawan rimbuala, andhika feri wibisono 1 department of chemical engineering-institut teknologi bandung jl. ganesha 10 bandung 40132 indonesia * corresponding author: y.wibisono@che.itb.ac.id received: 2020-6-10 received in revised: 2020-6-19 accepted: 2020-8-20 available online: 2020-8-21 abstract the performance of a reverse flow reactor (rfr) is strongly influenced by the switching time used to alternate the flow direction. this research aimed to study the effect of the switching time on reactor dynamics including the heat propagation along with the bed and reaction rate in the oxidation methane for low concentration using a catalytic reverse flow reactor. the experimental results show that the reverse flow operating mode can influence heat propagation along with the reactor and reaction conversion. based on the three switching times that were tested, the temperature dynamics formed were in the sliding regime. the effect of switching time on rfr on conversion is very significant. when compared to steady operation, rfr operation provides the highest conversion at smaller switching times. at large switching times, the effect of the reversal of flow direction becomes less dominant and reactor behavior approaches steady state. keywords: reverse flow reactor, oxidation methane, heat propagation, reactor. abstrak (indonesian) kinerja reaktor aliran balik (rfr) sangat dipengaruhi oleh waktu switching yang digunakan untuk mengganti arah aliran. penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh waktu switching terhadap dinamika reaktor termasuk perambatan panas di sepanjang unggun dan laju reaksi dalam metana oksidasi untuk konsentrasi rendah menggunakan reaktor aliran balik katalitik. hasil percobaan menunjukkan bahwa mode operasi aliran balik dapat memengaruhi perambatan panas di sepanjang reaktor dan konversi reaksi. berdasarkan tiga waktu switching yang diuji, dinamika suhu yang terbentuk berada pada rezim geser. efek beralih waktu pada rfr pada konversi sangat signifikan. bila dibandingkan dengan operasi stabil, operasi rfr memberikan konversi tertinggi pada waktu switching yang lebih kecil. pada waktu switching yang besar, efek pembalikan arah aliran menjadi kurang dominan dan perilaku reaktor mendekati kondisi tunak. kata kunci: reverse flow reactor, oksidasi,metana,katalitik, propagasi panas, reaktor. pendahuluan perubahan iklim akibat pemanasan global merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dunia saat ini. penyebab dari pemanasan global ini adalah adanya kandungan berlebih gas–gas rumah kaca di atmosfer yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. metana merupakan gas rumah kaca yang paling utama setelah karbon dioksida (gambar 1). mengingat potensi bahaya pemanasan global dari metana adalah 23 kali lebih tinggi dibandingkan karbon dioksida (hayes, 2004; bandjar dkk., 2014; rachim dkk., 2017), emisi gas metana dapat diupayakan untuk dikonversikan menjadi karbon dioksida yang potensi pemanasan globalnya lebih rendah (sapoundjiev dan aube, 1999). melalui proses ini, pengaruh gas rumah kaca terhadap pemanasan global dapat direduksi hingga sebesar 87% (hayes, 2004; litto dkk, 2007; di benedetto dkk., 2013; raksajati dkk., 2020). emisi gas metana biasanya dihasilkan dari rumah kompresor sistem perpipaan gas alam dan tambang batubara ledwich, 2001; sapoundjiev dan aube, 1999; marín, 2005) dengan konsentrasi yang sangat rendah (0,31,0%(v/v)), sehingga pembakaran dalam fasa homogen tidak mungkin dilakukan salomons dkk. yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 94 (2004). pembakaran katalitik dapat menjadi solusi alternatif untuk menangani pembakaran metana dengan konsentrasi yang rendah (salomons dkk., 2003). metana yang merupakan salah satu senyawa hidrokarbon yang terbakar sehingga memerlukan temperatur reaksi yang relatif tinggi (± 500 o c). namun, umumnya emisi gas metana ada pada temperatur lingkungan dan laju reaksi katalitik pada temperatur lingkungan sangat rendah. hal ini mengakibatkan kondisi ototermal sulit dicapai tanpa pemanasan awal umpan (baldwin dkk., 1990). gambar 1. perbandingan sebaran gas – gas rumah kaca di atmosfer (litto dkk., 2007). salah satu metode yang dapat mengatasi kendala tersebut adalah penggunaan reaktor aliran bolak-balik (reverse flow reactor (rfr) berkatalis matros dan yu, 1990; matros dkk., 1996). arah aliran dalam reaktor ini diubah secara periodik pada setiap switching time tertentu (budhi dkk., 2004a). rfr merupakan reaktor yang beroperasi dalam kondisi tak tunak untuk meningkatkan kinerja proses yang jauh lebih unggul, seperti penghematan energi, peningkatan konversi dan selektivitas (salinger dan eigenberger, 1996; budhi, 2005). faktor-faktor utama yang mempengaruhi kelakuan tak tunak pada rfr adalah konsentrasi umpan, temperatur umpan, switching time, rancangan reaktor seperti umpan samping, sistem modulasi, dan prosedur operasi (marín dkk., 2008). faktor integrasi dan propagasi panas yang dikendalikan dengan baik di sepanjang reaktor (katalis dan inert) memungkinkan sistem beroperasi secara ototermal walaupun umpan mempunyai konsentrasi yang encer dan kenaikan temperatur adiabatiknya sangat kecil. besar kecilnya efek tak tunak juga dipengaruhi oleh laju alir dan temperatur umpan, jenis material unggun inert, diameter partikel, dan panjang unggun. kelakuan tak tunak ini akan mempengaruhi distribusi temperatur dan konsentrasi di sepanjang rfr. berbagai pengembangan metode, rancangan, dan sistem pengendalian rfr telah dilakukan (budhi dkk., 2004a). gambar 2. diagram alir sederhana reverse flow reactor untuk pengaturan kondisi operasi yang tepat sangat dibutuhkan agar konversi, selektivitas produk, dan penghematan energi dapat dicapai seoptimal mungkin melalui pembakaran super adiabatic (dufour, 2003). teknologi rfr ini biasanya digunakan untuk jenis reaksi yang bersifat eksotermik. namun, pasangan reaksi eksotermikendotermik juga dapat dilakukan sebagaimana yang dikembangkan oleh van sint annaland (2000). pada penelitian ini telah dilakukan studi untuk mempelajari pengaruh switching time terhadap dinamika reaktor gambar 3. skema peralatan (kiri) dan kompartemen reaktor uji (kanan) yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 95 yang meliputi propagasi panas di sepanjang unggun dan laju reaksi, pada proses reaksi oksidasi emisi gas metana berkonsentrasi rendah menggunakan reaktor aliran bolak-balik. kinerja rfr pada operasi ini yang dinyatakan dalam derajat konversi merupakan bagian yang sangat penting untuk ditelaah. metodologi susunan alat percobaan skema peralatan yang digunakan dalam percobaan ini ditunjukkan pada gambar 2 dan skema reaktor yang digunakan ditunjukkan pada gambar 3. pada gambar 2 terlihat bahwa alat percobaan terdiri dari 3 bagian utama yaitu bagian gas umpan, bagian reaktor, dan bagian analisa data. gambar 3 memperlihatkan bagian dalam reaktor yang terdiri dari zona inert, zona katalis, zona pemanasan oleh heater, dan zona pengambilan panas. aktivasi katalis prosedur untuk proses aktivasi katalis ditunjukkan pada gambar 4. proses aktivasi dimulai dengan melakukan purging menggunakan gas nitrogen dengan laju alir 10 ml/detik selama 1 jam. setelah itu temperatur katalis dinaikkan dengan menggunakan pemanas secara berkala. saat control pemanas menunjukkan temperatur 150 o c gas hidrogen dialirkan dengan laju alir 2 ml/detik. temperatur terus dinaikkan hingga temperatur katalis mencapai 450 o c. proses reduksi ini dijaga selama 6 jam dan setelah itu aliran hidrogen dihentikan. temperatur katalis diturunkan hingga temperatur operasi yang diinginkan dan proses purging kembali dilakukan selama 1 jam. oksidasi metana dengan operasi tunak tahap ini bertujuan untuk mencari besarnya konversi reaksi pada aliran searah untuk kemudian dijadikan pembanding nilai konversi pada aliran bolak-balik. konsentrasi metana dalam gas inlet reaktor adalah 1% (v/v). konsentrasi ini dipilih dengan pertimbangan konsentrasi emisi gas metana yang umum adalah 0,3-1,0%(v/v) dan pertimbangan presisi alat ukur yang akan semakin menurun jika konsentrasi yang akan diukur semakin kecil. parameter kondisi reaksi yang akan ditentukan adalah temperatur reaksi dan waktu tinggal reaktan di katalis. reaksi oksidasi metana dengan menggunakan katalis pt/γ-al2o3 pada rentang temperatur optimum 400-500 o c. pada studi ini, temperatur reaksi yang dipilih adalah 400 o c. hal ini dimaksudkan agar konversi yang diperoleh tidak terlalu besar dan masih dapat diamati bagaimana pengaruh switching time pada mode operasi reverse flow terhadap konversi yang terjadi. pada studi ini waktu tinggal reaksi yang digunakan berdasarkan hasil studi sebelumnya yakni 1 detik (devals dkk., 2003). gambar 4. prosedur aktivasi katalis oksidasi metana dengan reverse flow operation setelah parameter kondisi reaksi (temperatur dan waktu tinggal reaktan di katalis) dipilih, kemudian studi utama dilangsungkan, yaitu reaksi oksidasi metana dalam mode operasi reverse flow. variasi switching time yang dipilih adalah 50, 75, dan 100 detik. parameter yang diamati untuk mengetahui pengaruh variasi switching time adalah konversi reaksi dan profil temperatur di sepanjang reaktor. hasil dan pembahasan pengaruh switching time terhadap profil temperatur reaktor temperatur diukur pada enam lokasi di sepanjang reaktor, yaitu ujung kiri reaktor, inert kiri, katalis kiri, katalis kanan, inert kanan, dan ujung kanan reaktor. temperatur di enam lokasi tersebut diukur pada saat reaksi dijalankan pada mode operasi tunak maupun pada mode reverse flow. temperatur katalis rata-rata selama mode operasi tunak dijaga pada 400 o c. profil temperatur di sepanjang reaktor pada saat mode operasi reverse flow diamati untuk mengetahui pengaruh pemilihan switching time terhadap temperatur di sepanjang reaktor dan pengaruhnya terhadap konversi reaksi. profil temperatur reaktor sebagai fungsi waktu profil temperatur di sepanjang reaktor selama reaksi pada mode reverse flow akan berubah–ubah seiring waktu reaksi. besarnya perubahan temperatur selama reaksi bergantung pula pada variasi switching time yang digunakan. perubahan profil temperatur pada awal berjalannya reaksi, arah aliran ke kiri, dan arah aliran ke kanan untuk masing-masing variasi yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 96 switching time ditunjukkan pada gambar 5 dan gambar 6. profil temperatur di bagian inert selama berlangsungnya reaksi ditunjukkan pada gambar 7. gambar 5 dan gambar 6 menunjukkan profil temperatur yang semakin meningkat dari ujung reaktor hingga ke bagian katalis. kurva temperatur menunjukkan penurunan temperatur di bagian tengah karena adanya heater di antara dua bagian katalis. temperatur heater diatur konstan pada temperatur 320 o c. profil temperatur yang menunjukkan arah aliran diambil pada setiap akhir siklus. umpan masuk pada temperatur sekitar 28 o c. gambar 7 menunjukkan profil temperatur inert yang mengalami osilasi selama berjalannya mode operasi reverse flow. menit ke-0 pada gambar 7 menunjukkan saat dimulainya mode operasi reverse flow. dari gambar 5 dapat dilihat profil temperatur di sepanjang reaktor saat arah aliran dari kiri ke kanan (left to right) dan dari kanan ke kiri (right to left) menunjukkan pola yang sama namun berlawanan arah. apabila kedua pola tersebut ditampilkan dalam satu grafik (seperti yang ditunjukkan pada gambar 6) maka akan terbentuk profil temperatur yang simetris. dari gambar 6 juga terlihat bahwa profil temperatur kanan dan kiri yang terbentuk sangat rapat. hal ini menunjukkan bahwa dinamika temperatur yang terjadi pada ketiga switching time yang diujikan berada pada rejim sliding. dinamika temperatur yang berada pada rejim sliding ini juga dibuktikan melalui profil temperatur di bagian inert selama berjalannya reaksi yang ditampilkan pada gambar 7. dari gambar 7, dapat terlihat bahwa temperatur katalis rata-rata membentuk osilasi di sekitar temperatur steady state (400 o c). profil temperatur yang berosilasi di sekitar temperatur steady state dinyatakan sebagai kondisi real steady state dan merupakan ciri utama rejim sliding. hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh matros dkk., (1996) yang menyatakan bahwa pada kondisi sliding gangguan diberikan pada skala waktu yang lebih cepat daripada waktu yang diperlukan sistem untuk merespon gangguan tersebut sehingga sistem gambar 5. profil temperatur di sepanjang reaktor saat aliran ke arah kanan (left to right) dan ke arah kiri (right to left) pada akhir siklus dengan switching time 50 detik. l = ujung kiri reaktor; i = bagian inert; c = bagian katalis; r = ujung kanan reaktor; f = feed pada temperatur 25 o c gambar 6. profil temperatur di sepanjang reaktor pada mode operasi reverse flow pada akhir siklus dengan switching time 75 detik (kiri) dan 100 detik (kanan) di berbagai waktu reaksi. yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 97 tersebut seolah-olah tidak merespon gangguan yang diberikan. dari gambar 7 juga terlihat bahwa profil temperatur inert pada bagian kiri memiliki kecenderungan menurun sementara profil temperatur inert pada bagian kanan memiliki kecenderungan meningkat. hal ini terjadi karena pada saat awal mode operasi reverse flow dijalankan, aliran berlangsung dari kanan ke kiri, dan pada saat arah aliran dibalik, umpan yang dingin masuk pada bagian kiri reaktor dan produk yang panas keluar dari bagian kanan reaktor, sehingga temperatur inert di bagian kiri akan semakin menurun sementara temperatur inert di bagian kanan akan semakin meningkat. profil temperatur reaktor sebagai fungsi posisi profil temperatur di sepanjang reaktor pada berbagai variasi switching time pada mode operasi reverse flow ditunjukkan pada gambar 8. dari gambar tersebut dapat diamati bahwa ada kecenderungan peningkatan temperatur dari tempat masuknya umpan di bagian kiri menuju ke bagian katalis kiri. gambar 8. profil temperatur di sepanjang reaktor pada mode operasi reverse flow. pada bagian tengah reaktor, ada kecenderungan penurunan temperatur yang merupakan nilai temperatur heater yang dijaga pada nilai 320 o c agar temperatur pada bagian katalis dapat dipertahankan pada suhu 400 o c. temperatur tertinggi dicapai pada bagian katalis dan temperaturnya semakin menurun hingga ke ujung reaktor. gambar 8 menunjukkan bahwa switching time yang digunakan pada mode operasi reverse flow akan berpengaruh terhadap profil temperatur di sepanjang reaktor. pada switching time yang besar (75 detik dan 100 detik), temperatur di katalis kanan menjadi lebih tinggi dibandingkan temperatur di katalis kiri sedangkan pada switching time 50 detik temperatur di kedua bagian katalis hampir sama. perbedaan profil temperatur reaktor pada bagian kanan dan kiri mungkin disebabkan oleh adanya beberapa faktor berikut, yaitu adanya heat loss yang tidak seragam antara bagian kiri dan bagian kanan reaktor dan profil temperatur belum mencapai osilasi yang stabil. pengaruh switching time terhadap konversi reaksi selanjutnya diamati pula pengaruh switching time terhadap konversi reaksi. dalam studi ini diperoleh bahwa nilai konversi reaksi pada mode reverse flow merupakan fungsi waktu. nilai konversi reaksi reverse flow dan nilai temperatur sepanjang waktu reaksi di berbagai variasi swtching time ditunjukkan pada grafik-grafik pada gambar 9. parameter konversi reaksi dalam gambar 9 dinyatakan dalam delta konversi (∆x), yaitu selisih konversi saat operasi rfr dengan konversi pada saat steady state. apabila ∆x bernilai positif, maka konversi pada saat mode operasi reverse flow lebih tinggi dibandingkan konversi pada mode operasi steady state. apabila ∆x bernilai negatif, maka konversi pada saat mode operasi reverse flow lebih rendah dibandingkan konversi pada mode operasi gambar 7. temperatur inert sisi kiri dan sisi kanan selama berjalannya reaksi pada berbagai variasi switching time. yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 98 steady state. parameter temperatur yang digunakan dalam gambar 8 dinyatakan dalam delta temperatur katalis rata-rata, yaitu selisih temperatur katalis ratarata saat operasi rfr dengan temperatur katalis ratarata pada saat steady state. temperatur katalis ratarata adalah nilai rata-rata temperatur di bagian katalis kiri dan kanan. gambar 9 menunjukkan adanya dinamika konversi yang terjadi pada mode operasi reverse flow. dari gambar 9 teramati bahwa temperatur ratarata katalis selama reaksi pada mode operasi reverse flow tidak berbeda secara berarti dengan temperatur katalis rata-rata pada mode operasi steady state. akan tetapi, pada beberapa variasi switching time yang diujikan terlihat adanya perbedaan delta konversi yang cukup berarti. gambar 10. data selisih konversi pada mode reverse flow dan steady state pada masing-masing switching time. pada switching time 50 detik konversi pada mode operasi reverse flow sangat besar bila dibandingkan konversi saat steady state. namun, seiring berjalannya reaksi konversi tersebut semakin berkurang sehingga delta konversi yang diperoleh mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu reaksi. pada switching time 75 detik dan 100 detik dapat diamati adanya dinamika nilai konversi reaksi pada mode operasi reverse flow. konversi reaksi pada mode operasi reverse flow berosilasi sepanjang waktu reaksi akibat adanya gangguan yang disebabkan oleh pembalikan arah aliran. pengaruh variasi switching time terhadap konversi reaksi pada mode operasi reverse flow dapat dilihat dengan membandingkan selisih konversi rata-rata pada mode operasi reverse flow terhadap konversi rata-rata reaksi pada mode steady state untuk setiap variasi switching time. pengaruh switching time terhadap selisih konversi reaksi ditunjukkan pada gambar 10. dari gambar 10 dapat diamati bahwa nilai delta konversi dipengaruhi oleh switching time yang digunakan. pada switching 50 dan 75 detik, delta konversi positif atau dengan kata lain, konversi reaksi pada mode operasi reverse flow lebih besar dibandingkan konversi reaksi pada mode operasi steady state. data yang diperoleh pada gambar 10 menunjukkan bahwa semakin kecil switching time yang digunakan maka delta konversi akan semakin besar. hal ini dikarenakan semakin besar switching time yang digunakan maka operasi akan makin mendekati kondisi steady state. pada switching time 100 detik, kondisi operasi akan semakin mendekati kondisi steady state sehingga pembalikan arah aliran justru menyebabkan konversi total yang diperoleh lebih kecil dibandingkan konversi steady state karena adanya reaktan yang tidak terkonversi. hal ini menyebabkan delta konversi yang diperoleh pada switching time 100 detik bernilai negatif. gambar 9. hubungan nilai temperatur katalis rata-rata dan ∆x pada variasi switching time (a) 50 detik; (b) 75 detik; (c) 100 detik. yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 99 kesimpulan penggunaan reverse flow reactor (rfr) dapat mempengaruhi proses oksidasi metana menjadi karbon dioksida khususnya dalam hal konversi metana. mode operasi reverse flow tidak selalu menghasilkan konversi reaksi yang lebih baik dibandingkan steady state operation namun dapat lebih baik daripada steady state operation. variabel switching time merupakan salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap unjuk kerja rfr, khususnya dalam propagasi panas di sepanjang reaktor dan konversi reaksi. pada ketiga switching time yang diuji melalui percobaan ini (50, 75, dan 100 detik), dinamika temperatur yang diperoleh berada pada rejim sliding. dari ketiga variasi switching time tersebut yang memberikan konversi oksidasi metana paling baik adalah switching time 50 detik. ucapan terima kasih penulis ingin mengucapkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam hal penyediaan dana penelitian melalui skema riset unggulan itb 2009 dan european roadmap for process intensification 20082009. daftar pustaka bandjar, a., sutapa, i. w., rosmawaty, r., and mahulau, n., 2014. the utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous catalyst, indo. j. chem. res., 2(1), 166-170. rachim, g. s. a., raya, i., dan zakir, m., 2017. modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas. indo. j. chem. res., 5(1), 47-52. budhi, y.w. jaree, a., hoebink, j.h.b.j., and schouten, j.c., 2004a. simulation of reverse flow operation for manipulation of catalyst surface coverage in the selective oxidation of ammonia, chem. eng. sci., 59(19), 4125-4135. budhi, y.w., 2005. reverse flow reactor operation for control of catalyst surface coverage, disertasi doktor, technische universiteit eindhoven budhi, y.w., hoebink, j.h.b.j., and schouten, j.c., 2004b. reverse flow operation with reactor side feeding: analysis, modeling, and simulation, indus. and eng. chem. res., 43(22), 6955–6963 devals, c. fuxman, a. bertrand, f. forbe, j.f., and hayes, r.e., 2006. combustion of lean methane in a catalytic flow reversal reactor, proceedings of the comsol users conference boston. di benedetto, a., landi, g., di sarli, v., barbato, p.s., pirone r., and russo g., 2012. methane catalytic combustion under pressure, catal. today, 197(1), 206-213. dufour, p., couenne, f., and tourre, y., 2003. model predictive control of a catalytic reverse flow reactor”, ieee transactions on controlled system technology 11. hanamura, k. echigo, r. and zhdanok, s. a., 1993. superadiabatic combustion in a porous medium, inter. j.heat and mass transfer, 36, 3201–3209. hayes, r.e., 2004. catalytic solutions for fugitive methane emissions in oil and gas sector, chem. eng. sci., 19, 4073-4080. ledwich, j., 2001. catalytic combustion of coal mine ventilation air part i literature review and experimental preparation, individual inquiry a, department of chemical engineering, university of queensland. lee j.h., and trimm d.l., 1995. catalytic combustion of methane, fuel process. tech., 42, 339-359. litto, r., hayes, r.e., and liu, b., 2007. capturing fugitive methane emissions from natural gas compressor buildings, j. environ. manag., 84, 347-361. marín, p., hevia, miguel a.g., ordónez, s. and díez, f.v., 2005. combustion of methane lean mixtures in reverse flow reactors: comparison between packed and structured catalyst beds, catal. today, 105, 701–708. marín, p., ordónez, s. and díez, f.v., 2008. procedures for heat recovery in the catalytic combustion of lean methane–air mixtures in a reverse flow reactor, chem. eng. j., 147, 356– 365. matro and, yu.sh., 1990. performance of catalytic processes under unsteady conditions, chem. eng. sci., 45, 2097-2102. matros, yu.sh.. and buminovich, g.h., 1996. reverse flow operation in fixed bed catalytic reactors, catal. review-science and eng., 38, 186. raksajati, a., adhi, t., dan ariono, d., 2020. pengaruh tekanan dan tahap kompresi dalam yogi wibisono budhi dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 93-100, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ywb 100 pemurnian biogas menjadi biometana dengan absorpsi co2 menggunakan air bertekanan. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5. salomons, s. hayes, r. e poirier, m., and sapoundjiev, h., 2003. flow reversal reactor for the catalytic combustion of lean methane mixtures, catal. today, 83, 59–69. salinger, a. g. and eigenberger, g., 1996. the direct calculation of periodic states of the reverse flow reactor-1. methodology and propane combustions results, chem. eng. sci., 51(21), 4903-4913. salomons, s. hayes, r. e poirier, m. and sapoundjiev, h., 2004. modelling a reverse flow reactor for the catalytic combustion of fugitive methane emissions, comp. and chem. eng., 28, 1599-1610. sapoundjiev, h., and aube, f., 1999. catalytic flow reversal reactor technology: an opportunity of heat recovery and greenhouse gas elimination from mine ventilation air, natural resources canada, canmet energy diversi-fication research laboratory. van sint annaland, m., 2000. a novel reverse flow reactor coupling endothermic and exothermic reaction”, disertasi doktor, universiteit twente, the netherlands. indochem indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 1 51 biosorpsi ion logam kadmium (cd 2+ ) pada biosorben rumput laut coklat (padina australis) asal pantai liti pulau kisar biosorption of cadmium (cd 2+ ) metal ion in brown seaweed biosorbent (padina australis) from liti beach, kisar island catherina m. bijang, h. tehubijuluw, terence ghereds kaihatu chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 indonesia *corresponding author, e-mail: rina@fmipa.unpatti.ac.id received: may 2018 published: july 2018 abstract the research about biosorption of cadmium (cd 2+ ) metal ion in brown seaweed biosorben (paladina australis) from liti beach, kisar island has been done. analysis of decreasing cd 2+ content using atomic absorption spectrophotometer (ssa) and also use ftir to know functional groups contained in alginate compounds. a total of 0.5 g of brown seaweed powder was introduced into 25 ml of cd 2+ 50 ppm solution with variations of ph 1-7 and shaker for five hours. after the optimum ph was obtained, the adsorption process was applied on ph 5 solution with variation of contact time 1, 3, and 5 hours, after which it was filtered. the result of analysis and calculation showed that cd 2+ ion was optimum at ph 5 of 99.64% and 3 hours contact time was 74.54%. keywords: alginat, biosorpstion, biosorben, cadmium, contact time. pendahuluan pemanfaatan rumput laut pada awalnya hanya sebagai sayuran saja baik itu diolah terlebih dahulu atau dimakan secara langsung. akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, rumput laut telah dimanfaatkan sebagai pupuk, komponen makanan ternak, dan makanan ikan (aslan, 1998). produk ekstraksi rumput laut (seperti agar-agar, alginat, dan karaginan) banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan rumah tangga, bahan tambahan atau bahan baku dalam industri makanan farmasi, kosmetik, tekstil, kertas, cat, dan lain-lain. pemanfaatan rumput laut masih perlu dikembangkan lagi agar memberikan nilai tambah, baik secara ekonomi maupun lingkungan (anonim, 2003). seiring dengan perkembangan teknologi rumput laut telah ditingkatkan pemanfaatannya sehingga memberikan nilai yang lebih tinggi. salah satu pemanfaatannya adalah sebagai biomassa (biosorben) dalam proses biosorpsi logam berat dalam perairan (indriani dan akira, 1998). biosorpsi merupakan proses penyerapan analit oleh biomassa. biosorpsi memanfaatkan kemampuan material biologis untuk mengakumulasi logam berat dari larutan secara metabolisme ataupun fisik-kimiawi (anonim, 2003). menurut anis dan gusrizal (2006), logam berat merupakan jenis pencemar yang sangat berbahaya dalam sistem lingkungan hidup karena bersifat tak dapat terbiodegradasi, toksik, serta mampu mengalami bioakumulasi dalam rantai makanan. jenis limbah yang berpotensi merusak lingkungan hidup adalah limbah yang termasuk dalam bahan berbahaya beracun (b3) yang di dalamnya terdapat logam berat. logam berat tersebut diantaranya adalah hg, cd, pb, zn dan ni. logam berat hg, cd, dan pb dinamakan sebagai logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi beracun bagi makhluk hidup. salah satu logam berat yang sulit terurai adalah kadmium (cd). kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang ditemukan alami dalam kerak bumi yang biasanya ditemukan sebagai mineral yang terikat dengan unsur lain seperti oksigen, klorin atau sulfur. kadmium tergolong dalam logam berat yang catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 52 berbahaya karena unsur ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. kadmium berpengaruh terhadap manusia dalam jangka waktu panjang dan dapat terakumulasi pada tubuh khususnya hati dan ginjal (palar, 2004, bijang dkk. 2014). berbagai proses penyerapan logam berat telah dilakukan untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan diantaranya adalah pengendapan secara kimia, ion exchange, pemisahan dengan membran, elektrolisa, dan ekstraksi dengan solvent. tetapi, proses-proses ini memiliki beberapa kelemahan yakni produksi limbah beracun yang tinggi dan dapat menyulitkan proses penanganan dan pembuangannya (das dkk., 2008; prasad dan abdullah 2009; sutapa, dkk. 2014). salah satu alternatif lain dalam pengolahan limbah yang mengandung logam berat adalah penggunaan bahan-bahan biologi sebagai adsorben. proses ini disebut biosorpsi. biosorpsi menunjukkan kemampuan biomassa untuk mengikat logam berat dari dalam larutan melalui langkahlangkah metabolisme atau kimia fisika. keuntungan dari proses biosorpsi yakni biaya yang relatif murah, efisiensi tinggi pada larutan encer, minimalisasi pembentukan lumpur serta kemudahan proses regenerasinya. indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. karakteristik geografis indonesia serta struktur dan teritorial ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan indonesia sebagai pemilik keanekaragaman hayati terbesar di dunia. sumber daya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang besar untuk dimanfaatkan (suhdi, 2004). salah satu sumber daya hayati kelautan yang dimiliki indonesia adalah rumput laut.rumput laut dibedakan atas 4 jenis, yaitu rhadophyceae (rumput laut merah), phaeophyceae (rumput laut cokelat), chlorophyceae (rumput laut hijau biru) dan chayanophyceae (rumput laut hujau biru) (munaf, 2000). jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang berasal dari indonesia adalah: e.cottonii, gracilaria, sargassum dan lain-lain. pemanfaatan rumput laut pada awalnya hanya sebagai sayuran saja, baik diolah terlebih dahulu atau dimakan secara langsung. khususnya rumput laut coklat sampai saat ini belum optimalkan penggunaannya, bila dibandingkan dengan jenis rumput laut merah maupun hijau. perairan laut maluku, sangat banyak ditemukan rumput laut coklat yang terbuang percuma di pesisir pantai. melihat jumlah rumput laut coklat yang melimpah dan mudah diperoleh di pesisir pantai dan berpotensi sebagai sampah, maka potensi rumput laut perlu dikembangkan untuk pemanfaatanya sebagai adsorben logam berat dalam upaya mengurangi tingkat pencemaran lingkungan. berdasarkan latar belakang tersebut telah dilakukan penelitian biosorpsi i on logam kadmium (cd 2+ ) pada b iosorben r umput l aut c oklat (padina australis). metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan antara lain, rumput laut coklat padina australis, larutan standar ion logam cd 2+ , akaades, h2so4 (p.a merck), naoh (p.a merck), kertas saring whatman no 42 alat alat-alat yang digunakan antara lain spektrofotometer serapan atom, seperangkat alat gelas (pyrex), neraca analitik (ada 210 / le), desikator, ph meter, oven (shel lab), shaker gfl 3005. prosedur kerja preparasi biosorben rumput laut padina australis dicuci hingga bersih dan dibilas dengan akuades hingga bebas garam klorida (uji agno3), kemudian dikeringkan. setelah kering, rumput laut dihaluskan dan diayak menggunakan alat penepung. serbuk rumput laut tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 o c selama 1 jam agar benar-benar kering, kemudian disimpan di dalam desikator. penentuan kadar air cawan porselin ditimbang beratnya untuk memperoleh berat wadah kosong. sampel rumput laut coklat yang diambil di cuci dengan air hingga bersih, dipotong kecil-kecil dan ditimbang sekitar dan 15 g. sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan, ditimbang, dan dimasukkan ke dalam oven catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 53 selama 4-6 jam dengan suhu 105 o c, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali hingga dicapai berat konstan. pekerjaan ini dilakukan secara duplo. penentuan kadar abu cuplikan yang diperoleh selanjutnya dipijarkan dalam nyala api pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan suhu 400-600 o c. setelah menjadi abu, cuplikan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator. kira-kira 1 jam sampel ditimbang kembali. penentuan ph optimum pada 7 buah erlenmeyer 50 ml, dimasukkan masing-masing 0,50 g serbuk biosorben. kemudian ditambahkan 25 ml larutan standar cd 2+ 50 ppm dengan ph larutan masing-masing 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 dengan penambahan h2so4 dan naoh 1 m. campuran kemudian diagitasi dalam rotary shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 5 jam. setelah itu larutan disaring dan filtratnya dianalisis menggunakan ssa sedangkan residunya dianalisis menggunakan ftir. penentuan waktu kontak optimum sebanyak 0,50 g serbuk biosorben dimasukkan ke dalam 3 buah erlenmeyer 50 ml dan ditambahkan 25 ml larutan cd 2+ 50 ppm dengan ph optimum yang diperoleh. campuran kemudian diagitasi dalam rotary shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 1, 3, dan 5 jam. selanjutnya campuran disaring dan filtratnya dianalisis menggunakan ssa sedangkan residunya dianalisis menggunakan ftir. hasil dan pembahasan pengambilan dan preparasi sampel sampel rumput laut cokelat paladina australis diambil dari pantai liti, pulau kisar. sampel diambil pada sore hari dan berjarak 1,5 km dari pemukiman masyarakat. sampel yang didapat kemudian dibawa ke tempat penelitian dalam waktu 3 hari sebelum nantinya dipreparasi dan dianalisis. sebelum dianalisis, sampel dipreparasi terlebih dahulu. awalnya sampel rumput laut dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada rumput laut tersebut kemudian dibilas dengan akuades. air hasil bilasan sampel kemudian ditambahkan beberapa tetes agno3. tujuan dari penambahan agno3 adalah untuk mendeteksi adanya ion cl, br, dan i dari sampel rumput laut yang memang biasanya menempel akibat kontak dengan air laut. bila terbentuk endapan putih maka masih terdapat ion cl, br, dan i pada sampel rumput laut. hal ini berarti sampel harus dibilas kembali hingga ion-ion tersebut hilang dari sampel rumput laut yang akan dipakai. tabel 1 . data kadar air, kadar abu, dan kadar biomassa pada rumput laut cokelat padina australis sampel rumput laut yang telah bersih kemudian dihaluskan guna memperbesar luas permukaan. semakin besar luas permukaan, maka semakin besar pula kontak antara sampel dengan lingkungan. sebelum dihaluskan, sampel di potong kecil-kecil dengan tujuan mempermudah proses penghalusan. sampel dihaluskan menggunakan mesin penepung hingga memperoleh sampel dalam kondisi serbuk dengan ukuran 0,5 mikron. sampel yang telah halus kemudian digunakan untuk menentukan kadar air, kadar abu, dan biomassa. penentuan kadar air, kadar abu, dan biomassa sampel rumput laut yang telah dihaluskan, kemudian ditentukan kadar airnya. prinsip dasar dari penentuan kadar air sampel adalah selisih bobot sampel sebelum dan sesudah pengeringan. mula-mula cawan porselin kosong dipanaskan didalam oven dengan suhu 105 o c selama 1 jam. pemanasan ini bertujuan untuk menguapkan air yang melekat pada permukaan cawan. catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 54 selain itu, cawan dimasukkan ke dalam desikator agar tidak terkontaminasi dengan air dari udara. setelah itu, dilakukan proses pemanasan terhadap sampel rumput laut. sampel diletakkan pada cawan dan dipanaskan menggunakan oven pada suhu 105 o c. sampel yang dianggap telah kering, dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan sebelum ditimbang. proses ini dilakukan sebanyak 8 kali pengulangan dengan total waktu 12 jam hingga diperoleh bobot sampel yang konstan. dari hasil prhitungan diperoleh data kadar air seperti pada tabel 1. dari data tabel 1, diketahui rata-rata kadar air dari sampel rumput laut cokelat (paladina australis) yang diperoleh adalah sebesar 12,18%. kadar rata-rata menurut erin dan dedy, (2012) yang diperoleh dari penelitian mereka dengan menggunakan jenis rumput laut gracilaria salicornia adalah 86,5% sedangkan dengan rumput laut gracilaria verrucosa adalah 56,5%. setelah diperoleh kadar air selanjutnya adalah penentuan kadar abu. abu merupakan residu anorganik yang didapat dengan cara mengabukan komponen-komponen organik dalam bahan pangan. proses ini diawali dengan penentuan bobot cawan porselin kosong konstan yang diulangi sebanyak 5 kali. setelah itu, sampel hasil proses kadar air digunakan untuk menentukan kadar abu sampel rumput laut. hal ini dikarenakan sampel rumput laut ini telah dihilangkan airnya sehingga mempermudah untuk menghilangkan bahan-bahan organik dari rumput laut. proses ini menggunakan suhu tanur 600 o c dengan waktu pemanasan selama 4 jam hingga menjadi abu. sebelum dimasukkan ke desikator, sampel dipanaskan selama 1 jam di dalam oven agar cawan dapat menyesuaikan suhu menjadi lebih rendah. sampel didiamkan di dalam desikator selama 30 menit dengan waktu ulang pendinginan dan penimbangan sebanyak 8 kali. hal ini dikarenakan suhu yang tinggi sehingga membuat bobot cawan dan abu awalnya menjadi tidak konstan. dari data hasil perhitungan, diperoleh ratarata kadar abu sampel rumput laut adalah 29,29%. hasil ini lebih besar dari penelitian yang dilakukan oleh chaidir dan azrawi (2006) bahwa kadar abu pada tepung rumput laut sargassum sp yang baik adalah 15,83 %. data bobot kering dan bobot abu sampel dapat dipergunakan untuk menghitung kadar biomassa dari sampel kering rumput laut cokelat. biomassa merupakan istilah untuk bobot hidup, biasanya dinyatakan sebagai bobot kering, untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi, atau komunitas. biomassa tumbuhan merupakan jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup.biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida (co2) dari udara dan mengubah zat ini menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut, terdapat interaksi yang erat baik diantara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidu dan tumbuh secara dinamis vegatasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik (hamilton dan catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 55 king, 1988). dari hasil perhitungan, diperoleh data kadar biomassa sampel rumput laut cokelat sebesar 66,78%. tabel 3 adsorpsi logam cd 2+ pada beberapa waktu kontak dengan co = 50 ppm penentuan ph optimum pada penentuan ph optimum proses pertama yang dilakukan adalah melarutkan sampel rumput laut (biosorben) dengan ion logam cd 2+ 50 ppm dengan ph 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 kemudian dishaker dengan kecepatan 150 rpm dengan waktu 5 jam setelah itu larutannya disaring kemudian filtratnya diambil untuk dianalisis dengan spektroskopi serapan atom dan residu yang diperoleh dilakukan pengujian ftir. konsentrasi logam tersisa dapat dilihat pada tabel 2. gambar 1 struktur alginat tabel 2 memperlihatkan pada ph 3-5 nilai persentasi penjerapan cendrung teta karena ph 5 berada pada kondisi asam lemah, sehingga ph 5 menjadi ph optimum. hal ini didukung oleh penelitian wewra (2011) tentang isolas alginat dari rumput laut sargassum policystum dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd 2+ . hasil penelitiannya menunjukan bahwa ph optimum penyerapan adalah pada ph 5 karena pada ph ini terjadi penyerapan yang paling banyak yaitu sebesar 47,38 ppm. ph optimum terjadi pada ph 5 karena permukaan sel berada pada keadaan paling aktif dan tingkat ph menjadi parameter yang paling penting untuk mengendalikan proses biosorpsi karena mempengaruhi jaringan muatan negatif pada permukaan dinding sel biosorben, fisikokimia dan hidrolisis logam (phalavanzadeh dkk., 2010). penentuan waktu kontak tabel 3 menunjukkan bahwa kemampuan menjerap cd 2+ oleh biosorben rumput laut cokelat padina australis meningkat, tetapi peningkatan tidak terlalu signifikan. pada waktu kontak 1 jam dan 3 jam terjadi penjerapan yang baik, tetapi pada waktu kontak 5 jam kemampuan untuk menjerap logam cd 2+ berkurang. berdasarkan data yang diperoleh maka waktu kontak optimum penjerapan ion logam cd 2+ oleh biosorben rumput laut coklat padina australis adalah waktu kontak 3 jam. karena pada waktu kontak 3 jam penjerapannya naik dari sebelumnya. bertambahnya waktu kontak maka jumlah adsorbat yang terserap pada permukaan adsorben semakin meningkat sehingga tercapai titik kesetimbang. pada saat tercapai kesetimbangan, permukaan adsorben telah penuh dan ditutupi oleh adsorbat yang diserap dan adsorben mengalami titik jenuh sehingga adsorben tidak dapat menyerap adsorbat lagi. karakterisasi ftir biomassa rumput laut coklat padina australis pada prinsip kerja ftir adalah interaksi antara materi berupa molekul senyawa kompleks dengan energi berupa sinar infrared mengakibatkan molekulmolekul bervibrasi dimana besarnya energi vibrasi tiap komponen molekul berbedabeda tergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkan sehingga akan menghasilkan frekuensi yang berbeda. adanya perbedaan tingkat energi vibrasi komponen molekul, analisis spektroskopi ftir dapat mengidentifikasi keberadan komponen atau gugus fungsi dalam molekul. alga coklat mempunyai bentuk yang bervariasi tetapi hampir sebagian besar berwarna coklat atau pirang. warna tersebut tidak berubah walaupun alga ini telah dikeringkan. alga coklat mengandung beberapa pigmen fotosintetik yaitu karoten, fukoxantin, klorofil a, dan klorofil c (kadi, 2005). catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 56 dinding sel rumput laut coklat mengandung jumlah polisakarida yang berbeda yaitu antara lain alginat, laminarin, dan fukoidan. senyawa kimia yang paling banyak dalam rumput laut coklat adalah alginat (40%). sedangkan senyawa lain dalam jumlah kecil di antaranya fukoidan, laminarin, selulosa, manitol dan senyawa bioaktif lainnya. selain itu rumput laut coklat juga mengandung protein, lemak, serat kasar, vitamin serta mineral. bagian-bagian yang aktif untuk menjerap logam pada alginat adalah gugus karboksil dan hidroksil. alginat merupakan polimer organik polisakarida yang tersusun oleh 2 unit monomer d-asam guluronat dan l-asam manuronat atau selang seling keduanya. bagian-bagian yang aktif untuk menjerap logam pada alginat adalah gugus karboksil dan hidroksil. struktur alginat dapat d lihat pada gambar 1. dilihat dari strukturnya alginat berpotensi cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus hidroksi dan karboksil yang terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. hal ini ditunjukkan dengan adanya pergeseran bilangan gelombang dari gugus fungsi tersebut. kelarutan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan ph. kemampuan mengikat air meningkat jika jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 57 sedangkan pada ph di bawah 3 terjadi pengendapan (mchugh, 2003). tabel 4 data spektrum senyawa alginat rumput laut coklat padina australis blanko karakterisasi ini dilakukan pada biosorben rumput laut coklat padina australis dengan menggunakan spektrofotometer ftir untuk memperoleh informasi tentang perkiraan gugus fungsi apa yang bertanggung jawab dalam mengikat ion logam cd 2+ . karakterisasi ft-ir dilakukan dengan biosorben rumput laut coklat padina australis sebelum (blanko) dan sesudah proses biosorpsi. biosorben sesudah biosorpsi menggunakan ph 1 dan ph 5, waktu kontak 1 dan 3 jam spektrum pada pengujian ini dapat dilihat pada gambar 2 dan 3. tabel 5 data spektrum dari senyawa alginat pada rumput laut coklat padina australis untuk ph. spektrum dari data ftir dengan biosorben rumput laut coklat padina australis dapat memperlihatkan serapan yang beragam dari gugus fungsi yang terkandung didalamnya. data spektrum dapat dilihat pada tabel 4. spektrum biosorben rumput laut coklat padina australis menunjukkan serapan pada daerah 3417,86 cm -1 untuk gugus hidroksil dan serapan yang tampak pada daerah 1645,28 cm -1 menunjukkan gugus karbonil, sedangkan 1423,47 cm -1 menunjukkan ikatan ch 2 serta terlihat adanya ikatan c–o pada daerah 1031,92 – 1161,15 cm -1 . hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh moe dkk., (1996) dalam mushollaeni dan rusdiana (2011) bahwa adanya alginat ditunjukkan oleh vibrasi hidroksil, karboksil, karbonil dan ikatan antar karbon. tabel 6 data spektrum dari senyawa alginat pada rumput laut coklat padina australis untuk waktu kontak dari data spektrum ftir untuk biosorpsi ion cd 2+ oleh biosorben rumput laut coklat padina australis menunjukkan ada beberapa pita serapan yang mengalami pergeseran bilangan gelombang. spektrum ftir sesudah proses adsorpsi untuk ph dapat dilihat pada tabel 5 dan waktu kontak dapat dilihat pada tabel 6. dari data yang mendekati nilai 1258 cm -1 dan 1260 cm -1 menunjukan uluran −s=o asimetrik (zhang, 2011 dan mosen, 2007 dalam malle, 2014), sedangkan puncak 1645 cm -1 merupakan uluran vibrasi −c−o dari asam uronat sesuai nilai 1644 cm -1 . dari hasil ftir dapat diketahui bahwa sisi aktif yang berperan dalam adsorbsi logam berat adalah −s=o dan −c=o, hal ini disebabkan karena elektron bebas oksigen pada −s=o dan −c=o dapat membentuk ikatan koordinasi dengan logam berat sebagai akseptor (agustin, 2014). dari data tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa ada pergesaran bilangan gelombang yang mengindikasikan bahwa ada interaksi ion logam cd 2+ dengan gugus-gugus fungsi di atas. pada ph 1 terlihat pergeseran bilangan gelombang pada sisi aktif juga pada ph 5 adanya pergeseran pada serapan untuk gugus fungsi – oh sedangkan untuk gugus fungsi c=o dan c– o tidak bergeser. hal ini menjelaskan bahwa ph sangat mempengaruhi proses adsorpsi. pengaruh kondisi ph larutan pada proses adsorpsi sangat besar karena perubahan keasaman larutan logam dapat menyebabkan perubahan muatan adsorben, maupun jenis dan jumlah ion logam catherina m. bijang dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 51-58 58 yang terdapat dalam larutan (stumm dan morgan, 1996). kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. ph optimum yang dibutuhkan rumput laut coklat padina australis untuk menyerap ion logam kadmium yaitu pada ph 5 dengan presentasi penjerapan adalah 99,64%. 2. waktu kontak optimum yang dibutuhkan rumput laut coklat padina australis untuk menyerap ion cd 2+ adalah 3 jam dengan presentasi penjerapan sebesar 74,54%. daftar pustaka anis, s., gusrizal, 2006, pengaruh ph dan penentuan kapasitas adsorbsi logam berat pada biomassa eceng gondok (eichhornia crassipes), indo. j.chem, 6(1), 56-60. anonim, 2013, know your seaweed padina australis. http://seaweed-undip. blogspot.co.id, diakses pada 13 januari 2016. anonim, 2003, biosorption, http://biosorption. mcgill.ca/bt/btbrief.htm, diakses pada 29 mei 2007. aslan, l. m, 1998, budidaya rumput laut, kanasius, yogyakarta. astuti, 2011, petunjuk praktikum analisis bahan biologi, jurdik biologi fmipa uny. yogyakarta. bijang, c.m., sekewael, s., koritelu, j., 2014, base activated clay and its application as cation exchanger to reduce the mg 2+ and ca 2+ ions concentration in the well, indonesian journal of chemical research, 1(2), 93-98. chaidir, azrina, 2006, kajian rumput laut sebagai sumber serat alternatif untuk minuman berserat, sekolah pascasarjana institut pertanian bogor. bogor. hamilton, l. s., h.l.m. n. king., 1998, daerah aliran sungai hutan tropis, ugm press, yogyakarta. indriani, s. h, suzuki, a., 1998, biosorption of heavy metal ions to brown algae, macrocystis pyrifera, kjellmamiella crassiforia, and undaria pinnatifida. jurnal of colloid and interface science, 206, 297-301. indriani, seki, h., akira suzuki, 1998, biosorption of heavy metal ions to brown algae, macrocystis pyrifera, kjellmamiella crassiforia, and undaria pinnatifida, jurnal of colloid and interface science, 206, 297-301. kadi, a., 2005, beberapa catatan kehadiran marga sargassum di perairan indonesia, bidang sumberdaya laut, pusat penelitian oseanografi, lipi, jakarta. p. 1–12. malle, d., 2014, ekstraksi dan identifikasi polisakarida bersulfat dari sayur karang gracilaria sp. indo. j. chem. res, 1, 83-87 mchugh, d.j., 2003, a guide to the seaweed industry, fao fisheries technical paper. no. 441. rome, fao. munaf, d. r., 2000, rumput laut komoditi unggulan, pusat dokumentasi dan informasi ilmiah, lipi, jakarta. mushollaeni, w., e. rusdiana., 2011, karakterisasi natrium alginat dari sargassum sp., turbinariasp., dan padina sp, jurnal teknologi dan industri pangan, 1, 26-32. phalavanzadeh, h., keshtkar, a.r., safdari, abad, z., 2010, biosorption of nickel(ii) from aqueous solution by brown algae: equilibrium, dynamic and thermodynamic studies, journal of hazardous materials, 175, 304–310. palar, h., 1994, pencemaran dan toksikologi logam berat, rineka cipta, jakarta. stumm, w., dan morgan, j.j., 1996, aquatic chemistry, john wiley and sons, new york. suhdi, 2004, budidaya dan pengolahan rumput laut, buku 5, balai riset dan standarisasi industri dan perdagangan (baristand indag), surabaya. sutapa, i., siahay, v., tanasale, m.f.j.d.p., 2014, adsorption cu 2+ metal ion of pectin from “tongka langit” banana’s crust (musa speices van balbisiana), indonesian journal of chemical research, 1(2), 72-77. wewra, s. c., 2011, isolasi alginat dari rumput laut sargassum policystum dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd(ii), skripsi, jurusan kimia fmipa universitas pattimura, ambon. http://seaweed-/ indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 141 150 1 141 sintesis nanopartikel perak dan pengaruh penambahan asam p-kumarat untuk aplikasi deteksi melamin synthesis of silver nanoparticles and the effect of p-coumaric acid for detecting melamine irwan r1*, muhammad zakir2, prastawa budi2 1pharmacy program, department of health, polytechnic of baubau jl. lakarambau, baubau 93721 2departement of chemistry, faculty of science, hasanuddin university jl. perintis kemerdekaan, makassar 90245 *corresponding author, e-mail: irwan07kimia@gmail.com received: oct. 2019 published: jan. 2020 abstract biosynthesis of silver nanoparticles (agnps) using mangosteen bark extract, modification and its application in detecting melamine has conducted. this research aimed to synthesize agnps via bio-reduction method using mangosteen bark extract followed by modification with p-coumaric acid (apk), and evaluating its application detecting melamine. the agnps were characterized through ultraviolet-visible absorption spectroscopy (uv-vis), fourier transform infrared absorption spectroscopy (ftir), and x-ray diffraction (xrd). observation suggested that an increase of incubation time had affected its surface plasmon resonance trend. observation of functional group by ftir showed that carbonyl group (1707 cm-1) suspected from hydroxyl group (3414 cm-1). further analysis of crystallite via xrd suggested that nanoparticle size at 30 nm estimated using debye-scherer, within the form of unit cells is cubic. modified agnps showed an interaction between apk and particle surface through c=c alkenes (1598 cm-1) and aromatics (1672 cm-1), =c-h aromatic (3070 cm-1), aliphatic c-h (2501 cm-1), c-o (1107 cm-1) and c=o carboxylate (1774 cm-1). the performance of product as melamine detector suggested that the agnps-apk had detected melamine in range of concentration from 0.1 to 1000 ppm. keywords: silver nanoparticles, surface plasmon resonance, mangosteen, p-coumaric acid, melamine. pendahuluan melamin merupakan senyawa dengan struktur molekul 1,3,5-triazina-2,4,6-triamina, digunakan dalam industri resin sebagai pencegah panas. melamin mengandung 66% nitrogen dari total massanya sehingga beberapa kasus dilaporkan bahwa melamin secara ilegal ditambahkan ke dalam produk susu dan makanan. pada tahun 2008, pemalsuan produk susu formula bayi dengan menggunakan melamin di china menyebabkan ribuan bayi mengalami muntahmuntah (qiao dkk., 2010). berbagai metode analisis melamin cukup berkembang seperti metode high performance liquid chromatography (hplc) (venkatasami dan sowa, 2010), gas chromatography-mass spectrometry (gc-ms) (squadrone dkk., 2010). metode analisis melamin secara hplc dan gcms merupakan metode analisis yang akurat. namun, metode ini membutuhkan instrumen yang mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama dalam mengidentifikasi melamin. teknik alternatif dibutuhkan untuk mendeteksi melamin. salah satu metode yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan nanopartikel untuk mendeteksi melamin secara kolorimetri. nanopartikel sebagai sensor melamin merupakan hal yang menarik perhatian peneliti. penggunaan nanopartikel seperti nanopartikel perak dan emas menyediakan hasil relatif cepat, akurat dan murah dalam mendeteksi keberadaan melamin dalam produk makanan (chen dkk., 2015, han dan li, 2010, liang dkk., 2011, ping dkk., 2012, song dkk., 2014, wu dkk., 2011). adanya senyawa yang bertindak sebagai stabilisator memungkinkan terjadi interaksi dengan melamin. interaksi nanopartikel dengan melamin dapat melalui interaksi donor-akseptor irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 142 (han dan li, 2010), ikatan hidrogen (jean dkk., 2010) dan secara elektrostatik (ma dkk., 2011). penggunaan senyawa organik dalam modifikasi nanopartikel untuk deteksi melamin menunjukkan tingkat deteksi yang relatif lebih sensitif. penelitian yang dilakukan huang dkk. (2011a) melaporkan perbandingan agnp termodifikasi dan tidak termodifikasi menghasilkan nilai deteksi melamin masingmasing sebesar 46,5 nm dan 41,7 nm. beberapa senyawa organik digunakan dalam modifikasi nanopartikel untuk deteksi melamin seperti asam kromatropik-agnp (song dkk., 2014), pirocatecol-3,5-disodiumsulfonat-aunp (wu dkk., 2011), sisteamin-aunp (liang dkk., 2011), sitrat-agnp (ping dkk., 2012), p-nitroanilinagnp (han dan li, 2010), dopamin-agnp (ma dkk., 2011), crown eter-aunp (kuang dkk., 2011). penelitian tentang sintesis agnp dengan prekursor senyawa agno3 melalui reduksi ion logam ag+ menjadi ag0 menggunakan ekstrak tumbuhan berkembang cukup pesat. kandungan senyawa seperti flavonoid dalam ekstrak buah syzygium cumini dapat mereduksi logam ag+ menjadi ag0 (mittal dkk., 2014). senyawa tannin yang terdapat dalam ekstrak daun terminalia cattapa (zakir dkk., 2014), gula pereduksi dan flavonoid pada cacumen platycaldi (huang dkk., 2011b), senyawa flavonoid, terpen dan fenol pada kulit kayu ficus benghalensis dan azadirachta indica (nayak dkk., 2016) dilaporkan mampu mereduksi senyawa agno3 menjadi partikel agnp. nanopartikel perak yang disintesis menggunakan ekstrak daun syzygium polyanthum dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan (taba dkk., 2019). pemanfaatan tumbuhan sebagai agen pereduksi logam memberikan suatu metode yang sederhana, ramah lingkungan dan relatif murah (niraimathi dkk., 2012, yousefzadi dkk., 2014). jenis tanaman yang cukup potensial sebagai bioreduktor dalam sintesis agnp adalah kulit buah manggis (rajakanu dkk., 2015). senyawa metabolit sekunder seperti α-mangostin, βmangostin, γ-mangostin, garcinone e, 8deoksigartanin, dan gartanin (chaverri dkk., 2008) dalam tanaman manggis mengindikasikan tanaman ini cukup potensial sebagai senyawa reduktor dalam sintesis agnp. senyawa αmangostin, β-mangostin, γ-mangostin berpotensi sebagai inhibitor α-amilase pangkreas manusia (gaspersz dan sohilait, 2019). penelitian yang dilakukan tikirik (2015) menunjukkan bahwa koloid agnp yang disintesis menggunakan ekstrak kulit buah manggis berpotensi sebagai indikator keberadaan logam hg2+. modifikasi agnp hasil bioreduksi menggunakan ekstrak kulit buah manggis perlu dilakukan untuk meningkatkan selektivitas agnp terhadap sensor melamin secara kolorimetri (huang dkk., 2011a). salah satu senyawa yang berpotensi digunakan untuk modifikasi adalah senyawa asam p-kumarat (c9h8o3). senyawa c9h8o3 memiliki gugus karbonil, hidroksil dan αhidroksi fenol yang berpotensi berinteraksi dengan agnp dan melamin. penelitian song dkk. (2014) melaporkan bahwa modifikasi asam kromatropik pada permukaan agnp melalui gugus hidroksil yang menandai keberhasilan modifikasi agnp. oleh karena itu, penelitian sintesis agnp menggunakan ekstrak kulit buah manggis serta modifikasi material agnp dengan asam p-kumarat telah dilakukan dan digunakan dalam deteksi melamin secara kolorimetri. metodologi alat alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah alat gelas yang umum dalam laboratorium, oven (gen lab), neraca analitik (ohaus), spektrofotometer uv-vis (uv-2600), x-ray diffraction (shimadzu 7000), spektrofotometer fourier transform infrared (irprestige-21), centrifuge mx-305, multi-stirrer 15, magnetic bar, ph meter, blender (kirin), botol semprot, dan sendok tanduk. bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana l.), agno3 (merck, 99,8%), asam pkumarat (merck, 99%), metanol, melamin, dan akuabides. prosedur kerja sintesis nanopartikel perak dilakukan dengan menambahkan sebanyak 1 ml ekstrak kulit buah manggis (sampel) 0,015 g/ml ke dalam 4 ml larutan agno3 1 mm dan diaduk dengan magnetik stirrer selama 30 menit pada suhu ruang. modifikasi agnp dilakukan dengan menambahkan 1 ml larutan asam p-kumarat 1 mm ke dalam campuran agno3 dan ekstrak sampel setelah waktu pengadukan tercapai dan pengadukan dilanjutkan selama 2 jam berikutnya. analisis uv-vis terhadap koloid agnp dilakukan pada suhu ruang menggunakan irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 143 spektrofotometer uv-2600 (shimadzu) pada resolusi 0,5 nm. ekstrak sebelum dan larutan hasil setelah reaksi dikeringkan pada suhu 60 c, dan biomassa kering dianalisis menggunakan spektrofotometer ftir (irprestige-21). koloid agnp hasil sintesis disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 30 menit. hasil sentrifuse berupa padatan dikumpulkan dan dikeringkan pada suhu 60 c untuk analisis xrd. analisis xrd dilakukan menggunakan difraktometer xrd rigaku miniflex pada arus 40 ma dan beda potensial 45 kv dengan radiasi cukα untuk mengonfirmasi bentuk kristal nanopartikel perak. analisis melamin dilakukan dengan menambahkan koloid apk-agnp pada masingmasing larutan melamin konsentrasi 0,1, 1, 10, 100, dan 1000 ppm. selanjutnya, masing-masing campuran diukur serapannya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 200-800 nm. hasil dan pembahasan sintesis nanopartikel perak pertumbuhan nanopartikel perak (agnp) diamati menggunakan spektrofotometer uv-vis berdasarkan pita serapan surface plasmon resonance (spr). surface plasmon resonance (spr) merupakan kumpulan osilasi terhadap elektron konduksi. spr adalah polarisasi muatan permukaan yang dihasilkan dari kumpulan osilasi electron atau analog untuk kumpulan osilasi elektron dengan gas plasma. ketika suatu material berinteraksi dengan cahaya (gelombang elektromagnetik) maka akan tercipta osilasi pada permukaan material (wiley dkk., 2006). spektroskopi uv-vis dapat digunakan untuk mengamati pertumbuhan nanopartikel perak. gambar 1 menunjukkan spektra serapan uv-vis agnp sebagai fungsi waktu reaksi yang dihasilkan oleh larutan agno3 1 mm dengan ekstrak sampel 0,015 g/ml pada suhu 30 c. pada gambar 1, menunjukkan perubahan pola intesitas serapan spr selama waktu reaksi dengan munculnya puncak spr pada pengukuran ke-4 jam setelah penambahan larutan ekstrak ke dalam larutan agno3 1 mm. puncak spr yang khas sekitar 443,5 nm sesuai untuk karakter spr agnp (irwan dkk., 2016, zakir dkk., 2014). nilai spr ini relatif sama seperti yang dilaporkan rajakannu, dkk. (2015) yang menunjukkan nilai serapan spr agnp pada 430 nm yang disintesis menggunakan ekstrak buah manggis. adanya kumpulan oskilasi elektron pada permukaan logam menyebabkan eksitasi getaran plasmon permukaan nanopartikel perak sehingga pita serapan spr akan muncul pada daerah sekitar 430 nm yang berhubungan dengan frekuensi getaran plasmon (willets, 2007). kumpulan oskilasi elektron dapat diamati dari perubahan warna larutan dari kuning menjadi coklat gelap mengindikasikan adanya sebaran partikel dalam larutan. stabilitas nanopartikel dapat diketahui dari pita serapan spr (huang dkk., 2011b). untuk memonitor kestabilan koloid perak, spektra serapan koloid diukur berdasarkan perbedaan waktu inkubasi. adanya pola intensitas serapan yang secara berangsur-angsur meningkat mengindikasi kestabilan agnp. meningkatnya puncak spr selama waktu inkubasi mengindikasikan kerapatan nanopartikel dalam larutan (ahmad dkk., 2013). analisis gugus fungsi menggunakan ftir berdasarkan nilai spr agnp, suspensi nanopartikel diindikasikan stabil selama waktu gambar 1. (a) spektra uv-vis agnp selama waktu reaksi, (b) perubahan intensitas serapan spr selama waktu reaksi irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 144 inkubasi yang menunjukkan agnp distabilkan dalam larutan dengan biomolekul yang terdapat dalam ekstrak. pengukuran ftir dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan gugus fungsi dalam ekstrak. ekstrak kulit buah manggis digunakan bukan hanya sebagai pengstabil tetapi juga mereduksi ion ag+ pada pembentukan nanopartikel (tikirik dkk., 2015). gambar 2b menunjukkan spektrum serapan ir agnp. puncak serapan yang muncul pada 3379 cm-1 dapat disebabkan oleh vibrasi ulur gugus –oh. puncak yang muncul pada 2918 cm-1 disebabkan oleh vibrasi ulur–ch. puncak tajam yang diamati pada 1608 cm-1 dan puncak yang sedikit lemah pada 1707 cm-1 masing-masing disebabkan oleh vibrasi ulur c=c aromatik dan c=o. pergeseran bilangan gelombang terjadi pada vibrasi ulur –oh dari 3414 cm-1 pada ekstrak sampel (gambar 2a) menjadi 3379 cm-1 pada agnp (gambar 2b) dan meningkatnya intensitas serapan vibrasi ulur –c=o pada hasil sintesis (1705 menjadi 1707 cm-1) memberikan indikasi oksidasi gugus –oh menjadi gugus –c=o. ion ag+ akan direduksi secara bersamaan menjadi nanopartikel perak. adanya oksidasi gugus –oh menjadi karbonil –c=o dikonfirmasi dari ph larutan yang menurun selama waktu inkubasi dari ph 8,2 menjadi 5,5 mengindikasi lepasnya ion h+ di dalam larutan. analisis menggunakan xrd untuk mengonfirmasi struktur agnp dilakukan analisis pola x-ray diffraction (xrd). karakteristik puncak yang diamati pada pola xrd terhadap nanopartikel yang dihasilkan melalui reduksi agno3 1 mm menggunakan ekstrak kulit buah manggis 0.015 g/ml pada suhu 30 c mengonfirmasi adanya nanopartikel perak (gambar 3). puncak difraksi pada sudut 2θ 37,79, 43,97, 64,25, dan 77,28 masingmasing sesuai dengan bidang (111), (200), (202), dan (311). pola difraksi dengan indeks miller (111) sesuai dengan sistem kristal kubik agnp (zakir dkk., 2014). puncak yang relatif tajam pada pola xrd (111) mengindikasi fasa kristalnya agnp. perkiraan ukuran partikel perak dapat dihitung dari persamaan debye-scherer (ahmad dkk., 2010) dengan menentukan lebar terhadap indeks refleksi bragg (111). berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan tersebut diperoleh estimasi ukuran partikel sebesar 30.36 nm (gambar 3). stabilitas agnp dengan asam p-kumarat modifikasi agnp dilakukan dengan menggunakan larutan asam p-kumarat (apk). pemilihan senyawa apk didasarkan pada gugus fungsi karbonil, hidroksil, dan hidroksi fenol yang berpotensi berinteraksi dengan agnp dan melamin. larutan apk 1 mm dengan volume 1 ml ditambahkan ke dalam larutan agnp hasil sintesis dengan waktu pengadukan selama 2 jam (song dkk., 2014). pengukuran nilai spr dilakukan setelah waktu ke-54 jam untuk memonitor pertumbuhan agnp berdasarkan modifikasi dengan apk. perbandingan nilai serapan spr agnp dan apk-agnp menunjukkan adanya penurunan intesitas serapan dari 3.729, =443 nm menjadi 2.320, =446 nm (gambar 4). adanya senyawa apk yang berperan 50010001500200025003000350040004500 466.77 817.82 1101.35 1454.33 1608.63 1707.00 2850.79 2918.30 3379.29 468.70 815.89 1103.28 1460.49 1612.49 1705.07 2852.72 2922.16 3414.00 b a bilangan gelombang (cm -1 ) % t ra n sm ita n gambar 2. (a) spektrum ir ekstrak sampel, dan (b) agnp irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 145 sebagai ligan menyebabkan terjadi penurunan intesitas serapan spr sebelum dan setelah modifikasi (ma dkk., 2011). koloid apk-agnp dikeringkan selama 12 jam. hasil pengeringan berupa endapan apkagnp dianalisis menggunakan spektrofotometer ftir dengan pelet kbr pada bilangan gelombang 4000-250 cm-1. spektrum ir apk-agnp juga dibandingkan dengan hasil spektrum ir agnp hasil sintesis. identifikasi interaksi yang mungkin antara apk dan agnp dilakukan dengan analisis terhadap spektrum ir modifikasi apk-agnp (gambar 5a) dan dibandingkan dengan apk murni (gambar 5b). perbandingan ini dilakukan untuk mengidentifikasi gugus pada apk yang berinteraksi langsung dengan agnp. spektrum ir apk murni menunjukkan pita serapan pada daerah 3070–2501 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur c-h alifatik dan =c-h aromatik. pita serapan pada 1672–1598 cm-1 dapat disebabkan oleh vibrasi ulur c=c aromatik dan alkena. pita serapan pada 1247–1107 cm-1 dan 975–688 cm-1 masing-masing dapat disebabkan oleh vibrasi ulur c-o karboksilat dan tekuk c-h dalam-luar bidang. untuk mempelajari interaksi senyawa apk pada permukaan agnp, dilakukan pengukuran serapan ir pada molekul apk dan koloid apkagnp. pita serapan pada 3381 cm-1 disebabkan oleh vibrasi ulur o-h fenol dan o-h karboksilat. pita serapan pada 1508 cm-1 dan 1774 cm-1 kemungkinan disebabkan vibrasi ulur c=o karboksilat. spektrum ir apk-agnp dibandingkan dengan spektrum apk murni dan agnp tanpa modifikasi (gambar 2b) untuk mengetahui sisi interaksi antara apk dan agnp. gambar 3. pola xrd agnp 0 2000 20 30 40 50 60 70 80 in te n si ta s (c p s) 2-theta (deg) 3 1 1 2 0 22 0 0 1 1 1 gambar 4. pola spr agnp dan apk-agnp 0 1 2 3 4 300 350 400 450 500 550 600 650 700 a b s o rb a n s i panjang gelombang (nm) apk-agnps agnps irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 146 spektrum ir apk-agnp (gambar 5a) menunjukkan pita serapan pada daerah 30702501, 1672-1598, 1247-1107, dan 975-688 cm-1 cenderung menghilang. hal ini mengindikasi bahwa apk berinteraksi pada permukaan agnp melalui gugus c=c alkena dan aromatik, =c-h aromatik, c-h alifatik, c-o dan c=o karboksilat. spektrum serapan ir apk pada daerah 3381 cm-1 muncul pada daerah 3417 cm-1 spektrum ir apk-agnp dengan intensitas yang relatif tidak berubah. hal ini mengindikasi kemungkinan tidak adanya interaksi pada gugus –oh fenol antara apk dengan agnp. interaksi ini dapat dijelaskan berdasarkan prinsip teori asam basa keras lunak oleh pearson (1968) yang mengklasifikasi asam dan basa ke dalam 3 kategori, keras, lunak, dan borderline. kecenderungan interaksi yang terjadi adalah asam keras dengan basa keras dan asam lemah dengan basa lemah. berdasarkan teori pearson, maka agnp yang merupakan hasil reduksi ag+ diasumsikan sebagai basa lemah yang akan berinteraksi dengan c6h6, c=o dan c-o yang bersifat basa lemah (pearson, 1968) pada apk. interaksi ini menginduksi perubahan spektrum pada daerah serapan masing-masing gugus fungsi tersebut (gambar 5). hal ini dikuatkan oleh spektrum ir agnp (gambar 2b) dimana spektrum yang mencolok pada bilangan gelombang 2918-2850, 1608, 1101, dan 817 cm-1 yang identik dengan vibrasi ulur c-h, c=c aromatik, c-o-c eter dan =c-h mengalami penurunan intensitas pada hasil modifikasi dengan apk (gambar 5a). intensitas serapan pada daerah 3379 cm-1 yang relatif tidak berubah gambar 5. (a) spektrum ir apk-agnp, dan (b) asam p-kumatat (apk) murni 75 85 95 105 5001000150020002500300035004000 % t ra n sm ita n bilangan gelombang (cm -1 ) 3 3 5 .6 1 1 0 2 4 .2 0 1 3 8 2 .9 6 1 6 1 8 .2 8 2 3 6 0 .8 7 2 9 2 6 .0 1 3 4 1 7 .8 6 a -10 10 30 50 70 90 110 5001000150020002500300035004000 b % t ra n sm ita n bilangan gelombang (cm -1 ) 9 7 5 .9 8 6 8 8 .5 9 1 2 4 7 .9 4 1 1 0 7 .1 4 1 5 9 8 .9 9 1 6 7 2 .2 8 2 5 0 1 .6 7 3 0 7 0 .6 8 3 3 8 1 .2 1 irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 147 pada spektrum agnp mengindikasi tidak adanya pengikatan antara gugus –oh fenol dengan gugus pada apk. gambar 6. (a) spektrum ir melamin murni, dan (b) apk-agnp+melamin aplikasi apk-agnp dalam mendeteksi melamin interaksi cahaya dengan nanopartikel logam memberikan suatu hal yang menarik. salah satu aplikasi dari interaksi ini digunakan untuk aplikasi deteksi secara kimia dan biologi. prinsip deteksi ini didasarkan pada cahaya yang dilokasilasi, dimanipulasi dan dikuatkan dalam skala nanometer melalui eksitasi kumpulan oskilasi elektron dalam nanopartikel logam yang dikenal dengan localized surface plasmon resonance (lspr). apk-agnp diuji terhadap deteksi melamin melalui penambahan melamin ke dalam koloid apk-agnp dan mengamati puncak serapan terhadap perubahan warna sistem (wu dkk., 2011). melamin dengan konsentrasi 0,1; 1; 10; 100; 1000 ppm, masing-masing ditambahkan ke dalam apk-agnp dan diukur dengan spektrofotometer uv-vis pada daerah 300–800 nm. pendeteksian melamin ditandai dengan menurunnya serapan spr terhadap apk-agnp setelah ditambahkan melamin berbagai konsentrasi yang ditandai dengan perubahan warna dari kuning muda menjadi kuning kecoklatan (gambar 8). hal ini dapat disebabkan oleh agregasi yang terjadi pada nanopartikel setelah ditambahkan suatu analit seperti melamin (ma dkk., 2011, shang dkk., 2013, song dkk., 2014). gambar 7. mekanisme interaksi yang mungkin antara apk-agnps dan melamin 0 25 50 75 100 5001000150020002500300035004000 % t ra n s m it a n bilangan gelombang (cm -1 ) a 5 8 2 . 5 0 4 6 2 . 9 2 8 1 3 . 9 6 1 0 2 6 .1 3 1 1 9 2 .0 1 1 4 3 6 .9 7 1 5 4 8 .8 4 1 6 5 3 .0 0 2 1 9 4 .9 9 2 6 7 7 .2 0 2 8 1 9 .9 3 3 1 3 0 .4 7 3 3 3 4 .9 2 3 4 1 7 .8 6 3 4 6 8 .0 1 30 45 60 75 90 105 5001000150020002500300035004000 b % t ra n s m it a n bilangan gelombang (cm -1 ) 3 4 7 .1 9 1 0 2 4 .2 0 1 3 8 2 .9 6 1 6 2 5 .9 9 2 3 6 0 .8 72 9 2 4 .0 9 3 3 8 8 .9 3 irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 148 interaksi nanopartikel perak dengan m elamin selanjutnya diuji menggunakan spektrofotometer ftir. puncak serapan ir melamin murni (gambar 6a) memperlihatkan serapan yang tajam pada daerah 3130, 3334, 3417, dan 3468 cm-1 yang dapat disebabkan oleh vibrasi ulur –n-h amina. puncak serapan pada 1653 dan 1548 cm-1 dapat disebabkan oleh vibrasi c=n aromatik. puncak serapan pada 729, 767, dan 813 cm-1 dapat disebabkan oleh vibrasi –nh2 tekuk. puncak serapan pada daerah 1436 dan 1465 cm-1 dapat disebabkan oleh kombinasi c-n aromatik. puncak serapan pada 1026 dan 1192 cm-1 disebabkan oleh c-n ulur alifatik. pita serapan yang muncul di daerah 615-426 cm-1 kemungkinan disebabkan oleh senyawa yang mengandung halogen dari pelet kbr (stuart, 2004). perubahan bentuk serapan yang tajam terjadi pada daerah 3468-3130 cm-1 pada melamin murni setelah dikontakkan dengan apk-agnp (gambar 6b) mengindikasi adanya interaksi gugus –nh2 dengan apk-agnp. gambar 8. perubahan warna agnp (kuning muda menjadi kuning kecoklatan) setelah ditambahkan melamin berbagai konsentrasi interaksi juga terjadi pada gugus c=n aromatik, c-n aromatik dan c-n alifatik yang ditandai dengan berkurangnya intensitas serapan pada masing-masing daerah tersebut. pergeseran bilangan gelombang serapan ir yang mencolok terjadi pada daerah 3417,86 cm-1 pada apkagnp (gambar 5a) setelah ditambahkan melamin menjadi 3388,93 cm-1 (gambar 6b) dengan sedikit penurunan intensitas. adanya pergeseran dan penurunan intensitas serapan tersebut dapat disebabkan oleh kemungkinan interaksi melamin dengan gugus –oh yang terdapat pada nanopartikel hasil modifikasi (apk-agnp). adanya ikatan hidrogen di dalam molekul menyebabkan bergesernya pita serapan ke angka bilangan gelombang yang lebih rendah (sastrohamidjojo, 1985). berdasarkan data hasil spektrum ir maka dapat dibuat suatu ilustrasi skematis terhadap mekanisme yang mungkin untuk deteksi melamin didasarkan pada apkagnp (gambar 7). kesimpulan nanopartikel perak dapat disintesis menggunakan ekstrak kulit buah manggis dan dapat dimodifikasi dengan asam p-kumarat. waktu inkubasi berpengaruh terhadap hasil sintesis nanopartikel perak. ukuran nanopartikel perak yang dihasilkan berdasarkan estimasi perhitungan dengan persamaan debye-scherer adalah 30,36 nm dengan bentuk kubik. serapan spr nanopartikel perak berada pada daerah 443,5 nm, dan gugus –oh bertanggungjawab terhadap reduksi agno3 menjadi nanopartikel perak. nanopartikel perak hasil modifikasi memiliki pengaruh terhadap melamin konsentrasi 0,1–1000 ppm. daftar pustaka ahmad, n., sharma, s., alam, md. k., singh, v. n., shamsi, s. f., mehta, b. r., fatma, a., 2010, rapid synthesis of silver nanoparticle using dried medicinal plant of basil, colloids surf., b, biointerfaces, 81, 81-86. ahmad, t., wani, i. a., manzoor, n., ahmed, j., asiri, a. m., 2013, biosynthesis, structural characterization and antimicrobial activity of gold and silver nanoparticles, colloids surf., b, biointerfaces, 107, 227-234. chaverri, j. p., rodriguez, n. c., ibarra, m. o., rojas, j. m. p., 2008, medical properties of mangosteen (garcinia mangostana), food chem., toxi., 46, 3227-3239. chen, n., cheng, y., li, c., zhang, c., zhao, k., xian, y., 2015, determination of melamine in food contact materials using an electrode modified with gold nanoparticles and reduced graphene oxide, microchim., acta, 182, 1967-1975. gaspersz, n., sohilait, m. r., 2019, penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor α-amilase pankreas manusia, indo. j. chem. res., 6(2), 59-66. irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 149 han, c.p., li, h. b., 2010, visual detection of melamine in infant formula at 0,1 ppm level based on silver nanoparticles, analyst., 135, 583-588. huang, h., li, l., zhou, g., liu, z., feng, y., zeng, g., tinnefeld, p., ma, q., he, z., 2011a, visual detection of melamine in milk samples based on label-free and labeled gold nanoparticles, talanta, 85, 1013-1019. huang, j., zhan, g., zheng, b., sun, d., lu, f., lin, y., chen, h., zheng, z., zheng, y., li, q., 2011b, biogenic silver nanoparticles by cacumen platycladi extract: synthesis, formation mechanism, and antibacterial activity, ind, eng, chem. res., 50, 90959106. irwan, r., zakir, m., budi, p., 2016, effect of agno3 concentration and synthesis temperature on surface plasmon resonance (spr) of silver nanoparticles, ind. j. chem. res., 4(1), 356-361. jean, r. d., chiu, k. c., chen, t. h., chen, c. h., liu, d. m., 2010, functionalized silica nanoparticles by nanometallic ag decoration for optical sensing of organik molecule, j. phys. chem. c., 114, 1563315639. kuang, h., chen, w., yan, w. j., xu, l. g., zhu, y. y., liu, l. q., chu, h. q., peng, c. f., wang, l. b., kotov, n. a., xu, c. l., 2011, crown ether assembly of gold nanoparticles: melamine sensor, biosens. bioelectron, 26, 2032-2037. liang, x., wei, h., cui, z., deng, j., zhang, z., you, x., zhang, x. e., 2011, colorimetric detection of melamine in complex matrices based on cysteamine-modified gold nanoparticles, analyst., 136, 179-183. ma, y. r., niu, h. y., zhang, x. l., cai, y. q., 2011, one-step synthesis of silver/dopamine nanoparticles and visual detection of melamine in raw milk, analyst., 136, 4192-4196. mittal, a. k., bhaumik, j., kumar, s., banerjee, u. c., 2014, biosynthesis of silver nanoparticle: elucidation of prospective mechanism and therapeutic potential, j. colloid interface sci, 415, 39-47. nayak, d., ashe, s., rauta, p. r., kumari, m., nayak, b., 2016, bark extract mediated green synthesis of silver nanoparticles: evaluation of antimicrobial activity and antiproliferative response, mater. sci. eng, c, 58, 44–52. niraimathi, k. l., sudha, v., lavanya, r., brindha, p., 2012, biosynthesis of silver nanoparticles using alternanthera sessilis (linn.) extract and their antimicrobial, antioxidant activities, colloids surf., b, 102, 288-291. pearson, r. g., 1968, hard and soft acids and bases, hsab, part 1 fundamental principles, j. chem. edu, 45(9), 581-587. ping, h., zhang, m. w., li, h. k., li, s. g., chen, q. s., sun, c. y., zhang, t. h., 2012, visual detection of melamine in raw milk by label-free silver nanoparticles, food control, 23, 191-197. qiao, g., guo, t., klein, k. k., 2010, melamine in chinese milk products and consumer confidence, appetite, 55, 190-195. rajakannu, s., shankar, s., perumal, s., subramanian, s., dhakshinamoorthy, g. p., 2015, biosynthesis of silver nanoparticles using garcinia mangostana fruit extract and their antibacterial, antioxidant activity, int. j. curr. microbiol. app. sci, 4(1), 944952. shang, y., gao, d., wu, f., wan, x., 2013, silver nanoparticle capped with 8hydroxyquinoline-5-sulfonate for the determination of trace aluminium in water samples and for intracellular fluorescence imaging, microchim. acta, 180, 1317-1324. song, j., wu, f., wan, y., ma, l. h., 2014, visual test for melamine using silver nanoparticles modified with chromotropic acid, microchim. acta, 181, 1267-1274. squadrone, s., ferro, g. l., marchis, d., mauro, c., palmegiano, p., amato, g., genin, e. p., abete, m. c., 2010, determination of melamine in feed: validation of a gas chromatography-mass spectrometry method according to 2004/882/ce regulation, food control, 21, 714-718. stuart, b., 2004, infrared spectroscopy: fundamentals and applications, john wiley & sons, ltd. taba, p., parmitha, n. y., kasim, s., 2019, sintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) sebagai bioreduktor dan uji aktivitasnya sebagai antioksidan, indo. j. chem. res., 7(1), 51-60. tikirik, w. o., maming, zakir, m., 2015, sintesis nanopartikel perak menggunakan bioreduktor dari ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana l.) sebagai irwan r. dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 141 150 1 150 indikator kolorimetri keberadaan logam hg2+. repository.unhas.ac.id. venkatasami, g., sowa, j. r. jr., 2010, a rapid, acetonitrile-free, hplc method for determination of melamine in infant formula, anal. chim. acta, 665, 227-230. wiley, b. j., im, s. h., li, z. y., mclellan, j., siekkinen, a., xia, y., 2006, maneuvering the surface plasmon resonance of silver nanostructure through shape-controlled synthesis, j. phys. chem. b., 110, 1566615675. willets, k. a., hall, w. p., sherry, l. j., zhang, x., zhao, j., duyne, r. p. v., 2007, nanoscsale localized surface plasmon resonance biosensors, nanobiotech. ii, 159173. wu, z., zhao, h., xue, y., cao, q., yang, j., he, y., li, x., yuan, z., 2011, colorimetric detection of melamine during the formation of gold nanoparticles, biosens. bioelectron, 26, 2574-2578. yousefzadi, m., rahimi, z., ghafori, v., 2014, the green synthesis, characterization and antimicrobial activities of silver nanoparticles synthesized from green alga enteromorpha flexuosa (wulfen) j. agardh, mater. lett., 137, 1-4. zakir, m., maming, lembang, e. y., lembang, m. s., 2014, synthesis of silver and gold nanoparticles through reduction method using bioreductor of leaf extract of ketapang (terminalia catappa), int. con. adv. mater. & prac. nanotech, jakarta. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 19 chemical composition oil and ethanol extract of nutmeg leaf and antibacterial test against staphylococcus aureus and pseudomonas aeruginosa imanuel berly delvis kapelle, fensia analda souhoka*, ainun maharani walla chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences, university of pattimura, ambon, indonesia *corresponding author: fensia@fmipa.unpatti.ac.id received: january 2022 received in revised: march 2022 accepted: may 2022 available online: may 2022 abstract this study aims to determine the yield and composition of the essential oil and ethanol extract of nutmeg leaves and determine its antibacterial activity against staphylococcus aureus and pseudomonas aeruginosa bacteria. nutmeg leaf oil was obtained by isolation using steam-water distillation and extraction methods using maceration with ethanol as solvent. the moisture content of nutmeg leaves is 11.11%. from the distillation method, 0.26% nutmeg oil was obtained, while the yield of nutmeg oil was 29.01% from the extraction method. gas chromatography-mass spectrometer analysis showed that distilled nutmeg oil contains 20 components with the main composition, namely myristicin (15.92%), -phellandrene (14.35%), limonene (11.20%), -pinene (10.81%), and -pinene (8.59%). the ethanol extract of nutmeg leaf contains 37 components with the main composition being myristicin (7.64%), 1,1,3,3,5,5,7,7,9,9,11,11,13,13-tetradecamethylheptasiloxane (7.14%), 2,2-dimethyl-1decanol (7.12%), bis(2-ethylhexyl) phthalate (5.55%), and 9-dodecane-1-al (4.63%). the antibacterial activity test of nutmeg oil was carried out using the good diffusion method. the inhibitory power of nutmeg oil and ethanol extract of nutmeg leaves against s. aureus bacteria were 20.31 mm and 23.56 mm, while against p. aeruginosa bacteria were 11.79 mm and 8.86 mm, respectively. keywords: antibacterial, essential oil, ethanol, gc-ms, nutmeg leaf. introduction the nutmeg plant is one of the native plants in the eastern part of indonesia, especially maluku, and has many widely known benefits (kamelia & silalahi, 2018). the economic value of the nutmeg plant can improve the community's economy so that it is primarily managed in the form of plantations in several areas of maluku (fauziyah, kuswantoro, & sanudin, 2015). the nutmeg plant consists of several parts that generally correspond to trees: roots, stems, leaves, flowers, and nutmeg. according to rijal (2017), nutmeg consists of fruit flesh (77.8%), mace (4%), shell (5.1%), and seeds (13.1%). nutmeg flesh is used in sweets, pickles, jams, syrups, and nutmeg lunkhead. nutmeg seeds and mace are processed into nutmeg oil through a refining process. according to kapelle & laratmese (2014), nutmeg oil is a raw material for medicine, especially for antibacterial and antiinflammatory, the beverage industry, and cosmetics. traditionally, nutmeg leaves are used as a spa herb for relaxation. however, if underutilized, nutmeg leaves are often left to dry on the ground to become waste which is then burned. the benefits of nutmeg oil can not be separated from the chemical composition. nutmeg seed oil from soya ambon village contains eight main components (souhoka, sohilait, & fransina, 2018). lekatompessy (2020) stated that mace nutmeg oil from air lafa hamlet, central maluku regency contained three major components and 14 minor components. according to rastuti et al. (2013), nutmeg leaf oil from banyumas contains 33 components, similar to the results of puspa, syahbanu, & wibowo (2017), who obtained 33 components in nutmeg leaf oil from west kalimantan. generally, people treat wound infections caused by bacteria (such as staphylococcus aureus and pseudomonas aeruginosa) using antibiotics. antibiotics often used are ampicillin, tetracycline, and other antibiotics obtained from a doctor's prescription. the use of antibiotics that are not as recommended can cause resistance. resistance leads to the failure of the treatment of infectious diseases. for this reason, alternative antibiotics from natural ingredients are imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 20 needed that can inhibit s. aureus and p. aeruginosa bacteria (sulistyarsi & pribadi, 2018). s. aureus and p. aeruginosa bacteria are pathogenic bacteria or normal flora on humans' skin, respiratory tract, and digestive tract. both bacteria often form colonies in external wounds, including cuts and burns. the bacteria p. aeruginosa and s. aureus are the primary contaminants in burns and the fungi candida spp., aspergillus, and fusarium (al-akayleh, 1999). according to wibowo et al. (2018), minimum inhibitory concentration (mic) and minimum kill concentration (mbc) of nutmeg seed oil against s. aureus bacteria, namely at concentrations of 0.625% and 10%. however, the nutmeg oil could not inhibit the growth of p. aeruginosa bacteria. these results are following a study from tully & wibowo (2019), in which a mixture of fresh and dried nutmeg leaf essential oils had an antibacterial activity of s. aureus with an inhibition zone diameter of 3.96–5.71 mm, due to the terpenoid compounds contained in it. ibrahim, naem, & abd-sahib (2018) reported that the ethanolic extract of nutmeg seeds also had antibacterial activity due to the formation of a zone of inhibition against s. aureus, but this did not occur in p. aeruginosa. research conducted by ifriana & kumala (2018) stated that ethanol extract of nutmeg seeds with a concentration of 20–80% could inhibit the growth of p. aeruginosa bacteria by 1.5–4.83 mm. the antibacterial activity of s. aureus also increased as the concentration of the ethanol extract of nutmeg leaves increased and was inhibited by 6.43–16.63 mm (rizal, 2018). in this study, young nutmeg leaves were taken near the shoots because, according to permata & asben (2017), young leaves contain many polyphenols compared to old leaves. after that, nutmeg leaf oil was distilled using the steam-water distillation method, and nutmeg leaf extraction using ethanol using the maceration method. the choice of ethanol solvent for extraction is based on dissolving polar, semi-polar, and non-polar compounds (susanti et al., 2012). several phenolic group compounds are included in the semipolar compound and the terpenoid group, including non-polar compounds. therefore, the ethanol solvent is selective in dissolving these compounds. the oil and ethanol extract of nutmeg leaves were analyzed for their components by gas chromatography-mass spectrometer (gc-ms), and antibacterial tests were carried out against s. aureus and p. aeruginosa. methodology materials and instrumentals the materials used were nutmeg leaves (myristica fragrans houtt), 96% ethanol, anhydrous sodium sulfate (p.a. merck), filter paper, s. aureus bacteria, p. aeruginosa bacteria, nutrient agar (na) (pa merck), distilled water, amoxicillin, dimethyl sulfoxide (dmso) (p.a. merck). the tools used are a set of glassware (pyrex), analytical balance (denver instrument xp-3000), oven (memmert), desiccator, scissors, a set of steam-water distillation apparatus, electric heater (cimarec 20d+), separating funnel (pyrex), glass vial, rotary evaporator (rotavapor r-215 buchii), spatula, gc-ms spectrometer (qp-2010 plus, shimadzu), loop needle, autoclave, petri dish, sterile perforator, micropipette, incubator, and vernier caliper. methods sample collection and preparation nutmeg leaf samples were taken from manipa district, west seram regency, tumalehu barat village. fresh nutmeg leaves are sorted or separated from small twigs and cleaned of adhering dirt. a total of 8 kg of nutmeg leaves were air-dried for five days. the moisture content of nutmeg leaves was determined by weighing 2–3 g of dried simplicia, then dried in an oven at 105 °c for two hours, then put in a desiccator for 30 minutes and weighed. the treatment was repeated until a constant weight of simplicia was achieved, and the water content was calculated using equation (1) (departemen kesehatan ri, 1989). after that, the dried simplicia is cut into 14-16 parts. nutmeg leaf distillation the simplicia pieces were weighed as much as 6 kg and put in a sieve in the kettle. after that, the distillation boiler was closed, and distillation was carried out for 6–8 hours (kapelle & laratmese, 2014). the resulting distillate will form two layers, the top layer is nutmeg leaf oil, and the bottom layer is water. next, the oil is separated using a separatory funnel, and then anhydrous sodium sulfate is added (souhoka, sohilait, & fransina, 2018). the obtained oil is filtered and weighed, then the oil yield is calculated. nutmeg leaf extract a total of 200 g of simplicia pieces were put into a 2.5 l glass bottle, then 800 ml of 96% ethanol (1:4) was added (morsy, 2016). the mixture was allowed to stand for 3x24 hours at room temperature and protected from direct sunlight while occasionally stirring (fawwaz, nurdiansyah, & baits, 2017). then the macerate was filtered and evaporated using a rotary evaporator at a temperature of 45 °c to obtain a thick extract of nutmeg leaves (atmaja, mudatsir, & samingan, 2017). ethanol from the evaporation is put imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 21 back into the maceration bottle, and the maceration process is carried out for 5x24 hours, then evaporated. the viscous extract was then combined, and anhydrous sodium sulfate was added. the extract obtained was filtered and weighed, then the yield was calculated. chemical composition analysis the results of distillation and maceration in nutmeg leaf oil and ethanol extract of nutmeg leaf were analyzed using gc-ms. antibacterial activity test of staphylococcus aureus and pseudomonas aeruginosa the tools used in the antibacterial activity test were sterilized first. glassware was sterilized in the oven at 145 °c for 1 hour. ose needles and tweezers are sterilized by burning with a bunsen flame. antibacterial activity test using pathogenic bacteria s. aureus and p. aeruginosa has been purified and rejuvenated. the bacterial suspension was made and adjusted with standard mc. farland 0.5. weighed 5 g of na stock media, added 250 ml of distilled water, and dissolved on an electric heater. media stock that is ready to be sterilized using an autoclave at a temperature of 121 °c for 15 minutes. furthermore, the suspension of the two test bacteria and the stock of na media were simultaneously put into eight petri dishes. wait for the mixture to solidify, then three holes were made in each petri dish using sterile perforations with a diameter of 6 mm. the sample solution, the positive control solution, namely amoxicillin, and the negative control solution, namely dmso with a concentration of 30% each as much as 20 l, were added to each well in each petri dish. then the agar media was allowed to stand for 1 hour, then incubated at 37 °c in an incubator for 24 hours (yunita, permatasari, & lestari, 2020). the clear zone formed in each petri dish was measured using a vernier caliper. the results of the inhibition zone measurement from 3 holes in each petri dish were taken as the average value. data analysis the water content of sampels were calculated using equation 1. moisture content = (a−b) a ×100% (1) description: a = fresh sample weight (g) b = weight of dry sample (g) results and discussion sample collection and preparation nutmeg leaf samples were air-dried for five days to reduce the water content in the sample (feriyanto, sipahutar, & hakim, 2013). the leaves are chopped into several pieces to open the oil glands optimally, so volatile oil evaporation from the sample is faster during the distillation process. in addition, to increase the contact surface area between the sample and the solvent when the extraction process occurs (suardhika, 2018). moisture content in nutmeg leaf samples was analyzed using the drying method (thermogravimetry). the moisture content of nutmeg leaves is 11.11%, according to the departemen kesehatan ri (1989), which states that the water content in simplicia ranges from 10%. nutmeg leaf distillation isolation of nutmeg leaf oil was carried out by the steam-water distillation method, in which a condensation process took place in the cooler through a pipe so that a layer of oil and water was formed again. layers that do not coalesce are accommodated and separated by a separating funnel (kapelle & laratmese, 2014). the addition of anhydrous sodium sulfate binds the remaining water in the oil. the nutmeg leaf oil is clear, light yellow (figure 1), and has a characteristic nutmeg odor. figure 1. nutmeg leaf oil distilled the yield of nutmeg leaf oil is 0.26%. the yield is slightly lower than the research of rastuti et al. (2013), puspa, syahbanu, & wibowo (2017), and tully & wibowo (2019). differences in yield results may be due to differences in sampling locations. it is suspected that the drying process using the wind-dry method has not been optimal, so it has not been effective in opening the oil glands and removing water in the sample. this result is by nurdjannah (2007) opinion, which states that several factors affect the quality and yield of nutmeg oil, namely pre-harvest and post-harvest. preharvest factors consist of varieties or types of plants, imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 22 harvest locations, cultivation methods, and harvest methods and times. post-harvest factors consist of material handling, refining, packaging, and transportation. nutmeg leaf extract the nutmeg leaf extraction process was carried out using 96% ethanol as solvent using the maceration method. the maceration method is a simple extraction method because it is only done by immersing the sample for a particular time while stirring occasionally. the repeated maceration process by re-entering the remaining evaporation solvent into the maceration bottle aims to optimize the time and ability of the solvent to extract the bioactive compounds contained in the sample. the evaporation process carried out serves to evaporate the solvent that is still contained in the extract so that the resulting nutmeg leaf extract is free of ethanol solvent. the ethanol extract of nutmeg leaves produced is brownish red (figure 2) and has a characteristic nutmeg odor. figure 2. ethanol extract of macerated nutmeg leaves the yield of nutmeg leaf ethanol extract was 29.01%. this yield is more than anggriani, rahim, & syamsuddin (2018) research, which uses 96% ethanol solvent with a yield of 11.74%, and moningka et al. (2020), which uses 70% ethanol solvent with a yield of 7.52%. according to chairunnisa, wartini, & suhendra (2019), several factors influencing the extraction include temperature, time, type of solvent, the ratio of material and solvent, and particle size. the longer the maceration process, the longer the contact between the sample and the solvent will increase the number of broken cells and dissolved active ingredients (wahyuni & widjanarko, 2015). chemical composition analysis chemical composition of nutmeg leaf oil the results of the gc-ms analysis of nutmeg leaf oil obtained 20 peaks (figure 3), indicating the presence of 20 components. the five main components of nutmeg leaf oil are myristicin (15.92%), βphellandrene (14.35%), limonene (11.20%), β-pinene (10.81%), and α-pinene (8.59%). the main components of nutmeg leaf oil are presented in table 1. table 1. main components of nutmeg leaf oil no. retention time (minutes) concentrationa (%) molecular formula compound name 1. 6.325 8.59 c10h16 α-pinene 2. 7.242 14.35 c10h16 β-phellandrene 3. 7.308 10.81 c10h16 β-pinene 4. 8.319 11.20 c10h16 limonene 5. 14.350 15.92 c11h12o3 myristicin a = concentration flame ionisasi detector gc the main component of nutmeg leaf oil, according to the research of puspa, syahbanu, & wibowo (2017), namely limonene compounds (25.73%) and research from (rastuti et al., 2013)with the same three compounds, namely -pinene, pinene, and -felandrene. however, the myristicin component was not the main component of the two studies. this could be due to differences in sampling locations. the myristicin content in nutmeg leaf oil is greater than that of nutmeg seed oil, namely 6.56% figure 3. the results of the gc-ms analysis of nutmeg leaf oil imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 23 (souhoka, sohilait, & fransina, 2018), but relatively small compared to nutmeg mace oil 20.45% (sahbandar, 2019). liunokas & karwur (2020), stated that myristicin compounds are allylphenol derivatives of the phenylpropanoid group, a group of phenolic compounds that are antimicrobial bioactive compounds. chemical composition of nutmeg leaf ethanol extract the results of the gc-ms analysis of nutmeg leaf ethanol extract obtained 37 peaks (figure 4), indicating the presence of 37 components. the five main components of nutmeg leaf ethanol extract are presented in table 2. table 2. main components of nutmeg leaf ethanol extract retention time (minutes) concentration a (%) molecular formula compound name 14.325 7.64 c11h12o3 myristicin 20.092 7.12 c12h26o 2,2-dimethyl-1decanol 20.475 7.14 c14h44o6si7 1,1,3,3,5,5,7,7,9,9 ,11,11,13,13tetradeca methyl heptasiloxane 21.117 4.63 c12h22o 9-dodecane-1-al 21.717 5.55 c24h38o4 bis(2-ethylhexyl) ftalat a = concentration flame ionisasi detector gc the five main components of the ethanolic extract of nutmeg leaves were myristicin (7.64%), 1,1,3,3,5,5,7,7,9,9,11,11,13,13-tetradecamethylhepta siloxane (7.14%), 2,2-dimethyl-1-decanol (7.12%), bis(2-ethylhexyl) phthalate (5.55%), and 9-dodecane1-al (4.63%). not only nutmeg leaf oil contains myristicin, but extracts from nutmeg leaves also contain myristicin (fawwaz, nurdiansyah, & baits, 2017). according to sirwutubun, ludong, & rawung (2016), ethanol solvent is a semipolar solvent that can dissolve polar and non-polar compounds. myristicin, a non-polar compound, is dissolved in the ethanol solvent used. antibacterial activity test of staphylococcus aureus and pseudomonas aeruginosa antibacterial testing was carried out by the good diffusion method. the agar medium used was na medium which s. aureus and p. aeruginosa bacteria had inoculated. oil samples, ethanol extract, and positive control (amoxicillin) were dissolved in dmso solvent and made up 30% each. dmso solvent was used as a negative control. the clear zone indicates the presence of inhibitory activity against bacteria. the diameter of the resistance of each petri dish was measured using a vernier caliper. the results of testing the antibacterial activity of s. aureus and p. aeruginosa are presented in table 3. table 3. testing the antibacterial activity of samples against s. aureus and p. aeruginosa sample average inhibitory zone diameter (mm) s. aureus p. aeruginosa nutmeg leaf oil 20.31 11.79 nutmeg leaf ethanol extract 23.56 8.86 positive control (+) amoxicillin 45.31 39.64 negative control (-) dmso 0 0 table 3 shows that samples of nutmeg leaf oil, ethanol extract of nutmeg leaves, and positive control (amoxicillin) inhibited the growth of s. aureus and p. aeruginosa bacteria, while the negative control (dmso) did not show an inhibition zone. dmso is a figure 4. the results of the gc-ms analysis of nutmeg leaf ethanol extract imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 24 suitable extract solvent without affecting the inhibition of the test bacteria (lestari, ardiningsih, & nurlina, 2016), so the inhibition of bacterial growth only comes from the test sample used. antibacterial activity is divided into four categories: weak category if the diameter of the inhibition zone is <5 mm, moderate 5-10 mm, strong 10-20 mm, and powerful >20 mm (riski et al., 2020). these criteria classified nutmeg leaf oil's antibacterial activity and nutmeg leaf's ethanol extract against s. aureus bacteria as very strong. antibacterial activity against p. aeruginosa bacteria in nutmeg leaf oil was strong, while the ethanol extract was moderate. the antibacterial activity of positive control against the two test bacteria was potent because amoxicillin is a generic antibiotic and is classified as a penicillin drug. infectious diseases caused by gram-positive and gramnegative bacteria are generally treated using these drugs (atmaja, mudatsir, & samingan, 2017). nutmeg leaf oil and ethanol extract significantly differed in the zone of inhibition between grampositive bacteria (s. aureus) and gram-negative bacteria (p. aeruginosa). this is because gramnegative bacteria have a relatively more complex cell wall structure consisting of three layers: the outer layer in the form of lipoprotein (lipid), the middle layer in the form of lipopolysaccharide (lipid), and the inner layer in the form of peptidoglycan. gram-positive bacteria have relatively few or simple cell wall structures, namely only peptidoglycan and teichoic acid, making it easier for antibacterial compounds to enter cells and find targets to inhibit the growth of these bacteria (lingga, pato, & rossi, 2015). the ethanol extract of nutmeg leaf had an average diameter of the inhibition zone against s. aureus greater than that of nutmeg leaf oil. for p. aeruginosa bacteria, nutmeg leaf oil had a larger average inhibition diameter than nutmeg leaf extract. according to (lestari, ardiningsih, & nurlina, 2016), four factors affect the antibacterial activity: the concentration of the extract, the content of bioactive compounds, the diffusion power of the extract, and the type of bacteria inhibited. the difference in the number of components and the percentage of myristicin content of the two samples affected the average diameter of the resulting inhibition zone. the flavonoid compounds can inhibit bacterial growth by remodeling the cell membrane structure. flavonoid compounds can be bound to the surface of the bacterial cell membrane, disrupting the function of the bacterial cell membrane and causing death in bacterial cells (mere, bintang, & safithri, 2021). the phenolic compounds in the oil and ethanol extract of nutmeg leaves can break peptidoglycan cross-links while breaking down cell walls. after the cell wall is broken down, phenolic compounds will cause cell nutrient leakage by destroying the hydrophobic bonds of cell membrane components (such as proteins and phospholipids) and dissolving hydrophilic and hydrophobic components that bind. this process results in impaired cell membrane permeability. the formation of damage to the cell membrane inhibits the activity and biosynthesis of specific enzymes needed in metabolic reactions and bacterial growth (yuk & marshall, 2005). conclusion the yield of nutmeg leaf oil was 0.26%, while the ethanol extract of nutmeg leaf was 29.01%. the chemical composition of nutmeg leaf oil consists of 20 components, with five main compounds, namely myristicin (15.92%), β-phellandrene (14.35%), limonene (11.20%), -pinene (10.81%), and -pinene (8.59%). the chemical composition of nutmeg leaf ethanol extract consists of 37 components with five main compounds, namely myristicin (7.64%), 1,1,3,3,5,5,7,7,9,9,11,11,13,13-tetradecamethylhepta siloxane (7.14%), 2,2-dimethyl-1-decanol (7.12%), bis(2-ethylhexyl) phthalate (5.55%), and 9-dodecane1-al (4.63%). the antibacterial activity of oil and ethanol extract of nutmeg leaf against s. aureus was classified as very strong with inhibition zone diameters of 20.31 mm and 23.56 mm, respectively. antibacterial activity of oil and ethanol extract of nutmeg leaf against p. aeruginosa was classified as strong and moderate, with inhibition zone diameters of 11.79 mm and 8.86 mm, respectively. references al-akayleh, a. t. (1999). invasive burn wound infection. annals of burns and fire disasters, 12(4), 1–5. anggriani, m., rahim, e. a., & syamsuddin, s. (2018). antibacterial activity test of high molecular weight polyeugenol with addition of nutmeg leaf extract (myristica fragrans houtt). kovalen: jurnal riset kimia, 4(2), 190–200. atmaja, t. h. w., mudatsir, & samingan. (2017). effect of concentration of nutmeg fruit ethanol extract (myristica fragrans) on the inhibitory power of staphylococcus aureus. jurnal edu bio tropika, 5(1), 1–8. chairunnisa, s., wartini, n. m., & suhendra, l. (2019). effect of maceration temperature and time on the characteristics of bidara leaf extract imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 25 (ziziphus mauritiana l.) as a source of saponins. jurnal rekayasa dan manajemen agroindustri, 7(4), 551–560. departemen kesehatan ri. (1989). indonesian medical materials (fifth edition). jakarta: health department of ri. fauziyah, e., kuswantoro, d. p., & sanudin. (2015). nutmeg (myristica fragrans houtt) development prospect in community forest. jurnal ilmu kehutanan, 9(1), 32–39. fawwaz, m., nurdiansyah, a. s., & baits, m. (2017). nutmeg leaf (myristica fragrans houtt) potential as phenolic source. jurnal fitofarmaka indonesia, 4(1), 212–214. feriyanto, y. e., sipahutar, p. j., & hakim, j. a. r. (2013). extraction of essential oil from leaves and stems of fragrant lemongrass (cymbopogon winterianus) using steam and water distillation method with microwave heating. jurnal teknik pomits, 2(1), 1–5. ibrahim, k. m., naem, r. k., & abd-sahib, a. s. (2018). antibacterial activity of nutmeg (myristica fragrans) seed extracts against some pathogenic bacteria. journal of al-nahrain university science, 16(2), 188–192. ifriana, f. n., & kumala, w. (2018). effect of nutmeg (myristica fragrans houtt) seed extract as an antibacterial on the growth of pseudomonas aeruginosa. jurnal biomedika dan kesehatan, 1(3), 172–178. kamelia, l. p. l., & silalahi, p. y. (2018). nutmeg as one of the promising phytopharmaca in the future. molluca medica, 11(1), 96–101. kapelle, i. b. d., & laratmese, m. s. (2014). isolation of trimyristin from nutmeg seed and synthesis of methylester using heterogeneous catalyst. indonesian journal of chemical research, 2(1), 160–165. lekatompessy, t. e. (2020). analysis of chemical composition of essential oils of banda nutmeg seeds and mace (myristica fragrans houtt) from lafa village, central maluku regency. department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, ambon. lestari, y., ardiningsih, p., & nurlina. (2016). gram positive and negative antibacterial activity from extracts and fractions of nipah leaves (nypa fruticans wurmb.) from coastal river kakap west kalimantan. jurnal kartika kimia (jkk), 5(4), 1–8. lingga, a. r., pato, u., & rossi, e. (2015). antibacterial test of kecombrang stem extract (nicolaia speciosa horan) against staphylococcus aureus and escherichia coli. jom faperta, 2(2), 1–15. liunokas, a. b., & karwur, f. f. (2020). isolation and identification of chemical components of fruit flesh and mace essential oils based on age of nutmeg (myristica fragrants houtt). jurnal biologi tropis, 20(1), 69–77. mere, j. k., bintang, m., & safithri, m. (2021). antibacterial effectiveness of syzygium cumini (l.) skeels leaves to escherichia coli pbr322. indonesian journal of chemical research, 9(1), 8–14. moningka, m., pareta, d., hariyadi, h., & potalangi, n. (2020). formulation and test of antibacterial activity of nutmeg leaf extract liquid soap preparations myristica fragrans houtt. biofarmasetikal tropis, 3(2), 17–26. morsy, n. f. s. (2016). a comparative study of nutmeg (myristica fragrans houtt) oleoresins obtained by conventional and green extraction techniques. journal of food science and technology, 53(10), 3770–3777. nurdjannah, n. (2007). teknologi pengolahan pala. center for agricultural postharvest research and development. permata, d. a., & asben, a. (2017). characteristics and bioactive compounds dried extract of kluwih leaves from different leaf positions. jurnal teknologi pertanian andalas, 21(2), 79– 85. puspa, o. e., syahbanu, i., & wibowo, m. a. (2017). phytochemical and toxicity test of nutmeg leaf essential oil (myristica fragrans houtt) from lemukutan island. jurnal kimia dan kemasan (jkk), 6(2), 1–6. rastuti, u., widyaningsih, s., kartika, d., & ningsih, d. r. (2013). antibacterial activity of nutmeg leaf essential oil from banyumas against staphylococcus aureus and escherichia coli and identification of compounding compounds. molekul : jurnal ilmiah kimia, 8(2), 197–203. rijal, m. (2017). nutmeg flesh processing and testing (first edition). yogyakarta: deepublish. riski, d. g., maulana, r. g. r., permana, e., lestari, i., & taringan, i. l. (2020). profile analysis of fatty acids of tengkawang (shorea sumatrana) oil using gc-ms and antibacterial activity. indonesian journal of chemical research, 8(2), 114–119. rizal, f. y. (2018). antibacterial activity test of nutmeg leaf (myristica fragrans) ethanol extract against staphylococcus aureus and imanuel berly delvis kapelle, et al. indo. j. chem. res., 10(1), 19-26, 2022 doi: 10.30598//ijcr 26 escherichia coli. bachelor of pharmacy extension program, faculty of pharmacy, university of north sumatra, medan. sahbandar, s. (2019). chemical composition analysis of banda nutmeg (myristica fragrans houtt) and papuan nutmeg (myristica argentea warb) oil from afang village, east seram. department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, ambon. sirwutubun, m., ludong, m. m., & rawung, d. (2016). the effect of ethanol concentration on the characteristics of the natural coloring extract of red fruit (pandanus conoideus lamk.) and its application in food products. journal unsrat, 7(2), 1–8. souhoka, f. a., sohilait, h. j., & fransina, e. (2018). myristicin characterization of nutmeg oil isolated results. molluca journal of chemistry education, 8(2), 76–82. suardhika, i. m. (2018). comparison of the effect of drying time on the yield of sweet orange peel (citrus sinensis) essential oil by steam distillation and identification of linalool by spectrophotodensitometric tlc. jurnal farmasi udayana, 7(2), 38–43. sulistyarsi, a., & pribadi, n. w. (2018). antibacterial activity test of binahong leaf extract (anredera cordifolia (ten.) steenis) against bacterial growth of staphylococcus aureus and pseudomonas aeruginosa. journal of pharmaceutical science and medical research, 1(1), 38–43. susanti, a. d., ardiana, d. p., gita, g., & yosephin, b. (2012). solvent polarity as consideration in the selection of solvent for extraction of rice bran oil from rice bran of glutinous varieties (oriza sativa glatinosa). simposium nasional rapi ft ums-2012, 8–14. tully, c. h., & wibowo, m. a. (2019). antibacterial essential oil of fresh and dried nutmeg leaves (myristica fragrans houtt.) from lemukutan island against staphylococcus aureus and escherichia coli. jurnal kimia khatulistiwa, 8(1), 86–90. wahyuni, d. t., & widjanarko, s. b. (2015). effect of solvent type and extraction time on pumpkin carotenoid extract using ultrasonic wave method. jurnal pangan dan agroindustri, 3(2), 390–401. wibowo, d. p., febriana, y., riasari, h., & auilifa, d. l. (2018). essential oil composition, antioxidant and antibacterial activities of nutmeg (myristica fragrans houtt) from garut west java. indonesian journal of pharmaceutical science and technology, 5(3), 82–87. yuk, h. g., & marshall, d. l. (2005). influence of acetic, citric, and lactic acids on escherichia coli o157:h7 membrane lipid composition, verotoxin secretion, and acid resistance in simulated gastric fluid. journal of food protection, 68(4), 673–679. yunita, e., permatasari, d. g., & lestari, d. (2020). antibacterial activity of moringa leaves extract. jurnal ilmiah farmako bahari, 11(2), 189–195. indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 101-106 101 isolasi mikroba dari air asam tambang pada area pertambangan tembaga di pulau wetar, provinsi maluku isolation of microbes from mine acid water on copper mine area in wetar island, maluku province yusthinus t. male 1, *, deddy w.s. modok 1 , cecilia a. seumahu 2 , dominggus malle 3 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 department of biology, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 3 department of animal husbandry, faculty of agriculture pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: dec. 2018 published: jan. 2019 abstract this research was conducted to find bacteria from the genus acidithiobacillus which isolated from mine acid water in the copper mining area on wetar island, maluku province. this bacterium will be utilized in the biohidrometallurgical process (bioleaching) for copper extraction in mining area. the results of this study indicate that bacteria can be isolated from mine acid water samples by enrichment method that was use liquid media from leathen which is optimized using trypton soya broth (tsb) and bacterial growth on solid media. the presence of thiobacillus sp bacteria was confirmed by the results of gene analysis using a 16s rrna sequence showing the presence of mixed bacterial colonies but not a single colony. keywords: bacteria, acid mine water, thiobacillus sp., copper,bioleaching, wetar island. pendahuluan indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya tambang yang besar dengan beragam jenis bahan tambang yang tersebar dari sabang sampai merauke. kawasan timur indonesia, khususnya papua dan kepulauan maluku banyak mengandung deposit tembaga yang potensial. untuk propinsi maluku, deposit terbesar terdapat di pulau wetar, kab. maluku barat daya. dewasa ini, tantangan investasi di sektor pertambangan semakin berat untuk daerahdaerah yang memiliki cadangan tembaga yang relatif kecil. investor tidak tertarik karena menghadapi banyak kendala, diantaranya nilai keekonomian cadangan, ketidak-jelasan pengaturan kewenangan penanganan sumberdaya mineral di era otonomi daerah, diperlukan peralatan yang kapasitasnya besar sehingga memerlukan modal yang besar pula (sudarsono, 2003). mencermati hal di atas, diperlukan terobosan teknologi pertambangan, khususnya eksplorasi tembaga sehingga deposit tembaga yang relatif kecil di daerah dapat di dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan oleh perusahaan lokal, dengan memperhatikan lingkungan sosial, fisik dan biologi. telah lama diketahui bahwa mikroorganisme berperan dalam pelarutan logam sulfida, tatapi baru pada tahun 1947, colmer dan hinkle berhasil mengisolasi bakteri genus acidithiobacillus ferrooxidans dan thiobacillus thiooxidans dari air tambang asam. sejak periode 1950-1980, teknologi biohidrometalurgi atau bioleaching telah dijadikan pilihan utama untuk pemisahan tembaga dan logam lainnya dari pembuangan (damps) atau dari mineral berkadar rendah. jika dilihat, proyek biohidrometalurgi besar yang sukses justru berada di negara-negara berkembang. hal ini dimungkinkan karena selain negara-negara berkembang banyak memiliki cadangan mineral, teknologi biohidrometalurgi cocok dikembangkan karena mudah serta biayanya ringan (acevedo, 2002). bioleaching merupakan suatu proses untuk melepaskan atau mengekstraksi logam dari mineral atau sedimen dengan bantuan organisme hidup atau untuk mengubah mineral sulfida yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 101-106 102 sukar larut menjadi bentuk yang larut dalam air dengan memanfaatkan mikroorganisme. bioleaching menyebabkan proses asidifikasi dan kelarutan logam berat, sehingga proses bioleaching menjadi metode yang menjanjikan untuk menghilangkan logam berat dari sedimen atau lingkungan terkontaminsasi (chen and lin, 2001. bakteri acidithiobacillus ferrooxidans memiliki kemampuan untuk melarutkan logam berat dan telah lama digunakan pada proses bioleaching tembaga dan emas. selain itu bakteri a. ferrooxidans mampu melarutkan sulfide logam (ms) menjadi ion sulfat (so4 2) dan ion logam senyawa logam sulfat (mso4). dari proses tersebut logam dapat dipisahkan dan diperoleh kembali secara bioleaching (pradhan et al., 2008). pada penelitian ini, akan dilakukan studi jenis koloni/genus dari mikroba yang secara alamiah terdapat pada area penambangan, kolam bekas tambang (cair) serta limbah padat (tailing) tembaga untuk menemukan bakteri turunan (strain) acidithiobacillus) ferrooxidans isolat lokal. lokasi pengambilan sampel adalah area penambangan pt. batutua tembaga raya, di pulau wetar, kab. maluku barat daya, provinsi maluku. isolat lokal digunakan karena diduga bahwa genus acidithiobacillus ferrooxidans isolat lokal telah mengalami mutasi dan adaptasi sehingga lebih sesuai untuk daerah tambang tersebut. media yang digunakan dalam isolasi ini adalah media cair dari leathen et al. (1956) dalam putro (2008), karena media ini merupakan media yang paling optimum untuk menumbuhkan bakteri thiobacillus sp. hal ini terjadi karena kandungan besi fe 2+ fe 3+ pada media ini optimal (1 g per liter). keadaan inilah diduga menyebabkan isolat-isolat bakteri lebih mampu menyesuaikan diri pada media tumbuh tersebut. media leathen ini digunakan karena lebih mudah menekan terjadinya oksidasi besi secara kimia karena semakin tinggi kandungan besi ferronya maka kemungkinan terjadinya oksidasi secara kimia juga semakin besar (nurseha, 2000). metode penelitian waktu dan tempat penelitian pengambilan sampel dilakukan pada delapan) titik sampel (kode sampel: a1, a2,a3, b1,b2,b3, c1dan c2) pada areal processing heap leach pertambangan tembaga lurang kecamatan wetar utara (gambar 1). proses isolasi dan identifikasi dilakukan di laboratorium mikrobiologi jurusan biologi fmipa universitas pattimura ambon. bahan bahan-bahan yang digunakan adalah: sampel air asam tambang, alkohol 95%, spirtus, kapas, akuades, feso4.7h2o (e. merck), (nh4)2so4 (e. merck), k2hpo4(e. merck), mgso4.7h2o (e. merck), kcl (e. merck), ca(no3)2 (e. merck), agar 2% dan tryptone soya broth (tsb). alat alat-alat yang digunakan adalah: alat-alat gelas (pyrex), spatula, botol sampel polietilen, autoklaf (tomy es-215), inkubator shaker (shel lab), bunsen, hot plate (cimarec 2), timbangan analitik (adventure pro, ohaus), laf (laminar air flow) (lab culture class ii type b esco), gps (global positioning system), dan sekuensi 16s rrna. penyiapan media pada penelitian ini digunakan media cair 9k dari leathen dkk. (1956) dalam putro (2008) dengan ph 3,5. komposisi media disajikan pada tabel 1. semua bahan tersebut dicampurkan ke dalam 800 ml akuades kecuali feso4.7h2o, diaduk dan disterilkan pada suhu 121˚c kemudian didinginkan. untuk feso4.7h2o, dipersiapkan akuades yang telah steril dan telah ditetapkan phnya , yaitu ph 3,5, sebanyak 200 ml, setelah itu dimasukkan feso4. 7h2o dan dipanaskan sampai suhu 50˚c, lalu didinginkan. kedua larutan dicampur secara aseptik. media kemudian dibagi-bagi ke dalam tabung isolasi yang telah disterilkan. yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 101-106 103 isolasi bakteri dari air asam tambang isolasi mikroba/bakteri dilakukan dengan cara memasukkan 10 ml sampel air asam ke dalam media steril yang langsung diinkubasi. medium isolasi yang digunakan berupa medium cair yang selektif untuk pertumbuhan bakteri, yaitu media 9k. media tersebut kemudian diinkubasi pada suhu kamar dengan cara dikocok dengan menggunakan shaker 250 rpm, selanjutnya disimpan pada ruangan yang tidak terlalu banyak cahaya. apabila telah terjadi perubahan warna menjadi kuning atau kuning karat, maka di dalam sumber tersebut diduga terdapat thiobacillus sp. tabel 1. komposisi medium cair (tiap 800 ml) bahan medium t. ferrooxidans (9k) k2hpo4 0,15 gram (nh4)2so4 0,01 gram ca(no3)2 0,01 gram mgso4.7h2o 0,50 gram kcl 0.05 gram feso4. 7h2o 1,00 gram sumber: (nurseha, 2000 dalam putro, 2008) karakterisasi bakteri thiobacillus sp. setelah isolat diperoleh maka perlu dilakukan pemindahan isolat dari media cair ke media padat yang selektif. pemindahan isolat dari media cair ke media padat dilakukan dengan cara memasukkan media agar yang telah dipersiapkan sebanyak 10 ml ke dalam cawan petri yang sudah steril. isolat pada medium cair tersebut kemudian disebar sebanyak 200 μm ke atas media padat yang telah disiapkan, kemudian diinkubasi sampai terbentuk koloni dari bakteri yang diinginkan. pengamatan mikroskopis dengan menggunakan mikroskop dilakukan setelah koloni terbentuk, kemudian dianalisis untuk mengetahui morfologi dan sifat-sifat yang melekat pada bakteri tersebut. komposisi media agar (padat) disajikan pada tabel 2. tabel 2. komposisi media padat (agar) tiap 800 ml bahan medium t. ferrooxidans (9k) k2hpo4 0,15 g (nh4)2so4 0,01 g ca(no3)2. 0,01 g mgso4.7h2o 0,50 g kcl 0.05 g feso4. 7h2o 1,00 g agar 12,00 g sumber : leathen dkk. (1956) dalam putro (2008) isolat yang sudah tumbuh pada media padat ini kemudian dapat dipergunakan selain untuk pemurnian isolat pada medium yang sama juga digunakan untuk pewarnaan gram diferensial. pewarnaan gram diferensial bertujuan untuk melihat bakteri secara mikroskopik dengan bantuan mikroskop untuk membedakan antara bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif. karakterisasi dari bakteri yang telah didapatkan, dilakukan setelah mendapatkan hasil dari pewarnaan gram diferensial tersebut. selanjutnya identifikasi dilakukan di pt. genetika sains gambar 1. peta pulau wetar dan lokasi pengambilan sampel yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 101-106 104 jakarta dengan menggunakan sekuensi gen 16s rrna. hasil penelitian isolasi bakteri dari air asam tambang isolasi bakteri dilakukan pada delapan sampel air asam dari tiga lokasi yang berbeda dengan perlakuan yang sama yaitu menumbuhkan mikroba thiobacillus sp. dari kedelapan sampel, terlihat bahwa sampel a1,a2, dan a3 memiliki hasil yang lebih bagus. hal ini ditandai dengan berubahnya warna media cair tersebut dari warna hijau muda menjadi kuning keruh yang menandakan keberadaan bakteri thiobacillus sp. (putro, 2008). hasil ini sesuai dengan lokasi pengambilan sampel a tepat di lokasi intermediet leach solution (ils). dari ketiga sampel tersebut kemudian dipilih sampel a1 yang menunjukkan pertumbuhan yang paling bagus, namun setelah dilakukan penyebaran media cair diatas media padat ternyata hasilnya tidak begitu baik dikarenakan media cair ini mengandung sedikit bahan organik sebagai nutrisi dan oksigen agar berlangsungnya reaksi aerob. gambar 2. hasil inkubasi sampel a pada media padat thiobacillus tergolong bakteri kemoautotrof, yang mana proses metabolisme bakteri ini memanfaatkan energi dari reaksi kimia untuk membuat makanan sendiri dari bahan organik dan juga menggunakan bahan kimia dari oksidasi molekul organik untuk menyusun makanannya, perlu dilakukan modifikasi pada media cair untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. pada proses modifikasi media cair, disiapkan media cair yang baru dengan komposisi yang sama kemudian ditambah trypton soya broth (tsb) sebagai penyedia asam amino dan substansi nitrogen lainnya sebagai penambah nutrisi pada media untuk pertumbuhan mikroba. hasil inkubasi dari sampel tersebut dapat dilihat pada gambar 2. isolat-isolat bakteri pada media cair kemudian dipipet 200 µl di atas media padat yang komposisinya sama dengan media cair, namun ada penambahan agar sebanyak 2% kemudian diinkubasi sampai terbentuk koloni dari bakteri yang diinginkan.hasil penumbuhan isolat bakteri dari media cair ke media padat dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3. hasil pertumbuhan isolat bakteri pada media padat isolat bakteri yang dapat tumbuh pada media cair belum tentu dapat tumbuh pada media padat, dalam hal ini media agar. bakteri yang diisolasi adalah bakteri asidofi yang membutuhkan senyawa anorganik untuk pertumbuhan dan perbanyakan, bukan pada senyawa organik seperti agar (nurseha, 2000). analisis gen 16s rrna hasil inkubasi media padat menunjukkan ada koloni yang diduga adanya pertumbuhan bakteri. hasil ini kemudian digores dan dicampurkan dengan garam fisiologi dan disentrifuge agar campuran homogen. campuran homogen tersebut dipipet ke dalam fta card dan dianalisis untuk mencari identitas koloni bakteri. hasil analisis gen menggunakan sekuensi 16s rrna dapat dilihat pada gambar 4. hasil analisis gen 16s rrna mununjukan bahwa koloni bakteri bukan berasal dari koloni tunggal. pada penelitian ini dilakukan metode isolasi bakteri dengan cara pengayaan bakteri yang umumnya cocok untuk sampel air asam. bakteri thiobacillus kebanyakan terdapat pada yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 101-106 105 sedimen yang bisa dilakukan dengan metode tidak langsung, sedangkan untuk memperoleh thiobacillus yang terdapat dalam air asam dapat dilakukan isolasi secara langsung ditempat, yaitu metode pengisolasian mikroorganisme secara langsung dari sampel dengan proses pengayaan terlebih dahulu. isolasi tersebut dapat didahului dengan pengenceran atau tidak. metode tidak langsung adalah metode yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah mikroorganisme yang diinginkan sehingga menjadi lebih banyak daripada mikroorganisme lainnya dalam inokulum asli (casida, 2001). gambar 4. hasil sekuensi dari hasil analisis gen 16s rrna menunjukkan bahwa koloni yang diperoleh masih berupa koloni campuran dan bukan berasal dari koloni tunggal. terbentuknya koloni bakteri merupakan tanda bahwa bakteri mampu hidup pada media padat tersebut dengan ciri-ciri membentuk koloni karat di permukaan media, berlendir dan mencembung di permukaan media agar. pada penelitian ini, sampel yang dianalisis menggunakan sekuensi gen 16s rrna tidak dapat dilanjutkan untuk mendapatkan koloni tunggal. hal ini karena bakteri yang terdapat dalam sampel tersebut tidak dikultur untuk waktu yang lama. dengan demikian jumlah nutrisi yang tersedia tidak lagi dapat mendukung pertumbuhan bakteri ataupun karena akumulasi produk samping metabolisme yang bersifat toksik. pada kondisi ini laju kematian bakteri lebih besar dari pada laju pertumbuhan bakteri sehingga jumlah populasi bakteri jauh menurun (kamil, 2008). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa bakteri thiobacillus sp. dapat diisolasi dari sampel air asam tambang dengan metode pengayaan yaitu menggunakan media cair dari leathen yang dioptimalkan menggunakan trypton soya broth (tsb) dan dilakukan penumbuhan bakteri pada media padat. keberadaan bakteri thiobacillus sp. dipastikan dengan hasil analisis gen menggunakan sekuensi 16s rrna yang menunjukkan ada aktifitas koloni bakteri campuran dan bukan merupakan koloni tunggal. ucapan terima kasih terima kasih kepada lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (lp2m) universitas pattimura yang telah membiayai penelitian ini melalui kegiatan penelitian produk unggulan daerah tahun 2017 dengan nomor kontrak: 08.74.2h/spk-pj/un13-ppbj/pudlp2m/2017 daftar pustaka acevedo, f., 2002, present and future of bioleaching in developing countries, electronic journal of biotechnology, 5(2), 196-199. casida j.l.e., 2001, industrial microbiology, new age int. ltd. pub. new delhi. chen, s-y, lin, j-g., 2001, bioleaching of heavy metals from sediment: significance of ph, chemosphere, 44(5), 1093-1102. kamil, i., 2008, pemanfaatan bakteri thiobacillus thioparus untuk mendegradasi kandungan sulfur dalam gas alam., skripsi, departemen teknik kimia, fakultas teknik, universitas indonesia, jakarta. nurseha, 2000, isolasi dan uji aktivitas bakteri asidofilik pengoksidasi besi dan sulfur dari ekosistem air hitam, tesis, program pasca sarjana institut pertanian bogor, bogor. pradhan, n., nathsarma, k.c., rao, k.s., sukla, l.b, mishra, b.k., 2008, heap bioleaching of chalcopyrite: a review, mineral engineering, 21(5), 355-365 yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 101-106 106 putro, b. i. k. e., 2008. isolasi dan karakterisasi thiobacillus ferrooxidans dari berbagai jenis tanah, skripsi, departemen ilmu tanah dan sumberdaya lahan, fakultas pertanian, institut pertanian bogor, bogor. sudarsono, a.s., 2003, pengantar pengolahan dan ekstraksi biji emas. departemen pertambangan itb, bandung. ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 213 optimation transesterification reaction conditions on biodiesel production from beef tallow optimasi kondisi reaksi transesterifikasi pada pembuatan biodiesel dari lemak sapi rosmawaty 1, *, a. bandjar 1 , suntoro gunoroso 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: rose@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract biodiesel synthesis has been done from beef tallow through two step, esterification and transesterification reactions. esterification process is done by using h2so4 1m as a catalyst, methanol 1:9, temperature of 6065°c, and for 3 hours. after separated between methanol and trigyceride, then proceed to the process of transesterification. to obtain the optimum reaction conditions then used some transesterification process variables, there are: the weight percentage catalyst of koh between 0.1, 0.5, 1; 1.5, and 2%, the reaction time of 1-5 hours and the reaction temperature between 50 -70 o c. optimum conditions of transesterification reaction for the synthesis of biodiesel derived from beef tallow with koh catalyst is as follows: the weight percentage of 1% koh catalyst, the reaction time of 3 hours and the reaction temperature of 65 o c. the results of physical testing of biodiesel fuel by astm method includes specific density of 0.8675 g/cm 3 , kinematic viscosity of 4.971 mm 2 /s, flash point of 134.5c, pour point of 27c, the conradson carbon residue of 0.018%, and the copper corrosion-pieces of 1b. keywords: biodiesel, beef tallow, koh, methanol, transesterification. pendahuluan meningkatnya populasi manusia di bumi mengakibatkan kebutuhan akan energi semakin meningkat pula. bahan bakar minyak bumi adalah salah satu sumber energi utama yang banyak digunakan berbagai negara di dunia pada saat ini. kebutuhan bahan bakar ini selalu meningkat, seiring dengan penggunaannya di bidang industri maupun transportasi. setiap hari jutaan barel minyak mentah bernilai jutaan dolar dieksplotasi tanpa memikirkan bahwa minyak tersebut merupakan hasil dari proses evolusi alam yang berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu dan tidak bisa diperbaharui (unrenewable), sehingga untuk memperoleh bahan bakar minyak bumi dalam waktu yang singkat menjadi tidak mungkin. besarnya kebutuhan akan minyak bumi yang tidak diimbangi ketersediaan kuantitasnya membuat harga minyak sangat mahal. selain itu, muncul berbagai dampak buruk yang diakibatkan efek rumah kaca sehingga mendorong usaha penemuan bahan bakar alternatif yang dapat mengurangi dampak tersebut (elisabeth dan haryati, 2001; freedman dkk.,1999; knothe 2010). laporan terakhir dari congressional research services (crs) pada tahun 2003 kepada komisi energi di konggres amerika serikat, menyebutkan bahwa jika tingkat penggunaan bahan bakar fosil masih terus seperti sekarang (tanpa peningkatan dalam efisiensi produksi, penemuan cadangan baru, dan peralihan ke sumber-sumber energi alternatif terbarukan), cadangan sumber energi bahan bakar fosil dunia khususnya minyak bumi, diperkirakan hanya akan cukup untuk 30-50 tahun lagi (nugroho, 2006). salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menggantikan atau melengkapi bahan bakar yang berasal dari bahan bakar fosil seperti diesel adalah mengembangkan suatu energi mailto:rose@fmipa.unpatti.ac.id rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 214 alternatif yang disebut dengan biodiesel. biodiesel merupakan bahan bakar dari minyak tumbuhan dan minyak hewan yang telah dikonversi menjadi bentuk metil ester asam lemak yang ramah lingkungan sehingga dapat membantu ketersediaan minyak diesel. biodiesel pada umumnya diproduksi melalui proses transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek (umumnya metanol) dengan bantuan katalis. biodiesel yang dihasilkan harus memiliki harga yang lebih murah serta proses produksi yang ramah lingkungan, agar dapat bersaing dengan minyak diesel dari fosil (ma dan hanna,1999; knothe, 2010; zhang dkk., 2003; leung dkk., 2010; bandjar, dkk., 2014). biodiesel tergolong bahan bakar yang dapat diperbaharui. akan tetapi, kendala baru yang sedang dihadapi dalam pengembangan produk biodiesel adalah suplai bahan baku. keterbatasan bahan baku minyak tumbuhan yang dimiliki, karena hampir tidak mungkin untuk meningkatkan produksi dengan memperluas areal penanaman. disisi lain perubahan diet manusia yang cenderung untuk mengurangi konsumsi bahan makanan berlemak akan berdampak menghasikan lemak hewani yang lebih besar. maka pada penelitian ini akan digunakan bahan baku biodiesel yang bersumber dari lemak sapi. penggunaan katalis dalam proses pembuatan biodiesel sangat diperlukan, karena diharapkan dapat meningkatkan produksi biodiesel baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. adanya katalis asam diharapkan dapat membantu dalam reaksi esterifikasi dan katalis basa dapat membantu dalam reaksi transesterifikasi. tetapi dalam penggunaan katalis juga perlu diperhatikan, karena jika penggunaan katalis terlalu banyak dinilai kurang ekonomis dan semakin banyaknya katalis yang digunakan belum tentu dapat meningkatkan produksi biodiesel, untuk itu perlu mengoptimalkan penggunaan katalis dalam proses pembuatan biodiesel (fransina, 2013). enchinar dkk. (2002) telah mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi katalis, dalam hal ini katalis basa terhadap konversi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi dalam media etanol. penggunaan katalis divariasi dari 0 % hingga 1,5 % dengan selisih 0,25 % yang menunjukkan hasil pada konsentrasi 1 % diperoleh konversi biodiesel optimum, karena di atas 1 % terjadi penurunan konversi. hikmah dan zuliyana (2010) telah mempelajari pengaruh lama waktu dan suhu reaksi transesterifikasi terhadap hasil konversi biodiesel dari minyak dedak dengan katalis naoh dan pelarut metanol. transesterifikasi dilakukan dengan variasi waktu operasi 60; 75; 90; 105; dan 120 menit, jumlah katalis 1,5;1,75; 2; 2,25; dan 2,5 % w/w, dan suhu operasi 40; 45; 50; 55; dan 60 o c. hasil penelitian menunjukan bahwa waktu optimum transesterifikasi adalah 120 menit dengan konsentrasi katalis naoh 1,75 % w/w dan suhu 60 o c. berdasarkan uraian di atas maka pada penelitian ini dilakukan kajian produksi biodiesel dengan bahan baku minyak hewani dan mengoptimalkan penggunaan katalis, waktu dan suhu transesterifikasi dengan judul “optimasi kondisi reaksi transesterifikasi pada pembuatan biodiesel dari lemak sapi”. metodologi alat satu set alat refluks pyrex, alat-alat gelas pyrex, pemanas listrik mammert, pengaduk magnet (science ware), neraca analitik, oven (memert), vakum evaporator buchii, termometer 1000 o c, kromatografi gas-spektrometer massa (gcms), spektrometer ir shimadzu ftir-8201 pc, alat – alat uji astm. bahan lemak sapi, metanol (p.a,) , koh (merck), h2so4 (merck), na2so4 anhidrous, indikator phenolftalein, kertas saring wathman 40, akuades. prosedur kerja preparasi lemak sapi lemak sapi dipanaskan pada suhu l20 o c untuk menguapkan air. setelah dipanaskan selanjutnya lemak cair didekantasi untuk memisahkan pengotor padatan yang terlarut. kemudian lemak dikarakterisasi menggunakan ir, dan spektrometer 1 h-nmr. penentuan asam lemak bebas rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 215 lemak sapi yang telah dibersihkan diambil sebanyak 20 gram dicampurkan dengan metanol kemudian dipanaskan selama 20 menit pada suhu 65 o c. kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan beberapa tetes indikator fenoftalein kemudian dititrasi dengan menggunakan koh 0,1n sampai tepat warna merah jambu kemudian dihitung kandungan asam lemak bebasnya. sintesis biodiesel melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi lemak sapi yang telah dipanaskan dan bersih dimasukkan ke dalam alat refluks, kemudian diesterifikasi asam lemak bebasnya dengan metanol (perbandingan minyak dan metanol 1:9) dan ditambahkan dengan katalis h2so4 1 m. campuran direfluks pada temperatur 60-65 o c selama 3 jam. hasilnya terbentuk 2 lapisan, yaitu campuran metanol dan metil ester pada lapisan bagian atas dan trigliserida pada lapisan bagian bawah. kemudian trigliserida ditransesterifikasi dengan metanol (perbandingan minyak dan metanol 1:12) dan ditambahkan dengan katalis basa alkali koh dengan variasi berat 0,1; 0,5; 1; 1,5; dan 2 % dari berat campuran. campuran direfluks kembali pada temperatur 60-65 o c selama 2 jam. campuran hasil reaksi didinginkan dan terbentuk 2 lapisan, yaitu berturut-turut dari atas ke bawah metil ester, gliserol. lapisan metil ester dan gliserol dipisahkan dengan menggunakan corong pisah. kemudian metil ester dievaporasi untuk menghilangkan sisa metanol. metil ester selanjutnya dicuci dengan akuades dalam corong pisah untuk melarutkan sisa gliserol. langkah terakhir adalah dengan penambahan na2so4 anhidrat untuk mengikat sisa-sisa air, kemudian disaring dengan kertas saring whatman 40. prosedur kerja yang sama dilakukan pada variasi waktu transesterifikasi selama 1, 2, 3, 4, dan 5 jam, dan juga variasi suhu 50, 55, 60, 65, dan 70 o c. kemudian dilakukan sintesis biodiesel pada kondisi optimum yang telah diperoleh. karakterisasi metil ester metil ester yang dihasilkan pada kondisi optimum kemudian dikarakterisasi dengan ir, gc-ms, 1 h-nmr dan metode astm. karakteristik biodiesel yang dianalisis dengan metode astm adalah kerapatan spesifik 60/60 o f (astm d 1298), viskositas kinematik 40 o c (astm d 445), titik tuang (astm d 97), titik nyala (astm d 93), sisa karbon conradson (astm d 189), dan korosi kepingan tembaga (astm d 130). hasil dan pembahasan preparasi lemak sapi sampel yang digunakan dalam proses ini adalah lemak sapi. sebelum dilakukan proses esterifikasi terlebih dahulu sampel dipreparasi. preparasi sampel dalam hal ini lemak sapi dilakukan dengan cara pemanasan dan dekantasi. dari 1500 g gajih yang dipreparasi maka dapat dihasilkan 763,98 g lemak sapi. reaksi esterifikasi proses esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan metanol dengan sampel (lemak sapi), perbandingan 1:9 dengan asumsi bahwa berat molekul lemak sapi adalah 863,73 g/mol dan dibantu juga dengan katalis asam sulfat 1 m. proses refluks dilakukan pada suhu 60-65 yaitu pada suhu mendekati titik didih metanol dan dilakukan selama 3 jam. hasilnya terbentuk 2 lapisan yaitu campuran metanol dan metil ester pada lapisan bagian atas dan trigliserida pada lapisan bagian bawah. kedua lapisan tersebut dipisahkan dan diambil bagian bawah (trigliserida) untuk selanjutnya ditransesterifikasi. sedangkan bagian atas akan digabungkan dengan metil ester hasil proses transesterifikasi. proses esterifikasi dilakukan terlebih dahulu, agar kandungan asam lemak bebas (free fatty acid) yang terdapat dalam minyak hewan berkurang. dari hasil perhitungan diperoleh kandungan asam lemak bebas dalam lemak sapi sebesar 7,45 %, sehingga perlu dilakukan dua proses reaksi yaitu proses esterifikasi dan proses transesterifikasi. hal ini sesuai dengan pernyataan mastutik (2006) yang menyatakan bahwa minyak atau lemak yang memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi seperti minyak jelantah (2-7 %) dan lemak hewan (5 30 %) perlu dilakukan dua langkah reaksi yaitu dengan katalis asam dan katalis basa untuk mengatasi asam lemak bebas yang tinggi dalam memproduksi biodiesel. rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 216 dengan dilakukannya proses esterifikasi maka kadar asam lemak bebasnya semakin kecil. semakin kecilnya kadar asam lemak, maka sabun yang terbentuk semakin sedikit dan hasil metil ester yang diperoleh semakin besar. proses esterifikasi ini bertujuan untuk mengubah asam karboksilat dengan bantuan katalis asam yang dapat membentuk ester dan hasil samping dari reaksi ini terbentuknya air. dari hasil samping berupa air tersebut dapat diatasi dengan menggunakan metanol berlebih, yang mana air yang terbentuk akan larut dalam metanol dan tidak menghambat proses reaksi. selain itu, metanol juga dapat menghambat laju hidrolisis dalam suasana basa terhadap ester, karena metanol dalam bentuk ion metoksida bereaksi cepat dengan trigliserida menghasilkan metil ester. katalis asam sulfat yang digunakan dalam reaksi esterifikasi ini berfungsi untuk meningkatkan proses konversi asam lemak bebas menjadi ester, karena dengan katalis asam proses reaksi esterifikasi dapat berlangsung dengan cepat. pada reaksi esterifikasi ini tidak menghasilkan sabun, karena tidak melibatkan logam alkali (sutapa, dkk., 2013). reaksi transesterifikasi setelah proses esterifikasi selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi tanpa adanya pencucian. hal ini dikarenakan lemak hewan mudah membentuk padat pada suhu kamar. pada proses transesterifikasi katalis yang digunakan adalah katalis basa homogen koh dengan variasi 0,1; 0,5; 1; 1,5; dan 2% dari jumlah minyak dan metanol. perbandingan metanol terhadap minyak pada proses ini lebih besar dibandingkan dengan proses esterifikasi yaitu 1:12 karena jumlah trigliserida yang akan diubah menjadi metil ester lebih besar dari asam lemak bebas yang diubah menjadi metil ester. proses transesterifikasi dilakukan dengan cara direfluks pada suhu mendekati titik didih metanol yaitu 60-65 o c selama 2 jam. hasil yang diperoleh berupa 2 lapisan yaitu metil ester pada lapisan atas dan gliserol pada lapisan bawah. hasil dari reaksi transesterifikasi dipisahkan dengan menggunakan corong pisah, setelah dipisahkan kemudian metil ester dievaporasi pada suhu sesuai dengan titik didih metanol. ketika proses pencucian dengan akuades lebih mudah karena tidak banyak terjadi emulsi dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam proses pncucian. pada lapisan atas pencucian berupa metil ester dan lapisan bawah yaitu air dan gliserol yang larut dalam air. selanjutnya metil ester hasil pemisahan dari air ditambahkan na2so4 anhidrat yang berfungsi untuk mengikat air yang masih terdapat dalam metil ester. kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring whatman 40 dan didapat metil ester. pengaruh berat katalis koh terhadap hasil pada proses transesterifikasi untuk mempelajari pengaruh berat katalis koh pada reaksi transesterifikasi dilakukan dengan memvariasikan berat katalis koh yaitu 0,1; 0,5; 1; 1,5; dan 2 %, sedangkan suhu dan waktu dibuat tetap yaitu 60-65 o c dan 2 jam. dari penelitian yang dilakukan, jika disajikan dalam bentuk grafik, diperoleh hasil seperti pada gambar 1 berikut : gambar 1. grafik hubungan antara berat katalis koh dan hasil pada proses transesterifikasi dari grafik pada gambar 1 terlihat bahwa dengan bertambahnya konsentrasi katalis maka konversi biodiesel cenderung meningkat. konversi biodiesel katalis tertinggi didapat pada penggunaan katalis koh 1 % yaitu 78,96 %. pada penggunaan katalis koh lebih rendah dari 1% biodiesel yang dihasilkan belum maksimal sedangkan pada penggunaan katalis lebih dari 1 % terjadi penurunan konversi biodiesel. adanya penurunan tersebut mengindikasikan jumlah katalis yang digunakan telah berlebih. kelebihan katalis dapat mengakibatkan berkurangnya hasil biodiesel. hal ini disebabkan karena pemakaian katalis yang berlebih dapat mengakibatkan terjadinya reaksi saponifikasi (julia, 2007). pengaruh waktu terhadap hasil pada proses transesterifikasi rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 217 untuk mempelajari pengaruh waktu reaksi tranesterifikasi dilakukan dengan memvariasikan waktu reaksi yaitu 1, 2, 3, 4, dan 5 jam, sedangkan suhu dan berat katalis koh dibuat tetap yaitu 60-65 o c dan 1 % b/b. dari penelitian yang dilakukan, jika disajikan dalam bentuk grafik, diperoleh hasil seperti pada gambar 2. gambar 2. grafik hubungan antara waktu dan hasil pada proses transesterifikasi dari gambar 2 dapat dilihat bahwa konversi biodiesel optimum diperoleh pada proses transesterifikasi dengan waktu reaksi 3 jam yaitu 81,98 %. semakin lama waktu transesterifikasi maka konversi yang dihasilkan semakin besar, hal ini karena akan memberikan kesempatan reaktan untuk bertumbukan satu sama lain lebih lama sehingga kinerja katalis akan lebih maksimal, tetapi penggunaan waktu yang terlalu lama juga dapat mengurangi efektifitas transesterifikasi karena dapat mengakibatkan terjadinya reaksi balik (hikmah dan zuliyana, 2010). pengaruh suhu terhadap hasil pada proses transesterifikasi untuk mempelajari pengaruh suhu reaksi tranesterifikasi dilakukan dengan memvariasikan suhu reaksi yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70 o c, sedangkan waktu dan berat katalis koh dibuat tetap yaitu 3 jam dan 1 % b/b. dari penelitian yang dilakukan, jika disajikan dalam bentuk grafik, diperoleh hasil seperti pada gambar 3. dari grafik pada gambar 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang dioperasikan sampai dengan 65 o c, maka konversi biodiesel semakin besar. hal ini terjadi karena dengan naiknya suhu, maka tumbukan antar partikel semakin besar, sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi semakin besar. tetapi pada suhu yang melebihi titik didih metanol (65 o c), terjadi penurunan konversi biodiesel. penurunan konversi biodiesel ini disebabkan oleh hilangnya sebagian metanol karena penguapan (julia, 2007). gambar 3. grafik hubungan antara suhu dan hasil pada proses transesterifikasi karakterisasi biodiesel analisis biodiesel dengan spektrometer ftir uji ftir dilakukan pada lemak sapi dan biodiesel. tujuan dilakukan pengujian dengan ftir adalah untuk membuktikan adanya ester pada produk transesterikasi, hal ini dapat dilihat dari serapan khas pada gugus c=o dan c-o. hasil uji ftir untuk lemak sapi dan biodiesel disajikan pada tabel 2. pada tabel 1 memperlihatkan adanya ester untuk lemak sapi memiliki dua karakteristik ikatan penyerapan yang kuat yang timbul dari karbonil (c=o) sekitar 1743,65 cm -1 dan c-o pada 1056,99-1172,72 cm -1 . getaran-getaran peregangan c-h dari rantai asam lemak muncul pada 2854,65-2924,09 cm -1 , sedangkan serapan tajam pada daerah 725,23cm -1 merupakan serapan untuk gugus alkena (-ch=ch-) dari rantai asam lemak tak jenuh. sedangkan daerah serapan –oh muncul pada 3464,15 cm -1 . pada tabel 1 terdapat perubahan serapan dari gugus karbonil c=o, gugus ester c-o untuk biodisel. pada lemak sapi gugus karbonil (c=o) memilki serapan kuat pada 1743,65cm -1 berubah menjadi 1734,04 cm -1 pada metil ester, sedangkan untuk gugus c-o terjadi perubahan dari pergeseran 1056,99-1172,72cm -1 menjadi 1017,47 -1197,82 cm -1 , perubahan juga terjadi pada daerah serapan tajam 725,23 cm -1 menjadi 721,39 cm -1 daerah ini merupakan serapan untuk rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 218 gugus alkena (ch=ch) dari rantai asam lemak tak jenuh. tabel 1. perbandingan ft-ir lemak sapi dan biodiesel serapan pada daerah 2849,87 2954,03 cm -1 merupakan serapan untuk gugus c-h alifatik (streching) diperkuat dengan serapan pada 1436,03 cm -1 – 1466,89 cm -1 yang merupakan serapan untuk ch2 dan 1362,73 cm -1 –1378,16 cm -1 merupakan serapan untuk ch3.pergeseran antara 1056,99 cm -1 menjadi 1017,47cm -1 merupakan daerah rentang c-o yang berdekatan dengan ch3 yang menunjukkan adanya gugus metil ester. dan serapan pada 3468,07 cm -1 merupakan daerah serapan khas untuk oh dari gliserol. analisis biodiesel dengan spektrometer 1 hnmr biodiesel yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan 1 h-nmr untuk mengetahui presentasi konversi biodiesel dari lemak sapi tersebut. gambar 4. spektra 1 h-nmr lemak sapi proton metil ester berada pada daerah 3,7 ppm, dan proton α berada pada daerah 2,3 ppm. sedangkan proton gugus gliserida ditunjukkan oleh spektra pada daerah 4-4,3 ppm dan di daerah 5-6 ppm (knothe, 2000;gelbard dkk., 1995). spektra 1 h-nmr lemak sapi sebelum diberikan perlakuan dapat dilihat pada gambar 4. dari gambar 4 dapat dilihat spektra lemak sapi adanya proton dari gugus gliserida yang ditunjukkan pada daerah 4-5 ppm dan 5-6 ppm. di mana gliserida ini akan diubah menjadi metil ester pada proses transesterifikasi. pada daerah 1-2 ppm muncul puncak yang lebar dan tinggi, puncak ini terjadi karena proton-proton pada αch2 asam lemak berada terlalu dekat sehingga geseran kimia juga menjadi terlalu dekat akibatnya puncak-puncak akan bergabung menjadi satu singlet di mana puncak-puncak tengah suatu multiplet makin tinggi sementara puncak-puncak pinggir akan mengecil. hal ini disebut juga gejala pemiringan. gambar 5. spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi berat katalis optimum spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi berat katalis optimum diperlihatkan pada gambar 5. dari hasil spektra biodiesel pada gambar 5 menunjukkan adanya spektra gliserol pada daerah 5-6 ppm, sedangkan pada daerah 4-4,3 ppm tidak terlihat. dari hasil perhitungan untuk penentuan konversi biodiesel ini, maka diperoleh konversi metil ester sebesar 97,11 %. sedangkan dari perhitungan secara eksperimen diperoleh konversi metil ester sebesar 78,96 %. spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi waktu optimum transesterifikasi diperlihatkan pada gambar 6. dari hasil spektra biodiesel pada gambar 6 menunjukkan adanya spektra gliserol pada daerah 5-6 ppm, sedangkan pada daerah 4-4,3 ppm tidak terlihat. rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 219 gambar 6. spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi waktu transesterifikasi optimum proton metil ester berada pada daerah 3,63 ppm, dan proton α-ch2 berada pada daerah 2,27 ppm. dari hasil perhitungan untuk penentuan konversi biodiesel ini, maka diperoleh konversi metil ester sebesar 98,02 %. sedangkan dari perhitungan secara eksperimen diperoleh konversi metil ester sebesar 81,98 %. gambar 7. spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi suhu transesterifikasi optimum spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi suhu optimum transesterifikasi diperlihatkan pada gambar 7. dari hasil spektra biodiesel pada gambar 7 menunjukkan adanya spektra gliserol pada daerah 5-6 ppm, sedangkan pada daerah 4-4,3 ppm tidak terlihat, sehingga untuk menentukan % konversi digunakan persamaan 2. proton metil ester berada pada daerah 3,64 ppm, dan proton α-ch2 berada pada daerah 2,28 ppm. dari hasil perhitungan untuk penentuan konversi biodiesel ini, maka diperoleh konversi metil ester sebesar 97,61 %. sedangkan dari perhitungan secara eksperimen diperoleh konversi metil ester sebesar 76,94 %. spektra 1 h-nmr biodiesel kondisi optimum transesterifikasi diperlihatkan pada gambar 8. dari hasil spektra biodiesel pada gambar 8 menunjukkan adanya spektra gliserol pada daerah 5-6 ppm, sedangkan pada daerah 44,3 ppm tidak terlihat. proton metil ester berada pada daerah 3,63 ppm, dan proton α-ch2 berada pada daerah 2,27 ppm. gambar 8. spektra 1 h-nmr biodiesel pada kondisi optimum transersterifikasi dari hasil perhitungan untuk penentuan konversi biodiesel ini, maka diperoleh konversi metil ester sebesar 98,13 %. sedangkan dari perhitungan secara eksperimen diperoleh konversi metil ester sebesar 78,96 %. analisis hasil biodiesel dengan gc – ms biodiesel hasil reaksi esterifikasi dengan menggunakan katalis asam, dan reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa, koh kemudian dilakukan analisis gc-ms. tujuannya adalah agar dapat mengetahui jenis metil ester yang terkandung dalam biodiesel dari lemak sapi yang dihasilkan melalui dua proses reaksi, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. berdasarkan data gc-ms, maka berbagai jenis metil ester yang ada pada biodiesel dapat ditentukan.puncak yang terlebih dahulu keluar adalah ester dengan rantai karbon yang pendek. setelah itu diikuti dengan rantai karbon yang lebih panjang. kolom (fasa diam) yang digunakan bersifat non polar, sedangkan secara umum ester bersifat polar. ester rantai pendek bersifat lebih polar dari pada ester rantai panjang. sesuai hukum like dissolve like ester dengan rantai yang lebih panjang akan tertahan dalam kolom sedangkan ester rantai pendek akan lolos bersama fasa gerak keluar dari kolom. rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 220 kandungan metil ester hasil analisis gc-ms pada biodiesel lemak sapi dapat ditunjukkan pada gambar 9 dan tabel 2 berikut ini: gambar 9. kromatogram metil ester dari lemak sapi tabel 2. kandungan metil ester dari lemak sapi hasil analisis gc-ms pada gambar 9, kromatogram hasil pengujian gc-ms menunjukkan adanya 26 puncak tetapi hanya 22 puncak yang terdeteksi sebagai metil ester asam lemak (tabel 3). tiga puncak dengan persen area terbesar dihasilkan oleh puncak ke 10 yaitu metil palmitat (c17h34o2) sebesar 21,71 % dengan waktu retensi 18,05 menit dan m/z = 270; puncak ke 17 yaitu metil oleat (c19h36o2) sebesar 12,52 % dengan waktu retensi 22,377 menit dan m/z = 296; dan puncak ke 21 yaitu metil stearat (c19h38o2) sebesar 30,04 % dengan waktu retensi 23,115 menit dan m/z = 298. dalam ketentuan biodiesel terdapat syarat adanya bilangan setana di mana memiliki atom c sebanyak 16 atau lebih. jadi ketiga jenis metil ester ini yaitu, metil stearat, metil palmitat dan metil oleat memenuhi ketentuan untuk dikatakan sebagai biodiesel karena memiliki atom c lebih dari 16. metil palmitat mempunyai rantai karbon yang paling pendek sehingga puncaknya muncul lebih awal dibandingkan metil oleat dan metil stearat. sedangkan puncak oleat muncul lebih dulu dari metil stearat karena berat molekul metil stearat lebih besar dari pada berat molekul metil oleat. analisis sifat fisik biodiesel dengan metode astm pengujian sifat fisik biodiesel dari lemak sapi diperoleh dengan metode pemeriksaan astm (the american society for testing and materials) yang kemudian akan dibandingkan dengan standar sni biodiesel. hasil engujiannya dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3. perbandingan karakter fisik biodiesel lemak sapi dengan sni biodiesel a. kerapatan spesifik kerapatan spesifik biodiesel dari lemak sapi yaitu 0,8675 g/cm 3 telah memenuhi spesifikasi sni biodiesel. panas pembakaran dari biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar astm (astm d1298) yaitu 0,850-0,890 g/cm 3 . jika biodiesel mempunyai kerapatan spesifik melebihi ketentuan, akan terjadi reaksi tidak sempurna pada konversi minyak hewani. biodiesel seperti ini akan meningkatkan keausan mesin, emisi, dan menyebabkan kerusakan pada mesin. b . viskositas kinematik viskositas kinematik diukur dengan metode pemeriksaan iku/5.4/tk-02 dan memberikan hasil 4,971 mm 2 /s, hal ini juga telah memenuhi spesifikasi sni biodiesel. viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel, viskositas naik dengan rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 221 kenaikan panjang rantai karbon asam lemak jenuh, kenaikan panjang rantai karbon alkohol, penurunan panjang rantai karbon asam lemak tidak jenuh dan adanya kenaikan sisa -mono, -di, dan trigliserida dalam biodiesel . viskositas bahan bakar untuk mesin diesel perlu dibatasi. viskositas yang terlalu rendah dapat mengakibatkan kebocoran pada pompa injeksi bahan bakar, sedangkan viskositas yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kerja cepat alat injeksi bahan bakar dan mempersulit pengkabutan bahan bakar minyak sehingga pembakaran menjadi kurang sempurna. viskositas kinematik biodiesel yang dihasilkan dari lemak sapi cukup rendah sehingga jika digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel, hasil injeksi dalam ruang pembakaran mudah membentuk kabut dan memudahkan pembakaran. c titik nyala titik nyala atau flash point diukur dengan metode iku/5.4/tk-03 dan memberikan hasil 134,5 o c. hasil ini telah memenuhi standar sni biodiesel yaitu standar minimum 100 o c. penentuan titik nyala ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan bahan bakar (prihandana dkk., 2006). titik nyala yang tinggi akan memudahkan dalam proses penanganan, penyimpanan, dan pengangkutan karena dapat mengurangi resiko penyalaan. apabila titik nyala rendah mengakibatkan bahan bakar tersebut mudah terbakar dalam penyimpanannya. d. titik tuang titik tuang atau pour point diukur dengan metode analisa iku/5.4/tk-04. titik tuang adalah suatu angka yang menunjukkan suhu terendah di mana bahan bakar masih dapat mengalir atau dituang apabila didinginkan pada kondisi tertentu (prihandana, dkk., 2006). hasil uji titik tuang (pour point) yaitu sebesar 27 o c belum memenuhi standar kualitas biodiesel, karena lebih besar daripada batasan sni biodiesel yaitu maksimal 18 o c. pada uji titik tuang berhubungan dengan viskositas, yaitu dengan semakin rendah viskositas biodiesel, maka semakin mudah biodiesel untuk mengalir pada kondisi tertentu. titik tuang menunjukkan suhu di mana minyak mulai membeku atau berhenti mengalir. titik tuang yang tinggi akan membuat mesin sulit dinyalakan pada suhu yang rendah. nilai titik tuang biodiesel dari lemak sapi ini membuat penggunaan biodiesel pada mesin diesel akan sukar menyala pada suhu rendah. e. sisa karbon conradson hasil uji sisa karbon conradson biodiesel dari lemak sapi dengan menggunakan metode astm d189 yaitu sebesar 0,018 % wt telah memenuhi standar kualitas biodiesel. sisa karbon conradson adalah nilai karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran habis. tingkatan residu karbon tergantung pada jumlah asam lemak bebas dan jumlah trigliserida (prihandana dkk, 2006). widyastuti (2007) mengatakan bahwa kandungan sisa karbon yang tinggi akan merugikan jika diaplikasikan pada mesin karena akan menghambat pengoperasian mesin dan merusak semua bagian pipa injeksi bahan bakar. sisa karbon yang lebih kecil dapat mengurangi deposit karbon yang terbentuk dan juga mengurangi polusi udara. f. korosi kepingan tembaga korosi kepingan tembaga (cooper strip corrosion= ccr) biodiesel dari lemak sapi pada 100°c adalah 1b sehingga memenuhi standar astm (astm d 130) yaitu maksimal no 3 (lampiran 9). tes ini dilakukan untuk mengukur pengaruh bahan bakar terhadap tingkat korosi tembaga yang berkaitan dengan kadar asam lemak bebas biodiesel. tingkatan korosi kepingan tembaga tergantung dari kadar asam lemak bebas, gliserida, logam alkali sebagai katalis yang sudah dalam bentuk sabun. dari ketiga penyebab tersebut pengotor dari sisa katalis lebih banyak berpengaruh terhadap nilai ccr. di samping komponen tersebut menurut mittelbach dan remschmidt (2004) nilai ccr ditentukan pula oleh metil ester dari asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap lebih dari satu dan polimer yang terbentuk selama proses. kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : rosmawaty, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 213 222 1 222 1. kondisi optimum pembuatan biodiesel pada reaksi transesterifikasi menggunakan katalis koh dan pelarut metanol adalah, berat katalis koh 1%, waktu reaksi 3 jam, dan suhu 65 o c. 2. biodiesel dari lemak sapi dengan menggunakan pelarut metanol dan katalis koh memiliki kerapatan spesifik, viskositas kinematik, titik nyala, sisa karbon conradson, dan korosi kepingan tembaga yang telah memenuhi standar sni biodiesel namun masih memiliki titik tuang yang melebihi standar sni biodiesel. daftar pustaka bandjar, a., sutapa, i., rosmawaty, r., & mahulau, n. (2014). the utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous catalyst. indonesian journal of chemical research, 2(1), 166-170. elisabeth, j. dan haryati, t., 2001, biodiesel sawit bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, berita bppt, oktober, 1-4. enchinar, j. m., gonzales, j. f., rodrigues, j. j. dan tejedor, a., 2002, biodiesel fuels from vegetables oils, transesterification of cynara cardulus l., oils with ethanol, energy and fuels, 16. fransina, e., sutapa, i., hehanussa, s., 2013, cow’s fat processing to biodiesel by naoh as catalyst in methanol. indonesian journal of chemical research, 1(1), 23-27 freedman, b., pryde, e. h., dan mounts, t. l., 1984, variables affecting of fatty esters from transesterified vegetables oil, jurnal of american oil chemist.,61,1638-1643. gelbard, g., o. bres, r. m. vargas, f. vielfaure, dan u. f. schucgardt,1995, 1 h nuclear magnetic resonance determination the transesterification of rapeseed oil with methanol, j. am oil chem. soc., 72, 12391241. hikmah, m. n. dan zuliyana, 2010, pembuatan metil ester dari minyak dedak dan metanol dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi, skripsi, universitas diponegoro. julia, d., 2007, kajian pengaruh temperatur dan persen berat koh terhadap konversi produk transesterifikasi minyak kelapa, skripsi, universitas mulawarman. knothe, g., 2000, monitoring a progressing transesterification reaction by fiber-optic near infrared spectroscopy with correlation to h nuclear magnetic resonance spectroscopy, jpn. am. oil. chem. soc., 77, 9483, 489-493. knothe, g., 2010, biodiesel and renewable diesel: a comparison, progress in energy and combustion science, 36, 364–373. leung, y. c. d., xuan w., dan leung, m. k. h., 2010, a review on biodiesel production using catalyzed transesterification, applied energy. ma, f. dan hanna m. a., 1999, biodiesel production: a review, bioresour. technol., 70, 1-15. mastutik, d., 2006, transesterifikasi minyak jelantah kelapa sawit menjadi biodiesel menggunakan zeolit-y melalui proses esterifikasi, tesis, universitas gadjah mada, yogyakarta. nugroho, a., 2006, biodiesel jarak pagar, bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, pt agro media, tangerang. pinto, a. c., guarieiro, l. l. n., rezende, m.j. c., ribeiro, n. m., torres, e. a., lopes, w. a., pereira, p. a. p., dan andrade, j. b., 2005, biodiesel: an overview, j. braz. chem. soc., 16,1313–1330. prihandana, r., hendroko, r., dan nuramin, m., 2006, menghasilkan biodiesel murah, penerbit agromedia, bogor. sutapa, i., rosmawaty, r., samual, i., 2013, biodiesel production from bintanggur oil (callophyllum inophyllum l.) using calsium oxide (cao) catalyst. indonesian journal of chemical research, 1(1), 53-60 widyastuti, l., 2007, reaksi metanolisis minyak biji jarak pagar menjadi metil ester sebagai bahan bakar pengganti minyak diesel dengan menggunakan katalis koh, skripsi fakultas mipa kimia, universitas negeri semarang, semarang. zhang, y., m. a. dubè, mclean, d. d., dan kates, m., 2003, biodiesel production from waste cooking oil: 1. process design and technological assessment, review paper, bioresource technology, 89, 1-16 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 111 kinetic study of blue methylene adsorption using coconut husk base activated anselmus boy baunsele 1* , erly grizca boelan 1 , aloisius masan kopon 1 , rahayu 2 , dwi siswanta 3 1 chemistry education study program, faculty of teacher training and education, widya mandira catholic university, jl. san juan, no. 1, penfui, kupang, nusa tenggara timur, indonesia 2 chemistry department, faculty of mathematic and natural science, pattimura university, jl. ir. m. putuhena, kampus poka, ambon, maluku, indonesia 3 chemistry department, faculty of mathematic and natural science, gadjah mada university, sekip utara bulaksumur, yogyakarta, indonesia * corresponding author:boybaunsele@gmail.com received: june 2022 received in revised: august 2022 accepted: september 2022 available online: september 2022 abstract blue methylene is a cationic dye. it is usually as in various industries. the waste of blue methylene can reduce the environmental balance, especially for aquatic biota, by inhibiting the penetration of sunlight into the water. the experiment used the most natural ingredients and methods to minimize the existence of the dye. in this research, coconut husk was activated with naoh solution and then used for blue methylene adsorption. the coconut husk started aims to reduce the pollution of the adsorbent to increase the adsorption capacity. the study result showed the optimum adsorption of blue methylene at ph 7 for 75 minutes of adsorption with the capacity adsorption of 1.41 mg g -1 . the development of the kinetic study described the adsorption process according to a second-order pseudo reaction kinetic model with the constant adsorption rate of 2.54 x 10 -4 g mg -1 minute -1 . keywords: blue methylene, adsorption, kinetic study, activated, constant rate introduction industry development increases the community's quality of life because humans can quickly obtain all human needs for primary and secondary requirements. the high population of indonesian people is one of the causes of the high increase in industrial capacity. unconsciously, these advances have positive and negative impacts on the environment. the negative impact caused the environmental pollution by industrial waste, between solid, liquid, and gas, such as heavy metals and dyes. heavy metals have adverse effects, for instance, being difficult to degrade, toxic, have a bio-accumulative tendency with various vital organs of the body then can cause damage to nerves and various other diseases (yari, abbasizadeh, mousavi, moghaddam, & moghaddam, 2015). in addition to heavy metals, environmental problems are often caused by synthetic dyes. synthetic dyes are toxic and carcinogenic substances and can cause various diseases, including allergies, skin irritation, cancer, and genetic mutations (etim, umoren, & eduok, 2016). biota in the aquatic environment will be disturbed because the dye can block the penetration of sunlight into the water, so the activities of marine animals and plants will be ineffective (adegoke & bello, 2015). one of the dyes that are often used in the textile industry is blue methylene. blue methylene is often used for dyeing clothes, leather, plastic, and paper. still, this cationic dye can speed up heart rate, convulsions, seizures, and vomiting and can cause cyanosis symptoms in the human body by acute exposure (hashemian, ardakani, & salehifar, 2013). overcoming environmental pollution, especially in the aquatic environment, can be done by various methods to reduce the number of pollutants in the water. photocatalytic is a method that is often used in water purification by utilizing tio2-zeolite nanocomposite as a catalyst (naimah, ardhanie, jati, aidha, & arianita, 2014), and the titanium dioxide impregnated ouw natural clay to degrade dyes in water (mulyati & panjaitan, 2021). another method that has also been developed is electorflotation. electroflotation is a method with the principle of separating pollutants in water by utilizing an electric voltage to float contaminants to the surface through the formation of gas bubbles on the surface of the electrodes (haryono, faizal d, liamita n, & rostika, 2018). the method widely applied to reduce water anselmus boy baunsele et al. indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 112 pollution by dyes is adsorption. adsorption is a cheap method and easy to use, and sensitive to various types of pollutants. adsorption usually utilizes a variety of natural materials that are cheap and safe in their application (markovi, stankovi, lazarevi, stojanovi, & uskokovi, 2015). the abundance of zeolite can be used as an inorganic material for dye adsorbent (ngapa & ika, 2020). besides that, the abundance of agricultural waste material has considerable benefits in the prevention of industrial waste; for example, acid and alkaline activated peanut shells can be used as phosphate ion and metal lead ions adsorbents, respectively (irdhawati, andini, & arsa, 2016) (oktasari, 2018). the teak sawdust was used as copper and chrome adsorbent (irdhawati, triyunita sinthadevi, & sahara, 2020). breadfruit rind (artocarpuscamansi) (lim et al., 2017), peach shell (prunuspersica) (markovi et al., 2015),banana peel (fitriani, oktiarni, & lusiana, 2015), eggshell (badriyah & putri, 2018) and green clam (silva et al., 2017) which is disposed of as natural waste can be used as methylene blue adsorbent. the coconut coir, which is often thrown as waste, can be used as paper composites (paskawati et al., 2010) and heavy metal adsorbent (diantariani, 2012, (kamari, yusoff, abdullah, & putra, 2014). this study aims to adsorb methylene blue using a base-activated coconut husk. base activation is a chemical activation that aims to clean the pores and homogenize the pore size of an adsorbent (indah kumala dewi, suarya, & sibarani, 2015). methodology materials and instrumentation the materials used were coconut fiber, methylene blue (pa merck), hcl 37% pro analysis merck, naoh pellet merck, distilled water, and whatman filter paper with a diameter of 125 mm, and aluminum foil. the instrumentations that have been used in this research are a set of tools glass (pyrex and duran), thermo scientific uv-vis spectrophotometer, measuring flask, dropper pipette, abm 80 mesh sieve, funnel, memmert universal unb 400 oven, hanna instrument ph meter, shakers, mortars, shimadzu ftir instrument, stopwatch, porcelain dish, petri dish, funnel, volume pipette, stirring rod and adsorption test containers. sample preparation coconut fiber is produced by separating the skin and crude fiber. the coconut coir fiber was cleaned with distilled water and let dry at room temperature. the coconut fiber was crushed using the mortar and shaved with 80 mesh. the coconut fiber powder yielded by the crushing process was then put in the container, and 50 ml concentrated naoh 1m was added as an activated reagent, then soaked for 24 h. after the base solution was leached out, the sample was washed with distilled water to neutral ph. the biosorbent was then dried at room temperature. the coconut fiber base activated (cfb) can be used for adsorption study. preparation of standard solution a total of 1 g of methylene blue was weighed and dissolved using distilled water. after that, it was put into a 1000 ml volumetric flask and added some distilled water little by little to the exact volume, then shaken in the solution until homogenized. the 100 ppm methylene blue solution standard can then be diluted and used according to the desired concentration. determining of maximum wavelength the stock solution of 100 ppm methylene blue was taken and diluted to 5ppm. after that, it was tested using uv-vis with a wavelength of 200-800 nm. the maximum wavelength yielded by the most considerable adsorption has been obtained in the various wavelength (baunsele & missa, 2020). determining of calibration curve calibration curves were made using mb solution with concentrations of 0, 2.5; 5; 7.5; and 10 ppm, respectively. using the maximum wavelength obtained the absorbance versus concentration data will be plotted on a graph to obtain the value of the linear equation. the linear equation is needed to determine the optimum condition of adsorption, like variations in the mass of adsorbent, ph, and contact time adsorption. determining optimum ph adsorption as many as 14 containers were prepared with 10 ml of blue methylene solution concentrated at 10 ppm. in each container, the ph solution was adjusted from 1-14 using the addition of hcl and naoh solution. after the acidity level was set, 0.1 grams of cfb was added to each container and shaken for 60 minutes. after 60 minutes, the residue and filtrate were separated using filter papers. the filtrate was measured to obtain the absorbance, and the solution ph with the most significant adsorption capacity value was considered the maximum ph adsorption. determining maximum contact time determining the maximum contact time of adsorption is made by taking each 10 ml of 10 ppm anselmus boy baunsele et al. indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 113 blue methylene and poured into eight different containers. each container's solution was adjusted with the optimum ph obtained in the previous step. each of the eight containers then added 0.1 g of cfb. the containers then shaken with variation of contact time for 5; 10; 20; 40; 50; 75; 90 and 120 minutes. after reaching each contact time, the residue and filtrate were separated, and then measured the filtrate to obtain the maximum capacity adsorption by the variation contact time. the amount of blue methylene adsorbed can be calculated by equation 1. % 𝑜𝑓𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑡𝑖𝑜𝑛 = 𝐶𝑜 − 𝐶𝑒 𝐶𝑜 𝑥 100% (1) the amount of dye adsorbed with various time, qt (mg/g), was determined by equation 2. 𝑞𝑡 = (𝐶𝑜 − 𝐶𝑡)𝑣 𝑤 (2) where, co (mg l -1 ) is the initials concentration of blue methylene and ce (mg l -1 ) is the concentration after adsorption process. ct is concentration of dye at the time, v is the solution volume (l) and w is the mass of cfb (gram). results and discussion preparation the coconut fiber base activated coconut husk usually contains fiber and coconut coir powder. most people use coconut husk as firewood. coconut fiber contains cellulose, hemicellulose, and lignin, which have functional groups like aldehydes, ketones, esters, and phenols with a negative charge that can allow electrostatic interactions between the coconut fiber and metal ion to cause chemical adsorption (ifa, pakala, burhan, jaya, & majid, 2020). coconut coir that has been mashed using an 80 mesh sieve is then activated by immersion using naoh solution concentrated at 1 m for 24 hours. the naoh activated for teak sawdust as an adsorbent can increase the adsorption capacity of heavy metals to reach 94.15% (firmanto et al., 2021).the activation process aims to remove these impurities on coconut coir powder. coconut coir contains cellulose, hemicellulose, and lignin compounds. lignin is a compound that can inhibit the chemical adsorption for both heavy metals and dye cationic. the lignin dissolved or damaged in sodium hydroxide solution will be a dark brown solution (ismiyati, setyowati, & nengse, 2021). (a) (b) figure 1. cfb preparation (a) coconut fiber after mashed, (b) coconut fiber activated process by immersion with naoh solution this research yields a similar thing shown in figure 1b. the immersion process is carried out for 24 hours because if it is soaked for a longer time, and it will damage the cellulose molecule structure, reducing the adsorption activity of methylene blue (harni, iryani & affandi, 2015). the activated adsorbent is then filtered and washed with distilled water until the neutral ph. the washing adsorbent process intends to remove excess hydroxide ions in the adsorbent as a competitor to protect the interaction with the cationic dye, which can reduce the adsorption capacity (indah kumala dewi et al., 2015). the functional groups analysis the functional groups were contained in the coconut coir base activated can be detected by ftir instrument. the functional groups in the coconut coir base activated that will applied as adsorbent shown in figure 2. figure 2, ftir spectra of coconut fiber biosorbent base activated 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 20 30 40 50 60 70 80 90 100 t ra n s m it a n c e ( % ) wavenumber (cm-1) 3446,79 2937,59 1598,99 1230,58 1159,22 896,9 anselmus boy baunsele et al. indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 114 the peak that appears at wavenumber 896.9 cm -1 resulted by the functional group of c-h both of the alkene or aromatic bond. weak vibrations that produce the wide peak at wavelengths of 1159.62 and 1230.58 cm -1 indicating the presence of c-o alcohol, ester and ether functional groups. the sharp peak at 1598.99 cm -1 indicated the vibration of c=c aromatic bond. the peak at 2937.59 cm -1 wavenumber indicated the vibration by c-h bond of alkane’s presence. the wide peak that appears with the wavenumber of 3446.79 cm -1 indicates the presence of o-h functional groups of alcohol or the phenol group contained in the cellulose molecule. study of methylene adsorption the previous step of methylene blue adsorption analysis was determining the maximum wavelength. this research is a follow-up study that used the maximum wavelength of 665 nm according to the earlier research (baunsele & missa, 2020). similar results of the maximum wavelength were shown by the adsorption of methylene blue utilizing cellulose from reed roots with the adsorption capacity of 26.56 and 26.67 mg g -1 (huda & yulitaningtyas, 2018). maximum lambda data was used to determine the straight line equation shown in figure 2. figure 2. calibration curve of methylene blue adsorption based on the straight line equation in figure 2, the mass variation testing of the adsorbent using 10 ml of 10 ppm methylene blue solution discovered that in 0.01 grams of adsorbent, the adsorption capacity was 95.2% and increased to a constant capacity at these mass of 0.02; 0.05 and 0.1 gram respectively, with adsorption percentage of 98.2% are presented in figure 3. the increase of the adsorbent mass is comparable to the availability of active sites in the adsorbent that allow adsorption of the dye because the reaction surface area was increased. the interaction between the adsorbent and the adsorbate was multiplied. this data was supported by the adsorption of dyes using cassava peel waste research (irawati, aprilita & sugiharto, 2018). figure 3. curve of adsorbent mass variation as the mass with maximum adsorption, one gram of the adsorbent was used to determine the maximum capacity adsorption of various ph solutions described in figure 4. the test containers were prepared and then filled with 10 ml of methylene blue for every container, and then the ph of this solution was adjusted. from ph 4 to 5, a significant enhancement from 96.7% to 98.5% of the cationic dye was adsorbed. the adsorption capacity reached the maximum condition on ph 7 and decreased at ph above 7. at the low ph, the existence of h + ion founded very much on the solution so that protonation occurs on the adsorbent surface and causes the inhibition of the electronic interaction between the active site of the adsorbent and the adsorbate (jirekar, pathan, & farooqui, 2014). methylene blue solution with a high ph above 7 will cause an interaction between ohions and the methylene blue, then causes the formation of dimer compounds with a larger molecular size and reduces the interaction of active sites on the adsorbent with the methylene blue then the adsorption capacity will be lower (riwayati, fikriyyah, & suwardiyono, 2019). in addition, alkali treatment or base activated can cause damage to the lignin structure, cellulose, and hemicellulose, decreasing adsorption at high ph. the most considerable adsorption occurred at 7 of solution ph because a balance of h + and oh ions amount in the solution did not affect the interaction between active sites in the solution and the adsorbent (kondo & arsyad, 2018). the variation time of adsorption is presented in figure 5. figure 5 shows the adsorption proportion reaching 99% at duration contact time from 40 to 90 minutes. based on the analysis, the capacity adsorption for every time (mg g -1 ), the adsorption of y = 0.1629x + 0.0022 r² = 0.9999 0 0.3 0.6 0.9 1.2 1.5 1.8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 a b so rb a n c e concentration (mg/l) 95.16 98.22 98.22 98.22 95 96 97 98 99 0 0.025 0.05 0.075 0.1 a d so rp ti o n ( % ) adsorbent mass (gram) anselmus boy baunsele et al. indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 115 methylene blue using base activated coconut husk was lower than non-activated coconut husk. figure 4. variation of ph solutions previous studies that used coconut fiber for methylene blue adsorption without acid or baseactivated adsorbent had the largest adsorption capacity at 75 minutes of adsorption with a qt of 1.91 mg g -1 (baunsele & missa, 2021), but in this study the largest adsorption capacity was 1.41 mg g -1 with a maximum adsorption time of 75 minutes. similar to the research to adsorb methylene blue by egg shells adsorbent, the maximum adsorption equilibrium time occurred at intervals of 70-80 minutes (badriyah & putri, 2018),while the adsorption of methylene blue using rice husk reached the adsorption equilibrium at 80 minutes (lestari, budiawan, & fuadi, 2021). figure 5. curve of time variation study of adsorption kinetic determination of the reaction rate constant of methylene blue adsorption can be analyzed using first-order pseudo and second-order pseudo models. ln(𝑞𝑒 − 𝑞𝑡) = ln 𝑞𝑒 − ln 𝑘1𝑡 (3) 𝑡 𝑞𝑡 = 1 𝑘2𝑞𝑒 2 + 1 𝑞𝑒 𝑡 (4) the kinetic model of first-order pseudo is also called lagergren's first order, which can be explained by making a linear curve between logs (qe-qt) vs. t, with the slope value being the reaction rate constant based on equation 3. the straight line equation for the lagergren first order is shown in figure 6, with the value of r 2 being 0.911. figure 6. curve of first order reaction pseudo figure 7. curve of second order reaction pseudo the kinetic model of second order pseudo was obtained by creating a linear curve between t/qt vs. t using equation 4 and made a linear equation, as shown in figure 7. the results of the methylene blue adsorption kinetics analysis are shown in table 1. table 1. analysis of blue methylene kinetic adsorption models k r 2 units first order pseudo 0.044 0,911 minutes -1 second order pseudo 2.54 x 10 -4 1 g mg -1 minutes -1 the results of the kinetic analysis of methylene blue adsorption occur according to the second order pseudo reaction with the linearity value of 1, while for the first order pseudo reactions, the r 2 value is 0.911. these data indicate that this adsorption tends to occur according to the second-order pseudo reaction. the value of the rate constant for the second-order pseudo reaction is 2.54 x 10 -4 g mg -1 min -1 . this illustrates 96 97 98 99 4 6 8 10 a d so rp ti o n (% ) ph 1.39 1.4 1.41 1.42 -10 10 30 50 70 90 q t (m g /g ) time (minutes) y = -0.0192x 1.4212 r² = 0.9118 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0 20 40 60 80 100 lo q q e -q t times (minutes) anselmus boy baunsele et al. indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 116 that 2.54 x 10 -4 mg of mb can be adsorbed in 1 g of cfb for a minute. conclusion methylene blue adsorption using coconut fiber base activated was analyzed at ph 7 as the maximum adsorption ph. optimum time adsorption occurred at 75 minutes with 1.41 mg g -1 as adsorption capacity maximum. the analysis of kinetic adsorption showed that this research, according to the second order pseudo reaction with the constant of reaction rate value was 2.54 x 10 -4 g mg -1 minute -1. acknowledgment authors want said thank to the widya mandira catholic university research and community service department for 2021 research grant funding forthis research. references adegoke, k. a., & bello, o. s. (2015). dye sequestration using agricultural wastes as adsorbents. water resources and industry. https://doi.org/10.1016/j.wri.2015.09.002 badriyah, l., & putri, m. p. (2018). kinetika adsorpsi cangkang telur pada zat warna metilen blue. alchemy, 5(3), 85. https://doi.org/10.18860/al.v5i3.3858 baunsele, a. b., & missa, h. (2020). kajian kinetika adsorpsi metilen biru menggunakan adsorben sabut kelapa. akta kimia indonesia, 5(2), 76. https://doi.org/10.12962/j25493736.v5i2.7791 baunsele, a. b., & missa, h. (2021). langmuir and freundlich equation test on methylene blue adsorption by using coconut fiber biosorbent. 4(2), 131-138. diantariani, n. p. (2012). biosorpsi cr(iii) pada biosorbent serat sabut kelapa hijau teraktivasi asam nitrat. chemistry progress, 5(1). https://doi.org/10.35799/cp.5.1.2012.650 etim, u. j., umoren, s. a., & eduok, u. m. (2016). coconut coir dust as a low cost adsorbent for the removal of cationic dye from aqueous solution. journal of saudi chemical society, 20, s67–s76. https://doi.org/10.1016/j.jscs.2012. 09.014 firmanto, s. p., setiowaty, d. n., & suprayogi, d. (2021). kemampuan adsorben dari limbah serbuk gergaji kayu jati terhadap penurunan kandungan timbal (pb) pada limbah cair dengan menggunakan sistem batch. journal of research and tecnology 7(2), 197-206. fitriani, d., oktiarni, d., & lusiana. (2015). pemanfaatan kulit pisang sebagai adsorben zat warna methylene blue. jurnal gradien, 11(2), 1091-1095. harni, m. r., iryani a., & affandi, h. (2015). pemanfaatan serbuk gergaji kayu jati (tectona grandis l.f.) sebagai adsorben logam timbal (pb). https://repository.unpak. ac.id/tukangna/repo/file/files-20190101071600. pdf. haryono, h., faizal d, m., liamita n, c., & rostika, a. (2018). pengolahan limbah zat warna tekstil terdispersi dengan metode elektroflotasi. edu chemia (jurnal kimia dan pendidikan), 3(1), 94. https://doi.org/ 10.30870/educhemia.v3i1.2625 hashemian, s., ardakani, m. k., & salehifar, h. (2013). kinetics and thermodynamics of adsorption methylene blue onto tea waste/cufe2o4 composite. american journal of analytical chemistry. https://doi.org/ 10.4236/ajac.2013.47a001 huda, t., & yulitaningtyas, t. k. (2018). kajian adsorpsi methylene blue menggunakan selulosa dari alang-alang. ijca (indonesian journal of chemical analysis), 1(01), 9-19. https://doi.org/10.20885/ijca.vol1.iss1.art2 ifa, l., pakala, f. r., burhan, r. w., jaya, f., & majid, r. a. (2020). pemanfaatan sabut kelapa sebagai bioadsorben logam berat pb (ii) pada. journal of chemical process engineering, 5(2655), 1-7. indah kumala dewi, p., suarya, p., & sibarani, j. (2015). adsorpsi ion logam pb2+ dan cu2+ oleh bentonit teraktivasi basa (naoh). jurnal kimia, 9(2), 235-242. https://doi.org/10.24843/ jchem.2015.v09.i02.p14 irdhawati, i., andini, a., & arsa, m. (2016). daya serap kulit kacang tanah teraktivasi asam basa dalam menyerap ion fosfat secara bath dengan metode bath. jurnal kimia riset, 1(1), 52. https://doi.org/10.20473/jkr.v1i1.2443 irdhawati, i., triyunita sinthadevi, n. n., & sahara, e. (2020). serbuk gergaji kayu jati teraktivasi edta sebagai penjerap ion tembaga (ii) dan krom (iii). indo. j. chem. res., 7(2), 114-119. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.7-ird ismiyati, m., setyowati, r. d. n., & nengse, s. (2021). pembuatan bioadsorben dari sabut kelapa dan tempurung kelapa untuk menurunkan kadar besi (fe). jukung (jurnal teknik lingkungan), 7(1), 33-45. https://doi.org/10.20527/jukung.v7i1.10811 anselmus boy baunsele et al. indo. j. chem. res., 10(2), 111-117, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 117 jirekar, d. b., pathan, a. a., & farooqui, m. (2014). adsorption studies of methylene blue dye from aqueous solution onto phaseolus aureus biomaterials. oriental journal of chemistry, 30(3), 1263-1269. https://doi.org/10.13005 /ojc/300342 kamari, a., yusoff, s. n. m., abdullah, f., & putra, w. p. (2014). biosorptive removal of cu(ii), ni(ii) and pb(ii) ions rom aqueous solutions using coconut dregs residue: adsorption and characterisation studies. journal of environmental chemical engineering, 2(4), 1912-1919. https://doi.org/10.1016/j.jece.2014. 08.014 kondo, y., & arsyad, m. (2018). analisis kandungan lignin, sellulosa, dan hemisellulosa serat sabut kelapa akibat perlakuan alkali. intek: jurnal penelitian, 5(2), 94. https://doi.org/10.31963/intek.v5i2.578 lestari, n. c., budiawan, i., & fuadi, a. m. (2021). pemanfaatan cangkang telur dan sekam padi sebagai bioadsorben metilen biru pada limbah tekstil. jurnal riset kimia, 12(1), 36-43. https://doi.org/10.25077/jrk.v12i1.396 lim, l. b. l., priyantha, n., tennakoon, d. t. b., chieng, h. i., dahri, m. k., & suklueng, m. (2017). breadnut peel as a highly effective low-cost biosorbent for methylene blue: equilibrium, thermodynamic and kinetic studies. arabian journal of chemistry, 10, s3216-s3228. https://doi.org/10.1016/j.arabjc. 2013.12.018 markovi, s., stankovi, a., lazarevi, s., stojanovi, m., & uskokovi, d. (2015). application of raw peach shell particles for removal of methylene blue. journal of environmental chemical engineering 1-9. https://doi.org/10.1016/j.jece. 2015.04.002 mulyati, b., & panjaitan, r. s. (2021). the ouw natural clay impregnation using titanium dioxide and its application as a rhodamine b dye stuff degrader the ouw natural clay impregnation using titanium dioxide and its application as a rhodamine b dye stuff degrader. indonesian journal of chemical research. indonesian journal of chemical research, 9(2), 129-136. https://doi.org/ 10.30598//ijcr naimah, s., ardhanie, s. a., jati, b. n., aidha, n. n., & arianita, a. c. (2014). degradasi zat warna pada limbah cair industri tekstil dengan metode fotokatalitik menggunakan nanokomposit tio2-zeolit. jurnal kimia kemasan, 36, 225–236. ngapa, y. d., & ika, y. e. (2020). optimasi adsorpsi kompetitif pewarna biru metilena dan metil oranye menggunakan adsorben zeolit alam ende nusa tenggara timur (ntt). indo. j. chem. res., 8(2), 151-159. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.8-ydn oktasari, a. (2018). kulit kacang tanah (arachis hypogaea l.) sebagai adsorben ion pb(ii). alkimia : jurnal ilmu kimia dan terapan, 2(1), 17–27. https://doi.org/10.19109/ alkimia.v2i1.2258 paskawati, y. a., susyana, antaresti, & retnoningtyas a. r. (2010). pemanfaatan sabut kelapa sebagai bahan baku pembuatan kertas komposit alternatif. widya teknik. 9 (1). 12-21 riwayati, i., fikriyyah, n., & suwardiyono, s. (2019). adsorpsi zat warna methylene blue menggunakan abu alang-alang (imperata cylindrica) teraktivasi asam sulfat. jurnal inovasi teknik kimia, 4(2), 6-11. https://doi.org/10.31942/inteka.v4i2.3016 silva, t. s., meili, l., carvalho, s. h. v., soletti, j. i., dotto, g. l., & fonseca, e. j. s. (2017). kinetics, isotherm, and thermodynamic studies of methylene blue adsorption from water by mytella falcata waste. environmental science and pollution research, 24(24), 19927-19937. https://doi.org/10.1007/s11356-017-9645-6 violet, c., using, d., cassava, t., waste, p., irawati, h., aprilita, n. h., … mada, u. g. (2018). adsorpsi zat warna kristal violet menggunakan limbah kulit singkong (manihot esculenta). bimipa, 25(1), 17-31. yari, s., abbasizadeh, s., mousavi, s. e., moghaddam, m. s., & moghaddam, a. z. (2015). adsorption of pb(ii) and cu(ii) ions from aqueous solution by an electrospun ceo2 nanofiber adsorbent functionalized with mercapto groups. process safety and environmental protection, 94, 159-171. https://doi.org/10.1016/j.psep.2015.01.011 indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 32 senyawa triterpenoid dari ekstrak n-heksana daun kelor (moringa oleifera lamk.) dan uji aktivitas antibakteri terhadap staphylococcus aureus dan escherichia coli triterpenoid compound from n-hexane extract of kelor leaves (moringa oleifera lamk.) and antibacterial activity test against staphylococus aureus and escherichia coli yuszda salimi 1 , nurhayati bialangi 1 , widysusanti abdulkadir 2 , boima situmeang 3* 1 department of chemistry, faculty of mathematic and natural science, gorontalo state university 2 department of pharmacy, faculty of sport and natural healty, gorontalo state university 3 department of chemistry, sekolah tinggi analis kimia cilegon, banten *corresponding author, e-mail: boimatumeang@gmail.com received: jan. 2019 published: jul. 2019 abstract kelor plant (moringa oleifera lamk) is a natural nutrient source plant in the tropics. moringa oleifera lamk leaves are widely reported as natural antioxidants and anitbacterial. the purpose of this study was to isolate triterpenoid compound from n-hexane extract of kelor leaves. the sample extraction was performed by maceration method using methanol as a solvent. fractionation used n-hexana and etil asetat as a solvent. the separation and purification of the compound was carried out by column chromatography method followed by stain pattern analysis with thin layer chromatography (tlc). characterization and elucidation of pure compound structures using ir, 1 h-nmr, 12 c-nmr, hsqc, hmbc, and 1 h1 h cosy, and compared with various literatures. based on the result of structural elucidation, the pure isolate obtained is a pentacyclic triterpenoid group compound with the molecular formula c30h50o and the name of 3-hydroxy, 20 (29) -en, lupenol. the triterpenoid compound of 3-hidroxy, 20 (29) -en, lupenol is the first isolated and reported from leaves of kelor plant. keywords: kelor, triterpenoid, esherichia coli, staphylococcus aureus. pendahuluan indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan mengandung jutaan senyawa kimia. senyawa kimia berpotensi mengobati penyakit dan ada yang berpotensi sebagai racun. tumbuhan dapat berpotensi sebagai pengobatan penyakit karena mengandung senyawa metabolit sekunder. seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kimia organik terbukti bahwa tumbuh-tumbuhan tertentu mengandung senyawa kimia yang penting bagi kesehatan manusia (situmeang dkk, 2018). salah satu contoh tumbuhan yang biasanya digunakan sebagai pengobatan tradisional adalah tumbuhan kelor. masyarakat indonesia khususnya masyarakat pedesaan telah lama memanfaatkan kelor baik sebagai obat tradisional, sebagai sayuran, maupun makanan ternak. keberadaan tumbuhan kelor sangat mudah didapatkan di seluruh wilayah indonesia tidak terkecuali di daerah gorontalo. salah satu bagian tumbuhan kelor yang banyak dikonsumsi dan memiliki banyak manfaat adalah bagian daun (madrona dkk., 2015; isnan dan nurhaedah, 2017). penelitian tentang daun kelor dilaporkan chukwuebuka, (2015) menunjukkan bahwa hasil skrining fitokimia dari daun kelor mengandung senyawa metabolit sekunder di antaranya terpenoid, flavonoid, alkaloid, steroid, tanin, saponin, dan antrakuinon. selain itu, salimi dkk (2017), dari hasil penapisan fitokimia ekstrak metanol dan fraksi n-heksana daun kelor mengandung senyawa triterpenoid, flavonoid, dan steroid. marcus dan nwineewii, (2015) melaporkan hasil data infra red (ir) menunjukkan ekstrak n-heksana mengandung terpenoid. hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa daun kelor mengandung yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 33 senyawa metabolit sekunder dan salah satunya adalah senyawa triterpenoid. gambar 1 senyawa 3-hidroksi, 20 (29) -en, lupenol penelitian yang dilaporkan napolean dkk, (2009) daun kelor berpotensi sebagai antimikroba, antikolesterol, antiinflamatori dari fraksi organik. selain itu, siddhuraju dan becker, (2003) dari hasil uji aktivitas penangkapan radikal 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (dpph) fraksi n-heksanadan fraksi etil asetat membuktikan bahwa aktivitas penangkapan radikal bebas cukup tinggi pada fraksi yang non polar (fraksi n-heksana). sejalan dengan penelitian tersebut agboke dan attama (2016) melaporkan bahwa ekstrak n-heksana moringa oleifera dapat menghambat staphylococcus aureus. berdasarkan hasil penelusuran pustaka, belum ada penelitian yang melaporkan kandungan senyawa kimia dari fraksi n-heksana daun kelor. berdasarkan penelitian fraksi n-heksana daun kelor maka perlu dilakukan isolasi senyawa aktif antimikroba fraksi n-heksana dan uji aktivitas terhadap bakteri staphilococus aureus dan escherichia coli. metodologi alat peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: maserator, evaporator, pipa kapiler untuk klt, kolom kromatografi, kapas lidi, jangka sorong, autoclave dan laminar air flow. pemantauan pemisahan dan pemurnian senyawa dilakukan dengan kromatografi lapis tipis (klt) dengan lampu detektor uv λ 254 dan 365 nm. karakterisasi senyawa murni menggunakan alat spektrofotometer meliputi spektrometer infra merah (ir), 1 h-nmr, 13 c-nmr, 1 h1 h cosy, hsqc, dan hmbc di laboratorium kimia fmipa institut teknologi bandung. bahan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel daun tumbuhan kelor yang diambil dari desa barakati, kecamatan batudaa, gorontalo. bahan kimia yang digunakan terdiri dari n-heksana (redes), etil asetat (redes), metanol (redes), metanol (p.a), etanol (p.a), silika gel g60 untuk kromatografi kolom dan silika gel gf254 untuk kromatografi lapis tipis, h2so4 10% (v/v) dalam etanol, tlc ods rp-18, nutrient broth, bacto agar, amoxicillin 100 ppm, ciprofloxacin 100 ppm, dan akuades. prosedur kerja persiapan sampel dan ekstraksi sampel daun kelor segar sebanyak 4600 g diangin-anginkan dan diperoleh berat kering 1000 g. daun kelor kering dirajang sampai menjadi serbuk kasar. dari hasil perhitungan rendemen, diperoleh rendemen serbuk kasar daun kelor 21, 74%. sampel kemudian dimaserasi menggunakan metanol dengan volume 5 l. proses maserasi dilakukan selama 3x24 jam dan penyaringan dilakukan setiap 1x24 jam. maserat total yang diperoleh di evaporasi menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 40°c. hasil evaporasi adalah ekstrak kental metanol sebanyak 167,69 g. rendemen ekstrak kental metanol sebesar 16,77 %. ekstrak kental metanol difraksinasi menggunakan metode partisi cair-cair. ekstrak kental metanol sebanyak 100 g disuspensi dalam campuran air : metanol (2:1) dan dipartisi secara bertahap dengan n-heksana dan etil asetat. dari tahap fraksinasi diperoleh fraksi n-heksana berwarna hijau kehitaman dan fraksi etil asetat berwarna coklat tua. kedua fraksi tersebut dievaporasi pada suhu 40°c dan diperoleh ekstrak n-heksana dan ekstrak etil asetat. ekstrak pekat etil asetat diperoleh sebanyak 10,87 g dan ekstrak n-heksana sebanyak 21,15 g. isolasi senyawa triterpenoid ekstrak pekat n-heksana sebanyak 21,15 g dipisahkan komponen senyawa kimia penyusunnya menggunakan metode kromatografi cair kolom terbuka dengan fasa diam silika gel g60 (70-230 mesh), dengan fase gerak menggunakan kombinasi pelarut n-heksana dan yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 34 etil asetat, secara gradien, 10% dihasilkan 11 fraksi yaitu fraksi 1a-1k. total volume pelarut per fraksi adalah 120 ml yang ditampung pada erlenmeyer 250 ml. setelah keseluruhan fraksi (1a-1k) diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator dilakukan analisis pemisahan pola nodanya dengan kromatografi lapis tipis (klt) menggunakan kombinasi eluen n-heksana/etil asetat dengan perbandingan (7:3). selanjutnya fraksi 1e dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan kromatografi cair kolom terbuka menggunakan fasa diam silica gel, eluen n-heksana dan etil asetat bergradien 2%. 500750100012501500175020002250250027503000325035003750400042504500 1/cm 90 97,5 105 112,5 120 127,5 135 142,5 150 157,5 165 %t 29 27 ,1 0 28 70 ,2 0 23 59 ,0 4 23 26 ,2 5 16 87 ,7 9 14 56 ,3 2 13 77 ,2 3 10 40 ,6 4 67 8, 97 s-2-b-ir p e rs e n t a n sm it a n ( % ) bilangan gelombang (cm -1 ) gambar 2. spekrum inframerah (ir) isolat dalam lempeng kbr gambar 3. spektrum 1 h-nmr isolat (500 mhz, cdcl3) yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 35 gambar 4. spektrum 13 c-nmr isolat (125 mhz, cdcl3) gambar 5. spektrum hsqc isolat yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 36 dari hasil pemisahan diperoleh 30 fraksi yaitu fraksi 1e01-1e22. terhadap keseluruhan fraksi dilakukan pemekatan dan dianalisis pemisahan pola nodanya dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. fraksi 1e11-14 memiliki pola noda dan nilai rf yang sama sehingga dilakukan penggabungan untuk dimurnikan selanjutnya. pemisahan selanjutnya dilakukan secara isokratik dengan pelarut nheksana dan etil asetat perbandingan (8,5:1,5). total volume yang ditampung sebanyak 10 ml. terhadap keseluruhan tampungan dilakukan analisis pola noda dengan klt. fraksi 1e11-10 sampai 1e11-21 menunjukkan dua pola noda, sehingga dilakukan pemurnian kembali menggunakan kromatografi kolom secara isokratik dengan pelarut n-heksana dan etil asetat perbandingan (9:1). total volume setiap tampungan adalah 5 ml. terhadap keseluruhan tampungan dilakukan analisis pola noda dengan klt. fraksi 1e11-1035 sampai 1e11-10-51 menunjukkan pola noda tunggal berwarna pink. selanjutnya dilakukan klt dengan berbagai kombinasi pelarut (fasa normal dan fasa terbalik) untuk menguji kemurniannya. total massa yang diperoleh sebanyak 6,01 mg. selanjutnya terhadap isolat murni dilakukan karakterisasi dengan spektrofotometer uv, infra merah (ir), 1 hnmr, 13 c-nmr, 1 h1 h cosy, hsqc, dan hmbc. uji aktivitas antibakteri senyawa murni hasil isolasi diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen s. aureus dan e. coli dengan metode kirby-bauer. kontrol positif antibiotik amoxicillin dengan konsentrasi 100 ppm dan pelarut metanol sebagai kontrol negatif. masing-masing sejumlah satu ose bakteri (s. aureus dan e. coli) dari stok diinokulasi ke dalam erlenmeyer steril yang berisi media cair nutrient broth kemudian diinkubasi selama 18 jam pada temperatur 37 °c. sebanyak 50 μl suspensi bakteri yang telah diremajakan diolesikan ke atas permukaan cawan petri yang berisi media padat (nb + bacto agar) menggunakan kapas lidi. sampel dengan variasi konsentrasi beserta kontrol positif dan kontrol negatif ditetesi pada paper disk sebanyak 15 μl. selanjutnya, paper disk diletakkan di atas media padat, diinkubasi pada suhu 37 °c selama 18 jam, dan diamati pertumbuhan bakteri. zona inhibisi diukur menggunakan jangka sorong dengan skala millimeter (singh dan pandeya, 2011). gambar 6. spektrum hmbc isolat yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 37 hasil dan pembahasan karakterisasi senyawa isolat murni yang diperoleh berupa kristal putih yang larut sempurna dalam etil asetat dan kloroform. hasil pengukuran dengan spektroskopi uv isolat tidak berpendar pada uv λ 254 dan 365 nm. hal ini menunjukkan bahwa isolat tidak memiliki karbon terkonjugasi yang merupakan salah satu ciri khas senyawa triterpenoid (abdullah dkk., 2013). selanjutnya dilakukan pengukuran spektrum inframerah untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam isolat. spektrum ir isolat pada gambar 2 (kbr) menunjukkan serapan gugus o-h (3431,0 cm -1 ) diikuti dengan serapan pada bilangan gelombang 1061,2 cm -1 yang merupakan regangan ulur dari gugus c-oh. pada bilangan gelombang 2977,17 cm -1 terdapat regangan ulur gugus c-h alifatik diikuti dengan serapan pada 1458,70 cm -1 yang merupakan tekukan c-h pada 1370,33 cm -1 yang merupakan regang geminal dimetil (martins dkk., 2013; situmeang tabel 1. data nmr (500 mhz untuk 1 h-nmr dan 125 mhz untuk 13 c-nmr). posisi c 13 c-nmr c (ppm) hsqc 1 h-nmr h (int., mult., j=hz) hmbc 1 h→ 13 c 1 40,1 ch 2 1,19 (1h; s) & 1,43 (1h; m) c-5 2 28,2 ch 2 1,65 (2h; m) 3 79,1 ch 3,19 (1h; dd) c-23, 4 40,9 cq 5 55,5 ch 0,83 (1h; s) 6 19,5 ch 2 1,42 (1h; m) & 1,57 (1h; m) c-8, 10 7 35,7 ch 2 1,55 (2h; m) c-5 8 43,1 cq 9 50,4 ch 1,38 (1h; m) c-11 10 38,2 cq 11 26,9 ch 2 1,62 (2h; m) 12 28,8 ch 2 1,65 (2h; m) 13 41,0 ch 0,75 (1h; m) c-18, 19, 27 14 39,0 cq 15 30,0 ch 2 1,22 (2h; m) 16 38,9 ch2 1,3 (1h; m) & 1,9 (1h; m) 17 48,4 cq 18 48,7 ch 0,96 (1h; m) c-19, 20 19 48,1 ch 2,41 (1h; m) c-18, 20, 29, 30 20 151,1 cq 21 34,8 ch 2 0,79 (1h; s) & 2,3 (1h; dt) 22 35,9 ch 2 1,48 (2h; m) c-17, 22 23 14,5 ch 3 0,95 (3h; s) c-3, 4 24 15,5 ch 3 0,98 (3h; s) c-3, 5 25 18,5 ch 3 0,83 (3h; s) c-1 26 16,2 ch 3 0,75 (3h; s) c-8 27 18,2 ch 3 1,00 (3h; s) c-13, 15 28 29,8 ch 3 1,00 (2h; s) 29 109,5 ch 2 4,6 (1h; j=2.55; d); 4,5 (1h; q) c-19, 20, 30 30 21,1 ch 3 1,02 (3h; s) c-20 yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 38 dkk, 2018). spekrum 1 h-nmr (gambar 3) menunjukkan resonansi untuk proton olefinik pada pergeseran δ 4,68 dan 4,56 ppm (2h). proton hidroksil pada δ 3,19 ppm (1h; dd, j = 11,0; 3,9 hz) menunjukkan posisi aksial dan orientasi α. terdapat tujuh metil singlet pada δ 0,75; 0,83; 0,95; 0,98; 1,00; 1,00 dan 1,02 (3h) ppm menunjukkan bahwa isolat merupakan golongan senyawa triterpenoid pentasiklik (prakash dan prakash, 2012; situmeang dkk, 2018). tumpukan sinyal pada rentang δ: 0,962,40 ppm diduga merupakan pergeseran kimia untuk proton yang terikat pada rantai karbon triterpenoid (prakash dan prakash, 2012). spektrum 13 c-nmr isolate pada gambar 4 memperlihatkan adanya tiga puluh sinyal karbon yang terdiri dari 28 atom karbon sp3, dua atom karbon olifenik c=c sp2. pada pergeseran 79,1 ppm merupakan pergeseran yang khas terhadap karbon yang teroksigenasi pada senyawa triterpenoid. pergeseran kimia di bawah δ 79,1 ppm menunjukkan atom karbon sp3 alifatik yang dapat berupa rantai lurus ataupun siklik yang diduga berasal dari rantai alifatik golongan triterpenoid pentasiklik (prakash dan prakash, 2012). hasil pengukuran spektrum hsqc menunjukkan bahwa isolat memiliki tiga puluh sinyal karbon yang terdiri dari tujuh atom karbon metil pada δ 14,7; 15,5; 16,2; 18,2; 18,5; 21,1 dan 29,8 ppm. enam sinyal metin yang terdiri dari metin sp 3 pada δ 41,0; 48,7; 48,1; 50,4; 55,5 dan 79,2 ppm. sebelas atom karbon metilen pada δ 19,5; 26,9; 28,2; 28,8; 30,0; 34,8; 35,7; 35,9; 38,9; 40,1 dan 109,5 ppm. jumlah atom karbon kuartener sebanyak enam, lima diantaranya merupakan karbon kuartener sp 3 pada pergeseran δ 40,9; 43,1; 38,2; 39,0; dan 48,4 ppm dan satu diantaranya karbon kuartener sp 2 pada δ 151,1 ppm. adanya sinyal karbon metilen dan karbon kuartener sp 2 pada pergesaran δ 109,5 dan 151,1 ppm menunjukkan bahwa isolat memiliki satu ikatan rangkap dan juga merupakan ciri khas ikatan rangkap yang terdapat pada senyawa triterpenoid lupenol pada nomor 20 dan 29. adanya sinyal metilen sp2 pada pergesaran δ 109,5 ppm menunjukkan bahwa ikatan rangkap merupakan terminal double bond bukan internal double bond. ikatan rangkap ini memberikan sumbangan satu derajat ketidakjenuhan. hasil pengukuran hsqc (gambar 5) menunjukkan dugaan rumus molekul isolat adalah c30h50o. dari dugaan rumus molekul tersebut, diperoleh nilai double bond equivalen (dbe) sebesar 6. dugaan isolat merupakan triterpenoid pentasiklik memberikan sumbangan derajat ketidakjenuhan sebesar lima. sumbangan dari terminal double bond sebesar satu. hasil pengukuran spektrum hmbc pada gambar 6 menunjukkan bahwa proton h-13 (δh 0,75 ppm) berkorelasi dengan c-12 (δc 28,1 ppm), h-26 (δh 0,75 ppm) memiliki korelasi dengan c-10 (δc 38,9 ppm), h-23 (δh 0,95 ppm) memiliki korelasi dengan c-24 (δc 16,2 ppm), dan h-28 (δh 1,0 ppm) memiliki korelasi dengan c-15 (δc 30,9 ppm). posisi gugus fungsi alkohol dapat ditentukan melalui korelasi hmbc antara karbon dan proton yaitu h-23 (δh 0,95 ppm) dengan c-3 (δc 79,1 ppm). selanjutnya posisi gugus fungsi c=c sp2 dapat ditentukan melalui korelasi yaitu h-30 (δh 1,02 ppm) berkorelasi dengan c-20 (δc 151,1 ppm). adanya korelasi ( 3 j) dari proton milik karbon c23 (δ 15,5 ppm) dengan karbon c-24 (δ 16,2 ppm) dan sebaliknya menyarankan posisi geminal dimetil (silva dkk., 2012; babalola dan shode, 2013; chudzik dkk., 2015). spektrum h-h cosy digunakan untuk mengetahui proton-proton yang berkorelasi dengan jarak tiga ikatan. pada spektrum 1 h1 h cosy dapat diamati bahwa h-13 (δh 0,75 ppm) berkorelasi dengan h-18 (δh 0,96 ppm), h-15 (δh 1,2 ppm) berkorelasi dengan h-27 (δh 1,0 ppm), dan h-2 (δh 1,65 ppm) berkorelasi dengan h-3 (3,19 ppm). data hasil pengukuran spectrum nmr isolate ditunjukkan pada tabel 1. setelah dilakukan analisis terhadap spektrum 1 h tabel 2. hasil uji aktivitas antibakteri senyawa lupenol sampel konsentrasi zona hambat (mm) e. coli s. aureus lupenol 100 μg/ml 5,4 8 amoxicillin 100 μg/ml 12.9 td ciprofloxacin 100 μg/ml td 13 metanol 96 % 0 0 yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 39 nmr, karbon 13 c nmr, hsqc, 1 h 1 h cosy, dan hmbc serta perbandingan dengan berbagai senyawa referensi, maka isolate diduga merupakan senyawa triterpenoid pentasiklik yaitu 3-hydroxy, 20 (29) -en, lupenol (gambar 1). karakteristik yang khas dari senyawa ini yaitu adanya gem dimetil dan satu ikatan rangkap pada karbon nomor 20 (29). gugus gem dimetil tersebut terletak pada karbon nomor 23 dan 24 dan adanya terminal double bound pada karbon nomor 20 dan metilen sp 2 pada karbon nomor 29. senyawa ini mempunyai rumus molekul c30h50o dengan jumlah derajat ketidakjenuhan sebanyak enam. nama iupac dari senyawa ini adalah 3-hidroksi, 20(29)-en lupenol (ayotollahi et al., 2011; babalola & shode, 2013; chudzik et al., 2015). berdasarkan penelusuran pustaka, senyawa 3-hidroksi, 20(29)-en lupenol sudah banyak diisolasi dari tumbuhan dan berasal dari jalur biosintesis asam mevalonat. senyawa lupenol terbukti sebagai antiurolitiatik sebagaimana yang telah dilaporkan abdullah et al., (2013). penelitian li et al, (2018) melaporkan senyawa lupenol sebagai agen kemopreventif, memiliki aktivitas antibakteri dan antiinflamasi. senyawa triterpenoid 3-hidroksi, 20(29)-en lupenol merupakan pertama kali diisolasi dari ekstrak nheksana daun kelor. aktivitas antibakteri senyawa lupenol hasil uji antibakteri terhadap bakteri e. coli dan s. aureus senyawa lupenol ditunjukkan pada tabel 2. senyawa lupenol memiliki aktivitas antibakteri yang kuat terhadap bakteri s. aureus dan e. coli walaupun tidak melampui zona hambat senyawa standar amoxicillin dan ciprofloxacin. senyawa lupenol memiliki nilai zona hambat yang lebih tinggi terhadap bakteri s. aureus dibandingkan dengan e. coli. kesimpulan dari sampel daun kelor sebanyak 1 kg telah diisolasi senyawa lupenol dari ekstrak n-heksana sebanyak 6,01 mg. berdasarkan hasil elusidasi struktur, isolat murni yang diperoleh merupakan senyawa golongan triterpenoid pentasiklik dengan rumus molekul c30h50o dan nama 3hidroksi, 20(29)-en, lupenol. senyawa lupenol memiliki aktivitas antibakteri terhadap e. coli dan s. aureus yang tergolong sedang. senyawa triterpenoid pentasiklik lupenol merupakan yang pertama kali diisolasi dari daun kelor. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terimakasih kepada drpm kementerian riset teknologi dan pendidikan tinggi atas hibah penelitian terapan unggulan perguruan tinggi tahun 2018 dan dr. elvira atas pengukuran spektrum nmr di laboratorium nmr institut teknologi bandung (itb). daftar pustaka abdullah, s.m., musa, a.m., abdullah, m.i, sule, m., sany, y.m., 2013, isolation of lupenol from the steam bark of lonchocarpus sericeus, sch. acad, j. brosci., 1(1), 18-21. agboke, a.a., and attama, a.a., 2016, bioactive components and antibacterial activities of n-hexane extract of moringa oleifera root bark on clinical isolates of methicilin resistant staphylococcus aureus, int. j. curr. res. chem. pharm. sci., 3(3), 1-9. ayotollahi, a.m., ghanadian, m., afsaridove, s., abdella, o.m., murzai, m., aiskan, g., 2011, pentacyclic triterpenes in euphorbia microsciadia with their t-cell profiration activity, irian j.pharmac, 10, 287-294. babalola, i., and shode, f., 2013, a potential pentacyclic triterpens natural product, j. of pharmacognosy and phytochemistry., 2(2), 214-222. chukweubuka, e., 2015, moringa oleifera “the mother’s best friend”, int. j. of nutrition and food sciences., 4(6), 624-630. chudzik, m., korzonek, i.s, kroe, w., 2015, triterpenes as potentially cytotoxic compounds, molecules, 20, 1610-1625. fitriana, w.d., fatmawati, s., ersam t., 2015, uji aktivitas antioksidan terhadap ddph dan abts dari fraksi-fraksi daun kelor (moringa oleifera), jurnal prosiding simposium nasional inovasi dan pembelajaran sains 2015 (snips 2015) 8 dan 9 juni 2015, bandung. isnan, w., dan nurhaedah m., 2017, ragam manfaat tanaman kelor (moringa olivera lamk), info teknis eboni, 14 (1): 62-75. yuszda salimi dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 32-40 40 li, x.j., zou, q.p., wang, x., kim, k.w., lu, m.f., ko, s.k., yook, c.s., kim, .yc., liu, x.q., 2018, lupane triterpenes from the leaves of acanthopanax gracilistylus, molecules, 23, 87-93. marcus, a.c., and nwineewii, j.d., 2015, studies on the crude extract of moringa oleifera leaves for preliminary identification of some phytochemicals and organic functions, j. of applied chem., 8 (2), 1-5 martins, d., carrion, l.l., ramos, d.f., salome, k.s., silva, p.a., 2013, triterpenes and antimicrobial of durorra macopyhlla huber (rubiaceae), j. biomed., 7, 10155/605831. napolean, p., anitha, j., renitta, e., 2009, isolation, analysis and identification of phytochemicals of antimicrobial activity of moringa oleifera lam, j. current. biotika, 3(1), 33-39. prakash, c.v., and prakash, i., 2012, isolation and structural characterization of lupane triterpenes from polypodium vulgare, res. j. pharm., 1(1), 23-27. salimi, y.k., bialangi, n., saiman., 2017, isolasi dan identifikasi senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol daun kelor (moringa oleifera lamk), j. akademika, 6(2), 5-11. siddhuraju, p., and becker, k., 2003, antioxidant properties of various solvent extracts of total phenolic constituents from three different agro-climatic origins of drumstick tree (moringa oleifera lam.), j. agric. food chem., 15, 2144–2155. silva, d.l., david, j., silva, l., santos, r., david, j., lima, l., reis, p., fontane, r., 2012, bioactive oleanoat, lupinee and ursane triterpenoid acid derivates, molecules, 17, 12197-12205. singh, g. s. and pandeya, s. n. 2011. natural product in discovery of potential and safer antibacterial agent, natural product in medicinal chemistry. 63-101: 978-81-3080448-4. situmeang, b., suparman, a.r., kadarusman, m., herlina, t., 2018, isolasi senyawa triterpen dari ekstrak etil asetat tumbuhan pirdot (sauauria vulkani kurth.), j. kimia valensi, 4 (2), 92-97. indochem indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 12 kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri (aleurites moluccana (l) willd) kinetics of blue methylene dyes adsorption substances by actived carbon from hazelnut shell (aleurites moluccana (l) willd) jolantje latupeirissa*, matheis f.j.d.p. tanasale, sigit hardianto musa, department of chemistry, faculty of matemathics and natural sciences, university of pattimura-indonesia *corresponding author, e-mail: latupeirissajola@gmail.com received: april 2018 published: july 2018 abstract the adsorption of methylene blue dye by active carbon of hazelnut shell has been done. through acquired active carbon composing process, where is the hazelnut shell at entry into furnace on temperature 350 o c for 2 hour, afterwards is cooled and at sieves by sieve 100 mesh. then by the calsination process in furnace with temperature 450 o c one was streamed to gas n2 four 2 hours then characterized by x-ray diffraction (xrd) for carbon before activation. the next activated with koh solution with a concentration 0f 50 four 5 hour, then dried in an ovenat 120 o c for 1 hour and thencharacterized. the weight of the solidacidity before and after activation consecutive (5.3848 x 10 -3 dan 42.1554x 10 -3 ) mol g -1 . isotherm adsorption of methylene blue dyes on active carbon was following the freundlich isotherm. adsorption kinetics of methylene blue dyes on active carbon in various concentration of hazelnut shell was controlled with temperature variety at 25 o c and 30 o c. the result showed that energy activation was -46.24310602 mol -1 and a value is 1.61975 x 10 10 g mg -1 menit -1 . adsorption mechanism of methylene blue dyes on active carbon at various concentration of hazelnut shell is chemical adsorption process. keywords: actived carbon, hazelnut shell, methylene blue, adsorption kinetics. pendahuluan pada saat ini pembangunan di indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. hal ini diiringi dengan semakin meningkatnya perkembangan dan kemajuan di bidang industri. perkembangan dan kemajuan di bidang industri tersebut akan mempengaruhi limbah yang dihasilkan oleh industri, baik dari segi kuantitas maupun kualitas limbah. limbah yang dihasilkan oleh industri tersebut akan mempunyai resiko sebagai penyebab pencemaran lingkungan. limbah merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri. umumnya, limbah yang dihasilkan adalah limbah zat warna. zat warna merupakan senyawa organik atau anorganik berwarna yang digunakan untuk memberi warna tekstil atau suatu makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan lain-lain (fessenden & fessenden, 1984). salah satu zat warna yangpaling sering digunakan pada industri tekstil adalah metilen biru (demirbas, 2008). berbagai metode telah banyak dilakukan untuk menangani permasalahan limbah industri khususnya penghilangan zat warna, antara lain dengan metode koagulasi, penukar ion, dan ozonasi (widhianti, 2010). tetapi metodemetode tersebut membutuhkan biaya yang relatif tinggi dalam pengoperasiannya. penggunaan bahan biomaterial sebagai penyerap zat warna merupakan alternatif yang memberikan harapan terhadap pengolahan limbah. penggunaan biomassa sebagai penjerap zat warna metilen biru merupakan alternatif yang sekarang banyak dikembangkan, karena lebih selektif, pendekatannya kompetititf, efektif, dan murah, seperti: tempurung kelapa, kulit kenari, sekam padi, kulit kacang tanah, kulit kemiri, dan juga kulit kakao (rafattulah dkk, 2009, ). selama ini, kulit kemiri banyak dibuang dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal, padahal kulit kemiri memiliki potensi yang sangat melimpah dan merupakan salah satu bahan pembuatan karbon aktif yang dapat digunakan dalam proses adsorpsi. latupeirisa j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 13 dkk (2017) telah mengkarakterisasi karbon aktif dari kulit kemiri dengan menggunakan xrd. karbon aktif adalah suatu bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon. dengan pengolahan tertentu yaitu proses aktivasi seperti perlakuan dengan tekanan dan suhu tinggi, dapat diperoleh karbon aktif yang memiliki permukaan dalam yang luas. aktivasi karbon aktif dapat dilakukan melalui 2 proses yaitu aktivasi kimia dan aktivasi fisika (rini dan sutapa, 2005). chandra dkk., (2009) telah melakukan penelitian tentang proses preparasi dan karakterisasi karbon aktif dari kulit durian untuk menghilangkan zat warna metilen biru, dengan demikian penilitian ini hanya mengkaji aspek kondisi optimum untuk mendapatkan luas permukaan karbon aktif dari kulit durian, tanpa mengkaji proses adsorpsi dan kinetikanya, padahal dengan mengetahui aspek adsorpsi, maka dapat diketahui proses kesetimbangan yang menjelaskan proses adsorpsi yang mengikuti suatu isoterm adsorpsi dan untuk aspek kinetikanya, dapat diketahui seberapa cepatnya proses adsorpsi zat warna metilen biru berlangsung, dan bagaimana mekanismenya. dengan memanfaatkan karbon aktif dari kulit kemiri sebagai adsorben pada proses adsorpsi, maka sangat diharapkan dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan oleh zat warna. pada penelitian ini telah dilakukan penentuan kinetika adsorbsi metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemir (aleurites moluccana (l) willd) metodologi bahan kulit kemiri, akuades, koh p.a (e. merck), gas nitrogen, amoniak p.a (e. merck), dan zat warna metilen biru. alat spektrofotometer uv-vis (shimadzu uv1201), desikator, ayakan, neraca analitik ohaus, shaker (sha-c, constant temperature oscillator), seperangkat alat gelas, pipet volum, hotplate (barnstead thermolyne 47900 furnace cimarec), tanur (barnstead thermolyne 47900 furnace) dan xrd (shimadzu xd 160) prosedur kerja preparasi sampel kulit kemiri diambil dari buah kemiri. lepaskan isinya, lalu diambil kulitnya. kulit kemiri dicuci berulang kali dengan air suling, kemudian diarangkan dalam tanur pada suhu 350°c selama 2 jam, dikeluarkan dan didinginkan pada suhu ruang, kemudian dihaluskan dan diayak dihaluskan sampai menjadi bubuk (100 mesh). setelah itu dilakukan proses kalsinasi yaitu, sampel dimasukan dalam perangkat alat kalsinasi yang dipanaskan pada suhu 450 o c dan dialiri dengan gas nitrogen, selama 2 jam. kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan x-rd dan selanjutkan disimpan dalam desikator untuk penelitian selanjutnya. uji keasaman permukaan sebelum diaktivasi metode yang digunakan untuk menentukan keasaman permukaan dari karbon aktif adalah metode gravimetri. karbon yang dihasikan dari kulit kemiri, diambil sebanyak 0,2 gram, dimasukkan dalam wadah dan diletakkan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat ammonia (p.a). desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. bobot karbon yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada karbon dengan menggunakan rumus: bobot teradsorpsi = dengan : w1 = bobot kosong w2 = bobot wadah dan cuplikan w3 = bobot wadah dan cuplikan yang telah mengadsorpsi amoniak bm = bobot molekul ammonia proses aktivasi karbon kulit kemiri sebanyak 25 g bubuk karbon kulit kemiri dicampur dengan koh 50% 100 ml dimasukkan ke dalam labu bulat 250 ml yang dilengkapi dengan pengaduk, diaduk pada 200 rpm dengan perbandingan waktu 5 jam pada suhu kamar (sekitar 30°c) dengan perbandingan koh dalam larutan 1:2. j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 14 uji keasaman permukaan setelah diaktivasi metode yang digunakan untuk menentukan keasaman permukaan dari karbon aktif adalah metode gravimetri. karbon aktif yang dihasilkan dari kulit kemiri, diambil sebanyak 0,2 g dimasukkan dalam wadah dan diletakan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat ammonia (p.a). desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. karakterisasi karbon aktif karakterisasi struktur pori karbon aktif yang dihasilkan, ditentukan oleh penerapan xray diffraction (xrd). pembuatan larutan standar zat warna metilen biru larutan standar zat warna metilen biru dibuat dengan cara membuat larutan induk dengan menimbang 0,1 g zat warna metilen biru ke dalam beaker gelas kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml ditambahkan akuades sampai tanda batas, maka diperoleh larutan standar dengan konsentrasi 1000 ppm. larutan 5 ml diambil dari larutan induk ke dalam labu takar 100 ml dan diencerkan sampai tanda batas maka didapatkan larutan 50 ppm, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang antara 500-700 nm menggunakan spektrofotometer uv-vis. pembuatan kurva standar zat warna metilen biru diambil 1 ml larutan zat warna metilen biru dari larutan induk 50 ppm ke dalam labu takar 100 ml dan encerkan sampai tanda batas maka didapatkan larutan zat warna metilen biru 0,5 ppm. hal yang sama dilakukan untuk konsentrasi 1,0 ppm (diambil 2 ml); 1,5 ppm (diambil 3 ml); 2,0 ppm (diambil 4 ml); dan 2,5 ppm (diambil 5 ml) setelah itu diukur absorbansi masing-masing konsentrasi menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum 665 nm. adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri. sebanyak 25 ml larutan zat warna metilen biru dengan konsentrasi 25 ppm, 55 ppm, 100 ppm, 150 ppm, dan 200 ppm, dimasukkan ke dalam erlemeyer yang berbeda, kemudian ditambahkan0,1 g karbon aktif pada masingmasing erlemeyer, dikocok selama 2 jam, didiamkan, dan disaring menggunakan kertas saring whatman no.42. konsentrasi larutan setelah diadsorpsi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 665 nm. penentuan orde dan tetapan laju adsorpsi untuk penentuan orde dan tetapan laju reaksi dilihat pada konsentrasi zat warna metilen biru dan jumlah karbon aktif yang mempunyai adsorpsi optimum yang diperoleh berdasarkan langkah kerja adsorpsi. selanjutnya, zat warna metilen biru yang mempunyai adsorpsi optimum, diambil sebanyak 25 ml, dimasukkan dalam erlemeyer kemudian tambahkan 0,1 g karbon aktif. setelah itu, dikocok selama 30 menit pada suhu 25 o c. larutan yang dihasilkan, kemudian disaring dengan kertas saring whatman no.42. konsentrasi larutan setelah diadsorpsi, ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 665 nm. hal yang sama dilakukan untuk waktu 60, 90, 120, 150, 180, 240, 360 menit. penentuan energi aktivasi langkah penentuan orde dan tetapan laju adsorpsi dilakukan dengan memvariasikan suhu pada 30 o c hasil dan pembahasan preparasi karbon dari kulit kemiri kulit kemiri yang telah dicuci, dikeringkan dan dilakukan proses pengarangan dengan menggunakan tanur pada suhu 350 ºc selama 2 jam hingga menjadi arang. arang yang sudah terbentuk kemudian ditumbuk dan diayak dengan ayakan yang berukuran 100 mesh, selanjutnya, dilakukan suatu proses yaitu proses kalsinasi yang bertujuan untuk menghilangkan uap air, pengotor-pengotor lain sehingga yang tersisa hanya karbon. proses kalsinasi ini dilakukan dengan pemanasan arang pada suhu 450º c selama 2 jam serta dialiri gas nitrogen (n2). arang dimasukan dalam reaktor telah dihubungkan dengan tabung nitrogen. reaktor kemudian ditempatkan pada furnace yang suhunya telah diatur, yang dihubungkan pula dengan regulator j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 15 untuk menyelaraskan suhu tanur dengan pencatat suhu yang telah ditentukan yang terhubung pula dengan stabilizer untuk menstabilkan tegangan listrik yang masuk ke dalam furnace. setelah itu didinginkan pada suhu kamar. karbon yang dihasilkan dari proses kalsinasi kemudian dikarakterisasi dengan xrd yang diperlihatkan pada gambar 1, setelah itu disimpan untuk penelitian selanjutnya. analisis difraksi sinar x dilakukan dengan menggunakan alat xrd dengan panjang gelombang 1,54060 å menggunakan radiasi dari tabung target cu, tegangan 40,0 kv, arus 30,0 ma dan daerah pengamatan antara 3,0200 – 90,0000 derajat, selama 0,24 detik. gambar 1. difraktogram xrd karbon sebelum aktivasi berdasarkan difraktogram xrd yang diperlihatkan pada gambar 1 data kristalitas untuk sampel karbon sebelum aktivasi meliputi pemisahan interlayer karbon yaitu berturut-turut untuk tiga peak utama yaitu 2,95 å, 3,75 å, dan 3,27 å, ketiga peak tersebut berada pada daerah 2ө masing-masing adalah 30,2782º, 23,7000º, dan 27,2200º. aktivasi karbon dari kulit kemiri pada pembuatan karbon aktif, tahapannya adalah tahap aktivasi secara kimia dengan penambahan larutan koh 50 % selama 5 jam. tahap aktivasi bertujuan untuk memperbesar pori-pori karbon sehingga kualitas kulit kemiri dapat digunakan sebagai adsorben. secara umum, proses aktivasi ada dua macam yaitu aktivasi kimia dan fisika, aktivasi kimia adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia. aktivasi fisika adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap, dan co2. setalah itu, karbon aktif tersebut dikarakterisasi dengan menggunakan alat xrd dan hasilnya memiliki puncak lebih ramping daripada karbon sebelum aktivasi dengan koh. hal ini menunjukkan bahwa karbon sesudah aktivasi mempunyai kristalinitas yang lebih baik dari karbon sebelum aktivasi. hal tersebut disebabkan koh telah membersihkan pengotor-pengotor, sehingga struktur karbon tersebut akan menjadi semakin baik, yang diperlihatkan pada gambar 2. gambar 2. difraktogram xrd karbon sesudah aktivasi dari gambar 2, menunjukan bahwa terdapat juga tiga peak utama yang nilanya berturut-turut 3,04 å, 3,36 å dan 8,53 å dan masing-masing berada pada nilai 2ө dengan nilai yang bergeser yaitu 29,3898 å, 26,5062 å, dan 10,3600 å yang berbeda dengan nilai 2ө pada difraktogram karbon sebelum aktivasi. pergeseran ini menunjukan terjadinya perbedaan jarak antar muka kristal karbon. jarak antar muka ini disebabkan oleh zat aktivator koh. penentuan keasaman padatan karbon aktif keasaman padatan dapat dinyatakan sebagai banyaknya gugus-gugus asam yang terdapat dalam setiap satuan berat sampel. pengukuran sampel karbon sebelum dan sesudah aktivasi dilakukan dengan metode gravimetri yaitu adsorpsi uap amoniak. keasaman sampel karbon sebanding dengan banyaknya uap amoniak yang teradsorpsi oleh sampel karbon,dimana pengukuran dilakukan dalam keadaan vakum sehingga tidak ada basa lain dan uap air yang berkompetisi dengan amoniak. j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 16 keasaman padatan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi karbon aktif yang dilakukan dengan metode gravimetri. rusman (1999), menyatakan bahwa jumlah asam dari suatu padatan dapat diperoleh dengan cara mengukur jumlah basa yang teradsorpsi secara kimia (kemisorpsi), dalam fase gas. tabel 1. perbandingan keasaman bobot teradsorpsi karbon sebelum dan setelah aktivasi. sampel kosong cawan kosong (w1) gram cawan + sampel (w2) gram cawan + sampel yg telah teradsorpsi bobot teradsorpsi x 10 -3 (molg -1 ) karbon sebelum diaktivasi 34,3002 34,5012 34,5196 5,3848 karbon sesudah diaktivasi 34,3001 34,5002 34,6436 42,1554 basa yang digunakan adalah nh3 dan terlihat jelas dari hasil yang didapat bahwa berat nh3semakin bertambah, hal ini disebakan karena bertambah luasnya permukaan karbon akibat proses aktivasi sehingga memungkinkan lebih banyaknya adsorbat amonia yang teradsorpsi, terlihat pada tabel 1. data absorbansi zat warna metilen biru sesudah diadsorpsi oleh karbon aktif dari kulit kemiri. data hasil pengukuran absorbansi zat warna metilen biru sesudah diadsorpsi oleh karbon aktif dari kulit durian yang diukur dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 665 nm dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2.absorbansi zat warna metilen biru sesudah diadsorpsi oleh karbon aktif dari kulit kemiri. filtrat (aads) berat adsorbat = 0.1 mg/g fp ax a1 0,298 a2 2x 0,342 a3 10x 0,126 a4 10x 0,168 a5 10x 0,085 keterangan: aads= zat warna metilen biru (a1 = 25 ppm; a2 = 55 ppm; a3 = 100 ppm; a4 = 150 ppm; a5 = 200 ppm) ax = absorbansi adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri fp = faktor pengenceran. berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat ditentukan isoterm adsorpsi yang diikuti oleh karbon aktif terhadap zat warna metilen biru dari kulit kemiri. pengukuran absorbansi larutan standar zat warna metilen biru dari karbon aktif dapat dibuat kurva standar zat warna metilen biru yang ditunjukan pada tabel 3. tabel 3. data hasil pengukuran kurva standar zat warna metilen biru konsentrasi absorbansi 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 0,000 0,040 0,128 0,226 0,332 0,426 untuk menjelaskan adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif pada kulit kemiri, ada dua persamaan isoterm adsorpsi yang umum digunakan yaitu isoterm langmuir dan freundlich. adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif pada kulit kemiri, umumnya menggunakan dua persamaan isoterm adsorpsi yaitu isoterm langmuir dan freundlich. isoterm langmuir berdasarkan hubungan ce terhadap ce/( ⁄ ), sedangkan isoterm freundlich berdasarkan hubungan ln ce terhadap ln( ⁄ ). berdasarkan parameter-parameter isoterm langmuir dan freundlich di bawah ini (tabel 4), maka dapat dibuat kurva isoterm langmuir (gambar 3) dan kurva isoterm freundlich (gambar 4) untuk masing-masing konsentrasi sehingga dapat diketahui isoterm adsorpsi yang sesuai untuk adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri dengan membandingkan nilai koefisien korelasi (r 2 ) (atkins, 1997). tabel 4. parameter-parameter isoterm langmuir dan freundlich pada konsentrasi 200 ppm co ce co-ce q x/m ce/(x/m) ln ce ln (x/m) 25 1.847 23.153 92.61 5.788 0.319 0.614 1.756 55 4.028 50.972 92.68 12.743 0.316 1.393 2.545 100 7.282 92.718 92.72 23.180 0.314 1.985 3.143 150 9.655 140.345 93.56 35.086 0.275 2.267 3.558 200 10.107 189.893 94.95 47.473 0.213 2.313 3.860 j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 17 gambar 3. kurva isoterm adsorpsi langmuir gambar 4. kurva isoterm adsorpsi freundlich hubungan linieritas isoterm langmuir dan freundlich pada adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiriberdasarkan persamaan garis dan koefisien korelasi (r 2 ) dapat dilihat pada tabel 5 tabel 5. persamaan garis isoterm adsorpsi langmuir dan freundlich isoterm adsorpsi persamaan garis lurus r 2 (%) langmuir y = -0,009x + 0,352 60,3 freundlich y = 1,158x + 0,986 97,6 berdasarkan tabel 4 dapat ditentukan pola isoterm adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif berdasarkan nilai koefisien korelasi (r 2 ). dari hasil yang diperoleh pada tabel 4, nilai koefisien korelasi (r 2 ) tertinggi adalah isoterm freundlich, sehingga dapat dinyatakan bahwa isoterm adsorpsi yang diikuti oleh adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri mengikuti isoterm adsorpsi freundlich. isoterm langmuir hanya berlaku untuk adsorpsi lapisan tunggal pada permukaan adsorben yang bersifat homogen, sedangkan isoterm freundlich berlaku untuk adsorben yang permukaan bersifat heterogen (lynam, dkk., 1995). hal ini menunjukkan bahwa pada larutan yang berkekuatan ion rendah molekul karbon aktif mempunyai poripori yang saling berhubungan. pori-pori tersebut yaitu pori makro, mikro, dan transisi. melalui pori inilah terjadi proses penyerapan. pori makro dapat menyerap molekul adsorbat dan pelarut yang berhubungan dengan permukaan luar dari partikel karbon, pori mikro merupakan cabang dari pori makro dan dapat menyerap pelarut dan adsorbat dengan ukuran yang lebih kecil, sedangkan pori transisi merupakan cabang dari pori mikro yang hanya dapat menyerap molekul pelarut yang lebih kecil. sehingga dari kulit kemiri, adsorbat yang terbentuk hanya satu lapisan karena permukaan karbon aktif yang bersifat homogen. pada larutan yang berkekuatan ion tinggi molekul karbon aktif menjadi bentuk acak, sehingga permukaan karbon aktif sebagai adsorben bersifat heterogen karena dapat membentuk lapisan adsorbat dengan ketebalan beberapa lapis (coocson., 1978). dengan menggunakan persamaan isoterm freundlich pada konsentrasi adsorpsi zat warna metilen biru yang mempunyai nilai optimum dapat dihitung kapasitas atau kemampuan jerap karbon aktif sebagai adsorben. berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran (4), diperoleh nilai kf sebesar 0,0268 x 10 2 dan 1/n sebesar 1.163 yang menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi dari besar energi yang berhubungan dengan proses adsorpsi, sehingga nilai n = 0,8636. nilai kf menunjukkan kapasitas jerap, semakin besar nilai kf maka semakin besar kapasitas adsorben menyerap adsorbat (lynam, dkk., 1995) dan dibenarkan oleh penelitian ini yang menghasilkan nilai kfsebesar 0,0268 x 10 2 mg g -1 lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh tutupary (2010) yaitu sebesar 0,0353 mg g -1 . nilai n> 1 mengindikasikan baiknya penjerapan zat warna metilen biru oleh karbon aktif (zor, 2004). berdasarkan data di atas maka dapat diindikasikan bahwa adanya perlakuan karbon aktif memberikan nilai n yang berkurang. hal ini diduga, karena permukaannya yang kecil dan bersifat selektif sehingga pada campuran y = -0.0098x + 0.3521 r² = 0.6039 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.000 5.000 10.000 15.000 c e /( x /m ) ce y = 1.1585x + 0.9861 r² = 0.976 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 ln ( x /m ) ln ce j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 18 zat, ada beberapa komponen yang terserap oleh zat padat tertentu (cheremisinoff, dkk., 1978). penentuan orde reaksi dan tetapan laju adsorpsi dalam menentukan orde dan tetapan laju adsorpsi digunakan konsentrasi zat warna metilen biru dan karbon aktif yang mempunyai adsorpsi optimum sesuai dengan hasil yang diperoleh pada tabel 3 yaitu pada konsentrasi 200 ppm. selanjutnya dilakukan pengukuran dengan variasi waktu mulai dari 30 menit sampai 360 menit pada suhu 25 0 c yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 6. tabel 6. absorbansi larutan zat warna metilen biru yang telah teradsorpsi oleh karbon aktif dengan konsentrasi 200 ppm pada suhu 25 0 c waktu (t, menit) fp absorbansi 30 60 90 120 150 180 240 360 20x 20x 20x 20x 20x 20x 20x 20x 0,332 0,522 0,596 0,572 0,586 0,260 0,254 0,301 model kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu model kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri pada konsentrasi 200 ppm pada suhu 25 °c dengan nilai parameterparameter yang digunakan dapat dilihat pada tabel 7. tabel 7. model kinetika adsorpsi lagergren orde satusatu-semu zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri dengan konsentrasi konsentrasi 200 ppm pada suhu 30 ºc. persamaan kinetika r 2 (%) xe (mg/g) xe yang dicoba xe yang dihitung t ads k e xx e x ,1 lnln 27,74 50 -0,545x10 -3 26,38 55 -0,193x10 -4 hasil perhitungan pada tabel 7 diperoleh dari nilai parameter-parameter yang digunakan pada tabel 8 dengan nilai yang dicoba = 50 mg/g. tabel 8. parameter-parameter model kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri dengan konsentrasi 200 ppm dan nilai yang dicoba = 50 mg g -1 pada suhu 25 ºc t (menit) abs fp ce (ppm) cads (ppm) x (mg g -1 ) (xe-x) (mg g -1 ) ln (xe-x) (mg g -1 ) 30 0,332 20 x 6,804 193,196 48,299 1,701 0,531 60 0,522 20 x 10,604 189,396 47,349 2,651 0,975 90 0,596 20 x 12,084 187,916 46,979 3,021 1,106 120 0,572 20 x 11,604 188,396 47,099 2,901 1,065 150 0,586 20 x 11,884 188,116 47,029 2,971 1,089 180 0,260 20 x 5,364 194,636 48,659 1,341 0,293 240 0,254 20 x 5,244 194,756 48,689 1,311 0,271 360 0,301 20 x 6,184 193,816 48,454 1,546 0,436 dengan menggunakan data pada tabel 8 maka dapat dibuat kurva t vs ln ( -x) untuk model kinetika adsorpsi lagergren orde satu semu seperti terlihat pada gambar 5. nilai koefisien korelasi(r 2 ) yang diperoleh dari kurva pada gambar 6 sebesar 27,74 % yang berarti bahwa kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri dengan konsentrasi 200 ppm tidak mengikuti model kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu karena nilai koefisien korelasinya di bawah 95 %. gambar 5. kurva kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu dengan yang dicoba = 50 mg/g. y = -0.001x + 1.010 r² = 0.277 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 0 100 200 300 400 ln ( x e -x ) t (menit) j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 19 pada sistem adsorpsi karbon aktif-metilen biru pada konsentrasi 200 ppm untuk suhu 25 o c, nilai xe yang dicoba adalah 50 mg g -1 yang menghasilkan persamaan garis lurus ln (xe-x) = -0,001x – 1,010 dengan r 2 = 27,74 % dan xe yang dihitung adalah -0,545x10 -3 mg g -1 (tabel 7). model kinetika adsorpsi lagergren orde dua-semu pengolahan data hasil penjerapan model kinetika adsorpsi lagergren orde dua-semu zat warna metilen biru oleh karbon aktif pada konsentrasi 200 ppm dapat dilihat pada tabel 9 dan gambar 6. tabel 9. parameter-parameter model kinetika adsorpsi lagergren ordedua semu zat warna metilen biru pada konsentrasi 200 ppm pada suhu25 ºc t (waktu) ce (ppm) cads (ppm) x (mg g-1) t/x (menit mg g -1 ) 30 6,804 193,196 48,299 0,621 60 10,604 189,396 47,349 1,267 90 12,084 187,916 46,979 1,916 120 11,604 188,396 47,099 2,548 150 11,884 188,116 47,029 3,190 180 5,364 194,636 48,659 3,699 240 5,244 194,756 48,689 4,929 360 6,184 193,816 48,454 7,430 dengan menggunakan data pada tabel 9 maka dapat dibuat kurva t vs t/x untuk model kinetika adsorpsi lagergren orde dua-semu seperti terlihat pada gambar 6. gambar 6. kurva kinetika adsorpsi lagergren orde dua – semu nilai koefisien korelasi (r 2 ) yang diperoleh dari kurva pada gambar 6 sebesar 99,9%menunjukkan bahwa model kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif pada konsentrasi 200 ppm mengikuti model adsorpsi lagergren orde dua-semu dengan xe= 49,02 mg g -1 dan k2,ads = 0,00788 g mg -1 menit -1 . hasil penelitian ini dibandingkan dengan yang dilakukan oleh abechi, dkk (2011) bahwa kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kelapa sawit samasama mengikuti model kinetika adsorpsi orde dua, meskipun menggunakan karbon aktif yang berbeda. mekanisme adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri. mekanisme proses adsorpsi zat warna metilen biru pada konsentrasi 200 ppm dapat dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa sebagai penentu laju reaksi adalah proses penjerapan kimia yang meliputi gaya antar valensi atau pertukaran elektron antara adsorbent dan adsorbat. ini berarti sebagai penentu laju proses adsorpsi yaitu proses pengambilan yang berupa penjerapan kimiafisik dengan proses pengambilan yang berlangsung paling lambat yaitu saat proses adsorpsi, terjadi interaksi elektrostatik antara zat warna metilen biru yang bermuatan positif dengan karbon aktif yang bermuatan negatif (allen,dkk., 1997). difusi intra partikel bergantung pada beberapa faktor seperti struktur sorben, sifat fisik sorben dan sorbat, sifat-sifat kimia sorbat, interaksi sistem dan kondisi sistem. mekanisme difusi intra partikel didasarkan pada dua mekanisme yaitu difusi pori dan difusi padat. difusi pori bergantung pada transport pelarut dan struktur internal dari pori-pori sorben. mekanisme ini menjelaskan difusi molekul sorbat ke dalam partikel dalam cairan dan dalam pori-pori cairan (allen,dkk., 1997). penentuan energi aktivasi penentuan energi aktivasi dilakukan pada konsentrasi zat warna dan kadar garam yang mempunyai adsorpsi optimum yaitu konsentrasi zat warna biru metilen 200 ppm dengan memvariasikan suhu 25 0 c dan 30 0 c. adapun hasil absorbansi pada variasi waktu dapat dilihat pada tabel 6 untuk 25 o c dan tabel 10 untuk 30 o c. pada umumnya adsorpsi merupakan proses eksotermis, δ < 0. proses ini digambarkan dengan meningkatnya suhu bila adsorbat y = 0.0205x + 0.0497 r² = 0.9997 0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 0 100 200 300 400 t/ x ( m e n it .g /m g ) t (menit) j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 20 berinteraksi dengan adsorben. besarnya energi yang terlibat dalam adsorpsi, ditentukan dengan menggunakanpersamaan arrhenius yaitu: = rt ln k berdasarkan hasil penelitian ini yang mengikuti mekanisme adsorpsi kimia (kemisorpsi), maka jumlah zat yang teradsorpsi akan makin besar dengan naiknya suhu. oleh karenaitu, maka untuk melepaskan kembali adsorbat dari permukaan adsorben diperlukan banyak energi. tabel 10. absorbansi larutan zat warna biru metilena yang telah teradsorpsi oleh karbon aktif dengan konsentrasi 200 ppm pada suhu 30 0 c. waktu (t,menit) fp absorbansi 30 20x 0,348 60 20x 0,414 90 20x 0,587 120 20x 0,432 150 20x 0,355 180 20x 0,498 240 20x 0,264 360 20x 0,127 pada penelitian ini, orde reaksi yang diikuti oleh adsorpsi karbon aktif terhadap zat warna biru metilena adalah orde dua dan dengan menggunakan nilai pada suhu 25 o c dan suhu 30 o c, sehingga dapat dibuat suatu perhitungan untuk menentukan nilai energi aktivasi ( ) dengan menggunakan parameterparameter seperti yang dapat dilihat pada tabel 11. tabel 11. parameter-parameter penentuan energi aktivasi suhu ( o c) k2,ads (g mg -1 menit -1 ) t (k) 1/t (k -1 ) ln k2,ads (g mg -1 menit -1 ) 25 30 0,00788 0,00579 298 303 3,3557 x 10 -3 3,3003 x 10 -3 -4,8434 -5,1516 dengan menggunakan data pada tabel 11 dibuat perhitungan untuk menghitung energi aktivasi ( ). berdasarkan hasil perhitungan pada diperoleh energi aktivasi (ea) sebesar -46,24310602 kj mol -1 dan faktor praeksponensial (a) sebesar 1,61975 x 1010 g mg -1 menit -1 . hasil yang diperoleh ini sangat dipengaruhi oleh suhu dalam meningkatkan kapasitas adsorpsi, maka dengan meningkatnya suhu, kapasitas adsorpsi juga meningkat. kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. adsorpsi zat warna metilen biru oleh akrbon aktif dari kulit kemiri mengikuti isoterm adsorpsi freundlich. 2. model kinetika adsorpsi metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri mengikuti model adsorpsi lagergren orde dua-semu dengan nilai konstanta laju reaksi (k2,ads) sebesar 0,00788 g mg -1 menit -1 dan xe sebesar 49,02 mg g -1 . diperoleh juga nilai energi aktivitas sebesar-46,24310602 kj/mol dan nilai a sebesar sebesar 1,61975 x 10 -10 g mg -1 menit -1 . mekanisme adsorpsi metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri mengasumsikan bahwa penentuan laju reaksi adalah proses adsorpsi kimia. daftar pustaka abechi e.s, gimba c.e, uzairu a, kagbu j.a., 2011, kinetics of adsorption of methylene blue onto activated carbon prepared from palm kernel shell, archives of applied science research, 3 (1), 154-164. allen, s,j., whitten, l.j, murray, m., duggan, o., brown, p., 1997, the adsorption of pollutants by peat, lignite and actived chars, j.chem tech. biotechnol, 68, 442452. atkins, p. w., 1990, kimia fisika jilid 2 edisi keempat, penerjemah i.i. kartohadiprodjo. penerbit erlangga. jakarta. cheremisinoff, morresi, 1978, carbon adsorption hand book. ann arbor science publishers. universitas michigan coocson, 1978, adsorption mechanisme the chemistry of organic application, ann arbor. demirbas, a., 2009, agricultural based activated carbons for the removal of dyes from aqueous solutions : a review, eng. j., 167, 1-9. fessenden, r. j, fessenden, j. s, 1984, kimia organik ii edisi kedua, terjemahan a. hadyana pudjaatmaka, penerbit erlangga, jakarta. j. latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res, 2018, 6(1), 12-21 21 latupeirissa, j., tanasale, m.f.j.d.p., dade, k., 2017, carbon characterization from candlenut shells (aleurites moluccana (l) wild) with x-rd, indo. j. chem. res., 3(1), 326 – 330. lynam, m. m., kilduff, j. e., weber, w. j. jr., 1995, adsorption of p-nitrophenol from dilute aquadeous solution, j. chem edu, 72, 80-84. rini. p., sutapa. j. p. g., 2005, mutu arang aktif dar limbah kayu mahoni sebagai bahan penjernih air, fakultas kehutanan ugm, yogyakarta tutupary, f. j., 2010, kinetika adsorpsi zat warna biru metilena 0leh kitosan pada beberapa kadar garam, skripsi sarjana, jurusan kimia fmipa unpatti, ambon. widhianti, w. d., 2010, pembuatan arang aktif dari biji kapuk (ceiba pentandra l.) sebagai adsorben zat warna rhodamin b, skripsi sarjana, departemen kimia, fakultas sains dan teknologi, universitas airlangga, surabaya. zor, s., 2004, investigation of the adsorption of anionic surfacftans of different ph values by means of active carbon and the kinetics of adsorption, j. serh. chem. soc, 69, 25 – 32. indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 25 uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji kesumba keling (bixa orellana l) antioxidant activity test of methanol extract of kesumba keling (bixa orellana l) seeds fensia analda souhoka * , nikmans hattu, marsye huliselan department of chemistry, faculty mathematics and natural science, pattimura university, jl. ir. putuhena no. 1 poka ambon 97233-maluku *corresponding author, e-mail: fensia@fmipa.unpatti.ac.id received: jan. 2019 published: jul. 2019 abstract kesumba keling (bixa orellana l) has been widely used as a natural dye on lips, hair, and cloth. the red pigment in kesumba keling seeds comes from a bixin and norbixin compound which have many conjugated double bonds, so it has the potential of antioxidants. this study aims to determine the antioxidant compound and an antioxidant activity of methanol extract of kesumba keling seeds. the moisture content of kesumba keling seeds is 78.74%. the powder of kesumba keling seeds was extracted using maceration method with 80% of methanol. phytochemical test results of methanol extract positively contained flavonoid compound. an antioxidant activity test of methanol extract of kesumba keling seeds was carried out by determining dpph free radical deterrent activity. the absorbance measurement were made using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 517 nm. kesumba keling seeds extract has antioxidant activity which is indicated by ic50 value of 69.425 ppm, so it is classified as a strong antioxidant. keywords: antioxidant activity, kesumba keling seeds, methanol extract, phytochemical test. pendahuluan makanan dan minuman olahan umumnya dibuat dengan menambahkan pewarna sintetik agar lebih menarik bagi konsumen. pewarna sintetis menyebabkan dampak yang tidak baik dalam jangka panjang, salah satunya dapat menyebabkan kanker. oleh karena itu, pemanfaatan bahan alam sebagai sumber pewarna alami pada bahan pangan perlu dimaksimalkan. kesumba keling merupakan salah satu tanaman perdu yang ditanam di pekarangan rumah atau di pinggiran jalan sebagai tanaman hias dan pelindung. bijinya berbentuk bulat telur dan mempunyai selaput berwarna merah. biji kesumba mengandung senyawa biksin dan norbiksin, yaitu golongan karotenoid tetraterpenoid, yang merupakan pigmen larut air dan lipid, serta tersebar luas hampir ke semua jenis tumbuhan. biksin (c25h30o4) adalah suatu asam karboksilat karotenoid dan merupakan pewarna organik yang tidak berbahaya (gardjito, 2013). senyawa biksin dan norbiksin memiliki struktur yang terdiri dari banyak ikatan rangkap terkonjugasi, sehingga berpotensi sebagai antioksidan, antijamur, antikanker, antiinflamatori, antimutagenik, dan antigenotoksik (suparmi dan martosupono, 2008, rustiah, dkk., 2018, mahardika dkk., 2018). antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. serangan radikal bebas terhadap molekul di sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai, yang kemudian menghasilkan senyawa radikal baru. dampak reaktivitas senyawa radikal bebas menyebabkan kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, hingga kanker (sadikin, 2001). potensi biji kesumba keling sebagai pewarna sekaligus antioksidan alami perlu untuk dikembangkan, sehingga dapat menggantikan pewarna sintetis. mira dkk.(2013), menggunakan etanol untuk mengekstrak biji kesumba keling sebagai pewarna bibir. pujilestari (2014), mengekstrak zat warna biji kesumba keling dengan air untuk digunakan sebagai pewarna pada kain batik katun. menurut purwaningsih fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 26 (2013), biji kesumba keling dapat digunakan sebagai pewarna makanan dan antioksidan. pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji kesumba keling melalui penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph menggunakan spektrofotometer uv-vis. parameter hasil pengujian dengan metode dpph adalah ic50 (inhibition concetration), yaitu konsentrasi larutan sampel yang menyebabkan reduksi terhadap aktivitas dpph sebesar 50%. menurut molyneux (2004), secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai ic 50<50 ppm, kuat 50<ic50<100 ppm, sedang 100<ic50<150 ppm, lemah 150 ppm<ic50<200 ppm, dan sangat lemah ic50>200 ppm. penelitian meliputi penentuan kadar air biji kesumba keling, ekstraksi biji kesumba keling dengan metode maserasi menggunakan metanol 80%, kemudian dilakukan uji fitokimia terhadap ekstrak, yaitu uji fenolik, uji flavonoid, uji tanin, penentuan kandungan total fenolik, dan penentuan kandungan total flavonoid. ekstrak metanol biji kesumba diharapkan dapat diaplikasikan secara maksimal sebagai antioksidan alami dalam industri pangan, kosmetik, dan farmasi. metodologi alat alat-alat yang digunakan yaitu peralatan gelas laboratorium (pyrex), hot plate (cimarec 2), rotary evaporator (rotavapor r-215 buchii), neraca analitik (electronic balance), mikropipet, dan vortex. instrumentasi kimia yang digunakan adalah spektrofotometer uv-vis (apel pd-3000 uv). bahan bahan dasar yang digunakan adalah biji kesumba keling. bahan-bahan lain yang digunakan dengan kualitas pro analisis dari merck, yaitu metanol, reagen folin-ciocalteu, natrium karbonat 2%, fecl3 1%, serbuk mg, hcl 1%, alcl3 2%, dpph, kuersetin (sigma), kertas saring, dan akuades. prosedur kerja preparasi sampel biji kesumba keling segar dikeringkan di dalam oven pada suhu 50c sampai berat konstan, kemudian dihitung kadar air. sampel kering diblender, kemudian disaring menggunakan ayakan 100 mesh hingga menjadi serbuk. ekstraksi biji kesumba keling serbuk biji kesumba keling sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 200 ml metanol 80% hingga sampel terendam, selanjutnya dimaserasi selama 12 jam. hasil ekstraksi disaring, kemudian filtrat diuapkan menggunakan rotavapor. ekstrak metanol biji kesumba keling yang diperoleh ditimbang, kemudian dilakukan uji fitokimia. uji fitokimia uji fenolik (harbone, 2006) ekstrak metanol sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 2 tetes fecl3 1% kemudian dikocok. uji positif apabila menghasilkan warna biru pekat. uji flavonoid (nafisah dkk., 2014) ekstrak metanol sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan sedikit serbuk mg dan 1 ml hcl 1%. uji positif bila menimbulkan busa dan berwarna jingga. uji tanin (tiwari dkk., 2011) ekstrak metanol sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 1 ml akuades kemudian dididihkan. selanjutnya disaring dan filtratnya ditambahkan 2-3 tetes fecl3 1% dan dikocok. uji positif bila menghasilkan warna hijau pekat atau biru pekat. penentuan kandungan total fenolik (conde dkk., 1997) kandungan total fenolik ditentukan menggunakan metode folin-ciocalteau. fenol dengan konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 ppm dibuat sebagai kurva standar, kemudian analisis dengan dua kali pengukuran. sebanyak 0,1 ml ekstrak metanol biji kesumba keling dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0,1 ml reagen folin-ciocalteu 50%. campuran dihomogenkan menggunakan vortex, kemudian ditambahkan 2 ml larutan natrium karbonat 2%. selanjutnya larutan disimpan dalam ruang gelap fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 27 selama 30 menit. absorbansi diamati pada panjang gelombang 750 nm. kandungan total fenolik dinyatakan sebagai ekuivalen fenol dalam mg/g ekstrak. kandungan total fenolik = x fp keterangan: m= konsentrasi fenolik (ppm) v= volume sampel (l) w= berat sampel (g) fp= faktor pengenceran penentuan kandungan total flavonoid (alhabsyi, dkk. 2014) kuersetin dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm dibuat sebagai kurva standar, selanjutnya dianalisis dengan dua kali pengukuran. sebanyak 0,1 ml ekstrak metanol kesumba keling dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 2 ml alcl3 2%. campuran diaduk kemudian absorbansinya diamati pada panjang gelombang 415 nm. kandungan total flavonoid dinyatakan sebagai ekuivalen kuersetin dalam mg/g ekstrak. kandungan total flavanoid = keterangan: e= ekivalen kuersetin (ppm) v= volume sampel (l) w= berat sampel (g) fp= faktor pengenceran pembuatan larutan dpph 40 ppm sebanyak 0,01 g dpph dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml kemudian ditambahkan metanol hingga tanda batas. larutan segera digunakan dan dijaga pada temperatur rendah dan terlindung dari cahaya. penentuan panjang gelombang maksimum dpph sebanyak 5 ml larutan dpph 40 ppm diamati serapannya pada panjang gelombang 490–534 nm dengan menggunakan blanko metanol. penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph (mulyani dkk., 2013) sebanyak 2 mg ekstrak metanol biji kesumba keling dibuat menjadi larutan dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, dan 100 ppm. larutan pembanding kuersetin dibuat dengan konsentrasi 2,5; 5,0; 7,5; 10; dan 20 ppm. masing-masing larutan uji sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 2 ml larutan dpph 40 ppm, kemudian didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer uv-vis. pengujian dilakukan dengan dua kali pengukuran. selanjutnya dihitung nilai ic50 berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh. ic50 merupakan konsentrasi ekstrak yang menghambat aktivitas dpph sebesar 50%. semakin kecil nilai ic50, semakin tinggi aktivitas antioksidan. hasil dan pembahasan preparasi sampel biji buah kesumba keling dikeringkan dalam oven sampai berat konstan, diperoleh kadar air 78,74%. sampel kering dihaluskan hingga menjadi serbuk berukuran 100 mesh. ekstraksi sampel serbuk biji buah kesumba diekstrak dengan metanol 80% menggunakan metode maserasi selama 12 jam. diperoleh ekstrak berwarna merah bata, selanjutnya ekstrak disaring, kemudian filtrat diuapkan menggunakan rotavapor. uji fitokimia uji fenolik uji fenolik akan menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya warna biru pekat bila ekstrak direaksikan dengan fecl 1%, sesuai reaksi pada gambar 1. uji menunjukkan hasil negatif, ditandai dengan perubahan warna sampel dari merah bata menjadi coklat tua. uji flavonoid untuk mengetahui ada tidaknya senyawa flavonoid dalam ekstrak dilakukan analisis dengan uji shinode menggunakan hcl 1% dan serbuk mg, seperti reaksi pada gambar 2. uji menunjukkan hasil positif, ditandai dengan perubahan warna sampel dari merah bata menjadi jingga. reaksi uji flavonoid menurut nafisah dkk. (2014) adalah sebagai berikut. fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 28 mg(s) + 2 hcl(l) mgcl2(aq) + h2(g) mgcl2(aq) + 6 aroh(s) [mg(oar)6] -4 (aq) + 6 h + (aq) + 2 cl (aq) uji tanin uji positif adanya senyawa tanin ditandai dengan terbentuknya endapan putih bila ekstrak direaksikan dengan fecl3 1%. uji menunjukkan hasil negatif, ditandai dengan perubahan warna sampel dari merah bata menjadi coklat muda. penentuan kandungan total fenolik senyawa fenol diketahui memiliki aktivitas antioksidan. pengujian dan penentuan kandungan total fenolik merupakan dasar dilakukan pengujian aktivitas antioksidan. gambar 1. reaksi uji fenolik (harbone, 2006) penentuan kandungan total fenolik diukur menggunakan metode folin-ciocalteu dan diamati serapan pada panjang gelombang 750 nm. dari hasil pengukuran diperoleh absorbansi larutan standar fenol seperti disajikan pada tabel 1. tabel 1. hasil pengukuran absorbansi larutan standar fenol no konsentrasi fenol (ppm) absorbansi 1 2 3 4 5 6 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 0,000 0,276 0,315 0,553 0,792 0,824 dari hasil yang diperoleh, dibuat kurva standar fenol seperti ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2. kurva standar fenol nilai absorbansi yang diperoleh dari tiap ekstrak diplotkan terhadap kurva standar fenol dan dihitung kandungan total fenoliknya. kandungan total fenolik ekstrak metanol biji kesumba keling adalah 0,00595 mg/g ekstrak. pada penentuan kandungan total fenolik terjadi perubahan warna dari kuning menjadi hijau, yang merupakan hasil dari reaksi antara senyawa fenolik dalam ekstrak dengan reagen folinciocalteu yang ditunjukkan pada gambar 3. penentuan kandungan total senyawa flavonoid penentuan kandungan total senyawa flavonoid dilakukan dengan mengamati serapan pada panjang gelombang 415 nm. absorbansi standar kuersetin disajikan pada tabel 2. tabel 2. hasil pengukuran absorbansi larutan standar kuersetin no konsentrasi kuersetin (ppm) absorbansi 1 2 3 4 5 2 4 6 8 10 0,125 0,224 0,361 0,473 0,583 dari hasil pengukuran, dibuat kurva standar kuersetin seperti ditunjukkan pada gambar 4. berdasarkan nilai absorbansi yang diperoleh dari tiap ekstrak diplotkan terhadap kurva standar kuersetin (gambar 4) dan dihitung kandungan total flavonoid. kandungan total flavonoid ekstrak metanol biji kesumba keling adalah 0,6689 mg/g ekstrak. 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 2 4 6 a b so rb a n si konsentrasi fenol (ppm) fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 29 penentuan panjang gelombang maksimum dpph penentuan panjang gelombang maksimum dpph dilakukan dengan mengamati serapan panjang gelombang pada rentang 490-534 nm. hasil yang diperoleh dibuat kurva seperti gambar 5. gambar 4. kurva standar kuersetin gambar 5. panjang gelombang maksimum dpph berdasarkan gambar 5 diperoleh panjang gelombang maksimum dpph adalah 517 nm. selanjutnya panjang gelombang maksimum dpph digunakan dalam penentuan aktivitas antioksidan. pembuatan kurva standar sebelum dilakukan penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph ekstrak metanol biji kesumba keling, dibuat kurva standar untuk menguji linearitas pada sampel. penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph dinyatakan dengan nilai ic50 menggunakan kuersetin sebagai kontrol. dari hasil pengukuran menggunakan uv-vis pada panjang gelombang 517 nm diperoleh nilai absorbansi dari masingmasing konsentrasi. nilai absorbansi digunakan untuk perhitungan % inhibisi dan ic50 kuersetin. berdasarkan hasil perhitungan diperoleh data aktivitas penangkal radikal bebas dpph dari kuersetin seperti disajikan pada tabel 3. tabel 3. aktivitas penangkal radikal bebas dpph dari kuersetin no konsentrasi kuersetin (ppm) abs % inhibisi u1 u2 1 2,5 0,795 0,781 21,00 2 5,0 0,712 0,720 28,20 3 7,5 0,450 0,462 54,26 4 10,0 0,376 0,366 62,81 5 20,0 0,056 0,051 94,63 6 dpph + metanol 1,023 0,973 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 5 10 15 a b so rb a n si konsentrasi kuersitin (ppm) 0.54 0.64 0.74 487 497 507 517 527 537 a b so rb a n si panjang gelombang (nm) gambar 3. reaksi folin-ciocalteu dengan senyawa fenol (conde dkk., 1997) fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 30 dari hasil yang diperoleh, dibuat kurva standar aktivitas penangkal radikal bebas dpph dari kuersetin seperti ditunjukkan pada gambar 6. gambar 6. kurva standar aktivitas penangkal radikal bebas dpph dari kuersetin persamaan regresi kurva standar aktivitas penangkal radikal bebas dpph dari kuersetin digunakan untuk menentukan nilai ic50 kuersetin. berdasarkan perhitungan diperoleh nilai ic50 kuersetin 8,485 ppm. penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji kesumba keling diuji menggunakan metode dpph. uji dpph merupakan metode yang efektif untuk menentukan aktivitas antiradikal bebas. radikal dpph adalah suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen yang tidak stabil dengan absorbansi kuat pada panjang gelombang 517 nm dan berwarna ungu gelap. reaksi penghambatan radikal dpph ditunjukkan pada gambar 7. gambar 7. reaksi penghambatan radikal dpph (prakash, 2001) penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph dilakukan dengan mengamati serapan pada panjang gelombang 517 nm. absorbansi ekstrak metanol biji kesumba keling disajikan pada tabel 4. tabel 4. hasil pengukuran absorbansi ekstrak metanol biji kesumba keling no ekstrak metanol biji kesumba keling absorbansi 1 2 p1 p2 0,390 0,402 dari hasil pengukuran, dibuat kurva aktivitas penangkal radikal bebas dpph ekstrak metanol biji kesumba keling seperti ditunjukkan pada gambar 8. ekstrak metanol biji kesumba keling menunjukkan peningkatan % inhibisi tiap konsentrasinya. persen inhibisi diperoleh dari perbedaan absorbansi kontrol dengan absorbansi sampel. selanjutnya, penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph digunakan parameter ic50. penentuan ic50 dari sampel yang diekstrak bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan ekstrak yang dapat menurunkan intensitas serapan radikal bebas dpph sebesar 50% dibandingkan dengan larutan kontrol. semakin kecil nilai ic50, semakin tinggi aktivitas antioksidan. ekstrak metanol biji kesumba keling mengandung senyawa flavonoid yang dapat menyumbangkan elektron untuk menangkal radikal bebas. gambar 8. penentuan aktivitas penangkal radikal bebas dpph ekstrak metanol biji kesumba keling berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh aktivitas penangkal radikal bebas dpph ekstrak metanol biji kesumba keling dengan persamaan regresi y = 0,3012x + 29,089 dan nilai ic50 adalah 69,425 ppm. nilai ini menunjukkan ekstrak metanol biji kesumba keling tergolong antioksidan kuat (50<ic50<100 ppm). dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, suhaling (2016), menentukan aktivitas antioksidan ekstrak metanol kacang merah 0 50 100 150 0 10 20 30 % i n h ib is i konsentrasi (ppm) 0 20 40 60 80 0 50 100 % i n h ib is i konsentrasi ekstrak (ppm) fensia a. souhoka dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 25-31 31 (phaseolus vulgaris l) dengan metode dpph, diperoleh nilai ic5 0 164,44ppm, sehingga tergolong antioksidan lemah. widianingsih (2016), menguji aktivitas antioksidan ekstrak metanol buah naga merah (hylocereus polyrhizy) hasil maserasi dan dipekatkan dengan kering angin diperoleh nilai ic50 67,42 ppm, sehingga tergolong antioksidan kuat. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol biji kesumba keling mengandung senyawa flavonoid dan memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan dengan nilai ic50 sebesar 69,425 ppm, sehingga tergolong sebagai antioksidan kuat. daftar pustaka alhabsyi, d. f., suryanto, e., dan wewengkang, d. s., 2014, aktivitas antioksidan dan tabir surya pada ekstrak kulit buah pisang goroh (musa acuminate l), pharmacon j. ilmiah farmasi, 3(2), 107-114. burda, s., dan oleszek, w., 2001, antioxidant and antiradical activities of flavonoids, j. agric. and food chem., 49(6), 2774-2779. conde, e., cadahia, m. c., vallejo, g., simon, b. e. d., dan adrados, j. r. g., 1997, low molecular weight polyphenol in cork of quercus suber, j. agric. and food chem., 45(7), 2695-2700. gardjito m., 2013, bumbu, penyedap, dan penyerta masakan indonesia, pt. gramedia pustaka utama, jakarta. harbone j. b., 2006, metode fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan, terjemahan dari: phytochemical method, penerjemah; padmawinata k., soediro i., itb, bandung. mahardika, r., roanisca, o., 2018, aktivitas antioksidan dan fitokimia dari ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum). indo. j. chem. res., 5(2), 6974. molyneux, p., 2004, the use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazil (dpph) for estimating antioxidant activity, j. sci. technol., 26(2), 211–219. mira e., anggraini d., sukmayani p., 2013, formulasi sediaan pewarna bibir dari ekstrak etanol biji buah kesumba keling (bixa orellana l), jurnal scientia, 3(1), 2934. mulyani, w., idiawati, n., dan gusrizal, 2013, aktivitas antioksidan ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol kulit buah jeruk sambal (citrus microcarpa bunge), jurnal kimia khatulistiwa, 2(2), 90-94. nafisah, m., tukiran, suyanto, hidayati, n., 2017, skrining fitokimia dan analisis kromatografi lapis ekstrak tanaman patikan kebo (euphorbiae hirta l), medicamento, 3(2), 61-70. prakash, a., 2001, antioxidant activity, medallion laboratories: analytical progress, 19(2), 1-4. pujilestari t., 2014, pengaruh ekstraksi zat warna alam dan fiksasi terhadap ketahanan luntur warna pada kain batik katun, dinamika kerajinan dan batik, 31(1), 31-40. purwaningsih, d., 2013, pemanfaatan biji tanaman kesumba (bixa orellana l) sebagai pewarna alami dan antioksidan (vitamin c) untuk pembuatan kue bolu dari berbagai macam tepung, skripsi, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, universitas muhammadiyah surakarta, solo. rustiah, w., umriani, n., 2018, uji aktivitas antioksidan pada ekstrak buah kawista (limonia acidissima) menggunakan spektrofotometer uv-vis., indo. j. chem. res., 6(1), 22-25. sadikin, m., 2008, radikal bebas harus dikendalikan, media indonesia, 27 februari 2008, hal. 17. suhaling, s., 2010, uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol kacang merah (phaseolus vulgaris l) dengan metode dpph, skripsi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas islam negeri alauddin, makassar. tiwari, p., kumar, b., kaur, m., kaur, h., 2011, phytochemical screening and extraction: a review, internationale pharmaceutica scienciea, 1(1), 96-106. widianingsih, m., 2016, aktivitas antioksidan ekstrak metanol buah naga merah (hylocereus polyrhizy (f.a.c. weber) britton & rose) hasil maserasi dan dipekatkan dengan kering angin, jurnal wiyati, 3,(2), 146-150. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 127-1406 1 127 pemodelan homologi komparatif fabp belalang kembara (locusta migratoria) dengan phyre2 dan skrining virtual inhibitor potensial comparative homology modeling of fatty-acid binding protein (fabp) from locusta migratoria using phyre2 and virtual screening for potent inhibitors fredy z. saudale*, irenes r.s. suatu program studi kimia, fakultas sains dan teknik , universitas nusa cendana, jl. adisucipto, penfui, kupang, ntt *corresponding author, e-mail: fredy_saudale@staf.undana.ac.id received: nov. 2019 published: jan. 2020 abstract the outbreak of locusta migratoria has caused a local crisis in production and cultivation of agricultural crops in east nusa tenggara province. fabp (fatty acid-binding protein) plays an important role in transporting fatty acids from cytoplasm into mitochondria to generate atp energy for locusta to fly and migrate. fabp inhibition is an attractive strategy to be exploited for novel insecticide development. comparative homology modeling using phyre2 had been used to generate two fabp models built from desert locusta (schistocerca gregaria, 98% percent identity) and mice (mus musculus, 40% percent identity) fabp protein as templates. both fabp models showed an acceptable quality of stereochemistry and structural energy with lower atomic clash scores after refinement. virtual screening identified potent inhibitor candidates with highest affinity energies which are (i) a heterocyclic compound c00628966 (-10.2 kcal/mol) and (iii) an imidazole derivative c15721579 (-8.5 kcal/mol) that were stabilized through a hydrogen bond with ser53 also (iii) a pyrimidine derivative c73698912 (-8.1 kcal/mol) stabilized through hydrogen bonds with thr57, thr62 and ser55. their interactions resemble inhibitors that have been known to inhibit homologous fabp in humans. therefore, these compounds warrant further in vitro validation and assay for development of selective insecticides to control locusta population. keywords: locusta migratoria, fabp, modelling, phyre2. pendahuluan dalam rangka pemanfaatan lahan kering kepulauan untuk mendukung produksi dan ketahanan pangan di nusa tenggara timur (ntt), tantangan dan hambatan berupa ledakan hama belalang kembara (locusta migratoria) masih terus dijumpai dan belum dapat dituntaskan hingga saat ini (lassa, 2017). belalang kembara secara berkala menimbulkan kerugian diberbagai komoditas budidaya pertanian seperti padi dan jagung (lassa, 2017). insektisida yang umum dan paling banyak digunakan dipasaran terhadap serangan hama belalang kembara saat ini mengandung senyawa-senyawa kimia aktif yang termasuk dalam golongan karbamat, organofosfat dan piretroid (nawaz dkk., 2016). namun demikian kekurangan dari insektisida golongan karbamat, organofosfat, piretroid dan organoklorin yang bersifat neuroaktif adalah efek toksisitasnya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (cortés-eslava dkk., 2018). selain itu, resistansi serangga terhadap golongan insektisida tersebut juga telah dilaporkan terus meningkat (yang dkk., 2009). oleh karenanya adalah suatu urgensi untuk mengembangkan insektisida dengan target molekul yang baru. fatty acid binding protein (fabp) berpotensi untuk dikembangkan sebagai target protein baru dalam desain dan pengembangan insektisida yang selektif. fabp berperanan penting dalam mengangkut asam lemak untuk disimpan sebagai trigliserida (tg) di lipid droplet sitoplasma maupun untuk diproses sebagai substrat beta oksidasi menghasilkan energi atp di mitokondria (hotamisligil dan bernlohr, 2015). substrat dari fabp belalang kembara adalah asam lemak oleat yang berinteraksi pada kantong pengikatan melalui ikatan hidrogen dengan residu arg109, arg129 dan tyr131 dan beberapa residu fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 128 non polar melalui ikatan hidrofobik (lücke dkk., 2006). inhibisi aktivitas fabp oleh senyawa kimia disitus tempat pengikatan substrat asam oleat dapat diprediksikan menurunkan suplai energi dan menghambat kemampuan terbang dan migrasi dari belalang kembara tersebut. gambaran mekanisme inhibisi fabp belalang kembara bisa didapatkan dari informasi penghambatan pada fabp manusia yang merupakan protein homolog dan memiliki kekerabatan secara evolusi. secara evolusi, protein homolog adalah protein dari organisme lain yang mempunyai kemiripan sekuen asam amino dengan protein target dan berasal dari leluhur yang sama (common ancestor). jika struktur protein yang mempunyai kemiripan dengan protein target sudah dielusidasi secara eksperimental maka struktur 3d protein target bisa diprediksi berdasarkan urutan asam aminonya. hal ini didasarkan atas prinsip bhawa kemiripan sekuen asam amino yang tinggi ini mengimplikasikan kemiripan struktur 3d protein dan juga fungsinya (r shenoy dan jayaram, 2010). sekuen asam amino fabp belalang kembara menunjukkan kemiripan sebesar 65% dan 64% dengan fabp jantung dan adiposa manusia. identifikasi inhibitor fabp jantung dan adiposa manusia telah banyak dieksplorasi dalam riset pengembangan obat diabetes (beniyama dkk., 2013, cai dkk., 2015, floresta dkk., 2017, wang dkk., 2016). hal ini dilakukan dengan memanfaatkan ketersediaan informasi struktur 3d protein fabp baik yang didapatkan melalui eksperimen kristalografi sinar x, nmr maupun pemodelan komputasional (in silico) atau yang dikenal dengan pendekatan structure-based drug design (sbdd) (kalyaanamoorthy dan chen, 2011, lounnas dkk., 2013, t. wang dkk., 2016). turunan pirazol, oxazol, imidazol, indol, tiazol, karbamoil dan pirimidin telah dilaporkan menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap fabp adiposa manusia (floresta dkk., 2017, wang dkk., 2016). sebagai contoh senyawa asam 2-({[(3,5-diklorofenil) karbamoil] metil} sulfanill) asetat menunjukkan karakteristik inhibisi yang kuat dan spesifik terhadap fabp adiposa manusia (cai dkk., 2010). residu arg126 dan tyr128 pada kantong pengikatan fabp adiposa manusia diketahui memainkan peran penting dalam interaksi ikatan hidrogen. misalnya, arg126 bertindak sebagai hidrogen donor ikatan untuk berinteraksi dengan gugus karboksil dan sulfon senyawa inhibitor. asam amino phe16 dan ser53 juga memainkan peran penting dalam afinitas dan selektivitas. asam amino phe16 membentuk interaksi π-π dengan cincin aromatik melalui bantuan residu ser53. sehingga dengan demikian informasi tentang asam-asam amino penting dikantong pengikatan fabp homolog dari manusia ini yang menunjukkan interaksi dengan kandidat senyawa inihibitor dapat menjadi petunjuk dalam mengidentifikasi senyawa inhibitor baru terhadap fabp dari belalang kembara menggunakan pendekatan sbdd seperti pemodelan komputasional (in silico), penapisan virtual (virtual screening) maupun penambatan molecular (molecular docking) (firdaus dkk., 2017; floresta dkk., 2019, gaspersz dan sohilait, 2019; khan dkk., 2016, la kilo dkk., 2019, macalino dkk., 2015). namun demikian walaupun pendekatan sbdd telah diterapkan secara luas dalam riset bidang farmasi, aplikasinya dalam penelitian di bidang agrokimia masih belum banyak ditemui (lamberth dkk., 2013). selain itu sampai saat ini belum pernah ada penelitian yang menerapkan prinsip sbdd dalam mengidentifikasi inhibitor potensial terhadap fabp belalang kembara untuk pengembangan insektisida baru yang selektif. oleh sebab itu dalam penelitian ini pemodelan homologi komparatif dengan phyre2 akan digunakan dengan tujuan untuk (i) membangun model protein target fabp belalang kembara in silico menggunakan templat fabp belalang gurun dan mencit yang kemudian akan digunakan dan (ii) untuk mengidentifikasi kandidat-kandidat inhibitor melalui virtual screening serta docking. penelitian ini merupakan tahap awal (preliminary) yang bertujuan untuk mendapatkan senyawasenyawa kandidat insektisida yang direkomendasikan untuk divalidasi dan diujikan lebih lanjut secara in vitro di laboratorium maupun on field di lapangan. implikasi keterbaruan dari penelitian ini tertuju pada penerapan pendekatan pemodelan komputasional (in silico) sbdd dalam tahaptahap awal riset desain dan pengembangan insektisida untuk aplikasi di bidang pertanian dan ketahanan pangan terhadap hama penyakit secara khusus belalang kembara. kelebihan sbdd yang dibantu teknologi komputasional adalah dalam menawarkan pendekatan baru yang lebih rasional, prediktif, iteratif, cepat, ramah lingkungan yang mendukung kampanye green chemistry dengan fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 129 resiko kecil serta biaya murah dalam riset agrokimia (shanmugam dan jeon, 2017). metodologi perangkat keras (hardware) seperangkat laptop hp pavilion x360 convertible signature edition sistem operasi 64bit dengan spesifikasi prosesor interl(r) core(tm) i5-6200u cpu @2.30ghz 2.40ghz, ram 8 gb, harddisk 930 gb. perangkat lunak (software) pyrx-python prescription 0.8 (the scripps research institute), poseview versi 1.1.2 (biosolveit gmbh, germany) dan pymol molecular graphics system versi 2.2.3. (the schrodinger llc, new york). prosedur kerja mendapatkan sekuen protein target dan analisis penjajaran sekuen jamak sebanyak 134 asam amino protein fabp belalang kembara (locusta migratoria) didapatkan dari database uniprotkb (https://www.uniprot.org/) dan disimpan dalam format file fasta (consortium, 2014). analisis penjajaran sekuen jamak antara fabp otot terbang belalang kembara (locusta migratoria, kode uniprotkb: p41509), fabp otot terbang belalang gurun (schistocerca gregaria, kode uniprotkb: p41496), fabp jantung sapi (bos taurus, kode uniprotkb: p10790), fabp adiposa mencit (mus musculus, kode uniprotkb: p04117) dan fabp jantung manusia (homo sapiens, kode uniprokb: p05413, pdb: 5hz9) dilakukan menggunakan clustal omega (sievers dan higgins, 2018). pemodelan homologi komparatif sekuen asam amino fabp belalang kembara dijadikan sebagai input (query) untuk memulai pemodelan homologi komparatif menggunakan webserver phyre2 dengan mode default normal di http://www.sbg.bio.ic.ac.uk/phyre2 (kelley dkk., 2015). evaluasi, validasi dan penyempurnaan model 3d fabp belalang kembara yang dibangun tidak lepas dari kesalahan (error) secara stereokimia maupun energi. server prosa (wiederstein dan sippl, 2007), molprobity (chen dkk., 2010) dan saves (structure analysis and verification server) v5.0 yang berisi lima program verifikasi struktural yaitu verify 3d (eisenberg dkk., 1997), errat (colovos dan yeates, 1993), prove (pontius, richelle, dan wodak, 1996), procheck (laskowski, macarthur, moss, dan thornton, 1993) dan whatcheck (hooft, 1996) digunakan untuk mengevaluasi dan memvalidasi model protein. model protein fabp belalang kembara yang telah dievaluasi dan divalidasi kemudian disempurnakan menggunakan galaxy refine (heo dkk., 2013). skrining virtual dan docking tahap i (penapisan fragmen) dock blaster yang menerapkan algoritma docking dock 3.6 digunakan untuk skrining pendahuluan sebanyak 1.611.889 senyawa fragmen kimia yang terdapat di dalam kategori subset #12 clean fragments dari database zinc terhadap model protein fabp belalang kembara yang telah dibangun menggunakan templat belalang gurun dan mencit. tahap ii (validasi) sebanyak 500 senyawa fragmen yang telah didapat dari hasil virtual screening dengan dock blaster selanjutnya diverifikasi dan dikonfirmasi dengan melakukan re-docking menggunakan server mti open screen (labbé dkk., 2015). input data menggunakan model protein fabp belalang kembara dalam file pdb dan 500 senyawa fragmen dalam format file sdf (structure data file). situs aktif dan kantong pengikatan fabp ditentukan berdasarkan atas residu-residu asam amino yang terdapat disitus aktif antara lain yaitu phe17, tyr20, met21, gly34, ile41, leu77, arg108, ile117, ile119, arg128, tyr130. sebanyak 10 top senyawa fragmen kemudian dipilih berdasarkan skor redocking dalam bentuk besaran energi afinitas (kkal/mol), kesesuaian konformasi dan orientasi (pose) fragmen di situs aktif dan kantong pengikatan, juga banyaknya interaksi hidrogen dan hidrofobik yang terbentuk. tahap iii: farmakofor, penapisan dan docking senyawa kandidat top fragmen yang didapatkan dari hasil virtual screening dengan model protein fabp belalang kembara menggunakan templat belalang gurun dan mencit kemudian dianalisis fitur-fitur farmakofornya menggunakan pharmagist fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 130 (schneidman-duhovny dkk., 2008). model farmakofor yang telah dibangun kemudian digunakan untuk melakukan virtual screening senyawa-senyawa kandidat (berat molekul 300500 gram/mol) menggunakan pharmit (sunseri dan koes, 2016) dengan database dari zinc purchasable. maksimun 10 senyawa top kandidat yang didapatkan kemudian di docking menggunakan pyrx (dallakyan dan olson, 2015) untuk mengetahui besarnya energi afinitas (kkal/mol) dan interaksi hidrogen juga hidrofobik yang terbentuk secara 2d menggunakan poseview (stierand dan rarey, 2010) dan 3d dengan pymol (seeliger dan de groot, 2010). hasil dan pembahasan untuk mendapatkan templat protein yang akan digunakan dalam membangun struktur 3d fabp belalang kembara menggunakan pemodelan homologi komparatif phyre2 berdasarkan tingkat kemiripan susunan asam aminonya maka dilakukan penjajaran sekuen jamak menggunakan clustal omega. didapatkan bahwa residu asam amino fabp otot belalang tabel 1. karakteristik cetakan (template) protein yang digunakan dalam pemodelan struktur 3d fabp belalang kembara menggunakan phyre2 no organisme nama protein kode pdb % confidence % identity apo/holo eksperimen jumlah residu referensi 1. belalanggurun (schistocerca gregaria) fabp otot terbang 1ftp 100% 98% apo x-ray, 2,2 å 133 (haunerland dkk., 1994) 2. mencit (mus musculus) fabp jaringan lemak 1g7n 100% 40% apo x-ray, 1,5 å 131 (reese dan banaszak, 2004) gambar 1. analisis penjajaran sekuen jamak antara asam amino fabp otot terbang belalang kembara (locusta migratoria,), fabp otot terbang belalang gurun (schistocerca gregaria), fabp jantung sapi (bostaurus), fabp jaringan adiposa mencit (mus musculus) dan fabp jantung manusia (homo sapiens). fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 131 kembara memiliki persen kesamaan yang tinggi dengan fabp otot belalang gurun yaitu sebesar 97,74%, dengan fabp jantung sapi 39,69%, dengan fabp jaringan lemak mencit 38,93% dan dengan fabp jantung manusia 39,39% (gambar 1). terlihat asam-asam amino yang berperanan penting dalam berinteraksi dengan substrat asam lemak seperti thr63, arg 109, arg129, tyr130 yang membentuk ikatan hidrogen tampak lestari (conserved) pada fabp dari semua organisme (lücke dkk., 2006). sementara itu ser56 yang juga berperan dalam membentuk ikatan hidrogen tampak lestari pada fabp belalang kembara, belalang gurun dan mencit, namun bermutasi secara sinonim menjadi thr56 pada fabp sapi dan manusia. asam-asam amino non polar yang menstabilkan rantai alifatik dari asam lemak seperti phe18, met22, pro40, ile106 melalui interaksi hidrofobik juga terlihat lestari pada fabp dari semua organisme. informasi ini tidak hanya menunjukkan bagaimana asam-asam amino tersebut berperanan sangat esensial dalam menstabilkan interaksi dengan substrat asam lemak, tapi juga menjadi petunjuk dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa kimia baru yang dapat menunjukkan interaksi yang sama dengan residu asam amino tersebut. senyawasenyawa kimia yang dapat menunjukkan interaksi yang sama dengan residu asam amino yang berinteraksi dengan substrat asam lemak berpotensi menjadi kompetitor bagi substrat asam lemak tersebut dengan demikian dapat dikembangkan menjadi inhibitor fabp belalang kembara. ini yang nanti menjadi dasar dalam pemilihan senyawa kandidat inhibitor melalui virtual screening dan docking. berdasarkan analisis penjajaran sekuen jamak maka dipilih fabp belalang gurun dan mencit sebagai templat atau cetakan yang akan digunakan untuk membangun model fabp belalang kembara (tabel 1). fabp otot belalang gurun dengan persentase asam amino yang identik sebesar 97,74% diperoleh dari hasil eksperimen kristalografi sinar x dengan resolusi 2,2 å tanpa adanya ligan (apo) pada struktur kristalnya (haunerland dkk., 1994). sementara itu fabp adiposa mencit sebesar 38,93% didapatkan hasil eksperimen kristalografi sinar x dengan resolusi 1,5 å juga dengan tanpa adanya ligan (aolo) pada struktur kristalnya (reese dan banaszak, 2004). kedua tempat ini dipilih untuk mempelajari pengaruh (i) persentase kesamaan asam amino dan (ii) kualitas resolusi kristal yang didapatkan melalui eksperimen kristalografi sinar x terhadap kualitas model fabp belalang kembara yang model 3d fabp belalang kembara yang didapatkan menggunakan dua templat tersebut diatas dievaluasi dan divalidasi kualitas strukturnya yang kemudian disempurnakan. tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan penyempurnaan dengan galaxy refine, model fabp belalang kembara yang dibangun menggunakan templat mencit menunjukkan nilai gambar 2. fitur farmakofor dari 10 top fragmen yang didapatkan dari skrining virtual model fabp belalang kembara yang dibanun dengan template (a) belalang gurun, (b) mencit. fitur bulatan yang berwarna merah menunjukkan atom bermuatan negatif, biru menunjukkan atom bermuatan positif, kuning menunjukkan atom penerima ikatan hidrogen. fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 132 molprobity yang lebih rendah yakni 1,38, clash score 6,82, poor rotamers (konformasi rantai samping yang tidak disenangi secara energi struktural) 0,00, serta rama favoured (jumlah asam amino yang menempati wilayah yang disenangi pada diagram ramachandran) sebesar 91,4% dibandingkan yang dengan templat belalang gurun. hal ini kemungkinan menunjukkan bagaimana kualitas resolusi kristal protein menentukan kualitas model yang didapatkan. templat mencit mempunyai resolusi kristal yang lebih baik yakni 1,5 å dibandingkan templat belalang gurun sebesar 2,2 å. akurasi dan ketepatan analisis struktur kristal bergantung pada limit resolusi dari kristal dalam rentang 1,53,0 å (shi, 2014). struktur kristal yang teratur dan baik mempunyai limit resolusi yang kecil, dan sebaliknya untuk yang tidak teratur dan kurang baik mempunyai limit resolusi yang besar. semakin bagus resolusi tidak hanya atom-atom rantai utama (c, n, o) saja yang bisa terlihat secara detail tapi juga atom h dari rantai samping, tabel 1. karakteristik cetakan (template) protein yang digunakan dalam pemodelan struktur 3d fabp belalang kembara menggunakan phyre2 no organisme nama protein kode pdb % confidence % identity apo/holo eksperimen jumlah residu referensi 1. belalanggurun (schistocerca gregaria) fabp otot terbang 1ftp 100% 98% apo x-ray, 2,2 å 133 (haunerland et al., 1994) 2. mencit (mus musculus) fabp jaringan lemak 1g7n 100% 40% apo x-ray, 1,5 å 131 (reese & banaszak, 2004) tabel 2. evaluasi danvalidasi 3 model fabp belalang kembara menggunakan template fabp belalang gurun, sapi dan mencit sebelum dan sesudah penyempurnaan dengan galaxy refine template galaxy refine verify 3d errat prove prosa molprobity clash score poor rotamer rama favored belalang gurun sebelum 100% 98,4 % 3,3 % -5,35 2,55 13,55 13,04 90,7% sesudah 81,95% 98,2% 4,5 % -5,79 1,12 3,27 0,87 95,8% adiposa mencit sebelum 100% 95,87% 3,5% -8,3 1,38 6,82 0,00 91,4% sesudah 100% 100 3,6% -8,33 1,18 3,89 0,00 96,6% tabel 3. top hit senyawa kandidat inhibitor hasil virtual screening zinc pharmer dengan fitur farmakofor fragmen kimia yang berinteraksi dengan model fabp belalang kembara menggunakan template belalang gurun. no zinc id & nama struktur energi afinitas (kkal/mol) atom non hidrogen efisiensi ligan residu fabp yang berinteraksi 1. c73698912 2-{[2(diphenylamino)6-(4methoxyphenyl) pyrimidin-4-yl] oxy} acetic acid -8,1 32 0,26 thr57, thr62, ser55, met21, pro39, gly34, leu77 fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 133 bahkan molekul air. semakin buruk resolusi maka sangat sulit untuk mendapatkan gambaran yang benar dari struktur kristal protein yang akan menjadi masalah besar jika digunakan sebagai templat dalam pemodelan homologi komparatif. namun demikian, setelah penyempurnaan dengan galaxy refine model fabp belalang kembara yang dibangun dari templat belalang gurun mengalami perbaikan nilai prove menjadi 4,5%, prosa -5,79, molprobity 1,12, clash score 3,27, poor rotamers 0,87, dan rama favoured sebesar 95,8%. demikian juga model fabp belalang kembara yang dibangun dengan templat mencit juga mengalami perbaikan pada nilai errat menjadi 100%, prove 3,6%, molprobity 1,18, clash score 3,89, dan asam amino yang menempat wilayah yang disukai pada plot ramachandran sebesar 96,6%. dari data ini dapat dikatakan bahwa penyempurnaan dapat memperbaiki error stereokimia maupun energi struktural dari model yang dibangun dari kualitas templat yang berbeda. galaxy refine menyempurnakan model dengan melakukan pengepak ulang rantai samping dengan melakukan minimisasi struktur melalui simulasi dinamika molekuler singkat selama 0,2 ps secara berulang (iteratif yang mampu merelaksasi, mengurangi ketegangan struktur dan meminimalkan energinya (heo et al., 2013). ketegangan struktur dapat meningkatkan benturan atom yang akan mempengaruhi kemampuan senyawa kandidat inhibitor untuk menambat di kantong pengikatan sehingga bisa mempengaruhi interpretasi hasil virtual screening dan docking. hasil skrining virtual dengan dock blaster, dan validasi menggunakan mti open screen didapatkan 10 top fragmen yang berinteraksi dengan model fabp belalang kembara distus aktif pengikatan. untuk model fabp yang dibangun dengan templat belalang gurun diperoleh 10 fragmen kimia terbaik berdasarkan rentang energi afinitas dari -7,8 hingga -8.0 kkal/mol serta ketepatan pose atau konformasi pengikatan dengan protein. dari ke 10 top fragmen ini kemudian dilakukan analisis farmakofor yang merupakan sekumpulan fitur sterik dan elektronik yang diperlukan untuk memastikan interaksi yang optimal antara ligan dengan protein target yang bertujuan untuk menginduksi atau menginhibisi respons biologisnya (koes, 2016). analisis farmakofor dari ke-10 top fragmen tersebut menunjukkan kesamaan fitur farmakofor yang dimiliki yaitu 2 cincin aromatik, 1 atom bermuatan positif, 1 atom bermuatan negatif, dan 2 akseptor hidrogen. (gambar 2a). fitur-fitur farmakofor yang dihasilkan ini kemudian digunakan sebagai input untuk melakukan skrining virtual dengan pharmit terhadap senyawa-senyawa kandidat (300-500 dalton) yang ada di dalam database zinc purchasable tabel 4. interaksi 2d dan 3d antara senyawa kandidat terbaik dengan model fabp belalang kembara yang dibangun menggunakan template belalang gurun fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 134 (sunseri dan koes, 2016). skrining virtual farmakofor ini dengan database zinc purchasable mendapatkan satu senyawa kandidat baru c73698912 dengan berat molekul 427,48 gram/mol yang merupakan turunan dari pirimidin (tabel 3). docking c73698912 dengan model fabp belalang kembara yang dibangun dengan templat belalang gurun memberikan energi afinitas sebesar -8,1 kkal/mol. 7. c72171575 2-(5-methyl-2-phenyl1h-imidazole-4carbonyl)-2,8diazaspiro[4.5]decane3-carboxylic acid -6,7 27 0,25 ser53, ile62, gln93, val75 tabel 5. top hit senyawa kandidat inhibitor hasil virtual screening zinc pharmer dengan fitur farmakofor fragmen yang berinteraksi dengan model fabp belalang kembara menggunakan template mencit no zinc id & nama struktur energi afinitas (kkal/mol) atom non hidrogen efisieni ligan residu fabp yang berinteraksi 1. c00628966 (2-carboxyethyl)triazahexacyclo, tricosa-undecaen-4ylium -10,2 28 0,36 ser53, phe16, val75, val115, gln93 2. c15721579 (2s)-2-acetamido-3[1(triphenylmethyl)1h-imidazol-4-yl] propanoic acid -8,5 33 0,26 ser53, tyr19, arg126, cys117, ile104, met20 3. c13640660 (3z)-3-(1h-1,3benzodiazol-2-yl)-4(4-bromophenyl) but-3-enoic acid -8,3 27 0,31 ser53, phe16, ile104, val75 4. c36208749 3-[1(triphenylmethyl)1h-imidazol-4yl]propanoic acid -8,3 29 0,29 ser53, met20, gln95, val75, val23, phe16 5. c77291184 4-[[2-butyl-5-(2,2dicarboxyvinyl)-1himidazol1yl)methylbenzoic acid -8,2 27 0,30 thr60, ser53, phe16, val15, ile104 6. c72127248 2-[2-(1-methyl-1himidazol-2-yl) benzoyl]-2,8diazaspiro [4.5] decane-3carboxylic acid -7,0 27 0,26 ser53, phe16, val75, phe16, met20, ile26, thr60 fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 135 tabel 6. interaksi 2d dan 3d antara senyawa kandidat terbaik dengan model fabp belalang kembara yang dibangun menggunakan template mencit fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 136 fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 137 ikatan ini distabilkan melalui ikatan hidrogen antara gugus karboksiltat dengan thr57, thr62, ser55 dengan jarak masing-masing 3,2å, 3,2å dan 2,2å serta melalui interaksi hidrofobik met21, pro39, gly34 dan leu77 (tabel 4). interaksi senyawa c73698912 dengan fabp belalang kembara menyerupai perilaku interaksi antara inhibitor turunan karbamoil dengan fabp adiposa manusia dimana ikatan hidrogen yang terbentuk oleh ser55 berperanan penting dalam afinitas dan selektifitas (cai et al., 2010). namun berbeda dengan senyawa turunan pirimidin yakni 4-hidroksipirimidin yang telah didapati sebgai inhibitor fabp4 yang cukup kuat dan selektif oleh (ringom et al., 2004), analisis struktur kristal menunjukkan bahwa gugus hidroksil pada pirimidin membentuk interaksi hidrogen dengan tyr128 dan arg126 dengan cara yang mirip dengan gugus karboksilat dari substrat asam lemak rantai panjang. sementara itu cincin aromatik terletak pada kanting lipofilik yang diisi oleh residu phe16, met20, val23, ala33, phe57, dan ala75. sementara itu untuk model fabp belalang kembara yang dibangun dengan templat dari mencit didapatkan 10 top fragmen terbaik berdasarkan rentang energi afinitas dari -8,2 hingga -9.0 kkal/mol serta ketepatan pose atau konformasi pengikatan dengan protein. kesepuluh top fragmen memiliki fitur farmakofor sebanyak 2 cincin aromatik, 2 hidrogen askeptor, 1 atom bermuatan positif dan 1 atom bermuatan negatif (gambar 2b). skrining virtual farmakofor 10 top fragmen yang berinteraksi dengan fabp belalang kembara yang dibangun dengan template mencit diperoleh tujuh (7) senyawa kandidat inhibitor yaitu c00628966, c15721579, c13640660, c36208749, c77291184, c72127248 dan c72171575 dengan energi afinitas secara berturut-turut ialah -10,2 kkal/mol, -8,5 kkl/mol, -8,3 kkal/mol, -8,3 kkal/mol, -8,2 kkal/mol, -7,0 kkal/mol dan -6,7 kkal/mol (tabel 5). beberapa senyawa kandidat ini merupakan turunan imidazol (c15721579, c36208749, c77291184, c72127248, c72171575) dan benzodiazol (c13640660). senyawa-senyawa kandidat tersebut distabilkan oleh ser53 dan thr60, melalui interaksi hidrogen dan phe16, val75, val23, val115, ile26, ile62, gln95, gln93, tyr19, arg126, cys117, ile104, met20 melalui interaksi hidorofobik (tabel 6). sejalan dengan hasil yang didapatkan, inhibitor turunan imidazol terhadap protein fabp yang pernah didapatkan adalah bms309403 yang juga menunjukkan bagaimana residu asam amino ser53 berperanan penting dalam menstabilkan afinitas ikatan intrinsik dengan cincin azol (sulsky et al., 2007). semua kandidat inhibitor yang telah didapatkan menunjukkan afinitas yang tinggi dengan model fabp belalang kembara dibandingkan dengan afinitas fabp dengan substrat asli asam oleat (-5,5 kkal/mol). hal ini menunjukkan bahwa semua kandidat inhibitor dapat menjadi kompetitor bagi substrat asam oleat. ini dapat dihipotesiskan dengan masuknya senyawa kandidat inhibitor maka akan menghalangi transport asam lemak oleh fabp ke mitokondria menghasilkan energi. sehingga diprediksi inhibisi tersebut dapat mempengaruhi kemampuan terbang dan bermigrasi dari belalang kembara. namun demikian hipotesis ini serta fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 138 prediksi in silico interaksi senyawa inhibitor disitus aktif fabp belalang kembara masih perlu ditindaklanjuti melalui validasi dan pengujian in vitro di laboratorium. kesimpulan pemodelan homologi komparatif menggunakan phyre2 menghasilkan dua model fabp belalang kembara yang dibangun menggunakan templat belalang gurun dan mencit. model fabp yang dibangun menunjukkan kualitas stereokimia dan energi struktural dengan batasan nilai yang bisa diterima setelah dilakukan penyempurnaan. virtual screening dan docking model fabp belalang kembara mendapatkan senyawa turunan pirimidin, imidazol dan benzodiazol sebagai kandidat senyawa inhibitor yang menunjukkan afinitas yang tinggi serta konformasi yang menyerupai inhibitor yang serupa yang telah diketahui aktivitasnya terhadap protein fabp homolog pada manusia. hasil ini menunjukkan bahwa pendekatan sbdd melalui pemodelan komputasional, virtual screening dan docking dapat diterapkan pada tahap awal riset desain dan pengembangan insektisida yang selektif untuk mendapatkan senyawa-senyawa kandidat yang menunjukkan interaksi yang mirip dengan inhibitor komersial untuk dapat direkomendasikan menuju tahap pengujian dan validas lebih lanjut secara in vitro maupun in vivo. daftar pustaka beniyama, y., matsuno, k., miyachi, h., 2013, structure-guided design, synthesis and in vitro evaluation of a series of pyrazole-based fatty acid binding protein (fabp) 3 ligands, bioorg.med. chem. lett., 23(6), 1662–1666. cai, h., liu, q., gao, d., wang, t., chen, t., yan, g., chen, k., xu, y., wang, h., li, y., 2015, novel fatty acid binding protein 4 (fabp4) inhibitors: virtual screening, synthesis and crystal structure determination, eur. j. med. chem., 90, 241–250. cai, h., yan, g., zhang, x., gorbenko, o., wang, h., zhu, w., 2010, discovery of highly selective inhibitors of human fatty acid binding protein 4 (fabp4) by virtual screening, bioorg.med. chem. lett, 20(12), 3675–3679. chen, v. b., arendall, w. b., headd, j. j., keedy, d. a., immormino, r. m., kapral, g. j., murray, l. w., richardson, j. s., richardson, d. c., 2010, molprobity: allatom structure validation for macromolecular crystallography, acta. crystallogr. d. biol. crystallogr., 66(1), 12– 21. consortium, u., 2014, uniprot: a hub for protein information, nucleic. acids. res., 43(d1), d204–d212. cortés-eslava, j., gómez-arroyo, s., risueño, m. c., testillano, p. s., 2018, the effects of organophosphorus insecticides and heavy metals on dna damage and programmed cell death in two plant models. environmental pollution, 240, 77–86. dallakyan, s., olson, a. j., 2015, small-molecule library screening by docking with pyrx. in chemical biology (pp. 243–250). springer. firdaus, f., dali, s., rusman, h. j., 2017, imobilisasi enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) pada karbon aktif: karakterisasi, dan uji stabilitas kerja enzim imobil, indo. j. chem. res., 5(1), 32–36. floresta, g., gentile, d., perrini, g., patamia, v., rescifina, a., 2019, computational tools in the discovery of fabp4 ligands: a statistical and molecular modeling approach, mar. drugs., 17(11), 624. floresta, g., pistara, v., amata, e., dichiara, m., marrazzo, a., prezzavento, o., rescifina, a., 2017, adipocyte fatty acid binding protein 4 (fabp4) inhibitors. a comprehensive systematic review, eur. j. med. chem., 138, 854–873. gaspersz, n., sohilait, m. r., 2019, penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor α-amilase pankreas manusia. indo. j. chem. res., 6(2), 59–66. haunerland, n. h., jacobson, b. l., wesenberg, g., rayment, i., holden, h. m., 1994, threedimensional structure of the muscle fattyacid-binding protein isolated from the desert locust schistocerca gregaria, biochemistry, 33(41), 12378–12385. heo, l., park, h., seok, c., 2013, galaxyrefine: protein structure refinement driven by sidechain repacking, nucleic. acids. res., 41(w1), w384–w388. hotamisligil, g. s., bernlohr, d. a., 2015, metabolic functions of fabps— mechanisms and therapeutic implications, nat. rev. endocrinol., 11(10), 592. kalyaanamoorthy, s., chen, y.-p. p., 2011, structure-based drug design to augment hit fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 139 discovery, drug. discov. today., 16(17–18), 831–839. kelley, l. a., mezulis, s., yates, c. m., wass, m. n., sternberg, m. j. e., 2015, the phyre2 web portal for protein modeling, prediction and analysis, nat. protoc., 10(6), 845–858. khan, f. i., wei, d.-q., gu, k.-r., hassan, m. i., tabrez, s., 2016, current updates on computer aided protein modeling and designing, int. j. biol. macromol., 85, 48– 62. koes, d. r., 2016, pharmacophore modeling: methods and applications. in w. zhang (ed.), computer-aided drug discovery (pp. 167–188). springer new york. la kilo, a., sabihi, i., la kilo, j., 2019, studi potensi pirazolin tersubstitusi 1-n dari thiosemicarbazone sebagai agen antiamuba melalui uji in silico. indo. j. chem. res., 7(1), 9–24. labbé, c. m., rey, j., lagorce, d., vavruša, m., becot, j., sperandio, o., miteva, m. a., 2015, mtiopenscreen: a web server for structure-based virtual screening, nucleic. acids. res., 43(w1), w448–w454. lamberth, c., jeanmart, s., luksch, t., plant, a., 2013, current challenges and trends in the discovery of agrochemicals, science, 341(6147), 742–746. lassa, j. a., 2017, the return of locust outbreak in sumba, indonesia: a rapid situational analysis. working paper# 17, institute of resource governance and social change (irgsc). lounnas, v., ritschel, t., kelder, j., mcguire, r., bywater, r. p., foloppe, n., 2013, current progress in structure-based rational drug design marks a new mindset in drug discovery, comput. struc. biotechnol. j., 5(6), e201302011. lücke, c., qiao, y., van moerkerk, h. t., veerkamp, j. h., hamilton, j. a., 2006, fatty-acid-binding protein from the flight muscle of locusta migratoria: evolutionary variations in fatty acid binding, biochemistry, 45(20), 6296–6305. macalino, s. j. y., gosu, v., hong, s., choi, s., 2015, role of computer-aided drug design in modern drug discovery, arch. pharm. res., 38(9), 1686–1701. nawaz, a., gogi, m. d., sufyan, m., 2016, insectpests in dryland agriculture and their integrated management, in innovations in dryland agriculture (pp. 143–186). springer. r shenoy, s., jayaram, b., 2010, proteins: sequence to structure and function-current status, curr. protein. pept. sci., 11(7), 498– 514. reese, a. j., banaszak, l. j., 2004, specificity determinants for lipids bound to β-barrel proteins, j. lipid. res., 45(2), 232–243. ringom, r., axen, e., uppenberg, j., lundbäck, t., rondahl, l., barf, t., 2004, substituted benzylamino-6-(trifluoromethyl) pyrimidin4 (1h)-ones: a novel class of selective human a-fabp inhibitors, bioorg.med. chem. lett., 14(17), 4449–4452. seeliger, d., de groot, b. l., 2010, ligand docking and binding site analysis with pymol and autodock/vina, j. comput. aided. mol. des., 24(5), 417–422. shanmugam, g., jeon, j., 2017, computer-aided drug discovery in plant pathology, plant. pathol. j., 33(6), 529. shi, y., 2014, a glimpse of structural biology through x-ray crystallography, cell, 159(5), 995–1014. sievers, f., higgins, d. g., 2018, clustal omega for making accurate alignments of many protein sequences, protein. sci., 27(1), 135– 145. stierand, k., rarey, m., 2010, poseview– molecular interaction patterns at a glance, j. cheminform., 2(s1), p50. sulsky, r., magnin, d. r., huang, y., simpkins, l., taunk, p., patel, m., zhu, y., stouch, t. r., bassolino-klimas, d., parker, r., 2007, potent and selective biphenyl azole inhibitors of adipocyte fatty acid binding protein (afabp), bioorg.med. chem. lett., 17(12), 3511–3515. sunseri, j., koes, d. r., 2016, pharmit: interactive exploration of chemical space, nucleic. acids. res., 44(w1), w442–w448. wang, t., wu, m.-b., zhang, r.-h., chen, z.-j., hua, c., lin, j.-p., yang, l.-r., 2016, advances in computational structure-based drug design and application in drug discovery, curr. top. med. chem., 16(9), 901–916. wang, y.-t., liu, c.-h., zhu, h.-l., 2016, fatty acid binding protein (fabp) inhibitors: a patent review (2012-2015), expert. opin. ther. pat., 26(7), 767–776. wiederstein, m., sippl, m. j., 2007, prosa-web: interactive web service for the recognition of fredy z. saudale dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 127 1406 1 140 errors in three-dimensional structures of proteins, nucleic. acids. res., 35(suppl_2), w407–w410. yang, m. l., zhang, j. z., zhu, k. y., xuan, t., liu, x. j., guo, y. p., ma, e. b., 2009, mechanisms of organophosphate resistance in a field population of oriental migratory locust, locusta migratoria manilensis (meyen), arch. insect. biochem. physiol., 71(1), 3–15. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1,83 87 83 extraction and identification of sulfated polysaccharide from gracilaria sp. ekstraksi dan identifikasi polisakarida bersulfat dari sayur karang gracilaria sp dominggus malle 1* , eirene grace fransina 2 , feky jansen 2 1 faculty of agriculture pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: d.malle@faperta.unpatti.ac.id received: october 2013 published: january 2014 abstract polysaccharide from gracilaria sp (locally known as “sayur karang”) was extracted using hot alkaline solutions (naoh and koh). fractionation using deae-sepharose fast flow column showed that the polysaccharide discharged after being eluted with 0.5 – 1.0 m nacl. spectroscopic analysis using ftir showed that the polysaccharide contained hydroxyl (3420 cm -1 (naoh frcation) dan 3446 cm -1 (koh frcation)), carbonyl (1642 cm -1 (naoh frcation) and 1644 cm -1 (koh frcation)) and sulphate (1271 cm -1 (naoh frcation) and 1262 cm -1 (koh frcation)) groups proving that the polysaccharide is a sulphated polysaccharide. a further study is needed to elucidate the structure of the sulphated polysaccharide as well as physiochemical properties of the polysaccharide. keywords: extraction, sulphated polysaccharide, gracilaria, ftir pendahuluan indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar dan beragam. berbagai sumberdaya hayati tersebut merupakan potensi pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru (dahuri, 2000). rumput laut sebagai salah satu komoditas ekspor merupakan sumber devisa bagi negara dan budidayanya merupakan sumber pendapatan nelayan, dapat menyerap tenaga kerja, serta mampu memanfaatkan lahan perairan pantai di kepulauan indonesia yang sangat potensial. sebagai negara kepulauan, maka pengembangan rumput laut di indonesia dapat dilakukan secara luas oleh para petani/nelayan. perkembangan penelitian rumput laut di indonesia telah dimulai sejak ekspedisi siboga yang dilakukan antara tahun 1899 1900. penelitian selanjutnya van bosse tahun 1913 1928 telah berhasil mengoleksi jenis rumput laut yang tumbuh di perairan indonesia sebanyak 555 jenis. pada penelitian van bosse tahun 1914 1916 di kepulauan kai pada ekspedisi danish menemukan sebanyak 25 jenis alga merah, 28 jenis alga hijau, dan 11 jenis alga coklat. penelitian identifikasi jenis rumput laut berlanjut pada penelitian snellius-ii tahun 1985 yang menemukan 41 jenis alga merah, 59 jenis alga hijau, dan 9 jenis alga coklat, sedangkan pada penelitian buginesia-iii pada tahun 1988 – 1990 ditemukan sebanyak 118 jenis alga merah, 80 jenis alga hijau, dan 36 jenis alga coklat (basmal, 2001). di bidang industri, ternyata pengolahan rumput laut sudah cukup lama dikenal di indonesia, meskipun dengan teknologi proses dan peralatan yang sedehana. rumput laut telah diolah menjadi beragam jenis makanan, di antaranya kue, puding, dodol, dan agar. hidroklorid yang terkandung di dalam rumput laut merupakan alasan utama untuk menjadikannya sebagai bahan baku industri kosmetik, farmasi, cat, tekstil, pakan ternak, dan industri lainnya (anggadiredja dkk, 2008). d. malle, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 83 87 84 sebagian besar rumput laut di indonesia diekspor dalam bentuk kering. bila ditinjau dari segi ekonomi, harga hasil olahan rumput laut seperti polisakarida bersulfat lebih tinggi dari pada rumput laut kering. oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai tambah dari rumput laut dan mengurangi impor akan hasil-hasil olahannya, maka pengolahan rumput laut menjadi produk polisakarida bersulfat di dalam negeri perlu dikembangkan (istini & suhaimi, 1998). polimer karbohidrat bersulfat alam dari berbagai sumber dapat memiliki banyak aktivitas fisiologis. dalam beberapa tahun terakhir, tes skrining aktivitas antivirus dari ekstrak sejumlah ganggang laut telah mengarah pada identifikasi sejumlah polimer karbohidrat yang memiliki efek penghambatan terhadap potensi virus herpes simpleks (hsv) tipe 1 dan 2, sitomegalovirus manusia, virus defisiensi kekebalan tubuh manusia tipe 1, virus pernapasan, dan virus influenza. polisakarida ini termasuk fukoidan, galaktosa bersulfat, ulvans, dan mannans. dengan demikian, potensi antivirus ekstrak polisakarida bersulfat dari alga menjadi sangat menarik, walaupun ada kekurangan informasi tentang struktur kimia dan aktivitas fisiologis (mazumber dkk, 2002; manoj dkk,2013). alga merah memiliki potensi beragam mulai dari produksi pangan sampai pada pemanfaatannya dalam bidang medis. al-fath (2011) telah melakukan penelitian terhadap alga merah jenis eucheuma alvarezii doty. hasil penelitian menunjukkan bahwa eucheuma alvarezii doty mengandung polisakarida bersulfat kasar (rendemen 58,90%), polisakarida bersulfat murni (rendemen 54,36%), polisakarida bersulfat fraksi larut dalam kcl 2,5% (rendemen 60,34%), dan polisakarida bersulfat tidak larut dalam kcl 2,5% (rendemen 34,53%). alga merah jenis gracilaria sp yang dikenal dengan nama sayur karang juga mengandung polisakarida sulfat. tetapi penelitian tentang kandungan polisakarida sulfat dalam sayur karang ini belum pernah dilakukan. sayur karang adalah salah satu spesies alga merah yang ditemukan di ambon dan sekitarnya. sesuai dengan namanya, sayur karang biasanya dimanfaatkan sebagai sayuran oleh masyarakat setempat. pemanfaatan sayur karang masih terbatas, dibandingkan potensinya di bidang farmasi dan industri lainnya. oleh karena itu analisis kandungan karbohidrat bersulfat pada “sayur karang” sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi ilmiah tentang manfaat fungsional yang dimiliki oleh “sayur karang” dan potensi pegembangannya sebagai salah satu sumber pangan fungsional. metodologi prosedur penelitian 1. ekstraksi karbohidrat bersulfat dengan larutan alkali ekstraksi polisakarida bersulfat mengikuti prosedur okajima-kaneko dkk, (2007) dengan sedikit modifikasi. sampel kering sebanyak 5 g dicuci dengan air hingga bersih, dikeringkan, dipotong kecil-kecil dan kemudian dicuci dengan etanol sebanyak 3 kali. setelah itu direndam masing-masing dalam larutan naoh 4%, 6%, dan 8% sebanyak 100 ml. campuran selanjutnya dipanaskan pada suhu 75c selama 3 jam dan kemudian dinginkan dan selanjutnya didialisis semalam. hasil dialisis disaring lalu disentrifus pada 3100 rpm selama 15 menit. hasil filtratnya diambil kemudian dirotavap pada 105 rpm dengan suhu air 60c. hasilnya dimasukkan ke dalam etanol dingin (hasil rotavap 25 ml dituangkan perlahan-lahan ke dalam wadah berisikan 100 ml etanol dingin). akan muncul seperti benang-benang dalam larutan etanol. larutan disaring dan diambil endapan/benang-benang tersebut dan kemudian larutkan dalam air. perlakuan diatas dilakukan pada sampel lain dengan menggunakan larutan koh. 2. pemurnian dengan kromatografi penukar anion hasil extraksi ini kemudian dilarutkan dalam air dan dimasukkan ke dalam kolom pertukaran ion (deae-sepharose) yang telah diekuilibrasi dengan air. elusi dilakukan dengan air dan larutan nacl 0,1 m , 0,2 m, 0,3 m, 0,4 m, 0,5 m, 1,0 m, 1,5 m, dan 2,0 m (mohsen dkk, 2007). setiap fraksi yang dikumpulkan diuji dengan metode α-naftol-h2so4. selanjutnya fraksi yang positif akan dilakukan uji dengan metode ftir untuk menentukan gugus fungsi. 3. analisis ftir fraksi deae-sepharose dari ekstraksi dengan larutan naoh dan koh yang memberikan hasil positif terbaik dengan uji αnaftol-h2so4 (dari elusi dengan konsentrasi eluen yang sama) dianalisis dengan d. malle, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 83 87 85 menggunakan metode spread on nacl window pada bilangan gelombang 4000 – 600 cm -1 dan mengacu pada standar uji astm e1252 (standard practice for general techniques for obtaining infrared spectra of organic compound for qualitative analysis). hasil dan pembahasan 1. ekstraksi polisakarida bersulfat. sampel rumput laut gracilaria sp. yang secara lokal dikenal dengan nama “sayur karang” diperoleh dari perairan hukurila, kecamatan leitimur selatan, kota ambon (gambar 1). sample basah dijemur hingga kering. selanjutnya sampel dibersihkan dengan air tawar untuk menghilangkan garam dan kotoran yang melekat. perlakukan selanjutnya adalah perendaman sampel dengan larutan etanol 96% sebanyak 3 kali. hal ini dimaksudkan untuk melarutkan komponen lemak dan menghilangkan pigment dalam sampel sehingga tidak mengganggu proses pemurnian. ekstraksi polisakarida dari sampel dilakukan secara alkalis dengan menggunakan natrium hidroksida (naoh) dan kalium hidroksida (koh) dengan variasi konsentrasi masingmasing 4%, 6% dan 8% pada suhu 75 o c selama 3 jam. ekstransi polisakarida secara alkalis merupakan salah satu metode yang umum (okajima-kaneko et al., 2007). untuk memisahkan molekul-molekul kecil dan menetralkan ph sampel maka sampel hasil ekstraksi didialisis terhadap air dengan membran selulosa dengan molecular weight cut-off (mwco) sebesar 14.000 dalton. hasil dialisis disentrifus kemudian dikonsentrasikan dengan dirotavap pada suhu 40c. hasil rotavap merupakan sampel yang terkonsentrasi dilarutkan dalam etanol dingin dan terbentuk benang-benang putih yang adalah polisakarida. cara pengengapan dalam etanol dingin merupakan metode yang lazim dalam proses isolasi karbohidrat bersulfat (boulhal et al., 2011; silva et al., 2011). 2. pemurnian polisakarida dengan kromatografi penukar ion sampel hasil dialisis selanjutnya difraksinasi dengan kolom pertukaran ion deae-sepharose fast flow. sampel difraksinasi dengan menggunakan konsentrasi nacl 0,1 m; 0,2 m; 0,3 m; 0,4 m; 0,5 m; 1,0 m; 1,5 m dan 2,0 m. analisis kualitatif dengan uji fenol-h2so4 (uji molisch) dari hasil fraksinasi menunjukkan adanya cincin warna ungu antar fasa (gambar 3 dan 4). terbentuknya cincin furfural ungu mengindikasikan adanya karbohidrat (polisakarida) dalam sampel. pemurnian polisakarida bersulfat umumnya dilakukan dengan kolom kromatografi penukar ion seperti deae-cellulose (viana et al., 2002). matriks penukar ion ini memiliki muatan positif yang akan mengikat gugus sulfat (muatan negatif) dari polisakarida bersulfat. elusi senyawa polisakarida bersulfat dari maktriks penukar ion dilakukan dengan menggunakan ion konter (counter ion) seperti cl yang ditambahkan ke dalam larutan pengelusi. 3. analisis polisakarida dengan spekroskopi ft-ir pengujian dengan ft-ir dilakukan untuk membuktikan adanya poliskarida bersulfat. spektra ir dari sampel yang diekstraksi dengan naoh dan koh memiliki bilangan gelombang yang cukup khas untuk polisakarida bersulfat (gambar 3 dan 4). signal pada 1271 cm -1 (fraksi naoh) dan 1262 cm -1 (fraksi koh) menunjukkan uluran so asimetrik. signal ini mendekati nilai 1258 cm -1 (zhang et al., 2011) dan 1260 cm -1 (moshen et al., 2007) dan berada dalam kisaran 1250 – 1370 cm -1 yaitu untuk gambar 1. sayur karang gracilaria sp. d. malle, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 83 87 86 vibrasi uluran so asimetrik dari ester sulfat (bouhlal et al., 2011). sedangkan puncak 1642 cm -1 (fraksi naoh) dan 1644 cm -1 (fraksi koh) merupakan uluran vibrasi co dari asam uronat, salah satu komponen polisakarida bersulfat. selanjutnya signal pada 3420 cm -1 (fraksi naoh) dan 3446 cm -1 (fraksi koh) merupakan indikasi gugus fungsi roh (ale et al., 2011). hasil ini menunjukkan bahwa “sayur karang (gracilaria sp) mengadung karbohidrat bersulfat. ini berarti “sayur karang” dapat dijadikan sebagai sumber polisakarida bersulfat. gambar 2.. hasil uji molisch terhadap fraksi-fraksi dari sampel yang diekstraksi dengan naoh (atas) dan koh (bawah) (keterangan: a= bilas; b= unbound; 1= 0.1 m; 2= 0,2 m; 3= 0,3 m; 4= 0,4 m; 5= 0,5 m; 6= 1,0 m; 7= 1,5 m; dan 8= 2,0 m nacl). gambar 3. spektra ftir sampel yang diekstraksi dengan larutan naoh gambar 4. spektra ftir sampel yang diekstraksi dengan larutan koh d. malle, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 83 87 87 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. polisakarida bersulfat dari sayur karang (gracilaria sp) asal ambon dapat diekstraksi dengan menggunakan larutan basa yaitu naoh dan koh. 2. hasil analisis ftir menunjukkan bahwa karbohidrat (polisakarida) pada sayur karang mengandung gugus –oh (hidroksil) dan –s=o (ester sulfat). dengan demikian sayur karang mengandung polisakarida bersulfat. adanya gugus –c-o pada polisakarida bersulfat mengindukasikan bahwa asam uronat merupakan salah satu komponen penyusun. daftar pustaka ale, m.t., maruyama, h., tamauchi, h., mikkelsen, j.d. and meyer, a.s. 2011. fucose-containing sulfated polysaccharides from brown seaweeds inhibit proliferation of melanoma cells and induce apoptosis by activation of caspase3 in vitro. mar. drug. 9: 2605-2621. al-fath, h.n. 2011. isolasi, karakterisasi, dan identifikasi polisakarida sulfat pada rumput laut jenis eucheuma alvarezii doty dari teluk waworada kabupaten bima. skripsi, jurusan kimia fmipa universitas negeri malang. anggadireja, j.t., zatnika, a., purwoto, h., & istini, s., 2008. rumput laut. penerbit penebar swadaya, jakarta basmal j. 2001. perkembangan teknologi riset penanganan pasca panen dan industri rumput laut. forum rumput laut. jakarta: pusat riset pengolahan produk dan sosial ekonomi kelautan dan perikanan. departemen kelautan dan perikanan. hlm 16-22. boulhal, r., haslin, c., chermann, j.c., colliecjouault, s., singuin, c., simon, g., carentola, s., riadi, h. and bourgougnon, n. 2011. antiviral activities of sulfated polysaccharides isolated from sphaerococcus coronopifolius (rhodophytha, gigartinales) and boergeseniella thuyoides (rhodophyta, ceramiales), mar. drugs 9: 1187-1209 dahuri, r., 2000. pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk kesejahteraan rakyat (kumpulan pemikiran). lispi. isbn : 97996004-0-5 istini, s. & suhaimi., 1998, manfaat dan pengolahan rumput laut, lembaga oseanologi nasional, jakarta. manoj, s.g.m., mahesh, k.p. s., vasanthi, m. and anant, a. 2013. anticoagulant property of sulphated polysaccharides extracted from marine brown algae collected from mandapam island, india. afr. j. biotechnol. 12(16):1937-1945 mazumber, s., ghosal, p. k., pujol, c. a., carlucci, m. j., damonte, e. b., ray, b., 2002, isolation, chemical investigation and antiviral activity from gracilaria corticata (gracilariaceae, rhodophyta). int. j. of bio. macromolecules. 31, 87-95 mohsen, asker,m.s, mohamed,s.f., ali, f.m. and el-sayed o.h. 2007. chemical structure and antiviral activity of watersoluble sulfated polysaccharides from surgassum latifolium. j. appl. sci. res, 3(10): 1178-1185 okajima-kaneko, m., ono, m., kabata, k., kaneko, t. 2007. extraction of novel sulfated polysaccharides from aphanothece sacrum (sur.) okada, and its spectroscopic characterization. pure appl. chem., 79 (11): 2039–2046. silva, r.o., dos santos, g.m.p., nicolau, l.a.d., lucetti, l.t., santana, a.p.m., de souza chaves, l., barros, f.c.n., freitas, a.l.p., souza, m.h.l.p., medeiros, j.v.r. 2011. sulfated-polysaccharide fraction from red algae gracilaria caudata protects mice gut against ethanol-induced damage. mar. drugs, 9: 2188-2200. viana, g.s.b., freitas, a.l.p., lima, m.m.l. vieira, l.a.p. andrade, m.c.h. and benevides, n.m.b. 2002. antinociceptive activity of sulfated carbohydrates from the red algae bryothamnion seaforthii (turner) kütz. and b. triquetrum (s.g. gmel.) m. howe. braz. j. med. biol. res. 35: 713-722 zhang, h., wang, z.y., yang, l., yang, x., wang, x. and zhang, z. 2011. in vitro antioxidant activities of sulfated derivatives of polysaccharides extracted from auricularia auricular. int. j. mol. sci. 12:3288-3302 indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 93 98 93 base activated clay and its application as cation exchanger to reduce the mg 2+ and ca 2+ ions concentration in the well water aktivasi lempung dengan basa dan aplikasinya sebagai penukar kation untuk mengurangi konsentrasi ion mg 2+ dan ca 2+ dalam air sumur catherina m. bijang*, s.j. sekewael, j.a. koritelu chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author e-mail: riena@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2013 published: january 2014 abstract the research about base activated clay and its application as cation exchanger to reducing the concentration of ions mg 2+ and ca 2+ in the well water has been caried out. base solution used for clay activation was naoh with variation of concentration at, 0.5 m, 1 m, and 1.5 m. particle size of clay also have been variated at 40 mesh, 60 mesh, and 80 mesh. the result of this research shown that the best cation exchanging for mg 2+ was found in clay with 60 mesh particle sizes and concentration of naoh 0.5 m, whereas for ca 2+ was found in clay with 80 mesh particle sizes and concentration of naoh was 1.5 m. keywords: base activation, clay, well water, naoh, cation exchanger pendahuluan di dalam industri kimia diperlukan bahan pembantu seperti katalis, adsorben, atau penukar ion. salah satu bahan pembantu yang sering digunakan adalah tanah lempung (manuaba,dkk, 2000). mineral lempung yang terdapat di alam dapat berupa bahan batuan dan tidak mempunyai struktur bahan kimia tertentu. secara umum mineral lempung merupakan kumpulan dari ikatan-ikatan alumina, silika, air, besi, logamlogam alkali dan alkali tanah, serta ada kemungkinan terdapatnya bahan organik dan garam-garam yang mudah larut dalam air (gondok, 2000) mineral lempung merupakan suatu partikel dengan luas permukaan yang sangat besar, molekul-molekul pada permukaannya mempunyai muatan listrik di mana jumlah muatan negatif lebih banyak dari muatan positif menyebabkan tingginya reaktivitas internal dalam pertukaran ion (manuaba, dkk, 2000). selain itu lempung secara khusus penting dalam kimia tanah, karena mempunyai kimia permukaan yang berbeda dari butir mineral yang berukuran lebih besar ( tan, 1998). sebaran lempung di daerah maluku banyak terdapat di pulau ambon, diantaranya di desa latuhalat, hatiwe besar dan tawiri. lempung di daerah tersebut umumnya digunakan untuk pembuatan batu bata, sementara itu lempung banyak terdapat juga di pulau saparua yakni di desa ouw dan umumnya digunakan untuk membuat keramik. mineral lempung dapat digunakan sebagai bahan pembantu katalis, adsorben dan sebagai resin untuk pertukaran ion, untuk keperluan sebagai penukar ion ini, lempung terlebih dahulu harus diaktivasi dengan tujuan untuk meningkatkan daya serap lempung (manuaba, dkk, 2000). aktivasi yang dilakukan di sini adalah secara kimia yaitu dengan menggunakan larutan basa (naoh). hal ini dimaksudkan untuk menyisipkan na ke dalam struktur lempung membentuk struktur material lempung baru, yakni sodium alumina silikat (muhdarina, 1999). dengan struktur material lempung yang baru ini, diharapkan pada saat terjadinya pertukaran kation, ion na akan menggantikan ion mg dan ion ca dalam air yang dikontakkan. kasmadi (1989), telah meneliti tentang aktivasi tanah lempung sebagai resin penukar ion, di mana kadar ion ca, mg, na, k, sulfat, catherina m. bijang, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 93 98 94 nitrat, dan karbonat dalam air limbah setelah melewati lempung adalah lebih kecil daripada kadar ion standar air minum. awalludin, dkk (1999) meneliti tentang modifikasi zeolit bayah untuk meningkatkan kapasitas penukar kation, diperoleh hasil bahwa perlakuan dengan larutan berair naoh ternyata menurunkan kapasitas pertukaran kationnya. manuaba, dkk ( 2000) melakukan penelitian tentang identifikasi mineral dan aktivasi daya adsorpsi tanah lempung. identifikasi dilakukan dengan difraksi sinar-x, sedangkan peningkatan daya adsorpsinya dilakukan dengan perendaman dalam larutan nh4no3 pada konsentrasi 1001000 ppm selama 5 jam dan adsorpsinya dilakukan melalui penyerapan larutan krom.hasil penelitian menemukan bahwa adsorpsi maksimum diperoleh pada lempung yang diaktivasi dengan nh4no3 pada konsentrasi 700 ppm. air memiliki peranan penting dalam kehidupan makhluk hidup. manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sangat memerlukan keberadaan air bersih. kondisi air bersih ini, tentu harus memenuhi syarat baik dari segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitasnya. kondisi air itu, pada dasarnya sangat tergantung pada kondisi lapisan tanahnya. dalam beberapa kasus, ada daerah yang mempunyai lapisan batu gamping, dan umumnya kualitas air tanahnya cukup baik. tetapi, kandungan unsur mineralnya dan senyawa tertentu seperti kalsium dan magnesium cukup tinggi. kandungan seperti itulah yang menyebabkan air tersebut menjadi sadah. kesadahan air yang tinggi biasanya terdapat pada air tanah di daerah yang bersifat kapur (alaerts dan santika, 1984). kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat menyebabkan korosi pada peralatan yang terbuat dari besi. air sadah juga mudah menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan-peralatan seperti tangki atau bejana air, ketel uap, pipa penyaluran, dan lain sebagainya (suratmo, 1993) pemurnian air dapat dilakukan melalui destilasi, sedimentasi, filtrasi, adsorpsi maupun aerasi. adsorpsi adalah peristiwa pengambilan sejenis uap, gas atau cairan oleh permukaan atau antar muka tanpa penetrasi, atau dapat diartikan sebagai proses penyerapan suatu zat oleh zat lain yang hanya terjadi pada permukaan zat penyerap (hastutiningrum, dkk, 2001). dengan memanfaatkan lempung sebagai penukar kation dalam proses mengurangi kesadahan air, dengan biaya yang dapat dijangkau, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan air yang bersih, sehat dan aman. berdasarkan latar belakang di atas maka telah dilakukan aktivasi lempung dengan basa dan aplikasinya sebagai penukar kation untuk mengurangi konsentrasi ion mg 2+ dan ca 2+ dalam air sumur. metodologi alat dan bahan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: ayakan, pompa vakum, oven, mortar, spektrofotometer serapan atom (ssa) shimadzu aa-6300, difraktometer sinar-x, shaker 3005 gfl, timbangan analitik ohaus, seperangkat alat gelas. bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: lempung, akuades, akuabides, naoh p.a (e.merck), metanol p .a (e.merck), sampel air, kertas saring. prosedur kerja a. penyiapan sampel lempung sampel lempung dicuci dengan akuades beberapa kali dan disaring sampai didapat lempung yang benar-benar bersih dari pengotor, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 120 0 c selama 2 jam, setelah itu digerus dan diayak dengan ukuran 40 mesh, 60 mesh, dan 80 mesh. b. aktivasi dengan basa sampel lempung yang telah dipersiapkan kemudian diambil ± 100 gram dan direndam di dalam erlemeyer yang berisi larutan naoh dengan variasi konsentrasi 0,5 m, 1 m dan 1,5 m, kemudian dipanaskan selama 8 jam. setelah itu dicuci 2 kali dengan akuades , 1 kali dengan campuran metanol dan akuades (1:1) dan 2 kali dengan metanol, kemudian dikeringkan pada suhu kamar yang selanjutnya dikarakterisasi dengan difraktometer sinar-x. c. proses pertukaran kation. lempung yang telah diaktivasi, ditimbang masing-masing sebanyak 1,5 gram, dimasukkan dalam erlemeyer, kemudian dimasukkan sampel air sebanyak 50 ml dan dikocok selama 30 menit, setelah itu disaring lalu hasilnya dianalisis kandungan mg dan ca-nya dengan metode ssa. catherina m. bijang, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 93 98 95 d. penentuan konsentrasi logam mg dan ca dengan ssa 1. penyiapan larutan standar mg dan ca larutan standar 100 ppm mg 2+ dan ca 2+ dibuat dengan mengambil masing-masing 10 ml larutan induk 1000 ppm dan dimasukkan dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan akuabides hingga tanda tera. dari larutan standar 100 ppm ini selanjutnya dibuat sederet larutan standar untuk masing-masing : mg 2+ : 0,2 ppm; 0,4 ppm; 0,6 ppm; 0,8 ppm; 1 ppm ca 2+ : 0,2 ppm; 0,4 ppm; 0,6 ppm; 0,8 ppm; 1 ppm 2. penentuan kadar mg dan ca dalam sampel air ke dalam nyala udara-asitelan, diaspirasikan air dan alat pengukuran dijadikan nol. larutan standar secara berturut-turut diaspirasikan ke dalam autosampler menurut pertambahan konsentrasi dan catat nilai serapannya, setelah itu larutan sampel sebelum dikontakkan dengan lempung diaspirasikan ke dalam autosampler dan dicatat nilai serapannya. prosedur yang sama dikerjakan untuk sampel air setelah dikontakkan dengan lempung yang teraktivasi basa. hasil dan pembahasan a. pengaruh aktivasi basa penelitian ini menggunakan lempung yang telah diaktivasi dengan basa, hasil dari penelitian ini setelah dianalisa dengan ssa diperoleh data seperti yang diperlihatkan pada tabel 1. berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa untuk kation mg 2+ dengan semakin tingginya konsentrasi basa, maka semakin kecil efektivitas konsentrasi kation yang tertukarkan oleh lempung. hal ini dijumpai pada berbagai ukuran lempung yang diteliti. fakta ini menunjukkan bahwa pertukaran kation antara kation mg 2+ dalam air dengan na + pada lempung yang baik terjadi pada konsentrasi basa yang lebih rendah. dengan kata lain bahwa luas permukaan kontak lempung menjadi lebih kecil jika diaktivasi dengan konsentrasi basa yang lebih besar, seperti yang dikemukakan oleh muhdarima (1999), bahwa aktivasi dengan naoh dapat menurunkan luas permukaan kontak lempung. untuk kation ca 2+ , efektivitas pertukaran kation yang terjadi tidak teratur pada berbagai ukuran lempung. efektivitas pertukaran kation yang paling baik pada ketiga ukuran lempung terjadi pada konsentrasi basa yang lebih tinggi. hal ini menunjukkan bahwa, konsentrasi yang cukup ideal untuk terjadinya pertukaran kation antara kation ca 2+ dalam air dengan na + pada lempung adalah pada konsentrasi basa yang lebih tinggi. data pada tabel 1 juga memperlihatkan bahwa efektivitas pertukaran kation ca 2+ lebih besar dari kation mg 2+ (lampiran 5). hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh tan (1998) bahwa kemampuan ion ca 2+ untuk tertukar lebih besar dibandingkan dengan ion mg 2+ karena ukuran terhidrasi ca 2+ lebih kecil. hasil yang diperoleh sumijanto (dalam bijang, 2009) juga menemukan bahwa daya tukar kation ca 2+ lebih besar dibanding mg 2+ . tabel 1. konsentrasi mg dan ca sebelum dan sesudah dikontakkan dengan lempung teraktivasi catherina m. bijang, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 93 98 96 kemudahan terjadinya substitusi isomorfik tergantung pada ukuran dan valensi ion-ion yang terlibat. proses ini hanya terjadi antara ion-ion berukuran sebanding. perbedaan dalam dimensi ion-ion yang saling berganti dilaporkan tidak lebih dari 15 %, efektivitas pertukaran ca 2+ yang lebih tinggi dimungkinkan oleh ukuran jari-jari kedua ion yang hampir sama yakni 0.98 ǻ untuk ion na + dan 0.99 ǻ untuk ion ca 2+ (bijang, 2009). berdasarkan ukuran kation antara mg 2+ (jari-jari ionnya 0,66 ǻ) dan ca 2+ , dapat diketahui bahwa ukuran kation mg 2+ lebih kecil dari pada ca 2+ karena memiliki jari-jari kation yang lebih kecil. hal menyebabkan ukuran terhidrasi ca 2+ lebih kecil dari pada mg 2+ . dengan demikian jumlah kation tertukarkan antara mg 2+ -na + dan ca 2+ -na + adalah lebih banyak pada ca 2+ -na + karena umumnya ion dengan ukuran terhidrasi lebih kecil dijerap secara preferensial (tan, 1998). b. karakteristik lempung analisis dengan difraksi sinar-x paling banyak digunakan dalam identifikasi lempung. analisis ini bersifat tidak merusak dan sampel dapat digunakan untuk analisis lainnya. metode ini tidak diterapkan untuk bahan yang bersifat amorf atau nonkristalin (west, 1992 dalam sekewael, 2004). lempung asal desa ouw digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis mineral lempung montmorilonit (bijang, 2009a). hal ini terbukti dari difraktogram lempung tanpa diaktivasi seperti pada gambar 4. gambar tersebut memperlihatkan bahwa sampel mempunyai puncak 2θ = 19,92 0 (d = 4,45 ǻ), yang merupakan daerah karakteristik mineral montmorilonit. gambar 4. difraktogram lempung tanpa diaktivasi gambar 5. difraktogram lempung teraktivasi basa untuk ukuran 60 mesh dengan konsentrasi 0,5 m catherina m. bijang, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 93 98 97 berdasarkan difraktogram hasil difraksi sinar-x terhadap lempung yang diaktivasi dengan basa, diwakili oleh lempung dengan ukuran 60 mesh untuk konsentrasi 0,5 m dan lempung dengan ukuran 80 mesh untuk konsentrasi 1,5 m. kedua sampel ini diambil untuk mewakili sampel lempung yang digunakan dalam penelitian ini adalah karena pada kedua sampel tersebut, terjadi pertukaran kation yang cukup baik, di mana pada ukuran 60 mesh dengan konsentrasi 0,5 m mg 2+ yang tertukarkan cukup banyak dengan efektifitas yang cukup besar, dibandingkan dengan ukuran lain dan konsentrasi lain untuk kation yang sama. hal ini juga terjadi pada sampel dengan ukuran 80 mesh dan konsentrasi 1,5 m. pada sampel tersebut, kation ca 2+ yang tertukarkan lebih banyak dibandingkan dengan yang terjadi pada sampel lain untuk kation yang sama. data dari hasil difraksi sinar-x yang diperoleh untuk lempung dengan ukuran 60 mesh dan konsentrasi 0,5 m untuk montmorilonit sendiri (gambar 5), telah mengalami sedikit pergeseran dari posisi awal sebelum diaktivasi menjadi 2θ = 19,77 0 (d = 4,49 ǻ), sedangkan untuk lempung teraktivasi basa dengan ukuran 80 mesh dan konsentrasi 1,5 m (gambar 6), untuk mineral montmorilonit, juga terjadi sedikit pergeseran pada posisi 2θ = 19,83 dengan jarak d = 4,47 ǻ. untuk kation ca 2+ , pergeseran yang terjadi menyebabkan mobilitas ca 2+ lebih besar karena ukuran terhidrasinya yang lebih kecil, sehingga efektifitasnya lebih besar pada ukuran lempung 80 mesh, sedangkan untuk kation mg 2+ , aktivasi dengan konsentrasi basa yang lebih besar pada lempung dengan permukaan yang lebih kecil (untuk lempung berukuran 60 mesh), menyebabkan terjadinya pergeseran sehingga pori yang dihasilkan tidak sesuai untuk ukuran kation mg 2+ , menyebabkan efektifitasnya lebih kecil. dari ketiga difraktogram pada gambar 4, gambar 5, dan gambar 6 terlihat bahwa refleksi dari lempung tanpa aktivasi sedikit melebar atau tidak ramping, seperti yang ditunjukkan oleh difraktogram lempung dengan aktivasi basa, hal ini menunjukkan bahwa kristalinitas lempung montmorilonit tanpa aktivasi kurang baik, ini dapat terjadi karena pengaruh heterogenitas dari kation-kation terhidrat yang terdapat pada antar lapis lempung montmorilonit, yakni na + , ca 2+ dan k + , selain itu, menurut west (1992) (dalam sekewael, 2004) refleksi intensitas difraksi sinar-x mengindikasikan kesempurnaan kristal dan kerapatan susunan atom kristal. semakin ramping refleksi intensitas suatu material, maka kekristalannya semakin baik dengan susunan atom semakin rapat. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan dapat disimpulkan bahwa ; 1. lempung yang memiliki kinerja terbaik dalam pertukaran kation mg 2+ di dalam air sumur adalah lempung berukuran 60 mesh dengan konsentrasi naoh 0,5 m sebagai larutan pengaktif. gambar 6. difraktogram lempung teraktivasi basa untuk ukuran 80 mesh dengan konsentrasi 1,5 m catherina m. bijang, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 93 98 98 2. lempung yang memiliki kinerja terbaik dalam pertukaran kation ca 2+ di dalam air sumur adalah lempung berukuran 80 mesh dengan konsentrasi naoh 1,5 m sebagai larutan pengaktif. 3. efektifitas pertukaran kation ca 2+ lebih besar dari pada mg 2+ karena ukuran terhidrasi ca 2+ lebih kecil dari mg 2+ . daftar pustaka alaerts dan santika, 1984, metode penelitian air. penerbit usaha nasional, surabayaindonesia. awalluddin, a, gazali z, dan nazar n. 1999. modifikasi zeolit bayah untuk meningkatkan kapasitas penukar kation. laporan penelitian. lembaga penelitian universitas riau, pekanbaru. bijang, c. 2009a. karakterisasi lempung asal desa ouw-saparua maluku. seminar nasional fmipa unpatti, ambon. bijang c. 2009b. pemanfaatan lempung asal maluku sebagai penukar kation. seminar nasional dies natalis fmipa unhas, makasar. day, r.a. dan underwood, a. l, 1980, analisis kimia kuantitatif, edisi ke-4, penerbit: erlangga, surabaya. effendi, h. 2003. telaah kualitas air. penerbit kanisius yogyakarta. gondok, y. 2000, penjerapan logam timbal, nikel, dan kobal dengan menggunakan mineral clay abu-abu dan merah kuning, sainstek.vol iii. hastutiningrum, s, luwihana, s, dan sutoro, a, 2001. uji kemampuan bentonit tanpa diaktifkan untuk mengurangi kadar garam air laut, jurnal iptek material, pusat teknologi terapan lapan bogor : 15-27 kasmadi, 1989, aktivasi tanah lempung sebagai resin penukar kation, skripsi, universitas gadjah mada, yogyakarta. khopkar s.m. 1990. konsep – konsep dasar kimia analitik. universitas indonesia. jakarta. muhdarina, e, 1999, identifikasi dan modifikasi beberapa karakter lempung alam, laporan penelitian, fmipa universitas riau pekan baru :1-15. manuaba putra. i.b , suweda. alit, a.a , arka, i, w, l. udhiana dan a.a.i, widyawati, 2000, identifikasi mineral dan aktivasi daya adsorpsi tanah lempung yang diambil dari daerah kerobokan, kuta, denpasar, review kimia, vol 3, no 1. lab. penelitian kimia jurusan kimia fmipa universitas udayana denpasar : 1-6. okto89, 2008, kesadahan air, html://blogspot.com, 21 november 2009. sumijanto, 1998, karakterisasi zeolit sebagai penukar kation dalam desalinasi air laut, sigma epsilon no 8. suratmo, f.g., 1993, analisis mengenai dampak lingkungan. penerbit gajah mada university press. sutanto. r, 2005. dasar-dasar ilmu tanah, konsep dan kenyataan. penerbit kanisius, yogyakarta. sekewael, s.j, 2004, preparasi komposit besi oksida-montmorilonit dan aplikasinya sebagai adsorben senyawa benzena, tesis s2, universitas gadjah mada, yogyakarta. soemarwoto, 1988, analisis mengenai dampak lingkungan. penerbit gadjah mada university press. smkae, 2008, metode pengolahan kesadahanhardness air dengan resin penukar ion, http: // wordpress.com, 21 november 2009. tan, h.kim. 1998. dasar-dasar kimia tanah. penerbit gadjah mada university press, yogyakarta indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 86 -91 86 extraction, fractionation, and antioxidant examination of polyfloral honey originated from bone prefecture south sulawesi province fredryk mandey * , endah handayani, wahyuni eka nanda, alfian noor 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university jl. perintis kemerdekaan km 10, makassar-90245, indonesia *corresponding author, e-mail: fmandey65@gmail.com received: marc. 2019 published: jul. 2019 abstract the aim of this research are to isolate, identify, and test the antioxidant activity of both extract and fractions of polyfloral honey originated from bone regency, south sulawesi. the results showed that methanol crude extract phytochemically consisted of flavonoid, tannin, saponin, steroid, and alkaloid with ic50 value of dpph (1,1diphenyl-2-picrylhydrazyl) method of 683,153 µg/ml. the dcm extract gave positive results for tannin, steroid and alkaloid with ic50 value of 701,743 µg/ml. the n-hexane extract positively contained tannin and alkaloid with ic50 value of 1709,536 µg/ml. the water extract positevely contains tannin, saponin steroid, alkaloid with ic50 value of 1698,345 µg/ml. pure honey contains all group of compounds tested with ic50 value 2826,471 µg/ml. this showed extracts and sample have weak antioxidant activity. keywords: polyfloral honey, fractionation, phytochemistry, antioxidant introduction free radical, a reactive species that occur as a cause of non-paired electron, can be found in the metabolism process in human bodies. those very reactive electrons tried to stabilize itself by reacting with the environment in order to find a lone-pair electron. this reaction can occur simultaneously and continuously until the stable condition is achieved. however, this process must be terminated as fast as possible to prevent degenerative disease, such as: cancer, hearth failure, and cataract. an antioxidant is needed to accelerate the stabilization of those free-radical, which can be synthesised in-vivo, or being administered in-vitro (kikuzaki et al., 2002; sibuea, 2003). an antioxidant is a constituent that has an ability to inhibit super-oxidation reaction that occurs in the human body and forms a species that can stabilize the free radical. human bodies have various type of antioxidant, such as: superoxide dismutase enzyme, glutathione, and catalase enzyme that can stabilize the free radical. however, an antioxidant also can be produced in-vitro from natural product. one type of natural product that can be utilized as a source of antioxidant is honey (escuredo et al., 2013; moniruzzaman et al., 2013). honey, a typical sweet viscous liquid originated from the floral nectars, can be divided into two type based on the sources of its nectar, e.g., monofloral honey and polyfloral honey. the initial honey is produced from single type of floral; while the later one, sometimes called as forest honey, is from the nectar of various floras (sutanto, 2007). there are several nutritional constituents of honey that can function as antioxidant agents, for instance: vitamin c, organic acid, phenolic acid, flavonoids, and β-carotene (gheldof, 2002). there are lots of flavonoids and phenolic compounds have been isolated and structurally determined from honey (vulic et al., 2015; ramanauskiene et al., 2012; alvarez-suarez et al., 2014). the most common methods to determine the presence of antioxidant in honey is the dpph method, which uses 1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl that can trap the excess of free radical. this method is effective and efficient due to several advantages such as, is able to capture high concentration of free radicals, uses less amount of sample, happens at room temperature, and only uses the simple standard uv-visible spectrophotometry to determine the results (salamah and widyasari, 2015). this research is aimed to fractionate the polyfloral honey into several fraction based on fredryk mandey dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 86-91 87 the decreasing of polarity from polar to nonpolar; and to evaluate further the efficacy of those fractions as an antioxidant agents. methodology instruments standard chemical instrument were used in this research like rotary evaporator (buchi), and uv-visible spectrometer (spectronic-20d+; shimadzu). materials polyfloral honey samples were taken from the forest area nearby sadar village, bone regency, south sulawesi province, and kept in a sealed dried bottle jar. the samples were then freeze-drying after taken to avoid the direct oxidation of air. experimental procedure extraction and fractionation approximately 78 grams of dried polyfloral honey sample were firstly macerated with 250 ml of methanol p.a for 48 hours. afterwords, the filtrate was then separated from the residue. this protocol were repeated 3 (three) times and all of the filtrate was combined and evaporate under reduced pressure to obtain crude methanol extract. fractionation of the crude extract approximately 2 grams of the methanol crude extract of polyfloral honey were put in a 50 ml bottle and 30 ml distilled water were added into the bottle with further shaking with a sonicator for about 30 minutes. after kept the bottle stands for 30 minutes and the solution was decanted to obtain an aqueous fraction of the extract polyfloral honey. the above protocol was repeated with underwent the solvent of dichloromethane and nhexane to results the fraction of dichloromethane and n-hexane. all of the fractions was then dried under reduced pressure to obtain the dried materials which were kept in small sample vial to be used in the antioxidant test. phytochemistry evaluation prior to the antioxidant test, under a standard procedure proposed by tiwari et al., a phytochemistry evaluation, to all fractions as well as the crude methanol extract and the original sample, were done in order to known the major class of secondary metabolites that consist in the sample, crude extract, and fractions of the polyfloral honey. antioxidant test preparation of dpph 0,4 mm solution approximately 0.015 grams of dpph was dissolved with 25 ml of methanol and transferred into a 100 ml volumetric flask. the remaining methanol were then added until it reaching the precise volume of the volumetric flask in order to obtain 0.4000 mm of dpph solution preparation of stock solution of ascorbic acid 500 ppm and 5 ppm precisely 0.500 g of ascorbic acid were weighed and transferred into a 10 ml volumetric flask, and further added with methanol p.a until the precise volume to obtain 500 ppm of ascorbic acid solution. from the stock solution 0.1 ml were taken using a micro pipette and transferred into a 10 ml volumetric flask following by addition of methanol p.a until the limit volume to get 5 ppm of ascorbic acid solution preparation of 500 ppm solution of aqueous fraction an aqueous extract of polyfloral honey were precisely weighed as many as 0.3329 g and transferred into a 25 ml erlenmeyer flask and dissolved with 10.1 ml of methanol to result in 33,000 ppm of a stock solution. from the stock solution 0.15 ml were then taken and transferred into a 10 ml volumetric flask and added a methanol solvent up to the volume limit to obtain 500 ppm of methanol extract solution. preparation of 500 ppm solution of dichloromethane fraction precisely 0.0682 gr of dichloromethane fraction were transferred into a 25 ml erlenmeyer flask and dissolved with 10.2 ml of methanol p.a to obtain a 6,000 ppm stock solution. from the stock solution, 0.83 ml were pipette into a 10 ml volumetric flask using micro pipette with further addition of methanol p.a solvent up to the limit volume of 10 ml to obtain 500 ppm solution of dcm fraction. fredryk mandey dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 86-91 88 preparation of 500 ppm solution of n-hexane fraction precisely 0.0058 g of n-hexane fraction were put into a 25 ml erlenmeyer flask and dissolved with 1 ml of dmso with a further addition of 11.6 ml of methanol p.a to provide 500 ppm of the n-hexane fraction solution. the methanol extract of polyfloral honey approximately 1.016 g were dissolved with 10.2 ml in a 25 ml erlenmeyer flask to obtain a stock solution with a concentration of 100,000 ppm. from the stock solution 0.05 ml were then taken and transferred to a 10 ml volumetric flask and added a methanol solvent up to the volume limit to obtain 500 ppm of the methanol extract. preparation of 500 ppm polyfloral honey sample an empty and pre-weighted vial were fill-in with 0.005 gr of honey sample and adding about 10 ml methanol p.a, homogenized, and kept stored before of being used in the experiment. determination of antioxidant activities of ascorbic acid the antioxidant activity test of the reference ascorbic acid was carried out by firstly pipetting 0.25 ; 0.5; 1 ; 2; and 4 ml of the 5 ppm solution of ascorbic acid that has already been prepared and transferred into 5 (five) different test tubes. each test tube was filled with 1 ml of dpph 0.4 mm, and further added with methanol p.a solvent until the test tube has a total volume of 5 ml. all test tubes were then incubated at dark with room temperature for about 30 minutes, and all solutions were measured using a uv-vis spectrometer at a maximum wavelength of 515 nm. determination of antioxidant activities of polyfloral sample and fractions from the solution of 500 ppm aqueous fraction 0.1 ml, 0.2 ml, 0.4 ml, 0.8 ml, and 1.6 ml were taken by a micro pipette and filledin to the 5 (five) labelled test tube, with the further addition of 1 ml of 0.4 mm dpph. all test tubes were then added with methanol p.a up to reach the total volume of 5 ml to obtain 10, 20, 40, 80, and 160 ppm. all solutions were incubated in the dark, at room temperature, for 30 minutes and measured with uv-vis spectrometer at a maximum wavelength of 515 nm. results and discussion the investigation consisted of 3 (three) major parts, e.g., fractionation, phytochemical test, and antioxidant assay. crude extracts from extraction, underwent a maceration, about 2 g of extracts were consecutively fractionated with water, dichloromethane, and n-hexane to obtain figure 1. calculated ic50 of the original samples and fraction of polyflora honey fredryk mandey dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 86-91 89 0.33, 0.06, 0.005 g of each fraction. a small part of the fraction was taken for the further phytochemical test used tiwari et al., 2011 protocol to give a results described in table 1. the phytochemical assessment results clearly show that both original polyfloral honey sample and methanol crude extract contains all major constituents of secondary metabolites, e.g., flavonoid, tannin, saponin, steroid, and alkaloid. this is due to the fact that polyfloral honey mostly contains of all major class of secondary methabolites (stevenson et al., 2017), furthermore, in case of the methanolic extract, as a cause of the ability of methanol to destroy the cell wall make it possible to take almost all of the secondary metabolites contains in the sample (eloff, 1998). other fraction, like aqueous, dichloromethane, and n-hexane has a variability in secondary metabolites contentmend is due to the diffrerence of the polarity which limiting the ability to take the constituents which has different degree of polarity. overall results are, both original sample and methanol extract contains all of the major secondary metabolites; and aqueous fraction consist of all except flavonoids. moreover, dichloromethane has 3 (three) major constituents; tannin, steroid, and alkaloid; while n-hexane only have tannin and alkaloid. antioxidant test an antioxidant test (kedare and singh, 2011) were carried out toward the original sample, methanol extract, and all fractions, e.g., aqueous, dcm, and n-hexane extracts. ascorbic acid was use as a reference for positive standard antioxidant. the results are shown in table 2. seems that dcm is the fraction that has the highest antioxidant activity of 12.18 % in the concentration of 160 µg/ml whereas methanol, n-hexane, aqueous, and the original sample of polyfloral honey have the concentration of 10.82, 6.59, 5.45, and 4.65 % consecutively. based on the data it can be stated that the percentage of inhibition was in linear correlation with concentration. the increasing of concentration will also increase the inhibition percentage. based on the antioxidant data of the inhibition percentage we calculated the ic50 values, described in figure 1, and resulted in the values of 683.153, 701.743, 1698.345, 1709.536, and 2826. 471 μg/ml for methanol extract, dcm fraction, aqueous, n-hexane, and original table 1. phytochemical test results of polyfloral honey extract, fractions, original sample sample type observation results flavonoid tannin saponin steroid alkaloid original honey sample + + + + + aqueous fraction + + + + dcm fraction + + + n-hexane fraction + + methanol extract + + + + + table 2. antioxidant test results no concentration (µg/ml) antioxidant activities (%) fraction polyfloral samples meoh* dcm n-hexane aqueous 1 10 0,24 1,41 2,42 1,14 2,03 2 20 0,47 2,34 2,64 1,36 2,33 3 40 1,88 3,98 3,30 1,82 2,62 4 80 4,94 6,32 4,40 2,95 3,49 5 160 10,82 12,18 6,59 5,45 4,65 *crude methanol extracts fredryk mandey dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 86-91 90 polyfloral honey samples respectively. the ic50 values are in reverse correlation with the percentage activity, the higher the antioxidant activity of the sample the lower the values of its ic50 (molyneaux, 2004). the above data also show some interesting trends based on the solvent polarity. the original sample of polyfloral honey has an ic50 value of 2826.471 which is the highest, but relates to the lowest activity. the ic50 value then went further down to 1709.536 and 683.153 μg/ml for aqueous and methanol fractions; then increasing up to 701.743 and 1698.345 μg/ml for dcm and nhexane fractions. so, it was clearly shown a correlation of the value and the activity which is the higher the values the least the activity does. these trends perhaps due to the molecular content of the original sample, extract and fractions of the polyfloral honey. the phytochemical test (tiwari et al., 2011) in table 1 shows that the original sample and methanol extract predominantly have all of the major secondary metabolites constituents (flavonoid, tannin, saponin, steroid, and alkaloid), while the aqueous has all constituents except flavonoid. moreover, dcm and n-hexane fraction only have fewer constituents content, e.g., tannin, steroid, and alkaloid. as a reference ascorbic acid also were tested for its antioxidant activities and gave results as described in table 3. table 3 ascorbic acid test results no concentration (μg/ml) antioxidant activity (%) ic50 (μg/ml) 1 0,25 27,10 2,597 2 0,5 30,70 3 1 35,25 4 2 42,69 5 4 64,03 the values of ic50 of ascorbic acid which is 2.597 μg/ml at the lowest concentration of 0.25 μg/ml shown a very strong antioxidant activity. according to molyneaux, 2004., a constituent can be categorized as a very strong antioxidant if the ic50 < 50 μg/ml; strong if the ic50 in between 50 to 100 μg/ml; medium if the ic50 values 100 to 150 μg/ml; and weak if the ic50 value is in between 150 to 200 μg/ml. conclusions the research has examined the antioxidant activity of the polyfloral honey and its fraction using the dpph method with low activities with the of ic50 values of 683.153; 701.743; 1709.536; and 1698.345 μg/ml for methanol extract, dcm fraction, n-hexane fraction, and aqueous fraction in compared to the original sample with the values 2826.471 µg/ml. the phytochemical test also clearly shown that tannin and alkaloid became the predominant constituents because it was found in all sample test and flavonoid became the least because only be found in the original sample and the methanol extract. references kikuzaki, h., hisamoto, m., hirose, k., akiyama, k., taniguchi, h., 2002, antioxidants properties of ferulic acid and its related compounds, j. agric. food chem., 50, 2161-2168. sibuea, p., 2003, antioksidan senyawa ajaib penangkal penuaan dini, sinar harapan, jogyakarta suranto, a., 2007, terapi madu, penebar plus, jakarta. escuredo, o., miguez, m., fernandez-gonzalez, m., seijo, m.c., 2013, nutritional values and antioxidant activity of honey produced in european atlantic area, food chem., 138, 851-856 moniruzzaman, m., sulaiman, s.a., khalil, m.i., gan, s.h., 2013, evaluation of physicochemical and antioxidant properties of sourwood and other malaysian honeys: a coparison with manuka honey, chem. cent. j., 7, 138 gheldof, n., engeseth, n.j., 2002, antioxidant capacity of honey from various sources based on determination of oxygen radical absorbance capacity and inhibition of invitro lipoprotein oxidant in human serum samples, j. agric. food chem., 50 (10), 3050-3055. vulic, j., brunet, j., cetkovic, g., djilas, s., saponjak, t., 2015, antioxidant and censorial properties of polyfloral honey with dried apricots after one year of storage, j. chem., 1-7 fredryk mandey dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 86-91 91 ramanauskiene, k., stelmakiene, a., briedis, v., ivanauskas, l., jakstas, v., 2012, the qualitative analysis of biologically active compounds in lithuanian honey, food chem., 132, 1544-1548 alvarez-suarez, j.m., gasparrini, m., forbeshernadez, t.y., mazzoni, l., giampiri, f., 2014, the composition and biological activity of honey: a focus on manuka honey, foods, 3(3), 420-432. salamah, n., widyasari, e., 2015, aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun kelengkeng (euphoria (l) steud dengan metode pengikatan radikal 2,2-difenil-1pikril-hidrazil, pharmaciana, 5(1), 25-34. tiwari, p., kumar, b., kaur, m., kaur, g., kaur, h., 2011, phytochemical screening and extraction : a review, inter. pharma. sciencia, 1(1), 98-106. kedare, s.b., singh, r.p., 2011, genesis and development of dpph method of antioxidant assay, j. food sci. technol., 48(4), 412-422. colegate, s.m., molyneaux, r.j., 2007, bioactive natural products : detection, isolation, and structural determination, 2 nd , crc press. stevenson, p.c., nicholson, s.w., wright, g.a., 2017, plant secondary metabolites in nectar: impacts on pollinators and ecological functions, funct. ecol., 31, 6575. eloff, n.j., 1998, which extractant should be used for the screening and isolation of antimicrobial components from plants?, j. ethnopharmacol., 60, 1-8. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 137 perbandingan kemampuan aerasi sembur (spray) dengan metode adsorpsi menggunakan adsorben serbuk kulit buah kakao untuk menurunkan kadar besi dan mangan pada air sumur gali comparison of spray aeration ability with adsorption method using powder adsorbent of cocoa rind to reduce iron and manganese levels in dug well water la harimu * , aceng haetami, citra purnama sari, haeruddin, nurlansi jurusan pendidikan kimia pendidikan mipa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas halu oleo, kendari-sulawesi tenggara *corresponding author: harim_l@yahoo.co.id received: 2020-8-22 received in revised: 2020-8-26 accepted: 2020-9-20 available online: 2020-9-30 abstract research on the use of the spray aeration method with adsorption of cocoa rind powder to reduce iron and manganese levels in dug well water has been carried out. this study aims to make comparisons from two methods to reduce iron and manganese in dug well water. the parameters optimized in this study are the aeration time and the variation of the addition of the adsorbent mass and the adsorption time. based on the research results, the spray aeration time for 2 hours gave the optimal percentage reduction for fe3+ and mn4+ metal ions, namely 98.68% and 94.22%. meanwhile, for adsorption using cocoa pod husk powder, the optimal reduction occurred in the adsorbent mass of 0.2 grams and the adsorption time of 60 minutes for iron and manganese 96.36% and 95.15%, respectively. keywords: cocoa, adsorbent, iron, manganese, aeration, adsorption. abstrak (indonesian) telah dilakukan penelitian penggunaan metode aerasi sembur (spray) dengan metode adsorpsi menggunakan adsorben serbuk kulit buah kakao untuk menurunkan kadar besi dan mangan pada air sumur gali. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kedua metode untuk menurunkan kandungan logam besi dan mangan pada air sumur gali. parameter yang dioptimasi pada penelitian ini adalah waktu aerasi dan variasi penambahan massa adsorben serta waktu adsorpsi. dari hasil penelitian waktu aerasi sembur (spray) selama 2 jam yang memberikan persen penurunan yang optimal untuk ion logam fe 3+ dan mn 4+ yakni 98,68% dan 94,22%. sedangkan untuk adsorpsi menggunakan serbuk kulit buah kakao penurunan optimal terjadi pada massa adsorben 0,2 gram dan waktu adsorpsi 60 menit untuk besi dan mangan masing-masing 96,36% dan 95,15%. kata kunci: kakao, adsorben, besi, mangan, aerasi, adsorpsi. pendahuluan air yang baik untuk keperluan sehari–hari harus memenuhi standar mutu air bersih yang ditetapkan peraturan pemerintah republik indonesia nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yakni 0,3 mg/l untuk logam fe dan 0,1 mg/l untuk logam mn standar mutu air minum dan air bersih untuk keperluan rumah tangga telah ditetapkan berdasarkan sni no 01-35532006 tentang syarat-syarat kualitas air minum dan air bersih. standar baku air minum yang telah disesuaikan dengan standar internasional who, bertujuan untuk memelihara, melindungi dan mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (amin dan sari, 2014). salah satu sumber air yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan air adalah air sumur. air sumur rentan tercemar karena adanya perembesan yang dapat menyebabkan peningkatan kadar bahan kimia seperti logam besi, mangan, dan bahan organik lainnya (la aba dkk., 2017) la harimu dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 138 keberadaan kandungan logam fe dan mn dalam air tidak hanya dapat dideteksi di laboratorium, juga dapat dikenali secara organoleptik. konsentrasi fe atau mn yang tinggi (konsentrasi 1 mg/l), air terasa pahit-asam, berbau tidak enak dan berwarna kuning kecoklatan. keberadaan zat besi (fe) dan mangan (mn) dalam air merupakan permasalahan yang menjadi serius sejak lama. mashadi dkk., (2018) ion besi (fe) dan mangan (mn) bervalensi dua umumnya terdapat dalam air tanah secara bersamaan. fe dan mn dalam air dapat menyebabkan kekeruhan, korosi, pakaian mudah rusak, waktu yang lama dapat erusak hati, dan kesadahan. fe dan mn juga menyebabkan warna kekuningan pada cucian dan alat plambing (mandasari dan purnomo, 2016). pemakaian air minum yang tidak memenuhi syarat dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan. kadar fe dan mn dalam air minum yang diperbolehkan adalah masing-masing < 0,3 mg/l dan < 0,1 mg/l. air dengan kadar fe dan mn yang tinggi akan menyebabkan pakaian mudah rusak dan bila diminum dalam jangka lama dan jumlah banyak akan merusak hati. selain dapat menggangu kesehatan, deposit fe dan mn juga dapat menyebabkan kerak dalam jaringan pipa, tangki bertekanan, pemanas air dan peralatan pelunakan air. air yang mengandung logam fe akan menimbulkan rasa, bau logam yang amis pada air, terdapat warna coklat pada pakaian putih. penurunkan kadar fe dan mn dalam air sumur gali guna memenuhi kebutuhan tubuh manusia diperlukan. edahwati dan suprihatin (2013) salah satu pengolahan air yang mengalami pencemaran dapat dilakukan dengan metode aerasi dan adsorpsi. pada skala industri, fe dan mn dalam air biasanya diturunkan dengan mengaerasi air pada ph >7 sehingga kedua logam ini mengendap sebagai oksidanya. aerasi merupakan proses pengolahan air dengan mengusahakan adanya kontak langsung dengan udara dengan tujuan untuk menaikkan kandungan oksigen dalam air dan mengurangi karbon dioksida, menghilangkan hidrogen sulfida, metana, dan berbagai macam bahan organik yang mempengaruhi bau dan rasa (batara dkk., 2017). perkembangan teknologi yang semakin maju memunculkan teknologi alat pemurni air yang mampu menurunkan kadar besi (fe) dan mangan (mn) pada air misalnya menggunkan resin penukar ion, namun teknologi ini membutuhkan biaya yang relatif mahal. penggunaan aerator sembur (spray) dan saringan pasir cepat untuk menurunkan kadar fe dan mn dapat menjadi salah satu alternatif. sutrisno (2010) malakukan aerasi sembur dapat menurunkan kadar fe sebesar 1,397 mg/ml dari konsentrasi awal 4,056 mg/l. sedangkan untuk aerator casecade 12 step mampu menyerap oksigen sebesar 1,02-0,81 mg/l dengan efisiensi penurunan kadar fe sebesar 1,7052,83 mg/l, dan untuk 7 step dapat menyerap oksigen sebesar 0,61-0,41 mg/l dengan efisiensi penurunan kadar fe menjadi 0,51-0,86 mg/l. hasil penelitian hartini (2012) menujukkan bahwa penggunaan aerator casecade memberikan hasil yang lebih baik dalam menurunkan kadar mn air sumur gali sampai dengan rata-rata 0,02 mg/l, dengan efektivitas sebesar 98,74%. aerator gelembung dapat menurunkan kadar mn air sumur gali dengan rata-rata 0,43 mg/l, dan efektivitas 76,47%. namun demikian sesuai dengan baku mutu menurut peraturan menteri kesehatan ri no.416/menkes/per/ix/1990, yaitu kadar fe maksimum 0,3 mg/l dan kadar mn maksimum 0,1 mg/l. penggunaan metode aerasi spray untuk menurunkan kadar fe dan mn dilakukan dengan cara mengkontakan udara (oksigen) pada air dengan cara menyemburkan ke udara sehingga logam berat yang pada air dapat terikat dengan oksigen sehingga mengendap. aerator dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut (do) dalam air baku yang berfungsi menurunkan kadar fe, mangan, bahan organik, dan ammonia sehingga dapat membuat kualitas air menjadi layak pakai. metode lain yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar fe dan mn adalah metode adsorpsi. salah satu adsorben yang cukup menjanjikan adalah kulit buah kakao (theobroma cacao l). (purnamawati dan utami, 2014), kulit buah kakao (theobroma cacao l) mempunyai kandungan senyawa organik seperti protein kasar 5,69-9,69 %, lemak 0,02-0,15 %, glukosa 1,16-3,92 %, sukrosa 0,02-0,18 %, pektin 5,30-7,08 %, dan serat kasar 33,19-39,45%. masitoh dan monica (2013) mengadsorpsi ion logam cd 2+ dalam pelarut air menggunakan limbah kulit buah kakao (theobroma cacao l) dengan massa adsorben 6 gram dengan waktu kontak optimal 60 menit dengan persen adsorpsi sebesar 94,075%. juwita dkk., 2018, efektivitas arang kulit buah kakao dapat menurunkan kesadahan, salinitas, dan senyawa organik dalam air (juwita dkk., 2018). berdasarkan latar belakang tersebut maka telah dilakukan studi perbandingan kemampuan metode aerasi spray dan adsorpsi untuk menurunkan kadar fe dan mn pada air sumur gali. la harimu dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 139 metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah kakao (theobroma cacao l.) sebagai bahan baku utama, kertas saring whatman 42, aluminium foil, dan aquades, fecl3.6h2o, mno2, sampel air sumur gali. alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan analitik, wadah besar, spatula, kain tipis, stopwatch, botol semprot, corong, pipet tetes, pipet voleme 100 ml, batang pengaduk, mesin aerator, pipa pvc berdiameter 22 mm, lem pipa, oven, ayakan 45 mesh, labu erlemeyer 100 ml, gelas beaker 50 ml, stirer magnetik, oven, pompa air, kertas label, spektrofotometri serapan atom (ssa) (perkin elmer pinaacle 900t) dan spektrofotometri serapan atom (ssa) (hitachi z 2000), pipa pvc pipa ukuran kecil, kran, penggaris, pisau/ kater, botol sampel 600 ml. pengambilan sampel botol sampel sebelum digunakan terlebih dahulu dibilas dengan aquades dan asam kuat. air sumur gali dimasukan ke dalam botol sampel 250 ml, diberi label, dan diawetkan selanjutnya di bawa ke laboratorium. pembuatan aerator sembur (spray) pipa pvc yang berdiameter 22 mm sedang dibuat sejajar 3 baris dan dihubungkan dengan penghubung pipa sehingga membentuk persegi. pada salah satu sisi pipa pvc dilubangi sebagai tempat penghubung dengan pompa aerator. pada pada bagian atas pipa pvc dilubangi dengan jarak yang sama. pada bagian atas pipa dipasangkan kembali pipa kecil pada masing-masing lubang tersebut dan dibiarkan menjulang keatas dan direkatkan dengan lem pipa. pembuatan adsorben dari kulit buah kakao kulit buah kakao yang sudah bersih, dipotong kecil-kecil, diblender sampai halus. setelah itu, dilarutkan dengan menggunakan aquades, diaduk, kemudian disaring. perlakuan pencucian sambil diaduk dan dilakukan penyaringan berulang-ulang sampai filtrat yang dihasilkan berubah menjadi jernih. kulit buah kakao yang sudah jernih dikeringkan dengan menggunakan oven sampai suhu 105 selama 1-2 hari (asriani, 2015). serbuk kulit buah kakao yang sudah kering diblender sampai halus kemudian dilakukan pengayakan menggunakan ayakan ukuran 45 mesh. pembuatan bak aerator sembur (spray) kaca/aquarium dengan ukuran panjang 80 cm, lebar 60 cm dan tinggi 50 cm yang telah disiapkan dilubangi bagian samping bawah menggunakan bor kaca sesuai dengan ukuran kran yang telah tersedia. dan dipasang aerator yang telah dihubungkan dengan listrik. penurunan kadar fe dan mn air sumur gali menggunakan aerator sembur (spray) sampel dimasukan kedalam bak penampungan yang kemudian dialirkan pada aerator. aerasi dilakukan dengan menggunakan aerator sembur (spray), dimana air yang berada dalam bak dialirkan melewati pipa yang kemudian dialirkan ke dalam wadah penampungan aerasi sehingga secara langsung akan terjadi kontak dengan udara. tekanan pompa aerator diatur sama pada 9 pipa spray dengan memvariasikan waktu semburan yakni masing-masing 1 jam, 2 jam, dan 3 jam. kemudian dilakukan pengukuran terhadap kadar besi (fe) dan kadar mangan (mn) menggunakan spektrofotometer serapan atom (ssa) dan parameter fisika yakni, rasa, warna, dan bau. penurunan kadar fe dan mn air sumur gali menggunakan aerator sembur (spray) sampel dimasukan ke dalam bak penampungan yang kemudian dialirkan pada aerator. aerasi dilakukan dengan menggunakan aerator sembur (spray), dimana air yang berada dalam bak dialirkan melewati pipa yang kemudian dialirkan ke dalam wadah penampungan aerasi sehingga secara langsung akan terjadi kontak dengan dilakukan proses aerasi, dilanjutkan dengan proses adsorbsi menggunakan serbuk kulit buah kakao (theobroma cacao l). air sumur hasil aerasi diukur sebanyak 100 ml pada masing-masing hasil aerasi dan ditambahkan 2 gram adsorben serbuk kulit buah kakao pada masingmasing variasi waktu aerasi. setelah itu dilakukan pengukuran terhadap kadar besi (fe) dan kadar mangan (mn) mengunakan spektrofotometer serapan atom (ssa) dan paremeter fisik yakni rasa, warna, dan bau. dari pengolahan air sumur gali tersebut yang menghasilkan air bersih maka, akan dibandingkan dengan peraturan pemerintah republik indonesia nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air baku mutu air bersih yang ditentukan untuk kadar logam besi (fe) 0,3 mg/l sedangkan yang diperbolehkan untuk kadar logam mangan (mn) 0,1 mg/l. la harimu dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 140 kurva kalibrasi larutan ion logam besi dipipet larutan induk ion logam besi (fe 3+ ) 5 ppm masing-masing 0,1; 0,2; 1; 2; 5, 10 dan 12,5 ml. dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, diencerkan dengan aquades sampai tanda tera sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi masing-masing 0,005; 0,01; 0,05; 0,1; 0,25; 0,5; dan 0,75 ppm. larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan ssa pada panjang gelombang optimal dan dibuat kurva antara konsentrasi terhadap absorbansi. pada kurva tersebut dihasilkan persamaan garis linier (y= ax + b) yang digunakan untuk menghitung konsentrasi sisa pada adsorpsi ion logam fe 3+ oleh serbuk kulit buah kakao. kurva kalibrasi larutan ion logam mangan dipipet larutan induk ion logam mangan (mn 4+ ) 5 ppm masing-masing 0,5; 1; 2; 4; dan 8 ml. dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, diencerkan dengan aquades sampai tanda tera sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi masing-masing 0,025; 0,05; 0,1; 0,2; dan 0,4 ppm. larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan ssa pada panjang gelombang optimal dan dibuat kurva antara konsentrasi terhadap absorbansi. pada kurva tersebut dihasilkan persamaan garis linier (y= ax + b) yang digunakan untuk menghitung konsentrasi sisa pada adsorpsi ion logam mn 4+ oleh serbuk kulit buah kakao. penentuan konsentrasi ion logam besi dan mangan untuk menghitung konsentrasi akhir larutan ion logam besi dan mangan, maka dapat dihitung dengan persamaan : y = ax + b {y: absorbansi, a:slope, b: intersep, x: konsentrasi akhir (ppm)}. adapun perhitungan efektivitas pengolahan dilakukan sesuai dengan persamaan 1. ∑ (1) keterangan : a = kadar besi atau mn awal b = kadar besi atau mn akhir ∑p = efektivitas pengolahan (sutrisno, 2010). hasil dan pembahasan analisis parameter fisika pengamatan parameter fisik pada sumur gali yang menjadi sampel penelitian adalah berwarna kuning, di atas permukaan air terdapat lapisan minyak, berbau karat, dan berasa masam. bau dalam air kemungkinan disebabkan adanya organisme dalam air seperti alga, serta gas seperti h2s yang terbentuk dalam kondisi anaerobik, dan oleh adanya senyawasenyawa organik yang lain. rasa air yang masam kemungkinan disebabkan adanya bahan-bahan organik yang membusuk dan kandungan konsentrasi besi dan mn terlarut > 1,0 mg/l (rasman dan saleh, 2016). pengaruh waktu aerasi waktu aerasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil aerasi. menurut batara dkk (2017) pipa aerasi yang semakin panjang dapat menyebabkan kontak oksigen dalam air semakin lama sehingga kandungan oksigen yang terlarut dalam air (do) semakin besar. konsentasi hasil aerasi air sumur gali dengan variasi waktu 1, 2, 3 jam dihitung berdasarkan persamaan regresi untuk logam fe 3+ yakni y = 0,0041x – 0,0019 dan logam mn 4+ menggunakan y = 0,211x + 0,00001. berdasarkan hasil perhitungan¸ konsentrasi hasil aerasi logam besi ditunjukan pada tabel 1. tabel 1 pengaruh waktu aerasi terhadap penurunan kandungan ion logam besi lama aerasi (jam) ion logam besi kons.awal (mg/l) kons. akhir (mg/l) penuruna n (mg/l) persentase (%) 0,5 4,0318 0,4284 3,6034 89,37 1 4,0318 0,071 3,96 98,23 2 4,0318 0,063 3,97 98,42 3 4,0318 0,053 3,98 98,68 4 4,0318 0,052 3,99 98,96 berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa meningkatnya waktu aerasi menyebabkan peningkatan persentase penurunan besi di dalam larutan. hal ini diakibatkan karena proses turbulensis yang terjadi secara terus-menerus menyebabkan kandungan logam besi yang terlarut kontak dengan oksigen dan terjadi proses oksidasi sehingga besi dalam bentuk fe, fe 2+ , atau fe 3+ membentuk oksida besi dalam bentuk feoxh2o atau fe2o3xh2o yang ditandai dengan adanya endapan kuning kecoklatan yang tidak larut dalam air. hal ini dapat disebabkan karena pada saat air sumur gali dipompa ke bak penampung, terjadi proses oksidasi antara besi yang ada di dalam air dengan oksigen yang ada di udara (rasman dan saleh, 2016). reaksi oksidasi tersebut menghasilkan senyawa besi dioksida yang berupa gumpalan halus (micro flock) yang tak larut dalam air. menurut said (2005) untuk setiap 1 mg/l besi diperlukan oksigen sebanyak 0,14 mg/l, sehingga apabila kadar awal besi dalam sumur gali 4.0318 mg/l, maka dibutuhkan oksigen la harimu dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 141 sekitar 0,56 mg/l. namun setelah waktu aerasi 1 jam peningkatan penurunan persentase besi dalam larutan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. hal ini menunjukkan bahwa setelah waktu aerasi 1 jam konsentrasi besi dalam larutan semakin kecil atau hampir habis yang dapat dioksidasi oleh oksigen. parameter fisik yang dapat diamati secara visual, air hasil aerasi menjadi tidak berwarna (bening), tidak berbau dan tidak berasa. kandungan logam fe 3+ dalam air setelah proses aerasi sembur memenuhi standar baku yang telah ditetepkan permen nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yakni maksimal 0,3 mg/l. hasil perhitungan konsentrasi logam mangan (mn) hasil aerasi sembur ditunjukkan pada tabel 2. berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa semakin lama waktu aerasi, maka semakin berkurang kandungan logam mangan yang terlarut dalam air sumur gali. pada waktu aerasi 30 menit penurunan kadar mn paling kecil atau hanya 56,13% dan terus mengalami penurunan kadar logam mn dalam air seiring dengan meningkatnya waktu aerasi. penurunan kadar mn setelah waktu aerasi 3 jam sudah cenderung konstan atau tidak mengalami perubahan yaitu yakni 94,22%. hal ini diduga disebabkan karena konsentrasi ion mn 2+ sudah sangat kecil dan tidak dapat lagi membentuk oksida meskipun kontak dengan udara dari proses aerasi karena adanya kandungan ion logam lain atau senyawa lain yang ada dalam air sumur atau sampel. tabel 2 pengaruh waktu aerasi lama aerasi jam) mn 4+ (logam mangan) kons. awal (mg/l) kons. akhir (mg/l) penurunan (mg/l) persentase (%) 0,5 0,1956 0,0858 0,1098 56,13 1 0,1956 0,055 0,140 71,73 2 0,1956 0,017 0,179 91,32 3 0,1956 0,011 0,184 94,22 4 0,1956 0,0109 0,185 94,45 reaksi oksidasi mangan karena kontak dengan oksigen menghasilkan senyawa mangan dioksida berupa gumpalan halus (micro flock) yang tak larut dalam air. hal ini juga akan mempengaruhi bsarnya konsentrasi ion mangan dalam larutan pada saat pengukuran dengan spektroskopi serapan atom (ssa). penururnan kadar logam pada air bukan hanya disebabkan karena waktu aerasi tetapi juga dipengaruhi oleh lama pengendapan (rasman dan saleh, 2016). ketika logam besi atau mangan kontak dengan oksigen atau oksidator lain, maka akan teroksidasi menjadi valensi yang lebih tinggi, membentuk ion kompleks baru yang tidak larut dalam jumlah yang cukup besar (la aba dkk., 2017). oleh karena itu, mangan dan besi dapat dihilangkan dengan pengendapan (sedimentasi) setelah aerasi. penurunan ion logam besi (fe 3+ ) hasil adsorpsi ion logam fe 3+ menggunakan adsorben dari serbuk kulit buah kakao sebagai adsorben dengan waktu yang bervariasi (30; 45; 60; dan 75 menit ditunjukkan pada tabel 3. berdasarkan data pada tabel 3 menunjukkan bahwa adsorben dari kulit buah kakao mempunyai kemampuan untuk menurunkan kandungan ion logam besi dalam air sumur gali. semakin lama waktu adsorpsi diikuti pula peningkatan adsorpsi ion logam besi dalam larutan air sumur hingga kondisi optimum yaitu selama 1 jam. tabel 3 penurunan kandungan ion logam besi (fe 3+ ) menggunakan serbuk kulit buah kakao pada waktu bervariasi lama adsrpsi jam) ion logam fe 3+ kons. awal (mg/l) kons. akhir (mg/l) penurunan (mg/l) persentase (%) 0,5 4,0318 0,5402 3,4916 86,60 1 4,0318 0,1685 3,8633 95,82 2 4,0318 0,0972 3,9346 97,59 3 4,0318 0,1068 3,9250 97,35 4 4,0318 0,1133 3,9185 97,19 setelah waktu adsorpsi 1 jam kemampuan adsorben relatif konstan bahkan cenderung turun. hal ini diduga disebabkan karena dengan waktu yang lebih lama memungkinkan lepasnya kompleks besi dengan gugus aktif pada permukaan adsorben sehingga akan menambah ion logam besi di dalam larutan air. penurunan ion logam mangan (mn 2+ ) kemampuan adsorben dari kulit buah untuk mengadsorpsi ion logam mangan pada variasi waktu adsorpsi yang berbeda ditunjukkan pada tabel 4. berdasarkan data pada tabel 4 menunjukkan bahwa adsorben dari serbuk kulit buah kakao dapat menurunkan kadar ion logam mn 2+ pada air sumur gali. pada lama adsorpsi 3 jam merupakan waktu adsorpsi maksimal dengan persentase 90,95%. pada waktu yang lebih lama kemampuan adsorpsi tidak bertambah, bahkan cenderung turun. hal ini disebabkan mempunyai kemampuan untuk menurunkan kandungan ion logam besi dalam air sumur gali. semakin lama waktu adsorpsi diikuti pula peningkatan adsorpsi ion logam besi dalam larutan air sumur hingga kondisi optimum yaitu selama 1 jam. la harimu dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 142 setelah waktu adsorpsi 1 jam kemampuan adsorben relatif konstan bahkan cenderung turun. tabel 4 penurunan kandungan ion logam mangan (mn 2+ ) menggunakan serbuk kulit buah kakao lama adsorpsi jam) ion logam mangan kons. awal (mg/l) kons. akhir (mg/l) penurunan (mg/l) persentase (%) 0,5 0,1956 0,0964 0,0992 50,71 1 0,1956 0,0522 0,1434 73,31 2 0,1956 0,0345 0,1611 82,36 3 0,1956 0,0177 0,1779 90,95 4 0,1956 0,0179 0,1777 90,84 hal ini diduga disebabkan karena dengan waktu yang lebih lama memungkinkan lepasnya kompleks besi dengan gugus aktif pada permukaan adsorben sehingga akan menambah ion logam besi di dalam larutan air. perbandingan metode eerasi sembur dengan metode adsorpsi penurunan kadar ion besi dan ion mangan dalam air sumur gali agar memenuhi persyaratan air layak konsumsi dilakukan aplikasi metode aerasi sembur dan metode adsorpsi. kemampuan kedua metode untuk menurunkan kadar besi dan mangan dalam air sumur gali disajikan pada tabel 5. berdasarkan data pada tabel 5 perbandingan persentase penurunan kadar besi maupun mangan pada air sumur gali menggunakan metode aerasi sembur dan adsorpsi mengalami kecenderungan yang sama dengan meningkatnya waktu. namun demikian persentase penurunan kedua logam lebih besar menggunakan aerasi sembur dibandingkan dengan metode adsorpsi. hal ini kemungkinan disebabkan karena pada proses aerasi sembur kontak antara logam besi maupun mangan lebih cepar terjadi sehingga proses oksidasi juga lebih cepat terjadi. proses kontak terus terjadi dengan oksigen baru yang disemburkan sehingga ion logam yang sudah membentuk oksida tidak mempengaruhi ion logam yang akan membentuk oksida dengan oksigen yang dialirkan dari sumber aerasi. sedangkan pada proses adsorpsi beberapa gugus aktif seperti oksigen dan gugus hidroksi mempunyai kecenderungan kedua gugus aktif untuk mengikat ion logam besi maupun mangan. kehadiran atom dan gugus hidroksi pada serbuk kulit buah kakao dalam air sumur gali akan menyebabkan terjadinya ikatan hidrogen sehingga proses pembentukan kompleks antara ion logam besi maupun mangan akan mengurangi jumlah gugus aktif yang berikatan. akibatnya jumlah ion logam dalam larutan tidak semua dapat membentuk kompleks dengan gugus aktif. disamping itu kehadiran ikatan hidrogen juga akan mempegaruhi waktu yang dibutuhkan kompleks untuk terjadi (la harimu dkk., 2019) tabel 5. perbandingan kemampuan kedua metode untuk menurunkan kadar besi dan mangan dalam air sumur gali jenis logam lama aerasi/adsorpsi (jam) metode aerasi adsorpsi penurunan (%) penurunan (%) besi 0,5 89,37 86,60 1 98,23 95,82 2 98,42 97,59 3 98,68 97,35 4 98,96 97,19 mangan 0,5 56,13 50,71 1 71,73 73,31 2 91,32 82,36 3 94,22 90,95 4 94,45 90,84 penyebab lain kemungkinan disebabkan karena masih adanya ion logam dalam serbuk kulit buah kakao. ion logam yang merupakan pengganggu atau interferensi ion logam besi maupun mangan dengan gugus aktif pada adsorben dari serbuk kulit buah kakao pada saat proses pembentukan kompleks, meskipun sudah mengalami proses pencucian. karena kehadiran ion logam seperti besi pada kulit buah kakao akan sulit terlepas atau larut pada saat proses pencucian karena terjadi ikatan kimia didalamnya. untuk perbedaan persentase ion logam besi dengan mangan berbeda yang terendapkan maupun teradsorpsi disebabkan karena ditinjau dari reaktivitas ion logam besi lebih reaktif dibandingan dengan ion mangan sehingga proses oksidasi maupun pembentukan kompleks lebih cepat. kecepatan pembentukan kompleks dipengaruhi oleh muatan ion logam. ion logam dengan muatan yang lebih besar akan lebih mudah membentuk kompleks dibandingkan dengan ion logam dengan muatan ion lebih rendah. hal ini sesuai dengan hasil penelitian la harimu dkk., (2009; 2010) bahwa ion logam dengan muatan lebih besar mempunyai persen ekstraksi, pemisahan secara membran, maupun secara adsorpsi yang lebih besar dibandingkan dengan ion logam dengan muatan yang lebih kecil. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode aerasi sembur (spray) dan adsopsi menggunakan adsorben serbuk kulit buah kulit buah kakao (theobroma cacao l) dapat menurunkan kadar ion logam besi dan ion logam la harimu dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 137-143, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-hrm 143 mangan pada air sumur gali. waktu optimal metode aerasi sembur untuk menurunkan ion logam besi adalah 1 jam dan 3 jam untuk ion logam mangan dengan penurunan kadar ion logam fe 3+ dan ion logam mn 4+ masing-masing sebesar 98,23% dan 94,22%. untuk metode adsorpsi penurunan optimal untuk ion logam besi terjadi pada waktu adsorpsi 2 jam dan untuk ion logam mangan selama 3 jam dengan persen adsorpsi berturut-turut masing-masing 97,59% dan 90,95%. daftar pustaka amin, j.m. dan sari, d. p., 2015. penurunan kadar besi dan mangan terlarut dalam air payau melalui proses oksidasi menggunakan kalium permanganat. pros. seminar nasional isbn: 979-587-529-9. jurusan teknik kimia politeknik negeri sriwijaya. palembang. asriani, 2015. variasi massa adsorben dari serbuk kulit buah kakao (theobroma cacao l.) dan ph larutan ion logam untuk mengadsorpsi ion logam krom (cr 6+ ) dan nikel (ni 2+ ). skripsi, universitas halu oleo. kendari. batara k., badrus z. dan wiharyanto o., 2017. pengaruh debit udara dan waktu aerasi tehadap efisiensi penurunan besi dan mangan menggunakan diffuser aerator pada air tanah. j. teknik lingkungan, 6(1), 1-10. edahwati l. dan suprihatin, 2013. kombinasi proses aerasi, adsorpsi, dan filtrasi pada pengolahan air limbah industri perikanan. j. teknik lingkungan, 1 (2), 79-83. hartini, e., 2012. cascade aerator dan bubble aerator dalam menurunkan kadar mangan air sumur gali. j. kesehatan masyarakat, 8(1), 4250. juwita a. i., ilham a., musdalifah, emmi b. dan syahrul b., 2018. efektifitas penggunaan arang limbah kulit kakao (theobroma cacao l.) untuk menurunkan kesadahan, salinitas dan senyawa organik air. j. higiene, 4(1), 1-10. la aba, bahrin dan armid, 2017. pengolahan air sumur gali dengan metode aerasi-filtrasi menggunakan aerator gelembung dan saringan pasir cepat untuk menurunkan kadar besi (fe) dan mangan (mn), j fisika aplikasi uho, 13(2), 38-47. la harimu, sabirin m., dwi s. dan s. j. santosa, 2009. sintesis poli(asam eugenil oksiasetat) sebagai pengemban untuk pemisahan ion logam berat fe(iii), cr(iii), cu(ii), ni(ii), co(ii), dan pb(ii) menggunakan metode ekstraksi pelarut. indo. j. chem., 9 (2), 261 266. la harimu, sabirin m., dwi s. dan s. j. santosa, 2010, pemisahan ion logam berat fe(iii), cr(iii), cu(ii), ni(ii), co(ii), dan pb(ii) menggunakan pengemban ion poli(asam eugenil oksiasetat) dengan metode transpor membran cair, indo. j. chem., 10 (1), 69 74. la harimu, la rudi, aceng h., giswa a.p.s. dan asriyanti, 2019. studi variasi konsentrasi naoh dan h2so4 untuk memurnikan silika dari abu sekam padi sebagai adsorben ion logam pb 2+ dan cu 2+ . indo. j. chem. res., 6(2), 81-87 mashadi a., bambang s., anis. dan muhammad a., 2018. peningkatan kualitas, fe dan kekeruhan dari air sumur gali dengan metode filtrasi. j. riset rekayasa sipil, 1 (2), 105-113 mandasari i., dan purnomo a., 2016. penurunan ion besi (fe) dan mangan (mn) dalam air dengan serbuk gergaji kayu kamper. j. teknik its, 5(1), 56-63. purnamawati h. dan utami b., 2014. pemanfaatan limbah kulit buah kakao (theobroma cocoa l.) sebagai adsorben zat warna rhodamin b. prosiding seminar nasional fisika dan pendidikan fisika, 5(1), 12-18. rasman, m. s., 2016. penurunan kadar besi (fe) dengan sistem aerasi dan filtrasi pada air sumur gali. j. higiene, 2(3), 159-167. said, n.i., 2005. metoda penghilangan zat besi dan mangan di dalam penyediaan air minum domestik. j.a.i. 1(3), 239-250. indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 51 sintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) sebagai bioreduktor dan uji aktivitasnya sebagai antioksidan synthesis of silver nanoparticles using syzygium polyanthum extract as bioreductor and the application as antioxidant paulina taba*, nadya yuli parmitha, syahruddin kasim 1 department of chemistry, faculty mathematics and natural science, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, e-mail: paulinataba@unhas.ac.id received: apr. 2019 published: jul. 2019 abstract silver nanoparticles have been synthesized by the reduction method using salam leaf extract (syzygium polyanthum) as a reducing agent. the silver nanoparticles produced were then tested for their activity as antioxidants. the formation of silver nanoparticles was carried out by adding the leaf extract into the solution of agno3 and homogenized using a magnetic stirrer. a uv-vis spectrophotometer was used to confirm the formation of silver nanoparticles. particle size analyzer (psa), scanning electron microscope (sem), x-ray diffractometer (xrd) and fourir transform infra red (ftir) spectrometers were used to characterize the nanoparticles produced before being tested for antioxidant activity. the results showed that the absorbance value increased with increasing reaction contact time. the maximum uptake was obtained at wavelengths of 432–446 nm using a uv-vis spectrophotometer. the particle size was determined using a psa with an average particle size distribution of 45.7 nm. the average diameter of silver nanoparticles was 10.06-13.97 nm and the silver nanoparticles had rod-shapes. functional groups that play a role in the synthesis of nanoparticles were -oh c=o, and –c-o groups. silver nanoparticles inhibited free radicals as antioxidants with the ic50 value of 582.7 ppm. keywords: antioxidants, reduction method, silver nanoparticles, syzygium polyanthum. pendahuluan nanopartikel merupakan partikel yang memiliki ukuran 1–100 nm. secara garis besar sintesis nanopartikel dapat dilakukan dengan metode top down (fisika) dan metode bottom up (kimia) (wahyudi dan rismayani, 2008). namun, kedua metode ini menggunakan bahan kimia yang berlebihan yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, dan membutuhkan biaya yang besar untuk pembuatannya. oleh karena itu, suatu metode alternatif dikembangkan dalam sintesis nanopartikel atau nanomaterial berdasarkan konsep green chemistry yaitu metode green synthesis nanopartikel yang lebih ekonomis dan memiliki resiko pencemaran lingkungan yang rendah atau bahkan nol, sehingga produk yang dihasilkan lebih aman dan ramah lingkungan serta dapat digunakan dalam berbagai bidang termasuk kesehatan dan biomedis (schmidt, 2007; sharma dkk., 2009). metode green synthesis nanopartikel adalah metode sintesis yang membentuk nanopartikel logam dengan bantuan bahan alam yang berasal dari organisme (tumbuhan, dan mikroorganisme) baik darat maupun laut (asmathunisha dan kathiresan, 2013). salah satu nanopartikel yang dapat disintesis dengan metode green synthesis adalah nanopartikel perak (haryono dkk., 2008). teknik bioreduksi dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme dalam preparasi nanopartikel. tetapi, metode ini memerlukan pemeliharaan kultur yang sulit dan waktu sintesis yang lama sehingga tumbuhan menjadi alternatif sebagai bioreduktor dalam sintesis nanopartikel perak (lembang dkk., 2013). beberapa jenis tumbuhan mengandung senyawa kimia tertentu yang dapat berperan sebagai bahan pereduksi dan saat ini penelitian yang berkaitan dengan sintesis nanopartikel perak dengan bahan dasar ion perak dan ekstrak tumbuhan telah banyak dilakukan. lembang dkk. nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 52 (2013) mensintesis nanopartikel perak yang berdiameter 40–80 nm dari ekstrak daun ketapang (terminalia catappa). matutu dkk. (2016) mensintesis nanopartikel perak yang berdiameter 35–43 nm dari ekstrak buah merah (pandanus conoideus). wahab dkk. (2018) mensintesis nanopartikel perak yang memiliki diameter 97,04 nm dari ekstrak daun kersen (muntingia calabura l.). ekstrak yang digunakan mengandung metabolit sekunder seperti terpenoid dan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan sehingga ekstrak tersebut dapat berperan sebagai bioreduktor untuk menghasilkan nanopartikel perak. daun salam (syzygium polyanthum) memiliki kandungan alkaloid, saponin, quinon, fenolik, triterpenoid, steroid dan flavonoid (kusuma dkk., 2011; hasanah, 2015; widyawati, 2015; widjajakusuma dkk., 2018; hartanti dkk., 2019). berdasarkan hasil penelitian, flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa fenolik yang bersifat antioksidan (john dkk., 2015; yahia dkk., 2019) serta berperan dalam mencegah kerusakan sel dan komponen selularnya oleh radikal bebas reaktif (saharan dkk., 2017). peran antioksidan flavonoid terjadi dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkhelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa) atau dalam bentuk bebas yang disebut aglikon (hasanah, 2015). menurut bahriul dkk. (2014), ekstrak daun salam yang meliputi daun muda, daun setengah tua dan daun tua memiliki kemampuan antioksidan yang sangat kuat. oleh karena itu, ekstrak daun salam mengandung bioreduktor sehingga eksrak ini berpotensi untuk menghasilkan nanopartikel logam seperti nanopartikel perak. berdasarkan penelusuran literatur, pemanfaatan ekstrak daun ini untuk menghasilkan nanopartikel perak sampai saat ini belum dilakukan. berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mensintesis nanopartikel perak dengan menggunakan ekstrak daun salam dan larutan ag + . optimasi konsentrasi larutan ag + dan komposisi larutan ag + terhadap ekstrak daun salam dilakukan untuk memperoleh nanopartikel perak. karakterisasi material yang dihasilkan dengan spektrofotometer uv-vis, psa, xrd, dan spektrometer ftir menunjukkan bahwa nanopartikel perak telah berhasil disintesis dalam penelitian ini. nanopartikel perak yang dihasilkan diuji aktifitasnya sebagai antioksidan. hasil menunjukkan bahwa kemampuan nanopartikel perak yang diperoleh memiliki sifat oksidan yang lemah. meskipun demikian, ekstrak daun salam memiliki potensi yang besar untuk mensintesis nanopartikel perak yang dapat dimanfaatkan untuk bidang lain. metodologi alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas yang umum digunakan dalam laboratorium, corong buchner, pompa vacuum, spektrofotometer uv-vis 2600, fourier transform infra red (ftir) shimadzu 820 ipc, x-ray diffraction (xrd), particle size analysis (psa), scanning electron microscopy (sem), rotary evaporator, multistireer, sentrifuge, frezze dry dan timbangan analitik. bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun salam, akuabides, akuades, agno3 (merck), kertas saring whatman no. 42, tissue, kertas label, cling wrap dan aluminium foil. prosedur kerja preparasi dan pembuatan ekstrak daun salam daun salam (syzygium polyanthum) dicuci hingga bersih, kemudian dikeringkan, dipotongpotong hingga halus, kemudian ditimbang sebanyak 5 g daun salam kering dimasukkan ke dalam gelas kimia 250 ml dan ditambahkan 100 ml akuabides lalu dipanaskan hingga mendidih selama 15 menit kemudian didinginkan. setelah mencapai suhu ruang, air rebusan dituang dan disaring menggunakan kertas saring whatman no. 42. air rebusan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan ftir dan dapat digunakan langsung untuk proses sintesis nanopartikel perak dan uji aktivitas antioksidan dari nanopartikel yang diperoleh. nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 53 pembuatan larutan agno3 variasi konsentrasi 2 mm, 1,5 mm, 1 mm dan 0,5 mm sebanyak 0,085 g serbuk agno3 dilarutkan ke dalam akuabides hingga volume 250 ml dan dicampurkan sampai homogen untuk membuat larutan agno3 2 mm. selanjutnya larutan dipipet sebanyak 37,5; 25; dan 12,5 ml dari larutan agno3 2 mm ke dalam labu ukur 50 ml dan ditambahkan akuabides hingga tanda batas untuk membuat konsentrasi agno3 1,5; 1; dan 0,5 mm. optimasi konsentrasi larutan agno3 larutan agno3 2; 1,5; 1 dan 0,5 mm dipipet sebanyak 40 ml dan masing-masing larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian 1 ml ekstrak daun salam ditambahkan ke dalam erlenmeyer tersebut. campuran diaduk dengan pengaduk magnetik selama 15 menit, kemudian dianalisis menggunakan uv-vis. tabel 1. hasil analisis serapan uv-vis nanopartikel perak pada hari ke-1 larutan agno3 konsentrasi 2 mm. komposisi panjang gelombang (nm) absorban 1:10 469,5 10 1:20 434,5 5,032 1:30 432 3,316 1:40 432 2,641 optimasi komposisi larutan agno3 2 mm ekstrak daun salam sebanyak 1 ml dipipet dan dimasukkan masing-masing ke dalam empat erlenmeyer 250 ml, kemudian larutan agno3 2 mm sebanyak 10, 20, 30, dan 40 ml ditambahkan ke dalam masing-masing gambar 1. spektrum serapan uv-vis dari nanopartikel perak variasi konsentrasi agno3 (a) 0,5 mm, (b) 1 mm, (c) 1,5 mm dan (d) 2 mm. nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 54 erlenmeyer. campuran diaduk dengan pengaduk magnetik selama 15 menit, panjang gelombang dan absorbansi dianalisis dengan uv-vis. tabel 2. hasil analisis serapan uv-vis nanopartikel perak waktu (hari) panjang gelombang (nm) absorban 1 432 3,316 2 435 3,829 3 437,5 4,121 4 438 4,397 7 442 4,757 8 436,5 4,990 9 446 5,124 sintesis nanopartikel perak larutan agno3 sebanyak 30 ml dicampur dengan 1 ml ekstrak daun salam kemudian campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik selama 15 menit dan disimpan dalam botol kaca. karakteristik larutan yang berupa warna, spektrum serapan uv-vis dan ph setelah pencampuran pada waktu ke 1, 2, 3, 4, 7, 8, dan 9 hari dilakukan untuk mendapatkan waktu optimum. setelah waktu optimum diperoleh, campuran pada waktu tersebut disentrifugasi kemudian dipisahkan. larutannya dianalisis dengan psa sedangkan padatannya dikeringkan dengan menggunakan frezze dryer untuk dikarakterisasi dengan alat xrd, sem, ftir dan diuji sifat antioksidannya. uji antioksidan pembuatan larutan induk nanopartikel perak 500 ppm serbuk nanopartikel ditimbang sebanyak 0,005 g. kemudian dilarutkan dengan metanol sampai 10 ml. pembuatan larutan induk ekstrak daun salam 500 ppm daun salam ditimbang sebanyak 5 g kemudian ditambahkan akuabides hingga volumenya menjadi 100 ml untuk mendapatkan esktrak 50.000 ppm. larutan ekstrak daun salam 50.000 ppm dipipet sebanyak 0,1 ml, kemudian ditambahkan metanol hingga volumenya menjadi 10 ml untuk memperolah larutan ekstrak daun salam 500 ppm. penentuan aktivitas antioksidan dengan metode dpph uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode efek perendaman terhadap radikal bebas n,n-diphenil-n-pikrilhydrazil (dpph). larutan induk 500 ppm dipipet sebanyak 0,1; 0,2; 0,4; 0,8; 1,6 dan 3,2 ml untuk membuat variasi konsentrasi berturut-turut 10; 20; 40; 80; 160 dan 320 ppm. masing-masing larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian 1 ml larutan dpph 0,4 mm ditambahkan ke dalam tiap-tiap tabung reaksi. volume dicukupkan sampai 5 ml dengan menggunakan metanol, kemudian larutan diinkubasikan pada suhu ruang selama 30 menit di ruang gelap. serapan larutan diukur pada panjang gelombang maksimum (λmax). hasil penetapan antioksidan dibandingkan dengan vitamin c sebagai kontrol positif. besar daya antioksidan dihitung dengan rumus: penentuan ic50 dilakukan dengan memplot konsentrasi sampel dan persen inhibisi masingmasing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. nilai ic50 dinyatakan dengan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai ic50. nilai ic50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas dpph sebesar 50%. hasil dan pembahasan sintesis nanopartikel perak optimasi konsentrasi larutan agno3 spektrum serapan uv-vis dari nanopartikel perak sebagai fungsi konsentrasi larutan agno3 dapat dilihat pada gambar 1. pengukuran absorbansi larutan dilakukan pada kisaran panjang gelombang 200–700 nm. gambar 3 menunjukkan bahwa panjang gelombang dan absorbansi dari nanopartikel perak bertambah dengan bertambahnya waktu. nanopartikel perak dengan variasi konsentrasi larutan agno3 menunjukkan semakin kecil konsentrasi larutan agno3 yang digunakan maka semakin besar panjang gelombang dan semakin kecil absorbansi yang terbentuk. nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 55 nanopartikel perak dengan ukuran terkecil ditandai dengan panjang gelombang kecil dan absorbansi yang paling besar. dari keempat variasi konsentrasi larutan agno3 yang memiliki panjang gelombang paling kecil dan absorbansi yang besar adalah konsentrasi 2 mm. sehingga konsentrasi larutan agno3 yang digunakan untuk sintesis nanopartikel perak dalam skala besar adalah konsentrasi 2 mm. optimasi komposisi larutan agno3 hasil analisis serapan uv-vis nanopartikel perak pada hari ke-1 dapat dilihat pada tabel 1. panjang gelombang maksimum bervariasi dari 432–469,5 nm dengan variasi komposisi larutan agno3 terhadap ekstrak daun salam. data ini menunjukkan bahwa nanopartikel perak dihasilkan pada semua komposisi yang dihasilkan. semakin besar komposisi larutan agno3 2 mm terhadap ekstrak daun salam yang digunakan maka semakin kecil panjang gelombang dan absorbansi yang dihasilkan. komposisi larutan agno3 2 mm yaitu 1:10 dan 1:20 memiliki panjang gelombang dan absorbansi yang besar dibandingkan dengan komposisi 1:30 dan 1:40 yang menunjukkan kemungkinan terjadinya aglomerasi dan membentuk warna kehitaman. komposisi 1:30 dan 1:40 memiliki panjang gelombang yang sama pada hari ke-1 sehingga komposisi dengan absorbansi yang paling besar (1:30) dipilih untuk sintesis nanopartikel perak dalam jumlah besar. karakterisasi nanopartikel perak studi kestabilan nanopartikel perak dengan spektrofotometer uv-vis tabel 2 menunjukkan panjang gelombang dan absorbansi dari nanopartikel perak sebagai gambar 2. hasil analisis psa nanopartikel perak, histogram dispersi ukuran (a) dengan intensitas, (b) dengan nomor dan (c) dengan volume. (a) (b) (c) nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 56 fungsi waktu. panjang gelombang maksimum yang dihasilkan bervariasi dari 432–446 nm yang menunjukkan terbentuknya nanopartikel perak pada semua waktu yang digunakan. perubahan panjang gelombang tidak terlalu besar dari hari 1 sampai hari ke-9. hal ini menunjukkan bahwa nanopartikel perak yang dihasilkan cenderung stabil. waktu reaksi sangat mempengaruhi nanopartikel perak yang terbentuk. absorbansi berhubungan dengan jumlah nanopartikel yang terbentuk. hasil menunjukkan bahwa absorbansi dari hari 1 meningkat sampai hari ke-9. untuk penelitian lebih lanjut, waktu yang dipilih adalah 8 hari (waktu optimum) karena pada waktu tersebut, nanopartikel perak yang dihasilkan memiliki panjang gelombang yang lebih kecil dan absorbansi yang lebih besar dibandingkan dengan hari sebelumnya. pada hari ke-9 panjang gelombang nanopartikel perak meningkat dengan meningkatnya absorbansi. ukuran nanopartikel perak dengan particle size analyzer metode pengukuran partikel dengan psa dinilai lebih akurat dalam menentukan distribusi ukuran partikel. hasil penentuan distribusi ukuran nanopartikel perak dengan menggunakan psa ditunjukkan pada gambar 2. data ukuran partikel yang diperoleh berupa tiga distribusi yaitu intensitas, nomor dan volume, sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (nikmatin dkk., 2011). hasil karakterisasi dengan menggunakan psa menunjukkan secara keseluruhan rata-rata ukuran diameter nanopartikel perak yang telah berhasil disintesis yaitu 45,7 nm. hasil karakterisasi ini mendukung hasil yang diperoleh dengan menggunakan spektrovotometer uv. ukuran dalam skala nano yang dihasilkan membuktikan bahwa ekstrak daun salam memiliki potensi sebagai agen pereduksi dalam sintesis nanopartikel. morfologi nanopartikel perak dengan sem hasil analisis dengan sem ditunjukkan pada gambar 3. hasil sem nanopartikel perak menunjukkan bahwa morfologi nanopartikel perak memiliki struktur permukaan yang halus dengan partikel yang tidak seragam dan berbentuk batang agak memanjang. ukuran partikel yang tidak seragam ditunjukkan pada perbesaran 7.500 kali dengan ukuran partikel yaitu 1,25; 2,5; 3,25; dan 3,5 µm. sedangkan pada perbesaran 15.000 kali dengan ukuran partikel yaitu 1; 1,37; 1,5; dan 2,5 µm. hasil karakterisasi ini membuktikan bahwa perak yang dihasilkan memiliki ukuran nano seperti dihasilkan dari karakterissi dengan menggunakan spektrovotometer uv. keberagaman ukuran partikel yang diperoleh juga dilaporkan oleh oleh masakke dkk. (2014) yang menyatakan bahwa nanopartikel perak yang dihasilkan memiliki ukuran yang bervariasi akibat efek dari agregasi nanopartikel dan memiliki partikel yang tidak seragam. karakterisasi nanopartikel perak dengan ftir spektrum ftir ekstrak daun salam dan nanopartikel perak ditunjukkan pada gambar 4. gambar 3. hasil analisis sampel nanopartikel perak dengan menggunakan sem pada (a) skala 2 µm (7,500 x) dan (b) skala 1µm (15,000x). (a) (b) nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 57 spektrum ftir tersebut menunjukkan adanya gugus fungsional yang berbeda. pita serapan dari ekstrak daun salam pada (gambar 4 a) 3412 cm -1 adalah karakteristik dari vibrasi peregangan o-h yang berasal dari kelompok senyawa yang terkandung dalam senyawa flavonoid, tanin, terpenoid, saponin dan polifenol. ciri umum senyawa fenolik diindikasikan oleh adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1616 cm -1 yaitu serapan c=o. bilangan gelombang 1043–1068 cm -1 merupakan gugus c-o. pita serapan dari bilangan gelombang 2924 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi peregangan c-h. pita serapan dari nanopartikel perak pada (gambar 4b) bilangan gelombang 3446 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi peregangan o-h. bilangan gelombang 3134 cm -1 menunjukkan adanya gugus csp2h. bilangan gelombang 1618 cm -1 menunjukkan adanya gugus c=o. bilangan gelombang 1382 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi peregangan co. bilangan gelombang 1022 cm -1 menunjukkan adanya gugus c-o bending. gambar 4 menunjukkan adanya pergeseran bilangan gelombang menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara gugus fungsi dengan nanopartikel. pergeseran spektrum dari ekstrak daun salam setelah pembentukan nanopartikel perak yakni pada gugus o-h, c=o dan c-o yang menunjukkan bahwa gugus-gugus ini berperan dalam reaksi reduksi logam perak. karakterisasi nanopartikel perak dengan xrd karakterisasi nanopartikel perak dengan menggunakan xrd untuk mendukung pembuktian bahwa nanopartikel yang disintesis adalah murni nanopartikel perak. hasil xrd nanopartikel perak ditunjukkan pada gambar 5. gambar 5 memperlihatkan pola difraksi xrd yang dihasilkan oleh nanopartikel perak yang disintesis menggunakan ekstrak daun salam setelah ag + mengalami reduksi menjadi ag o . difraktogram yang dihasilkan menunjukkan puncak yang cukup tajam yang membuktikan telah terbentuk nanopartikel perak. hal ini ditunjukkan oleh nilai 2 θ dari nanopartikel perak berturut-turut yaitu 37,76; 43,98; 64,30 dan 77,31 yang mendekati data difraktogram perak standar yaitu 38,11; 44,30, 64,44 dan 77,40. indeks miller masing-masing (111), (200), (202) dan (311). tabel 3. data difraktogram xrd nanopartikel perak 2-theta fwhm indeks miller ukuran (nm) 37,76 0,92 111 10,06 43,98 0,77 200 12,17 64,30 0,73 202 13,97 77,31 0,98 311 11,61 gambar 4. spektrum ftir a) ektrak daun salam b) nanopartikel perak. nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 58 dari difraktogram terdapat puncak selain puncak khas nanopartikel perak, hal ini menandakan bahwa nanopartikel perak yang dihasilkan masih mengandung pengotor atau belum murni 100% nanopartikel perak. data difraktogram (tabel 3) juga memberikan informasi distribusi ukuran butir nanopartikel perak. distribusi ukuran nanopartikel perak yang berhasil disintesis memiliki ukuran yang bervariasi yakni 10,06–13,97 nm. hasil ini mendukung analisis dengan spektrofotometer uv yang menunjukkan bahwa nanopartikel perak terbentuk dengan menggunakan bioresuktor dari ekstrak daun salam. tabel 4. aktivitas antioksidan ekstrak daun salam dan npag no konsentrasi (ppm) %aktivitas antioksidan ekstrak daun salam npag 1 10 5,75 4,63 2 20 7,95 5,43 3 40 21,16 6,86 4 80 39,66 10,16 5 160 70,78 16,58 uji aktivitas antioksidan nanopartikel perak antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. hasil pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak daun salam dan nanopartikel perak dengan variasi konsentrasi dapat dilihat pada tabel 4. berdasarkan aktivitas antioksidan ekstrak daun salam dan nanopartikel perak menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi (ppm) yang digunakan maka semakin besar aktivitas antioksidannya. aktivitas antioksidan ekstrak daun salam lebih besar dibandingkan dengan aktivitas antioksidan nanopartikel perak. adapun aktivitas antioksidan senyawa pembanding yaitu vitamin c dapat terlihat pada tabel 5. tabel 5. nilai aktivitas antioksidan vitamin c sebagai pembanding no konsentrasi (ppm) %aktivitas antioksidan vitamin c 1 0,25 35,18 2 0,5 37,65 3 1 41,97 4 2 53,08 5 4 74,07 vitamin c yang digunakan sebagai pembanding atau kontrol positif memiliki aktivitas antioksidan jauh lebih besar dari ekstrak daun salam dan nanopartikel perak yaitu pada konsentrasi 4 ppm sebesar 74,07%. nilai ic50 berbanding terbalik dengan aktivitas antioksidan dari ekstrak daun salam dan nanopartikel perak. semakin besar aktivitas antioksidannya maka semakin kecil nilai ic50. ic50 merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan penghambatan gambar 5. difraktogram xrd nanopartikel perak nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 59 50% radikal bebas oleh suatu konsentrasi sampel (ppm) (mailandari, 2012). hasil nilai ic50 dari ekstrak daun salam, nanopartikel perak dan vitamin c dapat dilihat pada tabel 6. berdasarkan nilai ic50 diatas, nanopartikel perak memiliki daya antioksidan yang sangat lemah yang dapat dilihat dari nilai ic50 yakni 582,66 ppm dibandingkan dengan ekstrak daun salam dengan nilai ic50 yaitu 109,64 ppm yang daya antioksidannya sedang yang dipengaruhi oleh banyaknya senyawa antioksidan yang terdapat dalam ekstrak daun salam seperti flavonoid, saponin, steroid dan alkaloid dibandingkan dengan nanopartikel perak yang memiliki gugus fungsi tertentu dan nanopartikel perak yang terbentuk memiliki ukuran yang cukup besar sehingga memungkinkan aktivitas antioksidannya sangat lemah. nilai ic50 diperoleh dari beberapa tahapan yaitu menghitung nilai konsentrasi dan nilai inhibisi untuk masing-masing persentase aktivitas penghambat radikal bebas dpph dari ekstrak daun salam, nanopartikel perak dan vitamin c. tabel 6. nilai ic50 dari ekstrak daun salam, nanopartikel perak dan vitamin c sampel nilai ic50 (ppm) daya antioksidan ekstrak daun salam 109,637 sedang nanopartikel perak 582,657 sangat lemah vitamin c 1,727 sangat kuat beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan uji aktivitas nanopartikel perak. bunghez dkk. (2012) memperoleh hasil aktivitas antioksidan nanopartikel perak dari ekstrak hyacinthus orientalis yaitu 88,30% dan hasil aktivitas antioksidan dari ekstrak dianthus caryophyllus yaitu 97,38%. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) mampu berfungsi sebagai bioreduktor dalam proses sintesis nanopartikel perak. sintesis nanopartikel dengan ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) menghasilkan nanopartikel perak berwarna kuning kecoklatan yang memiliki panjang gelombang 432–446 nm berbentuk batang agak memanjang dengan diameter rata-rata sebesar 45,7 nm. ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai ic50 yaitu 109,637 ppm dan nanopartikel perak dengan ic50 yaitu 582,657 ppm. daftar pustaka asmathunisha, n., kathiresan, k., 2013, a review on biosynthesis of nanoparticles by marine organisms, colloids surf., b, 103, 283–287. bahriul, p., rahman, n., diah, a. w. m., 2014, uji aktivitas antioksidan ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) dengan menggunakan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil, j. akad. kim., 3(3), 143-149. bunghez, i. r., patrascu, m. e. b., badea, n., doncea, s. m., popescu, a., ion, r. m., 2012. antioxidant silver nanoparticles green synthesized using ornamental plants, j. optoelectronics adv. mater., 11(14), 1016-1022. haryono, a., sondari, d., harmami, s. b., randy, m., 2008, sintesa nanoparikel perak dan potensi aplikasinya, j. ris. ind., 2(3), 155-163. hartanti, l., yonas, s.m.k., mustamu, j.j., wijaya, s., setiawan, h.k., and soegianto, l., 2019, influence of extraction methods of bay leaves (syzygium polyanthum) on antioxidant and hmg-coa reductase inhibitory activity, heliyon, 5, 1-14. hasanah, n., 2015, aktivitas antioksidan ektrak etanol daun salam, j. pena medika, 5(1), 55-59. john, k.m.m., ayyanar , m., arumugam , t., enkhtaivan , g., jin, k., and kim, d.h., 2015, phytochemical screening and antioxidant activity of different solvent, extracts from strychnos minor dennst leaves, asian pac., j. trop. dis., 5(3), 204209. kusuma, i.w., kuspradini, h., arung, e.t., aryani , f., min , y.-h., kim, y.-u., biological activity and phytochemical analysis of three indonesian medicinal plants, murraya koenigii, syzygium polyanthum and zingiber purpurea, j. acupunct. meridian stud., 4(1),75-79 nadya yuli parmitha dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 51-60 60 lembang, e. y., maming, zakir, m., 2013, sintesis nanopartikel perak dengan metode reduksi menggunakan bioreduktor ekstrak daun ketapang (terminalia catappa), repository, universitas hasanuddin, makassar. mailandari, m., 2012, uji aktivitas antioksidan ekstrak daun garcinia kydia roxb dengan metode dpph dan identifikasi senyawa kimia fraksi yang aktif, skripsi tidak diterbitkan, universitas indonesia, depok. masakke, y., rasyid, m., sulfikar, 2014, biosintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak metanol daun manggis (garcinia mangostana l.), j. chem., 5(2), 45-57. nikmatin, s., maddu, a., purwanto, s., mandang, t., purwanto a., 2011, analisa struktur mikro pemanfaatan limbah kulit rotan menjadi nanopartikel selulosa sebagai pengganti serat sintetis, j. biofis., 7(1), 41-49. saharan, p., sadh, p.k., and duhan, j. s., 2017, comparative assessment of effect of fermentation on phenolics, flavanoids and free radical scavenging activity of commonly used cereals, biocat. agric. biotechnol., 12, 236-240. schmidt, k. f., 2007, green nanotechnology: it’s easier than you think. project on emerging nanotechnology, woodwraw wilson international center for scholars, 8, 1–36. sharma, v. k., yngard, r. a., lin, y., 2009, silver nanoparticles: green synthesis and their antimicrobial activities, adv. colloid and interface sci., 145(1–2), 83–96. wahab, a., w., abdul karim, nursiah la nafie, nurafni, i w. sutapa, 2018, synthesis of silver nanoparticles using muntingia calabura l. leaf extract as bioreductor and applied as glucose nanosensor, oriental j. chem., 34(6), 3088-3094. wahyudi, t., dan rismayani, s., 2008, aplikasi nanoteknologi pada bidang tekstil, arena tekstil, 23(2), 52-109. widjajakusuma, e.c., jonosewojo, a., hendriati, l., wijaya, s., ferawati, xx , surjadhana , a., and sastrowardoyo, w., monita, n., muna, n.m., fajarwati, r.p., ervina, m., esar, s.y., soegianto, l., lang, t., and heriyanti, c., 2018, phytochemical screening and preliminary clinical trials of the aqueous extract mixture of andrographis paniculata (burm. f.) wall. ex nees and syzygium polyanthum (wight.) walp leaves in metformin treated patients with type 2 diabetes, phytomedicine, 55, 137-147. widyawati, t., yusoff, n.a., asmawi, m.z., and ahmad, m, 2015, antihyperglycemic effect of methanol extract of syzygium polyanthum (wight.) leaf in streptozotocin-induced diabetic rats, nutrients, 7, 7764-7780. yahia, y., bagues , m., zaghdoud , c., al-amri , s.m., nagaz, k., and guerfel, m., 2019, phenolic profile, antioxidant capacity and antimicrobial activity of calligonum arich l., desert endemic plant in tunisia, south african j. botany, 124, 414-419. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 extraction of the chemical components of dengen leaves (dillenia serrata thunb) by mae method and activity test as antioxidant and toxicity nasriadi dali 1* , seniwati dali 2 , armadi chairunnas 3 , hilda ayu melvi amalia 4 , sri ayu andini puspitasari 5 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, halu oleo university, kampus hijau bumi tridharma anduonohu, kendari 93232 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan km.10 tamalanrea, makassar 90245 3 department of biology, faculty of mathematics and natural sciences, university of nahdlatul 'ulama sultra jl. mayjen katamso lr. satya kencana, kendari 93116 4 study program of tadris biology, faculty of tarbiyah and teacher training, institut agama islam negeri, jl. sultan qaimuddin no. 17, kendari 93563 5 department of public health, faculty of public health, halu oleo university, kampus hijau bumi tridharma anduonohu, kendari 93232 *corresponding author: arniahdali64@gmail.com received: july 2022 received in revised: august 2022 accepted: august 2022 available online: september 2022 abstract research on the extraction of chemical components of dengen (dillenia serrata thumb) leaves using the mae (microwave-assisted extraction) method and activity as an antioxidant and toxicity test has been carried out. this study aimed to extract the chemical components of dengen leaves using the mae method and to test the antioxidant activity and toxicity of the ethanol extract of dengen leaves. the chemical components of dengen leaves were extracted by the mae method and obtained ethanol extract with a yield of 47%. dengen leaves ethanol extract was partitioned with n-hexane and ethanol as solvents and obtained yields of 5% (n-hexane) and 65% (ethanol). the chemical components of dengen leave ethanol extract were identified by phytochemical screening. the results of phytochemical screening showed the presence of secondary metabolites of alkaloids, flavonoids, saponins, polyphenols, terpenoids, and steroids. the antioxidant activity test of the ethanol extract of dengen leaves was carried out using the dpph (2,2-diphenyl-1-picrihydrazil) method and obtained the value of ic50 = 100,363 ppm (strong antioxidant). a toxicity test of the ethanol extract of dengen leaves was carried out using the bslt (brine shrimp lethality test) method and obtained the value of lc50 = 18.3443 ppm (very toxic). keywords: antioxidant, dillenia serrata, microwave, extraction, toxicity. introduction dengen plant (dillenia serrata thumb) is one of the endemic plants that grow wild in sulawesi. dengen plant is used in traditional medicine. dengen bark decoction is used as a medicine for vomiting blood windardi et al., 2006; sinala et al., 2021. dengen leaf decoction is used as a remedy for indigestion. dengen fruit juice is used as a thrush medicine (purnawati et al., 2020). for these traditional medicinal raw materials to be medically accountable, it is necessary to conduct scientific testing on chemical components, efficacy, safety, and quality standards. initial information about the chemical components of a plant can be obtained through extraction and phytochemical screening. the method commonly used to extract the chemical components of a plant is maceration. the advantages of the maceration method are that it is easier, simpler, and cheaper to process. another advantage of maceration is that this method can be used to extract medicinal substances from a heat-resistant and non-heatresistant simplicia because this method is carried out at room temperature. the disadvantages of the maceration method are that the time required to extract the material is quite long, the extraction is not perfect or not optimal, and the volume of solvent used is quite a lot if we have to do maceration. the disadvantages of the maceration method can be overcome by using the mae (microwave-assisted extraction) method. the mae method is a technique for extracting dissolved materials in a simplicia with the help of microwave energy. this technology is suitable for the extraction of thermolabile compounds doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel. 74 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 because this method has better temperature control than conventional heating processes. other advantages of the mae method are shorter extraction times, less energy and solvent usage, higher yields, higher accuracy and precision, improved mass transfer, and equipment settings that incorporate both soxhlet and microwave features (fadiyah et al., 2020). phytochemical screening is a preliminary test carried out to determine secondary metabolites contained in a plant. the content of secondary metabolites of the dengen plant that have been reported by researchers are alkaloids, flavonoids, saponins, polyphenols, tannins, terpenoids, and steroids. these secondary metabolites have been reported to be contained in the methanol extract of dengen bark (jalil et al., 2015), ethanol extract of dengen fruit (illing et al., 2017), and ethanol extract of dengen leaves (purnawati et al., 2020). the efficacy of extracts or secondary metabolites of the dengen plant can be seen from the results of the bioassay test. one of the commonly used bioassay tests is the antioxidant activity test using the dpph (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) method. the parameter used to determine the antioxidant activity of a compound or extract is ic50 (inhibition concentration 50%). the ic50 value indicates the concentration of the compound or extract that can reduce the absorption intensity or counteract dpph free radicals by 50%. the part of the dengen plant that has been reported to have antioxidant activity is fruit juice with an ic50 value of 161.63 mg/ml (purba & mujadilah, 2017). the way to find out if a plant contains bioactive compounds is to do a toxicity test. this test is a preliminary test to determine the pharmacological activity of a compound or extract. one of the methods that can be used for toxicity test is bslt (brine shrimp lethality test). the parameter used to determine the level of toxicity of a compound or extract is lc50 (lethal concentration 50%). the lc50 value indicates the concentration of toxic substances that can cause the death of test animals up to 50%. so far, no part of the dengen plant has been reported to be toxic. therefore, it is important to conduct this research to determine the chemical components of the ethanol extract of dengen leaves which have the potential as raw materials for anticancer drugs. methodology materials and instrumentals the materials used are dengen leaves (dillenia serrata thunb), ethanol (technical), n-hexane (technical), ethyl acetate (technical), aquabidest (onelab), aluminum foil (diamond), tissue (nice), filter paper ( whatman), hgcl2 p.a. (e. merck), ki p.a. (e. merck), h2so4 p.a. (e. merck), i2 p.a. (e. merck), fecl3 p.a. (e. merck), bi(no3)3 p.a. (e. merck), hno3 p.a. (e. merck), ch3co2h p.a. (e. merck), hcl p.a. (e. merck), mg p.a. (e. merck), chcl3 p.a. (e. merck), ch3oh p.a. (e. merck), acetic anhydride p.a. (e. merck), vitamin c or ascorbic acid (c6h8o6) p.a. (e. merck), 2,2-diphenyl-1picrylhydrazyl (dpph) reagent, meyer reagent, wagner reagent, wilstater reagent, liebermannburchad reagent, and shrimp larvae artemia salina leach. the instrumentals used are analytical balance (scientech), blender (sharp), chamber (pyrex), chemical beaker (pyrex), cutter (bazic), dropper pipette (pyrex), electrothermal 9100, erlenmeyer (pyrex), funnels (pyrex), heating mantles, jar, magnetic stirrers (1 cm), measuring cup (pyrex), multichannel micropipette (30-300, 20-200, 10-100 l), 96-well microplate, microwave (panasonic nnst342m), pump air (shimizu), porcelain cup, refrigerator (sharp), rotary vacuum evaporator (buchi germany), ruler (butterfly), scissor (joyko), uv-vis spectrophotometer (jasco v-360), stirring rod, thermometers (100 o c), and vacuum oven (cosmos). methods microwave assisted extraction (mae) dengen leaves powder (500 g) was macerated with ethanol (1500 ml) for 3 x 24 hours. every 24 hours, the macerate was filtered to separate the filtrate and residue. the filtrate was stored in a jar and the residue was macerated again with ethanol (1500 ml). the filtrate obtained from each filtration is combined into one. the filtrate (300 ml) was put into an erlenmeyer flask in the microwave. the filtrate was destroyed by microwave at 600 watts for 100 minutes. the digested filtrate is stored in a jar. this procedure was repeated until all the filtrate was destroyed in the microwave. the ethanol liquid macerate from the destruction was combined and concentrated with a rotary vacuum evaporator at 78 o c. dengen leaves concentrated ethanol extract was weighed and the yield was calculated (fadiyah et al., 2020). partition dengen leaves concentrated ethanol extract (100 g) was dissolved in ethanol (200 ml). dengen leaves ethanol extract solution (50 ml) was put into a separating funnel and partitioned in stages with nhexane and ethanol as solvents. this procedure was doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 75 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 repeated until all the ethanol extract solution of dengen leaves was partitioned in stages. phytochemical screening alkaloid test dengen leaves concentrated ethanol extract (1 mg) was dissolved in ethanol (5 ml). dengen leaves ethanol extract solution (2 ml) was added with 2 n hcl (1 ml) and aquabidest (3 ml). the solution was heated while stirring with a magnetic stirrer for 3 minutes. the sample solution (1 ml) was put into 2 different test tubes. meyer's reagent (3 drops) was added to test tube 1. the alkaloid test was declared positive if a yellowish white or cream precipitate was formed. wagner reagent (3 drops) was added to test tube 2. the alkaloid test was declared positive if a reddish brown or orange precipitate was formed (jaafar et al., 2007; (fadeyi et al., 2022). flavonoid test dengen leaves concentrated ethanol extract (1 mg) was dissolved in ethanol (5 ml). dengen leaves ethanol extract solution (2 ml) was added with mg powder (1 mg) and concentrated hcl (1 ml). the mixture was heated and stirred with a magnetic stirrer until the mg powder dissolved. the flavonoid test was declared positive if a yellowish red or orange color was formed (jaafar et al., 2007; souhoka et al., 2019; fadeyi et al., 2022). saponin test dengen leaves concentrated ethanol extract (1 mg) was dissolved in ethanol (5 ml). dengen leaves ethanol extract solution (2 ml) was added with hot aquabidest (1 ml) and concentrated hcl (3 drops) and then shaken for 30 seconds. the saponin test was declared positive if a stable foam was formed for 1 minute (jaafar et al., 2007; yanti et al., 2021; fadeyi et al., 2022). polyphenol test dengen leaves concentrated ethanol extract (1 mg) was dissolved in ethanol (5 ml). dengen leaves ethanol extract solution (2 ml) was added with 10% fecl3 (3 drops). the polyphenol test was declared positive if a blue-black color was formed (jaafar et al., 2007; fadeyi et al., 2022). terpenoid and steroid test dengen leaves concentrated ethanol extract (1 mg) was dissolved in ethanol (5 ml). dengen leaves ethanol extract solution (2 ml) and chcl3 (1 ml) were put into 2 different test tubes. liebermannburchad reagent (1 ml) was added slowly through the wall of the test tube. the terpenoid test was declared positive if a brown or violet ring is formed at the solution boundary. the steroid test was declared positive if a greenish-blue ring was formed at the solution boundary (jaafar et al., 2007; fadeyi et al., 2022). antioxidant activity test with dpph method dpph solution (blank) (1 ml), test solution (20, 40, 60, 80, 100 g/ml) (4 ml) + dpph 0.3 mm (1 ml), and ascorbic acid solution (20, 40 , 60, 80, 100 g/ml) (4 ml) + dpph 0.3 mm (1 ml) were incubated at 37 o c for 30 minutes. the absorbance of each solution was measured by uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 510-520 nm (marliani et al., 2015; dali et al., 2013; dali et al, 2017; souhoka et al., 2019; yanti et al., 2021). the percentage of inhibition was calculated using equation (1). % inhibition = (ablank ) − (asample) (ablank ) x 100% (1) inhibitory concentration 50% (ic50) of dengen leaves ethanol extract and ascorbic acid (vitamin c) was determined from the graph of concentration (ppm) as the x-axis against the percentage of inhibition (%) as the y-axis. the ic50 value is obtained from the value of x (concentration) after replacing the value of y = 50 (inhibition 50%) in the linear regression equation, y = a + bx. antioxidant activity test criteria a substance is said to be very strong antioxidant if the value (ic50 50 ppm), strong (ic50 between 51100 ppm), moderate (ic50 between 101-150 ppm), weak (ic50 between 151-200 ppm), and very weak (ic50 201 ppm). (kedare & singh, 2011) toxicity test with bslt method a toxicity test was carried out using the brine shrimp lethality test (bslt) method. the test was carried out by entering the test solution (100 l) (7.8125, 15.625, 31.25, 62.5, 125, 250, 500 ppm) containing artemia salina leach shrimp larvae (10-15 tails) into each well on a microplate. the microplate was incubated for 2 x 24 hours at a temperature of 2229 o c. the number of live and dead larvae was counted every 24 hours. this procedure is repeated up to three times. while the control or without the addition of the test solution was only carried out once (meyer et al., 1982; solis et al., 1992; (carballo et al., 2002); mclaughlin et al., 1998; solanki et al., 2013; mentors et al., 2014). doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 76 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 percentage of mortality and corrected mortality of artemia salina leach shrimp larvae were calculated using abbott's equations (2) and (3) (finney, 1952; finney 1971). % mortality = number of dead larvae number of live larvae x100% (2) corrected mortality (%) = mobs− mcontrol 100− mcontrol x 100 (3) the lethal concentration 50% (lc50) value was calculated using a graph or regression method according to the standard probit analysis procedure. how to calculate lc50 using the graphical method, namely from the graph of the probit value (y-axis) to the concentration of log10 (x-axis) a straight line (linear) is drawn through the plotted points. this straight line is used to estimate the concentration of log10 (x) associated with the value of probit (y) = 5 (probit 50%). the lc50 value was obtained by changing the concentration value of log10 (x) to antilog. meanwhile, how to calculate lc50 using the regression method, namely the concentration value of log10 (x) is calculated from the linear regression formula, y = a + bx, which is related to the value of probit (y) = 5 (probit 50%). the lc50 value is obtained by changing the concentration value of log10 (x) to antilog (finney, 1952; finney 1971). toxicity testing criteria the toxicity of herbal extracts expressed as lc50 values is commonly valorized either by comparison to meyer’s or to clarkson’s toxicity index. according to meyer’s toxicity index, extracts with lc50 < 1000 µg/ml are considered as toxic, while extracts with lc50 > 1000 µg/ml are considered as non-toxic (meyer et al., 1982). clarkson’s toxicity criterion for the toxicity assessment of plant extracts classifies extracts in the following order: extracts with lc50 above 1000 μg/ml are non-toxic, lc50 of 500 1000 µg/ml are low toxic, extracts with lc50 of 100 500 μg/ml are medium toxic, while extracts with lc50 of 0 100 µg/ml are highly toxic (clarkson et al., 2004). results and discussion extraction and partition the results of microwave-assisted extraction of dengen leaves powder in ethanol solvent and the results of liquid-liquid partitioning of dengen leaves ethanol extract with n-hexane and ethanol as solvents are shown in table 1. extraction is the process of withdrawing the components of bioactive compounds from a mixture of solids or liquids using certain solvents. the components of the bioactive compounds in the mixture will move into the solvent during the extraction process. the extraction method used in this research is mae. mae method is an extraction process that utilizes the energy generated by microwaves in the form of electromagnetic radiation. the extraction process takes place in a glass reactor which is irradiated with microwaves at a voltage of 600 watts for 100 minutes. the glass reactor used is clear. this is so that the microwaves can penetrate the walls of the glass reactor so that they can interact with solvent molecules. the solvent molecules will move randomly during the microwave irradiation process, causing collisions between solvent molecules. this successive molecular collision will generate energy, so that the temperature in the glass reactor increases. the heat generated by the collision of these molecules will destroy the cell walls of the simplicia, so this process will help the mass transfer of the simplicia bioactive compounds into the solvent. this process causes the weight of crude (235 g) (table 1) obtained from the mae method of dengen leaves in ethanol solvent to be heavier than the extraction results obtained from the conventional maceration method (145 g) (purnawati et al., 2020). fractionation is the process of separating mixed components of an extract based on differences in polarity properties. the fractionation method used in this research is liquid-liquid partition. liquid-liquid partitioning is done by adding n-hexane as a solvent in the extract which has been dissolved in ethanol so that two phases are formed. the components of the bioactive compounds in the extract will dissolve between the two phases according to their polarity. the process of dissolving substances in this solvent is by the principle of like dissolves, i.e. the solubility of a compound between two phases will depend on the similarity of the polarity of the compound with the liquid solvent. this process causes the weight of crude obtained from the liquid-liquid partition extraction of dengen leaves ethanol extract in ethanol solvent (65 g) to be heavier than in n-hexane (5 g) solvent (table 1). phytochemical screening the results of phytochemical screening of the ethanol extract of dengen leaves are shown in table 2. table 2 shows that the ethanol extract of dengen leaves contains secondary metabolites of alkaloids, flavonoids, saponins, polyphenols, terpenoids, and steroids. secondary metabolites of this group have also been found in dengen leaves (purnawati et al., 2020), dengen fruit (bandara et al., 2015); (gandhi & doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 77 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 mehta, 2013); suaib, 2021; illing et al., 2017; illing et al., 2018; illing et al., 2019;), and dengen bark (sabandar et al., 2020). antioxidant activity test with dpph method the results of the average absorbance measurement at max (513 nm), calculation of % inhibition, and ic50 of ethanol extract of dengen leaves and ascorbic acid (vitamin c) are shown in table 3. the percentage of inhibition is a parameter used to indicate the concentration of an antioxidant compound in inhibiting dpph free radicals. table 3 shows that the higher the concentration of ethanol extract of dengen leaves, the higher the percentage of free radical inhibition of dpph. these results indicate that the higher the concentration of the test sample, the more antioxidant compounds react with dpph free radicals. on the other hand, the higher the concentration of dengen leaves ethanol extract, the lower the absorbance value. this is indicated by a change in the intensity of the color of the solution, i.e. dark purple from dpph free radicals changes to yellow from neutral dpph-h at max (513 nm). this phenomenon is also seen in the absorbance value and the percentage of dpph free radical inhibition of vitamin c as a comparison. however, the absorbance value of the ethanol extract of dengen leaves > vitamin c and the percentage of free radical inhibition of dpph from the ethanol extract of dengen leaves < vitamin table 1. the results of extraction and partition of ethanol extract of dengen leaves extraction method sample weight (g) solvent solvent volume (ml) crude weight (g) results (%) microwave assisted extraction (mae) 500 ethanol 4500 235 47 liquid-liquid partition 100 n-hexane 200 5 5 ethanol 200 65 65 table 2. the results of phytochemical screening of ethanol extract of dengen leaves phytochemical test reagent discoloration observation result test results before after alkaloids meyer a yellowish white or cream precipitate is formed + wagner a reddish brown or orange precipitate is formed + flavonoids wilstater formation of yellowish red or orange color ++ saponins hot aquabidest + concentrated hcl stable foam is formed for 1 minute + polyphenol fecl3 formation of dark blue color ++ terpenoids liebermannburchad (lb) a reddish brown ring is formed at the solution boundary ++ steroids liebermannburchad (lb) a blue-green ring is formed at the solution boundary ++ description: (-) = negative; (+) = weak positive; (++) = strong positive doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 78 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 c. this is because vitamin c is a relatively purer compound than the ethanol extract of dengen leaves. the graph of the relationship between the concentration of dengen leaves ethanol extract and vitamin c added to dpph with the percentage of free radical inhibition of dpph is shown in figures 1 and 2. the value of x (ic50) for the ethanol extract of dengen leaves can be obtained from the linear regression line equation y = 0.9083x 20.236 (figure 1). if the value of y = 50 (inhibition 50%), the value of x (ic50) = 77.3269 ppm (table 3). the value of x (ic50) for vitamin c can be obtained from the equation of the linear regression line y = 0.9297x 8.236 (figure 2). if the value of y = 50 (inhibition 50%), the value of x (ic50) = 62.6396 ppm (table 3). thus, the ic50 value of the ethanol extract of dengen leaves (77.3269 ppm) was greater than the ic50 of vitamin c (62.6396 ppm). figure 1. graph of the relationship between the concentration of ethanol extract of dengen leaves + dpph with the percentage of free radical inhibition of dpph. ic50 value is a parameter used to indicate the concentration of an antioxidant compound that can inhibit 50% of dpph free radicals. the smaller the ic50 value of a compound, the higher its antioxidant activity. a compound is said to have very strong antioxidant activity if the value is (ic50 50 ppm), strong (51 ic50 100 ppm), moderate (101 ic50 150 ppm), weak (151 ic50 200 ppm), and very weak. (ic50 201 ppm) (molyneux, 2004); (dali et al., 2017). therefore, the antioxidant activity of the ethanol extract of dengen leaves was strong (ic50 = 77.3269 ppm) (table 3) (figure 1). similarly, the antioxidant activity of vitamin c was included as strong (ic50 = 62.6396 ppm) (table 3) (figure 2). the results of the research by irnawati et al., (2017) also showed that the antioxidant activity of vitamin c was very strong (ic50 = 24.63 mg/l) and dengen fruit juice was weak (ic50 = 161.63 mg/l). meanwhile, the results of the research by sabandar et al., (2020) showed that the methanol extract of dengen stem bark could capture dpph free radicals with an inhibition percentage of 48.2 59.7% compared to vitamin c, trolox, and gallic acid of 90.3 93.8% at a concentration of 100 μg/ml. figure 2. graph of the relationship between the concentration of vitamin c + dpph with the percentage of free radical inhibition of dpph. the antioxidant activity of a compound is measured by its ability to scavenge free radicals. the results showed that the antioxidant activity of the ethanol extract of dengen leaves was strong (ic50 = 77.3269 ppm) (table 3) and (figure 1). this means that the ethanol extract of dengen leaves is quite strong in inhibiting the free radical reaction of dpph. the mechanism of inhibition of this reaction is that dpph free radicals capture h atoms from the table 3. the results of the average absorbance measurement at max (513 nm), calculation of % inhibition, and ic50 of ethanol extract of dengen leaves and ascorbic acid (vitamin c) concentration (ppm) dengen leaves ethanol extract ascorbic acid (vitamin c) average absorbance inhibition (%) ic50 (ppm) average absorbance inhibition (%) ic50 (ppm) 20 0.719 4.52 77.3269 0.659 12.48 62.6396 40 0.635 15.67 0.537 28.69 60 0.573 23.90 0.415 44.89 80 0.391 48.07 0.273 63.75 100 0.157 79.15 0.091 87.92 blank 0.753 0.753 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 79 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 bioactive components of the ethanol extract of dengen leaves to form dpph-h. this reaction causes a change in the color of the solution from dark purple to yellow at max (513 nm) (figure 3) (nurhasnawati et al., 2017); dali et al., 2017). toxicity test with bslt method data on the results of the toxicity test of the ethanol extract of dengen leaves on artemia salina leach shrimp larvae are shown in table 4. table 4 shows that the higher the concentration of ethanol extract of dengen leaves, the higher the mortality rate of artemia salina leach shrimp larvae. these results indicate that there is a positive correlation between the concentration level of dengen leaves ethanol extract and the mortality percentage of artemia salina leach shrimp larvae. this is because the higher the concentration of the ethanol extract of dengen leaves, the more the amount of bioactive compounds contained in it, so the ability of the bioactive compounds to kill artemia salina leach shrimp larvae is also higher. thus, the higher the concentration of ethanol extract of dengen leaves, the higher its ability to kill artemia salina leach shrimp larvae. the level of toxicity of the ethanol extract of dengen leaves on artemia salina leach shrimp larvae can be determined from the lethal concentration 50% (lc50) value. lc50 is a value that indicates the concentration of toxic substances that can cause the death of test larvae up to 50%. the lc50 value of the ethanol extract of dengen leaves can be calculated from the data on log10 concentration and corrected mortality of artemia salina leach shrimp larvae in table 4 using probit analysis at a 95% confidence level (finney, 1952; finney, 1971). the graph of the relationship between the log10 concentration of dengen leaves ethanol extract and the percentage of mortality corrected by artemia salina leach shrimp larvae in probit units is shown in figure 4. the x value (log10 concentration) for dengen leaves ethanol extract can be obtained from the linear regression line equation y = 2.9934x + 1.2179 (figure 4). if the value of probit (y) = 5 (the probit of 50%), the value of log10 concentration (x) = 1.2635 is obtained. so, lc50 = antilog (1.2635) = 18.3443 ppm (table 4) and (figure 4). the lc50 value is a parameter used to indicate the concentration of an extract or compound that can cause a test larvae mortality rate of 50%. a compound or extract is said to be toxic if it produces a high percentage of mortality. the smaller the lc50 value of a compound or extract, the greater the percentage of mortality (mentor et al., 2014). a compound or extract is said figure 3. dpph free radical scavenging reactions by antioxidants table 4. the results of the toxicity test of the ethanol extract of dengen leaves on artemia salina leach shrimp larvae concentration (c) (ppm) log10 c number of live larva number of dead larva mortality (%) (48 hours) corrected mortality (%) probit lc50 (ppm) 1 2 3 control (0.0) 10 10 10 1 3.33 18,3443 7.8125 0.893 10 10 10 5 16.67 14 3.92 15.625 1.194 10 10 10 11 36.67 35 4.62 31.25 1.495 10 10 10 25 83.33 83 5.95 62.5 1.796 10 10 10 28 93.33 93 6.48 125 2.097 10 10 10 30 100 100 250 2.398 10 10 10 30 100 100 500 2.699 10 10 10 30 100 100 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 80 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 to be toxic if lc50 1000 ppm and non-toxic if lc50 1000 ppm (meyer et al., 1982). an extract or compound is said to be non-toxic if lc50 1000 ppm, low toxic if lc50 of 500 1000 ppm, moderately toxic if lc50 of 100 500 ppm, and very toxic if lc50 of 0 100 ppm (clarkson et al., 2004). figure 4. graph of the relationship between log10 concentration of dengen leaves ethanol extract and percent mortality corrected by artemia salina leach shrimp larvae in probit units the results of the toxicity test on the ethanol extract of dengen leaves showed the value of lc50 = 18.3443 ppm (table 4) and (figure 4). these results indicate that the ethanol extract of dengen leaves is highly toxic (value of lc50 = 18.3443 ppm 100 ppm) (clarkson et al., 2004). thus, the ethanol extract of dengen leaves has the potential for acute toxicity according to the bslt method, so it can be developed as an anticancer agent. the potential for acute toxicity of the ethanol extract of dengen leaves is influenced by the content of its secondary metabolites. figure 5. oh group of phenol interacting by hydrogen bonding with oh group of the side chain of carboxylic acid from amino acid residues of protein (matta et al., 1996) one of the secondary metabolites contained in the ethanol extract of dengen leaves is polyphenol (table 2). polyphenols are polymers of high molecular weight phenols. phenol is a compound that has a hydroxyl group attached directly to the benzene ring. the phenol oh group from the ethanol extract of dengen leaves can interact through hydrogen bonding with the oh group of the carboxylic acid side chain of the amino acid residue of protein (figure 5). the formation of this hydrogen bond (figure 5) causes one amino acid to be unable to react with another amino acid to form a protein, so synthesis is inhibited (figure 6). in addition, the formation of hydrogen bonds (figure 5) also causes the active transport of na + and k + ions into the cell membrane to stop (matta et al., 1996). as a result, the entry of na + and k + ions into the cell membrane is not controlled, so cell membrane breaks or is denatured. this process caused the death of artemia salina leach shrimp larvae during the incubation period because the nutrient transport route was interrupted. figure 6. protein synthesis from amino acids the results of the above study indicate that the higher the concentration of ethanol extract of dengen leaves, the higher the percentage of free radical inhibition of dpph. similarly, the higher the concentration of ethanol extract of dengen leaves, the higher the mortality percentage of artemia salina leach shrimp larvae. this is reinforced by research data showing that the ethanol extract of dengen leaves contains bioactive compounds that can inhibit dpph free radicals and kill artemia salina leach shrimp larvae. therefore, the ethanol extract of dengen leaves has been shown to act as an antioxidant compound and is toxic to artemia salina leach shrimp larvae. conclusion the ethanol extract of dengen leaves (dillenia serrata thumb) obtained from the mae method contains secondary metabolites of alkaloids, flavonoids, saponins, polyphenols, terpenoids, and steroids. the results of the antioxidant activity test of the ethanol extract of dengen leaves (dillenia serrata thumb) using the dpph method showed the value of ic50 = 100.363 ppm (strong antioxidant). the results of the toxicity test of the ethanol extract of dengen leaves (dillenia serrata thumb) using the bslt method showed the value of lc50 = 18.3443 ppm (very toxic). the results of this study indicate that the ethanol extract of dengen leaves (dillenia serrata thumb) has potential as a raw material for anticancer o h r h nh2 h o cco o h o c c o h nh2 h r or phenol amino acid phenol amino acid hydrogen bond interactions hydrogen bond interactions h2n c c o h r1 o h n c cooh r2 h h h + amino acid water h2o amino acid peptide bonds amino acid residues n-terminal residue c-terminal residue peptide (protein) h2n c c n c cooh r1 h h r2 h o 1 2 + doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 81 nasriadi dali et al. indo. j. chem. res., 10(2), 74-82, 2022 drugs. therefore, this research needs to be continued until the isolation and structural elucidation stage so that we can find out secondary metabolites from the ethanol extract of dengen leaves (dillenia serrata thumb) which have anticancer activity. acknowledgment we would like to express our gratitude to the head of the laboratory of nanoscience and nanotechnology and the microbiology laboratory of fmipa uho kendari. references bandara, c. j., wickramasinghe, a., bandara, b. m. r., karunaratne, d. n., wijesundara, d. s. a., & karunaratne, v. (2015). chemistry and bioactivity of compounds of genus schumacheria and its close chemotaxonomic relationship to the genus dillenia. j. chem. and pharmaceutical res., 7(10) 586-592. carballo, j., hernández-inda, z. l., pérez, p., & garcía-grávalos, m. d. (2002). a comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products. bmc biotechnology, 2(1), 1-5. dali, a., haeruddin, h., miranda, w. o. y., & dali, n. (2017). uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol daun pecah beling strobilanthes crispus. al-kimia, 5(2), 145-153. fadeyi, a. e., adeniran, o. i., & akiode, s. o. (2022). nutrients, phytochemical, antioxidant and antimicrobial analysis of pterocarpus osun stem bark and leaf for their nutritional, medicinal capacity. indo. j. chem. res., 10(1), 58-67. fadiyah, i., lestari, i., & mahardika, r. g. (2020). kapasitas antioksidan ekstrak buah rukam (flacourtia rukam) menggunakan metode microwave assisted extraction (mae). indo. j. chem. res., 7(2), 107–113. gandhi, d., & mehta, p. (2013). dillenia indica linn. and dillenia pentagyna roxb.: pharmacognostic, phytochemical and therapeutic aspects. journal of applied pharmaceutical science, 3(2), 134142. jalil, j., sabandar, c., ahmat, n., jamal, j., jantan, i., aladdin, n.-a., muhammad, k., buang, f., mohamad, h., & sahidin, i. (2015). inhibitory effect of triterpenoids from dillenia serrata (dilleniaceae) on prostaglandin e2 production and quantitative hplc analysis of its koetjapic acid and betulinic acid contents. molecules, 20(2), 3206-3220. kedare, s. b., & singh, r. p. (2011). genesis and development of dpph method of antioxidant assay. journal of food science and technology, 48(4), 412–422. molyneux, p. (2004). the use of the stable free radical diphenylpicryl hydrazyl (dpph) for estimating antioxidant activity. songklanakarin j. sci. technol 26(2), 211-219. nurhasnawati, h., sukarmi, s., & handayani, f. (2017). perbandingan metode ekstraksi maserasi dan sokletasi terhadap aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun jambu bol (syzygium malaccense l.). jurnal ilmiah manuntung, 3(1), 91-95. purba, m., & mujadilah, r. (2017). antioksidan sari buah songi (dillenia serrata thunb.). pharmacon jurnal ilmiah farmasi unsrat, 6(2), 40-44. sabandar, c. w., jalil, j., ahmat, n., aladdin, n.-a., kamaruddin, h. s., & wahyuningrum, r. (2020). aktivitas antioksidan dan penghambatan xantin oksidase kulit batang songi (dillenia serrata thunb.): antioxidant and xanthine oxidase inhibitory activity of stem bark of songi (dillenia serrata thunb.). jurnal farmasi galenika (galenika journal of pharmacy) (e-journal), 6(1), 151-159. sinala, s., ibrahim, i., salasa, a. m., & dewi, r. (2021). potensi aktivitas tabir surya ekstrak daun dan kulit batang dengen (dillenia serrata) secara in vitro. media farmasi, 16(1), 109-115. souhoka, f. a., hattu, n., & huliselan, m. (2019). uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji kesumba keling (bixa orellana l). indo. j. chem. res., 7(1), 25-31. yanti, e. f., nazareth, e., agustin, y. d., & usman, m. r. (2021). synthesis of pentapeptide fwkvv (phe-trp-lys-val-val) and its activity as antioxidants. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7. doi: 10.30598//ijcr.2022.10-wel 82 indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 61 -65 61 effect of soft drink to demineralization on the tooth enamel by addition of sodium fluoride pengaruh minuman bersoda terhadap demineralisasi email gigi dengan penambahan natrium fluorida ruslan* chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences tadulako university, palu-central sulawesi 94118 *corresponding author e-mail: ruslan_abdullah66@yahoo.co.id received: november 2013 published: january 2014 abstract this research was carried to determine the influence of soft drink with tooth, determine power to retard of naf at the demineralization of tooth enamel and to determine of calcium and phosphate total which dissolve. the research was carried out with to flood the tooth in soft drink without to add a soft drink and with to add a soft drink at the certain time variation. the demineralization of tooth enamel to see at the decrease of tooth weight before and after flooded. the degree of calcium in soft drink to measure with atomic absorption spectrophotometry (aas) and the degree of phosphate in soft drink to measure with ultra violet -visible spectrophotometry. the result of research shows that the more long time tooth contacts with soft drink, the more much calcium and phosphate which dissolve. and with to add the fluor with concentration 1 ppm can to harm demineralization of tooth enamel. keywords: soft drink, demineralization, tooth enamel, sodium fluoride pendahuluan gigi merupakan organ penting bagi manusia yang berfungsi untuk membantu proses pencernaan. gigi mengandung unsur yang paling keras, sehingga peneliti purbakala seringkali menemukan rahang dan gigi manusia yang masih utuh dari penggalian yang mereka lakukan. penyakit karies gigi diderita oleh 90 % penduduk indonesia, sifatnya progresif yang bila tidak diobati/dirawat akan menyebabkan berkurangnya kemampuan mengunyah sehingga menimbulkan gangguan gizi. penyakit yang disebabkan oleh karies dapat menyebabkan penderita tidak dapat bekerja atau berpikir dengan baik. oleh karena itu, haruslah selalu diperhatikan pentingnya peranan gigi tersebut dalam pengunyahan serta kesehatan tubuh pada umumnya (hoogendorn, 1982). karies dapat dialami oleh setiap orang tanpa memandang umur, bangsa ataupun keadaan ekonomi. hal ini merupakan masalah yang cukup berarti terutama bagi kelompok sosial ekonomi rendah, karena penggantian dengan gigi tiruan sulit dilakukan karena alasan ekonomi. menurut penelitian di negara-negara eropa, amerika dan asia, termasuk indonesia, ternyata bahwa 80-95 % dari anak-anak di bawah umur 18 tahun terserang karies gigi (tarigan, 1990). pada umumnya karies gigi disebabkan oleh permukaan dan bentuk gigi yang tidak teratur serta pola hidup manusia itu sendiri. permukaan dan bentuk gigi yang tidak teratur menyebabkan sisa-sisa makanan lebih cenderung tertinggal dan susah untuk dibersihkan, apalagi hal ini didukung oleh cara menyikat gigi yang tidak benar. sisasisa makanan yang paling banyak mengandung karbohidrat akan mengalami fermentasi (pengasaman) oleh mikroorganisme dalam mulut menjadi asam-asam organik yang dapat mengikis lapisan email gigi. asam-asam tersebut diantaranya asam sitrat, asam asetat, asam laktat dan lain-lain (jusman & ruslan, 2007). pembentukan asam maksimal pada permukaan gigi yang mengikuti pencernaan gula, yakni sesudah 20-30 menit. proses pelarutan email gigi oleh asam hasil fermentasi tersebut akan lebih lambat dibandingkan dengan asam yang langsung dikonsumsi melalui minuman bersoda. hal ini disebabkan karena pada karbohidrat, dibutuhkan waktu untuk melakukan fermentasi sebelum membentuk asam. sebuah ruslan, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 61 65 62 penelitian menyebutkan bahwa dalam tiga menit setelah meminum minuman bersoda, terjadi pengikisan email 10 kali lebih kuat dibandingkan dengan meminum jus buah. konsumsi minuman bersoda memang sedang marak, terutama dikalangan anak muda. menurut dr. peter rock, minuman bersoda merupakan faktor penyebab kerusakan gigi pada anak muda inggris karena dapat menggerus email pelindung gigi, melemahkan gigi dan menipiskan lapisan gigi (anonim, 2007, irayani, 20081). di indonesia sendiri minuman bersoda bukan lagi hal yang luar biasa. minuman bersoda merupakan minuman ringan yang memiliki sensasi menggigit ketika dikonsumsi. awalnya minuman bersoda sangat dihindari oleh mereka yang takut gemuk karena kandungan gula di dalam minuman tersebut. tapi belakangan diketahui bahwa masih ada bahaya yang lain mengintai, yakni kerusakan email gigi. menurut para ahli, penyebab utamanya adalah kandungan asam sitrat dalam minuman bersoda. asam sitrat merupakan asam organik yang dapat melarutkan kalsium dan fosfat pada email gigi yang kemudian akan menjadi awal mula dari karies gigi (tarigan, 1995). . proses pelarutan email gigi terlihat dari berkurangya kadar kalsium dan fosfat yang terkandung dalam email gigi. terjadinya karies gigi dapat dihambat dengan fluor. pengaruh fluor terhadap penghambatan karies gigi dapat diamati melalui perbandingan perlakuan perendaman email gigi dalam minuman bersoda tanpa penambahan natrium fluorida dan dengan penambahan natrium fluorida (jusman & ruslan. 2007). penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh waktu kontak minuman bersoda dengan email gigi yang menyebabkan karies gigi serta menentukan kandungan kalsium dan fosfat dalam email gigi yang terlarut selama kontak dengan minuman bersoda tersebut. selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan daya hambat natrium fluorida terhadap minuman bersoda dalam proses demineralisasi email gigi. kandungan kimia dalam proses demineralisasi email gigi dapat diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom untuk menentukan kadar kalsium dan spektrofotometer uv-vis untuk menentukan kadar fosfat. kalsium dan fosfat yang terlarut dalam minuman bersoda merupakan jumlah kalsium dan fosfat yang terlarut akibat pengaruh minuman bersoda (ismono, 1978). metodologi alat dan bahan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipet ukur, labu ukur, gelas piala, gelas ukur, neraca analitik, spektrofotometer serapan atom (ssa), spektrofotometer ultravioletvisible, oven, eksikator, pinset dan stopwatch. bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel minuman bersoda, kalsium klorida (cacl2.2h2o), kalium hidrogen fosfat (kh2po4), aquadest, natrium fluor (naf) dan material penunjang penelitian (gigi). prosedur penyiapan material gigi sebanyak 10 buah gigi utuh yang dimabil dari puskesmas dan rumah sakit. kemudian gigi dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºc selama 30 menit, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang beratnya. pembuatan larutan standar phospat 1000 ppm dengan melarutkan kh2po4 dengan aquadest dalam labu takar 100 ml. larutan baku induk phospat 1000 ppm diencerkan untuk memperoleh larutan baku dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. pembuatan larutan standar kalsium 1000 ppm dengan melarutkan sebanyak 0,3672 gram zat cacl2.2h2o dengan aquadest dalam labu takar 100 ml. kemudian volume larutan dicukupkan hingga batas. larutan baku induk kalsium 1000 ppm diencerkan untuk memperoleh larutan baku dengan konsentrasi 1, 2, 3, dan 4 ppm. pembuatan larutan baku fluor 1000 ppm dengan melarutkan sebanyak 0,2211 gram zat naf pada minuman bersoda dalam labu takar 100 ml, kemudian dicukupkan volumenya hingga 100 ml. larutan baku induk fluor 1000 ppm diencerkan hingga diperoleh larutan 1 ppm. perlakuan sampel tanpa fluor disiapkan 5 (lima) buah erlenmeyer kemudian dimasukkan minuman bersoda dengan perbandingan untuk 1 gram gigi dipakai sebanyak 25 ml minuman bersoda. setelah itu. dimasukkan ke dalam masing-masing erlenmeyer 1 buah gigi. kemudian setiap selang waktu 30 menit, 60 menit, 180 menit, 24 jam dan 48 jam, gigi diangkat dan diamati serta ditimbang beratnya. ruslan, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 61 65 63 minuman bersoda diukur kandungan fosfat yang terbentuk dengan spektroskopi uv-vis dan kandungan kalsiumnya dengan spektroskopi serapan atom. perlakuan sampel dengan penambahan fluor disiapkan 5 (lima) buah erlenmeyer kemudian dimasukkan larutan natrium fluor 1 ppm dengan perbandingan untuk 1 gram gigi dipakai sebanyak 25 ml larutan naf 1 ppm. setelah itu. dimasukkan ke dalam masing-masing erlenmeyer 1 buah gigi. setiap interval waktu 30 menit, 60 menit, 180 menit, 24 jam dan 48 jam, gigi diangkat dan diamati serta ditimbang beratnya. minuman bersoda diukur kandungan fosfat yang terbentuk dengan spektroskopi uvvis dan kandungan kalsium dengan spektroskopi serapan atom (ismono, 1978). hasil dan pembahasan berdasarkan analisa kadar kalsium dan fosfat yang terkandung dalam minuman bersoda tanpa penambahan fluor dan dengan penambahan fluor pada variasi waktu perendaman gigi, yang dianalisis dengan spektrofotometer uv-vis dan spektrofotometer serapan atom (ssa) diperoleh hasil seperti pada tabel 1 dan tabel 2: tabel 1.hasil penimbangan dan pengukuran kalsium dan fosfat pada gigi tanpa penambahan fluor waktu perendaman (jam) a (g) b (g) c (%) d (ppm) e (ppm) 0,5 2,054 2,018 1,75 12,556 5,076 1,0 2,110 2,067 2,03 17,793 6,230 3,0 1,770 1,718 2,93 41,047 7,961 24 1,840 1,755 3,53 71,841 13,346 48 1,713 1,619 5,48 85,015 14,884 tabel 2. hasil penimbangan dan pengukuran kalsium dan fosfat gigi dengan penambahan fluor waktu perendaman (jam) a (g) b (g) c (%) d (ppm) e (ppm) 0,5 2,015 1,965 0,25 6,767 2,769 1,0 2,458 2,416 1,70 10,412 3,538 3,0 2,389 2,343 1,92 32,317 5,269 24 2,194 2,141 2,41 46,682 10,653 48 2,315 2,253 2,67 64,301 13,346 keterangan: a: berat sebelum perendaman b: berat setelah perendaman c: persen yang larut d: konsentrasi kalsium e: konsentrasi fosfat gambar 1. grafik hasil pengukuran kalsium keterangan : =tanpa penambahan fluor =dengan penambahan fluor gambar 2. grafik hasil pengukuran fosfat keterangan : =tanpa penambahan fluor =dengan penambahan fluor minuman bersoda merupakan minuman ringan yang mengandung asam. asam tersebut dapat berasal dari proses pembuatan minuman bersoda atau sengaja ditambahkan untuk tujuan tertentu. hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahwa sampel minuman bersoda yang digunakan memiliki ph 3. dalam teori disebutkan bahwa harga ph suatu larutan yang kurang dari 7 menunjukkan bahwa larutan bersifat asam. hal ini menandakan bahwa sampel minuman bersoda yang dipakai adalah bersifat asam. secara kualitatif, pelarutan email gigi dapat dilihat dengan berkurangnya berat gigi sebelum dan sesudah perendaman. sebelum dilakukan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1 2 3 4 5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0.5 1 3 24 48 ruslan, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 61 65 64 penimbangan, gigi dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air setelah proses pencucian. sedangkan secara kuantitatif, pelarutan email terlihat dari adanya kalsium dan fosfat yang terkandung dalam minuman bersoda yang digunakan untuk merendam. kadar kalsium yang terlarut dalam minuman bersoda, diukur menggunakan spektrofotometer serapan atom (ssa) dengan panjang gelombang 422,7 nm. sedangkan untuk menganalisis fosfat, digunakan spektrofotometer uv-vis dengan panjang gelombang 420 nm. dari tabel 1 dan 2 terlihat bahwa persentase yang larut pada perendaman tanpa penambahan fluor lebih besar dari pada perendaman dengan penambahan fluor. hal ini menunjukkan bahwa jumlah mineral gigi yang terlarut pada perendaman tanpa fluor lebih besar daripada perendaman dengan fluor. kadar kalsium dalam minuman bersoda dengan perlakuan tanpa penambahan fluor pada waktu perendaman 0,5 jam, 1 jam, 3 jam, 24 jam dan 48 jam, adalah 12,556 ppm, 17,793 ppm, 41,047 ppm, 71,841 ppm dan 85,015 ppm. hasil tersebut menunjukkan bahwa selama lama waktu perendaman gigi dalam minuman bersoda (waktu kontak minuman bersoda dengan gigi), maka kadar kalsium yang terlarut semakin banyak. dengan kata lain, minuman bersoda dapat melarutkan kalsium pada email gigi yang artinya berpengaruh dalam proses demineralisasi email gigi. untuk pengukuran kadar kalsium pada perlakuan dengan penambahan fluor 1 ppm, diperoleh hasil bahwa kadar kalsium yang terlarut pada waktu perendaman 0,5 jam, 1 jam, 3 jam, 24 jam dan 48 jam, berturut-turut adalah 6,761 ppm, 10,412 ppm, 32,317 ppm, 46,682 ppm dan 64,301 ppm. dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pada perendaman dengan penambahan fluor, jumlah kalsium yang terlarut lebih sedikit dari pada perendaman tanpa fluor. berdasarkan hasil yang diperoleh, kadar fosfat dalam minuman bersoda tanpa penambahan fluor pada waktu 0,5 jam, 1 jam, 3 jam, 24 jam dan 48 jam, berturut-turut adalah 5,076 ppm, 6,230 ppm, 7,961 ppm, 13,346 ppm dan 14,884 ppm. dari data tersebut terlihat bahwa semakin lama waktu kontak gigi dengan minuman bersoda maka semakin banyak kadar fosfat yang terkandung dalam minuman bersoda. hal ini menunjukkan bahwa minuman bersoda dapat melarutkan fosfat pada email gigi, yang artinya berpengaruh terhadap demineralisasi email gigi. sedangkan untuk pengukuran kadar fosfat dalam minuman bersoda dalam perlakuan dengan penambahan fluor, pada perendaman 0,5 jam, 1 jam, 3 jam, 24 jam dan 48 jam, diperoleh konsentrasi fosfat masing-masing yaitu 2,769 ppm, 3,538 ppm, 5,269 ppm, 10,653 ppm dan 13,346 ppm. dari hasil tersebut terlihat bahwa pada semua variasi waktu perendaman, kadar fosfat yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan fluor. hal ini menunjukkan bahwa fluor dengan konsentrasi 1 ppm dapat menghambat terjadinya proses pelarutan fosfat pada email gigi. fluor dapat membentuk ikatan hidroksil fluorapatit yang lebih tahan terhadap asam. sehingga pada perendaman dengan penambahan fluor jumlah mineral gigi (kalsium dan fosfat) yang terlarut lebih sedikit dibandingkan dengan perendaman tanpa fluor. kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa : 1. konsentrasi kalsium tertinggi yang terlarut dalam minuman bersoda tanpa penambahan fluor adalah 85,464 ppm, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan fluor 1 ppm adalah 64,584 ppm. 2 konsentrasi fosfat tertinggi yang terlarut dalam minuman bersoda tanpa penambahan fluor adalah 14,884 ppm, sedangkan pada perlakuan dengan penambahan fluor 1 ppm adalah 13,346 ppm. 3. semakin lama waktu kontak gigi dengan minuman bersoda, semakin banyak kalsium dan fosfat yang terlarut pada email gigi. 4. penambahan fluor dengan konsentrasi 1 ppm dapat menghambat proses demineralisasi email gigi. daftar pustaka anonim, 2007, menegak minuman bersoda (online). www.bogor.net . diakses 27 maret 2007 jusman & ruslan. 2007. mekanisme reaksi asam asetat, asam laktat dan asam klorida dalam proses demineralisasi email gigi pada penambahan natrium flourida. universitas tadulako. palu. ruslan, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 61 65 65 hoogendorn, h., 1982. prevensi dalam kedokteran gigi. pt. denta. jakarta. irayani. 2008. tentang gigi (online). http://myhealthblogging.com. diakses 04 juni 2008. ismono, 1978. optik dalam analisa kimia. departemen kimia itb. bandung. tarigan, r. 1990. karies gigi. hipokrates. jakarta tarigan,r., 1995. kesehatan gigi dan mulut. penerbit buku kedokteran. jakarta http://myhealthblogging.com/ indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 47 52 47 separation of copper and chromium metal in ultrabasic rocks from top of manoapa region, subdistrict of lasusua southeast sulawesi by ligand of 2 (aminometil) pyridine pemisahan logam tembaga dan kromium pada batuan ultrabasa dari daerah puncak monapa, kecamatan lasusua provinsi sulawesi tenggara menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin la harimu 1 , hasria 2 , putri intan 3 1 educational chemistry, faculty of teacher training and education, 2,3 physic department, faculty of mathematics and natural sciences halu oleo university, kendari southeast sulawesi received: may 2013 published: july 2013 abstract study on separation of ions chromium metal and copper in ultrabasic material located in the village to of monapa subdistrict lasusua regency kolaka utara province sulawesi tenggara was conducted. the aim of this study was to determine the ability of the ligand 2-(aminometil) pyridine to separate chromium metals and copper to pure metals and its application to separate the chromium metals (cr) and copper (cu) in ultrabasic material from the village of puncak monapa subdistrict lasusua regency kolaka utara province sulawesi tenggara by means of extraction method. the concentration of ions chromium metal (cr) and copper (cu) of the pure metals are extracted respectively 10 ppm, and the concentration of the ligand 2-(aminometil) pyridine is 10 ppm. for concentration ion chromium metal (cr) and copper (cu) in ultrabasic material with 20x and 30x dilution is 8.3875 and 1.3590 and 3.50 ppm and 2,001 ppm for the ions copper metal (cu). results of this research shomush that the ability of ligand 2-(aminometil) pyridine for extracting chromium metals (cr) and copper (cu) for a single pure metal has a percent extraction (%e) are respectively 79.375 % and 82.37 %. separation ability of ions chromium metal (cr) and ions copper (cu) mixed are 77.625% and 79.96%. for its application in separating ions chromium metal (cr) and copper (cu) in ultrabasic material to 20 time dilution extraction are 74.51% and 71.35%, and 30 time dilution are 69.28% and 69.71%. based on the results of the study ligand 2-(aminometil) pyridine is relatively better for ions copper metal (cu) for extraction ions of pure metal and relatively similar to ultrabasic material. keywords: ultrabasic rocks, copper, chromium, dilution, extraction. pendahuluan batuan ultrabasa merupakan batuan yang terdiri dari peridotit, olivine dan piroksin yang mengalami proses metamorfosa, batuan asalnya adalah peridotit, terjadi ubahan yang disebabkan oleh perubahan tekanan dan temperatur yang biasanya diketahui bahwa bumi selalu terjadi aktivitas tektonik yang mana pergerakan lempeng benua dan lempeng samudra, perubahan ini menyebabkan perubahan komposisi dan struktur batuan ultrabasa (schuman, 1992). berdasarkan komposisi kandungan unsur logam yang terdapat dalam batuan ultrabasa maka keberadaannya di dalam batuan dalam bentuk campuran logam. untuk mendapatkan unsur-unsur tersebut seperti logam tembaga (cu) dan kromium (cr) dalam bentuk yang lebih murni, maka perlu dilakukan pemisahan dari unsur-unsur yang lain. seiring dengan meningkatnya industri yang dapat menghasilkan dan membutuhkan kedua ion logam tersebut maka upaya penambangan terus dilakukan. akibat dari penambangan tersebut maka limbah pembuangannya semakin banyak dan merupakan sumber-sumber pencemaran yang diperkirakan konsentrasi ion-ion logam tersebut semakin meningkat. oleh sebab itu diperlukan upaya untuk memperoleh logam tersebut dalam bentuk yang lebih murni serta perlu mengurangi konsentrasi logam berat tersebut dalam perairan. salah satu metode yang la harimu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 47 52 48 diharapkan mampu memisahkan logam-logam tersebut adalah metode ekstraksi pelarut. pengembangan metode ekstraksi pelarut meliputi dua aspek, yaitu pengembangan teknik ekstraksi dan pengembangan ligan ekstraksi yang selektif. dewasa ini aspek pengembangan ligan yang selektif untuk berbagai keperluan lebih mendapat perhatian para peneliti bidang tersebut (hayashita dkk, 1994). senyawa 2-(aminometil) piridin merupakan ligan basa menengah yang mempunyai atomatom donor yang bersifat elektronegatif pada gugus aminonya (-nh2). untuk itulah digunakan logam cu(ii) dalam penelitian ini karena berdasarkan konsep hsab logam cu(ii) merupakan suatu asam menengah yang dapat membentuk kompleks yang stabil dengan basa menengah. sedangkan digunakan logam cr(iii) yang merupakan kation logam golongan asam keras dengan muatan yang lebih besar sehingga diharapkan ion logam cr(iii) juga akan membentuk kompleks ligan-logam dengan baik. pengaruh jumlah muatan dan kekerasan logam akan mempengaruhi kemampuan ekstraksi dari kedua logam menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin. uji kemampuan ligan 2-(aminometil) piridin untuk mengekstraksi ion logam murni cr(iii) dan cu(ii) juga diharapkan dapat mengekstraksi kedua ion logam tersebut dari batuan ultrabasa menggunakan ligan 2(aminometil) piridin dengan metode ekstraksi. metode penelitian alat alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, hand sample, ayakan 200 mesh, corong pisah, palu geologi, dan gps. bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2-(aminometil) piridin, naoh, hcl, kloroform, batuan ultrabasa, larutan standar cu 1000 ppm, dan larutan standar cr 1000 ppm. prosedur kerja penelitian ini dilakukan melalui empat tahap yaitu pengambilan sampel lapangan, destruksi sampel, ekstraksi ion logam murni cr(iii) dan cu(ii), dan aplikasi ekstraksi cr(iii) dan cu(ii) dari batuan ultrabasa. a. pengambilan sampel di lapangan pengambilan sampel batuan ultrabasa dilakukan di daerah desa puncak monapa kecamatan lasusua kabupaten kolaka utara dengan tiga titik yakni berada pada koordinat 120 o 50’20,0” bt dan 03 o 35’06,6” ls (tpm 1), 120 o 56’7,0” bt dan 03 o 35’12,1” ls (tpm 2). b. penggerusan dan pengayakan penggerusan dilakukan dengan menggunakan mortar agar diperoleh sampel dalam bentuk serbuk yang sangat halus. setelah serbuk mineral cukup halus kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan yang mempunyai ukuran 200 mesh. d. destruksi sampel sampel ditimbang 1 gram, dimasukan dalam cawan porselin dan ditambahkan campuran asam hno3 dan h2so4 sebanyak 8 ml didiamkan selama 1 malam. setelah itu dipanaskan sampai volume larutan tinggal sekitar 3 ml, dan kemudian ditambahkan lagi campur asam hno3/hcl sebanyak 20 ml dan dipanaskan hingga mengeluarkan asap putih. hasil destruksi kemudian disaring dan diambil filtratnya, dimasukan dalam labu ukur 100 ml. sampel batuan ultrabasa siap untuk diekstraksi. e. ekstraksi campuran ion logam murni cr(iii) dan cu(ii) menggunakan ligan 2(aminometil) piridin larutan campuran ion cu(ii) dan cr(iii) dengan konsentrasi 10 ppm diatur ph 5,5 (sebanyak 10 ml) kemudian ditambahkan 10 ml ligan 2-amino metil piridin 10 ppm. larutan kemudian dimasukkan dalam corong pisah kemudian di kocok selama waktu 20 menit. setelah selesai dikocok, larutan kemudian dipisahkan antara fasa air dan fasa organiknya. konsentrasi ion logam cr(iii) dan cu(ii) difasa air diukur dengan ssa. f. ekstraksi ion logam cr(iii) dan cu(ii) dari batuan ultrabasa 20 kali dan 30 kali pengenceran menggunakan ligan 2-amino metil piridin larutan batuan ultrabasa hasil destruksi yang telah diencerkan sebanyak 20 kali dan 30 kali diatur pada ph 5,5 (sebanyak 10 ml) la harimu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 47 52 49 kemudian ditambahkan 10 ml ligan 2-amino metil piridin dengan konsentrasi 10 ppm. larutan kemudian dimasukkan dalam corong pisah, dikocok selama waktu 20 menit. setelah selesai dikocok, larutan kemudian dipisahkan antara fasa air dan fasa organiknya. konsentrasi ion logam pada fasa air ditentukan dengan ssa. untuk menghitung kemampuan ion logam cr(iii) dan cu(ii) baik pada logam murni maupun dari batuan ultrabasa menggunakan rumus persen ekstraksi (%e0 %e = 1 100 d d hasil dan pembahasan kemampuan pemisahan logam tembaga dan kromium pada sampel logam murni dan pada batuan ultrabasa menggunakan ligan 2(aminometil) piridin diketahui dari persen ekstraksinya. a. kemampuan ekstraksi logam murni tembaga secara tunggal dan campuran dengan kromium menggunakan ligan 2(aminometil) piridin hasil ekstraksi ion logam tembaga murni dan dalam campuran dengan ion logam kromium menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin dengan metode secara ekstraksi mempunyai persen ekstraksi yang berbeda. hal ini ditunjukkan pada persamaan regresi linear standar yaitu data pengukuran ion logam cu berupa absorbans dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (ssa). tabel 1. data pengukuran absorbans ion logam tembaga dan kromium no. sampel absorbans 1. cu murni 0,6489 2. campuran cu dan cr 0,7089 menentukan konsentrasi ion logam tembaga setelah ekstraksi (x1) pada sampel logam tembaga murni dengan cara berikut: 1. konsentrasi logam tembaga pada sampel cu tunggal, dengan absorbans tembaga (y) = 0,6489 yaitu: x1 = ) x1 = 1,7627 ppm 2. konsentrasi logam tembaga pada sampel campuran cu dan cr, dengan absorbans (y) = 0,7089 yaitu: x1 = ) x1 = 2,0036 ppm dengan mengetahui konsentrasi ion logam tembaga, maka dapat dibuat analisis persen ekstraksi ion logam cu (%e) pada sampel logam tembaga murni. 1. persen ekstraksi ion logam cu pada sampel cu tunggal, dengan x1 = 1,7627 ppm dan x0 = 10 ppm adalah sebagai berikut : (% e) = x 100 (%e) = 82,37% 2. persen ekstraksi besi pada sampel campuran cu dan cr dengan x1 = 2,0036 ppm dan x0 = 10 ppm adalah sebagai berikut : (% e) = x 100 (%e) = 79,96% gambar 1 konsentrasi ion logam tembaga hasil ekstraksi dan kromium menggunakan ligan 2(aminometil) piridin dari gambar 1 nampak perbandingan kemampuan ligan untuk ekstraksi ion tembaga pada keadaan tunggal lebih besar dibandingkan dengan keadaan campuran. hal ini menunjukkan bahwa kompleks yang terbentuk antara ligan 2(aminometil) piridin dengan ion logam tembaga lebih banyak pada saat ion logam tembaga dalam keadaan tunggal. b. kemampuan logam tembaga terekstraksi dari batuan ultrabasa menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin ekstraksi logam tembaga dalam batuan ultrabasa menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin dilakukan pada pengenceran 20 kali dan 30 kali, masing-masing pada ph 5,5 (volume 10 ml). la harimu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 47 52 50 tabel 3 data pengukuran absorbansi ion tembaga pada batuan ultrabasa dengan 20 dan 30 kali pengenceran (sebelum ekstraksi) no. sampel absorbansi 1. pengenceran 20 kali 0,3548 2. pengenceran 30 kali 0,3125 tabel 4 data pengukuran absorbans ion tembaga pada batuan ultrabasa (setelah ekstraksi) no. sampel absorbansi 1. pengenceran 20 kali 0,3548 2. pengenceran 30 kali 0,3125 menentukan konsentrasi awal ion logam tembaga sampel batuan ultrabasa 20 kali dan 30 kali pengenceran dengan cara berikut: 1. konsentrasi awal ion logam tembaga sampel batuan ultrabasa 20 kali pengenceran, dengan absorbans tembaga (y0) = 0,7155, yaitu: x0 = ) x 20 x0 = 40,60 ppm 2. konsentrasi awal ion logam tembaga sampel batuan ultrabasa 30 kali pengenceran, dengan absorbans tembaga (y0) = 0,5484, yaitu: x0 = ) x 30 x0 = 40,77 ppm menentukan konsentrasi ion logam tembaga sampel batuan ultrabasa 20 kali dan 30 kali pengenceran setelah ekstraksi.. 1. konsentrasi logam tembaga pada batuan ultrabasa 20 kali pengenceran, dengan absorbans cu (y) = 0,3548 x1 = ) x 20 x1 = 11,63 ppm 2. konsentrasi logam tembaga pada batuan ultrabasa 30 kali pengenceran, dengan absorbans cu (y) = 0,3125 x1 = ) x 30 x1 = 12,35 ppm dengan cara yang sama dengan perhitungan persen ekstraksi (%e) ion logam tembaga sampel logam murni, maka diketahui kemampuan ligan 2-(aminometil) piridin untuk ekstraksi ion logam tembaga pada sampel batuan ultrabasa 20 kali dan 30 kali pengenceran seperti yang disajikan pada gambar 2. gambar 2 persen ekstraksi logam tembaga dalam batuan ultrabasa dengan pengenceran 20 kali dan 30 kali persen ekstraksi ion logam tembaga sampel batuan ultrabasa 20 kali pengenceran lebih besar dibandingkan dengan persen ekstraksi ion logam besi sampel batuan ultrabasa 30 kali pengenceran menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin. perbedaan kemampuan ekstraksi (%e) disebabkan pada pengenceran 20 kali konsentrasi ion logam kromium lebih besar dibandingkan dengan pengenceran 30 kali. akibatnya pada pengenceran 20 kali maka lebih banyak ion tembaga yang berikatan dengan gugus (-nh2) pada ligan 2-(aminometil) piridin. c. kemampuan ekstraksi logam murni kromium secara tunggal dan campuran dengan tembaga menggunakan ligan 2(aminometil) piridin hasil ekstraksi ion logam kromium murni dan campuran dengan ion logam tembaga menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin dengan metode secara ekstraksi mempunyai persen ekstraksi yang berbeda seperti ditunjukkan pada data pengukuran ion logam cr hasil ekstraksi larutan logam murni yang tersisa difasa air diukur dengan ssa dapat ditunjukan pada gambar 3. besarnya persen ekstraksi pada kondisi yang berbeda disebabkan karena dalam keadaan tunggal besarnya persen ekstraksi ditentukan oleh kompleks ion logam kromium dengan ligan 2-(aminometil) piridin tanpa ada gangguan dari ion logam lain dalam larutan, sedangkan untuk campuran terjadi persaingan antara ion logam kromium dengan ion tembaga untuk membentk kompleks sehingga sebagian gugus aktif yang la harimu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 47 52 51 semula berikatan dengan kromium pada akhirnya berikatan dengan ion logam tembaga. gambar 3 hasil ekstraksi logam kromium dan campuran menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin d. kemampuan logam kromium terekstraksi dari batuan ultrabasa menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin setelah ligan 2-(aminometil) piridin telah digunakan untuk memisahkan ion logam murni, maka untuk mengkaji prospeknya kemungkinan digunakan dalam bidang pertambangan dilakukan pemisahan ion logam kromium dari batuan ultrabasa. uji kinerja ligan 2(aminometil) piridin dalam memisahkan ion logam kromium dalam larutan batuan ultrabasa dilakukan pada kondisi ph 5,6 yang telah diencerkan 20 kali dan 30 kali. hasil pengukuran absorbansi dan persen ekstraksi logam kromium dalam batuan ultrabasa ditunjukkan pada gambar 4 berikut : gambar 4. persen ekstraksi logam kromium dalam batuan ultrabasa dengan pengenceran 20 kali dan 30 kali gambar 4 juga menunjukkan ada perbedaan persen ekstraksi antara pengenceran 20 kali dan 30 kali pengenceran. hal tersebut disebabkan jika dilakukan pengenceran 20 kali konsentrasi ion logam kromium dalam larutan lebih besar dibandingkan dengan pengenceran 30 kali sehingga peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam tembaga lebih besar. karena pada konsentrasi tinggi jumlah ion logam dalam larutan menjadi besar. hubungan peningkatan konsentrasi terhadap persen ekstraksi umumnya pada konsentrasi ion logam dalam larutan sampai konsentrasi optimum. e. perbandingan persen ekstraksi ion logam kromium dengan ion logam tembaga menggunakan ligan 2-(aminometil) piridin pada gambar 10 menunjukkan bahwa persen ekstraksi ion logam tembaga relatif lebih besar dari pada ion logam kromium baik pada logam murni maupun pada batuan ultrabasa. perbedaan besarnya persen ekstraksi disebabkan karena ion logam tembaga yang bersifat asam menengah dan ligan 2-(aminometil) piridin bersifat basa menengah. gambar 6. persen ekstraksi ion logam kromium dan ion logam tembaga dalam logam murni dan batuan ultrabasa berdasarkan konsep asam basa keras lunak ion logam tembaga tergolong asam menengah sedangkan ion kromium tergolong asam keras. menurut konsep tersebut menerangkan bahwa asam keras akan membentuk kompleks yang lebih baik dan stabil dengan basa keras, dan untuk asam menengah akan lebih baik dengan basa menengah. akibatnya karena ion logam logam tembaga relatif lebih banyak membentuk kompleks yang dapat terekstraksi di fasa organik dibandingkan dengan ion logam kromium. kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh seperti diuraikan pada pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. kemampuan pemisahan ion logam tembaga relatif lebih baik dibandingkan dengan ion kromium untuk logam menggunakan ligan 2amino metil piridin dengan metode ekstraksi. 76 77 78 79 80 cr cu + cr 79,38 77,63 60 65 70 75 80 85 1 2 3 4 79.37 77.52 74.51 69.29 82.37 79.96 71.35 69.71 % la harimu, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 47 52 52 ligan 2-(aminometil) piridin dapat digunakan untuk memisahkan ion logam tembaga dan kromium untuk logam murni dengan persen ekstraksi masing-masing 82,37% dan 79,38% secara masing-masing tunggal dan 79,96% dan 77,63% untuk campuran. 2. kemampuan pemisahan ion logam tembaga relatif sama dibandingkan dengan ion kromium untuk batuan ultrabasa menggunakan ligan 2-amino metil piridin dengan metode ekstraksi. daftar pustaka al anshori, jamaludin, 2005, spektrometri serapan atom, staf laboratorium kimia bahan alam dan lingkungan jurusan kimia fmipa universitas padjadjaran, bandung, cleij marco, c., paolo scrimin, paolo tecilla, umberto tonellato, 1997, efficient and highly selective copper (ii) transport across a bulk liquid chloroform membrane mediated by lipophilic dipeptida, department of chemical science, university of trieste, trieste, italy. hayashita, t., yamasaki, k., kunogi, k., hiratani, k., huang, x., jang, y., mcgowen, d. e., and bartsch, r. a., 1994, protonionizable acyclic dibenzopolyethers and their polymers for use in selective lead (ii) separation, supramolecular chemistry, vol. 6, 347-352. huang, tingchia and jaukai wang, 1993. selective transport of metal ions through cation exchange membrane in the presensce of a complexing agent, journal article industrial and engineering chemistry research, 32, 133-139. nilawati, 2011, analisis logam berat pb, zn, dan cr padattiga jenis tanaman peneduh pinggir jalan di kota batam kepulauan riau. tesis s-2, institut pertanian bogor, bogor. notodarmojo, s., 2005, pencemaran tanah dan air tanah, itb, bandung. sudarmini, luh, 2013, kajian potensi mgo dan cao batuan ultrabasa di desa puncak monapa kecamatan lasusua kabupaten kolaka utara provinsi sulawesi tenggara untuk menanggulangi emisi karbon dioksida, skripsi s1 fisika fmipa, universitas halu oleo, kendari. ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 373-377 373 toxicity of chitosan oligomer enzymatic low degree of deacetylation using brine srimp lethality test (bslt) method toksisitas oligomer kitosan derajat deasetilasi rendah enzimatis menggunakan metode brine srimp lethality test (bslt) sarni 1 1 midwifery academic of national healting fondation, jl. palagimata, baubau-indonesia *corresponding author, email: sarni_malik@yahoo.com received: dec. 2016 published: jan. 2017 abstract chitosan oligomers or chitooligomer is a mixture of oligomers of d-glucosamine which are formed through a process of depolymerization of chitosan with cuting its β-glycosidic bonding. chitosan oligomer has received much attention in various fields because of the specific biological activity 10 times greater than chitosan. chitosan oligomer having biological activity as antibacterial, antiviral, antioxidant, anti-tumor and anti-cancer. before it is applied to humans, the bioactive compounds to be used as pharmaceutical products must pass a preliminary test using test animals. bslt method is often used to praskrining against bioactive compounds. this method uses shrimp larvae are widely used in searches that are toxic bioactive compounds from natural materials. this study aims to determine the toxicity of chitosan oligomers enzymatic (crude) as a preliminary test before being used as a pharmaceutical product either as anti-cancer or anti microbial with bslt method. the results showed chitosan oligomer (crude) hydrolysis of leather tiger shrimp chitosan (dd 60%) with chitosanase enzyme for each time of incubation has strong toxicity properties with a value of 36.90 ppm lc50 (1 hour incubation); 47.43 ppm (incubation 2 hours) and 104.86 ppm (incubation 3 hours). keywords: chitosan oligomers, toxicity, bslt pendahuluan oligomer kitosan atau kitooligomer merupakan campuran oligomer dari dglukosamin yang terbentuk melalui proses depolimerisasi kitosan dengan memutus ikatan β-glikosidik. kitooligomer merupakan kitosan yang telah terdepolimerisasi sehingga memiliki ukuran dan bobot molekul yang lebih kecil. berkurangnya bobot molekul dari kitosan ini menjadikan sifatnya lebih mudah larut di dalam air dibanding sebelum terdepolimerisasi (srijanto dkk., 2006; julianti dkk., 2012). oligomer kitosan dapat dihasilkan dengan iradiasi sonik, hidrolisis secara kimiawi dan hidrolisis secara enzimatis. hidrolisis secara kimiawi dan iradiasi sonik bersifat acak, tidak terkontrol, efisiensi yang rendah dan menghasilkan oligomer dengan derajat polimerisasi (dp) yang rendah dengan lebih banyak monomer d-glukosamin. sedangkan, hidrolisis secara enzimatis bersifat spesifik, terkontrol, menghasilkan oligomer kitosan dengan dp yang lebih tinggi dan sedikit glukosamin yang dihasilkan serta ramah lingkungan (jeon dkk., 2000; meidina dkk., 2005; wahyuni dkk., 2006; liu dkk., 2007; chasanah, 2010), sehingga cara enzimatis ini lebih baik dan umumnya digunakan dalam memproduksi oligomer kitosan. salah satu enzim yang dapat digunakan untuk menghidrolisis kitosan adalah enzim kitosanase (choi dkk., 2004). oligomer kitosan memiliki manfaat yang lebih besar jika dibandingkan kitin maupun kitosan. oligomer kitosan menjadi lebih penting karena memiliki potensi yang tinggi dan dapat diaplikasikan di bidang makanan fungsional, bantuan medis, obat-obatan dan agen pertanian (yoon dkk., 2001). pada bidang biomedik, oligomer kitosan lebih unggul karena mendekati 100% dapat diserap oleh tubuh manusia. hal ini berarti bahwa dalam bentuk yang sederhana, kitosan akan lebih mudah dimanfaatkan dalam metabolisme (pratitis ,2006). oligomer kitosan ini mendapat banyak perhatian di berbagai bidang dikarenakan aktivitas spesifik biologisnya (hotmatua, 2004). aktivitas dan andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 373-377 374 fungsi biologis oligomer kitosan 10 kali lebih besar dibandingkan kitosan (pratitis, 2006). oligomer kitosan mudah diserap melalui usus, cepat masuk ke dalam aliran darah dan memiliki efek biologis yang sistemik dalam organisme karena berat molekulnya yang rendah jadi karakteristik utama aktivitas biologisnya (mourya dkk., 2011). oligomer kitosan mempunyai aktivitas biologis sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, antitumor, menurunkan tekanan darah tinggi (struszczyk dkk., 2009), antimikroba, hemostatik, penstimulasi sistem imun, osteokonduktivity, anti koagulan, penurun kolesterol dan masih banyak lagi sehingga penggunaannya dalam industri makanan dan farmasi serta dalam bidang medis semakin luas (mourya dkk., 2011; natalia, 2013). beberapa penelitian melaporkan potensi oligomer kitosan dari bahan berkitin, misalnya pae (2001) melaporkan terjadinya induksi granulositik pada sel promyelocytic leukemia (hl-60) oleh water-soluble chitosan oligomer (wsco). caiqin qin dkk (2002) melaporkan kitosan larut dalam air secara enzimatik dan aktivitasnya sebagai anti tumor. sri wahyuni dkk (2006) melaporkan aktivitas anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer. qingsong xu dkk (2007) melaporkan oligomer kitosan dapat menginduksi apoptosis cell kanker hepatocellular pada manusia. sanaa t. el-sayed dkk (2012) melaporkan oligomer kitosan yang dihasilkan dengan kitosanase dari capsicum annuum efektif dalam menghambat sel karsinoma hepatocellular (hep-g2), sel kanker usus dan sel kanker payudara (mcf7) pada konsentrasi yang berbeda. uji toksisitas adalah suatu uji pendahuluan untuk mengetahui aktivitas farmakologi suatu senyawa. prinsipnya komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi obat pada dosis rendah (meyer dkk., 1982). sebelum diaplikasikan kepada manusia, senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai produk farmasi harus melewati uji pendahuluan menggunakan hewan uji (marwati, 2012). metode bslt sering digunakan untuk praskrining terhadap senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan. metode ini menggunakan larva udang yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang bersifat toksik dari bahan alam. metode ini dapat digunakan sebagai bioassay-guided fractionation dari bahan alam karena mudah, cepat, dan murah (meyer dkk., 1982). oleh karena itu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas dari oligomer kitosan sebagai uji pendahuluan sebelum digunakan sebagai produk farmasi baik itu sebagai anti kanker ataupun sebagai anti mikroba dengan metode bslt. metodologi bahan bahan yang digunakan diantaranya oligomer kitosan enzimatis dengan waktu inkubasi 1,2 dan 3 jam dari kitosan dd 60 % (sarni, 2016), ch3cooh 33%, naocl 0,5 % (merk), air laut steril, aquades, telur artemia salina leach. alat alat yang digunakan adalah micro pipet, aerator, lampu tl 15 watt serta beberapa peralatan gelas (pyrex). prosedur kerja a. penyiapan larva artemia salina leach telur artemia salina leach direndam dengan aquades selama 10 menit, kemudian ditambah beberapa tetes naocl 5% dan dicuci dengan aquades. selanjutnya telur artemia salina leach dimasukkan ke wadah berisi air laut, diaerasi di bawah sinar lampu selama 24 jam. telur akan menetas setelah 24 jam dan menjadi larva. larva yang berumur 2 hari siap digunakan sebagai hewan uji b. persiapan larutan sample senyawa oligomer kitosan enzimatis inkubasi 1, 2 dan 3 jam dibuat larutan stok dengan konsentrasi 5000 ppm. selanjutnya, dibuat seri konsentrasi sampel sebesar 10; 20; 40; 80 dan 160 ppm dari larutan stok tersebut dengan pengenceran menggunakan air laut. sebagai kontrol, digunakan pelarut air laut. c. pelaksanaan pengujian sampel sepuluh ekor larva artemia salina leach dimasukkan ke dalam tabung yang berisi sampel dan kontrol. volume tabung dicukupkan hingga 5 ml dengan air laut. masing-masing perlakuan dan kontrol dilakukan tiga kali ulangan. andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 373-377 375 selanjutnya, semua tabung diinkubasikan di bawah lampu tl 15 watt selama 24 jam. setelah diinkubasi, jumlah larva artemia salina leach yang mati pada tiap tabung dilihat dengan bantuan kaca pembesar dan dihitung untuk menentukan persentase kematiannya. nilai lethal concentration (lc50) dihitung menggunakan analisis probit. efek toksisitas dianalisis dari pengamatan dengan persen kematian larva menggunakan rumus (meyer et al., 1982): dengan mengetahui kematian larva artemia salina leach, kemudian dicari angka probit melalui tabel dan dibuat persamaan garis : y = bx + a dimana, y = log konsentrasi, dan x = angka probit dari persamaan tersebut kemudian dihitung lc50 dengan memasukkan nilai probit (50% kematian). apabila pada kontrol ada larva yang mati, maka % kematian ditentukan dengan rumus abbot (meyer dkk., 1982). hasil dan pembahasan suatu senyawa dikatakan sangat toksik jika nilai lc50 < 30 ppm, toksik jika nilai lc50 30 – 1000 ppm dan jika nilai lc50 > 1000 ppm. nilai lc50 oligomer kitosan yang dihasilkan secara enzimatis untuk tiap waktu inkubasi dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. hasil uji toksisitas oligomer kitosan dengan metode bslt sampel jumlah larva sampel mati pada tiap konsentrasi lc50 kontrol 10 ppm 20 ppm 40 ppm 80 ppm 160 ppm 2 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 2 4 2 3 total kematian 8 7 10 8 10 % kematian 26,67 23,33 33,33 % 26,67 % 33,33 % ok. 1 jam 7 9 8 7 10 36,90 ppm 7 8 8 8 9 (toksik) 4 7 8 10 8 total kematian 18 24 24 25 27 % kematian 60 % 80 % 80% 83,33% 90 % ok. 2 jam 3 9 9 10 10 47,43 ppm (toksik) 7 8 8 8 6 7 4 8 9 10 total kematian 17 21 25 27 26 % kematian 56,67 % 70% 83,33 % 90 % 86,67% ok. 3 jam 4 5 6 7 10 104,86 ppm (toksik) 4 4 7 7 10 5 4 4 6 10 total kematian 13 13 17 20 30 % kematian 43,33% 43,33% 56,67 % 66,67 % 100 % oligomer kitosan untuk tiap waktu inkubasi memiliki sifat toksik dengan nilai lc50 yang semakin meningkat dari inkubasi 1 jam hingga 3 jam. nilai lc50 untuk 1,2 dan 3 jam inkubasi berturut-turut 36,90 ppm; 47,43 ppm dan 104,86 ppm (tabel 1). semakin kecil nilai lc50 maka semakin toksik senyawa tersebut. dengan demikian tingkat toksisitas oligomer kitosan yang dihasilkan semakin lama waktu inkubasi akan semakin berkurang. hal ini terjadi karena semakin lama waktu inkubasi maka akan semakin banyak monomer atau oligomer kitosan dengan derajat polimerisasi rendah yang dihasilkan, yang mana bersifat tidak toksik. oligomer kitosan yang dihasilkan dari hidrolisis kitosan dari kulit udang windu (dd 60 %) dengan enzim kitosanase dari klebsiella sp untuk tiap waktu inkubasi bersifat toksik berdasarkan nilai lc50, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat anti kanker. dalam hal ini oligomer kitosan yang dihasilkan diuji lebih lanjut ke sitotoksisitasnya. % kematian = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑢𝑗𝑖 𝑥 100 % andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 373-377 376 kesimpulan hasil penelitian menunjukan oligomer kitosan (crude) hasil hidrolisis kitosan dari kulit udang windu (dd 60 %) dengan enzim kitosanase untuk tiap waktu inkubasi memiliki sifat toksisitas kuat dengan nilai lc50 36,90 ppm (inkubasi 1 jam); 47,43 ppm (inkubasi 2 jam) dan 104,86 ppm (inkubasi 3 jam) daftar pustaka chasanah e., 2010. pengembangan produk oligomer kitosan dari limbah industri perikanan udang secara enzimatis prospek dan kendala. balai besar riset pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan perikanan. j. squalen vol 5 (2). choi j.y., kim e.j., piao z., yun y.c., shin y.c., 2004. purification and characterization of chitosanase from bacillus sp. strain kctc 0377bp and its application for the production of chitosan oligosaccharides. american society for microbiology, applied and environmental microbiology. vol. 70 (8) : 4522-4531 el-sayet, s., el-sayat, m., shousha, w.g., shehata, a.n., omar, n.i., 2012. production of novel antitumor chitooligosaccharides by using purified chitosanases from capsium annuum leaves. australian journal of basic and applied sciences, 6(4):1-15 hotmatua, a., 2004. potensi antimikroba oligomer kitosan yang dihasilkan dengan menggunakan enzim termostabil kitosanase lh 28.38, skripsi tidak diterbitkan. institut pertanian bogor, bogor jeon y.j. & kim s.k., 2000. production of chitooligosaccharides using ultrafiltration membran reactor and their antibacterial activity. carb. polymer 41: 133-141. julianti s., agusnar h., alfian z., 2012. pembuatan kitosan oligomer melalui metode degradasi oksidatif dan pengaruhnya terhadap viskositas dan berat molekul. universitas sumatera utara, medan, j. saintia kimia vol.1(1) liu b. , wan-shun liu, bao-qin han, yu-ying sun, 2007. anti diabetic effects of chitooligosaccharides on pancreatic islet cells in streptozotocin-induced diabetic rats. world j. gastroenterol 13 (5): 725– 731. marwati d., 2012. sintesis senyawa potensial anti kanker turunan sinamat. tesis tidak dipublikasikan. program studi ilmu kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas indonesia, depok. meidina, 2005. aktivitas antibakteri oligomer kotosan yang diproduksi menggunakan kitosanase dari isolat b. licheniformis mb2, tesis tidak diterbitkan. pasca sarjana, institut pertanian bogor, bogor. meyer, f., putnam, jacobsen n., & mc l., 1982, brine shrimp: a convenient general bioassay for active lant constituents, plant medika 45. mourya, v.k., inamdar, n.n., choudari, y.m., 2011. chitooligosacharides : synthesis, caracterization and applications. goverment pharmacy collage, osmanpura, aurangabad, india. polimer science. ser. a 53 (7): 583 – 612. natalia, d., 2013, kloning dan ekspresi gen pengkode kitosanase dalam rangka produksi kitooligosakarida untuk keperluan medis, program riset desentralisasi dikti, institut teknologi bandung, bandung. pae, ho, 2001. introducton ofgranulocytic differentiation in acute promyelocytic leukemia cell (hl-60) by water-soluble chitosan oligomer. leukemia res. 25: 339 – 346. prastitis, 2006. isolasi dan karakterisasi enzim kitosanase dari bakteri laut yang berasosiasi dengan spons, skripsi tidak diterbitkan., institut pertanian bogor, bogor. qin caiqin, du yumin, xiao ling, li zhan, gao xiao hai, 2002. enzymic preparation of water-soluble chitosan and their antitumor activity. wuhan university, china. int. j. biological macromolecules 31(2002):111-117. sarni, natsir, h., dali, s., 2016. production and characterization chitosanase of sponge symbiont bacteria klepsiella sp to hydrolyze chitosan be chitooligosaccarides int. journal marina chimica acta vol. 17 no. 1 (april 2016)issn 1441-2132. andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 373-377 377 srijanto b., paryanto i., masduki, purwatiningsih, 2006. pengaruh derajat deasetilasi bahan baku pada depolimersasi kitosan. pusat pengkajian dan penerapan teknologi farmasi dan medika-bppt, bogor, akta kimia indonesia vol.1 (2) : 6772. wahyuni s., zakaria f., witarto a.b., syah d., suhartono m.t., 2006. aktivitas anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer. j. teknologi dan industri pangan vol xvii (1). xu, q., dou, j., wei, p., tan, c., yun, x., wu, y., bai, x., ma, x., du, y., 2007. chitooligosaccharides induce apoptosis of human hepatocellular carcinoma cell via up-regulation of bax. elsevier since direct. carbohydrat polimers 71 ind. j. chem. res., 2014, 2, 116 121 116 adsorption of rhodamine b dye by active carbon from durrian shell (durio zibethinus) adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif dari kulit durian (durio zibethinus) matheis f.j.d.p.tanasale 1, *, i wayan sutapa 1 , ronald r. topurtawy 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: june 2014 published: july 2014 abstract the research about adsorption of rhodamine b dye by active carbon from durian shell has been done. the active carbon gained from carbonation process which is shell of durian put into furnace at 350 o c during 2 hours, and then being cold and sieved with 100 mesh sieves. next process was calcinations at 450 o c flowed by n2 gases for 2 hours then characterized with xrd spectrophotometer. activation process is done through submerge of carbon in 3 m of koh solution for 15 hours and dried in oven at 110 o c for 1 hour, then characterized with xrd. after that, adsorption process toward rhodamine b dye and the result was tested using uv-vis spectrophotometer. the results show that optimum condition from active carbon was at adsorbent weight of 0.6 g with contact time 100 minutes at ph 3.0 for adsorbs rhodamine b concentration of 50 ppm. adsorption of rhodamine b dye fitted freundlich isotherm with correlation coefficient (r 2 ), k and n value were 97.3 %, 21.542 mg/g, and 0.405 respectively. keywords: active carbon, durrian shell, rhodamine b, xrd. pendahuluan rhodamin b merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. menurut peraturan pemerintah ri no. 28, tahun 2004, rhodamin b merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk-produk pangan. zat warna rhodamin b dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati. akan tetapi sampai sekarang masih banyak produsen yang menggunakan zat warna rhodamin b dalam produk makanan dan minuman yang dihasilkannya. zat warna rhodamin b ditemukan dalam produk kerupuk, jelli/agar-agar, aromanis, minuman serta dalam terasi (budiono, 2003) . penggunaan biomaterial sebagai penyerap zat warna rhodamin b merupakan alternatif yang sekarang banyak dikembangkan, karena lebih selektif, pendekatan kompetitif, efektif, dan murah. sejumlah biomassa yang dilaporkan dapat digunakan sebagai adsorben yaitu tempurung kelapa, kulit kacang tanah, sekam padi dan jerami, serbuk gergaji, kulit kemiri dan juga kulit durian (rafattulah dkk, 2010). seperti diketahui bahwa, selama ini masyarakat hanya memanfaatkan biji dan isi durian sebagai bahan pangan, sedangkan untuk kulit durian belum dimanfaatkan secara optimal, padahal kulit durian memiliki kalor sebesar 3786,95 kal/g dengan kadar abu yang rendah yaitu 4% (rukmana, 1996) dan merupakan salah satu bahan pembuatan karbon aktif yang digunakan dalam proses adsorpsi, yaitu karbon aktif adalah bahan yang mengandung karbon, yang daya adsorpsinya ditingkatkan melalui proses aktivasi (rini dan sutapa, 2005). teknik pengolahan zat warna rhodamin b dievaluasi dengan mempertimbangkan akan kemudahan sistem aplikasi lapangan dan sumber daya yang melimpah, maka adsorben yang digunakan adalah karbon aktif. karbon aktif merupakan padatan berpori yang mengandung karbon, yang berikatan secara kovalen dan bersifat non polar serta daya adsorpsinya ditingkatkan melalui proses aktivasi. struktur *corresponding author-e-mail: mtanasale@fmipa.unpatti.ac.id matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 117 pori karbon aktif berhubungan dengan luas permukaan, yaitu semakin kecil pori-pori karbon aktif, maka semakin besar luas permukaan. dengan demikian, kecepatan adsorpsinya semakin bertambah. aktivasi karbon aktif dapat dilakukan melalui dua proses yaitu aktivasi kimia dan aktivasi fisika (rini dan sutapa, 2005). dengan melihat penggunaan aktivator dalam penelitian terdahulu menggunakan asam yang dilakukan oleh chandra dkk., 2009, maka dalam penelitian ini basa koh dipilih sebagai aktivator dalam mempelajari efektivitas aktivator basa dalam proses adsorpsi karbon aktif dari kulit durian terhadap zat warna rhodamin b. metodologi bahan kulit durian, akuades, koh (p. a. merck), gas nitrogen, hcl (p. a. merck), kalium hidrogen ftalat (p. a. merck), nh3(p. a. merck) naoh (p. a. merck), nahco3 (p. a. merck), k2hpo4 (p. a. merck), kh2po4 (p. a. merck), kertas saring whatman no. 42, zat warna rhodamin b (p. a. merck). alat spektrofotometer uv–vis (shimadzu uv1201), difraktometer xrd (shimadsu xd-160), desikator, pengerus, ayakan tatonas (100 mesh), neraca analitik ohaus, shaker, oven, alat kalsinasi, seperangkat alat gelas, tanur. prosedur kerja proses kalsinasi dan aktivasi karbon kulit durian sampel arang dimasukkan dalam perangkat alat kalsinasi yang dipanaskan pada suhu 450 o c dan dialiri dengan gas nitrogen, selama 2 jam. selanjutnya diaktivasi dengan cara, 30 g karbon kulit durian direndam dalam reagen aktivator koh 3 m selama 15 jam disaring dan dicuci dengan akuades. karbon aktif yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 o c selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dikarakterisasikan dengan x-rd. uji keasaman permukaan sebelum dan setelah diaktivasi metode yang digunakan untuk menentukan keasaman permukaan dari karbon aktif adalah metode gravimetri. karbon yang dihasilkan dari kulit durian, diambil sebanyak 0,2 g, dimasukkan dalam wadah dan diletakan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat amonia (p.a). desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. bobot karbon aktif yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada karbon dengan rumus: proses kalsinasi dan aktivasi karbon kulit durian sampel arang dimasukkan dalam perangkat alat kalsinasi yang dipanaskan pada suhu 450 o c dan dialiri dengan gas nitrogen, selama 2 jam. selanjutnya diaktivasi dengan cara, 30 g karbon kulit durian direndam dalam reagen aktivator koh 3 m selama 15 jam disaring dan dicuci dengan akuades. karbon aktif yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 o c selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dikarakterisasikan dengan xrd. variasi jumlah adsorben karbon aktif masing-masing sebanyak 0,2 g, 0,4 g, 0,6 g, 0,8 g, dan 1,0 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan zat warna rhodamin b 30 ppm kemudian larutan dishaker dengan kecepatan 300 rpm selama 60 menit. selanjutnya filtrat dan endapan dipisahkan dengan cara disaring. filtrat yang diperoleh dianalisis dengan uv-vis. matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 118 variasi konsentrasi sebanyak 5 buah erlenmeyer 100 ml disiapkan dan dimasukkan arang aktif sebanyak 0,6 g ke dalam masing-masing erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan zat warna rhodamin b dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm. selanjutnya larutan dishaker dengan kecepatan 300 rpm selama 60 menit dan didiamkan selama 2 menit. filtrat kemudian dianalisis kadar zat warna rhodamin b dengan menggunakan uv-vis. variasi waktu kontak arang aktif sebanyak 0,6 g dimasukkan ke dalam 5 buah erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan zat warna rhodamin b selanjutnya larutan dishaker dengan kecepatan 300 rpm dengan variasi waktu kontak masing – masing 20, 40, 60, 80, 100, 120 dan 140 menit. setelah itu disaring dengan kertas saring dan filtratnya diukur absorbansinya dengan uv-vis untuk menentukan konsentrasi zat warna rhodamin b yang teradsorpsi. variasi ph disiapkan 3 buah erlenmeyer yang diisi larutan dengan variasi ph 3, ph 7, ph 11 yang diatur menggunakan buffer. buffer yang digunakan untuk variasi ph berturut – turut yaitu: kalium hidrogen ftalat 0,1 m, hcl 0,1 m, dan aquades; larutan kh2po4 0,1 m ; k2hpo4 0,1 m, aquades; dan larutan nahco3 0,05 m, naoh 0,1 m, akuades dengan perbandingan volume masing – masing berbeda untuk tiap buffer (mulyono, 2008). buat konsentrasi maksimum zat warna rhodamin b dengan ph larutan 3, 7, dan 11 dengan larutan buffer. selanjutnya diambil 25 ml larutan pada masing – masing ph ditambahkan 1,0 g karbon aktif. kemudian larutan dishaker dengan kecepatan 300 rpm selama waktu kontak optimum. setelah itu, larutan yang diadsorpsi oleh karbon aktif disaring dengan kertas saring, selanjutnya filtrat tersebut diukur dengan uv-vis. penentuan isoterm adsorpsi berdasarkan variasi konsentrasi sebanyak 5 buah erlenmeyer 100 ml disiapkan dan dimasukkan arang aktif sebanyak 0,6 g ke dalam masing-masing erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan zat warna rhodamin b yang telah diatur ph yaitu ph 3 dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm. selanjutnya larutan dikocok selama 100 menit dan didiamkan selama 2 menit. filtrat kemudian dianalisis kadar zat warna rhodamin b dengan menggunakan uv-vis. kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan isoterm adsorpsi. hasil dan pembahasan preparasi arang dari kulit durian analisis difraksi sinar-x dilakukan menggunakan alat xrd shimadsu xd160 dengan panjang gelombang 1,54060 å menggunakan radiasi dari tabung target cu, tegangan 40,0 kv, arus 30,0 ma dan daerah pengamatan antara 5,000 o – 90,000 o , selama 0,24 detik. hasil karakterisasi dengan xrd dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. difraktogram xrd karbon sebelum aktivasi berdasarkan difraktogram xrd yang diperlihatkan pada gambar 5, data kristalitas untuk sampel arang sebelum aktivasi meliputi pemisahan interlayer arang yaitu berturut – turut untuk tiga peak utama menunjukkan jarak antar kisi arang yaitu 3,75 å, 3,62 å, dan 9,07 å, ketiga peak tersebut berada pada daerah 2θ masing – masing adalah 23,72 o , 24,58 o dan 9,74 o . kalsinasi dan aktivasi arang dari kulit durian karbon yang telah diaktivasi kemudian dikarakterisasikan dengan xrd dan hasilnya memiliki puncak yang melebar, menunjukkan bahwa arang tersebut mempunyai derajat kekristalan yang rendah, dan sebaliknya jika intensitasnya berubah serta hilangnya puncak yang melebar menunjukan penambahan koh matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 119 mengakibatkan perubahan kekristalan adsorben, yang diperlihatkan pada gambar 2. gambar 2. difraktogram xrd karbon sesudah aktivasi dari gambar 6 disimpulkan bahwa terdapat juga tiga peak utama yang sama nilainya berturut-turut 3,523 å, 3,795 å, dan 3,329 å dengan masing-masing berada pada nilai 2ө dengan nilai yang bergeser yaitu 25,260 o , 23,420 o , dan 26,760 o , yang berbeda dengan nilai 2ө pada difraktogram arang sebelum aktivasi. pergeseran ini menunjukkan terjadinya perbedaan jarak antar muka kristal arang yang disebabkan oleh zat aktivator koh. penentuan keasaman padatan karbon aktif keasaman padatan dapat dinyatakan sebagai kekuatan asam dan jumlah situs asam. penentuan keasaman karbon aktif dilakukan dengan metode gravimetri, yaitu adsorpsi amoniak. keasaman karbon aktif sebanding dengan banyaknya uap amoniak yang teradsorpsi oleh karbon aktif dimana proses adsorpsinya dilakukan dengan memanfaatkan keadaan vakum pada desikator agar tidak ada basa lain serta uapa air yang teradsorpsi selain amoniak. maka hasil yang diperoleh pada tabel 1. tabel 1. perbandingan keasaman bobot amoniak yang teradsorpsi karbon sebelum dan sesudah aktivasi keasaman padatan harus ditentukan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi karbon aktif yang dilakukan dengan metode gravimetri. jumlah asam dari suatu padatan dapat diperoleh dengan cara mengukur jumlah basa yang teradsorpsi secara kimia (kemisorpsi), dalam fase gas. basa yang digunakan adalah nh3 piridin, pepiredin, quinolin, trimetilamin dan pirol yang juga terdapat dalam situs asam dengan kekuatan adsorpsi yang proporsional dengan kekuatan asam. yang digunakan adalah nh3 dan terlihat jelas bahwa berat nh3 yang teradsorpsi dari karbon sebelum aktivasi ke karbon sesudah aktivasi makin bertambah, hal ini disebabkan karena bertambah luasnya permukaan karbon akibat proses kalsinasi dan proses aktivasi sehingga memungkinkan lebih banyaknya adsorbat amoniak yang teradsorpsi. variasi jumlah adsorben pada variasi jumlah adsorben 0,2 g, 0,4 g, 0,6 g, 0,8 g, 1,0 g untuk adsorpsi zat warna rhodamin b dilakukan dengan menggunakan 25 ml larutan rhodamin b 30 ppm, dengan waktu kontak 60 menit dan kecepatan sheaker 300 rpm, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi jumlah adsorben keterangan; co : konsentrasi zat warna rhodamin b sebelum proses adsorpsi ce : konsentrasi zat warna rhodamin b sesudah proses adsorpsi co-ce : konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap oleh karbon aktif. tabel 2 memperlihatkan bahwa, pada berat adsorben 0,2 g mampu menjerap konsentrasi rhodamin sebesar 28,853 ppm, dan makin meningkat untuk 0,4 g dan 0,6 g yaitu 29,387 ppm dan 29,497 ppm namun untuk 0,8 g dan 1,0 g konsentrsi zat warna rhodamin b yang terjerap sedikit berkurang jika dibandingkan dengan konsentrasi rhodamin yang terjerap pada berat adsorben 0,6 g, di atas kemampuan tersebut matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 120 karbon mengalami kejenuhan, terjadi himpitan antara karbon yang satu dengan yang lainnya sehingga daya adsorpsinya menurun. variasi konsentrasi tabel 3. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi konsentrasi pada varisi konsentrasi zat warna rhodamin b 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm dengan menggunakan waktu kontak 60 menit, berat adsorben 0,6 gram dan kecepatan sheaker 300 rpm, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. berdasarkan data hasil adsorpsi zat warna rhodamin b dengan variasi konsentrasi pada tabel 3 maka konsentrasi maksimum teradsorpsi ada pada konsentrasi 50 ppm yang memiliki nilai q paling besar yaitu 97,394 %. variasi waktu kontak pada variasi waktu kontak 20, 40, 60, 80, 100, 120, dan 140 menit untuk adsorpsi 25 ml zat warna rhodamin b 50 ppm dengan berat adsorben 0,6 g dan kecepatan sheaker 300 rpm, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi waktu kontak bila karbon aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. waktu kontak yang cukup diperlukan karbon aktif untuk mengadsorpsi zat warna rhodamin b, semakin lama waktu kontak semakin banyak zat warna rhodamin b yang teradsorpsi karena semakin lama waktu kontak antara partikel zat warna rhodamin b dengan karbon aktif untuk bersinggungan. tetapi apabila adsorbennya sudah jenuh, waktu kontak tidak lagi berpengaruh (wirawan, 2008). besarnya konsentrasi yang terjerap juga sangat tergantung pada waktu adsorpsi atau waktu kontak antara zat warna rhodamin b dengan adsorben karbon aktif. dari tabel 4, hasilnya menunjukan bahwa waktu kontak dari 20 menit sampai 100 menit konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap semakin besar, namun pada waktu kontak 120 menit dan 140 menit konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap semakin kecil jika dibandingkan dengan waktu kontak 100 menit. penurunan konsentrasi yang teradsorpsi disebabkan karena telah terjadinya kesetimbangan antara zat warna rhodamin b dengan karbon aktif, ini berarti saat terjadi keaadaan setimbang dimana adsorben tidak dapat menjerap adsorbat maka semakin kecil konsentrasi yang terjerap pada adsorben, dari hasil pada tabel 4 diketahui bahwa keadaan setimbang terjadi pada waktu kontak 100 menit, dan ini merupakan waktu kontak optimum adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif dari kulit durian. variasi ph pada variasi ph larutan zat warna rhodamin b untuk ph 3, ph 7 dan ph 11 digunakan 25 ml zat warna rhodamin b 50 ppm, waktu kontak 100 menit, berat adsorben 0,6 gram dan kecepatan sheaker 300 rpm, maka hasilnya dapat dilihat pada tabel 5. tabel 5. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi ph matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 121 pada variasi ph, perwakilan yang digunakan yaitu ph 3 (ph asam), 7 (ph netral) dan 11 (ph basa). untuk mendapatkan kondisi larutan berada pada ph yang ditentukan maka dibutuhkan larutan buffer untuk tiga kondisi ph tersebut. setelah diinteraksikan, konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap paling besar untuk tiga ph tersebut adalah larutan dalam suasana asam (ph 3), jika dibandingkan dengan suasana netral (ph 7) dan suasana basa (ph 11). dengan demikian ph sangat berpengaruh pada daya serap karbon aktif. penentuan isoterm adsorpsi berdasarkan variasi konsentrasi dari data variasi konsentrasi maka kita dapat menentukan isoterm adsorpsi yang cocok untuk adsorpsi zat warna rhodamin b oleh arang aktif dari kulit durian yaitu isoterm yang memiliki nilai persentase linear (r 2 ) yang paling besar dari dua isotherm yang dipakai yaitu isoterm langmuir dan freundlich. tabel 6. parameter adsorpsi zat warna rhodamin b untuk isoterm langmuir dan isoterm freundlich berdasarkan konsentrasi keterangan; co : konsentrasi zat warna rhodamin b sebelum proses adsorpsi ce : konsentrasi zat warna rhodamin b sesudah proses adsorpsi co-ce : konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap oleh karbon aktif. nilai x/m diperoleh dari : adsorpsi larutan pada zat padat dapat mengikuti isoterm adsorpsi langmuir atau freundlich. isoterm langmuir didasarkan pada hubungan ce terhadap ce/(x/m) sedangkan adsorpsi model freundlich didasarkan pada hubungan ln ce versus ln (x/m). untuk menentukan apakah adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif sesuai dengan isoterm langmuir atau freundlich maka dibuat kurva yang menentukan hubungan linier ce versus ce/(x/m) dan ln ce versus ln (x/m) dengan membandingkan nilai garis kuadrat terkecil atau koefisien korelasi maka dapat ditentukan isoterm adsorpsi apa yang sesuai (atkins, 1997) yang dapat dilihat pada gambar 3 dan 4. menurut oscik (1982) model isoterm adsorpsi langmuir mengasumsikan permukaan adsorben mempunyai sejumlah tertentu situs adsorpsi yang sebanding dengan luas permukaan adsorben. masing-masing situs aktif dari adsorben hanya dapat mengadsorpsi satu molekul adsorbat saja sehingga yang terbentuk adalah lapisan adsorpsi monolayer (lapisan tunggal). gambar 3. grafik linier ce vs ce/(x/m) menurut isoterm langmuir gambar 4. grafik linier ln ce vs ln (x/m) menurut isoterm freundlich matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 122 dari kurva isoterm adsorpsi berdasarkan variasi konsentrasi pada gambar 3 dan gambar 4, dapat ditentukan besarnya kapasitas atau kemampuan penjerapan zat warna rhodamin b oleh karbon aktif berdasarkan garis lurus isoterm adsorpsi dengan melihat isoterm yang sesuai koefisien korelasinya (r 2 ) isoterm langmuir yang menghubungkan ce terhadap ce/(x/m) memiliki koefisien korelasi sebesar 84,8 %. isoterm adsorpsi freundlich yang menghubungkan ln ce versus ln (x/m) sebesar 97,3 %. dari nilai-nilai koefisien korelasi ini maka nilai yang mendekati 100 % merupakan isoterm yang cocok untuk adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif dari kulit durian, yaitu mengikuti isoterm freundlich. berdasarkan kurva isoterm freundlich, maka nilai kf dan n dapat dihitung dengan menggunakan persamaan isoterm freundlich sehingga diperoleh nilai kf sebesar 21,542 mg/g dan n sebesar 0,405. nilai kf menunjukan kapasitas jerap suatu adsorben. semakin besar nilai kf semakin besar pula kapasitas adsorben dalam menjerap adsorbat (lynam dkk, 1995). nilai kf yang diperoleh pada penelitian ini cukup besar, ini berarti bahwa kapasitas karbon aktif dari kulit durian dalam menjerap zat warna rhodamin b cukup bagus. hal ini disebabkan karena zat warna rhodamin b mempunyai gugus fungsional yang bersifat asam yaitu (cooh) dan (n + (c2h5)2), adanya gugus-gugus ini akan menyebabkan kemungkinan terjadinya suatu adsorpsi kimia (widjanarko 2006). nilai 1/n menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi yang berhubungan dengan adsorpsi. nilai n menunjukkan derajat nonlinieritas antara konsentrasi larutan adsorpsi, yaitu mengukur penyimpangan linieritas adsorpsi dan biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat kebenaran suatu adsorpsi. dengan nilai n < 1, maka dipastikan bahwa proses adsorpsi ini merupakan proses kemisorpsi dan jika n > 1, dipastikan bahwa adsorpsi yang terjadi merupakan proses fisisorpsi (ozcan dkk, 2005). nilai n = 0,405 maka proses yang terjadi pada adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif dari kulit durian merupakan proses kemisorpsi. adsorpsi fisik terjadi terutama karena adanya ikatan van der waals dan merupakan sejumlah kejadian yang dapat balik, sedangkan adsorpsi kimia terjadi reaksi kimia antara padatan dengan larutan adsorbat, reaksi yang terjadi tidak dapat balik (setyowati, 1998). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. kulit durian yang merupakan limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai karbon aktif yang berfungsi sebagai adsorben untuk menyerap limbah kimia cair salah satunya adalah zat warna rhodamin b. 2. dari penelitian yang dilakukan diperoleh karbon aktif dengan jumlah adsorben 0,6 gram, waktu kontak optimum 100 menit dan ph larutan dalam suasana asam (ph 3), serta konsentrasi maksimum yang diperoleh adalah 50 ppm. 3. adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif dari kulit durian mengikuti isoterm adsorpsi freundlich dengan nilai koefisien korelasi (r 2 ) sebesar 97,3%, kf sebesar 21,542 mg/g dan nilai n sebesar 0,405 menunjukan proses adsorpsi yang terjadi pada adsorpsi zat warna rhodamin b oleh karbon aktif dari kulit durian merupakan proses kimisorpsi di mana terjadi reaksi kimia antara padatan dengan larutan adsorbat dan reaksi yang terjadi tidak dapat balik. daftar pustaka atkins p. w., 1997. kimia fisika. jilid 2, penerjemah i kartohadiprojo. penerbit erlangga, jakarta. budiono, p, 2008. analisis rhodamin b dalam saos dan cabe giling di pasar kecamatan laweyan kotamadya surakarta dengan kromatografi lapis tipis. skripsi sarjana. fakultas farmasi universitas muhamadiyah, surakarta. chandra. t. c, m. m. mirna, y. sudaryanto, dan s. ismadji, 2007. adsorption of basic dye onto activated carbon prepared from durian shell : studies of adsorption equilibrium and kinetics, chem. eng. j. 121-129. lynam, m. m., kilduff, j. e., dan weber, w. j. jr, 1995, adsorption of pnitrophenol from diluten aquadeous solution, j.chemedu, 72:80-84. mulyono ham., 2008. membuat reagen kimia di laboratorium, diterbitkan oleh pt bumi aksara, jl. sawo raya no. 18, jakarta 13220. matheis f.j.d.p.tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 1, 116 121 1 123 ozcan, a. s., edem,. dan ozcon, a,. 2005, adsorption of acid blue 193 from aqueous solution onto btma-bentonite colloid surface. phsycochem eng. aspects, vol 266, hal 73 – 81. raffatulah, m., sulaiman, o., hashim, r., dan ahmad a. 2010. adsorption of methylene blue on low-cost adsorbent : a review. chem. eng. j., 177, 7080. rini. p., dan sutapa. j. p. g., 2005. mutu arang aktif dari limbah kayu mahoni sebagai bahan penjernih air, fakultas kehutanan universitas gajah mada, yogyakarta. rukmana, r, 1996. durian budidaya dan pascapanen. penerbit kanisius. jakarta. setyowati, e., 1998. uji kemampuan karbon aktif ampas tebu dengan aktivator zncl terhadap fenol, tugas akhir. jurusan teknik lingkungan fakultas teknik sipil pertanian – institut teknologi surabaya. widjanarko p. i., 2006. kinetika adsorpsi zat warna congo red dan rhodamin b dengan menggunakan serabut kelapa dan ampas tebu, skripsi sarjana. jurusan teknik kimia, universitas katolik widya mandala surabaya. wirawan, t., 2008. adsorbsi tembaga (cu) oleh arang aktif dari tempurung jarak pagar (jtropha curcas l). jurnal kimia mulawarman. vol 6 hal 4348. indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 59 penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor αamylase pankreas manusia molecular docking of α, β, and γ-mangostin as human pancreatic α-amilase inhibitor nelson gaspersz*, mario r. sohilait chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: nelson@fmipa.unpatti.ac.id received: nov. 2018 published: jan. 2019 abstract the in silico studies of interactions between the human pancreatic α-amylase (hpa) enzyme to α, β, and γmangostin ligands has been carried out using the molecular docking method. ligands α, β, and γ-mangostin interacting through the formation of hydrogen and van der waals bonds to residues on the enzyme active side. the α-mangostin ligands resulting seven hydrogen and six van der waals bonds with the residues involved were trp59, gln63, trp96, thr163, thr164, ala198, his201, glu233, and asp300. β-mangostin resulting five hydrogen and eight van der waals bonds with residues involved were gln63, trp96, thr163, thr164, arg195, asp197, his201, glu233, asp300, and his305; while γ-mangostin forms nine hydrogen and five van der waals bonds with residues involved were trp59, gln63, trp96, thr163, asp197, ala198, his201, glu233, and asp300. the binding affinity of α, β, and γ-mangostin to the hpa enzyme obtained were -7.0; -6.6; and -7.4 kcal/mol with root mean square deviation (rmsd) value were 1,850; 1,956; and 1,811 å respectively. ligand γmangostin has potential activity as an inhibitor of hpa enzyme due to the stabilization of the complexes formation with lower binding affinity (validated with rmsd value) when compared to α and β-mangostin. keywords: molecular docking, hpa enzyme, α, β, and γ-mangostin. pendahuluan diabetes melitus (dm) merupakan salah satu penyakit yang menyumbang tingginya angka kematian di dunia. penyakit metabolik kompleks ini dikelompokkan menjadi dm tipe i dan tipe ii. dm tipe i terjadi karena kegagalan pankreas untuk memproduksi insulin, sedangkan dm tipe ii merujuk pada kondisi ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan secara efektif insulin yang dihasilkan oleh tubuh. hal ini menyebabkan terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah atau sering disebut hiperglikemia. organisasi kesehatan dunia (world health organization, who) mencatat, dm mengakibatkan kematian 1,6 juta orang di dunia pada tahun 2016, dimana jumlah penderita dm diprediksi meningkat hingga 300 juta pada tahun 2025 dengan persentasi 90 % adalah penderita dm tipe ii (who, 2018). jumlah penderita diabetes di indonesia telah menempati urutan keenam tertinggi di dunia dengan jumlah penderita sebanyak 10,3 juta orang di tahun 2017 (idf, 2018). pengobatan penderita dm dapat dilakukan dengan cara pemberian suntik insulin secara langsung atau stimulasi pelepasan insulin, meningkatkan jumlah transporter glukosa, dan menghambat proses glukoneogenesis. salah satu pengobatan penting untuk penderita dm tipe ii adalah pengendalian kadar glukosa darah setelah makan (hiperglikemia postpradial) (kim dkk., 2005). dengan menjaga konsentrasi glukosa dalam darah setelah makan pada pengobatan pasien diabetes dapat mengurangi resiko komplikasi penyakit. pengendalian hiperglikemia postpradial untuk menekan konsentrasi glukosa dilakukan dengan menghambat enzim penghidrolisis karbohidrat kompleks seperti α-amilase pankreas manusia. enzim α-amilase pankreas manusia merupakan salah satu enzim endoglikosidase yang berfungsi memotong ikatan α-1,4-glikosida pada pati menghasilkan maltosa dan berbagai oligosakarida kecil (yang terikat α-1,4 dan α-1,6glikosida) yang selanjutnya dipecah menjadi glukosa oleh enzim α-glukosidase di dalam usus. penggunaan inhibitor α-amilase dapat membantu untuk mengurangi hiperglikemia postpradial https://en.wikipedia.org/wiki/root-mean-square_deviation_of_atomic_positions nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 60 dengan menghambat sebagian hidrolisis enzimatik karbohidrat kompleks serta menunda absorpsi glukosa di usus (devalaraja dkk., 2011). penggunaan inhibitor sebagai obat antidiabetes yang bersumber dari bahan alam dapat menjadi pendekatan alternatif untuk pengobatan penderita diabetes melitus. inhibitor tersebut memiliki kelebihan selain harga yang murah dan terjangkau juga tidak memiliki efek samping bila dibandingkan dengan berbagai jenis obat komersil yang telah beredar saat ini. inhibitor yang bersumber dari bahan alam seperti akarbosa (acinoplanes sp.) (schnell dkk., 2016), voglibosa (modifikasi validamisin oleh flavobacterium saccarophilum), miglitol (modifikasi glukosa oleh gluconobacter oxydans) (vongsak dkk., 2015), dan metrofin (galega officinalis) (kumar dkk., 2016) telah digunakan dalam pengobatan klinis penderita diabetes melitus tipe 2. penelitian lain juga melaporkan potensi senyawa xanton yang terkandung di dalam ekstrak kulit buah manggis (garcinia mangostana) sebagai obat antidiabetes. senyawa xanton dari kulit buah manggis yang telah teridentifikasi sebanyak 50 senyawa, diantaranya α-mangostin, β-mangostin, γ-mangostin, mangostinon, garsinon (a-e), garsimangoson (a-d), dan kudrasanton (pedraza-chaverri dkk., 2008). kumar dkk., 2016 melaporkan α-mangostin dan γ-mangostin dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus yang mengindikasikan adanya aktvitas penghambatan terhadap enzim α-amilase. interaksi antara inhibitor atau ligan α, β, dan γmangostin dengan sisi katalitik dapat menghambat aktivitas enzim α-amilase. studi in silico dengan menggunakan metode penambatan molekuler (molecular docking) dilakukan untuk memodelkan interaksi antara enzim α-amilase dengan inhibitor α, β, dan γmangostin yang memiliki potensi aktivitas antidiabetes. beberapa penelitian secara in silico telah dilakukan dengan memodelkan interaksi antara enzim α-amilase dengan inhibitor seperti mirisetin dan etil kafeat (williams dkk., 2012), betulin (wulan dkk., 2014), asam 2-alil amino 4metil sulfanil butirat (balan dkk., 2015). sementara itu, noviandri dkk., 2016 juga memodelkan perbandingan inhibisi α, β, dan γmangostin terhadap protein akt-kinase pada sel kanker pankreas. pada penelitian ini akan dilakukan molecular docking antara senyawa α, β, dan γ-mangostin dengan enzim α-amilase pankreas manusia untuk menunjukan perbandingan energi afinitas pengikatan dan menjelaskan interaksi yang mungkin terjadi pada pengikatan inhibitor oleh enzim. metodologi perangkat keras (hardware) seperangkat komputer pribadi dengan spesifikasi prosesor intel ® core tm i5-3317u cpu @1,70 ghz, ram 4 gb dan hardisk 500 gb. perangkat lunak (software) perangkat lunak komputasi yang digunakan adalah autodock-vina 1.1.2 (the scripps research institute), python molecule viewer1.5.6 (the scripps research institute), pymol molecular graphic system 1.1 (delano scientific llc). prosedur kerja preparasi protein α-amilase dan senyawa α, β, dan γ-mangostin makromolekul α-amilase pankreas manusia diunduh dari situs protein data bank (pdb) yaitu http://www.rcsb.org. untuk penelitian ini data makromolekul yang diunduh adalah 4gqr (kompleks α-amilase pankreas manusia dengan mirisetin) dalam bentuk pdb file (.pdb). ligan yang digunakan yakni senyawa α, β, dan γmangostin diunduh dalam bentuk pdb file (.pdb). struktur α, β, dan γ-mangostin serta mirisetin dapat dilihat pada gambar 1. o o oh 2 oh 1 ch3 ch3 ho h3co h3c ch3 1 2 (a) α-mangostin o o oh och3 h3co oh h3c ch3 ch3h3c 1 2 (b) β-mangostin nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 61 o o oh 2 oh 1 ch3 ch3 ho ho h3c ch3 1 2 1 2 (c) γ-mangostin gambar 1. struktur (a) α-mangostin, (b) βmangostin, dan (c) γ-mangostin (digambar dengan chemoffice 2008) penambatan senyawa α, β, dan γ-mangostin pada enzim α-amilase senyawa α, β, dan γ-mangostin selanjutnya ditambatkan pada protein yang telah tersedia ruang (pocket/cavity). penambatan dilakukan dengan autodock tools 1.5.6 dengan format file .pdbqt. ukuran grid x, y, z berturut-turut adalah 13,065; 14,876; 39,866 dengan dimensi grid boxnya adalah 25 x 25 x 25. hasil analisis akan menunjukkan senyawa dengan energi terendah yang merupakan konformasi yang baik. evaluasi penilaian (scoring) hasil penambatan hasil penambatan divisualisasi menggunakan python molecule viewer dan pymol. parameter hasil penambatan dianalisis terhadap parameter penambatan yang telah ditentukan sebelumnya. energi ikatan reseptorligand, residu asam amino yang terdekat dengan ligand (< 5 ǻ) dan jarak serta jenis ikatan reseptor-ligand dapat diamati melalui program python molecule viewer dan pymol. hasil dan pembahasan studi in vitro dan in vivo aktivitas mangostin menunjukan penurunan kadar glukosa darah hewan uji yang mengindikasikan adanya aktivitas penghambatan terhadap enzim αamilase (pasaribu dkk., 2012; taher dkk,. 2016; & kumar dkk., 2016). berdasarkan hasil ini α, β, dan γ-mangostin dijadikan target studi molecular docking terhadap enzim α-amilase pankreas manusia (pdb id : 4gqr). struktur tiga dimensi interaksi α, β, dan γ-mangostin dengan enzim α-amilase pankreas manusia dapat dilihat pada gambar 2. gambar 2. interaksi protein α-amilase dengan ligan (stick structure) α-mangostin (kuning), β-mangostin (merah), dan γ-mangostin (hijau). visualisasi 3d menggunakan python molecule viewer. nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 62 penambatan α, β, dan γ-mangostin pada sisi aktif protein α-amilase menunjukan beberapa interaksi molekuler yang bertanggung jawab terhadap afinitas senyawa yang diamati (gambar 3). gugus karbonil pada α, β, dan γ-mangostin membentuk ikatan hidrogen dengan enzim (masing-masing 2,8; 3,6; dan 2,8 å) melalui gugus hidroksil dari residu thr163. interaksi ikatan hidrogen terjadi antara karbonil (c=o) dari α, β, dan γ-mangostin yang bertindak sebagai akseptor ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil (-oh) pada rantai samping residu thr163 yang bertindak sebagai donor ikatan hidrogen. lebih lanjut, gugus –oh dari cincin aromatik 1 pada α dan γ-mangostin (-oh 1 ) membentuk dua ikatan hidrogen dengan dua residu yang sama yakni ala198 (α3,0 å; γ2,7 å) dan glu233 (α2,3 å; γ2,7 å) ditambah satu ikatan hidrogen antara gugus –oh 1 γmangostin pada cincin aromatik 1 dengan residu asp197 (3,6 å). gugus hidroksil membentuk ikatan hidrogen dengan gugus amino dari residu ala198 dan gugus karboksil dari rantai samping residu glu233 dan asp197. hal berbeda ditemukan pada β-mangostin, dimana gugus hidroksil berinteraksi dengan residu asp300 membentuk dua ikatan hidrogen dengan jarak ikatan berturut-turut 4,1 dan 4,6 å. gugus metoksi (-och3) dari cincin aromatik 1 αmangostin membentuk ikatan van der waals dengan residu his201 (3,1 å), sedangkan gugus metoksi dari cincin aromatik 1 β-mangostin berinteraksi dengan residu arg195 dan asp197. gugus metoksi berinteraksi membentuk ikatan hidrogen dengan gugus amino dari rantai samping residu arg195 (3,8 å) dan ikatan van der waals dihasilkan dari interaksi dengan residu asp197 (2,7 å). gugus hidroksil kedua dari cincin aromatik 1, γ-mangostin membentuk satu ikatan hidrogen dengan residu his201. gugus hidroksil berinteraksi dengan gugus amin pada cincin imidazol dari rantai samping residu his201 (3,5 å). sementara itu, gugus metil (ch3) baik pada α, β, dan γ-mangostin menyumbang masing-masing dua ikatan van der waals. pada α dan γ-mangostin, gugus metil berinteraksi dengan residu yang sama asp300 serta berinteraksi dengan residu glu233 dan his201 pada β-mangostin. a b c d gambar 3. interaksi protein α-amilase dengan ligan α-mangostin (a), β-mangostin (b), γ-mangostin (c) dan mirisetin (ligan standar) (d). visualisasi 3d menggunakan pymol nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 63 selanjutnya dari cincin aromatik 2 pada α dan γ-mangostin, gugus hidroksil pertama (-oh 1 ) membentuk masing-masing dua ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil dari residu yang sama yakni thr163. gugus hidroksil pada ligan dan residu thr163 dapat bertindak sebagai donor dan akseptor ikatan hidrogen dan atau sebaliknya. pada β-mangostin, gugus hidroksil membentuk ikatan hidrogen dengan gugus amino dari residu gln63 (3,6 å) dan ikatan van der waals dengan residu trp96 (2,8 å). gugus hidoksil kedua (-oh 2 ) dari cincin aromatik 2 pada α dan γ-mangostin membentuk dua ikatan hidrogen dengan residu gln63 dan trp59 serta satu ikatan van der waals dengan residu trp96. ikatan hidrogen terjadi antara gugus hidroksil dari senyawa dengan gugus amino dari residu gln63 (α2,7 å; γ3,5 å) dan atom nitrogen yang ada pada cincin indol dari residu trp59. gugus metoksi dari cincin aromatik 2 pada βmangostin membentuk dua ikatan van der waals dengan residu thr163 dan thr164. gugus metil pada α, β, dan γ-mangostin menyumbang masing-masing dua ikatan van der waals. pada α dan γ-mangostin, gugus metil berinteraksi dengan residu thr 163 dan thr164, sedangkan pada β-mangostin gugus metil berinteraksi dengan residu thr163 dan his305. evaluasi hasil penambatan α, β, dan γ-mangostin pada protein α-amilase yakni ikatan reseptor-ligan berupa interaksi dengan residu asam amino, jenis ikatan serta jarak ikatan dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. interaksi α, β, dan γ-mangostin dengan residu asam amino pada protein α-amilase nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 64 hasil ini dapat dibandingkan dengan penambatan ligan standar mirisetin pada sisi aktif enzim α-amilase (gambar 3d). ligan mirisetin dapat membentuk 8 ikatan hidrogen dengan residu asam amino ditambah satu ikatan hidrogen melalui perantara molekul air. residu yang teribat yakni asp197 dan gln63 yang membentuk masing-masing dua ikatan hidrogen; glu233, trp59, thr62, dan asp433 membentuk masing-masing satu ikatan hidrogen serta tambahan glu233 yang terikat ke molekul air yang membentuk satu ikatan hidrogen dengan mirisetin. pada sisi aktif enzim α-amilase pankreas manusia terdapat tiga residu asam amino penting yakni asp197, glu233 dan asp300 yang mengkatalisis hidrolisis ikatan glikosida yang terdapat pada substrat (li dkk., 2005). studi tentang kinetika dan struktural kompleks intermediet enzim α-amilase pankreas manusia dan substrat menunjukkan bahwa residu asam amino asp197 bertindak sebagai nukleofil katalitik, sedangkan glu233 berfungsi sebagai katalis asam/basa, sedangkan rantai samping pada residu asp300 berperan dalam mengoptimalkan orientasi substrat yang terikat pada sisi aktif dan menstabilkan keadaan transisi. terikatnya ligan pada sisi aktif terutama dengan residu katalitik (asp197, glu233 dan asp300) dapat mencegah proses pengikatan substrat dan menghambat reaksi katalisis pemutusan ikatan glikosida oleh enzim. aktivitas penghambatan mirisetin terhadap enzim α-amilase pankreas manusia terjadi dengan melibatkan residu katalitik asp197 dan glu233 melalui pembentukan ikatan hidrogen, sementara residu asp300 tidak terlibat akibat adanya halangan sterik (williams dkk., 2012). pada α, β, dan γmangostin, aktivitas penghambatan terjadi melalui pembentukan ikatan hidrogen dan van der waals dengan melibatkan residu katalitik asp197, glu233 dan asp300, kecuali αmangostin yang hanya melibatkan glu233 dan asp300. jumlah gugus hidroksil ditambah dengan satu gugus karbonil yang terdapat pada setiap senyawa mangostin berperan penting dalam pembentukan ikatan hidrogen. hal ini juga berdampak pada afinitas pengikatan ligan ke reseptor. berdasarkan data pada tabel 2, diketahui energi pengikatan γ-mangostin pada tabel 2. hasil penambatan α, β, dan γ-mangostin pada protein αamilase nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 65 sisi katalitik enzim α-amilase sebesar -7,4 kkal lebih rendah bila dibandingkan dengan energi pengikatan α dan β-mangostin (-7,0 dan -6,6 kkal). nilai ini mendekati energi afinitas ikatan ligan standar mirisetin terhadap enzim α-amilase pankreas manusia. energi pengikatan yang rendah menunjukan bahwa ligan γ-mangostin berinteraksi dengan baik pada reseptor αamilase, sehingga dapat diprediksi bahwa kompleks antara protein dengan γ-mangostin merupakan kompleks yang lebih stabil dan memiliki potensi aktivitas sebagai inhibitor enzim α-amilase dibandingkan α dan βmangostin. energi pengikatan divalidasi juga dengan nilai rmsd masing-masing ligan. nilai rmsd didapatkan dari optimasi konformasi pada posisi terbaik selama proses redocking dan cara pengikatan ligan yang sebenarnya ke protein. semakin kecil nilai rmsd menunjukkan bahwa posisi ligan yang diperkirakan semakin baik karena semakin mendekati konformasi standar atau pembanding dalam hal ini ligan mirisetin. hasil validasi antara ligan yaitu γ-mangostin dengan enzim α-amilase didapatkan nilai rmsd sebesar 1.811 å yang menandakan bahwa secara teori, ligan dan protein yang divalidasi telah memenuhi kriteria. kesimpulan berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa residu protein yang paling sering terlibat berinteraksi dengan ligan yakni residu asp197, glu233 dan asp300. ligan γmangostin memiliki potensi aktivitas sebagai inhibitor enzim α-amilase dibandingkan α dan βmangostin. ligan γ-mangostin membentuk kompleks yang lebih stabil dengan enzim αamilase dengan nilai afinitas ikatan yang rendah sebesar -7,4 kkal/mol, sedangkan ligan α dan βmangostin masing-masing -6,6 dan -7,0 kkal/mol. hal ini didukung dengan nilai rmsd yang diperoleh untuk ligan γ-mangostin sebesar 1,811 å. daftar pustaka balan, k., perumal, p., sundarabaalaji, n., palvannan, t., 2015, synthesis, molecular docking and biological evaluation of novel 2-allyl amino 4-methyl sulfanyl butyric acid as α-amylase and αglucosidase inhibitor, j. mol. struc., 1081, 62-68. devalaraja, s., jain, s., yadav, h. 2011. exotic fruits as therapeutic complements for diabetes, obesity, and metabolic syndrome, j. food res. int., 44,1856-1865. international diabetes federation (idf), 2018, https://www.idf.org/our-network /regionsmembers / western pacific/ members /104indonesia.html. diakses tanggal 9 oktober 2018. kim, y.-m., jeong, y.-k., wang, m.-h., lee, w.y., rhee, h.i., 2005, inhibitory effect of pine extract on α-glucosidase activity and postprandial hyperglycemia. nutrition, 21(6), 756–761. kumar, v., bhatt, p. c., kaithwas, g., rashid, m., al-abbasi, f. a., khan, j. a. j., anwar, f., verma, a., 2016, α-mangostin mediated pharmacological modulation of hepatic carbohydrate metabolism in diabetes induced wistar rat. j. basic and applied sciences, 5(3), 255-276. noviardi, h., wulannawati, a., ibrohim, m. s. m., 2016, perbandingan inhibisi αmangostin, β-mangostin, dan γ-mangostin terhadap protein akt-kinase pada sel kanker pankreas secara molecular docking, jurnal farmamedika, 1(1), 1-9. pasaribu, f., sitorus, p., bahri, s., 2012, uji etanol kulit buah manggis (garninia mangostan l) terhadap penurunan kadar glukosa darah, journal of pharmaceutics and pharmacology, 1(1), 1-8. pedraza-chaverri, j., cardenas-rodriguez, n., orozco-ibarra, m., perez-rojas, j. m., 2008, medicinal properties of mangosteen (garcinia mangostana), j. food and chem. tox., 46, 3227-3239. schnell, o., weng, j., sheu, w. h.h., watda, h., kalra, s., soegondo, s., yamamoto, n., rathod, r., zhang, c., grzeszczak, w., 2016, acarbose reduce body weight irrespective of glycemic control in patients with diabetes: results of worldwide, noninterventional, observational study data pool, journal of diabetes and its complications, 30(4), 628-637. taher, m., zakaria, tg. m. f. s. tg., susanti, d., zakaria, z. a., 2016, hypoglycaemic activity of ethanolic extract of garcinia mangostana linn. in normoglycaemic and nelson gaspersz dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 59-66 66 streptozotocin-induced diabetic rats, bmc complementary and alternative medicine, 16, 135. vongsak, b., kongkiatpaiboon, s., jaisamut, s., machana, s., pattarapanich, c., 2015, in vitro alpha glucosidase inhibition and free-radical scavenging activity of propolis from thai stingless bees in mangosteen orchard, journal revista brasileira de farmacognosia, 25, 445-450. world health organization (who). 2018. diabetes mellitus. http://www.who.int /mediacentre / factsheets / fs138 / en /. diakses tanggal 26 oktober 2018. williams, l. k., li, c., withers, s. g., brayer, g. d., 2012, order and disorder: differential structural impacts of myricetin and ethyl caffeate on human amylase, an antidiabetic target, journal of medicinal chemistry, 55(22), 10177–10186. wulan, d. r., utomo, e. p., mahdi, c., 2014, molecular docking of ruellia tuberosa l compounds as α-amylase inhibitor: an in silico comparation between human and rat enzyme model, j. bio. info, 10(4), 209215. ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 331-334 331 synthesis of amide derivative n-4-o-asetilferuloylmorpholine from ferulic acid via indirect conversion method sintesis turunan amida n-4-o-asetilferuloilmorfolina dari asam ferulat melalui metode konversi tidak langsung sabir sumarna 1* , firdaus 2 , nunuk hariani soekamto 2 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, phone: 081355004726, email:chemist06sabir@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract synthesis of n-4-o-asetilferuloylmorpholine from ferulic acid via indirect conversion methods with acetylation, chlorination and amidation (in situ) reactions have been conducted. the acetylation was carried out using acetic anhydride reagent in pyridine solvent at room temperature for 6 hours. the chlorination was performed with thionyl chloride in benzene solvent by reflux at 75°c for 4 hours, proceeded by in situ amidation utilizing morpholine in the presence of triethylamine and pyridine using dichloromethane solvent at room temperature. the target molecule as white crystalline solids with m.p. of 91-92°c. characterization of these compounds was committed by ftir spectrophotometry. keywords: n-4-o-asetilferuloylmorpholine, ferulic acid, acetylation, chlorination, amidation pendahuluan sumber daya organik alam merupakan gudang senyawa kimia yang sangat potensial sebagai sumber senyawa baru yang unik, yang tidak dapat ditemukan di laboratorium dan sangat berguna untuk berbagai keperluan (ahmad et al., 1994). senyawa-senyawa yang bersifat bioaktif telah banyak dilaporkan yaitu golongan terpenoid, alkaloid, steroid, poliketida, fenolik, dan flavonoid. asam-asam fenolik seperti asam hidroksisinamat dan asam hidroksibensoat terkandung dalam semua kingdom tanaman. belakangan diketahui bahwa asam-asam fenolik dan turunannya dapat mengurangi resiko pada beberapa penyakit kronis. salah satu asam fenolik yang terdapat pada sebagian besar tanaman adalah asam ferulat dan ditemukan pada beberapa tanaman pangan dengan konsentrasi tinggi seperti buncis, jagung, gandum, terung, dan bit (rosazza et al., 1995; kroon et al., 1997; rechner et al., 2001; d’archivio et al., 2007 dalam paiva et al., 2013). turunan asam sinamat ini oleh barth (1886), telah berhasil mengisolasi dan menentukan struktur asam 3-metoksi-4-hidroksisinamat (asam ferulat) dari tanaman genus ferula foetida. asam ferulat bersama dengan asam dihidroferulat merupakan komponen dari lignoselulosa, penyusun dinding sel sebagai penghubung antara lignin dan polisakarida. beberapa penelitian melaporkan bahwa asam ferulat dan turunannya memiliki bioaktivitas sebagai antioksidan, antimikroba, antiinflamasi, antikanker, antidiabetes, antikolesterol, dan proteksi terhadap radiasi ultraviolet (sharma, 2011; paiva et al., 2013). senyawa-senyawa dengan aktivitas antiinflamasi dan antioksidan yang berasal dari alam telah dilaporkan memiliki korelasi positif terhadap beberapa jenis penyakit seperti kanker (nagasaka et al., 2007), diabetes, serta penyakit-penyakit kardiovaskuler dan neurodegeneratif (kayahara et al., 1999; kim et al., 2003; barone et al., 2009; soobrattee et al., 2005 dalam paiva et al., 2013). pada kenyataannya metabolit sekunder tertentu diproduksi oleh organisme dalam jumlah yang sangat terbatas, sedangkan banyak senyawa organik alam diketahui memiliki bioaktivitas yang sangat potensial untuk dikembangkan. oleh karena itu diperlukan upaya sintesis (usman, sabir sumarna, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 331-334 332 2005). turunan amida dari suatu asam karboksilat pada dasarnya dapat disintesis langsung dari asamnya dan suatu amina menggunakan katalis asam borat (tang, 2005). pemilihan jalur sintesis melalui metode konversi tidak langsung disebabkan oleh perlunya proteksi terhadap gugus hidroksil fenolik untuk menghindari terjadinya reaksi polimerisasi. metode ini merupakan gabungan dari metode yang diterapkan oleh helm et al. (1992) serta lu dan ralph (1998) dengan sedikit modifikasi, yakni mengganti reaksi esterifikasi dengan amidasi. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah asam ferulat p.a, anhidrida asetat, tionil klorida, piridin, akuades, metanol p.a, benzena, trietilamin, morfolin, nh4cl jenuh, hcl 3%, aseton p.a, na2so4 anhidrat, kloroform p.a, n-heksana p.a, etil asetat p.a, h2so4 1 m, silika gel 7733 dan 7734, plat klt, glass wool, pasir kuarsa, kertas saring biasa, kertas saring whatmann 42, dan pipa kapiler. alat alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah labu alas bulat leher tiga, kondensor, termometer, neraca analitik, heating mantel magnetic stirrer, desikator, melting point apparatus, lampu uv, rotary evaporator, kolom kromatografi, corong buchner, spektrofotometer ft-ir, dan alat-alat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium. prosedur kerja asetilasi asam ferulat sebanyak 0,5 gram (3 mmol) dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga, kemudian ditambahkan 3 ml piridin dan 0,8 ml (8,4 mmol) anhidrida asetat. campuran reaksi diaduk menggunakan stirer selama ±6 jam pada suhu ruang. selanjutnya, campuran reaksi ditambahkan ke dalam ±50 ml akuades dingin sambil diaduk. endapan putih yang terbentuk disaring, dicuci dengan akuades dan dikeringkan di dalam desikator sehingga diperoleh padatan putih kering. padatan tersebut dikristalisasi/rekristalisasi menggunakan metanol panas lalu disaring sehingga diperoleh padatan kristal putih. selanjutnya, kristal diuji titik leleh dan kemurniannya melalui analisis klt dengan 3 macam sistem eluen. kristal murni yang diperoleh dianalisis dengan spektroskopi ft-ir. klorinasi senyawa tahap asetilasi sebanyak 0,34 gram (1,44 mmol) dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga dan dilarutkan menggunakan 20 ml benzena serta ditambahkan 0,5 ml (7,2 mmol) tionil klorida. campuran reaksi direfluks pada suhu 75 ᵒ c selama 4 jam. setelah refluks, campuran reaksi didinginkan pada suhu ruang dan dievaporasi hingga diperoleh padatan berwarna kuning. amidasi senyawa hasil tahap klorinasi sebanyak 0,3 gram (1,16 mmol) dan amina morfolin sebanyak 0,11 ml (1,28 mmol) dilarutkan dalam 50 ml diklorometana (ch2cl2), lalu dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga yang berisi 0,06 ml (0,72 mmol) piridin dan 0,3 ml (2,46 mmol) trietilamin. campuran reaksi distirer pada suhu ruang selama 4 jam. campuran reaksi dicuci dengan hcl 3% kemudian nh4cl jenuh lalu dikeringkan menggunakan na2so4 anhidrat dan dievaporasi. senyawa target dimurnikan melalui kolom kromatografi gravitasi. selanjutnya dilakukan rekristalisasi dan diuji kemurniannya melalui analisis klt dengan 3 macam sistem eluen serta uji titik leleh. kristal murni yang diperoleh dianalisis dengan spektrofotometer ft-ir. hasil dan pembahasan senyawa n-4-o-asetilferuloilmorfolin turunan amida asam ferulat telah berhasil disintesis melalui metode konversi tidak langsung. metode tersebut melibatkan tiga tahap reaksi yaitu asetilasi, klorinasi dan amidasi secara in situ. produk reaksi asetilasi adalah senyawa asam 4-o-asetilferulat berupa padatan putih dengan titik leleh 194-196 ᵒ c dan rendemen sebesar 78,0 %. analisis klt terhadap senyawa asam 4-o-asetilferulat dengan tiga macam sistem eluen; (a) etil asetat/n-heksan 1:1, (b) kloroform 100 %, (c) etil asetat 100% menunjukan hanya ada satu noda (gambar 1). data hasil ftir dari produk asetilasi menunjukkan bahwa proteksi terhadap gugus oh fenolik pada asam ferulat berhasil dilakukan. hal ini ditandai dengan sabir sumarna, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 331-334 333 hilangnya serapan oh fenolik pada daerah bilangan gelombang 3437 cm -1 . adanya pita serapan lebar pada bilangan gelombang 2528-2976 cm -1 merupakan ciri khas gugus oh asam. pita serapan ini, biasanya tumpang tindih dengan serapan ch alifatik dan semakin mempertegas keberhasilan reaksi asetilasi. pita serapan pendukung lainnya adalah munculnya serapan c=o (ester) pada bilangan gelombang 1761 cm -1 yang berasal dari gugus asetil (gambar 2). dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produk reaksi asetilasi diketahui adalah senyawa asam 4-o-asetilferulat. gambar 1. analisis klt produk asetilasi gambar 2. spektrum ftir asam 4-o-asetilferulat tabel 1. data analisis ftir asam 4-o-asetilferulat bilangan gelombang (cm -1 ) serapan gugus hasil sintesis teoritis tidak ada 3400 oh fenol 3000-2528,68 3400-2400 oh asam 3010,88 3050-3010 c-h tak jenuh 2976,16, 2943,37, dan 2841,15 3000-2840 c-h jenuh 1761,01 1750 c=o ester 1687,71 1680 c=o amida 1631,78 1660-1600 c=c olefin 1600,92 dan 1506,41 1600 dan 1500 c=c aromatik 1465,90 dan 1371,39 1465 dan 1371 ch3 bending 985,62 970 c-h trans olefin 914,26 dan 837,11 900 dan 800 c-h aromatik tri-substitusi senyawa target n-4-o-asetilferuloilmorfolin diperoleh melalui reaksi klorinasi dan amidasi secara in situ berupa kristal putih dengan titik leleh 91-92 ᵒ c (rendemen 58,7%). analisis klt terhadap senyawa target dengan tiga macam sistem eluen; (a) etil asetat/n-heksan 4:6, (b) etil asetat/n-heksan 1:1, (c) etil asetat 100% menunjukan hanya ada satu noda (gambar 3). gambar 3. analisis klt senyawa target data hasil analisis ftir senyawa n-4-o-asetilferuloilmorfolin (gambar 4) menunjukan hilangnya pita serapan oh karboksilat yang melebar pada bilangan gelombang 2500-3000 cm -1 . hal ini mengindikasikan bahwa asam 4-o-asetilferulat telah tersubstitusi oleh amina morfolin, yang ditandai dengan munculnya pita serapan c-n amida pada bilangan gelombang 1298,09 cm -1 . gambar 4. spektrum ftir n-4-o-asetilferuloilmorfolin tabel 2. data analisis ftir senyawa target bilangan gelombang (cm -1 ) serapan gugus hasil sintesis teoritis tidak ada 3400 oh fenol tidak ada 3400-2400 oh asam 3120,82 dan 3064,89 3050-3010 c-h tak jenuh 2956,87, 2916,37 dan 2856,58 3000-2840 c-h jenuh 1761,01 1750 c=o ester 1647,21 1680 c=o amida 1610,56 dan 1512,19 1600 dan 1500 c=c aromatik 1433,11 dan 1373,32 1465 dan 1371 ch3 bending 1298,09 1400 c-n amida 974,05 970 c-h trans olefin 906,54 dan 829,39 900 dan 800 c-h aromatik trisubstitusi a b c a b c sabir sumarna, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 331-334 334 kesimpulan senyawa n-4-o-asetilferuloilmorfolin dapat disintesis dengan metode konversi tidak langsung melalui reaksi asetilasi kemudian dilanjutkan klorinasi dan amidasi secara in situ. ucapan terimakasih terimakasih atas dukungan dana penelitian yang diberikan oleh lembaga pengelola dana pendidikan (lpdp) kementrian keuangan r.i. daftar pustaka achmad, s. a., hakim, e. h., juliawaty, l. d., makmur, l., dan syah, y. m., 1994, chemical studies of indonesian reinforest plant: triterpenoids from cryptocarya crassinervia and litsea ellepatica. rep. asahi glass found. 691-695. barone, e., calabrese, v., dan mancuso, c., 2009, ferulic acid and its therapeutic potential as a hormetin for age-related diseases. biogerontology. helm, r. f., ralph, j., dan hatfield, r. d., 1992, synthesis of feruloylated and p coumaroylated methyl glycosides, carbohydr. res., 229: 183194. lu, f., dan ralph, j., 1998, facile synthesis of 4-hydroxycinnamyl pcoumarates, j. agric. food chem., 46: 2911−2913 nagasaka, r., chotimarkorn, c., shafiqul, i. m., hori, m., ozaki, h., dan ushio, h., 2007, anti-inflammatory effects of hydroxycinnamic acid derivatives, biochem. biophys. res. commun., 35(8): 615-619. paiva, l. b. de., goldbeck, r., santos, w. d. dos., dan squina, f. m., 2013, ferulic acid and derivatives: molecules with potential application in pharmaceutical field, braz. j. pharm. sci., 49: 395410. sharma, p., 2011, cinnamic acid derivatives: a new chapter of various pharmacological activities, j. chem. pharm. res., 3(2): 403 423. tang, 2005, boroc acid catalyzed amide formation from carboxylic acid and amines n-benzyl-4phenylbutyramide, org.syn.,81: 262. usman, h., 2005, isolasi, krakterisasi, dan uji bioaktivitas metabolit sekunder dari tumbuhan cryptocarya costata, disertasi tidak diterbitkan, makassar: program pascasarjana, univeritas hasanuddin. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 101-1076 1 101 mekanisme teoritis pembentukan senyawa siklik hidrokarbon dari reaksi c4h5 dan c4h2 formation mechanism of cyclic hydrocarbons from c4h5 and c4h2 antonius indarto*, lienda handojo department of chemical engineering, institut teknologi bandung kampus itb, jl. ganesha 10, bandung 40132 *corresponding author, e-mail: indarto_antonius@yahoo.com received: jul. 2019 published: jan. 2020 abstract acetylene and polyyne are intermediates in the formation of polycyclic aromatic hydrocarbons (pahs) and soot in combustion or pyrolysis. pah formation from acetylene is known as the most adopted pathway because it has a low reaction energy. another mechanism for the formation of pah is a mechanism that involves polyyne or known as a radical pathway, proposed by krestinin. this pathway involves the reaction of alkyne + alkenes which results in the addition of radical sites to the molecular structure. in this study, the two reaction mechanisms will be compared. electronic features and energy requirements of the reaction process will be evaluated using molecular computational studies based on electron density (dft). in combustion conditions (high temperature), the formation of radical sites requires relatively little energy, with a range of 2-5 kcal/mol. this is very different when compared to the energy profile for the same reaction at room temperature. from this study, it can be concluded that the mechanism of radical growth has the potential to occur in combustion reactions. keywords: polycyclic aromatic hydrocarbons, radical growth, combustion, polyyne. pendahuluan polisiklik aromatik hidrokarbon atau pah adalah komponen yang paling dominan dari berbagai polutan organik yang ada di troposfer (tiwary dan williams, 2019, indarto, 2009). beberapa pah dapat berkelompok membentuk lapisan grafenik tak beraturan berukuran 10-80 nm (north dkk., 2015) dengan komposisi dan morfologi yang bergantung pada sumber biomassa dan kondisi operasi pembakaran/pirolisis (sasongko dkk., 2015). dengan banyak dan beragamnya tipe pah yang ada, studi mekanisme pembentukan dan kinetika pertumbuhan pah menjadi hal yang menarik perhatian ilmuwan untuk dikaji baik dari sisi eksperimental maupun simulasi (lou dkk., 2010, indarto, 2011, zhang dkk., 2016). mekanisme pertumbuhan yang paling sering dirujuk sebagai mekanisme pertumbuhan partikel pah dalam kondisi pembakaran adalah mekanisme haca (hydrogen abstraction c2h2 addition), diusulkan oleh frenklach dkk. (hayakawa, 2018) yang melibatkan siklisasi dan penambahan ethyne secara berulang. beberapa mekanisme pembanding, seperti yang dikemukakan oleh bittner dan howard (bockhorn, 2013) telah dibahas dalam beberapa tahun terakhir. mekanisme lain dianggap menjanjikan adalah polimerisasi cepat polyynes (c2nh2) yang diusulkan oleh krestinin (2000), yang melibatkan reaksi siklisasi atau proses cycloaddition. polyyne telah ditemukan hadir dalam jumlah yang signifikan dalam lidah api pembakaran (sun dkk., 2015). senyawa ini juga telah terdeteksi sebagai produk utama dalam reaksi radikal yang dilakukan pada suhu kamar. studi literatur terkini, fokus khusus pada polyyne dalam api pembakaran telah dievaluasi secara eksperimental, dimana senyawa antara ini telah terdeteksi hingga c10h2 (sun dkk., 2017) atau c12h2, dengan rasio konsentrasi c2nh2 terhadap c2(n-1)h2 yang menghasilkan hampir konstan (li dkk., 2009). pusat hipotesis dari mekanisme ini adalah proliferasi pusat radikal, yang harus menyertai siklisasi (krestinin, 2000) atau proses cycloaddition yang terjadi dalam proses polimerisasi cepat polyyne. studi ini difokuskan pada evaluasi pembandingan profil kebutuhan energi dari dua antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 101-106 1 102 mekanisme pembentukan senyawa siklik sederhana dari senyawa dengan jumlah karbon empat. meskipun perhitungan profil energi telah banyak dilakukan untuk mekanisme haca (indarto, 2011) maupun proliferasi (indarto dkk., 2010), tapi belum ditemukan literatur yang secara khusus membandingkan kedua jalur tersebut. senyawa siklik sederhana merupakan senyawa awal terbentuknya senyawa pah dan senyawa makromolekul siklik lain (seperti jelaga). mekanisme pertama akan merujuk pada mekanisme pertumbuhan haca dimana asetilena akan berekasi dengan alkana dengan radikal tunggal. jalur reaksi ini akan dibandingkan dengan pembentukan radikal untuk reaksi antara asetilena dan butadiyne (hc-c≡cch) yang diakhiri dengan pembentukan senyawa siklik (cyclization). butadiena atau diacetylene telah terdeteksi sebagai senyawa antara penting dalam pembentukan jelaga (indarto, 2009, yang dkk., 2007, li dkk., 2007) dan terdeteksi dalam jumlah yang relatif besar pada nyala api asetilena (sun dkk., 2015, 2017), benzena (law, 2010), atau bensin (yang dkk., 2007). metodologi metode komputasi proses pertumbuhan dan pembentukan senyawa siklik diawali dengan reaksi antara asetilena (c2h2) dengan c4h5 untuk mekanisme pertumbuhan haca dan diasetilena (c4h2) untuk mekanisme berbasiskan polyyne. kedua reaksi adisi (adduct) akan diakhiri dengan reaksi penyusunan ulang molekul membentuk senyawa siklik. detail skema mekanisme akan disampaikan pada bagian hasil dan pembahasan. perhitungan molekuler dilakukan dengan menggunakan program gaussian 09. optimasi struktur stabil dan transisi (ts) dengan energi minima ditentukan menggunakan teori fungsi kerapatan (dft) dengan basis fungsional becke 3-parameter lee, yang and parr (b3lyp). fungsi ini digunakan secara luas dan umumnya mampu memprediksi profil energi dan geometri dengan baik. pada perhitungan yang melibatkan poli-radikal, perhitungan dengan menggunakan metode yang lebih detail, yaitu complete active space self-consistent field second-order perturbation theory (caspt2), akan dilakukan. pada struktur transisi, keberadaan satu mode normal frekuensi imajiner (negatif) digunakan sebagai penentu titik pelana (saddle point) hubungan antara energi awal, barrier, dan energi akhir reaksi. struktur dan bentuk beberapa geometri hasil optimasi ditunjukkan pada gambar 1. dalam studi ini, hanya mekanisme penentu yang akan dilakukan perhitungannya dengan menggunakan basis-set 6-31g(d). basis-set ini memberikan hasil perhitungan yang relatif baik dengan waktu perhitungan yang cepat (maranzana dkk., 2013). energi aktivasi, entalpi reaksi, dan energi bebas akan diperoleh sebagai hasil perhitungan termokimia dari analisis vibrasi. gambar 1. geometri optimum hasil simulasi. angka jarak yang tertera dinyatakan dalam angstrom. gambar 2. model pembentukan senyawa cincin dari mekanisme pertumbuhan haca. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 101-106 1 103 validasi model untuk menemukan metode mekanika kuantum terbaik dan basis set yang digunakan, asetilena (c2h2), ethynyl radical (c2h·), dan benzene (c-c6h6) telah dipilih sebagai model dan dibandingkan antara perhitungan komputasi dan data percobaan. tabel 1 menunjukkan hasil komputasi menggunakan beberapa metode dan basis set dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari eksperimental. secara umum, perbedaan kecil yang diketemukan menunjukkan bahwa permbandingan jarak interaksi atom pada geometri yang telah dioptimasi cukup baik untuk digunakan sebagai struktur dasar perhitungan. untuk kasus b3lyp/6-31g(d), yang digunakan dalam penelitian ini, memiliki kesamaan geometri yang signifikan dengan hasil percobaan, setidaknya hingga dua digit desimal dibandingkan metode dan basis set lainnya. meskipun studi dan analisis sederhana ini tidak dapat dikatakan dengan tepat, hasil dari simulasi ini dapat cukup baik untuk menggambarkan fenomena pada proses siklisasi yang nantinya akan dikaji. hasil dan pembahasan mekanisme pertumbuhan haca model pertumbuhan haca dimulai dari reaksi antara senyawa radikal dengan asetilena. dalam studi ini, skema reaksi disampaikan pada gambar 2. keberadaan molekul radikal c4h5 dan asetilena telah terdeteksi pada nyala api pembakaran biomassa dan hidrokarbon cair. reaksi antara kedua molekul ini akan menghasilkan n-c6h7 (2) dengan energi aktivasi gibbs (δg‡) sebesar 12.8 kkal/mol. transformasi rantai c6h7 dari rantai panjang menjadi molekul cincin enam (6-membered ring) dapat dilalui dengan energi aktivasi 2,8 kkal/mol. nilai energi aktivasi ini relatif rendah dan produk reaksi cc6h7 (3) yang stabil dengan energi reaksi gibbs sebesar -90 kkal/mol. selain proses pembentukan senyawa siklik, molekul 2 dapat beraksi lebih lanjut dengan asetilene membentuk molekul rantai panjang, n-c8h9 (4). seperti halnya reaksi adisi sebelumnya, proses reaksi 3+c2h2 memiliki energi aktivasi (δg‡) yang relatif tinggi sebesar 16 kkal/mol. molekul 4 berpotensi untuk membentuk sebuah senyawa siklik tetapi melalui jalur penyusunan ulang melewati terbentuknya molekul 5 terlebih dahulu. dalam kasus ini, kami hanya akan membahas senyawa dengan geometri mirip benzene karena n-c8h9 juga dapat membentuk molekul bercincin 5, 7, atau 8. profil energi bebas gibbs dari rangkaian pertumbuhan haca ditunjukkan dalam gambar 3. untuk mengevaluasi reaksi penutupan cincin, penataan ulang geometri adalah hal yang mutlak diperlukan, misalnya dari 4 menjadi 5. berbeda dengan penataan ulang secara molekular dari molekul-molekul dengan jumlah aton karbon rendah, cxhx-1 (x ≤ 6), energi yang diperlukan (δg‡) jauh lebih tinggi dan setara dengan reaksi adisi c2h2, sekitar 8-12 kkal/mol. penataan ulang struktur molekul akan lebih susah bila rantai molekulnya semakin panjang. pada kasus ini, pemanjangan rantai akan memiliki kecenderungan untuk terjadi karena reaksi penataan ulang struktur molekul merupakan reaksi reversibel. dalam kenyataannya, molekul c2nh2n-1 dengan rantai sangat panjang jarang ditemui pada produk reaksi proses pembakaran/pirolisis; oleh karena itu, mekanisme siklisasi pada molekul dengan rantai karbon rendah, misalnya jumlah atom karbon enam, merupakan reaksi penentu/kritik pada mekanisme pertumbuhan tabel 1. perbandingan data jarak ikatan atom eksperimental dan simulasi. hf b3lyp pw91 mp2 eksperimen 6-31g(d) 6-311g(2d,p) 6-31g(d) 6-311g(2d,p) 6-31g(d) 6-31g(d) 6-311g(2d,p) asetilen (c2h2) c-c 1.1855 1.1781 1.2050 1.1944 1.2142 1.2177 1.2095 1.2024 c-h 1.0567 1.0550 1.0666 1.0630 1.0727 1.0662 1.0643 1.0625 ethynyl c-c 1.2650 1.2646 1.2263 1.2305 1.2414 1.2428 1.2399 1.2070 c-h 1.0620 1.0618 1.0700 1.0694 1.0779 1.0718 1.0688 1.0690 benzena c-c 1.3862 1.3821 1.3966 1.3913 1.4015 1.3966 1.3954 1.3970 c-h 1.0756 1.0748 1.0870 1.0829 1.0934 1.0870 1.0854 1.0840 keterangan: semua nilai dalam unit angstrom. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 101-106 1 104 haca. merujuk pada hasil perhitungan model, reaksi siklisasi (untuk membentuk senyawa radikal phenylvynil 6 dari 5) memiliki kemungkinan lebih rendah karena energi aktivasi yang sangat besar (δg‡) ca. 24,1 kkal/mol (t = 298 k) atau 30,4 kkal/mol (t = 1.200 k). mekanisme polyyne reaksi cycloaddition antara polyyne dengan asetilena akan cenderung membentuk pusat radikal baru pada senyawa yang terbentuk. senyawa ini akan reaktif dan memungkinkan membesar membentuk makromolekul dengan jumlah gugus siklik yang lebih banyak (seperti pyrene dan jelaga). untuk menguji hipotesis ini, model sikloadisi alkynes telah disusun yang ditunjukkan dalam gambar 4. dalam model ini, reaksi butadiena (7) + asetilena akan melalui dua jalur, yaitu reaksi “normal” [π4+π2] diels-alder (dengan produk antara 8) dan jalur lain [π2+π2] cycloaddition, melibatkan pembentukan diradikal (dengan produk antara 9). pada kedua jalur ini, proses siklisasi akan menghasilkan situs elektron radikal yang tidak berpasangan dalam bentuk produk o-benzyne (10) dan senyawa cincin empat (11) atau (12). pada kedua tahapan reaksi, proses reaksi diawali dengan pembentukan ikatan σ tunggal antara dua molekul yang akan menjadi parameter penentu reaksi karena umumnya membutuhkan energi aktivasi yang tinggi. selanjutnya, jalur [π4+π2] diels-alder gambar 3. profil energi gibbs pembentukan senyawa cincin menurut mekanisme pertumbuhan haca. gambar 4. mekanisme pembetukan senyawa cincin dari mekanisme polyyne dan asetilena. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 101-106 1 105 akan mempertemukan dua elektron yang tidak berpasangan (struktur 8), dan menghasilkan obenzyne 10, produk closed-shell cincin empat (12). untuk jalur [π2+π2] sikloadisi, reaksi antara karbon ujung dari diasetilena yang membawa elektron tak berpasangan dan asetilena akan menghasilkan 9. gangguan satu pasangan elektron π dari ikatan rangkap tiga dalam 9 akan memberi 11, dengan proliferasi dua pusat radikal baru. mekanisme ini akan menghasilkan senyawa antara yang biasanya memiliki titik radikal lebih dari satu dan bertambah pada setiap tahapannya. pertumbuhan atau penambahan pusat-pusat radikal pasti akan ditemui pada mekanisme ini sehingga mekanisme polyyne sering juga disebut sebagai mekanisme proliferasi radikal. jika dibandingkan dengan mekanisme pertumbuhan haca dimana reaksi adisi (adduct) untuk senyawa dengan jumlah karbon rendah (dibawah 8 atom karbon) memiliki energi aktivasi hanya di kisaran 8-12 kkal/mol, potensi terjadinya mekanisme ini akan sangat rendah. hanya saja, proses siklisasi akan menghasilnya senyawa siklik, seperti o-benzyne (10) dan 12, yang lebih stabil dibandingkan dengan reaktan. senyawa obenzyne (10) memiliki energi yang lebih rendah (δg = -74 kkal/mol) dibandingkan reaktan. untuk senyawa-senyawa siklik lain yang tidak umum, misalnya senyawa cincin empat, juga relatif stabil dimana δg molekul 12 adalah -17,4 kkal/mol dibandingkan reaktan. gambar 5. profil energi gibbs pembentukan senyawa cincin menurut mekanisme polyyne jalur (a). gambar 6. profil energi gibbs pembentukan senyawa cincin menurut mekanisme polyyne jalur antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 101-106 1 106 kesimpulan pembentukan senyawa cincin melalui mekanisme pertumbuhan haca dan mekanisme polyyne telah dievaluasi dengan menggunakan perhitungan komputasi molekuler b3lyp/631g(d). hasil perhitungan menunjukkan bahwa mekanisme proses pertumbuhan haca lebih memungkinkan untuk terjadi dibandingkan dengan proses berbasiskan polyyne. hanya saja, proses siklisasi rantai lurus akan kompetitif untuk jumlah karbon dibawah delapan mengingat proses penyusunan ulang molekul akan menjadi lebih sulit (δg‡ menjadi lebih tinggi) saat rantai karbon terlalu panjang. untuk mekanisme polyyne, meskipun produk reaksi yang dihasilkan memiliki kestabilan yang baik, proses pembentukan ikatan σ memberikan energi aktivasi yang tinggi dengan produk antara reaksi yang cenderung endoerjik. daftar pustaka tiwary, a., williams, i., 2019, air pollution: measurement, modelling and mitigation, crc press, boca raton, fl. indarto, a., 2009, soot growing mechanism from polyynes: a review, environ. eng. sci., 26(5), 251-257. north, g. r., pyle, j., zhang, f., 2015, encyclopedia of atmospheric sciences, academic press, london. sasongko, d., arifpin, n. y., rasrendra, c. b., indarto, a., 2015, numerical simulation of coal pyrolysis with tar and gas products prediction, asia-pac. j. chem. eng., 11(2), 220-228. indarto, a., giordana, a., ghigo, g., tonachini, g., 2010, formation of pahs and soot platelets: multiconfiguration theoretical study of the key step in the ring closure– radical breeding polyyne‐based mechanism, j. phys. org. chem., 23(5), 400-410. indarto, a., 2011, interaction between methyl and hydroxyl radicals: a theoretical study, res. chem. intermed., 37, 69-77. zhang, h. b., hou, d., law, c. k., you, x., 2016, role of carbon-addition and hydrogenmigration reactions in soot surface growth, j. phys. chem. a, 120(5), 683-689. lou, c., chen, c., sun, y. p., zhou, h. c., 2010, review of soot measurement in hydrocarbon-air flames, sc. china tech. sci., 53(8), 2129-2141. hayakawa, k., 2018, polycyclic aromatic hydrocarbons: environmental behavior and toxicity in east asia, springer, singapore. bockhorn, h., 2013, soot formation in combustion: mechanisms and models, springer science & business media, berlin. krestinin, a.v., 2000, detailed modeling of soot formation in hydrocarbon pyrolysis, combust. flame, 121, 513-524. sun, y. l., huang, w. j., lee, s.h., 2015, formation of polyynes c4h2, c6h2, c8h2, and c10h2 from reactions of c2h, c4h, c6h, and c8h radicals with c2h2, j. phys. chem. lett., 6(20), 4117-4122. sun, y. l., huang, w. j., lee, s.h., 2017, formation of c9h2 and c10h2 from reactions c3h + c6h2 and c4h + c6h2, j. phys. chem. a, 121(51), 9687-9697. li, h., zhang, l., tian, z., yuan, t., zhang, k., yang, b., qi, f., 2009, investigation of the rich premixed laminar acetylene/ oxygen/ argon flame: comprehensive flame structure and special concerns of polyynes, proc. comb. inst., 32, 1293-1300. law, c. k., 2010, combustion physics, cambridge university press, cambridge, uk. maranzana, a., giordana, a., indarto, a., tonachini, g., barone, v., causà, m., pavone, m., 2013, density functional theory study of the interaction of vinyl radical, ethyne, and ethene with benzene, aimed to define an affordable computational level to investigate stability trends in large van der waals complexes, j. chem. phys., 139, 244306. santiago, r. m., indarto, a., 2008, a density functional theory study of phenyl formation initiated by ethynyl radical (c2h•) and ethyne (c2h2), j. mol. model., 14, 1203-1208. yang, b., li, y., wei, l., huang, c., wang, j., tian, z., yang, r., sheng, l., zhang, y., qi, f., 2007, an experimental study of the premixed benzene/ oxygen/ argon flame with tunable synchrotron photoionization. proc. comb. inst., 31, 555–563. li, y., huang, c., wie, l., yang, b., wang, j., tian, z., zhang, t., sheng, l., qi, f., 2007, an experimental study of rich premixed gasoline/o2/ar flame with tunable synchrotron vacuum ultraviolet photoionization, energy fuel., 21(4), 19311941. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2020.10-muh 117 adsroption of bismarck brown r dyes using mesoporous silica mcm-48 muhammad zakir, andi nuraeni, paulina taba, abdul wahid wahab, seniwati dali, syaharuddin kasim, nursiah la nafie * department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan, km.10, makassar, indonesia * corresponding author: nursiahlanafie@unhas.ac.id received: august 2022 received in revised: august 2022 accepted: september 2022 available online: september 2022 abstract bismarck brown r (bbr) dye has been adsorption using mesoporous silica (mcm48). we synthesized the adsorbent using ludox hs-40 as a silica source and surfactants of cetyl trimethylammonium bromide (ctab) and triton x-100. the characterization of mcm-48 was performed using fourier transform infrared (ftir), x-ray diffraction (xrd), and scanning electron microscopy (sem). various contact times were used to study the adsorption kinetics, and concentrations were used to study the adsorption isotherm. the optimum contact time of bismarck brown r dye was one hundred twenty minutes, and the adsorption followed a pseudo-second-order model. based on the equation langmuir and freundlich adsorption isotherms, the adsorption capacity values of each are 158.7301 mg g -1 and 4.3601 mg g -1 . our results showed that the material can be used as a new dye adsorbent. keywords: mesoporous silica, mcm-4, adsorption, bismarck brown r, isotherms. introduction the indonesian textile industry has continued to experience increased production in recent years. a side effect of the increase is the ever-increasing amount of waste. waste from the textile industry it is generally environmentally harmful if disposed of directly without prior processing. one of the hazardous textile wastes is azo dye waste. azo dyes are widely used in fiber dyeing because they have a stronger dyeing power than other dyes. the most commonly used azo dye is bismarck brown r (bbr). bbr is a cationic dye characterized by a very dark brown color. bbr dyes have carcinogenic effects on humans and aquatic organisms. the effect of bbr dyes in a short time or for a long time, in contact with eyes and skin, can cause severe irritation with redness at the contact site (sole & chipman, 1986). when swallowed, it causes testicular irritation, which includes nausea, vomiting, diarrhea, discomfort, and mouth or throat redness. if not stopped immediately, it might irritate the throat, causing chest tightness and coughing (mittal, thakur, & mittal, 2013). as a result, a method is required to reduce the dyes presence before they are released into the environment. the dye waste treatment method can be done in several ways such as coagulation (kaur, rani, & mahajan, 2012), electrocoagulation, photodegradation (tahreen, jami, & ali, 2020), and adsorption (ashraf, abulibdeh, & salam, 2019; herrera-gonzález, peláez-cid, & calderavillalobos, 2017; kasperchik, yaskevich, & bil’dyukevich, 2012). the method chosen to be used in sewage treatment is the adsorption method because it is easier, cheaper, and more practical (ayub, sharma, & tripathi, 2014; kumar, malik, & purohit, 2017). the adsorption process can proceed smoothly if the adsorbent has a high surface area. mesoporous silica (mcm-48) is one of the adsorbents that offers these benefits. mcm-48 material has a three-dimensional structure to avoid the occurrence of pore-blocking (schumacher, ravikovitch, du chesne, neimark, & unger, 2000; taba, budi, & puspitasari, 2017). the mesoporous material was synthesized using silica as a source of ludox hs-40 and surfactants such as ctab and triton x-100 (pajchel & kolodziejski, 2018; wei, liu, lu, & liu, 2010; zhai et al., 2004). the synthesized mesoporous silica was washed using hcl-ethanol to remove some of the surfactants while producing a porous mcm-48 material (taba, shintadewi, zakir, & budi, 2020). the number of washing processes will affect the amount of surfactant that remains in mcm-48. in this experiment, two items of washing were carried out mcm-48 washing twice. the synthesized mcm-48 muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 118 material can be used to treat bbr dye waste pollution by simulating adsorption experiments. methodology materials and instrumentals the chemicals used for the synthesis were ludox hs-40 as a silica source, cetyltriethylammonium bromide (ctab, sigma) as a surfactant, and triton x-100 (aldrich) as a surfactant, h2o (distilled water) as a solvent, naoh (sodium hydroxide). the solutions of ch3cooh (acetic acid), c2h5oh (ethanol), hcl (hydrochloric acid), whatman no.42 filter paper, universal ph paper and bismarck brown r (c.i. 21010) used had a wavelength of 415 nm. all materials used are of a high standard and analytical grade. instruments for characterization were fourier transform infra-red (ftir) brand prestige-21 (shimadzu), x-ray diffraction (xrd) brand maxima 7000 (shimadzu), scanning electron microscopy (sem) brand jeol jsm-6510la, spectrophotometer uv-vis brand spektronik 20 d + , and other laboratory equipment. synthesis of mcm-48 the synthesis of mesoporous silica mcm-48 was carried out under hydrothermal conditions as reported by ryoo (ryoo, joo, & kim, 1999) followed by a study by taba (taba et al., 2017). in the first stage, the sodium tetrasilicate solution was dissolved by heating until it became clear. the surfactant was stirred for 2 hours in a water bath set at 80 o c. then the two solutions were mixed in a polypropylene bottle and shaken for 15 minutes until the solution solidified. the mixture was then heated in an oven at 100 o c for 24 hours and shaken every hour. then, the ph was adjusted, namely, ph 10 using 30 % acetic acid, and heated again in an oven at 100 o c for 24 hours. after the heating process, the mixture in the bottle was filtered using whatman filter paper no. 42. the residue was neutralized with distilled water and then dried in an oven until it reached a constant weight. the dried mcm-48 material was washed twice using hcl-ethanol and then characterized using xrd, ftir, and sem. in general, the synthesis procedure of mcm-48 can be illustrated in figure 1. figure 1. illustration scheme of preparation, washing, and characterization of mcm-48 adsorption bbr adsorption by mcm-48-w2 material used a variation of contact time and concentration. 1000 mg/l bbr mother liquor was prepared to prepare the standard series and the sample solution. adsorption using bbr solution with a concentration of 200 mg/l with an adsorbent weight of 0.1 gram mcm-48-w2. then 0.05 l of 200 mg/l bbr solution was contacted and then stirred using a multi stirrer with time variations of 10, 20, 30, 45, 60, 75, 90, 120, 150, and 180 minutes. after that, it was filtered using whatman filter paper no. 42. the filtrate was measured using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 415 nm. concentration variations were carried out using 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800 and 900 mg/l as sample solutions. the solution was pipetted as much as 0.05 l each into an erlenmeyer containing 0.1 gram of mcm-48-w2 adsorbent and then stirred using a multi-stirrer at the optimum time. then filtered using whatman filter paper no. 42, and the filtrate obtained was measured using a uv-vis. the absorption bbr, (q) can be calculated from the difference in the concentration of bbr before and after adsorption using equation 1. muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 119 qe = co-ce w v (1) where qe is the amount of bbr adsorbed (mg/g), co is the initial concentration and ce is the final concentration of bbr in solution (mg/l), v is the volume of the solution (l), and w is the mass of the sorbent (g ). adsorption kinetic and isotherm models the process of adsorption kinetics aims to determine the rate of adsorption of the adsorbent on the adsorbate. the adsorption kinetics will be discussed according to the quasi-first-order kinetics model developed by lagergren and the pseudo-second-order kinetics model (herreragonzález et al., 2017). the pseudo-first-order kinetic model proposed by lagergren is based on the increase in the adsorbent adsorbed on the solid as a function of time, usually expressed by equation 2. ln (qe-qt) = ln qe – k1t (2) then a graph is made between ln(qe-qt) versus t, it can be calculated with the values of qe and k1, where qe is the amount of adsorbent adsorbed at equilibrium (mg/g), qt is the amount of adsorbent adsorbed at time t, and k1 is the rate constant firstorder adsorption (min -1 ). meanwhile, the pseudosecond-order kinetics model is based on the adsorption rate in the solid phase, which is expressed by equation 3. t q t = 1 k2qe 2 + 1 q e t (3) the graph is made between (t/qt) versus t. so that the values of qe and k2 can be calculated, where qe is after that graph is made between (t/qt) versus t. so that the values of qe and k2, can be calculated, where qe is the amount of adsorbent adsorbed at equilibrium (mg/g), qt is the amount of adsorbent adsorbed at the time (mg g -1 ), and k2 is the secondorder adsorption rate constant (g.mg -1 .min -1 ). the adsorption isotherm aims to identify the interaction between the adsorbent and the absorbate to clarify the adsorption behavior. langmuir isotherm predicts monolayer coating on a homogeneous surface, and freundlich applied to heterogeneous multilayer layer represents non-ideal and reversible adsorption. langmuir and freundlich's models are written in equations (4) and (5), respectively. 1 e e e o o c c q q b q (4) where ce is the adsorbate concentration at equilibrium (mg l -1 ). qe is the amount of adsorbed bbr dye per gram of adsorbent (mg g -1 ). qo is adsorption capacity (mg g -1 ), and b is adsorption intensity (l mg -1 ). 1 log log log e f e q k c n (5) where qe is the amount of adsorbed bbr dye per gram of adsorbent (mg/g), ce is the concentration of the adsorbate at equilibrium (mg/l), k is the adsorption capacity (mg g -1 ), and n is the adsorption intensity. results and discussion to obtain mcm-48, the raw materials used were ctab as a surfactant, naoh as a catalyst, and ludox as a silica source (longloilert, chaisuwan, luengnaruemitchai, & wongkasemjit, 2011). the shape of the micelle geometry that is formed depends on the concentration of the template used. initially, a liquid-crystal mesophase (micelle) was created from ctab and triton. it gradually became a cluster of micelles forming a cubic structure and was followed by migration and polymerization of silicate anions by the addition of ludox with the help of naoh as a catalyst to produce the framework for mcm-48 (huang, wang, & wu, 2018; rath, rana, & parida, 2014). figure 2. illustration of mcm-48 formation mechanism and surfactant removal for porous mcm-48 results muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 120 an illustration is shown in figure 2. the synthesized mcm-48 material still contains a surfactant, so it is necessary to remove some surfactants by washing. washing with hcl-ethanol is expected to give better results in removing surfactants while activating the active silanol group so that mcm-48 produces open pores. characterization of mcm-48 characterization of mcm-48 before and after washing twice with hcl-ethanol is shown in figure 3. diffractogram of mcm-48 without washing (figure. 3a) a shoulder peak appeared with moderately strong intensity at 2θ = 2.49 o supported by peaks at 2θ = 4.01 o and 5.01 o as well as several other peaks with weak intensity. whereas for mcm48 after washing twice, the shoulder peak appeared at 2θ = 2.54 o followed by a peak at 2θ = 4.09 o and 5.08 o as well as several other peaks of weak intensity. after the washing process (figure 3b), the peak shifted towards a larger 2θ due to constriction and condensation of the pores. this result is consistent with what was reported in a previous study that a strong intensity shoulder peak appears in the 2θ = 2 o region and a weak-intensity peak at 2θ = 3 o -5 o, which is characteristic of the threedimensional structure of mcm-48 (jang, park, ko, lee, & margandan, 2009; sayari, 2000; solovyov, belousov, dinnebier, shmakov, & kirik, 2005; xia, su, ma, ge, & zhu, 2005). characterization with ftir will detect the functional groups found in mcm-48. the ftir spectrum of the mcm-48 washing twice samples running at a wave number of 4000-400 cm -1 . figure 3. characterization of mcm-48 (a). diffractogram of mcm48 after washing twice with hcl-ethanol, (b). diffractogram of mcm-48 without washing (c). spectrum infrared of mcm-48 after washing twice with hcl-ethanol, (d). spectrum infrared of mcm-48 without washing, and sem image of mcm-48 washing twice (e). magnification 1000 times and (f). sem image of mcm-48 washing twice magnification 8000 times. muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 121 samples of mcm-48 after washing twice (figure 3c) and (figure 3d) showed without washing, absorption peaks in the 2922 and 2852 cm -1 regions experienced a shift to 2926 and 2854 cm -1 regions, which are c-h vibrations of symmetrical stretching and asymmetry followed by a shift in the c-h buckling vibration at the absorption peak of 1471 cm -1 to 1475 cm -1 . the next shift is the absorption peak shift from 796 cm -1 to 802 cm -1 . this shift is followed by a shift at 453 cm -1 to 468 cm -1 which is the si-o strain and buckling vibration of the si-o-si originates from the silicate lattice. another shifting absorption peak has been observed. the shift occurred from wave number 1065 to 1099 cm -1 . this area is an o-h bending vibration. this is followed by another shift in the absorption peak from 958 cm -1 to 966 cm -1 as si-o stretching vibration of si-oh. these results confirm that the mcm-48 surface does have a silanol group, as expected. the ir spectrum closely matches mcm48 reported in previous studies (taba et al., 2020; wang, lu, yang, xiao, & wang, 2012). the peaks at 2926 and 2854 cm -1 are associated with the c-h stretching from surfactant that has not been removed completely. figure 3e and 3f show that the shape of the synthesized mcm-48 particles is irregular at magnifications 1000 and 8000 times. the picture shows that the particle size is not uniform, and several forms of clumps exist. however, if observed in certain sections, the particle shape is almost spherical as previously reported results that mcm-48 has a fine spherical particle shape (beck et al., 1992; endud & wong, 2007; mokri et al., 2019). the resulting sem image is not so good due to the condition of the tool. that is not optimal for scanning both at low and high magnifications. adsorption the effect of contact time on the adsorption of bbr dye by the adsorbent of mcm-48 washing twice can be determined by varying the adsorption time. figure 4 shows the amount adsorbed as a function of the contact time. based on the graphic in figure 4a, the amount of adsorbed bbr dye increases from 5 minutes to 120 minutes. this is because a longer contact period allows for greater diffusion or attachment of solute molecules to the adsorbent, resulting in a greater amount of adsorbed material (yun et al., 2011). however, after 150 minutes, the amount of adsorbed bbr dye decreased, indicating that the adsorbent surface had been saturated. it is clear that from 90 minutes to table 1 the amount of bbr dye adsorbed by mcm-48 washing twice at equilibrium can be calculated based on the straight-line equations of the pseudo-first-order equation (figure 4b) and pseudo-secondorder (figure 4c) using equations (2) and (3). pseudo-first-order pseudo-second-order k1 (min -1 ) r 2 qe (mg g -1 ) k2 (g mg -1 min -1 ) r 2 qe (mg g -1 ) q experiment (mg g -1 ) -0.0001 17.4423 0.7237 0.0023 48.3091 0.9974 48.0406 figure 4. adsorption of bbr dye by mcm-48 washing twice (a). effect of contact time on the adsorption bbr dye, the adsorption kinetics model of bbr (b). pseudo-first-order and (c). pseudosecond-order muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 122 120 minutes, there is a very significant increase, indicating that 120 is the optimum time for adsorption with an adsorption value of 46.8171 mg g -1 . the period to attain equilibrium is greater, two hours because the adsorption combines physical and chemical adsorption. from the contact time data, the adsorption kinetics of bbr dyes can be determined as shown in figures 4b and 4c below. comparison of reaction constants, respectively. pseudo-first-order and pseudo-second-order for bbr dye adsorption by mcm-48 washing twice are presented in table 1. the adsorption value bbr dye based on the equation of pseudo-first-order was 17.4423 mg g -1 (r 2 = 0.7237) and pseudo-second-order was 48.3091 mg g -1 (r 2 = 0.9974). the correlation coefficient of pseudo-second-order is close to 1 and the calculated qe value is close to the experimental qe value (48.0406 mg g -1 ). this proves that the adsorption of bbr by mcm-48-w2 follows the pseudo-second-order reaction kinetics model. varying concentrations can determine the effect of concentration on the adsorption process. the adsorption isotherm can identify the interaction process between the adsorbent and the adsorbate. the number of substances adsorbed part unit weight of the adsorbent is then expressed as a curve (rajendaran, zaini, arsad, & nasri, 2019). the amount of bbr dye adsorbed by mcm-48 washing twice as a function of concentration can be seen in figure 4 and 5. the amount of bbr dye adsorbed increases with increasing concentration value. however, in this experiment, it was impossible to determine the maximum amount adsorbed because the adsorption conditions did not yet have a saturation point. therefore, the adsorption capacity was calculated using two adsorption isotherms, namely langmuir and freundlich isotherms by making their respective curves as shown in figure 4b and 4c. based on the equation of the langmuir isotherm, it can be calculated the value of adsorption capacity (qo), correlation coefficient (r 2 ), and adsorption intensity (b). likewise, with the freundlich isotherm, we can calculate the value of adsorption capacity (kf), correlation coefficient (r 2 ), and adsorption intensity (n). the correlation coefficient can be used to determine the most appropriate isotherm in the table 2. the amount of bbr dye adsorbed by mcm-48 washing twice can be calculated based on the straight-line equations of the langmuir (fig. 5a) and freundlich isotherm (figure 5b) using equations (4) and (5). isoterm models parameters values langmuir r 2 qo (mg g -1 ) b (l mg -1 ) 0.9870 158.7301 0.0037 freundlich r 2 k (mg g -1 ) n (g l -1 ) 0.9686 4.4740 1.9868 figure 5. adsorption of bbr dye by mcm-48 washed twice (a). effect concentration on the adsorption bbr dye, (b) langmuir isotherm and (c) freundlich isotherm muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 123 adsorption process. the r 2 value in figure 5 shows that the adsorption follows langmuir and freundlich isotherms because the value of r 2 is closer for both isotherms. the comparison of the values of the two isotherms can be seen in table 2. conclusion the optimum condition of contact time for bbr dye adsorption by mcm-48-w2 was obtained at 120 minutes with an adsorption value of 48.0406 mg g -1 and followed a pseudo-second-order model. the adsorption capacity for mcm-48 washing twice against bbr dye was 158.7301 mg g -1 (langmuir isotherm) and 4.4740 mg g -1 (freundlich isotherm). acknowledgment thanks to everyone involved in helping the completion of the research in terms of the contribution of time, energy and suggestions during the research. thank you also to the hasanuddin university, especially the chemistry department. references ashraf, m. w., abulibdeh, n., & salam, a. (2019). adsorption studies of textile dye (chrysoidine) from aqueous solutions using activated sawdust. international journal of chemical engineering, 2019, 9728156. https://doi.org/10.1155/2019/9728156 ayub, s., sharma, p. k., & tripathi, c. n. (2014). removal of hexavalent chromium using agro and horticultural wastes as low cost sorbents from tannery wastewater: a review. international journal of research in civil engineering, architecture & design, 2(3), 21-35. beck, j. s., vartuli, j. c., roth, w. j., leonowicz, m. e., kresge, c. t., schmitt, k. d., … schlenker, j. l. (1992). a new family of mesoporous molecular sieves prepared with liquid crystal templates. journal of the american chemical society, 114(27), 1083410843. https://doi.org/10.1021/ja00053a020 endud, s., & wong, k.-l. (2007). mesoporous silica mcm-48 molecular sieve modified with sncl2 in alkaline medium for selective oxidation of alcohol. international symposium on zeolite and microporous crystals 2006, 101(1), 256-263. https://doi.org/10.1016/j. micromeso.2006. 12.029 herrera-gonzález, a. m., peláez-cid, a. a., & caldera-villalobos, m. (2017). adsorption of textile dyes present in aqueous solution and wastewater using polyelectrolytes derived from chitosan. journal of chemical technology & biotechnology, 92(7), 14881495. https://doi.org/10.1002/jctb.5214 huang, k., wang, z., & wu, d. (2018). synthesis of well-ordered mcm-41 containing highlydispersed nio nanoparticles and efficient catalytic epoxidation of styrene. journal of chemical sciences, 130(6), 62. https://doi.org/10.1007/s12039-018-1463-y jang, h. t., park, y., ko, y. s., lee, j. y., & margandan, b. (2009). highly siliceous mcm-48 from rice husk ash for co2 adsorption. international journal of greenhouse gas control, 3(5), 545-549. https://doi.org/10.1016/j.ijggc.2009.02.008 kasperchik, v. p., yaskevich, a. l., & bil’dyukevich, a. v. (2012). wastewater treatment for removal of dyes by coagulation and membrane processes. petroleum chemistry, 52(7), 545-556. https://doi.org/10. 1134/s0965544112070079 kaur, s., rani, s., & mahajan, r. k. (2012). adsorption kinetics for the removal of hazardous dye congo red by biowaste materials as adsorbents. journal of chemistry, 2013, 628582. https://doi.org/10. 1155/2013/628582 kumar, s., malik, m. m., & purohit, r. (2017). synthesis methods of mesoporous silica materials. 5th international conference of materials processing and characterization (icmpc 2016), 4(2, part a), 350-357. https://doi.org/10.1016/j.matpr.2017.01.032 longloilert, r., chaisuwan, t., luengnaruemitchai, a., & wongkasemjit, s. (2011). synthesis of mcm-48 from silatrane via sol–gel process. journal of sol-gel science and technology, 58(2), 427-435. https://doi.org/10.1007/ s10971-011-2409-8 mittal, j., thakur, a., & mittal, a. (2013). batch removal of hazardous azo dye bismark brown r using waste material hen feather. ecological engineering, 60, 249-253. mokri, n. a., pei ching, o., mukhtar, h., & thiam leng, c. (2019). tailoring particle size and agglomeration state of mesoporous mcm-48 muhammad zakir et al. indo. j. chem. res., 10(2), 117-124, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-muh 124 via optimisation of sol-gel silica process. journal of physical science, 30(1), 145–168. https://doi.org/10. 21315/jps2019.30.1.11 pajchel, l., & kolodziejski, w. (2018). synthesis and characterization of mcm48/hydroxyapatite composites for drug delivery: ibuprofen incorporation, location and release studies. materials science and engineering: c, 91, 734-742. https://doi.org/ 10.1016/j.msec.2018.06.028 rajendaran, e., zaini, m. a. a., arsad, a., & nasri, n. s. (2019). carbon-based adsorbents from used rubber slipper for dye removal. materials science forum, 951, 83-88. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/ms f.951.83 rath, d., rana, s., & parida, k. m. (2014). organic amine-functionalized silica-based mesoporous materials: an update of syntheses and catalytic applications. rsc advances, 4(100), 57111–57124. https://doi.org/10.1039/c4ra0 8005j ryoo, r., joo, s. h., & kim, j. m. (1999). energetically favored formation of mcm-48 from cationic−neutral surfactant mixtures. the journal of physical chemistry b, 103(35), 7435–7440. https://doi.org/10.1021/jp9911649 sayari, a. (2000). novel synthesis of high-quality mcm-48 silica. journal of the american chemical society, 122(27), 6504-6505. https://doi.org/10.1021/ja0005946 schumacher, k., ravikovitch, p. i., du chesne, a., neimark, a. v., & unger, k. k. (2000). characterization of mcm-48 materials. langmuir, 16(10), 4648-4654. https://doi.org/ 10.1021/la991595i sole, g. m., & chipman, j. k. (1986). the mutagenic potency of chrysoidines and bismark brown dyes. carcinogenesis, 7(11), 1921-1923. solovyov, l. a., belousov, o. v., dinnebier, r. e., shmakov, a. n., & kirik, s. d. (2005). x-ray diffraction structure analysis of mcm-48 mesoporous silica. the journal of physical chemistry b, 109(8), 3233-3237. https://doi.org/10.1021/jp0482868 taba, p., budi, p., & puspitasari, a. y. (2017). adsorption of heavy metals on aminefunctionalized mcm-48. iop conference series: materials science and engineering, 188, 012015. https://doi.org/10.1088/1757899x/188/1/012015 taba, p., shintadewi, n., zakir, m., & budi, p. (2020). removal of brilliant scarlet by mcm48 materials. iop conference series: earth and environmental science, 473(1), 012126. https://doi.org/10.1088/1755-1315/473/1/0121 26 tahreen, a., jami, m. s., & ali, f. (2020). role of electrocoagulation in wastewater treatment: a developmental review. journal of water process engineering, 37, 101440. https://doi.org/10.1016/j.jwpe.2020.101440 wang, j., lu, j., yang, j., xiao, w., & wang, j. (2012). synthesis of ordered mcm-48 by introducing economical anionic surfactant as co-template. 30th anniversary special issue, 78, 199-201. https://doi.org/10.1016/j.matlet. 2012.03.040 wei, f.-y., liu, z.-w., lu, j., & liu, z.-t. (2010). synthesis of mesoporous mcm-48 using fumed silica and mixed surfactants. microporous and mesoporous materials, 131(1), 224-229. https://doi.org/10.1016/ j.micromeso.2009.12.027 xia, q.-h., su, k.-x., ma, x.-t., ge, h.-q., & zhu, h.-b. (2005). efficiently tailoring the pore diameter of mesoporous mcm-48 to micropore. materials letters, 59(17), 21102114. https://doi.org/10.1016/j.matlet.2005.01. 082 yun, m.-h., yeon, j.-w., kim, j. h., lee, h. i., kim, j. m., kim, s., & jung, y. (2011). preparation and application of chelating polymer-mesoporous silica composite for europium-ion adsorption. macromolecular research, 19(5), 421-426. https://doi.org/10. 1007/s13233-011-0509-5 zhai, s.-r., gong, y.-j., zhang, y., deng, f., luo, q., wu, d., & sun, y.-h. (2004). mixed cationic-nonionic surfactants and ph adjustment route to synthesize high-quality mcm-48. journal of the chinese chemical society, 51(1), 49-57. https://doi.org/10.1002/ jccs.200400009 indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 74 studi kinetika antibakteri dari hasil pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap staphylococcus aureus kinetic study antibacterial of pyrolysis products fromcashew nut shell againts staphylococcus aureus laily nurliana* 1 , rustam musta 2 1 department of chemitry, math and nature science faculty, halu oleo university 2 department of chemitry, teacher training dan education faculty,halu oleo university kampus bumi tridarma ; anduonohu kendari, southeast sulawesi, telp. (0401)391929/fax.(0401)390496 *corresponding author, e-mail: laylinurliana@gmail.com received: nov. 2018 published: jan. 2019 abstract research on kinetics antibacterial from pyrolysis product of cashew nut shell againts staphylococcus aureus have been carried out. cashew nuts are prepared by separating the shell and seeds for pyrolysis.the results of s. aureus antibacterial activity test results pyrolysis pyrolysis products shell cashew nut showed inhibition is different for each variation of the concentration of 12.5%, 25%, 50%, 75% and 100% with inhibition of successive 0.87; 0.97; 1.38; 1.47 and 1.61 (cm) respectively. based on these results it can be said that the result of the pyrolysis of cashew nut shells provide a response inhibition that were at concentrations of 12.5 and 25%. while the concentration of 50%, 75%, and 100% response inhibitory power is included in the strong category on the growth of s. aureus. order of the reaction of the antibacterial activity of s. aureus from the pyrolysis products obtained cashew nut shell 0.3157 with activity rate constant of 0.38. the concentration of pyrolysis products of pyrolysis results cashew nut shell the minimum recommended for use as an antibacterial s.aureus. keywords: cashew nut shells, pyrolysis, s.aureus, antibacterial, chemical kinetics. pendahuluan potensi limbah cangkang biji jambu mete di indonesia cukup besar, sehingga perlu dimanfaatkan cairan ekstraknya yang disebut cashew nut shell liquid (cnsl) (saenabet al., 2016).warsono et al., (2013) menyatakan bahwa cnsl merupakan minyak yang tersusun dari senyawa fenolat kompleks dengan rantai karbon panjang bercabang dan tidak jenuh. komponen utama penyusun cnsl terdiri atas senyawa asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-metil kardol yang merupakan senyawa fenol alami (towaha dan nur, 2011). salah satu teknologi alternatif yang dapat menjadi solusi bagi penanganan permasalahan limbah cangkang biji jambu mete ialah dengan teknik pirolisis (saenab et al., 2016). pirolisis berasal dari dua kata yaitu pyro yang berarti panas dan lysis berarti penguraian atau degradasi, sehingga pirolisis berarti penguraian biomassa karena panas pada suhu lebih dari 150 °c (hermayana, 2017). pirolisis adalah dekomposisi kimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa oksigen, material mentah akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas (wiraputra, 2017). proses pirolisis menghasilkan produk berguna berupa uap panas yang kemudian dikondensasi menjadi liquid (bio-oil), syngas (bio-gas) dan char (bio-arang). pada proses ini, liquid (bio-oil) yang dihasilkan dari proses pirolisis diperkirakan masih mengandung tar yang kemudian harus dimasukkan ke dalam tungku destilasi. kandungan komponen penyusun bio-oil hasil destilasi meliputi senyawa fenol, senyawa asam dan senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis. senyawa fenol dalam kulit biji jambu mete mempunyai sifat khas, yang berperan dalam bidang industri kesehatan salah satunya adalah sebagai anti bakteri (kusrini dan mahendra 2003). seperti penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh poeloengan dan praptiwi (2010), mengenai uji aktivitas anti bakteri dari ekstrak kulit buah manggis diperoleh hasil bahwa dalam ekstrak kulit buah manggis terdapat senyawa fenol yang mempunyai kecenderungan untuk mengikat protein, sehingga mengganggu proses metabolisme pada bakteri gram positif s. aureus. anti bakteri adalah zat laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 75 yang menghambat pertumbuhan bakteri dan di gunakan secara khusus untuk mengobati infeksi bakteri. maharani et al. (2016) menyatakan bahwa aktivitas senyawa fenol dalam menghambat pertumbuhan bakteri yaitu bekerja dengan meracuni sitoplasma, merusak dan menembus dinding serta mengendapkan protein sel bakteri. aktivitas anti bakteri hasil pirolisis cangkang biji jambu mete ditentukan berdasarkan daya hambat yang diukur menggunakan zona bening. aktivitas anti bakteri tersebut dapat dipelajari pola daya hambatnya menggunakan pendekatan kinetika kimia dengan menghitung orde reaksi dan tetapan aktivitas lajunya. triyono, dkk (1998) menyatakan bahwa dengan hanya perubahan [a]o saja dan hukum laju reaksi diasumsikan r = k[a] a [b] b [c] c maka orde reaksi dapat ditentukan. dengan demikian, untuk reaksi penghambatan aktifitas antibakteri yang hanya menggunakan satu perekasi yang konsentrasinya bervariasi dapat digunakan untuk menghitung orde reaksi. jika orde telah diketahui maka berdasarkan hukum lajunya dapat dihitung besarnya tetapan laju pada temperatur yang dipilih pada masa inkubasi. hal ini dikarenakan tetapan laju akan berubah apabila reaksi berlangsung pada temperatur yang berbeda. triyono, dkk (1998) menyatakan konstanta laju merupakan fungsi temperatur. orde reaksi hanya dapat dihitung secara eksperimen dan hanya dapat diramalkan jika suatu mekanisme reaksi diketahui seluruh orde reaksi yang dapat ditentukan sebagai jumlah dari eksponen untuk masing-masing reaktan (naomi et al. 2013, latupeirissa, dkk., 2018) berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang studi kinetika anti bakteri dari hasil pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap s. aureus. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel cangkang kulit jambu mete segar (anacardium occidentale),staphylococcus aureus atcc 25923, amoxilin, pepton 2%, agar 4%, 1% naci, minyak tween, akuades, kertas saring whatman, plastik wrap, kasa, kertas label, kapas steril dan alumunium foil. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat pirolisis alat sederhana, gelas kimia 1000 ml, inkubator, neraca analitik (acis), autoklaf (wisecclave), waterbath (hws24), lemari pendingin (sharp), pipet mikro (dragon onemed), laminar air flow cabinet, shaker incubator (ratex), lampu uv, hot plate, mistar, spidol, tabung eppendorf, kawat ose, cawan petri (pyrex), gelas ukur (pyrex), gelas kimia (pyrex), erlenmeyer (pyrex), corong (pyrex), spritus, spatula, pipet ukur, oven, pipet tetes, botol vial, botol gelap, korek api dan pisau. prosedur kerja pengambilan dan pengolahan sampel cangkang biji jambu mete sampel biji jambu mete yang digunakan diperoleh dari daerah perkebunan jambu mete di desa kapota, kabupaten wakatobi kecamatan wangi-wangi selatan, sulawesi tenggara. biji jambu mete dipisahkan dari cangkangnya, kemudian cangkang biji jambu mete dianginanginkan. proses pirolisis sampel cangkang biji jambu mete ditimbang sebanyak 2,5 kg lalu dimasukkan ke dalam reaktor alat pirolisis sederhana, kemudian dipirolisis. proses pirolisis berlangsung sampai destilat berhenti keluar. pengujian aktivitas antibakteri sterilisasi alat dan bahan seluruh alat dicuci bersih dan dikeringkan. botol vial, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan petri dibungkus dengan kertas. kemudian semuanya disterilkan dengan autoklaf pada tekanan 121 mpa selama 15 menit. pengerjaan aseptis berlangsung di dalam laminar air flow yang sebelumnya telah dibersihkan dengan larutan alkohol 70%, lalu proses sterilisasi dengan lampu uv yang telah menyala selama kurang lebih 1 jam sebelum digunakan dalam proses uji antibakteri (sultana, 2014). pembuatan dan sterilisasi media medium nutrient agar (na) adalah medium yang umum digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme. medium ini mengandung 2% pepton, 1,5% yet estrak, 4% laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 76 agar dan 1% nacl. pada penelitian ini digunakan na (merck 2017) sebanyak 22,1 g na dilarutkan dengan 260 ml akuades dalam erlenmeyer, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada tekanan 121 mpa (sultana, 2014). peremajaan mikroorganisme mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian ialah s. aureus atcc 25923 spesies bakteri. bakteri ini diremajakan dengan menginokulasi 2 ose dari bakteri, kemudian dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media cair steril (2% pepton, 1,5% yeast estrak dan 4% nacl) dan diinkubasi selama 24 jam (sultana, 2014). pengujian aktivitas antibakteri media na cair dipipet sebanyak 20 ml, kemudian dimasukkan dalam eppendorf dan ditambahkan 10 ul inokulum bakteri s. aureus atcc 25923 dan dihomogenkan. setelah homogen tuangkan dalam cawan petri dengan gerakan melingkar sampai media merapat pada permukaan cawan petri, lalu didiamkan beberapa menit hingga memadat. kemudian ditempatkan kertas cakram (berdiameter 0,5 cm) yang telah direndam dalam larutan uji (100% destilat cangkang jambu mete, 75, 50, 25, dan 12,5% serta amoxilin sebagai kontrol positif, minyak tween sebagai kontrol negatif) pada permukaan media padat. setelah itu, cawan petri ditutup rapat dan dibungkus dengan plastik wrap. selanjutnya diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu ruang. dilakukan pengamatan dan diukur zona hambat yang terbentuk (bangjavicenna, 2008). pengolahan dan analisis data data yang diperoleh antara lain nilai zona bening isolat pada uji antibakteri dan tinjauan aspek kinetikanya meliputi orde reaksi dan tetapan laju reaksi aktivitas antibakteri dengan menggunakan metode regresi linear yang ditentukan dengan menggunakan persamaan (dybkov, 2013): r = k [a] n . dimana r = laju, k = konstanta laju reaksi, [a] = konsentrasi zat, n = orde reaksi. laju dapat dipandang sebagai bertambahnya hasil reaksi atau berkurangnya pereaksi untuk setiap satuan waktu (petruci, 1992). dengan demikian laju dalam hubungan dengan aktifitas anti bakteri dapat dipandang sebagai pertambahan diameter zona bening setelah selang waktu tertentu atau r = diameter zona bening (zb)/satuan waktu (t) dan karena waktu pengukuran zona bening adalah tetap maka: jika r = k [a] n zb/t = k [a] n karena k dan t adalah konstan maka kt juga akan bernilai konstan = k’ yang merupakan tetapan yang berlaku untuk satuan waktu pengukuran zona bening yang dipilih berdasarkan referensi. akibatnya: zb = k’[a] n maka: ln zb = ln k’ + n ln [a] berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat dipandang bahwa laju identik dengan zona bening. dari regresi linear akan diperoleh persamaan : y = a+bx atau ln zb = ln k’ + n ln [a] hal ini berarti bahwa jika dibuat plot hubungan ln [a] terhadap ln zb maka akan diperoleh : a = ln k’ k’ = e a (berlaku untuk waktu inkubasi yang telah dipilih) b = n = orde hasil dan pembahasan pengambilan dan pengolahan sampel cangkang biji jambu mete sampel jambu mete yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari daerah perkebunan jambu mete di desa kapota, kabupaten wakatobi kecamatan wangi-wangi selatan, sulawesi tenggara. sampel yang digunakan yaitu cangkang biji jambu mete segar. sampel jambu mete dipisahkan bagian isi dan cangkangnya. cangkang jambu mete dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. proses pengeringan dilakukan pada suhu ruang tanpa terkena sinar matahari langsung. proses pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan agar kadar air yang terdapat dalam sampel berkurang, sehingga proses ekstraksi lebih mudah. laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 77 proses pirolisis cangkang biji jambu mete proses pirolisis cangkang biji jambu mete pada penelitian ini menggunakan metode pirolisis sederhana. keunggulan metode ini adalah harganya yang relatif murah, dan tidak memakan waktu yang lama dalam poses pemisahannya. pirolisis merupakan proses penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar. reaksi pirolisis akan menghasilkan produk berupa padatan, cairan dan gas (awaluddin, 2007). sampel cangkang biji jambu mete dipirolisis dengan bantuan pemanasan sehingga mengalami reaksi kondensasi dari asap cair menjadi cairan kental berwarna hitam. pada saat pirolisis, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang kompleks terurai, sebagian besar menjadi karbon atau arang (nuryati et al., 2015). hasil pirolisis cangkang biji jambu mete yang diperoleh pada penelitian ini adalah asap cair atau biosmoke yang berwarna hitam kecoklatan dengan rendemen sebesar 38,5%. jumlah rendemen tersebut sesuai dengan penelitian saenab (2016) yang jumlahnya lebih kecil dibandingkan penelitian gonzales (2005) dalam saenab (2016) tentang pirolisis cangkang biji kenari yang dihasilkan rendemen sebesar 44,3%. hal ini disebabkan alatpirolisis yang digunakan dalam penelitian ini masih sederhana sehingga asap yang keluar belum tertampung secara sempurna. uji aktivitas antibakteri staphylococcus aureus hasil pirolisis cangkang biji jambu mete hasil analisis uji aktivitas antibakteri hasil pirolisis cangkang biji jambu mete dalam menghambat pertumbuhan bakteri s. aureus dapat dilihat pada gambar 1 dan 2: gambar 2 diagram uji aktivitas hasil pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap bakteri s. aureus gambar 2 menunjukkan bahwa pada tiaptiap variasi konsentrasi hasil pirolisis cangkang biji jambu mete memiliki aktivitas yang berbedabeda terhadap daya hambat bakteri s. aureus.data tersebut juga memperlihatkan bahwa diameter zona bening hasil pirolisis cangkang biji jambu mete di tiap-tiap konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, 75%, dan 100% berturut-turut 0,87; 0,97; 1,38; 1,47 dan 1,61 (cm). berdasarkan hasil tersebut, diketahui bahwa setiap peningkatan konsentrasi sampel akan meningkatkan zona bening yang dihasilkan. menurut rastina et al., (2015), kriteria kekuatan daya hambat antibakteri dijelaskan berdasarkan parameter sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan gambar 1 penampakan zona bening uji aktivitas hasil pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap bakteri s. aureus laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 78 sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. berdasarkan kriteria tersebut, maka hasil pirolisis cangkang jambu mete memberikan respon daya hambat yang sedang pada konsentrasi 12,5 dan25%. sedangkan pada konsentrasi 50%, 75%, dan 100% respon daya hambatnya termasuk dalam kategori kuat terhadap pertumbuhan bakteri s. aureus. adanya daya hambat antibakteri dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan senyawa fenol dan asam organik dalam hasil pirolisis jambu mete. seperti pada penelitian saenab et al.(2016) dua senyawa dominan yang berperan sebagai bakteriostatik adalah fenol dan asam-asam organik yang mampu mengontrol pertumbuhan bakteri. cara kerja asam organik dalam menghambat pertumbuhan bakteri yaitu dengan sifatnya yang asam menyebabkan ph di dalam sel menjadi rendah dan dapat mengubah permeabilitas membran sel yang menyebabkan sistem transpor bahan pada bakteri patogen menjadi hancur. hal ini dapat menyebabkan sel menjadi rusak, diikuti dengan terganggunya sintesis komponen penyusun dinding sel, akibatnya sel menjadi lemah dan lisis (pasaribu dan wina, 2017). mekanisme yang menyebabkan penghambatan dalam pertumbuhan bakteri diduga disebabkan adanya interaksi senyawa fenol dan turunannya dengan sel bakteri. senyawa-senyawa ini berikatan dengan protein pada bakteri melalui ikatan non spesifik membentuk kompleks protein-fenol. pada konsentrasi rendah, terbentuk kompleks proteinfenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, kemudian merusak membran sitoplasma dan menyebabkan kebocoran isi sel, sehingga pertumbuhan bakteri terhambat. sedangkan pada konsentrasi tinggi, zat tersebut berkoagulasi dengan protein seluler dan membran sitoplasma mengalami lisis (dinda, 2008). tinjauan aspek kinetik aktivitas anti bakteri dari hasil pirolsis cangkang biji jambu mete terhadap staphylococcus aureus zona bening merupakan indikasi adanya aktifitas antibakteri (lay, 1994 dalam muharni, dkk 2014). sementara itu menurut ruhana (2017) menyebutkan bahwa zona bening adalah daerah yang tidak ditumbuhi bakteri dalam satuan tertentu. lebih lanjut, mulyadi, dkk (2017) mengemukkan bahwa zona bening yang terbentuk pada media yang telah diinokulasi bakteri di sekitar cakram kertas yang dicelupkan sampel menunjukkan aktifitas penghambatan. hal tersebut berarti bahwa ada tahapan reaksi kimia sebelum zona bening terbentuk. sehingga zona bening sesungguhnya adalah hasil akhir dari aktifitas reaksi penghambatan yang berjalan seiring waktu, dengan demikian laju terbentuknya zona bening dapat dihitung dari diameter zona bening per waktu inkubasi. laju dapat dipandang sebagai bertambahnya hasil reaksi atau berkurangnya pereaksi untuk setiap satuan waktu (petruci, 1992). aspek kinetik produk pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap aktivitas anti bakteri dilihat melalui hubungan zona bening dengan konsentrasi yang digunakan untuk anti bakteri. analisisnya dilakukan menggunakan pendekatan regresi linear yang hasilnya dapat diperlihatkan pada gambar 3 sebagai berikut: gambar 3 hasil uji kinetika anti bakteri hasil pirolisis dalam menghambat pertumbuhan bakteri s.aureus gambar 3 memperlihatkan persamaan regresi dengan bentuk y= 0,3157x 0,9709. persamaan tersebut menunjukkan bahwa orde reaksi hasil pirolisis cangkang biji jambu mete sebagai anti bakteri sebesar 0,3157. sementara itu, tetapan lajunya dapat diperoleh dengan e -0.9709 = 0,38. nilai tetapan tersebut hanya berlaku untuk selang waktu masa ikubasi untuk pengukuran zona bening dalam penelitian ini adalah 24 jam. orde reaksi 0,3157 dapat diartikan bahwa ada pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi hal ini karena reaksi berada diantara orde 0 dan orde 1, yang dapat diartikan bahwa ada peningkatan zona bening akibat laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 79 bertambahnya konsentrasi hasil pirolisis, karena rekasi tidak berorde tepat 0 namun peningkatan tersebut juga tidak berbanding lurus dengan konsentrasi hasil pirolisis karena reaksi juga tidak berorde 1. bird (1993) menyatakan bahwa suatu reaksi dikatakan orde satu terhadap salah satu pereaksinya jika laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi itu dan reaksi dikatakan berorde nol terhadap salah satu pereaksinya apabila perubahan konsentrasi pereaksi tersebut tidak mempengaruhi laju reaksi. berdasarkan data pada gambar 3, diperlihatkan linearitas dari hubungan antara log konsentrasi terhadap log zona bening yaitu r 2 :0,9682 atau dikatakan akurat seperti yang dijelaskan oleh sudjana (2005) dalam anggreini (2008), bahawa koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. nilai korelasi ini dijelaskan dalam kriteria dimana nilai r 2 =0,75 – 0,99: korelasinya dikategorikan sangat kuat. orde reaksi dan tetapan laju yang telah ditentukan, dapat dimanfaatkan untuk menghitung konsentrasi hasil pirolisis cangkang biji jambu meteyang daya hambat (zona bening) sama dengan daya hambat (zona bening) kontrol positif. hasil perhitungan memperlihatkan bahwa agar diperoleh zona bening yang sama dengan standar positif maka konsentrasi yang diperlukan sebesar 24,78%. hal tersebut dapat bermakna bahwa besarnya konsentrasi hasil pirolisis cangkang biji jambu meteminimal yang dapat digunakan sebagai antibakteri s. aureus harus sebesar 24,78%. kesimpulan hasil uji aktivitas antibakteri s. aureus hasil pirolisiscangkang biji jambu metemenunjukkan daya hambat yang berbeda untuk setiap variasi konsentrasi 12,5%, 25%, 50%, 75% dan 100% dengan daya hambat berturut-0,87; 0,97; 1,38; 1,47 dan 1,61(cm). berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa hasil pirolisis cangkang jambu mete memberikan respon daya hambat yang sedang pada konsentrasi 12,5% dan 25%. sedangkan pada konsentrasi 50%, 75%, dan 100% respon daya hambatnya termasuk dalam kategori kuat terhadap pertumbuhan bakteri s. aureus. orde reaksi dari aktivitas antibakteri s. aureus dari hasil pirolisis cangkang biji jambu mete diperoleh sebesar 0,3157 dengan tetapan laju aktivitas untuk pengukuran zona bening setelah 24 jam sebesar 0,38. adapun konsentrasi hasil pirolisis cangkang biji jambu mete minimal yang dianjurkan untuk digunakan sebagai antibakteri s. aureus sebesar 24,78%. daftar pustaka anggraeni, m., 2008, kajian penggunaan poly alumunium chloride (pac) dalam proses pemurnian nira aren dan lama pemurnian terhadap karateristik nira aren (arenga pinnata merr), skripsi, prodi teknologi pangan, fakultas teknologi industri pertanian, universitas padjadjaran, jatinangor. awaluddin, a., 2007, proses pencairan langsung biomassa menjadi bio oil dengan menggunakan thermo oil, proposal i mhere project, hei iu universitas riau, dinas perkebunan provinsi kalimantan selatan, 2009. bagjavicenna, e., 2008, potensi propolis lebah trigona spp sebagai bahan antimikroba ketombe, skripsi, program studi biokimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam institut pertanian bogor, bogor. bird, t., 1993, kimia fisik untuk universitas, alih bahasa : kwee le tjien, jakarta : pt gramedia pustaka utama. dybkov, v.i., 2013, chemical kinetics, ipms publications, kyiv, ukraine. dinda, 2008, minimal inhibitor concentraction (mic), dasar-dasar mikrobiologi, djambatan. jakarta. hermayana, r.f.s., 2017, pirolisis campuran bagas tebu dan minyak biji karet dengan perbandingan reaktan yang berbeda menjadi bahan bakar cair menggunakan zeolit-a berbasis silika sekam padi sebagai katalis, skripsi, jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas lampung. kusrini, d., mahendra i., 2003, asam anakardat dari kulit biji jambu mete (anacardium occidentale l) yang mempunyai aktivitas sitotoksik, j. kim. sains & apl., 6(1):17-19. latupeirissa, j., tanasale, m., musa, s., 2018, kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 74-80 80 (aleurites moluccana (l) willd), indo. j. chem. res., 6(1), 524-533. maharani, t., dede s., sandra h., 2016, karakterisasi senyawa hasil isolasi dari ekstrak etil asetat daun namnam (cynometra cauliflora l.) yang memiliki aktivitas antibakteri., jurnal penelitian dan pengembangan ilmu kimia, 2(1), 5562. naomi, p., anna m., lumban g.m. , yusuf t., 2013, pembuatan sabun lunak dari minyak goreng bekas ditinjau dari kinetika reaksi kimia, jurnal teknik kimia, 2(19), 42-48. nuryati, jaka d.j., meldayanoor, 2015, perancangan dan aplikasi alat pirolisis untuk pembuatan asap cair, jurnal teknologi agro-industri, 2(1), 1-8. pasaribu, t., wina e., 2017, komparasi aktivitas tiga jenis asap cair perhadap pertumbuhan mikroba secara in vitro, prosiding seminar nasional teknologi peternakan dan veteriener , 679-689. petrucci, r.h., 1992, kimia dasar prinsip dan terapan modern, edisi keempat, jilid 2, editor penerjemah: suminar achmadi, penerbit erlangga, jakarta. poeloengan, m., praptiwi, 2010, uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah manngis (garcinia mangostana linn), media litbang kesehatan, xx (2), 65-69. rastina, mirnawati s., letje w., 2015, aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun kari (murraya koenigii) terhadap staphylococcus aureus, escherichia coli, dan pseudomonas sp., jurnal kedokteran hewan, 9(2), 185-188. saenab, a., wiryawan, k.g., retnany., wina, e. 2016. karakteristik fisik dan kimia dari produk bioindustri cangkang jambu mete (an acardium occidentale), jurnal littri, 22(2), 81-90. sultana, s., shahidullah, a.s.m., islam, md. m., wasey, a.f.s.a., nahar, s., 2014, antibacterial effect of aqueous neem (azadirachta indica) leaf extract, crude neem leaf paste, and ceftriaxone against staphylococcus aureus, escherichia coli and pseudomonas aeruginosa, malays.j.med.bio.res, 2(2), 89-100. towaha, j., nur, r.a. 2011, pemanfaatan cashew nut shell liquid sumber fenol alami pada industri, buletin ristri, 2(2), 187-198. triyono, bambang s., iqmal t., 1998, buku ajar kinetika kimia, jurusan kimia, fmipa ugm: jogjakarta. warsono, l.b., windi, a.,bambang, s.a., 2013, ekstraksi cashew nut shell liquid (cnsl) dari kulit jambu mete dengan menggunakan metode pengepresan. jurnal teknosains pangan. 2(2), 84-92. wiraputra, a.f, 2017, pengaruh pyrolysis nonisothermal terhadap kualitas bio-oil dari sampah real kota bandar lampung, skripsi, jurusan teknik mesin, fakultas teknik universitas lampung. ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 302-307 302 validation of x-ray fluorecence method for ion fe analysis in activated methyl diethanol amine (amdea) validasi metode x-ray fluorescence untuk analisis ion fe dalam activated methyl diethanol amine (amdea) aman sentosa panggabean *,1 , arief rachman 2 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences mulawarman university, samarinda, east kalimantan, indonesia 2 laboratory of environment control, pt. badak lng bontang, east kalimantan, indonesia *corresponding author, e-mail: amanspanggabean@yahoo.com received: october 2015 published: january 2016 abstract a research about validation method of fe analysis in activated methyl diethanol amine (amdea) using x-ray fluurescence (xrf) has been done. analysis of fe ion in amdea was performed to find out the rising of fe in amdea that will show corrosion or metal erosion is caused by amdea degradation and contamination or accumulation from heat stable salt that can dissolve or scrape the film coat in carbon steel. validation is done consist of linearity, accuracy, precision, limit of detection, and limit of quantitation. the analytical performance of the xrf for determination of fe ions is g o o d, sho w n as coefficient of correlation are 0.999 7, repeatability as % rsd value are 1,93 % less than 2/3 cv horwitz 6.24 %, p er cent age o f r ecovery are 103.35 % . the lod and loq are 0.351 and 2.975 ppm respectively, and fe selectivity in amdea at 6.4 kev. the results obtained showed the xrf can be used for the routine analysis in the determination of fe ions amdea samples. keywords: validation, fe, xrf, amdea,metal pendahuluan dalam industri pencairan gas alam atau lng (liquefied natural gas) dibutuhkan gas alam sebagai bahan baku yang berasal dari sumur-sumur gas alam yang berada di darat ataupun berada di perairan. gas alam yang berasal dari sumur-sumur tersebut mengandung hidrokarbon (metana, etana, propana dan hidrokarbon berat), nitrogen, co2, h2s, partikelpartikel pengotor dan lainnya (alvis et al., 2012). kadar co2 dan sulfur yang tinggi dapat memicu terjadinya korosi pada peralatan dan pipa-pipa yang terbuat dari carbon steel. korosi terjadi ketika dua atau lebih reaksi kimia atau reaksi elektrokimia terjadi pada permukaan logam yang mengakibatkan terjadinya perubahan elemen logam menjadi non logam (kamaruddin et al., 2015)). media yang dapat menghilangkan gangguan-gangguan tersebut salah satunya adalah amdea atau activated methyldiethanolamine yaitu amina tersier (methyldiethanolamine) yang diaktivasi dengan sedikit piperazine sehingga dapat yang berfungsi sebagai absorben gas asam/sour gas seperti co2, h2s dan juga sebagai anti korosi (ratman et al., 2011). amdea harus selalu dijaga kualitasnya agar selalu dalam kondisi baik sebagai absorben salah satunya adalah analisis kadar besi (fe) dalam amdea. analisis ini penting dilakukan untuk mengetahui kenaikan kadar logam besi dalam amdea yang menunjukan terjadinya korosi atau pengikisan logam akibat dari degradasi amdea serta kontaminasi atau akumulasi dari heat stable salt yang dapat melarutkan atau mengikis lapisan film pada carbon steel (khoiri, 2009). penentuan kadar fe dalam sampel dapat ditentukan dengan berbagai macam cara yaitu metode phenanthroline menggunakan spektrofotometer sinar tampak (apha, 1999), atomic aas, inductively coupled plasma (icp), dan x-ray fluorecence (astm, 2007). kekurangan dari metode spektrofotometri adalah penggunaan bahan kimia sebagai pelarut maupun pengkompleks, biasanya menghasilkan limbah yang dapat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. metode x-ray fluorescence merupakan metode yang tidak merusak sampel, a. s., panggabean, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 302-307 303 tidak menggunakan bahan kimia yang lain serta tidak menghasilkan limbah yang berbahaya (beckoff et al., 2005; paltridge., et a.l, 2011) sehingga sampel dapat digunakan atau dikembalikan lagi pada sistem. pada penelitian ini telah dilakukan validasi metode penentuan ion fe dalam amdea dengan menggunakan xrf. untuk meperoleh hasil pengukuran yang optimal telah ditentukan beberapa parameter pengukuran yang dapat menentukan kinerja hasil pengukuran, sehingga diperoleh data-data hasil pengukuran yang menunjukkan metode xrf dapat digunakan untuk analisis ion fe dalam amdea. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan terdiri dari standar alcu (a-750) sebagai bahan kalibrasi energy xrf, standar fe 1000 mg/l dalam hno3 1m merck, amdea pure (96 %) dan aquabides. alat peralatan yang digunakan adalah shimadzu edx-900 hs, wadah sampel plastik, pipet ukur, labu takar, beaker glass, corong, botol pencuci. prosedur kerja persiapan sampel sampel ditempatkan pada wadah plastik khusus untuk pemeriksaan sampel cair lalu ditutup dengan plastik penutup tanpa ada gelembung udara terjebak. pembuatan larutan amdea 40% berat amdea pure (96 %) dimasukkan sebanyak 417 ml ke dalam labu ukur 1000 ml, diencerkan dengan aquabidest sampai tanda tera. kalibrasi energi instrument standar alcu (a-750) digunakan untuk kalibrasi energi, kalibrasi dinyatakan baik apabila penetapan nilai spektrum cu: 8.00-8.04 kev dan spektrum sn, al, ni yang teridentifikasi (astm, 2007). pemeriksaan sampel sampel dimasukkan ke dalam wadah sampel dan ditutup dengan plastik lalu letakkan dalam sample chamber, pemeriksaan sampel dimulai, aktifkan timer waktu pengukuran dan aktifkan pressure switch ke posisi on. timer dimatikan setelah selesai pemeriksaan. repeatabilitas sampel blanko ditambahkan standar fe 35 ppm dibaca sebanyak 10 kali dan dinyatakan dengan nilai relative standard deviation (rsd). nilai rsd adalah nilai standard deviation (sd) dibagi dengan nilai rata-rata hasil pengukuran. akurasi dalam penentuan akurasi pengukuran, dilakukan pengukuran standar acuan (standard fe didalam amdea) sebanyak 10 kali dengan kondisi pengukuran yang sama. nilai rata-rata hasil pengukuran dibandingkan dengan jumlah konsentrasi ion fe standar, nilai benar berasal dari nilai acuan analit yang bisa diterima. limit deteksi dan limit kuantisasi sampel blanko dibaca sebanyak 10 kali, lod adalah nilai rata-rata blanko sampel ditambah 3 kali standard deviation. loq adalah nilai rata-rata blanko sampel ditambah 10 kali standard deviation (kantasubrata, 2005). linieritas dipersiakan larutan seri standar fe dengan konsentrasi 10 50 ppm. masing-masing intensitas larutan standar diukur dengan xrf. untuk mendapat persamaan garis regressi dibuat kurva [fe} –vsintensitas hasil pengukuran. selektivitas sampel campuran amdea yang mengandung beberapa logam yang lain dibaca dengan alat sebanyak 6 kali untuk mendapatkan hasil resolusi fe terhadap logam yang lain.. hasil dan pembahasan kalibrasi energi kalibrasi yang dilakukan terhadap alat xrf adalah kalibrasi energi. hasil kalibrasi energi digunakan untuk analisis unsur yang terkandung dalam suatu bahan. selain diperoleh puncak energi kalibrasi ini juga memberikan nilai resolusi alat (rosika dkk., 2007). resolusi adalah kemampuan detektor untuk memisahkan dua energi yang berdekatan. dengan menggunakan standar alcu diperoleh hasil seperti pada tabel a. s., panggabean, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 302-307 304 1. hasil kalibrasi energi, unsur al pada energi 1.46 kev dan puncak unsur cu pada energi 8,04 kev. hasil kalibrasi tersebut menunjukkan peralatan mempunyai respon yang baik. tabel 1. data kalibrasi energi xrf tabel hasil kalibrasi energi unsur hasil pengukuran (kev) al 1.46 ca 3.66 ti 4.50 v 4.92 cr 5.38 fe 6.40 ni 7.46 cu 8.04 repeatabilitas kedapatulangan (repeatability) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (harmita, 2004). uji kedapatulangan ini dilakukan dengan cara keterulangan yang dilakukan oleh penguji yang sama. tabel 2. hasil uji repeatabilitas sampel keintensitas konsentrasi (mg/l) 1 0.0324 35.021 2 0.0321 34.393 3 0.0321 34.393 4 0.0327 35.649 5 0.0329 36.067 6 0.0323 34.812 7 0.0329 36.067 8 0.0325 35.230 9 0.0327 35.649 10 0.0325 35.230 rata-rata 0.0325 35.251 stdev 0.0003 0.6115 % rsd 0.899 1.73 cv horwitz 9.36 intra repeatabiliti (2/3 cv horwitz) 6.24 hasil pengukuran repeatabilitas, seperti terdapat pada tabel 2. menunjukkan nilai % cv (rsd) 1.73 %, sedangkan % cv horwitz yang terhitung 9,63 serta 2/3 cv horwitz adalah 6,24. dari hasil tersebut tampak bahwa cv dari hasil pengujian dengan metode ini lebih kecil dari cv horwitz. suatu metode pengujian dikatakan baik jika nilai cv nya lebih kecil dari cv horwitz (kantasubrata, 2005), sehingga bisa dikatakan bahwa metode uji menggunakan x-ray fluorescence mempunyai reapeatabilitas yang baik. akurasi akurasi adalah suatu kedekatan kesesuaian antara hasil suatu pengukuran dan nilai benar dari kuantitas yang diukur atau suatu pengukuran posisi yaitu seberapa dekat pengukuran dengan nilai benar yang diperkirakan (kantasubrata, 2005). untuk mengukur ketepatan hasil dari analisis yang telah dilakukan, perlu dilakukan uji persentase perolehan kembali (% recovery). hasil pengukuran persentase perolehan kembali ion logam fe dalam amdea seperti terdapat pada tabel 3. hasil pengukuran akurasi menunjukkan bahwa hasil analisis telah memenuhi persyaratan yaitu pada 103.35 % yang menurut aoac peerverified methods program, manual on policies and procedures tahun 1998, menyatakan bahwa % recovery berada antara 80–110% (kantasubrata, 2005). limit deteksi dan limit kuantisasi definisi limit deteksi (lod) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. nilai limit deteksi ditentukan dengan syarat s/n = 3, karena pada umumnya peak pada instrumen (signal) baru a. s., panggabean, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 302-307 305 tabel 3. hasil uji akurasi no intensitas sampel [sampel] (mg/l) intensitas spl + std [spl + std] (mg/l) [std] yg di tambahkan % recovery 1 0.0256 20.795 0.0280 25.816 5.00 100.42 2 0.0253 20.167 0.0278 25.397 5.00 104.60 3 0.0257 21.004 0.0283 26.444 5.00 108.79 4 0.0258 21.213 0.0283 26.444 5.00 104.60 5 0.0261 21.841 0.0285 26.862 5.00 100.42 6 0.0258 21.213 0.0282 26.234 5.00 100.42 7 0.0257 21.004 0.0281 26.025 5.00 100.42 8 0.0257 21.004 0.0281 26.025 5.00 100.42 9 0.0259 21.423 0.0285 26.862 5.00 108.79 10 0.0260 21.632 0.0285 26.862 5.00 104.60 rata-rata 21.130 26.297 103.35 stdev 0.4647 0.4936 3.44 % rsd 2.20 1.88 3.33 dapat terdeteksi setelah besarnya tiga kali dari noise (panggabean et al., 2014). limit kuantisasi (loq) atau disebut limit pelaporan (limit of reporting) adalah konsentrasi terendah dari analit yang dapat ditentukan dengan tingkat presisi dan akurasi yang dapat diterima, pada kondisi pengujian yang disepakati. penentuan limit deteksi dan limit kuantisasi dilakukan dengan menganalisis blanko, selanjutnya dikonversikan ke persamaan kurva kalibrasi yang merupakan hubungan antara konsentrasi dengan intensitas. hasil analisis blanko sebanyak 10 data dihitung konsentrasi rerata dan standar deviasinya. hasil pengukuran lod dan loq dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. hasil uji limit deteksi dan limit kuantisasi no intensitas [fe] mg/l blk-1 0.0154 -0.5439 blk-2 0.0153 -0.7531 blk-3 0.0150 -1.3808 blk-4 0.0152 -0.9623 blk-5 0.0153 -0.7531 blk-6 0.0155 -0.3347 blk-7 0.0153 -0.7531 blk-8 0.0150 -1.3808 blk-9 0.0154 -0.5439 blk-10 0.0155 -0.3347 rata-rata 0.0153 -0.774 stdev 0.0002 0.375 % rsd 1.1720 -48.431 lod 3sd 0.0158 0.351 loq5sd 0.0162 1.100 loq10sd 0.0171 2.975 pada tabel 4. lod pengukuran diperoleh adalah 0.351 ppm, ini berarti fe dalam amdea pada konsentrasi tersebut masih dapat terbaca intensitasnya tetapi tidak dapat digunakan dalam perhitungan karena dapat membuat bias dalam perhitungan. nilai loq pada pengujian ini adalah 2.975 ppm. konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terkecil yang tidak menimbulkan bias dalam perhitungan. linieritas linieritas metode analisis adalah kemampuan untuk mengetahui hasil analisis secara langsung dan proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel dengan rentang yang telah ditetapkan yang bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan linier antara konsentrasi zat sebenarnya (teoritis) dengan respon alat (panggabean et al., 2013). linearitas atau kecenderungan korelasi antara dua variabel biasanya dinyatakan dalam koefisien korelasi (r). linearitas yang baik atau adanya korelasi yang erat ditunjukkan dengan harga korelasi yang mendekati 1 atau sama dengan 1. gambar 1. kurva kalibrasi ion fe y = 0.0005x + 0.0157 r² = 0.9995 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0 20 40 60 in te n si ta s [fe] mg/l a. s., panggabean, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 302-307 306 gambar 2. kromatogram pengukuran selektifitas ion fe dengan xrf linieritas menggunakan standar fe mulai dari terkecil 10 ppm sampai 50 ppm, hal ini berdasarkan periodic table of xrf fluorescence data untuk fe dengan rentang deteksi terbaik dari alat xrf mulai dari 10 ppm sampai dengan 100 ppm (astm, 2007), serta sampel amdea yang akan dianalisis yaitu > 10 ppm. berdasarkan gambar 1. didapatkan persamaan y = 0.0005x + 0.0157 dan koefisien korelasi (r) = 0.9997. nilai tersebut menggambarkan adanya korelasi yang berbanding lurus antara respon deteksi alat terhadap nilai standar fe. ini menunjukkan bahwa hasil analisis memenuhi persyaratan dengan nilai koefisien korelasi (r = 0.9997) (miller dan miller, 1991). selektivitas pengujian selektivitas digunakan untuk melihat apakah metode analisis yang diuji terpengaruh oleh logam-logam selain fe yang diketahui. tabel 5. data pengukuran selektivitas nama peak analisis range ( kev ) kev intensitas fe 6.20 – 6.60 6.40 0.0429 fe 6.20 – 6.60 6.40 0.0441 fe 6.20 – 6.60 6.40 0.0431 fe 6.20 – 6.60 6.40 0.0434 fe 6.20 – 6.60 6.40 0.0436 fe 6.20 – 6.60 6.40 0.0454 hasil pengukuran pada gambar 2 dan tabel 5. menunjukkkan bahwa sampel amdea yang mengandung fe mempunyai resolusi yang baik yaitu berada pada energi 6.4 kev dan tidak terpengaruh oleh unsur yang lain. kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ion fe dalam amdea dapat dilakukan dengan metode xrf, ditunjukkan dari nilai parameter-parameter a. s., panggabean, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 302-307 307 kinerja analitik seperti nilai koefisien korelasi (r) 0.9997, repeatability sebagai % cv (% rsd) adalah 1.73 % dengan nilai 2/3 % cv horwitz adalah 6.24 %, akurasi (% recovery) sebesar 103.35 %, limit deteksi 0.351 ppm, limit kuantisasi 2.975 ppm, dan selektivitas ion fe dalam amdea pada 6,4 kev, sehingga validasi metode xrf untuk analisis kadar fe dalam amdea dinyatakan valid. ucapan terima kasih terima kasih diucapkan kepada pimpinan dan staf pt. lng badak bontang kalimantan timur atas fasilitas laboratorium dan sampel yang diberikan, dalam pelaksanaan penelitian ini. daftar pustaka alvis, r.s., nathan a. hatcher, ralph h. w. 2012. co2 removal from syngas using piperazine ‐activated amdea and potassium dimethyl glycinate, optimized gas treating, inc., houston apha. 1999. standard methods for the examination of water and wastewater, 20 th ed. astm. 2007. standard practice for optimization, sample handling, calibration and validation of x-ray fluorescence spectrometry methods for elemental analysis of petroleum product and lubricants. beckhoff, b., kanngießer, b., langhoff, n., wedell, r., wolff, h. 2005. handbook of pratical x-ray fluoresense analysis. springer, new york. harmita. 2004. petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya, majalah ilmu kefarmasian, vol. i, no.3. hal. 117135. kantasubrata, j. 2005. validasi metode, lipi bandung. kamarudin k. s. n., dolmat n., najib s.b.m.2015. methyldiethanolamine and piperazine as extractant in emulsion liquid membrane for carbon dioxide removal. international journal of chemical engineering and applications, 6(5). pp. 314318. khoiri, m. 2009. analisis keselamatan radiasi pada laboratorium sinar-x industri sttn batan, prosiding seminar nasional v sdm teknologi nuklir, yogyakarta. miller, j.c. dan j.n. miller. 1 991. statistika untuk kimia analitik. edisi ke dua. itb press. bandung. paltridge, n. g., milham, p. j., ortizmonasterio, j.i., velu, g., yasmin, z., palmer, l. j., guild, g. e., stangoulis, j. c. r. 2012. energy-dispersive x-ray fluorescence spectrometry as a tool for zinc, iron and selenium analysis in whole grain wheat. plant soil, 36. pp. 261–269. panggabean, a.s., pasaribu, s.p., amran, m.b., buchari. 2013. gas-liquid separator integrated to hg-qfaas method for determination of tin at trace levels in the water samples. eurasian journal of analytical chemistry. 8(1). pp. 17-27. panggabean, a.s., subur p. pasaribu, bohari, nurhasanah. 2014. preconcentration of chromium(vi) at trace levels using acid alumina resin with column method indo. j. of chem. 14(1). pp. 51-56. ratman, i., kusworo,t.d., ismail, a.f. 2011. foam behaviour of an aqueous solution of piperazinen-methyldiethanolamine (mdea) blend as a function of the type of impurities and concentrations, journal of waste resources 1(2) pp. 8 – 14. rosika, k., dian, a., joko, k. 2007. pengujian kemampuan xrf untuk analisis komposisi unsur panduan zr-sn-cr-fe-ni, prosiding seminar nasional sains dan teknologi nuklir ptnbr – batan bandung. indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 1 107 studi kinetika efektifitas minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) sebagai antifungi candida albicans kinetic studies effectiveness of clove leaf (syzigium aromaticum) oil as antifungal of candida albicans rustam musta* 1 , laily nurliana 2 1 chemistry department, teacher training dan education faculty, halu oleo university, 2 chemitry department, math and nature science faculty, halu oleo university, kendari kendari kampus bumi tridarma ; anduonohu kendari, southeast sulawesi, telp. (0401)391929/fax.(0401)390496 *corresponding author, e-mail: rutammusta.fkip@uho.ac.id received: nov. 2018 published: jan. 2019 abstract kinetic studies effectiveness clove leaf (syzigium aromaticum) oil as antifungal candida albicans have been done. the study have purpose to determine the reaction order, reaction constants (k) and relationship the concentration of clove leaf (syzigium aromaticum) oil every time (at) with the initial concentration of of clove (syzigium aromaticum) oil (ao) and time (t) and equipped determination of the minimum concentration of clove leaf (syzigium aromaticum)oil effective anti-fungus candida albicans. the results shows the anti-fungal activity clove leaf (syzigium aromaticum) oil on candida albicans for each variation of the concentration 100%, 75%, 50% and 25% are 14.2 mm, 12.2 mm, 10.8 mm and 10.4 mm respectively. reaction order as antifungal of the clove leaf (syzigium aromaticum) oil on candida albicans is 0.2112 with k = 5.0594. the minimum concentration of clove leaf (syzigium aromaticum) oil as anti-fungal candida albicans is 17.86%. keywords: kinetic studies, clove leaf oil, candida albicans, antifungal, syzigium aromaticum pendahuluan cengkeh (syzygium aromaticum) adalah tanaman asli indonesia yang semua bagian tanaman ini menghasilkan minyak atsiri, baik dahan, ranting, daun serta bunganya. hal ini menjadikan tanaman cengkeh sebagai salah satu komoditi ekspor untuk menyuplai kebutuhan minyak atsiri dunia dan karena itu usaha penyulingan minyak cengkeh terus dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. secara umum, kandungan utama minyak cengkeh adalah eugenol (70-80%), yang mempunyai sifat sebagai stimulan, anestetik lokal, karminatif, antiemetik, antiseptik, dan antispasmodik. eugenol merupakan cairan tak berwarna atau kuning pucat yang bila terkena cahaya matahari berubah menjadi coklat hitam yang berbau spesifik (putri dkk., 2014). daun cengkeh merupakan sumber minyak atsiri yang sudah banyak diisolasi. penggunaannya sebagai bahan antifungi telah banyak diteliti dengan hasil-hasil yang dilaporkan sangat potensial untuk dikembangkan secara massif. minyak cengkeh juga diketahui digunakan sebagai antioksidan. aktifitas antioksidan minyak cengkeh bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan antioksidan yang terkandung dalam lemon, anggur, dan ketumbar. minyak cengkeh dilaporkan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menangkal radikal bebas bila dibandingkan dengan 45 jenis minyak atsiri lainnya (kim et. al., 2011). adapun aplikasi minyak cengkeh dalam bidang kesehatan dapat digunakan sebagai antistres, antimikroba, antiperadangan, antigiardial, kebutuhan pembiusan, antibisul dan sebagainya (charles, 2013). c. albicans merupakan mikroflora normal yang hidup dalam tubuh manusia, namun dapat menjadi patogen saat keseimbangan flora normal seseorang terganggu ataupun pertahanan imunnya menurun (hasan, 2015). menurut bahari (2012) dalam khafidhoh dkk. (2015) c. albicans merupakan salah satu spesies fungi yang ditemukan pada tubuh orang yang sehat, seperti dimulut, kerongkongan, usus, saluran genital, feses, dibawah kuku dan kulit. c. albicans menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan kandidiasis yaitu penyakit pada mulut, selaput lendir, saluran pencernaan, rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 108 saluran pernafasan dan saluran gemital terutama pada wanita (pelezar dan chan, 2007). kandidiasis adalah infeksi dari genus candida terutama c. albicans. lebih dari 150 spesies candida telah teridentifikasi dan 70% kandidiasis disebabkan oleh c. albicans. kandidiasis pada penyakit sistemik menyebabkan peningkatan angka kematian sekitar 71%-79% (hasan, 2015). adanya kandungan senyawa fenolik maka minyak daun cengkeh berpotensi untuk dikembangkan sebagai antijamur. hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh widyaningrum dan try, (2015) tentang senyawa fenol yang terdapat dalam daun sidaguri (sida rhombifolia) sebagai antijamur c. albicans yang ditandai dengan terbentuknya zona bening. salni dkk. (2013) melakukan penelitian tentang senyawa fenol yang terdapat dalam rimpang lengkuas putih yang dapat menghambat pertumbuhan jamur c. albicans dengan zona bening maksimal yang terbentuk 21,67 mm pada konsentrasi 10%. kinetika kimia adalah suatu bidang ilmu kimia yang mempelajari rekasi kimia untuk hubungan konsentrasi pereaksi dengan waktu (triyono dkk., 1998). hal ini berarti bahwa dengan menggunakan pendekatan kinetika kimia akan diperoleh orde reaksi dan tetapannya, juga akan diketahui hubungan variabel konsentrasi pereaksi dengan aktifitas suatu obat termasuk didalamnya anti fungsi. termasuk pula dalam hal ini adalah penentuan konsentrasi bahan anti jamur yang aktifitasnya memberikan efek setidak-tidaknya sama dengan kontrol positif. hal ini penting karena minyak atsiri adalah bahan yang diperoleh dengan proses yang cukup rumit dan panjang sehingga umumnya berharga mahal dan karenanya dengan mengetahui konsentrasi minimum yang memeberikan efek sama dengan kontrol positif tersebut akan memberikan pengetahuan yang berujung pada penggunaan minyak atsiri secara efektif dan efesien. kontrol positif adalah suatu antifungi yang telah digunakan secara luas dan teruji. berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukan penelitian tentang studi kinetika minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) untuk antifungi candida albicans. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel daun cengkeh (syzygium aromaticum), escherichia coli, maltodekstrin, amoxcillin, media na, minyak tween, mgso4.2h2o, akuades, alkohol 96%, alkohol 70%, kertas saring whatman, kain kasa, kapas steril, etanol dan aluminium foil. alat alat-alat gelas yang digunakan pada penelitian ini adalah piknometer, botol timbang, batang pengaduk, erlenmeyer, labu ukur, gelas kimia, corong, corong pisah, spatula, pipet volum, pipet tetes, botol vial, botol gelap, tabung reaksi. alat-alat lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat destilasi uapair, kompor seribu mata, kg-sm (kromatografi gas-spektrometri massa), spray drying, refraktometer, inkubator, neraca analitik, autoklaf, waterbath, lemari pendingin, laminar air flow cabinet, shaker incubator, lampu uv, statif, klem, mistar, spidol, oven, vortex, pisau. pengambilan dan pengolahan sampel daun cengkeh (syzygium aromaticum) daun cengkeh yang digunakan diambil dari daerah perkebunan cengkeh desa pusuea, kecamatan poleang utara, kabupaten bombana, sulawesi tenggara. selanjutnya sampel daun cengkeh kemudian dikeringkan selama empat hari. proses pengeringan dilakukan pada suhu ruang tanpa terkena sinar matahari langsung. pengeringan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam daun cengkeh (syzygium aromaticum) sehingga penyulingan berlangsung lebih mudah dan singkat. pengeringan dilakukan selama 4 hari dengan cara diangin-anginkan. selanjutnya daun cengkeh diisolasi menggunakan seperangkat alat destilasi uap-air. isolasi minyak daun cengkeh dengan menggunakan destilasi uapair proses isolasi dimulai dengan, daun cengkeh ditimbang sebesar 2 kg kemudian dimasukkan dalam wadah alat destilasi uap-air menggunakan pemanasan dengan kompor seribu mata. daun cengkeh yang akan disuling hanya akan terkena uap, dan tidak terkena air yang mendidih (sastrohamidjojo, 2004). proses destilasi uap-air dilakukan selama 4 jam. destilat rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 109 ditampung ke dalam wadah. selanjutnya lapisan minyak cengkeh dan lapian air dipisahksan menggunakan corong pisah, kemudian ditambahkan mgso4.2h2o pada minyak cengkeh yang diperoleh untuk menghilangkan sisa air. sterilisasi alat dan bahan seluruh alat dicuci bersih dan dikeringkan. botol vial, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan petri dibungkus dengan kertas. kemudian semuanya disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°c selama 15 menit. pengerjaan aseptis dilakukan di dalam laminar air flow yang sebelumnya telah dibersihkan dengan larutan alkohol 70%, lalu disterilkan dengan lampu uv yang dinyalakan selama kurang lebih 1 jam sebelum digunakan dalam uji antijamur (risnawati, 2017). peremajaan jamur candida albicans dalam media padat (pda) media pda dibuat dengan cara menimbang 0,2 gram dextrosa dan 0,4 gram agar dimasukkan kedalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 20 ml kaldu kentang dan diaduk hingga homogen. setelah homogen erlenmeyer ditutup dengan kasa dan kapas (disumbat) kemudian diautoklaf pada tekanan 121 mpa. media pda yang telah dibentuk diletakkan dalam laminar air flow dan disinari sinar ultra violet (uv) selama beberapa menit. 20 ml media pda dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian tabung reaksi dimiringkan hingga memadat dan digoreskan 1 ose jamur c.albicans dalam media pda pada tabung reaksi, lalu tabung reaksi ditutup dengan kasa dan kapas kemudian diinkubasi selama 3x24 jam pada suhu 37°c (hidayatullah, 2012). peremajaan jamur candida albicans dalam media cair membuat media cair dengan menimbang 0,1 gram dekstrosa dan dimasukkan dalam botol vial. setelah dimasukkan dalam botol vial ditambahkan 10 ml kaldu kentang kemudian diaduk hingga homogen. setelah diaduk, botol vial ditutup dengan kasa dan kapas (sumbat) kemudian diautoklaf pada tekanan 121 mpa. media cair yang telah terbentuk diletakkan pada laminar air flaw dan disinari sinar uv selama beberapa menit. digoreskan 1 ose jamur c.albicans dalam media cair dalam botol vial kemudian botol vial ditutup dengan kasa dan kapas (sumbat) dan diinkubasi selama 3x24 jam pada suhu 37°c (bangjavicenna, 2008). uji aktivitas antijamur candida albicans medium pda dipipet sebanyak 20 ml, kemudian dimasukkan dalam tabung eppendorf dan ditambahkan 10 µl inokulum jamur c. albicans lalu dikocok hingga homogen. setelah homogen dituang dalam cawan petri dengan gerakan memutar hingga media merata pada permukaan cawan petri, lalu didiamkan beberapa menit hingga memadat. kemudian diletakkan kertas cakram (diameter 0,5 cm) yang telah direndam dalam larutan uji (minyak daun cengkeh dalam konsentrasi 100% , 75%, 50%, 25%,), kontrol positif (ketokonazol 2%), kontrol negatif (minyak tween) pada permukaan media agar yang telah memadat. setelah itu, cawan petri ditutup dengan rapat dan dibungkus dengan plastik wrap. kemudian diinkubasi selama 3x24 jam dalam suhu ruang dan diukur zona hambat yang terbentuk (risnawati dkk., 2017). pengolahan dan analisis data data yang diperoleh adalah ukuran besarnya zona bening yang dihasikan dalam uji antijamur yang menggunakan pendekatan regrase linear namun diturunkan dari persamaan kinetika kimia dengan bentuk umum (firmana dan tjahjani, 2004): r = k [a] n keterangan : r = laju, k = konstanta laju reaksi, [a] = kosentrasi zat, n = orde reaksi. besarnya laju dapat ditentukan dengan r = zona bening (zb)/waktu inkubasi (t); namun karena t merupakan waktu inkubasi yang besarnya konstan maka dapat dipandang bahwa laju identik dengan zona bening. berdasatkan persamaan tersebut, dengan menghitung nilai logaritmanya maka akan diperoleh bentuk persamaan regresi linear: log r = log k + n log [a] identik dengan persamaan: log zb = log k + n log [a] persamaan ini merupakan bentuk persamaan garis lurus dengan bentuk umum: y = a + bx rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 110 maka dari persaman tersebut jika dibuat plot hubungan log [a] sebagai sumbu x terhadap log zb sebagai sumbu y maka akan diperoleh : intersep a = log k maka k = 10 a slope b = n = orde hasil dan pembahasan ekstraksi minyak cengkeh minyak cengkeh diperoleh melalui proses destilasi uap air yaitu proses hidrodifusi dimana uap air akan masuk kedalam jaringan sel tanaman yang menyebabkan pecahnya dinding sel tanaman sehingga minyak yang terkandung didalamnya akan terdorong keluar. campuran uap air dan minyak cengkeh akan mengalir ke kondensor sehingga terjadi pengembunan dan dihasilkan destilat. ciri khas model ini adalah uap selalu dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak terlalu panas. bahan tanaman yang akan disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas. proses hidrodifusi terjadi ketika suhu air mendidih, sebagian minyak yang mudah menguap larut dalam air ini berdifusi ke luar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran yang sedang mekar sampai dipermukaan bahan, dan selanjutnya menguap oleh uap yang dilewatkan ke kondensor. proses ini berlangsung terus menerus hingga semua senyawa yang mudah menguap terdifusi dari kelenjar-kelenjar minyak dan kemudian teruapkan oleh air yang lewat (sastrohmidjojo, 2004). destilat kemudian ditampung lalu air dan minyak dipisahkan sehingga diperoleh minyak atsiri daun cengkeh. minyak atsiri kemudian dimurnikan lagi dengan diberi mgso4 agar air yang masih ada benar-benar habis, akhirnya diperoleh minyak atsiri murni dari daun cengkeh dengan perhasil sekitar 4,2% berat kering daun cengkeh. hasil uji aktifitas antifungi aktivitas antifungi minyak daun cengkeh menggunakan metode difusi cakram steril. pengujian menggunakan ketokonazol sebagai kontrol positif dan minyak tween sebagai kontrol negatif. ketokonazol sebagai kontrol positif dipilih karena merupakan antijamur berspektrum luas golongan imidazol yang bekerja dengan menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dari pembentukan membran sel jamur. ketokonazol menghambat enzim cytochromp 450 yang menyebabkan akumulasi 14-alfa-methylsterol yang tidak dapat menggantikan fungsi ergosterol membran sel jamur. penurunan ergosterol membran sel jamur menyebabkan rusaknya permeabilitas membran, akibatnya sel jamur kehilangan komponen intraselulernya. mekanisme seperti itulah yang dipakai ketokonazol dalam menghambat pertumbuhan jamur c .albicans (jawetz et al., 1995). adapun minyak tween sebagai kontrol negatif berperan sebagai emulgator antara minyak nilam dan media pda. media pda merupakan media yang cocok untuk digunakan untuk pertumbuhan jamur. media ini mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh jamur yaitu potato (kentang), dextrose dan agar. kentang yang terdapat dalam media pda dapat mempercepat proses sporulasi dan pigmentasi bagi jamur. disamping itu juga mengandung antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga diharapkan tidak terjadi kontaminasi oleh bakteri dan hanya jamur saja yang dapat tumbuh didalammnya. hasil analisis uji aktivitas antifungi minyak daun cengkeh dalam menghambat pertumbuhan jamur c. albicans dilihat pada gambar 1. gambar 1. hasil uji antifungi minyak daun cengkeh dalam menghambat pertumbuhan jamur c. albicans gambar 1 memperlihatkan aktivitas ketokonazol sebagai kontrol postif lebih kecil dibandingkan aktivitas minyak daun cengkeh. berdasarkan data tersebut juga terlihat perbedaan aktifitas antifungi tiap-tiap variasi konsentrasi minyak daun cengkeh yang berbeda-beda yakni berturut-turut konsentrasi 25; 50, 75 dan 100% dengan luas zona bening berturut-turut 10,4; 10,8; 12,20 dan 14,2 mm 2 , 10.4 10.8 12.2 14.2 0 9.3 0 4 8 12 16 25% 50% 75% 100% kontrol (-) kontrol (+) l u a s z o n a b e m in g ( m m 2 ) konsentrasi rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 111 memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan zona bening seiring bertambahnya konsentrasi minyak daun cengkeh. konsentrasi 100% minyak daun cengkeh emerikan rata-rata diameter zona bening tertinggi sebesar 14,2 mm 2 . menurut mbatu dkk., (2018) diameter zona bening 11-20 mm memberikan respon hambatan pertumbuhan kuat. dengan demikian aktifitas antifungi minyak daun cengkeh pada penelitian ini memberikan respon daya hambat kuat pada konsentrasi 75% dan 100% serta daya hambat kategori sedang untuk konsentrasi 25% dan 50%. minyak daun cengkeh dapat menghambat pertumbuhan jamur c. albicans disebabkan adanya senyawa fenol dan asam-asam organik yang terkandung didalam fraksi hasil pirolisis. mekanisme senyawa fenol sebagai antifungi yaitu dengan cara mendenaturasi ikatan protein pada membran sel, sehingga membran sel menjadi lisis dan senyawa fenol dapat masuk ke dalam inti sel. hal ini dapat menghambat pertumbuhan jamur bahkan akan mati (sulistiyawati dan mulyati 2009). senada dengan itu, siswandono dan sukardjo (1995) menyatakan bahwa mekanisme senyawa fenol dalam menghambat pertumbuhan fungi yaitu dengan cara berinteraksi dengan dinding sel fungi, dimana pada kadar yang rendah akan mendenaturasi protein dan pada kadar yang tinggi akan menyebabkan koagulasi protein sehingga sel akan mati (siswandono dan sukardjo,1995). menurut sulistiyawati dan mulyati (2009) dalam putu (2016) senyawa fenol berfungsi sebagai antijamur karena ion h + fenol dapat menyerang gugus polar (gugus fosfat) pada fosfolipid membran sel jamur seperti c. albicans sehingga fosfolipid akan terurai. hal tersebut menyebabkan fosfolipid tidak dapat mampu mempertahankan bentuk membran sel, akibatnya membran akan bocor dan jamur akan mengalami penghambatan pertumbuhan bahkan akan mati. selain senyawa fenol, asam organik juga berperan dalam menghambat aktivitas jamur seperti jamur c.albicans. asam organik adalah asam lemah, yang berarti bahwa proporsi molekul tertentu tetap tidak terdisosiasi, bergantung pada nilai pka asam dan tingkat ph sekitar. molekul tak beraturan yang tidak terkoordinasi ini melewati membran sel ke mikroorganisme dengan lebih mudah. saat berada dalam sel mikroba, asam melepaskan protonnya (h + ) di lingkungan alkalin yang lebih basa dari sitoplasma, sehingga terjadi penurunan ph intraselular jamur. ini mempengaruhi metabolisme mikroba, menghambat aksi enzim penting mikroba. sel jamur dipaksa mengeluarkan energi untuk mengeluarkan proton, yang menyebabkan akumulasi anion asam intraselular, tergantung pada gradien ph di seluruh membran. anion di dalam sel mikroba diperkirakan mengganggu proses metabolisme dalam sel (luckstadt dkk., 2014 dalam rahadi, 2017). kinetika minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) sebagai antifungi candida albicans kajian kinetika minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) sebagai antifungi candida albicans dilakukan setelah mengukur zona bening tiap-tiap konsentrasi yang telah ditentukan yakni 25%, 50%, 75% dan 100%. hasil pengukuran zona bening tiap-tiap konsentrasi tersebut dapat diperlihatkan pada gambar 2. gambar 2. zona bening tiap-tiap konsentrasi konsentrari minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) minimum yang efektif untuk antifungi candida albicans ditentukan dengan lebih dahulu menentukan orde dan tetapannya menggunakan persaamaan regresi linear yang diturunkan dari persamaan kinetika kimia. analisis mengunakan regresi linear tersebut menghasilkan grafik sebagai mana ditunjukkan pada gambar 3. gambar 3 memperlihatkan hubungan variabel x yaitu nilai logaritma konsentrasi minyak daun cengkeh (%) dengan variabel y yaitu luas zona bening (mm). hasil perhitungan memberikan nilai a= 0,7041 dan b = 0,2112 dengan nilai r 2 = 0,8175 yang berarti bahwa kedua variabel berkorelasi positif dan masuk kategori sangat kuat. selanjutnya nilai tetapan aktifitas dapat ditentukan dengan menggunakan rumus 10 a = 10 0,7041 = 5,0594. nilai tetapan aktifitas tersebut berlaku untuk aktifitas minyak daun cengkeh pada antifungi candida albicans yang waktu inkubasinya 3 hari atau 72 jam pada rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 112 temperatur 37 o c. adapun orde rekasinya (n)= 0,2112. orde yang diperoleh merupakan pecahan yang nilainya terletak antara nol dan satu. gambar 3. plot log konsentrasi terhadap log zona bening prayitno (2007) menyatakan bahwa orde reaksi dapat berupa bilangan bulat positif, nol atau pecahan. orde sebesar 0,2112 juga menandakan bahwa ada peningkatan aktifitas antifungi (zona bening) sebagai akibat peningkatan konsentrasi minyak daun cengkeh karena orde tidak tepat nol namun peningkatan tersebut juga tidak berbanding lurus dengan konsentrasi minyak daun cengkeh. petrucci (1992) menyatakan bahwa untuk reaksi berorde nol maka laju pereaksi tidak bergantung pada konsentrasi pereaksi sama sekali. sementara itu, keenan (1984) mengemukakan bahwa jika laju suatu reaksi kimia berbanding lurus dengan pangkat satu konsentrasi dari hanya satu pereaksi maka reaksinya merupakan orde satu. berdasarkan nilai orde dan tetapan (k) yang telah diketahui maka dapat ditentukan hubungan variabel konsentrasi setiap saat (at) dengan konsentrasi mula-mula (ao) dan waktu (t). r = k.[a] 0,2112 ∫ ∫ -∫ ∫ ∫ oleh karena nilai k = 5,0594 maka: jika: k’= k x 0,7888= 5,0594 x 0,7888 = 3,99 maka: apabila 0,7888 ≈ 0,8 dan 3,99 ≈ 4 maka diperoleh hubungan yang lebih sederhana yaitu: at 0,8 = ao 0,8 – 4t sehingga besarnya konsentrasi minyak daun cengkeh untuk antifungi candida albicans yang aktifitasnya sama dengan kontrol positif yaitu 9,3 mm seperti ditunjukkan pada gambar 1, dapat dihitung dengan persamaan berikut ini: 9,3 = 5,0594 [a] 0,2112 [a] 0,2112 = [a] = (1,8382) 1/0,2112 [a] = 17,86 berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh di atas dapat dihitung nilai konsentrasi minyak daun cengkeh dengan aktifitas yang sama dengan kontrol positif dan diperoleh 17,86%. hal ini memperlihatkan bahwa agar diperoleh aktifitas yang sama dengan kontol positif atau aktifitas bahan minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) minimum yang efektif untuk antifungi candida albicans maka setidaktidaknya harus digunakan konsentrasi sebesar 17,86%. y = 0.2112x + 0.7041 r² = 0.8175 0.96 1.00 1.04 1.08 1.12 1.16 1.20 1.70 2.20 l o g k o n se n tr a si ( % ) log zona bening (mm) rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 113 kesimpulan berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas antifungi minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) pada candida albicans berbeda untuk tiap variasi konsentrasi 100%, 75%, 50% dan 25% yakni berturut-turut sebesar 14,2 mm 2 , 12,2 mm 2 , 10,8 mm 2 dan 10,4 mm 2 . orde reaksi antifungi minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) pada candida albicans sebesar 0,2112 dengan k = 5,0594. hubungan variabel konsentrasi minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) setiap saat (at) dengan konsentrasi minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) mula-mula (ao) dan waktu (t) diberikan oleh persamaan: at 0,8 = ao 0,8 – 4t. konsentrasi minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) minimum yang efektif untuk antifungi candida albicans sebesar 17,86%. daftar pustaka bangjavicenna, e., 2008, potensi propolis lebah trigona spp sebagai bahan antimikroba ketombe. skripsi, program studi biokimia. fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam institut pertanian bogor, bogor. charles, d.j., 2013, clove in antioxidant properties of spices herbs and other sorces, springer, new york (us). firmana, a.a.n., thjahjani, s, 2014, karakterisasi hasil dan penentuan laju reaksi fermentasi bonggol pisang (musa paradisiaca) menjadi etanol dengan saccharomyces cerevisiae, unesa journal of chemistry, 3(3), 21-26. hasan, m.n., 2015, pengaruh ekstrak rimpang jeringau (acorus calamus l) dalam beberapa pelarut organik terhadap aktivitas antioksidan dan antifungi secara in vitro, skripsi, fakultas mipa, universitas islam negeri, malang. hidayatullah, m., 2012, uji daya antifungi minyak atsiri bawang merah (allium ascalonicum l) terhadap candida albicans atcc 10231 secara in vitro, skripsi. fakultas kedokteran.universitas muhammadiyah surakarta. surakarta. jawetz, m., adelberg s., 2001, mikrobiologi kedokteran. edisi i. salemba medika. jakarta. keenan, w.c., klenfelter, d.c, wood, j.h, 1984, kimia untuk universitas, alih bahasa: pujaatmaka, a.h. erlangga, jakarta. khafidhoh, z., dewi, s.s., iswara, a., 2015, efektivitas infusa kulit jeruk pururt (citrus hystrix dc.) terhadap pertumbuhan candida albicans penyebab sariawan secara in vitro, publikasi ilmiah, universitas muhammadiyah semarang: semarang, 31-37. kim, l.s., yang, m.r., lee, o.h., kang, s.n., 2011, antioxidant activities of hot water extract from various species, international jurnal of molecular science, 12, 41204131. mbatu, s. r.t., putu b.k., gede y.s., rita, w. s., 2018, aktivitas minyak atsiri daun cengkeh sebagai antijamur terhadap candida albicans, jurnal media sains, 2(1), 61-65. pelezar, m.j. chan, s., 2007, dasar-dasar mikrobiologi 2, ui press, jakarta. prayitno, 2007, kajian kinetika kimia model matematik reduksi kadmium melalui laju reaksi, konstanta dan orde reaksi dalam proses elektrokimia, ganendra, 10(1), 2734. putu, n.l.p.a., 2016, uji aktivitas antifungi minyak atsiri daun sirih hijau (piper betle l.) dari daerah dengan variasi ketinggian tempat tumbuh di bali terhadap fungi candida albicans atcc 10231 dengan menggunakan metode difusi disk, skripsi, universitas udayana. denpasar. salni, aminasih, n., sriviona, r., 2013, isolasi senyawa antijamur dari rimpang lengkuas putih (alpinia galanga (l.) willd) dan penentuan konsentrasi hambat minimum terhadap candida albicans, prosiding semirata fmipa, universitas lampung, lampung. triyono, setiaji, b., tahir, i., 1998, buku ajar kinetika kimia, jurusan kimia, fmipa. ugm, jogjakarta. rahadi, s., 2017, acidifier sebagai feed aditif, agripreneurship.com. diakses tanggal 31 juli 2018. petrucci, r.h., 1992, kimia dasar, prinsip dan terapan modern, editor penerjemah, suminar achmadi. erlangga, jakarta. putri, r.l., hidayat, n., rahmah, n.l., 2014, pemurnian eugenol dari minyak daun cengkeh dengan reaktan basa kuat koh rustam musta dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 107-114 114 dan ba(oh)2 (kajian konsentrasi reaktan), industria: jurnal teknologi dan management agroindustri, 3 (1), 1-12. risnawati. nurliana, l., kurniawati, d., 2017, mikroenkapsulasi minyak atsiri dari tanaman nilam (pogostemon cablin benth) sebagai antijamur candida albicans, indo. j. chem. res., 4(2), 386-393. sastrohamidjojo, h., 2004, kimia minyak atsiri, gajah mada university press,yogyakarta. siswandono soekarjo, b., 1995, kimia medisinal, universitas airlangga press, surabaya. sulistyawati, d., mulyati, s, 2009, uji aktivitas antijamur infusa daun jambu mete (anacardium occidentale l.) terhadap candida albincas, biomedika, (2) 47-51. widyanigrum, t., wahyuni, t., 2015, uji aktivitas antifungi ekstrak etanol daun sidaguri (sida rhombifolia) terhadap candida albicans, prosiding, seminar nasional pendidikan biologi universitas muhamadiyah malang, 377-385. ind. j. chem. res, 2015, 3, 238 241 238 photodegradation of remazol yellow using a-type zeolite/tio2 fotodegradasi remazol yellow menggunakan zeolit-a/tio2 ezra deborah tumbel 1 , audy d. wuntu 1 , jemmy abidjulu 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences sam ratulangi university, manado, north sulawesi, indonesia received: june 2014 published: july 2014 abstract the research aimed to study photodegradation of remazol yellow (ry) using tio2-impregnated a-type zeolite (zeolite-a/tio2) has been conducted. the materials having zeolite/tio2 ratio of 1:0.2, 1:0.4, 1:0.6, 1:0.8, 1:1.0, 1:1.2, dan 1:1.4 g/g were used to degrade remazol yellow (ry) under ultraviolet irradiation for 3 hours and percentages of ry degraded were determined using spectrophotometer at 414 nm. those with zeolite/tio 2 ratio of 1:0.2, 1:0.8, and 1:1.2 were used to study photodegradation kinetics at time range up to 3 hours. the results showed that the highest amount of ry degraded (82.17%) was attained by the use of material with zeolite/tio2 ratio of 1:0.2. this material generated the highest value of rate constant (k=0.074 min -1 ), followed by those of 1:1.2 (0.045 min -1 ) and 1:0.8 (0.025 min -1 ). keywords: photodegradation, remazol yellow, zeolite-a/tio2. pendahuluan zat warna sintetik diaplikasikan pada banyak bidang, seperti pada usaha percetakan, industri makanan, dan industri tekstil. industri tekstik dan produk tekstil di indonesia telah berkembang pesat dan seiring dengan itu muncul masalah serius yang dapat membawa dampak buruk pada lingkungan, khususnya masalah limbah cair yang dihasilkan. limbah zat warna yang dihasilkan dari industri tekstil biasanya merupakan senyawa organik yang sukar terurai di alam sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan terutama lingkungan perairan (wijaya dkk., 2006). limbah zat warna tekstil menjadi perhatian tersendiri karena adanya struktur aromatik pada zat warna yang sulit terdegradasi dan sebagian besar zat warna dibuat agar mempunyai resistensi terhadap pengaruh lingkungan seperti efek ph, suhu, dan mikroba. zat warna juga merupakan senyawa organik yang mengandung gugus kromofor terkonjugasi. zat warna reaktif merupakan zat warna yang banyak digunakan untuk pewarnaan tekstil, contohnya remazol brilliant orange 3r, remazol yellow, remazol red, dan remazol black b. zat-zat warna tersebut sering digunakan untuk proses pewarnaan batik baik dalam skala industri besar maupun industri rumahan (nugroho dkk., 2013). remazol yellow (ry) mewakili salah satu zat warna pilihan dalam pewarnaan batik karena memberikan warna yang cerah dan tidak mudah luntur. salah satu metode yang relatif murah dan mudah diterapkan untuk mengatasi masalah pencemaran oleh limbah cair yang mengandung pewarna tekstil adalah fotodegradasi. metode fotodegradasi merupakan metode yang efektif karena diketahui dapat menguraikan senyawa zat warna menjadi senyawa yang tidak berbahaya seperti h2o dan co2 (slamet dkk., 2006). metode fotodegradasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis berupa semikonduktor seperti tio2, zno, cds dan fe2o3. tio2 adalah katalis semikonduktor yang paling efektif karena mempunyai celah energi antara pita valensi dan konduksi relatif besar (3,2 ev) yang cocok digunakan untuk fotokatalis, tidak beracun, harganya terjangkau dan melimpah di alam. fotokatalisis tio2 kurang maksimal jika digunakan dalam keadaan murni karena mempunyai luas permukaan yang relatif rendah sehingga tio2 perlu diembankan pada suatu adsorben. adsorben yang biasa digunakan adalah zeolit karena zeolit mempunyai struktur tiga dimensi dengan pori yang besar sehingga dapat ezra deborah tumbel, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 238 241 1 239 mengadsorbsi senyawa lain yang berukuran lebih kecil (slamet dkk., 2008). pada penelitian sebelumnya telah dilakukan fotodegradasi ry menggunakan fotokatalis zeolit-a/tio2 (poluakan dkk., 2015) dan hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan fotodegradasi zeolit-a/tio2, dengan perbandingan berat zeolit-a : tio2 sebesar 1 : 0,8, tidak jauh berbeda kemampuan tio2 sendiri dan dalam artikel ini dikemukakan kajian pengaruh perbandingan berat zeolit-a: tio2 pada fotodegradasi ry dan pada laju reaksi fotodegradasi. metodologi bahan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah remazol yellow dari sigma-aldrich serta sio2, al(oh)3, naoh, dan tio2 (e. merck). alat peralatan utama yang digunakan adalah spektrofotometer visibel thermo spectronic genesys 20 dan kotak reaktor (60x50x50 cm) dilengkapi dengan 4 buah lampu uv-a (himawari t8 – 20 w). prosedur kerja zeolit-a yang digunakan dalam kajian ini disintesis menurut prosedur yang dikemukakan wuntu (2002) sedangkan impregnasi tio2 pada zeolit-a (material zeolit-a/tio2) dikerjakan menurut prosedur yang dikemukakan oleh andari dan wardhani (2014). impregnasi dilakukan dengan variasi perbandingan berat zeolit-a : tio2, yaitu 1:0,2; 1:0,4; 1:0,6; 1:0,8; 1:1,0; 1:1,2; dan 1:1,4 g/g. material yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk eksperimen fotodegradasi zat warna ry. pada eksperimen fotodegradasi, 0,05 g material dimasukkan dalam 20 ml ry 20 ppm kemudian diletakkan dalam kotak reaktor dan disinari dengan lampu uv selama 3 jam. setelah penyinaran, campuran disaring dan filtrat yang diperoleh disentrifugasi selama 30 menit. konsentrasi zat warna yang tersisa dalam larutan kemudian ditentukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang 414 nm. material dengan perbandingan berat yang memiliki kemampuan fotodegradasi paling besar selanjutnya digunakan untuk mendegradasi ry pada berbagai lama waktu penyinaran ultraviolet. pengaruh perbandingan berat zeolit-a : tio2 pada laju reaksi fotodegradasi dikaji menggunakan material dengan perbandingan berat 1:0,2; 1:0,8; dan 1: 1,2 g/g yang masingmasing diinteraksikan dengan ry pada berbagai waktu interaksi, yaitu 20, 30, 40, 50, 90, 60, 90, 120, dan 180 menit. hasil dan pembahasan pengaruh variasi perbandingan berat zeolit-a: tio2 pada fotodegradasi ry ditunjukkan pada gambar 1. gambar 1. kemampuan fotodegradasi ry oleh material zeolit-a/tio2 pada beberapa perbandingan berat zeolit-a: tio2. gambar 1 menunjukkan bahwa material dengan perbandingan berat zeolit-a : tio2 sebesar 1:0,2 g/g memiliki kemampuan mendegradasi ry yang paling besar (82,17% ry terdegradasi). penambahan jumlah tio2 dalam material zeolit-a/tio2 menyebabkan terjadinya penurunan jumlah ry yang terdegradasi sampai pada perbandingan 1:0,8 g/g (59,88% ry terdegradasi) sebelum kemudian kembali mengalami kenaikan hingga pada perbandingan 1: 1,4 g/g (78,00% ry terdegradasi). zeolit merupakan material yang banyak dipakai sebagai adsorben karena memiliki struktur berpori yang memungkinkan zeolit memiliki luas permukaan besar dan bersamasama dengan tio2 dalam jumlah yang sesuai merupakan material yang mampu mengadsorpsi dan mendegradasi ry dalam jumlah besar. gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah ry sebanyak 22,3% pada penggunaan zeolit-a sendiri, tetapi karena zeolit-a bukan material untuk fotodegradasi maka diduga ry ezra deborah tumbel, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 238 241 1 240 yang berkurang adalah ry yang teradsorpsi pada material ini. penurunan kemampuan degradasi ry sampai pada perbandingan berat zeolit-a/tio2 1:0,8 g/g dapat disebabkan karena adanya penurunan luas permukaan spesifik dan volume total pori zeolit yang disebabkan oleh terjadinya penggumpalan yang menutup pori zeolit (fatimah dkk., 2006; fatimah dan wijaya, 2005). penurunan luas permukaan zeolit mempengaruhi jumlah ry yang teradsorpsi pada permukaan material dan selanjutnya dapat mengurangi jumlah ry yang dapat didegradasi. penambahan selanjutnya tio2 dalam jumlah yang lebih besar dari perbandingan berat 1:0,8 g/g menunjukkan peningkatan kemampuan zeolit-a/tio untuk mendegradasi ry hingga pada perbandingan 1:1,4 g/g. pada kasus ini, meskipun kemampuan adsorpsi zeolit-a menjadi berkurang dengan makin banyaknya tio2 namun peran tio2 untuk fotodegradasi zat warna ry menjadi lebih dominan sehingga jumlah ry terdegradasi kembali meningkat. kemampuan fotodegradasi material tio2 sendiri (95,55% ry terdegradasi) masih lebih besar dari material zeolit-a/tio2 dengan perbandingan berat 1:0,2. meskipun demikian, jumlah tio2 yang ada dalam material zeolita/tio2 tersebut masih jauh lebih sedikit (0.008 g tio2 dalam setiap 0.05 g material zeolit-a/tio2) dibandingkan dengan jumlah tio2 sendiri (0.05 g). jika dihitung jumlah ry terdegradasi (mg) untuk setiap gram tio2 maka diperoleh angka 7,64 mg/g untuk zeolit sendiri dan 39,44 mg/g untuk material zeolit-a/tio2 dengan perbandingan berat 1:0,2 g/g. dengan menaikkan jumlah material zeolit-a/tio2 yang diaplikasikan untuk degradasi ry, maka ada kemungkinan jumlah ry yang terdegradasi akan bertambah. material zeolit-a/tio2 dengan perbandingan berat 1:0,2; 1:0,8; dan 1:1,2 g/g selanjutnya digunakan untuk melihat pengaruh waktu (gambar 2) pada fotodegradasi material tersebut. pada gambar 2 terlihat bahwa semakin lama waktu penyinaran ultraviolet semakin banyak ry yang mengalami fotodegradasi oleh zeolit-a/tio2. tio2 dalam material tersebut merupakan material semikonduktor dengan pita valensi yang terisi elektron dan pita konduksi yang kosong. ketika menerima energi radiasi yang sesuai atau melebihi celah energi antara kedua pita tersebut, dalam hal ini digunakan radiasi ultraviolet, terjadi eksitasi elektron dari pita valensi ke konduksi dan menyebabkan kekosongan elektron (selanjutnya berperan sebagai lubang bermuatan positif) pada pita valensi. lubang bermuatan positif ini selanjutnya bereaksi dengan h2o dan ion oh dalam larutan membentuk radikal hidroksil (oh) sebagai oksidator kuat yang mengoksidasi zat warna ry. di sisi lain, elektron yang tereksitasi bereaksi dengan o2 dalam larutan yang pada akhirnya menghasilkan radikal hidroksil pengoksidasi zat warna ry. selama tio2 masih menerima energi radiasi ultraviolet, pembentukan radikal tersebut terus terjadi sehingga semakin lama waktu penyinaran ultraviolet semakin banyak ry yang mengalami fotodegradasi. gambar 2.persentase ry yang terdegradasi oleh zeolit-a/tio2 sebagai fungsi lama waktu penyinaran ultraviolet. pengaruh perbandingan berat zeolit-a : tio2 pada laju reaksi fotodegradasi ry oleh material zeolit-a/tio2 ditentukan menggunakan model kinetika laju reaksi order ke-satu melalui plot –ln(ct/c0) vs. t di mana ct adalah konsentrasi ry tersisa pada waktu t dan c0 adalah konsentrasi ry awal (gambar 3). konstanta laju, k, adalah kemiringan kurva linear dan dapat ditentukan dari persamaan garis lurus untuk plot data tersebut. pada gambar 3 terlihat nilai konstanta laju fotodegradasi ry oleh material zeolit-a/tio2 semakin besar mengikuti urutan perbandingan berat zeolit-a:tio2 1:0,8 (0,025 menit -1 ) < 1:1,2 (0,045 menit -1 ) < 1:0,2 (0,074 menit -1 ). kenaikan nilai konstanta laju ini memiliki urutan yang sama dengan bertambahnya jumlah ry yang mengalami fotodegradasi pada berbagai ezra deborah tumbel, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 238 241 1 241 perbandingan berat zeolit-a:tio2 (gambar 1). semakin tinggi laju fotodegradasi maka semakin banyak jumlah ry yang dapat didegradasi oleh zeolit-a/tio2. fotodegradasi zat warna oleh material zeolit-a/tio2 melibatkan dua tahap utama, yaitu proses adsorpsi zat warna pada permukaan material dan kemudian diikuti dengan proses fotodegradasi. penggumpalan tio2 pada permukaan yang mengakibatkankan tertutupnya pori zeolit-a dapat memperlambat molekul zat warna ry untuk mencapai permukaan partikel zeolit-a. berkurangnya luas permukaan spesifik zeolit juga dapat menyebabkan kompetisi antar molekul zat warna untuk mencapai permukaan zeolit-a. gambar 3.plot –ln(ct/c0) vs. t untuk material zeolit-a/tio2 dengan perbandingan berat zeolita:tio2 sebesar 1:0,2; 1:0,8; dan 1:1,2 g/g. kesimpulan dari hasil kajian ini disimpulkan bahwa perbandingan berat zeolit-a terhadap tio2 dalam material zeolit-a/tio2 dapat mempengaruhi kemampuan material tersebut untuk mendegradasi zat warna remazol yellow. dari berbagai perbandingan berat zeolit-a terhadap tio2 yang diuji, material dengan perbandingan 1:0,2 mendegradasi remazol yellow paling banyak dengan konstanta laju fotodegradasi paling besar. daftar pustaka andari, d.n., dan s. wardhani. 2014. fotokatalis tio2 – zeolit untuk degradasi metilen biru. chem.prog. 1:9-14. fatimah, i., e. sugiharto, k. wijaya, i. tahir, kamalia. 2006. titan dioksida terdispersi pada zeolit alam (tio2/zeolit) dan aplikasinya untuk fotodegradasi congo red. indo. j. chem., 2006, 6 (1), 38 42. fatimah, i. dan k. wijaya. 2005. sintesis tio2/zeolit sebagai fotokatalis pada pengolahan limbah cair industri tapioka secara adsorpsi-fotodegradasi. teknoin. 10(4). 257-267. nugroho, s., a.t. prasetya, dan s. wahyuni. 2013. elektrodegradasi indigosol golden yellow irk dalam limbah batik dengan elektoda grafit. indonesian journal of chemical science. 3:248-252. poluakan, m., a. wuntu, m. s. sangi. 2015. aktivitas fotokatalitik tio2-karbon aktif dan tio2-zeolit pada fotodegradasi zat warna remazol yellow. jurnal mipa unsrat online 4(2) 137-140. slamet, ellyana, m., bismo, s. 2008. modifikasi zeolit alam lampung dengan fotokatalis tio2melalui metode sol gel dan aplikasinya untuk penyisihan fenol. departemen teknik kimia fakultas teknik universitas indonesia. wuntu, a.d. 2002. sintesis dan karakterisasi aluminosilikat serupa zeolit. jurnal ilmiah sains. 2:4-7. ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 406 biodiesel of the transesterification product of calophyllum inophyllum seed oil from kendari using ethanol solution biodiesel hasil transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan etanol rezki, rustam musta * , aceng haetami department of chemistry education faculty of teacher training and education university of halu oleo kampus bumi tridarma; anduonohu kendari-south east sulawesi *corresponding author, email:liachemuho@yahoo.com received: dec. 2016 published: jan. 2017 abstract a study has been conducted on the transesterification of calophyllum innophyllum seed oil with ethanol. the purpose of this research is to determine the comparison of concentration of phosphoric acid used to remove the gum on the oil, ester content is produced in the process of transesterification with ethanol, the ester yield obtained after the final stage of the transesterification process, the viscosity of the biodiesel produced, moisture content of biodiesel is produced, and density of biodiesel was produced. this research is taken based on consideration production biodiesel by direct transesterification process. based on research result of good phosphoric acid concentration used to remove oil gum is 85%, volume of biodiesel produced at transesterification equal to 150 ml with yield 80,89%, biodiesel quality parameter measured that viscosity = 0,05 mm2 / s not fulfill indonesian national standart (ins), moisture content = 0.045 meets the ins and the density = 0.881 g / cm3 meets the ins. keywords: biodiesel, degumming, ethanol, yield,gum. pendahuluan kebutuhan akan bahan bakar semakin meningkat seiring semakin meningkatnya populasi dan semakin berkembangnya teknologi. suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa produksi minyak bumi indonesia mengalami penurunan akibat adanya penurunan secara alamiah dan semakin menipisnya cadangan bahan bakar minyak bumi (fosil) karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui. permasalahan yang terjadi saat ini yaitu produksi bahan bakar minyak bumi tidak dapat mengimbangi besarnya konsumsi bahan bakar minyak, sehingga indonesia melakukan impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energi bahan bakar minyak setiap harinya. hal ini dikarenakan tidak adanya perkembangan produksi pada kilang minyak dan tidak ditemukannya sumur minyak baru. sebagai solusi dari permasalahan diatas yakni diperlukannya diversifikasi energi selain minyak bumi. qiqman, (2014) menyatakan bahwa untuk mengatasi krisis energi tersebut, pemerintah telah menerbitkan peraturan presiden no. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan bahan bakar alternatif sebagai bahan bakar pengganti minyak. kebijakan tersebut telah menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable) seperti bahan bakar nabati sebagai alternatif. bahan bakar berbasis nabati seperti biodiesel diharapkan dapat mengurangi ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable). biodiesel merupakan monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai panjang yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterifikasi trigliserida (hikmah dan zuliana, 2010). menurut damayanti (2011), menyatakan bahwa transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. rezky, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 407 menurut martono dan sulistyawati (2011), menyatakan bahwa kendala utama dalam pembuatan biodiesel yaitu dari segi bahan baku. seperti penggunaan bahan baku minyak sawit atau minyak bunga matahari yang harganya fluktuatif (naik turun) karena juga digunakan sebagai bahan pangan sehingga tidak ekonomis. oleh karena itu pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel sebaiknya menggunakan minyak nabati non pangan. salah satu minyak nabati non pangan yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodisel adalah minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum). tanaman nyamplung merupakan salah satu bahan baku alternatif bahan bakar nabati (bbn) yang mempunyai potensi sangat besar di indonesia. di sulawesi tenggara khususnya daerah buton, muna dan kendari tanaman nyamplung dikenal dengan nama dongkala. biji nyamplung dapat diolah menjadi minyak serta berbagai macam produk turunan dengan prospek pemasaran yang menjanjikan. menurut prihanto dkk., (2013) dalam soerawidjaja, (2006) kandungan minyak dari biji nyamplung tergolong tinggi yaitu sebesar 40-73 %, sedangkan jarak pagar 40-60 % dan biji karet 4050 %. kelebihan tanaman nyamplung sebagai bahan baku bbn adalah kandungan minyak bijinya yang sangat tinggi dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. secara teknis minyak nyamplung murni dapat digunakan sebagai bbn pengganti solar, namun demikian kekentalan dan kadar asam lemak bebas yang tinggi serta adanya senyawa pengotor masih menjadi kendala. minyak mentah biji nyamplung banyak mengandung gum, fosfolipid, dan zat ikutan lain yang menyebabkan proses pembuatan biodiesel kurang maksimal (anif, 2011). untuk itu dalam proses pembuatan biodiesel perlu dilakuakan pemurnian minyak nyamplung terlebih dahulu. proses pemurnian minyak tersebut sering disebut proses degumming. proses pemurnian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang terdapat dalam minyak nyamplung tersebut. biodiesel yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi standar nasional indonesia (sni) untuk biodiesel. adapun syarat mutu biodiesel tersebut diantaranya massa jenis, viskositas kinematik dan kadar air. berdasarkan latar belakang diatas, telah dikaji tentang biodiesel hasil transesterifikasi minyak nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan etanol. metodologi alat dan bahan alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa alat-alat gelas, labu leher dua, kondensor, corong pisah dan thermometer. selain itu digunakan juga alat-alat seperti ayakan 100 mesh, lumpang dan alu, eksikator, botol timbang, filler, botol semprot, oven, statif, klem, neraca analitik, hot plate, magnetic stirrer, tanur, cawan porselin, sentrifuga, serta alat pres. bahan-bahan yang akan digunakan adalah buah nyamplung, etanol, asam fosfat (h3po4), naoh, dan aquades. prosedur kerja 1. pembuatan minyak biji nyamplung (callophyllum inophyllum) a. proses pengeringan biji buah nyamplung dilakukan pemisahan antara karnel dan tempurung buah, kemudian karnel diiris atau dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. setelah itu dijemur atau dikeringkan. b. proses pengepresan biji buah nyamplung yang telah dikeringkan diblender dengan menggunakan blender kering. setelah itu, dilakukan pengepresan dengan alat pres, kemudian minyak yang dihasilkan disaring dengan ayakan 100 mesh. 2. degumming sebanyak 200 ml minyak biji nyamplung dimasukkan kedalam gelas beaker 250 ml, kemudian ditambahkan larutan h3po4 0,2% (v/v) menggunakan pipet tetes. dipanaskan dan diaduk menggunakan magnetic stirer pada suhu 80 o c selama 20 menit, kemudian larutan didinginkan dan didiamkan selama 1 hari. setelah itu, disaring dan minyak hasil penyaringan ditambahkan naoh 0,8% (v/v), kemudian dipanaskan dan diaduk menggunakan magnetic stirer pada suhu 80 o c selama 20 menit, kemudian didinginkan dan didiamkan selama 1 hari dan disaring. rezky, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 408 3. transesterifikasi minyak biji nyamplung proses transesterifikasi dilakukan dengan menimbang 25 ml minyak netral yang akan ditransesterifikasi kemudian dimasukkan ke dalam labu leher dua 500 ml dan ditambahkan campuran naoh 1% dari berat minyak yang dilarutkan dalam 150 ml alkohol. campuran tersebut dipanaskan sampai suhu 60 o c sambil terus dilakukan pangadukan menggunakan magnetic stirer. setelah mencapai suhu 60 o c, campuran tersebut dijaga suhunya agar tetap konstan selama 60 menit. kemudian sampel didinginkan, lalu dimasukkan ke dalam corong pisah dan terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas etil ester asam lemak dan lapisan bawah gliserol. etil ester atau biodiesel yang dihasilkan kemudian diuji massa jenis, viskositas dan kadar air sebagai persyaratan parameter kualitas biodiesel sni 7182:2015. 4. uji kualitas biodiesel a. uji massa jenis uji massa jenis biodiesel diawali dengan membilas piknometer dengan etanol dan dikeringkan, setelah itu ditimbang piknometer kosong (mo) kemudian diisi dengan aquades lalu ditimbang kembali piknometer yang berisi aquades tersebut (m1). piknometer dikosongkan dan dibilas kembali dengan etanol selanjutnya dikeringkan dan diisi dengan biodiesel yang akan ditimbang massa jenisnya. dihitung massa jenis biodiesel yang diperoleh dengan persamaan berikut: = x dimana:m0 = massa piknometer kosong m1 = massa piknometer + aquades m2 = massa piknometer + biodiesel b. uji viskositas viskositas biodiesel diukur dengan metide ostwald menggunakan alat viskometer, dimana sejumlah biodiesel dimasukkan kedalam alat tersebut, kemudian dengan cara diisap menggunakan filler cairan dibawa sampai melewati garis tanda batas pada alat tersebut. selanjutnya biodiesel dibiarkan mengalir secara bebas. dicatat waktu yang diperlukan oleh biodiesel untuk mengalir dari garis star sampai garis finis. dilakukan triplo dan dihitung waktu rata-rata. dilakukan prosedur yang sama untuk aquades sebagai pembanding. selanjutnya dihitung viskositas biodiesel dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: aquades aquadesaquades biodieselbiodiesel biodiesel t t dimana : biodiesel = viskositas biodiesel (mm 2 /s) aquades = viskositas aquades (mm 2 /s) biodieselt = waktu rata-rata biodiesel (s) biodiesel = massa jenis biodiesel (g/cm 3 ) aquades = massa jenis aquades (g/cm 3 ) c. uji kadar air cawan porselin ysng dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 o c selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan cawan kosong kering. kemudian sebanyak 2 gram biodiesel dimasukkan dalam cawan tersebut dan dipanaskan dalam oven pada suhu105 o c selama 4 jam. setelah itu, sampel didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan ditimbang kembali. pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam biodiesel. selanjutnya dihitung kadar air biodiesel dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: %100% 0 21 m mm kadarair dimana: m1 = massa biodiesel + massa cawan sebelum dikeringkan m2 = massa biodiesel + massa cawan setelah dikeringkan m0 = massa biodiesel hasil dan pembahasan a. persiapan bahan buah nyamplung (calophyllum inophyllum) terlebih dahulu dipisahkan antara cangkang dan inti (kernel) buah kemudian dikeringkan dan selanjutnya dilakukan proses pengepresan. tujuan pengeringan ini yakni untuk mengurangi kandungan air dalam biji. berat biji nyamplung sebelum dikeringkan yakni 100 kg dan setelah rezky, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 409 dilakukan proses pengeringan diperoleh berat biji senilai 18,78 kg. hal ini menandakan bahwa terjadi penyusutan antara berat biji nyamplung basa dan berat biji nyamplung kering. hasil ini tidak jauh berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh sahirman (2009), yang menyatakan bahwa dari 100 kg biji nyamplung basah diperoleh 18 kg biji nyamplung kering. proses pengepresan dilakukan dengan alat pres hidrolik berkekuatan 20 ton. dari proses pengepresan diperoleh minyak nyamplung sebanyak 7,98 kg dengan rendemen senilai 42,06% dari berat kering biji nyamplung. rendemen yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh sahirman (2009), yang menyatakan bahwa kadar minyak biji nyamplung berkisar antara 40% 73%. minyak nyamplung mula-mula dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. minyak nyamplung asli b. degumming langkah selanjutnya setelah diperoleh minyak nyamplung asli yakni proses degumming. degumming merupakan salah satu tahapan dalam proses pemurnian minyak. degumming dilakukan untuk memisahkan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, air dan resin. zat yang digunakan untuk menarik gum (getah) yang disebut degumming agent yakni asam fosfat (hasibuan dkk., 2013). degumming dilkaukan pada suhu 80 o c selama 20 menit dengan penambahan asam fosfat (h3po4) sebanyak 0,2% dari volume minyak. volume minyak yang digunakan pada proses degumming yakni 200 ml. perlakuan ini dilakukan dengan konsentrasi asam fosfat yang berbeda yakni asam fosfat 20% dan asam fosfat 85% dengan tujuan untuk melihat kondisi yang optimum digunakan pada proses degumming. perbedaan minyak hasil penambahan asam fosfat 0,2% dari volume minyak pada konsentrasi 20% dan 85% dapat dilihat pada gambar 2. (a) (b) (c) gambar 2. (a) minyak nyamplung asli (b) minyak nyamplung dengan konsentrasi asam fosfat 20% (c) minyak nyamplung dengan konsentrasi asam fosfat 85%. gambar 2 menunjukkan perbedaan secara fisik dari hasil degumming menggunakan konsetrasi asam sulfat yang berbeda. minyak hasil degumming dengan asam fosfat konsentrasi 85% lebih cerah dari minyak hasil degumming yang menggunakan asam fosfat konsentrasi 20%. hal ini menandakan bahwa konsentrasi asam fosfat yang optimum digunakan untuk mengendapkan gum yang terdapat dalam minyak asal adalah penggunaan asam fosfat konsentrasi 85%. hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh diana, dkk (2013), yang menyatakan bahwa asam fosfat yang baik pada proses degumming minyak nyamplung yakni asam fosfat 85%. prihanto, dkk (2015) juga menggunakan konsentrasi asam fosfat 85% pada proses degumming minyak nyamplung aslinya. tahapan selanjutnya setelah diperoleh kondisi yang optimum pada proses penambahan asam fosfat yakni penambahan natrium hidroksida (naoh) sebanyak 0,8% dari volume minyak sambil diaduk menggunakan magnetik stirer. selanjutnya didiamkan 1 kali 24 jam kemudian disaring dan dicuci dengan air hangat (suhu 60 o c) hingga ph buangan netral. proses penambahan asam fosfat tersebut diharapkan dapat mengendapkan gum pada minyak nyamplung mula-mula. sedangkan penambahan naoh itu sendiri bertujuan untuk mengendapkan sisa-sisa gum yang tidak dapat diikat asam fosfat. rezky, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 410 adapun proses pengadukan bertujuan untuk meningkatkan kontak antara minyak, etanol, dan katalis sehingga meningkatkan kecepatan reaksi pembentukan etill ester. minyak hasil poses degumming setelah proses penetralan dikeringkan dengan pemanasan pada suhu 100 o c selama 15 menit dengan tujuan untuk menguapkan sisa-sisa aquades pada proses pencucian. proses degumming akan memperlihatkan perbedaan warna yang jelas dari minyak aslinya, yaitu berwarna jernih kemerahmerahan. adapun minyak nyamplung hasil degumming dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3. minyak hasil degumming c. transesterifikasi tahap selanjutnya setelah degumming yakni transesterifikasi minyak nyamplung dengan etanol. hikmah (2010), menyatakan bahwa transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek seperti metanol atau etanol menghasilkan alkil ester asam lemak atau biodiesel dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping. damayanti (2011), juga menyatakan bahwa transesterifikasi (biasa disebut alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. transesterifikasi minyak nyamplung ini dilakukan pada suhu 60 o c dengan perbandingan minyak-etanol yakni 1:6 dengan penambahan naoh 1% dari berat minyak sebagai katalis selama 60 menit. kondisi ini merupakan kondisi optimum pada proses transesterifikasi, dimana minyak ditransesterifikasi pada suhu 60 o c dengan rasio molar etanol-minyak 6:1, dan menggunakan katalis naoh 1%. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh sudrajat (2010), yang menyatakan bahwa kondisi optimum proses transesterifikasi diperoleh pada suhu 60 o c, rasio molar metanol-minyak 6:1, katalis naoh 1%. faizal dalam freedman (2013) dalam jurnalnya menyatakan bahwa perbandingan molar antara alkohol dan minyak nabati yang biasa digunakan dalam proses industri untuk mendapatkan produksi etill ester yang lebih besar dari 98% berat adalah 6:1. berdasarkan beberapa jurnal tersebut sehingga peneliti melakukan transesterifikasi dengan rasio molar metanol-minyak 1:6. hasil reaksi transesterifikasi berupa cairan berwarna kuning yang mengandung etill ester dan gliserol. hasilnya terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan atas berwarna kuning yang merupakan etill ester dan lapisan bawah berwarna putih yang merupakan gliserol. terbentuknya lapisan terjadi karena perbedaan kepolaran antara etill ester yang bersifat nonpolar dengan gliserol yang bersifat polar. berdasarkan perlakuan diperoleh volume biodiesel sebanyak 150 ml dengan volume gliserol 7,5 ml dengan rendemen 80,98% berdasrkan reaksi transesterifikasi (gambar 2.2) dari 1 mol trigliserida dan 3 mol alkohol akan diperoleh produk 3 mol ester dan 1 mol gliserol. kondisi diatas menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan maka konversi ester yang dihasilkan akan bertambah banyak. selain itu penggunaan jumlah katalis yang terlalu sedikit dapat meningkatkan hasil ester yang diperoleh. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh faizal (2013) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan maka konversi ester yang dihasilkan akan bertambah banyak. d. uji kualitas biodiesel a. massa jenis menurut prihanto, dkk. (2013), menyatakan bahwa masa jenis merupakan salah satu parameter keberhasilan reaksi transesterifikasi. masa jenis menunjukkan perbandingan berat per satuan volume. massa jenis berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel pada setiap satuan volume bahan bakar. massa jenis biodiesel hasil transesterifikasi ini diamati dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang massa jenis biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini dan untuk selanjutnya dibandingkan dengan massa jenis biodiesel menurut standar nasional indonesia demi mendapatkan spesifikasi biodiesel yang sesuai dengan sni. uji massa jenis biodiesel hasil penelitian ini dilakukan menggunakan rezky, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 411 piknometer dan diperoleh massa jenis sebesar 881 kg/m 3 sehingga biodiesel dari minyak biji nyamplung ini sudah memenuhi massa jenis biodiesel menurut standar nasional indaonesia (sni) tahun 2015 yakni antara 850 890 kg/m 3 . b. viskositas kinematik viskositas atau kekentalan adalah ukuran ketahanan dari suatu fluida untuk mengalir. viskositas merupakan suatu angka yang meyatakan besarnya hambatan dari suatu bahan cair untuk mengalir atau ukuran dari besarnya tahanan geser dari cairan. makin tinggi viskositasnya, makin kental dan semakin sukar mengalir (umami, 2015). viskositas diamati dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang viskositas biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini untuk selanjutnya dibandingkan dengan viskositas biodiesel menurut standar nasional indonesia demi mendapatkan spesifikasi biodiesel yang sesuai dengan sni. setelah dilakukan beberapa perlakuan dan perhitungan diperoleh nilai viskositas biodiesel dari minyak nyamplung sebesar 0,05 mm 2 /s. hasil ini lebih kecil dari standar viskositas biodiesel menurut standar nasional indonesia (sni) yakni 2,3 – 6,0 mm 2 /s. menurut faizal (2013) menyatakan bahwa penurunan nilai dari densitas menyebabkan nilai viskositas akan semakin kecil. c. kadar air kadar air dalam minyak merupakan salah satu tolok ukur mutu minyak. makin kecil kadar air dalam minyak maka mutunya makin baik. hal ini dapat memperkecil kemungkinan terjadinya reaksi hidrolisis yang dapat menyebabkan kenaikan kadar asam lemak bebas. kandungan air dalam bahan bakar juga dapat menyebabkan turunnya panas pembakaran, berbusa dan bersifat korosif jika bereaksi dengan sulfur karena akan membentuk asam. kadar air diamati dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang kadar air biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini untuk selanjutnya dibandingkan dengan kadar air biodiesel menurut standar nasional indonesia demi mendapatkan spesifikasi biodiesel yang sesuai dengan sni. proses pengukuran kadar air dari biodiesel yang dihasilkan dilkukan dengan menguapkan 2 gram biodiesel dalam oven salama 4 jam pada suhu 105 o c kemudian didinginkan selama 15 menit lalu diditimbang berat cawan yang berisi biodiesel. setelah diperhitungkan diperoleh kadar air biodiesel sebesar 0,45% sehingga biodiesel dari minyak biji nyamplung ini sudah memenuhi kadar air biodiesel menurut standar nasional indaonesia (sni) tahun 2015 yakni 0,05%. dengan demikian biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki karakteristik kadar air yang baik. kesimpulan berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. rendemen ester yang dihasilkan pada tahap akhir transesterifikasi yakni 80,98% 2. massa jenis yang diperoleh dari hasil pengukuran yaitu 0,881 g/cm 3 3. viskositas yang diperoleh dari pengukuran yaitu 0,05 mm 2 /s 4. kadar air biodiesel yang diperoleh dari pengukuran yaitu 0,045 daftar pustaka anif, m. u, 2011, kajian kualitas dan hasil pengolahan biodiesel nyamplung (calophyllum inophyllum) pada variasi metode ekstraksi, metode degumming dan konsentrasi metanol. tesis magister pada program studi agronomi universitas jenderal soedirman purwokerto. tidak diterbitkan. diana, f., silva, a., iranildo, c. a., isabella, c. g. c., 2014, study of degumming process and evaluation of oxidative stability of methyl and ethyl biodiesel of jatropha curcas l. oil from three different brazilian states, renewable energy, 71, 495-501. hasibuan, s., sahirman, yudawati, n. m. a., 2013, karakteristik fisikokimia dan antibakteri hasil purifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum l.), jurnal agritech. 33, 311-319. hikmah, m. n., zuliyana, 2010, pembuatan etill ester (biodiesel) dari minyak dedak dan metanol dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi, skripsi: universitas diponegoro. semarang prihanto, a., bambang, p., dan herry, s, 2013, peningkatan yield biodisel dari minyak biji rezky, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 406-412 412 nyamplung melalui transesterifikasi dua tahap, momentum, 9, 46-53. prihanto, a., dan lucia, h. r., 2015, pembuatan biodisel dari minyak biji nyamplung melalui esterifikasi, netralisasi dan transesterifikasi, momentum, 11,1-6. sahirman, 2009, perancangan proses produksi biodiesel dari minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum l.), disertasi: sekolah pasca sarjana institut pertanian bogor. bogor. standar nasional indonesia (sni)., 2015, biodiesel sni 7182:2015. jakarta: badan standar nasional. indochem ind. j. chem. res, 2016, 3, 290 294 290 analysis of mercury (hg) content on hair villagers kayeli, ilegal gold mining result in botak mountain area, buru regency-maluku province analisis kadar merkuri (hg) pada rambut penduduk desa kayeli, akibat penambangan emas tanpa ijin di areal gunung botak , kab. buru-provinsi maluku hadijah rumatoras, muhammad i.taipabu, lewi lesiela, yusthinus t. male * chemistry department, faculty of mathematic and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author e-mail:yusmale @fmipa.unpatti.ac.id received: dec 2015 published: jan 2016 abstract in november 2011, the gold mining activities in botak mountain, buru island more increase and it has used mercury as a main ingredient in the extraction process. the use of mercury in the gold mining on botak mountain is done freely by the miners (people), allowing mercury waste wasted together distributed to the environment. with the distribution of gold mining in the area of waste water, then allow mercury can accumulate in human through the food chain. this research aims to determine accumulation of mercury at hair of kayeli villagers. the research method is used survey and analyze. in this research, were used observation, field sampling and laboratory analyze. the result showed that concentration of mercury analyzed at villagers’s hair is 0.10-3.25 ppm. based on the result, concentration of mercury analyzed at villagers’s hair has exceeded standard of mercury limits, i.e 0.05 ppm. keywords: gold mining, mercury, environment, hair, food chain pendahuluan penambangan emas tanpa izin (peti) merupakan kegiatan penambangan emas yang dilakukan secara tradisional, hasil penambangan tersebut diolah dengan metode amalgamasi yaitu proses pengikatan logam emas dari bijih dengan menggunakan merkuri. proses amalgamasi pada aktivitas peti dapat mencemari lingkungan oleh limbah yang terbuang. (klh landak, 2009). aktivitas pertambangan emas di gunung botak, pulau buru semakin meningkat serta telang menggunakan merkuri sebagai bahan utama dalam proses ekstraksi emas. penggunaan merkuri pada pertambangan emas di gunung botak dilakukan secara bebas oleh penambang (masyarakat), sehingga memungkinkan merkuri yang terbuang bersama limbah terdistribusi ke lingkungan. aktivitas pertambangan telah berlangsung selama 4 tahun, sehingga limbah pertambangan emas telah terdistribuuasi ke sungai hingga laut dalam jumlah yang besar. dengan adanya distribusi limbah pertambangan emas dalam daerah perairan dapat terakumulasi pada manusia melalui rantai makanan. pencemaran suatu lingkungan oleh logam berat selalu menjadikan masalah bagi negara berkembang seperti indonesia, sehingga sangat penting untuk memonitori keberadaan logam berat dalam lingkungan. salah satu ion logam berat yang berbahaya bagi kesehatan adalah merkuri (hg). (susila kristianingrum, 2007). proses pengolahan emas membutuhkan air dalam jumlah yang besar, sehingga umumnya unit pengolahan diletakan di pinggiran sungai. kondisi ini mengakibatkan limbah yang mengandung merkuri terdistribusi ke dalam sungai wamsai serta teluk kayeli. pada pertambangan gunung botak merkuri yang ditemukan dalam kolam limbah sebesar 680 mg/kg dan pada sedimen sungai wamsait dan teluk kayeli sebesar 0,35 7,66 mg/kg (male dkk., 2013). salah satu cara untuk mendeteksi tingkat konsentrasi merkuri pada manusia adalah dengan mengukur konsentrasi merkuri pada rambut. nimd menyatakan bahwa konsentrasi mehg tertinggi dalam tubuh manusia terakumulasi pada rambut rata-rata 250 mg/g kali kadar dalam darah. konsentrasi merkuri pada rambut cukup hadijah rumatora, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 290 294 291 persisten sehingga tidak hilang karena pencucian dengan shampoo maupun pengecetan rambut, namun dapat menurun sebanyak 30-50% bila rambut diluruskan atau dikeriting karena pelurusan rambut mengandung unsure thyoglycolic acid yang mempunyai efek mengurangi mehg pada rambut (chursharini chamid, neni yulianita dan puti renosari, 2010). oleh sebab itu perlu dilakukan analisis penentuan konsentrasi merkuri pada rambut penduduk yang hidup dan berkediaman di sekitar pesisir pantai teluk kayeli terlebih khususnya di desa kayeli, karena rambut kepala merupakan indikator pertama yang cocok untuk pemantauan paparan merkuri pada manusia. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa konsentrasi merkuri yang telah terakumulasi pada rambut penduduk. hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi penting dalam kaitannya dengan kandungan merkuri pada penduduk di desa kayeli. metodologi waktu dan lokasi penelitian penelitian ini akan dilakukan selama 6 bulan pada tahun 2013. penelitian tahap pertama akan dilakukan penelitian lapangan berupa survei lokasi penelitian dan pengambilan sampel, serta tahap kedua dilakukan analisia konsentrasi merkuri di laboratorium kimia anorganik jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura dan laboratorium penelitian dan pengujian terpadu (lppt) universitas gaja mada. alat dan bahan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: cold vapour atomic absorption spectrometry (cv-aas), (global positioning system) gps (garmin), seperangkat alat gelas, penangas air, gunting dan, timbangan analitik (cyberscan con 110). bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: sampel rambut, larutan induk hg(no3)2, kmno4 (kalium permanganat), sncl2.2h2o (timah(ii) klorida dihidrat), hno3 (asam nitrat), hclo4 (asam perklorat), nh2oh.hcl (hidroksilamin hidroklorida), akuades, dan plastik sampel prosedur penelitian persiapan atau survei lapangan tahap persiapan adalah mempersiapkan alat bahan yang diperlukan dalam proses penelitian seperti plastik sampel, gunting, gps, kuisioner, alat tulis dan lain-lain. penelitian lapangan penelitian lapangan dilakukan dengan mengumpulkan data beberapa penduduk di desa kayeli, melalui pengamatan dengan cara wawancara dan kuisioner pada setiap masyarakat di lokasi yang akan diambil sampelnya. penelitian laboratorium 1. persiapan sampel rambut persiapan sampel dilakukan dengan menimbang masing-masing sampel rambut sebanyak 1 g dengan timbangan analitik, kemudian sampel dimasukkan dalam kantong plastik yang telah diberi label dan siap untuk dianalisis lebih lanjut. prosedur ini dilakukan untuk semua sampel. 2. pembuatan kurva baku dan pembacaan sampel dipipet 1 ml larutan induk hg 100 ppm, dimasukkan dalam labu takar 100 ml, ditepatkan dengan akuades sampai dengan tanda tera (hg : 1000 ppb). kemudian dipipet 0,1 ml larutan induk hg 1000 ppb, dimasukkan dalam labu takar 10 ml, ditepatkan dengan akuades hingga batas tanda tera (hg : 10 ppb). konsentrasi standar dibuat dengan rentang (ppb) : 0,5 ; 1,00 ; 2,50 ; 7,50 ; 10,00 ; 15,00; 20,00, dengan cara: dipipet masing-masing (ml) 0,05 ; 0,10 ; 0,25 ; 0,75 ; 1,00 ; 1,50 ; 2,00 , dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml, ditepatkan 10 ml dengan akuades, dituang ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan kmno4 0,1 ml di kocok, ditambahkan hidroksil-aminhidroklorida 0,1 ml di kocok dan kemudian ditambahkan lagi 0,5 ml sncl2.2h2o. selanjutnya dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom uap dingin. 3. preparasi sampel rambut sampel yang telah disiapkan ditimbang 1 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. pada erlenmeyer ditambahkan 5 ml h2so4 dan 5 ml hno3 : hclo4 (1:1). erlenmeyer dipanaskan di atas hotplate hingga jernih dan keluar asap putih. hasil yang diperoleh disaring hadijah rumatora, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 290 294 292 dan larutan hasil penyaringan ditepatkan dengan akuades pada labu takar 50 ml hingga batas tanda tera. dibuat blanko dengan perlakuan sama tanpa sampel. setelah pembuatan blanko, diambil sampel dengan labu takar 10 ml, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dan ditambahkan 0,1 ml kmno4 0,1% dikocok, kemudian ditambahkan 0,1 ml hidroksilaminhidroklorida dikocok, ditambahkan 0,5 ml sncl2.2h2o. kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer serapan atom uap dingin. perhitungan hg total dengan rumus : hg total (ppb) = ( ) hasil dan pembahasan keadaan umum lokasi pengambilan sampel desa kayeli secara geografis terletak di pesisir pantai teluk kayeli. umumnya matapencarian penduduk desa kayeli sebagai nelayan. posisi desa kayeli berjarak ± 1 km dari muara sungai wamsait/waelata yang merupakan tempat distribusi semua limbah pertambangan emas ke teluk kayeli, serta terdapat satu sungai yang mengalir disamping desa kayeli. kondisi ini, dapat mengakibatkan percemaran merkuri hingga terakumulasi pada manusia melalui rantai makanan. hal ini sangat erat kaitannya, sebab pada lingkungan teluk kayeli terdapat hutan mangrove yang berfungsi untuk proses perkembangbiakan biota laut serta merupakan tempat akumulasi dan proses metilasi merkuri pun terjadi. hal ini kemudian mempercepat distribusi merkuri ke hewan air dan kemudian ke manusia. berdasarkan keadaan umum inilah maka, penelitian ini dilakukan terhadap beberapa penduduk desa kayeli sebagai sampel dalam mengetahui tingkat akumulasi merkuri pada penduduk setempat. hasil penelitian diperoleh melalui dua tahapan penelitian, yakni tahapan penelitian lapangan dan tahapan penelitian laboratorium. hasil analisis parameter kimia pada sampel penelitian di desa kayeli, serta data koisioner diperlihatkan pada tabel berikut. berdasarkan data pada tabel 1, dapat dilihat tingkat akumulasi merkuri pada rambut kepala penduduk desa kayeli. sampel pertama dengan kode sampel (h.k.1a), adalah penduduk asli desa kayeli yang telah tinggal hingga 40 tahun lebih lamanya, serta belum perna melakukan aktivitas pertambangan emas. berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, konsentrasi mekuri yang teranalisis pada sampel rambut sebesar 3,25 ppm. konsentrasi yang ditemukan sangat besar dan telah melebihi batas merkuri dalam rambut. sampel kedua dengan kode sampel (h.k.1b), adalah penduduk pendatan yang baru menetap di desa kayeli selama kurang lebih 2 tahun, serta belum perna melakukan aktivitas pertambangan emas. berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, konsentrasi mekuri yang teranalisis pada sampel rambut sebesar 1,35 ppm. konsentrasi yang ditemukan sangat besar dan telah melebihi batas merkuri dalam rambut. sampel ketiga dengan kode sampel (h.k.1c), adalah penduduk pendatan yang baru menetap di desa kayeli selama kurang lebih 6 bualan, serta belum perna melakukan aktivitas pertambangan emas. berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, konsentrasi mekuri yang teranalisis pada sampel rambut sebesar 1,62 ppm. konsentrasi yang ditemukan sangat besar dan telah melebihi batas merkuri dalam rambut. sampel keempat dengan kode sampel (h.k.1d), adalah penduduk pendatan yang baru menetap di desa kayeli selama kurang lebih 2 minggu, serta belum perna melakukan aktivitas pertambangan emas. berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, konsentrasi mekuri yang teranalisis pada sampel rambut sebesar 0,10 ppm. konsentrasi yang ditemukan telah melebihi batas merkuri dalam rambut. no kode sanpel tempat jender umur lama tinggal menambang konsentrasi hg (ppm) 1 h.k.1a desa kayeli perempuan 45 tahun > 40 tahun belum pernah 3,25 2 h.k.1b desa kayeli laki-laki 21 tahun < 6 bulan belum pernah 1,62 3 h.k.1c desa kayeli laki-laki 35 tahun < 2 tahun belum pernah 1,35 4 h.k.1d desa kayeli perempuan 46 tahun 2 mingguu belum pernah 0,10 5 h.k.1e desa kayeli laki-laki 42 tahun 1 minggu belum pernah 1,07 6 h.a silale, ambon laki-laki 29 tahun > 28 tahun belum pernah 0,42 tabel. hasil penelitian paparan merkuri padapenduduk desa kayeli tahun 2013 hadijah rumatora, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 290 294 293 sampel kelima dengan kode sampel (h.k.1e), adalah penduduk pendatan yang baru menetap di desa kayeli selama kurang lebih 1 minggu, serta belum perna melakukan aktivitas pertambangan emas. berdasarkan hasil anal isis yang dilakukan, konsentrasi mekuri yang teranalisis pada sampel rambut sebesar 1,07 ppm. konsentrasi yang ditemukan telah melebihi batas merkuri dalam rambut. perbandingan kelima sampel pada desa kayeli diperlihatkant pada gambar 2. berdasarkan data pada histogram di atas terlihat perbandingan konsentrasi merkuri yang teranalisis. dari kelima sampel yang diperoleh hanya satu sampel memiliki konsentrasi 0,1 ppm, dan yang lain lebih dari 1 – 3 ppm. sampel keenam dengan kode sampel (h.a), merupakan pembanding yang diambil dari penduduk desa silale, ambon, serta belum perna melakukan aktivitas pertambangan emas. berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, konsentrasi mekuri yang teranalisis pada sampel rambut sebesar 0,42 ppm. konsentrasi yang ditemukan telah melebihi batas merkuri dalam rambut. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa: konsentrasi merkuri yang teranalisis pada beberapa rambut penduduk di desa kayeli ditemukan konsentrasi merkuri sebesar 0,10 – 3,25 ppm dan sampel yang diambil sebagai pembanding sebesar 0,42 ppm. konsentrasi yang teranalisis telah melewati ambang batas merkuri yaitu 0,5 ppm. ucapan terimakasih 1. kepada pimpinan laboratorium kimia anorganik fmipa unpatti, atas izin kerja telah memberikan kesempatan bagi kami untuk menggunakan peralatan serta laboratorium selama waktu penelitian. 2. kepada pimpinan laboratorium penelitian dan pengujian terpadu, universitas gadjah mada, yang telah menerima dan menganalisis sampel penelitian. 3. kepada pimpinan lembaga ilmu pengatahuan indonesia (lipi), yang telah memberikan izin atas penggunaan alat-alat dalam peoses pengambilan sampel. daftar pustaka alfian, z., 2006. merkuri: antara manfaat dan efek penggunaannya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. naskah pidato pengukuhan guru besar.universitas sumatra utara andri, dh., anies., dan suharyo, h., 2011. kadar merkuri pada rambut masyarakat disekitar penambang emas tanpa izin, universitas diponogoro dan ikatan dokter wilaya jawa tengah. endo, t., dan haraguchi, k. 2009. high mercury levels in hair samples from residents of taiji, a japanese whaling town. marine pollution bulletin 60 (2010) 743–747 3.25 1.62 1.35 0.1 1.07 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 h.k.1a h.k.1b h.k.1c h.k.1d h.k.1e k o n se n tr a si h g ( p p m ) kode sampel gambar 2. histogram konsentrasi merkuri pada rambut penduduk desa kayeli hadijah rumatora, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 290 294 294 gradjean, p., 2005. umbilical cord mercury concentration as biomarker of prenatal exposure to methyl mercury: environmental health perspectives. hartono, w., 2003. faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar merkuri dalam rambut pada pekerja laboratorium di balai laboratorium kesehatan bandar lampung. tesis. fkm ui, depok. ipcs (international programe on chemychal safety. 2003. elemental mercury and inorganik merkury compounds : human health aspect. geneva. junita, rn. 2013. resiko keracunan merkuri (hg) pada pekerja penambangan emas tanpa izin (peti) di desa cisarua, kecamatan nanggung, kabupaten bogor. skripsi.universitas islam negeri syarif hidayatullah, jakarta klh londak., 2009. penambang emas tanpa izin (peti) (kerusakan alam, kerusakan sungai, ancaman merkuri) lestarisa, t. 2013. faktor-faktor yang berhubungan dengan keracunan merkuri (hg) pada penambang emas tanpa ijin (peti) di kecamatan kurun, kabupaten gunung mas, kalimantan tengah. tesis. program pasca sarjana universitas diponegoro, semarang. male, y. t., reichet-brushet, a. j., poccok, m., dan nanlohy, a., 2013, recent mercury contamination from artisan gold mining on buru island, indonesia-potential future risks to environmental health and food safety, jurnal marine pollution bulletin, 77; 428-433. refles., 2012. kegiatan pertambangan emas rakyat dan implikasinya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di kenajarian mundam sakti, kecamatan iv negari, kabupaten sijunjung program studi pembangun wilayah dan pedesaan, program pasca serjana, universitas andalas sasmito, dan kamal, z., 2002. hubungan warna rambut dan jenis kelamin dengan penentuan kadar merkuri dalam rambut manusia dengan teknik aktivasi neutron. jurnal. fakultas kedokteran, yarsi. vol. 10, no. 2: hal 45-50. susila kristianigrum., 2007. modifikasi metode analisis spesiasi merkuri dalam lingkungan perairan. kimia fmipa untan thamrin untan., 2003. laporan analisis hasil penentuan kadar merkuri pada rambut dan kuku penduduk di sekitar wilayah penambang emas, penggunaan air pdam. trilianti lestarisa., 2010. faktor-faktor yang berhubungan dengan keracunan merkuri (hg) pada penambang tanpa izin (peti) di kecamatan kurun, kabupaten gunung mas kalimantan tengah tugaswati t., athena, fb., dan lubis, a. 1997. studi pencemaran merkuri dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat di daerah mundu kabupaten indramayu. jakarta : vol 25, no. 2. unep (united nations environmet programme) and who (world healt organization). 2008. guidance for identifying populations at risk from mercury exposure. unep dtie chemichals branch geneva, switzerland widowati, w., sastiono, a.,jusuf, r., dan raymond. 2008. efek toksik logam “pencegahan dan penanggulangan pencemaran”. penerbit andi, yogyakarta. wilson, william. a. suk. 2002. biomarkers of environmentally associated disease : technologies, concepts, and perspectives (editorial). florida: lewis publishers crc press llc yanuar, a. 2010. toksisitas merkuri di sekitarkita.departemen farmasi fmipa universitas indonesia. ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 386 microencapsulation of essential oils from nilam plants (pogostemon cablin benth) for antifungal of candida albicans mikroenkapsulasi minyak atsiri dari tanaman nilam (pogostemon cablin benth) sebagai antijamur candida albicans risnawati*, laily nurliana, desy kurniawati department of chemistry, faculty mathematic and natural science, university of halu oleo, kampus bumi tridarma; anduonohu kendari-south east sulawesi *corresponding author, email: risnatamrin3965@gmail.com received: dec. 2016 published: jan. 2017 abstract microencapsulation of essential oils from nilam plants (pogostemon cablin benth) for antifungal of candida albicans was carried out. the aims of this study were to know of chemical components, characteristics, and activity test of nilam plants as well as the result test of microencaptulation as antifungal of c. albicans. nilam essential oils was obtained by using water-vapor destilation method with the rendament of 0,88%. charateristics of nilam essential oils obtained produced of tawny nilam oils, density of 0,947 mg/l, refractive index of 1,506, acid number of 1,122, and dissolved in alcohol 70 and 90% has conducted by indonesia national standar. microencapsulation of nilam essential oils by using spray drying method with the various of the wrapper material of nilam essential oils:maltodextrin (1:12;1:10;1:8) produced solid powders with sticky texture and creamy which giving a spesific aroma of nilam oils. the result of activity test of antifungal of c. albicans test on liquid essential oil is any diffence significantly each various of concentration of 12,5; 25; 50; and 100%. the activity of microcapsule showed that the difference specifically on various of concentrations of 1:12; 1:10 and 1:8 with the good activity power is composition of 1:12. activity test result showed is any difference significantly between nilam oils and microcapsule. keywords: antifungal, candida albicans, microencapsulation, essenial oils and nilam pendahuluan indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri yang cukup penting di dunia. salah satu tanaman penghasil minyak atsiri adalah nilam (pogostemon cablin benth). minyak nilam (patchouli oil) mengandung senyawa golongan hidrokarbon yang berupa senyawa seskuiterpen, jumlahnya sekitar 40%– 45% dari berat minyak dan golongan hidrokarbon beroksigen yang berjumlah sekitar 52%–57% dari berat minyak (guenther, 1990). kandungan tertinggi pada minyak nilam yaitu patchouli alkohol (gokulakrishan dkk., 2013). minyak nilam menunjukkan aktivitas sebagai antiradang, antivirus, antibakteri dan antijamur (swamy dan uma 2016). antijamur merupakan salah satu potensi yang cukup baik untuk dikembangkan di bidang kesehatan. potensi tentang tumbuhan sebagai antijamur perlu dikaji khususnya jamur yang bersifat patogen bagi manusia. salah satu jamur yang merugikan bagi manusia adalah c. albicans (hasan, 2015). c. albicans menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan kandidiasis yaitu penyakit pada mulut, selaput lendir, saluran pencernaan, saluran pernafasan dan saluran gemital terutama pada wanita (pelczar dan chan, 2007). salah satu cara untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh jamur c. albicans yaitu dengan zat antijamur yang mampu merusak struktur dinding sel c. albicans. menurut jawetz (2001) komponen minyak atsiri dari golongan terpenoid yang terkandung dalam suatu tanaman dapat merusak lapisan fosfolipid membran sel mikroorganisme. minyak nilam memiliki beberapa kelemahan antara lain mudah teroksidasi, mudah menguap, tidak mudah terdispersi dalam bahanbahan kering. salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan metode mikroenkapsulasi. mikroenkapsulasi adalah metode yang umumnya digunakan untuk risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 387 menangani minyak dalam bentuk cairan, sehingga perubahan bentuk cairan minyak menjadi serbuk akan lebih mudah ditangani dalam penanganannya (latifah dan teti, 2016). berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan mikroenkapsulasi minyak atsiri tanaman nilam yang diaplikasikan sebagai anti jamur c. albicans. metodologi alat dan bahan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat destilasi uap-air, kompor petromax, kg-sm (kromatografi gasspektrometri massa), scanning, electron microscopy-energy dispersive spectroscopy (sem-eds) jsm-6510x, spray drying, refraktrometer, inkubator, neraca analitik (acis), autoklaf (wisecclave), waterbath (hws24), lemari pendingin (sharp), pipet mikro (dragon onemed), laminar air flow cabinet, shaker incubator (ratex), piknometer, buret (pyrex), lampu uv, statif, klem, hot plate, mistar, spidol, tabung eppendorf, jarum ose, tip, cawan petri (pyrex), gelas ukur (pyrex), gelas kimia (pyrex), erlenmeyer (pyrex), corong (pyrex), corong pisah, spritus, spatula, vortex, pipet ukur, oven, pipet tetes, botol vial, botol gelap dan pisau. bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampel daun dan batang tanaman nilam (pogostemon calbin benth), candida albicans atcc 10231, maltodekstrin, ketokonazol 2%, kaldu kentang, dextrose, minyak tween, mgso4 anhidrat, akuades, alkohol 95%, alkohol 70%, fenolfthalien 1%, naoh 0,1 n, akuades, agar-agar, minyak tanah, kertas saring whatman, kain kasa, kapas steril, dan aluminium foil. isolasi minyak atsiri tanaman nilam dengan menggunakan destilasi uap-air tanaman nilam ditimbang sebesar 2 kg kemudian dimasukkan dalam wadah alat destilasi uap-air, dimana wadah tersebut sudah diisi air sebanyak 28 liter. pada proses destilasi uap-air menggunakan pemanasan dengan kompor petromax. daun dan batang tanaman nilam yang akan disuling hanya akan terkena uap, dan tidak terkena air yang mendidih (sastrohamidjojo, 2004). proses destilasi uap-air dilakukan selama 3 jam. destilat ditampung ke dalam corong pisah yang membentuk lapisan minyak dan lapisan air. lapisan air dipisahkan dari lapisan minyak menggunakan corong pisah, kemudian ditambahkan mgso4 anhidrat pada minyak atsiri nilam yang diperoleh untuk menghilangkan sisa air. karakterisasi minyak nilam a. warna menurut irawan dan jos (2010) standar nasional indonesia warna minyak yang diperoleh berwarna kuning muda-cokelat tua. b. berat jenis piknometer yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu, kemudian berat piknometer ditimbang. selanjutnya piknometer diisi dengan air suling yang telah diketahui suhunya sampai batas tera, kemudian berat air suling tersebut ditimbang. melakukan hal yang sama terhadap minyak nilam (supriono dan theresia, 2014). c. indeks bias analisa indeks bias dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer, minyak nilam yang telah diperoleh diteteskan pada bidang prisma dan kemudian dibaca skala yang terdapat pada alat tersebut (supriono dan theresia, 2014). d. kelarutan dalam alkohol 1 ml minyak atsiri dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml dan menambahkan secara perlahan-lahan alkohol dengan konsentrasi tertentu kemudian dikocok. jika larutan yang dihasilkan berwarna jernih, diukur volume dan konsentrasi alkohol yang dibutuhkan.10 ml alkohol ditambahkan pada larutan berwarna jernih. jika selama penambahan alkohol tersebut timbul warna kabur atau suram, dicatat titik dimana hal tersebut terjadi (supriono dan theresia, 2014). e. bilangan asam 2,5 gram minyak atsiri dipipet, kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. 15 ml alkohol 95% dan 3 tetes larutan fenolfthalein 1% ditambahkan dalam erlenmeyer. asam bebas dititrasi dengan larutan standar natrium hidroksida 0,1 n, penambahan naoh yang baik risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 388 sewaktu titrasi ialah kira-kira 30 tetes per menit. titrasi dihentikan ketika terjadi titik akhir titirasi dengan timbulnya warna merah (supriono dan theresia, 2014). mikroenkapsulasi minyak atsiri hasil destilasi uap-air di mikroenkapsulasi dengan bahan penyalut maltodekstrin yang memiliki ketahanan oksidasi yang baik dan dapat menurunkan viskositas. pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan menggunakan metode efendi (2000). perbandingan antara minyak atsiri dan maltodestrin adalah 1:8, 1:10, 1:12 (supriyadi dan sakha, 2013). analisis morfologi permukaan dengan sem pengujian dilakukan dengan cara cuplikan diletakkan dalam lapisan carbon-conductive dan dilapisi dengan 60% emas dan 40% palladium dengan sputtercoater pada arus sebesar 35 ma selama 1 menit. kondisi operasi dilakukan pada akselerasi tegangan sebesar 10 kv dan perbesaran 5.000x (nasrullah, 2010). pengujian aktivitas antijamur minyak nilam a. sterilisasi alat dan bahan seluruh alat dicuci bersih dan dikeringkan. botol vial, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan petri dibungkus dengan kertas. kemudian semuanya disterilkan dengan autoklaf pada suhu 12°c selama 15 menit. pengerjaan aseptis dilakukan di dalam laminar air flow yang sebelumnya telah dibersihkan dengan larutan alkohol 70%, lalu disterilkan dengan lampu uv yang dinyalakan selama kurang lebih 1 jam sebelum digunakan dalam proses uji antijamur (pertiwi, 2010). b. peremajaan jamur candida albicans b.1 peremajaan dalam media padat (pda) media pda dibuat dengan cara menimbang 0,2 gram dextrosa dan 0,4 gram agar dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 20 ml kaldu kentang dan diaduk hingga homogen. setelah homogen erlenmeyer ditutup dengan kain kasa dan kapas (disumbat) kemudian diautoklaf pada tekanan 121 mpa. media pda yang telah dibentuk diletakkan dalam laminar air flow dan disinari sinar uv selama beberapa menit. 20 ml media pda dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian tabung reaksi dimiringkan hingga memadat dan digoreskan 1 ose jamur c. albicans dalam media pda pada tabung reaksi, lalu tabung reaksi ditutup dengan kasa dan kapas kemudian diinkubasi selama 3 x 24 jam pada suhu 37°c (hidayatullah, 2012). b.2 peremajaan dalam media cair membuat media cair dengan menimbang 0,1 gram dekstrosa dan dimasukkan dalam botol vial. setelah dimasukkan dalam botol vial ditambahkan 10 ml kaldu kentang kemudian diaduk hingga homogen. setelah diaduk, botol vial ditutup dengan kasa dan kapas (sumbat) kemudian diautoklaf pada tekanan 121 mpa. media cair yang telah terbentuk diletakkan pada laminar air flaw dan disinari sinar uv selama beberapa menit. digoreskan 1 ose jamur c. albicans dalam media cair dalam botol vial kemudian botol vial ditutup dengan kain kasa dan kapas (sumbat) dan diinkubasi selama 3 x 24 jam pada suhu 37°c (bangjavicenna, 2008). c. uji aktivitas antijamur candida albicans medium pda dipipet sebanyak 20 ml, kemudian dimasukkan dalam tabung effendorf dan ditambahkan 10 µl inokulum jamur c. albicans lalu dikocok hingga homogen. setelah homogen dituang dalam cawan petri dengan gerakan memutar hingga media merata pada permukaan cawan petri, lalu didiamkan beberapa menit hingga memadat. kemudian diletakkan kertas cakram (diameter 0,5 cm) yang telah direndam larutan uji (minyak nilam 100%, 50%, 25%, 12,5% dan minyak nilam:maltodekstrin (1:18, 1:10, 1:12), kontrol positif (ketokonazol 2%), kontrol negatif (minyak tween dan akuades) pada permukaan media agar yang telah memadat. setelah itu, cawan petri ditutup dengan rapat dan dibungkus dengan plastik wrap. kemudian diinkubasi selama 3 x 24 jam dalam suhu ruang dan diukur zona hambat yang terbentuk (bangjavicenna, 2008). d. pengolahan dan analisis data data yang diperoleh antara lain data sem dan nilai zona bening isolat pada uji antijamur. risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 389 hasil dan pembahasan isolasi minyak atsiri tanaman nilam dengan menggunakan destilasi uap-air isolasi minyak atsiri pada daun dan batang tanaman nilam dalam penelitian ini menggunakan metode destilasi uap-air. selama proses destilasi berlangsung, uap air akan menerobos jaringan-jaringan kelenjar minyak daun dan batang tanaman nilam. minyak atsiri dikeluarkan melalui proses hidrodifusi. campuran minyak dalam air ini berdifusi ke luar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran yang sedang mekar sampai di permukaan bahan dan selanjutnya menguap oleh uap yang dilewatkan ke kondensor (sastrohamidjojo, 2004). minyak atsiri yang dikeluarkan melalui proses hidrodifusi kemudian terkondensasi dan campuran minyak atsiri dan air keluar sebagai destilat. destilat ditampung ke dalam corong pisah, kemudian lapisan minyak dan lapisan air dipisahkan untuk mendapatkan minyak atsiri. minyak atsiri yang masih mengandung molekul air dikeringkan dengan menambahkan mgso4 anhidrat (suptiani dkk., 2013). fungsi penambahan mgso4 anhidrat untuk mengikat air yang masih terkandung dalam minyak tersebut. pada penelitian ini menghasilkan minyak berwarna kuning kecokelatan dengan rendamen sebesar 0,88%. tamrin dkk. (2015) melakukan isolasi minyak nilam menggunakan destilasi uapair memperoleh rendamen sebesar 1,8%. menurut rahmawati (2010) rendamen minyak nilam bisa mencapai 5%-6%. rendahnya rendemen ini disebabkan oleh teknik budidaya, penanganan pasca panen maupun sistem penyulingannya. selain itu, belum dilakukan proses penjernihan atau redestilasi pada minyak nilam yang dihasilkan (tamrin dkk., 2015). karakterisasi minyak nilam karakterisasi dilakukan untuk memperoleh data minyak nilam yang akan dibandingkan dengan standar minyak nilam menurut standar nasional indonesia (sni). hasil karakterisasi dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. hasil karakterisasi minyak nilam jenis uji persyaratan hasil warna kuning mudacoklat tua kuning kecokelatan berat jenis 20˚c 0,943 0,983 0,947 indeks bias 25˚c 1,504 1,520 1.506 bilangan asam maksimal 5 1,122 kelarutan dalam alkohol 90% larut jernih dalam segala pembanding larut jernih mikroenkapsulasi hasil mikroenkapsulasi minyak nilam dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1 memperlihatkan bahwa hasil mikroenkapsulasi yang diperoleh berupa serbuk padatanberwarna putih-kekuningan yang beraroma khas minyak nilam. hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat variasi jumlah bahan penyalut yang berakibat pada perbedaan kadar nilam yang tersalut tetapi perbedaan kadar itu tidak memberikan perbedaan warna yang signifikan untuk tiap satu butir kapsul hasil mikroenkapslasi berapapun perbandingannya. (a) (b) (c) gambar 1. hasil mikroenkapsulasi minyak nilam:maltrodekstrin (a) 1:8; (b)1:10; (c) 1:12 perbedaan warna hanya muncul sebagai akibat akumulasi warna kapsul yang jumlahnya berbeda. kapsul dengan komposisi 1:12 memunculkan warna paling mencolok (lebih kuning) karena pada perbandingan tersebut risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 390 jumlah kapsulnya lebih banyak dari pada perbandingan komposisi 1:10 dan terakhir 1:8. analisis morfologi permukaan dengan sem gambar 2 menyajikan foto hasil sem dan hasil mikroenkapsulasi minyak nilam. gambar 2 merupakan sem minyak nilam hasil mikroenkapsulasi yang dideretkan menurut komposisi semakin ke kanan, kadar minyak nilam semakin sedikit. bentuk mikrokapsul perbandingan 1:8; 1:10; 1:12 memiiki kemiripan. terdapat bentuk bulat utuh dan bola kecil keriput pada penampakan sem ketiganya. (a) (b) (c) gambar 2. hasil sem minyak nilam:maltrodekstrin (a) 1:8; (b)1:10; (c) 1:12 perbandingan 1:8 memiliki bentuk bulat utuh dan bola keriput paling banyak dibandingkan 1:10. adapun perbandingan 1:10 memiliki bentuk bulat dan bola kecil keriput mulai berkurang di bandingkan 1:8 dan perbandingan 1:12 tidak lagi memperlihatkan adanya bola kecil keriput dan bulat utuh yang terbentuk saling bertumpukan. menurut elena dan mania (2012) partikel yang berbentuk bulat utuh menandakan bahwa mikrokapsul berbentuk sempurna dan berisi minyak nilam. bentuk bola kecil keriput diperkirakan adalah patikel bahan pengapsul tanpa minyak nilam didalamnya atau mikrokapsul yang berbentuk kurang sempurna. aktivitas antimikroba minyak nilam dan hasil mikroenkapsulasi minyak nilam : maltodekstrin dalam menghambat pertumbuhan jamur candida albicans analisis uji aktivitas antimikroba minyak nilam dalam menghambat pertumbuhan c. albicans dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3. hasil uji aktivitas minyak nilam terhadap jamur c. albicans nilam cair yang digunakan sebagai antijamur dikontrol dengan ketokonazol sebagai kontrol postitif dan minyak tween sebagai kontrol negatif. gambar 3 memperlihatkan aktivitas ketokonazol sebagai kontrol postif lebih kecil dibandingkan aktivitas nilam cair. berdasarkan data tersebut nilan cair dapat digunakan sebagai antijamur c. albicans. gambar 3 juga menunjukkan bahwa pada tiap-tiap variasi kadar nilam cair ada aktifitas yang berbeda-beda. berturut-turut untuk konsentrasi 12,5; 25; 50 dan 100 % memberikan aktifitas yang dinyatakan dalam luas zona bening berturut-turut 1,46; 1,55; 1,71 dan 1,88 cm 2 . data ini memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan zona bening seiring bertambahnya konsentrasi nilam. namun demikian, untuk melihat apakah perbedaan aktifitas akibat bertambahnya konsertrat tersebut dalam kategori signifikan atau tidak, maka dilakukan uji t. uji t merupakan uji untuk melihat signifikasi beda dua perlakuan berbeda. hasil uji t menunjukkan bahwa untuk konsentrasi 100% dan 50%, t hit = 4,66; konsentrasi 50% dan 25%, t hit = 17,38 dan konsentrasi 25% dan 12,5%, t hit = 1,90. konsentrasi 100% dan 50%, 50 dan 25 % memiliki nilai t hit>t tab α = 0,05 = 4,31 dan konsentrasi 25% dan 12,5% memiliki nilai t hit<t tab α = 0,05 = 4,31 yang menunjukan untuk dua konsentrat tersebut tidak ada perbedaan keduanya. menurut wahyunita (2017) peningkaan daya hambat zona bening seiring risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 391 bertambahnya konsentrat minyak atsiri. hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan daya hambat zona bening di pengaruhi oleh perbedaan variasi konsentrat minyak nilam, dimana semakin tinggi variasi konsentrat minyak nilam maka daya hambat zona beningnya semakin meningkat. rata-rata diameter zona bening tertinggi minyak nilam yaitu 1,88 cm. menurut mulyadi (2013) diameter zona bening 16-20 mm memberikan respon hambatan pertumbuhan kuat. dengan demikian respon hambatan zona bening minyak nilam pada penelitian ini memberikan respon daya hambat kuat. mekanisme kerja antijamur minyak atsiri nilam bukan hanya disebabkan karena senyawa tunggal, namun karena efek sinergis dari beberapa senyawa yang terdapat pada minyak nilam sehingga mampu menghambat pertumbuhan jamur dengan baik (wulandari, 2016). molekul hidrofobik penyusun minyak nilam seperti ß-caryophllene, 6,10,11,11tetramethyl-tricyclo, α-guaiene, 1h-3a,7methanoazulene, α-guaiene dan pathchouli alcohol akan menyerang ergosterol pada membrane sel jamur c. albicans sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas membran dan kerusakan membran yang akhirnya molekulmolekul sel jamur c. albicans akan keluar sehingga menyebabkan kematian sel. seperti halnya nilam cair, minyak nilam hasil mikroenkapsulasi yang diukur aktivitas anti jamurnya dikontrol positif dengan ketokonazol 2%. datanya memperlihatkan bahwa semua nilam hasil mikroenkapsulasi memilki aktivitas yang lebih besar dari kontrol positif. dan karenanya juga dapat digunakan sebagai anti jamur candida albicans. lebih lengkap data pembanding aktivitas nilam hasil mikroenkapsulasi dengan kontrol positf dapat dilihat pada gambar 4. gambar 4 menunjukkan bahwa tiap variasi kadar nilam hasil mikoenkapsulasi juga memberikan aktifitas yang berbeda-beda. berturut-turut untuk variasi maltodekstrin 1:8, 1:10 dan 1:12 memberikan aktifitas berupa luas zona bening 0,57; 1,60 dan 2,00 cm 2 . data ini memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan zona bening seiring bertambahnya bahan penyalut. adapun hasil uji t menunjukkan bahwa untuk perbandingan 1:8 : 1:10, t hit = 319; dan perbandingan 1:10 : 1:12, t hit = 7,57; keduanya > t tab α = 0,05 = 4,31. hal tersebut memperlihatkan bahwa ada perbedaan signifikan dari tiga jenis perlakuan. keadaan ini terjadi karena antijamur dari minyak atsiri nilam yang didistribusikan dalam penyalut akan menyebabkan jamur mengkonsumsi nilam dalam jumlah lebih sedikit, namun demikian jumlah yang sedikit ini, masih dalam dosis letal jamur yang mengakibatkan jamur tetap mati walaupun nilam yang dikonsumsi sangat sedikit. gambar 4. hasil uji aktivitas hasil mikroenkapsulasi minyak nilam terhadap jamur c.albicans aktifitas rata-rata nilam cair 100% dan nilam hasil mikroenkapsulasi berdasarkan luas zona bening juga berbeda. hasil uji t menunjukkan bahwa untuk konsentrasi nilam cair 100% dan hasil mikroenkapsulasi (1:12) t hit = 6, 99; konsentrasi nilam cair 100% dan hasil mikroenkapsulasi (1:10) t hit = 7,11 dan konsentrasi nilam cair 100% dan hasil mikroenkapsulasi (1:8) t hit = 32,00 yang seluruhnya memiliki nilai t hit>t tab α = 0,05 = 4,31. hal ini menunjukkan bahwa ketiga perlakuan berbeda signifikan. dengan demikian aktivitas hasil mikroenkapsulasi konsentrasi 1:2 lebih baik dibandingkan minyak nilam 100% dan untuk minyak nilam 100% memiliki aktivitas lebih baik dibandingan konsentrasi 1:10 dan 1:8. sehingga penambahan pengkapsul pada konsentrasi 1:12 dapat meningkatkan daya hambat zona bening terhadap jamur c. albicans. dengan demikian, mikroenkapsulasi minyak nilam akan memberikan keuntungan tersendiri seperti bahan tidak mudah rusak karena oksidasi selain juga menjadi mudah untuk ditanganni karena bentuknya padat (latifah dan teti, 2016). risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 392 kesimpulan komponen utama penyusun minyak atsiri tanaman nilam (pogostemon calbin benth). karakteristik minyak atsiri nilam yang diperoleh yaitu warna minyak nilam berwarna kuning kecokelatan; bobot jenis sebesar 0,947; indeks bias 1,506; bilangan asam 1,122; kelarutan dalam alkohol 90% dan 70% dapat larut jernih yang telah dilakukan sesuai standar nasional indonesia. .hasil uji aktivitas anti jamur candida albicans nilam cair menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dari variasi konsentrasi 12,5%, 25%, 50% dan 100%. hasil uji aktivitas antijamur candida albicans hasil mikroenkapsulasi menunjukkan perbedaan yang spesifik tiap variasi konsentrasi1:8; 1:10 dan 1:12 dengan komposisi 1:12 sebagai perbandingan daya aktivitas paling baik. hasil uji aktivitas menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara nilam cair 100% dan hasil mikroenkapsulasi. daftar pustaka efendi, e., 2000, mikroenkapsulasi minyak atsiri jahe dengan campuran gum arabmaltodekstrin dan variasi suhu inlet spray dryer, thesis. elena, j., manea d.l., 2012, application of x ray diffraction (xrd) and scanning electron microscopy (sem) methods to the portland cement hyration process, journal of applied engineering science, 2, 35-42. guenther, e., 1990, minyak atsiri, jilid iv, diterjemahkan oleh ketaren, ui-press. hasan, m.n., 2015, pengaruh ekstrak rimpang jeringau (acorus calamus l.) dalam beberapa pelarut organik terhadap aktivitas antioksidan dan antifungi secara in vitro, skripsi: fakultas mipa. universitas islam negeri. malang. hidayatullah, m., 2012, uji daya antifungi minyak atsiri bawang merah (allium ascalonicum.l) terhadap candida albicans atcc 10231 secara in vitro, skripsi: fakultas kedokteran, universitas muhammadiyah surakarta. irawan, b., jos, b., 2010, peningkatan mutu minyak nilam dengan ekstraksi dan destilasi pada berbagai komposisi pelarut, seminar rekayasa 57 kimia dan proses. universitas diponegoro, semarang. jawetz. melnick, adelberg, s., 2001, mikrobiologi kedokteran, edisi i, salemba medika. jakarta.196 -198. latifah, n., teti, e., 2016, mikroenkapsulasi fraksi tidak tersabunkan(ftt) distilat asam lemak minyak sawit (dalms) menggunakan metode pengeringan semprot: kajian pustaka, jurnal pangan dan agroindustri, 41, 184-88. nasrullah, f., 2010, pengaruh komposisi bahan pengkapsul terhadap kualitas mikrokapsul oleoresin lada hitam (piper nigrum l.), skripsi: departemen ilmu dan teknologi pangan. fakultas teknologi pertanian institut pertanian bogor. bogor. pertiwi, n., 2010, uji aktivitas antibakteri dan mekanisme penghambatan ekstrak air campuran daun (piper betle l.) dan kapur sirih (ca(oh)2)terhadap beberapa bakteri uji, skripsi: jurusan farmasi. fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan. universitas islam negeri syarif hidayatullah. jakarta. rahmawati, novi, 2010, pemanfaatan minyak atsiri akar wangi (vetiveria zizanoides) dari famili poaceae sebagai senyawa antimikroba dan insektisida alam, jurnal kimia. 13(4). sastrohamidjojo, h., 2004, kimia minyak atsiri, gajah mada university press yogyakarta. supriono, theresia, a.s., 2014, kualitas minyak atsiri nilam dari metode pengecilan ukuran pada penyulingan tanaman nilam (pogostemom cablin benth)., isbn: 978-60219421-0-9. supriyadi, sakha a.r., 2013, karakterisasi mikrokapsul minyak atsiri lengkuas dengan maltodekstrin sebagai enkapsulan, jurnal teknologi dan industri pangan 24(2). suptiani, a.a., frans, a.h. andri, c.k. 2013, potensi jus jeruk nipis (citrus aurantifolia) sebagai bahan pengelat dalam proses pemurnian minyak nilam (patchouli oil) dengan metode kompleksometri, jurnal kimia dan industri. 2, 257-261. swamy, k., uma, r.s., 2016, patchouli (pogostemon cablin benth.): botany, agrotechnology andbiotechnological aspects mallappa. 87, 161–176. tamrin, nur, a., gusnawaty, 2015, upaya peningkatan dan sertifikasi minyak nilam di kolaka utara, prosiding semiar dan lokakarya nasional fktp-tpi. risnawati, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 386-393 393 wahyunita, f., 2017, studi pemanfaatan propolis trigonaspp. asal konawe sebagai bahan antibakteri plak gigi, skripsi: fakultas mipa.universitas halu oleo. kendari. mulyadi, m. wuryanti. purbowatiningrum, r.s., 2013, konsentrasi hambat minimum (khm) kadar sampel alang-alang (imperata cylindrica) dalam etanol melalui metode difusi cakram, jurnal chem. 1, 35-42. wulandari, d., 2016, isolasi dan uji aktivitas antimikroba ekstrak etanol propolis trigona spp. skripsi: fakultas mipa.universitas halu ole. kendari. ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 317 effect of vinegar to histamine content in bullet tuna (auxis rochei) pengaruh asam cuka terhadap kandungan histamin dalam daging ikan komu (auxis rochei) nikmans hattu 1, *, eirene g. fransina 1 , cecilia a. seumahu 2 , josina m. sopacua 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences 2 biology department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding authir, e-mail: nickhattu@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2015 published: january 2016 abstract the research on the effect of vinegar to histamine content in bullet tuna (auxis rochei) has been done. histamine content of quant itatively determined using a standard curve regression equat ion (y = 0.005 x 0.046) with a price coefficient of determinat ion (r 2 = 0.926) is close to unit y. the results showed levels o f histamine in bullet tuna marinated in vinegar wit h variat ion concentrations of 5%, 10%, 15%, 20%, and 25% within 10 minutes, are 25.9099; 20.0408; 18.9671; 18.7108 and 18.6336 mg/100g respect ively. while the levels of histamine in bullet tuna marinated in 25% of vinegar wit h variation of 10 minutes, 20 minutes, and 30 minutes, are 18.6336; 16.0550; and 15.5246 mg/100g respectively. keywords : bullet tuna, histamine, spectrophotometry, vinegar pendahuluan potensi lestari perikanan laut indonesia diperkirakan 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di seluruh wilayah perairan indonesia dan zee (zona ekonomi eksklusif) dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestari. produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan di laut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (ditjen perikanan tangkap 2007). salah satu produk perikanan tangkap unggulan indonesia adalah ikan komu. ikan komu merupakan salah satu komoditas perikanan indonesia yang potensial, terbesar kedua setelah udang (dkp, 2005). ikan komu tersebar di perairan kalimantan, sumatera, pantai india, filipina dan sebelah selatan australia, sebelah barat afrika barat, jepang, sebelah barat hawai dan perairan pantai pasifik-amerika. ikan komu berkelompok besar bersifat karnivora, jenis makanannya adalah stomapoda, decapoda, cepapoda, ikan kecil, selain itu ikan komu merupakan ikan perenang cepat serta akan ditangkap pada saat gelombang dan angin sedang. ikan komu ini hidup di daerah pantai, lepas pantai perairan indonesia yang daerah penyebarannya hampir sama dengan ikan cakalang yaitu perairan barat sumatera, selatan jawa, utara sulawesi, laut banda dan utara irian jaya (wudianto, dkk., 2007). ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan biologis oleh enzim atau mikroorganisme pembusuk, sehingga memerlukan penanganan yang khusus untuk mempertahankan mutunya. proses kerusakan ikan berlangsung lebih cepat di daerah tropis karena suhu dan kelembaban harian yang tinggi. proses kemunduran mutu tersebut makin dipercepat dengan cara penanganan atau penangkapan yang kurang baik, fasilitas sanitasi yang tidak memadai serta terbatasnya sarana distribusi dan pemasaran. pada ikan yang sudah tidak segar lagi dan menuju proses pembusukan, biasanya akan terbentuk histamin. histamin merupakan salah satu bahan kimia yang bersifat toksik jika ditemukan banyak dalam tubuh. senyawa ini nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 318 juga merupakan suatu amina biogenik yang diproduksi melalui proses dekarboksilase bakterial dari asam amino histidin, dan kebanyakan ditemukan dalam jumlah besar pada ikan-ikan dari famili scombridae. keracunan histamin biasanya terjadi setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. gejala keracunan sangat bervariasi dan merupakan gejala alergis, meliputi gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (borade, dkk., 2007 ; shalaby, 1996; suryanti, 2006 ; & taylor, 1986). histamin merupakan salah satu anima biogenik yang diproduksi pada jaringan ikan oleh bakteri dari famili enterobacteriaceae, seperti morganella, klebsiella, dan hafnia yang menghasilkan enzim histidin decarboxylase. bakteri yang secara alami terdapat pada insang dan usus ikan akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan (sumner dkk., 2004). kandungan histamin dapat dijadikan indikasi mutu ikan komu dan histamin juga merupakan indikator standar keamanan pangan produk ikan. hal ini disebabkan kandungan histamin dapat menyebabkan efek keracunan. keracunan histamin terjadi di seluruh dunia dan kemungkinan pada umumnya disebabkan oleh racun yang dihasilkan pada ikan. jepang, amerika serikat (usa), dan inggris raya (united kingdom, uk) merupakan negara dengan jumlah penduduk tertinggi yang menderita keracunan histamin (sumner dkk., 2004). sebagai akibat dari banyaknya prevalensi keracunan histamin dan tingkat komsumsi produk hewani khususnya ikan yang tinggi, maka pengawasan kualitas pada pangan diantaranya kandungan histamin perlu mendapat perhatian serius bahwa perlunya upaya untuk menghambat dan menurunkan kandungan senyawa ini dalam produk bahan pangan. beberapa upaya telah dilakukan di antaranya ikan direbus terlebih dahulu, ikan diasapi, ikan direbus dengan penambahan garam. kandungan histamin dalam ikan juga bisa ditentukan berdasarkan pemberian asam cuka. pada konsentrasi asam asetat yang rendah dalam waktu penyimpanan 5 jam kandungan histamin dalam ikan cenderung lebih tinggi dibandingkan pada konsentrasi asam cuka yang tinggi (seumahu dkk., 2010). dalam penelitian ini dilakukan penentuan kandungan histamin dalam daging ikan komu yang telah direndam dengan asam cuka dalam variasi konsentrasi dan waktu perendaman. penelitian ini bermanfaat karena dapat dijadikan data ilmiah mengenai kandungan histamin pada ikan komu akibat pengaruh asam cuka dan sebagai rujukan data serta informasi dalam pengembangan produk pangan berbahan baku ikan. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel ikan komu, asam sulfanilat (p.a. merck), asam klorida (p.a. merck), natrium nitrit (p.a. merck), natrium klorida (p.a. merck), natrium sulfat anhidrous (p.a. merck), natrium fosfat monohidrat (p.a. merck), natrium karbonat (p.a. merck), nbutanol (p.a. merck), histamin dihidroklorida (p.a. merck), akuades, kertas saring whatman no. 42, asam cuka komersial merek dixi. alat peralatan dan instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : seperangkat alat gelas (pyrex), neraca analitik, blender, pemanas listrik (cimarec 2), refrigerator (lg), sentrifuge (labofuge 200-heraeus), spektrofotometer uv-vis (uv-1700 pharmaspec shimadzu). prosedur kerja persiapan sampel ikan komu yang telah diambil dari tempat penjualan ikan dicuci bersih. daging ikan bagian dorsal (tanpa kulit) diambil dari bagian tubuh ikan komu selanjutnya diiris dan ditimbang sebanyak 5 g setelah itu daging ikan komu tersebut direndam pada larutan asam cuka 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% dengan volume 30 ml selama 10 menit kemudian dicuci kembali dengan akuades sebanyak 30 ml. setelah diperoleh konsentrasi histamin terendah, konsentrasi tersebut dipakai untuk menvariasikan waktu perendaman selama 20 menit dan 30 menit. pembuatan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat campuran 1,5 ml asam sulfanilat 0,9% (b/v) dalam hcl pekat dan 1,5 ml nano2 5% nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 319 (b/v) didinginkan dengan direndam dalam air es selama 5 menit. 6 ml dari larutan nano2 5 % ditambahkan dan didiamkan selama 5 menit. kemudian, pereaksi disimpan dalam rendaman es selama 15 menit. selanjutnya didiamkan selama 12 jam dan siap digunakan. pembuatan larutan standar histamin histamin dihidroklorida (165,5 mg, bm = 184 g/mol) dilarutkan dalam100 ml akuades sampai mencapai konsentrasi 1000 ppm histamin bebas. larutan histamin standar 1000 ppm kemudian diencerkan dengan akuades untuk memperoleh konsentrasi 5, 10, 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm. ekstraksi histamin irisan tipis daging ikan komu ditimbang sebanyak kurang lebih 5 g. sampel dihomogenkan dengan 20 ml larutan nacl 0,85% (b/v) selama 2 menit menggunakan blender. selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge75 ml dan disentrifuge pada 5300 rpm selama 1 jam pada 4°c. supernatan yang terbentuk dibuat menjadi 25 ml dengan larutan nacl 0,85%. ekstrak digunakan untuk analisis selanjutnya. dalam tabung reaksi, 1 ml ekstrak diencerkan menjadi 2 ml dengan larutan nacl 0,85 % dan 0,5 g campuran garam (berisi 6,25 g na2so4 anhidrat yang ditambahkan 1 g na3po4.h2o). tabung dikocok agar tercampur secara merata. kemudian ditambahkan 2 ml n-butanol dan dikocok sekuat mungkin selama 1 menit dan didiamkan selama 2 menit. selanjutnya dikocok sedikit agar terjadi kerusakan pada gel protein. tabung kemudian dikocok lagi beberapa menit dan disentrifuge pada 3100 rpm untuk 10 menit. butanol yang terletak di bagian atas (sekitar 1 ml) dipindahkan ke dalam tabung bersih dan kering. selanjutnya diuapkan menjadi benarbenar kering. residu dilarutkan di dalam 1 ml akuades dan kemudian direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat. analisis secara spektrofotometri di dalam tabung reaksi yang bersih berisi 5 ml larutan na2co3 1,1% ditambahkan perlahan-lahan 2 ml pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan dicampur. kemudian ditambahkan 1 ml larutan residu yang diperoleh dari proses ekstraksi ke dalam tabung. absorbansi dari warna yang dihasilkan diukur secepatnya setelah 5 menit pada panjang gelombang 497,8 nm menggunakan akuades sebagai blanko. konsentrasi histamin dalam sampel diperoleh dari kurva standar untuk pengukuran absorbansi pada 497,8 nm dengan analisis regresi. pembuatan kurva standar sebanyak 1 ml larutan standar histamin (5, 10, 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm) direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 497,8 nm. selanjutnya dibuat kurva absorbansi versus konsentrasi histamin. hasil dan pembahasan analisis kualitatif histamin analisis kualitatif kandungan histamin ditentukan menggunakan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat pada metode ini. warna yang ditimbulkan yang mengindikasikan adanya histamin, yakni timbulnya warna kuning muda hingga orange yang merata dalam larutan. konsentrasi histamin yang semakin tinggi pada sampel akan memperlihatkan intensitas warna yang lebih nyata (gambar 1). intensitas warna yang dihasilkan reaksi antara larutan standar histamin dengn pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dicatat pada 6 konsentrasi berbeda. skala warna referensi dari larutan standar ini dengan konsentrasi berkisar antara 5-80 mg/l dapat digunakan untuk pemeriksaan secara visual terhadap sampel. hal ini memungkinkan analisis lebih cepat dan dapat diterima, serta memungkinkan ada atau tidaknya penggunaan spektrofotometer. intensitas warna yang dihasilkan pada tiap konsentrasi histamin dalam sampel berbanding lurus dengan skala warna referensi dan absorbansi dari histamin standar yang diukur pada panjang gelombang 497,8 nm pada konsentrasi yang sama. analisis kuantitatif histamin analisis kuantitatif kandungan histamin dalam ikan komu (auxis rochei) dilakukan dengan menggunakan metode kurva kalibrasi. kurva kalibrasi pada penentuan histamin dalam percobaan ini dibuat dengan cara mengukur absorbans sederetan larutan standar yang yang nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 320 diketahui konsentrasinya. dari kurva kalibrasi diperoleh persamaan regresi kurva standar yakni, y = 0,005x-0,046 dengan koefisien determinasi r 2 =0,926. gambar 1. sederetan larutan standar komplex histamin dengan konsentrasi dari kiri ke kanan 80, 60, 40, 20, 10 dan 5 ppm hasil analisis kandungan histamin ratarata dalam daging ikan komu (auxis rochei) berdasarkan variasi konsentrasi asam cuka dengan metode spektrofotometri uv-vis dirangkum pada tabel 1. berdasarkan hasil penelitian dengan perlakuan lamanya waktu sampel 10 menit dan variasi konsentrasi asam cuka (ph 5), maka konsentrasi histamin dalam ikan komu yang ditemukan berkisar antara 18,6336-25,9099 mg/100g sampel. konsentrasi tertinggi ditemukan pada sampel ikan komu dengan konsentrasi asam cuka 5%. sementara itu, konsentrasi terendah ditemukan pada sampel ikan komu konsentrasi asam cuka 25%. tabel 1. analisis kandungan histamin ikan komu dalam waktu 10 menit konsentrasi asam cuka (%) konsentrasi histamin (mg/100g) 0 28,0344 5 25,9099 10 20,0408 15 18,9671 20 18,7108 25 18,6336 hasil analisis data pengukuran histamin secara statistika (tabel 2) menunjukkan bahwa kandungan histamin dalam daging ikan komu yang telah direndam selama 10 menit dalam larutan asam cuka 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) dalam penghambatan histamin terhadap daging ikan komu mentah (kontrol). setelah didapat konsentrasi histamin terendah pada asam cuka 25%, selanjutnya dilakukan penelitian dengan konsentrasi tersebut tetapi menggunakan variasi waktu 10 menit, tabel 2. hasil analisis statistika kandungan histamin ikan komu dalam waktu 10 menit perbandingan tingkat signifikan (p) komu kontrol vs komu, asam cuka 5% 0,981 komu, asam cuka 10% 0,181 komu, asam cuka 15% 0,105 komu, asam cuka 20% 0,092 komu, asam cuka 25% 0,088 komu, asam cuka 5% vs komu, asam cuka 10% 0,454 komu, asam cuka 15% 0,292 komu, asam cuka 20% 0,260 komu, asam cuka 25% 0,251 komu, asam cuka 10% vs komu, asam cuka 15% 0,999 komu, asam cuka 20% 0,998 komu, asam cuka 25% 0,997 komu, asam cuka 15% vs komu, asam cuka 20% 1,00 komu, asam cuka 25% 1,00 komu, asam cuka 20% vs komu, asam cuka 25% 1,00 20 menit, dan 30 menit. hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam daging ikan komu (auxis rochei) berdasarkan variasi waktu dengan metode spektrofotometri uv-vis dirangkum pada tabel 3. berdasarkan hasil penelitian dengan konsentrasi asam cuka 25% dengan variasi nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 321 waktu, maka konsentrasi histamin ikan komu ditemukan berkisar antara 15,5246-18,6336 mg/100g sampel. konsentrasi tertinggi ditemukan pada sampel ikan komu dengan waktu rendaman 10 menit, sedangkan konsentrasi terendah ditemukan pada sampel ikan komu dengan waktu rendaman 30 menit. tabel 3. analisis kandungan histamin ikan komu dalam larutan asam cuka 25% waktu (menit) konsentrasi histamin (mg/100g) 10 18,6336 20 16,0550 30 15,5246 hasil analisis data pengukuran histamin secara statistika (tabel 4) menunjukkan bahwa kandungan histamin dalam daging ikan komu 25% dengan variasi waktu perendaman 20 menit dan 30 menit tidak berpengaruh nyata (p>0,05) dalam penghambatan histamin terhadap daging ikan komu dengan waktu perendaman 10 menit. tabel 4. hasil analisis statistika kandungan histamin ikan komu dalam larutan asam cuka 25% perbandingan tingkat signifikansi (p) perendaman 10 menit vs perendaman 20 menit 0,220 perendaman 30 menit 0,134 perendaman 20 menit vs perendaman 30 menit 0,921 proses pembentukan histamin pada ikan sangat ditentukan oleh aktivitas enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri pembentuk histamin. suhu optimum bagi perkembangan bakteri tersebut adalah 20-30 °c. penyebab utama pembusukan oleh bakteri bersumber dari insang. sejalan dengan hal tersebut, seumahu dkk (2009) juga melaporkan kandungan histamin dalam daging ikan berdasarkan pemberian asam asetat dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% menurun dari 51,10 mg/100g menjadi 42,29 mg/100g sampel selama 5 jam. semakin tinggi konsentrasi asam cuka dan semakin lama perendaman, maka kadar histamin ikan komu semakin rendah. hal ini disebabkan karena kandungan histamin dalam daging ikan komu ditentukan berdasarkan pemberian asam cuka. pemberian asam cuka dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa asam cuka yang meresap ke dalam daging ikan komu diduga dapat menghambat reaksi pembentukan histamin oleh enzim melalui proses dekarboksilase. selain itu, penambahan asam cuka pada ikan juga akan menurunkan ph. semakin lama proses perendaman, semakin meningkat pula penetrasi asam cuka ke dalam daging ikan yang direndam. akibatnya rasa daging ikan yang dihasilkan terasa getir asam cukanya dengan bau yang sangat tajam. daya hambat larutan asam cuka terhadap bakteri dan enzim semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi larutan tersebut, namun rasanya semakin tidak disukai. fungsi asam cuka memberikan pengawet dengan menurunkan ph sehingga semua bakteri pembusuk terhambat atau terhenti. namun semakin rendah ph, maka semakin asam pula bau dan rasa daging ikan komu yang dihasilkan. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa kandungan histamin yang terdapat dalam daging ikan komu (auxis rochei) dengan variasi konsentrasi asam cuka 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% dengan waktu perendaman 10 menit adalah 25,9099; 20,0408; 18,9671; 18,7108 dan 18,6336 mg/100g sampel ikan komu. kandungan histamin yang terdapat dalam daging ikan komu dengan variasi waktu 10, 20, dan 30 menit pada konsentrasi asam cuka 25% berturut-turut adalah 18,6336; 16,0550; dan 15,5246 mg/100g sampel ikan komu. semakin tinggi konsentrasi asam cuka dan semakin lama perendaman, menghasilkan kadar histamin ikan komu yang semakin rendah, walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan. daftar pustaka alfred, a. 1998. the effect of delayed icing and gutting on the quality of freshwater arctic charr (salvelinus alpinus l.). iceland: united nation university-fisheries training programe. nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 322 aninomous, 2007. kecil, persentase ekspor perikanan lokal ke cina. http://www.bisnisbali.com/2007/08/10/news/ agrohobi/bi.html. diakses tanggal 14 oktober 2010. aninomous, 2008, ikan, gizi super komplit, http://id.shvoong.com/medicine-and health/1826681-ikan-gizi-super-komplit/. diakses tanggal 12 oktober 2010. aninomous, 2011. auxis rochei rochei (risso,1810), http://fishbase.org.cn. diakses tanggal 8 oktober 2011. bateman, r. c., eldrige, d. b., wade, s., mccoy-messer, j., jester, e. l. e., dan mowdy, d. e. 1994. copper chelation assay for histamine in tuna. j. food sci., 59(3):517-543. borade, p. s., ballary, c. c., dan lee, d. k. c. 2007. a fishy cause of suddennear fatal hypotension; resuscitation, 72:158-160. day, r. a., jr, dan underwood, a. l., 1980, analisis kimia kuantitatif edisi keempat, penerjemah pudjaatmaka, a. h., penerbit erlangga : jakarta. departemen kelautan dan perikanan. 2005. revitalisasi perikanan. jakarta: departemen kelautan dan perikanan republik indonesia. ditjen perikanan tangkap. 2007. statistik perikanan tangkap indonesia 2006.jakarta: direktorat jenderal perikanan tangkap. departemen kelautan dan perikanan. doerge, r. f., wilson, c. o., dan gisvold, o. 1977. textbook of organic medicinal and pharmaceutical chemistry. 7th edition. philadelphia : lippincott. harborne, j. b. 1987. metode fitokimia. terbitan kedua. diterjemahkan oleh k. padmawinata & i. soediro, itb. bandung. haryanti, m. 2010. pengaruh konsentrasi larutan tawas (al2(so4)3.14h2o) terhadap kandungan protein, nitrogen terlarut dan nitrogen non protein pada ikan tongkol. dalam http://digilib.unimus.ac.id. (1 november 2011) henrik hh, dilson m, dan derrick s. 2004. a guide seafood hygiene management. eurofish: the norwegian ministry of fishers and coastae affair and the swiss import promotion programme. huss, h. h. 1994. assurance of sea food quality. fao fisheries technical paper. 334.rome. m-40 isbn 92-5-103446-x, 169 pp. huss, h. h. 1995. quality and changes in fresh fish. fao fisheries technical paper. 348.rome. m-47 isbn 92-5-1035075. junianto. 2003. teknik penanganan ikan. jakarta : penebar swadaya. keer, m., paul, l. dan sylvia, a. 2002. effect of storage condition on histamine formation in fresh and canned tuna. commision by food safety unit. dalam www.foodsafety.vic.gov.au. ( 5 oktober 2011 ) kose, s. dan hall, g. 2000. modification of a colorimetric method for histamine analysis in fish meal, food res. int., 33, 839-845. krızek, m., vacha, f., vorlova, l., lukasova, j. dan cupakova, s. b. 2004. biogenic amines in vacuum-packed and non-vacuum-packed flesh of carp (cyprinus carpio) stored at different temperatures; food chem., 88, 185-191. lakshmanan, r., shakila, r. j. dan jeyasekaran, g. 2002. survival of amineforming bacteria during the ice storage of fish and shrimp, food microbiology, 19, 617-625. martin re, flick gj, hebard ce dan ward dr. 1982. chemistry and biochemistry of marine food products. united states: avi publishing company, inc. mulja, h. m. dan suharman. 1995. analisis instrumental. airlangga universit y press : surabaya. nelson, j. s. 2006. the fishes of the world. jhon wiley and sons inc : new york. patange, s.b., mukundan, m.k. dan kumar, k. ashok. 2005. a simple and rapid method for colorimetric determination of histamine in fish flesh, food control, 16(5), 465-472. peristiwady, t. 2006. ikan-ikan laut ekonomis penting di indonesia. petunjuk identifikasi. penerbit lipi press. jakarta. setiyono, i.k. 2006. factors affecting histamine level in indonesian canned albacore tuna (thunnus alalunga). tesis. departemen of marine biotechnology. university of tromse. norway. seumahu, c.a., hattu, n. dan fransina, e.g. 2009. analisis kandungan histamin sebagai bioindikator kualitas dan http://www.bisnisbali.com/2007/08/10/news/agrohobi/bi.html http://www.bisnisbali.com/2007/08/10/news/agrohobi/bi.html http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1826681-ikan-gizi-super-komplit/ http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1826681-ikan-gizi-super-komplit/ http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1826681-ikan-gizi-super-komplit/ http://fishbase.org.cn/ http://digilib.unimus.ac.id/ http://digilib.unimus.ac.id/ http://www.foodsafety.vic.gov.au/ nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 317-323 323 keamanan pangan produk perikanan pada ikan jenis scombridae berdasarkan modifikasi metode spektrofotometri, laporan penelitian hibah bersaing 2010, universitas pattimura. shalaby, a. r. 1996. significance of biogenic amines to food safety and human health. food res.int., 29(7): 675-690. suharna, c. 2006. kajian sistem manajemen mutu pada pengolahan “ikan jambal roti” di pangandaran – kabupaten ciamis. tesis, program studi manajemen sumberdaya pantai, program pascasarjana universitas diponegoro. semarang. sumner j, ross t, ababouch l. 2004. application of risk assessment in the fish industry. roma: fao. suryanti, wikanta, t. dan indriati, n. 2006. kandungan histamin pada beberapa produk hasil perikanan, pusat riset pengolahan produk dan sosial ekonomi departemen kelautan dan perikanan. taylor, s. l. 1986. histamine food poisoning : toxicology and clinical aspects. critical review in toxicology. 17: 91-128. tsai, y.h., kung, h.f., lee, t.m., chen, h.c., chou, s.s., wei, c.i. dan hwang, d.f. 2005. determination of histamine in canned mackerel implicated in a food borne poisoning, food control, 16(7): 579-585. wicaksono, dhias. 2009. asesmen risiko histamin selama proses pengolahan pada industri tuna loin. skripsi. program studi teknologi hasil perikanan, fakultas perikanan dan ilmu kelautan, institut pertanian bogor. winarno, f. g. 1983. enzim pangan. penerbit gramedia. jakarta. wudianto, m., agustinus., dan p. anung. 2007. memancing di perairan tawar dan di laut. penebar swadaya. jakarta. 125 hlm. yeh, c.y., lin, s.j. dan hwang, d.f. 2006. biogenic amines, histamine and label of dressed fried fish meat products in taiwan, food control, 17: 423–428. indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 37 produksi dag dari virgin coconut oil (vco) melalui reaksi trans-esterifikasi menggunakan enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) spesifik c18-20 terimobilisasi karbon aktif sebagai biokatalis dag production of virgin coconut oil (vco) through the trans-esterification reaction using the enzyme lipase from rice bran (oryza sativa l.) specific c18-20 immobiled of the activated carbon as catalyst seniwati dali 1 , firdaus 1 hendra j. rusman 1* 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university jl. perintis kemerdekaan km. 10, tamalanrea indah, makassar, 90245indonesia * corresponding author, e-mail: hendrarusmanlipase@gmail.com received: june 2017 published: july 2017 abstract this research aims to produce dag of the vco through the substrate reaction of trans-esterification using lipase enzymes specifically c18-20 from rice bran (oryza sativa l.) immobile of activated carbon as a catalyst. phases of this research starts with the enzyme lipase do immobile using activated carbon; next enzymes of immobile used to produce dag through the trans-esterification reaction using a vco as a substrate and methanol as co-substrate; dag and methyl ester produced identified using ftir instrument and gc-ms instruments. the results showed that there were three compounds dag and three compound methyl ester produced trans-esterification reaction, namely (1) 1-laurin, 3-kaproin esters of glycerol; (2) 2-laurin, 3-kaprilin esters of glycerol; (3) 1-laurin, 3-kaprilin esters of glycerol; (4) methyl ester oleic; (5) methyl ester stearic acids; and (6) methyl ester arachidat. keywords: vco, dag, rice bran lipase specifically c18-20, trans-esterification pendahuluan virgin coconut oil (vco) merupakan minyak dengan kadar asam lemak bebas yang rendah yaitu 0,0002% dan didominasi oleh asam lemak rantai sedang (c10-16) seperti asam laurat, asam kaprat, asam palmitat, asam palmitooleat, asam kaprilat, dan asam kaproat dengan total persentase sekitar 88,7% sedangkan asam lemak rantai panjang (c18-20) seperti asam oleat, asam stearat, asam linoleat, asam linolenat, dan asam arachidat hanya sekitar 11,3%. vco dapat dikonversi menjadi mag, dag, asam lemak, metil ester asam lemak, dan gliserol (prakosa, 2010, mappriratu dan irijana, 2010). dag merupakan salah satu hasil konversi vco yang dapat dimetabolisme secara efisien oleh tubuh sebagai sumber energi sehingga dapat mencegah akumulasi lemak tubuh (body fat); selain itu, dag dapat menurunkan low density lipoprotein (ldl), triasilgliserol (tag) dan inhibitor plasminogen; serta dapat dicampur dengan monoasilgliserol (mag) yang digunakan sebagai surfaktan makanan dan anti mikroba terutama yang mengandung asam lemak rantai sedang (dwiyuni, 2006). dag dapat diproduksi dari vco dengan cara hidrolisis atau trans-esterifikasi menggunakan metode kimiawi maupun enzimatik. namun produksi dag menggunakan metode kimiawi memiliki kelemahan yaitu membutuhkan suhu dan tekanan yang tinggi (widodo, 2009, rahardja dkk., 2011, lestari dkk., 2012). dengan demikian, metode enzimatik adalah alternaitif yang baik dalam memproduksi dag. penggunaan metode enzimatik di dalam memproduksi dag dari vco umumnya menggunakan lipase mikrobial spesifik 2 imobil akan tetapi, lipase mikrobial umumnya mailto:hendrarusmanlipase@gmail.com seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 38 mempunyai harga yang relatif mahal (kurnia, 2010). kondisi ini disebabkan proses isolasi yang relatif rumit dan waktu yang diperlukan relatif lama. dengan demikian maka diperlukan enzim lipase selain mikrobial dan salah satu enzim lipase yang berpotensi untuk mengkatalisis vco menjadi dag adalah enzim lipase spesifik c18-20 dari dedak padi (oryza sativa l.) yang telah diimobilisasi (dharsono dan oktari, 2010, wahyuningsih dkk., 2011). alasan penggunaan enzim ini adalah (1) vco merupakan minyak yang umumnya tersusun dari asam lemak rantai sedang (c1016) (prakosa, 2009, edahwati, 2011) sehingga enzim lipase dedak padi cenderung untuk mengkatalisis reaksi hidrolisis dan transesterifikasi pada asam lemak rantai panjang yang terikat pada tag, dengan demikian maka produk yang dihasilkan dari reaksi trans-esterifikasi umumnya merupakan metil ester asam lemak (meal) dan diasilgliserol (dag) (arvian dkk., 2009, khadimah dkk., 2011, suharyanto dkk., 2011), (2) biaya yang diperlukan untuk produksi enzim relatif murah (wahyuningsih et.al., 2011), serta (3) enzim lipase imobil umumnya menghasilkan produk dengan tingkat kemurnian yang tinggi karena memiliki spesifitas reaksi dan mudah dipisahkan dari produk (seniwati, 2010). metodologi bahan bahan yang digunakan yaitu : lipase dedak padi (oryza sativa l), buffer fosfat ph 6,5; karbon aktif, vco (virgin coconut oil), na2so4 p.a (merck), kloroform p.a (merck), dan metanol p.a (merck). alat alat yang digunakan yaitu, alat-alat instrumen: instrumen ftir (shimadzu model ir prestige-21 ), instrumen gc-ms (zhimadzu model qp-2010 plus), neraca analitik (acculab), oven, blender, hot plate stirrer (vella), shaker incubator (bl barnstead/lab-line max q 4000), seperangkat alat destilasi, pipet volume, corong buchner, mikropipet, dan alat-alat gelas (pyrex) yang terdiri dari : gelas ukur, gelas kimia, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet volume, dan pipet tetes. prosedur kerja 15 gram vco ditambahkan dengan 7,5 ml metanol dan 7,5 gram enzim imobil kemudian diinkubasi selama 6 jam pada suhu 50 o c; selanjutnya dilakukan ekstraksi produk menggunakan 25 ml kloroform, didinginkan, dan disaring; selanjutnya, dilakukan evaporasi pelarut pada suhu 65 0 c. fase minyak yang diperoleh dilarutkan kembali di dalam 50 ml n-heksana kemudian dicuci dengan 2 kali 25 ml aquades dan dipisahkan menggunakan corong pisah; selanjutnya dikeringkan dengan na2so4 anhidrat dan dilakukan evaporasi pelarut pada suhu 55 0 c; selanjutnya dilakukan analisis kualitatif menggunakan instrumen ftir dan gc-ms. hasil dan pembahasan identifikasi senyawa hasil katalisis menggunakan instrumen ftir identifikasi senyawa hasil katalisis menggunakan instrumen ftir bertujuan untuk mengetahui hasil produksi dag melalui trans-esterifikasi berdasarkan gugus fungsi. pita serapan yang menujukkan adanya senyawa hasil katalisis enzim lipase dapat dilihat pada gambar 1. seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 39 gambar 1. pita serapan senyawa hasil katalisis enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) spesifik c18-20 berdasarkan hasil identifikasi menggunakan instrumen ftir, senyawa hasil katalisis reaksi trans-esterifikasi diduga merupakan metil ester asam lemak sebagai produk utama dan asil gliserol sebagai produk samping. senyawa metil ester asam lemak teridentifikasi daerah bilangan gelombang 1747,51 cm -1 yang merupakan pita serapan c=o karbonil ester kemudian diperkuat di daerah bilangan gelombang 1228,66 cm -1 yang merupakan pita serapan o=c-o; serta pita serapan ch3 yang terdapat di daerah bilangan gelombang 1375,25 cm -1 dan 1462,04 cm -1 ; asam lemak jenuh teridentifikasi pada daerah bilangan gelombang 2852,72 cm -1 dan 2924,09 cm -1 yang merupakan pita serapan c-h sp 3 ; sedangkan asam lemak tak jenuh teridentifikasi pada daerah bilangan gelombang 1625,99 cm -1 yang merupakan pita serapan c=c kemudian diperkuat dengan pita serapan hc=ch cis yang terdapat pada daerah bilangan gelombang 723,31 cm -1 dan pita serapan hc=ch trans yang terdapat pada daerah bilangan gelombang 964,41 cm -1 ; senyawa asil gliserol teridentifikasi pada pita serapan ester dan asam lemak kemudian diperkuat dengan adanya c-o sekunder yang terdapat pada daerah bilangan gelombang 1111,00 cm -1 ; dan pita serapan oh bebas yang terdapat di daerah bilangan gelombang 3471,87 cm -1 . identifikasi senyawa hasil katalisis menggunakan instrumen gc-ms identifikasi senyawa hasil katalisis menggunakan instrumen gc-ms bertujuan untuk mengetahui senyawa produk hasil transesterifikasi berdasarkan fragmen-fragmen senyawa yang terdapat pada spektrum ms hasil identifikasi senyawa menggunakan instrumen gc-ms dapat dilihat pada gambar 2. gambar 2. kromatogram sampel hasil katalisis menggunakan substrat virgin coconut oil (vco) berdasarkan hasil kromatogram gc sampel dapat diketahui bahwa terdapat 23 senyawa yang terkandung di dalam substrat vco, akan tetapi, beberapa spektrum ms yang dihasilkan menunjukkan adanya senyawa dag dan metil ester asam lemak rantai panjang (c18-20). adanya senyawa tersebut diketahui berdasarkan fragmentasi yang dapat dilihat pada beberapa spektrum ms. 10 15 20 25 30 waktu retensi (menit) 5 seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 40 senyawa yang terdapat pada peak 9 teridentifikasi merupakan senyawa metil ester oleat. adanya senyawa tersebut ditandai dengan munculnya peak m/z=74 yang merupakan hasil fragmentasi melalui mekanisme mclafferty dengan melepaskan senyawa c16h30 dan peak m/z= 264 yang merupakan hasil pelepasan senyawa ch3oh. spektrum ms ini dapat dilihat pada gamber 3, dan mekanisme fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada gambar 4. gambar 3. spektrum ms metil ester oleat gambar 4. mekanisme fragmentasi metil ester oleat senyawa yang terdapat pada peak 10 teridentifikasi merupakan senyawa metil ester stearat. adanya senyawa metil ester stearat sebagai hasil katalisis ditandai dengan munculnya peak m/z=74 yang merupakan hasil fragmentasi melalui mekanisme mclafferty dengan melepaskan senyawa c16h32 dan peak m/z= 255 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c3h7. spektrum ms senyawa ini dapat dilihat pada gambar 5 dan mekanisme fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada gambar 6. seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 41 gambar 5. spektrum ms metil ester stearat gambar 6. mekanisme fragmentasi metil ester stearat senyawa yang terdapat pada peak 15 teridentifikasi merupakan metil ester arachidat. adanya senyawa tersebut ditandai dengan munculnya peak m/z= 74 yang merupakan hasil fragmentasi melalui mekanisme mclafferty dengan melepaskan c18h36 dan m/z= 283 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c3h7. spektrum ms senyawa ini dapat dilihat pada gambar 7 dan mekanisme pola fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada gambar 8. gambar 7. spektrum ms metil ester arachidat seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 42 gambar 8. mekanisme fragmentasi metil ester arachidat senyawa yang terdapat pada peak 19 teridentifikasi sebagai 1-laurin, 3-kaproin diasilgliserol. adanya senyawa ini ditandai dengan munculnya peak m/z= 173 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c12h24o2 yang dilanjutkan dengan fragmentasi hingga mencapai m/z= 99 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c3h6o2 dan m/z=183 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c8h15o4. spektrum ms senyawa ini dapat dilihat pada gambar 9 dan mekanisme pola fragmentasi dapat dilihat pada gambar 10. gambar 9. spektrum ms 1-laurin, 3-kaproin diasilgliserol gambar 10. mekanisme fragmentasi 1-laurin, 3-kaproin diasilgliserol senyawa yang terdapat pada peak 21 teridentifikasi sebagai 2-laurin, 3-kaprilin diasilgliserol. adanya senyawa ini ditandai dengan munculnya peak m/z= 201 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c12h22o2, m/z= 183 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c11h21o4, dan m/z= 127 yang merupakan pelepasan senyawa c15h28o4. spektrum ms senyawa ini dapat dilihat pada gambar 11 dan mekanisme fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada gambar 12. seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 43 gambar 11. spektrum ms 2-laurin, 3-kaproin diasilgliserol gambar 12. mekanisme fragmentasi 2-laurin, 3-kaproin diasilgliserol senyawa yang terdapat pada peak 22 teridentifikasi sebagai, 1-laurin, 3-kaprilin diasilgliserol. adanya senyawa ini ditandai dengan munculnya peak m/z= 201 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c12h23o2 dilanjutkan dengan pelepasan ch2 hingga memunculkan peak m/z= 187, m/z= 183 yang merupakan hasil pelepasan senyawa c11h21o4, dan m/z= 127 yang merupakan pelepasan senyawa c15h28o4. spektrum ms senyawa ini dapat dilihat pada gambar 13 dan mekanisme fragmentasi selengkapnya dapat dilihat pada gambar 14. gambar 13. spektrum ms 1-laurin, 3-kaprilin diasilgliserol seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 44 gambar 14. mekanisme fragmentasi 1-laurin, 3-kaprilin diasilgliserol tabel 1. hasil analisis spektrum ms hasil produksi dag melalui reaksi trans-esterifikasi no. peak waktu retensi (tr) area (%) fragmentasi (m/z) senyawa hasil identifikasi 9. 21,055 2,27 296 (m+), 281, 264, 239, 222, 208, 207, 179, 165, 157, 151, 143,137, 129, 123, 115,101, 97, 95, 87, 83, 81, 74, 69, 55, 43, 41 metil ester oleat 10, 21,469 7,53 298 (m+), 255, 241, 227, 213, 188, 185, 181, 171, 157, 153, 143, 129, 125, 115, 101, 97, 87, 83, 69, 55, 43, 41 metil ester stearat 15. 24,151 1,53 326 (m+), 283, 255, 241, 227, 213, 209, 199, 185, 181, 171, 157, 153, 143, 129, 125, 115, 101, 97, 87, 83, 74, 69, 55, 43, 41 metil ester arachidat 19. 27,482 1,65 372 (m+), 183, 173, 159, 141, 129, 113, 99, 85, 71, 57, 43 1-laurin, 3-kaproin diasilgliserol 21. 30,650 5,30 400 (m+), 201, 183, 127, 85, 71, 57, 43 2-laurin, 3-kaprilin diasilgliserol 22. 31,157 14,80 400 (m+), 201, 187, 183, 127, 85, 71, 57, 43 1-laurin, 3-kaprilin diasilgliserol berdasarkan hasil identifikasi menggunakan instrumen ftir dan gc-ms menunjukkan bahwa penggunaan enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) spesifik c18-20 sebagai biokatalis di dalam memproduksi dag tidak menunjukkan adanya mag dan metil ester asam lemak rantai pendek (c1-8) dan metil ester asam lemak rantai sedang (c10-16) sebagai produk campuran sehingga enzim ini sangat di dalam penggunaannya untuk mengkatalisis substrat vco menjadi dag. dag hasil produksi dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba karena didominasi oleh asam laurat. reaksi katalitik enzim lipase tersebut dapat dilihat pada gambar 15. seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 45 gambar 15. reaksi enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) spesifik c18-20 di dalam mengkatalisis substrat vco menjadi dag kesimpulan berdasarkan hasil analisis menggunakan ftir dan gc-ms dapat diketahui produksi dag dari vco menggunakan enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) spesifik c18-20 sebagai biokatalis menghasilkan tiga senyawa dag dan tiga senyawa metil ester yang dihasilkan reaksi trans-esterifikasi yaitu (1) 1-laurin, 3-heksanoin ester gliserol, (2) 2-laurin, 3-oktanoin ester gliserol, (3) 1-laurin, 3-heksanoin ester gliserol, (4) metil ester oleat, (5) metil ester stearate, dan (6) metil ester arachidat. daftar pustaka arvian f., yulianto m.e., hari s., mulikin h., yuariski o., 2009, pengembangan proses enzimatik untuk produksi biodiesel dari minyak biji karet, simposium nasional rapi viii 2009, issn: 1412-9612. dharsono w., oktari y.s., 2010, pembuatan biodiesel dari dedak padi dan metanol dengan esterifikasi in situ, skripsi, universitas diponegoro, semarang. dwiyuni m., 2006, kajian sifat fisikokimia ekstraksi minyak kelapa murni (virgin coconut oil, vco) dengan metode pembekuan krim santan, skripsi, institut pertanian bogor, bogor. edahwati l., aplikasi penggunaan enzim papain dan bromelin terhadap perolehan vco, upn press, isbn: 978-602-8915-26-6, 2011. khadimah n., argo b.d., susilo b., 2014, konversi minyak nyamplung menjadi biodiesel menggunakan enzim lipase candida rugosa, proceeding seminar nasional, teknologi praktisdalam upaya konservasi air dan energi, jurusan teknik lingkungan, universitas lambung mangkurat, isbn 978-602-9092-64-6. kurnia, 2010, produksi enzim lipase dari aspergullus niger untuk menghasilkan monoasilgliserol, tesis, universitas diponegoro, semarang. lestari s.p., harjono; supartono, 2012, sintesis askorbil-laurat melalui reaksi esterifikasi dengan katalis enzim lipase, idn.j. chem sci. 1 (2) (2012). mappiratu, ijirana, 2010, penelitian pembuatan metil ester asam lemak rantai sedang dan rantai panjang serta pemurnian gliserol dari minyak kelapa murni, jurnal penelitian hasil hutan vol. 28 no. 4, desember 2010: 415-426. prakosa a.h., 2009, pembuatan minyak kelapa murni (virgin coconut oil) menggunakan fermentasi ragi tempe, skripsi, jurusan teknik kimia, fakultas teknik, universitas sebelas maret, surakarta. seniwati, 2010, studi enzim lipase dari aspergillus oryzae pada kopra berjamur dan pemanfaatannya dalam menghidrolisis minyak kelapa menjadi dag, disertasi, universitas hassanudin, makassar. suharyanto, panji-t, perwitasari u., optimasi produksi diasilgliserol dari seniwati dali dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 37-46 46 crude palm oil menggunakan lipase spesifik 1-3 gliserida dari rhizopus oryzae tp-2, balai penelitian bioteknologi. perkebunan, menara perkebunan 2011, 79(1), 23-29. wahyuningsih; pudjiastuti i; kusumianti h, 2011, asidolisis enzimatik minyak ikan tuna (thunnus thynnus) menjadi produk asam lemak kaya omega-3 dengan pemanfaatan lipase getah pepaya (carica papaya latex), hasil penelitian ttg hibah bersaing melalui sk dekan no 304/sk/un7.3.3/iv/2011, dipa fakultas teknik, universitas diponegoro, semarang. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 88 92 88 application of spons callispongia sp origin of halong water (ambon bay) as biomonitoring contamination trace metals pb,cr,cr and zn pemanfaatan spons lawang callispongia sp yang berasal dari perairan halong (teluk ambon) sebagai biomonitoring kontaminasi unsur runut pb,cr,cr dan zn a. netty siahaya 1* , alfian noor 2 , nunuk h. soekamto 2 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author e-mail: anets@fmipa.unpatti.ac.id received: september 2013 published: january 2014 abstract the purpose of research it is cycles how knowing cycle trace metals pb, cd, cr and zn in callispongia sp, sediment and water. techniques of the analysis of trace metals use icp-oes ((inductively coupled plasma optical emission spectroscopy). analysis dramatic of the relationship between sponge significant sediment and water show that highest trace metal is zn to callispongia sp (6.250 mg/kg dry weight), sediment (0.750 ppm and water 0.790 ppm) keywords: callispongia sp, trace element, water, sediment, sponge pendahuluan perairan teluk ambon merupakan perairan pesisir yang secara administrasi merupakan wilayah ibu kota propinsi maluku, disamping itu wilayah ini secara topografi merupakan wilayah yang relatif terjal lebih kurang 186.900 km 2 dengan kemiringan 17% dari luas wilayah daratan. kondisi topografi dari kota ambon tersebut memperlihatkan pemanfaatan lahan bagian atas yang terbatas untuk berbagai kepentingan seperti pemukiman, akan berdampak pada tekanan ekologis perairan teluk ambon (pelasula, 2009). perairan teluk ambon memiliki multi fungsi yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan pangkalan tni angkatan laut dan polairud, pelabuhan kapal pelni, kapal tradisional dari dan keluar ambon dan dermaga fery penyebrangan, pelabuhan perikanan, dok pertamina, dermaga tempat perbaikan kapal, tempat rekreasi dan olahraga, tempat pembuangan limbah air panas oleh pln, sehingga kawasan perairan teluk ambon sangat rentan mengalami perubahan lingkungan karena setiap aktivitas akan menghasilkan limbah satunya adalah limbah logam. perairan teluk ambon bagian dari pulau ambon secara umum di kelilingi oleh terumbu karang dimana tipe terumbu karang pantai (fringing reef) yang tumbuh memanjang menyusuri garis pantai pada bagian utara dan selatan teluk (leatemia,1996 ). spons merupakan hewan multiseluler yang paling primitif, dimana habitat hewan ini hidupnya di terumbu karang (berquist,1978 dalam rao,2006). spons memiliki sifat dasar yang ideal yaitu dapat mengakumulasi logam berdasarkan pola makan (filter feeder) dan juga juga memiliki kemampuan menyaring 80% kandungan partikel terlarut di perairan (james bell,2008). karena spons tidak memiliki syaraf, pencernaan makanan atau sistem peredaran darah, maka spons tersebut mengandalkan aliran air yang konstan melalui pori untuk mendapatkan makanan dan oksigen. sekitar 5.000-10.000 jenis spons hidup dengan sumber makanan utamanya adalah dari bakteri, dan sebaliknya bakteri menggunakan spons sebagai tempat perlindungan dan sumber oksigen (grand, 2011). spons juga telah lama a.n. siahaya, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 88 92 89 menjadi pusat perhatian ilmuwan dari berbagai negara untuk dipakai sebagai biomonitoring logam karena kemampuan untuk mengakumulasi logam (cebrian et al,2003.; hansen et al.1995 ; olesen dan weeks,1994 ; patel et al, 1985 ; perez et al,2005) spons jenis crambe crambe dapat digunakan sebagai biomonitor untuk kontaminasi polutan di perairan. spons jenis ini dapat mengakumulasi tembaga (cu), timbal (pb) dan vanadium (v) yang terdapat dalam jaringan dibandingkan dengan wilayah kontrol jauh lebih tinggi. selain itu, pengaruh polutan juga dapat dilihat dengan adanya respons pada pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup spons tersebut (cebrian, et al.,2003) spons jenis petrosia tertudinaria digunakan sebagai biomarker untuk mendeteksi kandungan logam berat pada daerah perairan pantai (0,5-1 km) dan lepas pantai (5-7 km) di teluk mannar, india. dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa spons yang terdapat pada daerah pesisir mengandung konsentrasi logam berat dengan konsentrasi 0,1364 kali lebih besar dibandingkan dengan pada lepas pantai (rao et al, 2006). kemampuan spons dalam mengakumulasi logam berat merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui sebagai salah satu pedoman dalam menetapkan status pencemaran di suatu kawasan perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang, dimana kawasan ini merupakan habitat hidup dari spons. hal ini sejalan dengan pendapat darmono,1995, munir dkk, 2005 dan rejomon dkk 2007 bahwa kandungan logam dalam biota perairan umumnya bertambah dari waktu ke waktu karena logam bersifat bioakumulasi, sehingga keberadaan spons di perairan halong dapat dimanfaatkan untuk mengetahui siklus logam berat pb, cd, cr dan zn dalam spons jenis callispongia sp, sedimen dan air di perairan halong (teluk ambon). metodologi bahan bahan penelitian yang diperlukan adalah : spons dari perairan halong,teluk ambon. aseton (merck), hno3 (p.a), aqubidest dan kertas saring whatman. prosedur penelitian sampel sponge diambil dengan cara penyelaman. setiap pengambilan dibersihkan dan di foto kemudian ditempatkan pada kantong plastik dan dimasukkan pada box ice, selanjutnya sampel yang akan digunakan dipisahkan untuk penentuan akumulasi logam berat pada sponge secara total dan pada bagian rangka. sampel ditimbang dengan teliti sebanyak 0,5 g dalam gelas kimia ditambahkan 5 ml hno3 kemudian dipanaskan pada suhu 150 o c selama 2 jam, sampel yang telah dipanaskan didinginkan pada suhu kamar, setelah itu dimasukkan dalam labu takar 25 ml, kemudian ditepatkan volumenya dengan aquabides dikocok sampai homogen dan disaring dengan kertas saring whatman dan larutan siap dianalisis dengan icpoes perkin 3000. contoh air diambil pada dasar perairan, contoh air tersebut segera disaring dengan kertas saring selulosa nitrat (0,45um) yang sebelumnya di cuci dengan 1n hno3. setelah itu diawetkan dengan hno3 5%. contoh air 250 ml dimasukkan dalam corong pisah teflon, kemudian diekstraksi dengan apdcnaddc/mibk. fase organiknya diekstraksi kembali dengan hno3 5% larutan di saring kembali dan siap di analisis dengan icp-oes perkim 3000 contoh sedimen diambil dari dasar perairan dengan sendok van de graff, disimpan dalam botol poli etilen dibawa ke laboratorium, selanjutnya contoh sedimen dimasukkan dalam beker teflon dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o c, setelah kering dibilas 3 kali dengan aqubidest kemudian dikeringkan kembali. sebanyak 5 g contoh didestruksi dalam beker teflon dengan hno3/hcl (1:3) pada suhu 100 o c selama 8 jam. setelah itu larutan saring , filtrat siap dianalisis dengan icp-oes perkin 3000. hasil dan pembahasan a. keadaan umum lokasi pengambilan sampel di lakukan pad minggu ke 4 bulan juli 2011. sampel diambil pada pada pukul 10.30. 12.30 wit. keadaan cuaca pada saat pengambilan mendung. sampel berupa spons callispongia sp dengan berat basah 500 mg di ambil pada perairan halong dimana lokasi ini dekat dengan armada tni angkatan laut, muara sungai, dermaga penyebrangan fery dan pemukiman penduduk. kondisi perairan kadar air, kadar abu dan biomassa pada spons callispongia sp dapat dilihat pada tabel 1. a.n. siahaya, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 88 92 90 dari data pada tabel 1 memperlihatkan kondisi perairan halong relatif sesuai dengan kondisi perairan laut pada umumnya dimana suhu air berkisar 2830 o c dan ph berkisar 6-7, dan salinitas 30o/oo dimana spons tumbuh dengan baik pada kondisi perairan tropis dan subtropics dengan sebaran vertical pada terumbu karang pada daerah surut terendah sampai kedalam kurang 30 meter (manuputty, 2002). data air, kadar abu dan biomassa merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam menganalisis kandungan logam yang terakumulasi dalam suatu sampel biologi (darmono,1995) dengan demikian dari tabel 1 memperlihatkan kadar air, kadar abu dan biomassa total dari spons callispongia sp yang berasal dari perairan teluk ambon. b. kandungan logam pada spons callispongia sp hasil analisis kadar logam pb,cd,cr dan zn yang terakumulasi pada spons callispongia sp di parairan halong dapat dilihat pada tabel 2. gambar 1. diagram kadar logam dalam spons pada lokasi penelitian dari data pada tabel 2 dan diterjemahkan pada gambar 1 mempelihatkan kandung kadar logam yang terakumulasi dalam callipongia sp dilihat dari logamnya maka kadar logam yang tertinggi adalah zn (9.560 mg/kg berat kering) dan yang terendah adalah pb (0.079) mg/kg berat kering) yang mana akumulasi yang diambil diposisi jaringan dengan alasan bahwa pada transpormasi kandungan logam dalam tubuh makluk hidup terjadi pada jaringan (daromon,1995), sementara itu dalam tubuh spons secara analitik sulit membedakan jaringan karena spons termasuk hewan primitif yang tidak memiliki organ yang sempurna seperti hewan pada umumnya sehingga digunakan total kadar logam versus rangka diperoleh hasil kadar logam dalam jaringan. berdasarkan data dari tabel 2 dan diagram dari gambar 1 memperlihatkan mekanisme akumulasi logam yang tertinggi adalah zn, hal ini dapat terjadi karena logam ini merupakan salah satu logam essensil yang sangat diperlukan oleh tubuh makluk hidup dalam proses enzimatik (darmono,1995). hasil analisis kadungan logam pb,cd,cr yang terakumulasi dalam jaringan spons disebabkan karena adanya aktivitas manusia yang tinggi di perairan halong, dimana ketiga logam ini bersumber dari darat maupun dari laut sendiri, karena dekat dengan anak sungai disamping itu adanya pelabuhan penyebrang fery dan pangkalan tni angkatan laut. pada lokasi ini juga adanya aktivitas lain yang meningkatkan kandungan logam yaitu lokasi ini dekat dengan pltd yang menggunakan air pendingin mesin 0 10 20 pb cd cr zn spons mg/ kg berat kering total spons mg/ kg berat kering rangka a.n. siahaya, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 88 92 91 yang digunakan pada generator yang dibuang bersamaan dengan sisa-sisa pembakaran bahan bakar ke perairan, adanya aktivitas pada galangan kapal dimana penggunaan cat-cat yang digunakan pada kapal sebagai anti karat. di samping itu pemukiman penduduk dan daerah perkantoran serta sekolah yang berada di sepanjang pesisir perairan halong, dimana aktivitas yang penduduk membuang sampah di sebarang tempat, berupa kaleng-kaleng bekas, bateri dll yang dibuang ke sungai dan pada akhirnya bermuara di perairan halong, fardias (1997) ketiga logam tersebut digunakan dalam industri besi, baja, kertas,keramik, gelas dan cat sebagai penghambat korosi. a. kadar logam pb,cd, cr , zn pada jaringan spons, air dan sedimen hasil analisis kandungan logam pb,cd,cr dan zn dalam spons, air dan sedimen pada perairan halong dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. kadar logam pb,cd, cr , zn dalam spons, air dan sedimen perairan halong logam air sedimen jaringan pb 0.045 0.3 0.079 cd 0.005 0.009 0.311 cr 0.201 0.021 0.597 zn 0.75 0.5 9.56 hasil analisis kandungan logam yang diperlihatkan pada diagram gambar 2 memberikan gambaran bahwa siklus kandungan logam pb ,cr, cr dan zn yang ada di perairan halong pada tiga kompartemen yaitu air, sedimen dan spons callispongia sp, memperlihatkan transformasi logam dari air, terjerap pada sedimen dalam proses pertukaran kation hal ini dapat terjadi karena sedimen yang sebagian besar mengandung silika bertukar tempat dengan valensi logam selanjutnya mengalami biotransformasi dan bioakumulasi dalam spons callispongia sp. hubungan antara jumlah adsorpsi logam dan kadar logam dalam air dan sedimen memperlihatkan secara proporsional, dimana kenaikkan kandungan logam dalam jaringan sesuai dengan kandungan logam dalam air dan sedimen. kesimpulan berdasarkan hasil analisis kadar logam pb, cd, cr, dan zn dengan menggunakan icp-oes memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara tiga kompartemen dalam siklus logam tersebut dalam spons callispongia sp, sedimen dan air di perairan halong, teluk ambon. daftar pustaka andrew j. forester 1999. the association between the spongehalichondria panacea (pallas) and scallop chlamys varza(l.): a commensal-protective mutualism.journal marine ecology biology. vol.36. p 1-10 0 5 10 15 20 25 air sedimen jaringan zn cr cd pb zn cr cd pb gambar 2. diagram kadar logam dalam air dan sedimen pada lokasi penelitian a.n. siahaya, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 88 92 92 bell,j.j.,2001.the ecology sponges at lough hyne marine natural reseve, phd, thesis, university college cork,ireland bell,j.j.,2007.contrasting patterns of species and functional composition for coral reef sponge assemblages. marine ecology progress. p 73-81 bell.j.j.,smith,d, 2004.ecology of sponges in the wakatobi region,south-eastern sulawesi – indonesia:richness and abudance.journal of marine biological associations kingdom. p1199-1208 bremer,j.,rogers,sj.frid,c.l.j,2003. assesing functional diversity in marine benthic ecosystems. journal marine ecology progress. p 11-25 darmono,1095. logam dalam sisitem lingkungan hidup, universitas indonesia fardias s, 1997. dampak polutan terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia. jurnal lingkungan dan pembangunan, vol.11 indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 114-1196 1 114 serbuk gergaji kayu jati teraktivasi edta sebagai penjerap ion tembaga (ii) dan krom (iii) teak sawdust activated by edta for adsorption of copper (ii) and chromium (iii) ions irdhawati*, ni nyoman triyunita sinthadevi, emmy sahara department of chemistry, faculty of mathematic and natural science, udayana university, kampus bukit jimbaran bali 80361 indonesia *corresponding author, e-mail: irdhawati@unud.ac.id received: oct. 2019 published: jan. 2020 abstract teak sawdust is a waste of the furniture industry. the main compound content is cellulose, which contains hydroxyl groups so that can be used as adsorbent. this work aims to determine adsorption capacity and isotherm adsorption pattern of teak sawdust activated by edta for copper (ii) dan chromium (iii) ions. some parameters were optimized including the ratio of adsorbent and edta, and contact time. the results showed the optimum ratio of teak sawdust and edta was 2:3, and the optimum contact time was 105 minutes. both of isoterm adsorption patterns of teak sawdust to cu (ii) and cr (iii) ions follow the freundlich equation, with determination coefficient close to one. optimum adsorption capacity was obtained 46.5 and 39.7 mg/g for cu (ii) and cr (iii), respectively. keywords: adsorbent, adsorption capacity, copper (ii) ion, chromium (iii) ion, teak sawdust. pendahuluan perkembangan industri di indonesia sangat pesat, sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan meningkat akibat belum adanya pengolahan limbah secara benar oleh pihak industri, khususnya limbah cair. limbah cair dari beberapa industri seperti industri zat warna tekstil, cat, dan metalurgi, dapat menyebabkan pencemaran air oleh logam-logam berat, khususnya logam cu(ii). logam cu(ii) akan memberikan efek toksik pada organisme apabila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang melebihi batas toleransi organisme tersebut. terlalu banyak logam cu(ii) dalam air dapat merusak organisme laut dan air tawar seperti ikan dan moluska. selain terhadap organisme laut, apabila air yang tercemar cu(ii) dikonsumsi oleh organisme lainnya secara berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal. berbagai metode pengolahan limbah telah dilakukan untuk mengurangi kadar logam berat dalam perairan antara lain metode pengendapan (joko, 2013) dan elektrokimia (pratiwi dkk., 2015). metodemetode tersebut menggunakan bahan-bahan kimia yang mahal sehingga membutuhkan biaya yang tinggi. oleh karena itu, perlu dilakukan penelusuran terhadap bahan penjerap baru yang relatif lebih murah, mudah didapat serta mempunyai kapasitas adsorpsi yang tinggi. metode adsorpsi telah banyak dikembangkan menggunakan material alam organik yang memiliki gugus hidroksil (-oh) yang dapat digunakan untuk adsorpsi ion-ion logam berat, seperti kulit salak (wijayanti dkk., 2017) dan kulit kacang tanah (andini dkk., 2016). salah satu material alam organik yang mengandung gugus hidroksil (-oh) yang dapat digunakan sebagai adsorben yaitu serbuk gergaji kayu jati (fengel dan wegener, 1995). komponen kayu terdiri atas lapisan luar dan dalam. pada lapisan luar terdiri dari zat ekstraktif yang dihasilkan kayu selama pertumbuhan, dan lapisan dalam terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin (fengel dan wegener, 1995). adanya selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadikan serbuk gergaji kayu berpotensi sebagai bahan penjerap. untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi suatu adsorben perlu dilakukan aktivasi maupun modifikasi baik secara kimia maupun fisika. berdasarkan penelitian harni dkk. (2013) irdhawati dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 114-119 1 115 menggunakan serbuk gergaji kayu jati dengan aktivator : asam asetat, edta, formaldehida, dan piridin sebagai adsorben logam timbal (pb), diperoleh waktu kontak optimum semua aktivator yaitu 60 menit dengan kapasitas adsorpsi pada kontrol 0,1608 mg/g, delignifikasi 0,2401 mg/g, asam asetat 0,2717 mg/g, edta 0,2965 mg/g, formaldehida 0,2945 mg/g, dan piridin 0,2857 mg/g, dengan kapasitas adsorpsi terbesar yaitu pada aktivasi dengan edta. pada aktivasi edta yang memiliki 4 gugus asam karboksilat (-cooh) akan bereaksi dengan lignoselulosa pada serbuk kayu dan mengaktifkan gugus oh yang terbentuk pada adsorben sehingga dapat mengadsorpsi ion logam pb lebih banyak. berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini digunakan serbuk gergaji kayu jati sebagai adsorben menggunakan edta sebagai aktivator dengan uji parameter yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi yaitu aktivasi, waktu kontak dan isoterm adsorpsi. oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan serbuk gergaji kayu jati teraktivasi edta dalam adsorpsi ion logam cu(ii). kadar logam cu(ii) yang tidak teradsorpsi ditentukan dengan metode spektrofotometri serapan atom. metodologi alat spektrofotometer serapan atom (shimatzu aa-7000), oven (binder), neraca analitik (ohaus g400-s0 dan acis ad-600i), seperangkat alat refluks, magnetic stirrer, ayakan ukuran 100 mesh, dan peralatan gelas yang umum digunakan dalam laboratorium. bahan serbuk gergaji kayu jati, cucl2 (merck), crcl3.6h2o (merck) na2edta (merck), hcl (merck), naoh (merck), aquades, dan kertas saring prosedur kerja persiapan serbuk gergaji kayu jati sebagai sampel penelitian serbuk gergaji kayu jati yang diambil dari pengrajin furniture dicuci dengan aquades untuk menghilangkan pengotor kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50 °c sampai kering. selanjutnya dihaluskan dan diayak hingga berukuran 100 mesh. aktivasi serbuk gergaji kayu jati serbuk gergaji kayu jati (sj) ditimbang sebanyak 20 gram dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat 250 ml dan ditambahkan 200 ml larutan edta 5%. campuran direfluks selama 2 jam pada suhu 100 °c. serbuk kayu jati yang telah diaktivasi kemudian disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhuh 50 °c. prosedur yang sama dilakukan untuk konsentrasi edta 10; 15; dan 20%. masing-masing serbuk gergaji kayu jati yang diaktivasi edta 5; 10; 15; dan 20% diberikan label secara berturut-turut yaitu sj[edta5], sj[edta10], sj[edta15], dan sj[edta20]. pembuatan kurva kalibrasi larutan standar cu(ii) dan cr(iii) dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 mg/l diukur absorbansinya dengan spektrofotometer serapan atom (ssa). selanjutnya dibuat kurva hubungan antara absorbansi versus konsentrasi yang akan diperoleh garis linier. penentuan jumlah edta optimum sebagai aktivator sebanyak 1-gram sj[edta5], sj[edta10], sj[edta15], dan sj[edta20] masing-masing dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. selanjutnya ditambahkan 50 ml campuran larutan cu(ii) dan cr(iii) (1:1) dengan konsentrasi masing-masing 60 mg/l. campuran tersebut diaduk selama 60 menit. campuran kemudian disaring dan filtratnya ditampung untuk pengukuran kadar logam tidak terserap dengan ssa. penentuan waktu kontak optimum sebanyak 1 gram sj[edta15] dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 50 ml campuran larutan cu(ii) dan cr(iii) dengan konsentrasi masing-masing 60 mg/l. selanjutnya diaduk menggunakan pengaduk magnetik dengan variasi waktu kontak yaitu 30, 45, 90, 105, dan 120 menit. larutan disaring dan filtratnya ditampung untuk pengukuran kadar logam tidak terserap dengan ssa. penentuan isoterm dan kapasitas adsorpsi optimum sebanyak 1 gram sj[edta15] dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 50 ml campuran larutan cu(ii) dan cr(iii) (cu : cr = 1:1) dengan masing-masing variasi konsentrasi yaitu 20, 40, 60, 80, dan 100 mg/l. campuran tersebut diaduk selama waktu kontak optimum, irdhawati dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 114-119 1 116 kemudian campuran disaring dan filtratnya ditampung untuk pengukuran kadar logam tidak terserap dengan ssa. kapasitas adsorpsi cu(ii) dan cr(iii) oleh sj[edta15] ditentukan dengan persamaan 1. wads= (c1-c2) v 1000b ………………… (1) wads merupakan jumlah zat yang teradsorpsi (mg/g), b merupakan massa sampel yang digunakan (g), c1 merupakan konsentrasi larutan awal (mg/l), c2 merupakan konsentrasi larutan akhir (mg/l), dan v merupakan volume larutan yang digunakan (ml)) (day dan underwood, 2002). untuk mengetahui pola isoterm adsorpsi cu(ii) dan cr(iii) oleh sj[edta15] perlu dilakukan uji linieritas menggunakan persamaan 2. langmuir : c m = 1 bk + c b …………… (2) c merupakan konsentrasi adsorbat dalam keseimbangan, m merupakan berat adsorbat yang terjerap per gram adsorben, k merupakan konstanta keseimbanganyang berhubungan dengan afinitas adsorpsi, dan b merupakan kapasitas adsorpsi maksimum dari adsorben, dengan memplot c/m terhadap c akan menghasilkan garis lurus dengan slope = 1 b dan intersep = 1 bk , sehingga tetapan k dan b dapat ditentukan (bohn, 2015). freundlich : log m= log k+ 1 n log c m merupakan jumlah adsorbat terjerap per satuan bobot adsorben (mg/g), c merupakan konsentrasi kesetimbangan adsorbat setelah adsorpsi (mg/l), k, n : konstanta empiris (do, 1998)). hasil dan pembahasan pembuatan kurva kalibrasi pengukuran larutan standar cu(ii) dan cr(iii) dengan ssa pada panjang gelombang 249,2 nm (logam cu) dan 357,9 nm (logam cr). diperoleh persamaan y = 0,05002x + 0,01636 dengan nilai r sebesar 0,9997 untuk logam cu dan persamaan y = 0,03926x + 0,01178 dengan nilai r sebesar 0,9994 untuk logam cr yang menandakan bahwa adanya korelasi dari absorbansi dan konsentrasi terhadap kenaikan konsentrasi dan respon yang linier (gambar 1). konsentrasi edta optimum sebagai aktivator serbuk gergaji kayu jati (sj) diaktivasi dengan edta pada berbagai konsentrasi. aktivasi dilakukan dengan perbandingan rasio massa sj : edta yaitu 2:1 (sj[edta5]), 1:1 (sj[edta10]), 2:3 (sj[edta15]), dan 1:2 (sj[edta20]). pada saat aktivasi digunakan 20 g sj yang direfluks dengan 200 ml edta. untuk mendapatkan sj aktif terbaik, perlu digunakan aktivator edta dalam berbagai konsentrasi, sehingga digunakan rasio massa yang berbeda untuk tiap komposisi sj aktif. sj aktif yang diperoleh dari masing-masing aktivasi secara berturut-turut yaitu sebanyak 19,99 g; 19,62 g; 19,24 g; dan 19,58 g. gambar 1. kurva kalibrasi hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi gambar 2. persen rendemen serbuk gergaji kayu jati teraktivasi edta irdhawati dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 114-119 1 117 persentase rendemen dapat dihitung dan diperoleh hasil seperti pada gambar 2. semakin tinggi persentase rendemen yang dihasilkan menandakan semakin banyak sj aktif yang dihasilkan. hasil adsorpsi cu(ii) dan cr(iii) 60 mg/l terhadap masing-masing sj aktif dapat dilihat pada gambar 3. pada adorpsi cu(ii) dan cr(iii), jumlah zat yang teradsorpsi dalam mg/g yang terbaik yaitu pada jumlah edta 30 g. jumlah edta 30 g merupakan sj teraktivasi edta dengan perbandingan massa 2:3, dengan sj sebanyak 20 g dan edta 30 g dalam 200 ml. reaksi yang terjadi saat aktivasi dapat dilihat pada gambar 4, yaitu selulosa serbuk gergaji kayu jati bereaksi dengan gugus karboksilat pada na2edta dan mengaktifkan gugus oh pada adsorben. ketika dilakukan adsorpsi terhadap cu(ii) dan cr(iii), sj aktif edta akan mengalami reaksi pembentukan kompleks terhadap logam. waktu kontak optimum penentuan waktu kontak optimum dilakukan menggunakan sj[edta15] dengan campuran larutan cu(ii) dan cr(iii) 60 mg/l pada waktu kontak 30, 45, 90, 105, dan 120 menit. waktu kontak optimum terhadap cu(ii) dan cr(iii) yaitu pada 105 menit, dapat dilihat pada gambar 4, kapasitas adsorpsi terbesar terjadi pada waktu kontak 105 menit terhadap cu(ii) dan cr(iii) dengan nilai 0,7852 dan 0,8984 mg/g. hal ini menandakan bahwa pada menit ke-105 telah terjadi kesetimbangan reaksi antara adsorben dan adsorbat dalam larutan. gambar 4. reaksi serbuk gergaji kayu jati teraktivasi edta dengan cu(ii) dan cr(iii) (pereira, 2010) semakin lama waktu kontak maka semakin banyak partikel adsorben yang bereaksi dengan adsorbat sehingga kapasitas adsorpsinya meningkat. terjadi penurunan jumlah adsorbat yang teradsorpsi pada menit ke-120 akibat terjadinya kejenuhan pada situs aktif adsorben yang digunakan sehingga tidak mampu lagi mengadsorpsi cu(ii) maupun cr(iii) lagi. gambar 5. kurva hubungan jumlah cu(ii) dan cr(iii) yang teradsorpsi (wads) dengan waktu kontak. isoterm dan kapasitas adsorpsi optimum isoterm adsorpsi ditentukan dengan mengalurkan persamaan isoterm adsorpsi gambar 3. kurva hubungan jumlah cu(ii) dan cr(iii) yang terserap (wads) dengan jumlah edta irdhawati dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 114-119 1 118 langmuir dan freundlich menjadi kurva kesetimbangan garis lurus. model kesetimbangan ditentukan tergantung pada harga koefisien determinasi (r2) dengan harga yang tinggi. gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah logam yang teradsorpsi berbanding lurus dengan kenaikan konsentrasi baik pada adsorpsi cu(ii) dan cr(iii). peningkatan yang signifikan terjadi pada konsentrasi 20 – 100 mg/l. gambar 6. kurva isoterm adsorpsi cu(ii) dan cr(iii) gambar 7. plot isoterm adsorpsi cu(ii): (a) isoterm freundlich dan (b) isoterm langmuir gambar 8. plot isoterm adsorpsi cr(iii) : (a) isoterm freundlich dan (b) isoterm langmuir irdhawati dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 114-119 1 119 peningkatan terjadi akibat situs aktif pada permukaan adsorben belum jenuh, sehingga semakin tinggi konsentrasi ion logam maka semakin banyak pula molekul ion logam yang teradsorpsi. gambar 6 menujukkan bahwa isoterm adsorpsi cu(ii) cenderung mengikuti pola isoterm adsorpsi freundlich, dilihat dari nilai r2 nya yaitu sebesar 0,9992. hal ini menujukkan bahwa proses adsorpsi cu(ii) terjadi pada bagian permukaan adsorben yang heterogen berdasarkan adanya gugus fungsi pada permukaan adsorben tersebut. akibatnya interaksi adsorbat dan adsorben terjadi pada afinitas yang berbeda, berdasarkan persamaan freundlich dapat ditentukan kapasitas adsorpsi optimumnya yaitu 46,5 mg/g. hasil penelitian lain dalam penentuan isotherm adsorpsi terhadap ion cu(ii) menggunakan serbuk kayu meranti mengikuti pola freundlich dengan nilai r2=0,99 serta kapasitas adsorpsi optimum 2,74 mg/g pada temperature 30 oc (ahmad dkk., 2009). dari kedua hasil penelitian tersebut mempunyai pola isotherm adsorpsi yang sama yaitu freunlich, namun kapasitas adsorpsi serbuk kayu jati lebih tinggi dibandingkan serbuk kayu meranti. gambar 7 menunjukkan pola isoterm adsorpsi cr(iii) yang juga cenderung mengikuti pola isoterm freundlich, dilihat dari nilai r2 nya yaitu sebesar 1. berdasarkan persamaan freundlich, diperoleh kapasitas adsorpsi optimum terhadap cr(iii) yaitu 39,7 mg/g. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, konsentrasi edta optimum yang dapat digunakan sebagai aktivator serbuk gergaji kayu jati dalam adsorpsi cu(ii) dan cr(iii) yaitu 15% (perbandingan massa sj:edta = 2:3). waktu kontak optimum pada adsorpsi cu(ii) dan cr(iii) yaitu pada waktu 105 menit dengan pola isoterm adsorpsi freundlich terhadap cu(ii) dan cr(iii). kapasitas adsorpsi optimum masingmasing logam cu(ii) dan cr(iii) berturut-turut yaitu 46,5 mg/g dan 39,7 mg/g. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak i gede andy kharismayadi, yang menyediakan sampel serbuk kayu jati. penelitian ini didanai dari penelitian dasar unggulan perguruan tinggi, no. kontrak 171.59/un14.4.a/lt/2018 tahun 2018. daftar pustaka ahmad, a., rafatullah, m., sulaiman, o., ibrahim, m.h., chii, y.y., siddique, b.m., 2009, removal of cu(ii) and pb(ii) ions from aqueous solutions by adsorption on sawdust of meranti wood, desalination 247, 636-646 andini, a., irdhawati, arsa, m., 2016, daya serap kulit kacang tanah teraktivasi asam basa dalam menyerap ion fosfat secara batch dengan metode bath, j. kimia riset,1 (1), 52-57. bohn, h.l., mcneal, b.l., o’connor, g.a., 2015, soil chemistry, fourth edition, a willey interscience publication, new york. day, r.a., underwood, a.l., 2002, analisis kuantitatif ed ke-6, erlangga, jakarta. do, d.d., 1998, adsorption analysis : equilibria and kinetics, imperal college press, singapore. fengel, d., wegener, g., 1995, kayu: kimia ultrastruktur, reaksi-reaksi, ed ke-1, a.b. sastroadmijoyo, h., ed. prawirohatmodjo, s. gajah mada university press, yogyakarta. harni, m.r., iryani, a., affandi, h., 2013, pemanfaatan serbuk gergaji kayu jati (tectona grandis l.f) sebagai adsorben logam tinbal (pb), http://www. repository.unpak.ac.id, fmipa pakuan, bogor. joko, t., 2003, penurunan kromium (cr) dalam limbah cair proses penyamakan kulit menggunakan senyawa alkali ca(oh)2, naoh, dan nahco3 (studi kasus di pt trimulyo kencana mas semarang), j. kesehatan lingkungan 2 (2), 39-45. pereira, f.v., gurgel, l.v.a., gil, l.f., 2010, removal of zn2+ from aqueous single metal solutions and electroplating wastewater with wood sawdust and sugarcane bagasse modified with edta dianhydride (edtad), j. harzadous materials 176 (2010), 856-863. pratiwi, a., yusuf, b., gunawan, r., 2015, analisis perubahan kadar logam tembaga (cu) pada penambahan ion perak (ag) dengan metode elektrokoagulasi, j. kimia mulawarman 13 (1), 1-3. wijayanti, laksono, e.w., 2017, daya adsorpsi adsorben kulit salah termodifikasi terhadap krom (iii), j. kimia dasar 6 (1), 11-18. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 72 77 72 adsorption cu 2+ metal ion of pectin from “tongka langit” banana’s crust (musa speices van balbisiana) adsorpsi ion logam cu 2+ pada pektin dari kulit pisang tongka langit (musa speices van balbisiana) i wayan sutapa 1* , victor petrus dirk siahay 2 , m.f.j.d.p. tanasale 3 1,2,3 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: wayansutapa@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2013 published: july 2014 abstract the adsorption cu 2+ metal ion of pectin from “tongka langit” banana’s crust (musa speices van balbisiana) has been done. pectin was obtained from extraction “tongka langit” banana’s crust with hcl at temperature 90 o c during 4 hours. pectin was produced 9.49 grams (10.41%). identification functional group of pectin before and after adsorption use ft-ir spectrophotometer and defractometer xrd while cu 2+ metal adsorption result was analized with using aas. adsorption cu 2+ metal was followed adsorption isotherm freundlich with kf value = 4.33 mg/g and n value = 0.86. keywords:adsorption, cu 2+ metal, pectin, “tongka langit” banana, extraction, isotherm pendahuluan di indonesia, terdapat lebih dari 230 jenis pisang, tetapi yang umum dijual di pasaran dan dikonsumsi adalah: pisang barangan, raja, raja sereh, raja uli, raja jambe, raja molo, raja kul, raja tahun, raja bulu, kepok, tanduk, mas, ambon lumut, ambon kuning, nangka, kapas, kidang, lampung, dan pisang tongkat langit (astawan, 2010). pisang merupakan salah satu komoditi pertanian yang cukup penting di indonesia dan dikenal sebagai tanaman hortikultura berproduksi tinggi dengan prospek pemasaran yang cukup baik (soedibyo, 1980). buah pisang banyak disukai untuk dikonsumsi secara langsung sebagai buah atau diolah menjadi produk konsumsi lain seperti kripik pisang, selai pisang, dan lain sebagainya. kulit pisang yang terbuang ini merupakan limbah organik yang masih banyak mengandung karbohidrat dan nutrisi lain. karbohidrat kulit pisang berbentuk pati, serat kasar dan gula reduksi yang relatif cukup tinggi. pemanfaatan daging buah pisang yang besar untuk berbagai makanan, akan menghasilkan limbah yang berupa kulit pisang (sofia, 1997). menurut hasil penelitian dari balai penelitian dan pengembangan industri, tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, protopektin, lemak kasar, serat kasar, dan abu. sementara itu didalam kulit pisang terkandung senyawa pektin yang cukup besar (astawan, 2010). pektin atau senyawa pektat adalah suatu polisakarida kompleks yang terdapat pada lamela tengah (middel lamella) atau ruang antara sel dari jaringan tanaman tingkat tinggi. senyawa pektat polisakarida dan serat-serat selulosa terikat bersama membentuk jaringan kuat yang yang berfungsi sebagai perekat antara sel. buahbuahan dan sayuran banyak mengandung senyawa ini (voragen 1991). perubahan senyawa-senyawa pektat mempunyai pengaruh pada proses pematangan dan pembusukan buah-buahan. senyawa pektat polisakarida pada bua-buahan yang masih mentah terdapat dalam bentuk protopektin yang merupakan senyawa pektat yang tidak larut dalam air. perubahan protopektin menjadi pektin berlangsung selama proses pemasakan buah. pada buah yang terlalu masak, pektin berubah menjadi asam pektat atau asam poligalakturonat (nord, 1958). logam berat masuk ke lingkungan dapat secara alamiah dan non alamiah. secara alamiah i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 72 77 73 logam berat masuk ke lingkungan akibat peristiwa alam, seperti pengikisan dari batuan mineral, debu dan partikel yang ada dalam lapisan udara dibawa turun oleh hujan ke perairan laut, sedangkan secara non alamiah logam berat masuk ke lingkungan akibat aktivitas manusia, seperti buangan industri di darat dan di laut (azis, 1999). akhmalludin dan kurniawan (2005) telah mengisolasi pektin dengan cara ekstraksi dari limbah kulit cokelat pada ph = 2,871 dan menghasilkan pektin sebesar 2,836 g. selain itu juga satria dan ahda (2006) telah mengisolasi pektin dari kulit pisang kepok dengan cara ekstraksi dengan pelarut hcl pada suhu 80 o c dan lama waktu ekstraksi 1,5 jam menghasilkan pektin sebesar 21,33% dari berat kulit pisang. wong, et al., (2008) telah mengkaji proses adsorpsi logam berat seperti cu(ii), cd(ii), pb(ii), zn(ii) dan ni(ii) oleh pektin termodifikasi dan adsorpsi yang paling baik pada logam cu(ii) dengan persentase adsorpsi adalah 98,40%. berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka telah dilakukan penelitian “adsorpsi ion logam cu 2+ pada pektin dari kulit pisang tongka langit (musa speices van balbisiana)”. metodologi alat lumpang, hot-plate (cimarec 2), oven (memert), ayakan tatonas (50 mesh), pengaduk, pompa vakum, sentrifuge, shaker (sha-c, canstant temperature oscillator), seperangkat alat gelas, spektrofotometer serapan atom (buck scientifika), spektrofotometer ftir (prestige-21 shimandzu), xrd (shimandzu xd-160). bahan kulit pisang tongka langit (musa speices van balbisiana), ethanol 95%, hcl, cu(no3)2, air suling. prosedur kerja persiapan sampel pelepasan albido (bagian dalam kulit pisang yang berwarna putih) dilepaskan dengan cara mengeroknya memakai sendok. albido dikeringkan di dalam oven pada 60 o c selama 24 jam. kemudian, albido yang sudah kering dihaluskan menggunakan lumpang. ekstraksi pektin dari kulit pisang tongka langit (musa speices van balbisiana) albido ditambahkan dengan air sebanyak 35 kali berat albido. campuran diaduk sehingga menjadi bubur encer. bubur encer ditambahkan dengan larutan hcl 1% sehingga ph-nya menjadi 1,5. hasilnya disebut bubur asam. kemudian, bubur asam diekstrak pada 90 o c selama 4 jam. hasilnya disaring dengan kertas saring dan didinginkan pada suhu 25 o c. ethanol 95% diasamkan dengan menambahkan 2 ml hcl pekat dan didiamkan selama 1 jam. pengendapan pektin endapan seperti gel terbentuk, kemudian larutan dicuci 2 kali dengan ethanol 95% dan disentrifuge selama 15 menit (3000 rpm). endapan terbentuk dan dikeringkan dengan pompa vakum pada 25 o c selama 8 jam, kemudian dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer ftir. pektin dihaluskan dan diayak (60 mesh) untuk eksperimen lebih lanjut. biosorpsi logam berat sebanyak 5 buah erlemeyer disiapkan dan dimasukkan pektin sebanyak 0,5 gram ke dalam masing-masing erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml larutan cu 2+ dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25 ppm pada setiap erlemeyer. selanjutnya dikocok menggunakan shaker selama 2 jam dan didiamkan selama 5 menit, filtrat kemudian dianalisis kadar cu dengan menggunakan ssa. hasil dan pembahasan isolasi pektin dari kulit pisang tongka langit (musa species van balbisiana) pektin dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dari kulit pisang tongka langit dengan menambahkan hcl pada suhu 90 0 c selama 4 jam. tujuan penambahan hcl adalah sebagai pelarut pektin (wigati, 2009). setelah itu hasilnya disaring dan didinginkan kemudian ditambahkan etanol 95% dan diasamkan dengan menambahkan 2 ml hcl pekat, didiamkan selama 1 jam, hal ini bertujuan untuk mengambil pektin dari larutan (wigati, 2009). selama 1 jam didiamkan akan terbentuk endapan seperti gel, kemudian di cuci cu(ii) dengan menggunakan etanol 95% dan disentrifuge selama 15 menit. analisis menggunakan spektrofotometer ft-ir i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 72 77 74 seperti pada gambar 1 di dapatkan hasil seperti tabel 1: gambar 1. spektrum ft-ir pektin hasil isolasi dari kulit pisang tongka langit tabel 1. data spektrum ft-ir gugus fungsi bilangan gelombang (cm -1 ) -oh 3335,94 ch 2185,39 c=o 1608,66 -ch2 1409,99 -ch3 1316,44 c-o(ester) 1007,62 – 1261,47 hasil isolasi pektin dari kulit pisang tongka langit diperoleh pektin sebanyak 9,49 gram (10,41%). biosorpsi logam cu (ii) pada pektin sebelum melakukan adsorpsi pada campuran larutan cu (ii) dengan menggunakan pektin, larutan standar cu (ii) diukur absorbansinya seperti yang terlihat pada tabel 2. pada proses adsorpsi logam pb, pektin ditambahkan dalam larutan logam cu (ii) dengan konsentrasi yang berbeda di-shaker selama 2 jam. filtrat yang dihasilkan diuji dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom dan diperoleh hasil seperti pada tabel 3. tabel 2. absorbansi larutan standar cu (ii) konsentrasi larutan cu (ii) (ppm) absorbansi 0 0.000 2.5 0.239 5 0.388 10 0.633 15 0.977 20 1.231 tabel 3. absorbansi larutan cu (ii) yang telah diadsorpsi oleh pektin konsentrasi logam cu (ii) (ppm) absorbansi 5 0.221 10 0.256 15 0.515 20 0.737 25 0.821 pektin yang telah teradsorbsi oleh logam cu (ii) diuji dengan spektrofotometer ftir, menghasilkan spektrum yang terlihat pada gambar 2. gambar 2. spektrum ft-ir pektin setelah adsorbsi ion logam cu (ii). data xrd pada pektin setelah adsorbsi bahwa pada sudut 2θ : 14 o, 24 o , 29 o , menunjukan adanya penyerapan cu (ii) oleh pektin yang dapat dilihat pada gambar 3. hal ini dibuktikan juga dengan standar penyerapan xrd untuk cu (ii) berada pada sudut 2θ: 15 o , 25 o , dan 36 o (gambar 4). p gambar 3. refraktogram xrd pektin setelah adsorbsi logam cu (ii). i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 72 77 75 gambar 4. refaktogram xrd logam cu(ii) murni analisis persamaan biosorpsi logam cu (ii) oleh pektin pada proses biosorpsi logam cu (ii), pektin ditambahkan ke dalam larutan cu (ii) dengan konsentrasi yang berbeda kemudian dikocok dengan shaker selama 2 jam. filtrat yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan ssa untuk menentukan konsentrasi logam cu (ii) yang tersisa setelah absorpsi dengan menggunakan pektin seperti pada tabel 4. tabel 4. konsentrasi logam cu (ii) yang tersisa setelah adsorpsi menggunakan pektin co (ppm) a ce (ppm) cads (ppm) 4,55 0,256 3,38 1,17 9,22 0,515 7,71 1,51 15,22 0,737 11,41 3,81 18,24 0,821 12,81 5,43 24,12 1,083 17,19 6,93 keterangan : co : konsentrasi logam cu (ii) sebelum absorpsi a : adsorbansi ce : konsentrasi logam cu (ii) yang tersisa cads: konsentasi logam cu (ii) yang terabsorpsi proses logam cu (ii) oleh pektin dapat dijelaskan dengan dua persamaan isoterm yaitu isoterm langmuir dan isoterm freundlich, yang dipakai untuk menjelaskan proses absorpsi pada permukaan zat padat. isoterm langmuir didasarkan pada kurva hubungan antara ce terhadap ce/(x/m) dan isoterm freundlich didasarkan pada kurva hubungan antara lon ce terhadap lon (x/m). hasil adsorpsi logam cu (ii) oleh pektin dan parameter-parameter isoterm langmuir dan isoterm freundlich dapat dilihat pada tabel 5. berdasarkan data pada tabel 5 dibuat kurva isoterm langmuir dan isoterm freundlich sesuai gambar 5 dan 6. tabel 5. parameter-parameter isoterm langmuir dan isoterm freundlich. co ce co – ce q x/m ce/ (x/m) ln ce ln (x/m) 4,55 3,38 1,17 25,71 0,117 28,89 1,22 -2,14 9,22 7,71 1,51 16,38 0,151 51,06 2,04 -1,89 15,22 11,41 3,81 25,03 0,381 29,95 2,43 -0,96 18,24 12,81 5,43 29,77 0,543 23,59 2,55 -0,61 24,12 17,19 6,93 28,73 0,693 24,81 2,84 -0,37 keterangan : co = konsentrasi logam cu (ii) sebelum adsorpsi (ppm) ce = konsentrasi logam cu (ii) yang tersisa (ppm) x/m = jumlah mol logam cu (ii) yang teradsorpsi oleh pektin (mol) nilai x/m diperoleh berdasarkan persamaan : dengan v = volume larutan (l) ; m = berat pektin (g) q = persentasi adsorpsi (%) y = -0.918x + 41.3 r² = 0.4298 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 0 5 10 15 20 c e /( x /m ) ce gambar 5. kurva isoterm langmuir i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 72 77 76 nilai q diperoleh berdasarkan persamaan : sehingga dapat ditentukan isoterm adsorpsi logam cu (ii) oleh pektin dengan membandingkan persamaan regresi linier dan koefisien korelasi (r 2 ). berdasarkan koefisien korelasi (r 2 ) yang diperoleh dari kurva isoterm langmuir dan isoterm freundlich, kecendurungan adsorpsi logam cu (ii) oleh pektin mengikuti isoterm freundlich yang dikembangkan untuk permukaan adsorben yang berifat heterogen. berdasarkan kurva isoterm freundlich (lampiran 1) maka nilai kf dan n dapat dihitung dengan menggunakan persamaan isoterm freundlipch sehingga diperoleh nilai kf sebesar 4,33 mg/g dan nilai n sebesar 0,86. nilai kf menunjukan kapasitas jerapan suatu adsorben. nilai kf yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan nilai kf yang diperoleh kapressy (2005) yaitu sebesar 2,301 dan n sebesar 1,005 dan juga berbeda dengan hasil yang diperoleh tuny (2010) sebesar 9,3371 mg/g dan n sebesar 0,3026 dengan adsorben kitosan. berbeda juga dengan hasil yang diperoleh samal (2011) yaitu nilai kf sebesar 0,5477 mg/g dan n sebesar -1,6188 dengan adsorben arang aktif. hal ini disebabkan karena perbedaan adsorben yang digunakan. semakin besar nilai kf maka semakin besar pula kapasitas adsorben menjerap adsorbat (lynam et al., 1995). dengan demikian dapat dikatakan penyerapan ion cu 2+ oleh pektin lebih baik, jika dibandingkan dengan kitosan dan arang aktif. karena nilai kf yang diperoleh lebih besar dari nilai kf yang diperoleh untuk adsorbsi logam cu oleh kitosan dan arang aktif. nilai 1/n menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi yang berhubungan dengan adsorpsi. nilai n menunjukan derajat nonlinieritas antara konsentrasi larutan adsorpsi, yaitu mengukur penyimpangan linieritas adsorpsi dan biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat kebenaran suatu adsorpsi. dengan nilai n < 1, maka dipastikan bahwa proses adsorpsi ini merupakan proses kimisorpsi dan sebaliknya jika n > 1, dipastikan bahwa adsorpsi yang terjadi merupakan proses fisiosorpsi (ozcan dkk., 2005). adsorpsi fisik terjadi terutama karena adanya ikatan van der waals dan merupakan sebuah kejadian yang dapat balik, sedangkan adsorpsi kimia terjadi reaksi kimia antara padatan dengan larutan adsorbat, reaksi ang terjadi tidak dapat balik (setyowati., 1998) menurut zor (2004), jika nilai n > 1 mengindikasikan baiknya penjerapan adsorbat oleh adsorben. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : 1. kadar pektin dalam kulit buah pisang tongka langit (musa speices van balbisiana) adalah 10,41%. 2. adsorpsi logam berat cu (ii) oleh pektin mengikuti isoterm adsorpsi freundlich dengan nilai kf = 4,33 mg/g dan nilai n = 0,86. y = 1.162x 3.769 r² = 0.9293 -2.50 -2.00 -1.50 -1.00 -0.50 0.00 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 ln ( x /m ) ln ce gambar 6. kurva isoterm freundlich i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 72 77 77 daftar pustaka akhmalludin dan kurniawan, 2005, pembuatan pektin dari kulit cokelat dengan cara ekstraksi, makalah, jurusan teknik kimia fakultas teknik universitas diponegoro. astawan made., 2010. pisang sebagai buah kehidupan. barangjasa.com azis, t., 1999, distribusi logam berat pb, cd, cu, zn dan pengaruh musim di perairan barang lompo paotere, pantai losari unjung pandang, tesis, program pasca sarjana universitas hasanudin, makasar. lynam, m. m., kilduff, j. e., & weber, w. j. jr., 1995. adsorption of p-nitrophenol from dilute aqueous solution. j. chem. edu, 72 : 80-84 nord, f.f., 1958., advances in enzymology, vol. xx. interscience pub. new york 341-371 ozcan, a. s., edem, b., dan ozcon, a., 2005, adsorption of acid blue 193 from aqueous solution onto btma-bentonite. colloid surface. a : phsycocem eng. aspects, 266 : 73-81. satria, b. h., dan ahda, y., 2006, pengolahan limbah kulit pisang menjadi pektin dengan metode ekstraksi, makalah, jurusan teknik kimia fakultas teknik universitas diponegoro. setyowati, e., 1998. uji kemampuan karbon aktif ampas tebu dengan aktivator zncl2 terhadap fenol. jurusan teknik lingkungan ftsp-its., surabaya. soedibyo., 1980. pisang sebagai komoditi ekspor dan beberapa hasil olahannya. warta pertanian no. 60. departemen pertanian, yogyakarta. voragen, a.g.j.,1991., biotecnological innovation in food processing, butterworth heinemann. wong, w. w., abbas, f. m. a., liong, m. t., dan azhar, m. e., 2008, modification of durian rind pectin for improved biosorbent ability, int. food res. j., 15 (3) : 363-365. microsoft word 12. sulityana indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 79-8, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sul. 79 analisis kualitas nata de corn dari ekstrak jagung kuning muda dengan variasi lama fermentasi quality analysis of nata de corn from light yellow corn extract with fermentation time variation sulistiyana* tadris kimia, universitas islam negeri mataram, indonesia * corresponding author: sulistchemist@uinmataram.ac.id received: 2020-1-1 received in revised: 2020-2-12 accepted: 2020-5-29 available online:2020-5-31 abstract in this research, nata de corn has been made from the young corn extract by acetobacter xylinum. this research aims to make nata de corn with the variation of fermentation days and analyze the quality of nata de corn have been done. fermentation days have been varied to look for the optimum conditions to obtain maximum quality. the variation of fermentation days was 11, 12, 13, and 14 days. mass of young corn as substrate was 150 g/l solution. then, substrate was fermented using acetobacter xylinum. the result of fermentation proses was called nata de corn. the nata de corn has been analyzed to obtain maximum % yield, water, and fibre content. the maximum % yield, water and fibre content were 46.82%, 93.13%, and 1.3%. this values in according to the standard quality of nata ins no.01-4317-1996. keywords: nata, nata de corn, young yellow corn, fermentation, fermentation time. abstrak (indonesian) nata merupakan jenis makanan hasil fermentasi oleh bakteri acetobacter xylinum. pada penelitian ini nata dibuat dengan substrat dari ekstrak jagung kuning muda. penelitian ini bertujuan untuk membuat nata de corn dengan variasi lama fermentasi serta menganalisis kualitas nata de corn yang dihasilkan. lama fermentasi divariasi untuk menghasilkan kualitas optimum. variasi lama fermentasi yang digunakan adalah 11, 12, 13, dan 14 hari. substrat yang digunakan adalah ekstrak jagung kuning muda sebanyak 150gr/liter larutan. substrat yang sudah dibuat difermentasi menggunakan acetobacter xylinum selama variasi lama fermentasi. hasil panennya kemudian dianalisa rendemen, kadar air dan kadar serat. dari hasil uji rendemen, kadar air, dan kadar serat menunjukkan hasil optimumnya adalah 46,82%, 93,13%, dan 1,3%. nilai ini memenuhi standar kualitas nata sesuai sni no. 01-4317-1996. kata kunci: nata, jagung kuning muda, fermentasi, nata de corn, waktu fermentasi. pendahuluan nata adalah jenis makanan yang dihasilkan oleh bakteri acetobacter xylinum melalui proses fermentasi. kandungan terbesarnya dari nata adalah air hingga mencapai 98%. oleh karena itu, nata sering dipakai sebagai sumber makanan rendah energi pada proses diet. selain itu, nata dapat membantu penderita diabetes dan memperlancar proses pencernaan dalam tubuh (suprihatin, 2010). bahan baku yang sering digunakan sebagai substrat pada proses pembuatan nata adalah air kelapa, produknya dikenal sebagai nata de coco. menurut penelitian yang dilakukan oleh puslitbang biologi lipi, kandungan gizi nata de coco per 100 gram nata mengandung 80% air, 20 gram karbohidrat, 146 kal kalori, 20 gram lemak, 12 mg ion ca, 2 mg ion p dan 0,5 mg ion fe (sulistiyana dkk., 2014). nata dapat dibuat dengan bahan-bahan substrat lainnya yang cukup mengandung protein, gula, vitamin dan mineral (astuti dkk., 2002). pemberian nama pada nata disesuaikan dengan substrat untuk pertumbuhan bakteri, sehingga ada beberapa nama nata diantaranya nata de chayote (labu siam/manisa) (sulistiyana dkk., 2014), nata de soya (limbah cair sulistyana indo. j. chem. res., 8(1), 79-84, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sul. 80 pada produksi tahu) (ismawanti dkk., 2013), nata de banana skin (limbah kulit pisang) (taufik dkk., 2015), nata de pina (nanas) (hamad dkk., 2017), pada penelitian ini, alternatif substrat yang digunakan adalah jagung kuning muda. jagung kuning muda mengandung gula sebesar 6,26%, protein 3,27%, karbohidrat 18,7%, lemak total 2%, selain itu pada jagung kuning muda juga mengandung beberapa mineral seperti ca,fe,mg,p,k,na dan zn serta beberapa vitamin seperti vitamin a, b-6, b-12, c, e, dan vitamin k (us department of agriculture, 2018). jagung kuning muda yang memiliki kandungan gula, protein, karbohidrat serta vitamin dan mineral tersebut memungkinkan untuk digunakan sebagai alternatif substrat pembuat nata pengganti air kelapa. menurut sni (standar nasional indonesia) no. 01-4317-1996 tentang karakteristik nata yang perlu diperhatikan antara lain rendemen, kadar serat, dan kadar air. sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik nata adalah lama fermentasi. berdasarkan latar belakang di atas, pada penelitian ini telah dilakukan analisa kualitas nata de corn dari ekstrak jagung kuning muda dengan variasi lama fermentasi. metodologi alat dan bahan alat yang digunakan di penelitian ini antara lain oven, desikator, neraca analitik, blender, pipet volume 10 ml, gelas ukur 100, 500 ml, gelas kimia 100, 500 ml. bahan-bahan yang digunakan di penelitian ini antara lain jagung kuning muda, bakteri acetobacter xylinum, gula pasir, kecambah, ch3cooh, naoh, kertas ph, aquadest, kertas saring, h2so4, k2so4 dan etanol. prosedur pembuatan nata de corn nata pada penelitian ini dibuat dengan metode standar seperti yang telah dilakukan sulistiyana, dkk. (2014), dan hamad dkk. (2017) dengan sedikit modifikasi pada substrat yang digunakan. dalam penelitian ini, substrat yang digunakan adalah jagung kuning muda. variabel bebas dalam penelitian ini adalah lama waktu fermentasi. langkah-langkah dalam proses pembuatan nata adalah sebagai berikut : a) menimbang substrat sebanyak 150 gram dan ditambah akuades hingga 1 liter b) larutan dipanaskan hingga mendidih dengan menggunakan hotplate, kemudian disaring c) filtrat yang diperoleh dipanaskan kembali dengan menambahkan gula sebanyak 100 gram, ekstrak kecambah 15 ml dan asam asetat hingga ph sekitar 3-4. ekstrak kecambah ini sebelumnya dibuat dengan merebus 100 gram kecambah dengan 200 ml aquades. d) setelah larutan mendidih, kemudian didinginkan hingga suhu ruang (27-30 o c) menggunakan penangas es. larutan yang dihasilkan dari proses ini disebut dengan subsrat. e) substrat ini siap dituang ke masing-masing wadah fermentasi dan diinokulasi dengan bakteri acetobacter xylinum sebanyak 10 ml setiap 100 ml substrat. f) substrat tersebut dibiarkan pada suhu ruang (27 – 30 o c) sesuai waktu fermentasi yaitu hingga 11, 12, 13 dan 14 hari. proses ini akan menghasilkan lapisan nata pada permukaan substrat g) lapisan nata yang terbentuk kemudian dibersihkan dengan cara direndam air mendidih selama 15 menit dan dibilas air bersih. h) setelah bersih nata siap dianalisa baik analisa rendemen, kadar air, maupun kadar seratnya. prosedur analisa kualitas nata de corn analisa rendemen penentuan rendemen nata dilakukan dengan menimbang nata (gram) yang terbentuk. rendemen ditentukan berdasarkan perbandingan antara massa nata yang dihasilkan dengan massa media yang digunakan (rachim, dkk., 2017) analisa kadar air cawan porselin dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oc selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan cawan kosong kering. kemudian sebanyak 2 gram sampel dimasukkan dalam cawan tersebut dan dipanaskan dalam oven pada suhu150 o c selama 4 jam. setelah itu, sampel didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan ditimbang kembali. pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. selanjutnya dihitung kadar air sampel dengan menggunakan persamaan 1. % ����� ��� = � � � 100% (1) dimana m1= massa sampel + massa cawan sebelum dikeringkan (g), m2= massa sampel + massa cawan setelah dikeringkan (g), m0 = massa sampel (g) (musta dkk., 2017). analisa kadar serat kadar serat nata de corn dianalisa dengan refluks asam basa yang dilanjutkan dengan gravimetri (association of official analytical chemist, 2005). sulistyana indo. j. chem. res., 8(1), 79-84, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sul. 81 (a) (b) hasil dan pembahasan pembuatan nata de corn nata de corn dalam penelitian ini telah dibuat menggunakan substrat jagung kuning muda. proses pembuatan nata de corn ini terdiri dari 5 tahap yaitu (1) tahap pembuatan ekstrak jagung kuning muda. pembuatan ekstrak jagung kuning muda bertujuan untuk mengambil sari-sari makanan seperti karbohidrat, vitamin dan mineral yang ada pada jagung kuning muda. hasilnya berupa larutan berwarna kuning muda keruh. (2) tahap pembuatan ekstrak kecambah. ekstrak kecambah ini berfungsi sebagai sumber nitrogen dalam pembuatan nata de corn warna ekstrak larutan kecambah yang dihasilkan adalah coklat bening. (3) pembuatan substrat nata de corn. tahap pembuatan substrat nata de corn dengan memanaskan kembali ekstrak jagung kuning muda ditambah ekstrak kecambah, gula dan asam asetat. penambahan asam asetat bertujuan untuk mengatur ph substrat pada ph 3-4. acetobacter xylinum mampu tumbuh dengan baik pada ph tersebut. pertumbuhan bakteri acetobacter xylinum optimum pada suhu 26-27 o c (warisno, 2004). oleh karena itu dalam penelitian ini substrat didinginkan hingga suhu ruang terlebih dahulu sebelum diinokulasi dengan bakteri. (4) inokulasi bakteri acetobacter xylinum. (5) proses fermentasi: proses fermentasi berjalan baik jika mulai terbentuk lapisan pelikel pada permukaan substrat nata. hasil fermentasi yang sudah mencapai variasi hari dipanen dengan cara mengangkat nata yang sudah terbentuk, dicuci dan dibersihkan. hasil panen dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. hasil panen nata de corn a. nata de corn yang berhasil, b. nata de corn yang tidak berhasil pada gambar 1(a) tersebut terlihat bahwa nata yang berhasil terbentuk berwarna putih seperti nata de coco pada umumnya. namun pada nata yang tidak berhasil (b), permukaan berwarna hijau yang menunjukkan adanya jamur genus penicillium (yustinah, 2012). adanya kontaminasi jamur ini kemungkinan disebabkan oleh kurang sterilnya ruangan laboratorium. rendemen nata de corn tujuan dilakukannya penghitungan rendemen nata de corn ini adalah untuk mengetahui persentase biomassa nata de corn yang dapat dihasilkan dari proses fermentasi oleh bakteri acetobacter xylinum. hasil rendemen nata de corn dapat dilihat pada gambar 2. gambar 2. grafik hubungan antara waktu fermentasi terhadap rendemen nata de corn. gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tinggi pula %rendemen yang dihasilkan. nilai rendemen nata de corn dengan variasi lama fermentasi 11, 12, 13 dan 14 hari masing-masing adalah 44,23%; 45,41%; 46,76%; dan 46,82. nilai rendemen tertinggi diperoleh dari variasi lama fermentasi 14 hari yaitu 46,82%. kadar air nata de corn penentuan kadar air nata de corn bertujuan untuk mengetahui jumlah kandungan air dalam nata de corn yang dihasilkan. hasil analisa dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3 menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tinggi pula kadar air nata de corn yang dihasilkan. nilai kadar air nata de corn dengan variasi lama fermentasi 11, 12, 13 dan 14 hari masing-masing adalah 83,17%; 85,98%; 88,34%; dan 93,13%. nilai kadar air tertinggi diperoleh dari variasi lama fermentasi 14 hari yaitu 93,13%. bakteri acetobacter xylinum apabila ditambahkan pada medium yang mengandung karbohidrat dan gula tambahan akan membentuk polisakarida yang dikenal selulosa ekstraseluler dan dapat mengalami oksidasi lanjutan yaitu mampu mengoksidasi asam asetat menjadi co2 dan h2o. sehingga semakin lama waktu fermentasi maka h2o 42 43 44 45 46 47 11 12 13 14 44.23 45.41 46.76 46.82 rendemen (%) w a k tu f e rm e n ta si ( h a ri ) sulistyana indo. j. chem. res., 8(1), 79-84, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sul. 82 (air) yang terjebak di dalam lapisan nata semakin banyak dan mengakibatkan kadar air nata yang dihasilkan semakin tinggi (wahyudi, 2013). gambar 3. grafik hubungan antara lama fermentasi terhadap kadar air nata de corn. kadar serat nata de corn hasil analisa kadar serat nata de corn dapat dilihat pada gambar 4. gambar 4 menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tinggi pula kadar serat nata de corn yang dihasilkan. nilai kadar serat nata de corn dengan variasi lama fermentasi 11, 12, 13 dan 14 hari masing-masing adalah 0,8251%; 1,0239%; 1,1762%; dan 1,3091%. nilai kadar air tertinggi diperoleh dari variasi lama fermentasi 14 hari yaitu 1,3091%. gambar 4. grafik hubungan antara waktu fermentasi terhadap kadar serat nata de corn. serat yang terbentuk merupakan hasil perombakan gula pada medium fermentasi oleh aktivitas acetobacter xylinum (hidayat dkk., 2006). acetobacter xylinum mengambil glukosa dari media, digabung dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel. prekursor ini keluar bersama enzim yang mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa ekstraseluler (afiningsih, 2009). oleh karena itu, semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak selulosa ekstraseluler yang dihasilkan sehingga semakin tinggi pula kadar seratnya. kandungan serat ini penting untuk proses pencernaan manusia. semakin tinggi kadar serat pada nata maka semakin bagus produk nata yang terbentuk digunakan sebagai bahan tambahan pangan. data optimum rendemen, kadar air dan kadar serat nata de corn data optimum kualitas nata diperoleh dari nata de corn dengan lama fermentasi 14 hari dengan massa substrat 150 gram. hasil kualitas optimum nata de corn dapat dilihat pada gambar 5. gambar 5. menunjukkan bahwa kualitas optimum nata de corn yang dibuat dari substrat ekstrak jagung kuning muda antara lain rendemen sebesar 46,82%, kadar air sebesar 93,13% dan kadar serat 1,31 %. nilai rendemen ini lebih rendah dibandingkan rendemen nata de tomato yaitu 60,18% (rahardyan dan parjuningtyas, 2009), dan rendemen nata de cassava yaitu 59,09% (putriana dan aminah, 2013). namun masih lebih tinggi dibandingkan rendemen nata de lontar 43,79%, rendemen nata de durio yaitu 38,94% (talenta, 2018). nilai rendemen yang diperoleh ini perlu ditingkatkan lagi dengan pengaturan variasi yang lain seperti variasi penambahan gula atau sumber nitrogen. gambar 5. grafik data kualitas optimum nata de corn dengan lama fermentasi 14 hari nilai kadar air optimum yang kita peroleh adalah 93,13%. nilai ini lebih kecil daripada nilai kadar air nata de tomato yaitu 97,20% (rahardyan dan parjuningtyas, 2009), nata de cassava sebesar 97,83% (putriana dan aminah, 2013), nata de coco sebesar 95,82% (putranto dan taofik, 2017). namun nilai kadar air optimum ini sudah sesuai dengan standar kualitas nata yakni kadar air nata >88% (budhiono dkk., 1999). nilai kadar serat optimum yang kita peroleh ini adalah 1,31%. nilai ini lebih kecil daripada nata de coco yaitu 2,87% (putranto dan taofik, 2017), dan lebih besar dari nata de madoe yaitu 0,4% (simangunsong, 2012). nilai kadar serat 11 12 13 14 83.17 85.98 88.34 93.13 k a d a r a ir ( % ) lama fermentasi (hari) 0.8251 1.0239 1.1762 1.3091 0.70 0.80 0.90 1.00 1.10 1.20 1.30 1.40 11 12 13 14 k a d a r s e ra t (% ) waktu fermentasi (hari) 0 20 40 60 80 100 yield kadar air kadar serat 46.82 93.13 1.31 p e rs e n ta se ( % ) kualitas nata de corn sulistyana indo. j. chem. res., 8(1), 79-84, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sul. 83 optimum ini sudah sesuai dengan standar sni tentang kualitas nata yakni maksimal 4,5%. dari hasil uji rendemen, kadar air dan kadar serat menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin tinggi nilai %rendemen, kadar air dan kadar serat nata de corn. hal ini berkaitan erat dengan kurva pertumbuhan mikroba. pada waktu fermentasi 14 hari merupakan fase eksponential fase. pada fase ini mikroba melakukan pertumbuhan sehingga menghasilkan produk secara optimal (ramayanti dan giasmara, 2017). penelitian tidak dilakukan lebih dari 14 hari karena bakteri acetobacter xylinum mengalami fase kematian setelah 14 hari. semua hasil uji memenuhi standar kualitas nata. oleh karena itu nata de corn yang terbuat dari hasil fermentasi jagung kuning muda dapat digunakan sebagai alternatif bahan makanan tambahan sebagai bentuk diversifikasi pangan. kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak jagung kuning muda dapat digunakan sebagai bahan pembuat nata de corn dengan kondisi optimum lama fermentasi 14 hari. hasil karakterisasi nata de corn dari substrat jagung kuning muda meliputi rendemen, kadar air dan kadar serat masing-masing adalah 46,82%, 93,13% dan 1,31%. nilai ini telah memenuhi standar kualitas nata sesuai sni no. 01-4317-1996. ucapan terimakasih penulis mengucapkan terimakasih kepada universitas islam negeri (uin) mataram yang telah membiayai penelitian ini melalui dana boptn dipa uin mataram tahun 2019 dan pihak-pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. daftar pustaka afiningsih, n., 2009. karakteristik nata de cottoni dengan penambahan dimetil amino fosfat (dap) dan asam asetat glasial, skripsi. ipb, bandung. association of official analytical chemist, 2005. official methods of analysis, washington dc. astuti, m.h., suranto, dan setyaningsih r., 2002. pembuatan nata de cashew dengan variasi konsentrasi sukrosa dan amonium pospat, j. biologycal diversity, 2(2). budhiono, a., rosidi, b., taher, h., and iguchi, m., 1999. kinetic aspects of bacterial cellulose formation in nata-de-coco culture system, carbohydrate poly., 40(2), 137-143. hamad, a., hidayah, b. i., sholekhah, a., dan septhea, a. g., 2017. potensi kulit nanas sebagai substrat dalam pembuatan nata de pina, jrst (jurnal riset sains dan teknologi), 1(1), 09-14. hidayat, n., suhartini, s., dan padaga, m.c., 2006. mikrobiologi industri, andi offset, yogyakarta. ismawanti, i., baharuddin, m., dan rizandi, w., 2013. pengaruh penambahan ammonium sulfat terhadap kadar serat dan ketebalan pada nata de soya dari limbah cair tahu, al-kimia, 1(1), 18-29. musta, r., haetami, a., dan salmawati, m., 2017. biodiesel hasil transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol, indo. j. chem. res., 4(2), 394-401. putranto, k., dan taofik, a., 2017. penambahan ekstrak toge pada media nata de coco, j. istek, 10(2), 138-149. putriana, i., dan aminah, s., 2013. mutu fisik, kadar serat dan sifat organoleptik nata de cassava berdasarkan lama fermentasi, j. pangan dan gizi, 4(1), 29-38. rachim, s.a.g., raya, i., zakir, m., 2017. modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas, indo. j. chem. res., 5(1), 47-52. rahardyan, d. n., dan parjuningtyas, s., 2009. pemanfaatan buah tomat sebagai bahan baku pembuatan nata de tomato, seminar tugas akhir s1 jurusan teknik kimia undip. http://eprints.undip.ac.id/1431/ ramayanti, c., dan giasmara, k.r., 2017. pembuatan bioetanol berbahan baku kertas bekas menggunakan metode hidrolisis asam dan fermentasi, indo. j. chem. res., 5(1), 20. simangunsong, r., 2012. mutu nata de madoe hasil fermentasi acetobacter xylinum pada media berbahan dasar madu afkir, skripsi, ipb, bandung. sulistiyana, kurniawan, f., dan ulfin, i., 2014. pemanfaatan rebung dan bambu sebagai membran selulosa, pascasarjana unesa, 1001. suprihatin, 2010. teknologi fermentasi. unesa press, surabaya, 27. talenta, t., 2018. pengaruh variasi jenis gula terhadap ketebalan, rendemen dan uji organoleptik nata de durio, skripsi. universitas sanata dharma, yogyakarta. taufik, suarti, b., dan riadi, a., 2015. studi pembuatan nata dari kulit pisang (nata de banana skin), agrium: jurnal ilmu pertanian, 17(2), 114-123. sulistyana indo. j. chem. res., 8(1), 79-84, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-sul. 84 u.s. department of agriculture, 2018. agriculture research service, usda national nutrient database for standard reference: nutrient data for 11167, corn, sweet, yellow, raw. nutrient data laboratory home page. https://fdc.nal.usda.gov/fdc-app.html#/fooddetails/169998/nutrients [september 16, 2018] wahyudi, w., 2013. pemanfaatan kulit pisang (musa paradisiaca) sebagai bahan dasar nata de banana peel dengan penambahan gula aren dan gula pasir, s1, universitas muhammadiyah surakarta. http://eprints.ums.ac.id/26645/ warisno, 2004. mudah & praktis membuat nata de coco, agromedia pustaka, jakarta. yustinah, 2012. pengaruh jumlah sukrosa pada pembuatan nata de pina dari sari buah nanas.. konversi, 1(1), 29-36. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 99 103 99 effects of contamination detergent (las) on the expression of inos in kidney common carp (cyprinus carpio l.) pengaruh kontaminasi detergen (las) terhadap ekspresi inos pada ginjal cranial ikan mas (cyprinus carpio. l) ruku r borut* study program of aquaculture, faculty of fisheries and marine science pattimura university, jl. mr. chr. soplanit kampus poka, ambon, 97234 *corresponding author e-mail: rukubdp75@gmail.com / ratufish@yahoo.co.id received: december 2013 published: january 2014 abstract this research aims to know the expression of inos in the kidney of fish contamination of las (linear alkylbenzene sulfonat). expression of inos observations of renal cells cranial common carp by using immunohistochemical methods show that distribution in the cytoplasma and inos cell nucleus. expression o f inos in the head kidney tissue distribution carp tubules and other networks is uneven. expression of inos on a network of tubules occurs in cells on the outside. on other network distribution unevenly inos expression. expression of inos in the head kidney tissues of common carp found in the control group and treatment group las contamination during 48 hours of observation. expression of inos in the control group or normal ranges from 4.25-5.5 % of cells, treatment a (0,01 mg/l las) 10.5-15.75 % cell, treatment b (0,02 mg/l las) 9.7522.25 % cell, treatment c (0,03 mg/l las) 10.75-21.00 %, treatment d (0,04 mg/l las) 14.5-18.00 % cell and treatment e (0,05 mg/l las) 13.00-18.00 % cell. standard deviation on the control ranges from 2,08 up 3.4 while in group treatment ranged 1 to 1.25 keywords: las, expression of inos, cyprinus carpio l. pendahuluan ikan merupakan organisme akuatik yang selalu dihadapkan pada adanya stressor (penyebab stress) baik di perairan alami maupun dalam kondisi budidaya. stressor lingkungan terutama meliputi kondisi kimia perairan yang kurang baik, seperti adanya bahan pencemar yang merupakan stressor lingkungan (iwama dkk., 2003). salah satu bahan pencemar yang saat ini banyak ditemukan di perairan umum adalah las (linear alkylbenzene sulfonat) yang merupakan bahan aktif dalam produk detergen (anonim, 2004). detergen merupakan surfaktan yang sangat luas penggunaannya baik untuk keperluan rumah tangga maupun industri (bateman et al., 1986 dalam sudiana, 2004). jenis surfaktan yang paling banyak digunakan dalam detergen adalah tipe anionik dalam bentuk sulfat (so4 2– ) dan sulfonat (so 3– ) (schleheck et al., 2000 dalam sudiana, 2004). berdasarkan rumus struktur kimianya, detergen golongan sulfonat dibedakan menjadi dua jenis (grayson, 1983 dalam sudiana, 2004), yaitu jenis rantai bercabang sebagai contoh alkil benzene sulfonat (abs), dan jenis rantai lurus linear alkil sulfonat (las). kedua jenis senyawa tersebut di lingkungan terus meningkat, hal tersebut sejalan dengan penggunaan detergen yang makin meningkat (kirk dan othmer, 1979 dalam sudiana, 2004). ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu (mark, 1981 dalam sudarmadi, 1993). ikan mas (cyprinus carpio l.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (sudarmadi, 1993). di indonesia ikan yang termasuk famili mailto:rukubdp75@gmail.com%20/%20ratufish@yahoo.co.id ruku r borut / ind. j. chem. res, 2014, 1, 99 103 100 cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8-12 cm (sudarmadi, 1993). ginjal adalah tempat utama dari polutan lingkungan penyebab toksisitas, dengan konsekuensi fungsi ginjal yang terganggu akan berpotensi mengancam kehidupan. dengan demikian penting untuk memahami mekanisme seluler yang mendasari fungsi ginjal normal dan menentukan polutan nephrotoksik yang mempengaruhinya. kontribusi penting pada pengetahuan tentang fungsi ginjal dan nephrotoksisitas polutan telah dilakukan oleh para peneliti menggunakan pendekatan komparatif dengan hewan-hewan akuatik (miller, 1997) respon seluler terhadap stress eksternal di perairan dapat ditunjukkan oleh ginjal ikan mas (cyprinus carpio. l) karena dapat memicu timbulnya inos. akibat dari paparan dalam jangka panjang suatu stressor antara lain penurunan pertumbuhan, resistensi penyakit, keberhasilan reproduksi, pernapasan dan kemampuan renang (barton, 1997 dalam iwama dkk., 1999). oleh karena itu pendeteksian dini keberadaan suatu stressor di perairan sangat penting, untuk sedini mungkin dapat dilakukan upaya rehabilitasi terhadap lingkungan perairan yang tercemar dengan perubahan yang terjadi dalam ekspresi inos selanjutnya dapat dijadikan biomarker, yang merupakan sistem peringatan dini adanya paparan polutan dan indikasi adanya perubahan kondisi lingkungan perairan. metodologi a. alat dan bahan alat yang digunakan dalam adalah do meter type oxi315i merk wtw; ph meter type ad140ph merk ama-digit; timbangan analitik tipe aa-250 merk denver instrument company; timbangan analitik tipe xl-3100 merk denver instrument; botol sampel; dan perlengkapan bedah.inkubator 55-63 o c; hot plate; pinset; pipet tetes, kotak preparat, waterbath suhu 95 o c; pembuat blok; freezing mikrotom; pisau mikrotom dan bunsen. sedangkan untuk analisis imunohistokimia inos alat yang digunakan adalah mikropipet 1000μl, 100μl, 20μl dan spuit; mikroskop fluorescent nikon optiphot-2. bahan yang digunakan adalah jaringan ginjal cranial ikan mas; slide; cover slide; 4% paraformaldehid dalam pbs (phosphate buffered saline); ethanol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan absolute); xylol dan parafin. sedangkan untuk analisis imunohistokimia inos bahan yang digunakan adalah pbs ph 7,4 (pembuatan pbs dengan mencampurkan 8 mm na2hpo4; 1,4 mm kh2po4; 140 mm nacl; 2,7 mm kcl; dan ditepatkan pada ph 7,4 dengan menggunakan naoh); aquades; 3% h2o2 dalam pbs; 5% fbs (fetal bovine serum); antibodi primer (antibodi polyclonal anti-inos); antibodi sekunder (goat anti rabbit igg berlabel biotin); dab (diamono benzidine); mayer’s hematoxilen dan entellan. b. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan eksplorasi laboratorium berdasarkan kajian kimia dan molekuler. rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (ral), dengan perlakuan dosis kontaminasi linear alkylbenzene sulfonat (las): 0.01 mg/l, 0.02 mg/l, 0.03 mg/l, 0.04 mg/l, 0.05 mg/l dan kontrol. peubah yang diamati adalah inducible nitric oxide synthase (inos) yang terdapat dalam jaringan ginjal ikan mas (cyprinus carpio l.), dengan waktu pengamatan mengacu pada prosedur penelitian toksisitas yaitu selama 48 jam. prosedur penelitian yang dilakukan meliputi: pengambilan ikan, aklimatisasi, perlakuan las, isolasi jaringan ginjal cranial ikan mas dan pengamatan peningkatan inos pada ginjal cranial ikan mas. pendeteksian inos pada jaringan ginjal cranial ikan mas dilakukan dengan metode imunohistokimia (ramos-vara, 2005). ruku r borut / ind. j. chem. res, 2014, 1, 99 103 101 c. analisis data data inducible nitric oxide synthase (inos) dalam jaringan ginjal cranial ikan mas akan di interpretasi secara deskriptif yaitu dengan menghitung jumlah sel yang terekspresi (ditandai dengan warna kecokelatan) setiap 100 sel pada suatu lapang pandang dengan menggunakan mikroskop fluorescent nikon optiphot-2 pada perbesaran 200x, 400x dan 1000x dan dinyatakan dalam persen (%), untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan ekspresi inos pada ginjal cranial ikan mas dapat dipicu oleh linear alkylbenzene sulfonat (las). hasil ini akan menjadi dasar dalam penggunaan in os sebagai biomarker keberadaan las di lingkungan perairan budidaya maupun alami. hasil dan pembahasan a. inducible nitric oxide synthase (inos) pada hasil pengamatan ekspresi inos terhadap sel-sel ginjal cranial (head kidney) ikan mas (cyprinus carpio l.) dengan menggunakan metode imunohistokimia, menunjukkan bahwa inos terdistribusi pada sitoplasma dan inti sel. warna coklat dalam sitoplasma dan inti pada sel yang mengekspresi inos diamati dengan menggunakan mikroskop fluorescent nikon optiphot-2 pada pembesaran 1000 x. ekspresi inos pada head kidney ikan mas terdistribusi pada jaringan tubulus dan jaringan lainnya secara tidak merata. pada jaringan tubulus ekspresi inos terjadi pada sel di bagian luar. pada jaringan lainnya ekspresi inos terdistribusi tidak merata. ekspresi inos dalam jaringan head kidney ikan mas ditemukan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan kontaminasi las selama 48 jam pengamatan. ekspresi inos pada kelompok kontrol atau normal (k) berkisar 4.25-5.5 % sel, perlakuan a (kontaminasi 0,01 mg/l las) 10.5-15.75 % sel, perlakuan b (kontaminasi 0,02 mg/l las) 9.75-22.25 % sel, perlakuan c (kontaminasi 0,03 mg/l las) 10.75-21.00 %, perlakuan d (kontaminasi 0,04 mg/l las) 14.5-18.00 % sel dan perlakuan e (kontaminasi 0,05 mg/l las) 13.00-18.00 % sel. standar deviasi pada kontrol berkisar antara ± 2,08 sampai ± 3,4 sedangkan pada kelompok perlakuan berkisar antara ± 1.00 sampai ± 1.25 dapat di lihat pada gambar 1. (a) (b) gambar 1. ekspresi inos dalam jaringan ginjal cranial ikan mas pada kontaminasi las (% sel) a) waktu 24 jam b) waktu 48 jam pengamatan ekspresi inos dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik pemulasan imunohistokimia menunjukkan bahwa inos dalam sel ginjal cranial ikan mas terdistribusi pada sitoplasma maupun nukleus/inti sel. hal ini didukung dengan pernyataan cronstein et al (1993), kendall et al (2000) newton (2000), bahwa inos merupakan molekuler intraseluler yang ditemukan di dalam sitosol, mitokondria, retikulum endoplasma, dan nukleus eukariot. dalam synthase no (nos), ekspresi inos dihasilkan oleh stimulasi beragam cytokiner ataupun infeksi bacteria. nathan (1992). memperlihatkan bahwa adenosin, yang menjadi nukleosida endogenus, punya sejumlah aksi biologis terhadap beragam sel dan dapat memodulasi beragam fungsi sel ruku r borut / ind. j. chem. res, 2014, 1, 99 103 102 yang terlibat dalam respon inflamasi. (cronstein et al, 1991, 1993). berdasarkan rangsangan las ini melalui suatu sistem sinyal transduksi akan menstimulasi suatu bahan kimia sel yang didalam dikenal sebagai second messenger. di dalam sitoplasma akan terjadi suatu reaksi berantai biokimia, yang menyebabkan terjadi fosforilasi berbagai protein, yang menginduksi berbagai proses biokimia dan fisiologis seperti motolitas, pembelahan sel, ekspresi gen dan metabolisme seluler. hal ini di dukung pendapat carafoli et al, (1990), dedman & kaetzel (1998) bahwa second messenger terdapat pada berbagai lokasi di sel mulai dari matriks sel, molekul adesi, di dalam membran sel, dalam organela sel, inti sel dan sitoplasma dalam bentuk yang terikat dengan reseptor protein maupun dalam kondisi bebas berperan dalam homeostatis sel. ekspresi inos pada ginjal cranial ikan mas terjadi di jaringan tubulus dan di jaringan lain menunjukkan bahwa pada dasarnya peningkatan ekspresi inos dapat diekspresi oleh semua sel. menurut cronstein et al (1991, 1993), nathan (1992) bahwa inos adalah enzim nos yang terdapat di seluruh sel, berperan penting dalam peningkatan sel selama dalam kondisi stres. b. kualitas air hasil pengukuran parameter kualitas air selama 48 jam menunjukkan kondisi yang tidak fluktuatif. suhu berkisar antara 22,122,8 o c, oksigen terlarut 6,09-6,63 mg/l dan ph 7,52-7,80. data parameter kualitas air menunjukkan kondisi perairan yang stabil pada suhu dan ph, sedangkan pada oksigen terlarut menunjukkan kondisi perairan yang cenderung menurun. hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian pada kelompok kontrol dan perlakuan adalah suhu berkisar antara 22,1-22,8 o c, oksigen terlarut 5,50-6,63 mg/l dan ph 7,4-7,8 (table 1). kisaran parameter kualitas air pada tabel 1 tersebut di atas berada dalam kondisi optimum bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan mas. susanto (1987) menyatakan bahwa lingkungan perairan yang ideal untuk ikan mas di jaringan yang berketinggian 150 -600 m di atas permukaan laut dengan suhu air berkisar antara 20 – 35 o c. selanjutnya (sutisna dan sutarmanto, 1995) menjelaskan bahwa kandungan oksigen terlarut sebesar 5 ppm optimal bagi pembenihan ikan mas. co2 berkisar antara 10 -100 ppm, kandungan amoniak kurang dari 1 ppm, ph air berkisar antara 6,7 – 8,2. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan : kontaminasi las (0.01 mg/l selama 48 jam sudah dapat memicu peningkatan ekspresi inos pada sitoplasma dan inti sel dalam jaringan ginjal ikan mas (cyprinus carpio l.). daftar pustaka anonim, 2004, detergen. badan pengawas obat dan makanan republik indonesia. deputi bidang pengawasan produk tabel 1. data parameter suhu, do dan ph selama 48 jam ruku r borut / ind. j. chem. res, 2014, 1, 99 103 103 terapetik dan napza. www.pom.go.id.htm. 23 juli 2007. cronstein bn, eberle ma, gruber he, levin ri, 1991, methotrexate inhibits neutrophil function by stimulating adenosine release from connective tissue cells. proc natl acad sci usa 88:24412445. cronstein bn, naime d, ostad e, 1993, the antiinflammatory mechanism of methotrexate. increased adenosine release at inflamed sites diminishes leukocyte accumulation in an in vivo model of inflammation. j. clin invest 92:2675-2682. iwama, g.k, 2008, stress in fish. institute for marine biosciences, national research council of canada, nova scotia. http://www-heb.pac.dfompo.gc.ca/pdf. 28 februari 2008. iwama, g.k.; l.o.b. afonso; a. todgham; p. ackerman dan k. nakano, 2003, are hsps suitable for indicating stressed states in fish? the journal of experimental biology 207:15-19. iwama, g.k.; l.o.b. afonso dan m.m. vijayan, 2004a, stress in fish. aquanet workshop on fish walfare. september 27, 2004. http://aquanet.ca/ iwama/pdf. 15 agustus 2007. iwama, g.k.; p.t. thomas; r.b. forsyth dan m.m. vijayan, 2004b, heat shock protein expression in fish. springerlink journal 8: abstrak. kendall hk, haase hr, li h, xiao yg, bartold pm, 2000), nitric oxide synthase type-ii is synthesized by human gingival tissue and cultured human gingival fibroblasts, j. periodontal res 35:194200. nathan c., 1992, nitric oxide as a secretory product of mammalian cells. faseb j., 6:3051-3064. nathan cf, hibbs jb, 1991, role of nitric oxide synthesis in macrophage antimicrobial activity. curr opin immunol 3:65-70. newton, 2000, molecular mechanism of glucocorticoid action : what is important?. thorax 55:603-613. sudiana, i made, 2004, peran komunitas mikroba lumpur aktif dalam perombakan detergen alkil sulfonat linear dan benzena alkil sulfonat pusat penelitian biologi-lipi. bogor. indonesia sutisna, d. h. dan r. sutarmanto, 1995, pembenihan ikan air tawar. kanisius. jogyakarta. 135 hal http://www.pom.go.id/ http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/pdf http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/pdf indochem ind. j. chem. res, 2015, 3, 259 262 259 quality analysis of honey mallawa parameters based on physical chemistry analisis kualitas madu mallawa berdasarkan parameter fisika kimia sukmawati 1 , alfian noor 2 , firdaus 2 1 departement of chemistry, faculty of science, university of hasannudin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia received: juni 2015 published: july 2015 abstract analysis of chemical physics parameters on mallawa honey has been done as density, viscosity, hmf, reducing sugars, sucrose and enzyme diastase. the results obtained showed that the average weight of honey mallawa is 1.373 g / ml, the viscosity of 10.9651 p, hmf amounted to 49.120 mg / kg, reducing sugar amounted to 70.752% w/w, sucrose at 3:25 w/w and enzymes diastase of 3.805 dn, this is according with iso and ihc (international honey commition) that category honey mallawa still good enough for consumption. keywords: honey, density, viscocity, hmf, reducing sugar, sucrose, enzymes diastase. pendahuluan madu merupakan larutan gula jenuh alami, yang terutama terdiri atas campuran karbohidrat kompleks. selain itu juga mengandung air serta komponen minor namun mengandung gizi yang penting seperti vitamin, mineral, enzim, senyawa organik, asam amino bebas dan berbagai senyawa volatil. namun, komponen minor ini yang bertanggung jawab untuk sifat organoleptik dan gizi madu (baroni, 2006). madu hutan yang diproduksi oleh hutan mallawa maros berasal dari lebah hutan jenis apis dorsata yaitu salah satu spesies lebah hutan yang hidupnya liar. produksi madu yang berasal dari hutan mallawa maros madunya belum dipasarkan secara luas hanya sebatas untuk konsumsi masyarakat setempat saja sehingga madu dari mallawa maros ini belum terlalu dikenal. di samping itu informasi tentang kualitas madu mallawa maros belum dikenalkan sehingga masyarakat masih sulit membedakan madu yang asli dengan madu yang palsu. kualitas madu ditentukan oleh beberapa hal di antaranya waktu pemanenan madu, kadar air, warna, rasa dan aroma madu. waktu pemanenan madu harus dilakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika madu telah matang dan sel-sel madu mulai ditutup oleh lebah. selain itu, kadar air yang terkandung dalam madu juga sangat berpengaruh terhadap kualitas madu. madu yang baik adalah madu yang mengandung kadar air sekitar 17-21 % (sihombing, 1997). indonesia, untuk kualitas madu sudah ditentukan berdasarkan standar nasional indonesia (sni) nomor 3545 : 2013 seperti yang tercantum pada tabel 3. standar tersebut merupakan kriteria dari mutu madu yang telah ditetapkan oleh badan standarisasi nasional (bsn) dan merupakan hasil revisi dari sni tentang syarat mutu madu tahun 2013. sihombing (2005) menjelaskan bahwa madu kaya akan karbohidrat sederhana karena lebah pekerja meminum nektar dan memuntahkannya kembali sambil menambahkan enzim diantaranya enzim diastase dan invertase. enzim diastase merupakan enzim yang dihasilkan oleh lebah pada saat proses pematangan madu. diastase memilki peran untuk menilai kualitas madu karena enzim tersebut berasal dari tubuh lebah. dibeberapa negara aktivitas enzim diastase digunakan untuk kemurnian dan kesegaran madu. penggunaan nilai aktivitas enzim diastase menunjukkan indikator penentuan kesegaran madu, namun pernytaan ini ini dipatahkan oleh tosi et al. (2008) dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa pemanasan madu pada suhu tertentu di bawah 100 0 c yang konstan selama jangka waktu sukmawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 259 262 260 tertentu dapat meningkatkan nilai diastase. oleh karenanya indikator lain yang diperlukan untuk menentukan apakah madu telah mengalami proses pemanasan yaitu dengan memperhatikan nilai 5-hydroxymethylfurfural (hmf). komponen utama madu adalah karbohidrat dari golongan monosakarida yang terdiri atas glukosa dan fruktosa. dalam pengujian mutu madu menurut sni, kedua monosakarida tersebut diistilahkan sebagai gula pereduksi. kucuk et. al (2007) menyatakan bahwa perbedaan kandungan gula pereduksi dapat terjadi karena madu yang belum matang sudah dipanen padahal proses inversi oleh enzim invertase lebah dari sukrosa nektar menjadi glukosa dan fruktosa pada madu belum sempurna. penyebab lain yang bisa terjadi adalah karena adanya pencampuran dengan zat-zat lain (sukrosa atau air) sehingga gula reduksi menjadi lebih rendah. oleh karena itu sni madu mensyaratkan kandungan sukrosa dalam madu kurang dari 5 %. berat jenis dan kekentalan madu merupakan salah satu parameter yang dapat membedakan madu alami dan madu buatan selain itu dengan mengetahui parameter tersebut dapat diketahui jumlah gula dan air yang terkandung dalam madu (james, et, al. 2009). berdasarkan latar belakang di atas, telah dilakukan analisis kualitas madu mallawa berdasarkan parameter fisika kimia. sampel madu diperoleh dari hutan kecamatan mallawa kabupaten maros provinsi sulawesi selatan. sampel madu diambil dari 5 titik sampel dan disimpan dalam botol kaca yang sejuk dan kering. metode penelitian alat alat-alat gelas yang umum yang digunakan di laboratorium, cawan porselen, , neraca analitik mettler ae 100, hotplate maspion s300, batang pengaduk, labu semprot, desikator, lutron ph-meter 201, konduktometer, thermometer, aerator, spektrometer fotoelektrik, refraktometer dan spektrofotometer uv vis. bahan madu hutan, akuades, larutan asam nitrat (hno3) 0,1 m, kertas label, kertas saring whatman 42 , larutan carrez i, larutan carrez ii, natrium bisulfit (nahso3) 0,20 %, larutan stock iod, larutan dapar asetat, natrium klorida (nacl) 0,5 m, larutan asam nitrat (hno3) 5 n, kertas label, kertas saring whatman 42, natrium hidroksida (naoh) 0,1 n, air deionisasi, asam nitrat (hno3) p.a.65 % ,asam klorida (hcl) p.a 37 %, naoh 30 %, larutan luff, ki 20 %, ki 25%, h2so4 25 %, kanji 0,5 %, natrium sulfat. gambar 1. lokasi pengambilan sampel madu prosedur kerja a. preparasi sampel sampel madu yang diperoleh dari hutan mallawa maros selanjutnya dimasukkan kedalam wadah yang bebas kontaminasi untuk selanjutnya dilakukan analisa berbagai parameter seperti viskositas, berat jenis, gula pereduksi, sukrosa, enzym diastase dan hmf. b. penentuan berat jenis dan viskositas sampel madu dimasukkan kedalam piknometer yang bersih dan kering dan telah diketahui bobot kosongnya. sedangkan untuk penentuan viskositas, sampel madu dimasukkan ke dalam alat viskosimeter kemudian bola yg ternuat dr baja steinles steel dijatuhkan selanjutnya dicatat waktu jatuhnya bola, kemudian sebagai pembanding digunakan aquabides dan dilakukan hal yang sama terhadap contoh aquabides c. penentuan gula pereduksi dan sukrosa 2 g sampel dimasukkan dalam labu ukur 250 ml kemudian ditambahkan 5 ml pb asetat hingga terbentuk endapan putih selanjutnya tambakan 15 ml amonium hidrogen posfat, homogenkan dan himpitkan lalu saring. setelah itu pipet 10 ml hasil saringan dan tambahkan 15 ml air suling dan 25 ml larutan luff, kemudian panaskan selama 10 menit, angkat dan dinginkan, selanjutnya tambahkan 10 ml larutan ki 20% sukmawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 259 262 261 dan 25 ml larutan asam sulfat 25%. dan titrasi dengan tio dengan mengunakan indikator kanji.lakukan penetapan blanko. diambil 50 ml hasil saringan dari gula pereduksi, masukkan ke dalam labu 100 ml dan tambahkan 25 ml hcl 25% selanjutnya dihidrolisis di atas penangas air hingga mencapai suhu 68-70 o c (pakai termometer) dan dinginkan. tambahkan naoh 30% sampai netral (warna merah jambu) dengan indikator pp, himpitkan dan homogenkan. pipet 10 ml larutan masukkan dalam erlenmeyer 500 ml, ditambahkan 15 ml air suling dan 25 ml larutan luff. selanjutnya lakukan prosedur yang sama dengan gula pereduksi d. penentuan enzim diastase dan hmf 5 g madu dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian ditambahkan 10 ml air dan 2,5 ml larutan dapar asetat, dihomogenkan lalu dipindahkan ke dalam labu ukur 25 ml yang berisi 1,5 ml larutan nacl, tepatkan sampai tanda batas. selanjutnya ditetapkan absorbansinya dengan cara, dipipet 10 ml larutan contoh dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 50 ml (letakkan di atas penangas air). setelah 15 menit, larutan pati dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam larutan contoh, dihomogenkan dan hidupkan stpwatch. setiap interval 5 menit, dipipet 1 ml campuran contoh dan ditambahkan ke dalam 10 ml larutan iod. campurkan, kemudian encerkan sampai volume sebelumnya dan ditetapkan nilai absorbansinya pada λ 660 nm. dicatat waktu sejak pencampuran pati dengan madu sampai dengan penambahan cairan kepada iod sebagai batas waktu reaksi. lanjutkan pengambilan larutan dalam selang waktu tertentu sampai diperoleh nilai a < 0,235. sedangkan untuk penentuan nilai hmf : contoh madu ditimbang teliti sebanyak 5 g (sampai ketelitian 1 mg) dalam piala gelas kecil, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan dibilas dengan air sampai volume larutan 25 ml. ditambahkan 0,50 ml larutan carrez i, dikocok dan ditambahkan lagi 0,50 ml larutan carrez ii, kocok kembali lalu diencerkan dengan air sampai dengan tanda garis. ditambahkan setetes alkohol untuk menghilangkan busa pada permukaan, disaring melalui kertas saring, dan 10 ml saringan pertama dibuang. dipipet 5 ml saringan dan masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi 18 ml x 150 ml. dipipet 5 ml air dan dimasukan ke dalam salah satu tabung (contoh) dan 5 ml 0,20 % natrium bisulfit ke dalam tabung lainnya (pembanding), dikocok sampai tercampur sempurna (vordex mixer) dan ditetapkan absorban contoh terhadap referensi (pembanding) dalam sell 1 cm pada panjang gelombang 284 nm dan 336 nm. bila absorban lebih tinggi dari 0,6 untuk memperoleh hasil yang teliti, larutan contoh diencerkan dengan air sesuai kebutuhan. demikian juga dengan larutan pembanding (larutan referensi) diencerkan dengan cara sama dengan menggunakan larutan nahso3 0,1 %. hasil dan pembahasan hasil pengamatan pada tabel 1 menunjukkan bahwa rataan nilai aktivitas enzim diastase kelima jenis madu hutan adalah 3,805 dn. hal ini sesuai dengan standar dalam sni yang menyatakan bahwa nilai diastase suatu madu minimal 3 dn. namun nilai diastase kelima jenis madu mallawa ini tergolong rendah (3,805 dn), hal ini menurut tosi et al., (2008) menguraikan bahwa honey quality and international regulatory standad yang dikeluarkan oleh international honey commision menyatakan bahwa aktivitas enzim diastase tidak boleh dibawah 8. rendahnya nilai aktivitas enzim diastase menunjukkan madu sudah tidak segar lagi atau telah mengalami proses pemanasan yang menggunakan suhu tinggi untuk meningkatkan viskositas dan menurunkan kadar airnya. berdasarkan hasil statistik dari penentuan nilai hmf untuk kelima jenis madu yang berasal dari mallawa ini, menunjukkan hasil yang memenuhi standar mutu sni (maksimal 50 mg/kg) dan ihc yaitu ≤ 60 mg/kg, sedangkan hasil penelitian menunjukkan rataan nilai hmf sebesar 49,120 mg/kg (tabel 1). semakin tinggi nilai hmf pada madu, berarti sampel madu tersebut telah mengalami proses pemanasan yang lebih tinggi atau semakin lama tersimpan. dengan demikian, madu yang memiliki nilai diastase antara 3 dan 8 dn, maka hmf tidak boleh melebihi 15 mg/kg. pada tabel 1 diatas menunjukkan bahwa kelima jenis madu hutan mengandung hmf 49,120, hal ini berarti rendahnya nilai enzim diastase (3,805 dn) bukan disebabkan oleh pemanasan yang tinggi. gula pereduksi dan sukrosa dalam pengujian mutu madu menurut sni, kedua monosakarida yang terdiri atas glukosa sukmawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 259 262 262 dan fruktosa tersebut diistilahkan sebagai gula pereduksi. berdasarkan kandungan gula pereduksinya, maka kelima sampel madu hutan mallawa memenuhi standar mutu sni dan standar international honey commision (ihc) yang berada pada kisaran ≥ 40 – 65 %. tabel 1. hasil analisis parameter kimia fisika madu dari sampel madu mallawa. sam pel parameter kimia fisika spec gravity (g/ml) visc (p) hmf (mg/kg) gula pereduksi (% b/b) sukros a(% b/b) enzym diastase (dn) m1 1.4160 10.0090 72.576 72.27 4.55 1.4081 m2 1.3407 10.9831 34.220 65.62 4.53 2.3879 m3 1.3436 11.1369 43.517 71.77 3.32 3.9994 m4 1.3488 11.0462 54.635 71.78 3.55 4.5697 m5 1.4139 11.6321 40.651 72.32 2.87 6.6587 ratarata 1,373 10.9651 49,120 70,752 3.25 3,805 sni 10 50 min 65 mak 5 3 ihc ≤ 60 ≥ 45 ≥ 5 ≥ 3 dari kelima jenis madu yang diteliti, hampir seluruhnya memenuhi standar sni dan ihc kecuali sampel madu 2 yang mempunyai nilai gula pereduksi sebesar 65,62 % (tabel 1). perbedaan kandungan gula pereduksi dapat terjadi karena madu yang belum matang sudah dipanen padahal proses inversi oleh enzim invertase lebah dari sukrosa nektar menjadi glukosa dan fruktosa pada madu belum sempurna. penyebab lain yang bisa terjadi adalah karena adanya pencampuran dengan zat-zat lain (sukrosa atau air) sehingga gula reduksi menjadi lebih rendah. oleh karena itu sni madu mensyaratkan kandungan sukrosa dalam madu kurang dari 5 %. kesimpulan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata rata berat jenis madu mallawa adalah 1,373 g/ml, viskositas sebesar 10.9651 p, hmf sebesar 49,120 mg/kg , gula pereduksi sebesar 70,752 %b/b, sukrosa sebesar 3.25 b/b dan enzim diastase sebesar 3,805 dn. daftar pustaka baroni, m. v., nores, m. l., diaz, m., chiabrando, g. a., fassano, j.p., costa, c and wunderlin, d., 2006. determination of volatile organic compound petterns charactheristic of five univoral honeys by solid-phase microextraction-gas chromatography-mass spectrometry coupled to chemimetrics. j. agric. food chem. 54: 7235-7241. james oo, mesubi ma, usman la, yeye so, ajanaku ko, ogunniran ko, anjani oo, siyanbola o. 2009. physical characterisation of some honey samples from north-central nigeria. int j phys sci. 4(9):464-470 sihombing, 1997. ilmu ternak lebah madu. yogyakarta : gajah mada universitas press. sihombing, d.t.h., 2005. ilmu ternak lebah madu, gadjah mada university press, yogyakarta. standar nasional indonesia, 1992. sni 012892-1992: cara uji gula. standar nasional indonesia. pusat standardisasi industri. departemen perindustrian. jakarta standar nasional indonesia, 2013. sni 3545-2013: madu. badan standarisasi nasional indonesia. jakarta tosi e, ciappini m, lucero h. 2002/8. honey thermal teratment effect on hydroxymethylfulfural content. food chem, 77: 71-74 indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 78 82 78 the characterization of clays from latuhalat village activated using ammonium nitrate karakterisasi lempung asal desa latuhalat yang teraktivasi amonium nitrat jolantje latupeirissa * , eirene grace fransina chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *e-mail: jolatu@fmipa.unpatti.ac.id received: september 2013 published: january 2014 abstract research on characterization clays from latuhalat village before and after the activation using ammonium nitrate has been carried out. the brick was grinded, washed with aquadest and filtered. the clays was dried for 4 h in oven at 120°c, then it was soaked in hcl 1m for 30 min and was filtered. the clays in oven at 110°c for 5 h. the clays were sieved and activated using ammonium nitrate solution 700 ppm for 5 hours followed by filtration and heating in a furnace with temperature 500 0 c for 4 hours. the results of this research show that the adsorption of pb 2+ metal ions by ammonium nitrate salts, activated clays occur at ph 7 with 4 hours of contact time at concentrations of 100 ppm and heavy absorbent 0.15 g. next clays are not activated nh4no3 and activated nh4no3 are characterized by sem, ft-ir, and xrd. after the adsorption clays are characterized also by ft-ir. sem micrograph with results on samples of clay before and after activated with magnification 10.000x showed a huge difference. porosity clay before activation is relatively small compared to clay after activated. sample after sample surface showed that activated the typical micro-structure is clearly visible in the shape of the flat, and slightly layered hexagonal. ft-ir analysis of clay before and after activation, activation and after adsorption showed the results did not very much. on clay prior to activation with nh4no3 on the uptake about 900 cm -1 is the functional group montmorilonite. for the clays after adsorption showed the existence of ties between clay particles with metal. for metal uptake there are areas around 425 cm -1 . the result analysis of x-ray diffraction of clays before and after activation of nh4no3 indicates the result value of 2θ in a row is 26,6547 0 and 26,8775 0 which is area with indication of quartz sio2. keywords: clays, activation, ammonium nitrate, adsorption kinetics, ssa, sem, ftir, xrd pendahuluan mineral lempung (clay) sangat umum digunakan dalam industri keramik. mineral lempung merupakan penyusun batuan sedimen dan penyusun utama dari tanah (nelson, 2001). lempung adalah material yang memiliki ukuran diameter partikel < 2 μm dan dapat ditemukan dekat permukaan bumi. bagian luar dari lempung disebut tubuh tanah. pada tubuh tanah ini terdapat akar-akar dan sisa-sisa tumbuhtumbuhan dan bahan-bahan organik lainnya yang membusuk, sehingga memberi warna abu-abu sampai hitam pada tubuh tanah. umumnya unsur-unsur tambahan ini terdiri dari kwarsa dalam bermacam-macam ukuran, feldspat, besi, dan sebagainya. banyaknya unsur tambahan ini bersama unsur organik lainnya menentukan sifatsifat khas dari bermacam tanah liat. sifat-sifat seperti kemungkinan mencair, warna setelah dibakar, dan taraf padat dari sesuatu macam tanah liat sangat dipengaruhi oleh unsur mineral yang ada padanya (astuti, 1997). semua tanah liat mempunyai sifat-sifat yang khas yaitu bila dalam keadaan basah akan mempunyai sifat plastis, bila dalam keadaan kering akan menjadi keras, sedangkan bila dibakar akan menjadi padat dan kuat (astuti, 1997). materi-materi alami, seperti lempung merupakan bahan penyerap yang banyak terdapat di alam. lempung merupakan salah satu sumber daya alam yang terdapat di hampir seluruh wilayah indonesia termasuk di maluku (wattimena, 2010). di daerah maluku desa yang memanfaatkan lempung untuk pembuatan batu bata adalah desa latuhalat. secara geografis latuhalat terletak di sebelah barat kota ambon. j. latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 78 82 79 keberadaan lempung di desa latuhalat sangat melimpah, lempung juga murah dan sangat mudah diperoleh, sehingga banyak penduduk desa latuhalat yang menjadi produsen batu bata. mineral lempung dalam keadaan awalnya memiliki daya serap yang rendah. bila mineral lempung dikontakkan dengan asam anorganik maka akan terjadi penghilangan bermacam-macam mineral sehingga akan memperbesar pori-pori (gondok, 2000). metodologi alat seperangkat peralatan gelas, difraktometer sinar-x, spektroskopi infra merah (ft-ir), scanning electron microscope (sem), tanur listrik, timbangan analitik ohaus, oven (memmert) ayakan, shaker gfl 3005. bahan sisa buangan bata yang diperoleh dari sentra pembuatan batu bata di desa latuhalat, asam klorida, amonium nitrat, perak nitrat, akuades, akuabides, kertas saring whatmanno.42. persiapan sampel lempung yang telah diambil, dicuci dengan akuades beberapa kali, kemudian disaring hingga diperoleh lempung yang bebas dari pengotor seperti pasir, kerikil, dan akar tumbuhan. selanjutnya, lempung dikeringkan selama 2-4 jam dalam oven pada temperatur 120⁰c. penyiapan sampel dilakukan dengan melakukan perendaman sampel dalam hcl 1 m selama kurang lebih 30 menit. setelah itu, sampel dicuci dengan akuades hingga bebas klorida yang mungkin terdapat pada permukaan lempung sampai filtrat yang diperoleh jernih dan bebas ion cl, diuji dengan agno3. sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 110⁰c selama 5 jam, selanjutnya diayak/tapis dengan ayakan. lempung kemudian dikarakterisasi dengan xrd, sem, dan ir. aktivasi dengan garam ammonium nitrat (nh4no3) butiran lempung hasil preparasi selanjutnya direndam dalam larutan ammonium nitrat nh4no3 pada konsentrasi 700 ppm, yang dibuat dengan melarutkan 700 mg nh4no3 dalam 1 liter akuades. perendaman dilakukan selama 5 jam. sampel kemudian disaring dan dipanaskan dalam tanur listrik pada suhu 550⁰c selama kurang lebih 4 jam. sampel lempung yang telah diaktifkan selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan daya adsorbsi. lempung yang teraktivasi kemudian dikarakterisasi dengan sem, ftir.dan xrd hasil dan pembahasan karakterisasi lempung sebelum dan sesudah teraktivasi amonium nitrat menggunakan sem (scanning electron microscope) karakteristik lempung sebelum dan sesudah teraktivasi amonium nitrat dengan menggunakan sem (scanning electron microscope) untuk mengetahui morfologi permukaan lempung. hasil micrograph dengan sem pada sampel lempung sebelum dan sesudah diaktivasi dengan perbesaran 10.000x diperlihatkan pada gambar 1. (a) (a) (b) gambar 1. hasil micrograph lempung sebelum diakivasi (a) dan sesudah diaktivasi (b) hasil micrograph pada gambar 1 (a) dan (b), menunjukan bahwa porositas lempung sebelum aktivasi relatif kecil dibandingkan dengan porositas lempung sesudah diaktivasi. lempung sebelum teraktivasi menunjukan cekungan pori yang kurang jelas, ukuran pori yng kecil dan j. latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 78 82 80 berwarna hitam. lempung yang sudah diaktivasi terlihat bahwa permukaan sampel adalah khas, struktur mikro atau bentuk butir terlihat jelas yaitu berbentuk pipih, berlapis-lapis dan sedikit heksagonal yang tersusun berlapis-lapis. selain itu, hasil micrograph lempung sesudah diaktivasi menunjukan ukuran pori yang besar dan berwarna putih keabu-abuan. karakterisasi lempung sebelum teraktivasi amonium nitrat, sesudah teraktivasi amonium nitrat dan setelah adsorpsi menggunakan ftir identifikasi spektrum data infra merah secara kualitatif menghasilkan pola yang khas untuk mineral lempung tidak teraktivasi, teraktivasi nh4no3 dan teradsorpsi dan puncakpuncak bilangan gelombang spesifik, diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1. gugus-gugus fungsi pada lempung berdasarkan spektra ir kode sampel hasil analisis (cm -1 ) gugus fungsi lsda lssda lsa 437,6 481,25 517,9 911,38 1004, 93 1687,74 3642,63 3696,64 435,92 476,43 516,93 1004, 93 1653,02 3642,63 3659,99 425,31 435,92 481,25 516,93 1004, 93 1683,89 3629,13 3656,13 si-o tekuk si-o-si tekuk si-o-al tekuk montmorilonit dan vibrasi o-al-o renggangan asimetris o-si-o gugus –oh tekuk al-mg-oh/al-al-oh ulur oh(al-oh) tekuk si-o tekuk si-o-si tekuk si-o-al tekuk renggangan asimetris o-si-o gugus –oh tekuk al-mg-oh/al-al-oh ulur oh(al-oh) tekuk intensitas kuat dengan logam si-o tekuk si-o-si tekuk si-o-al tekuk renggangan asimetris o-si-o gugus –oh tekuk al-mg-oh/al-al-oh ulur oh(al-oh) tekuk keterangan lsda = lempung sebelum diaktivasi lssda = lempung sebelum diaktivasi lsa = lempung setetlah adsorpsi dari ketiga spektra inframerah tersebut dapat diamati bahwa ketiga spektra tidak terlalu memperlihatkan perbedaaan yang signifikan. puncak serapan tajam pada daerah sekitar 1000 cm adalah karakteristik vibrasi ulur dari si-o dan –oh (flaningen, dkk., 1971) serapan pada daerah sekitar 1600 dan 3400 cm -1 berturut-turut adalah serapan untuk vibrasi tekuk –oh yang terperangkap dalam kisi kristal dan vibrasi ulur –oh. dari seluruh data puncakpuncak serapan dapat menunjukkan bahwa sampel mengandung kaolin yang dari mineralmineral yang memiliki gugus fungsional –oh dan sio, merupakan mineral silikat yang menyerap air. hal ini mengarahkan dugaan pada berbagai mineral silikat kelompok lempung yang menyerap air seperti kaolinit, halosit, klorit, smeklit dan ilit. pada spektrum ftir menunjukan adanya sedikit pergeseran dn perbedaan serapan pada daerah sekitar 900 cm -1 yang merupakan daerah gugus fungsi montmorilonit. gugus fungsi montmorilonit hanya muncul pada lempung sebelum diaktivasi dengan amonium nitrat. sesudah diaktivasi denga amonium nitrat dan setelah adsorpsi gugus fungsi montmorilonit tidak muncul pada daerah serapan sekita 900 cm -1 . hal yang sama juga terjadi untuk lempung setelah adsorpsi, menunjukan adanya ikatan antara lempung dengan logam pada daerah serapan sekitar 425 cm -1 . untuk daerah kaolin sebelum diaktivasi, sesudah diaktivasi dan setelah adsorpsi terus muncul dan tidak mengalami pergeseran daerah serapan yaitu tetap pada daerah sekitar 1004,93. karakterisasi lempung sebelum teraktivasi dan sesudah teraktivasi ammonium nitrat menggunakan xrd karakterisasi menggunakan difraksi sinar-x bertujuan untuk mengkaji data lempung dari desa latuhalat sebelum dan sesudah aktivasi nh4no3. metode analisis difraksi sinar-x dapat digunakan untuk menentukan basal spacing sampel lempung. difraktogram hasil analisis xrd lempung sebelum aktivasi dan sesudah aktivasi diperlihatkan dalam bentuk nilai 2 yang pada gambar 2 dan gambar 3. j. latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 78 82 81 dari gambar di atas, difraktogram lempung sebelum dan sesudah aktivasi, masing-masing memperlihatkan tiga puncak posisi yang memiliki intensitas tinggi. tiga puncak posisi tersebut yang ditunjukan dalam bentuk nilai 2 . puncak-puncak setiap mineral lempung adalah khas, sudut difraksi 2 berhubungan dengan bidang kisi kristal mineral yang dianalisis. identifikasi komponen penyusun sampel dilakukan dengan mencocokan harga dhkl yang dihitung berdasarkan nilai 2 yang ada pada difraktogram dengan harga dhkl mineral yang terdapat pada mineral powder diffraction file. nilai 2 dan d diperlihatkan pada tabel 2. pada gambar 2 dan gambar 3 terlihat bahwa difraktogram lempung sebelum diaktivasi dan setelah diaktivasi menunjukan nilai 2 dan dhkl yang berbeda. hasil difraksi sinar-x menunjukan bahwa aktivasi menyebabkan terjadi pergeseran jarak dasar pada lempung teraktivasi amonium nitrat. untuk lempung sebelum diaktivasi nilai 2 = 26,6547 (d= 3,34166) memiliki intensitas tertinggi yang merupakan daerah karakteristik kuarsa. 2 = 29,3738 (d= 3,03822) merupakan daerah karakteristik silika dan 2 = 8,8484 (d= 9,98572) adalah daerah karakteristik montmorilonit. sedangkan untuk lempung setelah diaktivasi nilai 2 = 26,8775 (d= 3,31446) memiliki intensitas tertinggi yang juga merupakan daerah karakteristik kuarsa. 2 = 29,6464 (d= 01090) merupakan daerah silika dan 2 = 24,2565 (d= 3,66634) merupakan daerah karakteristik kaolinit. dari data ini terlihat bahwa posisi puncak yang merupakan daerah karakteristik kuarsa sebelum diaktivasi mengalami pergeseran ke kiri gambar 2. difraktogram lempung sebelum diaktivasi gambar 3. difraktogram lermpung sesudah diaktivasi j. latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 78 82 82 sebesar 0,0272 0 setelah diaktivasi, posisi puncak daerah karakteristik kaolonit juga mengalami pergeseran ke kiri sebesar 0,0272 0 setelah diaktivasi, dan posisi puncak daerah karakteristik. pergeseran posisi puncak ke kiri menyebabkan peningkatan jarak dasar. peningkatan jarak dasar terjadi karena kemampuan sampel untuk mengembang. selain itu hal ini juga terjadi karena kation terhidrat pada permukaan antar lapis lempung sebagai bahan dasar pembuatan batu bata ditukar dengan kation yang berukuran besar setelah diaktivasi. dalam hal ini ion nh4 + . tabel 2. data pengukuran jarak dasar lempung sebelum dan sesudah diaktivasi dengan amonium nitrat menggunakan xrd kode sampel puncak posisi yang memiliki intensitas tinggi 2 derajat d spacing å lsda 1 2 3 26,6547 29,3738 8,8484 3,34166 3,03822 9,98572 lssda 1 2 3 26,8775 29,6464 24,2565 3,31446 3,01090 3,66634 keterangan : lsda = lempung sebelum diaktivasi lssda = lempung sesudah diaktivasi pergeseran jarak dasar yang kecil juga mengindikasikan bahwa aktivasi lempung dengan amonium nitrat hanya terjadi di permukaan saja sehingga tidak merusak kisi. dari hasil difraktogram terlihat bahwa intensitas puncak kuarsa, kaolonit, pada lempung sesudah diaktivasi lebih tinggi dibandingkan dengan dengan intensitas ketiga puncak tersebut pada lempung sebelum diaktivasi. dengan kata lain adsorben lempung setelah diaktivasi cenderung memiliki kekristalan yang lebih baik daripada lempung sebelum diaktivasi sehingga daya jerap lempung sesudah diaktivasi lebih baik dari lempung sebelum diaktivasi. kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. porisitas lempung teraktivasi lebih besar dari sebelum teraktivasi ammonium nitrat. 2. hasil difraksi sinar-x aktivasi menyebabkan terjadi pergeseran jarak dasar pada lempung teraktivasi amonium nitrat. 3. daerah kaolin sebelum diaktivasi, sesudah diaktivasi dan setelah adsorpsi terus muncul dan tidak mengalami pergeseran daerah serapan yaitu tetap pada daerah sekitar 1004,93. ucapan terima kasih ucapan terima kasih ditujukan kepada lembaga penelitian universitas pattimura, ambon dan dp2m direktorat pendidikan tinggi kementerian pendidikan dan kebudayaan ri atas disetujui dan didanainya penelitian ini sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan penelitian hibah bersaing tahun anggaran 2013, nomor : 07.2/un13/spk-pj/lp hb/2013 tanggal 17 juni 2013 daftar pustaka astuti, a., 1997. pengetahuan keramik, edisi 1, penerbit gadjah mada university press, yogyakarta. flaningen, e.e., khatami, h., szymanski, h.a., infrared structural studies of zeolite framework molecule sieve zeolit i. amerrican society adv. in chemistry series no. 10, wasshington, 291-297. gondok, y. 2000, penyerapan kation logam berat timbal, nikel dan kobal dengan menggunakan mineral clay abu-abu dan merah-kuning, sainstek (iii), 1-7. muhdarina, dan erman.. 1999. identifikasi dan modifikasi beberapa karakter lempung alam. laporan penelitian. pekanbaru : 2010 fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas riau. nelson, s. a. clay minerals. tulane university. sastrohamidjojo, h, 1991. spektroskopi, penerbit liberty. yogyakarta. wattimena, o. 2010. adsorpsi logam pb pada lempung teraktivasi amonium nitrat. skripsi. ambon : fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura. indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 1 9 studi potensi pirazolin tersubstitusi 1-n dari tiosemikarbazon sebagai agen antiamuba melalui uji in silico study of potential of 1-n-substituted pyrazoline analogues of thiosemicarbazones as antiamoebic agent using in silico screening akram la kilo 1* , la ode aman 1 , ismail sabihi 2 , jafar la kilo 1 1 chemistry study program, faculty of mathematics and natural sciences, gorontalo state university, jl. jenderal sudirman no. 6 kota gorontalo 2 chemical education study program, faculty of mathematics and natural sciences, gorontalo state university,, jl. jenderal sudirman no. 6 kota gorontalo *corresponding author, e-mail: akram@ung.ac.id received: mar. 2019 published: jul. 2019 abstract this research aims to study quantitative structure-activity relationship (qsar) of pyrazoline analogues, designing the new potential compounds as antiamoebic and study the interactions between the new compunds and the drugs target by molecular docking approach. this research was a theoritical research using computational chemistry method. the object of research was 21 novel of 1-n-substituted pyrazoline analogues of thiosemicarbazones with their antiamoebic biological activity. the data of research was obtained from quantum chemistry calculation and statistically analysis using multiple linear regression (mlr). the resulting qsar equation was log ic50 = 0.869 + (0.081 x tpsa) + (0.018 x hf) + (0.527 x e-homo) + (3.378 x elumo) + (-16.938 x glob) + (0.234 x log p), with statistic parameters of n = 21; r 2 = 0.933; see = 0.14558; fhitung/ftabel = 8.607; press = 0.491. this equation was used as a basic for designing and predicting the new antiamoebic compounds of pyrazoline analogues. the design of new compound of two lead compounds with the topliss resulted 5 of 18 new compounds having theoretical better activity than the lead compound. molecular docking study indicated that all of the best compounds have ability to bind to drug target macromolecule. keywords: antiamoebic, in silico, qsar, molecular docking pendahuluan senyawa heterosiklik yang telah banyak dieksplorasi untuk pengembangan molekul obat dalam farmasi adalah pirazolin (sharma dkk., 2014). pirazolin adalah turunan dihidropirazol yang merupakan senyawa golongan azol dengan struktur heterosiklik-5 yang mengandung 2 atom nitrogen (bhoyar dkk., 2011). pirazolin diketahui mempunyai bioaktivitas seperti antiinflamasi, antimikroba, antibakteri, antidiabetes, dan antipiretik (mangeron, 2006). setiap senyawa turunan pirazolin memiliki aktivitas biologis tertentu sesuai jenis substituen yang terdapat di dalamnya. turunan pirazolin yang potensial sebagai antiamuba diantaranya adalah analog pirazolin dari thiosemicarbazon. abid dan azam (2005) telah melaporkan bahwa senyawa analog pirazolin tersubstitusi 1-n dari thiosemicarbazon memiliki nilai aktivitas antiamuba yang lebih baik daripada metronidazole yang merupakan obat yang umumnya digunakan untuk mengobati penyakit amubiasis. amubiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh protozoa saluran cerna, yakni entamoeba hystolitica (e. hystolitica). penyakit ini adalah penyebab utama ketiga kematian akibat penyakit parasit di seluruh dunia setelah malaria dan schistosomiasis. menurut estimasi, sekitar 48 juta individu di seluruh dunia menderita amubiasis. di indonesia, prevalensi entamoeba histolytica sekitar 10-18% (widyastuti, 2011). proses penemuan dan pengembangan obat antibiotik baru memerlukan waktu sepuluh tahun yang meliputi tiga tahun untuk penemuan (discovery) dan tujuh tahun untuk pengembangan. proses penemuan obat antibiotik baru memerlukan langkah-langkah eksperimen yang meliputi desain, sintesis, purifikasi, identifikasi dan uji aktivitas. setiap langkah dalam penemuan obat antibiotik baru sangat kompleks, membutuhkan biaya besar dan waktu la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 10 yang lama serta kemungkinan kesalahannya besar (damme, 2009). aplikasi metode kimia komputasi dalam aktivitas penemuan dan pengembangan senyawa obat baru telah menjadi populer. hal ini dikarenakan metode yang juga disebut in silico ini menawarkan strategi ekonomis dan upaya efektif untuk penemuan obat baru dengan memanfaatkan kemampuan komputer dalam melakukan simulasi dan kalkulasi seperti optimasi aktivitas, geometri, dan reaktivitas, sebelum senyawa disintesis secara eksperimental. hubungan kuantitatif struktur-aktivitas (hksa) atau quantitative structure-activity relationship (qsar) merupakan analisis pencarian keterkaitan antara aktivitas biologis dari suatu seri senyawa dengan sifat fisikokimia yang diekspresikan dengan persamaan matematis (putri dan tahir, 2004). metode statistik yang lazim digunakan dalam kajian hksa adalah regresi linier berganda atau multiple linear regression (mlr). filosofi molecular docking didasarkan pada pemanfaatan informasi struktur target (reseptor) maupun sifat fisikokimia ligan (obat) untuk melakukan uji interaksi senyawa obat pada prediksi sisi aktif protein (pranowo, 2009). metodologi penelitian ini menggunakan metode hksa yang dikembangkan oleh hancsh, dengan bantuan aplikasi moe yang memiliki fasilitas analisis qsar. teknik analisis data yang digunakan untuk menentukan persamaan hksa adalah statistika regresi linier berganda atau multiple linear regression (mlr). gambar 1. struktur molekul reseptor ehoass (visualisasi pymol) gambar 2. grid box docking pada aplikasi autodock tools 4.2.6 (a) (b) gambar 3. (a) senyawa penuntun 15, (b) senyawa penuntun 21 analisis ini dilakukan dengan bantuan software spss versi 21.0, dimana variabel terikat (y) adalah nilai logaritma aktivitas biologis (log ic50) senyawa turunan pirazolin dan variabel bebas (x) adalah deskriptor. luaran hasil analisis regresi linier berganda adalah parameter statistik berbagai model kombinasi deskriptor yang dihubungkan dengan nilai log ic50, yakni nilai koefisien korelasi (r), koefisien determinasi (r 2 ), standard error of estimate (see) dan nilai fischer (fhitung). persamaan hksa digunakan untuk merancang usulan senyawa baru turunan pirazolin yang memiliki aktivitas biologis (antiamuba) yang lebih efektif. interaksi antara senyawa yang diusulkan dengan reseptor obat dikaji menggunakan metode molecular docking dengan bantuan perangkat lunak autodock tools 4.2.6 dan autodock vina. la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 11 gambar 4. interaksi ligan a1 dengan sisi pengikatan reseptor ehoass gambar 5. interaksi ligan a4 dengan sisi pengikatan reseptor ehoass gambar 6. interaksi ligan b1 dengan sisi pengikatan reseptor ehoass la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 12 gambar 7. interaksi ligan b4 dengan sisi pengikatan reseptor ehoass gambar 8. interaksi ligan b9 dengan sisi pengikatan reseptor ehoass gambar 9. interaksi ligan penuntun a dengan sisi pengikatan reseptor ehoass la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 13 autodock tools 4.2.6 digunakan untuk melakukan preparasi makromolekul (reseptor) dan ligan, sementara autodock vina digunakan untuk melakukan kalkulasi energi ikatan liganreseptor. reseptor yang menjadi target docking adalah protein entamoeba histolytica o-acetylserine sulfhydrylase (ehoass). struktur molekul ehoass diunduh dari situs protein data bank (pdb) http://www.rcsb.org dengan kode 2pqm seperti yang terlihat pada gambar 1. grid box yang digunakan pada makromolekul ehoass dalam penelitian ini berukuran; x = 18, y = 18, z = 18, dengan posisi; x = 25,739, y = 1,575, z = 96,222 dan spasi 1 å sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. hasil penambatan dari perangkat lunak ini adalah energi afinitas ligan-reseptor dan nilai root mean square deviation (rmsd). energi afinitas menunjukkan kekuatan ikatan liganreseptor, semakin besar afinitas maka ikatan ligan-reseptor semakin stabil. rmsd merupakan suatu nilai yg menunjukkan tingkat penyimpangan relatif apabila suatu ligan ditambatkan ke sisi aktif makromolekul. luaran autodock vina memberikan 2 nilai rmsd, yakni batas atas rmsd (rmsd u.b) dan batas bawah rmsd (rmsd l.b). konfigurasi ikatan ligan-reseptor terbaik adalah yang memiliki nilai afinitas terbesar dan nilai rmsd terkecil. hasil dan pembahasan hasil perhitungan deskriptor deskriptor yang dimaksud adalah sifat fisikokimia senyawa turunan pirazolin yang dijadikan sebagai parameter untuk mempelajari hubungan kuantitatif struktur-aktivitas, serta menentukan karakter farmakologis (sifat obat). data deskriptor inilah yang kemudian dijadikan sebagai variabel bebas pada analisis statistik untuk mencari persamaan hksa senyawa turunan pirazolin pada penelitian ini. perhitungan deskriptor ini dilakukan dengan salah satu pendekatan kalkulasi kimia kuantum, yakni austin model-1 (am1). metode semiempiris am1 digunakan dalam penelitian ini karena cocok untuk sebagian besar senyawa organik, memiliki ketepatan prediksi yang lebih baik, tidak memerlukan memori yang besar dan waktu yang relatif cepat dalam proses perhitungannya (tahir dkk., 2004). hasil perhitungan deskriptor disajikan pada tabel 1. analisis statistik statistika yang digunakan untuk menganalisis hubungan kuantitatif struktur senyawa turunan pirazolin dengan aktivitas antiamuba adalah regresi linier berganda atau multiple linear regression (mlr). pada awalnya analisis ini hanya dilakukan terhadap data senyawa training set (tidak semua data). tujuannya adalah untuk menentukan deskriptor yang berpengaruh signifikan terhadap nilai log ic50 yang terlihat dari persamaan hksa terbaik yang dihasilkan dari tahap ini. metode analisis yang digunakan pada spss untuk tahap ini adalah metode backward. kombinasi berbagai deskriptor disajikan pada tabel 2. gambar 10. interaksi ligan penuntun b dengan sisi pengikatan reseptor ehoass la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 14 la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-16 tabel 1. hasil perhitungan deskriptor seri senyawa ic50 am1_dipole am1_ip tpsa am1_hf mr am1_homo am1_lumo glob log p (o/w) 1 14,0 5,6691 8,2332 59,7200 91,8172 7,3262 -8,2332 -0,5120 0,0423 3,1020 2 8,5 6,8398 8,3112 59,7200 97,3082 8,0764 -8,3112 -0,6902 0,0421 3,9370 3 8,0 6,7158 8,3138 59,7200 85,3892 7,8267 -8,3138 -0,6731 0,0421 3,7310 4 23,0 5,7535 8,0930 59,7200 98,0543 7,2909 -8,0930 -0,4843 0,0438 2,9500 5 15,2 6,8673 8,1755 59,7200 103,2209 8,0411 -8,1755 -0,6661 0,0436 3,7850 6 12,2 6,7300 8,1742 59,7200 91,2164 7,7913 -8,1742 -0,6455 0,0436 3,5790 7 23,3 5,5910 8,2339 59,7200 85,6932 7,7948 -8,2339 -0,5079 0,0221 3,5440 8 14,2 6,8041 8,3107 59,7200 91,2340 8,5476 -8,3107 -0,6979 0,0221 4,3790 9 12,3 6,7107 8,3024 59,7200 79,2400 8,2978 -8,3024 -0,6798 0,0221 4,1730 10 11,2 5,6225 8,2203 59,7200 87,1878 7,7610 -8,2203 -0,4892 0,0406 3,4600 11 6,1 6,8895 8,2978 59,7200 92,7981 8,5138 -8,2978 -0,6888 0,0405 4,2950 12 5,0 6,7550 8,2942 59,7200 80,7596 8,2641 -8,2942 -0,6650 0,0405 4,0890 13 5,7 5,1303 8,2680 50,9300 93,5876 8,2461 -8,2680 -0,3765 0,0732 3,8120 14 2,4 6,2917 8,3467 50,9300 98,9283 9,0012 -8,3467 -0,5683 0,0739 4,6470 15 0,7 6,3595 8,3470 50,9300 87,3646 8,7514 -8,3470 -0,5641 0,0736 4,4410 16 4,2 4,9350 8,2520 50,9300 102,3560 7,7831 -8,2520 -0,3373 0,0855 3,0970 17 1,2 6,1557 8,3278 50,9300 107,7825 8,5359 -8,3278 -0,5426 0,0858 3,9320 18 1,0 5,4069 8,3645 50,9300 95,5778 8,2861 -8,3645 -0,5028 0,0856 3,7260 19 2,0 5,2501 8,2490 50,9300 89,0347 8,7178 -8,2490 -0,3565 0,1011 4,3250 20 0,8 5,8684 8,3430 50,9300 93,9324 9,4749 -8,3430 -0,5346 0,1045 5,1600 21 0,6 6,2169 8,3207 50,9300 82,3808 9,2252 -8,3207 -0,5212 0,1033 4,9540 la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 15 tabel 2. hasil analisis statistik training set no kombinasi deskriptor r r 2 see fhitung 1 log p, am1_lumo, am1_hf, am1_homo, glob, tpsa, am1_dipole, mr 0,979 0,958 0,16348 17,322 2 log p, am1_lumo, am1_hf, am1_homo, glob, tpsa, am1_dipole 0,978 0,956 0,15578 21,747 3 log p, am1_lumo, am1_hf, am1_homo, glob, tpsa 0,977 0,954 0,14829 27,953 4 log p, am1_lumo, am1_hf, glob, tpsa, am1_dipole 0,976 0,953 0,14149 36,805 tabel 3. daftar substituen dan kode molekul senyawa baru no substituen (x) kode senyawa baru 1 f a1 b1 2 i a2 b2 3 ch3 a3 b3 4 cf3 a4 b4 5 no2 a5 b5 6 n(ch3)2 a6 b6 7 och3 a7 b7 8 oh a8 b8 9 och(ch3)2 a9 b9 tabel 4. senyawa baru antiamuba kode senyawa x struktur molekul a1 f a2 i a3 ch3 a4 cf3 la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 16 kode senyawa x struktur molekul a6 n(ch3)2 a7 och3 a8 oh a9 och(ch3)2 b1 f b2 i b3 ch3 b4 cf3 b5 no2 b6 n(ch3)2 la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 17 kode senyawa x struktur molekul b7 och3 b8 oh b9 och(ch3)2 sebelumnya dilakukan pemisahan terhadap 21 senyawa turunan pirazolin menjadi training set dan test set. senyawa training set dianalisis untuk meghasilkan model persamaan hksa, sedangkan test set digunakan untuk memvalidasi model persamaan hksa yang dihasilkan dari training set. senyawa test set yang digunakan adalah 6 senyawa yang ditentukan dengan memilih 2 senyawa dengan nilai log ic50 terkecil, 2 senyawa dengan nilai log ic50 menengah dan 2 senyawa dengan nilai log ic50 terbesar. sisanya 15 senyawa dijadikan sebagai senyawa training set. menurut la kilo (2014), penentuan persamaan hksa terbaik adalah dengan melihat kriteria berikut; 1) nilai r 2 lebih besar dari 0,6., 2) nilai see kurang dari 0,3., dan 3) nilai fhitung/ftabel lebih besar atau sama dengan 1. tabel 1 menunjukkan bahwa 4 persamaan hksa yang dihasilkan dari analisis mlr memiliki nilai r 2 lebih besar dari 0,6 (memenuhi kriteria), yakni 0,95. hal ini menggambarkan pengaruh variabel bebas (deskriptor) terhadap variabel terikat (aktivitas biologis) sangat besar, yakni 95%. nilai see semua persamaan tersebut kurang dari 0,3 (memenuhi kriteria), yakni 0,1. nilai ini menunjukkan bahwa tingkat kesalahan persamaan tersebut dalam menghitung nilai variabel terikat sangat kecil (mendekati 0). persamaan tersebut memiliki akurasi yang sangat baik dalam memprediksi nilai aktivitas biologis senyawa turunan pirazolin. kriteria berikut adalah parameter nilai rasio fhitung/ftabel yang menunjukkan tingkat signifikansi pengaruh deskriptor terhadap aktivitas biologis. hasil kalkulasi nilai fhitung/ftabel persamaan 1 sampai 4 adalah lebih besar dari 1, hal ini berarti bentuk kombinasi deskriptor pada semua persamaan tersebut memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap aktivitas biologis. berdasarkan hal ini, disimpulkan bahwa keempat persamaan tersebut memenuhi ketentuan parameter statistik yang telah disebutkan sebelumnya. dengan demikian, keempat persamaan ini diterima dan divalidasi pada tahap selanjutnya. validasi persamaan hksa validasi model persamaan hksa bertujuan untuk memastikan apakah suatu persamaan mampu memprediksikan (menghitung) nilai aktivitas biologis suatu seri senyawa dengan kemungkinan kesalahan yang sekecil mungkin. ketika model persamaan hksa valid, maka persamaan tersebut dapat merepresentasikan hubungan kuantitatif antara deksriptor dan aktivitas biologis secara matematis. validasi model persamaan hksa dilakukan terhadap senyawa test set dengan menghitung nilai predicted residual sum of squares (press) dari persamaan yang diterima. nilai press merupakan jumlah kuadrat selisih nilai aktivitas biologis hasil eksperimen dengan aktivitas biologis prediksi berdasarkan model-model persamaan terpilih. nilai press yang kecil menunjukkan bahwa persamaan tersebut semakin baik, karena memiliki tingkat kesalahan yang kecil dalam menghitung nilai aktivitas biologis. la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 18 nilai press terkecil ditunjukkan oleh persamaan 3, yaitu sebesar 0,2632. dengan demikian persamaan 3 yang melibatkan deskriptor log p, am1_lumo, am1_hf, am1_homo, glob, tpsa merupakan persamaan terbaik. persamaan 3 menunjukkan bahwa deskriptor yang berpengaruh signifikan tehadap aktivitas antiamuba senyawa turunan pirazolin adalah koefisien partisi (log p), energi lumo, energi homo, kalor pembentukan (hf), globularitas (glob) dan total daerah permukaan polar (tpsa). selanjutnya deskriptor-deskriptor ini digunakan untuk menganalisa persamaan regresi linier semua data senyawa turunan pirazolin (gabungan training set dan test set). analisis ini dilakukan untuk menghasilkan persamaan hksa seri senyawa turunan pirazolin. metode analisis regresi yang digunakan pada program spss untuk tahap ini adalah metode enter. persamaan yang dihasilkan untuk keseluruhan data (21 senyawa) dengan melibatkan deskriptor log p, am1_lumo, am1_hf, am1_homo, glob, tpsa adalah sebagai berikut: log ic50 = 0,869 + (0,081 x tpsa) + (0,018 x hf) + (0,527 x e-homo) + (3,378 x e-lumo) + (-16,938 x glob) + (0,234 x log p) dengan n = 21; r 2 = 0,9333; see = 0,14558; fhitung/ftabel = 8,607; press = 0,491. rancangan senyawa baru antiamuba senyawa penuntun yang digunakan adalah 2 senyawa yang memiliki nilai ic50 terkecil (aktivitas antiamuba terbaik), yakni senyawa 15 (ic50 = 0,7) dan senyawa 21 (ic50 = 0,6). struktur molekul kedua senyawa penuntun ini dapat dilihat pada gambar 3. metode topliss merupakan metode modifikasi molekul yang menggunakan prinsip dasar pendekatan hubungan struktur aktivitas model hansch untuk memodifikasi struktur molekul senyawa penuntun yang sudah diketahui aktivitasnya. modifikasi struktur dengan metode ini adalah memasukkan gugus-gugus yang mempunyai sifat lipofilik, elektronik dan sterik tertentu pada posisi yang memberikan aktivitas lebih tinggi, sama atau lebih rendah dibanding aktivitas senyawa penuntun (siswandono dan soekardjo, 2000). substituen baru yang digunakan dalam perancangan senyawa usulan ini terangkum pada tabel 3. dalam hal ini senyawa usulan dengan kode a berasal dari penuntun 15 dan yang berkode b berasal dari penuntun 21. sementara daftar senyawa baru hasil rancangan dapat dilihat pada tabel 4. perhitungan deskriptor molekul dilakukan dengan cara membuat data base terebih dahulu. kemudian dilakukan perhitungan deskriptor setiap molekul untuk melengkapi data base. perhitungan dilakukan dengan menggunakan fitur quasar-descriptor pada moe. deskriptor yang dihitung pada tahap ini adalah deskriptor-deskriptor yang berpengaruh (berdasarkan persamaan hksa), yakni koefisien partisi (log p), energi lumo, energi homo, kalor pembentukan (hf), globularitas (glob) dan total daerah permukaan polar (tpsa). selanjutnya nilai log ic50 prediksi senyawa baru dihitung menggunakan persamaan hksa seri senyawa turunan pirazolin yang telah diperoleh sebelumnya. nilai log ic50 ini kemudian dikonversi menjadi ic50 dengan rumus antilog menggunakan program ms excel. hasil yang diperoleh terangkum pada tabel 5. dari tabel 5 dapat dilihat bahwa senyawa usulan memiliki nilai ic50 yang bervariasi. senyawa usulan yang memiliki aktivitas lebih baik dari senyawa penuntun adalah yang memiliki nilai ic50 yang lebih kecil. dengan demikian, diperoleh 5 senyawa baru yang memiliki nilai aktivitas antiamuba yang lebih baik dari senyawa penuntun, yakni senyawa a1 (ic50 = 0,28), senyawa a4 (ic50 = 0,0028), senyawa b1 (ic50 = 0,13), senyawa b4 (ic50 = 0,001) dan senyawa b9 (ic50 = 0,49). senyawa-senyawa inilah yang dijadikan bahan kajian pada studi molecular docking untuk dipelajari interaksinya dengan reseptor ehoass. kelima senyawa usulan terbaik ini dipaparkan dalam tabel 6. kajian hksa hasil kajian hksa menunjukkan bahwa deskriptor yang mempengaruhi aktivitas antiamuba seri senyawa turunan pirazolin tersubstitusi 1-n dari tiosemikarbazon adalah koefisien partisi (log p), energi lumo, energi homo, kalor pembentukan (hf), globularitas (glob) dan total daerah permukaan polar (tpsa). la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 19 tabel 5. nilai ic50 prediksi senyawa baru senyawa log ic50 pred ic50 pred a1 -0,5418886 0,28 a2 0,4020493 2,52 a3 0,7961692 6,25 a4 -2,5411816 0,0028 a5 0,5399945 3,46 a6 1,4584295 28,73 a7 -23,7667292 1,71 a8 0,461508 2,89 a9 0,5327962 3,41 b1 -0,8543696 0,13 b2 0,193749 1,56 b3 0,3420498 2,19 b4 -2,9793962 0,001 b5 0,3278256 2,12 b6 1,003475 10,08 b7 -0,1553113 0,69 b8 0,1421558 1,38 b9 -0,3034286 0,49 koefisien partisi merupakan salah satu parameter hidrofobik/lipofilik yang menunjukkan kondisi keberadaan molekul obat pada pelarut nonpolar dan polar. nilai koefisien partisi yang terlalu besar akan menyebabkan molekul obat tertahan lama pada lipid, sehingga tidak akan mampu mencapai target. sebaliknya nilai koefisien partisi yang terlalu kecil akan menyebabkan molekul obat sangat larut dalam air (darah), sehingga tidak akan mampu menembus sawar (barrier) lipid untuk mencapai organ lipid seperti otak dan jaringan saraf lain (nogrady, 1992). energi homo (highest occupied molecular orbital) dan energi lumo (lowest unoccupied molecular orbital) merupakan parameter elektronik yang turut menentukan aktivitas obat. energi homo (ehomo) menunjukkan kemampuan suatu molekul untuk mendonorkan elektron ke akseptor yang memiliki orbital molekul kosong. sedangkan energi lumo (elumo) menggambarkan kemampuan molekul untuk menerima elektron. molekul dengan nilai ehomo tinggi memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendonorkan elektron dan akan cenderung lebih reaktif. sementara molekul dengan nilai elumo rendah memiliki kemampuan yang sangat baik sebagai akseptor elektron dibandingkan molekul dengan nilai elumo yang lebih tinggi (verma dan hansch, 2011). kalor pembentukan berkaitan dengan arah proses suatu reaksi apakah berlangsung spontan atau tidak spontan. suatu reaksi kimia berlangsung secara spontan apabila δh<0 dan berlangsung tidak spontan apabila δh>0 (nogrady, 1992). globularitas berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam air. senyawa yang memiliki bentuk globularitas merupakan senyawa yang berbentuk bola. bentuk ini dapat meningkatkan kelarutan senyawa dalam air dengan menempatkan gugus polar atom pada permukaan senyawa (di mana gugus-gugus ini dapat berpartisipasi dalam interaksi menarik dengan molekul air). hal ini terutama disebabkan oleh interaksi dari atom-atom dalam molekul. sifat kelarutan dalam air dari senyawa globular memungkinkan senyawa tersebut untuk berada dalam cairan biologis sebagai molekul individu atau dalam kelompok kecil dan untuk mencapai berbagai fungsi biologis penting (rembet, 2011). daerah permukaan polar molekul adalah parameter yang sangat berguna untuk memperkirakan sifat transport obat. daerah permukaan polar didefinisikan sebagai jumlah permukaan atom-atom polar (umumnya oksigen, nitrogen dan hidrogen yang berdempetan) dalam molekul. parameter ini menunjukkan korelasi dengan absorpsi usus manusia dan penetrasi sawar darah-otak (iyyappan dkk., 2010). deskriptor-deskriptor tersebut bergantung pada subtituen (x) yang tersubtitusi pada cincin aromatik senyawa turunan pirazolin. sehingga perancangan senyawa baru dilakukan melalui pendekatan topliss dengan mengganti subtituen cl senyawa penuntun. berdasarkan hasil kalkulasi nilai ic50 18 senyawa baru menggunakan persamaan hksa, diperoleh 5 senyawa yang memiliki aktivitas biologis yang lebih baik dari senyawa penuntun (penuntun a dan b), yakni senyawa a1, a4, b1, b4 dan b9. aktivitas biologis yang lebih baik ini tentunya dipengaruhi oleh sifat fisikokimia (deskriptor) yang berkontribusi signifikan. nilai deskriptor kelima senyawa usulan terbaik ini terangkum pada tabel 7. la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 20 tabel 6. rancangan senyawa baru dengan aktivitas prediksi yang lebih baik dari senyawa penuntun senyawa struktur molekul ic50 penuntun a 0,7 (hasil eksperimen) a1 0,28 (prediksi) a4 0,0028 (prediksi) penuntun b 0,6 (hasil eksperimen) b1 0,13 (prediksi) b4 0,001 (prediksi) b9 0,49 (prediksi) tabel 7. nilai deskriptor senyawa rancangan baru (a1, a4, b1, b4, b9), penuntun a dan b senyawa deskriptor hf ehomo elumo tpsa glob log p bm a1 49,4319 -8,3605 -0,5979 50,93 0,0725 4,002 293,41 a4 61,5552 -8,4354 -0,7978 50,93 0,069 4,7838 343,417 b1 44,0575 -8,3336 -0,5455 50,93 0,1013 4,515 307,437 b4 66,4515 -8,4011 -0,7666 50,93 0,1043 5,2968 357,444 b9 45,8904 -8,2727 -0,3688 60,16 0,1268 5,121 347,527 penuntun a 87,3646 -8,3470 -0,5641 50,93 0,0736 4,4410 309,865 penuntun b 82,3808 -8,3207 -0,5212 50,93 0,1033 4,9540 323,892 la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-16 la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 21 lipinski dkk. (2001) telah menganalisa lebih dari 2000 senyawa obat dalam uji klinis dan menyimpulkan bahwa suatu senyawa obat akan memiliki absorpsi atau permeasi yang baik jika (1) berat molekul kurang dari 500 da (2) nilai log p kurang dari 5, (3) jumlah donor ikatan hidrogen kurang dari 5, dan (4) jumlah akseptor ikatan hidrogen kurang dari 10 aturan lipinski dapat menentukan sifat fisikokimia ligan untuk menentukan karakter hidrofobik/hidrofilik suatu senyawa untuk melalu membran sel oleh difusi pasif. aturan ini kemudian disebut “lipinski rule of five” (lipinski dkk., 2001). berat molekul yang lebih dari 500 da tidak dapat berdifusi menembus membrane sel. nilai log p yang lebih besar dari 5 akan menyebabkan senyawa obat akan cenderung memiliki tingkat toksisitas yang tinggi karena akan tertahan lebih lama pada lipid bilayer dan terdistribusi lebih luas di dalam tubuh sehingga selektifitas ikatan terhadap enzim target menjadi berkurang. nilai log p yang terlalu negatif juga tidak baik karena jika molekul tersebut tidak dapat melewati membran lipid bilayer. jumlah donor dan akseptor ikatan hidrogen mendeskripsikan semakin tinggi kapasitas ikatan hidrogen, maka semakin tinggi energi yang dibutuhkan agar proses absorpsi dapat terjadi. secara umum aturan lipinski menggambarkan solubilitas senyawa tertentu untuk menembus membran sel oleh difusi pasif (syahputra dkk., 2011). tabel 6 menunujukkan bahwa senyawa usulan a1, a4 dan b1 memiliki nilai log p kurang dari 5, sementara senyawa usulan b4 dan b9 memiliki nilai log p lebih dari 5. dengan demikian, walaupun senyawa b4 memiliki aktivitas antiamuba yang lebih baik diantara semua senyawa usulan, tetapi toksisitasnya perlu diwaspadai. hal ini membutuhkan pengujian klinis untuk membuktikan sifat toksik dari senyawa b4 tersebut. dari tabel 6 juga terlihat bahwa kelima senyawa usulan memiliki karakteristik nonpolar yang serupa, karena memiliki nilai tpsa yang sama. karakteristik inilah yang tentunya mempengaruhi bentuk interaksi dengan reseptor. globularitas senyawa usulan menyerupai senyawa penuntunnya masingmasing, yakni senyawa a1 dan a4 serupa dengan senyawa penuntun a, sedangkan senyawa b1, b4 dan b9 serupa dengan senyawa penuntun b. sifat ini dipengaruhi oleh kemiripan struktur antara senyawasenyawa tersebut. masing-masing senyawa usulan tersebut memiliki rantai alifatik yang sama dengan penuntunnya, hanya saja berbeda pada subtituen. subtituen kelima senyawa usulan tersebut adalah f, ch3 dan och(ch3)2, sedangkan subtituen senyawa penuntun adalah cl. keempat subtituen ini merupakan subtituen yang isosterik, yakni merupakan kelompok atom/senyawa yang memiliki sifat fisikokimia serupa. jenis rantai alifatik yang sama dan subtituen yang isosteric inilah yang menyebabkan kesamaan sifat globularitas. sifat lain yang terlihat pada tabel 6 adalah kalor pembentukan (hf) dan energi homo-lumo. nilai hf yang sangat berbeda dimiliki oleh senyawa usulan a4 dan b4, yakni bernilai negatif (-). energi homolumo kelima senyawa usulan tidak jauh berbeda dari senyawa penuntun. hanya saja, senyawa a4 dan b4 memiliki nilai elumo yang sedikit lebih negative senyawa penuntun maupun usulan lainnya pada tabel tersebut. interaksi senyawa baru dengan reseptor ligan yang digunakan pada studi penambatan molekul dalam penelitan ini berjumlah 7 senyawa, yakni 2 senyawa penuntun (penuntun a dan b) dan 5 senyawa usulan yang memiliki aktivitas antiamuba terbaik (a1, a4, b1, b4 dan b9). penambatan senyawa penuntun dilakukan sebagai bahan pembanding terhadap senyawa usulan. prosedur penambatan diawali dengan tahap preparasi makromolekul dan ligan. keseluruhan tahap preparasi ini dilakukan dengan menggunakan aplikasi autodock tools 4.2.6. tahap ini meliputi penghilangan molekul air pada ehoass, penentuan grid box binding site, serta penentuan bagian ligan yang dapat dirotasi untuk pencarian konformasi terbaik. penghilangan molekul air pada ehoass bertujuan untuk mengurangi efek sterik yang ditimbulkan molekul air terhadap ligan ketika akan berinteraksi dengan binding site ehoass. binding site merupakan sisi aktif dari makromolekul yang la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 22 memungkinkan terjadinya interaksi dengan ligan. grid box didefinisikan sebagai dimensi sisi aktif makromolekul berupa kubus yang memiliki ukuran dan posisi tertentu untuk ruang penambatan ligan. ukuran dan posisi grid box direpresentasikan dengan koordinat x, y dan z yang diatur dengan spasi (jarak) tertentu. ukuran dan posisi yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada penelitian nagpal dkk. (2012) yang melakukan virtual screening inhibitor enzim o-acetyl-l-serine sulfhydrylase entamoeba histolytica dengan letak sisi aktif yang serupa. pada sisi aktif ini terdapat beberapa residu asam amino yang terlibat dalam interaksi dengan ligan, yakni val 57, ser 84, thr 85, ser 86, gly 87, asn 88, thr 89, gly 90, met 112, ser 113, arg 116, gln 159, phe 160, gly 192, thr 193, his 232, gly 233, ile 234, gln 235, gly 236, ile 237, gly 238, ala 239, phe 241, tyr 313, thr 316 dan lys-58. hasil penambatan menunjukkan bahwa semua senyawa baru mampu melakukan interaksi spesifik pada sisi pengikatan reseptor ehoass dengan baik. hal ini ditunjukkan oleh nilai afinitas ikatan yang lebih baik dibandingkan senyawa penuntun. ligan a1 berinteraksi dengan residu (sisi pengikatan) ehoass melalui ikatan van der waals. pada hal ini residu ehoass yang berinteraksi dengan ligan a1 adalah thr85, ser86, tyr89, gln159, phe160, gly236 sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4. energi afinitas interaksi ini adalah -6,2 kkal/mol, artinya dibutuhkan energi sebesar 6,2 kkal/mol untuk memutuskan ikatan ligan a1 dengan reseptor ehoass. ligan a4 berinteraksi dengan residu (sisi pengikatan) ehoass melalui ikatan van der waals. residu ehoass yang berinteraksi dengan ligan a4 adalah lys58, gly87, asn88, met136, ile140, gln159, phe160, phe241 sebagaimana ditunjukkan pada gambar 5. energi afinitas interaksi ini adalah -6,7 kkal/mol, artinya dibutuhkan energi sebesar 6,7 kkal/mol untuk memutuskan ikatan ligan a4 dengan reseptor ehoass. ligan b1 berinteraksi dengan residu (sisi pengikatan) ehoass melalui ikatan van der waals. residu ehoass yang berinteraksi dengan ligan b1 adalah met136, gln159, phe160, gly192, ile237, ala239, phe241 sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6. energi afini tas interaksi ini adalah -6,3 kkal/mol, artinya dibutuhkan energi sebesar 6,3 kkal/mol untuk memutuskan ikatan ligan b1 dengan reseptor ehoass. ligan b4 berinteraksi dengan residu (sisi pengikatan) ehoass melalui ikatan van der waals. residu ehoass yang berinteraksi dengan ligan b4 adalah met136, ile140, gln159, phe160, gly192, ala239, phe241 sebagaimana ditunjukkan pada gambar 7. energi afinitas interaksi ini adalah -6,8 kkal/mol, artinya dibutuhkan energi sebesar 6,8 kkal/mol untuk memutuskan ikatan ligan b4 dengan reseptor ehoass. ligan b9 berinteraksi dengan residu (sisi pengikatan) ehoass melalui ikatan van der waals. residu ehoass yang berinteraksi dengan ligan b9 adalah lys58, ile140, asn158, gln159, phe160, phe241 sebagaimana ditunjukkan pada gambar 8. energi afinitas interaksi ini adalah -6,6 kkal/mol, artinya dibutuhkan energi sebesar 6,6 kkal/mol untuk memutuskan ikatan ligan b9 dengan reseptor ehoass. senyawa penuntun a dan b melakukan interaksi dengan reseptor ehoass melalui ikatan van der waals sebagaimana kelima senyawa usulan. hal ini karena kemiripan struktur dan sifat fisikokimia senyawa penuntun dan senyawa usulan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. interaksi senyawa penuntun a dengan reseptor ehoass terjadi pada residu thr85, ser86, thr89, gln159, phe160, met136, gly236 dengan energi afinitas sebesar -6,3 kkal/mol sebagaimana ditunjukkan pada gambar 9. sementara interaksi senyawa penuntun b dengan reseptor ehoass terjadi pada residu ser84, met136, ile140, gln159, phe160, gly192, phe241, ile237, ala239 dengan energi afinitas sebesar -6,2 kkal/mol sebagaimana ditunjukkan pada gambar 10. interaksi yang terjadi antara senyawa penuntun dengan reseptor maupun antara senyawa usulan dengan reseptor adalah ikatan van der waals. ikatan van der waals interaksi antara atom atau molekul yang tidak bermuatan dan letaknya berdekatan. interaksi ini terjadi antara cincin benzena atau dengan reseptor rantai hidrokarbon dengan reseptor. sebagaimana yang ditunjukkan, bahwa senyawa penuntun dan senyawa usulan (a1, la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 23 a4, b1, b4 dan b9) memiliki cincin benzen dan juga rantai alifatik (hidrokarbon). hal inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi van der waals. tidak adanya ikatan hidrogen dikarenakan ligan (senyawa penuntun dan senyawa usulan) tidak memiliki gugus yang potensial untuk membentuk ikatan hidrogen dengan reseptor. kesimpulan persamaan hksa seri senyawa turunan pirazolin tersubtitusi 1-n dari thiosemicarbazone adalah: log ic50 = 0,869 + (0,081 x tpsa) + (0,018 x hf) + (0,527 x e-homo) + (3,378 x e-lumo) + (-16,938 x glob) + (0,234 x log p). deskriptor yang berpengaruh signifikan terhadap aktivitas antiamuba senyawa turunan pirazolin tersubtitusi 1-n dari thiosemicarbazone adalah koefisien partisi (log p), energi lumo, energi homo, kalor pembentukan (hf), globularitas (glob) dan total daerah permukaan polar (tpsa). perancangan senyawa baru turunan pirazolin dalam penelitian ini menghasilkan 5 senyawa baru yang memiliki aktivitas biologis lebih baik dari senyawa penuntun. interaksi antara senyawa usulan yang memiliki aktivitas terbaik dengan reseptor o acetyl-l-serine sulfhydrylase (ehoass) dipelajari melalui molecular docking. semua senyawa usulan mampu melakukan interaksi spesifik dengan binding site reseptor melalui ikatan hidrofobik. residu asam amino ehoass yang sering dijumpai sebagai sisi pengikatan dengan senyawa usulan dalam adalah thr85, ser86, lys58, thr89, ile140, gln159, phe160, gly192, met136, gly236, ile237, phe241, ala239.. daftar pustaka abid, m., azam, a., 2005, synthesis and antiamoebic activities of 1-n-substituted cyclised pyrazoline analogues of thiosemicarbazones, bioorg. med. chem., 13 (6), 2213–2220. bhoyar, a. d., vankhade, g. n., rajput, p. r., 2011, synthesis and study of cholosubstituted 4-aroyl pyrazolines and isoxazolines and their effects on inorganic ions in blood serum in albino rats, nusantara bioscience journal, 3 (3), 118-123. damme, s.v., 2009, quantum chemistry in qsar, quantum chemical descriptors, use, benefits and drawbacks, thesis, departments of inorganic and physical chemistry faculty of sciences universiteit gent, netherland. iyyappan, c., praveen, c., hemalatha, k., girija, k., 2010, design, preliminary qsar study and drug-likeness score of isobenzofuran analogues. int. j. pharma. bio. sci.,1 (4). la kilo, j., 2014, kajian hubungan kuantitatif struktur-aktivitas antimalaria turunan quinolon-4(1h)-imine menggunakan deskriptor hasil perhitungan metode ab initio hartreefock, tesis, program pascasarjana universitas gajah mada, yogyakarta. lipinski, c.a., lombardo, f., dominy, b.w., feeney, p.j., 2001, experimental and computational approaches to estimate solubility and permeability in drug discovery and development settings, adv. drug deliv. rev., 46 (1– 3),3–26. mangeron, 2006, new-i-amdosulphonylphenoxyacctyl-3-methyipyrazolin-5-one derivatives, rom. biotech. lett., 3 (11), 2767-2772. nagpal, i., raj, i., subbarao, n., & gourinath, s., 2012, virtual screening, identification and in vitro testing of novel inhibitors of o-acetyl-l-serine sulfhydrylase of entamoeba histolytica, plos one, 7 (2), e30305. nogrady, t., 1992, kimia medisinal, pendekatan secara biokimia, penerbit itb, bandung. pranowo, h.d., 2009, peran kimia komputasi dalam desain molekul obat pidato pengukuhan jabatan guru besar pada fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas gadjah mada, universitas gajah mada, yogyakarta. putri, e.s.y., tahir, i., 2004, kajian hubungan kuantitatif antara struktur elektronik dan aktivitas senyawa indolilalkilamina berdasarkan hasil perhitungan metode am1, jurnal eksakta 6 (1), 10-18. la kilo dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 9-24 24 rembet, j.g., 2011, in-silico screening senyawa turunan quinazoline sebagai inhibitor epidermal growth factor receptor tyrosine kinase (egfr-tk), skripsi, universitas negeri gorontalo, gorontalo. sharma, s., kaur, s., bansal, t., gaba, j., 2014, review on synthesis of bioactive pyrazoline derivatives, chem sci trans, 3 (3), 861-75. siswandono, soekardjo, b., 2008, kimia medisinal, airlangga university press (aup), surabaya. syahputra, g., ambarsari, l., sumaryada, t., 2011, simulasi dockin kurkumin enol, bisdemetoksikurkumin dan analognya sebagai inhibitor enzim12lipoksigenase, jurnal biofisika, 10(1), 55-67. tahir, i., wijaya, k., putri, e.s.y., 2004, aplikasi pemisahan data secara acak pada analisis hubungan kuantitatif struktur elektronik dan aktivitas senyawa indolialkilamina, seminar nasional hasil penelitian farmasi, 190-200. verma, r.p., hansch, c., 2011, use of 13c nmr chemical shift as qsar/qspr descriptor, chem. rev., 111(4), 2865– 2899. widyastuti, i.k., 2011, prevalensi infeksi amebiasis pada siswa madrasah ibtidaiyah islamiyah desa simbang wetan kecamatan buaran pekalongan, jawa tengah, artikel penelitian, fakultas kedokteran universitas diponegoro, semarang. indochem ind. j. chem. res, 2015, 3, 249 253 249 synthesis and characterization of the mcm-48 and modified nh2 sintesis dan karakterisasi mcm-48 serta termodifikasi gugus –nh2 andi yanti puspita sari * , paulina taba, prastawa budi department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, tel: +6285398831734, email: yhanti_chemist@yahoo.com received: juni 2015 published: july 2015 abstract this research aims to synthesize and characterize mcm-48 modified with the group-nh2. synthesis of mcm-48 and its modification by nh2 conducted by ryoo methods where is the salt of ludox hs40 solution mixed with naoh solution then heated, followed by making mixture of ctab and triton x-100. the resulting gel mixture is heated at temperature of 100 °c for 24 hours. the reaction mixture added 30% acetic acid until ph 10. then the mixture was heated at 100 °c for 24 hours then cooled at room temperature. mcm-48 mesoporous silica that has formed was filtered, washed with distilled water and dried at 120 °c. mcm-48 mesoporous silica characterized using xrd and ftir. modification of mcm-48-nh2 was done by adding 3-aptes into mesoporous silica. xrd analysis results showed that the characteristic peaks at 2 theta 2.4 o have miller indices 211and several peaks with low intensity. these peaks are typical peak for mcm-48. by ftir showed the specific areas observed for organic molecules (surfactant) in mcm-48 synthesized; ch span (2800-3100 cm -1 ) and ch bending (1400 to 1500 cm -1 ). c-h bending vibration was observed in 1645; 1512 and 1481 cm -1 . the success of modified mcm-48-nh2 was shown by the appearance of two absorption bands at wave numbers 3368 and 3424 cm -1 which indicate the presence of a primary amine or an amino group (-nh2) in the mesoporous channel keywords: synthesis, mcm-48, -nh2, ftir, ryoo method pendahuluan silika mesopori mcm-48 adalah salah satu molekul yang pertama kali disintesis oleh kresge dan rekan kerjanya (kresge dkk., 1992). silika mesopori mcm-48 merupakan material yang menarik yang telah banyak dimanfaatkan dalam bidang adsorpsi, sebagai katalis heterogen, dan sebagai membran untuk pemisahan gas sebab struktur kubik tiga dimensi yang dimiliki (elias dkk., 2010). saluran tiga dimensi yang dimiliki mcm-48 mempunyai kelebihan karena kemungkinan terjadinya pemblokiran pori oleh adsorbat relatif kecil dan proses difusi dapat berlangsung lebih cepat (kim dkk., 2005). sintesis mcm-48 dengan teknik pemanasan hidrotermal dapat dilakukan dengan perbandingan komposisi campuran yaitu: 1,0 teos: 0,70 ctacl: 0,5 naoh : 64,0 h2o. bahan disintesis pada tekanan yang rendah dalam botol polipropilen. sintesis dilakukan dalam penangas air pada suhu 40-50 o c, kemudian dipanaskan dalam botol tertutup pada suhu 90 o c selama 4 hari. setelah itu, botol dikeluarkan dari oven dan hasil yang diperoleh dicuci dengan akuades dan dikeringkan dalam suhu ruangan selama 12 jam. sampel kering dicuci kembali dengan campuran air, etanol, dan asam klorida lalu dikeringkan pada suhu kamar. kristal diperoleh dari proses kalsinasi pada suhu 540 o c selama 5 hari untuk mengurai dan menghilangkan surfaktan organik (bandyopadhyay, 2004). sintesis juga dapat dilakukan dengan menggunakan setiltrimetilammoniumbromida (ctab) sebagai surfaktan (liu dkk., 2010; kim dkk., 2013). prosedur dan kondisi sintesis sama seperti perlakuan sebelumnya. selama proses sintesis, dilakukan penambahan ctab (berbentuk bubuk) setelah penambahan larutan naoh. ryoo dkk. (1999) dan taba (2001) menggunakan campuran surfaktan kationik (ctab) dan surfaktan netral (triton x-100) sebagai template untuk mensintesis mcm-48 andi yanti puspita sari, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 249 253 250 dan menggunakan ludox hs40 sebagai sumber silika. modifikasi silika mesopori mcm-48 dapat dilakukan dengan penambahan senyawa organik maupun senyawa anorganik. permukaan mesopori mcm-48 dipadukan dengan ligan multifungsi yaitu 1-benzoil-3-propiltiourea melalui modifikasi post-synthesis dua tahap. metode grafting anorganik pada mesopori mcm-48 menghasilkan material dengan luas permukaan sebesar 505 m 2 /g, ukuran pori 2,8 nm, dan cakupan ligan 1,55 mmol/g. beberapa peneliti lainnya telah melakukan modifikasi silika mesopori mcm-48 dengan senyawa yang mengandung gugus amino. modifikasi silika mcm-48 dengan larutan 3-kloropropilamina (cpa) dalam air yang dinetralkan dengan kalium hidroksida telah dilakukan oleh bhagiyalakshmi dkk. (2010). proses grafting dianalisis dengan menggunakan ftir. kim dkk. (2005) telah mempelajari struktur pori dari silika mcm-48 yang dimodifikasi dengan empat senyawa berbeda yang mengandung gugus amino.. walcarius dkk. (2003) telah melakukan pula berbagai macam modifikasi senyawa mesopori dengan gugus -nh2 dan -sh. modifikasi silika dengan 3-aminopropiltrimetoksisilan (3aptms) melalui proses sol gel juga telah dilakukan (buhani dkk., 2009; buhani dan suharso, 2010). pada penelitian ini, prekursor yang digunakan adalah tetraetilortosilikat (teos). berdasarkan latar belakang di atas telah dilakukan sintesis dan karakterisasi mcm-48 dan mcm-48 yang termodifikasi dengan gugus nh2. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan adalah setil ludox hs40, triton x-100, trimetil amonium bromida (ctab), hcl p.a, naoh p.a, 3-aminopropiltrimetoksisilan (3-aptms), asam asetat (ch3cooh), toluena p.a, etanol p.a, kloroform p.a, akuades dan akuabides. alat alat-alat yang digunakan adalah gelas kimia, botol polipropilen, magnetik stirer, hotplate stirer, termometer, neraca analitik (ohauss), pompa vakum, oven, penyaring buchner, phmeter, dan fourier transform infra red (ftir), x-ray diffraction (xrd)-7000 maxima (shimadzu). prosedur kerja a. sintesis silika mesopori mcm-48 sintesis silika mesopori mcm-48 dilakukan menggunakan metode ryoo yang dimodifikasi oleh taba (2001) sebagai berikut : 45,25 g larutan naoh 1 m dicampur dengan 14,3 g larutan ludox hs40. kemudian campuran dipanaskan sambil diaduk selama 2 jam pada suhu 80 o c selama 2 jam. campuran surfaktan dibuat dengan melarutkan 1,34 g triton x-100 dan 6,12 gram ctab secara bersamaan dalam 83,47 g akuades sambil dipanaskan. larutan sodium tetrasilikat dan larutan surfaktan didinginkan, kemudian kedua larutan dicampurkan dengan cepat dalam botol polipropilen. botol langsung ditutup dan dikocok dengan kuat selama 15 menit. campuran gel yang dihasilkan dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100 o c. untuk menghindari pemisahan dari mesofase pada tahap awal pemanasan, botol yang berisi campuran sekali-sekali dikocok. campuran reaksi didinginkan pada suhu kamar lalu asam asetat 30% ditambahkan ke dalam campuran untuk mengatur ph hingga 10. setelah ph mencapai 10, campuran dipanaskan lagi selama 24 jam pada suhu 100 o c, kemudian didinginkan pada suhu kamar. silika mesopori mcm-48 yang telah terbentuk disaring, dicuci dengan akuades kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 120 o c. surfaktan dihilangkan dari produk berwarna putih melalui pencucian dengan campuran hcl-etanol. satu gram mcm48 dicuci dengan 25 ml hcl 0,1 m dalam larutan etanol 50% sambil diaduk selama 30 menit pada suhu kamar. pencucian dilakukan sebanyak empat kali kemudian campuran disaring, endapan dicuci dengan air suling dan dikeringkan pada suhu 105 o c. selanjutnya silika mesopori mcm-48 dikarakterisasi menggunakan ftir dan x-ray diffraction (xrd)-7000 maxima (shimadzu). . b. modifikasi silika mesopori mcm48 dengan 3-aptms modifikasi silika mesopori dengan 3-aptms menggunakan prosedur sebagai berikut : 1 g mcm-48 ditambahkan dengan 50 ml toluena dan diaduk dengan stirer selama 1 jam, kemudian ditambahkan dengan 1,3 g senyawa 3aptms dan direfluks selama 2 jam. produk andi yanti puspita sari, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 249 253 251 0 50 100 150 200 250 1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 8.5 9.5 2 in te n si ta s yang dihasilkan kemudian dicuci dengan 100 ml toluena, dan selanjutnya 100 ml kloroform, kemudian dikeringkan pada suhu ruangan. bubuk putih yang dihasilkan diberi nama mcm-48-nh2. selanjutnya mcm-48-nh2 ini dikarakterisasi menggunakan xrd dan ftir. c. analisis difraksi sinar-x (xrd) analisis xrd dilakukan untuk mengetahui apakah mcm-48 yang telah disintesis memiliki keteraturan pori yang sama dengan mcm-48 yang telah disintesis oleh peneliti sebelumnya. pola xrd ditentukan melalui difraktometer shimadzu 6100 yang menggunakan cu (λ = 1,540562 å) sebagai sumber radiasi dan dioperasikan pada 40 kv dan 30 ma, dianalisis pada 2 theta mulai 1,5-10. kecepatan scan sebesar 5 0 menit -1 , divergent slit sebesar 1 0 dan receiving slit sebesar 0,3 mm. d. analisis ftir dan sem silika mesopori mcm-48 dan yang telah termodifikasi gugus -nh2 dicampur dengan kbr (1:10) dan dibuat pellet, kemudian dianalisis pada rentang bilangan gelombang 4500-350 cm 1 , resolusi 4 cm -1 , dan jumlah scan sama dengan 300 pada ftir. selanjutnya analisis morfologi mcm-48 termodifikasi nh2 dianalisis dengan sem hasil dan pembahasan a. sintesis, modifikasi, karakterisasi silika mesopori mcm-48 metode yang digunakan untuk mengkarakterisasi silika mesopori mcm-48 pada penelitian ini adalah metode difraksi sinarx (xrd) untuk menentukan apakah material yang disintesis adalah benar mcm-48. karakterisasi juga dilakukan dengan menggunakan ftir untuk melihat gugus-gugus fungsi yang ada pada mcm-48 sebelum dan setelah pencucian dengan hcl-etanol, serta sebelum dan setelah modifikasi dengan 3aptms. b. karakterisasi menggunakan difraksi sinar-x (xrd) pola difraksi sinar-x dari silika mesopori mcm-48 dapat dilihat pada gambar 1. pola difraksi sinar-x mcm-48 menunjukkan adanya puncak 2 theta yang khas pada 2,4 o dengan indeks miller 211 dan beberapa puncak dengan intensitas rendah. puncak-puncak ini merupakan puncak yang khas untuk mcm-48 sebagaimana yang telah diperoleh oleh peneliti sebelumnya (ortiz dkk., 2014, pongsendana, 2013; taba, 2001). pola difraksi sinar-x yang diperoleh pada gambar 1 tidak maksimal. hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya fasilitas tambahan untuk pengukuran sudut 2 theta yang kecil (di bawah 10 o ), sehingga ada beberapa puncak yang tidak terlihat dan intensitas rendah. gambar 1. pola difraksi sinar-x silika mesopori mcm-48 c. karakterisasi menggunakan ftir gambar 2 menunjukkan spektra silika mesopori mcm-48 sebelum dan setelah pencucian sebanyak 4 kali. gambar 2. spektrum ftir (a) mcm-48 sebelum pencucian, (b) mcm-48 setelah 4x pencucian hcl-etanol dua daerah spesifik diamati untuk molekul organik (surfaktan) dalam mcm-48 yang disintesis; c-h rentang (2800-3100 cm -1 ) dan c-h tekuk (1400-1500 cm -1 ). rentangan c-h terdiri atas simetri -ch2 pada 2851 cm -1 dan asimetri -ch2 pada 2920 cm -1 . vibrasi c-h tekuk diamati pada 1645; 1512 dan 1481 cm -1 . 0 50 100 150 200 250 50010001500200025003000350040004500 1 2 0 4 (b) (a) 3 5 1 4 6 7 5 4 48 0 0 9 6 2 1 0 9 0 1 4 5 6 1 5 1 6 1 6 3 6 1 7 4 0 1 7 6 9 2 3 6 1 2 8 5 3 3 4 4 7 3 5 3 4 5 3 5 7 7 7 2 3 7 9 3 9 6 0 1 0 6 5 1 2 2 5 1 4 8 1 1 5 1 2 1 6 4 5 1 7 4 0 2 5 5 8 2 8 5 1 3 0 1 5 2 9 2 0 3 4 4 5 1/cm % t (a) (b) andi yanti puspita sari, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 249 253 252 data yang diperoleh mirip dengan data yang diperoleh oleh taba (2001). setelah pencucian dengan hcl-etanol, vibrasi c-h rentang dan tekuk hampir tidak teramati yang menunjukkan bahwa hampir semua surfaktan (template) telah hilang. pita serapan yang kuat diamati pada bilangan gelombang 1225 dan 1065 cm -1 dan serapan lemah pada 960 dan 793 cm -1 diamati yang merupakan vibrasi –si-o regang simetri dan asimetri dari kisi silikat. setelah pencucian dengan hcl-etanol, puncak tersebut bergeser ke 1204 cm -1 dan 1090 cm -1 yang menunjukkan adanya konstraksi kisi selama penghilangan template seperti yang dilaporkan oleh taba (2001). modifikasi silika mesopori mcm-48 dilakukan dengan menambahkan senyawa 3aptms pada mcm-48 yang telah dicuci dengan hcl-etanol. gambar 3 menunjukkan spektrum mcm-48 sebelum dan setelah dimodifikasi (mcm-48-nh2). gambar 3. spektrum ftir (a) mcm-48, (b) mcm-48-nh2 keberhasilan modifikasi mcm-48-nh2 ditunjukkan oleh munculnya dua pita serapan pada bilangan gelombang 3368 dan 3424 cm -1 yang menunjukkan adanya amina primer atau gugus amino (-nh2) di dalam saluran mesopori (buhani dkk., 2010). modifikasi mcm-48 dengan 3-aptms juga ditunjukkan dengan munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 2932 dan 2885 cm -1 yang merupakan rentangan asimetris dan simetris dari vibrasi c-h pada propil dari aptms. pita serapan baru muncul pada bilangan gelombang 1491 cm -1 yang merupakan vibrasi c-h dari gugus metilen yang masuk. .pita serapan yang cukup lebar pada bilangan gelombang 3447 cm -1 pada mcm-48 menjadi berkurang intensitasnya setelah dimodifikasi. pita serapan pada bilangan gelombang 962 cm -1 yang merupakan vibrasi ulur si-o dari si-oh setelah modifikasi menghilang. hal ini menunjukkan terjadinya interaksi antara gugus si-oh dengan 3-aptms. pita serapan pada bilangan gelombang 1560 cm -1 menunjukkan adanya vibrasi tekuk n-h dari amina primer (yokoi dkk., 2004). vibrasi rentangan c-n muncul pada daerah bilangan gelombang 1389 cm -1 . pita serapan yang muncul pada bilangan gelombang 694 cm -1 merupakan vibrasi dari si-ch2-r. d. analisis sem morfologi dan struktur molekul dari mcm48-nh2 dianalisis dengan menggunakan mikroskop elektron yaitu scanning electron microscopy (sem). gambar 4 menunjukkan morfologi permukaan dari mcm-48-nh2 gambar 4. morfologi mcm-48-nh2, gambar 4 menunjukkan bahwa mcm-48 yang telah dimodifikasi dengan 3-aptms secara signifikan tidak mengubah morfologi mesopori dari mcm-48. kesimpulan hasil penelitian menunjukan adanya puncak 2 theta yang khas pada 2,4 o dengan indeks miller 211 dan beberapa puncak dengan intensitas rendah. puncak-puncak ini merupakan puncak yang khas untuk mcm-48. dengan mengguanakan ftir menunjukan daerah spesifik diamati untuk molekul organik andi yanti puspita sari, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 249 253 253 (surfaktan) dalam mcm-48 yang disintesis; c-h rentang (2800-3100 cm -1 ) dan c-h tekuk (14001500 cm -1 ). rentangan c-h terdiri atas simetri ch2 pada 2851 cm -1 dan asimetri -ch2 pada 2920 cm -1 . vibrasi c-h tekuk diamati pada 1645; 1512 dan 1481 cm -1 . keberhasilan modifikasi mcm-48-nh2 ditunjukkan oleh munculnya dua pita serapan pada bilangan gelombang 3368 dan 3424 cm -1 yang menunjukkan adanya amina primer atau gugus amino (-nh2) di dalam saluran mesopori. daftar pustaka bandyopadhyay, m. 2004. synthesis of mesoporous mcm-48 with nanodispersed metal and metal oxide particles inside the pore system. dissertation. ruhr-universitat bochum, bochum. bhagiyalakshmi, m., yun, l. j., anuradha, r., and jang, h. t. 2010. synthesis of chloropropylamine grafted mesoporous mcm-41, mcm-48, and sba-15 from rice husk ash : their application to co2 chemisorption. j. porous. mater. 17: 475484. buhani, narsito, nuryono, and kunarti e. s. 2009. hibrida amino-silika dan merkaptosilika sebagai adsorben untuk adsorpsi ion cd(ii) dalam larutan. indo. j. chem. 9(2): 170-176. buhani dan suharso. 2010. modifikasi silika dengan 3-aminopropiltrimetoksisilan melalui proses sol gel untuk adsorpsi ion cd(ii) dari larutan. j. sains mipa 16(3): 177-183. elias, v. r., oliva, m. i., vaschetto, e. g., urreta, s. e., eimer, g. a., and silvetti, s. p. 2010. magnetic properties of iron loaded mcm-48 molecular sieves. j. magn. magn. mater. 322: 3438-3442. kim, s., ida, j., guliants, v. v., and lin, j. y. s. 2005. tailoring pore properties of mcm-48 silica for selective adsorption of co2. j. phys. chem. b 109: 6287-6293. kim, h. j., jang, k. s., galebach, p., gilbert, c., tompsett, g., conner, w. c., jones, c. w., and nair, s. 2013. seeded growth, silylation, and organic/water separation properties of mcm-48 membranes. j. membr. sci. 427: 293-302. kresge, c. t., leonowics, m. e., roth, w. j., vartuli, j. c., and beck j. s. 1992. ordered mesoporous molecular sieves synthesized by a liquid-crystal template mechanism. nature 359: 710-712. liu, c., wang, s., rong, z., wang, x., gu, g., and sun, w. 2010. synthesis of structurally stable mcm-48 using mixed surfactants as co-template and adsorption of vitamin b12 on the mesoporous mcm-48. j. noncryst. solids 356: 1246-1251. ortiz, h. i. m., mercado, y. p., silva, j. a. m., maldonado, y. o., castruita, g., and cerda, l. a. g. 2014. functionalization with amine-containing organosilane of mesoporous silica mcm-41 and mcm-48 obtained at room temperature. ceram. int. 40: 9701-9707. pongsendana, m. 2013. modifikasi silika mesopori mcm-48 dengan gugus tiol untuk adsorpsi ion logam ag(i). skripsi tidak diterbitkan. universitas hasanuddin, makassar. ryoo, r., joo, s. h., and kim, j. m. 1999. energetically favored formation of mcm48 from cationic-neutral surfactant mixtures. j. phys. chem. b 103: 74357440. taba, p. 2001. mesoporous solids as adsorbent. phd thesis. the university of new south wales, australia. yokoi, t., yoshitake, h., and tatsumi, t. 2004. synthesis of aminofunctionalized mcm-41 via direct co-condensation and postsynthesis grafting methods using mono-, di-, and tri-aminoorganoalkoxysilanes. j. mater. chem. 14: 951-957. walcarius, a., ettene, m., and lebeau, b. 2003. rate of access to the binding sites in organically modified silicates. ordered mesoporous silicas grafted with amine or thiol groups. chem. mater. 15: 2161-2173. indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 1 analisis distribusi logam berat timbal dan cadmium dalam sedimen sepanjang muara sungai dan laut perairan spermonde, sulawesi selatan, indonesia distribution of pb and cd heavy metal content in sediments along the river estuary and spermonde waters, south sulawesi, indonesia waode rustiah 1* , alfian noor 1 , maming 1 , muhammad lukman 2 , nurfadilah 3 1 department of chemistry, faculty mathematic and natural science, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 marine science department, faculty of marine science and fisheries, hasanuddin university, south sulawesi, indonesia. 3 marine science department, faculty of fisheries and marine science, mulawarman university, east kalimantan, indonesia. *corresponding author, e-mail: waoderustiah79@gmail.com received: jan. 2019 published: jul. 2019 abstract determination of lead and cadmium levels in sediment samples in spermonde waters have been determined. sampling was carried out in river and sea estuary waters. the method was used in the analysis of pb and cd is specified by sni 06-6992.3-2004 and sni 06-6992.4-2004. the results showed that spermonde waters received more pb metal input than cd metal. pb metal content in river estuary and sea waters averaged 17.38 ppm. the highest pb metal content was found in lanjukang island and bone tambung island with range from 20.88 ppm and 20.19 ppm. meanwhile, the lowest pb metal content on barang lompo island was 9.86 ppm. the detected metal content of cd is only found in the barrang lompo and kondong bali islands with range from 1.04 ppm and 0.19 ppm, while the other locations cd metal are undetectable. based on the sqg value, the content of cd and pb in sediments in spermonde waters is still in the standard range for sediment that has not been contaminated. keywords: sediments, spermonde waters, heavy metals pb, cd. pendahuluan sedimentasi merupakan salah satu proses yang terjadi disebabkan oleh alam dan artifisial manusia yang telah memberikan perubahan tatanan ekosistem, dimana sedimen tersebut diendapkan. perpindahan logam berat yang terlarut dari badan air ke dalam sedimen akan terjadi apabila terdapat material organic pada permukaan sedimen yang akan mengikat logam tersebut (qu dan kroeze, 2012; testa dkk., 2013). laut merupakan tempat bermuaranya berbagai aliran sungai. dengan demikian, laut menjadi wadah bagi semua bahan buangan hasil aktivitas yang ada di daratan dan lautan. secara alamiah laut akan melakukan asimilasi terhadap semua bahan asing yang diterimanya. apabila kecepatan asimilasi lebih lambat dari suplai bahan tersebut, maka laut akan kehilangan kemampuan asimilasinya dan pada saat itulah terjadi tekanan ekosistem yang mengakibatkan pencemaran. beban masukan yang terdapat dalam bentuk terlarut dan tersuspensi dapat berdampak pada lingkungan perairan pesisir dan laut (glibert dkk., 2008; garnier dkk., 2010), yang akan merusak ekosistem terumbu karang dan biodiversity (costa dkk., 2008; gypens dkk., 2009). zona pesisir, khususnya muara, banyak menerima beban masukan bahan antropogenik yang berasal dari berbagai sumber, diantaranya buangan limbah industri, pertambangan, rumah tangga dan limbah pertanian (bayram dkk., 2013; strokal dan kroeze, 2013), yang selanjutnya akan memasuki perairan pesisir dan laut melalui limpasan air hujan, aliran sungai dan runoff dari daratan. diperkirakan sekitar 450 mega ton/tahun bahan cemar organic berasal dari limbah domestic, pupuk, pestisida, bahan organic sintesis, produksi kimiawi dan terjadinya tumpahan minyak yang dibuang ke pesisir dan waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 2 laut di seluruh dunia (schwarzenbach dkk., 2006), merupakan sumber utama pencemaran logam berat. dalam banyak kasus, logam berat terdapat secara alami dalam badan air, pada tingkat dibawah ambang batas beracun, namun sifat logam yang tidak dapat didegradasi walaupun dalam konsentrasi rendah, masih memungkinkan menimbulkan resiko kerusakan melalui penyerapan dan bioakumulasi oleh organisme. kadar logam berat yang meningkat di perairan dapat menjadi racun bagi organisme (agustina, 2010; riani, 2012). proses akumulasi logam berat dapat terjadi pada tumbuhan (mulyani dkk., 2012), biota (ali dan bream 2010; riani 2012) melalui proses absorpsi dan biomagnifikasi (riani, 2014; 2015) dan terakumulasi pada sedimen (balachandran dkk., 2005; rifardi, 2008a) melalui proses gravitasi. hal penting yang dilakukan adalah bagaimana menentukan masuknya logam berat di perairan pesisir makassar dan pesisir pangkep, dan mengelolanya sehingga konsentrasi logam tersebut ketika terendapkan ke dalam sedimen tidak mencapai tingkat yang beracun. perairan pesisir makassar, khususnya yang mendapat limpasan dari muara sungai tallo, dimana aliran sungai ini membelah kota makassar, sulawesi selatan dan berakhir di selat makassar. pada sekitar mulut sungai terdapat permukiman yang sangat padat dan beberapa industri besar. sedangkan pesisir pangkep banyak mendapat limpasan dari aktifitas pertanian, pertambangan, dimana kebutuhan akan pupuk urea untuk kegiatan pertanian dan perikanan. terjadinya peningkatan limpasan antropogenik dalam jangka panjang, diasumsikan akan membuat semakin memburuknya kondisi ekosistem pesisir dan laut. penelitian yang sama di sungai jeneberang, dimana kandungan pada sedimen mengandung pb dan cd yaitu masingmasing sebesar 10.3971 ppm dan 0.1 ppm. sementara di bendungan bili-bili, mengandung pb dan cd masing-masing sebesar 29.249 ppm dan 0.10 ppm (setiawan, 2014). sejauh ini, belum ada penelitian terkait yang dilakukan di sepanjang pesisir pantai barat sulawesi selatan, yaitu di perairan makassar dan pangkep. pentingnya memahami karakter limpasan material daratan di wilayah pesisir dalam mengisi kesenjangan informasi terutama dalam mengidentifikasi kesehatan ekosistem. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi pb dan cd dalam sedimen, sebagai dampak limpasan material organik yang bermuara ke perairan laut spermonde secara spasial. metodologi lokasi sampling penentuan posisi stasiun penelitian selama pengamatan ditetapkan menggunakan gps (tabel 1). pengambilan sampel dilaksanakan di bulan maret 2018. secara spasial, studi lokasi penelitian di area perairan pesisir tallo dan pangkep, dipilih yang tegak lurus dari daratan utama. perairan pesisir dibagi dalam 2 (dua) domain berdasarkan transport material daratan ke pesisir yaitu domain perkotaan di pesisir tallo dan domain pertanian di pesisir pangkep (gambar 1). contoh sedimen diambil dari 10 stasiun. tabel 1. posisi geografis stasiun pengambilan sampel penelitian lokasi sampling lintang selatan bujur timur muara sungai tallo (mt) 05.05.42,3 119.26.34,5 pulau barrang lompo (bl) 05.03.32,3 119.21.18,3 pulau bone tambung (bt) 05.02.16,4 119.17.16,8 pulau langkai (lk) 05.01.44,4 119.06.19,1 pulau lanjukang (lyk) 04.58.44,3 119.05.07,1 muara sungai pangkep (mp) 04.49.47,3 119.29.23,5 pulau laiya (ly) 04.48.31,9 119.24.30,4 pulau sarappo keke (skk) 04.48.20,8 119.13.31,2 pulau kondong bali (kb) 04.43.24,0 119.02.34,4 pulau kapoposang (kpps) 04.41.13,6 118.57.09,5 prosedur kerja sampel diambil dengan alat grab sampler. total berat sedimen yang diambil ± 1 kg pada setiap titik lokasi. secara visual terlihat bahwa sedimen di muara sungai tallo dan pangkep cenderung dominan fraksi halus yaitu berlumpur, sedangkan sedimen yang berasal dari perairan laut berupa lumpur ukuran butiran lempung sampai pasir. sedimen diayak menggunakan ayakan 63 mesh dengan bantuan air laut yang diambil dari tempat pengambilan sampel. butiran sedimen yang bercampur dengan air diendapkan selama satu hari. hasil saringan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 o c. setelah kering dilanjutkan dengan penggerusan, kemudian disimpan di gelas kimia yang ditutup dengan aluminium foil sebelum dianalis lebih lanjut (sahara, 2009). waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 3 penyiapan sampel. 5 gram sedimen kering ditimbang dan dimasukkan dalam gelas kimia, kemudian ditambahkan 125 ml campuran hno3 dan hclo4 (4 :1) dan didestruksi selama 3 jam pada suhu 120 o c. hasil destruksi ini disaring dan filtratnya ditampung dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan sampai tanda batas. tingkat pencemaran ditentukan berdasarkan standar yang dibuat oleh institusi. penentuan kadar logam berat dalam contoh dilakukan dengan uji aas. selengkapnya metode analisis mengikuti acuan pada tabel 2. tabel 2. analisis data sedimen dan metode analisisnya hasil dan pembahasan logam berat dan kualitas perairan identifikasi sumber logam yang masuk ke dalam perairan merupakan salah satu cara untuk mengetahui potensi bahaya logam berat. dengan demikian akan dapat diketahui sumber logam berat tersebut berasal dari kegiatan manusia atau alamiah, karena potensi bioavailibitas logam di sedimen sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi pencemaran logam dalam suatu lokasi (riani dkk., 2014). logam dalam bentuk partikel akan berasosiasi dengan partikel tersuspensi di kolom air atau akan terakumulasi di sedimen dasar dalam perairan (stecko dan bendell-young, 2000). logam yang mengendap di sedimen, juga akan berpartisi pada fraksi-fraksi di sedimen, yang akan menentukan bioavalabilitas bagi biota. selain daripada itu, penting mengidentifikasi sumber logam yang masuk ke perairan, apakah bersumber dari kegiatan manusia (antropogenik) atau alamiah. dari hasil identifikasi tersebut, sangat menunjang kegiatan monitoring dan evaluasi pencemaran logam di suatu lokasi (nopriani dkk., 2011). logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion, diantaranya pasangan ion kompleks, ion-ion bebas, ion organik, dan bentuk ion lainnya. umumnya kisaran parameter oseanografi di perairan estuary dan laut spermonde tidak berfluktuatif dan masih dalam kisaran sesuai kebutuhan organisme di perairan tersebut (gambar 2). proses masuknya logam berat ke dalam perairan, pertama akan mengendap, dispersi dan pengenceran, selanjutnya diserap oleh organisme-organisme di perairan. kenaikan ph perairan akan menyebabkan kelarutan logam berat semakin kecil. selanjutnya menyatakan bahwa kenaikan suhu, rendahnya nilai salinitas dan ph di perairan tersebut, menyebabkan no. parameter unit metode 1 timbal (pb) mg/kg sni 06-6992.32004 2 kadmium (cd) mg/kg sni 06-6992.42004 gambar 1. lokasi sampling waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 4 semakin besar tingkat bioakumulasi logam berat (riani dkk., 2015). konsentrasi logam berat di perairan, juga dipengaruhi oleh ph, dimana jika ph rendah, maka kelarutan logam berat lebih tinggi. secara umum logam berada dalam bentuk kation bebas pada ph yang rendah, sehingga toksisitas logam berat akan semakin besar. nilai ph pada perairan spermonde menunjukkan bahwa dari muara sungai sampai ke laut, mengalami penurunan nilai ph yaitu dari 7,93-6,21. rendahnya kelarutan dari senyawa logam pb dan cd, akan diikuti dengan kenaikan ph pada badan perairan. selanjutya jika nilai ph semakin tinggi, mengakibatkan kestabilan bergeser dari karbonat ke hidroksida. pada badan perairan, hidroksidahidroksida akan membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel. pada akhirnya persenyawaan antara partikel-partikel dengan hidroksida yang ada di badan perairan akan mengendap (nopriani dkk., 2011). keberadaan logam berat juga dipengaruhi oleh salinitas di perairan pesisir dan laut. peningkatan daya toksik logam berat pb dan cd terjadi akibat penurunan salinitas, sehingga mengakibatkan semakin besar tingkat bioakumulasi logam berat (yudiati dkk., 2009). hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai salinitas pada muara sungai tallo dan pangkep sampai ke laut masingmasing berkisar 13,6-11,2‰ dan 11,212,7‰, memperlihatkan peningkatan kandungan logam berat pb dan cd pada perairan laut, dibandingkan disekitar muara sungai tallo dan pangkep. suhu mempengaruhi uptake logam berat dan laju metabolisme dalam organisme. selain itu, suhu juga mempengaruhi distribusi organisme dalam suatu ekosistem, dan toksisitas logam berat pb dan cd (mamboya, 2007). proses kelarutan logam-logam berat yang masuk ke muara sungai sampai ke laut juga dipengaruhi oleh suhu. dalam hal ini suhu perairan yang tinggi, baik di muara sungai sampai ke laut, kelarutan logam berat pb dan cd juga semakin tinggi. pada muara sungai sampai ke laut, suhu perairan menunjukkan nilai semakin rendah 32,8-30,5 o c, sehingga kelarutan akan bahan pencemar di perairan semakin rendah, sedangkan kandungan logam berat pada muara sungai lebih tinggi dibandingkan ke arah laut. hal tersebut menyebabkan laju proses biodegradasi pada suhu tinggi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan mampu melepaskan bahan kimia ke udara (nopriani dkk., 2011). tingkah laku logam-logam berat di dalam badan perairan, dipengaruhi karena terjadi interaksi antara air dengan endapan sedimen (sudirman dkk., 2013). keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar dari perairan. bagian dasar perairan, ion logam kompleks yang terlarut, akan membentuk partikel-partikel yang lebih besar dengan cepat, meskipun terjadi kontak dengan partikulat suspensi dalam badan perairan. partikel tersebut akan membentuk ikatan permukaan (yang dkk., 2007; zhang dkk., 2008). sedimen yang terdapat pada perairan muara sungai tallo makassar dan muara sungai gambar 2. parameter oseanografi meliputi ph, suhu, tss dan salinitas di perairan pesisir dan laut spermonde waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 5 pangkep tergolong pada jenis substrat berpasir dan berlumpur, yang memudahkan masuknya logam-logam berat. terlihat pada dasar perairan laut, pengikatan antara ion-ion logam dengan substrat berpasir tidak terjadi, dengan demikian nilai padatan tersuspensi di laut lebih rendah (berkisar 34-41 ppm). sebaliknya pada muara sungai tallo dan pangkep, ion-ion logam yang terdapat di badan perairan tersebut berikatan dengan partikelpartikel tersuspensi dengan nilai kandungan tss yang tinggi (masing-masing berkisar 47 ppm untuk muara sungai tallo dan 43 ppm. untuk muara sungai pangkep), sehingga membentuk ikatan kompleks yang terlarut dan terjadi pengendapan pada dasar perairan yang memiliki substrat berlumpur. kandungan logam berat timbal (pb) dan kadmium (cd) hasil analisis kadar logam berat pb dan cd pada sedimen di 10 lokasi pengambilan sampel bervariasi, disajikan pada gambar 3. kadar logam pb baik di muara sungai dan perairan laut rata-rata 17,38 ppm dengan standar deviasi 3,59. kadar logam pb tertinggi terdapat pada pulau lanjukang dan pulau bone tambung, masing-masing berkisar 20,88 ppm dan 20,19 ppm. sementara, kadar logam pb yang terendah terdapat pada pulau barang lompo sebesar 9,86 ppm. menilik data tersebut, kadar logam pb lebih tinggi dari pada logam cd di semua lokasi pengambilan sampel, baik di muara sungai maupun di perairan laut. dari nilai-nilai tersebut terlihat bahwa nilai kandungan logam pb cukup berfluktuasi diberbagai stasiun selama penelitian. hasil analisis varians menunjukkan bahwa nilai kandungan logam pb tidak berbeda signifikan (p>0,05). hal ini mengindikasikan bahwa perairan spermonde menerima masukan logam pb lebih banyak dibandingkan dengan logam cd. tabel 3. sqg menurut usepa dan panduan tel/pel untuk trace elements cd (mg/kg) pb (mg/kg) sqg tidak tercemar a <40 sqg tercemar sedang a >6 >60 sqg tercemar berat a >6 >60 tel b 0,68 30,2 pel b 4,2 112,2 merujuk pada petunjuk kualitas sedimen pada tabel 3, threshold effect level (tel) logam pb dalam sedimen adalah 30,2 mg/kg (barakat dkk., 2012). jika dibandingkan dalam sedimen quality guideline menurut usepa, pada sampel sedimen di perairan spermonde, kadar logam pb masih berada di bawah 40 mg/kg. hal ini dikarenakan sedimen mudah tersuspensi oleh karena pergerakan massa air dalam melarutkan kembali logam pb dalam gambar 3. perbandingan distribusi kandungan logam berat di muara sungai dan laut spermonde waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 6 sedimen ke dalam air laut (payung dkk, 2013; ismarti dkk, 2015). aliran sungai berpengaruh terhadap peningkatan jumlah partikel kolom air dan tingkat sedimentasi yang ada. penyebab lain disebabkan oleh debu yang berjatuhan diyakini mengandung pb dari hasil pembakaran bahan bakar yang mengandung timbal, hasil erosi dari daratan dan juga limbah industri yang terbuang ke sungai akan terangkut dan terbawa oleh aliran sungai ke muara (suwarsito dkk., 2014). timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena memiliki sifat-sifat antara lain: memiliki titik cair yang rendah, maka akan membutuhkan teknik sederhana dan murah jika digunakan dalam bentuk cair; timbal sifatnya yang lunak, memudahkan diubah dalam berbagai bentuk; timbal memiliki sifat kimia yang menyebabkan logam berat ini berfungsi sebagai lapisan pelindung, jika ternjadi kontak dengan udara lembab; timbal dapat membentuk alloy dengan logam lain dan mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni; timbal memiliki densitas yang tinggi jika dibandingkan dengan logam lain, kecuali jika dibandingkan dengan emas dan merkuri. namun lain halnya pada logam cd, kandungan logam cd yang terdeteksi sangat rendah yaitu hanya terdapat pada pulau barrang lompo dan pulau kondong bali, yaitu masingmasing berkisar 1,04 ppm dan 0,19 ppm, sedangkan lokasi sampling yang lain kandungan logam cd tidak terdeteksi, hal ini diduga minimnya masukan bahan pencemar yang mengandung logam cd di perairan, serta kecepatan sedimentasi yang rendah membuat bahan pencemar yang masuk di transportasikan ke perairan lainnya. rata-rata hasil pengukuran 0,62 ppm dengan standar deviasi 3,59. terdeteksinya kandungan logam cd pada pulau barrang lompo dan kondong bali, diduga pengaruh dari aktifitas antropogenik yang turun ke perairan, dan pada saat arus melemah maka logam cd akan mengendap di partikel-partikel sedimen di dasar perairan tersebut. keberadaan logam kadmium diperairan dapat bersumber dari pembakaran sampahsampah kota, batu bara serta kayu, peleburan berbagai jenis biji tambang, pengendapan logam kadmium dari atmosfer, dan limbah domestic (supriyanto dkk., 2008). menurut yu dkk. (2011), logam di sedimen berada sebagai ion bebas yang berikatan dengan karbonat, sehingga logam bentuk ini sangat labil, yang akhirnya mudah lepas ke perairan, serta mudah diserap oleh organisme (bioavailable). logam yang bersifat bioavailable akan terakumulasi pada biota yang bersifat toksik bagi tubuh hewan air tesebut, dan bahkan dapat mematikan individu yang sangat sensitive (riani., 2012). kesimpulan kondisi umum perairan spermonde untuk parameter suhu, ph, tss dan salinita perairan muara sungai dan laut berada dalam kondisi baik. konsentrasi logam berat timbal (pb) dan kadmium (cd) dalam sedimen lingkungan perairan muara sungai dan laut masih layak untuk kehidupan organisme perairan, dan status pencemaran masih berada dibawah standar baku mutu yang ditetapkan oleh beberapa negara. hasil analisis logam berat diketahui bahwa pb tertinggi dibandingkan dengan cd. penelitian ini hanya pada sedimen, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap akumulasi logam berat pada air dan biota yang hidup didalamnya. ucapan terima kasih penelitian ini dibiayai oleh hibah disertasi doktor kementrian riset dan teknologi tahun 2018. ucapan terima kasih yang luar biasa untuk semua pihak yang sudah banyak membantu penelitian ini hingga dapat terlaksana dengan baik. daftar pustaka agustina, t., 2010, kontaminasi logam berat pada makanan dan dampaknya pada kesehatan, teknubuga, 2 (2), 53-65. ali, r. a. s., bream, a., 2010, the effects of sewage discharge on the marine gastropod gibbula sp collected from the coast of alhanyaa, libya. egypt. acad. j. bio., 2 (2), 4752. balachandran, k. k., lalu raj, c. m., nair, m., joseph, t., sheeba, p., venugopal, p., 2005, heavy metal accumulation in a flow restricted, tropical estuary. estuarine, coastal and shelf science, 65, 361–370. barakat, a., m. el baghdadi, j. rais, nadem. s., 2012, assesment of heavy metal in surface sediments of day river at beni-mellal waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 7 region, marocco, res. j. environ. earth sci., 4(8), 797-806. bayram, a., onsoy, h., bulut, v.n., akinci, g., 2013, influences of urban wasterwaters on the stream water quality: a case study from gumushane province, turkey. turkey, environ. monit. asses, 185, 1285-303. costa jr, o.s., nimmo, m., cordier, e., 2008, coastal nutrifiction in brazil: a review of the role of nutriet excess on coral reef demise, j. south americ. earth sci., 25(2), 257-270. garnier, j., beusen, a., thieu, v., billen, g., bouwman, l., 2010, n:p:si nutrient export ratios and ecological consequences in coastal seas evaluated by the icep approach. global biogeochem. cycles 24, gb0a05. glibert, p.m., mayorga, e., seitzinger, s.p., 2008, prorocentrum minimum tracks anthropogenic nitrogen and phosphorus inputs on a global basis: application of spatially explicit nutrient export models, harmful algae, 8(1), 33-38. gypens, n., a. v. borges, c., lancelot., 2009, effect of eutrophication on air–sea co2 fluxes in the coastal southern north sea: a model study of the past 50 years, global change biology, 15(4), 1040–1056. ismarti, amelia f, ramses., 2015, kandungan logam berat pb dan cd pada sedimen dan kerang di perairan batam. j. dimensi, 4(3), 1-8. mamboya, f.a., 2007, heavy metal contamination and toxicity, dissertation, stockholm university. mulyani, s., t. i. g. a. lani, s. e. n. arief., 2012, identifikasi cemaran logam pb dan cd pada kangkung yang ditanam di daerah kota denpasar. bumi lestari 12(2), 345 – 349. nopriani, l.s., 2011, teknik uji cepat untuk identifikasi pencemaran logam berat di lahan apel batu, disertasi, malang: fakultas pertanian, universitas brawiajaya. payung, febrianti lolo., ruslan dan agus b.b., 2013, studi kandungan dan distrbusi spasial logam berat timbal (pb) pada sedimen dan kerang (anadara sp) di wilayah pesisir kota makasar. diakses pada 12 juni 2015, http://repository.unhas.ac.id. qu, h.j., kroeze, c., 2012, nutrient export by rivers to the coastal waters of china: management strategies and future trends, reg. environ. change., 12(1), 153-167. riani, e., 2012, perubahan iklim dan kehidupan akuatik dampak pada bioakumulasi bahan berbahaya beracun dan reproduksi. ipb press, bogor. riani, e., y. sudarso, m. r. cardova., 2014, heavy metals effect on unviable larvae of dicrotendipes simpsoni (diptera: chironomidae), a case study from saguling dam, indonesia. aquacultur, aquarium, conservation and legislation (aacl), inter. j. bioflux soc., 2(7), 76-84. riani, e., 2015, the effect of heavy metals on tissue damage in different organs of goldfish cultivated in floating fish net in cirata reservoir, indonesia, paripex – ind. j. res., 4(2), 54-58. rifardi., 2008a, deposisi sedimen di perairan laut paya pesisir pulau kundur-karimunriau, ilmu kelautan 13(3), 147-152. schwarzenbach, r.p., escher, b.i., fenner, k., hofstetter, t.b., johnson, c.a., von gunten, u., wehrli, b., 2006, review : the challenge of micropollutans in aquatic systems, science, 313 (5790): 1072-1077. setiawan, h., 2014, pencemaran logam berat di perairan pesisir kota makassar dan upaya penanggulangannya, info teknis eboni, 11(1), 1-13. strokal, m., kroeze, c., 2013, nitrogen and phosphorus inputs to the black sea in 19702050, reg. environ. change 13, 179-192. sudirman, n., s. husrin, ruswahyuni., 2013, baku mutu air laut untuk kawasan pelabuhan dan indeks pencemaran perairan di pelabuhan perikanan nusantara kejawanan cirebon,. j. saintek perikanan 9(1),14-22. supriyanti c, zainul kamal, saman., 2008, analisis cemaran logam berat pb, cu dan cd pada ikan air tawar dengan metode spektrofotometri serapan atom (ssa). seminar nasional iii sdm teknologi nuklir, yogyakarta. suwarsito, e. sarjanti, 2014, analisa spasial pencemaran logam berat pada sedimen dan biota air di muara sungai serayu, kabupaten cilacap, geoedukasi, 3(1), 3037. waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 1-8 8 testa, j.m., brady, d.c., di toro, d.m., boynton, w.r., kemp, w.m., 2013, sediment flux modeling: nitrogen, phosphorus and silica cycles. estuarine, coastal and shelf sci., 131, 245-263. yang t., liu q., chan l., and liu z., 2007, magnetic signature of heavy metals pollution of sediments: case study from the east lake in wuhan, china. j. environ. geology, 52(8), 1639-1650. yu, x., y. yana, w. wang., 2011, the distribution and speciation of trace metals in surface sediments from the pearl river estuary and the daya bay, southern china, marine pollution bull., 60(8), 1364–137. yudiati e., sedjati s., enggar, hasibuan i., 2009, dampak pemaparan logam berat kadmium pada salinitas yang berbeda terhadap mortalitas dan kerusakan jaringan insang udang vanamae (litopeneus vannamei), j. ilmu kelautan 14(4), 29-35. zhang, w., feng, h., chang, j., qu, j., & yu, l., 2008, lead (pb) isotopes as a tracer of pb origin in yangtze river intertidal zone, chemical geology, 257(3/4), 260-2636. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 104 109 104 adsorption of tartrazine dye by active carbon from mahagony (swietenia mahagoni jacq) rind adsorpsi zat warna tartrazina menggunakan karbon aktif dari kulit buah mahoni (swietenia mahagoni jacq) m.f.j.d.p. tanasale*, j. latupeirissa, riwana letelay chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author e-mail: mtanasale@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2013 published: january 2014 abstract the adsorption of tartrazine dye on active carbon of mahagony (swietenia mahagoni jacq) rind has been done. through acquired active carbon carbonations process, where was that rind at entry into furnace on temperature 500 o c for 1 hour, afterwards is cooled and sieved to 50 mesh. activation process was done through charcoal soaking in 4 m hcl solution for 15 hours and be dried on ovens at 110 o c for 1 hour. after that, by the calcinations process in furnace at 450 o c was streamed to gas n2 for 2 hours then analysed by x-ray diffraction (xrd) to charcoal before activation, after activation and after calcinations. adsorption process to tartrazina dye utilize uv-vis spectrophotometer was been done. result of research are gotten optimum condition of active carbon which is on adsorben’s weight 1.0 g, contact time 40 minutes, ph = 3 and concentration of tartrazine dye on 30 ppm. adsorption of tartrazine dye on the active carbon fits freundlich's isotherm at the value correlation coefficient (r 2 ), value k f , and value n which is 98%; 0.015 and 1.186 respectively. keywords: active carbon, calcinations process, mahogany rind, tartrazina dye, xrd pendahuluan dampak negatif dari perkembangan industriindustri adalah memacu meningkatkan masalah lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainya. hal ini dikarenakan adanya limbah yang dihasilkan industri, terutama yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan beracun dalam proses produksinya (anonim, 2010). beberapa industri seperti tekstil, keramik, percetakan kertas, dan plastik menggunakan pewarna untuk warna produk mereka. keberadaan zat warna dalam air tidak diinginkan karena dalam jumlah yang sangat kecil dari agen-agen pewarna sangat terlihat dan mungkin beracun untuk lingkungan perairan. beberapa metode yang tersedia untuk menghilangkan warna dari air limbah seperti pemisahan membran, degradasi aerobik dan anaerobik, oksidasi kimia, koagulasi dan flokulasi, adsorpsi menggunakan berbagai jenis adsorben. di antaranya, adsorpsi adalah teknik penghapusan menjanjikan yang menghasilkan limbah yang mengandung tingkat yang sangat rendah dari senyawa organik terlarut. penelitian yang cukup besar telah dilakukan dalam penghilangan zat warna dari teknik air limbah dengan menggunakan adsorben yang berbeda seperti karbon aktif, serbuk gergaji, tongkol jagung, kulit jeruk, biomasa mati atau hidup,dan adsorben murah lainnya. adsorben yang paling banyak digunakan dalam tujuan ini yaitu karbon yang diaktifkan, karena karbon aktif komersial tersedia mahal, tidak ekonomis untuk pengolahan air limbah, dan memiliki kapasitas adsorpsi yang rendah, sehingga efisiensinya adsorben dari bahan murah atau bahan sisa yang digunakan (thio christine dkk, 2007). karbon aktif adalah adsorben yang paling popular untuk proses adsorpsi karena memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi. penelitian tentang karbon aktif sebagai adsorben telah banyak dilakukan. wijayanti (2009) telah membuat arang aktif dari ampas tebu sebagai adsorben pada pemurnian minyak goring bekas. trihadiningrum (2008) melakukan uji kemampuan karbon aktif dari limbah kayu dalam sampah kota untuk penyisihan fenol dan diperoleh kapasitas adsorpsi sebesar 0.2095 m.f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 104 109 105 mg/mg. pujiarti dan gentur (2005) membuat arang aktif dari limbah kayu mahoni sebagai bahan penjernih air dimana hasil akhirnya dapat menjernihkan air yang keruh, menyerap warna, menghasilkan kadar besi (fe) sebesar 0.12 mg/l dan kadar mangan (mn) sebesar 0.08 mg/l. mahoni (swietenia mahagoni jacq) dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempattempat lain yang dekat dengan pantai atau ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung. selain daun, kayu yang dapat digunakan sebagai perabot rumah tangga dan perabot ukiran, buah yang memiliki biji yang dapat dijadikan obat serta fungsi lainnya, kulit buahnya merupakan hasil samping, yang tidak digunakan kemudian dibuang menjadi sampah di lingkungan, padahal kulit buah tersebut dapat dijadikan bahan pembuatan karbon aktif yang dapat digunakan dalam proses adsorpsi. pada penelitian ini dikaji tentang pembuatan arang aktif dari kulit buah mahoni dan pemanfaatannya sebagai adsorben zat warna tartrazina. metodologi preparasi arang dari bulit buah mahoni kulit buah mohoni dicuci hingga bersih, selanjutnya kulit buah yang telah bersih dan kering ditempatkan dalam tanur pada suhu 500 o c, selama 1 jam untuk dikeringkan sampai menjadi arang. setelah itu, didinginkan pada suhu ruang kemudian dihaluskan, diayak dan dikarakterisasi dengan x-rd. proses aktivasi karbon dari arang kulit buah mahoni sebanyak 45 g arang direndam dalam reagen aktivator hcl 4 m selama 15 jam, disaring dan dicuci dengan akuades. arang yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 o c selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dikarakterisasikan dengan x-rd. setelah itu, dilakukan proses kalsinasi. sampel arang dimasukkan dalam perangkat alat kalsinasi yang dipanaskan pada suhu 450 o c dan dialiri dengan gas nitrogen, selama waktu 2 jam. kemudian dikarakterisasikan dengan x-rd. variasi jumlah adsorben karbon aktif masing-masing sebanyak 0,2 g; 0,4 g; 0,6 g; 0,8 g; dan 1,0 g dimasukkan ke dalam 5 buah erlenmeyer yang berisi larutan 25 ml tartrazina selanjutnya larutan disheaker selama 1 jam. filtrat dan endapan dipisahkan dengan cara disaring. selanjutnya filtrat yang diperoleh dianalisis dengan uv-vis. variasi waktu optimum adsorpsi karbon aktif sebanyak 1,0 g dimasukkan ke dalam 5 buah erlenmeyer yang berisi larutan 25 ml larutan zat tartrazina selanjutnya larutan disheaker dengan variasi waktu kontak masingmasing 20, 40, 60, 80, dan 100 menit. setelah itu disaring dengan kertas saring dan filtratnya diukur absorbansinya dengan uvvis untuk menentukan konsentrasi tartrazina yang teradsorpsi. variasi ph optimum adsorpsi disiapkan 3 buah erlenmeyer yang diisi larutan dengan variasi (a) ph = 3, (b)ph =7, (c) ph = 11 yang diatur dengan menggunakan buffer. buffer yang digunakan untuk variasi ph berturut-turut yaitu : ( a ) 50 ml kalium hidrogen ftalat 0,1 m, 22,3 ml hcl 0,1 m, dan 22,7 ml akuades ; (b) 50 ml larutan kh2po4 0,1 m, akuades 20,9 ml dan 29,1 ml naoh 0,1 m; dan (c) 50 ml larutan nahco3 0,05 m; 27,3 ml akuades dan 22,7 ml naoh 0,1 m dengan volume akhir masing-masing larutan buffer = 100 ml. selanjutnya ditambahkan 1,0 g karbon aktif dan 25 ml tartrazina pada konsentrasi 20 ppm. kemudian larutan disheaker selama waktu kontak 40 menit. setelah itu, larutan yang diadsorpsi oleh karbon aktif disaring dengan kertas saring, selanjutnya filtrat tersebut diukur dengan uv-vis. variasi konsentrasi zat warna tartrazin sebanyak 5 buah erlenmeyer 100 ml disiapkan dan dimasukkan karbon aktif sebanyak 1,0 g ke dalam masing-masing erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan zat tartrazina dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm dengan ph=3,0. selanjutnya larutan disheaker selama waktu 40 menit, didiamkan selama 2 menit dan disaring. filtrat kemudian dianalisis kadar tartrazina m.f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 104 109 106 dengan menggunakan uvvis. kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan isoterm adsorpsi. hasil dan pembahasan preparasi arang dari kulit buah mahoni kulit buah yang telah dicuci, dikeringkan dan dilakukan proses karbonasi dengan menggunakan tanur pada suhu 500 o c hingga menjadi arang. proses karbonasi akan menghasilkan arang yang tidak begitu aktif karena luas permukaannya masih rendah (kurniadi dkk, 1996). kemudian arang tersebut dikeringkan dan dihaluskan kemudian diayak hingga lolos dengan ayakan berukuran 50 mesh, kemudian dikarakterisasi dengan xrd. analisis difraksi sinar x dilakukan menggunakan alat xrd merek shiamu xd-160 dengan panjang gelombang 1,504060 å menggunakan radiasi dari tabung target cu, tegangan 40,0 kv, arus 30,0 ma dan daerah pengamatan antara 3,000 – 90,000 derajat selama 20 menit. setelah arang terbentuk, kemudian diambil sedikit dari arang sebelum aktivasi, dan dikarakterisasi menggunakan alat xrd dan diperlihat pada gambar 1. berdasarkan difraktogram xrd yang diperlihatkan pada gambar 1, data kristalitas untuk sampel arang sebelum aktivasi meliputi pemisahan interlayer arang yaitu berturut-turut untuk tiga peak utama menunjukan jarak antar kisi arang yaitu 3,02 å, 3,61 å dan 4,02 å, ketiga peak tersebut berada pada daerah 2ө masingmasing adalah 29,574 o ; 24,573 o dan 22,080 o . aktivasi arang dari kulit buah mahoni selanjutnya, arang tersebut diaktivasi dengan menambahkan aktivator hcl dan direndam selama 15 jam, dengan tujuan memperbesar pori-pori arang sehingga kualitasnya baik sebagai adsorben. secara umum, proses aktivasi ada dua macam yaitu aktivasi kimia dan fisika, aktivasi kimia adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan-bahan kimia. aktivasi fisika adalah proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan co 2 . setelah itu arang aktif tersebut dikarakterisasikan dengan xrd dan hasilnya memiliki puncak yang melebar pada gambar 2 yang menunjukkan bahwa arang tersebut mempunyai derajat kekristalan yang rendah (setyaningsih, 2006), dan sebaliknya jika intensitasnya berubah serta hilangnya puncak yang melebar menunjukkan penambahan hcl mengakibatkan perubahan kekristalan adsorben, yang diperlihatkan pada gambar 1. gambar 1. difraktogram xrd arang sesudah aktivasi dari g ambar 1 disimpulkan bahwa terdapat juga tiga peak utama yang hampir sama nilainya berturut-turut 3,907 å; 3,844 å; 3,983 å dan masing-masing berada pada nilai 2ө dengan nilai yang bergeser naik yaitu 22,74 o ; 23,12 o ; dan 22,3 o yang berbeda dengan nilai 2ө pada difraktogram arang sebelum aktivasi. pergeseran ini menunjukan terjadinya perbedaan jarak antar muka kristal arang. jarak antar muka ini disebabkan oleh zat aktivator hcl. setelah proses aktivasi, dilakukan suatu proses yaitu proses kalsinasi yang bertujuan untuk menghilangkan uap air, pengotorpengotor lain serta memperbesar luas muka jarak karbon. menurut lowell, dkk., (1979), pada dasarnya permukaan nyata zat padat tidak pernah memiliki bentuk yang sempurna dan teratur, hampir selalu ada celah dan retakan, rongga atau saluran yang menembus jauh ke dalam, sehingga ini memberikan sumbangan pada luas permukaan dalam (internal). retakan yang dangkal dan lekukan di lain pihak akan memberi sumbangan pada luas permukaan luar (eksternal). perubahan luas muka spesifik menurut damunir dkk.(2003 dalam herhady.,dkk 2007) dipengaruhi oleh besarnya suhu oksidasi m.f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 104 109 107 (kalsinasi). karbon aktif mengandung unsur selain karbon yang terikat secara kimiawi, yaitu hidrogen dan oksigen. kedua unsur tersebut berasal dari bahan baku yang tertinggal akibat tidak sempurnanya karbonisasi atau dapat juga terjadi ikatan pada proses aktivasi. adanya hidrogen dan oksigen mempunyai pengaruh yang besar pada sifatsifat karbon aktif (jankowski, dkk; 1991). proses kalsinasi ini dilakukan dengan pemanasan arang pada suhu 450 o c selama 2 jam serta dialiri gas nitrogen (n 2 ). arang dimasukkan dalam reaktor telah dihubungkan dengan tabung nitrogen. reaktor kemudian ditempatkan pada furnace yang suhunya telah diatur, yang dihubungkan pula dengan regulator untuk menyelaraskan suhu tanur dengan pencatat suhu yang telah ditentukan yang terhubung pula dengan stabilizer untuk menstabilkan tegangan listrik yang masuk ke dalam furnace. setelah itu didinginkan pada suhu kamar. kalsiner merupakan peralatan pada industri semen yang berfungsi mereaksikan partikel bahan baku yang bersenyawa karbonat menjadi partikel senyawa oksidanya dan gas karbon dioksida (kalsinasi) dan sebagai tempat pemanasan partikel lainnya (fauzun 2004). karbon yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi dengan xrd dan difragktogramnya ditunjukan pada gambar 2. gambar 2. difraktogram xrd karbon aktif seteleh kalsinasi pada gambar 2 difraktogramnya menunjukan bahwa terdapat pula tiga peak utama berturut-turut yaitu sebesar 3,860 å; 3,669 å; 3,745 å yang masing-masing memiliki nilai 2ө pada 23,02 o ; 24,24 o ; dan 23,74 o . jarak antar muka karbon/interlayer spesifik yang dihasilkan setelah proses kalsinasi semakin kecil, hal ini menunjukan bahwa metode yang baik untuk proses memperbesar jarak antar muka/jarak antar lapis adalah terlebih dahulu dilakukan proses kalsinasi terhadap arang tersebut dan kemudian diaktivasi. nampak pada difraktogram tersebut terlihat bahwa jarak antar muka serta intensitas semakin besar dibanding dengan arang sebelum diaktivasi maupun setelah diaktivasi. selanjutnya karbon tersebut digunakan untuk proses adsorpsi zat warna tartrazina dengan memvariasikan jumlah adsorben, waktu optimum, ph optimum, dan konsentrasi optimum adsorpsi dan mengukur absorbansi menggunakan spektroskopi uv-vis. pengukuran absorbansi setelah proses adsorpsi sebelum dilakukan adsorpsi zat warna tartrazina pada karbon aktif, lebih dulu dilakukan pengukuran absorbansi terhadap larutan standar zat warna tartrazina. zat warna mengandung gugus kromofor dan auksokrom, sehingga dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang 350-700 nm van der zee (2002). pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode uv-vis dengan panjang gelombang yang dipakai adalah 410 nm. berdasarkan data absorbansi, maka dapat dibuat kurva standar zat warna tartrazina (lampiran 2 ). persamaan garis yang menghubungkan konsentrasi vs absorbansi larutan standar zat warna tartrazina digunakan untuk menghitung konsentrasi akhir dari zat warna tartrazina setelah proses adsorpsi oleh karbon aktif pada berbagai variasi. berdasarkan data hasil yang diperoleh, dapat ditentukan isoterm adsorpsi yang sesuai dengan proses adsorpsi karbon aktif terhadap zat warna tartrazina. presentase adsorpsi dapat dihitung dengan berdasarkan data variasi jumlah adsorben, waktu optimum, ph optimum dan konsentrasi optimum dengan menggunakan metode uvvis. pengukuran adsorbansi serta konsentrasi terjerap zat warna tartrazina setelah proses adsorpsi pada beberapa variasi, seperti variasi jumlah adsorben 0,2 g; 0,4 g; 0,6 g; 0,8 g; 1,0 g dengan konsentrasi awal zat warna tartrazina 20 ppm, waktu sheaker 1 jam dan kecepatan sheaker 300 rpm, maka hasilnya terlihat pada tabel 2. m.f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 104 109 108 tabel 2. hasil pengukuran absorbansi zat warna tartrazina (co = 20 ppm) pada variasi jumlah adsorben keterangan; c0 : konsentrasi zat warna tartrazina sebelum proses adsorpsi ce : konsentrasi zat warna tartrazina sesudah proses adsorpsi c0-ce : konsentrasi zat warna tartrazina yang terjerap oleh karbon aktif pada tabel 2 terlihat bahwa, pada berat adsorben 0,2 g mampu menjerap konsentrasi zat warna tartrazina sebesar 1,262 ppm. berbeda dengan berat adsorben 0,4 g; 0,6 g; 0,8 g; dimana semakin besar konsentrasi tartrazina yang terjerap oleh karbon aktif yaitu pada berat adsorben 1,0 g dengan konsentrasi terjerap sebesar 4,393 ppm, maka terlihat bahwa konsetrasi yang terjerap semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah adsorben terlihat pada kurva (co-ce vs jumlah adsorben (g) ). hal ini disebabkan karena bertambah banyaknya luas permukaan adsorben. untuk adsorben yang permukaannya besar, maka adsorpsinya juga makin besar (moore, 1974). hasil pengukuran absorbansi zat warna tartrazina pada variasi waktu optimum adsorpsi 20 menit, 40 menit, 60 menit, 80 menit, dan 100 menit, dengan konsentrasi awal tartrazina 20 ppm, berat adsorben 1,0 g: diperoleh hasil pada tabel 3. bila karbon aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. waktu kontak yang cukup diperlukan karbon aktif untuk mengadsorpsi zat warna tartrazina, semakin lama waktu kontak semakin banyak zat warna tartrazina yang teradsorpsi karena semakin lama waktu singgung antara partikel zat warna tatrazina dengan karbon aktif untuk bersinggungan. tetapi apabila adsorbennya sudah jenuh, waktu kontak tidak lagi berpengaruh (wirawan., 2008). besarnya konsentrasi yang terjerap juga sangat bergantung pada waktu adsorpsi atau waktu kontak antara zat warna tartrazina dengan adsorben karbon aktif. hal ini dilakukan dengan cara disheaker selama waktu 20, 40, 60, 80 dan 100 menit dengan kecepatan sheaker 300 rpm. dari tabel tersebut, hasilnya menunjukan bahwa semakin tinggi waktu dari 20 menit ke 40 menit sheaker, semakin besar konsentrasi zat warna tartrazina yang teradsorpsi, namun pada waktu 60-100 menit konsentrasi zat warna tartrazina yang teradsorpsi semakin kecil. penurunan konsentrasi yang teradsorpsi disebabkan karena telah terjadinya kesetimbangan antara zat warna tartrazina dengan karbon aktif, ini berarti saat terjadi keadaan setimbang yakni adsorben tidak dapat menjerap adsorbat maka semakin kecil konsentrasi yang terjerap pada adsorben, hal ini terlihat pada kurva (co-ce vs waktu). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan dapat disimpulkan bahwa ; 1. senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat dapat disintesis dari safrol melalui 3 tahap reaksi yaitu isomerisasi safrol menjadi isosafrol isosafrol, oksidasi isosafrol menjadi piperonal dan kondensasi piperonal dengan isoamil asetat. 2. senyawa 3,4-metilendioksi isoamil sinamat memiliki aktivitas perlindungan terhadap sinar uv-a dengan nilai spf sebesar 5,31. daftar pustaka davis, m.r., & quigley, m.n. 1995. liquid chromatographic determination of uv absorbens in sunscreen. j.chem educ, 72, 279. guenther, e. 1990. the essential oils, diterjemahkan oleh s. ketaren, minyak atsiri, jilid ivb, penerbit universitas indonesia, jakarta. harris, r. 1987. tanaman minyak atsiri, cetakan kesatu, pt penebar swadaya, jakarta, 60. ketaren, s. 1985. pengantar minyak atsiri, pn. balai pustaka, jakarta. kimbrough, d.r. 1997. the photochemistry of sunscreen, j.chem.educ,74(1), 51. shaath, n.a., 1990, sunscreens: development, evaluation, and regulatory aspects, marcel dekker inc., new york. m.f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 104 109 109 soeratri, w. 1993. studi proteksi radiasi uv sinar matahari tahap 1 : studi efektivitas protektor kimia, lembaga penelitian universitas airlangga, surabaya. soeratri, w & purwanti, t. 2004. pengaruh penambahan asam glikolat terhadap efektivitas sediaan tabir surya kombinasi anti uv-a dan anti uv-b dalam basis gel, majalah farmasi airlangga, vol.4, no.3. soeratri, w & erawati, t. 2004. peningkatan nilai spf (sun protecting factor) kombinasi tabir surya oksibenson dan oktilmetoksisinamat oleh asam glikolat, majalah farmasi airlangga, vol.4, no.2. wahyuningsih, t.d., raharjo, t.j., tahir, i., & noegrohati, i. 2002. sintesis senyawa tabir surya 3,4-dimetoksi isoamil sinamat dari bahan dasar minyak cengkeh dan minyak fusel. indo. j. chem. vol.2, no.1, 46-52. ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 378-381 378 phytochemical and toxicity assay extract ethyl acetate of melochia umbellata (houtt) stapf. var. visenia by brine shirmp lethality test method uji fitokimia dan toksisitas ekstrak etil asetat kulit batang melochia umbellata (houtt) stapf. var. visenia dengan metode brine shirmp lethality test (bslt) fauziah ahmad * , nunuk hariani soekamto, firdaus * departemen of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia * corresponding author, phone: 085239686637, email: auzhyahmad@gmail.com received: dec.2016 published: jan. 2017 abstract melochia umbellata (houtt) stapf. var. visenia is plant species included in malvaceae family. this spesies is known as paliasa and used as traditional medicine by the people of south sulawesi. this study aimed to determine the secondary metabolites by reagents and toxicity characteristic testing from bark extract of melochia umbellata (houtt) stapf. var. visenia using brine shirmp lethality test (bslt) method. the extract was prepeared by maceration ethyl acetate. phytochemical test result showed that the ethyl acetate extract was containing the steroid compound, alkaloids and terpenoids. toxicity test performed by shrimp artemia salina leach larvae was at 48 hours. the toxic effects of the extract were identified by the percentage of the number of shrimp larvae mortality using probit value analysis (lc50). the toxicity test of bark melochia umbellata (houtt) stapf. var. visenia extract showed that the ethyl acetate extract is toxic to a. salina lc50 = 54,55 mg / ml. keywords: melochia umbellata (houtt) stapf. var. visenia, alkaloid, terpenoid, steroid, artemia salina leach pendahuluan salah satu tanaman yang biasa digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat sulawesi selatan adalah paliasa. tumbuhan paliasa merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk dalam famili malvaceae (raflizar, dkk., 2006). tumbuhan ini terdiri atas tiga jenis tumbuhan yang berbeda yaitu kleinhovia hospita linn dari genus kleinhovia, melochia umbellata (houtt) stapf var. degrabrata dan melochia umbellata (houtt) stapf var. visenia dari spesies m. umbellata (houtt) stapf dan genus melochia (tayeb, dkk., 2008). semua bagian dari tumbuhan paliasa yang terdiri atas jaringan kulit akar, kayu akar, kulit batang, kayu batang, dan daun telah banyak diteliti. secara umum kulit tumbuhan paliasa mengandung minyak atsiri, triterpenoid, senyawa sianogenik, asam lemak, skopoletin, kuersetin, dan keampferol (philippine medicinal plants, 2013). sementara ekstrak metanol kulit batang tumbuhan m. umbellata mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, terpenoid, fenolik, dan saponin (usman, dkk., 2012). hasil uji toksisitas ekstrak metanol pada bagian jaringan kulit akar, kayu akar, kulit batang, kayu batang, dan daun dari m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata terhadap benur udang a. salina memperlihatkan nilai lc50 masing-masing sebagai berikut; 66,22; 37,343; 30,27; 1,80 dan 84,26 μg/ml. hasil ini menunjukkan ekstrak kayu batang dan kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata merupakan bagian yang paling aktif dibandingkan bagian jaringan lainnya (erwin, dkk., 2009). hal tersebut mendasari sehingga salah satu jaringan tumbuhan m. umbellata yang akan dipilih pada penelitian ini adalah jaringan kulit batang. penelitian terhadap ekstrak n-heksan kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata memiliki bioaktivitas antibakteri terhadap bacillus subtilis dan antijamur terhadap candida albicans (usman, dkk., 2014). ekstrak etil asetat kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata sangat aktif terhadap larva udang a. salina leach dengan nilai lc50 405,58 μg/ml juga memiliki bioaktivitas antibakteri terhadap bakteri staphylococcus aureus (usman, dkk., 2014). senyawa turunan steroid telah diisolasi dari kayu akar m. umbellata yaitu stigmasterol (5,22-stigmastadien-3β-ol) dari fraksi n-heksan mailto:auzhyahmad@gmail.com fauziah ahmad, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 378-381 379 yang aktif terhadap jamur aspergillus niger dengan zona penghambatan sebesar 13,03 mm pada konsentrasi 50 mg/ml (ridhay, dkk., 2012), sedangkan ekstrak metanol kulit akar m. umbellata (houtt.) stapf var. degrabrata bersifat toksik terhadap a. salina dengan nilai lc50 sebesar 66,22 ppm. ekstrak etil asetat daun m. umbellata aktif terhadap a. salina l. dengan nilai lc50 0,9517 μg/ml. (ahmad, a., 2013). beberapa penelitian terhadap ekstrak tertentu dari tumbuhan m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata serta berbagai bioaktivitasnya telah dilaporkan, tetapi penelitian terhadap m. umbellata (houtt) stapf var. visenia belum pernah dilakukan. pada penelitian telah dilakukan penelitian tentang toksisitas ekstrak dari jaringan kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia dengan menggunakan metode bslt yaitu, suatu metode uji toksisitas terhadap larva a. salina yang dianalogikan dengan kemampuan suatu bahan obat yang memiliki efek antikanker. metode ini digunakan untuk skrining awal senyawa bioaktif bahan alam karena menunjukkan adanya korelasi dengan metode sitotoksik in vitro lainnya (carballo, dkk., 2002). metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah 5 kg serbuk kulit batang tumbuhan m. umbellata var. visenia, pelarut etil asetat digunakan untuk ekstraksi dan kromatografi, plat klt (merk kieselgel 60 f254 0,25 mm), nacl laut (sigma, no. katalog s9883), dmso (merk, no. katalog 802912), dan telur udang a. salina leach serta beberapa pereaksi untuk uji fitokimia. alat alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, plat tetes, corong buchner, rotary evaporator, timbangan digital, pompa vakum, lampu uv 254 nm, dan wadah penetasan. prosedur kerja preparasi sampel kulit batang tumbuhan m. umbellata (houtt) stapf var. visenia diperoleh dari desa baring, kecematan sigeri, kabupaten pangkep, sulawesi selatan dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari. setelah kering sampel digiling hingga halus. ekstraksi sebanyak 5 kg kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia dimaserasi dengan pelarut etil asetat selama tiga kali 24 jam. ekstrak etil asetat yang diperoleh kemudian dipekatkan. selanjutnya dilakukan uji fitokimia tehadap ekstrak yang diperoleh. uji toksisitas ekstrak etil asetat kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia selanjutnya diuji aktivitasnya terhadap larva udang a. salina dengan metode bslt. a. penyemaian benur udang a. salina sebanyak 15 mg telur udang a. salina dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut dan diaerasi dibawah cahaya lampu pijar 40-60 watt. lampu dinyalakan selama 48 jam hingga telur a. salina menetas menjadi larva. b. penyiapan sampel sebanyak 1,0 mg sampel dilarutkan dengan 100 μl dmso kemudian diencerkan dengan 150 μl aquades hingga volume total menjadi 250 μl. pengenceran dan pengukuran dilakukan triplo dalam mikroplate dengan deret konsentrasi 500, 250, 125, 62.5, dan 31.25 μg/ml. c. pelaksanaan uji toksisitas larva a. salina sebanyak 7-15 ekor yang sudah menetas dimasukkan kedalam lubang baris mikroplate dengan konsentrasi yang berbeda dan diinkubasi selama 24 jam. setelah 24 jam, jumlah a. salina yang mati dan hidup pada mikroplate dihitung untuk memperoleh nilai lc50 hasil dan pembahasan melochia umbellata (houtt) stapf var. visenia merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk dalam famili malvaceae yang biasa digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat sulawesi selatan yang dikenal dengan nama tumbuhan paliasa. tumbuhan ini terdiri atas tiga jenis tumbuhan yang berbeda yaitu kleinhovia hospita linn dari genus fauziah ahmad, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 378-381 380 libermann-burchard mayer fecl3 kleinhovia, melochia umbellata (houtt) stapf var. degrabrata dan melochia umbellata (houtt) stapf var. visenia dari spesies m. umbellata (houtt) stapf dan genus melochia. gambar 1. tumbuhan m. umbellata (houtt) stapf var. visenia pada penelitian ini yang diambil sebagai sampel adalah bagian kulit batang. berdasarkan hasil uji toksisitas ekstrak metanol pada bagian jaringan kulit akar, kayu akar, kulit batang, kayu batang, dan daun dari m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata terhadap benur udang artemia salina leach memperlihatkan nilai lc50 masingmasing sebagai berikut; 66,22; 37,343; 30,27; 1,80 dan 84,26 μg/ml. hasil ini menunjukkan ekstrak kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. degrabrata merupakan bagian kedua yang paling aktif dibandingkan bagian jaringan lainnya (erwin, dkk., 2009). ekstrak etil asetat yang diperoleh dari maserasi kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia sebanyak 8,51 g. selanjutnya ekstrak diuji fitokimia dengan beberapa pereaksi yaitu pereaksi libermann-burchard untuk mengetahui golongan senyawa steroid dan terpenoid, pereaksi meyer untuk mengetahui golongan senyawa alkaloid sedangkan pereaksi fecl3 untuk mengetahui golongan senyawa flavonoid. tabel 1. hasil uji fitokimia ekstrak kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia. adapun hasil uji fitokimia ekstrak kulit batang seperti yang terlihat pada tabel 1. hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat mengandung senyawa golongan terpenoid, steroid dan alkaloid. pereaksi libermann burchard merupakan uji positif golongan senyawa steroid/terpenoid yaitu perubahan warna merah (terpenoid) dan hijau tua (steroid). gambar 2. hasil uji fitokimia ekstrak kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia pereaksi mayer uji positif senyawa golongan alkaloid adanya endapan putih sedangkan fecl3 untuk uji positif golongan flavonoid berwarna hijau kehitaman, tetapi pada hasil uji berwarna kuning menunjukkan bahwa negatif mengandung flavonoid. uji toksisitas dengan metode brine shirmp lethality test (bslt) merupakan praskrining tabel 2. hasil uji toksisitas ekstrak kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia dengan metode bslt fauziah ahmad, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 378-381 381 terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman. hasil uji toksisitas ekstrak kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia. dengan metode bslt terlihat pada tabel 2. uji a. salina dengan ekstrak etil asetat dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada masing-masing konsentrasi 500, 250, 125, 62.5, dan 31.25 μg/ml. pada tabel 2 diketahui bahwa semakin rendah konsentrasi ekstrak maka semakin kecil pula efek kematian pada a. salina yakni 34,78 % dan pada kematian 100% ditunjukkan pada konsentrasi 500 μg/ml. hasil analisa probit pengujian toksisitas ekstrak etil asetat diperoleh nilai lc50 = 54,55 μg/ml. menurut meyer (1982), ekstrak dianggap toksik apabila memiliki nilai lc50 < 1000 μg/ml. berdasarkan batasan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa ekstrak etil asetat bersifat toksik. kesimpulan ekstrak etil asetal dari kulit batang m. umbellata (houtt) stapf var. visenia mengandung senyawa golongan steroid, terpenoid dan alkaloid serta bersifat toksik terhadap artemia salina dengan nilai lc50 = 54,55 μg/ml. daftar pustaka ahmad, asbullah. 2013. isolasi metabolit sekunder dari fraksi ekstrak etil asetat daun melochia umbellata yang aktif terhadap larva udang artemia salina leach. skripsi tidak diterbitkan. jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas hasanuddin; makassar. carballo, j.l., hernandes-inda, z.l., perez, p., garcia-gravalos, m.d., 2002, a comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products, bmc biotechnology, 2(17),1-5. erwin, noor, a., soekamto, n.h., harlim t. 2009, β-sitosterol sebagai komponen utama pada fraksi heksan kayu batang melochia umbellata (houtt). stapf var. degrabrata k. (paliasa), journal kimia mulawarman, vol. 6, no. 2, mei 2009. kimia fmipa unmul. meyer, b.n., ferrigni, n.r., putnam, j.e., jacobson, l.b., nichols, d.e., mclaughlin, j.l., 1982, brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents, plant. med. 45, 31-4 raflizar, adimunca, c., dan tuminah, s., 2006, dekok daun paliasa (kleinhovia hospita linn.) sebagai obat radang hati akut, cermin dunia kedokteran, 50, 10-14 philippine medicinal plants, “tannag/kleinhovia hospita linn. guest tree, alternative medicine in the philippines”, available at http://www.stuartxchange.com/ tan-ag.html, april, 1, 2013. ridhay, a., noor, a., soekamto, n. h., et al., 2012, a stigmasterol glycoside from the root wood of melochia umbellata (houtt) stapf var. degrabrata k., indonesian journal of chemistry, 12(1), 100-103. tayeb, r., rahim, a., alam, g., wahyuono, s., dan hartati, m.s. 2007, fraksinasi senyawa antikanker daun paliasa (melochia umbellata (houtt) staff var. deglabrata, majalah farmasi dan farmakologi, 11, 6171. usman, soekamto, n.h., usman, h., dan ahmad, a., 2012, uji fitokimia dan antibakteri dari ekstrak metanol kulit batang melochia umbellata (houtt) stapf var. degrabrata terhadap bakteri patogen, jurnal kimia sains, 6(1), 30-33. http://www.stuartxchange.com/ indochem ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 263 the degradation of antracene compound using bacteria isolated from paotere port waterways degradasi senyawa antrasena dengan menggunakan isolat bakteri yang berasal dari perairan pelabuhan paotere mirnawati 1 , nursiah la nafie 1 , seniwati dali 1 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia received: juni 2015 published: july 2015 abstract the objectives of this study are (1) determine the content of antrasena compound in the waste oil at the waterway of paotere port (2) determine the characteristics of antrasena degradation bacteria and (3) determine the percentage of antrasena degradation. in this research an analysis of antrasena compound was conducted with sea water that had been polluted with oil. the next steps were to isolate and characterize the degrading bacteria of antrasena and to analyze the results of antrasena degradation. the results showed that (1) concentration of the antrasena compound in the waterway of paotere port is 4,8x10 -10 ppm. (2) the bacteria can degraded of the antracene is bacillus cereus (3) there was evidence that bacillus cereus was able to degrade antracenr compound, the highest degradation percentage is 98,11%, it was achieved on 12 day of incubation. keywords: polycyclic aromatic hydrocarbons (pah) antracena, isolation of bacteria biodegradation. . pendahuluan minyak bumi mengandung ribuan komponen kimia yang berbeda dan lebih dari separuh (50-98%) berupa hidrokarbon. produk olahan minyak bumi yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar diesel yaitu solar dan bensin . solar tersusun atas benzena, toluena, xylena, dan berbagai alkil pada hidrokarbon poliaromatik sedangkan bensin atau mogas (motor gasoline) tersusun atas campuran monomer heptana dan oktana. senyawa-senyawa ini akan menimbulkan efek kronik pada mamalia seperti gangguan imunologis, reproduktif, serta timbulnya efek fetotoksik dan genotoksik (herdiyanoro, 2005) salah satu pelabuhan di makassar adalah pelabuhan paotere diperuntungkan bagi kapal perintis dan kapal pinisi.limbah kapal tersebut menghasilkan limbah minyak yang berasal dari bahan bakar solar maupun bensin yang mengandung senyawa hidrokarbon poliaromatik. antrasena merupakan senyawa hidrokarbon poliaromatik yang merupakan senyawa polusi yang dapat memberikan efek yang negatif terhadap suatu perairan dengan kata lain mempengaruhi kwalitas air suatu perairan. kegiatan anjungan minyak, pembakaran minyak bumi yang tidak sempurna akan menghasilkan buangan yang mengandung senyawa hap. banyak cara yang dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat limbah minyak bumi, salah satunya adalah dengan melibatkan agen biologis berupa mikroorganisme yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat di dalam minyak bumi menjadi mineralmineral yang lebih sederhana (goenadi, 2003). secara alamiah proses pemulihan oleh mikroorganisme di suatu media tercemar sudah terjadi dengan sendirinya, namun proses pemulihan tersebut terjadi sangat lambat karena pengaruh fisik, kimia dan biologis di lokasi pencemaran yang kurang atau tidak mendukung aktivitas mikroorganisme dalam mengurangi atau menghilangkan kadar bahan pencemar. selain itu, jumlah dari bahan pencemar juga melebihi kemampuan mikroorganisme tersebut sehingga terjadi akumulasi bahan pencemar. teknik pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi struktur hidrokarbon ini mirnawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 264 dikenal dengan istilah bioremediasi. bioremediasi banyak digunakan dalam pemulihan pencemaran lingkungan akibat minyak bumi karena lebih efektif dan berwawasan lingkungan dibandingkan dengan metode pemulihan lingkungan baik secara fisika maupun kimia (nugroho 2006). kelompok bakteri yang dapat mendegradasi senyawa hap adalah mycobacterium sp, bacillus, pseudomonas sp. tingkat biodegradasi terhadap senyawa fenantren dari isolat pseudomonas sp kalp3b22 asal kumai terbukti dapat mendegradasi fenantren sebesar 59,5 % selama 29 hari kultivasi. model molekul fenantren terbukti bahwa bakteri ini mampu mendegradasi pada tahap pembukaan cincin aromatik (murniasih, 2009). isolat indigenus bakteri pseudomonas putida dan pseudomonas diminuta merupakan bakteri gram negatif, bersifat aerobik, berbentuk batang dan dapat mendegradasi polutan terutama hidrokarbon aromatik. kedua isolat ini dapat digunakan untuk menentukan kenitika biodegradasi baik dalam koloni tunggal maupun kultur tercampur (kurniawan. 2012). mengingat limbah hap yang terdapat pada pelabuhan paotere berbahaya bagi ekosistem laut, maka perlu suatu metode untuk mendegradasi senyawa antrasena. penggunaan bakteri pendegradasi hidrokarbon pada lingkungan yang tercemar minyak akan lebih efektif apabila bakteri tersebut berasal dari sumbernya. berdasarkan informasi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian ini. metodologi bahan sampel air laut, antrasena (merk), diklorometan (merk), na2so4 anhidrat, alkohol, pepton, yeast extract, glukosa, agar, air laut steril, aquades, spiritus, gas nitrogen. alat cawan petri, erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, jarum ose, bunsen, spatula, pipet volum, kertas saring, hot plate, magnetic stirrer, autoclave, oven, incubator, spektro uv-vis, gcms (agilent 7890), pcr-real time pocitgeneraach, gps, ph meter, termometer, refraktometer, timbangan analitik, alat ultrasonik, mikroskop, hot plate, oven, pengaduk, botol vial, plastik wrab, aluminium voil, tisu, botol semprot, kertas ph (merk), spoid, sarung tangan, lampu spiritus. prosedur kerja a. pembuatan larutan standar (salenda, 2011) 1. pembuatan larutan induk antrasena 1000 mg/l larutan induk antrasena 1000 mg/l dibuat dengan melarutkan 0.025 gantrasena dengan diklorometan. setelah larut dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml kemudian diencerkan dengan diklorometan hingga tanda batas dan dihomogenkan 2. pembuatan larutan internal standar antrasena 50 mg/l larutan internal standar antrasena 50 mg/l dibuat dari larutan induk 1000 mg/l. larutan induk dipipet sebanyak 0,5 ml kedalam labu ukur 10 ml kemudian diencerkan dengan diklorometan hingga tanda batas dan dihomogenkan. b. analisis antrasena dalam air laut (salenda, 2011) air laut dipipet sebanyak 5 ml ke dalam botol kaca, setelah itu ditambahkan 5 ml pelarut diklorometan. diekstraksi menggunakan alat ultrasonik selama 15 menit. selanjutnya supernatan dipindahkan ke dalam erlenmeyer, residu diekstraksi kembali dengan cara yang sama sebanyak 2 kali dengan 5 ml diklorometan menggunakan ultrasonik selama 15 menit. hasil ekstrak/supernatan dikumpul pada erlenmeyer dan pelarut diuapkan dengan menggunakan gas nitrogen hingga 1 ml, kemudian ditambahkan natrium sulfat anhidrat, dipipet 0,5 ml ke dalam botol vial untuk diinjeksikan ke alat kromatografi gas spektrofotometri massa. c. pengayaan bakteri pendegradasi (nasikhin dan maya,2013) pengayaan bakteri pendegradasi dilakukan menggunakan media selektif secara aseptis. media selektif dibuat dari pepton 0.4 g, yeast extract 0.2 g, dilarutkan dalam 1000 ml air laut steril. media selektif kemudian dihomogenkan, disterilisasi dan ditambah dengan 50 mg/l antrasena.media kemudian dituang ke dalam erlenmeyer 500 ml masing-masing volumenya 25 ml. media ini digunakan untuk pengayaan bakteri pendegradasi antrasena tahap pertama, kedua dan ketiga. pengayaan tahap pertama dilakukan dengan cara menambahkan 25 ml sampel air laut yang diambil dari perairan tercemar diperairan mirnawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 265 pelabuhan paotere, dimasukan ke dalam erlenmeyer berisi media selektif dan dishaker pada suhu ruang selama 7 x 24 jam dengan kecepatan 150 rpm. sebelum dan sesudah masa inkubasi, dilakukan pengamatan od(optical density) pada panjang gelombang 600 nm. kontrol pada pengayaan tahap pertama ini adalah media minimal tanpa penambahan sampel air laut. tahap selanjutnya adalah pengayaan tahap kedua. sumber inokulum adalah pengayaan tahap pertama yang berusia tujuh hari.biakan bakteri 25 ml dan dibiakkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 25 ml media minimal baru. pertumbuhan bakteri pada tahap ini juga dideteksi sebagaimana tahap pertama. tahap terakhir adalah pengayaan tahap ketiga. metode yang digunakan sama dengan pengayaan kedua dan sumber inokulum yang digunakan adalah pengayaantahap kedua yang berusia 7 hari. d. isolasi dan pemurnian bakteri (nasikhin dan maya,2013) isolasi bakteri dilakukan dengan metode tuang (pour plate) secara aseptis.sumber isolat berasal dari pengayaan tahap ketiga. media yang digunakan adalah media pca (5.0 g pepton, 2.5 g yeast extract, 1.0 g glukosa dan 14.0 g agar dalam 1000 ml aquades steril) yang sudah disterilisasi. cawan petri berisi isolat bakteri kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 o c selama 2 x 24 jam. isolat tunggal yang tumbuh di permukaan media dimurnikan ke media baru dengan metode gores dan diinkubasi 1 x 24 jam. pemurnian dilakukan secara bertahap sampai diperoleh isolat biakan murni melalui pengamatan mikroskopis. e. karakterisasi bakteri(nasikhin dan maya,2013) bakteri diidentifikasi berdasarkan karakter biokimiawinya secara bertahap (step ways) sesuai dengan kunci dikotomi bergey’s manual of determinative bacteriology. isolat yang digunakan untuk uji biokimia merupakan biakan murni dan diinkubasi pada suhu 37 o c selama 1 x 24 jam.selanjutnya dilakukan analisis dna menggunakan pcr. f. biodegradasi antrasena 1. pertumbuhan bakteri pendegradasi antrasena (nasikhin dan shovitri, 2013). isolat murni yang sudah dikarakterisasi dibiakkan kembali dalam media. sebelumnya, dibuat terlebih dahulu starter berusia 1x24 jam. diambil 10 ml starter dimasukkan dalam 100 ml media dan diinkubasi di rotary shaker pada suhu ruang selama 7 x 24 jam. selama masa inkubasi, pertumbuhan isolat diukur berdasarkan kerapatan optik pada panjang gelombang 600 nm setiap 24 jam. ada dua kontrol pada tahap ini yaitu kontrol positif dan kontrol negatif. kontrol positif merupakan isolat bakteri yang ditumbuhkan pada media selektif tanpa antrasena sedangkan kontrol negatif merupakan media minimal dengan antrasena, namun tanpa isolat bakteri. hasil pengukuran pertumbuhan dibandingkan dengan kontrol positif dan negatif selanjutnya digunakan untuk membuat kurva pertumbuhan. 2. perubahan konsentrasi antrasena a. pembuatan prekultur bakteri (sarbini, 2012) erlenmeyer yang berisi media minimal dan substrat antrasena 50 mg/l dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer. media disterilkan selama 15 menit kemudian ditambahkan bakteri yang telah diinokulasi. prekultur bakteri di inkubasi dalam shaker incubator selama 24 jam pada suhu 37 0 c dengan kecepatan 150 rpm. b. pembuatan kultur bakteri erlenmeyer yang berisi media minimal dan substrat antrasena 50 mg/l dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer. media disterilkan selama 15 menit dan ditambahkan 10 ml kultur bakteri, diinkubasi pada suhu 37 0 c dengan kecepatan 150 rpm dan waktu inkubasi selama ± 12 hari. c. pengukuran konsentrasi antrasena (murniasih,dkk, 2009) sebanyak 5 ml larutan kultur diekstrak dengan diklorometan, kemudian diambil fasa organiknya, selanjutnya untuk menghilangkan kandungan air ditambahkan natrium sulfat. fase organik dipekatkan hingga volume akhir 1ml, kemudian dilakukan analisa dengan gc-ms. mirnawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 266 hasil dan pembahasan a. analisis antrasena dalam air laut dari data pada tabel 1 dan gambar 1 dapat dilihat konsentrasi antrasena yang diperoleh yaitu 4,8x10 -10 ppm pada titik c. terdapatnya antrasena c di sebabkan karena lokasi sampling dekat dengan pelabuhan pelni. sumber pencemar dapat berasal dari aktivitas transport laut berupa buangan serta tumpahan minyak. aktivitas pasar ikan di sekitarnya turut mempengaruhi keberadaan pencemaran karena menghasilkan limbah organik. gambar 1.kromatogram air laut pada titik c tabel 1 data konsentrasi antrasena dalam sampel air laut sampel konsentrasi antrasena (ppm) titik a titik b titik c 4,8x10 -10 untuk titik a dan b tidak terdapat senyawa antrasena di sebabkan karena lokasi sampling barada jauh dari pesisir pantai jadi kemungkinan untuk terkontaminasi oleh limbah minyak sangat kecil. b. karakterisasi bakteri 1. analisis molekul gen 16s rrna isolat bakteri karakterisasi molekul gen 16s rrna bakteri dilakukan dengan mengidentifikasi urutan pasangan molekul gen dna melalui metode polimerase chain reaction (pcr). hasil sekuensing molekul gen dna diolah dengan menggunakan perangkat software bioedit versi 7.2.5, sehingga diperoleh urutan molekul gen isolat terhadap molekul dna database yang ada pada genbank, dimana molekul gen 16s rrna bersifat universal pada bakteri, dari hasil amplikasi isolat di atas dapat disimpulkan bahwa bakteri yang dihasilkan adalah jenis bacillus. untuk mengetahui karekterisasi bakteri bacillus dapat dapat dibandingkan dengan urutan rna sampel (alamri 2012 dalam marzuki, 2015). hasil amplifikasi isolat keterangan: s1 = sampel ladder 100bp = standar 996bp = area sampel gambar 2 indentifikasi pcr sekuen dna gen 16s rrna ini dianalisis dengan program blast (basic local alignment search tool) dari ncbi (national center for biotechnology information). hasil pensejajaran sekuen sampel dengan sekuen genbank menunjukkan kesamaan deret homolog yang tinggi, yang ditunjukkan pada tabel 2. tabel 2 hasil blast (basic local alignment search tool) bakteri sampel sekuen sampel sekuen genbank identitas (%) spesies isolat 1-542 5421498 942/960 (98%) bacillus cereusb12 16s dari hasil blast analisis urutan sekuen dna sampel isolat memiliki kesamaan genus yang tinggi yaitu 98% dimana isolat tersebut teridentifikasi jenis bacillus cereus. mirnawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 267 c. biodegradasi antrasena 1. pertumbuhan bakteri dalam kultur biodegradasi berdasarkan gambar 3 di atas untuk isolat dapat dilihat, bahwa pada hari ke 0 sampai hari ke 1 terjadi fase adaptasi lingkungan, fase ini merupakan penyesuaian diri bakteri terhadap lingkungan. fase eksponensial terjadi pada hari ke 1 sampai ke 4 dimana terjadi peningkatan jumlah bakteri. hal ini disebabkan karena bakteri telah beradaptasi dengan lingkungannya serta nutrisi yang tersedia dalam media mencukupi untuk kelangsungan hidup dan perkembangbiakan bakteri. pertumbuhan optimum bakteri terjadi pada hari ke 5 dengan nilai od yaitu 0.279 dan mulai menurun pada hari ke 6, sedangkan kontrol (+) pertumbuhan optimum terjadi pada harike 5 inkubasi. kecepatan pertumbuhan tergantung dari kadar substrat, oleh karena itu menurunnya kecepatan pertumbuhan sudah terjadi ketika kadar substrat berkurang sebelum substrat habis terpakai. dengan demikian pengalihan dari fase eksponensial ke fase stasioner terjadi berangsung-angsur. faktor-faktor lain yang menyebabkan menurunnya kecepatan pertumbuhan antara lain kepadatan populasi yang tinggi dan terjadinya akumulasi bahan toksik, namun pada hari ke 7 terlihat bahwa masih banyaknya bakteri yang hidup. hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut memiliki fase pertumbuhan yang panjang. adanya pertumbuhan bakteri pada kontrol (-) disebabkan karena terjadinya kontaminasi selama pengerjaan. pada gambar 3 dapat dinyatakan isolat mampu mendegradasi antrasena. hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai optical density (od) antara media pertumbuhan dengan kontrol positiif (+) dan kontrol negatif (-). pertumbuhan bakteri tumbuh lebih baik dibandingkan dengan kontrol (+) dan kontrol (-). hal ini berarti isolat tersebut kemungkinan besar mampu memanfaatkan antrasena sebagai sumber karbon, sedangkan pada kontol (+) dengan tidak adanya penambahan antrasena menyebabkan berkurangnya bakteri yang tumbuh dimana bakteri hanya memanfaatkan media sebagai sumber nutrisinya. pada tabel 3 di atas dari hari ke 0 sampai hari ke 12 terbentuk senyawa baru, dimana senyawa yang terbentuk lebih sederhana dan memiliki tingkat toksisitas yang rendah dibandingkan antrasena. tabel 3 hasil pembentukan senyawa lain selama proses degradasi hari waktu retensi (rt) senyawa yang terbentuk 0 21.54 antrasena 4 10.67 morpholine-4carbaldehyde 8 18.85 hexana 12 3.81 asam aseat kecepatan proses biodegradasi antrasena dipengaruhi oleh kelarutan sumber karbon antrasena dalam media pertumbuhan. data perubahan konsentrasi antrasena sebagai sumber karbon tunggal pada media pertumbuhan oleh bacillus cereus ditunjukkan pada tabel 4. tabel 4 data perubahan konsentrasi antrasena dan % degradasi antrasena dari bacillus cereus waktu inkubasi (hari) konsentrasi (ppm) % degradasi 0 9,0x10 -9 4 2,1x10 -9 76,66 8 1,7x10 -9 81,11 12 1,7x10 -10 98,11 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0 2 4 6 8 o d waktu inkubasi (hari) sampel a control + controlgambar 3 kurva pertumbuhan bakteri pandegradasi antrasena mirnawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 268 konsentrasi antrasena dalam kultur biodegradasi selalu terjadi penurunan dari hari ke hari. hal ini disebabkan karena antrasena telah terdegradasi oleh bakteri, penurunan konsentrasi antrasena menyebabkan persen degradasinya meningkat. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. konsentrasi antrasena yang diperoleh dari ketiga titik sampling adalah titik c sebesar 4x10 -10 ppm, sedangkan titik a dan b tidak terkontaminasi antrasena. 2. hasil karakterisasi molekul gen 16s rrna isolat bakteri pendegradasi antrasena yaitu bacillus cereus. hasil blast untuk isolat tersebut mencapai tingkat kesamaan genus tinggi yaitu mencapai 98%. 3. degradasi senyawa antrasena oleh bacillus cereus pada hari ke 4 sebesar 76,6%, pada hari ke 8 sebesar 81,11%, sedangkan pada hari ke 12 sebesar 98,11%. daftar pustaka atlas, r. m., dan bartha, r., 1981. microbiology ecology fundamentals and applications. addison wesley publishing company, inc. augustine, d., 2008. akumulasi hidrokarbon aromatik polisiklik (pah) dalam kerang hijau (perna viridis.l) di perairan kamal muara,teluk jakarta. fakultas perikanan dan ilmu kelautan.institut pertanian bogor. chapman, p.j., et.el., 1995. fossil fuel biodegradation; laboratory study. environmental health perspectives. 203. charlena-et.al., 2009. degradasi hidrokarbon pada tanah tercemar minyak bumi dengan isolate a 10 dan d 8. jurnal biosains. seminar nasional sain ii. bogor. darmadi rifni, 2011. eksplorasi spons (porifera), spong atau (porifera) 830 spesies dengan kelas yaitu calcerea, demospongiae, dan hexactinellidae, bioremoval, metode. herdiyantoro, d., 2005. biodegradasi hidrokarbon minyak bumi oleh bacillus sp. galur icbb 7859 dan icbb 7865 dari ekosistem air hitam kalimantan tengah dengan penambahan surfaktan.sekolah pasca sarjana institut pertanian bogor. freedman. b. 2009. oil pullution, environmental ecology the impact of pollution and other stresses on ecosystemstructure function. academic press. inc usa. foght, j. m., dan westlake, d.w.s., 1987. bioremediation of hydrocarbons in freshwater.in:vandermeulen& hrudey (ed). oil in freshwater : chemistry, biology,countermeasure technology. pergamon press, new york,213-217. jaringan advokassi tambang 2004. gali beritap: pantai balikpapan tercemar, http://www.jatam.org, (5 januari 2013). juhasz, a. l., dan naidu,r., 2000. bioremediation of high molecular weight polycyclic aromatic hydrocarbons: a review of the microbial degradation of benzo[a]pyrene. int. biodeterior. biodegrad 45 : 57-88. johnson, j. s., woolhouse j. k., prommer, h., barry, a. d dan christofi, n., 2003. contribution of anaerobic microbial activity to natural attenuation of benzene in groundwater.eng.geol. 70 : 343-349. killops, s. d., dan killops, v. j., 1993. an introduction to organic geochemistry.john wiley and sons, inc. new york. kurniawan. a., 2012. the isolation and identification of petrofilic bacteria bacteria from total petroleum hydrocarbons (tph) residues under 1% (w/w) of bioremediation process result. its-eco campur. mueller, j. g., cerniglia., dan pritchard, p. h., 1998. bioremidiation of environments contaminated with polycyclic aromatic hydrocarbon. in : bioremidiation:principles and application. ed r.l. crawford & d.l.crawford. cambridge university press. cambridge. mustaller, 1996. natural resources and development. mungrave forest, institute for scientific cooperation, maier, rottenberg, federal of journal germany. murniasih,t., yopi., dan budiawan., 2009. biodegradasi fenantren oleh bakteri laut pseudomonas sp kalp3b22 asala kumai kalimantan tengah. makara sains 13(1): 77-80. nasikhin., dan shovitri, m., 2013. isolasi dan karakterisasi bakteri pendegradasi solar dan bensin dari perairan pelabuhan http://www.jatam.org/ mirnawati, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 263 269 269 gresik.its.jurnal sains dan seni pomits 2(2): 2337-3520. nugroho, s. h., 2003. degradasi minyak bumi melalui mikroorganisme. situs kimia.akses tanggal 9 oktober 2014. pagoray, h., 2003. lingkungan pesisir dan masalahnya sebagai dearah aliran buangan limbah. http://www.yahoo.com (5 januari 2013). pastra. d.a., 2011. penapisan bakteri yang bersimbosis dengan spons jenis aplysina sp sebagai penghasil antibakteri dari perairan pulau tegal lampung, universitas sriwijaya. peraturan pemerintah ri nomor 18 tahun 1999, tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. pikoli. m.r.p., aditiawati, & d.i. astuti 2000. isolasi bertahap dani dentifikasi isolate bakteri termofilik pendegradasi minyak bumi dari sumur bangko. jurusan biologi, itb, bandung. http://www.yahoo.com/ ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 382-385 382 phytochemical and toxicity assay extract chloroform of stem bark of melochia umbellata (houtt.) stapf var. visenia by using bhrine shrimp lethality test method uji fitokimia dan toksisitas ekstrak kloroform kulit batang melochia umbellata (houtt.) stapf var. visenia dengan metode bhrine shrimp lethality test (bslt) nur aeni hm * , nunuk hariani soekamto, firdaus department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, email: hmnuraeni@gmail.com received: dec. 2016 published: jan. 2017 abstract paliasa plants melochia umbellata (houtt.) stapf var. visenia is classified into species m.umbellata (houtt.) stapf which was potent to heal various of illness. the aim of this research to know secondary metabolites and its toxicity from extract chloroform stem bark of m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia. the step in this research were: maceration to obtain extract chloroform, phitotochemical assay to identify the group of secondary metabolites, and toxicity assay by using bhrine shrimp lethality test method. it was obtained 46 g of green concentrated exctract of chloroform. the result of phytochemical assay show that the extract contain steroid and alkaloid groups. the crude extract chloroform is toxic against artemia salina with lc50 value is 53,57 µg/ml. keywords: melochia umbellata, bslt, steroid, alkaloid, artemia salina. pendahuluan berawal dari penggunaan bahan alam secara tradisional yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit sehingga menjadi kebiasaan masyarakat memanfaatkannya untuk pengobatan. sampai saat ini, eksplorasi tumbuhan untuk pengobatan masih terus dilakukan (rahmaniar, 1996). salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan secara etnobotani yaitu tumbuhan dari famili malvaceae. malvaceae adalah suatu famili tumbuhan tropis indonesia yang cukup besar dan banyak digunakan oleh masyarakat. beberapa spesies dari tumbuhan ini telah diteliti dan diketahui mengandung banyak senyawa kimia dari berbagai golongan, antara lain minyak atsiri, fenilpropanoid, flavonoid, alkaloid, saponin, dan antrakuinon (lalo dan tayeb, 2003). paliasa adalah salah satu tumbuhan yang termasuk dalam famili malvaceae. tumbuhan paliasa terbagi menjadi dua spesies. kedua spesies yang termasuk dalam famili malvaceae yaitu k. hospita linn dan m. umbellata (houtt) stapf. spesies m. umbellata (houtt.) stapf terdiri atas dua varitas yaitu m. umbellata (houtt.) stapf var. degrabrata k dan m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia (nuvita, 2006). menurut erwin, dkk., (2014) ekstrak metanol dari kayu batang m. umbellata (houtt.) stapf var. degrabrata k menghasilkan senyawa dari golongan alkaloid yang bersifat toksik terhadap a.salina dengan nilai lc50 sebesar 1,80 µg/ml. ekstrak metanol pada bagian jaringan kulit akar, kayu akar, kulit batang, kayu batang, dan daun dari m. umbellata (houtt) stapf var.degrabrata memperlihatkan lc50 masingmasing sebagai berikut: 66,22; 37,343; 30,27; 1,80 dan 84,26 µl/ml (usman dkk., 2015). berdasarkan uraian tersebut, dilakukan penelitian terhadap tumbuhan visenia. m. umbellata (houtt) stapf var. visenia adalah salah satu varitas dari m. umbellata (houtt) stapf. penelitian ini tentang uji fitokimia dan toksisitas ekstrak kloroform kulit batang melochia umbellata (houtt.) stapf var. visenia dengan metode bhrine shrimp lethality test (bslt). uji toksisitas ini dilakukan terhadap larva udang a. salina (mayer dkk., 1982). metode ini digunakan untuk skrining awal senyawa bioaktif bahan alam karena menunjukkan adanya kolerasi dengan metode sitotoksik in vitro lainnya (carballo dkk., 2002). mailto:hmnuraeni@gmail.com nur aeni hm., dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 382-385 383 metodologi alat dan bahan penelitian alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah corong, corong buchner, rotary evaporator, timbangan digital, mikropipet, mikroplate, wadah penetesan, alat klt (chambers, pipa kapiler, pensil, cutter, dan mistar), lampu uv. bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 kg serbuk kulit batang tumbuhan m. umbellata (houtt) stapf var. visenia, beberapa pelarut organik seperti metanol teknis, n-heksana teknis, kloroform p.a, etil asetat teknis, aseton teknis, pereaksi liebermann-buchard, dragendorff, wagner, besi (iii) klorida, cerium sulfat 2%, plat klt (merk kieselgel 60 f254 0,25 mm), nacl laut (sigma, no. katalog s9883), dmso (merck, no. katalog 802912), telur udang a. salina leach. prosedur kerja preparasi sampel kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia diperoleh dari desa baring, kecamatan sigeri, kabupaten pangkep, sulawesi selatan. sampel dipotong kecil-kecil kemudian diangin-anginkan pada tempat yang tidak terkena sinar matahari. sampel yang kering digiling hingga halus. ekstraksi serbuk kering kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia sebanyak 5 kg dimaserasi dengan n-heksana selama 1 x 24 jam beberapa kali. kumpulan maserat yang diperoleh selanjutnya dipekatkan, sedangkan residu dimaserasi lebih lanjut dengan pelarut kloroform sehingga diperoleh ekstrak kloroform. ekstrak kasar selanjutnya dilakukan uji fitokimia. uji toksisitas ekstrak kloroform yang diperoleh diuji aktivitasnya terhadap larva udang a. salina dengan metode bslt. a. penyemaian benur udang a. salina sebanyak 15 mg telur udang a.salina dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut dan diaerasi dibawah cahaya lampu pijar 40-60 watt. lampu dinyalakan selama 48 jam hingga telur a.salina menetas menjadi larva. b. penyiapan sampel sebanyak 1,0 mg sampel dilarutkan dengan 100 µl dmso kemudian diencerkan dengan 150 µl aquades sehingga volume total menjadi 250 µl. pengenceran dan pengukuran dilakukan triplo dalam mikroplate dengan deret konsentrasi 500 µg/ml; 125 µg/ml; 31,25 µg/ml; dan 7,81 µg/ml. c. pelaksanaan uji toksisitas larva a.salina sebanyak 7-15 ekor yang sudah menetas dimasukkan kedalam lubang baris mikroplate dengan konsentrasi yang berbeda dan diinkubasikan selama 24 jam. setelah 24 jam, jumlah a.salina yang mati dan hidup pada mikroplate dihitung untuk memperoleh data lc50. hasil dan pembahasan tumbuhan m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia merupakan tumbuhan yang memiliki bentuk daun berlekuk, daun berwarna hijau tua, berbulu halus rapat, dan warna bunga merah kecubung. tumbuhan visenia adalah salah satu varitas dari m. umbellata (houtt) stapf yang termasuk famili malvaceae. tumbuhan ini memiliki nama daerah yang berbeda beda yakni masyarakat sulawesi selatan dengan sebutan daun pali. umumnya digunakan sebagai obat penyakit dalam, hipertensi, diabetes dan penyakit liver. berdasarkan hasil pengujian beberapa perekasi, maka diperoleh beberapa pengujian yang positif. ekstrak kental diuji dengan pereaksi lieberman-burchard menunjukkan hasil yang positif yang memberikan hasil berwarna hijau. hal ini menunjukkan bahwa dalam ekstrak kental ini terdapat senyawa golongan steroid yang memberikan perubahan menjadi hijau, pereaksi wagner untuk menguji adanya senyawa golongan alkaloid yang memberikan hasil positif dengan terbentuknya endapan coklat, dan pereaksi wagner untuk mengidentifikasi alkaloid juga memberikan hasil positif dengan terbentuknya endapan putih. sedangkan pereaksi fecl3 1% menunjukkan hasil yang negatif karena tidak terjadinya perubahan warna pada sampel. nur aeni hm., dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 382-385 384 gambar 1. uji fitokimia ekstrak kloroform; (a). liebermann-burchard, (b). fecl3, (c). wagner, (d). meyer. tabel 1. hasil uji fitokimia ekstrak klorofom kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak kloroform kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia positif mengandung beberapa jenis senyawa metabolit sekunder diantaranya, golongan steroid dan alkaloid yang dapat dilihat dalam tabel 1. tabel 2. hasil uji toksisitas ekstrak klorofom kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia ekstrak kloroform yang diuji terhadap a. salina dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada masing-masing konsentrasi yang berbeda. hasil pengujian menunjukkan efek kematian sebesar 100 % pada konsentrasi 500 µg/ml, 91% pada konsentrasi 250 µg/ml, 81%, dan 59% pada konsentrasi 125 µg/ml dan 62,5 µg/ml, serta efek kematian sebesar 32% pada konsentrasi 31,25 µg/ml. ekstrak kloroform selanjutnya diuji toksisitas dengan metode brine shrimp lethality test (bslt). metode ini digunakan sebagai skrining awal terhadap senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan. pengujian ini dilakukan terhadap larva a. salina. hasil uji toksisitas ekstrak klorofrom kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia dapat dilihat pada tabel 2. hasil analisa probit menunjukkan ekstrak kloroform bersifat toksik dengan nilai lc50 sebesar 53,57 µg/ml. menurut anderson, dkk., (1990) ekstrak atau senyawa yang tergolong aktif (toksik) terbagi menjadi dua kategori, yaitu toksisitas tinggi dengan nilai lc50 < 100 µg/ml dan toksisitas rendah dengan nilai lc50 >100 µg/ml. hal ini membuktikan adanya kandungan metabolit sekunder pada ekstrak kloroform kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia yang aktif terhadap a. salina. kesimpulan ekstrak kloroform kulit batang m. umbellata (houtt.) stapf var. visenia mengandung senyawa steroid dan alkaloid serta bersifat toksik terhadap a. salina dengan nilai lc50 sebesar 53,57 µg/ml. daftar pustaka anderson, j.e., goetz, c.m., mclaughlin, j.l., 1990, a blind comparison of simple benchtop biossays and human tumour cell cytotoxicities as antitumor prescreen, phytochemical analysis 6, 107-111. carballo, j.l., hernandes-inda, z.l., perez, p., garcia-gravalos, m.d., 2002, a comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products, bmc biotech-nology, 2(17), 1-5. erwin, alfian, n., soekamto, n.h., altena. i.v., and syah, y.n., 2014, waltherione c and cleomiscosin from melochia umbellata var degrabrata k. (malvaceae), biosynhetic and chemotaxonomic, significance, biochemical systematic and ecology, 55, 358-361. lalo dan tayeb, 2003., efek ekstrak methanol paliasa jenis kleinhovia hospita , melochia umbellata var. degrabrata dan melochia umbellata var. visenia terhadap fungsi hati a b c d nur aeni hm., dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 382-385 385 mencit yang diinduksi dengan karbon tetraklorida, majalah farmasi dan framakologi, 8(2), 25-32. mayer, b.n., ferrigny, n.r., and putnam, j.l., 1982, brine shrimp, a covennient generan bioassay for actpive plant constituent, journal of medical plant research, 45, 3134. nuvita, t., 2006, uji aktivitas antioksidan ekstrak daun paliasa terhadap radikal bebas penyebab penyakit degeneratif, tesis tidak diterbitkan, program studi biomedik/farmakologi pps unhas, makassar, rahmaniar, 1996. produk alam laut sebagai lead compound untuk farmasi dan pertanian. makalah pada seminar perspektif baru dalam drug discovery. ujung pandang 26 oktober 1996. usman, soekamto, n.h., usman, h., ahmad, a., 2015, senyawa turunan oleanan dan kulit batang melochia umbellata (houut) stapf var. degrabrata k. dan bioaktivitasnya. seminar nasional kimia dan pendidikan kimia vii, surakarta 18 april. ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 335-338 335 synthesis of phenethyl (o-acetyl-p-coumaroyl) from pcoumaric acid via acetylation, chlorination and esterification with phenethylalcohol sintesis fenetil (o-asetil-p-kumaroil) dari asam p-kumarat melalui asetilasi, klorinasi dan esterifikasi dengan fenetilalkohol bahja 1* , firdaus 2 , nunuk hariani soekamto 2 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, tel: +6285395265661, email: bundabije@gmail.com received: june 2016 published: july 2016 abstract synthesis of phenethyl (o-acetyl-p-coumaroyl) (4) from p-coumaric acid (1) using phenethylalcohol was succesfully conducted via acetylation (2), chlorination (3), and esterification (4). the acetylation was performed using acetic anhydride in pyridine at room temperature for 6 hours, the chlorination was performed using thionyl chloride in dry benzene by reflux at 75 o c for 4 hours, continued with esterification by in situ using phenethylalcohol in dry dichloromethane at room temperature for 4 hours. the structure of each step reaction product was identified using ft-ir spectroscopy. the compound 2 was obtained as yellowish crystal with m.p 201-203 o c and the compound 4 was obtained as white crystal with m.p 68-69 o c. keywords: phenethyl (o-acetyl-p-coumaroyl), p-coumaric acid, phenethylalcohol, esterification pendahuluan ester pada umumnya dihasilkan dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol dengan adanya katalis asam. reaksi esterifikasi berlangsung lambat dan reversibel. asam p-kumarat merupakan asam fenolik karboksilat α-β tak jenuh yang memiliki gugus hidroksil lain pada posisi para yang sensitif terhadap kondisi esterifikasi. asam karboksilat fenolik tidak dapat dipakai untuk sebagian besar metode esterifikasi. kondisi reaksi khusus dibutuhkan dalam metode esterifikasi fischer (asam protik kuat) serta menggunakan alkohol berlebih sehingga metode ini diterapkan secara terbatas (hart, l.e, & d.j, 2003). asilasi menggunakan katalis asam-lewis juga tidak memecahkan masalah dengan baik (kusum l, p, rajesh k, & vinod k, 2002). menggunakan asil halida untuk membuat ester melalui substitusi nukleofilik asil membutuhkan perlindungan dari gugus hidroksil fenolik karena asam karboksilat tidak akan membedakan antara gugus hidroksil alifatik (alkohol) dan gugus hidroksil aromatik (fenolik). stuwe et al. melaporkan metode yang didasarkan pada reaksi garam cesium asam karboksilat fenolik dengan alkil halida menghasilkan ester tetapi rendemen yang diperoleh tidak memuaskan dan membutuhkan halida berlebih untuk metode ini (stuwe, bruhn, & konig, 1989). reaksi knoevenagel juga telah digunakan sebagai metode tidak langsung untuk sintesis asam kafeat 3,4-dihidroksi fenetil ester (zhang, xiao, chen, & lian, 2010). kelemahan utama metode ini adalah tidak tersedianya bahan awal yang diperlukan untuk menerapkan metode tersebut. dalam penelitian ini telah disintesis senyawa fenetil (o-asetil-p-kumaroil) (4) dari asam p-kumarat (1) dan fenetilalkohol melalui asetilasi, klorinasi, dan esterifikasi (helm , ralph, & hatfield , 1992). metode ini lebih sederhana dan tersedianya bahan yang diperlukan untuk menerapkan metode tersebut. sifat fisik-kimia senyawa 2 dan senyawa 4 diukur dengan menentukan titik leleh kemudian bahja, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 335-338 336 diuji kemurniannya menggunakan klt dan diidentifikasi menggunakan ftir spektroskopi. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitan ini adalah asam p-kumarat ≥ 98% (sigma aldrich), fenetilalkohol (merck), anhidrida asetat p.a (merck), piridin p.a (merck), metanol p.a (merck), aquadest, tionil klorida p.a (merck), benzena p.a (merck), diklorometana p.a (merck), 4-(dimetilaminopiridina) p.a (merck), trietilamina p.a (merck), hcl 3%, nh4cl jenuh, natrium sulfat anhidrat (merck), etil asetat, kloroform, dietil eter, n-heksan. alat alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat refluks, evaporator (buchi), penyaring buchner, corong pisah, kromatografi kolom gravitasi (kkg), pengukur titik leleh (electrothermal), lampu uv. peralatan untuk analisis menggunakan ftir (irprestige-21). selain itu, seperangkat alat gelas dan penunjang laboratorium lainnya. prosedur kerja tahap asetilasi. asam p-kumarat (3 mmol;0,5000 gram) dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga, kemudian ditambahkan 3 ml piridin dan (8,36 mmol; 0,8 ml) anhidrida asetat. campuran reaksi diaduk menggunakan stirrer selama 5 jam pada suhu ruang. selanjutnya, campuran reaksi dituang ke dalam 20 ml akuades dingin sambil diaduk. endapan putih yang terbentuk disaring, dicuci dengan akuades dan dikeringkan di dalam desikator sehingga diperoleh padatan putih kering. padatan tersebut dikristalisasi / rekristalisasi menggunakan metanol panas lalu disaring sehingga diperoleh padatan kristal putih. selanjutnya, kristal diuji kemurniannya melalui analisis klt dengan 3 jenis eluen dan uji titik leleh sehingga diperoleh senyawa asam o-asetilp-kumarat (2) yang murni. senyawa 2 tersebut kemudian dianalisis menggunakan spektroskopi ftir. tahap klorinasi. senyawa 2 sebanyak (1,5 mmol;0,3 gram) dimasukkan ke dalam labu alas bulat leher tiga dan dilarutkan menggunakan 20 ml benzena serta ditambahkan (0,42 ml;3,8 equiv) tionil klorida. campuran reaksi direfluks selama 4 jam. setelah refluks, campuran reaksi didinginkan pada suhu ruang dan dievaporasi hingga diperoleh padatan senyawa o-asetil-p-kumaril klorida (3). padatan 3 tersebut selanjutnya digunakan untuk tahap berikutnya tanpa pemurnian lebih lanjut. tahap esterifikasi. senyawa 3 (1,5 mmol;0,2 gram) dan (1,36 mmol; 0,16 ml) fenetilalkohol dilarutkan dalam 105 ml diklorometana, lalu dimasukkan ke dalam labu alas leher tiga yang berisi (2,23 mmol; 0,25 equiv; 0,2724 gram) 4-(dimetilamino)piridina dan (7,12 mmol; 0,8 equiv; 0,99 ml) trietilamin. campuran reaksi diaduk selama 2 jam (kontrol klt menggunakan eluen (etoac/chcl3 3:7). larutan tersebut ditambahkan ch2cl2, dicuci dengan hcl 3% kemudian dengan nh4cl jenuh, dikeringkan menggunakan na2so4 anhidrat, dievaporasi dan dipurifikasi melalui kolom kromatografi gravitasi (eluen etoac/n-heksan 1:19). selanjutnya, kristalisasi/rekristalisasi menggunakan etil asetat/n-heksan dan diuji kemurniannya melalui analisis klt dengan 3 jenis sistem eluen serta uji titik leleh. setelah diperoleh senyawa fenetil o-asetil-p-kumarat (4) murni, kemudian dianalisis menggunakan spektroskopi ftir. ho oh o aco oh o socl2benzen aco cl o (ac)2o piridin phch2ch2oh dmap aco o o (1) (2) (3) (4) gambar 1. skema sintesis senyawa fenetil oasetil-p-kumarat (4) hasil dan pembahasan sintesis senyawa fenetil o-asetil-p-kumarat (4) telah disintesis seperti pada gambar 1. sintesis senyawa 2 pada tahap ini diperoleh produk berupa kristal kuning pucat dengan titik leleh 201-203 o c dan rendemen 63,93 %. analisis ftir (kbr) cm -1 : 2827,64 (rentangan o-h karboksilat), 1745,58 (rentangan c=o ester), 1201,65 dan 1165,00 (rentangan c-o ester), 1687,71 (rentangan c=o karboksilat), 3047,53 (rentangan c-h gugus tak jenuh), 1598,99 dan 1506,41 (gugus aromatik), 2981,95 (rentangan bahja, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 335-338 337 c-h jenuh), 1427,32 dan 1371,39 (gugus metil), 839,03 (sistem aromatik para-disubstitusi), 1625,99 (rentangan c=c olefin), 991,41 (trans 1,2-disubstitusi). sintesis senyawa 3 pada tahap ini, senyawa target tidak dimurnikan dan dikarakterisasi karena senyawa o-asetil-p-kumaril klorida (3) sangat reaktif sehingga mudah terurai oleh uap air dari udara membentuk senyawa semula (2). padatan hasil reaksi ini digunakan lebih lanjut untuk reaksi konversi senyawa o-asetil-p-kumaril klorida (3) menjadi senyawa fenetil o-asetil-p-kumaroil (4). sintesis senyawa 4 diperoleh padatan pasta berwarna kuning pucat. padatan ini kemudian dipisahkan menggunakan kromatografi kolom gravitasi (kkg) untuk mendapatkan senyawa murni. berdasarkan hasil kkg (gambar 2), diperoleh hanya satu fraksi utama yaitu fraksi 9-22. dari fraksi tersebut diperoleh produk padatan berwarna putih kekuningan dengan perolehan rendamen 47,20%; titik leleh 68-69 o c. gambar 2. kromatogram hasil kkg spektrum hasil analisis dengan spektrofotometer ft-ir terhadap senyawa produk senyawa fenetil o-asetil-p-kumaroil (4) tersebut diatas memperlihatkan ketidakberadaan serapan lebar pada 2827,64 cm -1 yang berasal dari vibrasi rentangan o-h karboksilat seperti pada senyawa asam o-asetil-p-kumarat (2) yang menunjukkan atom h pada gugus o-h karboksilat tersebut telah mengalami reaksi penggantian dengan gugus o-fenetil menghasilkan ester spesifik. analisis ftir (kbr) cm -1 : 1205,51 dan 1165,00 (rentangan c-o ester), 1598,99 cm -1 dan 1506,41 (gugus aromatik), 1369,46 dan 1315,45 (metil dan metilen), 840,96 (aromatik para-disubstitusi), 756,10 dan 702,09 (aromatik mono substitusi), 999,13 (trans 1,2-disubstitusi). perbandingan hasil analisis spektrum ft-ir senyawa hasil sintesis (4) dengan spektrum ft-ir senyawa benzil p-kumarat (khatkar, nanda, kumar, & narasimhan, 2014), disajikan dalam tabel 1. jadi produk yang berupa padatan putih kekuningan tersebut adalah senyawa yang mengandung gugus ester, sistem aromatik paradisubstitusi, sistem aromatik mono substitusi, metil, metilen, dan metin. data-data ini sesuai dengan struktur senyawa fenetil o-asetil p-kumaroil (4). tabel 1. perbandingan data spektrum ft-ir senyawa asam o-asetil-p kumarat (4) dengan benzil p-kumarat (khatkar, 2014). jenis vibrasi ikatan dan gugus fungsi frekuensi serapan (cm -1 ) senyawa 4 senyawa literatur rentangan oh fenol tidak ada 3622 rentangan c=o ester 1761,01 & 1703,14 1728 rentangan c-h alkana 2931,8 2917 rentangan c-h aromatik 3363,86 3025 rentangan c=c olefin 1631,78 1627 kesimpulan pengadukan campuran reaksi pada suhu ruang senyawa asam p-kumarat (1) dan anhidrida asetat di dalam pelarut piridin selama 6 jam menghasilkan senyawa asam o-asetil-p-kumarat (2) dengan rendamen sebesar 63,93%; proses refluks pada suhu 79 o c campuran senyawa 2 dan tionil klorida di dalam pelarut benzen selama 4 jam menghasilkan senyawa o-asetil-p-kumaril klorida (3); pengadukan campuran reaksi pada suhu ruang senyawa 3 dan fenetilalkohol di dalam dmap dan trietilamin selama 4 jam menghasilkan senyawa fenetil o-asetil p-kumarat (4) dengan rendamen sebesar 47,20%. daftar pustaka hart, h., l.e, c., & d.j, h. (2003). kimia organik, diterjemahkan oleh suminar setiati achmadi. jakarta: erlangga. helm , r., ralph, j., & hatfield , r. (1992). synthesis of feruloylated and pcoumaroylated methyl glycosides . carbohydrate research, 229 , 183-194. khatkar, a., nanda, a., kumar, p., & narasimhan, b. (2014). synthesis, antimicrobial evaluation and qsar studies of p-coumaric acid derivatives. arabian bahja, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 4(1), 335-338 338 journal of chemistry, http://dx.doi.org/10.1016/j.arabjc.2014.05.0 18. kusum l, c., p, s., rajesh k, s., & vinod k, s. (2002). lewis acid catalyzed acylation reactions: scope and limitations. tetrahedron 58, 1369-1374. stuwe, h.-t., bruhn, g., & konig, w. (1989). the synthesis of caffeic acid esters, a new group of naturally occurring contact allergens. naturwissenschaften 76, 426 427. zhang, z., xiao, b., chen, q., & lian, x.-y. (2010). synthesis and biological evaluation of caffeic acid 3,4dihydroxyphenethyl ester. j. nat. prod. 73 , 252–254. indochem ind. j. chem. res, 2016, 3, 277 282 277 synthesis of fe nanoparticles using bioreductor of phytoplankton extract of spirulina platensis sintesis nanopartikel fe menggunakan bioreduktor ekstrak fitoplankton spirulina platensis isti nurillah 1* , indah raya 2 , maming 3 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 3 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, tel: +6285299472819, email: andisti.chemzt@gmail.com received: dec 2015 published: jan 2016 abstract this study aims to synthesize fe nanoparticles by bioreduction using the phytoplankton extract of s. platensis that acts as a reducing agent. synthesis process is done by adding extracts of s. platensis to a solution of 1 mm fecl3. the formed nanoparticles characterized by uv-vis spectrophotometer, fourier transform infra red spectroscopy (ftir), scanning electron microscopy (sem) and energy disperse x-ray spectroscopy (edx/eds), x-ray diffraction (xrd) and x-ray flourosence (xrf). the results showed that the solution of fe 3+ ions can be reduced by phytoplankton extract of s. platensis fe nanoparticles formed. the average size of the particles based on the debye-scherrer equation was 68.10 nm. while the morphology of fe nanoparticles was spherical shape. keywords: synthesis, fe nanoparticles, phytoplankton, spirulina platensis. pendahuluan beberapa tahun terakhir, nanoteknologi telah membangkitkan perhatian yang besar bagi para ilmuwan di seluruh dunia dan saat ini merupakan bidang riset yang paling diminati (zhang, et al., 2011). nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer. dibandingkan material berukuran besar (bulk), material dalam dimensi nanometer menunjukkan sifat kimia dan fisika yang lebih unggul karena memiliki sifat optik, termal, listrik, kimia, dan fisika yang unik (panigrahi, et al., 2004). salah satu nanomaterial yang paling menarik dikembangkan saat ini adalah nanopartikel fe. nanopartikel fe atau yang biasa dikenal dengan nano-scaled zero valensi iron (nzvi), merupakan nanopartikel yang unggul dalam proses remediasi lingkungan. dibandingkan dengan partikel zero valensi iron (zvi) yang berukuran besar (bulk), nzvi mempunyai reaktifitas yang lebih tinggi karena memiliki luas permukaan yang besar. beberapa studi telah menunjukkan potensi nanopartikel fe untuk remediasi lingkungan, diantaranya yang dilakukan oleh (shahwan, et al., 2011) yang menggunakan fe nps untuk mendegradasi polutan organik dan anorganik. selain itu, (wang, et al, 2014) menggunakan fe nps yang disintesis untuk pengolahan air limbah eutrofik. fe nps digunakan untuk mendegradasi polutan organik terklorinasi (smuleac, et al., 2011), sedangkan (weng, et al., 2013, dan huang, et al., 2014) menggunakan fe nps dan berhasil mendegradasi polutan zat pewarna malachite green (mg). umumnya nanopartikel logam disintesis melalui beberapa metode fisika dan kimia. namun metode sintesis nanopartikel secara fisika dan kimia harus menggunakan energi yang tinggi, menggunakan beberapa bahan kimia yang mahal dan dianggap berbahaya. oleh karena itu, para peneliti di bidang sintesis nanopartikel telah beralih ke metode green synthesis (sintesis hijau) isti nurlilah, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 277 282 278 dengan menggunakan ekstrak tumbuhan (ahmad, et al., 2003). pendekatan sintesis hijau memberikan perkembangan yang jauh lebih baik karena dilakukan pada tekanan dan suhu kamar, ekonomis, serta bebas dari penggunaan bahan kimia beracun (rajeshkumar, et al., 2012). ekstrak tumbuhan, jamur, ragi, bakteri, virus, dan alga yang berpotensi sebagai media sintesis nanopartikel (seabra, et al., 2013). alga disebut pabrik bionano karena alga dapat menyintesis nanopartikel dengan stabilitas tinggi dan mudah ditangani (song dan kim, 2009). ekstrak uniseluler mikro alga chlorella vulgaris digunakan untuk menyintesis nanoplate perak. diperkirakan bahwa protein dalam ekstrak memberikan fungsi ganda untuk mereduksi dan mengendalikan bentuk dalam proses sintesis nanopartikel perak, dimana gugus karboksil dalam aspartat dan atau residu glutamin dan gugus hidroksil dalam residu tirosin dari protein diperkirakan menjadi agen yang bertanggung jawab dalam mereduksi ion perak (xie, et al., 2007 dalam kiran, et al., 2011). mikro alga atau fitoplankton spesies spirulina platensis merupakan fitoplankton yang memiliki kandungan senyawa bioaktif polisakarida, protein. pigmen bioaktif klorofil-a, karotenoid (xantofil dan β-karoten), dan fikosianin. spirulina platensis menunjukkan potensi sebagai sumber protein yang tinggi mencapai 72% dengan kandungan asam amino yang seimbang (finocchio, et al., 2010). menurut beberapa penelitian, telah mengungkapkan bahwa molekul bioaktif yang kemungkinan besar berperan sebagai agen pereduksi dan pengstabil dalam proses biosintesis nanopartikel yaitu protein, polisakarida, tanin, flavonoid, terpenoid (mittal, et al., 2013), senyawa dengan gugus fungsi hidroksil, karboksil, dan amina (mahdavi, et al., 2013). beberapa penelitian sintesis nanopartikel logam yang menggunakan ekstrak fitoplankton s. platensis yaitu sintesis nanopartikel perak (sharma, et al., 2015; verma, et al., 2014; tsibakhashvili, et al., 2011; dan mahdieh, et al., 2012), dan nanopartikel emas (govindaraju, et al., 2008). oleh karena sintesis nanopartikel fe menggunakan ekstrak fitoplankton s. platensis belum pernah dilaporkan sebelumnya, dan melihat potensi kandungan bioaktif dari spirulina platensis di atas yang diharapkan dapat dijadikan sebagai agen pereduksi dan agen capping dalam proses sintesis nanopartikel, maka perlu dilakukan sintesis nanopartikel fe menggunakan ekstrak spirulina platensis dalam langkah yang sederhana, dengan penggunaan bahan kimia yang tidak beracun (non toksik), murah, cepat, dan ramah lingkungan. penelitian ini bertujuan untuk melakukan sintesis nanopartikel fe melalui proses bioreduksi fe 3+ menggunakan ekstrak fitoplankton spirulina platensis, mengkarakterisasi nanopartikel fe yang terbentuk serta mengetahui biomolekul yang berperan sebagai agen pereduksi dalam sintesis nanopartikel fe. metodologi bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan fitoplankton spirulina platensis, air laut steril, akuabides, medium kultur (conway), fecl3. 6h2o (merck), kertas saring whatman no. 42, kertas label, tisu dan aluminium foil. prosedur penelitian 1. pembuatan ekstrak fitoplankton spirulina platensis ekstrak fitoplankton s. platensis dibuat dengan cara dididihkan selama 10-15 menit pada suhu 90 o c kemudian disentrifus untuk dipisahkan endapannya. filtrat ekstrak fitoplankton spirulina platensis dapat digunakan langsung atau disimpan di lemari pendingin ketika tidak dipakai. 2. sintesis nanopartikel fe sintesis nanopartikel fe dilakukan dengan cara mencampur larutan fecl3 1 mm dengan ekstrak spirulina platensis dalam gelas kimia, dengan perbandingan larutan logam dan ekstrak fitoplankton 1:4, (v/v). reaksi dilakukan pada suhu ruangan (27 o c) sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 10 menit dan diukur ph larutan. pembentukan nanopartikel fe diindikasikan dengan berubahnya warna larutan dari hijau muda menjadi kuning kecoklatan, dan diukur kembali ph larutan nanopartikel besi yang telah terbentuk. isti nurlilah, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 277 282 279 3. karakterisasi nanopartikel fe koloid nanopartikel besi dikarakterisasi dengan cara mengukur panjang gelombang maksimum (adsorbsi maksimum) dengan menggunakan spekstroskopi uv-visible pada daerah panjang gelombang 300-700 nm. sampel padatan nanopartikel fe diambil untuk dikarakterisasi dengan x-ray diffraction (xrd) untuk melihat kemurnian dan mengkonfirmasi struktur kristal dari nanopartikel besi yang dihasilkan. analisis pola xrd didapatkan dengan menggunakan difraktometer sinar-x model miniflex2, dengan cu/30kv/15ma dan kα radiasi (panjang gelombang λ = 0,1542 nm). jarak scan yang dilakukan dari 5000 – 70000 deg, dengan kecepatan 2000 deg/menit. karakterisasi menggunakan fourier transform infrared (ftir) dilakukan untuk mengidentifikasi potensi biomolekul pada ekstrak fitoplankton spirulina platensis yang bertanggung jawab dalam mereduksi dan mengstabilkan nanopartikel besi yang terbentuk. hasil dan pembahasan telah dilakukan penelitian sintesis nanopartikel fe yang ramah lingkungan dan murah dengan menggunakan ekstrak fitoplankton s. platensis. ekstrak fitoplankton s. platensis dicampur dengan larutan fecl3 dan ion fe 3+ tereduksi menjadi fe o yang diamati dengan mengukur spektrum uv-vis dari media reaksi. gambar 1. perbandingan spektrum uv-vis nanopartikel fe, ekstrak fitoplankton s. platensis dan larutan fecl3 gambar 1 menunjukkan bahwa spektrum ekstrak fitoplankton s. platensis terjadi pada serapan panjang gelombang 257,5 nm. setelah ekstrak direaksikan dengan ion fe 3+ , pembentukan nanopartikel fe diamati terjadi pada penyerapan panjang gelombang sebesar 258,5 nm dengan nilai absorbansi yang lebih tinggi setelah 24 jam pencampuran. perubahan warna dari hijau muda menjadi kuning kecoklatan kemungkinan disebabkan karena adanya eksitasi elektron akibat penyerapan energi foton. hasil spektrum uv-vis yang sama juga dijumpai dalam sintesis nanopartikel fe yang dilakukan oleh huang, et al. (2014) yang menggunakan bioreduktor ekstrak daun teh oolong dan oleh kumar, et al., (2014) yang menggunakan bioreduktor ekstrak buah passiflora tripartita. ukuran rata-rata partikel nanopartikel fe dapat dihitung menggunakan persamaan debyescherrer : d = k λ / β cos θ, dimana d adalah ketebalan nanokristal, k adalah konstanta (0,9), λ adalah panjang gelombang sinar-x gambar 2. difraktogram xrd nanopartikel fe ukuran rata-rata partikel nanopartikel fe dapat dihitung menggunakan persamaan debyescherrer : d = k λ / β cos θ, dimana d adalah ketebalan nanokristal, k adalah konstanta (0,9), λ adalah panjang gelombang sinar-x (0,15406 nm) dan β merupakan lebar keseluruhan dari setengah maksimal refleksi (110) pada sudut bragg 2θ. pola xrd (gambar 2) menunjukkan puncak yang kuat pada spektrum dengan jarak nilai 2θ dari 25 sampai 70. diameter kisi kristal dari nanopartikel fe adalah 68,10 nm yang diperoleh dari puncak fwhm sesuai dengan bidang (110). data fe standar diperoleh dari database software pdxl 2 dan database jcpds (dey, et al., 2012). tabel 1 menunjukkan telah terbentuk 1500 1750 2000 2250 2500 40 50 60 ** ( 1 1 0 ) (2 0 0 ) 2 (deg) in te n s it a s ( c p s ) 0 1 2 3 300 400 500 600 296 258,5 fecl 3 ekstrak s. platensis nanopartikel fe 257,5 nm. a b s . isti nurlilah, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 277 282 280 fe nps. hal ini ditunjukkan dengan nilai 2θ yaitu 44,38 0 dengan nilai d (a 0 ) sebesar 2,039 yang hampir mendekati nilai fe standar. data tersebut menunjukkan indeks miller (110). hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh dey, et al. (2012) yang mendapatkan pola difraksi fe nps dengan indeks miller (110) dan (200). tabel 1. perbandingan data xrd fenps dan fe nps standar berdasarkan scanning electron micrograph, morfologi fenps diamati dan kira-kira berbentuk bola (gambar 3). analisis dengan energy dispersive spectroscopy (edx/eds) dari fenps, dipastikan adanya sinyal unsur logam (gambar 4). spektrum eds menunjukkan adanya puncak unsur fe dengan persentase fe sebesar 2,61%. gambar 3. hasil analisis sem fe nps hal ini menegaskan unsur fe terdapat pada permukaan fe nps. namun, fe nps mungkin tersebar dan ditutup (dilapisi) oleh komponen ekstrak s. platensis, mengindikasikan bahwa beberapa bagian dari fe nps tidak terdeteksi oleh eds (huang et al., 2014). selain itu, analisis ftir diidentifikasi adanya keberadaan agen capping dari ekstrak s. platensis. hasil ftir ekstrak s. platensis sebelum sintesis fenps pada gambar 5a diidentifikasi bilangan gelombang 3423,65 cm -1 menunjukkan adanya gugus o-h regangan. kurva 5a menunjukkan spektrum ftir dari ekstrak s. platensis yang mengindikasikan adanya protein. gambar 5. hasil spektrum ftir ekstrak fitoplankton s. platensis (a) dan nanopartikel fe (b). pada spektrum ftir nanopartikel fe gambar 5b, terdapat vibrasi pada 2926,01 cm -1 yang menunjukkan gugus fungsi c-h regangan 40 80 120 160 200 1000200030004000 420.481238.30 1240.23 349.12 1056.99 1541.12 1647.21 2926.01 3442.94 345.26 1045.42 1541.12 1645.28 2931.80 3423.65 b a cm -1 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 kev 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 cps/ev fe fe mg al s s p ca ca o gambar 4. hasil analisis sampel menggunakan sem eds isti nurlilah, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 277 282 281 alifatik, vibrasi 1647,21 cm -1 , 1541,12 cm -1 dan 1238,30 cm -1 secara berturut-turut menunjukkan adanya ikatan amida i (tumpang tindih c=o regangan dan cn regangan), amida ii (tumpang tindih nh bending dan cn regangan), dan amida iii (tumpang tindih c-o-c bending dan oh bending), yang merupakan gugus fungsi dari biomolekul protein (govindaraju et al, 2008, dan finocchio, et al, 2010). hal ini mengindikasikan bahwa molekul protein yang berasal dari ekstrak fitoplankton s. platensis bertindak sebagai agen capping dalam pembentukan nanopartikel fe. pada spektrum ftir nanopartikel fe 5b terdapat sinyal dari serapan 420,48 cm -1 mengindikasikan adanya ikatan fe-o regangan yang membuktikan telah terjadi pembentukan nanopartikel fe. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh wang, et al., (2014). adanya gugus fungsi o-h dan c=o mengindikasikan bahwa gugus fungsi dari biomolekul ekstrak s. platensis dapat mereduksi ion fe 3+ menjadi fe 0 . kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak fitoplankton spirulina platensis dapat digunakan untuk sintesis nanopartikel fe. biomolekul yang berperan dalam mereduksi ion fe 3+ menjadi fe o adalah protein. fe nps menunjukkan serapan panjang gelombang maksimum dari fe nps pada 258,5 nm. ukuran rata-rata partikel yang disintesis adalah 68,10 nm dengan indeks miller (110) dan (200). daftar pustaka ahmad, a., senapati, s., islam khan, m., kumar, r., sastry, m., 2003, extracellular biosynthesis of monodisperse gold nanoparticles by a novel extremophilic actinomycete, thermomonospora sp. langmuir, 19: 3550 – 3553. dey, r., mukherjee, n., ahammed, s., dan ranu, b., c., 2012, highly selective reduction of nitroarenes by iron(0) nanoparticles in water, the royal society of chemistry, 1-38. finocchio, e., lodi, a., solisio, c., dan converti, a., 2010, chromium (vi) removal by methylated biomass of spirulina platensis: the effect of methylation process, chemical engineering journal, 156: 264– 269. govindaraju, k., basha, k., kumar, g., dan singaravelu, g., 2008, silver, gold and bimetallic nanoparticles production using single-cell protein (spirulina platensis) geitler. journal of materials science. huang, l., weng, x., chen, z., megharaj, m., dan naidu, r., 2014, synthesis of ironbased nanoparticles using oolong tea extract for the degradation of malachite green, spectrochimica acta part a: molecular and biomolecular spectroscopy, 117: 801–804. kiran, g. s., selvin, j., manilal, a., dan sujith, s., 2011, review article: biosurfactants as green stabilizers for the biological synthesis of nanoparticles, critical reviews in biotechnology, 31 (4): 354 – 364. kumar, b., smita, k., cumbal, l., dan debut, a., biogenic synthesis of iron oxide nanoparticles for 2-arylbenzimidazole fabrication, 2014, journal of saudi chemical society, 1-6. mahdavi, m., namvar, f., ahmad, m. b. dan mohamad, r., 2013, article: green biosynthesis and characterization of magnetic iron oxide (fe3o4) nanoparticles using seaweed (sargassum muticum) aqueous extract, molecules, 18: 5954 – 5964. mahdieh, m., zolanvari, a., azimee, a, s., dan mahdieh, m., 2012, green biosynthesis of silver nanoparticles by spirulina platensis, scientia iranica f, 19: 926 – 929. mittal, a. k., chisti, y. dan banerjee, u. c., 2013, synthesis of metallic nanoparticles using plant extract, biotechnol. adv., 31: 346 – 356. panigrahi, s.,kundu, s., ghosh, s. k., nath, s., dan pal, t., 2004, general method of synthesis for metal nanoparticles, journal of nanoparticle research, 6, 411-414. rajeshkumar, s., kannan, c., annadurai, g., 2012, green synthesis of silvernanoparticles using marine brown algae turbinaria conoides and its antibacterial activity, int. j. pharm. bio. sci., 3(4): 502 – 510. seabra, a, b., haddad, p., dan duran, n., 2013, biogenic synthesis of nanostructured iron compounds: applications and perspective, iet nanobiotechnol, 7: 90 99. isti nurlilah, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 277 282 282 shahwan, t., sirriah, s, a., nairat, m., boyaci, e., eroglu, a, e., scott, t, b., dan hallam, k, r., 2011, green synthesis of iron nanoparticles and their application as a fenton-like catalyst for the degradation of aqueous cationic and anionic dyes, chemical engineering journal, 172: 258 – 266. smuleac, v., varma, r., sikdar, s., dan bhattacharyya, d., 2011, green synthesis of fe and fe/pd bimetallic nanoparticles in membranes for reductive degradation of chlorinated organics, journal of membrane science, 379: 131– 137. song, j. y. dan kim, b.s., 2009, rapid biological synthesis of silver nanoparticles using plant leaf extracts, bioprocess biosyst. eng,. 32: 79 – 84. tsibakhashvili, n, y., kirkesali, e, i., pataraya, d, t., gurielidze, m, a., kalabegishvili, t, l., gvarjaladze, d, n., tsertsvadze, g, i., frontasyeva, m, v., zinicovscaia, i, i., wakstein, m, s., khakhanov, s, n., shvindina, n, v., dan shklover, v, y., 2011, microbial synthesis of silver nanoparticles by streptomyces glaucus and spirulina platensis, nanomaterials, 2: 306 – 310. verma, s., kumari, b., dan shrivastava, j, n., 2014, green synthesis of silver nanoparticles using single cell protein of spirulina platensis, int. j. pharm. bio. sci, 5 (2): 458 – 464. wang, t., jin, x., chen, z., megharaj, m., dan naidu, r., 2014, green synthesis of fe nanoparticles using eucalyptus leaf extracts for treatment of eutrophic wastewater, science of the total environment, 466–467: 210–213 weng, x., huang, l., chen, z., megharaj, m., dan naidu, r., 2013, synthesis of ironbased nanoparticles by green tea extract and theirdegradation of malachite, industrial crops and products, 51: 342– 347. zhang, x., yan, s., tyagi, r. d., dan surampalli, r. y., 2011, synthesis of nanoparticles by microorganisms and their application in enhancing microbiological reaction rates, chemosphere, 82: 489 – 494. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 159-169 1 159 studi akumulasi logam berat merkuri menggunakan tanaman awar-awar (ficus septica burm f) heavy metal mercury accumulation study using awar-awar (ficus septica burm f) plants abraham mariwy*, yeanchon h. dulanlebit, fian yulianti chemistry education study program, faculty of education and teacher training, pattimura university, kampus poka jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: abrahammariwy@gmail.com received: jul. 2019 published: jan. 2020 abstract this research aims to to study the ability of awar-awar plants ((ficus septica burm. f)) to accumulate heavy metals. awar-awar are grown in glass reactors and treated with 10 ppm mercury solution wich one, two, and three weeks in time variations. the analysis using cv-aas showed that the total absorption of mercury heavy metals by awar-awar plants in reactors i, ii and iii was 81.7%, 34.6% and 85.4% respectively. when the phytoremediation process takes place the plant shows no symptoms of damage or even death even though it has accumulated more than 50% of mercury from the growing media. the bcf value of awar-awar plants in reactor i was 2.79 reactor ii was 0.53 and reactor iii was 0.55. while the tf values in reactors i, ii and iii were 0.04; 1.13 and 0.97. the calculation results of bcf and tf values show that awar-awar plants (ficus septica burm. f) can accumulate heavy metals of mercury so it is recommended to be used as a phytoremediation agent in mercury-contaminated soils. keywords: mercury, phytoremediation, accumulation, awar-awar (ficus septica burm. f), cv-aas. pendahuluan merkuri adalah unsur pertama yang banyak dilakukan studi spesiasinya dalam lingkungan hidup. hal ini terkait dengan kasus teluk minamata di jepang di mana akibat unsur ini terjadi gangguan kesehatan berupa keracunan akut sampai dengan kerusakan genetik yang diakibatkan oleh konsumsi ikan yang mengandung ch3hg +. kasus lainnya adalah “quiet baby syndrome” di irak pada tahun 1970an yang meyebabkan sekitar 10.000 bayi di irak meninggal dunia dan sekitar 100.000 lainnya mengalami kerusakan otak secara permanen akibat masyarakat irak mengkonsumsi gandum yang mengandung pestisida berbahan dasar merkuri (bernhoft, 2012). salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh merkuri adalah pembuangan limbah (tailing) pengolahan emas yang diolah secara amalgamasi, di mana ampas yang masih mengandung merkuri tersebut kemudian ditampung dalam bak penampung atau langsung dibuang ke sungai sehingga berpotensi mencemari lingkungan di sekitar tempat tersebut (widodo dan aminudin, 2011). pada proses amalgamasi yang dilakukan oleh para penambang secara tradisional, material tanah dan batuan yang mengandung emas dicampur dengan merkuri (hg) dengan media air dan diaduk menggunakan tromol. teknik ini memanfaatkan putaran yang diberikan oleh tromol untuk menghancurkan tanah dan batuan yang masih bercampur dengan emas sehinga merkuri mengikat emas. selanjutnya dilakukan pencucian dan pendulangan untuk memisahkan amalgam (campuran au-hg) dan limbah (tailing) (cordi dkk, 2011). merkuri merupakan logam berat yang murah dan mudah diakses serta banyak digunakan dalam proses ekstraksi emas dari bijihnya. penggunaan merkuri pada proses ekstraksi emas dapat mempengaruhi populasi manusia serta lingkungan dengan menyebabkan efek yang merugikan kesehatan (zolnikov, 2012, dalam salatutin dkk, 2015). merkuri sebagai limbah abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 160 pertambangan emas yang telah terdistribusi ke sungai dan laut dalam jumlah yang besar dapat terakumulasi juga pada manusia melalui rantai makanan (rumatoras dkk, 2016). banyak penelitian pada beberapa tahun terakhir dalam bidang lingkungan hidup khususnya pada kasus pencemaran logam berat seperi pb, cd dan hg diarahkan pada upaya remediasi lingkungan tersebut akibat pencemaran yang dilakukan oleh pabrik atau pertambangan yang membuang limbahnya langsung ke lingkungan tanpa melalui treatment tertentu. upaya remediasi sangat penting dilakukan sebagai bagian dari proses penyelamatan lingkungan dan ekosistem di dalamnya. beberapa metode yang sering digunakan adalah presipitasi, adsorpsi, filtrat membran dan bioremediasi untuk mereduksi kandungan merkuri dalam perairan/limbah cair sedangakan untuk untuk limbah padat seperti pada kasus pencemaran tanah, maka metode atau teknologi yang sering digunakan adalah solidifikasi/stabilisasi, soil washing, ekstraksi asam, perlakuan termal dan vitrivikasi termasuk fitoremediasi (us.epa, 2007). fitoremediasi adalah teknik untuk memfasilitasi reklamasi tanah dan air oleh tanaman. reklamasi tersebut dilakukan tanaman dengan cara mengakumulasi polutan pada tanaman, mengindikasikan keberadaan polutan, dan/atau mengekstraksi polutan ke permukaan. polutan yang dimaksud dapat berupa polutan organik atau polutan anorganik. teknik fitoremediasi terbagi menjadi lima tipe yaitu: fotoekstraksi, rhizofiltrasi, fitostabilisasi, fitodegradasi dan fitovolatilisasi (surriya dkk., 2015). pada penelitian ini dipelajari kapasitas akumulasi tanaman awar-awar (fictus septica. burm.f) sebagai kandidat fitoremediator merkuri pada areal bekas pengolahan emas menggunakan teknik amalgamasi. tumbuhan awar-awar dipilih karena sifatnya yang mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan kekeringan, mudah didapatkan dan diperbanyak. selama ini tumbuhan awar-awar (fictus septica. burm.f) hanya dikenal sebagai tumbuhan obat dan belum pernah digunakan dalam teknik fitoremediasi. hasil penelitian de padua dkk. (1999) dalam sudirga (2015) menunjukkan bahwa tumbuhan awar-awar mengandung saponin dan flavonoid, dan senyawa polifenol. oleh karena itu sifat maka tanaman ini diharapkan dapat berperan mereduksi kandungan merkuri dalam tanah yang telah tercemar. penelitian yang dilakukan juga oleh wahyuni, dkk (2015) menyatakan bahwa tanaman awar-awar merupakan tanaman yang mengandung enzim fisin. enzim fisin merupakan suatu enzim protease yang dapat diperoleh dari tanaman ficus. secara kimiawi, enzim fisin digolongkan kedalam enzim protease yang mengandung gugus thiol/sulfiidril (-sh) yang merupakan salah satu gugus fungsi yang dapat mengikat logam berat merkuri (fitokelatin). metodologi alat spektrofotometri serapan atom uap dingin (cv-aas) (analytic jena), neraca analitik (cyberscan con 110) oven (memmert) mortal dan alu, reaktor kaca, peralatan gelas (pyrex), dan hot plate (cimarec) gambar 1. ilustrasi reaktor fitoremediasi abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 161 bahan aquades, hno3 pekat 65 %, h2so4 95 %, hcl 1m, kmno4 5%, h2o2 30%, sncl2, h2o, hydroxyl-aminehydrochloride 10%, tanah, tumbuhan awar-awar (ficus septica burm.f), larutan merkuri 10 ppm, kertas saring whatman no 42. prosedur kerja pembuatan reaktor reaktor terbuat dari bahan kaca yang berbentuk persegi dengan ketebalan 5 mm dengan ukuran 20 x 20 x 20 cm. dalam penelitian ini digunakant 4 buah reaktor, ketiga buah reaktor untuk proses fitoremediasi dilengkapi dengan tabung untuk menampung larutan merkuri untuk dialirkan pada media tanam, sementara reaktor keempat sebagai reaktor kontrol tidak diberi tabung yang berisi larutan merkuri. ilustrasi reaktor sebagai media tanam sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1. hasil dan pembahasan pembuatan larutan merkuri larutan merkuri 10 ppm dibuat dengan memipet 1 ml larutan merkuri 1000 ppm ke dalam labu takar 100 ml, kemudian diencerkan dengan aquades sampai pada tanda batas. larutan merkuri yang telah diencerkan kemudian dialirkan pada tanah untuk proses remediasi proses fitoremediasi. proses fitoremediasi pengoperasian reaktor dilakukan dengan tahapan sebagi berikut: sampel tanaman awarawar yang telah berusia 2 bulan dimasukkan ke dalam keempat reaktor yaitu tiga reaktor uji di dalam rumah kaca dan satu reaktor kontrol di luar rumah kaca. pada minggu pertama dilakukan pengambilan sampel tanah, akar dan batang pada reaktor satu untuk pengukuran kadar merkuri menggunakan cv-aas, minggu kedua proses yang sama dilakukan pada reaktor dua dan minggu ketiga juga dilakukan proses serupa untuk reaktor tiga. selama proses fitoremediasi berlangsung dilakukan pengamatan terhadap bentuk fisik tanaman awar-awar (ficus septica burm. f) yang berada di dalam ketiga reaktor. proses preparasi dan destruksi sampel setelah proses fitoremediasi dilakukan, kemudian diambil bagian tanah, akar, dan daun untuk dilakukan proses analisis selanjutnya. pada tahap pertama, sampel tanah, dipanaskan di dalam oven pada suhu 40 °c, kemudian digerus hingga halus dan dimasukan ke dalam kertas label. sedangkan untuk sampel tanaman, diambil akar dan daun. setelah itu dibersihkan dengan akuades dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 40°c, sampel dipotong hingga berukuran kecil dan dihaluskan menggunakan mortal dan alu dan selanjutnya dimasukan dalam wadah dan diberi label. gambar 2. tanaman awar-awar (reaktor 1) (a) pada awal penanaman dan (b)pada saat akan dipanen sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 2-gram dan dimasukan dalam labu alas bulat 250 ml. setelah itu ditambahkan berturutturut 30 ml larutan hno3 pekat 65 % dan 10 ml larutan h2so4 pekat 95 % sedikit demi sedikit. larutan yang sudah tercampur dipanaskan pada suhu 100 °c selama satu jam dan ditambahkan 5 ml h2o2 30% sedikit demi sedikit sampai larutannya bening. fungsi h2o2 adalah sebagai agen pengoksidasi. kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas saring whatman. setelah itu, dilakukan pengukuran kadar logam hg pada panjang gelombang 253,7 nm dengan menggunakan cv-aas. sememntara untuk sampel tanah yaitu menimbang tanah yang telah digerus sebanyak 2-gram dan ditambahkan hno3: hcl pekat (3:1) sebanyak 10 ml sambil a b abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 162 diaduk. setelah itu larutan dipanaskan pada suhu 100 °c selama satu jam dan ditambahkan 5 ml h2o2 30% sedikit demi sedikit sampai larutannya bening. setelah itu, didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring whatman. pengukuran kadar logam hg pada panjang gelombang 253,7 nm dilakukan menggunakan cv-aas. gambar 3. tanaman awar-awar (reaktor 2) (a) pada awal penanaman dan (b) pada saat akan dipanen pembuatan larutan standar hg larutan induk merkuri 1000 ppm, dibuat dengan cara menimbang 1,3539 g hgcl2 anhidrat, dilarutkan dalam hcl 1 m dan diencerkan hingga tanda batas. selanjutnya diencerkan hingga 100 ppm. larutan standar dibuat dari larutan induk merkuri 100 mg/l dengan cara larutan induk hg 100 ppm dipipet sebanyak 1 ml. kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan aquadest hingga tanda batas. larutan ini mengandung larutan merkuri 1000 ppb. kemudian dari larutan induk ini, dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. larutan ditepatkan dengan akuades hingga tanda batas. larutan ini mengandung larutan merkuri 100 ppb. pengenceran secara seri menjadi larutan standar merkuri dengan konsentrasi (ppb): 0,5; 1,00; 2,50; 7,50; 10,00; 15,00 dan 20,00 dengan cara memipet masingmasing (ml) 0,05; 0,10; 0,25; 0,75; 1,00; 1,50 dan 2,00 dari larutan merkuri 100 ppb. kemudian dimasukkan masing-masing ke dalam labu takar 10 ml dan ditepatkan hingga tanda batas dengan akuades. larutan ini selanjutnya dituang dalam tabung reaksi dan ditambahkan 0,1 ml kmno4 5%, dikocok, ditambahkan lagi 0,1 ml hidroksilamin hidroklorida 10%, dikocok, dan ditambahkan 0,5 ml sncl210%. masing-masing larutan ini kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 253,7 nm dengan cv-aas analisis data data yang diperoleh dari uji dengan cvaas, kemudian ditentukan konsentrasinya berdasarkan persamaan garis regresi linier dari kurva standar. data pembuatan kurva standar memiliki hubungan antara konsentrasi (c) dan absorbansi (a) maka nilai yang dapat diketahui adalah nilai slope (kemiringan) dan intersep, kemudian nilai konsentrasi sampel dapat diketahui dengan memasukan kedalam persamaan regresi linear dengan menggunakan hukum lambert beer, yaitu: y = ax + b …………………………… (1) dimana, y = absorbansi sampel, a = slope (kemiringan), x = konsentrasi sampel, b = intersep. data hasil analisis menggunakan cv-aas kemudian hasil tersebut dianalisis datanya menggunakan analisis bcf (bioaccumulation concentration factor), tf (translocation faktor), dan ftd (fitoremediatio) untuk menghitung translokasi merkuri dari tana ke tumbuhan. a. bcf (bioaccumulation concentration factor) analisis bcf dilakukan untuk mengetahui tingkat akumulasi logam berat hg dari tanah ke tanaman awar-awar (ficus septica bum. f). rumus perhitungan bcf oleh yoon et al (2006) dan la nafie dkk (2019) yaitu: 𝐵𝐶𝐹 = 𝐶𝐻𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑗𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚𝑎𝑛 (𝑚𝑔/𝑘𝑔) 𝐶𝐻𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ/𝑠𝑒𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛 (𝑚𝑔/𝑘𝑔) .. (3) dengan katagori tanaman dibagi menjadi 3, yaitu: 1. akumulator: apabila nilai bcf >1 2. excluder: apabila nilai bcf <1 3. indikator: apabila nilai bcf mendekati 1 b. tf (translocation factor) analisis tf (translocation faktor) digunakan untuk menghitung proses translokasi a b abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 163 logam berat merkuri (hg) dari akar ke daun. perhitungan tf (translocation faktor) yang digunakan oleh baker (1981): 𝑇𝐹 = 𝐶𝐻𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑢𝑛 (𝑚𝑔/𝑘𝑔) 𝐶𝐻𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑎𝑘𝑎𝑟 (𝑚𝑔/𝑘𝑔) ………………..… (4) nilai tf menurut baker (1981) memiliki kategori yaitu: tf >1: mekanisme fitoekstraksi tf <1: mekanisme fitostabilisasi hasil dan pembahasan proses fitoremediasi merkuri menggunakan tanaman awar-awar (ficus septica burm f) dalam proses fitoremediasi larutan merkuri 10 ppm dialirkan pada tiga reaktor uji di dalam rumah kaca, kecuali reaktor kontrol dibiarkan di luar rumah kaca agar tanaman pada reaktor kontrol tidak terkontaminasi merkuri. tanaman pada reaktor uji diletakan didalam rumah kaca agar meminimalisir kemungkinan kesalahan yang mungkin terjadi seperti adanya penambahan volume air pada reaktor saat kondisi hujan atau adanya penambahan material yang tidak diinginkan ke dalam reaktor yang berasal dari lingkungan sekitarnya. pengambilan akar, tanah dan daun pada setiap reaktor dilakukan setelah tanaman terpapar merkuri selama satu minggu untuk reaktor satu, sementara reaktor dua dibiarkan selama dua minggu, karena setelah tujuh hari tanaman sudah dapat menyerap merkuri pada media tanam. hal ini, sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh triastuti (2010) dengan penyerapan pada hari ke tujuh oleh tn akar tanaman awar-awar mencapai 0,933 ppm pada media tanam yang tercemar merkuri 10 ppm. dalam proses fitoremediasi ada beberapa ciri fisik yang diperhatikan di antaranya adalah tinggi tanaman dan dan warna daun saat tanaman berada dalam media tanam yang telah terkontaminasi merkuri. tanaman pada reaktor satu tidak menunjukkan gejala kerusakan daun saat dibiarkan selama satu minggu dalam reaktor yang dialiri merkuri. hal ini karena pada minggu pertama kadar merkuri yang diserap oleh tanaman masih banyak yang dialokasikan ke akar tanaman dan hanya sedikit yang ditranslokasikan ke daun tanaman awarawar sehingga daun tanaman awar-awar tidak mengalami kerusakan. sampel tanaman awarawar pada reaktor satu ditunjukkan pada gambar 2. pada reaktor dua tanaman mengalami perubahan saat dipanen, dilihat dari bentuk daun yang mengering pada reaktor ke dua. sampel tanaman awar-awar pada reaktor ke dua ditunjukkan pada ke dua, daun tanaman awarawar mengalami kerusakan karena tanaman telah terkontaminasi dengan logam hg. kandungan hg yang berlebih berpotensi menurunkan kadar klorofil pada daun. klorofil merupakan zat hijau daun yang ditemukan didalam kloroplas. namun, masuknya logam berat yang berlebihan pada tanaman dapat mempengaruhi masuknya nutrisi seperti mg pada kloroplas karena kandungan hg dapat menggantikan unsur mg sehingga menyebabkan perubahan pada volume dan jumlah kloroplas. reaksi merkuri dengan klorofil ditunjukkan pada gambar 4 menurut widowati (2011) unsur mg merupakan unsur hara makro dan merupakan penyusun molekul klorofil. oleh karena itu, serapan logam berat seperti dalam jumlah yang kecil akan menurunkan dan menggantikan mg dalam klorofil dan yang selanjutnya akan merusak struktur kloroplas sebagai bahan warna hijau pada daun dan batang. pada reaktor tiga daun tanaman awar-awar tidak mengalami kerusakan klorosis dan nekrosis walaupun kadar merkuri pada daun mengalami gambar 4. reaksi klorofil dengan hg abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 164 peningkatan. tanaman pada reaktor ke tiga ditunjukkan pada gambar 5. gambar 5. tanaman awar-awar (reaktor 3) (a) pada awal penanaman dan awar-awar (reaktor 3) pada (b) minggu kedua proses fitoremediasi tanaman pada reaktor ke tiga tidak mengalami kerusakkan karena tumbuhan sudah melakukan mekanisme toleransi terhadap logam berat yang di serap. menurut junaid (2012) tanaman melakukan mekanisme toleransi dengan mensintesis kembali polipeptida pengikat logam yaitu fitokelatin dan terbentuk bersama glutathione sintetase. senyawa dimetil merkuri yang terikat dengan fitokelatin, yakni peptida yang memiliki banyak asam amino sistein yang mengandung belerang sangat penting untuk dapat mengikat senyawa metil merkuri yang masuk pada jaringan tumbuhan. pada reaktor ke tiga proses penyerapan merkuri pada daun meningkat lebih tinggi hal ini dikarenakan waktu kontak yang lama dengan tanah tercemar sehingga daun tanaman awar-awar juga dapat menyerap logam melalui proses adsorpsi oleh stomata pada daun berupa interaksi tarik menarik (kohesi) antara logam dengan jaringan daun bagian luar. seperti yang dinyatakan dalam penelitian dewi dkk. (2013) bahwa proses absorbsi dapat terjadi pada beberapa organ di antaranya akar, daun, dan stomata. tumbuhan mempunyai kemampuan menyerap ion-ion dari lingkungan ke dalam tubuh melalui membran sel. dengan sifat tersebut maka tumbuhan dapat mengakumulasi logam berat sampai pada konsentrasi tertentu atau bahkan dapat mencapai tingkat yang lebih besar dari konsentrasi ion logam pada mediumnya. selain mempengaruhi bentuk fisik daun, merkuri juga dapat mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman awar-awar namun pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan. hal ini ditandai dengan berkurangnya laju pertumbuhan tanaman pada ketiga reaktor yang dialiri merkuri sedangkan pada reaktor kontrol terjadi pertumbuhan tanaman awar-awar yang lebih cepat seperti yang ditunjukkan pada tabel .1 tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran tinggi tanaman awar-awar sebelum dipanen. pada minggu ke nol semua tanaman belum dialiri larutan merkuri, sedangkan pada minggu ke satu, dua dan tiga tanaman sudah dialiri merkuri. tanaman pada reaktor satu dipanen setelah dibiarkan selama satu minggu pada tanah tercemar merkuri, sedangkan tanaman pada reaktor dua dipanen setelah dibiarkan selama dua minggu pada tanah tercemar merkuri dan tanaman pada reaktor tiga dipanen setelah dibiarkan selama tiga minggu pada tanah tercemar merkuri. tanaman pada reaktor kontrol mengalami peningkatan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan tanaman pada reaktor satu, reaktor dua, dan reaktor tiga. hal ini disebabkan karena tanaman pada reaktor satu, reaktor dua dan reaktor tiga telah menyerap merkuri sehingga a b tabel 1. perubahan tinggi tanaman awar-awar dalam reaktor minggu tinggi tanaman dalam reaktor (cm) kontrol r1 r2 r3 0 37 35 22 28 1 39,5 35,5 24,5 31 2 42 26 33 3 45,5 34 keterangan: r = reaktor, kontrol, r2-r3 = dialiri merkuri abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 165 menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan oleh raharjo dkk. (2012) yang menyatakan bahwa sawi huma yang menyimpan hg pada akarnya berdampak pada pertumbuhannya yaitu terjadi kekerdilan pada tanaman. hal ini terjadi karena akar sudah tidak mampu lagi menahan senyawa logam berat yang berada di akar sehingga membuat akar tumbuhan tidak normal. pembuatan kurva kalibrasi dan persamaan regresi kurva kalibrasi diperoleh dari hasil serapan larutan standar terhadap konsentrasi yang sudah ditentukan sehingga dari kurva ini diperoleh suatu persamaan regresi. pembuatan kurva kalibrasi diawali dengan membuat larutan standar merkuri (hg) untuk mengukur tingkat ketelitian data. larutan standar, diencerkan dari larutan induk merkuri dengan teliti dan hati-hati, agar kesalahan dalam pengenceran relatif kecil. pengujian larutan standar menggunakan larutan kalium permanganat untuk mengoksidasi senyawa merkuri klorida, sehingga menjadi ion merkuri. reaksi kalium permanganat dengan merkuri klorida adalah sebagai berikut: 2kmno4(aq) + hgcl2(aq) 2mno4 ˉ (aq)+ hg2⁺(aq)+ 2kcl(aq) untuk analisis kelebihan permanganat dihancurkan dengan hidroksilamin hidroklorida. selain itu, penggunaan hidroksilamin hidroklorida untuk menghilangkan warna pada kmno4. larutan standar yang digunakan juga ditambahkan dengan larutan sncl2 yang digunakan sebagai pereduksi untuk mengurangi ion merkuri pada raksa. hg2⁺(aq) + sncl2(aq) hg(g) + sn 4⁺(aq) + 2clˉ(aq) setelah proses analisis maka akan ditampilkan hasil absorbansi standar yang terbaca, seperti ditunjukan pada gambar 6. dari absorbansi yang diperoleh selanjutnya dibuat kurva kalibrasi yang menyatakan hubungan antara absorbansi (a) dengan konsentrasi (c) dari zat standar yang telah diketahui konsentrasinya. kurva kalibrasi larutan merkuri ditunjukkan pada gambar 6. dari gambar kurva kalibrasi gambar 6 diperoleh persamaan regresi y = 0,9887x + 0,2579 dengan koefisien korelasi adalah 0,9996. kurva ini menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi dari variasi konsentrasi terhadap serapan mempunyai hubungan. semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi pula absorbansi. akumulasi merkuri (hg) pada tanaman awar-awar (ficus septica burm f) setiap tanaman memiliki perbedaan sensivitas terhadap logam berat dan memperlihatkan kemampuan yang berbeda dalam mengakumulasi logam berat. tanaman awar-awar memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat merkuri. hal ini ditunjukkan dengan menurunnya kadar merkuri pada tanah tercemar setelah ditanami dengan tanaman awar-awar. data kandungan merkuri pada tanah, akar dan daun ditunjukkan pada tabel 2. pada reaktor kontrol tidak dialiri merkuri namun akar, daun dan tanah sudah terdapat merkuri. merkuri yang terkandung pada tanaman dan tana masih di bawah ambang batas yang ditetapkan yaitu sebesar 0,5 ppm. 0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 a b so r b a n si konsentrasi gambar 6. kurva kalibrasi larutan merkuri (hg) abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 166 tabel 2. kandungan merkuri pada tanah, akar dan daun kandungan merkuri (ppm) kontrol reaktor 1 reaktor 2 reaktor 3 tanah 0,07 2,75 6,48 5,50 akar 0,0003 7,86 1,62 4,33 daun 0,0003 0,31 1,84 4,21 menurut irsyad dkk. (2014) pada umumnya kandungan merkuri berasal dari tanah yang merupakan hasil dari pelapukan batuan. laju penyerapan merkuri oleh tanaman awar-awar ditunjukkan pada gambar 7. gambar 7. laju penyerapan hg oleh tanaman awar-awar (ficus septica burm f) pada reaktor satu kadar merkuri tertinggi terdapat pada akar tanaman awar-awar yaitu sebesar 7,86 ppm. hal ini disebabkan karena minggu kedua merupakan proses awal pemberian larutan merkuri pada reaktor uji dan akar yang pertama mengalami kontak langsung dengan media tanam yang telah dialiri merkuri. penyerapan unsur hara dan logam berat dari dalam tanah kemudian disebarkan pada bagian tumbuhan sehingga terjadi penurunan kadar merkuri pada tanah dan meningkatnya kadar merkuri pada akar dan daun. menurut hardiani (2009) besarnya akumulasi logam pada akar merupakan salah satu mekanisme detoksifikasi yang dilakukan tanaman untuk menghindari keracunan dan kerusakan oleh logam pada sel tanaman. menurut meager (2000) logam berat yang diserap oleh tumbuhan awar-awar adalah dalam bentuk ion-ion yang larut dalam air. saat menyerap logam berat akar tanaman awar-awar akan membuat protein regulator di dalam akar sebagai suatu senyawa pengikat (kelat) yang disebut dengan fitokelatin. menurut purwani dan arisusanti (2013) fitokelatin adalah peptida yang mengandung 2-8 asam amino sistein dipusat molekul serta suatu asam glutamat dan glisin pada ujung yang berlawanan. fitokelatin berfungsi membentuk senyawa kompleks dengan logam berat dalam tubuh tumbuhan dan berfungsi sebagai detoksifikasi terhadap tumbuhan dari logam berat, jika tumbuhan tidak mensintesis fitokelatin maka akan berujung pada kematian. fitokelatin dibentuk di dalam nukleus yang kemudian melewati retikulum endoplasma, aparatus golgi, vasikula sekretori untuk sampai pada permukaan sel. saat fitokelatin berikatan dengan hg maka fitokelatin akan membentuk ikatan sulfida di ujung belerang pada sistein dan membentuk senyawa kompleks sehingga hg akan terbawa atau ditranslokasikan kedalam jaringan tumbuhan melalui jaringan pengangkut yaitu xilem dan floem. proses translokasi logam ke seluruh bagian tanaman menyebabkan konsentrasi pada akar menjadi menurun dan poses penyerapan menjadi meningkat pada daun seperti yang terdapat pada reaktor dua, kandungan hg pada daun mulai meningkat karena hg yang diikat oleh molekul kelat (molekul pengikat) telah di bawa ke tajuk dan keseluruh bagian tanaman. menurut purwani dan arisusanti (2013) logam dapat masuk kedalam sel dan berikatan dengan enzim yang bertindak sebagai katalisator, sehingga reaksi kimia dalam sel akan terganggu akibat interaksi merkuri dengan gugus sulfihidril (-sh) yang merupakan sisi aktif enzim. gangguan dapat terjadi pada jaringan epidermis sponsa dan pelipase yang ditandai dengan nekrosis dan klorosis pada tanaman di minggu kedua. nilai bioconsentration factor (bcf) dan translocation factor (tf) kemampuan suatu jenis tanaman dalam mengakumulasi logam dari dalam tanah dapat dihitung dari nilai bcf dan tf. bcf merupakan cara untuk mengetahui akumulasi logam berat hg dalam tanaman awar-awar. nilai bcf yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar peritungan bcf yang dikemukakan oleh yoon at all (2006) dimana nilai bcf yang lebih dari satu merupakan tanaman akumulator, sedangkan nilai bcf tanaman yang mendekati satu merupakan tanaman indikator dan nilai bcf tanaman yang kurang dari satu merupakan excluder. hasil perhitungan bcf tanaman awar-awar dapat dilihat pada tabel 3. nilai bcf tertinggi terjadi pada reaktor satu yaitu sebesar 2,97, sedangkan nilai bcf terendah terdapat pada reaktor dua yaitu sebesar 0,53. nilai bcf pada reaktor kedua mengalami penurunan abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 167 karena pada reaktor kedua tanaman mengalami kerusakan seperti yang ditunjukan pada gambar 4.1 sehingga tanaman tidak dapat menyerap merkuri dengan baik. namun pada reaktor tiga nilai bcf kembali naik yaitu 1,55. nilai bcf yang lebih dari satu menunjukan bahwa tanaman awar-awar merupakan tanaman akumulator merkuri yang dapat digunakan untuk meremediasi limbah merkuri namun tanaman awar-awar merupakan tanaman yang memiliki akumulasi yang lebih tinggi pada bagian akar tanaman. penelitian yang dilakukan oleh dewi, dkk (2013) pada tanaman akumulator seperti r. mucronata juga menunjukan akumulasi pb yang lebih tinggi pada akar dibandingkan dengan akumulasi pb pada daun, sehingga tanaman awar-awar dapat digolongkan sebagai tanaman akumulator merkuri. selain itu, tanaman awar-awar menunjukan nilai bcf yang lebih dari satu pada reaktor satu dan tiga yang menunjukan bahwa tanaman ini dapat diajukan untuk agen fitoremediasi merkuri. tabel 3. nilai bioconsentrasi factor (bcf) tanaman awar-awar waktu cdaun + akar (ppm) ctanah (ppm) nilai bcf reaktor i 8,17 2,75 2,97 reaktor ii 3,46 6,84 0,53 reaktor iii 8,54 5,50 1,55 nilai translocation factor (tf) digunakan untuk melihat translokasi logam dari akar ke pucuk tanaman, yang dihitung dengan membagi konsentrasi logam dibagian pucuk dengan bagian akar. nilai tf yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar nilai tf yang dikemukakan oleh baker (1981) bahwa tanaman yang memiliki nilai tf lebih dari satu merupakan tanaman yang memiliki mekanisme fitoekstraksi sedangkan tanaman yang memiliki nilai tf kurang dari satu merupakan tanaman fitostabilisasi. nilai tf tanaman awar-awar ditunjukan pada tabel 4. nilai tf pada reaktor satu merupakan nilai tf yang paling rendah karena pada reaktor satu tanaman awar-awar masih mengakumulasikan merkuri yang diserap ke bagian akar tanaman, ditunjukan dengan besarnya nilai bcf pada reaktor satu. pada reaktor dua nilai tf meningkat hingga 1,13 namun pada reaktor dua nilai bcf mengalami penurunan seperti penelitian yang dilakukan oleh yoon, et al (2006) menyatakan bahwa umumnya nilai bcf berbanding terbalik dengan nilai tf. nilai bcf akan lebih besar dari satu sedangkan nilai tf lebih kecil dari satu yang menunjukan bahwa tanaman mampu untuk mengakumulasikan logam berat merkuri namun kemampuan untuk mentranslokasikan logam berat ke seluruh bagian tanaman masih rendah. tabel 4. nilai translocation factor (tf) tanaman awar-awar waktu cdaun (ppm) cakar (ppm) nilai tf reaktor i 0,31 7,86 0,04 reaktor ii 1,84 1,62 1,13 reaktor iii 4,21 4,33 0,97 nilai tf yang paling baik pada tanaman awar-awar adalah pada reaktor ke dua, di mana pada reaktor dua tanaman awar-awar dapat dikategorikan sebagai tanaman fitoekstraksi. karena fitoekstraksi sendiri merupakan proses penyerapan polutan oleh tanaman dari tanah kemudian diakumulasi ke bagian tanaman. selain itu pada reaktor tiga nilai tf menjadi menurun karena pada akar mempunyai sistem penghentian transport logam menuju daun terutama logam berat sehingga ada penumpukan pada akar. menurut susana dan suswati (2013) nilai tf yang mengalami penurunan pada minggu ke empat menunjukkan bahwa tanaman awar-awar mempunyai kemampuan menahan hg pada akar lebih besar dibandingkan dengan proses akumulasi pada tajuk, karena akar tanaman tersebut dapat mengenali hg sebagai unsur toksik sehingga terjadi mekanisme inaktifasi seperti sekuestrasi unsur tersebut di vakuola atau pada dinding sel. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa setelah proses fitoremediasi tanaman awar-awar (ficus septica burm. f) dapat mereduksi kandungan logam berat merkuri. hal ini ditunjukkan dengan besarnya penyerapan merkuri pada reaktor satu sebesar 81,7%, tanaman pada reaktor dua sebesar 34,6% dan tanaman pada reaktor tiga sebesar 85,4%. dengan demikian tanaman ini sangat cocok digunakan sebagai fitoremediator untuk mereduksi kandungan logam berat merkuri (hg) pada lahan yang telah tercemar. abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 168 daftar pustaka akbar s., 2017, fitoremediasi tanaman paku pakis (pteris vitata) dengan penambaan karbon aktif eceng gondok (eichornia crassipes) terhadap limbah merkuri (hg), skripsi, universitas islam negeri alauddin. makassar. baker a.j., 1981, accumulators and excludersstrategies in the response of plants to heavy metals. j. plant nutrition, 3(1), 643– 654. bernhoft a.r., 2012, mercury toxicity and treatment: a review of the literature, j. environ. public health, 2012, 1-10 cordi. p, veiga m.m, salih i, al-saadi s, console s, garcia o, mesa l.a, velasquez-lopez p.c, roeser m., 2011, mercury contamination from artisanal gold mining in antioquia, columbia: the worlds highest per capita mercury pollution, science of the total environment 410-411, 154-160. dewi a.r, ria a., bambang y., 2013, studi akumulasi logam timbal pb dan efeknya terhadap kandungan klorofil daun mangruv (rhizophora macronata), j. marine research, 3(1), 44-53. febrian m. salatutin, chudeya y. batawi, camellia y. lessil, yusthinus t. male., 2015, analisis sebaran merkuri (hg) pada area irigasi sungai waeapo, kab. buru, provinsi maluku akibat penambangan emas tanpa ijin di areal gunung botak, indo. j. chem. res., 3, 270-276. hardiani, h., 2009, potensi tanaman dalam mengakumulasi logam cu pada media tanah terkontaminasi limbah padat industri kertas, j. selulosa, 44(1), 27-40. irsyad m, sikanna r, musafira., 2014, translokasi merkuri (hg) pada daun tanaman duri (amaranthus spinosus l) dari tanah tercemar. j. natural science, 3(1), 27-40. jarup lars., 2003, hazards of heavy metal contamination, br. med bull., 68,167-82. junaid u. kandowangko n. y., hamidun m.s., 2012, kandungan merkuri pada tumbuhan yang berada di kawasan penambangan emas desa hulawa kecamatan sumalata kabupaten gorontalo utara, skripsi, fmipa, universitas negeri gorontalo. mazyck d.w, hagan h.m, byrne h., 2009, aqueos phase mercury removal: strategis for a secure water supply, national institute for standards and instrumentation, technology innovation program, report, u.s department of comerce meager r.b., 2000, phytoremediation of toxic elemental and organic pollutants, current opinion in plant biology, 3, 153-162 nafie la n., syarifuddin liong, rizda arifin., 2019, fito akumulasi logam ni dan zn dalam tumbuhan nipah (nypa fruticans) di sungai tallo makassar, indo. j. chem. res., 7(1), 92-100 purwani, ari s., 2013, pengaruh mikoriza glomus fasciculatum terhadap akumulasi logamtimbal pb pada tanaman dahlia pinata, sains dan seni pomits, 2(2), 23373520 raharjo d, mustamir e, suryadi u.e., 2012, uji efektivitas beberapa jenis arang aktif dan tanaman akumulator logam pada lahan bekas penambangan emas, j. perkebunan dan lahan tropika. 2(2),15-22. rumatoras h., taipabu, i. m., lewi lesiela, yusthinus t. male., 2016, analisis kadar merkuri (hg) pada rambut penduduk desa kayeli, akibat penambangan emas tanpa ijin di areal gunung botak, kab. buruprovinsi maluku, ind. j. chem. res., 3, 290294. sudirga, s. k., 2015, pemnfaatan ekstrak daun awar-awar (ficus septica burm.f.) sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan jamur colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar, disertasi, universitas udayana bali. surriya o., saleem s.s., waqar k., kazi ag., 2015, phytoremediation of soils: prospect and challenges, academic press, 1-36. susana r., suswati d., 2013, bioakumulasi dan distribusi cd pada akar dan pucuk 3 jenis tanaman famili brassicaceae: implementasinya untuk fitoremediasi, j. manusia dan lingkungan, 20(2), 221-228. triastuti., 2010, fitoremediasi tanah tercemar merkuri (hg2+) menggunakan tanaman akar wangi (vetiver zizanioides) pada lahan eks-tpa keputih, teknik lingkungan, its. u.s epa., 2007, treatment technologies for mercury in soil, waste and water, epa, usa. wahyuni s., susanti r., iswari r.s., 2015, isolation and characterization of ficin enzyme from ficus septica burm f stem lateks, j. biotechnology, 20(2), 161-166. abraham mariwy dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 159-169 1 169 widodo, aminudin., 2011, upaya perolehan emas dengan metode amalgamasi tidak langsung. studi kasus pertambangan rakyat desa waluran kecamatan waluran kabupaten sukabumi, buletin geologi tata lingkungan, 21(2), 83-96. widowati h., 2011, pengaruh logam berat cd, pb terhadap perubahan warna batang dan daun sayuran, ei hayah, 1(4), 167-173. yoon j.c., xinde z., qixing, ma l q., 2006, accumulation of pb, cu, and zn in native plants growing on a contaminated florida site, science of the total environment, 368(1-3), 456-464. indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 3337 1 33 synthesis of derivate acetophenone from fenol and eugenol sintesis senyawa turunan asetofeon dari fenol dan eugenol i.b.d. kapelle1, s. matsjeh 2 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences gadjah mada university,yogyakarta received: juni 2013 published: july 2013 abstract the synthesis derivate acetophenone from fenol and eugenol had been carried out. the acylation of fenol was performed by anhydride acetate and the fries rearrangement reaction was carried out using alcl3 catalyst at temperature of 50oc produce ortho-hydroxyacetophenone (35,29 %), purity was tested by gc, structure elucidation of these product ware analized by ftir and 1h-nmr. acylation reaction of eugenol was performed by anhydride acetate in base condition at temperature of 120oc for 3 h produce 5-allyl-2-hydroxy-3-metoksi acetophenone (21,42%), purity was tested by gc, structure elucidation of these product ware analized by ftir, 1h-nmr and ms. keywords : the synthesis, acylation, acetophenone, eugenol, fries rearrangement. pendahuluan senyawa asetofenon merupakan senyawa dasar dalam sintesis senyawa flavonoid, dimana senyawa flavonoid sering digunakan sebagai obat. khasiat dari senyawa falvonoid berbedabeda bergantung pada jenis dan subtituen yang ada pada senyawa flavonoid tersebut. sintesis senyawa flavonoid turunan khalkon berdasarkan atas reaksi claisen-schmidt dengan menggunakan bahan dasar asetofenon dengan benzaldehid. reaksi cleaisen-schmidt adalah reaksi kondensasi antara aldehid aromatic dengan alkil keton atau aril keton menggunakan katalis basa dan menghasilkan senyawa α,βketon tak jenuh (carey dan sundberg, 1990). fenol dan eugenol dapat dikonfersi menjadi senyawa turunan asetofenon. perez dan perez (2000) mengemukakan bahwa fenol merupakan tipe sanyawa asam yang mempunyai gugus oh yang berada pada karbon hibridisasi sp2, anion fenolat dapat mengalami resonansi menghasilkan posisi orto dan para. carey (2000) mengemukakan bahwa fenol jika direaksikan dengan asil klorida atau asam karboksilat anhidrit (rcoccor) dengan adanya alumunium klorida akan menghasilkan parahidroksiasetofenon 74% dan ortohirdroksiasetofenon 16%. jika fenil ester direaksikan dengan suatu asam (alcl3) maka akan terjadi reaksi penataan ulang menghasilkan orto-asil fenol dan para-asil fenol (parham, 1970) oh h3c c o ch3 o h3c c o ch3 h3c oh c o ch3 25 oc h+ 165 oc h+ 80 % 95 % meislich et al.(1999) mengemukakan bahwa produk orto-hirdroksiasetofenon lebih bersifat volatil bila dibandingkan dengan parahidroksiasetofenon, hal ini disebabkan karena adanya ikatan hidrogen intra molekul dalam molekul orto-hidroksiasetofenon sedangkan para-hidroksiasetofenon antar molekul. berdasarkan perbedaan tutuk didih ortohidroksiasetifenon dan para-hidroksiasetofenon, maka senyawa tersebut dapat dipisahkan menggunakan destilasi fraksinasi pengurangan tekanan. pemisahan kedunya disamping menggunakan destilasi fraksinasi dengan pengurangan tekanan dapat juga menggunakan metode destilasi uap. hal ini karena parahidroksiasetofenon merupakan senyawa yang tidak volatil terhadap uap air, sedangkan ortoi.b.d., kapelle, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 33 37 1 34 hidroksiasetofenon adalah senyawa yang relatif volatil terhadap uap air (meislich et al, 1999). march dan smith (2001) mengemukakan bahwa produk orto dan para dipengaruhi oleh temperatur, pelarut dan katalis. jika pada temperatur rendah akan menghasikan produk para-hidroksiasetofenon sedangkan pada temperatur tinggi akan menghasikan produk orto-hidroksiasetofenon yang dominan metodologi a. alat dan bahan bahan yang digunakan pada program tahun kedua antara lain; alcl3 anhirdous p.a (e.merck), asetat anhidrid p.a (e.merck), diklorometan p.a (e. merck), natrium hidroksida p.a (e. merck), natrium sulfat anhidrous p.a (e. merck), hidrogen klorida p.a (e.merck), fenol, eugenol, akuades. alat penelitian yang digunakan yaitu: seperangkat alat destilasi, seperangkat alat refluks, seperangkat alat gelas, corong pisah, corong penetes, corong buchner, pengaduk magnet, termometer, hot plate cimarec 2, evaporator buchi, kromatografi gas, gc-2010 shimadzu, spektrofotometer inframerah (ftir), ir prestige-21 shimadzu, spektrofotometer resonansi magnetik inti (1h-nmr) merk jeoljnm eca 500, kromatografi gas spektrofotometer massa (gc-ms), qp-2010 plus shimadzu. prosedur kerja sintesis orto-hirdoksi asetofenon ke dalam labu leher 3 ukuran 250 ml yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, thermometer, pendingin bola, serta silica gel biru, dimasukan 12 g (0,3 mol) naoh dalam 50 ml akuades kemudian ditambahkan 18,8 g (0,2 mol) fenol. campuran diaduk dengan pengaduk magnet selama 30 menit. melalui corong penetes dimasukkan 20 g (0,2 mol) asetat anhidrid. campuran direfluks selama 3 jam dan dibiarkan dingin. terbentuk 2 lapisan dan diekstrak dengan dietil eter. ambil lapisan atas dan dicuci hingga ph netral, dikeringkan dengan natrium sulfat anhidrat dan pelarut diuapkan dengan evaporator. residu kemudian dimasukkan dalam labu leher tiga 250 ml yang telah dilengkapi dengan pendingin refluks, sistem penangkap gas dan termometer, dimasukan 26 g (0,27 mol) alcl3 anhidrous dan 50 ml diklorometan, reaksi yang terjadi direfluks (sampai gas hcl yang terjadi hilang). selanjutnya suhu pemanasan dinaikan secara perlahan sampai 50 0c dan dijaga selama 3 jam. campuran reaksi didinginkan pada suhu kamar, selanjutnya ditambahkan 100 g es yang telah ditumbuk dan 15 ml hcl pekat bertetestetes sambil diaduk, kemudian campuran dipanaskan diatas penangas air selama 15 menit sampai seluruh padatan dapat larut dan campuran didinginkan dengan air es. campuran reaksi yang diperoleh diekstrasi 3 kali masing-masing 25 ml naoh 2 m. selanjutnya lapisan atas (lapisan yang larut dalam naoh) dipisahkan dan diasamkan dengan hcl pekat hingga terbentuk dua lapisan. lapisan bawah dikeringkan dengan na2so4 anhidrous dan didistilasi fraksinasi dengan pengurangan tekanan. destilat ditampung dan dianalisis dengan gc, ir dan 1hnmr. sintesis 5-alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon ke dalam labu leher 3 ukuran 250 ml yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, thermometer dan penangas es, dimasukan 12 g (0,3 mol) naoh dalam 50 ml akuades kemudian ditambahkan 24,6 g (0,15 mol) eugenol. campuran diaduk dengan pengaduk magnet selama 30 menit. melalui corong penetes dimasukkan 20 g (0,2 mol) asetat anhidrid. campuran direfluks pada suhu 120 0c selama 3 jam dan dibiarkan dingin. terbentuk 2 lapisan dan diekstrak dengan dietil eter. ambil lapisan atas dan dicuci hingga ph netral, dikeringkan dengan natrium sulfat anhidrat dan pelarut diuapkan dengan evaporator. residu kemudian didistilasi fraksinasi dengan pengurangan tekanan. hasil ditampung dalam tiga fraksi, destilat fraksi yang ketiga dianalisis dengan menggunakan gc-ms. ftir dan 1hnmr. hasil dan pembahasan sintesis orto-hirdoksi asetofenon sintesis orto-hidroksiasetofenon dilakukan dengan mereaksikan fenol dengan asetat anhidrid dan kemudian direaksikan dengan katalis alcl3, reaksi dilakukan dalam sistem tertutup dan bebas i.b.d., kapelle, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 33 37 1 35 air, hal ini dikarenakan alcl3 anhidrat adalah zat yang bersifat higroskopis. dalam keadaan menyerap air reaktifitas alcl3 sebagai katalis akan menurun. reaksi penataan ulang berlangsung terjadi antara katalis alcl3 dengan produk esetilasi fenol menghasilkan gas hcl. march dan smith (2001) dan parham (1970) mengemukakan bahwa jika pada temperatur rendah (250c) akan menghasilkan produk parahidroksiasetofenon sedangkan pada temperatur tinggi (1650c) akan menghasilkan produk ortohidroksiasetofenon yang dominan. reaksi penataan ulang fries sebagai berikut: o c o ch3 alcl3 oh c o ch3 + oh c o ch3 produk isomer orto-hidroksiasetofenon dan para-hidroksiasetofenon dapat dipisahkan dengan cara destilasi fraksinasi penguranga tekanan. destilat pada suhu 87-89 oc/ 7 mmhg adalah orto-hidroksiasetofenon sedangkan residu yang ditinggal adalah para-hidroksiasetofenon. orto-hidroksiasetofenon yang diperoleh sebanyak 4,8 ml (35,29 %) dengan bentuk cairan bening kekuningan. analisis dengan kromatografi gas diperoleh ortohidroksiasetofenon dengan kemurnian 75,35 %. data spektrum infra merah terlihat adanya pita lebar pada 3600-3200 cm-1 yang menunjukan adanya serapan gugus oh. serapan pada daerah dekat 1665,2 cm-1 menunjukan adanya serapan vibrasi rentangan –c=o. serapan pada daerah 1581,1 cm-1 dan 1487,2 cm-1 menunjukan adanya serapan gugus –c=caromatik. serapan gugus –c-h yang menunjukan adanya gugus metil memberikan serapan pada daerah 2927,9 cm-1 dan diperkuat dengan adanya pita tajam pada daerah 1367,4 cm-1. posisi orto ditandai dengan adanya vibrasi bengkokan =c-h keluar bidang dari cincin aromatik tersubsitusi orto, memberikan serapan pada daerah 754,1 cm1. analisis orto-hidroksiasetofenon dengan menggunakan spektrometri 1h-nmr memberikan spektra (δ : ppm) : δ = 2,3 ppm (s, ch3), δ = 6,6 – 7,9 ppm (m, ar), δ = 12,2 ppm (s, -oh). gambar 1. spektrum gc dan ftir ortohidroksiasetofenon gambar 2. spektrum 1h-nmrortohidroksiasetofenon sintesis 5-alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon sintesis 5-alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon diawali dengan mereaksikan eugenol dengan naoh. petreson et al (1993) mengemukakan bahwa, jika eugenol direaksikan dengan basa pada reaksi isomerissi maka di dalam gugus fenolik proton akan mengalami delokalisasi dengan formulasi dua anion pada kondisi intermediet. i.b.d., kapelle, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 33 37 1 36 o h3co c h h c ch2 untuk dapat meningkatkan delokalisasi muatan negative pada cincin aromatic khususnya pada posisi orto maka digunakan basa berlebih. hal ini dimaksudkan untuk basa yang berlebih dapat mengambil atom hα pada gugus alil sehingga dapat memberikan kemungkinan subsitusi elektrofil pada posisi orto dengan mengubah efek penarik yang ada pada gugus alil. o h3co c h h c ch2 h -oh h2o o h3co c h h c ch2 hasil asetilasi eugenol dapat menghasilkan dua produk yaitu reaksi subsitusi terhadap gugus oh menghasilkan eugenil asetat (lebih banyak) dan subsitusi pada posisi orto menghasilkan 5alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon. reaksi berlangsung pada suhu rendah, sehingga diharapkan produk yang dihasilkan adalah 5-alil2-hidroksi-3-metoksi asetofenon. untuk dapat memisahkan kedua hasil produk dapat dilakukan distilasi fraksinasi dengan pengurangan tekanan. titik didih eugenil asetat lebih rendah bila dibandingkan dengan titik didih 5-alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon. eugenil asetat merupakan hasil esterifikasi dari eugenol sehingga titik didih eugenil asetat akan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan keadaan awal sebelum esterifikasi yaitu eugenol. produk alkilasi yang dihasilkan didistilasi fraksinasi menghasilkan tiga fraksi, distital fraksi (f3) pada suhu 135 oc / 4 mmhg diperoleh 5alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon sebanyak 6,8 g (21,42 %) berupa cairan berwarna bening. analisis dengan menggunakan kromatografi gas diperoleh 5-alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon pada waktu retensi 4,602 menit dengan kemurnian 91,72 %. spektrum infra merah 5-alil-2-hidroksi-3-metoksi asetofenon menunjukan pita serapan pada daerah 3000-2800 cm-1 yang merupakan serapan csp3-h. hal ini diperkuat oleh munculnya serapan pada 1431,1 cm-1 dan 1369,4 cm-1 untuk gugus –ch2(metilen). serapan rentangan c=c aromatik muncul pada daerah 1639,4 cm-1 can 1604,7 cm-1 dan didukung oleh serapan pada daerah 3078,2 cm-1 yang merupakan pita serapan untuk =csp2-h (aromatik). pita serapan pada daerah 1762,8 cm1 yang menandakan adanya serapan gugus karbonil. pita serapan lebar yang khas pada daerah 3463,9 cm-1 yang menandakan adanya serapan gugus oh. analisis 5-alil-2-hidroksi-3metoksi asetofenon dengan spektroskopi 1hnmr-60 mhz memberikan data spectrum (δ : ppm) : δ = 2,2 ppm (s, ch3-co-), δ = 3,3 ppm (d, -ch2-)¸ δ = 3,8 ppm (s, -o-ch3), δ = 5,1 ppm (d, =ch2), δ = 5,5 – 6,5 ppm (m, =ch dan oh), δ = 6,9 ppm (m, 2 h ar). analisis 5-alil-2hidroksi-3-metoksi asetofenon dengan menggunakan spektroskopi massa diperoleh spectrum (m/z) : 39, 43, 65, 77, 91, 103, 121, 131, 149, 164 [c10h12o2] + (puncak dasar) dan 206. gambar 3. spektrum gc dan ftir 5-alil-2hidroksi-3-metoksi asetofenon i.b.d., kapelle, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 33 37 1 37 gambar 4. spektrum ms 5-alil-2-hidroksi-3metoksi asetofenon gambar 5. spektrum ms 5-alil-2-hidroksi-3metoksi asetofenon kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. reaksi penataan ulang fries dipengaruhi oleh temperatur, dimana produk ortohirdoksiasetofenon pada suhu refluks 41 0c diperoleh rendamen 35,29 %. 2. turunan asetofenon 5-alil-2-hidroksi-3metoksi asetofenon dapat disintesis melalui reaksi antara eugenol dengan asetat anhidrid dalam kondisi basa berlebih menghasilkan rendamen 21,42 %. daftar pustaka carey, f.a and sunberg, r.i,. 1990. advanced organic chemistry. part b, reaction and synthesis, edisi 3. plenum press, new york and london. carey, f.a, 2000. organic chemistry. fourth edition. the mc graw-hill companies, inc. united states of america. march, j and smith, m.b, 2001. marc,s advanced organic chemistry reaction, mechanisms and structure. edisi kelima. a ailey-interscience publication john wiley & sons,inc. canada. meislic.n, nechamkin. h, sharefkin. j, and hadmenos, g.j,1999. theory and problems of organic chemistry. edisi ketiga. the mcgraw-hill companies, ins. united states of america. parham, w.e, 1970. synthesis and reaction in organic chemistry. jhon wiley & sons, inc. new york. perez. g.v and perez. a.l, 2000. organic cacids without a carboxylic acid unctional grop. journal of chemical education, 77(7), 910914. petreson.t, bryan.j and kevil.t. 1993. a kinetic study of the isomerization of eugenol. journal of chemical education, 70(4), 96-98. indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92 100 92 fitoakumulasi logam ni dan zn dalam tumbuhan nipah (nypa fruticans) di sungai tallo makassar phytoaccumulation of nickel and zinc in nipah plant (nypa fruticans) at tallo river, makassar nursiah la nafie*, syarifuddin liong, rizda arifin department of chemistry, faculty mathematic and natural science, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, e-mail: nursiahlanafie@unhas.ac.id received: feb. 2019 published: jul. 2019 abstract research on phytoaccumulation of ni and zn in nypa fruticans plants at tallo river has been investigated. the aim of this research was to recognize the capability of nypa fruticans in accumulating ni and zn. water, sediment and plant tissue samples were taken from five stations in the tallo river using the cutting tool and pvc pipe. sediment was digested with concentrated hno3 while plants tissues with hno3 6m. then analyzed using icp eos shimadzu 9000. the results showed the average concentration of ni from the plant from station 1, 2, 3, 4 and 5 were 21,759.03 ppm; 19,056.03 ppm; 36,806.25 ppm; 10,736.66 ppm; and 13,849.25 ppm, respectively. whereas the average concentration of zn were 1,319.60 ppm; 1,362.93 ppm; 2,053.46 ppm; 1,591.60 ppm; and 1,474.09 ppm; respectively. the accumulation of ni in nypa fruticans was grouped as hyperaccumulation plant because the abilty of accumulation ni was higher than 10,000 mg/kg. the bioconcentration factor (bcf) and translocation factor (tf) values showed that nypa fruticans were naturally potential to be used as phytoremediation plant towards ni, especially a phytoextraction and rhizofiltration. keywords: ni, zn, nypa fruticans, phytoaccumulation, phytoremediation, tallo river. pendahuluan laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan kawasan industri di beberapa kota besar di indonesia menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. dampak positif dari perkembangan kawasan industri adalah memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, sedangkan dampak negatifnya adalah jumlah lahan pertanian semakin berkurang dan lingkungan menjadi tercemar oleh aktivitas industri (erari, dkk., 2011). limbah yang dihasilkan oleh industri seperti limbah padat, cair, dan gas. limbah industri merupakan zat toksik yang berbahaya terutama yang mengandung logam berat. masuknya polutan logam berat ke lingkungan (tanah, air, dan udara) menjadi perhatian serius karena berpotensi memiliki sifat toksik pada organisme baik tanaman, hewan maupun manusia (darmono,1995). beberapa logam berat yang dapat dijumpai di perairan pesisir dan laut adalah nikel (ni) dan seng (zn) (khaira, 2014). beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan oleh logam berat seperti metode kimia-fisika seperti proses pemisahan ion logam berat dengan resin penukar ion atau karbon aktif, elektrolisis dengan elektrokoagulator dan elektrokinetik. namun cara ini relatif mahal dan kurang efektif. alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengurangi atau memulihkan polutan logam berat yaitu dengan tanaman tertentu yang dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat dengan kosentrasi tinggi yang dikenal dengan fitoremediasi. fitoremediasi merupakan salah satu metode remediasi dengan mengandalkan pada peranan tumbuhan untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi, dan memobilisasi bahan pencemar logam berat (muliadi, dkk., 2013). david (2016), melakukan penelitian fitoakumulasi cd dan zn dalam mangrove rhizophora mucronata di sungai tallo makassar yang menunjukkan bahwa logam berat seperti cd dan zn dapat terakumulasi dari akar ke jaringan tumbuhan rhizophora mucronata. sedangkan uddin (2015), telah melakukan nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 93 penelitian akumulasi logam berat dan partisi bakau yang dapat dikonsumsi dan tidak dapat dikonsumsi di delta kalantan, malaysia. hasilnya menunjukkan bahwa logam berat seperti cu mempunyai kadar yang tinggi pada akar dan daun nypa fruticans. pada penelitian ini akan dilakukan studi fitoakumulasi ni dan zn pada tumbuhan nypa fruticans di sungai tallo. selain menentukan fitoakumulasi ni dan zn juga ditentukan kemampuan nypa fruticans sebagai tumbuhan hiperakumulator terhadap logam tersebut, sehingga dapat memberikan informasi serta pemanfaatan nypa fruticans dalam mengatasi pencemaran logam berat di perairan. metodologi alat penelitian alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gps, pipa pvc kantong sampel, ice box, botol polietilen, alat potong, oven spn 150 sfd, tanur, neraca ohaus ap 110, hot plate, icp eos shimadzu 9000, cawan porselin, labu ukur, gelas piala, corong dan pipet volume. bahan penelitian bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah air sungai, sedimen, akar, pelepah, dan daun nypa fruticans yang diperoleh dari sekitar sungai tallo, akuabides, hno3 (merck), h2o2 (merck), standar multi-elemen 100 ppm (merck), na2co3 (merck), k2co3 (merck) dan kertas saring whatman no. 42. prosedur kerja penentuan lokasi sampling posisi stasiun ditentukan secara acak, berdasarkan situasi dan kondisi yang berada di sungai tallo, yang dapat mewakili titik-titik pencemaran yang ada. pengambilan sampel dilakukan pada lima titik (gambar 1), yaitu : 1. stasiun 1 berada dibelakang mall town square kota makassar dan terletak pada koordinat s 5 o 8’37.904” dan e 119 o 28’45.737”. 2. stasiun 2 berada dekat dengan pltu kota makassar dan terletak pada koordinat s 5 o 8’40.366” dan e 119 o 28’22.496” 3. stasiun 3 berada di pulau lakkang dan terletak pada koordinat s 5 o 7’20.723” dan e 119 o 27’39.349” 4. stasiun 4 berada di sungai pampang dan terletak pada koordinat s 5 o 8’22.902” dan e 119 o 26’42.684” 5. stasiun 5 berada dekat dengan kawasan industri makassar (kima) dan terletak pada koordinat s 5 o 6’53.650” dan e 119 o 26’59.092” pengambilan sampel sampel air sungai sampel air sungai diambil dari masingmasing stasiun dengan menggunakan water sampler sebanyak 1 l yang berada di pertengahan antara permukaan dan dasar sungai atau setengah dari kedalaman sungai. sampel air sungai dipindahkan ke dalam botol polietilen, ditambahkan hno3 pekat 5 ml, lalu disimpan dalam ice box. sampel sedimen sampel sedimen diambil dari masingmasing tempat dengan menggunakan pipa paralon lebih kurang 500 gram berat basah yang berada di permukaan. pada setiap tempat, permukaan sedimen diambil dengan ketebalan sekitar 10 cm, kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel. sampel tumbuhan nypa fruticans sampel pada bagian-bagian nypa fruticans yaitu pada akar, pelepah dan daun. akar yang diambil adalah akar pensil yang masuk ke dalam tanah dengan diameter 0,4-0,6 cm. pelepah yang diambil adalah pelepah yang paling dekat dengan akar pohon nypa fruticans sekitar 20-30 cm di atas permukaan air sungai dengan ukuran panjang 15-25 cm. daun yang diambil adalah daun tua berwarna hijau yang terletak paling dekat dengan akar pohon nypa fruticans sekitar 20-30 cm di atas permukaan air sungai dengan ukuran panjang 9,7-13,9 cm dan lebar 2,8-4,7 cm. preparasi sampel preparasi sampel air sungai sampel air sungai yang telah diambil di lapangan kemudian disimpan dalam lemari pendingin kemudian ditambahkan 1 ml hno3 pekat. nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 94 preparasi sampel sedimen sampel sedimen yang telah diambil di lapangan dikeringkan pada suhu 105 °c dengan menggunakan oven dan dihaluskan menggunakan lumpang. preparasi sampel bagian tumbuhan sampel akar, pelepah dan daun masingmasing dicuci dengan aquades terlebih dahulu kemudian dikeringkan pada suhu 105 ºc selama 2 jam dengan menggunakan oven. destruksi dan analisis sampel analisis sampel air sungai sampel air sungai dipipet sebanyak 50 ml ke dalam gelas kimia 100 ml, kemudian dibubuhi 5 ml hno3 pekat dan ditambahkan batu didih, lalu diuapkan hingga 10 ml di atas hot plate. sampel disaring ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan hingga tanda batas dengan akuabides (larutan mencapai ph 2), dihomogenkan. kemudian dianalisis dengan icp eos shimadzu 9000. destruksi dan analisis sampel sedimen analisis ni dan zn dalam sedimen menggunakan teknik destruksi kering. sampel sedimen yang telah kering didestruksi dengan cara menimbang 2,5 g na2co3 ke dalam cawan porselin lalu ditambahkan 0,5 g sedimen dan ditambahkan lagi 2,5 g nahco3 hingga menutupi sampel sedimen, kemudian dimasukkan ke dalam tanur dan dipijarkan pada suhu 800 ºc selama ± 3 jam, didinginkan hingga gambar 1. lokasi pengambilan sampel gambar 2. hasil reaksi antara fitokelatin dengan ni nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 95 suhu ruang dan ditambahkan hno3 4 m, lalu disaring ke dalam labu ukur 50 ml dan diencerkan hingga tanda batas dengan akuabides, dihomogenkan. setelah itu larutan dipipet 1 ml ke dalam labu ukur 50 ml, diencerkan hingga tanda batas dengan akuabides (larutan mencapai ph 2). dihomogenkan kemudian dianalisis dengan icp eos shimadzu 9000. destruksi dan analisis sampel bagian tumbuhan sampel akar, batang, pelepah, dan daun yang telah dikeringkan dalam oven kemudian didinginkan lalu masing-masing dihaluskan dengan lumpang. setelah itu, ditimbang dengan teliti sebanyak 0,5 gram ke dalam gelas kimia 100 ml dan ditambahkan 5 ml hno3 6 m dan 2 ml h2o2 pekat untuk menghilangkan zat klorofilnya. selanjutnya dipanaskan pada suhu 110 °c di atas hot plate hingga volume menjadi ± 1 ml, kemudian disaring ke dalam labu ukur 50 ml dan diencerkan dengan akuabides, dihomogenkan. setelah itu larutan dipipet 1 ml ke dalam labu ukur 50 ml, diencerkan hingga tanda batas dengan akuabides (larutan mencapai ph 2). dihomogenkan kemudian dianalisis dengan icp eos shimadzu 9000. penentuan kadar logam pembuatan deret standar larutan ni dan zn larutan standar multi-elemen 50 ppm dibuat menjadi deret larutan baku standar ni dan zn menggunakan akuabides ph 2. larutan standar ni dan zn masing-masing dibuat 0,01 ppm; 0,05 ppm; 0,1 ppm; 1 ppm; 3 ppm; 5 ppm dan 10 ppm. dianalisis dengan icp eos shimadzu 9000. penentuan konsentrasi logam konsentrasi logam yang didapatkan dari hasil analisa dengan menggunakan icp dihitung dengan menggunakan persamaan (1) yang digunakan pada analisis logam berat sebagai berikut: keterangan: c = konsentrasi sebenarnya (mg/kg) a = konsentrasi dari hasil analisis icp (mg/kg) v = volume sampel (l) fp = faktor pengenceran g = massa sampel (kg) mekanisme fitoakumulasi logam berat data berupa konsentrasi dari analisis sampel kemudian diolah dengan rumus penentuan nilai translocation factors (tf) dan bioconcentration factors (bcf) yang dituliskan pada persamaan (2) dan (3) sebagai berikut: tf bcf nilai bcf dan tf selanjutnya digunakan untuk menentukan mekanisme penyerapan logam oleh tumbuhan. menurut gosh dan singh (2005) dalam liong dkk (2010), jika nilai bcf > 1 dan tf < 1 mekanismenya adalah fitostabilisasi, bcf < 1 dan tf > 1 mekanismenya adalah fitoekstraksi. hasil dan pembahasan konsentrasi logam berat dalam air sungai konsentrasi ni dalam air sungai logam berat dalam air sungai dapat berasal dari aktivitas manusia, limbah industri dan dapat pula berasal dari aktivitas gunung berapi (nugraha, 2009). limbah insdustri pada umumnya dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai (yudo, 2006). hasil analisa ni dalam air sungai tallo ditunjukkan pada tabel 1. tabel 1. konsentrasi ni dalam air sungai tallo lokasi konsentrasi (mg/l) stasiun 1 3,95 stasiun 2 3,36 stasiun 3 2,97 stasiun 4 8,79 stasiun 5 8,27 nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 96 hasil analisis menunjukkan konsentrasi ni dalam air sungai pada semua stasiun yang bervariasi. pada stasiun 4 mengandung konsentrasi ni paling tinggi disebabkan karena berada pada sungai pampang dimana dekatnya dengan pemukiman masyarakat. demikian juga pada stasiun 5 dimana berada pada pembuangan limbah kawasan industri makassar sedangkan konsentrasi ni dalam air sungai tallo yang paling rendah berada di stasiun 3 sebesar 2,97 mg/l. besarnya konsentrasi ni dalam air sungai telah melewati batas toleransi logam ni dalam air sungai berdasarkan surface water regulation of eu directive regulation oleh environmental protection agency yaitu 3 mg/l. konsentrasi zn dalam air sungai tallo hasil analisis zn dalam air sungai tallo ditunjukkan pada tabel 2. hasil analisis menunjukkan konsentrasi zn dalam air sungai pada semua stasiun yang bervariasi. pada stasiun 4 mengandung konsentrasi zn paling tinggi dimana berada pada sungai pampang dimana terkontaminasi dengan aktivitas pembangunan dan dekatnya dengan pemukiman masyarakat. begitupun stasiun 5 dimana berada sekitar pembuangan limbah kawasan industri makassar. tabel 2. konsentrasi zn dalam air sungai tallo lokasi konsentrasi (mg/l) stasiun 1 6,77 stasiun 2 4,56 stasiun 3 4,31 stasiun 4 11,12 stasiun 5 10,14 besarnya konsentrasi zn dalam air sungai telah melewati batas toleransi logam zn dalam air sungai berdasarkan surface water regulation of eu directive regulation oleh environmental protection agency yaitu 3 mg/l. konsentrasi logam berat dalam sedimen konsentrasi ni dalam sedimen logam berat pada sedimen sangat bergantung pada aktivitas di sekitar aliran sungai. logam berat yang masuk ke perairan akan mengalami pengendapan yang akan terakumulasi ke dalam sedimen. konsentrasi logam berat dalam sedimen cenderung lebih tinggi dibanding konsentrasi logam berat dalam air (sari, dkk., 2016). hasil analisis ni dalam sedimen di sungai tallo ditunjukkan pada tabel 3. tabel 3. konsentrasi ni dalam sedimen lokasi konsentrasi (mg/kg berat kering) stasiun 1 10.214,85 stasiun 2 8.654,48 stasiun 3 9.433,04 stasiun 4 7.784,66 stasiun 5 8.700,59 hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi ni di semua stasiun hampir sama dengan konsentrasi terbesar terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 10.214,85 dan konsentrasi paling kecil terdapat pada stasiun 4 yaitu sebesar 7.784,66. konsentrasi ni yang besar pada stasiun 1 disebabkan karena stasiun 1 berada dibelakang mall town square makassar dan juga dekat dengan pembuatan jalan. besarnya konsentrasi logam ni dalam sedimen telah melewati batas gambar 3. reaksi antara asam sitrat dengan zn (salisbury dan ros (1995) nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 97 toleransi logam ni dalam sedimen berdasarkan ontario ministry of the environment yaitu 75 mg/kg. konsentrasi zn dalam sedimen hasil analisis zn dalam sedimen di sungai tallo ditunjukkan pada tabel 4. hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi zn di semua stasiun cukup beragam dengan konsentrasi terbesar terdapat pada stasiun 5. konsentrasi zn yang besar paling besar pada stasiun 5 yaitu sebesar 5.429,25 mg/kg sedangkan yang paling kecil berada pada stasiun 2 yaitu sebesar 16,11 mg/kg. konsentrasi zn pada penelitian ini jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh david (2016) yang menyatakan bahwa konsentrasi zn pada muara sungai tallo berkisar 145,06-338,55 mg/kg. hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan konsentrasi zn dalam sedimen pada sungai tallo yang sangat besar dalam dua tahun terakhir. hal ini disebabkan karena kurang terkontrolnya pembuangan limbah baik domestik maupun hasil industri ke perairan sungai tallo makassar. tabel 4. konsentrasi zn dalam sedimen lokasi konsentrasi (mg/kg berat kering) stasiun 1 464,43 stasiun 2 16,11 stasiun 3 739,33 stasiun 4 1.566,76 stasiun 5 5.429,25 konsentrasi logam berat dalam sedimen juga dapat dipengaruhi oleh konsentrasi logam berat dalam air. konsentrasi logam berat dalam perairan dapat berasal dari limbah industri yang dibuang langsung ke perairan. logam berat yang terdapat dalam perairan akan mengalami proses pengendapan dan akan terakumulasi dalam sedimen. besarnya konsentrasi logam zn dalam sedimen telah melewati batas toleransi logam zn dalam sedimen berdasarkan ontario ministry of the environment yaitu 820 mg/kg. konsentrasi logam berat dalam bagian tumbuhan nipah tumbuhan mangrove memiliki fungsi ekologis yaitu dapat menyerap, mengangkut, dan menimbun zat yang bersifat toksik yang berasal dari sekitar lingkungan tempat tumbuhnya, salah satunya logam berat. mangrove dapat menyerap zat hara yang dapat sedimen maupun air dengan menggunakan akarnya (setiawan, 2013). konsentrasi ni dalam bagian tumbuhan nipah hasil analisis logam ni dalam bagian tumbuhan nipah dapat dilihat pada tabel 5. besarnya konsentrasi ni dalam tumbuhan nypa fruticans menunjukkan kemampuan tumbuhan tersebut dalam mengakumulasi logam berat dari lingkungannya, serta dapat mengurangi konsentrasi logam dalam air dan sedimen. penelitian ini dilakukan pada musim kemarau, sehingga tumbuhan akan melakukan proses transpirasi, yang dilakukan dengan tujuan untuk menyerap air dan zat hara yang berguna untuk mempertahankan atau mengatur suhu pada daun dan juga mengatur proses fotosintesis yang dilakukan tumbuhan (simanjuntak, 2013). menurut rodrigo dkk. (2013), logam yang terserap ke dalam akar akan terikat dengan zat penghelat fitokelatin dengan logan ni ketika proses transpirasi terjadi. konsentrasi zn dalam bagian tumbuhan nipah translokasi zn ke jaringan-jaringan tumbuhan nipah berbeda-beda setiap stasiun. perbedaan variasi akumulasi logam ini disebabkan oleh beberapa faktor selain lingkungan, yaitu konsentrasi logam dalam sedimen, jenis logam, tingkat toleransi tumbuhan terhadap logam, usia tumbuhan, serta suhu yang ada pada lingkungan tumbuhan tersebut. hasil analisis logam ni dalam bagian tumbuhan nipah dapat dilihat pada tabel 6. hasil akumulasi zn dalam tumbuhan nipah, menunjukkan bahwa tumbuhan ini dapat menyerap zn melalui akar sekitar 9,40–394,78 mg/kg dan dapat melakukan translokasi ni ke pelepah sekitar 233,14– 1.441,84 mg/kg dan sekitar 30,82– 991,60 mg/kg ke daun. logam yang terserap kedalam akar akan terikat dengan zat pengkelat seperti asam sitrat untuk zn (salisbury dan ros, 1995). menurut salisbury dan ros (1995), asam sitrat merupakan ligan terpenting dalam pengangkutan zn melalui xylem yang kemudian ditranslokasikan ke jaringan lainnya seperti pada daun. nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 98 penentuan tumbuhan nipah (nypa fruticans) sebagai hiperakumulator ni dan zn tanaman hiperakumulator mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi 100 kali melebihi tanaman normal, dimana tanaman normal mengalami keracunan logam dan penurunan produksi. hal ini terjadi karena adanya perbedaan serangkaian proses fisiologi dan biokimia serta ekspesi gen-gen yang mengendalikan penyerapan, akumulasi dan toleransi tanaman terhadap logam (hidayati, 2005). semua jenis tumbuhan mampu untuk menyerap, mentranslokasikan, dan mengakumulasi logam, namun pada konsentrasi yang berbeda-beda. tumbuhan nipah tabel 5. konsentrasi ni dalam bagian tumbuhan nipah lokasi konsentrasi (mg/kg berat kering) total akar pelepah daun stasiun 1 2.722,64 18.231,07 805,32 21.759,03 stasiun 2 2.368,08 16.240,28 456,67 19.065,03 stasiun 3 1.838,69 15.184,39 19.783,17 36.806,25 stasiun 4 1.656,17 8.971,20 109,29 10.736,66 stasiun 5 1.511,97 1.776,69 10.200,59 13.489,25 total 10.097,55 60.403,63 31.355,04 101.856,22 tabel 6. konsentrasi zn dalam bagian tumbuhan nipah lokasi konsentrasi total akar pelepah daun stasiun 1 9,40 1.279,38 30,82 1.319,60 stasiun 2 14,93 1.290,61 57,39 1.362,93 stasiun 3 394,78 1.441,84 216,84 2.053,46 stasiun 4 292,26 494,20 805,14 1.591,6 stasiun 5 249,35 233,14 991,60 1.474,09 total 960,72 4.739,17 2.101,79 7.801,68 tabel 7. nilai bcf dan tf logam ni lokasi konsentrasi (mg/kg berat kering) bcf tf sedimen akar pelepah daun stasiun 1 10.214,85 2.722,64 18.231,07 805,32 0,71 0,29 stasiun 2 8.654,48 2.368,08 16.240,28 456,67 0,73 0,19 stasiun 3 9.433,04 1.838,69 15.184,39 19.783,17 1,30 10,75 stasiun 4 7.784,66 1.656,17 8.971,20 109,29 0,46 0,06 stasiun 5 8.700,59 1.511,97 1.776,69 10.200,59 0,51 6,74 tabel 8. nilai bcf dan tf logam zn lokasi konsentrasi (mg/kg berat kering) bcf tf sedimen akar pelepah daun stasiun 1 464,43 9,40 1.279,38 30,82 0,94 3,27 stasiun 2 16,11 14,93 1.290,61 57,39 28,20 3,84 stasiun 3 739,33 394,78 1.441,84 216,32 0,92 0,54 stasiun 4 1.566,76 292,26 494,20 805,14 0,33 2,75 stasiun 5 5.429,25 249,35 233,14 991,60 0,09 3,97 nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 99 menunjukkan kemampuannya untuk menyerap dan mengakumulasi logam ni dan zn melalui jaringan akar yang kemudian ditranslokasikan ke bagian tumbuhan lain seperti pelepah dan daun. data hasil analisis ni pada tumbuhan nypa fruticans menunjukkan bahwa tumbuhan nypa fruticans di sungai tallo tergolong sebagai tumbuhan hiperakumulator terhadap ni karena suatu tumbuhan disebut hiperakumulator terhadap ni jika mampu mengakumulasi ni lebih besar dari 10.000 mg/kg berat kering. sama seperti logam ni, konsentrasi zn yang terakumulasi dalam tumbuhan nypa fruticans melebihi batas minimum yaitu 10 mg/kg berat kering, sehingga tumbuhan nypa fruticans dikatakan sebagai hiperakumulator terhadap ni dan zn. mekanisme fitoakumulasi ni dalam tumbuhan nipah (nypa fruticans) kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi dan mentranslokasikan logam dari tanah dapat diperkirakan dengan menggunakan perhitungan bioconcentration factors (bcf), dimana bcf dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara rata-rata konsentrasi logam yang terdapat dalam jaringan tumbuhan dengan rata-rata konsentrasi yang terdapat pada tanah. kemampuan suatu tumbuhan untuk mentranslokasi logam dari akar ke pucuk diukur dengan perhitungan translocation factors (tf), dimana tf dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara konsentrasi logam yang terdapat pada pucuk dengan yang terdapat pada akar (yoon dkk., 2006). pada dasarnya, bcf dan tf merupakan indikator yang dapat membedakan mekanisme akumulasi penyerapan logam oleh tumbuhan. menurut liong dkk.(2010) jika nilai bcf > 1 dan tf<1 mekanisme adalah fitostabilisasi, bcf<1 dan tf>1 mekanismenya adalah fitoekstraksi, bcf< 1 dan tf < 1 mekanismenya adalah fitostabilisasi dan fitoekstrasi, dan jika bcf>1 dan tf>1 mekanismenya adalah rizofiltrasi. tabel 7 menunjukkan nilai bcf dan tf untuk logam ni. pada tabel 7, diperoleh nilai bcf cukup bervariasi, nilai bcf tertinggi pada stasiun 3, yaitu sebesar 1,30. sedangkan nilai bcf terendah berada pada stasiun 5 yaitu sebesar 0,51. sedangkan nilai tf yang tertinggi berada pada stasiun 3 yaitu sebesar 10,75. sedangkan nilai tf yang paling rendah berada pada stasiun 4 yaitu sebesar 0,06. nilai bcf rata-rata untuk ni adalah 0,74 dan nilai tf rata-rata untuk ni adalah 3,60. karena nilai bcf kurang dari 1 dan nilai tf lebih dari 1 sehingga tumbuhan nipah (nypa fruticans) memiliki potensi sebagai tumbuhan jenis fitoekstraksi untuk logam ni. mekanisme fitoakumulasi zn dalam tumbuhan nipah (nypa fruticans) mekanisme fitoakumulasi logam zn dalam tumbuhan nipah (nypa fruticans) dapat dilihat pada tabel 8. pada tabel 8, diperoleh nilai bcf cukup bervariasi, nilai bcf tertinggi pada stasiun 2, yaitu sebesar 28,20. sedangkan nilai bcf terendah berada pada stasiun 5 yaitu sebesar 0,09. sedangkan nilai tf yang tertinggi berada pada stasiun 5 yaitu sebesar 3,97. sedangkan nilai tf yang paling rendah berada pada stasiun 3 yaitu sebesar 0,54. nilai bcf rata-rata untuk zn adalah 6,09 dan nilai tf ratarata untuk zn adalah 2,87. oleh karena nilai bcf lebih dari 1 dan nilai tf lebih dari 1 sehingga tumbuhan nipah (nypa fruticans) memiliki potensi sebagai tumbuhan jenis rhizofiltrasi untuk logam zn. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa translokasi ni dan zn terakumulasi paling besar pada bagian pelepah, mekanisme penyerapan untuk ni adalah fitoekstraksi dan zn adalah rhizofiltrasi. total akumulasi ni dan zn dalam tumbuhan nypa fruticans menunjukkan secara alami tumbuhan ini hiperakumulator terhadap ni. daftar pustaka darmono, 1995, logam dalam sistem biologi makhluk hidup, ui-press, jakarta. david, m., 2016, fitoakumulasi logam cd dan zn dalam tumbuhan bakau rhizopora mucronata di sungai tallo makassar, skripsi tidak diterbitkan, universitas hasanuddin, makassar. erari, s.s., mangimbulude, j., lewerissa, k., 2011, pelestarian hutan mangrove solusi pencegahan pencemaran logam berat di perairan indonesia, biologi sains lingkungan, dan pembelajarannya menuju pembangunan karakter, 8 (1), 182-186. nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 100 hidayati, n., 2005, fitoremediasi dan potensi tumbuhan hiperakumulator, hayati, 12 (1), 35-40. khaira, k., 2014, analisis kadar tembaga (cu) dan seng (zn) dalam air minum isi ulang kemasan galon di kecamatan lima kaum kabupaten tanah datar, j. saintek, 2(6), 116-123. liong, s., noor, a., taba, p., abdullah a., 2010, studi fitoakumulasi pb dalam kangkung darat (ipomoea reptans poir), skripsi, jurusan kimia fakultas mipa universitas hasanuddin, makassar. muliadi, liestianty, d., yanny, sumarna, s., 2013, fitoremediasi : akumulasi dan distribusi logam berat nikel, cadmium dan chromium dalam tanaman ipomea reptana, prosiding seminar nasional kimia dan pendidikan kimia, 1-5. nugraha, w.a., 2009, kandungan logam berat pada air dan sedimen di perairan socah dan kwanyar kabupaten bangkalan, j. kelautan, 2(2),158-163. ontorio ministry of the environment, 2008, guidelines for identfying, assessing and managing contaminated sediment in ontario: an integrated approach. rodrigo, m.a.m., cernei, n., kominkova, m., zitka, o., beklova, m., zehnalek, j., kizek, r., adam, v., 2013, ion exchange chromatography and mass spectrometric methods for analysis of cadmiumphytochelatin (ii) complexes, int. j. environ. res. public health, 10 (4), 13041311. salisbury f.b., ross, c.w., 1992, fisiologi tumbuhan jilid 1, diterjemahkan oleh: lukman, d.r., dan sumaryono, 1995, itb, bandung. sari, f.g.t., hidayat, g., septiani, p.d., 2016, kajian kandungan logam berat mangan dan nikel pada sedimen di pesisir teluk lampung, analytical and environmental chemistry, 1(1), 17-25. setiawan, h., 2013, akumulasi dan distribusi logam berat pada vegetasi mangrove di perairan pesisir sulawesi selatan, j. ilmu kehutanan, 7 (1), 12-24. simanjuntak, e.t., 2013, alat pengukur laju transpirasi pada daun berbasis mikrokontroler, skripsi, fakultas teknik elektronika dan komputer, universitas kristen satya wacana, salatiga. uddin, m.m, 2015, is phytoremediation an ecosystem service? heavy metal accumulation and partitioning of consumable and non-consumable mangroves of the kalantan delta, peninsular malaysia, disertasi tidak diterbitkan, biology, vrije universiteit brussel, brussel, belgium. yoon, j., cao, x., zhou, q., dan ma, l. q., 2006, accumulation of pb, cu, and zn in native plants growing on a contaminated florida site, science of the total environment, 368, 456-464. yudo, s., 2006, kondisi pencemaran logam berat di perairan sungai dki jakarta, jai, 2(1), 1-15. nursiah la nafie dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 92-100 1 indochem indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 38-43 . 38 pengaruh pemanasan terhadap kristalinitas dan parameter kisi nanokomposit silika-zirkonia montmorillonit k10 dan silika-besi oksida montmorillonit k10 effect of heating on the crystalinity and the lattice parameter of silica-zirconia montmorillonite k10 and silica-ferri oxide montmorillonite k10 nanocomposites serly jolanda sekewael 1 *, karna wijaya 2 , triyono 2 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134-indonesia 2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences gadjah mada university, bulaksumur, yogyakarta-indonesia *corresponding author: sjsekewael@yahoo.com received: april 2018 published: july 2018 abstract the thermal treatment of the silica-zirconia montmorillonite k10 and silica-ferri oxide montmorillonite k10 nanocomposites at 300 and 500 °c has been carried out, respectively as part of a study of their function as the catalyst. the heating effect on the crystallinity and the lattice parameter calculation of both nanocomposites was studied using xrd and ftir instruments. the results showed that the nanocomposite silica-zirconia montmorillonite k10 has a thermal resistance and the crystallinity better than the silica-ferri oxide montmorillonite k10, and both have values varying lattice parameters. keywords: crystallinity, nanocomposite, silica-zirconia silica-ferri oxid, montmorillonite k10. pendahuluan struktur kristal suatu mineral dibangun oleh unit sel, yakni sekumpulan atom yang tersusun secara khusus, yang secara periodik berulang dalam tiga dimensi dalam suatu kisi kristal. spasi antar unit sel dalam segala arah disebut parameter kisi. struktur kristal mineral montmorillonit yang merupakan mineral berlapis disusun oleh dua lapisan silikat tetrahedral mengapit satu lapisan silikat oktahedral. kestabilan struktur kristal secara kualitatif dapat dipelajari dari stabilitas termal selama dipaparkan dengan peningkatan temperatur. stabilitas termal adalah salah satu sifat penting pada material padatan berlapis dan berpori agar dapat digunakan sebagai katalis atau adsorben. padatan montmorilonit terpilar memiliki stabilitas termal yang tinggi, karena pada tahap kalsinasi agen pemilar diubah menjadi bentuk oksidanya yang kaku untuk menyangga struktur antarlapis dengan pori yang permanen (gill et al.,2010). penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemanasan terhadap kristalinitas dan parameter kisi montmorillonit dan montmorillonit terpilar campuran oksida logam, yakni montmorillonit k10 serta nanakomposit silika-zirkonia montmorillonit k10 dan silikabesi oksida montmorillonit k10. nanokomposit montmorillonit k10 terpilar partikel koloid campuran oksida dalam penelitian ini, dibuat menggunakan material montmorillonit sintetik (k10) yang berfungsi sebagai host material. nama lain montmorillonit k10 adalah bleaching clay, activated clay, dan activated bleaching earth. memiliki formula kimia: h2al2(sio3)4nh2o (chemnet ® global chemical network, 2013). karakterisasi host material dan nanokomposit menggunakan dua instrumen, yakni difraktometer sinar-x (xrd) dan ftir. xrd digunakan untuk menghitung parameter kisi, ukuran, dan volume kristal setiap sampel, sedangkan ftir untuk mengetahui pergeseran gugus fungsi dari setiap sampel. serly j. sekewael dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 38-43 39 metodologi bahan montmorillonit k10 (fluka, chemica) (selanjutnya disebut mt-k10), tetra orto silikat (teos), zrocl2·8h2o, feno3·9h2o, hcl, etanol, naoh, akuades, akuabides, kertas saring whatman. alat seperangkat alat gelas laboratorium, timbangan analitik, ph meter, desikator, hot plate, stirer, penyaring buchner, sentrifus, tabung sentrifus, oven gelombang mikro domestik, instrumen: xrd-6000 shimadzu dan ftir-shimadzu pc8201. prosedur kerja preparasi nanokomposit nanokomposit silika-zirkonia montmorillonit k10 (selanjutnya disingkat szmk) dan silika-besi oksida montmorillonit k10 (selanjutnya disingkat sfmk), masingmasing dipreparasi dengan mengacu pada penelitian sebelumnya (sekewael et al., 2016; sekewael et al., 2017). langkah pertama adalah pembuatan sol silika. sol silika dibuat dengan mencampurkan teos, hcl 2 m, dan etanol dengan rasio 41,6 g/10 ml/12 ml. setelah itu diagingpada temperatur ruang selama 2 jam. langkah selanjutnya adalah pencampuran sol silika dengan larutan pemilar, baik zr maupun fe. campuran sol yang dibuat kemudian dicampur dengan suspensi mt-k10 1% (b/v) yang telah diaging selama 24 jam, dengan perbandingan molar si/logam pemilar/ktk= 50/5/1. campuran diaduk pada temperatur ruang untuk memfasilitasi pertukaran ion antarlapis montmorillonit dengan partikel-partikel sol campuran oksida. selanjutnya disentrifugasi. hasil sentrifugasi dicuci dengan larutan etanol air dengan perbandingan 1:1 selama beberapa kali untuk menghilangkan kelebihan sol silika, setelah itu dikeringkan pada temperatur ruang. selanjutnya sampel hasil pengeringan diradiasi menggunakan oven gelombang mikro domestik 700 watt selama 10 menit sehinggadiperoleh padatan nanokomposit. karakterisasi untuk keperluan analisis, maka sampel mtk10, szmk, dan sfmk, masing-masing dipanaskan pada temperatur 300 dan 500 °c. karakterisasi dengan xrd. sampel mt-k10 serta nanokomposit szmk dan sfmk, sebelum dan setelah pemanasan, masing-masing dianalisis dengan metode difraksi sinar-x menggunakan metode bubuk yang diradiasi oleh cukα dengan λ=1,5406å. dioperasikan pada kondisi: tegangan akselerasi 40 kv, arus 30 ma, lebar slit 0,05, dan kecepatan scanning 5 °/menit. pola difraksi sinar-x dari sampel direkam dari 2θ antara 2-80 derajat, dan keluar sebagai data difraktogram yang selanjutnya dianalisis untuk menentukan perubahan jarak dasar d001. karakterisasi dengan ftir. sampel yang dianalisis digerus dan dihomogenkan dengan kbr membentuk pelet tipis yang transparan. pelet ini kemudian diletakkan di dalam sel instrumen spektrofotometer ftir dan dianalisis. analisis dilakukan terhadap sampel mt-k10 serta nanokomposit szmk dan sfmk untuk menentukan serapan gugus-gugus fungsional. hasil dan pembahasan langkah awal penelitian ini adalah preparasisol sio2 sebagai partikel berukuran nanometer. setelah masing-masing larutan, yakni zrocl2·8h2o maupun feno3·9h2o ditambahkan kenano-sol sio2, ion tetramerik bermuatan positif teradsorpsi pada permukaan partikel nano-sol sio2 bermuatan negatif sedemikian rupa sehingga terbentuk taut silang (zr-o-si) atau (fe-o-si) disertai dengan disosiasi ikatan (zr-o-zr) (sekewael et al. 2016) atau (fe-o-fe) (sekewael et al, 2017) dalam framework. hal ini dapat mengakibatkan permukaan partikel nano-sol sio2 bermuatan positif ketika mengadsorps ion-ion kompleks zr atau fe. oleh karena itu, nano-sol sio2-zro2 atau sio2-fe2o3 bermuatan positif dapat diinterkalasi ke dalam lapisan alumino silikat oleh reaksi pertukaran ion menghasilkan kompleks interkalasi yang diperluas jarak dasarnya. serly j. sekewael dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 38-43 40 taut silang (zr-o-si) atau (fe-o-si) lebih lanjut menjadi terhambat akibat pengaruh ph, dan partikel sol akhirnya berubah menjadi oksida pilar berukuran nanometer dalam ruang antarlapis mt-k10 setelah radiasi dengan gelombang mikro 700 w. stabilitas termal host mt-k10 dan mt-k10 terpilar dipelajari dari hasil analisis xrd dan ftir. difraktogram mt-k10 serta nanokomposit szmk dan sfmk ditampilkan pada gambar 1(a,b,c). gambar 1.a dan b menunjukkan bahwa pemanasan atau kenaikan temperatur kalsinasi material pada suhu 300 dan 500 °c nampak tidak berpengaruh terhadap kristalinitas sampel mt-k10 dan szmk. kristalinitas kedua sampel baik mt-k0 maupun szmk hampir tidak berubah serta tidak terlihat kerusakan struktur akibat pengaruh panas, yang ditunjukkan oleh retensi intesitas setiap puncak utama dari struktur kedua material, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua sampel stabil secara termal. hal yang berbeda dialami nanokomposit sfmk (gambar 1.c). pemanasan pada suhu 300 dan 500 °c menyebabkan runtuhnya bidang dasar (001) silikat montmorillonit dan tidak muncul pada tiga puncak dengan intensitas tertinggi. terjadi pelebaran pola difraksi dan kristalinitas struktur nanokomposit semakin berkurang, sehingga dapat disimpulkan bahwa nanokomposit sfmk memiliki kestabilan termal yang rendah. dari hasil analisis dapat dikatakan bahwa ada pengaruh agen pemilar yang berbeda terhadap stabilitas termal nanokomposit. adanya nanokomposit campuran oksida sio2zro2 pada antarlapis mt-k10 memberikan kontribusi terhadap stabilitas termal material tersebut. hasil penelitian membuktikan bahwa material nanokomposit dengan prekursor pilar logam zr lebih stabil secara termal dibandingkan prekursor pilar logam fe. hal ini bersesuaian dengan sifat zirkonium oksida yang diketahui diketahui sangat tahan terhadap suhu tinggi. zirkonium oksida bahkan digunakan untuk pelapis tanur. mt-k10 pada gambar 1(a) memiliki refleksi tajam pada daerah 2θ = 8,7 o dengan jarak dasar bidang d001=10,1å. ghebaur et al. (2011) melaporkan refleksi tajam pada daerah 2θ =8,9 o dengan bidang d001= 9,8 å untuk montmorillonit k10. terjadinya pilar campuran oksida sio2zro2 pada lapisan silikat montmorillonit setelah diradiasi dengan gelombang mikro (szmk, gambar 1(b)) ditandai dengan pergeseran bidang (001) ke sudut 2θ lebih kecil yakni 8,3 o dan peningkatan jarak dasar d001 sebesar 10,65 å. peningkatan jarak dasar menunjukkan bahwa pada antarlapis silikat montmorillonit terjadi perubahan bentuk agen pemilar dari bentuk terhidrat menjadi bentuk oksida (sekewael et al, 2016). setelah pemanasan pada suhu 300 dan 500 °c host material (mt-k10) sedikit collaps pada 2θ=8,9 dengan jarak dasar 0,99 nm. hal ini bersesuaian dengan sifat montmorillonit yang memiliki gaya elektrostatik yang lemah di antara struktur berlapisnya (singh et al., 2004). sebaliknya dengan yang disajikan pada gambar gambar 1 difragtogram (a) host mt-k10 (b) zmk (c) sfmk pada pemenasan 300 dan 500 o c serly j. sekewael dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 38-43 41 1(b), refleksi puncak nanokomposit szmk tidak mengalami perubahan karena rigiditas struktur yang disumbangkan oleh pilar yang terbentuk dengan bantuan radiasi gelombang mikro. dengan kata lain nanokomposit yang disintesis memiliki daya tahan termal yang baik. hal ini mencerminkan keteraturan struktur lapisan dua dimensi cukup baik dipertahankan pada suhu ini (han dan yamanaka, 2006). refleksi puncak yang dihasilkan memiliki intensitas lebih rendah, menunjukkkan bahwa campuran oksida yang terbentuk relatif lebih sedikit. tidak adanya pelebaran puncak menunjukkan formasi dari nanokomposit tertata dengan baik (riaz dan ashraf, 2011). berdasarkan data hasil analisis xrd dapat dilakukan estimasi parameter kisi kristal (dimensi unit sel) untuk sistim kristal monoklinik milik montmorillonit dengan sudut β = 99,54° (anthony et al., 2009) terhadap set bidang yang ekivalen, yakni bidang (001) dan (100), dan refleksi pada 2θ sekitar 60° untuk bidang (060) (kawi dan yao, 1999; velde dan meunier, 2008) menggunakan persamaan (1) dan (1) (west, 2010). sementara estimasi ukuran kristal dari puncak difraksi bidang d001 dihitung menggunakan persamaan scherrer (persamaan (3) (monshi et al., 2012). ( ) (1) v=abc sinβ (2) (3) keterangan: d = jarak antar bidang kristal a,b,c = rusuk bidang (parameter kisi kristal) β = sudut antara a dan c; (hkl)=bidang kristal; v=volume kisi kristal. l = ukuran kristal, k = konstanta yang berkaitan dengan bentuk kristal, λ = panjang gelombang, β = lebar puncak difraksi pada setengah tinggi (fwhm) θ = sudut difraksi. hasil perhitungan ukuran kristal, parameter kisi, dan volume unit sel host mt-k10 dan kedua nanokomposit disajikan pada tabel 1-3. hasil tabulasi pada tabel 1-3 menunjukkan dimensi unit sel nanokomposit szmk dan sfmk lebih besar dibandingkan host mt-k10. hal ini disebabkan karena pengaruh masuknya campuran oksida logam dalam struktur host montmorillonit, yang berasosiasi dengan kehadiran ikatan antara partikel oksida logam dengan silikat mt-k10 pada arah c dalam kisi kristal. menurut west (2010), kehadiran ikatan logam dari interaksi logam-logam pada arah c dalam kisi kristal dengan unit sel heksagonal pada senyawa dengan struktur nias menyebabkan bervariasinya rasio c/a, dimensi c nilainya dua kali nilai a. selain itu, adanya campuran oksida baik sio2-zro2 atau sio2fe2o3 di dalam struktur nanokomposit memberikan kontribusi bagi peningkatan volume kisi kristal. nilai estimasi parameter kisi a, b, dan c untuk host mt-k10 tidak jauh berbeda dengan nilai parameter kisi montmorillonit hasil analisis dari pola difraksi xrd oleh laporan dalam literatur sebelumnya. van olphen (1977) memperoleh nilai a, b, dan c masing-masing 5,17; 8,9; dan 9,2 å, sementara laporan anthony et al. (2009) masing-masing 5,17; 8,94; dan 9,95 å. dari hasil estimasi parameter kisi setelah material dipanaskan pada 300 dan 500 °c (tabel 1-3), nampak tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap nilai a, b, dan c, sehingga serly j. sekewael dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 38-43 42 dapat dikatakan bahwa kristalinitas material tidak banyak dipengaruhi oleh peningkatan temperatur. namun bertambahnya temperatur berkontribusi terhadap ukuran kristal dan volume unit sel, terlebih untuk nanokomposit sfmk, yang mana telah dibuktikan oleh difraktogram pada gambar 1.c, yakni adanya pelebaran puncak difraksi. untuk selanjutnya, hasil analisis berupa spektra ir disajikan pada gambar 2 (a,b,c). gambar tersebut memperlihatkan puncak-puncak penting untuk identifikasi montmorillonit. puncak serapan pada bilangan gelombang 470, 794, 1056, 1635, 3441, dan 3749 cm -1 . pita serapan pada bilangan gelombang 3433dan 3749 cm -1 diidentifikasi sebagai pita vibrasi ulur –oh molekul air dan vibrasi ulur-oh struktural oktahedral (al-oh). pita-pita ini diperkuat dengan pita serapan pada bilangan gelombang 1627 cm -1 yang merupakan pita vibrasi tekuk – oh molekul air (komadel, 2003). hal ini adalah indikasi bahwa montmorillonit memiliki sifat menyerap air. serapan pada 3433 cm -1 merupakan serapan vibrasi ulur gugus –oh baik itu dari molekul air, silanol, maupun aluminol. intensitas serapan rentangan o-h yang berkurang pada nanokomposit szmk dan sfmk (gambar 2(b,c) adalah karena dehidrasi yang dialami selama proses radiasi gelombang mikro berlangsung. pita serapan pada 470 cm -1 merupakan vibrasi tekuk si-o-si. pita serapan pada 794 cm 1 merupakan karakteristik vibrasi tekuk o-si-o. pita serapan pada 1056 cm -1 merupakan serapan khas vibrasi ulur si-o pada lapisan tetrahedral. dengan bertambahnya rasio si/al akibat masuknya oksida sio2/zro2, maka serapan ini bergeser ke bilangan gelombang lebih besar yakni 1067 cm -1 (gambar 2.b). intensitas serapan tersebut semakin tajam, akibat meningkatnya kuat ikatan si-o dan merupakan indikasi semakin kuatnya ikatan antara lapisan silikat montmorillonit dengan pilar oksida sio2zro2. bertambahnya rasio si/al menyebabkan montmorillonit terpilar memiliki daya tahan termal yang baik (yuan et al., 2008). hal ini didukung oleh data xrd pada gambar 1.b. serapan pada daerah sidik jari yang tetap teramati pada kedua nanokomposit szmk dan sfmk merupakan indikasi bahwa proses konversi termal dengan radiasi gelombang mikro tidak merusak ikatan si-o atau al-o pada antarlapis silikat montmorillonit. artinya bahwa struktur dasar lapisan montmorillonit tidak terpengaruh oleh proses pilarisasi (molu dan yurdakoç, 2010). munculnya serapan lemah pada 1481 cm -1 yang teramati pada nanokomposit szmk merupakan bukti adanya pilar yang memberikan kontribusi kepada keasaman nanokomposit, karena menyumbang situs asam lewis (gil et al., 2010). pemanasan pada suhu 300 dan 500 °c tidak mempengaruhi keberadaan serapan gugus-gugus fungsi host mt-k10 dan nanokomposit mt-k10 terpilar, dalam arti gugus-gugus fungsi pada serapan bilangan gelombang yang teramati tetap ada. namun demikian ada sedikit perbedaan dari intensitas serapan dengan pola yang tidak beraturan, terutama untuk nanokomposit hasil sintesis, pada gugus-gugus yang berhubungan dengan vibrasi ulur atau vibrasi tekuk molekul air. hal yang mirip dilaporkan oleh reddy et al. (2009). gambar 2 spektra ftir (a) host mt-k10, (b) szmk (c) sfmk setelah pemanasan 300 dan 500 o c serly j. sekewael dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 38-43 43 kesimpulan pemanasan pada suhu 300 dan 500 °c tidak signifikan mempengaruhi paramater kisi kristal dari material mt-k10 atau pun nanokomposit szmk dan sfmk, namun berkontribusi terhadap ukuran kristal dan volume unit sel material tersebut. ucapan terima kasih ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para teknisi laboratorium kimia analitik dan kimia organik jurusan kimia fmipa ugm yang telah berkontribusi dalam penelitian ini. daftar pustaka anthony, j. w., bideaux, r. a., bladh, k. w., nichols, m. c., 2009, handbook of mineralogy, volume 2, university of california. gil, a., korili, s.a., trujilano, r., vincente, m.a., 2010, pillared clays and related catalyst, springer science business media, new york. han, y.s., yamanaka, s., 2006, preparation and characterization of microporous sio2–zro2 pillared montmorillonite, j. solid state chem., 179, 1146–1153. kawi, s., yao, y.z., 1999, silica bonded k10 montmorillonite (sbm): a high surface area catalytic clay material, microporous mesoporous mater, 28, 25-34. komadel, p., 2003, chemically modified smectites, slovac academy o sciences, slovakia, clay mineral, 38, 127-138. monshi, a., foroughi, m.r. , monshi, m.r. , 2012, modified scherrer equation to estimate more accurately nano-crystallite size using xrd, world journal of nano science and engineering, 2, 154-160. reddy, c.r., bhat, y.s., nagendrappa, g., prakash, b.s.j., 2009, brønsted and lewis acidity of modified montmorillonite clay catalysts determined by ft-ir spectroscopy, catal. today, 141, 157–160. riaz, u., ashraf, s.m., 2011, effect of solid state intercalation conditions in controlling the self-assembled nanostructured polycarbazole – montmorillonite nanocomposites synthesized by mechanochemical and microwave-assisted techniques, appl. clay sci., 52, 179–183. sekewael, s.j., wijaya, k., triyono, budiman, a., 2016, microwave assisted preparation and physico-chemical properties of mixed oxides silica-zirconia montmorillonite k10 nanocomposite, asian j. chem., 28(10), 2325-2330. sekewael, s.j., wijaya, k., triyono, budiman, a., 2017,nanocomposite of modified montmorillonite k10 with sio2-fe2o3 as a catalyst of biodiesel synthesis, int.j.chemtech.res., 10(1), 62-70. van olphen, h., 1977, clay colloid chemistry, second edition, a willey-interscience publication. velde, b.,and meunier, a., 2008, the origin of clay minerals in soils and weathered rocks, berlin, heidelberg, new york: springer-verlag, pp 4-6, isbn 9783 540 756330. west, a. r., 2010, basic solid chemistry, john wiley & sons ltd, england. yuan, p., bergaya,f.a., tao, q., fan,m., liu,z., zhu,j., he,h., tianhu chen, 2008, a combined study by xrd, ftir, tg and hrtem on the structure of delaminated feintercalated/pillared clay, j. colloid interface sci., 324,142-149. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(2), 93-96, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ind 93 the ecofriendly biosorbent of methylene blue using banana peels waste indri susanti 1* , rendy muhamad iqbal 2 , novia amalia sholeha 3 , khusnul fatimah putri 4 1 department of science education, faculty of teacher training and education, lamongan islamic university, jl. veteran no. 53a lamongan, indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematic and natural sciences, universitas palangka raya, kampus upr tunjung nyaho, palangka raya 73111, indonesia 3 college of vocational studies, bogor agricultural university (ipb university), jl. kumbang no. 14, bogor, indonesia 4 department of science education, faculty of teacher training and education, lamongan islamic university, jl. veteran no. 53a lamongan, indonesia * corresponding author: indri_susanti@unisla.ac.id received: august 2022 received in revised: august 2022 accepted: august 2022 available online: september 2022 abstract this research aimed to synthesize and characterize the properties of green banana peel waste to be used as adsorbent material. the green banana peel waste was prepared by sieved to be banana powder and then characterized by xrd, ftir, xrf, and tga. the adsorption capacity of methylene blue was tested using a simple method, the “batch method”, with further analysis by spectrophotometry uv-vis. the xrf results of green banana peel showed that most of the composition is potassium and phosphorus. the methylene blue adsorption capacity of banana peel material is up to 75.10% with 0.5 grams of adsorbent, which is more significant than in the banana peel, which is 68.04% with 0.2 grams. keywords: green banana peels, adsorption, methylene blue, uv-vis, adsorbent. introduction methylene blue (mb) is one of the thiazine/cationic dyes most commonly used for colouring among all other dyes of its category. it is selected to represent a group of dyes commonly large in molecular size and complicated to be degraded in the natural environment. it is generally used for dyeing cotton, wool, silk, textiles and leather, printing calico and biological staining (jawad et al., 2018). the disposal of mb dyes into rivers, groundwater systems, and other water sources represents a severe pollution problem. several technologies have been developed for dye removal, including coagulation (hashem & amin, 2016), adsorption (çatlıoğlu et al., 2021), photocatalytic degradation (iqbal et al., 2021). among these methods, adsorption has shown to be the simplest to apply, efficient and cost-effective to mb removal using adsorbent material. using natural waste as adsorbent is an effort to make adsorbents cheaper. biosorbent does not require expensive cost, and is also easy to treat and can be obtained from agricultural or plantation waste. biomass from agricultural waste has been studied as a renewable energy source and new product. several studies have carried out the adsorption of methylene blue with natural ingredients such as papaya seeds (rafatullah et al., 2010), rice husk (costa & paranhos, 2019), bagasse (mpatani et al., 2020), hazelnut shell (latupeirissa et al., 2018), sugarcane bagasse (priyanto et al., 2021), orange peels (kamsonlian et al., 2011), banana peels (kamsonlian et al., 2011), corn cobs (alfiany & bahri, 2013), bark skin (turmuzi & syaputra, 2015), and slacca peel (klemantan, kristianto, and arie 2020). banana is a widely grown tropical fruit cultivated in over 130 countries. the average weight of a fruit is 125 g (fruit content: approximately 75% water and 25% dry matter) (pathak & mandavgane, 2015). furthermore, banana peels contain galacturonic acid, which acts as a compound that can adsorb dyes (susanti & santoso, 2020). therefore, this research was conducted adsorption of methylene blue using the banana peel as an adsorbent. methodology materials the materials used in this research were green banana peels waste collected from kembangbahu lamongan, methylene blue (0.3% p.a, merck), and aquadest (ud sumber ilmiah persada, surabaya, indonesia). while the tools used in this research were analytical balance, the batch method set (beaker glass, stirrer, separating funnel, and filter paper), indri susanti et al. indo. j. chem. res., 10(2), 93-96, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ind 94 diffractometer type xpert mdp, xrf diffractometer, and ftir spectrophotometer. methods banana peel waste as a raw material in this research was cut and sieved to become banana peel powder. banana peel powder was washed with distilled water, dried under the sun for seven days then denoted as bp. the bp was characterized by xrd (x-ray diffraction) to analyze the composition phase and the crystallite materials. the sample was oven dried at 100°c. the xrd characterization was done using diffractometer type xpert mdp with cukα radiation, operating voltage of 40kv, 30ma current, and recorded on 2θ of 5-100°. the ftir (fourier transform infrared) was studied to analyze the functional groups in bp materials. the bp material was crushed and prepared with kbr forming pellets. using an ftir spectrophotometer, the spectra were recorded in the frequency range of 400-4000 cm 1 . furthermore, the bp material was also synthesized by xrf (x-ray fluorescence) to analyze the compounds of bp material. the measurement was done with an operating voltage of 30kv and time analysis for 60 seconds. methylene blue adsorption test the bp materials are prepared to be an adsorbent in methylene blue adsorption. the methylene blue adsorption test was tested by batch methods and performed at various times and masses of adsorbent. the concentration of methylene blue was measured using a spectrophotometer uv-vis corresponds with previous research (ngapa and ika, 2020). results and discussion characterization of bp bp material was prepared in this research characterized by xrd (x-ray diffraction) to analyze the phase composition and the crystallite materials, ftir (fourier transform infrared) to analyze the functional groups, and xrf (x-ray fluorescence) to analyze the compounds of bp material. the xrd characterization of bp material is presented in figure 1. based on the xrd patterns of bp, bp showed a hump which indicated an amorphous material due to the composition of bp, such as lignin, pectin and hemicelluloses, with previous literature (xue et al., 2019). the ftir characterization of bp material is shown in figure 2 and aims to elucidate the material's molecular structure. figure 1. xrd pattern of bp material figure 2. ftir spectrum of bp material based on the ftir, the bp material showed a small absorption peak in 920 cm -1 , which was attributed to the c-h vibrations of carbohydrates; the band at 1055 cm -1 was associated with the c-o-c the band at 1253 cm -1 corresponded to the c-o vibrations. the high intensity of the peaks at 1611 cm -1 corresponded to carboxylic groups in the ionic form. the peak at 2933 cm -1 corresponds with –ch vibrations in aliphatic hydrocarbons, and the peak at 3419 cm -1 was associated with –oh from pectin structure or water adsorption o-h groups (pavia et al., 2000) (dmochowska et al., 2020). 0 20 40 60 80 100 0 200 400 in te n si ty 2( o ) bp 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 20 40 60 80 100 % t ra n sm it ta n c e wavenumber (cm -1 ) bp indri susanti et al. indo. j. chem. res., 10(2), 93-96, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ind 95 table 1.xrf analysis of materials oxide concentration (%) p2o5 2.4 so3 0.43 k2o 96.5 mno 0.2 fe2o3 0.21 cuo 0.05 rb2o 0.004 re2o7 0.2 the xrf of bp composition analysis is shown in table 1. the bp materials had large quantities of k2o (96.5%) and p2o5 (2.4%). in comparison, the minor compositions of bp were so3, mno, fe2o3, cuo, rb2o, and re2o7. it indicated that the main composition of the green banana peel was potassium and phosphorus. methylene adsorption test on bp material the adsorption test of bp material was carried out with a simple “batch method” at various contact times to determine the time equilibrium, as shown in figure 6 (moubarak et al., 2014). the trend is increased adsorption capacity with longer contact time and higher adsorbent mass. however, the adsorption process was still not constant at a time of 50 minutes which means the adsorption test can be carried out until the contact time is above 50 minutes. figure 3. methylene blue adsorption on bp material table 2. methylene blue adsorption on bp material mass of bp (gram) mb adsorption capacity (%) 0.2 68.04 0.5 75.10 based on figure 3 and table 2, bp has the highest adsorption capacity of methylene blue in the value of 68.04% and 75.10% in 0.2 grams and 0.5 grams adsorbent, respectively. it was implied that using the adsorbent mass of 0.5 grams proved that a more significant amount of methylene blue was adsorbed. conclusion this research showed that bp material had large quantities of k2o and p2o5, which are 96.5% and 2.4%, respectively. the result was also showed that methylene blue can be absorbed by bp material up to 75.10% with 0.5 gram of adsorbent, which greater than 0.2 gram, which is only 68.04%. furthermore, the adsorption capacity was increased alongside the contact time. acknowledgment the authors wish to thank the litbangpemas universitas islam lamongan for the research grant under the pdp scheme and for providing the facilities for this research. references alfiany, herlin, & syaiful bahri. (2013).kajian penggunaan arang aktif tongkol jagung sebagai adsorben logam pb dengan beberapa aktivator asam.” jurnal natural science 2(3):75-86. çatlıoğlu, fatmanur, sema akay, ersan turunç, belgin gözmen, ioannis anastopoulos, berkant kayan, & dimitrios kalderis. (2021). preparation and application of fe-modified banana peel in the adsorption of methylene blue: process optimization using response surface methodology.” environmental nanotechnology, monitoring and management 16(february). doi: 10.1016/j.enmm.2021.100 517. costa, josé arnaldo santana, & caio marcio paranhos (2019). evaluation of rice husk ash in adsorption of remazol red dye from aqueous media. sn applied sciences 1(5). doi: 10.1007/s42452-019-0436-1. 0 10 20 30 40 50 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 0 10 20 30 40 50 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 m e th y le n e b lu e a d so rp ti o n ( % ) time (minute) bp 0.2 bp 0.5 indri susanti et al. indo. j. chem. res., 10(2), 93-96, 2022 doi: 10.30598//ijcr.2022.10-ind 96 dmochowska, anna, joanna czajkowska, roman jędrzejewski, wojciech stawiński, paweł migdał, & marta fiedot-toboła. (2020). pectin based banana peel extract as a stabilizing agent in zinc oxide nanoparticles synthesis. international journal of biological macromolecules 165:1581-92. doi: 10.1016/j.ijbiomac.2020.10.042. hashem, f. s., & m. s. amin. (2016). adsorption of methylene blue by activated carbon derived from various fruit peels. desalination and water treatment 57(47):22573-84. doi: 10. 1080/19443994.2015.1132476. iqbal, rendy muhamad, indri susanti, rahadian abdul rachman, tri agusta pradana, & erwin prasetya toepak. (2021). synthesis, characterization, and photocatalytic activity of n-doped tio2/zeolite-nay for methylene blue removal. the journal of pure and applied chemistry research 10(2):132-39. doi: 10.21776/ub.jpacr.2021.010.02.572. jawad, ali h., ramlah abd rashid, mohd azlan mohd ishak, & khudzir ismail. (2018). adsorptive removal of methylene blue by chemically treated cellulosic waste banana (musa sapientum) peels. journal of taibah university for science. 12(6):809-19. doi: 10.1080/16583655.2018.1519893. kamsonlian, s., s. suresh, c. b. majumder, & s. chand. (2011). characterization of banana and orange peels : biosorption mechanism. international journal of science technology & management 2(4):1-7. klemantan, johan, hans kristianto, & arenst andreas arie. (2020). microwave assisted koh activation of salacca peel dericed activated carbons as adsorbents for methylene blue removal from aqueous phase. iop conference series: materials science and engineering 742(1). doi: 10.1088/1757-899x/742/1/012046. latupeirissa, jola, matheis f. j. d. p. tanasale, and sigit hardianto musa. (2018). kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri (aleurites moluccana (l) willd). indo. j. chem. res. 6(1):12-21. doi: 10.30598//ijcr.2018.6-jol. moubarak, faiçal, rachid atmani, ibtissam maghri, m’hamed elkouali, mohammed talbi, mona latifa bouamrani, mohammed salouhi, & abdelkbir kenz. (2014). elimination of methylene blue dye with naturaladsorbent banana peels powder. global journal of science frontier research: b chemistry 14(1):1-7. mpatani, farid mzee, aaron albert aryee, alexander nti kani, kang wen, evans dovi, lingbo qu, zhaohui li, & runping han. (2020). removal of methylene blue from aqueous medium by citrate modified bagasse: kinetic, equilibrium and thermodynamic study. bioresource technology reports 11(may):100463. doi: 10.1016/j.biteb.2020.100463. ngapa, yulius dala, and yasinta embu ika. (2020). optimasi adsorpsi kompetitif pewarna biru metilena dan metil oranye menggunakan adsorben zeolit alam ende-nusa tenggara timur (ntt). indo. j. chem. res. 8(2):151–59. doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn. pathak, pranav d., & sachin a. mandavgane. (2015). preparation and characterization of raw and carbon from banana peel by microwave activation: application in citric acid adsorption. journal of environmental chemical engineering 3(4):2435–47. doi: 10.1016/j.jece. 2015.08.023. pavia, donald l., gary m. lampman, george s. kriz, & james r. vyvyan. (2008). introduction to spectroscopy 4 th edition, cengage learning publisher, usa. priyanto, ade, malik f, muhdarina muhdarina, and awaluddin a. (2021). adsorption and characterization of activated sugarcane bagasse using natrium hydroxide. indo. j chem. res. 8(3):202-9. doi: 10.30598 //ijcr.2021.7-ade. rafatullah, mohd, othman sulaiman, rokiah hashim, & anees ahmad. (2010). adsorption of methylene blue on low-cost adsorbents: a review. journal of hazardous materials 177(13):70-80. doi: 10.1016/j.jhazmat.2009.12.047. susanti, indri, & agus santoso. (2020). efektivitas lempung alam dan kulit pisang sebagai bahan komposit untuk adsorpsi metilen biru. barometer 5(2):258-60. doi: 10.35261/ barometer.v5i2.3803. turmuzi, muhammad, & arion syaputra. (2015). pengaruh suhu dalam pembuatan karbon aktif dari kulit salak (salacca edulis) dengan impregnasi asam fosfat (h3po4). jurnal teknik kimia usu 4(1):42-46. xue, mingzhe, wanzheng lu, chen chen, yan tan, bing li, & cunman zhang. (2019). optimized synthesis of banana peel derived porous carbon and its application in lithium sulfur batteries. materials research bulletin 112 (december 2018):269-80. doi: 10.1016/j. materresbull.2018.12.035. indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 81 studi variasi konsentrasi naoh dan h2so4 untuk memurnikan silika dari abu sekam padi sebagai adsorben ion logam pb 2+ dan cu 2+ variation study of naoh and h2so4 concentration to purify silica from rice husk ash as adsorbent of pb 2+ and cu 2+ metal ions la harimu*, la rudi, aceng haetami, giswa ayu pratiwi santoso, asriyanti department of chemistry education faculty of teacher training and education university of halu oleo kampus bumi tridarma; anduonohu kendari-south east sulawesi *corresponding author, e-mail: harim_l@yahoo.co.id received: nov. 2018 published: jan. 2019 abstract a study effect of naoh and h2so4 concentration to purify silica from rice husk ash and application as adsorbent of pb 2+ and cu 2+ metal ions has been carried out. the naoh concentrations were 8%, 9%, 10%, 11%, 12% and 13% and h2so4 concentrations were 5.4%, 8.16%, 10.88%, and 13.61%. adsorption of pb 2+ and cu 2+ metal ions was carried out by varying the ph and silica masses. from the results of x-ray fluorescence (xrf) obtained the highest silica content at 12% naoh is 41.81% with a purity of 89.09% and using h2so4 at 10.88% is 65.39% with a purity of 94.94%. the results of surface structure characterization using scanning electron microscope (sem) average size of particle diameter was 0.030 µm. optimal adsorption process of pb 2+ and cu 2+ metal ions using silica from rice husk occurred at ph 6 and the adsorbent mass was 0.3 gram, the adsorption efficiency was 98% and 86.25% respectively with adsorption capacity of 0.96 mg/g for metal pb 2+ and 0.83 mg/g for cu 2+ metals. keywords: rice hush ash, silica, adsorption, pb 2+ , cu 2+ . pendahuluan tanaman padi merupakan salah satu komoditas unggulan pertanian di indonesia. jerami dan sekam padi merupakan limbah pertanian yang cukup besar jumlahnya dan belum banyak dimanfaatkan karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomis. dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30% dari bobot gabah sehingga dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan. sekam padi bersifat tahan terhadap pelapukan, memiliki kandungan abu yang tinggi, bersifat abrasif, menyerupai kandungan kayu, serta memiliki kandungan karbon yang cukup tinggi (kriswiyanti, 2007, kalapathy et al, 2000, mujiyanti dkk, 2010). kandungan serat kasar berupa selulosa dan lignin sangat berpotensi sebagai adsorben, termasuk untuk logam berat. komposisi kimia yang utama pada sekam padi yang bertindak sebagai adsorben adalah serat (31,37-49,92%), selulosa (34,3443,80%), dan lignin (21,40-46,97%). sedangkan apabila sekam padi berada dalam bentuk abu sekam padi, maka kandungan utama yang dapat bertindak sebagai adsorben limbah logam berat adalah silika dalam bentuk sio2 dengan kandungan 86,90-97,30%. mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh logam berat cukup serius bagi kesehatan manusia dan untuk kesuburan tanah, maka banyak metoda yang dikembangkan untuk menurunkan kadar logam berat dari tanah atau badan perairan, salah satunya metode adsorpsi. metode adsorpsi merupakan salah satu metode yang sangat efisien untuk menurunkan kandungan logam berat. dewasa ini banyak dikembangkan aplikasi teknik adsorpsi (metode penyerapan) untuk pengolahan limbah logam berat menggunakan material polimer atau berpori yang bertindak sebagai adsorben. adsorpsi logam berat akan terakumulasi pada permukaan material adsorben dalam ini abu sekam padi. penggunaan adsorben untuk penanganan limbah logam berat banyak diaplikasikan karena selain ketersediaannya yang berlimpah, bahan baku mudah didapat, dan biayanya relatif murah (kheloufi, et al. 2009, ngatijo dkk, 2011). la harimu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 82 penelitian pemanfaatan produk samping pertanian sebagai adsorben logam berat dan zat warna telah dilakukan oleh beberapa peneliti. marshall dan mitchell (1996), melaporkan beberapa produk samping pertanian yang berpotensi sebagai adsorben, yaitu tongkol jagung, gabah padi, gabah kedelai, biji kapas, jerami, ampas tebu, serta kacang tanah. siregar (2009) menggunakan selulosa dari tumbuhan untuk pengurangan cemaran logam berat nikel, kromium, dan merkuri pada perairan dan produk perikanan dengan metode adsorbsi. baidho (2013) melakukan adsorpsi logam berat pb dalam larutan menggunakan senyawa xanthate jerami padi. modifikasi selulosa pada tongkol jagung mampu menjerap biru metilena dari limbah tekstil dengan kapasitas adsorpsi 518.07 µg/g adsorben. saputro (2012), memanfaatan arang aktif kulit kakao (theobroma cacao l.) sebagai adsorben ion cu(ii). addai (2014) menggunakan slag nikel yang mengandung silika untuk mengadsorpsi logam berat cu, pb, cd, ni, dan zn dari air limbah. hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa limbah pertanian atau limbah yang mengandung selulosa atau silica dapat diolah lebih lanjut menjadi adsorben dan diharapkan mampu meningkatkan nilai manfaat dari limbah. berdasarkan latar belakang di atas maka pada penelitian ini telah dilakukan aplikasi variasi konsentrasi naoh dan h2so4 untuk memurnikan silika dari abu sekam padi serta aplikasinya sebagai adsorben ion logam pb 2+ dan cu 2+ . metodologi bahan bahan yang digunakan adalah h2so4 p.a (merck), naoh, larutan standar ion logam (pb 2+ ) 1000 ppm, larutan standar ion logam (cu 2+ ) 1000 ppm, larutan akuades dan kertas saring. alat peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, spatula, batang pengaduk, gelas kimia, labu takar 250 ml, gelas ukur 100 ml, pipet volume 25 ml, indikator ph, corong kaca, gelas ukur 100 ml, magnetik stirer, stopwatch, oven, x-ray fluoresence dan scan electron microscop, spektroskopi serapan atom (sni 06-6989). prosedur kerja preparasi sampel sampel abu sekam padi diambil dari penggilingan padi di desa mataiwoi kecamatan mowila kabupaten konawe selatan sulawesi tenggara. abu sekam padi diambil, kemudian digerus agar lebih halus lalu diayak menggunakan ayakan mesh 200. optimasi konsentrasi naoh terhadap rendemen silika dari abu sekam padi ke dalam 6 buah gelas kimia (a, b, c, d, e dan f) 1000 ml dimasukkan masing-masing 20 gram abu sekam padi. masing-masing gelas kimia kemudian ditambahkan dengan 120 ml naoh secara berurutan dengan konsentrasi berturut-turut yaitu 8%, 9%, 10%, 11%, 12% dan 13%, kemudian dipanaskan pada suhu 85 0 c selama 90 menit sambil diaduk menggunakan magnetik stirrer. setelah itu disaring menggunakan kertas saring whatmann no 41, kemudian filtratnya dinetralkan dengan asam sulfat 0,5 m hingga terdapat endapan gel dan didiamkan selama 18 jam. endapan gel yang terbentuk tersebut kemudian disaring, lalu dicuci menggunakan aquades panas sebanyak 1000 ml, dikeringkan dalam oven dengan suhu 110 0 c selama 5 jam dan ditimbang serta dihitung persentase rendemen silika yang diperoleh. kadar silika = optimasi konsentrasi asam sulfat masing-masing erlenmeyer 25 ml dimasukkan 1 gram silica dari rendemen terbanyak dari hasil perendaman dengan naoh kemudian ditambahkan 10 ml asam sulfat (1:10) dengan konsentrasi berturut-turut 5,4%, 8,16%, 10,88% dan 13,61%. larutan pada keempat gelas kimia tersebut didiamkan selama 120 menit. dicuci dengan aquades 200 ml selanjutnya larutan tersebut disaring. endapan hasil penyaringan dikeringkan dalam oven dengan suhu 110 0 c selama 2 jam kemudian ditimbang dan ditentukan rendemennya. silika yang diperoleh dikarakterisasi dengan xrf dan sem. penentuan ph optimum terhadap penyerapan ion logam pb 2+ dan cu 2+ disiapkan 4 buah erlenmeyer 50 ml dan dimasukan masing-masing 0.2 g serbuk silika kedalam erlenmeyer. selanjutnya, kedalam la harimu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 83 erlenmeyer ditambahkan 10 ml larutan ion logam pb 2+ konsentrasi 10 ppm. adsorpsi dilakukan dengan variasi ph 3, 4, 5 dan 6, kemudian diaduk menggunakan magnetik stirrer selama 30 menit dengan kecepatan putaran 180 rpm. larutan disaring dengan kertas saring whatman 41. konsentrasi ion logam pb 2+ dan cu 2+ pada filtrat ditentukan menggunakan aas. penentuan pengaruh massa silika terhadap penyerapan ion logam pb 2+ dan cu 2+ adsorpsi dilakukan dengan variasi massa adsorben 0,1 g, 0,2 g, 0,3 g, 0,4 g dan 0,5 g dengan ph optimum yang diperoleh pada penentuan pengaruh ph larutan. disiapkan 5 buah erlenmeyer 50 ml, dimasukkan masingmasing 0,1 g, 0,2 g, 0,3 g, 0.4 g dan 0,5 g serbuk silika. selanjutnya, kedalam erlenmeyer ditambahkan 10 ml larutan ion logam pb 2+ dan cu 2+ dengan konsentrasi 10 ppm. larutan selanjutnya diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit dengan kecepatan putaran 180 rpm. larutan disaring dengan kertas saring whatman 41. konsentrasi ion logam pb 2+ dan cu 2+ pada filtrat ditentukan menggunakan aas. analisis penentuan konsentrasi ion logam pb 2+ dan cu 2+ data hasil pengukuran absorbansi ion logam pb 2+ dan cu 2+ pada variasi ph dan massa adsorben menggunakan ssa digunakan untuk menghitung konsentrasi akhir ion logam pb 2+ maupun ion logam cu 2+ setelah adsorpsi (ce) dengan menggunakan persamaan regresi. y = ax + b dimana: y = absorbansi x = ce = konsentrasi akhir logam pb 2+ /cu 2+ a = slope b = intersep selanjutnya harga ce yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase logam yang teradsorpsi dihitung dengan persamaan : % teradsorpsi = x 100% dengan c0 adalah konsentrasi awal larutan logam (mg/l), ce adalah konsentrasi setelah adsorpsi (mg/l). dari hasil perhitungan persen teradsorpsi (% teradsorpsi) terhadap variasi ph dan massa adsorben dilihat pada ph dan massa berapa persen teradsorpsi tertinggi. sedangkan untuk menghitung nilai kapasitas adsorpsi digunakan persamaan: q = x v dimana : q= kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g) c0 = konsentrasi awal larutan (mg/l) ce = konsentrasi akhir larutan (mg/l) m = massa adsorben (g) v = volume larutan (l) hasil dan pembahasan variasi konsentrasi naoh untuk mengendapkan silika dari abu sekam padi hasil pemisahan silika dari abu sekam padi melalui pengendapan menggunakan naoh dengan konsentrasi yang bervariasi juga menghasilkan kadar silica yang berbeda seperti disajikan pada tabel 1. tabel 1. variasi konsentrasi naoh terhadap kadar silika dari abu sekam padi konsentrasi naoh (%) berat silika berat silika i (gram) berat silika ii (gram) berat rerata endapan (gram) kadar (%) 8% 2,18 2,75 2,46 12,3 9% 2,95 2,83 2,89 14,4 10% 3,72 3,76 3,74 18,7 11% 4,95 4,86 4,90 24,5 12% 7,26 7,42 7,34 36,7 13% 5,12 5,69 5,22 26,1 data pada tabel 1 menunjukkan bahwa kadar silika terbanyak diperoleh pada konsentrasi naoh 12% yaitu sebesar 36,7%. pada konsentrasi naoh yang rendah jumlah silika yang diikat menjadi natrium silikat relative lebih kecil. sedangkan pada konsentrasi naoh yang terlalu tinggi yaitu 13% menyebabkan kadar silika menjadi menurun. hal ini disebabkan karena pada konsentrasi tinggi viskositas larutan naoh bertambah sehingga mengurangi aktivitas ion dalam larutan. akibatnya jumlah ikatan yang terbentuk antara naoh dan sio2 dalam abu sekam padi berkurang. reaksi pengikatan naoh dengan sio2, penetralan dengan asam dan pencucian dengan aquades sebagai berikut: la harimu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 84 sio2(s) + 2naoh(aq) na2sio3(aq) + h2o(l) na2sio3(aq) + h2so4 (aq) h2sio3(l) + na2so4 (aq) h2sio3(s) sio2 + h2o(s) variasi konsentrasi asam sulfat untuk meningkatkan kadar silika perendaman dengan h2so4 bertujuan untuk menurunkan kadar pengotor berupa oksidaoksida logam seperti na2o, k2o dan cao dalam abu sekam padi (mujiyanti et al., 2010). jumlah endapan silika hasil perendaman dengan h2so4 pada konsentrasi bervariasi dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. variasi konsentrasi h2so4 terhadap kadar silika dari abu sekam padi konsentrasi h2so4 (%) berat silika berat silika i (gram) berat silika ii (gram) berat rata-rata silika kadar (%) 5,4% 0,5593 0,5354 0,5473 54,73% 8,16% 0,5771 0,5653 0,5707 57,07% 10,88% 0,6133 0,6241 0,6187 61,87% 13,61% 0,5957 0,5961 0,5959 59,59% berdasarkan data pada tabel 2 menunjukkan bahwa berat endapan terbanyak diperoleh dari konsentrasi h2so4 10,88% yaitu sebesar 61,87%. pada konsentrasi h2so4 yang lebih rendah jumlah oksida yang larut relative lebih sedikit dan pada konsentrasi yang lebih tinggi dari konsentrasi h2so4 optimum, kadar silika yang diperoleh berkurang. hal diduga disebabkan karena pada konsentrasi asam yang terlalu tinggi, silika yang terbentuk cenderung larut. karakterisasi komponen senyawa silika abu sekam padi pengujian dengan x-ray fluoresence (xrf) pada silika hasil pemisahan menggunakan naoh dan h2so4 dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi campuran dari unsur-unsur material silika yang diperoleh. komposisi kimia abu sekam padi sebelum dan setelah perlakuan ditunjukkan pada tabel 3. berdasarkan data pada tabel 3 menunjukkan bahwa kadar silika setelah perlakuan menggunakan naoh dan h2so4 mengalami perubahan. sebagian besar oksidaoksida logam larut dengan baik dalam larutan naoh dan proses pencucian dengan h2o. sedangkan pada proses penambahan h2so4 dan pencucian dengan air oksida-oksida logam yang ada relative tidak berubah kecuali na2o. dari kedua perlakuan tersebut kadar silika menjadi berkurang, namun lebih meningkat kemurniannya. berkurangnya persentase silika dari kadar awal disebabkan karena baik naoh dan h2so4 selain melarutkan oksida-oksida logam juga turut melarutkan silika. pada perlakuan penambahan naoh kemurnian silika adalah 89,04% dan setelah pencucian dengan h2so4 kemurnian silika menjadi 94,94%. tabel 3. data analaisis xrf abu sekam padi setelah pengendapan dengan naoh dan pemurnian h2so4 senyawa parameter (%) abu sekam padi sebelum perlakuan setelah penambahan naoh setelah pemurnian h2so4 na2o 5,84 2,577 1,558 mgo 1,592 0,393 0,343 al2o3 1,417 0,77 0,695 sio2 86,02 41,81 65,39 p2o5 4,063 0,769 0,647 k2o 2,153 0,4043 0,02091 cao 1,151 0,1796 0,1766 tio2 0,0129 0,0117 0,00837 fe2o3 0,2038 0,04041 0,03368 gambar 1. silika hasil pemurnian dengan naoh dan h2so4 sesuai dengan penelitian kheloufi (2009) menyatakan bahwa pemurnian silika dapat dilakukan dengan cara melarutkan kandungan unsur-unsur seperti fe, ca, dan al menggunakan pelarut asam. hal ini akan menguntungkan untuk mendapatkan silika dengan kadar yang murni dikarenakan kandungan unsur-unsur yang dianggap sebagai pengganggu dapat larut dalam la harimu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 85 pelarut asam sedangkan silika tidak dapat larut. silika dari abu sekam padi hasil pemurnian menggunakan naoh 12% dan h2so4 10,88% ditunjukkan seperti pada gambar 1. aplikasi adsorpsi ion logam pb 2+ dan ion logam cu 2+ . a. pengaruh ph larutan ion logam timbal (pb 2+ ) dan tembaga (cu 2+ ) penelitian pengaruh ph terhadap adsorpsi ion logam pb 2+ dan cu 2+ dilakukan dengan pada variasi ph (3, 4, 5 dan 6). setelah proses adsorpsi selesai dilakukan pengukuran konsentrasi ion logam yang tersisa menggunakan aas (sni 06-6989). konsentrasi ion logam pb 2+ dan cu 2+ yang teradsorpsi oleh silika pada berbagai variasi ph larutan yang disajikan pada tabel 4. tabel 4. pengaruh variasi ph larutan ion logam terhadap persen adsorpsi ph ion logam ce logam (ppm) c teradsorpsi (ppm) kapasitas adsorpsi (mg/g) % teradsorpi 3 pb 2+ 4,40 5,59 0,27 55,9 cu 2+ 7,83 2,17 0,11 21,7 4 pb 2+ 4,19 5,80 0,29 58,0 cu 2+ 6,63 3,37 0,17 33,7 5 pb 2+ 0,44 9,55 0,47 95,5 cu 2+ 4 6 0,3 60 6 pb 2+ 0,30 9,69 0,48 96,9 cu 2+ 1,71 8,29 0,41 82,9 berdasarkan data tabel 4 dapat dilihat bahwa baik ion pb 2+ maupun ion logam cu 2+ ph sangat berpengaruh pada proses adsorpsi. hal ini ditandai dengan adanya peningkatan persen teradsorpsi seiring dengan kenaikkan ph larutan. ph optimum proses adsorpsi untuk kedua ion logam pb 2+ dan cu 2+ terjadi pada ph 6. sedangkan pada ph rendah kedua ion logam pb 2+ dan cu 2+ mengalami adsorpsi yang rendah. hal ini sesuai dengan penelitian nurhasni dkk (2014) mengenai proses penyerapan ion logam cu dan pb dalam air limbah menggunakan sekam padi bahwa penyerapan optimum untuk ion logam cu dan pb terjadi pada ph 6 dengan nilai efisiensi penyerapan untuk ion logam cu dan pb masing-masing sebesar 98,52% dan 98,74%. tingginya kemampuan adsorpsi pada ph 6 disebabkan karena sifat gugus aktif permukaan silika yaitu gugus aktif silanol (sioh) mengalami ionisasi menjadi sio dan ion logam pb 2+ dan cu 2+ cenderung berada dalam keadaan ionnya sehinga proses pembentukan ikatan antara ion logam dan gugus silanol lebih mudah terjadi. sebaliknya pada ph rendah yaitu ph 3 dan 4 gugus silanol mengalami protonasi membentuk sioh2 + sehingga pembentukan ikatan pada permukaan antara gugus silanol dengan ion logam menjadi berkurang karena terjadi kompetisi antara ion logam pb 2+ atau cu 2+ dengan h + untuk membentuk ikatan dengan gugus silanol. pada ph rendah: sioh + h + sioh2 + pada ph tinggi : sioh + oh sio + h2o variasi massa silika terhadap adsorpsi ion logam pb 2+ dan cu 2+ pengaruh massa terhadap adsorpsi ion logam pb 2+ dan cu 2+ dengan adsorben silika dari abu sekam padi dilakukan variasi 0,1, 0,2, 0,3, 0,4 dan 0,5 g dengan konsentrasi .ion logam pb 2+ dan cu 2+ 10 ppm pada ph optimal. variasi konsentrasi massa adsorben mempengaruhi jumlah ion logam pb 2+ dan cu 2+ yang teradsorpsi seperti ditunjukkan pada tabel 5. tabel 5. pengaruh variasi massa silika terhadap persen adsorpsi massa adsorben (g) ion logam ce logam (ppm) c teradsorpsi (ppm) kapasitas adsorpsi (mg/g) % teradsorpi 0,1 pb 2+ 0,39 9,61 0,96 96,1 cu 2+ 1,70 8,30 0,83 83,0 0,2 pb 2+ 0,30 9,70 0,48 97,0 cu 2+ 1,67 8,33 0,42 83,3 0,3 pb 2+ 0,20 9,80 0,33 98,0 cu 2+ 3,24 6,76 0,23 67,6 0,4 pb 2+ 0,33 0,967 0,24 96,7 cu 2+ 3,60 6,40 0,16 64,0 0,5 pb 2+ 0,40 9,6 0,19 96 cu 2+ 4,02 5,98 0,12 59,8 berdasarkan data pada tabel 5 menunjukkan bahwa persen teradsorpsi untuk ion logam pb 2+ untuk variasi massa yang diuji relatif sama. sedangkan untuk ion logam cu 2+ persen adsorpsi bervariasi, untuk massa 0,1g dan 0,2 g relatif sama yaitu ±83% dan untuk massa 0,3g, 0,4g, dan 0,5g mengalami penurunan. hal tersebut diduga pada massa adsorben tertentu baik ion logam pb 2+ maupun cu 2+ telah habis teradsorpsi semua. sehingga dengan penambahan massa adsorben tidak mempengaruhi jumlah ion logam yang teradsorpsi. bahkan kemampuan adsorpsi dari kedua ion logam cenderung menurun dengan meningkatnya massa adsorben. selain itu juga la harimu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 86 dapat disebabkan dengan penambahan adsorben dalam larutan dapat meningkatkan gugus aktif silanol pada adsorben sehingga dalam larutan ion logam memperbesar terjadnya pembentukan ikatan hidrogen. hal ini berakibat pada berkurangnya jumlah gugus aktif silanol yang berikatan dengan ion logam pb 2+ dan cu 2+ sehingga jumlah ion logam yang terikat menjadi berkurang. disamping itu diduga dengan bertambahnya jumlah ikatan hidrogen yang terbentuk menyebabkan struktur pori dan gugus aktif pada adsorben akan mengalami perubahan, akibatnya jumlah pori yang menjebak ion logam menjadi brkurang. kapasitas adsorpsi untuk ion logam pb 2+ terbaik sebesar 0,96 mg/g terjadi pada massa 0,1 g adsorben. peningkatan massa adsorben justru menurunkan kapasitas adsorpsi baik untuk ion logam pb 2+ dan cu 2+ . untuk ion logam cu 2+ kapasitas adsorpsi terbaik juga pada variasi massa 0,1 g sebesar 0,83 mg/g dan terus mengalami penurunan dengan bertambahnya massa adsorben. hal ini disebakan karena bertambahnya massa adsorben silika sebanding dengan bertambahnya jumlah partikel dan luas permukaan silika sehingga menyebabkan bertambahnya sisi aktif adsorpsi dalam hal ini sioh memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen yang mempengaruhi jumlah ion logam yang dikat. baik persen adsorpsi maupun kapasitas adsorpsi ion logam pb 2+ lebih baik daripada ion cu 2+ . hal ini duga karena baik gugus aktif silanol maupun ukuran pori silika dari abu sekam padi cocok untuk ion logam pb 2+ . faktor lain dipengaruhi oleh jari-jari atau diameter atom pb lebih besar dari jari-jari atom cu sehingga imobilisasi ion cu 2+ dalam polimer silikat kurang efektif. akibatnya proses difusi, translasi, dan pelepasan (leaching) lebih mudah terjadi meskipun kedua muatan ion sama. hal ini didukung oleh penelitian pir dan deventer (2001) yaitu silikat dalam slag lebih efektif mengimobilisasi ion logam pb daripada ion logam cu. hasil ini juga didukung oleh data sem bahwa ukuran diameter permukaan pori silika dari abu sekam padi adalah rata-rata 0,030 µm dengan diameter atom pb adalah 0,000360 µm lebih besar dari atom cu sebesar 0,000270 µm. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa silika dari abu sekam padi dapat dimurnikan menggunakan naoh 12% dengan kadar masing-masing sebesar 41,81% dengan kemurnian 89,09% dan dilanjutkan dengan h2so4 10,88% 65,39% dengan kemurnian 94,94%. kemampuan adsorpsi silika dari abu sekam padi untuk logam pb 2+ dan cu 2+ dengan konsentrasi awal 10 ppm adalah masingmasing 96% dan 83% pada kondisi ph 6 dan massa adsorben adalah 0,1 g serta kapasitas adsorpsi masing-masing 0,96 mg/g untuk ion logam pb 2+ dan 0,83 mg/g untuk ion cu 2+ . daftar pustaka addai, kwabena n., gideon danso-abbeam, 2014, determinants of willingness to pay for improved solid waste management in dunkwa-onoffin, ghana, journal of agriculture and environmental sciences, 3 (1), 1-9. baidho, z. e, lazuardy t, rohmania,s, hartati, i, 2013, adsorpsi logam berat pb dalam larutan menggunakan senyawa xanthate jerami padi, prosiding seminar nasional sains dan tekologi, 43-47. kalapathy, u., a. proctor, j. schultz., 2000, a simple method for production of pure silica from rice hull ash, bioresources technology, 73, 257-262. kheloufi, a., berbar, y., kefaifi, a., medjahed, s. a., kerkar f, 2009, improvement of impurities removal from silica sand by leaching process, algeria: silicon technology development unit, 1-6. kriswiyanti, enny a., danarto, y. c., 2007, model kesetimbangan adsorpsi cr dengan rumput laut, ekuilibrium, 6, 47-52. harimu, l.; hasria, h.; intan, p., 2013, separation of copper and chromium metal in ultrabasic rocks from top of manoapa region, subdistrict of lasusua southeast sulawesi by ligand of 2 (aminometil) pyridine, indo. j. chem. res., 1, 47-52. marshall w.e, mitchell m.j., 1996, agriculture by-product as metal adsorbent: sorption properties and resistence to mechanical abrasion, j. chem. technol. biotechnol, 66, 192-198. la harimu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 81-87 87 mujiyanti d.r.,, nuryono, eko sri kunarti, 2010, sintesis dan karakterisasi silika gel dari abu sekam padi yang diimobilisasi dengan 3-(trimetoksisilil)-1-propantiol. sains dan terapan kimia, 4(2), 150-167. ngatijo, faizar f, intan l., 2011, pemanfaatan abu sekam padi (asp) payo dari kerinci sebagai sumber silika dan aplikasinya dalam ekstraksi fasa padat ion tembaga (ii), jurnal penelitian universitas jambi seri sains, 13(2), 47-52. nurhasni, hendrawati nubzan s., 2014, sekam padi untruk menyerap ion logam tembaga dan timbal dalam air limbah, jurnal kimia valensi, 4(1), 130-138. pir, j.w., van deventer . j.s.j., 2001, effect of silicate activator ph on the leaching and material characteristic of the waste-based inorganic polymers, miner. eng., 14(3), 289-304. siregar, misran h., 2009, studi keanekaragaman plankton di hulu sungai asahan porsea, skripsi. medan: fmipa universitas sumaterautara. indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 32-36 32 imobilisasi enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) pada karbon aktif: karakterisasi, dan uji stabilitas kerja enzim imobil immobilization of lipase enzyme from the bran rice (oryza sativa l.) on activated carbon: characterization and stability test of immobile enzyme work firdaus 1 , seniwati dali 1 , hendra j. rusman 1* 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university jl. perintis kemerdekaan km. 10, tamalanrea, makassar, 90245 indonesia * corresponding author, e-mail: hendrarusmanlipase@gmail.com received: june 2017 published: july 2017 abstract this research aims to immobilize, characterize the enzyme of immobilized, test the effectiveness of the enzyme of immobilized. this research begins with the immobilization to process of enzyme lipase using activated carbon matrix, enzyme characterization covering of immobile determination of temperature and ph optimum of the enzyme of immobilized, as well as test the stability of work covering immobilized of enzyme the test thermal stability and repeated use. the results showed that the immobile of enzyme work optimally at 50 o c of temperature and ph 6.5 with each activity 0.040 u/ml. the research results also showed that the immobile of enzyme has higher thermal stability in comparison with the free enzyme with the relative activity of 57.50% at the time of 45 minutes of exposure and the exposure time at 47.50% at 75-105 minutes and it can be used as many as six times with the relative activity of 52.5% in 6 times of use. keywords: rice bran (oryza sativa l.), lipase of enzymes, immobilization, activated carbon, characterization pendahuluan penggunaan enzim lipase di bidang bioteknologi semakin berkembang pesat. oleh karena itu, banyak industri pangan dan nonpangan yang telah memanfaatkan kerja enzim lipase sebagai biokatalisator di dalam memodifikasi minyak dan lemak (yuneta dan saputra, 2010). enzim lipase dapat diisolasi dari mikroba, tumbuhan dan hewan. salah satu jenis enzim lipase terdapat di dalam tumbuhan yang dapat diisolasi dan dimanfaatkan adalah enzim lipase dedak padi (dharsono dan oktari, 2010, christianisari et.al., 2014, fitriyana dkk., 2012). namun, enzim lipase yang telah diisolasi biasanya masih dalam bentuk terlarut sehingga tidak stabil terhadap pengaruh lingkungan. ini menyebabkan enzim terlarut tidak dapat digunakan secara berulang-ulang; sehingga tidak ekonomis di dalam penggunaanya sebagai biokatalisator. untuk mengatasi kelemahan tersebut, dilakukan imobilisasi enzim secara adsorpsi menggunakan karbon aktif sebagai material pendukung (carrier). metode adsorbsi umumnya merupakan metode imobilisasi enzim lipase yang sederhana dan memiliki kelebihan yakni: (1) proses pengikatan enzim dan carrier lebih cepat, (2) tidak membentuk ikatan silang sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya perubahan konformasi struktur enzim, dan (3) tidak menunjukkan penurunan aktivitas enzim yang signifikan terhadap pengaruh suhu dan ph (dali, 2010). pemanfaatan enzim imobil dalam skala industri umumnya memerlukan aktivitas yang maksimum sehingga tidak diperlukan lagi enzim dalam jumlah banyak untuk dapat bekerja secara maksimal sebagai mailto:hendrarusmanlipase@gmail.com firdaus dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 32-36 33 biokatalisator. oleh karena itu, perlu dilakukan karakterisasi enzim imobil yang meliputi penentuan suhu dan ph optimum; selain itu, perlu dilakukan uji stabilitas kerja enzim imobil yang meliputi uji stabilitas termal dan uji stabilitas enzim imobil terhadap penggunaan berulang. metodologi bahan bahan yang digunakan yaitu: enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.), karbon aktif, minyak zaitun, asam oleat p.a (merck), n-heksana p.a (merck), hcl 6 n, buffer fosfat, aquades, aquabides, reagen cu(ii) asetat (5%)-piridin ph 6. alat alat yang digunakan yaitu: spektrofotometer 20 d + (genesys), sentrifuge (hettic universal 320r), neraca analitik (acculab), oven, blender, hot plate stirrer (vella), shaker incubator (bl barnstead/labline max q 4000), mikropipet, neraca lengan (ohaus), batang pengaduk, ph meter, magnetig styrrer (vwr scientific), gelas ukur, gelas kimia, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet volume, dan pipet tetes. prosedur kerja imobilisasi enzim lipase sebanyak 7,5 ml enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) ditambahkan dengan 7,5 ml buffer fosfat ph 6,5 dan 5 gram karbon aktif kemudian di shaker selama 30 menit dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar. selanjutnya disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm. penentuan aktivitas lipase imobil penentuan aktivitas lipase dilakukan dengan menggunakan metode kwon dan rhee sebagai berikut: sebanyak 0,70 ml enzim bebas ditambahkan 0,35 ml buffer fosfat ph 6,5 dan substrat minyak zaitun sebanyak 0,70 ml. campuran tersebut diinkubasi pada suhu 45 0 c dengan kecepatan 120 rpm selama 15 menit. setelah proses inkubasi, ditambahkan 0,5 ml hcl 6 n dan 3,25 ml n-heksana dan dikocok dengan kuat lalu didiamkan selama 15 menit. setelah terbentuk dua fase, fase minyak diambil sebanyak 2,50 ml dan ditambahkan n-heksana sebanyak 1,25 ml; kemudian ditambahkan 0,5 ml reagen tembaga (ii) asetat 5% ph 6 lalu dikocok dengan kuat. fase atas diambil sebanyak 3,20 ml dan ditentukan nilai absorbansi dengan menggunakan spekrofotometer 20 d + pada panjang gelombang 615 nm. penentuan suhu optimum penentuan suhu optimum dilakukan dengan menguji aktivitas enzim lipase yang telah diimobilisasi menggunakan metode kwon dan rhee pada suhu yang bervariasi (yaitu: 30; 35; 40; 45; 50; 55; 60; 65; dan 70) 0 c. penentuan ph optimum penentuan ph optimum dilakukan dengan menguji aktivitas enzim lipase menggunakan metode kwon dan rhee pada ph yang bervariasi (yaitu: 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5; dan 8,0). uji stabilitas termal enzim imobil uji stabilitas termal enzim imobil dilakukan dengan menguji aktivitas enzim lipase menggunakan metode kwon dan rhee pada waktu pemaparan yang bervariasi (yaitu: 15, 45, 75, 105 dan 135) menit. uji stabilitas enzim imobil terhadap penggunaan berulang uji stabilitas enzim imobil terhadap penggunaan berulang adalah sebagai berikut: sebanyak 1 g enzim imobil ditambahkan 5 ml buffer fosfat ph 6,5 dan 5 ml substrat minyak zaitun; kemudian campuran tersebut diinkubasi pada waktu 15 menit pada suhu 50 o c dengan kecepatan 250 rpm; selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi pada kecepatan 1000 rpm selama 5 menit. produk yang dihasilkan diuji aktivitas enzimnya dengan menggunakan metode kwon dan rhee pada panjang gelombang 615 nm, sedangkan enzim imobil dicuci dengan 20 ml buffer fosfat ph 6,5, disaring, dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 40 o c selama 30 menit; selanjutnya, enzim imobil yang telah kering digunakan untuk penentuan aktivitas enzim lipase berikutnya. firdaus dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 32-36 34 hasil dan pembahasan penentuan suhu optimum penentuan suhu optimum dilakukan untuk mengetahui suhu optimal kerja enzim imobil. peningkatan suhu berpengaruh pada peningkatan aktivitas enzim lipase imobil. ini disebabkan oleh meningkatnya intensitas tumbukan antara enzim imobil dengan substrat minyak zaitun. pada saat suhu ditingkatkan, aktivitas enzim akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh proses denaturasi enzim. kestabilan enzim imobil terhadap pengaruh suhu tergantung pada kesesuaian matriks dengan enzim dan kandungan gugus-gugus hidrofobik pada asam amino penyusun enzim. kandungan gugusgugus hidrofobik menyebabkan molekul enzim membentuk konformasi struktur lebih rapat di dalam larutan dan mudah untuk terikat secara fisik dengan matriks karbon aktif; dengan demikian, matriks karbon aktif akan melindungi enzim dari putusnya ikatan fisik akibat pemanasan (christianasari dkk., 2014). dalam penelitian ini, suhu divariasikan mulai dari (30, 35, 40, 45, 50, 55, 60, 65, 70) o c; hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1 pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim imobil berdasarkan hasil penelitian, enzim lipase imobil bekerja secara optimal pada suhu 50 o c dengan aktivitas lipase sebesar 0,040 u. penentuan ph optimum penentuan ph optimum dilakukan untuk mengetahui ph optimal kerja enzim imobil. dalam penelitian ini, buffer yang digunakan adalah buffer fosfat dan ph divariasikan mulai dari 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5 dan 8,0. hasil penelitian dapat dilihat dari gambar 2. gambar 2 pengaruh ph terhadap aktivitas enzim imobil berdasarkan hasil penelitian, enzim lipase murni dan enzim lipase imobil bekerja secara optimal pada ph 6,5 dengan aktivitas dan 0,040 u. ini menunjukkan bahwa perubahan ph berpengaruh pada perubahan konformasi struktur enzim di dalam matriks akibat pembentukkan atau pemutusan interaksi ionik terutama pada bagian enzim yang mengandung r–nh3 + dan r–coo akibat pengaruh lingkungan yang asam atau basa. hal ini disebabkan karena setiap enzim memiliki ph optimum yang berbeda-beda sehingga ph yang jauh dari kondisi optimum akan menyebabkan enzim mengalami denaturasi (bintang dkk., 2015). uji stabilitas termal enzim imobil uji stabilitas termal dilakukan untuk mengetahui kestabilan konformasi struktur enzim terhadap waktu pemanasan dan perubahan kondisi lingkungan akibat proses reaksi yang dapat mengakibatkan terjadinya proses denaturasi enzim secara perlahan (murty et al., 2002). gambar 3 hasil uji stabilitas termal enzim imobil 0.01 0.02 0.03 0.04 30 35 40 45 50 55 60 65 70 a k ti v it a s l ip a se ( u ) suhu (0c) 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8 a k ti v it a s l ip a se ( u ) ph larutan buffer 0 50 100 15 45 75 105 aktivitas relatif lipase bebas (%) aktivitas relatif lipase imobil (%) a k ti v it a s r e la ti f ( % ) waktu pemaparan (menit) firdaus dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 32-36 35 dalam penelitian ini, digunakan kondisi optimum reaksi enzim bebas dan enzim imobil dengan waktu yang bervariasi mulai dari (15, 45, 75, dan 105) menit. hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 3 dan tabel 1. tabel 1 perbandingan aktivitas enzim bebas dan enzim imobil waktu (menit) aktivitas lipase bebas (u/ml) aktivitas lipase imobil (u) 15 0.050 0.040 45 0.019 0.023 75 0.013 0.019 105 0.013 0.019 berdasarkan tabel 1, aktivitas enzim lipase bebas mengalami penurunan dalam selang waktu 45 menit dengan aktivitas relatif sebesar 38% dan relatif konstan pada selang waktu 75-105 menit dengan aktivitas relatif sebesar 26%, sedangkan aktivitas enzim imobil mengalami penurunan dalam selang waktu 45 menit dengan aktivitas relatif sebesar 57,50% dan relatif konstan pada selang waktu 75-105 menit dengan aktivitas relatif sebesar 47,50%. ini menunjukkan imobilisasi enzim menggunakan matriks karbon aktif mampu meningkatkan stabilitas enzim terhadap waktu pemanasan dan perubahan kondisi lingkungan akibat proses reaksi. gambar 4 uji stabilitas enzim imobil terhadap penggunaan berulang. uji kestabilan enzim imobil terhadap penggunaan berulang uji stabilitas enzim imobil terhadap penggunaan berulang dilakukan untuk mengetahui efektifitas operasional enzim lipase dedak padi yang diimobilisasi menggunakan matriks karbon aktif di dalam penelitian ini, enzim imobil digunakan sebanyak lima kali. hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 4 dan tabel 2. tabel 2 aktivitas enzim imobil pada penggunaan berulang penggunaan enzim imobil aktivitas lipase (u) 1 0.04 2 0.04 3 0.037 4 0.032 5 0.029 6 0.021 berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2, enzim imobil sangat efektif hingga dua kali penggunaan dengan aktivitas relatif 100% dan aktivitas lipase sebesar 0,040 u, pada penggunaan ketiga, keempat, kelima, dan keenam, aktivitas enzim mengalami penurunan yaitu 92,5%, 80%, 72,5% dan 52,5% yang disebabkan karena terlepasnya ikatan van der waals antara gugus-gugus hidrofobik enzim dengan matriks karbon aktif (dali, 2010). ini menunjukkan bahwa enzim lipase dedak padi yang diimobilisasi dengan menggunakan matriks karbon aktif efektif untuk digunakan dalam skala industri. kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. enzim lipase imobil memiliki suhu optimum 50 o c dan ph optimum 6,5 dengan aktivitas lipase sebesar 0,040 u. 2. enzim lipase imobil memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi dari enzim bebas yakni dengan memiliki aktivitas relatif sebesar 57,50% pada waktu pemaparan 45 menit dan 47,50% pada waktu pemaparan 75-105 menit. 0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 5 6 a k ti v it a s r e la ti f ( % ) jumlah penggunaan berulang firdaus dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 32-36 36 3. enzim lipase imobil dapat digunakan sebanyak 6 kali dengan aktivitas relatif sebesar 52,5% pada 6 kali penggunaan. daftar pustaka bintang m; panji t; saadah s, 2015, imobilisasi lipase rhizopus oryzae pada zeolit, caco3, silika gel, dan tulang sapi, current biochemistry, volume 2 (2): 54 – 63, issn: 2355-7877. christianasari r; widi r.k; halim b.a; purwanto m. g.m., 2014, imobilisasi enzim lipase pada ca-bentonit serta apilkasinya pada produksi asam lemak omega-3 pada limbah minyak ikan, seminar nasional bioteknologi 2014, biotechnological approaces to blue economy implementation. dharsono w; oktari y.s, 2010, pembuatan biodiesel dari dedak padi dan metanol dengan esterifikasi in situ, skripsi tidak diterbitkan, universitas diponegoro, semarang. fitriyana l.a., soeprodjo, kardawati s., 2012, produksi biodiesel dari dedak padi (rice bran) melalui dua tahap reaksi in-situ, idn. j. chem. sci 1(2), issn: 2252-6951. murty v.r; bhat j; muniswaran p.k.a, 2002, hydrolysis of rice bran oil using immobilized lipase in a stirred batch reactor, biotechnol, bioprocess eng. 7: 367-370. dali s., 2010, studi enzim lipase dari aspergillus oryzae pada kopra berjamur dan pemanfaatannya dalam menghidrolisis minyak kelapa menjadi dag, disertasi, universitas hassanudin, makassar. yuneta r; saputra s.r, 2010, pengaruh suhu pada lipase dari bakteri bacillus subtilis, prosiding kimia fmipa, institut teknologi sepuluh november, surabaya. indochem indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 17-21 17 bioethanol production from waste paper using separate hydrolysis and fermentation pembuatan bioetanol berbahan baku kertas bekas menggunakan metode hidrolisis asam dan fermentasi cindi ramayanti 1* , ketty r. giasmara 2 1 industrial department, faculty of engineering singaperbangsa karawang university, teluk jambe timur, karawangindonesia 2 sriwijaya alam segar company jl. tanjung siapi api rt. 11/05 talang kelapa, banyuasin-indonesia *corresponding author, e-mail: cindi.ramayanti@ft.unsika.ac.id received: january 2017 published: july 2017 abstract the enormous global daily consumption of liquid fuels is of the order of 80 million barrels/day (equivalent of 12.7 million m 3 /day). the sugar cane area required to produce the same volume of ethanol is about 700 million hectares,assuming a yield of 6.5 m 3 /ha/year of ethanol. this study focus to use the second generation feedstock for bioethanol production. waste papers have cellulose biomass in high percentage so that can be used as potential alternative biomass feedstock to convert bioethanol. alkaline delignification was conducted by sodium hydroxide (naoh) and then hydrolyzed using sulfuric acid (h2so4) diluted with various concentrations (2%; 2.5%; 3%; 3.5%; 4%; and 5% (v/v) and then fermentation was carried out by saccharomyces cereviciae with the variation fermentation time (4 days, 5 days, 6 days, 7 days, and 8 days). ethanol will be produced after separated using evaporation process. the results for the paper inked with the highest ethanol content of 6,12% (v/v) was obtained at a concentration of 4% sulfuric acid (v / v) and 7 days fermentation time. while the paper without ink obtained the highest ethanol content of 8,13 % (v / v) sulfuric acid at a concentration of 4% (v/v) and 7 days fermentation time keywords: bioethanol, fermentation, hydrolysis, waste paper pendahuluan energi merupakan salah satu permasalahan utama pada saat ini. sampai saat ini bahan bakar minyak masih menjadi konsumsi utama negaranegara di dunia. harga bahan bakar minyak dunia pun meningkat pesat. produksi minyak bumi dunia diperkirakan akan turun hingga 20 billion barrels pada tahun 2050 (sun and cheng, 2002). permasalahan inilah yang membawa dampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak di indonesia. di sisi lain, permintaan bahan bakar minyak dalam negeri jumlahnya terus meningkat akibat adanya usahausaha perbaikan ekonomi dan pertambahan penduduk. namun dibalik ancaman serius di atas ada peluang bagi energi energi alternatif, khususnya energi yang dapat diperbaharui (renewable energy) untuk dimanfaatkan secara optimal. salah satu energi terbarukan yang mempunyai potensi besar di indonesia adalah biomassa. biomassa dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk bensin. salah satu sumber biomassa yang sampai saat ini jarang digunakan adalah limbah kertas. tingkat konsumsi kertas di indonesia bahkan di dunia terus mengalami peningkatan. saat ini kebutuhan kertas dunia sekitar 394 juta ton dan diperkirakan akan meningkat menjadi 490 juta ton pada 2020. sementara itu, kebutuhan kertas di dalam negeri pada 2011 mencapai 5,2 juta ton (huda, 2014). penanganan limbah kertas dengan cara penimbunan dan pembakaran sangat merugikan lingkungan dan kesehatan, terlebih lagi biasanya memiliki harga jual yang sangat rendah. salah satu metode penanganan limbah kertas adalah mengubahnya menjadi bioetanol. limbah kertas mengandung serat lignosellulosa, serat ini dapat diubah menjadi gula sederhana melalui proses hidrolisa. cindi ramayanti dkk./ ind. j. chem. res., 2017, 5(1), 17-21 18 kemudian gula yang terbentuk diubah menjadi etanol melalui proses fermentasi. untuk memecah lignosellulosa menjadi gula sederhana yang siap difermentasi diperlukan metode pretreatment yaitu hidrolisa. proses hidrolisa ini dapat dilakukan dengan metode asam encer atau metode enzimatik. hidrolisa sellulosa secara enzimatik memberi yield etanol sedikit lebih tinggi dibandingkan metode hidrolisa asam (palmqvist and hahn-hägerdal, 2000). namun, proses enzimatik tersebut merupakan proses yang paling mahal. proses recycle dan recovery enzim selulosa diperlukan untuk menekan tingginya biaya produksi (iranmahboob et al., 2002; szczodrak and fiedurek, 1996). sehingga, metode hidrolisa asam encer lebih unggul dibandingkan metode enzim dari segi biaya dan waktu pembentukan (anggoro, 2014). pada penelitian ini dipelajari pengaruh konsentrasi asam sulfat, jenis kertas dan waktu fermentasi terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari limbah kertas melalui proses hidrolisa asam dan dilanjutkan dengan fermentasi. metodologi bahan limbah kertas bertinta dan tanpa tinta, koh, naoh, aquadest, h2so4 (2,0%; 2,5 %; 3,0%; 4,0 %; dan 5,0% (v/v)), kertas saring whatman no. 42, ragi. alat peralatan gelas standar, pemanas listrik, aluminium foil / gabus, pengaduk / spatula, fermentor, autoclave, destilasi / evaporator, piknometer, gc (gas chromatography) prosedur kerja penelitian dilakukan dengan memotong limbah kertas menjadi ukuran yang seragam kurang lebih 5 mm. tahap berikutnya adalah pengolahan awal dengan menggunakan natrium hidroksida (naoh) pada suhu 121 o c selama 60 menit. campuran didinginkan pada suhu kamar kemudian dilakukan pencucian sebanyak lebih kurang tiga kali. proses perlakuan awal dilakukan karena beberapa faktor seperti kandungan lignin, ukuran partikel, serta kemampuan hidrolisis dari selulosa dan hemiselulosa (hendrik and zeeman, 2009). selanjutnya dilakukan proses hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat (h2so4) dengan variasi konsentrasi (2,0%; 2,5 %; 3,0%; 4,0 %; dan 5,0% (v/v)) per sampelnya selama satu jam pada suhu 121 o c. setelah itu campuran didinginkan pada suhu kamar untuk menghentikann reaksi. kemudian ph sampel diatur dengan menambahkan naoh. proses fermentasi menggunakan 15% berat sampel ragi roti (yeast saccaromyces cerevisiae). erlenmeyer yang berisi sampel dihubungkan dengan selang karet kemudian ujung selang dimasukkan kedalam air agar tidak terjadi kontak langsung dengan udara. proses fermentasi ini dilakukan sesuai dengan variabel yaitu 4, 5, 6, 7, dan 8 hari. untuk memisahkan etanol dari larutan sampel dilakukan dengan proses evaporasi pada suhu 78 – 80 o c. etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi dianalisa menggunakan piknometer dan gc. hasil dan pembahasan bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kertas bekas. dari literatur diperoleh bahwa bahan baku kertas bekas mengandung selulosa 69 – 99 %b, hemiselulosa 0 – 12 %b, dan lignin 0 – 15 %b. komposisi ini menunjukkan bahwa kertas bekas cukup berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi pada bahan baku dapat menghasilkan glukosa dengan kandungan yang tinggi, yang dapat dikonversi menjadi etanol dengan jalan fermentasi, sedangkan kandungan lignin akan menyebabkan terbentuknya senyawa turunan fenol. senyawa tersebut akan bersifat racun dan menghambat proses fermentasi. kandungan lignin sangat berpengaruh pada reaksi hidrolisis selulosa. reaksi hidrolisis ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi reaksi seperti suhu dan konsentrasi asam, namun juga dipengaruhi oleh sifat fisik selulosa dan faktor sterik yang dapat menghalangi penetrasi asam terhadap molekul selulosa. kombinasi hemiselulosa dan lignin pada tumbuhan menghasilkan lapisan pelindung yang kuat di sekitar selulosa yang harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum hidrolisis selulosa dilakukan. semakin besar kandungan lignin dalam kertas, maka semakin besar pula halangan sterik yang akan menghambat penetrasi asam pada molekul selulosa dan mengakibatkan jumlah glukosa yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis menjadi lebih kecil. cindi ramayanti dkk./ ind. j. chem. res., 2017, 5(1), 17-21 19 proses hidrolisa bertujuan untuk memecah ikatan dan menghilangkan kandungan lignin dan hemisellulosa serta merusak struktur kristal sellulosa menjadi senyawa gula sederhana. menurut sun and cheng (2002), ukuran bahan baku akan mempengaruhi porositas sehingga dapat memaksimalkan kontak antara bahan dengan asam untuk meningkatkan hidrolisis hemisellulosa. semakin kecil ukuran bahan baku yang digunakan akan mempermudah terdegradasinya lignin sehingga sellulosa dan hemisellulosa akan terhidrolisa secara optimal. penelitian ini menggunakan kertas bekas dengan ukuran sekitar 5 mm. pengaruh keberadaan tinta terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari kertas bekas keberadaan tinta pada kertas dapat mengganggu berlangsungnya reaksi hidrolisis. sebagaimana halnya lignin, keberadaan tinta pada kertas dapat menghambat penetrasi asam pada selulosa. bagian terbesar penyusun tinta, sekitar 80% hingga 95% adalah polimer resin, yang berfungsi antara lain sebagai dispersan, pengatur viskositas, serta memperkuat interaksi partikel tinta dengan substrat (wiseman, 1985). keberadaan resin dan tinta dapat menghalangi permukaan selulosa sehingga hidrolisis oleh asam tidak berjalan dengan baik. sekalipun dalam penelitian telah dilakukan proses pretreatment dengan penambahan naoh namun tinta yang melekat pada kertas tetap ada. tabel 1. perbandingan kadar etanol pada kertas bertinta dan kertas tidak bertinta konsentrasi asam (%) waktu fermentasi (hari) kadar etanol (%v/v) kertas bertinta kertas tidak bertinta 4 4 0,7912 1,0404 5 1,3787 1,5162 6 2,5894 3,1700 7 6,1223 8,1661 8 0,9568 1,0603 hasil yang ditunjukkan tabel 1 bahwa kertas tanpa tinta menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi dibandingkan kertas yang bertinta. hal ini disebabkan oleh proses hidrolisis pada kertas tidak bertinta lebih optimal karena tidak ada penghalang seperti tinta dan resin termoplastik yang dapat menutup permukaan selulosa. dengan proses hidrolisis yang lebih optimal maka glukosa yng dihasilkan lebih banyak dan etanol yang diperoleh dari proses fermentasi juga lebih banyak. secara keseluruhan, apabila dibandingkan dengan kadar etanol dari kertas tidak bertinta, maka kadar etanol dari kertas bertinta sedikit lebih rendah. hal ini dikarenakan pada saat delignifikasi masih tersisa sedikit pengotornya (tinta) yang akan menjadi inhibitor pada proses selanjutnya. sehingga pada saat fermentasi, inhibitor (tinta) yang terdapat dalam sampel lebih menghambat perubahan atau reaksi kimia yang terjadi dalam proses fermentasi. pengaruh konsentrasi asam terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari kertas bekas dari gambar 1 dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam sulfat yang digunakan maka akan semakin tinggi pula kadar etanol yang didapat. sampai pada konsentrasi asam optimum maka akan terjadi penurunan kadar etanol. pada proses hidrolisa, gugus h + dari h2so4 akan mengubah gugus serat dari kertas menjadi gugus radikal bebas. gugus radikal bebas serat yang kemudian akan berikatan dengan gugus ohdari air dan menghasilkan glukosa. pada saat konsentrasi larutan h2so4 4% kebutuhan h + dari h2so4 telah mencukupi pembentukan gugus radikal bebas dari serat kertas dan glukosa menghasilkan kadar glukosa yang maksimal. namun jika dilakukan penambahan konsentrasi larutan h2so4 menyebabkan glukosa yang dihasilkan semakin menurun. meskipun peningkatan konsentrasi larutan h2so4 akan terbentuk lebih banyak gugus radikal bebas serat, tetapi penambahan larutan h2so4 menyebabkan semakin sedikit air dalam komposisi larutan hidrolisis. akibatnya kebutuhan ion hidroksida sebagai pengikat radikal bebas serat berkurang dan glukosa yang dihasilkan semakin sedikit ( arianie dan idiawati, 2011). hal ini menyebabkan konsentrasi asam optimum untuk reaksi hidrolisis kertas menjadi glukosa terbanyak adalah 4%. kadar etanol yang didapat dari proses fermentasi sebesar 6,12 %. cindi ramayanti dkk./ ind. j. chem. res., 2017, 5(1), 17-21 20 gambar 1. pengaruh konsentrasi asam terhadap kadar etanol pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari kertas bekas hasil yang ditunjukkan dari gambar 2 merupakan kadar etanol yang dipengaruhi lamanya waktu fermentasi. terlihat bahwa semakin lama waktu fermentasi maka kadar etanol yang dihasilkan semakin banyak hingga waktu optimum kemudian akan menurun. kenaikan kadar etanol ini juga terjadi karena lama fermentasi berhubungan erat dengan kurva pertumbuhan mikroba. pertumbuhan mikroba terdiri dari enam fase, yaitu fase adaptasi, fase permulaan pembiakan, fase pembiakan cepat, fase konstan atau stasioner dan fase terakhir adalah fase kematian (said, 1994). gambar 2. pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar etanol pada mulanya mikroba mengalami log phase, pada fase ini mikroba mulai menyesuaikan diri dengan lingkungannya. untuk fermentasi nira aren ini, fase adaptasi berlangsung pada ke-4. dapat dilihat dari kadar etanol yang dihasilkan, yaitu 1,04 %. pada fase ini pertumbuhan belum begitu terjadi, artinya pertumbuhan berjalan sangat lambat. fase selanjutnya adalah fase permulaan pembiakan merupakan fase yang paling lama terjadi, dimana untuk kertas bekas diperkirakan hari ke-5 dan ke6. berikutnya adalah fase pembiakan cepat, fase ini pertumbuhan mikroba yang tercepat dengan melihat kemiringan kurva adalah yang paling curam. setelah itu adalah fase konstan atau stasioner, pada fase ini pertumbuhan mikroba telah menghasilkan kadar etanol optimum yang berlangsung pada hari ke-7, sehingga pada hari ke-7 diperoleh kadar etanol tertinggi sebesar 8,16 %. fase ini merupakan fase untuk pembentukan produk etanol yang terbesar. kemudian setelah 7 hari mikroba akan mengalami stationary phase, dimana jumlah mikroba yang tumbuh sama banyaknya dengan mikroba yang mati sehingga tidak ada penambahan jumlah mikroba yang akan mengubah substrat menjadi etanol sehingga etanol yang terbentuk cenderung konstan. setelah mikroba mengalami stationary phase maka akan berlanjut menjadi death phase / fase kematian. hal ini sesuai dengan pertumbuhan mikroba. pada hari pertama, kedua, dan ketiga etanol yang dihasilkan belum optimal karena yeast saccharomyces cerevisiae berada pada tahap lag phase dan exponential phase. tahap lag phase merupakan tahap adaptasi mikroba terhadap lingkungan dan exponential phase adalah tahap dimana mikroba mulai melakukan pertumbuhan. dengan demikian aktivitas untuk pembentukan produk etanol belum optimal. fase terakhir adalah fase kematian, fase ini terjadi karena substrat atau persenyawaan tertentu dipakai untuk pertumbuhan mikroba sudah habis dan juga terjadi penumpukan produk – produk penghambat. penurunan kadar etanol pada hari ke-8 diakibatkan karena adanya reaksi oksidasi etanol menjadi asam asetat oleh acetobacter sehingga kadar etanol yang dihasilkan menjadi lebih rendah. perbandingan analisa kadar etanol dengan metode gas chromatograph (gc) dan piknometer dari hasil analisa gc terlihat perbedaan antara nilai hasil analisa secara piknomter dengan menggunakan gc. perbedaaan tersebut 0 1 2 3 4 5 6 7 0 2 4 6 k a d a r e ta n o l (% v /v ) konsentrasi asam (%) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 4 6 8 10 k a d a r e ta n o l (% v /v ) waktu fermentasi (hari) cindi ramayanti dkk./ ind. j. chem. res., 2017, 5(1), 17-21 21 disebabkan karena dalam analisa piknometer, produk masih mengandung senyawa lain sedangkan dari analisa gc hanya menganalisa etanol murni yang dihasilkan. dari hasil gc ini kadar etanol tertinggi untuk konsentrasi h2so4 4,0 % pada waktu fermentasi 7 hari adalah 5,32 %. gambar 3. perbandingan hasil analisa etanol pada kertas dengan metode kromatografi gas dan piknometer kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa konsentrasi asam sulfat mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan dan lama waktu fermentasi dan jenis kertas juga mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. kondisi optimum untuk menghasilkan etanol berbahan baku limbah kertas dengan kadar etanol 6,12% (v/v) untuk kertas bertinta dan 8,16% (v/v) kertas tanpa tinta didapat pada konsentrasi asam sulfat 4% dan lama waktu fermentasi 7 hari. daftar pustaka anggoro, didi dwi, 2014, hidrolisis selulosa menjadi glukosa dengan katalis heterogen arang aktif tersulfonasi. jurnal reaktor, 15 (2) : 126-131. arianie, lucy dan idiawati, nora, 2011, penentuan lignin dan kadar glukosa dalam hidrolisis organosol dan hidrolisis asam. sains dan terapan kimia, 5 (2) : 140-150. hendrik, a.t., zeeman, g., 2009, pretreatments to enhance the digestibility of lignocellulosic biomass. bioresource technology, 100 : 10-18. huda, misbahul, 2014, industri pulp dan kertas tambah kapasitas produksi. industri.kontan.co.id/news/industri-pulp-dankertas-tambah-kapasitas-produksi didownload tanggal 30 oktober 2017. iranmahboob, j., nadim, f., monemi, s., 2002, optimizing acid-hydrolysis: a critical step for production of ethanol from mixed wood chips. biomass and bioenergy, 22 : 401404. palmqvist, e., hahn-hägerdal, b., 2000, fermentation of lignocellulosic hydrolysates. ii: inhibitors and mechanisms of inhibition. bioresource technology, 74 : 25-33. said, g, 1994, bioindustri teknologi fermentasi. mediyatama sarana perkasa. jakarta. sun, y., cheng, j., 2002, hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: a review. bioresource technology, 83 : 1-11. szczodrak, j., fiedurek, j., 1996, technology for conversion of lignocellulosic biomass to ethanol. biomass bioenergy, 10 : 367-375. wiseman, frank l., 1985, chemistry in the modern world: concept and application. mcgraw-hill. new york. 0 2 4 6 8 10 0 2 4 6 k a d a r e ta n o l (% v /v ) konsentrasi asam gc piknometer http://industri.kontan.co.id/news/industri-pulp-dan-kertas-tambah-kapasitas-produksi http://industri.kontan.co.id/news/industri-pulp-dan-kertas-tambah-kapasitas-produksi indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 94 validasi metode penentuan mn dalam oli lubrikan dengan metode pengenceran langsung menggunakan spektrofotometer serapan atom validation method on the determination of mn in lubricating oil by direct dilution method using atomic absorption spectrometer rona maningting napitupulu, dirgarini julia, aman sentosa panggabean* chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, universitas mulawarman, samarinda *corresponding author, e-mail: amanspanggabean@yahoo.com received: dec. 2018 published: jan. 2019 abstract validation method on the determination of mn in lubricating oil by direct dilution method using atomic absorption spectrophotometer (aas) in laboratory & environment control pt. badak ngl bontang has been done the validation method was done with research stages such as determination of optimum solvent, and determination of some important parameters influential for validation method such as parameter of liniearitas (r), instrument detection limit (idl), methode detection limit (mdl), accuracy, precision, limit of detection(lod) and limit of quantitation(loq). the result of research obtain is good, showed that the linearity value with r 2 ≥ 0,997. the idl and mdl value was 0.0021 ppm and 0.0092 ppm respectively and has been acceptability requirements of mdl. the accuracy paramater obtained recovery value with range 82.25-88.34%. the measurement of repeatability and reproducibility, the cv horwitz value smaller than % rsd, indicating the method had a good precision. the measurement of lod and loq value was 0.095 ppm 0.317 ppm respectively. based on the result of the research determination method of mn in lubricating oil by direct dilution method using aas concluded valid. keywords: validation method, mn, lubricating oil, direct dilution, aas. pendahuluan setiap laboratorium kimia penting untuk memperhatikan quality control (pengendalian mutu) untuk memberikan kepercayaan atas kualitas hasil pengujian yang diberikan. metode yang digunakan di laboratorium kimia harus dievaluasi untuk menjamin bahwa metode yang digunakan mampu menghasilkan data yang valid dan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan tingkat ketepatan dan ketelitian yang tinggi, maka metode tersebut harus divalidasi (taufik dkk., 2016). validasi metode merupakan proses penilaian terhadap suatu metode analisis yang berdasarkan dari hasil pengujian laboratorium dimana hasil pengujian tersebut dapat membutikan bahwa suatu metode sudah memenuhi syarat untuk digunakan (harmita, 2004). pengembangan validasi metode telah banyak dikembangkan khususnya di laboratorium kimia analitik fmipa universitas mulawarman, bekerjasama dengan beberapa industri yang berada di provinsi kalimantan timur, yang memiliki laboratorium penguji yang memadai dan tersertifikasi. beberapa penelitian tentang validasi metode yang dapat dilaporkan adalah penentuan florin (f ) pada batubara dengan metode spektrofotometer visible (adha dkk., 2017), pengembangan metode rapid tes dalam penentuan inherent moisture dan total sulphur yang dibandingkan dengan metode standard iso (destiana dkk., 2017). hal ini menunjukkan bahwa validasi metode sangat penting dilakukan di laboratorium yang sudah terstandarisasi dengan baik. salah satu metode analisis yang dilakukan di laboratory & environment control pt. badak ngl bontang ialah analisis penentuan logam di dalam oli lubrikan menggunakan spktrofotometer serapan atom (ssa). oli lubrikan merupakan pelindung bagian-bagian yang saling bergerak pada mesin agar tidak terjadi gesekan langsung antar mesin. hal yang perlu untuk diperhatikan pada oli lubrikan ialah rona m. napitupulu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 95 kandungan logam berat yang berasal dari bahan bakar dan keausan pada mesin (supriyanto dkk., 2016). mangan (mn) merupakan logam komponen penyusun dari sebuah baja yang berfungsi untuk mengurangi sifat rapuh karena panas dan meningkatkan kekakuan pada baja, dimana baja adalah komponen penting pada suatu mesin produksi (binudi, 2014). tujuan dilakukannya penentuan mn dalam oli adalah untuk mengetahui berapa konsentrasi mn pada oli yang menunjukan kualitas oli lubrikan yang digunakan. semakin tinggi kadar logam pada oli lubrikan maka semakin mengindikasikan keausan pada mesin bedasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini dilakukan validasi metode penentuan mn menggunakan spektrofotometer serapan atom dengan metode pengenceran langsung yang didasarkan pada metode standar dari agilent procedure aa010 oleh mckenzie (2010) dan pc-1 analysis of lubricating oils: determination of wear metals pada buku analytical methods for atomic absorption spectrophotometry oleh perkin-elmer corporation (anonim, 1996). tahapan pada penelitian ialah optimasi pelarut, dan optimasi kinerja analitik dengan parameter liniearitas, akurasi, presisi, lod (limit of detection), loq (limit of quantity), idl (instrument detection limit) dan mdl (methode detection limit). metodologi penelitian bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan blank oil, larutan standar logam mn 50 ppm, n-heksan, thinner, mibk (methyl isobutyl ketone) dan sampel oli lubrikan yang diambil pada kompresor train g. pt badak ngl bontang dan aquabidest. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, gelas kimia, pipet volume, pipet tetes, bulp, labu ukur, corong kaca, spektrofotometer serapan atom agilent spectra aa 220 fs, lampu katoda mn. prosedur kerja penentuan pelarut optimum sebanyak 1 ml larutan larutan standar logam conostan 50 ppm ditambahkan ke dalam masing-masing labu ukur. setelah itu, dilakukan pengenceran menggunakan pelarut n-heksan, thinner dan mibk (methyl isobutyl ketone) pada masing-masing labu ukur hingga tanda tera kemudian dihomogenkan. kemudian, dilakukan pembacaan absorbansi menggunakan pelarut nheksan, thinner dan mibk (methyl isobutyl ketone). optimasi kinerja analitik linearitas larutan blanko dan oli standar 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 3,0; 4,0; 5,0 ppm yang telah diencerkan menggunakan pelarut mibk disiapkan. setelah itu, dilakukan analisis dengan aas. kemudian nilai konsentrasi dan absorbansinya dicatat. akurasi larutan spike dan larutan sampel yang dipersiapkan dianalisis dengan aas serta dicatat masing-masing nilai konsentrasi dan absorbansinya. kemudian dilakukan pembacaan absorbansi dan konsentrasi pada masing-masing larutan sebanyak 10 kali. nilai rata-rata konsentrasi digunakan untuk mentukan % perolehan kembali. presisi larutan sampel yang telah diencerkan menggunakan pelarut mibk dianalisis dengan aas serta dicatat nilai konsentrasi dan absorbansi untuk larutan sampel. kemudian dilakukan pembacaan absorbansi dan konsentrasi pada masing-masing larutan sebanyak 10 kali. setelah data diperoleh, dihitung standard deviasi,% kv horwitz dan 2/3 % kv horwitz. uji lod pada uji lod dilakukan secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi, dimana respon instrument y berhubungan linier dengan konsentrasi x. besar limit deteksi biasanya dinyatakan dengan 3 sa/b, dimana sa adalah standar deviasi dan b adalah slope. uji loq pada uji lod dilakukan secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi, dimana respon instrument y berhubungan linier dengan konsentrasi x. besar limit deteksi biasanya dinyatakan dengan 10sa/b, dimana sa adalah standar deviasi dan b adalah slope. rona m. napitupulu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 96 uji idl dan mdl larutan blanko yang telah dipreparasi disiapkan. kemudian analisa dilakukan dengan ssa serta dicatat nilai konsentrasi dan absorbansinya untuk larutan blank. setelah itu, pembacaan konsentrasi pada masing-masing larutan sebanyak 10 kali dilakukan. kemudian, nilai pada hasil pembacaan larutan blank dicatat. setelah itu, dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai idl dan mdl. lalu, larutan spike berdasarkan nilai idl disiapkan. kemudian pembacaan konsentrasi dengan ssa pada masing-masing larutan sebanyak 7 kali dilakukan. hasil dan pembahasan optimasi pelarut pada oli penetapan pelarut optimal pada oli bertujuan untuk mengetahui jenis pelarut optimum yang digunakan pada penentuan logam mangan (mn) dalam oli lubrikan, dimana dilakukan pengukuran absorbansi pada larutan oli standar 1 ppm menggunakan pelarut nheksan, mibk dan thinner. penetapan pelarut optimal ini didasarkan pada jumlah absorbansi terbesar pada konsentrasi larutan yang sama. gambar 1 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 1 ppm dengan perbedaan jenis pelarut menghasilkan nilai absorbansi yang berbeda yaitu, pada pelarut n-heksan didapatkan absorbansi 0,0101, pada pelarut mibk didapatkan absorbansi 0,0926, dan pada pelarut thinner didapatkan absorbansi 0,0710. dari hasil tersebut nilai absorbansi tertinggi yang dihasilkan adalah dengan pelarut mibk dengan nilai absorbansi 0,0926. hal ini yang kemudian mendasari untuk melanjutkan penelitian ini menggunakan pelarut mibk pada tahap optimasi kinerja analitiknya. uji linearitas linearitas diperoleh dengan memplotkan absorbansi terukur dengan konsentrasi larutan standar yang konsentrasinya dibuat meningkat menurut deret ukur (panggabean et al., 2013). tujuannya adalah untuk memperoleh persamaan garis linear (linearitas) yang nantinya akan digunakan untuk menentukan konsentrasi analit di dalam sampel (harmita, 2004). hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 2. gambar 1. grafik hasil optimasi pelarut pada oli gambar 2. pembuatan kurva kalibrasi mn dengan metode aas berdasarkan gambar 2 persamaan garis liniear hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi yang diperoleh adalah y = 0,2107x + 0,0059 dengan nilai koefisien determinasi r 2 = 0,9996. nilai r 2 = 0,9996 menyatakan bahwa adanya korelasi yang sangat kuat antara konsentrasi dan absorbansi. nilai koefisien determinasi yang dapat diterima adalah apabila mendekati satu (≈ 1) (chan et al., 2004; panggabean et al., 2014). dalam penelitian ini hasil uji linearitas adalah r 2 ≥ 0,997dan sesuai syarat keberterimaan. jadi, diketahui bahwa persamaan kurva kalibrasi telah memenuhi syarat linearitas. uji akurasi ketepatan (akurasi) merupakan suatu besaran yang menyatakan kedekatan hasil pengukuran dengan hasil sebenarnya (standar). akurasi dinyatakan sebagai persentase perolehan kembali (% recovery) (riyanto, 2014). pada uji akurasi dilakukan dengan pengukuran sampel yang telah ditambahkan standar sebanyak 1 ml dengan 10 kali pembacaan sampel. hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 2. pada parameter akurasi didapatkan nilai % recovery y = 0,2107x + 0,0059 r² = 0,9996 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 1 2 3 4 5 6 a b so rb a n si konsentrasi (ppm) rona m. napitupulu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 97 rata-rata adalah 85,62 ± 2,09. menurut riyanto (2014), suatu metode dikatakan valid apabila nilai perolehan kembali dari suatu standar berada diantara 80-110% dapat dilihat bahwa nilai yang diperoleh dapat diterima karena masih dalam interval syarat keberterimaan dimana nilai % recovery yang diperoleh dalam rentang 82,25 88,34 % yang menunjukkan nilai akurasi yang diperoleh baik. uji presisi dalam uji presisi, parameter yang diukur adalah nilai repitibilitas dan reprodusibilitas. nilai repitibilitas dan reprodusibilitas diperoleh dengan mengukur konsentrasi mn yang terdapat pada sampel sebanyak 10 kali pada hari yang yang sama (hari pertama) dan juga pada hari yang berbeda (hari kedua). hasil uji presisi ditampilkan pada tabel 3. tabel 2. hasil uji akurasi tabel 3. hasil uji presisi rona m. napitupulu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 98 berdasarkan tabel 3, uji repitibilitas dapat diterima karena telah memenuhi syarat yaitu pada analisa hari 1 dan analisa hari 2 nilai % rsd ≤ 0,67 nilai cv horwitz. pada uji reprodusibilitas dapat diterima karena telah memenuhi syarat yaitu % rsd < nilai horwitz dimana nilai % rsd yang dihasilkan ialah 0,0721 dan nilai horwitz yang dihasilkan 5,2409. sehingga dapat disimpulkan metode ini dapat dinyatakan memiliki presisi yang baik. uji lod dan loq uji limit of detection (lod) dan limit of quantity (loq) dilakukan secara statistik menggunakan kurva standar mn (mangan). kemudian didapatkan nilai simpangan baku yang digunakan untuk penentuan nilai lod dan loq. tabel 4. hasil uji lod dan loq tabel 5. hasil uji mdl rona m. napitupulu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 99 hasil uji lod dan loq dapat dilihat pada tabel 4. berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4, diperoleh nilai limit deteksi pada mn dalam oli lubrikan menggunakan spektrofotometer serapan atom adalah 0,095 ppm dengan limit kuantisasi sebesar 0,317 ppm. berdasarkan kantasubrata (2012), dinyatakan bahwa limit deteksi adalah konsentrasi terendah dari analit dalam sampel yang dapat terdeteksi sedangkan limit kuantisasi atau yang biasa disebut limit pelaporan adalah konsentrasi terendah dari analit dalam sampel yang dapat ditentukan dengan tingkat akurasi dan presisi yang diterima. semakin kecil nilai lod/loq, menunjukkan detektor dan metode yang digunakan semakin teliti, karena mampu mengukur jumlah analit hinggal level trace (panggabean et al., 2018). maka untuk analisis mn dalam oli lubrikan dengan aas serapannya masih dat dibaca hingga batas konsentrasi sebesar 0,095 ppm dan pada batas kuantisasi sebesar 0,317 ppm yang merupakan konsentrasi analit terendah yang dapat terkuantisasi, jadi untuk melakukan analisa logam mangan dalam oli lubrikan menggunakan spektrofotometer serapan atom, konsentrasi yang disarankan yaitu di atas 0,317 ppm. uji idl (instrument detection limit) dan mdl (method detection limit) pada uji idl dilakukan pembacaan blanko sebanyak 10 kali sehingga didapatkan nilai standar deviasi yaitu 0,007 dengan nilai idl yaitu 0,021 ppm. nilai idl ini digunakan untuk menentukan estimasi konsentrasi untuk menentukan mdl. hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 5. pada uji mdl (method detection limit), dilakukan metode spike yang didasarkan pada nilai idl. nilai idl yang diperoleh digunakan untuk menentukan estimasi nilai mdl untuk menetukan konsentrasi target pada metode spike yang akan dilakukan (purwanto dkk., 2007). dalam penelitian ini didapatkan hasil estimasi nilai mdl adalah 0,06 ppm. nilai rata-rata persen perolehan kembali untuk penambahan analit pada sampel dengan nilai 1 ppm adalah 80-110 % (tabel 5), selain itu semua parameter pada syarat keberterimaan mdl menghasilkan data yang diterima sesuai dengan syarat keberterimaanya. sehingga metode ini dinyatakan memiliki nilai idl dan mdl yang baik. kesimpulan penentuan mn dalam oli lubrikan dengan metode pengenceran langsung menggunakan spektrofotometer serapan atom (aas) memiliki hasil uji yang valid, ditunjukkan dari hasil pengukuran nilai parameter-parameter pengukuran yang meliputi liniearitas, idl (instrument detection limit) dan mdl (methode detection limit) akurasi, presisi, lod (limit of detection) serta loq (limit of quantitation), yang secara keseluruhan dapat diterima dan dinyatakan valid. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan staf pt. badak ngl bontang, kalimantan timur untuk fasilitas laboratorium dan sampel yang disediakan dalam pelaksanaan penelitian ini. daftar pustaka anonim,1996, analytical methods for atomic absorption spectroscopy, perkin-elmer corporation, usa. adha, l.s., panggabean, a.s. kartika, r, 2017, optimasi kinerja analitik terhadap penentuan kadar fluorin pada batubara dengan metode spektrofotometer visible, jurnal atomik, 2(1), 143-145. binudi, r, 2014, pengaruh unsur ni, cr dan mn terhadap sifat mekanik baja kekuatan tinggi berbasis laterit, pusat penelitian metalurgi lipi tangerang selatan. chan, c.c, h.l.y. c. lee, x. zhang, 2004, analytical method validation and instrumental performent verification, willey intercine a. john willy and sons. inc. publication. destiana, l.v., panggabean, a.s., kartika, r, 2017, pengembangan metode rapid test preparation dalam penentuan kadar inherent moisture dan total sulfur dengan metode yang dipergunakan oleh iso (international organization for standardization, jurnal atomik, 2(1), 175182. http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/353 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/353 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/353 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/350 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/350 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/350 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/350 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/350 http://jurnal.kimia.fmipa.unmul.ac.id/index.php/ja/article/view/350 rona m. napitupulu dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 94-100 100 harmita, 2004. petunjuk pelaksanaan validasi metode dan cara perhitungannya, majalah ilmu kefarmasian, 1(3), 117-135. kantasubrata, j, 2012, validasi metode. pelatihan pemahaman dan penerapan sni iso/iec 17025:2008 pada pengelolaan laboratorium, rc chem learning centre. bandung. panggabean, a.s., pasaribu, s.p., amran, m.b., buchari, 2013, gas-liquid separator integrated to hg-qfaas method for determination of tin at trace levels in the water samples, indones. j. chem. sci., 8(1), 17-27. panggabean, a. s., pasaribu, s., bohari, nurhasanah, 2014, preconcentration of chromium (vi) at trace levels using acid alumina resin with column method, indones. j. chem., 14(1), 51–56. panggabean, a. s, pasaribu, s. p., kristiana, f., 2018, the utilization of nitrogen gas a carrier gas in determination of hg ions using cold vapor-atomic absorption spectrophotometer (cv-aas), indones. j. chem., 18 (2), 279-285. purwanto a, supriyanto c dan samin p, 2007, validasi pengujian cr, cu dan pb dengan metode spektrometri serapan atom, pustek akselerator, 6(1), 121-125. riyanto, 2014, validasi & verifikasi metode uji sesuai dengan iso/iec 17025 laboratorium pengujian dan kalibrasi, deepublish, yogyakarta. supriyanto, a. alimuddin, bohari, y., 2016, analisis logam fe, cu, pb dan zn dalam minyak pelumas baru dan bekas menggunakan x-ray fluorescence, jurnal atomik, 3(1), 13-17. taufiq, m., sabarudin. a., mulyasuryani, a., 2016, pengembangan dan validasi metode destruksi gelombang mikro untuk penentuan logam berat kadmium dan timbal dalam cokelat dengan spektoskopi serapan atom (ssa), alchemy jurnal penelitian kimia, 5(2), 31–37. indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 5360 1 53 biodiesel production from bintanggur oil (callophyllum inophyllum l.) using calsium oxide (cao) catalyst pembuatan biodiesel dari minyak bintanggur (callophyllum inophyllum l.) menggunakan katalis kalsium oksida (cao) i wayan sutapa 1 , rosmawaty 2 , ismah samual 3 1,2,3 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 corresponding author e-mail: wayansutapa@fmipa.unpatti.ac.id received: juni 2013 published: july 2013 abstract the research of the biodiesel from bintanggur oil (calophyllum inophyllum l.) using calsium oxide (cao) catalyst had been done. in this study, a two-step process was used to produce biodiesel from bintanggur oil. initially by esterification process using h2so4 1.25% catalyst by weight of oil and methanol with a molar ratio of 1:9 and continued by transesterification process with 1:12 (oil : methanol) with the catalyst 8 wt% cao. the esterification and the transesterification process carried out of 2 hours and 7 nespectively at a 65 c. the synthesis of biodiesel was analyzed by ft-ir spectrophotometer. the conversion of biodiesel is 44.49%. the biodiesels properties were caracterized by astm method. results of biodiesels properties there are specific gravity of 0.8878 g/cm 3 , viscosity kinematic 5.572 cst, flash point 176.5 c, pour point 9 c, cooper strip corrosion 1b, and conradson carbon residue 2.469%. keywords: bintanggur oil, biodiesel, cao catalyst, esterification, transesterification. pendahuluan minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui, cepat atau lambat akan habis apabila terus menerus dieksploitasi. semakin hari ketersediaan minyak bumi berkurang dan polusi lingkungan semakin memburuk. (fukuda dkk., 2001). oleh karena itu, diperlukan energi alternatif lain sebagai pengganti bahan bakar minyak yang diharapkan memiliki sifat-sifat terbaharui dan ramah lingkungan. biodiesel (metil ester asam lemak atau fame) merupakan bahan bakar alternatif yang menjanjikan sebagai pengganti bahan bakar fosil, dan dapat diproduksi melalui proses transesterifikasi dari minyak nabati dengan alkohol rantai pendek (biasanya metanol dan etanol) dengan adanya katalis (demirbas., 2007). biodiesel memiliki keunggulan seperti ramah lingkungan, tidak beracun, secara esensial bebas sulfur dan benzena yang karsinogenik, hasil pembakarannya adalah co2 yang dapat dikonsumsi oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis (siklus karbon), dapat teroksigenasi relatif sempurna atau terbakar habis dan terurai secara alami (biodegradable). tentu secara nyata biodiesel akan mengurangi pencemaran lingkungan. selain itu biodiesel mempunyai kelebihan kurang mudah menyala dibanding solar, sehingga lebih mudah dalam penyimpanannya, dan dapat dicampur dengan solar (ma dan hanna., 1999). minyak nabati merupakan bahan baku yang menjanjikan untuk produksi biodiesel karena dapat diperbaharui, dapat diproduksi dalam skala besar dan ramah lingkungan. minyak nabati terdiri dari minyak edible (yang dapat dikonsumsi) dan minyak non-edible (yang tidak dapat dikonsumsi). lebih dari 95% dari bahan baku produksi biodiesel berasal dari minyak edible. namun, hal itu dapat menyebabkan beberapa masalah seperti persaingan dengan pasar minyak edible, yang akan meningkatkan baik biaya minyak edible dan biodiesel (kaya dkk., 2009). untuk mengatasi kelemahan ini, banyak peneliti yang tertarik pada minyak non-edible yang tidak cocok untuk dikonsumsi manusia i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 54 karena kehadiran beberapa komponen beracun dalam minyak. selain itu, tanaman yang menghasilkan minyak non-edible dapat tumbuh di tanah limbah yang tidak cocok untuk tanaman pangan dan biaya budidaya jauh lebih rendah karena tanaman ini masih dapat mempertahankan hasil cukup tinggi tanpa perawatan yang intensif (kumar dkk., 2007). salah satu sumber minyak non-edible yang mempunyai potensi sebagai bahan baku biodiesel adalah bintanggur (calophyllum inophyllum l.). kelebihan bintanggur sebagai bahan baku biodiesel adalah biji mempunyai rendamen minyak yang tinggi (bisa mencapai 74%) serta dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. minyak bintanggur tersusun oleh beberapa komponen asam lemak utama yaitu asam palmitat, stearat, oleat dan linoleat, yang jumlah keseluruhan dari empat jenis asam lemak tersebut yaitu 98,46% (bustomi dkk., 2008). sebagian besar proses produksi biodiesel dilakukan melalui reaksi transesterifikasi dari minyak atau lemak menggunakan katalis homogen (asam atau basa) dan katalis heterogen (asam atau basa). namun dibandingkan katalis homogen katalis heterogen memiliki keuntungan antara lain: dapat digunakan kembali, prosedur kerjanya sederhana, mudah diperoleh, mudah dipisahkan, air limbah yang dihasilkan sedikit, dan tidak sensitif terhadap air (ebiura dkk., 2005). beberapa katalis heterogen yang telah digunakan dalam produksi biodiesel, misalnya mgo, cao, dan hydrotalcites (liu dkk., 2007). diantara katalis heterogen yang biasa digunakan dalam reaksi transesterifikasi, cao sangat menjanjikan (wei dkk., 2009). penelitian sebelumnya, zhu dkk (2006), memperoleh hasil 93% biodiesel dari konversi bahan baku minyak jarak menggunakan katalis cao. berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini telah dilakukan reaksi transesterifikasi dari minyak bintanggur menjadi biodiesel menggunakan cao sebagai katalis basa padat dan metanol. metodologi alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu set alat refluks pyrex, alat-alat gelas pyrex, pemanas listrik mammert, pengaduk magnet (science ware), neraca analitik, oven (memert), mesin pengepres (juicer), vakum evaporator buchii, termometer 100 o c, f-tir. bahan bahan penelitian yang diperlukan adalah buah bintangur (calophyllum inophyllum) dari kota ambon, metanol (p.a), kalsium oksida (merck), koh (merck), h2so4 1m (merck), alkohol 95% (p.a), asam fosfat 20%, na2so4 anhidrous (merck), indikator fenolftalein, kertas saring wathman 40 prosedur kerja preparasi minyak bintanggur biji bintanggur dibersihkan dari kotoran dan dipisahkan daging biji dan tempurungnya. biji dikeringkan dengan menggunakan alat pengering atau dijemur di bawah sinar matahari sampai cukup kering sehingga berwarna kecoklatan kemudian dipres menggunakan mesin pres untuk memisahkan minyak dan ampas biji. tahap ini menghasilkan minyak bintanggur kasar. proses deguming proses deguming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat 20% sebesar 0,5 % (b/b) minyak, dipanaskan pada suhu 80c selama 15 menit, sehingga akan terbentuk senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak. kemudian senyawa tersebut dipisahkan berdasarkan pemisahan berat jenis yaitu senyawa fosfatida berada dibagian bawah dari minyak tersebut. endapan yang terjadi dipisahkan, kemudian dicuci dengan air hangat suhu 60 sampai jernih. analisis asam lemak bebas sampel sebanyak 20 g dimasukkan dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 50 ml alkohol 95%. selanjutnya dilakukan pemanasan selama 10 menit dalam penangas air sampai mendidih. kemudian didinginkan dan ditambahkan beberapa tetes indikator fenolftalein. setelah itu dilakukan titrasi dengan koh 0,1 n sampai tepat warna merah jambu. dihitung kadar asam lemak bebasnya. sintesis biodiesel melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi minyak bintangur yang telah bersih dimasukkan ke dalam alat refluks kemudian diesterifikasi asam lemak bebasnya dengan metanol (perbandingan minyak dan metanol 1:9) yang sebelumnya telah direaksikan dengan i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 55 katalis h2so4 1 m 1.25% dari berat minyak dan metanol. campuran direfluks pada temperatur 65c selama 2 jam. hasil esterifikasi kemudian dimasukkan dalam corong pisah untuk memisahkan minyak dari metanol dan air. setelah campuran diesterifikasi, kemudian campuran ditransesterifikasi dengan metanol (perbandingan minyak dan metanol 1:12) yang sebelumnya telah direaksikan dengan katalis basa alkali cao dengan berat 8% berat metanol dan minyak. campuran direfluks pada temperatur 65c selama 7 jam. campuran hasil reaksi didinginkan dan terbentuk 3 lapisan, yaitu berturut-turut dari atas ke bawah metil ester (biodiesel), gliserol dan katalis cao. lapisan metil ester dan gliserol dipisahkan dengan menggunakan corong pisah. kemudian metil ester dievaporasi untuk menghilangkan sisa metanol. metil ester selanjutnya dicuci dengan aquades dalam corong pisah untuk melarutkan sisa gliserol. langkah terakhir adalah dengan penambahan na2so4 anhidrous sebanyak 1,5 g untuk mengikat sisa-sisa air, kemudian disaring dengan kertas saring whatman 40. karakterisasi biodiesel metil ester yang dihasilkan diuji dengan karakteristik astm, spektrometer ir shimadzu ftir-8201 pc. karakterisasi biodiesel dianalisis dengan metode astm adalah kerapatan spesifik pada 60/60f (astm d 1298), viskositas kinematis 100f (astm d 445), titik nyala (astm d 93), titik tuang (astm d 97), korosi kepingan tembaga (astm d 130), dan sisa karbon conradson (astm d 189). hasil dan pembahasan minyak bintanggur minyak bintanggur dihasilkan dengan mengekstrak biji bintanggur. cara ekstraksi biji bintanggur yang digunakan adalah pengepresan dengan alat press. cara ini paling sesuai untuk memisahkan minyak dari bahan yang kadar minyaknya di atas 10%. menurut bustomi dkk (2008) ampas dari proses pengepresan biji bintanggur masih memiliki rendamen minyak yang cukup tinggi sekitar 48,8%. sebelum digunakan sebagai bahan baku biodisel, minyak bintanggur dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan senyawa pengotor, seperti gum (getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin), asam lemak bebas dan senyawa pengotor lainnya. proses pengolahan minyak bintanggur menjadi biodiesel sangat tergantung dari kadar asam lemak bebas awal dari minyak bintanggur setelah deguming (refined oil). hasil analisis asam lemak bebas yang diperoleh sebesar 9,52% dan bilangan asamnya sebesar 18,93 mg koh/g sampel. dari hasil yang diperoleh maka dilakukan penelitian dengan dua proses yaitu proses esterifikasi dengan katalis asam dan dilanjutkan dengan proses transesteifikasi dengan katalis basa heterogen. esterifikasi asam lemak bebas dan transterifikasi trigliserida dalam minyak bintanggur reaksi esterifikasi asam lemak bebas pada minyak bintanggur merupakan langkah pertama untuk mengurangi adanya asam lemak bebas. esterifikasi asam lemak bebas minyak bintanggur mengurangi jumlah asam lemak bebas, karena asam lemak bebas sebagian telah diubah menjadi metil ester. venkanna dan reddy (2009) melakukan sintesis biodiesel dari minyak bintanggur menggunakan tiga metode. ditemukan bahwa minyak dengan asam lemak bebas tinggi tidak dapat digunakan dengan baik untuk mensintesis biodiesel. karena asam lemak bebas yang tinggi (>2% b/b), pembentukan sabun dapat terjadi bila menggunakan katalis alkali (kansedo dkk., 2008). minyak bintanggur hasil ekstraksi, kemudian diesterifikasi dengan metanol (rasio molar minyak : metanol 1:9) dan penambahan katalis asam (h2so4 1m) 1,25 % dari berat total minyak dengan metanol, selama 2 jam pada suhu 65c. hasil yang diperoleh setelah esterifikasi adalah metanol, air dan metil ester. metil ester hasil esterifikasi kemudian digunakan untuk proses reaksi transesterifikasi. reaksi transesterifikasi dengan katalis cao dilakukan pada suhu 65 o c selama 7 jam dengan rasio molar minyak : metanol 1:12. umumnya, tingkat reaksi yang lebih cepat dapat diperoleh pada suhu tinggi (mendekati titik didih metanol yaitu 68c), tetapi pada suhu tinggi, metanol menguap dan membentuk sejumlah besar gelembung, yang menghambat reaksi pada antarmuka tiga fasa (minyak-metanol-katalis). pada rasio molar yang lebih tinggi, trigliserida lebih akan bereaksi. namun, kelebihan metanol mengganggu pemisahan gliserin karena ada peningkatan i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 56 kesetimbangan kembali ke arah sebaliknya, sehingga menurunkan hasil ester (murugesan dkk., 2008). pada penelitian ini bobot katalis cao yang digunakan sebanyak 8%. berdasarkan uji pendahuluan yang dilakukan pada penelitian ini katalis diatas 8% menghasilkan karamel (campuran katalis dan reaktan) menjadi terlalu kental sehingga tidak terbentuk biodiesel. hasil penelitian sebelumnya oleh liu dkk (2008) menunjukkan bahwa hasil biodiesel peningkatannya sangat signifikan dengan penambahan cao. hasil biodiesel mencapai 90% setelah 3 jam ketika jumlah massa cao untuk minyak adalah 8%. namun, hanya 55% hasil diperoleh pada 2% jumlah massa cao untuk minyak. hal itu juga diakui bahwa aktifitas katalis yang kuat dipengaruhi oleh alkalinitas, namun efek jumlah cao terhadap hasil biodiesel sedikit saat jumlah massa cao untuk minyak di atas 8%. dalam kondisi ini, perpindahan massa yang intensif menjadi lebih penting daripada meningkatkan jumlah katalis. hasil yang diperoleh setelah transesterifikasi berupa lapisan metil ester, gliserol dan katalis. setelah dipisahkan dari katalis, metil ester dan gliserol kemudian dipisahkan dengan corong pemisah seperti terlihat pada gambar 1. gambar 1. metil ester dan gliserol hasil transesterifikasi gliserol merupakan indikasi keberhasilan transesterifikasi. semakin banyak gliserol yang dihasilkan, maka viskositas biodiesel semakin rendah. jumlah gliserol yang dihasilkan tergantung pada asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak serta berkaitan dengan jumlah dan karakteristik fisik metil ester yang terbentuk. proses pencucian dilakukan pada metil ester yang telah dipisahkan dari gliserol. pencucian bertujuan untuk menghilangkan sisa katalis, alkohol dan kotoran yang tertinggal di dalam produk. setelah biodiesel dan aquades dipisahkan, kemudian diberi na2so4 anhidrat yang berfungsi untuk mengikat sisa-sisa air yang terkandung dalam metil ester. analisis biodiesel menggunakan spektrofotometer ft-ir spektrum ft-ir di wilayah pertengahan inframerah digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok fungsional dan puncakpuncak yang sesuai untuk berbagai streching dan bending vibrasi dalam sampel minyak dan biodiesel. posisi gugus karbonil pada ft-ir sensitif terhadap efek subtituen dan struktur molekul. perbandingan hasil identifikasi spektrofotometer ft-ir minyak dan biodiesel dapat dilihat pada gambar 2 dan gambar 3. ester memiliki dua karakteristik ikatan penyerapan yang kuat yang timbul dari karbonil (c=o) sekitar 1743 cm -1 dan c-o pada 1165 cm 1 . getaran-getaran peregangan c-h dari rantai asam lemak muncul pada 2924 cm -1 dan 2854 cm -1 , sedangkan serapan tajam pada daerah 725 cm -1 merupakan serapan untuk gugus alkena (ch=ch-) dari rantai asam lemak tak jenuh. spektra 1 h-nmr dari produk biodiesel seperti trigliserida maupun turunannya yang khas dapat dilihat pada gambar 11. hasil analisis 1 hnmr terhadap minyak bintanggur disajikan pada gambar 10, dari gambar tersebut terlihat adanya pergesaran kimia 4,1 – 4,3 ppm yang disebabkan oleh proton yang berdempetan dengan bagian gliserol mono-, di-, atau triasilgliserol. adanya pergeseran kimia 5,3 – 5,4 ppm timbul dari proton yang melekat pada karbon olefinic dalam biodiesel. adanya pergeseran kimia 2,3 ppm hasil dari proton pada grup ch2 yang berdekatan dengan metil atau bagian gliserol ester (-ch2co2ch3 untuk metil ester). pada pergeseran dari 1165 cm -1 menjadi 1170 cm -1 merupakan getaran c-o bersifat jelas dan pergeseran dari 1033 cm -1 menjadi 1016 cm -1 merupakan rentang c-o yang berdekatan dengan ch3 dengan jelas ini menunjukkan adanya gugus metil ester. hilangnya puncak pada 1558 cm -1 dan 964 cm -1 dari spektrum minyak dan penambahan puncak-puncak baru dalam biodiesel pada 1195 cm -1 dan 1436 cm -1 menunjukkan konversi minyak menjadi biodiesel. i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 57 karakteristik biodiesel minyak bintanggur berdasarkan metode astm a. kerapatan spesifik kerapatan spesifik biodiesel pada 60/60f dalam metode astm (astm d1298) yaitu 0,850 – 0,890 g/cm 3 . kerapatan spesifik yang dihasilkan dari biodiesel minyak bintanggur adalah 0,8878 g/cm 3 . nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian husein (2011) yaitu 0,8889 g/cm 3 . perbedaan kerapatan spesifik biodiesel berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (mittelbach dan remschmidt, 2004), yang menunjukkan reaksi transesterifikasi belum sempurna dan masih mengandung banyak trigliserida yang tidak ikut bereaksi. peningkatan kerapatan spesifik juga menunjukkan penurunan panjang rantai karbon dan peningkatan ikatan rangkap. data hasil analisis terhadap kerapatan spesifik dapat digunakan untuk menghitung panas pembakaran. panas pembakaran yang tinggi menunjukkan kualitas pembakaran biodiesel yang baik. panas pembakaran dari biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar. jika biodiesel mempunyai kerapatan spesifik melebihi ketentuan, akan terjadi reaksi tidak sempurna pada konversi minyak nabati. biodiesel seperti ini akan meningkatkan keausan mesin, emisi, dan menyebabkan kerusakan pada mesin. b. viskositas kinematik viskositas kinematik biodiesel minyak biji bintanggur pada suhu 40°c adalah 5,572 cst sehingga memenuhi standar astm (astm d 445) yaitu 2,3 – 6,0 cst. nilai ini lebih rendah dibandingkan penelitian husein (2011) yaitu 5,582 cst. viskositas biodiesel dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak ikut bereaksi dan komposisi asam lemak penyusunnya. gambar 2. spektra f-tir minyak bintanggur gambar 2. spektra f-tir minyak bintanggur i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 58 viskositas yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengurangi daya pembakaran dan dapat menyebabkan konsumsi bahan bakar meningkat. viskositas merupakan faktor yang penting dalam mekanisme terpecahnya serta atomisasi bahan bakar dalam ruang bahan bakar (soerawidjaja dkk, 2006). viskositas berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (mittelbach dan remschmidt, 2004). viskositas naik dengan kenaikan panjang rantai karbon asam lemak jenuh, kenaikan panjang rantai karbon alkohol, penurunan panjang rantai karbon asam lemak tidak jenuh dan adanya kenaikan sisa mono-, didan trigliserida dalam biodiesel. viskositas juga dipengaruhi oleh tingkat polimerisasi sebagai akibat proses degradasi oksidasi (canakci dan van gerpen, 1999). c. titik nyala titik nyala biodiesel dari minyak bintanggur adalah 176,5c lebih besar dari standar minimum titik nyala yaitu 100c, sehingga memenuhi standar astm (astm d 93). nilai ini lebih tinggi dari hasil penelitian husein (2011) yaitu 151c. titik nyala yang terlampau tinggi dapat menyebabkan keterlambatan penyalaan sementara apabila titik nyala terlampau rendah akan menyebabkan timbulnya denotasi yaitu ledakan kecil yang terjadi sebelum bahan bakar masuk ruang bakar. hal ini dapat meningkatkan resiko bahaya saat penyimpanan. titik nyala yang tinggi akan memudahkan penyimpanan bahan bakar, karena minyak tidak akan mudah terbakar pada temperatur ruang (hardjono, 2000). titik nyala berkaitan dengan residu metanol dalam biodiesel karena metanol mempunyai titik nyala yang rendah yaitu 11,11c. residu metanol dalam jumlah kecil menurunkan titik nyala yang berpengaruh terhadap pompa bahan bakar serta dapat menghasilkan sifat-sifat yang jelek dalam pembakaran (tyson, 2004). d. titik tuang titik tuang (pour point) adalah temperatur yang paling rendah dimana bahan bakar masih dapat mengalir. titik tuang menunjukkan kemampuan bahan bakar untuk masih dapat mengalir pada temperatur tertentu. hal ini sangat penting khususnya pada daerah dengan temperatur yang rendah, sehingga bahan bakar tidak akan menggumpal dengan mudah. titik tuang yang terlalu tinggi akan menghambat penyalaan bahan bakar (hardjono, 2000). titik tuang dari biodiesel minyak bintanggur adalah 9c dan nilai ini lebih rendah dibandingkan penelitian husein (2011) yaitu 18c. semakin rendah titik tuang tentunya lebih baik karena mengurangi kecenderungan bahan bakar untuk membeku pada temperatur yang dingin. titik tuang dipengaruhi oleh panjang rantai karbon. semakin panjang rantai karbon, semakin tinggi titik tuangnya. nilai titik tuang biodiesel minyak bintanggur telah memenuhi standar astm (astm d 97) yaitu maksimal 18c. e. korosi kepingan tembaga korosi kepingan tembaga (cooper strip corrosion = ccr) biodiesel dari minyak bintanggur pada 100°c adalah no 2 atau 1b sehingga memenuhi standar astm (astm d 130) yaitu maksimal no 3 atau 1c. nilai ini setara dengan batasan nilai dalam pren 14214:2005(e) yaitu kelas 1 (lampiran 9). tes ini dilakukan untuk mengukur pengaruh bahan bakar terhadap tingkat korosi tembaga yang berkaitan dengan kadar asam lemak bebas biodiesel. tingkatan korosi kepingan tembaga tergantung dari kadar asam lemak bebas, gliserida, logam alkali sebagai katalis yang sudah dalam bentuk sabun dan dari ketiga penyebab tersebut pengotor dari sisa katalis lebih banyak berpengaruh terhadap nilai ccr. di samping komponen tersebut menurut mittelbach dan remschmidt (2004) nilai ccr ditentukan pula oleh metil ester dari asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap lebih dari satu (polyunsaturated fatty acid methyl esters) dan polimer yang terbentuk selama proses. f. sisa karbon conradson sisa karbon conradson dari minyak bintanggur adalah 2,469% lebih tinggi dari standar astm (astm d 189) yaitu maksimal 0,30%. pengujian ini mencakup penentuan jumlah sisa karbon yang tersisa setelah evaporasi dan pirolisis minyak. sisa karbon terjadi karena terbentuknya deposit karbon dalam mesin. sisa karbon biodiesel yang tinggi berkaitan dengan sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, mestil ester dari asam lemak dengan banyak ikatan rangkap dan adanya polimer (mittelbach dan remschmidt, 2004). biodiesel dari minyak bintanggur mengandung asam lemak yang mempunyai i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 59 banyak ikatan rangkap seperti linoleat dan linolenat sehingga menyebabkan residu karbon relatif tinggi dibandingkan dengan standar astm. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut: proses konversi minyak bintanggur menjadi biodiesel dengan katalis cao dapat berlangsung. konversi metil ester yang diperoleh berdasarkan hasil secara eksperimen sebesar 44,49% pada reaksi transesterifikasi katalis cao 8% berat minyak dan metanol (rasio molar 1:12) , karakteristik biodiesel minyak bintanggur yang memenuhi standar astm yaitu kerapatan spesifik 0,8878 g/cm 3 , viskositas kinematik 5,572 cst, titik nyala 176,5c, titik tuang 9c, dan korosi kepingan tembaga 1b. sedangkan sisa karbon conradson belum memenuhi standar astm yaitu 2,469%. daftar pustaka allinger, n. l., 1976, organic chemistry, 2 ad edition, worth publisher inc., new york bustomi, sofian dan tati r., 2008, nyamplung (calophyllum inophy llum l.) sumber energi biofuel yang potensial, badan litbang kehutanan, jakarta. canakci, m., dan van gerpen j, 1999. biodiesel production via acid catalysis. trans am soc agric eng, 42:1203–1210. demirbas, a., 2007, progress and recent trends in biofuels, prog. energy combust. sci. 33:1–18. ebiura, t., echizen t, ishikawa a, murai k, dan baba t., 2005, selective transesterification of triolein with methanol to methyl oleate and glycerol using alumina loaded with alkali metal salt as a solid-base catalyst. appl catal a;283:111–115. fessenden, j.r. dan fessenden s.j. 1982. kimia organik. edisi ketiga. jilid 1. penerjemah pujatmaka, a.h. penerbit erlangga, jakarta. fukuda h., a. kondo, dan h. noda, biodiesel fuel production by transesterification of oils, j. biosci. bioeng. 92 (2001) 405–416. gelbard, g., o. bres, r.m. vargas, f. vielfaure, dan u.f. schuchardt, 1h nuclear magnetic resonance determination of the yield of the transesterification of rapeseed oil with methanol, j. am. oil chem. soc. 72 (1995) 1239–1241. hardjono. a., 2000, teknologi minyak bumi,gadjah mada university press. jogjakarta. husein, a., 2011. kalsium oksida (cao) dari kulit telur ayam ras sebagai katalis dalam sintesis biodiesel dari minyak bintanggur (challophyllum inophyllum l). skripsi sarjana. jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura, ambon. kansedo, j., lee, k.t., dan bhatia, s., 2008. biodiesel production from palm oil via heterogeneous transesterification. biomass bioenergy. 33, 271–276. kawashima, a., matsubara, k., dan honda, k., 2008. development of heterogeneous base catalysts for biodiesel production. bioresour, technol, 99:3439–3443. kaya, c., hamamci c, baysal a, akba o, erdogan s, dan saydut a., 2009. methyl ester of peanut (arachis hypogea l.) seed oil as a potential feedstock for biodiesel production. renew energy. 34:1257–1260. kinast, j.a., k.s. tyson, 2003. production of biodiesel from multiple feedstocks and properties of biodiesel and biodiesel/diesel blends. nrel us departement of energy laborattory. knothe, g., 2000, monitoring a progressing transesterification reaction by fiber optic near infrared spectroscopy with corelation to 1 h nuclear magnetic resonance spectroscopy, j.a.o.c.s, 77,5,489-493. knothe, g., 2002, current perspectives on biodiesel. inform, 13:900-903. knothe, g., j. krahl and j. van gerpen, ., 2005 the biodiesel handbook, aocs press, champaign, il kumar, t. a., kumar a., dan raheman h., 2007, biodiesel production from jatropha oil(jatropha curcas) with high free fatty acids: an optimized process, biomass bioenergy, 31:569–575. liu, y., lotero, e., goodwin jr., j.g., dan mo, x., 2007, transesterification of poultry fat with methanol using mg–al hydrotalcite derived catalysts, appl. catal. a, 331:138– 148. liu, x., he, h., wang, y., zhu, s., dan piao, x., 2008, transesterification of soybean oil to biodiesel using cao as a solid base catalyst, fuel 87:216–221. i wayan sutapa, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 53 60 1 60 ma, f., dan hanna, m.a., 1999, biodiesel production: a review, biores. technol, 70: 1– 15. mittelbach, m., dan c. remschmidt., 2004, biodiesel: the comprehensive handbook, martin mittelbach, graz, austria (dalam prosiding seminar nasional tatang h. soerawidjaja). murugesan, a., umarani, c., chinnusamy, t.r., dan krishnan, m.k., subramanian, r., neduzchezhain, n., 2008. production and analysis of bio-diesel from non-edible oils – a review. renewable and sustainable energy reviews, 13, 825–834. pattinama, j, 2009. isolasi dan identifikasi komponen minyak biji bintangur (callophylum inophylum) dari desa kairatu dan desa oma. skripsi sarjana. program studi pendidikan kimia, jurusan matematika dan ilmu pengetahuan alam, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, universitas pattimura, ambon. schindlbauer, h., 1998. standardization and analysis of biodiesel: what spesifications are important di dalam: proceeding of the 1998 porim international biofuel and lubricant conference, kuala lumpur, 4-5 mei 1998. soerawidjaja, t.h., t. adrisman, u.w. siagian, t. prakoso, l.k. reksowardojo, k.s. permana, 2005. studi kebijakan penggunaan biodiesel di indonesia. di dalam: p hariyadi, n. andarwulan, l. nuraida, y. sukmawati (editor), kajian kebijakan dan kumpulan artikel pene1itian biodiesel, kementrian ristek dan teknologi ri maksi ipb bogor. soewidjaja, t. h., 2006, prosiding seminar nasional, ugm, yogyakarta. triasmoyo, s., 2006, pengaruh konsentrasi nb2o5(3%)-y-al2o3 terhadap konversi biodiesel total pada reaksi transesterifikasi minyak goreng bekas, skripsi sarjana, jurusan kimia, fmipa ugm, yogyakarta. tyson, k. s., 2004. energy efficiency and renewable energy. u.s. departement of energy. venkanna, b.k., reddy, c.v., 2009. biodiesel production and optimization from calophyllum inophyllum linn oil (honne oil) – a three stage method. bioresour. technol. 100, 5122–5125. wei, ziku, xu, c., dan li, b., 2009, application of waste eggshell as low-cost solid catalyst for biodiesel production, bioresource technology, 100:2883–2885. zappi, m., hernandez, m., spark, d., horne, j., dan brough, m., 2003, a review of the engineering aspects of the biodiesel industry, msu environmental technology research and applications laboratory, dave c. swalm school of chemical engineering mississippi state university, mississippi. zhu h., wu z., zhang s., duan s., dan liu x., preparation of biodiesel catalyzed by solid super base of calsium oxide, and its refining process. china j catal 2006; 27:391-396 indochem ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 402-405 402 photodegradation of high density polyethylene containing oxo-biodegradation additives fotodegradasi high density polyethylene yang mengandung aditif okso-biodegradasi ristika oktavia asriza*, janiar pitulima chemistry department, faculty of engineering bangka belitung university, jl.kampus peradaban bangka 33172 *corresponding author, e-mail: ristika@ubb.ac.id received: dec. 2016 published: jan. 2017 abstract high density polyethylene (hdpe) is a type of plastic that widely used for packaging because it has good mechanical properties. hdpe is naturally non-biodegradable, and the consequence it will increase plastic waste that will damage the environment. to increase their biodegradability, it is necessary to add an oxobiodegradation additive in the form of a stearate metal compound. this oxo-biodegradation additive is a chromophore that can absorb uv light. polyethylene oxo-biodegradation films are prepared by mixing hdpe and cobalt stearate to homogeneous on various compositions. to know the effect of adding cobalt stearate into hdpe has done by photodegradation process. the polyethylene oxo-biodegradation film was given irradiation using uv light in the wavelength range 280-300 nm at room temperature for 10 days. after irradiation, in the atr spectrum shows an absorption peak at 1712 cm -1 wavenumber indicatied the presence of a carbonyl group with a stronger intensity. the higher concentration of cobalt stearate added in hdpe, increases the peak intensity of carbonyl group. this is due to the increasing number of chromophores from cobalt stearate that can absorb uv light, the faster the breakdown of hdpe chains into small fragments so that hdpe is rapidly degraded in nature. keywords:hdpe, oxo-biodegradation additives, photodegradation, carbonyl group. pendahuluan high density polyethylene (hdpe) memiliki sifat mekanik yang bagus, tidak mudah bereaksi dengan senyawa kimia, sukar terdegradasi di alam, dan harganya relative murah. karena sifat tersebut maka pemanfaatan polietilen terus mengalami peningkatan pada berbagai bidang industri terutama pada bidang pengemasan (plastik). plastik hdpe termasuk golongan polimer yang bersifat termoplastik sehingga dapat dibentuk menjadi plastik dengan derajat kerapatan yang baik. akibat penggunaan plastik hdpe yang sangat luas tersebut menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius. hdpe dikategorikan sebagai sampah plastik yang sulit didegradasi oleh bakteri yang ada di alam, dan membutuhkan waktu ratusan tahun bagi alam untuk mendegradasinya (roy dkk., 2011). salah satu usaha untuk meningkatkan kemampuan degradasi dari hdpe adalah dengan menambahkan suatu kromofor. kromofor yang digunakan berupa senyawa aditif oksobiodegradasi. kompleks logam transisi dengan strearat dapat menguraikan hidroperoksida yang terbentuk selama oksidasi polimer (pablos dkk, 2010). logam transisi yang digunakan bersifat multivalen, sehingga akan mempercepat pembentukan hidroperoksida dari reaksi degradasi hdpe (corti dkk, 2010). proses fotodegradasi sangat bergantung pada ada tidaknya oksigen (o2) dan sifat kromofor dalam menyerap sinar uv (cottin dkk, 2000). perlakuan hdpe secara fotodegradasi ini akan menghasilkan gugus karbonil akibat dari pemutusan rantai hdpe (yoon dkk, 2012). selain itu, hasil lain yang dihasilkan dari oksobiodegradasi hdpe ini adalah asam karboksilat, keton, alkohol, dan hidrokarbon dengan massa molekul yang rendah (jakubowicz dkk, 2012). ristika oktavia asriza, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 402-405 403 metodologi alat alat yang digunakan adalah kimia, gelas ukur, pipet tetes, erlenmeyer, labu leher tiga, kondensor, termometer, oven vakum, corong pisah, magnetic stirrer, hot plate dan buncher dan hot pres,lampu uv 280-300 nm, dan spektroskopiatr (prestige shimadzu ir spectrometer). bahan bahan yang digunakan adalah polimer hdpe, kobalt asetat, asam stearat, naoh, aquadest, dan etanol sebagai pelarut, serta gas nitrogen. prosedurkerja pembuatan film hdpe okso-biodegradasi pembuatan film polietilen oksobiodegradasi ini dibagi menjadi 4 variasi penambahan kobalt stearat antara lain 0,01%; 0,05%; 0,075%; 0,1% (w/w) dari massa total, kemudian campuran ini digerus sampai homogen. setelah itu, campuran tersebut dicetak dengan hot press pada suhu 120 o c selama 5 menit. film polietilen okso-biodegradasi yang terbentuk dikarakterisasi dengan menggunakan atr. fotodegradasi pada fotodegradasi polietilen oksobiodegradasi dengan berbagai konsentrasi kobalt stearat dilakukan penyinaran dengan menggunakan sinar uv pada rentang panjang gelombang 280-300 nm pada temperatur ruang. waktu foto degradasi ini dilakukan bervariasi selama 2, 4, 6, 8, dan 10 hari, kemudian sampel dikarakterisasi dengan atr. hasil dan pembahasan kromofor (aditif oksidan) yang digunakan pada penelitian ini adalah kobalt strearat. logam transisi yang sering digunakan antara lain besi, kobalt, dan mangan (ammala dkk., 2011). logam transisi yang ditambahkan kedalam polietilen tersebut dikomplekskan dengan senyawa stearat atau kompleks ligan organik lainnya (abrusci dkk, 2011). kobalt merupakan logam transisi yang bersifat multivalen. penggunaan kobalt dengan konsentrasi yang terbatas dan terkontrol tidak akan berbahaya, sehingga kobalt aman digunakan sebagai prooksidan pada film hdpe (fontanella dkk, 2010). pembuatan film hdpe yang telah ditambahkan dengan kobalt stearat sebagai aditif oksidan dilakukan dengan menggunakan hot press dengan ketebalan 80 μm. kobalt stearat ini diharapkan dapat menginisiasi proses autooksidasi sehingga proses degradasi dapat berlangsung lebih cepat (osawa dkk., 1988). film hdpe okso-biodegradasi dibuat pada berbagai variasi komposisi kobalt stearat yaitu 0,01%; 0,05%; 0,075%; dan 0,1% (w/w). gambar 1 merupakan film hdpe yang telah ditambahkan kobalt stearat. gambar 1. film hdpe okso-biodegradasi degradasi pada hdpe okso-biodegradasi dapat berlangsung secara oksidasi-reduksi akibat adanya pengaruh dari luar, salah satunya sinar uv. sifat katalitik dari kobalt stearat sebagai aditif oksidan akan teraktivasi jika terkena sinar uv atau dikenai panas, sehingga kobalt stearat akan menginisiasi terjadinya proses oksidasireduksi pada hdpe. reaksi ini akan menyebabkan pemutusan rantai pada polimer sehingga berat molekul polimer menjadi berkurang. fotodegradasi tidak merubah struktur kimia tetapi hanya menurunkan sifat mekanik/fisik dari hdpe karena adanya pemutusan rantai hdpe menjadi fragmenfragmen kecil dengan berat molekul yang lebih rendah (vijayvargia dkk, 2014). pada penelitian ini, fotodegradasi hdpe dengan penambahan kobalt stearat bervariasi dilakukan dengan penyinaran sinar uv selama 10 hari. gambar 2. menunjukkan hasil karakterisasi dengan atr untuk mengetahui perubahan puncak serapan yang terjadi pada masing-masing film. puncak-puncak serapan tersebut menunjukkan gugus-gugus fungsi kimia yang ada pada masing-masing film tersebut (listyarini dan pudjiastuti, 2014). ristika oktavia asriza, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 402-405 404 gambar 2. spektrum atr fotodegradasi hdpe okso-biodegradasi yang telah dilakukan fotodegradasi selama 10 hari dengan variasi konsentrasi kobalt stearat pada puncak serapan dengan bilangan gelombang 2912 dan 2842 cm -1 menunjukkan adanya gugus c-h alkana dan puncak serapan pada bilangan gelombang 1462 cm -1 menunjukkan adanya gugus ch2. terdapat puncak serapan yang kecil pada bilangan gelombang 1712 cm -1 menandakan adanya gugus karbonil akibat dari hasil oksidasi hdpe dari penambahan kobalt stearat. dengan adanya gugus karbonil pada film hdpe oksobiodegradasi dapat menjadi inisiator pada proses fotodegradasi ini. tabel 1. absorbansi gugus karbonil pada bilangan gelombang 1712 cm -1 pada filmhdpe + kobalt stearat dengan variasi lama penyinaran lama penyinaran (hari) absorbansi 2 0,001 4 0,002 6 0,079 8 0,078 10 0,004 pada kurva juga terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi kobalt stearat yang ditambahkan pada hdpe cenderung semakin besar nilai absorbansinya pada bilangan gelombang 1712 cm -1 . hal ini disebabkan karena semakin banyaknya jumlah kromofor dari kobalt stearat yang dapat mengabsorbsi sinar uv maka semakin cepat terputusnya rantai hdpe menjadi fragmen-fragmen kecil sehinggahdpe semakin cepat terdegradasi. sedangkan perbandingan nilai absorbansi terhadap variasi lama penyinaran dengan sinar uv pada film hdpe + kobalt stearat 0,1% (w/w) dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3. spektrum atr film hdpe + kobalt stearat 0,1% w/w dengan variasi lama penyinaran berdasarkan tabel 1.menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyinaran pada film hdpe menyebabkan nilai absorbansi pada bilangan 1712 cm -1 cenderung semakin besar. hal ini mengakibatkan hdpe semakin mudah untuk terdegradasi di alam. kesimpulan kobalt stearat sebagai aditif oksobiodegradasi dapat menginisiasi polimer hdpe yang menyebabkan proses oksidasi-reduksi sehingga proses degradasi berlangsung lebih cepat. hasil utama dari degradasi hdpe ini adalah terbentuknya hidrokperoksida dan terputusnya rantai panjang hdpe menjadi fragmen-fragmen yang lebih pendek. hidrokperoksida akan terdekomposisi menjadi gugus-gugus karbonil yang ditandai dengan adanya serapan atr pada bilangan gelombang 1712 cm -1 . dengan adanya gugus karbonil ini maka hdpe akan lebih mudah dan cepat terdegradasi di alam. daftar pustaka abrusci, c., pablos, jl. t corrales., 2011, biodegradation of photo-degraded mulching films based on polyethylen and stearate of calcium and iron as pro-oxidant additives, 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 tr a n s m it a n bil. gelombang (1/cm) 0,01% 0,05% 0,07% 0,10% 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 tr a n s m it a n bil. gelombang (cm -1 ) 2 days 4 days 6 days 8 days 10 days ristika oktavia asriza, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 402-405 405 international biodeterioration and biodegradation.451-459. ammala, anne., stuart b., katherine d., 2011, an overview and biodegradable polyolefins, csiro materials science and engineering.36, 8. corti, andrea, sudhakar m., 2010, oxidation and biodegradation of polyethylene films containing pro-oxidant additives: synergistic effects of sunlight exposure, thermal aging and fungal biodegradation, polymer degradation and stability. 95, 1106-1114. cottin, herve.,merie c., jean f., 2000, an experimental study of the photodegradation of polyoxymethylene at 122, 147 and 193 nm, polymer degradation and stability. 135, 53-64. fontanella, stephane., sylvie b., marek k., 2010, comparison of the biodegradabilityof various polyethylene films containing prooxidant additive, polymer degradation and stability. 95, 1011-1021. jakubowicz, ignacy, jonas e., 2012), effects of reprocessing of okso-biodegradable and nondegradable polyethylene on the durability of recycled materials, polymer degradation and stability. 97, 316-321. listyarini a., pudjiastuti w., 2014, fotodegradasi (degradasi abiotik) kantong plastik polietilena yang mengandung aditif, okso-biodegradable. j. kimia kemasan. vol 36 (1), 207-2014. osawa, zenjiro, 1988, role of metals and metaldeactivators in polymer degradation, polymer degradation and stability. 20, 203236 pablos, j.l, c abrusci, i. marin, 2010, photodegradation of polyethylenes: comparative effect of fe and ca-stearates as pro-oxidant additives, polymer degradation and stability. 95, 2057-2064. roy, prasun k., minna h., 2011, degradable polyethylene: fantasy or reality, express polymer letters. 45, 4217–4227. vijayvargia r., bhadoria aks., ajay km., 2014, photo and biodegradation performance of polyethylene blended with photodegradable additve ferrocene (part-1), int. journal of applied science and engineering research 3. 153-170. yoon, m.g., hyun,j., kim, m., 2012, biodegradation of polyethylene by a soil bacterium alkb cloned recombinant cell, j. bioremedbiodegrad. 3;4. indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 38 kinetic study and isoterm adsorption of pb metal in ouw village clay activated ammonium nitrate salt kajian kinetika dan isoterm adsorpsi logam pb pada lempung asal desa ouw teraktivasi garam ammonium nitrat serly j. sekewael1, hellna tehubijuluw2, delvika r. reawaruw3 1,2,3chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: may 2013 published: july 2013 abstract kinetics studies and adsorption isotherms of pb metal have been conducted on activated clay salts of ammonium nitrate (nh4no3). clays used are taken from ouw village, central maluku. clay activated by soaking in a solution of nh4no3 700 ppm for 5 hours, then filtering and heating in a furnace at 550 oc for 4 hours. the optimum adsorption of metal ions pb (ii) by activated clay ammonium nitrate occurs at ph 4 with a contact time of 4 hours and followed the freundlich adsorption isotherm pattern with a kf value of 1.6193 x 10 -8 mg/g and n value of 0.2059. pb adsorption kinetics followed the pseudo-second-order lagergren equation with the value of the adsorption rate constant (k2, ads) of 0.1248 g mg -1 min-1 and xe value of 4.4783 mg/g. keywords: adsorption, ammonium nitrate, isotherm, kinetic, clay, pb metal. pendahuluan pencemaran logam berat merupakan salah satu bentuk pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah industri dan rumah tangga. terjadinya pencemaran logam berat tidak terlepas dari penggunaannya oleh manusia. keberadaan logam berat di lingkungan berasal dari dua sumber, yakni dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimia, yang berasal dari aktivitas manusia terutama hasil limbah industri seperti pelapisan logam dan penggalian bahan tambang (anonim, 2008). salah satu dampak negatif dari keberadaan logam berat di lingkungan yakni pencemaran air oleh logam berat. air limbah dari perindustrian merupakan sumber utama polutan logam berat seperti pb, cd, as, dan hg. meskipun konsentrasinya belum melebihi batas ambang, keberadaan logam berat bersifat akumulatif dalam sistem biologi yang berbahaya bagi kesehatan (palar, 1994). logam timbal merupakan salah satu logam berat yang penggunaannya tidak terlepas dari aktivitas manusia dan cenderung membawa dampak negatif bagi kesehatan. dalam dosis tinggi, logam ini menimbulkan penyumbatan selsel darah merah dan keracunan akut lain. keberadaannya dalam tubuh juga mempengaruhi jaringan dan organ pada saraf, ginjal, reproduksi, endokrim, dan jantung. melihat bahaya yang timbul akibat keberadaan logam timbal di lingkungan akibat buangan limbah industri dan rumah tangga, maka diperlukan upaya untuk mengurangi konsentrasi logam ini di lingkungan. berbagai macam metode digunakan untuk menanggulangi pencemaran logam berat seperti penukar ion, adsorpsi, dan pengendapan secara elektrolisis (palar, 1994). metode adsorpsi merupakan suatu metode representatif dalam mengolah limbah logam berat. metode ini umumnya didasarkan pada interaksi antara logam dengan gugus fungsional yang terdapat pada adsorben, yaitu melalui pembentukan kompleks dan atau pertukaran kation. bahan-bahan yang dipakai sebagai adsorben dalam proses adsorpsi logam berat adalah bahan-bahan yang mengandung tanin (karbon aktif, serbuk gergaji, kulit kayu), lempung, zeolit, kitosan, rumput laut, lignin, dan mikroorganisme (bailey,dkk., 1999). perilaku adsorpsi dari larutan dapat diprediksi secara kualitatif dari polaritas padatan s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 39 dan komponen larutan. adsorben polar cenderung untuk mengadsorpsi kuat adsorbat polar dan lebih lemah terhadap adsorbat nonpolar, dan sebaliknya. solut polar akan cenderung teradsorpsi kuat dari pelarut nonpolar, dan sebaliknya. senyawa yang lebih hidrofobik akan cenderung teradsorpsi lebih kuat dari larutan air, sementara senyawa hidrofilik akan lemah teradsorpsi dari larutan air (oscik, 1982). dua persamaan adsorpsi isotermal yang umum digunakan untuk mempelajari adsorpsi larutan pada permukaan adalah persamaan isoterm langmuir dan freundlich. lempung merupakan salah satu mineral sekunder, berupa partikel dengan luas permukaan yang sangat besar dan molekulmolekul pada permukaannya memiliki muatan listrik. lempung biasanya dianggap sebagai suatu koloid yang merupakan suatu wujud keadaan dari bahan yang terdiri dari partikelpartikel yang sangat halus dengan ukuran yang mendekati tetapi tidak pernah mencapai ukuran molekul, yakni < 0,002 mm / < 2 μm (goenadi, 1982). terbentuk dari proses pelapukan batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas bumi, lempung mengandung leburan silika dan/atau alumunium yang halus. lempung merupakan salah satu sumber daya alam mineral yang terdapat di hampir seluruh wilayah indonesia, termasuk di maluku. sebaran lempung di maluku terutama di pulau ambon dan saparua. di antaranya di desa latuhalat, hative besar, tawiri, dan desa ouw. melihat jumlahnya yang melimpah dan mudah diperoleh di maluku, maka potensi lempung perlu dikembangkan sebagai adsorben dalam mengupayakan penurunan tingkat pencemaran logam berat. beberapa senyawa lempung termodifikasi telah dibuat untuk mengadsorpsi logam berat melalui proses pertukaran kation. modifikasi lempung dengan senyawa-senyawa organik menghasilkan kompleks yang dapat digunakan sebagai adsorben. manuaba, dkk. (2000) melakukan penelitian tentang identifikasi mineral dan aktivasi daya adsorpsi tanah lempung. identifikasi dilakukan dengan difraksi sinar-x, sedangkan peningkatan daya adsorpsinya dilakukan dengan perendaman dalam larutan nh4no3 pada konsentrasi 1001000 ppm selama 5 jam dan adsorpsinya dilakukan melalui penyerapan larutan krom. gondok (2000), melakukan uji kemampuan penyerapan logam berat timbal, nikel, dan kobalt oleh lempung teraktivasi asam dengan variasi waktu kontak, dan konsentrasi. tildjuir (2010) telah melakukan penelitian tentang kinetika adsorpsi logam cd oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat serta de fretes (2011) telah melakukan penelitian tentang kinetika adsorpsi logam pb dengan menggunakan adsorben lain yaitu kitosan dengan pengaruh kadar garam. melihat potensi lempung sebagai adsorben, maka perlu dilakukan kajian isoterm adsorpsi logam pb pada lempung teraktivasi garam amonium nitrat maupun aspek kinetikanya, yang diharapkan akan dapat mengoptimalkan pemanfaatan lempung sebagai adsorben logam berat tersebut. metode penelitian alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : spektrofotometer serapan atom (shimadzu aa 65015), alumunium foil, ayakan, batang pengaduk, lumpang dan alu, oven (memmert), penyaring buchner, shaker, tanur, seperangkat alat gelas. bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini : lempung asal desa ouw kabupaten maluku tengah, air deionisasi, akuades, hcl 1 m, kertas saring whatman no. 42, kertas lakmus, nh4no3, (ch3coo)2pb.3h2o, buffer asetat, buffer fosfat, buffer borat. prosedur kerja a. persiapan lempung lempung diambil, dicuci dengan air beberapa kali, kemudian disaring hingga didapatkan lempung yang benar-benar bebas dari pengotor seperti pasir, kerikil dan akar tanaman. setelah pencucian, lempung dikeringkan selama 2 jam dalam oven dengan suhu 120oc. persiapan sampel dilakukan dengan merendam sampel dalam hcl 1 m selama 10 menit. kemudian sampel dicuci dengan akuades sampai bebas asam dan dikeringkan pada oven 110oc selama 3 jam. sampel yang sudah kering digerus. s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 40 b. aktivasi dengan garam amonium nitrat (nh4no3) butiran lempung untuk aktivasi direndam pada larutan nh4no3 dengan konsentrasi 700 ppm. perendaman dilakukan selama 5 jam, sampel dicuci 2 kali dengan akuades, kemudian disaring dan dipanaskan dalam tanur pada suhu 550oc selama 4 jam. sampel yang telah diaktifkan ini selanjutnya dapat digunakan untuk penentuan daya adsorpsi (manuaba, dkk., 2000). b. penentuan waktu kontak optimum lempung sebanyak 0,5 g dimasukan ke dalam 50 ml larutan (ch3coo)2pb.3h2o 100 ppm, kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan 200 rpm selama 1 jam, 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. setelah mengalami penyerapan pada waktu tersebut, larutan disaring dan filtratnya dianalisa dengan ssa untuk mengetahui konsentrasi adsorbat yang tersisa dalam larutan. c. penentuan ph optimum lempung sebanyak 0,5 g dimasukan ke dalam 50 ml larutan (ch3coo)2pb.3h2o 100 ppm dengan variasi ph larutan masing-masing 4, 5, 7, 8, dan 9. kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan 200 rpm. perlakuan ini dilakukan pada waktu kontak optimum (prosedur iii.2.3). setelah mengalami penyerapan, larutan disaring dan filtratnya dianalisa dengan ssa untuk mengetahui konsentrasi adsorbat yang tersisa dalam larutan. d. penentuan kapasitas adsorpsi lempung sebanyak 0,5 g dimasukan ke dalam 50 ml larutan (ch3coo)2pb.3h2o pada ph optimum (prosedur iii.2.4) dengan konsentrasi awal larutan masing-masing 50 ppm, 75 ppm, 100 ppm, 125 ppm, dan 150 ppm. kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan 200 rpm. perlakuan ini dilakukan pada waktu kontak optimum (prosedur iii.2.3). setelah konsentrasi kesetimbangan tercapai, larutan disaring dan filtratnya dianalisa konsentrasi kesetimbangannya (ce= konsentrasi larutan tersisa) dengan menggunakan ssa. ii.2.6 penentuan orde dan tetapan laju reaksi sebanyak 0,5 g lempung masing-masing dimasukan ke dalam 6 buah erlenmeyer berisi larutan sorbat (ch3coo)2pb.3h2o 50 ml dengan konsentrasi awal (co) 100 ppm, kemudian diletakkan pada shaker dengan kecepatan 200 rpm. selanjutnya sampel dikocok pada waktu adsorpsi 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit untuk menentukan orde reaksi dan tetapan laju reaksi. hasil dan pembahasan a. aktivasi lempung dengan garam amonium nitrat (nh4no3) lempung yang diaktivasi, diambil dari desa ouw, kecamatan saparua, kabupaten maluku tengah. pada lempung masih terdapat banyak pengotor seperti akar tanaman dan kerikil sehingga perlu dibersihkan sebelum diaktivasi. untuk mendapatkan lempung yang bebas pengotor, lempung dicuci dengan cara perendaman dengan akuades. perendaman dilakukan selama tiga minggu hingga didapatkan lempung yang bebas pengotor. sebelum diaktivasi, lempung direndam dengan larutan hcl 1 m selama 10 menit. hal ini dilakukan untuk melarutkan pengotor-pengotor renik yang tidak larut dalam lapisan eksternal sehingga pada saat aktivasi, ion amonium dapat menggeser kation-kation yang terikat lemah pada antar lapis lempung. selanjutnya lempung dicuci dengan akuades dan diuji dengan agno3 untuk memastikan lempung bebas asam. lempung yang bebas asam, kemudian dikeringkan di oven dan digerus untuk memperkecil ukuran partikel lempung sehingga memperbesar luas permukaannya. serbuk lempung selanjutnya diaktivasi dengan larutan amonium nitrat 700 ppm, dengan cara direndam selama 5 jam. selanjutnya lempung dikeringkan di dalam tanur dengan suhu 550oc selama 4 jam. lempung teraktivasi selanjutnya digerus dan diayak lagi untuk adsorpsi logam pb. aktivasi merupakan cara yang paling umum dikerjakan untuk meningkatkan daya adsorpsi lempung dan dapat dilakukan secara fisik atau kimia. dalam penelitian ini, proses aktivasi dilakukan menggunakan garam amonium nitrat. hal ini dikarenakan garam ini memiliki daya terobos yang baik dan tidak menyebabkan s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 41 kerusakan pada kisi. saat aktivasi, ion amonium (nh4 +) dapat mengganti kation terhidrat pada antar lapis lempung seperti na+, k+, dan ca+. proses kimia yang terlibat adalah pertukaran ion yang menggambarkan kompetisi antara ion tersebut dengan kation-kation terhidrat dalam antar lapis lempung. proses pengeringan dan pemanasan dalam tanur dengan suhu 550oc selama 4 jam dengan tujuan melepaskan no3. pemanasan dilakukan pada suhu 550oc, yang merupakan suhu optimum terjadinya perubahan bentuk amorf menjadi kristal yang lebih sempurna (kasmadi, 1989). proses ini berlangsung sehingga yang tersisa pada permukaan antar lapis lempung adalah ion h+ yang akan dipertukarkan dengan pb2+ pada saat adsorpsi. ion h+ dan kation lain yang dilepaskan dari sisi oktahedral dan tetrahedral akan menghasilkan gugus sio4 yang mudah diserang. b. penentuan waktu kontak lempung teraktivasi garam amonium nitrat 0,5 g dimasukan ke dalam 50 ml larutan pb(ii) 100 ppm dan dikocok dengan variasi waktu kontak, selanjutnya konsentrasi filtratnya dianalisa dengan metode ssa, maka diperoleh data seperti pada tabel 1. tabel 1. data adsorpsi ion logam pb(ii) dengan variasi waktu kontak pada suhu kamar oleh lempung dengan menggunakan metode ssa t( jam) c0 (ppm) ce (ppm) cads (ppm) 1 100 88,8200 11,4200 2 100 80,0400 19,9600 4 100 76,3800 23,6200 6 100 82,4800 17,5200 keterangan : c0 = konsentrasi ion logam pb(ii) sebelum adsorpsi ce = konsentrasi ion logam pb(ii) yang tersisa dalam larutan cads =konsentrasi ion logam pb(ii) yang teradsorpsi oleh lempung t = waktu kontak hubungan antara waktu kontak dan konsentrasi ion pb yang terjerap digambarkan pada gambar 1 berikut ini: gambar 1. kurva cads vs t untuk penentuan waktu kontak optimum berdasarkan kurva cads terhadap t untuk penentuan waktu kontak optimum, dapat dilihat bahwa lamanya waktu kontak pada proses adsorpsi logam pb(ii) oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat memberi pengaruh yang cukup penting terhadap penjerapan ion logam pb(ii) dalam larutan. dari data pada gambar 3, proses penjerapan terbaik ion logam pb(ii) oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat, terjadi pada waktu kontak 4 jam dengan konsentrasi ion logam pb(ii) terjerap yaitu 23,6200 ppm. sementara itu, penurunan penjerapan signifikan terjadi pada waktu kontak 6 jam dengan besar konsentrasi logam pb(ii) yang terjerap hanya 17,5200 ppm. c. penentuan ph optimum penentuan ph optimum dilakukan dengan cara membuat masing-masing 50 ml larutan pb(ii) 100 ppm dengan variasi ph 4, 5, 7, 8, dan 9. kemudian masing-masing larutan diinteraksikan dengan 0,5 g lempung teraktivasi. konsentrasi pb(ii) yang tersisa ditentukan dengan ssa dan hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. data adsorpsi ion logam pb(ii) dengan variasi ph oleh lempung menggunakan metode ssa ph co (ppm) ce (ppm) cads (ppm) 4 100 0,0041 99,9959 5 100 0,0514 99,9486 7 100 0,0463 99,9537 8 100 0,0206 99,9794 9 100 0,0441 99,9559 s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 42 derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses adsorpsi. pada proses adsorpsi, dipelajari ph optimum, yaitu ph dimana adsorpsi ion logam pb(ii) pada lempung teraktivasi berada pada nilai penjerapan maksimum. ph optimum dapat diamati dari konsentrasi ion logam yang tersisa dalam larutan setelah proses adsorpsi berlangsung, di mana pada ph optimum konsentrasi ion logam pb(ii) yang tersisa dalam jumlah terkecil. menurut stumm dan morgan dalam ningrum (2007), pengaruh kondisi ph larutan pada proses adsorpsi sangat besar karena perubahan keasaman larutan ion logam dapat menyebabkan perubahan muatan permukaan adsorben, maupun jenis dan jumlah ion logam yang terdapat dalam larutan. pengaruh ph terhadap adsorpsi ion logam pb(ii) oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat diperlihatkan pada gambar 2. gambar 2. kurva vs ph untuk penentuan ph optimum berdasarkan kurva cads terhadap ph, dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan penjerapan ion logam pb(ii) pada kondisi ph 5 sebesar 99,9486 ppm menjadi 99,9794 ppm pada ph 8. meskipun peningkatan penjerapan tidak signifikan terlihat, namun hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi ph maka konsentrasi ion logam pb(ii) yang terjerap semakin besar. peningkatan penjerapan pada ph tinggi kemungkinan terjadi karena kecilnya kompetisi antara ion h+ dan ion logam pb(ii). pada kondisi ph 9, terjadi penurunan penjerapan menjadi 99,9559 ppm diperkirakan terjadi karena konsentrasi ohdalam larutan semakin banyak menyebabkan berkurangnya konsentrasi pb(ii) sehingga ion logam pb(ii) yang terjerap juga semakin kecil. sebaliknya dalam penelitian ini, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penjerapan optimum ion logam pb(ii) oleh lempung teraktivasi amonium nitrat terjadi pada kondisi ph 4 sebesar 99,9959 ppm. hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan situs-situs aktif lempung teraktivasi garam amonium nitrat dalam mengikat ion logam pb(ii) meningkat pada ph rendah. d. penentuan kapasitas adsorpsi sebanyak 0,5 g lempung teraktivasi garam ammonium nitrat ditambahkan pada larutan pb(ii) dengan ph 4, konsentrasi awal masingmasing 50, 75, 100, 125, dan 150 ppm kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan 200 rpm selama 4 jam. hasil yang diperoleh seperti pada tabel 3. berdasarkan data ssa yang diperoleh, maka dapat ditentukan isoterm adsorpsi yang sesuai pada lempung teraktivasi garam amonium nitrat terhadap ion logam pb(ii). untuk menentukan isoterm adsorpsinya, dilakukan pengolahan data adsorpsi pb(ii) pada lempung dengan variasi konsentrasi pada suhu kamar. tabel 3. data adsorpsi ion logam pb(ii) dengan variasi konsentrasi oleh lempung menggunakan metode ssa c0 (ppm) ce (ppm) cads (ppm) 50 40,3321 9,6679 75 48,1438 26,8562 100 54,8125 45,1875 125 60,5805 64,4195 150 61,7476 88,2524 penentuan kapasitas atau kemampuan jerap dari lempung sebagai adsorben didasarkan pada persamaan garis lurus isoterm dengan melihat pola isoterm adsorpsi yang sesuai. proses adsorpsi logam pb oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat dapat dijelaskan dengan menggunakan dua persamaan isoterm yaitu persamaan isoterm langmuir dan persamaan isoterm freundlich. kedua persamaan ini digunakan untuk menjelaskan proses adsorpsi pada permukaan zat padat. isoterm langmuir berdasarkan kurva ce terhadap ce/(x/m) sedangkan isoterm freundlich berdasarkan kurva ln ce terhadap ln (x/m). s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 43 pada tabel 4 ditentukan parameterparameter penting untuk isoterm, baik freundlich maupun langmuir. selanjutnya dapat dibuat kurva isoterm adsorpsi freundlich dan langmuir, sehingga dapat ditentukan isoterm adsorpsi yang sesuai untuk adsorpsi ion logam pb(ii) pada lempung teaktivasi garam amonium nitrat dengan membandingkan nilai kuadrat terkecil atau koefisien korelasi (r2) (atkins, 1997). tabel 4. parameter isoterm adsorpsi langmuir dan isoterm adsorpsi freundlich terhadap ion logam pb(ii) pada lempung teraktivasi garam c0 (ppm) ce (ppm) c0-ce (ppm) q (%) x/m (mg/g) 50 40,3321 9,6679 19,34 0,9668 75 48,1428 26,8562 35,81 2,6856 100 54,8125 45,1875 45,19 4,5188 125 60,5805 64,4195 51,54 6,4419 150 61,7476 88,2524 58,83 8,8253 ln ce ln x/m 41,7171 3,6971 -0,0338 17,9263 3,8742 0,9879 12,1299 4,0039 1,5082 9,4041 4,1039 1,8628 6,9967 4,1231 2,1776 keterangan : c0-ce = konsentrasi ion logam pb(ii) yang teradsorpsi oleh lempung x/m = jumlah mol ion logam pb(ii) yang teradsorpsi oleh lempung q = persentasi adsorpsi nilai diperoleh berdasarkan persamaan : (1) dengan v = volume larutan (l); m = berat lempung (g) nilai q diperoleh dari persamaan : (2) hubungan linier isoterm langmuir dan freundlich pada adsorpsi logam pb(ii) terlihat pada gambar 3 dan 4. gambar 3. kurva ce vs ce/(x/m) menurut isoterm langmuir gambar 4. kurva ln ce vs ln (x/m) menurut isoterm freundlich dengan membandingkan koefisien korelasi (r2) yang ada pada gambar 3 dan 4, dapat ditentukan kecenderungan adsorpsi logam pb(ii) pada lempung teraktivasi amonium nitrat berdasarkan kelinieritas yang ada. pada penelitian ini, kecenderungan adsorpsi logam pb(ii) oleh lempung adalah mengikuti isoterm freundlich yang dikembangkan untuk permukaan adsorben yang heterogen (lynam dkk., 1995). berdasarkan gambar 3 dan 4, adsorpsi logam pb(ii) oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat mengikuti pola kurva isoterm freundlich yang menunjukkan hubungan linier dengan nilai r2 sebesar 98,67% jika dibandingkan dengan pola isoterm langmuir yaitu 87,61%. nilai kf dan 1/n dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut. (3) maka diperoleh nilai 1/n sebesar 4,8579 yang menunjukkan indikator ketergantungan s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 44 konsentrasi yang berhubungan dengan adsorpsi sehingga nilai n = 0,2059. nilai n menunjukkan derajat nonlinieritas antara konsentrasi larutan dan adsorpsi yaitu mengukur penyimpangan linieritas adsorpsi dan biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat kebenaran suatu jenis adsorpsi. dengan nilai n < 1, maka dipastikan bahwa proses adsorpsi ini merupakan proses kemisorpsi (ozcan dkk., 2005). sedangkan nilai kf diperoleh sebesar 1,6193 x 10 -8 mg/g. nilai kf menunjukkan kapasitas jerap. semakin besar nilai kf maka semakin besar pula kapasitas adsorben menjerap adsorbat (lynam dkk., 1995). nilai kf yang diperoleh sangat rendah dikarenakan logam pb yang terjerap oleh lempung teraktivasi garam sangat sedikit. hal ini dapat dilihat dari nilai q untuk tiap-tiap konsentrasi kurang dari 60%. semakin tinggi konsentrasi yang teradsorpsi maka semakin tinggi kapasitas adsorpsinya (bamgbose dkk., 2010). e. penentuan orde dan tetapan laju reaksi sebanyak 0,5 g lempung teraktivasi garam amonium nitrat dimasukan ke dalam 50 ml larutan pb(ii) dengan ph 4, kemudian dikocok masing-masing selama 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit dengan kecepatan 200 rpm. diperoleh data seperti pada tabel 5. tabel 5. data adsorpsi ion logam pb (ii) pada suhu kamar dengan variasi waktu adsorpsi oleh lempung menggunakan metode ssa t (menit) ce (ppm) cads (ppm) 30 55,0256 44,9744 60 58,3866 41,6134 90 55,9555 44,0445 120 56,3429 43,6571 150 54,6915 45,3085 180 56,0233 43,9767 parameter umum yang dipakai untuk mempelajari kinetika adsorpsi adalah harga tetapan laju (k) adsorpsi yang merupakan salah satu faktor yang terkait dengan kelayakan suatu bahan sebagai adsorben. nilai tetapan laju adsorpsi untuk model adsorpsi lagergren orde satu semu diperoleh dari bentuk persamaan liner: (lagergren dalam fat’hi dan zolfi, 2012).( − )= − , (4) sedangkan untuk model adsorpsi lagergren orde dua semu diperoleh dari bentuk persamaan linier: (ho dkk., 2000)= , . + (5) tabel 6. parameter kinetika adsorpsi lagergren orde satu semu dan orde dua semu logam pb(ii) oleh lempung teraktivasi garam amonium nitrat (menit) (ppm) (ppm) (mg/g) 30 55,0256 44,9744 4,4974 60 58,3866 41,6134 4,1613 90 55,9555 44,0445 4,4045 120 56,3429 43,6571 4,3657 150 54,6915 45,3085 4,5309 180 56,0233 43,9767 4,3977 yang dicoba (mg/g) log 4,6 0,1026 -0,9889 6,6705 4,6 0,4387 -0,3578 14,4186 4,6 0,1955 -0,7089 20,4336 4,6 0,2343 -0,6302 27,4870 4,6 0,0691 -1,1605 33,1060 4,6 0,2033 -0,6919 40,9305 berdasarkan tabel 6, dapat dibuat kurva log (xe – x) vs t untuk persamaan lagergren orde satu semu dan kurva t/x vs t untuk persamaan lagergren orde dua semu. hasilnya masingmasing dapat dilihat pada gambar 5 dan 6. gambar 5. kurva log (xe x) vs t menurut model kinetika lagergren orde satu semu s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 45 gambar 6. kurva t/x vs t menurut model kinetika lagergren orde dua semu perhitungan kinetika menurut persamaan lagergren orde satu semu dilakukan dengan cara try and error. nilai xe yang belum diketahui dicoba dengan menggunakan nilai 4,6 mg/g pada saat pengolahan data. hasilnya, nilai r2 yang diperoleh sebesar 2,56% dan berdasarkan perhitungan dengan persamaan 4 nilai xe yang diperoleh adalah -1,4883 mg/g. terdapat selisih yang sangat besar antara nilai xe yang dicoba dengan nilai xe yang diperoleh, sehingga adsorpsi logam pb pada lempung teraktivasi garam amonium nitrat tidak mengikuti model kinetika adsorpsi lagergren orde satu semu. dari kurva lagergren orde dua semu pada gambar 6 terlihat bahwa nilai r2 mencapai nilai 99,82%, lebih besar jika dibandingkan dengan nilai r2 pada kurva lagergren orde satu semu. berdasarkan perhitungan dengan persamaan 5 diperoleh nilai xe sebesar 4,4783 mg/g, nilai xe merupakan parameter kinetika adsorpsi yang menyatakan konsentrasi logam pb pada saat kesetimbangan. diperoleh juga nilai k2 sebesar 0,1248 g mg-1 menit-1, nilai k2 merupakan parameter kinetika adsorpsi yang menunjukkan cepat-lambatnya suatu proses adsorpsi. semakin besar nilai k2, maka semakin cepat pula proses adsorpsi berlangsung. maka dapat dipastikan bahwa adsorpsi logam pb pada lempung teraktivasi amonium nitrat mengikuti model kinetika lagergren orde dua semu. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. adsorpsi logam pb pada lempung teraktivasi garam amonium nitrat mengikuti isoterm freundlich, dengan nilai kf = 1,6193 x 10 -8 mg/g dan nilai n = 0,2059. 2. adsorpsi logam pb pada lempung teraktivasi garam amonium nitrat mengikuti persamaan lagergren orde dua semu dengan nilai tetapan laju adsorpsi (k2,ads) sebesar 0,1248 g mg-1 menit-1 dan nilai xe sebesar 4,4783 mg/g. daftar pustaka anonim, 2008, potensi karbon aktif sebagai media adsorpsi logam berat timbal (pb) dan kadmium (cd), http://smk3ae.wordpress.com/ 2008/06/05/potensi-karbon-aktif-sebagaimedia-adsorpsi-logam-berat-timbal-pb-dankadmium-cd/, disitasi tanggal 5 februari 2012. atkins, p.w, 1993, kimia fisika jilid 2, penerjemah kartohadiprodjoi. i., jakarta: penerbit erlangga. bailey, s. e., olin, t. j., bricka, m., dan adrian, d. d., 1999, a review of potentially lowcost sorbents of heavy metals, wat. res., 33 (11) : 2469-2479. bamgbose, j. t., adewuyi, s., bamgbose, o., dan adetoye, a. a., 2010, adsorption kinetics of cadmium and lead by chitosan, afr. j. biotechnol., vol. 9 (17) : 2560-2565. de fretes, p. y., 2011, kinetika adsorpsi logam berat pb oleh kitosan pada beberapa kadar garam, skripsi sarjana, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas pattimura : ambon. fat’hi, m. r. and a. zolfi, 2012, removal of blue 56 by orange peel from the waste water, j. chem. health risks 2(1); 7-14. goenadi, d.h., 1982, dasar-dasar kimia tanah, terjemahan dari tan, k.h., edisi pertama, 93-193, gadjah mada university press, yogyakarta. gondok, y., 2000, penyerapan kation logam berat timbal, nikel, dan kobal dengan menggunakan clay abu-abu dan merahkuning, sainstek vol. iii. ho y.s., g. mckay, d. a. j. wase and c. f. foster, 2000,study of the sorption of divalent metal ions onto peat, j.adsorp. sci. technol. 18, 639-650. s.j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 38 46 1 46 kasmadi, 1989, aktivasi tanah lempung sebagai resin penukar kation, yogyakarta: universitas gadjah mada. lynam, m. m., kilduff, j. e. dan webber, jr. j., 1995, adsorption of p-nitrophenol from oilute aqueous solution, j. chem. ed., 72:81-82. manuaba, putra, i.b, a. a alit suweda, i. w. arka, l. udhiana, dan a. a. i. widyawati, 2000, identifikasi mineral dan aktivasi daya adsorpsi tanah lempung yang diambil di daerah kerobokan, kuta denpasar, denpasar, chem., rev., vol.3.no.1. ningrum, e.c., 2007, kajian kinetika adsorpsi ni (ii) pada adsorben magnetit yang disintesis dengan metode hidrolisis oksidatif, skripsi, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas gadjah mada. oscik, j., 1982, adsorption, translation editor cooper, i.l., first edition, 123-127, 198, ellis horwood limited, chichester. ozcan, a. s., edem, b., dan ozcon, a., 2005, adsorption of acid blue 193 from aquaeous solutions onto btma-bentonite colloid surface. a: phsycochem eng. aspects, 266: 73-81. palar, h., 1994, pencemaran dan toksikologi logam berat, jakarta: penerbit rineka cipta. tildjuir, s. a., 2010, kinetika adsorpsi logam cd pada lempung teraktivasi garam amonium nitrat, skripsi sarjana, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas pattimura, ambon. ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 324-328 324 carbon characterization from candlenut shells (aleurites moluccana (l) willd) with xrd karakterisasi karbon dari tempurung kemiri (aleurites moluccana (l) willd) dengan alat xrd jolantje latupeirissa*, matheis f.j.d.p. tanasale, kalam dade chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: jolalatu@fmipa.unpatti.ac.id received: oct. 2015 published: jan. 2016 abstract the research of carbon characterization from candlenut shells before and after activation has been done. activated carbon were obtained through the heating process at 350 °c for 2 hours. the carbon charcoal were further cooled and sieved with a 100 mesh sieve. then, calcinated at 450 °c and nitrogen (n2) were flowed for 2 hours and characterized by xrd for carbon before activation. carbon was activated by using koh solution with a concentration of 50% for 5 hours, then dried in an oven at 120 °c for 1 hour and characterized. xrd diffractogram of crystallization for carbon before activation produced three main peak were 2.93 å, 3.25 å, and 8.26 å, and at 2ө region of 30.47°, 27.40°, and 10.70°, respectively. xrd diffractogram of crystallization for activated carbon produced three main peak were 3.0195 å, 3.3383 å and 8.0955 å, the 2ө value which was shifted of 29.560°, 26.682°, and 10.920°. this shift indicates that the distance difference between charcoal crystal face caused by koh activator. weight acidity solids before and after activation was 27.370 x10 -3 and 33.1245x10 -3 mol.g -1 , respectively. keywords: characterization, activated carbon, xrd pendahuluan di indonesia, tempurung kemiri merupakan hasil pengolahan biji kemiiri. limbah pangan ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal. melihat kesamaannya dengan tempurung kelapa, tempurung kemiri diperkirakan dapat dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan arang aktif. dalam hal ini teksturnya keras` dan diduga memiliki kandungan bahan kayu seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa yang tinggi (anisya, 2009). tempurung kemiri dapat diperlihatkan pada gambar 1. dengan biji, daun dan akar aleurotus moluccana mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol, di samping itu daging bijinya mengandung minyak lemak, pada korteksnya mengandung tannin. daging bijinya bersifat laksatif. di ambon kortesksnya digunakan sebagai anti tumor, di jawa digunakan sebagai obat diare, sariawan dan desentri, di sumatra daunnya digunakan untuk obat sakit kepala dan gonnorhea. minyak kemiri dibuktikan berkhasiat sebagai obat penumbuh rambut (romadhon, 2008). gambar 1. tempurung kemiri kemiri berasal dari maluku dan tersebar ke polynesia, india, filipina, jawa, australia dan kepulauan pasifik, india barat, brazil dan florida. kemiri (aleuritus moluccana ) adalah tumbuhan yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber minyak dari rempah-rempah. tumbuhan ini masih sekerabat dengan singkong dan termasuk dalam suku euphorbiaceae (anisya, 2009). jolantje latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 323-328 325 tanaman kemiri (aleuritus moluccana ) berpohon besar dengan ketinggian 25–40 meter, beranting banyak, mempunyai tunas muda yang tertutup rapat oleh bulu yang berwarna putih keabu-abuan atau coklat. daun muda berlekuk tiga atau lima, sedangkan daun tua berbentuk bulat dengan ujung meruncing. daun tersebut mempunyai kelenjar berwarna hijau kekuningan. bunga kemiri merupakan bunga majemuk yang berumah satu, berwarna putih dan berangkai pendek. buah kemiri berkulit keras dengan berdiameter 5 cm, di dalamnya terdapat satu atau dua biji yang keras dengan permukaan kasar dan beralur (anisya, 2009). buah kemiri tidak dapat langsung di makan mentah karena beracun yang disebabkan oleh toxalbumin. persenyawaan toxalbumin dapat dihilangkan dengan cara pemanasan dan dapat dinetralkan dengan penambahan bumbu lainya seperti garam, merica dan terasi. bila tejadi keracunan karena kemiri, dapat dinetralkan dengan meminum air kelapa. karbon aktif adalah suatu bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon. karbon aktif merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui aktivasi dengan menggunakan gas co2, uap air atau bahan-bahan kimia sehingga poriporinya terbuka dan dengan demikian daya adsorpsinya menjadi lebih tinggi terhadap zat warna dan bau. karbon aktif mengandung 5 sampai 15 persen air, 2 sampai 3 persen abu dan sisanya terdiri dari karbon diperlihatkan pada gambar 2. gambar 2. karbon aktif pengertian karbon aktif ditujukan pada karbon yang amorf yaitu, karbon yang telah dibuat dan diolah secara khusus untuk memperbesar daya penjerapanya. pada umumnya bahan baku pembuatan karbon yang terdapat pada binatang, tanaman, mineral dapat dijadikan arang, misalnya tulang binatang, tempurung kelapa, kayu, serbuk gergaji, sekam padi, kulit durian, batu bara, dan tongkol jagung. pada karbon non aktif, struktur pori-pori yang dapat menyerap sudah berbentuk garis putih yang lebih luas, sehingga mempunyai daya serap yang lebih besar (arifin dan ramli, 1989). menurut cheremisinoff dan morresi (1978), proses pembuatan karbon aktif dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu : (a) dehidrasi (proses penghilangan air yaitu, bahan baku dipanaskan sebagai temperatur 170 °c), (b) karbonisasi (pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon). pada suhu di atas 270 °c, akan menghasilkan co, co2 dan asam asetat. pada suhu 275 ° c, dekomposisi menghasilkan “ter’’ metanol dan hasil samping lainya. pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400–600 °c dan aktivasi dekomposisi ter dan perluasan pori-pori, dapat dilakukan dengan uap atau co2. proses aktivasi yang dilakukan adalah aktivasi fisis yaitu oksidasi dari udara pada temperatur rendah atau dengan aliran gas pada temperatur tinggi. dengan adanya proses aktivasi ini akan memperluas permukaan aktif pada karbon, yaitu dengan terbentuknya pori-pori. coocson (1978) menyatakan karbon aktif mempunyai poripori yang saling berhubu ngan, yaitu : pori makro, mikro dan transisi. melalui pori inilah terjadi proses penyerapan. pori makro dapat menyerap molekul adsorbat dan pelarut yang berhubungan dengan permukaan luar dari partikel karbon, pori karbon merupakan cabang dari pori makro dan dapat menyerap pelarut dan adsorbat dengan ukuran yang lebih kecil, sedangkan pori transisi merupakan cabang dari pori makro yang hanya dapat menyerap molekul pelarut yang lebih kecil. x-ray diffraction (xrd) merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang di gunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan para meter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. difraksi sinar x terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. hamburan monokromatis sinar x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. dasar dari penggunaan difraksi sinar x untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan bragg : jolantje latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 323-328 326 n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2 … ..... (1) dengan λ adalah panjang gelombang sinar x yang digunakan, d adalah jarak antara dua bidang kisi, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan. berdasarkan persamaan bragg, jika seberkas sinar x dijatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar x yang memiliki panjang gelombang yang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan dalam sebuah puncak difraksi. makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. tiap puncak yang muncul pada pola xrd mewakili pada satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokan dengan standar difraksi sinar x untuk hampir semua jenis material (fitriadi, 2011). difraksi sinar x serbuk yang paling banyak di gunakan untuk identifikasi bahan kristalin (mineral misalnya, senyawa anorganik). penentuan padatan diketahui sangat penting untuk di bidang geologi, ilmu lingkungan, ilmu material, teknik dan teknologi. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempurung kemiri, akuades, koh (p.a. merk), nh3 (p.a.merk), gas nitrogen, kertas saring whatman no.42, alat seperangkat alat gelas, desikator, pengerus, ayakan tatonas (100 mesh), neraca analitik ohaus, shaker, oven, alat kalsinasi, tanur, pipet tetes, pipet volum, xrd (shimadzu xd -160). prosedur kerja preparasi sampel tempurung kemiri diambil dari buah kemiri, dilepaskan isinya kemudian diambil tempurungnya. setelah itu dicuci berulang kali dengan air suling, kemudian dikeringkan dan dimasukkan di dalam tanur pada suhu 450 °c selama 2 jam. arang yang dihasilkan kemudian dihaluskan, diayak dengan ayakan tatonas (100 mesh) dan dikarakterisasikan dengan x-rd. uji keasaman permukaan sebelum aktifasi metode yang digunakan untuk menentukan keasaman permukaan dari arang aktif adalah metode gravimetri yaitu karbon yang dihasilkan dari tempurung kemiri, diambil sebanyak 0,2 g dimasukkan dalam wadah dan diletakkan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat amonia (p.a). desikator ditutup selama 24 jam kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. bobot karbon yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada karbon dengan rumus : bobot teradsorpsi = mol g -1 ….. (2) dengan : = bobot kosong = bobot wadah dan cuplikan = bobot dan cuplikan yang telah mengadsorpsi ammonia proses kalsinasi dan aktifasi karbon pada tempurung kemiri sampel arang dimasukkan dalam perangkat alat kalsinasi yang telah dipanaskan pada suhu 450 °c dan dialiri dengan gas nitrogen, selama 2 jam. selanjutnya diaktivasi dengan cara, ambil 30 g karbon tempurung kemiri dan direndam dalam reagen aktivator koh 3 m selama 10 jam disaring dan dicuci dengan aquades. karbon aktif yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 °c selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dikarakterisasikan dengan xrd. uji keasaman permukaan setelah diaktifasi metode yang digunakan untuk menentukan keasaman permukaan dari karbon aktif adalah metode gravimetri. karbon yang dihasilkan dari tempurung kemiri, diambil sebanyak 0,2 g, dimasukkan didalam wadah dan diletakkan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat ammonia (p, a). desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka jolantje latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 323-328 327 untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. bobot karbon aktif yang telah mengandsorpsi basa untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada kabon aktif dengan persamaan (2). hasil dan pembahasan preparasi karbon dari tempurung kemiri tempurung kemiri yang telah di cuci, di keringkan dalam oven pada suhu 110 °c selama 2 jam dan di lakukan proses pengarangan dengan menggunakan tanur pada suhu 450 °c hingga menjadi arang. proses pengarangan akan menghasilkan arang yang tidak begitu aktif karena luas permukaannya masih begitu rendah. kemudian arang yang diperoleh dihaluskan dan di ayak dengan ukuran 100 mesh, selanjutnya di lakukan suatu proses yaitu proses kalsinasi bertujuan untuk menghilangkan uap air dari pengotor-pengotor lain. sehingga yang tersisa hanya karbon kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan xrd. proses kalsinasi ini dilakukan dengan pemanasan pada suhu 450 °c selama 2 jam serta dialiri dengan gas nitrogen (n2). arang dimasukan didalam reaktor setelah dihubungkan dengan tabung nitrogen. reaktor kemudian ditempatkan pada furnace yang suhunya telah diatur, yang dihubungkan dengan regulator untuk menyelaraskan suhu tanur dengan pencatat suhu yang telah ditentukan dan terhubung pula dengan stabilizer untuk menstabilkan tegangan listrik yang masuk kedalam furnace. setelah itu didinginkan pada suhu kamar. karbon yang dihasilkan dari proses kalsinasi kemudian dikarakterisasi dengan xrd. analisis difraksi sinarx dilakukan dengan menggunakan alat xrd dengan panjang gelombang 1,54060 å menggunakan radiasi dari tabung target cu, pada tegangan 40,0 kv, arus 30,0 ma, dan daerah pengamatan antara 3,0200°–80,0000°, selama 0,24 detik. hasil difratogram dengan xrd dapat dilihat pada gambar 3. berdasarkan difraktogram xrd yang diperlihatkan pada gambar 3, data kristalitas untuk sampel karbon sebelum aktivasi meliputi pemisahan interlayer karbon yaitu berturut-turut untuk tiga peak utama yaitu 2,93 å, 3,25 å, dan 8,26 å, ketiga peak tersebut berada pada daerah 2ө masing-masing adalah 30,47°, 27,40°, dan 10,70°. gambar 3. difraktogram xrd karbon sebelum aktivasi kalsinasi dan aktivasi arang dari tempurung kemiri karbon yang telah dikalsinasi, kemudian diaktivasi dengan menambahkan aktivator koh 3 m dan direndam selama 10 jam, kemudian disaring dan dicuci dengan air hingga bersih, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 °c selama 1 jam. aktivasi yang dilakukan ini merupakan aktivasi kimia yaitu proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan – bahan kimia. proses aktivasi merupakan hal yang penting dalam pembuatan arang aktif. melalui proses aktivasi arang akan memiliki daya adsorpsi yang semakin meningkat, karena arang hasil karbonasi biasanya masih mengandung zat yang masih menutupi pori-pori permukaan arang. pada saat perendaman larutan koh akan teradsorpsi oleh arang yang akan melarutkan tar dan mineral anorganik. hilangnya zat tersebut dari permukaan arang aktif akan menyebabkan semakin besar pori dari arang aktif (subadra, 2005). besarnya pori arang aktif berakibat meningkatnya luas permukaan arang aktif. hal ini akan meningkatkan kemampuan adsorpsi dari arang aktif, yang diperlihatkan pada gambar 4. gambar 4. difraktogram xrd karbon sesudah aktivasi dari gambar 4. menunjukkan bahwa terdapat juga tiga peak utama yang sama nilainya jolantje latupeirissa, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 323-328 328 berturut-turut 3,0195 å, 3,3383 å, dan 8,0955 å dengan masing-masing berada pada nilai 2ө dengan nilai yang bergeser yaitu 29,560°, 26,682°, dan 10,920° yang berbeda dengan nilai 2ө pada difraktogram arang sebelum aktivasi. pergeseran ini menunjukkan terjadinya perbedaan jarak antara muka kristal arang yang disebabkan oleh zat aktivator koh. penentuan keasaman padatan karbon aktif keasaman padatan dapat dinyatakan sebagai kekuatan asam dan jumlah situs asam. penentuan keasaman karbon aktif dilakukan dengan metode gravimetri, yaitu adsorpsi amoniak. keasaman karbon aktif sebanding dengan banyaknya uap amoniak yang teradsorpsi oleh karbon aktif dimana proses adsorpsinya dilakukan dengan memanfaatkan keadaan vakum pada desikator agar tidak ada basa lain serta uap air yang teradsorpsi selain amoniak. proses uji keasaman sebelum dan sesudah aktivasi diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1. perbandingan keasaman karbon aktif yang teradsorpsi sebelum dan sesudah aktivasi sampel karbon cawan kosong (g) cawan+ sampel (g) cawan+ sampel setelah teradsorpsi (g) bobot teradsorpsi (10 -3 ) (mol g -1 ) sebelum diaktivasi 34,322 34,522 34,844 27,370 sesudah diaktivasi 34,389 34,589 34,978 33,1245 keasaman padatan harus ditentukan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi karbon aktif yang dilakukan dengan metode gravimetri. jumlah asam dari suatu padatan dapat diperoleh dengan cara mengukur jumlah basa yang teradsorpsi secara kimia, (kemisorpsi), dalam fase gas, basa yang digunakan adalah, piridin, quinolin, trimetilamin. karbon sebelum aktivasi ke karbon yang sesudah teraktivasi makin bertambah luasnya permukaan karbon akibat proses kalsinasi dan proses aktivasi sehingga memungkinkan lebih banyaknya yang teradsorpsi. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. difraktogram xrd kristalitas menghasilkan tiga peak utama yaitu 2,93 å, 3,25 å, dan 8,26 å, dan ketiga peak berada pada daerah 2ө masing-masing adalah 30,47°, 27,40°, dan 10,70°. 2. difraktogram xrd kristalitas menghasilkan tiga peak utama yaitu 3,0195 å, 3,3383 å, dan 8,0955 å, nilai 2ө yang bergeser yaitu 29,560°, 26,682°, dan 10,920°. pergeseran ini menunjukkan terjadinya perbedaan jarak antara muka kristal arang yang disebabkan oleh zat aktivator koh. 3. berat keasaman padatan sebelum dan sesudah aktivasi berturut-turut (27,370 x10 -3 dan 33,1245x10 -3 ) mol g -1 . daftar pustaka anisya, d. s., 2009. makalah teknologi minyak nabati ”minyak kemiri”, fakultas teknik kimia, surakarta. arifin, b dan ramli, s. 1989. aktivasi arang tempurung secara kimia. laporan penelitian. universitas syah kulala darusallam. banda aceh. fitriadi, y. 2011 kimia organik ii edisi kedua, terjemahan a. hadyana pudjaatmaka, penerbit erlangga, jakarta. cheremisinoff., dan morresi, 1978. carbon adsorption hand book. ann arbor science publishers. universitas michigan. coocson, 1978, adsorption mechanisme the chemistry of organic application. ann arbor fitriadi, y. 2011 kimia organik ii edisi kedua, terjemahan a. hadyana pudjaatmaka, penerbit erlangga, jakarta fitriadi, y. 2011 kimia organik ii edisi kedua, terjemahan a. hadyana pudjaatmaka, penerbit erlangga, jakarta. subadra, i. bambang, s. dan iqmal, t. 2005, pembuatan karbon aktif dari tempurung kelapa dengan aktivator (nh4)hco3 sebagai adsorben untuk pemurnian – institut teknologi surabaya. indochem indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 7-11 7 adsorpsi hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium dengan adanya pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) adsorption of hg(ii) by using sargassum crassifolium with presence of pb(ii), cu(ii) and fe(ii) nurhadini 1 *, imelda h. silalahi 2 1 chemistry department, faculty of engineering bangka belitung university, jl. kampus peradaban, bangka 33172 2 chemistry department, faculty of mathematic and natural sciences, tanjungpura university, jl. prof. hadari nawawi, pontianak 78132-indonesia *corresponding author, e-mail: nurhadini@ubb.ac.id received: october 2016 published: january 2017 abstract amalgamation use mercury in mining process especially small-scale gold mining and it has been impacted on mercury contamination in environment. mercury is one of heavy metal that toxic and can accumulate in water, soil and organism. adsorption method is one of alternative option that effective to remove heavy metal. this method depends on adsorbent type, ph, adsorbent composition with metal or presence of several metal ions. beside mercury, wastewater of mining gold have another metal ions such as pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) can be found by human activity or naturally present. this research aim is to study effect of pb(ii), cu(ii), and fe(ii) in hg(ii) adsorption by using sargassum crassofolium adsorbent. research stages are adsorbent activation and mercury adsorption on binary and ternary system respectively in equimass amount of metals ion and equimolar amounts of metals. based on adsorption analysis is known that pb(ii) and cu(ii) is hg(ii) competitor while fe (ii) is not hg(ii) competitor in adsoption by using sargassum crassifolium. on binary system in equimass amount of metals ion and equimolar amounts of metals that the largest decreasing effect of hg(ii) adsorption in system contain cu(ii). keywords: sargassum crassifolium, hg(ii) adsorption, pb(ii), cu(ii), fe(ii) pendahuluan kegiatan pertambangan dan industri dapat meningkatkan adanya logam berat yang toksik dan berpotensi mencemari lokasi dan lingkungan. salah satunya adalah penambangan emas rakyat yang disebut penambangan emas tanpa izin (peti) yang menggunakan merkuri sebagai pengikat unsur emas dalam proses amalgamsi. pencemaran tersebut terjadi ketika sebagian merkuri yang digunakan sebagai bahan pengikat unsur emas terbuang bersama air limbah pencucian ke lokasi pembuangan baik di tanah maupun di air sungai (setiyono dan daijah, 2012). merkuri merupakan salah satu logam berat yang sangat beracun dan dapat terakumulasi pada air, tanah dan organisme. merkuri dapat menyebabkan kerusakan otak, ginjal, sistem saraf, penglihatan dan pendengaran (who, 2017; setyono dan daijah, 2012; sumantri et al, 2014). oleh karena itu perlu dilakukan suatu cara untuk meminimalisasi polutan ion merkuri sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan dan organisme. menurut kementrian lingkungan hidup (2004) dan peraturan pemerintah republik indonesia (2001), batas maksimum konsentrasi di lingkungan yaitu 0,005 mg/l untuk air limbah hasil penambangan dan 0,001 mg/l untuk air minum. adsorpsi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi kadar logam berat. metode ini bergantung pada pemilihan jenis adsorben dan berbagai parameter dalam proses adsorpsi seperti keasaman, perbandingan adsorben dengan logam maupun keberadaan logam lain (carro et al., 2011). alga coklat terutama sargassum termasuk jenis alga yang diketahui sebagai adsorben logam berat yang efektif. selain itu alga coklat merupakan biomassa yang melimpah. mailto:nurhadini@ubb.ac.id nurhadini dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 7-11 8 adsorpsi merkuri oleh berbagai spesies sargassum seperti sargassum cristaefolium, sargassum sp dan sargassum muticum telah diteliti dan kapasitas adsorpsi masing-masing yaitu 0,22 mmol/g, 0,41 mmol/g dan 1,2 mmol/g (alcantara et al., 2007; barriada et al., 2009; carro et al., 2011). selain itu kapasitas adsorpsi sargassum crassifolium teraktivasi terhadap ion hg(ii) diketahui sebesar 2,90 mmol/g (silalahi et al, 2012). pada air limbah hasil penambangan emas terdapat logam-logam berat lain selain logam merkuri baik yang dihasilkan oleh aktivitas manusia (non alami) maupun terdapat secara alamiah misalnya pb(ii), cu(ii) dan fe(ii). ion logam tersebut dapat memberikan efek sinergis untuk meningkatkan penyerapan terhadap logam yang akan diadsorpsi atau berkompetisi pada sisi ikatan dan mengurangi interaksi antara adsorbat dengan logam yang akan diadsorpsi. selain itu, ion logam lain juga dapat tidak memberikan efek pada ion logam yang akan diadsorpsi (alcantara et al., 2007; herero et al., 2005). pada penelitian ini dilakukan adsorpsi hg(ii) dengan adanya ion logam lain sehingga diketahui efeknya terhadap adsorpsi logam hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan adalah sargassum crassifolium dari perairan pulau lemukutan kabupaten bengkayang kalimantan barat, akuades, buffer ph 4, buffer ph 7, hno3 pekat, h2so4 pekat, kertas saring, padatan cuno3, padatan (nh4)2fe(so4)2, padatan hgcl2, padatan naoh dan padatan pbno3. alat alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas standar, botol plastik 250 ml, botol semprot, neraca analitik ohaus paj 1003, oven, ph meter hanna instrument model 19208, rotary shaker ikalabortechnik ks501 digital, dan spektrofotometer serapan atom (ssa) shimadzu 6800 dan perkin elmer aa700. prosedur kerja preparasi adsorben sargassum crassifolium diambil dari perairan pulau lemukutan, kabupaten bengkayang, kalimantan barat. data mengenai ph dan kedalaman air dicatat. sampel dibersihkan, dideterminasi dan dipreparasi menjadi adsorben (silalahi et al., 2012). adsorpsi hg(ii) dengan adanya cu(ii), pb(ii) dan fe(ii) adsorpsi hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium dengn adanya pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) terhadap dilakukan dengan sistem dua logam dan empat logam yang masing-masing bermassa logam sama dan bermolaritas yang sama. sistem dua logam terdiri dari yaitu hg(ii) – pb(ii), hg(ii) – cu(ii), hg(ii) – fe(ii) dan sistem empat logam terdiri dari campuran hg(ii) – pb(ii) – cu(ii) – fe(ii). perlakuan logam bermassa sama adalah sebagai berikut: sebanyak 0,1 gram adsorben dimasukkan ke dalam botol plastik yang berisi 140 ml larutan dengan sistem dua logam dan empat logam masing-masing dengan konsentrasi larutan 0,5 mg/l pada ph 7. kemudian diaduk dengan rotary shaker pada kecepatan 200 rpm selama 60 menit. selanjutnya didiamkan selama 15 menit. larutan campuran logam yang telah diinteraksikan dengan adsorben dipisahkan dengan cara disaring. konsentrasi hg(ii), cu(ii), pb(ii) dan fe(ii) dalam filtrat hasil penyaringan ditentukan menggunakan spektrofotometer serapan atom (ssa). semua perlakuan dilakukan secara duplo. perlakuan molaritas sama sebagai berikut: sebanyak 0,1 g adsorben dimasukkan ke dalam botol plastik yang berisi masing-masing 140 ml larutan sistem dua logam dan empat logam dengan molaritas larutan 0,0025 mm pada ph 7. kemudian diaduk dengan rotary shaker pada kecepatan 200 rpm selama 60 menit. selanjutnya didiamkan selama 15 menit. larutan yang telah diinteraksikan dengan adsorben dipisahkan dengan cara disaring. konsentrasi hg(ii), pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) dalam filtrat hasil penyaringan ditentukan menggunakan spektrofotometer serapan atom (ssa). semua perlakuan dilakukan secara duplo. % logam teradsorpsi = x 100% (1) ket: ci : konsentrasi awal logam (mg/l), cf : konsentrasi akhir logam (mg/l) data yang diperoleh dari hasil spektrofotometer serapan atom yaitu konsentrasi hg(ii), pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) yang teradsorpsi (selisih konsentrasi logam awal dan nurhadini dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 7-11 9 konsentrasi sisa dalam larutan logam). persentase ion logam yang teradsorpsi dapat dihitung menggunakan persamaan 1. hasil dan pembahasan pada air limbah penambangan emas terdapat beberapa jenis logam lain selain merkuri. hal ini disebabkan dalam bijih emas terdapat logam lain yang bercampur seperti logam timbal (pb), tembaga (cu) dan besi (fe). berdasarkan data kadar logam di sekitar daerah tambang diketahui bahwa kadar logam pb, cu, fe dan hg berturutturut mencapai 0,114 mg/l; 0,042 mg/l; 34,6 mg/l dan 0,008 mg/l. efek pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) terhadap adsorpsi hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium dianalisis dengan membandingkan persentase logam yang teradsorpsi dalam sistem dua logam dan empat logam baik dengan massa sama maupun molaritas sama. sistem dua logam sistem dua logam adalah campuran dua ion logam yang terdiri atas hg(ii) dengan logam lain yaitu pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) sehingga menjadi hg(ii)-pb(ii), hg(ii)-cu(ii) dan hg(ii)fe(ii). sistem ini dilakukan dalam kondisi logam bermassa dan bermolaritas sama. campuran sistem dua logam dapat mengindikasikan pengaruh langsung ion logam lain terhadap adsorpsi hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium. gambar 1 menunjukkan bahwa pada perlakukan logam bermassa dan logam bermolaritas sama penurunan adsorpsi merkuri pada sargassum crassifolium diakibatkan oleh sistem yang mengandung ion cu(ii) dan pb(ii). adsorpsi hg(ii) terendah diperlihatkan pada sistem yang mengandung cu(ii) pada kedua perlakuan. sedangkan adsorpsi hg(ii) yang mengandung fe(ii) menunjukkan tidak adanya perubahan dalam persentase merkuri yang teradsorpsi. hal ini mengindikasikan bahwa hg(ii) berkompetisi dengan pb(ii) dan cu(ii) dalam berikatan dengan situs aktif adsorben. pada ph 7 spesi logam (pb dan cu) berbentuk kation bebas m 2+ sedangkan merkuri dominan berbentuk hg(oh)cl sehingga interaksi antara spesi logam dengan adsorben dipengaruhi oleh efek elektrostatik (carro et al., 2011; silalahi et al., 2012). penelitian alcantara, et. al., (2005) menggunakan sargassum cristaefolium mengadsorpsi hg(ii) dengan adanya logam cu(ii) dan fe(iii) dalam sistem dua logam dengan kedua perlakuan menunjukkan bahwa cu(ii) adalah kompetitor dengan afinitas yang kuat terhadap adsorben sedangkan fe(iii) bukan kompetitor dalam mengadsorpsi hg(ii). (a) (b) gambar 1. persentase (%) logam yang teradsorpsi pada sargassum crassifolium dalam sistem dua logam (a) logam bermassa sama dan (b) logam bermolaritas sama gambar 2 menunjukkan bahwa adanya pengaruh tiga logam yaitu pb(ii), cu(ii) dan fe(ii) terhadap adsorpsi hg(ii) baik pada perlakuan massa maupun molaritas sama. persentase (%) logam teradsorpsi yang tertinggi pada kedua perlakuan adalah pb(ii), diikuti oleh cu(ii), hg(ii) dan fe(ii). fenomena ini diduga karena afinitas pb(ii) lebih besar dibandingkan dengan logam lain sehingga pb(ii) lebih teradsorpsi pada dinding sel alga. afinitas pb(ii) lebih besar dibandingkan logam lain dipengaruhi oleh sifat ionik pb(ii) yang lebih dominan. data ini juga menunjukkan bahwa interaksi antara gugus aktif adsorben dengan ion logam didominasi oleh interaksi ionik. cu(ii) yang teradsorpsi pada sistem empat logam pada massa dan molaritas logam yang sama memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan pb(ii). 0 20 40 60 80 100 hg-pb hg-cu hg-fe hg hg logam lain % l o g a m t e r a d so r p si 0 20 40 60 80 100 hg-pb hg-cu hg-fe hg hg logam lain % l o g a m t e r a d so r p si nurhadini dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 7-11 10 selain afinitas, ukuran ion logam juga mempengaruhi proses adsorpsi. ukuran cu(ii) lebih kecil dibandingkan dengan logam lain (pb(ii), hg(ii) dan fe(ii)) sehingga cu(ii) lebih mudah berinteraksi dengan gugus aktif adsorben gambar 2. persentase (%) logam yang teradsorpsi pada sargassum crassifolium dalam sistem empat logam pada fe(ii) diperoleh kecenderungan yang sama baik pada sistem dua logam maupun sistem empat logam pada massa sama dan molaritas sama. persentase (%) fe(ii) teradsorpsi dalam kedua sistem lebih kecil dibandingkan dengan ion logam yang lain. fenomena ini berarti ion fe(ii) memiliki afinitas paling rendah terhadap gugus aktif pada alga. hal ini disebabkan ion fe(ii) bersifat sangat reaktif dan tidak stabil sehingga dapat teroksidasi menjadi ion fe(iii) yang cenderung membentuk endapan. menurut hasil penelitian alcantara et. al., (2005) ion fe(iii) dalam sistem dua atau empat logam tidak teradsorpsi dan memiliki afinitas terendah. persentase (%) hg(ii) teradsorpsi dalam sistem dua logam dan empat logam pada logam bermassa sama lebih rendah dibandingkan dengan molaritas sama. hal ini dipengaruhi oleh kerapatan partikel dalam larutan. pada perlakuan logam bermassa sama kerapatan partikel lebih besar dibandingkan dengan perlakuan logam bermolaritas sama. oleh karena itu, pada perlakuan logam bermassa sama efek kompetisi menjadi lebih besar karena jumlah ion logam lain lebih besar dibandingkan dengan perlakuan logam bermolaritas sama. selain itu pada perlakuan massa efek tolakan antar logam lebih besar sehingga dapat membatasi adsorpsi ion hg(ii) (mahamadi dan nharingo, 2010). berdasarkan hasil analisis adsorpsi hg(ii) beserta logam lain diduga bahwa interaksi situs aktif dalam adsorben dengan logam didominasi oleh interaksi ionik sehingga adsorpsi hg(ii) tidak sebesar pb(ii) dan cu(ii). hal ini dapat ditinjau dari sifat keasaman ion logam. pada umumnya logam yang bersifat asam keras akan berinteraksi kuat dengan basa keras. sebaliknya ion logam yang bersifat asam lunak kuat berinteraksi dengan basa lunak. gugus aktif adsorben terdiri atas gugus karboksil, hidroksil yang bersifat basa keras dan gugus sulfonat yang bersifat basa madya (diantara basa keras dan basa lunak). logam hg(ii) bersifat asam lunak sedangkan pb(ii) dan cu(ii) bersifat asam madya (diantara asam keras dan asam lunak). hal tersebut menjelaskan bahwa ion pb(ii) dan cu(ii) akan lebih mudah terserap dibandingkan dengan ion hg(ii) dikarenakan pada pb(ii) dan cu(ii) perbedaan tingkat energi untuk membentuk ikatan dengan gugus aktif pada adsorben lebih kecil dibandingkan dengan hg(ii) sehingga pb(ii) dan cu(ii) lebih mudah berikatan dengan gugus aktif adsorben dibandingkan hg(ii). kesimpulan adsorpsi hg(ii) menggunakan sargassum crassifolium pada sistem dua logam pada logam bermassa sama dan bermolaritas sama diketahui bahwa cu(ii) dan pb(ii) bertindak sebagai kompetitor sehingga menurunkan adsorpsi hg(ii) sedangkan fe(ii) tidak mempengaruhi adsorpsi hg(ii) dimana efek penurunan adsorpsi hg(ii) terbesar dalam sistem yang mengandung cu(ii). pada sistem empat logam pada logam bermassa sama dan bermolaritas sama diketahui bahwa pb(ii) lebih banyak teradsorpsi dibandingkan dengan hg(ii), cu(ii) dan fe(ii) yang dipengaruhi oleh afinitas dan ukuran logam. ucapan terima kasih terima kasih kepada dit.litabmas dikti yang telah menyediakan dana penelitian ini. daftar pustaka alcantara, r.t., apodaca, d.c., de guzman, m.r., 2007, the effect of the presence of cu 2+ and fe 3+ metal ions on the sorption of 0 20 40 60 80 100 logam bermassa s ama logam bermolaritas sama hg pb cu fe % l o g a m t e r a d so r p si nurhadini dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 7-11 11 mercuric ion (hg 2+ ) by sargassum cristaefolium. a. j. ch. e., 7: 147-156 barriada, j.l., carro, l., herrero, r., de vicente, m.e., 2009, mercury removal: a physicochemical study of metal interaction with natural materials, j. chem. technol. bio, 11: 1688 – 1696 carro, l., barriada, j.l., herrero, r., de vicente, m.e., 2011. adsorptive behaviour of mercury on algal biomass: competition with divalent cations and organic compounds, journal of hazardous materials, 192: 284– 291. kementrian lingkungan hidup, 2004, keputusan menteri negara lingkungan hidup tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan pertambangan bijih emas atau tembaga, jakarta. mahamadi, c., nharingo, t., 2010, competitive adsorption of pb 2+ , cd 2+ and zn 2+ ions onto eichhornia crassipes in binary and ternary system. bioresource technology,101: 859– 864 peraturan pemerintah, 2001, peraturan pemerintah republik indonesia nomor 82 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, jakarta. silalahi, i.h., zahara, t.a., tampubolon, h.m., 2012, kapasitas adsorpsi menggunakan sargassum crassifolium, biopropal industri, 3: 28-38 setiyono, a., daijah, a., 2012, pengaruh konsumsi ikan dan hasil pertanian terhadap kadar hg darah, jurnal kesehatan masyarakat, 7: 104-110. sumantri, a., laelasari, e., junita, n.r., nasrudin, 2014, logam merkuri pada pekerja penambangan emas tanpa izin, jurnal kesehatan masyarakat, 8 398 – 403. world health organization, 2017, mercury and health, www.who.int, diakses tanggal 10 agustus 2017. http://www3.interscience.wiley.com/journal/122637792/issue ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 394 biodiesel of the transesterification product of calophyllum inophyllum seed oil from kendari using methanol solution biodiesel hasil transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol rustam musta * , aceng haetami, mimi salmawati department of chemistry education faculty of teacher training and education university of halu oleo kampus bumi tridarma; anduonohu kendari-south east sulawesi *corresponding author, email: received: dec. 2016 published: jan. 2017 abstract study of the transesterification of calophyllum innophyllum seed oil from kendari with methanol has been conducted. the purpose of the research to determine of the yield of ester produced in transesterification process with methanol, the viscosity of biodiesel produced, moisture content of biodiesel produced, density of biodiesel produced. the methods used in this study are sample preparation, transesterification process, biodiesel quality parameter test consisting of viscosity, moisture content and density. the results showed that good concentration of phosphoric acid was used to remove the gum is 85%, the yield of ester produced in the process of transesterification with methanol is 111,647%, parameter of biodiesel quality measured that viscosity = 0,315 mm 2 / s not fulfill indonesian national standart (ins), water content is 0.02 meets the ins and the density = 0.8725 g / cm 3 meets the ins standard. keywords: biodiesel, calophyllum innophyllum, transesterification, methanol. pendahuluan indonesia sebagai negara berkembang memerlukan pasokan energi yang besar untuk keperluan industri dan transportasi dalam negeri, akan tetapi produksi energi dalam negeri utamanya minyak bumi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi energi nasional. penyebab dari masalah tersebut karena minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga untuk mendapatkannya kembali memerlukan waktu yang lama hingga ratusan juta tahun lamanya. peran minyak bumi dalam penyediaan energi nasional pun masih dominan. sekitar 53% kebutuhan energi nasional dipenuhi dari minyak bumi. jumlah tersebut tidak cukup dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga untuk memenuhinya negara harus mengimpor dari luar negeri. mengantisipasi semakin berkurangnya cadangan dari minyak bumi, pemerintah indonesia saat ini telah memulai memproduksi biodiesel sebagai bahan substitusi bbm. disebutkan dalam blueprint pengelolaan energi nasional (bppen) 2005-2025, bahwa pemerintah telah menetapkan pemakaian biodiesel sebanyak 2% konsumsi solar pada tahun 2010, 3% pada tahun 2015 dan 5% pada tahun 2025. selain itu, pemerintah juga menetapkan kebutuhan biodiesel mencapai 720.000 kiloliter pada tahun 2010 dan akan ditingkatkan menjadi 1,5 juta kiloliter pada tahun 2015 dan 4,7 juta kiloliter pada tahun 2025 (muhammad dkk., 2014). biodiesel secara umum didefinisikan sebagai ester monoalkil dari minyak tanaman dan lemak hewan. minyak yang berasal dari tumbuhan dan lemak hewan serta turunannya mempunyai kemungkinan sebagai pengganti bahan bakar diesel. biodiesel merupakan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan. sifatnya bervariasi tergantung pada bahan baku minyak dan alkohol yang digunakan tetapi selalu dapat digunakan sebagai pengganti langsung untuk bahan bakar diesel. biodiesel dapat diproduksi dari minyak tumbuhan dan lemak hewan (wendi dkk., 2015). menurut data departemen kehutanan dalam penelitian yang dilakukan oleh qiqmana dan sutjahjo (2014), salah satu bahan bakar nabati rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 395 yang berasal dari tanaman dan penelitiannya sudah mulai berkembang serta populasinya tersebar hampir di seluruh pantai berpasir di indonesia adalah tanaman nyamplung (calophyllum inophyllum). tanaman nyamplung atau yang biasa dikenal dengan tanaman dongkala di sulawesi tenggara adalah pohon yang termasuk kedalam famili clusiaceae. tanaman ini tumbuh di area dengan curah hujan 1000-5000 mm per tahun pada ketinggian 0-200 m di atas permukaan laut. tanaman nyamplung sangat potensial bila digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dikarenakan kadar minyak yang tinggi pada biji (40-73 %(w/w)), minyak yang dapat dihasilkan sebesar 4.680 kg/ha serta merupakan non-edibble oil sehingga tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. minyak nyamplung adalah minyak hasil ekstraksi dari biji nyamplung menggunakan mesin pres, yang mana bisa dilakukan dengan dua macam mesin pres yaitu mesin pres hidrolik manual dan mesin pres ekstruder (sistem ulir). minyak yang keluar dari mesin pres berwarna hitam/gelap karena mengandung kotoran dari kulit dan senyawa kimia seperti alkaloid, fosfatida, karotenoid, klorofil, dan lain lain. agar minyak nyamplung dapat digunakan untuk proses selanjutnya dilakukan proses degumming. degumming adalah proses penyisihan gum, yang mengandung fosfolipida, protein, residu, karbohidrat, air, dan resin. beberapa cara untuk menghilangkan gum, antara lain dengan pemanasan, penambahan asam (h3po4, h2so4, dan hcl) atau basa (naoh) (siburian dkk., 2014). schuchardt dalam kusumaningtyas dan bachtiar (2012) menyatakan bahwa penggunaan minyak nabati secara langsung dapat menimbulkan masalah pada mesin. hal ini disebabkan viskositas yang dimiliki minyak nabati yang tinggi (sekitar 11-17 kali lebih tinggi dari pada bahan bakar diesel) dan volatilitas yang rendah. viskositas yang tinggi dari minyak nabati disebabkan adanya percabangan pada rantai karbonnya yang cenderung panjang. viskositas ini dapat dikurangi dengan mereaksikan minyak nabati dan alkohol rantai pendek menghasilkan ester dan gliserol. kekentalan ini dapat dikurangi dengan memutus percabangan rantai karbon tersebut melalui proses alkoholisis rantai pendek. transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis) (hasahatan dkk., 2012). pembuatan biodiesel dari berbagai jenis minyak nabati telah dikaji oleh beberapa peneliti, seperti yang dilakukan oleh padil dkk. (2010) dalam penelitiannya tentang pembuatan biodiesel dari minyak kelapa melalui reaksi metenolisis menggunakan katalis caco3 yang dipijarkan, menyimpulkan bahwa kondisi optimum dalam produksi biodiesel dari minyak kelapa melalui reaksi metanolisis dengan menggunakan katalis caco3 dan rasio mol metanol-minyak kelapa sebesar 8:1 yang telah dipijarkan adalah konsentrasi katalis 2% (berbasis minyak kelapa) dengan yield 75,02%. biodiesel yang dihasilkan pada kondisi optimum tersebut memiliki massa jenis 860 kg/m 3 (sni 850-890 kg/m 3 ), viskositas kinematik 2,441 mm 2 /s (sni 2,3-6,0 mm 2 /s), titik nyala 110 o c (sni min 100 o c), angka setana 65,94 (sni min 51), angka iod 6,35 gr iod/100 gr (sni max 115 gr iod/100gr), angka asam 0,049 mg koh/g (sni max 0,8 mgkoh/g) dan kadar air 0,039%-v (sni max 0,05 %-v). berdasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini telah dilakukan produksi biodiesel melalui transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol. metodologi alat dan bahan penelitian alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat-alat gelas, labu leher tiga, kondensor, corong pisah dan thermometer. selain itu digunakan juga alat-alat seperti eksikator, botol timbang, filler, botol semprot, oven, statif, klem, neraca analitik, hot plate, magnetic stirrer, tanur, cawan porselin, sentrifuga, alat pres. bahan-bahan yang digunakan adalah buah nyamplung asal kendari, metanol 95%, asam rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 396 fosfat (h3po4), naoh, kertas saring whatman, indikator universal dan aquades prosedur kerja 1. pembuatan minyak biji nyamplung (callophyllum inophyllum) a. proses pengeringan biji buah nyamplung dilakukan pemisahan antara karnel dan tempurung buah, kemudian karnel diiris atu dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil. setelah itu dijemur atau dikeringkan. b. proses pengepresan biji buah nyamplung yang telah dikeringkan diblender dengan menggunakan blender kering. setelah itu, dilakukan pengepresan dengan mesin pres, kemudian minyak yang dihasilkan disaring dengan kertas saring 400 mesh. 2. degumming sebanyak 200 ml minyak biji nyamplung dimasukkan kedalam gelas beaker 250 ml, kemudian ditambahkan larutan h3po4 0,2% (b/b) menggunakan pipet tetes. dipanaskan dan diaduk pada suhu 80 o c selama 20 menit, kemudian larutan didinginkan dan didiamkan selama 1 hari. setelah itu, disaring dan minyak hasil penyaringan ditambahkan naoh 0,8% (b/b), kemudian dipanaskan dan diaduk pada suhu 80 o c selama 20 menit, kemudian didinginkan dan didiamkan selama 1 hari dan disaring. 3. transesterifikasi minyak biji nyamplung proses transesterifikasi dimulai dengan 25 ml minyak nyamplung netral ditimbang dan dimasukkan dalam labu leher dua. kemudian naoh 1% dari berat minyak dilarutkan dalam 150 ml dan dimasukkan dalam labu leher dua yang telah di isi dengan 25 tersebut. campuran tersebut dipanaskan sampai suhu 60 o c sambil terus dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirer. setelah tercapai suhu 60 o c, campuran tersebut dijaga agar suhunya konstan, lalu dijalankan waktu proses yaitu selama 60 menit. setelah itu, campuran tersebut didinginkan, kemudian dimasukkan dalam corong pisah dan akan terbentuk dua lapisan yaitu lapisan atas metil ester serta lapisan bawah gliserol. metil ester atau biodiesel kemudian diuji karakteristik biodiesel yang terdiri dari viskositas, kadar air dan massa jenis, apakah memenuhi standar sni 7182:2015. 4. uji karakterisasi biodiesel a. viskositas viskositas biodiesel diukur dengan metide ostwald menggunakan alat viscometer, dimana sejumlah biodiesel dimasukkan kedalam alat tersebut, kemudian dengan cara diisap menggunakan filler cairan dibawa sampai melewati garis tanda batas pada alat tersebut. selanjutnya biodiesel dibiarkan mengalir secara bebas. dicatat waktu yang diperlukan oleh biodiesel untuk mengalir dari garis star sampai garis finis. dilakukan triplo dan dihitung waktu rata-rata. dilakukan prosedur yang sama untuk aquades sebagai pembanding. selanjutnya dihitung viskositas biodiesel dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: aquades aquadesaquades biodieselbiodiesel biodiesel t t dimana : biodiesel = viskositas biodiesel (mm 2 /s) aquades = viskositas aquades (mm 2 /s) biodieselt = waktu rata-rata biodiesel (s) biodiesel = massa jenis biodiesel (g/cm 3 ) aquades = massa jenis aquades (g/cm3) b. kadar air cawan porselin ysng dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 o c selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang hingga diperoleh berat konstan cawan kosong kering. kemudian sebanyak 2 gram biodiesel dimasukkan dalam cawan tersebut dan dipanaskan dalam oven pada suhu150 o c selama 4 jam. setelah itu, sampel didinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan ditimbang kembali. pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. selanjutnya dihitung kadar air biodiesel dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: %100% 0 21 m mm kadarair dimana: m1= massa biodiesel + massa cawan sebelum dikeringkan (g) m2= massa biodiesel + massa cawan setelah dikeringkan (g) m0 = massa biodiesel (g) rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 397 c. massa jenis uji massa jenis biodiesel diawali dengan membilas piknometer dengan metanol dan dikeringkan, setelah itu ditimbang piknometer kosong (mo) kemudian diisi dengan aquades lalu ditimbang kembali piknometer yang berisi aquades tersebut (m1). piknometer dikosongkan dan dibilas kembali dengan etanol selanjutnya dikeringkan dan diisi dengan biodiesel yang akan ditimbang massa jenisnya. dihitung massa jenis biodiesel yang diperoleh dengan persamaan berikut: ρbiodiesel = biodiesel mm mm 01 02 dimana: m0 = massa piknometer kosong (g) m1 = massa piknometer + aquades (g) m2 = massa piknometer + biodiesel (g) hasil dan pembahasan a. persiapan bahan buah nyamplung yang digunakan dalam penelitian ini dikupas dari kulitnya kemudian dijemur dibawah sinar matahari. hal ini dilakukan untuk mengurangi kadar air yang terkandung dalam buah. berat basah buah biji nyamplung yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebanyak 100 kg dan diperoleh berat kering buah biji nyamplung sebanyak 18,78 kg. hal ini menandakan bahwa kadar air yang terkandung dalam buah biji nyamplung telah berkurang. setelah dikeringkan, dilakukan proses pengepresan dan diperoleh berat minyak sebanyak 7,98 kg, sehingga diperoleh rendemen sebanyak 42,06% dari bobot inti kering. rendemen yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh siburian (2014) yang menyatakan bahwa kadar minyak biji nyamplung berkisar antara 40-73%. perbedaan kandungan minyak pada inti kemungkinan disebabkan oleh cara budidaya, perbedaan varietas, iklim dan curah hujan (sahirman, 2009). selain itu, perbedaan kandungan minyak ini juga dapat disebabkan dari cara perolehan minyak, dimana pada penelitian ini mengguanakan proses pengepresan. salah satu kelemahan dari proses ini yaitu banyaknya minyak yang terbuang dan tertinggal pada alat sehingga mengurangi jumlah minyak yang diperoleh. b. degumming proses awal yang yang dilakukan pada minyak nyamplung yaitu proses degumming atau penghilangan getah. degumming adalah proses pemisahan gum, yaitu proses pemisahan getah atau lendir yang terdiri dari fosfolipid, protein, residu, karbohidrat, air dan resin. beberapa cara yang dapat dilakukan untuk proses pemisahan gum antara lain adalah pemanasan, penambahan asam (h3po4, h2so4 dan hcl) atau basa (naoh). proses degumming pada penelitian ini dilakukan pada suhu 80 o c selama 20 menit menggunakan asam fosfat (h3po4) dan natrium hidroksida (naoh). degumming dengan menggunakan asam fosfat (h3po4) dilakukan dalam dua perbandingan konsentrasi, untuk melihat pada konsentrasi asam fosfar (h3po4) berapa terjadi perubahan warna maksimum. asam fosfat yang digunakan dalam proses degumming ini yaitu asam fosfat 85% dan asam fosfat 20% masingmasing 0,2% dari volume minyak yang digunakan yaitu 200 ml. perbedaan hasil degumming dengan menggunakan asam fosfat 20% dan 85% dapat dilihat pada gambar 1. pemilihan perbandingan konsentrasi asam fosfat ini didasarkan pada penelitia-penelitian terdahulu. dimana santoso dkk. (2012) dalam penelitiannya melakukan degumming menggunakan asam fosfat (h3po4) 20% sebanyak 0,2% dari volume minyak. hernando dan susila (2013): jazula dan susila (2013): puspitahati dkk. (2014), dalam penelitiannya melakukan degumming dengan menggunakan asam fosfat murni (85%). berdasarkan gambar 1. tersebut, telah dilihat perbedaan fisis dari kedua minyak hasil degumming. minyak hasil degumming dengan menggunakan asaam fosfat (h3po4) 85% lebih jernih dibandingkan dengan minyak hasil degumming dengan menggunakan asam fosfat 20%. menurut hasibuan dkk. (2013), menyatakan bahwa keberhasilan proses degumming yang telah dilakukan pada minyak dinilai berdasarkan parameter degumming purifikasi, yaitu kecerahan kenampakan warna minyak. berdasarkan hal ini, maka dalam penelitian ini dilakukan degumming asam fosfat (h3po4) dengan konsentrasi 85%. menurut ristianingsih dkk. (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam fosfat maka konsentrasi gum rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 398 sisa pada minyak akan semakin berkurang. hal ini dikarenakan asam fosfat akan bereaksi dengan gum dan terpisah dari minyak. (a) (b) (c) gambar 1. (a) minyak nyamplung, (b) minyak nyamplung setelah proses degumming dengan asam fosfat (h3po4) 20%, (c) minyak nyamplung setelah proses degumming asam dengan asam fosfat (h3po4) 85%. selanjutnya dilakukan proses degumming dengan menggunakan natrium hidroksida (naoh). minyak hasil degumming dengan asam fosfat (h3po4) 85% di degumming lagi dengan menggunakan natrium hidroksida (naoh). (a) (b) gambar 2. (a) minyak hasil degumming dengan asam fosfat (h3po4) 85%, (b) minyak hasil dengan asam fosfat (h3po4) 85% dan natrium hidroksida (naoh) perbedaan hasil degumming dengan menggunakan asam fosfat (h3po4) 85% saja dan hasil degumming dengan menggunakan asam fosfat (h3po4) 85% dan natrium hidroksida (naoh) dapat dilihat pada gambar 4.2. tujuan dari degumming dengan menggunakan natrium hidoksida (naoh) yaitu agar pengotor dalam minyak yang tidak larut dengan asam, dapat dilarutkan dengan basa. gambar 2. menunjukkan kecerahan warna minyak. minyak hasil degumming dengan asam fosfat dan natrium hidroksida lebih cerah dibandingkan dengan minyak hasil degumming dengan menggunakan asam fosfat saja. c. transesterifikasi proses selanjutnya setelah tahap degumming yaitu proses transesterifikasi. trans-esterifikasi merupakan proses pemotongan rantai-rantai panjang gliserida menjadi ester rantai pendek. alkil ester ini dihasilkan dari hasil reaksi minyak nabati dengan sejumlah alkohol melalui bantuan katalis. hasil reaksi selain menghasilkan alkil ester juga menghasilkan produk samping yang berupa gliserol. dimana untuk mendapatkan produk murni harus dipisahkan antara gliserol dengan metil esternya. proses transesterifikasi pada penelitian yang dilakukan menggunakan katalis naoh pada suhu 60 o c selama 1 jam. kondisi ini merujuk pada kondisi optimum pada penelitian yang dialakukan oleh kusumaningtyas dan bahtiar (2012) yang menyatakan bahwa hasil reaksi transesterifikasi yang terbaik yaitu pada operasi reaksi dengan menggunakan katalis basa 1% dari berat minyak dan pada suhu 60 o c. proses transesterifikasi dilakukan dengan perbandingan minyak dan alkohol 1:6. susilowati (2006) telah melakukan penelitian dengan melakukan proses tranesterifikasi minyak biji kapuk dan memperoleh kondisi optimum perbandingan minyak dan alcohol yaitu 1:6. selain itu, sudrajat (2010) juga telah melakukan penelitian transesterifikasi minyak biji nyamplung dengan kondisi optimum perbandingan minyak dan alkohol yaitu 1:6. secara umum, proses alkoholisis menggunakan alkohol berlebih sekitar 1,2-1,75 dari kebutuhan stoikiometrisnya. widyastuti, (2007) menyatakan bahwa dengan menggunakan katalis basa reaksi dapat berjalan pada suhu kamar, sedangkan katalis asam pada umumnya memerlukan suhu reaksi diatas 100 0 c. katalis basa seperti koh dan rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 399 naoh lebih efisien dibanding dengan katalis asam pada reaksi transesterifikasi. transmetilasi terjadi kira-kira 4000x lebih cepat dengan adanya katalis basa dibanding katalis asam dengan jumlah yang sama. untuk alasan ini dan dikarenakan katalis basa kurang korosif terhadap peralatan industri dibanding katalis asam, maka sebagian besar transesterifikasi untuk tujuan komersial dijalankan dengan katalis basa. volume gliserol yang diperoleh pada proses akhir transesterifikasi minyak nyamplung hasil degumming yaitu 8,8 ml, sehingga diperoleh mol ester (biodiesel) sebanyak 0,36 mol. berdasarkan hal ini, diperoleh kadar ester (biodiesel) sebesar 82,618% dengan rendemen sebesar 111,647 %. kadar ester (biodiesel) dari minyak nyamplung yang diperoleh melebihi kadar ester (biodiesel) minyak nyamplung yang sebenarnya, yaitu 74%. menurut data depertemen kehutanan (2014), kadar ester (biodiesel) dalam minyak nyamplung sebesar 74%. hal ini dapat disebabkan karena perbandingan reaktan pada proses transesterifikasi. menurut widyastuti (2007), menyatakan bahwa variable penting dalam proses transesterifikasi yang mempengaruhi hasil ester adalah rasio molar antara alkohol dan minyak. stoikiometri reaksi transesterifikasi memerlukan 3 mol alcohol untuk setiap mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol ester dan 1 mol gliserol. untuk mendorong reaksi transesterifikasi ke arah kanan, perlu untuk menggunakan alcohol berlebih atau dengan memindahkan salah satu produk dari pencampura reaksi. selain itu, dapat juga disebkan oleh masih terdapat pengotor-pengotor dan sisa methanol atau pelarut dalam ester (biodiesel) yang dihasilkan atau dengan kata lain biodiesel yang dihasilkan belum murni, sehingga mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. keuntungan dari proses transesterifikasi langsung menurut peneliti yaitu produk ester yang dihasilkan dapat langsung diambil, tetapi harus dilakukan pemurnian lebih lanjut pada produk ester (biodiesel) yang dihasilkan karena produk yang dihasilkan masih bercampur dengan sisa pelarut dan pengotor lainnya, sehingga mempengaruhi rendemennya. d. uji kualitas biodisel 1. viskositas biodiesel viskositas adalah suatu angka yang menyatakan besarnya hambatan dari suatu bahan cair untuk mengalir atau ukuran besarnya tahanan geser dari bahan cair. makin tinggi viskositas minyak akan makin kental dan lebih sulit mengalir dan begitu juga sebaliknya. viskositas minyak sangat berkaitan dengan suplai komsumsi bahan bakar ke dalam ruang bakar dan juga sangat berpengaruh tehadap kesempurnaan proses pengkabutan bahan bakar melalui injector. viskositas biodiesel yang diperoleh dari pengukuran yang dilakukan yaitu 0,0315 mm 2 /s. viskositas yang dihasilkan terlalu rendah, sehingga tidak memenuhi syarat mutu biodiesel yang ditetapkan dalam standar nasional indonesia tahun 2015 yaitu 2,3-6,0 mm 2 /s. jazuli dan susila (2014) dalam penenlitiannya menyatakan bahwa bahan bakar dengan kekentalan lebih rendah memproduksi spray yang terlalu halus dan tidak dapat masuk lebih jauh ke dalam silinder pembakaran, sehingga terbentuk daerah fuel rich zone (daerah kaya bahan bakar) yang menyebabkan pembentukan jelaga. 2. kadar air biodiesel kadar air adalah jumlah air yang terkandung dalam minyak dimana kandungan air ini berpengaruh pada nilai bakar. kandungan air pada biodiesel dapat menyebabkan proses hidrolisis sehingga akan meningkatkan bilangan asam, menurunkan ph, dan meningkatkan sifat korosif. kadar air yang terlalu tinggi pada bahan bakar dapat merusak system saluran bahan bakar dan menimbulkan korosi. kadar air biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,02%. biodiesel dari penelitian ini memiliki kualitas karakteristik kadar air yang bagus, karena kadar airnya lebih kecil dari kadar air yang ditetapkan menurut standar nasional indonesia (sni) tahun 2015 sebagai syarat mutu biodiesel yaitu maksimal 0,05%. 3. massa jenis biodiesel massa jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. minyak dengan massa jenis tinggi memiliki kemampuan bakar rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 400 yang rendah. massa jenis bahan bakar minyak pada umumnya lebih kecil dari pada air. massa jenis biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,8725 g/cm 3 . biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kualitas karakteristik massa jenis yang bagus, karena massa jenisnya masuk dalam rentang massa jenis yang ditetapkan standar nasional indonesia (sni) 2015 sebagai syarat mutu standar biodiesel, yaitu 0,85 g/cm 3 sampai dengan 0,89 g/cm 3 . kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa : 1. rendemen ester yang dihasilkan pada tahap akhir transesterifikasi yaitu 111,647% 2. viskositas yang diperoleh dari pengukuran yaitu 0,315 mm 2 /s 3. kadar air yang diperoleh dari pengukuran yang dilakukan yaitu 0,002 4. massa jenis yang diperoleh dari hasil pengukuran yang dilakukan yaitu 0,8725 g/cm 3 . daftar pustaka adinugraha, h. a., mahfudz, muchtiari, e. w., huda, s., 2012, pertumbuhan dan perkembangan tunas pada bibit nyamplung hasil pembiakan dengan teknik sambungan. jurnal pemuliaan tanaman hutan, 6, 91102. anif, m. u., 2011, kajian kualitas dan hasil pengolahan biodiesel nyamplung (calophyllum inophyllum) pada variasi metode ekstraksi, metode degumming dan konsentrasi metanol, tesis: program studi agronomi. universitas jenderal soedirman purwokerto. arita, s., afrianto, i., fitriana, y., 2008, produksi biodiesel dari minyak jelantah dengan menggunakan reaksi 2 tahap (esterifikasi dan transesterifikasi), jurnal teknik kimia, 15, 57-65. baktiar, a., susila, i., w., 2014, perbaikan kualitas biodiesel biji karet melalu proses degumming mengguanakan asam fosfat metode non-katalis seperheated methanol tekanan atmosfir, jtm, 3, 323-331. budianto, daulay, h. b., aldiona, a. f., 2012, optimalisasi kinerja pembuatan dan peningkatan kualitas biodiesel dari fraksi minyak limbah cair pengolahan kelapa sawit dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik, jurnal teknologi industri pertanian, 22, 10-14. chandra, b. b., setiawan, f., gunawan,s., widjaja, t., 2013, pemanfaatan biji buah nyamplung (callophylum inophylum) sebagai bahan baku pembuatan biodisel, jurnal teknik pomits, 2, 13-15. chavan, s.b., kumbhar, r.r., deshmukh r.b., 2013, callophyllum inophyllum linn (honne) oil, a source for biodiesel production, research journal of chemical sciences, 3, 24-31. damayanti, a., 2011, pembuatan meti esetr (biodiesel) dari biji ketapang, jurnal kompetensi teknik, 3(1). darmanto, s., sediono, w., sarwoko, triyatno, 2012, analisa karakteristik biodiesel nyamplung, gema teknologi, 16 (4). hae, lee, g., 1999, chemical thermodinamics for metals and materials, imperial collage press. london. hariska, a., suciati, r. f., ramdja, a. f., 2012, pengaruh metanol dan katalis pada pembuatan biodiesel dari minyak jelantah secara esterifikasi dengan menggunakan katalis k2co3, jurnal teknik kimia, 1, 1-9. hasahatan, d., sunaryo, j., komariah, l. n., 2012, pengaruh ratio h2so4dan waktu reaksi terhadap kuantitas dan kualitas biodiesel dari minyak jarak pagar.jurnal teknik kimia, 2(18):26-36. hernando, r., susila, i. w., 2013, perbaikan kualitas minyak biji karet melalui proses degumming menggunakan zeolit dan karbon aktif sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, jtm, 2, 73-79. jazuli, a., susila, i., w., 2014, perbaikan kualitas minyak biji karet (crso) melalui proses degumming menggunakan natrium klorida (nacl) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, jtm, 2(1): 25-30. kuncahyo, p., zuhdi, a., semin, f., 2013, analisa prediksi potensi bahan baku biodiesel sebagai suplemen bahan bakar motor diesel di indonesia, jurnal teknik pomits, 2, 2301-9271. rustam dkk. / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 394-401 401 kusumaningtyas, r. d., bachtiar, a., 2012, sintesis biodiesel dari minyak biji karet dengan variasi konsentrasi suhu dan konsentrasi koh untuk tahapan transesterifikasi, jurnal bahan alam terbarukan, 1(2). muhammad, f. r., jatranti, s., qadariyah, l., mahfud, 2014, pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung menggunakan pemanasan gelombang mikro, jurnal teknik pomits, 3, 2301-9271. padil, whyuningsih, s., awaludin, a., 2010, pembuatan biodiesel dari minyak kelapa melalui reaksi metanolisis menggunakan katalis caco3 yang dipijarkan, jurnal natur indonesia, 13, 27-32. putra, f. s. k., falsafi, f. a., gunawan, s., 2012, karakterisasi dan potensi minyak nyamplung (calophyllum inophyllum) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. jurnal teknik pomits,1, 1-5. qiqmana, a. m., sutjahjo, d. h., 2014, karakteristik biodiesel dari minyak biji nyamplung dengan proses degumming menggunakan asam sulfat dan asamcuka, jtm, 2, 132-139. ristianingsih, y., sutijan, budiman, a., 2011, studi kinetika proses kimia dan fisika penghilangan getah crude palm oil (cpo) dengan asam fosfat, reaktor, 13, 242-247. setiawati, e., edwar, f., 2012, teknologi pengolahan biodiesel dari minyak goreng bekas dengan teknik mikrofiltrasi dan transesterifikasi sebagai alternatif bahan bakar mesin diesel, jurnal riset industri, 1, 117-127. siburian, a. m., pardede, a. s. d., dan pandila, s. (2014). pemanfaatan adsorben dari biji jawa untuk menurunkan bilangan peroksida pada cpo (crude palm oil), jurnal teknik kimia usu, 3(4). sidabutar, e. d.c., faniudin, m. n., said, m., 2013, pengaruh rasio reaktan dan jumlah katalis terhadap konversi minyak jagung menjadi metil ester, jurnal teknik kimia, 1, 40-49. standar nasional indonesia (sni), 2015, biodiesel sni 7182:2015, jakarta: badan standar nasional. susila, i. w., agustini, r., wibawa, s. c., 2016, the development of biodiesel production from rubber seed oil by non catalytic method and degumming, international journal of innovative research in advanced engineerin, 3(03). suresh, m. p., rakhama, j. v., dan harari, p. a., 2015, tamanu (calophyllum inophyllum) biodieselasan alternative fuelfor ci engine: review, international journal of innovative research in science, engineering and technology,4, 11326-11332. tadeus, a., silalahi, i. h., sayekti, e., sianipar, a., 2013, karakterisasi zeolit-ni regenersi dan tanpa regenerasi dalam reaksi perengkahan katalitik, jkk, 2, 24-29. wendi, cuaca, v., taslim., 2015, pengaruh suhu reaksi dan jumlah katalis pada pembuatan biodiesel dari limbah lemak sapi dengan menggunakankatalis heterogen cao dari kulit telur ayam, jurnal teknik kimia usu. 4, 35-41. widyastuti, l., 2007, reaksi metanolisis minyak jarak pagar menjadi meti ester sebagai bahan bakar pengganti minyak diesel dngan menggunakan katalis koh, skripsi: fmipa universitas negri semarang. yunitasari,e. p., arani, i., 2010, pengaruh jenis solvent dan variasi tray pada pengambilan minyak nyamplung dengan metode ekstraksi kolom. jurnal agritech, 33, 311319. ind. j. chem. res., 2014, 2, 124 130 124 synthesis of 1phenyl-4-(3’, 4’-dimethoxy phenyl)-1-buten-3-on from eugenol sintesis 1-fenil-4-(3’,4’-dimetoksi fenil)-1-buten-3-on dari eugenol candra y. tahya 1, *, hanoch j. sohilait 1 , serly. j. sekewael 1 , 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: october 2014 published: january 2015 abstract the synthesis of 1-phenyl-4-(3’, 4’-dimethoxy phenyl)-1-buten-3-one from eugenol has been done through four reaction steps. the metilation of eugenol with dimethyl sulphate yields 81.81% of methyl eugenol. oxymercuration-demercuration of methyl eugenol with mercury acetate yields 67.27% of methyl eugenyl alcohol. oxidation of methyl eugenyl alcohol with pyridinium chloro chromate (pcc) yields 45.31% of methyl eugenyl ketone. aldol condensation reaction of methyl eugenyl ketone with benzaldehide catalyzed by potasium hydroxyde yields 7.38% of 1-phenyl4-(3’,4’-dimethoxyphenyl)-1-buten-3-one. the purity of compounds was tested by gc and lc. the elucidation of structure was analyzed by ftir, gc-ms, lc-esi-ms, and 1 h-nmr. keywords: eugenol, 1-phenyl-4-(3’, 4’-dimethoxy phenyl)-1-buten-3-one. pendahuluan minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik, adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas (guenther, 1990). minyak yang aromanya khas ini telah diteliti oleh banyak ilmuan sehingga dalam perkembangan selanjutnya, hasil sintesis senyawa turunan dari komponen minyak atsiri tersebut dapat digunakan untuk berbagai hal antara lain sebagai zat feromon, aditif biodisel, antioksidan, polimer, aromaterapi, penjerap logam, sun screen block, serta produk-produk industri seperti parfum, pewangi pada makanan, sabun, pasta gigi, kosmetik, dan obat-obatan (kadarohman, 2010). tanaman lawang (cinnamomum cullilawan, blume) termasuk dalam famili lauracea banyak terdapat di papua dan kepulauan maluku. pohon lawang tumbuh di hutan dengan ciri-ciri daunnya berlendir dan kayunya berwarna putih rapuh. tumbuhan ini termasuk dalam kelompok kayu manis. kulit lawang mengandung minyak atsiri sebesar 1,49 – 3,60% berat yang diperoleh dari destilasi uap kulit lawang (kataren,1985). suatu sampel tumbuhan kayu lawang diperoleh dari pulau seram, desa rambatu, kecamatan kairatu, kabupaten seram bagian barat, provinsi maluku, dianalisis dengan metode water and steam distilation menghasilkan rendemen minyak (2,12 2,31%), berat jenis (1,058 1,064), indeks bias (1,502 1,534) dan kadar eugenol 66-74% (harnani, 2010). triantoro dan susanti (2007) mengidentifikasi sejumlah senyawa yang ada pada minyak lawang hasil destilasi kulit lawang yang diambil dari hutan alam wasior, kabupaten wondena, papua barat. senyawa yang teridentifikasi adalah eugenol (66,23%), safrol (9,56%), metileugenol (2,15%), dan sisanya senyawa terpenoid. eugenol merupakan zat cair berbentuk minyak, tidak berwarna atau kuning pucat dan berubah warna menjadi coklat jika kontak dengan udara. larut dalam alkohol dan eter, kurang larut dalam air dan mudah menguap. *correnponding author, e-mail: candra@fmipa.unpatti.ac.id hanoch j. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 2, 124 130 1 125 diketahui bahwa eugenol mempunyai gugus hidroksi, metoksi dan allil, sehingga eugenol mempunyai nama iupac, 4-allil-2-metoksifenol (sastrohamidjojo, 2004). eugenol dapat digunakan untuk mensintesis berbagai senyawa kimia yang memiliki banyak manfaat, di antaranya sintesis senyawa metil eugenol sebagai zat penarik seks lalat buah (nugroho, dkk., 1999), sintesis senyawa berkhasiat tabir surya (dwiono, dkk., 2002), sintesis senyawa kurkumin dan analognya (anand, dkk., 2008; pudjono, dkk., 2008), sintesis vanillin dan veratraldehid (sastrohamidjojo, dkk., 2001), sintesis turunan amfetamin untuk obat parkinson dan anti tumor (fatimah, dkk.,1999), sintesis senyawa analog l-dopa (sohilait, 2004). senyawa kurkumin (1,7-bis-(4’-hidroksi-3’metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion) merupakan senyawa yang manfaatnya di bidang farmasi sangat beragam. struktur kimia kurkumin terdiri dari tiga farmakofor yaitu gugus dien-dion yang terletak di antara dua gugus aromatis tersubstitusi. namun struktur kurkumin kurang stabil karena adanya gugus metilen aktif antara farmakofor dien-dion. untuk itu telah dilakukan berbagai modifikasi yang tujuannya untuk mendapatkan efek farmakologi yang lebih baik. da’i (2007) juga mensintesis analog kurkumin dengan modifikasi pada gugus aromatiknya menghasilkan aktivitas antiproliferatif terhadap sel kanker payudara. sintesis 2,5-bis-(4-hidroksi benzilidin) siklopentanon dengan efek antiproliferatis terhadap sel hela juga dilakukan pudjono, dkk. (2008). senyawa 1-fenil-4-(3’,4’-dimetoksi fenil)-1buten-3-on adalah salah satu bentuk senyawa modifikasi kurkumin (analog kurkumin). stuktur kimia senyawa ini memiliki kemiripan dengan senyawa kurkumin yaitu terletak pada gugus kromofor keto-enol dan cincin aromatik tersubstitusi gugus metoksi sehingga memiliki potensi farmakologi khususnya sebagai antioksidan yang cukup menjanjikan. senyawa 1-fenil-4-(3’, 4’-dimetoksi fenil)-1-buten-3-on dapat disintesis dari eugenol melalui empat tahap. diawali dengan metilasi eugenol dengan dimetil sulfat menjadi metil eugenol. dilanjutkan dengan adisi ikatan rangkap metil eugenol menjadi metil eugenil alkohol secara oksimerkurasidemerkurasi. kemudian metil eugenil alkohol dioksidasi dengan piridinium kloro kromat menjadi metil eugenil keton. tahap terakhir yaitu dengan mengkondensasi aldol metodologi bahan minyak kulit lawang, natrium hidroksida, p.a.(e. merck), natrium boron hidrida, p.a.(e. merck), asam klorida, p.a.(e. merck), merkuri asetat, p.a. (e. merck), tetra hidro furan (thf), p.a. (e. merck), kromium (vi) oksida p.a. (e. merck), piridin, p.a (e. merck), kalium disulfit, p.a (e. merck), kalium karbonat, p.a (e. merck), natrium sulfat anhidrous, p.a.(e. merck), dimetil sulfat, p.a.(e. merck), natrium klorida, p.a.(e. merck), benzaldehid, p.a (e. merck), kalium hidroksida, p.a (e. merck), etanol, p.a.(e. merck), metanol. p.a (e. merck), diklorometan, p.a. (e. merck), dietil eter, p.a.(e. merck), silika gel biru, kertas saring whatman no. 42, kertas indikator universal. alat seperangkat alat destilasi fraksinasi pengurangan tekanan, seperangkat alat refluks, seperangkat alat gelas, pengaduk magnet, spatula, lemari asam, pemanas listrik cimarec 20d + , timbangan analitik denver instrument xp-3000, rotavapor r-215, buchi, termometer, philips, kromatografi gas-2010, shimadzu, kromatografi gas-spektrofotometer massa qp2010 plus, shimadzu, spektrofotometer ftir pregtige 21, shimadzu, spektrofotometer 1 hnmr jnm-eca 500, jeol, kromatografi cairspektrofotometer massa (lc-esi-ms) c6200, hithachi. prosedur kerja pemurnian eugenol sebanyak 500 g residu minyak kulit lawang (minyak lawang yang telah diambil hampir semua safrolnya pada eksperimen sebelumnya) dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 1000 ml dan ditambahkan 4,00 g naoh dan 30 ml hanoch j. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 2, 124 130 1 126 air suling. saat terbentuk dua lapisan, maka lapisan bawah diambil kemudian ditambahkan larutan hcl 1 m hingga ph 3 untuk memperoleh eugenol kembali. kemudian dicuci dengan air suling, dan dikeringkan dengan na2so4 anhidrous. proses dilanjutkan dengan destilasi fraksinasi pengurangan tekanan pada 103 o c/1,2 mmhg untuk diperoleh eugenol yang murni. hasilnya dianalisis dengan gc, ftir, dan ms. pembuatan metil eugenol ke dalam labu leher tiga ukuran 500 ml yang telah dilengkapi dengan termometer, pengaduk magnet, pendingin bola, dan corong penetes dimasukkan 40,26 g padatan naoh dan 100 ml air suling. setelah semua padatan naoh larut dan suhu larutan mencapai suhu kamar, tambahkan eugenol 155,50 g melalui corong penetes lalu dibiarkan teraduk 30 menit. setelah itu, dimetil sulfat sebanyak 120 ml diteteskan melalui corong penetes sambil tetap diaduk, kemudian dipanaskan hingga suhu 103 o c selama 2 jam dan didinginkan. terbentuk dua lapisan yaitu lapisan organik di atas dan lapisan air di bawah. lapisan bawah diekstrak tiga kali dengan 150 ml diklorometana. hasil ekstraksi lapisan atasnya digabungkan dengan lapisan organik. kemudian semua lapisan organik itu diekstrak tiga kali dengan 150 ml larutan naoh 15%. lalu dicuci dengan air suling hingga ph 7, dikeringkan dengan na2so4 anhidrous dan disaring dengan kertas saring. diklorometana diuapkan dengan rotavapor buchi, dan residu dimurnikan dengan destilasi fraksinasi pengurangan tekanan dan analisis hasil dilakukan menggunakan gc, ftir dan ms. pembuatan metil eugenil alkohol ke dalam labu leher tiga ukuran 500 ml yang telah dilengkapi dengan termometer, pengaduk magnet, pendingin bola dancorong penetes, dimasukkan 31,90 g (0,10 mol) hg(oac)2 100 ml air dan diaduk hingga larut, kemudian tambahkan 100 ml thf dan diaduk selama 15 menit. melalui corong penetes dimasukkan 17,8 g (0,10 mol) metil eugenol tetes demi tetes pada suhu 25 o c dan pengadukan dilanjutkan selama 120 menit dan dibiarkan semalam. selanjutnya ditambahkan 100 ml naoh 3m, diikuti dengan larutan 100 ml nabh4 1,90 g (0,05 mol) dalam naoh 3m tetes demi tetes pada suhu 25 o c. campuran direfluks pada suhu kamar selama 3 jam dan dimasukkan dalam corong pisah dan dibiarkan semalam. merkuri dipisahkan dari lapisan air dan lapisan organik. lapisan air ditambahkan larutan nacl jenuh dan diekstraksi dua kali dengan 50 ml dietil eter. lapisan dietil eter dipisahkan dan kedua lapisan organik digabung. sebanyak 50 ml dietil eter ditambahkan dan dicuci dengan air hingga netral. hasilnya dikeringkan dengan na2so4 anhidrous dan dietil eter dipisahkan dengan rotavapor buchi. pemurnian dilakukan dengan destilasi fraksinasi pengurangan tekanan dan produk dianalisis dengan gc, ftir, dan ms. pembuatan piridinium kloro kromat ke dalam labu leher tiga ukuran 500 ml yang telah dilengkapi dengan pendingin bola, termometer, pengaduk magnet dimasukkan sebanyak 92 ml hcl 6 m dan tambahkan sebanyak 50 gram kromium (vi) oksida (cro3) sedikit demi sedikit, lalu tambahkan 40 ml piridin tetes demi tetes sambil diaduk dan dijaga suhunya pada 0 o c. kemudian setelah 30 menit pengadukkan, hasilnya diangkat dan disaring dengan penyaring buchner dan diperoleh padatan piridinium kloro kromat berwarna kuning jingga. selanjutnya padatan dikeringkan dalam desikator selama satu minggu. pembuatan metil eugenil keton ke dalam labu leher tiga ukuran 500 ml yang telah dilengkapi dengan pendingin bola, termometer, pengaduk magnet, dan tabung berisi silika gel biru dimasukkan 21,60 g (0,1 mol) pcc dalam 150 ml diklorometana dan ditambahkan 10,35 g (0,05 mol) metil eugenil alkohol dalam 25 ml diklorometana. campuran direfluks pada suhu 40 o c selama 90 menit hingga terbentuk pasta hitam dan kemudian didekantasi. residu pasta hitam diekstraksi tiga kali dengan 100 ml dietil eter dan filtrat digabungkan dan dikeringkan dengan na2so4 anhidrous dan disaring. pelarut diklorometana dipisahkan dengan rotavapor buchi. hasil yang diperoleh ditambahkan 25 ml dietil eter dan 30 g kalium disulfit dalam 80 ml air dan diaduk selama 2 jam. endapan yang terbentuk disaring dan dicuci dengan 25 ml etanol dan 25 ml dietil eter lalu dikeringkan. endapan keton bisulfit hanoch j. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 2, 124 130 1 127 diuraikan menggunakan 60 ml kalium karbonat 10% dengan diaduk selama 2 jam. selanjutnya ditambahkan 25 ml air dan diekstraksi dua kali dengan 50 ml diklorometana. kemudian dicuci dengan air hingga netral, dikeringkan dengan na2so4 anhidrous, dan pelarut dievaporasi. analisis hasil dilakukan dengan gc, ftir dan ms. pembuatan 1-fenil-4-(3’,4’-dimetoksi fenil)1-buten-3-on ke dalam labu leher tiga ukuran 100 ml, dimasukkan 10 ml etanol absolut diikuti penambahan 1,21 g (0.00625 mol) metil eugenil keton dan 1,32 g (0,0125 mol) benzaldehid kemudian diaduk selama 5 menit pada suhu 25 o c. ditambahkan 5 ml larutan koh 10% tetes demi tetes dan tetap diaduk selama 120 menit. larutan disaring dan padatan yang diperoleh direkristalisasi dengan pelarut metanol, kemudian disaring dan dicuci dengan metanol dingin lalu dibiarkan mengering pada suhu ruang. kemurnian dianalisis dengan lc, dan elusidasi struktur dengan ftir, esi-ms, dan 1 hnmr. hasil dan pembahasan isolasi eugenol eugenol diperoleh dari minyak kulit lawang dan dimurnikan dengan destilasi fraksinasi pengurangan tekanan. hasil destilasi dianalisis dengan kromatografi gas menunjukkan eugenol (tr = 14,21 menit) kemurnianya 99,58% (gambar 1) gambar 1. kromatogram eugenol hasil destilasi hasil analisis eugenol dengan ftir seperti pada tabel 1. tabel 1. data spektrum ftir eugenol analisis gc-ms eugenol m/z : 39, 55, 65, 77, 91, 103, 121, 131, 149, dan 164 [c10h12o2 + ] sebagai puncak dasar. sintesis metil eugenol metil eugenol dimurnikan dengan destilasi fraksinasi pengurangan tekanan kemudian diperoleh dua fraksi. fraksi ii hasil destilasi fraksinasi pengurangan tekanan dianalisis kemurniannya dengan kromatografi gas dan diperoleh metil eugenol dengan waktu retensi 14,23 menit kemurniannya 97,92%. rendemen hasil metil eugenol adalah 81,81%. hasil analisis metil eugenol dengan ftir seperti pada tabel 2. tabel 2. data spektrum ftir metil eugenol spektrum massa metil eugenol m/z : 41, 51, 65, 77, 91, 107, 115, 135, 147, 163, dan 178 [c11h14o3 + ] (puncak dasar). sintesis metil eugenil alkohol reaksi oksimerkurasi-demerkurasi metil eugenol menghasilkan metil eugenil alkohol sebesar 14,18 g untuk selanjutnya dianalisis dengan kromatografi gas. hasil kromatogram menunjukkan kemurnian metil eugenil alkohol adalah 92,98%. rendemen hasil metil eugenil alkohol adalah 67,27%. hanoch j. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 2, 124 130 1 128 hasil analisis metil eugenil alkohol dengan ftir seperti pada tabel 3. tabel 3. data spektrum ftir metil eugenil alkohol spektrum massa senyawa metil eugenil alkohol (m/z): 45, 65, 77, 91, 107, 121, 137, 151 (puncak dasar), dan 196 [c11h16o3 + ]. sintesis metil eugenil keton tahapan oksidasi dilakukan terhadap metil eugenil alkohol memberikan hasil metil eugenil keton sebanyak 4,87 g dengan kemurnian sesuai kromatogram gc adalah 95,24 %. rendemen hasil metil eugenil keton adalah 45,31 %. hasil analisis metil eugenil keton dengan ftir seperti pada tabel 4. tabel 4. data spektrum ftir metil eugenil keton spektrum massa metil eugenil keton m/z : 43, 65, 77, 91, 107, 135, 151 (puncak dasar), dan 194 [c11h14o3 + ]. hasil reaksi kondensasi aldol hasil reaksi kondesasi aldol antara metil eugenil keton dan benzaldehid dengan katalis koh diperoleh padatan kuning seberat 0,27 g. padatan ini dianalisis kemurniannya dengan menggunakan kromatografi cair, hasil kromatogramnya (gambar 2) dan persentasi kemurnian seperti pada tabel 4. gambar 2. kromotogram hasil kondensasi aldol tabel 2. persentasi kemurnian senyawa-senyawa hasil kondensasi aldol hasil analisis ftir padatan kuning seperti pada tabel 6. tabel 6. data spektrum ftir padatan kuning hasil reaksi kondensasi aldol senyawa 1-fenil-4-(3’, 4’-dimetoksi fenil)1-buten-3-on dapat disintesis dengan hanoch j. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 2, 124 130 1 129 mereaksikan senyawa metil eugenil keton dengan benzaldehid pada perbandingan mol 1:2 menggunakan katalis kalium hidroksida 10 %. reaksi ini adalah reaksi kondensasi adol. reaksi dilakukan pada suhu ruang selama 2 jam pengadukan. hasilnya berupa padatan berwarna kuning. padatan kuning tersebut kemudian dianalisis kemurniannya dengan kromatografi cair ternyata didapatkan bahwa terdapat enam komponen, tetapi 1-fenil-4-(3’, 4’-dimetoksi fenil)-1-buten3-on (tr = 5,6 menit) merupakan senyawa dengan persentasi kemurnian terbesar dalam padatan kuning tersebut yaitu 47,90 %. data spektrum esi-ms ion positif terhadap senyawa 1-fenil-4-(3’,4’-dimetoksi fenil)-1buten-3-on menunjukkan fragmen ion positif (m+h) + m/z = 283,28 dan fragmen ion m + (m/z = 282,28) (gambar 3) yang sesuai dengan berat molekuler senyawa 1-fenil-4-(3’,4’-dimetoksi fenil)-1-buten-3-on yaitu 282 g/mol. gambar 3. spektrum esi-ms enil-4-(3 ,4 imetoksi enil)uten-3-on kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, senyawa 1-fenil-4-(3’,4’-dimetoksi fenil)-1-buten-3-on telah berhasil disintesis dari eugenol melalui empat tahap reaksi. metilasi eugenol menghasilkan metil eugenol 81,81%, oksimerkurasi-demerkurasi metil eugenol menghasilkan metil eugenil alkohol 67,27%, oksidasi metil eugenil alkohol menghasilkan metil eugenil keton 45,31% dan kondensasi aldol metil eugenil keton dan benzaldehid menghasilkan rendemen 1-fenil-4-(3’,4’dimetoksi fenil)-1-buten-3-on sebesar 7,38%. daftar pustaka anand, p., thomas, s.g., kunnumakkara, a. b., sundaran, c., harikumar, k. b., sung, b., tharakan, s. t., misra, k., priyadarsini, i. k., rajasekharan, k. n. dan aggarwal, b. b. 2008. biological activities of curcumin and its analogue made by man and mother nature. biochem. pharm. vol. 76, 1590-1611. da’i, m, 2007, mekanisme molekuler aktivitas analog kurkumin pentagamavunon terhadap sel kanker payudara (t47d), disertasi, sekolah pasca sarjana, universitas gadjah mada.yogyakarta. dwiono, a., subarni, t., yulistuti, i., dan susanti, d. 2002. pembuatan senyawa berkhasiat tabir surya 3,4 dimetoksi heksil sinamant dari bahan dasar minyak cengkeh. bul. pen. mhs. ugm, vol. 10. no. 01. fatimah., sulystiowati, d., retno., sastrohamidjodjo., dan hardjono. 1999. sintesis 1-(3,4dimetoksifenil)-2-amino propana sebagai derivate amfetamin dari eugenol. tesis, parca sarjana ugm. yogyakarta. guenther, e. 1990. the essensial oil, vol. 2, 224226, d.van nostrand company, inc. harnani, e. d. 2010. perbandingan kadar eugenol minyak atsiri bunga cengkeh (syzygium aromaticum (l.) meer. & perry) dari maluku, sumatera, sulawesi, dan jawa dengan metode gc-ms. skripsi, universitas muhammadiyah surakarta. kadarohman, a. 2010. minyak atsiri sebagai teaching material dalam proses pembelajaran kimia. diakses dari http://www.scribd.com/doc. september 2011. kataren, s. 1985. pengantar teknologi minyak atsiri. balai pustaka. jakarta. nugroho, m. y., leny, y.,dan nurhafni, s. 1999. penerapan metoda baru sintesis metil eugenol http://etd.eprints.ums.ac.id/9571/ http://etd.eprints.ums.ac.id/9571/ http://etd.eprints.ums.ac.id/9571/ http://etd.eprints.ums.ac.id/9571/ http://etd.eprints.ums.ac.id/9571/ http://www.scribd.com/doc.%20september%202011 http://www.scribd.com/doc.%20september%202011 hanoch j. sohilait, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 2, 124 130 1 130 sebagai senyawa penarik seks lalat buah. bul. pen. mhs. ugm. vol. 10. no. 02. pudjono., sismindari., dan widada, h. 2008. sintesis 2,5-bis-(4’-hidroksi benzilidin) siklopentanon dan 2,5-bis-(4’-klorobenzilidin) siklopentanon serta uji anti ploriferatifnya terhadap sel hela. j. pharm. ind. vol. 19(1), 48-55. sastrohamidjojo, h. 2001. spektroskopi. liberty. yogyakarta. sastrohamidjojo, h. 2004. kimia minyak atsiri, gajah mada university press, yogyakarta. sohilait, h. j. 2004. sintesis 1-(3,4 metilendioksi)-2propanon dari safrol dan sintesis analog ldopa dari eugenol, disertasi, ugm, yogyakarta. triantoro, r. g. n., dan susanti, c. m. e., 2007. the chemical content of kulilawang (cinnamomum culilawane bl.) and masoi (cryptocaria massoia) wood. j. ilmu & tek. kayu tropis vol. 5. no. 2. indochem ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 242 application of tio2 nanotube as photoelectrode for corrosion prevention of stainless steel in ph variation of nacl aplikasi tio2 nanotube sebagai fotoelektroda untuk pencegahan korosi stainless steel pada variasi ph nacl misriyani 1* , abdul wahid wahab 2 , paulina taba 2 , jarnuzi gunlazuardi 3 1 department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 3 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of indonesia, depok 16424, west java-indonesia *corresponding author, tel: +6281334845084, email: misriyani85@gmail.com received: juni 2013 published: juli 2013 abstract the research amis to synthesize tio2 nanotube photoelectrode (tio2-nt) by anodizing method. the photoelectrodes applied in photoelectrochemical system to prevent the corrosion of steel. anodizing method carried out by preparing an electrochemical system consisting of a titanium plate as anode and pt wire as cathode in electrolyte containing glycerol, ammonium fluoride and water. voltage applied from the dc current source and followed by thermal treatment at a temperature of 500 o c. the photoelectrode further characterized by using x-ray diffraction and surface area analyzer. the result of anti-corrosion test of stainless steel 304 by tio2-nt showed that photopotential value of steel shifted to the more negative value in uv light. the significant potential shift occurs at ph 8 and the corrosion rate of stainless steel 304 couple with tio2-nt decrease reaches 1.7 times. it concluded that the photoelectrodes can be used to reduce the corrosion rate of stainless steel 304 by utilizing sollar energy as a source of uv light. keywords: photoelectrode, tio2 nanotube, corosion, stainless steel 304 pendahuluan kondisi indonesia sebagai negara kepulauan, beriklim tropis serta memiliki bentang laut yang sangat luas dengan tingkat kelembaban tinggi merupakan suatu faktor yang dapat mempercepat proses korosi. perhatian yang serius sudah selayaknya diberikan oleh berbagai kalangan, khususnya para peneliti untuk mengembangkan suatu metode untuk pencegahan korosi. beberapa metode yang umum dilakukan untuk mengendalikan korosi antara lain metode pelapisan (coating) baik dengan menggunakan bahan organik (karlsson, 2011 dan zhao et al., 2014), polimer (aldulaimi et al., 2011 dan hamzah et al., 2012) maupun komposit logam (panek et al., 2011 dan weng et al., 2010); penambahan inhibitor (solmaz, 2010; flores et al., 2011 dan aghzzaf et al., 2014), serta proteksi katoda secara elektrokimia (parthiban et al., 2008; christodoulou, 2010 dan refait et al., 2013). namun metode tersebut dianggap kurang efektif karena tidak dapat bertahan lama dalam mencegah korosi, baik dari sisi ketahanan bahan maupun energi yang dihasilkan (lei et al., 2012). metode pelapisan hanya menyediakan lapisan logam pada permukaan yang akan terkorosi terlebih dahulu, dan jika lapisan tersebut habis maka logam di dalamnya akan terkorosi bahkan lebih cepat dari keadaan normal. selain itu logam pelindung bersifat racun dan dapat mencemari lingkungan (hamzah et al., 2012). metode proteksi katoda secara elektrokimia melibatkan sistem anoda atau katoda yang akan dikorbankan, hal ini tentunya akan menyebabkan kehilangan material serta pelepasan energi. sehingga strategi baru proteksi katoda yang bersifat non regenerasi energi dan terhindar dari resiko kehilangan material menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diteliti. akhir-akhir ini, kemampuan bahan semikonduktor tio2 dalam merespon cahaya misriyani, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 243 telah diperkenalkan. kemampuan ini dapat dimanfaatkan untuk mencegah korosi logam melalui sistem proteksi katoda. titanium dioksida (tio2) merupakan bahan fotokatalis yaitu bahan yang dapat meningkatkan laju reaksi oksidasi maupun reduksi yang diinduksi oleh cahaya. bahan tersebut memiliki sifat optik dan elektronik, sangat fotoreaktif, tidak beracun, memiliki stabilitas kimia dalam jangka waktu yang panjang serta relatif murah (xu et al., 2014). fotokatalis tio2 memiliki kemampuan yang baik dalam merespon cahaya. fotokatalis tio2 yang dilapiskan pada logam akan bertindak sebagai fotoanoda untuk mencegah terjadinya korosi pada logam tersebut. sistem perlindungan ini disebut proteksi fotokatoda atau yang biasa dikenal sebagai proteksi katoda. pada sistem fotokatodik, eksitasi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi dari tio2 akan terjadi ketika suatu logam dilapisi oleh tio2 dan diberi paparan sinar ultraviolet. selanjutnya elektron yang tereksitasi akan masuk ke dalam logam yang terhubung dan menyebabkan terjadinya pergeseran potensial logam yang terproteksi menjadi lebih negatif dibandingkan dalam bentuk oksida. akumulasi elektron pada permukaan logam menyebabkan logam dapat terlindungi dan terhindar dari peristiwa oksidasi atau pelarutan anoda. sehingga pencegahan korosi logam atau proteksi katoda dapat dicapai (lei et al., 2011; yu et al., 2013 dan cui et al., 2015). sampel tio2 nanotube dengan karakter dan aktivitas respon cahaya terbaik diaplikasikan untuk pencegahan korosi logam melalui sistem proteksi katoda. pada penelitian ini stainless steel tipe 304 dipilih sebagai bahan korosif pada larutan elektrolit nacl yang mewakili sifat air laut. stainless steel 304 merupakan produk yang banyak digunakan oleh berbagai sektor baik industri maupun sarana umum karena mudah dibentuk serta memiliki ketahanan terhadap panas dan korosi. analisis kondisi lingkungan pengkorosi juga sangat berpengaruh pada korosi logam, hal ini tentunya berpengaruh pada keberhasilan proteksi katoda. beberapa pengaruh parameter kondisi lingkungan seperti ph, konsentrasi larutan dan suhu terhadap korosi logam telah dilaporkan oleh li et al., (2014), zaid et al., (2008) dan asaduzzaman et al., (2011). namun, investigasi terhadap pengaruh lingkungan korosif pada kemampuan proteksi katoda tio2 nanotube belum dilaporkan. hal ini mendorong peneliti untuk melakukan beberapa variasi perlakuan kondisi larutan elektrolit sebagai media pengkorosi, sehingga hubungan antara kondisi lingkungan pengkorosi dengan sifat fotoelektrokimia tio2 nanotube dalam proteksi katoda dapat dipahami. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitan ini adalah plat titanium (baoji jinsheng metal material co., kemurnian 99.6%, ketebalan, 0.3 mm), anyaman kawat platina, ammonium fluorida (nh4f) (merck) dan gliserol 98% p.a (merck) yang digunakan sebagai pereaksi dalam proses anodisasi; natrium klorida (nacl) (merck) yang digunakan sebagai bahan elektrolit media pengkorosi; natrium format (hcoona) (merck) yang digunakan sebagai bahan elektrolit untuk menguji aktivitas fotoelektrokimia tio2 nanotube; naoh (merck) dan hno3 (merck) sebagai bahan untuk membuat deret ph; serta kertas abrasif, akuades, aseton p.a (merck) dan etanol p.a (merck) digunakan sebagai bahan pelarut dan pencucian. alat alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah power supply (bk-precision dc), elektroda pt (muatan -) dan film titanium (muatan +) dan dilengkapi dengan pengaduk magnetik. sistem reaktor fotoelektrokimia terdiri atas lampu uv tipe gnb 11w, elektroda karbon, elektroda ag/agcl, jembatan garam, potensiostat e-daq dan perangkat komputer (echem software). peralatan untuk analisis terdiri atas difraktometer sinar-x (shimadzu model xrd-7000), surface area analyzer/bet adsorption (belsorp japan,inc) dan potensiostat model e-daq. selain itu, seperangkat alat gelas dan penunjang laboratorium lainnya yang terdiri atas neraca analitik digunakan untuk menentukan berat sampel, sonikator (soniclean 160ht) digunakan untuk mencuci sampel titania, oven digunakan untuk mengeringkan sampel, tanur digunakan untuk mengubah fasa tio2 menjadi anatase dan desikator digunakan untuk menyimpan sampel dengan kelembaban terkontrol. prosedur kerja sintesis tio2 nanotube dengan metode anodisasi dilakukan dengan menyiapkan 2 misriyani, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 244 elektroda, plat titanium pada sel anoda dan kawat pt pada sel katoda yang terhubung dengan power supply (bk-precision dc unhas). kedua elektroda dicelupkan dalam larutan gliserol yang mengandung 0,5% nh4f dan 25% air. proses anodisasi menghasilkan gelembung gas hidrogen di sekeliling kawat pt pada tegangan 20v dc dan disertai dengan pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 3 jam (liu et al., 2011; li et al., 2012; kapusta-kołodziej et al., 2014; dan ratnawati et al., 2014). setelah anodisasi, plat tio2 amorf yang diperoleh selanjutnya dibilas dengan akuabides secara perlahan, dikeringkan pada udara terbuka dan dikalsinasi pada suhu 500 o c selama 3 jam. sampel tio2 nanotube hasil sintesis disimpan dalam desikator untuk karakterisasi selanjutnya menggunakan difraktometer sinar-x dan surface area analyzer. uji anti korosi dilakukan pada sistem reaktor fotoelektrokimia yang terdiri atas 2 kompartemen yaitu sel anoda dan sel korosi (sel katoda) yang dilengkapi dengan sumber cahaya uv. elektroda film tio2 nanotube sebagai fotoanoda pada sel anoda dicelupkan pada larutan elektrolit yang mengandung hcoona 0,05 m. sedangkan stainless steel 304 sebagai elektroda kerja pada sel korosi dicelupkan dalam larutan elektrolit 3,5% nacl. hasil dan pembahasan sintesis tio2 nanotube preparasi pori nanotube dengan metode anodisasi dilakukan dengan menyiapkan sistem elektrokimia, yang terdiri atas plat titanium sebagai anoda dan anyaman kawat pt sebagai katoda dalam larutan elektrolit yang mengandung gliserol, amonium fluorida dan air. tegangan dialirkan melalui sumber arus dc dan menyebabkan proses oksidasi pada plat titanium, oksidasi anodik ditentukan oleh besarnya tegangan yang dialirkan. keberhasilan proses anodisasi diindikasikan dengan munculnya gelembung gas hidrogen pada kawat pt serta evolusi arus yang sesuai tercatat selama proses anodisasi. gambar 1 menunjukkan pola evolusi photocurrent density sebagai fungsi waktu selama proses anodisasi plat titanium dalam gliserol yang mengandung 0,5% nh4f dan 25% air pada tegangan yang bervariasi. gambar 1. evolusi photocurrent density versus waktu sampel titanium dalam elektrolit yang mengandung ion florida pada tegangan 10, 20, dan 30v gambar 1 merupakan hasil perbesaran yang hanya menunjukkan waktu anodiasi selama 50 menit dari total 180 menit. dari kurva tersebut, photocurrent density semakin menurun dengan bertambahnya waktu anodisasi. secara umum tahapan evolusi arus selama proses anodisasi terdiri atas: i) penurunan arus secara drastis yang mengindikasikan pembentukan lapisan tipis oksida pada permukaan titanium, (ii) disolusi oksida dengan kehadiran ion fluorida yang mengarah pada pembentukan lubang pori dan (iii) penurunan photocurrent density hingga mencapai kondisi optimum yang mengindikasikan pembentukan susunan pori nanotube (yoriya, 2014 dan ratnawati et al., 2015). tahap awal, pembentukan lapisan tipis oksida tio2 terjadi pada sampel logam titanium dalam larutan elektrolit. adanya medan listrik menginduksi reaksi oksidasi pada anoda titanium dan reduksi pada katoda kawat pt. reaksi yang terjadi pada anoda dan katoda diberikan pada persamaan (1) dan (2) (yoriya, 2014; li, 2013 dan kapusta-kołodziej et al., 2014): reaksi katoda: 2h2o(l) + 2e h2(g)+2oh (aq) e o red = 0,83 v (1) reaksi anoda: ti(s)+2h2o(l) tio2(s)+4h + (g)+4e e o oks = 1,31 v (2) reaksi oksidasi titanium terjadi pada anoda membentuk lapisan tipis oksida tio2. sedangkan pada katoda terjadi reduksi air melepas gas h2, dibuktikan dengan munculnya gelembug gas disekitar kawat pt selama proses sintesis. tahap kedua, terjadi sedikit peningkatan photocurrent density yang disebabkan oleh efek etching secara kimia akibat semakin banyaknya 0 5 10 15 20 25 30 0 10 20 30 40 50 10 v 30 v 20 v waktu (s) k e ra p a ta n a ru s ( m a .c m -2 ) iii ii i misriyani, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 245 ion yang menembus penghalang pada lapisan oksida, tahap tersebut menghasilkan pembentukan lubang kecil. selanjutnya lubang kecil dengan ukuran dan kedalaman yang berbeda akan tumbuh lebih lanjut menjadi pori, kemudian menyebar membentuk saluran dan akhirnya tersusun nanotube. pertumbuhan pori-pori tersebut disebabkan oleh persaingan antara pembentukan lapisan oksida dan disolusi kimia oleh ion f membentuk ion kompleks [tif6] 2. dalam larutan elektrolit, nh4f berperan sebagai sumber ion f yang berperan dalam mendesolusi permukaan titanium oksida secara kimia dan mengarahkan pembentukan tube, seperti ditunjukkan pada persamaan (3). tio2(s) + 4h + (aq) + 6f (aq) tif6 2(aq) + 2h2o(l) (3) tahap ke tiga, laju pembentukan oksida dan reaksi disolusi terjadi pada kesetimbangan, dimana kemungkinan laju disolusi oksida lebih cepat dari laju pertumbuhan oksida, sehingga panjang nanotube meningkat. proses disolusi dikendalikan oleh keberadaan gliserol sebagai elektrolit nonaqueous. analisis fasa kristal menggunakan xrd analisis ukuran kristalit fasa kristal rata-rata tio2 nanotube dapat dihitung dengan menggunakan persamaan scherrer yang diberikan pada persamaan (4) (nischk et al., 2014). d = dimana b adalah lebar puncak xrd pada tinggi setengah puncak (fwhm), adalah panjang gelombang sinar-x (nm), adalah sudut antara sinar tumbukan dan terdifraksi (derajat) dan d ukuran kristalin (nm). tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan ukuran kristal dan komposisi kristal anatase dan rutil sampel tio2 nanotube. nilai rata-rata ukuran kristalit sesuai dengan yang dilaporkan oleh lamberti et al. (2015) dan bouazza (2009) bahwa kristalit tio2 nanotube berukuran sekitar 12 – 24 nm untuk anatase dan rutil. nilai rata-rata ukuran kristal anatase sampel tio2 nanotube meningkat dengan bertambahnya waktu anodisasi. sedangkan pada variasi suhu kalsinasi, ukuran kristalit anatase terbesar diperoleh pada suhu 500 o c dengan ukuran 17 nm. tabel 2. komposisi dan ukuran kristal tio2 nanotube pada beberapa parameter dan tio2p25. sampel ukuran kristalit (nm) komposisi fasa (%) anatase rutil anatase rutil tio2 aldrich 39 45 55 45 tio2-p25 evonik 22 29 86 14 tio2-nt/1h 14 17 47 53 tio2-nt/2h 16 17 76 24 tio2-nt/3h 17 29 96 4 tio2-nt/400 o c 15 128 84 16 tio2-nt/500 o c 17 29 96 4 tio2-nt/600 o c 16 20 64 36 tio2-nt/700 o c 13 17 63 37 komposisi fasa anatase dan rutil secara kuantitatif dapat ditentukan dengan menganalisis rasio puncak anatase pada 2 =25 o (001) dan rutil pada puncak 2 =27 o (110) dengan menggunakan persamaan (5) dan (6) (choudhury and choudhury, 2013); xr (%) = [ ( ) ] (5) xa (%) = 100 – xr (%) (6) dimana xr(%) dan xa(%) adalah persentase fasa rutil dan fasa anatase dalam sampel tio2. sedangkan ia dan ir adalah intensitas puncak fasa anatase dan rutil dalam spektra xrd tio2 nanotube yang dihasilkan. tabel 2 menunjukkan komposisi dan ukuran kristalit tio2 nanotube. pemanasan yang di mulai pada suhu 400 o c merubah substrat film titanium dioksida yang amorf menjadi kristalin dengan presentase anatase dan rutil sebesar 84% dan 16%, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh wang et al. (2011). uji anti korosi pengaruh ph hasil menunjukkan bahwa untuk keseluruhan nilai ph, nilai potensial stainless steel yang dikopel dengan tio2 nanotube bergeser ke nilai yang lebih negatif, sesuai dengan data yang ditunjukkan pada tabel 3. hal ini mengindikasikan bahwa stainless steel yang dikopel tio2 nt telah sukses melindungi stainless steel dari korosi. potensial korosi bergeser ke arah positif pada kondisi asam dan basa, mengindikasikan bahwa stainless steel mudah terkorosi. misriyani, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 246 tabel 3. parameter elektrokimia pada ph larutan nacl yang berbeda sample ph values ecorr icorr corr.rate v a cm -2 mpy ss 304 10 -0,291 5,51 x 10 -7 6,40 x 10 -6 9 -0,294 1,92 x 10 -7 2,23 x 10 -6 8 -0,302 2,63 x 10 -7 3,05 x 10 -6 7 -0,334 1,42 x 10 -7 1,65 x 10 -6 6 -0,334 2,75 x 10 -7 3,20 x 10 -6 5 -0,332 5,15 x 10 -7 5,98 x 10 -6 4 -0,279 3,79 x 10 -7 4,40 x 10 -6 ss+ tio2nt uv 10 -0,317 1,2 x 10 -6 1,40 x 10 -5 9 -0,343 3,30 x 10 -7 3,83 x 10 -6 8 -0,354 1,54 x 10 -7 1,78 x 10 -6 7 -0,354 2,21 x 10 -7 2,57 x 10 -6 6 -0,354 5,72 x 10 -7 6,64 x 10 -6 5 -0,341 8,22 x 10 -7 9,55 x 10 -6 4 -0,323 1,22 x 10 -6 1,42 x 10 -5 parameter elektrokimia yang diperoleh dari perhitungan analitik dari kurva polarisasi ditunjukkan pada tabel 3. parameter icorr menunjukkan photocurrent density, ecorr menunjukkan potensial korosi dan corr rate sebagai laju korosi stainless steel. laju korosi stainless steel kopel tio2 nt di bawah paparan sinar uv pada ph 8 menurun hingga 1,7 kali dibandingkan laju korosi stainless steel. namun pada kondisi ph yang lainnya, laju korosi justru meningkat. hal ini mengindikasikan bahwa stainless steel tidak terlindungi dari proses korosi. dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan korosi stainless steel oleh tio2 nt dapat dilakukan pada larutan nacl ph8. selain itu, secara keseluruhan potensial korosi stainless steel mengalami penurunan ke arah yang lebih negatif dari stainless steel uncouple, ss+tio2nt dark dan ss+tio2ntuv. hal ini mengindikasikan bahwa pada saat stainless steel dikopel dengan tio2 nanotube dan diberi paparan sinar uv, perlindungan stainless steel terhadap korosi (proteksi katoda) telah berhasil dilakukan ditunjukkan dengan pergeseran potensial ke arah yang lebih negatif. namun pada saat diaplikasikan pada kondisi gelap, potensial korosi stainless steel yang dikopel tio2 nanotube kembali bergeser ke arah yang lebih positif. hal ini mengindikasikan bahwa performa pencegahan korosi stainless steel menjadi buruk ketika tanpa cahaya. kemampuan anti korosi pada stainless steel oleh tio2 nanotube cukup baik, di dukung juga oleh photocurrent density sample yang dianodisasi pada tegangan 20v yang memberikan nilai icorr paling besar. sehingga dapat diamati terjadinya pembentukan elektron yang lebih banyak oleh tio2 yang dianodisasi pada tegangan 20v. hasil pengukuran fotoelektrokimia menunjukkan bahwa pada paparan sinar uv, kelebihan elektron pada stainless steel akan berdampak pada perlindungan korosi logam dengan menggeser potensial logam menjadi lebih negatif. akan tetapi akibat adanya kemungkinan rekombinasi elektron, perlindungan terhadap logam tidak dapat bekerja pada keadaan gelap. hal ini seperti yang di postulatkan oleh (shen et al., 2005). kesimpulan bahan tio2 nanotube dapat dibuat dengan metode anodisasi, morfologi nanotube tersusun dari pori-pori teratur dengan diameter rata-rata 46,5 nm yang masuk dalam kategori mesopori. uji anti korosi stainless steel 304 oleh tio2-nt berhasil dilakukan, ditunjukkan dengan pergeseran nilai potensial korosi baja menjadi lebih negatif pada cahaya uv. pergeseran potensial secara signifikan terjadi pada ph 8 (0,302v menjadi 0,354v). daftar pustaka aghzzaf, a.a., rhouta, b., rocca, e., khalil, a., steinmetz, j., 2014. corrosion inhibition of zinc by calcium exchanged beidellite clay mineral: a new smart corrosion inhibitor. corros. sci. 80, 46–52. al-dulaimi, a.a., hashim, s., khan, m.i., 2011. corrosion protection of carbon steel using polyaniline composite with inorganic pigments. sains malays. 40, 757–763. asaduzzaman, m.d., mohammad, c., mayeedul, i., 2011. effects of concentration of sodium chloride solution on the pitting corrosion behavior of aisi 304l austenitic stainless steel. chem. ind. chem. eng. q. 17, 477– 483. christodoulou, g.g., 2010. assessing the long term benefits of impressed current cathodic protection. corros. sci. 52. misriyani, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 247 choudhury, b., choudhury, a., 2013. local structure modification and phase transformation of tio2 nanoparticles initiated by oxygen defects, grain size, and annealing temperature. int. nano lett. 3, 55. cui, s., yin, x., yu, q., liu, y., wang, d., zhou, f., n.d. polypyrrole nanowire/tio2 nanotube nanocomposites as photoanodes for photocathodic protection of ti substrate and 304 stainless steel under visible light. corros. sci. flores, e.a., olivares, o., likhanova, n.v., domínguez-aguilar, m.a., nava, n., guzman-lucero, d., corrales, m., 2011. sodium phthalamates as corrosion inhibitors for carbon steel in aqueous hydrochloric acid solution. corros. sci. 53, 3899–3913. hamzah, e., ibrahim, z., hashim, s., 2012. corrosion protection of steels: a brief review on conductive polymers. malays. polym. j. 7, 16–21. kapusta-kołodziej, j., tynkevych, o., pawlik, a., jarosz, m., mech, j., sulka, g.d., 2014. electrochemical growth of porous titanium dioxide in a glycerol-based electrolyte at different temperatures. electrochimica acta 144, 127–135. karlsson, johanna, 2011, corrosion mechanisms under organic coatings a study in relation to next generation’s pretretments. chalmers university of technology, göteborg, sweden. lamberti, a., chiodoni, a., shahzad, n., bianco, s., quaglio, m., pirri, c.f., 2015. ultrafast room-temperature crystallization of tio2 nanotubes exploiting water-vapor treatment. sci. rep. 5. lei, c.x., zhou, h., feng, z.d., zhu, y.f., du, r.g., 2012. liquid phase deposition (lpd) of tio2 thin films as photoanodes for cathodic protection of stainless steel. j. alloys compd. 513, 552–558. lei, c.x., zhou, h., feng, z.d., zhu, y.f., du, r.g., 2011. low-temperature liquid phase deposited tio2 films on stainless steel for photogenerated cathodic protection applications. appl. surf. sci. 257, 7330– 7334. li, d.g., wang, j.d., chen, d.r., liang, p., 2014. influences of ph value, temperature, chloride ions and sulfide ions on the corrosion behaviors of 316l stainless steel in the simulated cathodic environment of proton exchange membrane fuel cell. j. power sources 272, 448–456. li, l., zhou, z., lei, j., he, j., zhang, s., pan, f., 2012. highly ordered anodic tio2 nanotube arrays and their stabilities as photo(electro)catalysts. appl. surf. sci. 258, 3647–3651. liu, r., yang, w.-d., qiang, l.-s., wu, j.-f., 2011. fabrication of tio2 nanotube arrays by electrochemical anodization in an nh4f/h3po4 electrolyte. thin solid films 519, 6459–6466. panek, j., bierska-piech, karolus, m., 2011. the corrosion resistance of zinc-nickel composite coatings. j. achiev. mater. manuf. eng. 45, 157–162. parthiban, g.t., parthiban, t., ravi, r., saraswathy, v., palaniswamy, n., sivan, v., 2008. cathodic protection of steel in concrete using magnesium alloy anode. corros. sci. 50, 3329–3335. ratnawati, gunlazuardi, j., dewi, e.l., slamet, 2014. effect of nabf4 addition on the anodic synthesis of tio2 nanotube arrays photocatalyst for production of hydrogen from glycerol–water solution. int. j. hydrog. energy 39, 16927–16935. ratnawati, gunlazuardi, j., slamet, 2015. development of titania nanotube arrays: the roles of water content and annealing atmosphere. mater. chem. phys. 160, 111– 118. refait, p., jeannin, m., sabot, r., antony, h., pineau, s., 2013. electrochemical formation and transformation of corrosion products on carbon steel under cathodic protection in seawater. corros. sci. 71, 32–36. shen, g.x., chen, y.c., lin, c.j., 2005. corrosion protection of 316 l stainless steel by a tio2 nanoparticle coating prepared by sol–gel method. thin solid films 489, 130– 136. solmaz, r., 2010. investigation of the inhibition effect of 5-((e)-4-phenylbuta-1,3dienylideneamino)-1,3,4-thiadiazole-2-thiol schiff base on mild steel corrosion in hydrochloric acid. corros. sci. 52, 3321– 3330. wang, x., liu, g., wang, l., pan, j., lu, g.q. (max), cheng, h.-m., 2011. tio 2 films with oriented anatase {001} facets and their photoelectrochemical behavior as cds misriyani, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 242 248 248 nanoparticle sensitized photoanodes. j mater chem 21, 869–873. weng, c.-j., huang, j.-y., huang, k.-y., jhuo, y.-s., tsai, m.-h., yeh, j.-m., 2010. advanced anticorrosive coatings prepared from electroactive polyimide–tio2 hybrid nanocomposite materials. electrochimica acta 55, 8430–8438. xu, h., liu, w., cao, l., su, g., duan, r., 2014. preparation of porous tio2/zno composite film and its photocathodic protection properties for 304 stainless steel. appl. surf. sci. 301, 508–514. yu, d., wang, j., tian, j., xu, x., dai, j., wang, x., 2013. preparation and characterization of tio2/zno composite coating on carbon steel surface and its anticorrosive behavior in seawater. compos. part b eng. 46, 135– 144. zaid, b., saidi, d., benzaid, a., hadji, s., 2008. effects of ph and chloride concentration on pitting corrosion of aa6061 aluminum alloy. corros. sci. 50, 1841–1847. zhao, l., liu, q., gao, r., wang, j., yang, w., liu, l., 2014. one-step method for the fabrication of superhydrophobic surface on magnesium alloy and its corrosion protection, antifouling performance. corros. sci. 80, 177–183. ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 308 extraction and characterization of chitosan from windu shrimp shell (penaeus monodon) and depolymerization chitosan process with hydrogen peroxide based on heating temperature variations ekstraksi dan karakterisasi kitosan dari kulit udang windu (penaeus monodon) serta proses depolimerisasi kitosan dengan hidrogen peroksida berdasarkan variasi suhu pemanasan matheis f.j.d.p. tanasale 1, *, ivonne telussa 1 , serly j. sekewael 1 , loberth kakerissa 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *e-mail: mtanasale@fmipa.unpatti.ac.id received: dec 2015 published: jan 2016 abstract an extraction of chitin from shell of the tiger shrimp (penaeus monodon), a convertion chitin into chitosan and depolymerization chitosan into oligochitosan using hydrogen peroxide based on variations in heating temperature have been done. chitosan had depolymerized and it’s molecular weight had tested by end group analysis method and it’s degree of deacetylation had tested by uv-vis spectrophotometry method. oligochitosan had obtained from the conversion of chitin is isolated from the shell of tiger shrimp and from commercial chitin. the content of chitin obtained in tiger shrimp shells was 35.90% while the result of the conversion of commercial chitin into chitosan amounted to 62.33%. characterization of functional groups using ftir spectrophotometry showed that the conversion of chitosan from chitin commercial have absorption bands of 3617.56 (oh), 3050.47 3127.63 (-nh stretching), 2894.24 (-ch methylene), 1679.06 (-c = o), 1564.30 (-nh bending), and 1076.30 cm -1 (-co-). the commercial chitosan which is characterized by ftir spectrophotometric method also supports the results of the conversion of chitosan from chitin commercial. in the process of depolymerization of chitosan by hydrogen peroxide was found that the greater heating temperature was used, the smaller the percent yield and molecular weight of oligochitosan were at 40 o c, 50 o c, 60 o c and 70 o c gained weight average molecular oligochitosan were 1030.12 g/mol, 1019, 28 g/mol, 978.12 g/mol, and 908.82 g/mol, respectively. keywords: chitosan, depolymerization, heating temperature, hydrogen peroxide, oligochitosan pendahuluan kitin merupakan polimer alami (biopolimer) yang terbesar setelah selulosa, banyak terkandung pada limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, ketam, dan kerang (muzzarelli et al., 2012). selain itu, kitin juga ada di dalam dinding sel cendawan dan kutikula golongan serangga (austin et al., 1981). kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui reaksi kimia ataupun biokimia dengan menggunakan enzim kitin deasetilase yang telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari beberapa cendawan (rukayadi, 2002). struktur kitin dan kitosan terdiri dari n-acetil glukosamin dan glukosamin (gambar 1) yang terikat dengan ikatan β(1,4) glikosida. kitosan mempunyai kelarutan baik dalam asam-asamorganik encer sedangkan kitin tidak larut dalam air dan kebanyakan pelarut organik tetapi larut dalam asam mineral pekat seperti hcl, hno3, h2so4, h3po4, dan asam format anhidrat. terkait dengan kelarutan tersebut maka kitosan menjadi lebih menarik dan mempunyai aplikasi yang lebih luas daripada kitin (kumar, 2000). pemanfaatan kitosan masih kurang optimal karena panjangnya rantai kitosan yang mengakibatkannya sulit larut dalam air. pada hal kelarutan merupakan karakteristik penting untuk kitosan. peningkatan kelarutan akan memfasilitasi kitosan untuk dapat digunakan lebih luas pada bidang pangan, pertanian, farmasi, maupun aplikasi teknik lainnya. bobot matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 309 molekul tinggi mengakibatkan kelarutan kitosan rendah dalam air. hal ini memicuh dikembangkannya beberapa usaha dalam memotong ikatan kitosan menjadi oligomer yang lebih pendek yang disebut oligokitosan. (a) (b) gambar 1. struktur unit ulang (a) kitin dan (b) kitosan oligokitosan dapat dihasilkan dari proses depolimerisasi kitosan secara biokimia dengan menggunakan enzim (qin et al., 2006) atau secara kimia dengan menggunakan asam seperti hcl, h2so4, dan ch3cooh (kabal`nova et al., 2001; varum et al., 1991; no et al., 2003). selain itu, proses depolimerisasi kitosan juga dapat menggunakan oksidator seperti o3, nano2, dan h2o2 (allan & peyron, 1995; chang et al., 2001; tanioka et al., 1996; qin et al., 2002; tian et al., 2004; mao et al., 2004; srijanto et al., 2006). bahkan pada akhir-akhir ini telah digunakan natrium hipoklorit (naclo) untuk menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang lebih rendah atau oligokitosan (zheng et al., 2015). akan tetapi, hidrogen peroksida lebih banyak digunakan karena mudah ditangani, mudah didapat, dan lebih ramah lingkungan (qin et al., 2002). bahkan untuk mendapatkan oligoktosan yang lebih efektif dan efisien, beberapa peneliti telah mengkombinasikan hidrogen peroksida dengan menggunakan iradiasi microwave (shao et al., 2003), radiasi sinar gamma (kang et al., 2007), cahaya ultraviolet (wang et al., 2005), ultraviolet-teradiasi oksigen (yue et al., 2009), dan asam heteropoli (huang et al., 2007; huang et al., 2008). depolimerisasi kitosan menggunakan hidrogen peroksida (h2o2) telah banyak dipelajari sesuai dengan kemudahan penggunaan dan ketersediannya serta ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. laju depolimerisasi kitosan menggunakan h2o2 lebih kecil karena kestabilan h2o2. depolimerisasi kitosan menggunakan h2o2 menyebabkan pembentukan gugus-gugus karboksil dan mempercepat deaminasi (qin dkk., 2002). bobot molekul yang dihasilkan dalam proses depolimerisasi kitosan sangat dipengaruhi oleh suhu, waktu dan konsentrasi h2o2. pada penelitian ini kitosan yang diekstrak dari kulit udang windu divariasikan suhu pemanasan proses depolimerisasi kitosan menggunakan hidrogen perokisda sehingga menghasilkan oligokitosan dengan berbagai bobot molekul. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel limbah udang windu (penaeus monodon), kitin, kitosan, hcl, naoh, aseton, naocl, ch3cooh, h2o2, d-glukosamina hidroklorida, kalium ferrisianida, natrium karbonat, kertas saring whatman no. 40, dan aquades. alat peralatan dan instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : neraca analitik, centrifuge, oven, spektrofotometer uvvisible, spektrofotometer ftir, pengaduk magnetik, dan peralatan-peralatan gelas. prosedur kerja ekstraksi kitin dari limbah udang berdasarkan metode no et al. (1989). sebanyak 200 g limbah udang windu kering dimasukkan dalam erlenmeyer ditambahkan naoh 3,5% dengan perbandingan 1 : 10 (b/v) dan dipanaskan dengan hotplate pada suhu 65°c selama 2 jam kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas saring whatman. residu yang dihasilkan dicuci sampai ph netral kemudian dikeringkan di dalam oven pada 60°c selama 4 jam. selanjutnya residu ditambahkan hcl 1n dengan perbandingan 1 : 15 (b/v) pada suhu kamar dan dibiarkan selama 30 menit, disaring, dicuci sampai ph netral, dan dikeringkan pada 60°c selama 4 jam. kemudian residu tersebut ditambahkan dengan aseton secukupnya, disaring, ditambahkan dengan naocl 0,315% dengan perbandingan 1 : 10 (b/v) pada suhu kamar selama 30 menit, disaring, dicuci sampai o ch 2 oh oh nhcoch 2 o o ch 2 oh oh o nh 2 matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 310 ph netral, dan dikeringkan. residu berupa kitin dianalisis dengan spektrofotometer ftir. konversi kitin menjadi kitosan berdasarkan metode no dan meyer (1997). sebanyak 30 g serbuk kitin dicampurkan dengan 300 ml larutan naoh 50%, kemudian dipanaskan pada 100 o c selama 6 jam. selanjutnya campuran disaring dengan kertas saring whatman 40. residu kitosan dikeringkan dalam oven sampai bobotnya konstan. residu kitosan dikarakterisasi dengan metode spektrofotometri ftir dan ditentukan bobot molekul dengan metode viskometri. untuk membandingkan hasil deasetilasi digunakan kitin komersil yang memiliki kemurnian yang tinggi. preparasi oligokitosan dengan proses depolimerisasi kitosan dengan h2o2. kitosan hasil deasetilasi kitin dari isolasi limbah kulit udang windu sebanyak 2,0 g dimasukkan ke dalam erlemeyer, kemudian ditambahkan 50 ml h2o2 10%. setelah itu dibiarkan selama 10 menit dan dipanaskan dengan variasi suhu pada 40 o c, 50 o c, 60 o c dan 70 o c yang masing-masing selama 4 jam. hasil reaksi kemudian didinginkan pada suhu kamar kemudian disaring. residu yang dihasilkan dicuci dengan aquades sampai ph netral dan dikeringkan pada suhu 60 o c. proses ini dilakukan secara duplo. hasil depolimerisasi kitosan yang diperoleh selanjutnya diuji gugus fungsinya menggunakan spektrofotometer ftir dan ditentukan bobot molekul dengan metode analisis gugus ujung. penentuan bobot molekul kitosan. dilarutkan 0,1 g kitosan hasil isolasi dalam 100 ml hcl 0,01 m dan selanjutnya dibuat larutan viskositas masing-masing 0,1%; 0,2%; 0,3%; 0,4%; dan 0,5%. setelah itu ukur waktu alirnya dengan menggunakan viskometer ostwald. viskositas larutan digunakan unutuk menentukan bobot molekul polimer kitosan dengan bantuan persamaan viskositas spesifik, viskositas intrinsik (persamaan 1) dan persamaan empirik markhouwink (persamaan 2). c sp c 0 lim ….. (1) akm ….. (2) dengan ηsp adalah viskositas spesifik, c adalah konsentrasi polimer (dalam g/100 ml), a dan k adalah konstanta untuk pelarut polimer, m adalah massa molekul, serta [η] adalah viskositas intrinsik. penentuan bobot molekul oligokitosan dengan metode analisis gugus ujung (shao, et al., 2003). pereaksi warna disiapkan dengan melarutkan 0,5 g kalium ferrisianida dalam 1 l natrium karbonat 0,5 m dan disimpan dalam botol pereaksi berwarna coklat. larutan standar d-glukosamin hidroklorida (gah) disiapkan dengan melarutkan 1,00 g gah dalam 100 ml akuades. pembuatan kurva standar dilakukan dengan mencampurkan beberapa volume berbeda larutan standar gah dengan 2 ml pereaksi warna dalam tabung tertutup, kemudian tepatkan volumenya menjadi 5 ml dengan akuades. tabung ditutup, dipanaskan pada air mendidih selama 15 menit, dan didinginkan pada suhu ruang. selanjutnya diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 420 nm. untuk sampel oligokitosan dilakukan dengan menimbang sejumlah massa sampel oligokitosan, kemudian dilarutkan dengan akuades, ditambahkan 2 ml pereaksi warna, ditepatkan volumenya menjadi 5 ml, dipanaskan pada air mendidih selama 15 menit, didinginkan, dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 420 nm. bobot molekul rata-rata jumlah ( nm ) dihitung berdasarkan persamaan (3). 5,215 2 1 x w w m n ….. (3) dengan w1 adalah bobot oligoglukosamina (g) dan w2 adalah jumlah gah yang setara dengan absorbansi oligoglukosamina yang berasal dari kurva standar. penentuan derajat deasetilasi oligokitosan dengan metode spektrofotometri uv-vis (liu, et al. (2006)). sebanyak 3 mg kitosan yang dihasilkan dilarutkan ke dalam 50 ml hcl 0,1 m, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 201 nm. derajat deasetilasinya dihitung berdasarkan persamaan 4 dan 5: matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 311 avm mav da 1,423615,3 0128,01,161 ….. (4) %100)1( dadd ….. (5) dengan a adalah absorbans, v adalah volume larutan dan m adalah bobot kitosan. cara yang sama juga dilakukan terhadap kitosan komersil. hasil dan pembahasan ekstraksi kitin dari limbah udang kulit udang windu banyak mengandung kitin tetapi juga masih mengandung protein, mineral, dan zat warna. setelah dipisahkan dari daging, kulit udang memerlukan tiga tahap proses kimia agar diperoleh kitin. ketiga tahap tersebut adalah tahap deproteinisasi, tahap demineralisasi, dan tahap depigmentasi. setiap tahap-tahap tersebut memerlukan kondisi-kondisi optium yang tergantung dari bahan dasar dan jenis bahan dasar. dari studi literatur yang dilakukan, metode ekstrasi kitin dari limbah udang yang dilaporkan oleh no et al. (1989) adalah yang terbaik. hasil penelitian tentang massa dan komposisi zat kimia dalam kulit udang windu dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. bobot dan komposisi zat kimia dalam kulit udang windu zat bobot (g) kadar (%) protein 4.16 4.16 mineral 60,00 60,00 zat warna 1,10 1,10 kitin 34,71 34,71 protein akan larut dalam suasana basa sehingga selisih antara bobot sampel dengan bobot setelah tahap deproteinasi merupakan kadar protein yang ada dalam kulit udang windu. demikian juga pada selisih bobot antara sebelum dan setelah tahap demineralisasi merupakan bobot mineral. mineral utama yang ada pada kulit udang windu adalah caco3 dan sedikit ca3(po4)2 yang larut dalam suasana asam klorida menurut reaksi : caco3(s) + 2hcl(aq) cacl2(aq) + h2o(g) + co2(g) ca3(po4)2(s) + 4hcl(aq) 2cacl2(aq) + ca(h2po4)2(aq) proses demineralisasi ditandai dengan terbentuknya gas co2, sedangkan kadar zat warna diperoleh setelah tahap depigmentasi karena zat warna pada kulit udang windu larut dalam aseton. proses depigmentasi tidak memberikan hasil yang memuaskan karena warna residu yang dihasilkan masih putih kecoklatan. jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang lainnya (khususnya dari jenis krustasea), hasil penelitian ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. perbandingan hasil-hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 2. perbedaan ini dapat disebabkan karena berbedanya jenis hewan dan habitat hidup. udang windu pada penelitian ini merupakan hasil budi daya di pertambakan udang desa arara (maluku tengah) sedangkan penelitian yang lain berasal dari pasar lokal yang tidak jelas habitat hidupnya. tabel 2. perbandingan kandungan zat kimia pada kulit hewan krustasea zat komposisi zat kimia (%) udang windu a kepiting rajungan b penelitian ini protein 25,10 43,38 4,16 mineral 26,45 2,71 60,00 zat warna 14,84 3,70 1,10 kitin 33,61 50,21 35,80 sumber: a. tanasale dkk (2006); b. tanasale dkk (2012) untuk membuktikan adanya kitin dalam sampel kulit udang windu maka dilakukan pengujian dengan menggunakan spektrofotometer ftir sehingga terlihat pita-pita yang khas dari senyawa kitin seperti yang diperlihatkan pada gambar 2. spektrum ftir kitin hasil isolasi memiliki pita-pita serapan yang khas yaitu pita yang muncul pada 3566,44 cm -1 (lebar) adalah pita serapan –oh, 1653,02 cm -1 adalah pita serapan vibrasi ulur (stretching) c=o, dan 1558,51 cm -1 adalah pita serapan vibrasi tekuk (bending) –n-h yang merupakan ciri khas dari kitin yaitu gugus fungsi –n-h dalam –nh-co(gugus amin yang terasetilasi). jika dibandingkan dengan spektra ftir untuk kitin komersil (gambar 2), maka dapat disimpulkan bahwa hasil isolasi yang diperoleh merupakan senyawa kitin. hasil ini juga didukung penelitian sebelumnya, seperti yang telah dilaporkan oleh tanasale dkk (2006). matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 312 konversi kitin menjadi kitosan kitosan merupakan produk deasetilasi dari kitin dengan naoh pekat panas. no dan meyers (1997) menyatakan bahwa konsentrasi naoh yang digunakan untuk deasetilasi antara 40–50% pada suhu 80–150 0 c. kondisi ini digunakan karena struktur sel-sel kitin tebal dan kuatnya ikatan hidrogen intramolekul antara atom hidrogen pada gugus amin dan atom oksigen pada gugus karbonil. gambar 2. spektrum ftir kitin hasil isolasi gambar 3. spektrum ftir kitin komersil proses deasetilasi dalam basa kuat panas menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin melalui pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amin. hasil konversi kitin komersil menjadi kitosan adalah sebesar sekitar 62,33%. hasil ini jauh melebihi kitosan yang diperoleh dari kitin hasil isolasi dari kulit jenis krustasea yang masing-masing hanya 19,07% (udang windu (tanasale dkk (2006)) dan 22,06% (kepiting rajungan (tanasale dkk (2012)). perbedaan ini disebabkan karena kitin komersil memiliki kemurnian yang tinggi sehingga kandungan kitosan juga tinggi. ini juga menunjukkan bahwa hasil isolasi yang dilakukan masih mengandung zat-zat yang akan larut dalam larutan basa kuat panas. selanjutnya kitosan hasil konversi dikarakterisasi dengan menggunakan metode spektrofotometri ftir yang hasil spektrumnya dapat dilihat pada gambar 4. spektrum kitosan hasil konversi dari kitin komersil memiliki pitapita serapan khas yaitu 3617,56 (-oh), 3050,47 – 3127,63 (-n-h ulur), 2894,24 (-c-h metilen), 1679,06 ( -c=o), 1564,30 (-n-h tekuk), dan 1076,30 cm -1 (-c-o-). walaupun terlihat adanya noise yang mungkin disebabkan karena masih adanya naoh akibat proses pencucian yang kurang sempurna, hasil ini memiliki kemiripan dengan spektrum ftir kitosan komersil yang diperlihatkan pada gambar 5. spektrum kitosan komersil memiliki pita-pita serapan khas yaitu 3629,13 (-oh), 2888,45 (-c-h metilen), 1653,99 ( -c=o), 1559,47 (-n-h bending), dan 1068,58 cm -1 (-c-o-). gambar 4. spektrum ftir kitosan hasil konversi dari kitin komersil. gambar 5. spektrum ftir kitosan komersil derajat deasetilasi dan bobot molekul kitosan derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu kitosan yang menunjukkan persentasi gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendamen kitin maupun kitosan. semakin tinggi matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 313 derajat deasetilasi kitosan, maka gugus asetil kitosan semakin rendah sehingga interaksi antar ion dan ikatan hidrogennya akan semakin kuat (knoor, 1982). pengukuran derajat deasetilasi menggunakan metode uv-vis pada persamaan 4 dan 5. penentuan derajat deasetilasi dengan metode uv-vis lebih efektif dan memiliki tingkat ketelitian yang tinggi sehingga hasilnya lebih akurat karena menggunakan instrumen yang memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. derajat deasetilasi dihitung untuk mengetahui besarnya gugus asetil yang hilang dari kitin sehingga berubah menjadi kitosan. derajat deasetilasi yang diperoleh sebesar 93,71%. berdasarkan standar protein biopolimer (1994) maka produk kitosan tersebut telah memenuhi kriteria standar mutu (≥ 70 %). menurut aumelia dkk (2005), suhu dan waktu pemanasan dalam naoh menentukan derajat deasetilasi dan semakin tinggi suhu dan waktu pemanasan maka derajat deasetilasi semakin tinggi. penentuan bobot molekul ditentukan dengan menggunakan viskositas ostwald untuk mengukur viskositas larutan polimer. adapun beberapa parameter viskositas larutan polimer terlihat pada tabel 3. tabel 3. parameter viskositas untuk penentuan berat molekul kitosan c (%) t (detik) t/t0 ηsp ηsp /c 0 80,35 1 0 ∞ 0,01 82,33 1,02464219 0,02464219 2,464219042 0,02 85,86 1,068574984 0,068574984 3,428749222 0,03 90,80 1,130056005 0.130056005 4,335200166 0,04 95,13 1,18394524 0,18394524 4,598630989 0,05 101,69 1,265588052 0,26558805 5,311761045 dari tabel 3 dapat dibuat kurva yang menggambarkan hubungan antara viskositas reduksi terhadap konsentrasi seperti terlihat pada gambar 6. penentuan bobot molekul kitosan ditentukan berdasarkan viskositas intrinsik menurut persamaan 1 dan 2. viskositas intrinsik menunjukkan kemampuan polimer untuk meningkatkan viskositas larutan. viskositas intrinsik diperoleh dari kurva ηsp/c yang diekstrapolasi hingga c mendekati 0, agar dapat meniadakan pengaruh konsentrasi. dari hasil perhitungan diperoleh bobot molekul kitosan sebesar 8,67 x 10 4 g/mol. jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh kilikily (2009) dengan sampel yang sama yaitu udang windu, bobot molekul untuk kitosan hasil isolasi selama 2 jam lama pemanasan pada proses deasetilasi, diperoleh bobot molekul sebesar 9 x 10 6 g/mol dengan derajat deasetilasi 76%. perbedaan ini dikarenakan kecilnya nilai derajat deasetilasi yang berpengaruh pada makin bertambahnya bobot molekul kitosan. gambar 6. kurva hubungan antara ηsp/c vs c depolimerisasi kitosan menghasilkan oligokitosan kitosan dapat didegradasi atau diputuskan melalui hidrolisis, degradasi oksidatif (depolimerisasi) dan pirolisis. pemutusan ikatan glikosidik adalah tahap utama dalam proses depolimerisasi. pada umumnya, degradasi didasarkan pada konsentrasi reaktan dan suhu, tingkat kemurnian, derajat deasetilasi dan bobot molekul kitosan (makuuchi, 2008). pada penelitian ini, kitosan didepolimerisasi menggunakan h2o2 10 % pada variasi suhu 40 o c, 50 o c, 60 o c dan 70 o c secara duplo. kitosan dilarutkan sempurna dalam h2o2 selama 10 menit sebelum dimasukkan ke dalam oven supaya terjadinya pembentukan gugus-gugus karboksil dan mempercepat deaminasi. perlakuan dengan h2o2 dapat mengubah struktur zat penyebab warna. hal ini terlihat dari residu yang diperoleh berupa kristal padatan yang berwarna putih. bobot oligokitosan rata-rata hasil depolimerisasi kitosan dengan variasi suhu terlihat pada tabel 4. dari hasil yang diperoleh, terlihat bahwa suhu proses depolimerisasi kitosan berpengaruh terhadap bobot oligokitosan yang diperoleh yakni kenaikan suhu akan menurunkan bobot oligokitosan yang dihasilkan. tian et al. (2004) telah menjelaskan mekanisme depolimerisasi kitosan dengan h2o2 yang diawali dengan suatu y = 68.65x + 1.9682 r² = 0.9672 0 2 4 6 0 0.02 0.04 0.06 η sp /c c (%) matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 314 sistem kesetimbangan pada persamaaa (4) dan (5) serta reaksi total seperti persamaan (6). tabel 4. bobot oligokitosan rata-rata hasil depolimerisasi kitosan dengan h2o2 pada variasi suhu 40 o c, 50 o c, 60 o c dan 70 o c oligokitosan wo (g) w (g) persen (%) oka 2,00055 1,611 80,52 okb 2,00055 1,595 79,73 okc 2,00055 1,521 76,03 okd 2,00055 1,265 63,23 ket: ok = oligokitosan hasil depolimerisasi kitosan dengan h2o2 pada variasi suhu (a= 40 0 c, b= 50 0 c, c= 60 0 c dan d= 70 0 c) wo = bobot kitosan sebelum depolimerisasi w = bobot oligokitosan yang dihasilkan r-nh2 + h + = r-nh3 + .... (4) h2o2 = h + + hoo .... (5) r-nh2 + h2o2 + h + = r-nh3 + + hoo + h + .... (6) anion hoo sangat tidak stabil dan sangat mudah terdekomposisi menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif (persamaan 7 dan 8). hoo → oh + o• .... (7) h2o2 + hoo → ho• + o2 + h2o .... (8) radikal hidroksil adalah oksidator kuat. aksi kimia utama ho• dengan suatu polisakarida adalah sangat cepat seperti diperlihat pada persamaan (9) dan (10). radikal ho•menarik satu atom h dan membentuk air sehingga akan membentuk produk oksidasi larut air dengan bobot molekul rendah. (glcn) – (glcn) + ho• → (glcn)m – (glcn)n + h2o … (9) (glcn)m – (glcn)n + h2o → (glcn)n + (glcn)m .... (10) pengaruh suhu depolimerisasi terhadap bobot molekul oligokitosan bobot molekul oligokitosan dilakukan dengan metode uv-vis dengan kalium ferisianida sebagai reagen warna. hal ini disebabkan karena d-glukosamin hidroklorida dan oligokitosan memiliki hemiasetal hidroksil dalam molekulnya sehingga keduanya akan berwarna bila ditambahkan kalium ferisianida. hemiasetal hidroksil pada gula reduksi dapat berwarna bila direaksikan dengan kalium ferisianida. bobot molekul oligokitosan tidak dapat ditentukan dengan metode viskometri seperti pada bobot molekul kitosan karena dalam metode viskometri, hasil yang akurat hanya bila bobot molekulnya 10 4 g/mol sedangkan oligokitosan sendiri memiliki bobot molekul sekitar 2x10 3 g/mol. dari hasil penelitian diperoleh bobot molekul oligokitosan berdasarkan variasi suhu pemanasan dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 5 menjelaskan bahwa kenaikan suhu akan menurunkan bobot molekul oligokitosan. menurut makuuchi (2008) bobot molekul menurun dipengaruhi oleh suhu, waktu, dan konsentrasi h2o2 yang meningkat. suhu yang meningkat akan mempercepat proses depolimerisasi rantai utama kitosan sehingga bobot molekul oligokitosan yang dihasilkan menurun. jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh srijanto dkk (2006) dengan variasi suhu 60 o c, 70 o c, 80 o c dan 90 o c, dan variasi waktu 10 menit, 15 menit dan 20 menit, bobot molekul oligokitosan yang diperoleh sebesar 5000 g/mol 12000 g/mol dengan bobot molekul kitosan sebesar 1,14 x 10 6 g/mol 1,79 x 10 6 g/mol. perbedaam ini disebabkan karena pereaksi yang digunakan berbeda yaitu hno2 dan hno2 merupakan oksidator yang lebih lemah dibandingkan dengan h2o2. laju depolimerisasi kitosan menggunakan h2o2 lebih kecil, ini disebabkan kestabilan h2o2. tabel 5. bobot molekul (bm) oligokitosan ratarata hasil depolimerisasi kitosan dengan beberapa perlakuan suhu oligokitosan absorbansi rata-rata w1 (g) w2 (g) bm (g/mol) oka 0,399 0,02 0,004184 1030,13 okb 0,403 0,02 0,0042285 1019,29 okc 0,422 0,02 0,0044065 978,12 okd 0,455 0,02 0,0047425 908,82 ket: ok = oligokitosan hasil depolimerisasi kitosan dengan h2o2 pada variasi suhu (a= 40 0 c, b= 50 0 c, c= 60 0 c dan d= 70 0 c) w1 = bobot oligokitosan yang ditimbang untuk pembuatan larutan untuk pengukuran uv-vis w2 = bobot oligokitosan berdasarkan hasil regresi larutan standar. bm = bobot molekul oligokitosan pada suhu 40 o c, 50 o c, 60 o c, dan 70 o c terlihat bahwa penurunan bobot molekul sangat signifikan. hal ini dimungkinkan pada suhu tinggi terjadi penurunan deprotonisasi dari –nh3 + , yang membantu mempercepat pemutusan rantai utama kitosan secara depolimerisasi. karena pada proses depolimerisasi ini bersifat matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 315 acak maka pada suhu tinggi yaitu pada suhu 70 o c dan adanya proton nh3 + , energi yang diberikan kepada sistem cenderung dapat memutuskan ikatan glikosidik dari rantai-rantai pendek kitosan dibandingkan rantai-rantai utama yang panjang membentuk kitosan dengan bobot molekul kecil yang terlarut dalam cairan. bobot molekul oligokitosan yang dihasilkan, jauh lebih kecil dari bobot molekul kitosan yang sebesar 8,67 x 10 4 g/mol. pemutusan ikatan β-glikosidik pada proses depolimerisasi diperoleh ukuran molekul yang lebih kecil sehingga bobot molekul pun semakin kecil. bobot molekul monomer kitosan adalah 161 g/mol. dalam penelitian ini, monomer kitosan pada oligokitosan terdiri dari 5-6 unit monomer, dan jika dibandingkan dengan monomer kitosan dalam kitosan isolasi adalah 538 unit monomer kitosan. berdasarkan jumlah monomer yang diperoleh, diperkirakan bahwa kitosan tersebut telah mengalami depolimerisasi sehingga membentuk oligokitosan. hal ini diperkuat dengan data yang diperoleh dari bobot oligokitosan rata-rata pada proses depolimerisasi kitosan disertai penurunan bobot molekul dan ukuran molekul yang kecil. jadi, semakin tinggi suhu pemanasan maka bobot molekul oligokitosan yang dihasilkan akan semakin kecil. kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa kandungan kimia dalam kulit udang windu adalah protein 4,16%, mineral 60,00%, zat warna 1,10%, dan kitin 35,90%. konversi kitin komersil menjadi kitosan komersil mencapai 62,33%. kitosan hasil konversi dari kitin komersil memiliki pita-pita serapan khas yaitu 3617,56 (-oh), 3050,47 – 3127,63 (-n-h stretching), 2894,24 (-c-h metilen), 1679,06 (-c=o), 1564,30 (-n-h bending), dan 1076,30 cm -1 (-c-o-). makin besar suhu pemanasan yang digunakan dalam proses depolimerisasi kitosan dengan hidrogen peroksida maka makin kecil persen hasil dan bobot molekul oligokitosan yang dihasilkan yakni pada 40 o c, 50 o c, 60 o c, dan 70 o c diperoleh bobot molekul rata-rata oligokitosan berturut-turut sebesar 1030,12 g/mol, 1019, 28 g/mol, 978,12 g/mol, dan 908,82 g/mol. ucapan terima kasih ucapan terima kasih ditujukan kepada lembaga penelitian universitas pattimura ambon dan direktorat riset dan pengabdian masyarakat kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi atas disetujui dan didanainya penelitian ini sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan penelitian hibah bersaing tahun anggaran 2015, nomor : 30/un13.2/spk-pj/lphb/2015 tanggal 28 agustus 2015. daftar pustaka aulia, f, khusnul, a., andrew, s, dan nurinci, d, 2013,makalah ikan kakap merah. fakultan pertanian universitas gadjah mada, yogyakarta. allan, g.g. & peyron, m. 1995. molecular weight manipulation of chitosan i: kinetics of depolymerization by nitrous acid. carbohydrate research, 277, 257–272. aumelia, w., basmal, j., dan suryaningrum., 2005, pengaruh konsentrasi asam monokloro asetat dan jenis pelarut sebagai bahan pengendap terhadap produksi karboksimetil kitin, jurnal penelitian perikanan indonesia, 11(4): 89–100. austin, p.r., brine, c.j., castle, j.e., & zikakis, j.p. 1981. chitin: new facets of research. science, 212, 749–753. chang, k.l.b., tai, m.c., & xiao, l. 2001. kinetics and products of degradation of chitosan by hydrogen peroxide. j. agric. food chem., 49, 4845–4851. huang, q.z., wang, s.m., huang, j.f., zhou, l.h., & guo y.c. 2007. study on the heterogeneous degradation of chitosan with hydrogen peroxide under the catalysis of phosphotungstic. carbohydrate polymers, 68, 761–765. huang, q.z., zhuo, l.h., & guo, y.c. 2008. heterogeneous degradation with h2o2 catalysed by phosphotungstate. carbohydrate polymers, 72, 500–505. kabal`nova, n.n., murinov, k.y., mullagaliev, i.r., krasnogorskaya, n.n., shereshovets, v.v., monakov, v.b., & zaikov, g.e. 2001. oxidative destruction of chitosan under the effect of ozone and hydrogen peroxide. j. appl. polym. sci., 81, 875–881. kang, b., dai, y.d., zhang, h.q., & chen, d. 2007. synergetic degradation of chitosan matheis f.j.d.p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 308-316 316 with gamma radiation and hydrogen peroxide. polym. degrad. stab., 92, 359– 362. kilikily, k., 2009, variasi waktu pemanasan pada proses deasetilasi kitin, skripsi sarjana, jurusan kimia fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura, ambon. knoor, d., 1982, function properties of chitin and chitosan, j.food.sci, 47: 36. kumar, m.n.v.r. 2000. a review of chitin and chitosan applications. reactive & functional polymers, 46, 1–27. liu, d., wei, y., yao, p., y. & jiang, l. 2006b determination of the degree of acetylation of chitosan by uv spectrophotometry using dual standards. carbohydrate research, 341, 782–785. makuuchi, k., 2008, comparative analysis of hydrogel and oligo-chitosan, eb system comporation, japan, 1–6. mao, s., shui, x., unger, f., simon, m., bi, d., & kissel, t. 2004. the polymerization of chitosan: effects on physicochemical and biological properties. inter. j. pharm., 281, 45–54. muzzarelli, r.a.a., boudrant, j., meyer, d., manno, n., demarchis, m., & paoletti. m.g. 2012. current views on fungal chitin/chitosan, human chitinases, food preservation, glucans, pectins and inulin: a tribute to henri braconnot, precursor of the carbohydrate polymers science, on the chitin bicentennial. carbohydrate polymers, 87, 995–1012. no, h.k., nah, j.w., & meyers, s.p. 2003. effect of time/temperature treatment parameters on depolymerization of chitosan. j. appl. polym. sci., 87, 1890–1894. no, h.k. & meyers, s.p. 1997. preparation of chitin and chitosan. dalam r.a.a. muzzarelli dan m.g. peter, chitin handbook, european chitin society, 475– 489. no, h. k., meyer, s. p., & lee., 1989, isolation and characteristisation of chitin from crawfish shell waste, j. agricul food chem, 37 : 575–579. qin, c., li, h., xiao, q., liu, y., zhu, j., & du, y. 2006. water-solubility of chitosan and its antimicrobial activity. carbohydrate polymers, 63, 367–374. qin, c.q., du, y.m., & xiao, l. 2002. effect of hydrogen peroxide treatment on the molecular weight and structure of chitosan. polym. degrad. stab., 76, 211–218. rukayadi, y. 2002. kitin deasetilase dan pemanfaatannya. hayati, 9, 130–134. shao, j., yang, y., & zhong, q. 2003. studies on preparation of oligoglucosamine by oxidative degradation under microwave irradiation. polym. degrad. stab., 82, 395– 398. srijanto, b., paryanto, i., masduki, & purwatiningsih. 2006. pengaruh derajat deasetilasi bahan baku pada depolimerisasi kitosan. akta kimindo, 1, 67–72. tanasale, m.f.j.d.p., killay, a. & saily, m. 2006. kitosan dari limbah udang windu (penaeus monodon) sebagai adsorben fenol. j. alchemy 5: 23–30. tanasale, m.f.j.d.p., killay, a. & laratmase, m.s. 2012. kitosan dari limbah kulit kepiting rajungan (portunus sanginolentus l.) sebagai adsorben zat warna biru metilena. j. natur indo., 14: 165–171. tanioka, s., matsui, y., irie, t., tanigawa, t., tanaka, y., shibata, h., sawa, y, & kono, y. 1996. oxidative depolymerization of chitosan by hydroxyl radical. biosci. biotech. biochem., 60, 2001–2004. tian, f., liu, y., hu, k., & zhao, b. 2004. study of depolymerization behavoir of chitosan by hydrogen peroxide. carbohydrate polymers, 57, 31–37. varum, k.m., anthonsen, m.w., grasdalen, h., & smidsrod, o. 1991. 13 c-nmr studies of the acetylation sequences in partially ndeacetylated chitins (chitosans). carbohydrate research, 217, 19–27. wang, s.m., huang, q.z., & wang, q.s. 2005. study on the synergetic degradation of chitosan with ultraviolet light and hydrogen peroxyde. carbohydrate research, 340, 1143–1147. yue, w., yao, p., & wei, y. 2009. influence of ultraviolet-irradiated oxygen on depolymerization of chitosan. polym. degrad. stab., 94, 851–858. zheng, x., yin, y., jiang, w., xing, l., & pu, j. 2015. synthesis and characterization of low molecular weight chitosan. bioresources, 10, 2338–2348. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 107-1136 1 107 kapasitas antioksidan ekstrak buah rukam (flacourtia rukam) menggunakan metode microwave assisted extraction (mae) antioxidant capacity of rukam fruit extract (flacourtia rukam) using microwave assisted extraction (mae) method inas fadiyah, iin lestari, robby gus mahardika* department of chemistry, faculty of engineering, universitas bangka belitung gg. iv no. 1, balunijuk, merawang, kabupaten bangka, kepulauan bangka belitung *corresponding author, e-mail: robbygusmahardika@gmail.com received: august. 2019 published: jan. 2020 abstract rukam fruit (flacourtia rukam) is one of the species spread in indonesia, specifically bangka island. rukam has a higher phenolic ratio than guava (psidium guajava). phenolic compounds have a major role as antioxidants, while antioxidants have the ability to fight free radicals. therefore a study was conducted to examine the application of secondary metabolites and antioxidant bioactivity of the flacourtia rukam species using the microwave assisted extraction method. rukam fruit extract is obtained by using the microwave assisted extraction (mae) method. while for the antioxidant test using the dpph method. the test results of antioxidant activity of rukam fruit extract with ethanol solvent were obtained with ic50 value 47.7022 ppm and in rukam fruit extract with acetone solvent ic50 33.1702 ppm obtained using this antioxidant antioxidant powder was very strong. keywords: flacourtia rukam, dpph, antioxidant activity, microwave assisted extraction. pendahuluan indonesia merupakan negara agraris yang beriklim tropis sehingga indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat melimpah salah satunya adalah tanaman rukam (flacourtia rukam) yang merupakan tanaman asal indonesia. berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa buah rukam memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder fenolik lebih tinggi dibandingkan dengan jambu batu (psidium guajava) (julio dkk., 2018). senyawa fenolik diketahui sangat berperan pada aktivitas antioksidan, semakin besar kandungan senyawa golongan fenolnya maka semakin besar juga aktivitas antioksidannya (shahwar dkk., 2010). flacourtia rukam merupakan salah satu spesies dari famili flacourtiaceae yang banyak tersebar di indonesia khususnya daerah sumatra seperti pulau bangka dan cukup mudah ditemui di daerah yang masih alami ditumbuhi hutan. spesies flacourtia rukam merupakan salah satu spesies tumbuhan famili flacourtiaceae memiliki keunikan, yaitu pohonnya berduri dengan tinggi tanaman 7 m, diameter batang 17 cm. bentuk buah dari spesies flacourtia rukam bulat kecil berwarna hijau saat muda dan merah saat tua. belum banyak dilakukan penelitian mengenai flacourtia rukam, tetapi spesies ini sudah banyak digunakan untuk membuat kue dan selai, daun diaplikasikan untuk mengobati kelopak mata yang meradang, buah digunakan sebagai obat diare dan disentri untuk anak-anak sampai remaja. sedangkan rebusan akar digunakan oleh wanita setelahnya persalinan (rana dkk., 2018). penelitian tentang kajian metabolit sekunder terhadap flacourtia rukam belum banyak dilakukan. penelitian ini melaporkan isolasi kandungan diacylglycerols monogalactosyl (1), β-sitosteryl 3β-glucopyranoside-6βhaiester asam lemak (2), betasitosterol (3), triasilgliserol (4), dan klorofil (5) dari flacourtia rukam (gambar 1) (ragasa dkk., 2016). senyawa 1 adalah non-fosfor lipid paling banyak di alam. senyawa ini dilaporkan menunjukkan sejumlah sifat biologis, seperti antitumor, anti-virus, algicidal, dan anti-inflamasi (ragasa dkk., 2015). senyawa 2 merupakan ester asam lemak mempunyai aktivitas sitotoksisitas terhadap bowes (melanoma) dan sel kanker mcf7 (payudara). beta-sitosterol memiliki penghambatan pertumbuhan efek pada payudara inas fadiyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 107-113 1 108 manusia (mcf7) dan sel adenokarsinoma. triasilgliserol memiliki aktivitas antimikroba terhadap s. aureus, p. aeruginosa, b. subtilis, c. albicans, dan t. mentagrophytes. klorofil dan berbagai turunannya sering digunakan dalam pengobatan tradisional dan untuk tujuan terapeutik. selain itu kandungan fenolik berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan (ragasa dan jesus, 2014) hal tersebut menunjukkan bahwa buah rukam dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan untuk penangkal radikal bebas penyebab berbagai penyakit. selain itu flacourtia rukam mengandung metabolit sekunder lainnya yang sangat berguna untuk tujuan pengobatan seperti saponin, flavonoid, polifenol, dan tanin (barcelo, 2015). hal ini yang menyebabkan buah rukam dapat digunakan sebagai antioksidan. antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas dengan cara kerja menyerahkan satu atau lebih elektronnya kepada radikal bebas sehingga menjadi bentuk molekul yang normal kembali serta menghentikan berbagai kerusakan yang dapat ditimbulkan (mahardika dan roanisca, 2018). sekarang ini antioksidan menjadi topik penting dalam berbagai disiplin ilmu (julio dkk., 2018). hal ini didasari karena semakin diketahui bahwa sebagian besar penyakit diawali oleh reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. banyak metode yang dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa aktif tumbuhan, biasanya digunakan metode maserasi yang membutuhkan banyak waktu dan tidak efektif (safdar dkk., 2017). oleh sebab itu diperlukan pengembangan mengenai metode ekstraksi yang lebih efektif khususnya dari efisiensi waktu dan hasil rendemen yang dihasilkan. salah satu pengembangan metode ekstraksi saat ini adalah menggunakan microwave atau yang dikenal dengan istilah microwave-assisted extraction (mae). metode ini menggunakan energi yang ditimbulkan oleh gelombang mikro dengan frekuensi 0,30-300 ghz dalam bentuk 1 2 3 4 5 gambar 1. kandungan senyawa pada flacourtia rukam inas fadiyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 107-113 1 109 radiasi non-ionisasi elektromagnetik. keuntungan mae adalah laju ekstraksi lebih tinggi, konsumsi pelarutnya rendah, dan penggunaan waktu ekstraksi yang lebih signifikan dibandingkan dengan metode maserasi (hemwimon dkk. 2007). tetapi tidak semua ekstraksi menggunakan mae pada setiap tumbuhan menghasilkan antioksidan yang tinggi juga. senyawa yang termolabil (tidak tahan panas) akan rusak jika diekstraksi menggunakan mae dengan power dan suhu yang tinggi (kaufmann dan christen, 2002). oleh sebab itu, perlu kajian khusus mengenai ekstraksi senyawa antioksidan dari rukam (flacourtia rukam) menggunakan mae. metodologi alat alat-alat yang digunakan adalah blender, microwave assisted extraction (mae) (gambar 1), rotary evaporator, corong, botol sampel, hotplate, tabung reaksi, gelas kimia, pipet volum, labu ukur, inkubator, spektrofotometer uv-vis. bahan buah rukam yang diperoleh dari desa air duren, kecamatan mendo barat, kabupaten bangka (ls -2,085716, bt 106,021224). bahan kimia yang digunakan adalah metanol, etanol, aseton, akuadestilat, 2,2-diphenil-1picrylhydarzyl (dpph). prosedur kerja preparasi sampel sampel yang digunakan dapat berupa buah yang basah dan kering. selanjutnya sampel tersebut dijemur dibawah sinar matahari sampai kering. sampel yang telah kering diblender hingga menjadi serbuk. kemudian sampel tersebut diayak dengan ayakan mesh 60 untuk mendapatkan bubuk halus. lalu disimpan ke dalam wadah kedap udara. ekstraksi dengan mikrowave assited extraction (mae) serbuk kering buah rukam (flacourtia rukam) diambil sebanyak kurang lebih 0,1 g dimaskkan 10 ml pelarut dalam tabung mikrowave. pelarut yang digunakan adalah aseton. masing-masing pelarut (etanol dan aseton) digunakan 10 tabung mikrowave. tabung selanjutnya dimasukkan dalam microwave accelarated reaction system (mars 6) pada suhu 60o c (1200w, 2450 mhz) selama 10 menit (enggiwanto dkk., 2018). setelah itu dipisahkan antara filtrat dengan residu menggunakan corong. filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak buah rukam yang pekat. uji aktivitas antioksidan uji aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode dpph yang pengukurannya menggunakan spektrofotometer. dengan cara sebanyak 1 ml larutan sampel dengan konsentrasi 10; 30; 40; dan 80 ppm dicampurkan dengan 2 ml larutan dpph 0,15 mm. selanjutnya larutan tersebut dihomogenkan dan didiamkan selama 15 menit pada suhu ruang (sekitar 25oc). kemudian absorbansinya diukur pada λ maks 515 nm dengan spektrofotometer uv-vis (pangestu, 2017). kemudian masingmasing blanko dan kontrol negatif yang digunakan adalah 2 ml pereaksi dpph 0,15 mm. lalu ditambahkan 1 ml masing-masing pelarutnya kemudian diukur dengan spektrofotometer uv-vis. analisis data aktivitas antioksidan pada buah rukam (flacourtia rukam) dianalisis berdasarkan kekuatan inhibisinya. kekuatan inhibisinya dihitung menggunakan rumus: % inhibisi = {abs kontrol – ( 𝐴𝑏𝑠 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝐴𝑏𝑠𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 ) x100%} aktivitas peredaman radikal bebas biasanya dinyatakan sebagai presentase peredaman dari dpph dan dapat juga dinyatakan dengan ic50. persamaan garis yang diperoleh kemudian digunakan untuk mencari nilai ic50 (konsentrasi yang diperlukan untuk menginhibisi 50% radikal bebas (kusbandari dan prasetyo, 2018). hasil dan pembahasan ekstrak buah rukam ekstraksi buah rukam dilakukan dengan menggunakan metode microwave assisted extraction (mae) dan maserasi. microwave yang digunakan adalah mars 6 dari cem corporation (gambar 2). pada ekstraksi buah rukam dengan metode mae diperlakukan sebanyak 1 gram serbuk halus buah rukam ditambahkan 10 ml pelarut pada tabung microwave dengan perbandingan sampel 1: 10. pelarut yang digunakan adalah etanol dan aseton. tabung selanjutnya dimasukkan dalam inas fadiyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 107-113 1 110 mikrowave assisted extraction (mars 6) pada suhu 60 oc dan power sebesar 1200w selama 10 menit. hasil yang diperoleh disaring dan dievaporasi. rendemen ekstraksi buah rukam disajikan pada tabel 1. gambar 2. mars 6 dari cem corporation berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 dapat dilihat bahwa perbedaan penggunaan pelarut yang digunakan dapat mempengaruhi kelarutan senyawa aktif yang akan diekstraksi. pelarut etanol memilki rendemen hasil ekstraksi yang lebih banyak dibandingkan aseton. kepolaran senyawa yang terkandung pada buah rukam mempunyai kepolaran yang mendekati kepolaran etanol daripada pelarut aseton, sehingga dapat terekstrak lebih tinggi dengan pelarut etanol (riza dan susanti, 2013). merujuk hasil fitokimia yang telah dilaporkan dari spesies ini, kemungkinan senyawa polar tersebut berupa senyawa alkaloid, fenol hidrokuinon, dan flavonoid (fadiyah dkk., 2019). tabel 1. hasil ekstraksi buah rukam menggunakan mae pelarut suhu (oc) waktu (menit) rendemen hasil ekstrak etanol 60 10 12,5 % aseton 60 10 7,5 % jika dibandingkan dengan metode maserasi. ekstrak etanol buah rukam menggunakan metode maserasi selama 3 hari (pada suhu ruang) didapatkan rendemen sebesar 28,6%, sedangkan jika maserasi menggunakan pelarut aseton didapatkan rendemen sebesar 19,1% (fadiyah dkk., 2019). hasil ini memang 2,3 kali lebih banyak jika dibandingkan hasil ekstraksi menggunakan mae dengan pelarut yang sama. tetapi waktu ekstraksi menggunakan maserasi lebih lama 432 kali jika dibandingkan menggunakan mae. begitupun juga hasil ekstraksi menggunakan pelarut aseton. pada metode maserasi selama 3 hari memang memiliki rendemen 2,5 lebih banyak jika dibandingkan menggunakan mae. tetapi waktu yang digunakan juga lebih lama. melihat hasil tersebut, rendemen ekstraksi yang dihasilkan tidak sebanding waktu yang diperlukan untuk ekstraksi. mae menunjukkan lebih efisien dari segi waktu jika dibandingkan maserasi. hal ini diperkuat juga dengan penelitian hemwimon dkk (2007), ekstraksi antrakuinon dari morinda citrifolia pada suhu 60oc dan waktu yang sama rendemen esktraksi yang dihasilkan jika menggunakan mae lebih besar dibandingkan menggunakan maserasi (hemwimon dkk., 2007). begitupun juga pada ekstraksi senyawa fenolik pada tristaniopsis merguensis, ekstraksi menggunakan mae dengan pelarut aseton, etanol, dan metanol memiliki kandungan total fenolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode maserasi (mahardika dan roanisca, 2019). uji aktivitas antioksidan uji aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode dpph. aktivitas antioksidan diamati dari perubahan warna pada larutan dpph. sampel yang telah bercampur dengan pelarut dari warna ungu kehitaman berubah menjadi sedikit lebih terang dari warna awalnya (gambar 3). gambar 3. uji aktivitas antioksidan metode dpph hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode dpph kemudian diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 515 nm. hasil pengukuran dengan spektroskopi diperoleh nilai absorbansi yang kemudian digunakan untuk memperoleh persentase inhibisi ekstrak buah rukam. inas fadiyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 107-113 1 111 gambar 4. nilai inhibisi ekstrak aseton buah rukam berdasarkan gambar 4 tersebut diperoleh persamaan regresi linear y = 0,8605x + 21,457 dan nilai r2 adalah 0,9115 untuk sampel ekstrak aseton buah rukam. jika nilai y = 50 maka didapatkan nila ic50 untuk ekstrak aseton adalah 33,1702 ppm. nilai inhibisi dan ic50 ekstrak aseton berbeda dengan etanol. nilai inhibisi ekstrak etanol disajikan pada gambar 5. gambar 5. nilai inhibisi ekstrak etanol buah rukam pada gambar 4 tersebut diperoleh persamaan regresi linear y = 0,9033x + 6,9106 dan nilai r2 = 0,9033. dari persamaan ini maka didapatkan nilai ic50 ekstrak etanol adalah 47,7022 ppm. aktivitas peredaman radikal bebas biasanya dinyatakan sebagai presentase peredaman dari dpph dinyatakan dengan ic50. semakin kecil nilai ic50 maka semakin baik aktivitas antioksidannya. hasil pengujian aktivitas antioksidan disajikan pada tabel 2. kategori aktivitas antioksidan dinyatakan sangat kuat jika memiliki nilai ic50< 50 μg/ml, kuat untuk ic50 bernilai 50-100 μg/ml, aktivitas antioksidan sedang jika ic50 bernilai 100-500 μg/ml, dan bersifat lemah jika nilai ic50> 500 μg/ml (putri dan hidajati., 2015). berdasarkan hasil tabel 2 dapat dilihat bahwa ekstrak buah rukam dengan pelarut aseton memiliki nilai antioksidan yang lebih kuat dari ekstrak buah rukam dengan pelarut etanol. aktivitas antioksidan ini terjadi dikarenakan adanya reaksi antara molekul difenil pikri hidrazil (dpph) dengan atom hidrogen dari antioksidan yang terkandung dalam ekstrak buah rukam (kusbandari dan prasetyo, 2018). menurut putri dan hidayati (2015) senyawa antioksidan bereaksi dengan senyawa dpph yang menyebabkan perubahan ungu menjadi kuning. tabel 2. hasil aktivitas antioksidan ekstrak buah rukam sebelumnya telah dilakukan uji antioksidan pada tanaman yang satu genus dengan rukam yaitu pada f. jangomas, f. indica, f. inemris (tabel 2). aktivitas antioksidan ekstrak aseton dan etanol buah rukam (f. rukam) pada penelitian ini lebih baik dibandingkan aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat dan metanol pada spesies f. inermis. serta lebih baik juga jika dibandingan ekstrak kloroform, metanol, dan petroleum eter pada spesies f. jangomas. tetapi aktivitas antioksidan pada penelitian ini tidak lebih baik jika dibandingkan ekstrak metanol dan aquades pada spesies f. indica (rahman dkk., 2012) (college dan pradesh, 2010) (alakolanga dkk., 2015). hal ini diduga pada f. indica banyak mengandung senyawa polar yang bersifat antioksidan y = 0,8605x + 21,457 r² = 0,9115 0 20 40 60 80 100 0 20 40 60 80 100 in h ib is i (% ) konsentrasi ekstrak (ppm) y = 0,9033x + 6,9106 r² = 0,9388 0 20 40 60 80 100 120 0 50 100 in h ib is i (% ) konsentrasi (ppm) no. sumber sampel pelarut ic50 (ppm) 1 flacourtia rukam etanol 47,7022 aseton 33, 1702 2 flacourtia jangomas (rahman dkk., 2012) kloroform 523,15 metanol 1623,87 pet. eter 5811,35 3 flacourtia indica merr (college dan pradesh, 2010) metanol aquades 18 26 4 flacourtia inermis (alakolanga dkk., 2015) etil asetat metanol 66,20 212,95 inas fadiyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 107-113 1 112 kesimpulan pada penelitian ini diperoleh persentasi rendemen hasil ekstrak buah rukam dengan pelarut etanol adalah 12,% dan ekstrak buah rukam dengan pelarut aseton adalah 7,5%. hasil pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode dpph dengan pengukuran menggunakan spektrofotometer uv-vis pada ekstrak buah rukam dengan pelarut aseton diperoleh ic50 33,17025 ppm sedangkan dengan pelarut etanol di[peroleh ic50 47,7022 ppm yang menunjukkan bahwa sifat antioksidan buah rukam ini sangat kuat. ucapan terima kasih peneliti berterima kasih kepada kementrian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi direktorat jenderal pembelajaran dan kemahasiswaan yang telah memberikan bantuan dana penelitian berdasarkan sk no. 1020/b3.1/km/2018 daftar pustaka alakolanga, a. g. a. w., kumar, n. s., jayasinghe, l., fujimoto, y., 2015, antioxidant property and α-glucosidase , α-amylase and lipase inhibiting activities of flacourtia inermis fruits : characterization of malic acid as an inhibitor of the enzymes j. food science and technology, 52, 8383–8388. college, s. r. n. s., pradesh, m., 2010, in vitro antioxidant activity of methanolic and aqueous extract of flacourtia indica merr vedica college of pharmacy, bhopal, madhya pradesh, india, american-eurasian j. scientific res., 5(3), 201–206. enggiwanto, s., istiqomah, f., daniati, k., roanisca, o., mahardika, r. g., 2018, ekstraksi daun pelawan (tristaniopsis merguensis) sebagai antioksidan menggunakan microwave assisted extraction (mae), indones. j. pure and applied chem., 1(2), 50–55. fadiyah, i., lestari, i., victory, s., mahardika, r. g., 2019, uji aktivitas antioksidan ekstrak buah rukam (flacourtia rukam) menggunakan metode maserasi. seminar nasional penelitian dan pengabdian pada masyarakat, 64–68. hemwimon, s., pavasant, p., shotipruk, a., 2007, microwave-assisted extraction of antioxidative anthraquinones from roots of morinda citrifolia. separation and purification technology, 54(1), 44–50. julio, c., camarena-tello, mart, e., garnicaromo, m. g., saavedra-molina, a., 2018, quantification of phenolic compounds and in vitro radical scavenging abilities with leaf extracts from two varieties of psidium guajava l . antioxidants, 7(3), 1–12. kaufmann, b., christen, p., 2002, recent extraction techniques for natural products : microwave-assisted extraction and pressurised solvent extraction, phytochemcal analysis, 113(2), 105–113. kusbandari, a., prasetyo, d. y., 2018, determination of total phenolic content and antioxidant activity of kawa coffee leaves ethanolic extract with dpph method. media farmasi, 15(2), 72–80. mahardika, r. g., roanisca, o., 2018, antioxidant activity and phytochemical of extract ethyl acetat pucuk idat (cratoxylum glaucum ). indo. j. chem. res, 5(2), 481– 486. mahardika, r. g., roanisca, o., 2019, microwave-assisted extraction of polyphenol content from leaves of tristaniopsis merguensis, asean j. of chemical engineering, 19(2), 110–119. pangestu, n. s., 2017, aktivitas antioksidan dan antibakteri ekstrak daun jatropha gossypifolia l abstrak prosedur penelitian. 1(1), 15–19. ragasa, c. y., jesus, j. de., 2014, porphyrins and polyprenol from macaranga tanarius. esearch journal of pharmaceutical , biological and chemical sciences, 5(3), 701–708. ragasa, c. y., madeleine, j., reyes, a., tabin, t. j., s, m. c., chiong, i. d., urban, s., 2016, chemical constituents of flacourtia rukam zoli & moritzi fruit. inter. j. pharmaceutical and clinical research, 8(12), 1625–1628. ragasa, c. y., ng, v. a. s., lazaro-llanos, n., carmen, m., tan, s., brklja, r., urban, s., 2015, monogalactosyl diacylglycerol from caulerpara racemosa (forsskal) j. agardh, der pharma chemica, 7(7), 194–198. rahman, m. m., habib, m. r., hasan, m. r., islam, a. m. t., khan, i. n., 2012, comparative antioxidant potential of different extracts of flacourtia jangomas lour fruits, asian j. of pharmaceutical and inas fadiyah dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 107-113 1 113 clinical res., 5(1), 2011–2013. rana, ghina, s. e., lestario, l. n., martono, y., 2018, effect of various concentration sugar addition on the color stability of rukem fruit anthocyanin extract (flacourtia rukam zoll. & mor.), j. aplikasi teknologi pangan, 7(4), 173–179. riza, a., susanti, h., 2013, penetapan kadar fenolik total ekstrak metanol kelopak bunga rosella merah (hibiscus sabdariffa linn) dengan variasi tempat tumbuh secara spektrofotometri, j. ilmiah kefarmasian, 33(3), 324–333. safdar, m. n., kausar, t., jabbar, s., mumtaz, a., ahad, k., saddozai, a. a. (2017). extraction and quantification of polyphenols from kinnow (citrus reticulate l .) peel using ultrasound and maceration techniques. j. food and drug anal., 25(3), 488–500. shahwar, d., ahmad, n., ullah, s., raza, m. a., 2010, antioxidant activities of the selected plants from the family euphorbiaceae, lauraceae, malvaceae and balsaminaceae, african journal of biotechnology, 9(7), 1086–1096. indochem indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 67 perbandingan sifat feroelektrik pada sintesis oksida logam aurivillius srbi4ti4o15 empat lapis dengan metode hidrotermal comparison of ferroelectric properties on the synthesis of aurivillius metal oxide srbi4ti4o15 using hydrothermal method karnelasatri 1* , edi mikrianto 2 1 department of chemistry education, faculty of education, pelita harapan university, jl. m. thamrin boulevard, karawaci, tangerang 2 department of chemistry, faculty of matemathics and natural science, lambung mangkurat university, jl. a. yani km 36 banjarbaru *corresponding author, e-mail: nela.karnelasatri@gmail.com received: dec. 2018 published: jan. 2019 abstract aurivillius compounds, srbi4ti4o15 (sbt four layers) have been synthesized by hydrothermal method at 200˚c with variation of times 48 hours, 72 hours and 96 hours. single phase of srbi4ti4o15 aurivillius compounds obtained at the 200˚c, 96 hours and the concentration of naoh 3m. the rietica program shown the index miller result is 1 1 5 1 1 3, 0 2 0, 0 2 4, 2 0 8 2 2 0, 0 2 1 0, 3 1 6, 1 1 1 6 and the space group is a21am with the orthorhombic crystal system. cell parameters are a = 5.5754 å, b = 5.5456 å, c = 41.3642. ferroelectric properties show the value of remanent polarization pr (+) and pr (-) 4,61 c/cm 2 and 2,75 c/cm 2 and that is much lower than the value of remanent polarization of other material that have been synthesized at 240˚c, 72 hours with the same method. keywords: aurivillius oxides, hydrothermal method, ferroelectric properties, polarization, srbi4ti4o15. pendahuluan perkembangan industri dalam bidang elektronika sangat cepat, hal ini didukung oleh perkembangan teknologi material. salah satu sifat material adalah sifat ferolektrik. material feroelektrik didefinisikan sebagai material dielektrik dan mempunyai sifat polarisasi spontan yang dapat dibalik arahnya dengan cara membalikkan arah medan listrik luar yang diberikan pada material tersebut (ismunandar, 2006). material feroelektrik memiliki aplikasi yang luas dalam industri elektronik contohnya sebagai bahan pembuiat kapasitor (said dkk., 2017), perangkat memori dan sensor (lallart, 2011). material ini diterapkan berdasarkan sifatsifat yang dimilikinya, contohnya antara lain berdasarkan sifat histeris dan tetapan dielektrik yang tinggi pada memori dynamic random acsess memory (dram), sifat pisoelektrik sebagai mikroaktuator dan sensor, sifat piroelektrik yang dapat diterapkan pada sensor inframerah dan sifat elektro optik yang dapat diterapkan pada switch termal inframerah (auciello dkk., 1998). salah satu material yang memiliki sifat feroelektrik adalah oksida logam aurivillius, rumpun material ini juga diketahui unggul karena memiliki ciri polarisai remanen yang besar dan temperature curie tinggi. selain itu, berbeda dengan banyak material feroelektrik lain yang mengandung timbal, rumpun oksida logam aurivillius justru bebas timbal (peláiz-barranco dkk., 2018). srbi4ti4o15 (sbt) empat lapis adalah salah satu tipe dari oksida logam aurivillius. penentuan sifat feroelektrik pada sbt empat lapis yang disintesis dengan metode reaksi kimia fasa padat pernah dilakukan oleh mikrianto dkk., (2007) dan memperoleh hasil polarisasi remanan pr(+) 24,7 ccm -2 dan pr(-) 10,4 ccm -2 . selain itu, mikrianto dkk., (2014) juga telah menyintesis senyawa yang sama dengan metode hidrotermal pada waktu 72 jam dan suhu 240˚c kemudian mendapatkan hasil hasil pr(+) 35,10 ccm -2 dan pr(-) 24,10 ccm -2 dari hasil penentuan sifat feroelektriknya. berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa perbedaan metode sintesis berpengaruh terhadap sifat feroelektrik yang dimiliki oleh material tersebut. metode sintesis hidrotermal diketahui karnelasatri dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 68 memberikan beberapa keunggulan dibandingkan metode reaksi kimia fasa padat antara lain waktu sintesis yang lebih singkat dan kristalisasi struktur yang dihasilkan lebih tinggi (ismunandar, 2006). sbt empat lapis namun dengan subtitusi kation yang berbeda yaitu jenis sr2bi3ti4o15 yang disentesis dengan metode hidrotermal pada waktu 72 jam dan suhu 200˚c memperoleh hasil pr(+) 24,4 ccm -2 dan pr(-) 10,9 ccm -2 (mikrianto dkk, 2017). hal ini menunjukkan bahwa, selain metode sintesis, perbedaan kation dan pemilihan waktu serta suhu pada sintesis material dengan metode hidrotermal juga dapat mempengaruhi sifat feroelektrik senyawa. berdasarkan latar belakang tersebut pada penelitian ini dilakukan sintesis material sbt empat lapis dengan metode hidrotermal dengan variasi waktu terhadap suhu tertentu. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah srco3 (aldrich 99,99%), tio2 aldrich (99,99%), bi2o3 (aldrich 99,99%), dan naoh 3 m. alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik ohauss, mortar, alu, pipet tetes, autoklaf, sudip, gelas arloji, cawan alumina pengukur waktu, furnace, difraktometer sinar-x serbuk merk pw1710 based, instrumen tipe rt66a ferroelectric systemradiant technology, komputer dan software rietica. prosedur kerja sintesis dengan metode hidrotermal sebanyak 0,2179 gram srco3, 1,3757 gram tio2 dan 0,4718 gram bi2o3 ditimbang dan dicampur hingga homogen kemudian ditambah larutan naoh 3 m sebanyak 25 ml. campuran dimasukkan kedalam autoklaf. autoklaf tersebut kemudian dipanaskan dalam oven selama variasi kondisi waktu 48 jam, 72 jam dan 96 jam dengan suhu pemanasan 200 ˚ c sehingga terbentuk tekanan autogenous dalam autoklaf. serbuk yang diperoleh dicuci dengan air bebas mineral untuk menghilangkan ion na + dan dikeringkan pada suhu ruang (rizal dan ismunandar, 2007). karakterisasi oksida aurivillius pola difraksi sinar-x serbuk direkam dengan menggunakan difraktometer sinar-x pw 1050/ 25. sumber radiasi yang digunakan adalah cu-kα dengan filter ni. proses difraksi dilakukan pada rentang sudut 2θ antara 10˚ sampai 80˚ dengan interval kenaikan sudut sebesar 0,05˚ per tahap serta waktu 1 detik per tahap. pola difraksi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan database pdf (icdd) yang ditelusuri dengan program phasanx. karakterisasi feroelektrik pembuatan kontak kapasitor sebanyak 1 gram senyawa oksida aurivillius srbi4ti4o15 (sbt empat lapis), dimana hasil sintesis dilakukan pengepresan untuk membentuk pelet dengan luas penampang 1,54 cm 2 dan ketebalan sekitar ± 1 mm (1000 m). pelet yang terbentuk dipanaskan pada temperatur 700 ˚ c selama 24 jam sehingga membentuk keramik. keramik yang terbentuk ditempatkan pada kaca aluminium evaporator yang sebelumnya bagian permukaan diberi satu tetes pasta perak. bagian atas dari keramik diberi satu tetes pasta perak dan ditutup lagi dengan kaca aluminium evaporator sehingga membentuk kapasitor. kapasitor kemudian disolder dengan kawat penghubung elektrode pada kedua sisi kaca evaporator. pengukuran sifat feroelektrik karakterisasi feroelektrik dilakukan dengan istrumen tipe rt66a ferroelektrik sistem– radiant technology untuk mengetahui sifat feroelektrik senyawa target. kawat dihubungkan dengan elektroda pada instrumen dan dilakukan seting pengukuran. data diambil pada tegangan maksimum (vmax) 16 volt pada kapasitor pembobot 0,1 f dengan jumlah titik 300 buah. analisis data data yang didapatkan setelah dilakukan pengukuran sifat feroelektrik selanjutnya senyawa oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 (sbt empat lapis), dianalisis menggunakan software excel untuk membuat kurva histerisis feroelektrik, dengan tujuan untuk mengetahui nilai polarisasi remanen yang dihasilkan masingmasing dapat ditentukan sifat feroelektriknya. karnelasatri dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 69 hasil dan pembahasan sintesis dan karakterisasi sintesis oksida airivillius srbi4ti4o15 memperlihatkan perubahan fisik berupa perubahan warna dan tekstur pada oksida yang dihasilkan. hal ini umumnya dipengaruhi oleh pencucian sampel yang sudah berhasil disintesis dengan air bebas mineral menyebabkan lepasnya ion na + . proses perubahan warna maupun tekstur selama sintesis oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 berlangsung dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1. perubahan warna dan tekstur sampel oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 (sbt empat lapis) variasi waktu (jam) warna tekstur awal akhir awal akhir 48 putih merah muda kecoklatan halus lembut 72 putih merah muda kecoklatan tua halus lembut 96 putih merah muda kecoklatan agak tua halus agak kasar struktur kristal suatu bahan dapat diidentifikasi dengan difraksi sinar-x. pada penelitian ini sampel yang didifraksi adalah sampel dengan hasil sintesis pada waktu sintesis 48 jam, 72 jam dan 92 jam pada suhu 200˚c. pada ketiga sampel hasil sintesis ini menunjukkan perubahan fisik sangat signifikan. identifikasi struktur kristal yang terbentuk dapat ditunjukkan melalui pola-pola difraksi (difraktogram) berupa puncak dan intensitas difraksi pada berbagai sudut 2θ. gambar 1 menunjukan perbandingan difaktogram dari senyawa oksida aurivillius. dari hasil difraktogram diatas terlihat bahwa selain terjadi penurunan terhadap intensitas puncak tertinggi dari ketiga senyawa dengan variasi waktu yang berbeda, terlihat pula semakin meningkatnya waktu dalam sintesis maka fasa lain yang tidak diharapkan pada senyawa target semakin sedikit pula. hal ini menunjukan bahwa semakin murni pula senyawa yang didapatkan. sehingga dapat disimpulkan bahwa variasi yang paling baik untuk sintesis oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 adalah variasi waktu 96 jam karena puncak-puncak pada difraktogram menunjukkan dengan fasa tunggal atau memiliki kemurnian tinggi karena tidak terlihat puncak-puncak dari fasa lain. puncakpuncak ini kemudian diindentifikasi dengan program phasanx. fasa yang tidak diharapkan pada difaktogram variasi waktu 48 dan 72 jam di identifikasi dan disajikan dalam tabel 2. tabel 2. nilai 2θ yang menunjukan puncakpuncak dalam difaktogram dan jenis fasa yang tidak diharapkan variasi waktu 2θ produk 48 jam 21,60 srbi4ti4o15 +bi4ti3o12 23,27 srbi4ti4o15 + bi4ti3o12 36,92 srbi4ti4o15 + sr3bi2o6 38,40 srbi4ti4o15 + sr3bi2o6 42,83 srbi4ti4o15+sr1,5bi0,5o2,75 44,17 srbi4ti4o15 + sr1,5bi0,5o2,75 62,49 srbi4ti4o15 + bi4ti3o12 62,50 srbi4ti4o15 + bi4ti3o12 72 jam 21,15 srbi4ti4o15 + bi4ti3o12 22,90 srbi4ti4o15 + bi4ti3o12 tabel 3. data indeks miller senyawa oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 hasil indentifikasi program rietica no hkl 2θ(degree) intensitas 1 1 1 3 24,89 306 2 1 1 5 28,61 1381 3 0 2 0 32,13 684 4 0 2 4 34,99 571 5 2 0 6 38,99 306 6 2 2 0 46,11 497 7 0 2 10 48,25 610 8 3 1 5 55,15 615 9 1 1 15 59,17 557 senyawa oksida aurivillius yang menunjukkan difaktogram terbaik (96 jam) diolah menggunakan program rietica dengan metode rietveld sehingga didapatkan nilai indeks miller dari oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 yang ditunjukan oleh gambar 2. karnelasatri dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 70 data indeks miller dari oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 dapat dilihat pada tabel 3 sedangkan data indeks miller dengan puncak difaktogram dari oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 dapat dilihat pada gambar 3. nilai sistem kristal, grup ruang dan parameter sel dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. perbandingan parameter sel, grup ruang dan sistem kristal senyawa oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 dengan indeks miller (hkl) oksida aurivillius sbt 4 lapis suhu 200˚c, 96 jam* suhu 240˚c, 72 jam** sistem kristal ortorombik ortorombik group ruang a21am a21am parameter sel satuan (å) a = 5,5754 (6) a = 5,5396 b = 5,5456 (2) b = 5,5800 c = 41,3642 (1) c = 40,9734 keterangan: * data primer yang diolah ** perbandingan dengan data mikrianto dkk (2017) karakterisasi sifat ferolektrik senyawa oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 variasi waktu 96 jam untuk menentukan sifat feroelektrik senyawa oksida aurivillius tipe sbt empat lapis dapat dilakukan pada tegangan maksimum 16 volt dengan kapasitas pembobot 0,1 f kemudian hasilnya dapat dilihat pada gambar 4, dengan menggunakan tegangan tersebut maka mampu untuk membalik arah momen dipol domain dengan sempurna sampai semua arah pada domain tersebut menjadi sejajar sampai tegangan saturation (vs) 12,2 kv cm -1 . berdasarkan gambar 4, data hasil pengukuran sifat feroelektrik pada senyawa oksida aurivillius tipe sbt empat lapis menunjukkan bahwa harga ps (polarisasi saturation) sebesar 9,21 ccm -2 pada tegangan saturasi 12,2 kv cm -1 dan harga pr (+) (polarisasi remanen) sebesar 4,61 ccm -2 . dari hasil pengukuran tersebut dapat terlihat bahwa ketika tegangan mulai naik, maka arah dari momen dipol tersebut mulai terjadi perubahan yang searah dan dapat mencapai keadaan sejajar hingga maksimum pada tegangan saturasi vs sebesar 12,2 kvcm -1 , nilai ini didapatkan dengan perhitungan logaritma nilai kuat medan listrik yaitu log 1,6 x 10 -12 , harga tegangan saturasi yang dihasilkan tersebut lebih kecil dari 16 volt yang merupakan sebuah medan listrik luar yang diberikan pada senyawa oksida aurivillius tipe sbt empat lapis, hal ini menunjukkan bahwa tegangan saturasi arah momen dipol tersebut telah sejajar dan mencapai keadaan maksimum. gambar 2. difaktogram oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 (sbt empat lapis) variasi 96 jam dengan pengolah program rietica karnelasatri dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 71 tabel 5. perbandingan hasil pengukuran sifat feroelektrik senyawa oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 sbt empat lapis pengukuran suhu 200˚c, 96 jam* suhu 240˚c, 72 jam** vmaks (volt) 16 16 k. pembobot (µf) 0,1 0,1 a (cm -2 ) 1,54 1,54 d (µm) 1000 1000 jumlah titik 300 300 vs (+) (volt) 12,2 12,2 vs (-) (volt) 12,2 12,2 ps (+) 9,21 c cm -2 66,8 c cm -2 ps (-) 6,88 c cm -2 50,1 c cm -2 pr (+) 4,61 c cm -2 35,2 c cm -2 pr (-) 2,75 c cm -2 24,1 c cm -2 keterangan: * data primer yang diolah ** perbandingan dengan data mikrianto dkk., (2017) pada tahap selanjutnya, pembalikkan arah medan listrik luar yang diberikan hingga diperoleh harga ps(-) (polarisasi saturation) sebesar 6,88 c cm -2 dan pr(-) (polarisasi remanen) sebesar 2,75 c cm -2 pada tegangan saturasi 12,2 kv cm -1 . setelah dilakukan pembalikkan arah medan listrik luar dapat terlihat bahwa harga pr(-) yang dihasilkan lebih kecil dari harga pr(+), hal ini menunjukkan sebagian arah momen dipol masih mempertahankan arah polarisasinya pada keadaan semula dan tidak berbalik arah mengikuti arah medan listrik luar yang telah diberikan. sementara harga kef (koefisien dielektrik) dan nilai kapasitansinya diukur pada tegangan maksimum 16 volt. pada kurva histerisis (gambar 4) terlihat bahwa saat medan listrik ditiadakan maka polarisasi tidak kembali pada keadaan semula menjadi nol sehingga kurva yang dihasilkan tidak linier. hasil perbandingan sifat feroelektrik dari senyawa oksida aurivillius yang disintesis dengan metode hidrotermal pada suhu 200˚c, 96 jam dan pada suhu 240˚c, 74 jam dapat dilihat di tabel 5. berdasarkan tabel 5, terlihat bahwa sifat feroelektrik dari senyawa oksida aurivillius yang disintesis pada suhu 240˚c, 74 jam lebih baik dibandingkan dengan yang disintesis pada suhu 200˚c, 96 jam. hal ini dapat dilihat dari nilai polarisasi remanennya yang jauh lebih tinggi. hal ini menandakan bahwa arah polarisasi pada dipol-dipol sbt 4 lapis yang disentesis pada suhu 240˚c, 74 jam paling teratur, domaindomainya terhubung dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya. oleh karena itu pada saat diberi medan listrik dari luar, arah polarisasi dari hampir semua domain yang terhubungkan mudah diubah sesuai arah medan listriknya sehingga kemampuan sifat feroelektiknya lebih baik. dilihat dari suhu yang digunakan, nilai polarisasi remanen yang lebih tinggi pada sbt 4 lapis yang disintesis pada suhu 240˚c dapat disebabkan karena kelarutan prekusor dan transport massa pelarut yang jauh lebih baik akibat penggunaan suhu yang lebih tinggi. selain itu, dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi, senyawa sbt 4 lapis yang dihasilkan juga memiliki ketahanan termal yang lebih baik. stabilitas termal akan berpengaruh terhadap gambar 3. difaktogram oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 (sbt empat lapis) variasi 96 jam indeks miller (hkl) karnelasatri dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 72 aplikasi material berlapis karena berhubungan dengan kestabilan strukturnya, hal inilah yang menjadi dasar studi pengaruh pemanasan terhadap kristalisasi oleh sekewael, dkk., (2018). pemaparan diatas menunjukkan bahwa walaupun disintesis dengan metode yang sama dan menghasilkan senyawa sbt 4 lapis dengan struktur yang hampir sama, namun pemilihan suhu sangat mempengaruhi sifat feroelektrik yang dimiliki oleh sbt 4 lapis. ketahanan termal juga dapat menjadi dasar penjelasan mengapa nilai pr (+) dan pr (-) material yang disintesis pada suhu 200˚c, 96 jam dengan metode hidrotermal juga lebih kecil jika dibandingkan dengan sbt 4 lapis yang disintesis dengan metode reaksi kimia fasa padat dimana nilai pr (+) dan pr (-) secara berurutan adalah 24,7 ccm -2 dan 10,4 ccm -2 (mikrianto dkk, 2007). jika ditinjau dari metode sintesis, senyawa oksida logam yang dihasilkan dari sintesis dengan menggunakan metode hidrotermal menunjukan kemurnian struktur yang lebih baik dibandingkan dengan senyawa yang disintesis dengan metode reaksi kimia fasa padat. pada umumnya proses kristalisasi berjalan lambat, namun hal ini dapat di atasi dengan metode sintesis hidrotermal. selain itu, sintesis dengan metode ini dilakukan pada sistem tertutup sehingga meminimalisasi terbentuknya pengotor pada hasil reaksi yang dipengaruhi oleh faktor luar. akan tetapi, jika melihat perbandingan hasil diatas maka kemurnian struktur yang dapat diperoleh dengan pemilihan metode sintesis bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi sifat feroelektrik suatu material, tetapi juga pemilihan suhu dan jenis material yang disintesis. kesimpulan sifat feroelektirk oksida aurivilius srbi4ti4o15 yang disintesis dengan metode hidrotermal pada suhu 200˚c, 96 jam lebih rendah dibandingkan dengan oksida yang disintesis pada suhu 240˚c, 72 jam yang ditunjukan dengan nilai polarisasi remanen pr (+) dan pr (-) masing-masing sebesar 4,61 c/cm 2 dan 2,75 c/cm 2 yang disintesis pada suhu 200˚c, 96 jam dan sebesar 35,2 c/cm 2 dan 24,1 c/cm 2 yang disintesis pada suhu 240˚c, 72 jam. daftar pustaka auciello, o., scott, j. f., ramesh, r., 1998, the physics of ferroelectric memories, physics today, 23-27. ismunandar, 2006, padatan oksida logam: struktur, sintesis dan sifat-sifatnya, itb, bandung, indonesia. lallart, m., 2011, ferroelectrics-application, intech, rijeka, croatia. mikrianto, e., ismunandar, 2004, sintesis dan karakterisasi senyawa berstruktur aurivillius empat dan lima lapis dan penentuam sifat feroelektriknya, jurnal matematika dan sains, 9(3), 279-284. mikrianto, e., kurniawan, r., mujiyanti, d. r., irawati, u., 2014, sintesis oksida logam gambar 4. pola loop histerisis oksida aurivillius tipe srbi4ti4o15 (sbt empat lapis) pada tegangan maksimum 16 volt dan kapasitor pembobot 0,1 f karnelasatri dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 6(2), 67-73 73 aurivillius srbi4ti4o15 menggunakan metode hidrotermal dan penentuan sifat ferroelektrinya, sains dan terapan kimia, 8(1), 27-36. mikrianto, e., mujiayanti, d. r., 2017, studi nlapis oktahedral terhadap sifat feroelektrik oksida logam aurivillius sr(n2)bi3tino(3n+3) (n = 3, 4, 5 dan 6), sains dan terapan kimia, 11(1), 24-36. peláiz-barranco, a., guerra, j. de los s., gonzález-abreu, y., dos reis, i. c, 2018, perovskite layer-structured ferroelectrics. magnetic, ferroelectric, and multiferroic metal oxides, 71–92. imprint: elsevier. rizal, m., ismunandar, 2007, sintesis dengan hidrotermal dan karakteristik senyawa berstruktur aurivillius bi4ti3o12. jurnal matematika dan sains, 12(1), 44-48. said, s. m., sabri, m. f. m., salleh, f., 2017. ferroelectrics and their applications. reference module in materials science and materials engineering, doi:10.1016/b978-012-803581-8.04143-6. sekewael, s. j., wijaya, k., triyono, 2018. pengaruh pemanasan terhadap kristalinitas dan parameter kisi nanokomposit silikazirkonia montmorillonit k10 dan silikabesi oksida montmorillonit k10, indo. j. chem. res., 6(1), 550-555. ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 295 the optimum condition of biosorption of red snapper’s scales (lutjanus argentimaculatus) toward rhodamine b dye kondisi optimum biosorpsi sisik ikan kakap merah (lutjanus argentimaculatus) terhadap zat warna rhodamin b eirene g. fransina*, jolantje latupeirissa chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *e-mail: eirenefransina@gmail.com received: october 2015 published: january 2016 abstract the research of rhodamine b dye biosorption by red snapper’s scale (lutjanus argentimaculatus) powder has been done. the red snapper’s scales were cleansed with aquades and dried. the dried red snapper’s scales were grinded and sieved to powder with a 100 mesh sieve. the powder of red snapper’s scale was dried at 100 ° c in oven for an hour. the biosorption process toward rhodamine b dye and its results were examined with uv-vis spectrophotometer. the optimum condition of red snapper’s scale powder for 1.0 g of absorbent has biosorption capacity in amount of 92.740%; the optimum contact time is 120 minutes with biosorption capacity in amount of 97.264%; for 50 ppm biosorption concentration has biosorption capacity in amount of 95.598% and the optimum ph of 3 has biosorption capacity of 97.930%. keywords: biosorption, rhodamine b, red snapper’s scale. pendahuluan zat warna banyak dipakai dalam industri tekstil, kertas, fotografi, dan plastik yang dapat membuat produk industri menarik dan hal ini berkaitan dengan masalah pemasaran dan keuntungan. industri tekstil, kertas, fotografi, dan plastik merupakan industri yang menggunakan zat warna rhodamin b sebagai pewarna. pembuangan air limbah berwarna tidak hanya merusak estetika badan air tapi juga dapat meracuni perairan. di samping itu adanya warna yang pekat akan menghalangi tembusnya sinar matahari pada badan air, sehingga mempengaruhi proses fotosintesis di dalam air. akibatnya oksigen yang dihasilkan pada proses fotosintesis yang dibutuhkan untuk kehidupan biota perairan akan berkurang. industri menghasilkan air limbah dengan bod, cod, dan zat warna yang tinggi.zat warna pada dasarnya adalah racun bagi tubuh manusia, oleh karena itu pencemaran zat warna ke perairan perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh agar tidak sampai masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum.selain bersifat racun, zat warna juga bersifat karsinogenik, yaitu ikut merangsang tumbuhnya kanker.zat warna juga mempengaruhi ph air lingkungan yang menyebabkan terganggunya mikroorganisme dan hewan air. berbagai upayapun dilakukan untuk meminimalkan bahkan meniadakan dampak negatif pencemaran lingkungan.upaya pendeteksian dan pengolahan bahan pencemar menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan.pada kebanyakan kasus, analisis rhodamin b dalam sampel lingkungan memiliki dua hambatan utama, yakni jumlahnya yang sangat kecil (renik) dalam sampel dan kompleksitas matriks sampel (simpson, 2000). oleh karena itu, kebutuhan akan metode analisis yang modern dalam pengolahan limbah perikanan dan limbah industri tekstil, kertas, fotografi dan plastik yang efektif, dan efisien sangat diperlukan. beberapa metode pengolahan dan penghilangan limbah cair industri dapat dilakukan secara kimia dengan menggunakan koagulan, secara fisika dengan sendimen dan adsorpsi, dan secara biologi yang hasilnya belum maksimal karena warna mempunyai sifat tahan eirene g. fransina, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 296 terhadap degradasi biologi. penanggulangan masalah pencemaran oleh limbah cair industri dan rumah tangga dapat dilakukan dengan cara pengendapan yang dilanjutkan dengan penyaringan dan penyerapan dengan menggunakan karbon aktif sebagai adsorben. memanfaatkan limbah sisik ikan merah (lutjanus argentimaculatus) sebagai biosorben dan adsorben alami yang telah ada dengan cara aktivasi adsorben untuk tujuan penyerapan zat warna rhodamin b merupakan cara yang baik untuk meningkatkan efisiensi penyerapan. berdasarkan hal ini, maka dalam penelitian ini dipelajari kinerja penyerap alami dari limbah sisik ikan merah di pasar tradisional kota ambon sebagai biosorben dan adsorben zat warna rhodamin b. kapasitas adsorpsi dan efektivitas biosorben dan adsorben teraktivasi dalam mengikat rhodamin b merupakan hal mendasar yang juga diteliti ((bora, 2010). sisik ikan kakap merah sebagai biosorben, secara langsung dapat digunakan sebagai penyerap limbah cair industri dan rumah tangga, untuk meningkatkan efisiensi penyerapan adsorben alami ini dapat dilakukan menggunakan aktivator. proses aktivasi adsorben bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan. mekanisme adsorpsi oleh karbon aktif merupakan penyerapan zat warna rhodamin b dalam pori-pori karbon aktif sehingga dapat terpisah dari cairannya. jika pori-pori adsorben belum terbuka secara sempurna, maka daya adsorpsinya juga akan berkurang. adsorpsi merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi zat warna pencemar perairan laut. langkah awal untuk mendapatkan proses adsorpsi yang efektif adalah dengan memilih adsorben yang memiliki selektivitas dan kapasitas jerap yang tinggi(aulia dkk, 2013). banyak industri tekstil, kertas, fotografi dan plastik, kulit dan percetakan menggunakan zat warna untuk meningkatkan ataupun menyempurnakan mutu produksinya. penggunaan zat warna akan meningkat karena industri tekstil merupakan komoditi eksport andalan indonesia. selain itu, pada umumnya laut dipakai sebagai muara dari pembuangan limbah industri sehingga akan mencemari laut itu sendiri. limbah cair zat warna semakin lama semakin bervariasi, baik dari jenis zat warnanya maupun tingkat toksitasnya. limbah cair zat warna yang mempunyai tingkat kepekaan yang tinggi, akan mengikat ion-ion logam membentuk senyawa kompleks beracun. senyawa ini mengakibatkan menurunnya populasi mikroorganisme pegurai.hal ini merupakan masalah yang cukup serius dalam penanggulangan limbah cair zat warna. dalam penelitian ini dilakukan proses biosorpsi dan adsorpsi limbah sisik ikan kakap merah yang akan diaktivasi dan dimanfaatkan sebagai biosorben dan adsorben zat warna rhodamin b, dan diharapkan dapat memperoleh sinergisitas antara kemampuan mengadsorpsi limbah sisik ikan kakap merah dengan efektivitas dari aktivasi yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan penyerapan. penelitian ini sangat bermanfaat karena menggunakan limbah perikanan untuk menyerap limbah cair industri tekstil, kertas, fotografi, plastik, dan rumah tangga di mana keseluruhan analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometer uv-vis, yang telah handal digunakan untuk penentuan zat warna. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sisik ikan kakap merah yang diperoleh dari pasar ikan tulehu (maluku tengah), rhodamin b (p.a merck), akuades. alkohol (p.a merck), aseton (p.a merck), hidrogen klorida (p.a merck), asam asetat (p.a merck), kertas saring whatman no.42, kalium hidrogen ftalat (p.a merck), natrium hidroksida (p.a merck), natrium hidrogen karbonat (p.a merck), kalium hidrogen phospat (p.a merck), dan kalium dihidrogen phospat (p.a merck). alat peralatan dan instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : sem, spektrofotometer uv-vis (shimandsu uv1201), oven (memmert), desikator, blender, pengerus, ayakan ukuran 100 mesh, shaker (sha-c, constant temperature oscillator), neraca analitik (ada 210/le), tanur (barnstead thermolyne 47900 furnace), pengaduk magnetik, dan beberapa peralatan gelas yang biasa dipakai di laboratorium kimia. eirene g. fransina, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 297 prosedur kerja persiapan dan pembuatan biosorben: sisik ikan kakap merah (lutjanus argentimaculatus) sisik ikan kakap merah diambil dari pasar, dicuci dengan akuades, dan dikeringkan.setelah kering, dihaluskan, dan diayak dengan menggunakan ayakan ukuran 100 mesh.serbuk sisik ikan kakap merah kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 ο c selama 1 jam. pembuatan larutan standar zat warna rhodamin b larutan standar zat warna rhodamin b 1000 ppm sebanyak 100 ml, dibuat dengan cara menimbang 0,1 g padatan zat warna rhodamin b kemudian dilarutkan dalam akuades dan dicukupkan volumenya dengan akuades hingga 100 ml dalam labu takar kemudian diukur absorbansinya untuk mengetahui panjang gelombang maksimum. larutan standar zat warna rhodamin b 1000 ppm kemudian diencerkan menjadi 50 ppm sebanyak 100 ml, kemudiandibuat sederetan larutan standar rhodamin b dengan konsentrasi 0,5 ppm, 1,0 ppm, 1,5 ppm, 2,0 ppm, dan 2,5 ppm dari larutan standar rhodamin 50 ppm lalu diukur absorbansinya menggunakan spektrotometer uv-vis. penentuan jumlah biosorben, waktu kontak, ph, konsentrasi biosorbat optimum, dan kapasitas biosorpsi variasi jumlah biosorben serbuk sisik ikan kakap merah masingmasing sebanyak 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 g dimasukkanke dalam erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan zat warna rhodamin b 30 ppm kemudian diaduk dengan kecepatan 300 rpm selama 60 menit. selanjutnya filtrat dan endapan dipisahkan dengan cara disaring, filtrat yang diperoleh dianalisis dengan spektrofotometer uv-vis. variasi waktu optimum biosorpsi serbuk sisik ikan kakap merahsebanyak 1,0g dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan 25ml larutan zat rhodamin b.selanjutnya larutan diaduk dengan variasi waktu kontak masing-masing 20,40, 60, 80, 100, dan 120 menit. setelah itu, disaring dengan kertas saring dan filtrat diukur adsorbansinya dengan uv-vis untuk menentukan konsentrasi zat warna rhodamin b yang teradsorpsi. variasi ph tiga buah erlenmeyer diisi masing-masing dengan larutan ph 3, 7,dan11 yang diatur dengan menggunakan buffer. buffer yang digunakan untuk variasi ph berturut-turut yaitu : kalium hidrogen ftalat 0,1 m, hcl 0,1 m, dan akuades; larutan kh2po4 0,1 m, k2hpo4 0,1 m ; dan larutan nahco3 0,05 m, naoh 0,1 m, dan akuades dengan perbandingan volume masingmasing berbeda untuk tiap buffer (mulyono, 2008). konsentrasi maksimum zat warna rhodamin b dengan ph larutan 3, 7, dan 11 dicampur. selanjutnya 25 ml larutan pada masing-masing ph ditambahkan 1,0g sebuk sisik ikan kakap merah. kemudian larutan diaduk dengan kecepatan 300rpm selama waktu kontak optimum.larutan yang diadsorpsi oleh sebuk sisik ikan kakap merah disaring dengan kertas saringdan filtrat diukur dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum. variasi konsentrasi zat warna rhodamin b sebanyak 5 buah erlenmeyer 100 ml disiapkan dan dimasukkan 1,0 g kedalam masing-masing erlenmeyer, lalu ditambahkan 50 ml larutan rhodamin b dengan konsentrasi 10,20, 30, 40, dan 50 ppm, diaduk pada 300 rpmselama 60 menit, dan setelah itu didiamkan selama 2 menit. kemudian konsentrasi sampel ditentukan dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum. penentuan kapasitas biosorpsi setelah proses optimasi dikarakterisasi, kapasitas biosorpsi (q) sisik ikan kakap merah yang diperoleh pada keadaan optimasi yang memberikan persen biosorpsi tertinggi dihitung berdasarkan persamaan: q = dengan v = volume serbuk sisik ikan kakap merah,w= berat biosorben (g), codan c = konsentrasi serbuk sisik ikan kakap merah sebelum dan sesudah biosorpsi. eirene g. fransina, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 298 hasil dan pembahasan hasil pengukuran absorbansi larutan standar zat warna rhodamin b sebelum melakukan adsorpsi zat warna rhodamin b pada serbuk sisik ikan kakap merah, dilakukan pengukuran absorbansi terdapat larutan standar zat warna rhodamin b. zat warna mengandung gugus kromofor dan auksokrom, sehingga dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang 350-700 nm (van der zee, 2002). pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode uv-vis dengan panjang gelombang yang digunakan adalah 550 nm. tabel 1. data absorbansi larutan standard rhodamin b konsentrasi rhodamin b (ppm) absorbansi 0,5 0,061 1,0 0,154 1,5 0,256 2,0 0,348 2,5 0,413 gambar 1. kurva standar zat warna rhodamin b hasil analisis pada tabel 1 menunjukan bahwa persamaan garis yang menghubungkan konsentrasi versus absorbansi larutan zat warna rhodamin b digunakan untuk menghitung konsentrasi akhir dari zat warna rhodamin b setelah proses biosorpsi oleh serbuk sisik ikan kakap merah dengan berbagai variasi. berdasarkan data hasil yang diperoleh, dapat ditentukan isoterm biosorpsi yang sesuai dengan proses biosorpsi serbuk sisik ikan kakap merah terhadap zat warna rhodamin b. penentuan jumlah biosorben pada variasi jumlah biosorben 0,2, 0,4, 0,6, 0,8, dan 1,0 g untuk biosorpsi zat warna rhodamin b dilakukan dengan menggunakan 25 ml larutan rhodamin b 30 ppm, dengan waktu kontak 60 menit, dan kecepatan shaker 300 rpm. hasilnya seperti yang disajikan pada tabel 2. tabel 2. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi jumlah biosorben dengan co = 30 ppm m (g) absorbansi ce(ppm) coce(ppm) q (100%) 0,2 0,403 2,379 27,621 92.070 0,4 0,399 2,357 27,643 92.143 0,6 0,389 2,302 27,698 92.327 0,8 0,382 2,262 27,738 92.460 1,0 0,367 2,178 27,822 92.740 keterangan: co : konsentrasi zat warna rhodamin b sebelum proses biosorpsi ce : konsentrasi zat warna rhodamin b sesudah proses biosorpsi co-ce : konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap oleh serbuk ikan kakap merah berat biosorben 0,2 g mampu menjerap konsentrasi rhodamin b sebesar 27,621 ppm, dan semakin meningkat pada 0,4, 0,6, 0,8, dan 1,0 g sebesar 27,643 27,698, dan 27,822 ppm, hal ini disebabkan semakin banyak jumlah biosorben yang digunakan, semakin banyak pula daya biosorben serbuk sisik ikan kakap merah dalam menjerap zat warna rhodamin b. penentuan waktu kontak pada variasi waktu kontak 20, 40, 60, 80, 100, dan 120 menit untuk biosorpsi 25 ml zat warna rhodamin b 50 ppm dengan berat adsorben 1,0 g dan kecepatan pengadukan 300 rpm, hasilnya diperlihatkan pada tabel 3. bila serbuk sisik ikan kakap merah ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. waktu kontak yang cukup diperlukan serbuk sisik ikan kakap merah untuk mengadsorpsi zat warna rhodamin b, semakin lama waktu kontak semakin banyak zat warna rhodamin b yang tersorpsi karena semakin lama waktu kontak antar partikel zat warna rhodamin b dengan serbuk sisik ikan kakap merah akan y = 0.1796x 0.023 r² = 0.9946 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0 1 2 3 a b so r b a n si konsentrasi rhodamin b (ppm) eirene g. fransina, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 299 bersinggungan (saling interaksi) satu sama lain (wirawan, 2008). tabel 3. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi waktu kontak dengan co= 50 ppm dan bobot biosorbat 1,0 g waktu (menit) absorbansi ce (ppm) co-ce (ppm) q (100%) 20 0,268 1,626 48,374 96,748 40 0,267 1,620 48,380 96,764 60 0,265 1,608 48,392 96,784 80 0,234 1,436 48,564 97,128 100 0,222 1,368 48,632 97,264 120 0,223 1,347 48,626 97,252 keterangan; co : konsentrasi zat warna rhodamin b sebelum proses biosorpsi ce : konsentrasi zat warna rhodamin b sesudah proses biosorpsi co-ce : konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap oleh serbuk sisik ikan kakap merah besarnya konsentrasi yang terjerap juga sangat tergantung pada waktu biosorpsi atau waktu kontak antar zat warna rhodamin b dengan biosorben serbuk sisik ikan kakap merah.berdasarkan hasil pada tabel 3 menunjukkan bahwa waktu kontak dari 20 menit sampai 100 menit konsentasi zat warna rhodamin b yang terjerap semakin besar, yaitu 48,374 ppm, 48,380 ppm, 48,392 ppm, 48,564 ppm, 48,632 ppm, namun pada waktu kontak 120 menit konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap semakin kecil jika dibandingkan dengan waktu kontak 100 menit. penurunan konsentrasi yang tersorpsi disebabkan karena telah terjadi kesetimbangan antara zat warna rhodamin b dengan serbuk sisik ikan kakap merah, ini berarti saat telah terjadi keadaan setimbang dimana bisorben tidak dapat menjerap adsorbat maka semakin kecil konsentrasi yang terjerap pada biosorben tersebut. hasil pada tabel 3 menunjukkan bahwa keadaan setimbang terjadi pada waktu kontak 100 menit dan ini merupakan waktu kontak optimum biosorpsi zat warna rhodamin b oleh serbuk sisik ikan kakap merah. penentuan konsentrasi pada variasi konsentrasi zat warna rhodamin b 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm dengan menggunakan waktu kontak 120 menit, bobot biosorbat 1,0 g dan kecepatan pengadukan 300 rpm, hasilnya diperlihatkan pada tabel 4. tabel 4. hasil pengukuran absorbansi zat warna rhodamin b pada variasi konsentrasi dengan bobot biosorbat 1,0 g co (ppm) absorbansi ce (ppm) co-ce (ppm) q (%) 10 0,123 0,816 9,184 91,840 20 0,210 1,302 18,698 93,490 30 0,328 1,961 28,039 93,463 40 0,359 2,134 37,866 94,665 50 0,371 2,201 47,799 95,598 keterangan; co : konsentrasi zat warna rhodamin b sebalum proses biosorpsi ce : konsentrasi zat warna rhodamin b sesudah proses biosorpsi co-ce : konsentrasi zat warna rhodamin b yang tejerap oleh oleh serbuk sisik ikan kakap merah berdasarkan data hasil biosorpsi zat warna rhodamin b dengan variasi konsentrasi pada tabel 4 menunjukkan bahwa semakin banyak biosorbat zat warna rhodamin b yang digunakan, maka konsentrasi maksimum teradsorpsi semakin meningkat. hal ini dapat dilihat pada konsentrasi 50 ppm konsentrasi teradsorpsi sebesar 47,799 ppm yang memiliki nilai q paling besar yaitu 95,598%. penentuan ph pada variasi ph larutan zat warna rhodamin b untuk ph 3, 7, dan 11 menggunakan 25 ml zat warna rhodamin b 50 ppm, waktu kontak 120 menit, berat biosorben 1,0 gram, dan kecepatan pengadukan 300 rpm, yang hasilnya disajikan pada tabel 5. data pada tabel 5 menunjukkan pada variasi ph, digunakan ph 3 untuk mewakili ph asam, ph 7 sebagai ph netral, dan ph 11 sebagai ph basa. untuk mendapatkan kondisi larutan berada pada ph yang ditentukan maka diperlukan laruta buffer untuk tiga kondisi ph tersebut. setelah diinteraksikan, konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap paling besar untuk tiga ph tersebut adalah larutan dalam suasana asam yaitu ph 3 sebesar 48,967 ppm, jika dibandingkan dengan suasana netral (ph 7) dan suasana basa (ph 11). dengan demikian ph sangat berpengaruh pada daya serap serbuk sisik eirene g. fransina, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 300 ikan kakap merah. menurut jankowska (1991), syarat ph untuk kondisi biosorpsi serbuk sisik ikan kakap merah harus sesuai dengan kondisi zat yang akan diserap. pada limbah asam, ph biosorpsi harus di bawah 7, zat warna rhodamin b bersifat asam lemah, sehingga kondisi ph yang sesuai untuk proses biosorpsi adalah ph 3 (putranto dkk, 2005). tabel 5. hasil pengukuran absorbansi zat warnarhodamin b pada variasi ph ph absorbansi co (ppm) ce (ppm) co-ce (ppm) q(%) 3 0,162 50 0,033 48,967 97,93 7 0,197 50 1,229 48,739 97,48 11 0,226 50 1,391 48,549 97,09 keterangan; co : konsentrasi zat warna rhodamin b sebelum proses biosorpsi ce : konsentrasi zat warna rhodamin b sesudah proses biosorpsi co-ce : konsentrasi zat warna rhodamin b yang terjerap oleh serbuk sisik ikan kakap merah penentuan kapasitas biosorpsi dari hasil pengukuran adsorbansi untuk larutan standar zat warna rhodamin b, sertapengukuran absorbansi pada variasi jumlah absoren, waktu kontak, ph larutan, dan konsentrasi biosorbat maka dapat dihitung persentase biosorpsi dengan persamaan : q = data presentase dari berbagai variasi perlakuan untuk penentuan kondisi optimum adsorpsi dari serbuk sisik ikan kakap merah disajikan pada tabel 6. tabel 6. presentase optimum adsorpsi zat warna rhodamin b oleh serbuk sisik ikan kakap merah variasi kapasitas biosorben (q) % jumlah biosorben 92,740 waktu kontak 97,264 konsentrasi 95,598 ph 97,930 dari data tabel 6 menunjukkan bahwa konsentrasi optimum zat warna rhodamin b teradsorpsi untuk jumlah biosorben, waktu kontak, konsentrasi biosorbat, dan ph berturutturut sebesar 92,740% untuk bobot adsorben 1,0 g; 97,264% untuk waktu kontak optimum 100 menit: 95,598% untuk konsentrasi biosorbat 50 ppm; dan 97,930% untuk ph optimum adsorpsi yaitu pada suasana asam (ph 3). kesimpulan serbuk sisik ikan kakap merah (lutjanus argentimaculatus)dapat digunakan sebagai biosorpsi untuk menjerap zat warna rhodamin b dengan baik pada jumlah biosorben sebesar 1,0 g dengan kapasitas biosorpsi sebesar 92,740%, waktu kontak optimum 120 menit dengan kapasitas biosorpsi sebesar 97,264%, konsentrasi biosorpsi 50 ppm dengan kapasitas biosorpsi sebesar 95,598, dan ph optimum pada ph 3 dengan kapasitas biosorpsi 97.930%. ucapan terima kasih ucapan terima kasih ditujukan kepada lembaga penelitian universitas pattimura ambon, dp2m direktorat pendidikan tinggi kementerian pendidikan dan kebudayaan, dan direktorat riset dan pengabdian masyarakat kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi atas disetujui dan didanainya penelitian ini sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan penelitian hibah bersaing tahun anggaran 2015, nomor : 30/un13.2/spk-pj/lphb/2015 tanggal 28 agustus 2015. daftar pustaka aulia, f, khusnul, a., andrew, s, dan nurinci, d, 2013,makalah ikan kakap merah. fakultan pertanian universitas gadjah mada, yogyakarta. bora, m. m. 2010, adsorption of pigmentfrom annatto seed utilizing fish scale as biosorbent. j. chem. pharm. res., 2010, 2(5): 75-83. knocke, w.r., and hemphill, l.h., 1981, mercury sorption by waste rubber, water res., 15, 275–282. oscik, 1982,adsorption ellis horwood series in physical chemistry, universitas michigan, ellis horwood limited. putranto, a. d., dan m. rasif, 2005, pemanfaatan kulit biji mente untuk arang eirene g. fransina, dkk / ind. j. chem. res., 2016, 3(2), 295-301 301 aktif sebagai adsorben terhadap penurunan parameter phenol, jurnal purifikasi, surabaya, vol 143, hal 78-91. setyowati, e., 1998, uji kemampuan karbon aktif ampas tebu dengan aktivator zncl2 terhadap fenol, tugas akhir, jurusan teknik lingkungan fakultas teknik sipil pertanian, institut teknologi surabaya. simpson, n.k.j., 2000,solid phase extraction; principles, techniques and applications, marcel dekker, usa. tan, t.c., chia, c.k., and teo, c.k., (1985), uptake of metal ions by chemically treated human hair, water res., 19, 157–162. wirawan, t., 2008.adsorbsi tembaga (cu) oleh arang aktif dari tempurung jarak pagar (jatropha curcas l). jurnal kimia mulawarman. vol 6:43-48. indochem ind. j. chem. res, 2015, 3, 254 258 254 preparation and characterization ni-mo/montmorillonite as a catalyst in cracking process preparasi dan karakterisasi ni-mo/monmorillonit sebagai katalis pada proses cracking putri sopiarini 1 , firdaus 2 , paulina taba 2 1 departement of chemistry, faculty of science, university of hasannudin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia received: juni 2015 published: july 2015 abstract this research is aims to prepare and characterization of montmorillonite intercalated ni-mo as a catalyst in the cracking process. preparation is do by extracting monmorillonite of bentonite by decantation method. monmorillonite synthesized with nacl to obtain na-monmorillonite. ni-mo/monmorillonite obtained by dissolving ammonium hepta molybdate (nh4)6mo7o24.4h2o) with distilled water and refluxed with namonmorillonite for 6 hours and dried at a temperature of 120 o c. furthermore, nickel nitrate hexahydrate (ni(no3)2.6h2o) is dissolved in distilled water and refluxed with mo-monmorillonite for 6 hours and dried at a temperature of 120 o c. ni-mo/monmorillonite obtained is then calcined at a temperature of 600 o c for 4 hours to activate and eliminate the remnants of organic materials. characterization of ni-mo/monmorillonite do by xrd, xrf and sem. characterization by xrd showing the change in the content of monmorillonite, namonmorillonite, and ni-mo/monmorillonite. characterization by xrf confirms the success of the creators do with increasing metal content of ni and mo in monmorillonite replace the position of the metal na. characterization by sem showed highly significant differences in morphology of montmorillonite, namonmorillonite and ni-mo-monmorillonite. keywords: montmorillonite, ni-mo/montmorillonite, intercalated, catalyst, characterization. pendahuluan minyak jelantah adalah minyak limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian dan umumnya dapat digunakan kembali untuk keperluan kuliner. akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik yang terbentuk selama proses penggorengan. pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia dan dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya (ardiana dkk., 2009). salah satu cara yang dilakukan untuk menangani limbah minyak jelantah adalah dengan mengkonversi minyak tersebut menjadi bahan bakar alternatif biodiesel. biodiesel dihasilkan dari reaksi trigliserida dengan alkohol yang menggunakan katalis basa pada suhu dan komposisi tertentu, sehingga dihasilkan dua zat yang disebut alkil ester (umumnya metil ester atau sering disebut biodiesel) dan gliserol (zhang dkk., 2003). biodiesel merupakan bahan bakar dengan fraksi berat yang masih memungkinkan untuk menghasilkan emisi pembakaran yang dapat mencemari lingkungan. oleh karenanya, biodiesel masih bisa dikonversi menjadi fraksi yang lebih ringan melalui proses perengkahan (cracking). cracking merupakan proses pemecahan molekul karbon rantai panjang menjadi molekul karbon yang lebih ringan atau pendek. proses cracking dapat berlangsung baik dengan adanya bantuan katalis yang berfungsi untuk menurunkan penggunaan energi dalam pemutusan rantai karbon pada biodiesel (dupain dkk., 2007). katalis yang digunakan dalam proses cracking merupakan katalis yang stabil putri sopiarini, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 254 258 255 pada suhu tinggi dan mudah dipisahkan dari produk, misalnya katalis heterogen yang terdiri atas material aktif (logam) dan bahan penyangga seperti lempung (metal-supported catalyst). dalam sistem katalis logam-pengemban, lempung juga mempunyai aktivitas katalitik yang tinggi, menyebabkan katalis tidak mudah menggumpal, mempunyai porositas yang luas, serta stabil terhadap suhu tinggi (liu dkk., 2006). salah satu jenis lempung yang memiliki kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar 80-90% adalah bentonit. lempung montmorillonit adalah silikat berlapis dan merupakan pendukung reagen anorganik yang digunakan sebagai katalis yang efisien dan serbaguna di dalam sintesis organik (kaur dan kishore, 2012). namun pada umumnya mineral lempung tidak tahan terhadap suhu tinggi karena adanya kandungan unsurunsur alkali (yelmida dkk., 2012). pengembanan logam transisi dalam lempung monmorillonit dikenal dengan istilah interkalasi. metode ini akan memperbesar pori material karena interkalan akan mendorong lapisan atau membuka ruang antar lapis untuk megembang. di antara logam-logam transisi yang biasanya digunakan sebagai promotor dan fasa aktif katalis ialah ni dan mo. menurut siswodiharjo (2006), keberadaan logam transisi ni dan mo akan meningkatkan keasaman katalis. logamlogam transisi tereduksi menjadi logam yang bersifat asam karena kedua logam memiliki elektron yang belum berpasangan pada orbital d. keasaman total katalis akan meningkatkan aktivitas katalis karena semakin banyak situs asam lewis (menerima pasangan elektron) di dalam bangun katalis. berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian preparasi dan karakterisasi ni-mo/monmorillonit sebagai katalis dalam proses cracking. metodologi bahan bahan yang digunakan diantaranya lempung mineral bentonit teknis, ni(no3)2.6h2o p.a. (e. merck), (nh4)6mo7o24.4h2o p.a. (e. merck), akuades, nacl 1 m, agno3 (e. merck). alat alat yang digunakan adalah xrd (philips expert, sumber radiasi cu kα (= 1,5405)) untuk menganalisis struktur kristal katalis, sem (jeol jsm 6360 la) untuk melihat profil permukaan katalis, neraca analitik (mettler toledo), rotary evaporator (heizbad hei-vap), corong buchner, hot plate (cimarec), ayakan 100 dan 200 mesh, kertas saring whatmann no. 40 dan 42, oven (gen lab), dan beberapa peralatan gelas (pyrex). prosedur kerja a. preparasi bentonit bentonit yang diperoleh dari pt. intraco makassar digerus dan diayak dengan menggunakan pengayak 100 mesh, kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o c selama 2 jam. b. fraksinasi sedimentasi bentonit sebanyak 100 gram bentonit dimasukkan ke dalam gelas kimia dan ditambahkan 2 liter akuades. campuran tersebut diaduk dengan stirer selama 30 menit kemudian didiamkan selama 5 menit. endapan yang terbentuk dipisahkan dengan dekantasi (f1). suspensi sisa fraksi satu didiamkan kembali selama 2 jam dan pisahkan dengan dekantasi (f2) yang kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 o c selama 3 jam. c. sintesis na-monmorillonit sebanyak 50 gram bentonit f2 disuspensikan ke dalam 900 ml larutan nacl 1 m. campuran diaduk dengan stirer selama 6 jam, dan didiamkan pada suhu kamar. campuran didekantasi dan endapannya diambil. endapan tersebut didispersikan kembali dengan 600 ml nacl 1 m dan diaduk kembali dengan stirer selama 6 jam, lalu endapan didekantasi. endapan yang dihasilkan dicuci dengan akuademineral beberapa kali sampai filtrat tidak menghasilkan endapan putih agcl. setelah dicuci, endapan dikeringkan di dalam oven pada suhu 110–120 o c selama 4 jam. d. interkalasi logam ni dan mo proses interkalasi dimulai dengan melarutkan (nh4)6mo7o24.4h2o sebanyak 0,5 % di dalam 500 ml akuades. setelah bercampur, masukkan 100 gram na-monmorillonit ke dalam campuran dan direfluks pada suhu 60 o c selama 6 jam. kemudian campuran disaring, endapan yang diperoleh dicuci dengan akuades serta putri sopiarini, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 254 258 256 dikeringkan di dalam oven pada suhu 120 o c selama 6 jam. larutkan 0,5% ni(no3)2.6h2o di dalam 500 ml akuades. memasukkan sampel mo/monmorillonit yang telah didapat pada proses interkalasi pertama dan direfluks pada suhu 90 o c selama 6 jam. kemudian campuran disaring untuk memisahkan antara filtrat dengan endapan. endapan yang didapat dicuci kembali dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 120 o c selama 6 jam. endapan yang didapat merupakan katalis nimo/monmorillonit yang selanjutnya digerus dan diayak menggunakan pengayak 200 mesh serta dikalsinasi pada suhu 600 o c selama 4 jam. hasil dan pembahasan a. preparasi, interkalasi, dan karakterisasi ni-mo/monmorillonit metode preparasi dan interkalasi dilakukan berdasarkan prosedur oktaviani (2011). metode yang digunakan untuk mengkarakterisasi katalis ni-mo/monmorillonit dalam penelitian ini adalah metode difraksi sinar-x untuk menganalisis struktur kristal, dan floresensi sinar-x untuk mempertegas kandungan material. b. karakterisasi menggunakan xrd pola difraksi sinar-x dari monmorillonit, namonmorillonit, dan ni-mo/monmorillonit dapat dilihat pada gambar 1 yang menunjukkan adanya beberapa puncak 2 theta yang muncul dengan intensitas ketajaman yang baik. pola difraktogram monmorillonit menunjukkan adanya tiga puncak 2θ dengan intensitas tertinggi yaitu pada 20,28 o , 27,05 o , dan 50,55 o yang merupakan puncak khas dari monmoriilonit. sedangkan pada namonmorillonit terjadi pergeseran puncak dengan intensitas tinggi yaitu pada 21,24 o , 24,35 o dan 26,96 o. sedangkan pada difraktogram nimo/monmorillonit terjadi perubahan komposisi secara signifikan yang ditandai dengan menurunnya puncak-puncak 2 theta pada yang diduga dipengaruhi oleh logam ni dan mo yang teremban di dalam struktur monmorillonit. akan tetapi, keberadaan logam ni dan mo yang teremban di dalam struktur monmorillonit tidak terlihat dengan jelas. fenomena tersebut dapat disebabkan oleh pendispersian logam ni dan mo yang sangat merata pada permukaan katalis. gambar 1. difraktogram (a) monmorillonit, (b) na-monmorillonit, dan (c) nimo/monmorillonit c. karakterisasi menggunakan xrf berdasarkan hasil analisis dengan xrf diperoleh hasil seperti pada tabel 1. analisis xrf dilakukan untuk mempertegas kandungan logam yang menempel pada monmorillonit setelah dilakukan interkalasi. tabel 1. perubahan kandungan ni dan mo berdasarkan hasil analisis xrf no. elemen kandungan (%-b/b) monmorillonit nimomonmorillonit 1 2 3 4 si al ni mo 54,12 9,81 0 0,03 31,91 5,02 11,50 27,32 dari tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan logam ni dan mo dalam monmorillonit sebelum dan setelah interkalasi. data tersebut menunjukkan keberhasilan pengembanan logam dengan proses interkalasi. pada monmorillonit si sebagai kerangka utama memiliki kandungan yang sangat tinggi yaitu sebanyak 54,12 %-b/b. akan tetapi setelah diinterkalasi kandungan si turun menjadi 31,91 %-b/b. hal ini mengindikasikan bahwa ketika proses interkalasi terjadi proses desilikasi dengan pemutusan rantai si dengan al agar dapat mengikat logam ni dan mo yang diembankan dengan baik. d. analisis sem analisis sem dilakukan untuk mengetahui morfologi dari katalis yang meliputi tekstur dan dispersi dari logam yang diembankan. hasil analisis katalis monmorillonit, na-monmorillonit 20 40 60 80 c b a putri sopiarini, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 254 258 257 dan ni-mo/monmorillonit ditunjukkan oleh gambar 2, 3, dan 4. gambar 2. mikrograf monmorillonit gambar 3. mikrograf na-monmorillonit berdasarkan hasil analisis sem pada gambar 2 dapat dilihat perbedaan penampakan antara monmorillonit, na-monmorillonit, dan nimo/monmorillonit yang menunjukkan bahwa kristal yang terbentuk kurang begitu seragam. adanya penampakan gumpalan putih yang terlihat pada struktur monmorillonit dan namonmorillonit mengindikasikan adanya logam yang terdispersi secara tidak merata pada permukaan katalis. berbeda dengan monmorillonit yang telah terinterkalasi oleh logam ni dan mo yang memiliki morfologi lebih teratur, dengan logam yang terdipersi lebih banyak pada permukaannya. gambar 4. mikrograf ni-mo/monmorillonit kesimpulan hasil penelitian menunjukan adanya tiga puncak 2 theta yang merupakan puncak khas pada monmorillonit. puncak-puncak tersebut mengalami perubahan intensitas dan pergeseran ketika telah disintesis dengan na dan diinterkalasi dengan logam ni dan mo yang mengindikasikan logam yang diembankan ke dalam material lempung terjadi dengan baik. keberhasilan interkalasi diperkuat oleh hasil analisis xrf terhadap katalis, di mana terjadi perubahan secara signifikan kandungan logam ni dan mo dalam katalis. morfologi yang berbeda ditunjukan oleh ketiga material, yang mengindikasikan terjadinya perubahan kristalinitas dan struktur yang lebih teratur ketika monmorillonit telah mengemban logam. daftar pustaka ardiana d., wardhani s., martutik, wahyuni, 2009. pengaruh rasio metanol/minyak terhadap parameter kecepatan reaksi metanolisisminyak jelantah dan angka setana biodiesel. jurusan teknik kimia fakultas teknik universitas negeri semarang, semarang. dupain, x., costa, d. j., schaverien, c. j., makkee, m., and moulijn, j., 2007. cracking of a rapeseed vegetable oil putri sopiarini, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 254 258 258 under realistic fcc conditions, appl. catal. b., 72: 44–61. kaur, n., and kishore, d., 2012. montmorillonite: an efficient, heterogeneous and green catalyst for organic synthesis. j. chem. pharm. res., 4(2): 991-1015. liu, j., cao, z., xu, x., 2006, hydro-upgrading of fcc on ni-mo-p/usy catalyst. bulletin of the catalysis society of india: 87-93. oktaviani, e., 2011. sintesis dan karakterisasi organoclay terinterkalasi surfaktan kationik odtmabr dan aplikasinya sebagai adsorben fenol. skripsi. program studi kimia fmipa ui, depok. siswodiharjo, 2006. reaksi hidrorengkah katalis ni/zeolit, mo/zeolit, nimo/zeolit terhadap parafin. skripsi tidak diterbitkan. fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas sebelas maret, surakarta. yelmida, zahrina, i., dan akbar, f., 2012. perengkahan pfad (palm fatty acid distillate) dengan katalis zeolit sintesis untuk menghasilkan biofuel. jurnal rekayasa kimia dan lingkungan, 9(1), issn 1412-5064: 45-50. zhang, y., m.a. dubè , mclean, d.d., and kates, m., 2003. biodiesel production from waste cooking oil: 1. process design and technological assessment; review paper, bioresour. technol., 89: 1-16. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 21 kinetika reaksi hidrogenasi ester lemak menjadi alkohol lemak dengan katalis tembagamangan the kinetics of fatty ester hydrogenation to fatty alcohol on copper-manganese catalyst melia laniwati gunawan*, subagjo, igbn makertihartha, liana a. malau, amsalia florence chemical engineering department, faculty of industrial technology, institut teknologi bandung, kampus itb, jl. ganesa no 10, bandung 40132 * corresponding author: melia@che.itb.ac.id received: 2019-12-18 received in revised: 2020-5-1 accepted: 2020-5-11 available online: 2020-5-31 abstract fatty alcohol (faoh) can be produced by hydrogenating of fatty acid methyl ester (fame) using the copper-based catalyst. copper-chrom (cu-cr) is the best catalyst for high-pressure reaction condition, which is copper (cu) as the main active component and chrom (cr) as a promoter. since cr is feared to be toxic, one of the best replacement candidates is manganese (mn). the research aims is to find the kinetic equation of hydrogenation fame to faoh using a cu-mn commercial catalyst. fame with methyl laurate and methyl myristate as the main compounds is used as feedstock. the main products are lauryl alcohol and myristyl alcohol. the reaction was carried out in an isothermal continuous fixed bed reactor under conditions of temperature 220 – 240 o c, pressure 50 bar, and liquid hourly space velocity (lhsv) 5-12.5 hr -1 . the kinetic equation is determined using the power law model. the fame hydrogenation on copper manganese catalyst is the half order reaction. the activation energy value is 86.32 kj/mol and the arrhenius constant value is 5.87x10 6 m 0.5 /s. keywords: cu-mn catalyst, fame hydrogenation, fatty alcohol, fixed bed reactor, the kinetic equation, power law mode. abstrak (indonesian) alkohol lemak (fatty alcohol/faoh) dapat diproduksi melalui hidrogenasi ester lemak (fatty acid methyl ester/fame) menggunakan katalis berbasis tembaga (cu). tembaga-krom (cu-cr) adalah katalis terbaik untuk proses yang diselenggarakan pada tekanna tinggi, yang mana cu sebagai fasa aktif katalis dan cr sebagai promotor. karena cr bersifat toksik, maka salah satu kandidat terbaik untuk pengganti adalah mangan (mn). tujuan dari penelitian ini adalah menentukan persamaan kinetika reaksi hidrogenasi fame menjadi faoh pada katalis komersisal cu-mn menggunakan model hukum pangkat. umpan berupa fame dengan komponen utama campuran metil-laurat dan metil miristat. produk utama adalah campuran lauril-alkohol dan miristil-alkohol. reaksi diselenggarakan di dalam reaktor unggun tetap secara isotermal pada temperatur 220 – 240 o c, tekanan 50 bar, dan lhsv 5 – 12,5 per jam. hasil menunjukkan bahwa reaksi berorde setengah, dengan nilai energi aktivasi 86,32 kj/mol dan konstanta arrhenius 5,87x10 6 m 0,5 /det. kata kunci: katalis cu-mn, hidrogenasi fame, alkohol lemak, reaktor unggun tetap kinetika reaksi, model hukum pangkat. pendahuluan industri oleokimia yang memproduksi produk turunan minyak/lemak alami semakin berkembang. salah satu produk tersebut adalah asam lemak yang mana nilai pasarnya terus meningkat dengan nilai cagr (compound annual growth rate) di perkirakan sebesar 5,6% dari tahun 2017 sampai 2022 (marketwatch, 2019). industri ini juga mulai menggantikan peran industri petrokimia dalam berbagai aplikasi (suyenty, 2007). alkohol lemak melia l. gunawan dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 22 merupakan produk oleokimia dasar yang paling banyak diperdagangkan di dunia setelah asam lemak. berdasarkan data yang dilansir oleh kemenperin (2014), konsumsi dunia untuk alkohol lemak meningkat sebesar rata-rata 4% per tahun. alkohol lemak adalah alkohol alifatik dengan rantai karbon di antara c8 dan c22 (noweck, 2011). dengan panjang rantai dan struktur rantai yang beragam, sifat kimia maupun sifat fisik yang dimiliki setiap jenis senyawa alkohol lemak berbeda-beda. alkohol lemak pada umumnya tidak memiliki ikatan rangkap, sehingga bersifat jenuh. gugus hidroksil pada alkohol lemak dapat mengalami berbagai jenis reaksi dan menghasilkan berbagai macam produk turunan. aplikasi alkohol lemak yang paling banyak (70–75%) adalah surfaktan (noweck, 2011). alkohol lemak bersifat amphifilik, sehingga alkohol lemak memiliki kombinasi non-polar (rantai karbon lipofilik) dan polar (gugus fungsi hidroksil yang hidrofilik). sifat alkohol lemak yang polar juga membuat senyawa ini digunakan sebagai pelumas. alkohol lemak dapat diproduksi melalui beberapa rute reaksi. salah satu rute yang umum adalah hidrogenasi fatty acid methyl ester (fame) dengan katalis berbasis tembaga (cu). tembaga bersifat selektif terhadap ikatan karbon-oksigen (c=o), namun rentan terhadap sintering, sehingga dibutuhkan promotor (peng dkk., 2010; rachim dkk., 2017; irdhawati dkk., 2020). promotor yang paling banyak digunakan adalah krom (cr). krom bertindak sebagai donor elektron juga meningkatkan dispersi tembaga dan absorbsi hidrogen, serta mencegah terjadinya sintering pada sisi aktif katalis. karena krom bersifat toksik, dikhawatirkan dapat membahayakan lingkungan apabila terikut dalam produk akhir. adanya isu ini menyebabkan katalis yang banyak dikembangkan saat ini adalah katalis cu yang bebas dari krom, salah satunya adalah katalis tembaga mangan (cu-mn). berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh zuzaniuk dan kawan-kawan, diperoleh informasi bahwa penggunaan katalis tembaga mangan alumunium (cu-mn-al) mampu menghasilkan konversi (97,74%) yang hampir sama dengan katalis cu-cr (97,92%), untuk kondisi reaksi yang sama (zuzaniuk dkk., 2007; he dkk., 2014; thakur dan kundu, 2016). reaksi yang terjadi seperti pada persamaan 1-3. gambar 1. skema rangkaian reaktor alat percobaan untuk reaksi hidrogenasi fame melia l. gunawan dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 23 rcooch3+ 2h2 → rch2oh + ch3oh (1) ester lemak alkohol lemak metanol rcooch3+rch2oh → rcooch2r + ch3oh (2) ester lemak alkohol lemak wax-ester metanol rcooch2r + 2h2 → 2rch2oh (3) wax ester alkohol lemak hidrogenasi fame ternyata bukanlah reaksi sederhana, tetapi reaksi kompleks, seri-paralel. penelitian ini berfokus pada penentuan kinetika reaksi fame menggunakan katalis komersial cu-mn. metodologi alat dan bahan reaktor yang digunakan untuk melangsungkan reaksi hidrogenasi fame merupakan reaktor fixedbed reaction engineering, inc r-scs model r-301, seperti ditunjukkan pada gambar 1. rangkaian reaktor tersebut terdiri dari reaktor, tabung gas h2 dan n2, sistem perpipaan untuk mengalirkan umpan dan produk, pompa, kondensor, separator, dan furnace. untuk menentukan konversi dan selektivitas reaksi, campuran reaksi dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas (gc). analisa komposisi produk reaksi hidrogenasi fame ditentukan dengan menggunakan gc-2010 plus merk shimadzu dengan kolom kapiler rtx5 (panjang 30 m) dan jenis detektor flame ionization (fid). temperatur injektor, kolom, dan detektor berturut-turut adalah 210 °c, 280 °c, dan 290 °c. untuk pengolahan data kinetik digunakan perangkat lunak komputasi matlab dan microsoft excel. bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian ini adalah fame yang merupakan campuran metil laurat (c13h26o2) dan metil miristat (c15h30o2) dengan perbandingan 3:1 dan gas hidrogen sebagai umpan/reaktan, katalis copper mangan (cu-mn) komersial t4489a produk clariant, dan gas nitrogen untuk purging reaktor. selain bahan-bahan utama untuk reaksi, digunakan juga larutan standar yang mengandung campuran senyawa-senyawa fame, faoh dan hidrokarbon untuk mengkalibrasi gc. bahan lainnya yang digunakan ialah argon sebagai gas pembawa, hidrogen dan udara sebagai gas pembakar, serta n-heksana untuk mengencerkan sampel pada saat analisa menggunakan gc. prosedur kerja sejumlah katalis cu-mn ditempatkan di dalam reaktor yang berbentuk silinder/tabung sebagai unggun tetap. bagian atas unggun katalis diberi glass beed agar aliran umpan merata di dalam reaktor. reaktor dipasang dalam sistem perangkat alat percobaan r-301. selanjutnya reaktor di-purge menggunakan gas nitrogen dengan laju 200 ml/menit selama 30 menit, dilanjutkan gas hidrogen dengan laju alir 100 ml/menit selama 30 menit. katalis diaktifkan dengan cara direduksi secara in situ pada suhu 280 o c menggunakan gas hidrogen 3 bar dengan laju 20 ml/menit selama 5 jam. setelah direduksi, katalis siap digunakan untuk reaksi hidrogenasi fame. reaksi hidrogenasi fame diselenggarakan pada tekanan 50 bar dengan laju gas hidrogen 120 ml/menit dan secara isothermal pada suhu 220 – 240 o c. fame diumpankan ke dalam reaktor dengan laju yang divariasikan untuk mendapatkan lhsv (liquid hour space velocity) 2,5 – 12,5 jam -1 . setelah kondisi reaksi tercapai, keberlangsungan reaksi diamati dengan cara mengambil sampel produk cair setiap 30 menit dan dianalisa menggunakan gc untuk mendapatkan komposisi campuran reaksi, yang selanjutnya dihitung untuk mendapatkan nilai konversi dan selektivitas. sebelum alat gc (a) (b) gambar 2. (a) konversi fame (ester lemak) pada suhu reaksi 230 o c, lhsv 5/jam dan (b) selektivitas faoh (alkohol lemak) pada suhu reaksi 240 o c, lhsv 2,5/jam sebagai fungsi dari tos (time on stream). melia l. gunawan dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 24 digunakan, dilakukan pengkondisian dan dikalibrasi menggunakan larutan standar. hasil dan pembahasan aktivitas katalis cu-mn reaksi dilangsungkan di dalam reaktor unggun tetap kontinyu, sehingga perlu dipelajari saat sistem reaktor mencapai steady state (tunak). hasil pengamatan menunjukkan bahwa data konversi ester lemak (fame) hampir sama pada time on stream (tos) 3 hingga 6 jam, seperti disajikan pada gambar 2 (a) untuk uji aktivitas pada suhu 230 o c dan lhsv 5/jam. dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa reaksi telah berlangsung secara tunak mulai tos 3 jam. oleh karena itu, data konversi yang digunakan dalam penentuan parameter kinetik merupakan konversi rata-rata dari jam ke-3 sampai ke-6. begitu pula selektivitas alkohol lemak yang dihasilkan pada tos 3 hingga 6 jam tidak jauh berbeda, seperti ditunjukkan pada gambar 2 (b) untuk uji aktivitas pada suhu 240 o c dan lhsv 2,5/jam. selektivitas alkohol lemak tersebut sebesar 98,9%±0,07. selektivitas yang tinggi menunjukkan bahwa produk samping tidak terlalu banyak. hampir seluruh fame yang bereaksi terkonversi menjadi alkohol lemak (faoh). nilai lhsv ester lemak berbanding lurus dengan laju alir volumetrik umpan ester lemak. semakin tinggi laju alir volumetrik, maka waktu tinggal reaktan di dalam reaktor, sehingga kontak reaktan dengan katalis berlangsung lebih cepat. dengan demikian, konversi yang dihasilkan semakin rendah. reaksi dilangsungkan pada 3 nilai suhu yang berbeda. peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan laju pembentukan produk (mempercepat kinetik), sehingga konversi ester lemak juga meningkat. profil konversi ester lemak terhadap lhsv pada berbagai suhu ditampilkan pada gambar 3 (a). hidogenasi ester lemak dengan nama dagang fame 24, menghasilkan produk utama berupa : (1) lauril alkohol/dodekanol/c12h25oh (untuk singkatnya diberi lambang oh12), (2) miristil alkohol/ tetradekanol/c14h29oh (disingkat jadi oh14), (3) dan cetil alkohol/palmitil alkohol/hexadekanol/ c16h33oh (disingkat jadi oh16). di samping itu terdapat beberapa produk samping berupa hidrokarbon, yaitu dodekana/c12h26 (disingkat jadi hc12) dan tetra dekana /c14h30 (disingkat jadi hc14), alkohol lemak dengan jumlah c ganjil, yaitu undekanol/c11h23oh (disingkat jadi oh11) dan tridekanol/c13h27oh (disingkat jadi oh13), serta senyawa aldehid dengan jumlah atom karbon, c14 (disingkat jadi o14). konsentrasi masing-masing produk samping umumnya sangat kecil, tidak lebih dari 0,2%. hc12 dan hc14 mungkin terbentuk karena terjadi hidrogenasi lanjut alkohol lemak oh12 dan oh14 menjadi hidrokarbon dan air. o14 dapat terbentuk karena reaksi dehidrogenasi alkohol lemak menjadi aldehid (schwerin, 2005). oh11 dapat terbentuk karena reaksi hidrogenasi metil ester undekanoat (me11). konsentrasi hidrokarbon total dalam produk pada berbagai suhu dan lhsv disajikan pada gambar 3 (b). semakin tinggi suhu reaksi, konsentrasi hidrokarbon (hc) total dalam produk semakin meningkat. selama reaksi hidrogenasi berlangsung, hc dapat terbentuk melalui dekomposisi termal ester dan dehidrasi alkohol lemak (rieke dkk., 1997; klaewkla dkk., 2014). peningkatan suhu menyebabkan dekomposisi termal senyawa ester lemak dan dehidrasi alkohol lemak semakin tinggi, sehingga hc yang terbentuk semakin banyak. selain itu, reaksi pembentukan hc merupakan reaksi endotermal (zhilong, 2011). jadi peningkatan suhu dapat menyebabkan konversi fame menjadi hc semakin besar. peningkatan nilai lhsv (a) (b) gambar 3. (a) konversi reaktan ester lemak (fame) dan (b) konsentrasi hidrokarbon (hc) dalam produk pada rentang lhsv 2,5-12,5/jam, tekanan 50 bar, dan suhu reaksi 220 240 o c melia l. gunawan dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 25 menyebabkan penurunan konsentrasi hidrokarbon dalam produk. hal ini terjadi karena semakin tinggi lhsv, waktu tinggal semakin kecil, sehingga kecenderungan fame untuk bereaksi dengan hidrogen membentuk berbagai produk, termasuk hc juga semakin kecil. hal ini juga didukung oleh hasil penelitian hark (2001). penentuan parameter kinetika hidrogenasi ester lemak menjadi alkohol lemak model persamaan kinetik yang dipilih adalah model hukum pangkat (power law). penentuan nilai parameter kinetika reaksi hidrogenasi ester lemak (fame) menjadi alkohol lemak (faoh) dilakukan dengan metode integrasi menggunakan perangkat lunak microsoft excel dan matlab. data kinetik yang diperlukan adalah konversi fame, lhsv, dan suhu reaksi yang diperoleh berdasarkan percobaan. gas hidrogen sekalipun sebagai reaktan, dianggap tidak mempengaruhi laju reaksi karena disuplai melebihi kebutuhan reaksi secara stoikiometri, sehingga berorde 0 (nol) semu. untuk menentukan parameter kinetik dengan metode integrasi, dicoba beberapa orde reaksi. kesuaian data dengan model untuk orde 0, 0,5, 1, dan 2 ditunjukkan pada gambar 4. tampak bahwa semakin tinggi temperatur, nilai konstanta laju reaksi, k semakin besar. berdasarkan nilai r 2 untuk masingmasing orde pada temperatur 220, 230, dan 240 o c, diperoleh hasil bahwa tebakan orde 0,5 memiliki nilai r 2 rata-rata yang paling mendekati nilai satu. kemudian nilai k pada model orde 0,5 ini dihubungkan dengan temperatur berdasarkan pada persamaan arrhenius, dan disajikan pada gambar 5. sekalipun untuk orde 0,5 nilai r 2 untuk semua suhu reaksi sudah baik (0,93 – 0,98), namun kesesuaian data percobaan dan model untuk suhu reaksi 220 o c memberikan galat yang masih besar, yaitu 28,22%. selanjutnya dicoba jika hanya diwakili oleh data-data untuk suhu 230 dan 240 o c saja, ternyata memberikan rata-rata galat yang dihasilkan jauh lebih kecil, yaitu 7,61%, dan parameter kinetik yang diperoleh disajikan pada tabel 1. tabel 1. nilai energi aktivasi dan tetapan arrhenius reaksi hidrogenasi ester lemak pada katalis cu-mn komersial dan tekanan 50 bar parameter kinetik untuk percobaan pada suhu reaksi (jika) 220, 230, dan 240 o c 230 dan 240 o c (saja) energi aktivasi 76,58 kj/mol 18,23 kkal/mol 86,32 kj/mol 18,23 kkal/mol tetapan arrhenius 5,57.10 5 m 0,5 /s 5,87.10 6 m 0,5 /s gambar 4. kurva linearsiasi konversi (xa) terhadap waktu ruang (t) untuk tebakan (a) orde 0, (b) orde 0,5, (c) orde 1, dan (d) orde 2 pada tekanan 50 bar dan untuk berbagai suhu reaksi. melia l. gunawan dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 26 parameter kinetika yang telah diperoleh kemudian divalidasi dengan perangkat lunak matlab. hasil pengolahan data memberikan nilai orde 0,53 dengan nilai energi aktivasi (ea) sebesar 87,5 kj/mol dan tetapan arrhenius (a) sebesar 4,64.10 6 m 0,5 /s. nilai parameter kinetik yang diperoleh dari pengolahan data menggunakan perangkat lunak matlab mendekati nilai parameter kinetik hasil pengolahan data secara analitik, oleh karena itu dapat disimpulkan parameter kinetik yang diperoleh cukup valid. limitasi difusi eksternal dan difusi internal pengumpulan data kinetik dalam percobaan harus pada kondisi rejim kinetik, dimana laju difusi berlangsung cepat, sehingga tidak mengendalikan reaksi (peristiwa kimia). pada studi ini pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan parameter kinetik secara global dengan nilai teoritis, dalam hal ini nilai energi aktivasi (ea). untuk reaksi yang dikendalikan oleh proses/peristiwa difusi, nilai energi aktivasi reaksi berkatalis heterogen adalah 4-12 kj/mol (satterfield dkk., 1996; openstax, 2016; nurliana dkk., 2020). sedangkan nilai ea yang didapat dari pengolahan data kinetik adalah di atas 86,32 kj/mol, lebih dari 7 kali lipat, sehingga terbukti bahwa reaksi yang diselenggarakan sudah bebas dari rejim difusi dan berada pada rejim kinetik. oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa tahap pengendali reaksi dari uji aktivitas yang dilangsungkan adalah peristiwa kimia. kesimpulan reaksi hidrogenasi ester lemak menjadi alkohol lemak pada suhu 230 – 240 o c (t = 503 – 513 k) dan tekanan 50 bar mengikuti reaksi orde 0,5 terhadap konsentrasi ester lemak [fame] dengan nilai energi aktivasi, ea sebesar 86,32 kj/mol dan tetapan arrhenius, a sebesar 5,87.10 6 m 0,5 /s, sehingga diperoleh persamaan kinetika global: ( ) (4) dengan rfame = laju konsumsi fame (m/s) ; t = temperatur absolut (k) ; dan cfame = konsentrasi fame (m). ucapan terimakasih penelitian ini didanai oleh program riset kelompok keahlian institut teknologi bandung (p3mi – itb) tahun 2019. daftar pustaka rachim, g. s. a., raya, i., and zakir, m., 2017. modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas, indo. j. chem. res., 5(1), 47-52. hark, s.v.d., and harrod, m., 2001. hydrogenation of oleochemicals at supercritical single phase condition: influence of hydrogen and substrate concentrations on the process, app. catal a: general, 210, 207-215. he, l., li, x., lin, w., li, w., cheng, h., yu, y., fujita, s., arai, m., and zhao, f., 2014. the selective hydrogenation of ethyl stearate to stearyl alcohol over cu/fe bimetallic catalysts, j. molecular catal. a: chemical, 392, 143-149. irdhawati, i., sinthadevi, n. n. t., dan sahara, e., 2020. serbuk gergaji kayu jati teraktivasi edta sebagai penjerap ion tembaga (ii) dan krom (iii). indo. j. chem. res., 7(2), 114-119. (a) (b) gambar 5. aluran nilai konstanta laju reaksi (k) terhadap tempertur, t (a) untuk data 3 suhu (220, 230, dan 240 o c) dan (b) untuk data 2 suhu (230 dan 240 o c) untuk menentukan parameter kinetik hidrogenasi fame melia l. gunawan dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 21-27, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mel 27 kemenperin, 2014. profil industri oleokimia dasar dan biodiesel, kementerian perindustrianrepblik indonesia, jakarta klaewkla, r., arend, m., and hoelderich, w. f., 2014. a review of mass transfer controlling the reaction rate in heterogenous catalytic systems, intech open access publisher, london marketwatch, 2019. oleochemical fatty acids industry: 2019 market research with market size & growth, manufacturers, segments and 2023 forecasts research top 20 countries data, url: https://www.marketwatch.com / press release/ oleochemical-fatty-acids-industry-2019market-research with market size growthmanufacturers segments and 2023-forecastsresearch top -20 countries-data-2019-10-09. [diunduh : 25 nov. 2019] noweck, k., 2011. production, technologies, and applications of fatty alcohols, 4 th workshop on fats and oils as renewable feedstock for the chemical industry karlsruhe, jerman. nurliana, l., kurniawati, d., musta, r., kadir, l. a., dan dewi, f., 2020. tinjauan kinetika kimia daya hambat minyak daun cengkeh (syzygium aromaticum) dan hasil mikroenkapsulasinya terhadap eschericia coli, indo. j. chem. res., 7(2), 151-158. openstax, 2016. chemistry, chapter 12 kinetics, openstax cnx. [on-line]. url: http://cnx.org/ contents/85abf193-2bd2-4908-8563-90b8 [june 20, 2016] peng, y., zhongyi, l., wanqing, z., haijie, s., and shouchang, l., 2010. cu-zn/al2o3 catalyst for the hydrogenation of esters to alcohols, chinese j. catal., 31, 769-775. rieke, r. d., thakur, d. s., roberts, b. d., and white, g.t., 1997. fatty methyl ester hydrogenation to fatty alcohol part 1: correlation between catalyst properties and activity/selectivity, j. am. oil chem. soc., 74, 333-339. schwerin, a., pelzer, g., friesenhagen, l., and gutsche, b., 2005. us patent 6,897,342 method for producing aldehydes, united states. satterfield, c.n., 1996. heteregenous catalysis in industrial practice, 2 nd ed., krieger publishing company, florida. suyenty, e., sentosa, h., agustine, m., anwar, s., loe, a., and sutanto, e., 2007, catalyst in basic oleochemi-cals, bull. chem. react. eng. cat., 2, 22-31. thakur, d.s., and kundu, a., 2016. catalysts for fatty alcohol production from renewable resources. j am oil chem soc 93, 1575–1593. zhilong, y., 2011. research on hydrogenation of fame to fatty alcohols at supercritical conditions, intech open access publisher, london. zuzaniuk, v., kochloefl, k., and maletz, g., 2007. catalysts, and process development for production of oleochemicals from palm oil using high throughput experimentation, netherland, url: www.nacatsoc.org/20nam /abstracts/o-s1-10.pdf, [diunduh 30 des. 2019] indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77-85 77 pengaruh penambahan carboxymethyl cellulose terhadap karakteristik bioplastik dari pati ubi nagara (ipomoea batatas l.) effects of carboxymethyl cellulose addition on the characteristics of bioplastic from nagara sweet potatoes (ipomoea batatas l.) starch erni puryati ningsih 1 , dahlena ariyani 1 , sunardi 1,2* 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural science, lambung mangkurat university banjarbaru 70714 indonesia 2 wetland-based materials research group, lambung mangkurat university, banjarbaru 70714, indonesia *corresponding author, e-mail: sunardi@ulm.ac.id; masunardi@gmail.com received: may 2019 published: jul. 2019 abstract synthesis and characterization of bioplastics from nagara sweet potatoes (ipomoea batatas l) starch with carboxymethyl cellulose (cmc) as a filler has been conducted. the purpose of this study was to evaluate the effects of cmc addition on the characteristic of bioplastics from nagara sweet potato (ipomoea batatas l) starch. bioplastic synthesis was carried out by the melt intercalation method with variations in the amount of cmc 0-30% (w/w). bioplastics were analyzed using ftir spectrophotometer, thickness, solubility, water resistance, water vapor transmission rate, tensile strength and elongation. the values of the tensile strength of the bioplastic produced increases with increasing of cmc. the results also showed that the optimum cmc concentration in bioplastics production is 9% (w/w) with a tensile strength value 0.5281 n/mm 2 . key words: bioplastic, starch, nagara sweet potato, carboxymethyl cellulose, filler pendahuluan salah satu permasalahan lingkungan di dunia pada umumnya dan di indonesia khususnya adalah limbah plastik. kebutuhan plastik sebagai kantong plastik, kemasan pangan atau barang semakin lama semakin meningkat. ini dikarenakan plastik mempunyai keunggulan dibandingkan dengan kemasan seperti logam atau gelas, yaitu jauh lebih ringan, harga lebih murah, kemudahan dalam proses pembuatan dan aplikasinya, dan tidak mudah pecah (marbun, 2012). selain tiongkok, indonesia adalah negara pembuang sampah plastik terbesar ke laut. sampah plastik yang dibuang sembarangan dapat meyumbat saluran air dan bahkan menumpuk di pintu-pintu sungai sehingga mengakibatkan banjir. plastik yang ditimbun di tanah juga sulit terdegradasi. polimer sintetis merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari (gironi dan piemonte, 2011). salah satu solusi pemecahan masalah ini adalah dengan mengganti bahan dasar plastik konvensional tersebut menjadi bahan yang mudah diuraikan oleh bakteri pengurai, yang disebut dengan plastik biodegradabel (bioplastik). keuntungan dari bioplastik ini sangat jelas, yaitu mengurangi limbah plastik yang semakin lama jumlahnya semakin bertambah. bioplastik dirancang untuk memudahkan proses degradasi terhadap reaksi enzimatis mikroorganisme seperti bakteri dan jamur (avella, 2009). salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan membuat bioplastik adalah pati. pati menjadi material yang menjanjikan untuk bahan plastik karena sifatnya yang universal, dapat diperbaharui, dan harga terjangkau (ma dkk., 2009). komponen bioplastik berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui dan mengandung pati atau selulosa. penggunaan pati dalam pembuatan bioplastik dikarenakan pati mudah didegradasi oleh alam menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. hingga saat ini telah banyak pengembangan bioplastik dari bahanbahan alam yang telah dilakukan, misalnya dari umbi-umbian (septiosari, 2014). salah satu solusi alternatif yaitu melalui pengembangan plastik biodegradabel, dengan menggunakan pati erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 78 termoplastis (saputra dkk., 2015). ada dua bahan baku utama yang dapat dipakai dalam pembuatan plastik biodegradabel, yakni produk dari hewani (kitosan) dan produk tanaman (pati dan selulosa). bahan baku yang mengandung pati banyak terkandung pada tanaman-tanaman seperti umbiumbian yang melimpah di indonesia. salah satunya umbi-umbian ini adalah ubi nagara (ipomoea batatas l) yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan plastik biodegradabel karena memiliki sumber pati yang melimpah. menurut darni dan utami (2010), kelemahan bioplastik berbahan baku pati adalah tidak tahan air (hidrofilik). penambahan bahan yang bersifat hidrofobik seperti selulosa, kitosan, dan protein dapat dilakukan untuk memperbaiki kelemahan ini. setiani dkk. (2013) menyatakan penambahan kitosan bertujuan meningkatkan sifat mekanik pati. penambahan selulosa pada pembuatan plastik biodegradabel dapat menambah sifat fisik dan mekanik pada plastik biodegradabel (susanti, 2009). salah satu produk turunan dari selulosa adalah karboksimetil selulosa atau yang biasa dikenal dengan cmc (carboxymethyl cellulose). cmc banyak digunakan dalam industri farmasi, detergen, tekstil, kosmetik, dan industri pangan, sedangkan pada bahan pangan cmc berfungsi sebagai pengental, penstabil emulsi dan bahan pengikat (nur dkk., 2016). berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, sampai saat ini penelitian mengenai sintesis bioplastik pati ubi nagara dengan penambahan cmc ini belum pernah dilakukan. berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini dilakukan analisis pengaruh penambahan cmc terhadap karakteristik bioplastik dari pati ubi nagara yang meliputi analisis gugus fungsi menggunakan spektrofotometer infra merah, daya serap dan uji ketahanan terhadap uap air, serta sifat mekanik. metodologi alat dan bahan alat–alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hot plate stirrer (stuart), neraca analitik (ohaus), gelas ukur (pyrex), pengaduk kaca, thermometer raksa (lotus), cawan petri (pyrex), gelas piala (schott duran), spatula besi, universal testing machine (and mct-2150), fourier transfrom infra-red spectroscopy (shimadzu prestige 21), oven (memmert), cawan porselin (haldenwanger), desikator (duran) dan micrometer (toki). sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati ubi nagara, carboxymethyl cellulose (cmc), gliserol, dan akuades. prosedur kerja proses pembuatan bioplastik gliserol dan na-cmc dicampurkan dalam beberapa variasi komposisi dalam 100 ml akuades. campuran dimasukkan ke dalam gelas piala dan diaduk menggunakan stirrer selama 50 menit, kemudian ditambahkan pati ubi nagara sebanyak 5 gram, lalu dipanaskan pada suhu 8090 o c dan dilakukan pengadukan menggunakan stirrer dengan waktu 40 menit. campuran didiamkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pencetakan selama 5 menit untuk menghindari adanya gelembung-gelembung pada plastik. campuran yang telah diaduk dituangk pada cetakan cawan petri lalu dikeringkan di dalam oven dengan suhu 55 o c selama 5-6 jam. bioplastik yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer infra merah, uji ketebalan menggunakan mikrometer sekrup, analisi daya serap, ketahanan, laju transmisi uap air serta kekuatan mekaniknya. variasi komposisi cmc pembuatan bioplastik secara detail ditunjukkan pada tabel 1. tabel 1. variasi komposisi cmc pembuatan bioplastik komposisi pati gliserol cmc 1 5 gram 30% 0% 2 5 gram 30% 3% 3 5 gram 30% 6% 4 5 gram 30% 9% 5 5 gram 30% 12% hasil dan pembahasan proses pembuatan bioplastik pembuatan bioplastik dalam penelitian ini menggunakan metode melt intercalation. menurut aripin dkk. (2017), metode melt intercalation merupakan teknik inversi fasa dengan penguapan pelarut setelah proses pencetakan yang dilakukan pada plat kaca. melt intercalation merupakan metode yang ramah lingkungan karena tidak menggunakan pelarut organik yang nantinya dapat menjadi limbah. erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 79 metode melt intercalation biokomposit bertujuan untuk menguatkan material, yaitu dengan cara memanaskan dan mendinginkan material aripin dkk. (2017). pembuatan bioplastik dengan variasi konsentrasi cmc bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi cmc terhadap sifat fisik dan mekanik bioplastik yang dihasilkan. pembuatan bioplastik divariasikan dengan jumlah filler 0%, 3%, 6%, 9%, dan 12% cmc (b/b) dari pati yang dipergunakan. konsentrasi gliserol yang digunakan adalah sebesar 30% (b/b) dari berat matriks pati ubi nagara. penampakan fisik bioplastik tanpa gambar 1. penampakan fisik bioplastik dengan variasi penambahan: a) 0% cmc; b) 3% cmc; c) 6% cmc; d) 9% cmc; e) 12% cmc gambar 2. spektrum ft-ir plastik biodegradabel dengan penambahan: a) 0% cmc; b) 3% cmc; c) 6% cmc; d) 9% cmc; e) 12% cmc erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 80 penambahan cmc memiliki warna coklat transparan sedangkan penambahan konsentrasi cmc menghasilkan bioplastik yang semakin transparan dan semakin elastis. bioplastik yang transparan ini ditimbulkan oleh penambahan cmc yang merupakan serbuk mudah larut dalam air sehingga penambahan cmc dengan konsentrasi yang berbeda akan menghasilkan bioplastik dengan penampakan fisik yang berbeda pula. gambar 1 menunjukkan foto hasil bioplastik dengan variasi cmc 0%, 3%, 6%, 9%, dan 12%. karakterisasi analisis ftir uji ftir (fourier transform infrared spectroscopy) dilakukan untuk menentukan perubahan gugus fungsi pada bioplastik yang dihasilkan. identifikasi gugus fungsi dalam sampel berdasarkan posisi pita serapan dalam spektrum yang disajikan dalam gambar 2. seperti yang terlihat pada gambar 2 spektrum ftir bioplastik tanpa penambahan cmc dan bioplastik dengan penambahan cmc memiliki daerah serapan yang tidak jauh berbeda. serapan utama yang terdapat pada bioplastik ini terdapat pada bilangan gelombang sekitar 1030 cm -1 , 1635 cm -1 , 2920 cm -1 , dan 3420 cm -1 . daerah area sidik jari spektrum terdapat pada serapan panjang gelombang 1030 – 500 cm -1 yang merupakan gugus spektrum regangan c-o dari ikatan c-o-c. menurut wang dkk. (2009), ikatan c-o-c berasal dari cincin anhydroglucose starch. daerah sidik jari dari spektrum ir ini mengandung sejumlah besar puncak serapan untuk berbagai macam ikatan tunggal. daerah serapan pada bilangan gelombang 1635 cm -1 merupakan karakteristik dari gugus fungsi –c=o yang berasal dari cmc. pita serapan pada 2920 cm -1 merupakan karakteristik dari gugus c-h. ikatan c-h ini berasal dari pati, cmc, dan juga gliserol yang digunakan dalam penelitian ini. pita serapan pada bilangan gelombang 3420 cm -1 merupakan karakteristik gugus fungsi o-h yang menunjukkan adanya ikatan hidrogen. gugus oh ini berasal dari unit glukosa, gliserol, dan cmc sedangkan ikatan hidrogen terjadi ketika sebuah molekul atom o yang terdapat pada cmc berinteraksi dengan atom h dari amilosa dan amilopektin. interaksi hidrogen juga dapat terjadi antar amilosa maupun amilosa dengan amilopektin (setiawan dkk., 2015). gambar 2 juga menunjukkan bahwa spektrum bioplastik tanpa penambahan cmc dibandingkan dengan penambahan cmc menunjukkan adanya perbedaan serapan pada bilangan gelombang tertentu. gambar 2 menunjukkan hasil ftir bioplastik tanpa cmc terlihat adanya serapan gugus oh dalam intensitas yang kecil. setelah ditambahkan cmc intensitas serapan bilangan gelombang menjadi semakin lebar. hasil analisis ftir terhadap gugus utama bioplastik dan perbandingannya ditunjukkan pada tabel 2. tabel 2 menunjukkan bahwa bioplastik dari pati ubi nagara dengan cmc sebagai filler memiliki gugus fungsi utama o-h, c-h, -c=o, dan c-o. hal ini sesuai dengan penelitian tabel 2. hasil analisis ftir terhadap gugus utama bioplastik dan perbandingannya gugus fungsi bilangan gelombang bioplastik (cm -1 ) (saputro dkk, 2017) (agustin dkk, 2016) 0% (b/b) cmc 3% (b/b) cmc 6% (b/b) cmc 9% (b/b) cmc 12% (b/b) cmc oh str. (pati, gliserol, cmc) 3427,51 3382 3286 3426 3425,58 3425,58 3425,58 3425,58 3448,72 c-h str. (pati, gliserol, cmc) 2881,65 2929 2880 2922 2924,09 2924,09 2924,09 2924,09 2924,09 c=o (cmc) 1635,64 1635,64 1635,64 1635,64 1635,64 c-o, c-c str. (pati) 1026,13 894,97 1041,56 1033,85 1041,56 1026,13 1033,85 erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 81 saputro dkk. (2017), bahwa gugus fungsi utama bioplastik dari pati ganyong dengan filler kitosan berupa o-h, c-h, dan c-o. pada penelitian agustin dkk. (2016) dihasilkan gugus fungsi utama bioplastik dari kitosan-pati kulit pisang kepok dengan penambahan zat aditif berupa oh, dan c-h. dari hasil spektrum bilangan gelombang tidak terjadi pergeseran yang signifikan. pergeseran bilangan gelombang puncak terjadi pada serapan gugus oh dari 3425,58 cm -1 menjadi 3448,72 cm -1 , serapan gugus c-o dari 1041,56 cm -1 menjadi 1033,85 cm -1 dan 1026,13 cm -1 . pergesaran bilangan gelombang ini menunjukkan terjadinya perubahan tingkat energi. pada gugus fungsi o-h energi yang dihasilkan semakin tinggi sehingga terjadi peningkatan bilangan gelombang, sedangkan pada gugus fungsi c-o, c-c energi yang dihasilkan semakin rendah sehingga terjadi penurunan bilangan gelombang. hal ini sesuai dengan rumus energi berbanding lurus dengan panjang gelombangnya. semakin rendah energi yang dihasilkan semakin stabil suatu molekul. pada spektrum bilangan gelombang tidak ditemukan adanya puncak gugus fungsi baru yang muncul. hal ini menunjukkan bahwa bioplastik yang terbentuk merupakan hasil pencampuran secara fisik (saputro dkk., 2017). analisis ketebalan bioplastik bioplastik yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan mikrometer sekrup. pengukuran dilakukan pada lima tempat yang berbeda untuk mendapatkan ketebalan ratarata. hasil analisis ketebalan yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3. hasil ketebalan bioplastik dengan cmc sebagai filler cmc (%) ketebalan (mm) 0 0,130 3 0,157 6 0,160 9 0,166 12 0,169 tabel 3 menunjukkan bahwa ketebalan bioplastik yang semakin meningkat seiring dengan penambahan cmc. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh nurindra dkk. (2015) yang memperoleh nilai ketebalan bioplastik dari pati propagul mangrove lindur yang semakin meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi cmc hingga 1,2%. penelitian budiman (2017) juga menunjukkan nilai ketebalan bioplastik yang semakin meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi pati buah lindur hingga 2%. peningkatan ketebalan pada penelitian ini disebabkan karena semakin banyak total padatan yang terdapat pada larutan maka semakin tebal pula film (handayani, 2010). menurunnya ketebalan dipengaruhi oleh banyaknya padatan terlarut, luas permukaan, distribusi padatan terlarut, dan proses pencetakan. ketebalan yang paling besar pada penelitian ini sebesar 0,169 mm pada penambahan cmc 12% (b/b). nilai ketebalan yang diperoleh tersebut sudah tergolong baik karena berada di bawah standar maksimal ketebalan bioplastik menurut japanese industrial standart yaitu 0,25 mm (jis, 1975). analisis daya serap air bioplastik uji daya serap air bioplastik dilakukan untuk mengetahui mudah atau tidaknya bioplastik dalam menyerap air. bioplastik yang baik ialah bioplastik yang sukar dalam menyerap air yang dicirikan dengan memiliki nilai daya serap air yang semakin rendah. hasil analisis daya serap air yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. hasil daya serap air bioplastik dengan cmc sebagai filler cmc (%) daya serap air (%) 0 36,364 3 41,270 6 46,341 9 51,724 12 56,604 tabel 4 menunjukkan hasil daya serap air bioplastik pada penelitian ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya konsentrasi cmc. peningkatan ini diperoleh akibat adanya air yang berdifusi ke film bioplastik. pada penelitian ini digunakan cmc sebagai filler yang bersifat hidrofilik, maka semakin besar komposisi cmc yang ditambahkan semakin tinggi pula tingkat daya serap air bioplastik. hal ini juga dijelaskan pada penelitian siswanti (2008) menyatakan bahwa peningkatan jumlah komponen yang bersifat erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 82 hidrofilik diduga menyebabkan peningkatan persentase daya serap air bioplastik. pada penelitian ini digunakan komposisi bioplastik dari pati, gliserol, dan cmc. ketiga bahan ini bersifat hidrofilik sehingga mampu mengikat air dan dapat membentuk ikatan hidrogen. nilai daya serap air terbaik pada penelitian ini sebesar 36,364% pada konsentrasi 0% cmc (b/b). analisis ketahanan air bioplastik analisis ketahanan air dilakukan untuk mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer serta tingkatan atau keteraturan ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui persentase penambahan berat polimer setelah terjadi penyerapan air. sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu persentase pengembangan bioplastik oleh adanya air, semakin rendah nilai penyerapan air maka sifat bioplastik akan semakin baik sedangkan semakin tinggi penyerapan air maka sifat bioplastik akan mudah rusak (coniwanti dkk., 2014). hasil analisis ketahanan air yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5. tabel 5. hasil uji ketahanan air bioplastik dengan cmc sebagai filler cmc (%) ketahanan air (%) 0 63,206 3 50,086 6 54,486 9 44,023 12 32,458 tabel 5 menunjukkan ketahanan air yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya konsentrasi cmc. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh rifaldi dkk. (2017) yang memperoleh nilai ketahanan air yang semakin rendah seiring dengan bertambahnya konsentrasi gliserol dan filler clay. dari hasil yang didapatkan ketahanan tertinggi sebesar 63,206% dengan konsentrasi 0% cmc (b/b). hal ini mengindikasikan bahwa penambahan cmc berpengaruh terhadap penyerapan air. semakin banyak cmc yang ditambahkan membuat film mudah untuk menyerap air dan menyebabkan ketahanan airnya semakin rendah. cmc yang bersifat hidrofilik ini membuat air mudah masuk ke dalam matriks bioplastik dan menyebabkan bioplastik mudah rusak atau rapuh. nilai ketahanan air terbaik pada penelitian ini sebesar 63,206% pada konsentrasi 0% cmc (b/b). analisis laju transmisi uap air uji laju transmisi uap air adalah salah satu uji yang menyatakan jumlah uap air yang dapat melewati lapisan film bioplastik. laju transmisi uap air didapatkan dari selisih berat bioplastik dibagi luas permukaan per harinya. hasil analisis transmisi uap air yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 6. tabel 6 menunjukkan hasil laju transmisi uap air yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini cenderung mengalami penurunan. jika dibandingkan dengan penelitian nurindra dkk. (2015) yang melakukan variasi konsentrasi 0%, 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, 1%, dan 1,2% cmc (b/b) dari pati lindur didapatkah hasil nilai transmisi uap air semakin berkurang seiring dengan penambahan konsentrasi cmc hingga 1,2% cmc (b/b). penelitian agustin dkk. (2016) yang menunjukan hasil laju transmisi uap air dari pati kulit pisang kepok mengalami penurunan seiring dengan penambahan konsentrasi zno hingga 5%. tabel 6. hasil uji transmisi uap air bioplastik dengan cmc sebagai filler cmc (%) transmisi uap air (g/m 2 /hari) 0 35,032 3 20,701 6 10,350 9 6,370 12 9,554 penurunan nilai transmisi uap air terjadi karena cmc mempunyai resistansi yang lebih baik terhadap air jika dibandingkan dengan matriks pati, penambahan cmc memberikan penghalang bagi molekul air untuk lewat (ma dkk., 2009). bioplastik yang mempunyai konsentrasi selulosa dalam hal ini digunakan cmc cenderung memiliki nilai transmisi uap air yang cenderung kecil seiring dengan penambahan konsentrasi cmc. hal tersebut dikarenakan cmc mempunyai gugus oh yang menghasilkan ikatan polimer-penguat yang menggantikan beberapa ikatan polimer-polimer dalam bioplastik. gugus oh tersebut dapat mengabsorbsi dan mengikat air. nilai transmisi erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 83 uap air terbaik pada penelitian ini sebesar 6,370 g/m2/hari pada penambahan konsentrasi cmc 9% (b/b). nilai transmisi uap air ini sudah memenuhi japanese industrial standart 2-1707 dimana nilai transmisi uap air maksimal adalah 7 g/m 2 /hari (jis, 1975). pengujian sifat mekanik uji sifat mekanik bertujuan untuk mengetahui karakteristik sifat mekanik bioplastik pati ubi nagara dengan penambahan cmc. tensile strength adalah ukuran kekuatan film secara spesifik, merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus atau sobek (krochta dan johnston, 1997). elongasi merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. pengujian sifat mekanik dilakukan dengan metode uji astm d638-02a-2002 untuk uji tarik dan metode uji ik-mt-30.71 untuk kuat ulur (elongasi). hasil pengujian sifat mekanik pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 7. tabel 7. data hasil kuat tarik dan elongasi bioplastik cmc (%) kuat tarik (n/mm 2 ) elongasi (%) 0 0,2894 109,2 3 0,3574 111,0 6 0,3126 113,0 9 0,5281 114,7 12 0,4739 116,1 tabel 7 menunjukkan bahwa nilai kuat tarik dan elongasi bioplastik cenderung mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya konsentrasi cmc. tabel 7 menunjukkan bahwa kuat tarik yang dimiliki bioplastik pada penelitian ini umumnya cenderung mengalami kenaikan seiring dengan peningkatan jumlah cmc yang ditambahkan. penelitian rifaldi dkk. (2017) tentang pembuatan bioplastik dari pati sagu memperoleh nilai kuat tarik mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya konsentrasi filler clay hingga 12% (b/b). hal ini mengindikasikan bahwa penambahan cmc membuat struktur molekul menjadi amorf. pada struktur molekul amorf, rantai-rantai bercabang namun tidak tersusun secara rapat sehingga jarak antar molekul menjadi lebih jauh dan kekuatan ikatan molekul menjadi melemah. lemahnya kekuatan ikatan molekul dalam film ini menyebabkan semakin rendahnya gaya yang dibutuhkan untuk memutuskan film tersebut (devia, 2006). kuat tarik terbaik pada penelitian ini adalah pada penambahan cmc 9% sebesar 0,5281 n/mm2. nilai kuat tarik ini telah memenuhi japanese industrial standart dimana kuat tarik minimum adalah 0,35 n/mm 2 (jis, 1975). tabel 7 menunjukkan nilai elongasi yang dimiliki bioplastik mengalami peningkatan seiring bertambahnya konsentrasi cmc. hal ini sesuai dengan penelitian nurindra dkk. (2015) yang memperoleh nilai elongasi dari pati lindur mengalami peningkatan seiring dengan penambahan konsentrasi cmc sampai 1,2% (b/b). penelitian yuniarti dkk. (2014) yang memperoleh nilai elongasi dari pati sagu mengalami peningkatan seiring dengan penambahan konsentrasi asam asetat sampai 5,6% (b/b). peningkatan nilai elongasi ini dikarenakan cmc memiliki gel strength yang tinggi. penggunaan cmc dalam jumlah yang lebih besar akan meningkatkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga matriks gel dapat meningkatkan persen pemanjangan dari film. elongasi terbaik pada penelitian ini adalah pada penambahan cmc 12% sebesar 116,1%. kesimpulan penambahan cmc terhadap hasil sintesis bioplastik dari pati ubi nagara berpengaruh terhadap karakteristik bioplastik yang dihasilkan, yaitu meningkatkan nilai ketebalan, daya serap air, kuat tarik, elongasi, dan menurunkan ketahanan, serta transmisi uap air. berdasarkan data kuat tarik dan laju transmisi uap air yang diperoleh, penambahan konsentrasi cmc optimum adalah sebesar 9% cmc (b/b) dengan nilai kuat tarik tertinggi dan transmisi uap air terendah sebesar 0,5281 n/mm 2 dan 6,370 g/m2/hari. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada laboratorium kimia biomaterial fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas lambung mangkurat yang telah memberikan fasilitas untuk pelaksanaan penelitian ini. erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 84 daftar pustaka agustin, y.e., padmawijaya, k.s., 2016, sintesis bioplastik dari kitosan pati-kulit pisang kepok dengan penambahan zat aditif, j. teknik kimia, 10(2), 40-48. aripin, s., saing, b., kustiyah, e., 2017, studi pembuatan bahan alternatif plastik biodegradable dari pati ubi jalar dengan plasticizer gliserol dengan metode melt intercalation, j.teknik mesin, 6(2), 18-23. avella, m., buarovska, a., errico, m.e., gentile, g., grozdno, a., 2009, eco-challenges of bio-based polymer composites, materials, 2, 911-925. budiman, j., 2017, karakteristik bioplastik dari pati buah lindur (bruguiera gymnorrizha). skripsi, fakultas pertanian, universitas sriwijaya, indralaya. coniwanti, p., laila, l., alfira, m.r., 2014, pembuatan film plastik biodegradabel dari pati jagung dengan penambahan kitosan dan pemplastis gliserol, j.teknik kimia, 4(20), 22-30. darni, y., utami, h., 2010, studi pembuatan dan karakteristik sifat mekanik dan hidrofobisitas bioplastik dari pati sorgum. j. rekayasa kimia dan lingkungan, 7(4), 88-93. delvia, v., 2006, kajian pengaruh penambahan dietilen glikol sebagai pemplastis pada karakteristik bioplastik dari poli-bhidroksialkanoat (pha) yang dihasilkan ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat pati sagu, skripsi, fakultas teknologi pertanian, institut pertanian bogor, bogor. gironi, f., piemonte, v., 2011, bioplastic and petroleum-based plastics: strengs and weaknesses, energy source, 33, 19491959. handayani, a., 2010, pembuatan dan karakterisasi film biodegradable dari kitosan/pla (polu lactid acid) dengan pemlastis polietilen glikol (peg), skripsi, fakultas teknologi pertanian, institut pertanian bogor, bogor. japanese industrial standard 2-1707, 1975, japanese standard association, japan krochta, j.m., johnston, m., 1997, edible and biodegradable polymer films: challenges and opportunities, j. food tech., 51(2), 6174. ma, x., chang, p.r., yang, j., yu, j., 2009, preparation and properties of glycerol plasticized-pea starch/zinc oxide bionanocomposite, biores. tech., 100(11), 2832-41. marbun, e.s., 2012, sintesis bioplastik dari pati ubi jalar menggunakan penguat logam zno dan penguat alami selulosa, skripsi, fakultas teknik, universitas indonesia, depok. nur, r., tamrin, muzzakar, z., 2016, sintesis dan karakterisasi cmc (carboxymethyl cellulose) yang dihasilkan dari selulosa jerami padi, j. sains dan teknologi pangan, 1(3), 222-231. nurindra, a.p., alamjsah, m.a., sudarno, 2015, karakterisasi edible film dari pati propagul mangrove lindur (bruguiera gymnorrhiza) dengan penambahan cmc carboxymethyl cellulose (cmc) sebagai pemlastis, j. ilmiah perikanan dan kelautan, 7(2), 125132. rifaldi, a., irdoni, h.s., bahruddin, 2017, sifat dan morfologi bioplastik berbasis pati sagu dengan penambahan filler clay dan plasticizer gliserol, j. online mahasiswa fakultas teknik, 4(1), 1-7. saputra, a., lutfi, m., masruroh, e., 2015, studi pembuatan dan karakteristik sifat mekanik plastik biodegradable berbahan dasar ubi suweg (amorphophallus campanulatus), j. keteknikan pertanian tropis dan biosistem, 3(1), 1-6. saputro, a.n.c., ovita, l., 2017, sintesis dan karakterisasi bioplastik dari kitosan-pati ganyong (canna edulis). j. kimia dan pendidikan kimia, 2(1), 13-21. septiosari, a., latifah, l., kusumastuti, e., 2014, pembuatan dan karakterisasi bioplastik limbah biji mangga dengan penambahan selulosa dan gliserol, indo. j. chem. sci., 3(2), 157-162. setiani, w., sudiarti, t., rahmidar, l., 2013, preparasi dan karakterisasi edible film dari poliblend pati sukun-kitosan, valensi, 3(2), 100-109. setiawan, h., faizal, r., amrullah, a., 2015, penentuan kondisi optimum modifikasi konsentrasi plasticizer sorbitol pva pada sintesa plastik biodegradable berbahan dasar pati sorgum dan kitosan limbah kulit udang. j.sains dan teknologi, 13(1), 29-38. erni puryati ningsih dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 77 -85 85 siswanti, 2008, karakterisasi edible film dari tepung komposit glukomanan umbi ilesiles (amorphopallus muelleri blume) dan tepung maizena, skripsi, universitas sebelas maret, surakarta. susanti, jasruddin, subaer, 2009, sintesis komposit bioplastik berbahan dasar tepung tapioka dengan penguat serat bambu, j. sains dan pendidikan fisika, 11(2), 179-184. yuniarti, l.i., hutomo, g.s., rahim a., 2014, sintesis dan karakterisasi bioplastik berbasis pati sagu (metroxylon sp). agrotekbis, 2(1), 38-46. wang, n., zhang, x., han, n., bai, s., 2009. effect of citric acid and processing on the performance of thermoplastic strach/montmorillonite nanocomposites. carbohydrate polym, 76(1), 68-73. indochem ind. j. chem. res., 2014, 2, 155 159 155 bioethanol production from waste coconut water through fermentation process pembuatan bioetanol dari limbah air kelapa melalui proses fermentasi dominggus malle 1, *, i.b.d. kapelle 2 , flourence lopulalan 2 1faculty of agriculture pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 abstract bioetanol can be produced through glucose fermentation using saccharomyces cerevisiae. was done to make coconut water contains small amount of carbohydrate. a researcher had taken research was done to make bioetanol from coconut water waste. the result of the research shows that coconut water fermentation with yeast has maximum speed after 70 minutes incubation. the fermentation solution was then destilated. bioetanol purity was about 76-80% after hplc analysis. pendahuluan krisis energi yang melanda dunia membuat kelangkaan bahan bakar minyak (bbm) dan kenaikan harga bbm sudah tidak bisa diatasi lagi. persediaan minyak bumi dunia semakin menipis dan harganyapun terus melonjak seiring dengan perkembangan teknologi dan industri. sehingga kebutuhan akan sumber energi makin meningkat terutama minyak bumi. untuk itu, pencarian energi alternatif berbasis tumbuhtumbuhan (nabati) merupakan salah satu pilihan guna membuat bioetanol sebagai sumber energi alternatif (rahmanto, 2009). salah satu bahan alternatif bahan bakar minyak (bbm) non fosil adalah bioetanol terbarukan yang potensial untuk dikembangkan di indonesia. bioetanol sebagai salah satu bahan bakar alternatif masyarakat belum diterapkan sama sekali karena masih dalam tahap penelitian dan uji coba. padahal di indonesia, banyak sekali sumber daya alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi bioetanol (hananto putro dan ardhiany, 2010). salah satu sumber daya alam hayati yang dapat digambarkan sebagai bahan baku adalah kelapa. kelapa merupakan sumber daya alam indonesia yang sangat potensial. pohon kelapa dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh wilayah indonesia. masyarakat pada umumnya sangat akrab dengan kelapa karena penggunaannya sebagai santan pada masakan sehari-hari, ataupun sebagai minyak kelapa. sebut saja pemanfaatan kelapa sebagai bahan baku kosmetik, kopra putih, pernak-pernik barang seni, bahan pembuatan shampoo, margarin, karbon aktif, bahan baku obat-obatan, dan lain sebagainya. karena begitu ragamnya manfaat dari kelapa ini, maka tidaklah mengherankan jika kelapa mendapat julukan sebagai pohon kehidupan (the tree of life). pengolahan kelapa secara industri biasanya menyisakan air kelapa yang tidak dimanfaatkan atau dibuang (limbah). namun, air kelapa masih mengandung gulagula sederhana yang dapat dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi. bioetanol merupakan cairan hasil proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat (pati) menggunakan bantuan mikroorganisme (anonim, 2011). produksi bioetanol dari tanaman yang mengandung pati atau *corresponding author, e-mail: d.malle@faperta.unpatti.ac.id received: june 2014 published: july 2014 keyword : bioetanol, coconut water, distillation, fermentation dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 155 -159 1 156 karbohidrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula atau glukosa dengan beberapa metode diantaranya dengan hidrolisis asam dan secara enzimatis. glukosa yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses fermentasi atau peragian dengan menambahkan yeast atau ragi sehingga diperoleh bioetanol. bioetanol yang dihasilkan mempunyai banyak manfaat diantaranya digunakan untuk bahan dasar industri farmasi dan campuran bahan bakar kendaraan. jika bioetanol dipakai sebagai campuran bahan bakar maka akan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. dan jika dapat mengurangi ketergantungan pemakaian bahan bakar fosil maka dapat mengurangi produksi gas rumah kaca dan gas-gas penyebab hujan asam. penggunaan bahan bakar etanol ini tidak menimbulkan pencemaran udara sehingga aman untuk digunakan (ishom dkk,2007). metodologi alat dan bahan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas, satu set alat destilasi fine, autoclave tomy es-215, hotplate dan magnet stirer cimarec, neraca analitik ohauss adventure tm pro, termometer, stopwatch, corong, batang pengaduk, kromatografi cair (hplc) (waters), botol fermentor sederhana, spektroskopi uv-vis. bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air kelapa, ragi/khamir (saccharomyces cerevisiae), k2hpo4 (biobasic inc), mgso4.7h2o (biobasic inc), (nh4)2so4 (biobasic inc), akuabides, dns (dinitro salisilat) prosedur kerja persiapan sampel dan analisis kandungan gula pereduksi sebanyak 5 l limbah air kelapa diperoleh dari pedagang kelapa di pasar passo, selanjutnya disaring dan diambil filtratnya. sebanyak 1 ml filtrat limbah air kelapa dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml reagen dns, dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit kemudian didinginkan dalam air es. selanjutnya ditambahkan 8 ml akuades dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis pada 540 nm. tahap fermentasi sebanyak 500 ml filtrat dimasukkan ke dalam botol fermentor kemudian ditambahkan 0,875 g k2hpo4 dan ditambahkan 30 g ammonium sulfat dan diaduk hingga larut. kemudian ditambahkan 8,75 g ragi, diaduk selanjutnya dilakukan inkubasi dengan cara menutup rapat botol fermentor pada suhu 30ºc. pengambilan cuplikan dilakukan disetiap variasi waktu pertama, kedua, ketiga dan seterusnya sampai proses fermentasi berhenti. setelah itu siap didestilasi. tahap destilasi destilasi i cairan hasil proses fermentasi diambil sebanyak 200 ml, dimasukkan ke dalam botol destilasi dan ditambahkan batu didih kemudian dipanaskan hingga mendidih. dikumpulkan destilat pada suhu 90ºc, diuji berat jenis dalam massa etanol/ml destilat dengan menggunakan metode jeffers (2000) (grafik). destilasi ii prosedur dilakukan seperti pada destilasi tahap pertama. semua fraksi destilat yang mendidih pada suhu 80ºc dikumpulkan. selanjutnya dilakukan uji berat jenis etanol sesuai metode grafik jeffers (2000). analisis kadar bietanol hasil yang diperoleh dari proses destilasi tahap 2, dianalisis pada laboratorium balai pengkajian bioteknologi, bppt serpong, tangerang dengan menggunakan metode hplc/kckt, dengan kondisi operasi sebagai berikut : 1. fase gerak : h2so4 0,008 n 2. laju alir : 1ml/menit 3. tekanan pompa : 1082-1106 psi 4. jenis kolom : aminex hpx-87h 5. jenis detektor : detektor ri (refractive index) dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 155 -159 1 157 hasil dan pembahasan pembuatan larutan standar glukosa sampel air kelapa diambil dari buah kelapa tua yang dikumpulkan dari pasar passo kemudian disaring dan diperoleh sebanyak 5 l air kelapa tua yang bersih. penyaringan dimaksudkan untuk memisahkan air kelapa dari pengotor seperti seratserat kelapa. larutan standar seri dibuat dengan mencampurkan larutan glukosa standar dengan akuades dan larutan standar dns, kemudian dipanaskan selama 5 menit untuk mempercepat reaksi tersebut. selanjutnya dihentikan dengan cara pendinginan di dalam air dingin sebelum diukur absorbansinya gambar 1. grafik kurva standar sebanyak 100 μl dan 300 µl larutan air kelapa diukur absorbansinya, dan kandungan gula pereduksi limbah air kelapa berkisar antara 153,12-181,29 mg/l. ; dengan y sebagai absorbansi tabel 1. data absorbansi sampel air kelapas tabung volume air kelapa (µl) absorbansi konsentrasi glukosa (mg/l) 1 100 1.114 181,29 2 300 2 . 6 9 9 459,36 fermentasi glukosa menjadi alkohol proses fermentasi bertujuan untuk mengubah glukosa menjadi etanol. proses fermentasi air kelapa menggunakan ragi (saccharomyces cerevisiae), k2hpo4, ammonium sulfat dan magnesium sulfat selama 6 jam pada kisaran suhu kamar. hal ini disebabkan karena pertumbuhan mikroba sangat tergantung pada glukosa sebagai sumber energi. ragi mempunyai kemampuan untuk dapat memfermentasi glukosa karena peragian dengan saccharomyces cerevisiae merupakan peristiwa anaerob sehingga oksigen tidak ikut serta pada proses peragian. semua mikroorganisme memerlukan makanan dan nutrien, oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan air kelapa sebagai sumber energi. saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang sangat banyak digunakan pada proses fermentasi alkohol, karena dapat berproduksi tinggi, cukup tahan terhadap alkohol, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif pada suhu 4-32ºc (kartika, dkk., 1992). saccharomyces cerevisiae juga akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat, selanjutnya asam piruvat mengalami dehidrogenasi menjadi bioethanol (lehninger, 1982). dalam proses fermentasi glukosa, tidak hanya dihasilkan etanol tetapi juga gas karbondioksida (co2). c6h12o6 + h2o 2c2h5oh + 2co2 jumlah gas karbondioksida yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi bioetanol yang dihasilkan, oleh sebab itu, dengan menghitung jumlah gelembung gas co2 yang dihasilkan per satuan waktu dapat ditentukan kecepatan reaksi fermentasinya. pengamatan jumlah gelembung gas ini dilakukan pada suhu yang konstan yaitu 30ºc. gambar 4. grafik kecepatan fermentasi (pengamatan gelembung) berdasarkan grafik pada gambar 4, dapat dilihat bahwa kecepatan maksimum fermentasi air kelapa dengan ragi terjadi pada dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 155 -159 1 158 menit ke 70. hal ini menunjukkan bahwa pada menit ke 70, jumlah glukosa yang dapat difermentasi oleh ragi menjadi etanol berada pada jumlah konsentrasi maksimal, setelah itu konsentrasi glukosa menurun seiring dengan berkurangnya gelembung. setelah menit ke 70, jumlah glukosa sebagai substrat sudah menjadi berkurang dan konsentrasi etanol terus bertambah yang menghambat aktivitas saccharomyces cerevisiae. destilasi bioetanol untuk mendapatkan bioetanol, setelah proses fermentasi selesai dapat dilakukan dengan proses destilasi. hal pertama yang dilakukan adalah menyaring hasil fermentasi yang bertujuan untuk memisahkan larutan hasil fermentasi dengan pengotor atau residu yang terbentuk selama proses fermentasi. larutan hasil fermentasi ini masih berupa campuran antara air dan etanol, sehingga untuk memisahkan alkohol dari air dapat dilakukan dengan cara destilasi. destilasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah destilasi biasa yang dilakukan pada suhu 80ºc, karena titik didih etanol adalah 78ºc sedangkan titik didih air 100ºc. etanol yang dihasilkan berupa cairan bening. etanol yang dihasilkan dari destilasi pertama, biasanya memiliki kadar yang lebih rendah dari hasil redestilasi. hal ini disebabkan pada destilasi yang pertama kadar air yang terdapat dalam larutan fermentasi cukup banyak dibandingkan kadar etanol sehingga, jumlah air yang turut menguap dan terbawa dalam destilat cukup banyak, maka kadar etanol menjadi rendah. pada proses redestilasi, kadar air yang terdapat dalam destilat pertama hanya sedikit sehingga hasil redestilasi dapat menghasilkan kadar etanol yang lebih baik. analisis kadar etanol dengan menggunakan hplc kadar etanol dari air kelapa yang diperoleh dengan cara redestilasi setelah dilakukan analisis dengan high performance liquid chromatography (hplc) dapat dilihat pada lampiran 5, terlihat bahwa jumlah peak dalam kromatogram standar lebih tinggi dibandingkan dengan kromatogram sampel. hal ini dikarenakan dalam proses dehidrasinya dilakukan hanya satu kali. terlihat pula pada lampiran 6 bahwa kadar etanol yang diperoleh melalui fermentasi berkisar 73% atau 6,3 g / 10 ml etanol, hal ini dapat terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan dari fermentasi antara lain mikroorganisme dan media yang digunakan serta kemampuan fermentasi mikroorganisme dan kondisi selama fermentasi. dalam penelitian ini, larutan hasil fermentasi masih berupa campuran air dengan alkohol dan untuk memisahkannya dilakukan destilasi yang merupakan proses pemisahan berdasarkan titik didih. destilasi yang dilakukan pada penelitian adalah destilasi biasa yang dilakukan pada suhu 80ºc. kesimpulan berdasarkan tujuan, hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: bioetanol yang merupakan alkohol dihasilkan dari fermentasi air kelapa (cocos nucifera), berupa cairan bening dan memiliki kadar etanol 73% atau 6,3 g/10 ml. daftar pustaka aryo bogadenta. 2013. manfaat air kelapa dan minyak kelapa. pengetahuan kesehatan indonesia. penerbit flash books, jakarta. day, r. a. jr dan underwood, a. l. 1996. analisis kimia kuantitaif edisi kelima, quantitative analysis, fifth edition, penerjemah a. h. pudjatmaka. penerbit erlangga. jakarta. sastrohamidjojo, h. 1991. spektroskopi. penerbit liberty, yogyakarta. faoji, y. 2007. departement of agroindustrial teknologi.university agricultural bogor. http://www.mahasiswadepag.wordpress.com /2007/0. 04/02/2012. ferdias. r dan rahman, s. j., 1992. study of etanol production from fungal pretreated wheat and rice straw. the internet journal of microbiology 4. hambali, e., mujdalipah, s., tambunan, h ., patttiwi, w. a., dan hendroko, r. 2007. teknologi bioenergi. penerbit agromedia, jakarta. hari purnomo, 2006 http://www.pertamina.com. http://www.mahasiswadepag.word/ http://www.mahasiswadepag.word/ http://www.pertamina.com/ dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 155 -159 1 159 1 agustus 2011 ishom, f., wahyudi, d., bobo.j, dan hendroko, r. 2007. pengembangan bahan bakar nabati. penerbit penebar swadaya, jakarta. jeffers, j. 2000. preparing ethanol by fermentation. chemical education resources. pennsylvania. judoamidjojo, 1990. teknologi fermentasi, cv. rajawali, jakarta. jeffers, j. 2000. preparing ethanol by fermentation. chemical education resources. pennsylvania.kartika, b, a. d. guritno, d. purwadi, dan d. ismoyowati. 1992. petunjuk evaluasi produk industri hasil pertanian. pau pangan dan gizi ugm.yogyakarta. lehninger, a. l, 1982. dasar-dasar biokimia jilid 1, penerjemah maggy thenawijaya, penerbit erlangga, jakarta. prihandana r., noerwijati. k., gamawati. p., setiadi s,.dan hendroko. r. 2007. bioetanol ubi kayu bahan bakar masa depan. penerbit pt agromedia pustaka, jakarta. suharto, i. 2011. limbah kimia dalam pencemaran udara dan air. penerbit andi publisher, jakarta. rahman, a. 1992. teknologi fermentasi industri ii. penerbit arcan, jakarta. sudarmadji. s, haryono. b, dan suhardi.1989. mikrobiologi pangan, pau pangan dan gizi universitas gaja mada, yogyakarta. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 166 170 166 the utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous catalyst pengolahan lemak sapi menjadi biodiesel dengan katalis heterogen a.bandjar 1 , i wayan sutapa 1 , rosmawaty 1 , nurlina mahulau 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: january 2014 published: july 2014 abstract the research of utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous (cao) catalyst has been conducted. biodiesel production initially by esterification reaction with catalyst h2so4 1% (toward oil and methanol weight) with molar ratio oil : methanol (1:9). after esterification process, trygliceride separated from methanol and continued by transesterification step with molar ratio 1:12 (oils and methanol) and cao catalyst 11% wt. esterification and transesterification process carried out for 2 hours and 6 hours respectively at 65 ℃. berkurangnya cadangan minyak bumi dunia dan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup menyebabkan adanya permintaan yang besar untuk sumber bahan bakar alternatif. dengan adanya peningkatan kebutuhan minyak, maka dampak lingkungan yang ditimbulkan juga meningkat. usaha pengelolaan yang amat potensial adalah dengan pengembangan teknologi sumber daya energi terbarukan seperti biodiesel. salah satu sumber energi alternatif adalah biodiesel. biodiesel adalah bahan bakar rendah emisi, pengganti bahan bakar diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah lipid (knothe, 2000, encinar dkk., 2002). biodiesel merupakan campuran metil ester dengan asam lemak rantai panjang dan biasanya dibuat dari nontoksik. sumber daya hayati biodiesel seperti minyak sayur, lemak hewan, atau bahkan menggunakan minyak goreng. biodiesel pada umumnya diproduksi melalui proses transesterifikasi minyak nabati atau lemak hewan dengan alkohol rantai pendek (umumnya metanol) menggunakan katalis (ma dan hanna, 1999; di. serio dkk., 2008; huber dkk., 2006). biodiesel memiliki keunggulan seperti ramah lingkungan, tidak beracun, secara esensial bebas sulfur dan benzena yang karsinogenik, hasil pembakarannya adalah co2 yang dapat dikonsumsi oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis (siklus karbon), dapat teroksigenasi relatif sempurna atau terbakar habis, nontoksik, dan terurai secara alami (biodegradable). lemak hewani seperti lemak sapi cenderung bersifat jahat karena banyak mengandung asam lemak jenuh (saturated fatty acid) sehingga tidak baik untuk dikonsumsi secara berlebihan. meskipun kurang baik bagi kesehatan manusia, tetapi karena lemak sapi memiliki kandungan lemak yang dapat digunakan sebagai bahan dasar konversi menjadi biodiesel, lemak ini akan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan lemak hewani yang lain (issariyakul dkk., 2008, knothe, 2002). composition of the biodiesel was analyzed by 1 hnmr, gas chromatography-mass spectrometry (gc-ms) and their physical properties analyzed by astm method. result of biodiesel conversion is 93.99% while based on gc-ms analysis showed that mayor component of biodiesel were mixture of methyl esters with methyl octadecanoat as the major coumpound (40.65%). based on data from astm, biodiesel produced from beef tallow have qualified as diesel fuel. keywords : biodiesel, heterogenous catalyst, esterification, beef tallow, methanol, transeterification pendahuluan a. bandjar, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 166 170 167 proses konvensional hasil produksi biodiesel ditransesterifikasi dari minyak atau lemak menggunakan katalis homogen. namun proses katalis homogen memiliki beberapa kekurangan yaitu, produksi air limbah yang tak terelakkan dari proses pencucian residu katalis dan katalis ini tak dapat digunakan kembali (macleod dkk., 2008, sigh dkk., 2010). saat ini produksi biodiesel menggunakan katalis heterogen. katalis heterogen dapat mengatasi kekurangan katalis homogen, salah satunya adalah dapat dengan mudah digunakan kembali. selain itu, langkah netralisasi produksi air limbah dalam jumlah besar dapat dihilangkan (kawashima dkk., 2008). beberapa katalis heterogen telah digunakan dalam produksi biodiesel, diantaranya mgo, cao, dan hidrokatalitis (liu dkk., 2008; di serio dkk., 2007; zabeti dkk., 2009, van gerpen dkk., 2004). berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka telah dilakukan penelitian dengan judul “pengolahan lemak sapi menjadi biodiesel dengan menggunakan katalis cao”. metodologi alat alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: satu set alat refluks (pyrex), alat-alat gelas(pyrex), pemanas listrik (mammert), pengaduk magnet (science ware), neraca analitik, lumping, oven (memmert), termometer 1000 o c, kromatografi gas-spektrometer massa (gc-ms shimadzu qp-5000s), spektrometer 1 h-nmr jnm pmx 50 nmr, vakum evaporator buchii, ayakan/tapisan, alat uji astm. bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : lemak sapi dari pasar mardika kota ambon, cao (merck), metanol (merck), h2so4 (merck), koh (merck), na2so4 anhidrat (merck), alkohol 95%, indikator fenolftalein, akuades, kertas saring whatman 42, kertas saring a. prosedur kerja a.1 preparasi katalis cao dihaluskan terlebih dahulu menggunakan lumpang yang terbuat dari porselin sampai terbentuk serbuk, kemudian serbuk cao tersebut diletakkan di atas permukaan cawan porselin. untuk menghilangkan kadar air yang masih terkandung dalam cao maka serbuk cao dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 200 o c selama 60 menit. a.2 preparasi lemak sapi lemak sapi dipanaskan pada suhu l20 o c untuk menguapkan air. setelah dipanaskan lemak cair disentrifuge untuk memisahkan pengotor padatan yang terlarut kemudian disaring dengan kertas saring untuk memisahkan pengotor padat yang berukuran besar. hasil yang diperoleh kemudian dikarakterisasi dengan instrument 1 h-nmr. a.3 analisis asam lemak bebas sampel sebanyak 5 g dimasukkan dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan 50 ml alkohol 95 %. selanjutnya dilakukan pemanasan selama beberapa menit dalam penangas air sampai mendidih. kemudian didinginkan dan ditambahkan beberapa tetes indikator fenolftalein. setelah itu dilakukan titrasi dengan koh 0,1 n sampai tepat warna merah jambu. dihitung kadar asam lemak bebasnya. a.4 sintesis biodiesel melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi lemak sebanyak 50 g yang telah dipanaskan dan bersih dimasukkan ke dalam alat refluks, kemudian diesterifikasi asam lemak bebasnya dengan metanol (perbandingan minyak dan metanol 1:9) dan ditambahkan dengan katalis h2so4 1 m 1% dari berat campuran. campuran direfluks pada temperatur 65 o c selama 2 jam. setelah campuran diesterifikasi, kemudian campuran ditransesterifikasi dengan metanol (perbandingan minyak dan metanol 1 : 12) dan ditambahkan dengan katalis basa alkali cao dengan berat 11% berat campuran. campuran direfluks kembali pada suhu 65 o c selama 6 jam. campuran hasil reaksi didinginkan dan terbentuk 2 lapisan, yaitu berturut-turut dari atas ke bawah metil ester (biodiesel), kemudian gliserol. lapisan metil ester dan gliserol dipisahkan dengan menggunakan corong pisah. kemudian metil ester dievaporasi untuk menghilangkan sisa metanol. metil ester selanjutnya dicuci dengan akuades dalam corong pisah untuk melarutkan sisa gliserol. langkah terakhir adalah dengan penambahan na2so4 anhidrat untuk mengikat sisa-sisa air, kemudian disaring dengan kertas saring whatman 42. a. bandjar, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 166 170 168 3.3.5 karakterisasi biodiesel metil ester yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi dengan astm, instrument 1 hnmr dan gc-ms. karakteristik biodiesel yang dianalisis dengan metode astm adalah kerapatan spesifik 60/60 o f (astm d 1298), viskositas kinematik 40 o c (astm d 445), titik tuang (astm d 97), titik nyala (astm d 93), dan sisa carbon codranson (astm 189). hasil dan pembahasan a. analisis asam lemak bebas lemak sapi dari pasar mardika kota ambon sebelumnya dianalisis kadar asam lemak bebasnya (ffa) dan diperoleh kadar asam lemak bebas sebesar 11,28%. analisis kadar asam lemak bebas dilakukan bertujuan untuk menentukan proses pembuatan biodiesel selanjutnya. minyak atau lemak yang memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi seperti minyak jelantah (2 7 %) dan lemak hewan (5 30 %) perlu dilakukan dua langkah dengan katalis asam dan katalis basa untuk mengatasi asam lemak bebas yang tinggi dalam memproduksi biodiesel (mastutik, 2006, viriyaempikul dkk., 2010). b. sintesis biodiesel melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi esterifikasi asam lemak bebas pada lemak sapi merupakan langkah pertama untuk mengurangi adanya asam lemak bebas. dengan esterifikasi, asam lemak bebas dikonversi menjadi metil ester. hasil yang diperoleh setelah esterifikasi adalah campuran trigliserida dengan metil ester. esterifikasi asam lemak bebas dan metanol dapat dilakukan dengan mudah dengan katalis asam. esterifikasi dengan katalis asam berlangsung dengan cepat. reaksi esterifikasi lemak sapi dilakukan dengan mereaksikan metanol dengan sampel (lemak sapi), dengan perbandingan 1:9 menggunakan katalis asam (h2so4) 1% berat. proses esterifikasi dilakukan pada temperatur 65 o c selama 2 jam. penggunaan katalis asam lebih baik dari katalis basa karena tidak menghasilkan sabun dan dapat meningkatkan produksi biodiesel. hal tersebut dikarenakan reaksi esterifikasi merupakan reaksi pembentukan suatu ester (macleod dkk, 2008). reaksi transesterifikasi trigliserida dalam lemak sapi dilakukan dengan rasio mol minyak terhadap metanol 1:12 yang sebelumnya telah direaksikan bersama katalis cao kulit telur 11% berat minyak dan metanol, kemudian direfluks pada suhu 65 o c selama 6 jam. pencampuran katalis cao dan metanol bertujuan untuk mengaktifkan sifat katalitik dari kalisum oksida tersebut, karena reaksi antara cao dengan metanol akan membentuk senyawa kalsium metoksida ca(ch3o)2 pada permukaan katalis sehingga meningkatkan aktifitas katalitik dari katalis tersebut pada reaksi transesterifikasi karena anion metoksida memiliki sifat basa yang kuat. setelah reaksi transesterifikasi terbentuk tiga lapisan berturut-turut metil ester (biodiesel), gliserol dan katalis cao yang telah memadat sehingga mudah dipisahkan. lapisan metil ester yang terbentuk (biodiesel) kemudian dipisahkan dari gliserol dengan menggunakan corong pisah. gliserol yang terbentuk berada pada lapisan bawah. biodiesel yang terbentuk kemudian dievaporasi untuk menghilangkan sisa metanol. hasil evaporasi kemudian dicuci, pada proses pencucian metil ester (biodiesel) dengan menggunakan akuades. proses pencucian ini sendiri bertujuan untuk menghilangkan gliserol, sisa-sisa metanol dan sisa-sisa katalis yang masih terkandung di dalam metil ester. selanjutnya ditambahkan na2so4 anhidrat untuk mengikat sisa-sisa air. c. karakterisasi metil ester (biodiesel) analisis campuran metil ester dengan gas chromatography – mass spetroscopy (gc – ms) untuk analisis kualitatif, metil ester dianalisis dengan gc-ms. kromatogram hasil analisis gc-ms menunjukkan adanya sepuluh puncak dan terdapat lima puncak yang terdeteksi sebagai metil ester asam lemak. puncak yang dapat terdeteksi yaitu puncak pertama adalah metil meristat, puncak ketiga adalah metil palmitat, puncak kelima adalah metil margarat (metil heptadekanoat), puncak ketujuh adalah metil oleat, dan puncak kesepuluh adalah metil stearat (metil oktadekanoat). karakteristik biodiesel lemak sapi berdasarkan metode astm hasil analisis biodiesel dengan metode astm yang dibandingkan dengan spesifikasi astm untuk biodiesel dapat dilihat pada tabel a. bandjar, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 166 170 169 1. biodiesel hasil reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dengan cao 11% memenuhi 6 kriteria yang penting sebagai bahan bakar. viskositas metil ester berkaitan dengan kerapatan spesifik, di mana viskositas semakin tinggi kerapatan spesifik semakin besar. bahan bakar dengan kerapatan spesifik tinggi akan sulit mengalir sehingga memperlambat proses pembakaran. viskositas biodiesel dari lemak sapi mempunyai viskositas rendah, dan jika digunakan sebagai bahan bakar mesin, hasil injeksi dalam ruang pembakaran mudah membentuk kabut yang memudahkan pembakaran. titik nyala biodiesel dari lemak sapi sangat tinggi (180,5 o c). titik nyala yang tinggi memudahkan penyimpanannya. titik nyala biodiesel dapat disimpan dengan mudah dan aman pada daerah beriklim tropis yang panas. jika titik nyala bahan bakar rendah, bahan bakar tersebut mudah terbakar dalam penyimpanannya. biodiesel dari lemak sapi tergolong mempunyai titik tuang dan titik kabut yang tinggi. titik tuang dan titik kabut yang tinggi mengakibatkan mesin sulit dinyalakan pada temperatur rendah. nilai sisa karbon condradson biodiesel yang dihasilkan dari lemak sapi adalah 0,087% dan telah memenuhi standar mutu astm biodiesel. nilai sisa karbon yang semakin rendah menunjukkan bahwa penguraian trigliserida yang terjadi semakin mendekati sempurna. dari enam kriteria sifat biodiesel yang telah diuraikan di atas, maka biodiesel yang dihasilkan dari lemak sapi mendekati karakteristik biodiesel sesuai dengan standar mutu astm biodiesel, dimana biodiesel memiliki titik nyala yang tinggi 180,5 sehingga dapat memudahkan dalam proses penyimpanan karena dapat mengurangi resiko penyalaan, serta mempunyai sisa karbon conradson yang lebih kecil sehingga dapat mengurangi polusi udara. kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. konversi metil ester secara teoritis yang diperoleh adalah sebesar 93,99% pada reaksi transesterifikasi katalis cao 11% berat minyak dan metanol (rasio molar 1:12). 2. metil ester yang dihasilkan dari proses transesterifikasi menggunakan katalis cao yaitu : metil ester tetradekanoat (2,02%), metil ester heksadekanoat (24,02%), metil ester heptadekanoat (2,27%), metil ester 9oktadekanoat (18,86%), metil ester oktadekanoat (40,65%). 3. biodiesel yang dihasilkan dari lemak sapi memiliki kualifikasi sebagai bahan bakar diesel karena telah mendekati karakteristik minyak diesel sesuai dengan standar astm yaitu kerapatan spesifik 60/60 o f (0,8703), viskositas kinematik 40 o c.mm 2 /s (4,954), titik nyala o c (180,5), titik kabut o c (24), titik tuang o c (21), sisa karbon condradson (0,087). daftar pustaka di serio, m., tesser, r., pengmei, l., dan santacesaria, e., 2008, heterogeneous catalysts for biodiesel production, energy fuels, 22, 207-217. encinar, jm, gonzález, jf, dan rodríguezreinares, a., 2002, biodiesel fuels from vegetables oils transesterification of cynaracardulus l oils with ethanol. energy and fuels.16; 443-450. huber, g.w., iborra, s., dan corma, a., 2006, synthesis of transportation fuels from biomass: chemistry, catalyst, and engineering, chem. rev. 106, 4044-4098. issariyakul, t., kulkarni, m.g., meher, l.c., dalai, a.k., dan bakhshi, n.n., 2008, biodiesel production from mixtures of canola oil and used cooking oil, chem. eng. j., 140, 77-85. jacobs, d., dan adams, d., 2001, used frying oil to diesel: an opportunity for microenterprise creation,thesis,university of cape town, south africa. kawashima, a., matsubara, k., dan honda, k., 2008, development of heterogeneous base catalysts for biodiesel production, bioresou. technol.,99, 3439-3443. a. bandjar, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 166 170 170 knothe, g., 2000,monitoring a progressing transesterification reaction by fiber optic near infrared spectroscopy with correlation to 1h nuclear magnetic resonance spectroscopy, j. am. oil chem. soc., 77; 489–493. knothe, g., 2002, biodiesel and renewable diesel: a comparison, progress in energy and combustion science,36,364–373 liu, x., he, h., wang, y., zhu, s., dan piao, x., 2008, transesterification of soybean oil to biodiesel using cao as a solid base catalyst, fuel,87,216–221. ma, f, dan hanna, m.a., 1999, biodiesel production: a review. bioresource technology,70, 1-15. macleod, c. s., harvey, a. p., lee, a. f., dan wilson, k., 2008, evaluation of the activity and stability of alkali-doped metal oxide catalyst for applycation to an intensified methode of biodiesel production, chem.eng, j, 135, 63-70. mastutik, d., 2006, transesterifikasi minyak jelantah kelapa sawit menjadi biodiesel menggunakan katalis naoh tanpa proses esterifikasi dan katalis asam (h2so4danzeolit-y) melalui proses esterifikasi, tesis. fmipa ugm, yogyakarta. singh, s.p., dan singh, d., 2010, biodiesel production through the use of different sources and characterization of oils and their esters as the substitute of diesel: a review, renewable and sustainable energy reviews, 14,200–216. triasmoyo, s., 2006, pengaruh konsentrasi nb2o5(3%)-y-al2o3 terhadap konversi biodiesel total pada reaksi transesterifikasi minyak goreng bekas, skripsi, fmipa ugm, yogyakarta. van, gerpen, j., shanks, b., dan pruszko, r., 2004, biodiesel production technology, national renewable energy laboratory, collorado. viriya-empikul, n., krasae, p., puttasawat, b., yoosuk, b., chollacoop, n., dan faungnawakij, k., 2010, waste shells of mollusk and egg as biodiesel production catalysts, bioresource technology,110, 3765–376 zabeti, m., wan daud, w. m. a., dan aroua, m. k., 2009, activity of solid catalyst for biodiesel production: a review, fuel process, technol., 90, 77. indochem ind. j. chem. res., 2015, 2, 171 175 171 complexation of 5,5,7,12,12,14-hexamethyl-1,4,8,11tetraazayclotetradeca-7,14-dienium bromide with copper acetate in methanol and aqueous solutions pengkompleksan 5,5,7,12,12,14-heksametil-1,4,8,11-tetraazasiklotetradeka-7,14-dienium bromida dengan kuprum asetat dalam metanol dan larutan berair bohari m yamin 1, *, aisyah kadir 1 , siti fairus m yusoff 1 school of chemical sciences and food technology, faculty of sciences and technology, universiti kebangsaan malaysia, bangi 43600, selangor malaysia *corresponding author, e-mail: bohari@ukm.edu.my received: october 2014 published: january 2015 abstract 5,5,7,12,12,14-hexamethyl-1,4,8,11-tetraazacyclodeca-7,14-dienium bromide disolvate ((me6n4h4)br2.2h2o) is a 14-membered deprotonated tetraaza macrocyclic salt. its neutral analogues and their complexes were prepared by templation method under refluxed condition since it was discovered by curtis in 1961. however, the present diprotonated tetraaza salts react with many metallic salts in both methanolic and aqueous solutions. the complexation involved deprotonation of the diagonally opposite protonated amines and the type of metal salt and solvents also play an important role in the final complex formation. the complexation of (me6n4h4)br2.2h2o with copper acetate in methanol and aqueous solutions gave the expected complex of [cu((me6n4h2)br]br.2h2o. pseudo-first order condition for the complexation reaction in water was established. keywords: tetraaza, complexes, protonated , complexation, kinetics introduction several metal complexes with 5,7,12,12,14hexamethyl-1,4,8,11-tetraazacyclodeca-7,14diene (me6n4h2) as ligand have been prepared by templation method after its unexpected discovery during the recrystallization of bis(ethylenediamine) nickel by curtis in 1961 (curtis and house, 1961). the stability and dissociation of the curtis tetraza-metal complexes in basic solution were also studied and reported (kasprzyk and wilkins, 1982; lu et al., 1999). however, no reaction study between the ligand and metal in solution have been reported since the macrocyclic ligand was formed during the reaction of metalethylenediamine complex with acetone. the unexpected discovery of the same ligand but in protonated form in our laboratory (ismail, 2012) (me6n4h4)br2.2h2o) enable us to study the complexation from both synthesis and solution reaction as well. the complexation of the ligand with metal is influenced by the type of metal salts used and the solvent (podberezskaya et al., 1986; yamin et al., 2012). in the present paper we describe the complexation of (me6n4h4)br2.2h2o with copper acetate in methanol and water. for the first time the reaction in aqueous solution was monitored and the conditions for pseudo-first order rate law was established. methodology chemical all chemicals and solvents were reagent grade purchased from merck and aldrich and used as received. the solvents were distilled before used. instrumentation fison chns analyzer were model ea 110 was used for microelemental analyses. infrared spectra (as kbr pellets) were recorded on a perkin elmer 400 ft-ir/ft-nir. electronic spectra in the 200-800 nm region were recorded on a 1800 shimadzu spectrophotometer. mailto:bohari@ukm.edu.my bohari m. yamin, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 171 175 1 172 the purple crystal having dimension of 0.500 x 0.30 x 0.08 mm was chosen for structure determination. the x-ray data measurements was performed using bruker d8 quest diffractometer with graphite-monochromatized mo-kα radiation (λ = 0.71073 å) at 301(2) k. a total of 162923 reflections were collected in the range of 2.791 ≤ θ ≤ 25.496° (-21 ≤ h ≤ 21, -18 ≤ k ≤ 18, -20 ≤ l ≤ 20) by using an ω-2θ scan mode, 8205 were unique with rint = 0.1083. i > 2σ(i) were used in the succeeding refinement. all non-hydrogen atoms were refined with anisotropic thermal parameters. h atoms were located at calculated positions. the final fullmatrix refinement gave r1 = 0.0583, wr = 0.1247. crystal system monoclinic, p 21/c, a=17.860(10), b= 15.4973(11),c=17.2143(14)å, β=112.066 (10)°, v= 4412.8(6)å 3 and z=8. preparation procedures preparation of ligand the macrocyclic ligand (me6n4h4).br2.2h2o was synthesised by following the method described previously 4,7 . 0.01 mol of the ammonium salt and 0.01 mol of ethylenediamine in acetone at 80 °c under constant stirring for 2 h. the solution was then filtered and left overnight at room temperature for crystal growth. yield: 65%; m.p. 113.4– 115.3°c. anal. calcd for c16h38n4o2br2 (fw 478.32): c, 40.2%; h, 7.9%; n, 11.1%. found: c, 38.9%; h, 7.5%; n, 11.6%. nmr: 1 h, δh 1.49 (6h, s, ch3), δh 2.06 (3h, s, ch3), δh 2.80 (2h, s, ch2), δh 3.42 (2h, t, ch2), δh 3.69 (2h, t, ch2), and δh 4.91 (2h, t, nh2 + ). preparation of the copper-tetraaza complexes the complex was synthesized by stirring a 1:1 mixture of copper acetate and ligand in methanol and also separately in water. the solution was then filtered and left at room temperature for evaporation. yield: 75%; , purple, m.p. 207.4 – 208.3°c. anal. calcd for c16h38n4o2br2 (fw 537.83): c, 36.3%; h, 4.7%; n, 10.6%. found: c, 36.8%; h, 4.4%; n, 9.9%. spectral course of the reaction the aqueous solution of the reaction mixture was prepared in 10 ml volumetric flask and an adequate amount was quickly transferred into the 1x1 cm spectrophotometric cell. the uv-vis spectrum was recorded at 3 minutes interval until reaction reached completion. kinetic measurements stock solutions of (me6n4h4).br2.2h2o and copper acetate in water were prepared in 25 ml volumetric flasks and kept in water bath at 28°c for one hour. the calculated amount of ligand and cu(oac)2 were mixed in 10ml volumetric flask and the flask was filled with distilled water up to the mark. adequate amount of the solution mixture was quickly transferred into the cell and placed in the thermostatic cell compartment. the kinetic was followed by measuring the absorbance at wavelength of 506 nm. the first order rate law was obtained by plotting ln(a∞-at) against time. results and discussion the spectroscopic data of the ligand agreed very well with the expected structure. the unit cell is also similar to the previously reported (podberezskaya et al. 1986) and the structural solution gave the structure as shown in fig,1. figure 1. molecular structure of (me6n4h4)br2.2h2o drawn at 50% probability ellipsoids. addition of the ligand (me6n4h4)br2.2h2o into copper acetate solution in methanol and aqueous solutions showed change in colour from blue to purple. the infrared spectrum (fig.2) showed stretching frequencies shift of the υ(n-h),υ(oh), υc=n) and υ(c-n) of 3425, 2968, 1669 and 1163cm -1 respectively, compare to those in the free ligand indicating coordination between the copper atom to the four nitrogen atoms of the tetraaza. bohari m. yamin, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 171 175 1 173 figure 2. infrared spectrum 5,5,7,12,12,14hexamethyl-1,4,8,11-tetraazacyclotetradeca-1,7diene) copper(ii) bromide dehydrate the uv-vis spectrum of the complex in water showed maximum absorbance at 506 nm compare to cu(oac)2 of 772 nm. the x-ray study of both crystals obtained from methanol and aqueous solutions showed similar unit cells indicating of the same complex was formed from both solvents of different polarity. in fact the same structure (fig.3) was reported by shi & he 8 in 2011 by reacting c18h32n42hbr.2h2o and cuso4 in methanol as solvent. figure 3. the molecular structure of [cu(me6n4h2)br]br.2h2o drawn at 50% probability ellipsoids. the hydrogen atoms are omitted for clarity. it is clear that the complexation of copper to the tetraaza also involve the deprotonation of two amino protons. one of the two bromo anions coordinated to the central copper resulted in the formation of square pyramidal geometry. in [c16h32cun4] 2+ 2(clo4) the counter anion of the salt remains as anions with the complex having square planar geometry (hasan et al., 2014). however, in a different condition, one of the perchlorate anion coordinated to copper (bienko et al., 2008) which is analogous to the bromo system. since most of the complexes were prepared by reflux in organic solvent it is not easy to study the kinetic of the complexation. however, kinetic studies on the dissociation of the complexes in basic aqueous or mixed aqueous-alcohol solutions and isomerisation of the complexes have been extensively reported (lee and hung, 1998; lu et al., 1981; maimon et al., 2001). therefore, to the best of our knowledge this is the first attempt to study the kinetic of complexation of (me6n4h4)br2.2h2o with cu(oac)2 in aqueous solution. figure 4 shows the changes in the uv-vis spectrum during the reaction in aqueous solution. the addition of the ligand into copper acetate solution caused a spontaneous change in the λmax of copper at 772 nm to a lower value of 718nm and the appearance of new peak at about 506 nm which is similar to the peak of [cu(me6n4h2)br] br.2h2o. the absorbance of the peak at 718nm nm decreased with time but the peak at 506 nm increased till completion. there is an isosbestic point at 601 nm. the shifted λmax values after the addition of ligand somewhat vary with the amount of the ligand. figure 4. spectral course of the reaction between (me6n4h4)br2.2h2o and cu(oac)2 in aqueous solution recorded at every 3 minutes interval. [(me6n4h4)br2.2h2o]o=0.01m and [cu(oac)2]o = 0.001 m. from the spectral course of the reaction we can propose the reaction scheme taking into account the speciation under acidic condition as shown below (scheme 1). . k (me6n4h4)br2 + [cu(h2o)4] 2+ ↔ [cu-((me6n4h4)br2] ↓ k1 [cu((me6n4h2)br]br scheme 1.reaction scheme for the complexation bohari m. yamin, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 171 175 1 174 in the scheme, k is a composite constant for the formation of the complex [cu-ligand] and k1 is a composite rate constant. on the basis of the above scheme, a rate equation can be deduced as shown below; if the initial equilibrium is established rapidly, then, d[complex]/dt = k1[cu-ligand] = k1k[cu(ii)][ligand] where [cu(ii)] and [ligand] are the concentrations of free cu(ii) and ligand respectively, and k = [cu(ii)-ligand]/ [cu(ii)][ligand] from the material balance, [cu(ii)]o = [cu(ii)] + [cu(ii)-ligand] = [cu(ii)](1+k[ligand]) therefore, d[complex]/dt = k1k[ligand][cu(ii)]o/1 +k[ligand] where [cu(ii)]o is the stoichiometric concentration of cu(oac)2. under condition, [ligand]o>>[cu(ii)]o d[complex]/dt = k1k[ligand]o[cu(ii)]o/1+k[ligand]o ≈ k1[cu(ii)]o if k[ligand]o>>1 first order plot under condition [me6n4h4)br2.2h2o]o >> [cu(oac)2]o showed good straight line up to more than two half lifes (fig.5). figure 5. first order plot for the reaction of me6n4h4)br2.2h2o and cu(oac)2 in aqueous solution. [(me6n4h4)br2.2h2o]o=0.01m and [cu(oac)2]o = 0.001 m. conclusion reaction of ((me6n4h4)br2.2h2o with copper acetate in methanol and water gave the same complex of [cu(me6n4h2)br]br.2h2o. under excess concentration of the ligand the reaction follows first order rate law. . acknowledgement the authors would like to thank universiti kebangsaan malaysia for the research grants 0601-02-sf-0844 and dip-2014-16. references bienko, a., mrozinski, j.,daszkiewicz,b.k & kruszynski, r.2008. (5,7,7,12,14,14hexamethyl-1,4,8,11tetraazacyclotetradeca-4,11-diene) (perchlorate-o) copper(ii) perchlorate. pol. .j. chem.82, 1383-1385. curtis, n.f., and house, d.a. 1961. structure of some aliphatic schiff base complexes of nickel(ii) and copper(ii). chemistry and industry 6: 1708-1709. hassan, n.h., ali, n.m., yamin, b.m., abd karim, n.h. and abd ghani, n.a. 2014. synthesis and characterisation of 5,5,7,12,12,14-hexamethyl-1,4,8,11tetraazacyclotetradeca-7,14-dienium diperchlorate copper(ii) complex. the malaysian journal of analytical sciences 18: 562-571. ismail, m. wafiuddin. 2012. sintesis garam 5,5,7,12,12,14-heksametil-1,4,8,11tetraazasiklotetradeka-7,14-dienium, pengkompleksan dengan logam & aktiviti biologi. tesis ijazah sarjana, pusat pengajian siswazah, ukm. kasprzyk, s.p. and wilkins, r.g. 1982. kinetics of interaction of metal ions with two tetraaza macrocycles. inorg.chem. 21, 3349-3352. lee, s. and hung,c-h. 1998. kinetic of the basecatalysed isomerization of trans-mesoch3co(h2o)l 2+ (l=5,7,7,12, 14,14hexamethyl-1,4,8,11-diene). . journal of the chinese chemical society, 44, 749-752. lu, t.h., lee, t.j., liang, b.f., and chung, c.s. 1981. molecular structure of the red isomeric (5,7,7,12,14,14-hexamethyl1,4,8,11-tetra-azacyclo tetra deca-4,11diene) copper(ii) perchlorate. journal of bohari m. yamin, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 171 175 1 175 inorganic nuclear chemistry 43: 23332336. lu, t-h., lin, s-c., aneetha, h., panneerselvam, k. and chung, c-s. 1999. copper(ii) complexes of c-meso1,5,8,12-tetramethyl-1,4,8,11tetraazacyclotetradecane:synthesis, structures and properties. j.chem,soc., dalton trans., 3385-3391. maimon, e., zilbermann,i., golub, g., ellern, a., shames, a.i., cohen,h. & meyerstein,d. 2001. comproportionation and redox catalyzed isomerization of cu(ii)(1r,4s,8r,11s-1,4,8,11-tetra methyl1,4,8,11-tetraazacyclotetra decane) 2+ in aqueous solutions. inorg. chim.acta. 324,65-72. podberezskaya, n.v., pervuknina, n.v., and myachina, l. i. 1986. crystal and molecular structure of (5,7,7,12,14,14hexamethyl-1,4,8,11-tetraazacyclo tetra deca-4,11-diene) iodide copper (ii) hydrate [cul]i.25h2o, l= (c16h32n4) journal of structural chemistry 27: 268272. shi, f.f., and he, x.l. 2011. bromido (meso-5,5,7,12,12,14-hexamethyl1,4,8,11-tetraazacyclotetradeca-1,7diene) copper(ii) bromide dihydrate. acta crystallographica e67: 607. yamin, b.m., ismail, w., and daran, j.c. 2012. catena-poly[5,5,7,12,12,14hexamethyl-1,4,8,11-tetraaza cyclo tetra deca-1,7-diene) copper(ii)]-µ-chlorido [dichlorocuprate(ii)]-µ-chlorido]. acta crystallographica e68: 886. indochem indo. j. chem. res, 2020, 7(2), 151-158 1 151 tinjauan kinetika kimia daya hambat minyak daun cengkeh (syzygium aromaticum) dan hasil mikroenkapsulasinya terhadap eschericia coli chemical kinetics inhibition clove leaves oil (syzygium aromaticum) and it’s microencapsulat against escherichia coli laily nurliana1*, desi kurniawati1, rustam musta2, laode abdul kadir1, siti nurjana2, fitria dewi1 1chemistry department, mathematic and nature science faculty, halu oleo university, kendari 2chemistry department, teacher training dan education faculty, halu oleo university, kendari *corresponding author, e-mail: laylinurliana@gmail.com received: sep. 2019 published: jan. 2020 abstract the secondary metabolite compounds contained in clove leaves oil have the potential to be antibacterial escherichia coli. the kinetic analysis is based on the inhibition zone formed as a result of the inhibition of clove leaves oil and the results of microencapsulation on e. coli bacteria. the determination of the inhibition zone uses the disk diffusion method by using amoxicillin as a positive control and tween oil as a negative control. the kinetic review is intended to find out the antibacterial inhibitory reaction process by determining the reaction order (n), rate constant (k) as well as the at-ao-t relationship of clove leaves oil and the results of its microencapsulation. based on the research results obtained by the reaction order (n) of clove oil as an antibacterial e. coli is n = 0.1913; with the rate constant k = 5.7679. the reaction order (n) results of microencapsulation as antibacterial e. coli are 0.5039; with the rate constant k = 4.7323. the relationship of at-ao-t for the reaction of clove leaves oil as antibacterial e. coli is at = (a0 0,8 − 5t)1,25. the relationship of at-ao-t for the reaction of clove leaves oil as a result of microencapsulation as antibacterial e. coli is ( 1 at 0,5 − 1 ao 0,5) = 2,35t. the minimum effective consentration equal to the positive control inhibition will be obtained if 8.57% for clove oil or a coating of 1: 3481 for microencapsulated clove oil is used. keywords: kinetics, clove leaves oil, microencapsulation, e. coli. pendahuluan cengkeh (syzygium aromaticum) merupakan tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri dengan banyak potensi dan telah banyak diteliti misalnya potensi antibakteri (hosaain. dkk., 2014), efek antioksidan gulcin (2012) dan antifungi (eman-abdeen and el-diasty, 2015). minyak daun cengkeh dapat diperoleh dengan metode destilasi uap, mempunyai komponen utama eugenol dengan kadarnya sekitar 74,24% dan β-kariofilen 12,79% (amelia, dkk., 2017). kandungan eugenol yang merupakan metabolit sekunder golongan fenilpropanoid tersebut yang berpotensi sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yaitu bekerja dengan meracuni sitoplasma, merusak dan menembus dinding serta mengendapkan protein sel bakteri (devi, dkk., 2010) minyak atsiri mempunyai kelemahan antara lain mudah teroksidasi dan mudah menguap (volatil). hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan metode mikroenkapsulasi (nurliana, dkk., 2016; risnawati, dkk., 2017). mikroenkapsulasi adalah metode yang umumnya digunakan untuk menangani minyak dalam bentuk cairan, sehingga perubahan bentuk cairan minyak menjadi serbuk akan lebih mudah ditangani alam penanganannya (soliman, dkk., 2013). penelitian tentang aktifitas antibakteri minyak atsiri juga telah banyak dilakukan d iantaranya dilaporkan oleh li, dkk. (2014) meninjau aktivitas antibakteri minyak litsea cubeba pada escherichia coli dengan teknik toxic food dan melaporkan bahwa mic dan mbc sebesar 0,125% dan melaporkan pula bahwa laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 152 dengan pendekatan kinetic diperoleh bahwa konsentrasi 0,0625% sudah dapat memberikan efek yang sama walaupun dengan proses yang lebih lama. cortes-rojas (2014) melaporkan bahwa minyak cengkeh sudah menunjukkan daya hambat yang baik pada konsentrasi 1% untuk bakteri-bakteri e. coli, staphylococcus aureus dan bacilus cereus dan akan patogen pada konsentrasi 3%. hasil penelitian tersebut menunjukkan hubungan antibakteri dengan aktivitasnya. namun demikian belum dilaporkan tinjauan kinetikanya, guna melihat proses kerja reaksi penghambatan oleh antibakteri dari sudut pandang tahapan kinetika kimia. pengetahuan akan orde reaksi (n) tetapan laju (k) serta hubungan at-ao-t sangat baik digunakan untuk memahami mekanisme kerja suatu antibakteri. hal ini penting melengkapi pengetahuan tentang aktivitas antibakteri secara keseluruhan termasuk menentukan konsentrasi minimum yang dianjurkan untuk digunakan sebagai antibakteri dengan menggunakan metode kinetika kimia. penelitian sebelumnya tentang kinetika telah dilakukan penentuan konsentrasi minimum efektif minyak daun cengkeh pada penghambatan jamur candida albicans yaitu sebesar 17,6% (musta dan nurliana, 2019). berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam penelitian ini ditinjau metode kinetika kimia untuk penentuan konsentrasi minimum minyak daun cengkeh yang efektif untuk antibakteri e. coli yang dilengkapi dengan penentuan orde reaksi (n) tetapan laju (k) serta hubungan at-ao-t pada tahap-tahap mekanisme kerja antibakteri tersebut. metodologi alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator, neraca analitik (acis), autoklaf (wisecclave), waterbath (hws24), lemari pendingin (sharp), pipet mikro (dragon onemed), laminar air flow cabinet, shaker incubator (ratex), lampu uv, hot plate, mistar, spidol, tabung eppendorf, kawat ose, cawan petri (pyrex), gelas ukur (pyrex), gelas kimia (pyrex), erlenmeyer (pyrex), corong (pyrex), corong pisa (pyrex), spatula, vortex, pipet ukur, oven, pipet tetes, botol vial, kertas label dan kapas steril. bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak daun cengkeh dan hasil mikroenkapsulasi minyak daun cengkeh dari penelitian sebelumnya (nurliana, dkk., 2019), escherichia coli atcc 35219, amoxicillin, pepton 2%, agar 4%, naci 1%, minyak tween, dan akuades. prosedur kerja sterilisasi alat dan bahan seluruh alat dicuci bersih dan dikeringkan. botol vial, tabung reaksi, erlenmeyer, cawan petri dibungkus dengan kertas. kemudian semuanya disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121ᵒc selama 15 menit. pengerjaan aseptis dilakukan di dalam laminar air flow yang sebelumnya telah dibersihkan dengan larutan alkohol 70% lalu disterilkan dengan lampu uv yang dinyalakan selama kurang lebih 1 jam sebelum digunakan dalam proses antibakteri (nurliana, 2016). peremajaan mikroorganisme bakteri e. coli diremajakan dengan mentransfer 1 atau 2 ose dari bakteri, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media cair steril (2% pepton, 1,5% yet ekstrak dan 4% nacl) dan diinkubasi selama 24 jam (sultana, 2015). uji aktivitas media na sebanyak 20 ml, kemudian dimasukkan dalam efendorf 50 ml dan ditambahkan 10 µl inokulum bakteri e. coli dan dihomogenkan. setelah homogen dituang dalam cawan petri dengan gerakan melingkar sampai media merapat pada permukaan cawan petri, kemudian didiamkan beberapa menit sampai padat. kemudian ditempatkan kertas cakram (berdiameter 0,5 cm) yang telah direndam dalam larutan uji minyak daun cengkeh (100%, 75%, 50%, 25% dan larutan standar) pada permukaan media padat. setelah itu cawan petri ditutup rapat dan dibungkus dengan plastik wrap. kemudian diinkubasi selama 1 x 24 jam di suhu ruang dan diukur zona hambat yang terbentuk (kumar, dkk., 2014). perlakuan yang sama untuk uji aktivitas pada sampel mikrokapsul minyak daun cengkeh (nurliana, dkk., 2019). kinetika penentuan konsentrasi minyak atsiri cengkeh yang efektif untuk antibakteri e. coli dybkov (2013) menyatakan bahwa persamaan laju dapat dinyatakan: laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 153 r=k[a]n ……………………………... (1) dengan : r = laju reaksi, k = konstanta laju reaksi, [a] = konsentrasi zat, n = orde reaksi. laju reaksi (r) dapat dipandang sebagai bertambahnya hasil reaksi atau berkurangnya reaktan setiap satuan waktu (petrucci 1992). disisi lain, reaksi suatu antibakteri terhadap bakteri uji tertentu dapat lihat dari zona hambatnya. mawan dkk. (2018) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi maka semakin luas zona hambat yang terbentuk. senada dengan itu, uddhav and sivagurunathan (2016) menyatakan bahwa diameter zona hambat berbanding langsung dengan kepekatan isolat. (saeed, dkk., 2013) melaporkan bahwa dapat dibuktikan diameter zona bening meningkat secara signifikan sebagai akibat peningkatan konsentrasi ekstrak. hal ini mengindikasikan bahwa zona bening yang terbentuk merupakan fungsi konsentrasi. oleh karena itu, laju laju reaksi dapat dipelajari dari laju pembentukan zona beningnya. besarnya laju pembentukan zona bening secara rata-rata dapat ditentukan dengan: rzb = dzb t = k[a]n …………………... (2) dengan : rzb = laju pembentukan zona bening, dzb = diameter zona bening, t = masa inkubasi. waktu (t) dalam penelitian ini sama untuk setiap variasi konsentrasi uji karena merupakan masa inkubasi maka laju pembentuan zona bening sebenarnya hanya semata-mata ditentukan oleh variasi konsentrasi dan untuk keperluan analisis penentuan orde dan konstanta laju menggunakan metode ini, variable waktu merupakan variabel konstan, sehingga: rzb≈dzb=k[a] n .……………………….. (3) dengan demikian akan berlaku: dzb = k [a] n. keterangan : dzb = diameter zona bening k = konstanta laju [a] = kosentrasi n = orde reaksi. dengan menghitung nilai ln-nya maka akan diperoleh bentuk persamaan: ln dzb = ln k + n ln [a] suatu bentuk persamaan regresi linear yang bentuk umumnya: y = a+bx hal ini berarti bahwa jika dibuat plot hubungan ln [a] terhadap ln dzb maka akan diperoleh: a (intersep) = ln k, yang berarti bahwa k = ea dimana b (slope) = n = orde. berdasarkan orde reaksi (n) dan tetapan laju (k) yang telah diketahui akan ditentukan hubungan at-ao-t setelah menyelesaikan persamaan dengan bentuk umum: − ∂a ∂t = kan hasil dan pembahasan hasil uji aktifitas antibakteri aktivitas antibakteri minyak daun cengkeh menggunakan metode difusi cakram steril. pengujian menggunakan amoxilin sebagai kontrol positif dan minyak tween sebagai kontrol negatif. penggunaan amoxilin sebagai kontrol positif dikarenakan amoxilin adalah antibakteri yang sangat baik digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi bakteri (kaur, dkk., 2011). minyak tween sebagai kontrol negatif berperan sebagai emulgator antara minyak daun cengkeh dan media nutrien agar (na). minyak tween adalah suatu pengemulsi agar air dan minyak menjadi homogen. tween 80 merupakan ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama kimia polioksietilen 80 sorbitan monooleat (c64h124o26) (prijatmoko, dkk., 2018). hasil analisis uji aktivitas antibakteri minyak daun cengkeh dalam menghambat pertumbuhan bakteri e. coli dilihat pada tabel 1. tabel 1 menunjukkan bahwa tiap variasi konsentrasi minyak daun cengkeh berbeda-beda nilai zona bening yang diperoleh tergantung pada konsentrasi masing-masing. data tersebut menunjukkan bahwa diameter ditiap-tiap konsentrasi 25%, 50%, 75% dan 100% yaitu secara berturut-turut 11,2; 11,4; 12,3 dan 15,2 mm. berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi minyak daun cengkeh maka makin besar pula nilai zona bening yang diperoleh. kumar (2014) menjelaskan bahwa kriteria kekuatan daya hambat antibakteri dapat dibedakan berdasarkan parameter sebagai berikut: diameter zona hambat <7mm dikategorikan tidak ada aktivitas antibakteri, zona hambat 7-12 mm dikategorikan sedang, dan zona hambat >12 mm dikategorikan kuat. berdasarkan hasil penelitian konsentrasi minyak daun cengkeh tergolong ke dalam zona hambat sedang pada konsentrasi 25% dan 50% dan pada konsentrasi 75%, dan 100% tergolong kategori kuat. laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 154 tabel 1. hasil uji aktivitas antibakteri minyak daun cengkeh sampel zone bening (mm) 100% 15,2 ± 0,7 75% 12,3 ± 0,3 50% 11,4 ± 0,2 25% 11,2 ± 0,2 (-) control 0,0 ± 0,0 (+) control 8,7 ± 0,6 tabel 2. hasil uji aktivitas antibakteri mikrokapsul minyak daun cengkeh (nurliana, dkk., 2019) sampel zona bening (mm) minyak : maltodekstrin : 1:4 9.9 minyak: maltodekstrin : 1:6 11.3 minyak : maltodekstrin :1:8 12.9 minyak: maltodekstrin :1:10 14.8 minyak : maltodekstrin :1:12 17.5 (-) control 0,0 (+) control 15,2 adapun hasil uji aktivitas antibakteri pada mikrokapsul minyak daun cengkeh (tabel 2.) merujuk pada nurliana (2019). terlihat bahwa pada perbandingan minyak : maltodektrin 1:4 dan 1:6 diperoleh daya hambat dengan aktifitas sedang. sementara itu, untuk perbanding 1:8; 1:10 dan 1: 12 termasuk dalam kategori kuat (nurliana, 2019). bahan yang dimikrokapsul merupakan minyak murni atau 100%. kandungan senyawa metabolit sekunder pada minyak daun cengkeh seperti eugenol yang termasuk golongan fenilpropanoid dan βkaryofilen yang termasuk golongan seskuiterpen, diduga mempunyai potensi untuk memberikan efek toksik pada sel bakteri. sifat hidrofobik senyawa eugenol membuatnya lebih mudah untuk memasuki bagian lipopolisakarida dari membran sel bakteri, terutama bakteri gram negatif dan mengubah struktur dinding sel, menyebabkan kebocoran pada bagian intraseluler sel bakteri dan menyebabkan kematian (devi, dkk., 2010 and xu, dkk., 2016). kinetika minyak daun cengkeh (syzigium aromaticum) dan hasil mikroenkapsulasinya sebagai antibakteri e. coli analisis kinetika kimia minyak daun cengkeh sebagai antibakteri e. coli ditentukan dengan menggunakan persaamaan regresi linear yang diturunkan dari persamaan kinetika kimia. analisis mengunakan regresi linear tersebut menghasilkan grafik sebagai mana ditunjukkan pada gambar 1. gambar 1. memperlihatkan persamaan regresi dengan bentuk y= 0,1913x+1,7523. persamaan regresi ini memperlihatkan bahwa orde reaksi (n) minyak minyak daun cengkeh terhadap bakteri e. coli adalah 0,1913 dengan tetapan laju e1,7523 = 5,7679, yang juga berlaku untuk masa inkubasi pengukuran zona bening dalam penelitian ini yakni 24 jam. orde reaksi sebesar 0,1913 memperlihatkan nilai orde yang berada diantara nilai 0 dan 1. triyono, dkk. (1998) menyatakan bahwa jika reaksi berorde nol maka laju tidak ditentukan oleh reaktannya, sementara itu dogra (1990) menyatakan bahwa bila reaksi berorde satu maka laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasinya. gambar 1. plot ln [a] vs ln zona bening hal ini berarti bahwa ada pengaruh konsentrasi minyak minyak daun cengkeh terhadap zona bening yang terbentuk namun tidak terlalu besar. nilai k = 5,7679 menunjukkan pengaruh tetapan laju yang besar terhadap zona bening yang terbentuk. dogra and dogra (1990) menyatakan bahwa tetapan laju merupakan laju reaksi bila konsentrasi adalah 1. hal ini dapat diartikan 5.7679 mm merupakan zona bening yang akan terbentuk bila konsentrasi minyak daun cengkeh adalah 1%. laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 155 persamaan regresi yang diperoleh memperlihatkan nilai r2 = 0,6734 yang berarti bahwa korelasi dua variable yang tentukan memiliki hubungan dalam kategori kuat (sudijono., 2015). gambar 2. plot ln [a] vs ln zona bening hasil perhitungan yang diperoleh dari persamaan regresi kemudian dapat dituliskan dalam bentuk persamaan: zb = 5,7679[c]0.1913 hubungan at-ao-t dapat ditentukan setelah k dan n diketahui sebagai berikut: − ∂a ∂t = kan − ∂a an = k. ∂t − ∫ ∂a a0,1913 = ∫ k. ∂t -∫ 1 a0,1913 ∂a = ∫ k. ∂t − ∫ a−0,1913 ∂a = k. t −( 1 −0,1913 + 1 a−0,1913+1 ∫ ) = kt at a0 −( 1 0,8087 a0,8087 ∫ ) = kt at a0 −( 1 0,8087 at 0,8087 − 1 0,8087 a0 0,8087 ) = kt 1 0,8087 a0 0,8087 − 1 0,8087 at 0,8087 = kt 1 0,8087 ( a0 0,8087 − at 0,8087 ) = kt a0 0,8087 − at 0,8087 = 0,8087kt a0 0,8087 − at 0,8087 = 0,8087x5,7679t. a0 0,8087 − at 0,8087 = 4,6644t at 0,8087 = a0 0,8087 − 4,6644t jika 0,8087 ≈ 0,8 dan 4,6644 ≈ 5 maka dapat diperoleh hubungan yang lebih sederhana: at 0,8 = a0 0,8 − 5t at = (a0 0,8 − 5t)1,25 adapun analisis kinetika kimia minyak daun cengkeh hasil mikroenkapsulasi sebagai antibakteri e. coli juga ditentukan dengan menggunakan persamaan regresi linear yang sama dengan menganggap [a] adalah perbandingan penyalut yang digunakan dan hasilnya ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2. memperlihatkan persamaan regresi dengan bentuk y = 0,5037x+1,5544 dengan r2=0,9591. persamaan regresi ini memperlihatkan bahwa orde reaksi (n) minyak minyak daun cengkeh terhadap bakteri e. coli adalah 0,5037 dengan tetapan laju e1,5544 = 4,7323 yang juga berlaku untuk masa inkubasi pengukuran zona bening dalam penelitian ini yakni 24 jam. orde reaksi sebesar 0,5037 memperlihatkan besarnya pengaruh konsentrasi terhadap zona bening yang terbentuk, yang dapat diartikan bahwa setiap peningkatan bahan penyalut 1 satuan akan meningkatkan zona bening sebesar bilangan pangkat 0,5037. triyono, dkk. (1998) menyatakan bahwa orde reaksi dapat dipandang sebagai komponen aktif secara kinetika yang besarnya dapat berupa bilangan bulangan tetapi dapat pula berupa pecahan bahkan dapat pula bernilai negatif. adapun nilai k = 4,7323 memperlihatkan pengaruh tetapan laju terhadap zona bening yang terbentuk. dogra and dogra (1990) menyatakan bahwa tetapan laju merupakan laju reaksi bila konsentrasi adalah 1. hal ini dapat diartikan bahwa 4,7323 merupakan zona bening yang akan terbentuk bila konsentrasi perbandingan penyalut yang digunakan adalah 1:1. persamaan regresi yang diperoleh memperlihatkan nilai r2 = 0,9591 yang berarti bahwa korelasi dua variable yang tentukan memiliki hubungan dalam kategori sangat kuat (sudijono, 2015). hasil perhitungan yang diperoleh dari persamaan regresi kemudian dapat dituliskan dalam bentuk persamaan: zb = 4,7323[c]0,5037 hubungan at-ao-t dapat ditentukan setelah k dan n diketahui sebagai berikut: − ∂a ∂t = kan − ∂a an = k. ∂t laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 156 − ∫ ∂a a0,5037 = ∫ k. ∂t -∫ 1 a0,5037 ∂a = ∫ k. ∂t − ∫ a−0,5037 ∂a = k. t −( 1 −0,5037 + 1 a−0,5037+1 ∫ ) = kt at a0 ( 1 0,4963 a0,4963 ∫ ) = kt at a0 ( 1 0,4963𝐴𝑡 0,4963 − 1 0,4963𝐴𝑜 0,4963) = kt 1 0,4963 ( 1 𝐴𝑡 0,4963 − 1 𝐴𝑜 0,4963) = kt ( 1 𝐴𝑡 0,0,4963 − 1 𝐴𝑜 0,0,4963 = 0,4963kt ( 1 𝐴𝑡 0,4963 − 1 𝐴𝑜 0,4963 = 0,4963x4,7323t ( 1 𝐴𝑡 0,4963 − 1 𝐴𝑜 0,4963) = 2,3486t jika 0,4963 ≈ 0,5 dan 2,3486 ≈ 2,35 maka dapat diperoleh hubungan yang lebih sederhana: ( 1 𝐴𝑡 0,5 − 1 𝐴𝑜 0,5 ) = 2,35t hasil analisis dalam penentuan orde reaksi dan tetapan laju untuk minyak daun cengkeh cair dan hasil mikroenkapsulasinya terhadap zona bening yang terbentuk menunjukkan perbedaan berturut-turut n = 0,1913; k = 5,7679 dan n = 0,5037; k =4,7323. hasil ini memperlihatkan nilai yang berbeda dimana pada minyak daun cengkeh hasil mikroenkapsulasi reaksinya berorde (n) = 0,5037 memiliki orde yang lebih besar dibanidngkan dengan minyak daun cengkeh dengan orde reaksi yang hanya sebesar (n) = 0,1913. namun demikian untuk minyak cengkeh tetapan laju reaksi (k) = 5,7679 lebih besar dari minyak daun cengkeh hasil mikroenkapsulasi dengan tetapan lajunya k = 4,7323. perbedaan ini dapat dijelaskan dengan melihat bahwa tetapan laju (k) dipengaruhi oleh temperatur dan energi aktivasi (triyono, dkk., 1998). bila dua reaksi dilakukan pada temperatur yang sama maka perbedaan nilai k ditentukan oleh energi aktivasi. menurut sukardjo (2013) agar terjadi reaksi maka molekul-molekul harus saling bertumbukan dan mempunyai tenaga hingga molekul-molekul menjadi aktif. keenan, dkk. (1996) menyatakan selama reaksi terjadi, molekul-molekul harus bertabrakan. hal ini dapat menjelaskan perbedaan nilai k pada dua antibakteri yang digunakan yakni minyak daun engkeh dan hasil mikroenkapsulasinya. pada minyak daun cengkeh k = 5,7679, lebih rendah dibandingkan dengan hasil mikroenkapsulasi yakni k = 4,7323; yang menunjukkan bahwa pada minyak daun cengkeh murni dimana hanya terjadi interaksi partikel minyak daun cengkeh dan bakteri e. coli terjadi interaksinya lebih lebih cepat, sementara itu pada hasil mikroenkapsulasi terjadi interaksi selain partikel minyak daun cengkeh dengan bakteri e. coli juga ada partikel maltodekstrin sebagai penyalut yang juga berinteraksi dengan minyak daun cengkeh maupun bakteri e. coli, hal ini menyebabkan interaksi menjadi lebih lambat. adapun orde reaksi menunjukkan bahwa untuk antibakteri menggunakan minyak daun cengkeh dengan (n) = 0,1913 lebih kecil dari pada hasil mikroenkapsulasi dengan (n) =0,5039. keenan, dkk. (1996) menyatakan bahwa orde reaksi adalah harga eksponen reaktan. dengan demikian kedua nilai orde yang diperoleh tersebut menunjukkan nilai pangkat dari minyak daun cengkeh dan hasil mikroenkapsulasi dalam mempengaruhi zona bening yang terbentuk. perbedaan orde dapat dijelaskan dengan memperhatikan bahwa minyak daun cengkeh akan langsung berinteraksi dengan bakteri e. coli sehingga penambahan minyak tidak akan memberikan efek besar terhadap interaksi yang sudah terjadi untuk pembentukan zona bening. sementara itu adanya penyalut pada hasil mikroenkapsulasi, menyebabkan interaksi minyak daun cengkeh terhadap pembentukan zona bening yang sebenarnya dibutuhkan menjadi kecil dan karenanya penambahan sedikit partikel minyak akan sangat mempengaruhi interaksi dengan bakteri e. coli. namun demikian secara keseluruhan, zona bening yang terbentuk sebagai akibat pengaruh simultan tetapan laju (k) dan konsentrasi [a] kedua perlakuan memberikan zona bening yang diameternya berkisar antara 918 mm. konsentrasi minimum minyak cengkeh yang efektif sebagai anti bakteri e. coli dapat dihitung: 8,7 = 5,7679 [a] 0,1913 [a] 0,1913 = 8,7/5,7679 [a] = (1,5083)(1/0,1913) [a]min = 8,57 adapun perbandingan penyalut minimum yang efektif sebagai anti bakteri e. coli dapat dihitung: 8,7 = 4,7323 [a] 0,5039 laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 157 [a] 0,5039 = 8,7/4,7323 [a] = (1, 8384)(1/0,5039) [a]min = 3,3481 dengan demikian maka dapat diketahui bahwa agar diperoleh daya hambat yang sama dengan kontrol positif maka harus digunakan konsentrasi sebesar 8,57% untuk minyak cengkeh atau digunakan penyalut dengan komposisi 1:3481 untuk minyak cengkeh yang dimikroenkapsulasi. kesimpulan berdasarkan hasil peneitian dapat disimpulkan bahwa orde reaksi (n) minyak daun cengkeh sebagai antibakteri e. coli adalah n = 0,1913; dengan tetapan laju k = 5,7679. adapun orde reaksi (n) hasil mikroenkapsulasi sebagai antibakteri e. coli adalah 0,5039; dengan tetapan laju k =4,7323. hubungan at-ao-t untuk reaksi minyak daun cengkeh sebagai antibakteri e. coli adalah at = (a0 0,8 − 5t)1,25. adapun untuk reaksi minyak daun cengkeh hasil mikroenkapsulasi adalah ( 1 𝐴𝑡 0,5 − 1 𝐴𝑜 0,5) = 2,35t. konsentrasi minyak cengkeh sebesar 8,57% dan perbandingan minyak cengkeh terhadap maltodektrin sebesar 1:3481 merupakan konsentrasi minyak cengkeh minimum dan perbandingan penyalut minimum agar diperoleh daya hambat yang sama dengan kontrol positif. ucapan terimakasih penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak lppm uho yang telah memberikan bantuan dana pada skim penelitian dosen pemula internal uho. daftar pustaka mawan a. r., indriwati s.e, suhadi, 2018, aktivitas antibakteri ekstrak metanol buah syzygium polyanthum terhadap pertumbuhan bakteri escherchia coli, bioeksperimen, 4(1), 64-68. amelia, b., saepudin, e., cahyana, a.h., rahayu, d.u., sulistyoningrum, a.s., haib, j., 2017, gc-ms analysis of clove (syzygium aromaticum) bud essential oil from java and manado, iscpms, 1862, 030082-1-030082-9. cortes-rojas, d.f., fernandes, c.r. des., oliveira, w.p., 2014, clove (syzygium aromaticum): a preciuos spice, asian pac. j. trop. biomed, 4(2), 90-96. devi, k.p., nisha, s.a., sakhtivel, r., pandian s.k., 2010, eugenol (an essential oil of clove) acts as an antibacterial agent against salmonella typhi by distrupting the cellular membrane, j. ethnopharmacol, 130, 107-15. dogra, s.k., dogra, s., 1990, kimia fisik dan soal-soal, ui press, jakarta dybkov, v.i., 2013, chemical kinetics, ipms publications, kyiv, ukraine eman-abdeen, e., and el-diasty, e.m., 2015, antifungal activity of clove oil on dermatophytes and other fungi, int. j. adv. res, 12, 1299-1305. gulcin, i., elmastas, m., alboun-enein, h.y., 2012, antioxidant activity of clove oil–a powerful antioxidant source, arabian j. chemistry, 5, 489-499. hossain, m.a., al-harbi, s.r., weli, a.m., alriyami, q., al-sabahi, j.n., 2014, comparison of chemical constituents and antimicrobial activities of three essential oils from three different brands clove samples collected from gulf region, asian pac j trop dis, 4(4), 262-268. kaur, s.p., rao, r., nanda, s., 2011, amoxicillin: a broad-spectrum antibiotic. int. j. pharm. sci., 3(3), 30-37 keenan, c.w., kleinfelter, d.c., wood, j.h., 1996, kimia untuk universitas, ed. ke-6 jilid 1 alih bahasa pudjaatmaka, a.h., erlangga, jakarta kumar, y., agarwal, s., srivastava, a., kumar, s., agarwal, g., khan, m.z.a., 2014, antibacterial activity of clove (syzygium aromaticum) and garlic (allium sativum) on different pathogenic bacteria, int. j. pure app biosci., 2(3), 305-311. li, w-r., shi, q-s., liang, q., xie, x-b., huang, x-m., chen, y-b., 2014, antibacterial activity and kinetics of litsea cubeba oil on escherichia coli, plos one, 9(11), 1-6 musta, r., dan nurliana, l., 2019, studi kinetika efektifitas minyak daun cengkeh (syzygium aromaticum) sebagai antijamur candida albicans, indo. j. chem. res., 6(2), 107-111. nurliana, l., kurniawati, d., kadir, l.a., dewi, f., musta, r., nurjannah, 2019, the effectiveness of maltodextrin as an adhesive in microencapsulation of clove leaf oil (syzygium aromaticum) for laily nurliana dkk. / indo. j. chem. res., 2020, 7(2), 151-158 1 158 antibacterial applications, submit iop proceeding. 2nd itaps. nurliana, l., musta, r., rudi, l., 2016, microencapsulation of essential oil from rogo plant (premna serratifolia l.) as antibactery escherichia coli, inter.j. eng. sci. & res. tech, 7(8), 314-323. petrucci, r.h., 1992, kimia dasar prinsip dan terapan modern. alih bahasa: suminar a. edisi ke-empat, jilid 2, erlangga, jakarta prijatmoko, d., syafira, n.l., lestari p.e., 2018, antibacterial activity of essential oil extracts from curcuma xanthorrhiza roxb. rhizomes against bacteria causing pulp necrosis, j. dentomaxilloficial sci. 3(3), 144-148. risnawati, nurliana l., kurniawati d., 2017, mikroenkapsulasi minyak atsiri dari tanaman nilam (pogostemon cablin benth) sebagai antijamur candida albicans, indo. j. chem. res. 4(2), 386-393. saeed m, nadeem m, khan m.r, shabbir m.a, shehzad a, amir r.m., 2013, antimicrobial actifity of syzygium aromaticum extracts against food spoilage bacterial. african j. microbiology research, 7(41), 4848-4856. soliman ea, el-moghazy ay, el-din msm and massoud ma., 2013, microencapsulation of essential oils within alginate: formulation and in vitro evaluation of antifungal activity, j. encapsulation and adsorption sciences, 3(1), 48-55. sudijono, a., 2015, pengantar statistik pendidikan, rajagrafindo persada. jakarta. sukardjo, 2013, kimia fisik, rineka cipta. jakarta. sultana s, shahidullah a.s.m, islam m.dm., wasey a.f.s.a. nahar s., 2015, antibacterial effect of aqueous neem (azadirachta indica) leaf extract, crude neem leaf paste, and ceftriaxone against staphylococcus aureus, escherichia coli and pseudomonas aeruginosa, malays. j. med.bio.res, 2(2), 89-100. triyono, bambang s., iqmal t., 1998, buku ajar kinetika kimia. jurusan kimia fmipa ugm. yogyakarta uddhav, sivagurunathan, 2016, antibiotic susceptibility testing: a review on current practices, int. j. pharm. 6(3), 1117. xu j-g, liu t, hu q-p., cao x-m, 2016, chemical composition, antibacterial properties and mechanism of action of essential oil clove bud against staphylococcus aureus, molecules 21:1194 ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 231 intercalation of clay by surfactant and its application as adsorbent of lead ion (pb 2+ ) interkalasi surfaktan terhadap lempung dan pemanfaatannya sebagai adsorben ion pb 2+ serly. j. sekewael 1 , helna. tehubijuluw 1 , isabella carolina lefmanut 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: june 2015 published: july 2015 abstract research on natural clay intercalation with a surfactant has been done. the surfactant used is a quaternary ammonium salt type is cetil trimethyl ammonium bromide (ctab). intercalation process is carried out by stirring a suspension of clay and quaternary ammonium salt for 24 hours. after the intercalation process, palmitic acid are added, then the intercalated clay is used as an adsorbent ion pb 2+ distance between layers of clay after intercalated can be analyzed using x-ray diffraction. the distance between the layers increases from 15.99 to 19.45å. intercalated surfactant used to adsorb metals pb 2+ ions in solution with a variety of conditions such as contact time and concentration. the results of the analysis indicated using aas then used to determine the adsorption capacity based on the optimum contact time optimum concentration and absorption. adsorption capacity is equal to 8.092 mg/g. keywords: adsorption, ctab, intercalation, clay, surfactan. pendahuluan salah satu daerah di indonesia yang memiliki potensi lempung cukup besar adalah di maluku. di pulau ambon, banyak terdapat di desa latuhalat dan desa tawiri yang sering dimanfaatkan untuk pembuatan batu bata. selain itu juga tersebar di desa ouw (pulau saparua) yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kerajinan keramik (pembuatan sempe). tanah lempung ditinjau dari komposisi penyusunnya adalah tanah dengan kandungan liat 7-12%, debu 28-50% dan pasir kurang dari 52%. lempung adalah material yang diameter butirannya < 0.002 mm (hanafiah, 2007). dalam bidang industri, mineral lempung digunakan sebagai bahan pembantu katalis, adsorben dan sebagai resin untuk pertukaran ion. butiran lempung, merupakan kumpulan butiran mineral yang bersifat mikroskopis dan berbentuk serpihan atau pelat-pelat. mineral ini bersifat plastis, kohesif dan mempunyai kemampuan menyerap ion-ion. sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam tanah. gukler menyatakan bahwa mineral lempung adalah batuan halus dari karang yang menjadi plastis bila lembab, keras seperti karang bila kering, dan jika dipanaskan keras seperti karang permanen (gondok, 2000). mineral lempung dalam keadaan awalnya, memiliki daya serap yang rendah. tetapi bila dimodifikasi akan meningkatkan luas permukaan lempung, sehingga lebih efektif sebagai bahan penjerap (adsorben). mineral lempung di alam memiliki kelemahan yaitu rusaknya struktur lapis dan hilangnya porositas karena pemanasan pada suhu tinggi. hal ini dapat diatasi dengan melakukan proses penyisipan ion atau molekul ke dalam interlayer yang dikenal dengan proses interkalasi. berbagai macam kation dapat digunakan sebagai agen, antara lain ion-ion alkil ammonium, kation amina bisiklis, dan beberapa kation kompleks seperti khelat serta kation hidroksi logam polinuklir dari al, zr, ti, fe, dan lain-lain. lempung terinterkalasi memiliki beberapa kelebihan, antara lain stabilitas termal serly. j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 1 232 yang lebih tinggi, volume pori dan luas permukaan yang lebih besar (sunarso, 2007). salah satu metode modifikasi lempung secara kimia yaitu interkalasi surfaktan ionik ke dalam rongga antarlapis lempung. penambahan surfaktan bertujuan untuk membuka rongga pada antarlapis lempung sehingga mudah untuk diinterkalasi lebih lanjut dengan kation logam. dengan adanya surfaktan diharapkan akan mampu meningkatkan porositas serta luas permukaan dibandingkan dengan lempung tanpa surfaktan (sunarso, 2007). surfaktan kationik seperti garam amonium kuarterner merupakan senyawa organik yang dapat digunakan dalam modifikasi lempung yang akan membentuk kompleks lempung-surfaktan yang dapat digunakan sebagai adsorben logam berat dalam larutan encer. senyawa kationik ini akan menggantikan kation-kation permukaan lempung dan mengubah permukaan lempung menjadi sangat hidrofobik. modifikasi permukaan lempung lebih lanjut digunakan untuk menjangkar ligan-ligan seperti asam palmitat melalui interaksi hidrofobik. asam palmitat atau ligan tersebut akan membentuk senyawa kompleks dengan ion pb 2+ yang teradsorpsi (widihati, 2009). adanya sifat unggul dari lempung terinterkalasi menjadikan material tersebut potensial untuk digunakan sebagai adsorben. beberapa senyawa lempung termodifikasi montmorilonit terpilar besi-oksida, montmorilonit terinterkalasi tetraetil ortosilikat, lempung terinterkalasi surfaktan, serta lempung termodifikasi lainnya telah dibuat untuk mengadsorpsi logam-logam berat melalui proses pertukaran kation. modifikasi lempung dengan senyawa-senyawa organik menghasilkan kompleks yang dapat digunakan sebagai adsorben, salah satunya sebagai adsorben ion pb 2+ . timbal (pb) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. logam ini perlu mendapat perhatian khusus karena sifatnya yang toksik (beracun) terhadap manusia. timbal banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. timbal digunakan dalam bensin untuk menaikkan bilangan oktan. selain itu juga timbal digunakan dalam cat, baterai, pembungkus kabel, pipa air, serta lapisan mangkuk atau panci. sehingga kontaminasi timbal dapat terjadi melalui konsumsi makanan, minuman, udara, air, serta debu yang tercemar pb. keracunan yang disebabkan oleh logam pb dalam tubuh dapat mempengaruhi organ-organ tubuh antara lain sistem saraf, ginjal, sistem reproduksi, dan jantung. logam pb dapat menyebabkan gangguan pada otak, sehingga anak mengalami gangguan kecerdasan dan mental. untuk mengoptimalkan fungsi lempung sebagai adsorben, maka dilakukan penelitian untuk menginterkalasi lempung menggunakan surfaktan. lempung yang digunakan berasal dari desa ouw (pulau saparua). menurut penelitian bijang (2009) lempung asal desa ouw mengandung mineral montmorilonit sehingga baik untuk diinterkalasi dan selanjutnya diaplikasikan untuk proses adsorpsi logam. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan adalah lempung asal desa ouw, kabupaten maluku tengah; asam palmitat; garam amonium kuartener jenis n-cetyl trimetil amnonium bromida ((c16h33)n(ch3)3br); akuabides; akuades; kertas saring whatman 42; larutan pb(no3)2. alat alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer serapan atom (ssa); x-ray difractometer (xrd); ayakan 100 mesh; batang pengaduk; lumpang dan alu; shaker; oven; penyaring buchner; pompa vakum; timbangan analitik; seperangkat alat gelas; prosedur kerja persiapan lempung lempung diambil, dicuci dengan air beberapa kali, kemudian disaring hingga didapatkan lempung yang benar-benar bebas dari pengotor seperti pasir, kerikil dan akar tanaman. setelah pencucian, lempung dikeringkan selama 2 jam dalam oven dengan suhu 120 o c. sampel yang sudah kering digerus dan diayak dengan ukuran 100 mesh. kemudian dianalisis dengan xrd. serly. j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 1 233 proses interkalasi lempung sebanyak 10 g dilarutkan ke dalam 1000 ml akuabides, diaduk selama 5 jam untuk membuat suspensi lempung. setelah 5 jam suspensi lempung dimasukkan garam amonium kuartener jenis n-cetyl trimetil amonium bromida sebanyak 4,0049 g dan diaduk selama 24 jam. selanjutnya asam palmitat sebanyak 4,0062 g dimasukkan ke dalam suspensi tersebut, diaduk selama 48 jam. kemudian campuran disaring dengan penyaring buchner, dicuci dengan akuades dan dikeringkan dalam oven pada suhu 120 o c. setelah kering lempung termodifikasi tersebut digerus dan diayak dengan ukuran 100 mesh kemudian dianalisis dengan xrd. pembuatan larutan standar pb larutan pb(no3)2 dengan konsentrasi 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, 100 ppm, dan 120 ppm dibuat dengan mengambil masing-masing 4, 6, 8, 10, dan 12 ml larutan pb(no3)2 1000 ppm dan diencerkan dengan akuades pada labu takar 100 ml. penentuan waktu optimum ke dalam 5 buah erlenmeyer 100 ml masing-masing dimasukkan 0,25 g lempung yang terinterkalasi. kemudian ke dalam masingmasing erlenmeyer tersebut ditambahkan adsorbat 25 ml pb(no3)2 80 ppm. campuran diaduk dengan waktu yang berbeda-beda yaitu selama 10, 20, 40, 80, dan 120 menit. selanjutnya disaring dan filtratnya diukur dengan ssa. absorbansi yang terbaca kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi untuk menghitung konsentrasi pb(ii) dalam filtrat. untuk mengetahui waktu optimum dibuat grafik antara banyaknya pb(ii) yang teradsorpsi per gram adsorben dan waktu yang diberikan. waktu optimum ditentukan dari grafik di mana waktu memberikan konsentrasi pb(ii) tertinggi yang teradsorpsi. penentuan konsentrasi optimum serapan lempung terinterkalasi sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam 25 ml larutan pb (ii) dengan konsentrasi awal larutan masing-masing 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm, 100 ppm, dan 120 ppm. kemudian dikocok dengan shaker pada kecepatan 200 rpm. perlakuan ini dilakukan pada waktu kontak optimum selanjutnya disaring dan filtratnya diukur dengan ssa. konsentrasi pb(ii) optimum yang diserap diperoleh dengan cara membuat kurva antara jumlah pb(ii) yang teradsorpsi oleh adsorben (mg/g) dan konsentrasi ion pb(ii) dalam larutan. penentuan kapasitas adsorpsi lempung terinterkalasi sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. kemudian ditambahkan 25 ml larutan pb (ii) dengan konsentrasi optimum yang didapat dan diaduk selama waktu optimum adsorpsi. selanjutnya disaring dan filtratnya diukur dengan ssa. hasil dan pembahasan pengayakan lempung dengan ukuran 100 mesh dibutuhkan untuk selanjutnya dianalisis dengan xrd. analisis dengan xrd dilakukan terhadap lempung sebelum diinterkalasi dan sesudah diinterkalasi surfaktan (gambar 1). proses interkalasi dilakukan dengan menambahkan surfaktan kationik ke dalam suspensi lempung. gambar 1. (a) difraktogram lempung alam sebelum diinterkalasi surfaktan. (b) difraktogram lempung alam setelah diinterkalasi surfaktan dalam penelitian ini, surfaktan yang digunakan adalah jenis garam ammonium kuartener cetyl trimethyl ammonium bromide (ctab). campuran diaduk selama 24 jam. selanjutnya, lempung terinterkalasi tersebut ditambahkan asam palmitat dan diaduk selama 48 jam. asam palmitat masuk melalui interaksi serly. j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 1 234 hidrofobik dan berperan sebagai ligan yang akan membentuk kompleks dengan ion pb (ii) yang diadsorpsi melalui ikatan koordinasi. perubahan jarak dasar antar lapis dari mineral-mineral yang terkandung dalam lempung alam disajikan dalam tabel 1 berikut ini.berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa yang mengalami peningkatan jarak dasar hanya kaolinit dan montmorilonit. peningkatan yang cukup besar terjadi pada montmorilonit yaitu sebesar 3,46 ǻ. hal ini disebabkan oleh kemampuan swelling pada saat interkalasi. lapisan-lapisan silikat pada montmorilonit dapat terbuka semakin lebar ketika kation-kation yang peningkatan jarak dasar dan luas permukaan ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya adsorpsi lempung alam. waktu optimum adsorpsi waktu optimum adsorpsi dapat ditentukan berdasarkan konsentrasi sisa adsorbat di dalam larutan dengan menggunakan metode ssa. dari konsentrasi sisa (konsentrasi pada kesetimbangan, ce) kemudian dihitung konsentrasi adsorpsinya (cads) hasil analisisnya disajikan dalam tabel 2. salah satu variabel yang penting dalam adsorpsi adalah waktu kontak. variasi waktu kontak dilakukan untuk menentukan waktu kontak optimum di mana diperoleh kesetimbangan antara adsorben dengan adsorbat tabel 1. data pergeseran jarak dasar d001 pada mineral lempung tabel 2.data adsorpsi ion pb 2+ dengan variasi waktu kontak oleh lempung terinterkalasi surfaktan dengan menggunakan metode ssa ada tertukar oleh spesies pemilar yang ukurannya lebih besar. hal ini menunjukkan bahwa garam ammonium kuartener sebagai interkalat telah masuk dan mengisi rongga antar lapis lempung sehingga memperbesar luas permukaannya. di mana lempung terinterkalasi bersifat jenuh terhadap ion pb(ii). pengaruh waktu kontak terhadap adsorpsi dapat dilihat pada gambar 2. dari tabel 2 dan gambar 2 menunjukkan pada waktu kontak 20 menit terjadi penurunan kapasitas adsorpsi. menurunnya kapasitas adsorpsi kemungkinan disebabkan lempung tidak serly. j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 1 235 menjerap adsorbat dengan baik. hal ini diperkirakan karena adanya kesalahan dalam penelitian yang disebabkan oleh beberapa faktor. hasil analisis dengan ssa menunjukkan bahwa waktu optimum adsorpsi ada pada 80 menit waktu kontak, dengan ion pb (ii) teradsorpsi 77,022 ppm dengan kapasitas adsorspsi sebesar 7,702 mg/g. sedangkan pada waktu kontak 120 menit, kapasitas adsorpsinya menurun menjadi 7,658 mg/g. kondisi kesetimbangan diperkirakan tercapai setelah waktu kontak 40 menit, dan mencapai adsorpsi maksimalnya pada waktu kontak 80 menit. setelah kondisi kesetimbangan, daya serapnya menurun, yang menunjukkan bahwa lempung telah jenuh terhadap ion pb 2+ sehingga meskipun waktu kontak ditambah, tidak meningkatkan jumlah ion pb 2+ yang teradsorpsi. dapat disebabkan pula karena terjadinya desorpsi ion pb 2+ dari permukaan lempung. gambar 2. kurva kapasitas adsorpsi vs t untuk penentuan waktu kontak optimum konsentrasi maksimum serapan variasi konsentrasi dilakukan untuk menentukan konsentrasi maksimum serapan selama waktu kontak optimum. konsentrasi mula-mula pb (ii) yang digunakan adalah 40, 60, 80, 100, dan 120 ppm. berikut ini adalah data hasil analisis dengan metode ssa yang ditunjukkan pada tabel 3. dengan variasi konsentrasi dapat ditentukan konsentrasi maksimum serapan selama waktu kontak optimum yang diperoleh, yaitu 80 menit. penjerapan meningkat pada setiap variasi konsentrasi dan peningkatan penjerapan mencapai nilai maksimum pada 120 ppm. hubungan konsentrasi awal adsorbat dengan kapasitas adsorpsi yang diperoleh ditunjukkan pada gambar 3. gambar 3 memperlihatkan bahwa konsentrasi maksimum serapan selama waktu optimum 80 menit adalah 120 ppm dengan kapasitas adsorpsi sebesar 11,737 mg/g. konsentrasi serapan yang diperoleh belum mencapai titik optimum sehingga belum dapat diketahui kapasitas optimum lempung terinterkalasi surfaktan dalam menjerap ion pb 2+ . kurva yang diperoleh belum menunjukkan titik kesetimbangan di mana lempung mencapai kejenuhan dalam menjerap yang ditandai dengan menurunnya kapasitas serapan. tetapi kapasitas adsorpsi yang diperoleh cukup besar. hal ini disebabkan luas permukaan lempung yg semakin besar akibat peningkatan jarak dasar antar lapis lempung setelah diinterkalasi dengan surfaktan. tabel 3. data adsorpsi ion logam pb 2+ dengan variasi konsentrasi oleh lempung terinterkalasi surfaktan dengan menggunakan metode ssa serly. j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 1 236 gambar 3. kurva kapasitas adsorpsi vs c0 untuk penentuan konsentrasi maksimum serapan gambar 3 memperlihatkan bahwa konsentrasi maksimum serapan selama waktu optimum 80 menit adalah 120 ppm dengan kapasitas adsorpsi sebesar 11,737 mg/g. konsentrasi serapan yang diperoleh belum mencapai titik optimum sehingga belum dapat diketahui kapasitas optimum lempung terinterkalasi surfaktan dalam menjerap ion pb 2+ . kurva yang diperoleh belum menunjukkan titik kesetimbangan di mana lempung mencapai kejenuhan dalam menjerap yang ditandai dengan menurunnya kapasitas serapan. tetapi kapasitas adsorpsi yang diperoleh cukup besar. hal ini disebabkan luas permukaan lempung yg semakin besar akibat peningkatan jarak dasar antar lapis lempung setelah diinterkalasi dengan surfaktan. kapasitas adsorpsi penentuan kapasitas adsorpsi dilakukan untuk mengetahui kemampuan lempung terinterkalasi surfaktan dalam mengadsorpsi ion logam pb 2+ . pada tahap ini proses adsorpsi dilakukan selama waktu optimum yaitu 80 menit dengan konsentrasi adsorbat 120 ppm dan konsentrasi sisa adsorpsi sebesar 39,079 ppm kapasitas adsorpsi diperoleh melalui persamaan 1. .......................(pers. 1) keterangan: a = jumlah pb (ii) yang teradsorpsi oleh lempung (mg/g). c1 = konsentrasi awal pb(ii) (ppm) c2 = konsentrasi pb(ii) yang tersisa di dalam filtrat (ppm) v = volume yg digunakan (ml) b = berat lempung yang digunakan (g). dengan menggunakan persamaan 1, diperoleh kapasitas adsorpsinya sebesar 8,092 mg/g. kapasitas adsorpsi yang diperoleh setelah lempung diinterkalasi dengan surfaktan cukup baik. hal ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian widihati (2009) yang menunjukkan bahwa lempung tanpa interkalasi memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih kecil dibandingkan dengan lempung terinterkalasi surfaktan, yaitu hanya 1,9565 mg/g. peningkatan kapasitas adsorpsi disebabkan karena lempung terinterkalasi telah membentuk senyawa kompleks dengan garam ammonium kuartener yang menjadi interkalatnya yang kemudian menjangkar asam palmitat sebagai ligannya melalui interaksi hidrofob. ligan-ligan tersebut kemudian akan mengikat ion pb(ii). peningkatan kapasitas adsorpsi juga disebabkan karena meningkatnya jarak antar lapis lempung yang dengan sendirinya juga meningkatkan luas permukaan lempung (widihati, 2009). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. interkalasi garam ammonium kuartener ke dalam antar lapis lempung meningkatkan jarak dasar sebesar 3,46 ǻ. 2. waktu kontak optimum adsorpsi ion pb 2+ oleh lempung terinterkalasi surfaktan diperoleh selama waktu kontak 80 menit, konsentrasi maksimum serapan 120 ppm, dan kapasitas adsorpsi sebesar 8,092 mg/g. serly. j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 231 237 1 237 daftar pustaka bijang, c. m, 2009. karakterisasi lempung asal desa ouw-saparua maluku. seminar nasional fmipa unpatti, ambon gondok, y., 2000, penyerapan kation logam berat timbal, nikel dan kobalt dengan menggunakan mineral clay abu-abu dan merah-kuning, sainstek ( iii), 1-7. hanafiah, k.a., 2007, dasar-dasar ilmu tanah, divisi buku perguruan tinggi, pt. raja grafindo: jakarta. sunarso, 2007, lempung kita yang terlupakan, http://ppsdms.org/lempung-kita-yangterlupakan-2.htm (akses tanggal 18 november 2010). widihati, i. a. g., 2009, adsorpsi ion pb 2+ oleh lempung terinterkalasi surfaktan, jurnal kimia, fmipa, universitas udayana, bukit jimbaran. ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 190 effect of tamarind (tamarindus indica l.) extract to histamine content in bullet tuna (auxis rochei) pengaruh ekstrak asam jawa (tamarindus indica l.) terhadap kandungan histamin daging ikan komu (auxis rochei) nikmans hattu 1 , jolantje latupeirissa 1 , astrid latupeirissa 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 * corresponding author, e-mail: nickhattu@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract the research to determine histamine content in bullet of tuna (auxis rochei) with variation of tamarind (tamarindus indica l.) extract concentrations and time of marinate has been done. the histamine content is determined quantitatively by using ultraviolet-visible spectrophotometer with the calibration curve method. the result showed that histamine content in bullet tuna marinated in tamarind extract with varied concentrations of 5%, 10%, 15%, and 20% within 10 minutes, are 37.4561, 35.3041, 23.8778, and 22.1186 mg/100 g respectively. while, the concentrations of histamine in bullet tuna marinated in 20% of tamarind extract with variation of 10, 20, 30, 40, and 50 minutes, are 22.2965, 19.7544, 17.6925, 11.5865, and 8.0396 mg/100 g respectively. a qualitatively, visual comparison of colour intensity of samples with reference colour scale of the standard solution concentration can be used to determine concentrations of histamine without the aid of a spectrophotometer. keywords: bullet tuna, histamine, tamarind, spectrophotometer. pendahuluan ikan merupakan kelompok utama biota laut yang memiliki jumlah spesies terbanyak (lebih dari 2000 spesies) setelah moluska atau kerangkerangan (2500 spesies). beberapa spesies diketahui mempunyai nilai ekonomi di bidang perikanan, yang dikategorikan ke dalam 5 kelompok, yaitu ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil (ikan yang hidup pada atau dekat permukaan laut), ikan karang, ikan hias, dan ikan demersial (ikan yang hidup di atau dekat dasar laut) (dahuri, 2003). ikan merupakan makanan fungsional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat setiap harinya, terutama di maluku. ikan yang terdapat di perairan maluku beraneka ragam, mulai dari jenis ikan pelagis, ikan karang sampai dengan ikan demersial atau ikan dasar. ikan pelagis merupakan jenis ikan yang banyak diperoleh di pasar komersial. selain itu, ikan-ikan jenis ini bernilai ekonomis tinggi, sehingga banyak juga dipasok untuk kebutuhan ekspor. pada beberapa jenis ikan, khususnya dari famili scombroidae yang memiliki daging merah, kerusakan oleh aktivitas bakteri maupun enzim dapat menghasilkan racun yang disebut scombrotoksin. senyawa yang bersifat racun tersebut adalah histamin (rawles dkk., 1995). gejala klinis keracunan akibat mengkonsumsi makanan/produk makanan yang mengandung histamin dalam jumlah tinggi berupa muntah-muntah, rasa terbakar pada kerongkongan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerahan, gatalgatal, serta badan lemas. gejala keracunan histamin sekilas mirip dengan gejala alergis yang dialami oleh orang yang sensitif terhadap makanan dan produk olahan yang berasal dari ikan dan makanan laut lainnya. sehingga orang sering keliru membedakan gejala keracunan histamin dengan alergi (taylor, 1986). salah satu faktor pembentukan histamin yaitu tingkat histidin yang tinggi dalam daging ikan scombroid seperti makarel, tuna, sarden dan nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 1 191 spesies lain. ini yang menyebabkan keracunan (lehane dan olley, 1999). dotulong (2009) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh asam asetat terhadap kadar histamin ikan tongkol (auxis thazard) asap. hasilnya mengungkapkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam asetat dan semakin lama perendaman menghasilkan kadar histamin yang semakin rendah pada ikan tongkol asap. pada suhu ruang (30 o c), semakin lama waktu penyimpanan, konsentrasi histamin pada ikan komu (auxis rochei) semakin meningkat. setelah 6 jam, ikan tidak bisa dikonsumsi karena kandungan histamin yang cukup tinggi (≥ 50 mg/100 g) (gaspersz, 2012). samudra (1992) melakukan penelitian mengenai pengaruh asam jawa terhadap pertumbuhan bakteri. hasil penelitian menunjukkan bahwa asam jawa bersifat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. efek penghambatan yang disebabkan asam jawa karena pengaruh ph yang ditimbulkannya, bukan karena aktivitas senyawa antimikroba. kadar histamin dianalisis mangunwardoyo dkk., (2007) menggunakan modifikasi metode spektrofotometri menurut hardy dan smith (1976). absorbansi diukur pada panjang gelombang 495 nm dengan menggunakan spektrofotometri uv-vis dan menggunakan larutan diazonium sebagai pereaksi. sementara itu, gaspersz (2012) dan oucif dkk., (2012) menggunakan metode kolorimetri yang menggunakan pereaksi warna p-fenildiazonium sulfonat yang mampu bereaksi dengan histamin dan sampel ikan, dan diukur dengan panjang gelombang 497,8 nm. penelitian mengenai histamin pada ikan komu telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, namun demikian penelitian mengenai pengaruh asam terhadap kandungan histamin pada ikan komu masih terbatas, sementara pemakaian asam pada ikan sudah menjadi kebiasaan konsumen. selain itu, ikan komu termasuk jenis ikan scombroidae yang berpotensi menimbulkan keracunan histamin. informasi tentang perkembangan histamin akan sangat diperlukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya keracunan. untuk itu, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “pengaruh ekstrak asam jawa (tamarindus indica l.) terhadap kandungan histamin daging ikan komu (auxis rochei)”. metodologi bahan peralatan-peralatan gelas (pyrex), neraca analitik (adventure pro av264c), blender (miyako), pemanas listrik (cimarec 2), refrigerator (lg), sentrifuge (labofuge 200heraeus), spektrofotometer uv-vis (apel pd303s spectrophotometer). alat sampel ikan komu (auxis rochei), asam jawa (tamarindus indica l.), asam sulfanilat (e. merck), asam klorida (e. merck), natrium nitrit (e. merck), natrium klorida (e. merck), natrium sulfat anhidrous (e. merck), natrium fosfat monohidrat (e. merck), natrium karbonat (e. merck), n-butanol (e. merck), histamin dihidroklorida (e. merck), akuades, kertas saring whatman no. 42, ph indikator universal. prosedur kerja persiapan sampel ikan komu dicuci bersih, diambil daging ikan bagian dorsal (tanpa kulit) diambil dari bagian tubuh ikan komu. selanjutnya diiris tipis dan direndam pada larutan ekstrak asam jawa 5%, 10%, 15%, dan 20% (b/v), selama 10 menit kemudian dicuci kembali dengan akuades. asam jawa diambil daging buahnya dan ditimbang sebesar 5 g untuk konsentrasi 5%, 10 g untuk konsentrasi 10%, 15 g untuk konsentrasi 15%, dan 20 g untuk konsentrasi 20%. daging buah asam jawa diletakkan dalam gelas piala dan ditambahkan dengan akuades kemudian dihancurkan daging buahnya dan diaduk. air hasil adukan disaring dengan kain saring untuk mendapatkan ekstrak asam jawa kemudian dimasukkan ke dalam labu takar hingga volume mencapai hampir 100 ml. jika volume telah hampir mencapai 100 ml maka air dalam labu ukur dikeluarkan kembali dan melarutkan daging buah yang ada dalam gelas piala dan disaring lagi. jika telah terlarut seluruhnya, ditambah dengan akuades hingga tanda batas. ukur phnya. percobaan dilakukan untuk tiga kali ulangan. selanjutnya terhadap salah satu hasil dilakukan variasi untuk waktu perendaman selama 10, 20, 30, 40, dan 50 menit. nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 1 192 pembuatan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat campuran 1,5 ml asam sulfanilat 0,9% (b/v) dalam hcl 4% dan 1,5 ml nano2 5% (b/v) direndam dalam air es selama 5 menit. larutan nano2 5% 6 ml ditambahkan dan didiamkan selama 5 menit. volume ditepatkan menjadi 50 ml dengan akuades dingin. kemudian, pereaksi disimpan dalam rendaman es selama 15 menit. selanjutnya didiamkan selama 12 jam dan siap digunakan. ekstraksi histamin irisan tipis daging ikan komu ditimbang sebanyak kurang lebih 5 g. sampel dihomogenkan dengan 20 ml larutan nacl 0,85% (b/v) selama 2 menit menggunakan blender. selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 75 ml dan disentrifuge pada 5300 rpm selama 1 jam. supernatan yang terbentuk dibuat menjadi 25 ml dengan larutan nacl 0,85%. ekstrak digunakan untuk analisis selanjutnya. dalam tabung reaksi, 1 ml ekstrak diencerkan menjadi 2 ml dengan larutan nacl 0,85 % dan 0,5 g campuran garam (berisi 6,25 g na2so4 anhidrat yang ditambahkan 1 g na3po4.h2o),larutan tercampur secara merata. kemudian ditambahkan 2 ml n-butanol dan dikocok sekuat mungkin selama 1 menit dan didiamkan selama 2 menit dan dihomogenkan agar terjadi kerusakan pada gel protein. tabung kemudian dikocok beberapa menit dan disentrifuge pada 3100 rpm untuk 10 menit. butanol yang terletak di bagian atas (sekitar 1 ml) dipindahkan ke dalam tabung bersih dan kering. selanjutnya diuapkan menjadi benarbenar kering. residu dilarutkan di dalam 1 ml akuades dan kemudian direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat. analisis secara spektrofotometri tabung reaksi yang bersih berisi 5 ml larutan na2co3 1,1% ditambahkan perlahanlahan 2 ml pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan dicampur. kemudian ditambahkan 1 ml larutan residu yang diperoleh dari proses ekstraksi ke dalam tabung. absorbansi dari warna yang dihasilkan diukur secepatnya setelah 5 menit pada panjang gelombang 497,8 nm menggunakan akuades sebagai blanko. konsentrasi histamin dalam sampel diperoleh dari kurva standar untuk pengukuran absorbansi pada 497,8 nm dengan analisis regresi. histamin dihidroklorida (165,5 mg, bm = 184 g/mol) dilarutkan dalam 100 ml akuades sampai mencapai konsentrasi 1000 ppm histamin bebas. larutan histamin standar 1000 ppm kemudian diencerkan dengan akuades untuk memperoleh konsentrasi 100 ppm, yang akan diencerkan untuk memperoleh konsentrasi 5, 10, 20, 40, 60, dan 80 ppm. sebanyak 1 ml larutan standar histamin dengan konsentrasi 5, 10, 20, 40, 60, dan 80 ppm direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 497,8 nm (sesuai dengan prosedur iii.3.4). selanjutnya dibuat kurva absorbansi versus konsentrasi histamin. data hasil analisis kadar histamin dianalisis secara statistik menggunakan program spss. analisis meliputi analisis sidik ragam atau anova. apabila hasil analisis data menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut tukey atau uji beda nyata jujur (bnj) yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. hasil dan pembahasan analisis kualitatif histamin analisis kualitatif kandungan histamin menggunakan metode kolorimetri. prinsip kerjanya yaitu ekstraksi histamin, diikuti dengan sentrifugasi, ekstraksi dengan n-butanol dan penguapan sebelum reaksi kolorimetri dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat. intensitas warna dari kuning hingga orange dapat diperiksa secara visual dengan perbandingan skala warna (etienne dkk., 2006). dalam penelitian ini dibuat larutan standar histamin dengan 6 konsentrasi berbeda, yaitu 5, 10, 20, 40, 60, dan 80 ppm. larutan standar ini direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat sehingga timbulnya warna kuning hingga orange yang mengidentifikasikan adanya histamin. dalam gaspersz (2012), intensitas warna yang dihasilkan pada tiap konsentrasi histamin dalam sampel berbanding lurus dengan nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 1 193 skala warna referensi dan absorbansi dari histamin standar yang diukur pada panjang gelombang 497,8 nm pada konsentrasi yang sama. ekstraksi histamin daging ikan dengan larutan nacl 0,85% (b/v) diamati untuk mendapatkan ekstrak histamin yang diinginkan. ijong dan ohta (1996) menyatakan bahwa garam merupakan bahan bakteriostatik. garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme tertentu. mikroorganisme pembusuk paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun. selain itu, garam dapat mempengaruhi aktivitas air dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme (buckle dkk., 2007). analisis kuantitatif histamin analisis kuantitatif kandungan histamin menggunakan metode kurva kalibrasi. enam konsentrasi larutan standar histamin dianalisis pada spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 497,8 nm untuk mengetahui nilai absorbansinya. pada plot kalibrasi, hubungkan konsentrasi histamin dengan nilai absorbansi pada spektrofotometer. selanjutnya hitung konsentrasi histamin sampel. hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam daging ikan komu berdasarkan variasi konsentrasi ekstrak asam jawa diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1.analisis kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 10 menit berdasarkan tabel 1 dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak asam jawa, kandungan histamin dalam daging ikan komu menurun dari 37,4561 mg/100 g sampai 22,1186 mg/100 g sampel. kandungan tertinggi ditemukan pada sampel daging ikan komu yang ditambahkan larutan ekstrak asam jawa 5%, sedangkan kandungan terendah ditemukan pada sampel daging ikan komu yang ditambahkan larutan ekstrak asam jawa 20%. data analisis kandungan histamin menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak asam jawa yang ditambahkan pada sampel daging ikan komu maka semakin rendah kandungan histamin dalam sampel daging ikan komu tersebut. hal ini menggambarkan bahwa ph rendah (berkisar antara 2 sampai 4) pada ekstrak asam jawa dapat menghambat pertumbuhan bakteri maupun enzim. hubungan perubahan kandungan histamin daging ikan komu terhadap konsentrasi ekstrak asam jawa diperlihatkan pada gambar 1. gambar 1. grafik perubahan konsentrasi histamin ikan komu terhadap konsentrasi ekstrak asam jawa berdasarkan gambar 1, terlihat bahwa kandungan histamin ikan komu mengalami penurunan setelah direndam selama 10 menit dalam larutan ekstrak asam jawa. namun, kandungan histamin ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 5% dan 10% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap ikan komu kontrol (ekstrak asam jawa 0%) dalam pencegahan pembentukan histamin. ikan komu kontrol yang mengandung 38,2157 mg/100 g histamin, setelah direndam dalam ekstrak asam jawa 5% dan 10% mempunyai kadar histamin 37,4561 mg/100 g dan 35,3041 mg/100 g. berbeda dengan kandungan histamin ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 15% dan 20% yang berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap ikan komu kontrol (ekstrak asam jawa 0%) dalam pencegahan pembentukan histamin. ikan komu kontrol mengandung 38,2157 mg/100 0 10 20 30 40 50 0 5 10 15 20 k o n se n tr a si h is ta m in konsentrasi ekstrak asam jawa (%) b/v µg/ml mg/100g nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 1 194 g histamin, setelah direndam dalam ekstrak asam jawa 15% dan 20% mempunyai kadar histamin 23,8778 mg/100 g dan 22,1186 mg/100 g, jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 5% dan 10%. penentuan konsentrasi histamin awal pada saat ikan dibeli dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin, kemudian dibawa ke laboratorium dan dipreparasi. konsentrasi histamin sebesar 38,2157 mg/100 g, yang menunjukkan bahwa konsentrasi histamin dalam daging ikan komu cukup tinggi, namun masih di bawah batas maksimum kadar histamin yang diizinkan terdapat dalam bahan makanan oleh fda, sehingga masih layak untuk dikonsumsi. penambahan asam berarti menurunkan ph yang disertai dengan naiknya konsentrasi ion hidrogen (h + ), dan dijumpai bahwa ph rendah lebih besar penghambatannya pada pertumbuhan mikroorganisme. asam digunakan sebagai pengatur ph dan bersifat toksik untuk mikroorganisme dalam bahan pangan (cahyadi, 2006). penggunaan asam seperti ekstrak asam jawa dapat mendenaturasi protein, sehingga akan menurunkan daya ikat air. layly (2002) menyebutkan bahwa adanya pemberian ekstrak asam jawa dapat mempengaruhi kadar air ikan yang dihasilkan, sehingga dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak asam jawa yang digunakan, semakin rendah kadar air yang dihasilkan. dari penelitian ini terlihat konsentrasi histamin terendah adalah sampel ikan komu yang direndam dengan larutan ekstrak asam jawa 20% selama 10 menit, yaitu 22,1666 μg/ml. oleh karena itu, sampel ini dilakukan variasi waktu perendaman selama 10, 20, 30, 40, dan 50 menit. untuk variasi waktu ini, dibuat larutan standar baru. kurva kalibrasinya diperlihatkan pada lampiran 2. harga koefisien determinasi (r 2 = 0,958) dari kurva kalibrasi yang mendekati satu. hasil perhitungan kandungan histamin dengan variasi konsentrasi asam jawa ditentukan dengan menggunakan metode kurva kalibrasi dengan mensubstitusi nilai y (absorbansi) yang diperoleh dari pengukuran absorbansi terhadap persamaan regresi dari kurva kalibrasi. hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam daging ikan komu berdasarkan variasi waktu perendaman diperlihatkan pada tabel 2. tabel 2. analisis kandungan histamin ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20% berdasarkan tabel 2, dengan penambahan variasi waktu perendaman, kandungan histamin dalam daging ikan komu menurun dari 22,2965 sampai 8,0396 mg/100 g sampel. kandungan tertinggi ditemukan pada sampel daging ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20% selama 10 menit sedangkan kandungan terendah ditemukan pada sampel daging ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20% selama 50 menit. semakin lama waktu perendaman sampel daging ikan komu maka semakin rendah kandungan histamin dalam sampel daging ikan komu tersebut. hal ini disebabkan karena perendaman yang lama menyebabkan ekstrak asam jawa bekerja efektif. ekstrak asam jawa yang meresap dalam daging ikan menghambat pertumbuhan mikroba maupun aktivitas enzim yang mengurai histidin menjadi histamin. hubungan perubahan kandungan histamin daging ikan komu terhadap waktu perendaman dengan larutan ekstrak asam jawa 20% ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2. grafik perubahan konsentrasi histamin ikan komu terhadap waktu perendaman 0 5 10 15 20 25 10 20 30 40 50 k o n se n tr a si h is ta m in waktu perendaman (menit) μg/ml mg/100g nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 1 195 berdasarkan gambar 2, terlihat bahwa terjadi penurunan kandungan histamin ikan komu setelah direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20%. namun, kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 20 dan 30 menit tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 10 menit dalam pencegahan pembentukan histamin. ikan komu yang direndam selama 10 menit mengandung 22,2965 mg/100 g histamin, setelah direndam selama 20 dan 30 menit mempunyai kadar histamin 19,7544 mg/100 g dan 17,6925 mg/100 g. berbeda dengan kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 40 dan 50 menit berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 10 menit. ikan komu yang direndam selama 10 menit mengandung 22,2965 mg/100 g histamin, setelah direndam selama 40 dan 50 menit mempunyai kadar histamin 11,5865 mg/100 g dan 8,0396 mg/100 g, jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang selama 10 dan 20 menit. hal ini menunjukkan bahwa perendaman yang lama menyebabkan larutan ekstrak asam jawa efektif bekerja. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. kandungan histamin yang terdapat dalam daging ikan komu dengan variasi konsentrasi ekstrak asam jawa 5%, 10%, 15%, dan 20% (b/v) dengan waktu perendaman 10 menit adalah 37,4561; 35,3041; 23,8778; dan 22,1186 mg/100 g sampel ikan komu. kandungan histamin yang terdapat dalam daging ikan komu dengan variasi waktu perendaman 10, 20, 30, 40, dan 50 menit pada konsentrasi ekstrak asam jawa 20% adalah 22,2965; 19,7544; 17,6925; 11,5865; dan 8,0396 mg/100 g sampel ikan komu. 2. semakin tinggi konsentrasi ekstrak asam jawa dan semakin lama perendaman, maka semakin rendah kandungan histamin yang diperoleh. daftar pustaka buckle, k. a., edwards, r. a., fleet, g. h., dan wooton, m. 2007. ilmu pangan. alih bahasa: purnomo, h., dan adiono. penerbit universitas indonesia. jakarta. cahyadi, w. 2006. analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan. penerbit bumi aksara. jakarta. dahuri, r. 2003. keanekaragaman hayati laut aset pembangunan berkelanjutan indonesia. penerbit pt gramedia pustaka utama. jakarta. dotulong, v. 2009. studi kadar histamin ikan tongkol (auxis thazart) asap yang diawetkan dengan asam asetat. warta wiptek no.33/th.2009/maret). etienne, m., ifremer., dan nantes. 2006. methodology for histamine and biogenic amines analysis. seafoodplus project 6.3 valid. prancis. gaspersz, n., 2012. penentuan kadar histamin dalam daging ikan komu (auxis rochei) berdasarkan waktu dengan metode spektrofotometri sinar tampak. skripsi. jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura. ambon. hardy, r. and smith, j.g.m. 1976. the storage of mackerel (scromber scombrus) development of histamine and rancidity. j. sci. food agric. 27:595-599. ijong, f. g., dan ohta, y. 1996. physicochemical and microbiological changes associated with bakasang processing-a traditional indonesian fermented fish sauce. journal of science food agriculture 71: 69-74. layly, a. r. 2002. keberadaan merkuri dan pengaruh perendaman larutan asam terhadap kandungan gizi serta daya cerna protein pada ikan mas (cyprinus carpio l.). skripsi. jurusan gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga, fakultas pertanian, ipb. bogor. lehane, l., dan olley, j. 1999. histamine (scombroid) fish poisoning a review in a risk. national office of animal and plant health. canberra. nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 190 196 1 196 mangunwardoyo, w., sophia, r. a., dan heruwati, e. s. 2007. seleksi dan pengujian aktivitas enzim l-histidine decarboxylase dari bakteri pembentuk histamin. makara sains, vol. 11, no. 2, november 2007: 104109. oucif, h., ali-mehidi, s., dan abi-ayad, s-m. e-a. 2012. lipid oxidation and histamine production in atlantic mackerel (scomber scombrus) versus time and mode of conservation. journal of life sciences 6 (2012) 713-720. rawles, d.d., flick, g.j., and martin. 1995. biogenic amines in fish shellfish. adv. food. nutr. res. 39:329-364. taylor, s. l. 1986. histamine food poisoning : toxicology and clinical aspects. critical review in toxicology. 17: 91-128. ind. j. chem. res, 2015, 2, 223 230 223 the capability test of rice husk (oryza sativa l) as active carbon for phenol adsorption studi pemanfaatan sekam padi (oryza sativa l) sebagai karbon aktif untuk adsorpsi fenol m. f. j. d. p. tanasale 1 , j. latupeirissa 1 , eltha tuhalauruw 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: mtanasale@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract the utilization study of active carbon from rice husk as adsorbent has been done. active carbon is gained through carbonization process where rice husk put into furnace on temperature 300 o c. for 1 hour, colded, and sieved by sieve 100 mesh. the next it is activated by koh solution with a concentration of 50% for 5 hours. the characterization used x-ray diffraction (xrd) for both carbons before and after activation. and determinated anidity weigh, calsinated in furnace with 400 o c. and streamed through n2 gas for 2 hours. acidity weight of 6.4873 x 10 -2 and 2.5467 x 10 -2 mol/g, respectively. determination of phenol adsorption was the uv-vis spectrophotometry. adsorption phenol from active carbon was followed the freundlich isotherm with maximum capacity 5.6964 x 10 -2 mg/g and n value is 0.2586 mg/g. the experimental data fitted well to the pseudo secondorder kinetic model, which regretion value is 99.9 % and rate constant reaction (k) value is 0.74 g mg -1 menit -1 phenol adsorption from active carbon rice husk the best is consentration 100 ppm with value 99.56 %. keywords: active carbon, adsorption, phenol, rice husk. pendahuluan sekam padi merupakan hasil penggilingan atau penumpukan gabah. sekam padi biasanya bertumpuk dan hanya menjadi bahan buangan di sekitar penggilingan padi. pemanfaatannya masih sangat terbatas, hasil pembakaran sekam padi biasanya digunakan sebagai abu gosok untuk membersihkan peralatan rumah tangga dan digunakan untuk mengeringkan bata pada tempat-tempat pembuatan genteng dan batu bata. lapisan terluar dari sekam padi terkonsentrasi silika yang tinggi dengan tingkat porositas yang tinggi, ringan dan permukaan eksternal yang luas sehingga sangat bermanfaat sebagai adsorben (prasetyo, 1996). karbon aktif adalah padatan berpori yang mengandung karbon, yang berikatan secara kovalen dan bersifat non polar serta daya adsorpsinya ditingkatkan melalui proses aktivasi struktur pori karbon aktif berhubungan dengan luas permukaan, yaitu semakin kecil pori-pori karbon aktif, maka semakin besar luas permukaan. dengan demikian, kecepatan adsorpsinya semakin bertambah. aktivasi karbon aktif dapat dilakukan melalui 2 proses yaitu aktivasi kimia dan fisika (rini, 2005). karbon aktif mempunyai daya serap yang baik, sehingga dapat digunakan sebagai media penyerap zat-zat yang tidak diinginkan maupun toksik, baik dalam air maupun gas. salah satu zat toksik yang dapat diserap oleh karbon adalah fenol. adsorpsi isoterm fenol merupakan salah satu tes adsorpsi yang melengkapi informasi sifat adsorpsi karbon aktif dalam pengolahan air. fenol merupakan senyawa organik dengan rumus c6h5oh senyawa ini berbau khas dan bersifat racun serta korosif terhadap kulit. apabila terminum dapat menimbulkan rasa sakit, merusak pembuluh darah sehingga timbul gangguan pada otak, paru-paru, ginjal, dan limpa. fenol terdapat pada limbah yang m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 224 dihasilkan oleh industri penyulingan minyak, plastik, farmasi, cat, dan tekstil (petterson, 1975). dengan memanfaatkan karbon aktif dari sekam padi sebagai adsorben pada proses adsorpsi, maka sangat diharapkan dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat dari penggunaan fenol pada limbah industri. hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji aspek adsporpsi isoterm untuk penelitian selanjutnya dengan judul penelitian: “studi pemanfaatan sekam padi (oryza sativa l) sebagai karbon aktif untuk adsorpsi fenol”. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan adalah: sekam padi, akuades, koh p.a (e.merck), gas nitrogen, hcl p.a (e.merck), fenol p.a (e.merck), 4-aminoantipirin (4-aap) p.a (e.merck), k2s2o8 p.a (e.merck), nh3, nahco3, h3bo4, kertas saring whatman no.42. alat alat-alat yang digunakan adalah: seperangkat alat gelas, pipet tetes, pipet volum, desikator, ayakan 100 mesh, neraca analitik ohaus, shaker (sha-c, constant temperature oscillator), tanur, alat kalsinasi, spektrofotometer uv-vis (shimadzu uv-1201), x-rd (shimadzu xd 3h). prosedur kerja preparasi sampel sekam padi dicuci dengan air untuk menghilangkan kotoran, kemudian diarangkan dalam tanur pada suhu 450 o c. selama 1 jam, dikeluarkan dan didinginkan pada suhu ruang. selanjutnya dihaluskan dan diayak sampai menjadi bubuk (100 mesh), dilakukan karakterisasi dengan x-rd, dan selanjutnya disimpan dalam desikator untuk penelitian selanjutnya. uji keasaman permukaan sebelum diaktivasi arang yang dihasikan dari sekam padi, diambil sebanyak 0,2 g dimasukkan dalam wadah dan diletakan dalam desikator yang di dalamnya dimasukkan dalam wadah dan diletakan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat ammonia (p.a). desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. bobot karbon yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorbsi pada karbon dengan rumus: berat teradsorbsi = pers. 1 dimana: w1 = bobot kosong w2 = bobot wadah dan cuplikan w3 = bobot wadah dan cuplikan yang telah mengadsorpsi amonia bm = berat molekul amonia proses aktivasi karbon dari sekam padi sebelum arang diaktivasi, dilakukan tahap kalsinasi, yaitu 150 g arang diambil, dimasukkan ke alat kalsinasi pada suhu 400 o c dan dialiri dengan gas nitrogen selama 1 jam. setelah proses kalsinasi, karbon didinginkan kemudian diaktivasi. sebanyak 50 g bubuk karbon dicampur dengan koh 50% sebanyak 100 ml ke dalam erlemeyer 250 ml dengan perbandingan koh dalam larutan 1:2. kemudian, distirer di atas pemanas hotplate dengan kecepatan 10 rpm dengan perbandingan waktu 5 jam pada suhu kamar (sekitar 30 o c). uji keasaman permukaan setelah diaktivasi karbon aktif yang dihasilkan dari sekam pada, diambil sebanyak 0,2 g dimasukkan dalam wadah dan diletakan dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat ammonia (p.a). desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. berat karbon aktif yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada karbon aktif sesuai persamaan 1. pembuatan buffer 4-amino antipirin (4-aap) sebanyak 2,5 g nahco3, 2,5 g h3bo4 dan 4,5 g koh berturut-turut dimasukkan dalam labu takar 100 ml lalu ditambahkan 0,2 g 4-aap. kemudian ditambahkan air secukupnya untuk m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 225 melarutkan semua bahan sampai larutan homogen, lalu ditambahkan akuades sampai tanda batas. penentuan konsentrasi setelah adsorpsi pembuatan kurva standar pertama-tama dibuat larutan standar fenol 1000 ppm dengan menimbang 1 g fenol lalu dimasukkan dalam labu takar 1 l, kemudian ditambahkan akudes sampai tanda batas. dari larutan standar 1000 ppm dilakukan pengenceran menjadi 100 ppm dengan mengambil 100 ml larutan standar fenol 1000 ppm dan dimasukkan dalam labu takar 1 l kemudian ditambahkan akuades sampai tanda batas. dari larutan standar fenol 100 ppm dilakukan pengenceran menjadi konsentrasi 5 ppm dengan mengambil 5 ml larutan standar fenol 100 ppm dan dimasukkan dalam labu takar 100 ml kemudian ditambahkan akuades sampai tanda batas. cara yang sama dilakukan untuk konsentrasi 10, 15, 20, dan 25 ppm. sebanyak 5 ml larutan standar fenol 5 ppm ditambahkan 1 ml buffer 4-aap dan 1 ml larutan k2s2o8 2,5 % selanjutnya dikocok dan dibiarkan selama 10 menit sampai terbentuk zat warna yang stabil dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 650 nm. konsentrasi larutan standar fenol 10, 15, 20, dan 25 ppm ditentukan dengan cara yang sama. adsorpsi fenol oleh karbon aktif dari sekam padi sebanyak 5 buah erlenmeyer dimasukkan masing-masing 1,0 g karbon aktif, kemudian pada setiap labu erlenmeyer ditambahkan 100 ml larutan fenol dengan konsentrasi masingmasing : 25 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 70 ppm, dan 100 ppm. setelah itu, kelima larutan tersebut dikocok dan didiamkan selama 1 malam sehingga terjadi keseimbangan, kemudian masing-masing larutan disaring dengan kertas saring whatman no.42 dan filtratnya ditentukan konsentrasi fenol setelah diadsorpsi dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis. penentuan orde dan tetapan laju adsorpsi untuk penentuan orde dan tetapan laju reaksi dilihat pada konsentrasi fenol dan kadar karbon aktif yang mempunyai adsorpsi optimum yang diperoleh selanjutnya, campuran fenol dan kadar karbon aktif yang mempunyai adsorpsi optimum, diambil sebanyak 25 ml, dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 0,1 g karbon aktif. setelah itu, di-shaker dengan waktu kontak 30, 60, 90, 120, dan 180 menit pada suhu 25 o c. larutan yang dihasilkan, kemudian disaring dengan kertas saring whatman no.42. konsentrasi larutan setelah diadsorpsi ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer uvvis. hasil dan pembahasan analisis difraksi sinar x arang hasil kalsinasi sekam padi analisis difraksi sinar x terhadap arang dilakukan dengan menggunakan alat xrd merk shimadsu xd-160 dengan panjang gelombang 1.54060 å menggunakan radiasi dari tabung target cu, tegangan 40.0 kv, arus 30.0 ma dan daerah pengamatan antara 5 – 90 derajat, selama 0.24 detik, dapat diperlihatkan pada gambar 1. gambar 1. difraktogram xrd arang dari sekam padi sebelum aktivasi berdasarkan difraktogram xrd arang yang diperlihatkan pada gambar 1, data kristalitas untuk sampel arang sebelum aktivasi meliputi pemisahan interlayer karbon yaitu berturut-turut untuk tiga peak utama yaitu 3.92 å, 9.52 å, dan 8.98 å, ketiga peak tersebut berada pada daerah 2ө masing-masing adalah 22.62º, 9.28º, dan 9.84º. karbon aktif (ka) mempunyai puncak xrd yang menunjukkan kerangka karbon amorphous. pola-pola xrd untuk karbon aktif menunjukkan bahwa bahan ini mengandung karbon yang tersimpan dalam strukturnya. karbon aktif dan mempunyai puncak difraksi kuat pada 2θ = 22,47º. m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 226 aktivasi karbon aktif pada pembuatan karbon aktif, tahapannya adalah tahap aktivasi secara kimia dengan penambahan larutan koh dengan konsentrasi 50 % selama 5 jam. tahap aktivasi bertujuan untuk menghasilkan situs aktif dengan cara memutuskan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga karbon mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. setelah itu, karbon aktif tersebut dikarakterisasi dengan menggunakan alat xrd dan hasilnya memiliki puncak melebar yang menunjukan bahwa karbon tersebut mempunyai derajat kekristalan yang rendah dan sebaliknya jika intensitasnya berubah serta hilangnya puncak yang melebar menunjukan penambahan koh mengakibatkan perubahan kristalitas adsorben, yang diperlihatkan pada gambar 2. gambar 2. difraktogram xrd karbon dari sekam padi setelah aktivasi penentuan keasaman padatan karbon aktif keasaman padatan dapat dinyatakan sebagai banyaknya gugus-gugus asam yang terdapat dalam setiap satuan berat sampel. pengukuran sampel karbon sebelum dan sesudah aktivasi dilakukan dengan metode gravimetri yaitu adsorpsi uap amoniak. keasaman sampel karbon sebanding dengan banyaknya uap amoniak yang teradsorpsi oleh sampel karbon, di mana pengukuran dilakukan dalam keadaan vakum sehingga tidak ada basa lain dan uap air yang berkompetisi dengan amoniak, dapat diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1. perbandingan keasaman bobot teradsorpsi karbon sebelum dan sesudah aktivasi absorbansi fenol sesudah diadsorpsi oleh karbon aktif dari sekam padi data hasil pengukuran absorbansi fenol sesudah diadsorpsi oleh karbon aktif dari sekam padi yang diukur dengan spektrofotometer uvvis pada panjang gelombang 650 nm dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2. absorbansi larutan standar fenol sesudah diadsorpsi oleh karbon aktif dari sekam padi berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat ditentukan isoterm adsorpsi yang diikuti oleh karbon aktif terhadap fenol dari sekam padi. pengukuran absorbansi larutan standar fenol dari karbon aktif dapat dibuat kurva standar fenol (absorbansi vs konsentrasi). penentuan fenol secara spektrofotometer uv-vis menggunakan pereaksi warna 4amino antipirin. dengan memasukkan nilai absorbansi fenol sesudah penjerapan maka diperoleh data, dengan hasil pengolahan data diperlihatkan pada tabel 3. m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 227 tabel 3. parameter-parameter dari isoterm langmuir dan isoterm freundlich dengan co adalah konsentrasi fenol sebelum penjerapan, ce adalah konsentrasi fenol yang yang bebas dalam larutan, co – ce adalah konsentrasi fenol yang terjerap oleh karbon aktif, x/m adalah jumlah mol fenol yang terjerap oleh karbon aktif, dan q adalah presentase penjerapan. sesuai dengan hasil perhitungan nilai q (presentase penjerapan) maka dapat dilihat persen penjerapan fenol oleh karbon aktif yang terbaik adalah pada konsentrasi 100 ppm yaitu sebesar 99,56 % diperlihatkan pada tabel 3. adsorpsi fenol oleh karbon aktif pernah dilakukan oleh pertiwi dan herumurti (2000). dari hasil tersebut diperoleh nilai q (presentase penjerapan) sebesar 98,49% pada konsentrasi fenol 200 ppm. penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, disebabkan karena perbedaan sampel yang digunakan. penelitian sebelumnya menggunakan karbon aktif dari sabut kelapa sedangkan penelitian ini menggunakan karbon aktif dari sekam padi. jika dilihat dari presentase penjerapan maka penelitian ini memiliki nilai yang lebih tinggi. hal ini disebabkan karena makin tinggi konsentrasi maka makin tinggi nilai q. gambar 3. kurva isoterm langmuir gambar 4. kurva isoterm freundlich gambar 3 dan gambar 4 memperlihatkan bahwa grafik isoterm langmuir memiliki harga koefisien korelasi (r 2 ) 88,7 % dan isoterm freundlich 98,3 %. oleh karena itu isoterm yang lebih sesuai dipakai untuk perhitungan kapasitas karbon aktif adalah isoterm freundlich yang lebih linier karena memiliki harga koefisien korelasi di atas 95 %. dengan demikian dapat diasumsikan bahwa karbon aktif yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bersifat heterogen karena menurut lynam, dkk, (1995), isoterm adsorpsi langmuir hanya dapat diterapkan untuk permukaan adsorben yang bersifat homogen sedangkan isoterm adsorpsi freundlich hanya dapat diterapkan untuk permukaan adsorben yang bersifat heterogen. dengan menggunakan persamaan isoterm freundlich pada konsentrasi adsorpsi fenol yang mempunyai nilai optimum dapat dihitung kapasitas atau kemampuan jerap karbon aktif sebagai adsorben. berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai gradient grafik (1/n) sebesar 3,867 yang menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi dari besar energi yang berhubungan dengan proses adsorpsi sehingga nilai n = 0,2586. nilai n>1 mengindikasikan baiknya penjerapan fenol oleh karbon aktif (zor, 2004). berdasarkan data diatas maka dapat diindikasikan bahwa adanya perlakuan karbon aktif memberikan nilai n yang berkurang. hal ini diduga, karena permukaannya yang kecil dan bersifat selektif sehingga pada campuran zat, ada beberapa komponen yang terserap oleh zat padat tertentu (cheremisinoff dkk, 1978). pada penelitian ini nilai kapasitas jerap maksimum yang diperoleh sebesar 5,6964 x 10 2 mg/g. nilai kf menunjukkan kapasitas jerap, semakin besar nilai kf maka semakin besar m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 228 kapasitas adsorben menyerap adsorbat dan dibenarkan oleh penelitian ini yang menghasilkan nilai kf sebesar 5,6964 x 10 2 mg/g. penentuan orde reaksi dan tetapan laju adsorpsi dalam menentukan orde dan tetapan laju adsorpsi digunakan konsentrasi fenol dan karbon aktif yang mempunyai adsorpsi maksimum sesuai dengan hasil yang diperoleh pada tabel 2 yaitu pada konsentrasi 100 ppm. selanjutnya dilakukan pengukuran dengan variasi waktu mulai dari 30 menit sampai 180 menit pada suhu 25 o c dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. absorbansi larutan fenol yang teradsorpsi oleh karbon aktif dengan konsentrasi 100 ppm (suhu 25 o c). model kinetika adsorpsi lagergren orde satusemu model kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu fenol oleh karbon aktif dari sekam padi pada konsentrasi 100 ppm dengan nilai parameter-parameter yang digunakan pada tabel 5. dengan menggunakan data pada tabel 5 maka dapat dibuat kurva t vs ln (xe-x) untuk model kinetika adsorpsi lagergren orde satu semu seperti terlihat pada gambar 5. nilai koefisien korelasi (r 2 ) yang diperoleh dari kurva pada gambar 6. sebesar 0,8 % yang berarti bahwa kinetika adsorpsi fenol oleh kerbon aktif dari sekam padi dengan konsentrasi 100 ppm tidak mengikuti model kinetika adsorpsi lagergren orde satu-semu karena nilai koefisien korelasinya di bawah 95 %. pada sistem adsorpsi fenol oleh karbon aktif sekam padi pada konsentrasi 100 ppm untuk suhu 25 o c , nilai xe yang diperoleh adalah 50 mg g -1 yang menghasilkan persamaan garis lurus ln (xe – x) = -0,000x-2,788 dengan r 2 = 0,8 %. model kinetika adsorpsi lagergren orde duasemu pengolahan data hasil penjerapan model kinetika adsorpsi lagergren orde dua-semu fenol oleh karbon aktif pada konsentrasi 100 ppm dapat dilihat pada tabel 6 dan gambar 7. dengan menggunakan data pada tabel 6 maka dapat dibuat kurva t vs t/x untuk model kinetika adsorpsi lagergren orde dua-semu seperti terlihat pada gambar 7. nilai koefisien korelasi (r 2 ) yang diperoleh dari kurva pada gambar 7 sebesar 99,9 % menunjukkan bahwa model kinetika adsorpsi fenol oleh karbon aktif pada konsentrasi 100 ppm mengikuti model adsorpsi lagergren orde dua-semu dengan xe = 50 mg g -1 dan k2,ads = 0,74 g mg -1 menit -1 . hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh rooy (2007) bahwa kinetika adsorpsi fenol mengikuti model kinetika adsorpsi orde dua. tabel 5. parameter-parameter model kinetika adsorpsi lagergren orde satu semu fenol oleh karbon aktif dari sekam padi dengan konsentrasi 100 ppm dan nilai xe yang dicoba = 50 mg g -1 pada suhu 25 o c. m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 229 gambar 6. kurva kinetika adsorpsi lagergren orde satusemu dengan xe yang dicoba = 50 mg g -1 . berdasarkan tahapan mekanisme adsorpsi yang dikemukakan oleh allen dkk, (1997) maka dari hasil penjerapan yang diperoleh dapat diprediksikan bahwa proses adsorpsi fenol oleh karbon aktif mengikuti mekanisme adsorpsi difusi dalam partikel di mana melibatkan kekuatan ikatan kovalen melalui pertukaran elektron antara adsorben dengan adsorbat. tabel 6. parameter-parameter model kinetika adsorpsi lagergren orde duasemu fenol oleh karbon aktif dari sekam padi dengan konsentrasi 100 ppm dan nilai xe yang dicoba = 50 mg g -1 pada suhu 25 o c gambar 7. kurva kinetika adsorpsi lagergren orde dua – semu pada suhu 25 o c m. f. j. d. p. tanasale, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 2, 223230 1 230 kesimpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan : 1. karbon aktif dari sekam padi memiliki kemampuan mengadsorpsi fenol yang terbaik pada konsentrasi 100 ppm yaitu sebesar 99,56 %. 2. model isoterm adsorpsi fenol oleh karbon aktif dari sekam padi mengikuti isoterm freundlich dengan kapasitas jerap maksimum (kf) sebesar 5,6964 x10 2 mg/g dan nilai n sebesar 0,2586 mg/g. 3. data eksperimen adsorpsi fenol oleh karbon aktif dari sekam padi mengikuti model kinetika lagergren orde dua-sermu dengan konstanta laju reaksi (k2,ads) sebesar 0,74 mg 1 menit -1 dan parameter kinetika adsorpsinya (xe) sebesar 50 mg g -1 . daftar pustaka allen, s,j., whitten, l.j, murray, m., duggan, o., & brown, p. 1997. the adsorption of pollutants by peat, lignite and actived chars. j.chem tech. biotechnol, 68, 442452. cheremisinoff.,morresi, 1978.carbon adsorption in : carbon adsorption hand book.ann arbor science. lynam, m. m., kilduff, j. e., weber, w. j. jr, 1995, adsorption of p-nitrophenol from dilute aquadeous solution, j. chem edu, 72:80-84 pertiwi. d. dan herumurti. w, 2002. the capability tes of coconut coir as active carbon for phenol removal, jurusan teknik lingkungan, fakultas teknik sipil dan perencanaan, institute teknologi sepuluh november, surabaya. j. chem.1-12. petterson, j. w. 1975. waste water treatment technology.michingan : ann arbor science. prasetyo, 1975. bertanam padi tanpa olahan tanah, penerbit penebar swadaya, jakarta. rini, p. dan sutapa. j. p. g., 2005, mutu arang aktif dari limbah kayu mahoni sebagai bahan penjernih air, fakultas kehutanan ugm, yogyakarta. rooy, d. r, 2007. studi kinetika adsorpsi fenol pada kitosan. skripsi. jurusan kimia, fakultas mipa, universitas pattimura. ambon. zor, s. 2004. investigation of the adsorption of anionic surfacftans of different ph values by means of active carbon and the kinetics of adsorption. j. serh. chem. soc, 69 : 25 – 32. ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 146 histamine content in processed bullet tuna (auxis thazard) stew with various concentration of nacl kandungan histamin dalam olahan ikan komu (auxis thazard) yang direbus dengan variasi konsentrasi nacl nikmans hattu 1, *, ivonne telussa 1 , eirene g. fransina 1 , cecilia a. seumahu 2 , shela paais 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences 2 biology department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: june 2014 published: july 2014 abstract makanan yang berasal dari laut, tidak kalah enak jika dibandingkan dengan makanan dari darat. bahkan dalam hal-hal tertentu makanan dari laut mempunyai keunggulan dalam nutrisi dan sumber protein bagi tubuh manusia. protein yang berasal dari laut mengandung sejumlah asam-asam amino dala m jumlah dan proporsi yang dibutuhkan bagi manusia. sedangkan lemak dari ikan mempunyai tingkat kekenyangan (unsaturated) yang tinggi dibandingkan yang berasal dari sapi, babi, maupun domba. bahkan sudah banyak ahli-ahli nutrisi yang telah memberikan rekomendasi bagi makanan asal laut untuk mengurangi resiko penyakit jantung (linston, 1980). kadar kolesterol pada ikan juga lebih rendah bila dibandingkan dengan daging. secara nutrisional ikan adalah makanan sumber mineral yang baik dan dibutuhkan oleh tubuh manusia (kurnaen dan langkosono, 1989). ikan ko mu merupakan ikan ekonomis yang cukup dominan tertangkap di perairan maluku. hasil produksi ikan ko mu lebih dari setengahnya dikonsumsi dalam bentuk segar, namun kenyataannya penanganan untuk mempertahankan kesegaran ikan atau memperpanjang daya awet belum dapat dilakukan sebagaimana mest inya (mony, 2000). hasil tangkapan ikan komu yang sebenarnya di maluku terdapat dua jenis, yaitu auxis thazard dan auxis rochei. namun yang sering kita jumpai yaitu jenis auxis thazard karena jumlahnya sangat banyak. ikan komu termasuk perenang cepat dan selalu hidup bergerombol. ukuran ikan komu yang biasa tertangkap berkisar antara 25-40 cm (kurnaen dan langkosono, 1989). ikan dari famili scrombidae seperti tuna, komu, cakalang, dan makarel secara alami mengandung histamin. histamin merupakan *corresponding author, e-mail: nickhattu@fmipa.unpatti.ac.id analysis of histamine content in processed bullet tuna (auxis thazard) stew flesh can be carried out by spectrophotometry method, using pphenildiazonium sulfonate reagent. a qualitative, visual comparison of colour intensity of samples with reference colour scale of the standard solution concentration can be used to determine levels of histamine without the aid of a spectrophotometer. the histamine content is determined quantitatively by the standard curve regression equation (y= 0.003x–0.062) with determination coefficient value (r 2 = 0.938). the results showed that histamine content inprocessed bullet tuna (auxis thazard) obtained: 46.9964; 40.3093; 34.4348; 28.9900 and 24.8862 mg/100g fish, at 0.5; 1.0; 1.5; 2.0 and 2.5% concentration of nacl, respectively. keywords: bullet tuna, histamine, spectrophotometry. pendahuluan nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 147 salah satu bahan kimia bersifat toksik jika ditemukan dalam jumlah banyak dalam tubuh. senyawa ini juga merupakan suatu amino histidin. terjadi perubahan histidin menjadi histamin apabila jenis-jenis ikan tersebut mati. ikan yang telah mati tersebut akan segera diserbu oleh bakteri, dan bakteri inilah yang akan merubah histidin menjadi histamin dengan cara dekarboksilase (linston, 1979). keracunan histamin tidak hanya disebabkan oleh kelompok ikan yang secara alami mengandung histamin, tetapi juga bisa disebabkan oleh ikan yang kurang segar mutunya dan terbentuk selama proses pengolahan ikan. makin tinggi tingkat kerusakan ikan, makin banyak histamin yang terbentuk pada ikan. keracunan histamin dapat mengakibatkan kepala terasa pusing, perut mual ingin muntah, denyut jantung menjadi cepat, rasa haus terus-menerus, dan gatal-gatal. beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan kandungan histamin dalam ikan dan produk hasil laut lainnya dengan metode spektrofotometri. metode ini merupakan salah satu metode yang baik digunakan karena sensitivitas yang tinggi, mudah penggunaan, biaya per unit analisis yang rendah. bateman (1994) telah melaporkan interaksi antara histamin murni dan tembaga serta zat warna untuk membentuk suatu kompleks berwarna merah untuk pengukuran menggunakan spektrofotometri. kose dan hall (2000) juga telah memodifikasi metode yang dilakukan oleh hardy dan smith (1976) dan baik digunakan untuk analisis ikan. sementara itu, patange dkk., (2005) menggunakan pereaksi pfenildiazonium sulfonat dan mereaksikannya dengan histamin dala m sampel daging ikan dan diukur pada panjang gelombang 496 nm. dalam penelitian yang dilakukan oleh gaspersz (2012), mengenai penentuan kandungan histamin dalam daging ikan komu (auxis rochei) berdasarkan waktu dengan metode spektrofotometri, telah dibahas tentang semakin lama waktu, kandungan histamin dalam sampel daging ikan komu juga semakin meningkat. hal ini menggambarkan bagaimana laju penguraian histidin menjadi histamin oleh enzim histidin dekarboksilase yang berasal dari aktivitas mikroba. salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah kebusukan ikan agar tetap dalam keadaan segar adalah dengan cara pengawetan. pengawetan dapat dilakukan dengan cara pendinginan, penggaraman, dan pengasapan. selain itu tindakan pertama yang harus dilakukan dalam penanganan ikan segar adalah penambahan bahan pengawet yang dapat menunda atau mempertahankan kesegaran ikan (nasran, 1972). salah satu bahan pengawet yang sering digunakan adalah garam. menurut rahayu dkk (1992), garam bersifat higroskopis yang dapat menyerap air dari bahan makanan, sehingga makanan akan awet karena kadar air bahan makanan menjadi rendah. konsentrasi garam yang tinggi mampu memperpanjang umur simpan dan daya awet (sangadji, 2007). berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berminat untuk melakukan penelitian dengan judul “kandungan histamin dalam olahan ikan komu (auxis thazard) yang direbus dengan variasi konsentrasi nacl”. metodologi bahan sampel ikan komu, asam sulfanilat p.a [e.merck], asam klorida p.a [e.merck], natrium nitrit p.a [e.merck], natrium klorida p.a [e.merck], natrium sulfat anhidrous p.a [e.merck]. alat alat-alat gelas (pyrex), neraca analitik (adventurer pro av264c), blender (philips),pemanas listrik (cimarec 2), sentrifuge (labofuge 200-haraeus), spektrofotometer uv-vis (apel pd-303s). prosedur kerja persiapan sampel ikan komu yang telah diambil dari tempat penjualan ikan dicuci bersih. daging ikan bagian dorsal (tanpa kulit) diambil dari bagian tubuh ikan komu, kemudian diiris tipis sebanyak 5 g dan direbus dengan air 50 ml dengan variasi konsentrasi nacl sebagai berikut : 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; dan 2,5% selama 15 menit. nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 148 pembuatan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat campuran 1,5 ml asam sulfanilat 0,9% (b/v) dalam hcl pekat dan 1,5 ml nano2 5% (b/v) didinginkan dengan direndam dalam air es selama 5 menit. 6 ml dari larutan nano2 5% ditambahkan dan didiamkan selama 5 menit. kemudian pereaksi disimpan dalam rendaman air es selama 15 menit. selanjutnya didiamkan selama 12 jam dan siap digunakan. ekstraksi histamin irisan tipis daging ikan komu yang telah direbus dihomogenkan dengan 20 ml larutan nacl 0,85% (b/v) selama 2 menit menggunakan blender. selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 75 ml dan disentrifuge pada 5300 rpm selama 1 jam pada 4ºc. supernatan yang terbentuk dibuat menjadi 25 ml dengan larutan nacl 0,85%. ekstrak digunakan untuk analisis. dalam tabung reaksi, 1 ml ekstrak diencerkan menjadi 2 ml dengan larutan nacl 0,85% dan 0,5 gram campuran garam (berisi 6,25 g na2so4 anhidrat yang ditambahkan 1 gram na3po4.h2o). tabung dikocok agar tercampur secara merata. kemudian ditambahkan 2 ml n-butanol dan dikocok sekuat mungkin selama 1 menit dan didiamkan selama 2 menit dan kemudian dikocok sedikit agar terjadi kerusakan pada gel protein. tabung kemudian dikocok beberapa menit dan disentrifuge pada 3100 rpm untuk 10 menit. butanol yang terletak di bagian atas (sekitar 1 ml) dipindahkan ke dalam tabung bersih dan kering. selanjutnya diuapkan menjadi benar-benar kering. residu dihancurkan di dalam 1 ml akuades dan kemudian direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat. proses yang sama juga dilakukan untuk air rebusan. analisis secara spektrofotometri di dalam tabung reaksi yang bersih berisi 5 ml larutan na2co3 1,1% ditambahkan perlahan-lahan 2 ml pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan dicampur. kemudian ditambahkan 1 ml larutan residu yang diperoleh dari proses ekstraksi ke dalam tabung. absorbansi dari warna yang dihasilkan diukur secepatnya setelah 5 menit pada panjang gelombang 497,8 nm menggunakan campuran 5 ml larutan na2co3 1,1 % ditambahkan 2 ml pereaksi pfenildiazonium sulfonat dan 1 ml akuades sebagai blanko. konsentarsi histamin dalam sampel diperoleh dari kurva standar untuk pengukuran absorbansi pada 497,8 nm dengan analisis regresi. pembuatan larutan standar histamin histamin dihidroklorida (165,5 mg, bm = 184 g/mol) dilarutkan dala m 100 ml akuades sampai mencapai konsentrasi 1000 ppm histamin bebas. larutan histamin standar 1000 ppm kemudian diencerkan dengan akuades untuk memperoleh konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm. pembuatan kurva standar sebanyak 1 ml larutan standar histamin (20, 40, 60, 80, dan 100 ppm) direaksikan dengan campuran 5 ml na2co3, 2 ml pereaksi p-fenildiazonium sulfonat, 1 ml akuades dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 497,8 nm (sesuai dengan prosedur iii.3.4). selanjutnya dibuat kurva absorbansi versus konsentrasi histamin. hasil dan pembahasan analisis kualitatif histamin analisis kualitatif kandungan histamin ditentukan menggunakan pereaksi pfenildiazonium sulfonat. warna yang ditimbulkan mengindikasikan adanya histamin, yakni timbulnya warna kuning hingga orange yang merata dalam larutan. konsentrasi histamin yang semakin tinggi pada sampel akan memperlihatkan intensitas warna yang lebih nyata (gambar 1). intensitas warna yang dihasilkan reaksi antara larutan standar histamin dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dicatat pada konsentrasi yang berbeda. skala warna dari larutan standar dengan konsentrasi berkisar antara 20-100 mg/l dapat digunakan untuk pemeriksaan secara visual terhadap sampel. intensitas warna yang dihasilkan pada tiap konsentasi histamin dalam sampel berbanding nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 149 lurus dengan skala warna refrensi dan absorbansi dari histamin standar yang diukur pada panjang gelombang 497,8 nm pada konsentrasi yang sama. gambar 1. larutan standar histamin yang telah direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat ekstraksi histamin dari daging ikan dengan larutan nacl 0,85% juga diamati untuk mendapatkan ekstrak histamin yang diinginkan. konsentrasi garam yang tinggi menghasilkan gel protein dari daging selama homogenasi yang menghambat ekstrak air yang lebih jelas. konsentrasi garam antara 6-10 % dala m jaringan ikan akan mencegah aktivitas bakteri pembusuk dan dapat mengurangi kadar air dalam tubuh ikan (clucas, 1982). sama halnya dalam penelitian ini konsentrasi nacl antara 1,5-2,5% dapat menurunkan konsentrasi histamin dala m tubuh ikan. nacl berfungsi untuk menghentikan proses autolisis dan menghambat pertumbuhan bakteri dalam daging ikan. selain itu nacl juga dapat membunuh bakteri secara langsung. kematian bakteri dalam proses ini diseba bkan karena nacl menyerap air dari tubuh ikan melalui proses osmosa. aktivitas air yang tersedia bagi bakteri akan berkurang. kekurangan air disekitar bakteri inilah yang menyebabkan metabolisme bakteri terganggu, serta nacl juga menyerap air dari tubuh bakteri itu, sehingga bakteri mengalami plasmolisis (pemisahan inti plasma) sehingga bakteri mati (frazier & westhoff, 1978). menurut rahayu dkk (1992), di dalam nacl terdapat sifat antimikroba karena yang pertama nacl akan meningkatkan tekanan osmotik substrat, kedua nacl menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam bahan pangan, sehingga aktivitas air bahan pangan akan menurun dan bakteri tidak akan tumbuh. ketiga, nacl mengakibatkan terjadinya penarikan air dari dalam sel bakteri, sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan. keempat, ionisasi nacl akan menghasilkan ion klor yang bersifat racun terhadap bakteri da n yang kelima nacl dapat mengganggu kerja enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya konsentrasi garam. semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin cepat proses masuknya garam ke daging ikan. selain konsentrasi garam, kecepatan penetrasi garam juga dipengaruhi oleh jenis garam. garam yang baik digunakan adalah nacl karena lebih mudah diserap dan menghasilkan daging ikan dengan kualitas baik. biasanya garam dapur yang dipakai oleh masyarakat pada umumnya mengandung unsur lain (mg, ca, dan senyawa sulfat), kotoran, bakteri dan lain-lain yang dapat menghambat penetrasi garam dan merusak rasa ikan (afrianto dan liviawaty, 1989). lebih diperkuat dengan hasil penelitian moeljanto, (1982) yang mengatakan bahwa garam dapur pada umumnya mengandung cacl2, mgcl2, mgso4, naso4, cu, dan fe. meskipun elemen-elemen ini terdapat dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan lambatnya penetrasi garam ke dalam daging ikan. ikan yang direbus tidak menggunakan nacl akan lebih cepat rusak daripada ikan yang direbus dengan nacl. analisis kuantitatif histamin analisis kuantitatif kandungan histamin dalam ikan komu (auxis thazard) dilakukan dengan metode spektrofotometri. kurva standar pada penentuan histamin dalam percobaan ini dibuat dengan cara mengukur sederetan larutan standar yang diketahui konsentrasinya. nilai absorbansi terhadap konsentrasi histamin, selanjutnya digambarkan pada satu sumbu koordinat untuk memperoleh kurva standar suatu sampel. selanjutnya nilai absorbansi larutan sampel diplotkan ke kurva standar. kurva standar pada penentuan histamin yang diperoleh diperlihatkan pada (gambar 2). nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 150 gambar 2. kurva standar histamin kurva standar yang diperoleh memperlihatkan adanya hubungan yang linear antara konsentrasi histamin yang dibuat dengan absorbansi yang diperoleh. hal ini didukung oleh harga koefisien determinasi (r 2 = 0,938) dari kurva standar yang mendekati satu. hasil pengukuran absorbansi histamin dalam daging ikan komu (auxis thazard) dengan metode spektrofotometri, selanjutnya akan diplotkan terhadap kurva standar (persamaan kurva standar). sementara itu, hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam daging ikan komu (auxis thazard) berdasarkan variasi konsentrasi nacl dengan metode spektrofotometri uv-vis dirangkumkan pada tabel 1. tabel 1. analisis kandungan histamin daging ikan komu rebus sampel (perlakuan) kandungan histamin (µg/ml) kandungan histamin (mg/100g) komu (nacl 0,5%) komu (nacl 1,0%) komu (nacl 1,5%) komu (nacl 2,0%) komu (nacl 2,5%) 46,99 40,33 34,44 29,00 24,88 46,99 40,33 34,43 28,99 24,88 berdasarkan hasil penelitian dengan penambahan variasi konsentrasinacl, kandungan histamin dalam daging ikan komu menurun dari 46,99 sampai24,28 mg/100g sampel. kandungan tertinggi ditemukan pada sampel daging ikan komu yang ditambahkan nacl 0,5%, sedangkan kandungan terendah ditemukan pada sampel daging ikan komu yang ditambahkan nacl 2,5%. data analisis kandungan histamin (tabel 1) menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi nacl yang ditambahkan pada sampel daging ikan komu maka semakin rendah kandungan histamin dalam sampel daging ikan komu tersebut. hal ini menggambarkan bahwa dalam nacl terdapat sifat antimikroba yang dapat menghentikan proses pembusukkan pada daging ikan. hubungan perubahan kandungan histamin daging ikan komu terhadap konsentrasi nacl ditunjukkan pada (gambar 3). gambar 3. grafik perubahan kandungan histamin daging ikan komu terhadap konsentrasi nacl kandungan histamin sebesar 64,98 mg/100g menunjukkan tingkat histamin yang terkandung dalam tubuh ikan komu sebelum direbus dan ditambahkan nacl. hal ini menunjukkan bahwa ikan komu yang sering dijumpai di pasar memiliki kandungan histamin yang cukup tinggi dan hampir sudah tidak layak untuk dikonsumsi. kandungan histamin ikan komu menurun menjadi 46,99 mg/100g sampel setelah direbus dan ditambahkan 0,5% nacl dan sebesar 40,30 mg/100g setelah penambahan 1,0% nacl. pada tahap ini histamin memang sudah berkurang dan layak dikonsumsi namun konsentrasi garam yang dibutuhkan untuk indra perasa manusia belum cukup asin. untuk indra perasa manusia tingkat asin yang pas dalam mengolah ikan dibutuhkan nacl sebanyak 1,5% dari 5 g sampel ikan. terlihat jelas juga kandungan histaminnya semakin menurun yaitu sekitar 34,43 mg/100g. dalam kehidupan sehari-hari pembelian ikan untuk kebutuhan hidup meningkat. mulai nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 151 dari yang berdagang makanan, maupun kebutuhan hidup rumah tangga sehari-hari. untuk itu perlu penanganan ikan lebih baik. salah satunya dengan meningkatkan konsentrasi garam pada ikan, karena ikan akan tersimpan dalam beberapa hari kedepan untuk tetap layak dikonsumsi. terkait dengan hal ini, konsentrasi nacl dalam penelitian ini dinaikkan dari 1,5% menjadi 2,0% untuk tetap layak dikonsumsi dan hasilnya pun akan semakin baik karena kandungan histamin menurun mencapai 28,99 mg/100g. dan yang terakhir konsentrasi nacl dinaikkan menjadi 2,5% sehingga kandungan histaminnya menjadi lebih rendah yaitu sekitar 24,88 mg/100g. analisis data pengukuran histamin secara statistika menunjukkan bahwa kandungan histamin dalam daging ikan komu mentah berbeda secara signifikan dengan daging ikan komu yang direbus dimulai dengan penambahan nacl 0,5%-2,5% (p = 0,05). perbedaan signifikan dapat dilihat dari nilai signifikan yang < 0,05. kandungan histamin dalam daging ikan komu yang berbeda tidak signifikan hanya terdapat dalam uji statistik dari daging ikan komu yang direbus dengan penambahan nacl 0,5% terhadap penambahan nacl 1,0% dan ikan komu yang direbus dengan penambahan nacl 2,0% terhadap penambahan nacl 2,5%. hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam air hasil rebusan berdasarkan variasi konsentrasi nacl menggunakan spektrofotometer uv-vis dirangkumkan pada tabel 2. tabel 2. analisis kandungan histamin dalam air hasil rebusan sampel (perlakuan) kandungan histamin (µg/ml) nacl 0,5% nacl 1,0% nacl 1,5% nacl 2,0% nacl 2,5% 23,99 23,55 22,22 21,99 21,11 terlihat dalam penelitian ini bahwa dalam air hasil rebusan terdapat kandungan histamin jadi dari hasil penelitian ini, diketahui sebagian dari histaminnya berpindah pada air hasil rebusan, terlihat pada gambar 4. gambar 4. grafik perubahan kandungan histamin pada air hasil rebusan terhadap konsentrasi nacl analisis data pengukuran histamin secara statistika menunjukkan bahwa perbedaan signifikan terdapat dalam air hasil rebusan yang terkandung nacl 0,5% terhadap 1,5%-2,5% dan air hasil rebusan yang terkandung nacl 1,0% terhadap 2,5%. sedangkan yang tidak signifikan terdapat dalam air hasil rebusan yang terkandung nacl 0,5% terhadap 1,0%, 1,0% terhadap 1,5%, 1,0% terhadap 2,0%, 1,5% terhadap 2,0%, 1,5% terhadap 2,5% dan 2,0% terhadap 2,5%. hasil penelitian gaspersz (2012) terlihat jelas adanya kenaikan konsentrasi histamin mulai dari 0 jam hingga 9 jam dengan masingmasing konsentrasi histamin 38,3883; 40,5258 ; 45,7483; 46,3895; 51,4288 dan 73,9142 mg/100g ikan. ini menunjukkan bahwa dalam daging ikan komu yang masih segar juga sudah terkandung histamin. semakin lama waktu penyimpanan ikan dalam suhu ruang (30ºc), maka semakin tinggi juga tingkat konsentrasi histamin pada daging ikan komu. proses pembentukan histamin pada ikan sangat ditentukan oleh aktivitas enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri pembusuk histamin. suhu optimum bagi perkembangan bagi bakteri-bakteri tersebut adalah 20-30ºc. histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (keer dkk., 2002). nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 152 food and drug administration (fda), 1998 menetapkan untuk ikan tuna, mahi-mahi, dan sejenisnya ditentukan 50 mg/100g sebagai tingkat keracunan. hal yang sama, european union devision (eud) menetapkan bahwa sembilan sampel bebas dari tiap kumpulan harus sesuai dengan : (1) rata-rata kandungan histamin kurang dari 10 mg/100g, (2) tidak lebih dari 2 dari 9 sampel dengan kandungan histamin antara 10 dan 20 mg/100g, (3) tidak ada sampel dengan kandungan histamin lebih tinggi dari 20 mg/100g. batas yang dikenakan oleh regulator juga telah mempertimbangkan untuk pengembangan skala warna. intensitas warna kisaran 20-100 µg/ml bekerja dengan baik terhadap skala warna sampel dan absorbansi dari spektrofotometer. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. kandungan histamin dalam olahan daging ikan komu (auxis thazard) yang direbus dengan variasi konsentrasi nacl 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; dan 2,5% berturut-turut adalah sebesar 46,99; 40,30; 34,43; 28,99; dan 24,88 mg/100g. sedangkan kandungan histamin dalam air hasil rebusan berturut turut adalah sebesar 23,99; 23,55; 22,22; 21,99; dan 21,11 µg/ml. 2. semakin tinggi konsentrasi nacl maka semakin rendah kandungan histamin dalam daging ikan komu. dengan adanya penambahan konsentrasi nacl maka ikan komu sudah layak dikonsumsi karena kandungan histaminnya semakin rendah (< 50mg/100g). daftar pustaka afrianto, e. dan e. liviawaty, 1989. pengawetan dan pengolahan ikan. penerbit konisius, jogyakarta. isbn 979. bateman, r. c., eldrige, d.b., wade. mccoymesser,j., jester.e.i.e. dan moudy, d. e. 1994. copper chelation assay for histamin in tuna. j food sci, 59(3):517543. clucas, i. j. 1982. fish handling, preservation and processing in the tropics : part i. tropical product institute. london. 141 p. fda. 1998. fish and fisheries products hazard and control guide (2nded). office of seafoo, food and drug administration. usa. p. 73, appendix s-fda dan epa safety levels in regulation and guidance, table a-s. frazier, w.g. and westhoff, d.c. 1978. food microbiology. mcgraw-hill publishing company limited, new dehli. 540 p. gaspersz, n. 2012. penentuan kandungan histamin dalam daging ikan komu (auxis rochei) berdasarkan waktu dengan metode spektrofotometri. skripsi jurusan kimia. fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam universitas pattimura. hardy,r. and smite, j,g.m. 1976. the storage of macharel (scomber scorbus). development of histamin and rancidity. j.sci.food agric.27:295-299. keer, m. and paul, s.a. 2002. effect of storage condition on histamine formation in fresh and canned tuna. commision by food safety unit. dalam www.foodsafety.vic.gov.au (5 oktober 2011). kose, s. and hall, g. 2000. modificaton of a colometric method for histamin analysis in fish meal, food res. int. 33,839-843. kurnaen, s. dan langkosono. 1990. perairan maluku dan sekitarnya. balai penelitian dan pengembangan sumber daya laut, pusat penelitian dan pengembangan oseanologi, lipi. ambon. linston, j. 1980. health and safety of seafood. food technology in australia, 32(9): 428-436. moelyanto. r, 1982. pendinginan dan pembekuan ikan. penerbit pt. penebar swadaya. jakarta. mony, h. 2000. penggunaan jenis pengemas terhadap mutu ikan tongkol (euthynnus affinis) segar selama penyimpanan dingin. skripsi jurusan thp. fakultas perikanan dan ilmu kelautan universitas pattimura. nasran, s. 1972. petunjuk-petunjuk praktis dalam handling ikan basah. direktorat jenderal perikanan. jakarta. hal 1-18.. patange, s. b., mukundan, m. k. dan kumar, k. a. 2005. a simple and rapid method for colorimetric determination of histamin in http://www.foodsafety.vic.gov.au/ nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 146 153 1 153 fish flesh, food control, 16(5), 465-472. rahayu, w. p., ma’oen s, suliantari, fardiaz s. 1992. teknologi fermentasi produk perikanan. depdibud. drijen dikti. pau pangan & gizi. ipb. bogor. sangdji, m., 2007. pengolahan pasta laor (eunice viridis) dengan berbagai konsentrasi garam. skripsi. ipb : bogor. indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 69 transesterifikasi minyak ikan perak (mene maculata) dengan katalis cao dari cangkang telur ayam transesterification of silver fish oil (mene maculata) with cao catalyst from chicken egg shells kartika tahya 1* , candra tahya 2 , healthy kainama 1 1 study program of chemistry education, faculty of teacher training and education, pattimura university, jl. ir. putuhena, ambon-indonesia. 2 chemistry education study program, faculty of education, pelita harapan university, tanggerang, indonesia. *corresponding author, e-mail: tika.tahya2012@gmail.com received: jun. 2019 published: jul. 2019 abstract silver fish (mene maculata) is a type of pelagic fish found in the moluccas sea, this fish has a high oil content so that it is easy to extract the oil content for transesterification. the transesterification reaction of oil from silver fish oil needs a catalyst, and heterogenous catalyst is a better choice. this study was determined the fatty acid methyl ester composition of m. maculata by transesterification process using heterogeneous cao catalyst from chicken egg shells through 3 steps i.e. oil isolation, cao catalyst synthesis, and oil transesterification reactions. oil isolation was carried out by soxhletation method using petroleum ether with the oil content was 13.51%. synthesis of cao catalyst was carried out by calcination at 1000 °c for 2 hours and then charactererized by xrd. fish oil is transesterified using cao catalyst in a ratio of 11% (w/v) of the mixture. furthermore, fatty acid methyl esters obtained were analyzed using gc-ms. the results showed 6 methyl ester fatty acids as composition of transesterification products which were methyl myristic (11.85%), methyl palmitoleate (8.71%), methyl palmitic (25.13%), methyl oleic (9.49%), methyl stearic (10.04%), and methyl 5,8,11,14eikosatetraenoate (1.96%). keywords: fatty acid, heterogeneous catalyst cao, mene maculata, transesterification. pendahuluan ikan perak biasanya akan dikonsumsi masyarakat maluku bila ikan-ikan yang lain mengalami kenaikan harga yang tinggi. ikan ini pun dikenal sebagai ikan yang berminyak, hal ini dapat terlihat dari kandungan minyak pada ikan perak sebesar 13,94% (pupella, 2012). dengan demikian ikan ini akan mudah diambil kandungan minyaknya untuk dilakukan proses transesterifikasi. reaksi transesterifikasi adalah suatu reaksi konversi molekul ester (trigliserida) menjadi molekul ester yang lebih sederhana. transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak/lipid yakni ester) menjadi alkil ester yang lebih sederhana (hikmah dan zuliyana, 2013). reaksi transesterifikasi minyak/lipid adalah reaksi yang lambat sehingga memerlukan katalis untuk mempercepat terbentuknya produk. katalis yang sering digunakan untuk reaksi ini adalah katalis homogen, baik itu katalis asam maupun basa (canakci dan van gerpen, 2001) walaupun katalis heterogen juga bisa digunakan. penelitian terkait analisis komponen asam lemak melalui tahap transesterifikasi dengan menggunakan katalis asam (bf3-metanol) atau katalis basa (natrium metanolat) telah dilakukan (pupella, 2012). penggunaan katalis homogen (bf3-metanol) ternyata memiliki beberapa kekurangan yaitu proses pencucian residu katalis menghasilkan limbah, dan katalis ini tak dapat digunakan kembali sehingga tidak ekonomis (surbhi dkk., 2011) dan dapat menghasilkan produk yang tidak diinginkan seperti gliserol eter atau dialkil eter bila suhu reaksi di atas 80 °c, juga konversi ester menjadi berkurang dengan adanya air dalam sampel atau katalis (berchmans dan hirata, 2007). kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 70 untuk mengatasi kekurangan yang dimiliki oleh katalis homogen, dilakukan pengembangan proses transesterifikasi menggunakan katalis heterogen. katalis heterogen dapat digunakan kembali, ramah lingkungan, murah dan mampu menghasilkan produk secara maksimal. kemampuan katalis heterogen dalam proses transesterifikasi sangat baik khususnya katalis basa (macleod dkk., 2008). beberapa katalis heterogen telah bekerja pada produksi biodiesel, misalnya cao, mgo, dan hydrotalcites (refaat, 2011). katalis cao dari cangkang telur ayam dapat memenuhi semua persyaratan katalis heterogen di atas, dan untuk meninjau hasil reaksi transesterifikasi minyak ikan maka dilakukan penelitian ini. katalis cao dapat dihasilkan dari sumber alaminya yakni cangkang telur ayam yang banyak mengandung caco3 (talha dan sulaiman, 2016). cangkang telur ayam adalah limbah yang mudah didapat dan murah harganya namun mengandung kandungan aktif katalis cao hingga 94% (leung dkk., 2010). proses pemanasan dengan suhu tinggi menyebabkan hilangnya co2 dari caco3 sehingga terbentuk cao. kouzo dkk. (2008) melaporkan bahwa produksi biodiesel dai transesterifikasi minyak kedelai dengan katalis cao, ca(oh)2, caco3 pada 1 jam reaksi dari hasil fame (fatty acid methyl esters) adalah 93% untuk cao, 12% untuk ca(oh)2 , dan 0% untuk caco3. metodologi alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: satu set alat refluks pyrex, satu set alat ekstraksi soxhlet, hot plate, cawan petri, cawan porselen, neraca analitik (adam equipment), hair dryer, lumpang, oven (memert), tanur furnace 47900, vacuum evaporator buchii, peralatan refluks, difraktometer sinar x shimadzu goniometer xd-3h, kromatografi gasspektrometer massa (gc-ms shimadzu qp2010), corong pisah dan ayakan 100 mesh, dan beberapa peralatan gelas lain seperti labu alas bulat, gelas kimia, erlemeyer, corong, pipet tetes dan gelas ukur. bahan bahan penelitian yang digunakan adalah: daging ikan perak (m. maculata), cangkang telur ayam, metanol p.a (e. merck), petrolium eter p.a (e. merck), na2so4 anhidrous p.a (e. merck), nheksana p.a (e. merck), aquades, dan kertas saring whatman no. 42. prosedur kerja persiapan sampel ikan dibersihkan dari sisiknya, dibelah, diambil dagingnya, dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan menggunakan hair dryer sampai kadar air sedikit berkurang kemudian dimasukan dalam oven dengan suhu 47-50 °c sampai ikan kering dan daging ikan dihaluskan menggunakan lumpang. isolasi minyak daging ikan perak kering yang telah dihaluskan ditimbang 100 g, kemudian dibungkus dengan kertas saring, bagian atas ditutup dengan kapas kemudian dimasukan kedalam ekstaktor, dan dimasukan 300 ml petroleum eter. ekstraksi dilakukan sampai campuran didalam ekstraktor menjadi bening. ekstrak yang diperoleh kemudian dituangkan dalam gelas ukur yang diketahui beratnya kemudian dievaporasi hingga pelarutnya menguap kemudian ditimbang. preparasi katalis cangkang telur ayam dicuci dengan akudes hingga bersih dari lapiran protein di bawah cangkang telur sehingga hanya diambil cangkang terurnya saja. selanjutnya bahan cangkang telur ini dikeringkan di dalam oven pada suhu 100 °c selama 24 jam. bahan dasar katalis kemudian digerus menggunakan lumpang dan alu hingga halus kemudian diayak hingga ukuran 100 mesh. sintesis katalis cao dari cangkang telur serbuk cangkang telur ayam hasil ayakan kemudian ditimbang sebanyak 100 gram. proses sintesis katalis cao dari cangkang telur dilakukan dengan memasukkan padatan serbuk cangkang telur ke dalam tanur. proses kalsinasi dilakukan dengan pemanasan padatan pada suhu 1000 °c selama 2 jam lalu didinginkan. setelah itu cao hasil kalsinasi sebanyak 1 g dikarakterisasi menggunakan alat x-ray diffractometer (xrd). kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 71 reaksi transesterifikasi minyak ikan perak dimasukkan ke dalam alat refluks kemudian ditransesterifikasi dengan metanol (perbandingan volum minyak dan metanol adalah 1:12) dan ditambahkan dengan katalis cao dari cangkang telur ayam dengan berat 11% (w/v) dari campuran (macleod dkk., 2008). campuran direfluks pada temperatur 63 64 °c selama 7 jam. campuran hasil reaksi didinginkan dan ada terbentuk 2 lapisan, yaitu di atas metil ester, dan di bawah gliserol. kedua lapisan dipisahkan menggunakan corong pisah. kemudian lapisan metil ester selanjutnya dicuci dengan aquades dan dipisahkan, selanjutnya ditambahkan 70 ml n-heksana dan dicuci kembali dengan akuades dan dipisahkan lagi. selanjutnya ditambahkan na2so4 anhidrous untuk mengikat air, dan dibiarkan semalaman untuk besoknya dilakukan penyaringan, campuran disaring dengan kertas saring whatman 42, dan n-heksana diuapkan menggunakan evaporator buchi, selanjutnya metil ester yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan gc-ms. hasil dan pembahasan sintesis cao dari cangkang telur ayam sintesis katalis cao diawali dengan proses pembersihan yang betujuan menghilangkan selaput protein pada cangkang telur dan pengotor lain yang tidak diinginkan kemudian dilakukan pengeringan padatan cangkang telur dalam oven pada suhu 100 °c selama 24 jam untuk menguapkan air. selanjutnya bahan dasar cangkang telur digerus dengan lumpang hingga halus dan diayak hingga ukuran melewati 100 mesh. proses pengayakan ini bertujuan untuk memperbesar permukaan padatan, semakin kecil ukuran katalis yang diperoleh maka semakin besar luas permukaan katalis tersebut, sehingga diharapkan reaktan akan teradsorpsi lebih banyak pada permukaan katalis sehingga dapat meningkatkan kecepatan reaksi. proses kalsinasi dengan suhu tinggi untuk menghilangkan pengotor, dan menghilangkan co2 dari caco3 sehingga dapat diperoleh cao. konversi cao yang diperoleh dari kalsinasi 100 g cangkang telur adalah sebesar 53,31%. gambar 1. difraktogram xrd cao cangkang telur hasil kalsinasi kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 72 karakterisasi cao dari cangkang telur ayam ras dengan difraktometer sinar-x (xrd) difaktogram hasil xrd pada cangkang telur yang dikalsinasi pada suhu 1000 °c (gambar 1) menghasilkan pola difraksi yang ditunjukkan oleh puncak-puncak pada 2θ = 29,1849; 32,3808; 33,8084; 34,0246; 37,5414; 48,4970; 48,7765; 54,0491; 57,5377; 60,3488; 64,3488; 67,5666; 79,8408; 80,8259; 88,7071. dari 15 puncak yang terlihat terdapat 3 puncak yang paling kuat yaitu pada pada 2θ = 32,3808 dengan intensitas 1148, 2θ = 37,5414 dengan intensitas 3293, dan 2θ = 54,0491 dengan intensitas 1823 merupakan puncak khas cao. cangkang telur yang telah dikalsinasi yang memiliki ciri puncak cao, yaitu pada 2θ = 32,3808; 37,5414; 54,0491; 64,3488; 67,5666; 79,8408. puncak kecil pada 2θ = 29,1849; 33,8084; dan 48,7769 merupakan puncak khas ca(oh)2 yang menunjukkan adanya hidrasi dari kalsium oksida. kalsium oksida segar mengalami penyerapan air dari udara dan hal ini tidak dapat dihindarkan karena sifat dari cao yang higroskopis (demirbas, 2009). tingkat kristalitas dari cao cangkang telur terlihat pada puncak difraksi yang dihasilkan sempit dan tajam yang menunjukkan bahwa katalis cao yang diperoleh memiliki tingkat kristalitas yang tinggi. minyak ikan perak (mene maculata) isolasi minyak ikan perak (m. maculata) dilakukan dengan metode ekstraksi soxhletasi menggunakan petroleum eter. metode ekstraksi soxhletasi dipilih karena secara umum digunakan untuk ekstraksi lemak dari bahan makanan. selain itu, metode ini dipilih karena pelarut yang digunakan lebih sedikit (meningkatkan efisiensi pengunaan bahan), mengurangi biaya produksi, dan ekstrak yang dialirkan melalui pipa sifon tetap tinggal di dalam labu sehingga pelarut yang digunakan untuk mengeskstrak sampel selalu baru (brewer dkk., 2016). pemilihan petroleum eter sebagai pelarut karena lebih selektif dan bersifat nonpolar sehingga cocok untuk mengestraksi minyak yang juga bersifat nonpolar yang didasarkan pada prinsip “like dissolves like. gambar 2. kromatogram hasil transesterifikasi minyak ikan perak (m. maculata) tabel 1. hasil transesterifikasi minyak ikan perak menggunakan gc-ms. no. waktu retensi (menit) senyawa metil ester komposisi (%) 1. 12,433 metil miristat 11,85 2. 1 17,333 metil palmitoleat 8,71 3. 17,900 metil palmitat 25,13 4. 22,267 metil oleat 9,49 5. 22,875 metil stearat 10,04 6. 25,950 metil-5,8,11,14-eikosatetraenoat 1,96 kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 73 petroleum eter juga memiliki sifat yang stabil dan mudah menguap sehingga baik untuk digunakan dalam proses ekstraksi. sebelum dilakukan isolasi minyak, daging ikan terlebih dahulu dikeringkan untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam sampel. jika terdapat kandungan air dalam daging, maka minyak sukar diekstraksi dengan pelarut nonpolar (petroleum eter) karena pelarut nonpolar sukar masuk ke dalam jaringan yang basah oleh air (polar) air sehingga kurang efisien untuk proses ekstraksi (talha dan sulaiman, 2016). berdasarkan hasil penimbangan dan perhitungan, kadar air yang terdapat dalam daging ikan perak (m. maculata) adalah 67,44%. (a) (b) gambar 3. spektrum massa senyawa (a) metil miristat dengan waktu retensi 12,433 menit, (b) metil palmitoleat dengan waktu retensi 17,333 menit. gambar 4. usulan fragmentasi metil miristat dengan waktu retensi 12,433 menit. kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 74 proses transesterifikasi pada penelitian ini, hasil yang diperoleh dari ekstraksi 100 g ikan kering adalah 13,51g (13,51%) minyak ikan berwarna coklat tua. selanjutnya diambil sebanyak 2,07 g minyak ikan untuk ditransesterifikasi menggunakan cao dan metanol. perbandingan minyak dan methanol yaitu 1:12 untuk mendapatkan metil ester yang maksimal, sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh (di serio dkk., 2007). pertambahan metanol berlebih mendorong kesetimbangan bergeser ke arah pembentukan produk sehingga dapat mengakibatkan hasil metil ester yang diperoleh meningkat (demirbas, 2009). tetapi, kendalanya adalah kelebihan metanol dapat menghambat pemisahan fase gliserol dan fase metil ester (wei dkk., 2009). waktu reaksi transesterifikasi dipilih selama 7 jam karena hasil metil ester akan mencapai nilai maksimum pada waktu reaksi selama 7 jam (eevera dkk., 2009). digunakan juga katalis cao sebanyak 11% (w/v) campuran metanol-minyak dan suhu reaksi sesuai yang dikemukakan oleh (wei dkk., 2009) untuk mendapatkan produk metal ester yang optimal. dalam hal ini, suhu reaksi dijaga pada suhu 63-64 o c. semakin tinggi suhu reaksi dapat meningkatkan hasil metil ester, tetapi ketika suhu gambar 5. usulan fragmentasi metil palmitoleat dengan waktu retensi 17,333 menit. kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 75 reaksi lebih tinggi dari titik didih metanol, maka akan terbentuk gelembung yang menghambat perpindahan massa produk pada permukaan fase (zabeti dkk., 2009). selain itu, pengadukan dengan batang magnetik agar campuran dapat terdistribusi merata dan terjadi kontak yang optimal antara katalis dan reaktan. sebagaimana hasil yang dilaporkan zabeti dkk. (2009) bahwa pengadukan yang tidak merata akan membentuk 3 fasa yaitu metanol, minyak dan katalis. fase padat dari katalis cao membutuhkan pengadukan yang cepat untuk mendapatkan kondisi distribusi katalis yang merata. katalis direaksikan terlebih dahulu dengan metanol sehingga terbentuk ca(och3)2 (liu dkk., 2007). adanya ion metoksi, pencampuran ini dilakukan mencegah terbentuknya air dalam reaksi yang menyebabkan saponifikasi (ma dan hanna, 1999). hasil akhir diperoleh 2 lapisan lapisan atas merupakan metil ester dan lapisan bawah merupakan gliserol kemudian lapisan atas dan bawah dipisahkan. analisis hasil transeseterifikasi minyak ikan perak (mene maculata) menggunakan gcms hasil transesterifikasi minyak ikan perak (m. maculata) yang dianalisis menggunakan gcms adalah diperoleh 15 puncak kromatogram seperti pada gambar 2. setelah dilakukan identifikasi terhadap spektrum massa dari puncak-puncak yang dominan maka terdapat 6 senyawa yang dapat diidentifikasi seperti yang disajikan pada tabel 1. puncak kromatogram dengan waktu retensi 12,433 menit dan 17,333 menit memberikan spektrum massa yang ditunjukkan pada gambar 3. berdasarkan spektrum massa pada gambar 3(a) maka dapat dibuat usulan mekanisme fragmentasinya seperti pada gambar 4. pada spektrum massa (gambar 3a), terlihat bahwa puncak awal m/z = 242 sebagai ion molekuler metil miristat. kemudian yang puncak kedua yang muncul adalah puncak dengan m/z= 211 yang berasal dari lepasnya gugus metoksi (och3) (a) dari ion molekuler (m/z = 242) yang menandakan adanya senyawa metil ester. puncak dengan m/z = 119 berasal dari lepasnya gugus propil (b) dari ion molekuler. adanya ikatan jenuh ditunjukkan dengan munculnya puncak pada m/z = 43, 57, 71, dan 85, yang merupakan deret ion cnh2n+1 + . sedangkan deret ion cnh2n-1o2 + untuk ester alifatik muncul puncak pada m/z = 101, 115, 129, 143, 157, 185, dan 199. puncak pada m/z = 87 berasal dari lepasnya gugus c8h16 dari m/z = 199. puncak dasar muncul pada m/z = 74 berasal dari ion c3h6o2 + yang merupakan hasil pemecahan melalui reaksi penataan ulang mclafferty dari m/z 87. dari fragmentasi tersebut, maka dapat diketahui bahwa senyawa dengan waktu retensi 12,433 menit adalah metil miristat. berdasarkan spektrum massa pada gambar 3(b) maka dapat dibuat usulan mekanisme fragmentasinya seperti pada gambar 5. ion molekuler senyawa metil ester muncul dengan m/z = 268. adanya satu ikatan c=c ditunjukkan dengan munculnya deret ion cnh2n-1 + yaitu pada puncak m/z = 41, 55, 69, 83, 96, 111, 125, dan 139, yang diikuti oleh limpahan kecil dari deret ion cnh2n+1 + pada puncak m/z = 43, 57, 71, dan 85. puncak dengan m/z = 237 berasal dari ion c16h29o + yang dihasilkan dari lepasnya gugus metoksi (•och3) dari ion molekuler (m/z =268) yang menandakan adanya senyawa metil ester. fragmen dengan m/z = 194 berasal dari lepasnya gugus propil dari fragmen c16h29o + m/z = 237. fragmen dengan m/z = 152 berasal dari lepasnya gugus c2h2o dari fragmen dengan m/z = 194. dengan lepasnya gugus -ch2 dari fragmen m/z = 152 menghasilkan m/z= 138 dan lepasnya radikal gugus c3h6 dari fragmen m/z= 138 menghasilkan fragmen dengan m/z= 96. fragmen dengan m/z= 96 melepaskan radikal •c3h5 sehingga menghasilkan fragmen dengan m/z = 55 yang merupakan puncak dasar. dari fragmentasi tersebut, maka dapat diketahui bahwa senyawa dengan waktu retensi 17,333 menit adalah metil palmitoleat. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh metil ester dari ekstraksi 100 g ikan kering adalah 13,51 g (13,51%) minyak berwarna coklat tua. persen komposisi 6 metil ester asam lemak hasil transesterifikasi minyak ikan perak (m. maculata) yaitu metil miristat (11,85%); metil palmitoleat (8,71%); metil palmitat (25,13%); metil oleat (9,49%); metilstearat (10,04%); dan metil-5,8,11,14eikosatetraenoat (1,96%). cao yang dihasilkan dari cangkang telur ayam dapat berperan sebagai kartika tahya dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 69-76 76 katalis dalam proses transesterifikasi asam lemak dari minyak ikan perak (m. maculata). ucapan terima kasih ucapan terima kasih kepada program studi pendidikan kimia universitas pattimura dan universitas pelita harapan yang telah membantu selama proses penelitian hingga diterbitkannya hasil penelitian ini. daftar pustaka brewer, d.r., franco, j.m., garcia-zapateiro, l.a., 2016, rheological properties of oil-inwater emulsions prepared with oil and protein isolates from sesame (sesamum indicum), food sci. technol., 36(1), 64–69. berchmans, h.j., hirata, s., 2007, biodiesel production from crude jatropha curcas l. seed oil with a high content of free fatty acids, bioresour. technol., 99(2008), 1716– 1721. canakci, m., gerpen, j, van., 2001, biodiesel production from oil and fats with high free fatty acids, am. soc. agric. eng. 44(6), 1429–36. demirbas, a., 2009, progress and recent trends in biodiesel fuels, energy convers. manag., 50(1), 14–34. di serio, m., cozzolino, m., giordano, m., tesser, r., patrono, p., santacesaria, e., 2007, from homogeneous to heterogeneous catalysts in biodiesel production, ind. eng. chem. res., 46(20), 6379–6384. eevera, t., rajendran, k., saradha, s., 2009, biodiesel production process optimization and characterization to assess the suitability of the product for varied environmental conditions, renew. energy, 34(3), 762–765. hikmah, m.n., zuliyana., 2013, pembuatan metill ester (biodiesel) dari minyak dedak dan metanol dengan proses esterifikasi dan transesterifikasi, skripsi: universitas diponegoro. semarang. kouzu, m., kasuno, t., tajika m., sugimoto y., yamanaka s., hidaka j., 2008, calcium oxide as a solid base catalyst for transesterification of soybean oil and its application to biodiesel production, fuel, 87(12), 2798 – 2806. leung, d.y.c., wu, x., leung, m.k.h., 2010, a review on biodiesel production using catalyzed transesterification, appl. energy, 87(4), 1083–1095. liu, y., lotero, e., goodwin, j.g., mo, x., 2007, transesterification of poultry fat with methanol using mg–al hydrotalcite derived catalysts, appl. catal. a-gen, 331(complete), 138–148. ma, f., hanna, m.a., 1999, biodiesel production: a review, bioresour. technol., 70(1), 1–15. macleod, c.s., harvey, a.p., lee, a.f., wilson, k., 2008, evaluation of the activity and stability of alkali-doped metal oxide catalysts for application to an intensified method of biodiesel production, chem. eng. j., 135(1–2), 63–70. pupella, r., 2012, analisis komponen asam lemak dari ikan parang-parang (chirocentrus dorab) dan ikan perak (mene maculata), skripsi: program studi pendidikan kimia, fkip unpatti, ambon. refaat, a.a., 2011, biodiesel production using solid metal oxide catalysts. int. j. environ. sci. technol., 8(1), 203–221. surbhi, s., ajay k.a., rajendra p.b., deepak, k.t., 2011, biodiesel production using heterogeneous catalysts. bioresour. technol., 102(3), 2151–2161. talha, n.s., sulaiman, s., 2016, overview of catalysts in biodiesel production. arpn j. eng. appl. sci., 11(1), 439–442. wei, z., xu, c., li, b., 2009, application of waste eggshell as low-cost solid catalyst for biodiesel production. bioresour. technol., 100(11), 2883–2885. zabeti, m., daud, w.m.a.w., aroua, m.k., 2009, activity of solid catalysts for biodiesel production: a review. fuel process. technol., 90(6), 770-777. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 51-56,2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-pon 51 pemilihan metode perhitungan kimia komputasi semi-empiris untuk pengembangan 1,3,4thiadiazole selection of semi-empirical calculation method in computational chemistry for the development of 1,3,4-thiadiazole sari paramita, maylani permata s., eva vaulina y.d., nasrokhah, ponco iswanto* chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences jenderal soedirman university, jl. soeparno, purwokerto, 53122 * corresponding author: poncoiswanto@gmail.com received: 2019-12-19 received in revised: 2020-2-10 accepted: 2020-5-18 available online:2020-5-31 abstract computational chemistry methods are those used to help researchers design chemical compounds optimally, so that experiments and mistakes do not need to be done in the laboratory. this is a very important step because it can save costs, chemicals, and also the time spent. the method used in this study is semi-empirical, while the parameters used in this study are the infrared (ir) spectrum and the core magnetic resonance (nmr) spectrum which matched with the results of the study. the compound to be investigated is 1,3,4-thiadiazole is a heterocyclic compound which is very useful in the field of medicines which contain anti-inflammatory, anticancer, and glaucoma drugs. the results showed the most appropriate calculation method is pm3 based on infrared variation values of 1697.44 and the press value of nuclear magnetic resonance variation of 21.170. keywords: semi-empiric, 1,3,4-thiadiazole. infrared, nmr, press, pm3. abstrak (indonesian) metode kimia komputasi adalah metode yang digunakan untuk membantu peneliti merancang senyawa kimia secara optimal, sehingga percobaan dan kesalahan tidak perlu dilakukan di laboratorium. ini adalah langkah yang sangat penting karena dapat menghemat biaya, bahan kimia, dan juga waktu yang dihabiskan. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi-empiris, sedangkan parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrum inframerah (ir) dan spektrum resonansi magnetik inti (nmr) yang disesuaikan dengan hasil penelitian. senyawa yang akan diteliti adalah 1,3,4-thiadiazole adalah senyawa heterosiklik yang sangat berguna dalam bidang obat-obatan yang mengandung obat antiinflamasi, antikanker, dan glaukoma. hasil penelitian menunjukkan metode perhitungan yang paling tepat adalah pm3 berdasarkan pada nilai variasi inframerah 1697,44 dan nilai press variasi resonansi magnetik nuklir 21,170. kata kunci: semiempiris, 1,3,4-thiadiazole. infra merah, nmr, press, pm. pendahuluan kimia komputasi merupakan bidang yang berkembang sejak tahun 1950-an dan diawali dengan perkembangan kimia komputasi oleh john pople. dengan memanfaatkan hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologi, kimiawan dapat terbantu untuk menentukan struktur dan sifat suatu sistem kimia (pranowo, 2003; kilo dkk., 2019; gasperz dan sohilait, 2019). kimia komputasi berbasis pada persamaan himpunan dalam bahasa pemrograman berupa algoritma yang berasal dari konversi teori fisika dan matematika ke kimia. kimia komputasi dapat menyelesaikan masalah kimia dan biologi yang kompleks dengan algoritma numerik yang efisien dengan daya komputasi yang tinggi (ramachandran dkk., 2008; saudale dan suatu, 2020). teknik yang ditemukan oleh para ilmuwan komputasi yang berkembang dengan kecerdasan buatan/artificial intelegent (ai) telah diterapkan untuk sebagian besar untuk desain obat dalam beberapa tahun terakhir. metode-metode ini juga dikenal sebagai de novo atau desain obat yang rasional. metode umum yang digunakan adalah paramita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 51-56, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-pon 52 dengan cara mengidentifikasi gugus fungsi aktif, dan memasukkan gugus fungsi yang diinginkan agar berinteraksi dengan gugus fungsional lainnya. alihalih membuat percobaan dengan ratusan atau ribuan kemungkinan, mekanika molekuler dibangun menjadi program kecerdasan buatan, yang mencoba sejumlah besar kemungkinan "masuk akal" dengan cara otomatis (ramachandran dkk., 2008). produk utama hypercube, inc. adalah hyperchem professional untuk windows, merupakan produk perangkat lunak kimia pertama di dunia pada windows. hyperchem merupakan sebuah perangkat lunak pemodelan molekul yang fleksibel dan mudah digunakan. hyperchem menyatukan visualisasi 3d dengan perhitungan kimia kuantum yang mencakup semua komponen struktur, termodinamika, spektrum, dan kinetika. hyperchem 8.0 merupakan versi terbaru dari perangkat lunak hyperchem yang memperkenalkan fitur-fitur yang lebih luas, terutama berkaitan dengan kemampuan hyperchem untuk berinteraksi dengan program lain seperti microsoft word dan microsoft excel (hypercube, 2007). gambar 2. senyawa 1,3,4-thiadiazole semi-empiris disebut juga semi-eksperimental karena pada metode ini menggabungkan teori fisika dengan eksperimen. kedua metode dimulai dengan persamaan teori schrödinger yang diturunkan (lewar, 2011). prinsip yang dgunakan dalam metode semiempiris sama dengan metode ab initio, hanya saja pada semi-empiris menyederhanakan integral dua elektron dari hamiltonian. metode semi-empiris merupakan metode yang memodifikasi persamaan hartee-fock (hf) yang disesuaikan dengan parameter empiris. perhitungan semi-empiris memerlukan parameter dari semua elemen yang terlibat dalam sistem molekul (mikael, 2013). data yang diperoleh juga harus disesuaikan dengan kesimpulan dari eksperimen sehingga kualitas keakuratan data dapat ditingkatkan.perhitungan semi-empiris memiliki kelebihan yaitu lebih cepat dibandingkan metode ab initio dan hanya memerlukan ukuran penyimpanan yang kecil. senyawa heterosiklik merupakan senyawa yang menarik untuk dikaji karena jangkauan spektrum aktivitas biologisnya yang luas. telah diketahui bahwa cincin thiadiazole merupakan kerangka kerja yang penting karena cincinnya digunakan untuk menghubungkan agen senyawa anti-bakteri dan antimikroba (misrha, 2012). thiadiazole banyak diaplikasikan diberbagai bidang, seperti bidang pertanian, kimia bahan, dan farmasi. aplikasi thiadiazole dibidang farmasi diantaranya yaitu sebagai anti-inflamasi, antikonvulsan, anti-bakteri, antikanker, antidepresan, antihipertensi, dan antijamur (hu, 2013). cincin thiadiazole telah digunakan untuk menghubungkan senyawa seperti agen antiparasit dan antimikroba dan beberapa obat yang dihasilkan masih digunakan hingga saat ini (li dkk., 2013). terdapat empat macam senyawa thiadiazole yaitu 1,2,3-, 1,2,4-, 1,2,5-, dan 1,3,4thiadiazole (gambar. 1). banyak penelitian yang berfokus dan menyelidiki senyawa 1,2,4-thiadiazole dan 1,3,4 thiadiazole karena banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa tersebut diketahui menunjukkan aktivitas antibakteri, anti-inflamasi, dan antikanker (mikael, 2013). senyawa thiadiazole yang telah beredar dipasaran diantaranya yaitu: methazolamide dan asetazolamide (massereel dkk., 2002). gambar 3.senyawa 1,3,4-thiadiazole tersubstitusi penelitian semi-empiris tidak bisa meninggalkan eksperimen, oleh karena itu diperlukan jurnal pembanding dalam penelitian ini untuk meningkatkan kualitas data prediksi. berdasarkan latar belakang tersebut pada studi ini dilakukan analisis terhadap gambar 1. macam-macam senyawa thiadiazole paramita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 51-56, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-pon 53 senyawa thiadoazole dan turunannya yang mengacu pada riset eksperimen (babu dkk., 2012). metodologi alat dan bahan seperangkat komputer dengan spesifikasi prosesor intel(r) core (tm) i56500 cpu @ 3,20ghz, ram 8,00 gb yang dilengkapi dengan sistem operasi windows 10 64-bit, x64 processor, dan perangkat lunak hyperchem 8.0. bahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan studi teoretis yang menggunakan model senyawa 1,3,4thiadiazole yang diperoleh dari studi terdahulu (babu dkk., 2012). prosedur kerja pemodelan molekul 1,3,4-thiadiazole langkah pertama dalam penelitian ini yaitu memodelkan senyawa 1,3,4-thiadiazole pada perangkat lunak hyperchem. molekul 1,3,4 thiadiazole dimodelkan ke dalam bentuk tiga dimensi (3d) kemudian memilih memilih metode perhitungan berdasarkan parameter untuk model senyawa 1,3,4thiadiazole. optimasi geometri setelah senyawa 1,3,4-thiadiazole dimodelkan kedalam bentuk tiga dimensi (3d), kemudian dilakukan perhitungan optimasi geometri untuk senyawa 1,3,4-thiadiazole menggunakan metode semi-empiris dengan metode extended huckel, am1, cndo, indo, mindo3, mndo/d, mndo, pm3, rm1, tndo, zindo/1, dan zindo/s secara bergantian. optimasi geometri ditetapkan sesuai pada tabel 1 untuk semua metode, kecuali metode zindo/s. analisis spektrum inframerah (ir) setelah senyawa 1,3,4-thiadiazole sudah mencapai bentuk konformasi yang stabil, lalu dilanjutkan dengan perhitungan spektrum inframerah dengan menggunakan perangkat lunakhyperchem. perhitungan dilakukan dengancara memilih menu compute, lalu pilih vibrational spectrum pada pilihan yang tesedia. tunggu hingga menu cancel dibagian atas berwarna abu-abu yang menandakan bahwa perhitungan spektrum inframerahtelah selesai. analisis spektrum resonansi magnet inti (nmr) setelah dilakukan optimasi dan analisis spektrum inframerah, lalu perhitungan spektrum nmr dilakukan dengan memilih semua atom hidrogen yang terdapat pada senyawa yaitu sebanyak tujuh atom hidrogen. pemilihan atom hidrogen dilakukan dengan menu select pada lembar kerja hyperchem. pilih menu compute, dan pilih invoke nmr dengan pengaturan spektrum 400 mhz dan reference shielding 25,3. setelah itu pilih menu compute pada lembar kerja, dan pada bagian menu compute, klik pilihan both : i then ii pada bagian menu compute. uji press data yang diperoleh dari metode perhitungan spektrum ir dan nmr pada setiap metode yang telah digunakan, lalu dimasukkan kedalam microsoft excel, lalu diuji dengan metode press (predicted residual of sum squares) untuk mengetahui metode perhitungan yang terbaik untuk senyawa 1,3,4thiadiazole. tabel 2. hasil optimasi untuk setiap metode perhitungan pada 1,3,4-thiadiazole no metode perhitungan total energi momen dipol 1 am1 -44604,48 4,018 2 cndo -67631,53 2,351 3 indo -65581,82 1,324 tabel 1. kondisi optimasi struktur 1,3,4thiadiazole metode algoritma termination condition screen refresh period am1, cndo, indo, mindo3, mndo/d, mndo, pm3, rm1, tndo, zindo/1 polak-ribiere (conjugate gradient) 0,001 kcal/(å mol) 10.000 maximum cycles 1 zindo/s polak-ribiere (conjugate gradient) 0,001 kcal/(å mol) 32.762 maximum cycles 1 paramita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 51-56, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-pon 54 4 mndo3 -44441,13 1,435 5 mndo/d -44512,70 2,924 6 mndo -45449,17 3,713 7 pm3 -39810,68 3,044 8 rm1 -44259,44 4,225 9 tndo -64834,56 2,422 10 zindo/1 -62177,36 2,324 11 zindo/s 12 extended huckel nilai press dapat diperoleh dari perhitungan jumlah kuadrat dari selisih antara hasil prediksi dengan nilai yang diprediksi melalui eksperimen dengan rumus sebagai berikut: press = ∑ hasil dan pembahasan pemodelan dan optimasi geometri 1,3,4 thiadiazole pemodelan molekul adalah teknik yang bergantung pada struktur tiga dimensi (3d) dari suatu molekul untuk mengetahui sifat-sifat, dan reaksi yang terjadi dalam suatu molekul untuk mengetahui perilaku molekul dalam sistem kimia (foresman dkk., 1996). pemodelan molekul juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang merepresentasikan struktur molekul secara numerik dan mensimulasikan perilakunya dengan persamaan kuantum dan fisika klasik (allen, 1994). penelitian ini menggunakan senyawa 1,3,4-thiadiazole tersubstitusi, yang mempunyai rumus molekul . senyawa 1,3,4thiadiazole adalah senyawa aromatik, basa lemah, planar, dan kekurangan elektron. momen dipol (3,25 d) untuk 1,3,4-thiadiazole menunjukkan bahwa molekul tersebut berbentuk simetris polar dengan karakter pseudo-aromatik. atom-atom karbon pada posisi 2 dan 5 kekurangan elektron karena efek induktif nitrogen dan belerang dan menyebabkan 1,3,4-thiadiazole bersifat inert terhadap substitusi elektrofilik tetapi reaktif terhadap serangan nukleofilik (ram, 2019). pemodelan senyawa 1,3,4thiadiazole pada gambar 3.1 dengan atom karbon (c) berwarna hijau tosca, atom hidrogen (h) berwarna putih , atom sulfur (s) berwarna kuning, dan atom nitrogen (n) berwarna biru. hasil optimasi geometri senyawa 1,3,4 thiadiazole tersubstitusi untuk setiap metode perhitungan dapat dilihat pada tabel 2. optimasi dilakukan untuk mengetahui total energi yang paling minimum dari suatu molekul, yaitu keadaan dimana molekul tersebut mencapai bentuk geometri yang stabil, sehingga mendekati struktur yang sebenarnya (cramer dkk., 2001). metode perhitungan zindo/s dan extended huckel tidak dapat mencapai keadaan stabil meskipun telah diatur dengan kondisi optimasicycle maximum sebesar 32.762 cycles, metode tersebut tereliminasi dalam seleksi pemilihan metode. berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa metode perhitungan cndo memiliki total energi paling minimun yaitu sebesar 67631,53. analisis spektrum inframerah (ir) prinsip kerja spektruminframerah/infra red (ir) yaitu penyerapan radiasi inframerah oleh sampel agar mengalami perpindahan ke tingkat vibrasi tereksitasi pertama. berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dipilih nilai spektrum yang paling mendekati data referensi (babu dkk., 2012). spektrum inframerahdigunakan untuk mengidentifikasi penyerapan gugus fungsional utama yaitu 1,3,4tabel 3. hasil analisis spektrum inframerah1,3,4-thiadiazole paramita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 51-56, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-pon 55 thiadiazole dengan berbagai macam metode perhitungan yang telah dilakukan. hasil analisis spentrum inframerah dapat dilihat pada tabel 3. fungsi perhitungan press yaitu untuk memberikan errorprediksi. observasi yang diprediksi bebas dari fitting model, semakin kecil nilai press, maka semakin baik suatu metode tersebut, karena kemungkinan error akan semakin kecil (draper dan smith, 1981). dari data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan metode am1 dan pm3 sebagai kandidat metode yang paling baik. analisis spektrum resonansi magnet inti (nmr) spektroskopi resonansi magnet inti (nmr) memberikan gambaran mengenai jenis atom, jumlah, maupun lingkungan atom hidrogen ( 1 h nmr) maupun karbon ( 13 c nmr). spektroskopi nmr didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul tersebut berada dalam medan magnet yang kuat. tabel 4. analisis spektrum nuclear magnetic resonance (nmr) metode δ(5h arch) δ(2h,nh2) ∑ press eksperimen 7,950 5,400 13,350 indo 8,533 9,328 17,861 140,792 cndo 8,531 8,694 17,225 118,475 mindo3 8,640 8,715 17,355 122,873 mndo/d 8,443 8,542 16,985 110,268 am1 8,501 9,310 17,811 139,009 rm1 8,303 9,050 17,353 122,904 zindo/1 8,469 9,291 17,760 137,195 pm3 9,660 2,872 12,532 21,170 tndo 8,438 9,219 17,657 133,547 mndo 8,567 8,997 17,564 130,272 hasil dari analisis spektrum yang dilakukan pada frekuensi 400 mhz dapat dilihat pada tabel 4. berdasarkan data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan metode pm3 merupakan metode perhitungan yang paling akurat untuk menganalisis senyawa 1,3,4-thiadiazole tersubstitusi, karena memiliki nilai press nmr paling kecil diantara metode lainnya, yaitu sebesar 21,170. kesimpulan penentuan metode perhitungan untuk senyawa 1,3,4-thiadiazole dapat dilakukan dengan memanfaatkan spektrum ir dan nmr sebagai parameter dan dihitung menggunakan perhitungan press untuk mengetahui seberapa baik kandidat model perhitungan, dengan menggunakan data eksperimen untuk meningkatkan hasil penelitian yang diperoleh. hasil penelitian menunjukkan metode perhitungan pm3 terbukti sebagai metode perhitungan terbaik berdasarkan dari nilai press dari spektrum inframerah yaitu sebesar 1697,44 dan nilai press dari spektrum resonansi magnet inti sebesar 21,170. ucapan terimakasih kami soedirman group for computational chemistry, laboratorium kimia fisika, jurusan kimia, fmipa, unsoed mengucapkan terimakasih atas dukungan dana yang diberikan. dukungan yang diberikan melalui riset peningkatan kompetensi, batch 2, lppm unsoed, dengan nomor kontrak: p/845/un23/14/pn/2019. daftar pustaka allen, b.r., 1994. an introduction to molecular modeling, mathematech, 1, 83-90. babu, m. n., bidya b., madhavan, v., 2012. synthesis and biological activity of some novel 1, 3, 4-thiadiazole derivatives, inter. j. chemtech res., 4(1), 74-78. cramer, c. j., 2001. essential of computational chemistry, 2 nd edition, john wiley and sons, new york. draper, n.r. and smith, h. 1981. applied regression analysis, 2nd edition, john wiley and sons, new york. foresman, j.b. and frisch, a. 1996. exploring chemistry with electronic structure methods, 2nd edition. gaussian inc., pittsburgh. gasperz, n., sohilait, r. m., 2019. penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor α-amilase pankreas manusia, indo. j. chem. res., 6(2), 59-66. hypercube, 2007. hyperchemtm 8.0 for windows, http://www.hyper.com. hu y., li, c. y., wang x. m., yang, y.h., and zhu, h. l., 2013. 1,3,4-thiadiazole: synthesis, reactions, and applications in medicinal, agricultural, and materials chemistry, chem. rev., 114(10), 5572-5610. kilo l. a., aman, la. o., sabihi, i., kilo, l. j., 2019. studi potensi pirazolin tersubstitusi 1-n dari thiosemicarbazone sebagai agen antiamuba melalui uji in silico, j. chem. res., 7(1), 9-24. lewars, e. g., 2011. computational chemistry: introduction to the theory and applications of paramita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 51-56, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-pon 56 molecular and quantum mechanics, springer, new york. li y., geng, j., liu, y., yu, s., and zhao, g., 2013. thiadiazole-a promising structure in medicinal chemistry, chem.med.chem., 2(8), 27-41. massereel, b., rolin, s., abbate, f., scozzafava, a., and supuran, c.t., 2002. carbonic anhydrase inhibitors: anticonvulsant sulfonamides incorporating valproyl and other lipophilic moieties, j. med. chem. 45(2),312-20. mikael, j. p., 2013. ab initio, density functional theory, and semi-empirical calculations. springer, new york. mishra, b. k., karthikeyan , s., and ramanathan v., 2012. tuning the c–h···π interaction by different substitutions in benzene-acetylene complexes, j. chem. theory and computation, 8 (6), 1935-1942. pranowo, h.d., 2003. pengantar kimia komputasi, pusat kimia komputasi indonesia-austria. fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas gajah mada. yogyakarta. ramachandran, k. i., deepa, gopakumar, namboori, and krishnan, 2008. computational chemistry and molecular modeling, springer, coimbatore, india. ram, v., arun, s., mahendra, n., ramahendra p., 2019. the chemistry heterocylyes: nomenclature and chemistry of three-to-five membered heterocyles, oxford, united kingdom. saudale, f. z., suatu, i.r.s., 2020. pemodelan homologi komparatif fabp belalang kembara (locusta migratoria) dengan phyre2 dan skrining virtual inhibitor potensial, indo. j. chem. res., 7(1), 9-24. https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/1402 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/1402 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/1402 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/1402 indochem ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 283 chitosan oligomer production from waste tiger shrimp (penaeus monodon) using enzymes chitosanase of bacterial isolates klebsiella sp produksi oligomer kitosan dari limbah udang windu (panaeus monodon) menggunakan enzim kitosanase dari isolat bakteri klebsiella sp sarni 1 , hasnah natsir 2 , seniwati dali 2 1 midwifery academic of national healting fondation, jl. palagimata, baubau-indonesia 2 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, university of hasanuddin, jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, email: sarni_malik@yahoo.com received: dec 2015 published: jan 2016 abstract chitosan is a biopolymer that is the main content of d-glucosamine and several parts of n-acetyl-d-glucosamine bound to β(1-4) glucoside. chitosan receive special attention as functional biopolymers for applications in various fields. chitosan is more effectively absorbed into the human body when it gets converted into chitosan oligomer form. chitosan oligomer is a mixture of oligomers of d-glucosamine are formed through a process of severing ties depolymerization of chitosan with β-glycosidic. this study aims to produce chitosan oligomer of waste tiger shrimp (penaeus monodon) using enzyme kitosanase of bacteria klebsiella sp. chitosan oligomer produced by using the enzyme chitosanase at a temperature of 40 °c and ph 8 with the activity of 0.309 u/ml (5,235 u/mg) obtained in the form of a mixture of monomer to octamer, which soluble in acetic acid 0.25% to 0.5%, having intrinsic viscosity decreases with increasing time of incubation is 0.195 (1 hour incubation); 0.9 (incubation 2 hours) and 0.7 (incubation 3 hours) with molecular weight range of 4103.12 g/mol (incubation 1 hour) ; 1483.48 g/mol (incubation 2 hours) and 1065.79 g/mol (incubation 3 hours). keywords: waste tiger shrimp,chitosan, chitosanase,chitosan oligomer. pendahuluan indonesia memiliki potensi sumber daya alam laut yang sangat melimpah, salah satu diantaranya adalah budidaya udang. udang merupakan komoditas sektor perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi salah satu komoditas eksport unggulan (arif, 2013). data statistik dirjen perikanan budidaya kementerian kelautan dan perikanan, produksi total udang nasional tahun 2014 mencapai 592.219 ton dan jumlah ekspor udang dalam bentuk beku tanpa kepala dan kulit tahun 2014 mencapai 250.000 ton ke pasar dunia (djpbkkp.htm, 2015). hasil samping proses pembekuan sekitar 40 – 50% dari berat udang menjadi limbah (kulit dan kepala) yang saat ini masyarakat hanya menggunakan sebagai bahan perasa pada pembuatan kerupuk dan terasi (natsir dkk., 2004). kulit udang yang hanya menjadi limbah mengandung senyawa kimia yang berpotensi menjadi bahan yang sangat bermanfaat yaitu kitin dan kitosan. oleh sebab itu untuk mengatasi masalah lingkungan dari limbah ini diperlukan penanganan yang serius agar limbah tersebut dapat memiliki nilai ekonomis. kitosan merupakan suatu poli-(2-amino-2deoksi-β-(1-4)-d-glukopiranosa) dengan rumus molekul (c6 h11 no4)n (arief, 2013) yang dapat diperoleh dari deasetilasi sempurna atau parsial kitin. kitosan adalah biopolymer yang kandungan utamanya d-glukosamin dan beberapa bagian n-asetil-d-glukosamin yang berikatan pada β-(1-4) glukosida (mahae dkk., 2011). kitosan dapat dihidrolisis menjadi bentuk oligomernya yang dikenal dengan oligomer kitosan. kitosan mendapat perhatian khusus sebagai biopolimer fungsional untuk aplikasi diberbagai bidang. penelitian dan pemanfaatan kitosan dan sarni, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 284 oligomernya mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai bidang terutama dalam bidang farmasi, kesehatan dan industri makanan. kitosan lebih efektif terserap kedalam tubuh manusia bila dikonversi dulu dalam bentuk oligomer kitosan (qin caiqin dkk., 2002). oligomer kitosan merupakan campuran oligomer dari d-glukosamin yang terbentuk melalui proses depolimerisasi kitosan dengan memutus ikatan β-glikosidik. kitooligomer merupakan kitosan yang telah terdepolimerisasi sehingga memiliki ukuran dan bobot molekul yang lebih kecil. berkurangnya bobot molekul dari kitosan ini menjadikan sifatnya lebih mudah larut di dalam air dibanding sebelum terdepolimerisasi (srijanto dkk., 2006; julianti dkk., 2012). pengembangan aplikasi oligomer kitosan pada saat ini dikarenakan sifatnya yang dapat larut dalam air dan ramah lingkungan sehingga penggunaanya relatif aman. kitooligomer saat ini di terapkan secara luas dalam bidang kesehatan karena memiliki bioaktivitas sebagai anti bakteri, anti jamur, anti virus, suplement makanan untuk meningkatkan sistem imun terhadap penyakit, anti koagulasi darah dan hipokolesterolmik, anti kanker, anti diabetes dan lain-lain (srijanto dkk., 2006). aktivitas biologi dari kitooligosakarida diketahui bergantung pada struktur kimia yang dimilikinya (cabrera dkk., 2013). oligomer kitosan dapat dihasilkan dengan iradiasi sonik, hidrolisis secara kimiawi dan hidrolisis secara enzimatis. hidrolisis secara kimiawi dan iradiasi sonik bersifat acak, tidak terkontrol, efisiensi yang rendah dan menghasilkan oligomer dengan derajat polimerisasi (dp) yang rendah dengan lebih banyak monomer d-glukosamin. sedangkan, hidrolisis secara enzimatis bersifat spesifik, terkontrol, menghasilkan oligomer kitosan dengan dp yang lebih tinggi dan sedikit glukosamin yang dihasilkan serta ramah lingkungan (jeon dkk., 2000; meidina dkk., 2005; wahyuni dkk., 2006; liu dkk., 2007; chasanah, 2010), sehingga cara enzimatis ini lebih baik dan umumnya digunakan dalam memproduksi kitooligosakarida. salah satu enzim yang dapat digunakan untuk menghidrolisis kitosan adalah enzim kitosanase (choi dkk., 2004). kitooligosakarida dari limbah senyawa berkitin yang belakangan ini telah menarik perhatian industri karena manfaatnya untuk pangan dan medis menunjukkan nilai ekonomis yang cukup tinggi. pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa kitooligomer adalah produk yang termahal, misalnya kitobiose (sigma) mencapai 952 usg 10 mg. oleh karena itu kajian dan penelitian tentang aplikasi kitosan dan oligomernya dipandang sangat penting untuk usaha produksi senyawa bioaktif yang dapat diaplikasikan sebagai pangan fungsional dan nutraceutical (wahyuni dkk., 2006). beberapa penelitian melaporkan potensi oligomer kitosan dari bahan berkitin, misalnya pae (2001) melaporkan terjadinya induksi granulositik pada sel promyelocytic leukemia (hl-60) oleh water-soluble chitosan oligomer (wsco). caiqin qin dkk (2002) melaporkan kitosan larut dalam air secara enzimatik dan aktivitasnya sebagai anti tumor. sri wahyuni dkk (2006) melaporkan aktivitas anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer. qingsong xu dkk (2007) melaporkan kitooligosakarida dapat menginduksi apoptosis cell kanker hepatocellular pada manusia. sanaa t. el-sayed dkk (2012) melaporkan kitooligosakarida yang dihasilkan dengan kitosanase dari capsicum annuum efektif dalam menghambat sel karsinoma hepatocellular (hep-g2), sel kanker usus dan sel kanker payudara (mcf7) pada konsentrasi yang berbeda. berdasarkan latar belakang dan mengacu pada data-data penelitian sebelumnya tentang pemanfaatan limbah udang dengan mengeksploitasi potensi kitosan dan oligomernya dari limbah berkitin, sehingga pada penelitian ini bertujuan untuk produksi oligomer kitosan dari limbah kulit udang windu (penaeus monodon) di dengan menggunakan enzim kitosanase dari bakteri klebsiella sp. metodologi bahan bahan yang digunakan diantaranya serbuk kulit udang windu (panaeus monodon), isolate bakteri klebsiella sp (koleksi laboratorium biokimia jurusan kimia unhas), kitosan dd 85 % (sigma), yeast ekstrak, bakto pepton, glukosamin (sigma), n-propanol p.a (merck), amoniak p.a (merck), ninhidrin p.a (merck), hcl 37 % p.a (merck), naoh p.a (merck), naocl 0,5 %, ch3cooh glasial p.a (merck), nacl (merck), cacl2 (merck), k2hpo4 (merck), mgso4.7h2o (merck). sarni, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 285 alat alat yang digunakan adalah hotplate stirer velp, neraca analitik, inkubator, autoclave, lemari pendingin, magnetic stirer, wrist action shaker, vortex mixer, shaker inkubator, sentrifus dingin, oven (eyela ndo-400, jepang), penyaring buchner, freezedryer, kertas saring whatman, penangas, pinset, waterbath shaker, pompa vakum, spektronik 20d+, fourier transform infra red (ftir) spectroscopy (shimazu), kromatografi lapis tipis (klt), viscometer oswald serta beberapa peralatan gelas (pyrex). prosedur kerja a. isolasi kitosan dari kulit udang windu (panaeus monodon) proses isolasi kitosan dari limbah kulit udang dilakukan secara kimiawi yang diawali dengan isolasi kitin dari kulit udang windu (paneus monodon) terdiri dari tiga tahap antara lain demineralisasi, dekolorisasi, deproteinasi. selanjutnya kitosan dihasilkan dengan deasetilasi kitin secara kimiawi menggunakan naoh 50 % pada suhu 80 °c selama 90 – 100 menit dengan perbandingan 1 : 10 untuk kitin dan larutan naoh (manurung, 2011). b. karakterisasi kitosan dari kulit udang windu (panaeus monodon) karakterisasi kitosan yang diperoleh meliputi kadar air, kadar abu, kadar n-total, berat molekul, derajat deasetilasi dan analisis gugus fungsi menggunakan ftir. c. produksi enzim kitosanase produksi enzim kitosanase dimulai dengan pembuatan medium inokulum untuk starter yang mengandung 0,5% koloidal kitosan, kemudian bakteri klepsiella sp yang diremajakan sebelumnya diinokulasikan dalam media starter dan diinkubasi pada shaker incubator pada suhu 37 ºc, 180 – 200 rpm selama 24 jam. medium starter sebanyak 10% (v/v) diinokulasikan ke dalam medium produksi kemudian diinkubasi selama 60 jam pada suhu 40 ºc dan kecepatan yang sama untuk medium starter. enzim yang dihasilkan disentrifugasi dingin pada 4 ºc 3500 rpm selama 30 menit yang diikuti dengan mengukur aktivitas kitosanase serta ditentukan kadar proteinnya dengan metode lowry, dimana bsa (bovine serum albumin) sebagai larutan standar (chasanah, 2009 ; sarni dkk, 2015). d. uji aktivitas enzim kitosanase uji aktivitas kitosanase dilakukan dengan menggunakan metode schales yang digunakan oleh yoon dkk (2001), jo dkk (2003) dan chasanah dkk (2009). aktivitas enzim ditentukan berdasarkan jumlah glukosamin yang dibebaskan selama hidrolisis substrat kitosan. satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menghasilkan µmol residu glukosamin per menit setelah diinkubasi dengan larutan kitosan e. produksi oligomer kitosan dengan enzim kitosanase kitosan terlarut 1% dipersiapkan sebagai substrat. oligomer kitosan dihasilkan dengan mereaksikan enzim dan substrat pada perbandingan volume 1 : 1 dilakukan pada ph dan suhu optimum enzim dan diinkubasi pada inkubator goyang selama 1, 2, dan 3 jam. reaksi hidrolisis enzimatis untuk tiap waktu inkubasi dihentikan dengan membekukan campuran reaksi selama 15 menit, kemudian panaskan pada penangas air suhu 100 °c selama 10 menit. larutan kitooligosakarida kemudian dikeringkan dengan freeze drying (choi dkk., 2004; assis dkk., 2010). hidrolisat diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis berdasarkan metode yang digunakan oleh choi dkk (2004) dan mourya dkk (2011). oligomer kitosan yang diperoleh tiap waktu inkubasi juga ditentukan berat molekulnya dengan metode viskometri yang digunakan oleh mourya dkk (2011) dan julianti dkk (2012). hasil dan pembahasan a. isolasi dan karakterisasi kitin dan kitosan dari kulit udang windu (panaeus monodon) proses sintesis kitosan diawali dengan isolasi kitin dari kulit udang windu yang telah dihaluskan dengan ukuran 60 hingga 80 mesh. kitin yang diperoleh pada tahap ini sebesar 20,25%. hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan kadar kitin dalam kulit udang sebesar 15 – 20% (purwatiningsih, 2009). hasil karakterisasi kitin yang diperoleh pada tabel 1 menunjukkan bahwa kitin yang sarni, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 286 dihasilkan memiliki standard mutu yang baik berdasarkan standard laboratorium. tabel 1. perbandingan karakteristik kitin hasil isolasi dari limbah udang windu (penaeus monodon) dengan kitin standar (menurut protan laboratories) jenis sampel kadar air (%) kadar abu (%) n-total (%) derajat deasetilasi (%) kitin udang windu 4,5 0,45 5,3 41,42 kitin standar (protan lab.)* ≤ 10 ≤2 6 7 15 – 70 * nilai karakteristik kitin dari pustaka gambar 1. spektrum ftir (a) kitin dan (b) kitosan hasil isolasi dari limbah udang windu (penaeus monodon) hasil analisis ftir kitin dari limbah udang windu diperoleh spektrum seperti pada gambar 1 dan identifikasi puncak serapan spektrum infra merah diperoleh interpretasi gugus fungsi yang menyerap pada senyawa kitin hasil isolasi dapat dilihat pada table 2. tabel 2. spektra ftir kitin hasil isolasi dari limbah udang windu (penaeus monodon) gugus fungsi frekuensi (cm -1 ) n-h strech 3479,3446 o-h strech 3265 c-h strech alifatik 2929 c=o (amida i) 1658, 1625 n-h bend (amida ii) 1554 ch3 sym 1377 c-n strech 1317 c-o-c dlm siklik 1203, 1259 c-o-c strech pada dialkil 1157, 1116 c-oh strech 1072 setelah kitin diperoleh tahap selajutnya adalah proses deasetilasi untuk menghasilkan kitosan sebagai turunan kitin. proses deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil pada kitin sehingga menghasilkan derajat kereaktifan kimia dari gugus amino yang tinggi. kitosan yang dihasilkan pada proses ini sebesar 16,1 gram dari bobot awal (sampel kulit udang) dengan kadar 16,1%. terjadi penyusutan sebanyak 4,15% setelah proses deasetilasi. hasil karakterisasi kitosan dari limbah udang windu (panaeus monodon) dapat dilihat pada tabel 3. dari tabel 3 menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan secara kimiawi pada penelitian ini ditinjau dari parameter kadar air dan kadar abu telah memenuhi standar, namun kadar n-total dan derajat deasetilasinya belum memenuhi standar ideal kitosan, jika dibandingkan dengan kitosan protan laboratories. dimana kadar n-total yang diperoleh hanya 6,4%, sedangkan kitosan standar yang ditetapkan memiliki kadar n-total 7–8%. derajat deasetilasi kitosan yang diperoleh pada penelitian ini hanya sebesar 65,6% dan idealnya menurut standar protan laboratories adalah diatas 70%. tabel 3. karakteristik kitosan dari limbah udang windu (penaeus monodon) secara kimiawi parameter nilai kadar air (%) 4,5 kadar abu (%) 0,45 kadar n-total (%) 6,4 berat molekul (g/mol) 25.410 derajat deasetilasi (%) 65,6 tabel 4. spektra ftir kitosan hasil isolasi dari limbah udang windu (penaeus monodon) secara kimiawi gugus fungsi frekuensi (cm -1 ) n-h strech 3444 c-h strech alifatik 2883 c=o (amida i) 1658 n-h bend (amida ii) 1579 ch3 sym 1379 c-n strech 1421 c-o-c dlm siklik 1257 c-o-c strech pada dialkil 1155 c-oh strech 1031 namun menurut muzzareli (1985) dalam manurung (2011) mengatakan bahwa kadar minimal derajat deasetilasi supaya dikategorikan kitosan secara umum ialah diatas 50%. oleh karena itu, hasil yang diperoleh pada proses 0 25 50 75 100 50010001500200025003000350040004500 cm -1 % t (b) (a) 2 8 8 3 3 4 4 4 3 1 0 5 2 9 2 9 3 2 6 5 3 4 4 6 3 4 7 9 sarni, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 287 deasetilasi dalam penelitian ini tergolong kitosan, namun belum kitosan ideal artinya masih berupa campuran kitin-kitosan. hasil analisis ftir kitosan dari limbah udang windu diperoleh spektrum seperti pada gambar 1 dan identifikasi puncak serapan spektrum infra merah diperoleh interpretasi gugus fungsi yang menyerap pada senyawa kitosan hasil isolasi dapat dilihat pada table 4. b. produksi dan uji aktivitas enzim kitosanase enzim kitosanase diawali dengan menumbuhkan klebsiella sp pada medium fermentasi yang mengandung koloidal kitosan sebagai substratnya untuk mengetahui kondisi optimal produksi. waktu yang optimal untuk memproduksi enzim kitosanase dari klebsiella sp dalam medium yang mengandung 0,5% kitosan adalah selama 60 jam dengan nilai aktivitas 0,309 u/ml. selain pengukuran terhadap nilai aktivitas enzim, pengukuran kadar protein juga diperlukan untuk mengetahui nilai aktivitas spesifik suatu enzim. pengukuran kadar protein yang terbentuk selama masa produksi enzim menggunakan metode lowry. kadar protein enzim kitosanase pada aktivitas optimum pada penelitian ini adalah 0,059 mg/ml, sehingga aktivitas spesifik enzim yang diperoleh sebesar 5,235 u/mg (tabel 5). tabel 5. kadar protein, aktivitas dan aktivititas spesifik crude enzim kitosanase dari klebsiella sp. sampel kadar protein (mg/ml) aktivitas (u/ml) aktivitas spesifik (u/mg) kitosanase 0,059 0,309 5,235 c. produksi dan identifikasi oligomer kitosan enzimatis pada penelitian ini produksi oligomer kitosan dilakukan secara enzimatis yaitu dengan menggunakan enzim kitosanase dari isolat bakteri klebsiella sp yang telah diproduksi. enzim kitosanase dapat menghidrolisis kitosan dan kitin, namun yang paling baik adalah dalam bentuk soluble kitosan. hidrolisis kitosan menjadi oligomer kitosan secara enzimatis dipengaruhi oleh konsentrasi kitosan, suhu dan ph serta agitasi pada saat reaksi. oligomer kitosan diproduksi menggunakan soluble kitosan 1% yang direaksikan dengan enzim kitosanase pada suhu 40 ºc dan ph 8 selama 1, 2 dan 3 jam dalam inkubator bergoyang. hal ini dilakukan agar tiap variasi waktu memiliki kondisi awal yang sama. sehingga diharapkan dapat menghasilkan oligomer-oligomer dengan derajat polimerisasi yang berbeda-beda. oligomer kitosan kering yang diperoleh setelah dikeringkan dengan freezedryer memiliki kadar 57% dan larut dalam asam asetat 0,25% hingga 0,5%. tabel 6. data nilai viskositas intrinsik oligomer kitosan tiap waktu inkubasi jenis sampel viskositas intrinsik [ ɳ ] berat molekul (g/mol) oligomer kitosan 1 jam 0,195 4.103,12 oligomer kitosan 2 jam 0,09 1.483,48 oligomer kitosan 3 jam 0,07 1.065,79 berdasarkan pengamatan hasil klt (gambar 2), produk hasil hidrolisis kitosan dengan enzim kitosanase dari isolate bakteri klebsiella sp terdiri dari monomer hingga oktamer khususnya oligomer kitosan pada waktu 2 dan 3 jam inkubasi. sedangkan pada 1 jam inkubasi tidak terpisah dengan baik karena rantai monomernya masih lebih panjang. hasil pemotongan oligomer yang kurang spesifik dan beragam ini, dipengaruhi oleh larutan enzim yang digunakan berupa ekstrak kasar dan substratnya adalah kitosan dengan derajat deasetilasi yang rendah. a b c gambar 2. hasil klt hidrolisis kitosan dengan kitosanase dari klebsiella sp pada kondisi 40 ºc, ph 8,0 selama 3 jam inkubasi (b), 2 jam inkubasi (c) dengan standar monomer glukosamin (a) monomer glukosamin deretan kitooligosakarida (≥dimer) sarni, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 288 oligomer kitosan yang telah diperoleh tiap waktu inkubasi diukur viskositasnya sehingga kisaran berat molekul kitooligomer yang diperoleh dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan mark-kun-houwik. dari pengukuran viskositas pada tabel 6, diperoleh viskositas intrinsik kitooligosakarida pada inkubasi 1 jam, 2 jam dan 3 jam berturut-turut yaitu 0,195; 0,09 dan 0,07. dalam hal ini telah terjadi penurunan nilai viskositas intrinsik dari kitosan setelah inkubasi selama 1 jam (75 %), 2 jam (88,5%) dan 3 jam (95%). oleh karena viskositas intrinsik berbanding lurus dengan berat molekul, sehingga dengan menurunnya viskositas intrinsik dari oligomer kitosan maka terjadi pula penurunan berat molekulnya, dimana persentasi penurunan berat molekul dari berat kitosan awal setelah inkubasi 1 hingga 3 jam berturut-turut sekitar 84%; 94,2%, 95,8% . hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pemutusan ikatan rantai panjang pada kitosan, tepatnya pada ikatan β(1-4) glukosida membentuk rantai kitosan yang lebih pendek. kesimpulan hasil penelitian menunjukan oligomer kitosan yang diperoleh berupa campuran antara monomer hingga oktamer yang dapat larut dalam asam asetat 0,25% hingga 0,5%, memiliki viskositas intrinsik yang semakin menurun dengan bertambahnya waktu inkubasi yaitu 0,195 (inkubasi 1jam); 0,9 (inkubasi 2 jam) dan 0,7 (inkubasi 3 jam) dengan kisaran berat molekul 4103,12 g/mol (inkubasi 1 jam); 1483,48 g/mol (inkubasi 2 jam) dan 1065,79 g/mol (inkubasi 3 jam). . daftar pustaka arif, r.a., 2013. potensi kitin deasetilase dari bacillus licheniformis hsa3-1a untuk produksi kitosan dari limbah udang putih (penaeus merguiensis) sebagai bahan pengawet bakso ikan. tesis tidak diterbitkan. program pascasarjana universitas hasanuddin, makassar. assis, c.f., araúnjo, n.k., pagnoncelli, m.g.b., pedrini, m.r.s., macedo, g.r.,santos, e.s., 2010. chitooligosaccharides enzymatic production by metharhizium anisoliae.bioprocess biosyst. eng. doi 10.1007/s00449-010-0412 cabrera j.c. & cutsem p.v., 2005. preparation of chitooligosaccharides with degree of polymerizationn higher than 6 by acid or enzimatic degradation of chitosan. laboratorio de oligosacarinas departamento de fisiologia y bioquimica vegetal, inca, cuba. biochem. eng. j. 25 :165 – 172 chasanah e., zilda, s.d., dan uria a.r., 2009. screening and characterization of bacterial chitosanase from marine environment. j. coastal development. vol. 12 (2) : 64-72. chasanah e., 2010. pengembangan produk kitooligosakarida dari limbah industri perikanan udang secara enzimatis prospek dan kendala. balai besar riset pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan perikanan. j. squalen vol 5 (2). choi j.y., kim e.j., piao z., yun y.c., shin y.c., 2004. purification and characterization of chitosanase from bacillus sp. strain kctc 0377bp and its application for the production of chitosan oligosaccharides. american society for microbiology, applied and environmental microbiology. vol. 70 (8) : 4522-4531 el-sayet, s., el-sayat, m., shousha, w.g., shehata, a.n., omar, n.i., 2012. production of novel antitumor chitooligosaccharides by using purified chitosanases from capsium annuum leaves. australian journal of basic and applied sciences, 6(4):1-15 jeon y.j. & kim s.k., 2000. production of chitooligosaccharides using ultrafiltration membran reactor and their antibacterial activity. carb. polymer 41: 133-141. jo yu-young, jo k.j., jin y.l., kuk j.h., kim k.y., kim t.h., park r.d., 2003. charakterization of endochitosanases producing bacillus cereus p16. j.microbiol.biotechnol 13 (6) : 960-968 julianti s., agusnar h., alfian z., 2012. pembuatan kitosan oligomer melalui metode degradasi oksidatif dan pengaruhnya terhadap viskositas dan berat molekul. universitas sumatera utara, medan, j. saintia kimia vol.1(1) liu b. , wan-shun liu, bao-qin han, yu-ying sun, 2007. anti diabetic effects of chitooligosaccharides on pancreatic islet cells in streptozotocin-induced diabetic sarni, dkk / ind. j. chem. res, 2016, 3, 283 289 289 rats. world j. gastroenterol 13 (5): 725– 731. mahae n., chalat c., muhammud p., 2011. antioxidant and antimicrobial properties of chitosan sugar complex. int. food research j. 18(4): 1543 – 1551. manurung, m., 2011. potensi kitin/kitosan dari kulit udang sebagai biokoagulan penjernih air. j. kimia 5(2): 182 188 meidina, 2005. aktivitas antibakteri oligomer kotosan yang diproduksi menggunakan kitosanase dari isolat b. licheniformis mb2, tesis tidak diterbitkan. pasca sarjana, institut pertanian bogor, bogor. mourya, v.k., inamdar, n.n., choudari, y.m., 2011. chitooligosacharides : synthesis, caracterization and applications. goverment pharmacy collage, osmanpura, aurangabad, india. polimer science. ser. a 53 (7): 583 – 612. natsir, h., noor, a., asfari, n., 2004. konversi kitin dari kulit kepiting (scylla serrata) menjadi kitosan dengan enzim kitin deasetilase. marine chimica acta 6 (1), 6–9. pae, ho, 2001. introducton ofgranulocytic differentiation in acute promyelocytic leukemia cell (hl-60) by water-soluble chitosan oligomer. leukemia res. 25: 339 – 346. purwatinigsih, s., wukirsari, t., sjahriza, a., wahyono, d. 2009. sumber biomaterial masa depan. ipb press. bogor. qin caiqin, du yumin, xiao ling, li zhan, gao xiao hai, 2002. enzymic preparation of water-soluble chitosan and their antitumor activity. wuhan university, china. int. j. biological macromolecules 31(2002):111-117. sarni, natsir, h., dali, s., 2015. produksi dan karakterisasi enzim kitosanase dari isolat bakteri klebsiella sp. jurnal techno vol. 04 no. 02 srijanto b., paryanto i., masduki, purwatiningsih, 2006. pengaruh derajat deasetilasi bahan baku pada depolimersasi kitosan. pusat pengkajian dan penerapan teknologi farmasi dan medika-bppt, bogor, akta kimia indonesia vol.1 (2) : 6772. wahyuni s., zakaria f., witarto a.b., syah d., suhartono m.t., 2006. aktivitas anti kanker senyawa-senyawa kitooligomer. j. teknologi dan industri pangan vol xvii (1). xu, q., dou, j., wei, p., tan, c., yun, x., wu, y., bai, x., ma, x., du, y., 2007. chitooligosaccharides induce apoptosis of human hepatocellular carcinoma cell via up-regulation of bax. elsevier since direct. carbohydrat polimers 71 ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 270 analysis of mercury (hg) distribution in the waeapo river irrigation area, buru regency, maluku province, gold mining without permission result in botak mountain area analisis sebaran merkuri (hg) pada area irigasi sungai waeapo, kab. buru, provinsi maluku akibat penambangan emas tanpa ijin di areal gunung botak febrian m. salatutin 1 , chudeya y.batawi 1 , camellia y. lessil 1 , yusthinus t. male 1,* 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail:yusmale @fmipa.unpatti.ac.id received: june 2015 published: july 2015 abstract the waeapo river has 13 watersheds, which are irrigated area for thousand hectare of rice field in the district of buru. buru district is one of the area that can supply thousands of tones of rice. but, yields to be reduced by the presence of gold mining activities in the botak mountain. gold mining activities not only impact for the decline in yields, but also impact on the quality of rice by mercury pollution generated by mining waste. this research aims to determine the accumulation of mercury in sediment of waeapo river. the research method is used survey and analysis method. in this research, observations were done and field sampling with the laboratory analyze. the result showed that concentration of analyzed mercury at four point, one point has exceeded standard of mercury limits in the sediment, i.e 0,1 ppm keywords: botak mountain, environment, mercury, gold mining pendahuluan aktivitas pertanian/persawahan di kabupaten buru, menggunakan sungai waeapo sebagar area irigasi. berdasarkan letak geografis dari sungai waeapo memiliki 13 daerah aliran sungai yang berada di antara daerah persawahan. setiap tahunnya kabupaten buru dapat menghasilkan padi hingga puluribu-an ton. penghasilan ini menjadi berkurang pada tahun 2012 hingga 2013, dengan adanya aktivitas pertambangan emas di guunung bota, kabupaten buru. aktivitas pertambangan emas dapat mempengaruhi bukan hanya menurunkan penghasilan per tahun, tetapi dapat mengurangi kualitas padi yang dihasilkan, yang dipengaruhi oleh merkuri yang dipakai sebagai bahan utama dalam mengekstraksi emas. proses pengolahan emas yang dilakukan pada umumnya menggunakan dua metode yaitu metode sianidasi dan amalgamasi. namun, pada daerah pertambangan emas ini, proses pengolahan dilakukan menggunakan metode amalgamasi. metode amalgamasi merupakan proses ekstraksi emas dengan cara mencampurkan bijih emas dengan merkuri (air raksa) (veiga dkk., 2009). merkuri merupakan logam berat yang murah dan mudah diakses serta banyak digunakan dalam proses ekstraksi emas dari bijihnya. penggunaan merkuri pada proses ekstraksi emas dapat mempengaruhi populasi manusia serta lingkungan dengan menyebabkan efek yang merugikan kesehatan (zolnikov, 2012). dampak dari pencemaran merkuri telah ditemukan pada beberapa negara seperti, di teluk minamata, jepang. pada tahun 1953-1956, di teluk minamata telah ditemukan puluhan bahkan ratusan orang mengalami gangguan kesehatan yang dipengaruhi oleh akumulasi metil febrian m. salatutin, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 1 271 merkuri dalam tubuh. metil merkuri yang ditemukan dalam tubuh penderita, dihasilkan melalui ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat. hal ini disebabkan oleh limbah industri yang mengandung merkuri langsung dibuang ke laut atau teluk minamata, sehingga ikan yang dikonsumsi masyarakat telah terakumulasi metil merkuri (ekino dkk., 2007). masalah pencemaran merkuri terjadi di beberapa negara yang diakibatkan oleh pertambangan emas tanpa izin (peti), seperti di filipina, appleton dkk., (1999) telah menganalisis merkuri di hilir sungai diwalwal. ditemukan pada air sungai merkuri yang teranalisis sebesar 2906 μg/l dan pada sedimen sungai sebesar > 20 mg/kg, dan di italia, covelli dkk., (2009) telah menganalisis merkuri pada sungai isonzo yang membawa limbah pertambangan ke teluk trieste, ditemukan 4,1 52,4 ng/l merkuri di air dan 0,82 5,69 mg/g merkuri di sedimen, serta di ratatotok, sulawesi utara, indonesia, polii dan sonya, (2002). penelitian mereka terkait masalah pencemaran merkuri pada das buyat, dan kandungan merkuri yang terdeteksi di sungai buyat berkisar antara 0,00032 mg/l 0,00049 mg/l. adanya merkuri di lokasi ini disebabkan karena adanya kegiatan pertambangan rakyat di bagian hulu sungai. pada november 2011, cadangan emas ditemukan di gunung botak, pulau buru, provinsi maluku, indonesia. sejak tahun 2012, daerah peti di gunung botak telah menggunakan merkuri untuk mengekstraksi bijih emas. proses pengolahan emas membutuhkan air dalam jumlah yang besar, sehingga umumnya unit pengolahan diletakan di pinggiran sungai. kondisi ini mengakibatkan limbah yang mengandung merkuri terdistribusi ke dalam sungai wamsai serta teluk kayeli. pada pertambangan gunung botak, merkuri yang ditemukan dalam kolam limbah sebesar 680 mg/kg dan pada sedimen sungai wamsait dan teluk kayeli sebesar 0,35 7,66 mg/kg (male dkk., 2013). penggunaan merkuri yang tidak terkendali pada daerah peti di gunung botak, akan sangat mempengaruhi kualitas lingkungan. apabila hujan, semua limbah akan terdistribusi ke dalam sungai dalam jumlah yang besar. sungai waeapo merupakan salah satu sungai tempat distribusi limbah pertambangan emas ke teluk kayeli. dengan fungsi utama sungai waeapo sebagai area irigasi bagi ribuan hektar sawah, maka hal ini perlu diperhatikan dengan mengetahui konsentrasi merkuri yang telah terdistribusi dan terakumlasi pada sungai waeapo. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi merkuri yang telah terakumulasi dan terdistribusi di sungai waeapo. hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi penting dalam kaitannya dengan kandungan logam berat merkuri di sungai waeapo. metodologi bahan bahan yang digunakan mulai dari, es batu, sampel sediemen, h2so4 pekat, hno3 pekat, sncl2.2h2o, kmno4, hclo4, larutan induk hg (no3)2, hydroxyl-aminehydrochlorid, dan akuades. alat alat yang digunakan mulai dari, eickman grab sampler (egs), kantong plastik, wadah plastik, global positioning system (gps), kotak es, sarung tangan lateks, kertas saring , lemari pendingin, mangkuk dan sendok plastik, oven, timbangan analitik, penangas air, seperangkat alat gelas, ayakan 100 mesh, dan spektrofotometer serapan atom (ssa) uap dingin/ mercuri analyzeri (analytic jena). prosedur kerja persiapan atau pra survei kegiatan pada tahap persiapan adalah mempersiapan beberapa alat dan bahan yang perlukan dalam proses penelitian lapangan atau pengambilan sampel seperti; kantong plastik, kotak es, gps, egs, kotak es, alat tulis dan alat trasportasi, serta alat lain yang dibutuhkan dalam proses pengambilan sampel. penelitian lapangan penelitian lapangan bertujuan untuk mengumpulkan data sumber daya tanah/sedimen melalui pengamatan karakteristik sedimen pada setiap lokasi. untuk menetapkan koordinat titik di peta atau lokasi pengamatan di lapangan secara akurat digunakan alat gps. untuk keperluan analisis di laboratorium, contoh febrian m. salatutin, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 1 272 sedimen diambil pada beberapa sungai dengan jumlah 1 sampai dengan 4 titik untuk setiap sungai yang dianalisis. penetapan titik observasi dilakukan dengan metode taktis tanpa mengabaikan variasi lapangan. pengambilan sampel sedimen sungai pada kedalaman 1 sampai 4 meter dengan menggunakan egs. sedimen yang telah diambil diisi dalam kantong plastik yang berlabel dan diletakkan dalam kotak es. setelah itu sampel dibawa ke laboratorium untuk proses selanjutnya. penelitian laboratorium analisis sampel sedimen di laboratorium dimaksudkan untuk mengetahui sifat-sifat kimia yang tidak dapat ditentukan secara kuantitatif di lapangan. a. persiapan sampel sedimen setelah penelitian lapangan, sampel dimasukkan dalam lemari pendingin sebelum proses selanjutnya. untuk proses persiapan, sampel dikeluarkan dari lemari pendingin dan dibiarkan pada suhu ruang hingga es pada sampel mencair. kemudian dengan menggunakan peralatan serba plastik (wadah, mangkuk, dan sendok) dipergunakan untuk memisahkan kotoran yang ada pada sedimen berupa batu, kerang dan kotoran lainnya. tiga sampel yang diambil dari satu titik kemudian dicampur hingga merata dan dijadikan satu sampel. selanjutnya sampel tersebut diletakkan dalam mangkuk plastik dan dimasukkan ke dalam oven selama 4 hari pada suhu 30 o c untuk menghilangkan kadar air pada sampel hingga kering. sampel yang telah kering dihaluskan dengan menggunakan mortar dan alu serta diayak menggunakan ayakan 100 mesh. setelah sampel halus, ditimbang sebanyak 5 gram dengan timbangan analitik, kemudian sampel dimasukkan dalam kantong plastik yang telah diberi label dan siap untuk dianalisis lebih lanjut. prosedur ini dilakukan untuk semua sampel. b. pembuatan kurva baku dan pembacaan sampel dari larutan induk merkuri hg (hg 100 ppm), dipipet sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan dalam labu takar 100 ml. setelah itu larutan diencerkan dengan akuades sampai dengan tanda batas pada labu takar hingga menghasilkan larutan induk hg 1 ppm atau 1000 ppb. dari larutan induk hg 1000 ppb, dipipet sebanyak 0,1 ml, kemudian dimasukkan dalam labu takar 10 ml. larutan diencerkan dengan akuades sampai tanda batas pada labu takar hingga menghasilkan larutan induk hg 10 ppb. pada larutan induk hg 10 ppb yang telah dibuat, dipakai untuk membuat konsentrasi standar dengan rentang sebagai berikut : 0,1 ppb; 0,2 ppb; 0,4 ppb; 0,8 ppb. untuk membuat konsentrasi standar dilakukan dengan dipipet dari larutan induk masing-masing sebanyak: 0,1 ml; 0,2 ml; 0,4 ml; 0,8 ml menggunakan mikro pipet. selanjutnya masing-masing larutan dimasukkan dalam tiap-tiap labu takar 10 ml. larutan tersebut selanjutnya diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. pada tahap analisis masing-masing larutan hasil pengenceran sebanyak 10 ml dituangkan dalam tabung reaksi. pada tiap-tiap tabung reaksi ditambahkan larutan kmno4 0,1 ml kemudian larutan dikocok. setelah dikocok, pada larutan tersebut ditambahkan larutan hydroxylaminehydrochloride 0,1 ml kemudian larutan dikocok lagi. sebelum dianalisis menggunakan mercuri analyzer, sampel ditambahkan dengan larutan sncl2.2h2o 0,5 ml dan siap dianalisis. c. preparasi sampel sedimen sampel sedimen yang telah ditimbang sebanyak 5 gram pada tahap persiapan, diambil sebanyak 1 gram dan dimasukkan dalam erlenmeyer 100 ml. selanjutnya ditambahkan larutan h2so4 pekat 5 ml dan larutan hno3 : hclo4 (1:1) 5 ml, setelah itu erlenmeyer dipanaskan di atas penangas air hingga menghasilkan larutan jernih dan keluar asap putih (proses ini dilakukan di dalam lemari asam). hasil larutan yang diperoleh disaring dan diletakan dalam labu takar 50 ml. larutan hasil penyaringan tersebut diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. prosedur ini dilakukan untuk semua sampel sedimen. setelah proses preparasi sampel selesai, proses selanjutnya ialah pembuatan blanko dengan perlakuan yang sama dengan proses preparasi sampel, namun tanpa menggunakan sampel sedimen. setelah pembuatan blanko selesai, maka dari larutan hasil preparasi dipipet 10 ml larutan sampel, kemudian larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi. setelah itu ditambahkan 0,1 ml febrian m. salatutin, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 1 273 larutan kmno4 0,1% pada sampel kemudian dikocok. setelah selesai pengocokkan ditambahkan 0,1 ml larutan hydroxylaminehydrochloride kemudian larutan dikocok kembali. setelah pengocokkan ditambahkan 0,5 ml larutan sncl2.2h2o dan siap untuk dianalisis menggunakan mercury analyzer. perhitungan hg total dengan rumus : hg total (ppb) = ( ) hasil dan pembahasan keadaan umum lokasi pengambilan sampel lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan adanya aktivitas pertambangan emas tanpa izin (peti) di kabupaten buru, tepatnya pada daerah gunung botak. kegiatan pertambangan ini telah berlangsung selama ± 3 tahun, tetapnya pada november 2011 (male dkk., 2013), serta dikelola secara tradisional oleh masyarakat. dengan adanya aktivitas pertambangan, mengakibatkan banyak penambang yang datang dari berbagai daerah di indonesia untuk melakukan aktivitas pertambangan di gunung botak. dengan bertambahnya penambang di gunung botak kabupaten buru, mengakibatkan perluasan daerah pertambangan serta daerah pengolahannya. perluasan daerah pengolahan, mulai dari daerah wamsait hingga daerah waeapo. pada kedua daerah ini terdapat dua sungai yang merupakan tempat distribusi seluruh material pertambangan maupun pertanian, yaitu sungai waelata dan sungai waeapo. pada daerah pertambangan ini, penambang menggunakan bahan merkuri (air raksa) sebagai bahan utama dalam proses pengolahan bijih emas. proses ini disebut metode amalgamasi. metode ini membutuhkan banyak air, sehingga umumnya penambang memilih menempatkan unit pengolahannya pada daerah aliran sungai bahkan pada pinggiran sungai. hal ini apabila hujan, semua limbah material pertambangan dapat terbawa ke sungai dan laut dalam jumlah yang besar. berikut adalah gambaran umum pulau buru dan daerah penelitian pada sungai waeapo, diperlihatkan pada gambar 1 dan 2. hasil penelitian diperoleh melalui dua tahapan penelitian, yakni tahapan penelitian lapangan dan tahapan penelitian laboratorium. hasil analisis parameter fisika dan kimia pada sampel penelitian di sungai waeapo diperlihatkan pada tabel 1. gambar 1. peta pulau buru dan daerah lokasi penelitian berdasarkan data hasil analisis pada tabel 1, memperlihatkan akumulasi distribusi merkuri pada sungai waeapo, yang disebabkan oleh adanya aktivitas pertambangan emas tanpa izin. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh veiga, dkk. (2009), melaporkan pengolahan emas yang dilakukan dengan menggunakan metode amalgamasi, memungkinkan hilangnya merkuri bersama limbah dalam satu kali pengolahan sebesar 25-30%. dengan demikian, aktivitas pertambangan emas yang berlangsung di pulau buru, dapat mencemari lingkungan oleh merkuri yang terbuang dari limbah pertambangan. konsentrasi merkuri dalam sedimen sampel pertama di sungai waeapo diambil pada hulu sungai tepat pada jembatan waeapo. konsentrasi merkuri yang teranalisis pada titik ini (r4) sebesar 0,102 ppm. konsentrasi merkuri yang teranalisis pada lokasi ini masih di bawah batas standar merkuri dalam sedimen. pada lokasi ini tidak ditemukan adanya unit pengolahan emas, namun dengan ditemukannya konsentrasi merkuri yang terakumulasi pada titik ini, memperlihatkan adanya penyebaran unit pengolahan di daerah sekitar. sampel kedua dan ketiga pada sungai waeapo diambil pada bagian antara hulu sungai dan muara sungai waeapo (atau pada bagian tengah dari sungai waeapo). kedua lokasi (r5 febrian m. salatutin, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 1 274 dan r6) diperlihatkan pada gambar 1, dan tabel 1. pada kedua titik, konsentrasi merkuri yang teranalisis sebesar 0,005 ppm untuk sampel r5, dan 0,002 ppm untuk sampel r6. konsentrasi merkuri yang masih rendah pada kedua titik ini, dipengaruhi oleh arus sungai yang sangat besar serta kedalaman sungai yang hanya 1,0-2,5 meter, sehingga material yang terbawa dari hulu sungai tidak mengalami sedimentasi pada lokasi ini, namun terbawa langsung ke hilir sungai hingga ke laut. sampel keempat pada sungai waeapo diambil pada bagian hilir sungai, tepat pada desa kaki air. lokasi pada titik (r7) diperlihatkan pada1, dan tabel 1. konsentrasi merkuri yang teranalisis pada titik ini sebesar 0,031 ppm. merupakan konsentrasi terkecil di bagian hilir sungai dibandingkan dengan hilir sungai wamsait. hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, karena lokasi ini terbuka ke laut, sehingga semua material dari hulu sungai terbawa langsung menuju laut. arus sungai yang besar memungkinkan tidak terjadinya sedimentasi pada titik ini, sehingga konsentrasi merkuri yang terakumulasi pada titik ini masih di bawah batas standar merkuri dalam sedimen. analisis sebaran merkuri akumulasi merkuri pada sedimen sungai waeapo, disebabkan oleh distribusi merkuri dari daerah hulu yang dihasilkan dari limbah pengolahan emas. berdasarkan data hasil analisis konsentrasi pada keempat lokasi sampel di sungai waeapo, ditemukan konsentrasi merkuri yang masih rendah yaitu sebesar 0,003 0,102 ppm. perbandingan konsentrasi keempat titik lokasi pengambilan sampel di sungai waeapo diperlihatkan pada gambar 3. tabel 1. hasil pengukuran variabel utama penelitian no kode sampel lokasi sampel (sedimen) koordinat (gps) parameter kedalaman (meter) tekstur sedimen konsentrasi merkuri (hg) sungai ppm 1 r41 r41 hulu sungai waeapo s 03⁰26'30.0" e126⁰55'41.5" 2 berpasir 0,102 r42 2.5 r43 2 2 r51 r51 sungai waeapo s 03⁰22'32.7" e127⁰00'45.4" 2.5 berpasir 0,005 r52 2 r53 2 3 r61 r61 sungai waeapo s 03⁰21'57.0" e127⁰01'23.7" 1 berpasir 0,003 r62 1,5 r63 1 4 r71 r71 hilir sungai waeapo s 03⁰19'34.1" e127⁰04'21.2" 4 berpasir 0,032 r72 3.5 r73 4 febrian m. salatutin, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 1 275 gambar 3. konsentrasi merkuri pada das waeapo dari hasil analisis konsentrasi merkuri, terlihat bahwa merkuri telah terdistribusi dalam sungai waeapo. walaupun konsentrasi yang ditemukan masih di bawah batas standar merkuri dalam sedimen. dengan demikian, sungai waeapo belum tercemar oleh merkuri pada saat ini. namun, apabila aktivitas pertambangan terus berlangsung, maka sungai ini pun akan tercemar. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. konsentrasi merkuri yang teranalisis pada beberapa lokasi pengambilan sampel pada sungai waeapo ditemukan konsentrasi merkuri sebesar 0,003 0,102 ppm. 2. konsentrasi merkuri yang ditemukan pada sungai waeapo yang terdistribusi dari hulu hingga hilir sungai semakin rendah, sehingga sungai ini belum tercemar oleh merkuri. namun, hal ini menjadi ancaman bagi daerah pertanian dan perikanan jika aktivitas pertambangan terus dilakukan secara bebas. daftar pustaka appleton, j.d., williams, t.m., breward, n., apostol, a., miguel, j., dan miranda, c., 1999. mercury contamination associated with artisanal gold mining onc the island of mindanao, the philippines. the science of the total environment, 228: 95-109. covelli, s., acquavita, a., piani r., predonzani, s,. dan de vittor, c., 2009. recent contamination of mercury in an estuarine environment (marano lagoon, northern adriatic, italy). journal estuarine, coastal and shelf science. 82 : 273-284. delongchamp, t.m., ridal, j.j., lean, d.r.s., poissant, l., dan blais, j.m., 2010. mercury transport between sediments and the overlying water of the st. lawrence river area of concern near cornwall, ontario. journal environmental pollution. 158 : 1487-1493. ekino, s., susa m., ninomya, t., imamura, k., dan kitamura, t., 2007. minamata disease revisited: an update on the acute and chronic manifestations of methyl mercury poisoning. journal of the neurological sciences 262 : 131-144 inswiasri dan martono, h., 2007. pencemaran di wilayah tambang emas rakyat. jurnal media litbang kesehatan. 17 : 42-50. male, y.t., brushett, a.j.r., pocock, m., dan nanlohy, a., 2013. recent mercury contamination from artisanal gold mining on buru island, indonesia – potential future risks to environmrntal health. journal marine pollution bulletin. 77 : 428-433. mirda, patadungan, y.s., dan isrun, 2013. status logam berat merkuri (hg) dalam tanah pada kawasan pengolahan tambang emas di kelurahan poboya, kota palu. e-j. agrotekbis 1 (2): 127-134. polii, b.j., dan sonya, d.n., 2002. pendugaan kandungan merkuri dan sianida di daerah aliran sungai (das) buyat minahasa.ekoton vol. 2, no. 1: 31-37. sudarsono, a.s., 2003. pengantar pengolahan dan ekstraksi bijih emas. departemen teknik pertambangan institut teknologi bandung. sugiyarto, k.h., dan suyanti, r.d., 2010. kimia anorganik logam. edisi pertama. penerbit graha ilmu yogyakarta. susanna, t.s., dan samin, 2007. unjuk kerja metode uji total merkuri (hg) dalam contoh bahan biologis menggunakan alat cv-aas. pusat teknologi akselerator dan proses bahan –batan, yogyakarta. vahter, m., akesson, a., liden, c., ceccatelli, s., dan berglund, m., 2007. gender 0,102 0,005 0,002 0,031 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 hulu waeapo (r4) waeapo (r5) waeapo (r6) hilir waeapo (r7) k o n se n tr a si ( p p m ) lokasi febrian m. salatutin, dkk / ind. j. chem. res, 2015, 3, 270-276 1 276 differences in the disposition and toxicity of metals. journal environmental research. 104 : 85-95. veiga, m.m., nunes, d., klein, b., shandro, j.a., velasquez, p.c., dan sousa, r.n., 2009. mill leaching: a viable substitute for mercury amalgamation in the artisanal gold mining sector. journal of cleaner production 17 : 1373-1381. widowati, w., sastiono, a., dan rumampuk, r.j., 2008. efek toksik logam. edisi pertama. penerbit andi yogyakarta. zolnikov, t.r., 2012. limitations in small artisanal gold mining addressed by educational components paired with alternative mining methods. journal science of the total environment 419 : 1-6. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 1 pengaruh tekanan dan tahap kompresi dalam pemurnian biogas menjadi biometana dengan absorpsi co2 menggunakan air bertekanan the effect of pressure and compression ratio on biogas upgrading to biomethane with co2 absorption using pressurized water anggit raksajati*, tri partono adhi, danu ariono department of chemical engineering, institut teknologi bandung, jl. ganesha 10, bandung 40132 * corresponding author: anggit@che.itb.ac.id received: 2019-12-18 received in revised: 2020-1-7 accepted: 2020-5-5 available online: 2020-5-31 abstract palm oil mill produces liquid waste in the form of palm oil mill effluent (pome). pome needs to be processed because it contains organic carbon with a cod of more than 40 g/l. one way to treat pome is by converting pome into biogas using anaerobic ponds. biogas produced generally contains 60% methane (ch4) and 40% carbon dioxide (co2). biogas can be purified into biomethane through the technology of co2 separation, for example, by co2 absorption using water. this study evaluates the optimum pressure and feeds compression stage in biogas upgrading into biomethane. the results show that the rate of circulation of water needed to separate co2 from biogas feed decreases with increasing absorber pressure due to increased solubility of co2 in water. the optimum pressure of the biogas purification unit into biomethane is within the range of 7-10 bar. at the same absorber pressure, the overall unit price for the case with one stage of feed compression is smaller than the case with two stages of feed compression. however, the process with one compression stage has a main disadvantage of higher methane loss (5%), resulting in smaller biomethane products, compared to two-staged compression process (0.2% loss). keywords: co2 absorption, biogas, biomethane, pome, palm oil. abstrak (indonesian) pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah cair dalam bentuk palm oil mill effluent (pome). pome perlu diproses karena mengandung karbon organik dengan cod lebih dari 40 g/l. salah satu cara untuk mengobati pome adalah dengan mengubah pome menjadi biogas menggunakan kolam anaerob. biogas yang diproduksi umumnya mengandung 60% metana (ch4) and 40% karbon dioksida (co2). biogas dapat dimurnikan menjadi biometana melalui teknologi pemisahan co2, misalnya dengan absorpsi co2 menggunakan air bertekanan. studi ini mengevaluasi tekanan optimum dan tahap kompresi umpan dalam peningkatan biogas menjadi biometana. hasil penelitian menunjukkan bahwa laju sirkulasi air yang dibutuhkan untuk memisahkan co2 dari biogas berkurang dengan meningkatnya tekanan absorpsi karena meningkatnya kelarutan co2 dalam air. tekanan optimal unit pemurnian biogas menjadi biometana berada dalam rentang 7-10 bar. pada tekanan absorpsi yang sama, harga keseluruhan untuk proses dengan satu tahap kompresi umpan lebih kecil daripada proses dengan dua tahap kompresi umpan. namun, proses dengan satu tahap kompresi memiliki kelemahan utama kehilangan metana yang lebih tinggi (5%), dibandingkan dengan proses kompresi dua-tahap (hilang metana 0,2%). kata kunci: absorpsi co2, biogas, biometana, pome, minyak kelapa sawit. pendahuluan pabrik kelapa sawit (pks) menghasilkan limbah cair yang dikenal sebagai palm oil mill effluent (pome) dalam proses produksi minyak kelapa sawit (cpo). pome merupakan air buangan, terutama berasal dari kondensat rebusan, air hidrosiklom, dan sludge separator (ohimain dan izah, 2017). pome perlu diolah karena mengandung karbon organik dengan nilai cod lebih 40 g/l dan kandungan nitrogen sekitar 0,2 dan 0,5 g/l sebagai nitrogen anggit raksajati, dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 2 ammonia dan total nitrogen (departemen pertanian, 2006). saat ini, salah satu jalur pengelolaan pome di pks adalah dengan mengolah pome menjadi biogas menggunakan biogas digester (ahmed dkk., 2014; hasanudin dkk., 2015; rahayu dkk., 2015). biogas yang diproduksi umumnya mengandung 60% metana (ch4) dan 40% karbon dioksida (co2) biogas dapat dimurnikan menjadi biometana melalui teknolologi pemisahan co2 (masebinu dkk., 2014; ullah dkk., 2017). pemurnian ini dilakukan meningkatkan nilai tambah bahan bakar yang dihasilkan, diantaranya dapat dimanfaatkan untuk produksi bahan bakar kendaraan (vijay 2006; vijay 2007). biometana yang digunakan sebagai bahan bakar kendaraan harus memenuhi standar untuk cng (compressed natural gas) yang ditetapkan oleh badan standardisasi nasional (bsn) dengan kode sni 8204:2016 (badan standardisasi nasional, 2016). teknologi ini berpotensi untuk meningkatkan produksi bahan bakar terbarukan, seperti halnya biodiesel dan bioethanol (malle dkk., 2014; rosmawaty dkk., 2015; musta dkk., 2017). teknologi proses yang potensial untuk diterapkan dalam memurnikan biogas menjadi biometana di pks ini adalah absopsi co2 dengan air (water scrubbing) (andriani dkk., 2014). teknologi ini relatif sederhana dan ekonomis dibandingkan teknologi pemisahan co2 lainnya dan hanya membutuhkan air proses sebagai fluida kerja (nock dkk, 2014), sehingga cocok untuk diaplikasikan di daerah rural atau perkebunan sawit, dibandingkan senyawa pelarut absorpsi co2 lainnya seperti alkanolamina dan alkali karbonat (raksajati dkk., 2018). dalam pemurnian biogas menjadi biometana, tekanan operasi memegang peranan penting dalam menjamin efisiensi dan keekonomian proses (nock dkk., 2014). jika tekanan operasi terlalu kecil, kelarutan co2 dalam air bernilai kecil, sehingga dibutuhkan sirkulasi air yang besar dan membuat proses tidak ekonomis untuk mencapai target pemurnian yang ditetapkan. di sisi lain, jika tekanan operasi terlalu tinggi, biaya yang dibutuhkan untuk mengompresi umpan biogas dari tekanan atmosferik menuju tekanan operasi absorpsi menjadi tinggi. oleh karena itu, diperlukan evaluasi dalam menentukan tekanan optimum operasi dan tahap kompresor ini. penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi tekanan dan tahap kompresor optimum secara tekno-ekonomi dalam operasi pemurnian biogas menjadi biometana. metodologi alat dan bahan perangkat lunak komputasi yang digunakan adalah aspen hysys v10 dan aspen process economic analyzer v10. prosedur kerja biogas sejumlah 600 m 3 /jam dialirkan menuju kompresor umpan biogas untuk ditingkatkan tekanannya hingga bernilai 2-10 bar, kemudian dialirkan menuju separator 2 fasa umpan untuk dipisahkan pengotor yang terbentuk dalam fasa kondensat. umpan biogas bersih bertekanan kemudian diumpankan ke kolom absorber dari bagian bawah kolom. air bertekanan (sesuai tekanan absorber) diumpankan ke kolom absorber dari bagian atas kolom. kedua aliran ini akan mengalami kontak sepanjang kolom absorpsi secara counter-current. kolom absorpsi diisi packing yang berfungsi untuk meningkatkan luas kontak gas-cair. gas biometana (dengan kandungan > 98%) akan mengalir keluar kolom absorpsi dari puncak kolom, sedangkan air yang mengandung co2 dan ch4 keluar kolom dari bagian bawah kolom. untuk kasus dengan 2 tahap kompresi umpan, aliran air ini kemudian diturunkan tekanannya menggunakan valve, kemudian diumpankan menuju flash separator untuk dipisahkan aliran gas dan cair yang terbentuk. aliran gas (mengandung ch4 terbawa dan sebagian co2) diumpankan kembali menuju kompresor tahap 2, sedangkan aliran cair (masih mengandung co2) diumpankan menuju kolom desorber. sedangkan untuk kasus dengan 1 tahap kompresi umpan, aliran air keluaran absorber diturunkan tekanannya menggunakan valve, kemudian diumpankan langsung menuju desorber. aliran umpan desorber mengalami kontak dengan udara pelucut di sepanjang kolom desorber dengan tujuan memisahkan seluruh co2 yang masih terlarut menuju aliran gas pelucut. aliran air yang hampir tidak mengandung co2 kemudian keluar dari bagian bawah kolom desorber, kemudian dialirkan kembali menuju kolom absorber dengan menggunakan pompa. gas biometana (dengan kandungan > 98%) yang keluar dari puncak kolom absorpsi masuk menuju unit dryer untuk dipisahkan kandungan air jenuhnya, kemudian diumpankan menuju unit kompresi dan unit pembotolan biometana. anggit raksajati, dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 3 basis dan asumsi pemodelan dilakukan dengan menggunakan persamaan aktivitas nrtl (non-random two liquids) untuk karakteristik fasa cair dan persamaan keadaan peng-robinson untuk karakteristik fasa uap. persamaan termodinamika ini dilaporkan memiliki tingkat akurasi yang tinggi untuk absorpsi co2 dengan air di rentang tekanan yang dievaluasi (cozma dkk., 2014). untuk seluruh kasus yang dievaluasi, umpan biogas diasumsikan sebesar 600 m 3 /jam yang merupakan laju alir tipikal biogas yang mampu gambar 1. flowsheet proses pemurnian biogas dengan 1 tahap kompresi umpan gambar 2. flowsheet proses pemurnian biogas dengan 2 tahap kompresi umpan dihasilkan 1 pks di indonesia dengan kapasitas 30 ton tbs/jam (rahayu dkk., 2015). umpan biogas masuk ke unit pemurnian biogas dari pome digester (dapat berupa lagoon maupun tangki berpengaduk) dengan komposisi 60%-mol ch4, 40%-mol co2, dan 200 ppm h2s. produk biometana yang dihasilkan dijaga dengan kemurnian 95 %-mol untuk semua kasus. beberapa asumsi yang diambil dalam pemodelan unit operasi antara lain: hilang tekan di pipa dan fitting diabaikan hilang tekan di alat penukar panas diasumsikan bernilai 0.2 bar. efisiensi pompa, kompresor, dan blower bernilai 75%. jika kompresi umpan biogas memerlukan 2 tahap kompresi (atau lebih), maka rasio kompresi tahap 1 dan tahap 2 (dan selanjutnya) diatur bernilai sama. anggit raksajati, dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 2 rentang tekanan absorber yang dievaluasi adalah antara 2 sampai dengan 10 bar (untuk kasus 1 tahap kompresi) serta antara 5 sampai dengan 10 bar (untuk kasus 2 tahap kompresi). tekanan operasi di atas 10 bar tidak dievaluasi karena membutuhkan kompresor umpan 3 tahap yang menyebabkan proses tidak ekonomis. kolom absorber terdiri atas 10 tahap kesetimbangan, sedangkan kolom desorber terdiri atas 3 tahap kesetimbangan. kedua kolom ini diisi dengan isian pall ring 1”. diameter absorber diperoleh dari hasil simulasi aspen hysys v10, dengan nilai %flooding di tahap absorber bernilai maksimum 80%. sistem utilitas dan pendukung pabrik lainnya tidak dievaluasi dengan detail. evaluasi ekonomi yang dilakukan hanya sampai tahap biaya peralatan (equipment cost), bukan biaya kapital keseluruhan (capital cost) yang nilainya sangat beragam bergantung pada lokasi masingmasing aplikasi. biaya peralatan (equipment cost) dinyatakan dalam basis normalisasi dengan nilai 1 menyatakan biaya untuk proses dengan 1 tahap kompresi umpan dan tekanan absorber 10 bar (baseline). hal ini dilakukan karena analisis ekonomi yang disajikan dalam makalah ini adalah evaluasi tahap awal (preliminary), dengan demikian hanya menunjukkan kemungkinan manfaat biaya yang dapat dicapai. variasi dalam asumsi atau basis ekonomi dapat mengubah nominal biaya yang dibutuhkan, namun kecenderungannya secara relatif menyerupai hasil dalam makalah ini. hasil dan pembahasan validasi simulasi dilakukan dengan cara membandingkan hasil-hasil utama dengan studi serupa (cozma dkk., 2014), seperti ditunjukkan tabel 1. untuk kebutuhan validasi ini, seluruh input simulasi dibuat sama dengan studi pembanding. hasil simulasi dibandingkan studi pembanding memiliki selisih antara 2-3 % yang menunjukkan bahwa model simulasi yang dikembangkan valid dan dapat digunakan untuk evaluasi selanjutnya. tabel 1. validasi hasil simulasi parameter unit corza* dkk., 2015 studi ini input laju alir biogas nm 3 /h 500 500 ch4/co2 umpan %-vol. 60/38.97 60/38.97 tekanan absorber bar 10 10 temperatur absorber o c 20 20 tahap absorber 7 7 tekanan flash bar 3 3 tekanan desorber bar 1 1 temperatur desorber o c 20 20 output laju alir biometana nm 3 /h 309.4 315.6 ch4 biometana %-vol. 96.7 95.3 hilang metana %-vol. 0.313 0.302 gambar 3 menunjukkan pengaruh tekanan dan tahap kompresi terhadap laju sirkulasi air dan persentase hilang metana. untuk kedua kasus (1 tahap dan 2 tahap kompresi), laju sirkulasi air yang dibutuhkan untuk memisahkan co2 dari umpan biogas menurun seiring dengan peningkatan tekanan absorber. hal ini disebabkan kelarutan co2 dalam air meningkat seiring dengan peningkatan tekanan, sehingga jumlah air yang dibutuhkan menurun untuk melarutkan co2 dalam jumlah yang tetap. pada tekanan absorber yang sama, kasus dengan 1 tahap kompresi umpan membutuhkan laju sirkulasi air yang lebih kecil dan menghasilkan hilang metana yang lebih besar dibandingkan kasus dengan 2 tahap kompresi umpan. jika umpan dikompresi 2 tahap, sebagian besar metana yang terbawa air keluaran absorber dapat dikembalikan menuju absorber melalui keluaran uap unit flash tank. hal ini menunjukkan keunggulan proses 2 tahap kompresi umpan karena menurunnya hilang metana menyebabkan peningkatan laju produk biometana. akan tetapi, aliran balik (recycle) keluaran flash tank uang diumpankan kembali menuju kompresor tahap 2 dan kolom absorber bukan hanya mengandung metana, melainkan juga komponen co2. hal ini mengakibatkan laju sirkulasi air yang dibutuhkan untuk proses ini lebih besar dibandingkan proses dengan 1 tahap kompresi umpan karena lebih banyaknya gas co2 yang berada di kolom absorber akibat aliran balik ini. gambar 4 menunjukkan pengaruh tekanan dan tahap kompresi terhadap kerja pompa dan kerja kompresor biogas. untuk kedua kasus (1 tahap dan 2 tahap kompresi), kerja pompa sirkulasi dan kerja kompresor biogas meningkat seiring dengan peningkatan tekanan absorber. kerja pompa sirkulasi air meningkat akibat peningkatan beda tekan pompa yang dibutuhkan, walaupun pompa mengalirkan air dengan laju sirkulasi yang lebih rendah seperti ditunjukkan gambar 2. hal ini menunjukkan bahwa beda tekan pompa lebih berpengaruh signifikan dibandingkan laju sirkulasi air terhadap kerja pompa keseluruhan. kerja kompresor biogas meningkat seiring dengan peningkatan tekanan absorber akibat anggit raksajati, dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 3 beda tekan kompresor meningkat untuk mencapai tekanan absorber. pada tekanan absorber yang sama, kasus dengan 1 tahap kompresi umpan membutuhkan kerja pompa sirkulasi dan kerja kompresor biogas yang lebih kecil dibandingkan kasus dengan 2 tahap kompresi umpan. kerja pompa sirkulasi untuk proses 1 tahap kompresi umpan bernilai lebih kecil karena laju sirkulasi air yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan proses dengan 2 tahap kompresi umpan (pada tekanan absorber yang sama) seperti ditunjukkan pada gambar 3. kerja kompresor biogas untuk proses 1 tahap kompresi umpan bernilai lebih kecil (pada tekanan absorber yang sama) karena proses dengan 2 tahap kompresi umpan menerima aliran (recycle) dari keluaran uap flash tank, seperti dijelaskan sebelumnya, yang mengakibatkan peningkatan laju alir umpan kompresor tahap 2. gambar 5 menunjukkan pengaruh tekanan dan tahap kompresi terhadap harga kompresor biogas dan harga seluruh unit yang dibutuhkan. untuk kedua kasus (1 tahap dan 2 tahap kompresi), harga kompresor biogas meningkat seiring dengan peningkatan tekanan absorber akibat beda tekan kompresor meningkat untuk mencapai tekanan absorber, sehingga dibutuhkan kompresor dengan spesifikasi yang lebih tinggi. harga seluruh peralatan menurun seiring peningkatan tekanan dari 2 bar sampai 7 bar, lalu melandai dan relatif stabil antara 7 bar sampai 10 bar. pada rentang 7-10 bar ini, peningkatan harga kompresor umpan terkompensasi dengan penurunan harga kompresor produk biometana dan tangki sirkulasi yang signifikan. hal ini konsisten dengan tren penurunan laju sirkulasi air (gambar 3), dimana penurunan laju sirkulasi air pada rentang 7-10 bar relatif lebih landai dibandingkan gambar 3. pengaruh tekanan dan tahap kompresi terhadap laju sirkulasi air dan hilang metana gambar 4. pengaruh tekanan dan tahap kompresi terhadap kerja pompa sirkulasi dan kompresor biogas anggit raksajati, dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 4 pada rentang 2-7 bar. berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa tekanan optimum unit pemurnian biogas biogas menjadi biometana berada pada rentang 7-10 bar. rentang ini sesuai dengan hasil yang dilaporkan pada studi oleh bauer dkk. (2013). pada tekanan absorber yang sama, harga kompresor biogas serta keseluruhan unit untuk kasus dengan 1 tahap kompresi umpan bernilai lebih kecil dibandingkan kasus dengan 2 tahap kompresi umpan. hal ini disebabkan adanya aliran balik (recycle) pada proses dengan 2 tahap kompresi umpan menyebabkan peningkatan biaya kompresor biogas, pompa sirkulasi, dan tangki sirkulasi, seperti dijelaskan sebelumnya. namun, hal ini belum dapat menyimpulkan bahwa proses dengan 1 tahap kompresi lebih ekonomis secara keseluruhan dibandingkan proses dengan 2 tahap kompresi karena adanya kerugian berupa hilang metana yang lebih tinggi (gambar 3), sehingga menghasilkan produk biometana yang lebih kecil. gambar 6 menunjukkan rincian harga peralatan untuk kasus optimum, yaitu kasus 2 tahap kompresi umpan pada tekanan absorber 10 bar. unit kompresor pembotolan biometana dan kompresor umpan biogas merupakan 2 unit dengan biaya tertinggi, yaitu menyumbang 49% dan 26% dari keseluruhan biaya peralatan. kesimpulan laju sirkulasi air yang dibutuhkan untuk memisahkan co2 dari umpan biogas menurun seiring dengan peningkatan tekanan absorber. hal ini disebabkan kelarutan co2 dalam air meningkat seiring dengan peningkatan tekanan, sehingga jumlah air yang dibutuhkan menurun untuk melarutkan co2 dalam jumlah yang tetap. kerja pompa sirkulasi air dan kerja kompresor biogas meningkat akibat peningkatan beda tekan pompa serta kompresor yang dibutuhkan. berdasarkan evaluasi harga peralatan yang dibutuhkan, tekanan optimum unit pemurnian biogas biogas menjadi biometana berada pada rentang 7-10 bar. harga seluruh peralatan menurun seiring peningkatan tekanan dari 2 bar sampai 7 bar, lalu melandai dan relatif stabil antara 7 bar sampai 10 bar. pada rentang 7-10 bar ini, peningkatan harga kompresor umpan terkompensasi dengan penurunan harga kompresor produk biometana dan tangki sirkulasi yang signifikan. pada tekanan absorber yang sama, harga keseluruhan unit untuk kasus dengan 1 tahap kompresi umpan bernilai lebih kecil dibandingkan kasus dengan 2 tahap kompresi umpan. hal ini disebabkan adanya aliran balik (recycle) pada proses dengan 2 tahap kompresi umpan menyebabkan peningkatan biaya kompresor biogas, pompa sirkulasi, dan tangki sirkulasi. namun, belum dapat disimpulkan bahwa proses dengan 1 tahap kompresi lebih ekonomis secara keseluruhan dibandingkan proses dengan 2 tahap kompresi karena adanya kerugian berupa hilang metana yang lebih tinggi, sehingga menghasilkan produk biometana yang lebih kecil. evaluasi yang lebih mendalam disertai penetapan spesifikasi proses (misalnya pembatasan persentase hilang metana) untuk masing-masing aplikasi akan menentukan tahap kompresi umpan yang optimum. gambar 5. pengaruh tekanan dan tahap kompresi terhadap harga peralatan dan biaya operasional anggit raksajati, dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 1-5, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ang 5 ucapan terimakasih penulis mengucapkan terima kasih atas dana penelitian yang disediakan oleh institut teknologi bandung melalui program p3mi. daftar pustaka andriani, d., wresta, a., atmaja, t. d., and saepudin, a. 2014. a review on optimization production and upgrading biogas through co2 removal using various techniques, appl. biochem. biotechnol., 172(4), 1909–1928. ahmed, y., yaakob, z., akhtar, p., and sopian, k., 2015. production of biogas and performance evaluation of existing treatment processes in palm oil mill effluent (pome), renew. sust. energ. rev., 42, 1260–1278. badan standardisasi nasional, 2016. standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar gas jenis compressed natural gas (cng) untuk sektor transportasi. bauer, f., hulteberg, c., persson, t., and tamm, d., 2013. biogas upgrading–review of commercial technologies, sgc rapport vol. 270, svenskt gastekniskt center ab. cozma, p., and wukovits, w., 2014. modeling and simulation of high-pressure water scrubbing technology applied for biogas upgrading, clean technol. envir., 17(2), 373-391. direktorat pengelolaan hasil pertanian, 2006. pedoman pengelolaan limbah industri sawit, departemen pertanian, jakarta. hasanudin, u., sugiharto, r., haryanto, a., setiadi, t., and fujie, k., 2015. palm oil mill effluent treatment and utilization to ensure the sustainability of palm oil industries, wat. sci. tech., 72(7), 1089-1095. malle, d., kapelle, i. b. d., dan lopulaian, f., 2014. pembuatan bioetanol dari limbah air kelapa melalui proses fermentasi, indo. j. chem. res., 2(1), 155-159. masebinu, s. o., aboyade, a., and muzenda, e, 2014. enrichment of biogas for use as vehicular fuel: a review of the upgrading techniques, int. j. adv. eng. sci. appl. math, 1(1), 88–97. musta, r., haetami, a., and salmawati, m., 2017. biodiesel hasil transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol, indo. j. chem. res., 4(2), 394-401. nock, w.j., walker, m., kapoor, r., and heaven, s., 2014. modelling the water scrubbing process and energy requirements for co2 capture to upgrade biogas to biomethane, ind. eng. chem. res., 53, 12783-12792. ohimain, e. i., and izah, s. c., 2017. a review of biogas production from palm oil mill effluents using different configurations of bioreactors, renew. sust. energ. rev., 70, 242–253. research division thermal process engineering and simulation, 2012. biogas to biomethane technology review, institute of chemical engineering, tu wien, vienna. rahayu, a.s., karsiwulan, d., yuwono, h., trisnawati, i., mulyasari, s., rahardjo, s., hokermin, s., dan paramita, v., 2015. buku panduan konversi pome menjadi biogas – pengembangan proyek di indonesia, usaid, winrock international, jakarta. raksajati, a., ho, m. t., and wiley, d. e., 2018. comparison of solvent development options for capture of co2 from flue gases, ind. eng. chem. res., 57(19), 6746-6758. raksajati, a., and ho, m. t., 2014. solvent development for post-combustion co2 capture: recent development and opportunities, matec web conf., 156, 03-015. rosmawaty, bandjar, a., dan gunoroso, s., 2015. optimasi kondisi reaksi transesterifikasi pada pembuatan biodiesel dari lemak sapi, indo. j. chem. res., 2(2), 213-222. ullah, i. othman, d. hashim, h. matsuura, t. ismail, a. f. rezaei-dashtarzhandi, m., and azelee, i. w., 2017. biogas as a renewable energy fuel – a review of biogas upgrading, utilisation and storage, energy convers. manag. 150, 277–294. vijay, v.k., chandra, r., subbarao, p.m.v., and kapdi, s.s., 2006. biogas purification and bottling into cng cylinders: producing biocng from biomass for rural automotive application, the 2 nd joint international conference on “sustainable energy and environment (see 2006)”, thailand. vijay, v.k., 2007. biogas refining for production of bio-methane and its bottling for automotive application and holistic development, international symposium on ecotopia science, 623-628. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 242-246, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-mif 242 mesoporous silica mcm-48 as chloramphenicol adsorbent paulina taba * , miftahul jannah, yusafir hala chemistry department, mathematics and natural sciences, hasanuddin university, perints kemerdekaan street km 10, tamalanrea, makassar * corresponding author: paulinataba@unhas.ac.id received: november 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract this study is aimed to determine the potential use of mcm-48 to adsorb chloramphenicol pollution. chloramphenicol adsorption was conducted at various times contact and concentration. adsorption isotherm was studied by comparing langmuir and freundlich adsorption isotherm. the results showed that chloramphenicol adsorption was suited to freundlich isotherm with an optimum contact time of 80 minutes keywords: mcm-48, antibiotic, chloramphencol, adsorption capacity introduction before people discover antibiotics, infectious diseases were very deadly for humans (da chuha et al., 2019). after flemming discovered penicillin in 1928, antibiotics were produced on a commercial scale then continued to expand. antibiotics is not only for medicinal purpose but also use in animal husbandry and the agricultural industry (cdc.gov, 2019). the widespread use of antibiotics is not without consequences. bacteria that can be inhibited by certain antibiotics quickly adapt and develop immunity and become resistant to these antibiotics (heinemann, 1999; lee ventola, 2015; michael et al., 2014). the costs of antibiotic resistance (ra) are currently enormous. the world health organization (who) estimates that until 2017 there were 700,000 deaths due to antibiotic resistance worldwide and predicts that in 2050 there will be 10 million deaths per year (who.int, 2019). the increased risk of ra does not reduce global antibiotic consumption. the antibiotics production and consumption on a large scale can initiate the antibiotic release into the environment. the study found traces of antibiotic contamination in estuaries, surface freshwater even drinking water (zheng et al., 2011; danner et al., 2019; ye and weinberg, 2007). therefore, the prevention of antibiotic contamination is needed. the adsorption method is an effective and inexpensive method that use to tackle pollutants in liquid waste. researches methods for treating pharmaceutical waste, such as anaerobic processes (chelliapan et al., 2011; larsson et al., 2007), chemical oxidation, and physicochemical techniques have been carried done, but have not yielded satisfactory results (oktem et al., 2008; hey, 2013; jiang and zhou, 2013). the adsorption method with mesoporous silica is an alternative solution in treating liquid waste containing antibiotics. one type of mesoporous silica is mcm-48. the mcm-48 has a high surface area, regular pores with a narrow pore size distribution, high pore volume, and has high biocompatibility (taba et al., 2017; gau et al., 2017; nairi et al., 2017; taba et al., 2018). these properties make it possible to use it as an adsorbent for antibiotic molecules. one of the antibiotics often used is chloramphenicol. in this study, the adsorption of chloramphenicol compounds with mcm-48 was carried out to study the potential of mcm-48 as a potential antibiotic waste adsorbent. methodology materials and instrumentals the tools used were an oven (type spini sosfd), analytical balance (ohauss), magnetic stirrer (fisher type 115), hotplate stirrer (ikari basic 1), vacuum pump (type me4c), uv-vis spectrophotometer (spektronik 20 d+), prestige-21 ft-ir spectrophotometer, and x-ray diffractometer (bruker d2 phaser 2ndgen). the materials used in this study were obtained from merck and sigmaaldrich with high purity. the ingredients are ludox hs-40, cetyltrimethylammonium bromide (ctab), triton x-100, absolute ethanol (c2h5oh), sodium hydroxide (naoh), acetic acid (ch3cooh), chloramphenicol (c11h12cl2n2o5), and distilled water (h2o). synthesis of mcm-48 the mcm-48 material was synthesized using the ryoo (1999) method modified by taba (2001). paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 242-246, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-mif 243 mcm-48 was prepared by mixing a tetracilicate solution (14.3g ludox hs-40 and 45.25 g of 1m naoh solution) with a surfactant solution (6.12 g ctab; 1.34 g triton x-100; and 83.47 g distilled water) in in a propylene bottle then shake for 15 minutes. the mixture was heated at 100oc for 24 hours while shake then cooled to room temperature. the ph was adjusted to 10 by using 30% acetic acid. the mixture was then heated at 100 °c for 24 hours then cooled to room temperature. the mcm-48 formed was filtered, washed with distilled water, and then dried in an oven at a temperature of 120 °c. mcm-48 characterization the synthesized mcm-48 result was characterized by the ft-ir method to determine the functional groups. the x-ray diffraction was carried out to see the crystallinity. chloramphenicol adsorption the adsorption of chloramphenicol with mcm48 was carried out to determine the optimum concentration, time, and adsorption kinetics. in order to determine the optimum adsorption time, 0.2 g of product mcm-48 was used to adsorb chloramphenicol in a solution with a concentration of 20 ppm in the period of 5-120 minutes until the optimum adsorption time was obtained. in determining the optimum concentration of adsorption, 0.2 g of mcm-48 was used to absorb chloramphenicol in solution at several concentrations during the optimum time. the chloramphenicol concentrations before and after adsorption were measured using a uv-vis spectrophotometer. results and discussion characterization using x-ray diffractogram (xrd) the x-ray diffraction pattern of mcm-48 in this study (figure 1) shows that mcm-48 is amorphous. the pattern obtained is not optimal, because of the limited tools used. figure 1. x-ray diffraction pattern of the synthesized mcm-48 the x-ray diffraction pattern of mcm-48 in this study was measured from 2θ =15⁰, while the typical mcm-48 pattern was at a small 2θ angle (below 10⁰). fourier transform infra-red spectrometer the results of characterization by ft-ir (figure 2) showed that mcm-48 contained -oh, -ch, and sio functional groups. the organic groups -ch range are symmetrical and asymmetrical at wavelengths 2852.72 and 2922.16 cm -1 . the -ch groups are bent at wave number 1355.96; 1415.75; and 1471.69 cm -1 are surfactant groups that are still present in the material. the observed wave numbers 1060.86 and 1226.73 cm -1 are the symmetrical and asymmetrical stretches of the silicate lattice of the material. the sio stretching vibration of si-oh was observed at wave number 962.48 cm -1 . the data obtained is similar to the data in sari et al's (2015) study, so this data can be confirmed that the material being synthesized is mcm-48 mesoporous silica. figure 2. ftir spectra of synthesized mcm-48 surface area determination by bet method isothermal adsorption and desorption of n2 gas on mcm-48 before washing can be seen in figure 3. the adsorption isotherm by mcm-48 without washing corresponds to the type iv isotherm. capillary condensation occurs in the adsorption process indicated by the presence of hysteresis in the n2 gas adsorption-desorption curve. the surface area (bet) of mcm-48 is 851,797 m 2 /g. the pore surface distribution shows in figure 4. the pore radius based on the bjh method on mcm-48 was 15.268 å. these results indicate that the synthesized mcm-48 is a mesoporous material. paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 242-246, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-mif 244 figure 3. isothermal n2 adsorption of mcm-48 before washing figure 4. pore size distribution of mcm-48 chloramphenicol adsorption by mcm-48 the optimum time of chloramphenicol adsorption by mcm-48 the optimum adsorption of chloramphenicol with mcm-48 was at 80 minutes contact time. figure 5 shows that the number of chloramphenicol molecules absorbed in mcm-48 tends to be the same at 10 to 45 minutes until finally reaching its peak at 80 minutes. after 120 minutes, the number of chloramphenicol molecules absorbed decreased, which indicates that the adsorbent surface was already saturated. study of chloramphenicol adsorption kinetics by mcm-48 by plotting the t/qe value against contact time (figure 7), the r 2 value is 0.9998. thus, chloramphenicol adsorption on mcm-48 is pseudosecond-order adsorption. figure 5. the number of chloramphenicol molecules adsorbed (qe) by mcm-48 as a function of contact time figure 6. chloramphenicol adsorption order on mcm-48 adsorption capacity of chloramphenicol by mesoporous silica mcm-48 the absorption of chloramphenicol molecules tends to increase with increasing number of molecules in the same volume (figure 7). using this data, the adsorption capacity is determined based on the langmuir and freundlich isothermal model. langmuir isothermal model was created by connecting the linear curve ce/qe to ce, while the freundlich isothermal model was created by connecting the linear log qe curve to log ce. the second isothermal model, both langmuir and freunlich is shown in figures 8 and 9. figure 7. number of chloramphenicol adsorbed (qe) by mcm-48 at various concentrations (ce) 2.7 2.8 2.9 3 3.1 3.2 3.3 5 10 20 30 45 80 120 q e contact times (minute) y = 0.3181x 0.0562 r² = 0.9996 0 10 20 30 40 50 0 50 100 150 t/ q e contact times (minute) 0 2 4 6 8 10 12 14 0 20 40 60 q e ce paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 242-246, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-mif 245 figure 8. graph of langmuir isothermal model figure 9. graph of freundlich's isothermal model from these curves, it can be observed that the r 2 value in the freundlich isothermal model is greater than the r 2 value in the langmuir isothermal model. therefore, chloramphenicol adsorption using mcm48 tends to follow freundlich's isotherm. the freundlich equation assumes that adsorption occurs multi-layer on the surface of the adsorbent and adsorbent. therefore, the adsorption of chloramphenicol with mcm-48 occurs physically. figure 10. ftir spectra (a) before adsorption and (b) after adsorption conclusion adsorption of chloramphenicol antibiotic compound with optimum mcm-48 at 80 minutes according to freundlich's adsorption isotherm. the adsorption of these compounds occurs physically with pseudo-order ii. cmm-48 has the potential to be applied as an absorbent material for chloramphenicol in waste. acknowledgment the authors would like to give thank you for the master's research obtained from the minister of research and technology references chelliapan, s., wilby, t., and sallis p. j., 2011. effect of hydraulic retention time on up-flow anaerobic stage reactor performance at constant loading in the presence of antibiotic tylosin. brazilian j. chemical engineering, 28(1), 51-61. da cunha b r., fonseca l p., and calado c.r.c., 2019. antibiotic discovery: where have we come from, where do we go?, antibiotics (basel), 8(2), 45, 1-21. danner, m., robertson, a., behrends, v., and reiss, j., 2019. antibiotic pollution in surface fresh waters: occurrence and effects, sci. of the total environment, 664, 793-804. gau, a.a., taba, p., and budi, p., 2017. modification of mcm-48 mesoporous silica with 3 aminopropyltrimethoxysilane (3-aptms) and its adsorption test against pb 2+ ion, techno: j. penelitian 4(02), 23-30. heinemann, j. a., 1999. how antibiotics cause antibiotic resistance, drug discovery today, 4(2), 72-79 hey, g., 2013. application of chemical oxidation processes for the removal of pharmaceuticals in biologically treated wastewater, available at: http://lup.lub.lu.se/record/3412268/file/3412272. pdf. jiang, j., and zhou, z., 2013. correction: removal of pharmaceutical residues by ferrate(vi), plos one, 8(6), 1-11. larsson, d.g.j., pedro, c.d., and paxeus, n., 2007. effluent from drug manufactures contains extremely high levels of pharmaceuticals, j. hazardous materials, 148, 751-755 lee ventola, c., 2015. the antibiotic resistance crisispart 1: causes and threats, pharmacy and therapeutics, 40(4), 277-283. michael, c a., dominey-howes, d., and labatte, m., y = 0.0156x + 3.4605 r² = 0.989 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4 4.1 4.2 0 10 20 30 40 50 c e /q e ce y = 0.9243x 0.4822 r² = 0.9998 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 0.5 1 1.5 2 l o g q e log ce paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 242-246, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-mif 246 2014. the antimicrobial resistance crisis: causes, consequencies and management, front public health, 2, 145, 1-8. nairi, v., medda, l., monduzzi, m. and salis, a., 2017, adsorption and release of ampicillin antibiotic from ordered mesoporous silica, j. colloid interface sci., 497, 217-225. oktem, y. a., ince, o., sallis, p., donelly, t., and ince, b. k., 2008. anaerobic treatment of a chemical synthesis-based pharmaceutical wastewater in a hybrid upflow anaerobic sludge blanket reactor, bioresource technology, 99(5),1089-1096. sari a.y. p., taba, p., and prastawa, b., 2015. synthesis and characterization of mcm-48 and modified –nh2 groups, indo. j. chem. res., 3, 249-253. taba, p., budi, p., and sari, a.y.p., 2017. adsorption of heavy metals on amine-functionalized mcm-48, proceeding international symposium on current proggress in functional materials, july 26-27, denpasar bali. taba, p., mustafa, r.d.p., ramang, l.m., and kasim, a.h., 2018, adsorption of pb 2+ on thiolfunctionalized mesoporous silica, sh-mcm48, j. physics, conference series, 979, 012058. who. 2020. antimicrobial resistance, world health organization. ye, z., and weinberg, h. s., 2007. trace analysis of trimethoprim and sulfonamide,macrolide, quinolone, and tetracycline antibioticsin chlorinated drinking water using liquid chromatography electrospray tandem mass spectrometry, anal. chem., 79, 1135-1144. zheng, s., qiu, x., chen, b., yu, x., liu, z., zhong , g., li, h., chen, m., sun, g., huang, h., yu, w., and freestone, d., 2011. antibiotics pollution in jiulong river estuary: source, distribution and bacterial resistance, chemosphere, 84, 1677-1685. ind. j. chem. res., 2014, 2, 136 141 136 analisis pendahuluan kadar merkuri (hg) pada beberapa jenis kerang yusthinus. t. male 1, *, alberth. ch. nanlohy 1 , asriningsih 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: june 2014 published: july 2014 abstract aktivitas pertambangan di gunung botak merupakan pemicu pencemaran logam berat di pulau buru. pertambahan rakyat di pulau buru mengundang para pendatang dari berbagai daerah ke gunung botak untuk memperoleh keuntungan. persoalan lingkungan yang harus dihadapi adalah tailing yang dibuang ke lingkungan tanpa penanganan khusus. merkuri bersifat toksik bagi manusia, merkuri merupakan logam anorganik yang sangat berbahaya jika bersenyawa dengan bahan organik. karena, akan membentuk senyawa kimia organik berupa senyawa metil merkuri sebagai produk sampingan dari proses produksi asetildehida yang dapat dikonsumsi oleh makhluk hidup terutama biota laut. hal ini mengakibatkan metil merkuri masuk dalam sistem rantai makanan yang dapat berakibat fatal bagi manusia (mukhtasor, 2007). melalui proses akumulasi secara biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi (biotransfer), dan pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) yang terjadi secara alamiah, organisme laut mengakumulasi mehg dalam konsentrasi tinggi dan selanjutnya terjadi keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya (yasuda, 2000). kandungan merkuri dalam organisme air biasanya selalu bertambah dari waktu ke waktu karena sifat logam yang bioakumulatif sehingga organisme sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran logam dalam lingkungan perairan (darmono, 2001). ikan dan kerang sebagai medium akumulasi merkuri yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar kontaminasi merkuri. penting mengetahui keberadaan logam berat yang terdapat dalam tubuh organisme (pentreath, 1976). *corresponding author, e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id water pollution by metallic mercury (hg) in buru island as a result of mining activity people are very dangerous for marine life, firstly for mollusca that was consumed by local communities. therefore, it is needed to measure the levels of pollution hg of shells. the research has been done on several types of shells, taken at several different points, those are: at the namlea market, arumbae market, and latuhalat beach. the research’s method used cold vapour atomic absorption spectrophotometry (cv-aas). the results obtained by the concentration of metals hg in polla shells (telebraria sulcata) 0.19240 mg/kg; manis shells (ruditapes variegatus) 0.27171 mg/kg; ciput shells (nerita polita) 0.31387 mg/kg; keong shells (thais aculeata) 0.05556 mg/kg; tudung shells (cellana radiata) 0.05922 mg/kg and bapaco shells (telescopium telescopium) 0.00183 mg/kg. based on the results of this research, the mercury (hg) concentrations of several types of shells which contain levels of hg that low enough and has not exceeded the threshold set by who as big as 0.5 mg/kg. even that there was small concentrations of metals, it can be acumulated in human’s body and can be fatal to the health of humans who consume shells. keywords: shells, mercury, cv-aas, thresold, contamination. pendahuluan introduction analysis of several levels of the mercury (hg) in shells yusthinus. t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 136 141 1 137 penelitian tentang pemanfaatan biota laut sebagai bioindikator pencemaran logam berat telah dilakukan oleh prasetyo (2009) untuk mengetahui kadar logam hg, pb dan cd pada kerang hijau (perna viridis) di perairan muara kamal, teluk jakarta. hasil penelitian diperoleh masing-masing kadar logam sebagai berikut: 0,005 pp; 1,258 ppm dan 0,6292 ppm. said (2011) juga telah memanfaatkan makrozoobentos telebraria sulcata untuk mengetahui bioakumulasi logam berat cr, hg dan pb pada perairan estuaria teluk palu. hasil penelitian menunjukan kadar logam cr tertinggi yaitu berkisar antara 13,12 1,99 mg/kg, logam hg tertinggi berkisar antara 0,3004 0,0437 mg/kg dan logam pb tertinggi berkisar 17,00 5,2769 mg/kg. selain itu penelitian juga telah dilakukan male dkk. (2013) dengan sampel sedimen untuk mengetahui tingkat cemaran logam merkuri pada beberapa lokasi di sungai wamsait dan teluk kayeli. hasil penelitian menunjukan konsentrasi terkecil dari total pemakaian merkuri yang ditemukan dalam sedimen dari pembuangan tromol mencapai 680 mg/kg. departement of concervation and metal resources melbourne, australia mensyaratkan keberadaan logam merkuri (ii) dalam sedimen yaitu 0,15 mg/kg. nilai ini merupakan konsentrasi maksimum yang diperbolehkan dan aman bagi biota perairan (said, 2011). besarnya kadar hg pada sedimen di pulau buru sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kadar merkuri pada kerang di pulau buru antara lain di teluk kayeli, pasar namlea dan diambil sampel pembanding di pantai latuhalat dan pasar arumbae ambon. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan berapa kadar merkuri pada beberapa jenis kerang di kota namlea dan sekitarnya. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: sampel kerang (kerang polla, kerang manis, kerang bapaco, kerang ciput, kerang keong dan kerang tudung), es batu, akuades, larutan standar induk merkuri 100 ppm (hgcl) p.a (e. merck), hno3 p.a (e. merck), kmno4 p.a (e. merck), larutan sncl2.2h2o p.a (e. merck), hclo4 p.a (e. merck), hydroxylaminehydrochloride p.a (e. merck). alat alat yang digunakan antara lain: labu takar, tabung reaksi, pipet ukur, labu erlenmeyer, oven, freezer, dan mercury analizer (ssa-uap dingin). prosedur kerja persiapan sampel sampel kerang (mollusca) diambil pada beberapa titik yang berbeda di namlea dan ambon. sampel kerang dimasukkan dalam freezer agar merkurinya tidak lepas, kemudian sampel kerang dikeringkan dalam oven pada suhu 40ºc selama 48 jam. selama persiapan sampel harus dijaga suhunya bahkan dari cahaya matahari. sampel yang sudah kering dianalisis kadar merkurinya. pembuatan kurva baku dan pembacaan sampel larutan induk hg 100 ppm 0,1 ml, dimasukkan dalam labu takar 100 ml, dimasukkan dengan akuades sampai dengan tanda batas (hg : 1000 ppb). larutan induk hg 1000 ppb 0,1 ml, dimasukkan dalam labu takar 10 ml, ditepatkan dengan akuades hingga batas tanda batas (hg : 10 ppb). untuk membuat kurva standar dibuat konsentrasi hg dengan rentang (ppb): 0,5; 1,00; 2,50; 7.50; 10,00; 15,00; 20,00 dengan cara : ambil masing-masing (ml) 0,05; 0,10; 2,50; 7,50; 10,00; 15,00; 20,00 dimasukkan dalam labu takar 10 ml, tepatkan hingga 10 ml dengan akuades, tuang dalam tabung reaksi di tambahkan kmno4 0,1 ml kocok kemudian ditambahkan hydroxil-aminehydrochloride 0,1 ml kocok dan 0,5 ml larutan sncl2.2h2o. baca absorbansinya dengan mercury analizer (ssauap dingin). analisis merkuri pada kerang untuk menganalisis kadar hg pada kerang maka prosedur analisis yang dilakukan sebagai berikut: sampel kerang yang sudah disiapkan pada prosedur diatas ditimbang, dimasukkan dalam erlemeyer 100 ml, kemudian tambahkan 10 ml larutan hno3 : hclo4 (1:1) setelah itu sampel dipanaskan diatas hotplate hingga jernih dan keluar asap putih, disaring dan ditepatkan yusthinus. t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 136 141 1 138 hingga 50 ml dengan labu takar. buat blanko dengan perlakuan yang sama tanpa sampel. diambil sampel dalam labu takar 10 ml dan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,1 ml kmno4 0,1% dikocok, 0,1 ml hydroxylaminehydrochlorine dikocok, dan 0,5 ml larutan sncl2.2h2o. kemudian ukur absorbansinya dengan spektrofotometri serapan atom uap dingin (ssa-uap dingin) mercury analyzer pada panjang gelombang 253,7 nm. hg total yang terukur dapat dihitung dengan rumus: hg total (ppb) ( ) beberapa jenis sampel kerang (mollusca) diambil pada beberapa titik yang berbeda di namlea dan ambon. adapun beberapa jenis kerang yang digunakan adalah kerang polla, kerang manis, kerang bapaco, kerang keong, kerang ciput, dan kerang tudung. sampel kerang dimasukkan dalam freezer agar merkurinya tidak lepas, kemudian sampel kerang dikeringkan dalam oven pada suhu 40 c selama 48 jam. selama persiapan sampel harus dijaga suhunya bahkan dari cahaya matahari. sampel yang sudah kering dianalisis kadar merkurinya menggunakan spektrofotometri serapan atom uap dingin (ssa-uap dingin). hasil dan pembahasan pengambilan sampel dilakukan pada minggu ke ii bulan mei 2013. sampel diambil pada siang hari. keadaan cuaca pada saat pengambilan sampel adalah cerah dan panas dangan kondisi air laut pasang. sampel yang diambil berupa kerang pada dua titik berbeda di pulau buru, yaitu kerang manis pada teluk kayeli merupakan muara air dan lokasi tromol untuk pemisahan emas. kerang pola yang dibeli di pasar tradisional kota namlea, sebagai pembanding diambil sampel dari perairan latuhalat dan pasar arumbae, mardika. keadaan umum lokasi pada saat pengambilan sampel dapat dilihat pada tabel 1: tabel 1. keadaan umum lokasi penelitian titik lokasi kondisi lokasi keterangan 1 pasar namlea cuaca panas (siang hari) dipasok dari nametak 2 teluk kayeli air pasang, keruh, laut dangkal, berpasir dan berlumpur. dekat pemukiman penduduk lokasi tromol muara air sungai 3 pantai latuhalat cuaca hujan. air pasang, berlumpur laut berseberanga n dengan pulau buru 4 pasar arumbae cuaca mendung dipasok dari namlea foto sampel penelitian telebraria sulcata ruditapes variegatus nerita polita thais aculeata cellana radiata telescopium telescopium gambar 1. berbagai jenis kerang sampel penelitian yusthinus. t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 136 141 1 139 kerang merupakan golongan invertebrata, hewan tak bertulang belakang memiliki cangkang yang keras dan dikonsumsi di seluruh dunia. namun kenyataannya kerang terancam akan pencemaran merkuri di pulau buru dan sekitarnya. hal ini disebabkan habitat kerang di daerah pesisir pantai dan pada kondisi pasang surut sehingga kemungkinan daya akumulasinya lebih tinggi, selain itu biota ini merupakan hewan tak bertulang belakang sehingga lebih rentan menyerap logam-logam berat seperti merkuri. biota akuatik ini sangat potensial terkontaminasi logam berat mengingat asupannya yang feeder filter. disamping itu, sifat kekerangan ini lebih banyak menetap (sessile) dan bukan termaksud migratory. hal tersebut menyebabkan mudahnya logam berat terkontaminasi di dalam tubuh kerang. masuknya kontaminasi dalam tubuh biota ini dapat melalui jalur air dan jalur pakan sehingga memungkinkan kontaminasi tersebut terakumulasi dan mengalami biomagnifikasi dalam tiap rantai makanan (fernanda, 2012). logam pencemar yang diabsorpsi dari perairan ke badan organisme harus dapat masuk dalam membrane melalui difusi pasif dan dari hasil survei diperoleh beberapa jenis sampel kerang yang umumnya dikonsumsi diantaranya: kerang polla (telebraria sulcata), kerang manis (ruditapes variegatus), kerang ciput (nerita polita), kerang keong (thais aculeata ), kerang tudung (cellana radiata) dan kerang bapaco (telescopium telescopium). analisis kadar hg pada kerang analisis kadar merkuri pada kerang bertujuan untuk mengetahui besarnya kadar merkuri pada kerang. berdasarkan hasil penelitian diketahui kadar merkuri dalam daging kerang dapat diperlihatkan pada tabel 2. dari tabel 2, besarnya kadar logam pada masing-masing kerang didukung oleh habitatnya dan daya dukung lingkungan terhadap sebaran merkuri. pola arus yang ada pada suatu lokasi sangat mempengaruhi penyebaran logam merkuri yang ada pada badan air itu pula. pada saat logam masuk ke badan air logam yang memiliki massa jenis lebih besar akan lebih cepat turun. pengaruh ini sangat tampak pada daerah-daerah dengan kedalaman laut yang cukup dalam, yang mana pada saat logam turun ke dasar laut yang tabel 2. kadar logam merkuri pada daging kerang transport aktif tergantung dari bentuk senyawanya. setelah di dalam sel, logam akan membentuk ikatan kompleks dengan ligan. logam berat dapat berikatan dengan gugus sulfihidril, hidroksil, karboksilat, imidazol, dan amino dari protein. ion logam berat yang paling efektif berikatan dengan gugus sulfihidril (-sh), seperti dalam sistein; dengan struktur molekul yang memiliki gugus nitrogen (n), seperti yang terdapat dalam lisin dan histidin. gugus sulfur dan nitrogen merupakan gugus-gugus aktif dari enzim-enzim tersebut (palar, 2001). cukup dalam, sebelum mencapai dasar laut terbawa oleh arus menuju daerah lain.hal ini memungkinkan untuk logam berat yang mempunyai massa jenis lebih kecil dapat menyebar dari lokasi sumber pencemaran. sebagai akibat konsentrasi dari daerah sekitar sumber pencemaran tidak terlalu jauh berbeda dengan kadar pada lokasi sumber pencemaran itu sendiri (libes, 1992). pada kerang pola (telebraria sulcata) dan kerang manis (ruditapes variegatus) tingginya kadar logam merkuri disebabkan limbah-limbah kode sampel nama kerang bobot sampel (g) kadar merkuri (ppb) kadar merkuri (mg/kg) m1 kerang pola 1,0057 192,40 0,1924 m2 kerang manis 0,1693 271,71 0,27171 m3.1 kerang ciput 0,411 313,87 0,31387 m3.2 kerang keong 0,4005 55,56 0,05556 m3.3 kerang tudung 0,5615 59,22 0,05922 m4 kerang bapaco 3,2867 1,83 0.00183 yusthinus. t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 136 141 1 140 merkuri yang terbuang ke badan sungai oleh adanya aktivitas tromol yang berada sepanjang aliran sungai di bawah kaki gunung botak. lokasi kedua sampel berada pada daerah kritis di teluk kayeli dan nametek karena merupakan area tromol, berada sepanjang muara sungai. merkuri yang terbuang ke badan laut diabsorpsi langsung oleh organisme laut yang hidup pada daerah pesisir pantai yang berpasir seperti kerang. penambangan rakyat yang berlangsung dari tahun ke tahun mengindikasikan semakin besar akumulasi logam merkuri pada kerang. hal ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia, karena logam merkuri yang masuk dalam sistem rantai makanan pada biota laut seperti kerang akan tersimpan sebagai cadangan makanan dalam protein tubuhnya dan terdegradasi menjadi metil merkuri yang bersifat toksik bagi manusia. dari hasil penelitian menunjukkan kadar logam hg pada kerang telebraria sulcata di perairan teluk palu lebih tinggi daripada kerang dengan jenis yang sama yang diperoleh dari desa nametek, pulau buru. jenis kerang ciput ( nerita polita) memiliki kadar logam merkuri yang tinggi, merupakan jenis kerang yang diperoleh di pesisir pantai latuhalat. kerang pada lokasi yang sama yaitu pada kerang keong (thais aculeata) dan kerang tudung (cellana radiata) juga memiliki kadar logam merkuri yang cukup tinggi. tingginya kadar hg pada kerang di pantai latuhalat dikarenakan adanya kekeliruan pada saat penelitian, untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan. kadar logam hg pada kerang bapaco (telescopium telescopium) sangat kecil, karena kerang ini tidak kontak langsung dengan merkuri dalam jumlah besar. kerang yang diperoleh di pasar arumbae, mardika ini tidak diketahui secara pasti darimana asalnya. menurut salah seorang penjual “kerang yang di jual di pasar arumbae diperoleh dari tehoku, leihitu.” organisme laut memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat dalam tubuhnya, salah satunya adalah kerang. baik pada usia dewasa maupun stadium larva (bishop, 1983). namun dalam jangka panjang, bioakumulasi ini akan berpengaruh terhadap organisme tersebut yang disebut efek subletal. disamping itu, apabila organisme tersebut dikonsumsi oleh manusia, dapat menyebabkan keracunan yang serius. ambang batas yang diperbolehkan mengkonsumsi biota laut yang terakumulasi merkuri yang ditetapkan ditjen pom no.03725/b/sk/vii/1989,dan food and agriculture organization (fao)/who (1976) kadar maksimum pada biota laut yang boleh dikonsumsi sebesar 0,5 mg/kg. berdasarkan uu nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, uu nomor 7 tentang bahan pangan, uu nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pp nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, keputusan direktur jendral pom no. 03725/b/sk/vii/1989 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan maka sni tahun 2009 menetapkan batas aman merkuri pada ikan, kekerangan, (bivalve), moluska, dan teripang adalah 0,5 mg/kg ( sni 7387, 2009). data standar nasional indonesia dapat dilihat pada. unsur hg akan mengumpul dalam hati, ginjal, otak, dan darah dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan baik secara kronis maupun akut, bergantung pada senyawa hg-nya keracunan akut dapat mengganggu perut, usus, gagal kardiovaskuler dan gagal ginjal akut yang berakibat pada kematian. sedangkan keracunan kronis oleh senyawa hg organik maupun anorganik dapat menimbulkan cacat lahir, kerusakan sistem syaraf pusat dan ginjal (akhad, 2009). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kadar logam berat merkuri pada beberapa jenis kerang dipengaruhi oleh habitat, sebaran merkuri dan daya akumulasi kerang terhadap logam merkuri. kadar logam merkuri pada 3 titik berbeda yaitu kerang ciput dengan kadar sebesar 0,31387 mg/kg, kerang manis dengan kadar sebesar 0,27171 mg/kg dan kerang bapaco 0,00183 mg/kg. kadar logam merkuri pada ketiga titik masih di bawah ambang batas yang ditetapkan sni sebesar 0,5 mg/kg. namun demikian, sekecil apapun kadar logam ini tetap akan bersifat akumulatif dalam tubuh manusia, dan dapat berakibat fatal bagi kesehatan manusia. daftar pustaka akhad mukhlis. 2009. “mengenali dampak lingkungan dalam pemanfaatan yusthinus. t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 136 141 1 141 sumber-sumber emergi”.ekologi energi, graha ilmu, bandung.. bishop, paul.l., marine pollution and its control, mcgraw-hill book company. usa.p 46-91. darmono., 2001, lingkungan hidup dan pencemaran, ui-press, jakarta. fernanda, lidya. 2012. studi kandungan logam berat timbal (pb), nikel (ni), kromium (cr) dan kadmium (cd) pada kerang hijau (perna viridis) dan sifat fraksionasinya pada sedimen laut. universitas indonesia, depok. libes, s. m. 1992, an intruduction to marine biogeochemistry, byjhonwiley and sons, anc. canada. pentreath, r.j., 1976a, the accumulation of organic mercury from seawater by the plaice, pleuronectus platessa (l.), j. exp. mar. biol. ecol., 24, 121-132. palar, heryanto., 2001, pencemaran dan toksikologi logam berat: petaka pembuangan tailing ke laut. indonesia views. prasetyo, alfian dwi. 2009. penentuan kandungan logam (hg, cd dan pb) dengan penambahan bahan pengawet dan waktu perendaman yang berbeda pada kerang hijau (perna viridis. l) di perairan muara kamal, teluk jakarta. said, irwan. 2011. bioakumulasi logam berat krom (iv), merkuri (ii) dan timbal (ii) dalam makrozoobentos (telebraria sulcata) pada perairan estuaria teluk palu. program pasca sarjana universitas hasanuddin, makassar. sni, 2009, batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. badan standar nasional ics 67.220.20. yasuda, y.,2000 minamata bay, in okada, m. and s. a. peterson (eds: 2000), water pollution control policy and management. the japanese experience. chapter 13. gyosei ltd,. tokyo. who. 1976. guidelines for heavy metal contents, health criteria and other supporting information . who. new york. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 228-233, 2021 variation of iodine mass and acetylation time on cellulose acetate synthesis from rice straw dewi umaningrum1*, maria dewi astuti1*, radna nurmasari1, hasanuddin1, ani mulyasuryani2, diah mardiana2 1department of chemistry, universitas lambung mangkurat jl. ahmad yani km. 35,8 banjarbaru 70714, kalimantan selatan, indonesia 2department of chemistry, faculty mathematics and natural sciences, universitas brawijaya, malang 65111, indonesia * corresponding author, e-mail: dumaningrum@ulm.ac.id received: november 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract cellulose acetate is a membrane material that can be used in the sensor field. one source of cellulose acetate is from rice straw. this study aimed to study the effect of iodine mass and acetylation time on cellulose acetate synthesis from rice straw. the initial step is to isolate cellulose from rice straw, followed by cellulose acetate synthesis using iodine catalyst by varying the amount of iodine as much as 0.1-0.3 grams and acetylation time for 1until 5 hours. the cellulose acetate was characterized using an infrared spectrophotometer, and its viscosity was determined. the result shows that the cellulose 33.63%. the maximum time of cellulose acetate acetylation is 2 hours with a mass of iodine 0.2 g. the yield of cellulose acetate was 14.98%, with an acetyl value of 19.11% and a degree of substitution of 0.89. the cellulose acetate produced has a low viscosity. the ftir characterization of cellulose acetate shows o-h functional groups at 3333 cm-1, c-h functional groups at 2897 cm-1, carbonyl functional groups at 1722 cm-1 c-o functional groups at 1029 cm-1 that were identical in cellulose acetate compounds. the amount of iodine and the acetylation time affected the cellulose acetate product. key words: rice straw, cellulose, iodine mass acetylation time, cellulose acetate introduction one of the technologies that have been developed rapidly for environmental monitoring is sensor technology. the main component in the sensor is the membrane. the membrane has an active ingredient in capturing the desired ion called ionophores. several compounds that can be used as ionophores include humic acid and its derivatives in the form of humic amide compounds (muhali, 2013), azocrown compounds and their derivatives (purba, 2013), and cellulose acetate compounds (mashuni, 2012). the advantages of cellulose acetate as a membrane material are that its raw material is a renewable source, has simple application, and is environmentally friendly. several researchers have researched the synthesis of cellulose acetate. nurhayati and rinta (2014) synthesized cellulose acetate from agar waste (gracillaria sp) using a glacial acetic acid reagent, acetic anhydride, and with the help of a sulfuric acid catalyst. the yield of cellulose acetate was 26.19%. seto and sari (2013) synthesized cellulose acetate from nata de soya using a glacial acetic acid reagent, acetic anhydride, and with the help of a sulfuric acid catalyst. the yield of cellulose acetate was 67.93%. fitriyano and abdullah (2016) synthesized cellulose acetate from banana peel waste using a glacial acetic acid reagent, acetic anhydride, and with the help of a sulfuric acid catalyst. the yield of cellulose acetate was 50%. susilowati (2003) synthesized cellulose acetate from rice straw waste using acetic anhydride, glacial acetic acid in benzene solvent and with the help of a perchloric acid catalyst. the yield of cellulose acetate obtained was 29.41%. souhoka and latupeirissa (2018) synthesized cellulose acetate from commercial α-cellulose using a glacial acetic acid reagent, acetic anhydride methanol reagent. the drawback of the method above uses an acidic catalyst that affects environmental pollution and can cause corrosiveness. das et al. (2014) have conducted research related to cellulose acetate from rice husks, using acetic anhydride reagent and with the help of an iodine catalyst. the yield of cellulose acetate was 66%. therefore, based on the description above, it is interesting to research cellulose acetate synthesis from rice straw by studying iodine's mass variation as a catalyst and acetylation time. iodine is used because it is more environmentally friendly than sulfuric and perchloric acid. rice straw contains cellulose, which is the essential ingredient in the formation of cellulose doi: 10.30598//ijcr.2021.7-dew 228 dewi umaningrum, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 228-233, 2021 acetate. the main rice straw content is cellulose 34.2%, hemicellulose 26.1%, and lignin 11.71% (fajar, 2015). this research will study the optimum amount of iodine and the optimum acetylation time to synthesize cellulose acetate from rice straw. the resulting cellulose acetate compounds were analyzed for their physical properties, including the solubility test with acetone, density,% acetyl, and functional groups using fourier transform infrared (ftir). methodology materials and instrumentals the instrumentals used in this research are glassware (pyrex) such as beaker, watch glass, glass stirrer, erlenmeyer, measuring flask, volume pipette, spatula, burette, dropper pipette, thermometer, glass bottle, lutron's ct ph meter, oven, magnetic stirrer, blender, 60 mesh sieve, analytical balance for ohauss model galaxy tm 160, mortar and pestle, buchner filter, vacuum pump, petri dish, separating funnel, a set of soxhlets, scissors, hotplate stirrer; a set of shimadzu 8201pc fourier transform infrared (ftir) viscometers and spectrophotometers. the primary material in this research is rice straw waste. other materials used with pro-analysis quality from merck, namely acetic anhydride, iodine, sodium hydroxide, sodium thiosulfate, ethanol, methylene chloride, n-hexane, methanol, 30% peroxide acid, 96% sulfuric acid, distilled water, phenolphthalein indicator, indicators of methyl red, oxalic acid, hcl 37%, and filter paper procedure rice straw is collected in mahang barabai village. samples were cut ± 5cm, washed with water, and rinsed with distilled water for 1 hour to remove dirt. the samples were dried in the sun, then heated in an oven at 60 ᵒc (lamtiar, 2015). dry samples were cut ± 1 cm, then blended. the composite sample was filtered with a 60 mesh sieve. the filtered powder samples were stored in air-free plastic bags. isolation of cellulose from rice straw rice straw powder sample amount 50 g wrapped in filter paper and tied with twine. the sample was extracted with a mixture of hexane-methanol (2:1 v/v) using a soxhlet for 6 hours, and then the sample was dried. the extracted sample was weighed 10 g each, put in a beaker, and added 300 ml of naoh solution with a concentration of 5%, then heated for 5 hours at 800 oc. the samples were cooled and acidified with 10% h2so4 to ph 3-4 at 50 oc. the sample was separated from the filtrate using a buchner funnel using a vacuum pump. the residue was placed into a beaker, and then 30 ml of 2% h2o2 solution added. the ratio of this mixture is 30:1. the mixture stirred for 5 hours. the residue obtained is filtered and washed with distilled water, then dried (das et al., 2014). the dry precipitated cellulose obtained was weighed to constant weight. acetylation of cellulose acetate the cellulose obtained was weighed as much as 0.2 g and put in a beaker equipped with a magnetic stirrer. 10 ml acetic anhydride is added to the beaker, then iodine is added to the beaker with a weight variation of 0.1; 0.15; 0.2; 0.25; and 0.3 g. the mixture was then heated for 60, 120, 180, 240, and 300 minutes at a temperature of 80 ᵒc. in the final stage, 5 ml of sodium thiosulfate is added by stirring until the color changes from brown to transparent. the mixture was transferred to another beaker containing 30 ml of ethanol solution, then stirred for 60 minutes. the precipitate was filtered and washed with 75% ethanol and distilled water to remove unreacted acetic acid, then dried at 60 ᵒc. cellulose acetate viscosity test a total of 0.1 g cellulose acetate was weighed and dissolved in 20 ml acetone. the mixture is stirred for 1 hour. the viscosity was determined by inserting the cellulose acetate solution, which was dissolved for 1 hour into the viscometer. the solution's time to fill the tube is calculated using a stopwatch starting from the lower limit line until it reaches the upper limit line. the recorded time is entered in equation 1. viscosity = k.t (1) where: k: viscometer constant, t: the time it takes for the solution to fill the tube. degree of substitution (ds) cellulose acetate was weighed as much as 0.1 gram and put into a 100 ml erlenmeyer flask. 4 ml of 75% ethanol were added, and the mixture was stirred at 50 °c for 30 minutes. a total of 4 ml of 0.5 m naoh was added to the mixture and stirred for 15 minutes at 50-60 °c. the sample mixture was left to stand for 48 hours, then dripped with the phenolphthalein indicator. the excess naoh was titrated with hcl (0.5 n), which had been standardized with oxalic acid until the titration's endpoint was marked with a color change. the titrated sample mixture is allowed to stand for one day to allow the naoh to diffuse. the mixture is then titrated with naoh (0.5 n) with a methyl red indicator doi: 10.30598//ijcr.2021.7-dew 229 dewi umaningrum, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 228-233, 2021 until the red color is formed. blanks are carried out in the same way as samples. the acetyl content and degree of substitution are calculated based on equations 2 and 3. [(𝐷−𝐶)𝑁𝑎 + (𝐴 −𝐵)𝑁𝑏] 𝑥 4,305 𝑊 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 (2) 𝐷𝑆 = 𝐵𝑀 × %𝐴𝑠𝑒𝑡𝑖𝑙 4300 − (42 × %𝑎𝑠𝑒𝑡𝑖𝑙) (3) note: x = acetyl content a = v naoh for sample titration (ml) b = v naoh for blank titration (ml) c = v hcl for sample titration (ml) d = v hcl for blank titration (ml) na = normality of hcl nb = normality of naoh data analysis data analysis was carried out by displaying the data obtained from this study. the data are percentage of acetyl, degree of substitution, viscosity, and infrared spectrum. these data are performing in tables or graphs, then analyzed descriptively. the analysis to see the effect of iodine mass and acetylation time cellulose acetate from rice straw and previous research references. results and disscusion rice straw preparation rice is a plant that is planted every year by the barabai people, especially mahang village. the rice planted in local rice, where the harvest age is six months. the rice that has been harvested by the community leaves straw. the straw is taken by cutting rice stalks, then collected in one sack. the pretreatment of rice straw includes washing, drying, milling, and sieving. washing is carried out to remove materials contained in rice straw such as soil and other impurities. drying is done using direct sunlight. drying is carried out to facilitate milling rice straw because, in a humid state, rice straw is difficult to mash. the coarse straw is mashed and then sifted to a size of 60 mesh to get a uniform straw size. isolation of cellulose from rice straw the adequate sample was extracted using a soxhlet device. the purpose of extraction is to remove extractive rice straw levels such as pectin, wax, and protein. the solvents used in the extraction process are n-hexane and methanol, with a ratio of 2:1 (v/v). this solution is because rice straw contains non-polar and polar compounds that will dissolve with each other, where the n-hexane compound is non-polar, and methanol is polar. the extractive free sample was delignified with 7% naoh. this process aims to remove the lignin content bound to rice straw fibers to obtain a high cellulose purity level. immersion in 7% naoh causes swelling of the cellulose structure. the swelling that occurs will open the cellulose fibers. the swollen structure of cellulose causes the –oh group in cellulose to be reactive so that the reagent's penetration into the cellulose interior becomes easier (pasla, 2006). the mixture is hydrolyzed by adding 10% h2so4 solution. the purpose of hydrolysis is to dissolve hemicellulose and lignin. so, dark brown cellulose deposits are obtained in the filtering stage and hemicellulose and lignin as filtrate. the final stage of cellulose bleaching is obtained by adding 2% h2o2 solution with a ratio of 30:1 (v/w). the cellulose obtained was dried in an oven at 60 ᵒc for 6 hours. the physical results of cellulose can be seen in figure 1. figure 1. isolated cellulose from rice straw based on figure 1, the isolated cellulose is white. cellulose levels were obtained by comparing the amount of cellulose isolated from the initial amount. the cellulose content of rice straw obtained in this study was 33.63%. research conducted by alighiri et al. (2015) with a particle size of 100 mesh, using 15% nh3 and immersion for 24 hours, showed cellulose from rice straw isolation with a yield of 49.38%. nur et al. (2016) researched with a particle size of 20 mesh, using 12% naoh and soaking for 2 hours, showed rice straw isolation results with a yield of 20.37%. the difference in yield of cellulose was due to differences in particle size, extracting solution, and soaking time with the cooking solution. acetylation of cellulose acetate the cellulose is then acetylated to produce cellulose acetate. acetylation is carried out by dissolving iodine with acetic anhydride. this process causes one of the carbonyl bonds in acetic anhydride to be iodinated, resulting in the carbon in the carbonyl doi: 10.30598//ijcr.2021.7-dew 230 dewi umaningrum, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 228-233, 2021 group having room to bind with the cellulose compound. cellulose with an active oh group will react with the carbonyl group carbon that binds to iodine, forming new bonds and rearranging the new compounds to have a stable bond to cellulose acetate acetic acid compounds are formed as side products. the physical results of cellulose acetate can be seen in figure 2. figure 2. cellulose acetate from rice straw figure 2 shows the color of cellulose acetate obtained yellowish white. according to fengel and wegener (1995), cellulose acetate changes are caused by oxidative changes in cellulose molecules resulting in colored compounds during the acetylation process. this condition occurred in this study, where the white cellulose turned into a dark brown solution after adding iodine catalyst and acetic anhydride reagent. however, during the distilled water and 75% ethanol during the deposition process, the residue becomes yellowish white. the cellulose acetate obtained was then calculated for acetyl content and degree of substitution (ds). based on the calculation results, the maximum acetyl cellulose acetate content was obtained at 2 hours acetylation time with iodine concentration 0.2 g with an acetyl value of 19.11% and a ds value of 0.89. the results of the calculation of acetyl and ds levels can be seen in table 1. table 1. calculation results of acetyl content and degree of substitution (ds) of cellulose acetate. number time (hour) iodine mass (g) acetyl percentage ds 1 2 1 2 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.1 0.15 0.2 9.09 10.97 11.52 8.95 9.65 12.43 9.91 19.11 0.38 0.46 0.49 0.37 0.40 0.52 0.41 0.89 3 4 5 3 4 5 0.25 0.3 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 7.35 11.46 11.56 11.70 9.76 9.13 8.55 6.32 12.76 10.85 12.34 10.82 9.46 14.01 10.91 10.47 12.42 0.30 0.49 0.49 0.50 0.41 0.38 0.35 0.26 0.55 0.46 0.53 0.46 0.40 0.61 0.46 0.44 0.53 based on table 1, it can be seen that the optimum acetylation time is at 2 hours with an acetyl value of 19.11% with an amount of iodine as much as 0.2 grams. the value of the degree of substitution obtained from the acetylation time of 1 hour to 5 hours ranged from 0.26 to 0.89. these numbers indicate that the cellulose acetate produced is a monoacetate group. the results of acetylation of cellulose acetate follow the theory of gaol et al. (2013). this theory tells that cellulose acetate with a ds 0-2.0 and acetyl content 1318.6% is classified as cellulose monoacetate. cellulose diacetate has a ds 2.0-2.8 with an acetyl content of 3543.5%, while cellulose triacetate had a ds of 2.8-3.5 and an acetyl content of 43.5-44.8%. functional cluster analysis (ftir) the synthesized cellulose acetate was characterized using an ftir spectrophotometer. the ftir spectrum of cellulose and cellulose acetate with the amount of iodine 0.1 0.3 grams and acetylation time of 1 until 5 hours can be seen in figure 3. c d (a) (b) doi: 10.30598//ijcr.2021.7-dew 231 dewi umaningrum, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 228-233, 2021 figure 3. ir spectrum of cellulose, cellulose acetate with variations in the amount of iodine 0.1 0.3 grams at time a (1 hour), b (2 hours), c (3 hours), d (4 hours), e (5 hours ) based on figure 3, it can be seen the difference in the peaks of cellulose and cellulose acetate, wherein cellulose there is no peak at the wave number 1722 cm-1. based on the ftir comparison of cellulose and cellulose acetate, acetylation has been successful with the presence of –oh group vibrations in the 3333 cm-1 regions, ch vibrations in the 2897 cm-1 region, the vibration of carbonyl groups in the 1722 cm-1 region, and co vibrations. in the area of 1029 cm-1. the higher the mass of iodine used, the sharper the –oh and carbonyl groups produced. cellulose acetate viscosity test the viscosity test's purpose is to determine the level of viscosity of the cellulose acetate solution dissolved previously with acetone solvent. viscosity indicates the ability of cellulose acetate to immobilize in acetone. the results of the viscosity can be seen in figure 4. figure 4. the viscosity of cellulose acetate based on figure 4, the viscosity of cellulose acetate at one hour is 9.57 cps. the viscosity is increasing at 2 hours of acetylation, about 9.78 cps. the viscosity decreases at 3 hours to 9.50 cps, increases at 4 hours of acetylation by 9.51, and decreases at 5 hours of acetylation of cellulose acetate to 9.21 cps. the viscosity measurement decreases with the length of the acetylation time. this condition is because the resulting cellulose acetate has a low degree of polymerization. the shorter the cellulose acetate chains that are bound will cause the viscosity value to decrease. conclusion the synthesis of cellulose acetate from rice straw was carried out at an optimum acetylation time of 2 hours with 2 grams of iodine. the ir spectrum of cellulose acetate shows vibrations of –oh, c-h, c = o groups, and c-o bonds. the resulting cellulose acetate viscosity decreased with increasing acetylation time. this result is because the degree of polymerization produced in cellulose acetate is short. acknowledgement the author would like to thank the directorate of research and community service, directorate general of research and development strengthening ministry of research, technology and higher education for funding this research with research contract number: 070/sp2h/lt/drpm/iv/2017. also, to the laboratory of instrumentation chemistry and organic chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, lambung mangkurat university has provided facilities for implementing this research. references alighiri, d., wardani, s., and harjito, 2015. sintesis selulosa asetat dari jerami padi sebagai upaya penanggulangan limbah pertanian, prosiding snkpk. universitas negeri semarang. 1; 9.57 2; 9.78 3; 9.5 4; 9.51 5; 9.21 5 6 7 8 9 10 0 2 4 6 v is c o si ty ( c p s) time (hour) e (c) (d) (e) doi: 10.30598//ijcr.2021.7-dew 232 dewi umaningrum, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 228-233, 2021 das, a. m., ali, a. a., and hazarika, m. p., 2014. synthesis and characterization of cellulose acetate from rice husk: eco-friendly condition, carbohydrate polymers. 11(2), 342349. fajar, m., maulana, i. t. and dasuki, u. a., 2015. isolasi pektin dari jerami padi (oryza sativa l.) sebagai bahan dasar pembuatan edible film untuk pelapisan buah, prosiding sivitas akademika unisba (kesehatan dan farmasi) 2015, bandung. fengel, d., and wegener, g., 1995. kayu: kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi. ugm press. yogyakarta. fitriyano, g., and abdullah, s., 2016. sintesis selulosa asetat dari pemanfaatan limbah kulit pisang diaplikasikan sebagai masker asap rokok, seminar nasional sains dan teknologi. fakultas teknik universitas muhammadiyah jakarta. gaol, m. r. l. l., sitorus, r., yanthi, s., surya, i., and manurung, r., 2013. pembuatan selulosa asetat dari α-selulosa tandan kosong kelapa sawit, j. teknik kimia. 2(3), 33-39. lamtiar, h., yenie, e. and yelmida., 2015. isolasi lignin dari jerami padi dengan metoda klason, jom fteknik. 2(2), 1-9. mashuni, 2012. pengembangan biosensor elektrokimia berbasis enzim asetilkolinesterase untuk analisis residu pestisida pada produk pertanian, jurnal agroteknos. 2(2), 69-76. muhali, 2013. aplikasi senyawa amida humat sebagai ionofor dalam membran elektroda selektif ion ni (ii), j.prisma sains. 1(1), 6-78. nur, r., tamrin, m., dan muzakkar, z., 2016. sintesis dan karakterisasi cmc (carboxymethyl cellulose) yang dihasilkan dari selulosa jerami padi, jurnal sains dan teknologi pangan. 1(3), 222-231. nurhayati dan kusumawati, r., 2014. sintesis selulosa asetat dari limbah pengolahan agar, jpb perikanan, 9(2), 97-107. pasla, f.r., 2006. pencirian membran selulosa asetat dari limbah berbahan dasar selulosa bakteri nanas, tesis, institut pertanian bogor, bogor. purba, j., zainiati, e., samosir, a., dan situmorang, m., 2013. pembuatan ion selektif elektroda menggunakan ionofor dtodc untuk penentuan merkuri (ise-hg), prosiding semirata fmipa. universitas lampung. seto, a. s., dan sari, a. m., 2013. pembuatan selulosa asetat berbahan dasar nata de soya, konversi. 2 (2), 1-12. souhoka, f.a., dan latupeirissa, j., 2018. sintesis dan karakterisasi selulosa asetat (ca), indo. j. chem. res. 5(2) : 58-62. susilowati, e., 2003. pemanfaatan jerami padi untuk sintesis selulosa asetat, tesis, jurusan kimia,universitas airlangga surabaya. doi: 10.30598//ijcr.2021.7-dew 233 indochem ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 15 synthesis of binuclear complex compound of {[fe(l)(ncs)2]2oks} (l = 1,10-phenantrolin and 2,2’-bypiridine) sintesis senyawa kompleks berinti ganda {[fe(l)(ncs)2]2oks} (l = 1,10-fenantrolin dan 2,2’-bipiridin) yusthinus t. male 1*, helna tehubijuluw 2, paulina m.pelata3 1,2,3chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 * e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: juni 2013 published: july 2013 abstract the paramagnetic complex {[fe(fen)(ncs)2]2oks} have been synthesized in methanol solution using 1-10 phenantrolin, 2,2 '-bipyridine, ncsligands and oxalate as bridging ligand. synthesis of fe (ii) with ligands phenantrolin produced three complexes is paramagnetic compounds each with a value of magnetic moment (μ) of 5.98 bm, 7.34 bm and 6.00 bm, respectively. for complexes with bipyridine ligand complexes obtained two diamagnetic compounds with the magnetic moment (μ) was 3.57 bm and 3.50 bm, respectively. it could concluded that the field strength of bipyridine ligand cannot be reduced by ncsligand. analysis results showing that the synthesized compound is a binuclear complex with {[fe(fen)(ncs)2]2oks} molecular formula. this conclusion was supported by the measurement of conductivity, magnetic moment, ir spectroscopy and xrd analysis. keywords : paramagnetic complex, ligand, diamagnetic, binuclear, magnetic moment pendahuluan senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun dari suatu ion logam pusat dengan satu atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron bebasnya kepada ion logam pusat. ion logam pusat merupakan ion unsur transisi, yang dapat menerima pasangan elektron bebas dari ligan. donasi pasangan elektron ligan kepada ion logam pusat menghasilkan ikatan kovalen koordinasi sehingga senyawa kompleks juga disebut senyawa koordinasi. banyaknya ikatan koordinasi dalam senyawa kompleks, antara ion pusat dengan ligan disebut bilangan koordinasi. bilangan koordinasi dan struktur senyawa kompleks beragam mulai dari bilangan koordinasi dua sampai dua belas dengan stuktur linear, tetrahedral, segi empat planar, trigonal bipirimidal, dan oktahedral. umumnya senyawa kompleks memiliki bilangan koordinasi enam dengan struktur umum oktahedral (huhey, 1993). ligan-ligan dalam senyawa koordinasi dapat dibedakan atas ligan monodentat, bidentat, tridentat, dan polidentat. ligan bidentat merupakan ligan yang memiliki dua atom donor. ligan 1,10-fenantrolin (fen) termasuk dalam ligan-ligan feroin bersama-sama dengan ligan 2,2’-bipiridin (bp), etilendiamin (en), dan 2,2’terpiridin (tpy). ligan-ligan ini dapat membentuk warna senyawa kompleks yang memiliki intensitas warna yang kuat dengan besi(ii), sehingga ligan-ligan ini dapat dipakai luas dalam reaksi-reaksi warna kompleks kelat yang stabil (moliner dkk., 2002). logam yang dapat membentuk kompleks biasanya merupakan logam transisi, alkali, atau alkali tanah. logam transisi dapat didefinisikan sebagai logam sebagai yang dapat membentuk satu atau lebih ion yang stabil degan konfigurasi elektron di orbital d dan f yang belum terisi penuh. contoh besi(ii) memiliki konfigurasi elektron 1s22s22p63s23p63d6. di mana orbital dnya sebagian belum terisi penuh. keadaan elektron dalam kulit-kulit tersebut memungkinkan timbulnya perbedaan sifat kimia dan fisika antara senyawa-senyawa kompleks yang memiliki atom logam pusat yang sama, misalnya fenomena transisi spin (ts). transisi spin merupakan keadaan yang terjadi akibat dari pembelahan tingkat energi orbital d dalam yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 16 medan ligan oktahedral. pembelahan tersebut menghasilkan dua kelompok tingkat energi yang di sebut kelompok eg dan t2g (kahn, 1998). pengembangan saklar molekular yang mampu menyimpan dan memindahkan informasi saat ini menjadi kajian yang menarik dalam sains molekul. kompleks besi(ii) sangat potensial dijadikan saklar molekular karena mengalami ts atau perubahan dapat-balik dari suatu keadaan spin rendah (low spin, ls) diamagnetik ke keadaan spin tinggi (high spin, hs) paramagnetik melalui induksi suhu, tekanan, penyinaran, dan medan magnet (gütlich, 2000). kebanyakan senyawa dapat mengalami ts terdiri atas inti tunggal dengan inti koordinasi [fen6] yang umumnya menggunakan ligan-ligan bidentat αdiimin. karena inti tunggal merupakan unit molekul yang terpisah maka distorsi yang terjadi tidak dapat diteruskan ke keseluruhan kristal melalui interaksi intermolekul. lemahnya interaksi molekuler menyebabkan respon yang dihasilkan sangat kecil (male, 2002). untuk mengatasi kendala pada inti tunggal, banyak penelitian baru yang dikembangkan untuk meneliti lebih lanjut aspek intermolekuler, misalnya meningkatkan interaksi molekuler dengan ligan-ligan jembatan yang sesuai. langkah ini telah menghasilkan sejumlah ts berinti ganda dan senyawa ts polimerik dengan sifat ts yang menarik. desain dan sintesis senyawa transisi poliiniti telah diarahkan untuk mempelajari fenomena inti sistem, misalnya menggabungkan dua bentuk elekronik yang berbeda seperti perubahan magnetik dan ts dalam molekul yang sama; yang dilakukan oleh khan dan dikembangakan bersama real dkk., yang meneliti ligan jembatan 2,2’-bipirimidin pada senyawa-senyawa fe(ii) (real dkk., 2003). penelitian senyawa kompleks terus berkembang dari kompleks berinti tunggal mengarah pada kompleks yang memiliki dua ion logam pusat yang dikenal sebagai kompleks berinti ganda. kompleks ini memerlukan ligan jembatan yang dapat menghubungkan ion logam pusat yang satu dengan yang lainya (moliner dkk., 2001). ligan oksalat merupakan salah satu ligan jembatan yang banyak digunakan akhir-akhir karena keunikannya yang dapat menghasilkan struktur kompleks multidimensi (1, 2, atau 3 dimensi) (stevenson dkk., 2006). pada penelitian ini dilakukan sintesis dan karakterisasi senyawa kompleks berinti ganda {[fe(l)(ncs)2]2oks} l = fen, bp menggunakan ligan jembatan oksalat. metodologi tempat dan waktu penelitian penelitian dilakukan di laboratorium penelitian kimia anorganik, jurusan kimia f.mipaunpatti mulai dari bulan mei sampai dengan bulan november 2011. alat dan bahan peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat alat gelas, spektrofotometer ir (prestige-21 shimadzu), magnetic susceptibility balances ( jhonson matthey mark i msb ), difraktometer sinar-x (shimadzu goniometer xd-3a ), konduktometer ( eutech instrumens eccn11003k), hot plate. bahan yang digunakan dalam penelitian adalah feso4.7h2o, p.a (merck), kscn, p.a (merck), 1,10-fenantrolin monohidrat (raidel-de haen), 2’2-bipiridin p.a (merck), asam oksalat, p.a (merck), metanol, p.a (mecrk), aseton, p.a (merck), kertas saring whatman 42, akuades prosedur kerja 1. sintesis senyawa kompleks {[fe(fen) (ncs)2]2oks} sintesis senyawa kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} dilakukan menggunakan tiga metode yang didasarkan pada urutan subsitusi ligan monodentat, bidentat, dan ligan jembatan dalam sistem kompleks fe(ii). ketiga metode tersebut adalah ke dalam larutan metanolik fe(ii) ditambahkan ligan monodentat ncs-, ligan bidentat fenantrolin kemudian ligan jembatan oksalat (metode i ). selanjutnya metode ii dan iii mengubah urutan subsitusi ketiga ligan. pelarut metanol yang digunakan adalah metanol hangat yang dipanaskan di atas hot plate pada suhu 500c. 2. sintesis senyawa kompleks {[fe(bp)(ncs)2]2oks} sintesis senyawa kompleks {[fe(bp)(ncs)2]2oks} dilakukan menggunakan dua metode yang didasarkan pada urutan subsitusi ligan monodentat, bidentat, dan ligan jembatan dalam sistem kompleks fe(ii). pada larutan metanolik fe(ii) ditambahkan ligan monodentat ncs-, ligan jembatan oksalat kemudian ligan bidentat bipiridin (metode ii), sedangkan untuk metode iii, urutan subsitusi ketiga ligan diubah. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 17 3. pengujian kelarutan pengujian kelarutan senyawa kompleks hasil sintesis dari ligan fenantrolin dan bipiridin dilakukan untuk menentukan pelarut yang tepat untuk digunakan pada prosedur pengujian daya hantar listrik. sebanyak tiga tabung reaksi disiapkan dan masing-masing diisi dengan 0,1 g kristal hasil sintesis. selanjutnya ke dalam masing-masing tabung ditambahkan 2 ml metanol, 2 ml akuades, dan 2 ml aseton. ketiga tabung reaksi tersebut kemudian dikocok, dan diamati kelarutan dari masing-masing senyawa kompleks. dari data kelarutan masing-masing senyawa kompleks hasil sintesis dari kedua ligan, diperoleh pelarut terbaik yang dapat melarutkan senyawa hasil sintesis. 4. pengukuran daya hantar listrik pengukuran daya hantar listrik senyawa kompleks dilakukan untuk menentukan jumlah ion dari senyawa kompleks hasil sintesis. konduktometer yang telah terkalibrasi disiapkan. sebanyak 50 ml pelarut hasil sintesis dari tahap pengujian kelarutan dipipet dan diukur daya hantar listriknya dengan konduktometer. pengukuran daya hantar sampel dilakukan terhadap 50 ml sampel dengan kosentrasi 10-3 m. 5. pengukuran momen mangnet senyawa kompleks tabung msb ditimbang kosong (m0, g) dan dilakukan pembacaan tabung msb kosong (r0). tabung msb diisi sejumlah 0,01-0.1g sampel kristal hasil sintesis dan ditimbang kembali (m, g). ketinggian sampel dalam tabung dapat diukur (l) yaitu antara 1,0-3,0 cm kemudian tabung dimasukan dalam medan magnet pada neraca msb dan hasil pembacaan dicatat sebagai (r). nilai cbal yang digunakan adalah 0.97 sebagaimana perhitungan pada saat kalibrasi. kerentanan magnetik tiap gram sampel dihitung dari selisih pembacaan [(r-r0)]. dilakukan juga pengukuran temperatur ruang (t dalam k). dari data kerentanan magnetik tiap sampel, momen magnet efektif senyawa kompleks dapat dihitung (angelici, 1977). 6. penentuan rumus senyawa kompleks analisa komponen penyusun kristal senyawa kompleks hasil sintesis dilakukan menggunakan spektroskopi infra merah. kecenderungan besi(ii) untuk membentuk senyawa kompleks oktahedral, maka dapat dilakukan pengukuran dengan kisaran bilangan gelombang pada 500150 cm-1. data difraksi sinar-x serbuk diperoleh dengan menempatkan 1g sampel pada sel difrakometer (sample holder) kemudian disinari dengan sinar-x dari sumber logam cu. data difraksi diambil dari sudut (2 ) 100 sampai 900 dengan selang 0,020. difraktogram yang diperoleh berupa grafik hubungan intensitas dan sudut difraksi (2 ). hasil dan pembahasan 1. sintesis senyawa kompleks fe(ii) sintesis senyawa kompleks fe(ii) dengan ligan fenantrolin, bipiridin dan ligan jembatan oksalat dilakukan dalam pelarut metanol. larutan ligan metanolik dan ion logam fe(ii) dicampurkan secara langsung untuk mendapatkan padatan senyawa kompleks dengan warna yang berbeda-beda setelah campuran reaksi dibiarkan selama seminggu. untuk mengetahui efektifitas subsitusi ligan, dilakukan tiga model reaksi, yaitu metode i, metode ii, dan metode iii. hasil sintesis kompleks {[fe(l)(ncs)2]2oks} di mana l = fen, bp dilihat pada tabel 1. tabel 1. data hasil sintesis senyawa kompleks senyawa kompleks bobot yang dihasilkan (g) renda men (%) warna if 0,1465 73,95 ungu kemerahan iif 0,1314 66,33 ungu iiif 0,1675 84,55 ungu kemerahan iib 0,1146 61,57 coklat kemerahan iiib 0,1612 86,62 coklat kemerahan keterangan : if = kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} metode i iif = kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} metode ii iiif = kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} metode iii iib = kompleks {[fe(bp)(ncs)2]2oks} metode ii iiib = kompleks {[fe(bp)(ncs)2]2oks} metode iii dari data pada tabel 1 di atas, diperoleh kristal senyawa untuk kompleks fe(ii) dengan ligan fenantrolin dan ligan jembatan oksalat yang warna berbeda berdasarkan tiga metode tersebut. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 18 kristal senyawa kompleks if berwarna ungu kemerahan yang berkilauan dengan rendamen 73,95% kompleks iif berwarna ungu yang berkilauan dengan rendamen 66,33% dan kompleks iiif yang berwarna ungu kemerahan dengan rendamen 84,55% . sintesis untuk kompleks fe(ii) dengan ligan bipiridin dan ligan jembatan oksalat disintesis didasarkan pada urutan subsitusi ligan, juga menghasilkan warna dan rendamen yang berbeda. hasil senyawa kompleks iib yang berwarna merah kecoklatan dengan rendamen 61,57 % dan kristal hasil senyawa iiib yang berwarna merah kecoklatan dan rendamen yang diperoleh 86,62 %. tampak serbuk dari setiap kristal hasil sintesis dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. tampak serbuk (a) kompleks if, (b) kompleks iif, (c) kompleks iiif , (d) kompleks iib, (e) kompleks iiib. 2. pengujian kelarutan senyawa kompleks fe(ii) pengujian kelarutan senyawa kompleks bertujuan untuk memperoleh pelarut yang paling baik untuk digunakan pada tahap analisa berikutnya. setelah sejumlah padatan kompleks hasil sintesis diperoleh, dilakukan pengujian kelarutan terhadap masing-masing senyawa kompleks menggunakan beberapa pelarut yaitu metanol, aseton, dan akuades. hasil pengujian kelarutan tersebut dapat dilihat pada tabel 2. berikut ini. tabel 2. hasil pengujian kelarutan senyawa kompleks senyawa kompleks pelarut metanol aseton akuades if +++ ++ + iif +++ ++ + iiif +++ ++ + iib +++ ++ + iiib +++ ++ + keterangan : +++ = sangat larut ++ = larut + = kurang larut dari hasil pengujian kelarutan, diperoleh bahwa metanol merupakan pelarut yang baik untuk melarutkan senyawa kompleks hasil sintesis. maka untuk melakukan pengujian daya hantar listrik, digunakan metanol sebagai pelarut. 3. pengukuran daya hantar listrik senyawa kompleks pengukuran daya hantar listrik senyawa kompleks hasil sintesis bertujuan untuk menentukan jumlah ion dalam senyawa kompleks yang dihasilkan. hasil pengukuran daya hantar listrik kompleks hasil sintesis dan senyawa pembanding dalam metanol dapat dilihat pada tabel 3. tabel 3. hasil pengukuran daya hantar listrik kompleks hasil sintesis dan senyawa pembanding larutan daya hantar molar (cm-1mol-1ω-1) jumlah ion if 38,93 iif 45,05 iiif 40,93 iib 56,25 iiib 36,15 nano3 80,18 2 mgcl2.6h2o 159,18 3 pengukuran daya hantar listrik dari senyawa kompleks dilakukan untuk mengetahui jumlah ion jika senyawa tersebut dilarutkan dalam pelarut tertentu. dari data tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kelima senyawa kompleks yang disintesis tidak bermuatan. 4. pengukuran sifat kemagnetan senyawa kompleks penentuan sifat kemagnetan senyawa kompleks dilakukan dengan pengukuran nilai e cb d a yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 19 momen magnet menggunakan magnetic susceptibiliy balance. hasil pengukuran yang diperoleh dilihat pada tabel 4. tabel 4. hasil pengukuran momen magnet senyawa kompleks senyawa kompleks m0 (g) r0 m r l (cm) t (°c) if 0,8245 -32 0,8928 986 1,3 26 iif 0,8245 -33 0,8782 153 2 1,0 26 iiif 0,0817 -32 0,9093 114 8 1,5 26 iib 0,8170 -32 0,8625 151 1,7 28 iiib 0,8245 -32 0,8665 119 1,8 28 cbal = 0,97. dari hasil perhitungan menggunakan persamaan = × ×( ) …………………. (1), diperoleh data hasil perhitungan momen magnetik untuk kelima senyawa kompleks dapat dilihat pada tabel 5. tabel 5. data suseptibilitas massa, suseptibilitas molar, dan momen magnet senyawa kompleks seny awa g (10 -6) m(10 -6) m corr(10-6) (bm ) if 18,544 14.691,99581 15.084,03581 5,98 iif 28,112 22.272,50789 22.664,54789 7,34 iiif 18,661 14.784,69229 15.176,73229 6,00 iib 6,560152174 4.882,548075 5.293,948075 3,57 iiib 6,27785714 4.672,443334 5.083,843334 3,50 dari data pada tabel 5, dapat dilihat bahwa senyawa kompleks besi(ii) yang disintesis menggunakan ligan fen bersifat paramagnetik, sebaliknya kompleks besi(ii) yang menggunakan ligan bp bersifat diamagnetik. secara teoritis, senyawa kompleks besi(ii) berinti tunggal spin rendah memiliki nilai momen magnet sekitar 0-1 bm, sedangkan untuk spin tinggi sekitar 4,9-5,4 bm ( onggo dan sugiarto, 2001). hasil yang sama juga diperoleh joris (2011), untuk kompleks berinti tunggal yaitu [fe(fen)3] 2+ [fe(fen)2(ncs)2], dengan nilai momen magnet masing-masing, 1,439 bm, 5,037 bm. hasil penelitian ini, menunjukkan nilai momen magnet untuk kompleks yang disintesis dengan tiga metode menggunakan ligan fen menunjukkan nilai momen magnet yang tinggi masing-masing, 5,94 bm, 7,34 bm, dan 6,00 bm, sedangkan dua metode menggunakan ligan bp menunjukkan nilai momen magnet yang rendah masing-masing 3,57 bm, dan 3,50 bm. kompleks dengan ligan fen memiliki nilai momen magnet yang tinggi jika dibandingkan dengan kompleks berinti tunggal. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks yang disintesis berinti ganda. berdasarkan hasil pengukuran momen magnet ini maka, kompleks dengan ligan fen yang dikarakterisasi lebih lanjut untuk penentuan struktur. sedangkan pada kompleks dengan ligan bp tidak dilakukan karena bersifat diamagnetik. 5. penentuan rumus kimia senyawa kompleks untuk menentukan rumus kimia senyawa kompleks berinti ganda yang disintesis, dilakukan pengukuran spektra ir dan analisa xrd. a. hasil analisis infra merah untuk menguji lebih lanjut bahwa senyawa kompleks yang disintesis telah terbentuk, dilakukan analisis spektroskopi inframerah. analisis spektrum infra merah dilakukan juga untuk mengetahui pergeseran bilangan gelombang akibat subsitusi ligan fen ligan ncsgambar 2. spektra infra merah 1,10-fenantrolin monohidrat yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 20 dan ligan jembatan oksalat. karena ketiga senyawa kompleks yang disintesis adalah identik, sehingga pengukuran spektra ir hanya dianalisis untuk satu senyawa yaitu iiif. analisa infra merah untuk ligan fenantrolin menunjukkan serapan khas c=c aromatik pada 1653,99 cm-1, didukung dengan adanya serapan =c – h pada 3036, 97 cm-1, serapan gugus –c=n – c pada 2356,09 cm-1, karena digunakan senyawa 1,10-fenantrolin monohidrat maka muncul serapan khas –oh pada 3433,5 cm-1. spektra infra merah dilihat pada gambar 2. data hasil analisa infra merah untuk fenantrolin dilihat pada tabel 6. tabel 6. hasil ir untuk 1,10-fenantrolin monohidrat bilangan gelombang (cm-1) gugus 1653,99 c=c aromatic 3036, 97 =c – h 2356,09 –c=n – c 3433,5 o – h selanjutnya pada kompleks {[fe(fen)(ncs)2)]2oks} hasil sintesis juga dilakukan analisa spektrum infra merah. keberadaan oksalat sebagai ligan ditandai oleh munculnya pita serapan inframerah pada daerah pita serapan 1600-1700 cm-1 dan 1200-1300 cm-1 yang merupakan serapan khas υas(co) bebas dan υs(co) dan pita serapan yang muncul pada daerah 800-700 cm-1, mengindikasikan ion oksalat sebagai ligan jembatan yang menghubungkan ion-ion logam. 11 hasil analisa infra merah untuk senyawa {[fe(fen)(ncs)2]2oks} dilihat pada gambar 3. berdasarkan hasil spektrum infra merah kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} dapat diketahui terdapat pita serapan c=c alifatik pada 1624,09 cm-1, c=c aromatik pada 1513,18-1590,34 cm-1, c-o pada 1340-1221,93 dan fe-o pada 484 cm1. data hasil analisa dapat dilihat pada tabel 7. tabel 7. hasil ir untuk kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} bilangan gelombang (cm-1) gugus 2073,51 -2061,94 cn 1513,18c=c aromatic 3071,69 =c – h vinilik 3337,87 –c=n – c 1624,09 c=c alifatik 1340,55-1221,93 c – o 484,14 fe – o b. hasil analisis xrd untuk menguji bahwa kompleks hasil sintesis yang telah terbentuk, dilakukan analisa dengan difraksi sinar-x. pola difraksi senyawa kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} diamati dan dibandingkan dengan pola difraksi sinar-x kompleks [fe(fen)2(ncs)2], (tsuchiya dkk., 2000), dan (joris, 2011). pola difraksi tersebut dapat dilihat pada gambar 4. gambar 3. spektra infra merah senyawa kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 21 gambar 4. pola difraksi sinar-x kompleks (a)[ fe(fen)ncs)2] (tscuhiya dkk, 2000), (b) kompleks [fe(fen)(ncs)2] (joris, 2011) dan (c) kompleks {[fe(fen)(ncs)2]2oks} hasil sintesis. perbandingan hasil difraktogram pada penelitian sebelumnya dengan hasil sintesis ini, kompleks diamati mengandung inti fe(ii) dengan nilai 2 = 23,42220. intensitas atom besi yang cukup tinggi menunjukkan bahwa kompleks yang disintesis berinti ganda. hasil pengukuran daya hantar, momen magnet, spektra ir, dan analisa xrd juga menunjukkan bahwa kompleks yang disintesis berinti ganda dengan rumus {[fe(fen)(ncs)2]2oks}. kesimpulan sintesis kompleks fe(ii) dengan ligan fenantrolin dalam pelarut metanol menggunakan tiga metode menghasilkan tiga senyawa kompleks yang bersifat paramagnetik masingmasing dengan nilai momen magnet, 5,98 bm (metode if); 7,34 bm (metode iif) dan 6,00 bm (metode iiif). untuk ligan bipiridin dihasilkan dengan dua metode bersifat diamagnetik dengan masing-masing kompleks memiliki nilai momen magnet 3,57 bm (metode iib) dan 3,50 bm (metode iiib). dapat dikatakan bahwa kekuatan medan ligan bipiridin tidak dapat direduksi dengan subsitusi ligan monodentat ncs-. dari hasil pengukuran daya hantar, momen magnet, spektra ir, dan analisa xrd, dapat ditunjukkann bahwa kompleks yang disintesis merupakan kompleks berinti ganda dengan rumus {[fe(fen)(ncs)2]2oks}. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada direktorat pendidikan tinggi depdiknas (dp2m) yang telah menyetujui dan mendanai penelitian ini melalui kontrak no: 0523/sp2h/pp/dp2m/iii tanggal 29 maret 2010. daftar pustaka angelici, r. j., 1977. synthesis and technique in inorganic chemistry. w. b. saunders company : michigan. gütlich, p., garcia, y. and goodwin, h.a., 2000. chem. soc. rev., 29, 419. joris, s. n., 2011. pengaruh ion lawan ncsterhadap sifat kemagnetan kompleks [fe(fen)2(ncs)2] skripsi, jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam., ambon. huheey, james e.,1993. inorganic chemistry:principles of structure and reactivity, 4th, harper collins college publishers. kahn, o., dan martinez, c. j., 1998. spintransition polymers: from molecular materials toward memory devices. science, 279, 44-48. male, y. t., 2004. sintesis senyawa kompleks berinti ganda feii-cui. tesis magister, departemen kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, institut teknologi bandung., bandung. moliner, n., gaspar a. b., munoz, m.c., niel v., canp, j. and real j,a.2001. inorg. chem.40, 3986-3991. real, j. a., gaspar, a. b., niel, v., dan muñoz, m. c., 2003. communication between iron (ii) building blocks in cooperative spin transition phenomena. coord. chem. rev., 236, 121-141. (b ) (c) (a) yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2013, 1, 15 22 1 22 stevensoon, k. l., dave, p., djulia, o., dan kiki, a. k., 2006. sintesis senyawa kompleks k[cr(c2o4)2(h2o)]. 2h2o dan [n(nc4h9)4][crfe(c2o4)3]h2o. jurnal kimia indonesia, vol.1, hal.7-12. tsuchiya, n., tsukamanto, a., ohshita, t., isobe, t., senna, m., yoshioka, n., dan inoue, h., 2000. anomalous spin crossover of mechanically strained iron(ii) complexes with 1,10phenantroline with their counterions, ncsand pf6 -, j. solid state chem., 153, 82-91. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 202 adsorption and characterization of activated sugarcane bagasse using sodium hydroxide ade priyanto * , malik f., muhdarina, awaluddin a. 1 departement of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, universitas riau, pekanbaru, indonesia * corresponding author: ade.priyanto8010@grad.unri.ac.id received: november 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract sugarcane bagasse can be used as an adsorbent both under natural conditions and modified by chemical activation using sodium hydroxide (naoh). activation of sugarcane bagasse with naoh was carried out at variations of 5:1, 10:1, and 20:1 (w/w). the absorption ability of bagasse adsorbent to methylene blue solution was carried out with the parameters of variation of contact time (60, 90, 120, 150, and 180 minutes), adsorbate concentration (20, 30, 40, 50, and 60 ppm) and temperature (30, 40, 50, and 60 o c). the adsorbent's characterization included determining the functional groups using ftir, morphology, and mass of elements using sem-edx, and determining the surface area and volume of adsorbent pores using the bet methods. the highest adsorption percentage results were found in the nasb10:1 adsorbent at 99.50%. the optimum conditions for the nasb10:1 adsorbent are with a contact time of 120 minutes, an adsorbate concentration of 50 ppm and a temperature of 30 o c or 303 k. the nasb10:1 adsorbent has the highest surface area compared to other adsorbents, namely 2.803 m 2 /g so that it can perform the maximum absorption of methylene blue. keywords: sugarcane bagasse, chemical activation, ftir, methylene blue, characterization introduction one type of waste that is widely found in the community is bagasse. the total production of dry bagasse in the world is around 54 million tons per year. in 2013, the total area of sugarcane plantations in indonesia was 470.94 thousand hectares. bagasse is biomass with great potential, especially in various currently developing studies (badan pusat statistik, 2015). bagasse is one of the by-products of agricultural waste, can be used both in pure and modified form (renu et al., 2017). bagasse has a lot of fiber, mainly found in the stem. the contents of bagasse include cellulose (45%), lignin (18%), and hemicellulose (28%) (pehlivan et al., 2013). cellulose and lignin in bagasse are potentially used as an adsorbent (abou-gamra and medien, 2013). adsorbent from bagasse, which contains lignin, can remove the dye in rhodamine b with an optimum adsorption percentage value of 77.6%. adsorbent from bagasse can also remove fe2 + ion content in industrial wastewater and is very efficient in absorbing it. the absorption percentage of fe2 + ions from the solution is 95.11% using pure bagasse adsorbent (arkanni et al., 2019). besides, bagasse can remove the cu metal ions' content with an absorption percentage of 96% (moubarik and grimi, 2015). esvandiar et al. (2014) conducted a study using pure bagasse and activated carbon from bagasse, which resulted in 63% and 97% of mn (ii) absorption. the adsorbent from bagasse can be chemically activated using an acid or base solution. bagasse modified with an acid solution (hcl) was able to absorb 98.75% cu 2+ ions. (yam et al., 2020). pure bagasse as a biosorbent is very useful for absorbing the reactive red 120 (rri 120) dye solution with a maximum percentage of adsorption of 94.62% (ahmad et al., 2018). in another study, gusmau et al. (2012) used bagasse as an adsorbent to absorb the dyes of methylene blue (mb) and gentian violet (gv) with adsorption capacity values of 478.5 and 1273.2 mg/g, respectively. the adsorption process is a phenomenon on the surface of a porous solid material with interactions involving chemical or physical bonds and occurs in liquid or gas conditions. the adsorption process depends on the type of adsorbent used. adsorbent must have adequate adsorption capacity, sufficient kinetic adsorption, small pore size, large surface area, good porosity, high micropore volume, and extensive pore network to allow molecules to reach the inside of the adsorbent and make the adsorbent suitable for the adsorption process (al-ghouti and da'ana, 2020). the adsorption process is also proven to be superior in dealing with dye waste because it is susceptible and straightforward to toxic materials. although activated ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 203 carbon is the most effective for dye adsorption, it has several disadvantages: high adsorbent costs, and regeneration is expensive and challenging to separate powdered activated carbon from wastewater. therefore, it is necessary to improve its capability and effectiveness in the entrapment process at an economical and commercial cost (abou-gamra and medien, 2013). the absorption ability of an adsorbent such as bagasse will increase when there is an activation treatment. the activation stage aims to enlarge the adsorbent pores. in general, there are two kinds of activation processes, namely chemical and physical activation, chemical activation is the process of breaking the carbon chain from organic compounds with the use of chemicals. physical activation is the process of breaking carbon chains from organic compounds with the help of heat, steam and co2 gas (latupeirissa et al., 2018). zaini et al. (2018) carried out the adsorption of manganese (ii) in liquid waste using bagasse adsorbent, which was influenced by contact time and type of activator. the maximum adsorption capacity of the adsorbent activation with 0.5 n naoh was 1.016 mg / g. tchoumou et al. (2015) studied the adsorption capacity of bagasse modified with hcl and naoh to remove cu and ni metals. research carried out at room temperature included the influence of ph, contact time, and adsorbent weight. the results showed that the increase in ph, contact time, and adsorbent increased the adsorbed metal. other observations obtained were that the bagasse modified with alkaline was more efficient than hcl, and the efficient adsorption results showed cu (ii) > ni (ii). also, nguyen et al. (2019) compared the adsorption capacity of modified bagasse with naoh, citric acid, tartaric acid, and original bagasse (unmodified bagasse) with metal cadmium (cd). the results showed an increase in the adsorption capacity after the chemical modification process. modification with naoh has an adsorption capacity of 29.41 mg/g. unmodified bagasse has an adsorption capacity of only 18.8 mg/g. the confirmation of the infrared spectrum for modified bagasse showed the addition of a carboxyl group's and an ester group's peak at the 1,738 cm -1 , thereby increasing the adsorption capacity. based on the description above, it seems that there have been many studies that show changes in the adsorbent's surface after undergoing a modification process to increase the ability of the adsorption capacity both the value of the adsorption capacity and the percentage of absorption. therefore, this research will be activated bagasse with naoh to determine the adsorption ability of them in the methylene blue solution and compare the surface morphology, functional groups, and surface area of bagasse before and after activation. methodology materials and instrumentals the instrument used in this study were 80 and 120 mesh sieves (ws tyler incorporated usa), magnetic stirrer (rsh-1dr), oven (gallenkamp), ftir (irprestige-21), sem, analytical scales, desiccators, ph meters, and other glassware. the materials used include bagasse (derived from sugar cane traders in riau university are), sodium hydroxide, distilled water, and whatman filter paper 42. sample preparation the sample preparation of bagasse waste is carried out in several steps, including drying it under the sunlight, then cutting it into smaller sizes about 2 cm, then blending until smooth. the next stage is the sample is sieved using 80 and 120 mesh sieves in stages. the dimension of the used sample is a sample that is between 80 and 120 mesh (passes through the 80 mesh sieve and is stuck on the 120 mesh sieve). the chemical activation process on bagasse uses naoh solution. bagasse and naoh were mixed, stirring for 3 hours at a temperature of 85 o c with variations in the ratio of 5: 1, 10: 1, and 20: 1. the explanation of this comparison is 5, 10, and 20 grams of bagasse in 1 gram of naoh at a volume of 100 ml. the next step is filtering the mixture and rinsing it with distilled water until the ph is neutral. the bagasse adsorbent that has been activated with naoh is dried in an oven at 105 o c, then stored in a desiccator by providing a sample code: at, ansb5:1, ansb10:1, and ansb20:1 (sb = sugarcane bagasse, nasb = naoh-activated sugarcane bagasse). adsorbent characterization the identify of functional groups on pure and activated bagasse with naoh using ftir spectroscopy instruments. microstructure analysis and surface morphology of an adsorbent can use scanning electron microscopy (sem-edx). the surface area and pore volume were determined using the bet method. sugarcane bagasse adsorption ability by batch adsorption method. determining the adsorption capacity of bagasse was carried out on different parameters, namely ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 204 variations in bagasse activation with naoh, contact time, adsorbate concentration (methylene blue), and temperature. effect of contact time in this process, 0.1 gram of sugarcane bagasse (sb) was mixed with 10 ml of methylene blue solution at a concentration of 10 ppm. the mixture is stirred using a water bath shaker at a speed of 120 rpm for 30 minutes at a temperature of 30 o c. then centrifuged for 15 minutes at 2000 rpm. the filtrate from this treatment was analyzed using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 660 nm. the same treatment was also carried out for each adsorbent that was activated with naoh (nasb5:1, nasb10:1, and nasb20:1). furthermore, the above treatment was carried out again on each of the adsorbent variations with different times, including 60, 90, 120, 150, and 180 minutes effect of adsorbate concentration in this process, 0.1 gram of sugarcane bagasse (sb) was mixed with 10 ml of methylene blue solution at a concentration of 10 ppm. the mixture was stirred using a water bath shaker at 120 rpm at 30 o c and the previous treatment's optimum time. then centrifuged for 15 minutes at 2000 rpm. the filtrate from this treatment was analyzed using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 660 nm. the same treatment was also carried out for each adsorbent that was activated with naoh (nasb5:1, nasb10:1, and nasb20:1). furthermore, the above treatment was carried out again on each of the adsorbent variations with different mb concentrations, including 20, 30, 40, 50, and 60 ppm. effect of temperature in this process, 0.1 gram of sugarcane bagasse (sb) was mixed with 10 ml of methylene blue solution at the optimum concentration from the previous treatment. the mixture is stirred using a shaker water bath with a speed of 120 rpm at 30 o c and with the optimum time in the last treatment. then centrifuged for 15 minutes at 2000 rpm. the filtrate from this treatment was analyzed using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 660 nm. the same treatment was also carried out for each adsorbent that was activated with naoh (nasb5:1, nasb10:1, and nasb20:1). furthermore, the above treatment was carried out again at each of the adsorbent variations with different temperatures, including 30, 40, 50, and 60 o c. results and discussion the research results discussed in this journal include the characterization of bagasse, both pure and activated with naoh. besides, the ability of bagasse adsorption against methylene blue solution was also observed with variations in contact time, adsorbate concentration, and temperature. the description of the results and discussion in this study is as follows: determination of sugarcane bagasse functional groups by ftir analysis the ftir spectrum results on pure bagasse and those activated with naoh can be seen in figure 1. based on the ftir results, it can be seen that there are differences in several wavenumbers between pure bagasse and the activated. the change in wavenumber occurs at 3282.99 cm -1 , the absorption area of hydroxide (–oh) group, the activated bagasse has no visible peak in that area. however, at wavenumber 33747.85 cm -1, there is a broad peak at ansb5:1 and nasb10:1, the o-h functional groups. sunarsih et al. (2020), in the ftir results of bagasse modified with koh, showed that at a wavenumber between 30003800 cm -1 , there was a vibration of the o-h functional group. these results indicate that hydrogen bonds in o-h, both intra-molecular and inter-molecular. therefore, this area describes the relationship of cellulose's crystallinity structure that remains the same even though it has been modified with naoh. the wavenumber of sugarcane bagasse and naoh-activated sugarcane are in the range c-h group's 2900.10 cm -1 . the wavenumber of sugarcane bagasse and naoh-activated sugarcane (nasb5: 1, and nasb10:1) is 2925.17 cm -1 and 2906.85 cm -1 , respectively. the wavenumber for the carboxylate group (c=o) is in 1732.15 cm -1 , while the bagasse after activation (nasb5: 1, and nasb10: 1) are1703.22 cm -1 and 1734.08 cm -1 . the c-o group's wavenumber does not have the difference, shown in the wavenumber 2359.04 cm -1 . the wavenumbers for bagasse without activation and after activation (ansb5:1, and ansb10:1) are 666.43 cm -1 ; 672.22 cm 1 and 655.83 cm -1 are –och3 groups, which confirm the lignin structure in bagasse. microstructure and surface morphology observation of sugarcane bagasse adsorbent by scanning electron microscopy (sem-edx) the surface morphology of the pure and activated bagasse adsorbent can be seen in figure 2. based on observations, the four samples (sb, nasb5:1, nasb10:1, and nasb20:1) have almost the same morphology. ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 205 the results of edx observations on the surface of the adsorbent can be seen in table 1. based on the results of the edx analysis on bagasse (sb) samples. there are elements of carbon (c), calcium (ca), and oxygen (o). the highest elemental content is c, with 55.27%, while the lowest element is ca, about 0.48%. the naoh-activated bagasse with 5:1 and 10:1 causes na's appearance, which contains 2.85% and 2.13%, respectively. however, nasb20: 1 does not contain na because there is too much bagasse mass used, about 20 gram. this condition causes carbon in nasb20: 1 to be higher than other variations, about 56.14%. determination of surface area and pore volume using the bet method the results of determining the surface area and pore volume of bagasse adsorbent before and after activated with naoh can be seen in table 2. the chemical activation using naoh increase the adsorbent surface area. based on table 2, the naohactivated bagasse adsorbent with a variation of 10: 1 shows the largest surface area, which is 2.803 m 2 /g. the total pore volume value of nasb10: 1 adsorbent also has the highest value: 8,455 x 10 -3 cm 3 /g. therefore, activation of bagasse adsorbent with naoh affected the adhesion's surface area and total pore volume. figure 1. sugarcane bagasse (sb, nasb5:1, and nasb10:1) ftir spectrum figure 2. form of surface morphology adsorbent of sugarcane bagasse (sb) (a), nasb5:1 (b), nasb10:1 (c), and nasb20:1 (d). a b d c ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 206 75.00 80.00 85.00 90.00 95.00 100.00 0 30 60 90 120 150 180a d so p ti o n p e rc e n ta g e ( % ) time (minute) sb nasb 5 : 1 nasb 10 : 1 nasb 20 : 1 table 1. elemental analysis on the adsorbent surface of sugarcane bagasse sb, nasb5:1, nasb10:1, and nasb20:1. adsorbent elemental analysis (wt%) c ca o na sb 55.27 0.48 44.25 nasb5:1 43.18 44.59 2.85 nasb10:1 48.44 0.01 49.42 2.13 nasb20:1 56.14 0.01 43.86 note : sb : sugarcane bagasse nasb5:1 : sugarcane bagasse activated by naoh 5:1 nasb10:1 : sugarcane bagasse activated by naoh 10:1 nasb20:1 : sugarcane bagasse activated by naoh 20:1 table 2. adsorbent texture properties of sb, nasb5:1, nasb10:1, and nasb20:1. adsorbent surface area (m 2 /g) total pore volume (cm 3 /g) average pore size (å) sb 0.991 3.814 x 10 -3 1.53878 x 10 2 nasb5:1 1.625 4.422 x 10 -3 1.08858 x 10 2 nasb10:1 2.803 8.455 x 10 -3 1.20631 x 10 2 nasb20:1 2.037 4.429 x 10 -3 8.69527 x 10 2 figure 3. the graph of the effect of time variation on the percentage of adsorption on sugarcane and naoh-activated sugarcane adsorption process based on variations in contact time, adsorbate concentration and temperature. adsorption of pure and activated bagasse naoh on methylene blue was carried out with several variations, including contact time, adsorbate concentration, and temperature. table 3 shows that the results of the treatment of the variations in the adsorbent's contact time show that the optimum time varies for each adsorbent used, which is between 60 to 120 minutes. pure and nasb20:1 occurs the maximum uptake with an adsorption percentage of about 96.73 and 97% at 90 minutes. the fast contact time occurred in activated bagasse adsorbent with naoh5:1, 60 minutes, so the adsorption percentage was 87.27%. the highest adsorption percentage value of all adsorbent variations was at nasb10:1 at 99.50% with a longer contact time of 120 minutes. according to ngapa and ika (2020), in general, the longer the contact time between the adsorbent and the adsorbate, the more adsorbed the adsorbate will be. the contact between the adsorbent and the adsorbate increases the percentage of absorption power in each bagasse variation. when it reaches the optimum time, it will cause a slight decrease in absorption power percentage at the next time variation. this condition happens because all active sites of the adsorbent are saturated, so that the adsorption capacity has decreased. besides, the bond between the ions in methylene blue and the active site of the bagasse ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 207 76.00 78.00 80.00 82.00 84.00 86.00 88.00 90.00 92.00 0 10 20 30 40 50 60 a d sr o p ti o n p e rc e n ta g e ( % ) adsorbate concentration (ppm) sb nasb 5 : 1 nasb 10 : 1 nasb 20 : 1 adsorbent is weak, so that the ions will easily escape back into the solution (talhutu et al., 2019). gusmao, et al. (2012) states that the amount of dye adsorbed at equilibrium shows the dye's maximum adsorption. the uptake of the dye on the activated bagasse occurs rapidly at an early stage (starting from the lowest time), and after that, it slows down until it reaches equilibrium. this condition is because many available adsorbent surface sites are still empty at the initial stage. they begin to be filled with adsorbate ions until all of the adsorbent surface sites are entirely filled. therefore, after reaching equilibrium, the dye's absorption decreases due to the absence of any more empty surface sites for adsorbate to fill. following the results obtained on the variation of the adsorption contact time for the nasb10:1 adsorbent, it can be seen that the adsorption percentage increases starting at 30 to 120 minutes, namely 99.50%. when the contact time was increased to 180 minutes, the adsorption percentage decreased to 95.04%. the data of table 4 shows the adsorption percentage value obtained by varying the adsorbate concentration (methylene blue). naoh-activated bagasse with variations in the ratio of 5:1 and 20:1 has a high adsorption percentage at a concentration of 40 ppm. the ability to absorb the power, respectively, was 89.19% and 90.44%. however, the optimum concentration for pure bagasse and 10:1 naohactivated was 50 ppm with adsorption percentages of 89.48% and 90.98%, respectively. based on the above results, it can be concluded that the optimum concentration-time, which has the largest adsorption percentage, is nasb10:1 adsorbent with a concentration value of 50 ppm. increasing the concentration of adsorbate, it will cause the ability to absorb it will be even higher. however, when it reaches the optimum concentration, the absorption power percentage has decreased in all types of adsorbents used. this condition reveals that the adsorption capacity of an adsorbent has gradually reduced. table 4. the adsorption sugarcane bagasse and naoh-activated sugarcane bagasse in methylene blue with various adsorbate concentrations (t = 30 o c, m = 0.1 g, co = 10.3198 mgl -1 , v = 120 rpm, v = 0.01 l). number adsorbate concentration (ppm) adsorption percentage (%) sb nasb5:1 nasb10:1 nasb20:1 1 10 80.36 79.82 86.35 77.65 2 20 81.92 80.20 87.05 78.48 3 30 84.13 86.37 89.41 88.28 4 40 86.92 89.19 89.56 90.44 5 50 89.48 88.07 90.98 89.71 6 60 86.39 79.12 84.93 80.09 figure 4. the graph of effect of adsorbate concentration variation on the percentage of adsorption on sugarcane and naoh-activated sugarcane. ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 208 60.00 64.00 68.00 72.00 76.00 80.00 84.00 88.00 92.00 96.00 300 310 320 330 340 a d so p ti o n p e rc e n ta g e ( % ) temperature (ok) sb nasb 5 : 1 nasb 10 : 1 nasb 20 : 1 table 5. adsorption of pure and naoh-activated bagasse in methylene blue with temperature variations (m = 0.1 g, v = 120 rpm, v = 0.01 l). number temperature (k) adsorption percentage (%) sb nasb5:1 nasb10:1 nasb20:1 1 303 87.05 88.82 90.75 89.56 2 313 85.09 85.01 87.05 82.36 3 323 79.31 74.88 82.55 77.08 4 333 68.92 67.54 78.85 70.47 figure 5. the graph of the effect of temperature on the percentage of adsorption on sugarcane and naoh-activated sugarcane. adsorption of pure and naoh-activated bagasse in methylene blue by varying the temperature can be seen in table 5. the optimum adsorption of all adsorbents is obtained at 30 ᵒc (303 k). the highest adsorption percentage is 90.75% (nasb20:1), and the lowest is 87.05% (sb). based on the data in table 5, it can be concluded that the increasing temperature in the adsorption process causes the adsorption percentage value to decrease. based on the data obtained, it shows that the temperature is inversely related to the absorption power. this condition indicates that the adsorption process is exothermic, possibly because the higher temperature causes methylene blue's solubility to increase. the attraction between the solution and the solvent is stronger than the solution adsorbent. as a result, the solute is more challenging to absorb. conclusion bagasse can be used as an adsorbent by carrying out chemical activation using naoh with variations 5:1 (nasb5:1), 10:1 (nasb10:1), and 20:1 (nasb20:1). the adsorbent surface area's characterization results obtained the highest value for the nasb10:1 type of adsorbent than other adsorbents, namely 2.803 m 2 /g. nasb10:1 adsorbent can perform adsorption maximally in the methylene blue solution with an adsorption percentage of about 99.50%. the optimum conditions for nasb10:1 adsorbent are contact time of 120 minutes, adsorbate concentration of 50 ppm, and temperature 30 o c or 303 k. bagasse adsorbents, pure and naoh-activated, are effectively in absorbing methylene blue dye. the adsorption percentage obtained is very high for all absorbents that have been activated with naoh, and the variation in parameters is about 70.0% 99.0%. references abou-gamra, z. m., and medien, a., 2013. kinetic thermodynamic and equilibrium studies of rhodamine b adsorption by low cost biosorbent sugar cane bagasse, section bresearch paper, eur.chem.bull., 2 (7), 417-422. ahmad, s., wong, y.c., and veloo, k.v., 2018. sugarcane bagasse powder as biosorbent for reactive red 120 removals from aqueous solution, iop conf. series: earth and environmental science., 140. arkanni, a.o, ogbiye, a.s, oyekanmi, e.o, onakunle, o.o., 2019. adsorption and desorption efficiency of a sugarcane bagasse in the removal of fe 2+ from a galvanizing industry, journal of materials science and engineering., 640. ade priyanto, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 202-209, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-ade 209 al-ghouti, m. a., da'ana, d. a., 2020. guidelines for the use and interpretation of adsorption isotherm models: a review, journal of hazardous materials., 393. badan pusat statistik., 2015. indonesian sugar cane statistics 2015, bps statistics indonesia. esfandiar, n., nasernejad, b., and ebadi, t., 2014. removal of mn(ii) from groundwater by sugarcane bagasse and activated carbon (a comparative study): application of response surface methodology (rsm), j. ind. eng. chem., 20 (5), 3726–3736. gusmao, k. a. g., gurgel, l. v. a., melo, t. m. s., and gil, l. f., 2012. application of succinylated sugarcane bagasse as adsorbent to remove methylene blue and gentian violet from aqueous solutions kinetic and equilibrium studies, j. dyes and pigments., 92, 967-974. latupeirissa, j., matheis, f.j.d.p., tanasale., musa, s.h., 2018. kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri (aleurites moluccana (l) willd), indo. j. chem.res., 6 (1), 12-21. moubarik, a., and grimi, n., 2015. valorization of olive stone and sugarcane bagasse by products as biosorbents for the removal of cadmium from aqueous solution, food res. int., 73, 169175. ngapa, y.d dan ika, y.e., 2020. adsorpsi pewarna biru metilena dan jingga metil menggunakan adsorben zeolit alam ende-nusa tenggara timur, indo. j. chem.res., 8 (2), 151-158. nguyen, m.k., hoang, m.t., pham, t.t. and bruggen, b.v., 2019. performance comparison of chemically modified sugarcane bagasse for removing cd (ii) in water environment., journal of renew. materials, 7 (5), 415-428. pehlivan, e., tran, h. t., ouédraogo, w. k. i., schmidt, c., zachmann, d., and bahadir, m., 2013. sugarcane bagasse treated with hydrous ferric oxide as a potential adsorbent for the removal of as (v) from aqueous solutions., food chem., 138, 133-138. renu., agarwal, m., and singh, k., 2017. heavy metal removal from wastewater using various adsorbents., journal of water reuse and desalination., 7 (4), 387-419. sunarsih, s., andaka, g., wahyuningtyas, d., 2020. characterization of morphological changes on modified sugarcane bagasse with potassium hydroxide., journal of physics: conference series., 1511. talhuttu, b., kayadoe, v., dan mariwy, a., 2019. studi kinetika adsorpsi ion fe (iii) menggunakan limbah ampas sagu, molucca j. chemistry edu., 9 (1), 9-17. tchoumou, m., mananga c.g. and bitalika malongo c.p., 2015. removal of copper(ii) and nickel (ii) from aqueous solution by adsorption on sugarcane bagasse., international res. j. of environment sci., 4 (5), 62-67. yam, k.y., chong, w.c., and chung, y.t., 2020. modified sugarcane bagasse as effective biosorbent for copper ions removal., iop conf. series: earth and environ. sci., 463. zaini, h., abubakar., and saifuddin, s., 2018. adsorption kinetics of manganese (ii) in wastewater of chemical laboratory with column method using sugarcane bagasse as adsorbent., journal of physics: conf. series., 953. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr 151 adsorpsi pewarna biru metilena dan jingga metil menggunakan adsorben zeolit alam ende – nusa tenggara timur (ntt) adsorption methylene blue and methyl orange using natural zeolite from ende – east nusa tenggara (ntt) as an adsorbent yulius dala ngapa * , yasinta embu ika pendidikan fisika, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, universitas flores, jln. sam ratulangi no x ende-nusa tenggara timur * corresponding author: ydalangapa@gmail.com received: 2020-9-1 received in revised: 2020-9-5 accepted: 2020-9-29 available online: 2020-9-30 abstract waste from the textile industry is considered as a potential source of environmental pollution, especially water because it contains dangerous dyes. in this research, natural zeolite is used as an effective and efficient alternative adsorbent to overcome pollution caused by methylene blue and methyl orange dyes. activation of natural zeolite was carried out with 3 m hcl solution and was characterized using x-ray diffraction (xrd) and scanning electron microscope (sem). while the methylene blue and methyl orange adsorption processes were studied in variations in the weight of the adsorbent, contact time, and ph. the concentration of dyes left in the solution was observed with spectrophotometer uv-vis. the results showed that the adsorption capacity of natural zeolite in absorbing methylene blue was 21.189 mg/g and and methyl orange was 18.208 mg/g. the optimum conditions of methylene blue and methyl orange adsorption are achieved with successive adsorbent weights 0.3 g and 0,4 g, successive contact times are 60 minutes and 90 minutes, and successive ph are 6 and 2 respectively. the adsorbent weight factor, contact time, and ph have an effect on the adsorption of methylene blue and methyl orange by natural zeolite from ende. keywords: natural zeolite, activation, adsorption, methylene blue, methyl orange. abstrak (indonesian) limbah yang berasal dari industri tekstil dianggap sebagai sumber potensial pencemaran lingkungan khususnya air karena mengandung pewarna yang berbahaya. dalam penelitian ini zeolit alam digunakan sebagai alternatif adsorben yang efektif dan efisien untuk mengatasi pencemaran akibat pewarna biru metilena dan jingga metil. aktivasi zeolit alam dilakukan dengan larutan hcl 3 m dan dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-x (xrd) dan scanning electron microscope (sem). sementara proses adsorpsi biru metilena dan jingga metil dipelajari pada variasi bobot adsorben, waktu kontak, dan ph. konsentrasi zat pewarna yang tertinggal dalam larutan diamati dengan instrumen spektrofotometer uv-vis. hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi zeolit alam dalam menjerap biru metilena sebesar 21,189 mg/g dan dan jingga metil sebesar 18,208 mg/g. kondisi optimum adsorpsi biru metilena dan jingga metil dicapai dengan bobot adsorben berturut-turut 0,3 g dan 0,4 g, waktu kontak berturut-turut 60 menit dan 90 menit, serta ph berturutturut 6 dan 2. faktor bobot adsorben, waktu kontak, dan ph memberikan pengaruh terhadap penjerapan biru metilena maupun jingga metil oleh zeolit alam ende. kata kunci: zeolit alam, aktivasi, adsorpsi, biru metilena, jingga metil. pendahuluan salah satu industri unggulan yang dikembangkan di indonesia adalah industri tekstil dan garmen. adanya industri tersebut telah mampu menekan angka pengangguran di indonesia karena merupakan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. selain itu, industri tekstil juga berperan sebagai penyumbang devisa yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 152 negara (riyadi dkk., 2013). akan tetapi, perkembangan industri tekstil dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan jika tidak diimbangi dengan pengolahan limbah pewarna selama proses produksi. limbah pewarna cair dari industri tekstil akan memberikan kontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan (kahoul dkk., 2018). penggunaan zat warna sintetis pada industri ini merupakan strategi alternatif disebabkan sifatnya yang lebih stabil dibandingkan pewarna alami, mudah memperolehnya, dan harga yang relatif tidak mahal (beldean-galea dkk., 2018). pewarna organik seperti biru metilena dan jingga metil adalah pewarna yang paling banyak digunakan. kemampuan penyerapan kain terhadap pewarna sekitar 80-85%, dan sisanya akan hilang dalam proses pencucian (rosyida dan zulfiya, 2013). limbah pewarna sintetis yang dilepaskan ke dalam air akan menjadi bahaya besar bagi kesehatan manusia dan lingkungan karena sifat toksisitas dan bahkan karsinogenisitasnya, serta sulit didegradasi oleh mikroorganisme (lv dkk., 2019). selama beberapa tahun terakhir ada beberapa metode yang telah dikembangkan untuk mengendalikan dan menghilangkan limbah pewarna yang terdapat di perairan seperti ultrafiltrasi (liu dkk., 2018), koagulasi (zhang dkk., 2014), elektrokimia (kaushik dan malik, 2011), dan adsorpsi (hossainn dkk., 2016). di antara metode yang dikembangkan tersebut, adsorpsi dipilih sebagai metode yang paling potensial dilakukan karena pengoperasiannya yang mudah, efisiensi tinggi, dan biaya yang rendah, serta tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya (fu dkk., 2016). adsorpsi adalah proses penyerapan suatu molekul (adsorbat) pada permukaan zat lain (adsorben) disebabkan adanya gaya tarik menarik antara kedua zat tersebut. inovasi adsorben yang dikembangkan adalah sumber daya alam mineral yang memiliki kemampuan penyerapan tinggi, mudah diperoleh dengan biaya murah, dan ketersediaannya berlimpah. kriteria tersebut ada pada zeolit alam (lu dkk., 2016). zeolit merupakan mineral alumino silikat berbentuk tetrahedral to4 (t = al, si) yang terhidrasi dalam logam-logam alkali dan alkali tanah (gougazeh and buhl, 2014). zeolit alam yang tersebar di kabupaten ende – ntt sekitar 20 juta ton. cadangan yang cukup besar tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk keperluan di bidang lingkungan (arryanto dkk., 2012). pemanfaatan zeolit alam ende sebagai adsorben limbah dalam cairan telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa kualitas zeolit alam ende sebagai adsorben tidaklah berbeda dengan zeolit yang umumnya digunakan dalam penelitian yang berasal dari daerah bayah dan cikalong (ngapa dkk., 2016). penelitian adsorpsi pewarna anion (jingga metil) menggunakan zeolit naa/cuo menunjukkan efisiensi adsorpsi zeolit terhadap limbah mencapai 98% (mekatael dkk., 2015). untuk lebih mengoptimalkan pemanfataan zeolit alam ende, maka diperlukan kajian mendalam mengenai potensi dan karakterisasinya sebagai adsorben. zeolit alam memiliki rasio si/al yang besar namun masih mengandung pengotor dalam bentuk oksida logam sehingga luas permukaannya menjadi rendah. mengatasi hal tersebut diperlukan suatu perlakuan aktivasi dengan tujuan dapat meningkatkan kemampuan adsorpsinya. berdasarkan latar belakang maka dilakukan penelitian sehingga didapatkan data karakterisasi zeolit alam ende. selain itu, kemampuan adsorpsi zeolit alam ende juga perlu diketahui tidak hanya pada pewarna kation (biru metilena) tetapi juga kemampuan adsorpsinya terhadap pewarna anion (jingga metil). penelitian ini juga merupakan salah satu upaya dalam mengatasi pencemaran yang disebabkan oleh limbah pewarna tekstil. metodologi alat dan bahan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuse kokusan h-107, shaker titramax 101, ssa (spektrofotometer serapan atom) shimadzu aa-7000, spektrofotometer uv-vis shimadzu 1700, scanning electron microscope (sem) carl-zeiss bruker evo ma10, x-ray diffraction (xrd) d4 bruker, neraca analitik, tanur, oven, dan peralatan gelas. bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah adsorben zeolit alam ende, hcl p.a merck 38%, aquades, indikator ph universal, biru metilena merck 115943, dan jingga metil c. i. 13025. prosedur kerja preparasi sampel zeolit alam sampel zeolit alam diubah ukurannya menjadi serbuk halus dengan ukuran butir lolos ayakan 200 mesh, dicuci dengan akuades, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 o c selama 4 jam, dan disimpan dalam desikator untuk pemakaian selanjutnya. yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 153 aktivasi zeolit alam sampel zeolit alam diaktivasi secara kimia. aktivasi kimia dilakukan dengan mencampurkan 50 gram zeolit dalam larutan hcl pada konsentrasi 3 m. campuran diaduk dengan pengaduk magnet selama 3 jam, kemudian dibilas dengan akuades sampai ph netral dan dikeringkan dalam tanur pada suhu 300 o c selama 3 jam. karakterisasi zeolit alam ende karakterisasi zeolit alam ende dianalisis menggunakan instrumen difraksi sinar-x (x-ray diffraction / xrd), sedangkan morfologi permukaan zeolit alam dianalisis menggunakan scanning electron microscope (sem). pembuatan larutan standar biru metilena dan jingga metil 1000 mg/l sebanyak 0,5 g serbuk biru metilena dan 0,5 g jingga metil dimasukkan masing-masing ke dalam labu ukur 500 ml yang berbeda dan diencerkan hingga tanda batas. penentuan panjang gelombang untuk penyerapan biru metilena dan jingga metil penentuan panjang gelombang dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan standar pada rentang panjang gelombang 600 – 700 nm untuk biru metilena dan 300 – 600 nm untuk jingga metil. pembuatan kurva standari biru metilena dan jingga metil larutan deret standar biru metilena dan jingga metil dengan konsentrasi 1; 2; 3; 4; 5; dan 6 mg/l dibuat dari larutan induk melalui proses pengenceran, dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. penentuan bobot optimum adsorben zeolit dengan variasi bobot 0,1;0,2;0,3;0,4;0,5;0,6 g ditambahkan dalam 20 ml biru metilena dan jingga metil dengan konsentrasi 400 mg/l, larutan dikocok selama 1 jam. larutan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. penentuan waktu kontak optimum bobot optimum yang diperoleh ditambahkan dalam 20 ml biru metilena dan jingga metil dengan konsentrasi 400 mg/l, kemudian dikocok dengan variasi waktu 30, 60, 90, 120, 150 menit. larutan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. penentuan ph optimum bobot optimum yang diperoleh ditambahkan dalam 20 ml biru metilena dan jingga metil dengan konsentrasi 400 mg/l, kemudian dikocok pada waktu optimum. larutan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. penentuan isoterm adsorpsi bobot optimum yang diperoleh ditambahkan dalam 20 ml biru metilena dan jingga metil dengan konsentrasi variasi konsentrasi 100, 200, 400, 600, 800, 1000 mg/l, kemudian dikocok pada waktu dan ph optimum yang diperoleh. larutan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. larutan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh. kapasitas adsorpsi dapat ditentukan menggunakan persamaan 1. ( ) (1) keterangan : q v co ce m = = = = = kapasitas adsorpsi (mg/g) volume larutan (l) konsentrasi awal pewarna (mg/l) konsentrasi akhir pewarna (mg/l) massa zeolit (gram) hasil dan pembahasan preparasi sampel zeolit alam preparasi awal dilakukan dengan menghaluskan zeolit hingga dihasilkan serbuk halus berukuran 150 mesh. proses ini bertujuan untuk menghomogenkan ukuran dan memperbesar permukaan kontak sehingga kemampuan adsorpsi zeolit dapat lebih optimal. pencucian dan pemanasan yang dilakukan di tahap preparasi untuk menghilangkan pengotor dan menguapkan air yang terdapat sehingga dapat memperbesar ukuran pori (kim dan ahn, 2011). aktivasi zeolit alam zeolit alam masih mengandung uap air dan oksida logam sehingga menyebabkan kemampuan adsorpsi dan penukar ionnya rendah. untuk yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 154 meningkatkan kualitas zeolit alam diperlukan proses aktivasi. proses ini bertujuan untuk menghilangkan oksida logam yang terjerap dan menutupi permukaan zeolit sehingga bidang kontak menjadi lebih besar. penambahan luas bidang kontak dapat meningkatkan kemampuan zeolit sebagai adsorben (wang dkk., 2009). karakterisasi zeolit alam ende xrd merupakan suatu metode analisis kualitatif dan kuantitatif yang berfungsi untuk menganalisis struktur serbuk zeolit. semua material yang mengandung kristal tertentu apabila dianalisis dengan xrd akan menghasilkan puncak-puncak yang khas. difraktogram hasil analisis zeolit alam sebelum dan sesudah diaktivasi ditampilkan pada gambar 1. gambar 1. difraktogram zeolit alam sebelum diaktivasi (a) dan setelah diaktivasi (b) aktivasi dengan hcl pada konsentrasi 3 m tidak mengubah puncak-puncak difraktogram secara signifikan. hasil analisis xrd menunjukkan bahwa jenis zeolit alam ende adalah campuran klinoptilolit dan mordenit. hal ini dibuktikan oleh puncak-puncak karakteristik pada data jcpds (joint committee on powder diffraction standard) dengan intensitas tinggi yang muncul pada sudut , , dan untuk mordenit, serta intensitas klinoptilolit muncul pada sudut , dan . puncak-puncak dengan intensitas tertinggi dimiliki oleh mordenit hal ini mengindikasikan bahwa mordenit merupakan jenis zeolit alam dengan kelimpahan besar yang tersebar di ende. morfologi partikel kristal diamati dengan sem (scanning electron microscope) pada perbesaran 3000 kali. gambar 2 menunjukkan morfologi permukaan zeolit alam ende. indikator zeolit alam berdasarkan pengamatan sem ditunjukkan dengan material berupa susunan lembaran pipih berbentuk seperti batangan dengan susunan menumpuk dan acak (mansouri dan rikhtegar, 2013). penentuan panjang gelombang maksimum untuk penyerapan biru metilena dan jingga metil konsentrasi biru metilena dan jingga metil secara kualitatif dapat dibandingkan dari intensitas warnanya yang akan memudar ketika proses adsorpsi berakhir, dan secara kuantitatif penentuan diukur dengan spektrofotometer uv-vis pada kisaran panjang gelombang 600 – 700 nm untuk biru metilena, dan 300 – 600 nm untuk jingga metil. panjang gelombang maksimum biru metilena dan jingga metil berturut-turut diperoleh pada pada 664 nm dan 463 nm. penentuan bobot optimum bobot adsorben yang digunakan berkisar dari 0,1 hingga 0,6 g. bobot adsorben optimum untuk penjerapan biru metilena adalah sebesar 0,3 g. bobot adsorben optimum untuk penjerapan jingga metil sebesar 0,4 g. pengaruh bobot adsorben pada kapasitas adsorpsi zeolit terhadap biru metilena dan jingga metil dapat dilihat pada tabel 1. tabel 1 kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil pada berbagai bobot adsorben bobot adsorben (g) kapasitas adsorpsi (mg/g) biru metilena jingga metil 0,1 4,817 3,935 0,2 6,913 4,093 0,3 12,454 7,178 0,4 11,761 10,514 0,5 9,483 9,205 0,6 8,013 8,184 berdasarkan tabel 1, titik optimum terjadi karena semakin banyak adsorben yang digunakan yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 155 maka semakin luas permukaan (tapak aktif zeolit) tersebut sehingga semakin besar kemungkinan terjadi adsorpsi. namun setelah bobot optimum terjadi penurunan kadar zat pewarna yang terjerap. penurunan tersebut disebabkan tidak semua sisi aktif terisi oleh adsorbat. sisi aktif dalam jumlah yang besar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai keadaan setimbang (moradi, 2017). kapasitas adsorpsi tertinggi diperoleh saat semua sisi aktif dari adsorben telah terisi oleh adsorbat. pada proses adsorpsi biru metilena dan jingga metil, kapasitas adsorpsi tertinggi diperoleh dengan bobot adsorben yang kecil. penambahan bobot adsorben dapat meningkatkan sisi aktif, sehingga memungkinkan adanya sisi aktif yang masih belum berinteraksi dengan adsorbat dan menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas adsorpsi. oleh karena itu, pada hasil penelitian ini sampel dengan bobot adsorben yang tinggi tidak menghasilkan kapasitas adsorpsi yang tinggi. demikian juga hasil penelitian yang dilakukan oleh riwayati, dkk (2019), pengaruh bobot adsorben terhadap kapasitas adsorpsi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penyerapan zat warna dengan meningkatnya bobot adsorben abu alang-alang teraktivasi asam sulfat. gambar 2. morfologi permukaan zeolit alam hal ini terjadi karena luas permukaan menjadi lebih besar dan ketersediaan sisi aktif adsorpsi yang lebih banyak. tetapi, pada penigkatan bobot adsorben setelah bobot optimum untuk kapasitas adsorpsinya semakin menurun. hal ini disebabkan karena pada bobot adsorben besar masih banyak zat aktif yang belum berikatan dengan adsorbat, sehingga efisiensi adsorpsi semakin kecil, sedangkan pada massa yang lebih kecil seluruh permukaan adsorben telah berikatan dengan adsorbat zat warna. penentuan waktu kontak optimum penentuan waktu kontak optimum bertujuan untuk mengetahui waktu yang diperlukan dalam mencapai kesetimbangan adsorpsi biru metilena dan jingga metil oleh adsorben zeolit alam. umumnya semakin lama waktu kontak antara adsoben dan adsorbat, maka akan meningkatkan jumlah adsobat yang terjerap. kontak adsorben zeolit dalam mengadsorpsi biru metilena dan jingga metil mengalami kenaikan berturut-turut pada 60 menit dan 90 menit (waktu kontak optimum), kemudian mengalami sedikit penurunan di menit berikutnya. setelah melewati waktu optimum, sisi aktif pada permukaan zeolit telah diisi penuh oleh sejumlah adsorbat sehingga penambahan waktu adsorpsi hanya akan memengaruhi sedikit peningkatan pada kapasitas adsorpsinya atau cenderung konstan. pengaruh waktu kontak terhadap kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil disajikan pada tabel 2. tabel 2. kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil pada berbagai waktu kontak waktu kontak (menit) kapasitas adsorpsi (mg/g) biru metilena jingga metil 30 11,825 9,467 60 12,978 9,713 90 11,891 10,815 120 11,675 10,014 150 11,228 9,624 pada penentuan waktu kontak optimum perlu diketahui bahwa semakin lama waktu adsorpsi maka efek kestabilan listrik akan terganggu sehingga kapasitas adsorpsi setelah waktu kontak optimum cenderung menurun (pauzan dkk., 2019). penentuan ph optimum salah satu parameter penting yang menentukan penyerapan biru metilena dan jingga metil oleh zeolit alam adalah derajat keasaman (ph). perubahan ph dapat memengaruhi sifat kimia dan permukaan dari adsorben, kelarutan adsorbat, serta kompetisi ion dalam proses penjerapan (wang dkk., 2015). adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena mengalami kenaikan pada ph 6 dan jingga metil terjadi pada ph = 2 (ph optimum). pada rentang ph 2 6 terjadi peningkatan jumlah adsorbat biru metilena yang teradsorpsi dan terjadi penurunan pada ph = 8 – 10, sedangkan pada ph = 2 yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 156 merupakan kapasitas adsorpsi terbesar utk adsorbat jingga metil dan selanjutnya terjadi penurunan pada rentang ph = 4 – 10. kondisi ph larutan mengakibatkan perubahan distribusi muatan pada adsorben dan zat warna sebagai akibat terjadinya reaksi protonasi dan deprotonasi gugus-gugus fungsional (nurhasni dkk, 2018). pada kondisi asam (ph < 7) ion cl terlepas sehingga keadaan larutan bermuatan positif dan interaksi elektrostatik antara adsorbat dan adsorben menjadi besar. sedangkan pada ph yang kebih besar pelepasan ion cl akan terhambat akibat tertekan oleh ion ohdalam larutan sehingga interaksi antara adsorben dengan pewarna menjadi kecil. selain itu, pada kondisi tersebut sisi aktif zeolit mengalami titik jenuh (hu dkk., 2012). kapasitas adsorpsi dan penyerapan biru metilena dan jingga metil pada variasi ph ditunjukkan pada tabel 3. tabel 3. kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil pada berbagai ph kontak ph kapasitas adsorpsi (mg/g) biru metilena jingga metil 2 11,407 11,427 4 12,823 10,325 6 13,298 10,011 8 13,014 9,763 10 12,115 8,728 ikatan antara adsorben zeolit dan adsorbat zat warna yang terjadi penelitian ini adalah ikatan van der waals. ikatan van der waals didefinisikan sebagai gaya tarik antar molekul akibat tarikan dipoldipol. molekul dipolar cenderung untuk bergabung dengan molekul tetangganya, hingga kutub negatif suatu molekul mendekati kutub positif molekul lainnya. zeolit alam mengandung muatan negatif dan muatan positif dalam jumlah tertentu. adsorbat yang memiliki muatan negatif akan berikatan dengan muatan positif dari zeolit alam, sedangkan adsorbat yang memiliki muatan positif akan berikatan dengan muatan negatif dari zeolit alam. penentuan isoterm adsorpsi penentuan isoterm adsorpsi dilakukan untuk menentukan hubungan antara konsentrasi adsorbat dan tingkat penyerapannya ke permukaan adsorben pada suhu kamar. hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi awal biru metilena dan jingga metil diikuti dengan kenaikan jumlah zat tersebut yang teradsorpsi (kapasitas adsorpsi). tabel 4 menunjukkan kapasitas adsorpsi zeolit alam pada variasi konsentrasi awal adsorbat. kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil yang teradsorpsi meningkat bertambahnya konsentasi awal adsorbat. hal ini disebabkan makin tinggi konsentrasi adsorbat maka makin banyak pula jumlah biru metilena dan jingga metil dalam larutan yang teradsorpsi kemampuan zeolit dalam menjerap suatu adsorbat dipengaruhi oleh sifat zeolit tersebut. zeolit dengan aktivasi kimia memberikan nilai mutu yang telah memenuhi standar. hal tersebut menunjukkan bahwa pengotor seperti uap air dan mineral lain yang dapat menggangu proses penjerapan cenderung sedikit sehingga zeolit mampu mengadsorpsi lebih banyak molekul biru metilena dan jingga metil. mutu zeolit alam yang baik tersebut dibuktikan dengan hasil pengujian terhadap penjerapan biru metilena dan jingga metil yang menghasilkan nilai kapasitas adsorbsi yang besar. kapasitas adsorpsi biru metilena dan jingga metil mencapai nilai tertinggi yakni berturut-turut 21,189 mg/g dan 18,208 mg/g. tabel 4 kapasitas adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil pada variasi konsentrasi awal konsentrasi adsorbat (mg/l) kapasitas adsorpsi (mg/g) biru metilena jingga metil 100 8,655 6,409 200 11,751 8,132 400 14,218 11,427 600 16,013 14,503 800 21,017 17,113 1000 21,189 18,208 penentuan isoterm adsorpsi biru metilena dan jingga metil oleh zeolit alam dianalisis dengan menggunakan dua model isoterm adsorpsi yaitu model langmuir dan freundlich. isoterm langmuir berdasarkan adsorpsi monolayer pada sisi aktif adsorben yang homogen, sedangkan isoterm freundlich menggambarkan adsorpsi pada permukaan heterogen. bentuk linier dari persamaan freundlich dinyatakan dalam persamaan 2. (2) dimana ce adalah konsentrasi kesetimbangan adsorbat (mg/l), qe adalah kapasitas adsorpsi pada kesetimbangan (mg/g), kf dan n adalah konstanta dan yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 157 intensitas adsorpsi. bentuk linier persamaan isoterm langmuir seperti pada persamaan 3. (3) dimana q adalah adsorpsi maksimum pada monolayer (mg/g) dan b adalah konstanta langmuir yang terkait dengan afinitas dari pengikatan (ml/mg). selain itu, b adalah ukuran energi adsorpsi (auta dan hamed, 2013). pada adsorpsi biru metilena dan jingga metil dengan zeolit alam menunjukkan nilai korelasi isoterm langmuir lebih besar dibandingkan isoterm freundlich. hal ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi yang terjadi merupakan adsorpsi monolayer (homogen). nilai parameter isoterm qm, kf, n, dan r 2 disajikan pada tabel 5. tabel 5 parameter isoterm adsorpsi zeolit alam terhadap biru metilena dan jingga metil parameter biru metilena jingga metil langmuir q (mg/g) 21,189 18,208 b (l/mg) 0,387 0,148 r 2 0,998 0,992 freundlich kf (mg/g) 9,252 7,951 n 0,142 0,738 r 2 0,805 0,615 proses adsorpsi zat pewarna yang didominasi oleh isoterm langmuir menggambarkan adsorpsi terjadi pada satu sisi aktif dimana sekali molekul menempati sebuah sisi aktif maka tidak akan teradi penyerapan lebih lanjut. apabila sisi aktif adsorben sudah jenuh dengan adsorbat maka kenaikan konsentrasi adsorbat tidak meningkatkan jumlah biru metilena yang teradsorpsi (rasouli dkk., 2012). kesimpulan zeolit alam ende dapat bertindak sebagai adsorben limbah pewarna dengan perlakuan aktivasi kimia menggunakan hcl 3 m. kapasitas adsorpsi zeolit alam dalam menjerap biru metilena mencapai 21,189 mg/g dan jingga metil mencapai 18,208 mg/g. keadaan optimum optimum penjerapan biru metilena dan jingga metil terjadi pada bobot adsorben berturut-turut 0,3 g dan 0,4 g, waktu kontak berturutturut sebesar 60 menit dan 90 menit , serta ph optimum terjadi pada ph 6 dan 2. faktor bobot adsorben, waktu kontak, dan ph memberikan pengaruh secara simultan baik untuk penjerapan biru metilena maupun jingga metil. ucapan terima kasih penulis mengucapkan terima kasih kepada yayasan perguruan tinggi flores yang telah mendanai penelitian ini melalui hibah yapertif tahun 2020 serta lppm universitas flores yang memberikan dukungan dan kesempatan sehingga penelitian ini dapat terlaksana. daftar pustaka arryanto, suwardi, husaini, affandi, t., amini, s., al-jabri, m., siagian, p., setyorini, rahman, a. dan pujiastuti, y., 2012. zeolit dan masa depan bangsa, imperium pr: yogyakarta. auta, m. and hameed, b., 2014. chitosan–clay composite as highly effective and low-cost adsorbent for batch and fixed-bed adsorption of methylene blue, chem. engineering j., 237(1), 352-361. beldean-galea, s.m., copaciu, f.m. and coman, m.v., 2018. chromatographic analysis of textile dyes, j. of aoac international, 101(5), 13531370. fu, j., xin, q., wu, x., chen, z., yan, y., liu, s., wang, m. and xu, q., 2016. selective adsorption and separation of organic dyes from aqueous solution on polydopamine microspheres, j. colloid interface science, 461, 292-304. gougazeh, m. and buhl, j.c., 2014. synthesis and characterization of zeolite a by hydrothermal transformation of natural jordanian kaolin, j. association of arab universities for basic and applied science, 15, 35-42. hossainn, k., quaik, s., ismail, n., and raffatullah, m., avasan, m., and shaik, r., 2016. bioremediation and detoxification of the textile wastewater with membrane bioreactor using the white-rot fungus and reuse of wastewater, iran j. biotechnolog, 14(3), 154-162. kahoul, i., bougdah, n., djazi, f., djilani, c., magri, p., and medjram, m.s.,2018. removal of methylene blue by adsorption onto activated carbons produced from agricultural wastes by microwave induced koh activation, chemistry and chemical tech., 13(3),365-371. kaushik, p.a., and malik, 2011, process optimization for efficient dye removal by aspergillus http://www.ijbiotech.com/article_15458.html http://www.ijbiotech.com/article_15458.html http://www.ijbiotech.com/article_15458.html yulius dala ngapa dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 151-158, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-ydn 158 lentulus fj172995, j. hazard materials, 185, 837-843. kim, k., and ahn, h., 2011. the effect of pore structure of zeolite on the adsorption of vocs and their desorption properties by microwave heating, microporous and mesoporous materials, 152, 78-83. kustomo and santoso, s.j., 2019. adsorption and kinetic studies of cationic (methylene blue) and anionic (methyl orange) dyes onto magnetite coated with humic acid, j.jejaring matematika dan sains 1(2), 64-69. liu, y., zhu, w., guan, k., peng, c., and wu, j., 2018, freeze-casting of alumina ultra-filtration membranes with good performance for anionic dye separation, ceramics international, 44, 11901-11904. lu, x., wang, f., li, x., shih, k., and zeng, e.y., 2016, adsorption and thermal stabilization of pb 2+ and cu 2+ by zeolite, industrial and engineering chemistry res., 55(32), 8767-8773. lv, s., liu, j.m., ma, h., wang, z., li, c., zhao, n., and wang, s., 2019. simultaneous adsorption of methyl orange and methylene blue from aqueous solution using amino functionalized zr-based mofs, microporous and mesoporous materials, 282, 179-187. mansouri, n. and rikhtegar, n., 2013. porosity, characterization and structural properties of natural zeolite clinoptilolite as a sorbent, environ. protection engineering. 39(1), 139147. mekatel, e.h., amokrane, s., aid, a., nibou, d., and trari, m., 2015. photocatalytic reduction of cr(vi) on nanosized fe2o3 supported on natural algerian clay: characteristics, kinetic and thermodynamic study, comptes rendus chimie, 18(3), 336-344. moradi, s.e. and nasrollahpour, a., 2017. competitive adsorption and photodegradation of methyl orange and rhodamine b by tio2 modified mesoporous carbon photo-catalyst on uv irradiation, materials tech., 32(12), 716723. ngapa, y.d., sugiarti, s., and abidin, z., 2016. hydrothermal transformation of natural zeolite from ende-ntt and its application as adsorbent of cationic dye, indonesian j. chemistry,16(2), 138-143. nurhasni, mar’af, r., and hendrawati, 2018. pemanfataan kulit kacang tanah (arachis hipogaea l.) sebagai adsorben zat warna metilen biru, j. kimia valensi, 4(2), 156-167. pauzan, m.a.b., puteh, m.h., yuzir, a., othman, m.h.d., wahab, r.a., and abideen, m.z., 2019. optimizing ammonia removal from landfill leachate using natural and synthetic zeolite through statically designed experiment, arabian j. for science and engineering, 45, 3657-3669. riwayati, i., fikriyyah, n., and suwardiyono, 2019. adsorpsi zat warna methylene blue menggunakan abu alang-alang (imperata cylindrica) teraktivasi asam sulfat, inov. teknik kimia, 4(2), 6-11. riyardi, a., hasmarini, m.i., triyono., setyowati, e., setiaji, b., wardhono, a., and wahab, n., 2013. deindustrialisasi pada industri tekstil dan produk tekstil di pulau jawa, j. economics and policy, 6(1), 106-119. rasouli, m., yaghobi, n., hafezi, m., and rasouli, m., 2012, effect of nanocrystalline zeolite na-y on meta-xylene separation, j.industrial and engeneering chemistry, 18, 1970-1976. rosyida, a and zulfiya, a, 2013, pewarnaan bahan tekstil dengan menggunakan ekstrak kayu nangka dan teknik pewarnaannya untuk mendapatkan hasil yang optimal, j. rakayasa proses, 7(2), 52-58. wang, y., li, h., gu, l., gan, q., li, y., and calzaferri, g., 2009. thermally stable luminescent lanthanide complexes in zeolite l, microporous and mesoporous materials, 121, 16. wang, x., shao, d., hou, g., and wang, x., 2015. uptake of pb(ii) and u(vi) ions from aqueous solutions by the zsm-5 zeolite, j. molecular liaquids, 207, 338-342. zhang, j., chen, s., zhang, y., quan, x., zhao, h., and zhang, y., 2014, reduction of acute toxicity and genotoxicity of dye effluent using fentoncoagulation process, j.hazard materials, 274, 198-204. https://www.mendeley.com/catalogue/fbcf43c8-2980-38a5-a9b4-171d25ac3a0e/ https://www.mendeley.com/catalogue/fbcf43c8-2980-38a5-a9b4-171d25ac3a0e/ https://www.mendeley.com/catalogue/fbcf43c8-2980-38a5-a9b4-171d25ac3a0e/ microsoft word 6. lalu.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 35-39, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-lal 35 chemical analysis of rice from converted-to-organic paddy field in lombok island lalu rudyat telly savalas1,* , i nyoman loka1, jannatin ‘ardhuha2 1department of chemistry education, faculty of teacher training and education, university of mataram, jl. majapahit no. 62 mataram 83125, indonesia 2department of physics education, faculty of teacher training and education, university of mataram, jl. majapahit no. 62 mataram 83125, indonesia *corresponding author: telly@unram.ac.id received: march 2021 received in revised: april 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract chemical analysis has been undertaken to investigate the nutrients compositions and the presence of residual pesticides from rice cultivated from converted-to-organic paddy fields in lombok island. the nutrients being investigated were macronutrients (carbohydrates, fat, and proteins), micronutrients (beta-carotene), metal ions, and minerals, whereas pesticides being investigated were organo-chlorides residues such as endrin, delta-bhc, dieldrin, etc. the chemical analysis results were compared to those from rice cultivated from conventional farming, which uses chemical pesticides. it was revealed that there is no difference in the nutrients compositions of rice produced from converted-to-organic paddy fields to those from conventional farming. moreover, it was shown that both rice samples from converted-to-organic and conventional farming paddy fields have no detectable residual pesticides. this finding suggests that the absence of residual pesticides from rice samples does not necessarily correspond to the application of organic farming in the converted-to-organic land. there is not robust evidence that the application of organic alters the nutrient composition of rice. this result also underlines the need to further investigate the real benefits of organic rice farming products in terms of nutritional composition and safety. keywords: residual pesticide, converted-to-organic paddy field, chemical analysis, organic rice introduction the growing need for a healthy lifestyle is now frequently manifested in the consumption of organic products. in addition to their safety claims, organic products are perceived to have nutritional superiority (barański, rempelos, iversen, & leifert, 2017; prada, garrido, & rodrigues, 2017; sharma & singhvi, 2018). the increasing demand for organic products has broadened organic agriculture. the trend is considered good practice in terms of consumer health and the ecological perspective, i.e., the decrease in the use of chemical fertilizers and pesticides may significantly cut the chemical load to the environment. the reluctance among farmers to adopt organic farming lies in the lower harvest they obtain and the shorter shelf life of their products. moreover, the stringent requirements for organic labeling and the high cost of chemical analysis have prevented the farmers from adopting organic farming. on the other hand, established farmers and traders have enjoyed market share once they passed the organic label requirement. they are additionally grey areas where producers claim their product as ‘organic’ by showing a laboratorium report indicating the absence of residual pesticides. unlike other crops that are planted in newly opened land, such as coffee and sugar palm (aren), rice plantation has long used chemical fertilizer and pesticide (yargholi & azarneshan, 2014). the practice has prevented rice farmers from creating organic products as it is not easy to open new land for paddy fields. nevertheless, there is a current initiative by a small group of rice farmers in lombok island to adopt an organic cultivation style. they cultivate rice from the so-called converted-to-organic paddy field. the paddy field has at least undergone ten harvest cycles, i.e., neither chemical fertilizer nor pesticides were used, a practice defined here as conventional rice cultivation. so far, there is no data on the chemical composition and nutrient content of the rice produced in the converted-to-organic paddy field. hence, this study has been undertaken to compare the chemical composition and possible residual pesticides from rice cultivated from a converted-to-organic paddy field in lalu rudyat telly savalas, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 35-39, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-lal 36 lombok island with those from conventional rice cultivation. analysis has been performed to investigate the major nutrients (total fat, carbohydrates, and proteins), micronutrients (beta-carotene), and metal ions (fe2+, ca2+, etc.), as well as the residual pesticides. the research results are expected to promote ecofriendly cultivation and yet economically for the farmers. methodology rice samples were obtained from converted-toorganic paddy fields that have been undergone at least ten cultivation-harvesting cycles without chemical fertilizer or pesticides in kuripan regency, west lombok. the paddy field acquired a regular irrigation system. one sample was rice from conventional cultivation in lombok island, and organic labeled rice from the supermarket was used as a reference. water, ash, and major nutrients were analyzed by standard analysis (amagliani, o’regan, kelly, & o’mahony, 2017; bijang, latupeirissa, & ratuhanrasa, 2018). metal ions were determined by atomic absorption spectrophotometry (aas) (de oliveira, antunes, vieira, medina, & ribeiro, 2016; hamzah & yusuf, 2019; wasim, naz, khan, & m., 2019), whereas residual pesticides were determined simultaneously by gas chromatography-mass spectrometry (gc-ms) (amagliani et al., 2017). a certified reference material epa 8080 (sigma), which contained 17 different pesticides was used as the standard for residual pesticide analysis. results and discussion the rice sample used in this study was obtained from farmers who grew their paddy without chemical fertilizers or pesticides for at least ten cycles. such cultivation practice is hereby referred to as convertedto-organic paddy fields. instead of using chemical fertilizers, they use a consortium of microbes as biofertilizer and natural pesticides such as neem trees (azadirachta indica) (kumar et al., 2012; mondal & chakraborty, 2016). to minimize cross-contamination from neighboring cultivation areas that share irrigation, irrigating water was initially contained in an adsorption pond loaded with active carbon or charcoal (figure 1). this containment practice is justified by several reports (gupta, gupta, rastogi, agarwal, & nayak, 2011; jusoh, lam, hartini, & ali, 2014). the composition of the rice produced in this way is compared to those from conventional cultivation and organic-certified product. the macronutrient composition of rice from the converted-to-organic paddy field was similar to those produced in conventional cultivation and organic labeled rice (table 1). however, the total fat content of rice produced in converted-to-organic paddy field was dramatically reduced from 0.72% obtained by conventional farming to 0.37% on average from cto fields, which is close to 0.25% found in organic certified rice (table 1). metal ions and minerals content of the three sources of rice sample shows no difference. the conserved composition of rice grown in various treatments is by far noticeable, and other extreme treatments such as salt exposure may lead to the alteration of composition and quality of rice (razzaq et al., 2020). a plausible explanation would be to consider the rice bran (the more rigid outer shell of rice) in the analysis since the shell might prevent pesticides’ intrusion. figure 1. adsorption pond loaded with active carbon to adsorb potential cross-contaminating pesticides from neighboring paddy-fields watering from the same irrigation stream (shown by yellowish water spinach, left). rice product from converted-to-organic paddy field and fertilized with bio-fertilizer (right). lalu rudyat telly savalas, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 35-39, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-lal 37 table 2. chemical composition of rice product in converted-to-organic paddy field. metal ions were determined by aas no parameter sample unit cto.1 cto.2 conv ref 1 water content % 13.05 10.73 13.31 12.82 2 ash % 0.47 0.53 0.32 0.25 3 protein mg/100g 6.98 7.84 7.99 7.99 4 carbohydrate % 79.14 80.51 77.65 78.71 5 fat % 0.35 0.39 0.72 0.25 6 beta-caroten mg/100g 0.01 0.01 0.03 0.02 7 calcium ppm 3.44 3.37 4.31 2.49 8 kalium ppm 612.6 606.97 467.13 430.58 9 magnesium ppm 223.6 262.45 206.2 122.36 10 natrium ppm 53.59 37.23 27.12 58.37 11 iron ppm 7.16 6.42 8.79 8.15 cto: converted-to-organic, conv: conventional agriculture, ref: organic labeled product obtained from market table 1. chemical analysis of residual pesticide from rice produced in converted-to-organic paddy field as determined by gc-ms. the detection limit of the analytes were in the range of 0.2 to 2 ppm. no analyte sample cto.1 cto.2 conv ref 1 alpha-bhc nd * nd nd nd 2 gamma-bhc (lindane) nd nd nd nd 3 heptachlor nd nd nd nd 4 aldrin nd nd nd nd 5 beta-bhc nd nd nd nd 6 heptachlorepoxide isomer b nd nd nd nd 7 delta-bhc nd nd nd nd 8 4,4’-dde nd nd nd nd 9 dieldrin nd nd nd nd 10 endrin nd nd nd nd 11 4,4’-ddd nd nd nd nd 12 endosulfan ii (beta isomer) nd nd nd nd 13 4,4’-ddt nd nd nd nd 14 endrin aldehyde nd nd nd nd 15 endosulfan sulfate nd nd nd nd 16 metoxychlor nd nd nd nd *nd: not detected cto: converted-to-organic; conv: conventional agriculture; ref. organic labeled product obtained from supermarket lalu rudyat telly savalas, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 35-39, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-lal 38 this result may also lead to a reverse consequence, i.e. the growing claim of organic rice merely based on contents and residual analysis, without legal certification, is not based on stringent control since the rice produced in traditional farming also does not contain detectable residual pesticides. an alternative scenario to investigate the real benefits of organic rice over those produced in conventional farming is to assess the potential accumulation of residual pesticides, up to the detectable figure, within the animal model consumer. it is supported by a recent report that organochlorine pesticides were accumulated within loaches fish grown in paddy fields (zhang et al., 2016), or fish caught in the offshore zone in taiwan (chang, 2018). accordingly, this conclusion may not be generalized for other crops such as vegetables and fruits. the report shows that vegetables are more prone to contain residual pesticides, such as heptachlor, aldrin, and lindane (tuhumury, leatemia, rumthe, & hasinu, 2018). a more recent report also revealed the accumulation of organochlorine in melliferous plants, bee pollen, and honey (kasianchuk, berhilevych, negay, dimitrijevich, & marenkova, 2020). however, the contents still meet national standards (anonim, 2008). therefore, additional study is required to investigate potential residual pesticides in vegetables and fruits to evaluate the implementation of organic farming for vegetables and fruits. in the longer term, aplant may also accumulate metals, such is reported for nipah (nypa fruticans) plant (nafie, liong, & arifin, 2019). in the case of rice, the rice bran might also be investigated. conclusion the introduction of organic farming did not lead to drastic chemical composition alteration of rice, except for the lower fat and beta carotene contents. these two nutrients were also low in certified organic rice in comparison to rice produced in conventional agriculture. the absence of detectable residual pesticides in the rice cultivated from converted-toorganic fields may add the benefit of the product, at least for marketing strategy. however, since conventional farming also produces rice with comparable nutrition and safety in terms of the absence of residual pesticides, our result might challenge the benefits of organic rice claims. nevertheless, further research to investigate a possible accumulation of pesticides in animal models fed with rice from different cultivation (conventional, converted-to-organic, and organic) is deemed necessary to reveal the benefit of organic rice. acknowledgment the authors thank bapak ruru from the analytical laboratory, faculty of mathematics and natural sciences, university of mataram. this study is a side project of a research grant awarded to the authors by the ministry of research, technology and higher education, republic of indonesia. lrts is supported by the graduate program of science education, university of mataram. references amagliani, l., o’regan, j., kelly, a. l., & o’mahony, j. a. (2017). composition and protein profile analysis of rice protein ingredients. journal of food composition and analysis, 59, 18–26. https://doi.org/10.1016/j.jfca.2016.12.026 anonim. (2008). batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian sni 7313:2008. jakarta: badan standardisasi nasional. barański, m., rempelos, l., iversen, p. o., & leifert, c. (2017). effects of organic food consumption on human health; the jury is still out! food & nutrition research, 61(1), 1–5. http://dx.doi.org/ 10.1080/16546628.2017.1287333 bijang, c. m., latupeirissa, j., & ratuhanrasa, m. (2018). biosorption of copper metal ions (cu2+) on brown seaweed (padina australis) biosorbent. indonesian journal of chemical research, 6(1), 26–37. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.6-cat chang, g.-r. (2018). persistent organochlorine pesticides in aquatic environments and fishes in taiwan and their risk assessment. environmental science and pollution research, 25(8), 7699–7708. https://doi.org/10.1007/ s11356-017-1110-z de oliveira, r. m., antunes, a. c. n., vieira, m. a., medina, a. l., & ribeiro, a. s. (2016). evaluation of sample preparation methods for the determination of as, cd, pb, and se in rice samples by gf aas. microchemical journal, 124, 402–409. https://doi.org/10.1016/ j.microc.2015.09.018 gupta, v. k., gupta, b., rastogi, a., agarwal, s., & nayak, a. (2011). pesticides removal from waste water by activated carbon prepared from waste rubber tire. water research, 45(13), 4047–4055. https://doi.org/10.1016/j.watres. 2011.05.016 hamzah, h., & yusuf, n. r. (2019). analysis of ferrum content (fe) in kelor leaves (moringa oleifera lam) with the height growing areas in baubau. indonesian journal of chemical lalu rudyat telly savalas, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 35-39, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-lal 39 research, 6(2), 88–93. https://doi.org/10.30598 //ijcr.2019.6-has jusoh, a., lam, s. s., hartini, w. j. h., & ali, n. (2014). removal of pesticide in agricultural runoff using granular-activated carbon: a simulation study using a fixed-bed column approach. desalination and water treatment, 52(4–6), 861–866. https://doi.org/10.1080/ 19443994.2013.826329 kasianchuk, n., berhilevych, o., negay, i., dimitrijevich, l., & marenkova, t. (2020). specific features of accumulation of organochlorine pesticide residues in melliferous plants, bee pollen, and honey. food science and technology, 14(1), 117–124. https://doi.org/ 10.15673/fst.v14i1.1640 kumar, m., bauddh, k., sainger, m., sainger, p. a., singh, j. s., & singh, r. p. (2012). increase in growth, productivity and nutritional status of rice (oryza sativa l. cv. basmati) and enrichment in soil fertility applied with an organic matrix entrapped urea. journal of crop science and biotechnology, 15(2), 137–144. https://doi.org/10.1007/s12892-012-0024-z mondal, e., & chakraborty, k. (2016). azadirachta indica-a tree with multifaceted applications: an overview. journal of pharmaceutical sciences and research, 8, 299–306. nafie, n. l., liong, s., & arifin, r. (2019). phytoaccumulation of nickel and zinc in nipah plant (nypa fruticans) at tallo river, makassar. indonesian journal of chemical research, 7(1), 92–100. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.5-nur prada, m., garrido, m. v., & rodrigues, d. (2017). lost in processing? perceived healthfulness, taste and caloric content of whole and processed organic food. appetite, 114, 175–186. https://doi.org/10.1016/j.appet.2017.03.031 razzaq, a., ali, a., safdar, l. b., zafar, m. m., rui, y., shakeel, a., … yuan, y. (2020). salt stress induces physiochemical alterations in rice grain composition and quality. journal of food science, 85(1), 14–20. https://doi.org/ 10.1111/1750-3841.14983 sharma, n., & singhvi, d. r. (2018). consumers perception and behaviour towards organic food: a systematic review of literature. journal of pharmacognosy and phytochemistry, 7(2), 2152– 2155. tuhumury, g. n. c., leatemia, j. a., rumthe, r. y., & hasinu, j. v. (2018). residu pestisida produk sayuran segar di kota ambon. agrologia, 1(2). https://doi.org/10.30598/a.v1i2.284 wasim, a., naz, s., khan, m., & m., f. u. r. (2019). assessment of heavy metals in rice using atomic absorption spectrophotometry -a study of different rice varieties in pakistan. pakistan journal of analytical and environmental chemistry, 20(1), 67–74. yargholi, b., & azarneshan, s. (2014). long-term effects of pesticides and chemical fertilizers usage on some soil properties and accumulation of heavy metals in the soil (case study of moghan plain’s (iran) irrigation and drainage network). international journal of agriculture and crop sciences, 7(8), 518–523. zhang, h., lu, x., zhang, y., ma, x., wang, s., ni, y., & chen, j. (2016). bioaccumulation of organochlorine pesticides and polychlorinated biphenyls by loaches living in rice paddy fields of northeast china. environmental pollution, 216, 893–901. https://doi.org/10.1016/ j.envpol.2016.06.064 ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 367-372 367 biosynthesis of silver nanoparticles using ketapang leaf extract, modification with p-coumaric acid for detecting melamine biosintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak daun ketapang, modifikasi dengan asam p-kumarat untuk aplikasi deteksi melamin andi rusnaenah * , muhammad zakir, prastawa budi department of chemistry, faculty of science, university of hasanuddin jl. perintis kemerdekaan 90245, makassar-indonesia *corresponding author, email: andiena.chem@gmail.com received: nov.2016 published: jan. 2017 abstract biosynthesis of silver nanoparticles (agnps) using ketapang leaf extract, modification with p-coumaric acid for detecting melamine has conducted. this research aimed to synthesize agnps via bio-reduction method using ketapang leaf extract followed by modification with p-coumaric acid (apk), and evaluating its application detecting melamine. the agnps were characterized through ultraviolet-visible absorption spectroscopy (uvvis) and x-ray diffraction (xrd). observation suggested that an increase of incubation time had affected its surface plasmon resonance trend. further analysis of crystallite via xrd suggested that nanoparticle size at 43 nm estimated using debye-scherer, within the form of unit cells is cubic. the performance of product as melamine detector suggested that the agnps-apk had detected melamine in range of concentration from 0.1 to 1000 ppm. keywords: silver nanoparticles, ketapang, p-coumaric acid, melamine pendahuluan melamin banyak menarik perhatian sejak terjadinya kasus gagal ginjal dan kematian pada hewan kucing dan anjing di amerika serikat di awal tahun 2007. pada tahun 2008, kasus merebaknya susu formula tercemar melamin menyebabkan penyakit batu ginjal pada ribuan bayi di cina (wu dkk., 2011; song dkk., 2014). kasus yang terjadi di indonesia pada tahun yang sama, susu dan produk makanan berbasis susu buatan cina beredar luas, beberapa merek susu impor asal cina ini dinyatakan mengandung melamin antara 8.51 mg/kg (ppm) sampai 945.86 mg/kg (rachmawati dan widiyanti, 2013). melamin (1,3,5-triazina-2,4,6-triamin) adalah suatu basa organik dan trimer dari sianamida. melamin merupakan bahan kimia industri yang digunakan secara luas dalam pembuatan resin, karena sifatnya tahan api, dan memiliki beberapa kegunaan lainnya dalam industri, diantaranya digunakan bersama formaldehida untuk memproduksi resin, plastik, dan laminasi (liang dkk., 2011; chen dkk., 2015). melamin mengandung 66% nitrogen dari total massanya, sehingga beberapa kasus dilaporkan bahwa melamin secara ilegal ditambahkan ke dalam produk susu dan makanan. penambahan melamin ke dalam produk susu dan makanan meningkatkan kandungan nitrogen produk tersebut sehingga ketika produk diidentifikasi dengan uji protein standar seperti metode kjeldahl, seolah-olah produk mempunyai kandungan protein yang tinggi (liang dkk., 2011; kumar dkk., 2016). beberapa metode seperti kromatografi gas/spektrofotometer massa (gc/ms), kromatografi cair/spektrofotometer massa (lc/ms), dan elektroforesis kapiler telah dikembangkan dan digunakan untuk mendeteksi kandungan melamin. meskipun masing-masing metode ini memiliki sensitivitas tinggi, namun membutuhkan waktu yang lama, dan insrumentasi yang relatif mahal (kumar dkk., 2016). dengan demikian, diperlukan pengembangan metode analisis sederhana, cepat dan sensitif untuk memudahkan mendeteksi melamin. nanopartikel perak (agnps) merupakan salah satu nanopartikel logam yang dapat mailto:andiena.chem@gmail.com andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 367-372 368 digunakan untuk mendeteksi keberadaan melamin. beberapa penelitian menggunakan agnps yang dimodifikasi dengan senyawa organik untuk mendeteksi melamin, diantaranya p-nitroanilin dengan limit deteksi 7,9 x 10 -7 ml -1 (han dan li, 2010), dopamin-agnps dengan limit deteksi 7,9 x 10 -8 ml -1 (ma dkk., 2011), sitrat-agnps dengan limit deteksi 8,0 x 10 -11 ml 1 (wang dkk., 2012), sitrat-agnps dengan limit deteksi 2,3 x 10 -6 ml -1 (ping, dkk., 2012), αsiklodextrin-agnps dengan limit deteksi 3 x 10 3 mgl -1 ml -1 (ma dkk., 2013), asam kromotropikagnps dengan limit deteksi 3,6 x 10 -8 ml -1 (song dkk., 2014). ketapang merupakan salah satu tumbuhan yang berpotensi digunakan sebagai bioreduktor dalam mensisntesis agnps.tumbuhan ketapang merupakan sumber daya alam terbarukan. ketapang termasuk jenis tumbuhan tepi pantai yang tumbuh alami pada pantai berpasir atau berbatu, mampu bertahan pada daerah tropis (chu, dkk., 2007), dapat tumbuh di tanah yang kurang nutrisi, dan tersebar hampir diseluruh wilayah indonesia sehingga mudah untuk dibudidayakan (riskitavani dan purwani, 2013). lembang (2013) melaporkan bahwa senyawa fenolik dalam ekstrak daun ketapang dapat mereduksi ag + menjadi ag o . modifikasi permukaan nanopartikel perak, umumnya menggunakan polimer, surfaktan atau ligan yang sesuai. penggunaan senyawa organik sebagai ligan dalam modifikasi nanopartikel untuk deteksi melamin menunjukkan tingkat deteksi yang relatif lebih sensitif. penelitian huang, dkk., (2011), melaporkan perbandingan agnps termodifikasi dan tidak termodifikasi menghasilkan nilai deteksi melamin masingmasing sebesar 46.5 nm dan 41.7 nm. adanya ligan pada permukaan nanopartikel memungkinkan terjadi interaksi dengan melamin. interaksi seperti interaksi donorakseptor (han dan li, 2010), ikatan hidrogen (jean, dkk., 2010), dan secara elektrostatik (ma, dkk., 2011) antara nanopartikel termodifikasi dengan melamin (huang dkk., 2011; song dkk., 1014). modifikasi agnps hasil bioreduksi menggunakan ekstrak daun ketapang perlu dilakukan untuk meningkatkan selektivitas agnps terhadap deteksi melamin secara kolorimetri (huang, dkk., 2011). salah satu senyawa yang berpotensi digunakan untuk modifikasi adalah senyawa asam p-kumarat (c9h8o3). senyawa c9h8o3 memiliki gugus karbonil, hidroksil dan α-hidroksi fenol yang berpotensi berinteraksi dengan agnps dan melamin. penelitian song,dkk. (2014) melaporkan bahwa modifikasi asam kromatropik pada permukaan agnps melalui gugus hidroksil yang menandai keberhasilan modifikasi agnps. oleh karena itu, penelitian sintesis agnps menggunakan ekstrak daun ketapang serta modifikasi material agnp dengan asam pkumarat telah dilakukan dan digunakan dalam deteksi melamin secara kolorimetri. metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak daun ketapang (terminalia catappa), agno3 (merck, 99,8%), asam pkumarat (merck, 99%), metanol, melamin, dan akuabides. alat alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah alat gelas yang umum dalam laboratorium, oven (gen lab), neraca analitik (ohaus), spektrofotometer uv-vis (uv-2600), x-ray diffraction (shimadzu 7000), ph meter, botol semprot, dan sendok tanduk. prosedur kerja ekstrak sampel (0,25 g/ml) sebanyak 0,2 ml ditambahkan ke dalam 50 ml larutan agno3 1 mm pada suhu 30 o c. koloid agnps disentrifuse pada kecepatan 10.000 rpm selama 30 menit. endapan agnps dikarakterisasi menggunakan ftir, dan xrd. modifikasi apkagnps dibuat dengan menambahkan 0,2 ml ekstrak sampel ke dalam 50 ml larutan agno3 1 mm. setelah itu, ditambahankan 2 ml asam p-kumarat 1 mm. analisis uv-vis terhadap koloid agnps dilakukan pada suhu ruang menggunakan spektrofotometer uv-2600 (shimadzu) pada resolusi 0.5 nm. ekstrak sebelum dan larutan hasil setelah reaksi dikeringkan pada suhu 60 c, dan biomassa kering dianalisis menggunakan spektrofotometer ftir (irprestige-21). koloid agnps hasil sintesis disentrifuse pada kecepatan 10,000 rpm selama 30 menit. hasil sentrifuse berupa padatan dikumpulkan dan dikeringkan pada suhu 60 c untuk analisis xrd. analisis andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 367-372 369 xrd dilakukan menggunakan difraktometer xrd rigaku miniflex pada arus 40 ma dan beda potensial 45 kv dengan radiasi cukα untuk mengonfirmasi bentuk kristal nanopartikel perak. analisis melamin dilakukan dengan menambahkan koloid apk-agnp pada masingmasing larutan melamin konsentrasi 0.1, 1, 10, 100, dan 1000 ppm. selanjutnya, masing-masing campuran diukur serapannya dengan spektrofotometer uv-vis. hasil dan pembahasan sintesis nanopartikel perak pertumbuhan nanopartikel perak (agnps) diamati menggunakan spektrofotometer uv-vis berdasarkan pita serapan surface plasmon resonance (spr). pita spr merupakan kumpulan osilasi terhadap elektron konduksi (wiley, dkk., 2006). spektroskopi uv-vis dapat digunakan untuk mengamati pertumbuhan nanopartikel perak. pada gambar 1a, menunjukkan perubahan pola intesitas serapan spr selama waktu reaksi. puncak spr yang khas sekitar 430 nm sesuai untuk karakter spr agnp (zakir, dkk., 2014). nilai spr ini relatif seperti yang dilaporkan rajakannu, dkk. (2015) yang menunjukkan nilai serapan spr agnp pada 430 nm. adanya kumpulan osilasi elektron pada permukaan logam menyebabkan eksitasi getaran plasmon permukaan nanopartikel perak sehingga pita serapan spr akan muncul pada daerah sekitar 430 nm yang berhubungan dengan frekuensi getaran plasmon (willets, 2007). kumpulan oskilasi elektron dapat diamati dari perubahan warna larutan dari kuning menjadi coklat gelap (gambar 1b) mengindikasikan adanya sebaran partikel agnps dalam larutan. analisis fasa kristal menggunakan xrd untuk mengonfirmasi fasa kristal agnp dilakukan analisis pola x-ray diffraction (xrd). karakteristik puncak yang diamati pada pola xrd terhadap nanopartikel yang dihasilkan melalui reduksi agno3 1 mm menggunakan ekstrak daun ketapang 0.25 g/ml pada suhu 30 c mengonfirmasi adanya nanopartikel perak (gambar 2). puncak difraksi pada sudut 37.73, 44.03, dan 64.37 masing-masing sesuai dengan bidang (111), (200), dan (202) perak. pola difraksi dengan indeks miller (111) sesuai dengan sistem kristal kubik agnp (zakir, dkk. 2014). puncak yang relatif tajam pada pola xrd (111) mengindikasi fasa kristal agnp. perkiraan ukuran partikel perak dapat dihitung dari persamaan debye-scherer (ahmad, dkk., 2010) dengan menentukan lebar terhadap indeks refleksi bragg (111). berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan tersebut diperoleh estimasi ukuran partikel sebesar 43,33 nm. gambar 1 spektra uv-vis agnps (a) hasil reduksi [agno3] 1 mm dengan ekstrak daun ketapang 0,25 g/ml, (b) perubahan warna koloid agnps setelah waktu reaksi 54 jam. andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 367-372 370 0 200 400 600 800 1000 10 30 50 70 in te n si ta s (c p s) 2 theta (202) (200) (111) gambar 4 pola xrd agnps 0 1 2 3 4 300 400 500 600 700 800 a b so rb a n si panjang gelombang (nm) apk-agnps agnps gambar 3 pola spr agnps dan apk-agnps 0 0.5 1.0 1.5 2.0 300 400 500 600 700 800 a b so rb a n si a agnps + apk + melamin 0.1 ppm agnps + apk + melamin 1 ppm agnps + apk + melamin 10 ppm agnps + apk + melamin 100 ppm agnps + apk + melamin 1000 ppm agnps + apk panjang gelombang (nm) gambar 2 pola spr agnps dan apk-agnps andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 367-372 371 modifikasi agnps dengan asam p-kumarat modifikasi agnps dilakukan dengan menggunakan larutan asam p-kumarat (apk). pemilihan senyawa apk didasarkan pada gugus fungsi karbonil, hidroksil, dan hidroksi fenol yang berpotensi berinteraksi dengan agnps dan melamin. larutan apk 1 mm dengan volume 1 ml ditambahkan ke dalam larutan agnp hasil sintesis dengan waktu pengadukan selama 2 jam (song, dkk., 2014). pengukuran nilai spr dilakukan setelah waktu ke-54 jam untuk memonitor pertumbuhan agnps berdasarkan modifikasi dengan apk (gambar 3). perbandingan nilai serapan spr agnps dan apk-agnps menunjukkan adanya penurunan intesitas serapan dari 3,492; =431 nm menjadi 1,795; =428 nm. adanya senyawa apk yang berperan sebagai ligan menyebabkan terjadi penurunan intesitas serapan spr sebelum dan setelah modifikasi (ma, dkk, 2011). aplikasi apk-agnp dalam mendeteksi melamin interaksi cahaya dengan nanopartikel logam memberikan suatu hal yang menarik. salah satu aplikasi dari interaksi ini digunakan untuk aplikasi deteksi secara kimia dan biologi. prinsip deteksi ini didasarkan pada cahaya yang dilokasilasi, dimanipulasi dan dikuatkan dalam skala nanometer melalui eksitasi kumpulan osilasi elektron dalam nanopartikel logam yang dikenal dengan localized surface plasmon resonance (lspr). pengujian terhadap deteksi melamin oleh apk-agnps dilakukan melalui penambahan melamin ke dalam koloid nanopartikel dan mengamati puncak serapan terhadap perubahan warna sistem (wu, dkk., 2011). melamin dengan konsentrasi 0.1; 1; 10; 100; 1000 ppm, masingmasing ditambahkan ke dalam apk-agnps dan diukur dengan spektrofotometer uv-vis pada daerah 300–800 nm. pendeteksian melamin ditandai dengan menurunnya serapan spr terhadap apk-agnp setelah ditambahkan melamin berbagai konsentrasi (gambar 4) yang ditandai dengan perubahan warna dari kuning muda menjadi kuning kecoklatan. hal ini dapat disebabkan oleh agregasi yang terjadi pada nanopartikel seletah ditambahkan suatu analit seperti melamin (shang, dkk., 2013; song, dkk., 2014; ma, dkk., 2011). kesimpulan nanopartikel perak dapat disintesis menggunakan ekstrak kulit buah manggis dan dapat dimodifikasi dengan asam p-kumarat. waktu inkubasi berpengaruh terhadap hasil sintesis nanopartikel perak. ukuran nanopartikel perak yang dihasilkan berdasarkan estimasi perhitungan dengan persamaan debye-scherer adalah 43,33 nm dengan bentuk kubik. serapan spr nanopartikel perak berada pada daerah 430 nm. nanopartikel perak hasil modifikasi dengan asam p-kumarat memiliki sensitifitas terhadap melamin konsentrasi 0.1–1000 ppm. daftar pustaka ahmad, n., sharma, s., alam, md.k., singh, v.n., shamsi, s.f., mehta, b.r., dan fatma, a. 2010. rapid synthesis of silver nanoparticle using dried medicinal plant of basil. colloids surf. b. biointerfaces. 81: 81-86. chen, n., cheng, y., li, c., zhang, c., zhao, k. dan xian, y. 2015.determination of melamine in food contact materials using an electrode modified with gold nanoparticles and reduced graphene oxide. microchim. acta. 182: 1967-1975. han, c.p. dan li, h.b. 2010. visual detection of melamine in infant formula at 0.1 ppm level based on silver nanoparticles. analyst.135: 583-588. huang, h., li, l., zhou, g., liu, z., feng, y., zeng, g., tinnefeld, p., ma, q. dan he, z. 2011a.visual detection of melamine in milk samples based on label-free and labeled gold nanoparticles. talanta. 85: 1013-1019. jean, r.d., chiu, k.c., chen, t.h., chen, c.h. dan liu, d.m. 2010. functionalized silica nanoparticles by nanometallic ag decoration for optical sensing of organic molecule. j. phys. chem. c. 114: 1563315639. kumar, n., harish, k., bimlesh, m., dan raman, s., 2016, colorimetric determination of melamine in milk using unmodified silver nanoparticles, spectrochim. acta, part a: molecular and biomolecular spectroscopy, 156, 89-97. lembang, e. y., maming, zakir, m., 2013, sintesis nanopartikel perak dengan metode reduksi menggunakan bioreduktor ekstrak andi rusnaenah, dkk / ind. j. chem. res., 2017, 4(2), 367-372 372 daun ketapang (terminalia catappa), repository, universitas hasanuddin, makassar. liang, x., wei, h., cui, z., deng, j., zhang, z., you, x. dan zhang, x.e. 2011. colorimetric detection of melamine in complex matrices based on cysteamine-modified gold nanoparticles. analyst. 136: 179-183. ma, p., liang, f., sun, y., jin, y., chen, y., wang, x., zhang, h., gao, d., song, d. 2013. rapid determination of melamine in milk and milk powder by surface-enhanced raman spectroscopy and using cyclodextrindecorated silver nanoparticles. microchim. acta. 180:1173–1180 ma, y.r., niu, h.y., zhang, x.l. dan cai, y.q. 2011. one-step synthesis of silver/dopamine nanoparticles and visual detection of melamine in raw milk. analyst. 136: 41924196. ping, h., zhang, m.w., li, h.k., li, s.g., chen, q.s., sun, c.y. dan zhang, t.h. 2012. visual detection of melamine in raw milk by label-free silver nanoparticles. food control. 23: 191-197. rachmawati dan widiyanti, 2013, kadar melamin pada produk berbahan susu dan susu bubuk yang dianalisis secara liquid chromatography mass spectrometry (lcms). jitv. 18 (1):63-69 rajakannu, s., shankar, s., perumal, s., subramanian, s., dan dhakshinamoorthy, g.p. 2015. biosynthesis of silver nanoparticles using garcinia mangostana fruit extract and their antibacterial, antioxidant activity, int. j. curr .microbiol. app. sci. 4(1), 944-952. riskitavani, d.v. dan purwani, k.i. 2013.studi potensi bioherbisida ekstrak daun ketapang (terminalia catappa) terhadap gulma rumput teki (cyperus rotundus). j. sains & seni pomits. 2(2): 2337-3520. shang, y., gao, d., wu, f. dan wan, x. 2013. silver nanoparticle capped with 8hydroxyquinoline-5-sulfonate for the determination of trace aluminium in water samples and for intracellular fluorescence imaging. microchim. acta. 180: 1317-1324. song, j., wu, f., wan, y. dan ma, l.h. 2014. visual test for melamine using silver nanoparticles modified with chromotropic acid. microchim. acta. 181: 1267-1274. wang, w.n., tarafdar, j.c. dan biswar, p. 2013. nanoparticle synthesis and delivery by an aerosol route for watermelon plant foliar uptake.j. nanopart. res.15(1417): 1-13.. wiley, b.j., im, s.h., li, z.y., mclellan, j., siekkinen, a. dan xia, y. 2006. maneuvering the surface plasmon resonance of silver nanostructure through shape-controlled synthesis. j. phys. chem. b. 110: 1566615675. willets, k.a., hall, w.p., sherry, l.j., zhang, x., zhao, j. dan duyne, r.p.v. 2007. nanoscsale localized surface plasmon resonance biosensors. nanobiotech. ii. 159173. wu, z., zhao, h., xue, y., cao, q., yang, j., he, y., li, x., dan yuan, z., 2011, colorimetric detection of melamine during the formation of gold nanoparticles, biosens. bioelectron., 26: 2574-2578. zakir, m., maming, lembang, e.y. dan lembang, m.s. 2014.synthesis of silver and gold nanoparticles through reduction method using bioreductor of leaf extract of ketapang (terminalia catappa).int. con. adv. mater. & prac.nanotech. jakarta. indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 96-100 96 analisis serbuk biji kelor (moringa oleifera, lamk) dalam menurunkan kadar cod dan bod pada air limbah jasa laundry analysis of kelor seed powder (moringa oleifera, lamk) in reducing cod and bod levels on wastewater services laundry waode rustiah 1 *, yuli andriani 2 1 health analyst study program, health analyst academy muhammadiyah makassar, jalan dr. ratulangi no. 101 makassar indonesia 2 department of chemistry, faculty of science and technology, islamic state alauddin university makassar, jalan h.m. yasin limpo. n0.36, campus ii samata gowa indonesia *corresponding author, e-mail: tia_devina@yahoo.com received: dec. 2017 published: jan. 2018 abstract water pollution at this time is very apprehensive especially many laundry businesses are located around the home residents. waste laundry waste water is a derivative of organic substances. the content of organic substances in waste water laundry services has resulted in high levels of cod and bod of water, which can cause pollution to the environment and become toxic to life in the water. therefore it is necessary to do a solution to overcome the contamination, such as by using coagulant seed of moringa oleifera, lamk. the purpose of this study is to determine the effectiveness of moringa oleifera, lamk seed coagulant in lowering the levels of cod and bod on laundry waste laundry services. based on the results of the study, it can be concluded that the excellent cod decrease obtained at the weight of 0.7 grams of 250 mg/l with an efficiency of 35%, while the bod measurement, the best weight in lowering bod levels is 3.6 grams amounted to 11.616 mg/l with a decrease presentation worth 57.66%. keywords: water pollution, laundry, cod, bod, moringa oleifera lamk. pendahuluan masalah pencemaran air sudah sangat memprihatinkan bagi masyarakat yang diakibatkan dari limbah-limbah buangan baik rumah tangga maupun industri. banyaknya usaha jasa cuci pakaian atau laundry yang berada di sekitar rumah warga, misalnya di kompleks perumahan bumi tamalanrea permai (btp), dimana 1 blok memiliki 3 usaha jasa laundry, sehingga air limbahnya dapat menimbulkan permasalahan serius. air limbah jasa laundry mengandung detergen yang mana bahan-bahan komposisinya dapat menyebabkan toksik bagi kehidupan dalam air. selain itu, detergen merupakan suatu derivatik zat organik, dimana jenis bahan organik pada limbah jasa laundry ini dibedakan menjadi minyak (oil) dan lemak (grease). kebutuhan oksigen biokimia biochemical oxygen demand (bod) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk penghancuran senyawa organik maupun anorganik dalam waktu tertentu, sedangkan kebutuhan oksigen kimia (cod) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia. air limbah jasa laundry juga memiliki kadar bod dan cod yang cukup tinggi yaitu 195 ppm, padahal batas baku suatu air adalah hanya 30 ppm. untuk menurunkan kadar bod dan cod yang diakibatkan dari meningkatnya senyawa organik pada limbah cair, maka penanggulangannya sangat cocok menggunakan proses koagulasi (rukaesih, 2004; trestianingrum, 2013). koagulasi merupakan proses yang memanfaatkan ion-ion, dimana mempunyai muatan berlawanan dengan muatan koloid yang terdapat dalam limbah cair, sehingga meniadakan kestabilan ion. prinsip dasar proses koagulasi adalah terjadinya gaya tarik menarik antara ion-ion negatif disuatu pihak dengan ionion positif di pihak lain. yang bertindak sebagai ion negatif adalah partikel-partikel yang terdiri dari zat-zat organik (partikel koloid), mikoorganisme dan bakteri (suwahyono, 2008; bangun, dkk. 2014). salah satu koagulan alami yang dapat digunakan untuk menjernihkan air yaitu serbuk biji kelor. waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 96-100 97 biji kelor merupakan salah satu tanaman yang dapat dipergunakan sebagai salah satu koagulan alami alternatif yang tersedia secara lokal. bangun, dkk., 2014 dalam penelitiannya menemukan bahwa biji kelor adalah bahan alami yang dapat membersihkan limbah cair, relatif sama efektifnya bila dilakukan dengan cara pembersihan menggunakan bahan kimia. biji kelor telah dilaporkan efektif sebagai koagulan untuk menurunkan kekeruhan pada limbah cair dan biji kelor juga tidak mengandung senyawa toksik sehingga aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. zat aktif yang berperan sebagai koagulan yang terdapat pada biji kelor yaitu 4-alfa-4rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate yang terkandung dalam biji kelor. zat aktif ini mampu mengadsorpsi partikel-partikel air limbah. dengan pengubahan bentuk menjadi yang lebih kecil, maka zat aktif dari biji kelor tersebut akan semakin banyak, karena luas permukaan biji kelor semakin besar (bangun, 2013). berdasarkan latar belakang di atas maka pada penelitian ini telah dilakukan analisis serbuk biji kelor (moringa oleifera, lamk) dalam menurunkan kadar cod dan bod pada air limbah jasa laundry. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan antara lain biji kelor, air limbah, k2cr2o7, ag2so4/h2so4, hgso4, indikator ferroin, h2so4, mnso4. alat adapun alat-alat yang digunakan antara lain pisau, oven, ayakan 40 mesh, peralatan gelas, tabung hach, pipet tetes, pipet volum, jerigen, blender, botol winkler. prosedur kerja preparasi serbuk biji kelor biji kelor diambil di daerah perkebunan desa pannara, kecamatan binamu, kabupaten jeneponto, provinsi sulawesi selatan. diambil buah kelor yang sudah tua dan kering. buah kelor dibuka dan diambil biji kelor yang sudah tua dan berwarna cokelat, kemudian dihaluskan menggunakan blender dan dikeringkan pada suhu ruang selama 24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam oven selama 1 jam pada suhu 110 o c dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 mesh, hingga diperoleh serbuk biji kelor berwarna putih dan halus. persiapan sampel biji kelor serbuk biji kelor ditimbang masing-masing sebanyak 0,3; 0,4; 0,5; 0,6 dan 0,7 gram untuk pengukuran cod dan dimasukkan ke dalam gelas kimia 250 ml yang berisi sampel cair limbah jasa cuci pakaian. sedangkan untuk pengukuran bod, ditimbang serbuk biji kelor masing-masing sebanyak 1,8; 2,4; 3,0; 3,6 dan 4,2 gram dan memasukkan ke dalam gelas kimia 300 ml yang berisi sampel cair limbah jasa cuci pakaian. persiapan sampel cair limbah jasa laundry air limbah jasa laundry diambil di salah satu usaha cuci pakaian di kompleks btp, makassar. usaha cuci pakaian ini mulai berjalan sejak tahun 2012 hingga sekarang dan limbah yang dihasilkan dibuang langsung ke dalam selokan yang kira-kira memiliki kedalaman dan luas sekitar 1 meter. sampel air limbah diambil langsung dari pipa pembuangan menggunakan ember dan ditampung langsung pada jergen berwarna gelap. penentuan cod dengan metode refluks tertutup larutan k2cr2o7 0,25 n dipipet sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung hach, selanjutnya dipipet sebanyak 1 ml ag2so4/h2so4 1%, dan ditambahkan 0,04 gram hgso4. setelah itu, ke dalam tabung hach dimasukkan masing-masing 2 ml blanko dan 2 ml sampel. kemudian tabung hach ditutup rapat dan dihomogenkan. meletakkan tabung hach yang berisi larutan pada reaktor cod, kemudian direfluks pada suhu 150 o c selama 2 jam. setelah itu, tabung didinginkan dan larutan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 2 tetes indikator ferroin dan dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat (fas), hingga terjadi perubahan warna yang jelas dari hijau/biru menjadi cokelat kemerah-merahan. selanjutnya menghitung kadar cod sebelum dan sesudah perlakuan baik. waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 96-100 98 gambar 1 lokasi pengambilan sampel (5°08'26.3"s 119°30'22.1"e) penentuan bod dengan metode titrasi winkler uji kadar bod dilakukan dengan cara pemeriksaan oksigen terlarut nol hari dari satu botol winkler yang berisi sampel uji. kemudian botol winkler lain yang berisi sampel uji diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 o c. selanjutnya masing-masing botol winkler ditambahkan sebanyak 1 ml larutan mnso4, dan 1 ml larutan alkali iodida azida, lalu ditutup rapat dan dihomogenkan. gumpalan dibiarkan mengendap selama 5 menit. selanjutnya ditambahkan 1 ml h2so4 pekat lalu ditutup dan dihomogenkan kembali. setelah itu, dipipet sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, ke dalamnya ditambahkan 2 tetes indikator amilum dan dititrasi dengan natrium tiosulfat hingga berubah warna dari biru menjadi jernih. selanjutnya menghitung kadar bod sebelum dan sesudah perlakuan. hasil dan pembahasan lokasi penelitian ini dilakukan pada salah satu jasa laundry yang berada di kompleks perumahan btp yakni pada titik koordinat 5°08'26.3"s 119°30'22.1"e seperti pada gambar 1. pemilihaan lokasi ini dengan pertimbangan lokasi ini memiliki pelanggan cukup banyak, sehingga aktivitas pembuangan limbahnya cukup besar. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil penurunan kadar cod dan bod menggunakan serbuk biji kelor dengan berbagai variasi waktu, dapat dilihat pada tabel 1 pada tabel 1 dapat dilihat efektifitas serbuk biji kelor pada masing-masing variasi berat dalam menurunkan kadar cod limbah. untuk berat koagulan terkecil yaitu 0,3 gram, presentasi penurunan bernilai 5 %. pada berat 0,4 gram, presentase penurunan meningkat 5,95%. pada berat 0,5 gram, presentasi penurunan meningkat menjadi 20,00%. tingginya presentasi ini menunjukkan kerja koagulan yang sangat baik dengan semakin beratnya koagulan yang digunakan. tabel 1 data kadar cod terhadap variasi berat serbuk biji kelor berat serbuk biji kelor (gram) kadar cod (mg/l) efisiensi (%) 0 384,63 0 0,3 365,39 5,00 0,4 361,75 5,95 0,5 0,6 0,7 307,70 265,39 250,00 20,00 31,00 35,00 tabel 2 data kadar bod terhadap variasi berat serbuk biji kelor berat serbuk biji kelor (gram) kadar bod (mg/l) efisiensi (%) 0 1,8 27,437 23,348 0 14,90 2,4 3,0 19,167 19,360 30,14 29,43 3,6 4,2 11,616 23,232 57,66 15,32 pada tabel 2 terlihat efektifitas serbuk biji kelor pada masing-masing variasi berat koagulan. berat koagulan yang paling optimal menyerap terjadi pada berat 2,4 gram dengan presentasi penurunan senilai 30,14% sedangkan pada saat penambahan koagulan dengan berat 3 gram, kadar bod kembali meningkat dengan presentasi penurunan yaitu 29,43%. hal ini terjadi karena dengan bertambahnya berat koagulan yang berlebih dalam limbah cair akan menyebabkan interaksi antara kogulan dan limbah cair yang menyebabkan terjadinya penggumpalan koagulan, mengakibatkan berkurangnya luas permukaan aktif dari koagulan, sehingga menghasilkan proses penyerapan tidak efektif (yudo, 2010; hidayat, 2009). waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 96-100 99 kandungan zat aktif yang terdapat pada biji kelor yang bersifat sebagai koagulan yaitu 4alfa-4-rhamnosyloxy-benzil-isothiocyanate yang cenderung bermuatan positif, sehingga mampu mendestabilisasikan koloid yang bermuatan negatif. berikut mekanisme koagulasi serbuk biji kelor dalam limbah cair jasa laundry (khasanah, 2008; trestianingrum dkk., 2013). gambar 2 mekanisme koagulasi serbuk biji kelor pada limbah cair kebutuhan koagulan atau dosis koagulan pada proses koagulasi air keruh tergantung pada jenis air keruhnya. air dengan tingkat kekeruhan tinggi membutuhkan dosis koagulan yang tepat sehingga proses pengendapan partikel koloid pada air keruh berlangsung dengan baik. pada mekanisme diatas dapat dilihat pada gambar 2a gaya yang ditunjukkan oleh partikel koloid pada kondisi stabil. kemudian pada gambar 2b terjadi destabilisasi partikel koloid oleh penambahan koagulan sehingga terjadi pembentukan flok-flok yang terikat membentuk benang panjang (bangun, 2013). pada proses pengukuran cod ini menggunakan metode refluks tertutup, dimana prinsip pengukurannya adalah zat organik dioksidasi dengan campuran mendidih asam sulfat dan kalium dikromat yang diketahui normalitasnya dalam sebuah refluks selama 2 jam. kelebihan kalium dikromat yang tidak direduksi, dititrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat (fas). pengukuran cod juga menggunakan hgso4 yang bertujuan untuk menghilangkan adanya gangguan dari ion klorida. ion merkuri akan bergabung dengan dengan ion klorida membentuk merkuri klorida. sehingga dengan adanya ion hg 2+ ini, konsentrasi dari ion klorida menjadi sangat kecil dan tidak mengganggu oksidasi senyawa organik (manurung dkk., 2012; wahyuni, 2011). pengukuran bod pada penelitian ini menggunakan metode titrasi winkler yang didasarkan pada oksigen dalam sampel yang mengoksidasi mnso4 menjadi endapan mno2 dimana dengan adanya penambahan h2so4 dan ki akan dibebaskan iodine yang ekuivalen dengan jumlah oksigen terlarut. besarnya nilai bod dihitung dari selisih kadar okisigen sebelum dan sesudah inkubasi selama 5 hari. pengukuran bod dapat dipergunakan untuk menaksir beban pencemaran zat organik. penentuan waktu inkubasi selama 5 hari dapat mengurangi kemungkinan adanya gangguan dari hasil oksidasi ammonia yang cukup tinggi yang dapat mengganggu dalam pengukuran (noviani, 2012; nasir, 2013). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa pada biji kelor penurunan cod yang sangat baik diperoleh pada berat 0,7 gram sebesar 307,70 mg/l, sedangkan untuk pengukuran bod pada koagulan biji kelor berat yang paling baik dalam menurunkan kadar bod adalah 2,4 gram sebesar 19,167 mg/l. daftar pustaka bangun, a. r., siti aminah, rudi anas hutahaean, m. yusuf ritonga, 2013, pengaruh kadar air, dosis dan lama pengendapan koagulan serbuk biji kelor sebagai alternatif pengolahan limbah cair industri tahu, jurnal teknik kimia usu, 2(1), 1-5. hidayat, s., 2009, protein biji kelor sebagai bahan aktif penjernihan air. biospesies, 2(2), 12-17. khasanah, h., 2008, efektifitas biji kelor (moringa oleifera, lamk) sebagai koagulan fosfat dalam limbah cair rumah sakit (studi kasus di rsu dr. saiful anwar malang), skripsi, jurusan kimia, fakultas sains dan teknologi, universitas islam negeri (uin) malang. manurung, t., dewi, y. s., lekatompessy, b. j., 2012, efektifitas biji welor (moringa oleifera) pada pengolahan air sumur waode rustiah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 96-100 100 tercemar limbah domestik, jurnal ilmiah fakultas teknik, 8(1), 37-46. nasir, s., amelin, h, danni, s., 2013 pengaruh koagulan polyaluminium chloride dan sodium alginate terhadap kualitas air bersih yang dihasilkan pada pengolahan air sungai dan air rawa dengan filter keramik, jurnal teknik kimia, 19 (4), 7-17. noviani h., 2012. analysis using polyaluminium chloride coagulant (pac) and chitosan in water purification process in pdam tirta pakuan bogor, skripsi, bogor: fakultas mipa universitas pakuan. rukaesih, a., 2004, kimia lingkungan, andi offset, yogyakarta. suwahyono, untung, 2008, khasiat ajaib si pohon gaib, andi offset, yogyakarta. trestianingrum, r., sarini rahayu, 2013, perbandingan efektifitas koagulan tawas dan biji kelor terhadap kadar bod pada air limbah jasa cuci pakaian, jurnal pendidikan biologi, fkip, univeristas nusantara pgri kediri. wahyuni, n. l., 2011, recovery alumina (al2o3) dari coal fly ash (cfh) menjadi pholyaluminium chloryde (pac), jurnal fluida, vii (i), 28-35. yudo, s., 2010, kondisi kualitas air sungai ciliwung di wilayah dki jakarta ditijau dari parameter organik, amoniak, fosfat, detergen, bakteri coli, jurnal lingkungan,6(1), 1-9. indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 75 pemodelan regresi berganda pada pemanfaatan tanah liat dan batu karang sebagai adsorben dalam pengolahan greywater multiple regressions modeling on the use of clay and coral an adsorbent in greywater processing bibiana dho tawa*, alfius r. kale, siti hadijah salim, odi th. e. selan department of chemistry, faculty of science and engineering nusa cendana university, jl. adisucipto-penfui kupang, east nusa tenggara indonesia *corresponding author, e-mail: b_dhotawa@staf.undana.ac.id received: dec. 2017 published: jan. 2018 abstract there have been researches on multiple regressions modeling on the use of clay and coral as adsorbent in greywater processing. the aims of this research are to determine the adsorbent properties, to determine the effect of flow rate and ratio of adsorbent in lowering cod, turbidity, and ph levels, and to determine the effect of flow rate interaction and adsorbent ratio in decreasing cod, turbidity and ph levels. this research was conducted with completed random design (crd) 2 3 consisting of 2 independent variables namely flow rate (0.2; 0.5; and 0,7 ml/s) and ratio of adsorbent (w/w) of clay : coral (1:1; 1:2; and 2:1) with 3 times replications. the result of the test of the adsorbent properties showed that the clay has hihger acidity and surface area then coral reef, and the coral content of coral reefs is 38.65 %. the flow rate and the ratio of adsorbent based on results of the study also reinforced by the anova test give effect on the levels of cod and turbidity while the interaction of this two variables have an effect on the cod content. the best treatment based on duncan multiple range test (dmrt) was at 0.7 ml/s flow rate with a 1:1 adsorbent ratio. the multiple regression model for this study is y =160.3 – 171.17x1 -188.83x2 + 31.67x1x2 + 146.67x1 2 + 66.67x2 2 . keywords: greywater, ph, adsorbent, multiple regressions,cod. pendahuluan air bersih merupakan kebutuhan yang penting dalam kehidupan manusia. tiap orang menggunakan air bersih kurang lebih sebanyak 337 l/org/hari. menurut setiawan (2003), kebutuhan air bersih untuk keperluan domestik di kota surabaya sebesar 150-200 l/org/hari. sedangkan menurut handayani (2013), total air bersih yang digunakan untuk keperluan domestik secara umum adalah 628 l/org/hari. berdasarkan data-data tersebut, dapat dipahami bahwa tiap orang menggunakan air bersih dalam jumlah yang berbeda-beda per hari. namun, jumlah kebutuhan air bersih tidak sebanding dengan jumlah pemenuhan air bersih apalagi di saat musim kemarau tiba. hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan air bersih. adanya permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan suatu upaya untuk mengatasi kelangkaan air bersih. salah satunya dengan melakukan pengolahan kembali air buangan (limbah) dari kegiatan mencuci pakaian untuk menyiram tanaman. sehingga, air bersih yang digunakan hanya untuk kegiatan-kegiatan seperti mandi, masak, mencuci dan lain-lain. metode yang telah dilakukan untuk mengolah kembali limbah dari kegiatan mencuci pakaian adalah metode filtrasi menggunakan media biofilter dan metode aerasi-filtrasi. pada metode filtrasi menggunakan media biofilter, limbah dialirkan melalui reaktor. di dalam reaktor tersebut sebelumnya sudah dimasukkan media yang sudah ditumbuhi bakteri aerob yang berfungsi untuk mendifusi senyawa organik yang terdapat di dalam limbah (nasution dan karnaningroem, 2014). pada metode aerasifiltrasi, bakteri aerob dimasukkan ke dalam limbah yang berada di dalam reaktor. reaktor tersebut dibiarkan terbuka dan dilengkapi dengan aerator. limbah yang keluar dari reaktor dialirkan menuju alat filtrasi berupa pasir halus, pasir kasar, ijuk, batu kerikil, dan karbon aktif. kemudian, mikroorganisme patogen yang masih terdapat pada limbah dikurangi dengan bantuan sinar uv dari sinar matahari (mulyana dkk., 2013). namun, metode tersebut memiliki kelemahan yaitu mahal karena membutuhkan bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 76 peralatan-peralatan khusus yang sulit dijangkau oleh masyarakat. metode alternatif lain yang dilakukan untuk mengolah kembali limbah dari kegiatan mencuci pakaian adalah metode adsorpsi karena ekonomis, efektif, dan desainnya sederhana. selain itu, metode adsorpsi juga efisien karena murah dan mudah dioperasikan. salah satu faktor terpenting dari metode adsorpsi adalah menemukan adsorben yang tepat dalam proses adsorpsi. karbon aktif merupakan salah satu adsorben yang efektif dan efisien namun memiliki biaya operasi yang relatif mahal. karena itu diperlukan adsorben alternatif yang lebih ekonomis namun memiliki kemampuan adsorpsi yang tidak jauh berbeda, diantaranya tanah liat dan batu karang. tanah liat dapat digunakan sebagai adsorben karena memiliki luas permukaan yang besar, stabil secara fisik dan mekanis, serta memiliki kapasitas penukar ion yang besar. hal ini juga dibuktikan pada penelitian risada dan ibrahim (2014), bahwa tanah liat mampu menurunkan nilai ph, kadar bod, kadar tss, dan kadar minyak lemak dalam pengolahan air limbah cair rumah rumah tangga (greywater) jika dibandingkan dengan standar baku mutu air limbah domestik. batu karang mengandung senyawa caco3 yang secara fisik mempunyai pori-pori sehingga mampu untuk mengadsorpsi atau menjerap zat-zat lain kedalam pori-pori permukaannya. penelitian yang dilakukan oleh ahmad, dkk. (2012) menunjukkan bahwa penggunaan senyawa caco3 sebagai adsorben dapat mengadsorpsi logam berat seperti cd 2+ , zn 2+ , cu 2+ , fe 3+ dan cr 3+ sebesar 99,99; 99,2; 99,7; 99,6; dan 99,9%. selain itu, tanah liat dan batu karang juga tersedia melimpah di alam. persamaan regresi berganda merupakan suatu model matematika yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena data melalui terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik, untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau hal-hal yang sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh dan juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi pada variabel terikat (kurniawan, 2008b). metodologi bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: tanah liat, batu karang, aquades, air ac, serbuk deterjen tertentu, amonia, metilen biru, kertas saring, k2cr2o7, agso4, h2so4, fe(nh4)2(so4) 2, 1,10 phenantrolin monohidrat, feso4.7h2o dan hgso4. alat uv-vis, ayakan, alu, lumping, cawan porselin, desikator, alat penyerapan, timbangan, tabung cod, buret. prosedur kerja preparasi tanah liat tanah liat yang diperoleh dibersihkan dari pengotor dengan cara dicuci dengan air ac hingga air cucian menjadi jernih dan dianginkan di udara terbuka sampai agak lembab. kemudian tanah liat digerus dan diayak menggunakan 2 jenis ayakan yaitu 40 mesh dan 60 mesh. tanah liat yang digunakan untuk penelitian adalah tanah liat yang lolos ayakan 40 mesh tetapi tidak lolos ayakan 60 mesh. tanah liat hasil ayakan yang diperoleh kemudian dikeringkan pada suhu 110 o c selama 4 jam. preparasi batu karang batu karang yang diambil dengan kedalaman 1 meter dari permukaan tanah digerus dan diayak dengan 2 jenis ayakan yaitu 40 mesh dan 60 mesh. batu karang yang digunakan untuk penelitian adalah batu karang lolos ayakan 40 mesh tetapi tidak lolos ayakan 60 mesh. batu karang hasil ayakan dicuci dengan air ac hinga air cucian menjadi jernih kemudian dikeringkan pada suhu 110 o c selama 4 jam. penentuan keasaman dengan metode analisis gravimetri sebanyak 0,5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin, kemudian dimasukkan ke dalam desikator yang di dalamnya telah dijenuhkan dengan uap amoniak. desikator ditutup dan sampel dibiarkan kontak dengan uap amoniak selama 24 jam, kemudian desikator dibuka dan uap amoniak yang ada pada porselin dibiarkan menguap selama 3 jam, dan selanjutnya sampel ditimbang secara teliti. berat amoniak yang teradsorpsi dapat dihitung dari bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 77 selisih berat sebelum dan setelah adsorben mengadsorpsi amoniak. penentuan luas permukaan untuk menentukan luas permukaan adsorben digunakan metode adsorpsi metilen biru. terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum. dalam penentuan panjang gelombang maksimum tersebut, dibuat larutan standar metilen biru 2 ppm sebanyak 10,0 ml, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang antara 500-700 nm menggunakan spektrofotometer uv-vis. kurva standar metilen biru dibuat berdasarkan absorbansi dari berbagai konsentrasi larutan standar metilen biru 2, 4, 6, dan 8 ppm pada panjang gelombang maksimum. adsorben diujikan untuk mengadsorpsi larutan metilen biru. sebanyak 0,50 g sampel ditambahkan ke dalam 20,0 ml larutan metilen biru 50 ppm, diaduk menggunakan magnet stirer dengan waktu kontak 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. larutan hasil pengadukan disaring dan filtratnya dianalisis menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum larutan metilen biru tersebut. absorbansi yang diperoleh, dimasukkan dalam persamaan regresi linier metilen biru, sehingga didapatkan konsentrasi metilen biru dalam filtrat. konsentrasi metilen biru dalam filtrat merupakan berat teradsorpsi maksimum (g/g). uji kadar ca pada batu karang ditimbang dengan teliti batu karang yang telah dihaluskan sebanyak 0,5 gram kemudian dilarutkan dengan asam klorida encer hingga batu karang larut sempurna (hati-hati terbentuk gas). larutan yang dihasilkan kemudian dipanaskan di atas penangas air hingga suhu 7080 o c. setelah dipanaskan, larutan diendapkan dengan ammonium oksalat hingga sempurna kemudian dipanaskan kembali di atas penangas air kurang lebih 1 jam lalu disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot kosongnya. endapan yang diperoleh dicuci dengan aquades panas hingga bebas klor dan sulfat (tes kualitatif) kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-110 o c selama 1 jam. setelah dioven, endapan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan teliti hingga diperoleh bobot konstan. pembuatan larutan deterjen sintetik 1000 ppm dilarutkan 2 g serbuk deterjen tertentu ke dalam 2 liter aquades. uji kadar cod larutan deterjen dipipet 10 ml sampel, dimasukan kedalam tabung cod. ditambah 0,2 g serbuk hgso4 dengan beberapa batu didih. ditambah 5 ml larutan k2cr2o7 0,25 n sambil diaduk hingga larutan homogen. didinginkan tabung cod dalam pendingin es dan ditambahkan 15 ml larutan ag2so4-h2so4 sedikit demi sedikit melalui dinding tabung kemudian diaduk hingga homogen. tabung cod dihubungkan dengan pendingin dan dididihkan di atas reaktor cod selama 2 jam. didinginkan sampai temperatur kamar. dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml, ditambahkan indikator ferroin 2 sampai 3 tetes. dititrasi dengan larutan fas 0,05 n yang telah distandarisasi sampai berubah warna menjadi merah kecoklatan. dicatat larutan fas yang terpakai. diulang titrasi sebanyak dua kali perulangan. dilakukan prosedur yang sama terhadap air suling sebagai blanko. penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap (ral) pola faktorial 2 3 masing-masing 3 kali pengulangan. pada penelitian ini terdiri dari 2 faktor yaitu: faktor a, laju alir a1 = 0,2 ml/s a2 = 0,5 ml/s a3 = 0,7 ml/s faktor b, rasio batu karang dan tanah liat (b/b) b1 = 1 : 1 b2 = 1 : 2 b3 = 2 : 1 parameter dalam penelitian ini adalah konsentrasi cod, ph, dan turbiditas. data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (anova). bila interaksi antara laju alir dan rasio adsorben berbeda nyata, maka dilakukan uji beda jarak nyata duncan (bjnd) dengan tingkat kepercayaan 95%. hasil penelitian yang diperoleh juga dianalisis dengan persamaan regresi berganda dengan rumus umum : keterangan: : variabel dependen : konstanta : koefisien regresi : variabel independen bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 78 desain alat penyerapan yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada gambar 1. gambar 1. desain alat penyerapan keterangan: wadah i : sampel deterjen sintetik wadah ii: gabungan adsorben dengan lapisan bawah adalah batu karang dan lapisan atas adalah tanah liat wadah iii: effluent hasil dan pembahasan pada penelitian ini digunakan adsorben tanah liat dan batu karang untuk menurunkan kadar cod, turbiditas, dan ph pada sampel deterjen sintetik. adsorben yang digunakan ditentukan sifatnya dengan mengukur luas permukaan, keasaman, dan kadar ca untuk batu karang. kemampuan adsorben dalam menjernihkan greywater dipelajari melalui 2 variabel yaitu laju alir dan rasio adsorben. dari kedua variabel tersebut dapat dilihat pengaruh laju alir dan rasio adsorben serta pengaruh interaksinya dalam menurunkan kadar cod, turbiditas, dan ph. sifat adsorben keasaman adsorben penentuan keasaman adsorben bertujuan untuk mengetahui jumlah mmol situs asam yang terikat pada adsorben tiap gram. penentuan keasaman permukaan dilakukan dengan metode gravimetri dengan membandingkan berat adsorben sebelum dan sesudah diinteraksikan dengan uap amonia sebagai adsorbat. berdasarkan hasil perhitungan, keasaman permukaan tanah liat adalah 1,413 mmol/g dan batu karang adalah 0,365 mmol/g. hal ini menunjukkan bahwa tanah liat memiliki situs asam yang lebih besar dibandingkan batu karang karena tanah liat mengandung logam al dan si yang pada bagian tepi strukturnya terdapat ikatan o-h (gambar 2), dimana pada ikatan tersebut atom h mudah terlepas menjadi ion h + yang kemudian menjadi sumber asam bronsted lowry. selain itu tanah liat juga mengandung ion logam seperti al 3+ non struktur, fe 3+ , ion-ion logam alkali dan alkali tanah yang mudah berikatan dengan amonia (graha, 2012) sedangkan batu karang mengandung senyawa caco3 yang bersifat basa sehingga sulit untuk berikatan dengan amonia. gambar 2. struktur lempung kaolinit (kurniawan, 2008a) luas pemukaan adsorben penentuan luas permukaan bertujuan untuk mengetahui kemampuan adsorben. dimana semakin besar luas permukaan adsorben maka semakin besar kemampuan adsorben dalam menyerap adsorbat. penentuan luas permukaan dilakukan dengan metode adsorpsi metilen biru dengan beberapa tahapan yaitu penentuan panjang gelombang maksimum, penentuan kurva standar metilen biru, dan penentuan luas permukaan berdasarkan variasi waktu adsorpsi. penentuan panjang gelombang maksimum menggunakan larutan metilen biru 2 ppm dan diukur pada panjang gelombang 500-700 nm. panjang gelombang maksimum yang diperoleh adalah 660 nm. grafik penentuan panjang gelombang maksimum disajikan pada gambar 3. gambar 3. grafik hubungan antara panjang gelombang dan absorbansi 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 600 620 640 660 680 700 720 a b so r b a n si panjang gelombang (nm) bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 79 penentuan kurva standar dilakukan dengan mengukur absorbansi metilen biru dengan konsentrasi 2, 4, 6, dan 8 ppm pada panjang gelombang maksimum yaitu 660 nm. dari kurva standar diperoleh persamaan regresi linear yaitu y = 0,102x + 0,155. penentuan luas permukaan berdasarkan variasi waktu adsorpsi dilakukan dengan menambahkan 20 ml larutan metilen biru 50 ppm ke dalam 0,5 gram adsorben dan diaduk dengan variasi waktu kontak 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. larutan hasil pengadukan disaring dan diukur filtatnya dengan spektrometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum. absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam persamaan regresi linear untuk mengetahui konsentrasi metilen biru sisa. konsentrasi metilen biru yang teradsorpsi dapat diketahui dengan mengurangkan konsentrasi metilen biru awal dengan konsentrasi metilen biru sisa. banyaknya metilen biru yang diserap diperoleh dari data konsentrasi metilen biru sisa yang kemudian digunakan untuk menghitung luas permukaan adsorben. banyaknya metilen biru yang diserap disajikan pada gambar 4. gambar 4. grafik hubungan antara waktu adsorpsi dan banyaknya metilen biru yang diserap dari gambar 4 dapat dilihat bahwa waktu adsorpsi optimum tanah liat dan batu karang adalah 20 menit. berdasarkan hasil perhitungan, luas permukaan untuk tanah liat adalah 7,35 m 2 /g dan batu karang adalah 6,89 m 2 /g. luas permukaan tanah liat lebih besar dari batu karang diduga karena terjadinya ikatan antara atom o pada tanah liat dengan atom n + pada metilen biru (gambar 5) yang sifatnya lebih kuat jika dibandingkan dengan interaksi antara metilen biru dengan batu karang yang terjadi karena adanya gaya van der waals. hasil luas permukaan kedua adsorben sesuai dengan data keasaman. tanah liat memiliki situs asam yang lebih besar dibandingkan batu karang. gambar 5. struktur metilen biru (calvero, 2006) pada gambar 4 setelah melewati waktu adsorpsi optimum, banyaknya metilen biru yang teradsorpsi cenderung menurun. hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh krisnawati dkk (2013). semakin lama waktu adsorpsi, proses adsorpsi yang terjadi semakin menurun karena adsorben telah jenuh. selain itu, semakin lama waktu adsorpsi juga dapat mengakibatkan adsorbat yang sudah terikat secara fisika dengan adsorben terlepas kembali. kadar ca pada batu karang pada penentuan kadar ca, sebanyak 0,5 gram batu karang dihaluskan dan dilarutkan dengan hcl. reaksi yang terjadi adalah: caco3 + 2hcl cacl2 + co2 + h2o larutan yang terbentuk kemudian dipanaskan di atas penangas air pada suhu 7080 o c dan diendapkan dengan ammonium oksalat. reaksi yang terjadi adalah: ca 2+ + (nh4)2c2o4 cac2o4 + 2nh4 + setelah terbentuk endapan yang sempurna, kemudian dipanaskan kembali di atas penangas air selama kurang lebih 1 jam untuk membantu proses pengendapan. setelah dipanaskan, sampel kemudian disaring. endapan yang dihasilkan dicuci dengan air panas hingga bebas klor dan sulfat. uji klor dan sulfat dilakukan secara kualitatif pada air hasil cucian endapan. uji klor dilakukan dengan menambahkan larutan hno3 untuk memberikan susana asam dan agno3 untuk mengendapkan ion cl sedangkan uji sulfat dilakukan dengan menambahkan larutan bacl2. endapan yang telah bebas klor dan sulfat dipanaskan pada suhu 100 – 110 o c selama 1 jam 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 10 20 30 40 50 60 m e ti le n b ir u y a n g d is e r a p (m g /g ) waktu adsorpsi (menit) batu karang tanah liat bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 80 kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang hingga diperolah bobot konstan. berdasarkan hasil perhitungan, kadar ca yang terkandung pada sampel batu karang adalah 43,717%. nilai ini cukup besar jika dibandingkan dengan rata-rata kadar ca pada batu karang di daerah ketapang, madura yaitu 38,65% (djuhariningrum dan rusmadi, 2004). pengaruh laju alir terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph untuk melihat pengaruh laju alir terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph maka ditinjau pada saat rasio adsorben tetap. gambar 6. grafik hubungan antara laju alir dan kadar cod hubungan antara laju alir dan kadar cod ditunjukkan pada gambar 6. grafik perubahan kadar cod tidak menunjukkan pola tertentu untuk rasio adsorben 1:1 dan 1:2 tetapi pada rasio adsoben 2:1 menunjukkan pola tertentu. pada rasio adsoben 2:1, semakin besar laju alir kadar cod yang dihasilkan juga semakin besar. gambar 7. grafik hubungan antara laju alir dan turbiditas berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh anggun dan benedictus (2008), semakin besar laju alir maka penurunan kadar cod semakin besar karena meningkatnya sirkulasi antara bahan organik dengan adsorben. pada penelitian ini semakin besar laju alir, terjadi penurunan kadar cod pada laju alir 0,2 ml/s dan 0,7 ml/s namun tidak terjadi pada laju alir 1,2 ml/s pada rasio adsoben 1:1 dan 1:2. hal ini dikarenakan sampel melewati adsorben terlalu cepat sehingga tidak teradsorpsi dengan baik yang ditandai dengan terdapatnya adsorben yang masih kering setelah proses adsorpsi. laju alir yang memiliki nilai cod terkecil adalah 0,2 ml/s untuk rasio adsoben 2:1 dan 0,7 ml/s untuk rasio adsoben 1:1 dan 1:2. gambar 7 menunjukkan hubungan antara laju alir dan turbiditas. nilai turbiditas meningkat seiring dengan meningkatnya laju alir. peningkatan laju alir menyebabkan volume air masuk semakin besar tiap detik. akibatnya saat proses adsorpsi belum terjadi secara optimal, adsorben sudah ditekan oleh volume air masuk yang berlebih sehingga sebagian adsorben ikut terbawa dan tercampur dengan effluent. gambar 8. grafik hubungan antara laju alir dan ph laju alir tidak berpengaruh terhadap ph berdasarkan gambar 8 karena perlakuan yang diberikan terhadap sampel seluruhnya menghasilkan nilai ph effluent yang hampir sama. pada laju alir 1,2 ml/s memiliki ph yang lebih rendah hal ini diduga akibat terbawanya bahan-bahan organik dari sampel yang belum sempat teradsorpsi karena tingginya laju alir. berdasarkan gambar 6 dan 7, laju alir memberikan pengaruh terhadap kadar cod dan turbiditas. berdasarkan hasil uji anova, nilai f hitung dari laju alir lebih besar dari nilai f hitung tabel untuk masing-masing parameter yaitu kadar cod dan turbiditas. hal ini menunjukkan bahwa laju alir berpengaruh terhadap kadar cod dan turbiditas. pengaruh rasio adsorben terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph untuk melihat pengaruh rasio adsorben terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph maka ditinjau pada saat laju alir tetap. gambar 8 adalah hubungan antara rasio adsorben terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph. 0 50 100 150 0.2 0.7 1.2 c o d ( m g /l ) laju alir (ml/s) 1:1 1:2 2:1 0 2 4 6 8 0.2 0.7 1.2 t u r b id it a s laju alir (ml/s) 1:1 1:2 2:1 5.5 6 6.5 7 7.5 0.2 0.7 1.2 p h laju alir (ml/s) 1:1 1:2 2:1 bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 81 gambar 9. grafik hubungan antara rasio adsorben (b/b) dan cod pada gambar 9 dapat dilihat bahwa kadar cod minimum setelah dirata-ratakan diperoleh pada rasio 1:1 kemudian diikuti dengan rasio 1:2 dan 2:1. hal ini menunjukkan bahwa untuk menurunkan kadar cod dari sampel deterjen sintetik 1000 ppm membutuhkan rasio adsorben dengan perbandingan yang sama. pada rasio 1:2 dimana komposisi tanah lebih banyak dari batu karang mampu menurunkan kadar cod dengan baik namun tidak sebaik rasio 1:1. pada rasio 2:1 dimana komposisi batu karang lebih banyak dari tanah, penurunan cod yang terjadi tidak terlalu besar. hal ini diduga saat tanah yang memiliki komposisi lebih sedikit akan mencapai titik jenuh yang lebih cepat sehingga bahan-bahan organik yang tidak teradsorpsi akan melewati batu karang. dimana batu karang sendiri secara fisik memiliki pori-pori yang banyak akan melewatkan bahan-bahan organik yang ukurannya lebih kecil dari pori-pori batu karang. selain itu, sifat keasaman dan luas permukaan tanah liat yang lebih besar dari batu karang ikut menyumbangkan turunnya kadar cod pada rasio adsorben dengan berat tanah liat yang lebih besar dari batu karang. gambar 10. grafik hubungan antara rasio adsorben (b/b) dan turbiditas rasio adsorben yang mampu menurunkan turbiditas terendah adalah 1:2 kemudian diikuti dengan rasio 1:1 (gambar 10). pada rasio 2:1 penurunan turbiditas tidak terlalu signifikan. hal ini menunjukkan bahwa tanah liat dengan komposisi yang lebih banyak maupun sama dengan batu karang lebih efektif dalam menurunkan turbiditas. hal ini diduga karena tanah liat memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan batu karang. dimana, semakin besar luas permukaan maka semakin kecil ukuran pori adsorben sehingga bahanbahan organik akan tertahan dengan baik. gambar 11. grafik hubungan antara rasio adsorben (b/b) dan ph dari gambar 11 pada rasio adsorben 1:1 diperoleh ph effluent 7 sedangkan pada rasio 1:2 dan 2:1 diperoleh ph effluent antara 6-7. namun secara keseluruhan hasil yang diperoleh memberikan penurunan ph yang cukup baik jika dibandingkan dengan sampel sebelum diadsorpsi. dari hasil penelitian yang disajikan pada gambar 9 dan 10, terdapat pengaruh antara rasio adsorben terhadap kadar cod dan turbiditas sedangkan terhadap nilai ph (pada gambar 10) tidak terdapat pengaruh karena semua perlakuan menghasilkan ph effluent yang hampir sama. hasil uji anova juga membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara rasio adsorben terhadap kadar cod dan turbiditas. pengaruh interaksi antara laju alir dan rasio adsorben terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph pengaruh interaksi antara laju alir dan rasio adsorben terhadap penurunan kadar cod, turbiditas, dan ph dapat dilihat pada hasil uji anova dengan membandingkan f hitung dan f tabel pada taraf kepercayaan 95 %. hasil yang diperoleh disajikan pada tabel 1. dari tabel 1 dapat dilihat bahwa interaksi laju alir dan rasio adsorben memberikan 0 50 100 150 1:1 1:2 2:1 c o d ( m g /l ) rasio adsorben (b/b) 0,2 ml/s 0,7 ml/s 1,2 ml/s 0 2 4 6 8 1:1 1:2 2:1 t u r b id it a s rasio adsorben (b/b) 0,2 ml/s 0,7 ml/s 1,2 ml/s 1 2 3 4 5 6 7 8 1:1 1:2 2:1 p h rasio adsorben (b/b) 0,2 ml/s 0,7 ml/s 1,2 ml/s bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 82 pengaruh pada kadar cod sedangkan untuk turbiditas tidak memberikan pengaruh. untuk nilai ph tidak dilakukan uji anova karena effluent yang diperoleh memiliki hasil yang hampir sama. karena interaksi 2 faktor memberikan pengaruh terhadap cod maka dilakukan uji beda jarak nyata duncan (bjnd) untuk melihat perbedaan antar perlakuan. hasil yang diperoleh disajikan pada tabel 2. tabel 1 perbandingan f hitung dan f tabel masing-masing parameter parameter f hitung f tabel cod 12,26 2,93 turbiditas 0,35 2,93 ph berdasarkan tabel 2, terdapat 3 kelompok perlakuan berbeda yaitu kelompok a, b, dan c. kelompok dengan perlakuan terbaik berdasarkan uji beda jarak nyata duncan (bjnd) adalah kelompok a karena memberikan nilai kadar cod yang kecil diantara kelompok lainnya. berdasarkan uji beda jarak nyata duncan (bjnd) pada kelompok a, perlakuan a2b1, a1b3, a2b2, dan a1b1 tidak saling berbeda nyata. hal ini menunjukkan bahwa untuk mengadsorpsi sampel deterjen sintetik dengan nilai cod sebesar 100 mg/l dapat digunakan laju alir 0,2 ml/s dengan rasio adsorben 2:1 / 1:1, atau dengan laju alir 0,7 ml/s dengan rasio adsorben 1:1 / 1:2. namun, perlakuan terbaik adalah a2b1 yaitu perlakuan dengan laju alir 0,7 ml/s dengan rasio adsorben 1:1 karena memberikan rata-rata nilai cod terendah. dengan mengacu pada hasil tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perlakuan a2b1 dapat diaplikasikan dalam pengolahan greywater. data hasil penelitian yang diperoleh juga dianalisis menggunakan persamaan regresi berganda. menurut kurniawan (2008b), analisis regresi setidak-tidaknya memiliki 3 kegunaan, yaitu untuk mendeskripsikan fenomena data melalui terbentuknya suatu model hubungan yang bersifatnya numerik, untuk melakukan pengendalian (kontrol) terhadap suatu kasus atau hal-hal yang sedang diamati melalui penggunaan model regresi yang diperoleh dan juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi pada variabel terikat. variabel terikat pada persamaan regresi berganda untuk penelitian ini terdiri dari laju alir ( dan rasio adsorben ( . interaksi antara laju alir dan rasio adsorben merupakan variabel moderating. variabel moderating merupakan variabel independent yang akan memperkuat atau memperlemah hubungan antara variable independen lainnya terhadap variable dependen (isthika, 2013). berdasarkan uji anova, variabel memberikan pengaruh terhadap kadar cod sehingga harus dimasukkan kedalam persamaan regresi berganda sebagai salah satu variabel independen. kuadrat laju alir ( dan rasio adsorben ( juga dimasukkan sebagai variabel untuk melihat kontribusinya terhadap kualitas persamaan regresi berganda. berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh 4 model persamaan regresi berganda yaitu: ...........................................(1) tabel 2. uji beda jarak nyata duncan (bjnd) untuk masing-masing perlakuan bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 83 ..............................................................(2) ................................................................(3) ........(4) dimana : = laju alir (ml/s); = rasio adsorben (b/b); = interaksi antara laju alir dan rasio adsorben; = kuadrat laju alir; dan = kuadrat rasio adsorben. persamaan 1 terdiri dari 5 variabel yaitu dan , pada persamaan 2, 3, dan 4 masing-masing dihilangkan variabel dan dari keempat persamaan diatas dapat dilihat bahwa terdapat 2 jenis tanda untuk variabel bebas utama x1 dan x2 sedangkan untuk konstanta dan variabel lainnya bertanda positif. menurut iqbal (2015), tanda positif menunjukkan bahwa hubungan antara variabel bebas terhadap respon bersifat searah, yang berarti peningkatan nilai variabel bebas akan menaikkan nilai respon. respon yang diamati adalah nilai cod sehingga persamaan yang baik adalah 1 dan 2 dengan nilai variabel bebas x1 dan x2 bertanda negatif karena bersifat menurunkan nilai cod. selain dengan melihat tanda pada variabel bebas, penentuan persamaan yang terbaik juga dapat dilakukan dengan melihat nilai dari koefisien determinasi. koefisien determinasi menyatakan besarnya pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. nilai koefisien determinasi dapat diukur dari nilai r 2 atau adjusted r 2 (iqbal, 2015). nilai r 2 untuk persamaan 1-4 masingmasing adalah 0,82; 0,68; 0,65; dan 0,52 sedangkan nilai adjusted r 2 untuk persamaan 14 masing-masing adalah 0,51; 0,36; 0,30; dan 0,22. nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa model persamaan 1 lebih baik jika dibandingkan dengan model persamaan 2, 3 maupun 4 karena memiliki nilai r 2 dan adjusted r 2 yang lebih tinggi. persamaan 1 memiliki nilai r 2 sebesar 0,82. nilai ini menunjukkan bahwa variabel terikat yaitu cod dapat dijelaskan oleh variabel bebas yaitu laju alir, rasio adsorben, interaksi antara laju alir dan rasio adsorben, kuadrat laju alir, dan kuadrat rasio adsorben sebesar 82% sedangkan sisanya sebesar 18% dijelaskan oleh variabel lain. atau dengan kata lain, besarnya kontribusi atau sumbangan kelima variabel bebas terhadap variabel terikat sebesar 82% sedangkan sisanya sebesar 18% dijelaskan oleh variabel lain. untuk nilai adjusted r 2 , memiliki makna yang sama dengan r 2 namun nilainya lebih rendah karena sudah disesuaikan dengan jumlah variabel bebasnya. dari persamaan 1 juga menunjukkan bahwa kontribusi dari dan menaikkan kualitas dari model regresi berganda karena memiliki nilai koefisien determinasi yang lebih tinggi. keempat persamaan tersebut masingmasing disubtitusikan nilai variabel terikat yang sama pada penelitian kemudian dibandingkan nilai kadar cod yang diperoleh dari persamaan dengan data penelitian (y observasi). perbandingan kedua nilai cod tersebut dibuat dalam bentuk grafik dengan sumbu x adalah nomor perlakuan dan sumbu y adalah kadar cod. grafik yang diperoleh adalah sebagai berikut: (a) (b) (c) 0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 c o d ( m g /l ) nomor perlakuan y observasi y1 0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 c o d ( m g /l ) nomor perlakuan y observasi y2 0 50 100 150 1 2 3 4 5 6 7 8 9 c o d ( m g /l ) nomor perlakuan y observasi y3 bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 84 (d) gambar 12. grafik hubungan antara perlakuan terhadap kadar cod: (a) persamaan 1 (y1), (b) persamaan 2 (y2), (c) persamaan (y3), (d) persamaan (y4) grafik 12 di atas menunjukkan bahwa persamaan 1 (gambar 12a) memiliki pola grafik yang hampir sama dengan pola grafik data penelitian, sedangkan persamaan lainnya yang memiliki nilai koefisien determinasi lebih rendah pola grafik yang diperoleh tidak terlalu mirip. selain memiliki pola yang mirip, nilai kadar cod pada persamaan 1 juga tidak terlalu jauh berbeda dengan data penelitian. untuk nomor perlakuan 4, nilai kadar cod sedikit lebih tinggi dari data penelitian. grafik persamaan 2 (gambar 12b) cenderung konstan pada nomor perlakuan 1 sampai 6 dan terjadi peningkatan pada nomor perlakuan 7 sampai 9. pada nomor perlakuan 6 dan 7 kadar cod yang diperoleh lebih rendah dari hasil penelitian, sedangkan nomor perlakuan 8 lebih tinggi. pada beberapa nomor perlakuan, nilai kadar cod tidak terlalu berbeda dengan data penelitian yaitu nomor perlakuan 1, 2, 3, dan 4. pada gambar 12c, pola yang diperoleh pada persamaan 3 hampir menyerupai pola data penelitian. namun pada beberapa nomor perlakuan, kadar cod yang diperoleh lebih tinggi (nomor perlakuan 5) bahkan cukup tinggi (nomor perlakuan 4) dan juga lebih rendah (nomor perlakuan 2 dan 7) dari data penelitian. untuk nomor perlakuan 1, 3, 6, 8, dan 9 kadar cod yang diperoleh tidak terlalu berbeda dengan data penelitian. pola grafik yang diperoleh untuk persamaan 4 tidak terlalu mirip dengan pola data penelitian pada gambar 12d. nilai kadar cod yang diperoleh pada persamaan 4 cenderung menurun pada nomor perlakuan 1 sampai 3 dan meningkat pada nomor perlakuan 4 sampai 9. pada nomor perlakuan 4 dan 5 nilai kadar cod yang diperoleh jauh lebih tinggi dari data penelitian, sedangkan nomor perlakuan 8 tidak terlalu tinggi. untuk nomor perlakuan 7, nilai kadar cod yang diperoleh jauh lebih rendah. berdasarkan uraian di atas khususnya koefisien determinasi dan grafik, persamaan 1 lebih baik dibandingkan dengan persamaan 2, 3, dan 4 sehingga persamaan 1 dapat digunakan untuk memprediksikan kadar cod pada laju alir dan rasio adsorben tertentu. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. keasaman permukaan tanah liat dan batu karang masing-masing adalah 1,413 mmol/g dan 0,365 mmol/g. luas permukaan tanah liat dan batu karang masing-masing adalah 7,35 m 2 /g dan batu karang adalah 6,89 m 2 /g. kadar ca pada batu karang sebesar 38,65%. 2. laju alir dan rasio adsorben berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai cod dan turbiditas, sedangkan pada penurunan nilai ph tidak berpengaruh nyata 3. interaksi antara laju alir dan rasio adsorben berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai cod, namun tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai ph dan turbiditas. daftar pustaka ahmad, k., bhatti, i. a., muneer, m., iqbal, m., iqbal, z., 2012, removal of heavy metals (zn, cr, pb, cd, cu and fe) in aqueous media by calcium carbonate as an adsorbent. international journal of chemical and biochemical sciences. 2, 4853. anggun, a. m., benedictus, s. a., 2008, pengolahan limbah dengan media biofilter pasir. jurnal teknik kimia. http://eprints.undip.ac.id/3637/1/makalah pengolahan limbah dengan media biofilter pasir.pdf. diakses pada tanggal 22 september 2017 calvero,2006, chemical structure of methylene blue. https://commons.wikimedia.org /wiki/file:methylene_blue.svg. diakses pada tanggal 07 november 2017 0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 c o d ( m g /l ) nomor perlakuan y observasi y4 bibiana dho tawa dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 75-85 85 djuhariningrum, t., rusmandi, 2004, http://digilib.batan.go.id/e-prosiding /file %20prosiding/geologi/laporan_pen._2004 _2006_ppgn_berkas_a/artikel/tyas_d_332. pdf. diakses pada tanggal 2 november 2017 graha, s., 2012, lempung. http://doddysetiagraha.blogspot.com/2012/0 9/lempung.html . diakses pada tanggal 12 desember 2017 handayani, d. s., 2013, kajian pustaka potensi pemanfaatan greywater sebagai air siram wc dan air siram tanaman di rumah tangga. jurnal presipitasi, 10, 41-50 isthika, w, 2013, analisis moderating. http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/ana lisis_moderating.pdf. diakses pada tanggal 29 desember 2017 iqbal, m., 2015, pengolahan data dengan regresi linier berganda (dengan spss). https://dosen.perbanas.id/wp-content/ uploads/2015/05/regresi-linier-bergandaspss1.pdf. diakses pada tanggal 2 januari 2018 kurniawan, d., 2008, modifikasi bentonit menjadi organoclay dengan metode ultrasonik sebagai absorben p-klorofenol dan hidroquinon. skripsi universitas indonesia. depok. diakses pada tanggal 12 desember 2017 kurniawan, d., 2008, regresi linear. https://ineddeni.files.wordpress.com/2008/0 7/regresi_linier.pdf. diakses pada tanggal 12 desember 2017 krisnawati, 2013, penjerapan logam cd, fe dan zn dengan adsorben cangkang telur bebek yang telah diaktivasi. skripsi universitas sumatera utara. sumatera utara mulyana, y., purnaini, r., sitorus, b., 2013, pengolahan limbah cair domestik untuk penggunaan ulang (water reuse). jurnal teknik lingkungan. diakses pada tanggal 23 september 2016 nasution, s. p. p., karnaningroem, n., 2014, pemulihan kualitas air limbah laundry dengan reaktor biofilter.. diakses pada tanggal 05 oktober 2016 nurhasanah, 2009, penentuan kadar cod (chemical oxygen demand) pada limbah cair pabrik kelapa sawit. skripsi universitas sumatera utara. sumatera utara putra, e., 2013, penentuan kadar ca dari batu kapur. http://ekaputramesakh.blogspot.co.id /2013/11/penentuan-kalsium-dari-batukapur.html. diakses pada tanggal 07 agustus 2017 risada, j., ibrahim, b., 2014, pemanfaatan tanah lempung (tanah liat) bauksit pada pengolahan air limbah rumah tangga. diakses pada tanggal 7 oktober 2016 setiawan, m. i., 2003, study pemenuhan kebutuhan air bersih pdam kota surabaya tahun proyeksi (2015). 3, 47-64. widhianti, w. d., 2010, pembuatan arang aktif dari biji kapuk (ceiba pentandra l.) sebagai adsorben zat warna rhodamin b. skripsi universitas airlangga. surabaya widihati, i. a. g., ratnayani, o., angelina, y., 2010, karakterisasi keasaman dan luas permukaan tempurung kelapa hijau (cocos nucifera) dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd 2+ . jurnal kimia. 4, 7-14. http://digilib.batan.go.id/e-prosiding http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/analisis_moderating.pdf http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/analisis_moderating.pdf https://ineddeni.files.wordpress.com/2008/07/regresi_linier.pdf https://ineddeni.files.wordpress.com/2008/07/regresi_linier.pdf indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 219 characterization of alginate-cellulose-kaolin composites for slow-release urea fertilizer sunardi1,2*, gusti nia faramitha1, uripto trisno santoso1 1chemistry study program, mathematics and natural sciences faculty, universitas lambung mangkurat, banjarbaru, indonesia 2wetland based materials research center, universitas lambung mangkurat, banjarbaru, indonesia *corresponding author: sunardi@ulm.ac.id received: november 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract research on the effect of cellulose and kaolin addition to alginate-cellulose-kaolin composites' characteristics as a slow-release agent of urea fertilizer has been done. the technique used in composites' preparation is an extrusion technique using 2% cacl2 solution as a cross-linker. the compositions of alginate-cellulose-kaolin were varied to determine their effect on composites' characteristics such as diameter, color, swelling ratio, entrapment efficiency, and release of urea. the results showed that the diameter of beads in wet condition produced ranges from 2.98 to 3.54 mm, whereas the diameter of dry beads ranges from 1.22 to 1.92 mm. the addition of cellulose and kaolin affected the color of the beads produced based on cie lab analysis. the value of the swelling ratio decreased with the addition of cellulose and kaolin. the entrapment efficiency of urea in beads obtained ranged from 37.25 to 45.06%. the release of urea in aqueous media showed that cellulose and kaolin's addition into the alginate affected the amount of released urea. keywords: alginate, cellulose, kaolin, slow release, urea introduction urea is a nitrogen fertilizer most often used in agriculture because it has a high nitrogen content (46%) and a relatively cheap price (wang et al., 2012). however, in application, about 40-70% of the nitrogen content in fertilizers can reduce the environment because it experiences evaporation and washing (giroto et al., 2017). besides, the excessive use of nitrogen fertilizers could cause serious environmental problems such as soil acidification, heavy carbon contaminants, and greenhouse gas emissions (islam et al., 2011, zhu and chen, 2002). therefore, it will lead to changes in soil structure, compaction, and decreased soil content in a long period. the use of fertilizers with slow-release technology is considered a promising strategy to increase healthy nutrition more effectively and efficiently (li et al., 2016a, li et al., 2016b). slow release fertilizers also have many benefits than conventional fertilizers, such as better fertilizer use and provide more nutritious nutritional requirements for plant needs (nelson et al., 2009). currently, research on slow-release fertilizer technology focuses on the use of new materials that are cheap, renewable, easily degraded, and non-toxic as materials for the development of late material in agriculture (kumar et al., 2015, roy et al., 2014). alginate is a non-toxic polysaccharide that is easily degraded and has the potential to become a slow-released material because it can form cross-linked by increasing the amount of cation and forming beads (bashan et al., 2002, bijang et al., 2018). however, high price gains and easy to experience high grade with a lot of monovalence when applied to agricultural land could limit its use (he et al., 2015). the addition of available materials as cheap as cellulose and clay can reduce the ability to slow down active substances production and produce higher efficiency of adsorption of active substances (wu et al., 2014, ningsih et al., 2019, sekewael et al., 2015). this study was conducted on the effect of the increase in cellulose and kaolin in alginate beads production to improve the urea slow-released composite material characteristics. some of the parameters studied in this study are the compositional effect of alginate-cellulose-kaolin on diameter, expansion ability, beads color, the efficiency of adsorption, and the ability to release urea fertilizer on alginate beads. sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 220 methodology synthesis of alginate beads synthesis of alginate beads using extrusion techniques (wu et al., 2011). solutions of alginate, cellulose, and kaolin mixture were prepared with various compositions as in table 1. alginate, cellulose, and kaolin are dissolved in 50 ml hot distilled water and stirred using a magnetic stirrer for 3 hours to make a homogeneous solution. the solution is then mixed with the urea fertilizer, prepared, and stirred slowly with a magnetic stirrer to keep it homogeneous at temperature for 60 minutes. table 1. variations in alginate-cellulose-kaolin composition beads code alginate (%w/v) cellulose (%w/v) kaolin (%w/v) a2 2.0 0 0 a2m1 2.0 0 1.0 a2m1.5 2.0 0 1,5 a2k1 2.0 1.0 0 a2k1.5 2.0 1.0 1.0 a2m1k1 2.0 1.0 1.5 a2m1.5k1 a2m1k1.5 a2m1.5k1.5 2.0 2.0 2.0 1.5 1.5 1.5 0 1.0 1.5 the sample is then mixed and then extruded using a 10 ml syringe into 2% cacl2 solution while stirring using a magnetic stirrer for 30 minutes to form the beads. the formed beads are separated with a filtered layer of 2% cacl2 solution and washed with distilled water 2-3 times to remove cacl2 residue. the beads were dried at a temperature of 40 °c until a constant weight is obtained. analysis of beads size the beads size was analyzed using a digital tunnel by measuring the diameter of the wet alginatecellulose-kaolin beads that had been synthesized. a total of 15 beads in each sample with each formulation were measured in three different positions, and the mean diameter was calculated and recorded. analysis of beads color color measurements were carried out using the minota c200 colorimeter by placing the sample on a white plate. the total color difference (δe), whiteness index (wi), and yellowness (yi) index are calculated by the equation 1. δe = [ (lstandardlsample) 2 + (astandard – asample) 2 + (bstandarbsampel) 2 ]0.5 (1) where a indicates a red-green color and b indicates a yellowish color, and l indicates a light-dark color. urea adsorption efficiency the adsorption efficiency of alginate beads against urea was analyzed by calculating urea concentration in the cacl2 solution after beads formation. a total of 2.5 ml of filtrate resulting from beads' formation was added to 0.5 ml of pdimethylamino-benzaldehyde (p-dmab) complexing solution analyzed by using uv-vis spectrophotometer. the absorption efficiency can be calculated using the equation 2. adsoprtion efficiency (%)= no-nu no x 100% (2) where no indicates the initial amount of urea in the alginate-cellulose-kaolin solution mixture and nu is the amount of urea fertilizer which left in the cacl2 solution after the beads formation of the beads. swelling ratio of beads the swelling ratio of the beads can be calculated from the amount of water that can be removed from the beads. a total of 0.05 grams of dried beads were soaked in 20 ml of distilled water. the soaked and swollen beads are separated using a filter paper and the excess water in the bead is removed by gently pressing the beads between three of the filter paper. the swollen beads are weighed and the swelling ratio can be calculated using the equation: swelling ratio (%) = ws-wd wd x 100% (3) where ws is the weight of the swollen beads and wd is the weight of the dry beads. ftir analysis beads samples were analyzed using a fourier transform infrared (ft-ir) atr platinum diamond bruker universal spectrophotometer. this analysis was carried out to identify the beads' structure and determine the presence of free-coo or other bonds in the polymer matrix. the analysis was carried out in the range 4000 to 400 cm-1 with a resolution of 4 cm-1. sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 221 the slow release ability of urea in beads a total of 0.05 grams of dry beads were immersed in 5 ml of distilled water in a closed beaker at room temperature and then shaken using a shaker. after 12 hours of shaking, the soaked beads were removed. the amount of nitrogen released can be determined by the colorimetric method using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 420 nm with the p-dmab complex solution. results and discussion synthesis of alginate-cellulose-kaolin beads the images of visual observation results of the alginate-cellulose-kaolin beads can be seen in figure 1. in general, wet beads have a spherical shape, even though they are somewhat less regular. almost all of the dried heads have a non-spherical shape and have a rough surface, where the morphology of the albumen is affected by the variability of composition (li et al., 2016a). the alginate wet beads added to cellulose and kaolin (a2) in figure 1 have the exact color. the same results were obtained from previous studies (abdalla et al., 2015) that alginate heads synthesized without other polymers are round and semitransparent. beads alginate-cellulose (a2-m1; a2-m1.5) were whitish and not transparent. the results obtained were the same as those of previous studies (abdalla et al., 2015); alginate beads added with polysaccharides produced whiter beads than alginate beads. in contrast to the alginate-cellulose beads, the alginate-kaolin beads (a2-k1; a2-k1.5) have a yellowish-white color. figure 1. images of wet alginate-celulose-kaolin beads the yellowish color of alginate-kaolin beads may come from the added kaolin. the color alginatecellulose-kaolin beads (a2-m1-k1 and a2-m1.5k1.5) also has a yellowish-white color when the cellulose and kaolin are used together. however, the alginate-cellulose-kaolin beads' yellow color was reduced when the ratio of cellulose was added (a2m1.5-k1). a different thing also happened when the kaolin ratio was added; the color of alginate-cellulosekaolin became yellowish. the drying process causes shrinkage of the beads (roger et al., 2006). it causes the size of the dry bead to become smaller than that of wet. besides, wet tube beads that formed are not always rounded, and this is due to the variety of solution composition, which causes an increase in solvent viscosity so that the droplets that fall are not rounded. this effect is related to the increase in droplet size, which increases the size of the beads (abdalla et al., 2015). analysis of the alginate-cellulose-kaolin beads size the size analysis was carried out in two conditions: the wet and dry bead conditions, measured using a digital caliper. table 2. diameter sizes of wet and dry alginatecellulose-kaolin beads formulation wet beads diameter (mm) dry beads diameter (mm) ∆d (mm) a2 3.23 ± 0.08b 1.40 ± 0.10b 1.83 a2-m1 2.98 ± 0.14a 1.37 ± 0.14b 1.61 a2-m1.5 2.98 ± 0.11a 1,45 ± 0,12b 1.53 a2-k1 2.98 ± 0.16a 1.22 ± 0.08a 1.76 a2-k1.5 3.51 ± 0.19de 1.67 ± 0.08c 1.84 a2-m1-k1 3.37 ± 0.14bcd 1.87 ± 0.12d 1.50 a2-m1.5-k1 3.44 ± 0.13cde 1.89 ± 0.12d 1.55 a2-m1-k1.5 3.34 ± 0.13bc 1.72 ± 0.11c 1.62 a2-m1.5k1.5 3.54 ± 0.17e 1.92 ± 0.07d 1.62 note: diameter is the average of 3 times the measurement for 15 beads. different letters show differences based on the tuckey hsd test. sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 222 beads that have been oven-dried at 40 °c experience shrinkage, which causes the size of the dry beads to be smaller compared to wet beads. table 2 shows the varied beads' sizes, and the ∆d values in table 2 show the difference between wet and dry beads. based on table 2, the smallest wet bead diameters are in 3 sample formulations, namely variations in the composition of a2-m1, a2-m1.5, and a2k1, where the diameters are 2.98 ± 0.14, 2.98 ± 0.11, and 2.98 ± 0.16. however, the largest diameter is in the a2-m1.5-k1.5 formulation, which is 3.54 ± 0.17. based on data in table 2, the alginate beads decreased in diameter when the cellulose was added. the same thing happens when the ratio of cellulose is added; the beads' diameter decreases and has the same value as the previous cellulose ratio. the decrease that occurs is possible because the additional cellulose has low viscosity, so the mixture becomes thinner and produces smaller droplets. the diameter of beads also decreased when kaolin was added to the alginate. however, when the ratio of kaolin increases, the diameter of beads also increases. it is possible because the increase in the amount of kaolin causes the mixture's viscosity to be higher and produce larger grains than the alginate beads (wu et al., 2011). the addition of cellulose and kaolin to alginate increases the beads' diameter, which is possible because of the high viscosity of the mixture. in the a2m1-k1 and a2-m1-k1.5 formulations, the increase was not too high. in contrast to the formulations a2m1.5-k1 and a2-m1.5-k1.5, the increase was relatively high. the a2-m1.5-k1.5 formulation had the largest diameter and was possible because of adding cellulose and kaolin with a large ratio and causing the mixture's viscosity to be larger. analysis of alginate-cellulose-kaolin beads color the color analysis was carried out on beads samples that had been dried at 40 °c. each bead was measured on a white plate using a colorimeter. the l* value in table 3 shows the parameters of the dark and light color of the sample, the a* value indicates a redgreen color, and b indicates a yellowish blue color. the ∆e* value in table 3 indicates the amount of color change for each sample. the color characteristics of the dry beads samples obtained varied for all formulations, as shown in table 3. based on data in table 3, the alginate beads show an increase in l* values in the addition of cellulose from 52.84 ± 0.11 to 63.14 ± 0.14. it indicates that the alginate beads sample becomes brighter or whitish after adding cellulose, as well as when the concentration of cellulose is increased, the l* value becomes more extensive, which indicates the sample become brighter. different results occur for the a* and b* values. the addition of cellulose to the alginate beads caused a slight decrease in the a* and b* values. the decrease in the value of a* indicates that the alginate beads sample shifted to a greenish direction when cellulose was added. the same results were obtained when the ratio of cellulose was added, and the a* and b* values decreased compared to alginate beads. this decreased b* value shows the color of the beads shifting towards blue. the change from the beads' color also looks much different. table 2 shows that cellulose's addition causes the ∆e* value to increase from 56.26 ± 0.19 to 65.46 ± 0.39 and 67.01 ± 0.41. table 3 shows that the addition of kaolin to the alginate caused a decrease in the l* value from 52.84 ± 0.11 to 49.56 ± 0.17. it indicates that the color of the beads will become darker when kaolin is added. this result also occurs when the added kaolin ratio, the l* table 3. color characteristics of alginate-cellulose-kaolin beads formulation l* a* b* ∆e* a2 52.84 ± 0.11d 4.95 ± 0.08b 18.70 ± 0.14d 56.26 ± 0.19d a2m1 63.14 ± 0.14h 4.94 ± 0.19b 16.54 ± 0.31b 65.46 ± 0.39h a2m1.5 65.13 ± 0.21i 4.00 ± 0.11a 15.21 ± 0.34a 67.01 ± 0.41i a2k1 49.56 ± 0.17a 6.02 ± 0.22d 17.35 ± 0.20c 52.85 ± 0.34a a2k1.5 51.04 ± 0.12b 4.83 ± 0.17b 15.18 ± 0.16a 53.46 ± 0.26b a2m1k1 51.81 ± 0.15c 5.74 ± 0.06c 16.44 ± 0.19b 54.66 ± 0.25c a2m1.5k1 56.29 ± 0.20f 5.52 ± 0.08c 16.29 ± 0.05b 58.85 ± 0.22f a2m1k1.5 55.54 ± 0.24e 5.51 ± 0.11c 16.41 ± 0.20b 58.18 ± 0.33e a2m1.5k1.5 57.37 ± 0.10g 5.50 ± 0.06c 16.60 ± 0.17b 59.98 ± 0.21g note: the measurement is carried out five times and then averaged. different letter notes indicate differences based on the tuckey hsd test sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 223 value became less when the alginate was added with kaolin. still, the kaolin ratio's addition causes the l* value to become more significant if the kaolin ratio is smaller. an increase of a* value occurred when the addition of kaolin to alginate was carried out. an increase indicates the color of bead leads to a greenish color, but when the kaolin ratio is added, there is a decrease of a* value, which indicates that the color of heads shifts towards redness. the decrease also occurs in the b* value; when the addition of kaolin, the b* value decrease, and so when the kaolin ratio is added, the decrease is more significant. the decreasing of b* value denotes a shifting of color to head to the blue direction. the same phenomenon happened to the ∆e* value; the ∆e* value decreased when kaolin was added to the alginate. these results indicated that the sample added kaolin did not experience a sufficiently large color change as seen in the a2k1 and a2k1.5 formulations. the mixture of alginate, cellulose, and kaolin beads experiences a decrease in l* value if compared with the alginate bead. the decrease of the l* value from 52.84 ± 0.11 to 51.81 ± 0.15 indicates the heads' color is more visible in the a2m1k1 formulation. when the cellulose ratio is added, the l* value becomes 56.29 ± 0.20, which is seen in the a2m1.5k1 formulation, the same as the a2m1k1 ratio added to the a2m1.5k1 formulation. the l* value becomes larger if it is compared with the alginate beads. the highest l* value was found in the a2-m1.5-k1.5 formulation, indicating a more extensive white or lighter weight after adding cellulose and kaolin with more excellent ratios. the l* value in this formulation is 57.37 ± 0.10, which is very far from the l* beads alginate value, namely 52.84 ± 0.11. this result corresponds to the a* value if it is compared with an increase in the alginate amount. this result indicates that cellulose and kaolin's addition causes the color to shift in a green direction. the a2 formulation, if compared with the a2-m1-k1, a2m1.5-k1, a2-m1-k1.5, and a2-m1.5-k1.5 formulations, differed significantly, but the addition of ratio cellulose or kaolin make a little changes for a* values. in contrast with a* value, the value of b * decreases in proportion to alginate beads' value. the value of b* alginate from 18.70 ± 0.14 decreases to 16.29 ± 0.05 when cellulose and kaolin were added. this shows the color of the heads shifting toward a bluish direction. the ∆e* value obtained in the a2m1-k1 formulation is smaller than the a2-beam formulation; this indicates that the change/difference in the beads' color is less. still, in the a2-m1.5-k1, a2m1-k1.5, and a2-m1.5-k1.5 formulations, an increase in the value of ∆e* indicates the change/difference in color heads are getting bigger. analysis of alginate-cellulose-kaolin beads swelling ratio swelling ratio analysis was carried out to measure the swelling ability of the sample of beads. based on the graph obtained in figure 2, the highest swelling was in the 2% alginate formulation, which is 67%. when the cellulose addition was carried out, a decrease in the swelling ratio's value was not much different, seen in the a2m1 formulation. the same thing was obtained when the cellulose ratio was added to the a2m1.5 formulation; the decreased swelling ratio increased. the addition of kaolin to alginate also caused a significant decrease in the welling ratio value. the same was right when the kaolin ratio was added, but the decreased swelling ratio value was not more significant than the previous ratio. the same results were obtained when the addition of cellulose and kaolin was carried out; there was a decrease in swelling ratio value. the difference is that when the cellulose and kaolin were added, the decrease in the swelling ratio value is more significant. based on the swelling ratio chart, three formulations have relatively the same values: a2-m1.5-k1, a2-m1-k1.5, and a2-m1.5-k1.5. figure 2. value of the swelling ratio beads. the data displayed is the mean of three times measurements ± standard deviation. different notations indicate different results of the tuckey hsd test. the swelling ability of alginate may be due to carboxyl groups, which bind strongly to water. the decrease in welling ratios may be due to the addition of polysaccharides, which then bind with the carboxyl group in the alginate and reduce the active groups in the alginate and induce the hydrophilicity system of alginate release (roger et al., 2006). the results sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 224 obtained in this study are similar to previous studies where there was a decrease in the value of welling ratiometric added by polysaccharide and cellulose (li et al., 2016b). this is possible because there is an electrostatic anionic resistance of cellulose, which is hydrophilic, reducing the osmotic pressure between the tissues and the solution outside (zhao et al., 2006). a high swelling ratio of alginate is possible because alginate is a very ionic polymer with carboxylate and hydroxyl groups so that it can bind more hydrogen to water (liu et al., 2013). the addition of clay in the form of kaolin to the alginate mixture is also possible to only strengthen the alginate structure and make the beads compact so that there is a decrease in the swelling value ratio. this result can be seen in figure 5 that the lower welling ratio in a2k1 and a2k1.5. functional group analysis of alginate-cellulosekaolin beads ftir analysis was carried out to determine the functional groups' changes in each bead formulation and determine the interactions that occurred. the results of the ftir spectra in this study can be seen in figure 3. based on figure 3, can be seen that the shifts in the number of wave number when the material is added to the alginate mixture. in the range 3300 cm-1, which shows the o-h group, the peaks formed are more significant and broader, except for the a2k1.5 formulation where the peak peaks are not visible. besides, all the peaks showed a sharper shape when cellulose and kaolin were added. a shift in the wavenumber indicates a change in the environment of the functional groups that occur when the addition of material is carried out. specific alginate absorption at 1023.583 cm-1 showed vibration of carboxyl and ether. the typical absorption of carbonyl groups on the alginate was shown at wavenumbers 1592.467 cm-1. the absorption wave numbers 3207.364 cm-1 and 1404.879 cm-1 showed the absorption of wavenumbers for o-h vibrations. the o-h group on the alginate shows a widened band due to hydrogen-molecular binding (asa et al., 2016). meanwhile, c-h stretching alkyl vibration is shown in wavenumbers 2925.981 cm-1. in 2% alginate beads, there is a more excellent absorption in the oh cluster's vibrations, which is 3254.261 cm-1, which is possible due to its strong interaction between the oh clusters with ca2+ (verma et al., 2013). increased absorption also occurs when cellulose and kaolin were added, which reach 3329.705 cm-1 at beads formulation a2-m1-k1.5. the increase in the -oh group's absorption intensity comes from roh on alginate or si-oh or al-oh in kaolin, which indicates a hydrogen-bonding interaction between alginate and kaolin (athaillah et al., 2018). figure 3. ftir spectra beads formulation. note: (a) alginate powder (b) beads a2, (c) beads a2-m1, (d) beads a2-m1.5, (e) beads a2-k1, (f) beads a2-k1.5, (g) beads a2-m1-k1, (h) beads a2-m1.5-k1, (i) beads a2-m1-k1.5, dan (j) beads a2-m1.5-k1.5. the absorption at wavenumber 694 cm-1 is the si-o vibration, and the absorption at 949 and 3672 cm1 is the al-oh vibration and is a unique absorption in the kaolin spectra. the absorption obtained from the characterization of beads alginate added with kaolin was 909.399 cm-1, a shift from 949 cm-1 from kaolin, namely al-oh vibration, showed the presence of kaolin interaction in beads. absorption at wavenumber 1003.193 cm-1 of kaolin showed symmetric si-o-si vibrations. the loss of absorption at 694 cm-1, a si-o vibration, and 3672 cm-1, a vibration of al-oh from kaolin, shows the formation of interactions between kaolin and alginate on the surface of al-oh and si-o kaolin through hydrogen bonding (athaillah et al., 2018). shifting in absorption also occur in the carbonyl group, compared with the number of alginates higher when cellulose and kaolin are added. the shift that occurs between 1582.272 cm-1 to 1592.468 cm-1 wavenumbers. the shift that occurs indicates the interaction of the carbonyl alginate groups when cellulose and kaolin are added. besides, a shift also occurred in the carboxyl group, uptake of the alginate's wavenumber experienced an increase in intensity when added cellulose length from 1023.584 to 1025.623 cm-1. when kaolin is added to the alginate beads, there is a decrease in the absorption intensity of the waves to 1001.154 cm-1. similarly, when alginate is added with sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 225 cellulose and kaolin, there is a decrease in the number of waves' absorption intensity. sufficient reduction is possible due to strong interactions of carboxyl groups intermediate alginate, cellulose, and kaolin. analysis of the alginate-cellulose-kaolin beads adsorption efficiency the adsorption efficiency analysis was performed to determine the ability of alginate-cellulose-kaolin beads to absorb urea. this analysis was performed by measuring the concentration of urea present in the cacl2 solution. the efficiency of adsorption efficiency of beads alginate-cellulose-kaolin is shown in table 4. based on data in table 4, there is an increase in the efficiency of alginate uptake when added polysaccharide and cellulose and when the cellulose ratio is added to increase the adsorption efficiency, but not as big as the previous ratio. the same thing was done when the addition of kaolin to alginate increased adsorption efficiency, but there was a decrease in the kaolin ratio. table 4. adsorption efficiency of alginate-cellulosekaolin beads beads formulation adsorption efficiency a2 39.25 a2m1 44.83 a2m1.5 39.96 a2k1 45.06 a2k1.5 31.67 a2m1k1 42.86 a2m1.5k1 46.12 a2m1k1.5 38.08 a2m1.5k1.5 37.25 an increase in the adsorption efficiency of alginate also occurs when adding cellulose and kaolin. increases occurred in the a2-m1-k1 and a2-m1.5-k1 beads formulations, but there was also a decrease in the a2-m1-k1.5 and a2-m1.5-k1.5 beads formulations. based on table 4, the value of the beads' adsorption efficiency obtained for each formulation is not much different. previous research (kassem et al., 2012) stated that stirring timing is one of the most critical factors in preparing the beads. increased stirring time can reduce adsorption efficiency due to prolonged exposure to the media resulting in the more extended release of active ingredients via alginate cross-linking. when cellulose is added, there is an increase in the adsorption efficiency of the alginate beads. the increase in trapping efficiency may be due to an increase in the prepared beads mixture's viscosity. it is also possible because the added material will cover the alginate beads' pores and prevent release from the cross-linking solubility active (narra et al., 2012). the decrease in absorption efficiency can also be caused by an increase in the concentration of kaolin added. it can occur because the active groups that have been bound become inactivated by the active material (kumar et al., 2009). slow release ability of alginate-cellulose-kaolin beads the slow-release ability of the beads can be determined from the amount of urea release in the water. a total of 2.5 ml of the filtrate obtained was put into a cuvette and added with 0.5 ml of complexing, shaken, left for 10 minutes while analyzed using a uvvis spectrophotometer that the concentration of the amount of urea released was obtained. based on the graph, the amount of urea released decreased when cellulose was added to the alginate mixture (figure 4). when the cellulose ratio was increased, there was also a decrease in urea released, although it was not significant. figure 4. graph of the amount of urea released for each bead formulation. the data shown are the mean of the two times measurements included standard deviation. different notations indicate different results of the tuckey hsd test a different thing happened when the alginate beads were added with kaolin; there was a significant increase in urea released. an increase also occurred when the kaolin ratio was added, but the increase was not significant. the same thing happened when alginate was added with cellulose and kaolin, and the highest increase was in the a2-m1-k1.5 formulation. in other formulations, the increase also occurred not much different. sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 226 based on figure 4, the amount of urea released decreases when cellulose as polysaccharides was added. this is following previous research (li et al., 2016b), which states that cellulose can improve the alginate bead system by affecting the rate of release of agricultural chemicals. the increase in the amount of urea released is possible because the added material makes the structure more open or the addition of material to the alginate inhibits forming electrostatic interactions with ca2+ in the beads (li et al., 2016a). also, the increase in urea release with additional kaolin is possible because urea is not intercalated into minerals but is retained on the surface and ends of kaolin (barral et al., 2008). kaolin is also known to have a neutral or slightly negative charge structure and has a weak bond so that it is unable to bind urea strongly (reyes and fiallo, 2011). conclusion the addition of cellulose and kaolin to the alginate had a significant effect on alginate beads' characteristics, including wet and dry beads diameter, color, and swelling ratio but not significant to the adsorption efficiency of urea. the addition of cellulose to alginate reduced urea release while the addition of kaolin and cellulose-kaolin was small increase the release of urea in the water. acknowledgment the authors would like to thank the laboratory of biomaterial chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, the university of lambung mangkurat for supporting laboratory facilities and infrastructure. references abdalla, k., kamoun, e., and maghraby, g., 2015. optimization of the entrapment efficiency and release of ambroxol hydrochloride alginate beads, j. applied pharmaceutical sci., 013-019. asa, f.n.m., sumarsih, s., and zaidan, a.h., 2016. komposit kolagen fibril-alginat sebagai kandidat membran hidrogel skin substitute. j. biosains pascasarjana, 18, 112. athaillah, a., suratman, a., and suyanta, s., 2018. sintesis membran matriks tercampur alginat/zeolit alam/kaolin untuk pemisahan gas co2 dan ch4, bimipa, 25, 42-52. barral, s., villa-garcía, m.a., rendueles, m., and díaz, m., 2008. interactions between whey proteins and kaolinite surfaces, acta materialia, 56, 2784-2790. bashan, y., hernandez, j.-p., leyva, l., and bacilio, m., 2002. alginate microbeads as inoculant carriers for plant growth-promoting bacteria, bio. and fertility of soils, 35, 359-368. bijang, c.m., tehubijuluw, h., and kaihatu, t.g., 2018. biosorption of cadmium (cd2+) metal ion in brown seaweed biosorbent (padina australis) from liti beach, kisar island. indo. j. chem. res., 6, 51-58. giroto, a.s., guimarães, g.g.f., foschini, m., and ribeiro, c., 2017. role of slow-release nanocomposite fertilizers on nitrogen and phosphate availability in soil, scientific rep., 7, 46032-46032. he, y., wu, z., tu, l., han, y., zhang, g., and li, c., 2015. encapsulation and characterization of slow-release microbial fertilizer from the composites of bentonite and alginate, applied clay sci., 109-110, 68-75. islam, m.r., mao, s., xue, x., eneji, a.e., zhao, x. and hu, y., 2011. a lysimeter study of nitrate leaching, optimum fertilisation rate and growth responses of corn (zea mays l.) following soil amendment with water-saving super-absorbent polymer, j. the science of food and agriculture, 91, 1990-1997. kassem, m.a., el assal, m.i.a.-t., and al-badrawy, a.a.-s., 2012. preparation and evaluation of certain hydrophilic drug-loaded microspheres. inter.res. j. pharmaceuticals, 2, 82-90. kumar, s., chauhan, n., gopal, m., kumar, r. and dilbaghi, n., 2015. development and evaluation of alginate–chitosan nanocapsules for controlled release of acetamiprid, inter. j. biological macromolecules, 81, 631-637. kumar, s., dwevedi, a., and kayastha, a.m., 2009. immobilization of soybean (glycine max) urease on alginate and chitosan beads showing improved stability: analytical applications, j. molecular catalysis b: enzymatic, 58, 138-145. li, m., tshabalala, m.a., and buschle-diller, g., 2016a. formulation and characterization of polysaccharide beads for controlled release of plant growth regulators, j, materials science, 51, 4609-4617. li, x., li, q., xu, x., su, y., yue, q. and gao, b., 2016b. characterization, swelling and slowrelease properties of a new controlled release fertilizer based on wheat straw cellulose hydrogel, j. the taiwan institute of chemical engineers, 60, 564-572. sunardi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 219-227, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.8-sun 227 liu, l., wu, f., ju, x.-j., xie, r., wang, w., niu, c.h., and chu, l.-y., 2013. preparation of monodisperse calcium alginate microcapsules via internal gelation in microfluidic-generated double emulsions, j. colloid and interface sci., 404, 85-90. narra, k., dhanalekshmi, u., rangaraj, g., raja, d., kumar, c.s., reddy, p.n., and mandal, a.b., 2012. effect of formulation variables on rifampicin loaded alginate beads. iranian j. pharmaceutical res.,: ijpr, 11, 715. nelson, k.a., paniagua, s.m., and motavalli, p.p., 2009. effect of polymer coated urea, irrigation, and drainage on nitrogen utilization and yield of corn in a claypan soil, agronomy j., 101, 681687. ningsih, e.p,, ariyani, d., and sunardi, 2019. effects of carboxymethyl cellulose addition on the characteristics of bioplastic from nagara sweet potatoes (ipomoea batatas l.) starch, indo. j. che. res., 7, 77-85. roger, s., talbot, d., and bee, a., 2006. preparation and effect of ca2+ on water solubility, particle release and swelling properties of magnetic alginate films, j. magnetism and magnetic materials, 305, 221-227. reyes, c.a.r., and fiallo, l.y.v., 2011. application of illiteand kaolinite-rich clays in the synthesis of zeolites for wastewater treatment, chapter book, earth and environmental sciences. intech. roy, a., singh, s., bajpai, j., and bajpai, a., 2014. controlled pesticide release from biodegradable polymers, open chemistry, 12, 453-469. sekewael, s.j., tehubijuluw, h., and lefmanut, i.c., 2015. intercalation of clay by surfactant and its application as adsorbent of lead ion (pb2+). indonesian journal of chemical research, 3, 231237. verma, a., sharma, m., verma, n., and pandit, j.k., 2013. floating alginate beads: studies on formulation factors for improved drug entrapment efficiency and in vitro release, farmacia, 61, 143-161. wang, y., liu, m., ni, b., and xie, l., 2012. κcarrageenan–sodium alginate beads and superabsorbent coated nitrogen fertilizer with slow-release, water-retention, and anticompaction properties, industrial & engineering chemistry research, 51, 1413-1422. wu, z., guo, l., qin, s., and li, c., 2011. encapsulation of r. planticola rs-2 from alginate-starch-bentonite and its controlled release and swelling behavior under simulated soil conditions, j. industrial microbiology & biotechnology, 39, 317-327. wu, z., he, y., chen, l., han, y., and li, c., 2014. characterization of raoultella planticola rs-2 microcapsule prepared with a blend of alginate and starch and its release behavior, carbohydrate polymers, 110, 259-267. zhao, y., kang, j., and tan, t., 2006. salt, ph, and temperature-responsive semi-interpenetrating polymer network hydrogel based on poly(aspartic acid) and poly(acrylic acid), polymer, 47, 7702-7710. zhu, z.l., and chen, d.l., 2002. nitrogen fertilizer use in china-contributions to food production, impacts on the environment and best management strategies, nutrient cycling in agroecosystems, 63, 117-127. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 57 variasi jarak antar layer bentonit pada pembuatan nanokomposit pla-bentonit sebagai kemasan makanan bentonite basal spacing variation on synthesis of pla-bentonite nanocomposite for food packaging vita wonoputri 1,2 , natasha emanuella 2 , evelyn angelica 2 , johnner sitompul 1,2* 1 program studi teknik kimia, fakultas teknologi industri, institut teknologi bandung jl. ganesa 10, bandung 40132, indonesia 2 program studi teknik pangan, fakultas teknologi industri, institut teknologi bandung jl. let. jen. purn. dr. (hc). mashudi 1/jl. raya jatinangor km20,75, sumedang 45363, indonesia * corresponding author: sitompul@che.itb.ac.id received: 2019-12-20 received in revised:2020-2-12 accepted: 2020-5-20 available online: 2020-5-31 abstract in this study, bentonite was used as a filler in the synthesis of polylactic acid (pla) nanocomposite. the mechanical property of pla-bentonite nanocomposite was treated using two different surfactants, namely octadecyl amine (oda) and trimethyl stearyl ammonium chloride (tsc) at two different concentration (20 mmol and 40 mmol). the treatments of oda and tsc in the matrix with regards to the basal spacing of bentonite stacks measured by x-ray diffraction (xrd) analysis. the results showed a significant increase in basal spacing was obtained when tsc 40 was applied for treatment. data of fourier transform infrared spectroscopy (ftir) suggested that this increase was caused by the incorporation of surfactant into the bentonite stacks. most of the pla-bentonite nanocomposite can form intercalation structure, while a sample containing tsc 40 formed exfoliation structure. this exfoliation structure resulted in a film with the best tensile strength and water vapor permeability compared to the others. the film containing tsc 40 showed the lowest reduction in water activity, almost similar to the bread sample wrapped using conventional plastic. the bread wrapped with tsc 40 film was not grown by fungi as opposed to the conventional plastic, showing the potential of the nanocomposite film as food packaging. keywords: bentonite, nanocomposite, polylactic acid, surfactant, food packaging. abstrak (indonesian) dalam penelitian ini, bentonit digunakan sebagai pengisi dalam sintesis nanokomposit asam polylactic acid (pla). sifat mekanik nanokomposit pla-bentonit diolah menggunakan dua surfaktan yang berbeda, yaitu octadecyl amine (oda) dan trimethyl stearyl ammonium chloride (tsc) pada dua konsentrasi yang berbeda (20 mmol dan 40 mmol). perlakuan oda dan tsc dalam matriks berhubungan dengan jarak basal tumpukan bentonit diukur dengan analisis x-ray diffraction (xrd). hasil penelitian menunjukkan peningkatan jarak basal yang naik signifikan diperoleh ketika tsc 40 diterapkan untuk pengobatan. data fourier transform infrared spectroscopy (ftir) menunjukkan bahwa peningkatan ini disebabkan oleh penggabungan surfaktan ke dalam tumpukan bentonit. sebagian besar nanokomposit pla-bentonit dapat membentuk struktur interkalasi, sedangkan sampel yang mengandung tsc 40 membentuk struktur eksfoliasi. struktur eksfoliasi ini menghasilkan film dengan kekuatan tarik terbaik dan permeabilitas uap air dibandingkan dengan yang lain. film yang mengandung tsc 40 menunjukkan pengurangan aktivitas air terendah, hampir mirip dengan sampel roti yang dibungkus menggunakan plastik konvensional. roti yang dibungkus dengan film tsc 40 ditumbuhi oleh jamur sebaliknya plastik konvensional. hasil ini, menunjukkan potensi film nanokomposit sebagai kemasan makanan. kata kunci: bentonite, nanokomposit,asam poliatik, surfactant,kemasan makanan. vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 59 pendahuluan kemasan makanan merupakan salah satu aspek yang penting dalam industri makanan. jenis dan bahan baku dari kemasan makanan itu sendiri harus memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh makanan yang dilindunginya seperti sifat permeabilitas, ketahanan panas dan kekuatan mekaniknya. plastik adalah material yang paling umum digunakan sebagai kemasan makanan. plastik yang banyak digunakan adalah plastik sintetis dari bahan yang tidak terbarukan yang membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi, sehingga dapat menyebabkan masalah penumpukan sampah. plastik biodegradable atau biopolimer dapat menjadi jawaban dari masalah sampah plastik di indonesia. menurut ban dkk. (2006), plastik biodegradable merupakan alternatif kemasan makanan ramah lingkungan karena terbuat dari bahan terbarukan dan mudah terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme dan cuaca. salah satu biopolimer yang menjanjikan saat ini adalah poliasam laktat atau polylactic acid (pla). selain biodegradable, pla memiliki sifat biokompatibilitas yang baik, termoplastis, serta dapat dipabrikasi. namun, pla juga memiliki kelemahan karena strukturnya yang rapuh dan sifat permeabilitas gas yang tinggi (sitompul dkk., 2016). modifikasi dari sifat pla harus dilakukan agar pla dapat digunakan sebagai kemasan makanan yang dapat melindungi makanan dan ramah lingkungan. salah satu cara modifikasi pla adalah dengan memberikan filler berupa partikel nano ke dalam rantai polimer pla sehingga terbentuklah film nanokomposit (tjong dan may, 2010). salah satu filler yang dapat digunakan adalah bentonit. bentonit umumnya digunakan untuk rafinasi minyak goreng. sebelum digunakan sebagai filler, bentonit harus diregenerasi terlebih dahulu. selain itu, bentonit umumnya diaktivasi dengan menggunakan surfaktan terlebih dahulu. proses pengaktivasian ini bertujuan untuk menciptakan suatu jarak antar permukaan bentonit (jarak antar layer atau basal spacing) sehingga bentonit dapat membentuk berbagai bentuk nanokomposit dengan pla (jimenez dkk., 2015). besarnya basal spacing yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi surfaktan yang digunakan pada proses aktivasi. oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada penggunaan dua buah surfaktan untuk menghasilkan basal spacing bentonit yang berbeda-beda. surfaktan yang digunakan adalah octadecylamine (oda) dan trimethyl stearylammonium chloride (tsc) pada konsentrasi 20 mmol dan 40 mmol. sesudah perlakuan dengan surfaktan, bentonit digunakan sebagai filler dalam pembuatan film pla-bentonit nanokomposit. karakterisasi film yang sudah disintesis meliputi pengujian kekuatan mekanik, biodegradabilitas, permeabilitas air. film yang didapatkan juga diuji sebagai pembungkus roti. metodologi alat dan bahan peralatan yang digunakan untuk sintesis laktida dan polimerisasi laktida dengan metode ring opening polymerization (rop) disajikan pada gambar 1. bahan-bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah asam laktat 88,1% (brataco), pla komersial, katalis timah(ii) 2-etilheksanoat (sn(oct)2; sigma aldrich), oda (sigma aldrich), tsc (tokyo chemical industry), sodium hipoklorit (brataco), kloroform (brataco), metanol (brataco) serta bentonit terpakai (sinarmas group). prosedur kerja sintesis dan pemurnian laktida asam laktat sebanyak 250 ml dimasukkan ke dalam labu leher 3 dan dipanaskan selama 2 jam pada temperatur 160°c untuk menghilangkan kandungan air dalam asam laktat. temperatur kemudian dinaikkan menjadi 200-210 °c dan tekanan diturunkan hingga mencapai kondisi vakum (-20 cmhg) sehingga terjadi reaksi oligomerisasi selama 4 jam. padatan laktida yang didapatkan dicuci dengan air dan disaring. rata-rata perolehan laktida adalah sebesar 5,2%. pemurnian padatan laktida (untuk menghilangkan meso-laktida) dilakukan dengan rekristalisasi menggunakan etil asetat panas dengan perbandingan 1,25 ml/g kristal laktida. campuran didinginkan secara perlahan hingga temperatur ruang dan dilanjutkan dalam freezer selama 12 jam. kristal yang terbentuk disaring dan dikeringkan di dalam desikator vakum selama 24 jam. rata-rata perolehan laktida sesudah proses rekristalisasi adalah 47,10%. gambar 1. rangkaian alat (a) sintesis laktida, (b) polimerisasi laktida vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 60 polimerisasi laktida dengan metode ring opening polymerization (rop) laktida rekristalisasi sebanyak 6 g dimasukkan bersama dengan katalis sn(oct)2 (1%-massa) pada kondisi inert (tanpa oksigen). campuran dipanaskan dan diaduk selama 4 jam pada temperatur 140 c. kloroform sebanyak 20 ml ditambahkan ke dalam campuran untuk melarutkan pla yang terbentuk, kemudian pla diendapkan kembali dengan menambahkan 20 ml metanol. endapan disaring dan dikeringkan dalam vakum desikator selama 24-48 jam. pla hasil sintesis memiliki berat molekul sebesar 111,174 g/mol. regenerasi dan aktivasi bentonit terpakai bentonit terpakai diekstraksi dengan n-heksana untuk menghilangkan minyak yang tersisa. bentonit hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada temperatur 110 °c dan kemudian diayak menggunakan saringan 325 mesh. bentonit hasil ayakan diputihkan dengan naocl selama 120 menit, diaduk pada temperatur 80 o c, lalu disaring. bentonit dicuci dengan air demineralisasi dan dikeringkan pada temperatur 110 o c selama 24 jam. bentonit kering sebanyak 10 g dilarutkan dalam 200 ml etanol-air (1:4, v/v) pada temperatur 70 °c dan diaduk selama 2 jam. larutan surfaktan disiapkan dengan melarutkan sejumlah surfaktan (20 mmol atau 40 mmol, baik untuk oda maupun tsc) dalam dilarutkan dalam 100 ml etanol-air (1:1, v/v). hcl pekat ditambahkan ke dalam larutan jika serbuk surfaktan belum larut. kedua larutan tersebut kemudian dicampur dan diaduk selama 1 jam pada temperatur 80 o c. bentonit yang sudah mendapat perlakuan (organobentonit) disaring, dicuci dan dikeringkan dalam oven. pembuatan film nanokomposit pla-bentonit menggunakan metode sonikasi organobentonit (4%-massa) dilarutkan ke dalam 20 ml kloroform dan disonikasi selama 1 jam. dalam wadah lain, sebanyak 0,75 g pla hasil sintesis dan 1,75 g pla komersial dilarutkan ke dalam 30 ml kloroform dan diaduk pada temperatur ruang sampai seluruh pla larut. kedua campuran tersebut dicampur dan disonikasi selama 2 jam. campuran larutan pla dan bentonit dituangkan ke dalam loyang berukuran 13 cm x 13 cm untuk membentuk film. film diratakan dan dikeringkan selama 24 jam pada temperatur ruang. karakterisasi uji karakterisasi dilakukan terhadap bentonit, laktida, pla hasil sintesis, dan film nanokomposit pla-bentonit. uji fourier transform infrared spectroscopy (ftir) dilakukan terhadap bentonit dan laktida hasil sintesis untuk mengetahui struktur molekul dan kemurnian laktida hasil sintesis. uji xray diffraction (xrd) dilakukan terhadap bentonit dan film nanokomposit pla-bentonit untuk mengetahui jarak antar layer bentonit menggunakan persamaan bragg’s. sementara itu, karakterisasi film nanokomposit pla-bentonit dilakukan dengan uji sifat mekanik menggunakan universal testing machine, uji biodegradabilitas, uji water vapor permeability (wvp), dan uji pengaruh kemasan terhadap makanan. hasil dan pembahasan karakterisasi bentonit jarak antar layer dianalisis dengan menggunakan xrd dan didapatkan bahwa bentonit hasil regenerasi (sebelum perlakuan dengan surfaktan) memiliki jarak layer sebesar 1,49 nm (gambar 2). perlakuan bentonit dengan oda sebesar 20 mmol menambah jarak antar layer mencapai 1,57 nm (meningkat sebesar 11%). peningkatan jarak antar layer bentonit dengan surfaktan terjadi karena ion-ion anorganik na/ca/mg yang berada di antara layer bentonit bertukar dengan ion-ion positif yang dimiliki oleh surfaktan organik (patel dkk., 2010). penyerapan ion ini mengakibatkan surfaktan yang digunakan masuk ke antar layer bentonit, sehingga meningkatkan jarak antar layer bentonit. ketika jumlah surfaktan yang digunakan bertambah dua kali lipatnya menjadi 40 mmol oda, jarak antar layer bentonit juga meningkat menjadi 1,72 nm atau 23%. peningkatan jumlah surfaktan meningkatkan jumlah ion yang dapat dipertukarkan, sehingga gaya tolak menolak menjadi semakin besar dan menghasilkan jarak yang semakin besar pula (de paiva dkk., 2008). gambar 2. xrd spektra dan jarak antar layer bentonit tanpa perlakuan dan sesudah perlakuan vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 61 hal serupa juga terjadi pada bentonit yang diregenerasi dengan tsc. penambahan tsc sebesar 20 mmol meningkatkan jarak antar layer menjadi 1,99 nm (meningkat sebesar 33%), sedangkan untuk konsentrasi 40 mmol adalah sebesar 2,05 nm (meningkat sebesar 39%). peningkatan jarak antar layer pada tsc lebih besar dibanding oda pada konsentrasi yang sama. maka karena itu, dapat disimpulkan bahwa penambahan jarak antar layer tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah surfaktan namun juga dipengaruhi oleh jenis surfaktan. tsc merupakan surfaktan dengan gugus fungsi amina dengan tiga cabang alkil, sehingga memiliki struktur garam amonium yang lebih besar daripada oda yang hanya memiliki gugus amina pada sisi ujung rantai (gambar 3). ion amina bertukar dengan ion sodium yang ada di dalam bentonit. pada saat pertukaran ion ini, struktur tsc yang lebih besar akan menyebabkan gaya tolak menolak yang semakin besar antarkation sehingga jarak antar layer pun meningkat. selain itu, rantai alifatik tsc yang lebih panjang daripada rantai alifatik oda juga berkontribusi dalam penambahan jarak antar layer bentonit. (a) (b) gambar 3. struktur kimia (a) oda dan (b) tsc bentonit yang telah diaktivasi dengan surfaktan oda dan tsc diuji dengan ftir untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang terkandung pada bentonit (gambar 4). kedua sampel yang diujikan menunjukkan 3 puncak utama pada bilangan gelombang 1019,77 cm -1 , 787,54 cm -1 , dan 666,25 cm -1 yang merupakan puncak ikatan si-o, fe 3+ -ohmg, dan si-o-mg. ketiga puncak ini menunjukan penyusun utama dari bentonit. selain itu, terdapat pula puncak pada bilangan gelombang 2916 cm -1 , 2849 cm -1 , dan 1467 cm -1 yang menunjukan adanya gugus c-h. keberadaan gugus ini menandakan keberadaan gugus hidrokarbon di dalam bentonit yang berasal dari masing-masing surfaktan. bentonit dengan surfaktan oda menunjukan intensitas yang lebih besar pada puncak tersebut karena gugus hidrokarbon yang lebih panjang yang dimiliki oleh surfaktan oda. sedangkan untuk tsc, intesitas gugus c-h tampak lebih kecil karena rantai hidrokarbon yang lebih sedikit dibanding oda. hasil analisis ini membuktikan bahwa kedua surfaktan berikatan ke dalam bentonit yang telah diaktivasi. karakteristik dispersi bentonit dalam film nanokomposit pla-bentonit untuk mengetahui karakteristik dispersi bentonit dalam matriks pla maka pengukuran jarak antar layer bentonit dengan xrd juga dilakukan pada nanokomposit pla-bentonit. ketika bentonit ditambahkan ke matriks pla, terjadi peningkatan jarak antar layer bentonit tersebut, menjadi 2,414 nm (meningkat 35%); 2,635 nm (34,7%); 2,992 nm (33,5%); 5,584 nm (62,9%) berturut-turut untuk oda 20, oda 40, tsc 20, dan tsc 40 (tabel 1). tabel 1. hasil karakteristik jarak antar layer film nanokomposit pla-bentonit keterangan jarak antar layer (nm) oda 20 2,414 oda 40 2,635 tsc 20 2,992 tsc 40 5,584 gambar 4. analisis ftir pada organobentonit menggunakan (a) oda 20 mmol dan (b) tsc 20 mmol vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 62 peningkatan jarak antar layer ini disebabkan oleh interaksi antara gugus hidroksil (oh) dari bentonit dan gugus karbonil (c=o) dengan pla (morais dkk., 2014). peningkatan jarak antar layer pada bentonit ini dapat menunjukkan bahwa rantai pla telah masuk dan terinterkalasi di antara layer bentonit (azhar dkk., 2014; bijang dkk., 2014). jarak antar layer pada film bentonit ini menentukan struktur komposit yang terbentuk dan campuran bentonit dalam pla dapat membentuk struktur terinterkalasi atau eksfoliasi. struktur interkalasi dalam nanokomposit memiliki bentuk interlayer dengan terdapat beberapa layer molekular dari polimer. sedangkan struktur eksfoliasi dalam nanokomposit memiliki bentuk layer individu yang tersebar dalam matriks kontinu polimer dengan jarak tertentu (ray dan okatomo, 2003). nanokomposit yang memiliki struktur terinterkalasi memiliki jarak antar layer sebesar 1-4 nm, sedangkan dispersi jenis eksfoliasi menghasilkan jarak antar layer sebesar 6-7 nm (ray dan okatomo, 2003; sekeweal dkk., 2018; fabiani dkk., 2017). oleh karena itu, dapat dilihat bahwa film oda 20, oda 40, dan tsc 20 memiliki struktur nanokomposit interkalasi sedangkan film tsc 40 memiliki struktur nanokomposit yang lebih mendekati struktur tereksfoliasi dibandingkan dengan terinterkalasi. uji kekuatan mekanik film nanokomposit plabentonit pengujian sifat mekanik dilakukan pada semua film pla-bentonit (tabel 2). penambahan bentonit yang digunakan sebagai filler dalam matriks pla nanokomposit menurunkan nilai elongation at break, namun meningkatkan modulus young (tabel 2). penggunaan bentonit yang sudah diaktivasi memberikan efek yang berbeda terhadap kekuatan mekanik film. sebagai contoh, penggunaan bentonit yang sudah diaktivasi dengan tsc memiliki nilai tensile strength yang lebih tinggi daripada film dengan bentonit oda. hal yang serupa juga dapat diamati pada nilai elongation at break dan film dengan bentonit tsc memiliki nilai yang lebih tinggi daripada film dengan bentonit oda (tabel 2). tabel 2. sifat mekanik film nanokomposit plabentonit dengan variasi berbagai surfaktan variasi konsentrasi (mmol) tensile strength (mpa) modulus young (mpa) elongation at break (%) tanpa bentonit 1.55 59.72 19.27 tanpa surfaktan 1.59 82.21 5.03 oda 20 7.87 329.72 2.66 40 2.17 194.62 3.00 tsc 20 10.31 148.85 14.90 40 12.68 194.58 8.02 nilai tensile strength yang paling tinggi dihasilkan oleh bentonit yang diaktivasi dengan menggunakan tsc 40 mmol, yaitu sebesar 12,68 mpa. hal ini dapat disebabkan oleh nilai jarak antar layer film tsc 40 yang paling besar dibandingkan dengan variasi lainnya. jarak antar layer yang semakin besar dapat meningkatkan kekuatan dan kekakuan dari film nanokomposit karena bentonit yang telah diaktivasi dapat terinterkalasi ke dalam matriks pla (ray dan okamoto, 2003). peningkatan sifat mekanik ini juga dipengaruhi oleh kenaikan tingkat dispersi clay yang dapat mempromosikan peningkatan area kontak dan interaksi permukaan antar clay dengan pla (najafi, 2012). film tsc 40 memiliki jarak antar layer yang mengindikasikan struktur nanokomposit yang mendekati eksfoliasi dibandingkan dengan variasi film lain. struktur nanokomposit eksfoliasi memiliki tingkat dispersi yang lebih homogen dibandingkan dengan struktur nanokomposit interkalasi (liu dkk., 2007). hal ini yang menyebabkan film tsc 40 memiliki sifat mekanik yang paling kuat dibandingkan dengan variasi film yang lain. pada umumnya dapat dilihat bahwa aktivasi bentonit menggunakan surfaktan tsc menghasilkan nilai tensile strength yang lebih tinggi dibandingkan dengan film yang diaktivasi menggunakan surfaktan oda. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan nilai tensile strength ini dapat dipengaruhi oleh adanya dispersi bentonit yang merata dalam matriks pla. bentuk dispersi bentonit ini dapat diwakili dari jarak antar layer yang dihasilkan dari film. jarak antar layer yang besar ini dapat meningkatkan area kontak dan interaksi antar permukaan bentonit dan pla sehingga perpindahan stress dari pla ke bentonit dapat berlangsung dengan baik. hasil uji mekanik juga menunjukkan bahwa film yang menggunakan surfaktan oda memiliki nilai modulus young yang tinggi namun nilai elongation at break yang rendah dan surfaktan tsc memberikan hasil yang sebaliknya. namun, karena penggunaan bentonit ditujukan untuk memperbaiki kerapuhan pla, maka dapat disimpulkan bahwa film tsc 40 menghasilkan nilai tensile strength yang paling baik. uji water vapor permeability (wvp) pada penelitian ini, wvp dari sampel ditentukan dengan menghitung perubahan massa dari silika gel yang ditutupi oleh sampel. data massa dari silika gel diambil setiap 24 jam selama 5 hari. perubahan massa terbesar, yaitu 1,1 g, tampak pada film dengan oda 40 mmol. film yang terbentuk pada variasi oda 40 mmol memiliki struktur permukaan yang tidak halus vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 63 serta berpori. hal ini dapat berkontribusi pada penyerapan uap air yang lebih tinggi oleh silika gel dibandingkan sampel lainnya. wvp yang paling rendah ditunjukan oleh film dengan tsc 40, yaitu hanya sebesar 0,122 g setelah 7 hari. hal ini menegaskan hasil yang didapat sebelumnya merujuk pada film dengan bentonit tsc 40 memiliki struktur dispersi bentonit yang lebih baik dibandingkan dengan film lainnya. bentonit yang terdispersi secara merata di seluruh permukaan film dapat menghalangi uap air untuk masuk melewati film (buzarovska dkk., 2016), sehingga menghasilkan nilai wvp yang rendah. pada jarak antar layer yang semakin besar, bentonit cenderung membentuk struktur yang acak di dalam film sehingga menghalangi masuknya uap air (auras dkk., 2010). selain itu, keberadaan bentonit yang mengandung lapisan silikat dapat memperpanjang jalur yang harus ditempuh oleh uap air untuk menembus film (ortiz-zarama dkk., 2016). gambar 5. kurva uji water vapor permeability pada berbagai variasi film nanokomposit pla-bentonit uji biodegradabilitas sifat biodegradable adalah sifat yang diinginkan terutama dalam menyelesaikan masalah penumpukan sampah plastik. pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah terbukti bahwa semakin banyak penambahan bentonit maka waktu degradasinya pun semakin cepat. selain itu, konsentrasi surfaktan yang lebih banyak ternyata dapat mempercepat waktu degradasi dari film plastik. hal ini terlihat dari perbandingan film dengan surfaktan oda pada konsentrasi 20 mmol, pengurangan massa terjadi sebanyak 6% setelah 4 hari. sedangkan untuk film dengan konsentrasi 40 mmol, pengurangan massa terjadi sebanyak 10% pada rentang waktu yang sama. selain itu, jenis surfaktan oda memiliki waktu degradasi yang lebih cepat dibandingkan dengan tsc yang hanya berkurang sebesar 6,9% pada konsentrasi 40 mmol setelah 4 hari uji. salah satu faktor yang mempengaruhi waktu dari proses biodegradasi adalah berat molekul dari film. semakin besar berat molekulnya, semakin lama pula proses biodegradasi berlangsung (tokiwa dan calabia, 2006). hal ini menjelaskan mengapa film dengan tsc memiliki waktu degradasi yang lebih lama yaitu karena rantai tsc yang lebih panjang dibanding oda sehingga menyebabkan berat molekul yang lebih berat. gambar 6. hasil uji biodegradabilitas film nanokomposit pla-bentonit pada berbagai variasi uji pengaruh kemasan terhadap makanan film nanokomposit pla-bentonit yang telah terbentuk juga dilakukan uji terhadap makanan untuk melihat pengaruh atau perubahan makanan akibat kemasan. objek yang digunakan untuk melihat pengaruh kemasan terhadap makanan adalah roti tawar. pada uji ini terdapat dua kontrol yang digunakan yaitu roti tawar yang tidak dibungkus sama sekali dengan kemasan (kontrol 1) dan roti tawar yang dibungkus menggunakan plastik konvensional (kontrol 2). pengukuran water activity (aw) pada sampel roti ditujukan untuk melihat perubahan ketersediaan air bebas yang dapat dipengaruhi oleh kelembaban relatif (tabel 3). dari hasil percobaan didapatkan bahwa semua roti yang dibungkus menggunakan film nanokomposit pla-bentonit mengalami penurunan kadar aw kurang lebih 20%, kecuali pada film tsc 40. aw awal untuk semua roti tawar sama yaitu 0,959. roti kontrol 1 dan roti film oda 20, oda 40, dan tsc 40 memiliki nilai aw akhir kurang dari 0,8. sedangkan roti kontrol 2 dan roti film tsc 40 memiliki nilai aw lebih dari 0,8. tabel 3. perubahan nilai aw pada roti tawar keterangan aw awal aw akhir % penurunan aw kontrol 1 0.959 0.738 23.04 kontrol 2 0.959 0.868 9.49 oda 20 0.959 0.759 20.86 oda 40 0.959 0.752 21.58 tsc 20 0.959 0.77 19.71 tsc 40 0.959 0.847 11.68 0 2 4 6 8 10 12 0 1 2 3 4 5 % m a ss a h ila n g hari keoda 20 oda 40 tsc 40 vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 64 penurunan nilai aw dapat disebabkan karena terjadinya pertukaran udara dari luar ke dalam kemasan sehingga air yang berada pada roti dapat terbawa oleh udara lingkungan yang memiliki kandungan air lebih rendah dibandingkan dengan roti. hal ini menyebabkan penurunan kandungan air di dalam roti yang dapat menyebabkan tekstur roti menjadi keras. hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa tekstur roti kontrol 1 dan semua variasi film menghasilkan tekstur roti yang keras dan tidak berjamur (gambar 7). roti kontrol 2 menghasilkan tekstur roti yang masih lembut namun ditumbuhi jamur pada permukaannya. peningkatan kekerasan roti yang dibungkus dengan film pla-bentonit dibandingkan dengan kemasan plastik konvensional secara tidak langsung menunjukkan bahwa kemasan film nanokomposit pla-bentonit memiliki pori-pori yang cukup besar jika dibandingkan dengan kemasan plastik konvensional. gambar 7. hasil pengamatan visual uji kemasan terhadap makanan nilai aw pada roti yang dibungkus plastik konvensional (0,868) tidak berbeda jauh dengan nilai aw pada roti yang dibungkus film tsc 40 (0,847). padahal pada rentang aw 0,8-1,0 terdapat kemungkinan besar untuk jamur dapat tumbuh. namun hal ini tidak terjadi pada roti yang dibungkus dengan film tsc 40. menurut darie dkk. (2014), nanokomposit yang memiliki clay yang bersifat hidrofilik dapat meningkatkan aktivitas mikrobial pada permukaan nanokomposit tersebut. namun penambahan surfaktan yang terinterkalasi pada antar layer clay dapat mengubah sifat clay yang awalnya hidrofilik menjadi hidrofobik sehingga dapat menurunkan aktivitas mikrobial. oleh karena itu, pengurangan aktivitas mikrobial pada roti yang dibungkus oleh tsc 40 dapat disebabkan oleh perubahan sifat hidrofilik menjadi hidrofobik. namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan sifat hidrofobisitas/ hidrofilisitas pla-bentonit nanokomposit dan plastik konvensional dengan metode khusus. kesimpulan pada penelitian ini, film nanokomposit plabentonit disintesis untuk memperbaiki sifat pla yang rapuh dan fungsi pla sebagai pembungkus makanan. bentonit terpakai diregenerasi dan diaktivasi dengan menggunakan surfaktan oda dan tsc pada berbagai konsentrasi. penggunaan surfaktan menambah jarak antar layer bentonit dengan bentonit yang diaktivasi tsc 40 memiliki jarak antar layer paling besar. penambahan jarak antar layer disebabkan oleh masuknya rantai surfaktan ke antar layer bentonit, seperti yang ditunjukkan oleh hasil ftir. ketika campuran pla dan bentonit disonikasi dan dicetak, jarak antar layer bentonit semakin besar. hal ini mengindikasikan rantai pla yang masuk ke antar layer bentonit untuk membentuk film nanokomposit. sebagian besar sampel yang dianalisis membentuk struktur interkalasi antara bentonit dengan pla, kecuali pla-bentonit tsc 40 yang dapat membentuk struktur tereksfoliasi. akibatnya, sampel yang mengandung tsc 40 memiliki ketahanan yang paling baik yang dapat dilihat dari peningkatan nilai tensile strength untuk sampel ini. film yang mengandung tsc 40 merupakan film yang paling dapat menahan masuknya uap air ke dalam sampel. namun, kandungan tsc 40 menyebabkan film sulit terdegradasi jika dibandingkan dengan film lainnya. ketika film hasil sintesis digunakan sebagai pembungkus roti tawar, penurunan nilai aw terkecil diamati pada film pla-bentonit tsc 40. penurunan aw roti yang dibungkus pada film ini tidak berbeda jauh dengan penurunan aw roti yang dibungkus dengan plastik komersial. namun, roti yang terbungkus film tsc 40 tidak ditumbuhi jamur, sedangkan roti yang terbungkus dengan plastik komersial masih dapat ditumbuhi jamur. hal ini menunjukkan potensi yang tinggi dari film plabentonit tsc 40 sebagai pembungkus makanan. ucapan terimakasih penulis mengucapkan terima kasih kepada adilla latifa adisti dan jonal adi prasetiya yang turut membantu pada tahap awal penelitian ini dan kepada itb untuk sebagian pendanaan melalui p3mi. vita wonoputri dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 57-65, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 65 daftar pustaka auras, r.a., lim, l.t., selke, s.e., and tsuji, h., 2011. poly (lactic acid): synthesis, structures, properties, processing, and applications, john wiley & sons, new jersey. azhar, f.f., olad, a., and mirmohseni, a., 2014. development of novel hybrid nanocomposites based on natural biodegradable polymermontmorillonite/ polyaniline: preparation and characterization, polym. bull., 71(7), 1591-1610. ban, w., song, j., argyropoulos, d.s., and lucia, l.a., 2006. improving the physical and chemical functionality of starch-derived films with biopolymers, j. appl. polym. sci., 100(3), 2542-2548. bijang, c. m., sekewael, s. j., and koritelu, j. a. 2014. base activated clay and its application as cation exchanger to reduce the mg 2+ and ca 2+ ions concentration in the well, indo. j. chem. res., 1(2), 93-98. buzarovska, a., bogoeva-gaceva, g., and fajgar, r., 2016. effect of the talc filler on structural, water vapor barrier and mechanical properties of poly (lactic acid) composites, j. polym. eng., 36(2), 181-188. arie, . ., p slaru, ., s ro is, ., pri ope, . ., itru , . ., poiat , ., baklavari is, ., and vasile, c., 2014. effect of nanoclay hydrophilicity on the poly (lactic acid)/clay nanocomposites properties, ind. eng. chem. res., 53(19), 7877-7890. de paiva, l.b., morales, a.r., and diaz, f.r.v., 2008. organoclays: properties, preparations and applications, appl. clay. sci., 42, 8-24. fabiani, v.a., silalahi, i. h., dan sayekti, e., 2017. pengaruh variasi garam ammonium terhadap keasaman zeolit alam pada reaksi perengkahan minyak jelantah, indo. j. chem. res., 5(1), 1-6. jimenez, a., peitzer, m., and ruseckaite, r., 2015. poly (lactic acid) science and technology, processing, properties, additives and applications, royal society of chemistry, cambridge. liu, l.s., finkenstadt, v.l., liu, c.k., jin, t., fishman, m.l., and hicks, k.b., 2007. preparation of poly (lactic acid) and pectin composite films intended for applications in antimicrobial packaging, j. appl. polym. sci., 106(2), 801-810. morais, d.d.s., araujo, e.m., barbosa, renata., and melo, t.j.a., 2014. preparation of poly(lactic acid)/ bentonite clay bio-nanocomposite, materials science forum, 775-776, 223-237. nafaji, n., huezey, m.c., carreau, p.j., 2012. polylactide (pla)-clay nanocomposites prepared by melt compounding in the presence of a chain extender, compos. sci. technol., 72, 608-615. ortiz-zarama, m.a., jiménez-aparicio, a.r., and solorza-feria, j., 2016. obtainment and partial characterization of biodegradable gelatin films with tannic acid, bentonite and glycerol, j. sci. food agric., 96(10), 3424-3431. patel, h.a., somani, r.s., bajaj, h.c., and jasra, r.v., 2010. synthesis of organoclays with controlled particle size and whiteness from chemically treated indian bentonite, ind. eng. chem. res., 49(4), 1677-1683. ray, s.s., and okamoto, m., 2003. polymer/layered silicate nanocomposites: a review from preparation to processing, prog. polym. sci., 28, 1539-1641. sekewael, s. j., wijaya, k., dan triyono, 2018. pengaruh pemanasan terhadap kristalinitas dan parameter kisi nanokomposit silika-zirkonia montmorillonit k10 dan silika-besi oksida montmorillonit k10, indo. j. chem. res., 6(1), 38-43. sitompul, j., setyawan, d., kim, d.y.j., and lee, h.w., 2016. synthesis of pdlla/pllabentonite nanocomposite through sonication, aip conference proceedings, 1725, 020080-1020080-9. tjong, s.c., and mai, y.w., 2010. physical properties and applications of polymer nanocomposites, woodhead publishing, cambridge. tokiwa, y., and calabia, b.p., 2006. biodegradability and biodegradation of poly (lactide), appl. microbiol. biotechnol., 72(2), 244-251. https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/78 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/78 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/78 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/140 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/140 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/140 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 ind. j. chem. res., 2015, 2, 176 181 176 kinetic parameters determination of glucoamylase on hydrolysis reaction of sagoo starch (metroxylon sp) penentuan parameter kinetika glukoamilase pada reaksi hidrolisis pati sagu (metroxylon sp.) adriani bandjar 1, * , matheis f.j.d.p. tanasale 1 , maher syalal luhukay 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: abandjar@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract sagoo plant (metroxylon sp.) numerous in eastern indonesia, such as maluku and papua. sagoo starch containing amylose and amylopectin. sagoo starch hydrolysis can be carried out by enzymes, such as glucoamylase or often called amiloglukosidase or α-1 ,4-glukanoglukohidrolase, an extracellular enzyme capable hydrolyzes α-1, 4 on amylose and α-1, 6 in amylopectin. the enzymatic hydrolysis of starch can be reviewed in the kinetics of the michaelis-menten equation and lineweaver-burk equation. the aims of this study to determine the kinetic parameters (vmax and km) of glucoamylase on hydrolysis of sagoo starch. glucoamylase has an optimum temperature of 50 oc and ph optimum 6.5. at optimum conditions, based on michaelis-menten equation, the value of vmax is 1.09 u / ml / min and km value is 0.82. based on lineweaver-burk equation, the value of vmax was 1.03 u / ml / min and km value was 0.84%. keywords: glucoamylase, hydrolysis, sago starch. pendahuluan bioetanol dapat diproduksi dari tumbuhan penghasil pati, seperti ubi kayu, kentang, sagu, dan lain-lain. tanaman sagu (metroxylon sp.) jika dikelola dengan baik dapat menghasilkan 25 ton pati kering/ha/tahun. produktifitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan prodiktifitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun (sumaryono, 2007). tanaman sagu (metroxylon sp.) banyak terdapat pada indonesia bagian timur, seperti maluku dan papua. luas areal tanaman sagu di maluku mencapai 31.360 ha yang tersebar di tujuh kabupaten. berdasarkan peta zona agroekologi maluku skala 1:250.00, luas areal sagu masih dapat dikembangkan hingga 649.983 ha (bustaman, 2008). pengolahan pati sagu menjadi bioetanol dapat dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap hidrolisis dan tahap fermentasi. pati dapat dihidrolisis menjadi glukosa dalam suasana asam. asam yang biasa digunakan biasanya asam klorida. proses ini kurang menguntungkan karena menghasilkan produk yang tidak ramah lingkungan dan membutuhkan biaya yang besar. enzim adalah pilihan utama yang digunakan untuk proses hidrolisis pati. penggunaan enzim memberi keuntungan antara lain produk lebih murni, lebih mudah dan tanpa produk-produk sampingan yang berbahaya. salah satu enzim yang berperan dalam menghidrolisis pati menjadi glukosa adalah enzim amilase, terutama αamilase dan glukoamilase (melliawati dkk, 2006) enzim glukoamilase atau sering disebut amiloglukosidase atau α-1,4glukanoglukohidrolase merupakan enzim mailto:abandjar@fmipa.unpatti.ac.id adriani bandjar, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 176 181 1 177 ekstraseluler yang mampu menghidrolisis ikatan α-1,4 pada rantai amilosa, amilopektin, likogen, dan pullulan. enzim glukoamilase juga dapat menyerang ikatan α-1,6 pada titik percabangan, walaupun dengan laju yang lebih rendah. hal ini berarti bahwa pati dapat diuraikan secara sempurna menjadi glukosa (melliawati dkk, 2006). proses hidrolisis pati secara enzimatik dapat ditinjau secara kinetika. dalam reaksi enzim dikenal reaksi hidrolisis, penguraian, atau reaksi katalisis lain yang disebut velocity atau disingkat v. harga v dari suatu reaksi enzimatik pada umumnya sangat tergantung pada konsentrasi substrat. pada konsentrasi enzim tetap (tertentu) harga v hampir linier dengan konsentrasi substrat [s] tetapi, pada konsentrasi substrat yang tinggi (berlebihan), kecepatan reaksi v akhirnya mencapai maksimum (vmaks). untuk menerangkan hal ini, leonor michaelis dan maud menten mengajukan suatu model. hal yang diajukan adalah bahwa dalam suatu reaksi enzim selalau terbentuk senyawa peralihan es (enzim substrat), jadi: e + s es e + p dari persamaan reaksi di atas michaelis dan menten mendefinisikan suatu tetapan, yang sekarang dinyatakan sebagai km, yang bermanfaat dalam menyatakan hubungan yang tepat diantara konsentrasi substrat dan kecepatan reaksi enzimatik (winarno, 1995). mandik dkk (2004), telah menghidrolisis pati sagu papua (metroxylon sagu rottbol) dengan menggunakan termamyl tm 120l (αamilasi dari bacillus licheniformis). berdasarkan jumlah glukosa yang dihasilkan, termamyl tm 120l mempunyai km sebesar 2,36 % dan vmaks sebesar 50,8 % unit/mg. harga km ternyata sangat bervariasi, tergantung pada jenis substrat dan juga keadaaan lingkungan seperti suhu dan ph (winarno, 1995). metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan antara lain: enzim glukoamilase, buffer asetat, buffer fosfat, reagen dns, maltose monohydrate, pati sagu, dan aquades. alat alat yang digunakan antara lain: seperangkat alat gelas, hot plate, ph-meter, neraca analitik, pipet mikro, oven, dan spektrofotometer uv-vis apel pd-303 uv. prosedur kerja penyiapan sampel sebanyak 500 g pati sagu dicuci dengan 2 l aquades (lima kali pencucian dengan cara maserasi berpengadukan, masing-masing pencucian dilakukan selama 10 menit). pati sagu basah dikeringkan dengan oven pada suhu 40 o c selama 24 jam. sebanyak 1g pati kering dilarutkan dengan 50 ml buffer asetat 0,05 m ph 4,0 dalam keadaan mendidih, setelah itu volume ditepatkan menjadi 100 ml dengan penambahan buffer asetat mendidih, sehingga diperoleh larutan pati 1 % (b/v). hal yang sama juga dilakukan untuk membuat substrat dengan ph: 4,5; 5,0; 5,5; sedangkan untuk ph: 6,0; 6,5; dan 7,0 digunakan buffer fosfat. penentuan ph optimum ke dalam 7 tabung reaksi dimasukkan masing-masing 1 ml larutan substrat pati sagu dengan berbagai variasi ph yang telah dibuat dan 1 ml enzim, kemudian diinkubasi selama 3,5 menit pada suhu 30 o c. selanjutnya ditambahkan 2 ml dns dan 20 ml akuades, kemudian serapan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. nilai absorbansinya kemudian diplotkan pada kurva standar maltosa untuk penentuan konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. penentuan suhu optimum ke dalam 7 tabung reaksi masing-masing dimasukan 1 ml larutan substrat pada kondisi ph optimum dan 1 ml enzim, kemudian diinkubasi selama 3.5 menit pada suhu 30 o c, 35 o c, 40 o c, 45 o c, 50 o c, 55 o c, dan 60 o c. selanjutnya ditambahkan 2 ml dns dan 20 ml aquades, kemudian serapan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. nilai absorbansinya kemudian diplotkan pada kurva standar maltosa untuk penentuan konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. adriani bandjar, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 176 181 1 178 hidrolisis pati hidrolisis pati dilakukan pada ph dan suhu optimum dengan variasi konsentrasi 0,1 %; 0,2 %; 0,4 %; 0,6 %, 0,9 %, 1,2 %, 1,5 %; 1,8 %; dan 2,2 % (b/v). kemudian ditambahkan 1 ml enzim dan diinkubasi selama 3,5 menit pada suhu optimum. selanjutnya ditambahkan 2 ml larutan dns, kemudian diencerkan dengan penambahan 20 ml aquades. serapan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. nilai absorbansinya kemudian diplotkan pada kurva standar maltosa untuk penentuan konsentrasi gula pereduksi yang dihasilkan. unit aktivitas enzim glukoamilase dihitung berdasarkan gula pereduksi sebagai µmol maltosa yang dihasilkan per menit pada kondisi percobaan dengan persamaan: keterangan: ae = unit aktivitas enzim (u/ml = µmol/ml/menit) ppm = maltosa yang dihasilkan (ppm) bmg = berat molekul maltosa (g/mol) mi = masa inkubasi (menit) penentuan nilai parameter kinetika berupa vmaks dan km berdasarkan persamaan michaelismenten dan lineweaver-burk. pembuatan kurva standar maltosa pembuatan kurva standar dilakukuan dengan cara melarutkan 0,2 g maltosa dalam 100 ml aquades sehingga diperoleh konsentrasi 2000 ppm. larutan kemudian diencerkan dengan aquades sehingga diperoleh konsentrasi 0 (kontrol); 200, 400, 600, 800, 1000, 1200, 1400, dan 1600 ppm. selanjutnya masing-masing larutan ditambahkan 2 ml dns, kemudian diencerkan sampai 10 ml. serapan diukur pada panjang gelombang 540 nm. kemudian dibuat hubungan absorbansi dengan mg maltosa. hasil dan pembahasan kurva standar maltosa pembuatan kurva standar maltosa memberikan hasil seperti terlihat pada gambar 1. gambar 1. kurva standar maltosa kurva standar maltosa memberikan hasil yang baik dengan r 2 = 99,7% dan persamaan garir linear y = 0.000556x 0.000643 untuk penentuan konsentrasi maltosa sebagai gula pereduksi pada tiap absorbansi yang diukur. penentuan ph optimum penentuan ph optimum menggunakan metode dns menunjukan kondisi optimum enzim glukoamilase dalam menghidrolisis pati sagu yaitu pada ph 6,5 dengan absorbansi 0,338 atau 0,48 µmol/ml/menit dan minimum pada ph 5 dengan absorbansi 0,192 atau 0,28 µmol/ml/menit. selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2. gambar 2. kurva penentuan ph optimum enzim glukoamilase dalam menghidrolisis pati sagu enzim glukoamilase dapat menghidrolisis pati sagu komersial secara optimal menjadi gula pereduksi pada substrat dengan ph 6,5 dengan unit aktivitas v sebesar 0,48 µmol/ml/menit. pada ph 4,0 – 5,0 terjadi penurunan aktifitas enzim sehingga gula pereduksi yang dihasilkan juga rendah dengan unit aktivitas v sebesar 0,33 – 0,28 µmol/ml/menit. pada ph 5,5 – 5,6 terjadi y = 0.000556x 0.000643 r² = 0.997015 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 500 1000 1500 2000 a b so rb a n si [maltosa] (ppm) 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 5 10 u n it a k ti v it a s v (µ m o l/ m l/ m e n it ) ph adriani bandjar, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 176 181 1 179 peningkatan aktifitas dan mencapai maksimum pada ph 6,5 namun pada ph yang lebih tinggi aktifitasnya menjadi berkurang. penentuan suhu optimum penentuan suhu optimum menggunakan metode dns menunjukan kondisi optimum enzim glukoammilase dalam menghidrolisis pati sagu yaitu pada suhu 50 o c dengan absorbansi 0,244 atau 0,64 µmol/ml/menit dan minimum pada suhu 30 o c dengan absorbansi 0,118 atau 0,34 µmol/ml/menit. selengkapnya dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3. kurva penentuan suhu optimum enzim glukoamilase dalam menghidrolisis pati sagu enzim glukoamilase yang digunakan memiliki suhu optimum 50 o c dengan aktivitas enzim sebesar 0,64 µmol/ml/menit. pada kondisi suhu di bawah 50 o c aktivitas enzim pada umumnya stabil dan tidak terlalu terjadi peningkatan kemampuan katalitik enzim. namun pada suhu di atas 50 o c, daya katalitik enzim menjadi berkurang, hal ini ditujukan dengan nilai absorbansi yang menurun. hidrolisis pati yang dilakukan pada kondisi ph dan suhu optimum dengan variasi konsentrasi memberikan hasil seperti pada tabel 1. persamaan michaelis-menten penentuan parameter kinetika dengan persamaan michaelis-menten dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi substrat dalam hal ini pati sagu terhadap enzim. pada persamaan michaelis-menten: m maks ks sv v ][ ][ 0 jika kecepatan reaksi awal tepat sema dengan setengah kecepatan maksimum maka diperoleh km = [s]. berdasarkan persamaan diatas, jika kita memplotkan v0 pada sumbu y dan [s] pada sumbu x, dan dengan menggunakan program kaleidagraph 3.6 didapat vmax sebesar 1,0901 µmol/ml/menit dan km sebesar 0,82%, dengan r 2 = 0,98. hal ini dapat dilihat pada gambar 4. tabel 1. hidrolisis pati oleh enzim glukoamilase pada berbagai konsentrasi konsentrasi %(b/v) absorbansi gula pereduksi (ppm) unit aktivitas (µmol/ml/menit) (v) 0,1 0,082 148,715 0,12 0,2 0,095 172,108 0,14 0,4 0,272 490,617 0,39 0,6 0,320 576,992 0,46 0,9 0,423 762,339 0,60 1,2 0,454 818,123 0,65 1,5 0,502 904,498 0,71 1,8 0,518 933,290 0,74 2,2 0,584 987,275 0,78 gambar 4. kurva v0 vs [s] berdasarkan persamaan michaelis-menten pada konsentrasi substrat yang amat rendah, kecepatan reaksipun amat rendah, tetapi kecepatan ini akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat, namun pada konsentrasi substrat yang lebih besar, kecepatan reaksi hanya akan meningkat sedemikian kecil. kecepatan reaksi hanya akan mendekati, tetapi tidak akan pernah mencapai garis maksimum, sehingga sulit untuk menentukan vmax dengan tepat. vmax hanya diduga dan tidak pernah dapat diketahui nilai sebenarnya (lehninger, 2000). 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0 20 40 60 80 u n it a k ti v it a s v (µ m o l/ m l/ m e n it ) suhu (oc) adriani bandjar, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 176 181 1 180 tetapan michaelis-menten km didefinisikan sebagai (k2 + k – 1)/k1. jika k2+k – 1 >> k1 maka nilai km lebih besar dari satu. hal ini berarti kecepatan penguraian [es] lebih besar dari pada kecepatan pembentukan [es] (lehninger, 1982), sehingga enzim mempunyai afinitas rendah terhadap substrat. kesetimbangan menguntungkan [e] + [s], bukannya kompleks [es] (page, 1997). jika k2 + k – 1 << k1 maka nilai km lebih kecil dari satu, ini menunjukkan kecepatan pembentukan [es] lebih besar dari kecepatan penguraian [es], sehingga enzim mempunyai afinitas yang tinggi terhadap substrat. berdasarkan hasil yang diperoleh, enzim glukoamilase memiliki afinitas yang cukup tinggi terhadap substrat karena nilai km lebih kecil dari satu yaitu 0,82 %. persamaan lineweaver-burk persamaan lineweaver-burk mentransformasikan persamaan michaelismenten yang diturunkan secara sederhana menjadi persamaan 8: maksmaks m vsv k v 1 ][ 11 0 , dan dengan memplotkan 1/vo pada sumbu y dan 1/[s] pada sumbu x didapat karva pada gambar 5. gambar 5. kurva 1/s vs 1/v berdasarkan persamaan lineweaver-burk perpanjangan garis linier y= 0,819967x+0,975097, akan memotong sumbu y dan sumbu x. perpotongan terhadap sumbu y akan memberikan nilai 1/vmax = 0,975097 kemudian perpotongan terhadap sumbu x akan memberikan nilai -1/km = -1,19 ; sehingga diperoleh vmax = 1,03 µmol/ml/menit dan nilai km = 0,84 % dengan r 2 = 0,90. berdasarkan nilai r 2 yang diperoleh, penentuan km menggunakan persamaan michaelis-menten secara non linier memberikan tingkat keeratan hubungan antara dua variabel atau lebih menunjukan hasil yang lebih baik, yaitu 0,98 atau 98 % dibandingkan dengan persamaan lineweavar-burk yaitu 0,90 atau 90 %. namun demikain nilai km dan vmax yang ditentukan berdasarkan kedua persamaan tersebut tidak memberikan perbedaan yang signifikan. hal ini berarti penentuan nilai km dan vmax dapat dilakukan baik menggunakan persamaan michaelis-menten ataupun persamaan lineweaver-burk. jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh mandik dkk (2004), dalam menghidrolisis pati sagu, enzim glukoamilase memberikan nilai km yang lebih baik dari pada enzim α-amilase. enzim α-amilase memberikan nilai km sebesar 2,36 % sedangkan enzim glukoamilase memberikan km sebesar 0,8 %. sedangkan nilai vmax enzim α-amilase dalam menghidrolisis pati sagu yang didapai oleh mandik dkk (2004) sebesar 50,8 unit/mg tidak dapat dibandingkan dengan nilai vmax enzim glukoamilase sebesar 1,0 u/ml/menit karena untuk penentuan nilai vmax dengan satuan unit/mg harus dilakukan pengujian kadar protein, sedangkan dalam penelitian ini tidak dilakukan penguji kadar protein. kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. ph optimum enzim glukoamilase dalam menghidrolisis pati sagu komersial adalah 6,5. 2. suhu optimum enzim glukoamilase dalam menghidrolisis pati sagu komersial adalah 50 o c. 3. nilai km dan vmax berdasarkan persamaan michaelis-menten dan lineweaver-burk berturut-turut adalah 0,82% dan 1,09 u/ml/menit, 0,84% dan 1,03 u/ml/menit. daftar pustaka bustaman, s., 2008. potensi ulat sagu dan prospek pemanfaatannya, litbang pertanian: 27 (50-54). y = 0.819967x + 0.975097 r² = 0.909328 0 2 4 6 8 10 0 5 10 15 1 /v 1/[s] adriani bandjar, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 176 181 1 181 lehninger, l. a., 2000. dasar-dasar biokimia, jilid 1, penerjemah m. thenawidjaja suhartono, penerbit erlangga, jakarta. mandik, y. i., sindumarta, m., dan natalia, d., 2004. penentuan parameter kinetika hidrolisis pati sagu papua (metroxylon sagu rottbol) oleh α-amilase, prosiding seminar mipa iv: 368-371. meliawati, r., suherman, r. s., dan subardjo, b., 2006, pengkajian kapang endofit dari taman nasional gunung halimun sebagai penghasil glukoamilase, berk. penel. hayati: 12 (19-25). page, d. s., 1997. prinsip-prinsip biokimia, edisi ke dua, penerjemah drs. r. soendoro, penerbit erlangga, jakarta. sumaryono, 2007. tanaman sagu sebagai sumber energi alternatif, warta penelitian dan pengembangan pertanian vol. 29, no. 4. winarno, f. g., 1995. enzim pangan. penerbit pt gramedia pustaka utama, jakarta. indochem indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 1-5 1 isolasi, identifikasi, karakterisasi dan uji toksisitas senyawa metabolit sekunder fraksi nonpolar akar babandotan ageratum conyzoides l. isolation, identification, characteriterization, an toxicity essay of non-polar secondary metabolite fraction from ageratum conyzoides l muhammad irmawan*, fredryk w. mandey, seniwati dali department of chemistry, faculty of matemathics and natural sciences, hasanuddin university jln. perintis kemerdekaan km.10 makassar 90245-indonesia *corresponding author, e-mail: muhammadirmawan47@yahoo.com received: march 2018 published: july 2018 abstract ageratum conyzoides l. has a toxic and bioactive component as anti-cancer and especially for the root, it has anti-tumor. in order to figure out the active component, it is necessary to do four steps; isolation, identification, characterization, and toxicity essay brine shrimp lethality test (bslt) of non-polar fraction ageratum conyzoides l plant. isolation method consist of four parts; extraction, partitioning of kupchan method, fractionation, and purification. fractionation method uses press column chromatography (ktt). furthermore, purification process uses thin layer chromatography (tlc) and characterization with spectroscopy ftir, 1 hnmr and 13 c-nmr. then characterization utilizes spectroscopy ftir, 1 h-nmr and 13 c-nmr. the toxicity essay toward artemia salina leach n-hexane fraction and dichloromethane fraction showed that the fraction had toxic properties with number of lc50 are 0.0237 and 4.642 µg/ml respectively. moreover, n-hexane fraction has succeed in isolating stigmasterol compound shaped white crystalline needles with 19.6 mg weight, 143-144 °c melting point and and had toxic properties with number of lc50 are 30.33 µg/ml. keywords: root of ageratum conyzoides l., brine shrimp lethality test (bslt), isolation, stigmasterol pendahuluan ageratum conyzoides l. merupakan tumbuhan yang termasuk dalam genus ageratum, famili asteraceae, dan dikenal dengan berbagai nama, antara lain: bandotan (jawa), babandotan (sunda), dus bedusan (madura) dan ruku-ruku bembe (makassar). tumbuhan ageratum conyzoides l. dikenal sebagai tumbuhan gulma oleh masyarakat, tetapi tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan herbal yang memiliki sejarah panjang sebagai obat tradisional seperti obat maag, demam, rematik, sekit kepala, sakit perut, diare dan sakit tenggorokan di negara yang beriklim tropis dan sub tropis (singh dkk., 2013; tambaru, 2017a). ageratum conyzoides l. juga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan menyebar secara cepat, dengan daerah penyebaran ekologi yang luas (kaur dkk., 2012) penelitian terus dilakukan mengenai potensi ageratum conyzoides l. di bidang kesehatan salah satunya yaitu potensinya sebagai obat antikanker. seperti menguji sifat toksisitas dari senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan tersebut, diantaranya, dilakukan oleh rahim dkk. (2012) yang menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana ageratum conyzoides l. bersifat toksik terhadap larva artemia salina leach dengan lc50 sebesar 19,906 µg/ml. nasrin (2013) membuktikan bahwa ekstrak metanol batang ageratum conyzoides l. juga memiliki bioaktivitas yang sangat besar dan bersifat toksik terhadap larva artemia salina leach dengan nilai lc50 sebesar 1,32 µg/ml. sifat toksisitas fraksi atau suatu senyawa memiliki kolerasi terhadap kemampuan suatu bahan obat yang memiliki efek antikanker dalam mematikan suatu unit sel, terkhususnya sel kanker (carballo dkk, 2002). hal ini memerlukan pengembangan lebih lanjut dari fraksi atau senyawa untuk menjadi bahan obat antikanker. berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa tumbuhan ageratum conyzoides l. sangat bersifat tosik dan memiliki potensial sebagai antikanker, oleh karena itu m. irmawan dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 1-5 2 perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji sifat toksisitas dan sifat antikanker dari fraksi nonpolar akar ageratum conyzoides l. pada penelitian ini telah dilakukan isolasi, identifikasi dan karakterisasi senyawa dalam fraksi yang bertanggungjawab terhadap sifat toksisitas dan sifat antikanker tersebut. metodologi bahan sampel yang digunakan pada penelitian ini berupa akar bandotan ageratum conyzoides l. diperoleh dari pulau tarakan, kalimantan utara. bahan penelitian lain seperti: metanol teknis, akuades, akuabides, n-heksana p.a, diklorometan p.a, aseton p.a, es batu, plastik wrap, aluminium foil, tissue roll, kertas saring whatman nomor 42, plat klt (merk kieselgel 60 f254 0,25 mm), silika gel 60 (merk, no. katalog 7733), silika gel 60 (merk, no. katalog 7734), telur udang artemia salina leach, nacl laut (sigma, no. katalog s-9883), dan dmso (merck, no. katalog 802912). alat alat-alat yang digunakan antara lain peralatan gelas, corong pisah, statif, klem, botol vial, timbangan digital (ohaus ap-110), alat evaporasi (buchi rotavapor r-200), botol semprot, alat destilasi, alat kromatografi lapis tipis (klt) seperti chamber dan pipa kapiler, pensil, cutter, mistar, inkubator, penangas air, kromatografi kolom tekan (kkt), lampu uv 254-365 nm, sementara untuk analisis spektrofotometer ir dengan varian ftir prestige-21 shimadzu, jeol jmn a 5000 yang bekerja pada 500,0 mhz untuk spektrum 1 hnmr dan 125,65 mhz untuk spektrum 13 cnmr. prosedur kerja pengolahan dan ekstrasi akar ageratum conyzoides l. ageratum conyzoides l. yang diperoleh dari hasil sampling, selanjunya dipotong antara akar dan batangnya kemudian dibersihkan dan dikering anginkan. akar ageratum conyzoides l. yang telah kering, dihaluskan sehingga diperoleh serbuk akar sebanyak 1,9 kg. selanjutnya dimaserasi dengan metanol beberapa kali selama 4 x 24 jam. kumpulan maserat yang diperoleh selanjutnya di pekatkan dengan rotary evaporator pada suhu rendah 40–50 o c, maka diperoleh ekstrak metanol (crude extract) berwujud semi semi padat berwarna hijau tua. fraksinasi dan isolasi fraksi nonpolar akar ageratum conyzoides l. ekstrak metanol yang diperoleh selanjutnya difraksinasi dengan metode kupchan. fraksinasi dimulai dengan mensuspensikan ekstrak metanol menggunakan air dan dipartisi dengan diklorometan, sehingga diperoleh fraksi air dan fraksi diklorometan. fraksi diklorometan yang telah pekatkan dengan rotary evaporator pada suhu rendah 27 o c, selanjutnya disuspensikan dengan metanol air (9:1) dan dipartisi dengan nheksana. fraksi metanol air hasil partisi dan telah di pekatkan dengan rotary evaporator pada suhu rendah 37 o c, kemudian disuspensikan dengan metanol air (5:5) dan dipartisi lebih lanjut dengan diklorometan (kupchan dkk., 1978). sehingga diperoleh fraksi n-heksana, fraksi diklorometan, fraksi metanol (5:5) dan fraksi air. pada penelitian kali ini difokuskan pada fraksi non polar yaitu fraksi n-heksan berbentuk semi padat berwarna hijau dan fraksi diklorometan berbentuk semi padat berwarna hitam. selanjutnya fraksi tersebut dilakukan pengujian toksisitas metode brine shrimp lethality test (bslt), meyer dkk, (1982). berdasarkan hasil pengujian toksisitas diperoleh fraksi n-heksan bersifat lebih toksik dibandingkan fraksi diklorometan, maka dari itu fraksi n-heksan dilanjukkan keproses isolasi senyawa murni dan pengujian fitokimia. proses isolasi senyawa melalui tahap fraksinasi dengan (kkt) menggunakan eluen yang sesuai berdasarkan analisis klt, dimana setiap hasil fraksinasi dimonitor kembali melalui analisis klt dan tahap pemurnian menggunakan metode kristalisasi dan rekristalisasi, hingga diperoleh senyawa isolat murni. uji toksisitas metode brine shrimp lethality test (bslt) penyiapan larva udang telur udang dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut untuk ditetaskan. diaerasi di bawah cahaya lampu pijar 40-60 watt agar suhu penetasan tetap terjaga pada kisaran 25-30 °c. lampu dinyalakan selam 48 jam, setelah telur menetas diambil larva udang yang akan di uji. m. irmawan dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 1-5 3 pelaksanaan uji sampel dibuat dalam konsentrasi 1000 g/ml, 100 g/ml, 10 g/ml lalu di tempatkkan dalam 3 vial berbeda. air laut steril yang mengandung 10 larva udang ditambahkan hingga volume akhir sebanyak 5 ml. di simpan di bawah pencahayaan selama 24 jam. amati dan hitung jumlah larva yang mati. persen kematian diperoleh dari rumus (meyer dkk, 1982). % kematian = ∑ ∑ × 100 % kemudian ditentukan nilai lc50 dengan menggunakan analisis probit. hasil dan pembahasan ekstraksi, fraksinasi dan isolasi serbuk akar ageratum conyzoides l. (1,9 kg) dimaserasi dengan pelarut metanol selama 4 x 24 jam sebanyak 3 kali, dan menghasilkan meserat metanol berwarna hijau, yang selanjutnya dievaporasi untuk menghasilkan ekstrak kental metanol (crude extract) semi padat berwarna hijau tua sebanyak 20,6153 g. selanjutnya, ekstrak metanol difraksinasi menggunakan metode kupchan dkk, (1978), menghasilkan fraksi utama yaitu, fraksi air, metanol:air (5:5), n-heksan, dan diklorometan. namun, pada penelitian kali ini hanya terfokus pada fraksi non polor yaitu fraksi diklorometan berwujud semi padat berwarna coklat kehitaman sebanyak 1,9112 g dan fraksi n-heksan berwujud semi padat berwarna hijau sebanyak 3,1487 g. fraksi yang diperoleh selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas. uji toksisitas dilakukan bertujuan untuk praskrining efek toksik dari fraksi yang berpotensi dilanjutkan ke proses isolasi senyawa yang diindikasi memiliki bioaktivitas sebagai antikanker. menurut meyer dkk, (1982), efek toksik memiliki kolerasi positif dalam mematikan suatu unit sel, khusunya sel kanker. suatu fraksi atau senyawa dinyatakan bersifat toksik jika memiliki nilai lc50 sebesar <1000 µg/ml. berdasarkan data nilai toksisitas lc50 (tabel 1) dari fraksi n-heksan dan fraksi diklorometan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kedua fraksi tersebut bersifat toksik. tetapi jika dibandingkan dari kedua fraksi tersebut berdasarkan nilai lc50, fraksi n-heksan bersifat lebih toksik dari fraksi diklorometan, karena jika semakin kecil konsentrasi suatu fraksi untuk mematikan suatu unit sel, maka fraksi tersebut semakin bersfat toksik, sehingga fraksi n-heksan selanjutnya dilakukan proses isolasi senyawa murni. tabel 1. nilai toksisitas (lc50) fraksi nonpolar akar ageratum conyzoides l. proses isolasi senyawa murni dari fraksi nheksan dimulai dengan tahap kromatografi kolom tekan (kkt) dengan komposisi pelarut eluen yang tepat digunakan yaitu etil asetat : n-heksan (0,5 : 9,5). proses pemisahan menggunakan metode kromatografi kolom tekan (kkt) bertujuan untuk memperoleh kelompok senyawa yang sederhana. pada tahap pemisahan kkt diperoleh 52 sub-fraksi, dari semua subfraksi yang didapatkan hanya sub-fraksi 16 yang memiliki potensi untuk dilanjutkan ke proses pemurnian karena memiliki bobot yang besar yaitu sebesar 40,4 mg berbentuk kristal jarum. sub-fraksi 16 selanjunya di klt dan di rekristalisasi yang bertujuan menghilangkan pengotor yang tercampur. hasil proses rekristalisasi sub-fraksi 16 diperoleh berbentuk kristal jarum berwarna putih yang teramati berpendar dibawah lampu uv long wave (365 nm) dengan bobot sebesar 19,6 mg, dengan titik leleh 143-144 °c dan bereaksi positif dengan pereaksi liebermann buchard yang menunjukkan bahawa isolat tersebut merupakan senyawa golongan steroid. karakterisasi dengan metode spektroskopi analisis spektroskopi ftir senyawa isolat memperlihatkan pita serapan gugus hidroksil (-oh) yang khas pada daerah 3433,41 cm -1 .bilangan kemudian serapan bilangan gelombang 2934,79 cm -1 dan 2863,42 cm -1 menunjukkan gugus –chsp 3 , didukung pita serapan daerah 1376,26 cm -1 menunjukkan gugus –ch3 dan sinyal 1462,09 cm -1 menunjukkan gugus –ch2. selanjutnya bilangan gelombang 1645,33 cm -1 menujukkan adanya gugus alkena (c=c) dan pada serapan bilangan gelombang no. fraksi nilai toksisitas (lc50) (µg/ml) 1 n-heksan 0,0237 2 diklorometan 4,642 m. irmawan dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 1-5 4 1055,10 cm -1 dan 877,6 cm -1 menunjukkan adanya gugus sikloalkana. analisis data spektrum 13 c nmr (126 mhz, cdcl3) senyawa isolat memperlihatkan beberapa sinyal karbon. adapun geseran kimia, c (ppm) sinyal-sinyal karbon senyawa isolat. geseran kimia khas yang terdapat pada senyawa a terdiri atas 1 sinyal c sp 3 gugus turunan yang mengikat o yaitu oksikarbon (c-o) ditunjukkan pada pergeseran kimia δ 71,8 (c-3). sinyal dengan pergeseran kimia antara 90-160 ppm menunjukkan gugus alkena yaitu pada sinyal δ 140,7 (c-5), δ 121,7 (c-6), δ 138,3 (c-22) dan δ 129,2 (c-23). selanjutnya nilai geseran kimia antara 10-50 ppm yaitu δ 12,2 (c-18) dan δ 18,9 (c-19) menunjukkan c sp 3 alkil yang tidak mengikat o. analisis data spektrum 1 h nmr (500 mhz, cdcl3) senyawa isolat memperlihatkan beberapa sinyal khas. adapun geseran kimia, c (ppm) sinyal khas 1 h nmr senyawa isolat, dimana beberapa sinyal khas 1 h nmr pada senyawa isolat diantaranya terdapat 1 sinyal proton δ 5,36 (2h, d,j = 5,1 hz, h6) yang mengindikasikan sinyal proton yang terikat pada gugus olefin kuartener (c=c). kemudian sinyal δ 5, 03 (1h, dd, j = 15,1 8,5 hz, h22) dan δ 5,16 (1h, dd, j = 15,1, h23) ppm yang mengindikasikan 2 proton yang terikat pada sistem olefin (c=c) pada posisi geometri trans. sinyal δ 3,53 (2h, tt, j = 10,4, 4,6 hz, h3) menunjukkan adanya proton yang terikat pada gugus oksikarbon (-och). selanjutnya sinyal berada pada posisi antara 0,7-1,0 ppm menunjukkan adanya gugus metil yang juga terdapat pada senyawa yaitu δ 1,02 (9h, s, h18), δ 0,70 (6h, d, j = 9,2 hz, h19) dan δ 0,93 (3h, d, j = 6,7 hz, h21) ppm. berdasarkan hasil analisis 13 c nmr dan 1 h nmr yang diperkuat dengan data spektroskopi ftir, uji golongan dan uji titik leleh maka dapat disimpulkan bahwa senyawa isolat yang telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari ageratum conyzoides l. fraksi n-heksan adalah senyawa stigmasterol. pengujian toksisitas dan bioativitas antikanker senyawa stigmasterol yang berhasil diisolasi dari fraksi n-heksan tumbuhan akar ageratum conyzoides l. selanjutnya dilakukan pengujian toksisitas terhadap artemia salina leach. berdasarkan hasil pengujian toksisitas diperolah lc50 senyawa stigmasterol yaitu sebesar 30,33 µg/ml. menurut meyer, 1982 suatu senyawa murni dinyatakan toksik jika nilai lc50 <200 µg/ml. maka dapat disimpulkam bahwa senyawa stigmasterol yang berhasil diisolasi memiliki sifat toksik yang berpotensi dikembangkan sebagai senyawa antikanker, untuk mengetahui sifat antikanker dari senyawa stigmasterol maka lakukan pegujian biokativitas antikanker metode mtt terhadap sel kanker jenis sel murin leukemia p-388. hasil pengujian bioaktivitas antikanker senyawa stigmasterol dengan menggunakan metode mtt, diperoleh nilai ic50 senyawa stigmasterol yaitu sebesar 184,80 µg/ml. hasil data ic50 senyawa stigmasterol menunjukkan gambar 1. hasil identifikasi spektrofotometer ftir senyawa isolat m. irmawan dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 1-5 5 bahwa senyawa tersebut tidak memiliki bioaktivitas terhadap sel leukemia p-388. gambar 2. stigmasterol menurut suffness dan pezzuto (1990), suatu senyawa murni dinyatakan memiliki bioaktivitas antikanker terhadap sel leukemia p-388 jika memiliki nilai ic50 sebesar <4 µg/ml. sehingga dapat disimpulkan senyawa stigmasterol yang berhasil di isolasi tidak memiliki bioaktivitas sebagai antikanker terhadap sel kanker leukemia p-388. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian terhadap fraksi nonpolar n-heksan dan diklorometan akar tumbuhan ageratum conyzoides l. pada pengujian toksisitas terhadap artemia salina leach diperoleh fraksi tersebut bersifat toksik dengan nilai lc50 berturut-turut sebesar 0,0237 dan 4,642 µg/ml, selanjutnya dari fraksi nheksan berhasil diisolasi senyawa stigmasterol golongan steroid berbentuk kristal jarum putih dengan bobot sebesar 19,6 mg, titik leleh 143144 °c dan besifat toksik terhadap artemia salina leach dengan nilai lc50 sebesar 30,33 µg/ml tetapi tidak memiliki aktivitas sebagai antikanker terhadap sel murin leukemia p-388. daftar pustaka carballo, j.l., hernandes-inda, z.l., perez, p., garcia-gravalos, m.d., 2002, a comparison between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine natural products, bmc biotech-nology, 2(17), 1-5. kaur, s., batish, d. r., kohli, r. k., singh, h. p., 2012, ageratum conyzoides: an alien invasive weed in india, cab international, 57-76. kupchan, s. m., stevens, k. l., rohlfing, e. a., sickless, b. r., sneden, a. t., 1978, new cytotoxic neolignans from aniba megaphylia mez, j. org. chem, 43(4):586-590. meyer, b. n., ferrigni, n. r., putnam, j. e., jacobsen, l. b., nichols, d. e., dan mclaughlin, j. l., brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents, journal of medicinal plant research, 45:33-34. nasrin, f., 2013, antioxidant and citotoxic activities of ageratum conyzoids stems, international current pharmaceutical journal, 2(2):33-37. rahim, a., gemini, a., agustina, r., rusydi, m., 2012, skrining toksisitas ekstrak herba bandotan (ageratum conyzoides l) dengan metode brine shrimp lethality test, majalah farmasi dan farmakologi, 16(2):99-106. singh, s. b., devi, w. r., marina, a., devi, i., swapana, n., sing, c. b., 2013, ethnobotany, phytochemistry and pharmacology of ageratum conyzoides linn (asteraceae), journal of medicinal plants research,7(8):371-385. suffness, m., pezzuto, j. m., 1990, assays related to cancer drug discovery hostettmann k(ed). mtode in plant biochemistry. assays for bioactivity, london. tambaru, e., 2017a, keragaman jenis tumbuhan obat indigenous di sulawesi selatan, jurnal ilmu alam dan lingkungan, 8(15), 7-13. microsoft word 3. rina.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 15-20, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bij 15 preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent catherina m.bijang1*, m.f.j.d.p.tanasale1, adhi g.kelrey1, inda ulfa mansur1, thamrin azis2 1department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, ambon, indonesia 2department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, haluoleo university, kendari, indonesia *corresponding author: rienabijang@yahoo.com received: april 2021 received in revised: april 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract this study aims to obtain the optimum ratio of ouw natural clay (lao):chitosan in the manufacture of chitosan-lao composites. the composite will be used as an adsorbent for heavy metals lead (pb) and cadmium (cd). lao-chitosan composites were made with the ratio of lao:chitosan = 1.25:1, 2.5:1, 5:1. xrd and sem were carried out for each composite. the performance as a cd metal adsorbent was determined by calculating the adsorption capacity. composites with a ratio of 1.25:1 have the best adsorption capacity. the performance as adsorbent for cd metal was determined by calculating the absorbed cd concentration. maximum results are achieved by composites with a ratio of 5:1. keywords: adsorbent, adsorption, cadmium, lead chitosan, ouw natural clay introduction many researches on the manufacturing of heavy metal adsorbents have been carried out, both using chitosan (bijang, sekewael, & koritelu, 2014; motshekga, ray, onyango, & momba, 2015; rahayu, tanasale, & bandjar, 2020; tanasale, bandjar, & sewit, 2018) and seaweed (bijang, latupeirissa, & ratuhanrasa, 2018; bijang, tehubijuluw, & kaihatu, 2018). the use of natural resources in the form of clay to modify chitosan as an adsorbent has also been developed. h. wang et al., (2014) and futalan, kan, dalida, pascua, & wan, (2011) were modified montmorillonite with chitosan and applied it to absorb co2+ ions from aqueous solution. the results obtained indicate an increase in the distance between layers in montmorillonite. the comparison of chitosan to montmorillonite affects the absorption ability of the adsorbent. lavorgna et al., (2014) were prepared a multifunctional bionanocomposite by loading chitosan matrix with silver-montmorillonite antimicrobial nanoparticles. rusadi, mahatmantie, & sulistyaningsih, (2018) were carried out the preparation of chitosan-bentonite composites as an adsorbent for methyl orange dye. characterization using xrd indicated the increase in basal spacing of bentonite in the presence of chitosan intercalation. sobeih, el-shahat, osman, zaid, & nassar, (2020) used glauconite clay-functionalized chitosan nanocomposites for remove fluoride ions from polluted aqueous solution. in this study, ouw's natural clay (lao)-chitosan nanocomposite was made with a comparative study of composition and it’s application as an adsorbent of lead cadmium heavy metals. research has never been carried out using natural ouw clay and chitosan as materials for the manufacture of adsorbent composites. methodology materials and instrumentals ouw natural clay (lao), chitosan, h2so4 (merck), naoh (merck), ch3cooh (merck), nh4ch3coo (merck), pb (no3)2 (merck), hcl (merck), kcl (merck), h3bo3 (merck), methyl red indicator (merck), bromcresol green indicator (merck), alcohol 90%, whatman filter paper no 42, universal ph paper. hot plates (barnstead hemolyne), ovens (memmert), buechner fisher, vacuum pumps, glassware kit (pyrex), shaker (gfl 3005), analytical balance (ohaus), 100 mesh sieve, centrifuge (labofuge 200-hereaus), x-ray diffractometer (shimadzu giniometer xd-3a), atomic analysis spectroscopy (shimadzu aa-630), sem-edx (zeiss evo ®ma 10). methods clay preparation lao is cleaned with distilled water until a completely clean clay is obtained. it was then dried in the oven at the temperature of 60 °c for 2 hours. as much as 20 g of lao is taken and then dispersed into catherina m.bijang, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 15-20, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bij 16 250 ml of 3 m nacl solution while stirring for 24 hours. it’s filtered and the residue obtained is washed with distilled water to remove the remaining into chloride as shown by a negative test for agno3. the washed loam is dried in an oven at 100 °c. after drying, the clay is crushed until smooth and then sieved using a 100 mesh sieve. furthermore, the clay was soaked with 2 m h2so4 for 24 hours. after soaking, it was then washed with distilled water until it was sulfate-free which was tested with bacl2. the clay is then dried in an oven at a temperature of 120 °c for 2 hours. after drying the clay is then mashed, sieved with a 100 mesh sieve (teddy, bijang, nurdin, & kapelle, 2018). lao-chitosan composite preparation the lao-chitosan composite preparation method used was from s. f. wang et al., (2005) and l. wang & wang, (2007). each acid activated lao-chitosan were weighed 1.25, 2.5 and 5 g of and then added to 50 ml of distilled water. each chitosan is weighed 1 g then dissolved with 50 ml of 2 % (v /v) acetic acid, the ph of chitosan is adjusted to ph 4.9 by adding 20% (w /v) naoh solution. furthermore, as much as 50 ml of chitosan was slowly added to 50 ml of lao solution so that a suspension was formed and stirred at 60 oc for 6 hours. the suspension was then centrifuged for an hour at a speed of 5300 rpm to obtain a composite lao-chitosan with a ratio of 1.25:1, 2.5:1, 5:1. each of the composites formed was washed with distilled water until the ph of the supernatant (liquid) reached 7 and then dried at 60 oc for 12 hours. furthermore, the composites were sieved to 100 mesh size. the composites are stored in a desiccator and used for further analysis. characterization of lao-chitosan composites characterization was performed using ft-ir spectrophotometer, x-ray diffractometer, and scanning electron microscopy. adsorption capacity test the standard pb solution with a concentration of 1000 ppm was taken as much as 25 ml and put into three erlenmeyers, each containing 0.1 g of composite with a ratio of 1.25:1, 2.5:1 and 5:1. each solution is shaken on a shaker at a speed of 120 rpm. this system is maintained at room temperature for 6 hours until it reaches adsorption equilibrium. the solution was then filtered with filter paper and 5 ml of pb adsorption filtrate was taken each, then the absorption was measured with aas at a wavelength of 283.3 nm. the same procedure was performed for cr at a wavelength of 228.8 nm. results and discussion lao-chitosan composite preparation the preparation process for the lao-chitosan composite was made by mixing the lao suspension with chitosan solution with the lao: chitosan ratio = 1.25: 1, 2.5: 1, 5: 1. this process begins by dissolving each chitosan with 50 ml of 2% acetic acid, after which 20% (w/v) naoh solution is added until the ph is exactly 4.9. furthermore natural clay is added with distilled water to keep it at 50 ml. according to s. f. wang et al., (2005) the ph value of the chitosan solution must be maintained at 4.9, namely by adding 20% (w/v) naoh, because the nh3+ group can easily replace cations in clay through a cation exchange reaction. the mixing stage of the lao-kitosan was carried out by mixing chitosan solution slowly into lao solution while stirring using a stirer for 6 hours at the solution temperature of the 60 oc. the temperature used in the mixing process must not exceed 60 oc because it can damage the chitosan structure which is an organic polymer. in this case it can break the glycosidic bonds on chitosan therefore that the chain becomes short and the molecular weight becomes reduces (l. wang & wang, 2007) identification of lao-chitosan based on their diffractogram the diffractogram of lao-chitosan can be seen in figure 1. figure 1 shows that montmorillonit is suspended in 2θ = 20.0063o, because in this process it uses a temperature of 60 °c. (wang and wang, 2007). in chitosan samples, 2θ diffraction patterns were found at 9.2959° and 19.3384°. according to wang et al. (2005) chitosan diffraction pattern is = 10o, 20o, and 25o. the diffractogram test shows a quite good crystallinity of chitosan. figure 1 shows composite 1.25:1 montmorillonite’s absorption appear in 2θ= 18.9200° shifted to a smaller number, the distance between fields, d increased from 4.4360 å to 4.749454 å. the same circumstances also occur in composite 2.5:1 and 5:1. at the composite 2.5:1, the peak appears in 2θ = 19.3000 å and d increased from 4.43460 to 4.65940 å. in composite 5:1, the peak at 2θ becomes 19.8600 å and d increases to 4.53310 å. the shift in 2θ and more dominant peaks shifted to the left showed that montmorillonite minerals had interacted with chitosan. in addition, the occurrence of a decrease in 2θ and increased distance between fields catherina m.bijang, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 15-20, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bij 17 shows that the interaction between montmorillonite and chitosan minerals is likely to occur in the interlayer area. figure 1. diffractogramm of lao, chitosan and lao-chitosan composites according to monvisade & siriphannon, (2009), the event of chitosan entering into the inter-layer space is said to be successful if the new peak appears below the initial peak, therefore it can be said that basal spacing (d) increases. the composite 1.25:1 shows the largest increase in d thus can be said to be the best lao-chitosan interaction on this composition. identification of acid activated clay based on sem the results of acid activated clay by using sem with a magnification of 500x, 1000x, and 2000x can be shown in figure 2. (a) (b) (c) figure 2. acid activated clay on 500x magnification (a), acid activated clay in 1000x magnification (b), acid activated clay in 2000x magnification (c). figure 2 shows a large number of pores and also more ordered. this is due to acidic activation in clay which will result in increased acidity and a specific surface area of adsorbent. (a) catherina m.bijang, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 15-20, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bij 18 (b) (c) figure 3. chitosan on 500x magnification (a), chitosan on the 1000x magnification (b), chitosan on 2000x magnification (c). figure 3 shows the results of the identification of chitosan on a different enlargement where chitosan does not have a pore, the edx of the chitosan spectrum on 500x magnification shows the highest concentration element, which is c element and the lowest is n. while on the 1000x magnification, the element with the highest concentration is c and the lowest is o. figure 4 shows the results of the identification of the clay-chitosan with a ratio of 1.25:1 which can be seen the clay covering the surface of the chitosan. the results of identification of clay-chitosan clays with a ratio of 2.5:1 show that chitosan particles are reduced but clay particles also still look like small chunks. while the results of identification of clay-chitosan with a ratio of 5:1 show that there is a particle of clay and chitosan. (a) (b) (c) figure 4. composite lao:chitosan with a ratio of 1.25: 1 (a); 2.5: 1 (b); 5: 1 (c) when compared between clay particles and chitosan, clay particles is more dominat. therefore the surface area is getting bigger. in addition, in this sample there were particles clay that did not interact with chitosan. catherina m.bijang, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 15-20, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bij 19 maximum lead adsorption capacity by laochitosan composites each composite was added to the standard solution of lead with a concentration of 500 ppm which was then shaked for 6 hours. the resulted filtrate is analyzed by an atomic absorption spectrophotometer to determine the concentration of lead standard solution in solution so that absorbed lead concentration by composite can be calculated as seen in table 1. table 1.data of lead metal absorbance ck (gram) c0 (ppm) a fd ce (ppm) cads (ppm) q 1.25:1 500 0.1178 50 355.339 144.660 28.9320 2.5:1 500 0.1268 50 385.326 114.673 22.9274 5:1 500 0.1270 50 385.993 114.006 22.8013 note: ck = composite comparison lao:chitosan co = lead concentration before adsorption a = absorbance fd = dilution factor ce = free lead concentration in solution cads = lead concentration that is adsorbed by the laochitosan composite q = adsorption percentage (%) based on table 1 it can be seen that on the laochitosan composite with a ratio of 1.25:1 absorb more lead, and composite with a ratio of 5:1 shows the smallest capability. this result is in accordance with xrd and sem data, that composite 1.25:1 has the best interaction. cadmium maximum absorption capacity by composite clay-chitosan the data on the absorbance of the cadmium standard solution is presented in figure 5. in the cadmium adsorption process, each composite is added to the standard cadmium solution with a concentration of 500 ppm which is then shaked for 6 hours. the resulting filtrate was then analyzed by ssa to determine the concentration of cadmium in solution, so that the concentration of cadmium absorbed by the absorben can be calculated. the data of cadmium metal absorbance shown in table 3. table 3 shows the lao surface area is greater than the lao-chitosan composite with a ratio of 1.25: 1, 2.5: 1, and 5:1. this is influenced by the active side of chitosan and the pores of clay. the lao that has not been modified with chitosan has a pores functioning. when clay is mixed with chitosan 1.25:1 the active side plays the role, because in the ratio of 1.25:1 the measured surface area is 0 m2/g, in sem photos (figure 4) it can be seen that chitosan cover the clay surface. the cadmium that enters is bound to the active side of chitosan, namely n. the clay-chitosan ratio of 5:1 is the best result because cd can enter the lao-chitosan pore. figure 5. standard curve of cadmium standard solution table 3. data of cadmium metal absorbance ck (%) co (ppm) a fd ce co ce 1.25:1 2.5:1 5:1 500 500 500 1.63 1.65 1.63 50 50 50 8.88 10.08 8.35 491.12 498.91 491.65 note: ck: comparison of natural-chitose clay composites c0: concentrate standard solution before absorption a: absorbance fd: dilution factor ce: free cadmium concentration in solution the lao-chitosan composite with a ratio of 5:1 is able to absorb more cadmium metals, because the greater the concentration the smaller the absorption and so is the opposite, the smaller concentration then the greater absorption. next in line is composite with a ratio of 1.25:1 and the smallest adsorption ability is shown in the composite with a ratio of 2.5:1. conclusion based on the research results, it has been found that the biggest lead adsorption is shown by the lao composite:chitosan with a ratio of 1.25:1 and the largest cadmium adsorption is shown by the lao composite:chitosan with a ratio of 5:1. references bijang, c. m., latupeirissa, j., & ratuhanrasa, m. (2018). biosorption of copper metal ions (cu2+) on brown seaweed (padina australis) biosorbent. y = 0.1786x + 0.2877 r² = 0.9599 (1) 1 2 3 4 0 5 10 15 20 a b so rp ti o n concentration a catherina m.bijang, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 15-20, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bij 20 indonesian journal of chemical research, 6(1), 26–37. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.6-cat bijang, c. m., sekewael, s. j., & koritelu, j. a. (2014). base activated clay and its application as cation exchanger to reduce the mg2+ and ca2+ ions concentration in the well. indonesian journal of chemical research, 1(2), 93–98. bijang, c. m., tehubijuluw, h., & kaihatu, t. g. (2018). biosorption of cadmium (cd2+) metal ion in brown seaweed biosorbent (padina australis) from liti beach, kisar island. indonesian journal of chemical research, 6(1), 51–58. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.6-cath futalan, c. m., kan, c.-c., dalida, m. l., pascua, c., & wan, m.-w. (2011). fixed-bed column studies on the removal of copper using chitosan immobilized on bentonite. carbohydrate polymers, 83(2), 697–704. https://doi.org/ 10.1016/j.carbpol.2010.08.043 lavorgna, m., attianese, i., buonocore, g. g., conte, a., del nobile, m. a., tescione, f., & amendola, e. (2014). mmt-supported ag nanoparticles for chitosan nanocomposites: structural properties and antibacterial activity. carbohydrate polymers, 102, 385–392. https://doi.org/ 10.1016/j.carbpol.2013.11.026 monvisade, p., & siriphannon, p. (2009). chitosan intercalated montmorillonite: preparation, characterization and cationic dye adsorption. applied clay science, 42(3), 427–431. https://doi.org/10.1016/j.clay.2008.04.013 motshekga, s. c., ray, s. s., onyango, m. s., & momba, m. n. b. (2015). preparation and antibacterial activity of chitosan-based nanocomposites containing bentonite-supported silver and zinc oxide nanoparticles for water disinfection. applied clay science, 114, 330– 339. https://doi.org/10.1016/j.clay.2015.06.010 rahayu, r., tanasale, m. f. j. d. p., & bandjar, a. (2020). isotherm adsorption of cr(iii) ions by chitosan isolated rajungan crab waste and commercial chitosan. indonesian journal of chemical research, 8(1), 28–34. https://doi.org/10.30598/10.30598//ijcr.2020.8ayu rusadi, e., mahatmantie, f. w., & sulistyaningsih, t. (2018). preparasi komposit kitosan-bentonit sebagai adsorben zat warna methyl orange. indonesian journal of chemical science, 7(3), 207–213. https://doi.org/10.15294/ijcs.v7i3.21105 sobeih, m. m., el-shahat, m. f., osman, a., zaid, m. a., & nassar, m. y. (2020). glauconite clayfunctionalized chitosan nanocomposites for efficient adsorptive removal of fluoride ions from polluted aqueous solutions. rsc advances, 10(43), 25567–25585. https://doi.org/ 10.1039/d0ra02340j tanasale, m. f. j. d. p., bandjar, a., & sewit, n. (2018). isolation of chitosan from straw mushroom (vollvariella volvaceae) hood and its application as lead (pb) metal absorbent. indonesian journal of chemical research, 6(1), 44–50. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.6-mat teddy, m., bijang, c. m., nurdin, m., & kapelle, b. (2018). the influence of calcination temperatures in tio2 impregnated ouw’s natural clay on its degradation activity of methylene blue dye. science nature, 1(1), 008–014. https://doi.org/10.30598/snvol1iss1pp008-014 year2018 wang, h., tang, h., liu, z., zhang, x., hao, z., & liu, z. (2014). removal of cobalt(ii) ion from aqueous solution by chitosan–montmorillonite. journal of environmental sciences, 26(9), 18791884. https://doi.org/10.1016/j.jes.2014.06.021 wang, l., & wang, a. (2007). adsorption characteristics of congo red onto the chitosan/montmorillonite nanocomposite. journal of hazardous materials, 147(3), 979– 985. https://doi.org/10.1016/j.jhazmat.2007.01. 145 wang, s. f., shen, l., tong, y. j., chen, l., phang, i. y., lim, p. q., & liu, t. x. (2005). biopolymer chitosan/montmorillonite nanocomposites: preparation and characterization. polymer degradation and stability, 90(1), 123–131. https://doi.org/10.1016/j.polymdegradstab.2005.0 3.001 microsoft word 2. mere.doc indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 8-14, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2020.9-jan 8 antibacterial effectiveness of syzygium cumini (l.) skeels leaves to escherichia coli pbr322 janrigo klaumegio mere1*, maria bintang2, mega safithri2 1departement of chemistry, faculty of agriculture, timor university, jl. km 09, sasi sub-discret, kefamenanu, 85614, indonesia. 2departement of biochemistry, faculty of mathematics and natural sciences, ipb university, jl. raya dramaga ipb campus dramaga bogor, west java, 16680, indonesia. *corresponding author: merejanrigo@gmail.com received: february 2021 received in revised: february 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract bacterial resistance is a serious problem that until now still has become a global problem. the search for new antibacterial compounds is needed to overcome this problem. syzygium cumini (l.) skeels is a plant known to contain bioactive compounds that can be used as an antibacterial agent. this study aims to explore the leaves of this plant as an antibacterial against escherichia coli pbr322 resistant bacteria. based on the antibacterial test results, extracts and leaf fractions of this plant can inhibit bacterial growth. ethyl acetate fraction at a concentration of 800 ppm showed strong antibacterial activity with an inhibition zone diameter of 10.36±0.02 mm followed by ethanol extract and other fractions, namely 8.43±0.01 mm (ethanol extract), 7.24±0.01 mm (water fraction), and 1.45±0.01 mm (n-hexane fraction). the results of spectrophotometric mic determination also showed inhibition against bacterial growth, which was marked by a decrease in the absorbance value at the lowest antibacterial concentration of 600 ppm from 0.454 to 0.070 at wavenumber 600 nm after 24 hours of incubation. the decrease in the absorbance value indicated that the antibacterial properties of the plant leaves at this concentration were effective in inhibiting bacterial growth. keywords: antibacterial, escherichia coli pbr322, resistant, syzygium cumini (l.), skeels. introduction bacterial resistance is a serious problem in the medical world which until now has become a global problem. the use of antibiotics that are not following the service rules is one-factor causing bacterial resistance. it's because bacteria can quickly build a defense system that can inactivate the working mechanism of the antibiotic by overhauling the target receptors that bind to the antibiotic or expressing a flux pump gene that can pump the antibiotic out of the cell so that treatment becomes ineffective (cesur & demiröz, 2013). in developing countries, especially indonesia, cases of bacterial resistance are not new. data on cases of bacterial resistance in 2009, indonesia ranks 8th out of 27 countries as the country with the title of the highest multidrug-resistant issues in the world (estiningsih, puspitasari, & nuryastuti, 2016). the increase in cases of bacterial resistance, which is expecting to continue to increase every year, is the main reason for researchers to keep trying to find new antibacterial substances to overcome this problem (rendowaty, djamaan, & handayani, 2017). various types of research related to the search for antibacterial compounds have generally been carried out either by synthetic means or using herbal ingredients derived from plants. the use of antibacterial agents derived from plants currently tends to be the leading choice to continue to be developed because, empirically, it has been proven safe and almost does not cause harmful side effects to the body (zakaria et al., 2017). according to (costa, lins, le hyaric, barros, & velozo, 2017) medicinal plants are natural resources that can be used as natural medicines because of the content of bioactive compounds in it. one type of plant that has been widely used as natural medicines empirically in curing various types diseases is jamblang (syzygium cumini (l.) skeels). jamblang (syzygium cumini (l.) skeels) is a typical indonesian flora that currently has a rare population (dewi & wahyuni, 2016). however, in the area of central malaka-timor-indonesia, the existence of jamblang plants is still relatively abundant. since long ago, some local people have traditionally used the leaves of this plant to treat various types of diseases, including diarrhea, one of the factors caused by infection with the bacteria janrigo klaumegio mere, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 8-15, 2021 of escherichia coli. although classified as normal intestinal flora, other strains of this bacteria are also known to be dangerous and pathogenic because they can cause infection, both spores and endemic (idrus & mustapa, 2021). research on the use of syzygium cumini (l.) skeels leaves have been done widely in other countries, one of which is brazil. the results showed that the leaf extract of this plant had antibacterial activity against several streptococcus bacteria streptococcus uberis, streptococcus agalacteae, and streptococcus dysgalacteae with minimum inhibitory concentrations of 3.1, 1.5, and 1.9%, respectively (voigt mota et al., 2013). although it has been used as an antibacterial agent, the use of this plant leaves as an antibacterial is still limited to bacteria that are sensitive to antibiotics, while its application against diarrhea-causing pathogens such as escherichia coli that contains resistant plasmids like pbr322 has never been done. therefore, further research is needed to obtain more detailed information about the potential of this plant in terms of its antibacterial properties. this study aims to test the antibacterial effectiveness of jamblang leaves against the bacteria escherichia coli pbr322, which has been resistant to ampicillin and tetracycline antibiotics. in addition, the minimum concentration test for bacteria will also be determined spectrophotometrically so that information on the smallest antibacterial concentration of these plant leaves can be obtained in inhibiting the growth of the escherichia coli pbr322 bacteria. methodology instruments and materials the research materials used were old jamblang leaves (syzygium cumini (l.) skeels) from central malaka, timor island, east nusa tenggara province, and the escherichia coli pbr322 bacterial isolate. other ingredients, namely; distilled water, 70% ethanol (e-merk), n-hexane (e merk), ethyl acetate(e merk), 1.175% bacl2 (e merk), 1% h2so4 (pa), physiological nacl (e merk), luria bertani broth, luria bertani agar, filter paper (no brand), paper discs (oxoid antibacterial susceptibility test discs), kanamycin (kanamycin meiji sulfate) 30 ppm ( and 20% dmso (e merk). the equipment used in the study were glassware (pyrex), 60 mesh sieve (test sieve analys), sonicator water bath (ultrasonic cleaner granbo stainless steel 304), funnel glass (pyrex), evaporator (ika rotary evaporator rv 10 digital), oven (memmert unb 400), ose needle (no brand), petri dish (pyrex), incubator (memmert in 30 incubator), vortex (nueation vortex mixer), analytical balance (fujitshu fsr-a), bunsen burner (no brand), autoclave (gea medical ls-50 lj), micropipette (scilogex) and spectrophotometer uvvis (genesys 10s uv-vis). experimental preparation and determination of water content old jamblang leaves were taken from a tree with a tree age of about 20 years from fahiluka village, malaka regency, east nusa tenggara, washed clean and dried for 7 days. the dried leaves were mashed into 60 mesh, and then determined the water content. extraction and fractionation the sample was extracted using 70% ethanol solvent with a ratio of 1: 10 (w/v). the extraction was carried out by sonication at an ultrasonic frequency of 40 khz for 25 minutes at a temperature of 25 ºc. the sonication results are then filtered using a buchner funnel. the filtrate is then evaporated at 60 ºc. the extracts obtained were tested for phytochemical content and continued with fractionation (1: 1 v/v) using 3 solvents with different polarity levels: water, ethyl acetate, and n-hexane. preparation of bacterial suspension the culture of eschericha coli pbr322 bacteria that has been prepared is taken 1 to 2 colonies and then put in 10 ml of 0.9% physiological nacl. the bacterial suspension was then vortexed and turbidity adjusted with a standard solution of mc. farland 0.5. each ml of the suspension is equal to a bacterial concentration of 1.5 × 108 cfu/ml. antibacterial activity test as much as 15 ml of luria bertani agar which already contains ampicillin-tetracycline antibiotics (50 µg/ml; 15 µg/ml) is put into a sterile petri dish then allowed to stand until solidified. the bacterial suspension has been adjusted according to standard mc. farland 0.5 pipette 100 µl aseptically then poured on the surface of the media and leveled using a spreader glass. furthermore, each disc paper was given an extract and fraction with a 200, 400, 600, and 800 ppm concentration. the positive control was kanamycin 30 ppm, while the negative control was 20% dmso. the amount of material dropped on each disc paper was 20 µl. disc paper was then placed on the surface of the media and then incubated at 37 ºc for 24 hours. antibacterial activity is measured by looking at the clear zone that forms around the disc after 24 hours. janrigo klaumegio mere, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 8-14, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2020.9-jan 10 minimum inhibitory concentration (mic) determination of antibacterial. in this test, bacterial suspension as much as 1 ml according to mc. farland 0.5 was put into 7 tubes containing 2 ml of luria bertani broth and antibiotics (ampicillin, 50 µg/ml; tetracycline 15 µg/ml). into the 4 tubes, the extract or the best fraction of the antibacterial activity test results was inserted into luria bertani broth media with concentrations 200, 400, 600, and 800 ppm, respectively. the following 2 tubes were inserted with 30 ppm antibiotic kanamycin (control +) and dmso 20% (control -). then the last tube was used as a control medium without bacterial suspension. the minimum inhibitory concentration (mic) of antibacterial can be determined by comparing the absorbance value from the spectrophotometer of each tube after the incubation process with the pre-incubation process. the lowest absorbance resulting from the antibacterial concentration will considering as mic of antibacterial. data analysis antibacterial activity was analyzed using oneway analysis of variance (anova) at a 95% confidence level (p<0.05) with the application of minitab 18.0 to determine the difference in the effect of the jamblang leaves extract and fraction on escherichia coli pbr322 bacteria. results and discussion determination of water content the sample's water content was determined gravimetrically by heating the sample at 105 ºc for 3 hours. water content determination was carried out to ensure that the amount of water content in the sample exceeded 10%. the high water content in the sample can trigger microbial growth and cause enzymatic reactions resulting in chemical composition changes. so that sample did not last a long enough storage. according to (bpom, 2019), the water content of a good sample is less than 10%. based on the results of measuring the water content, it was found that the water content of the sample in this study was 7.85%. it shows that the sample used has met the standard of a good sample water content. extraction and fractionation extraction of jamblang leaves was carried out by sonication using an ultrasonic bath with an ultrasonic frequency of 40 khz at a temperature of 25 for 25 minutes. the choice of the sonication method is based on its ability to extract natural compounds faster than other extraction methods. it's because the effect of ultrasonic vibrations generated from the sonicator can quickly penetrate cell tissues so that the cells become lysis. the compounds in plant cells will be extracted into the solvent (jos, pramudono, & aprianto, 2012). the ethanol extract obtained from the extraction then separated the metabolite content through a liquid-liquid fractionation. fractionation was carried out using three types of solvents: water, ethyl acetate, and n-hexane. the purpose of fractionation is to separate the content of secondary metabolites in the extract according to differences in polarity based on the principle of "like dissolves like" (uthia, arifin, & erfianti, 2017). based on the fractionation results, the yield percentage data of each fraction of 20 g of ethanol extract as shown in table 1. table 1. rendament of ethanol extract fraction based on the data in table 1, it can be seen that the yield percentage produced from each fraction is different. the yield of the n-hexane fraction was smaller than the water fraction and ethyl acetate fraction. the high yield of water fraction and ethyl acetate fraction was probably due to differences in the polarity of the compounds in the sample into the solvent. phytochemical screening phytochemical screening aimed to identify the secondary metabolites in the ethanol extract of jamblang leaves from timor island. it is also intended to prove that the differences in the region's location and the rainfall from the origin of this plant will show the difference in the composition of the secondary metabolites contained in it. based on previous research conducted by (ramos & bandiola, 2017), the results of phytochemical screening of the ethanol extract of jamblang leaves from the philippines as a whole did not show positive results for all tests. in contrast in this study, the whole phytochemical test showed positive results for all tests as shown in table 2. etanol extract (20 g) fraction weight (g) rendament (%) water fraction 8.26 41.32 ethyl acetate 2.58 12.92 n-hexane fraction 0.13 0.69 janrigo klaumegio mere, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 8-14, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2020.9-jan 11 based on the data in table 2. it is consistent with the statement of (salim, sitorus, & ni, 2016) that the secondary metabolite content of a plant is strongly influenced by geographic location, altitude, and rainfall where the plant originates. according to (dulay & de castro, 2016), the content of secondary metabolite compounds in plants is an essential component in its biological activity related to treatment. several secondary metabolite compounds such as flavonoids, terpenoids, tannins, and saponins are also said to have biological activities that can act as antimicrobials, antioxidants, anti-cancer, antiallergic and anti-inflammatory. it is supported by the research results of (fartyal & kumar, 2016) which prove that several metabolite compounds such as alkaloids, flavonoids, and steroids also have an important role, which can act as natural antibacterial agents. antibacterial activity test the antibacterial activity of jamblang leaves was carried out using the disc diffusion method. the effect of giving ethanol extract and fraction on its antibacterial ability was determined by measuring the inhibition zone diameter formed around the disc. based on the results of the antibacterial activity test at various antibacterial concentrations, it can be seen in table 3 that the increase in the concentration of each antibacterial is directly proportional to the inhibition zone formed from each test. the data in table 3 of four types of antibacterial at various antibacterial concentrations of 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, and 800 ppm shows that the antibacterial types differed significantly (p<0.05) on the diameter of the formed inhibition zone. the antibacterial test results show that ethyl acetate gave a better antibacterial activity value than the other extracts and fractions with an inhibition zone diameter of 10.36 ± 0.02 mm at a concentration of 800 ppm. meanwhile, the ethanol extract was 8.43 ± 0.01 mm, table 2. phytochemical screening of ethanol extract of jamblang leaves. phytochemical group test result according to literature test result flavonoids test material will turn to brownishyellow + terpenoids and steroids terpenoid:the color becomes red, purple, or brown. + steroid:the color of the test material will change to green alkaloids wagner's reagent test: brown precipitate. meyer reagent test : white precipitate. dragendroff test:redorange precipitate + tannins the test material changes color to blackish green or blackish blue + saponins test material produces stable foam + janrigo klaumegio mere, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 8-14, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2020.9-jan 12 the water fraction was 7.24 ± 0.01 mm, and the nhexane fraction was 1.45 ± 0.01 mm. the difference in the inhibition zone diameter resulting from each antibacterial is strongly influenced by the type of bioactive components contained therein. the higher the antibacterial activity value produced, it can be said that the more bioactive components that act as antibacterials (suciari, luh kadek., mastra, nyoman., hs, 2018). therefore, the high antibacterial activity value of the ethyl acetate fraction is thought to have high bioactive compounds in its activity as an antibacterial. its ability to inhibit bacterial growth is better than other extracts and fractions. this is supported by (nugraha, suryadi achmad, & erly sitompul, 2019) research data that shows ethyl acetate can dissolve bioactive components that can act as antibacterials, including flavonoids, tanin and saponins. other research data also indicates that ethyl acetate can dissolve several bioactive compounds from different plants with bioactive components in the form of flavonoids, saponins and alkaloids (sri widyawati, budianta, kusuma, & wijaya, 2014). the antibacterial mechanism of each of these compounds is different from one another. according to (górniak, bartoszewski, & króliczewski, 2019), the inhibition of flavonoids groups as bioactive compounds against antibacterials has a complicated mechanism and cannot be fully understood. several references state that flavonoid compounds can inhibit bacterial growth by remodelling the structure of the cell membrane. flavonoid compounds can be bound to the surface of the bacterial cell membrane, disruption of the function of the bacterial cell membrane, they are causing death in bacterial cells. the mechanism of alkaloids as antibacterials is known to act as dna intercalators in inhibiting the topoisomerase enzyme in bacterial cells. the inhibition of this enzyme causes the dna replication process in bacterial cells to be disrupted, resulting in inhibition of bacterial cell growth (ernawati & sari, 2015). apart from being an intercellator agent, another alkaloids mechanism is to disturb the peptidoglycan constituent components of bacterial cells so that the cell walls are not formed intact due to the bacterial cells' death (supari, leman, & zuliari, 2016). the mechanism of tannins and saponins as antibacterial compounds is to work by damaging the function of the cytoplasmic membrane in bacteria, causing cell leakage in bacteria. saponins act as antibacterials by reducing the surface tension of bacterial cells, which causes the leakage and discharge of the bacterial intracellular fluid that caused death cells bacteria (nugraha et al., 2019). minimum inhibitory concentration (mic) of antibacterial antibacterial mic is determined spectrophotometrically using the best fraction of the antibacterial activity test results at "λ" 600 nm. the measurement at 600 nm is because bacterial cells can absorb light at that wavelength (astutiningsih, setyani, & hindratna, 2014). antibacterial mic needs to be determined to see how much influence the concentration of bioactive compounds in antibacterials inhibits bacterial growth. the antibacterial ability at the lowest concentrations in inhibiting bacterial growth can be known from the value of antibacterial absorbance from the smallest to the highest concentrations. the determination of mic spectrophotometry obtained absorbance value information from antibacterial fractions of ethyl acetate, as shown in table 4. table 3. antibacterial activity of jamblang leaves to escherichia coli pbr322. antibacterial concentration inhibition zone diameter of antibacterial (mm); mean ± sd ethanol extract water fraction ethyl acetate fraction n-hexan fraction 200 3.13±0.01c 2.13±0.01d 3.20±0.02b 1.20±0.02e 400 5.17±0.25b 2.52±0.02c 5.43±0.01b 1.27±0.01d 600 6.03±0.20c 5.28±0.01d 8.25±0.01b 1.43±0.01e 800 8.43±0.01c 7.24±0.01d 10.36±0.02b 1.45±0.01e control (+) 16.67±0.02a 16.67±0.02a 16.67±0.02a 16.67±0.02a note: antibacterial activity data were interpreted by mean ± standard deviation of 3 repetitions; different superscripts on the same line stated significantly different (p< 0.05) on tukey's test. janrigo klaumegio mere, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 8-14, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2020.9-jan 13 table 4. minimum inhibitory concentration (mic) of ethyl acetate fraction antibacterial concentrations absorbance at "λ" 600 nm before incubation after incubation 200 ppm 0.211 0.248 400 ppm 0.316 0.335 600 ppm 0.454 0.070 800 ppm 0.648 0.114 dmso 20% (-) 0.062 1.205 kanamycin 30 ppm (+) 0.068 0.054 lb media control 0.050 0.051 the increase in the absorbance value at the antibacterial concentration of 200 ppm and 400 ppm, respectively, from 0.211 to 0.248 and 0.316 to 0.355, indicates that antibacterials at these concentrations have not worked optimally in inhibiting bacterial growth so that bacteria can still thrive and absorb a lot of light when measured on the spectrophotometer. it can also be seen from the increasing absorbance value shown by the 20% dmso (-) control. the high absorbance value produced exceeds 1.0 in dmso control because there is the very high amount of light absorbed by bacteria due to bacterial growth in the sample after incubation 24 hours. therefore increases the concentration of bacteria, blocking the light transmitted to the detector based on lambert beer's law that absorbance is directly proportional to substance (bacteria) absorbing the light (akinduti et al., 2019). while the data for measuring the absorbance value at antibacterial concentrations of 600 ppm and 800 ppm, it can be seen that there is a decrease in the absorbance value which is also shown by the control (+) kanamycin 30 ppm. the decrease in the absorbance value is estimated at a concentration of 600 ppm, 800 ppm, and control (+) kanamycin 30 ppm, antibacterials can inhibit bacterial growth. a low absorbance value indicates that little light is absorbed by the bacteria because bacterial growth has been inhibited by antibacterial substances in the sample. conclusion extract and fraction of jamblang leaves are effective as antibacterial agents against escherichia coli pbr322 (resistant to ampicillin and tetracycline). the best antibacterial activity from antibacterial testing was ethyl acetate fraction at a concentration of 800 ppm with an inhibition zone diameter of 10.36 ± 0.02 mm and a minimum inhibitory concentration of 600 ppm against bacteria. acknowledgment thank you are conveyed to the educational fund management institute (lpdp) through the indonesian lecturer leading scholarship (budi-dn), who had sponsored this research. references akinduti, p. a., motayo, b., idowu, o. m., isibor, p. o., olasehinde, g. i., obafemi, y. d., … adeyemi, g. a. (2019). suitability of spectrophotometric assay for determination of honey microbial inhibition. journal of physics: conference series, 1299(1), 1–7. https://doi.org/ 10.1088/1742-6596/1299/1/012131 astutiningsih, c., setyani, w., & hindratna, h. (2014). uji daya antibakteri dan identifikasi isolat senyawa katekin dari daun teh ( camellia sinensis l. var assamica). jurnal farmasi sains dan komunitas, 11(2), 50–57. bpom. (2019). peraturan bpom nomor 32 tahun 2019 persyaratan keamanan dan mutu obat tradisional. in badan pengawas obat dan makanan. cesur, s., & demiröz, a. p. (2013). antibiotics and the mechanisms of resistance to antibiotics. medical journal of islamic world academy of sciences, 21(4), 138–142. https://doi.org/ 10.12816/0002645 costa, r. s., lins, m. o., le hyaric, m., barros, t. f., & velozo, e. s. (2017). in vitro antibacterial effects of zanthoxylum tingoassuiba root bark extracts and two of its alkaloids against multiresistant staphylococcus aureus. revista brasileira de farmacognosia, 27(2), 195–198. https://doi.org/10.1016/j.bjp.2016.11.001 dewi, s. t. r., & wahyuni, s. (2016). uji efek antiinflamasi rebusan daun jamblang (zyzygium cumini) pada mencit (mus musculus). media farmasi, 14(1), 53–59. dulay, r. m. r., & de castro, m. e. g. (2016). chemical constituents, antioxidant and antibacterial activity of syzygium cumini (l.) skeels (myrtaceae). der pharma chemica, 8(20), 317–321. ernawati, & sari, k. (2015). chemical compound content and antibacterial activity of avocado (persea americana p.mill) peel extract on janrigo klaumegio mere, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 8-14, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2020.9-jan 14 vibrio alginolyticus bacteria. jurnal kajian veteriner, 3(2), 203–211. estiningsih, d., puspitasari, i., & nuryastuti, t. (2016). identifikasi infeksi multidrug-resistant organisms pada pasien yang dirawat di bangsal neonatal intensive care unit (nicu) rsup dr. soeradji tirtonegoro klaten. jurnal manajemen dan pelayanan farmasi, 6(3), 243–248. fartyal, m., & kumar, p. (2016). evaluation of antimicrobial efficacy of alkaloids, flavonoids and steroids of allamanda cathartica linn. against some pathogenic bacteria. international journal of advances in pharmacy, biology and chemistry, 5(3), 303–313. górniak, i., bartoszewski, r., & króliczewski, j. (2019). comprehensive review of antimicrobial activities of plant flavonoids. in phytochemistry reviews (vol. 18). https://doi.org/10.1007/ s11101-018-9591-z idrus, i., & mustapa, f. (2021). concentration effect of leaf extract from kekara laut ( canavalia maritima thou .) in inhibiting of staphylococcus epidermidis bacteria with a statistical indonesian journal of chemical research. indonesian journal of chemical research, 8(2), 180–185. https://doi.org/10.30598/ijcr.2021.-irm jos, b., pramudono, b., & aprianto. (2012). ekstraksi oleoresin dari kayu manis berbantu ultrasonik dengan menggunakan pelarut alkohol. reaktor, 13(4), 231–236. https://doi.org/10.14710/ reaktor.13.4.231-236 nugraha, s. e., suryadi achmad, & erly sitompul. (2019). antibacterial activity of ethyl acetate fraction of passion fruit peel (passiflora edulis sims) on staphylococcus aureus and escherichia coli. indonesian journal of pharmaceutical and clinical research, 2(1), 07–12. https://doi.org/ 10.32734/idjpcr.v2i1.972 ramos, i. l., & bandiola, t. m. b. (2017). phytochemical screening of syzygium cumini (myrtaceae) leaf extracts using different solvents of extraction phytochemical screening of syzygium cumini ( myrtaceae ) leaf extracts using different solvents of extraction. der pharmacia lettre, 9(2), 74–78. rendowaty, a., djamaan, a., & handayani, d. (2017). waktu kultivasi optimal dan aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat jamur simbion aspergillus unguis (wr8) dengan haliclona fascigera. jurnal sains farmasi & klinis, 4(2), 49–54. https://doi.org/10.29208/ jsfk.2017.4.1.147 salim, m., sitorus, h., & ni, t. (2016). hubungan kandungan hara tanah dengan produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman duku (lansium domesticum corr var duku) dan potensinya sebagai larvasida the relation of nutrient soil content to the secondary metabolites production in duku plant. jurnal vektor penyakit, 10(2), 11–18. sri widyawati, p., budianta, t. d. w., kusuma, f. a., & wijaya, e. l. (2014). difference of solvent polarity to phytochemical content and antioxidant activity of pluchea indicia less leaves extracts. international journal of pharmacognosy and phytochemical research, 6(4), 850–855. suciari, luh kadek., mastra, nyoman., hs, c. d. widhya. (2018). perbedaan zona hambat pertumbuhan staphylococcus aureus pada berbagai konsentrasi rebusan daun salam (syzygium polyanthum) secara in vitro. meditory : the journal of medical laboratory, 5(2), 92–100. https://doi.org/10.33992/ m.v5i2.138 supari, i. h., leman, m. a., & zuliari, k. (2016). efektivitas antibakteri ekstrak biji bengkuang (pachyrrhizus erosus) terhadap pertumbuhan streptococcus mutans secara in vitro. pharmacon, 5(3), 33–39. https://doi.org/ 10.35799/pha.5.2016.12935 uthia, r., arifin, h., & erfianti, f. (2017). pengaruh hasil fraksinasi ekstrak daun kemangi (ocimum sanctum l.) terhadap aktivitas susunan saraf pusat pada mencit putih jantan. jurnal farmasi higea, 9(1), 85-95 voigt mota, f., damé schuch, l. f., lambrecht gonçalves, c., faccin, â., almeida schiavon, d. b., conrad bohm, b., & ferreira lessa, l. (2013). actividad antibacteriana de los extractos de syzygium cumini (l.) skeels (jambolán) frente a los microorganismos asociados a la mastitis bovina. revista cubana de plantas medicinales, 18(3), 495–501. zakaria, soekamto, n. h., syah, y. m., kimia, j., hasanuddin, u., & kimia, j. (2017). aktivitas antibakteri dari fraksi artocarpus integer (thunb.) merr. dengan metode difusi agar antibacterial activity of artocarpus integer (thunb.) merr. fraction by difusi agar method. jurnal industri hasil perkebunan, 12(2), 1–6. effect of tamarind (tamarindus indica l.) extract to histamine content in bullet tuna (auxis rochei) pengaruh ekstrak asam jawa (tamarindus indica l.) terhadap kandungan histamin daging ikan komu (auxis rochei) nikmans hattu 1, *, jolantje latupeirissa 1 , eirene g. fransina 1 , cecilia a. seumahu 2 , astrid latupeirissa 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences 2 biology department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 received: october 2014 published: january 2015 abstract ikan merupakan kelompok utama biota laut yang memiliki jumlah spesies terbanyak (lebih dari 2000 spesies) setelah moluska atau kerangkerangan (2500 spesies). beberapa spesies diketahui mempunyai nilai ekonomi di bidang perikanan, yang dikategorikan ke dalam 5 kelompok, yaitu ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil (ikan yang hidup pada atau dekat permukaan laut), ikan karang, ikan hias, dan ikan demersial (ikan yang hidup di atau dekat dasar laut) (dahuri, 2003). ikan merupakan makanan fungsional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat setiap harinya, terutama di maluku. ikan yang terdapat di perairan maluku beraneka ragam, mulai dari jenis ikan pelagis, ikan karang sampai dengan ikan demersial atau ikan dasar. ikan pelagis merupakan jenis ikan yang banyak diperoleh di pasar komersial. selain itu, ikan-ikan jenis ini bernilai ekonomis tinggi, sehingga banyak juga dipasok untuk kebutuhan ekspor. pada beberapa jenis ikan, khususnya dari famili scombroidae yang memiliki daging merah, kerusakan oleh aktivitas bakteri maupun enzim dapat menghasilkan racun yang disebut scombrotoksin. senyawa yang bersifat racun tersebut adalah histamin (rawles dkk., 1995). gejala klinis keracunan akibat mengkonsumsi makanan/produk makanan yang mengandung histamin dalam jumlah tinggi berupa muntah-muntah, rasa terbakar pada kerongkongan, bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerahan, gatalgatal, serta badan lemas. gejala keracunan histamin sekilas mirip dengan gejala alergis yang dialami oleh orang yang sensitif terhadap makanan dan produk olahan yang berasal dari ikan dan makanan laut lainnya. sehingga orang sering keliru membedakan gejala keracunan 131 ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 the research to determine histamine content in bullet of tuna (auxis rochei) with variation of tamarind (tamarindus indica l.) extract concentrations and time of marinate has been done. the histamine content is determined quantitatively by using ultraviolet-visible spectrophotometer with the calibration curve method. the result showed that histamine content in bullet tuna marinated in tamarind extract with varied concentrations of 5%, 10%, 15%, and 20% within 10 minutes, are 37.4561, 35.3041, 23.8778, and 22.1186 mg/100 g respectively. while, the concentrations of histamine in bullet tuna marinated in 20% of tamarind extract with variation of 10, 20, 30, 40, and 50 minutes, are 22.2965, 19.7544, 17.6925, 11.5865, and 8.0396 mg/100 g respectively. a qualitatively, visual comparison of colour intensity of samples with reference colour scale of the standard solution concentration can be used to determine concentrations of histamine without the aid of a spectrophotometer. keywords: bullet tuna, histamine, tamarind, spectrophotometer. pendahuluan *corresponding author, e-mail: nickhattu@fmipa.unpatti.ac.id histamin dengan alergi (taylor, 1986). salah satu faktor pembentukan histamin yaitu tingkat histidin yang tinggi dalam daging ikan scombroid seperti makarel, tuna, sarden dan spesies lain. ini yang menyebabkan keracunan (lehane dan olley, 1999). dotulong (2009) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh asam asetat terhadap kadar histamin ikan tongkol (auxis thazard) asap. hasilnya mengungkapkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam asetat dan semakin lama perendaman menghasilkan kadar histamin yang semakin rendah pada ikan tongkol asap. pada suhu ruang (30 o c), semakin lama waktu penyimpanan, konsentrasi histamin pada ikan komu (auxis rochei) semakin meningkat. setelah 6 jam, ikan tidak bisa dikonsumsi karena kandungan histamin yang cukup tinggi (≥ 50 mg/100 g) (gaspersz, 2012). samudra (1992) melakukan penelitian mengenai pengaruh asam jawa terhadap pertumbuhan bakteri. hasil penelitian menunjukkan bahwa asam jawa bersifat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. efek penghambatan yang disebabkan asam jawa karena pengaruh ph yang ditimbulkannya, bukan karena aktivitas senyawa antimikroba. kadar histamin dianalisis mangunwardoyo dkk., (2007) menggunakan modifikasi metode spektrofotometri menurut hardy dan smith (1976). absorbansi diukur pada panjang gelombang 495 nm dengan menggunakan spektrofotometri uv-vis dan menggunakan larutan diazonium sebagai pereaksi. sementara itu, gaspersz (2012) dan oucif dkk., (2012) menggunakan metode kolorimetri yang menggunakan pereaksi warna p-fenildiazonium sulfonat yang mampu bereaksi dengan histamin dan sampel ikan, dan diukur dengan panjang gelombang 497,8 nm. penelitian mengenai histamin pada ikan komu telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, namun demikian penelitian mengenai pengaruh asam terhadap kandungan histamin pada ikan komu masih terbatas, sementara pemakaian asam pada ikan sudah menjadi kebiasaan konsumen. selain itu, ikan komu termasuk jenis ikan scombroidae yang berpotensi menimbulkan keracunan histamin. informasi tentang perkembangan histamin akan sangat diperlukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya keracunan. untuk itu, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “pengaruh ekstrak asam jawa (tamarindus indica l.) terhadap kandungan histamin daging ikan komu (auxis rochei)”. metodologi bahan peralatan-peralatan gelas (pyrex), neraca analitik (adventure pro av264c), blender (miyako), pemanas listrik (cimarec 2), refrigerator (lg), sentrifuge (labofuge 200heraeus), spektrofotometer uv-vis (apel pd303s spectrophotometer). alat sampel ikan komu (auxis rochei), asam jawa (tamarindus indica l.), asam sulfanilat (e. merck), asam klorida (e. merck), natrium nitrit (e. merck), natrium klorida (e. merck), natrium sulfat anhidrous (e. merck), natrium fosfat monohidrat (e. merck), natrium karbonat (e. merck), n-butanol (e. merck), histamin dihidroklorida (e. merck), akuades, kertas saring whatman no. 42, ph indikator universal. prosedur kerja persiapan sampel ikan komu dicuci bersih, diambil daging ikan bagian dorsal (tanpa kulit) diambil dari bagian tubuh ikan komu. selanjutnya diiris tipis dan direndam pada larutan ekstrak asam jawa 5%, 10%, 15%, dan 20% (b/v), selama 10 menit kemudian dicuci kembali dengan akuades. asam jawa diambil daging buahnya dan ditimbang sebesar 5 g untuk konsentrasi 5%, 10 g untuk konsentrasi 10%, 15 g untuk konsentrasi 15%, dan 20 g untuk konsentrasi 20%. daging buah asam jawa diletakkan dalam gelas piala dan ditambahkan dengan akuades kemudian dihancurkan daging buahnya dan diaduk. air hasil adukan disaring dengan kain saring untuk mendapatkan ekstrak asam jawa kemudian dimasukkan ke dalam labu takar hingga volume mencapai hampir 100 ml. jika volume telah hampir mencapai 100 ml maka air dalam labu ukur dikeluarkan kembali dan melarutkan daging buah yang ada dalam gelas piala dan disaring lagi. jika telah terlarut seluruhnya, ditambah dengan akuades hingga tanda batas. ukur phnya. percobaan dilakukan untuk tiga kali 132 nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 1 ulangan. selanjutnya terhadap salah satu hasil dilakukan variasi untuk waktu perendaman selama 10, 20, 30, 40, dan 50 menit. pembuatan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat campuran 1,5 ml asam sulfanilat 0,9% (b/v) dalam hcl 4% dan 1,5 ml nano2 5% (b/v) direndam dalam air es selama 5 menit. larutan nano2 5% 6 ml ditambahkan dan didiamkan selama 5 menit. volume ditepatkan menjadi 50 ml dengan akuades dingin. kemudian, pereaksi disimpan dalam rendaman es selama 15 menit. selanjutnya didiamkan selama 12 jam dan siap digunakan. ekstraksi histamin irisan tipis daging ikan komu ditimbang sebanyak kurang lebih 5 g. sampel dihomogenkan dengan 20 ml larutan nacl 0,85% (b/v) selama 2 menit menggunakan blender. selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 75 ml dan disentrifuge pada 5300 rpm selama 1 jam. supernatan yang terbentuk dibuat menjadi 25 ml dengan larutan nacl 0,85%. ekstrak digunakan untuk analisis selanjutnya. dalam tabung reaksi, 1 ml ekstrak diencerkan menjadi 2 ml dengan larutan nacl 0,85 % dan 0,5 g campuran garam (berisi 6,25 g na2so4 anhidrat yang ditambahkan 1 g na3po4.h2o),larutan tercampur secara merata. kemudian ditambahkan 2 ml n-butanol dan dikocok sekuat mungkin selama 1 menit dan didiamkan selama 2 menit dan dihomogenkan agar terjadi kerusakan pada gel protein. tabung kemudian dikocok beberapa menit dan disentrifuge pada 3100 rpm untuk 10 menit. butanol yang terletak di bagian atas (sekitar 1 ml) dipindahkan ke dalam tabung bersih dan kering. selanjutnya diuapkan menjadi benarbenar kering. residu dilarutkan di dalam 1 ml akuades dan kemudian direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat. analisis secara spektrofotometri tabung reaksi yang bersih berisi 5 ml larutan na2co3 1,1% ditambahkan perlahanlahan 2 ml pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan dicampur. kemudian ditambahkan 1 ml larutan residu yang diperoleh dari proses ekstraksi ke dalam tabung. absorbansi dari warna yang dihasilkan diukur secepatnya setelah 5 menit pada panjang gelombang 497,8 nm menggunakan akuades sebagai blanko. konsentrasi histamin dalam sampel diperoleh dari kurva standar untuk pengukuran absorbansi pada 497,8 nm dengan analisis regresi. histamin dihidroklorida (165,5 mg, bm = 184 g/mol) dilarutkan dalam 100 ml akuades sampai mencapai konsentrasi 1000 ppm histamin bebas. larutan histamin standar 1000 ppm kemudian diencerkan dengan akuades untuk memperoleh konsentrasi 100 ppm, yang akan diencerkan untuk memperoleh konsentrasi 5, 10, 20, 40, 60, dan 80 ppm. sebanyak 1 ml larutan standar histamin dengan konsentrasi 5, 10, 20, 40, 60, dan 80 ppm direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 497,8 nm (sesuai dengan prosedur iii.3.4). selanjutnya dibuat kurva absorbansi versus konsentrasi histamin. data hasil analisis kadar histamin dianalisis secara statistik menggunakan program spss. analisis meliputi analisis sidik ragam atau anova. apabila hasil analisis data menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut tukey atau uji beda nyata jujur (bnj) yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. hasil dan pembahasan analisis kualitatif histamin analisis kualitatif kandungan histamin menggunakan metode kolorimetri. prinsip kerjanya yaitu ekstraksi histamin, diikuti dengan sentrifugasi, ekstraksi dengan n-butanol dan penguapan sebelum reaksi kolorimetri dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat. intensitas warna dari kuning hingga orange dapat diperiksa secara visual dengan perbandingan skala warna (etienne dkk., 2006). dalam penelitian ini dibuat larutan standar histamin dengan 6 konsentrasi berbeda, yaitu 5, 10, 20, 40, 60, dan 80 ppm. larutan standar ini direaksikan dengan pereaksi p-fenildiazonium sulfonat sehingga timbulnya warna kuning hingga orange yang mengidentifikasikan adanya 133 nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 1 histamin. dalam gaspersz (2012), intensitas warna yang dihasilkan pada tiap konsentrasi histamin dalam sampel berbanding lurus dengan skala warna referensi dan absorbansi dari histamin standar yang diukur pada panjang gelombang 497,8 nm pada konsentrasi yang sama. ekstraksi histamin daging ikan dengan larutan nacl 0,85% (b/v) diamati untuk mendapatkan ekstrak histamin yang diinginkan. ijong dan ohta (1996) menyatakan bahwa garam merupakan bahan bakteriostatik. garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme tertentu. mikroorganisme pembusuk paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun. selain itu, garam dapat mempengaruhi aktivitas air dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme (buckle dkk., 2007). analisis kuantitatif histamin analisis kuantitatif kandungan histamin menggunakan metode kurva kalibrasi. enam konsentrasi larutan standar histamin dianalisis pada spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 497,8 nm untuk mengetahui nilai absorbansinya. pada plot kalibrasi, hubungkan konsentrasi histamin dengan nilai absorbansi pada spektrofotometer. selanjutnya hitung konsentrasi histamin sampel. hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam daging ikan komu berdasarkan variasi konsentrasi ekstrak asam jawa diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1. analisis kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 10 menit berdasarkan tabel 1 dengan penambahan variasi konsentrasi ekstrak asam jawa, kandungan histamin dalam daging ikan komu menurun dari 37,4561 mg/100 g sampai 22,1186 mg/100 g sampel. kandungan tertinggi ditemukan pada sampel daging ikan komu yang ditambahkan larutan ekstrak asam jawa 5%, sedangkan kandungan terendah ditemukan pada sampel daging ikan komu yang ditambahkan larutan ekstrak asam jawa 20%. data analisis kandungan histamin menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak asam jawa yang ditambahkan pada sampel daging ikan komu maka semakin rendah kandungan histamin dalam sampel daging ikan komu tersebut. hal ini menggambarkan bahwa ph rendah (berkisar antara 2 sampai 4) pada ekstrak asam jawa dapat menghambat pertumbuhan bakteri maupun enzim. hubungan perubahan kandungan histamin daging ikan komu terhadap konsentrasi ekstrak asam jawa diperlihatkan pada gambar 1. gambar 1. grafik perubahan konsentrasi histamin ikan komu terhadap konsentrasi ekstrak asam jawa berdasarkan gambar 1, terlihat bahwa kandungan histamin ikan komu mengalami penurunan setelah direndam selama 10 menit dalam larutan ekstrak asam jawa. namun, kandungan histamin ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 5% dan 10% tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap ikan komu kontrol (ekstrak asam jawa 0%) dalam pencegahan pembentukan histamin. ikan komu kontrol yang mengandung 38,2157 mg/100 g histamin, setelah direndam dalam ekstrak asam jawa 5% dan 10% mempunyai kadar histamin 37,4561 mg/100 g dan 35,3041 mg/100 g. 0 10 20 30 40 50 0 5 10 15 20 k o n se n tr a si h is ta m in konsentrasi ekstrak asam jawa (%) b/v µg/ml mg/100g nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 1 134 berbeda dengan kandungan histamin ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 15% dan 20% yang berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap ikan komu kontrol (ekstrak asam jawa 0%) dalam pencegahan pembentukan histamin. ikan komu kontrol mengandung 38,2157 mg/100 g histamin, setelah direndam dalam ekstrak asam jawa 15% dan 20% mempunyai kadar histamin 23,8778 mg/100 g dan 22,1186 mg/100 g, jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 5% dan 10%. penentuan konsentrasi histamin awal pada saat ikan dibeli dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin, kemudian dibawa ke laboratorium dan dipreparasi. konsentrasi histamin sebesar 38,2157 mg/100 g, yang menunjukkan bahwa konsentrasi histamin dalam daging ikan komu cukup tinggi, namun masih di bawah batas maksimum kadar histamin yang diizinkan terdapat dalam bahan makanan oleh fda, sehingga masih layak untuk dikonsumsi. penambahan asam berarti menurunkan ph yang disertai dengan naiknya konsentrasi ion hidrogen (h + ), dan dijumpai bahwa ph rendah lebih besar penghambatannya pada pertumbuhan mikroorganisme. asam digunakan sebagai pengatur ph dan bersifat toksik untuk mikroorganisme dalam bahan pangan (cahyadi, 2006). penggunaan asam seperti ekstrak asam jawa dapat mendenaturasi protein, sehingga akan menurunkan daya ikat air. layly (2002) menyebutkan bahwa adanya pemberian ekstrak asam jawa dapat mempengaruhi kadar air ikan yang dihasilkan, sehingga dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak asam jawa yang digunakan, semakin rendah kadar air yang dihasilkan. dari penelitian ini terlihat konsentrasi histamin terendah adalah sampel ikan komu yang direndam dengan larutan ekstrak asam jawa 20% selama 10 menit, yaitu 22,1666 μg/ml. oleh karena itu, sampel ini dilakukan variasi waktu perendaman selama 10, 20, 30, 40, dan 50 menit. untuk variasi waktu ini, dibuat larutan standar baru. kurva kalibrasinya diperlihatkan pada lampiran 2. harga koefisien determinasi (r 2 = 0,958) dari kurva kalibrasi yang mendekati satu. hasil perhitungan kandungan histamin dengan variasi konsentrasi asam jawa ditentukan dengan menggunakan metode kurva kalibrasi dengan mensubstitusi nilai y (absorbansi) yang diperoleh dari pengukuran absorbansi terhadap persamaan regresi dari kurva kalibrasi. hasil analisis kandungan histamin rata-rata dalam daging ikan komu berdasarkan variasi waktu perendaman diperlihatkan pada tabel 2. tabel 2. analisis kandungan histamin ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20% berdasarkan tabel 2, dengan penambahan variasi waktu perendaman, kandungan histamin dalam daging ikan komu menurun dari 22,2965 sampai 8,0396 mg/100 g sampel. kandungan tertinggi ditemukan pada sampel daging ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20% selama 10 menit sedangkan kandungan terendah ditemukan pada sampel daging ikan komu yang direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20% selama 50 menit. semakin lama waktu perendaman sampel daging ikan komu maka semakin rendah kandungan histamin dalam sampel daging ikan komu tersebut. hal ini disebabkan karena perendaman yang lama menyebabkan ekstrak asam jawa bekerja efektif. ekstrak asam jawa yang meresap dalam daging ikan menghambat pertumbuhan mikroba maupun aktivitas enzim yang mengurai histidin menjadi histamin. hubungan perubahan kandungan histamin daging ikan komu terhadap waktu perendaman dengan larutan ekstrak asam jawa 20% ditunjukkan pada gambar 2. nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 1 135 gambar 2. grafik perubahan konsentrasi histamin ikan komu terhadap waktu perendaman berdasarkan gambar 2, terlihat bahwa terjadi penurunan kandungan histamin ikan komu setelah direndam dalam larutan ekstrak asam jawa 20%. namun, kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 20 dan 30 menit tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 10 menit dalam pencegahan pembentukan histamin. ikan komu yang direndam selama 10 menit mengandung 22,2965 mg/100 g histamin, setelah direndam selama 20 dan 30 menit mempunyai kadar histamin 19,7544 mg/100 g dan 17,6925 mg/100 g. berbeda dengan kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 40 dan 50 menit berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kandungan histamin ikan komu yang direndam selama 10 menit. ikan komu yang direndam selama 10 menit mengandung 22,2965 mg/100 g histamin, setelah direndam selama 40 dan 50 menit mempunyai kadar histamin 11,5865 mg/100 g dan 8,0396 mg/100 g, jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang selama 10 dan 20 menit. hal ini menunjukkan bahwa perendaman yang lama menyebabkan larutan ekstrak asam jawa efektif bekerja. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. kandungan histamin yang terdapat dalam daging ikan komu dengan variasi konsentrasi ekstrak asam jawa 5%, 10%, 15%, dan 20% (b/v) dengan waktu perendaman 10 menit adalah 37,4561; 35,3041; 23,8778; dan 22,1186 mg/100 g sampel ikan komu. kandungan histamin yang terdapat dalam daging ikan komu dengan variasi waktu perendaman 10, 20, 30, 40, dan 50 menit pada konsentrasi ekstrak asam jawa 20% adalah 22,2965; 19,7544; 17,6925; 11,5865; dan 8,0396 mg/100 g sampel ikan komu. 2. semakin tinggi konsentrasi ekstrak asam jawa dan semakin lama perendaman, maka semakin rendah kandungan histamin yang diperoleh. daftar pustaka buckle, k. a., edwards, r. a., fleet, g. h., dan wooton, m. 2007. ilmu pangan. alih bahasa: purnomo, h., dan adiono. penerbit universitas indonesia. jakarta. cahyadi, w. 2006. analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan. penerbit bumi aksara. jakarta. dahuri, r. 2003. keanekaragaman hayati laut aset pembangunan berkelanjutan indonesia. penerbit pt gramedia pustaka utama. jakarta. dotulong, v. 2009. studi kadar histamin ikan tongkol (auxis thazart) asap yang diawetkan dengan asam asetat. warta wiptek no.33/th.2009/maret). etienne, m., ifremer., dan nantes. 2006. methodology for histamine and biogenic amines analysis. seafoodplus project 6.3 valid. prancis. gaspersz, n., 2012. penentuan kadar histamin dalam daging ikan komu (auxis rochei) berdasarkan waktu dengan metode spektrofotometri sinar tampak. skripsi. jurusan kimia, fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura. ambon. hardy, r. and smith, j.g.m. 1976. the storage of mackerel (scromber scombrus) development of histamine and rancidity. j. sci. food agric. 27:595-599. ijong, f. g., dan ohta, y. 1996. physicochemical and microbiological changes associated with bakasang processing-a traditional indonesian fermented fish sauce. journal of science food agriculture 71: 69-74. 0 5 10 15 20 25 10 20 30 40 50 k o n se n tr a si h is ta m in waktu perendaman (menit) μg/ml mg/100g 135 nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 1 layly, a. r. 2002. keberadaan merkuri dan pengaruh perendaman larutan asam terhadap kandungan gizi serta daya cerna protein pada ikan mas (cyprinus carpio l.). skripsi. jurusan gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga, fakultas pertanian, ipb. bogor. lehane, l., dan olley, j. 1999. histamine (scombroid) fish poisoning a review in a risk. national office of animal and plant health. canberra. mangunwardoyo, w., sophia, r. a., dan heruwati, e. s. 2007. seleksi dan pengujian aktivitas enzim l-histidine decarboxylase dari bakteri pembentuk histamin. makara sains, vol. 11, no. 2, november 2007: 104109. oucif, h., ali-mehidi, s., dan abi-ayad, s-m. e-a. 2012. lipid oxidation and histamine production in atlantic mackerel (scomber scombrus) versus time and mode of conservation. journal of life sciences 6 (2012) 713-720. rawles, d.d., flick, g.j., and martin. 1995. biogenic amines in fish shellfish. adv. food. nutr. res. 39:329-364. taylor, s. l. 1986. histamine food poisoning : toxicology and clinical aspects. critical review in toxicology. 17: 91-128. 136 nikmans hattu, dkk / ind. j. chem. res., 2014, 2, 131 136 1 indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 61 ekstraksi dan karakterisasi pektin kulit jeruk manis kisar (citrus sp.) extraction and characterization of pectin from the oranges peel of kisar (citrus sp.) jolantje latupeirissa, eirene g. fransina*, matheis f.j.d.p. tanasale, chudeya y. batawi department of chemistry, faculty mathematics and natural science, pattimura university, jl. ir. putuhena no 1 poka ambon-indonesia *corresponding author, e-mail: eirene411@yahoo.co.id received: apr. 2019 published: jul. 2019 abstract extraction and characterization of pectin from the oranges peel of kisar (citrus sp.) have been done. pectin was obtained from extraction oranges peel crust of kisar with hcl at temperature 90 °c during 4 hours. the content of albido and pectin are 69.17% and 82.82%, respectively. identification functional group of pectin was using by ftir spectrophotometer which oh-alcohol (3294.42–3373.50 cm -1 ), ch3-alifatic (2939.52 cm -1 ), c=o ester (1741.72–1730.15 cm -1 ), c=c alkene (1614.42–1643.35 cm -1 ), and c-o eter (1232.51–1276.88 cm -1 ). characterizations of pectin were equivalent weight (2011.6 mg), methoxyl content (1.17%), galacturonic level (41.64%), moisture content (28.46%), ash content (11.92%), and degree of esterification (15.95%). keywords: characterization, citrus sp., extraction, orange peel pectin pendahuluan jeruk manis kisar merupakan salah satu buah endemik dan hanya dikembangkan warga di kepulauan kisar, kabupaten maluku barat daya (mbd) provinsi maluku. jeruk manis kisar tergolong jeruk berbuah kecil, yang memiliki bentuk dan cita rasa yang berbeda dengan jeruk manis di luar wilayah maluku. sebutan jeruk manis kisar diberikan untuk jeruk sejenis yang banyak ditanam oleh penduduk di beberapa pulau dalam wilayah kecamatan kisar dan sekitarnya, seperti di pulau babar, romang, dan wetar (sudarso, 2010). jeruk manis kisar adalah salah satu spesies jeruk manis (citrus sp.) dengan taksonomi sebagai berikut: kingdom : plantae; divisi: spermatophyta; subdivisi: angiospermae; kelas: dicotyledonae; ordo: rutales; famili: rutaceae; genus: citrus; species: citrus sp., (sarwono, 1994 dalam hariyati, 2006). di dalam jeruk manis terdapat bioflavonoid dan betakaroten yang dapat memperkuat dinding sel. jeruk manis berlimpah flavanoidnya, salah satunya adalah flavanipis yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menangkal dan menangkap radikal bebas penyebab kanker. di samping itu, jeruk manis kaya akan kandungan gula yang dapat memulihkan energi secara cepat (jacob dkk., 2011). produksi buah dari pohon jeruk manis kisar, setiap musim dapat mencapai 800–1000 buah. umur produksi tanaman jeruk yakni antara 3-12 tahun dengan periode waktu berbunga pada januari–februari, sedangkan masa panennya juli–oktober. kandungan gizi yang terkandung dalam buah jeruk kisar di antaranya vitamin c (5,70 mg), total asam (10,87 mg), kadar gula (13,30%). jeruk memiliki ph yang bersifat asam (5–6,5), mempunyai cita rasa manis, dan penampilan baik (jacob dkk., 2011). buah jeruk memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia karena banyak mengandung vitamin (c dan a). pada buah jeruk, selain dagingnya yang dapat dimanfaatkan, kulit buah jeruk juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pektin. pektin atau senyawa pektat adalah suatu polisakarida kompleks dengan bobot molekul besar yang terdapat pada lamella tengah (middle lamella) atau ruang antar sel pada jaringan tanaman tingkat tinggi. ikatan bersama antara polisakarida dengan serat-serat selulosa membentuk jaringan kuat yang berperan sebagai perekat antara sel. buah-buahan dan sayuran banyak mengandung pektat (voragen dkk., 1995). pektin secara alami dapat ditemukan pada jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 62 sebagian besar tanaman sumber pangan terutama buah-buahan dan dapat diekstrak dari bagian daging buah, bunga, dan limbah berupa kulit, biji, maupun pomace (usmiati dkk., 2016). menurut tuhuloula (2013) dalam widiastuti (2015), pemisahan pektin dari jaringan tanaman dilakukan dengan proses ekstraksi yang merupakan proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. pektin dari kulit jeruk dapat diperoleh melalui proses ekstraksi dengan pelarut asam, basa, dan air. stabilisasi pektin dihasilkan oleh selapis air melalui ikatan elektrostatik antara molekul pektin yang bermuatan negatif dengan molekul air yang bermuatan positif. penambahan etanol (zat pendehidrasi) dapat mengurangi stabilitas dispersi pektin dan menyebabkan penggumpalan akibat efek dehidrasi yang mengganggu keseimbangan pektin dengan air (fitria, 2013). pektin digunakan sebagai pembentuk gel dan pengental dalam pembuatan jelly, selai, dan marmalade. dalam bidang farmasi, pektin digunakan untuk obat diare, sebagai bahan tambahan dalam produk susu terfementasi, dan sebagai penjerap logam (hanum dkk., 2012). pektin juga digunakan dalam industri kertas, tekstil, dan industri karet. widiastuti (2015), melakukan ekstraksi pektin dari jeruk bali dengan microwave assisted extraction dan aplikasinya sebagai edible film. puspitasari (2017), melakukan penelitian tentang pemanfaatan pektin dari kulit jeruk sebagai bahan pembuatan komposit dengan penambahan kitosan laktat. pada penelitian ini dilakukan ekstraksi pektin dari kulit jeruk manis kisar melalui ekstraksi padat-cair dengan pemanasan. pektin yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi gugus fungsi menggunakan spektrofotometer ftir dan dikarakterisasi untuk menentukan: berat ekivalen (be), kadar metoksil, kadar asam galakturonat, kadar air, kadar abu, dan derajat esterifikasi. pektin hasil isolasi diharapkan dapat diaplikasikan sebagai adsorben dan sebagai komponen fungsional pada industri makanan, minuman, dan farmasi karena pektin dapat membentuk gel encer dan menstabilkan protein yang dapat diaplikasikan pada penelitian selanjutnya. metodologi alat alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain peralatan gelas laboratorium (pyrex), lumpang, hot-plate (cimarec 2), oven (memert), ayakan tatonas (100 mesh), pengaduk magnet, pompa vakum, shaker (sha-c, constant temperature oscilllator, pisau, blender, desikator, spektrofotometer ftir (shimadzu ir prestige21). bahan bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit jeruk kisar yang sudah tua (matang). bahan-bahan lain yang digunakan dengan kualitas pro analisis dari merck, yaitu etanol (c2h5oh), asam klorida (hcl), natrium klorida (nacl), natrium hidroksida (naoh), kalium hidroksida (koh), pelet kbr, phenophtalein (pp), almunium foil, kertas saring whatman no.42, akuades, dan akuabides. prosedur kerja preparasi albedo albedo (bagian dalam kulit jeruk manis kisar yang berwarna putih) dilepaskan menggunakan pisau. sebanyak 350 g albedo dimasukkan ke dalam oven pada suhu 70 °c dan dikeringkan selama 48 jam. kemudian, albedo yang sudah kering dihaluskan menggunakan blender. kadar sebuk albedo dihitung menggunakan rumus : catatan: bsk : bobot albedo sebelum dikeringkan bsd : bobot albedo sesudah dikeringkan ekstraksi pektin dari kulit jeruk manis kisar sebanyak 300 g serbuk albedo dimasukkan ke dalam erlemeyer 2000 ml dan ditambahkan akuades. campuran diaduk hingga membentuk bubur encer. selanjutnya ditambahkan larutan hcl 1% sedikit demi sedikit sambil diukur phnya hingga mencapai ph 1,5. bubur asam selanjutnya direfluks selama 4 jam pada 90 °c, kemudian disaring menggunakan kertas saring dan didinginkan pada suhu ruang. selanjutnya ditambahkan etanol 95% yang diasamkan dengan menambahkan 2 ml hcl pekat dan campuran didiamkan selama 1 jam hingga terbentuk gel. jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 63 pengendapan pektin (isolasi) endapan seperti gel yang terbentuk selanjutnya dicuci dengan etanol 95% dan diasamkan dengan hcl pekat 2 ml lalu didinginkan selama 17 jam. endapan yang terbentuk selanjutnya disaring menggunakan pompa vakum lalu dikeringkan dalam oven suhu 40 °c selama 8 jam. pektin yang diperoleh selanjutnya dihaluskan, diayak (100 mesh), dan dihitung kadarnya (hariyati, 2006 dengan modifikasi). selanjutnya dilakukan karakterisasi pektin dan penentuan gugus fungsi menggunakan ftir. untuk menghitung kadar pektin digunakan rumus: catatan: bsk : bobot albedo sesudah dihaluskan identifikasi gugus fungsi dengan ftir serbuk pektin yang diperoleh dipreparasi dalam bentuk pelet kbr dengan perbandingan 1:100 (b/b) dan selanjutnya dianalisis dengan spektrofotometer ftir. karakterisasi pektin (maulana, 2015) berat ekivalen (be) pektin sebanyak 0,5 g ditambahkan 2 ml etanol 95% dan dilarutkan dalam nacl 2,5%. campuran ditetesi dengan indikator fenolftalein sebanyak 5 tetes dan dititrasi dengan naoh 0,1 n hingga terbentuk warna merah muda. volume titran yang digunakan dicatat untuk menghitung berat ekivalen pektin menggunakan rumus: be = kadar metoksil larutan hasil analisis berat ekivalen (be) ditambahkan larutan naoh 0,2 n sebanyak 25 ml, diaduk dan didiamkan selama 30 menit dalam keadaan tertutup pada suhu kamar. selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan hcl 0,2 n, ditetesi dengan pp sebanyak 5 tetes kemudian dititrasi dengan larutan naoh 0,1 n sampai terbentuk warna merah muda. volume titran yang terpakai selanjutnya digunakan untuk menentukan kadar metoksil: kadar metoksil = kadar asam galakturonat kadar asam galakturonat dihitung dari mili berat ekivalen (mek) naoh yang diperoleh dari penentuan bilangan ekivalen dengan rumus : kag = catatan: kag : kadar asam galakturonat kadar air sebanyak 0,25 g pektin dalam cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada suhu 105 °c, kemudian didinginkan dan ditimbang. cara`ini dilakukan berulang hingga bobot konstan. kadar air ditentukan dengan rumus: kadar air = kadar abu sebanyak 0,5 g pektin diletakkan dalam cawan pengabuan, dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 o c selama 90 menit, kemudian abu didinginkan sampai temperatur kamar dan ditimbang bobotnya. kadar abu ditentukan dengan rumus: kadar abu = derajat esterifikasi pengukuran derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar asam galakturonat yang dihasilkan. derajat esterifikasi = hasil dan pembahasan preparasi albedo sumber pektin dari limbah jeruk manis kisar diperoleh dari albedo yang dipisahkan dari kulit jeruk manis kisar. tanaman jeruk manis kisar seperti pada gambar 1. serbuk albedo yang diperoleh dari kulit jeruk manis kisar sebesar 69,17%. pektin dapat diperoleh dengan cara ekstraksi. proses ekstraksi pektin dilakukan dengan cara ekstraksi padat-cair menggunakan pelarut hcl dengan cara pemanasan. ekstraksi dilakukan pada suhu 90 °c selama 4 jam. tujuan jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 64 penambahan hcl adalah sebagai pelarut pektin. pektin dalam jaringan tanaman terdapat sebagai protopektin yang tidak larut dalam air sehingga dilakukan hidrolisis dalam air yang diasamkan untuk mengubah protopektin menjadi pektin yang bersifat larut dalam air (ramdja dkk., 2011). hasil ekstraksi disaring untuk memisahkan albedo kulit jeruk manis kisar dengan pektin. setelah disaring, filtrat didinginkan pada suhu ruang agar dapat terbentuk endapan. gambar 1. tanaman jeruk manis kisar (citrus sp.) (sumber: http://balitjestro.litbang. pertanian.go.id/mengenal-eksotisme-jerukmanis-kisar/) pengendapan pektin pada proses pengendapan pektin, filtrat yang telah didinginkan ditambahkan etanol 95% yang diasamkan dengan 2 ml hcl pekat. etanol yang ditambahkan dalam larutan pektin akan bersifat sebagai pendehidroksi sehingga keseimbangan antara pektin dengan air akan terganggu dan pektin akan mengendap (prasetyowati dkk., 2009). selanjutnya campuran didiamkan selama 17 jam agar pektin terpisah dari larutan. endapan yang terbentuk dari proses ekstraksi berbentuk gel. selanjutnya larutan dicuci 2 kali dengan etanol 95%. endapan disaring dengan pompa vakum lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °c selama 8 jam. pektin yang dihasilkan kemudian dihaluskan dengan lumpang dan diayak dengan ayakan 100 mesh, sehingga dihasilkan serbuk pektin dengan kadar sebesar 82,82%. serbuk pektin yang diperoleh dianalisis menggunakan spektrofotometer ftir. analisis pektin analisis pektin dengan menggunakan ftir berfungsi untuk mengetahui gugus-fungsi yang terdapat pada pektin hasil isolasi dari kulit jeruk manis kisar. gugus-gugus fungsi yang teridentifikasi dari pektin hasil isolasi berdasarkan serapan bilangan gelombang yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan serapan bilangan gelombang pektin standar. struktur pektin (gambar 2) dan spektrum ftir pektin standar maupun pektin hasil isolasi seperti pada gambar 3. gambar 2. struktur pektin berdasarkan spekrum ftir dari pektin hasil isolasi (gambar 3b) yang dibandingkan dengan spektrum ftir pektin standar (gambar 3a) dan dengan membandingkan serapan bilangan gelombang yang muncul (tabel 1) maka senyawa hasil isolasi yang diperoleh dari kulit jeruk manis kisar adalah pektin. tabel 1. hasil uji ft-ir pektin dari kulit jeruk manis kisar dan pektin standar bilangan gelombang (cm -1 ) keterangan pektin standar* pektin isolasi 2886,33-2973,30 1730,00-1750,41 1626,49-1680,00 1014,40-1246,44 3294,42-3373,50 2939,52 1714,72-1730,16 1614,42-1643,35 1232,51-1276,88 oh (alkohol) ch3 (alifatik) c=o (ester) c=c (alkena) c-o(eter) * sumber : sdbs (2019) karakterisasi pektin karakterisasi pektin, meliputi berat ekivalen (be), kadar metoksil, kadar asam galakturonat, kadar air, kadar abu, dan derajat esterifikasi. data hasil karakteristik pektin dapat dilihat pada tabel 2. jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 65 berat ekivalen (be) hasil berat ekivalen untuk pektin sebesar 2011,6 mg. berat ekivalen pektin berdasarkan standar ippa (2001) yakni berkisar antara 600800 mg. pektin yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki berat ekivalen yang tidak memenuhi standar yang ada. jika dibandingkan dengan penelitian puspitasari (2017), berat ekivalen yang diperoleh berdasarkan variasi suhu dan waktu ekstraksi berkisar 42,6885-103,3512 mg. menurut fitria (2013) bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku, metode ekstraksi dan perlakuan pada proses ekstraksi. kadar metoksil pada penelitian ini kadar metoksil yang diperoleh sebesar 1,17% yang dikategorikan sebagai pektin berkadar metoksil rendah (<7%). kadar metoksil rendah dipengaruhi oleh proses ekstraksi yang menyebabkan terurainya gugus etil ester akibat hidrolisis oleh asam klorida. widiastuti (2015) memperoleh kadar metoksil pektin dari kulit jeruk bali sebesar 8,5%. towle dan christensen (1973) menyatakan bahwa proses ekstraksi akan menyebabkan proses diesterifikasi pektin yang telah terekstraksi menjadi galakturonat yang diikuti dengan penurunan kadar metoksil. kadar metoksil meningkat seiring dengan kenaikan suhu dan waktu ekstraksi, hal ini disebabkan karena gugus karboksil bebas yang teresterifikasi semakin meningkat (hanum dkk., 2012). kadar asam galakturonat kadar asam galakturonat serta muatan molekul pektin berperan penting dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (constenla dan lozano, 2006). (a) (b) gambar 3. spektrum ftir (a) pektin standar (sdbs, 2019) dan (b) pektin dari kulit jeruk manis kisar jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 66 semakin tinggi nilai kadar galakturonatnya, maka mutu pektin juga semakin tinggi. pada penelitian ini kadar galakturonat yang diperoleh dari pektin kulit jeruk manis kisar sebesar 41,64%. hasil ini lebih kecil jika dibandingkan dengan kadar asam galaturonat dari jeruk bali yang diperoleh widiastuti (2015) yaitu sebesar 66,5%. menurut ippa, kadar galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65%. kadar galakturonat pektin dapat dipengaruhi oleh sumber bahan baku, pelarut, dan metode ekstraksi yang digunakan (fitria, 2013). kadar air pada penelitian ini kadar air yang dihasilkan dari pektin kulit jeruk manis kisar sebesar 28,46%. hasil kadar air ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar air pektin dari jeruk bali sebesar 17,6% yang diperoleh widiastuti (2015). syarat kadar air maksimum untuk pektin kering menurut ippa adalah tidak lebih dari 12%, dengan demikian kadar air yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak termasuk dalam pektin yang memenuhi syarat menurut ippa. kadar abu kadar abu dalam pektin dipengaruhi oleh adanya residu bahan anorganik yang terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi serta isolasi pektin (kalapathy dan proctor, 2001). hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kadar abu pektin dalam penelitian ini sebesar 11,92%. menurut widiastuti (2015), kadar abu yang diperoleh dari pektin kulit jeruk bali sebesar 4%. batas maksimum kadar abu pektin dalam ippa adalah tidak lebih dari 10% dan hasil yang diperoleh dari penelitian ini di atas standar yang ditetapkan oleh ippa. derajat esterifikasi derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam d-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol (whistler dan daniel, 1985 dalam budiyanto dan yullianingsih, 2008). derajat esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil dan kadar galakturonat (fennema, 1996). nilai derajat esterifikasi pada penelitian ini sebesar 15,95%. menurut standar pektin dalam food chemical codex (1996), pektin ester tinggi memiliki kadar metoksil di atas 50%, sedangkan pektin ester rendah memiliki kadar di bawah 50%. menurut budiyanto dan yullianingsih (2008), derajat esterifikasi menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu ekstraksi. tingginya suhu dan lamanya waktu ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh tabel 2. data hasil karakteristik pektin karakteristik pektin hasil penelitian standar (ippa dan fcc)* kegunaan be metoksil metoksil tinggi metoksil rendah asam galakturonat kadar air kadar abu derajat esterifikasi pektin ester tinggi pektin ester rendah 2011,6 mg 1,17% 41,64% 28,46% 11,92% 15,95% 600-800 mg > 7% < 7% min 65% < 12% < 10% min 50% maks 50% kekentalan pektin pembentukan gel pembentukan struktur dan tekstur gel masa simpan bahan kemurnian pektin * sumber : ippa (2001); fcc (1996) jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 67 adanya asam (kertez, 1951 dalam hariyati, 2006). asam dalam ekstraksi pektin akan menghidrolisis ikatan hidrogen. ikatan gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat. apabila ekstraksi dilakukan terlalu lama maka pektin akan berubah menjadi asam pektat yang mana asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil tidak teresterifikasi (fitria, 2013). widiastuti (2015) memperoleh derajat esterifikasi pektin dari kulit jeruk bali sebesar 72,5% dengan derajat metoksil yang tinggi (8,5%) sedangkan pektin dari kulit jeruk manis kisar memiliki derjat esterifikasi 15,95% karena derajat metoksilnya rendah (1,17%). menurut awashti (2011), nilai derajat ersterifikasi untuk pektin bermetoksil tinggi memiliki rentang nilai derajat esterifikasi sebesar 50-70% dan untuk pektin bermetoksil rendah memiliki rentang 10-40%. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan kadar pektin yang diperoleh dari kulit jeruk manis kisar adalah 82,82% dan identifikasi gugus fungsi dari pektin menggunakan spektrofotometer ftir pada daerah serapan 3294,42-3373,50 cm -1 (oh alkohol), daerah serapan 2939,52 cm -1 (ch3 alifatik), daerah serapan 1741,72-1730,15 cm -1 (c=o ester), daerah serapan 1614,42-1643,35 (c=c alkena), dan daerah serapan 1232,511276,88 cm -1 (c-o eter). karakterisasi pektin dari kulit jeruk manis kisar berupa berat ekivalen (be) adalah 2011,6 mg, kadar metoksil 1,17%, kadar asam galakturonat 41,64%, kadar air 28,46%, kadar abu 11,92%, dan derajat esterifikasi 15,95%. ucapan terima kasih ucapan terima kasih disampaikan kepada dekan fmipa universitas pattimura ambon atas didanainya penelitian ini sesuai surat perintah kerja nomor: 08.112.2h/spk-pj/un13ppbj/ppu-fmipa/2018 tanggal 29 agustus 2018. daftar pustaka awasthi, r., 2011, selection of pectin as pharmaceutical excepient on the basis of rheological behavior, inter. j. pharm. pharmac. sci., 3(1), 229-231. budiyanto, a., yulianingsih, 2008, pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakter pektin dari ampas jeruk siam (citrus nobilis l), j. penelitian pascapanen pertanian, 5 (2), 37-44. constenla, d., lozano, j.e., 2003, kinetic model of pectin demethylation. latin american app. res., 33, 91-96. fansuri, b.a., 2017, mengenal eksotisme jeruk manis kisar, http://balitjestro. litbang. pertanian.go.id/mengenal-eksotisme-jerukmanis-kisar/, diakses 11 april 2018 fennema, 1996, food chemistry, 3 th edition., marcel dekker inc., new york. fitria, v., 2013, karakterisasi pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok (musa balbisiana abb), skripsi, program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas islam negeri syarif hidayatullah, jakarta. food chemical codex (fcc), 1996, pectins, https://www.nap.edu/resource/fcc/pectins.pd f, diakses 11 april 2018 hanum, f., kaban, i.m.d., tarigan, m.a., 2012, ekstraksi pektin dari kulit buah pisang raja (musa sapientum), j. teknik kimia usu, 1(2), 21-26. hariyati, m.n., 2006, ekstraksi dan karakterisasi pektin dari limbah proses pengolahan kulit jeruk pontianak (citrus nobilis var microcarpa), skripsi, fakultas teknologi pertanian, institut pertanian bogor, bogor. international pectins producers association (ippa)., 2001, what is pectin, https://ippa.info/what is pectin.htm, diakses 11 april 2018. jacob, a., f. puturuhu, f. polnaya, g. agustyn, h. jesajas, j. rupilu., 2011, survei informasi dasar jeruk kisar di pulau kisar kabupaten maluku barat daya (mbd). laporan penelitian. kerjasama dinas penelitian dan peternakan kabupaten maluku barat daya (mbd) dan fakultas pertanian universitas pattimura, ambon. kalapathy, u., a. proctor., 2001, effect of acid extraction and alcohol precipitation conditions on the yield and purity of soy hull pectin, food chem., 73, 393 –396. jolantje latupeirissa dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 61-68 68 maulana, s., 2015, ekstraksi dan karakterisasi pektin dari limbah kulit pisang uli (musa paradisiaca l., aab), skripsi, program studi farmasi, fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan, universitas islam negeri syarif hidayatullah, jakarta. prasetyowati., permatasari, k., pesantri, h., 2009, ekstraksi pektin dari kulit mangga, j. teknik kimia, 4(16), 42-49. puspitasari, d.a., 2017, pemanfaatan pektin dari kulit jeruk sebagai bahan baku pembuatan komposit dengan penambahan kitosan laktat. skripsi, program studi teknik kimia, fakultas teknik, universitas muhammadiyah surakarta. surakarta ramdja, a.f., dimas a.p., rendy r., 2011, ekstraksi pektin dari kulit pisang kepok dengan pelarut asam klorida dan asam asetat, j.teknik kimia, 17(5), 28-37. spectral database for organic compounds (sdbs), 2019, ir kbr disc pectin (from citrus) sdbs no. 2656, https:// sdbs. db. aist.go-jp/sdbd/cgi-bin/ direct_frame_ top.cgi, diakses 8 mei 2019 sudarso, 2010, jeruk kisar banjiri ambon, https://www.antarafoto.com/mudik/v128339 8501/jeruk-kisar-banjiri-ambon, diakses 11 april 2018. towle, g.a., chistensen, o., 1973, pectin dalam r.l., whistler, industrial gum., 429, academic press.new york. usmiati, s., mangunwidjaja, d., noor, e., richana, n., prangdimurti, e., 2016, produksi pektin bermetoksil rendah dari kulit jeruk nipis (citrus aurantifolia swingle) secara spontan menggunakan pelarut amonium oksalat dan asam, j. penelitian pascapanen pertanian, 13(3), 125-135. voragen, a.g.j., pilnik, w., thaibault, j.f., axelas, m.a.v., renard, c.m.g.c., 1995, pectin, dalam alistair, m.s., (ed), food polysaccharide and their applications, 287–339, marcel dekker inc., new york. widiastuti, d.r., 2015. ekstraksi pektin kulit jeruk bali dengan microwave assited extraction dan aplikasinya sebagai edible film. tugas akhir. program studi teknik kimia, fakultasteknik, universitas negeri semarang, semarang. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 43 produksi ekstrak bioaktif untuk aditif pangan dari limbah kulit buah naga: pengaruh metode pre-treatment dan ekstraksi production of bioactive materials for food additives from dragon fruit skin extracts: effect of pre-treatment and extraction methods dian shofinita 1,2* , yazid bindar 1,2 , ardiyan harimawan 2 , arwinda aprillia jaelawijaya 1 , mifta fawwaz 1 1 department of food engineering, faculty of industrial technology, institut teknologi bandung, jalan let. jen. purn. dr. (hc). mashudi no. 1.jalan raya jatinangor km 20,75, sumedang 45363, indonesia 2 department of chemical engineering, faculty of industrial technology, institut teknologi bandung, jalan ganesa no. 10, bandung 40132, indonesia * corresponding author: shofi@che.itb.ac.id received: 2020-12-18 received in revised: 2020-5-4 accepted: 2020-5-15 available online: 2020-5-31 abstract dragon fruit is one of the tropical fruits can be grown in indonesia. the skin of dragon fruit, which is accounted for 30-35% of the whole fruit usually thrown away as waste. this study aims to produce a bioactive extract from extraction of dragon fruit skin that is rich in phenolic and pigment compounds then it used as food additives. the variation that was used in this study includes the application of drying as pre-treatment of dragon fruit skin and the extraction methods (maceration and soxhlet extraction). the obtained extracts were evaluated for the amount of total phenolic compounds and pigments (anthocyanin and betacyanin). drying of dragon fruit skin was found to yield lower amounts of bioactive materials, which may occur due to the thermal degradation even though a low drying temperature was used. in addition, the maceration method was found to give a higher amount of bioactive materials compared with the soxhlet method. the extraction with the highest yield of bioactive materials was obtained by the use of fresh dragon fruit skin and maceration for 240 minutes, which gave amounts of anthocyanin, betacyanin, and total phenolic compounds of 0.08, 0.04, dan 0.35 mg/g fresh dragon fruit skin, respectively. keywords: extraction, antioxidant, natural colorant, food additive, drying. abstrak (indonesian) buah naga adalah salah satu buah yang dapat tumbuh di indonesia. kulit buah naga, yang merupakan 30-35% dari massa buah, biasanya dibuang sebagai limbah. penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kulit buah naga mengandung material bioaktif, antara lain senyawa antioksidan, senyawa fenolik, dan pigmen alami (antosianin dan betasianin). penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan ekstrak bioaktif melalui proses ekstraksi kulit buah naga yang kaya akan senyawa fenolik dan pigmen alami sehingga dapat digunakan sebagai aditif pangan. variasi yang digunakan antara lain adanya perlakuan awal kulit buah naga dan metode ekstraksi (maserasi dan ekstraksi soxhlet). ekstrak yang diperoleh selanjutnya dievaluasi kandungan senyawa fenolik total dan kandungan pigmennya (antosianin dan betasianin). hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeringan awal kulit buah naga dapat menurunkan kandungan senyawa bioaktif, yang dapat terjadi akibat degradasi termal meskipun temperatur pengeringan rendah digunakan. selain itu, metode maserasi menghasilkan kandungan senyawa bioaktif yang lebih tinggi dalam ekstrak dibandingkan dengan metode soxhlet. perolehan senyawa bioaktif tertinggi dihasilkan oleh ekstraksi dengan kulit buah naga segar menggunakan metode maserasi selama 240 menit, yang memberikan kandungan antosianin, betasianin, dan senyawa fenolik total berturut-turut sebesar 0,08; 0,04; dan 0,35 mg/g kulit buah naga segar. kata kunci: ekstraksi, antioksidan, pewarma alami, aditif pangan, pengeringan. dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 44 pendahuluan tanaman buah naga merah (hylocereus polyrhizus) merupakan tanaman yang berasal dari meksiko, amerika tengah, dan amerika utara. tanaman ini selanjutnya dibawa oleh orang perancis pada tahun 1870-an ke vietnam dan tersebar ke negara-negara di asia, termasuk indonesia. indonesia merupakan salah satu negara tempat tanaman buah naga dapat bertumbuh. di indonesia, tanaman buah naga merah paling banyak dibudidayakan di daerah kalimantan timur. buah naga terdiri atas kulit buah dan daging buah. daging buah naga telah dimanfaatkan untuk dikonsumsi, sebagai buah potong atau jus. kulit buah naga mencapai 3035% berat buah. namun, kulit buah naga jarang dimanfaatkan sehingga sering menjadi limbah. penelitian sebelumnya melaporkan bahwa kulit buah naga memiliki kandungankandungan yang bermanfaat. kandungan kulit buah naga yang dapat dimanfaatkan antara lain adalah kandungan antioksidan dan pigmen alami. pigmen digunakan dalam industri pangan untuk menambah daya tarik produk. selain itu, beberapa pigmen alami, seperti antosianin dan betasianin, termasuk ke dalam senyawa flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan. menurut penelitian wu dkk. (2006) kulit buah naga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan pada daging buahnya, sehingga kulit buah naga berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber antioksidan alami. antioksidan yang terkandung dalam kulit buah naga antara lain vitamin c, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan saponin (noor dkk., 2016). antioksidan berfungsi sebagai penangkal radikal bebas. antioksidan alami sering ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan tujuan memperpanjang umur simpan bahan pangan (shofinita dan langrish, 2016). proses ekstraksi antioksidan dari buah dan limbah buah sudah pernah diteliti sebelumnya, seperti dari kulit jeruk, buah kawista, biji kesumba keling, dan buah rukam (shofinita dkk., 2015; fadiyah dkk., 2020; souhoka dkk., 2019; rustiah dan umriani, 2018). penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan ekstrak kulit buah naga yang kaya akan kandungan antioksidan dan pigmen alami sehingga dapat digunakan untuk bahan aditif makanan yang aman. variasi yang digunakan adalah adanya pretreatment berupa pengeringan pada kulit buah naga pada 50 o c dan metode ekstraksi (maserasi dan ekstraksi soxhlet). ekstrak yang dihasilkan diuji kandungan pigmen (antosianin dan betasianin) dan senyawa fenoliknya. metodologi alat dan bahan alat yang digunakan antara lain spektrofotometer uv-vis, hotplate, dan set ekstraktor soxhlet. bahan yang digunakan antara lain buah naga yang diperoleh dari supermarket lokal di jatinangor, jawa barat. metode analisis dilakukan dengan menggunakan beberapa bahan antara lain: reagen folin ciocalteu (merck), senyawa na2co3 (bratachem), dan senyawa asam galat (sigma aldrich). prosedur kerja ekstraksi padat cair kulit buah naga buah naga disiapkan dengan dicuci, dikupas, dan dipotong dengan pisau. jenis kulit buah naga yang diekstrak divariasikan, yaitu tanpa pre-treatment (menggunakan kulit buah naga segar) dan dengan pretreatment berupa pengeringan kulit buah naga. pengeringan kulit buah naga dalam pemanggang dilakukan pada temperatur 50 o c selama 22 jam untuk mengurangi kandungan air dalam kulit. buah naga yang sudah melalui pre-treatment maupun tanpa pre-treatment selanjutnya dicacah dengan menggunakan blender hingga berbentuk pasta. pasta tersebut kemudian dicampurkan dengan pelarut berupa air dengan rasio pelarut dan padatan sebesar 1. dua variasi metode ekstraksi dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan metode maserasi dan ekstraksi soxhlet. maserasi dilakukan dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer pada kecepatan 150 rpm selama 4 jam pada suhu ruang. ekstraksi dengan soxhlet dilakukan selama 3 siklus atau 120 menit. ekstrak hasil perendaman selanjutnya dipisahkan dengan menggunakan kertas saring dan disimpan hingga pengujian. pengujian kandungan total senyawa fenolik kandungan senyawa fenolik diukur dengan reagen folin ciocalteu dan diikuti dengan penambahan 7,5%-b/v na2co3. larutan kemudian diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruang dalam kondisi gelap. absorbansi larutan selanjutnya diukur dengan menggunakan spektrofotometer uvvis pada panjang gelombang 765 nm. jumlah kandungan fenolik diperoleh dari persamaan kurva kalibrasi dengan menggunakan senyawa asam galat sebagai standar. kandungan fenolik dinyatakan dalam satuan mg ekivalen asam galat/g kulit buah naga. pengujian kandungan pigmen (senyawa betasianin dan antosianin) sampel ekstrak cair yang dilarutkan dengan pelarut aqua dm dimasukkan ke dalam wadah dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 45 sampel. absorbansi sampel ekstrak cair yang telah dilarutkan kemudian diukur dengan spektrofotometri dengan panjang gelombang untuk identifikasi betasianin dan antosianin berturut-turut sebesar 535 nm dan 520 nm. kuantikasi pigmen selanjutnya ditentukan dengan menggunakan persamaan 1. (1) dimana: a = nilai absorbansi pada panjang gelombang tertentu df = faktor pengenceran mr = berat molekul (550 g/mol untuk betasianin dan 449,2 g/mol untuk antosianin) vd = volume larutan (ml) ε = koefisien atenuasi molar [60000 l/(mol . cm) untuk betasianin dan 26900 l/(mol . cm) untuk antosianin] l = panjang kuvet (1 cm) wd = massa kulit buah (g) hasil dan pembahasan pengaruh pre-treatment pengeringan kulit buah naga terhadap kandungan bioaktif ekstrak pengeringan kulit buah naga dalam pemanggang dilakukan pada temperatur 50 o c selama 22 jam untuk mengurangi kandungan air dalam kulit. temperatur 50 o c merupakan temperatur dimana antosianin diharapkan belum mengalami degradasi. menurut hillmann dkk. (2011) antosianin mengalami degradasi pada temperatur 70-90 o c. pengeringan dilakukan selama 22 jam karena menurut penelitian yang telah dilakukan oleh purnomo dkk. (2016), pengeringan kulit dalam oven selama 18-21 jam tidak menghasilkan perubahan kandungan air yang signifikan sehingga waktu pengeringan kulit ditambah. dari proses pengeringan diketahui bahwa kandungan air (%-berat basah) dalam kulit buah naga sebesar 55±6%. gambar 1, 2, dan 3 menunjukkan pengaruh waktu ekstraksi terhadap perolehan kandungan antosianin, betasianin, dan fenolik dalam ekstrak cair kulit buah hasil pengeringan dan kulit segar. gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa kandungan antosianin dan betasianin untuk kulit segar dan kulit hasil pengeringan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya waktu ekstraksi. kandungan antosianin dan betasianin pada kedua variasi terus meningkat hingga waktu ekstraksi 90 menit dan cenderung konstan pada waktu ekstraksi selanjutnya. kandungan antosianin tertinggi pada kulit buah segar adalah 0,1060 mg/g kulit segar pada menit ke-90, sedangkan pada kulit buah hasil pengeringan adalah 0,0090 mg/g kulit pada menit ke-180. hasil kandungan antosianin dalam ekstrak kulit buah naga segar berada pada rentang 0,020-0,106 mg antosianin/ g kulit segar, atau setara dengan 0,0400,235 mg antosianin/g kulit kering. nilai ini sesuai dengan yang sebelumnya telah dilaporkan oleh lourdes dkk. (2013), dengan konsentrasi yang diperoleh sebesar 0,045 mg antosianin/ g kulit kering. gambar 2 menunjukkan kandungan betasianin paling tinggi berada pada waktu ekstraksi 90 menit yaitu 0,0538 mg/g kulit segar untuk kulit segar dan 0,0049 mg/g kulit segar untuk kulit yang dikeringkan. hasil pengujian kandungan betasianin dalam ekstrak kulit buah naga segar berada pada rentang 0,0090,054 mg betasianin/ g kulit segar. nilai ini lebih gambar 1. pengaruh pengeringan kulit buah naga terhadap kandungan antosianin dalam ekstrak (rasio padatan terhadap pelarut = 1:1, metode ekstraksi = maserasi, pelarut = air). dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 46 kecil bila dibandingkan dengan laporan dari harivaindaran dkk. (2008) yang menyatakan kandungan betasianin dalam kulit buah naga merah sebesar 0,103 mg betasianin/ g kulit segar. adapun perbedaan rentang kandungan antosianin dan betasianin hasil pengujian dan literatur dapat disebabkan oleh perbedaan sumber buah, lokasi perkebunan, tingkat kematangan, serta metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian (shofinita dkk., 2015). gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa antosianin dan betasianin tetap mengalami degradasi akibat panas saat proses pengeringan dalam oven pada temperatur 50 o c. total kandungan fenolik dalam ekstrak mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu. hal ini sesuai dengan laporan dari maslukhah, dkk. (2016) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu kontak antara daun ketapang dan pelarut, semakin besar kandungan fenolik yang terlarut dalam pelarut hingga titik jenuh larutan tersebut. total kandungan fenolik paling besar berada pada waktu ekstraksi 240 menit yaitu 0,1307 mg asam galat/g kulit segar untuk kulit segar dan 0,1489 mg asam galat/g kulit segar untuk kulit yang dikeringkan. literatur sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan fenolik dalam kulit buah naga sebesar 0,281 mg asam galat/ g kulit segar (nurliyana, dkk. 2010). hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kandungan fenolik berada dalam rentang 0,024-0,139 mg asam galat/ g kulit segar. nilai ini lebih kecil dibandingkan nilai gambar 2. pengaruh pengeringan kulit buah naga terhadap kandungan betasianin dalam ekstrak rasio padatan terhadap pelarut = 1:1, metode ekstraksi = maserasi, pelarut = air). (rasio padatan terhadap pelarut = 1:1, metode ekstraksi = maserasi, pelarut = air). gambar 3. pengaruh pengeringan kulit buah naga terhadap kandungan senyawa fenolik dalam ekstrak (rasio padatan terhadap pelarut = 1:1, metode ekstraksi = maserasi, pelarut = air). dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 47 yang dilaporkan nurliyana dkk. (2010). ketidaksesuaian kandungan fenolik hasil penelitian dan literatur dapat disebabkan akibat perbedaan buah yang diuji, seperti tingkat kematangan buah yang menyebabkan perbedaan warna kulit dan iklim pertumbuhan buah (shofinita dkk., 2015). hasil ekstraksi menunjukkan bahwa kandungan antosianin, betasianin, dan fenolik dalam kulit buah naga segar lebih banyak dibandingkan kulit buah naga yang dikeringkan. li dkk. (2006) melaporkan tren yang sama dengan hasil penelitian ini, dimana kandungan senyawa fenolik untuk material yang dikeringkan lebih rendah daripada material segar. dalam penelitiannya terkait ekstraksi senyawa fenolik dari kulit jeruk, li dkk. (2006) menyatakan hal tersebut dapat terjadi akibat proses pengeringan menggunakan panas pada waktu yang lama sehingga dapat merusak senyawa fenolik. selain itu, kandungan air yang terdapat dalam dinding sel material segar dapat membantu proses ekstraksi senyawa fenolik, sedangkan pada material yang dikeringkan, seluruh komponen (membran dan organel sel) saling melekat tanpa adanya air sehingga ekstraksi yang terjadi lebih sulit dan perolehan lebih rendah. namun, studi lain melaporkan kemungkinan tren yang yang berbeda dengan hasil penelitian ini. harivaindaran dkk. (2008) menyatakan bahwa perolehan betasianin dalam ekstrak kulit buah naga meningkat seiring dengan peningkatan temperatur pengeringan. kandungan betasianin tertinggi berada pada temperatur pengeringan 100 o c. sampel ekstraksi hasil pengeringan 100 o c selama 5 menit gambar 4. pengaruh metode ekstraksi terhadap kandungan antosianin dalam ekstrak kulit buah naga segar. gambar 5. pengaruh metode ekstraksi terhadap kandungan betasianin dalam ekstrak kulit buah naga segar. dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 48 memiliki perolehan betasianin tertinggi walaupun telah terpapar pada panas temperatur tinggi. hal ini disebabkan karena betasianin memiliki kemampuan untuk meregenerasi dengan cara rekondensasi produk hidrolisis (stintzing dan carle, 2007; harivaindaran dkk., 2008). hasil penelitian yang berkebalikan dari penelitian harivaindaran dkk. (2008) disebabkan waktu pengeringan yang berbeda signifikan sehingga kandungan dalam ekstrak mungkin mengalami degradasi. pengaruh metode ekstraksi kulit buah naga terhadap kandungan bioaktif ekstrak data yang didapat dari variasi metode ekstraksi (gambar 4 hingga 6) menunjukkan total kandungan antosianin, betasianin, dan fenolik yang terdapat pada ekstrak cair hasil soxhletasi berbeda signifikan dari total kandungan dalam ekstrak hasil maserasi. total kandungan antosianin dengan metode maserasi berada dalam rentang 0,036-0,121 mg antosianin/ g kulit segar, sedangkan dengan metode soxhletasi berada dalam rentang 0,009-0,0278 mg antosianin/ g kulit segar. total kandungan betasianin dengan metode maserasi berada dalam rentang 0,017-0,060 mg betasianin/g kulit segar, sedangkan dengan metode soxhletasi berada dalam rentang 0,007-0,013 mg betasianin/g kulit segar. total kandungan fenolik dengan metode maserasi berada dalam rentang 0,0830,359 mg asam galat/ g kulit segar, sedangkan dengan metode soxhletasi berada dalam rentang 0,043-0,139 mg asam galat/g kulit segar. data tersebut menunjukkan bahwa total kandungan antosianin, betasianin, dan fenolik ekstrak hasil maserasi lebih banyak dibandingkan dalam ekstrak hasil soxhletasi. gambar 4 dan 5 menunjukkan bahwa ekstraksi dengan metode soxhletasi memiliki nilai tertinggi untuk setiap kandungan antosianin dan betasianin pada siklus yang berbeda, sedangkan pada metode maserasi nilai tertinggi untuk kandungan antosianin dan betasianin didapat pada waktu ekstraksi yang sama, yaitu pada menit ke-50. pada metode soxhletasi, kandungan antosianin tertinggi didapat pada siklus ke-2 atau menit ke-90, sedangkan kandungan betasianin tertinggi didapat pada siklus ke1 atau menit ke-60. kandungan antosianin tertinggi pada metode soxhletasi sebesar 0,027 mg/g kulit segar, sedangkan pada metode maserasi sebesar 0,1216 mg/g kulit segar. kandungan betasianin tertinggi pada metode soxhletasi adalah 0,0129 mg/g kulit segar, sedangkan pada metode maserasi adalah 0,0603 mg/g kulit segar. kandungan antosianin dan betasianin dalam ekstrak hasil maserasi berbeda signifikan dengan ekstrak hasil soxhletasi. hal ini disebabkan karena antosianin dan betasianin rentan terhadap temperatur tinggi sehingga total kandungan antosianin dan betasianin mengalami degradasi pada metode soxhletasi. temperatur yang digunakan dalam metode soxhletasi merupakan titik didih dari air, yaitu 100 o c, sedangkan metode maserasi dilakukan pada temperatur ruang, yaitu 25 o c. kandungan fenolik hasil ekstraksi dengan metode maserasi dan soxhletasi disajikan pada gambar 6. total kandungan fenolik pada ekstrak hasil metode soxhletasi dan maserasi memiliki tren yang sama, yaitu terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu ekstraksi. kedua metode memiliki total kandungan fenolik paling tinggi pada sampel pengujian terakhir. kandungan fenolik gambar 6. pengaruh metode ekstraksi terhadap kandungan senyawa fenolik dalam ekstrak kulit buah naga segar. dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 49 tertinggi pada metode soxhletasi sebesar 0,1394 mg asam galat/g kulit segar pada menit ke-120, sedangkan pada metode maserasi sebesar 0,3598 mg galat/g kulit segar pada menit ke-240. hal ini disebabkan oleh kelarutan kandungan fenolik yang semakin lama semakin tinggi. temperatur ekstraksi memberikan pengaruh nyata pada perolehan kandungan fenolik. kandungan fenolik pada ekstrak hasil maserasi lebih besar hingga 2 kali dari kandungan fenolik pada ekstrak hasil soxhletasi. peningkatan total kandungan fenolik seiring meningkatnya waktu sesuai dengan laporan yang dinyatakan oleh sharma (2015) dimana pada enam varietas bawang bombay, total kandungan fenolik meningkat secara signifikan setelah pemanasan selama 30 menit pada 80, 100, dan 120 o c. namun tren yang berbeda dilaporkan oleh azofeifa dkk. (2015) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan kandungan sianidin-3 glukosida, salah satu senyawa fenolik, dari 191 mg menjadi 181 mg/ g ekstrak ketika temperatur pasteurisasi dinaikkan dari 75 o c menjadi 92 o c dengan waktu yang sebentar pada temperatur tertinggi. penurunan kandungan fenolik akibat pemanasan pasteurisasi juga dilaporkan oleh gilizquierdo (2002) pada jus jeruk. secara umum, jumlah kandungan fenolik meningkat ketika temperatur meningkat dari 120 °c hingga 140 °c. namun, kandungan fenolik mulai menurun ketika temperatur terus meningkat (140-180 °c). proses seperti perebusan, penumisan, penggorengan, dan pemanggangan dapat dilakukan untuk melepaskan senyawa fenolik dari berbagai tanaman. hal tersebut disebabkan akibat adanya pemotongan ikatan ester dan glikosil atau karena pembentukan produk reaksi maillard sehingga kandungan senyawa fenolik meningkat setelah pemanasan. namun, pemanasan sederhana tidak dapat memotong ikatan kovalen pada senyawa fenolik. perbedaan kekuatan ikatan senyawa fenolik bergantung terhadap jenis tanaman (lee dkk., 2003; sharma dkk., 2015). pengaruh temperatur ekstraksi total kandungan fenolik juga tidak dapat digeneralisasikan karena jenis tanaman yang berbeda mengandung jenis senyawa dengan karakteristik yang berbeda-beda (spigno, 2007). kesimpulan ekstrak kulit buah naga merah mengandung senyawa bioaktif berupa kandungan senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan serta kandungan pigmen berupa senyawa antosianin dan betasianin. pre-treatment berupa pengeringan kulit buah naga merah diamati menghasilkan ekstrak dengan kandungan material bioaktif yang lebih rendah daripada penggunaan kulit buah naga segar. selain itu, ekstraksi dengan metode maserasi menghasilkan kandungan material bioaktif yang lebih tinggi daripada dengan menggunakan metode soxhletasi. ekstraksi dengan kandungan bioaktif tertinggi dihasilkan dengan penggunaan kulit buah naga segar dan metode maserasi pada 240 menit, yaitu kandungan antosianin, betasianin, dan senyawa fenolik berturut-turut sebesar 0,08; 0,04; dan 0,35 mg/g kulit buah naga segar. ucapan terimakasih penelitian ini didanai oleh program riset itb tahun 2019. daftar pustaka azofeifa, g., quesada, s., pérez, a.m., vaillant, f., and michel, a., 2015. pasteurization of blackberry juice preserves polyphenoldependent inhibition for lipid peroxidation and intracellular radicals, j. food composition and anal., 42, 56-62. fadiyah, i., lestari, i., and mahardika, r., 2020. kapasitas antioksidan ekstrak buah rukam (flacourtia rukam) menggunakan metode microwave assisted extraction (mae). indo. j. chem. res., 7 (2), 107-113. gil-izquierdo, a., gil, m.i., and ferreres, f., 2002. effect of processing techniques at industrial scale on orange juice antioxidant and beneficial health compounds, j. agric. food chem., 50(18), 5107-5114. harivaindaran, k.v., rebecca, o.p.s., and chandran, s., 2008. study of optimal temperature, ph, and stability of dragon fruit (hylocereus polyrhizus) peel for use as potential natural colorant, pakistan j. biological sci., 11(18), 2259-2263. hillmann, m.c.r., burin, v.m., and bordignon-luiz, m.t., 2011. thermal degradation kinetics of anthocyanins in grape juice and concentrate, inter. j. food science & technology, 46, 1997– 2000. lee, s.-c., kim, j.-h., jeong, s.m., kim, d.-r., ha, j.-u., nam, k.c., and ahn, d.u., 2003. effect of far-infrared radiation on the antioxidant activity of rice hulls, j. agricultural and food chem., 51(15), 4400-4403. li, b.b., smith, b., and hossain, m.m., 2006. extraction of phenolics from citrus peels: i. solvent extraction method, separ., and purification tech., 48(2), 182-188. dian shofinita dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 43-50, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-dia 50 lourdes, m. de, abraham, j., cortez, t., duch, e.s., lizama, a.p., hernán, c., and méndez, h., 2013. extraction and stability of anthocyanins present in the skin of the dragon fruit (hylocereus undatus), food and nutrition sci., 1221-1228. maslukhah, l., widyaningsing, t.d., waziiroh, e., wijayanti, n., dan sriherfyna, f.h., 2016. faktor pengaruh ekstraksi cincau hitam (mesona palustris bl) skala pilot plant: kajian pustaka, j. pangan dan agroindustri, 4(1), 245-252. noor, m.i., yuvita, e., and zulfalina, 2006. identifikasi kandungan ekstrak kulit buah naga merah menggunakan fourier transform infrared (ftir) dan fitokimia, j. aceh physics soc., 5(1), 14-16. nurliyana, r., syed zahir, i., mustapha suleiman, k., aisyah, m.r., and kamarul rahim, k., 2010. antioxidant study of pulps and peels of dragon fruits: a comparative study, inter. food research j., 17, 367-375. purnomo, b.e., hamzah, f., and johan, v.s., 2016. pemanfaatan kulit nuah naga merah (hylocereus polyrhizus) sebagai teh herbal, j. online mahasiswa faperta, 3(2), 1-10. rustiah, w. dan umriani, n., 2018. uji aktivitas antioksidan pada ekstrak buah kawista (limonia acidissima) menggunakan spektrofotometer uv-vis, indo. j. chem. res. 6 (1), 22-25. souhoka, f., hattu, n., dan huliselan, m., 2019. uji aktivitas antioksidan ekstrak metanol biji kesumba keling (bixa orellana l), indo. j. chem. res., 7 (1), 25-31. sharma, k., ko, e.y., assefa, a.d., ha, s., nile, s.h., lee, e.t., and park, s.w., 2015. temperature-dependent studies on the total phenolics, flavonoids, antioxidant activities, and sugar content in six onion varieties, j. food and drug analysis, 23(2), 243-252. shofinita, d., feng, s., and langrish, t.a.g., 2015. comparing yields from the extraction of different citrus peels and spray drying of the extracts, advanced powder tech., 26(6), 16331638. shofinita, d. and langrish, t.a.g., 2016. redox (pro-oxidant/antioxidant) balance in the spray drying of orange peel extracts, drying tech., 34(14), 1719-25. spigno, g. and de faveri, d.m., 2007. antioxidants from grape stalks and marc: influence of extraction procedure on yield, purity and antioxidant power of the extracts, j. food engineering, 78(3), 793-801. stintzing, f.c., and carle, r., 2007. betalains – emerging prospects for food scientists, trends in food sci. & tech., 18(10), 514-525. wu, l., hsu, h.w., chen, y. c., chiu, c. c., lin, y.i., and ho, j.a., 2006. antioxidant and antiproliferative activities of red pitaya, food chemistry, 95(2), 319-327. indochem indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 12-16 12 pengaruh perbedaan kondisi hidrolisis terhadap hasil isolasi nanokristalin selulosa dari bonggol jagung the effect of hydrolysis condition differences on isolation results of nanocrystalline cellulose from corncob endah purwanti*, sarah dampang department of industrial engineering, faculty of engineering singaperbangsa karawang university jl. h. s. ronggowaluyo teluk jambe timur 41361-indonesia *corresponding author, e-mail : endahkimiaum@gmail.com received: dec.2016 published: july 2017 abstract cellulose is one of the largest components in corncobs. cellulose was obtained from corncob in this research that has a yield of 19.6% of 20 grams of corncob powder. the isolated cellulose was characterized by using ftir and sem. cellulose has crystalline chain and insoluble in water or organic solvents. the molecular chain of cellulose is linear and has intraand inter-molecular hydrogen bonds. one way for cellulose to be easy in the treatment of applications, is to convert microcrystalline cellulose into nanocrystalline cellulose. nanocrystalline cellulose can be obtained by several methods, one of them by acid hydrolysis. hydrolysis of cellulose by using sulfuric acid produces nanocrystalline cellulose. nanocrystalline cellulose can be characterized by using tem and psa analysis. cnc 60 has a particle size distribution with a diameter range of 14.3 45.0 nm and an average diameter of 17.4 nm. whereas cellulose with cnc 90 has a smaller particle size distribution with a diameter range of 10.0 17.1 nm and an average diameter of 11.9 nm. keywords: corncob, cellulose, acid hydrolysis, and nanocrystalline cellulose. pendahuluan bonggol jagung merupakan salah satu limbah lignoselulosik, yaitu limbah pertanian yang banyak mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. senyawa-senyawa tersebut berpotensi untuk dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. bonggol jagung biasanya banyak dimanfaatkan sebagai sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat dalam proses fermentasi untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi tinggi atau sebagai bahan bakar dalam beberapa industri. selulosa yang ada pada bonggol jagung berpotensi untuk diisolasi karena merupakan salah satu komponen terbesar dalam bonggol jagung yaitu seperti pada penelitian yang telah dikerjakan. kandungan selulosa yaitu sekitar 34%, sedangkan komponen yang lain yaitu hemiselulosa sebesar 47% dan lignin sebesar 16% (silverio, et al., 2012). selulosa hasil isolasi dapat dimanfaatkan pada berbagai macam aplikasi seperti pada bidang sains, obat-obatan, dan teknologi (diana, et al., 2010). selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β-1,4-glikosidik dengan rumus (c6h10o5)n dengan n adalah derajat polimerisasinya (dumitriu, et al., 2015). struktur kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut dalam air maupun pelarut organik, sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia atau mekanik. rantai molekul selulosa linier dan memiliki kecenderungan kuat untuk membentuk ikatan hidrogen intra dan inter molekul (arup, et al., 2011). salah satu cara agar selulosa mudah dalam perlakuan untuk berbagai aplikasi, yaitu merubah selulosa yang berukuran mikrokristalin menjadi nanokristalin. nanokristalin selulosa dapat dibuat dengan beberapa metode, salah satu metodenya adalah dengan cara hidrolisis asam. asam yang digunakan adalah asam kuat, seperti asam klorida dan asam sulfat (arup, et al., 2011). endah purwanti dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 12-16 13 asam adalah katalis non spesifik yang dapat menyerang baik selulosa maupun lignin. asam dapat menghidrolisis selulosa pada tingkat konversi yang tinggi. sebagai katalis non spesifik yang sangat reaktif, asam kuat juga menyebabkan degradasi selulosa menjadi monomernya yaitu glukosa. oleh karena itu, proses hidrolisis perlu dikontrol untuk mendapatkan nanokristalin selulosa dan tidak mencapai monomernya menjadi glukosa. parameter yang dilakukan pada penelitian ini adalah memvariasikan waktu hidrolisis dan konsentrasi asam yang digunakan, sedangkan suhu yang digunakan dibuat tetap yaitu 45 o c (w. habibi, et al., 2009). selulosa memiliki bagian rantai yang bersifat amorf dan kristalin. proses hidrolisis selulosa lebih mudah menyerang bagian amorf sehingga nanokristalin selulosa memiliki beberapa sifat yang lebih baik yaitu memiliki luas permukaan yang lebih besar, kristalinitas yang lebih tinggi, dan biodegradable (salas, et al., 2014). metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan terdiri dari bonggol jagung, aqua dm, natrium hipoklorit, natrium hidroksida (p.a), indikator universal, dan asam sulfat (p.a). alat alat-alat yang digunakan meliputi gelas kimia, gelas ukur, batang pengaduk, labu ukur, pipet tetes, bola hisap karet, pipet ukur, cawan petri, kaca arloji, spatula, penyaring buchner, labu dasar bulat, kondensor, erlenmeyer bertutup, gunting, pengaduk magnet, alat hidrolisis, termometer, tabung sentrifugasi, dan kertas saring. selain itu juga menggunakan timbangan analitis denver instrument company, centrifuge, ultrasonifikasi, hotplate stirrer thermolyne, oven vakum vwr scientific product, spektroskopi infra merah alpha ft-ir spectrometer, spektroskopi infra merah shimadzu prestige 21, scanning electron microscopy (sem) jeol-jsm-6510lv, particle size analyzer merek beckman coulter delsa tm nano, mikroskop elektron transmisi (tem, transmission electron microscope) merek tem jeol jem 1400. prosedur kerja pengambilan bonggol jagung jagung diambil dari tanaman lokal di karawang. jagung yang digunakan adalah jagung yang telah tua untuk bibit. kemudian jagung dipisahkan antara biji dan bonggolnya. bonggol jagung dibersihkan dan dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah itu digiling dan dikeringkan kembali sehingga diperoleh sampel berbentuk serbuk bonggol jagung. sintesis selulosa nanokristalin isolasi selulosa sejumlah serbuk bongol jagung (20 gram) dimasukkan ke dalam labu dasar bulat dan ditambahkan dengan 600 ml naocl 1,7 % (v/v). tahap ini merupakan tahap pemutihan, yaitu campuran tersebut direfluks selama 5 jam pada suhu 80 ºc. setelah selesai, campuran disaring menggunakan penyaring buchner dan dibilas dengan aqua dm sampai ph netral dengan menguji filtrat menggunakan indikator universal. jika residu masih belum berwarna putih, maka residu direfluks kembali menggunakan naocl 1,7 % (v/v) selama jam pada suhu 1 80 ºc. setelah selesai, campuran disaring kembali dan dibilas sampai ph netral. residu yang dihasilkan kemudian dimasukkan kembali ke dalam labu dasar bulat dan ditambahkan larutan 400 ml naoh 2m. campuran tersebut direfluks pada suhu 80 ºc selama 4 jam, kemudian campuran disaring dan dilakukan uji lignin. filtrat ditetesi dengan h2so4 pekat dan jika hasilnya masih terdapat gumpalan pada filtrat, residu dilarutkan kembali dalam larutan naoh 2 m dan campuran tersebut direfluks kembali pada suhu 80 ºc selama 1 jam hingga bebas lignin. residu yang telah netral dipindahkan ke dalam cawan petri dan kemudian dikeringkan menggunakan oven vakum sampai menjadi serbuk kering. setelah dikeringkan, selulosa tersebut ditimbang dan disimpan dalam wadah endah purwanti dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 12-16 14 tertutup. selulosa hasil isolasi kemudian diidentifikasi melalui analisis gugus fungsi menggunakan ftir metode kbr, dan analisis morfologi menggunakan sem. hidrolisis selulosa selulosa hasil isolasi sebanyak 1 g ditambahkan dengan 25 ml asam sulfat 50 % dan 60% (v/v), kemudian dimasukkan ke dalam gelas hidrolisis yang dilengkapi dengan kondensor dan termometer untuk menjaga kestabilan suhu. gelas hidrolisis dihubungkan dengan water circular dan diaduk menggunakan pengaduk magnet pada suhu konstan 45 o c dengan kecepatan pengadukan 1000 rpm. pada gelas kimia terpisah disediakan aqua dm sebanyak 250 ml atau 10 kali lipat dari jumlah asam sulfat untuk proses quenching. setelah diquenching, endapan dipisahkan dari pelarutnya dengan cara disentrifugasi. endapan yang berupa koloid tersebut kemudian dilakukan dialisis dengan membran celofan selama beberapa hari menggunakan air deionisasi sampai ph netral. koloid selulosa nanokristalin yang telah netral diultrasonifikasi selama 10 menit dan disimpan dalam botol penyimpan. beberapa ml koloid selulosa nanokristalin diambil untuk dilakukan freeze dry agar menjadi serbuk dan dapat dikarakterisasi lebih lanjut. selulosa nanokristalin yang berupa koloid kemudian dilakukan identifikasi morfologi permukaan menggunakan tem dan dianalisis distribusi ukuran partikel menggunakan psa. selulosa nanokristalin berupa serbuk kering dilakukan analisis gugus fungsi dengan ftir metode kbr. hasil dan pembahasan selulosa hasil isolasi proses isolasi selulosa dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk fisik dan warna serbuk bonggol jagung yang awalnya berwarna coklat berubah menjadi serbuk putih setelah hilangnya pengotor. proses isolasi juga menyebabkan terjadinya pengurangan massa serbuk bonggol jagung dan rendemen selulosa hasil isolasi diperoleh sebesar 19,6 % dari 20 gram serbuk bonggol jagung yang digunakan. untuk melihat struktur kimianya, maka dilakukan analisis gugus fungsi yang terdapat di dalam produk selulosa hasil isolasi serta selulosa komersil sebagai standar menggunakan spektroskopi inframerah (ftir). spektrum ir dari serbuk selulosa hasil isolasi dan selulosa komersil dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. spektra infra merah selulosa hasil isolasi dan selulosa komersil. gambar 1 menunjukkan bahwa secara umum pola serapan selulosa komersil dan selulosa hasil isolasi tidak jauh berbeda walaupun terdapat perbedaan pada intensitas serapan. pita serapan pada bilangan gelombang 1373 cm -1 merupakan pita serapan dari vibrasi tekuk gugus c–h, pada bilangan gelombang 2898 cm -1 dari vibrasi regangan gugus c–h, dan bilangan gelombang 1431 cm -1 dari vibrasi tekuk gugus –ch2 simetris. selain itu terlihat pita serapan pada bilangan gelombang 3392 cm -1 yang merupakan pita serapan dari vibrasi gugus o–h yang berasal dari selulosa. oleh karena itu dapat diketahui bahwa selulosa hasil isolasi telah dapat diperoleh dari isolasi bonggol jagung. selanjutnya untuk mengetahui morfologi selulosa hasil isolasi dianalisis menggunakan sem. berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa molekul selulosa berbentuk serat dengan ukuran mikrokristalin. selulosa hasil isolasi memiliki ukuran dan bentuk molekul yang tidak seragam, seperti dilihat pada gambar 2. endah purwanti dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 12-16 15 gambar 2. sem selulosa hasil isolasi nanokristalin selulosa selulosa hasil isolasi yang telah dikonfirmasi melalui spektroskopi ir selanjutnya dihidrolisis dengan asam sulfat menjadi nanokristalin selulosa. asam adalah katalis non spesifik yang dapat menyerang selulosa dengan tingkat konversi yang tinggi, sehingga sangat reaktif dan dapat mendegradasi selulosa menjadi monomernya yaitu glukosa. oleh karena itu, proses hidrolisis perlu dikontrol untuk mendapatkan nanokristalin selulosa dan tidak mencapai monomernya menjadi glukosa. parameter yang dilakukan pada penelitian ini adalah memvariasikan waktu hidrolisis dan konsentrasi asam yang digunakan, sedangkan suhu yang digunakan dibuat tetap yaitu 45 ºc. (a) (b) gambar 3. hasil tem nanokristalin selulosa (a) cnc 5 dan (b) cnc 60 berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa selulosa dapat dihidrolisis menggunakan asam sulfat (h2so4) 50% (v/v) selama 60 menit (cnc 60) pada suhu 45 o c [10], maka dalam penelitian ini proses hidrolisis dilakukan menggunakan asam sulfat (h2so4) 50% (v/v) selama 90 menit (cnc 90) pada suhu 45 o c dan asam sulfat (h2so4) 60% (v/v) selama 5 menit (cnc 5) pada suhu 45 ºc. adapun untuk mengetahui perbandingan hasil analisis morfologi nanokristalin selulosa pada beberapa perlakuan dapat dilihat dari hasil analisis tem pada gambar 3. gambar 4. hasil psa nanokristalin selulosa (a) cnc 60 (endah, et al., 2016) dan (b) cnc 90 hasil analisis tem (a), gambar partikel yang dihasilkan kurang bagus dan bentuk partikel nanokristalin selulosa tidak kelihatan jelas, sehingga tidak dilanjutkan ke tahapan berikutnya. hal ini bisa disebabkan karena konsentrasi asam sulfat yang digunakan terlalu tinggi sehingga dapat menghidrolisis molekul selulosa menjadi molekul yang lebih kecil, karena asam adalah katalis non spesifik yang bisa menyerang selulosa (w. habibi, et al., 2009). sedangkan hasil analisis tem (b) menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa memiliki bentuk dan ukuran partikel lebih (a) (b) endah purwanti dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 12-16 16 seragam dibandingkan dengan selulosa hasil isolasi yaitu berbentuk bulat. untuk melihat ukuran partikel hasil hidrolisis, maka dilakukan analisis dengan particle size analyzer dan hasilnya dibandingkan dengan penelitian sebelumnya ditunjukkan pada gambar 4. berdasarkan gambar 4, selulosa dengan cnc 60 memiliki distribusi ukuran partikel dengan rentang diameter 14,3 – 45,0 nm dan diameter rata-rata sebesar 17,4 nm. sedangkan selulosa dengan cnc 90 memiliki distribusi ukuran partikel lebih kecil dengan rentang diameter 10,0 – 17,1 nm dan diameter rata-rata sebesar 11,9 nm. hasil yang diperoleh memiliki diameter partikel yang lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu diperoleh nanokristalin selulosa dengan rentang diameter partikel sebesar 2 – 8 nm (silverio, et al., 2012). kesimpulan bonggol jagung merupakan salah satu bahan alam yang mengandung selulosa dalam persentase yang cukup tinggi. pada penelitian ini rendemen selulosa hasil isolasi diperoleh sebesar 19,6 % dari 20 gram serbuk bonggol jagung yang digunakan. selulosa hasil isolasi kemudian dikarakterisasi menggunakan ftir untuk mengetahui gugus fungsi dan analisis morfologi dengan menggunakan sem. hidrolisis selulosa menggunakan asam sulfat menghasilkan selulosa yang berukuran nanokristalin yang ditunjukkan dari hasil analisis tem dan psa yaitu cnc 60 memiliki distribusi ukuran partikel dengan rentang diameter 14,3 – 45,0 nm dan diameter rata-rata sebesar 17,4 nm. sedangkan selulosa dengan cnc 90 memiliki distribusi ukuran partikel lebih kecil dengan rentang diameter 10,0 –17,1 nm dan diameter rata-rata sebesar 11,9 nm. daftar pustaka arup, mandal, d. chakrabarty, 2011, isolation of nanocellulose from waste sugarcane bagasse (scb) and its characterization. carbohydrate polymers. 86 : 1291-1299. c. salas, t. nypelo, c. r. abreu, c. carillo, o.j. rojas, 2014, nanocellulose properties and application in colloids and interfaces. current opinion in colloid & interface science. 19 : 383-396. diana, c., f. ciolacu, v. i. popa, 2010, amorphous cellulose-structure and characterization. cellulose chemistry and technology. 45(1-2) : 13-21. endah, p., winda, t., achmad, r., bunbun., i made, 2016, preparation of nanocrystalline cellulose from corncob used as reinforcement in separator for lithium ion battery. 365 – 369. proceedings of the joint international conference on electric vehicular technology and industrial, mechanical, electrical, and chemical engineering (icevt & imece 205), surakarta 4-5 november 2015. h. p. s. khalil, a. h. bhat, a.f.i. yusra, 2012, green composite from sustainable cllulose nanofibrils: a review. carbohydrate polymers. 87 : 963-979. j. f. kadla, r. d. gilbert, 2000, cellulose structure: a review. cellulose chemistry and technology. 34 : 197-216. j. li, x. wei, q. wang, j. chen, g.chang, l. kong, j. su, y. liu, 2012, homogeneous isolation of nanocellulose from sugarcane bagasse by high pressure homogenization. carbohydrate polymer. 90 : 1609-1613. silverio, h. a., w. p. f. neto, n. o. dantas, d. pasquini, 2012, extraction and characterization of cellulose nanocrystals from corncob for applications as reinforcing agent in nanocomposites. industrial crops and products. 44 : 427-436. s. dumitriu, 2005, polysaccharides, structural diversity and functional versatility. united states of america. 41-44. w. habibi, l.a. lucia, o. j. rojas, 2009, cellulose nanocrystals: chemistry, selfassembly, and applications. american chemical society, helsinski. w. li, j. yue, s. liu, 2012, preparation of nanocrystalline cellulose via ultrasound and its reinforcement capability for poly(vinyl alcohol) composites. ultrasonics sonochemistry. 19 : 479-485. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 81 silica content analysis of siam unus rice husks from south kalimantan dwi rasy mujiyanti*, dahlena ariyani, muna lisa chemistry study program, mathematic and natural sciences faculty, lambung mangkurat university, banjarbaru, indonesia *corresponding author: drmujiyanti@ulm.ac.id received: may 2021 received in revised: june 2021 accepted: august 2021 available online: september 2021 abstract research on analysis of rice husk content of siam unus with various naoh concentrations (1.0 m; 1.5 m; 2.0 m; 2.5 m; 3.0 m) has been done. this study aims to obtain data on the effect of variations in naoh concentration on the purity of the silica extract from siam unus rice husks and silica characterization of siam unus rice husks using fourier transform infra-red (ftir) and x-ray fluorescence spectrometry (xrf). the results showed that the combustion of rice husks at 200 °c as optimum temperature for 1 hour followed by combustion at 600 °c for 4 hours produces grayish-white rice husks with a yield is 20.70%. silica functional group characterization showed that silanol (si-oh) and siloxane (si-o-si) as dominant functional groups. the result of composition characterization using xrf showed that sio2 as the dominant compound with the highest percentage of sio2 is 1.5 m naoh extract at 42.80%. keywords: siam unus rice husk ash, extraction, silica, ftir, xrf. introduction indonesia is an agricultural country with the main agricultural product is rice which is found in various regions, including south kalimantan province. based on data on the 2018 rice harvest area of 278,853 hectares and rice production of 1.14 million tons of gkg (dry milled rice) which has increased every year (badan pusat statistik provinsi kalimantan selatan, 2018). south kalimantan agriculture is known as the tidal swamp agro-ecosystem. the local rice varieties planted were the siamese, bayar, pandak, mayang, karang duku, and lemo groups. the variations of the name are named based on the shape of the grain, the taste of rice, the name of the farmer, or the special characteristics received by the farmer. the siamese variety group is mostly found with various names at the farmer level (khairullah & william, 2007). farmers' preferences for local rice varieties are ease of cultivation, minimal production, high selling prices, and preferred characteristics of rice or rice (wahdah, langai, & sitaresmi, 2015). the siam unus rice variety is one of the various types of local rice developed in south kalimantan because it has a sweet and savory taste and a high selling value. siam unus rice, apart from being a source of staple food, is also a producer of rice waste. rice husk is a by-product of rice milling which consists of 38% cellulose, 22% lignin, 20% ash, 18% pentosane, and about 2% other compounds. the rice milling process produces 65% rice, 15-20% husks, 8-12% bran, ± 5% groats (fatriansyah et al., 2018). the high content of silica in rice husks 87%-97% has the potential to be used as a source of silica after going through the combustion process (mittal, 1997). silica has two forms, namely morphological and crystalline silica. silica by heating at a temperature of 700 °c is called morphological silica, while at a temperature of 800-900 °c it is called crystalline silica. the reactivity of silica is related to the structure of silica, where morphological silica is more reactive than crystalline silica due to the presence of a hydroxyl group (silanol) which is obtained after heating to a temperature of 400 °c (mujiyanti, nuryono, & kunarti, 2016). according to kalapathy, proctor, & shultz (2002) extraction is carried out using an alkaline solvent, namely extraction and precipitation processes at low ph using an acid solution to obtain amorphous silica. the extraction method is based on the high solubility of morphological silica in alkaline solutions such as koh, na2co3, naoh, and precipitation of soluble silica using hcl, h2so4, ch3cooh, c2h2o4 (handayani, nurjanah, & rengga, 2014). several studies on silica extraction such as extracted silica from rice husks using 1n naoh with a two-cycle extraction method and produced a yield of 91% (kalapathy et al., 2002). another study (agung m, hanafie sy, & mardina, 2013) carried out the extraction of silica from rice husks using koh solution at various concentrations and 10% hno3 solution as a precipitate and obtained a yielding mass of 1.8690 grams from 50 grams of rice husk ash at a solution dwi rasy mujiyanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 82 concentration koh 1.5% for 30 minutes (agung m et al., 2013). then another study extracted silica and obtained a yielding mass of 3.939 grams with 7 n naoh for 2 hours (sasri, nurlina, destiarti, & syahbanu, 2018). thus, in this study was conducted analysis of the silica content of siam unus rice husks south kalimantan methodology materials and instrumentals the tools used in this study were a 240 mesh sieve (retsch), spray bottle, porcelain cup, furnace (heraeus hanau type: kr-170-e), a set of chemical glassware (pyrex), analytical balance (ohaus model galaxy tm 160), analytical balance (mettler ae 160, germany), oven (memmert), universal ph indicator, stirring hot plate (cb 302), thermometer, x-ray fluorescence, xrf (rigaku type nex de) and fourier transform infrared, ftir brand (bruker spectrometer type alpha ii). the materials used in this study were siam unus rice husk, h2so4 (merck), naoh (merck), nh4oh, whatman paper no. 4, and aquadest. methods rice husk preparation the rice husks used in this study were taken from the village of kayu bawang, gambut district, banjar regency, south kalimantan. the rice husk preparation process is carried out by cleaning the dirt or dust and soil using clean water. then it soaked in hot water for 2 hours, then filtering and washing again three times using hot water. the cleaned husks were then dried in the sun, then continued with drying using an oven at a temperature of 110 °c for 3 hours (pratomo, wardhani, & purwonugroho, 2013). ashing of rice husk the dried husks were put into a porcelain cup, then quenched at an initial temperature of 200 °c for 1 hour using a furnace. after that, the temperature was increased to 600 °c for 4 hours until white ash was formed. furthermore, the resulting ash was ground and sieved using a 240 mesh sieve (apriliani, 2016). rice husk ash silica purification the purification process was carried out by adding 10 grams of rice husk ash obtained in each beaker with a size of 250 ml (a, b, c, d, e). each beaker was added with 80 ml of naoh successively with successive concentrations of 1 m; 1.5 m; 2 m; 2.5 m; 3 m, then heated using a stirring hot plate at 95 °c for 60 minutes while stirring using a magnetic stirrer. the next process is filtered using whatman paper no. then the filtrate was washed with 20 ml of warm water, then cooled at room temperature, and left overnight. the filtrate obtained is a solution of sodium silicate (na2sio3). sodium silicate was added dropwise with 5m h2so4 solution while stirring with a magnetic stirrer until gelatin was formed to ph 2 and nh4oh solution was added to ph 7 (universal indicator). the gel formed was left overnight at room temperature, then filtered, washed with warm water, and dried in an oven at 1100 °c for 5 hours, and weighed and calculated the percentage of silica yield obtained. x-ray fluorescence analysis the analysis to be identified is the elements contained in silica. the sample to be tested is placed in the sample holder then close the lid and run xrf. the sample will be exposed to x-rays, then it will be forwarded to the detector and then analyzed for the elements contained in the sample. fourier transform infrared (ftir) analysis the silica analysis which will be characterized by its functional group is mixed with kbr solution and then pellets are made. furthermore, the pellets are placed on the sample holder and placed on the ftir beam path. the appliance is connected to a power source, then the computer and the appliance are turned on. in the next step, the ftir tool will measure the sample and the form a graph. the resulting data is printed for discussion in analyzing the peaks formed. results and discussion the siam unus rice husk the rice husks taken were washed with clean water and soaked in hot water. washing aims to remove impurities such as dust and soil. pratomo,wardhani, & purwonugroho (2013) have been done a research by using the clean husks were then dried in the sun, then continued with drying using an oven at a temperature of 110 °c for 3 hours which aims to reduce the water content in the rice. the observation data of siam unus rice husk shown in tabale 1. the rice husk ash ashing proces aims to remove content such as cellulose, lignin, and hemicellulose in rice husks and convert the remaining carbon in the ash into co2. hydrogen gas becomes h2o and silicon becomes sio, while co2 and h2o gases evaporate at high temperatures, so it is expected that the ash will contain sio2 (sriyanti, taslimah, nuryono, & narsito, 2005). dwi rasy mujiyanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 83 table 1. observation data of siam unus rice husk figures 1 and 2, shown that there is a change before and after the treatment of the burning process on rice husk, namely the rice husk ash produced is grayish-white. so based on table 1, there was a reduction in the mass of rice husks by 156.94 grams to 34.06 grams of rice husk ash, due to the combustion process at high temperatures. the combustion results in the content of rice husks in the form of organic compounds being lost and turned into co2 and h2o. from these data, it can be concluded that the average yield of rice husk ash is 20.70%. figure 1. siam unus rice husk figure 2. the ash result of siam unus rice rusk in sio2 the high electronegativity of o atoms causes si to be more electropositive and an unstable intermediate (sio2oh) is formed. this happens because of dehydrogenation and the second hydroxyl ion will bind to hydrogen to form h2o and sio2(na2sio3) molecules to form sodium silicate as shown in figure 3. this sodium silicate solution is then added dropwise of 5 m h2so4 solution to reduce the level of impurities in the form of metal oxides such as na2o, k2o, and cao while stirring using a magnetic stirrer until silica is formed to ph = 2 (ph universal indicator) and continued with nh4oh solution until neutral (mujiyanti, nuryono, & sri, 2010). the nh4oh solution is used to raise the ph of a neutral acid, where the mini-ionized salts become nh4 + and ohto neutralize excess h+ ions in the solution. the solution of 5.0 m h2so4 added to the sodium silicate solution will form siloxane (si-o-si) and silanol (si-oh) groups from the interactions between species of silicate ions. the addition of 5 m h2so4 causes protonation of the siloxy (si-o-) group to become silanol (si-oh). the silanol group that was formed was then further attacked by a siloxy group (si-o-) with the help of an acid catalyst to form siloxane (si-o-si) bond. this process occurs rapidly and continuously to form an amorphous silica network. the attack of si-oon si-oh forms si-o-si by condensation of an acid-catalyzed sol solution. the expected reaction mechanism for the formation of silica gel from acidification of sodium silicate solution is shown in figure 4. furthermore, the maturation process is carried out for 18 hours. no. sample code husk mass (gram) ash mass (gram) 1 a 30.00 6.56 2 b 32.55 6.98 3 c 30.23 6.96 4 d 30.26 6.34 5 e 33.90 7.22 total weight 156.94 34.06 figure 3. reaction mechanism of sodium silicate formation (mujiyanti et al., 2010) figure 4. reaction mechanism of silica gel formation dwi rasy mujiyanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 84 after the ripening process, the silica formed is then washed with warm water to produce na2sio4 salt, where this solution has chemical properties that only dissolve in distilled water at a temperature of 20 ºc, and helps increase the solubility of foreign substances and accelerates the filtration. then the silica is filtered and dried. silica drying is carried out in an oven at 100 ºc for 5 hours so that dehydration occurs in the hydrogel and the formation of silica with a sio2.xh2o structure called xerogel (silica powder) (mujiyanti, komari, & sari, 2013). the final product produced is solid silica (dry silica). fourier transform infrared (ftir) analysis fourier transform infrared spectroscopy (ftir) method is an analytical method used to identify compounds indicated by specific peaks indicating the type of functional group possessed by siam unus rice husk ash and silica. the basic principle of infrared spectroscopy is the interaction between the vibrations of bonded atoms/functional groups in a molecule by adsorption of infrared electromagnetic wave radiation. the absorption of infrared radiation can cause the excitation of the vibrational energy of the molecule to a higher vibrational energy level. to be able to absorb, the molecule must have a change in dipole moment as a result of vibration (retnosari, 2013). figure 5 above shows the spectra of siam unus rice husk ash and the resulting silica. several peaks indicate the presence of functional groups before and after the extraction of rice husk ash with various concentrations of naoh (1.0 m; 1.5 m; 2.0 m; 2.5 m; 3.0 m) at wavenumbers 500 4000 cm-1. spectra analysis shows the results of peaks formed by functional groups because these compounds will absorb electromagnetic radiation in the infrared region. ftir spectroscopy is measurement technique that collects infrared spectra. the identification of each functional group can be seen in table 2. the peaks of figure 5. ftir spectra of (a) siam unus rice husk ash, and silicate after extracted by naoh variation concentration (b) 1.0 m, (c) 1.5 m, (d) 2.0 m (e) 2.5 m, (f) 3.0 m table 2. ftir wavenumbers data of silicate no. functional groups reference wavenumbers rice husk ash wavenumbers (cm-1) naoh (m) 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 1 symmetric stretching vibration of si-o on si-o-si 801-809 809 809 801 801 792 809 2 asymmetric stretching vibration of si-o on si-oh 949-966 966 949 949 966 958 3 symmetric stretching vibrationof si-o on si-o-si 1088-1097 1088 1097 1097 1097 1097 1088 4 bending vibration of oh on si-oh 1637-1645 1645 1637 1637 1637 1645 1645 5 bending vibration of si-o-si 2318-2468 2351 2342 2351 2351 2333 6 -oh groups of sioh 3448-3456 3448 3446 3456 3456 3456 3456 dwi rasy mujiyanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 85 the five spectra are in the range of wavenumbers, namely 801-809 cm-1 which shows the symmetrical stretching vibration of si-o from si-o-si, the range of wave numbers 940-966 cm-1 shows asymmetric stretching of si-o from si-o-si, while the wave number in the range of 1088-1097 cm-1 indicates a si-o stretching asymmetry of si-o-si, in the wavenumber range of 1637-1645 cm-1 shows the -oh bending vibration of h2o, the wavenumber 2318-2468 cm-1 indicates the buckling vibration of si-o and the range of wave number 3448-3456 cm-1 indicates the presence of the oh-group of si-oh. characteristic identification was strengthened by the absorption band at 470 cm-1 which is the si-o-si bending vibration while the absorption band at 794 cm-1 shows the o-sio bending vibration characteristic (mujiyanti, nisa, rosyidah, ariyani, & abdullah, 2020; sekewael, wijaya, & triyono, 2018) the absorption peak with a wavenumber range of 956-964 cm-1 shows the si-o stretching asymmetry of si-o-si which is only found in silica samples after passing naoh treatment with various variations (1.0 m; 1.5 m; 2.0 m; 2.5 m; 3.0 m), but peaks in the range of wave numbers did not appear in the husk ash samples. the peak with a wavenumber range of 2318-2468 cm-1 indicates si-o bending vibrations that are not visible in the husk ash, while the peak in the wavenumber range appears in the spectra of silica samples that have been treated with naoh (1.0 m; 1.5 m; 2,0 m; 2.5 m; 3.0 m). this indicates that silica has been extracted from the siam unus rice husk ash sample after undergoing treatment with naoh (1.0 m; 1.5 m; 2.0 m; 2.5 m; 3.0 m). from the five samples, it can be seen that the difference in wave number is not too significant. the shift in the number of waves at each peak shows the effect of varying naoh concentrations (pavia, lampman, kriz, & vyvyan, 2013). x-ray fluorescence analysis xrf analysis was carried out to analyze the chemical composition and the concentration of elements contained in the rice husk ash silica after purification using various concentrations of naoh. xrf analysis is a qualitative method that provides identification of chemical species in the sample while quantitative analysis determines the number of certain components in a substance. the working principle of xrf analysis is based on the occurrence of collisions between atoms on the surface of the sample by x-rays. data from xrf analysis of siam unus rice husk ash silica with various concentrations of naoh as an extractor can be seen in figure 6. based on figure 6, shows the results of xrf analysis of siam unus rice silica with various concentrations of naoh (1.0 m; 1.5 m; 2.0 m; 2.5 m; 3.0 m) which is more dominating is sio2 compound with the highest percentage than other metal compounds are p2o5, cao, fe2o3, and al2o3. a previous study by (harimu, rudi, haetami, santoso, & asriyanti, 2019), was found at a naoh concentration of 3.0 m with a percentage of 41.81% using rice husk ash samples from mataiwoi village, southeast sulawesi. silica yields from siam unus rice husk ash with various naoh concentrations obtained the optimum percentage at a concentration of 1.5 m of 42.80%. this is due to the differences in the sources of rice husks used and the relatively different geographical conditions where rice plants grow (tufaila & alam, 2014). according to research and development of concentration figure 6. xrf percentage of sio2 siam unus rice husk % dwi rasy mujiyanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 86 swampland, it is known that the tidal swampland of south kalimantan is a peat soil group because it has soil with a ph range of 4.0-4.5 and also has a land typology with high levels of aluminum and iron (haryono, noor, syahbudi, & sarwani, 2013). in this study, the results of siam unus rice husk silica with the percentage of sio2 at a concentration of naoh 1.0 m was 38.50%, then increased into 42.80% at a concentration of 1.5 m naoh, but decreased at various concentrations of 2.0 m, 2, 5 m and 3.0 m were 38.70%, 38.80%, and 38.90%, respectively. this is because the higher the concentration and viscosity of the naoh solution causes a decrease in ionic activity in the solution so that the number of bonds formed between naoh and sio2 in rice husk ash decreases (harimu, rudi, haetami, santoso, & asriyanti, 2019; agung m, hanafie sy, & mardina, 2013). conclusion based on the research that has been done, it can be concluded that the extraction of siam unus rice husk ash which was carried out with the highest silica content was obtained at a concentration of 1.5 m naoh which was 8.59 grams with a content of 85.97%. the results of the ftir data analysis of the siam unus rice husk ash sample and the extracted silica showed the dominant functional groups were silanol and siloxane. the results of the xrf analysis showed that the highest percentage of sio2 obtained was at a concentration of 1.5 m naoh at 42.80%. acknowledgment the authors would like to thank all parties involved in this research from the 2020 ulm compulsory lecturer research grant and funded by dipa lambung mangkurat university fiscal year 2020 number: 023.17.2.6777518/2020 march 16, 2020. references agung m, g. f., hanafie sy, m. r., & mardina, p. (2013). ekstraksi silika dari abu sekam padi dengan pelarut koh. konversi, 2(1), 28–31. https://doi.org/10.20527/k.v2i1.125 apriliani, n. (2016). jenis pelarut dan waktu pemeraman pada ekstraksi silika dari abu sekam padi varietas ciherang (institut pertanian bogor). institut pertanian bogor, bogor. retrieved from http://repository.ipb.ac.id/ handle/123456789/84862 badan pusat statistik provinsi kalimantan selatan. (2018). retrieved september 29, 2021, from https://kalsel.bps.go.id/pressrelease/2018/11/02/1 356/luas-panen-dan-produksi-padi-di-kalimantan -selatan-2018.html handayani, p. a., nurjanah, e., & rengga, w. d. p. (2014). pemanfaatan limbah sekam padi menjadi silika gel. jurnal bahan alam terbarukan, 3(2), 55–59. https://doi.org/ 10.15294/jbat.v3i2.3698 harimu, l., rudi, l., haetami, a., santoso, g. a. p., & asriyanti. (2019). studi variasi konsentrasi naoh dan h2so4 untuk memurnikan silika dari abu sekam padi sebagai adsorben ion logam pb2+ dan cu2+. indonesian journal of chemical research, 6(2), 81–87. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.6-lah haryono, h., noor, m., syahbudi, h., & sarwani, m. (2013). : lahan rawa penelitian dan pengembangan. bogor: badan penelitian dan pengembangan pertanian, kementerian pertanian. retrieved from http://perpustakaan. pertanian.go.id/repository_litbang/repository/pub likasi/buku/120/lahan-rawa-penelitian-danpengembangan kalapathy, u., proctor, a., & shultz, j. (2002). an improved method for production of silica from rice hull ash. bioresource technology, 85(3), 285–289. https://doi.org/10.1016/s09608524(02)00116-5 khairullah, i., & william, e. (2007). potensi genetik plasma nutfah tanaman pangan di lahan rawa. in keanekaragaman flora dan buah-buah eksotik lahan rawa (p. 11). bogor: balai besar penelitian dan pengembangan sumber daya lahan pertanian, balai penelitian lahan rawa. mittal, d. (1997). silica from ash: a valuable product from waste material. resonance, 2(7), 64–66. https://doi.org/10.1007/bf02838592 mujiyanti, d. r., komari, n., & sari, n. i. (2013). kajian termodinamika adsorpsi hibrida merkapto-silika dari abu sekam padi terhadap ion co(ii). jurnal kimia valensi, 3(2). https://doi.org/10.15408/jkv.v3i2.500 mujiyanti, d. r., nisa, h., rosyidah, k., ariyani, d., & abdullah, a. (2020). pengaruh waktu reaksi terhadap viskositas dan densitas tetraetil ortosilikat dari silika abu sekam padi. indonesian journal of chemical research, 8(1), 72–78. https://doi.org/10.30598/10.30598// ijcr.2020.8-dwi dwi rasy mujiyanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 81-87, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-muj 87 mujiyanti, d. r., nuryono, n., & kunarti, e. s. (2016). sintesis dan karakterisasi silika gel dari abu sekam padi yang diimobilisasi dengan 3(trimetoksisilil)-1-propantiol. jurnal sains dan terapan kimia, 4(2), 150–167. https://doi.org/10.20527/jstk.v4i2.2059 pavia, d. l., lampman, g. m., kriz, g. s., & vyvyan, j. r. (2013). introduction to spectroscopy. bellingham, washington: cengage learning. pratomo, i., wardhani, s., & purwonugroho, d. (2013). pengaruh teknik ekstraksi dan konsentrasi hcl dalam ekstraksi silika dari sekam padi untuk sintesis silika xerogel. jurnal ilmu kimia universitas brawijaya, 2(1), 358– 364. retnosari, a. (2013). ekstraksi dan penentuan kadar silika (sio2) hasilekstraksi dari abu terbang (fly ash) batubara (universitas negeri jember). universitas negeri jember, jember. retrieved from http://repository.unej.ac.id/handle/123456 789/3230 sasri, r., nurlina, n., destiarti, l., & syahbanu, i. (2018). analisis ukuran partikel silika hasil ekstraksi dari batu padas asal kabupaten ketapang kalimantan barat. indonesian journal of pure and applied chemistry, 1(1), 39–43. https://doi.org/10.26418/indonesian.v1i1.26042 sekewael, s. j., wijaya, k., & triyono. (2018). pengaruh pemanasan terhadap kristalinitas dan parameter kisi nanokomposit silika-zirkonia montmorillonit k10 dan silika-besi oksida montmorillonit k10. indonesian journal of chemical research, 6(1), 38–43. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.6-sjs sriyanti, s., taslimah, t., nuryono, n., & narsito, n. (2005). sintesis bahan hibrida amino-silika dari abu sekam padi melalui proses sol-gel. jurnal kimia sains dan aplikasi, 8(1), 1–8. tufaila, m., & alam, s. (2014). karakteristik tanah dan evaluasi lahan untuk pengembangan tanaman padi sawah di kecamatan oheo kabupaten konawe utara. agriplus, 24(2), 184– 194. wahdah, r., langai, b. f., & sitaresmi, t. (2015). keragaman karakter varietas lokal padi pasang surut kalimantan selatan. jurnal penelitian pertanian tanaman pangan, 31(3), 158–165. https://doi.org/10.21082/jpptp.v31n3.2012.p158165 microsoft word 8. muliadi good.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 49-56, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 49 density functional theory for qsar antioxidant compound myristicin derivatives muliadi*, mudzuna quraisyah basimin, ahmad muchsin jayali. chemistry education department, khairun university, jl. bandara babullah, ternate 97728 indonesia *corresponding author: muliadi@unkhair.ac.id received: april 2021 received in revised: april 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract this research was conducted to determine the molecular structure modeling and the quantitative relationship of the activity structure (qsar) of substituted myristicin derivatives with electron donor groups such as -c6h5 (m1), -nh2 (m2), -cl (m3), -f (m4), and -h (m5). the results of geometry optimization with the dft (density fractal theory) method or density functional calculations calculated with the density level of b3lyp/6-31g each obtained the total energy of each compound m1m5: m1: 175.49 kcal/mol m2: 132.707 kcal/mol, m3: 115.701 kcal/mol, m4: 116.048 kcal/mol, m5: 121.377 kcal/mol. determining the relationship between descriptors and the antioxidant activity (ic50) for basic structure myristicin compounds and five derivatives was carried out using spss 21. the results of the correlation analysis showed that there was a relationship between the descriptors and antioxidant activity. determining the best qsar equation model is done by analyzing multiple linear and multilinear regression using ibm spss 21. the results of multiple linear regression analysis or multilinear regression obtained for the best qsar equation model are: log p = -2.600 + (0.006) iw(1.558) qc8 (6.532) ehomo + (0.014) psa + (0.133) md with n = 6, r = 1.000, r2 = 0.926, se = 0. keywords: myristicin, geometry optimization, dft method, qsar method introduction over time, the human lifestyle has undergone many changes, such as eating habits that preferfast food (ginting et al., 2017). the fast-food with high heating and burning triggers the formation of free radical compounds.when human consumed this food too much, can cause cancer, stroke, diabetes mellitus, atherosclerosis, cataracts, and coronary heart disease (rohmatussolihat, 2015). within a decade, the results of research on free radicals have been intensively reported to trigger various diseases. free radicals can oxidize nucleic acids, proteins, fats, and even cell dna and initiate degenerative diseases (rifai, kasmui, & hadisaputro, 2014). one of the compounds that are believed and widely consumed to prevent dangerous diseases is a compound that has antioxidant properties. a report from (hasanan, 2015), claims that the ability of antioxidant compounds to prevent free radicals is 50% greater than vitamin c (fadillah, rahmadani, & rijai, 2017). compounds that have antioxidant properties can naturally be obtained from plants (damayanti & ervilita, 2017). several plants produce antioxidants, including rukam fruit extract and kesuma keling seed extract (fadiyah, lestari, & mahardika, 2020; souhoka, hattu, & huliselan, 2019). in addition, bay leaves, kenitu leaves and bark, strawberry leaves, katuk leaves, and nutmeg have also been reported as antioxidants (widyastuti, kusuma, nurlaili, & sukmawati, 2016). indonesia is the largest nutmeg producing country globally, with about 70-75% of the total nutmeg production. one of the largest centers of nutmeg production in indonesia is north maluku. nutmeg is a native indonesian spice plant that has only been used for food and domestic food industry purposes in the form of jam, syrup, and sweets (dungir, katja, & kamu, 2012). in addition, all parts of the nutmeg can be processed into nutmeg oil, such as seeds, pulp and mace (ayunani, hastuti, ansory, & nilawati, 2018). according to research results from (wibowo, febriana, riasari, & auilifa, 2018) and (ismiyarto, ngadiwiyana, & mustika, 2009). the main compound contained in the nutmeg plant is myristicin. myristicin compounds also have antioxidant properties. isnaeni et al., (2016) studied 13 analogue compounds of chalcone using steric, hydrophobic, and electronic descriptors computationally calculated using the dft method, using the gaussian 09 marvinbeans-6.0.0 programs (isnaeni et al., 2016). the results showed that kalkon compound can increase antioxidant activity. muliadi, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 49-56, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 50 the qsar (quantitative structure-activity relationship) method has been widely used to design new drugs and computationally study the relationship between the activity and structure (tahir, wijaya, purwono, & widianingsih, 2010). using the qsar method begins with structural modeling or geometry optimization using the gaussview 6,016 program package to obtain electronic descriptors and the marvin sketch 64 program package to obtain hydrophobic and steric descriptors. this biological activity can be predicted through computational computation of molecular descriptors. the qsar method focuses on correlating activities experimentally with descriptors computationally. kilo, aman, sabihi, & kilo, (2019) reported using the qsar method to determine the potency of pyrazoline as an anti-amoeba . the dft (density finctional theory) method has proven to be very good for the optimization of molecular structures because dft is a method that iscurrently developing rapidly. this method is very effective and efficient because it can result in close to experimental results and requiringa short time (chandra, asmuruf, & siallagan, 2020). based on the above background, this study aims to determine the molecular structure model and the quantitative relationship of the activity structure (qsar) of myristicin derivatives with the dft method. methodology biological data the descriptor of biological activity and compounds studied in this research is the antioxidant activity of modified myristicin derivative compounds whose electron donor substitution groups consist of -c6h5, -nh2, -cl, -f, and -h. the value of half maximal inhibitory concentration (ic50) of antioxidants is known based on experimental research carried out (wibowo et al., 2018). modeling and geometry optimization of myristicin derivatives myristicin derivative compounds are modeled in a simulation form based on 3d visualization. their geometric shapes are optimized using the dft (density functional theory) method with the combined functional parameters of the three becke and lee-yang-parr (b3lyp) parameters. all calculations using the bassist 6-31g set (male, wayan sutapa, & merion ranglalin, 2015). optimization of molecular geometry is carried out to obtain a stable molecular structure (janssens et al., 1990). determination of descriptors determination of electronic descriptors is done using the dft (density functional theory) method.the computational calculations using the gaussview 6.016 and marvin sketch 64 programs in the form of dipole moment (md), homo energy, lumo energy, gap energy (δeg), and atomic net charge (qc1, qc2, qc3, qc4, qc5, qc6, qc8, and, qc14). calculations performed using qsar, including log p, polar surface area (psa), polarizability, harary index, randic index, and wiener index, were analyzed using computational chemistry calculations (velkov, 2009). multilinear regression analysis multilinear regression analysis was performed using the ibm spss 21 statistical program based on the backward method to produce an equation model. furthermore, the validation of the qsar equation model was analyzed using data from the consideration of r, r2, and se (armunanto & sudiono, 2010). the accepted equation must have the following criteria: 1) the value of r, r2 is close to 1, and the se value is small. a small se indicates that the error rate between the data and the model is relatively small (tahir, wijaya, et al., 2010). results and discussion optimization of myristicin derivative compounds molecular geometry the molecular structure modeling of myristicin derivative compounds using the dft method. six different electron donor groups in the basicform of myristicin compounds (figure 1). the compounds used in this study consist of five derivatives compounds and one of myristicin's basic structure. all the compounds had an ic50 tested experimentally (table 1). an evaluation of the characteristics of the antioxidants present in the nutmeg plant examined by jukic et al. showed that nutmeg essential oil has strong antioxidants (agaus & agaus, 2019). figure 1.the basic structure of 6-allyl-4methoxybenzo[d][1,3]dioxole (m0) o ch3 o o ch2 muliadi, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 49-56, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 51 table 1. data set of five myristicin derivative compounds compound code donor substituent log p m1. c6h5 3.97 m2. nh2 1.69 m3. cl 1.53 m4. f 1.53 m5. h 1.53 in this study, the myristicin derivative compounds use an electron donor substitution group, namely c6h5, -nh2, -cl, -f, -h. the antioxidant test showed that the nutmeg had the highest component containing myristicin at 22.22%, and the ic50 data was converted into log ic50is 1.34. the actual properties (descriptors) of a compound can be predicted if the molecular structure is optimized to obtain a stable structure (maahury, male, & martoprawiro, 2020). 6-allyl-4-phenoxybenzo[d][1,3]dioxole (m1) o-(6-allylbenzo[d][1,3]dioxol-4-yl)hydroxylamine (m2) 6-allylbenzo[d][1,3]dioxol-4-yl hypochlorite (m3) 6-allylbenzo[d][1,3]dioxol-4-yl hypofluorite(m4) 6-allylbenzo[d][1,3]dioxol-4-ol (m5) figure 2. the 3d structure based on the numberingfor compound m1, m2, m3, m4, m5 using dft method; m=miristisin author, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 52 tabel 2.atomic charge of myristicin derivative compounds using dft method atomic charge (ev) m0 m1 m2 m3 m4 m5 qc1 0.09 0.09 0.09 0.09 0.09 -0.35 qc2 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.15 qc3 0.09 0.09 0.11 0.08 0.08 -0.35 qc4 -0.02 -0.02 -0.02 -0.02 -0.02 -0.07 qc5 -0.04 -0.04 -0.04 -0.04 -0.04 -0.35 qc6 -0.02 0.06 -0.02 -0.02 -0.02 0.15 qc8 0.15 0.09 0.15 0.15 0.15 -0.07 qc14 -0.07 0.06 -0.07 -0.07 -0.07 0.15 table 3.total energy data, heat of formation, electronic descriptors, hydrophobic descriptors and steric descriptors of myristicin derivatives using the dft method compound code total energy (kcal/mol) heat of formation (kcal/molkelvin) homo energy (ev) lumo energy (ev) δeg(ev) dipole moment(d) log p polariz ability (å3) polar surface area (å2) indeks harary indeks randic indeks wiener m0 140.372 48.588 -0.27799 -0.15618 0.12181 1.6482113 1.34 21.62 27.69 39.21 11.58 292 m1 175.49 61.811 -0.28348 -0.16958 0.1139 1.2891821 3.97 30.09 27.69 61.45 15.02 706 m2 132.707 48.628 -0.27678 -0.15715 0.11963 1.6507633 1.69 21.32 53.71 39.21 11.29 292 m3 115.701 47.18 -0.28240 -0.20193 0.08047 4.6800676 1.53 19.72 38.69 35.19 9.90 238 m4 116.048 46.536 -0.28663 -0.20637 0.08026 4.4347508 1.53 19.72 38.69 35.19 9.90 238 m5 121.377 43.962 -0.28022 -0.15718 0.12304 1.7627658 1.53 19.72 38.69 35.19 10.441 238 author, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 53 geometry optimization of the five myristicin derivative compounds was carried out to produce the best and stable structure. the molecular structure model of five myristicin derivative compounds is indicated by atomic number, atomic symbol, numbering, and charge. this is done to distinguish the atoms bound in the molecule. the results of modeling five myristicin derivative compounds can be seen in figure 2. the bonds between each atom in myristicin derivative molecules are caused by interaction between the valence electrons in each atom. this interaction will affect the strength of the bonds in the molecule. the factorsinfluencing the interactions between atoms in a molecule are electronegativity and electron affinity (tahir, wijaya, & bambang, 2003). by using dft (density functional theory), the optimization of the geometric structure of the five myristicin derivative compounds is determined through computational simulations. compared with other myristicin derivative compounds, the m3 compound has the best structure, with total energy is 115.701 (kcal/mol), as shown in (table 2). the total energy and heat of formation are the most important parameters in determining how much energy is needed in determining the most optimal structure with the smallest or close to zero energy (ismiyarto et al., 2009). quantitative relationship study of activity structure through the quantitative relationship of activity structure (qsar) study, the antioxidant biological activity of myristicin derivatives was determined by computational simulations. the study of the structure of antioxidant activity can be described quantitatively by calculating the structure of the compound under investigation. descriptors were selected to produce myristicin derivative compounds' physical and chemical properties (adhikari, halder, mondal, & jha, 2013). electronic descriptor calculations can be done using the dft method. the computationally calculated electronic descriptor produces data in homo energy, lumo energy, dipole moment (table 3), and net atomic charge (table 4). the dipole moment is related to the polarity of the myristicin derivative molecule, where the highest polarity is in the m3 compound, about 4.6800676 d. the orbitals for electronic excitation, involve the homo and lumo. electron excitation from homo to lumo has a certain distance and requires energy, which can be measured from the energy difference between the homo and the lumo. table 4.results of determination of the equation model compound code log p log ppredictions m1 3.97 0.5473343 m2 1.69 -1.4581628 m3 1.53 -1.6915776 m4 1.53 -1.7468346 m5 1.53 -2.3486929 this energy is called the gap energy (δeg), and the unit is ev. gap energy is related to the stability and reactivity of the molecule, stability and reactivity can be seen through the energy difference (špirtovićhalilović et al., 2014). produce data in the form of homo energy, lumo energy, dipole moment. the less stable and more reactive myristicin derivatives compound in this research is m4.the m4 has δeg of about 0.08026 ev. this result is because the molecules with a small δeg value are reactive and less stable. after all, they require less energy when an exciting electron from homo to lumo. meanwhile, the derivative compound that more stable and less reactive is m5. m5 hasthe largest δeg, about 0.12304 ev. the compound has the highest δeg, the more stable and less reactive. this condition because it requires a large amount of energy to exciting electron from homo to lumo. the electronic descriptors of the atomic charge are essential in determining the electronic interactions between atoms in molecules that are bonded to one another. this interaction will involve the electrons in the atom joining each other, thus affecting the charge value of each atom. the difference in charge values is influenced by the transfer of electrons to each atom attached to the molecule, the atomic charge can be seen in (table 3). the log p value is related to the compound's polarity (water solubility), which indicates the distribution of antioxidant compounds in the human body after consumption. the good biological activity log p, is solubility in water and difficult to penetrate the lipid membrane at0<log p<3. based on table 2, the lowest log p is owned by the m3, m4, and m5 compounds, about 1.53. the highest log p is owned by the m1 compound, which is 3.97. the difference in the log p, shows how effective the polarity (solubility in water) of myristicin derivatives as an antioxidant drug after consumption. the polarizability or polarity of a compound is closely related to the number of electrons, and a large number of electrons affects the polarity. the highest polarity value is represented by compound m1, amounting to 30.09 å, where the more author, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 54 electrons, the easier the polarization. this result is consistent with the simulation of the calculation of the structure of the m1 compound, which is the molecule with the highest number of electrons among the other five myristicin derivative compounds. the higher the polar surface area (psa) value, the higher the polarity level, so that its solubility in body fluids is greater (lee & park, 2011). when the polar surface area (psa) is greater, the greater the polarity and the easier it will dissolve in body fluids during the transport process to the cell membrane (nindita, 2014). in (table 2) it can be seen that the highest psa value is found in m2 compound. harary index and wiener index were chosen because the calculations are simple and therefore more acceptable. in addition, these three descriptors are commonly used in qsar research. it can be seen from (table 2) that the compound with the larger structure is m1 because the harary index, randic index and wiener index are 61.45; 15.02; 706. this condition occurs because molecules with large volumes will provide a greater topological index value. several compounds have the same topological index value. this condition shows that the topological index descriptors are less sensitive to changes in the bond position of an atom. the more the same, the value of the descriptor indicates that the descriptor is less sensitive. determination of the qsar equation model when determining the qsar equation model for myristicin-derived compounds, statistical analysis is required. the processed data is the follow-up data obtained from the optimization results using the dft and qsar methods. then the statistical analysis is carried out. the study was carried out in two stages: correlation analysis and multiple linear regression analysis or multilinear regression analysis, to produce a qsar equation model (tahir, mudasir, yulistia, & mustofa, 2010). correlation analysis was carried out to see relationship between biological activity and log p. the independent variables were 17 descriptors of myristicin derivative compounds m1-m5, including ehomo, elumo, δeg, md, qc1, qc2, qc3, qc4, qc5, qc6, qc8, qc14, polarizability, polar surface area, harary index, randic index, wiener index. while the dependent variable is log p. the correlation results show that all descriptors of myristicin derivative compounds have a relationship with biological activity as indicated by the value criteria that are close to the values +1 and -1. log p with log ppredictions obtained from the qsar equation model can be seen in (table 5 and figure 3). this number shows that compounds with high activity are in compound m1, and compounds with low activity are in compound m5. table 5. qsar equation model using multilinear regression method model descriptors n r r2 se 1 iw, qc8, homo, psa, md 6 1.000 0.926 0 figure 3. correlation curve between log p and log pprediction the choice of the multilinear regression method is because it uses more than one independent variable data. there are 17 descriptors as independent variables. then the descriptors were analyzed using the multilinear regression method. the data obtained through multilinear regression analysis was used to produce the qsar model equation, where the values of r, r2 and se were obtained from the analysis values of r 17 descriptors for each of 5 myristicin derivatives. the criteria for selecting the best equation for the qsar method is to pay attention to r and r2, which have a value greater than 0.5 for the accepted multilinear regression equation. this study's multilinear regression analysis results show that the best model is a model with five descriptors. there are the wiener index, qc8, homo energy, polar surface area, and dipole moment. where the results of the statistical analysis of the equation model can be written the following equation: log p = -2,600 + (0,006) iw – (1,558) qc8 – (6,532) ehomo + (0,014) psa +(0,113) md, with n = 6, r = 1,000, r2 = 0,926, se = 0 conclusion the dft or density functional method of the molecular structure of the five myristicin derivatives y = 0.9652x 3.2848 r² = 0.926 -3 -2 -1 0 1 0 1 2 3 4 5 l o g p log pprediction author, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 55 has been modeled and optimized. the best qsar equation model is obtained through multilinear regression analysis. this model can be used as an equation capable of predicting the biological activity of antioxidants in myristicin derivative compounds. the model obtained: log p = -2.600 + (0,006) iw(1.558) qc8(6.532) ehomo + (0.014) psa + (0.113) md with n = 6, r = 1.000, r2 = 0.926, se = 0. the qsar equation model obtained by considering several parameters (r, r2, and se) is the best. references adhikari, n., halder, a. k., mondal, c., & jha, t. (2013). exploring structural requirements of aurone derivatives as antimalarials by validated dft-based qsar, hqsar, and comfa–comsia approach. medicinal chemistry research, 22(12), 6029–6045. https://doi.org/10.1007/ s00044-013-0590-8 agaus, l. r., & agaus, r. v. (2019). manfaat kesehatan tanaman pala (myristica fragrans) (health benefits of nutmeg (myristica fragrans )). medula, 6(3), 662–665. https://doi.org/ 10.46496/medula.v6i3.9648 armunanto, r., & sudiono, s. (2010). relation of electronic structures with their antimalarial activities on artemisinin derivatives. indonesian journal of chemistry, 4(3), 212–217. https://doi.org/10.22146/ijc.21856 ayunani, t. d., hastuti, i. t., ansory, h. m., & nilawati, a. (2018). pemisahan senyawa 1, 4terpineol dan safrol dari minyak atsiri biji pala (myristica fragrans houtt) dan uji aktivitas antibakteri terhadap shigella dysenteriae. jurnal farmasi indonesia, 15(1), 88–100. chandra, c., asmuruf, f., & siallagan, j. (2020). kajian reaktivitas stabilitas struktur senyawa miristin dan turunannya dengan menggunakan metode fungsional kerapatan. jurnal avogadro, 4(1), 24–30. https://doi.org/ 10.31957/.v4i1.1169 damayanti, r., & ervilita, r. (2017). potensi minyak atsiri daun pala sebagai antioksidan. seminar nasional ii usm 2017, 1, 554–556. dungir, s. g., katja, d. g., & kamu, v. s. (2012). aktivitas antioksidan ekstrak fenolik dari kulit buah manggis (garcinia mangostana l.). jurnal mipa, 1(1), 11–15. https://doi.org/10.35799/ jm.1.1.2012.424 fadillah, a., rahmadani, a., & rijai, l. (2017). analisis kadar total flavonoid dan uji aktivitas antioksidan ekstrak daun kelubut (passiflora foetida l.). proceeding of mulawarman pharmaceuticals conferences, 5, 21–28. https://doi.org/10.25026/mpc.v5i1.217 fadiyah, i., lestari, i., & mahardika, r. g. (2020). antioxidant capacity of rukam fruit extract (flacourtia rukam) using microwave assisted extraction (mae) method. indonesian journal of chemical research, 7(2), 107–113. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.7-ina ginting, b., mustanir, m., helwati, h., desiyana, l. s., eralisa, e., & mujahid, r. (2017). antioxidant activity of n-hexane extract of nutmeg plants from south aceh province. jurnal natural, 17(1), 39–44. https://doi.org/10.24815/jn.v17i1.6969 hasanan, n. (2015). aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun salam. pena medika jurnal kesehatan, 5(1), 55–59. https://doi.org/ 10.31941/pmjk.v5i1.345 ismiyarto, i., ngadiwiyana, n., & mustika, r. (2009). isolasi, identifikasi minyak atsiri fuli pala (myristica fragrans) dan uji aktivitas sebagai larvasida. jurnal kimia sains dan aplikasi, 12(1), 23–30. https://doi.org/10.14710/ jksa.12.1.23-30 isnaeni, l., kasmui, k., & kusuma, s. b. w. (2016). kajian hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas antioksidan senyawa analog kalkon. indonesian journal of chemical science, 5(2), 119–123. https://doi.org/10.15294/ijcs.v5i2.11430 janssens, j., laekeman, g. m., pieters, l. a. c., totte, j., herman, a. g., & vlietinck, a. j. (1990). nutmeg oil: identification and quantitation of its most active constituents as inhibitors of platelet aggregation. journal of ethnopharmacology, 29(2), 179–188. https://doi.org/10.1016/03788741(90)90054-w kilo, a. l., aman, l. o., sabihi, i., & kilo, j. l. (2019). studi potensi pirazolin tersubstitusi 1-n dari thiosemicarbazone sebagai agen antiamuba melalui uji in silico. indonesian journal of chemical research, 7(1), 9–24. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2019.7-akr lee, j. y., & park, w. (2011). anti-inflammatory effect of myristicin on raw 264.7 macrophages stimulated with polyinosinic-polycytidylic acid. molecules, 16(8), 7132–7142. https://doi.org/ 10.3390/molecules16087132 maahury, m. f., male, y. t., & martoprawiro, m. a. (2020). dft study of leuco-indigo and indigo as author, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mul 56 active material in dye-sensitized solar cell. molekul, 15(2), 114–120. https://doi.org/ 10.20884/1.jm.2020.15.2.592 male, y. t., wayan sutapa, i., & merion ranglalin, o. (2015). computational study natural color essence (dyes) as active material on organic solar cell with density functional theory (dft). j. chem. res, 2, 205–212. nindita, l. d. (2014). modeling hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas (hksa) pinocembrin dan turunannya sebagai anti kankermodelling a quantitative structure and activity relationship (qsar) in pinocembrin and its derivative as the anti-cancer. unesa journal of chemistry, 3(2), 26–34. rifai, a. a., kasmui, k., & hadisaputro, s. (2014). kajian hksa senyawa turunan deoksibenzoin terhadap aktivitas antioksidan menggunakan analisis regresi multilinear. indonesian journal of chemical science, 3(3), 222–226. https://doi.org/10.15294/ijcs.v3i3.4113 rohmatussolihat, r. (2015). antioksidan, penyelamat sel-sel tubuh manusia. biotrends, 4(1), 5–9. souhoka, f. a., hattu, n., & huliselan, m. (2019). antioxidant activity test of methanol extract of kesumba keling. indonesian journal of chemical research, 7(1), 25–31. špirtović-halilović, s., salihović, m., veljović, n., osmanović, a., trifunović, s., & završnik, d. (2014). chemical reactivity and stability predictions of some coumarins by means of dft calculations. bulletin of the chemists and technologists of bosnia and herzegovina, 43, 57– 60. tahir, i., mudasir, m., yulistia, i., & mustofa, m. (2010). quantitative structure-activity relationship analysis (qsar) of vincadifformine analogues as the antiplasmodial compounds of the chloroquinosensible strain. indonesian journal of chemistry, 5(3), 255–260. https://doi.org/10.22146/ijc.21800 tahir, i., wijaya, k., & bambang, p. (2003). terapan analisis hansch untuk aktivitas antioksidan senyawa turunan flavon / flavonol. seminar khemometri, 1–9. tahir, i., wijaya, k., purwono, b., & widianingsih, d. (2010). qsar study of flavone / flavonol analogues as the antiradical compounds based on hansch analysis. indonesian journal of chemistry, 3(1), 48–54. https://doi.org/10.22146/ ijc.21905 velkov, z. (2009). quantum-chemical approach to the modeling of antioxidant activity (theoretical descriptors of antioxidants). scientific research journal of south-west university, 2(1), 41–45. wibowo, d. p., febriana, y., riasari, h., & auilifa, d. l. (2018). essential oil composition, antioxidant and antibacterial activities of nutmeg (myristica fragrans houtt) from garut west java. indonesian journal of pharmaceutical science and technology, 5(3), 82–87. https://doi.org/10.24198 /ijpst.v5i3.16030 widyastuti, w., kusuma, a. e., nurlaili, n., & sukmawati, f. (2016). aktivitas antioksidan dan tabir surya ekstrak etanol daun stroberi (fragaria x ananassa a.n. duchesne). jurnal sains farmasi & klinis, 3(1), 19–24. https://doi.org/10.29208/jsfk.2016.3.1.92 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 99-104, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dam. 99 isolation of lycopene component from tamarillo (solanum betaceum) jeanne dewi damayanti*, ririn azmilia, zul ainun, nur amin r., m. ilham nurdin department of chemical engineering, state polytechnic of ujung pandang, jl. perintis kemerdekaan km. 10 tamalanrea makassar, south sulawesi, 90245, indonesia. *corresponding author: jeannedewidamayanti@poliupg.ac.id received: july 2021 received in revised: august 2021 accepted: september 2021 available online: september 2021 abstract lycopene is a red pigment found in tamarillo with its function as an antioxidant that protects body cells from the negative effects of free radicals so that they do not trigger diseases, especially cancer and premature aging. this study was intended to improve the quality of tamarillo by isolating lycopene from tamarillo through an extraction process with chloroform as a solvent by maceration for 3 days at room temperature. the lycopene extract obtained was dissolved by means of a rotary evaporator at 40 oc under vacuum pressure and oven temperature at 60 oc. the lycopene obtained was analyzed by gas chromatography mass spectrometry and the crystal structure of lycopene was characterized by fourier transform infra-red spectroscopy. gcms results showed that 0.21 g of lycopene was successfully isolated from 100 g of dried red tamarillo fruit powder. functional group analysis using ft-ir at a wavelength of 978.23 cm-1 showed the r-ch=ch-r group; the -ch3group of 1371.43 cm -1; the 1460.16 cm-1 indicates the bending vibration of -ch2-; the c=c chain of 1656.91 and 1745.64 cm -1; and the c-h of 2856.67 and 2926.11 cm-1 of the lycopene chain. keywords: chloroform, extraction, ftir, gcms, lycopene, maceration, tamarillo introduction the use of lycopene has recently become widely known in the industrial world driven by its wide use in both the food industry and the pharmaceutical industry. in the food industry, lycopene is used as a natural dye, according to its functions as a natural red color for fruits and vegetables, while in the pharmaceutical industry, lycopene plays a role in the body to capture free radicals. free radicals are a by-product of metabolic processes in the human body (haroon, 2014). free radical compounds come from environmental pollutants and also from unhealthy human lifestyles with lower immunity (arnanda & nuwarda, 2019) (fadiyah, lestari, & mahardika, 2020) (surtina et al., 2020). free radicals are atoms or molecules that are unstable and highly reactive because they contain one or more unpaired electrons in their outermost orbital. to achieve atomic or molecular stability, free radicals will react with surrounding molecules to gain electron pairs. this reaction will continue in the body and if not stopped will cause various diseases such as cancer, heart disease, cataracts, premature aging, cardiovascular, diabetes, osteoporosis, infertility, and other degenerative diseases. therefore, the body needs an important substance to protect cells from damage caused by free radicals, namely antioxidant in the form of lycopene which is able to capture these free radicals so that they do not trigger the onset of a disease. the antioxidant potential of lycopene as a singlet oxygen catcher is twice of βcarotene and ten times of α-tocopherol (arifulloh, oktavianawati, & winata, 2016). in addition, the ability of lycopene to control free radicals is 100 times more efficient than vitamin e or 12,500 times than glutathione. lycopene is a natural pigment that protects the body by neutralizing the negative effects of antioxidants(hattu, latupeirissa, fransina, seumahu, & latupeirissa, 2014) (lilwani & nair, 2015). lycopene is found in many red fruits and vegetables such as tomatoes, papaya, watermelon and tamarillo. tamarillo (cyphomandra betacea) is a horticultural plant that grows in indonesia, especially in tana toraja, south sulawesi. based on data from central bureau of statistics of indonesia, the production of tamarillo in indonesia in 2012 was 518,448 tons. tamarillo contains a variety of chemical compounds that vary greatly, depending on several factors including fruit maturity, genetics, as well as geographical and environmental conditions in which the plant grows (wang & zhu, 2020). so far, tamarillo as shown in figure 1 is only known as a fruit that can only be consumed directly in jeanne dewi damayanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 99-104, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dam. 100 the form of fresh fruit and processed into juice like the use of other fruits in general. figure 1. tamarillo (solanum betaceum) the impact of a lack of knowledge on this tamarillo fruit, so that there are no derivative products from this fruit. this is further made worse by perishable nature of this fruit. ripe fruit that is picked and stored at room temperature is only able to last for 5 to 6 days, after which the peel will turn black with rot so that this fruit cannot be consumed anymore and then it is thrown away (pakiding, muhidong, & hutabarat, 2015). lycopene is an unstable compound, so to get a pure compound, a difficult process is needed (kong et al., 2010). this has an impact on the price of pure lycopene compounds in the market which is quite expensive (desmiaty, alatas, & sugianti, 2008). previous investigation of atiqah, maisarah, & asmah, (2014) have established the comparison of antioxidant content in tamarillo, cherry tomatoes, and tomatoes. tamarillo showed the highest antioxidant content among the three fruits with levels of 2.923.85%. the lycopene content in the peel of the red tamarillo is 2.22 mg/100 g (siddick & ganesh, 2005). the lycopene compounds obtained in the separation process by extraction tend to be perfect if the solvent used is a non-polar solven (dewi, 2018). (christianty, gavra, & masyithah, 2015) also obtained pure lycopene crystals in tomatoes from the extraction process with a mixed solvent of hexane: ethyl acetate (1:1). to obtain pure lycopene compounds, an antisolvent crystallization process was carried out by adding methanol. in addition, (indriani, ruslan, prismawiryanti, & satrimafitrah, 2018) succeeded in producing lycopene from tomato fruit extract by soaking it in vco (virgin coconut oil). optimization of the extraction process of lycopene from tomatoes with a mixed solvent, namely acetone:ethyl acetate with a solvent ratio of 1:1. the extraction process was carried out at 40 oc for 5 hours. the total lycopene that was successfully extracted was 61.105 mg/100 g (hiren, akbari, pandya, & josdi, 2017). maulida & naufal, (2010) succeeded in isolating lycopene from tomatoes through an extraction process at a temperature of 65 ᴼc using chloroform solvent, then lycopene crystals were obtained by the antisolvent crystallization method, namely methanol under supersaturation conditions. the total lycopene crystals that were isolated were 4.87 mg/100 g, the crystal structure was analyzed by ftir (fourier transform infra red). temperature and particle size are one of the main factors in the separation process by extraction. the solubility of the extracted material increases with increasing temperature and the smaller the particle size, the easier the extraction process because of the wider contact surface area between the solid and the solvent (damayanti, sukasri, & nurdin, 2020). therefore, the aim of this investigation has been to find out a simple and effective method of extracting lycopene from tamarillo through the extraction process using the maceration method using chloroform solvent and the method of separating lycopene from chloroform solvent using a rotavapor. the concentrated lycopene obtained was then analyzed by gcms (gas chromatography mass spectrometry) and spectrophotometer ftir (fourier transform infra red). methodology materials and instrumentals the research materials used were tamarillo fruit (solanum betaceum) from tana toraja, south sulawesi province, indonesia. other ingredients, namely: distilled water, chloroform (merck), and filter paper (no brand). the equipments used in this study were glassware (pyrex), digital balance (precisa), blender, knife, vacuum pump, oven (ecocell), rotavapor (buchi), ft-ir (shimadzu 8400s), and gcms (shimadzu qp2010 ultra). methods raw material preparation tamarilo fruit that has been ripe was first cleaned by washing with clean water to remove impurities that stick to the skin of the fruit. the tamarillo fruit was then cut into pieces and dried in an oven at 60 oc for 4 days. tamarillo fruit that has been dried, then was mashed using a blender to get dry tamarillo powder. lycopene isolation samples (tamarillo powder) as much as 100 g were weighed and put into an erlenmeyer. 300 ml of chloroform solvent was added to an erlenmeyer containing a sample of tamarillo powder. the jeanne dewi damayanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 99-104, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dam. 101 extraction process using the maceration method was carried out by soaking the tamarillo powder with chloroform solvent for 2 days at room temperature, stirring occasionally. after 2 days, the samples were filtered through filter paper. the filtrate and residue are separated. the filtrate (lycopene extract) was stored in another erlenmeyer while the residue was added again with 200 ml of chloroform. the sample was then macerated again for 1 day at room temperature with occasional stirring. after maceration for 1 day in the next stage, the sample was filtered again. the solution (filtrate) obtained was combined with the filtrate from the initial stage of maceration. the filtrate (lycopene extract) in erlenmeyer was poured into the evaporator flask. the sample was concentrated by means of an evaporator at a temperature of 40 oc to a volume of 50 ml. the lycopene extract was poured into a beaker and placed in an oven at 60 oc until all the chloroform solvent was evaporated. data analysis gas chromatography mass spectrometry (gc-ms analysis) lycopene extract was analyzed using gcms (gas chromatography mass spectrometry), brand shimadzu with type qp2010 ultra. a sample of 1 l was injected into the gcms which was operated with a glass column of 25 m long, 0.25 mm in diameter and 0.25 m in thickness with a stationary phase of cp-sil 5cb with an oven temperature programmed between 70-270 oc with a temperature rise rate of 10 oc/min, helium carrier gas has a pressure of 12 kpa, a total rate of 30 ml/min and a split ratio of 1:50. the weight of extracted lycopene was calculated by equation 1. (1) fourier transform infrared (ft-ir) spectroscopy ft-ir was used to identify functional groups and to characterize lycopene extract from red tamarillo fruit. the ft-ir spectroscopic instrument used was the shimadzu brand. a total of 1 drop of concentrated lycopene was scanned 40 times from 4000 to 500 cm-1. results and discussion isolation of lycopene the separation of lycopene from tamarillo was carried out in a simple and effective way through the extraction process by maceration method at room temperature using chloroform as solvent. figure 2 displays the isolation of lycopene by maceration method that produced lycopene extract to obtain lycopene extract that has been free from chloroform solvent, using a rotary evaporator (rotavapor) and oven. carotenoids are pigments that give yellow-red color to fruits and vegetables. the red color concentration of the lycopene extract is caused by the conjugated double bonds of carotenoid compounds. there are more conjugated double bonds in the structure of lycopene than other carotenoid compounds, as many as 11 conjugated double bonds cause lycopene to have an orange color (arifulloh et al., 2016) figure 2. lycopene isolation: (a) maceration, (b) lycopene extract, and (c) concentrated lycopene extract. lycopene is a nonpolar compound that will dissolve in nonpolar solvents (hamsina, hasani, & irfan, 2019). the solvent chosen will determine the ability to take up lycopene which is expected to be isolated. the solvent chloroform is a nonpolar solvent, which is why this solvent was chosen in this study. the solvent power of chloroform in the extraction process is the strength of the dispersion of chloroform molecules to interact with lycopene components. lycopene compounds are basically completely dissolved in chloroform as a non-polar solvent because the intermolecular forces between similar compounds tend to have the same strength (dewi, 2018). lycopene analysis with gcms analysis with gcms (gas chromatoraphy mass spectroscopy) was used to measure qualitatively and quantitatively the compounds in the lycopene extract samples. the gcms analysis was intended to determine the components contained in the lycopene extract from the tamarillo fruit. figure 3 provides the spectrum of the analysis results from gcms is the spectrum of the lycopene extract of the red tamarillo fruit and the reference spectrum of the wiley data base, namely retinal. the retention time was 27,575 minutes 𝐿𝑦𝑐𝑜𝑝𝑒𝑛𝑒 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 = 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑒𝑛𝑡𝑎𝑔𝑒 𝑜𝑓 𝑒𝑥𝑡𝑟𝑎𝑐𝑡𝑒𝑑 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑒𝑥𝑡𝑟𝑎𝑐𝑡𝑒𝑑 𝑡𝑎𝑚𝑎𝑟𝑖𝑙𝑙𝑜 jeanne dewi damayanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 99-104, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dam. 102 and the peak area was 35,062, indicating the interpretation of retinal compounds with the molecular formula c20h28o. figure 3. gcms spectrum of (a) lycopene extract from red tamarillo and (b) retinal according to the wiley data base reference spectrum. figure 4. extracted lycopene from tamarillo the results of the gcms analysis showed that the chemical component referring to the constituents of the lycopene extract (figure 4) was retinal as much as 0.21% which was equivalent to 0.21 g of lycopene in 100 g of red tamarillo powder. retinal pigments, which are a group of carotenoids converted by plants, are the source of the pigments that give fruits and vegetables their red color. meanwhile, dewi, (2018) succeeded in isolating lycopene from dried tomatoes powder through an extraction process at a room temperature with hexane solvent, then lycopene crystals were obtained by antisolvent crystallization method, namely methanol under supersaturation conditions. the total isolated lycopene crystals were 2.25 mg/100 g of dried tomatoes powder. lycopene chracterization by ftir lycopene was successfully isolated from red tamarillo through an extraction process by maceration method for 3 days as shown in the ftir spectrum in figure 5. the ftir spectrum of lycopene extracted from red tamarillo showed a spectrum that was in accordance with the ftir spectrum of the lycopene standard. figure 5. ftir spectra of (a) standardized lycopene (priam et al., 2017) and (b) lycopene extract from red tamarillo fruit. the bottom half of the table shows the wavelength of the characterization of standard lycopene compounds and lycopene extracts using ftir from various references. the wavelengths that are read each indicate the functional group in the chemical structure of the lycopene compound. as shown in table 1, functional group analysis using fourier transform infrared (ft-ir) spectroscopy at a wave number of 978.23 cm-1 shows the r-ch=ch-r group in the lycopene chain. table 1. interpretation of ftir spectra on lycopene characteristics from various references functional groups wavelength (cm-1) lycopene standard (priam, marcelin, marcus, & jô, 2017) lycopene from tomatoes (tarigan, sinaga, & masyithah, 2016) lycopene from red tamarillo r-ch=ch-r 957.23 956.72 978.23 -ch3 1373.36 1371.43 -ch21448 1456.30 1460.16 c=c 1744 1647.26 and 1743.71 1656.91 and 1745.64 c-h 2851 and 2918 2879.82 and 2910.68 2856.67 and 2926.11 jeanne dewi damayanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 99-104, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dam. 103 the -ch3group was read at a wavelength of 1371.43 cm-1. the wave number of 1460.16 cm-1 indicates the bending vibration of -ch2of the lycopene chain. while the c=c chain is shown at wavelengths of 1656.91 and 1745.64 cm-1 and the c-h chain is shown at wavelengths of 2856.67 and 2926.11 cm-1. the ir spectra of the lycopene extracted from tamarillo through maceration at the room temperature matched well with the standard lycopene from reference. conclusion in summary, the results of this study indicate that 0.21 g of lycopene was isolated from 100 g of dried red tamarillo fruit powder through an extraction process by maceration method using chloroform as a solvent, as shown from the results of the analysis by gcms and the characterization of the structure of lycopene by ftir. acknowledgment this research was supported by the grants from state polytechnic of ujung pandang (no. b/32/pl10.13/pt.01.05/2021, 23 april 2021). references arifulloh, a., oktavianawati, i., & winata, i. n. a. (2016). ekstraksi likopen dari buah tomat (lycopersicum esculentum mill.) dengan berbagai komposisi pelarut. berkala sainstek, 4(1), 15–18. arnanda, q. p., & nuwarda, r. f. (2019). review article: penggunaan radiofarmaka teknesium99m dari senyawa glutation dan senyawa flavonoid sebagai deteksi dini radikal bebas pemicu kanker. farmaka, 17(2), 236–243. https://doi.org/10.24198/jf.v17i2.22071 atiqah, n., maisarah, a. m., & asmah, r. (2014). comparison of antioxidant properties of tamarillo (cyphomandra betacea), cherry tomato (solanumly copersicum var. cerasiform) and tomato (lyopersicon esulentum). international food research journal, 21(6), 8. christianty, d., gavra, s. f., & masyithah, z. (2015). kristalisasi likopen dari buah tomat (lycopersicon esculentum) menggunakan antisolvent. jurnal teknik kimia usu, 4(4), 39– 45. https://doi.org/10.32734/jtk.v4i4.1512 damayanti, j. d., sukasri, a., & nurdin, m. i. (2020). the decaffeination of robusta coffee beans through extraction process with distilled wate. indonesian journal of chemical technology, 1(1), 38–45. https://doi.org/10.31963/ijctech. v1i1.2066 desmiaty, y., alatas, f., & sugianti, i. (2008). pembuatan crude likopen dari buah tomat (solanum lycopersicum) dan penentuan daya antioksidannya. kongres ilmiah xvi ikatan sarjana farmasi indonesia yogyakarta, 3. dewi, e. s. (2018). isolasi likopen dari buah tomat (lycopersicum esculentum) dengan pelarut heksana. jurnal agrotek ummat, 5(2), 123. https://doi.org/10.31764/agrotek.v5i2.707 fadiyah, i., lestari, i., & mahardika, r. g. (2020). kapasitas antioksidan ekstrak buah rukam (flacourtia rukam) menggunakan metode microwave assisted extraction (mae). indonesian journal of chemical research, 7(2), 107–113. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.7ina hamsina, h., hasani, r., & irfan, i. (2019). optimasi proses ekstraksi senyawa likopen dari buah semangka dengan menggunakan variasi pelarut. seminar nasional hasil penelitian & pengabdian kepada masyarakat (snp2m), (0), 59–63. haroon, s. (2014). extraction of lycopene from tomato paste and its immobilization for controlled release (thesis, university of waikato). university of waikato. retrieved from https://researchcommons.waikato.ac.nz/handle/1 0289/8983 hattu, n., latupeirissa, j., fransina, e. g., seumahu, c. a., & latupeirissa, a. (2014). effect of tamarind (tamarindus indica l.) extract to histamine content in bullet tuna (auxis rochei). indonesian journal of chemical research, 2(1), 131–135. hiren, b., akbari, sanjai, pandya, d., & josdi, d. (2017). standardization of solvent extraction process for lycopene extraction from tomato pomace. journal of applied biotechnology & bioengineering, volume 2(issue 1). https://doi.org/10.15406/jabb.2017.02.00019 indriani, e., ruslan, r., prismawiryanti, p., & satrimafitrah, p. (2018). kadar likopen ekstrak kasar buah tomat dalam vco (virgin coconut oil) pada perendaman suhu ruang. kovalen: jurnal riset kimia, 4(2), 174–179. https://doi.org/10.22487/kovalen.2018.v4.i2.102 26 kong, k.-w., khoo, h.-e., prasad, k. n., ismail, a., tan, c.-p., & rajab, n. f. (2010). revealing the power of the natural red pigment lycopene. molecules, 15(2), 959–987. https://doi.org/ 10.3390/molecules15020959 jeanne dewi damayanti et al. indo. j. chem. res., 9(2), 99-104, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dam. 104 lilwani, s., & nair, v. (2015). extraction and isolation of lycopene form various natural sources. iosr journal of biotechnology and biochemistry (iosr-jbb), 1(5), 49–51. maulida, d., & naufal, z. (2010). ekstraksi antioksidan ( likopen ) dari buah tomat dengan menggunakan solven campuran, n–heksana, aseton, dan etanol. (thesis, university of diponegoro) pakiding, f. l., muhidong, j., & hutabarat, o. s. (2015). profil sifat fisik buah terung belanda (cyphomandra betacea). jurnal agritechno, 132– 139. https://doi.org/10.20956/at.v8i2.78 siddick, s. a., & ganesh, s. (2005). study on lycopene extraction, a natural antioxidant from tomato (solanum lycopersicum ) & tamarillo ( solanum betacea) fruit wastes. in research scholar. surtina, s., sari, r. p., zulita, z., rani, r., roanisca, o., & mahardika, r. g. (2020). potensi antibakteri ekstrak daging buah kelubi (eleiodoxa conferta) bangka belitung menggunakan microwave-assisted extraction (mae). indonesian journal of chemical research, 7(2), 177–182. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2020.7-sur wang, s., & zhu, f. (2020). tamarillo (solanum betaceum): chemical composition, biological properties, and product innovation. trends in food science & technology, 95, 45–58. https://doi.org/10.1016/j.tifs.2019.11.004 ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 182 isolation and characterization of papain from the latex of papaya (carica papaya l) isolasi dan karakterisasi papain dari buah pepaya (carica papaya l) jenis daun kipas dominggus malle 1,* , ivonne telussa 2 , astrid a. lasamahu 2 1 faculty of agriculture pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: d.malle@faperta.unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract the papain enzyme was isolated from the latex of papaya and it was purified by ammonium sulfat fractionation and dialysis methods. determination of papain enzyme activity showed that the highest activity was found in the 80% fraction with a specific activity of 10.5797 x 10 5 u/g. papain concentration after bradford method was 53 mg/ml. molecular mass of papain was detected to be 21.6 kda after sds-page analysis. characterization of papain showed that the optimum activity of papain was found at ph 8.0 with a specific activity of 14.07031 x 10 u/g, and at temperature 60 °c with a specific activity of 14.39755 x 10 u/g. keywords: isolation, characterization, papain, papaya pendahuluan buah pepaya merupakan buah tropis yang enak rasanya dan banyak mengandung zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. buah pepaya umumnya mengandung air dan karbohidrat, rendah kalori dan kaya akan vitamin dan mineral khususnya vitamin a dan c serta mineral kalium (k) (da silva dkk., 2007). selain sebagai penghasil buah, tanaman pepaya juga memiliki banyak khasiat. hampir semua bagian tanaman pepaya dapat dimanfaatkan, mulai dari akar, batang, daun, kuntum bunga, kulit pohon, sampai getahnya. batang, daun, dan buah pepaya mengandung getah berwarna putih yang mengandung enzim pemecah protein atau proteolitik yang biasa disebut papain (kalie, 2002). papain [ec. 3.4.22.2] adalah satu dari enzim proteolitik asal tanaman yang secara intensif digunakan dalam proses pembuatan roti, pengempukan daging, pelembutan kulit, “defibrinating” luka, pelepasan gum pada sutera dan wool serta untuk pengobatan penyakit edema (virdi, 2009). papain banyak digunakan dalam berbagai proses industri, sehingga prospek ekonomis papain tampaknya semakin cerah (kalie, 2002). oleh karena itu eksplorasi penelitian dan pemanfaatan papain terus dilakukan. kahar (1995) melakukan penelitian tentang pengaruh jenis substrat terhadap aktivitas proteolitik enzim papain amobil. pemanfaatan papain untuk penghilangan lapisan kapur pada teripang pasir telah dilakukan oleh sudrajat (2002). penggunaan enzim papain sebanyak 4% mampu menghilangkan lapisan kapur pada tubuh teripang dan tidak menyebabkan lapisan kulit hitam pada punggung teripang rusak. sebagai enzim proteolitik, papain diharapkan memiliki aktivitas yang tinggi dan tahan terhadap lingkungan yang ekstrim seperti suhu yang tinggi dan ph yang rendah. untuk mendapatkan papain dengan aktivitas yang tinggi, berbagai upaya dilakukan termasuk pendekatan bioteknologi rekayasa genetika pepaya. selain itu usaha-usaha untuk mendapatkan sumber-sumber baru penghasil papain terus dilakukan. hingga saat ini isolasi papain lebih banyak berasal dari jenis pepaya berdaun jari, padahal ada beberapa jenis pepaya seperti pepaya daun kipas yang mungkin dapat dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 183 digunakan sebagai sumber papain. kajian ilmiah papian dari pepaya daun kipas masih sangat terbatas. oleh karena itu suatu kajian ilmiah papain dari pepaya jenis daun kipas sangat diperlukan. metodologi bahan getah pepaya, akuades/akuabides, natrium bisulfit 0,7% (e. merck), amonium sulfat kristal (e. merck), bacl2 1% (e. merck), buffer trishcl, sistein, tirosin, asam trikloro asetat (tca) 5% (e. merck), bovine serum albumin (bsa) (wako, jepang), pereaksi bradford, aps (ammonium persulfate) 10% (bio basic inc), temed (n,n,n',n'-tetramethylenediamine) (bio basic inc), akrilamida 30% (bio basic inc), bis-akrilamida 0,8% (bio basic inc), bufer tris-glisin 10x (fermentas), sds (sodium dodecyl sulfate) (bio basic inc), gliserol 50% (e. merck), bromphenol blue 0,1% (wako, jepang), coomassie brilliant blue r-250 (e. merck), protein marker (fermentas), metanol (e. merck), asam asetat (e. merck), membran dialisis (mco : 14000) (wako, jepang). alat hot plate (cimarec 2), magnetic strirrer (cimarec 2), mikropipet (eppendorf research), oven (shell lab), ph meter (metler toledo), sentrifuge (labofuge 200-hereaus), seperangkat alat gelas (pyrex), seperangkat alat gelas (pyrex), seperangkat peralatan sds – page (cole-palmer), spektrofotometer uv-vis (apel pd-303 uv), timbangan analitik (ohaus adventure tm pro). prosedur kerja persiapan sampel penyadapan getah dilakukan pada buah pepaya yang berumur 2,5 3 bulan. kulit buah ditoreh sedalam ± 1 – 2 mm dari atas ke bawah. dari torehan akan menetes getah buah. tetesan getah ditampung dalam wadah. isolasi papain getah yang diperoleh dicampur dengan larutan natrium bisulfit 0,7% sebanyak empat kali jumlah getah, kemudian diaduk hingga merata sampai terbentuk emulsi berwarna putih susu yang agak kental. kemudian emulsi dituangkan merata dalam cawan petri, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50 – 60 °c. pemurnian enzim papain fraksinasi ammonium sulfat getah papaya yang telah diperoleh dihaluskan dengan menggunakan mortar dan ditimbang. kemudian dilarutkan dalam 50 ml akuades dan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 4000 rpm lalu diambil supernatan dengan cara dekantasi. supernatan yang diperoleh kemudian diendapkan menggunakan kristal ammonium sulfat. protein dibagi menjadi 4 fraksi, yaitu fraksi 20%, 40%, 60%, dan 80%. penentuan jumlah kristal ammonium sulfat yang dibutuhkan untuk setiap fraksi didasarkan pada tabel fraksinasi ammonium sulfat. untuk menghasilkan fraksi 20%, digunakan 5,3 g ammonium sulfat yang telah dihaluskan dan dilarutkan dalam supernatan di dalam ruang dingin lalu diaduk dengan magnetic stirer secara perlahan. selanjutnya campuran diendapkan dengan cara disentrifuge pada 4000 rpm selama 15 menit, kemudian supernatan dipisahkan dari endapannya. endapan dilarutkan dengan trishcl 50 mm ph 7,0 dengan volume sesedikit mungkin. larutan ini merupakan fraksi ammonium sulfat 20%. supernatan kemudian ditambah dengan 5,65 g ammonium sulfat untuk memperoleh fraksi 40%. campuran lalu diendapkan dengan cara disentrifuge pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit kemudian supernatan dipisahkan dari endapannya. endapan dilarutkan dengan tris-hcl 50 mm ph 7,0 dengan volume sesedikit mungkin. larutan ini merupakan fraksi ammonium sulfat 40%. supernatannya kembali ditambahkan 6 g ammonium sulfat untuk memperoleh fraksi 60%. campuran lalu diendapkan dengan cara disentrifuge pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit kemudian dipisahkan antara supernatan dan endapannya. endapan dilarutkan dalam trishcl 50 mm ph 7,0 dengan volume sesedikit mungkin. larutan ini merupakan fraksi ammonium sulfat 60%. supernatannya kembali ditambah 6,45 g amonium sulfat untuk memperoleh fraksi 80%. dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 184 campuran lalu diendapkan dengan cara disentrifuge pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit kemudian dipisahkan antara supernatan dan endapannya. dilarutkan dalam tris-hcl 50 mm ph 7,0 dengan volume sesedikit mungkin. larutan ini merupakan fraksi ammonium sulfat 80%. dialisis dialisis dilakukan dengan memasukkan fraksi-fraksi enzim ke dalam kantong selofan. kemudian enzim dalam plastik selofan ini direndam dalam buffer tris-hcl 50 mm. untuk mengetahui masih adanya garam ammonium sulfat dalam larutan enzim, dilakukan uji kualitatif ammonium sulfat yaitu dengan menambahkan larutan bacl2 1% (b/v) ke dalam cuplikan buffer tris-hcl. uji aktivitas uji aktivitas dilakukan menggunakan kasein 1% sebagai substrat. dengan menentukan nilai at, ab, as dan as0. dipipet 5 ml kasein (yang terdiri dari 12 mm sistein dalam 0,05 m buffer tris-hcl ph 7,0), kemudian diinkubasi pada suhu 37 °c selama 5 menit. selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim murni (tiap fraksi), kemudian diinkubasi selama 1 menit, kemudian ditambahkan lagi 5 ml tca 5%, dikocok dan diinkubasi selama 30 menit. selanjutnya campuran disentrifuge pada 4000 rpm selama 15 menit. absorbansi supernatan diukur pada 280 nm (at). untuk memperoleh nilai ab, 0,1 ml enzim dari tiap fraksi ditambahkan dengan 5 ml tca 5% dan 5 ml kasein, dikocok dan diinkubasi pada suhu 37 °c selama 30 menit. kemudian disentrifuge pada 4000 rpm selama 15 menit. absorbansi supernatan diukur pada 280 nm (ab). untuk as digunakan larutan standar tirosin 1 mm, sedangkan untuk as0 digunakan larutan hcl 0,1 m, diukur absorbansinya pada 280 nm untuk memperoleh nilai as dan as0. satu unit aktivitas enzim adalah jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menaikan satu absorban dengan ekuivalen dengan 1 µg tirosin per menit sesuai dengan prosedur yang digunakan. uji protein penetapan serapan maksimum larutan bovin serum albumin ditimbang dengan teliti 10 mg bovine serum albumin dan dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 10 ml hingga tanda batas. ke dalam tabung reaksi pipet sebanyak 1 ml larutan bovin serum albumin 1000 µg/ml. kemudian ditambahkan 0,5 ml pereaksi bradford, dikocok dengan segera dan dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit. selanjutnya dibaca serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 600 nm hingga diperoleh serapan maksimum. penentuan kurva baku larutan bovin serum albumin dipipet larutan bovin serum albumin 1000 µg/ml ke dalam masing-masing labu takar 10 ml, dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 ppm. kemudian diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. dari masingmasing labu dipipet sebanyak 0,1 ml. kemudian ditambahkan pereaksi bradford masing-masing 5 ml, dikocok dengan segera dan dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit. selanjutnya dibaca serapannya pada panjang gelombang maksimum dari tahap sebelumnya. penentuan kadar protein enzim papain sebanyak 0,1 ml ekstrak enzim ditambahkan dengan 5 ml pereaksi bradford dan dibiarkan pada suhu ruang selama 10 60 menit. absorbansi larutan sampel protein dibaca pada panjang gelombang maksimum. dengan persamaan matematik dari kurva standar protein, akan didapatkan kadar protein terlarut yang terkandung dalam enzim. karakterisasi papain penentuan ph optimum uji aktivitas untuk penentuan ph optimum dilakukan menggunakan kasein 1% sebagai substrat. dengan menentukan nilai at dan ab. dipipet 5 ml kasein dengan variasi ph 5,0; 5,5; 6,0; 6,5; 7,0; 7,5; 8,0; 8,5 dan 9,0, kemudian diinkubasi pada suhu 37°c selama 5 menit. selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim murni (fraksi dengan aktivitas tertinggi), kemudian diinkubasi selama 1 menit, kemudian ditambahkan lagi 5 ml tca 5%, dikocok dan diinkubasi selama 30 menit. selanjutnya campuran disentrifuge pada 4000 rpm selama 15 menit. absorbansi supernatan diukur pada 280 nm (at). dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 185 untuk memperoleh nilai ab, 0,1 ml enzim ditambahkan dengan 5 ml tca 5% dan 5 ml kasein (variasi ph), dikocok dan diinkubasi pada suhu 37°c selama 30 menit. kemudian disentrifuge pada 4000 rpm selama 15 menit. absorbansi supernatan diukur pada 280 nm (ab). penentuan suhu optimum uji aktivitas unutk penentuan suhu optimum dilakukan menggunakan kasein 1% dengan ph optimum enzim (hasil penentuan ph optimum). dengan menentukan nilai at dan ab, dengan memvariasikan suhu inkubasi yaitu, 40; 45; 50; 55; 60; 65; 70; 75; 80 dan 85°c. perkiraan massa molekul papain (metode sds-page) elektroforesis protein dengan sds-page dilakukan dengan menggunakan gel pemisah 15% poliakrilamida dan gel penahan 5% poliakrilamida. cetakkan gel berupa dua lempeng kaca dihimpitkan dan diantaranya diletakkan pemisah (spacer) pada bagian tepi, lalu dijepit dengan klip dan diberdirikan di atas lempeng kaca. larutan gel pemisah (separating gel) dimasukkan ke dalam lempeng kaca. setelah gel tersebut mengeras kemudian dimasukkan gel penahan (stacking gel) ke atasnya. sisir pencetak sumur segera dimasukkan ke bagian gel penahan sebelum gel mengeras. lempeng kaca yang berisi gel yang sudah mengeras dimasukkan ke dalam alat elektroforesis dan diikuti dengan larutan buffer elektroforesis. protein (20 µl) disuspensikan dengan buffer sampel (5 µl) dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit. setelah dingin larutan protein dimasukan ke dalam gel poliakrilamid sebanyak 15 µl. sebagai standar protein digunakan standar protein dari fermentas yang dimasukan ke dalam sumur sebanyak 5 µl. kemudian sampel dan standar protein dilarikan dalam gel elektroforesis selama 70 menit pada tegangan 150 v, 400 a. setelah elektroforesis gel diwarnai dengan larutan cbb r-250 1% selama 2 – 3 jam. gel hasil pewarnaan kemudian direndam di dalam larutan penghilang warna (metanol dan asam asetat) untuk menghilangkan kelebihan warna. pita protein yang terpisah kemudian diukur jarak migrasinya dan dibandingkan dengan jarak protein standar. tabel 1. komposisi gel elektroforesis keterangan : larutan a: akrilamida 30% (b/v) (29,2 g dalam 100 ml akuades) bis-akrilamida 0,8% (b/v) (0,8 g dalam 100 ml akuades). larutan b: 75 ml buffer tris-hcl 1,5 m (ph 8,8) 21 ml akuabides. larutan c: 50 ml buffer tris-hcl 0,5 m (ph 6,81) 46 ml akuabides. tabel 2. komposisi buffer elektroforesis dan buffer sumpel hasil dan pembahasan isolasi papain getah pepaya disadap dari buah pepaya jenis daun kipas yang berumur 2,5 – 3 bulan dengan kedalaman torehan ± 1 – 2 mm. penyadapan dilakukan sebanyak empat kali dengan selang waktu selama empat hari dan diperoleh getah basah sebanyak 126,4 g. getah yang diperoleh dicampurkan dengan natrium bisulfit 0,7%, dimana penggunaan senyawa sulfit dimaksudkan sebagai pelarut bahan kimia dan untuk menekan terjadinya kerusakan akibat proses isolasi, sedangkan penggunaan air sebagai pelarut sulfit dimaksudkan untuk mengencerkan getah. campuran hasil pengadukan membentuk emulsi berwarna putih susu yang agak kental yang kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60 °c sampai getah mengering. sampel yang telah kering, dihaluskan menggunakan mortar dan diperoleh papain kering dengan ciri-ciri berwarna putih kekuningan dan baunya seperti bau larutan sulfit (gambar 1). dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 186 gambar 1. papain kasar pemurnian papain papain kering (crude extract) yang telah diperoleh dilarutkan dengan larutan buffer trishcl 50 mm ph 7,0 dengan tujuan mempertahankan kestabilan enzim papain. enzim yang telah dilarutkan diendapkan dengan ammonium sulfat untuk fraksi 20%, 40%, 60% dan 80%. garam netral dapat berpengaruh terhadap kelarutan protein. pada konsentrasi rendah, garam dapat menaikkan kelarutan protein dalam air, suatu peristiwa yang dikenal sebagai saltingin. pengaruh garam netral terhadap kelarutan protein merupakan fungsi dari kekuatan ioniknya, yaitu suatu ukuran konsentrasi dan jumlah muatan listrik sumbangan kation dan anion dari garam. efek salting-in disebabkan oleh kecenderungan perubahan gugus rantai samping protein yang tidak terdisosiasi untuk mengion. tetapi bila kekuatan ion meningkat, kelarutan protein akan menurun. pada kekuatan ionik yang tinggi, protein akan mengendap, yang dikenal dengan efek salting-out. efek salting-out disebabkan pada konsentrasi yang tinggi, garam dapat menghidrasi air dari permukaan molekul protein sehingga protein terendapkan. efek salting-in dan salting-out merupakan cara yang penting untuk memisahkan protein dari campurannya. hal ini disebabkan protein yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda terhadap konsentrasi garam netral. protein yang diendapkan melalui proses presipitasi salting-out akan tetap berada dalam konformasi alaminya (sindumarta, 1999). proses fraksinasi bertujuan untuk memekatkan atau menjenuhkan larutan sehingga diperoleh larutan pekat yang mengandung endapan protein. penambahan amonium sulfat dalam proses fraksinasi dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk di atas magnetic stirrer dengan kecepatan konstan. hal ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya busa pada permukaan supernatan. terbentuknya busa dapat mendenaturasi protein sebab busa dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga merusak struktur alami protein. dalam membebaskan protein dalam larutan dari partikel-partikel penggangu lainnya dilakukan proses dialisis. dalam proses ini digunakan membran dialisis semipermeabel untuk menahan molekul-molekul protein, sedangkan molekul yang lebih kecil seperti garam dan air dapat melewati membran tersebut (sindumarta, 1999). pada penelitian, membran semipermeabel yang digunakan adalah selofan. buffer perlu diganti pada saat mencapai kesetimbangan konsentrasi antara bagian dalam dan bagian luar. dengan pergantian buffer, proses difusi akan terus berlanjut. untuk mengetahui larutan protein bebas dari garam, maka larutan buffer diluar membran dianalisis dengan ditetesi larutan bacl2 1%. apabila larutan protein masih mengandung amonium sulfat, maka di dalam larutan buffer akan terbentuk endapan barium sulfat yang berwarna putih. dari proses pemurnian diperoleh 4 fraksi enzim, yakni fraksi 20%, 40%, 60%, dan fraksi 80%. fraksi-fraksi ini kemudian diuji aktivitasnya menggunakan kasein sebagai substrat untuk mengetahui aktivitas tiap fraksi. hasil uji aktivitas tiap fraksi ditunjukkan pada tabel 3. tabel 3. hasil uji aktivitas fraksional berdasarkan data hasil uji aktivitas fraksional pada tabel 3, diketahui bahwa fraksi dengan aktivitas spesifik tertinggi adalah fraksi 80%. hal ini menunjukkan bahwa pada fraksi 80% terdapat enzim papain dengan jumlah dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 187 terbanyak diantara fraksi-fraksi lainnya, maka untuk uji protein dan karakterisasi digunakan fraksi 80%. uji protein uji protein pada penelitian ini menggunakan metode bradford, uji ini didasarkan pada pengamatan bahwa absorbansi maksimum untuk larutan pewarna asam coomassie brilliant blue g-250 bergeser dari 465 nm ke 595 nm, ketika mengikat protein maka terjadi perubahan warna (bradford, 1976). panjang gelombang yang digunakan yaitu 595 nm, yang merupakan panjang gelombang maksimum. hal ini dikarenakan pada panjang gelombang 595 nm absorbansi sebanding dengan pewarna yang terikat pada protein. oleh karena itu, kadar protein pun menjadi sebanding dengan absorbansi jika diukur menggunakan kurva standar. dari persamaan garis yang diperoleh dari kurva standar, dilakukan penentuan kadar protein papain dari fraksi 80% dan hasil yang diperoleh yaitu kadar protein papain sebesar 53 mg/ml. karakterisasi papain penentuan ph optimum ph optimum enzim adalah ph pada saat aktivitas enzim mencapai nilai tertinggi. hasil penelitian aktivitas papain pada berbagai variasi ph disajikan pada tabel 4. tabel 4. hasil uji penentuan ph optimum papain pada kurva penentuan ph optimum ini terlihat bahwa aktivitas enzim mengalami kenaikan pada ph 5,0 hingga 8,0, kemudian turun pada ph 8,5 hingga 9,0. grafik tersebut menunjukkan bahwa nilai aktivitas tertinggi dicapai pada ph 8,0 yaitu sebesar 14,07031 x 10 5 u/g, sehingga ph 8,0 merupakan ph optimum untuk papain murni yang diisolasi dari getah buah pepaya jenis daun kipas. gambar 2. kurva ph optimum enzim papain dari getah pepaya jenis daun kipas nilai ph sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim. enzim merupakan protein yang tersusun atas residu-residu asam amino. perubahan ph menyebabkan perubahan muatan pada residu-residu asam amino, terutama yang menyusun pusat aktif enzim. hal ini sangat berpengaruh terhadap konformasi enzim, daya katalitik dan efisiensi pengikatan enzim-substrat (wirahadikusumah, 1981). aktivitas papain mencapai nilai tertinggi pada ph 8,0. pada ph optimum tersebut, enzim berada pada tingkat ionisasi yang paling sesuai untuk berikatan dengan substrat. konformasi enzim dalam bentuk yang sangat stabil, sehingga efektifitas pengikatan enzim-substrat tinggi (stryer, 1988). perubahan ph di sekitar ph optimum menyebabkan berubahnya muatan residu-residu asam amino, terutama yang menyusun pusat aktif enzim, dan juga muatan residu-residu asam amino penyusun substrat (kasein). hal ini menyebabkan turunnya efektifitas pengikatan enzim-substrat, sehingga perubahan ph disekitar ph 8,0 menyebabkan turunnya aktivitas enzim. perubahan ph yang terlalu jauh dari ph optimum menyebabkan enzim mengalami denaturasi, sehingga aktivitas yang dihasilkan sangat kecil. hal ini terjadi ketika papain dikarakterisasi pada ph 5,0 dan ph 9,0, aktivitas enzim tersebut sangat kecil karena terjadi perubahan pada konformasi struktur tersier akibat dari adanya protonasi pada asam amino tertentu. dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 188 penentuan suhu optimum suhu optimum adalah suhu pada saat aktivitas enzim mencapai nilai tertinggi. untuk menentukan suhu optimum papain, ph substrat dikondisikan ke ph 8,0 yang merupakan ph optimum dengan menambahkan buffer tris-hcl ph 8,0. hasil uji aktivitas papain pada berbagai variasi suhu disajikan pada gambar 3. gambar 3. kurva suhu optimum enzim papain dari getah pepaya jenis daun kipas pada gambar 3, terlihat bahwa aktivitas papain mengalami kenaikan seiring dengan peningkatan suhu dari 40 °c sampai 60 °c. aktivitas maksimum dicapai pada suhu 60 °c yaitu sebesar 14,39755 x 10 5 u/g. dengan demikian, suhu 60 °c merupakan suhu optimum bagi enzim papain. pemanasan di atas suhu 60 °c menyebabkan terjadinya perubahan konformasi enzim yang mengarah pada perubahan destruktif (denaturasi). ikatan-ikatan non-kovalen yang mempertahankan struktur sekunder dan tersier enzim terputus, sehingga terjadi kerusakan pada molekul enzim (sadikin, 2002). kerusakan inilah yangmengakibatkan turunnya aktivitas enzim, seperti terlihat pada gambar 3, dimana pada suhu 65 – 85 °c papain mengalami penurunan aktivitas. perkiraan massa molekul papain (metode sds-page) pemurnian enzim papain yang dilakukan menunjukkan hasil yang baik. hasil ini didukung oleh data hasil analisis sds-page seperti pada gambar 4. gambar 4. hasil sds-page ; m= marker ; 1= fraksi 20% ; 2= fraksi 40% ; 3= fraksi 60% ; 4= fraksi 80% hasil sds-page menunjukkan adanya pita pada tiap-tiap fraksi. fraksi 20% terdapat 4 pita, sedangkan fraksi 40%, 60% dan 80% terdapat masing-masing 3 pita. hasil perhitungan berat molekul tiap-tiap fraksi disajikan pada tabel 6. tabel 6. hasil perhitungan berat molekul sampel seperti yang dikemukakan oleh hasanah (2005) bahwa papain mempunyai massa molekul 21.000 dalton. hasil analisa dengan sds-page untuk fraksi 20%, 40%, 60% dan 80%, menunjukkan adanya enzim papain pada fraksi 80%, pada pita ke-3 dengan jarak migrasi 5,3 cm, dengan hasil perhitungan menunjukkan berat molekul sebesar 21,6 kda. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. enzim papain dapat diisolasi dari pepaya jenis daun kipas, dengan hasil pemurnian menunjukan aktivitas enzim papain tertinggi yaitu fraksi 80% dengan aktivitas spesifik sebesar 10,5797 x 10 5 u/g. 2. aktivitas enzim papain dari pepaya jenis daun kipas memiliki ph optimum 8,0 dan dominggus malle, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 182 189 1 189 suhu optimum 60°c, dengan kadar protein yang diperoleh dari fraksi 80% adalah 53 mg/ml dengan massa molekul dari hasil analisa sds – page adalah 21,6 kda. daftar pustaka bradford, m. m., 1976, a rapid and sensitive method for quantitation of proteinutilization, the principle of proteindye binding, anal. biochem, 72:248-254. da silva, j. a. t., z. rashid, d. t. nhut, d. sivakumar, a. gera, m. t. souza jr., dan p. f. tennant. 2007, papaya (carica papaya l.) biology andbiotechnology, tree and forest science and biotechnology 1 (1): 4773. kahar, z., 1995, pengaruh jenis substrat terhadap aktivitas proteolitik enzim papain amobil, laboratorium kimia universitas andalas. kalie, m. baga, 2002, bertanam pepaya, penebar swadaya, jakarta. sadikin, m., 2002, biokimia enzim, terbitan ke 1, widya medika, jakarta. sindumarta, h., dan natalia, d., 1999, catatan kuliah biokimia 1 : struktur dankatalir, jurusan kimia mipa, itb, bandung, hal 101. sudrajat, y., 2002, teknik penghilangan lapisan kapur pada teripang pasir menggunakan enzim papain, buletin teknik pertanian vol. 7 nomor 2. virdi, m. s. 2009. papain from papaya. science tech entrepreneur. wirahadikusumah, m., 1981, biokimia protein, enzim dan asam nukleat, terbitan ke 2, itb, bandung. stryer, l., 1988, biochemistry, 3rd ed., w. h. freeman and company, new york. ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 205 computational study natural color essence (dyes) as active material on organic solar cell with density functional theory (dft) studi komputasi zat warna (dyes) alami sebagai material aktif pada sel surya organik menggunakan teori fungsional kerapatan (density functional theory, dft) yusthinus t. male 1, *, i wayan sutapa 1 , olivia merion ranglalin 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract computational calculation has been done for anthocyanin, tocoferol and they derivatives. the computational calculation was conduct to know the compound potential of anthocyanin, tocoferol and they derivatives as active material on organic solar cell. computational calculation was done by used gaussian 03 for windows with ab inito alternative electron structure theory namely density functional theory (dft) with b3lyp method at basis set 6-31g (d). computational calculation obtains that the structure of anthocyanin, tocoferol and they derivatives were symmetrical. there were two compounds of anthocyanin (a1 and a5) and two compounds of tocoferol (t3 and t4) which more stable than the others compounds. the compounds had lowest energy gap were consist of a1= 0.12629 ev, a5= 0.12570 ev, t3= 0.19334 ev and t4= 0.19231 ev. the moment dipole from compound of anthocyanin, tocoferol and they derivatives had highest value, they were a1 and t1 while the total energy had lowest value they a2 and t1. the substituent methoxy and hydroxy were added the density load of c atom was substituted so it would increase the activity of the phenyl ring on anthocyanin and they derivatives, while substituent methyl and hydroxy were added the density load of c atom was substituted so it was increase the activity of the phenyl ring on tocoferol and they derivatives. for compounds of anthocyanin main orbital populations showed that there were load transfer only from middle chain (ether) and compounds of tocoferol main orbital populations showed that there was load transfer only from phenyl ring. the method of density functional b3lyp/6-31g(d) would be applied to structure prediction and electronic characteristic of anthocyanin, tocoferol compounds and they derivatives before synthetic. keywords: energy gap, dft, moment dipole, total energy, anthocyanin, tocoferol, charge density, orbital populations pendahuluan indonesia sendiri merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan menerima panas matahari yang lebih banyak daripada negara lain, sehingga mempunyai potensial yang sangat besar untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya. pemanfaatan radiasi matahari sebagai energi surya menggunakan sel surya. sel surya dalah suatu devais yang bisa mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan efek fotofoltaik. sel surya terbagi menjadi dua jenis yaitu sel surya anorganik dan sel surya organik. sel surya anorganik disebut juga dengan sel surya konversional silikon. terdapat tiga tipe dari sel surya organik, yaitu sel surya nanokristalin tio tersensitisasi dye, sel surya molekul organik dan sel surya polimer (dewan, 2006). penggunaan dyesensitisasi pada sel fotovoltaik disebut dyesensitized solar cell (dssc) (halme, 2002). dye (zat warna) adalah oligomer dan monomer yang menyerap pada panjang gelombang tampak dan memiliki gugus kromofor (petritsch, 2000). yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 206 ada dua jenis dye yaitu dye alami (natural dye) dan dye sintetik. dye alami lebih menguntungkan dibandingkan dye sintetik karena ketersediaan yang melimpah, murah dan tidak beracun. telah dilakukan beberapa penelitian untuk memperoleh dye yang unggul sebagai zat aktif pada sel surya organik namun penelitian – penelitian tersebut hanya menggunakan ekstrak kasar dari dye tanpa melakukan penentuan struktur dan pemurnian senyawa. salah satu penelitian untuk memperoleh dye unggul sebagai zat aktif pada sel surya organik dilakukan oleh maddu, dkk (2007) mengenai penggunaan ekstrak antosianin kol merah sebagai fotosensitiser pada sel surya tio2 nanokristal tersensitisasi dye yang menghasilkan tegangan rangkaian buka 500 mv, arus rangkaian pendek 5,6 µa dan 7,2 µa. maahury, (2012) telah melakukan penelitian tentang perhitungan komputasi potensi senyawa dye kurkumin dan senyawa analog kurkumin sebagai material aktif pada sel surya organik dengan teori fungsional kerapatan (dft) yang mendapati bahwa analog kurkumin 1,5-bis-(4-hidroksi-3,5dimetoksifenil)-1,4-pentadien-3-on memiliki celah energi terkecil yaitu 0.126 ev dan dengan metode yang digunakan dapat meramalkan struktur dan sifat elektronik dari kurkumin dan turunannya sebelum disintesis. antosianin merupakan pigmen pembawa warna merah keunguan pada buah-buahan, sayuran, dan tanaman bunga. antosianin merupakan senyawa flavonoid yang dapat melindungi sel dari ultraviolet. antosianin diketahui dapat mengobati berbagai penyakit berbahaya, seperti kanker, diabetes, dan serangan jantung. antosianin dari bunga hibiscus sabdariffa (malvaceae) telah digunakan secara efektif untuk melawan hipertensi dan gangguan hati. selain itu, juga punya efek antiradang, antibakteri, dan mencegah penyakit diabetes melitus. antosianin diyakini punya efek antioksidan sangat baik, karena dapat menghambat berbagai radikal bebas (marta, 2009). beberapa senyawa turunan antosianin yang aktif dan banyak ditemukan adalah sianidin, malvidin, delpinidin, pelargonidin, peonidin, dan petunidin. kimia komputasi dapat meramalkan potensi dan sifat bahan sebelum disintesis. kimia komputasi menunjukkan bahwa suatu sistem kimia dideskripsikan secara matematis menggunakan hukum-hukum fisika dan diselesaikan menggunakan komputer. kimia komputasi juga bermanfaat untuk meramalkan struktur, mekanisme dan energetika reaksi yang terjadi di laboratorium sehingga kimiawan dapat mendesain struktur dan meramalkan sifat suatu senyawa sebelum melakukan sintesis (male, 2009). dalam kimia komputasi terdapat dua prosedur pendekatan yaitu mekanika molekuler dan teori struktur elektron (male, 2009). mekanika molekuler merupakan sebuah metode empiris yang digunakan untuk menyatakan energi potensial dari molekul sebagai fungsi dari variable geometri. mekanika molekul menggunakan pendekatan mekanika klasik. metode mekanika molekul bermanfaat untuk pemodelan sistem makromolekul tetapi tidak dapat digunakan untuk mempelajari sistem yang melibatkan distribusi elektron seperti pembentukkan atau pemutusan ikatan serta proses eksitasi elektron (male, 2009), sedangkan untuk teori struktur elektron menggunakan pendekatan mekanika kuantum yang dibutuhkan untuk mempelajari patikel-partikel berukuran mikro seperti elektron, inti, atom dan molekul yang sifat dan kelakuannya tidak dapat dijelaskan dengan mekanika klasik. dalam mekanika kuantum, sistem digambarkan sebagai fungsi gelombang yang dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan schrödinger. terdapat dua metode dalam kimia kuantum, yaitu semiempiris dan ab initio (pranowo, 2001). metodologi perangkat penelitian perangkat penelitian yang digunakan untuk melakukan studi komputasi, terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak. perangkat keras penelitian ini menggunakan perangkat keras berupa satu buah komputer dengan spesifikasi: prosesor intel dual core 2 ghz, harddisk 180 gb, random access memory (ram) 1 gb, double data random (ddr) 2. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 207 perangkat lunak semua perangkat lunak yang digunakan pada penelitian ini berbasis windows yaitu windows xp. input struktur awal dan posisi atom dari seluruh senyawa masing-masing digambarkan menggunakan hyperchem versi 8.0. gaussview 3.07 digunakan sebagai viewer input sebelum perhitungan menggunakan gaussian 3.0 for windows tm gaussian 3.0 for windows tm digunakan untuk melakukan beberapa perhitungan yaitu optimasi geometri dan perhitungan frekuensi. gausssum 2.2 digunakan untuk melihat spektrum ir hasil perhitungan. metode komputasi perhitungan komputasi meenggunakan teori struktur elekron alternatif ab initio yaitu teori fungsional kerapatan (density functional theory, dft) dengan metode fungsional gabungan parameter tiga becke dan lee-yangparr (b3lyp). semua perhitungan menggunakan himpunan basis 6-31g(d). materi penelitian tabel 1. input struktur molekul senyawa dyes alami beserta turunannya prosedur penelitian untuk melakukan penelitian ini dibutuhkan struktur tiga dimensi dari dyes alami (antosianin dan tokoferol beserta turunannya) yang tepat dan benar. informasi struktur dari literatur dan situssitus internet tentang struktur antosianin dan tokoferol beserta turunannya kemudian digunakan sebagai acuan untuk membentuk model awal dari senyawa-senyawa tersebut. koordinat struktur awal dibuat dengan menggambarkan pada hyperchem versi 8.0 kemudian struktur dua dimensi menjadi tiga dimensi menggunakan salah satu perintah yaitu “add h and model build”. struktur dyes tersebut disimpan dalam bentuk file.hin. langkah selanjutnya yaitu struktur dyes tersebut kemudian dikonversikan dari file.hin ke file.mol. struktur yang telah dikonversikan kemudian diperbaiki strukturnya pada gaussview 03 dan disimpan koordinat kartesiannya ditempat terpisah. struktur tersebut disimpan di file.gjf dan kemudian dijadikan bahan masukan (input) pada gaussian 03 for windows tm dengan menentukan perhitungan yang akan digunakan yaitu metode teori fungsional kerapatan (density functional theory, dft) dengan fungsional gabungan parameter tiga becke dan lee-yang-parr (b3lyp). semua perhitungan menggunakan bassis set 3-21g* dan 6-31g(d) dan memasukan multiplisitas. input disimpan dalam format file.chk. optimasi geometri pada penelitian ini digunakan metode mekanika kuantum teori fungsional kerapatan (density functional theory, dft) dengan yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 208 fungsional gabungan parameter tiga becke dan lee-parr (b3lyp). semua perhitungan menggunakan bassis set 3-21g* dan 6-31g(d). optimasi geometri dilakukan untuk semua senyawa sebagai materi dalam penelitian ini. optimasi geometri dilakukan dengan bahan yang telah dipersiapkan sebelumnya pada gaussview 03 dan dijalankan. setiap struktur disimpan sebelum optimasi maupun setelah optimasi. optimasi geometri dilakukan hingga diperoleh struktur dengan energi paling rendah. kondisi ini ditandai dengan tidak ditemukannya frekuensi bernilai imajiner pada hasil perhitungan. setelah perhitungan selesai dilakukan maka akan diperoleh output yang berisi beberapa informasi yaitu geometri dan sifat elektronik seperti muatan atom, momen dipol, energi, energi homo-lumo dan energi komponen orbital molekul terdepan untuk masing-masing senyawa. untuk energi homo-lumo dapat digunakan untuk menghitung selisih energi homo-lumo yang disebut juga celah energi atau band gap untuk setiap senyawa tersebut. untuk energi komponen orbital molekul terdepan dapat digunakan untuk menghitung populasi orbital untuk setiap senyawa. hasil dan pembahasan optimasi geomerti antosianin dan turunannya optimasi geometri dilakukan terhadap sudut ikatan dan sudut dihedral serta panjang ikatan (å). sudut ikatan adalah sudut antara sepasang atom yang saling terikat dengan atom lain. sudut dihedral adalah sudut antara suatu atom dengan bidang yang dibentuk oleh tiga atom, sedangkan panjang ikatan adalah jarak antara dua inti atom yang saling terikat. (male, 2009). antosianin memiliki struktur dasar yang samayaitu dibangun oleh dua cincin fenil yang dijembatani oleh rantai tengah eter. struktur antosianin dasar beserta penomoran atom dari program chem draw dan penomoran atom dari program gaussian 03 sebagai patokan untuk membandingkan nilai parameter struktur dasar dengan molekul tersubtitusi disajikan pada gambar 1. gambar 1. (a) struktur antosianin dasar beserta penomoran atom berdasarkan chem drawdan (b) contoh salah satu struktur 3d turunan antosianin teroptimasi serta penomorannya. antosianin dan turunannya dioptimasi menggunakan metode teori fungsional kerapatan menghasilkan informasi struktur stabil (dengan energi teroptimasi) dengan parameter geometri berupa panjang ikatan (å), sudut ikatan ( o ) dan sudut dihedral ( o ) ikatan dan sudut dihedral untuk cincin fenil i dan ii antosianin dasar dan turunannya memiliki nilai yang hampir sama. adanya subtitusi gugus metoksi dan hidroksi pada cincin fenil memperpanjang panjang ikatan r10,11 terhadap molekul a1 dan a4, panjang ikatan r10,11 terhadap molekul a2 dan a6, panjang ikatan r12,13 terhadap molekul a6 dan panjang ikatan r13,14 terhadap molekul a1, a2, a5 dan a4 dengan nilai sebesar 0,01 , memperkecil sudut ikatan < 12, 13,14 tetapi tidak mempengaruhi sudut dihedral. untuk rantai tengah eter, subtitusi gugus-gugus tersebut tidak mempengaruhi panjang ikatan, sudut ikatan maupun sudut dihedralnya. sifat elektronik antosianin dan turunannya sifat elektronik antara lain muatan atom, momen dipol, energi dan celah energi. sifat elektonik antosianin dan turunannya untuk muatan atom ditampilkan dalam tabel 2. berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa muatan atom c berubah seiring dengan tersubtitusinya gugus. untuk gugus hidroksi dan metoksi yang tersubtitusi menyebabkan muatan atom c berubah menjadi positif. untuk gugus hidroksi dan metoksi, atom c pada cincin fenil mengikat atom o. untuk atom-atom c yang mengikat atom o dari gugus hidroksi dan metoksi cenderung bermuatan lebih positif, karena efek induksi muatan parsial negatif dari atom o yang diikatnya menyebabkan atom c mengalami interaksi elektrostatik menjadi lebih positif (pustpitasari, 2005). yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 209 tabel 2. muatan atom antosianin dan turunannya. tabel 3. momen dipol antosianin dan turunannya dari tabel 3, menunjukan bahwa adanya variasi nilai momen dipol untuk masing-masing senyawa karena subtituen yang tersubtitusi berbeda. momen dipol merupakan suatu ukuran yang dipakai untuk mengukur seberapa polarnya suatu molekul. polaritas ditentukan oleh elektronegativitas atom-atom yang terlibat. dengan adanya atom oksigen pada gugus substituen, yakni gugus hidroksi dan metoksi menjadikan senyawa a1 memiliki nilai momen dipol yang lebih besar dari yang lainnya. hal ini disebabkan karena atom oksigen yang dimiliki gugus substituen memiliki kemampuan untuk menarik elektron (elektronegativitas) yang lebih besar dibandingkan atom karbon. dengan demikian, akan terbentuk ikatan yang terpolarisasikan ketika atom oksigen berikatan dengan atom karbon. nilai polaritas keseluruhan diperoleh dari polaritas ikatan dan pengaruh elektron bebas dalam molekul. atom oksigen memiliki pasangan elektron bebas yang dapat memperbesar momen dipol. tabel 4. energi total antosianin dan turunannya berdasarkan tabel 4, energi total teroptimasi dengan perhitungan pada metode dft memiliki energi terendah pada senyawa a2 yaitu sebesar -3.1089 kj/mol. hal ini disebabkan karena senyawa a2 memiliki gugus hidroksi dan metoksi yang lebih banyak dibanding dengan senyawa turunan yang lain sehingga energi yang dibutuhkan untuk mengoptimasi senyawa ini lebih kecil dibanding senyawa turunan lainnya. tabel 5. selisih energi (homo-lumo) antosianin dan turunannya nilai celah energi untuk masing-masing senyawa berbeda sesuai dengan data pada tabel 5. bintarti (2008) mengatakan selisih energi homo-lumo yang lebih rendah akan mencerminkan kemudahan dalam proses terjadinya eksitasi elektron sehingga sifat kepekaanya terhadap cahaya (fotosensitivitas) akan cenderung lebih kuat. dari tabel 9, dapat dilihat bahwa senyawa a5 memiliki selisih energi homo-lumo yang terkecil yaitu sebesar 0.12570 ev. ini menunjukkan bahwa senyawa a5 sangat berpotensi sebagai sun protection factor (spf). hal ini dapat disebabkan karena adanya substituen. substituen yang cenderung sebagai penarik atau pun sebagai yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 210 pendorong elektron akan menyebabkan perubahan terhadap energi homo-lumo. frekuensi infra merah (ir) struktur antosianin dan turunannya. hasil perhitungan frekuensi dianalisis untuk mengetahui pergeseran bilangan gelombang akibat adanya substitusi gugus-gugus yang terjadi pada struktur xanton. untuk melihat hubungan serapan ir dengan intensitasnya maka dilakukan perhitungan frekuensi vibrasi. untuk setiap tipe ikatan yang berbeda akan memiliki sifat frekuensi yang berbeda pula, sehingga dapat dipakai untuk menentukan jenis ikatan, struktur maupun gugus fungsi. analisis infra merah untuk keseluruhan struktur antosianin menunjukkan adanya serapan kuat c-o (eter) pada 1286,75 cm -1 kecuali untuk senyawa a1 dan a4. untuk senyawa a1 dan a4, serapan kuat c-o (alkohol) pada 1180,72 cm -1 . spektra infra merah dari senyawa a1 akan ditampilkan pada gambar 2. gambar 2. spektra infra merah senyawa a1 optimasi geomerti tokoferol dan turunannya optimasi geometri dilakukan terhadap sudut ikatan dan sudut dihedral serta panjang ikatan sudut ikatan adalah sudut antara sepasang atom yang saling terikat dengan atom lain. sudut dihedral adalah sudut antara suatu atom dengan bidang yang dibentuk oleh tiga atom sedangkan panjang ikatan adalah jarak antara dua inti atom yang saling terikat (male, 2009). struktur tokoferol dasar beserta penomoran atom dari program chem draw dan penomoran atom dari program gaussian 03 sebagai patokan untuk membandingkan nilai parameter struktur dasar dengan molekul tersubtitusi disajikan pada gambar 3. gambar 3. (a) struktur tokoferol dasar beserta penomoran atom berdasarkan chem draw dan (b) contoh salah satu struktur 3d turunan tokoferol teroptimasi serta penomorannya sifat elektronik tokoferol dan turunannya sifat elektronik antara lain muatan atom, momen dipol, energi dan celah energi. sifat elektonik tokoferol dan turunannya untuk muatan atom ditampilkan dalam tabel 6. tabel 6. muatan atom tokoferol dan turunannya yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 211 dari tabel 6, memperlihatkan bahwa nilai muatan atom untuk struktur tokoferol dan turunannya memiliki nilai yang berbeda sehingga sifat elektronik struktur tersebut tidak identik. ini disebabkan karena adanya penambahan substituen pada cincin fenil, sehingga terjadi perbedaan sifat elektronik masing-masing senyawa. tabel 7. momen dipol tokoferol dan turunannya dari tabel 7, memperlihatkan bahwa nilai momen dipol menunjukkan angka tertinggi terdapat pada senyawa t1. ini menunjukkan nilai kepolaran semakin tinggi jika dibandingkan dengan tiga senyawa lainnya. tabel 8. energi total tokoferol dan turunannya dari tabel 8, menunjukkan nilai energi total terkecil terdapat pada senyawa t1 yaitu -3.3674 kj/mol. hal ini disebabkan karena senyawa t1 memiliki gugus metil yang lebih banyak dibanding dengan senyawa yang lain sehingga energi yang dibutuhkan untuk mengoptimasi senyawa ini lebih kecil dibanding senyawa lainnya. ini menunjukkan bahwa senyawa yang paling stabil adalah senyawa t1 jika dibandingkan dengan tiga senyawa lainnya. tabel 9. selisih energi (homo-lumo) tokoferol dan turunannya dari tabel 9, menunjukkan bahwa celah energi terkecil terdapat pada senyawa t4 yaitu sebesar 0.19231 ev jika dibandingkan dengan tiga senyawa lainnya. ini menunjukkan bahwa senyawa t4 sangat berpotensi sebagai spf. frekuensi infra merah (ir) struktur tokoferol dan turunannya hasil perhitungan frekuensi dianalisis untuk mengetahui pergeseran bilangan gelombang akibat subtitusi gugus-gugus pada struktur tokoferol dasar dan turunannya. analisis infra merah untuk keseluruhan struktur tokoferol menunjukkan adanya serapan kuat c-h (aromatik) pada 3034,94 cm -1 kecuali untuk senyawa t0. untuk senyawa t0, serapan kuat ch2 pada 1285,9 cm -1 . spektra infra merah dari senyawa t1 akan ditampilkan pada gambar 4. gambar 4. spektra infra merah senyawa t1 kesimpulan hasil perhitungan komputasi terhadap senyawa dyes alami menunjukkan bahwa: 1. dyes alami yang dihasilkan sebagai material aktif sel surya organik terbaik yaitu senyawa peonidin (a5) dari antosianin dan senyawa delta-tokoferol (t4) dari tokoferol, karena memiliki celah energi terkecil yaitu 0.12570 dan 0.19231 ev. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 205 212 1 212 2. metode teori fungsional kerapatan b3lyp/631g(d) dapat diaplikasikan untuk meramalkan struktur dan sifat elektronik dari antosianin, tokoferol dan turunannya sebelum disintesis. daftar pustaka dewan, r. 2006. organic solar cell. organic electronics course presentation: international university bremen. halme, j., 2002. dye sensitized nanostructured and organic photovoltaic cells : technical review and preeliminary test. master thesis of helsinki university of technology. maahury, m. f., 2012. perhitungan komputasi potensi senyawa dye kurkumin dan senyawa analog kurkumin sebagai material aktif pada sel surya organik dengan teori fungsional kerapatan (dft). skripsi universitas pattimura : ambon. maddu, a., zuhri, m. dan irmansyah, 2007. penggunaan ekstrak antosianin kol merah sebagai fotosensitiser pada sel surya tio nanokristal tersensitisasi dye. makara teknologi, vol. 11 no. 2. male, y. t., 2009. studi komputasi senyawa kompleks transisi spin besi (ii). disertasi institut teknologi bandung : bandung. marta, 2009. pewarna makanan antosianin, (online), http://marta1229.wordpress.com/2009/06/01/ pewarna-makanan-antosianin/, diakses tanggal 23 mei 2012. petritsch, k., 2000. organic solar cell architectures. cambridge and graz university : austria. pranowo, h. d., 2008. molecular modeling and simulation. chemistry department, gajah mada university : yogyakarta. ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 204 197 adsorption of cd metal using active carbon from cacao shell (theobroma cacao) adsorpsi logam cd menggunakan arang aktif dari kulit buah coklat (theobroma cacao) serly j. sekewael 1, *, jolantje latupeirissa 1 , rosalina johannes 1 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author, e-mail: serlys@fmipa@unpatti.ac.id received: october 2014 published: january 2015 abstract the study on production of activated carbon from cacao shell (theobroma cacao) was conducted by added 4 m hcl as activating agent. the results show that acidity of solid carbon active before activated with adsorption weight is 3.2865x10 -3 mol.g -1 and after activated is 3.5052x10 -3 mol.g -1 . active carbon result is used for the application at adsorption cd with some variantion, that are optimum concentration 20 ppm and optimum time 80 min. cd adsorption from active carbon was analyzed by aas. the results are coeficient correlation (r 2 ) 100 % followed freundlich isotherm with kf value was 9.994 and n was -0.982. keywords: activation carbon, adsorption of cd metal, freundlich isotherm. pendahuluan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kegiatan pembangunan, maka lingkungan menerima dampak negatif dari kegiatan-kegiatan tersebut. suhendrayatna (2001) menyebut bahwa proses industri dan urbanisasi memegang peranan penting terhadap kontaminasi lingkungan. salah satu dampak negatif yakni pencemaran air oleh senyawa logam berat. senyawa logam berat yang umumnya mencemari parairan yakni persenyawaan pb, cd, hg, cr, fe, dan cu. kadmium merupakan logam berat yang berbahaya karena unsur ini memiliki kecenderungan merusak pembuluh darah dan otot polos. logam ini memiliki tendensi untuk bioakumulasi. keracunan disebabkan oleh logam ini dapat bersifat akut dan kronis. logam cd merupakan logam asin dalam tubuh dan tidak dibutuhkan dalam proses metabolisme. jika teradsorpsi oleh tubuh, dapat menggumpal di dalam ginjal dan hati. akibatnya dapat terjadi hipertensi, gagal jantung, kerusakan ginjal, pelunakan, dan kerapuhan tulang punggung bahkan kematian (darmono, 2001). beberapa teknik pengolahan senyawa logam berat mempertimbangkan kemudahan sistem aplikasi di lapangan dan sumber daya yang melimpah. arang aktif memiliki ruang pori sangat banyak dengan ukuran tertentu. pori-pori ini dapat menangkap partikel sangat halus terutama pada logam berat. penyerapan menggunakan arang aktif adalah efektif untuk menghilangkan logam berat. ion logam berat ditarik oleh arang aktif dan melekat pada permukaan dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia. arang aktif merupakan suatu bahan kimia yang pada saat ini banyak digunakan dalam industri yang menggunakan proses adsorpsi dan purifikasi. dari sumber data pasar yang dapat dikumpulkan, diperoleh bahwa kebutuhan bahan ini di indonesia masih mengandalkan produk impor, meskipun konsumsinya sudah dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri. arang aktif yang diproduksi kebanyakan berasal dari bahan baku arang tempurung kelapa, sedangkan dari bahan baku yang lain seperti arang kayu dan serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 198 limbah pangan relatif masih kurang (kurniadi dan hasani, 1996). arang aktif adalah suatu bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon. arang aktif merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui aktivasi dengan menggunakan gas co2, uap air, atau bahan-bahan kimia sehingga poriporinya terbuka, dengan demikian daya adsorpsinya menjadi lebih tinggi terhadap zat warna dan bau. arang aktif mengandung 5 – 15 persen air, 2 – 3 persen abu, dan sisanya terdiri dari karbon. di indonesia, kulit coklat (theobroma cacao) merupakan hasil samping pengolahan biji coklat. limbah pangan ini belum dimanfaatkan secara optimal. dalam hal ini sifat dari coklat yang berasal dari buah cacao mengandung zat bioaktif berupa antioksidan yang baik dalam tubuh. antioksidan dipercaya dapat meningkatkan kesehatan jantung yang pada akhirnya berdampak pada peredaran darah ke seluruh tubuh. coklat mempunyai manfaat yang baik bagi tubuh. banyak produsen coklat yang menghilangkan kandungn flavanol karena rasa pahit. pada flavanol justru merupakan kandungan yang dapat memberikan manfaat baik bagi tubuh. melihat kesamaan tempurung kulit buah coklat terhadap tempurung kelapa dan tempurung kemiri, maka tempurung kulit buah coklat diperkirakan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang aktif. dalam hal ini sifat kimianya menyerupai tempurung kelapa, teksturnya keras, dan diduga memiliki kandungan bahan kayu lignin, selulosa, dan hemiselulosa. berdasarkan sifat ini, kulit coklat berpotensi besar menjadi bahan dasar pembuatan arang aktif. arang aktif sangat dperlukan karena dapat mengabsorpsi bau, warna, gas, dan logam. pada umumnya arang aktif digunakan sebagai bahan penyerap dan penjernih dan juga bisa dipakai dalam industri. berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada kulit buah coklat dengan judul “adsorpsi logam cd menggunakan arang aktif dari kulit buah coklat (theobroma cacao)“. metodologi bahan kulit buah coklat, akuades, akuabides, cdso4.8h2o (e. merck), hcl p.a (e. merck), kertas saring whattman no. 42 dan nh3 p.a (e. merck). alat spektrofotometer serapan atom (ssa), desikator, penggerus, neraca analitik ohaus, ayakan fatonas 100 mesh, shaker (sha-c, constant temperature oscillator), oven (memmert), labu erlenmeyer, corong, gelas ukur, labu takar, pipet tetes dan pipet volume indikator ph, ph meter dan cawan porselen. prosedur kerja pembuatan arang dari kulit coklat kulit buah coklat dicuci hingga bersih, dan dikeringkan di bawah sinar matahari selanjutnya kulit buah coklat yang telah bersih dan kering ditempatkan dalam tanur pada suhu 350 o c, dipanaskan selama 2 jam sehingga menjadi arang. setelah itu didinginkan pada suhu ruang kemudian dihaluskan dan diayak. uji keasaman metode yang digunakan untuk menentukan keasaman permukaan dari arang adalah metode gravimetri. arang diambil sebanyak 0,2 g dimasukan ke dalam cawan dan diletakkan di dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat amonia. desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. berat arang yang telah mengadsorpsi basa diukur untuk mendapatkan mol basa yang teradsorpsi pada arang dengan rumus: berat teradsorpsi = 1 12 23 lg )( )( mo bmww ww dimana : w1 = berat cawan w2 = berat cawan dan cuplikan w3 = berat cawan dan cuplikan yang telah mengadsorpsi amonia bm= berat molekul amonia proses aktivasi arang kulit buah coklat serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 199 sebanyak 45 g arang direndam di dalam reagen aktivator hcl 4 m selama 10 jam, selanjutnya disaring dan dicuci dengan aquades. arang aktif yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 110 o c selama 3 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator. untuk menentukan keasaman permukaan dari arang aktif digunakan metode gravimetri. arang aktif diambil sebanyak 0,2 g dimasukan ke dalam cawan porselen dan diletakkan di dalam desikator yang di dalamnya terdapat adsorbat amonia. desikator ditutup selama 24 jam, kemudian dikeluarkan dan dibiarkan selama 2 jam pada tempat terbuka untuk melepaskan basa yang teradsorpsi fisik. proses adsorpsi logam cd pembuatan larutan standar cd larutan induk cd dibuat dengan menimbang 0,6846 g cdso4. 8 h2o ke dalam bekker gelas kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 1000 ml, setelah itu ditambahkan akuabides sampai tanda batas. diperoleh larutan induk cd dengan konsentrasi 1000 ppm, selanjutnya diambil 10 ml dan diencerkan dalam labu takar 100 ml dengan akuabides sampai tanda batas sehingga didapatkan cd 100 ppm. dari 100 ppm diambil masing-masing 5 ml, 10 ml, 15 ml, 20 ml diencerkan dalam labu takar sampai 100 ml dengan akuabides sehingga didapatkan sederet larutan standar 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm. variasi konsentrasi cd sebanyak 5 buah erlenmeyer 100 ml disiapkan dan dimasukan arang aktif masingmasing sebanyak 0,5 g, kemudian ditambahkan masing-masing 25 ml larutan cd dengan konsentrasi 5, 10, 15, 20 ppm. selanjutnya larutan dikocok menggunakan shaker selama 2 jam dan didiamkan selama 2 menit kemudian disaring. filtrat kemudian dianalisis kadar cd menggunkan ssa. variasi waktu optimum adsorpsi arang aktif sebanyak 0,5 g dimasukan ke dalam 5 buah erlenmeyer yang berisi larutan cd 20 ppm selanjutnya larutan dikocok menggunakan shaker dengan variasi waktu kontak masing-masing 20, 40, 60, 80, 100 menit. setelah itu disaring dengan kertas saring dan filtratnya diukur absorbansinya dengan ssa. hasil dan pembahasan preparasi arang dari kulit buah coklat (theobroma cacao) kulit buah coklat sebelum dikarakterisasi sifat kimia dan fisiknya sebagai adsorben, terlebih dahulu dilakukan preparasi yaitu dicuci dengan air bersih untuk meminimalisasi komponen-komponen pengotor seperti tanah dan pasir yang melekat. setelah itu kulit buah coklat dijemur di bawah sinar matahari supaya mengurangi kadar air yang masih menempel untuk digunakan pada tahap selanjutnya. kulit buah coklat yang telah kering diarangkan di dalam tanur pada suhu 350 o c selama 2 jam. pada waktu pengarangan, diusahakan kulit buah coklat tidak menjadi abu. arang kulit buah coklat yang diperoleh kemudian didinginkan pada suhu ruang supaya arang yang dihasilkan dingin secara merata. proses aktivasi arang aktif dan penentuan keasaman padatan tahap aktivasi arang aktif dari kulit buah cokelat ini dilakukan dengan menggunakan reagen aktivator hcl. pemilihan aktivator hcl bertujuan untuk mempelajari efektifitas aktivator dalam proses adsorpsi arang aktif. molekulmolekul larutan pengaktif akan teradsorpsi oleh bahan yang akan melarutkan pengotor-pengotor pori-pori arang seperti mineral anorganik. dengan perlakuan ini didapatkan volume poripori arang aktif yang terbentuk menjadi lebih besar sehingga didapatkan kualitas arang aktif yang baik sebagai adsorben (ilyas dkk., 2007). keasaman padatan dapat dinyatakan sebagai kekuatan asam dan situs asam. penentuan keasaman arang aktif dilakukan dengan metode gravimetri melalui proses adsorpsi. keasaman arang aktif sebanding dengan banyaknya uap amoniak yang teradsorpsi oleh arang aktif, di mana proses adsorpsinya dengan memanfaatkan keadaan vakum pada desikator agar tidak ada basa lain serta uap air yang teradsoprsi kecuali amoniak. pada waktu 2 jam yang dipakai sebagai uji keasaman yaitu untuk melepaskan asam yang teradsorpsi sehingga arang aktif yang telah mengadsorpsi asam diukur untuk mendapatkan serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 200 mol asam yang teradsorpsi oleh arang aktif. adapun penentuan keasaman padatan arang sebelum dan sesudah diaktivasi dapat ditunjukan pada tabel 1. tabel 1. penentuan keasaman padatan arang sebelum dan sesudah diaktivasi sampel cawan kosong (w1) g cawan + sampel (w2) g cawan + sampel telah teradsorpsi (w3) g berat teradsorpsi (10 -3 mol/g) arang sebelum diaktivasi 8,5426 8,7538 8,7656 3,2865 arang sesudah diaktivasi 8,2195 8,4187 8,5374 3,5052 tabel 1, menunjukkan bahwa berat teradsorpsi arang sebelum diaktivasi lebih kecil (4,0539.10 -3 mol.g -1 ) jika dibandingkan dengan arang sesudah diaktivasi (5,2134.10 -3 mol.g -1 ). hal ini membuktikan bahwa pada proses aktivasi arang akan menyebabkan kemampuan penjerapannya meningkat dibandingkan dengan arang sebelum diaktivasi. proses aktivasi akan menyebabkan zat pengotor yang menyumbat pori-pori arang akan hilang sehingga jumlah pori-pori arang aktif semakin besar. penentuan keasaman permukaan adsorben bertujuan untuk mengetahui jumlah mol situs asam yang terikat pada adsorben tiap gramnya. keasaman padatan harus ditentukan untuk mengetahui kemampuan adsorpsi arang aktif yang dilakukan dengan metode gravimetri. rusman (1999) menyatakan bahwa jumlah asam dari suatu padatan dapat diperoleh dengan cara mengukur jumlah basa yang teradsorpsi secara kimia dalam fase gas. basa yang digunakan adalah nh3, piridin, dan pirol yang juga terdapat situs asam dengan kekuatan adsorpsi yang proporsional dengan kekuatan asam. yang digunakan adalah nh3 dan terlihat jelas bahwa berat nh3 semakin bertambah, hal ini disebabkan karena bertambah luasnya permukaan arang akibat proses aktivasi sehingga memungkinkan lebih banyak adsorbat amoniak yang teradsorpsi. adsorpsi logam cd oleh arang aktif hasil penjerapan logam cd oleh arang aktif dengan variasi konsentrasi seperti pada tabel 2. tabel 2. penjerapan logam cd oleh 0,5 g arang aktif dengan variasi konsentrasi co (ppm) ce (ppm) co-ce (ppm) 5 1,1571 3,8429 10 2,1876 7,8124 15 2,9087 12,0913 20 3,2430 16,7570 ket: co : konsentrasi ion logam cd 2+ sebelum proses penjerapan dengan arang aktif ce : konsentrasi ion logam cd 2+ setelah proses penjerapan dengan arang aktif co-ce : konsentrasi ion logam cd 2+ yang terjerap oleh arang aktif pada tabel 2 terlihat bahwa pada berat absorben 0,5 g mampu menyerap konsentrasi logam cd sebesar 3,8429 ppm. berbeda dengan berat absorben pada konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm. makin tinggi konsentrasi maka serapan adsorpsinya makin besar, maka terlihat bahwa konsentrasi yang terserap semakin tinggi pada konsentrasi 20 ppm. hasil penjerapan logam cd oleh arang aktif dengan variasi waktu 30 menit, 40 menit, 60 menit dan 80 menit pada konsentrasi 20 ppm seperti pada tabel 3. tabel 3. penjerapan logam cd oleh 0,5 g arang aktif dengan variasi waktu waktu (menit) ce (ppm) co-ce (ppm) 20 10,0522 9,9478 40 10,0333 9,9667 60 10,0965 9,9035 80 9,8518 10,1482 berdasarkan hasil pengukuran absorbansi logam cd pada variasi waktu optimum adsorpsi 20 menit, 40 menit, 60 menit, 80 menit dengan konsentrasi awal logam cd 20 ppm, diperoleh hasil pada tabel 3. dari hasil tabel tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi waktu dari 20 menit, 40 menit, dan 60 menit di shaker semakin besar konsentrasi arang aktif yang teradsorpsi. namun pada waktu 80 menit serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 201 konsentrasi arang aktif yang teradsorpsi semakin kecil. penurunan konsentrasi yang teradsorpsi disebabkan karena telah terjadi kesetimbangan antara logam cd dengan arang aktif. berdasarkan data pada table 3 waktu kontak optimum penyerapan adalah pada waktu kontak 80 menit.karena pada kisaran waktu tersebut terjadi kesetimbangan dan hasil penjerapan logam cd pada arang aktif sangat maksimal. adsorpsi logam cd dapat dijelaskan dengan dua persamaan isoterm adsorpsi yaitu persamaan isoterm adsorpsi langmuir dan freundlich. kedua persamaan ini sering dipakai untuk menjelaskan proses adsorpsi pada permukaan zat padat. isoterm langmuir hanya berlaku bagi penjerapan lapisan tunggal pada permukaan adsorben yang bersifat homogen, sedangkan pada isoterm freundlich hanya dapat diterapkan pada permukaan adsorben yang bersifat heterogen dan biasanya berlaku untuk penjerapan cairan pada permukaan padatan.untuk menentukan apakah adsorpsi logam cd mengikuti isoterm langmuir atau mengikuti freundlich dibuat kurva isoterm langmuir berdasarkan hubungan ce/(x/m) vs ce sedangkan isoterm freundlich berdasarkan hubungan ln (x/m) vs ln ce. hasil adsorpsi logam cd pada variasi konsentrasi dan waktu oleh arang aktif serta parameter-parameter untuk isoterm langmuir dan freundlich dapat terlihat pada tabel 4 dan 5. adsorpsi logam cd oleh arang aktif dilakukan melalui variasi konsentrasi dan waktu. berdasarkan parameter-parameter adsorpsi pada tabel 5 dan 6 maka dapat dilihat bahwa nilai adsorpsi terbaik pada variasi konsentrasi yaitu sebesar 83,78% pada variasi konsentrasi 20 ppm dan untuk variasi waktu nilai adsorpsi terbaik diperoleh pada variasi waktu 80 menit sebesar 50,74%. berdasarkan tabel 4 dan 5, maka dapat dibuat kurva isoterm langmuir dan kurva isoterm freundlich dari adsorpsi logam cd oleh arang aktif seperti pada gambar 1, 2, 3, dan 4. tabel 4. parameter isoterm langmuir dan freundlich pada variasi konsentrasi co(ppm) ce(ppm) co-ce(ppm) q (%) (x/m) ce/(x/m) ln ce ln (x/m) 5 1,1571 3,8429 76,86 0,3843 3,0109 0,1459 -0,9563 10 2,1876 7,8124 78,12 0,7812 2,8003 0,7828 -0,2469 15 2,9087 12,0913 80,61 1,2091 2,4057 1,0677 0,1899 20 3,2430 16,7570 83,78 1,6757 1,9353 1,1765 0,5162 tabel 5. parameter isoterm langmuir dan freundlich pada variasi waktu (30 menit, 40 menit, 60 menit dan 80 menit) co(ppm) ce(ppm) co-ce(ppm) q (%) (x/m) ce/(x/m) ln ce ln (x/m) 20 10,0522 9,9478 49,74 0,9948 10,1047 2,3078 -0,0052 20 10,0333 9,9667 49,83 0,9967 10,0665 2,3059 -0,0033 20 10,0965 9,9035 49,52 0,9906 10,1923 2,3122 -0,0094 20 9,8518 10,1482 50,74 1,0148 9,7081 2,2876 0,0147 ket: co : konsentrasi cd sebelumadsorpsi ce : konsentrasi cd setelah adsorpsi co-ce : konsentrasi cd yang teradsorpsi oleh arang aktif x/m : jumlah mol logam cd yang teradsorpsi oleh arang aktif q : persentase penjerapan arang aktif terhadap logam cd dimana : x/m = x v nilai q diperoleh berdasarkan persamaan : q = x 100% serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 202 gambar 1. kurva isoterm langmuir ce vs ce/(x/m) berdasarkan variasi konsentrasi gambar 2. kurva isoterm freunlich ln ce vs ln x/m berdasarkan variasi konsentrasi gambar 3. kurva isoterm langmuir ce vs ce/(x/m) berdasarkan variasi waktu gambar 4. kurva isoterm freundlich ln ce vs ln x/m berdasarkan variasi waktu dengan membandingkan koefisien korelasi (r 2 ), maka kecenderungan adsorpsi arang aktif terhadap logam cd dapat ditentukan berdasarkan linieritas yang ada. kecenderungan adsorpsi logam cd adalah mengikuti isoterm freundlich karena permukaan arang aktif yang bersifat heterogen. berdasarkan kurva isoterm adsorpsi langmuir dan freundlich bisa ditentukan isoterm adsorpsi yang sesuai untuk adsorpsi logam cd oleh arang aktif dengan persamaan garis dan koefisien korelasi (r 2 ) seperti terlihat pada tabel 6. tabel 6. persamaan isoterm langmuir dan freundlich parameter variasi isoterm adsorpsi persamaan garis r 2 (%) konsentrasi langmuir freundlich y = -1.810x + 6.969 y = 1.358x 1.202 0,863 0,973 waktu langmuir freundlich y = 1.978x 9.781 y = -1.018x + 2.302 1 1 dari data pada tabel 6, pada variasi waktu untuk isoterm langmuir dan freundlich memiliki nilai koefisien korelasi (r 2 ) sebesar 100%. karena permukaan arang aktif yang bersifat heterogen maka cenderung mengikuti isoterm freundlich. jadi isoterm freundlich yang diambil pada variasi waktu dalam adsorpsi logam cd menggunakan arang aktif dari kulit buah coklat dengan nilai koefisien korelasi (r 2 ) y = -1.8106x + 6.9694 r² = 0.8632 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 1 2 3 4 c e /( x /m ) ce (ppm) y = 1.3589x 1.2022 r² = 0.9738 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0 0.5 1 1.5 ln ( x /m ) ln ce y = 1.9783x 9.7817 r² = 1 9.6 9.7 9.8 9.9 10 10.1 10.2 10.3 9.8 9.9 10 10.1 10.2 c e /( x /m ) ce y = -1.0187x + 2.3026 r² = 1 2.285 2.29 2.295 2.3 2.305 2.31 2.315 -0.02 -0.01 0 0.01 0.02 ln c e ln (x/m) serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 203 100% dengan persamaan garis y = -1.018x + 2.302. menurut lynam, dkk., (1995) mengatakan bahwa isoterm langmuir hanya berlaku bagi adsorpsi lapisan tunggal pada permukaan adsorben yang bersifat homogen, sedangkan isoterm freundlich hanya dapat diterapkan pada permukaan adsorben yang bersifat heterogen. dengan demikian dapat dikatakan bahwa adsorpsi logam cd dengan arang aktif dengan memvariasi konsentrasi dan waktu yang memiliki nilai koefisien korelasi (r 2 ) terbesar adalah dengan memvariasikan waktu. berdasarkan gambar 4, maka dapat diperoleh nilai 1/n yang menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi adsorpsi sebesar 1,018 mg/g sehingga untuk nilai n = -0,982. tetapan kf berhubungan dengan kapasitas adsorpsi, di mana pada penelitian ini diperoleh nilai kf sebesar 9,994 mg/g. hal ini menunjukkan bahwa kemampuan adsorpsi logam cd oleh arang aktif sangat baik karena nilainya lebih dari 1. menurut lynam dkk (1995), jika kf> 1 maka reaksi akan bergeser ke kanan, sebaliknya jika kf< 1 maka reaksi akan bergeser ke kiri. sehingga dapat diasumsikan bahwa kemampuan adsorpsi logam cd oleh arang aktif dari kulit coklat sangat baik. nilai 1/n menunjukkan indikator ketergantungan konsentrasi yang berhubungan dengan adsorpsi.nilai n menunjukkan derajat nonlinieritas antara konsentrasi larutan adsorpsi, yaitu mengukur penyimpangan linieritas adsorpsi yang biasanya digunakan untuk mengetahui tingkat kebenaran suatu adsorpsi. dengan nilai n < 1 maka dipastikan bahwa proses adsorpsi ini merupakan proses kimiasorpsi dan sebaliknya jika nilai n > 1 dipastikan adsorpsi yang terjadi merupakan proses fisisorpsi (ozcan, dkk, 2005). adsorpsi fisik terjadi terutama karena adanya ikatan van der waals dan merupakan sebuah kejadian yang dapat balik, sedangkan adsorpsi kimia terjadi reaksi kimia antara padatan dengan larutan adsorbat, reaksi yang terjadi tidak dapat balik (setyowati, 1998). menurut zor (2004), jika nilai n > 1 mengidentifikasikan baiknya penyerapan adsorbat oleh adsorben. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa 1. kulit buah coklat (theobroma cacao) dapat dijadikan sebagai adsorben dengan bahan kimia hcl 4 m sebagai aktivator. 2. untuk adsorpsi logam cd oleh arang aktif pada proses adsorpsi dengan penyerapan optimum pada konsentrasi 20 ppm dan waktu optimum 80 menit. 3. adsorpsi logam cd oleh arang aktif cenderung mengikuti isoterm adsorpsi. daftar pustaka arifin, 2008, potensi karbon aktif sebagai media adsorpsi logam berat timbal (pb) dan kadmium (cd). diakses pada tanggal 12 oktober 2010. day, r.a. dan underwood, a.l., 1998, analisis kimia kuantitatif, edisi-6, penerbit erlangga, jakarta. darmono, 1995. logam dalam sistem biologi makhluk hidup, universitas indonesiapress, jakarta. darmono, 2001. lingkungan hidup dan pencemaran, hubungannya dengan toksikologi senyawa logam, universitas indonesia-press, jakarta. fardiaz, s., 1995, polusi air dan udara, penerbit kanasius, yogjakarta. hasanudin, m., 2008, karbon aktif / activated carbon charcoal, arang tempurung kelapa (karbon aktif), http://almaarif.blog.com/. diakses pada tanggal 23 september 2010. ilyas, m., lusiana, a. m., dan haris, a., 2007, pengaruh aktivator pada karbon aktif tempurung kelapa untuk adsorpsi logam berat pb(ii), jurusan kimia universitas diponegoro, semarang. kurniadi, m., dan hasani, a., 1996, studi pembuatan karbon aktif dari arang kayu, bahan olahan kimia lipi, bandung, 40135. kumar, m.n.v.r., 2000, a review of chitin dan chitosan application reactive and functional polimer, vol 46 hal 1-27. http://almaarif.blog.com/ serly j. sekewael, dkk / ind. j. chem. res., 2015, 2, 197 -204 1 204 lynam, m. m., kilduff, j. e., dan weber, w. j. jr., 1995, adsorption of p-nitrophenol from dilute aquadeous solution, j. chem edu, 72 : 80-84. stumm, w. dan morgan j.j., 1996, aquatic chemistry: chemical equilibria and rates in natural waters, 3 rd edition, new york: jhon wiley & sons, inc. sugiharto, 1987, dasar-dasar pengolahan air limbah, penerbit universitas indonesia, jakarta. suriawiria, u,. 1994, air dalam kehidupan dan lingkungan yang sehat, penerbit alumni, bandung. widihati, g. a. i., ratnayani, o., dan angelina, j., 2010, karakterisasi keasaman dan luas permukaan tempurung kelapa hijau (cocos nucifera) dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd 2+ , jurnal kimia, 4(1) : 7-14. winarno, f.g., minyak goreng dalam menu masyarakat, pt.balai pustaka, jakarta. microsoft word 4. hanim.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9 (9), 21-25, 2021 doi: 10.30598 //ijcr.2021.9-han 21 chitosan as capping agent for silver nanoparticles hanim istatik badi'ah* department of medical laboratory technology, institute of health science banyuwangi, jl. lieutenant colonel istiqlah no. 109, banyuwangi, indonesia *corresponding author: hanimistatik8@gmail.com received: january 2021 received in revised: february 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract silver nanoparticles have been developed in many applications because of their optical and reactivity properties. one of the disadvantages of silver nanoparticles is their low level of stability because their surface is easy to aggregate. it is necessary to have other materials such as chitosan as a capping agent on the surface of silver nanoparticles to prevent aggregation. this study aimed to determine the ability of chitosan as a capping agent for silver nanoparticles. the ability of chitosan was evaluated based on the stability test and characterization using a uv-vis, psa, and ftir spectrophotometer. the silver nanoparticles formed producing a yellow color with a wavelength of 401 nm and a size of 13.48 nm. the volume of chitosan that gave optimal results in stabilizing silver nanoparticles was 2.0 ml. keywords: silver nanoparticles, chitosan, capping agent, stability, fwhm introduction metal materials in nanomaterial size or also known as metal nanomaterials are currently widely used as objects of research because they have several advantages compared to their bulk size, such as unique optical properties, physical properties and chemical reactivity (rentería & garcía-macedo, 2005). some applications of metal nanomaterials include colorimetric sensors for various analytes (badi’ah, seedeh, supriyanto, & zaidan, 2019; d’souza, pati, & kailasa, 2015; rostami, mehdinia, & jabbari, 2017; shiva prasad, shruthi, & shivamallu, 2018), conductors (matsuhisa et al., 2017), anti-microbial and anti-bacterial (ahmed, ahmad, swami, & ikram, 2016; azmath, baker, rakshith, & satish, 2016), energy conversion (li, gan, & li, 2016). one of the metal nanomaterials that is widely used is silver nanoparticles. silver nanoparticles have an interesting morphology, size, and different maximum thermal conductivity compared to other types of metal (gupta & prakash, 2014). in addition, silver nanoparticles have good compound reactivity with relatively good abundance, essential physical properties and a lower price compared to other types of metals (aragay, pino, & merkoçi, 2012). therefore, silver nanoparticles are more widely used in various types of applications. some methods have been developed to synthesize silver nanoparticles such as chemical reduction (szczepanowicz, stefańska, socha, & warszyński, 2010), using ketapang leaf extract (rusnaenah, zakir, & budi, 2017), using using syzygium polyanthum extract (taba, parmitha, & kasim, 2019) and using mangosteen bark extract (irwan, zakir, & budi, 2020). silver nanoparticles by chemical reduction can use a nabh4 as a reducing agent (szczepanowicz et al., 2010). however, silver nanoparticles have a low stability and is able to easily aggregate form silver nanoparticles with larger size. therefore, the other materials as a capping agent of silver nanoparticles are needed to prevent the aggregation between the surface of silver nanoparticles. stabilization of silver nanoparticles with a polymer can improve the stability, electro-optical properties and biological applications. polymers can bind to the surface of metal nanoparticles with several interactions such as a chemical adsorption, electrostatic interactions and hydrophobic interactions (sperling & parak, 2010). polymers that can be used as stabilizers for silver nanoparticles include poly-(propyleneimine) dendrimer (ppi) (sun & xia, 2002), poly (vinylpyrrolidone) (pvp) (wiley, sun, & xia, 2005) and hyperbranced polyethylenimine (pei) (liu et al., 2014). chitosan was used in this study as a capping agent for silver nanoparticles. chitosan (1-4-2-amino2-deoxy-d-glucosamine) is a linear polysaccharide which consists of of n-acetylglucosamine and dglucosamine. chitosan has a –nh2 group that can interact with the surface of silver nanoparticles. the use of modification of silver nanoparticles with chitosan as a colorimetric sensor was carried out by hanim istatik badi'ah indo. j. chem. res., 9 (9), 21-25, 2021 doi: 10.30598 //ijcr.2021.9-han 22 utilizing the amine group found in chitosan. chitosan has three reactive groups consisting of one amino and two hydroxyl groups, each at the c-2, c-3 and c-6 positions, which allows adhesion to occur with silver nanoparticles or an analyte. methodology materials and instrumentals the instruments that used in this study were analytical balance (kern: abs 220-4), uv-vis spectrophotometer (shimadzu-1800), particle size analyzer (psa) zetasizer ver. 7.01 (malvern 1061025), fourier transform infrared (ft-ir), and some beaker tools. the materials used in this study were agno3 (>99%, cas number 7761-88-8), nabh4 (99% sigma aldrich co) and chitosan. methods synthesis of silver nanoparticles silver nanoparticles were synthesized using agno3 as a source of ag + and nabh4 as a reducing agent. a total of 10 ml agno3 1mm solution were added dropwise into 30 ml of 2 mm nabh4 solution that had been cooled by ice bath while stirring. stirring was carried out for 3 minutes until the agno3 was completely added and the solution changed color from colorless to yellow. the solution was then centrifuged for 15 minutes at 12000 rpm and filtered. before the silver nanoparticles were used, colloid obtained was left at a room temperature for 24 hours. silver nanoparticles stabilization with chitosan the stabilization of silver nanoparticles with chitosan was carried out by adding 5 ml of colloidal silver nanoparticles that had been formed with 3 ml of 1% chitosan. the mixture was then sonicated at a frequency of 20 khz for 10 minutes. optimization of the amount of chitosan as capping agent for silver nanoparticles optimization of the amount of chitosan was carried out to determine the optimum amount of chitosan added to enable an optimum role as a capping agent for silver nanoparticles. variations in the amount of chitosan were 1 ml, 2 ml and 3 ml. stability of chitosan as capping agent for silver nanoparticles the stability test of chitosan was carried out to determine the extent of the role of chitosan as a capping agent in maintaining the stability of silver nanoparticles and preventing aggregation of silver nanoparticles. characterization characterization was carried out using a uv-vis spectrophotometer, particle size analyzer (psa) and fourier transform infrared (ft-ir). results and discussion synthesis of silver nanoparticles the synthesis of silver nanoparticles was carried out using chemical reduction methods. this synthesis uses the brust (creighton) method, which is a method of synthesize silver nanoparticles through the reduction of agno3 using nabh4, while agno3 compounds were used as a source of ag+ and nabh4 as a reducing agent which reduces agno3 to ag +. the reactions that occur during the synthesis process of silver nanoparticles are as follows: agno3 + nabh4 → ag + ½h2 + ½b2h6 + nano3 the formation of silver nanoparticles was indicated by a change in the color of the solution from colorless to yellow as shown in figure 1. the color change in this solution occurs due to the excitation of plasmon vibrations on the surface of silver nanoparticles (d’souza et al., 2015). figure 1. colloidal silver nanoparticles the presence of plasmon vibrations on this surface enabled silver nanoparticles to have a wavelength in the area of about 400 450 nm. the optimum wavelength produced in this study was 401 nm as shown in figure 2. the silver nanoparticles formed was characterized using a particle size analyzer (psa) and the size of the silver nanoparticles was 13.48 nm with a size distribution as shown in figure 3. silver nanoparticles stabilization with chitosan silver nanoparticles were stabilized to prevent its aggregation which can result in larger silver nanoparticles. therefore, a stabilizing agent or capping agent is needed to prevent aggregation of silver nanoparticles. chitosan was chosen as a capping agent hanim istatik badi'ah indo. j. chem. res., 9 (9), 21-25, 2021 doi: 10.30598 //ijcr.2021.9-han 23 because chitosan is able to create steric stabilization on the surface of silver nanoparticles through the interaction of amine groups (-nh2) on chitosan with the surface of silver nanoparticles. figure 2. uv-vis spectra of silver nanoparticles figure 3. size distribution of silver nanoparticles the stabilization with chitosan caused higher and narrower uv-vis spectra as seen in figure 5. the higher and narrower absorbance peaks indicate, the use of chitosan led to the higher number and homogeneously distributed of silver nanoparticles formed and more. figure 5. uv-vis spectra of silver nanoparticles with and without the addition of chitosan the success of stabilization of silver nanoparticles with chitosan was also shown from the ftir results as shown in figure 6. both the ftir results of chitosan and chitosan-stabilized silver nanoparticles had absorption bands of –oh groups in the 3427.62 cm-1 and 3448.84 cm-1 regions, respectively. both the absorption bands of ch (-ch2-) groups on chitosan and chitosan stabilized silver nanoparticles had absorption bands in the 2926.11 cm-1 and 2854.74 cm-1 regions. the co group in chitosan had an absorption band in the area of 1072.46 cm-1 and showed a slight shift (1053.17 cm-1) in the absorption of chitosan stabilized silver nanoparticles. in addition, the nh group had an absorption band in the area of 1575.89 cm-1 for chitosan and the nh group vibration lost absorption after stabilization of silver nanoparticles with chitosan. figure 6. ftir spectra of silver nanoparticles with and without the addition of chitosan optimization of the amount of chitosan as capping agent for silver nanoparticles optimization was carried out to determine the effect of the volume of chitosan added in the modification process. chitosan was added in variation of 1 ml, 2 ml and 3 ml. the variation in the volume of chitosan added to the modification process had an effect on the absorbance and the resulting fwhm value as shown in table 1. the absorbance value at 2 ml chitosan volume had a higher absorbance value than the other volumes. this suggested that 2 ml of chitosan volume was sufficient to cover silver nanoparticles and produce more silver nanoparticles. in addition to producing a high absorbance value, the addition of 2 ml chitosan volume also resulted in a smaller full width at half maximum (fwhm) value compared to other chitosan volumes. the fwhm value is a value that indicates the width of the half peak in the maximum absorption spectrum. this showed 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 300 400 500 600 700 800 a b so rb an ce wavelength (nm) 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 300 350 400 450 500 550 600 650 700 750 800 a b so rb an ce wavelength (nm) silver nano + chitosan silver nano chitosan silver nano + chitosan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0. 46 3 0. 71 9 1. 12 1. 74 2. 7 4. 19 6. 5 10 .1 15 .7 24 .4 37 .8 58 .8 91 .3 14 2 22 0 34 2 53 1 82 5 in te ns it y (% ) size (d.nm) hanim istatik badi'ah indo. j. chem. res., 9 (9), 21-25, 2021 doi: 10.30598 //ijcr.2021.9-han 24 0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 f w h m ( nm ) time (days) that the addition 2 ml of chitosan resulted in a more homogeneous distribution of the size of the nanoparticles. table 1. comparison of the absorbance value and fwhm with the volume variation of chitosan chitosan volume (ml) absorbance fwhm 1 0.423 68.92 2 0812 50.56 3 0.67 70.31 the stability of chitosan as capping agent for silver nanoparticles the effect of chitosan as a capping agent on the stability of silver nanoparticles was analyzed based on the fwhm value between silver nanoparticles with and without chitosan. stability was observed for 60 days as shown in figure 7. silver nanoparticles in the presence of a capping agent had a lower fwhm value than silver nanoparticles without a capping agent. figure 7. relationship between fwhm and time of stability figure 7 showed that the silver nanoparticles in the presence of a capping agent using chitosan had a more homogeneous size distribution. chitosan prevented aggregation to form a larger size of silver nanoparticles (rentería & garcía-macedo, 2005; rostami et al., 2017). conclusion chitosan has been used successfully as a capping agent for silver nanoparticles. the presence of chitosan on the surface of silver nanoparticles was able to prevent the aggregation of silver nanoparticles for up to 60 days with stable size and size distribution. references ahmed, s., ahmad, m., swami, b. l., & ikram, s. (2016). a review on plants extract mediated synthesis of silver nanoparticles for antimicrobial applications: a green expertise. journal of advanced research, 7(1), 17–28. https://doi.org/10.1016/j.jare.2015.02.007 aragay, g., pino, f., & merkoçi, a. (2012). nanomaterials for sensing and destroying pesticides. chemical reviews, 112(10), 5317– 5338. https://doi.org/10.1021/cr300020c azmath, p., baker, s., rakshith, d., & satish, s. (2016). mycosynthesis of silver nanoparticles bearing antibacterial activity. saudi pharmaceutical journal, 24(2), 140–146. https://doi.org/10.1016/j.jsps.2015.01.008 badi’ah, h. i., seedeh, f., supriyanto, g., & zaidan, a. h. (2019). synthesis of silver nanoparticles and the development in analysis method. iop conference series: earth and environmental science, 217, 012005. https://doi.org/10.1088 /1755-1315/217/1/012005 d’souza, s. l., pati, r., & kailasa, s. k. (2015). ascorbic acid-functionalized agnps as a probe for colorimetric sensing of glutathione. applied nanoscience, 5(6), 747–753. https://doi.org/ 10.1007/s13204-014-0371-9 gupta, s., & prakash, r. (2014). photochemically assisted formation of silver nanoparticles by dithizone, and its application in amperometric sensing of cefotaxime. journal of materials chemistry c, 2(33), 6859–6866. https://doi.org/ 10.1039/c4tc01090f li, y., gan, w., & li, b. (2016). silver nanoparticlescoated glass frits for silicon solar cells. applied physics a, 122(4), 417. https://doi.org/ 10.1007/s00339-016-9979-9 liu, z., wang, y., zu, y., fu, y., li, n., guo, n., … zhang, y. (2014). synthesis of polyethylenimine (pei) functionalized silver nanoparticles by a hydrothermal method and their antibacterial activity study. materials science and engineering: c, 42, 31–37. https://doi.org/ 10.1016/j.msec.2014.05.007 matsuhisa, n., inoue, d., zalar, p., jin, h., matsuba, y., itoh, a., … someya, t. (2017). printable elastic conductors by in situ formation of silver nanoparticles from silver flakes. nature materials, 16(8), 834–840. https://doi.org/ 10.1038/nmat4904 r, i., zakir, m., & budi, p. (2020). synthesis of silver nanoparticles and the effect of p-coumaric acid for detecting melamine. indonesian journal of chemical research, 7(2), 141–150. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.7-irw hanim istatik badi'ah indo. j. chem. res., 9 (9), 21-25, 2021 doi: 10.30598 //ijcr.2021.9-han 25 rentería, v. m., & garcía-macedo, j. (2005). modeling of optical absorption of silver prolate nanoparticles embedded in sol–gel glasses. materials chemistry and physics, 91(1), 88–93. https://doi.org/10.1016/j.matchemphys.2004.10.0 53 rostami, s., mehdinia, a., & jabbari, a. (2017). seedmediated grown silver nanoparticles as a colorimetric sensor for detection of ascorbic acid. spectrochimica acta part a: molecular and biomolecular spectroscopy, 180, 204–210. https://doi.org/10.1016/j.saa.2017.03.020 rusnaenah, a., zakir, m., & budi, p. (2017). biosynthesis of silver nanoparticles using ketapang leaf extract, modification with pcoumaric acid for detecting melamine. indonesian journal of chemical research, 4(2), 367–372. https://doi.org/10.30598//ijcr.2017.4and shiva prasad, k., shruthi, g., & shivamallu, c. (2018). functionalized silver nano-sensor for colorimetric detection of hg2+ ions: facile synthesis and docking studies. sensors, 18(8), 2698. https://doi.org/10.3390/s18082698 sperling, r. a., & parak, w. j. (2010). surface modification, functionalization and bioconjugation of colloidal inorganic nanoparticles. philosophical transactions of the royal society a: mathematical, physical and engineering sciences, 368(1915), 1333–1383. https://doi.org/10.1098/rsta.2009.0273 sun, y., & xia, y. (2002). shape-controlled synthesis of gold and silver nanoparticles. science, 298(5601), 2176–2179. https://doi.org/ 10.1126/science.1077229 szczepanowicz, k., stefańska, j., socha, r. p., & warszyński, p. (2010). preparation of silver nanoparticles via chemical reduction and their antimicrobial activity. physicochemical problems of mineral processing, 45(1), 85–98. taba, p., parmitha, n. y., & kasim, s. (2019). synthesis of silver nanoparticles using syzygium polyanthum extract as bioreductor and applied as antioxidant. indonesian journal of chemical research, 7(1), 51–60. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.7-ptb wiley, b., sun, y., & xia, y. (2005). polyol synthesis of silver nanostructures: control of product morphology with fe(ii) or fe(iii) species. langmuir, 21(18), 8077–8080. https://doi.org/ 10.1021/la050887i indochem indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 41 penentuan model adsorpsi metilena biru pada karbon aktif berbasis arang jatropha curcas l. model determination of methylene blue adsorption on jatropha curcas l. based activated carbon antonius indarto 1 , yansen hartanto 2 *, aditya putranto 2 , rendi bunaidi 2 1 department of chemical engineering, institut teknologi bandung kampus itb, jl. ganesha 10, bandung 40132 2 department of chemical engineering, universitas katolik parahyangan jl. ciumbuleuit 94, bandung 40141 *corresponding author, e-mail: yansen_hartanto@yahoo.co.id received: marc. 2019 published: jul. 2019 abstract the rate determining step (rds) in adsorption proses plays a key role in order to understand the correct adsoption mechanism. in this experiment, a simple method used for distinguishing the rds of liquid adsorption on solid adsorben was studied by an experiment based on shrinking-core diffusion-based model (scm). rds determination was done by comparing experimental data of two scm models: (1) pore-surface model diffusion (psdm) and (2) film-pore diffusion model (fpdm). the adsorption of methylene blue by activated carbon obtained from jatropha curcas l. was used as a case study. the result of experiment by three variated parameters: initial concentration (c0), ph, and type of adsorben shows that psdm has more accuration compared to fpdm in representating the characterstic of mass transport of metil red adsorption on activated carbon. keywords: liquid adsoprtion, shrinking-core model, pore-surface diffusion, film-pore diffusion. pendahuluan proses adsorpsi telah digunakan dalam industri pemisahan dan pemurnian produk berskala besar selama bertahun-tahun (seader dkk., 2010). kunci penting keberhasilan dari proses adalah pemahaman interaksi dan mekanisme adsorpsi antara adsorben dan adsorbat (hartanto dkk., 2017). secara umum, mekanisme transfer massa proses adsorpsi terjadi dalam lima tahapan (worch, 2012): (1) perpindahan konvektif dari adsorbat ke lapisan batas antarfasa (film); (2) perpindahan massa eksternal dari film ke permukaan luar adsorben; (3) difusi pori, yakni fluida berdifusi ke arah dalam pori-pori adsorben; (4) difusi permukaan, dengan fluida berdifusi ke arah permukaan bagian dalam adsorben melalui pori-pori; dan (5) adsorpsi cairan pada permukaan adsorben. saat ini, difusi film-pori (langkah 2 dan 3) dan difusi pori-permukaan (langkah 3 dan 4) disebut-sebut sebagai tahap penentu laju (rate determining step, rds) paling umum dari adsorpsi cairan dalam banyak referensi. pemilihan model diantara kedua mekanisme tersebut bergantung pada adsorben, adsorbat, dan interaksinya. dalam diskusi ini, akan disampaikan pengembangan metode sederhana tentang bagaimana membedakan tahap penentu laju adsorpsi berdasarkan shrinking-core diffusionbased model (scm). model ini telah dikembangkan untuk mengatasi kelemahan model transportasi massa resistansi tunggal (mckay dkk., 1981), yang biasanya hanya memiliki keberhasilan terbatas dalam memprediksi data eksperimen. model difusi duahambatan berdasarkan shrinking core-based model (scm) ditemukan sebagai model yang paling umum untuk memformulasikan proses adsorpsi cair (aydogan dkk., 2006). salah satu model matematika berdasarkan scm adalah model difusi film-pori (fpdm), diusulkan oleh mckay (1984). model ini menggunakan konsep isoterm langmuir dan berhasil diterapkan untuk beberapa sistem, seperti penghilangan zat pewarna (basic dye) pada karbon aktif dan penyerapan pewarna chrome pada abu terbang (gupta dan imran, antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 42 2012). selain itu, ada pula model difusi poripermukaan (psdm). model psdm adalah metode analisis kinetik dua-hambatan dan berhasil digunakan untuk menguji dinamika proses adsorpsi untuk berbagai senyawa organik pada karbon aktif berbentuk granular (miyahara dan okazaki, 1993) dan adsorpsi asam propionat pada karbon aktif (mishra dkk. 2009). dalam model psdm, hand dkk. (1983) mengembangkan prosedur untuk menentukan koefisien difusi permukaan dengan menghilangkan hambatan perpindahan massa film cair dan membandingkannya dengan data adsorpsi partaian (batch). dalam penelitian ini, kedua model berbasiskan scm, yaitu fpdm dan psdm digunakan untuk menentukan rds dari adsorpsi metilena biru pada karbon aktif arang jatropha curcas l. model pertama mengasumsikan bahwa rds berada pada difusi pori dan permukaan; karenanya model ini disebut psdm. model lain mengasumsikan difusi dalam film dan pori sebagai langkah penentuan laju; sehingga model ini disebut fpdm. semua hasil simulasi kemudian dibandingkan dengan data adsorpsi partaian (batch) proses penghilangan warna metilena biru pada cairan dengan menggunakan karbon aktif sebagai adsorben. tata nama al, kl konstantan langmuir (m 3 /kg) c0 konsentrasi awal (kg/m 3 ) ce,t konsentrasi kesetimbangan pada waktu t (kg/m 3 ) ct konsentrasi pada waktu t (kg/m 3 ) deff parameter difusivitas efektif (m 2 /s) dp parameter difusivitas pori (m 2 /s) ds parameter difusivitas permukaan (m 2 /s) ds,0 difusivitas permukaan pada c0=0 (m 2 /s) kf parameter difusivitas film (m/s) q(t) konsentrasi pada fasa adsorben pada waktu t (kg/kg) r jari-jari adsorben (m) rm fraksi radius inti tidak jenuh (m) r(t) radius adsorben tidak jenuh pada waktu t (m) t waktu (s) v volume campuran (m 3 ) w massa adsorben (kg) metodologi deskripsi model matematika dua model scm yang berbeda, yaitu: psdm dan fpdm, dikembangkan untuk mensimulasikan adsorpsi metilena biru pada karbon aktif biomassa jatropha curcas l. psdm adalah model adsorpsi yang dibangun berdasarkan difusi adsorbat ke film dan pori sebagai dua langkah pengontrol laju adsorpsi. dalam studi ini, model psdm yang digunakan adalah model yang dikembangkan oleh chen dkk. (2001). dalam model psdm, konsep isoterm langmuir digunakan untuk mewakili kesetimbangan padat-cair seperti yang dijabarkan dalam persamaan (1). (1) ( ) (2) persamaan (2) mengukur jumlah adsorben yang terlapisi oleh senyawa adsorbat yang nilainya akan berbanding lurus dengan perbedaan antara konsentrasi waktu awal (c0) dan konsentrasi saat waktu t (ce,t). laju difusi adsorbat ke dalam pori adsorben dihitung berdasarkan radius penyusutan inti (shrinking core) seperti pada persamaan (3). ( ) ( ) (3) yakni pada t = 0 nilai r = r. persamaan (3) akan dilengkapi dengan korelasi antara deff dan dp serta ds yang dijabarkan dalam persamaan (4). ( ) (4) konstanta difusivitas pori (dp) dan difusivitas permukaan (ds) dapat diperoleh dengan meminimalkan kesalahan (sum of squared error) antara nilai konsentrasi senyawa (ct) hasil eksperimental dan perhitungan model. model film pore difusion (fpdm) juga dikembangkan oleh kelompok penelitian yang sama merujuk pada publikasi cheung dkk. (2002). model ini mengasumsikan difusi film dan pori sebagai dua tahap penentu laju (rds). proses adsorpsi terjadi dengan cepat dan tingkat penyerapan adsorbat dikendalikan oleh difusi pori. secara umum, model fpdm memiliki kesamaan dengan psdm dalam menghitung keseimbangan massa (dijabarkan sebagai persamaan 2) dan tingkat difusi absorben ke dalam pori tak jenuh (persamaan 3). antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 43 namun, fpdm memiliki pendekatan yang berbeda untuk menghitung konsentrasi adsorbat pada permukaan adsorben yang dapat ditulis sebagai persamaan (5). ( ( )) *( ( )) ( ) + ( ) (5) dengan ( ) ( ( ) ) ( ) . model ini memiliki dua parameter yang dapat disesuaikan, yaitu: difusivitas film (kf) dan difusivitas pori (dp) yang dapat diperoleh dari minimisasi kesalahan antara data konsentrasi ekperimental dan simulasi. alat dan bahan alat-alat yang diperlukan dalam percobaan ini antara lain, labu botol bundar 500 ml, oven, ph meter, desikator, tungku tubuar horizontal. bahan dan sampel yang digunakan dalam percobaan ini adalah metilena biru, adsorben (karbon aktif), asam nitrat pekat, koh, dan gas nitrogen. prosedur kerja adsorben yang digunakan dalam penelitian ini adalah padatan karbon residu jatropha curcas l. sebelum digunakan, padatan karbon yang dihasilkan perlu dilakukan aktivasi terlebih dahulu dengan menggunakan dua buah metode. metode pertama, padatan karbon direndam dalam larutan koh selama 24 jam dengan rasio impregnasi 2:1. padatan yang direndam kemudian mengalami dua tahap pemanasan pada 120°c selama 2 jam dalam oven dan 500°c selama 4 jam dalam tungku tubular horizontal dengan laju pemanasan konstan 10°c/menit dengan dialiri n2 pada laju aliran 150 cm 3 /menit. dalam penelitian ini, hasil aktivasi dengan metode ini disebut sebagai adsorben a. aktivasi kedua dilakukan dengan mengikuti prosedur huang dkk. (2009) yaitu sebanyak 50 g adsorben a dimasukkan ke dalam labu botol bundar 500 ml yang mengandung 200 ml asam nitrat pekat. campuran kemudian dipanaskan pada 80°c selama 7 jam dengan pengadukan kontinu pada 100 rpm. selanjutnya, padatan teroksidasi dibilas dengan air deionisasi sampai tidak ada perubahan signifikan dalam nilai ph yang terukur dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 120°c selama 24 jam dan disimpan dalam desikator. adsorben padat kedua disebut sebagai adsorben b. percobaan adsorpsi dilakukan pada 30°c menggunakan dosis adsorben 0,6 g dan dilakukan selama 7 jam dalam bejana batch yang diaduk pada kecepatan 500 rpm. variasi dilakukan terhadap tiga nilai konsentrasi metilena biru (0,2, 0,5, dan 0,8 kg/m 3 ) dan tiga nilai ph (3, 7, dan 11). dalam penelitian ini, semua persamaan matematika yang digunakan dituliskan sebagai kode program numerik dalam perangkat lunak matlab (mathworks, 2019) serta menggunakan modul optimisasi yang telah tersedia untuk menyelesaikan persamaan diferensial simultan. modul integrasi optimasi yang tersedia mampu untuk menyelesaikan persamaan diferensial komplek secara simultan (indarto 2012; 2016). tabel 1. estimasi nilai parameters (ds and dp) model psdm. no. c0 (kg/m 3 ) ph absorber ds (m 2 /s) dp (m 2 /s) error r 2 1 0.2 3 a 5.23e-14 1.98e-12 1.10e-03 0.9677 2 0.8 3 a 6.76e-14 2.12e-12 9.33e-04 0.9767 3 0.2 7 a 6.01e-14 1.99e-12 1.21e-04 0.9999 4 0.8 7 a 7.22e-14 2.21e-12 1.14e-04 0.9998 5 0.2 11 a 9.46e-15 2.15e-12 2.91e-04 0.9697 6 0.8 11 a 5.25e-14 2.71e-12 1.92e-04 0.9997 7 0.2 3 b 5.56e-14 1.71e-12 1.07e-03 0.9988 8 0.8 3 b 7.02e-14 2.04e-12 1.13e-03 0.9976 9 0.2 7 b 3.99e-14 9.98e-13 1.14e-03 0.9787 10 0.8 7 b 5.79e-14 2.82e-12 8.91e-04 0.9979 11 0.2 11 b 6.53e-14 1.99e-12 1.02e-03 0.9980 12 0.8 11 b 7.66e-14 2.21e-12 1.01e-03 0.9967 antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 44 data dari percobaan eksperimental akan dibandingkan dengan data hasil perhitungan/simulasi. evaluasi dilakukan dengan dua cara berbeda. estimasi parameter dilakukan terlebih dahulu dengan meminimalkan kesalahan antara data perhitungan model dan eksperimen. untuk tujuan ini, data adsorpsi dengan konsentrasi metilena biru 0,5 dan 0,8 kg/m 3 (baik adsorben a dan b) akan digunakan. karena model memiliki perbedaan dalam mekanisme rds, parameterisasi lokal akan dilakukan. dalam kasus model psdm, validasi model difokuskan pada difusivitas permukaan (ds) dan difusivitas pori (dp) sedangkan koefisien difusi film (kf) dan difusivitas pori (dp) dilakukan untuk pfdm. untuk tujuan validasi, gambar 1. kurva estimasi parameter model psdm pada c0 = 0,2 kg/m 3 , ph = 7 untuk adsorben a. gambar 2. distribusi error model psdm pada c0 = 0,2 kg/m 3 , ph = 7 untuk adsorben a. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 45 konsentrasi adsorben yang digunakan adalah 0,5 kg/m 3 dan ph 7 dan 11. hasil dan pembahasan estimasi parameter model psdm seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, difusivitas permukaan (ds) dan parameter difusivitas pori (dp) untuk psdm diperkirakan pada konsentrasi metilena biru awal (c0) 0,2 dan 0,8 kg/m 3 dan ph 3, 7, dan 11. hasil perhitungan parameter dan kesalahan ditabulasikan dalam tabel 1. tabel 1 menunjukkan bahwa parameter estimasi dengan metode fitting menghasilkan kesalahan yang sangat rendah (dalam kisaran di bawah 1,2 × 10 -3 ). hasil ini menyatakan bahwa parameter adsorpsi yang diperoleh sudah relatif tepat untuk digunakan pada model psdm dalam memprediksi jumlah metilena biru teradsorpsi dalam karbon aktif seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. merujuk pada model ini, difusi dalam sistem adsorpsi ini dikendalikan oleh tahap difusi pada permukaan pori (chen dkk., 2001). tabel 1 juga menunjukkan nilai korelasi antara parameter difusi, konsentrasi awal (c0), dan nilai ph. nilai ds dan dp meningkat secara signifikan pada nilai c0 yang lebih tinggi. hasil yang diperoleh sesuai dengan percobaan dan korelasi yang diajukan oleh danny dkk. (2002) yang ditunjukkan pada persamaan (6) 0logloglog cndd ss (6) pada waktu tak terbatas (t = ∞), difusivitas permukaan (ds,∞) akan mendekati nol dan ds akan berkorelasi hampir linier ke c0,n. nilai ds dan dp juga sebanding dengan nilai ph. pada nilai ph yang lebih tinggi, metilena biru lebih mudah diikat secara kimia dengan kondisi asam. kondisi asam, karbon aktif menjadi lebih aktif (terutama ketika adsorben secara kimiawi diaktifkan oleh asam nitrat, adsorben b) disebabkan oleh gugus fungsi karboksilat di permukaan padatan. pada ph yang lebih tinggi, interaksi elektrostatik tambahan akan lebih tinggi dan menghasilkan lebih banyak interaksi elektrostatik. situasi serupa ditemukan oleh kurniawan dan ismadji (2011) ketika mereka mengukur kinetika adsorpsi biru metilen pada karbon aktif. hasil evaluasi model juga dapat digunakan untuk menunjukkan karakteristik distribusi kesalahan. analisis kesalahan dilakukan dengan mengalurkan nilai kesalahan sebagai fungsi waktu adsorpsi. gambar 2 menunjukkan contoh distribusi kesalahan psdm pada konsentrasi awal 0,2 kg/m 3 dan ph 7 untuk adsorben a. kesalahan yang dihasilkan diklasifikasikan sebagai kesalahan acak (random error). kesalahan acak mengindikasikan bahwa model ini cukup baik dalam menggambarkan karakteristik mekanisme adsorpsi. tabel 2. estimasi nilai parameters (dp and kf) model fpdm. no. c0 (kg/m 3 ) ph adsorber dp (m 2 /s) kf (m/s) error r 2 1 0.2 3 a1 4.18e-12 2.12e-05 9.95e-04 0.9690 2 0.8 3 a1 4.67e-12 1.98e-05 1.13e-03 0.8890 3 0.2 7 a1 3.80e-12 1.79e-05 8.91e-04 0.9999 4 0.8 7 a1 4.16e-12 2.01e-05 9.14e-04 0.9612 5 0.2 11 a1 4.23e-12 2.15e-05 1.08e-04 0.9529 6 0.8 11 a1 4.97e-12 2.11e-05 1.92e-04 0.9996 7 0.2 3 a2 4.04e-12 2.20e-05 2.11e-03 0.9990 8 0.8 3 a2 5.13e-12 2.17e-05 2.03e-03 0.9896 9 0.2 7 a2 5.56e-12 2.22e-05 1.11e-04 0.9787 10 0.8 7 a2 6.11e-12 1.99e-05 1.46e-04 0.9579 11 0.2 11 a2 3.99e-12 2.14e-05 1.36e-03 0.9680 12 0.8 11 a2 4.26e-12 1.96e-05 1.42e-03 0.9767 antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 46 pengujian model psdm dengan menggunakan parameter ds dan dp yang telah diperoleh dari hasil fitting, dapat dibandingkan nilai konsentrasi metilena biru eksperimental dan konsentrasi model. gambar 3a menunjukkan bahwa dengan menggunakan nilai parameter (ds dan dp) yang diperoleh pada kosentrasi 0,2 dan 0,8 kg/m 3 , menghasilkan profil konsentrasi adsorbat yang mirip dibandingkan dengan data eksperimen untuk konsentrasi 0,5 kg/m 3 . kesalahan relatif maksimum diperkirakan kurang dari 3 × 10 -3 . gambar 3b menunjukkan profil konsentrasi metilena biru pada fase padat sebagai fungsi waktu hingga mencapai kesetimbangan. pada periode awal, difusi terjadi secara perlahan dan (a) (b) gambar 3. (a) kurva validation model psdm dan (b) profil konsentrasi absorbat sebagai fungsi waktu dan jari-jari adsorben pada c0 = 0,5 kg/m 3 , ph = 7 untuk adsorben a. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 47 bertahap meningkat pada periode yang lebih lama. konsentrasi absorbat akan bernilai lebih besar di bagian luar (permukaan) adsorben pada jari-jari (r) yang lebih besar. ini menunjukkan bahwa banyak molekul terlarut (absorbat) yang teradsorpsi di permukaan daripada pada bagian dalam adsorben pada tahap awal. hal ini sesuai dengan konsep difusi permukaan sebagai rds dalam model adsorpsi ini (seader dkk., 2010). gambar 4. kurva estimasi model fpdm pada c0 = 0,2 kg/m 3 dan ph 7 untuk adsorben b. gambar 5. distribusi kesalahan model fpdm pada c0 = 0,2 kg/m 3 dan ph = 7 untuk adsorben a. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 48 estimasi parameter dan validasi fpdm metode serupa juga diterapkan untuk memperkirakan dan memvalidasi parameter adsorpsi model fpdm. hal ini karena tahap penentu laju (rds) dalam fpdm adalah pada film – pori, parameter kf (koefisien difusivitas film) dan dp (difusivitas pori) perlu dicari. tabel 2 menunjukkan parameter yang dihitung dengan meminimalkan kesalahan profil konsentrasi antara simulasi dan data percobaan. estimasi parameter fpdm dilakukan dengan menggunakan data eksperimental menggunakan konsentrasi fase awal air (c0) 0,2 dan 0,8 kg/m 3 dan ph 3, 7, dan 11 untuk adsorben a dan b. dibandingkan dengan hasil psdm, fpdm menghasilkan nilai kesalahan (sse) yang lebih besar meskipun kesalahan absolut relatif masih kecil (2,2 × 10 -3 dibandingkan 1,2 × 10 -3 pada model psdm). perbedaan signifikan ditemukan ketika konsentrasi adsorbat dialurkan sebagai fungsi waktu. contoh perbandingan proses adsorpsi menggunakan adsorben b pada c0 0,2 kg/m 3 dan ph 7 ditunjukkan pada gambar 4. pada gambar 4, nilai c0 hasil perhitungan model fpmd dengan metode fitting, sedikit berbeda pada waktu awal (titik balik kurva) dan setelah waktu adsorpsi mencapait>150 menit. model fpdm mengasumsikan bahwa tahap penentu laju (rds) dari adsorpsi terjadi dalam difusi film dan difusi pori. perbedaan yang timbul dapat disebabkan oleh perlakuan eksperimen selama proses adsorpsi berlangsung. campuran adsorbat dan adsorben dalam bejana diaduk pada kecepatan putaran yang relatif tinggi (rpm 500) selama 7 jam. agitasi akan meminimalkan resistensi perpindahan massa yang disebabkan oleh lapisan film antarfasa antara larutan metilena biru dan adsorben. hal ini memungkinkan molekul cairan berdifusi dengan cepat melalui permukaan dan bagian dalam adsorben dengan hambatan yang minimum padalapisan film permukaan (kurniawan dan ismadji, 2011). analisis lebih lanjut untuk mengevaluasi distribusi kesalahan ditunjukkan pada gambar 5. kesalahan tampaknya mengikuti pola tertentu yang diklasifikasikan sebagai kesalahan sistematis karena formulasi matematika. kesalahan semacam ini menunjukkan adanya asumsi atau mekanisme yang tidak cocok selama perumusan model. berdasarkan hasil ini, kita dapat menyimpulkan bahwa proses adsorpsi tidak mengikuti model fpdm. dengan kata lain, difusi film tidak dapat dipilih sebagai rds dari kasus adsorpsi ini. tabel 3. perbandingan keakuratan model antara psdm dan fpdm. psdm no. c0 (kg/m 3 ) ph error r 2 sse average r 2 1 0.2 3 1.10e-03 0.9677 2.75e-03 0.9856 2 0.8 3 9.33e-04 0.9767 3 0.2 7 1.21e-04 0.9999 4 0.8 7 1.14e-04 0.9998 5 0.2 11 2.91e-04 0.9697 6 0.8 11 1.92e-04 0.9997 fpdm no. c0 (kg/m 3 ) ph error r 2 sse average r 2 1 0.2 3 9.95e-04 0.9690 4.23e-03 0.9619 2 0.8 3 1.13e-03 0.8890 3 0.2 7 8.91e-04 0.9999 4 0.8 7 9.14e-04 0.9612 5 0.2 11 1.08e-04 0.9259 6 0.8 11 1.92e-04 0.9996 antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 49 perbandingan hasil simulasi model psdm dan fpdm nilai kesalahan (sum of squared error) antara model psdm dan fpdm dapat dibandingkan seperti ditunjukkan pada tabel 3. dari tabel 3 tersebut, dapat diamati bahwa psdm lebih akurat untuk memprediksi mekanisme transfer massa pada adsorpsi metilena biru menggunakan karbon aktif dalam kondisi batch. fpdm menghasilkan jumlah kuadrat kesalahan (sse) yang lebih tinggi daripada psdm. hasil ini mengindikasikan bahwa tahap penentu laju (rds) dalam sistem adsorpsi ini adalah difusi permukaan dan pori sedangkan pengaruh tahanan film (film resistance) dapat diabaikan untuk kasus ini. kesimpulan adsorpsi metilena biru dengan menggunakan karbon aktif berbasis biomassa telah dilakukan. hasil studi menunjukkan bahwa difusi dalam pori dan permukaan menjadi langkah penentu laju (rds) dalam transfer massa mekanisme adsorpsi. model difusi poripermukaan (psdm) memiliki kesalahan total yang lebih rendah dari model difusi pori-film (fpdm) untuk adsorpsi partaian (batch) metilena biru pada karbon aktif berbasis biomassa. berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil prediksi konsentrasi adsorbat dari model psdm lebih akurat dibanding model fpdm. selanjutnya, dengan mengikuti metode sederhana ini, rds dari adsorpsi cair dapat dibedakan dengan cepat. daftar pustaka aydoğan, s., erdemoğlu, m., aras, a., uçar, g., özkan, a., 2006, dissolution kinetics of celestite (srso4) in hcl solution with bacl2, hydrometallurgy, 84, 239–246. chen, b., hui, c. w., mckay, g., 2001, poresurface diffusion modeling for dyes from effluent on pith, langmuir, 17, 740-748. cheung, c. w., porter, j. f., mckay, g., 2002, removal of cu(ii) and zn(ii) ions by sorption onto bone char using batch agitation, langmuir, 18, 650-656. danny, c. k. k., lee, v. k. c., porter, j. f., mckay, g., 2002, improved design and optimization models for the fixed bed adsorption of acid dye and zinc ions from effluents, j. chem. technol. biotechnol., 77(12), 1289-1295. gupta, v. k., ali, i., 2012, environmental water: advances in treatment, remediation and recycling, elsevier, amsterdam. hand, d. w., crittenden, j. c., thacker, w. e., 1983, user oriented batch reactor solutions to the homogeneous surface diffusion model, j. environ. eng., 109, 82101. huang, g., shi, j. x., langrish, t. a. g., 2009, removal of cr(vi) from aqueous solution using activated carbon modified with nitric acid, chem. eng. sci., 152, 434-439. kurniawan, a., ismadji, s., 2011, potential utilization of jatropha curcas l. presscake residue as new precursor for activated carbon preparation: application in methylene blue removal from aqueous solution, j. taiwan inst. chem. e., 42, 826836. hartanto, y., yaswari, y., zunita, m., soerawidjaja, t. h., indarto, a., 2017, decolorization of crude terpineol by adsorption, sep. sci. technol., 52(12), 1967-1972. indarto, a., 2012, decomposition of dichlorobenzene in a dielectric barrier discharge, environ. technol., 33(6), 663666. indarto, a., 2016, partial oxidation of methane to methanol with nitrogen dioxide in dielectric barrier discharge plasma: experimental and molecular modeling, plasma sources sci. technol., 25(2), 025002. matworks, 2019, matlab – the language of technical computing, the mathworks, natick, massachusetts, usa. mckay, g., 1984, the adsorption of basic dye onto silica from aqueous solution-solid diffusion model, chem. eng. sci., 39, 129. mckay, g., allen, s. j., mcconvey, i. f., otterburn, m. s., 1981, adsorption of dyes onto wood and peat surfaces, j. colloid interface sci., 80, 323. miyahara, m., okazaki, m., 1993, correlation of concentration dependent surface diffusivity in liquid phase adsorption, j. chem. eng. jpn., 26 (5), 510. antonius indarto dkk. / indo. j. chem. res., 2019, 7(1), 41-50 50 seader, j, henley, e. j., roper, d. k., 2010, separation process principles, john wiley & sons, nj. mishra, p. k., modal, m. k., srivastava, p., 2009, separation processes: emerging technologies for sustainable development, allied publisher, new delhi. worch, e., 2012, adsorption technology in water treatment. fundamentals, processes, and modeling, walter and de gruyter, berlin. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 111-117, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 111 development of differential pulse anodic stripping voltammetry technique for cadmium(ii) detection and its application in water spinach budi riza putra1, manggar arum aristri2, eti rohaeti2, wulan tri wahyuni2,3* 1chemistry study program, faculty of military mathematics and natural sciences, the republic of indonesia defense university, sentul, bogor, indonesia 2chemistry department, faculty of sciences and mathematics, ipb university, bogor, indonesia 3tropical biopharmaca research center, institute of research and community empowerment, ipb university, bogor, indonesia *corresponding author: wulantriws@apps.ipb.ac.id received: september 2021 received in revised: september 2021 accepted: september 2021 available online: september 2021 abstract cadmium is a toxic pollutant that is harmful to the environments and humans. the purpose of this research was to develop a method for cadmium(ii) detection using differential pulse anodic stripping voltammetry (dpasv) using a glassy carbon electrode. the developed method was then applied for cadmium detection in the vegetable samples which is water spinach. the developed method was optimized in several parameters such as potential window, deposition potential, deposition time, and scan rate. the developed method for cadmium(ii) detection was also investigated in its analytical performance includes linearity, precision, detection limit, and quantitation limits. the optimum conditions for cadmium(ii) detection in 0.1 m kcl using the dpasv technique obtained such as potential window from -1200 to -100 mv, deposition potential of -1100 mv (vs ag/agcl), and deposition time of 360 s. it was obtained good linearity for cadmium(ii) detection using dpasv technique with an r2 of 0.996. the precision was expressed as %sbr with 0.66%. the detection and quantitation limit for cadmium(ii) detection were 0.4206 µm~0.0771 ppm and 0.5525 µm~0.1013 ppm, respectively. the developed method was then applied for cadmium(ii) measurement in the water spinach sample and the obtained cadmium(ii) concentration in water spinach was 0.2399 mg/kg. keywords: cadmium(ii), dpasv, glassy carbon electrode, analytical performance, water spinach introduction nowadays, food safety is becoming a serious public health problem across the world. due to the increasing risk of food contamination by heavy metals, pesticides, or toxins, the concerns about food safety have lately drawn the attention of researchers (d’mello, 2003). the contamination and accumulation of heavy metals in agricultural products is a serious issue to the human health and have been attributed to enzyme dysfunction, neurological disorders, hormone imbalances, nutritional deficiencies, damage brain chemistry, and even lead to cancer (rahman, adil, yusof, kamaruzzaman, & ansary, 2014; chowdhury, mazumder, al-attas, & husain, 2016). several factors are affecting the heavy metals concentration in plants such as climate, environmental pollution, the composition of the soil on which the plant is grown, and the degree of plant maturity at the harvesting time (scott, keoghan, & allan, 1996; voutsa, grimanis, & samara, 1996). it is well known that fertilizers also contain heavy metals and making them as an additional source of metal contamination in vegetables(mortvedt, 1995; yusuf, arowolo, & bamgbose, 2003). plants and leafy vegetables have a high potential to accumulate a higher concentration of heavy metals especially in their leaves part (farooq, anwar, & rasyid, 2008). among the heavy metals, cadmium is the most abundant metals and their excessive intake has been linked to cardiovascular, kidney, neurological, and bone disorders(steenland & boffetta, 2000; (järup, 2003). the daily intake of cadmium(ii) or cd(ii) allowed by the world health organization is 3 µg l-1 (world health organization, 2008). therefore it is important to follow and monitor the amount of cadmium(ii) ions in vegetable samples to ensure a healthy human life. various analytical methods have been developed for cadmium(ii) detection such as colorimetry budi riza putra et al. indo. j. chem. res., 9(2), 111-111, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 112 (laosuwan, poonsawat, burakham, srijaranai, & mukdasai, 2021), atomic absorption spectroscopy (aas) (teheni, nafie, & dali, 2016; male et al., 2017; bijang, tanasale, kelrey, mansur, & azis, 2021; perelonia et al., 2021), inductively coupled plasmamass spectroscopy (icp-ms) (li, huang, zeng, lin, & huang, 2021), x-ray fluorescence spectrometry (xrf) (chebakova et al., 2021), inductively coupled plasmaoptical emission spectrometry tandem with mass spectrometry (icp-oes-ms) (lundovskaya, medvedev, tsygankova, volzhenin, & saprykin, 2021), and raman spectroscopy (guo et al., 2021). these techniques have been employed for cadmium(ii) in complex matrices and offer versatility in terms of simultaneous determination of metal ion concentrations for a wide range of elements at the same time. in addition, these techniques have a very low detection limits up to femtomolar range (pujol et al., 2014). however, the downside of these spectroscopic techniques are very expensive, requires trained individual to operate the sophisticated equipment, and involves the complex and analytical procedures for sample preparation (bansod, kumar, thakur, rana, & singh, 2017). therefore, there is a need to develop a simple, rapid, low cost, and reliable method that suitable for the real-time and in-situ measurements of cadmium(ii) potentially could be used in field analysis. anodic stripping voltammetry method as one of the electrochemical techniques provide simple operations, faster, and simpler analysis for in-situ monitoring such as cadmium analysis (silva et al., 2021; hou, fan, ma, dong, & yao, 2021; lai et al., 2020). in this method, metal ions in solution are accumulated into the surface of working electrode by applying the deposition potential and allow preconcentration step. after the metal deposited on the electrode surface then followed by stripping step to release and oxidize the deposited metal on the electrode surface back to solution as ions. this process can be monitored in a graph called a voltammogram as a function of the current from redox process (y-axis) versus potential applied into the electrode surface (xaxis). in this study, the detection of cadmium(ii) was performed via differential pulse anodic stripping voltammetry using a glassy carbon electrode as well as its parameters optimization. the optimized parameters obtained from the developed method was then used to detect cadmium(ii) in vegetable samples in particular water spinach. methodology materials and instrumentals the materials used include kcl, hno3 65%, hcl 37%, cdcl2 were purchased from merck and used as received without further purification. aquabidest and water spinach sample were obtained from the local store. the instrumental used are voltammetric measurements were carried out using edaq potensiostat. a single compartment cell with a threeelectrode configuration was used for electrochemical measurements. a silver/silver chloride electrode (sce) (from ij cambria scientific ltd) and a pt wire electrode were used as the reference and counter electrodes, respectively. the working electrode was a 3.0 mm-diameter glassy carbon disk electrode obtained from ij cambria scientific ltd. all measurements were performed at a temperature of 25 ± 2 oc. cadmium(ii) analysis was also performed using atomic absorption spectrophotometer (aas) shimadzu aa-7000. all voltammetric data were processed using echem v 2.1.0, and origin pro 7.0. experimental in general, the methodology was divided into 3 major steps, determination of optimum condition for cd(ii) measurements, evaluation of analytical performance for cd(ii) measurement, and determination of cd(ii) in real sample. determination of optimum condition for cd(ii) detection using dpasv technique the optimum condition for cd(ii) measurement using dpasv technique was performed in 0.1 m kcl. several parameters were optimized during cd(ii) measurement using dpasv technique such as potential range, deposition potential and deposition time. the potential range was varied from -1200 to -500 mv vs (ag/agcl). meanwhile the deposition potential was optimized in the range of -1000 mv to -1500 mv vs (ag/agcl). the time deposition was varied in the range of 60 s to 420 s. evaluation of gce performance in cadmium(ii) measurement the evaluation of gce performance in cd(ii) measurement include linearity, precision, limit of detection, and limit of quantitation obtained at the optimum condition. linearity was determined by preparing the series of cd(ii) stock solution at concentration of 1 – 9 µm and measured with dpasv technique at optimum condition. the regression linear was then obtained by relating positive relationship between cd(ii) budi riza putra et al. indo. j. chem. res., 9(2), 111-111, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 113 concentration (x-axis) vs current response (y-axis). meanwhile, precision was determined by preparing cd(ii) in the concentration of 0.5 to 0.9 µm and measured in 6 times replicates. precision is defined in the relative of standard deviation (%rsd) based on the value of current of cd(ii) response. meanwhile, the limit of detection (lod) and limit of quantitation (loq) were determined based on the value signal/noise (s/n) 3 and 10 at significance level of 99%, respectively. measurement of cd(ii) in the water spinach sample detection of cd(ii) in vegetable sample was initially with ashing process of water spinach sample. then cd(ii) was determined from ash sample of water spinach using aas and compared with dpasv technique using gce as a working electrode. the ashing process of water spinach sample refers to the sni 2354.5:2011. determination of cd(ii) in the ash from water spinach sample using aas and dpasv technique the obtained ash from water spinach sample was added with 10 ml hcl 6 m for the aas measurement. the aas parameters for cd(ii) measurement were wavelength as 228.8 nm with flame type of airacetylene, slit of 0.7 nm, cathode lamp of 5 ma, and gas carrier as acetylene. meanwhile, for cd(ii) measurement using dpasv technique, the ash from water spinach sample was diluted in 10 ml kcl 0.1 m and filtered into 25 ml volumetric flask. then, the solution was diluted with aquabidest. data analysis. voltammetric data was obtained using echem software and displayed in voltammogram plot with potential (x-axis) vs current (y-axis). then, the obtained data was further processed using origin 7.0 dan microsoft excel software. results and discussion effect of the deposition potential in order to develop a sensitive method for cd(ii) determination at a gce, various experimental conditions were optimized. firstly, the deposition potential of cd(ii) was varied from -1000 mv to -1500 mv vs (ag/agcl). the result (figure 1) shows that the stripping peak currents of cd(ii) increase when deposition potential was increased from -1000 mv to 1100 mv vs (ag/agcl), but the peak currents decrease with further increasing from -1200 mv to -1500 mv vs (ag/agcl). this trend could be assigned to the hydrogen evolution phenomena was beginning significant in the medium at the negative potential (sukeri, jayaraman, & phani, 2013; huang, chen, liu, & ma, 2014). in addition, the cd deposition on the gce surface might be damaged by the hydrogen bubble and resulted to lowered in the current response of cd(ii) at the more negative potential (bagheri, afkhami, khoshsafar, rezaei, & shirzadmehr, 2013). from the figure 1, it is also clear that the highest sensitivity for cd(ii) measurement observed at the potential range of -1000 mv to -500 mv vs while guo et al., 2021 reported the oxidation potential of cd(ii) at more negative potential in the range of -1000 mv to -700 mv. therefore, in order to obtain the high sensitivity for cd(ii) measurement, the deposition potential of -1100 mv was chosen for the further work. figure 1. voltammogram of 1 mm cd(ii) in 0.1 m kcl at various deposition potential from -1000 mv to -1500 mv vs (ag/agcl) and deposition time of 180 s with scan rate of 10 mv s-1. effect of deposition time the effect of deposition time on the stripping response of cd(ii) was studied from 60 s to 420 s. from figure 2, it has been found that the anodic current of cd(ii) peak increase with the increase of deposition time from 60 s to 360 s. this is due to the fact that as the deposition time longer caused more cd(ii) get accumulated at the interface of gce/solution and thus current increases. after 360 s, the anodic current of cd(ii) becomes decreased, it is due to the saturation of electrode surface with the deposited cadmium which may be lead to the cadmium removal from electrode surface. therefore, a deposition time of 360 s has been used in all further studies. in order to fully optimize of time deposition, it was prepared the series of cd(ii) stock solution in the concentration range of 1 x 10-5 m to 9 x 10-5 m and measured in optimum parameters with two different time accumulation, as shown in figure 3. it is meant to budi riza putra et al. indo. j. chem. res., 9(2), 111-111, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 114 investigate the sensitivity for cd(ii) detection in the different time deposition. figure 2. voltammogram of 1 mm cd(ii) in 0.1 m kcl at various deposition time from 60 s to 240 s with scan rate of 10 mv s-1. both deposition time (60 s and 360 s) giving a linear relationship in respect to the cd(ii) concentration (x-axis) vs peak current (y-axis), but with 360 s provides higher coefficient of determination and sensitivity (inset of figure 3b). thus, it can be concluded that the optimum time for the saturation of cd(ii) concentration at the electrode surface as 360 s and used for all further studies. effect of scan rate the scan-rate effect on the voltammogram of 1 mm cd(ii) in 0.1 m kcl was investigated at various scan rate with deposition potential of -1100 mv (vs ag/agcl) and deposition time of 360 s. when the scan rate was increased from 10 to 100 mv s-1, the anodic current of cd(ii) increased. higher scan rate (above 100 mv s-1) causes losses in peak definition and thus lowering the sensitivity for cd(ii) measurement using dpasv technique. therefore, the scan rate of 100 mv s-1 was chosen for further analysis because it presented the highest sensitivity for cd(ii) analysis and a relatively faster analysis. analytical performance of cd(ii) measurements using dpasv technique linearity the selected optimum parameters for cd(ii) measurement using dpasv technique have been applied to construct a calibration curve as shown in the inset of figure 4. the calibration graph is: y = 0.51x + 0.426 (y = peak current (ip) in µa, x = cd(ii) concentration in m, r2 = 0.996). from the figure 4, a linear response from cd(ii) measurement in the concentration range of 1 to 9 x 10-5 m was obtained. figure 3. voltammogram of cd(ii) at concentration range of 1 – 9 x 10-5 m in 0.1 m kcl measured at deposition potential of -1100 mv (vs ag/agcl) and scan rate of 10 mv s-1 with different deposition time of (a) 60 s and (b) 360 s. this result shows the sensitive measurement of cd(ii) using gce with dpasv technique and possibly could be used for quantitative analysis. in addition, the employment of differential pulse anodic stripping voltammetry (dpasv) for cd(ii) measurements provides a higher sensitivity and low background in current via charging current than cyclic voltammetry (lai et al., 2020). thus, it can be used in the determination of cd(ii) at gce surface and estimating a lower limit of detection and limit of quantification. a a b budi riza putra et al. indo. j. chem. res., 9(2), 111-111, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 115 figure 4. voltammogram of cd(ii) at concentration range of 1 – 9 x 10-5 m in 0.1 m kcl measured at deposition potential of -1100 mv (vs ag/agcl) and scan rate of 100 mv s-1 with deposition time 360 s. inset: calibration curve: y = 0.51x + 0.426, r2 = 0.996. limit of detection, limit of quantitation, and precision the limit of detection (lod) and limit of quantification (loq) value obtained from cd(ii) measurement displayed of 0.4206 µm and 0.5525 µm, respectively. the analytical performance of this method provides comparable in terms of deposition time although other methods displayed higher sensitivity and lowered linear range (table 1). beside lod and loq, the precision value has been determined by measuring 0.5 µm cd(ii) in 6 replicates and can be reported as the value of percentage of relative standard deviation (%rsd). based on the calculated results, %rsd value for cd(ii) measurements using dpasv technique was reported as 0.66% and can be considered as good precision due its value lower than 5% (perelonia et al., 2021). from these values, it is clear that this developed method has a good analytical performance and can be potentially used for cd(ii) measurement in the real sample such as in water spinach. cadmium content in water spinach in order to illustrate the application of the developed method in real sample analysis, it was employed to detect cd(ii) in water spinach sample. for the real sample analysis, water spinach was bought from a local market. water spinach sample was dried, dry ashed, and determined its water content and ash content. from the experiment refers to the aoac standard, it was obtained high water content in water spinach as 89.11 ± 0.32%. most of water contents in the water spinach sample are physically bound to the material networks such as membrane, capillary, and fiber. these water contents are easily evaporated during drying and ashing process. meanwhile, the ash content in water spinach sample was obtained as 2.07 ± 0.06%. this value reflects the total amount of minerals in the water spinach sample and sometimes used to retard the growth of certain microorganisms. table 2. a comparison of cd(ii) content measured with dpasv and aas technique method concentration (mg/kg) maximum concentration (bsn 2009, mg/kg) dpasv 0.2399 0.25 aas 0.0814 0.25 determination of cd(ii) in the water spinach sample was performed using standard addition method and investigated by dpasv technique. results of cd(ii) detection from dpasv was then compared with the results from aas technique. table 2 shows the cd(ii) measurements obtained using dpasv and aas technique. as seen in the table, the concentration detected for cadmium is higher to the value obtained by aas. this might be due to the non-homogeneity of the assay when measurements were taken. although, there is a disagreement in result between both methods, however dpasv could be used as an alternative for cadmium detection in vegetables sample. other work reported by palisoc, estioko, & natividad, 2018 revealed that the cadmium concentration in several vegetables obtained from aas and anodic stripping voltammetry were comparable. by comparing these obtained values with the acceptable international standard for cadmium (sni, 2011 and codex general stan tox,1997) for leafy vegetables as 0.25 mg/kg), it is obvious that the water spinach sample is considered to be contaminated by cd(ii) and not safe for human consumption. it is probable that any metals that could have been detected in the vegetable samples from the accumulation process through the soil and nearby waters (palisoc et al., 2018). the concentration of cadmium(ii) is not only coming from soil and water but might be due to the transportation, handling, and storage of water spinach samples. conclusion a simple and cost effective for quick assessment of cd(ii) was developed using dpasv technique at a glassy carbon electrode. the developed method was successfully applied on vegetable samples in particular budi riza putra et al. indo. j. chem. res., 9(2), 111-111, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 116 water spinach, which the cadmium concentration was 0.24 mg/kg. the results of this study indicated that level of cd(ii) in analyzed water spinach samples were found within maximum acceptable levels which could be dangerous for human consumption. therefore, attention to the quality of vegetable samples for human needs with regard to level of toxic metals is very necessary. references bagheri, h., afkhami, a., khoshsafar, h., rezaei, m., & shirzadmehr, a. (2013). simultaneous electrochemical determination of heavy metals using a triphenylphosphine/mwcnts composite carbon ionic liquid electrode. sensors and actuators b: chemical, 186, 451–460. https://doi.org/10.1016/j.snb. 2013.06.051 bansod, b., kumar, t., thakur, r., rana, s., & singh, i. (2017). a review on various electrochemical techniques for heavy metal ions detection with different sensing platforms. biosensors and bioelectronics, 94, 443–455. https://doi.org/ 10.1016/j.bios. 2017.03.031 bijang, c. m., tanasale, m. f. j. d. p., kelrey, a. g., mansur, i. u., & azis, t. (2021). preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indonesian journal of chemical research, 9(1), 15–20. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2021.9-bij chebakova, k. a., dzidziguri, e. l., sidorova, e. n., vasiliev, a. a., ozherelkov, d. y., pelevin, i. a., nalivaiko, a. y. (2021). x-ray fluorescence spectroscopy features of micro and nanoscale copper and nickel particle compositions. nanomaterials, 11(9), 2388. https://doi.org/ 10.3390/nano11092388 chowdhury, s., mazumder, m. a. j., al-attas, o., & husain, t. (2016). heavy metals in drinking water: occurrences, implications, and future needs in developing countries. the science of the total environment, 569–570, 476–488. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv. 2016.06.166 codex general stan tox (1997). retrieved from http://www.ico.org / projects/ good-hygienepractices/cnt/cnt_en/sec_2/docs_2.1/codex%20 general%20stan%20tox.pdf d’mello, j. p. f. (ed.). (2003). food safety: contaminants and toxins. wallingford: cabi. https://doi.org/10.1079/9780851996073.0000 farooq, m., anwar, f., & rasyid, u. (2008, february 23). appraisal of heavy metal contents in different vegetables grown in the vicinity of an industrial area. pak. j. bot. retrieved from https://citeseerx.ist.psu.edu/ viewdoc/download? doi=10.1.1.629.5082&rep=rep1&type=pdf guo, z., chen, p., yosri, n., chen, q., elseedi, h. r., zou, x., & yang, h. (2021). detection of heavy metals in food and agricultural products by surface-enhanced raman spectroscopy. food reviews international, 1–22. https://doi.org/ 10.1080/87559129. 2021.1934005 hou, j., fan, y., ma, x., dong, x., & yao, s. (2021). effects of modified fly ash doped carbon paste electrodes and metal film electrodes on the determination of trace cadmium(ii) by anodic stripping voltammetry. rsc advances, 11(28), 17240–17248. https://doi.org/10.1039/d0ra07 49 3d huang, h., chen, t., liu, x., & ma, h. (2014). ultrasensitive and simultaneous detection of heavy metal ions based on three-dimensional graphene-carbon nanotubes hybrid electrode materials. analytica chimica acta, 852, 45–54. https://doi.org/10.1016/j.aca.2014.09.010 järup, l. (2003). hazards of heavy metal contamination. british medical bulletin, 68(1), 167–182. https://doi.org/10.1093/bmb/ ldg032 lai, z., lin, f., qiu, l., wang, y., chen, x., & hu, h. (2020). development of a sequential injection analysis device and its application for the determination of mn(ii) in water. talanta, 211, 120752. https://doi.org/ 10.1016/j.talanta.2020. 120752 laosuwan, m., poonsawat, c., burakham, r., srijaranai, s., & mukdasai, s. (2021). a novel liquid colorimetric probe for highly selective and sensitive detection of lead (ii). food chemistry, 363, 130254. https://doi.org/ 10.1016/j.foodchem.2021.130254 li, p., huang, y.-y., zeng, j., lin, z.-z., & huang, z.y. (2021). cadmium species in marine shortnecked clam analyzed by size exclusion chromatography hyphenated respectively with inductively coupled plasma mass spectrometry and electrospray ionization quadrupole-time of flight mass spectrometry. spectrochimica acta part b: atomic spectroscopy, 180, 106159. https://doi.org/10.1016/j.sab.2021.106159 lundovskaya, o. v., medvedev, n. s., tsygankova, a. r., volzhenin, a. v., & saprykin, a. i. (2021). multi-element optical emission and massspectrometry analysis of high-purity cadmium with vacuum preconcentration by matrix volatilization. spectrochimica acta, part b: budi riza putra et al. indo. j. chem. res., 9(2), 111-111, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-riz 117 atomic spectroscopy, 177(106049). https://doi.org/ 10.1016/j.sab.2020.106049 male, y. t., malle, d., bijang, c. m., fransina, e. g., seumahu, c. a., dolaitery, l. m., … gaspersz, n. (2017). analisis kadar logam kadmium (cd) dan timbal (pb) pada sedimen di teluk ambon bagian dalam. indonesian journal of chemical research, 5(1), 22–31. https://doi.org/ 10.30598//ijcr. 2017.5-yus mortvedt, j. j. (1995). heavy metal contaminants in inorganic and organic fertilizers. fertilizer research, 43(1), 55–61. https://doi.org/ 10.1007/bf00747683 palisoc, s. t., estioko, l. c. d., & natividad, m. t. (2018). voltammetric determination of lead and cadmium in vegetables by graphene paste electrode modified with activated carbon from coconut husk. materials research express, 5, 085035. https://doi.org/ 10.1088/20531591/aad43a perelonia, k., benitez, k., banicod, r. j., tadifa, g., cambia, f., & montojo, u. (2021). validation of an analytical method for the determination of cadmium, lead and mercury in fish and fishery resources by graphite furnace and cold vapor atomic absorption spectrometry. food control, 130,108363. https://doi.org/10.1016/j.foodcont. 2021.108363 pujol, l., evrard, d., groenen-serrano, k., freyssinier, m., ruffien-cizsak, a., & gros, p. (2014). electrochemical sensors and devices for heavy metals assay in water: the french groups’ contribution. frontiers in chemistry, 2. 19. https://doi.org/10.3389/ fchem. 2014.00019 rahman, m. m., adil, m., yusof, a. m., kamaruzzaman, y. b., & ansary, r. h. (2014). removal of heavy metal ions with acid activated carbons derived from oil palm and coconut shells. materials, 7(5), 3634–3650. https://doi.org/10.3390/ma7053 634 scott, d., keoghan, j. m., & allan, b. e. (1996). native and low‐input grasses‐a new zealand high country perspective. new zealand journal of agricultural research, 39(4), 499–512. https://doi.org/10.1080/00288233. 1996.9513211 silva, l. p., campos, n. d. s., lisboa, t. p., de faria, l. v., matos, m. a. c., matos, r. c., & de sousa, r. a. (2021). simultaneous determination of cadmium, lead and copper in chocolate samples by square wave anodic stripping voltammetry. food additives & contaminants: part a, 38(3), 418–426. https://doi.org/ 10.1080/19440049.2020.1857443 sni 2354.5-2011 (2011). retrieved from http://sentani.bkipm.kkp.go.id/bkip mnew/public/ files/sni/sni%202354.5-2011%20pb%20cd.pdf steenland, k., & boffetta, p. (2000). lead and cancer in humans: where are we now? american journal of industrial medicine, 38(3), 295–299. https://doi.org/10.1002 /1097-0274(200009)38 sukeri, a., jayaraman, m., & phani, k. (2013). anodic stripping voltammetric determination of cadmium using a “mercury free” indium film electrode. the analyst, 138. https://doi.org/10.1039/c3an01070h teheni, m. t., nafie, n. l., & dali, s. (2016). analisis logam berat cd dalam alga eucheuma cottoni di perairan kabupaten bantaeng. indonesian journal of chemical research, 4(1), 348–351. voutsa, d., grimanis, a., & samara, c. (1996). trace elements in vegetables grown in an industrial area in relation to soil and air particulate matter. environmental pollution, 94(3), 325–335. https://doi.org/10.1016/ s0269-7491(96)00088-7 world health organization. (2008). guidelines for drinking-water quality [electronic resource]: incorporating 1st and 2nd addenda,vol.1, recommendations (3rd ed). geneva: world health organization. retrieved from https://apps.who.int/iris/ handle/10665/204411 yusuf, a. a., arowolo, t. a., & bamgbose, o. (2003). cadmium, copper and nickel levels in vegetables from industrial and residential areas of lagos city, nigeria. food and chemical toxicology: an international journal published for the british industrial biological research association, 41(3), 375–378. https://doi.org/ 10.1016/s0278-6915(02) 00223-5 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 69-79, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9.raf 69 magnetite-activated carbon composite to reduce pollutant:review muhammad rafli1, reza mega wahyuni2, nilna muna zahiro3, i wayan dasna4* department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, universitas negeri malang, jln. semarang 5, malang 65145, indonesia *corresponding author: idasna@um.ac.id received: march 2021 received in revised: may 2021 accepted: august 2021 available online: september 2021 abstract pollution is a serious environmental problem. one of the causes of pollution is the presence of heavy metals. besides heavy metals, there are plastics that cause serious problems in the environment because they are difficult to decompose. these two problems appear an idea about synthesizing activated carbonmagnetite (fe3o4) composite based on polyethylene that can absorb heavy metals. the method used literature review of relevant articles. this study examines the properties of magnetite both physical and chemical along with the applications and benefits of magnetite in daily life. this study can become a new perspective effort to reduce heavy metals pollution using plastic waste as a composite with fe3o4. keywords: plastic, pollution, magnetite composites, fe2o3. introduction dependence on the use of fossil fuels in the transportation, industry, and energy sectors which reached 80% (eia data for 2018) has an effect on increasing air pollution and decreasing human health. (kumar et al., 2019). one of the characteristics of air pollution is the increased of heavy metals content such as zn, cd, pb, and hg (wan et al., 2019). small concentrations of heavy metals play a major role in metabolism and growth of plants and animals, but increasing concentrations can cause some toxic effects in humans (purushotham et al., 2013). apart from entering the environment naturally, heavy metals can enter through anthropogenic activities, such as mining, smelting, waste disposal, use of pesticides or inorganic fertilizers, and atmosphere deposition. (haiyan & stuanes, 2003). the most pollutants from the atmosphere are particulates measuring 2.5 μm (pm2.5) which are easily inhaled, causing several diseases such as damage to respiratory organs and nerve damage (ma, liu, liu, & bi, 2019; sankhla, sharma, & kumar, 2017). research on the prevention of air pollution which causes many diseases is needed by applying science and technology. one of the effective ways to reduce pollutants in the air is to adsorb pollutants using adsorbents. the adsorption process has the advantage of being easy to use, economical, simple design, and high efficiency in absorbing pollutants (al-ghouti, da’ana, abu-dieyeh, & khraisheh, 2019; maddah, yavaripour, ramedani, hosseni, & hasanzadeh, 2020). activated carbon is one of the most widely used adsorbents for adsorption, so it can be used to absorb heavy metals in the air. activated carbon is an adsorbent that is widely used to remove various kinds of organic and inorganic pollutants, polar and nonpolar compounds in the liquid and gas phases(ao et al., 2018). activated carbon was first reported as a gas adsorbent in 1793 by dr. d.m. kehl used wood charcoal to reduce odors and in 1872 as a gas mask with a carbon filter was used in the chemical industry to prevent mercury vapor inhalation (gonzález-garcía, 2018). commercial activated carbon is usually made from wood, coal and lignite (s. wong, ngadi, inuwa, & hassan, 2018). the disadvantages of using these sources include: (1) these materials are not environmentally friendly, (2) require high production cost, and (3) if the carbon source comes from wood, it can cause damage ecosystem although it can still be used as an absorben. in this paper, in addition to a review, a new problem solving is also carried out, namely the manufacture of activated carbon using plastic waste as raw material which is a pollutant in soil and water. the solutions presented have advantages including: (1) reducing production costs due to available raw materials, (2) being an effort to overcome environmental problems due to plastic waste which is difficult to degrade, and (3) overcoming air pollution with pollutants so that it is very effective in solving muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9.raf 70 water, soil and air pollution. as a heavy metal adsorbent, carbon has an active surface that is rich in functional groups that will interact chemically/ physically with heavy metals, the functional groups can be improved by modifying the surface of the carbon (x. yang et al., 2019). to increase the negative charge on the surface of the activated carbon, a modification was made using magnetite nanoparticles. magnetite nanoparticles were chosen because they have the advantages of having a high surface area ratio and can be modified, good magnetic properties, reusable, economical, non-toxic, and have an active side spreaded on the surface so it is very potential if it is combined with activated carbon as an absorbent for heavy metals (alfe, ammendola, gargiulo, raganati, & chirone, 2015; giraldo, erto, & moreno-piraján, 2013a; jain et al., 2018). there are no studies that have made activated carbon composites from plastics-magnetite nanoparticles with applications as an absorber of heavy metals in air. research on pollutant adsorbents using magnetite nanoparticles has been widely carried out to adsorb pollutants in water such as pb(ii), cu(ii), zn(ii), and mn(ii). although composites have never been applied to absorb heavy metals in the air, they have the ability to absorb heavy metals. beside on the structure, magnetite nanoparticles can be used as adsorbents because they have an active side in the form of o atoms on the surface so they can interact with molecules using lewis acid-base interactions (alfe et al., 2015).therefore, in this paper we will review activated carbon from plastic-magnetite nanoparticles and their suitability as an adsorbent of heavy metals in air. activated carbon as an adsorbent the carbon material is mainly composed of carbon atoms which have several allotropes including diamond, graphite, and fullerenes with various derivatives such as nanotubes and nanofibers (menéndez-díaz & i. martín-gullón, 2006). sources of carbon material can be obtained, including from plants, vegetable oils, and waste. in several previous studies, most of the carbon sources were taken from plants and vegetable oils, including from papaya peel waste (abbaszadeh, 2016), oak nut shells (esra altıntıg, altundag, tuzen, & sarı, 2017), olive fruit waste palm oil (cazetta, 2016), harmala peganum seeds (fazlzadeh, 2017), guava seed (pezoti, 2016), spruce sawdust (kazemi, 2016), cocoa shells (saucier, 2015), bagasse (sharma, 2019), moringa oleifera seeds (reck, 2018), babassu coconut (reck, 2018), pine tree waste (tonucci, 2015), parthenium plant (kamaraj, 2020), rice husk charcoal (li, 2019), cucumber skin (mahmoodi, 2019), and orange peel (lam, 2017). plants can be used as carbon sources because they consist of compounds that contain many carbon atoms, one of which is cellulose (suhas, 2016). in addition, other studies also use non-plant waste such as rubber tire waste (saleh, 2017), fabric waste (taís l. silva et al., 2018), and coal (c. yang, 2020). carbon material has the ability as an adsorbent because it has layers and pores that allow a molecule or particulate to be adsorbed on the surface or insertion between layers and pores (figure 1). figure 1. carbon structure. (a) layer (housecroft dan sharpe, 2012) dan (b) pore (menéndez-díaz dan i. martín-gullón, 2006) to increase the adsorption capacity, carbon activation can be carried out both thermally (for example, pyrolysis is then oxidized) and chemically (for example using phosphoric acid) (menéndez-díaz dan i. martín-gullón, 2006). the activated carbon surface will have a functional group as shown in figure 1(moseley, rand, davidson, & monahov, 2018) so that it can attract polar molecules (dipole-ion force) and nonpolar (induced dipole-dipole force) (reucroft, simpson, & jonas, 1971). the carbon with the different sources and material morphology will produce activated carbon with different surface areas and pore specifications. as a result, the capacity of activated carbon will vary when adsorbing certain species (asuquo, martin, nzerem, siperstein, & fan, 2017; lam, 2017; li, 2019). the weakness of carbon adsorbent is its limited capacity so it is necessary to combine with other materials to increase its adsorption capacity. research conducted by (esra altıntıg, altundag, tuzen, & sarı, 2017b) shows that using activated carbon only, the adsorption capacity is 303.0 mg/g. whereas after being composite with magnetite the adsorption capacity becomes 357.1 mg/g. magnetite nanoparticles and their modifications magnetite nanoparticles are magnetite materials which have the compound formula fe3o4. magnetite (a) (b) muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9.raf 71 nanoparticles have an active side in the form of o and metal atoms on the surface so they can interact with molecules using lewis acid-base interactions (alfe et al., 2015), so that it can be used to absorb heavy metal particles in the air which are positively and neutral. magnetite nanoparticles which have a magnetic field are often used as adsorbents because they have the advantage of being easily separated by external magnetic fields (hadi baseri & tizro, 2017), the high specific surface area of the nanoparticles also leads to a high adsorption capacity (bao, fu, & bao, 2013), and low toxicity (z. f. akl, el-saeed, & atta, 2016). previous studies conducted the synthesis of magnetite nanoparticles using several methods, including coprecipitation and solvothermal. in the last 10 years, the majority of research on magnetite has been carried out by compositing it with other compounds to produce different characteristics, thereby increasing the adsorption capacity as research has been done by (hadi baseri & tizro, 2017) and (tanhaei, 2015). the disadvantage of magnetite nanoparticles when used as an adsorbent is that they tend to form aggregates, so it is necessary to modify them with other compounds (eldib, mohamed, el-shamy, & mishrif, 2020). characterization study of activated carbon and magnetiteactivated carbon nanoparticle composites activated carbon and activated carbon-magnetite nanoparticle composites that have been synthesized must be characterized using several instruments. to determine the success of activating carbon and activated carbon-nanoparticle magnetite composites, tests were carried out using the xrd technique. activated carbon that was successfully activated was then compared with jcpds xrd data no. 744044-0, while the magnetite-activated carbon nanoparticle composite was compared with jpcds 98008-2450 (figure 2c). one of the xrd results of the activated carbon is shown in figure 3a above with a peak at 2θ about 25° dan 43° (shamsuddin, yusoff, & sulaiman, 2016). these results show a peak at 2θ which is almost the same when compared to the results of our characterization of activated carbon that we have synthesized, namely the peaks of 25° and 44° (figure 2a). the characterization results of the activated carbon-magnetite nanoparticle composites that we have synthesized compared to jpcds 98-008-2450 also showed a peak at the same 2 which is at 31.73°; 35.19°; 43.01°; 53.56°; 57.02°; dan 62.56° (figure 2c). figure 2. (a) activated carbon xrd pattern (shamsuddin et al., 2016), (b) sem results of activated carbon (yuliusman, puspitasari, & nafisah, 2019b), (c) xrd pattern of composite activated carbon-magnetite nanoparticles experimental results, (d) sem results of activated carbon-magnetite nanoparticles composites (k. t. wong et al., 2016). (a) (b) (c) (d) muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9.raf 72 characterization techniques to determine the microsutructure and surface morphology of activated carbon and magnetite-activated carbon-nanoparticle composites can be done using sem. research using a source of activated carbon from plastics was carried out by (yuliusman, puspitasari, & nafisah, 2019), with sem results shown in figure 2b which shows a porous surface of activated carbon. the characterization of the activated carbon-magnetite nanoparticle composite is shown in figure 2d. to test the specific surface area and pore character, the brunaur, emmett and teller (bet) test was performed. characterization using ftir is used to determine the presence of functional groups on activated carbon and magnetite such as carboxyl, hydroxyl, and carbonyl which have specific wave numbers. the adsorption capacity of activated carbon and magnetite can be carried out using freundlich and langmuir isotherm models. the results of the characterization of activated carbon, magnetite, and their modification in several previous studies are shown in tables 1 and 2. composite activated carbonmagnetite nanoparticles as adsorbent of heavy metals in air adsorption on activated carbon occurs in the presence of dipole ion interactions if the one bound is positively charged or induced dipole-dipole if the nonpolar compound is attached (reucroft et al., 1971). the intermolecular forces that exist on adsorption using activated carbon are quite weak when compared to ionion interactions. therefore, other useful compounds are needed to cause the surface of activated carbon to have a negative charge so that the electrostatic force becomes stronger, such as the addition of magnetite nanoparticles. previous research on activated carbon composites-adsorbent magnetite nanoparticles has been carried out with different activated carbon sources such as oak nut shells (e. altıntıg, 2017), palm shells (cazetta, 2016), and commercial activated carbon (juang, 2018). polyethylene plastic waste which has many c atoms can be used as a carbon source. the advantage of activated carbon from polyethylene plastic is that in addition to being able to carry out adsorption, it can also reduce plastic waste which is difficult to degrade. so, it can be used for reduce water and soil pollution. the resulting polyethylene plastic activated carbon is then composited with magnetite nanoparticles. the adsorption mechanism of heavy metal pollutants on the adsorbent and testing mechanism shown in figure 3. (a) (b) figure 3. (a) the adsorption mechanism of heavy metal pollutants on the adsorbent, (b) testing mechanism compared with activated carbon adsorbent only, the polyethylene-magnetite plastic activated carbon composite will increase the adsorption capacity of heavy metals in positively charged air because it has a more negative adsorbent surface in the presence of magnetite which has a negative charge on its surface. when a heavy metal is positively charged, it will be attracted to the composite due to the electrostatic force as shown in figure 3a. testing can be done by inserting a heavy metal sample into a device that has been fitted with an adsorbent with a certain thickness as shown in figure 3b so that adsorption occurs. the metal that is not adsorbed will come out into the acid solution, then the metal that is not adsorbed will be tested using aas. muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 73 table 1. characterization of activated carbon and its modification source modification adsorbed compound surface area (m2 g-1) total pore volume (cm3 g-1) micropore volume (cm3 g-1) mesopore volume (cm3 g-1) average pore diameter (nm) adsorption capacity (mg g-1) reference papaya skin waste lead (ii) 15.26 0.0469 38.31 (abbaszadeh, 2016) commercial modification with metal oxides acetaldehide increase 20% with la2o3 (baur, 2015) oak shell seeds methylene blue 870.356 0.27 330.0 (e. altıntıg, 2017) oak shell seeds magnetite methylene blue 940.132 0.23 357.1 (e. altıntıg, 2017) olive fruit waste copper (ii) 1194 0.56 0.552 0.009 2.072 8.832 (bohli, 2015) olive fruit waste cadmium (ii) 1194 0.56 0.552 0.009 2.072 34.173 (bohli, 2015) olive fruit waste lead (ii) 1194 0.56 0.552 0.009 2.072 84.33 (bohli, 2015) palm shells magnetite sunset yellow dye 1:1 = 372 2:1 = 337 3:1 = 238 1:1 = 0.210 2:1 = 0.172 3:1 = 0.118 1:1 = 0.156 2:1 = 0.141 3:1 = 0.101 1:1 = 0.054 2:1 = 0.031 3:1 = 0.017 1:1 = 2.26 2:1 = 2.04 3:1 = 1.98 22.31 (cazetta, 2016) harmala peganum seeds coated with zno nanoparticles chromium (vi) 442 0.233 2 74.67 (fazlzadeh, 2017) guava seeds amoxicillin 2573.6 mesopore :4.42 micropore :1.96 570.48 (pezoti, 2016) orange peel malachite green dye 1350 0.60 0.38 0.22 23 28.5 (lam, 2017) a mixture of plastic, paper and palm oil waste malathion 115.17 32.1 (habila, 2015) waste paper methylene blue 1670 1.14 0.06 29.8 350 (novais, 2018) cocoa shell sodium diclofenac 619 0.315 4.8 dfc = 63.47 nm = 74.81 (saucier, 2015) muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 74 continued (dfc) and nimesulide (nm) rubber tire composite with magnetite, modified with polyethylenei mine uranium (vi) ion 303 62 115.31 (saleh, 2017) moringa oleifera seeds tartrazine 18.93 0.026 0.003 0.023 2.571 91.27 (reck, 2018) babassu coconut tartrazine 624.30 0.351 0.304 0.028 1.400 31.10 (reck, 2018) fabric waste remazol brilliant blue r 1582 1.005 0.17 0.39 3.6 292 (t.l. silva, 2018) table 2. characterization of magnetite and its modification composites methode diameter (nm) adsorbed substance capacity (mg/g) reference hidroxyapatite coprecipitation pb(ii) 598.8 (dong, zhu, qiu, & zhao, 2010) graphene oxide solvothermal 9 rhodamine b malachite green 13.15 22 (sun, cao, & lu, 2011) dodecylbenzene sulfonate coprecipitation 53 (eskandari & shariati, 2011) montmorillonite (mmt) polyethylenimine (pei) coprecipitation 40 cr (vi) pei 800 g/mol = 8.77 pei 25000 g/mol = 7.69 (larraza, lópez-gónzalez, corrales, & marcelo, 2012) graphene oxide two-step reaction 13 hg (ii) 289.9 (fu, 2013) zeolit precipitation 17 (yamaura & fungaro, 2013) graphene oxide sdz stz sdd 10 8 6 (shi & ye, 2014) chitosan 36, 30, dan 29 methyl orange 417 (tanhaei, 2015) muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 75 continued al2o3 maize tassel coprecipitation cd(ii) 52.05 (guyo, 2015) carbon coprecipitation co2 20 (alfe, 2015) acrylamidoamineamidoxime-co-2acrylamido-2-methylpropane sulfonic acid (ao/amps) u(vi) 476.190 (z. akl, 2016) coprecipitation as(v) cu (ii) (iconaru, 2016) graphene oxide solvothermal 10 dan 30 methylene blue (sharif, 2017) coprecipitation 60±10 ni (ii) 46.513 (h. baseri, 2017) graphene coprecipitation (musa, 2018) cetyltrimethylammonium bromide (ctab) coprecipitation 10-20 congo red 93.46 (saksornchai, 2018) naturalbentonite 2-50 cu (ii) 46.94 (mohammed, 2018) potential development of magnetite-activated carbon nanoparticle composites in the future, the resulting composites can be added in factory chimneys and in the exhaust of motorized vehicles where the air is prone to containing heavy metals. the polyethylene-magnetite nanoparticle composite can be printed in the form of a plate and then arranged like an electric mosquito repellent plate as shown in figure 4. in addition, the activated carbon-nanoparticle magnetite composite can also be used as an antimicrobial when combined with other species such as ag (furlan et al., 2017) so it is necessary to be installed in central air conditioning. based on this explanation, it is known that the polyethylene-magnetite nanoparticle composite is very potential to be researched and developed. figure 4. application and arrangement of adsorbents in factory chimneys and motor vehicle exhausts muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, year doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 76 conclusions activated carbon can be synthesized from polyethylene plastic waste which has many carbon atoms. to increase the adsorption capacity of the material, compost is carried out using magnetite which has a negative charge on its surface. the composites formed can adsorb heavy metals in the air by interacting with ions so that they can reduce air pollution. references abbaszadeh, s. (2016). treatment of leadcontaminated water using activated carbon adsorbent from locally available papaya peel biowaste. journal of cleaner production, 118, 210–222. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016. 01.054 akl, z. f., el-saeed, s. m., & atta, a. m. (2016). insitu synthesis of magnetite acrylamide aminoamidoxime nanocomposite adsorbent for highly efficient sorption of u(vi) ions. journal of industrial and engineering chemistry, 34, 105–116. https://doi.org/10.1016/j.jiec.2015.10. 042 alfe, m., ammendola, p., gargiulo, v., raganati, f., & chirone, r. (2015). magnetite loaded carbon fine particles as low-cost co2 adsorbent in a sound assisted fluidized bed. proceedings of the combustion institute, 35(3), 2801–2809. https://doi.org/10.1016/j.proci.2014.06.037 al-ghouti, m. a., da’ana, d., abu-dieyeh, m., & khraisheh, m. (2019). adsorptive removal of mercury from water by adsorbents derived from date pits. scientific reports, 9(1), 15327. https://doi.org/10.1038/s41598-019-51594-y alkhatib, a. j. (2015). medical and environmental applications of activated charcoal: review article. european scientific journal, 11, 3. altıntıg, e. (2017). effective removal of methylene blue from aqueous solutions using magnetic loaded activated carbon as novel adsorbent. chemical engineering research and design, 122, 151–163. https://doi.org/10.1016/j.cherd.2017. 03.035 ao, w., fu, j., mao, x., kang, q., ran, c., liu, y., … dai, j. (2018). microwave assisted preparation of activated carbon from biomass: a review. renewable and sustainable energy reviews, 92, 958–979. https://doi.org/10.1016/j.rser.2018.04. 051 asuquo, e., martin, a., nzerem, p., siperstein, f., & fan, x. (2017). adsorption of cd (ii) and pb (ii) ions from aqueous solutions using mesoporous activated carbon adsorbent: equilibrium, kinetics and characterization studies. journal of environmental chemical engineering, 5(1), 679698. https://doi.org/10.1016/j.jece.2016.12.043 bao, j., fu, y., & bao, z. (2013). thiol-functionalized magnetite/graphene oxide hybrid as a reusable adsorbent for hg2+ removal. nanoscale research letters, 8(1), 486. https://doi.org/ 10.1186/1556-276x-8-486 baseri, hadi, & tizro, s. (2017). treatment of nickel ions from contaminated water by magnetite based nanocomposite adsorbents: effects of thermodynamic and kinetic parameters and modeling with langmuir and freundlich isotherms. process safety and environmental protection, 109, 465–477. https://doi.org/ 10.1016/j.psep.2017.04.022 baur, g. (2015). activated carbon fibers modified by metal oxide as effective structured adsorbents for acetaldehyde. catalysis today, 249, 252–258. https://doi.org/10.1016/j.cattod.2014.11.021 benhouria, a. (2015). calcium alginate-bentoniteactivated carbon composite beads as highly effective adsorbent for methylene blue. chemical engineering journal, 270, 621–630. https://doi.org/10.1016/j.cej.2015.02.030 bohli, t. (2015). evaluation of an activated carbon from olive stones used as an adsorbent for heavy metal removal from aqueous phases. comptes rendus chimie, 18(1), 88–99. https://doi.org/10.1016/j.crci.2014.05.009 cazetta, a. (2016). magnetic activated carbon derived from biomass waste by concurrent synthesis: efficient adsorbent for toxic dyes. acs sustainable chemistry and engineering, 4(3), 1058–1068. https://doi.org/10.1021/ acssuschemeng.5b01141 dong, l., zhu, z., qiu, y., & zhao, j. (2010). removal of lead from aqueous solution by hydroxyapatite/magnetite composite adsorbent. chemical engineering journal, 165(3), 827-834. https://doi.org/10.1016/j.cej.2010.10.027 el-dib, f. i., mohamed, d. e., el-shamy, o. a. a., & mishrif, m. r. (2020). study the adsorption properties of magnetite nanoparticles in the presence of different synthesized surfactants for heavy metal ions removal. egyptian journal of petroleum, 29(1), 1–7. https://doi.org/10.1016/ j.ejpe.2019.08.004 eskandari, h., & shariati, m. r. (2011). dodecylbenzene sulfonate-coated magnetite nanoparticles as a new adsorbent for solid phase muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, year doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 77 extraction-spectrophotometric determination of ultra trace amounts of ammonium in water samples. analytica chimica acta, 704(1–2), 146– 153. https://doi.org/10.1016/j.aca.2011.07. 005 fazlzadeh, m. (2017). green synthesis of zinc oxide nanoparticles using peganum harmala seed extract, and loaded on peganum harmala seed powdered activated carbon as new adsorbent for removal of cr (vi) from aqueous solution. ecological engineering, 103, 180–190. https://doi.org/ 10.1016/j.ecoleng.2017.02.052 bao, j., fu, y., & bao, z. (2013). thiol-functionalized magnetite/graphene oxide hybrid as a reusable adsorbent for hg2+ removal. nanoscale research letters, 8(1), 486. https://doi.org/ 10.1186/1556-276x-8-486 furlan, p., fisher, a., furlan, a., melcer, m., shinn, d., & warren, j. (2017). magnetically recoverable and reusable antimicrobial nanocomposite based on activated carbon, magnetite nanoparticles, and silver nanoparticles for water disinfection. inventions, 2(2), 10. https://doi.org/10.3390/inventions 2020010 giraldo, l., erto, a., & moreno-piraján, j. c. (2013a). magnetite nanoparticles for removal of heavy metals from aqueous solutions: synthesis and characterization. adsorption, 19(2–4), 465–474. https://doi.org/10.1007/s10450-012-9468-1 gonzález-garcía, p. (2018). activated carbon from lignocellulosic precursors: a review of the synthesis methods, characterization techniques and applications. renewable and sustainable energy reviews, 82, 1393–1414. https://doi.org/ 10.1016/j.rser.2017.04.117 gupta, v. k., ali, i., saleh, t. a., siddiqui, m. n., & agarwal, s. (2013). chromium removal from water by activated carbon developed from waste rubber tires. environmental science and pollution research, 20(3), 1261–1268. https://doi.org/ 10.1007/s11356-012-0950-9 guyo, u. (2015). application of response surface methodology for cd (ii) adsorption on maize tassel-magnetite nanohybrid adsorbent. journal of environmental chemical engineering, 3(4), 2472–2483. https://doi.org/10.1016/j.jece. 2015.09.006 habila, m. (2015). activated carbon from waste as an efficient adsorbent for malathion for detection and removal purposes. journal of industrial and engineering chemistry, 32(query date: 2020-0906 11:34:59), 336–344. https://doi.org/ 10.1016/j.jiec.2015.09.009 haiyan, w., & stuanes, a. o. (2003). heavy metal pollution in air-water-soil-plant system of zhuzhou city, hunan province, china. water, air, and soil pollution, 147(1), 79–107. https://doi.org/10.1023/a:1024522111341 housecroft, c. e., & sharpe, a. g. (2012). inorganic chemistry fourth edition. london: pearson education limited. iconaru, s. (2016). magnetite (fe3o4) nanoparticles as adsorbents for as and cu removal. applied clay science, 134, 128–135. https://doi.org/10.1016 /j.clay.2016.08.019 iftikhar, p. m., ali, f., faisaluddin, m., khayyat, a., de gouvia de sa, m., & rao, t. (2019). a bibliometric analysis of the top 30 most-cited articles in gestational diabetes mellitus literature (1946-2019). cureus. https://doi.org/ 10.7759/cureus.4131 jain, m., yadav, m., kohout, t., lahtinen, m., garg, v. k., & sillanpää, m. (2018). development of iron oxide/activated carbon nanoparticle composite for the removal of cr (vi), cu (ii) and cd (ii) ions from aqueous solution. water resources and industry, 20, 54–74. https://doi.org/10.1016/j.wri.2018.10.001 juang, r. (2018). synthesis of magnetic fe3o4/activated carbon nanocomposites with high surface area as recoverable adsorbents. journal of the taiwan institute of chemical engineers, 51–60. https://doi.org/10.1016/ j.jtice.2017.12. 005 kamaraj, m. (2020). facile development of sunlit zno nanoparticles-activated carbon hybrid from pernicious weed as an operative nanoadsorbent for removal of methylene blue and chromium from aqueous solution: extended application in tannery industrial wastewater. environmental technology and innovation, 17. https://doi.org/10.1016/j.eti. 2019.100540 kazemi, f. (2016). thiol-incorporated activated carbon derived from fir wood sawdust as an efficient adsorbent for the removal of mercury ion: batch and fixed-bed column studies. process safety and environmental protection, 100, 22–35. https://doi.org/10.1016/ j.psep.2015.12.006 kumar, p., druckman, a., gallagher, j., gatersleben, b., allison, s., eisenman, t. s., … morawska, l. (2019). the nexus between air pollution, green infrastructure and human health. environment international, 133, 105181. https://doi.org/ 10.1016/j.envint.2019.105181 muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, year doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 78 lam, s. s. (2017). microwave-assisted pyrolysis with chemical activation, an innovative method to convert orange peel into activated carbon with improved properties as dye adsorbent. journal of cleaner production, 162, 1376–1387. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.06.131 larraza, i., lópez-gónzalez, m., corrales, t., & marcelo, g. (2012). hybrid materials: magnetite– polyethylenimine–montmorillonite, as magnetic adsorbents for cr (vi) water treatment. journal of colloid and interface science, 385(1), 24–33. https://doi.org/10.1016/j.jcis.2012.06.050 li, m. (2019). preparation of a dual pore structure activated carbon from rice husk char as an adsorbent for co2 capture. fuel processing technology, 186, 35–39. https://doi.org/10.1016/j.fuproc.2018.12.015 ma, z., liu, r., liu, y., & bi, j. (2019). effects of air pollution control policies on pm2.5 pollution improvement in china from 2005 to 2017: a satellite-based perspective. atmospheric chemistry and physics, 19(10), 6861–6877. https://doi.org/10.5194/acp-19-6861-2019 maddah, b., yavaripour, a., ramedani, s. h., hosseni, h., & hasanzadeh, m. (2020). electro spun pu nanofiber composites based on carbon nanotubes decorated with nickel-zinc ferrite particles as an adsorbent for removal of hydrogen sulfide from air. environmental science and pollution research, 27(28), 35515– 35525. https://doi.org/10.1007/s11356-02009324-9 mahmoodi, n. (2019). activated carbon/metalorganic framework composite as a bio-based novel green adsorbent: preparation and mathematical pollutant removal modeling. journal of molecular liquids, 277, 310–322. https://doi.org/10.1016/j.molliq.2018.12.050 menéndez-díaz, j. a. & i. martín-gullón (eds.). (2006). types of carbon adsorbents and their production. elsevier: amsterdam. mohammed, a. (2018). bentonite coated with magnetite fe3o4 nanoparticles as a novel adsorbent for copper (ii) ions removal from water/wastewater. environmental technology and innovation, 10(query date: 2020-09-05 21:12:03), 162–174. https://doi.org/10.1016/j.eti.2018.02.005 moseley, p. t., rand, d. a. j., davidson, a., & monahov, b. (2018). moseley, p. t., rand, d. a. j., davidson, a., & monahov, b. (2018). understanding the functions of carbon in the negative active-mass of the lead–acid battery: a review of progress. journal of energy storage, 19, 272–290. https://doi.org/10.1016/ j.est.2018.08.003 musa, m. (2018). graphene-magnetite as adsorbent for magnetic solid phase extraction of 4hydroxybenzoic acid and 3,4-dihydroxybenzoic acid in stingless bee honey. food chemistry, 265, 165–172. https://doi.org/10.1016/ j.foodchem.2018.04.020 novais, r. (2018). extremely fast and efficient methylene blue adsorption using eco-friendly cork and paper waste-based activated carbon adsorbents. journal of cleaner production, 197, 1137–1147. https://doi.org/10.1016/j.jclepro. 2018.06.278 pezoti, o. (2016). naoh-activated carbon of high surface area produced from guava seeds as a high-efficiency adsorbent for amoxicillin removal: kinetic, isotherm and thermodynamic studies. chemical engineering journal, 288(query date: 2020-09-06 11:34:59), 778–788. https://doi.org/10.1016/j.cej.2015.12.042 purushotham, d., rashid, m., lone, m. a., rao, a. n., ahmed, s., nagaiah, e., & dar, f. a. (2013). environmental impact assessment of air and heavy metal concentration in groundwater of maheshwaram watershed, ranga reddy district, andhra pradesh. journal of the geological society of india, 81(3), 385–396. https://doi.org/10.1007/s12594-013-0049-z reck, i. (2018). removal of tartrazine from aqueous solutions using adsorbents based on activated carbon and moringa oleifera seeds. journal of cleaner production, 171, 85–97. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.09.237 reucroft, p. j., simpson, w. h., & jonas, l. a. (1971). sorption properties of activated carbon. the journal of physical chemistry, 75(23), 3526– 3531. https://doi.org/10.1021/j100692a007 saksornchai, e. (2018). simple wet-chemical synthesis of superparamagnetic ctab-modified magnetite nanoparticles using as adsorbents for anionic dye congo red removal. materials letters, 213, 138–142. https://doi.org/10.1016/ j.matlet.2017.11.015 saleh, t. (2017). polyethylenimine modified activated carbon as novel magnetic adsorbent for the removal of uranium from aqueous solution. chemical engineering research and design, 117, 218–227. https://doi.org/10.1016/j.cherd.2016.10.030 sankhla, m. s., sharma, k., & kumar, d. r. (2017). heavy metal causing neurotoxicity in human muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, year doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 79 health. international journal of innovative research in science, engineering and technology, 6(5). https://doi.org/10.15680 /ijirset.2017.0605054 saucier, c. (2015). microwave-assisted activated carbon from cocoa shell as adsorbent for removal of sodium diclofenac and nimesulide from aqueous effluents. journal of hazardous materials, 289(query date: 2020-09-06 11:34:59), 18–27. https://doi.org/10.1016/ j.jhazmat.2015.02.026 shamsuddin, m. s., yusoff, n. r. n., & sulaiman, m. a. (2016). synthesis and characterization of activated carbon produced from kenaf core fiber using h3po4 activation. procedia chemistry, 19, 558–565. https://doi.org/10.1016/ j.proche.2016.03.053 sharif, f. (2017). electrochemical regeneration of a reduced graphene oxide/magnetite composite adsorbent loaded with methylene blue. water research, 114, 237–245. https://doi.org/10.1016/ j.watres.2017. 02.042 sharma, m. (2019). zno tetrapod’s and activated carbon-based hybrid composite: adsorbents for enhanced decontamination of hexavalent chromium from aqueous solution. chemical engineering journal, 358, 540–551. https://doi.org/10.1016/ j.cej.2018.10.031 shi, p., & ye, n. (2014). magnetite–graphene oxide composites as a magnetic solid-phase extraction adsorbent for the determination of trace sulfonamides in water samples. analytical methods, 6(24), 9725–9730. https://doi.org/ 10.1039/c4ay02027h silva, taís l., cazetta, a. l., souza, p. s. c., zhang, t., asefa, t., & almeida, v. c. (2018). mesoporous activated carbon fibers synthesized from denim fabric waste: efficient adsorbents for removal of textile dye from aqueous solutions. journal of cleaner production, 171, 482–490. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.10.034 silva, t.l. (2018). mesoporous activated carbon fibers synthesized from denim fabric waste: efficient adsorbents for removal of textile dye from aqueous solutions. journal of cleaner production, 171, 482–490. https://doi.org/ 10.1016 /j.jclepro.2017.10.034 suhas. (2016). cellulose: a review as natural, modified and activated carbon adsorbent. bioresource technology, 216, 1066–1076. https://doi.org/ 10.1016/j.biortech.2016.05.106 sun, h., cao, l., & lu, l. (2011). magnetite/reduced graphene oxide nanocomposites: one step solvothermal synthesis and use as a novel platform for removal of dye pollutants. nano research, 4(6), 550–562. https://doi.org/10.1007/ s12274-011-0111-3 tanhaei, b. (2015). preparation and characterization of a novel chitosan/al2o3/magnetite nanoparticles composite adsorbent for kinetic, thermodynamic and isotherm studies of methyl orange adsorption. chemical engineering journal, 259, 1–10. https://doi.org/10.1016/ j.cej.2014.07.109 tonucci, m. (2015). activated carbons from agricultural byproducts (pine tree and coconut shell), coal, and carbon nanotubes as adsorbents for removal of sulfamethoxazole from spiked aqueous solutions: kinetic and thermodynamic studies. industrial crops and products, 74(query date: 2020-09-06 11:34:59), 111–121. https://doi.org/10.1016/ j.indcrop.2015.05.003 wan, d., song, l., mao, x., yang, j., jin, z., & yang, h. (2019). one-century sediment records of heavy metal pollution on the southeast mongolian plateau: implications for air pollution trend in china. chemosphere, 220, 539–545. https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.2018.12.1 51 wong, k. t., eu, n. c., ibrahim, s., kim, h., yoon, y., & jang, m. (2016). recyclable magnetiteloaded palm shell-waste based activated carbon for the effective removal of methylene blue from aqueous solution. journal of cleaner production, 115, 337–342. https://doi.org/ 10.1016/ j.jclepro.2015.12.063 wong, s., ngadi, n., inuwa, i. m., & hassan, o. (2018). recent advances in applications of activated carbon from biowaste for wastewater treatment: a short review. journal of cleaner production, 175, 361–375. https://doi.org/ 10.1016/j.jclepro.2017.12.059 yamaura, m., & fungaro, d. a. (2013). synthesis and characterization of magnetic adsorbent prepared by magnetite nanoparticles and zeolite from coal fly ash. journal of materials science, 48(14), 5093–5101. https://doi.org/10.1007/s10853-0137297-6 yang, c. (2020). bifunctional zno-mgo/activated carbon adsorbents boost h2s room temperature adsorption and catalytic oxidation. applied catalysis b: environmental, 266, muhammad rafli et al. indo. j. chem. res., 9(2), 69-80, year doi: 10.30598//ijcr.2021.9-raf 80 118674. https://doi.org/10.1016/ j.apcatb. 2020.118674 yang, x., wan, y., zheng, y., he, f., yu, z., huang, j., … gao, b. (2019). surface functional groups of carbon-based adsorbents and their roles in the removal of heavy metals from aqueous solutions: a critical review. chemical engineering journal, 366, 608–621. https://doi.org/10.1016/j.cej. 2019.02.119 yuliusman, y., puspitasari, m., & nafisah, a. r. (2019a). preparation of activated carbon by chemical activation using koh and acetone from low density polyethylene (ldpe) wastes. aip conference proceedings, 2175(1), 020027. https://doi.org/10.1063/1.5134591 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(1),35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 35 karakterisasi fotokatalis untuk fotoreduksi karbon dioksida menjadi asam format dalam fasa akuatik photocatalyst characterization for photoreduction of carbon dioxide to produce formic acid in aquatic phase jenny rizkiana * , al fattah suyadi, dzaky auliardi, hary devianto, tatang hernas soerawidjaja department of chemical engineering, faculty of industrial technology, institut teknologi bandung, jl. ganesha no.10, bandung 40132 * corresponding author: jr@che.itb.ac.id received: 2019-12-18 received in revised: 2020-4-12 accepted: 2020-5-27 available online:2020-5-31 abstract photoreduction of carbon dioxide is one of the promising method to reduce greenhouse gas emission. carbon dioxide can be converted into organic chemical that has higher economic value by utilizing light energy. one of the favorable product is formic acid which is can be used as hydrogen-carrier. for this process, photocatalyst plays important role as it can increase the rate of reaction and as well as the selectivity as such more desirable product can be produced. the objective of present study is to develop photocatalyst which can significantly catalyze the photoreduction process of co2 to form formic acid. zinc titanate doped with aluminium is used as the base photocatalyst. photoreduction process is held in room condition using three 2800 lm lamp. qualitative analysis of the product is done by silver solid test and acidity test while quantitative analysis is done by high performance liquid chromatography (hplc) test. the silver solid test results confirm that formic acid is formed during process. based on acidity profile data, anthocyanin as photosensitizer could increase higher acidity in the mixture than melanin. however, the concentration of formic acid in the solution is still very low so that it cannot be detected by hplc. keywords: photocatalyst, photosensitizer, photoreduction, formic acid, carbon dioxide abstrak (indonesian) fotoreduksi karbon dioksida adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. karbon dioksida dapat diubah menjadi senyawa kimia yang bernilai lebih tinggi dengan memanfaatkan energi cahaya. salah satunya yaitu asam format yang dapat berperan sebagai senyawa pembawa hidrogen. pada proses ini, fotokatalis memiliki peran penting untuk mempercepat laju reaksi dan meningkatkan selektivitas. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan fotokatalis yang secara signifikan dapat mempercepat proses fotoreduksi co2 menjadi asam format. seng titanat yang didoping dengan aluminium digunakan sebagai fotokatalis. proses fotoreduksi dilakukan pada kondisi ruang menggunakan tiga lampu 2800 lm. analisis kualitatif produk dilakukan dengan uji padatan perak dan uji keasaman sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan uji high performance liquid chromatography (hplc). hasil uji padatan perak mengkonfirmasi bahwa asam format terbentuk selama proses ini. berdasarkan data profil keasaman, antosianin sebagai fotosensitizer dapat meningkatkan keasaman lebih tinggi dalam campuran daripada melanin. namun, konsentrasi asam format dalam larutan masih sangat rendah sehingga tidak dapat dideteksi oleh hplc. kata kunci: fotokatalis, fotosensitizer, fotoreduksi, asam format, karbon dioksida pendahuluan karbon dioksida merupakan gas rumah kaca (grk) yang paling banyak diemisikan dari aktivitas manusia. intergovernmental panel on climate change (ipcc) melaporkan bahwa bahan bakar fosil menyumbang sekitar tiga perempat dari peningkatan jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 36 emisi co2 antropogenik sementara sisanya dikaitkan dengan perubahan penggunaan lahan seperti deforestasi. emisi ini dianggap telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam termodinamika bumi dan atmosfer. konsekuensi ketidakseimbangan termodinamika emisi grk (gas rumah kaca) antropogenik dapat dikategorikan ke dalam dua kelas, yaitu penyerapan di lautan, dan akumulasi di atmosfer. penyerapan karbondioksida oleh lautan tampaknya telah memainkan peran sebagai penyerap alami untuk mitigasi grk antropogenik. hal itu dapat memengaruhi sifat fisik dan kimiawi lautan sehingga akan berakibat pula terhadap biogeokimia laut. akumulasi co2 di atmosfer menyebabkan pemanasan global karena kemampuannya untuk penyerapan dan pemancaran radiasi inframerah. peningkatan temperatur global akan menyebabkan perubahan-perubahan di bumi seperti naiknya permukaan air laut, peningkatan intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. akibat lainnya adalah penurunan hasil pertanian, pencairan gletser, kepunahan berbagai jenis hewan dan gangguan kesehatan manusia karena peningkatan insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora dan serbuk sari. jadi, pengurangan akumulasi co2 dan emisi grk lainnya dipandang sebagai keharusan. penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (ccs) telah dipandang sebagai jembatan untuk penurunan emisi karbon masa depan (sun dkk., 2020, whitney dkk., 2019). namun, setelah tiga dekade penelitian, teknologi ini juga menghadapi hambatan karena biaya desain dan operasi yang masih tinggi dan tidak layak untuk aplikasi seperti peningkatan pemulihan minyak/gas. ketidakpastian ini juga terkait dengan keabadian co2 yang disimpan dan apakah gas ini akan tetap terkunci di bawah tanah selamanya (kim dkk., 2009). dengan demikian, penelitian di bidang manajemen karbon terlihat bergeser ke arah penangkapan dan pemanfaatan co2 atau carbon capture and utilization (ccu) sebagai arah alternative baru. ini bisa menambah manfaat bagi keekonomian proses penangkapan karbon. salah satu aplikasi dalam ccu adalah reaksi fotokatalisis co2 dengan menggunakan partikel semikonduktor. fotokatalis merupakan senyawa logam maupun non-logam yang dapat mempercepat laju reaksi yang menggunakan energi cahaya. titanium dioksida (tio2) mendapat sejumlah perhatian karena sifat fisis, keelektrikan, dan optisnya sebagai fotokatalis. titanium dioksida dikenal sebagai katalis untuk memecah air secara fotoelektrokimia menjadi gas hidrogen dan oksigen. titanium dioksida telah diutilisasi dalam bentuk film tipis untuk fotokatalisis, namun penggunaan yang paling luas dari tio2 untuk fotokatalisis ialah bubuk degussa p25 komersil, sebuah campuran anatase dan rutile tio2 dengan ukuran partikel kira-kira 20 – 30 nm dan luas permukaan sebesar 50 m 2 g -1 . (williams dkk., 2012, bandjar dkk., 2014, rachim dkk., 2017, tahya dkk., 2019). secara umum, aktivitas fotokatalitik dari tio2 bergantung kuat pada struktur fasa, ukuran kristal, luas permukaan spesifik, dan struktur pori. anatase mempunyai kemampuan absorbansi terhadap cahaya matahari yang lebih kecil dari rutile dikarenakan memiliki band gap yang besar (3,2 ev) dibandingkan dengan rutile (3,0 ev), namun aktivitas fotokatalitik dari anatase jauh lebih tinggi dibandingkan rutile. berdasarkan penjelasan sebelumnya, hal ini dikarenakan anatase mempunyai kapasitas permukaan adsorbsi yang lebih tinggi terhadap gugus hidroksil dan laju rekombinasi pembawa muatan yang lebih rendah dari rutile. aktivitas fotokatalitik yang lebih rendah pada rutile ini dikarenakan ukuran bulirnya yang lebih besar, luas permukaan spesifik yang lebih rendah, dan kapasitas permukaan adsorbsi yang buruk. sebagai tambahan, waktu hidup elektron dan lubang yang terfotogenerasi pada anatase memiliki orde magnitude yang lebih tinggi dari elektron dan lubang yang terfotogenerasi pada rutile, sehingga hal ini sangat meningkatkan peluang elektron dan lubang yang terfotoeksitasi untuk berpartisipasi pada reaksi kimia di permukaan. maka dari itu, investigasi pada struktur dan massa efektif fotokatalis sangat penting untuk memahami perbedaan performansi fotokatalitik diantara tio2 anatase, rutile, dan brookite. (zhang dkk., 2014). selain titanium dioksida (tio2), zno juga dikenal sebagai fotokatalis. salah satu enzim, karbonik anhidrase, dapat mengkatalisis interkonversi secara cepat antara karbon dioksida dan air menjadi bikarbonat dan proton, sebuah reaksi reversible yang terjadi cukup lambat jika tidak menggunakan katalis. zn merupakan atom pusat dari enzim karbonik anhidrase. kandidat fotokatalis yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu zn2ti3o8 sebagai gabungan dari katalis yang memecah air menjadi hidrogen dan atom pusat enzim karbonik anhidrasi yang menkonversi co2 menjadi bikarbonat. namun, band gap minimum dan maksimum dari zinc titanates adalah 3,28 ev dan 3,87 ev. band gap zn2ti3o8 masih sangat besar dan belum masuk kedalam rentang penyerapan cahaya tampak sekitar 1,6 sampai dengan 3,2 ev. salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengganti jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 37 sebagian atom ti dengan atom al dengan harapan struktur menjadi spinel yang lebih mulus. menurut katsue dkk. (1973), campuran oksida zno.al2o3 dan tio2.al2o3 mencapai keasaman maksimum pada nisbah molar zno/al2o3 maupun tio2/al2o3 sekitar 9/1. keasaman meningkat mengindikasikan bahwa konduktivitas semikonduktor meningkat sehingga band gap akan menurun. jika yang dipenuhi adalah zno/al2o3 9/1 maka rumus molekul semikonduktor oksida ternernya adalah 2zno.0,22al2o3.2,56tio2 atau zn2ti2,56al0,44o7,78. jika yang dipenuhi adalah tio2/al2o3 9/1 maka rumus molekul semikonduktor oksida ternernya 2zno.0,27al2o3.2,46tio2 atau zn2ti2,46al0,54o7,73. titik tengah dari kedua komposisi itu adalah 2zno.0,25al2o3.2,5tio2 atau zn2ti2,5al0,5o7,75. sensitisasi permukaan dari semikonduktor fotokatalis dengan sela pita yang lebar melalui penyerapan kimia atau penyerapan warna fisik dapat meningkatkan efisiensi proses eksitasi. (linsebigler, dkk., 1995). proses fotosensitisasi dapat memperlebar rentang panjang gelombang eksitasi untuk fotokatalis melalui eksitasi sensitizer yang diikuti dengan pemindahan muatan menuju semikonduktor. beberapa pigmen yang biasa digunakan yaitu eritrosin b, tionin, dan ru(bpy) 32+ . fotosensitizer untuk reduksi co2 sebaiknya mempunyai sifat fotofisika dan elektrokimia (1) absorbansi yang lebih kuat pada gelombang eksitasi daripada bahan lain yang ada, seperti reduktan dan katalis, jika memungkinkan akan lebih baik pada daerah cahaya tampak karena pemanfaatan cahaya matahari yang efisien, (2) waktu emisi yang lama, karena keperluan dari proses quenching yang efisien dan reduktif, (3) kekuatan oksidasi yang kuat pada kondisi tereksitasi, untuk menangkap elektron dari reduktan, dan (4) stabilitas yang tinggi terhadap oers yang dihasilkan setelah pemindahan electron pada penelitian ini melanin dan antosianin digunakan sebagai pigmen penyerap cahaya matahari atau fotoensitizer. alasan pemilihan pigmen ini adalah karena sumber biomassa penghasil pigmen melanin dan antosianin yang melimpah di indonesia, yang sebagian besar dapat ditemukan pada buahbuahan. pada penelitian ini akan diteliti mengenai pengaruh kondisi operasi pembuatan zn2ti2,5alo,5o7,75 terhadap sifatnya sebagai fotokatalis. selain itu penelitian ini juga akan meneliti mengenai kinerja fotokatalis yang dihasilkan untuk produksi asam format dan menentukan efek penambahan fotosensitizer terhadap produksi asam format hasil reaksi fotoreduksi. metodologi alat dan bahan alat-alat yang digunakan adalah satu set alat fotoreaktor (gambar 1), kotak iradiasi 45 x 55 x 70 cm, lampu led 30 w 2800 lm, spectrometer x-ray diffraction, spectrophotometer uv-vis, dan ph meter lutron ph-201. bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan fotokatalis adalah larutan ticl4, padatan zncl2, padatan alcl3.6h2o, larutan h2o2, padatan nh4oh, padatan nh4cl dan aquades. bahan utama lainnya seperti gas co2, dan fotosensitizer yang digunakan yaitu pigmen melanin dan antosianin. gambar 1. set alat fotoreaktor prosedur kerja pembuatan fotokatalis katalis zn2ti2,5al0,5o7,75 disintesis dengan metode kopresipitasi. larutan garam dari logamlogam katalis (zn(no3)2, ticl4, dan al(no3)3) disiapkan dengan perbandingan konsentrasi sedemikian rupa sehingga perbandingan logamlogamnya sesuai dengan katalis yang dikehendaki. kopresipitasi dilakukan pada larutan buffer berph 8,3 dan dijaga dengan menambahkan larutan basa selama kopresipitasi berlangsung. padatan presipitat kemudian dicuci dengan aqua dm untuk membilas sisa garam yang tertinggal. presipitat yang telah dicuci kemudian disaring dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105 °c selama 8 jam. padatan kering kemudian dikalsinasi atau didekomposisi termal hidroksidanya pada suhu yang telah ditetapkan sesuai variasi yang diinginkan selama 3 jam. fotokatalis dilarutkan dalam aqua demineralisasi dengan fotosensitizer dan ditempatkan pada fotoreaktor. fotoreaktor diarahkan tepat dibawah cahaya lampu. kemudian co2 dialirkan ke dalam fotoreaktor untuk direduksi menjadi asam format. analisis kualitatif produk dilakukan dengan uji padatan perak dan uji keasaman sedangkan analisis jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 38 kuantitatif dilakukan dengan uji high performance liquid chromatography (hplc). analisis data analisis fasa kristal dilakukan dengan mengacu pada astm d3906-03. sampel diradiasi dengan anoda cu pada panjang gelombang 1,54060 å. difraktogram hasil uji xrd diolah dengan menggunakan aplikasi match versi 3.0 dan crystallography open database (cod) untuk mengkonfirmasi fase yang terbentuk. analisis band gap fotokatalis dilakukan dengan menggunakan uvvis spektrometer ocean optics yang ada di lab p2 telimek (pusat penelitian tenaga listrik dan mekatronik), lipi bandung. data reflektansi yang diperoleh hasil analisis uv-vis spektrofotometer dikonversi menjadi data absorbansi menggunakan persamaan kubelka-munk diperlihatkan pada persamaan 1. (1) hasil dan pembahasan karakteristik kristal fotokatalis perbandingan difraktogram hasil uji xrd sampel fotokatalis yang dikalsinasi pada temperatur 200 °c (s-200), temperatur 400 °c (s-400) dan temperatur 600 °c (s-600) diperlihatkan pada gambar 2 interpretasi data xrd berupa persen kristalinitas sampel fotokatalis diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1. persen kristalinitas sampel fotokatalis no fotokatalis kristalinitas (%) 1 s-200 0 2 s-400 0 3 s-600 78,2 pola difraktogram sampel fotokatalis yang dikalsinasi pada temperatur 200 °c (s-200) dan temperatur 400 °c (s-400) menunjukan tidak adanya puncak difraksi. s-200 dan s-400 yang diperoleh memiliki fase amorf. pola difraktogram sampel fotokatalis yang dikalsinasi pada temperatur 600 °c (s-600) menunjukan adanya puncak-puncak yang mengindikasikan terbentuknya fase kristalin. s-600 memiliki persen kristalinitas sebesar 78,2%. pola difraktogram s-600 diolah dengan menggunakan aplikasi match versi 3.0 dan crystallography open database (cod) untuk mengkonfirmasi fasa yang terbentuk. puncak difraktogram pada 2θ sama dengan 25,00°; 36,89°; 37,57°; 38,35°; 47,69°; 53,67°; 54,70°; 62,47°; 70,05°; dan 82,33° memiliki banyak kesamaan dengan puncak difraktogram tio2 anatase. (a) (b) (c) gambar 2. pola difraktogram xrd fotokatalis pada temperatur kalsinasi (a) 200 °c (s-200), (b) 400 °c (s-400) dan (c) 600 °c (s-600) jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 39 puncak difraktogram fotokatalis s-600 pada 2θ sama dengan 30,89°; 58,58° dan 60,95° tidak ditemukan kecocokan dengan puncak-puncak difraktogram oksida ti, zn ataupun al sehingga menunjukan bahwa fotokatalis s-600 mengandung pengotor yang tidak diketahui. tidak ada puncak oksida zn maupun al yang terbentuk, sehingga mengindikasikan bahwa zn dan al dalam fase amorf. fase kristal fotokatalis pada temperatur kalsinasi 600°c (s-600) diperlihatkan pada gambar 2c. tio2 diamati sebagai kristal yang dominan di dalam fotokatalis s-600. hal ini dapat terjadi akibat perbandingan molar ti 4+ /zn 2+ dan ti 4+ /al 3+ yang besar, dimana perbandingan ti 4+ /zn 2+ adalah 5/4 dan ti 4+ /al 3+ adalah 5/1. tio2 dapat terbentuk dalam tiga fase yang berbeda yaitu brookite, anatase dan rutile. temperatur kalsinasi sangat menentukan dalam pembentukan struktur kristal tio2, kalsinasi tio2 pada 500°c biasanya hanya akan menghasilkan pembentukan fase anatase sedangkan kalsinasi pada 600°c dapat menghasilkan campuran fase anatase dan rutile bergantung pada batas atas dari reaksi eksotermik (lotus dkk., 2010, stefanska dkk., 2018). akan tetapi hasil fotokatalis s-600 yang diperoleh tidak ditemukan adanya fase tio2 rutile. ada kemungkinan bahwa keberadaan alumina di dalam campuran tio2-al2o3 dapat menghambat transisi fase rutile sebagaimana yang telah dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh lotus dkk.(2010). telah dilaporkan pula oleh stefańska (2018) bahwa kombinasi tio2 dan zno mengakibatkan penghambatan pembentukan struktur kristal zno. hasil yang serupa didapatkan pada penelitian ini, zno terbentuk dalam fase amorf. hal ini dapat terjadi karena beberapa kation zn 2+ dapat bergabung ke dalam struktur tio2, yang mengikuti fakta bahwa jarijari ion zn 2+ (kira-kira 60 pm) dan ti 4+ (kira-kira 60,5 pm) adalah serupa. ukuran kristal rata-rata tio2 anatase murni adalah 74 nm (theivasanthi dan alagar, 2013). fotokatalis s-600 memiliki ukuran kristal sebesar 18,8 nm. ukuran partikel fotokatalis s-600 jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tio2 anatase murni. pengecilan ukuran kristal ini menegaskan bukti adanya zn dan al yang masuk ke dalam struktur tio2 anatase. keberadaan atom zn dan al akan menurunkan intensitas puncak secara monoton dan meningkatkan fwhm secara simultan (mallika dkk., 2014). ukuran kristal fotokatalis s-600 yang paling kecil diduga mempunyai aktivitas fotokatalitik yang paling baik diantara sampel yang lain dan tio2 anatase murni. (a) suhu kalsinasi 200 (b) suhu kalsinasi 400 (b) suhu kalsinasi 600 gambar 3. pengaruh suhu kalsinasi pada absorbansi fotokatalis yang dihasilkan 300 400 0 20 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 (a h n )0 .5 (e v c m -1 )2 energy (ev) tauc plot eg = 3.40 ev a b s o rb a n c e ( a ) wavelength (nm) abs 300 400 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 0 1 2 3 (a hn )0 .5 (e v c m -1 )2 energy (ev) tauc plot eg = 3.21 ev a b s o rb a n c e ( a ) wavelength (nm) abs 250 300 350 400 0 5 10 15 20 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 0 1 2 3 (a h n )0 .5 (e v c m -1 )2 energy (ev) tauc plot eg = 3.09 ev a b s o rb a n c e ( a ) wavelength (nm) abs jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 40 karakterisasi band gap fotokatalis dengan uvvis diffuse spektroscopy menggunakan persamaan kubelka-munk, data reflektansi yang diperoleh hasil analisis uv-vis spektrofotometer dikonversi menjadi data absorbansi. grafik penyerapan padatan fotokatalis pada berbagai suhu kalsinasi diperlihatkan pada gambar 3. berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, bandgap fotokatalis yang dikalsinasi pada suhu 600˚c sudah masuk ke dalam rentang cahaya tampak yaitu 1,6 – 3,1 ev sementara sampel fotokatalis yang lain mempunyai nilai energi sela pita di luar rentang cahaya tampak. energi sela pita fotokatalis s-600 adalah 3,09 ev dimana lebih kecil dibandingkan dengan sela pita tio2 anatase murni dimana memiliki band gap sekitar 3,2 ev (wu, et al., 2015). hal ini mengindikasikan fotokatalis s-600 membutuhkan energi cahaya yang paling rendah dibandingkan dengan sampel lainnya. profil ph larutan hasil fotoreduksi terhadap waktu profil ph dibuat dengan memetakan data mentah berupa ph sampel setiap 10 menit selama proses berlangsung (2 jam). gambar 4 memperlihatkan profil ph larutan di dalam jebakan pendingin setiap sampel. gambar 5 memperlihatkan profil ph larutan di dalam labu leher tiga (fotoreaktor) setiap sampel. derajat keasaman atau ph pada fotoreaktor variasi i (air + karbon dioksida) dan iv (air + karbon dioksida + fotokatalis + melanin) memiliki kecenderungan dan nilai akhir (menit ke-120) yang sama yaitu sekitar 5,7. pada variasi i dan iv hanya menghasilkan asam karbonat jenuh karena nilai ph saat asam karbonat jenuh adalah sekitar 5,66. pada variasi iv, melanin tidak tersebar secara merata seperti antosianin. ketika dicampurkan ke dalam larutan, melanin justru membentuk agregat, sehingga tidak mampu mengadakan kontak dengan fotokatalis secara merata. hal ini diduga dapat menurunkan aktivitas fotokatalitik pada variasi iv. penurunan ph pada variasi ii (air + karbon dioksida + fotokatalis) dan iii (air + karbon dioksida + fotokatalis + antosianin) lebih besar dibandingkan variasi i dan iv. nilai ph fotoreaktor akhir pada variasi ii berada di bawah ph saat asam karbonat jenuh yaitu 5,4 sedangkan pada variasi iii yaitu 5,1. penurunan ph ini terjadi akibat adanya pembentukan asam lain selain asam karbonat yaitu asam format. hal ini menjelaskan bahwa penambahan fotosensitizer antosianin dapat menghasilkan asam format lebih banyak daripada tanpa penambahan fotosensitizer karena ph akhir pada variasi iii lebih kecil daripada ph akhir pada variasi ii. gambar 4. profil ph larutan di dalam jebakan pendingin terhadap waktu gambar 5. profil ph larutan di dalam labu leher tiga (fotoreaktor) terhadap waktu profil ph larutan di dalam jebakan pendingin setiap sampel memiliki kecenderungan yang sama. pada jebakan pendingin, ph setiap sampel menurun sangat tajam pada 10 menit pertama kemudian cenderung konstan pada ph sekitar 4,5. air pendingin pada jebakan pendingin sekitar 14°c. diperkirakan bahwa pada jebakan pendingin tidak ada uap asam format hasil fotoreduksi yang terakumulasi dan hanya menghasilkan asam karbonat jenuh yang lebih banyak daripada di dalam fotoreaktor akibat kelarutan co2 yang meningkat pada temperatur rendah. hasil uji produk fotoreduksi hasil uji plat perak disajikan pada tabel 2. larutan pada labu leher tiga dan jebakan pendingin diambil sebanyak 100 ml lalu dipanaskan selama 10 menit dengan suhu 50 ˚c. terlihat keberadaan gelembung gas yang terbentuk pada permukaan padatan perak ketika dipanaskan pada variasi ii, iii, dan iv, maka hasil uji kualitatif ini menunjukan keberadaan asam format pada variasi ii, iii, dan iv. analisis hplc pada sampel hasil variasi i, ii, iii, dan iv tidak ditemukan adanya puncak asam format yang terbentuk. dengan merujuk pada hasil uji kualitatif jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 41 dengan perak, hasil uji hplc mengindikasikan bahwa konsentrasi asam format dalam larutan sangat kecil sehingga tidak terdeteksi oleh hplc. tabel 2. hasil uji plat perak variasi larutan sebelum pemanasan sesudah pemanasan variasi i larutan pada labu leher tiga larutan pada jebakan pendingin variasi ii larutan pada labu leher tiga + larutan pada jebakan pendingin + variasi iii larutan pada labu leher tiga + larutan pada jebakan pendingin + variasi iv larutan pada labu leher tiga + larutan pada jebakan pendingin + asam format murni + keterangan: tanda “+” menunjukan adanya gelembung gas dan tanda “-” menunjukan tidak adanya gelembung gas. energi sela pita pada fotokatalis s-600 memiliki nilai pada rentang penyerapan cahaya tampak, namun pada proses fotoreduksi co2 penelitian ini menghasilkan produk asam format yang masih sedikit. hal ini mengindikasikan energi pada lampu iradiasi yang digunakan belum cukup untuk melangsungkan reaksi fotoreduksi, sehingga perlu diganti menggunakan lampu iradiasi yang memiliki energi lebih tinggi atau panjang gelombang yang lebih rendah. fotokatalis dan fotosensitizer sulit membuat kontak ketika dicampurkan ke dalam air karena fotosensitizer membentuk gumpalan tersendiri, khususnya melanin, sehingga tidak mampu tersebar secara merata pada fotokatalis. prinsip dasar mekanisme fotosensitizer harus dipenuhi yaitu membuat kontak dengan fotokatalis dengan baik agar dapat memberikan energi cahaya yang telah diserap sehingga membantu fotokatalis dalam memenuhi kebutuhan energi sela pita. hal ini menyebabkan proses fotoreduksi yang tidak maksimal sehingga pembentukan asam format menjadi sangat sedikit. kesimpulan pembuatan fotokatalis untuk proses fotoreduksi co2 menjadi asam format telah dilakukan berdasarkan uji x-ray diffraction, katalis yang dikalsinasi pada suhu 600 ˚c menghasilkan derajat kristalinitas tertinggi sebesar 78,2 % dan berdasarkan uji uv-vis spectrometer padat, katalis yang dikalsinasi pada suhu 600˚c menghasilkan energi sela pita terendah yaitu sebesar 3,09 ev. uji perak pada fotoreaktor dan jebakan pendingin mengindikasikan terbentuknya asam format, baik ada atau tidak adanya bantuan fotosensitizer. berdasarkan profil ph, fotosensitizer antosianin mampu meningkatkan keasaman lebih tinggi dibandingkan melanin, sementara melanin diduga membentuk agregat pada larutan sehingga tidak dapat tersebar secara merata pada fotokatalis. hal ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas fotokatalitik. berdasarkan hasil analisis hplc tidak ditemukan puncak asam format pada semua variasi, diduga karena konsentrasi asam format yang terbentuk sangat sedikit. ucapan terimakasih ucapan terima kasih diberikan kepada bpdp kelapa sawit atas dana yang dihibahkan untuk penelitian ini. ucapan terima kasih juga disampaikan pada dr. natalita maulani nursam dari pusat penelitian elektronika dan telekomunikasi lipi atas bantuannya dalam menganalisis fotokatalis. daftar pustaka katsue, s., tadamitsu, k., jun, k., takashi, s., kozo, t., 1973. acidic properties of binary metal oxides, bull. chem. soc. japan, 46(10), 2985-2988. linsebigler, a. l., lu, g., and yates, j. t., 1995. photocatalysis on tio2 surfaces : principles, mechanisms, and selected results, chem. rev., 95, 735-758. lotus, a. f., feaver, r. k., britton, l. a., bender, e. t., perhay, d. a., stojilovic, n., and chase, g. g., 2010. characterization of tio2-al2o3 composite fibers formed by electrospinning a sol-gel and polymer mixture, materials sci. and engin. b, 167, 55-59. mallika, a. n., ramachandra reddy, a., sowri babu, k., and reddy, k. v., 2014. synthesis and optical characterization of aluminium doped zno nanoparticles, ceramics inter., 40, 12171-12177. stefanska, k., kubiaka, a., piasecki, a., goscianska, j., nowaczyk, g., and jurga, s., 2018. tio2zno binary oxide systems: comprehensive characterizaion and tests of photocatalytic activity, materials (basel),11(5), 841. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5978218/ jenny rizkiana dkk. indo. j. chem. res., 8(1), 35-42, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-jen 42 theivasanthi, t., and alagar, m., 2013. titanium dioxide (tio2) nanoparticlesxrd analyses an insight, chemical phy., 1-10. williams, p. a., ireland, c. p., king, p. j., chater, p. a., boldrin, p., palgrave, r. g., and rosseinsky, m. j., 2012. atomic layer deposition of anatase tio2 coating on silica particles: growth, characterization and evaluation as photocatalysts for methyl orange degradation and hydrogen production, j. mater. chem., 22, 20203– 20209. wu, h., yang, y., suo, h., qing, m., yan, l., wu, b., and li, y., 2015. effects of zro2 promoter on physic-chemical properties and activity of co/tio2–sio2 fischer– tropsch catalysts, j. mol. cat. a : chemical, 108-119. zhang, j., zhou, p., liu, j., and yu, j., 2014. new understanding of the difference of photocatalytic activity among anatase, rutile, and brookite tio2, phys. chem. chem. phys., 16, 20382-20386. sun, y., li, y., bo-feng, c., and li, q., 2020. comparing the explicit and implicit attitudes of energy stakeholders and the public towards carbon capture and storage, j. cleaner prod., 254, 120051. withey, p., johnston, c., and guo, j., 2019 quantifying the global warming potential of carbon dioxide emissions from bioenergy with carbon capture and storage, renew. sustain. energy rev., 115, november 2019, 109408. kim, m., kim, k., tae-hyun, k,, and kim, j., 2019. economic and environmental benefit analysis of a renewable energy supply system integrated with carbon capture and utilization framework, chem. engineering res. 147, 200-213. bandjar, a., sutapa, i w, rosmawaty, and mahulau, n., 2014. the utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous catalyst, indo. j. chem. res., 2(1), 166-170. rachim, g. st., raya, i., dan zakir., m., 2017. modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas, indo. j. chem. res., 5(1) 47-52. tahya, k., tahya, j.c., dan kainama, h., 2019. transesterifikasi minyak ikan perak (mene maculata) dengan katalis cao dari cangkang telur ayam, indo. j. chem. res., 7(1), 69-79. indochem ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 65 analisys of lead (pb) and chromium (cr) content in the roots of seagrass (enhalus acoroides) in waters of waai and tulehu village central maluku regency analisis kandungan timbal (pb) dan kromium (cr) pada akar lamun (enhalus acoroides) di perairan desa waai dan tulehu kabupaten maluku tengah yusthinus t. male 1 *, sunarti 2 , neti nunumete 2 1 chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 2 educational chemistry department, faculty of faculty of teacher training and educational science pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 * corresponding author, e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: november 2013 published: january 2014 abstract the research has been done with the aim to determine the content of heavy metals pb and cr on the roots of seagrasses (enhalus acoroides) by using spektrofotometry atomic absorption (ssa). samples have been taken from the waters of waai and tulehu village. the result show that the content of pb on the roots of seagrasses in the waters of waai village and tulehu village is 26,262 mg/kg; 18,491mg/kg; 16,272 mg/kg dan 12,272 mg/kg. while the content of cr on the roots of seagrasses in the waters of waai village ang tulehu village 33,066 mg/kg; 7,752 mg/kg; 109,535 mg/kg; 22,464 mg/kg. the result of this study can be used as a reference for the claim that the roots of seagrasses in the waters of waai village and tulehu village contain metals pb and cr quite high. keywords: pb, cr, aas, enhalus acoroides pendahuluan indonesia adalah negara dengan luas lautan duapertiga dari daratan sehingga indonesia dikenal sebagai negara maritim. dengan wilayah perairan yang luas indonesia memiliki kekayaan dan potensi keanekaragaman hayati laut yang sangat penting untuk dikelola dan dilestarikan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. penggunaan sumber daya alam yang diikuti dengan penggunaan teknologi dalam usaha mempermudah kebutuhan hidup manusia, pada sisi lain akan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. pencemaran merupakan masalah yang besar dalam kehidupan manusia. salah satu pencemaran yang berbahaya adalah pencemaran logam berat. pencemaran logam berat dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang cukup serius tetapi pencemaran logam ini bukan suatu masalah baru. pencemaran lingkungan diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas manusia yang juga berpotensi menyumbangkan logam berat kedalam perairan misalnya sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal ikan, pembuangan limbah domestik ke lingkungan, asap kendaraan bermotor, perbaikan dan cat ulang kapal. sebagian dari aktivitas-aktivitas tersebut menghasilkan logam berat antara lain logam timbal (pb), kadmium (cd), dan kromium (cr). konsentrasi yang tinggi dari logamlogam tersebut menyebabkan perairan tercemar sehingga berbahaya bagi organisme perairan (darmono, 1995). lamun adalah salah satu organisme yang banyak dijumpai dalam suatu perairan. lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, batang, bunga dan buah. lamun hidup dan berkembang biak pada lingkungan perairan dangkal, daerah yang selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air surut pada subtrat pasir, pasir berlumpur, dan karang. secara ekologis lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah pesisir. diantaranya merupakan produktifitas yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 66 primer di perairan dangkal di seluruh dunia, sumber makanan penting bagi banyak organisme, sebagai habitat biota produsen primer, perangkap sedimen dan berperan pada transfer nutrien (dahuri, 2003). berbeda dengan fungsi ekologisnya, lamun sebagai pengakumulasi logam masih jarang digunakan sebagai bioindikator pencemaran logam berat sehingga sulit untuk mengetahui kandungan-kandungan logam berat yang terdapat pada bagian tumbuhan lamun (akar). akar lamun merupakan tempat penyimpanan oksigen untuk proses fotosintesis dan menyerap nutrient melalui fiksasi nitrogen yang berasal dari sedimen. pemanfaatan lamun sebagai bioindikator pencemaran logam berat telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain retno (1996) yang mengukur kandungan logam pb, cd, cr dan zn pada daun, batang dan akar lamun di perairan pantai jepara. hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa pada bagian daun terdapat kandungan logam berat yang cukup tinggi yaitu pb 0,10 ppm dan cr 0,8 ppm. manfaat lamun sebagai indikator juga diteliti oleh sahetapy (2006) pada lokasi pengambilan sampel di dua titik yang berbeda di perairan teluk ambon bagian dalam dengan mengukur kandungan logam pb sebesar 1,01 ppm dan cd sebesar 0,020,04 ppm. sipahelut (2009) juga meneliti kandungan logam pb, cr dan cd pada lamun enhalus accoroides pada tiga lokasi berbeda. hasil yang di peroleh kandungan logam pb 37,55 mg/kg, cd 15,76 mg/kg dan cr 18,29 mg/kg. perairan pantai waai dan tulehu selama ini dikenal sebagai daerah tangkap ikan bagi para nelayan dan tempat budidaya rumput laut. perairan desa waai dan tulehu merupakan perairan yang berada di pulau ambon dan merupakan jalur transportasi yang menghubungkan pulau haruku, pulau seram dan pulau ambon. masyarakat di perairan ini bermata pencaharian sebagai nelayan dengan menggunakan mesin ketinting sebagai alat untuk menangkap ikan dilaut, juga sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal dan kapal ikan. selain itu perairan ini juga sebagai tempat pembuangan sampah domestik oleh masyarakat diantaranya air buangan (limbah), sisa-sisa batrei yang tanpa sengaja masuk ke dalam sungai dan dibawa terus menuju lautan sehingga logam berat yang terkandung di dalamnya akan diserap oleh organisme laut sehingga lama-kelamaan akumulasi logam pencemar itu akan semakin besar dan dapat berpengaruh pada kestabilan manusia yang mengkomsumsi hasil laut. aktivitas transportasi didarat juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan di perairan yaitu asap kendaraan bermotor. pola arus juga menentukan proses pencemaran dalam perairan. perairan desa waai dan tulehu dipisahkan oleh ambang yang sempit sehingga pertukaran massa air antara kedua perairan ini agak terhalang. penyebab arus diduga disebabkan oleh pola pertukaran massa air antara teluk ambon dan laut seram oleh sifat-sifat fisik antara kedua perairan tersebut.. untuk mengetahui kandungan logam berat pb dan cr pada kedua perairan tersebut dilakukan penelitian terhadap akar lamun (enhalus acoroides) dan dianalisis dengan menggunakan alat spektofotometer serapan atom (aas). metodologi alat dan bahan alat-alat yang digunakan antara lain: peralatan gelas (pyrex), cawan porselin (pyrex), cool box, hot plate (cimare 2), labu semprot (pyrex), lembar aluminium, neraca analitik (and gr-200), oven (memert), ph meter digital (hanna), ssa (aa-6300 shimadzu), thermometer, tanur listrik (furnance 97900), desikator. bahan-bahan yang digunakan antara lain: akuades, akuabides, akar lamun jenis enhalus accoroides, hcl p.a (e.merck), hno3 p.a (e.merck), kertas saring whatman no. 42, larutan induk pb 1000 ppm, larutan induk cr 1000 ppm. prosedur kerja a. penentuan kadar air cawan ditimbang dikeringkan terlebih dahulu selama 1 jam di dalam oven pada suhu 105 ºc. setelah itu proses ini diulangi sampai diperoleh berat konstan. sampel akar lamun dicuci dengan air sampai bersih. kemudian dipotong kecil-kecil dan ditimbang sebanyak 50 g dalam cawan. sampel kemudian dipanaskan dalam oven selama 4-6 jam pada suhu 105 ºc. sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali. prosedur ini diulang tiga (3) kali sampai diperoleh berat konstan. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 67 adapun rumus penentuan kadar air sebagai berikut: ( ) b. penentuan kadar abu cawan porselin dikeringkan dalam oven pada temperature 105 °c selama beberapa jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang beratnya. sampel lamun ditimbang dengan berat kira-kira 2 gram dan dimasukan kedalam cawan porselin. selanjutnya dimasukan dalam tanur listrik dengan suhu 550 °c. sesudah sampel seluruhnya menjadi abu yang berwarna putih keabu-abuan, sampel diangkat dan didinginkan dalam desikator. setelah kira-kira 1 jam sampel kemudian ditimbang kembali kadar abunya dengan menggunakan persamaan : ( ) ( ) ( ) c. pembuatan larutan sampel sampel akar lamun sebanyak 50 g yang telah dibersihkan dipotong kecil-kecil dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °c selama 4 jam. kemudian sampel tersebut diabukan pada suhu 550 °c selama 2 jam. setelah itu ditimbang 2 g dan dimasukkan dalam gelas piala dan tambahkan 30 ml hcl dan 10 ml hno3 pekat. lalu dipanaskan diatas pemanas listrik hingga kering lalu dinginkan kemudian larutkan dalam 20 ml hno3 encer, disaring dan filtratnya ditampung dalam labu takar 100 ml. larutan setiap cuplikan kemudian diukur absorbansinya dengan ssa untuk menentukan kadar pb dan cr. hasil dan pembahasan a. keadaaan umum lokasi sampel diambil pada pukul 14.00 – 17.00 wit. keadaan cuaca pada saat pengambilan sampel adalah cerah. sampel diambil pada bulan agustus karena pada bulan tersebut merupakan musim kemarau, dimana pada musim kemarau kandungan logam berat dalam sedimen umumnya rendah sedangkan pada musim penghujan kandungan logam beratnya tinggi hal ini disebabkan karena tingginya laju erosi pada permukaan tanah yang terbawa dalam badan sungai, sehingga sedimen dalam sungai yang diduga mengandung logam berat akan terbawa oleh arus sungai menuju muara dan pada akhirnya terjadi proses sedimentasi. sampel berupa akar lamun (enhalus accoroides) diambil pada jarak 15-25 meter dari pesisir pantai, dengan 4 titik sampling yang selanjutnya diberi nama stasiun i, ii, iii, iv. pada tabel 1 disajikan hasil pengukuran ph dan suhu pada keempat stasiun. tabel 1. kondisi perairan pada lokasi penelitian kondisi perairan lokasi (*) stasiun i stasiun ii stasiun iii stasiun iv ph suhu 6,2 28 6,1 27 6,4 28 6,2 27 keterangan *) i : tulehu toko surya ii: tulehu speed iii: waai perikanani iv : waai naang berdasarkan tabel 1 di atas terlihat bahwa nilai ph dan suhu pada lokasi penelitian relatif sama yakni ph berkisar 6,16,4 dan suhu berkisar antara 27 °c – 28 °c. ph normal pada daerah tropis berkisar 6,0 8,5. semakin kecil nilai ph-nya, maka menyebabkan air tersebut berubah menjadi asam. penurun ph air menyebabkan toksisitas logam berat makin besar. semakin besar nilai ph nya akan menurunkan kelarutan logam dalam air karena kenaikan ph mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan denagn partikel badan air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur. kisaran suhu normal untuk kehidupan biota laut di perairan indonesia berkisar antara 27 °c – 32 °c dan suhu optimal untuk lamun adalah 28 °c-30 °c. kenaikan suhu air dan ph air akan mengurangi adsorpsi senyawa logam sehingga dapat dikatakan bahwa suhu dan ph di perairan desa waai dan tulehu masih normal dan cukup baik untuk pertumbuhan lamun. b. kadar air dan kadar abu pada akar lamun (enhalus accoroides) sebelum dilakukan analisis dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom maka sampel akar lamun pada keempat lokasi yaitu stasiun i, stasiun ii, stasiun iii, stasiun iv dihitung kadar air dan kadar abu yang termuat pada tabel 2. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 68 tabel 2. kadar air dan kadar abu pada akar lamun (enhahus accoroides ) di perairan waai dan tulehu lokasi (*) kadar air (%) kadar abu (%) stasiun i 90,33 4,01 stasiun ii 88,96 4,00 stasiun iii 90,87 3,99 stasiun iv 90,91 4,00 keterangan *) i : tulehu toko surya ii: tulehu speed iii: waai perikanani iv : waai naang untuk menganalisa akar lamun maka penentuan kadar air perlu dilakukan pada sampel akar lamun (enhalus accoroides) dimana sampel dikeringkan lebih dahulu di dalam oven pada suhu 105 °c selama 4 jam, setelah kering sampel ditimbang. selisih antara sebelum dan sesudah pemanasan menunjukan kadar air. kadar air pada keempat lokasi yaitu statisun i, ii, iii, iv adalah sebesar 90,33 % ; 88,96 % ; 90,87 ; 90,91%. kadar air ditentukan karena kadar air akan mempengaruhi sampel yang akan dianalisis . kadar air yang tinggi disebabkan karena tumbuhan lamun merupakan organisme air sehingga lamun akan menyerap air dalam jumlah yang besar. kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan. setelah sampel ini menjadi kering dilakukan proses pengabuan pada ke empat sampel di dalam tanur listrik selama 2 jam pada suhu 550 °c. sampel yang akan dianalisa harus berbentuk abu sebelum dicampur dengan hcl pekat dan hno3 pekat. kadar abu pada keempat lokasi yaitu stasiun i, ii ,iii , iv adalah sebesar 4,01% ; 4,00 % ; 3,99 %; 4,00 %. penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan dan proses destruksi yang dilakukan yaitu destruksi kering. kadar abu ini menunjukan kisaran kandungan bahan bahan anorganik sedangkan bahan bahan organiknya telah diuapkan selama proses pengabuan. kadar air dan abu pada stasiun 1 relatif lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainya. hal ini dikarenakan sampel akar lamun yang ada pada lokasi tersebut memiliki akar yang lebih tebal dibandingkan dengan yang lainya. c. kandungan logam berat pada akar lamun enhalus accoroides setelah dilakukan analisis kadar air dan kadar abu dalam akar lamun pada masingmasing lokasi, selanjutnya dianalisis kandungan logam timbal (pb) dan kromium (cr). sampel yang telah diabukan selanjutnya dilarutkan dalam campuran asam klorida dan asam nitrat untuk melarutkan logam-logam yang akan dianalisis. larutan sampel kemudian diuapkan dan dijadikan larutan yang siap untuk di analisis dengan spektrofotometer serapan atom. dari table 3 dan gambar 1 terlihat bahwa kandungan logam pb dalam akar lamun enhalus acoroides pada masing-masing stasiun adalah 26,262 mg/kg; 18,491mg/kg; 16,272 mg/kg dan 12,272 mg/kg . sedangkan untuk kandungan logam cr adalah 33,066 mg/kg; 7,752 mg/kg; 109,535 mg/kg; 22,464 mg/kg. tabel 3. kandungan logam pb dan cr dalam akar lamun lokasi konsentrasi pb konsentrasi cr mg/kg ratarata mg/kg rat a-tara stasiun i 26,262 23,377 33,066 20,409 stasiun ii 18,491 7,752 stasiun iii 16,272 14,579 109,535 65,999 stasiun iv 12,887 22,464 keterangan *) i : tulehu toko surya ii: tulehu speed iii: waai perikanani iv : waai naang yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 69 kandungan logam pb tertinggi terdapat pada stasiun i (tulehu toko surya) adalah 26,262 mg/kg . lokasi penelitian ini berdekatan dengan pasar ikan tulehu, pangkalan speedboat tulehukailolo, tempat berlabuhnya kapal-kapal kecil yang menggunakan mesin, dan pangkalan ojek dekat jalan raya. kandungan pb dalam lamun juga ditemukan tinggi pada stasiun ii (tulehu pangkalan spit) yakni 18,491 mg/kg. lokasi inipun berdekatan dengan pelabuhan speed boat tulehu-haria, gelanggang speedboat, perumahan warga, pangkalan ojek, dan jalan. selanjutnya kandungan pb ditemukan di stasiun iii (waai perikani) yakni 16,272 mg/kg dalam berat kering. sementara paling rendah kandungan pb nya ditemukan pada stasiun iv (waai naang) sebesar 12,887 mg/kg . lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk dan merupakan muara sungai dan hutan bakau. kandungan pb yang terdapat pada lamun dapat disebabkan karena pb masuk ke dalam akar lamun melalui debu, asap kendaraan bermotor, udara yang jatuh bersamaan dengan air hujan ke laut. logam berat yang masuk ke dalam perairan akan mengalami pengendapan, pengeceran dan dispersi, kemudian di serap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut salah satunya lamun. tanaman yang tumbuh di atas tanah atau sedimen yang mengandung logam berat akan mengakumulasikan logam pada bagian akar, batang, buah, dan daun. tingginya kandungan pb diperkirakan berasal dari pemakaian senyawa tetra etil timbal (tel) sebagai anti knock dalam bahan bakar bensin yang digunakan oleh kendaraan yang berlalu lalang melewati jalur jalan raya yang di lepaskan melalui sisa hasil pembakaran ke udara kemudian turun ke dalam perairan melalui hujan. selain itu juga aktifitas di lokasi ini sangat tinggi dan juga tempat berlabuhnya kapal sehingga tumpahan minyak dan sisa pembakaran kapal motor dapat menambah konsentrasi logam pb pada lokasi tersebut. selain itu aktifitas penduduk yang sering membuang sampah berupa kalengkaleng bekas, kabel kabel listrik, sampah-sampah plastik, sisa-sisa kaleng cat dan batrei bekas melalui sungai dan bermuara ke laut, debu dan zat-zat pengotor yang menempel mengotori badan kendaraan dan kapal-kapal akan menambah konsentrasi pb pada daerah tersebut. kandungan logam cr ditemukan tertinggi di stasiun iii (waai perikanani) yakni 109,535 mg/kg . lokasi ini berdekatan dengan jalan raya, pabrik perikanan, dermaga kapalkapal ikan, hutan bakau, dan dekat perumahan warga. tingginya konsentrasi logam berat pada stasiun iii (waai perikanani) disebabkan oleh adanya aktifitas dari kapal-kapal penangkapan ikan dan kapal-kapal pelayaran yang berlabuh di lokasi tersebut. selain itu juga tingginya kandungan cr bersumber dari aktifitas transportasi darat yang padat menyebabkan mobilisasi bahan bakar cukup besar, sumber utama cr ini akan dibawah turun oleh air hujan ke dalam badan perairan. 0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 1 2 3 4 26,262 18,491 16,272 12,887 33,066 7,752 109,535 22,464 logam pb logam cr gambar 1. histrogram kandungan logam pb dan cr yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 70 sisa-sisa cat ataupun tumpahan cat pada saat perbaikan kapal yang lansung masuk kedalam badan air juga menambah tingginya kandungan cr dalam air laut, karena logam cr banyak digunakan sebagai bahan pelapis dan juga sebagai pewarna pada cat. sementara kandungan terendah ditemukan pada stasiun ii (tulehu speed). hal ini disebabkan oleh pola arus yang berkembang pada stasiun ii yaitu arus pada saat surut mengarah ke luar teluk dan pada saat pasang mengarah kearah dalam teluk sehingga bahan pencemar yang ada pada daerah ini terbawa oleh arus ke daerah lain menyebabkan kandungan cr berbeda dengan stasiun lainya. beberapa literatur menyebutkan bahwa konsentrasi logam berat akan rendah pada akar lamun enhalus accoroides umumnya pada musim kemarau. pada musim penghujan kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju erosi pada permukaan tanah yang terbawa kedalam badan sungai sehingga sedimen sungai yang diduga mengandung logam berat akan terbawa oleh arus sungai menuju muara dan pada akhirnya terjadi proses sedimentasi. hal ini yang menyebabkan konsentrasi logam menjadi tinggi (palar, 1994). berdasarkan keputusan menteri lingkungan hidup no.51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut maka kandungan logam pb dan cr pada perairan desa waai dan tulehu dalam akar lamun dapat dikatakan cukup tinggi dimana untuk logam pb 00,005 ppm sedangkan cr 00,005 ppm. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan: 1. kandungan logam pb tertinggi pada akar lamun di perairan desa tulehu terletak pada stasiun i ( tulehu toko surya) sebesar 26,262 mg/kg. sedangkan kandungan logam pb tertinggi pada akar lamun di perairan desa waai terletak pada stasiun iii (waai naang) sebesar 16,272 mg/kg. 2. kandungan logam cr tertinggi pada akar lamun di perairan desa waai terletak pada stasiun iii (waai perikani) sebesar 109,535 mg/kg. sedangkan kandungan logam cr terendah pada akar lamun di perairan desa tulehu terletak pada stasiun i ( tulehu toko surya) sebesar 33,066 mg/kg. 3. akar lamun di perairan desa waai dan tulehu memiliki kandungan logam pb dan cr yang cukup tinggi. daftar pustaka aziz,v., 2007. analisis kandungan sn ,zn, dan pb dalam susu kental manis kemasan kaleng secara spektrofotometer serapan atom. universitas islam indonesia, jogyakarta. batu, s. m., 2009, kandungan logam berat pb dan cr dalam sedimen di perairan teluk ambon bagian dalam, skripsi sarjana, unpatti , ambon bassett, j. 1994. buku ajaran vogel kimia analisis kuantitatif anorganik. edisi keempat, penerbit buku kedokteran egc.jakarta cotton dan wilkinson, 1989 , kimia anorganik dasar, universitas indonesia, jakarta dahuri.r., 2003. keanekaragaman hayati laut asset pembangunan berkelanjutan. pt gramedia pustaka utama. jakarta. darmono., 1995. logam dalam sistim biologi mahluk hidup. ui-pres. jakarta. darmono., 2001. lingkungan hidup dan pencemaran. ui press; jakarta. day, r. a. dan underwood , a. l., 1999, analisis kimia kuantatif, edisi 6, erlangga, jakarta fardiaz, s., 1992, polusi air dan udara. penerbit kanisisus. jogjakarta. kunarso, d. h., 1991. pencemaran air laut di indonesia dan teknis pemantauannya. lipi: jakarta. marganof., 2003, potensi limbah udang sebagai penyerap logam berat (pb) diperairan. ipb: bogor. palar, h.,1994, pencemaran dan toksikologi logam berat. rineka cipta: jakarta. retno., 1996. menggukur kadar logam berat pb, cd, zn pada perairan pantai jepara dengan menganalisis lamun berdasarkan bagian daun, batang, dan akar lamun prosiding seminar hasil penelitian ilmu kelautan. pusat penelitian dan pengembangan oseanologi lipi no.27. jakarta. sahetapy, s. dan lewerissa, y. a., 2006. analisis logam berat pb, cd, cr diperairan pantai teluk ambon bagian dalam. lembaga penelitian unpatti kumpulan abstrak; ambon. yusthinus t. male, dkk / ind. j. chem. res, 2014, 1, 66 71 71 sipaheluta, 2009. penentuan kadar logam berat pb, cd, cr pada lamun enhalus acoroides, skripsi mipa unpatti. susitiono, 2004. fauna padang lamun merah selat lembah. pusat penelitian oseanografi lipi sugiarto, h., kristian dan suyanti, d retno, 2010, kimia anorganik logam, edisi pertama graha ilmu, yogyakarta wibisono, m. s., 2005, pengantar ilmu kelautan, grasindo, jakarta indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 118-123, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-kai 118 qualitative protein hydrolyzed from nerita undata in supralittoral rocks and mezolittoral zone of hasa cape using tlc healthy kainama1, hanoch j. sohilait2*, christian jacob souisa3 1department chemistry education, universitas pattimura, ambon, indonesia 2department chemistry, universitas pattimura, ambon, indonesia 3centre for deep-sea research, indonesian institute of sciences, ambon, indonesia *corresponding author: nokesohilait@yahoo.com received: september 2021 received in revised: september 2021 accepted: september 2021 available online: september 2021 abstract gastropods are the sources of protein for coastal communities in the maluku islands. we conducted analysis quantitative and qualitative of protein in nerita undata meat from hasa cape in saparua island. the percentage of protein was analyzed by the kjeldahl method. qualitative analysis began with breaking peptide bonds in protein to amino acid components by sulphuric acid and barium hydroxide hydrolyzed. we identified amino acid compounds by using thin-layer chromatography (tlc) in butanol-acetic acid-water (8:1:1 v/v) as eluent. the result showed that n. undata meat contains 11.15% of protein and twelve amino acid compounds. there are seven essential amino acids in n. undata meat from supralittoral rocks and mezolittoral zone of hasa cape is a source of quality protein. thus, this species can be considered as a source of high-quality protein. k kkeywords: amino acid, hydrolysis, kjeldahl method, nerita undata, protein. introduction food can provide a source of oil and protein. oil sources can be obtained from plants such as tengkawang (shorea sumatrana) (riski, maulana, permana, lestari, & tarigan, 2020), and from animals it can be obtained from seafood. seafood provides oil and also protein. sources of oil can come fish ex. silver fish (mene maculata) (tahya, tahya, & kainama, 2019). high-quality protein can come from seafood non fish. high-quality protein that contains essential amino acids and is required for the growth and maintenance of the human body (fagbuaro, oso, edward, & ogunleye, 2006; domingo, 2016; (wells et al., 2017)). essential amino acids, also known as indispensable amino acids, are components that humans and other vertebrates cannot synthesize from metabolic intermediates. these amino acids must be supplied from an exogenous diet because the human body lacks required the metabolic pathways to synthesize. proteins contain 20 different amino acids including essential and non-essential of nutrition importance. both types are indispensable for the nutrition of cells and normal cell and organ function. shellfish also provide high-quality protein with all the dietary essential amino acids for the maintenance and growth of the human body. accordingly, shellfish should be considered a low-fat, high-protein food that can be included in a low-fat diet (king, childs, dorsett, ostrander, & monsen, 1990). the nerita undata is present a great amount in hasa cape of saparua island. based on empirical evidence of local communities, the n.undata is consumed as food. the meat of species was processed for an alternative protein source. n.undata consumption only occurs during extreme weather so availability of fish is limited. therefore, it is crucial to know the essential amino acid compounds contained in n. undata meat. the study aim is to determine qualitative analysis of protein in n.undata from hasa cape in saparua island. figure 1. data location of n. undata the amino acids were identified with the conventional method by using thin-layer chromatography (tlc). bhawani et al., (2012) healthy kainama et al. indo. j. chem. res., 9(2), 118-123, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-kai 119 reported the ability of tlc to detect the type of amino acid in a sample as an indicator of protein quality (bhawani et al., 2012). the result of this study is the first report of amino acid and protein composition from gastropods of these supralitoral and mesolitoral rocks in saparua coastal. nevertheless, these are preliminary data for the classification and prediction of the protein biosynthesis pathway in n.undata. methodology materials and instruments n. undata was collected from hasa cape, saparua island. chemicals using in this study were pure analysis from merck: petrolium ether, sulphuric acid (h2so4), barium hydroxide, ba(oh)2, amino acids standard, buthanol (c4h9oh), acetic acid glacial (ch3cooh), hcl, nynhidrin, ethanol, mercury oxide (hgo), sodium sulphate (na2so4), sodium thiosulphate (na2s2o3), boric acid (h3bo3), zink, methyl red-methylene blue indicator, tlc silica gel 60 f254 preparative sheets 20x20 cm 2. the equipment: soxhlet set, volumetric flask, three-neck round flask, buret, kjeldahl apparatus, erlenmeyer, camag flat bottom tlc chamber and destilation set from pyrex. methods isolation of water and fat in n. undata meat (num) num was cut into small pieces, then 1 g dried in the oven at 110o c for 3 hours. the dried num obtained was extracted with a soxhlet apparatus until lipid was dissolved in petroleum ether for 72 hours. acidic hydrolysis of protein num n.undata meat fat free refluxed with concentrated sulphuric acid at 110 oc for 24 hours. the solution neutralized by adding barium hydroxide slowly and filtered to the mark of 50 ml in a measuring flask. basic hydrolysis of protein num n.undata meat fat free refluxed with 22.8 g barium hydroxide in 10 ml aquadest at 110 oc for 24 hours. the solution neutralized by adding sulphuric acid slowly and filtered to the mark of 50 ml in a measuring flask. analysis compounds of amino acids in num tlc chamber containing the mobile phase as eluent of butanol-acetic acid-water (80 ml:10 ml:10 ml v/v) saturated for an hour. on the other side tlc was activated by heating in the oven for 2 minutes at 85 oc. spot 1 μl of standard amino acid solution and 2 μl sample num hydrolyzed on tlc, respectively. the tlc was put into the chamber and has been left completely eluted at plate. tlc was drying in room temperature and then sprayed with 0.1% of ninhydrin in ethanol. tlc was heating in the oven for 10 minutes at 80 oc. the spots of sample num then was comparing to 17 standard amino acids. analysis of protein content of num num protein content can be known by measuring the amount of nitrogen total. nitrogen was determined by the kjeldahl method as described by babu et al., 2010. num 1 g of that has been mashed into a 500 ml kjeldahl flask and added 10 ml of sulphuric acid. 5 g of a mixture of na2so4-hg (20:1) was added as a catalyst (babu, venkatesan, & rajagopal, 2011). the destruction process uses a kjeldahl flask and is carried out in a fume hood until it stops smoking. the mixture is continued heating at high temperature until the liquid is colorless and added an hour before cooling. after cooling, add 140 ml of aqua dest and 35 ml of naohna2s2o3 and granules of zinc. distillation was carried out and 100 ml of distillate was accommodated in an erlenmeyer containing 25 ml of a colorless solution of boric acid and a few drops of methyl red-methylene blue indicator. furthermore, the obtained solution was titrated with 0.1 n hcl. the blank solution was prepared by replacing num with aquadest where the destruction, distillation, and titration. this procedure is done in duplicate. data analysis the water, fat and protein contents of samples was determined using equation 1, 2, 3 dan 4 respectively. % water = w0−w1 w0 x 100 (1) % fat = w fat w sample 𝑥 100 (2) % n = v hcl blank −v hcl sample x n hcl x 14,08 w sample x 1000 𝑥 100 (3) % protein = % n 𝑥 conversion factor (6.25) (4) results and discussion description of n. undata line gastropod samples was collected from tanjung hasa (figure 1). then the samples was identified the taxonomically at the invertebrate laboratory of lipi ambon. healthy kainama et al. indo. j. chem. res., 9(2), 118-123, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-kai 120 kingdom : animalia phylum : mollusca class : gastropods ordo : archaegastropods family : neritideae genus : nerita species : nerita undata local name : bia langsat (saparua) figure 2. (a) shell; (b) living zone of n. undata n. undata have spire of the shell is short, while the bottom is swollen. on the outside of the lip, there is a thickening with teeth as in the columella (figure 2a) (nouet, cotte, cuif, dauphin, & salomé, 2012). this species size of 2-3 cm. tend to move freely in search of food at low tide and moderate temperatures are mostly found at night. they generally live in the supralittoral zone and cling to dead coral (figure 2b). composition of water and fat in num the initial analysis in this study was to separate water and fat from the sample before being hydrolyzed of protein in num. the gravimetric method is used to determine the percentage of water lost during the drying process. the num was heated at constant temperature causes a decrease in the sample mass 5.28±0.15g to 0.94±0.15g (table 1). this study showed that petroleum ether as a non-polar solvent has released fat on n.undata meat on soxhlet extraction for 72 hours. dry weight (w1) of num 0.94±0.32 g contains fat weight (fw) 0.007±0.29 g equivalent to 76% of fat (0.76%) (table 1, figure 3). the results of the analysis showed that num contains water (82.0%) higher than fat (figure 3). the large water content must be removed from the sample so that no emulsion occurred during the fat extraction process. however, the low contained fat molecules must be released from the sample. this step is taken to prevent the formation of tailings or spots on the widening of the tlc. table 1. percentage of water, fat, and n in num wo: wet weight, w1: dry weight, wf: weight of fat protein of num the kjeldahl method is used to analyze crude protein in foot ingredients indirectly. the percentage of nitrogen is equivalent to 6.25 mg of protein (conversion factor). the principle of protein analysis using the kjeldahl procedure that has been carried out in this study through three major steps is digestion, distillation, and titration. the aim of the digestion procedure is to break all nitrogen bonds in the num and convert all of the organically bonded nitrogen into ammonium ions. organic carbon and hydrogen from num formed carbon dioxide and water. digestion meat n. undata is hydrolyzed with 98% sulfuric acid and heated in the mixture. the step aims to break down other substances found in the num (eq.5). in this process, the organic material from num carbonizes which can be visualized by the transformation of the num into black foam. during the digestion, the foam decomposes and finally, a clear liquid indicated the completion of the chemical reaction. zink is added in order to increase the speed and efficiency of the digestion procedure. after digestion is completed the num is allowed to cool to room temperature, then dilute with water and transferred to the distillation unit. (5) (6) (7) furthermore, the distillation and titration step following general principles of the kjeldahl method. both of the distillation and titration in this study are described in reaction (equation 6 and equation 7). sample percentage of water num wo(g) w1(g) water (%) 5.28±0.15 0.94±0.15 82.0±0.15 percentage of fat w1 (g) wf fat (%) 0.94±0.32 0.007±0.29 0.76±0.30 percentage of nitrogen w1 (g) titrant (ml) nitrogen (%) 1.05±0.21 13.86±0.12 1.85±1.35 supralittoral rocks mesolittoral rocks b a healthy kainama et al. indo. j. chem. res., 9(2), 118-123, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-kai 121 figure 3. water, fat and protein of n. undata the volume of hydrochloric acid used for ammonia titration in this study was 13.86 ±0.12 ml (table 2). based on eq.3 then the calculation of percent nitrogen in num is 1.85±1.35 % (table 2). the percentage of protein in num of 11.15±1.35% (fig.3) is highly determined by the amount of nitrogen (eq. 4). the shows that species num contains nutrients that can be used to meet animals other than fish, squid, shrimp, eggs, and others. so that, protein supply for the human body can be obtained from num. the results show that the percentage protein of num is almost the same as lambis lambis from waisarisa (15.52%) and suli (16.97%) (leiwakabessy & lewerissa, 2017) amino acids in num peptide bonds linking amino acid monomers can be broken by the hydrolysis of protein. hydrolysis can be performed by either chemical or enzymatic means, while chemical hydrolysis can be performed under either acidic or basic conditions. this process is refluxed n.undata meat in 6 m sulphuric acid without oxygen at 110 oc in 22 hours to breaking peptide bonds from protein. however, this process caused the destruction of the tryptophan (trp) amino acid. the further, hydrolyzed using ba(oh)2 to digest the damaged trp due to acid hydrolysis. in this study using tlc for detection of amino acids components in both hydrolyzed acid and is based of protein in num an analysis was carried out. the use of tlc based on several advantages such as fast, inexpensive, and versatile separation technique with many practical considerations that contribute to its effectiveness (bhawani et al., 2012). the use of eluent caused the separation of amino acid components in num and compared rf with the standard. the rf at chromatograms tlc of amino acid profiles of n. undata and standard are presented in fig.4. the sulphuric acid hydrolysis of num resulted in eleven spots with rf suitable for cys, lys, his, asn, ser, thr, ala, val, tir, leu, and phe. ten spots as barium hydroxide hydrolized with rf suitable for cys, lys, his, asp, ala, val, tir, leu, phe and trp, respectively. figure 4. rf value of amino acids in num ha:(sulphuric acid hydrolized); hb:(barium hidroxide hydrolyzed)*: essential amino acids. the amino acid of ser and thr are destroyed while trp appears on barium hydroxide hydrolyzed. both of these hydrolysis subtances obtained twelve amino acid components were cys, lys, his, asp, ser, thr, ala, val, tir, leu, phe, and trp, respectively. the seven components of essential amino acids type in num were lys, his, thr, val, leu, phe, and trp (figure 4). methionine (met) is an amino acid component that plays as a growth stimulant. this study showed that met was not found in num. the deficiency of met component can be a change of cys in this species. in principle, a protein source that can provide essential amino acids for human needs has high quality. the quality of amino acids and their availability determines the nutritional quality of the proteins (gressler et al., 2010). animals cannot synthesize all these amino acids of primary metabolisms by themselves, and it will earn through their diet (joshi, joung, fei, & jander, 2010). these results studies indicate that num has high-quality protein which is showed that profile described there are seven essential amino acids (>50%). the species is classified as a high-quality protein source. in general, the gastropods species were reported to provide an inexpensive source of proteins and amino acids (babu et al., 2011). the results of this study can be compared with the amounts of essential amino acids 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 r e to rd a ti o n f a c to r ha hb standard 82 0.76 11.15 0 10 20 30 40 50 60 70 80 water fat protein n u tr ie n t (% ) healthy kainama et al. indo. j. chem. res., 9(2), 118-123, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-kai 122 previously reported in gastropods from different locations. num contains eight components essential amino acids so that higher protein quality than c. ramosus (six components). the data in table 1 showed that eight essential amino acids contain in l.lambis and haliotis sp, respectively from seram island (leiwakabessy & lewerissa, 2017) the same amount as n. undata. the p. tumindus reported by hafiludin et al., 2020 which contains eight essential amino acids components. however jayaprabha et al., 2016 reported on t. brunneus containing glutamic acid which was not used as a standard for the sample of n. undata (jayaprabha, 2016). in the genus nerita, feng et al., 2021 reported the types of essential amino acids in n. chameleon meat are the same as those contained in num (feng, miao, li, guo, & lü, 2021). another study reported by humayun et al., 2020 regarding n. undata scattered in coastal pakistan contains higher protein (35.67±3.36%) and fat (18.01±0.35%) than that obtained in this study. however, the number and types of essential amino acids were the same as in num from hasa cape except for isoleucine (ile). figure 4. groups amino acids in num figure 4 showed that val and ala belong to the type of compounds with r being aliphatic. the three types of amino acids in num with r as the hydroxyl group are tir, ser, and thr. type of amino acids wich r as the base are three compounds arg, his and lys, respectively. the his, trp, tir and phe are amino acids containing aromatic in the r group. the only amino acid that contains sulfur is cys biosynthesis pathway of amino acid in num twenty amino acids are required for protein synthesis. animals have the genetic material required to synthesize the enzymes found in the biosynthesis pathways for amino acids. there is likely an evolutionary advantage behind removing the long pathways required to synthesize essential amino acids. genetic material is required to synthesize these amino acids and relying on the environment to provide these building blocks. based on the previously reported model (nelson & michel, 2008) it can be predicted that the biosynthesis pathway of amino acids in num can be predicted as shown in figure 5. figure 5. biosynthesis pathway amino acids proposal in num based on profile chromatogram of tlc amino acid mostly contains nitrogens in the form of nh4 + and carbon atoms. nh4 + group comes from glutamate or glutamine and carbon atoms come from glucose as a monosaccharide. the source of amino groups in amino acid is derived from glutamine and glutamate in the process of transamination. the source of carboxyl and hydroxyl groups is derived from monosaccharides (glucose). individual amino acid is a kind of amino acid that is derived from the other amino acid but, it can’t convert to be another (hou & wu, 2018; hou, yin, & wu, 2015) . biosynthesis pathway in n. undata predicted showed that figure 5. the amino acids n. undata are derived from phosphoenolpyruvate and erythrose 4phosphate were tir, trp, and phe. the his is the only amino acid that is derived from ribose 5-phosphate. ser and cys are both of amino acids are derived from 3phosphoglycerate. amino acids biosynthesis by oxaloacetate is thr, lys, and arg from αketoglutarate of precursor, respectively. the ala, val, and leu are amino acids groups of biosynthesis by pyruvate precursor. conclusion num consumed by the people on saparua island is a source high-quality protein from supralittoral and mesolittoral zone which is seven essential amino acids. the five types of amino acids in num based on r are healthy kainama et al. indo. j. chem. res., 9(2), 118-123, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-kai 123 metabolic precursors in the biosynthesis of amino acids. references babu, a., venkatesan, v., & rajagopal, s. (2011). fatty acid and amino acid compositions of the gastropods, tonna dolium (linnaeus, 1758) and phalium glaucum (linnaeus, 1758) from the gulf of mannar, southeast coast of india. annals. food science and technology, 12(1), 159-163 bhawani, s. a., mohamad ibrahim, m. n., sulaiman, o., hashim, r., mohammad, a., & hena, s. (2012). thin-layer chromatography of amino acids: a review. journal of liquid chromatography & related technologies, 35(11), 1497-1516. https://doi.org/10.1080 /10826076.2011.619039 domingo, j. l. (2016). nutrients and chemical pollutants in fish and shellfish. balancing health benefits and risks of regular fish consumption. critical reviews in food science and nutrition, 56(6), 979-988. https://doi.org/10.1080 /104083 98.2012.742985 fagbuaro, o., oso, j. a., edward, j. b., & ogunleye, r. f. (2006). nutritional status of four species of giant land snails in nigeria. journal of zhejiang university of science, 7(9), 686–689. feng, j., miao, j., li, j., guo, b., & lü, z. (2021). characterization of four mitochondrial genomes of family neritidae (gastropoda: neritimorpha) and insight into its phylogenetic relationships. scientific reports, 11. gressler, v., yokoya, n. s., fujii, m. t., colepicolo, p., filho, j. m., torres, r. p., & pinto, e. (2010). lipid, fatty acid, protein, amino acid and ash contents in four brazilian red algae species. food chemistry, 120(2), 585–590. https://doi.org/ 10.1016/j.foodchem.2009.10.028 hou, y., & wu, g. (2018). nutritionally essential amino acids. advances in nutrition, 9(6), 849851. https://doi.org/10.1093/advances/nmy054 hou, y., yin, y., & wu, g. (2015). dietary essentiality of “nutritionally non-essential amino acids” for animals and humans. experimental biology and medicine, 240(8), 997– 1007. https://doi.org/ 10.1177/15353702 15587913 jayaprabha, d. (2016). amino acid and fatty acid profiles of the marine gastropod turbo brunneus (l. 1758) along the gulf of mannar region of thoothukudi. international journal on recent and innovation trends in computing and communication, 4(5), 284-287. joshi, v., joung, j.-g., fei, z., & jander, g. (2010). interdependence of threonine, methionine and isoleucine metabolism in plants: accumulation and transcriptional regulation under abiotic stress. amino acids, 39(4), 933–947. https://doi.org/ 10.1007/s00726-010-0505-7 king, i., childs, m. t., dorsett, c., ostrander, j. g., & monsen, e. r. (1990). shellfish: proximate composition, minerals, fatty acids, and sterols. journal of the american dietetic association, 90, 677–685. leiwakabessy, j., & lewerissa, s. (2017). amino acid profile of strombus luhuanus and lambis lambis from waisarisa and suli waters, maluku province, indonesia. aacl bioflux, 10(5), 6. nelson, d. l., & michel, m. c. (2008). lehninger principles of biochemistry (5th ed.). usa: w.h. freeman & company. nouet, j., cotte, m., cuif, j.-p., dauphin, y., & salomé, m. (2012). biochemical change at the setting-up of the crossed-lamellar layer in nerita undata shell (mollusca, gastropoda). minerals, 2(2), 85-99. https://doi.org/ 10.3390/min2020085 riski, d. g., maulana, r. g. r., permana, e., lestari, i., & tarigan, i. l. (2020). profile analysis of fatty acids of tengkawang (shorea sumatrana) oil using gc-ms and antibacterial activity. indonesia journal of chemical research, 8(2), 114–119. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.8dgr tahya, k., tahya, c., & kainama, h. (2019). transesterification of silver fish oil (mene maculata) with cao catalyst from chicken egg shells. indonesian journal of chemical research, 7(1), 69–76. wells, m. l., potin, p., craigie, j. s., raven, j. a., merchant, s. s., helliwell, k. e., … brawley, s. h. (2017). algae as nutritional and functional food sources: revisiting our understanding. journal of applied phycology, 29(2), 949–982. https://doi.org/10.1007/s10811-016-0974-5 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 101 ekstraksi kalsium dari cangkang kerang hijau (perna viridis l.) dan kerang batik (paphia undulata b.) dengan metode kalsinasi sebagai sediaan effervescent extraction of calcium from green clam shells (perna viridis l.) and batik clam shells (paphia undulata b.) by calcination method as effervescent mohammad rofik usman * , rifka nabila, lutfiah nurul hakiki study program of pharmacy, stikes banyuwangi, jl. letkol istiqlah no. 109, banyuwangi * corresponding author: mrofik05@gmail.com received: 2020-7-12 received in revised: 2020-8-25 accepted: 2020-9-27 available online: 2020-9-28 abstract one of the solutions is the supplying of calcium effervescent powder as a source of calcium. the source of calcium that has not been processed maximally is the clam shell. calcium from the clam shells will be extracted by calcination method at 900 °c for 4hours. the extracted clam shells powder are tested using xrd and analyzed using the rietveld method. the particle sizes of calcium are determined by the scherer equation. the best calcium is formulated into 3 formulations with several variations in composition. evaluation of calcium effervescent powder includes organoleptic test, water content and dispersion time. the extracted calcium crystal diffractogram shows the cao compound with cubic structure and space group fm3m. the particle sizes of cao nanoparticles from green shells and batik were 88.7597nm and 96.66566nm, respectively. the best cao based on χ2 values and particle sizes are cao from green clam shells. the organoleptic test of the three formulations produced the same data as yellow, granular shape, and citrus aroma. formulation three is the best formulation based on the low water content and short dispersion time. keywords: calcium nanoparticles, shells, calcination, formulation, effervescent abstrak (indonesian) salah satu solusinya yaitu penyediaan serbuk effervescent kalsium sebagai sumber kalsium. sumber kalsium yang belum diolah secara maksimal yaitu cangkang kerang. kalsium dari cangkang kerang akan diekstraksi dengan metode kalsinasi pada suhu 900°c selama 4 jam. serbuk cangkang kerang hasil ekstraksi diuji menggunakan xrd dan dianalisis menggunakan metode rietveld. ukuran partikel kristal kalsium ditentukan dengan persamaan scherrer. kristal kalsium yang terbaik diformulasikan menjadi 3 formulasi dengan beberapa variasi komposisi. evaluasi serbuk effervescent kalsium meliputi uji organoleptik, kadar air dan waktu dispersi. difraktogram kristal kalsium hasil ekstraksi menunjukkan senyawa cao dengan struktur kubik dan space group fm3m. ukuran partikel kristal nanopartikel cao dari cangkang kerang hijau dan batik berturut-turut yaitu 88,7597 nm dan 96,6566 nm. kristal cao yang terbaik berdasarkan nilai nilai χ2 dan ukuran partikel yaitu kristal cao dari cangkang kerang hijau. uji organoleptik ketiga formulasi menghasilkan data yang sama yaitu warna kuning, bentuk granula, dan aroma jeruk. formulasi 3 merupakan formulasi yang terbaik dengan didasarkan pada kadar air yang rendah dan waktu dispersi yang singkat. kata kunci: nanopartikel kalsium, cangkang kerang, kalsinasi, formulasi, serbuk effervescent pendahuluan kalsium merupakan unsur yang dibutuhkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia (maspaitella dan dieny, 2012). saat ini banyak kasus penurunan kepadatan tulang (osteopenia) akibat kekurangan kalsium yang akan berlanjut menjadi misalnya osteoporosis (faizah dan fitranti, 2015). kasus kekurangan kalsium tersebut tidak hanya diderita pada orang lansia (lanjut usia >50 tahun) (limbong dan syahrul, 2015), namun juga dialami mohammad rofik usman dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 102 oleh remaja (18-25 tahun) dan dewasa (25-50 tahun) baik laki-laki maupun perempuan (safitri dan fitranti, 2015). bahkan kasus osteoporosis menjadi perhatian dunia dengan perkiraan 9 juta orang per tahun yang menderita osteoporosis (ukon dkk., 2019). sumber kalsium terdapat pada beberapa makanan dan minuman diantaranya susu, daging, telur, buahbuahan, sayuran, ikan dan beberapa jenis seafood (vannucci dkk., 2018). susu formula tinggi kalsium di indonesia memiliki harga yang cukup tinggi sehingga beberapa golongan dari masyarakat tidak mampu mendapatkan susu tersebut. seafood yang merupakan salah satu makanan dengan kadar kalsium yang tinggi misalnya kerang (bhattacharjee dkk., 2019). cangkang kerang memiliki kalsium yang lebih banyak dari pada daging kerang (cho dkk., 2017), namun kurang dimanfaatkan dengan baik. jenis kerang yang umum dibudidayakan dan dikonsumsi di banyuwangi yaitu kerang hijau (perna viridis l.) dan kerang batik (paphia undulata b.). beberapa metode yang dilakukan untuk mengekstrak kalsium dari cangkang kerang yaitu karbonasi (lee dkk., 2017), deproteinasi (firdaus dkk., 2018) dan kalsinasi (hariyati dkk., 2019). metode karbonasi yang dilakukan oleh lee dkk. (2017) menghasilkan beberapa senyawa kalsium sedangkan dengan metode deproteinasi firdaus dkk. (2018) menghasilkan kalsium dengan rendemen yang rendah yaitu 17,23%. metode kalsinasi pada suhu tinggi dapat mengubah struktur dan komposisi senyawa kalsium, pemanasan pada suhu lebih dari 500°c dapat mengubah senyawa kalsium karbonat (caco3) menjadi senyawa kalsium oksida (cao) (hariyati dkk., 2019; tahya dkk., 2019). berdasarkan latarbelakanng di atas telah dilakukan ekstraksi kalsium yang diformulasikan diformulasi menjadi sediaan serbuk effervescent. uji kadar air dan waktu dispersi dilakukan untuk mengetahui kualitas serbuk effervescent yang dihasilkan. metodologi alat dan bahan penelitian ini menggunakan beberapa alat yaitu: neraca analitik (kern:abs 220-4), furnace (thermolyne, fb 1410m-33), x-ray diffraction (xrd, merek pananalytical, type: e’xpert pro), mortir dan stemper, oven (merek touch science, model dzf-6050), ayakan ukuran 40 dan 60 mesh dan beberapa alat gelas yang umum di laboratorium. bahan dalam penelitian ini yaitu: akuades, dekstrin (lihua starch), aspartame (planet kimia), perisa jeruk (golden aroma food indonesia), polivinil pirolidon (pvp), asam sitrat, asam tartrat, natrium bikarbonat, dan etanol 96% diperoleh dari merck, cangkang kerang hijau (perna viridis l.), dan cangkang kerang batik (paphia undulata b.) diperoleh dari rumah makan seafood di banyuwangi. prosedur kerja cangkang kerang yang telah bersih dan kering dihaluskan dan diayak dengan ukuran 60 mesh. serbuk cangkang kerang yang diperoleh dipanaskan pada suhu 100 °c selama 5 jam dan didinginkan. kalsinasi dilakukan dengan serbuk cangkang kerang sebanyak 100 gram selama 4 jam pada suhu 900 °c. kalsium pada serbuk cangkang kerang setelah kalsinasi dianalisis menggunakan xrd. kalsium hasil kalsinasi dari cangkang kerang yang terbaik diformulasi menjadi serbuk effervescent dengan komposisi bahan seperti pada tabel 1. campuran 1 yaitu campuran aspartam, asam sitrat dan asam tatrat yang telah dihaluskan dengan ayakan 60 mesh. selain itu, siapkan campuran 2 yaitu campuran natrium bikarbonat, dekstrin, kalsium, dan 1 g perisa jeruk. masukkan campuran 2 ke dalam campuran1 dan digerus hingga homogen. tambahkan larutan pvp dalam etanol 96% ke dalam campuran tersebut dan keringkan pada suhu 50 °c. granula yang terbentuk dihaluskan dengan ayakan 40 mesh. evaluasi hasil serbuk effervescent kalsium dengan uji organoleptik, kadar air, dan waktu dispersi. tabel 1. komposisi formulasi serbuk effervescent kalsium kandungan persentase (%) pada formulasi ke 1 2 3 kalsium 4,64 4,64 4,64 asam sitrat 15,38 14,03 25,67 asam tatrat 30,74 27,91 12,84 natrium bikarbonat 30,74 34,92 38,35 dekstrin 15 15 15 aspartam 1,5 1,5 1,5 pvp 2 2 2 analisis data difraktogram hasil analisis xrd akan dianalisis kualitatif dengan menyesuaikan data difraktogram kalsium yang berasal dari american mineralogist crystal structure database (amcsd). analisis kuantitatif dari kristal kalsium melalui penghalusan data (refinement) menggunakan aplikasi rietica dengan metode rietveld, keberhasilan refinement didasarkan pada data kecocokan profil reabilitas (rp) mohammad rofik usman dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 103 ≤ 50%, kecocokan bobot reabilitas (rwp) ≤ 50%, dan indeks pencocokan (χ 2 ) ≤ 4 (situmeang dkk., 2012; mukminin, 2018). ukuran partikel kristal kalsium dalam nm (d) juga dianalisis dengan persamaan scherrer (1): (1) dimana: k : 0,9 (konstanta scherrer) λ : 0,154060 nm (panjang gelombang sumber sinar) b : fwhm (full width at half maximum) (radian) θ : posisi puncak (radian) evaluasi serbuk effervescent nanopartikel kalsium yang pertama yaitu uji organoleptik yang meliputi warna, bentuk, serta aroma. uji kadar air dilakukan dengan mengeringkan serbuk effervescent nanopartikel kalsium pada suhu 100 °c selama 4 jam. kadar air ditentukan dengan persamaan (2) berikut: (2) dimana: a : massa serbuk effervescent sebelum dikeringkan b : massa serbuk effervescent setelah dikeringkan uji waktu dispersi dilakukan dengan melihat waktu yang dibutuhkan 15 gram serbuk effervescent nanopartikel kalsium larut secara sempurna dalam 200 ml air (santosa dkk., 2017). hasil dan pembahasan ekstraksi nanopartikel kalsium pemanasan cangkang kerang sebelum kalsinasi bertujuan untuk mengeringkan cangkang kerang yang telah dicuci. metode kalsinasi dengan suhu 900 °c selama 4 jam bertujuan untuk memisahkan dan menghilangkan senyawa organik yang terkandung dalam cangkang kerang. selain itu, tujuan kalsinasi juga untuk mengubah senyawa caco3 menjadi cao (rachim dkk., 2017; mukminin, 2018; hariyati dkk., 2019; tahya dkk., 2019; taba dkk., 2019). hilangnya senyawa organik pada cangkang kerang ditunjukkan dengan berkurangnya massa serbuk cangkang kerang setelah kalsinasi. adapun massa serbuk cangkang kerang hijau dan batik setelah kalsinasi berturut-turut yaitu 51,06 gram dan 55,97 gram. serbuk cangkang kerang setelah kalsinasi dianalisis menggunakan xrd untuk memastikan komposisi serbuk cangkang kerang. difraktogram dari serbuk cangkang kerang disesuaikan dengan data cao pada amcsd no. 0017989 (downs dkk., 1993). adapun perbandingan difraktogram serbuk cangkang kerang ditunjukkan pada gambar 1. gambar 1. difraktogram kristal cao dari (a) amcsd no. 0017989; (b) cangkang kerang hijau; dan (c) cangkang kerang batik kesesuaian difraktogram baik dari cangkang kerang hijau maupun cangkang kerang batik menunjukkan struktur kristal cao berbentuk kubik dengan space group fm3m. struktur kristal cao dari cangkang kerang hijau dengan aplikasi vesta ver. 3.5.3, mengacu pada data hasil refinement cao dari cangkang kerang hijau dengan kisi kristal (a=b=c = 4,81140 dan α=β=γ = 90°) ditunjukkan pada gambar 2. gambar 2. struktur kristal cao dari cangkang kerang hijau (a=b=c = 4,81140 dan α=β=γ = 90°) difraktogram hasil refinement cao dengan metode rietveld ditunjukkan pada gambar 3. pada difraktogram hasil refinement menunjukkan pola puncak yang sama antara difraktogram cao pada amcsd no. 0017989 (simbol ”+” berwarna hitam), dengan difraktogram cao hasil ekstraksi (garis merah) dari cangkang kerang hijau (gambar 3a) dan kerang batik (gambar 3b) (mukminin, 2018). hasil yang diperoleh tersebut menunjukkan refinement berhasil dilakukan. keberhasilan refinement juga didukung dengan nilai rp, rwp, dan (a) (b) (c) mohammad rofik usman dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 104 χ 2 yang telah memenuhi standar (situmeang dkk., 2012). gambar 3. difraktogram cao hasil refinement dari cangkang kerang hijau (a) dan cangkang kerang batik (b) data refinement yang dilakukan dan parameter kisi kristal cao hasil refinement ditunjukkan pada tabel 2. difraktogram hasil analisis juga memberikan data 2θ dan fwhm yang dapat diolah untuk menentukan ukuran partikel cao dengan persamaan scherrer. tabel 2. parameter keberhasilan refinement dan parameter kisi kristal cao parameter amcsd no. 0017989 cangkang kerang hijau cangkang kerang batik a. refinement rp 35,635 27,224 rwp 17,641 20,818 χ 2 0,055 0,080 b. kisi kristal a = b = c 4,8120 4,81140 4,81230 α = β = γ 90° 90° 90° adapun ukuran rata-rata partikel cao berdasarkan data difraktogram dengan persamaan scherrer ditunjukkan pada tabel 3. ukuran partikel cao hasil ekstraksi menghasilkan ukuran nanopartikel karena ukuran partikel berada pada range 1-100 nm (khan dkk., 2019; bharathiraja dkk., 2018), baik dari cangkang kerang hijau maupun dari cangkang kerang batik. tabel 3. penentuan ukuran partikel kristal cao 2θ (radian) fwhm (radian) ukuran partikel (nm) rata-rata ukuran partikel (nm) a. cao dari cangkang kerang hijau 32,1797 0,1378 60,0012 88,7597 37,3511 0,0787 106,5544 53,8517 0,0960 92,8147 64,1332 0,0720 130,2021 67,3222 0,1200 79,5386 79,6272 0,1200 86,1863 88,5083 0,1680 66,0207 b. cao dari cangkang kerang batik 32,1749 0,0984 84,0251 96,6566 37,3298 0,0960 87,3469 53,8356 0,0960 92,8081 64,1355 0,1200 78,1222 67,3444 0,0720 132,5814 79,6217 0,1200 86,1828 88,5018 0,0960 115,5299 dengan demikian berdasarkan pada nilai χ 2 dan ukuran partikel yang terendah atau terkecil kristal cao yang terbaik adalah kristal nanopartikel cao dari cangkang kerang hijau. formulasi serbuk effervescent kalsium jumlah kristal nanopartikel cao yang digunakan dalam formulasi serbuk effervescent kalsium yaitu 4,64% dari jumlah total atau 650 mg dari 14 gram per takaran. jumlah tersebut merupakan jumlah kalsium yang dibutuhkan oleh balita (1-4 tahun) (permenkes, 2019). kombinasi asam yang digunakan bertujuan untuk menghasilkan granula yang tidak lengket dan juga tidak rapuh (rahmawati dkk., 2016). natrium bikarbonat berperan sebagai bahan penghancur serbuk effervescent dalam air, sehingga serbuk effervescent kalsium mudah larut (nurahmanto dkk., 2019). dalam menjaga kestabilan serbuk effervescent dengan menambahkan dekstrin sebagai bahan pelindung atau bahan pengisi serbuk effervescent (purwati dkk., 2016). pemanis yang digunakan dalam formulasi serbuk effervescent kalsium yaitu aspartam karena umum digunakan pada makanan dan produk farmasi (lynatra dkk., 2018). bahan pengikat yang umumnya digunakan yaitu pvp karena dapat menghasilkan serbuk effervescent yang baik (putra dkk., 2019). produk serbuk effervescent kalsium yang dihasilkan ditunjukkan pada gambar 4. (a) (b) mohammad rofik usman dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 105 hasil uji organoleptik dari ketiga formulasi yang dilakukan menunjukkan data yang sama. hal tersebut diduga karena pengaruh perbedaan komposisi bahan yang digunakan pada setiap formulasi sangat kecil terhadap serbuk effervescent kalsium. gambar 4. serbuk effervescent kalsium formulasi 1 (a), formulasi 2 (b), dan formulasi 3 (c) uji organoleptik yang dilakukan yaitu dengan mengamati warna, bentuk serta aroma dari serbuk effervescent kalsium. data hasil uji organoleptik ditunjukkan pada tabel 4. warna kuning dari serbuk effervescent kalsium dihasilkan dari warna kuning yang berasal dari perisa jeruk. selain itu, perisa jeruk tersebut menimbulkan aroma jeruk pada serbuk effervescent kalsium. bentuk dan warna granula yang homogen seperti pada gambar 4 menunjukkan bahwa formulasi dilakukan dengan baik. tabel 4. hasil uji organoleptik serbuk effervescent kalsium parameter uji formulasi ke 1 2 3 warna kuning kuning kuning bentuk granula granula granula aroma jeruk jeruk jeruk uji kadar air dan waktu dispersi dari serbuk effervescent kalsium dilakukan untuk memastikan kualitas serbuk effervescent yang dihasilkan. serbuk effervescent dengan kadar air yang rendah dan waktu dispersi yang singkat menunjukkan formulasi yang terbaik. hasil uji kadar air dan waktu dispersi serbuk effervescent kalsium ditunjukkan pada tabel 5. berdasarkan hasil uji kadar air dan waktu dispersi ketiga formulasi menghasilkan serbuk effervescent kalsium yang berkualitas baik karena telah memenuhi standar uji kadar air dan waktu dispersi (santosa dkk., 2017). hasil uji kadar air menunjukkan adanya perbedaan kadar air dari ketiga formulasi dengan pola yang semakin menurun dari formulasi 1 hingga 3. tabel 5. hasil uji kadar air dan waktu dispersi serbuk effervescent kalsium formulasi ke parameter uji (rata-rata) kadar air waktu dispersi 1 0,071 % 31,6 detik 2 0,067 % 32,6 detik 3 0,060 % 28,3 detik standar < 0,7 % < 5 menit hal tersebut disebabkan karena jumlah kombinasi asam yang digunakan menurun dari formulasi 1 hingga formulasi 3. jumlah kombinasi asam yang digunakan dapat mempengaruhi nilai kadar air karena jenis asam yang digunakan yaitu jenis hidrat atau mengandung air (rahmawati dkk., 2016). hal yang serupa juga ditunjukkan pada data hasil uji waktu dispersi, dimana menghasilkan pola yang menurun dari formulasi 1 hingga formulasi 3. penurunan waktu dispersi yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah natrium bikarbonat yang digunakan, dimana semakin tinggi jumlah natrium bikarbonat yang digunakan maka semakin singkat waktu dispersi yang dibutuhkan (nurahmanto dkk., 2019). dengan demikian formulasi serbuk effervescent kalsium yang terbaik yaitu formulasi 3 dengan kadar air yang rendah dan waktu dispersi yang singkat. kesimpulan difraktogram kristal cao yang dihasilkan dari cangkang kerang hijau dan batik sesuai dengan difraktogram kristal cao dari amcsd no. 0017989 yang memiliki struktur kubik dan space group fm3m. ukuran partikel kristal cao yang dihasilkan dari cangkang kerang hijau dan batik berturut-turut yaitu 88,7597 nm dan 96,6566 nm. kristal cao yang terbaik berdasarkan nilai χ 2 dan ukuran partikel yaitu kristal cao dari cangkang kerang hijau. formulasi serbuk effervescent kalsium memiliki hasil uji organoleptik yang sama dari ketiga formulasi yang dilakukan. hasil uji kadar air dan waktu dispersi memiliki pola yang menurun dari formulasi 1 hingga formulasi 3. formulasi yang terbaik yaitu formulasi 3. mohammad rofik usman dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 106 daftar pustaka bharathiraja, b., sutha, m., sowndarya, k., chandran, m., yuvaraj, d. and praveen kumar, r., 2018. advances in internal combustion engine research. chapter 9: calcium oxide nanoparticles as an effective filtration aid for purification of vehicle gas exhaust. singapura: springer, 181-192. bhattacharjee, b. n., mishra, v. k., rai, s. b., parkash, o. and kumar, d., 2019. structure of apatite nanoparticles derived from marine animal (crab) shells: an environment-friendly and cost-effective novel approach to recycle seafood waste, acs omega, 4 (7), 1275312758. cho, m. g., bae, s. m. and jeong, j. y., 2017. egg shell and oyster shell powder as alternatives for synthetic phosphate: effects on the quality of cooked ground pork products, korean j. food sci. anim. resour., 37 (4), 571-578. downs, r. t., bartelmehs, k. l., gibbs, g. v. and boisen, m. b., 1993. interactive software for calculating and displaying x-ray or neutron powder diffractometer patterns of crystalline materials, american mineralogist, 78 (9-10), 1104-1107. faizah, l. n. and fitranti, d. y., 2015. hubungan asupan protein, fosfor, dan kalsium dengan kepadatan tulang pada wanita dewasa awal, journal of nutrition college, 4 (2), 335-341. firdaus, s., cahyati, a. i., nastiti, r. w. d. and aminah, s., 2018. potensi limbah kerang serimping sebagai sumber kalsium untuk pemeliharaan densitas tulang, agrisaintifika jurnal ilmu-ilmu pertanian, 2 (2), 108-112. hariyati, shofiyani, a. and wibowo, m. a., 2019. ekstraksi kalsium karbonat (caco3) dari bahan dasar cangkang kerang ale-ale (meretrix meretrix) pada temperatur kalsinasi 500°c, jurnal kimia khatulistiwa, 8 (1), 54-58. khan, i., saeed, k. and khan, i., 2019. nanoparticles: properties, applications and toxicities, arabian j. chem., 12 (7), 908-931. lee, s. m., lee, s. h., jeong, s. k., youn, m. h., nguyen, d. d., chang, s. w. and kim, s. s., 2017. calcium extraction from steelmaking slag and production of precipitated calcium carbonate from calcium oxide for carbon dioxide fixation, j. industrial and engineering chem., 53, 233-240. limbong, e. a. and syahrul, f., 2015. rasio risiko osteoporosis menurut indeks massa tubuh, paritas, dan konsumsi kafein, j. berkala epidemiologi, 3 (2), 194-204. lynatra, c., wardiyah and elisya, y., 2018. formulation of effervescent tablet of temulawak extract (curcuma xanthorrhiza roxb.) with variation of stevia as sweetener, sanitas, 9 (2), 72-82. maspaitella, m. l. and dieny, f. f., 2012. hubungan asupan kalsium dan fosfor, indeks massa tubuh, persen lemak tubuh kebiasaan olahraga, usia awal menstruasi dengan kepadatan tulang pada remaja putri, j, nutrition college, 1 (1), 229-240. mukminin, a., 2018. analisis kuantitatif fasa dan parameter kristal abu cangkang keong mas (pomacea canaliculata l) hasil kalsinasi suhu tinggi menggunakan metode rietveld, j, chemurgy, 2 (2), 15-19. nurahmanto, d., prabawati, d. i., triatmoko, b. and nuri, n., 2019. optimasi asam tartrat dan natrium bikarbonat granul effervescent kombinasi ekstrak daun guazuma ulmifolia lam. dan kelopak hibiscus sabdariffa l., j. farmasi, 7 (2), 14-24. permenkes 2019. peraturan menteri kesehatan republik indonesia no. 28 tahun 2019 tentang angka kecukupan gizi yang di anjurkan untuk masyarakat indonesia. kementerian kesehatan republik indonesia. purwati, i., yuanti, s. and sari, p., 2016. karakterisasi tablet effervescent sarang semut (myrmecodia tuberosa) – rosella (hibiscus sabdarisffa l.) berbahan pengisi maltodekstrin dan dekstrin, j. agroteknologi, 10 (1), 63-72. putra, d. j. s., antari, n. w. y., putri, n. p. r. a., arisanti, c. i. s. and samirana, p. o., 2019. penggunaan polivinill pirolidon (pvp) sebagai bahan pengikat pada formulasi tablet ekstrak daun sirih (piper betle l.), j. farmasi udayana, 8 (1), 14-21. rachim, s. a. g., raya, i. and zakir, m., 2017. modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas, indo. j. chem. res., 5 (1), 47-52. rahmawati, i. f., pribadi, p. and hidayat, i. w., 2016. formulasi dan evaluasi granul effervescent ekstrak daun binahong (anredera cordifolia (tenore) steen.), pharmaciana, 6 (2, 139-148. safitri, e. y. and fitranti, d. y., 2015. hubungan asupan kafein dengan kalsium urin pada lakilaki dewasa awal, j. nutrition college, 4 (2), 457-462. mohammad rofik usman dkk. indo. j. chem. res., 8(2), 101-107, 2020 doi: 10.30598//ijcr.2020.8-mru 107 santosa, l., yamlean, p. v. y. and supriati, h. s., 2017. formulasi granul effervescent sari buah jambu mete (annacardium ocidentale l.), pharmacon, 6 (3), 56-64. situmeang, r., sulistyo, s. t. and septanto, m., 2012. analisis kuantitatif padatan nixfe1-xo3±δ (dimana x = 0,1 – 0,4) dengan metode rietveld, proc. sn-smaip iii, 504-508. taba, p., parmitha, n. y. and kasim, s., 2019. sintesis nanopartikel perak menggunakan ekstrak daun salam (syzygium polyanthum) sebagai bioreduktor dan uji aktivitasnya sebagai antioksidan, indo. j. chem. res., 7 (1), 51-60. tahya, k., tahya, c. and kainama, h., 2019. transesterifikasi minyak ikan perak (mene maculata) dengan katalis cao dari cangkang telur ayam, indo. j. chem. res., 7 (1), 69-76. ukon, y., makino, t., kodama, j., tsukazaki, h., tateiwa, d., yoshikawa, h. and kaito, t., 2019. molecular-based treatment strategies for osteoporosis: a literature review, int. j. mol. sci., 20 (10), 1-24. vannucci, l., fossi, c., quattrini, s., guasti, l., pampaloni, b., gronchi, g., giusti, f., romagnoli, c., cianferotti, l., marcucci, g. and brandi, m. l., 2018. calcium intake in bone health: a focus on calcium-rich mineral waters, nutrients, 10 (12), 1-12. indochem indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 22 analisis kadar logam kadmium (cd) dan timbal (pb) pada sedimen di teluk ambon bagian dalam analysis of cadmium (cd) and lead (pb) metals content on sediment inner part of ambon bay yusthinus t. male 1 *, dominggus malle 3 , catherina m. bijang 1 , eirene g. fransina 1 , cecelia a. seumahu 2 , lois mikhal dolaitery 1 , sartika landu 1 , nelson gaspersz 1 1 department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences 2 department of biologi, faculty of mathematics and natural sciences 3 department of animal husbandry, faculty of agriculture pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134-indonesia *corresponding author, e-mail: yusmale@fmipa.unpatti.ac.id received: june 2016 published: july 2017 abstract the research about analysis of cadmium (cd) and lead (pb) metal content on sediment inner part of ambon bay has been done. sampling point located at 7 stations, in dermaga ferry poka (s 03° 39 minute 28.2 second, e 128° 12 minute 01.3 second), pltd poka (s 03° 38 minute 46.6 second, e 128° 11 minute 39.8 second), katekate (s 03° 38 minute 16,3 second, e 128° 12 minute 21.7 second), waiheru (s 03° 38 minute 10,2 second, e 128° 12 minute 54,0 second), lateri iii (s 03° 38 minute 0.6 second, e 126° 14 minute 23.8 second), passo (s 03° 38 minute 18.6 second, e 128° 14 minute 39.3 second) dan pltd galala (s 03° 39 minute 47.1 second, e 128° 12 minute 0.59 second). the results of components analyzed of sediment particle size inside the ambon bay showed 3 components were sand, gravel, and sludge, but the sediments was dominated by sludge sand. analysis of cd and pb metal content has done by using atomic absorption spectrophotometry method. analysis of cd content showed that at 7 stations in ambon bay detected cd metal with the highest concentration at 4 th station of waiheru village was 0.6640 mg/kg and the lowest concentration at 3 th station of kate-kate village was 0.0980 mg/kg. meanwhile, the highest pb content was 20.075 mg/kg at 4 th station and the lowest was 5.755 mg/kg at 2 nd station of pln poka. the content of elements composition of sediment were analyzed using xrf showed presence of sio2, k2o, p2o5, fe2, bao, nio and ga2o3 but cd and pb metal was not detected. this is due to the concentration of cd dan pb metal in mineral was not comply the maximum threshold value. keywords: cd, pb, sediment, ambon bay. pendahuluan perairan teluk ambon berada dalam wilayah administratif kota ambon. perairan teluk ambon secara geomorfologis terdiri atas teluk ambon bagian luar tal dan teluk ambon bagian dalam tad yang dipisahkan oleh ambang galala yang sempit. teluk ambon bagian luar berukuran luas dengan dasar laut yang lebih dalam dan berhubungan langsung dengan laut banda, sedangkan tad merupakan perairan neretik dangkal dengan kedalaman 20 meter. secara fisik tad dipengaruhi oleh aliran sungai yang didominasi oleh komunitas bakau dan lamun sedangkan tal kurang dipengaruhi oleh sungai tarigan, 1987. wilayah pesisir perairan teluk ambon merupakan kawasan pemukiman masyarakat, kawasan pembangkit listrik, dan jalur transportasi darat. perairan teluk ambon dalam merupakan jalur transportasi laut yang aktif. hal ini menunjukan perairan teluk ambon merupakan kawasan yang padat akan aktifitas manusia yang secara langsung akan berpengaruh pada kondisi lingkungan teluk ambon. dampak yang ditimbulkan secara langsung yakni masuknya limbah pada perairan teluk yang menimbulkan beragamnya bahan pencemar di badan perairan tersebut. jenis bahan pencemaran utama yang masuk ke perairan terdiri dari limbah organik, anorganik, residu, pestisida, dan bahanbahan lainnya. salah satu bahan yang mempengaruhi kualitas lingkungan serta yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 23 mencemari perairan adalah logam berat. keberadaan logam berat di dalam laut dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain, limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan limbah industri. beberapa logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan menurut fardiaz (1992) adalah merkuri (hg), timbal/timah hitam (pb), arsenik (as), tembaga (cu), kadmium (cd), kromium (cr), dan nikel (ni). hasil penelitian yang dilakukan oleh btklppm (2008) di teluk ambon bagian dalam menunjukkan bahwa kadar logam berat pada air laut untuk logam raksa (hg) berada di bawah 0,004 mg/l, kadmium (cd) berada di bawah 0,001 mg/l, kromium (kr) berada di bawah 0,001 mg/l, tembaga (cu) berada di bawah 0,008 mg/l, timbal (pb) berkisar antara 0,004 mg/l0,005 mg/l, seng (zn) berada di bawah 0,0078 mg/l0,0083 mg/l. hasil penelitian logam berat pada daun lamun di teluk ambon memperlihatkan bahwa kadar logam pb, cd, dan cr tertinggi pada daerah galala masing-masing adalah 37,55 mg/kg, 17,43 mg/kg, dan 18,29 mg/kg dalam berat kering, dan kadar logam pb dan cr terendah pada daerah tantui masing-masing adalah 15,1 mg/kg, 8,61 mg/kg, dan kadar logam cd terendah pada daerah halong yaitu 13,18 mg/kg dalam berat kering sipahelut, 2009. keberadaan logam berat di perairan teluk ambon dapat mengalami peningkatan jika tidak ada pengendalian terhadap kondisi lingkungan teluk ambon. dari data di atas logam cd dan pb dalam perairan merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian khusus, karena dapat berpengaruh buruk terhadap organisme yang hidup di perairan tersebut. peningkatan kadar logam dalam air laut akan mengakibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme dapat berubah menjadi racun bagi organisme laut jika melewati batas ambang. logam berat berpengaruh pada fungsi enzim dan fertilitas spesies hewan laut walaupun pada konsentrasi yang rendah (svavarsson dkk., 2001). efek toksik dari bahan pencemar tersebut terhadap organisme laut bisa terjadi secara fisiologi, morfologi, genetik dan bahkan kematian. selain bersifat racun, logam berat dapat terakumulasi di dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi (rochayatun, 2006). keberadaan logam pb di perairan selain ditemukan pada tubuh organisme, contohnya kerang juga dapat terakumulasi dalam padatan yang ada dalam perairan seperti sedimen. hasil analisis hubungan kadar logam cd pada air, sedimen, dan bagian tubuh deadema setosum oleh rumahlatu (2011) menyatakan bahwa perairan teluk ambon telah tercemar dengan deadema setosum sebagai biomonitoring. menurut pipkin dkk., (1987) sedimen adalah pecahan, mineral, atau material organik dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh air, termasuk didalamnya material yang diendapkan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan kimia. selain itu, pembentukan sedimen khususnya pada perairan tertutup sangat dipengaruhi oleh daratan yang berdekatan (king, 1974). seperti halnya teluk ambon yang diapit oleh daratan leihitu dan leitimur. proses pencucian yang ditimbulkan oleh energi gelombang dan arus serta tekanan aliran muara sungai menyebabkan agregat sedimen dari darat dapat diuraikan menjadi partikel sedimen berbagai ukuran. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar logam cd dan pb yang terdapat di dalam sedimen pada perairan teluk ambon bagian dalam khususnya pada daerah tempat penyeberangan ferry poka, pltd poka, katekate, waiheru, lateri, passo dan pltd galala. analisis dilakukan dengan metode spektrofotometer serapan atom yang memiliki kelebihan karena tingkat ketelitian dan keakuratannnya yang tinggi, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan, dan kemudahan dalam pengoperasian alat. keberadaan logam cd dan pb di dalam sedimen perlu dianalisis, sehingga dapat memberikan informasi dan data terkini tentang kondisi perairan teluk ambon bagian dalam yang tercemar oleh logam cd dan pb dengan sedimen sebagai acuan. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel sedimen, hno3 (merck), hcl (merck), akuabides, larutan standar pb, larutan standar pb, dan es batu. alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat peralatan gelas, eickman grab sampler, kantong plastik, kotak sampel, global positioning system (gps), kotak es, sarung tangan, kertas saring whatman no. 41, yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 24 lemari pendingin, ayakan 0.5 mm, mangkuk dan sendok plastic, oven, mortar dan alu, timbangan analitik ohaus adventure tm pro, penangas air, botol sampel, segitiga shepard’s, dan spektrofotometer serapan atom (ssa). prosedur kerja pengambilan sampel pengambilan sampel sedimen dilakukan sesuai posisi stasiun oleh geographic positioning system (gps) menggunakan eickman grab sampler sebanyak 3 kali sesuai lokasi pengambilan sampel sedimen yang diperlihatkan pada tabel 1. tabel 1. lokasi pengambilan sampel stasiun koordinat lokasi kedalaman (m) 1 s 3 0 39’ 28,2’’ e 128 0 12’ 01,3’’ tempat ferry poka, dok kapal 15 2 s 3 0 38’ 46,6’’ e 128 0 11’ 39,8’’ pln poka 2 3 s 3 0 38’ 16,3’’ e 128 0 12’ 21,7’’ kate-kate 17 4 s 3 0 38’ 10,2’’ e 128 0 12’ 54,0’’ waiheru 21 5 s 3 0 38’ 0,6’’ e 128 0 14’ 23,8’’ belakang acc, passo 1,5 6 s 3 0 38’ 18,6’’ e 128 0 14’ 39,3’’ lateri 3 7,5 7 s 3 0 39’ 47,1’’ e 128 0 12’ 05,9’’ pln galala 2 sedimen yang diambil kemudian ditampung dalam kotak sampel, selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik sampel yang berlabel dan diletakkan dalam kotak yang berisi es (cool box), yang kemudian dibawa ke laboratorium dan dimasukkan ke dalam lemari pendingin untuk proses selanjutnya. alat-alat penelitian yang akan digunakan selama proses penelitian, sebelumnya direndam dalam larutan hno3 10% selama 24 jam. perendaman dilakukan secara bertahap hingga semua sampel dipreparasi. perlakuan awal sampel sedimen dengan menggunakan sendok plastik, sampel berupa sedimen dipindahkan ke dalam mangkuk plastik, kemudian ditimbang dan dimasukan ke dalam oven dengan suhu 63 ºc hingga kering. sampel yang telah kering dihaluskan dan diayak dengan ayakan 200 mesh. sampel yang telah halus ditimbang dengan timbangan analitik, kemudian sampel dimasukkan dalam kantong plastik yang telah diberi label dan siap untuk dianalisis lebih lanjut. prosedur ini dilakukan untuk semua sampel. penentuan ukuran butir sedimen sampel sedimen dipindahkan ke wadah untuk dipanaskan dalam oven (700 ºc, ± 12 jam), diamkan hingga sampel kering. timbang sampel sedimen yang sudah kering pada timbangan analitik, sehingga didapatkan berat kering total sampel. rendam dengan aquades sedimen yang sudah ditimbang, diamkan hingga air menyatu dengan sampel. selanjutnya ayak sampel dengan ayakan berukuran 0,063 terlebih dahulu agar fraksi lempung dapat terpisahkan. sampel yang tertahan pada saringan 0,063 mm tersebut diayak dengan metode pengayakan basah dan saringan bertingkat dengan urutan 4; 2; 1; 0,5; 0,25; 0,125; dan 0,063 mm. sampel yang tertahan pada tiap ayakan dipindahkan ke dalam suatu wadah untuk dikeringkan. kemudian timbang sampel yang telah kering tersebut sesuai dengan ukuran mesh ayakan. selanjutnya hasil fraksinasi sedimen kemudian dianalisis dengan menggunakan segitiga shepard’s, berdasarkan persentase ukuran jenis sedimen (rahayuningsih, 2007). preparasi sampel sedimen sampel sedimen ditimbang sebanyak 2 g dan dimasukkan ke dalam gelas kimia 50 ml, kemudian ditambahkan larutan aqua regia (hno3 : 3 hcl) 12 ml dan dipanaskan di atas penangas air selama 3 jam hingga menghasilkan larutan jernih. hasil larutan yang diperoleh disaring dan dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml. larutan hasil penyaringan ditambahkan akuabides hingga tanda batas. proses ini dilakukan untuk semua sampel sedimen. larutan jernih yang diperoleh dianalisis dengan ssa. pembuatan larutan blanko aqua regia (hno3 : 3 hcl) sebanyak 12 ml dimasukkan ke dalam gelas kimia 50 ml dan dipanaskan di atas penangas air selama 3 jam hingga menghasilkan larutan jernih. hasil larutan yang diperoleh dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan ditambahkan akuabides hingga tanda batas. larutan yang dipeeroleh digunakan sebagai blanko pada analisa dengan ssa. yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 25 pembuatan larutan standar cd ke dalam labu takar 100 ml dimasukan 1 ml larutan cd dari larutan induk 1000 ppm dan diencerkan dengan akuabides hingga tanda batas untuk memperoleh larutan standar pb 10 ppm. larutan standar 0,02; 0,04; 0,08; 0,1; 0,4; 0,8; 1,0 ppm masing-masing 100 ml dibuat dengan cara memipet sebanyak 0,2; 0,4; 0,8; 1; 4; 8; 10 ml larutan cd dari larutan standar 10 ppm dan diencerkan dengan akuabides hingga tanda batas. masing-masing larutan standar cd dianalisis dengan ssa pembuatan larutan standar pb ke dalam labu takar 100 ml dimasukan 1 ml larutan pb dari larutan induk 1000 ppm dan diencerkan dengan akuabides hingga tanda batas untuk memperoleh larutan standar 10 ppm. larutan standar 0,1; 0,5; 1; dan 1,5 ppm masingmasing 100 ml dibuat dengan cara memipet sebanyak 1; 5; 10; dan 15 ml larutan cd dari larutan standar 10 ppm dan diencerkan dengan akuabides hingga tanda batas. pembuatan kurva standar larutan standar cd dengan konsentrasi 0,02; 0,04; 0,08; 0,1; 0,4; 0,8; 1,0 ppm masingmasing diukur absoransinya menggunakan ssa dengan panjang gelombang 228,8 nm. larutan standar pb dengan konsentrasi 0,1; 0,5; 1; dan 1,5 ppm diukur absorbansinya menggunakan ssa pada panjang gelombang 217 nm. kemudian dari data yang diperoleh dibuat kurva hubungan antara absorbansi (a) versus konsentrasi (c) sehingga diperoleh kurva standar berupa garis lurus. penentuan kadar logam cd dan pb pada sampel sedimen dengan menggunakan ssa larutan sampel dari setiap stasiun diukur absoransinya menggunakan ssa dengan panjang gelombang 228,8 nm untuk logam cd, sedangkan untuk logam pb setiap sampel diukur absorbansinya menggunakan ssa pada panjang gelombang 217 nm. absorbansi dari masingmasing sampel selanjutnya diplotkan ke dalam persamaan regresi kurva standar untuk memperoleh konsentrasi masing-masing logam di dalam sampel sedimen setiap stasiun. hasil dan pembahasan kondisi umum perairan teluk ambon bagian dalam perairan teluk ambon bagian dalam (tad) merupakan perairan dangkal dengan kisaran kedalaman 0–40 meter dan dipisahkan oleh ambang yang sempit dengan kedalaman hanya 12 meter, sehingga karakter tersebut menyebabkan sirkulasi masa air tidak berjalan lancar. terhambatnya sirkulasi masa air tersebut disebabkan oleh perbedaan kedalaman penghubung yang relatif sempit dan dangkal serta kondisi pasang surut perairan (mulyadi, 2015). selain itu, ditinjau dari karakteristik morfologinya, tad saat ini lebih banyak digunakan untuk berbagai aktivitas masyarakat yang sangat berpotensi menimbulkan pengaruh negatif terhadap kualitas perairan yaitu terdapatnya aktivitas transportasi laut berupa pelabuhan kapal pt. pelni, kapal tradisional dan ferry antar pulau. selain itu juga terdapat pemukiman penduduk, pembangkit listrik tenaga disel (pltd), pembangunan jembatan penyeberangan, pangkalan tni angkatan laut dan polairud, tempat penambangan pasir dan batu, tempat rekreasi, lokasi pendidikan dan penelitian, aktivitas perikanan tangkap dan budidaya, serta area konservasi (erlania dkk, 2014). lokasi pengambilan sampel diambil di 7 titik lokasi berbeda pada kawasan teluk ambon bagian dalam yang ditentukan dengan menggunakan gps seperti terlihat pada gambar 1. pada tiap-tiap lokasi, sampel diambil sebanyak 3 kali pengulangan dengan menggunakan eickman grab. sampel yang diperoleh berupa sedimen pada tiap lokasi menunjukkan keadaan fisik yang berbeda, faktor utama yang mempengaruhi keadaan fisik sedimen yaitu keadaan lingkungan perairan yang berbeda. keadaan fisik dan perairan titik lokasi pengambilan sampel diperlihatkan pada tabel 2. yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 26 gambar 1. peta lokasi pengambilan sampel tabel 2. keadaan fisik sedimen dan perairan stasiun kondisi sedimen keterangan 1 berupa pasir berwarna coklat keabuan dan berbau berada di dekat dermaga ferry poka kondisi perairan; ada sedikit sampah plastik 2 berupa pasir krakal berwarna coklat keabuan dan berbau banyak limbah minyak dan limbah plastik, kotor dan berbau berada di dekat tempat berlabuhnya kapal 3 berupa pasir lumpuran berwarna coklat keabuan dan berbau kondisi air laut kotor 4 berupa lumpur pasiran berwarna coklat keabuan dan berbau kondisi air laut kotor berada sekitar ± 100 meter dari keramba ikan balai perikanan waiheru 5 berupa pasir lumpuran berwarna coklat keabuan dan berbau kondisi air laut bersih berada ± 100 meter dari lokasi air surut 6 berupa pasir lumpuran berwarna kecoklatan dan berbau kondisi air laut agak kecoklatan 7 berupa pasir lumpuran berwarna kecoklatan dan berbau kondisi air laut kehitaman, kotor dan berbau keterangan : stasiun 1.dermaga ferry poka; 2.pltd poka; 3. kate-kate; 4.waiheru; 5.lateri; 6.passo; 7. pltd galala. penentuan ukuran butir sampel sedimen sampel sedimen yang diperoleh dilakukan penentuan ukuran butir sedimen dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan bahan organik yang dapat mempengaruhi presentase kadar logam berat pada sedimen. menurut boehm (1987) pada sedimen yang halus, presentasi bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. demikian pula dengan bahan pencemar yang biasanya lebih tinggi pada partikel sedimen yang lebih halus. berdasarkan hasil penentuan ukuran butir sedimen yang diambil pada 7 titik lokasi dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel sedimen yang ditampilkan pada tabel 3. menunjukkan tekstur sedimen berupa lumpuran pasir, pasir lumpuran, pasir krakal, dan pasir dengan persentasi ukuran partikel sedimen yang berbeda. yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 27 tabel 3. penentuan ukuran butir sedimen stasiun persentase klasifikasi krakal (%) pasir (%) lumpur (%) 1 0,63 97,20 2,02 pasir 2 10,22 84,43 1,23 pasir krakal 3 7,52 55,09 32,35 pasir lumpuran 4 0,88 46,98 51,91 lumpur pasir 5 1,65 60,45 30,17 pasir lumpuran 6 7,59 76,41 12,64 pasir lumpuran 7 5,29 77,17 16,00 pasir lumpuran secara umum ukuran butiran sedimen tad di dominasi oleh pasir lumpuran. hal ini dapat dilihat dengan presentasi keberadaan pasir di tujuh (7) titik sedimen tad yang berkisar antara 46,98-97,20%. distribusi ukuran butir di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis agen transportasi, gelombang, pasang surut, angin lokal, dan badai episodik yang masing-masing memiliki karakteristik spasial dan temporal. arus juga berperan dalam distribusi sedimen di suatu perairan, khususnya terhadap sedimen tersuspensi (suspended sediment). pada daerah dengan turbulensi tinggi, fraksi yang memiliki kenampakan makroskopis seperti kerikil dan pasir akan lebih cepat mengendap dibandingkan fraksi yang berukuran mikroskopis seperti lumpur (nugroho dan basit, 2014). hal ini dapat dilihat pada stasiun 1 yang lebih didominasi oleh pasir, stasiun 2 oleh pasir dan kerikil, dan stasiun 3, 5, 6, dan 7 oleh pasir lumpuran. berbeda dengan stasiun 4 dengan kondisi arus yang tidak stabil sehingga terjadi pengendapan fraksi sedang sampai kasar (pasir) sehingga terjadi perselingan lumpur dan pasir. penentuan kadar logam cd pada sampel sedimen menggunakan ssa pada pengukuran absorban larutan standar kadmium (cd) dengan spektroskopi serapan atom diperoleh harga koefisien determinasi (r 2 = 0,9996) dari kurva standar dengan persamaan regeresi yakni y = 0.4535x + 0.0001. selanjutnya dari hasil pengukuran absorbansi sampel sedimen akan diplotkan pada persamaan regresi kurva standar. hasil analisis kandungan logam cd dapat dilihat pada tabel 4. tabel 4. data logam cd pada 7 titik tad stasiun absorbansi konsentrasi logam cd ppm (mg/kg) 1 0,0014 0,0028 0,1248 2 0,0020 0,0041 0,2042 3 0,0010 0,0020 0,0980 4 0,0062 0,0134 0,6640 5 0,0038 0,0081 0,4011 6 0,0034 0,0072 0,3592 7 0,0050 0,0107 0,3022 berdasarkan hasil yang diperoleh, pada tabel 4 dapat dilihat bahwa kadar logam cd yang terdapat di sedimen untuk stasiun 1-7 berkisar antara 0,0980 hingga 0,6640 mg/kg. kadar tertinggi adalah 0,0134 ppm atau sebesar 0,6640 mg/kg pada stasium 7 yaitu di desa waiheru. kadar logam yang paling rendah terdapat pada desa kate-kate dengan konsentrasi sebesar 0,0020 ppm atau 0,0980 mg/kg. standar baku mutu air laut untuk wisata bahari berdasarkan keputusan menteri lh nomor 51 tahun 2004 adalah sebesar 0,002 ppm. dengan demikian, dapat dikatakan terdapat enam stasiun (stasiun 1, 2, 4, 5, 6, dan 7) yang menjadi tempat pengambilan sampel telah terkontaminasi logam cd dan melebihi ambang batas yang ditentukan, sedangkan stasiun 3 masih memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan. maslukah (2013) mengatakan bahwa pada umumnya sedimen yang mempunyai ukuran partikel yang lebih halus (dalam penelitian ini presentase lumpur lebih tinggi) akan diikuti dengan kenaikan jumlah bahan anorganik dan organiknya. semakin halus sedimen, kemampuan dalam mengakumulasi bahan anorganik dan organik semakin besar. kandungan bahan anorganik seperti logam pada umumnya akan tinggi pada sedimen lumpur (campuran silt dan clay). hal ini terbukti dengan tingginya kadar logam cd yang terdapat pada stasiun 4 yang mengandung lumpur. jika dibandingkan dengan hasil penelitian tuahattu dan pattiasina (2009) dengan sampel sedimen pada daerah galala, passo, waiheru, dan poka yang diperoleh tahun 2007 dan 2009, nilai cd mengalami kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2009 dan pada tahun 2016 di daerah tertentu mengalami penurunan, hal ini dapat di lihat pada tabel 5. yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 28 tabel 5. hasil pengukuran logam cd pada sedimen di tahun 2007, 2009, dan 2016 tahun logam lokasi galala (ppm) passo (ppm) waiheru (ppm) poka (dermaga ferrypln) (ppm) 2007 cd 0,0610 0,0570 0,0048 2009 cd 1,1656 <0,0010 <0,0010 0,8036 2016 cd 0,0108 0,0081 0,0134 0,0028– 0,0042 sumber : data primer (2016), tuahattu dan pattiasina (2009) hasil pengukuran tahun 2007 dan 2009 pada tabel 5 dilakukan pada sedimen yang diambil di beberapa lokasi. dari tabel diatas dapat diketahui nilai cd mengalami peningkatan pada lokasi yang sama, namun ada pula yang berkurang. nilai cd pada tahun 2007 pada daerah galala adalah 0.0610 ppm meningkat pada tahun 2009 menjadi 1.1656 ppm. hal yang sama juga terjadi pada daerah poka. penurunan nilai cd terjadi pada desa waiheru yakni 0.048 ppm pada tahun 2007 dan menurun pada tahun 2009 menjadi <0.0010 (tuahattu dan pattiasina, 2009). tingginya aktivitas di lahan yang disertai dengan tidak adanya pengelolaan limbah yang sesuai merupakan salah satu penyebab meningkatnya nilai cd. selain itu, aktivitas pada perairan teluk ambon itu sendiri seperti aktivitas perbaikan kapal, yang menyebabkan limbah masyarakat dan cat anti karat masuk ke perairan, dimana keduanya turut memberi kontribusi bagi hadirnya cd di perairan. sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas industri, pertambangan, pertanian dan pemukiman. penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa komplek bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (djuangsih,1982 dalam ohello, 2010). berbeda dengan hasil pengukuran kadar logam cd pada sedimen pada tahun 2009 yang mengalami kenaikan, tahun 2016 terjadi penurunan pada daerah galala menjadi 0,0017 ppm serta daerah poka yakni 0,0028-0,0041 ppm, sedangkan pada daerah passo dan waiheru mengalami kenaikan yakni 0,0081 ppm dan 0,0134 ppm. adanya kenaikan logam berat pada beberapa daerah disebabkan oleh beberapa faktor. menurut effendi (2003), sumber kadmium di alam yang terpenting berasal dari tanah pertanian yang tercemar, pembakaran sampah dan hasil industri kadmium banyak digunakan dalam pelapisan logam, baterai, peralatan elektronik, pelumas, gelas, keramik, tekstil, dan plastik. penentuan kadar logam pb pada sampel sedimen menggunakan ssa sedimen pada umumnya memiliki kadar logam berat lebih tinggi pada daerah perairan, hal ini disebabkan karena logam berat pada lingkungan perairan akan diserap oleh partikel kemudian terakumulasi pada sedimen (susantoro dkk. 2015). berdasarkan hasil analisis dan perhitungan yang dilakukan diperoleh kadar logam pb dalam sampel sedimen pada masingmasing titik lokasi berada pada kisaran 5,755 mg/kg – 20,075 mg/kg yang diperlihatkan pada tabel 6 berikut. tabel 6. data logam pb pada 7 titik tad stasiun absorbansi konsentrasi logam pb (mg/kg) 1 0,0056 8,588 2 0,0035 5,755 3 0,0127 18,619 4 0,0138 20,075 5 0,0037 5,951 6 0,0067 10,190 7 0,0099 14,664 data pada tabel 6 menunjukkan kadar logam pb tertinggi diperoleh pada stasiun 4 dengan kadar sebesar 20,075 mg/kg, hal ini mengidentifikasikan bahwa pada lokasi tersebut mengakumulasi logam pb lebih banyak dibandingkan stasiun lainnya. sedangkan stasiun yang memiliki kadar logam pb terendah yakni pada stasiun 2 dan 5 dengan kadar yang hampir sama yaitu 5,755 mg/kg dan 5,951 mg/kg. faktor yang mempengaruhi tingginya kadar logam berat pada sedimen umumnya dari tekstur sedimen, aktifitas dan kondisi pada perairan tersebut. kondisi perairan pada stasiun 2 memiliki konsentrasi logam pb rata-rata 5,755 mg/kg merupakan lokasi yang dekat dengan pltd poka dengan kedalaman pengambilan sedimen yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 29 ±2 meter. lokasi 2 merupakan yang terendah, hal ini dikarenakan tekstur sedimen yang terdiri dari 10,22% krakal, 84,43% pasir dan 1,23% lumpur. dalam pengklasifikasiannya disebut pasir krakal. tekstur dengan tipe substrat pasir krakal sangat sulit untuk mengikat logam. hal ini disebabkan oleh ukuran sedimen yang lebih kasar dibandingkan dengan yang lain membuat logam dan bahan organik lainnya sulit mengendap. materi organik dalam sedimen dan kapasitas penyerapan logam sangat berhubungan dengan ukuran partikel dan luas permukaan penyerapan, sehingga konsentrasi logam dalam sedimen biasanya dipengaruhi ukuran partikel dalam sedimen (wilson dkk., 1985 dalam arisandi 2001). alasan tersebut juga berlaku untuk stasiun 1, 5, 6, dan 7 yang memiliki kadar logam pb rata-rata rendah. hal ini dikarenakan, tiap stasiun tersebut memiliki ukuran sedimen yang berupa pasir krakal dan pasir lumpuran yang masuk dalam kategori jenis sedimen yang sulit untuk mengendapkan logam berat. berdasarkan hasil analisis stasiun 4 dengan konsentrasi rata-rata logam pb sebesar 20,075 mg/kg menjadi lokasi dengan konsentrasi logam tertinggi, karena memiliki persentasi sedimen berupa 0,88% krakal, 46,98% pasir dan 51,91% lumpur. kedalaman pengambilan sedimen ±21 meter. lokasi ini memiliki ukuran partikel sedimen yang lebih halus seperti lumpur, sehingga mudah untuk mengikat logam. menurut kamaruzzaman dkk., (2008) bahwa semakin kecil ukuran fraksi sedimen, maka semakin besar akumulasi logam berat dalam sedimen tersebut. hal ini juga dibenarkan oleh benhard (1981) dalam erlangga (2007) bahwa konsentrasi logam berat tertinggi terdapat dalam sedimen yang berupa lumpur, tanah liat, pasir berlumpur dan campuran dari ketiganya dibandingkan dengan yang berupa pasir murni. tak berbeda jauh dengan stasiun 4, stasiun 3 juga memiliki kadar logam pb rata-rata tertinggi kedua setelah stasiun 4. dalam pengklasifikasiannya, stasiun 3 meskipun termasuk dalam klasifikasi pasir lumpuran tapi memiliki presentasi lumpur terbesar dibandingkan klasifikasi sejenisnya. alasan tersebut yang menjadi penyebab tingginya kadar logam pb rata-rata pada stasiun 3 dan 4. pembenaran hal tersebut juga dikemukakan oleh zanganeh dkk., (2008) yang mengatakan bahwa partikel halus akan memiliki daya adsorpsi logam yang lebih tinggi. jadi, semakin halus tekstur sedimen maka semakin tinggi kekuatannya untuk mengikat logam berat. oleh karena itu, tanah yang bertekstur liat memiliki kemampuan untuk mengikat logam berat lebih tinggi daripada tanah berpasir. menurut suhendrayatna (2001), tipe sedimen dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen dengan kategori kandungan logam berat dalam lumpur > lumpur berpasir > berpasir. konsentrasi logam berat yang lebih tinggi umumnya ditemukan pada sedimen lempung, debu dan lempung berpasir. hal ini juga terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan, dimana pada stasiun 4 dengan tekstur sedimen berupa lumpur pasiran memiliki kandungan logam yang tertinggi dibandingkan dengan stasiun yang lain. begitu juga dengan stasiun 2 yang menjadi stasiun dengan kandungan logam pb terendah karena tekstur sedimen yang berpasir kasar sehingga sulit untuk mengikat logam berat. dalam hal ini, jika dibandingkan dengan standar logam berat pada sedimen menurut swendish environmental protection agency (sepa) untuk logam timbal adalah < 25 mg/kg maka kandungan logam pb pada lokasi teluk ambon bagian dalam belum melewati batas ambang yang ditetapkan. analisis senyawa logam dari sedimen berdasarkan hasil analisis unsur pada sedimen di teluk ambon bagian dalam dengan menggunakan metode xrf, kadar unsur tertinggi adalah logam si yang mencapai 28,90 % w/w, sedangkan kadar unsur terendah adalah logam ga yang hanya mencapai 0,0019 % w/w. hasil uji xrf untuk kandungan logam pada sedimen dapat dilihat pada tabel 7. tabel 7. analisis kandungan unsur penyusun sedimen menggunakan metode xrf no oksida jumlah (%) elemen jumlah (%) sd 1 2 3 4 5 6 7 sio2 k2o fe2o3 p2o5 bao nio ga2o3 61,8000 3,3100 2,5900 0,1240 0,0364 0,0050 0,0025 si k fe p ba ni ga 28,9000 2,7400 1,8100 0,0541 0,0326 0,0039 0,0019 0,1100 0,0700 0,0600 0,0027 0,0065 0,0005 0,0003 hasil analisis xrf di atas menunjukkan tidak adanya kandungan logam cd dan pb dalam sampel sedimen. hal ini dikarenakan konsentrasi logam cd dan pb dalam mineral tidak memenuhi nilai ambang batas maksimum, dalam analisis yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 30 dengan xrf konsentrasi yang di butuhkan yaitu minimal 10 ppm dari konsentrasi sampel. jumlah konsentrasi logam cd dan pb yang terkandung dalam sedimen yang di analisis menggunakan ssa belum mencapai konsentrasi minimum yakni 10 ppm dalam analisis dengan menggunakan xrf. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. material yang terkandung di dalam sedimen berdasarkan ukuran butiran sedimen di daerah ferry poka adalah pasir (97,20 %), pasir kerakal (84,43% dan 10,22%) di pln poka, pasir lumpuran pada desa kate-kate (55,09 % dan 32,35%), lumpur pasiran (51,91 % dan 46,98 %) di desa waiheru, di desa passo adalah pasir lumpuran (60,45 % dan 30,17 %), pasir lumpuran (76,41 % dan 12,64 %) pada desa latta, dan pada desa galala pasir lumpuran (77,17 % dan 16,00 %). 2. kadar logam cd di perairan teluk ambon bagian dalam (tad) pada ferry poka adalah sebesar 0,1248 mg/kg, pln poka sebesar 0, 2042 mg/kg, kate-kate sebesar 0, 0980 mg/kg, waiheru sebesar 0,6640 mg/kg, passo sebesar 0,3592 mg/kg, latta sebesar 0, 3592 mg/kg dan galala sebesar 0,3022 mg/kg. 3. kadar logam pb di perairan teluk ambon bagian dalam (tad) pada ferry poka adalah sebesar 8,588 mg/kg, pln poka sebesar 5,755 mg/kg, kate-kate sebesar 18,619 mg/kg, waiheru sebesar 20,075 mg/kg, passo sebesar 5,951 mg/kg, latta sebesar 10,190 mg/kg dan galala sebesar 14,664 mg/kg. 4. kadar logam cd pada sedimen yang terdapat di enam stasiun (stasiun 1, 2, 4, 5, 6, dan 7) tad telah terkontaminasi logam cd dan melebihi ambang batas yang ditentukan, sedangkan stasiun 3 masih memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan dalam keputusan menteri lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004. 5. kadar logam pb pada sedimen di teluk ambon bagian dalam masih dikategorikan aman karena belum mengalami pencemaran dan belum melewati batas ambang yang ditetapkan oleh swendish environmental protection agency (sepa) yaitu sebesar < 25 mg/kg untuk logam pb. 6. kandungan unsur dalam sedimen di teluk ambon bagian dalam (tad) adalah si (28,90 w/w), k (2,74 w/w), fe (1,81 w/w), p (0,0541 w/w), ba (0,0326 w/w), ni (0,0039 w/w), ga (0,0019 w/w). ucapan terima kasih terima kasih kepada lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (lp2m) universitas pattimura yang telah membiayai penelitian ini melalui kegiatan penelitian produk unggulan daerah tahun 2017 dengan nomor kontrak : 08.74.2h/spk-pj/un13-ppbj/pudlp2m/2017. daftar pustaka djuangsih, n., a.k. benito, h. salim, 1982, aspek toksikologi lingkungan, laporan analisis dampak lingkungan, lembaga ekologi universitas padjadjaran, bandung. edward, 1995, analisis kondisi ekosistem perairan teluk ambon dan penglolaannya. jurnal pusat studi lingkungan perguruan tinggi seluruh indonesia. puslitbang oseanologi-jakarta. effendi, h. 2003. telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan jurusan manajemen sumberdaya perairan. fakultas perikanan dan ilmu kelautan, istitut pertanian bogor, bogor. erlangga. 2007, efek pencemaran perairan sungai kampar di provinsi riau terhadap ikan baung (hemibagrus nemurus). tesis. program pascasarjana: institut pertanian bogor. bogor. erlania, radiarta, i. n., rasidi., 2014, indeks biologi fitoplankton sbagai indikator kondisi perairan pada lokasi budidaya laut di teluk ambon dalam provinsi maluku. https://www.researchgate.net/publication.27 5214870. diakses tenggal 19 april 2017. kamaruzzaman b.y., ong, m.c., jalal, k.c.a., shahbudin s, nor , o. m., 200, accumulation of lead and copper in rhizophora apiculate from setiu mangrove forest, terengganu, malaysia. journal of environmental biology. vol.3, hal 821-824. king, c. a. m, 1974. introduction to marine geology and geomorphology. edward arnold (publisher). london: 309. https://www.researchgate.net/publication.275214870 https://www.researchgate.net/publication.275214870 yusthinus t. male dkk. / indo. j. chem. res., 2017, 5(1), 22-31 31 maslukah, l., 2013, hubungan antara konsentrasi logam berat pb, cd, cu, zn dengan bahan organik dan ukuran butir dalam sedimen di estuari banjir kanal barat, semarang. buletin oseanografi marina vol. 2 55-62. mulyadi, h. a., 2015,urgensi pengelolaan kawasan pesisir teluk ambon ditinjau dari aspek sumberdaya meroplankton. https://www.researchgate.net/publication/27 8671246. diakses tanggal 19 april 2017. nugroho, s, h., basit, a., 2014, sebaran sedimen berdasarkan analisis ukuran butir di teluk weda, maluku utara. jumal ilmu dan teknologi kelautan tropis, vol. 6, no. 1, hlm. 229-240. ohello, m. t., 2010, kondisi lingkungan perairan teluk ambon dalam dan hubungannya dengan perilaku masyarakat. thesis. sekolah pascasarjana. ipb, bogor. pipkin, b. w., d. s. gorsline, r. e. casey, d. e. hammond. 1987, laboratory exercises in oceanography. second edition. w. h. treeman and company. new york. rahayuningsih, s. k. 2007, pedoman analisa sedimen lepas di laboratorium geologi laut bidang dinamika laut. jakarta: pusat penelitian oseanografi lipi. rumahlatu, d. 2011,konsentrasi logam berat kadmium pada air, sedimen dan deadema setosum (enchinodermata, echinoidea) di perairan teluk ambon. jurnal penelitian vol 16 (2) pp 78-85. sipahelut, a, 2009, penentuan kandungan logam berat pb, cd dan cr pada daun lamun enhacus acoroides di perairan teluk ambon. skripsi. jurusan kimia. fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, universitas pattimura ambon. suhendrayatna, 2001, bioremoval logam berat dengan menggunakan mikroorganisme: laporan kajian kepustakaan. seminar onair bioteknologi untuk indonesia abad 21. susantoro, t. m., sunarjanto, d., adayani, a. 2015, distribusi logam berat pada sedimen di perairan muara dan laut provinsi jambi. jurnal kelautan nasional, vol. 10 no. 1. hal 1-11. svavarsson, j. a., granmo, r., ekelund, j. szpunar, 2001,occurrence and effects of organition on adult common whelk buccinan undatun (molusca gastropods) in harbours and in a simulated dredging situation. mar. poll. bull. 42: 370-376. tarigan, 1987,pengamatan pendahuluan kadar pb, cd, dan zn, dalam air dan biota di teluk ambon. laporan : penelitian bsdllipi ambon. tuahattu, j. w., b. j. pattiasina., 2009,komposis dan distribusi sampah domestik pada ekosistem mangrove di passo dan waiheru teluk ambon dalam. jurnal ichthyos vol. 4 no. 2. hal 55-60. zanganeh a.h.p., lakhan. v. c, vazyari, m., 2008, geochemical assosciations and grain sise partitioning of heavy metals in nearshore sediments along the iranian coast of the caspian sea. journal science, vol. 35 :192-202. https://www.researchgate.net/publication/278671246 https://www.researchgate.net/publication/278671246 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 study of uio-66 and uio-66 modulated with acetic acid as the adsorbent for eriochrome black t dye m. anugrah rizky pambudi, nanda pebri prayogo, ratna ediati*, liyana labiba zulfa, muhammad nadjib department of chemistry, faculty of sciences and data analytics, institut teknologi sepuluh nopember (its) jl. arief rahman hakim, surabaya, indonesia *corresponding author: r.ediati@chem.its.ac.id received: september 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract uio-66, as one of the metal-organic framework (mof) compounds, has been used to treat some anionic and cationic dye waste. in order to determine the adsorption selectivity decisively, the synthesis of uio-66 and uio-66 modulated with acetic acid had been carried out, along with their adsorption tests for eriochrome black t (ebt) dye solution. the synthesis was performed by utilizing a solvothermal method with the reaction mixtures of zirconium (iv) chloride (zrcl4) and terephthalic acid (h2bdc) as a ligand heated at 120 oc for 24 hours. both uio-66 (without acetic acid) and acetic acid modulated uio-66 were obtained as a white powder. acetic acid as a modulator was added and being investigated for the adsorption capability compared to the normal uio-66. this study showed that normal uio-66 exhibited better adsorption than acetic acid modulated uio-66 with mmol ratio of acetic acid:ligand varied from 50:1, 100:1, and 150:1. acetic acid modulated uio-66 with a mmol ratio of 50 exhibited the best crystallinity as observed by using x-ray diffraction. it can be concluded that the adsorption of ebt using normal and acetic acid modulated uio-66 obeyed the pseudo-second-order reaction rate law as well as the langmuir adsorption isotherm pattern. keywords: metal-organic framework (mof), uio-66, eriochrome black t (ebt), adsorption, langmuir isotherm. introduction synthetic dyes/coloring agents are widely utilized in many industries, such as textile, paint, and plastic industries. most of these coloring agents are carcinogenic and considered to be harmful and threatening our health. besides, unprocessed synthetic dyes waste will possibly pollute the environment. therefore, it is very crucial to treat dyes waste before its disposal. adsorption is one of the simple technique that can be used to treat dyes waste before disposal. porous material such as metal-organic frameworks (mof) can be used as adsorbents (rosseinsky, 2004). mof is a porous material composed of a metal atom with empty orbitals and ligands with lone pairs. uio66 (1)is one of the mof types composed of the central metal zirconium (zr) with a benzene dicarboxylate ligand (bdc). the adsorption test of some anionic and cationic dyes have been investigated using normal and acid modulated uio-66 (qiu et al., 2017). it was found out that promoting or modulating acetic acid to uio-66 could increase the adsorption selectivity of methyl orange (mo) anionic dyes. (1) although congo red (cr) dye is also an anionic dye, the adsorption ability of modulated uio-66 towards cr is worse than mo. supported by these previous studies, the addition of acid and the type of dye being adsorbed can exhibit different adsorption capacity. therefore, research on the effect of acid addition against the adsorption capacity of uio-66 should be further investigated. various adsorbents such as activated carbon (indarto et al., 2019; ni’mah et al., 2020; santoso et al., 2020; tanasale et al., 2014;2014), zeolite (abbas et al., 2018; abukhadra and mohamed, 2019; tumbel et al., 2015; wang et al., 2006), and other porous doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 186 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 compounds (jiao et al., 2020; yasui et al., 2019) have been widely evaluated for their use in adsorbing dyes waste. based on the research conducted by khalid et al. (2018), eriochrome black t (ebt, 2) adsorption using graphene has an adsorption capacity of 102.04 mg/g. however, the adsorption capacity decreases to 70.42 mg/g when acid-modulated graphene (ph 2) was used (khalid et al., 2018). in addition, the research conducted by sonba and ridha has tested the adsorption power of kaolin clay against ebt (2) dyes (sonba and ridha, 2014). to the best of our knowledge, there are still no studies that exhibited the adsorption ability of uio-66 as an adsorbent against ebt dyes. thus, it is necessary to investigate the adsorption test of uio-66 against ebt and the effect of acid addition as a modulator on uio-66. (2) methodology materials and instrumentals zirconium (iv) chloride (zrcl4, sigma aldrich, cas 10026-11-6), terephthalic acid (h2bdc, merck, cas 120-61-6), dimethylformamide (dmf, merck, cas 68-12-2), methanol (merck, cas 67-56-1), acetic acid (merck, cas 64-19-7), chloroform (merck, cas 67-66-3), eriochrome black t (merck, cas 1787-61-7), and distilled water were used. instruments used in this research were magnetic stirrer, hot plate, oven, analytical balance, glassware, uv-vis spectrophotometer (type genesys, brand thermo fisher scientific), fourier transform infrared (ft-ir,brand shimadzu type 8400), and x-ray powder diffraction (xrd, brand philips x’pert mpd). methods synthesis of uio-66 and uio-66 with addition of acetic acid modulator uio-66 was synthesized by a method similar to that of the study by rahmawati et al. (2015) and qiu et al. (2017) with some minor modifications. in brief, zrcl4 (1.0487 g) and h2bdc (0.7481 g) were dissolved in dmf, 45 ml each. the dissolving process was carried out by stirring for 15 minutes. after dissolving, the two solutions were mixed, stirred again for another 30 minutes, then kept in an oven for 24 hours at a temperature of 120˚c. after 24 hours, uio-66 was allowed to cool to room temperature, then decanted, washed sequentially using the following solution: 45 ml dmf, 30 ml chloroform, and 30 ml methanol. the obtained product was then dried by heating for 24 hours at a temperature of 120˚c. the same procedure was adopted for synthesizing uio-66 modulated with acetic acid. the addition of acetic acid was carried out at the time of dissolving h2bdc. concentrated acetic acid was added with variations of acetic acid and h2bdc ratios as followed 50:1 (12.98 ml acetic acid), 100:1 (25.97 ml acetic acid), and 150:1 (38.96 ml acetic acid). characterization of uio-66 and uio-66 modulated with acetic acid acetic acid modulated uio-66 and normal uio66 were characterized using the ft-ir (shimadzu type 8400) and xrd (brand philips x’pert mpd) instruments. potassium bromide (kbr) pellets of the samples were scanned with infrared radiation within the wavenumber 400-4000 cm-1. the crystallinity of the synthesized materials was characterized using xrd with cu kα radiation in the range of 2θ = 0-60°. preparation of calibration curves and determination of maximum wavelength a stock solution of ebt was made by dissolving 0.25 grams of ebt in 250 ml of distilled water. from the stock solution, the standard solutions of 10, 20, 30, 40, and 50 ppm were made. then, the blank and standard solutions were tested for the absorbance with a uv-vis spectrophotometer at 200-700 nm. the absorbance was plotted against the concentration of the solution as a calibration curve. adsorption test prior to the adsorption variation test was conducted, a preliminary test was carried out. uio-66 that has been synthesized was weighed as much as 0.05 g and then added to 20 ml of 100 ppm ebt solution, then stirred with a magnetic stirrer for 60 minutes. then, the solution was separated from its residue, and the absorbance was measured with a uvvis spectrophotometer. the same steps were repeated with the other acetic acid modulated uio-66. this step aimed to determine the material with the best adsorption capacity for further adsorption test with various concentrations of ebt. the first test to be carried out is the time variation test. approximately 0.05 grams of normal uio-66 (without modulator) was added to 20 ml of 100 ppm ebt solution, then stirred continuously with a doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 187 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 magnetic stirrer with time variations of 10-70 minutes. furthermore, the optimal time was used to test the adsorption at different concentrations. the tests were carried out using 100, 150, 200, 250, and 300 ppm of ebt solutions. result and discussion synthesis and characterization of uio-66 and uio-66 modulated with acetic acid the synthesis of uio-66 was carried out by the solvothermal method. the synthesis of uio-66 and uio-66 with the addition of acetic acid in mmolratio variated from 50, 100, and 150 yielded 0.905 (% yield = 94.94%), 0.448 (46.98%), 0.742 (77.84%), and 0.941 g (98.76%), respectively. the synthesis process of uio-66 occurs when the lone pair of bdc ligands attack the zirconium (zr) atom as an electrophile, which has an empty orbital, resulting in a coordination bond between the zr central atom and the bdc ligand. bdc ligand substitution on the zr atom occurs when the proton of terephthalic acid (h2bdc) undergoes deprotonation (qiu et al., 2017). in addition, the reaction conditions can be achieved if zirconium (iv) chloride (zrcl4) as the source of the central atom and terephthalic acid (h2bdc) as ligand are entirely dissolved in the appropriate solvent. dimethylformamide (dmf) is a suitable solvent used in the synthesis of mof (wu et al., 2014; zhao et al., 2011). at the time of synthesis, the dissolving and mixing process of zrcl4 with h2bdc was carried out in a tightly closed container. this treatment aims to prevent the oxidation process of zrcl4 into zirconium (iv) oxide (zro2), which can inhibit the synthesis process. furthermore, the mixture of zrcl4 and h2bdc solutions in dmf solvent was heated using an oven at 120˚c to obtain uio-66 with a regular and octahedral crystalline structure (qiu et al., 2017). acetic acid as a modulator was investigated during the uio-66 synthesis process by varying the mmol ratio of acetic acid and h2bdc (50:1, 100:1, and 150:1). the addition of acetic acid contributes to the acidic atmosphere of the solution. moreover, there was a coordination bond competition between acetate ligands and bdc ligands against the central atom of zirconium. additionally, the acidic atmosphere can also inhibit the h2bdc deprotonation process. thus, the reaction rate of the nucleation process of zr-bdc (uio-66) becomes slower, and it is expected that the product of the reaction will have better crystallinity (qiu et al., 2017). the crystallinity of those products can be studied through the diffractogram, as shown in figure 1. figure 1. diffractogram of uio-66 and its variations it can be interpreted from figure 1 that there are two characteristic peaks of the uio-66 crystal lattice at 2θ = 7.4˚ (x) and 25.6˚ (xx). it can be seen that the more acetic acid was added (variations of 50 and 100 mmol), the sharper peaks were obtained. however, a deviation showed that the uio-66, with the acid mmol ratio of 150:1, have a broader and lower peak. in other words, uio-66 with the acetic acid mmol ratio of 150 is less crystalline than the other variations. this phenomenon was probably due to the formation of an imperfect crystal (defect). it has been investigated that the presence of monocarboxylic acid as a modulator in synthesizing uio-66 contributes to the missing cluster defects. the higher concentration of acid is used, the more defects will likely to occur (atzori et al., 2017; shearer et al., 2016). furthermore, the ftir spectra of uio-66 is showed in figure 2. the spectra exhibited functional groups consisting of the broad peak at 3398 cm-1 indicating the o-h stretching vibrational mode of carboxylic acid from h2bdc, and o-h bending at 600-700 cm-1 near zr-o absorption peak. the intense peaks at 1656 and 1400 cm-1 were confirmed to be c=o and c-o stretching modes from carboxylic acids. distinctively, the peak at 1579 cm-1 is associated with c=c in the aromatic ring of the organic linkers. characteristic peaks at 547 and 746 cm-1 pointing out the zr-o stretching and bending modes, respectively. these peaks validated the uio-66 was successfully synthesized according to the previous study (jin and yang, 2017). x xx doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 188 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 figure 2. ftir spectra of normal uio-66 preparation of calibration curves and determination of maximum wavelength from the experiments conducted using a uv-vis spectrophotometer, it can be identified that the maximum wavelength of the ebt standard solution with a concentration of 10-50 ppm is 541 nm. a calibration curve was made by plotting the concentration of ebt (in ppm unit) and the absorbance data. the data were collected in duplo procedure with a standar deviation of 0.00224. the calibration curve is shown in figure 3. figure 3. calibration curve of ebt standard solutions (𝜆𝑚𝑎𝑥 =541 nm) adsorption test, adsorption kinetics and adsorption isotherm a preliminary test to determine the optimal material and time required for the ebt adsorption process was conducted. the initial test was carried out by mixing 0.05 grams of normal uio-66 with 20 ml of 100 ppm of ebt solution. the mixture then stirred with a magnetic stirrer for 60 minutes. next, the solutions were filtered and separated from their residue before subjected to read the absorbance. the test was repeated using the other variations of modulated uio-66. the preliminary test results are shown in table 1. table 1. the adsorption capacity of uio-66 and modulated uio-66 no. adsorbent adsorption capacity (mg/g) 1 normal uio-66 37.031 2 uio-66 (50) 34.268 3 uio-66 (100) 14.943 4 uio-66 (150) 14.776 it can be interpreted from the data in table 1 that uio-66 without acid modulation (normal) exhibits the best adsorption capacity. the adsorption capacity is calculated by equation 1. q t = v (c0-ct) m (1) notes : qt = adsorption capacity at time t (mg/g) co = initial concentration (ppm) ct =concentration after adsorption for t minutes (ppm) m = mass of adsorbent (g) v = total volume (l) the previous research conducted by qiu et al. (2017) found out that the modulation with acid can increase anionic dyes' adsorption capacity. however, in this research, it turned out that the addition of acetic acid as a modulator in uio-66 did not give a better adsorption capacity. in other words, this fact indicated that uio-66 modulated with acid was not suitable for ebt adsorption. it also corresponds to the previous report that modulation of uio-66 with acetic acid was more selective against mo. nevertheless, it was not specific against cr, of which the adsorption capacity decreased (qiu et al., 2017). therefore, it can be assumed that the type of dye also influences adsorption capacity. the results of this study also correspond with other related studies proving that activation of graphene with acid reduced the adsorption capacity of ebt (khalid et al., 2018). furthermore, the test of reaction kinetics was carried out by adding 0.05 grams of normal uio-66 into 20 ml of 100 ppm ebt solution, with time variations ranged from 10-70 minutes. the results of the adsorption test can be seen in table 2. y = 0.0146x + 0.0138 r² = 0.998 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 20 40 60 a b so rb a n c e concentration of ebt (ppm) o-h (hydrogen bond) c=o c-o c=c zr-o zr-o o-h bending doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 189 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 table 2. the results of the adsorption test with time variations time (minutes) adsorption capacity (mg/g) 10 38.198 20 37.923 30 38.334 40 38.798 50 38.839 60 38.110 70 38.324 determination of the adsorption kinetics is carried out using the pseudo-first-order and the pseudo-second-order kinetics law. in this research, we figured out that the adsorption process of ebt using uio-66 tend to follow the pseudo-second-order rate law rather than the-pseudo-first-order law. the pseudo-first-order equation is shown in equation (2), whereas the pseudo-second-order equation is showed in equation (3): ln ( q e -q t )= ln q e k1 2,303 t (2) t q t = 1 k2qe 2 + t q e (3) where qe is the adsorption capacity at equilibrium (mg/g), qt is the adsorption at the time of t (min), k1 is a pseudo-first-order rate constant (min-1), while k2 is a pseudo-second-order rate constant (g mg-1 min-1). the pseudo-first-order and the pseudo-second-order graphs for the adsorption process were plotted, as shown in figure 4 and figure 5, respectively. figure 4. the graph of ln(qe – qt) against time for pseudo-first-order figure 5. the graph of t/qt against time for pseudosecond-order based on the graphs above, it is known that the adsorption of ebt by using uio-66 followed the pseudo-second-order kinetic law. the obtained k2 and qe value were of 0.0561 g mg -1 min-1 and 39.2157 mg/g, respectively. the pseudo-first-order (figure 4) is unfavorable in this adsorption kinetic since the coefficient of determination (r2) is very low (nonlinear). additionally, it should be noted that these data correspond to the research reported by qiu et al. (2017) investigating the adsorption process of uio-66 against anionic dyes via the pseudo-second-order kinetics (qiu et al., 2017). table 3. adsorption test results with various concentrations of ebt concentration (ppm) adsorption capacity (mg/g) adsorption efficiency (%) 100 38.839 98.068 150 58.808 98.210 200 78.104 97.630 250 96.813 97.200 300 113.778 95.383 after knowing the optimal time for the adsorption test, concentration variation tests were carried out to determine the adsorption isotherm pattern. the concentration variation tests were carried out by adding 0.05 grams of uio-66 (without modulation) into 20 ml of ebt solution which concentration varied from 100, 150, 200, 250, and 300 ppm and then stirred for 50 minutes. the data from the concentration variation test results are summarized in table 3. in table 3, it can be seen that the value of adsorption efficiency decreased when the concentration of ebt increased. it occurred because y = -0.0222x 0.216 r² = 0.0705 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0 20 40 60 ln ( q e -q t) time (minutes) y = 0.0255x + 0.0116 r² = 0.999 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 0 20 40 60 t / q t time (minutes) doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 190 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 the adsorbent became saturated with the increasing number of adsorbates. thus, the additional amount of adsorbent is needed to improve its adsorption efficiency. the adsorption isotherm was identified and determined by comparing langmuir and freundlich adsorption isotherm patterns. further analysis showed that the adsorption process in this research tended to follow langmuir isotherm rather than freundlich adsorption isotherm pattern. langmuir adsorption isotherm is described in equation (4), whereas freundlich adsorption isotherm is described in equation (5): ce q e = 1 klqmax + ce q max (4) ln q e = ln kf + 1 n ln ce (5) where ce is dye concentration at equilibrium, kl is the langmuir adsorption isotherm constant related to the adsorption binding energy, and qmax is the maximum adsorption capacity (mg/g). the graphs of langmuir and freundlich adsorption isotherm were shown in figure 6 and figure 7, respectively. langmuir and freundlich coefficient of determination values (r2) can be seen in figure 5 and figure 6, respectively. the r2 value of langmuir isotherm (r2 = 0.998) is higher than that of freundlich isotherm (r2 = 0.964). thus, it can be concluded that the adsorption of ebt by using uio66 was most likely to follow the langmuir isotherm. the langmuir isotherm describes that adsorption occurs chemically (chemisorption), where the adsorbate forms a single layer on a homogeneous surface (lin et al., 2015). figure 6. langmuir isotherm adsorption plot figure 7. freundlich isotherm adsorption plot briefly, the r2 value of the langmuir model is higher than that of the freundlich model, representing that monolayer chemisorption is dominant. this finding agrees with other previous research reported by mohammadi et al. (2017) that the adsorption of methylene blue dye by using uio-66 also follows the langmuir isotherm pattern (mohammadi et al., 2017). however, it is essential to state that generally, depending on the thermodynamic conditions (i.e., the increase of temperature), the adsorption isotherm may change into the freundlich isotherm (liu et al., 2019). additionally, from figure 5, the obtained value of kl and qmax are 0.202 and 156.25 mg/g, respectively. it indicates that the maximum adsorption capacity of ebt by using uio-66 is 156.25 mg/g, with the langmuir adsorption isotherm constant of 0.202. conclusion in this study, uio-66 and uio-66 modulated with acetic acid have been successfully synthesized with a mmol ratio of acid:ligand as followed: 50:1, 100:1, and 150:1. the diffractogram results showed that the crystallinity increased with the addition of acetic acid. however, in this study, acid modulated uio-66 with a mmol ratio of 150:1 showed a defect, where the crystallinity decreased. thus, further research should be conducted to confirm the morphology. uio-66 without modulation showed the most significant adsorption capacity towards eriochrome black t (ebt) with the maximum adsorption capacity value of 156.25 mg/g. ebt dyes turned out to be less suitable to be adsorbed with mof adsorbent modified with acetic acid as a modulator. the adsorption kinetics followed the pseudo-second-order kinetics law, and the type of isotherm followed the langmuir isotherm. y = 0.0068x + 0.0272 r² = 0.998 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0 5 10 15 c e /q e ce y = 0.407x + 3.711 r² = 0.964 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 0.5 1 1.5 2 2.5 3 ln q e ln ce doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 191 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 acknowledgment the authors would like to acknowledge fundamental laboratory and instrumental laboratory, department of chemistry, institut teknologi sepuluh nopember (its), which has provided tools, materials and also ftir analysis services. we would also acknowledge the material characterization division, department of materials and metallurgy, its for providing x-ray diffraction characterization testing services. references abbas, a., abuzaid, y., and himdan, t., 2018. adsorption of anionic dye from aqueous solution by modified synthetic zeolite, ibn alhaitham j. for pure and appl. sci., 28, 52–68. abukhadra, m. r., and mohamed, a. s., 2019. adsorption removal of safranin dye contaminants from water using various types of natural zeolite, silicon, 11(3), 1635–1647. atzori, c., shearer, g. c., maschio, l., civalleri, b., bonino, f., lamberti, c., svelle, s., lillerud, k. p., and bordiga, s., 2017. effect of benzoic acid as a modulator in the structure of uio-66: an experimental and computational study, j. phys. chem. c, 121(17), 9312-9324. indarto, a., putranto, a., and bunaidi, r., 2019. model determination of methylene blue adsorption on jatropha curcas l.-based activated carbon, indo. j. chem. res., 7(1), 4150. jiao, c., li, t., wang, j., wang, h., zhang, x., han, x., du, z., shang, y., and chen, y., 2020. efficient removal of dyes from aqueous solution by a porous sodium alginate/gelatin/graphene oxide triple-network composite aerogel, j. polym. environ., 28(5), 1492–1502. jin, z., yang, h., 2017. exploration of zr-metalorganic framework as efficient photocatalyst for hydrogen production, nanoscale res. lett., 12(539), 1-10. khalid, a., zubair, m., and ihsanullah., 2018. a comparative study on the adsorption of eriochrome black t dye from aqueous solution on graphene and acid-modified graphene, arab. j. sci. eng., 43(5), 2167–2179. lin, k.-y. a., chen, s.-y., and jochems, a. p., 2015. zirconium-based metal organic frameworks: highly selective adsorbents for removal of phosphate from water and urine, mater. chem. phys., 160, 168–176. liu, n., shi, l., and meng, x., 2019. tuning the adsorption properties of uio-66 via acetic acid modulation, j. chem. sci., 131, 1-7. mohammadi, a. a., alinejad, a., kamarehie, b., javan, s., ghaderpoury, a., ahmadpour, m., and ghaderpoori, m., 2017. metal-organic framework uio-66 for adsorption of methylene blue dye from aqueous solutions, int. j. environ. sci. technol., 14, 1959-1968. ni’mah, y. l., rohmawati, i., ulfin, i., harmami, h., juwono, h., sugiarso, d., kurniawan, f., and suprapto, s., 2020. the adsorption of remasol, indigosol and naphthol yellow mixed dyes using activated carbon, aip conf. proc., 2229(1), 30017. qiu, j., feng, y., zhang, x., jia, m., and yao, j., 2017. acid-promoted synthesis of uio-66 for highly selective adsorption of anionic dyes: adsorption performance and mechanisms, j. colloid interface sci., 499, 151–158. rahmawati, i., rosyidah, a., ediati, r., kunci, k., and bahan, a. a., 2015. sintesis ni-uio-66 secara solvotermal, jurnal sains dan seni its, 4(1), 2–5. rosseinsky, m., 2004. recent developments in metalorganic framework chemistry: design, discovery, permanent porosity and flexibility, micropor. mesopor. mat., 73, 15–30. santoso, e., ediati, r., kusumawati, y., bahruji, h., sulistiono, d. o., and prasetyoko, d., 2020. review on recent advances of carbon based adsorbent for methylene blue removal from waste water, mater. today chem., 16, 100233. shearer, g. c., chavan, s., bordiga, s., svelle, s., olsbye, u., and lillerud, k. p., 2016. defect engineering: tuning the porosity and composition of the metal-organic framework uio-66 via modulated synthesis, chem. mater., 28, 3749-3761. sonba, h. j., and ridha, s. h., 2014. thermodynamics of adsorption of eriochrome black-t dye from aqueous media on each modified kaolin clay and talc. acta chim. pharm. indica, 4(2), 111–118. tanasale, m., latupeirissa, j., and letelay, r., 2014. adsorption of tartrazine dye by active carbon from mahagony (swietenia mahagoni jacq) rind. indo. j. chem. res., 1, 104-109. tanasale, m., sutapa, i.w., and topurtawy, r., 2014. adsorption of rhodamine b dye by active carbon from durrian shell (durio zibethinus). indo. j. chem. res., 2, 116-123. tumbel, e., wuntu, a., and abidjulu, j., 2015. photodegradation of remazol yellow using adoi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 192 m. anugrah rizky pambudi, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 186-193, 2021 type zeolite/tio2. indo. j. chem. res., 3, 238241. wang, s., li, h., and xu, l., 2006. application of zeolite mcm-22 for basic dye removal from wastewater, j. colloid interface sci., 295(1), 71– 78. wu, z., wang, m., zhou, l., yin, z., tan, j., zhang, j., and chen, q., 2014. framework-solvent interactional mechanism and effect of nmp/dmf on solvothermal synthesis of [zn4o(bdc)3]8, t. nonferr metal soc., 24(11), 3722–3731. yasui, k., sasaki, k., ikeda, n., and kinoshita, h., 2019. dye adsorbent materials based on porous ceramics from glass fiber-reinforced plastic and clay, appl. sci, 9(8). zhao, h., jin, z., sun, f. x., and zhu, g.-s., 2011. solvent effect for the synthesis of metal-organic framework, chem. j. chinese u., 32, 590–594. doi: 10.30598//ijcr.2021.8-ris 193 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 197-200, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 197 potential of bentonite and resistant wood active charcoal as virgin coconut oil (vco) purity improvements through bonding of free fatty acid compounds sri rizky utami, lidia, mega afrilia, and robby gus mahardika* chemistry department, faculty of engineering, university of bangka belitung bangka belitung university integrated campus road, balunijuk village, merawang district, bangka regency, bangka belitung islands province, 33172, indonesia *corresponding author: robbygusmahardika@gmail.com received: october 2021 received in revised: october 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract virgin coconut oil (vco) is pure coconut oil produced from fresh coconuts and does not contain additional chemicals. vco has a high lauric acid content which acts as an antibiotic, namely antiviral, antibacterial and antiprotozoal so that vco can increase the human body's resistance to disease or viruses. free fatty acid (ffa) levels will significantly affect the quality of vco. the requirement for maximum fatty acid content in vco to be suitable for consumption is 0.2%. one of the efforts to reduce the free fatty acid levels of vco is to use adsorbents such as activated charcoal and bentonite. this study aims to determine the effect of bentonite and activated charcoal of pelawan wood (tristaniopsis merguensis) enhancers of vco purity. the results showed that the best reduction in free fatty acids was using bentonite and activated charcoal of woodfurnaced pelawan, which was 0.265, while the best turbidity test result was 0.193. keywords: pelawan wood, virgin coconut oil (vco), antibacterial, ffa, coconut. introduction on january 30, 2020, the coronavirus became an international concern as the who had declared covid-19 a public health emergency. the increase in covid-19 cases is quickly spreading between countries, including indonesia (putri, 2020). improving community resilience through individual body health is one of the prevention efforts that can be done. the body's resistance can be maintained and increased through healthy living habits such as maintaining cleanliness good nutrition intake, which is no less important with the use of health supplements (perpustakaan loka litbangkes pangandaran, 2020) virgin coconut oil (vco) is pure coconut oil produced from fresh coconuts, and virgin coconut oil (vco) is not processed with high heat. also, there is no addition of chemicals (hapsari & welasih, 2013). vco has high lauric acid content, which will be converted into monolaurin in the body. vco can act as an antibiotic monoglyceride compound, antiviral, antibacterial, and antiprotozoal. vco can increase the human body's resistance to disease or viruses and accelerate healing (dali, firdaus, & rusman, 2017). however, a common problem with vco is that free fatty acids have exceeded the reasonable threshold, resulting in increased levels of low-density lipoprotein (ldl) in the blood or what is often called bad cholesterol (sanhia, pangemanan, & engka, 2015). so it is necessary to purify virgin coconut oil by binding free fatty acids with activated bentonite material. based on tanjaya's research (2018), activated bentonite can absorb free fatty acid in used cooking oil. these free fatty acids are due to silanol groups formed from sio2 compounds in bentonite during acid activation (tanjaya et al., 2018). activated charcoal can be obtained from various plants, including cacao shells (sekewael, latupeirissa, & johannes, 2015), mahagony rind (tanasale, latupeirissa, & letelay, 2014), and pelawan wood. polii (2016) has researched refining coconut oil from smoked copra using activated charcoal and bentonite as adsorbents. thus, bentonite with activated charcoal combined can produce a better adsorbent material. active charcoal in this study, the activated charcoal used was from the stem of the resistance (tristaniopsis merguensis griff). the fighter has a very high total phenolic (roanisca, mahardika, & sari, 2019). high phenolic compounds can come from secondary metabolites from the lignin group so that they have a good structure when used as activated charcoal. sri rizky utami, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 197-200, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 198 methodology materials and instrumentals the tools and materials used in this study were sample bottles, beakers, measuring cups, volumetric flasks, dropper pipettes, hotplates, spatulas, stirrers, portable turbidimetry, centrifuges, shimadzu uv-vis spectrometers, thermolyne furnaces, ovens, 45 and 200 sieves. mesh, burette and stative, erlenmeer, thermometer, xrd at pt innovation green indonesia. the materials used in this study were virgin coconut oil, pelawan wood, bentonite, 0.1n h2so4, merck chloroform, aquades, 0.1 n koh, 0.1n oxalic acid, ph paper, technical n-hexane, pp indicator, ethanol, β-carotene. methods preparation of virgin coconut oil (vco) the vco obtained from the fermentation process is then centrifuged first. it aims to separate the solids from the oil to get vco without solids. bentonite activation five grams of washed bentonite was added with 200 ml of 0.1 n h2so4. then refluxed at 80 ᵒc, and the residue was taken and baked for 3 hours at 80 ᵒc. then ground until smooth and sieved using a 200 mesh sieve. production and activation of combat wood activated charcoal (tristaniopsis mergeunsis) the wood is sun-dried to dry. the next stage is the carbonization process which is processed in two methods. it is burning in a furnace and a furnace for 2 hours at a temperature of 650 ᵒc to become carbon (charcoal). the carbon obtained was ground and sieved using a 45 mesh sieve. furthermore, the two carbon products as 10 grams were mixed with 40 ml 11% sulfuric acid (h2so4) activator and then stirred for 30 minutes. after that closed and left for one day, the soaked carbon was washed using distilled water until the ph was neutral and filtered using filter paper to form an activated carbon precursor. the activated carbon precursor was then burned at 80 ᵒc for 3 hours in an oven. xrd analysis on bentonite and wood activated charcoal (tristaniopsis mergeunsis) after activation of bentonite and wood charcoal, a fine powder was obtained. subsequently, bentonite powder and wood charcoal were tested using x-ray diffraction at greenlabs rnd, bandung. characterization of virgin coconut oil (vco) before and after purification with bentonite adsorbent and pelawan wood (tristaniopsis mergeunsis) activated charcoal the adsorption step was carried out by heating 40 ml of vco which had been mixed with bentonite adsorbent and 1:1) wood activated charcoal (1:1) as much as 1.5% (w/v) on a hot plate at a temperature of 100 ᵒc with time variations of 30, 60, 90, 120, and 150 minutes. after cooling, the vco was filtered through whatman filter paper no. 41. free fatty acid (ffa) test weighed 2 grams of the adsorbed vco sample was put in a titration flask, added 10 ml of ethanol, shaken until homogeneous, heated to boiling, cooled, and added phenolphthalein indicator (pp). the next step is titrated with 0.1 n koh. the titration is stopped after the solution changes color to pink, lasting for 30 seconds. the ffa determined using equation 1. % ffa = (vxn)koh x fatty acid mr sample (gram)x 1000 × 100% (1) vco turbidity test a total of 0.5 ml of the adsorbed vco sample was put in a 25 ml volumetric flask, and then chloroform was added to the limit mark. then measured with a hack turbidimeter 2100 n. from the analysis data on the clarity of this oil can be seen the level of transparency of vco. vco beta-carotene test color analysis was carried out using a shimadzu uv-vis spectrophotometer uv-1800 type. from the analysis data, the amount of β-carotene content that is still present in the color of the vco is known to be the level of purity of the vco. as a standard, -carotene from carrot extract was used, which weighed 2.5 mg dissolved in 25 ml of chloroform (100 ppm solution). the mother liquor makes standard solutions 2, 4, 6, 8, 10, 20 ppm. next, make a calibration graph to calculate the levels of β–carotene in the sample. results and discussion xrd testing on bentonite and wood activated charcoal (tristaniopsis mergeunsis) the results of the xrd of activated carbon of pelawan can be seen in figure 1. based on figure 1, two types of activated carbon diffraction show a carbon structure that tends to be amorphous, indicated by broad and weak diffraction peaks. 2 = 23,42o shows sri rizky utami, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 197-200, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 199 that the peaks are slightly narrowed, indicating graphite carbon. this result follows research im et al. (2018), which obtained a diffraction pattern of activated carbon from coke with a similar pattern. figure 1. xrd graph of wood-fired and furnace activated charcoal xrd analysis bentonite to determine the mineral content contained in bentonite and see the diffraction pattern at a value of 2θ and the distance between the crystalline lattice planes. the xrd diffractogram can be seen in figure 2. figure 2. the xrd diffractogram the bentonite diffraction spectrum pattern is almost similar to the diffraction pattern in natural bentonite. so, it can be said that the bentonite content is montmorillonite. the acid-activated bentonite matches the standard bentonite mineral analysis based on the xrd diffractogram. the mineral montmorillonite shows diffraction peaks at 2θ = 6.21, 20.01, and 35.43. free fatty acid test results the free fatty acids (ffa) result was obtained after the vco was adsorbed with bentonite adsorbents and activated charcoal from the wood of the opponent, are the isothermal adsorption pattern was carried out by contacting the mass of the adsorbent 1.5% (w/v) with time variables 30, 60, 90, 120, and 150 minutes with vco at 100 ᵒc. then the ffa levels were calculated using equation 1. the best reduction in free fatty acids occurred at 30 minutes, where free fatty acids were obtained of 0.265 using bentonite adsorbent and activated charcoal of wood-fired opponent. this minute is considered the optimum time for adsorption because in the next minute, namely at 60 minutes, the free fatty acids obtained are more significant than before, namely 0.296. this result may be due to the saturated adsorbent, so the absorption is not optimal. meanwhile, the vco purified using bentonite adsorbent and activated charcoal firewood in the table shows that the longer the stirring, the greater the free fatty acids obtained, and the free fatty acids are almost the same vco before being purified. the results of the purification of the adsorbent bentonite and activated charcoal in the furnaced wood still meet the quality standards of sni 7381:2008 and appc (asian pacific coconut community) with a maximum value of 0.5% free fatty acids (asiah et al., 2018). virgin coconut oil (vco) turbidity test the turbidity test results obtained after vco was adsorbed with bentonite and wood-activated charcoal. the activated charcoal adsorbents of wood-furnace and bentonite show that 120 minutes is the optimum time for the best turbidity test results, which is 0.193. meanwhile, the adsorbent activated charcoal burnwood and bentonite showed that the turbidity test results obtained were very stable with all variations of stirring time. table 1. result of absorption of beta-carotene vco time variation (minute) absorbance 0 0.013 30 0.007 60 0.007 90 0.007 120 0.005 150 0.011 sri rizky utami, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 197-200, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 200 beta-carotene vco test beta-carotene test results obtained after vco adsorption with bentonite adsorbents and activated charcoal of wood resisters are shown in table 1. based on the results in table 1, the longer the contact time with the adsorbent, the less beta-carotene from the vco will be absorbed by the adsorbent of activated carbon against wood and bentonite. conclusion based on the study results, it can be concluded that the best reduction in free fatty acids is to use bentonite and activated charcoal of pelawan wood, which is 0.265, while the best turbidity test results are with a value of 0.193. acknowledgment thank you to belmawa, ministry of education, culture, research, and technology for funding this research in the 2021 exact research pkm scheme. references asiah, n., cempaka, l., & maulidini, t. (2018). comparative study: physico-chemical properties of virgin coconut oil using various culture. asia pacific journal of sustainable agriculture food and energy, 6(2), 1–5. dali, s., firdaus, f., & rusman, h. j. (2017). produksi dag dari virgin coconut oil (vco) melalui reaksi trans-esterifikasi menggunakan enzim lipase dedak padi (oryza sativa l.) spesifik c18-20 terimobilisasi karbon aktif sebagai biokatalis. indonesian journal of chemical research, 5, 37–46. hapsari, n., & welasih, t. (2013). pembuatan virgin coconut oil (vco) dengan metode sentrifugasi. jurnal teknologi pangan, 4(2). https://doi.org/10.33005/jtp.v4i2.441 im, u.-s., kim, j., lee, s., lee, s., lee, b.-r., peck, d., & jung, d. (2018). preparation of activated carbon from needle coke via two-stage steam activation process. materials letters, 237. https://doi.org/10.1016/j.matlet.2018.09.171 perpustakaan loka litbangkes pangandaran. (2020). pedoman penggunaan herbal dan suplemen kesehatan dalam menghadapi covid-19 di indoensia. jakarta: badan pengawas obat dan makanan. polii, f. f. (2016). pemurnian minyak kelapa dari kopra asap dengan menggunakan adsopben arang aktif dan bentonit. jurnal riset industri, 10(3), 115–124. putri, r. n. (2020). indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19. jurnal ilmiah universitas batanghari jambi, 20(2), 705–709. https://doi.org/10.33087/jiubj.v20i2.1010 roanisca, o., mahardika, r. g., & sari, f. i. p. (2019). total phenolic and antioxidant capacity of acetone extract of tristaniopsis merguensis leaves. stannum : jurnal sains dan terapan kimia, 1(1), 10–13. https://doi.org/10.33019 /jstk.v1i1.1274 sanhia, a. m., pangemanan, d. h. c., & engka, j. n. a. (2015). gambaran kadar kolesterol low density lipoprotein (ldl) pada masyarakat perokok di pesisir pantai. e-biomedik, 3(1). https://doi.org/10.35790/ebm.v3i1.7425 sekewael, s. j., latupeirissa, j., & johannes, r. (2015). adsorption of cd metal using active carbon from cacao shell (theobroma cacao). indonesian journal of chemical research, 2, 204–197. tanasale, m. f. j. d. p., latupeirissa, j., & letelay, r. (2014). adsorption of tartrazine dye by active carbon from mahagony (swietenia mahagoni jacq) rind. indonesian journal of chemical research, 1, 104–109. tanjaya, a., sudono, s., indraswati, n., & ismadji, s. (2018). aktivasi bentonit alam pacitan sebagai bahan penyerap pada proses pemurnian minyak sawit. jurnal teknik kimia indonesia, 5(2), 429– 433. https://doi.org/10.5614/jtki.2006.5.2.4 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 a brief review on fabrication of screen-printed carbon electrode: materials and techniques wulan tri wahyuni1*, budi riza putra2, achmad fauzi1, desi ramadhanti1, eti rohaeti1, rudi heryanto1 1division of analytical chemistry, departement of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, ipb university, bogor, indonesia 2chemistry study program, faculty of mathematics and natural sciences, defense university, bogor, indonesia *corresponding author: wulantriws@apps.ipb.ac.id received: november 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract screen-printed carbon electrode (spce) is one of the most interesting designs to combine a working (from carbon based material), reference, and counter electrode in a single-printed substrate. spce has been used in many electrochemical measurements due to its advantages for analysis in microscale. this paper summarises the main information about spce fabrication from the material and fabrication technique aspect on the flat substrate based on the work that has been published in the last 30 years. the success of spce fabrication is highly dependent on the composition of conductive ink which consists of conductive materials, binder, and solvents; substrate; and fabrication techniques. among the carbon-based materials, the most widely used for spce fabrications are graphite, graphene, and carbon nanotubes. the frequent binder used are polymer-based materials such as polystyrene, polyaniline, poly 3,4-ethylenedioxythiophene:polystyrene sulfonate (pedot:pss), and polyvinyl chloride. the solvents used for spce fabrication are varied including water and various organic solvents. the main characteristics of the spce substrate should be inert in order to avoid any interferences during electrochemical measurements. the screen printing and inkjet printing technique are preferred for spce fabrication due to easy fabrication and the possibility for mass production of spce. keywords: electrode, fabrication, inkjet, polymer, screen printing introduction the development of electrochemical sensors is increasing rapidly every year. those electrochemical sensors are applied for in-situ monitoring and point of care testing in pharmaceutical, biomedical, industrial, and environmental analysis. since the in-situ monitoring and point of care analysis need a rapid and simple procedure, a disposable electrode is required. screen printing-based electrodes is a disposable electrode for electrochemical sensors that suits the requirement. the screen-printed electrode combines working, reference, and a counter electrode in a substrate that supports the miniaturization and portability aspect of the sensor. furthermore, due to the ease in its fabrication mass production of a screenprinted electrode is possible to conduct. several types of screen-printed electrodes have been already developed, among other screen-printed electrodes fabricated from carbon-based material gain a lot of attention. screen-printed carbon electrode (spce) combines a carbon working electrode, a reference electrode, and a counter electrode in a substrate. the properties of carbon material including a wide potential window, low background current, inertness (matters et al., 2011), and low cost (liu et al., 2012) drives the massive usage of spce for the electrochemical sensor. various methods for spce fabrication techniques have been investigated and studied in numerous scientific papers. in general, this fabrication process includes the preparation of conductive inks for working, reference, and counter electrodes as well as the printing process of prepared conductive ink onto the substrate. the fabrication method is adjusted with the character of the conductive ink, the character of the substrate, and the intended application of the fabricated electrodes. in addition, it is important to consider the control over the precision of the process and the device in the fabrication process. a comprehensive study of spce fabrication covering materials and techniques is required to provide information and references for the success of the spce fabrication process. several studies on screen-printed carbon electrode fabrication have been reported (figure 1), otherwise to the best of authors knowledge, the review focus on spce fabrication covering materials and fabrication techniques is still doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 210 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 limited. this review focuses on the aspect of material for spce fabrication including a conductive material, substrate, solvent, binder, and the techniques of spce fabrication including printing and screen printing. this review is expected to be a reference for spce fabrication. figure 1. variety of fabrication technique of spce. components for the fabrication of spce conductive materials for spce fabrication the materials for spce fabrication have been selected by considering the properties to conduct electrons in the electrochemical systems. the material conductivity will impact the performance of the electrochemical system. beside the conductivity properties, the other influencing factors of material can be used as an electrode such as potential window, background current, and corrosion stability. in general, a screen-printed electrode employs carbon material as the main component for its working electrode. the initial step of spce fabrication is the production of conductive ink for the working and reference electrode. the main component to fabricate a working electrode can be carbon derivatives materials such as graphite (petroni et al., 2017) which can be obtained from nature (latupeirissa et al., 2017; tanasale et al., 2014; sekewael et al., 2015), graphene (karuwan et al., 2012), single-walled carbon nanotube (tortorich et al., 2014), or multi-walled carbon nanotube (da costa et al., 2015). while the major component of conductive ink to produce a reference electrode is silver ink. graphite has potency as an electrode material to be used for electrochemical sensors fabrication regarding its better conductivity than carbon material. graphite has a high surface areas, low molecular weight, and behave either as conductor or semiconductor (tortorich and choi, 2013), a wide range of potential window which can be used as a good mediator for electron transfer process in the working electrode (kochmann et al., 2012). in addition to the good conductivity of graphite combined with its corrosion stability can be used as the main component for the working electrode as well as composite working electrode (borenstein et al., 2017). graphene can be used as a material alternative for the working electrode due to its high conductivity, high surface area, and good mediator for the electron transfer process (karuwan et al., 2012; karuwan et al., 2013). in addition of graphene has a hexagonal structure with sp2 hybridization makes it a good material for electron transfer mediators. graphene has been used in many electrochemical sensors such as for hydroquinone detection in the cosmetic sample (duekhuntod et al., 2019) detection for carcinoembryonic antigen (chan et al., 2015), and simultaneous detection of quercetin and rutin (elinda et al., 2019). the use of graphene to quercetin and rutin simultaneously using modified spce showed better linearity, precision, the detection dan quantitation limit, and stability compared to commercial spce. in the development of a screenprinted electrode, graphene (karuwan et al., 2012; karuwan et al., 2013), graphene oxide (kudr et al., 2020), single-walled carbon nanotube (tortorich et al., 2014), or multi-walled carbon nanotube (da costa et al., 2015) also can be used as a carbon substitute in the working electrode. substrate for spce fabrication the screen-printed electrode can be modified using different materials in order to adjust with various substrates. the good substrate for the fabrication of the screen-printed electrode should not give any current response when it is contacted with a sample solution due to avoiding any electrochemical reaction on the electrode surface. the surface tension effect, substrate hydrophilicity, and hydrophobicity also giving an influence for the electrochemical performance of spce (du et al., 2016). in general, the substrate should have water-resistant properties to avoid any damage issues during the measurement. the rough surface of the substrate is preferred due to ease in the ink printing process and produced a good quality of screen-printed electrode. the substrates have been used to fabricate spce are ceramic (taleat et al., 2014), polyethylene terephthalate (pet) film (du et al., 2016), whatman filter paper (nontawong et al., 2018), ink press transparent film [5], poly(ethylene 2,6-naphthalate) (pen) (kudr et al., 2020), and polyimide (lesch et al., 2014) and polyvinyl chloride screen printing; 61.5% inkjet printin g; 19.2% screen and inkjet printing combination; 11.5% coating; 7.7% doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 211 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 (karuwan et al., 2013; duekhuntod et al., 2019; khaled et al., 2008; khaled et al., 2010; promphet et al., 2015; tirawattanakoson et al., 2016; wahyuni et al., 2021). combination of binder materials with solvent in spce fabrication the fluid properties such as density, viscosity, and surface tension are the prime parameters for ink selection (cummins and desmulliez, 2019). the quality of conductive ink for spce fabrication determines its performance in the electrochemical system. in order to obtain a good quality of electrode ink, binder substance to maintain conductive materials on the surface of the electrode. therefore, it can improve the quality of the screen-printed electrode and thus obtaining a good response from the electrochemical measurement. binder material for spce fabrication can be used from polystyrene (petroni et al., 2017; wahyuni et al., 2019), polyvinyl chloride (khaled et al., 2008; khaled et al., 2010), cellulose acetate (wring and hart, 1992; miserere et al., 2006), pedot:pss (sriprachuabwong et al., 2012), and polyaniline (maity et al., 2019). the ohmic resistance and thickness of the printed electrode will increase with an increasing of binder concentration in the ink formula. in a certain case, it might result to produce a highly viscous ink. this will lead to the increasing of electrical resistance and resulted a diminished in the current signal. besides binder materials, solvent also helps to preserve the ink consistency in the liquid form since its mixing until its application to the substrate surface. the process for solvent selection affected by conductive and binder materials, type of substrates and the screen-printed electrode fabrication techniques. the properties of solvents that suitable for screen printing technique is a solvent with moderate points of boiling temperature and optimum viscosity. these solvent properties will impact to a better ink figure 2. spce pattern and illustration of spce fabrication by a screen printing technique. figure 3. pattern of spce and illustration of spce fabrication by inkjet printing technique doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 212 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 adhesion to the substrate and an efficient of ink drying process. several organic solvents have been applied for spce fabrication such as dichloromethane (petroni et al., 2017), cyclohexanone (miserere et al., 2006), cyclohexanone-acetone (khaled et al., 2008; khaled et al., 2010), chloroform (wahyuni et al., 2019), and diacetone hexanol (tirawattanakoson et al., 2016). fabrication techniques of screen-printed carbon electrode screen-printed carbon electrode combines working, reference, and counter electrodes in one design. this type of electrode provides a simple, portable, and disposable electrochemical measurement for sensing purposes. since this electrode is disposable, the fabrication techniques should be able to facilitate fast mass production. several fabrication techniques for spce fabrication were reported in scientific papers. most of them are using printing techniques (inkjet printing and screen printing) on flat substrate and the other was a coating technique (table 1). the screen-printing technique is a simple approach for spce fabrication. this technique is easy to follow by anyone without special expertise. in the screen-printing technique, three main components in spce fabrication including screen with electrode pattern, conductive ink, and squeegee like part for spread the ink. the screen is available in various pore sizes. the screen is selected based on the particle size of conductive material for ink composition. the pore size of screen material should bigger than the particle size of conductive material. several papers reported the use of a screen with a pore size of 36 mesh (khaled et al., 2008), 100 mesh (wring and hart, 1992), dan 200 mesh (bishop et al., 2016). figure 2 shows the scheme of spce fabrication by a screen-printing technique. the steps are 1) screen contains spce pattern is placed on top of the substrate, 2) the conductive ink is placed on top of the screen, 3) the ink is spread to all part of screen with constant pressure. step 3 is crucial to produce a homogeneous surface of spce from the screenprinting fabrication process. screen printing technique could be applied for spce fabrication both on flexible and rigid substrates. for instance, kit-anan and colleagues applied screen printing technique for spce fabrication on whatman paper filter (kit-anan et al., 2012) while develop fabrication of spce on pet substrate (du et al., 216). as a comparison, fabrication of spce by inkjet printing technique offers more precise result. the technology of inkjet printing machine provides precise control on ink dispensing. furthermore, the inkjet printing technique consumes less ink compared to the screen printing technique. several printer models are used in spce fabrication by inkjet printing technique, for instance fujifilm dimatix materials printer (karuwan et al., 2012; kudr et al., 2020; lesch et al., 2014; sriprachuabwong et al., 2012; cinti et al., 2018; kitanan et al., 2012), printer inkjet hp deskjet 5650 (tortorich and choi, 2012), hp deskjet d4260 (da costa et al., 2015), epson ecotank et-2650, epson stylus photo 1500w (rosati et al., 2019), and epson r230 (cai et al., 2019). the pattern and scheme of spce fabrication by inkjet printing technique are illustrated in figure 3. the electrode pattern was prepared by computer-aided design (cad) and it was sent to the printer which able to print the object rapidly. further, the ink was dispensed from the cartridge to the substrate through the nozzle (moya et al., 2017). several techniques such as piezoelectric (wijshoff, 2010), thermal (setti et al., 2005) dan electrodynamic (ali et al., 2016) are used for ink dispense. the piezoelectric is preferred over other techniques due to its ability to control size and printing speed (derby, 2010). figure 4. cyclic voltammogram of 1 mm k3fecn6 in 0.1 m kcl at glassy carbon and glassy carbon modified with conductive materials by drop coating method. furthermore, the inkjet printing technique provides the automatic process that able to produce spce on a large scale in a short time. both screen printing and inkjet printing techniques possess the advantages to fabricate a screen-printed electrode. screen printing technique advantages are simple and able to produce planar electrode with high precision in huge number for short duration (metter et al., 2011). doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 213 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 table 1. list of literatures reported the spce fabrication with inkjet printing and screen-printing technique technique analyte conductive cmaterial solvent binder material substrate ref. screenprinting reduced glutathione (gsh) graphite cyclohexanoneacetone cellulose acetate pvc wring and hart, 1992 no graphite cyclohexanone cellulose acetate alumina ceramic, plastic miserere et al., 2006 [fe(cn)6] 3graphite commercial ink polyester film kadara et al., 2009 pb2+, cd, cu carbon cyclohexanone acetone pvc pvc khaled, 2010 h2o2, nadh, [fe(cn)6] 3 graphenecarbon paste pvc karuwan et al., 2013 simultaneous isoproturon &carbendazi m graphene, graphite, and commercial carbon ink diethytlene glycol, monobutyl ether: 2butoxyethyl acetate pvc noyrod, et al., 2014 pb2+, cd2+ commercial carbon ink pvc promphet et al., 2015 [fe(cn)6] 3-, [fe(cn)6] 4 commercial carbon ink pet du et al., 2016 [fe(cn)6] 3commercial graphite ink cellulose acetate film bishop et al., 2015 antioxidant commercial carbon ink, modified graphene pvc tirawatta nakoson et al., 2016 ascorbic acid, uric acid, dopamine graphene diacetone and hexanol polyester randviir et al., 2015 hydroquinon e graphene and carbon paste pvc duekhunt od et al., 2019 capsaicin commercial graphite ink modified swcnt and mwcnt polyester film metters et al., 2013 nitrite graphite dcm polystyrene acrylic petroni et al., 2017 simultaneous of ascorbic acid, dopamine, and uric acid modified graphite paste whatman filter paper nontawon g et al., 2018 phosphate graphite cyclohexanoneacetone pvc pvc khaled et al., 2008 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 214 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 the disadvantage of this technique is unable to reach small corner of the mold, as the consequence the printing result looks smear. in contrast, fin inkjet printing fabrication conductive ink are dispense accurately with high precision. however, homogeneity of fabricated electrode surface is low due to the very thin coating. to handle this problem, replication in printing process are needed. both screen printing and inkjet printing techniques in spce fabrication are applied for mass production of spce. furthermore, some papers reported the combination of both techniques to obtain the desire properties of fabricated spce (tortorich et al., 2014; kudr et al., 2020; kit-anan et al., 2012). fabrication technique with coating techniques are performed by drop-coating and drop-casting technique. this technique is widely used to modify electrodes and enhance its electrochemical properties (wahyuni et al., 2019; maity et al., 2019; wahyuni et al., 2020). conductive ink deposited on top of electrode surface by dropping. in some cases, masking technique is applied to obtain the specific pattern of coating. in addition, drop coating method could be applied to check electrochemical properties of conductive materials. for instance, comparison of electrochemical performance of carbon nanoparticles, multi-wall carbon nanotube (mwcnt), and graphite. conductive ink from each material is drop coated on top of glassy carbon electrode (gce). figure 4 shows the cyclic voltammogram of potassium hexacyanoferrate at gce modified with each material. mwcnt modified gce provides higher current compare to other materials, indicated that mwcnt having higher conductivity compared to other tested materials. conclusion the success of spce fabrication is determined by several aspects, among others are the composition of conductive ink, substrate, and fabrication technique. conductive material for ink composition should possess high conductivity property. several carbonbased materials are promising for spce fabrication, including graphite, graphene, and carbon nanotubes. other materials that significant for conductive ink properties are binder and solvent. binder enhances the ink properties including viscosity, homogeneity, and ink adhesivity to the substrate while the solvent should be able to disperse the conductive material and binder in a homogeneous mixture. in addition, conductive ink table 1. list of literatures reported the spce fabrication with inkjet printing and screen-printing technique (continued) technique analyte conductive material solvent binder material substrate ref. simultaneous of ascorbic acid, dopamine, and uric acid modified graphite paste whatman filter paper nontawong et al., 2018 phosphate graphite cyclohexano ne-acetone pvc pvc khaled et al., 2008 inkjet printing salbutamol graphene pedot: pss spces karuwan et al., 2012 ascorbic acid commercial carbon ink smart paper cinti et al., 2018 blood antioxidant carbon nanotube commercial ink polyimide lesch et al., 2014 fe2+, dopamine multiwalled carbon nanotube aquabidest paper da costa et al., 2015 screen and inkjet printing ascorbic acid graphite carbon paste modified with polyaniline whatman filter paper kit-anan et al., 2012 fe2so4 single walled carbon nanotube aquabidest transparent film inkpress tortorich et al., 2014 doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 215 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 properties should be suitable with the substrate and fabrication technique. based on the literature review, the most widely used spce fabrication techniques are screen printing and inkjet printing. both printing technologies are capable to produce electrodes that match the specifications for electrochemical measurement and sensing. acknowledgement the authors would like to acknowledge the ministry of research and technology, national research and innovation agency of republic indonesia for the research funding in scheme penelitian dasar unggulan perguruan tinggi with contract number 4035/it3.l1/pn/2020, fiscal year 2020. references ali, s., hassan, a., hassan, g., bae, j., and lee, c. h., 2016. all-printed humidity sensor based on graphene/methyl-red composite with high sensitivity, carbon, 105, 23–32. bishop, g. w., ahiadu, b. k., smith, j. l., and patterson, j. d., 2016. use of redox probes for characterization of layer-by-layer gold nanoparticle-modified screen-printed carbon electrodes, j. electrochem. soc., 164(2), b23– b28. borenstein, a., hanna, o., attias, r., luski, s., brousse, t., and aurbach, d., 2017. carbonbased composite materials for supercapacitor electrodes: a review, j. mater. chem. a, 5(25), 12653–12672. cai, y. , yao, x., piao, x., zhang, z., nie, e., and sun, z., 2019. inkjet printing of particle-free silver conductive ink with low sintering temperature on flexible substrates, chem. phys. lett., 136857. chan, k. f., lim, h. n., shams, n., jayabal, s., pandikumar, a., and huang, n. m., 2015. fabrication of graphene/gold-modified screen printed electrode for detection of carcinoembryonic antigen, mater. sci. eng. c, 58, 666–674. cinti, s. colozza, n., cacciotti, i., moscone, d., polomoshnov, m., sowade, e., and arduini, f., 2018. electroanalysis moves towards paperbased printed electronics: carbon black nanomodified inkjet-printed sensor for ascorbic acid detection as a case study, sens. actuators b: chem., 265, 155–160. cummins, g., and desmulliez, m. p. y., 2012. inkjet printing of conductive materials: a review, circuit world, 38,(4), 193–213. da costa, t. h., song, e., tortorich, r. p., and choi, j.-w., 2015. a paper-based electrochemical sensor using inkjet-printed carbon nanotube electrodes, ecs j. solid state sci. tech., 4(10), s3044–s3047. derby, b., 2010. inkjet printing of functional and structural materials: fluid property requirements, feature stability, and resolution, ann. rev. mater. res., 40(1), 395–414. du, c. x., han, l., dong, s. l., li, l. h., and wei, y., 2016. a novel procedure for fabricating flexible screen printed electrode with improved electrochemical performance, mater. sci. eng. c, 1(137), 132–139. duekhuntod, w., karuwan, c., tuantranont, a., nacapricha, d., and teerasong, s., 2019. a screen printed graphene based electrochemical sensor for single drop analysis of hydroquinone in cosmetic products, int. j. electrochem. sci, 14, 7631–7642. elinda, t., wahyuni, w. t., and rohaeti, e., 2019. deteksi simultan kuarsetin dan rutin menggunakan screen-printed carbon electrode termodifikasi grafena, j. kimia valensi, 5(1), 97–107. kadara, r. o., jenkinson, n., and banks, c. e., 2009. characterization and fabrication of disposable screen printed microelectrodes, electrochem. commun., 11(7), 1377–1380. karuwan, c., wisitsoraat, a., phokharatkul, d., sriprachuabwong, c., lomas, t., nacapricha, d., and tuantranont, a., 2013. a disposable screen printed graphene–carbon paste electrode and its application in electrochemical sensing, rsc adv., 3(48), 25792. karuwan, c., sriprachuabwong, c., wisitsoraat, a., phokharatkul, d., sritongkham, p., and tuantranont, a., 2012. inkjet-printed graphene poly (3,4-ethylene dioxythiophene): poly(styrene-sulfonate) modified on screen printed carbon electrode for electrochemical sensing of salbutamol, sens. actuators b: chem., 161(1), 549–555. khaled, e., hassan, h. n. a., girgis, a., and metelka, r., 2008. construction of novel simple phosphate screen-printed and carbon paste ionselective electrodes, talanta, 77(2), 737–743. khaled, e., hassan, h. n. a., habib, i. h. i., and metelka, r., 2010. chitosan modified screenprinted carbon electrode for sensitive analysis doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 216 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 of heavy metals, int. j. electrochem. sci, 5, 158 – 167. kit-anan, w., olarnwanich, a., sriprachuabwong, c., karuwan, c., tuantranont, a., wisitsoraat, a., and pimpin, a., 2012. disposable paperbased electrochemical sensor utilizing inkjetprinted polyaniline modified screen-printed carbon electrode for ascorbic acid detection, j. electroanal. chem., 685, 72–78. kochmann, s., hirsch, t., and wolfbeis, o. s., 2012. graphenes in chemical sensors and biosensors, trends anal. chem., 39, 87–113. kudr, j., zhao, l., nguyen, e. p., arola, h., nevanen, t. k., adam, v., and merkoçi, a., 2020. inkjetprinted electrochemically reduced graphene oxide microelectrode as a platform for ht-2 mycotoxin immunoenzymatic biosensing, biosens. bioelectron., 159, 112109. latupeirissa, j., tanasale, m. f. j. d. p., dade, k., 2017. karakterisasi karbon dari tempurung kemiri (aleurites moluccana) dengan alat xrd, indo. j. chem. res., 3, 326-330. lesch, a., cortés-salazar, f., prudent, m., delobel, j., rastgar, s., lion, n., and girault, h. h., 2014. large scale inkjet-printing of carbon nanotubes electrodes for antioxidant assays in blood bags, j. electroanal. chem., 717–718, 61– 68. liu, y., dong, x., and chen, p., 2012. biological and chemical sensors based on grapheme materials, chem. soc. rev., 41, 283307. maity, d., minitha, c. r., and kumar, r. t. r., 2019. glucose oxidase immobilized amine terminated multiwall carbon nanotubes /reduced graphene oxide/polyaniline/gold nanoparticles modified screen-printed carbon electrode for highly sensitive amperometric glucose detection, mater. sci. eng. : c, 110075. metters, j. p., kadara, r. o., and banks, c. e., 2011. new directions in screen printed electroanalytical sensors: an overview of recent developments, the analyst, 136(6), 1067–1076. metters, j. p., mingot, m. g., iniesta, j., kadara, r. o., and banks, c. e., 2013. the fabrication of novel screen printed singled-walled carbon nanotube electrodes: electroanalytical applications, sens. actuators b, 177, 1043– 1052. miserere, s., ledru, s., ruillé, n., griveau, s., boujtita, m., and bedioui, f., 2006. biocompatible carbon-based screenprinted electrodes for the electrochemical detection of nitric oxide, electrochem. communications, 8(2), 238–244. moya, a., gabriel, g., villa, r., and del campo, f. j., 2017. inkjet-printed electrochemical sensors, curr. opin. electrochem., 3(1), 29–39. nontawong, n., amatatongchai, m., wuepchaiyaphum, w., chairam, s., pimmongkol, s., panich, s., tamuang, s., and jarujamrus, p., 2018. fabrication of a threedimensional electrochemical paper-based device (3d-epad) for individual and simultaneous detection of ascorbic acid, dopamine and uric acid, int. j. electrochem. sci., 6940–6957. noyrod, p., chailapakul, o., wonsawat, w., and chuanuwatanakul, s., 2014. the simultaneous determination of isoproturon and carbendazim pesticides by single drop analysis using a graphene-based electrochemical sensor, j. electroanal. chem., 719, 54–59. petroni, j. m., lucca, b. g., and ferreira, v. s., 2017. simple approach for the fabrication of screenprinted carbon-based electrode for amperometric detection on microchip electrophoresis, anal. chim. acta., 954, 88–96. promphet, n., rattanarat, p., rangkupan, r., chailapakul, o., and rodthongkum, n., 2015. an electrochemical sensor based on graphene/polyaniline/ polystyrene nanoporous fibers modified electrode for simultaneous determination of lead and cadmium, sens. actuators b: chem., 207, 526–534. randviir, e. p., brownson, d. a. c., metters, j. p., kadara, r. o., and banks, c. e., 2015. the fabrication, characterisation and electrochemical investigation of screen-printed graphene electrodes, phys. chem. chem. phys., 16, 4598–4611. rosati, g., ravarotto, m., sanavia, m., scaramuzza, m., toni, a. d., and paccagnella, a., 2019. inkjet sensors produced by consumer printers with smartphone imppedance readout, sens. biosensing res., 26, 100308. sekewael, s., latupeirissa, j., and johannes, r., 2015. adsorption of cd metal using active carbon from cacao shell (theobroma cacao). indo. j. chem. res., 2, 197-204. setti, l., fraleoni-morgera, a., ballarin, b., filippini, a., frascaro, d., and piana, c., 2005. an amperometric glucose biosensor prototype fabricated by thermal inkjet printing, biosens. bioelectron., 20(10), 2019–2026. doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 217 wulan tri wahyuni, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 210-218, 2021 sriprachuabwong, c., karuwan, c., wisitsorrat, a., phokharatkul, d., lomas, t., sritongkham, p., and tuantranont, a., 2012. inkjet-printed graphene-pedot:pss modified screen printed carbon electrode for biochemical sensing, j. mater. chem., 22(12), 5478. taleat, z., koshroo, a., and ardakani, m. m., 2014. screen-printed electrodes for biosensing: a review (2008–2013), microchim. acta, 181(9– 10), 865–891. tanasale, m., latupeirissa, j., and letelay, r., 2014. adsorption of tartrazine dye by active carbon from mahagony (swietenia mahagoni) rind. indo. j. chem. res., 1, 104-109. tirawattanakoson, r., rattanarat, p., ngamrojanavanich, n., rodthongkum, n., and chailapakul, o., 2016. free radical scavenger screening of total antioxidant capacity in herb and beverage using graphene/pedot: pssmodified electrochemical sensor, j. electroanal. chem., 767, 68–75. tortorich, r. p., song, e., and choi, j. w., 2014. inkjet-printed carbon naotube electrodes with low sheet resistance for electrochemical sensor aplications, j. electrochem. soc., 161(2), b3044–b3048. tortorich, r. p., and choi, j. w., 2013. inkjet printing of carbon nanotubes, nanomaterials, 3(3) 453– 468. wahyuni, w. t., zalvianita, r., and heryanto, r., 2019. pembuatan recycle screen printed carbon electrode dan aplikasinya untuk deteksi asam galat dengan teknik voltammetri, jurnal kimia sains dan aplikasi, 22(5), 164-172. wahyuni, w. t., saprudin, d., and fitriani. a., 2020. fabrication of graphene modified screen printed carbon electrode and its application for voltammetric determination of antioxidant capacity using pfrap, aip conference proceedings 2243, 030028 (2020) 030028-1 030028-6. wahyuni, w.t., putra, b.r., heryanto, r., rohaeti, e., yanto, d. h. y., and fauzi, a., 2021. a simple approach to fabricate screenprinted electrode and its application for uric acid detection. int. j. electrochem. sci., 16, 210221. wijshoff, h., 2010. the dynamics of the piezo inkjet printhead operation, phys. rep., 491(4-5), 77– 177. wring, s. a., and hart, j. p., 1992. chemically modified, screen-printed carbon electrodes. the analyst. 117(8), 1281. doi: 10.30598//ijcr.2021.7-wul 218 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 the effectiveness of magnetite modified gallic acid synthesized by sonochemical method as aucl4 adsorbent-reductor maya rahmayantia,*, sri juari santosab, sutarnob, astuti pawenia a department of chemistry, state islamic university of sunan kalijaga, jl. marsda adi sucipto yogyakarta, indonesia b department of chemistry, universitas gadjah mada, jl. sekip utara, yogyakarta 55281, indonesia *corresponding author: maya.rahmayanti@uin-suka.ac.id received: september 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract in recent years gallic acid has been developed as an aucl4adsorbent-reducing agent. in this research, gallic acid was modified with magnetite by sonochemical method (ga-fe3o4), and its effectiveness as an aucl4 adsorbent was studied. gafe3o4 was synthesized through one-stage (ga-fe3o4-sk1) and two-stage (gafe3o4-sk2) methods. the effectiveness of ga-fe3o4 was studied through optimization studies on ph, time, kinetics, and isotherm adsorption of aucl4 -. the adsorption method used was the batch method in the ph range 2-7. while the kinetics model used was the lagergren and ho kinetics model. the adsorption isotherm model used was the freundlich and langmuir isotherm model. the results showed that the optimum ph conditions for adsorption of aucl4on ga-fe3o4 occurred at ph 3. adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk1 and ga-fe3o4-sk2 both followed the ho kinetic model, while the adsorption isotherm followed the freundlich isotherm model with values kf were 0.041 and 0.034 mol/g respectively. keywords: gallic acid, adsorption, kinetic, isotherm, effectiveness introduction gallic acid is a phenolic compound with a small molecular weight, widely contained in plants as free gallic acid or as part of tannin compounds (zahrani et al., 2020). gallic acid has one carboxylic group (cooh) and three phenolic groups (-oh). gallic acid is widely developed in the pharmaceutical and chemical industries and is considered promising for developing new drugs. various studies have reported gallic acid's benefits as an antioxidant, anticancer, antibacterial, and antidiabetic compound (lone et al., 2017; sharma et al., 2011). in recent years, gallic acid has been developed as a material applied for the adsorption of aucl4 (rahmayanti et al., 2016a; rahmayanti et al., 2016b; santosa et al., 2020; fitriani, 2020). the active group that plays a role in the adsorption process is the phenolic group. the part of phenolic groups in adsorbing aucl4 has also been reported by rahmayanti et al., 2019 and rahmayanti et al., 2020). they used humic acid and ascorbic acid as aucl4 adsorbents. in this research, the effectiveness of gallic acid modified with magnetite was studied using the sonochemical method (ga-fe3o4-sk) as an aucl4 adsorbent. this research is a preliminary study for the study of gold recovery from electronic waste. the existence of more and more electronic waste and the rapid development of technology is a concern. it is necessary to find an effective method of managing electronic waste by safely recovering the precious metals in electronic waste. the adsorption method using gallic acid is an option. the presence of phenolic groups in gallic acid not only acts as an adsorbent but also as a reducing agent so that au (iii) can be reduced to au (0) (rahmayanti et al., 2016a; rahmayanti et al., 2016b; santosa et al. ., 2020; fitriani, 2020; rahmayanti et al., 2019; rahmayanti et al., 2020). gallic acid was modified using magnetite to facilitate the adsorption process and the separation between the adsorbent and the post-adsorption adsorbate. the adsorbent's magnetic properties will facilitate the separation process between the adsorbent and the filtrate, namely only by using an external magnetic field. likewise, the separation between the post adsorption adsorbent and au (0) metal was also carried out. the optimum ph conditions and reaction time were also studied in this study. the kinetics and adsorption isotherm studies of aucl4on ga-fe3o4sk were investigated using two kinetics and isotherm models. doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 194 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 methodology materials and instrumentals the research equipment consists of a set of glassware for synthesis and application, sonicator type leistungsfreq.generator 70va, hotplate, ph meter orion 920a, shaker (osk), magnetic stirrer, bp 110 sartorius analytical reading, desiccator, vacuum pump, and 4800 oven/furnace. thermolyn. the research materials' characterization used a fourier transform infrared (ftir) spectrophotometer, shimadzu-8201 pc, x-ray diffraction (xrd) with the shimadzuxrd-6000 model, and an optical photomicroscope type ephitot + nikon d60. analysis of the filtrate using atomic absorption spectrometer (aas). materials used in the research include iron(ii)sulfate heptahydrate (feso4.7h2o/merck), iron(iii)chloride hexahydrate (fecl3.6h2o/merck), sodium hydroxide (naoh/merck), hydrochloric acid (hcl/merck), and gallic acid (merck). haucl4 solution was prepared by the laboratory of analytical chemistry ugm and aquabides. methods magnetite modified gallic acid synthesis (gafe3o4-sk) the synthesis of magnetite modified gallic acid was carried out by sonochemical method in one and two stages of reaction. this method refers to the research of rahmayanti et al. (2015) without modification. one-stage sonochemical method solutions of fe3+, fe2+, and gallic acid (ga) were prepared separately by dissolving fecl3•6h2o, feso4•7h2o, and ga into aquabidest with a molar ratio of 2fe3+: 1fe2+: 2ga. the mixture of fe3+ and fe2+ was injected into naoh solution ph 13 under stirring at 60 °c under ultrasonic wave radiation with 200 khz. after the mixture of fe3+ and fe2+ has been injected, the ga solution is added rapidly. the mixture was continuously stirred at 60 °c for 1 hour. the resulting residue was separated from the solution using an external magnetic field, washed with distilled water several times, and then dried at 50 °c for 3 hours. the result of the synthesis is referred to as ga-fe3o4 sk-1. two-stage sonochemical method in the first stage, a mixture of fe3+ and fe2+ solutions are injected into a naoh solution ph 13 with stirring at 60 °c for 1 hour under ultrasonic wave radiation with a frequency of 200 khz. the product obtained was separated by external magnetic decantation, washed with distilled water, and dried at 50 °c for 3 hours to produce magnetite powder (fe3o4). the second stage was carried out by adding magnetite powder to the ga solution with a molar ratio of 1fe3o4: 2ga. the mixture was then stirred at 60 °c for 1 hour under ultrasonic wave radiation with a frequency of 200 khz. the separation, washing, and drying processes are carried out the same as ga-fe3o4sk-1. the result of the synthesis is referred to as gafe3o4-sk-2. effect of ph of solution on adsorption of aucl4on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 a total of 10 mg ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4sk-2 were added to each erlenmeyer, which already contains 10 ml of haucl4 25 ppm solution with ph variations 2-7. mix and shake for 1 hour at room temperature. the mixture is then decanted with the help of an external magnetic field. the filtrate was analyzed for the remaining content of aucl4 using aas. adsorption kinetics study the adsorption kinetics was studied by batch method. a total of 10 mg ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 were added to the haucl4 solution (10 ml, 25 ppm) at optimum ph. the mixture was shaken at 125 rpm for 5, 10, 15, 30, 60, 90, and 120 minutes. the precipitate and the filtrate are separated using an external magnet. the remaining aucl4 in each solution was determined using aas. the adsorption kinetics models of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 studied in this study were lagergren's pseudo-first-order kinetics model and ho's pseudosecond-order kinetics model. adsorption isotherm study the adsorption isotherm was studied by batch method. a total of 10 mg ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 were added to 10 ml of haucl4 solution with various concentrations of 25, 40, 55, 70, 85, and 100 ppm. the reaction was carried out at optimum ph and time with a stirring speed of 125 rpm. the precipitate and the filtrate were separated using an external magnet. the remaining aucl4 in each solution was determined using aas. the aucl4 adsorption isotherm model on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 studied in this study is the langmuir and freundlich isotherm model. doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 195 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 results and discussion effect of ph of solution on adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 the acidity effect (ph) of aucl4 on ga-fe3o4sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 adsorption process was studied by interacting with aucl4 25 ppm with ph variations 2-7 with ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4sk-2. the ph range 2-7 was selected, taking into account changes in the au species in solution, the adsorbent surface charge, and the pka value of ga. in this study, adsorption of aucl4 on ga-fe3o4sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 occurred quite well in the ph range 2-7 (figure 1). the adsorbed percentage of aucl4 is above 90%. the optimum ph is obtained at ph 3. the results of this study can be explained by 1) the ga pka value, which will affect the surface charge of the ga-fe3o4 adsorbent, and 2) changes in the au species in solution. figure 1. percent of [aucl4] which is absorbed in ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 in various ph ranges 2-7 ga has a pka1 price of 4.4 and a pka2 of 8.5. the -cooh ga group ionized at ph ≥ 4.4, while the -oh ga group ionized at ph ≥ 8.5. at ph <4.4, the surface charge of ga-fe3o4 is positive because the -cooh and -oh groups are protonated to produce -cooh2 + and -oh2 +. while at ph ≥ 4.4, the -cooh group begins to ionize to become -coo-. thus, if the interaction between ga-fe3o4 adsorbent and aucl4 through electrostatic interaction, the adsorption occurs very well at ph <4.4. these are relevant results of this study. while above ph 4.4 percent, the adsorption of aucl4 various phs of aqueous solutions also affect [aucl4] adsorption process on ga-fe3o4. aucl4 species namely [aucl3(oh)] -, [aucl2(oh)2] -, [aucl(oh)3] increases in solution (wojnicki et al., 2012; paclawski et al., 2004). as a result, there is competition between species [aucl4] with species [aucl3(oh)] -, [aucl2(oh)2] -, [aucl(oh)3] to interact with gafe3o4. thus, the adsorption of aucl4 on ga-fe3o4 decreased above ph 4. based on this study results, the percent reduction pattern of [aucl4] which was absorbed in ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 was the same. there was also no significant difference from the amount of percent aucl4 that was absorbed in gafe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2. the interaction between ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 with aucl4 is also possible through a redox reaction as reported by santosa et al. (2011), fan et al. (2014), yi et al. (2016), rahmayanti et al. (2016), rahmayanti et al. (2019). the explanation regarding the –oh mag-ga group's role in reducing au(iii) to au(0) can be proven after characterization of the gafe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 adsorbents postadsorption. characterization of ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 post-adsorption ftir spectra of ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4sk-2 before and after adsorption are presented in figure 2. based on figure 2, the absorption intensity in the 1600 cm-1 area has increased. it might be caused by an oxidation-reduction reaction. the phenolic groups have been oxidized to quinones, and au(iii) has been reduced to au(0). this statement is reinforced by the xrd diffractogram, which is presented in figure 3. figure 2. ftir spectra a) ga-fe3o4-sk-1 and b) ga-fe3o4-sk-2 before adsorption, c) ga-fe3o4-sk1 and d) ga-fe3o4-sk-2 post-adsorption the xrd diffractogram shows characteristic peaks for gold metal even though it is low intensity, was still not protonated. the distribution of au(iii) complex ions in decreased not significantly because the -oh group decrease with increasing ph due to the exchange of -cl with -oh that results in [aucl4-n(oh)n]species doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 196 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 namely at 2θ = 37.97; 44.16 and 64.44°. that is, the adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 is also accompanied by the reduction of au(iii) to au(0). figure 3. xrd diffractogram a) ga-fe3o4-sk-1 and b) ga-fe3o4-sk-2 before adsorption, c) ga-fe3o4sk-1 and d) ga-fe3o4-sk-2 post-adsorption the illustration of the reaction mechanism between aucl4-and ga-fe3o4 is presented in figure 4. figure 4 shows that the adsorption of aucl4 -on gafe3o4 occurs in 2 stages. the first stage is electrostatic interactions followed by the second stage, namely the oxidation of -oh phenolics to quinones and reduction of au(iii) to au(0). figure 4. illustration of the reaction mechanism between aucl4 and ga-fe3o4 determination of aucl4 adsorption equilibrium reaction time on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4sk-2 adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 at various reaction times is presented in figure 5. it shows that the adsorption equilibrium was reached in the 60th minute for both ga-fe3o4-sk1 and ga-fe3o4-sk-2. after equilibrium is obtained, there is no significant increase or decrease in the adsorption process because the surface of either gafe3o4-sk-1 or ga-fe3o4-sk-2 has been saturated or filled with aucl4 -. the longer addition time does not show a change in the amount of aucl4 which adsorbed significantly. figure 5. adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 at various reaction times (ph= 3, the concentration of au(iii) = 25 ppm) adsorption kinetics study the parameter used to study the adsorption kinetics is the adsorption rate constant (k). the determination of the adsorption rate constants of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 was investigated using the kinetics model of lagergren (ho, 2004; ho and mckay, 1999). a linear graph t against ln (qe-qt) was created to study the lagergren kinetics model. from this graph, you will find the values for k (-slope) and qe (calculated, which is the amount of aucl4 absorbed at equilibrium). the pseudo-first-order kinetics graph of the lagergren model is presented in figure 6. the pseudo-order kinetics assumes the presence of the adsorption mass action rate, which involves diffusion on the surface layer of the adsorbent as the primary determinant of the adsorption rate. this kinetics model is also limited to adsorption with an initial concentration of adsorbate solution that is more than the availability of the active site on the adsorbent (santosa et al., 2014). based on figure 6, the r2 value of aucl4 adsorption on ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk -2 is below 0.9. it means that the adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 did not follow lagergren's pseudo-first-order kinetics model. the pseudo-second-order adsorption kinetics model proposed by ho was studied by making a graph between (t/qt) vs. t, so that the value of qe (calculated, which is the amount of aucl4 absorbed at equilibrium doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 197 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 from the formula slope = 1/qe) is obtained. (adsorption rate constant) is obtained from 1/(kqe 2). the initial adsorption rate (h) is determined from the equation h = kqe 2. figure 6. lagergren kinetics model (box = sk1, round = sk2) figure 7 obtained the correlation coefficient (r2) of aucl4 adsorption on ga-fe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2> 0.99. it means that aucl4 on ga-fe3o4sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 follow ho's pseudo-secondorder kinetics model. ho's pseudo-second-order kinetics model assumes that the adsorption capacity is proportional to the adsorbent's number of active sites. it means that the adsorption capacity of aucl4 on gafe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 is proportional to the number of active sites adsorbent ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 (ho, 1999). figure 7. ho kinetic model (box = sk1, round = sk2) table 1 shows the adsorption rate constants (k) and the initial adsorption rate (h) aucl4 on ga-fe3o4sk-1 higher than the adsorption rate constants aucl4 on ga-fe3o4-sk-2. however, the amount of aucl4 absorbed at equilibrium (qe) in ga-fe3o4-sk-1 is lower than the amount of aucl4 absorbed at equilibrium (qe) ga-fe3o4-sk-2, but it is not so different. it can be explained as follows: ga-fe3o4sk-1 was synthesized through a one-step method; this synthesis occurs in an alkaline environment, where the ga-phenolate group has been ionized to produce -o so that it does not play a role in the interaction of ga with fe3o4 (rahmayanti et al., 2015). table 1. parameters of the ho adsorption kinetics model adsorben t ho’s pseudo-second-order model r2 qe (mg.g-1) h (mg.g-1. min-1) k (g.mg-1. min-1) ga-sk1 0.999 27.027 12.500 0.01711 ga-sk2 0.993 27.778 4.202 0.00545 the abundance of the phenolic groups on gafe3o4 increases so that the chance for ga-fe3o4 to interact with aucl4 is getting bigger. as a result, adsorption occurs faster in the initial minutes of adsorption. this result is indicated by the higher k and h values for the adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk1. meanwhile, ga-fe3o4-sk-2 synthesized under acidic conditions. in this condition, the ga-phenolic group can play a role in interacting with fe3o4 so that its abundance is reduced. adsorption isotherm study adsorption isotherm studies were carried out to study the relationship between aucl4 to the weight of ga-fe3o4 at equilibrium conditions and constant temperature. with the adsorption isotherm, it will be known the ability of gafe3o4 to adsorb aucl4 through the value of the adsorption capacity, the adsorption equilibrium constant, and the amount of adsorption free energy of aucl4 -. the adsorption isotherm model used in this study is the freundlich and langmuir isotherm model. the freundlich isotherm equation is used to describe the non-ideal adsorption process on heterogeneous surfaces. heterogeneity can be caused by differences in functional groups on the adsorbent surface. the freundlich isotherm model for adsorption of aucl4 on ga-fe3o4 was determined by graphing log qe (the amount of adsorbate adsorbed at equilibrium versus log ce (concentration of free ions in solution at equilibrium) (rahayu et al., 2020; latupeirissa et al., 2018) as presented in figure 8. meanwhile, the langmuir adsorption isotherm model was determined by making a ce/qe versus ce graph (sekewael et al., 2013), as shown in figure 9. figures 8 and 9 show that the correlation coefficient (r2) of the freundlich isotherm model is higher than for the langmuir isotherm model of both adsorptions of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 198 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 fe3o4-sk-2. this result means that the adsorption of aucl4 on gafe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 follows the freundlich isotherm model. figure 8. freundlich isotherm model figure 9. langmuir isotherm model table 2. comparison of freundlich aucl4 adoption isotherm model parameters on ga-fe3o4 adsorbate freundlich parameter kf (mole/g) n r2 ga-fe3o4 (sonochemistry , one stage, this research) 0.041 20.83 0.9909 ga-fe3o4 (sonochemistry , two stage, this research) 0.034 1.62 0.9753 ga-fe3o4 (conventional, one stage) rahmayanti et al., 2016 0.019 2.33 0.968 thus, it can be said that the adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 is unlimited with the ceyang concentration increasing. besides, it is suspected that there are different types of active groups, ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2, which play a role in the adsorption process of the active groups -cooh and -oh. table 3. comparison of langmuir aucl4 adsorption isotherm model parameters on ga-fe3o4 adsorbate langmuir parameter qmax (mole/g) kl (l/mole) r2 ga-fe3o4 (sonochemistry, one stage, this research) 0.000686 14430 0.8295 ga-fe3o4 (sonochemistry, two stage, this research) 0.000546 12610 0.7524 ga-fe3o4 (conventional, one stage) rahmayanti et al., 2016 0.000600 17851 0.944 compared with previous studies, namely the adsorption of aucl4 on ga-fe3o4 synthesized conventionally/without ultrasonic waves (rahmayanti et al., 2016), the adsorption isotherm similarly follows the freundlich isotherm model. however, the kf value generated in this study on gafe3o4-sk-1 and gafe3o4-sk-2 was higher than the kf value of adsorption aucl4 on conventional synthesized ga fe3o4 (tables 2 and 3). this result means that the sonochemically synthesized ga-fe3o4 has a better adsorption ability for aucl4 than ga-fe3o4 synthesized conventionally. conclusion the effectiveness of magnetite-modified gallic acid (ga-fe3o4) was synthesized by the sonochemical method (one and two steps) as aucl4 the adsorbentreducing agent has been successfully studied through optimization studies of ph, time, kinetics, and adsorption isotherm. the acidity (ph) of the solution affects the ability of ga-fe3o4 to adsorb aucl4 -. the higher the ph, the lower the adsorption ability. the reaction time needed to achieve equilibrium in the aucl4 adsorption process on gafe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 is 60 minutes. adsorption of aucl4 on ga-fe3o4-sk-1 and ga-fe3o4-sk-2 followed the pseudo-second-order kinetics model and freundlich doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 199 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 isotherm model. based on the characterization using ftir and xrd, the predicted interactions that occur between aucl4 and gafe3o4 are not only through the adsorption process but also followed by the reduction of au(iii) to au(0). acknowledgment the authors would like to thank the chemical laboratory of uin sunan kalijaga, ugm analytical chemistry laboratory, and lppt ugm for the cooperation, services, and facilities. references fan, r., xie, f., guan, x., zhang, q., dan luo z., 2014. selective adsorption and recovery of au(iii) from three kinds of acidic systems by persimmon residual based bio-sorbent: a method for gold recycling from e-wastes, bioresource technol., 163, 167-171. fitriani, d., 2020. synthesis and characterization of gallic acid-immobilized mg/al hydrotalcite and its application as adsorption-reduction of aucl4 . thesis, universitas gadjah mada, yogyakarta. ho,y.s., 2004. citation review of lagergren kinetic rate equation on adsorption reactions, journal scientometrics, 59,171-177. ho, y.s., and mckay, g., 1999. pseudo-second order model for sorption processes, procedia biochemistry, 34(5), 451-465. latupeirissa, j., tanasale, m.f.j.d.p., and musa s.h., 2018. kinetika adsorpsi zat warna metilen biru oleh karbon aktif dari kulit kemiri (aleurites moluccana (l) willd), indo. j. chem. res., 6(1), 12-21. lone, s.h., rehman, s.u., and bhat, k.a., 2017. synthesis of gallic-acid-1-phenyl-1h-[1, 2, 3] triazol-4-yl-methyl esters as effective antioxidants, drug res., 11, 111-118. paclawski, j., dan fitzner, k., 2004. kinetics of gold(iii) chloride complex reduction using sulfur(iv), metall. mater. trans. b, 35b, 1071– 1085. rahayu, tanasale, m.f.j.d.p., and bandjar, a., 2020. isoterm adsorpsi ion cr(iii) oleh kitosan hasil isolasi limbah kepiting. rajungan dan kitosan komersil. indo. j. chem. res., 8(1), 28-34. rahmayanti, m., santosa, s. j., and sutarno, 2015. sonochemical co-precipitation synthesis of gallic acid-modified magnetite, adv. mat. res., 1101, 286-289. rahmayanti, m., santosa, s. j., and sutarno, 2016. comparative study on the adsorption of [aucl] onto salicylic acid and gallic acid modified magnetite particles, indones. j. chem., 16(3), 329-337. rahmayanti, m., santosa, s.j., and sutarno, 2016. mechanisms of gold recovery from aqueous solutions using gallic acid-modified magnetite particles synthesized via reverse coprecipitation method, int. j. chemtech res. 9(4), 446-452. rahmayanti, m., abdillah, g., santosa, s. j., and sutarno, 2019. application of humic acid isolated from kalimatan peat soil modifying magnetite for recovery of gold, jurnal bahan alam terbarukan, 8 (2):77-83. rahmayanti, m., 2020. recovery emas dalam sistem au tunggal dan sistem multilogam (au/cu) menggunakan adsorben asam askorbat termodifikasi magnetit, alchemy jurnal penelitian kimia, 16(2), 179-189. santosa, s.j., fitriani d., aprilita, n.h., dan rusdiarso, b., 2020. gallic and salicylic acid-functionalized mg/al hydrotalcite as highly effective materials for reductive adsorption of aucl4 -, appl. surf. sci., 507, 145115. santosa, s.j., sudiono, s., siswanta, d., kunarti, e.s. dan dewi, s.r., 2011. mechanism of aucl4 removal from aqueous solution by means of peat soil humin, ads. sci.technol. 29(8), 733746. santosa, s, j., 2014. sorption kinetics of cd (ii) species on humic acid-based sorbent, clean journal soil air water, 42(6), 760-766. sharma, a., gautam, s.p., and gupta, a.k., 2011. surface modified dendrimers: synthesis and characterization for cancer targeted drug delivery, bioorganic med. chem., 19. sekewael, s.j., tehubijuluw, h., and reawaruw, d.r., 2013. kajian kinetika dan isoterm adsorpsi logam pb pada lempung asal desa ouw teraktivasi garam ammonium nitrat, ind.. j. chem. res., 1, 38-46. wojnick, m., rudnik, e., luty-błocho, m., pacławski, k., and fitzner, k., 2012. kinetic studies of gold(iii) chloride complex reduction and solid phase precipitation in acidic aqueous system using dimethylamine borane as reducing agent, hydrometallurgy, 127–128, 43– 53. doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 200 maya rahmayanti, et al. indo. j. chem. res., 8(2), 194-201, 2021 yi, q., fan, r., xie, f., min, h., zhang, q., and luo, z., 2016. selective recovery of au(iii) and pd(ii) from waste pcbs using ethylenediamine modified persimmon tannin adsorbent, proc. environ. sci., 31, 185-194. zahrani, a.a., el-shishtawy, r.m., and asiri, a.m., 2020. recent developments of gallic acid derivatives and their hybrids in medicinal chemistry: a review, eur. j. med. chem., 204, 112609. doi: 10.30598//ijcr.2021.8-may 201 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 94-98, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-ser 94 determination of surface acidity on the natural and synthetic montmorillonite clays by titration method serly jolanda sekewael* department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university ambon, indonesia. *corresponding author: sjsekewael@yahoo.com received: may 2021 received in revised: june 2021 accepted: august 2021 available online: september 2021 abstract determination of surface acidity on the natural and synthetic montmorillonite clays has been carried out using the acid-base titration method to count the number of bound acid sites per gram of clay. the total acidity of natural and synthetic montmorillonite surfaces obtained was 4.67 and 5.33 mmol/g, respectively. ftir analysis results indicate the presence of functional groups from the tetrahedral and octahedral constituents. both samples have similar absorption patterns. a decrease followed the similarity of absorption patterns in intensity and shift in some absorption bands and the appearance of new absorption bands. keywords: acidity, natural montmorillonite, synthetic montmorillonite, clays, acidbase titration introduction the solid acid derived from clays are widely used to catalyze various reaction. in order to comprehend the mechanism of their catalytic action and predict their activity and selectivity, information on the nature, amount and strenght of the acid sites exposed on their surfaces is needed. one of the potentials of natural clay in maluku is in ouw village (sekewael, tehubijuluw, & reawaruw, 2013). bijang, tanasale, kelrey, mansur, & azis, (2021) reported that the clay from ouw village contains montmorillonite-type minerals. apart from natural clay, it is also known as synthetic clay, which is clay produced by a particular industry for a specific purpose, for example, for drilling or as a catalyst (bijang, tanasale, kelrey, mansur, & azis, 2021). one example of synthetic montmorillonite is montmorillonite k10, or acid activated montmorillonite. natural and synthetic montmorillonite have brønsted and lewis acid sites, respectively. the lewis acid site comes from the incomplete coordination of the al3+ and fe3+ cations in the crystal defect type. these cations can be modified through the exchange of na+, ca+, or other cations. bronsted acid sites are in the si-oh-si, al-oh-al, sioh-al groups, and water molecules coordinated with mn+ (sekewael, wijaya, triyono & budiman, 2017). the acidity of the montmorillonite clay is one of the material's chemicals properties, which plays an essential role in the catalysis of a reaction. several researchers have reported the effect of acidity on the montmorillonite type clays' catalytic activity (sekewael, wijaya, triono & budiman, 2017). this research was determined the number of bonded acid sites per gram of natural and synthetic montmorillonite clays used the acid-base titration method and the amount of base bound to the brønsted or lowry acid site was determined qualitatively, using ftir instrument. previous researchers have never done this research. the acid sites of the clay had reacted with excess base (naoh), and the excess has titrated with acid (hcl) (widihati & ratnayani, 2010). suarya (2012) reported that the surface acidity of the clay is 0.4665 mmol/g. several bases will neutralize the acid groups on the clay surface (suarya, 2012). methodology materials and instruments the materials were used: ouw natural clay, montmorillonite k10, hcl, naoh, phenolphthalein (pp), universal ph paper, whatman filter paper no. 42, aquades, aquabides. the instrument were used: a set of glassware, analytical balance, sieve, oven, desiccator, hotplate stirrer, ph meter, mortar, burette, clamp, stative, volumetric flask, volume pipette, drop pipette, and ftir spectrophotometer. methods sample preparation amount 350 g of natural clay samples were taken and then washed three times and filtered with distilled serly jolanda sekewael indo. j. chem. res., 9(2), 94-98, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-ser 95 water. the pure clays are dried in an oven at 120 °c. the clay is crushed until smooth, then sieved with a 100-mesh sieve, then stored in a desiccator. the prepared natural clay and the k10 montmorillonite samples were heated for 1 hour at 90 °c each and then used to determine surface acidity. surface acidity determination using the acid-base titration method amount 0.50 g of natural clay and montmorillonite k10 samples were added to three of 100 ml erlenmeyer, then 25.0 ml of 1 m naoh solution was added to each erlenmeyer. the mixture was left at room temperature for 2 hours and stirred with a magnetic stirrer. the reaction product is then centrifuged and filtered using filter paper. each filtrate is added 2-3 drops of phenolphthalein (pp) indicator, which is indicated by the appearance of pink color. the filtrate was titrated with 1 m hcl solution until the color changed, changing to the initial filtrate color. the same treatment was carried out for a blank containing only 25.0 ml of 1 m naoh solution. the volume of the hcl solution used was measured titrimetrically. the filtered clay silt was then washed with aquabides twice, then dried at room temperature. the dried precipitate was then analyzed using an ftir spectrophotometer. results and discussion the results of the sample preparation stage are shown in figure 1. physically, it can be observed that the color changes are quite different. natural montmorillonite has a brownish-gray color, while synthetic montmorillonite has a whitish-gray color because it has undergone an acid bleaching process. figure 1. natural montmorillonite clay (ma) and synthetic montmorillonite clay (mk) both montmorillonite samples physically feel soft and smooth when held due to the small particle size of montmorillonite ± 1 nm. information about the functional groups contained in the ma and mk samples is shown by infrared spectra in the region of the wavenumber 4000-400 cm-1, which is divided into two groups of frequency regions, namely: the area between 4000-3000 cm-1, which is the stretching vibration area of water that is adsorbed or ohoctahedral groups and the area between 1400-800 cm-1 caused by bending vibrations from al-oh or si-o is called the fingerprint region. figure 2. ftir spektra before titration: natural montmorillonite (ma), synthetic montmorillonite (mk) the important peaks for the identification of ma and mk are shown in figure 2. the absorption peaks at wavenumbers 3695 cm-1; 3431 cm-1; 1631 cm-1; 1031 cm-1; 794 cm-1; 532 cm-1; and 468 cm-1 are similar to those reported in the literature (sekewael, wijaya, & triyono, 2018). the absorption band at wave number 3695 cm-1 was identified as the octahedral structural stretch-oh band (al-oh). this peak was not appeared for mk due to the acid effect of synthetic montmorillonite. the sharp peak at 3622 cm-1 belongs to ma indicate isomorphic substitution of octahedral al3+ bye fe2+ or mg2+ cations in the montmorillonite structure (hayati-ashtiani, 2012). the bending vibrations of the hydroxyl group at 912 cm-1 (al-al-oh) also proved this partially isomorphic substitution of al3+ in the octahedral layer, similar to what was reported by (hayati-ashtiani, 2012). broadband with medium acid intensity at 3431 cm-1 and 3450 cm-1, belonging to ma and mk, was identified as stretching vibration-oh water molecules. an absorption band strengthened this band at the wavenumber 1631 cm-1, the bending vibration band of water molecules. the presence of these bands is an serly jolanda sekewael indo. j. chem. res., 9(2), 94-98, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-ser 96 indication that montmorillonite has water-absorbing properties. the absorption band at 1031 cm-1 is the typical stretching vibration of si-o in the tetrahedral layer, while the bending vibration of si-o-si appears at 468 cm-1. the bending vibration characteristic of the al(iv) tetrahedral appeared at 794 cm-1 and was strengthened by an absorption band at 532 cm-1 which corresponded to the bending vibration of al-si-o. the sharp absorption at wave number 692 cm-1 shown by natural montmorillonite is an asymmetric osi-o range (molu & yurdakoç, 2010). yuan et al. (2008) explained that this absorption is the absorption of al-o and si-o pairs outside the plane. meanwhile, according to tyagi, chudasama, & jasra, (2006), the absorption at 692 cm-1 is the functional group absorption belonging to the quartz component. this uptake does not appear in synthetic montmorillonite. synthetic montmorillonite is acid-activated montmorillonite, where the al metal in the octahedral structure undergoes a dealumination. the above evidence is strengthened by the absence of absorption at wavenumbers 3622 cm-1 and 912 cm-1, which according to tyagi, chudasama, & jasra, (2006) is a hydroxyl group absorption that binds to al3+ cations. this absorption occurs in natural montmorillonite, where the al3+ cation is still attached to the hydroxyl group in the octahedral position. furthermore, to analyze the acidity of montmorillonite clay, titration is carried out with the base naoh. shifts or the emergence of new absorption can be studied from the ftir analysis result, as shown in figure 3. in general, there is no significant change from natural montmorillonite absorption, as shown in figure 2. the absorption in the central vibration region and the fingerprint area is still observed. the interaction between the naoh base and the brønsted montmorillonite acid group was evidenced by weak absorption at the 1382 cm-1 region, marked as the brønsted acid site (figure 3). the conclusion obtained from the ftir analysis result is that, overall, infrared spectroscopic data show functional groups from tetrahedral and octahedral sheets that compose natural montmorillonite and synthetic montmorillonite minerals. the samples, both ma and mk as well as ma-t and mk-t, have similar absorption patterns. the similarity of absorption patterns is followed by a decrease in intensity and a shift in several absorption bands and new absorption bands. determination of the total surface acidity was carried out by acid-base titration. the acidic site of montmorillonite will react with the base naoh. the remaining -oh, which does not react with the acid site, will be titrated with hcl acid. the end-point of the titration was detected using the phenolphthalein indicator. figure 3. ftir spektra after titration: natural montmorillonite (ma-t), synthetic montmorillonite (mk-t) figure 4. the reaction of pp indicator with naoh after the sample absorbs the naoh base, the montmorillonite acid site is calculated based on the acid-base titration result. the acid-base titration of the test sample solution using sodium hydroxide solution with pp indicator shows a pink color change in the test sample solution (figure 4), which indicates that the test sample is acidic. the calculation of the total acidity solid is presented in table 1. the acid strength of a solid surface (the surface acidity) is defined as its proton-donating ability. the total surface acidity value of natural clay from ouw village is 10 times higher than the clay reported by suarya (2012). it seems, therefore, that the hydration water of the exchangeable cations is acidic, donating protons according to the scheme (equation 1). mn(h2o) → (m − oh) n−1 + h+ (1) serly jolanda sekewael indo. j. chem. res., 9(2), 94-98, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-ser 97 the calculation results in table 1 show that the total acidity of synthetic montmorillonite is higher than natural montmorillonite. synthetic montmorillonite k10 itself is called montmorillonite acid because it has been through an activation with acid. these results are not much different, as reported by (sekewael, wijaya, triyono, & budiman, 2016). the acidity of montmorillonite k10 of 4.83 mmol/g was measured using the gravimetric method (sekewael, wijaya, triyono, & budiman, 2016). montmorillonite k10 was used as a good acid catalyst for lauric acid esterification (sekewael, wijaya, & triyono, 2020). table 1. total surface acidity value (ka) sample ka (mmol/g) simplo duplo triplo average ma 4.00 6.00 4.00 4.67 mk 6.00 4.00 6.00 5.33 the total acidity value (ka) is calculated based on equation 1. ka = (v1−v2) m hcl sample weight (1) (note v1 = volume of titrant for blank titration; v2 = volume of titrant for titration of residual naoh; m hcl = molarity of hcl). additional information about the surface acidity of solids was obtained from the sample's ir spectra after absorbing the naoh base, as described in figure 3. the presence of two types of acid sites, namely brønsted and lewis, can be determined. if the solid absorbs the ammonia base, there will be a transfer of protons from the brønsted acid site to the base to form nh4 +, while nh3 undergoes chemisorption and forms a coordination bond between the lewis base (nh3) and the surface of the lewis acid site (sekewael, wijaya, & triyono, 2020). conclusion the acid-base titration method can be used to determine the total surface acidity of natural and synthetic montmorillonite. the total surface acidity of natural and synthetic montmorillonite was 4.67 and 5.33 mmol/g, respectively. acknowledgment it is my pleasure to acknowledge chaterina manukpadang bijang for scientific review and dewi sri and getrida niku for all laboratory assistants. references bijang, c. m., tanasale, m. f. j. d. p., kelrey, a. g., mansur, i. u., & azis, t. (2021). preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indonesian journal of chemical . research, 9(1), 15–20. https://doi.org/10.30598 //ijcr.2021.9-bij hayati-ashtiani, m. (2012). use of ftir spectroscopy in the characterization of natural and treated nanostructured bentonites (montmorillonites). particulate science and technology, 30(6), 553– 564. https://doi.org/10.1080/02726351.2011.61 5895 molu, z. b., & yurdakoç, k. (2010). preparation and characterization of aluminum pillared k10 and ksf for adsorption of trimethoprim. microporous and mesoporous materials, 127(1– 2), 50–60. https://doi.org/10.1016/j.micromeso. 2009.06.027 sekewael, s. j., tehubijuluw, h., & reawaruw, d. r. (2013). kajian kinetika dan isoterm adsorpsi logam pb pada lempung asal desa ouw teraktivasi garam ammonium nitrat. indonesian journal of chemical research, 1, 38–46. sekewael, s. j., wijaya, k., triyono & budiman, a. (2017). nanocomposite of modified montmorilonite k10 with sio2-fe2o3 as a catalyst of biodiesel synthesis. journal of chemtech. research, 10(1), 62-70. sekewael, s. j., wijaya, k., & triyono. (2018). pengaruh pemanasan terhadap kristalinitas dan parameter kisi nanokomposit silika-zirkonia montmorillonit k10 dan silika-besi oksida montmorillonit k10. indonesian journal of chemical research, 6(1), 38–43. sekewael, s. j., wijaya, k., & triyono. (2020). chemical modification of montmorillonite k10 and its catalytic activity. asian journal of chemistry, 32(3), 659–664. https://doi.org/ 10.14233/ajchem.2020.22216 sekewael, s. j., wijaya, k., triyono, & budiman, a. (2016). microwave assisted preparation and physico-chemical properties of mixed oxides silica-zirconia montmorillonite k10 nanocomposite. asian journal of chemistry, serly jolanda sekewael indo. j. chem. res., 9(2), 94-98, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 2021.9-ser 98 28(10), 2325–2330. https://doi.org/ 10.14233/ ajchem.2016.19982 suarya, p. (2012). karakterisasi adsorben komposit aluminium oksida pada lempung teraktivasi asam. jurnal kimia, 6(1), 93–100. tyagi, b., chudasama, c. d., & jasra, r. v. (2006). determination of structural modification in acid activated montmorillonite clay by ft-ir spectroscopy. spectrochimica acta part a: molecular and biomolecular spectroscopy, 64(2), 273–278. https://doi.org/10.1016/j.saa.2005.07. 018 widihati, i. a. g., & ratnayani, o. (2010). karaterisasi keasaman dan luas permukaan tempurung kelapa hijau (cocos nucifera) dan pemanfaatannya sebagai biosorben ion cd2+. jurnal kimia, 4(1), 7–14. yuan, p., annabi-bergaya, f., tao, q., fan, m., liu, z., zhu, j., … chen, t. (2008). a combined study by xrd, ftir, tg and hrtem on the structure of delaminated fe-intercalated/pillared clay. journal of colloid and interface science, 324(1–2), 142–149. https://doi.org/10.1016/ j.jcis.2008. 04.076 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 144-149, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 144 the ouw natural clay impregnation using titanium dioxide and its application as a rhodamine b dye stuff degrader catherina m. bijang1, m. nurdin2, jolantje latupeirissa1, thamrin aziz2, firda talapessy1 1department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university. 2department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, haluoleo university *corresponding author: rienabijang@yahoo.com received: september 2021 received in revised: september 2021 accepted: november 2021 available online: december 2021 abstract this study aims to determine the effect of calcination temperature on titanium dioxide impregnated ouw natural clay (lao) on the degradation of rhodamine b dye. the calcination temperature used was 200, 300, and 400 °c. their radiation was carried out with 3x8 watt uv lamps and sunlight. the degradation percentage of rhodamine b dye produced by lao-tio2 calcined at a temperature of 200, 300, and 400 °c with sunlight were 98.80%, 98.87%, and 96.07%, respectively. the degradation percentage of rhodamine b dye produced by lao-tio2 calcined at temperatures of 200, 300, and 400 °c with the help of uv light were 96.01%, 97.41 %, and 97.18%, respectively. keywords: photodegradation, impregnation, ouw natural clay, rhodamine b, titanium dioxide, calcination temperature introduction ouw natural clay (lao) is a natural mineral from the silicate group with availability that is quite abundant in indonesia, generally used in the ceramic industry, but can also be used as a catalyst, catalyst support, ion exchanger, and adsorbent. the distribution of clay in maluku is on ambon island and saparua island (in ouw village to be precise). based on previous research known that the main component of ouw natural clay (lao) is montmorillonite, a type of clay that is often used in various industrial fields, due to its superior properties (catherina m. bijang et al., 2019; catherina m. bijang, sekewael, & koritelu, 2014; catherina m. bijang, tanasale, kelrey, mansur, & azis, 2021). natural clay generally shows slow performance when used directly, so it is necessary to modify the clay structure (c. bijang, wahab, maming, ahmad, & taba, 2015). by modifying its structure, clay can be used as a metal-supported catalyst. the method that can be used to improve the performance of clay as catalyst support is through the impregnation process on the clay structure using active metals (suhernadi, wardhani, & purwonugroho, 2014). the active metal used has a dual role, namely as an impregnator and as a catalyst. in the impregnation method, the calcination process is an important step to activate the dispersed catalyst on the surface of the supporting material (a’yuni & murwani, 2012). thermal effects during calcination also affect the structure of the clay (catherina m. bijang et al., 2015; fatimah, 2009), can increase the acid site (laili, nurhayati, & muhdarina, 2014), and the specific surface area caused by the loss of absorbed and hydrated water molecules. however, calcination at higher temperatures can change the physical and chemical properties of natural clay, so it is necessary to vary the calcination temperature to determine the thermal stability of the clay (teddy, bijang, nurdin, & kapelle, 2018). titanium dioxide is a material known as a catalyst material based on its semiconductor properties (maulidiyah et al., 2017; nurdin et al., 2018; okoye et al., 2011). as a photocatalyst, tio2 is considered the most suitable material for a wide range of environmental applications, due to its chemical and biological inert nature, non-toxicity, stability to corrosion, and relatively cheap price. so far, tio2 has been used in water management in the form of a suspension. but it has the disadvantage which is the separation of tio2 particles takes a long time and is very expensive. the method that can be used to overcome the weakness of the tio2 suspension system is by dispersing tio2 on a stable and inert support material, such as clay (baizig, khalfallah, & jamoussi, 2015; djellabi et al., 2014; safni, deliza, & rahmayeni, 2014). rhodamine b is a toxic dye, when it enters to the human body it can cause various diseases such as kidney failure, cancer, and liver diseases. the presence catherina m. bijang et al. indo. j. chem. res., 9(3), 144-149, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 145 of rhodamin b in the liquid waste originating from the waste of the industrial process needs to be handled properly so that it does not enter the water bodies that are used by the community. without proper waste treatment, it will have the potential to become a cause of water pollution which reduces the quality of water consumed by living things. waste management methods that are often used are adsorption, biodegradation, and chemical methods such as chlorination and ozonation. these methods are quite effective in dealing with waste but these methods require very large operational costs. among the existing methods, photodegradation is an alternative method that is cheaper and easier to implement (catherina m. bijang et al., 2019; kurian & kavitha, 2016). in this study, the calcination temperature of the tio2 impregnation process on ouw natural clay (lao) will be carried out which will then be used as a rhodamine b dye degradation. a study of the light source is carried out by applying uv rays and sunlight. methodology materials and instrumentals the tools used include a set of glassware (pyrex), electric heater (cimarec), analytical balance (ohaus), mortar and pestle, oven (memmert), electric furnace (barnstead thermolyne 47900 furnace), 100 mesh sieve, spectrophotometer uv-vis (shimadzu uv-1201), scanning electron microscopy (vega3 tescan sem-eds) and photocatalytic reactor. the materials used include: ouw natural clay (lao), distilled water, nacl (merck), agno3 p.a (merck), h2so4 (merck), bacl2 (merck), tio2 (technician), whatman filter paper no. 42, ethanol absolute (merck), rhodamin b (merck), and h2o2. methods sample preparation. the extracted lao was washed with distilled water several times, then filtered to obtain an lao which completely free from impurities such as sand, gravel, and plant roots. after washing, lao was dried for 2 hours in an oven at 120 °c. saturation process a total of 50 g of lao was dispersed into 500 ml of 3 m nacl solution while being stirred for 24 hours. lao was then filtered and the residue obtained was washed with distilled water several times until the filtrate did not produce a white precipitate with agno3. activation process as much as 25 grams of lao which has been saturated, is dispersed into 100 ml of 2m h2so4 while being stirred. the activation process was carried out for 24 hours, then filtered and the residue obtained was washed with hot distilled water until the filtrate did not produce a precipitate with bacl2. lao dried in an oven at a temperature of 100 110 °c. tio impregnation. as much as 25 g of activated lao, 3.33 g of tio2, and 25 ml of absolute ethanol were added while being stirred for 4 hours. the suspension was then dried in an oven at 110 oc for 2 hours. after that, it was ground and sieved using a 100-mesh sieve. furthermore, calcination was carried out at various temperatures of 200, 300, and 400 oc for 5 hours. characterization of the impregnated lao structure was carried out using sem. preparation of the rhodamine b dye calibration curve a total of 0.1 g of rhodamine b dye was dissolved with distilled water. then transferred to a 100 ml volumetric flask and diluted with distilled water until it reaches the mark. furthermore, from a standard solution of 1000 ppm then diluted to 100 ppm with the volume of 100 ml and from 100 ppm then diluted to 25 ppm with the volume of 100 ml, and from 25 ppm it was then diluted to 5 ppm as with the volume of 100 ml and diluted again to 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; and 1 ppm. after that, the absorbance was measured at max=554 nm using a uv-vis spectrophotometer and a standard curve was made. a total of 0.1 g of rhodamine b dye was dissolved with distilled water. then transferred to a 100 ml volumetric flask and diluted with distilled water until it reaches the mark. furthermore, from a standard solution of 1000 ppm then diluted to 100 ppm with the volume of 100 ml and from 100 ppm then diluted to 25 ppm with the volume of 100 ml, and from 25 ppm it was then diluted to 5 ppm as with the volume of 100 ml and diluted again to 0.2; 0.4; 0.6; 0.8; and 1 ppm. after that, the absorbance was measured at max=554 nm using a uv-vis spectrophotometer and a standard curve was made. rhodamine b dye degradation a total of 25 ml of rhodamine b dye solution with a concentration of 10 mg/l was put into 9 erlenmeyer and then added with 0.1 ml of h2o2. catherina m. bijang et al. indo. j. chem. res., 9(3), 144-149, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 146 3 5 0 2 3 0 4 0 tio2 200 0 c 300 0 c 400 0 c amount 50 mg of tio2 was added to the first erlenmeyer, 50 mg of prepared lao was added to the second erlenmeyer, 50 mg of lao-tio2 added to the third erlenmeyer, the fourth erlenmeyer was added with 50 mg of lao-tio2 200, the fifth erlenmeyer was added with 50 mg of lao-tio2 300, the sixth erlenmeyer was added with 50 mg lao-tio2 400, the seventh erlenmeyer was added with 50 mg lao-tio2 200, the eighth erlenmeyer was added with 50 mg lao-tio2 300, the ninth erlenmeyer was added with 50 mg lao-tio2 400 (samples were coded a, b, c, d, e, f, g, hand successively). before irradiation, the mixture was stirred for 1 hour, then 0.2 ml of 15% h2o2 was added to each beaker. the degradation process was carried out for 30 minutes each using 3 uv lamps with 8 watts of power and direct sunlight at 08.5509.25 am (320-420 nm). the suspension was then filtered and its absorbance was measured with a uvvis spectrophotometer at max= 554 nm. results and discussion characterization the results of characterization with sem showed that lao treatment with 2m sulfuric acid resulted in a more uniform crystal size and more pore formation. calcination results at temperatures of 200, 300 and 400 °c showed the distribution of tio2 particles on the clay surface. at a calcination temperature of 200 °c, it appears that the distribution of tio2 particles is uneven and tends to accumulate at certain locations. the resulting pores also appear to be smaller than lao-tio2 which was calcined at 300 and 400 °c. the distribution of tio2 was most evenly distributed at a calcination temperature of 300 °c. the resulting pores are also more uniform in size than the results of calcination at 200 °c and 400 °c. the results of calcination at 400 °c showed that the resulting pore size was larger than calcination at 200 and 300 °c. lao lao-h2so4 lao-tio2 200 lao-tio2 300 lao-tio2 400 figure 1. sem results based on figure 2, the higher the calcination temperature, the lower the characteristic reflection peak of montmorillonite. this of course is influenced by the thermal effect during calcination. from the data in table 1, it can be seen that calcination at a temperature of 300 oc began to affect the stability of the montmorillonite structure with the loss of one reflection peak, even at a temperature of 400 oc, there were two reflection peaks of montmorillonite that had been lost (azis, bijang, nurdin, teddy, & kapelle, 2020). this result is suitable with sem characterization data which showed that the pore size at calcination 400 °c was larger than the pore size at calcination 200 °c and 300 °c. figure 2. sample diffractogram the success of the distribution of tio2 on the clay surface can be seen from the appearance of specific tio2 absorption, which can be seen in table 2. the reflection peaks correspond to the crystal phases of rutile and anatase of tio2. this can explain the degradation ability of impregnated lao-tio2 samples in degrading rhodamine b dye. the calcination process also plays a role in the distribution of tio2 on the clay surface. this can be seen from the highest intensity of the overall tio2 reflection peak in the calcined impregnated tio2 clay at 200 oc (lt 200). the higher the calcination temperature, the intensity of the tio2 reflection peak decreased. this shows that the calcination process affects the crystallinity of tio2 (azis et al., 2020). catherina m. bijang et al. indo. j. chem. res., 9(3), 144-149, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 147 table 1. data on the value of 2θ clay before and after impregnation with tio2 l lt lt 200 lt 300 lt 400 26.6142 26.5102 26.6325 26.4184 26.7380 23.9694 23.8752 23.9877 23.7779 34.9000 34.8200 34.9719 note: clay (l), tio2impregnated clay (lt), tio2impregnated clay calcined at 200 oc (lt 200) tio2 impregnated clay calcined at 300 oc (lt 300) tio2 impregnated clay calcined at 400 oc (lt 400) table 2. the arrangement of the crystal phase reflection peaks of tio2 2θ note 2θ note 2θ note 2θ note 2θ note 25.281 a 25.260 a 25.220 a 25.240 a 25.600 a 48.376 a 48.535 a 48.691 a 48.404 a 48.562 a 55.296 a 55.000 a 55.160 a 55.060 a 55.160 a 27.234 r 27.300 r 27.419 r 27.212 r 27.460 r 36.100 r 36.380 r 36.068 r 36.207 r 36.167 r 41.225 r 41.059 r 41.223 r 40.933 r 41.170 r note: anatase (a); rutile (r) the results of the measurement of the surface area of the samples are presented in table 3. the data shows that the largest surface area was produced by the lao-tio2 sample which was calcined at 400 °c. if it is connected with the data in fig 2 and table 1, the sample which was calcined at 400 °c indicates loss of montmorillonite peaks (meaning that there are some broken crystal lattices), it can be said that the damage to the lattice has an impact on the production of a large surface area. this is supported by the results of sem characterization which shows that there is a larger number of empty spaces. the decrease in surface area in the lao-tio2 sample calcined at a temperature of 200 °c can be explained by the accumulation of tio2 distribution at certain locations as shown by the results of sample characterization using sem. table 3. surface area of sample sample surface area (m2/g) lt 161.800 lt 200 32.514 lt 300 146.477 lt 400 174.826 rhodamine b degradation the degradation process of rhodamine b dye using sunlight or uv light can be seen qualitatively with the loss of the initial color of the dye which indicates the destruction of the chromophore group of the dye. the degradation process lasts for 30 minutes. after the sample degradation process, the absorbance will be tested using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 554 nm. the results of the degradation of each sample are presented in figure 3. figure 3. rhodamine b dye degradation results by each sample figure 3 shows the highest percentage of each treatment, namely the type of treatment using a sunlight source and the use of a lao-tio2 catalyst with a calcination temperature of 300 °c (sample h). while the lowest percentage of degradation was shown in the treatment with uv light source and the use of tio2 catalyst (sample a). the treatment with uv light and the use of lao without tio2 (sample b) showed low results because only the adsorption process occurred. before the degradation process, each sample was added with h2o2 solution with the aim of increasing the concentration of hydroxyl radicals in the degradation process so as to increase the amount of the substance being degraded. the addition of excess h2o2 can result in the formation of h2o• radicals which are less reactive than •oh radicals, resulting in a decrease in the number of degraded dyes (c m bijang et al., 2019; kurian & kavitha, 2016). therefore, in this degradation process, only 0.2 ml of h2o2 15% was added in all treatments according to the optimum use (suhernadi et al., 2014). theoretically, photodegradation occurs because the tio2 impregnated clay contains titanium oxide which is a semiconductor material that has a filled valence band and an empty conduction band. when the photocatalyst is irradiated by light with an energy greater than the bandgap energy, a hole with the quality of a strong oxidizing agent will be produced to form the oh radicals and these radicals degrade the rhodamine b dye into simpler molecules. from the results of this study, it was a b c d e f g h i % d 84.93 86.19 95.84 96.01 97.41 97.18 98.80 98.87 96.07 % d catherina m. bijang et al. indo. j. chem. res., 9(3), 144-149, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 148 found that sunlight is a highly potential light source. figure 3 shows the lowest percentage of degradation is in tio2 treatment (without lao) added with h2o2 (sample a). this is due to the lack of surface area of tio2 which is not imparted to porous materials such as lao. the percentage of degradation using tio2-lao catalyst shows a high value, namely 95-98%. this shows that lao that has been impregnated with tio2 has a combined adsorption function and photocatalytic function which is able to produce better degradation performance. the same thing was also shown other researcher which stated that the percentage of degradation of methylene blue dye using lao-tio2 samples before and after calcination showed better performance, namely 96-98% (teddy et al., 2018). calcination temperature study showed that calcination at 300°c showed the best performance both on uv light sources and sunlight. this can be explained by the xrd characterization results which stated that at 300°c only one montmorillonite area was damaged by heating, the surface area was also much larger than the 200°c temperature treatment and the sem characterization results also showed a more even distribution of tio2. conclusion impregnation of tio2 on lao can expand the surface of tio2 so that the photocatalytic-adsorption process can take place and produce a degradation percentage of 95 – 98%. lao-tio2 composite calcined at 300 °c showed the greatest degradation using either uv light or sunlight. the use of sunlight is more effective than uv light in degrading rhodamine b dye. references a’yuni, q., & murwani, i. k. (2012). impregnasi dan karakterisasi struktur padatan co3o4 pada pendukung caf2. jurnal sains dan seni its, 1(1), 15883. https://doi.org/10.12962/j23373520.v1i1. 1432 azis, t., bijang, c. m., nurdin, m., teddy, m., & kapelle, b. (2020). synthesis and characterization of impregnated tio2 ouw natural clay. technology reports of kansai university, 62(8), 4661–4666. baizig, m., khalfallah, s., & jamoussi, b. (2015). preparation and characterization of different tio2-modified montmorillonite mesomicroporous materials, with enhanced photocatalytic activity. international journal of engineering research, 4(09), 11. bijang, c m, nurdin, m., tehubijulluw, h., fransina, e. g., uyara, t., & suarti. (2019). application of ouw natural clay activated acid and base as adsorbent of rhodamine b dye. journal of physics: conference series, 1242(1), 012014. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1242/1/ 0120 14 bijang, c., wahab, a. w., maming, ahmad, a., & taba, p. (2015). design of bentonite acid modified electrodes in cyanide biosensors. international journal of materials science and applications, 4(2), 115. https://doi.org/10.11648/ j.ijmsa.20150402.17 bijang, catherina m., sekewael, s. j., & koritelu, j. a. (2014). base activated clay and its application as cation exchanger to reduce the mg2+ and ca2+ ions concentration in the well. indonesian journal of chemical research, 1(2), 93–98. bijang, catherina m., tanasale, m. f. j. d. p., kelrey, a. g., mansur, i. u., & azis, t. (2021). preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indonesian journal of chemical research, 9(1), 15–20. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.9-bij djellabi, r., ghorab, m. f., cerrato, g., morandi, s., gatto, s., oldani, v., … bianchi, c. l. (2014). photoactive tio2–montmorillonite composite for degradation of organic dyes in water. journal of photochemistry and photobiology a: chemistry, 295, 57–63. https://doi.org/10.1016/j.jphotochem. 2014.08.017 fatimah, i. (2009). tio2 dispersion to in sio2montmorillonit: effect of precursor type. jurnal penelitian saintek, 14(1). https://doi.org/10.21 831/jps.v14i1.693 kurian, m., & kavitha, s. (2016). a review on the importance of pillared interlayered clays in green chemical catalysis. iosr journal of applied chemistry, 5, 47–58. laili, r., nurhayati, & muhdarina. (2014). karakterisasi lempung cengar aktivasi koh kalsinasi pada 300 o c. jurnal online mahasiswa (jom) bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam, 1(2), 11. maulidiyah, thamrin, azis, tenri, a., nurwahidah, dwiprayogo, nurdin. (2017). photoelectrocatalyst of fe co-doped n-tio2/ti nanotubes: pesticide degradation of thiamethoxam under uv-visible lights. environmental nanotechnology, monitoring & catherina m. bijang et al. indo. j. chem. res., 9(3), 144-149, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 149 management. retrieved from https://doi.org/ 10.1016/j.enmm.2017.06.002 nurdin, m., azis, t., maulidiyah, m., aladin, a., hafid, n. a., salim, l. o. a., & wibowo, d. (2018). photocurrent responses of metanil yellow and remazol red b organic dyes by using tio2/ti electrode. iop conference series: materials science and engineering, 367, 012048. https://doi.org/10.1088/1757-899x/367/1/012048 okoye, i. p., & oby. (2011). synthesis and characterization of titanium pillared bentonite clay mineral. research journal of applied sciences, 6(7), 443–446. https://doi.org/10.3923/ rjasci.2011.443.446 safni, deliza, & rahmayeni. (2014). degradasi rhodamin b secara fotokatalisis dan ozonolisis dengan penambahan tio2-nife2o4, tio2cufe2o4, dan tio2-mnfe2o4. jurnal riset kimia, 7(2), 151–160. suhernadi, a., wardhani, s., & purwonugroho, d. (2014). studi pengaruh penambahan hidrogen peroksida (h2o2) terhadap degradasi methylene blue menggunakan fotokatalis tio2 – bentonit. jurnal ilmu kimia universitas brawijaya, 2(2), 569–575. retrieved from https://www.neliti.com/ publications/249205/ teddy, m., bijang, c. m., nurdin, m., & kapelle, b. (2018). the influence of calcination temperatures in tio2 impregnated ouw’s natural clay on its degradation activity of methylene blue dye. science nature, 1(1), 008–014. https://doi.org/10.30598/snvol1iss1pp 008 014 year 2018 indochem indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 1 44 isolasi kitosan dari tudung jamur merang (vollvariella volvaceae) dan aplikasinya sebagai absorben logam timbal (pb) isolation of chitosan from straw mushroom (vollvariella volvaceae) hood and application as lead (pb) metal absorbent matheis f.j.d.p. tanasale, adriani bandjar, natasya sewit chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences pattimura university, kampus poka, jl. ir. m. putuhena, ambon 97134-indonesia *corresponding author, e-mail: mtanasale@fmipa.unpatti.ac.id received: may 2018 published: july 2018 abstract chitosan isolated from mushroom (vollariella volvaceae) as adsorbent of lead (pb) metal has been done. the isolation of chitosan was obtained 2.94% from total weight of mushroom. fungtional groups of chitin and chitosan were indentified by using ftir spectrophotometry. the chitosan had 74.66% degree of deacetylation and 2.09 x 10 4 g/mol viscosity molecular weight. the experimental data of the chitosan as adsorbent for pb metal were correlated with the langmuir and freundlich isotherm model. the maximum adsorption capacity of pb based on the langmuir isotherm model was 2.66 mg/g. keywords: chitosan, lead, langmuir isotherm model, vollariella volvaceae pendahuluan perkembangan yang pesat di berbagai bidang industri menjanjikan berbagai kemudahan dan kesejahteraan umat manusia, namun juga membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya, misalnya masalah limbah industri. menurut barakat (2011), limbah industri banyak mengandung logam berat yang karena memiliki kelarutan yang tinggi dalam lingkungan perairan dapat masuk ke dalam jaringan makhluk hidup dan jika masuk ke dalam rantai makanan maka akan terakumulasi ke dalam tubuh manusia. salah satu logam berat yang paling berbahaya adalah logam timbal (pb). ion logam pb banyak ditemukan pada limbah buangan daur-ulang baterai, peralatan elektronik, cat, industri penyepuhan, pestisida dan paling banyak digunakan sebagai zat anti letup pada bensin (ngah dan fatinathan, 2010). di maluku sumber utama pencemaran logam pb berasal dari buangan asap kendaraan bermotor, bukan dari aktivitas pabrik maupun industri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari sehingga kandungan pb di udara naik. logam pb dapat masuk ke dalam perairan melalui pengkristalan pb di udara dengan bantuan air hujan (palar, 1994). badan perairan yang telah kemasukan senyawa atau ion-ion pb sehingga jumlah pb yang ada dalam badan perairan melebihi konsentrasi yang semestinya daat mengakibatkan kematian biota perairan tersebut (palar, 1994). berbagai upaya untuk mengolah limbah yang mengandung logam berat telah dilakukan seperti pengendapan, penyaringan membran, pertukaran ion dan adsorpsi (hegazi, 2013). metode adsorpsi merupakan metode alternatif yang paling menjanjikan untuk menghilangkan ion logam berbahaya seperti ion pb (ngah dkk, 2006). pemilihan adsorben yang memiliki selektivitas dan kapasitas yang tinggi serta dapat digunakan secara berulang-ulang merupakan langkah awal untuk menghasilkan proses adsorpsi yang lebih efektif (tanasale dkk, 2012). karbon aktif telah lama dan lebih banyak dipakai sebagai adsorbent logam pb tetapi karena harganya mahal maka penelitian beralih ke adsorben yang lebih murah dan berasal dari bahan alam seperti lempung (fransina dan latupeirissa, 2014) dan sekam padi, tongkol jagung serta serbuk gergaji (abdel-ghani dkk, 2007). salah satu bahan alam yang sangat bermanfaat yaitu jamur merang. secara anatomi jamur merang terdiri dari tudung yang berbentuk m.f.j.d.p. tanasale dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 45 payung, di bawah tudung terdapat lamella, tangkai serta akar semu yang disebut rizoid (widiyastuti, 2002). jamur merang merupakan salah satu spesies jamur yang paling banyak ditemui di maluku. hal ini disebabkan karena jamur merang dapat hidup dengan subur pada media ampas sagu. dalam pengolahan secara tradisional di maluku, ampas sagu (di maluku dikenal dengan nama “ela sagu”) biasanya dibiarkan tertimbun di sekitar pengolahan sagu tersebut. setelah dibiarkan beberapa waktu lamanya, ampas tersebut akan ditumbuhi cendawan atau jamur dalam jumlah yang cukup banyak. jamur yang tumbuh dari ampas sagu tersebut di daerah maluku dikenal dengan nama jamur “ela” (haryanto dan pangloli, 1992). jamur merang memiliki kemampuan menyerap logam berat meskipun konsentrasinya kecil (widiyastuti, 2002), seperti logam berat raksa (hg), timbal/plumbum (pb), tembaga (cu), perak (ag) dan seng (zn). kemampuan penyerapan ion logam oleh jamur merang disebabkan adanya kitosan. kitosan yang dihasilkan dari deasetilasi kitin mempunyai reaktivitas kimia yang tinggi, karena memiliki gugus amina dan hidroksil yang terikat, sehingga menyebabkan adanya sifat polielektrolit kation yang dapat berperan sebagai adsorben logam dalam air limbah (marganof, 2003). berdasarkan sifat reaktivitas kimia yang tinggi dan ketersediaan yang besar, maka kitosan dari jamur merang berpotensi sebagai teknik alternatif untuk mencegah pencemaran logam pb. adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar kitosan hasil deasetilasi kitin yang terkandung dalam tudung jamur merang atau jamur “ela” dan isoterm adsorpsi yang diikuti oleh adsorpsi logam pb pada kitosan hasil deasetilasi kitin yang diisolasi dari tudung jamur merang. metodologi bahan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur merang (vollvariella volvaceae) yang diperoleh dari desa waai, kabupaten maluku tengah, aseton p.a. (e.merck), naoh p.a. (e.merck), naocl p.a. (e.merck), pb(no3)2 p.a. (e.merck), universal indikator dan akuades. alat peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: atomic absorption spectrophotometry (shimadsu, 65015), seperangkat alat gelas, hot plate (cimerec 2), lumpang, oven (memert), penyaring buchner, pompa vakum, shaker (ks250 basic), spektrofotometer ftir (prestiges 21, shimadsu), termometer, timbangan analitik (ada 210/le), dan viskometer ostwald. prosedur kerja persiapan sampel tudung jamur merang (vollvariella volvaceae) dibersihkan kemudian dijemur di bawah panas matahari selama 7 jam.kemudian jamur yang telah dikeringkan dengan menggunakan lumpang. isolasi kitin tudung jamur merang (vollvariella volvaceae) isolasi kitin pada tudung jamur merang meliputi dua tahapan yaitu, proses deproteinasi dan depigmentasi. deproteinasi (pemisahan protein) sebanyak 160,53 g bubuk dari tudung jamur merang ditambahakan naoh 3,5% dengan perbandingan 1:10 (w/v) dan dipanaskan pada suhu 100°c selama 3 jam kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas saring whathman. residu yang dihasilkan dicuci dengan akuades sampai ph netral. depigmentasi (penghilangan warna) residu hasil tahap kedua ditambahkan aseton untuk jangka waktu 1 jam kemudian disaring dan hasilnya dilakukan pemutihan dengan menggunakan naocl 0,315% dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama 1 jam dan selanjutnya dicuci dengan ph netral kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60°c selama 4 jam. residu yang dihasilkan dianalisis gugus fungsinyadengan menggunakan spektrofotometer ftir. pembentukan kitosan pembentukan kitosan dilakukan dengan proses deasetilasi pada kitin mengikuti metode no dan meyers (1989) yaitu kitin yang dihasilkan pada tahap depigmentasi ditambahkan naoh 50% dengan perbandingan 1:10 (w/v) m.f.j.d.p. tanasale dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 46 pada suhu 70-80°c selama 6 jam, kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas saring whatman. residu yang dihasilkan dicuci dengan akuades sampai ph netral kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60°c selama 4 jam. kitosan yang diperoleh kemudian dianalisis gugus fungsinya dengan menggunakan spektrofotometer ftir. adsorpsi logam pb oleh kitosan sebanyak 5 buah erlenmeyer disiapkan dan dimasukkan ke dalam masing-masing erlenmeyer sebanyak 0,25 g kitosan, kemudian pada setiap labu erlenmeyer ditambahkan 25 ml larutan pb dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm. selanjutnya dikocok menggunakan shaker selama 2 menit. filtrat kemudian dianalisis kadar pb dengan menggunakan aas. penentuan berat molekul kitosan sebanyak 0,1 g kitosan ditambahkan ch3cooh 0,1 m sebanyak 500 ml. larutan diambil 4 ml kemudian ditambahkan 6 ml ch3cooh 0,1 m, kemudian sebanyak 5 ml larutan diambil dan dimasukan ke dalam viskometer sesudah itu waktu alir antara dua tanda pada viskometer diukur. perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali dan nilai waktu tersebut dirata-ratakan. selanjutnya viskometer dibilas dengan akuades lalu dibilas lagi dengan ch3cooh 0,1 m dan diambil 5 ml ch3cooh 0,1 m selanjutnya dimasukan dalam viskometer dan waktu alirnya (to) diukur. setelah itu, berdasarkan data yang diperoleh maka nilai viskositas intrinsik dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan mark-houwink (m-h). hasil dan pembahasan isolasi kitin dari penelitian yang dilakukan, maka kandungan kitin yang dihasilkan dari tudung jamur merang (vollvariella volveae) adalah sebesar 17 g (10,59%). hasil ini masih lebih banyak dari kandungan kitin dalam jamur phyllophora ribis yang sebesar 7,9% (erdogan dkk, 2017) dan cantharellus cibarius yang sebesar 4,2% (akata dan kaya, 2016) tetapi masih lebih sedikit dari kandungan kitin pada jamur lactarius vellereus yang sebesar 11,4% (erdogan dkk, 2017). perbedaan ini mempertegas bahwa kandungan kitin dalam jamur sangat tergantung pada spesies jamur (mesa ospina dkk, 2015). proses isolasi kitin dari tudung jamur merang (v. volvaceae) meliputi dua tahapan yakni tahapan deproteinasi dan depigmentasi. pada tahap deproteinasi, tudung jamur merang direfluks bersama dengan naoh encer untuk memisahkan protein yang terkandung dalam tudung jamur merang. menurut kusumaningsih, dkk (2004) makin tinggi suhu dan konsentrasi yang digunakan, proses pemisahan protein makin cepat. kondisi optimum pada proses ini tercapai dengan menggunakan naoh 3,5% pada suhu 100°c selama 3 jam, dan rendamen yang diperoleh sebesar 18,39%. gambar 1. spektrum ftir kitindari tudung jamur merang depigmentasi merupakan tahap akhir dari proses isolasi yang bertujuan untuk memperoleh produk yang putih dengan menghilangkan pigmen yang ada dalam bahan. pada penelitian ini proses depigmentasi memberikan hasil yang kurang memuaskan karena rendamen kitin yang dihasilkan masih berwarna putih kecoklatan dan rata-rata rendamen kitin yang dihasilkan sebesar 10,59%. pada proses isolasi kitin dari tudung jamur merang, tahap demineralisasi tidak harus dilakukan (ospina dkk, 2015) karena pada jamur, vitamin dan mineral mudah hilang jika dipanaskan berulang-ulang. berdasarkan isolasi kitin, kemudian diuji gugus fungsinya dengan menggunakan ftir dengan pola serapan seperti pada gambar 1. analisa gugus fungsi kitin (gambar 1) memperlihatkan adanya beberapa daerah serapan pada beberapa bilangan gelombang seperti pada tabel 1. m.f.j.d.p. tanasale dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 47 tabel 1. daerah serapan beberapagugus fungsi kitin dari tudung jamur merang gugus fungsi bilangan gelombang (cm -1 ) -oh 3427 c-h alifatik 3852-2922 c=o 1654 n-h bending 1562 -ch3 1321-1379 -c-o1031-1157 ch2 1425 kitin yang diperoleh setelah dianalisis gugus fungsinya dengan menggunakan sperktofotometer ftir memperlihatkan beberapa pola serapan dari gugus hidroksil muncul pada 3427 cm -1 adalah vibrasi stretching karbonil (amida i) dan 1562 cm -1 merupakan vibrasi bending n-h (amida ii). menurut kusumaningsih dkk (2004), serapan 1562 cm -1 merupakan serapan ciri khas dari kitin atau gugus n-h dalam –nh-co(gugus amina yang terasetilasi). serapan lainnya terjadi pada 28522922 cm -1 dari vibrasi stretching c-h alifatik yang menyatu dengan pita ulur oh. adanya pita serapan pada 1031-1157 cm -1 menunjukan vibrasi -c-odari cincin kitin. serapan ini memiliki banyak puncak karena alkohol dari kitin yang mengandung ikatan c-o juga menunjukan serapan disini. serapan pada 1425 cm -1 merupakan serapan karaktaristik dari ch2 pada ekor kitin. serapan pada 1321-1379 cm -1 menunjukkan gugus ch3. serapan gugus amina kitin pada 3000-3700 cm -1 berada pada posisi saling berhimpit dengan serapan –oh. karena dalam amina ikatan hidrogen lebih lemah dan sebagian karena n-h kurang polar, maka serapan ikatan n-h menjadi kurang intensif dibanding –oh dan puncak serapan menjadi tertutup (kusumaningsih dkk, 2004). serapan-serapan yang muncul mengindikasikan bahwa hasil isolasi merupakan kitin. pembentukan kitosan pembentukan kitosan dilakukan dengan proses deasetilasi kitin dan dihasilkan rendamen kitosan sebesar 4,72 g (2,94% dari bobot kering jamur) atau 27,8% dari rendemen kitin yang diisolasi. hasil ini masih lebih rendah dari kandungan kitosan dalam l. vellerus yang sebesar 8,33% (dari bobot kering jamur) atau 73,1% (dari rendemen kitin) dan p. ribis yang sebesar 5,95% (dari bobot kering jamur) atau 75,3% (dari rendemen kitin) (erdogan dkk, 2017). demikian juga jika dibandingkan dengan kitosan dari jamur ganoderma lucidum yang sebesar 8,33% (dari bobot kering jamur) (mesa ospina dkk, 2015). namun kandungan kitosan dalam jamur v. volvaceae masih sedikit lebih tinggi dari kitosan dalam jamur c. cibarius yang sebesar 2,92% (dari bobot kering jamur) (akata dan kaya, 2016). hasil ini kembali mempertegaskan bahwa kandungan kitosan dalam jamur sangat tergantung dari spesies jamurnya (mesa ospina dkk, 2015). pembentukkan kitosan dilakukan melalui proses deasetilasi kitin yaitu menghilangkan gugus asetil pada kitin dengan pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada kitin menjadi gugus amina, walaupun sebenarnya pada kitin sudah terdapat gugus amina tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit (kusumaningsih dkk, 2004). pada proses seasetilasi kitin digunakan larutan naoh 50% pada suhu 70-80°c dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama 6 jam dan hasilnya adalah kitosan dengan berat rendamen sebesar 4,72 g (2,94%). rendamen yang diperoleh dianalisis gugus fungsinya menggunakan ftir, seperti pada gambar 2. gambar 2. spektrum ftir kitosan hasil deasetilasi kitin tudung jamur merang hasil dari spektrum ftir kitosan memberikan beberapa daerah serapan gugus fungsi kitosan yang memperlihatkan beberapa pola serapan yang muncul di antaranya pita serapan pada 3446 cm -1 yang diberikan oleh vibrasi ulur gugus –oh yang berikatan hidrogen. serapan pada 2850-2910 cm -1 merupakan vibrasi streching –c-h alifatik dan adanya gugus –c-o m.f.j.d.p. tanasale dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 48 ditunjukan oleh serapan pada 1033-1153 cm -1 . pita serapan 1429-1463 cm -1 diberikan oleh gugus ch2 dari keton (tabel 2). tabel 2. daerah serapan beberapa gugus fungsi kitosan hasil deasetilasi kitin tudung jamur merang gugus fungsi bilangan gelombang (cm -1 ) -oh 3446 c-h alifatik 2850-2920 ch2 1429-1463 n-h bending 1543-1579 -c-o1033-1153 serapan-serapan tersebut sama dengan yang dimiliki oleh kitin. perbedaan yang terjadi setelah proses deasetilasi adalah terjadi pemutusan ikatan pada pita serapan c=o (amida i) pada daerah 1654 cm -1 dan pita serapan ch3 pada 1321-1379 cm -1 . pita serapan n-h dalam bidang conh pada 1562 cm -1 yang turun pada kitosan dan muncul sebagai pita serapan baru pada 1543-1579 cm -1 . dengan melihat perubahan spektra ftir maka dapat diperkirakan bahwa kitin yang terdeasetilasi telah mengalami perubahan menjadi kitosan. penentuan derajat deasetilasi dan bobot molekul kitosan dengan menggunakan metode base line, deratat deasetilasi dapat dihitung. hasil perhitungan derajat deasetilasi dapat digunakan untuk melihat seberapa besar perubahan kitin menjadi kitosan. dari hasil perhitungan yang menggunakan metode base line yang dikemukakan oleh domszy dan roberts (1985) diperoleh dd sebesar 74,66%. menurut kusumaningsih dkk (2004) perbedaan kitin dan kitosan ialah pada besar derajat deasetilasi. kitosan memiliki derajat deasetilasi berkisar antara 70-100%, maka berdasarkan hal tersebut rendamen yang diperoleh dari hasil deasetilasi sudah merupakan kitosan. penentuan berat molekul kitosan dapat ditentukan dengan metode viskometri dengan menggunakan parameter pada tabel 3. bobot molekul sebagai bagian dari karakteristik kitosan dapat ditentukan dengan menggunakan metode viskometer, dengan menggunakan parameter pada tabel 4, bobot molekul dapat ditentukan sehingga dari semi empiris mark-houwink (k = 1,01 x 10 -3 dan a = 0,93) diperoleh nilai bobot molekul kitosan sebesar 2,09 x 10 4 g/mol. hal ini menunjukan bahwa bobot molekul kitosan lebih rendah dari bobot molekul rata-rata kitin antara 1,03 x 10 6 sampai dengan 2,5 x 10 6 . hal ini disebabkan karena adanya penghilangan gugus asetil. menurut kumar (2000), konversi kitin menjadi kitosan mengurangi bobot molekul, mengubah derajat deasetilasi dan mengubah arus sumber distribusi. tabel 3.parameter viskositas penentuan berat molekul konsentrasi t(detik) t/t0 =ƞ/ƞ0 ƞsp-1 bilangan gelombang (cm -1 ) 0,00 202 1,000 0 0,04 308 1,525 0,525 13,125 tabel 4. data absorbansi standar logam pb konsentrasi absorbansi 10 0,0901 20 0,1676 30 0,2465 40 0,3187 50 0,3856 gambar 3. kurva standar logam pb penjerapan logam pb data absorbansi larutan standar logam pb dengan menggunakan metode aas adalah seperti pada tabel 4. dari tabel 4 dibuat kurva standar absorbansi vs konsentrasi yang ditunjukkan pada gambar 3. hasil penjerapan logam pb oleh kitosan dengan variasi konsentrasi 20, 30, 40 dan 50 ppm dapat dilihat pada tabel 5. m.f.j.d.p. tanasale dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 49 tabel 5. data penjerapan logam pb oleh kitosan [pb]0 (ppm) [pb]1 (ppm) [pb]teradsorpsi 20 0,00575 19,9943 30 0,0922 29,9078 40 0,1701 39,8299 50 0,4026 49,5974 dengan [pb]0 = konsentrasi logam pb sebelum proses penjerapan [pb]1 = konsentrasi logam pb setelah proses penjerapan [pb]teradsorpsi= konsentrasi logam pb yang terjerap oleh kitosan. nilai absorbansi logam pb setelah adsorpsi dengan kitosan beserta hasil pengolahan data untuk isoterm adsorpsi seperti terlihat pada tabel 6. berdasarkan tabel 6 terlihat bahwa presentase penjerapan logam pb oleh kitosan rata-rata sekitar 99,61% dan nilai penjerapan terbaik diperoleh pada konsentrasi 20 ppm yakni sebesar 99,97%. besarnya daya serap kitosan terhadap logam pb disebabkan karena kitosan mempunyai kemampuan untuk mengikat logam. hal ini biasanya merujuk pada gugus amina (nh2) yang pada rantai kitosan dapat menghasilkan koordinasi dengan berbagai logam (kumar, 2000). dari tabel 6 dapat juga dibuat kurva isoterm langmuir dan isoterm freundlich dari adsorpsi logam pb seperti terlihat pada gambar 4 dan gambar 5. kecenderungan adsorpsi kitosan terhadap logam pb ditentukan berdasarkan lineritasnya dengan membandingkan koefisien korelasi (r 2 ). berdasarkan gambar 4 dan gambar 5 menunjukkan bahwa adsopsi kitosan terhadap logam pb cenderung mengikuti isoterm langmuir karena memiliki koefisien korelasi (r 2 ) yang lebih tinggi yakni 97,40% jika dibandingkan dengan isoterm freundlich yang harganya 94,7%. gambar 4.kurva linier hubungan ce/( x /m) vs ce menurut isoterm langmuir gambar 5. kurva linier hubungan ln ( x /m) vs ln ce menurut isoterm freundlich berdasarkan gambar 4, maka dapat diperoleh nilai kl yang menunjukkan tetapan kesetimbangan adsorpsi yang berhubungan dengan afinitas sisi pengikatan sebesar 25,07 ml/mg dan (x/m)max yang menunjukan adsorpsi maksimum pada mono lapisan sebesar 2,66 mg/g. hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh ngah dan fatinathan (2010), dengan adsorpsi manic-manik (beads) kitosan-tripolifosfat terhadap ion logam pb 2+ juga mengikuti isoterm langmuir dengan nilai (x/m)max dan kl berturutturut sebesar 57,33 mg/g dan 13,9 ml/mg. perbedaan yang terjadi dapat terjadi karena perbedaan jenis kitosan yang digunakan dan besar derajat deasetilasi yang dihasilkan. m.f.j.d.p. tanasale dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 6(1), 44-50 50 kesimpulan dari hasil pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. kitosan yang dihasilkan dari deasetilasi kitin tudung jamur merang (v. volvaceae) sebesar 2,94%. 2. penjerapan logam pb cenderung mengikuti isoterm langmuir dengan nilai kl yang menunjukan tetapan kesetimbangan adsorpsi yang berhubungan dengan afinitas sisi pengikatan sebesar 25,07 ml/mg dan (x/m)max yang menunjukan adsorpsi maksimum pada mono lapisan sebesar 2,66 mg/g.. daftar pustaka abdel-ghani, n.t., hefny, m., el-chaghaby, g.a.f, 2007, removal of lead from aqueous solution using low-cost abundantly available adsorbent, int. j. environ. sci. tech., 4(1), 67 – 73. akata, i. kaya, m., 2016, chitin and chitosan production from chanterelle mushroom (cantharellus cibarius), abstrac, international forestry symposium (ifs 2016), 07 10 december 2016, kastamonu (turkey). angka, s.l. suhartono, m.t., 2000, bioteknologi hasil laut, pusat kajian sumber daya pesisir dan lautan, institut pertanian bogor, bogor. barakat, m.a., 2010, new trends in removing heavy metals from industrial wastewater. arabian j. chem., 4, 361-377. domszy, j.g., roberts, g.a.f., 1985, evaluating of infrared spectroscopic techniques for analyzing chitosan. makromol. chem., 186, 1671 – 1677. erdogan, s., kaya, m., akata, i., 2017, chitin extraction and chitosan production from cell wall of two mushroom species (lactarius vellereus and phyllophora ribis). aip conference proceedings, 1809, 020012. fransina, e.g., latupeirissa, j., 2014, penentuan waktu kontak dan ph optimium lempung asal desa latuhalat ambon sebagai adsorbent pb 2+ . prosiding seminar nasional basic science vi fmipa unpatti, 253 – 260. haryanto, b., pangloli, p. 1992. potensi dan pemanfaatan sagu, penerbit kanisius, jakarta. hegazi, h.a., 2013, removal of heavy metals from wastewater using agricultural and industrial waste as adsorbents, hbrc journal, 9, 276 – 282. kumar, m.n.v.r., 2000, chitin and chitosan fibres: an overview on chitin and chitosan application, reactive and func. polym., 46, 1 – 27. kusumaningsih, t. suryati, v. permana, w., 2004, karakterisasi kitosan hasil deasetilasi kitin dan cangkang kerang hijau (mytilus viridis linneaus), alchemy, 3(1), 63 – 71. marganof. 2003, potensi limbah udang sebagai penyerapan logam berat (timbal, kadmium, dan tembaga) di perairan. www.rudyct.com/pps702-ipb/ 07134 /marganof.pdf, diakses tanggal 29 september 2017. mesa ospina, n., ospina alvarez, s.p., escobar sierra, d.m. rojas vahos, d.ki. zapata ocampo, p.a., ossa orozco, c.p., 2015, isolation of chitosan from gonaderma lucidum mushroom for biomedical applications, j. mater. sci. : mater. med., 26, 135. ngah, w.s.w. fatinathan, s, 2010, adsorption characterization of pb (ii) and cu (ii) ions onto chitosan-tripolyphosphate beads: kinetics, equilibrium and thermodynamics studies, j. environ. manag., 91, 958-969. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 10(1), 32-37, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 32 phytochemical screening and tlc profiling of combination extracts of avocado (persea americana mill.) and papaya (carica papaya) leaves from timor island marianus kafelau, aloisius masan kopon, anselmus boy baunsele, maria benediktas tukan, maria uron leba, faderina komisia, erly grizca boelan* department of chemistry education, faculty of teacher training and education, universitas katolik widya mandira, jl. san juan, east nusa tenggara, indonesia *corresponding author: earlygrizca@gmail.com; erlyboelan@unwira.ac.id received: october 2021 received in revised: december 2021 accepted: april 2022 available online: may 2022 abstract traditionally in the village of alor, east nusa tenggara province, a combination of avocado and papaya leaves is often used to treat malaria. to be able to be developed as an ingredient in traditional medicine, it is necessary to conduct preliminary research to determine the content of secondary metabolites contained in the combination of avocado and papaya leaves. this study aims to determine the secondary metabolites contained in avocado and papaya leaves through phytochemical screening and thin layer chromatography (tlc) analysis. extraction was carried out using methanol solvent by maceration, and the extract yield was 91.4%. testing the content of secondary metabolites in avocado and papaya leaf extracts was carried out by phytochemical screening. furthermore, the tlc test was carried out to confirm the presence of a positive group of compounds on phytochemical screening, and to determine the chromatographic profile of the extract. after being tested by phytochemical and tlc analysis, the extract contains several metabolites, including flavonoids, alkaloids, tannins, saponins, and steroids. the tlc system used in this study can separate the phytochemical content and give positive results that confirm the results of the phytochemical screening. keywords: phytochemical screening, secondary metabolite compounds, combination extracts, thin layer chromatography introduction indonesia is a country that is rich in sources of medicinal plants which have been used for generations as traditional medicinal ingredients. the efficacy of each plant varies depending on the presence of bioactive compounds and nutritive elements in the plant. bioactive compounds in plants are usually contained in leaves, stems, roots, flowers, fruits, or seeds. the avocado (persea americana mill.) is a plant that comes from central america and can grow in tropical areas such as east nusa tenggara. traditionally in kabir-alor village, avocado leaves are used for asthma medication, by boiling two avocado leaves with two cups of water and adding one tablespoon of salt. the use of avocado leaves as traditional medicine can be attributed to its pharmacological activity. it has been reported that avocado leaf extract can function as antiinflammatory, anticonvulsant, antioxidant, antibacterial and antidiabetic (ranade and thiagarajan 2015). carica papaya is a plant that can grow and spread from the lowlands to the highlands. papaya has been used by the local people as traditional medicine. c. papaya leaf extract has been reported to treat malaria, fever, asthma, beriberi, abortion, jaundice, vermifuge, dressing wounds, gonorrhea, urinary complaints and antibacterial activity (vij and prashar 2015). people in kabir-alor village usually use papaya leaves to treat malaria, by boiling papaya leaves and drinking boiled water. the use of combinations of medicinal plants to treat certain diseases is often carried out by the community with the aim of increasing the efficacy/effect of these medicinal plants. this is also done by the people in the village of kabir-alor. people usually use a combination of avocado and papaya leaves for the treatment of malaria by boiling and drinking boiled water. previous research has shown that a combination of papaya leaf extract and propolis helps reduce (widya 2020). another study showed that the ethanol extract of the combination of avocado and marianus kafelau et al. indo. j. chem. res., 10(1), 32-37, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 33 johar leaves had an antibacterial effect against salmonella typhi bacteria by 9.9 mm at a concentration of 100% (pontoan 2016). however, research on the herbal combination of avocado and papaya leaves has not been reported, so it is necessary to conduct preliminary research to determine the secondary metabolite components contained in the combined extract. methodology materials and instrumentals the materials used in this study were avocado and papaya leaves collected on the island of timor. other materials used are methanol for analysis (merck), magnesium tape, hcl for analysis (merck), acetone (merck), chloroform (merck), diethyl ether (merck), propanol (merck), butanol (merck), h2so4 (merck), mayer’s reagent, wagner’s reagent, fecl3, (merck), acetic anhydride, whatman filter paper no 1 and distilled water. methods extraction the sample was weighed (150 g) and macerated using methanol 96% (ratio 1:1:6) for 72 hours. after that, the mixture was filtered using whatman no 1 filter paper and evaporated to dryness. the extract was weighed to determine the yield of extract. hereinafter the extract is called edap. solubility test of edap to determine the solubility of the extract, edap was taken as much as 1 ml and added to a test tube containing 2 ml of distilled water, acetone, chloroform, 96% methanol and diethyl ether. after that shake the mix slowly until a few minutes (hasti et. al., 2022). phytochemical screening flavonoid test was carried out by 1 ml of edap was reacted with 2 mg of magnesium tape and 1 ml of concentrated hcl. the presence of flavonoid was expressed by the formation of a red, yellow or orange color (ramadani, karima, and ningrum 2022). test for alkaloids was done using mayer’s and wagner’s test. as much as 1 ml of the edap was put into tubes a and b then 0.5 ml of 2% hcl was added and mixed evenly. after that, 2-3 drops of mayer's reagent were added to tube a and wagner's reagent to tube b. the formation of a white precipitate in tube a and brown in tube b indicates the presence of alkaloids (kopon, baunsele and boelan, 2020; goa et al. 2021). tannins test is done by 1 ml of edap was reacted with 5 drops of 5% fecl3 (ferric chloride). the formation of black or blue-green indicated the existence of tannins (ramadani et al. 2022; sariwati et al. 2021). saponin test was carried out using the forth method. the edap (1 ml) was put into a test tube and 2 ml of hot distilled water was added. the sample will form foam and then add 1 ml of 2 n hcl. if the foam does not disappear for 30 seconds, the extract is positive for saponins (kopon et al. 2020). test for steroids was carried out by the edap 1 ml were blended with 2 ml acetic anhydride and a few drops of h2so4. the presence of steroids was expressed by the creation of the blue/green color (sariwati et al. 2019). thin layer chromatography (tlc) profiling the tlc plates were prepared by using silica gel g60f254 with a length of 8 cm and a width of 2 cm, washed with methanol, and then activated in an oven at 100 oc for 30 minutes. samples were applied to a tlc plate with the help of a capillary tube (yuda, cahyaningsih, and winariyanthi 2017). the mobile phase is prepared by making a solvent ratio according to the component to be tested as follows: a. alkaloids: chloroform: methanol: 5% hcl (5:5:3) b. flavonoids: chloroform: methanol: distilled water: butanol (10:10:6:1). c. tannins: butanol: propanol: distilled water (2:1:3) d. saponins: chloroform: methanol: distilled water: propanol (5:1:6:4). e. steroids: heptane: acetone: methanol (5:1:4). results and discussion extraction yield extraction of avocado and papaya leaves was carried out using the maceration method in a ratio of 1:1:6 (150 g of avocado: 150 g of papaya: 2400 ml of methanol). the solvent used during maceration will help the process of separating the active compound content from plant tissue (saudale, boelan, and boelan 2018). the extraction process that takes place produces a yield of 91.4%. the yield resulting from the extraction process is based on the extraction method, extraction time, amount of extraction, and also the temperature used. the amount of yield obtained indicates the number of components that are extracted during the maceration process (goa et al., 2021). the diffusion process occurs during maceration, where the solvent methanol which has a high concentration diffuses into the cell nucleus of the avocado and papaya leaves through the cell wall causing the cell membrane marianus kafelau et al. indo. j. chem. res., 10(1), 32-37, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 34 to rupture. it is at this time that the secondary metabolites in the center come out. solubility test of edap edap solubility test was carried out with several solvents, namely: distilled water, acetone, chloroform, 96% methanol, and diethyl ether and the results of observations can be seen in table 1. the results of the solubility test edap was soluble in distilled water, acetone and methanol and insoluble in chloroform and diethyl ether solvents. based on observations (figure 1) when edap and distilled water are mixed, the solution becomes homogeneous and changes color to brown. the same result was also shown by the mixture of edap with methanol solvent. the solubility of edap indicates the presence of hydrogen bonds between compounds in edap. the presence of compounds that have a lone pair of electrons such as in the group of alkaloid compounds and also o atoms in water, acetone, and methanol solvents cause hydrogen bonds to form with h atoms (kido and naja 2018; mulyati and panjaitan 2021). this causes the polar compounds in edap to dissolve in polar solvents such as water, methanol and acetone. table 1. solubility test results of edap material test observation result edap + distilled water homogeneously mixed the color changes to brown dissolved edap + acetone homogeneously mixed the color changes to light green dissolved edap + chloroform heterogeneous the solution does not change color but remains dark green not dissolved edap + methanol+ homogeneously mixed solution turns brown dissolved edap + diethyl ether heterogeneous the solution does not change color but remains dark green not dissolved figure 1. edap solubility test results (a) edap + distilled water; (b) edap + acetone; (c) edap + methanol; (d) edap + chloroform (e) edap + diethyl eter phytochemical screening phytochemical screening was carried out to determine the secondary metabolites contained in the extract. the results of phytochemical screening were shown in table 2. these results reveal the presence of important phytochemical components in the combined extract of avocado and papaya leaves. flavonoids, alkaloids, tannins, saponins, and steroids were detected in edap. the results of the phytochemical test on the combined extract of avocado and papaya leaves gave different results from the single extract. research conducted by pontoan showed that methanol, ethanol and acetone extracts of avocado leaves contain groups of alkaloids, flavonoids and saponins (pontoan 2016). in another study, papaya leaf methanol extract gave positive results in the flavonoid, alkaloid, tannins, and steroids test (callixte, baptiste, and arwati 2020; santi 2015). table 2. phytochemical screening of edap test reagent result flavonoid mg tape + hcl concentrated + alkaloid mayer + wagner + tannin fecl3 + saponin hot distilled water + hcl 2 n + steroid chloroform 98% + h2so4 + the flavonoid test showed positive results which were indicated by a yellow color change caused by a reduction reaction by mg carried out in an acidic atmosphere when hcl was added. reduction with magnesium and concentrated hydrochloric acid gives a brownish yellow color. the estimated reaction on flavonoids test can be seen in figure 2. (a) (b) (c) (d) (e) marianus kafelau et al. indo. j. chem. res., 10(1), 32-37, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 35 figure 2. flavonoid test reaction estimates (nugrahani et al. 2016) in the test, the alkaloid results were shown by the presence of a white precipitate when reacted with mayer's reagent and a brown precipitate when reacted with wagner's reagent. the formation of this precipitate is due to the change of the ligand. alkaloids are semi-polar compounds that contain nitrogen atoms in the cyclic part and contain a variety of substituents such as amino groups, methoxy amides, and phenols (puspitasari, swastini, and arisanti 2013). the approximate reaction that occurs in the alkaloid test using mayer's reagent can be seen in figure 3. during the manufacture of the reagent, a red precipitate of hgi2 will be formed as a result of the reaction between a solution of hgcl2 and ki. and if more ki is added it will produce k2[hgi4], so that when reacted with the sample, the alkaloid compound which has a nitrogen atom will react with the metal ion k+ from k2[hgi4] and form a potassium-alkaloid complex. (a) (b) figure 3 alkaloid test estimation (a) mayer’s reaction estimates; (b) wagner’s reaction (goa et al. 2021) the class of tannin compounds tends to be polar because it has a hydroxyl group. identification of the tannin compound was carried out by adding fecl3 and the sample showed a color change to green-black which indicates that the tannin compound underwent hydrolysis. the reaction can be expressed as follows: fecl3(aq) + 6 aroh(s) → 6h + + 3cl+ [fe (oar)]3(aq) the results of the saponin test were positive because the sample formed foam. saponins are a form of glycoside that has the ability to form foam in the air which shows positive results. the group of saponin compounds contains a polar glycosyl group and nonpolar steroid and triterpenoid groups. compounds that have non-polar and polar groups will be active on the surface. the foam formation reaction in the saponin test is shown in figure 4. figure 4. saponin test reaction estimates (marliana and suryanti 2005) the steroid compound group was identified by the liebermann-burchard test method, the results of this test showed a positive test with the formation of a dark green color. the principle in this test is the ability of the compound to form a color with concentrated sulfuric acid in an acetic anhydride solvent. during the reaction, there will be a release of h2o and a combination with a carbocation. thin layer chromatography (tlc) profiling tlc is a method of separating a compound based on the distribution of two phases, namely the mobile phase in the form of an eluent and a stationary phase in the form of an adsorbent that has different polarities. tlc test was then carried out to confirm the positive results obtained from the phytochemical screening. the results tlc of edap can be seen in table 3. the alkaloid tlc test was carried out with the mobile phase chloroform: methanol: hcl (5:5:3). this eluent produces one spot stain with an rf value 0.86. identification of flavonoid compounds by tlc test using mobile phase chloroform: methanol: distilled water: butanol (10:10:6:1) and one spot is obtained from the separation with an rf value 0.82. furthermore, the tlc test was carried out to confirm the results of phytochemical screening of tannin compounds with a mobile phase butanol : propanol : distilled water marianus kafelau et al. indo. j. chem. res., 10(1), 32-37, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 36 (2:3:3). from the elution results obtained two spots of separation with the value of rf 0.79 and 0.62. identification of saponin compounds by tlc test using the mobile phase chloroform: methanol: distilled water: propanol (5:1:6:4) and obtained one spot of separation with an rf value 0.76. furthermore, a tlc test was carried out to confirm the results of phytochemical screening of steroid compounds with heptane: acetone: methanol as mobile phase (5:1:4). from the elution results, one spot was obtained from the separation with an rf value of 0.34. these results are in line with the edap phytochemical test which showed that the extract contained a class of alkaloid compounds, flavonoids, tannins, saponins and steroids which was strengthened by the presence of a specific stain color when the tlc test was performed. table 3. rf values for various phytochemical phytochemical solvent system number of strain rf value alkaloids chloroform: methanol: hcl 1 0.86 flavonoids chloroform: methanol: distilled water: butanol 1 0.82 tannins butanol: propanol: distilled water 2 0.79; 0.62 saponins chloroform: methanol: distilled water: propanol 1 0.76 steroids heptane: acetone: methanol 1 0.34 conclusion based on the results of a phytochemical test it can be concluded that edap produces many secondary metabolites of medicinal value including flavonoids, alkaloids, tannins, saponins and steroids. these results are confirmed by the tlc results. references callixte, c., baptiste, n.j., & arwati, h. (2020). phytochemical screening and antimicrobial activities of methanolic and aqueous leaf extracts of carica papaya grown in rwanda. molecular and cellular biomedical sciences, 4(1), 39–44. kido, r. m., & naja, k. r. r. r. (2018). analisis sifat fisikokimia dan fitokimia ekstrak daun tumbuhan semak bunga putih (chromolaena odorata king & h. e. robins). chmk pharmaceutical scientific journal, 1(1), 10–20. kopon, a. m., baunsele, a. b., & boelan, e. g. (2020). skrining senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol biji alpukat (persea americana mill.) asal pulau timor. akta kimia indonesia, 5(1), 43–52. marliana, s. d., suryanti, v., & suyono. (2005). skrining fitokimia dan analisis kromatografi lapis tipis komponen kimia buah labu siam ( sechium edule jacq. swartz.) dalam ekstrak etanol. biofarmasi, 3(1), 26–31. hasti, f.s., kopon, a.m., baunsele, a.b., tukan, m.b., leba, m.a.u., boelan, e.g., & komisia, f. (2022). identification of phytochemical extract of a combination of young coconut water, ginger and turmeric. indonesian journal of chemical research, 9(3), 208–214. nugrahani, r., yayuk, a., & hakim, a. (2016) skrining fitokimia dari ekstrak buah buncis (phaseolus vulgaris l) dalam sediaan serbuk. jurnal penelitian pendidikan ipa, 2(1), 96–103. pontoan, j. (2016). uji aktivitas antioksidan dan tabir surya dari ekstrak daun alpukat (persea americana m.). indonesia natural research pharmaceutical journal, 1(1), 55–66. puspitasari, l., swastini, d. a., & arisanti, c.i.a. (2013). skrining fitokimia ekstrak etanol 95% kulit buah manggis (garcinia mangostana l .). jurnal farmasi udayana, 2(3), 1-4. ramadani, a. h., rizkya, k., & ningrum, r.s. (2022). antibacterial activity of pineapple peel (ananas comosus) eco-enzyme against acne bacterias (staphylococcus aureus and prapionibacterium acnes). indonesian journal of chemical research, 9(3), 201–207. ranade, s. s., & thiagarajan, p. (2015). a review on persea americana mill. (avocado) its fruit and oil. international journal of pharmtech research, 8(6), 72–77. goa, r. f., kopon, a. m., & boelan, e. g. (2021). skrining fitokimia senyawa metabolit sekunder ekstrak kombinasi kulit batang kelor (moringa oleifera) dan rimpang temulawak (curcuma xanthorrhiza). jurnal βeta kimia, 1(1), 37–41. santi, t. d. (2015). uji toksisitas akut dan efek marianus kafelau et al. indo. j. chem. res., 10(1), 32-37, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 37 antiinflamasi ekstrak metanol dan ekstrak nheksana daun pepaya (carica papaya l). pharmaceutical sciences and research, 2(2), 101–114. sariwati, a., fatmawati, s., rizqi, h.d., & purnomo, a.s. (2021). antioxidant properties of the byproduct indonesian favourable fruits. asm science journal, 16(1),107–118. sariwati, a., fitri, i., purnomo, a. d., & fatmawati, s. (2019). phytochemical screening, antioxidant and antibacterial of anthurium jenmannii leaves extracts. hayati journal of biosciences 26(3), 101–109. saudale, f., & boelan, e. (2018). aktivitas antibakteri ekstrak polar dan non polar biji kelor (moringa oleifera) asal pulau timor ntt. jurnal sains dan teknologi, 7(1), 67–76. vij, t., & prashar, y. (2015). a review on medicinal properties of carica papaya linn.. asian pacific journal of tropical disease 5(1), 1–6. lobang, e. w. n., putri, i. m., hanafi, z., & widhiyastuti, e. (2020). the effect of combination carica papaya extract and propolis to increase platelets. jurnal farmasi (journal of pharmacy), 9(2), 26–32. yuda, p. e. s. k., erna, c., & winariyanthi, n. p. y. (2017). skrining fitokimia dan analisis kromatografi lapis tipis ekstrak tanaman patikan kebo (euphorbia hirta l.). jurnal ilmiah medicamento, 3(2), 61–70. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 129 study of molecular docking of alkaloid derivative compounds from stem karamunting (rhodomyrtus tomentosa)against α-glucosidase enzymes budi mulyati1*, riong seulina panjaitan2 1industrial engineering, engineering faculty, nurtanio university, bandung 2pharmaceutical science, pharmacy faculty, 17 agustus 1945 university, jakarta *corresponding author: b.mulyati@unnur.ac.id received: received in revised: accepted: available online: abstract karamunting plant (rhodomyrtus tomentosa) is a traditional medicinal plant. the leaves, roots, stems, and fruits of karamunting have been identified, and their biological activities are antioxidants, antibacterial, antidiabetic, anti-inflammatory and anticancer that contained alkaloids, tannins, and flavonoids. the types of alkaloids found in karamunting stems are homolycorine, ismine, lycorine, maritidine and tazetine. this study aims to determine the binding score of alkaloid-derived compounds with protein α-glucosidase and determine the protein's active site bound to the ligand. the method used in this research is protein-ligand ant-system (plants). the results showed that the anchoring score of homolycorine was -60.83 kcal/mol, ismine -64.42 kcal/mol, lycorine -71.20 kcal/mol, maritidine -61.82 kcal/mol, and tazetine -65.02 kcal/mol. the active sites used for binding are glu526, gly555, and pro556. the average score for anchoring alkaloid-derived compounds with protein α-glucosidase is 83.84%. this number indicates that karamunting stems can be used as antidiabetic. keywords: karamunting, alkaloids, antidiabetic, docking, plants. introduction diabetes mellitus is one of the non-contagious diseases and is one of the comorbid or accompanying diseases in patients infected with covid-19. based on data from the international diabetes federation (2020), indonesia ranks 7th out of 10 countries with the highest number of diabetes patients. there are more than 10.8 million people with diabetes in indonesia. the prevalence of diabetes mellitus shows an increase with the patient's increasing age, which reaches its peak at the age of 55-64 years (widiastuti, 2020). various efforts to prevent and treat diabetes continue to be made, including developing various types of treatment. one of them is to look for new sources of medicine from natural ingredients. many herbal plants have antidiabetic activity because they have active compounds that play a role, including flavonoids and alkaloid. treatment of diabetes mellitus can be done medically or traditionally. medical treatment can be done orally or by injection, namely insulin, but the cost of this treatment is relatively expensive if used continuously. alternative medicine by taking traditional medicine is an option because it is obtained easily. one of the plants used as traditional medicine by the people of kalimantan is karamunting (rhodomyrtus tomentosa). this plant belongs to the myrtaceae family and has the international name rosemyrle (ningrum, purwanti, & sukarsono, 2016). karamuntings’ stem contains flavonoids, alkaloids, saponins, tannins, terpenoids, and phenolics. alkaloid compounds are effective as anti-diarrhea, anti-diabetic, anti-microbial, and anti-malarial. still, some alkaloid compounds are toxic, so it is necessary to identify alkaloid compounds whose benefits can be known. furthermore, ningrum, purwanti, & sukarsono (2016) research showed that the alkaloids found in the karamunting plant were maritidine, homolycorine, ismine, tazettine, and lycorine (ningrum et al., 2016). α-glucosidase inhibitor is a type of drug for type 2 diabetes that works to block starch metabolism by inhibiting enzymes in the intestine to break down carbohydrates to slow down glucose absorption (ak, juliani, sugito, & abrar, 2019; laily & khoiri, 2016; ouassou et al., 2018; yin, zhang, feng, zhang, & kang, 2014). there are two approaches in computational chemistry, namely molecular mechanics and electron structure theory. molecular mechanics is an empirical method used to express the potential energy of molecules as a function of geometric variables. budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 130 molecular mechanics uses the classical mechanics' approach. molecular mechanics methods are helpful for modeling macromolecular systems but cannot study electron distribution systems such as bond formation or breaking and electron excitation processes (male, sutapa, & ranglalin, 2015). the application of computational chemistry methods in discovering and developing new drug compounds has become popular. this reason is that in silico method offers an economic strategy and an effective effort to find new drugs by utilizing computer capabilities in performing simulations and calculations such as optimization of activity, geometry, and reactivity before compounds are experimentally synthesized (kilo, aman, sabihi, & kilo, 2019). docking is currently the most widely used molecular modeling method. gaspersz & sohilait (2019) have used molecular docking. they have studied about the interaction between mangostin compounds and α-amilase (gaspersz & sohilait, 2019). the binding has three main objectives: predicting the binding of the active site of a new ligand using virtual screening and predicting the binding affinity between the compound and the active site of the known ligand. one of the software that supports protein ligand-receptor binding is plants. plants is a free application that has the same quality as other paid docking applications. in addition, the advantages of the plants software are that it is simple and easy. however, plants does not provide the function of protein preparation, ligands, or visualization, so additional applications are needed (purnomo;, 2011). research conducted by (dewijanti, mangunwardoyo, dwiranti, hanafi, & artanti, 2020) on the activity of bay leaf extract, which contains alkaloids, flavonoids, tannins, steroids, and phenols, can interact with proteins, inhibiting the work of the αglucosidase enzyme (dewijanti, mangunwardoyo, astari dwiranti, muhammad hanafi, & nina artanti, 2020) the purpose of this study was to determine the binding score of the ligands of alkaloid-derived compounds with protein α-glucosidase and to find the active site of binding between alkaloid-derived compounds that can bind to protein α-glucosidase. by knowing the percentage of the anchorage score, it can be concluded that the tendency of alkaloid-derived compounds to bind to α-glucosidase protein can be concluded. methodology hardware the hardware used in this research is a set of computers with processor chips core™ i5-1135g7 processor 2.4ghz, 8.00 gb ddr4, vga card intel® iris® xe graphics. software the software used in this research is marvinsketch version 5.2.5.1, marvinspace version 5.2.5.1, plants (protein-ligand ant-system), yasara, and discovery studio 2021. the online database program used by pdb (protein data bank) with code 2jke (https://www.rcsb.org/structure/2jke), online pass (prediction of activity spectra for substances). procedures protein validation. the study started with protein preparation. the protein used was α-glucosidase from thetaiotamicron bacteria with deoxynojirimycin ligand. this protein structure was taken from the protein data bank with the code 2jke (https://www.rcsb.org/structure/2jke). the validation process is intended to predict the position and interaction of the protein α-glucosidase and the natural ligand deoxynojirimycin. this validation process begins by removing the ligands and metal calcium (ca) that are not needed. then the natural ligands were prepared using marvin sketch version 5.2.5.1 by protonating at ph 7.4. determination of ph 7.4 because the ph is the ph of the human body. furthermore, the natural ligands were searched for the best conformation of the ten conformations in the marvin sketch application. the best conformation is the conformation of the ligand, which has the lowest energy, then is stored in the form of .mrv (ruswanto, 2015). then the ligands with ten confirmations were optimized with the protein crystal structure using the plants software program to obtain a docking score. then the best score is selected and saved (in mole) after that, calculated the value of the rmsd pose of the optimization result regarding the experimental results or protein crystal structure with the yet another scientific artificial reality application (yasara) program, which aims to test the validation of sample proteins, ligands and device performance hard. validation of alkaloid derivative compounds in this case, the alkaloid derivative compounds, homolycorine, ismine, lycorine, maritidine, and tazettine were tested first on pass online. each ligand budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 131 was prepared using marvin sketch version 5.2.5.1 and conditioned at ph 7.4 according to body human ph with a two-dimensional structure. then the ligands are stored in the form of 2d ligands. the five ligands were searched for the ten best conformations for the following bonding process. binding of ligand and protein molecules the ten conformational alkaloid derivatives were then docked with α-glucosidase protein using plants software on grid box x: 24.5376, y: 42.5666, and z: 68.8685, and binding site radius of 8.03809. furthermore, the results of ligand and protein docking obtained the value of the docking score. the lowest score represents the best conformation of the ligand. moreover, the proteins and ligands with the lowest score were combined to form new gdp using the yasara application. data analysis the new pdb from the yasara application was then analyzed by processing the data obtained from yasara and then calculated by comparing the anchoring scores between the ligands of alkaloidderived compounds and proteins and then comparing the protein docking scores with natural ligands. furthermore, the visualization of the docking results to see the protein's active site that binds to the ligand, the type of bond, and the distance of the bond is visualized in 2 dimensions and three dimensions using discovery studio 2021. results and discussion validasi protein. α-glucosidase is an enzyme that breaks down complex carbohydrates into simple sugars. the action of the α-glucosidase enzyme can be inhibited by a compound that functions as an inhibitor. inhibition of the α-glucosidase enzyme is expected to reduce the breakdown of complex carbohydrates into sugar, so blood sugar levels become normal and improve the function of pancreatic cells (pujiyanto, sunarno, & widyasari, 2015). inhibition of the action of this enzyme can effectively reduce the breakdown of complex carbohydrates and the process of glucose absorption to reduce the increase in postprandial glucose levels in people with diabetes (afandy, 2017). this research was started by simulating the binding of the new ligand molecule with the sample protein (α-glucosidase enzyme) by validating the protein and calculating its rmsd value using the yasara software. then the results of protein validation with the reference ligand (deoxynojirimycin) were visualized using pymol software version 2.4.1. the results of the visualization can be seen in figure 2. figure 2. visualization of the validation results of αglucosidase and reference ligand before docking the ligands of alkaloid-derived compounds, validation was carried out first by redocking the original ligand with the 2jke origin receptor. the parameter used is rmsd (root mean square deviation). the docking method is valid if it has an rmsd 2å (puratchikody, sriram, umamaheswari, & irfan, 2016). the smaller the rmsd value, the more similar the position of the docked ligand to the crystallographic ligand (purnomo, 2011). figure 3 a. rmsd result visualization 0.2990 figure 3b. rmsd value of α-glucosidase in this study, the result of 2jke re-docking with a natural ligand, namely deoxnojirimycin, was 0.2990, indicating that the validated ligands and proteins have met the valid theory criteria. the results of the visualization of the rmsd value of the natural ligand deoxynojirimycin can be seen in figure 3a. in this picture, the red ligand is the native ligand. at the same time, the yellow one is the ligand that has been budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 132 separated from its receptor, and we have tested its molecular bonding with the α-glucosidase receptor. the results of the rmsd value of α-glucosidase protein as shown in figure 3b. validation of alkaloid derivative compounds ligands are organic or inorganic compounds that play a role in interactions in the binding domain of proteins and can affect the activity of these proteins. based onningrum, purwanti, & sukarsono (2016), karamunting stems contain alkaloid-derived compounds, namely, maritidine, homolycorine, lycorine, ismine and tazetine, where homolycorine and maritidine are ligands in large quantities (ningrum, purwanti, & sukarsono, 2016). ligands will be used for the anchoring process adjusted to human conditions, namely ph 7.4. figures 4a to 4e are the chemical structures of the ligands of alkaloid-derived compounds used in this study. we have tested the ligands with pass online. pass online is a software product designed to evaluate the general biological potential of organic drug-like molecules. pass provides a simultaneous prediction of various types of biological activity based on the structure of organic compounds. thus, pass can estimate the biological activity profile for virtual molecules before their chemical synthesis and biological assays. if the pa value is more than 0.7, then the compound we are studying is included in the sub-class of active compounds. the online pass test results for these five ligands are > 0.8. figure 4.a. homolycorine structure figure 4.b. ismine strucuture figure 4.c. lycorine structure figure 4.d. maritidine structure figure 4.e. tazetine structure data analysis the docking is carried out between the target protein with the test ligand and the target protein with the comparison ligand. the result of docking is a grid score. the grid score is the energy required by the ligand bind to the protein. this energy is gibbs energy. more negative energy, means the bond between the ligand and protein is getting stronger. the results obtained from the test ligand and target protein binding and the comparison ligand with the assumption that the interaction of α-glucosidase complex formation with validated deoxynomirijin is 100%, so the percentage of α-glucosidase interaction is shown as shown in table 1. budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 133 table 1. the score of ligand binding with α-glucosidase with natural ligands as comparison ligand docking score (kkal/mol) percentage (%) deoxynojirimycin homolycorine ismine lycorine maritidine tazzetine -77.12 -60.83 -64.42 -71.20 -61.82 -65.02 100 78.87 83.53 92.32 80.16 84.31 in binding homolycorine molecules and protein αglucosidase, the binding score is -60.83 kcal/mol compared to standard ligands, which is a 78.87% tendency for homolycorine to form bonds with proteins, which is quite large. there are hydrogen bonds in arg 551, asn 525, glu526, pro 556, and hydrophobic interactions at residues pro 512, gly555, pro 556, ala 528, arg 551, and met 557. the o1 atom of the homolycorine ligand and the protonated n atom that positively charged arg 551 protein has an "attractive charge" or a salt bridge of 2.83. the hydrogen bonding of the salt bridge causes the stability of the bond between the homolycorine ligand and the glucosidase receptor. visualization results between glucosidase protein and homolycorine ligand can be seen in figure 5. figure 5. visualization of α-glucosidase and homolycorine in the binding of protein molecules, αglucosidase and ismine have a binding score of -64.42 kcal/mol. ismine and protein scores are lower than homolycorine and protein scores due to the presence of the oh functional group so that it is easy to form hydrogen bonds with amino acids in α-glucosidase proteins. there are two hydrogen bonds with amino acid residues in the visualization of the binding between the protein α-glucosidase and the ismine ligand (figure 6). the hydrogen bond between val 553 and arg 551 and the hydrophobic interaction of the ligand with amino acid residues, namely pro512, pro556, gly 555, ala 528, arg 55, and met 557. figure 6. visualization protein with ismine in the binding of protein molecules, α-glucosidase and lycorine have a binding score of -71.20 kcal/mol. this anchoring score is the best bonding score of all ligands derived from alkaloid compounds because the chemical structure of lycorine ligands has two oh groups. it is easy to form hydrogen bonds with amino acids. as shown in figure 7, the ligands include five hydrogen bonds with the amino acids gly 555, asn 525, arg 551, ser 527, and gly 524, with bond distances ranging from 1.61å 3.04. the presence of a lone pair of electrons from oxygen, as an electron donor binds gly 555 to form good stability so that the highest docking score reaches 92.32%. hydrophobic interactions are with glu 526, ala 528, arg 551, pro 512, gly 555, pro 556, and met 557. figure 7. visualization of -glucosidase and lycorine. budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 134 in binding protein molecules, -glucosidase and maritidine have a binding score of -61.82 kcal/mol. the binding score between maritidine and protein αglucosidase is good because there are two hydrogen bonds, glu 526 and leu 552. hydrophobic interactions are with pro 512, gly 555, pro 556, asn 525, arg 551, met 557, glu 526, and ala 528. the bonding scores between maritidine and protein are not as good as lycorine. this scores because the structure of maritidine only has three oxygen atoms. the hydrogen bonds formed between the oxygen atoms of the amino acid glu 526 and lycorine. this oxygen atom binds to three carbon atoms of the lycorine (ligand), namely c14, c15, and c16. the oxygen atoms of leu 552 attaches to the c9 and n1 of lycorine. the presence of one oh group on maritidine resulted in a better maritidine score than homolycorine. visualization of the binding of maritidine ligands and α-glucosidase protein can be seen in figure 8. figure 8. visualization of α-glucosidase and maritidine the binding score between tazzetine and proteinglucosidase is low at -65.02 kcal/mol because there are four amino acids, namely glu526, asn525, gly555, and pro556, which form bonds with ligands and nine amino acids that form hydrophobic bonds, namely arg511, pro512, ile523, gly524, ser527, ala528, leu552, val553, and gly554. the binding score of tazzetine and protein is better than the other three ligands because tazzetine has four oxygen atoms and one oh group in its structure. the oxygen atom has a lone pair of electrons to become an electron donor to the surrounding amino acids and an oh group that can form hydrogen bonds with amino acids. two nitrogen atoms of asn525 bind to the o4 atom of the ligand with bond lengths of 2.51å and 3.24å. the oxygen atom of ser527 binds to the c6 atom of the ligand. the oxygen atom of gly555 binds to c16 of the ligand. the oxygen atom of pro556 attaches to the c13 atom. the visualization results of -glucosidase protein and tazzetine ligands can be seen in figure 9. figure 9. visualization of α-glucosidase and tazzetine the results summary of binding to the α-glucosidase receptor and each ligand regarding the type of bond and the bond distance can be seen in table 2. table 2. ligand interactions with amino acid residues in α-glucosidase ligand interaction with amino acid residues amino acid residu bond type bonding distance hydrophobic homolycor ine asn 525 glu 526 pro 556 arg 551 hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond 2.84 å 1.57 å 1.42 å 2.79 å 2.32 å pro 512 cys 516 ala 528 arg 551 ismine val 553 val 553 arg 551 hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond 2.61 å 2.02 å 2.86 å pro512 pro556 gly 555 ala 528 arg 551 met 557 lycorine asn 525 arg 551 gly 524 ser 527 gly 555 hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond 2.46 å 2.20 å 2.75 å 3.04 å 1.61 å glu 526 ala 528 arg 551 pro 512 gly 555 pro 556 met 557 maritidine glu 526 leu 552 hydrogen bond hydrogen bond 1.27 å 1.33 å pro 512 gly 555 pro 556 asn 525 arg 551 met 557 glu 526 ala 528 budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 135 tazetine asn 525 ser 527 arg 551 gly 555 pro 556 hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond hydrogen bond 2.50 å 2.03 å 2.38 å 1.95 å 1.65 å arg511 pro512 ile523, gly524, ser527, ala528, leu552, val553 gly554. conclusion based on the discussion results, the anchoring scores of alkaloid-derived compounds withglucosidase are as follows: homolycorine -60.83 kcal/mol, ismine -64.42 kcal/mol, lycorine -71.20 kcal/mol, maritidine -61.82 kcal/mol and tazetine 65.02 kcal/mol. the active sites used for binding were arg 551, gly 555, and pro 556. the average score for binding of alkaloid-derived compounds to -glucosidase protein was 83.84%, indicating that karamunting stems can be used as candidates for diabetes drugs in silico. acknowledgment the author would like to thank the ministry of research and technology/national research and innovation agency (kemenristek/brin) for funding this research in the beginner lecturer research program for the 2021 fiscal year. references afandy, m. a. (2017). isolasi dan pemurnian enzim α-glukosidase dari beras ketan hitam (oryza sativa var. glutinosa) serta amobilisasi dengan matriks ca-alginat-kitosan secara mikroenkapsulasi. skripsi (departemen kimia. universitas hassanudin.). departemen kimia. universitas hassanudin., makassar, indonesia. retrieved from http://digilib.unhas.ac.id/ uploaded_files/temporary/digitalcollection/mw y0otflyzkzogzkzji5mtm2mtbmmdq4m mmzodu4oguwowi5zwrmyq==.pdf ak, m. d., juliani, j., sugito, s., & abrar, m. (2019). α-amylase and α-glucosidase inhibitors from plant extracts. jurnal medika veterinaria. 13(2), 151–158. https://doi.org/10.21157/j.med.vet..v1 3i2.13819 dewijanti, i., mangunwardoyo, w., dwiranti, a., hanafi, m., & artanti, n. (2020). short communication: effects of the various source areas of indonesian bay leaves (syzygium polyanthum) on chemical content and antidiabetic activity. biodiversitas journal of biological diversity. 21(3), 1190–1195. https://doi.org/ 10.13057/biodiv/d210345 gaspersz, n., & sohilait, m. r. (2019). penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor α-amilase pankreas manusia. indonesian journal of chemical research. 6(2), 59–66. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.6-nel kilo, a. l., aman, l. o., sabihi, i., & kilo, j. l. (2019). studi potensi pirazolin tersubstitusi 1-n dari thiosemicarbazone sebagai agen antiamuba melalui uji in silico. indonesian journal of chemical research. 7(1), 9–24. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2019.7-akr laily, a. n., & khoiri, a. n. (2016). identifikasi senyawa antidiabetes secara in silico pada carica pubescens lenne & k. koch. el-hayah : jurnal biologi. 5(4), 135–142. https://doi.org/ 10.18860/elha.v5i4.3469 male, y. t., sutapa, i. w., & ranglalin, o. m. (2015). computational study natural color essence (dyes) as active material on organic solar cell with density functional theory (dft). indonesian journal of chemical research. 2(2), 205–212. ningrum, r., purwanti, e., & sukarsono, s. (2016). alkaloid compound identification of rhodomyrtus tomentosa stem as biology instructional material for senior high school x grade. jpbi (jurnal pendidikan biologi indonesia). 2(3), 231–236. https://doi.org/ 10.22219/jpbi.v2i3.3863 ouassou, h., zahidi, t., bouknana, s., bouhrim, m., mekhfi, h., ziyyat, a., … bnouham, m. (2018). inhibition of α-glucosidase, intestinal glucose absorption, and antidiabetic properties by caralluma europaea. evidence-based complementary and alternative medicine. 2018, e9589472. https://doi.org/10.1155/2018/9589472 pujiyanto, s., sunarno, s., & widyasari, a. (2015). isolasi dan karakterisasi bakteri endofit penghasil inhibitor α-glukosidase dari tanaman pare (momordica charantia l). prosiding snst fakultas teknik, 1(1), 65–71. puratchikody, a., sriram, d., umamaheswari, a., & irfan, n. (2016). 3-d structural interactions and quantitative structural toxicity studies of tyrosine derivatives intended for safe potent inflammation treatment. chemistry central journal. 10(1), 24. https://doi.org/10.1186/s13065-016-0169-9 purnomo;, h. (2011). kimia komputasi: molecular docking plants penambatan molekul plants (protein-ligand-ant-system) (ilmu semut). yogyakarta: pustaka pelajar. (yogyakarta). retrieved from //fisika.unnes.ac.id/lib/ index.php?p=show_detail&id=1523&keywords= budi mulyati et al. indo. j. chem. res., 9(2), 129-136, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-bud 136 ruswanto, r. (2015). molecular docking empat turunan isonicotinohydrazide pada mycobacterium tuberculosis enoyl-acyl carrier protein reductase (inha). jurnal kesehatan bakti tunas husada: jurnal ilmu-ilmu keperawatan, analis kesehatan dan farmasi. 13(1). https://doi.org/10.36465/jkbth.v13i1.25 widiastuti, l. (2020). acupressure dan senam kaki terhadap tingkat peripheral arterial disease pada klien dm tipe 2. jurnal keperawatan silampari. 3(2), 694–706. https://doi.org/10.31539/ jks.v3i2.1200 yin, z., zhang, w., feng, f., zhang, y., & kang, w. (2014). α-glucosidase inhibitors isolated from medicinal plants. food science and human wellness. 3(3), 136–174. https://doi.org/ 10.1016/j.fshw.2014.11.003 microsoft word 7.netty siahaya.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 40 bioconcentration of chrome (cr) metal in three types of sponge (callispongia sp., xetospongsia sp. and petrosia sp.) from ambon bay antho netty siahaya1, alfian noor2, shielda natalia joris1* 1chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, jl. ir. m. putuhena, ambon, indonesia 2chemistry department, faculty of mathematics and natural sciences, hasanuddin university, jl. perintis kemerdekaan no.km 10, makassar, indonesia *corresponding author: shieldajoris@gmail.com received: april 2021 received in revised: april 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract research about bioconcentration of chrome metal in three types of sponge (callispongia sp., xetospongia sp., and petrosia sp.) from ambon bay. this research main is to know the most effective type to accumulate cr metal in water. the cr concentration measurement of water, sediment, and sponges at each location shows that metal concentration is 0.001-0.030 ppm in sediment higher than 0.001-0.003 ppm in water. concentration based on sponges type callispongia sp., xetospongia sp., and petrosia sp. are 0.001-0.262 mg/kg dry weight: 0.001-0.134 mg/kg dry weight, 0.001-0.330 mg/kg dry weight, respectively. the adsorption factor (af) of cr metal ranges from 0.000-0.028 ppm. bioconcentration factor (bcf) based on sponges type callispongia sp., xetospongia sp., and petrosia sp. are -0.011-0.261 mg/kg dry weight, -0.001-0.132 mg/kg dry weight, and -0.001-0.329 mg/kg weight dry, respectively. sponges type that suitable used as cr metal pollution monitoring media is callispongia sp. and xetospongia sp. keywords: bioconcentration, callispongia sp., cr metal, petrosia sp., sponges, xetospongia sp. introduction heavy metals have been recognized as harmful things to the environment. much research has been done to analyze the heavy metals content in environmental samples, especially for sea samples such as seawater, sediments, and organisms. wibowo et. al (2020) has been doing an analysis of nickel in seawater and its distribution at kendari bay (dwiprayogo wibowo et al., 2020). a year before, rustiah et. al (2019) has been studied the distribution of pb and cd in sediments along estuary area and sea at spremode, south sulawesi (waode rustiah, alfian noor, maming maming, muhammad lukman, & nurfadillah nurfadillah, 2019). besides the study on environmental samples, mariwy et. al (2020) has been developed a method to monitoring mercury accumulation by using awar-awar plants (ficus septica burm f) (abraham mariwy, yeanchon h. dulanlebit, & fian yulianti, 2020). the research about sea water shows that sources of pollutants that cause deterioration of seawater quality around the sea comes from the tuban beach, ship waste, waste from fish auctions, garbage disposal waste to the sea and residential areas in the coastal tuban (spanton & saputra, 2017). irzon (2017) found that the there is anomaly is detected in ni-cr content whilst most of rare earth elements show minimum outliers. anthropogenic activities most possibly influence the high ni and cr composition in samples near the mouth of serang river. on the other hand, the two heavy metals are relatively low in the samples in congot because they are influenced by bogowonto river which flows through a rural area. cr and ni are more concentrated in the surface, whilst rb, sr, zr, and ba are in the subsurface sample of polluted locations. folk gold mining activity in sangon is rather correlated to cd, cu, pb, hg, and zn pollutions but not ni and cr (irzon, 2017). zhitkovich (2011) has been done an overview about the chromium sources in drinking water. the results shows that the presence of cr(vi) in drinking water results from bothanthropogenic and natural sources. limited epidemiological studies are insufficient to establish carcinogenic risks of cr(vi) ingestion in humans. consumption of cr(vi) through drinking water produced clear carcinogenic effects in both sexes of mice and rats, and cr(vi) has a firmly established potential to cause human respiratory antho netty siahaya, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 41 cancers. since cr(vi) is taken up via ubiqui-tously expressed transporters and metabolized by ubiquitously present cellular reducers, cells of the human digestive system arealso expected to form cancer-promoting cr-dna damage. multispecies and multisite carcinogenicity of cr(vi) along with its broad genotoxicity provide a strong basis for a classification of cr(vi) exposures through drinking water as likely to be carcinogenic to humans. diverse lines of evidence demonstrate the importance of a dna-reactive mutagenic mechanism in cr(vi) carcinogenicity, lending mechanistic support for a linear low-dose extrapolation of cancer risks in humans. the bioavailability results and kinetic considerations indicate incomplete gastric detoxification of cr(vi) at environmental levels ofexposure, predicting its uptake and genotoxic metabolism inthe small intestine (zhitkovich, 2011). chrome is a metal element on the periodic table, group 16, with the atomic number 24. cr metal is one of many large elements on earth and is also found in many oxidation numbers such as cr(0), cr(iii), cr(iv), and cr(vi). chrome metal that usually environmentally polluted is cr(iii) and cr(iv), which come from leather, textile, paint, and steel industry (nuraini, endrawati, & maulana, 2017). printing and pipe coating industries used cr as a non-corrosive agent, also as additional material in paint mixing, even as a coloring agent because of its low solubility in water (arifin & fadhlina, 2010). high concentration cr metal in water could be toxic effect because of bioaccumulation in the water organism’s body and continues until this organism can not tolerate that metal concentration(andini, 2017). therefore, cr metal can solve into the water in low concentration, but in sediment, this bioaccumulation could be higher because of physic, chemistry, and biology water process where biomagnification could happen in an organism’s body. the sponge is one demersal organism that lives at corals. ambon bay water has corals as long as ambon island coastal (melawaty et al., 2014). the sponge is used as a biological indicator of water pollution level because of its habit and large distribution in ambon bay. this statement is suitable for (melawaty et al., 2014) opinion of sponge has an ideal basic property that can accumulate metal based on dietary (filter feeder), where seawater contains solved particles as foods then filtered through its pores (melawaty et al., 2014). siahaya, noor, sukamto, & de voogd, (2021) and pawar & al tawaha, (2017) also have the same opinion that explains that metal concentration in sponges has a strong correlation with industry water waste from the environment. methodology materials and instrumentals some materials that used in this experiment are sponges sample, water sample, sediments sample, nitric acid, chloride acid, ammonium pyrolidin dithio carbamat (apdc), methyl iso butyl ketone (mibk), double distilled water, whatman 42 filter paper, and cellulose nitrate filter paper 0.45 µm. water sampler, separating funnel, polyethylene sample bottle, teflon bottle, oven (merck), mortar, ph meter, flowmeter, thermometer, bechman salinometer, global position system (gps), analytical balance, desiccator, stirring rod, and icp-oes perkin elmer 3000. methods sediments sample preparation water and sediment samples were carried out from sponges around the area by using a water sampler. sediment samples were put in polyethylene bottles that had been washed with hno3 6n and rinsed with aquadest. in the laboratory, sediment was put into a teflon bottle and dried in the oven at 105 °c for 24 hours. after drying, the sample was rinsed three times with aquabidest. then this drying procedure was repeated. after that sediment sample crushed in a beetle. the amount of 5 grams sediment samples were destructed in teflon beaker with hno3/hcl mixture at 100°c and then filtered. its filtrate was put into a volumetric flask of 250 ml, and its volume was adjusted with aquabidest. this solution was analyzed by icp-oes perkin elmer 3000. water sample preparation water samples were taken at the location and immediately filtered with cellulose nitrate filter paper, which washed previously with hno3 1n. after that, this sample was preserved with hno3 1n. the amount of 250 ml water sample put into teflon separating funnel, then extracted with apdc-naddc/mibk. the organic phase was extracted again with hno3 6n. this solution was filtered and then analyzed by icpoes perkin elmer 3000. sponges sample preparation sponges sample that has been dried in total form and also the frame carefully weighed for 0.5 g in each beaker glass with 5 ml hno3 addition. this solution was heated at 150 °c for two hours then cooled at room temperature. after that, the sample was filtered with antho netty siahaya, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 42 whatman 42 filter paper. the sample solution was diluted in a 250 ml measuring flask by using aquabidest then analyzed by icp-oes perkin elmer 3000. figure 1. sampling location site ( ) results and discussion chrome concentration in water and sediments the results of the analysis of the cr metal concentration using icp-oes perimeter 3000 in water and sediment shows in table 1. table 1.the concentration of cr metal in the water at the study site location water (ppm) sediment (ppm) halong 0.002 0.005 kota jawa 0.001 0.001 hative besar 0.001 0.006 amahusu 0.002 0.004 batu capeo 0.003 0.005 ery 0.002 0.03 latuhalat 0.004 0.01 pulau tiga 0.001 0.001 the result data (table 1) showed that the cr metal concentration of cr at each study location ranged from 0.001 ppm to 0.003 ppm in water. cr metal concentration value was highest at the latuhalat location (0.004 ppm), and the lowest was at the location of the kota jawa and hative besar, which had the same concentration value of 0.001 ppm. when compared with normal cr metal concentrations in seawater naturally is 0.00005 ppm (onchoke & sasu, 2016), so that the overall cr metal concentration in the bay of ambon is already worrying. this value is following palar’s (2008) opinion that metal cr and its alloys are widely used as plating materials on various equipment, ranging from household appliances to modern materials such as cars. furthermore, according to the study location where metal concentrations are generally high for locations close to the city center of ambon (palar, 2008). cr metal is a metal that is easily soluble in water, as in the opinion of shama et al. (2015), where the reaction of high-charged cr metal is strongly hydrolyzed in aqueous solutions with a small equilibrium constant (k), for example, the water solution with an equilibrium constant (k) small: cr(h2o)63+ + h2ocr(h2o)5oh2+ + h3o+ subsequent hydrolysis can occur by losing one or more protons from coordinated water. cr(h2o)5oh2++h3o+cr(h2o)4(oh)2++h3o+ the results of the analysis of cr metal concentration on sediments in the study location (ambon bay) showed in figure 2. figure 2. the cr metal concentration in sediment at each study location (different letter showed significant differences at α < 0.05 data from the analysis of cr concentration in sediments ranged from 0.001 to 0.003 ppm. the highest concentration value in the ery location was 0.030 ppm, and the lowest was in the location of the kota jawa (0.001 ppm). the concentration of metal cr when compared to the control location (p<0.05) showed very differently. the same pattern of cr concentration in the water due to the current influence so that for control location. furthermore, the comparison of cr metal concentration in water is higher than in sediment. chrome concentration in sponges the results of cr concentration analysis in sponge callispongia sp., xestospongia sp., and petrosia sp. shown in table 2, where the concentration of metal used is the approach of total metal concentration and sponge frame because the sponge is an animal that does not have a complete organ (pawar & al tawaha, 2017) so that it analytical called concentration in the network, antho netty siahaya, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 43 namely, total metal concentration versus metal concentration in the frame. data from the analysis using icp-oes showed that the sponges of callispongia sp., xetospongia sp., and petrosi sp. at each study location of the kota jawa, halong, and hative besar had a higher concentration of cr metal compared to other locations. however, when compared with cr concentration in water and sediment, it is inversely proportional, wherein these three locations, it turns out that the concentration is low. table 2. cr metal concentrations in callispongia sp., xestospongia sp. and petrosia sp. sponge at locations location concentration mg/kg weight dry callispongia sp. xestospongia sp. petrosia sp. halong 0.098 0.134 0.181 kota jawa 0.262 0.056 0.330 hative besar 0.035 0.009 0.025 amahusu 0.007 0.001 0.001 batu capeo 0.001 0.001 0.001 ery 0.013 0.002 0.002 latuhalat 0.001 0.001 0.002 pulau tiga 0.001 0.001 0.001 the possibility is related to the nature of the metal itself, as stated by pawar (2017) that the nature of cr metal is easily hydrolyzed in water to form cr3+ and also easily oxidized from cr2+ to cr3+ and due to reduction and oxidation changes (pawar & al tawaha, 2017b). this factor causes chelation so that cr metal is easily bioaccumulated in the sponge. thus the redox environment is a source of bioaccumulation of metal concentrations in the biota network. in this case, according to palar (2008), the solubility of metal elements in water bodies is controlled by ph, type of metal and chelate concentration, state of the oxidized mineral components, and the redox system of the environment (palar, 2008). data analysis of bioconcentration of cr in xestospongia sp. and callispongia sp. is more suitable for bioaccumulation of cr metal concentrations compared to petrosia sp. in this case, according to the opinion of shama et. al (2015) which states the concentration of metals accumulated in a sponge is influenced by the type and habitat of the sponge (shama, moustafa, & gad, 2015). the results of bioconcentration factor analysis in table 3 shows that the bioconcentration value of cr based on the type of sponge is: 1) callispongia sp., (0.011-0.261 mg/kg dry weight) and the highest concentration in the location of kota jawa and the lowest in batu capeo location. table 3. bioconcentration of cr metal factors at location research locations location bioconcentration factor of cr metal in sponges (mg/kg dry weight) callispongia sp. xetospongia sp. petrosia sp. halong 0.096 0.132 0.179 kota jawa 0.261 0.055 0.329 hative besar 0.034 0.008 0.024 amahusu 0.005 -0.001 -0.001 batu capeo -0.002 0 -0.002 ery 0.011 -0.002 0 latuhalat -0.003 -0.003 -0.002 pulau tiga 0 0 0 2) xetospongia sp. (-0.001-0.132 mg/kg dry weight) with the highest concentration in halong and the lowest in amahusu. 3) petrosia sp. (-0,0010,329 mg/kg dry weight), with the highest concentration, is at kota jawa and the lowest at amahusu. conclusion based on the research result of cr concentration in water, sediment, and three types of sponges (callispongia sp., xetospongia sp., and petrosia sp.) at each observation location, there is some conclusion that cr metal concentration ranges from 0.001 – 0.003 ppm in water. the highest found at latuhalat (0.004 ppm) and the lowest at kota jawa and hative besar with the same concentration is 0.001 ppm, and also control area 0.001 ppm; in sediments ranged from 0.001-0.030 ppm and at control area 0.001 ppm. the cr metal concentration in sediment is higher than in water. the concentration value based on callispongia sp. type is 0.001-0.262 mg/kg dry weight, xetospongia sp. is 0.001-0.134 mg/kg dry weight and petrosia sp. is 0.001-0.330 mg/kg dry weight. the study site at kota jawa, halong, and hative besar have higher metal concentrations compared to other locations. the highest bioconcentration factor (bcf) value based on sponge type is callispongia sp. -0.011-0.261 mg/kg dry weight with the highest concentration is at kota jawa, and the lowest is at amahusu location, this value is inverse to af value. therefore, the type of sponges that could use as monitoring media for cr contamination is callispongia sp. and xetospongia sp. references abraham mariwy, yeanchon h. dulanlebit, & fian yulianti. (2020). studi akumulasi logam berat merkuri menggunakan tanaman awar-awar antho netty siahaya, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 40-48, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 44 (ficus septica burm f). indonesian journal of chemical research, 7(2). https://doi.org/ 10.30598// ijcr.2020.7-abr andini, a. (2017). analisa kadar kromium vi [cr (vi)] air di kecamatan tanggulangin, sidoarjo. jurnal sain health, 1(2), 55–58. https://doi.org/10.51804/jsh.v1i2.105.55-58 arifin, z. a., & fadhlina, d. (2010). fraksinasi logam berat pb, cd, cu dan zn dalam sedimen dan bioavailabilitasnya bagi biota di perairan teluk jakarta. ilmu kelautan: indonesian journal of marine sciences, 14(1), 27–32. https://doi.org/ 10.14710/ik.ijms.14.1.27-32 dwiprayogo wibowo, basri basri, aryani adami, sumarlin sumarlin, rosdiana rosdiana, wa ndibale, & ilham ilham. (2020). analisis logam nikel (ni) dalam air laut dan persebarannya di perairan teluk kendari, sulawesi tenggara. indonesian journal of chemical research, 8(2). https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2020.8-dwi irzon, r. (2017). nickel and chrome pollutions identification in the coastal area of kulon progo, yogyakarta. jurnal lingkungan dan bencana geologi, 8(2). https://doi.org/ 10.34126/ jlbg.v8i2.143 melawaty, l., noor, a., harlim, t., & de voogd, n. (2014). essential metal zn in sponge callyspongia aerizusa from spermonde archipelago. advances in biological chemistry, 04, 86–90. https://doi.org/10.4236 /abc.2014.41012 nuraini, r. a. t., endrawati, h., & maulana, i. r. (2017). analisis kandungan logam berat kromium (cr) pada air, sedimen dan kerang hijau (perna viridis) di perairan trimulyo semarang. jurnal kelautan tropis, 20(1), 48–55. https://doi.org/10.14710 /jkt.v20i1.1104 onchoke, k. k., & sasu, s. a. (2016). determination of hexavalent chromium (cr(vi)) concentrations via ion chromatography and uvvis spectrophotometry in samples collected from nacogdoches wastewater treatment plant, east texas (usa). advances in environmental chemistry, 2016, 3468635. https://doi.org/ 10.1155/2016/3468635 palar, h. (2008). pencemaran dan toksikologi logam berat. rineka cipta. (jakarta). retrieved from //pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/index.php?p=show _detail&id=142 pawar, p. r., & al tawaha, a. r. (2017a). marine sponges as bioindicator species of environmental stress at uran (navi mumbai), west coast of india. american-eurasian journal of sustainable agriculture, 11(3), 29–37. pawar, p. r., & al tawaha, a. r. (2017b). marine sponges as bioindicator species of environmental stress at uran (navi mumbai), west coast of india. american-eurasian journal of sustainable agriculture, 11(3), 29–37. shama, s. a., moustafa, m. e., & gad, m. a. (2015). removal of heavy metals fe3+, cu2+, zn2+, pb2+, cr3+ and cd2+ from aquaeus solutions by using eichornia crassipes. journal electrochimica acta, 28(2), 125–133. siahaya, n., noor, a., sukamto, n., & de voogd, n. (2021). a preliminary effort to assign sponge (callispongia sp) as trace metal biomonitor for pb, cd, zn, and cr, an environmental perspective in hative gulf waters ambon. retrieved from https://www.scirp.org/journal/paperinformation.a spx?paperid=40926 spanton, p. i., & saputra, a. a. (2017). analysis of sea water pollution in coastal marine district tuban to the quality standards of sea water with using storet method. jurnal kelautan: indonesian journal of marine science and technology, 10(1), 103–112. https://doi.org/10.21107/jk.v10i1.2671 waode rustiah, alfian noor, maming maming, muhammad lukman, & nurfadillah nurfadillah. (2019). distribusi kandungan logam berat pb dan cd pada sedimen sepanjang muara sungai dan laut perairan spermonde, sulawesi selatan, indonesia. indonesian journal of chemical research, 7(1). https://doi.org/10.30598 //ijcr.2019.7-rus zhitkovich, a. (2011). chromium in drinking water: sources, metabolism, and cancer risks. chemical research in toxicology, 24(10), 1617– 1629. https://doi.org/10.1021 /tx200251t microsoft word 9. feybi.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 57-62, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-fey 57 pyrolysis reaction kinetics of styrofoam plastic waste feybi a. g. kauwo*, i dewa k. anom, john z. lombok chemistry study program, postgraduate school, universitas negeri manado, matani satu street, central tomohon, tomohon-north sulawesi, indonesia. *corresponding author: feybikauwo@gmail.com received: april 2021 received in revised: april 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract pyrolysis at the temperature range of 170 °c-237 °c against polystyrene (styrofoam) type plastic waste is carried out without a catalyst and added a catalyst. the purpose of this research was to study the reaction kinetics of styrofoam pyrolysis to liquid smoke products. pyrolysis using a series of tools made of glass to observe the processes that occur in the reactor. the results showed that styrofoam pyrolysis for liquid smoke products without catalyst and added catalyst took place in the first-order reaction. the kinetics of the pyrolysis reaction without a catalyst to observe the formation of liquid smoke products obtained by the equation of the reaction constant following the arrhenius equation k = ae2111.4 / t, with an activation energy value (ea) of 17.554 x 103 kj/mol and pyrolysis using a catalyst obtained k = ae10330/t, with an activation energy value (ea) of 85.883x103 kj/mol. using catalysts during pyrolysis will reduce the temperature so that the reaction will be slow. keywords: kinetics reaction, reaction order, plastic waste, pyrolysis, styrofoam introduction garbage is an environmental problem in indonesia (ningsih, ariyani, & sunardi, 2019). in north sulawesi for the city of manado, according to data from the manado city environment service, quoted from the manado tribune on may 23, 2018, that waste production per day reaches 412.9 tons, not including un transported waste. this waste or garbage is then disposed of in a landfill (tpa) to reduce waste in the middle of the city. waste based on its form consists of solid, liquid, and gas waste. solid waste, for example, biomass waste or those originating from living things such as leaves, coconut shells, and rice husks, this type waste is included in waste that can be decomposed by microorganisms, there is also plastictype solid waste, this waste cannot be degraded by microorganisms, its non-renewable nature takes time to degrade so that accumulation occurs (sumarni & purwanti, 2008). in the world, the most widely used plastic materials are polyethylene (pe), polyvinilckhorida (pvc), polypropylene (pp), and polystyrene (ps) (marnoto & sulistyowati, 2012). in society, plastic waste will be handled by disposing or burning, of course, this method is not a comprehensive way to process waste, on the contrary, breaking down waste by burning it will increase air pollution which will also cause environmental problems (anom & lombok, 2020), considering air pollution also occurs due to the use of fossil fuels (jelita, wijayanti, & jefriadi, 2018). in addition to solving environmental problems, proper waste processing can also have an economic impact on society (kasim, ridwan, & putra, 2018). processing various kinds of waste or other environmental pollutants requires the right technology, which has no side effects and does not leave new waste and problems to the environment (maafa, 2021), the technology in question is pyrolysis technology. products produced from pyrolysis technology include pyrolysis of plastic materials which can produce solids in the form of carbon and produce a liquid that can be processed as fuel. efforts to treat waste with this technology can overcome environmental problems and produce products such as fuel as alternative energy, given the energy source. the main source currently used comes from fossil fuels, whose energy reserves are increasingly limited (caturwati, suhendi, & prasetyo, 2015). styrofoam is a type of polystyrene (ps) plastic is a plastic material that is widely used as packing material for electronic devices and as a food container (salamah & maryudi, 2018) and its use as a greeting board has grown. styrofoam plastic waste processing using the pyrolysis technique is important because it is part of the action to solve environmental problems. feybi a. g. kauwo, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 57-62, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-fey 58 the process of reactants decomposition that occurs during pyrolysis is important to observe, observations can be made on the effect of temperature, pyrolysis time, and the effect of catalysts on the rate of reaction of the decomposition of reactants in forming products. knowing the kinetics of the pyrolysis chemical reaction of styrofoam-type plastics will provide information on how the process of decomposing plastic solids into liquid products. this information can be used to design a more efficient operating unit so that the pyrolysis product will be maximized (maafa, 2021). research conducted by sumarni & purwanti, (2008) on ldpe type plastic pyrolysis, the value of activation energy (ea) in the formation of liquid products is 663.39 kj/mol, with a rate constant value (k) following the arrhenius equation. this research also found that the higher the temperature, the more liquid products will be produced. based on this, it is necessary to conduct research on different types of plastics. methodology materials and instrumentals research conducted by sumarni & purwanti, (2008) on ldpe type plastic pyrolysis, the value of activation energy (ea) in the formation of liquid products is 663.39 kj/mol, with a rate constant value (k) following the arrhenius equation. this research also found that the higher the temperature, the more liquid products will be produced. based on this, it is necessary to research different types of plastics. figure 1. pyrolsis instruments the materials used are styrofoam which is used as a greeting board and natural zeolite catalyst which is obtained online. figure 2. styrofoam sample figure 3. zeolite catalyst methods styrofoam that is not used is collected and then mashed to a size of 3-4 cm. styrofoam is prepared in two containers, each weighing up to 200 g, then prepare 5 g of zeolite catalyst which has been dried in the sun. pyrolysis was carried out twice, namely styrofoam pyrolysis without a catalyst and styrofoam pyrolysis using a catalyst. observations were made every 15 minutes to observe the amount of liquid product produced. then by knowing the initial sample weight and the weight of the liquid measured at each time interval, the fraction of the weight of the liquid against time is obtained. data analysis in this research, the mechanism of styrofoam pyrolysis reaction is considered as the random breakdown of polystyrene polymer chains into smaller styrene molecules. this decomposition will produce products in the form of liquids, gases and solids, where changes in the concentration of the reactants to form the product will affect the temperature of the reaction rate. the relationship between reaction rate and concentration can be seen in table 1. feybi a. g. kauwo, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 57-62, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-fey 59 table 1. integrated rate law the relationship of the reaction rate constant (k) to temperature in styrofoam pyrolysis in the formation of liquid products was evaluated using the arrhenius equation (equation 1). 𝑘 = ae / (1) where ea is the activation energy (kj/mol), t is the absolute temperature (k), r is the gas constant 8.314 j/k.mol, e is the exponent and a is the frequency factor. this equation can be made in the form of a linear equation (equation 2) (majedi, wijayanti, & hamidi, 2015). ln𝑘 = − + ln 𝐴 (2) the plot of ln k against 1/t produces a straight linear equation with the slope of -ea/r and the intersection of ln a. the constant value of the rate of change of reagents into products can be written as follows equation (li, zhang, zhang, ding, & zhou, 2020). = 𝑘. 𝑓 (3) dm/dt is the change in mass at each time interval divided by the change in time, where m is the mass in the time interval, m0 is the mass in the initial state and ma is the mass in the final state. the mass percent of liquid smoke from pyrolysis (%) obtained using the equation 4 % = × 100% (4) wa is the final mass and w0 is the mass of the sample. results and discussion styrofoam pyrolisis the first observation was carried out on pyrolysis without a catalyst. a total of 200 g of styrofoam is put in the reactor at a temperature of 120 °c, at this temperature the solid styrofoam has melted. at 140 °c, white smoke was observed, and the sample began to melt. at a temperature of about 198 °c, there is already the first drop of liquid in the container bottle. at about 258 °c the heating begins to be constant. the observations were started at an average temperature of 237 °c i.e. 1 hour after the first liquid dripped when the reaction started to slow down. heating lasted for 3.5 hours. the second observation was carried out on pyrolysis plus catalyst. 200 g of styrofoam and 5 g of zeolite catalyst were put in the reactor at 100 °c, at this temperature the solid styrofoam had melted. at 120 °c, white smoke was observed, and the sample began to melt. at about 160 °c there is already the first drop of liquid in the container bottle. at about 180 °c the heating begins to be constant. then the observations started at an average temperature of 187 °c, that is, 1 hour after the first liquid dripped when the reaction started to slow down. heating lasts for 3.5 hours. pyrolysis of styrofoam without a catalyst at an average temperature of 235 °c obtained composition of 60% liquid, 35% solids, and 5% gas, while styrofoam pyrolysis using a catalyst at an average temperature of 182 °c obtained a liquid yield composition of 53.5%, solids as much as 40%, and gas 6.5%. styrene is the main constituent of styrofoam in addition to additional additives such as foams and fillers. as a type of plastic that is a thermoplastic, heating styrofoam at high temperatures causes the random termination of chemical bonds to polystyrene as a polymer breaks down into styrene monomers and also several other compounds, such as toluene, isopropyl benzene, benzene and xylene (marnoto & sulistyowati, 2012). the pyrolysis of polystyrene by (salamah & maryudi, 2018) at a temperature of 460 °c without a catalyst obtained 50% styrene, while pyrolysis with 10% zeolite catalyst obtained 16% styrene. the relation between mass of liquid product and pyrolysis time at the first 60 minutes of the pyrolysis time, the amount of oil production is greater than the subsequent times, this is because at the beginning of heating there are still many polymers as a constituent of styrofoam which decompose quickly. this data also shows that both styrofoam pyrolysis without a catalyst or using a catalyst will produce a product that decreases with increasing time. the remaining solid pyrolysis is black in powder form. rate law linear equation zero order v = −𝑘 [a] = −𝑘t + [a ] first order v = −𝑘 [a] ln[a] = −𝑘t + ln[a ] second order v = −𝑘[a] 1 [a] = −𝑘t + 1 [a ] feybi a. g. kauwo, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 57-62, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-fey 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 50 100 150 200 250 m as s (g ) time (min) tanpa katalis tambah katalis y = -0.0273x + 0.4921 r² = 0.9701 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 0 50 100 150 200 250 ln [ a ] time (t) y = -2111.4x + 5.5293 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 0.00190 0.00195 0.00200 0.00205 ln k 1/t figure 4. graph of liquid product mass vs pyrolisis time reaction order the decomposition mass fraction data of styrofoam to form liquid smoke products is processed using a graphical method by entering the data resulting from the formation of the product in the form of a plot of the reaction product fraction against time then obtained curves and straight-linear equations as in figures 5 and 6. data collection starts at 60 minutes because the temperature and reaction rate of oil formation is considered to be constant, indicated by the amount of liquid smoke product that is accommodated. determination of the reaction order can be determined by paying attention to the value of r square (r2) in the straight linear equation on each curve, where the r2 value closest to 1 is the straight-linear equation most suitable for showing the order of the experimental reaction (puspitasari, sutijan, & budiman, 2016). the known reaction order values can be used to calculate the rate constant values based on the rate law (laily et al., 2019). figure 5. graph of linear equation for first order pyrolisis reaction without catalyst figure 6. graph of linear equation for first order pyrolisis reaction with catalyst based on the linear equation obtained, it is known that the styrofoam pyrolysis process to form a liquid smoke product without a catalyst and adding a catalyst follows a first-order reaction. thus the decomposition reaction rate of styrofoam to form a liquid product is influenced by changes in concentration. the effetct of temperature based on table 2, by not controlling the temperature, the addition of a catalyst will reduce the heating temperature, so that pyrolysis without the addition of a catalyst will continue at high temperatures so that the reaction will produce more product quantities. the increase in temperature causes the number of colliding molecules to increase so that the reaction takes place faster. the energy involved in a reaction must be greater than the activation energy for a reaction to take place (haryono, 2017). the increase in temperature will also reduce the activation energy (hermaw, hardianto, suwandon, & rahmadianto, 2019). pyrolysis for hydrocarbon polymers requires a large amount of energy because at lower temperatures the reaction will take place slowly and the resulting product will be less (rahman, daud, & reza, 2017) table 2. total pyrolisis product liquid without catalyst with catalyst average temperature (oc) 235 182 total product 120 g 107 g feybi a. g. kauwo, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 57-62, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-fey 61 y = -10330x + 23.668 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 0.00210 0.00212 0.00214 0.00216 0.00218 0.00220 0.00222 ln k 1/t y = -2111.4x + 5.5293 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 0.00190 0.00195 0.00200 0.00205 ln k 1/t from the data on the process of liquid formation at each time interval, using the equation for the change of reagents into products, the reaction rate parameter is obtained, namely the value of the rate constant (k) at each time interval. after that, using the linear arrhenius equation, plotting ln k against 1/t, you will get a curve with a straight linear equation for the formation of the product. figure 7. ln k plotted vs 1/t pyrolisis witout catalyst figure 8. ln k plotted vs 1/t pyrolisis with catalyst based on the figures 7 and 8, the arrhenius equation is obtained as in table 3. thus, the exponential equation of the rate constant (k) and the value of activation energy (ea) for each pyrolysis can be determined. table 3. exponential equation of rate constant the effect of catalyst the use of a catalyst will reduce the temperature during pyrolysis (pratiwi & dahani, 2015), so that it will reduce the amount of product, on the other hand, theoretically, the catalyst will provide a reaction pathway with a lower activation energy value (purnami, wardana, & veronika, 2015; salamah & maryudi, 2018). in this study, pyrolysis using a catalyst was not observed in changes in activation energy but was observed at temperature changes, this was possible because this study did not control the temperature to remain constant, therefore it is necessary to control the temperature when using a catalyst. the use of a catalyst must also pay attention to the amount of catalyst used. research conducted by (dewangga, rochmadi, & purnomo, 2019) obtained results on pyrolysis with a higher amount of catalyst, a higher liquid product was obtained, but according to research by asmara & kholidah, (2019) on the excess amount of catalyst will reduce the liquid product resulting from pyrolysis. conclusion the pyrolysis of styrofoam to be liquid smoke products can observe at temperature of 170 °c 237 °c without catalyst and added catalyst takes place in the first-order reaction. the kinetic parameters of the pyrolysis reaction without a catalyst follow the arrhenius equation k = ae2111.4 /t, with an activation energy value (ea) of 17.554x103 kj/mol, and pyrolysis added catalyst follows the arrhenius equation k = ae10330/t, with the value of activation energy (ea ) of 85.883 x 103 kj/mol. the use of a catalyst during pyrolysis will reduce the temperature so that the reaction is slow. references anom, i. d. k., & lombok, j. z. (2020). karakterisasi asap cair hasil pirolisis sampah kantong plastik sebagai bahan bakar bensin. fullerene journal of chemistry, 5(2), 96–101. https://doi.org/10.37033/fjc.v5i2.206 asmara, w., & kholidah, n. (2019). pengaruh jumlah katalis zn terhadap hasil pirolisis limbah styrofoam menjadi bahan bakar cair. prosiding seminar nasional sains dan teknologi terapan, 2(1), 1–9. caturwati, n. k., suhendi, e., & prasetyo, e. (2015). alat pirolisis tempurung kelapa sawit sebagai bahan baku briket biomassa. flywheel : jurnal teknik mesin untirta, 2(1). https://doi.org/10.36055/fwl.v2i1.519 exponentian equation of rate constant (k) (minutes-1) temper ature (k) ea (kj/mol) without catalyst 𝑘 = ae , / 510 17.544,18 with catalyst 𝑘 = ae / 460 85.883,62 feybi a. g. kauwo, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 57-62, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-fey 62 dewangga, p. b., rochmadi, & purnomo, c. w. (2019). pyrolysis of polystyrene plastic waste using bentonite catalyst. iop conference series: earth and environmental science, 399, 012110. https://doi.org/10.1088/1755-1315/ 399/1/012110 haryono, h. (2017). analisa kinetika reaksi pembentukan kerak caco3-caso4 dalam pipa beraliran laminar pada suhu 30 oc dan 40 oc menggunakan persamaan arrhenius. traksi, 17(2). https://doi.org/10.26714/ traksi.17.2.2017. hermaw, d., hardianto, a., suwandon, p., & rahmadianto, f. (2019). pengaruh temperatur pirolisis terhadap energi aktivasi pada tar limbah plastik. prosiding seniati, 351–357. jelita, r., wijayanti, h., & jefriadi, j. (2018). studi kinetika pirolisis sekam padi: perbandingan model kinetika. konversi, 7(2). https://doi.org/10.20527/k.v7i2.6496 kasim, f., ridwan, m. k., & putra, m. y. a. (2018). pengolahan sampah plastik memakai teknologi pirolisis untuk pembelajaran dan konservasi lingkungan di pondok pesantren al-anwar sarang rembang, jawa tengah. jurnal bakti saintek: jurnal pengabdian masyarakat bidang sains dan teknologi, 2(2), 57–63. https://doi.org/10.14421/jbs.1230 li, a., zhang, w., zhang, j., ding, y., & zhou, r. (2020). pyrolysis kinetic properties of thermal insulation waste extruded polystyrene by multiple thermal analysis methods. materials, 13(24), 5595. https://doi.org/10.3390/ma13245595 maafa, i. m. (2021a). pyrolysis of polystyrene waste: a review. polymers, 13(2), 225. https://doi.org/10.3390/polym13020225 majedi, f., wijayanti, w., & hamidi, n. (2015). parameter kinetik char hasil pirolisis serbuk kayu mahoni (switenia macrophylla) dengan variasi heating rate dan 1 temperatur. rekayasa mesin, 6(1), 1–7. https://doi.org/ 10.21776/ub.jrm.2015.006.01.1 marnoto, t., & sulistyowati, e. (2012a). tinjauan kinetika pyrolysis limbah polystiren. seminar nasional teknik kimia “kejuangan,” d-08, d-08-1-d08-5. ningsih, e. p., ariyani, d., & sunardi, s. (2019). pengaruh penambahan carboxymethyl cellulose terhadap karakteristik bioplastik dari pati ubi nagara (ipomoea batatas l.). indonesian journal of chemical research, 7(1), 77–85. https://doi.org/10.30598/ /ijcr.2019.7-sun pratiwi, r., & dahani, w. (2015). pengaruh penggunaan katalis zeolit alam dalam pirolisis limbah plastik jenis hdpe menjadi bahan bakar cair setara bensin. prosiding semnastek, retrieved from https://jurnal. umj.ac.id/index.php/semnastek/article/view/5 43 purnami, p., wardana, i., & veronika, k. (2015). pengaruh pengunaan katalis terhadap laju dan efisiensi pembentukan hidrogen. rekayasa mesin, 6(1), 51–59. https://doi.org/ 10.21776/ub.jrm.2015.006.01.8 puspitasari, m., sutijan, s., & budiman, a. (2016). kinetika reaksi pirolisis enceng gondok. eksergi, 13(1), 13–16. https://doi.org/ 10.31315/e.v13i1.1436 rahman, m. t. a., daud, s., & reza, m. (2017). pengaruh suhu dan persen katalis zeolit terhadap yield pirolisis limbah plastik polypropylene (pp). jurnal online mahasiswa (jom) bidang teknik dan sains, 4(2), 1–7. salamah, s., & maryudi, m. (2018). proses pirolisis limbah styrofoam menggunakan katalis silika-alumina. jurnal rekayasa kimia & lingkungan, 13(1), 1–7. https://doi.org/ 10.23955/rkl.v13i1.8695 sumarni, s., & purwanti, a. (2008). kinetika reaksi pirolisis plastik low density poliethylene (ldpe). jurnal teknologi, 1(2), 135–140. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 105-110, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-abr 105 bioaccumulated mercury by several types of plants in ex-traditional gold processing area, gogorea village, buru island abraham. mariwy*, julita. b. manuhutu, defany frans chemistry education study program, faculty of education and teacher training, pattimura university, kampus poka jl. ir. m. putuhena, ambon 97134 *corresponding author: abrahammariwy@gmail.com received: august 2021 received in revised: august 2021 accepted: september 2021 available online: september 2021 abstract this study examines the accumulation of metallic mercury by several types of plants in the traditional gold processing area in the village of gogore, buru district. the plants that were sampled in this study were guava, lempuyang gajah, and harendong bulu. these three plant species were chosen because they dominate the vegetation in the gold processing area. the analysis results showed that the lempuyang gajah was the plant that accumulated the highest mercury metal, namely in the roots of 16.79 ppm and the leaves of 15.03 ppm. guava plants accumulated metal mercury in the roots and leaves of 11.73 ppm and 9.90 ppm, respectively. meanwhile, harendong plants accumulated mercury in the roots and leaves of 2.59 ppm and 10.39 ppm, respectively. the bcf values of guava, lempuyang gajah, and harendong bulu plants were 1.58, 0.41, and 0.39, respectively. meanwhile, the tf values of the three plants were 0.84, 0.89, and 4.01, respectively. from these results, it can be concluded that the three plants can accumulate mercury in high enough concentrations, so these three types of plants are categorized as hyper tolerant plants and accumulators. keywords: accumulation, gogorea village, mercury metal, vegetation, hypertolerance, accumulator. introduction buru regency, maluku province, has become the largest traditional gold mining area in maluku since the end of 2011. besides mount botak in waelata subdistrict, one place also the center of conventional gold mining on buru island is gogorea village, the waeapo sub-district. thousands of traditional miners who once operated in gogorea village also use mercury in the amalgamation process. the tailings produced from the process have the potential to pollute the environment around the place. the research results by reicheltbrushett et al. (2017) showed that the mercury content in soil samples from several traditional gold mining locations in gogorea village was very high, namely 15.2 ppm, 4.23 ppm, and 6.80 ppm (reichelt-brushett et al., 2017). waste from the amalgamation process discharged into the environment around the mining area is then washed when it rains and enters the gogorea river, which empties into kayeli bay. mariwy et al. (2019) showed that sediments in several rivers that ended in kayeli bay were contaminated with mercury(mariwy, male, & manuhutu, 2019). male et al. (2014) and reichelt-brushett, et al. (2017) showed that samples of several shellfish and fish and mangrove crabs taken from kayeli bay were contaminated with heavy metal mercury (male, nanlohy, & asriningsih, 2014; reichelt-brushett et al., 2017). this condition is very dangerous because mercury as gold mining waste distributed to rivers and seas in large quantities can also accumulate in humans through the food chain (mariwy, h. dulanlebit, & yulianti, 2020; rumatoras, taipabu, lesiela, & male, 2016). this condition requires serious handling because if it is not carried out, the mercury pollution process in kayeli bay will be increasingly dangerous for the people who live around the bay. one technology that is easy to apply and environmentally friendly in accumulating metallic mercury from polluted soil is phytoremediation by utilizing plants (galal, gharib, ghazi, & mansour, 2017). this technology is very useful for cleaning the contaminated environment from harmful contaminants (tangahu et al., 2011). plant species are needed to reduce metal accumulation on land with high metal content to increase environmental quality. based on the research team's observations on the former gold mining area in gogorea village, three plants dominated the vegetation in the area. there are guava plants (psidium guajava l.), lempuyang gajah (zingiber zerumbet l.), and harendong bulu (clidemia abraham. mariwy et al. indo. j. chem. res., 9(2), 105-110, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-abr 106 hirta l.). the ability of these three plants to tolerate mercury content during their growth needs to be studied to get an idea of the types of plants suitable for use as phytoremediation agents to reduce mercury content in the former traditional gold processing area gogorea village. this research studied the accumulation capacity of heavy metal mercury by three plants; there are guava plants (psidium guajava l.), lempuyang gajah (zingiber zerumbet l.), and harendong bulu (clidemia hirta l.). this research is part of an effort to remediate the former gold processing land in gogorea village using typical plants. the samples will be analyzed as part of a standard procedure to study the bioaccumulation of heavy metals by plants are the soil around the plant, plant roots, and leaves to see the ability of heavy metal accumulation by the plants sampled in the study (siahaan, utami, & handayanto, 2014). methodology materials materials used are: plant samples of guava plants (psidium guajava l.), lempuyang gajah (zingiber zerumbet l.), and harendong bulu (clidemia hirta l.), soil samples, aquades, filter paper, tissue, aluminium foil, ice cubes, mercury solution 1000 ppm, hno3 pa (e. merck), hclo4 pa (e. merck) instrumentations mercury analyzer (nic ma 300) lppt ugm, analytical balance (cyberscan con 110) oven (memmert) mortal and pestle, glassware (pyrex), and hot plate (cimarec) methods sampling the plant samples used in this study were guava plants (psidium guajava l.), lempuyang gajah (zingiber zerumbet l.), and harendong bulu (clidemia hirta l.). take each root and leaf, then put into a sample bag. soil was taken using a trofol, separated from dirt, then put into a sample bag. the sample is then put into a cold box for laboratory analysis. standard curve the mother liquor of 1000 mg/kg 0.1 ml was put in a 100 ml volumetric flask, adjusted with distilled water to the limit mark (hg: 1000 g/kg). mother solution hg 1000 g/kg 0.1 ml, put in a 10 ml volumetric flask, adjusted with distilled water to the limit mark (hg: 10 g/kg). make a standard concentration with a range (μg/kg): 0.05; 0.1; 0.2; 0.4; 0.8; 1.6; 3.2 by: take each (ml) 0.05; 0.1; 0.2; 0.4; 0.8; 1.6; 3.2 was put in a 10 ml volumetric flask, adjusted to the mark with distilled water, poured into a vial tube and analyze with mercury analyzer. sample preparation and destruction the sample was dried at 40 ᵒc for 1 hour, then crushed and put into a glass beaker (mariwy et al., 2020). each was weighing 1 gram, pour in a 100 ml erlenmeyer, then add 10 ml of hno3: hclo4 (1:1) solution, after which the sample is heated on a hotplate until clear and white smoke comes out, filtered, and adjusted to 50 ml with a measuring flask. . make blanks with the same treatment without the sample. the mercury content in the sample is then measured with a mercury analyzer. data analysis based on the results of serial measurements of hg standard solution with a mercury analyzer, it is made to obtain a straight line on the graph between absorbent and concentration using linear regression equation 1. y = ax + b (1) note: x = concentration y = absorbance a = slope/ gradient b = intercept the concentration obtained from this curve is the concentration in mg/l standard. while the samples analyzed were in mg/kg units (equation 2). total of hg (μg/kg) = hg analysis−blank x volume x dillution factor sample weight (2) the potential of plants to accumulate mercury (hg) in polluted soil will be analyzed by calculating the bcf (bioaccumulation concentration factor) value determined by the ratio of metals in the roots to those in the soil (equation 3). 𝐵cf = concentration in leaves or roots of plants mercury concentration in soil (3) in the translocation process, the ratio between the metal concentration in the canopy and the metal concentration in the plant's roots is determined by the tf (translocation factor) value (equation 4). tf = concentration in plant leaves concentration in plant roots (4) abraham. mariwy et al. indo. j. chem. res., 9(2), 105-110, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-abr 107 results and discussion overview of sampling locations the three plant samples used were taken from the area of the former amalgamation process in gogorea village, waeapo sub-district, buru district. the gogorea village map is shown in figure 1. figure 1. map of the gogorea village, waeapo subdistrict. the red arrow indicates the sampling location. in 2012-2020 the village of gogorea became one of the traditional gold mining centres. thousands of conventional miners who have operated in gogorea village use mercury in the amalgamation process. the tailings produced from the process have the potential to pollute the environment around the place. although this mining site was closed in 2020, the high mercury content in the area needs to be reduced not to cause serious impacts on public health. sample preparation and destruction processes root and leaf samples were cleaned of adhering soil debris. meanwhile, soil samples were separated from impurities such as stone, wood, and fibrous roots. then the sample was dried using an oven at 40 ᵒc for 1 hour. drying using a temperature of 40 ᵒc because mercury metal has volatile properties, the temperature is maintained as much as possible so that the mercury in the sample does not evaporate. this drying method also aims to reduce the water content in the sample to extend the durability of the sample during storage. the dried samples were then ground. the purpose of grinding the sample is so that the destruction process is faster. the samples were then weighed 1 gram each. the sample was dissolved using hno3 and hclo4 (1:1). the addition of hno3 aims to separate the mercury from the compounds. at the same time, the function of hclo4 as an oxidizing agent is to maximize the metal scission process from organic compounds contained in the sample. in this process, the organic compounds in the sample will turn into co and co2 while hno3 at high temperatures is decomposed into various oxides such as no, no2, hno, and many more. hg(cho)x + hno3 + hclo4 hg(no3)2 + co2 + nox + hclo3 + h2o in this reaction, hclo4 is reduced to hclo3. at the same time, the remaining hno3 becomes no or no2. this process is repeated until all metals are entirely oxidized. the destruction process is carried out until the solution becomes clear and white smoke comes out. preparation of standard solutions and calibration curves the standard solution was used for the preparation of the calibration curve. the standard solution series is as follows (μg/kg): 0.05; 0.10; 0.20; 0.40; 0.80; 1.60; 3.20. then the standard solution was analyzed using a mercury analyzer. the data from the standard solution analysis can be seen in table 1. table 1. standard solution analysis data no concentration (ppb) absorbance (a) 1 0.05 0.00046 2 0.10 0.00087 3 0.20 0.00194 4 0.40 0.00387 5 0.80 0.00877 6 1.60 0.01516 7 3.20 0.02957 based on the results of the standard solution, it can be seen that the greater the concentration of the standard, the greater the value of the absorbance, or it can be said that the concentration is directly proportional to the value of the absorbance. the data is then used to create a calibration curve. a calibration curve is made to express the relationship between absorbance and concentration of a series of standard solutions. the calibration curve is shown in figure 2. figure 2 shown that the regression equation y = 0.0092x + 0.0003 and the correlation coefficient (r2) is 0.9977. this curve shows that the correlation coefficient value of concentration to absorbance has a relationship. the higher the concentration, the higher the absorbance value. abraham. mariwy et al. indo. j. chem. res., 9(2), 105-110, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-abr 108 figure 2. mercury calibration curve mercury analysis in samples mercury analysis in plant and soil samples is shown in table 2. based on table 2, it can be seen that the concentration of mercury in the soil is relatively high, namely 13.69 ppm, 75.86 ppm, and 32.83 ppm. the concentration of mercury in the soil is very influential on mercury concentration in the plants that grow on it. table 2. the data of mercury content in roots, leaves, and soil plants code absorbance mercury content (𝜇𝑔/𝑘𝑔) mercury final (𝑚𝑔 𝐾𝑔⁄ ) guava root 0.00262 253.790 11.73 leaves 0.01894 201.96 9.90 soil 0.00318 313.910 13.69 lempuyang gajah root 0.00356 355.190 16.79 leaves 0.00182 333.62 15.03 soil 0.00812 1696.000 75.86 harendong bulu root 0.01168 61.658 2.59 leaves 0.00126 213.310 10.39 soil 0.00363 724.320 32.83 this number is shown in the results of the mercury analysis in the roots and leaves of the three samples, where the plants contain metallic mercury. the graph of mercury concentration in plant samples can be seen in figure 3. however, it is not only the mercury concentration in the soil that is an essential factor in metal accumulation in plants. there are several other factors such as soil ph, chemical elements/complex compounds in the ground. the ph soil effect on the mercury absorption by plants can be explained that the higher the ph of the soil, the lower the mobility of the metal so that the absorption of metal by plants is small. a low soil ph indicates that the mobility of metals in the soil is higher so that the absorption of metals in plants is more significant. while the influence of complex compounds can stimulate metal accumulation in plants so that metals can be bound and absorbed by plants. figure 3. graph of mercury concentration in plants each plant is sensitive to heavy metals and has a different ability to accumulate heavy metals. based on the results of this study, it was shown that the three types of plants were able to accumulate metallic mercury with different concentrations. the lempuyang gajah is a plant that accumulates the highest metal mercury, namely in the roots of 16.79 ppm and the leaves of 15.03 ppm. guava plants accumulated metal mercury in the roots and leaves of 11.73 ppm and 9.90 ppm, respectively. meanwhile, harendong plants accumulated mercury in the roots and leaves of 2.59 ppm and 10.39 ppm, respectively. according to hardiani and henggar (2009), the amount of metal accumulation in the roots is a detoxification mechanism carried out by plants to avoid metal poisoning in plant cells by accumulating metals in the roots (hardiani & henggar, 2009). the absorption of metallic mercury in plant roots is due to the presence of phytochelatins produced by the roots as a metallic mercury binder. when phytochelatin binds to hg, it will form a bond at the sulfide end of cysteine and form a complex compound so that hg will be translocated into plant tissues. the reaction between cysteine and hg is shown in figure 5. the translocation process will decrease concentration in roots and increase metal concentration in leaves. the harendong bulu also shows this process. the mercury accumulation in harendong bulu leaves is higher than in the roots. this condition is also related to the bcf and tf values of harendong bulu. harendong tf value is greater than one, where tf> 1 indicates the plant has a high ability to translocate mercury from roots to leaves. y = 0.0092x + 0.0003 r² = 0.9977 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0 1 2 3 4 a b so rb a n c e concentration 0 10 20 30 40 50 60 70 80 guava lempuyang harendong c o n c e n tr a ti o n ( m g /k g ) plants root leaves soil abraham. mariwy et al. indo. j. chem. res., 9(2), 105-110, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-abr 109 figure 4. the reaction between hg and cysteine (ajsuvakova et al., 2020) while the bcf value <1 suggests that the harendong is an excluder plant or does not absorb much metal from the soil to the roots. this value does not rule out the possibility of mercury absorption from the soil to the roots, although it is limited and directly translocated to other plant parts. however, the high concentration of mercury in the leaves that caused the high translocation value could not be believed to only come from the roots, because the leaves can absorb mercury from the air. based on the amount of mercury accumulation in the three plants, it can be said that these three plants have a tolerance to heavy metals because it can grow and develop well in soils that have a high toxicity. tolerance can come from the ability of plants to store metals in vacuole cells or their ability to chelate metals (chaney et al., 1997). the three plants can also be categorized as hyperaccumulator plants because they can accumulate mercury as much as 10 mg/kg (ppm) of their dry weight.. bcf and tf (bioaccumulation concentration factor and translocation factor) the ability of plants to accumulate metals can be seen from the bcf and tf values. the bcf value obtained will then be used to compare with standard bcf calculation. the bcf value calculation resulted from yoon et al. (2006) (yoon, cao, zhou, & ma, 2006). the bcf value is more than one. this number is an accumulator plant, while a plant bcf value close to one is an indicator plant, and a plant bcf value less than one is an excluder. table.3. bcf and tf values plants bcf tf guava 1.58 0.84 lempuyang gajah 0.41 0.89 harendong bulu 0.39 4.01 bcf is used to see the level of a metal accumulation from soil to plants, while the tf value is to see metal translocation from roots to leaves (baker, 1981; borolla, mariwy, & manuhutu, 2019). bcf and tf data from the three plants are shown in table 3. the highest bcf value occurred in guava, which is 1.58, and the lowest in the harendong bulu (0.39). the guava bcf value is more than 1, indicating that it is a mercury accumulator plant, based on the ability to accumulate mercury from the soil to the plant parts well. meanwhile, lempuyang gajah and harendong bulu have bcf < 1, which is categorized as an excluder or does not absorb much metal from the soil to the roots. the results of the tf calculation show that the tf value of guava and lempuyang gajah <1 is 0.84 and 0.89, respectively. so that both plants experienced a phytostabilization mechanism or the ability of plants to transfer metals from roots to leaves was not good. samar et al., (2019) have studied to calculate the tf value of the kalopo bean plant (calopogonium mucunoides) (samar, mariwy, & manuhutu, 2019). they found that the kapolo bean absorbs mercury for 50 days in the phytoremediation process. this process undergoes a phytostabilization mechanism. meanwhile, the harendong bulu has a tf value >1, which is 4.01, so that this plant undergoes a phytoextraction mechanism or has a high efficiency to translocate mercury from the roots to the leaves of the plant. this condition is the same as the research conducted by yoon 2006 that generally, the bcf value is inversely proportional to the tf value. the bcf value will be greater than one, while the tf value will be less than one (yoon et al., 2006). certainly, mercury in the three plants' leaves in the former traditional gold mining location comes from the bioaccumulation process. the plants' bioaccumulation process comes from contaminated mercury soil. this bioaccumulation is only a small part that comes from the air. this condition because anthropogenic mercury sources can potentially pollute the air on a large scale usually come from coal-burning activities for power generation, mining, oil refining, solid waste incineration, industrial processes, metal smelting, and cement production (united nation environment programme (unep), 2013). conclusion based on the results of the study it can be concluded that the lempuyang gajah plant is a plant that accumulates the highest metal mercury, namely in the roots of 16.79 ppm and the leaves of 15.03 ppm. abraham. mariwy et al. indo. j. chem. res., 9(2), 105-110, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-abr 110 guava plants accumulate metals mercury in roots and leaves were 11.73 ppm and 9.90 ppm, respectively. meanwhile, harendong plants accumulated mercury in the roots and leaves of 2.59 ppm and 10.39 ppm, respectively. the bcf values of guava, lempuyang gajah and harendong bulu are 1.58, 0.41, and 0.39, respectively. meanwhile, the tf values of the three plants were 0.84, 0.89, and 4.01. respectively. these three plants are suitable to be used as phytoremediator agents to reduce mercury content in the former traditional gold processing land in the village of gogorea, buru island. references ajsuvakova, o. p., tinkov, a. a., aschner, m., rocha, j. b. t., michalke, b., skalnaya, m. g., … bjørklund, g. (2020). sulfhydryl groups as targets of mercury toxicity. coordination chemistry reviews, 417, 213343. https://doi.org/10.1016/j.ccr.2020.213343 baker, a. j. m. (1981). accumulators and excluders ‐ strategies in the response of plants to heavy metals. journal of plant nutrition, 3(1–4), 643– 654. https://doi.org/10.1080/01904168109362 867 borolla, s., mariwy, a., & manuhutu, j. (2019). fitoremediasi tanah tercemar logam berat merkuri (hg) menggunakan tumbuhan kersen (muntingia calabua l) dengan sistem reaktor. molluca journal of chemistry education, 9(2), 78–89. chaney, r. l., malik, m., li, y. m., brown, s. l., brewer, e. p., angle, j. s., & baker, a. j. (1997). phytoremediation of soil metals. current opinion in biotechnology, 8(3), 279–284. https://doi.org/ 10.1016/s0958-1669(97)80004-3 galal, t. m., gharib, f. a., ghazi, s. m., & mansour, k. h. (2017). phytostabilization of heavy metals by the emergent macrophyte vossia cuspidata (roxb.) griff.: a phytoremediation approach. international journal of phytoremediation, 19(11), 992–999. https://doi.org/10.1080/152265 14.2017.1303816 hardiani, & henggar. (2009). potensi tanaman dalam mengakumulasi logam cu pada media tanah terkontaminasi limbah padat industri kertas. jurnal selulosa, 44(1), 27–40. male, y. t., nanlohy, a. ch., & asriningsih, a. (2014). introduction analysis of several levels of the mercury (hg) in shells. indonesia journal of chemical research, 2, 136–141. mariwy, a., h. dulanlebit, y., & yulianti, f. (2020). studi akumulasi logam berat merkuri menggunakan tanaman awar-awar (ficus septica burm f). indonesia journal of chemical research, 7(2), 159–169. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2020.7-abr mariwy, a., male, y. t., & manuhutu, j. b. (2019). mercury (hg) contents analysis in sediments at some river estuaries in kayeli bay buru island. iop conference series: materials science and engineering, 546, 022012. https://doi.org/ 10.1088/1757-899x/546/2/022012 reichelt-brushett, a. j., stone, j., howe, p., thomas, b., clark, m., male, y., … butcher, p. (2017). geochemistry and mercury contamination in receiving environments of artisanal mining wastes and identified concerns for food safety. environmental research, 152, 407–418. https://doi.org/10.1016/j.envres.2016.07.007 rumatoras, h., taipabu, m., lesiela, l., & male, y. t. (2016). analysis of mercury (hg) content on hair villagers kayeli, ilegal gold mining result in botak mountain area, buru regency-maluku province. indonesia journal of chemical research, 3, 290–294. samar, y. s., mariwy, a., & manuhutu, j. b. (2019). fitoremediasi merkuri (hg) menggunakan tanaman kacang kalopo (calopogonium mucunoides). science map journal, 1(2), 93–98. https://doi.org/10.30598/jmsvol1issue2pp93-98 siahaan, b. c., utami, s. r., & handayanto, e. (2014). menggunakan lindernia crustacea, digitaria radicosaa, dan cyperus rotundus serta pengaruhnya terhadap. 1(2), 35-41. tangahu, b. v., sheikh abdullah, s. r., basri, h., idris, m., anuar, n., & mukhlisin, m. (2011). a review on heavy metals (as, pb, and hg) uptake by plants through phytoremediation. international journal of chemical engineering, 2011, 1–31. https://doi.org/10.1155/2011/939161 united nation environment programme (unep). (2013). global mercury assessment: sources, emissions, releases and environmental transport. unep chemicals branch. yoon, j., cao, x., zhou, q., & ma, l. q. (2006). accumulation of pb, cu, and zn in native plants growing on a contaminated florida site. science of the total environment, 368(2–3), 456–464. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2006.01.016 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 88-93, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dew 88 liquid smoke fractionation from dry distillation of styrofoam board waste to produces liquid fuel i dewa k. anom chemistry department universitas negeri manado, jl. raya tondano, koya, kab. minahasa-north sulawesi, indonesia *corresponding author: dewaanom10@gmail.com received: july 2021 received in revised: august 2021 accepted: august 2021 available online: september 2021 abstract styrofoam waste is difficult to be decomposed by bacteria or microorganisms. therefore it takes a long time to be decomposed naturally. styrofoam waste, in general, is a big problem for the survival of living things on earth because there are quite a lot of them. so, if not handled properly can cause environmental pollution. styrofoam waste is inorganic waste composed of polymers derived from chemicals. additives from styrofoam are harmful to humans because they are carcinogenic. this study aims to utilize styrofoam board waste into liquid fuel. liquid fuel from styrofoam waste has been made successfully through dry distillation and fractionation methods. the result of fractional distillation is 42.00% liquid fuel. based on the physical properties tests that have already been carried out, including the density test, viscosity, flash point, boiling point, calorific value, and octane number, it turns out that the liquid has characteristics close to the standard gasoline fuel. the ms spectra and the gc chromatogram show that the liquid fuel consists of a mixture of hydrocarbon compounds, namely acetone 0.23%, acetic acid 0.40%, benzene 2.82%, toluene 3.56%, heptane 1.04%, 1-octene 0.26%, butyl ester 4.92%, 2,4-dimethyl-1heptane 0.32%, p-xylene 13%, the compound with the highest composition was styrene 73.45%. keywords: styrofoam, board, liquid smoke, distillation, fractionation, gasoline introduction data from the manado city environmental service noted that the volume of waste in manado city has reached 828,812 cubic meters, or has continued to increase significantly since 2012. and then from that data, the plastic waste composition is 20.03%. for plastic waste such as pampers and styrofoam by 10.50%, plastic bag crackle 8.60%, other types of plastic 7.30%, and plastic bottles packaging mineral drinks 4.00%. the data shown that the plastic waste processed in manado city, only 7% of the plastic waste was recycled, 12% burned, the remaining 81% end up in landfills and waterways such as rivers that empty into the sea (buol, gedoan, senduk, lariwu, & kambey, 2019). styrofoam waste is a waste that is difficult to be decomposed by bacteria or microorganisms. therefore it takes a long time, even hundreds of years decompose naturally. this plastic waste is a big problem for the survival of the living creatures on the earth because the number is increasing and not well handled yet (mukminah, 2019). styrofoam waste is inorganic waste composed of polymers derived from chemical additives. additives from styrofoam are carcinogenic. generally, styrofoam use as a protector of electronic devices (sulchan & nur w, 2007). excessive use of polymer products has caused severe environmental problems, can threaten the survival of creatures on earth, and its waste has to be handled with appropriate cyclical methods (lu, xiao, & chen, 2021). styrofoam is made from polystyrene which is a synthetic polymer material and its chemical structure is shown in figure 1. figure 1. chemical structure of styrofoam the main source of styrene is from nature, namely petroleum. styrene is a clear, colorless liquid similar to petroleum with an odor like benzene. styrofoam is very light, stiff, and translucent. the chemicals used in the i dewa k. anom indo. j. chem. res., 9(2), 88-93, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dew 89 styrofoam manufacturing process are styrene, zinc, chlorofluorocarbons (cfcs), and butadiene compounds. to produce the flexible styrofoam product, plasticizers were added, namely dioctyl phthalate (dop) and butylhydroxytoluene (bht). in addition to styrofoam used as food wrappers, styrofoam is also used as a protective material and vibration barrier for perishable items such as electronic goods such as televisions, refrigerators, dvds, or used as a protective material for fragile items such as plates, glasses, and glass. styrofoam waste harms human health and the environment because styrofoam waste cannot be decomposed by microbes in nature. the cfc compounds in styrofoam can have a global warming impact or have a greenhouse effect. according to wirahadi (2017), the dangers of styrene monomer to health in the long term, among others, can cause disturbances in the central nervous system, can lead to the risk of leukemia, can cause cancer in humans, and can contaminate breast milk (wirahadi, 2017). if styrene and other substances in styrofoam enter the food, they become toxic and will cause disturbances in the endocrine system and reproductive systems. this causes the use of styrofoam as a food or beverage container to be limited due to its carcinogenic properties (mukminah, 2019). handling styrofoam waste by hoarding still burdens nature as an environmental pollutant. when styrofoam waste is burned, the smoke also pollutes the environment for humans and animals (fitidarini & damanhuri, 2011). therefore, styrofoam waste treatment activities need to find the right solution and the results can be beneficial for human life and the environment. based on the styrofoam waste problem that has been described, the solution given to reduce styrofoam waste pollution is to convert it into fuel using pyrolysis techniques. the pyrolysis method is a method of decomposition of chemical compounds in styrofoam or polymer decomposition into new smaller compounds and the system works at high temperatures without involving oxygen or oxygen to a minimum. if the styrofoam waste that is large enough could be converted into liquid fuel, then this method could be the solution to reduce environmental pollution from the type of styrofoam waste. methodology materials and instruments the instruments used are dry distillation or pyrolysis equipment, fractional distillation equipment, glassware, analytical balance, erlenmeyer, boiler point meter, fenske viscometer oswald, smoke point tester, pycnometer, flash point meter, freezer point tester, and a combination of kg-sm, bomb calorimeter and oktvic-2thermometer. the material used is styrofoam board waste, used as wreath board (sp) which was taken from the final waste disposal site (tpa) in sumompo village, manado city. the dry sp styrofoam waste was cut into pieces of about 2 3 cm in size. methods the research steps for styrofoam sp waste distillation follow the distillation method carried out by (rekathakusuma, suwandi, & suhendi, 2016; anom & lombok, 2020) as follows: the distillation method used is destructive distillation or dry distillation and is commonly called pyrolysis. the distillation method applies the evaporation and cooling process. this method is a chemical process to decompose raw materials in this case styrofoam waste and heated at high temperatures. at a certain temperature, styrofoam melts and then evaporates, forming gas, so that long hydrocarbon chains will be broken into shorter chains. furthermore, the cooling process on the gas so that it will be condensed and turned into a liquid. the liquid obtained is then fractionated to obtain the gasoline fraction. a total of 200 g of sp styrofoam board waste was distilled. the distillation apparatus is tightly closed and ensured that there are no leaks. the distillation apparatus is turned on, and the styrofoam sample distillation process begins. record changes in distillation temperature and physical changes that occur from heating to liquid or distillate. the liquid is stored in an erlenmeyer container until the styrofoam distillation process is stopped. the distillate obtained is a liquid which is a mixture of hydrocarbons. the liquid is weighed and the percentage calculated. the sp styrofoam board dry distillation apparatus is shown in figure 2. figure 2. dry distillation apparatus (1. electric heater, 2. distillation flask, 3. thermometer, 4. condenser, 5. liquid holding flask, 6. gas storage flask, 7. measuring cup for holding water) i dewa k. anom indo. j. chem. res., 9(2), 88-93, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dew 90 the liquid from the dry distillation of sp styrofoam board waste is treated by fractional distillation to separate the gasoline fraction at temperatures below 200 °c. determination of fractionation temperature based on the fractional distillation of petroleum by (koesoemadinata, 1980). furthermore, the gasoline fraction was characterized by physical and chemical properties, namely: gc-ms analysis, viscosity, boiling point, density, flash point, the heat of combustion, octane number. results and discussion dry distillation of 200 g of sp styrofoam board waste, for 30 minutes at a temperature of 98-110 °c there was a physical change of styrofoam waste from solid to melt. after the distillation process lasted longer than 30 minutes and at a temperature of 120-135 °c thick white smoke was formed in the distillation flask and at the same time, the sp styrofoam board sample began to melt. a few minutes later the white smoke began to decrease until it was no longer visible, by which time all the styrofoam samples had melted and boiled. evaporation begins to occur and the hot steam is condensed so that soon dew points have formed on the walls of the condenser. at 60 minutes and the dry distillation temperature at 60-170 °c, it can be observed that the liquid begins to drip and is collected in the distillate flask. the velocity of the dripping liquid or distillate begins to stabilize at a temperature of 180-190 °c. after the dry distillation of sp, styrofoam board waste lasted approximately 3.5 hours and at that time the final distillation temperature reached 350 °c, and the dry distillation process was stopped. from 200 g of dry distillation of sp styrofoam board waste obtained as much as 140 g of liquid. dry distillation of sp styrofoam board waste was repeated five times, and each repetition used a sample weighing 200 g so that the total sample of sp styrofoam board waste used was 1000 g. from 1000 g sample of sp styrofoam board waste which was distilled, 674 g of light brown liquid was obtained or 67.40 percent of the western sample of 1000 g. furthermore, 674 g of the liquid obtained is fractionated distillation to obtain the gasoline fuel fraction at a boiling point less than 200 °c (koesoemadinata, 1980). after being treated by fractional distillation, a clear liquid of 420 g (42.00%) of gasoline fraction was obtained. the color change of liquid smoke from the dry distillation of sp styrofoam waste from light brown to clear is because the two liquids have different physical and chemical properties. the boiling point, density, viscosity, and composition of the chemical compounds in the two liquids must be different. the data on the physical and chemical properties of the gasoline fractionated liquid obtained, then compared with the physical and chemical properties of the gasoline quality standard recommended by the indonesian national standard (ins) are shown in table 1. table 1. physical and chemical properties of liquid gasoline fraction properties sample data results gasoline fuel (ins) density (g/ml) 0.79 0.80 138.10 26.10 10,107 97 10 0.71-0.77 viscosity (cp) 0.70 boiling point (oc) 40-180 flash point (oc) heat value (cal/g) 11,414.453 octane number (ron) 86 – 94 total compound (gcms) density the density value of gasoline fraction fuel oil is 0.79 g/ml. the density value of the gasoline fraction is greater than or above the gasoline quality standard set by ins and also higher than the results of research conducted by anom and lombok (2020) which is 0.76 g/ml (anom & lombok, 2020). the density of gasoline fuel oil is between the density of kerosene which is 0.78–0.81 g/ml (adoe, bunganaen, krisnawi, & soekwanto, 2016). the high-density value of sp fuel oil can be caused by the influence of organic compounds which have a chain number of carbon atoms greater than 5 carbon atoms. based on the density value of the gasoline fraction obtained, it cannot be classified as gasoline fuel but it is more appropriate to be recommended as kerosene fuel. the high density of fuel oil will be able to increase engine thirst, causing damage to the engine (rachim, raya, & zakir, 2017; setiawati & edwar, 2012). viscosity the viscosity or viscosity of the liquid fuel liquid gasoline fraction has a value of 0.8 cp, greater than the ins viscosity value of 0.7 cp. viscosity is strongly influenced by density, where the heavier the density of the liquid, the greater the viscosity, meaning that the more particles contained in it hinder the fluid flow because the particles rub against each other (adoe et al., 2016), and affect the work of the engine (juwono, triyono, sutarno, & wahyuni, 2013; juwono et al., 2017; musta, haetami, & salmawati, 2017; sutapa, rosmawaty, & samual, 2013). when viewed from the value of gasoline viscosity (ins) is 0.70 cp, then sp i dewa k. anom indo. j. chem. res., 9(2), 88-93, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dew 91 liquid fuel cannot be classified into permitted gasoline fuel. boiling point it is found that the boiling point of the liquid fuel of the gasoline fraction has a value of 138.10 °c. based on ins 06-3506-1994 the final boiling point for fuel is set at 205 °c (juwono et al., 2017). the boiling point of liquid fuel in the gasoline fraction shows the number 138.10 °c. based on the boiling point value, the liquid fuel of the gasoline fraction can be classified as a substitute for gasoline. flashpoint it is found that the results of the flashpoint test on the liquid fuel of the gasoline fraction have a value of 26.10 °c. the flashpoint of comercial gasoline is 57 °c. the flashpoint value of liquid fuel is below the flashpoint of gasoline on the market. the flashpoint of fuel indicates a safe limit against fire hazards during storage. the more the composition of short-chain hydrocarbon compounds, the smaller the flashpoint and the higher the boiling point (juwono, sujadmiko, fauziah, & ayyun, 2019). heat value the calorific value of the liquid fuel gasoline fraction is 10,107 cal./g. the calorific value obtained does not meet the standard calorific value of gasoline if it is based on data from pertamina which states that the calorific value of gasoline is at least 10,160 cal/g and a maximum of 11,000 cal/g. the gasoline fraction with a low calorific value shows the composition of the short-chain hydrocarbon fraction is small (juwono et al. 2019). octane number table 1 shows that the octane number of liquid fuel in the gasoline fraction is 97 ron. according to the standards and quality of gasoline circulating in the market, a minimum of 90 ron (directorate general of oil and gas, 2017). premium gasoline is said to have an octane number of 90 meaning that it has the same knock characteristics in the astm standard cft test engine test with a knock characteristic of a mixture of 90% volume iso-octane in a mixture with n-heptane. based on the octane number obtained, the liquid fuel of the gasoline fraction meets the requirements to be classified as gasoline. gc-ms data analysis based on the gc analysis, the liquid fuel chromatogram of the gasoline fraction can be seen in figure 3. the gc chromatogram showed that the liquid fuel gasoline fraction consisted of 10 compound peaks with a large percentage of compounds. from the ms spectra data and area data on the gc chromatogram, it turns out that the liquid fuel of the gasoline fraction consists of a mixture of hydrocarbon compounds, namely acetone (0.23%), acetic acid (0.40%), benzene (2.82%), toluene (3.56%), heptane (1.04%), 1-octene (0.26%), butyl ester (4.92%), 2,4-dimethyl-1-heptane (0.32%), p-xylene (13%) and the compound with the highest composition was styrene (73.45%). figure 3. gc chromatogram of liquid gasoline according to the results of research conducted by maryudi, salamah, & aktawan (2018), pyrolysis of styrofoam using alumina-silica catalyst produces styrene (59.22%), isopropyl benzene (4.06%), diphenyl compounds (11.49%), other compounds benzene (0.65%), ketones (0.28%) and carboxylic acids (17.92%). park, jeong, guzelciftci, & kim (2020) also researched that the pyrolysis of polystyrene or styrofoam produces good benzene, toluene, ethylbenzene, and xylene and has the potential to be used as a substitute for gasoline or diesel fuel when mixed with oil with low aromatic content. imani moqadam, mirdrikvand, roozbehani, kharaghani, & shishesaz, (2014) researched the pyrolysis of polystyrene using a silica-alumina catalyst and also produced a liquid with a high percentage of styrene monomer (80%), making it possible to use it directly for polymer production. the difference in chemical compounds obtained from the researchers can be caused by the influence of the use of catalysts, analytical equipment, and the conditions of the pyrolysis equipment used. conclusion fractionation of the liquid smoke from the dry distillation of sp styrofoam board waste produces liquid fuel with a gasoline fraction of 42.00%. based on the physical properties test that has been carried out, namely the boiling point test, viscosity, density, flash point, calorific value, octane number, the liquid fuel of the gasoline fraction has characteristics close to i dewa k. anom indo. j. chem. res., 9(2), 88-93, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dew 92 gasoline fuel based on the ins 06-3506-1994 standard. based on the ms spectra data and area data on the gc chromatogram, it turns out that the liquid fuel of the gasoline fraction consists of a mixture of hydrocarbon compounds, namely acetone (0.23%), acetic acid (0.40%), benzene (2.82%), toluene (3.56%), heptane (1.04%), 1-octene (0.26%), butyl ester (4.92%), 2,4dimethyl-1-heptane (0.32%), p-xylene (13%) and the compound with the highest composition was styrene (73.45%). references adoe, d. g. h., bunganaen, w., krisnawi, i. f., & soekwanto, f. a. (2016). pirolisis sampah plastik pp (polyprophylene) menjadi minyak pirolisis sebagai bahan bakar primer. lontar jurnal teknik mesin undana (ljtmu ), 3(1), 17–26. https://doi.org/10.1234/ljtmu.v3i1.455 anom, i d. k., & lombok, j. z. (2020). karakterisasi asap cair hasil pirolisis sampah kantong plastik sebagai bahan bakar bensin. fullerene journal of chemistry, 5(2), 96–101. https://doi.org/ 10.37033/fjc.v5i2.206 fitidarini, n. l., & damanhuri, e. (2011). timbulan sampah styrofoam di kota bandung. jurnal teknik lingkungan, 17(2), 87–97. https://doi.org/10.5614/jtl.2011. 17.2.9 imani moqadam, s., mirdrikvand, m., roozbehani, b., kharaghani, a., & shishesaz, m. (2014). polystyrene pyrolysis using silica-alumina catalyst in fluidized bed reactor. clean technologies and environmental policy. https://doi.org/10.1007/s10098-015-0899-8 juwono, h., sujadmiko, m. a. t., fauziah, l., & ayyun, i. q. (2019). catalytic conversion from plastic waste by silica-alumina-ceramic catalyst to produce an alternative fuel hydrocarbon fraction. jurnal ilmu dasar, 20(2), 83–88. https://doi.org/10.19184/jid. v20i2.8829 juwono, h., triyono, t., sutarno, s., & wahyuni, e. t. (2013). the influence of pd impregnation into al-mcm-41 on the characters and activity for biogasoline production by catalytic hydrocracking of fames from nyamplung seed oil (calophyllum inophyllum). indonesian journal of chemistry, 13(2), 171–175. https://doi.org/10.22146/ijc.21301 juwono, h., triyono, t., sutarno, s., wahyuni, e. t., harmami, h., ulfin, i., & kurniawan, f. (2017). production of hydrocarbon (c7-c20) from hydrocracking of fatty acid methyl esters on pd/al-mcm-41 catalyst. bulletin of chemical reaction engineering & catalysis, 12(3), 337– 342. koesoemadinata, r. p. (1980). geologi minyak dan gasbumi jilid 2. itb. lu, c., xiao, h., & chen, x. (2021). simple pyrolysis of polystyrene into valuable chemicals. epolymers, 21, 428–432. https://doi.org/10.1515 /epoly-2021-0037 maryudi, salamah, s., & aktawan, a. (2018). product distribution of pyrolysis of polystyrene foam waste using catalyst of natural zeolite and nickel/silica. iop conference series: earth and environmental science, 175, 012012. https://doi.org/10.1088/1755-1315/175/1/012012 mukminah, i. a. (2019). bahaya wadah styrofoam dan alternatif penggantinya. majalah farmasetika, 4(2), 32–34. https://doi.org/ 10.24198/farmasetika.v4i2.22589 musta, r., haetami, a., & salmawati, m. (2017). biodiesel hasil transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol. indonesian journal of chemical research, 4(2), 394–401. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2017.4-rus park, k.-b., jeong, y.-s., guzelciftci, b., & kim, j.-s. (2020). two-stage pyrolysis of polystyrene: pyrolysis oil as a source of fuels or benzene, toluene, ethylbenzene, and xylenes. applied energy, 259(c). retrieved from https://ideas. repec.org/a/eee/appene/v259y2020ics030626191 9319270.html rachim, s. a. g., raya, i., & zakir, m. (2017). modifikasi katalis cao untuk produksi biodiesel dari minyak bekas. indonesian journal of chemical research, 5(1), 47–52. https://doi.org/10.30598//ijcr.2017.5-sit rekathakusuma, i., suwandi, s., & suhendi, a. (2016). karakterisasi bahan cair produk distilasi sampah plastik dan pemanfaatannya sebagai bahan bakar. eproceedings of engineering, 3(3). retrieved from https://openlibrarypublications. telkomuniversity.ac.id/index.php/engineering/arti cle/view/3017 setiawati, e., & edwar, f. (2012). teknologi pengolahan biodiesel dari minyak goreng bekas dengan teknik mikrofiltrasi dan transesterifikasi sebagai alternatif bahan bakar mesin diesel. journal of industrial research (jurnal riset industri), 6(2), 1–11. sulchan, m., & nur w, e. (2007). keamanan pangan kemasan plastik dan styrofoam. majalah kedokteran indonesia, 57(2), 54–59. i dewa k. anom indo. j. chem. res., 9(2), 88-93, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-dew 93 sutapa, i w., rosmawaty, r., & samual, i. (2013). biodiesel production from bintanggur oil (callophyllum inophyllum l.) using calsium oxide (cao) catalyst. indonesian journal of chemical research, 1(1), 53–60. wirahadi, m. (2017). elemen interior berbahan baku pengolahan sampah styrofoam dan sampah kulit jeruk. jurnal intra, 5(2), 144–153. microsoft word 1. eka fitri.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 1 synthesis of pentapeptide fwkvv (phe-trp-lys-val-val) and its activity as antioxidants eka fitri yanti1,4*, eviyanti nazareth1,yuana dwi agustin2, mohammad rofik usman3 1faculty of teacher training and education, bondowoso university, jl. diponegoro no.247 bondowoso, indonesia 2nursing diploma three study program, bondowoso university, jl. diponegoro no.247 bondowoso, indonesia 3pharmacy study program, college of health sciences banyuwangi, jl. letkolistiqlah no. 109 banyuwangi, indonesia 4pharmacy study program, harapan bangsa college of health sciences, jember, jl. teuku umar no. 67 jember, indonesia *corresponding author: rofi3k4@gmail.com received: december 2020 received in revised: january 2021 accepted: maret 2021 available online: may 2021 abstract antioxidant pentapeptides are pentapeptide compounds that have antioxidant activity. one of the pentapeptide compounds that have antioxidant activity is fwkvv. fwkvv is a linear pentapeptide with the amino acid sequence phenylalaninetryptophan-lysine-valine-valine, which was first isolated to hydrolyzate the muscle protein of miiuy croaker (miichthysmiiuy). in addition to isolation, fwkvv compounds can be produced by the peptide synthesis method because this method requires a shorter time than the isolation method from natural materials. synthesis methods commonly used are solution-phase peptide synthesis and solid-phase peptide synthesis (spps). however, the spss method is more efficient because it does not require purification in every process. the purpose of this study was to synthesize fwkvv compounds using the spps method and test their antioxidant activity. fwkvv has been synthesized using the spps method with hbtu/hobt coupling reagent and fmoc protective group. the fwkvv crud produced was 148.8 mg and had antioxidant activity against dpph radicals with an ic50 value of 4.2 mg/ml. keywords: antioxidant, pentapeptide, fwkvv, spps, dpph introduction bioactive peptides are compounds that contribute to bioactive functions by influencing metabolism and preventing disease or modulating the physiological system after being absorbed by the body (leticia mora, escudero, fraser, aristoy, & toldrá, 2014). peptides have various bioactive effects depending on the sequence and number of amino acids that make up the peptide, including in the gastrointestinal system, peptides have anti-obesity activity, the cardiovascular system as an antihypertensive, antithrombotic, antioxidant and hypocholesterolemic, the immune system as an antimicrobial, sitomodulator and immune modulator, and in the nervous system as opioid peptides (l mora, aristoy, & toldrá, 2016). antioxidant peptides are a group of peptide compounds that can neutralize free radicals, so they can prevent and treat chronic diseases (r. maharani et al., 2019). one of the peptides that have antioxidant activity is the fwkvv (phe-trp-lys-val-val) compound. fwkvv is a linear pentapeptide compound with the amino acid sequence phenylalanine-tryptophan-lysine-valine-valine, which has been isolated from the muscle protein hydrolyzate of miiuy croaker (miichthysmiiuy) with antioxidant activity against dpph radicals which is relatively high, namely 0.85 mg/ml (he, pan, chi, sun, & wang, 2019). however, the information regarding fwkvv is still very limited. for further exploration, apart from the isolation method, the synthesis method can be used to develop information about fwkvv. the synthesis method also allows researchers to obtain information about an analog of fwkvv, which can later be developed in further research by providing information about the relationship between activity and structure. research on peptide synthesis has been widely developed, especially for linear pentapeptide compounds that have the potential for antioxidant activity. sabana et al., (2020) has been synthesized the antioxidant pentapeptide compound scap1 (leu-alaasn-ala-lys) using the solid phase peptide synthesis (spps) method previously isolated from oyster protein hydrolyzate (saccostrea cucullata). in addition, nine scap1 analogs have been successfully synthesized using the spps method. the nine analogs that have been synthesized are known that asparagine residue has an important role in the antioxidant activity of the scap1 compound and the replacement of lysine residue with valine can increase antioxidant activity (r. maharani et al., 2020). eka fitri yanti, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 2 peptide synthesis can be carried out by two methods, namely the solution phase peptide synthesis method and solid-phase peptide synthesis (spps) as used in the research of sabana et al., (2020) and r. maharani et al., (2020). in solution-phase peptide synthesis, a fully protected peptide segment is needed whereas in spps the use of solid supports other than as a place for the extension of the peptide chain also functions as a protective group so that the group that binds to the solid support is automatically protected (walker & rapley, 2008). in addition, in the solution phase synthesis method, all reagents and dissolved reaction products are in the same medium so that purification is required at each reaction stage, whereas in the solid phase synthesis method, impurities will be easier to separate through simple filtering. to synthesize scap1 peptide, the spps method was chosen in this study because it has several advantages over solution-phase synthesis, namely a faster reaction time (merrifield, 1963). the spps method has been used successfully in synthesizing several peptide compounds, including the linear tetrapeptide compound dpap (asp-pro-ala-pro) with 10.85% revision (eka yanti & rani maharani, 2020), pssy with 13.8% yield (r. maharani et al., 2019), and pady (pro-ala-asp-tyr) with a yield of 12.6% (r. maharani et al., 2019). the fwkvv compound was synthesized using the spps method because this method has several advantages over the solution phase method, namely the faster reaction (chan and white, 2000). the synthesized fwkvv compound was characterized using a mass spectroscopy method and tested for its antioxidant activity using the dpph radical. synthesis of fwkvv compounds using the spps method has not been reported, so it is hoped that it can provide new information about antioxidant compounds from the peptide group that is easier to synthesize. methodology tools and materials the tools used in this research are solid-phase peptide synthesis tube, rotary evaporator, freeze dryer, rotary suspension mixer, reverse phase highperformance liquid chromatography (rp-hplc) waters 1500-series brand, photo diode array (pda) detector, mass. waters spectrometer qtof ms with electron spray (es) system, perkin elmer uv-vis spectrophotometer, and glass tools commonly used in laboratories. the materials used were fmoc-phe-oh, fmoctrp-oh, fmoc-lys-oh, fmoc-val-oh, 2-chlorotritylchloride resin, dichloromethane (dcm), dimethylformamide (dmf), dipea (diisopropylethylamine), tfa, methanol, p-chloranyl, acetaldehyde, piperidine, hbtu (2(1h-benzotriazole-1-il)-1,1,3,3tetramethiluronium) and obt (hydroxybenzotriazole). procedures first amino acid c terminal binding (loading resin) a total of 250 mg of 2-chlorotritylchloride resin was added with 5 ml dcm, then shook for 30 minutes and filtered. in a round bottom flask prepared a solution of fmoc-val-oh (0.375 mmol), 5 ml dcm and dipea (0.75 mmol). the amino acid solution was added to the resin and shaken at room temperature for two hours. the resin was filtered, then washed using dcm. furthermore, the calculation of resin loading was carried out, by sampling some resin grains weighed then put in an eppendorf tube, then added 3 ml of 20% piperidine and let stand for 30 minutes. then the absorption of the solution was measured with a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 290 nm and with a 20% piperidine blank. the resulting loading resin value serves to determine the number of amino acids and the coupling reagent will be used. a total of 5 ml of a mixture of methanol: dcm; dipea (15: 80: 5) was added to the resin which was then shaken for 15 minutes, this treatment was repeated twice. the resin was filtered and washed using dcm and dried for ± 15 minutes, resulting in a dry fmocval-resiny. removing the protective group of fmoc using 4 ml of 20% piperidine in dmf and shaking for 5 minutes. furthermore, the resin was filtered and washed using dmf and dcm. piperidinewas added and resin washes were added twice. control of release of the protective fmoc group using the chlorine test. second amino acid coupling (fmoc-val-oh) in a round bottom flask prepared fmoc-val-oh (3ek), added with hbtu (3 ek) and hobt (3 ek), added dipea (6 ek.) and dissolved in 4 ml dmf, then sonicated for 5 minutes. the yellow solution was added to the dry peptide resin (resin-val-nh2) and shaken overnight. the resin was filtered and washed with dmf and dcm, then dried. control of the second amino acid coupling was carried out using the chlorine test. removing the protective group fmoc using 20% piperidine in dmf (4 ml) and shaking for 2 x 5 minutes. furthermore, the resin was filtered and washed using dmf and dcm. the release control of the protective group fmocwas carried out using the chlorine test. eka fitri yanti, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 3 third amino acid coupling (fmoc-lys (boc) -oh) in a round bottom flask prepared fmoc-lys (boc) -oh (3 ek) added with hbtu (3ek) and hobt (3 ek), added dipea (6 ek.) and dissolved in 4 ml dmf, then sonicated for 5 minutes. the yellow solution was added to the dry peptide resin (resin-val-val-nh2) and shaken for 4 hours. the resin was filtered and washed with dmf and dcm, then dried. the third amino acid coupling control was carried out using the chloranil test. removing the protective group fmoc using 20% piperidine in dmf (4 ml) and shaking for 2 x 5 minutes. furthermore, the resin was filtered and washed using dmf and dcm. the release control of the protective group fmocwas carried out using the chlorine test. fourth amino acid coupling (fmoc-trp (boc) -oh) in a round bottom flask prepared fmoc-trp (boc) -oh (3 ek) added with hbtu (3ek) and hobt (3 ek), added dipea (6 ek.) and dissolved in 4 ml dmf, then sonicated for 5 minutes. the yellow solution was added to the dry peptide resin (resin-val-val-lys (boc)-nh2) and shaken overnight. the resin was filtered and washed with dmf and dcm, then dried. the fourth amino acid coupling was controlled by using the chlorine test. removing the protective group fmoc using 20% piperidine in dmf (4 ml) and shaking for 2 x 5 minutes. furthermore, the resin was filtered and washed using dmf and dcm. the release control of the protective group fmocwas carried out using the chlorine test. fifth amino acid coupling (fmoc-phe-oh) in a round bottom flask prepared fmoc-phe-oh (3 ek) added with hbtu (3ek) and hobt (3 ek), added dipea (6 ek.) and dissolved in 4 ml dmf, then sonicated for 5 minutes. the yellow solution was added to the dry peptide resin (resin-val-val-lys (boc) -trp (boc) -nh2) and shaken for 5 hours. the resin was filtered and washed with dmf and dcm, then dried. the fifth amino acid coupling control was carried out using the chlorine test. removing the protective group fmoc using 20% piperidine in dmf (4 ml) and shaking for 2 x 5 minutes. furthermore, the resin was filtered and washed using dmf and dcm. the release control of the protective group fmocwas carried out using the chlorine test. release of tetrapeptides from resins pentapeptide resin (resin-val-val-lys (boc) -trp (boc) phe-nh2) was added with 5 ml of 95% tfa solution in water. the mixture was shaken for 1 hour at room temperature, this procedure was carried out 2 times. the release of peptides from the resin is indicated by the change in resin color to red. the resin is filtered then the filtrate is concentrated with a rotary evaporator. furthermore, the pentapeptide solid was dried using a freeze dryer. the resulting peptide crud was analyzed for purity using analytical rp-hplc using a lichrospher rp-18 reverse phase column, and eluted using water: acetonitrile (0:70) gradient with 0.1% tfa buffer for 30 minutes, flow rate 2 ml/minute, and using a pda detector with detection at a wavelength of 254 nm and characterized using a mass spectrometer. antioxidant activity test preparation a solution of 2,2-diphenyl-1-picryhydazyl (dpph) 160 ppm an amount of 4 mg dpph is placed in a brown vial bottle, then dissolved in 25 ml methanol. 800 µl of p.a methanol and 200 µl of dpph solution were mixed and incubated for 30 minutes. the absorbance was measured using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 517 nm (the absorbance of the dpph should be at the susceptible 0.8-0.9). preparation of a stock sample solution of 8,000 ppm an amount of 80 mg of sample was put into a 10 ml volumetric flask, then methanol was added to the limit mark and was sonicated until all samples were dissolved. the sample solution was centrifuged at a speed of 10,000 ppm for 10 minutes. the filtrate obtained is used for the activity test. testing samples the stock solution that has been made is diluted to 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm, 4000 ppm, and 5000 ppm by adding dpph and methanol solutions (the volume is made 1 ml). the solution was incubated for 30 minutes and its absorbance was measured using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 517 nm. analysis in determining the antioxidant activity of fwkvv crud the absorbance that has been obtained, the% inhibition at each concentration was calculated using equation 1. % 𝑖𝑛ℎ = × 100% (1) percentage of inhibition at each concentration, then a linear equation (y = bx + c) is made, from the curve obtained from the relationship between concentration and% inhibition. eka fitri yanti, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 4 then the 50% inhibition (% ic50) is calculated using equation 2. the value c is intersep and b is slope. 𝐼𝐶 = 𝟓𝟎 𝒄 𝒃 (2) results and discussion the fwkvv compound has been successfully synthesized using the solid support phase 2-chlorotrityl chloride resin. 2-chlorotrityl chloride resin is used because of its dense resin structure which reduces the occurrence of racemization and the formation of a byproduct in the form of diketopiperazine (chan & white, 2000). the resin development process aims to open the active site of the resin, allowing the first amino acids to bind to the active site of the resin (sewald & jakubke, 2002). in this synthesis, the first amino acid of the fwkvv target compound is the amino acid valine (val). the amino groups at the n-terminal are protected with the fmoc group so as not to interfere with the reaction. the binding of the amino acid valine to the resin does not involve activation of the carboxyl group but begins with the binding of acidic hydrogen to the fmoc-val-oh carboxyl group by the base n, ndiisopropylethylamine (dipea) through an acid-base reaction, and nucleophiles are formed. the nucleophile will attack the quaternary carbon in 2-chlorotrityl chloride resin and substitute the chloride atom so that it binds to the resin. the reaction between the amino acid valine and resin through a unimolecular nucleophilic substitution reaction (sn1) to form fmocval-resin (figure 1) (chan & white, 2000). figure 1.the binding reaction of the amino acid proline as a terminal c end to 2-chlorotrityl chloride resin (chan & white, 2000; r. maharani et al., 2020, 2019) the reaction was carried out for 4 hours because the researchers wanted the resin loading value or the amount of the first amino acid that entered the resin not to be too large. after all, the more first amino acids bound to the resin would cause a reaction process that was prone to the formation of diketopiperazine byproducts (chan & white, 2000). the determination of the resin loading value was carried out using a uv spectrophotometer, and it was known that the fwkvv resin loading value was 0.3 mmol/g resin, the resin loading value was quite good because it was in a good resin loading value range of 0.2-0.8 mmol/g (chan & white, 2000). based on the resin loading value, we can see that not all amino acids are bound to the resin. therefore it is necessary to capping resin using a mixture of methanol: dcm: dipea (15: 80: 5) which aims to seal the active site of the resin so that it does not bind to further amino acids (figure 2). figure 2. resin capping reaction using methanol (r. maharani et al., 2019) the next step is the release of the protective group fmoc (deprotection), deprotection serves to provide the active site of the first amino acid which can react with the second amino acid. the protective group fmoc was chosen because it is a protective group that is unstable in alkaline conditions so that it can be released using a base. deprotection was carried out by adding 20% piperidine solution in dmf. the fmoc release reaction starts from the hydrogen atoms in the fluorene ring which will be bound by piperidine to form free amino acid groups and an intermediate type of aromatic cyclopentadiene compound (chan & white, 2000). these intermediate compounds are easily broken down into dibenzofulven compounds and carbon dioxide (figure 3). figure 3. the reaction mechanism for the release of the protective fmoc group (chan & white, 2000; eka yanti & rani maharani, 2020). eka fitri yanti, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 5 the release of the fmoc protective group was monitored by the chlorine test. in the chlorine test, the success of deprotection was indicated by a change in the color of the resin to purple or red which indicates the presence of a free amine (-nh2) group. the reaction of amino group testing with chlorine can be seen in figure 4. figure 4. test reaction of the protective group fmoc with chlorine (r. maharani et al., 2019) after fmocis released and a free nh2 group is produced, the next step is the coupling reaction. the coupling reaction is a reaction to form an amide bond between one amino acid and the second amino acid using activating reagents. in this study, the activating reagent used was hbtu/hobt. hbtu/hobt is a series of coupling reagents for the uronium/aminium salt group, where the combination of these coupling reagents can increase yield and reduce the formation of epimerization (valeur & bradley, 2009). the success of the second amino acid coupling reaction fmoc-val-oh was monitored using the chlorine test. in the chlorine test, the resin color did not change (yellow) indicating the absence of free nh2 groups which meant that the coupling reaction was successful. the next step is the deprotection of the fmoc protective group. the coupling and deprotection stages of the fmoc protective group were repeated until the desired peptide chain was obtained, namely valval-lys-trp-phe. the stages of the synthesis reaction are shown in figure 5. after obtaining the target peptide compound, the next step is to release the peptide from the resin (cleavage). the release of the peptides from the resin used 95% tfa in water for 1 hour. this process is carried out twice to ensure that all peptides are removed from the resin. the very high concentration of tfa and the release time are long enough so that the side chain protective groups (boc) on the amino acids lysine and tryptophan are also released. boc group serves to protect the side chains that react easily with carboxyl groups. the reaction of releasing peptides from the resin is shown in figure 6. the fwkvv peptide crude obtained was a brownish-yellow solid of 148.8 mg. then the fwkvv crude was analyzed using a mass spectrometer and gave the molecular ion peak [m + h]+ at 678.4. this corresponds to the relative molecular mass of fwkvv of 677.4 g/mol. figure 5. schematic of fwkvv synthesis, (1) 20% piperidine in dmf, (2) a. fmoc-val-oh, hbtu/ hobt, dipea b. 20% piperidies in dmf, (3) a. fmoc-lys (boc) -oh, hbtu/hobt, dipea b. 20% piperidine in dmf, (4) a. fmoc-trp (boc) -oh, hbtu/hobt, dipea b. 20% piperidine in dmf, (5) a. fmoc-phe-oh, hbtu/hobt, dipea b. 20% piperidine in dmf figure 6. the reaction of the release of fwkvv peptide from the resin the presence of the fwkvv peak was reinforced by the appearance of the ½ [m + h]+ peak at 339.7. however, the fwkvv crude obtained is not pure, that is, there are still many peaks of impurities or other peptides that are formed, for example, the [m + h]+ peak at 531.3 which is the peak of the tetrapeptide (trp-lys-val-val) figure 7. the crude fwkvv the impure obtained was also strengthened by analytic rphplc analysis using a lichrospher rp-18 reverse phase column, and eluent using a water-acetonitrile (070) gradient eluent with 0.1% tfa buffer for 30 minutes and a flow rate of 2 ml/minute. the results of the purity analysis show that there are many peaks, which means that the results of the fwkvv synthesis are still not pure figure 8. based on the results of the eka fitri yanti, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 6 analysis showing that the synthesized fwkvv compound is impure. figure 7. the results of the mass spectrophotometer analysis (tof es-ms) of the fwkvv compound, namely the peak of molecular ion [m + h]+ at 678.4. figure 8. rp-hplc chromatogram of fwkvv compound. antioxidant activity of fwkvv crude the crude fwkvv was tested for its antioxidant activity using the dpph radical inhibition method. this method is used because this method is relatively simple, fast, and effective in testing the anti-radical activity of a compound (waode rustiah & nur umriani, 2018). dpph radicals react with antioxidant compounds by donating hydrogen atoms, resulting in a change in the color of dpph (purple to yellow) and the absorbance is measured at a wavelength of 516 nm (robby mahardika & occa roanisca, 2018). the concentration of the solution used in the test was five variations, namely 1000, 2000, 3000, 4000, and 5000 ppm. based on the dpph radical inhibition test, the ic50 value will be obtained. the crude of fwkvv has an ic50 value of 4.2 mg/ml. the test results showed that the fwkvv crude had antioxidant activity, but was not more active than the isolated fwkvv compound. this is evidenced by the ic50 fwkvv value of the isolation results, which is greater, namely 0.85 mg/ml (he et al., 2019) compared to the ic50 fwkvv value as a result of the synthesis. this difference is since the synthesized fwkvv crud is not yet pure so that there are still some compounds or impurities that affect the antioxidant activity of fwkvv. conclusion fwkvv pentapeptide compounds were successfully synthesized using the solid phase peptide synthesis method (spps) with a crud mass of 148.8 mg. fwkvv crude has antioxidant activity against dpph radicals with an ic50 value of 4.2 mg/ml. anknowledgement the author would like to thank the grant of penelitian dosen pemula (pdp) for the 2020 budget which has been given by ristekdikti with research contract 083/sp2h/lt/ drpm/2020 references chan, w. c., & white, p. d. (2000). fmoc solid phase peptide synthesis: a practical approach. oxford, new york: oxford university press. eka yanti & rani maharani. (2020). sintesis tetrapeptida linear (dpap) menggunakan metode sintesis peptida fasa padat (spps) dan aktivitas insektisidanya terhadap ulat krop kubis. indonesian journal of chemical research, 8(1), 6–14. https://doi.org/ 10.30598/10.30598//ijcr.2020.8-eka he, y., pan, x., chi, c.-f., sun, k.-l., & wang, b. (2019). ten new pentapeptides from protein hydrolysate of miiuy croaker (miichthys miiuy) muscle: preparation, identification, and antioxidant activity evaluation. lwt, 105, 1–8. https://doi.org/ 10.1016/j.lwt.2019.01.054 maharani, r., hidayat, a. t., sabana, i. r., firdausi, a., aqmarina, a., kurnia, d. y., … supratman, u. (2020). synthesis, antioxidant activity, and structure–activity relationship of scap1 analogues. international journal of peptide research and therapeutics, 27(1), 17–23. https://doi.org/10.1007/s10989-02010061-3 maharani, r., octavia, s. m., zainuddin, a., hidayat, a. t., sumiarsa, d., harneti, d., … supratman, u. (2019). sintesis tetrapeptida pssy dengan metode fasa padat. chimica et natura acta, 7(2), 69–75. https://doi.org/ 10.24198/cna.v7.n2.26156 maharani, r., sumiarsa, d., marpaung, c., zainuddin, a., hidayat, a. t., harneti, d., … supratman, u. (2019). sintesis tetrapeptida eka fitri yanti, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 1-7, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-eka 7 pady menggunakan metode fasa padat dan aktivitas antioksidannya. jurnal kimia valensi, 5(1), 87–96. https://doi.org/ 10.15408/jkv.v5i1.10500 merrifield, r. b. (1963). solid phase peptide synthesis. i. the synthesis of a tetrapeptide. journal of the american chemical society, 85(14), 2149–2154. https://doi.org/ 10.1021/ja00897a025 mora, l, aristoy, m.-c., & toldrá, f. (2016). bioactive peptides in foods. massachusetts, united states: academic press. mora, leticia, escudero, e., fraser, p. d., aristoy, m.-c., & toldrá, f. (2014). proteomic identification of antioxidant peptides from 400 to 2500da generated in spanish drycured ham contained in a size-exclusion chromatography fraction. food research international, 56, 68–76. https://doi.org/ 10.1016/j.foodres.2013.12.001 robby mahardika & occa roanisca. (2018). aktivitas antioksidan dan fitokimia dari ekstrak etil asetat pucuk idat (cratoxylum glaucum). indonesian journal of chemical research, 5(2), 69–74. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2018.5-rob sabana, i. r., naufal, m., wiani, i., zainuddin, a., hidayat, a., harneti, d., … maharani, r. (2020). synthesis of antioxidant peptide scap1 (leu-ala-asn-ala-lys). egyptian journal of chemistry, 63(3), 921–926. https://doi.org/10.21608/ejchem.2019.12996. 1818 sewald, n., & jakubke, h.-d. (2002). peptides: chemistry and biology, 2nd edition | wiley. germany: wiley-vch verlag gmbh & co. kgaa. valeur, e., & bradley, m. (2009). amide bond formation: beyond the myth of coupling reagents. chemical society reviews, 38(2), 606–631. https://doi.org/10.1039/b701677h walker, j. m., & rapley, r. (2008). molecular biomethods handbook. in springer protocols handbooks. molecular biomethods handbook (2nd ed.). totowa, nj: humana press. https://doi.org/10.1007/978-1-60327375-6_3 waode rustiah & nur umriani. (2018). uji aktivitas antioksidan pada ekstrak buah kawista (limonia acidissima) menggunakan spektrofotometer uv-vis. indonesian journal of chemical research, 6(1), 22–25. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.6-wao indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 171 kinetics and isotherm study of ion phosphate adsorption by lontor natural clay nurul ikhsan*, serly j. sekewael, nurani hasanela chemistry departement, faculty of mathematics and natural science, pattimura university, jl. ir. putuhena, ambon, 97233, indonesia. *corresponding author: ikhsannur299@gmail.com received: october 2021 received in revised: october 2021 accepted: december 2021 available online: january 2022 abstract the clay used taken from lontor village, central maluku regency, banda besar island. the clay was activated at 350 °c for 3 hours using a furnace. this study aims to determine the effectiveness of physically activated lontor natural clay in reducing levels of phosphate ions using the adsorption method. the adsorption capacity of clay is determined based on two parameters. the parameters are the optimum contact time used are 2, 3, 4, 5, and 6 hours and variations of the concentration are 10, 20, 30, 40, and 50 mg/l of phosphate. the concentration of phosphate adsorbed on the clay was measured by a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm. the results showed that the optimum conditions for the adsorption of phosphate ions by lontor natural clay were obtained at the contact time of 5 hours and the concentration of 40 mg/l. the adsorption of phosphate ions by lontor activated natural clay followed the pseudo-second-order lagergren adsorption kinetics model with a rate constant value (k2) of 3.39 x 10 -1 g mg-1 min-1, and following the freundlich adsorption isotherm models with a correlation coefficient (r2), freundlich constant (kf), and n values, respectively are 0.9513, 0.57 mg 11/n l1/n/g, and 0.40 g/l. keywords: adsorption, phosphate ion, isotherm, kinetics, lontor natural clay introduction indonesia has many potential natural resources that have not been utilized optimally, one of which is clay. clay is a material consisting of excellent particles measuring < 2 m (wijaya et al., 2004). maluku has several places with natural clay-producing areas, namely latuhalat (latupeirissa & fransina, 2014), ouw (bijang et al., 2021), and lontor. lontor village located in banda besar island, central maluku regency. lontor natural clay is generally only used as raw material for ceramics and brick making. besides being used as a raw material for making bricks and clay ceramics, it can also be used in industry as an adsorbent, catalyst, and resin for ion exchange (wijaya et al., 2002). clay is widely used as an adsorbent because it has a high specific surface area, high porosity, abundance in nature, and a relatively lower price than other adsorbents (waghmare et al., 2015). phosphate compounds are one of the parameters used to determine the presence of water pollution. excessive phosphate in the environment can cause eutrophication (auliah, 2009). eutrophication is an environmental problem caused by excessive phosphate waste (sinta et al., 2015). phosphate compounds in the water impact the extensive use of phosphate compounds caused by human activities or geochemical processes and can also come from industrial waste (pohan et al., 2016). the adsorption method is a method that can absorb a substance (ion or molecule) on the surface of the adsorbent. several factors affect the adsorption process: surface area, concentration, particle size, temperature, ph, and contact time. adsorption methods are generally based on the interaction between a substance or metal with functional groups in the adsorbent, namely through the formation of complexes and or cation exchange (bath et al., 2012). this method is effective considering that the process is easy, the time required is relatively short, does not cause side effects to human health and the environment, and is economical because it does not require a lot of money (lesbani et al., 2015). previous research by darmadinata et al. (2019) reviewed the potential applications of clay minerals. it concluded that clays exhibit enormous potential for phosphate adsorption due to their large specific surface area, chemical and mechanical stability, layered structure, and high cation exchange capacity. in addition, auliah (2009) showed the adsorption of phosphate ions in water by activated clays based on the langmuir isotherm with r2 = 0.861. furthermore, nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 172 research by maslukah et al. (2020) also showed the kinetics of adsorption and desorption of phosphate ion (po4 2-) in sediments of semarang and jepara waters based on the pseudo-second-order kinetics model and followed the langmuir adsorption isotherm. methodology instrumentals the tools that have been used in this research are set of tools glass (pyrex), analytical balance (denver instrument xp-3000), centrifuge (hettich eba 20), oven (shel lab), desiccators, tanur (vulcan a550), shaker (gfl 3005), stopwatch, lumpang and pestle, 100sieve mesh, porcelain dish, petri dish, funnel, dropper pipette, volume pipette, stirring rod, ftir spectrophotometer (prestige 21shimazu), and uv-vis spectrophotometer (apel pd-3000uv). materials the materials that have been used in this research are lontor natural clay, k2hpo4 (pa merck), ammonium molybdate (pa merck), sncl2 (pa merck), bi-distilled, distilled water, whatman filter paper no. 42, and aluminum foil. methods sample preparation lontor natural clay samples were soaked, and the top clay fraction was removed, then washed with distilled water until clean. the results obtained were filtered with a vacuum pump to obtain clay free from impurities. furthermore, clay is dried in an oven at a temperature of 80 oc for 6 hours. the dry clay was ground and sieved using a 100 sieve mesh and stored in a desiccator. physical activation of lontor natural clay the prepared lontor natural clay sample was put into a porcelain dish and then heated using a furnace (physical activation) at 350 °c for 3 hours. furthermore, the physically activated lontor natural clay was stored in a desiccator. preparation of phosphate solution preparation of 1000 ppm phosphate main liquor a total of 1.83 g of k2hpo4 was weighed and dissolved using bi-distilled water. after that, it was put into a 1000 ml volumetric flask and bi-distilled to the exact volume, then homogenized. preparation of 100 ppm standard phosphate solution a total of 10 ml of phosphate mother liquor was diluted with distilled water in a 100 ml volumetric flask to the exact volume. preparation of standard phosphate solution for determination of optimum contact time phosphate standard solutions of 5, 10, 15, 20, 25, and 30 ppm were prepared by taking respectively 5, 10, 15, 20, 25, and 30 ml of 100 ppm standard phosphate solution then diluted with bi-distilled in a 100 ml volumetric flask to mark the limit. preparation of standard phosphate solutions for determining the optimum concentration phosphate standard solutions of 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, and 50 ppm were prepared by taking respectively 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, and 50 ml of 100 ppm standard phosphate solution then diluted with bi-distilled in a 100 ml volumetric flask to mark the limit. determining the optimum contact time a total of 1 g of clay was put into a 100 ml erlenmeyer glass containing 50 ml of phosphate solution with a concentration of 30 ppm. the suspension was shaken using a shaker at a speed of 200 rpm with various contact times of 2, 3, 4, 5, and 6 hours at room temperature. the suspension was filtered using whatman filter paper no. 42, then washed and put into an erlenmeyer. the filtrate was then centrifuged at 2000 rpm for 15 minutes. after that, 1 ml of ammonium molybdate and 0.4 ml of sncl2 added to the filtrate were homogenized to form a blue solution. the absorbance of the solution was measured using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm (ngibad, 2019) determining the optimum concentration a total of 50 ml of phosphate solution with 10, 20, 30, 40, and 50 ppm concentrations were placed into the clay sample. each added 1 g of clay sample. the suspension was shaken using a shaker at 200 rpm for the optimum time at room temperature. the rest was filtered using whatman filter paper no. 42, then washed and put into an erlenmeyer. the filtrate was then centrifuged at 2000 rpm for 15 minutes. after that, 1 ml of ammonium molybdate and 0.4 ml of sncl2 were added to the filtrate then homogenized to form a blue solution. furthermore, the absorbance of the filtrate was measured using a uvvis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm (ngibad, 2019). phosphate ion analysis with the spectrophotometer uv-vis a total of 50 ml of the filtrate of each suspension was put into a 100 ml erlenmeyer. after that, 1 ml of ammonium molybdate was added to the filtrate and homogenized, then 0.4 ml of sncl2 was added to form a blue solution. next, the solution was measured absorbance with a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm (ngibad, 2019). a graph was nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 173 made between concentration and absorbance. the chart was plotted on the standard solution curve. determining the adsorption kinetics a total of 1 g of clay was put into a 100 ml erlenmeyer glass containing 50 ml of phosphate solution with a concentration of 30 ppm. the suspension was shaken using a shaker at a speed of 200 rpm with various contact times of 120, 180, 240, 300, and 360 minutes at room temperature. the suspension was filtered using whatman filter paper no. 42, then washed and put into an erlenmeyer. the filtrate was then centrifuged at 2000 rpm for 15 minutes. after that, 1 ml of ammonium molybdate and 0.4 ml of sncl2 were added to the filtrate, then homogenized to form a blue solution. then the absorbance of the solution was measured using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm (ngibad, 2019). determining the adsorption isotherms a total of 50 ml of phosphate solution with 10, 20, 30, 40, and 50 ppm concentrations are added to 1 g of clay sample each. the suspension was shaken using a shaker at 200 rpm for the optimum time at room temperature. the rest was filtered using whatman filter paper no. 42, then washed and put into an erlenmeyer. the filtrate was then centrifuged at 2000 rpm for 15 minutes. after that, 1 ml of ammonium molybdate and 0.4 ml of sncl2 added to the filtrate were homogenized to form a blue solution. furthermore, the absorbance of the filtrate was measured using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm (ngibad, 2019) determining the concentration of phosphate adsorbed in clay the adsorbed phosphate concentration was determined by measuring the remaining phosphate concentration using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm. the amount of phosphate adsorbed is determined by subtracting the initial concentration from the concentration of phosphate remaining in the solution. this action is to determine the phosphate concentration in the sample. standard solutions of the phosphate series were used with various concentrations of 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, and 50 ppm. the concentration of residual phosphate that is not adsorbed on the clay is calculated from the absorbance data from the sample analysis, with the regression equation obtained from the calibration curve equation 1. y = ax + b (1) description: y = absorbance of phosphate x = concentration of residual phosphate (ppm) a = slope (slope) b = intercept (intersection) from the above equation, the residual phosphate concentration (ppm) can be calculated using equation 2. x = 𝑦−𝑏 𝑎 𝑥 dilution factor (2) to determine the concentration of adsorbed phosphate used the equation 3. c = co – ce (3) description: c = concentration of adsorbed phosphate (ppm) co = initial phosphate concentration (ppm) ce = residual phosphate concentration (ppm) determining the adsorption power of clay to phosphate the amount of phosphate adsorbed mg/g of the adsorbent, which is referred to as the adsorption capacity, is determined by using equation 4. 𝑥 𝑚 = (𝐶𝑜−𝐶𝑒) 𝑉 𝑚 if vo = ve (4) 𝑥 𝑚 = (𝐶𝑜 . 𝑉𝑜) − (𝐶𝑒 . 𝑉𝑒) 𝑚 if vo ≠ ve (5) description: 𝑥 𝑚 = amount of adsorbed substance (mg/g) co = initial phosphate concentration (mg/l) ce = concentration of residual phosphate (mg/l) v = volume of solution (l) vo = initial volume of solution (l) ve = the final volume of solution (l) m = weight of adsorbent (g) determining the phosphate clay adsorption capacity the adsorption capacity was determined by using the freundlich and langmuir adsorption isotherm pattern. freundlich's equation : 𝑥 𝑚 = k ce 1/n (6) log 𝑥 𝑚 = log k + 1 𝑛 log ce (7) langmuir's equation: 𝐶𝑒 𝑥/𝑚 = 1 𝑏.𝐾 + 1 𝑏 𝐶𝑒 (8) nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 174 results and discussion lontor natural clay the clay used in this study came from lontor village, banda besar island, central maluku regency. the clay is initially soaked and washed with distilled water to separate the clay from impurities. this process is carried out several times until a relatively clean clay is obtained. the natural clay was soaked in distilled water for 24 hours, and then the uppermost clay fraction was separated from the natural clay for further washing with distilled water. the clay was then dried in an oven at 80 °c for 6 hours to remove water molecules contained in the space between the clay layers. the dry clay was then ground and sieved through a 100 sieve mesh. clay grinding is done to reduce the size of the clay particles so that the surface area will also increase. while sieving aims to uniform the particle size and obtain a clay sample that is completely clean of impurities. clay before and after preparation is shown in figure 1. (a) (b) figure 1. pictures of lontor natural clay before and after preparation (a) before preparation; (b) after preparation physical activation of natural lontor clay the purpose to increase the adsorption capacity and effectiveness of the clay adsorption as an adsorbent, clay activation was carried out. activation is the most common way to increase adsorbent absorption. the prepared clay was activated by heating in a kiln at 350 °c for 3 hours. the effect of physical activation on the clay aims to open the interlayer space of the clay, remove impurities in the internal part of the clay, and improve the performance of the clay by increasing the adsorption capacity (fransina & latupeirissa, 2014). the physical characteristics observed after calcining can be seen in figure 2, a slight change in the material's color to be darker than the original color before calcining. lontor natural clay before activation is light brown, while it is dark brown after activation. (a) (b) figure 2. pictures of lontor natural clay before and after physical activation (a) before activation; (b) after activation determining the optimum contact time according to the lambert-beer equation: a = abc, a solution's concentration (c) is directly proportional to its absorbance (a). absorbance measurement to determine the optimum contact time for phosphate ion adsorption was carried out using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm. parameters for determining the optimum contact time of phosphate ions can be seen in table 2. the data in table 1 and figure 3 show the optimum contact time for phosphate ion absorption obtained at a contact time of 5 hours, with the percentage of phosphate ion adsorbed at 96.36%. while auliah, (2009) research obtained a contact time of 8 hours, with the percentage of phosphate ion adsorbed at 70.27%. the more the adsorption time increases, the more adsorbate is absorbed. this condition is because the longer the contact time, the more clay particles collide and interact with phosphate ions so that the adsorption ability increases. after reaching a contact time of 5 hours, the absorption decreased. this number is caused by the adsorbate molecules that do not entirely bind to the adsorbent so that saturation occurs on the adsorbent, which causes a solution equilibrium. some of the adsorbents release the adsorbate, which causes a decrease after optimum conditions (auliah, 2009). determining the optimum concentration concentration variations were carried out to determine the maximum absorption concentration during the optimum contact time. the absorbance measurement to determine the optimum concentration of phosphate ion adsorption was carried out using a uvvis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm. parameters for determining the optimum concentration of phosphate ions can be seen in table 2. nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 175 table 1. parameters for determining optimum contact with initial phosphate concentration 30 mg/l contact time (hours) residual phosphate concentration (mg/l) adsorbed phosphate concentration (mg/l) adsorbed phosphate ions (%) 2 1.4199 28.5801 95.27 3 1.3837 28.6163 95.39 4 1.3097 28.6903 95.64 5 1.0921 28.9079 96.36 6 1.2092 28.7908 95.97 figure 3. the curve for determining the optimum contact time table 2. parameters for determining the optimum concentration initial concentration of phosphate ion (mg/l) the concentration of residual phosphate (mg/l) the concentration of adsorbed phosphate (mg/l) adsorbed phosphate ion (%) 10 0.9446 9.0554 90.55 20 1.2151 18.7849 93.92 30 1.4639 28.5361 95.12 40 1.4813 38.5187 96.30 50 1.8850 48.1150 96.23 figure 4. the curve for determining the optimum phosphate ion concentration 95.20 95.40 95.60 95.80 96.00 96.20 96.40 96.60 0 2 4 6 8 % a d so rb e d p h o sp h a te i o n s contact time (hours) 90 91 92 93 94 95 96 97 0 10 20 30 40 50 60 % a d so rb e d p h o sp h a te i o n s phosphate ion concentration (mg/l) nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 176 the data in table 2 and figure 4 show that the optimum concentration of phosphate ion absorption was obtained at a concentration of 40 ppm, with the percentage of phosphate ion adsorbed at 96.30%. while auliah (2009) research obtained a concentration of 10 ppm, with the percentage of phosphate ion adsorbed at 87.65%. at concentrations of 10 to 40 mg/l, there was an increase in adsorption. the more significant the phosphate solution concentration, the more clay particles collide and interact with the phosphate. the adsorption ability increases, while the adsorption ability decreases at concentrations above 40 mg/l. this condition is because the clay layer has been saturated with phosphate, which causes a solution equilibrium to occur so that there is phosphate that is not absorbed by the clay (sinta et al., 2015). phosphate ion analysis by spectrophotometer uvvis analysis of phosphate ion by physically activated lontor natural clay was carried out using a uv-vis spectrophotometer at a wavelength of 665 nm. the reagents used in measuring phosphate are ammonium molybdate and sncl2, which is indicated by a change in the color of the solution to a blue color. in an acidic solution, orthophosphate reacts with ammonium molybdate to form molybdophosphoric acid, which is then reduced by stannous chloride (sncl2) to intense blue molybdenum. the resulting blue color is directly proportional to the phosphate concentration. phosphate ion adsorption kinetic study phosphate ion adsorption kinetics study was carried out with various contact times of 120, 180, 240, 300, and 360 minutes, at a phosphate concentration of 30 mg/l. all adsorption processes take place at room temperature. the value of qe tested is a value that is close to the value of qt, which is 1.5 mg/g. the adsorption kinetics parameters can be seen in table 3. from the first order lagergren pseudo curve in figure 9, the value of r2 was obtained at 65.79%. while the curve is a second-order lagergren shown in figure 10, the value of r2 reached a value of 99.99%, which is greater than the value of r2 on the curve lagergren pseudo-first-order. while in maslukah et al. (2020) research, the r2 value in the pseudo-first-order is 42% while the r2 value in the pseudo-second-order is 99.99%. therefore, phosphate ion adsorption on activated natural clay lontor follows the pseudo-second-order lagergren adsorption kinetics model. the k value is an adsorption kinetics parameter that shows how fast or slow an adsorption process is. the greater the value of k, the faster the adsorption process is (sekewael et al., 2013). the value of k2 obtained was 3.39 x 10 -1 g mg-1 min-1. two general kinetic equations for the adsorption process in a solution are applied to the data of this study, is shown in table 3, figure 5 and figure 6. from the results of adsorption data analysis, phosphate ion from lontor natural clay is physically activated. it is known that the adsorption process tends to follow the pseudosecond-order lagergren kinetic equation. table 3. adsorption kinetics parameters t (minutes) ce (mg/l) cads (mg/l) q (%) qt (mg/g) t/qt (qe-qt) (mg/g) log (qe-qt) 120 1.4199 28.5801 95.27 1.4326 83.7638 0.0674 -1.1713 180 1.3837 28.6163 95.39 1.4359 125.3569 0.0641 -1.1931 240 1.3097 28.6903 95.64 1.4365 167.0727 0.0635 -1.1972 300 1.0921 28.9079 96.36 1.4495 206.9679 0.0505 -1.2967 360 1.2092 28.7908 95.97 1.4438 249.3420 0.0562 -1.2503 figure 5. pseudo-first-order lagergren plot for phosphate ion adsorption figure 6. pseudo-second-order lagergren plot for phosphate ion adsorption nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 177 determining the phosphate ion adsorption isotherm phosphate the batch process carried out an ion adsorption experiment by physically activating lontor natural clay. the use of the batch method serves to allow a thorough adsorption process to the clay. the experimental data can be seen in table 4. this study used the langmuir adsorption isotherm and freundlich adsorption isotherm models to state the occurred adsorption pattern. by comparing the correlation coefficient (r2) in figure 7 and figure 8, the tendency of phosphate ion adsorption in lontor natural clay can be determined with physical activation based on the existing linearity (sekewael et al., 2013). langmuir adsorption isotherm from the adsorption isotherm parameter data in table 4, the adsorption isotherm curve in figure 7 is obtained with a constant value of 0.32 and a constant of -0.43. and are empirical constants related to affinity and absorption capacity parameters. langmuir isotherm is adsorption that occurs due to a chemical bond between the surface of the adsorbent and the adsorbate. on each active site, only one molecule can be adsorbed so that a monolayer is formed and adsorption occurs in a homogeneous layer. freundlich adsorption isotherm the adsorption isotherm parameter data in table 5 shows that the adsorption isotherm curve in figure 8 is obtained with a constant k value of 0.57 and an n value of 0.40. while in auliah (2009) research, the constant k value of 0.32 and an n value of 4.13. the adsorption capacity is related to the adsorption constant or k constant, which is 0.57 mg1-1/n l1/n/g. freundlich adsorption occurs because of the physical bond between the adsorbate (a substance that is adsorbed) and the surface of the adsorbent (a substance that absorbs). the freundlich isotherm assumes that adsorption occurs in heterogeneous layers and more layers (multilayer). based on the graph in figures 7 and 8, the value of correlation (r2) of 0.7772 langmuir isotherm, while the value of the correlation (r2) freundlich isotherm showed a linear relationship with r2 value of 0.9513. thus, it can be said that the adsorption of phosphate ions by physically activated lontor natural clay tends to follow the freundlich adsorption isotherm, which means that the adsorption occurs in a multilayer layer. conclusions the optimum contact time for the absorption of phosphate ions by physically activated lontor natural clay was obtained at a contact time of 5 hours, with the percentage of phosphate ions adsorbed at 96.36%. the optimum concentration of phosphate ion absorption by physically activated lontor natural clay was obtained at a concentration of 40 mg/l with a percentage of phosphate ion adsorbed at 96.30%. phosphate ion adsorption by activated lontor natural clay physically follows the adsorption kinetics model lagergren pseudo-value second-order rate constant k2 of 3.39 x table 4. adsorption isotherm parameters co (mg/l) ce (mg/l) log ce cads x (x/m) (mg/g) log (x/m) ce/(x/m) 10 0.9446 -0.0248 9.0554 0.4565 0.4564 -0.3407 2.0697 20 1.2151 0.0846 18.7849 0.9429 0.9428 -0.0256 1.2888 30 1.4639 0.1655 28.5361 1.4312 1.4311 0.1557 1.0229 40 1.4813 0.1706 38.5187 1.9319 1.9317 0.2859 0.7668 50 1.8850 0.2753 48.1150 2.4133 2.4131 0.3826 0.7812 figure 7. langmuir adsorption isotherm figure 8. freundlich adsorption isotherm y = -1.3586x + 3.0852 r² = 0.7772 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 c e /( x /m ) (g /l ) ce (mg/l) y = 2.496x 0.2435 r² = 0.9513 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 l o g ( x /m ) log ce nurul ikhsan, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 171-178, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 178 10-1 g mg-1 min-1. it follows the freundlich adsorption isotherm models with constant k of 0.57 mg1-1/n l1/n/g. references auliah, a. (2009). lempung aktif sebagai adsorben ion fosfat dalam air. jurnal ilmiah kimia dan pendidikan kimia, 10(2), 14–23. bath, d. s., siregar, j. m., & lubis, m. t. (2012). penggunaan tanah bentonit sebagai adsorben logam cu. jurnal teknik kimia universitas sumatera utara, 1(1), 1–4. bijang, c. m., tanasale, m. f. j. d. p., kelrey, a. g., mansur, i. u., & azis, t. (2021). preparation of natural ouw clay-chitosan composite and its application as lead and cadmium metal adsorbent. indo. j. chem. res., 9(1), 15–20. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.9-bij darmadinata, m., jumaeri, & sulistyaningsih, t. (2019). pemanfaatan bentonit teraktivasi asam sulfat sebagai adsorben anion fosfat dalam air. indonesian journal of chemical science, 8(1), 1–8. fransina, e. g., & latupeirissa, j. (2014). penentuan waktu kontak dan ph optimum lempung asal desa latuhalat ambon sebagai adsorbent pb2+. prosiding seminar nasional basic science vi fmipa unpatti, 253–260. ambon. latupeirissa, j., & fransina, e. g. (2014). the characterization of clays from latuhalat villageactivated using ammonium nitrate. indonesian journal of chemical research, 1(1), 78–82. lesbani, a., agustina, s., hidayati, n., & mohadi, r. (2015). studi kinetika dan termodinamika adsorpsi tembaga (ii) menggunakan adsorben kitin-selulosa hasil impregnasi. indonesian journal of chemical science, 4(1), 1–5. maslukah, l., zainuri, m., wirasatriya, a., & widiaratih, r. (2020). studi kinetika adsorpsi dan desorpsi ion fosfat (po42-) di sedimen perairan semarang dan jepara. jurnal ilmu dan teknologi kelautan tropis, 12(2), 385–396. ngibad, k. (2019). analisis kadar fosfat dalam air sungai ngelom kabupaten sidoarjo jawa timur analysis of phosphate levels in water of ngelom river sidoarjo jawa timur. jurnal pijar mipa, 14(2), 197–210. pohan, m. s. a., sutarno, & suyanta. (2016). studi adsorpsi-desorpsi anion fosfat pada zeolit termodifikasi ctab. jurnal penelitian sains, 18(3), 123–135. sekewael, s. j., tehubijuluw, h., & reawaruw, d. r. (2013). kajian kinetika dan isoterm adsorpsi logam pb pada lempung asal desa ouw teraktivasi garam ammonium nitrat. indonesian journal of chemical research, 1, 38–46. sinta, i. n., suarya, p., & santi, s. r. (2015). adsorpsi ion fosfat oleh lempung teraktivasi asam sulfat (h2so4). jurnal kimia, 9(2), 217–225. waghmare, s., arfin, t., rayalu, s., lataye, d., dubey, s., & tiwari, s. (2015). adsorption behaviour of modified zeolite as novel adsorbents for fluoride removal from drinking water: surface phenomena, kinetics and thermodynamics studies. international journal of science, engineering and technology research, 4(12), 4114–4124. wijaya, k., pratiwi, a. s., sudiono, s., & nurahmi, e. (2002). study of thermal and acid stability of bentonite clay. indonesian journal of chemistry, 2(1), 22–29. wijaya, k., sugiharto, e., mudasir, m., tahir, i., & liawati, i. (2004). synthesis of iron oxidemontmorillonite composite and study of its structural stability against sulfuric acid. indonesian journal of chemistry, 4(1), 33–42. indochem indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 86 waktu optimum hidrolisis pati limbah hasil olahan ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) menjadi gula cair menggunakan enzim α-amilase dan glukoamilase optimum time waste processed starch hydrolysis of cassava (manihot esculenta crantz var. lahumbu) into liquid sugar using enzymes α-amylase and glucoamylase ardiansyah, nurlansi, rustam musta* department of chemistry education faculty of teacher training and education university of halu oleo kampus bumi tridarma; anduonohu kendari-south east sulawesi indonesia *corresponding author, e-mail: rustam@gmail.com received: dec. 2017 published: jan. 2018 abstract this study aims to determine optimum time of action of the enzyme α-amylase and glucoamylase needed in hydrolyze of starch from waste processed cassava (manihot esculenta crantz var. lahumbu). this research was conducted through three main stages, namely the gelatinization, liquefaction and saccharification. the method was used method are liquefaction and saccharification. the variation time of the stage liquefaction: 12; 24; 36; 48; 60; and 72 minutes and the saccharification stage are: 9; 18; 27; 36; 45; 54; and 63 hours. the results showed that the optimum time required for stage liquefaction using α-amylase enzyme is 48 minutes on the condition of a temperature of 80 o c with a value of 0.09% amylose levels were measured using uv-vis spectrophotometer. the optimum time required for saccharification step using a glucoamylase which is 54 hours on the conditions of a temperature of 50 o c with the amount of reducing sugar concentration of 9.186 g/l as measured using a uvvis spectrophotometer. keywords: waste cassava starch hydrolysis, α-amylase and glucoamylase, liquid sugar. pendahuluan kebutuhan paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa adalah pangan. ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, sangat diperlukan untuk mencapai ketahanan pangan. namun sampai saat ini, permasalahan pangan masih menjadi problem yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia. penyebab dari permasalahan pangan tersebut diantaranya yaitu kurangnya ketersediaan bahan-bahan pangan, perbedaan kemampuan ekonomi masyarakat, dan juga sering gagalnya panen akibat iklim yang tidak menentu. berbagai macam cara dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan pangan, seperti penggunaan bibit unggul hingga perluasan lahan produksi. namun, jika produksi bahan pangan dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan pangan nasional, maka impor menjadi jalan terakhir (azis et al., 2014). indonesia masih bergantung pada impor untuk 5 bahan pokok, yaitu beras, jagung, kedelai, tepung terigu dan gula. produksi gula dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan gula nasional. kebutuhan gula nasional tahun 2014 mencapai 5,7 juta ton yang terdiri dari 2,8 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat, dan 2,9 juta ton untuk memenuhi kebutuhan industri. banyak produsen gula masih mengeluhkan biaya produksi yang mahal dan hasilnya belum mampu bersaing dengan gula impor, baik dalam kualitas maupun kuantitas (azis et al., 2014). menurut richana (2006), upaya yang dilakukan untuk mengurangi impor gula yaitu dengan cara terus meningkatkan produksi gula dalam negeri. disamping itu, mencari alternatif bahan pemanis lain sebagai subtitusi gula. gula alternatif yang sekarang sudah digunakan adalah gula dari pati, seperti sirup glukosa yang salah satunya dihasilkan dari tanaman ubi kayu. sirup glukosa atau gula cair yang dihasilkan dari pati mempunyai rasa dan kemanisan yang hampir sama dengan gula sukrosa atau gula tebu. sirup glukosa mempunyai prospek paling menjanjikan dalam mensubtitusi gula pasir, terutama untuk kebutuhan industri minuman ringan (soft drink). selain itu, sirup glukosa dapat dibuat dengan ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 87 teknologi sederhana yang ada di pedesaan, sehingga masyarakat dapat menggunakan sirup glukosa sebagai pemanis pada jajanan dan minuman, dari pada menggunakan pemanis buatan lain yang tidak sehat. jika semua industri sirup, minuman ringan, permen, biskuit, dan jeli menggunakan sirup glukosa, maka kebutuhan gula pasir tentu akan berkurang dan tidak perlu impor gula. salah satu tanaman yang banyak mengandung pati adalah ubi kayu. bagi masyarakat sulawesi tenggara, khususnya masyarakat muna, buton, dan wakatobi, ubi kayu dijadikan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. selain dapat direbus, ubi kayu dapat diolah menjadi kaopi atau tepung ubi kayu segar dan nantinya dibuat menjadi salah satu makanan khas yang di sebut kasoami (ma’suf, 2013). jenis ubi kayu yang umum digunakan dalam pambuatan kaopi adalah varietas lokal yang dikenal dengan nama “lahumbu”. jenis ubi kayu ini tidak dapat direbus karena rasanya yang agak pahit. limbah cair dari proses pembuatan kaopi ini, tidak di manfaatkan dan dibuang begitu saja. sementara itu, limbah cair ini masih banyak mengandung sari pati. jika dibiarkan begitu saja, limbah cair tersebut dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan menyengat. jika limbah cair tersebut di tampung, maka dapat diperoleh suatu endapan pati yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan gula cair (sirup glukosa). gula cair (sirup glukosa) dapat dibuat dengan cara hidrolisis pati menggunakan enzim α-amilase dan glukoamilase (chandra et al., 2013). faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses hidrolisis pati secara enzimatis yaitu konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, suhu, ph, dan lama proses hidrolisis. hidrolisis pati menjadi sirup glukosa dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi (rahmawati, 2015). tahap gelatinisasi merupakan tahap awal yang dilakukan dengan cara memanaskan campuran pati dan air (suspensi pati) hingga terjadi perubahan bentuk menjadi kental. tahap selanjutnya yaitu likuifikasi merupakan proses hidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil seperti maltosa, glukosa dan dekstrin dengan bantuan enzim α-amilase. waktu reaksi yang diperlukan untuk mengubah pati menjadi dekstrin dengan bantuan enzim α-amilase yaitu sekitar 60-180 menit. tahap sakarifikasi merupakan tahap hidrolisis lanjutan dari tahap likuifikasi dengan menggunakan enzim glukoamilase. waktu reaksi yang diperlukan untuk mengubah dekstrin menjadi glukosa dengan bantuan enzim glukoamilase yaitu sekitar 48-96 jam (rahmawati, 2015). waktu reaksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja enzim dalam proses hidrolisis pati. semakin lama waktu reaksi, maka kerja enzim pula akan semakin optimum. namun setelah mencapai titik optimum, maka kerja enzim akan menurun. oleh karena itu, penentuan waktu optimum reaksi enzimatis sangat penting, karena hasilnya dapat dijadikan sebagai parameter dalam pembuatan gula cair (murtiaz, 2015). menurut amin (2006) pengolahan ubi kayu menjadi beberapa produk olahan merupakan upaya untuk mendukung program ketahanan dan diverifikasi pangan serta menjadi salah satu solusi masalah ketergantungan dan kelangkaan suatu bahan pokok. pengolahan limbah cair ubi kayu menjadi gula cair merupakan langkah strategis dan ekonomis bagi pengembangan ubi kayu menjadi berbagai macam produk olahan. selain itu, hal ini juga merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ubi kayu yang lebih optimal dan sekaligus sebagai usaha mengurangi pencemaran lingkungan. berdasarkan latar belakang di atas telah dilakukan penelitian tentang waktu optimum hidrolisis pati limbah hasil olahan ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) menjadi gula cair menggunakan enzim α-amilase dan glukoamilase. metodologi bahan bahan yang digunakan adalah ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu), enzim α-amilase, enzim glukoamilase, larutan iod (i2 dan ki), amilosa murni, etanol 95%, naoh 1 m, ch3cooh 1 m, pereaksi nelson-somogy, larutan arsenomolibdat, larutan luff schrool, arang aktif, dan aquades. alat peralatan yang digunakan yaitu alat-alat gelas (tabung reaksi, gelas beaker, erlenmeyer, labu takar, buret, gelas ukur, pipet tetes, pipet volume), penangas listrik, spektrofotometer uvardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 88 vis, neraca analitik, hot plate, plat tetes, oven, ph meter, termometer, botol semprot, batang pengaduk, kertas saring, spatula, dan panci. prosedur kerja preparasi sampel pati dari ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) sebanyak 15 kg dikupas dari kulitnya lalu dibersihkan dari kotoran dengan air bersih dan digiling agar didapat hasil yang halus dan ukuran yang merata. selanjutnya disaring dengan menggunakan saringan modifikasi sambil di peras hingga kering. kemudian filtrat yang diperoleh didiamkan dalam wadah beberapa saat hingga terbentuk endapan didasar wadah. selanjutnya endapan dipisahkan dari airnya dan dijemur hingga kering dan di angin-anginkan di udara terbuka. diperoleh 5,3 kg tepung pati dari ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu). pembuatan kurva standar amilosa pembuatan larutan induk amilosa 4000 ppm sebanyak 400 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi. kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 1 ml naoh 1 m. campuran dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit. selanjutnya dipindahkan dalam labu takar 100 ml dan tambahkan aquades hingga batas tera. setelah itu, dikocok hingga homogen. penentuan kurva standar amilosa dibuat larutan standar amilosa dengan variasi konsentrasi: 40 ppm; 80 ppm; 120 ppm; 160 ppm; dan 200 ppm dengan cara dipipet larutan induk amilosa 4000 ppm masing-masing sebanyak 1; 2; 3; 4; dan 5 ml lalu dimasukan ke dalam 5 buah labu takar 100 ml. kemudian masing-masing labu takar ditambahkan ch3cooh 1 m sebanyak 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. disiapkan pula larutan blangko dalam labu takar 100 ml. larutan blangko digunakan untuk tujuan kalibrasi sebagai larutan pembanding dalam analisis fotometri. masingmasing labu takar ditambahkan 2 ml larutan iod 0,1 n. selanjutnya ditambahkan aquades hingga batas tera dan dikocok hingga homogen. setelah didiamkan selama 20 menit, masing-masing larutan di pindahkan ke tabung reaksi dan diukur serapannya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 625 nm. dibuat kurva hubungan antara kadar amilosa dengan serapannya untuk diperoleh persamaan regresi yang digunakan dalam penentuan kadar amilosa dengan rumus: y = ax + b. dimana : y = absorbansi sampel a = kemiringan (slope) x = konsentrasi sampel (mg/l) b = konstanta pembuatan kurva standar glukosa pembuatan larutan induk glukosa 500 ppm sebanyak 500 mg glukosa anhidrat dilarutkan dengan 100 ml aquades dalam gelas kimia 250 ml. kemudian dipindahkan larutan ke dalam labu takar 1 l dan ditambahkan aquades hingga batas tera. selanjutnya dikocok hingga homogen. penentuan kurva standar glukosa dibuat larutan glukosa dengan variasi konsentrasi 20 ppm; 40 ppm; 60 ppm; 80 ppm; dan 100 ppm dengan cara dipipet larutan induk glukosa 500 ppm masing-masing sebanyak 4; 8; 12; 16; dan 20 ml lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 ml. selanjutnya ditambahkan aquades hingga batas tera dan dikocok hingga homogen. disiapkan 6 buah tabung reaksi yang bersih. kemudian masing-masing diisi dengan 1 ml larutan glukosa standar dan 1 tabung diisi dengan 1 ml aquades sebagai blanko. selanjutnya masing-masing tabung ditambahkan 1 ml pereaksi nelson-somogy dan segera dipanaskan dalam air mendidih selama 30 menit. diangkat dan didinginkan suhunya hingga 25 o c. setelah dingin, masing-masing tabung ditambahkan 1 ml larutan arsenomolibdat, dikocok hingga semua cu2o larut sempurna. ditambahkan 7 ml aquades dan dikocok hingga homogen. diukur serapannya pada panjang gelombang 540 nm. hasil pengukuran absorbansi dibuat dalam bentuk kurva standar glukosa dan ditentukan persamaan regresinya. analisis kadar pati dilarutkan 1 gram sampel pati dalam 150 ml hcl 3% menggunakan erlenmeyer 250 ml. ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 89 kemudian dihidrolisis selama 30 menit dalam waterbath lalu didinginkan. selanjutnya larutan sampel dinetralkan dengan naoh 20% dan ditambahkan 1 ml ch3cooh 3%. disaring dan dipindahkan secara kuantitatif dalam labu takar 250 ml. ditambahkan aquades hingga batas tera dan dikocok hingga homogen. selanjutnya dipipet 10 ml filtrat larutan sampel, dimasukan ke dalam gelas kimia 250 ml, ditambahkan 25 ml larutan luff schrool dan 15 ml aquades. dipanaskan selama 10 menit pada pendingin balik, diangkat dan didinginkan. kemudian ditambahkan 25 ml h2so4 25%, 10 ml ki 20%. dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 n dengan menggunakan indikator larutan kanji 0,5 %. dengan cara yang sama dilakukan pula terhadap blangko dengan mengganti larutan sampel/filtrat dengan aquades. ditentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh dengan rumus : larutan na2s2o3 yang digunakan (z) = x n(na2s2o3) dimana : ml blangko = volume na2s2o3 yang digunakan untuk titrasi blangko ml sampel = volume na2s2o3 yang digunakan untuk titrasi sampel 0,1 = konsentrasi larutan na2s2o3 n tio = konsentrasi larutan na2s2o3 yang telah distandarisasi kadar pati (%) = x 100% dimana : fp = faktor pengenceran 0,9 = faktor konversi w = berat sampel (mg) analisis kadar amilosa dan amilopektin sebanyak 100 mg sampel pati dimasukan ke dalam tabung reaksi. kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 1 ml naoh 1 m. campuran dipanaskan dalam air mendidih (100 o c) selama 10 menit hingga terbentuk gel. selanjutnya gel dilarutkan dengan aquades secukupnya dan dipindahkan dalam labu takar 100 ml. ditambahkan aquades hingga batas tera dan dikocok hingga homogen. dipipet sebanyak 5 ml dari larutan sampel lalu dimasukan ke dalam labu takar 100 ml. ditambahkan dengan ch3cooh 1 m sebanyak 1 ml dan 2 ml larutan iod 0,1 n (berangsur-angsur). kemudian ditambahkan aquades hingga batas tera dan dikocok hingga homogen. selanjutnya dipanaskan dalam penangas air pada suhu 30 o c selama 20 menit, lalu di pindahkan kedalam tabung reaksi dan diukur serapannya dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 625 nm. serapan yang diperoleh diplotkan pada kurva standar untuk memperoleh konsentrasi amilosa pada sampel (mg/l) (yenrina, 2015). kemudian ditentukan kadar amilosa dengan rumus : kadar amilosa (%) = x 100% dimana : c = konsentrasi sampel (mg/l) v = volume akhir sampel (ml) w = berat sampel (mg) fp = faktor pengenceran kadar amilopektin (%) = kadar pati (%) – kadar amilosa (%) waktu optimum hidrolisis optimasi hidrolisis pati menggunakan enzim α-amilase (likuifikasi) sebanyak 300 gram pati, dimasukkan ke dalam panci dan ditambahkan aquades dengan perbandingan 1: 3 (300 gram pati/900 ml aquades). dipanaskan pada suhu 100 o c selama 30 menit sambil diaduk. pada saat terbentuk gel (tahap gelatinisasi), diatur suhunya menjadi 80 o c dan ditambahkan enzim α-amilase ke dalam wadah sebanyak 0,15 ml. pada 12 menit pertama, diukur sisa kadar patinya secara: uji kualitatif uji kualitatif dilakukan dengan cara diambil 1 ml sampel dan ditetesi dengan larutan iod 0,1 n. jika masih terdapat warna biru, berarti masih terdapat pati yang belum terhidrolisis oleh enzim α-amilase. uji kuantitatif uji kuantitatif dilakukan dengan cara diambil 1 ml sampel di masukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 2 ml larutan iod 0,1 n. kemudian ditambahkan aquades hingga batas tera dan dikocok hingga homogen. selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 625 nm. hal yang sama dilakukan setiap 12 menit dan pemanasan dihentikan ketika uji iod sudah tidak memberikan warna biru. ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 90 optimasi hidrolisis pati menggunakan enzim glukoamilase (sakarifikasi) dekstrin yang dihasilkan selanjutnya didinginkan hingga suhunya mencapai 50 o c. kemudian ditambahkan enzim glukoamilase sebanyak 0,6 ml dan diatur pada ph 5 sambil diaduk. proses sakarifikasi membutuhkan waktu maksimal 63 jam (variasi waktu : 9 jam, 18 jam, 27 jam, 36 jam, dan 45 jam, 54 jam dan 63 jam) sambil diaduk. pada 9 jam pertama, diukur kadar gula reduksinya menggunakan metode nelsonsomogy, dengan cara dipipet 1 ml larutan sampel dan diencerkan dalam labu takar 100 ml. selanjutnya dipipet lagi 1 ml larutan sampel yang telah diencerkan, ditambahkan 1 ml pereaksi nelson-somogy dan segera dipanaskan dalam air mendidih selama 30 menit. diangkat dan didinginkan suhunya hingga 25 o c. setelah dingin, ditambahkan 1 ml larutan arsenomolibdat, dikocok hingga semua cu2o larut sempurna. ditambahkan 7 ml aquades kemudian dikocok hingga homogen. diukur serapannya pada panjang gelombang 540 nm. dilakukan pula cara yang sama setiap 9 jam berikutnya hingga 63 jam. waktu optimum reaksi dapat diketahui dengan dihasilkannya gula reduksi yang paling besar. hasil dan pembahasan preparasi sampel pati dari ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) sampel pati dalam penelitian ini diekstrak dari umbi ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu). preparasi sampel diawali dengan pengupasan kulit umbi dan dilanjutkan dengan pencucian menggunakan air bersih. tujuannya untuk membersihkan kotoran (berupa tanah) yang masih menempel pada umbi. kemudian umbi dihaluskan dengan cara diparut. bubur ubi yang telah halus diencerkan sedikit menggunakan air dengan tujuan untuk mendapatkan pati yang lebih banyak. disamping itu, penggunaan metode ini juga dapat menurunkan kandungan asam sianida (hcn) yang terdapat dalam sampel (purawisastra, 2004). menurut baskin dalam purwati et al. (2016), asam sianida (hcn) mudah larut dalam air karena sama-sama bersifat polar. tahap selanjutnya diperas dengan menggunakan kain saring. filtrat hasil perasan ditampung dan didiamkan hingga patinya mengendap. pati yang telah mengendap dipisahkan dengan airnya dan diangin-anginkan diudara terbuka hingga kering. sebanyak 15 kg ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) yang diekstrak sebagai sampel dalam penelitian ini, menghasilkan rendemen pati sebesar 35,33% atau beratnya sekitar ± 5,3 kg. ciri fisik dari tepung pati yang dihasilkan yaitu teksturnya halus dan berwarna putih. analisis kadar pati kadar pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung, baik sebagai bahan pangan maupun non-pangan. analisis kadar pati dilakukan terhadap sampel pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu). tujuannya untuk mengetahui kemurnian pati yang terdapat dalam sampel. metode yang digunakan untuk penetapan kadar pati adalah metode luff schrool. berdasarkan ketetapan sni 3451: 2011, metode luff schrool merupakan metode yang dapat digunakan dalam analisis suatu sampel karbohidrat (bsn, 2011). prinsip dari metode ini yaitu reduksi dari ion cu 2+ menjadi cu + oleh gula pereduksi. gula pereduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. senyawa-senyawa yang mengoksidasi atau bersifat reduktor adalah logam-logam oksidator seperti cu(ii). seluruh senyawa karbohidrat yang ada dipecah menjadi gula sederhana (monosakarida) dengan bantuan katalis asam (hcl 3%) sambil dipanaskan. hal ini bertujuan agar reaksinya dapat berjalan dengan cepat. setelah proses hidrolisis selesai, larutan sampel dinetralkan dengan larutan naoh 20%. larutan sampel diuji secara kualitatif dengan menggunakan kertas lakmus untuk memastikan larutan sudah mencapai netral. pada pengujian karbohidrat dengan metode luff schrool, ph larutan harus diperhatikan dengan baik. jika ph larutan terlalu rendah (terlalu asam), maka akan menyebabkan hasil titrasi akan menjadi lebih tinggi dari sebenarnya. sebaliknya, jika ph larutan terlalu tinggi (terlalu basa), maka hasil titrasi akan menjadi lebih rendah dari sebenarnya. monosakarida bebas yang terbentuk akan bereaksi dengan larutan uji luff schrool yang mengakibatkan ion cu 2+ yang terdapat dalam reagen tereduksi menjadi cu + yang ditandai dengan perubahan warna dari biru menjadi biru ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 91 kehitaman. kelebihan cu 2+ yang tidak tereduksi dikuantifikasi dengan titrasi iodometri dengan menggunakan larutan standar na2s2o3 0,1 n. hasil analisis menunjukan bahwa bobot glukosa (gula pereduksi) dalam sampel pati yaitu sebesar 39,06 mg. berdasarkan data tersebut, maka kadar pati yang diperoleh dengan menggunakan metode luff schrool adalah sebesar 87,89%. menurut richana et al. (2016), standar baku untuk tepung ubi kayu sebagai bahan baku dalam pembuatan gula cair yaitu memiliki kadar pati sebesar ± 80%. sementara itu, kadar pati yang diperoleh dalam penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan standar bakunya. hal ini dikarenakan pada metode preparasi sampel dilakukan pencucian ulang terhadap rendemen pati, sehingga senyawa terlarut dan zat pengotor lainnya ikut larut dalam air. selain itu, terdapat korelasi antara kadar pati dengan karakteristik fisik suatu sampel tepung pati. kenampakan fisik dari sampel pati yang diperoleh dari penilitian ini yaitu teksturnya halus dan warnanya putih. penelitian lain yang dilakukan oleh richana dan sunarti (2004), menyimpulkan bahwa tingginya kadar pati suatu tepung ubi kayu (tapioka), dapat dicirikan dengan kenampakan fisiknya yang berwarna putih. analisis kadar amilosa dan amilopektin polisakarida utama yang menyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati ubi kayu bervariasi. analisis kadar amilosa pada sampel dilakukan berdasarkan prinsip iodin-binding (pengikatan iodin), dimana amilosa akan berikatan dengan iodin dan menghasilkan kompleks yang berwarna biru. intensitas warna biru ini kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis. semakin tinggi intensitas warna yang terukur, maka semakin tinggi pula kadar amilosanya (bemiller dan whistler, 1996). pengukuran kadar amilosa diawali dengan penentuan kurva standar amilosa. tujuannya yaitu untuk menentukan suatu persamaan regresi linear yang selanjutnya digunakan dalam penentuan kadar amilosa pada sampel. kurva standar amilosa diperoleh dengan mengukur absorbansi sederetan larutan standar amilosa dengan variasi konsentrasi 0 ppm (blangko); 40 ppm; 80 ppm; 120 ppm; 160 ppm; dan 200 ppm dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum (λ max) yaitu 625 nm. kurva standar amilosa dibuat dengan memplot data konsentrasi larutan standar terhadap absorbansinya. grafik kurva standar amilosa dapat dilihat pada gambar 1. gambar 1. grafik kurva standar amilosa berdasarkan gambar 1, grafik kurva standar amilosa, diperoleh suatu persamaan regresi y=0,002x + 0,008 dengan nilai kooefisien korelasi (r) = 0,996. nilai koefisien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan antara dua variabel. kuat dan lemahnya hubungan antara dua variabel tersebut, diukur pada skala interval 0-1. jika nilai kooefisien korelasi mendekati angka 1, maka kedua variabel memiliki hubungan yang sangat kuat. hasil pengukuran kadar amilosa dan amilopektin pada sampel pati disajikan dalam tabel 1 berikut ini. tabel 1 hasil pengukuran kadar amilosa dan amilopektin sampel pati (mg) absorbansi kadar amilosa (%) kadar amilopektin (%) 100 0,0244 16,40 71,49 data pada tabel 1 menunjukan kadar amilosa dan amilopektin yang terdapat pada sampel. kandungan amilosa pada ubi kayu umumnya lebih rendah dari pada kandungan amilopektinnya. ubi kayu dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu: (1) ubi kayu dengan kadar amilosa tinggi (> 25%); (2) ubi kayu dengan kadar amilosa menengah (20-25%); dan (3) ubi kayu dengan kadar amilosa rendah (< 20%) (winarno dalam kusnandar, 2010). berdasarkan tabel 4.1, ubi kayu yang dipakai dalam penelitian ini termasuk dalam kategori ubi kayu dengan kadar amilosa rendah. pati dengan kandungan amilosa tinggi lebih mudah larut dalam air karena banyak memiliki gugus y = 0.0027x + 0.008 r² = 0.9962 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 50 100 150 200 250 a b so r b a n si konsentrasi (ppm) ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 92 hidroksil, sehingga sulit membentuk gel dan sulit mengental. pati dengan kandungan amilosa rendah atau memiliki kandungan amilopektin tinggi memiliki sifat mengembang yang lebih baik (kusnandar, 2010). selain itu, pati yang memiliki kandungan amilosa tinggi bersifat kurang rekat dan kering. sebaliknya, pati yang memiliki kandungan amilopektin tinggi memiliki sifat rekat dan basah (hidayat et al., 2007). optimasi hidrolisis pati menggunakan enzim α-amilase (likuifikasi) hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum (pati) menjadi komponen yang lebih sederhana, seperti dekstrin, maltosa, dan glukosa (purba, 2009). hidrolisis pati menggunakan enzim α-amilase diawali dengan proses pembengkakan granula pati dengan cara pamanasan atau disebut tahap gelatinisasi. pemanasan dilakukan terhadap campuran 300 gram pati dan 900 ml air (perbandingan 1 : 3) sambil diaduk. tujuan dilakukan pengadukan yaitu untuk mencegah proses gelatinisasi pati yang tidak sempurna. gelatinisasi pati terjadi pada suhu 63 °c. pemanasan dilakukan pada suhu yang jauh lebih tinggi dari suhu gelatinisasi yaitu antara 100 – 120 °c. hal ini dimaksudkan agar gelatinisasi pati dapat terjadi dengan cepat (±30 menit). penelitian yang dilakukan oleh agusmanto dan kusnandar (1995), mengatakan bahwa laju hidrolisis enzimatik jauh lebih cepat terhadap pati tergelatinisasi (gelatined starch) dari pada suspensi pati yang belum tergelatinisasi. menurut susilawati et al. (2008), jika likuifikasi dilakukan dibawah suhu gelatinisasi, maka pati tidak akan terurai atau terhidrolisis sempurna secara enzimatik. pati yang telah membentuk gel kemudian diturunkan suhunya menjadi 80 °c dan ditambahkan 0,15 ml enzim α-amilase. penggunaan suhu tersebut disesuaikan dengan jenis enzim yang digunakan. suhu 80°c untuk enzim α-amilase yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suhu optimal yang diperoleh berdasarkan hasil optimasi enzim terhadap substrat pati yang diuji menggunakan larutan iod. jika suhu yang diberikan di atas 80 °c, maka enzim mengalami denaturasi dan tidak dapat bekerja untuk menghidrolisis pati. sebaliknya, jika suhu yang diberikan dibawah 80 °c, maka kerja enzim sangat lambat dan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghidrolisis pati. pati akan mulai terhidrolisis oleh enzim yang ditandai dengan perubahan dari bentuk gel menjadi cair (encer) atau disebut tahap likuifikasi. enzim α-amilase akan menghidrolisis ikatan α-(1,4)-glikosida dari bagian dalam secara acak baik pada amilosa maupun amilopektin (rahmawati, 2015). menurut ratna dan yulistiani (2015), pada proses likuifikasi, pati akan dipecah menjadi dekstrin, maltosa, dan glukosa. dektrin merupakan hasil hidrolisis pati yang tidak sempurna. pengurangan panjang rantai tersebut akan menyebabkan perubahan sifat dimana pati yang tidak mudah larut dalam air, diubah menjadi dekstrin yang larut dalam air. senyawa amilosa yang terkandung dalam pati akan lebih cepat terhidrolisis oleh enzim αamilase dari pada amilopektin karena merupakan polimer dari glukosa yang hanya tersusun dari ikatan α-(1,4)-glikosida. menurut purba (2009), enzim α-amilase akan memotong ikatan α-(1,4)glikosida pada amilosa dengan cepat pada pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. hasil penurunan kadar amilosa pada sampel terhadap variasi satuan waktu disajikan pada gambar 2. gambar 2. grafik penurunan kadar amilosa berdasarkan gambar 2, dapat dilihat bahwa grafik penurunan kadar amilosa sebagai akibat dari hidrolisis pati oleh enzim α-amilase terjadi secara signifikan. pada saat 12 menit pertama setelah penambahan 0,15 ml enzim α-amilase, kadar amilosa mengalami penurunan yang cukup besar jika dibandingkan dengan 12 menit berikutnya. hal ini dikarenakan aktivitas enzim α-amilase bekerja secara cepat. menurut rahmawati (2015), aktifitas enzim α-amilase mengalami peningkatan pada substrat yang berbentuk gel. rentang antara 0 – 12 menit 0% 2% 4% 6% 8% 10% 12% 14% 16% 18% 0 20 40 60 80 k a d a r a m il o sa ( % ) waktu (menit) ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 93 merupakan fase peralihan dari bentuk gel berubah menjadi cair (likuifikasi). setelah 12 menit berikutnya, aktivitas enzim mulai menurun sering dengan perubahan waktu. menurunnya aktivitas enzim diakibatkan karena jumlah substrat yang mulai berkurang. selain itu, penurunan kadar amilosa dapat dilihat melaui uji iodium (kualitatif). amilosa dapat bereaksi dengan iodium membentuk kompleks yang berwarna biru. intensitas warna biru mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu jika diuji dengan larutan iod. waktu reaksi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja enzim dalam proses hidrolisis pati. semakin lama waktu reaksi, maka kerja enzim pula akan semakin optimum (murtiaz, 2015). waktu optimum hidrolisis pati menggunakan enzim α-amilase terjadi pada kondisi waktu 48 menit. hidrolisis pati menggunakan enzim α-amilase terjadi sangat cepat. hal ini terjadi karena jumlah amilosa yang terdapat pada sampel sangat rendah, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama. berdasarkan grafik di atas, pada kondisi waktu 48 menit, kadar amilosa sangat rendah yaitu 0,09%. setelah 12 menit berikutnya, kadar amilosa sudah tidak lagi mengalami perubahan yang signifikan. semakin rendah kadar amilosa, maka semakin rendah pula kadar patinya, karena produk hidrolisis yang dihasilkan sudah banyak.. optimasi hidrolisis pati menggunakan enzim glukoamilase (sakarifikasi) penentuan waktu optimasi hidrolisis pati oleh enzim glukoamilase dilakukan dengan menggunakan metode nelson-somogy. metode ini merupakan metode penetapan kadar gula pereduksi. pengukuran kadar gula pereduksi diawali dengan penentuan kurva standar glukosa. kurva standar glukosa diperoleh dengan mengukur absorbansi sederetan larutan standar glukosa dengan variasi konsentrasi 0 ppm (blangko); 20 ppm; 40 ppm; 60 ppm; 80 ppm; dan 100 ppm dengan menggunakan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang maksimum (λ max) yaitu 540 nm. kurva standar glukosa dibuat dengan memplot data konsentrasi larutan standar terhadap absorbansinya. grafik kurva standar glukosa dapat dilihat pada gambar 3. gambar 3. grafik kurva standar glukosa berdasarkan gambar 3, diperoleh persamaan regresi untuk kurva standar glukosa y = 0,007x + 0,012 dengan nilai kooefisien korelasi (r) = 0,995. nilai kooefisien korelasi pada kurva standar glukosa ini tidak jauh berbeda dengan nilai kooefisisen korelasi pada penentuan kurva standar amilosa sebelumnya. gambar 4. grafik peningkatan konsentrasi gula pereduksi selama proses hidrolisis berlangsung, enzim glukoamilase akan memecah dekstrin menjadi glukosa. semakin lama proses hidrolisis maka gula pereduksi dalam larutan terus mengalami peningkatan. setiap 9 jam, konsentrasi gula pereduksi dalam larutan sampel dianalisis dengan mengambil 1 ml larutan sampel kemudian diencerkan dalam labu takar 100 ml. metode yang digunakan untuk analisis konsentrasi gula pereduksi adalah metode nelson-somogy. menurut jurnal hasil penelitian yang dilakukan oleh kiyan et al. (2016), metode nelson-somogy lebih spesifik jika digunakan dalam penetapan gula pereduksi pada sampel. hasil pengukuran gula pereduksi pada larutan sampel dapat dilihat pada gambar 4. y = 0.0075x + 0.0126 r² = 0.9955 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 50 100 150 a b so r b a n si konsentrasi (ppm) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 20 40 60 80 k o n se n tr a si ( g /l ) waktu (jam) ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 94 pada gambar 4, terlihat bahwa semakin lama waktu reaksi maka semakin tinggi konsentrasi gula pereduksinya. tingginya produk (gula pereduksi) yang dihasilkan dapat menghambat kerja enzim. pada titik 54 jam, terjadi sedikit penurunan konsentrasi gula pereduksi. hal ini terjadi akibat adanya reaksi antara enzim dan produk yang terbentuk. tingginya konsentrasi gula pereduksi dalam larutan menandakan bahwa substrat yang semakin berkurang, sehingga sebagian gula pereduksi membentuk kompleks kembali dengan enzim atau dikenal dengan istilah penghambatan unkompetitif. menurut suhartono (2001), penghambatan unkompetitif merupakan salah satu penghambatan dari reaksi enzimatis yang terjadi akibat dari akumulasi produk oleh reaksi enzim itu sendiri dan terjadi secara reversible (dapat balik). menurut melliawati dalam bandjar et al. (2015), enzim glukoamilase dapat menghidrolisis ikatan α-(1,4) glikosidik pada amilosa maupun amilopektin. enzim ini juga dapat memutus ikatan α-(1,6) glikosidik pada titik percabangan yang terdapat pada amilopektin dengan laju yang lebih rendah. hasil analisis awal sampel menunjukkan bahwa, kadar amilopektin lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amilosa, sehingga jumlah titik percabangan α-(1,6) glikosidik sangat banyak. oleh karena itu, hidrolisis pati menggunakan enzim glukoamilase membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan enzim α-amilase. waktu optimum hidrolisis pati dengan menggunakan enzim glukoamilase yaitu 54 jam dengan konsentrasi gula pereduksi sebesar 9,186 g/l. kesimpulan kesimpulan dari penelitian ini yaitu waktu optimum kerja enzim α-amilase yang dibutuhkan dalam menghidrolisis pati dari limbah hasil olahan ubi kayu (manihot esculenta crantz var. lahumbu) menjadi gula cair yaitu 48 menit pada tahap likuifikasi dengan nilai kadar amilosa terendah 0,09% sedangkan untuk enzim glukoamilase yaitu 54 jam pada tahap sakarifikasi dengan diperoleh jumlah konsentrasi gula pereduksi tertinggi sebesar 9,186 g/l. daftar pustaka agusmanto, kusnandar, 1995, amilosa pati segar, bppt sulusuban lampung tengah. buletin teknologi dan industri pangan 6 (2) : 72-91. amin, h., 2006, peningkatan mutu dan masa simpan kasoami makanan khas tradisional sulawesi tenggara dari bahan baku ubi kayu, ipb, bogor. azis, a., suryadi, nurnayah l., paramita k. l., nurhayati n, 2014, gucakusi : gula cair dari kulit singkong sebagai alternatif sumber glukosa. laporan akhir program kreativitas mahasiswa. ipb, bogor. bandjar, a., tanasale, m., & luhukay, m., 2015. kinetic parameters determination of glucoamylase on hydrolysis reaction of sagoo starch (metroxylon sp). indonesian journal of chemical research, 2(2), 176181. bemiller, j. n., whistler, r. l., 1996, carbohydrates. dalam: fennema, o. r. ed., food chemistry. marcel dekker, inc., new york, 157-223. bungati, dian d., abidin z., 2012, peningkatan nilai tambah ubi kayu menjadi kasoami sebagai makanan pokok di kelurahan laompo kecamatan batauga kota baubau. prosiding seminar nasional meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian berbasis sumber daya lokal. kerjasama universitas padjajaran bandung, badan riset daerah provinsi jawa barat, dengan bptp jawa barat, bandung. chandra, a., inggrid h. m., verawati, 2013, pengaruh ph dan jenis pelarut pada perolehan dan karakterisasi pati dari biji alpukat. universitas katolik parahyangan. dian d., ratule m. t., bungati, lutiana w. o., 2012, kasoami sebagai pangan lokal masyarakat buton dalam mendukung kemandirian pangan nasional. prosiding seminar nasional kemandirian pangan 2012. unpad-bptp jawa barat-dprd provinsi jawa barat. hidayat, b., ahza, a. b., sugiyono, 2007, karakterisasi tepung ubi jalar (ipomea batatas l) varietas shiroyukata serta kajian potensi penggunaannya sebagai sumber ardiansyah dkk. / indo. j. chem. res., 2018, 5(2), 86-95 95 pangan karbohidrat alternatif. jurnal teknologi dan industri pangan, bogor. kiyan, h., alkayyis, susanti, h., 2016, perbandingan metode somogy-nelson dan anthrone-sulfat pada penetapan kadar gula pereduksi dalam umbi cilembu (ipomea batatas l.). jurnal farmasi sains dan komunitas. universitas ahmad dahlan, yogyakarta. kusnandar, f., 2010, kimia pangan :komponen makro. dian rakyat, jakarta. ma’suf, a., 2013, teknologi pengolahan ubi kayu menjadi makanan lokal buton “kasoami”. balai pengkajian teknologi pertanian, sulawesi tenggara. murtiaz, k. d., 2015, optimasi produksi gula cair dari pati sagu (metroxylon spp.) asal sulawesi tenggara. balai besar penelitian dan pengembangan pasca panen pertanian, bogor. purawisastra s., yuniati h., 2004, penurunan kadar sianida singkong pahit pada proses fermentasi cair bakteri brevibacterium lactofermentemum bl-1m76. balai penelitian bioteknologi, bogor. purba, e., 2009, hidrolisis pati ubi kayu (manihot usclenta) dan pati ubi jalar (impomonea batatas) menjadi glukosa secara cold process dengan acid fungal amilase dan glukoamilase. universitas lampung, bandar lampung. purwati, y., thuraidah, a., rakhmina, d., 2016, kadar sianida singkong rebus dan singkong goreng. jurnal analisis kesehatan. medical laboratory technology journal (mltj), banjarmasin. rahmawati, a., 2010, pemanfaatan limbah kulit ubi kayu (manihot utilissima pohl) dan kulit buah nanas (ananas comosus l.) pada produksi bioetanol menggunakan aspergillus niger. uns, surakarta. rahmawati, a. y., aji s., 2015, hidrolisis tepung ubi jalar ungu (ipomea batatas l.) secara enzimatis menjadi sirup glukosa fungsional. jurnal pangan dan agroindustri. 3(3)1152-1195. richana, n., 2006, gula singkong dapat diproduksi di pedesaan.vol. 28, no. 3. warta penelitian dan pengembangan pertanian, bogor richana, n., budiyanto, a., arief, r. w., 2016, teknologi produksi sirup glukosa. balai penelitian dan pengembangan pertanian, bogor susilawati, nurjana, s., putri, s., 2008, karakteristik sifat fisik dan kimia ubi kayu (manihot esculenta) berdasarkan lokasi penanaman dan umur panen berbeda. jurnal teknologi industri dan hasil pertanian. fakultas pertanian, lampung. yenrina, r., 2015, metode analisis bahan pangan dan komponen bioaktif, andalas university press, padang. microsoft word 5. qomariah.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 26 recovery of gold in au/cu/mg system from sh/fe3o4@sio2 as a magnetically separable and reusable adsorbent ani qomariyah1,2*, nuryono2, eko sri kunarti2 1study program of d4 medical laboratory technology, institute of health science banyuwangi, east java 68400, indonesia 2chemistry departement, mathematics and natural sciences faculty, universitas gadjah mada, yogyakarta 55281, indonesia *corresponding author: ani.qomariyah@stikesbanyuwangi.ac.id received: february 2021 received in revised: march 2021 accepted: may 2021 available online: may 2021 abstract the recovery of au(iii) in the au/cu/mg system from mercapto-silica hybrid coated magnetite (sh/fe3o4@sio2) adsorbent has been investigated. this adsorbent characterized using ft-ir to determine functional groups, crystallinity study using xrd, surface morphology using sem, material compositions with xps, surface area using nitrogen adsorption, and tga to study thermal stability. adsorption of metal ions carried out with batch system for 30 minutes at a ph of 3. in the au/cu/mg multimetal system, au(iii) ions were easily desorbed (approximately 85%) by sh/fe3o4@sio2 adsorbent based on hsab (hard soft acid base) theory that au(iii) ion is a softer metal than cu(ii) and mg(ii) where au(iii)>cu(ii)>mg(ii). the recovery of au(iii) ions was easily desorbed using thiourea 7% in 0,1 m hcl solution with the percentage of 79%. the process of sh/fe3o4@sio2 adsorbent separation after adsorption and recovery was very easy. the adsorbent could perfectly separate in 5 minutes using an external magnet. the sh/fe3o4@sio2 adsorbent can be reused on the adsorption-desorption process of au(iii) in the au/cu/mg system approximately four times of cycle reactions. keywords: magnetite, silica, recovery, au(iii), thiourea introduction the world's need for gold is currently increasing in line with technological advances, general intelligence, and experience in gold ore processing. gold is one of the mineral resources which are once taken and will run out (non-renewable resources) and cannot be renewed or recovered. gold exploration areas in the world include africa, china, america, australia, and indonesia. these areas are the main focus of gold-producing companies. the relative abundance of gold in the earth's crust is estimated at 0.004 g/tonne, including about 0.001 g/ton in marine waters (umaningrum, mulyasuryani, & sulistyarti, 2016). gold has high economic benefits for individuals, groups, and countries. the economic potential is seen from mining activities on a large scale and reaching national distribution at a high selling price (arifya & afdal, 2020). the gold isolation method widely used is the cyanide method and the amalgamation method (ekmekyapar, aslan, bayhan, & cakici, 2012). many people are unaware that mercury and cyanide can settle on riverbeds and enter the food chain when they enter the human body through water and river products used by humans. this situation results in the accumulation of heavy metals in human tissue to slowly cause permanent damage to organs and chronically lead to death. these methods are also not very environmentally friendly because they cause environmental damage and threaten human survival. therefore, it is necessary to develop an effective and efficient, and environmentally friendly method to separate gold from other metal alloys, such as cu, ag, fe, zn, mg, co, ni, pb, and mn. another alternative method that can be used is the adsorption method (bijang, latupeirissa, & ratuhanrasa, 2018). this method is easy to operate, simple, and large (powell et al., 2007). various gold adsorption methods have been developed to obtain adsorbents with high thermal and mechanical stability, large surface area, and easy modification. one of the adsorbents that are widely used as inorganic solids is silica gel. silica gel has the functional groups of silanol (-si-oh) and siloxane (sio-si) to adsorb transition metal ions. silica gel has been modified with various types of functional groups to become more efficient, such as amines, thiol, and sulfonates (manuhutu, nuryono, & santosa, 2018) for the adsorption of various types of metal ions. since ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 27 au(iii) belongs to the category of soft acids, the modified silica gel with the thiol group (-sh) as a soft base (ngatijo, gusti, fadhilah, & khairunnisah, 2020) is expected to be able to effectively adsorb gold metal ions based on the hsab (hard soft acid base) concept. the purpose of separating the filtrate from adsorption and desorption; so far, the method developed is filtering (powell et al., 2007). although this method is easy to do, it is less efficient because it takes a long time. therefore, it is necessary to look for other, more straightforward methods. another alternative method that has been developed is separation by applying an external magnetic field (nuryono et al., 2019). in this method, the modified silica adsorbent can be separated directly by exerting a magnetic influence from the outside because the adsorbent is magnetic. one of the magnetic materials is the oxide of the transition metals (rahmayanti, santosa, sutarno, & paweni, 2021) among the transition metal oxides, iron oxide is an exciting material to study. naturally, these metal oxides are found in the form of iron oxide minerals. iron oxide minerals are in the form of magnetite (fe3o4), maghemite (γ-fe2o3), and hematite (α-fe2o3). the difference in calcination temperature results in various forms of the iron oxide phase, where fe3o4 occurs at room temperature, γ-fe2o3 in 200 ºc and αfe2o3 in 300-600 ᵒc (manuhutu et al., 2018). modification of the magnetite layer must produce adsorbents with high adsorption effectiveness (mujiyanti, nisa, rosyidah, ariyani, & abdullah, 2020). therefore, in this study, magnetite coating was carried out with mercapto-modified silica from 3mercaptopropyl trimethoxysilane (mptms). the result yielded a coated magnetite adsorbent mercaptosilica hybrid (sh/fe3o4@sio2). in addition to producing adsorbents with high adsorption effectiveness, the filtrate separation process will be easier to do. desorption is carried out to release the metalbound to the adsorbent. according to lacoste-bouchet, deschênes, & ghali, (1998), gold desorption or leaching in industry and mining generally uses cyanide as a desorption solution. still, cyanide has many disadvantages, including being unfriendly to the environment and dangerous to human health so that its use is limited. this disadvantage has led to the development of eluents that are more environmentally friendly and harmless to humans. hidayati, suyanta, & santosa, (2018) using glutamic acid for reductive desorption [aucl4 -] adsorbed on magnetite mg/alno3. mulyasuryani, ismuyanto, & purwonugroho, (2012) using potassium thiocyanate (kscn) for gold desorption adsorbed on activated carbon from coconut shell charcoal, while adha, (2015) using the hno3 solution. in addition, na2edta can also be used as a gold desorbing agent (sa’adah, zaharah, & shofiyani, 2018) in this research, the characteristics of the adsorbent material were studied sh/fe3o4@sio2, then used for adsorption and studied about the desorption kinetics of au (iii) ions in a multi-metal system for au/cu/mg. methodology instrumentals and materials this study uses analytical tools and supporting equipment. for analysis, the equipment used scanning electron microscopy (hitachi, s-4800), x-ray diffractometer (shimadzu xrd-6000, cu kα with voltage 40 kv and current 30 ma), x-ray photoelectron spectra (rigaku xps-7000 with mg kα radiation), nitrogen adsorption / bet (bel japan inc., gas flow of n2 at 150 oc for two hours), thermo gravimetric analysis (tga) using thermo plus 2 tgdta tg8120, infrared spectrophotometer (shimadzu ftir prestige21), and atomic absorption spectrophotometer (contraa 300). as supporting equipment includes analytical scales (mettler ae 160), oven (wtc binder), external magnet, micropipette 1000 μm, shaker (vrn-200), sonicator (bransonik 220 with frequency 48 khz), ph meter (horiba f-52), porcelain cup, grinding tool (lumping 40 and mortar), glassware and plastic utensils. the materials used to synthesize coated magnetite are fecl2•4h2o, fecl3•6h2o, hcl 37%, and nh4oh 25% obtained from the brand, mineral water obtained from the universitas gadjah mada, food and nutrition laboratory. as a comparison, it is used fe3o4 95% from aldrich. for the source of silica, a na2sio3 solution is used from the destruction of rice husk ash. mercapto group (-sh) taken from 3merkaptopropiltrimetoksisilan (mptms) obtained from merck. for the adsorption process used haucl4 solution (analytical chemistry laboratory, faculty of mathematics and natural sciences ugm) with concentration 500 mg/l, cucl2•2h2o (merck), buffer solution with ph 2-7. for desorption, the thiourea solution was used (merck), hcl 0,1 m from hcl 37 % (alba chemical), na2edta (merck), glutamic acid (merck), and hno3 solution (merck). procedure magnetite synthesis a total of 5.2 grams of fecl3.6h2o and 2 grams of fecl2.4h2o were mixed with 1 ml of 37% hcl. ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 28 then 200 ml of demineralized water was added to the mixture. then the solution was sonicated, and n2 gas flowed for 1 hour. during sonication and flow of n2 gas, 15 ml of 25% nh3 solution is added dropwise to form black colloid magnetite. after the sonication process and n2 gas flow were completed, the magnetite colloid was left to stand for 24 hours. the magnetite colloid was washed with 200 ml of demineralized water flowed with n2 gas for 5 minutes. the washing process is carried out three times. the magnetite formed was dried in an oven at 80 ºc until dry, then characterized by xrd, xps, ft-ir, sem, and n2 adsorption. magnetite coating with silica and mptms a total of 0.5 grams of magnetite was put into a pet glass and acidified with 1 ml of 1 m hcl. then the acid solution was separated from the magnetite with the help of an external magnetic field. 3 ml of sodium silicate and 2.36 ml of demineralized water were added to the acidified magnetite and then sonicated for 5 minutes. furthermore, 0.63 ml of mptms solution was added to the magnetite and sodium silicate mixture, which had been sonicated and then stirred. 1 m hcl solution or 1 m nh4oh solution is added dropwise while stirring until it forms a gel or ph 7. the gel formed is dried in an oven at 80 ºc. the results are mashed and washed with demineralized water until a neutral ph. after washing, the coated magnetite was dried again at 80 ºc for 24 hours to obtain sh/fe3o4@sio2 (coated magnetite mercaptosilica hybrid). the sh/fe3o4@sio2 material was characterized using xrd, xps, ft-ir, sem, and n2 adsorption. adsorption of au(iii), cu(ii), and mg(ii) metals with sh/fe3o4@sio2 adsorption of au(iii) with sh/fe3o4@sio2 adsorbent was carried out at variations of ph = 1, 2, 3, 4, 5, 6, and 7.a 20 mg of sh/fe3o4@sio2 adsorbent was added with 100 mg/l of au (iii) solution with varying ph. adsorption was carried out for 30 minutes, then the filtrate was separated with an external magnet, and aas analysis was carried out to determine the concentration of au(iii) adsorbed. the same step is carried out for the adsorption of cu(ii) and mg(ii) metals. adsorption of au (iii), cu (ii), and mg (ii) metals in a multilateral au/cu/mg system adsorption of mixtures of au(iii), cu(ii), and mg(ii) with sh/fe3o4@sio2 adsorbent was carried out at variations of ph = 3. a total of 20 mg of adsorbent sh/fe3o4@sio2 were added with a solution of au(iii), cu(ii ), and mg(ii) 10 ml each with a concentration of 100 mg/l each. adsorption was carried out for 30 minutes, then the filtrate was separated with an external magnet, and aas analysis was carried out to determine the concentration of au (iii), cu (ii), and mg \(ii) adsorbed. desorption of au (iii) in the au/cu/mg mixture from sh/fe3o4@sio2 adsorbed au(iii), cu(ii), and mg(ii) ions are desorbed with various desorbing solutions. this study used a solution of thiourea in 0.1 m hcl, 0.1 m na2edta, 0.1 m glutamic acid, and 0.1 m hno3 solution. the effect of thiourea concentration was also studied by varying the concentration of thiourea 3%, 5%, and 7%. desorption kinetics were studied by varying the desorption time, namely 5, 20, 30, 60, 90, and 120 minutes. after desorption, the filtrate was separated with an external magnet and analyzed by aas to determine the concentration of each metal that was successfully desorbed. results and discussion synthesis of the sh/fe3o4@sio2 adsorbent in this study, magnetite was synthesized through a coprecipitation technique. this technique using nh4oh solution as a precipitator and ferrous chloride salt as a fe2+/fe3+ source. the ultrasonic stirring technique was used, and a black magnetite precipitate was formed when the nh4oh solution was added to the fe2+/fe3+solution. in magnetite synthesis, fe2+: fe3+ molar ratio all it takes is 1: 2 according to the following reaction equation: fe2+(aq) + 2fe 3+ (aq) + 8oh – (aq) fe3o4(s) + 4h2o(l) nitrogen gas is needed when synthesizing magnetite to prevent oxidation reactions. the oxidation reactions that are possible to occur in magnetite follow the following equation: 4 fe3o4(s) + o2(g) + 18h2o(l) 12 fe(oh)3(s) the following shows the yield of magnetite synthesis results and the weight of coated magnetite in table 1 below. table 1. the yield of synthesized magnetite and weight of magnetite coating fe3o4 synthetic sh/fe3o4@sio2 yield weight (g) 2.24 before coating (g) 1.00 yield (%) 96.55 after coating (g) 1.90 from table 1, the yield of magnetite is quite high. ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 29 this result follows previous research (ngatijo et al., 2020), while the synthesis of magnetite by mechanical stirring was obtained the smaller yield, namely 94.40%. in this study, the ultrasonic stirring technique was used. synthesis of magnetite with ultrasonic stirring obtained higher yields (greater than 95%) because the energy from ultrasonic waves can make contact between iron ions and hydroxide ions more effective in forming the iron hydroxide. iron hydroxide will undergo a further reaction to obtain magnetite, like the reaction below. 12 fe(oh)3(s) 4 fe3o4(s) + o2(g) + 18h2o(l) sh/fe3o4@sio2 adsorbent characterization with scanning electron microscopy (sem) figure 1b shows that fe3o4@sio2 still maintaining the morphological properties of fe3o4 (figure 1a), and a smoother surface structure is obtained, where the silica is uniformly coated on the magnetite particles. the particle sizes uniformity of magnetite and coated magnetite was proven by measuring the diameter of each particle. in this study, the particle diameter was then determined by the average using image-j software. the average diameter of the magnetite particles was 11 nm. the average diameter of the magnetite particles coated with silica was 21 nm. these two results came from selecting 150 particles. figure 1. sem image of (a) fe3o4 and (b) fe3o4@sio2 due to the average diameter of the magnetite and fe3o4@sio2 obtained, the thickness of the silica can be determined to be about 5 nm. a hypothetical model of silica thickness at fe3o4@sio2 can be illustrated in figure 2. x-ray diffractometry (xrd) the success of magnetite synthesis is shown by the xrd diffractogram (figure 3), where the fe3o4 peaks appear at 2θ, the same as the coated magnetite. the synthesized magnetite yields the highest peak at 35.99° with an index [311]. this peak index also occurs in coated magnetite. other magnetite peaks appear at 29.67°, 43.43°, 54.98°, and 63.82° respectively, indicating the indexes [220], [400], [422], and [440]. figure 2. hypothetical model of silica thickness at fe3o4@sio2 the silica-coated magnetite peaks appear to widen due to the silica's amorphous phase, which shows fe3o4@sio2 has a semi-crystalline structure. the amorphous phase of silica can improve the adsorption performance based on previous research (ngatijo et al., 2020). the magnetite plating process does not change position [311]. this condition means that the plating process does not damage the crystal structure, but this process only reduces the intensity of the magnetite. in the xrd analysis, the reduced intensity of the magnetite after coating the silica. this situation shows that the silica has been completely coated on the magnetite surface. finally, the magnetite detected by the xrd device decreases in intensity (kurnia, kaseside, & iwamony, 2021). figure 3. difactrogram of (a) fe3o4, (b) fe3o4@sio2 and (c) sh/fe3o4@sio2 fourier-transform infrared spectrometry(ft-ir) an absorption band indicates the characteristic absorption of the magnetite fe-o bond. the magnetite fe-o bonds are in the intermediate wavenumber region ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 30 at 355-370 cm-1 and 560-580 cm-1. the absorption of the magnetite fe–o bond decreases in intensity after coating. this absorption occurs because the surface of the magnetite is covered by coatings, both silica and mptms. the reduced intensity of fe–o absorption indicates the more perfect the coating is formed. these results are in line with sem and xps analyses. the success of the magnetite coating process with silica and mptms from sem analysis is known by the increase in particle diameter (figure 1). whereas in the analysis using xps, fe2p peaks did not appear in silica-coated magnetite or mptms (figure 5). the magnetite coating process was carried out using the sol-gel method. in this method, a polymer is formed from si so that there is a siloxane bond (si–o– si) on coated magnetite. the success of this polymer formation was observed in the spectra of the coated magnetite. the si–o–si bending vibration is indicated by the absorption band in the wavenumber region 463 cm-1. asymmetric stretching vibrations and symmetry of the si–o–si bonds are observed in the wavenumber region 802 cm-1 and 1072 cm-1. the absorption band appears in the wavenumber area of 3441 cm-1, and 1636 cm-1 in the coated magnetite spectra is the absorption band from stretching vibrations and bending vibrations of the –oh groups from the fe–oh and si–oh bonds. figure 4. ft-ir spectra of (a) fe3o4, (b) fe3o4@sio2, (c) sh/fe3o4@sio2 and (d) au/sh/fe3o4@sio2 the absorption of siloxane groups (si-o-si), silanol (si-oh), and hydroxyl (–oh) indicate that magnetite has been coated with silica. the stretching vibration of the si–o–h bond resulted in the appearance of an absorption band in the area of wave numbers 950-960 cm-1. fe3o4@sio2 uptake from the si-oh vibration was not observed because it overlapped with the width of the absorption band from the si–o–si stretching vibration. compared with the ftir spectra of magnetite, the spectra of coated magnetite with mercapto-silica hybrids (sh/ fe3o4@sio2) have a characteristic absorption band in the form of vibrations propyl groups and mercapto groups (–sh) originating from mptms. the presence of the propyl group results in the appearance of an absorption band in the region of wave number 1404 cm-1 which is the bending vibration of –ch2–. the c–h bond on the propyl group results in absorption at wave number 2932 cm-1 as an asymmetric stretching vibration, while the absorption band for the –sh group will appear at wave number 2600-2450 cm-1. based on figure 4, a weak absorption band appears at 2569 cm-1 which indicates the absorption band for the –sh group. in addition, the mercapto group (–sh) was also identified in the region of the wavenumber 694 cm-1, which is the asymmetric stretching vibration of c–s. x-ray photoelectron spectroscopy (xps) the purpose of differentiating among the synthesized materials and identify their composition, the surface structure was further analyzed using xps. before analyzing the results of the xps spectra, a correction is required for the binding energy of the carbon atom. the highest bond energy in carbon analysis is 268.7 ev. then, a peak correction of 1.9 ev is obtained by calculating the difference in the reference carbon binding energy (284.8 ev). figure 5 shows the fe 2p region of magnetite and modified magnetite. as shown in figure 3a, the main peaks appear at 709.0 ev (2p3/2) and 723.5 ev (2p1/2), indicating that the fe atom exists as fe3o4. these results are consistent with the literature(márquez et al., 2012) (marquez et al., 2011). these two peaks did not appear in all coated magnetite samples (figs. 5b, 5c, and 5d). this condition shows that the entire surface of the magnetite has been coated with silica. gambar 5. xps spectra of fe 2p (a) fe3o4, (b) fe3o4@sio2, (c) sh/fe3o4@sio2, and (d) au/sh/fe3o4@sio2 ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 31 nitrogen adsorption the adsorption-desorption isotherms of magnetite and modified magnetite are represented in figure 6. the figure shows that the three samples show different curves. figure 6. isotherm adsorption (closed symbol) and isotherm desorption (open symbol) of (a) fe3o4, (b) fe3o4@sio2, and (c) sh/fe3o4@sio2 the lowest volume of nitrogen gas adsorbed on magnetite is due to the non-porous character of the magnetite. after coating with mptms, the volume of nitrogen gas adsorbed on the surface of the magnetite decreased slightly, and a decrease followed this in the surface area of the bet. this condition is probably due to the reduction of silica pores after coating with mptms. additionally, the graph depicts small hysteresis loops showing capillary condensation and evaporation of mesoporous silica material. thus, it can be determined that the silica-coated magnetite adsorbent has a type v type n2 isotherm (anovitz & cole, 2015). thermo gravimetric analysis (tga) thermo/thermal gravimetric analysis (tga) is used to study the thermal stability of magnetite and silica materials. the tga curve is divided into several regions based on different ranges of lost mass. the tga profile for magnetite (figure 7a) shows three regions of lost mass. the first region at 25-100 ºc represents removal from physically absorbed water. at temperatures between 100-250 ºc is the thermal stability of magnetite. above 250 ºc, removal of residual chemical compounds begins. based on figures 7b, 7c and 7d depict the tga profiles of silica-coated magnetite and mercapto-silica modified magnetite. the curves represent three areas of mass loss. the first region at 25-100 ºc is due to removing physically absorbed water, which will end up entirely in temperatures between 110 and 150 ºc. at a temperature of 150-250 ºc, the material is in a stable state. above 250 ºc (figure 7b), condensation of the vicinal hydroxyl groups begins, leaving siloxane groups. figure 7. tga profile of (a) fe3o4, (b) fe3o4@sio2, (c) sh/fe3o4@sio2, and (d) au/sh/fe3o4@sio2 this process nearly ends up to 500-600 ºc. figures 7c and 7d above 200 ºc may be due to removing residual organic compounds such as toluene and methanol. recovery au(iii), cu(ii), mg(ii), and mixture au/cu/mg based on figure 8, it can be seen that the average percentage of metal ions au (iii), cu (ii), and mg (ii) will show stable results in the ph range = 2-4. au (iii) species at ph = 2-5 are in the form au3+ while at higher ph, they are present as [au(oh)2]which causes a decrease in the percentage of adsorption of au (iii) ions against the thiol (-sh) group of sh/fe3o4@sio2 adsorbent. the cu (ii) ion that can be adsorbed at ph = 2–5 is 40%. changes in ph at ph = 2–5 did not affect the percentage of cu (ii) adsorbed, while at ph = 6–7, there was a decrease in the percentage of adsorbed cu(ii) to about 15%. this number is due to the ability of the sulfur (s) atom of the thiol (-sh) functional group to chelate the cu(ii). this condition is influenced by the type of cu (ii) species where at ph = 2–5 it is as cu2+, at ph=6 already began to form cuoh+ species and cu(oh)2 species began to form at ph= 7 (powell et al., 2007). the presence of cuoh+ and cu(oh)2 species indicates that cu (ii) is deposited so that cu(ii), which the sh/fe3o4@sio2 adsorbent can adsorb, is decreasing. meanwhile, mg (ii) ion in the low and high ph ranges is almost entirely adsorbed slightly on the adsorbent due to its complex structure. therefore, in this study, ph=3 was chosen as the reaction condition for the adsorption and desorption of au (iii), cu (ii), and mg (ii) metals. a) b) c) ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 32 figure 8. the effect of ph variation on the percentage of adsorbed au (iii), cu (ii), and mg (ii) metal ions from table 2, in the au/cu/mg mixed system, the number of adsorbed au(iii) ions shows a much greater value when compared to the number of cu(ii) and mg(ii) ions that can be adsorbed. this condition is following the concept of hsab (hard soft acid and base) where au (iii) is a soft acid so that it can form a more stable complex with the active site of sh/fe3o4@ sio2 (–sh group), which is also a soft base. figure 9. adsorbent separation (a) before and (b) after use of an external magnet for 5 minutes the separation of the adsorbent from the adsorbate is effortless and practical. the adsorbent can only be separated in about 5 minutes (figure 9). in the gold recovery process, the thiourea solution with hcl addition will stabilize and prevent the thiourea from degrading, thereby reducing thiourea consumption. chloride ion (cl–) which comes from the addition of hcl to function as a competing agent or competitor for the complex [aucl4]– on the sh/fe3o4@sio2 surface so that gold, copper, or magnesium will be released from the surface of sh/fe3o4@sio2 (ertan & gülfen, 2009). in addition, in solution, ligands with large donor atoms such as s limit their ability to form stable complexes with smaller metal atoms. complexes created with smaller atoms will cause the coordination number of metal ions to be lower than they should be because the metal ions have to make room for the larger donor atoms. au> cu> mg is based on the atomic size so that au will form a more stable complex than cu, and mg, cu will form a more stable complex than mg. table 2. the number of metal ions desorbed on the adsorbent in the au/cu/mg multi-metal system absorbing agent number of metal ions au(iii) cu(ii) mg(ii) thiourea 7% in 0.1 m hcl adsorbed (mg) 2.40 1.25 1.20 desorbed (mg) 2.01 0.98 0.97 % desorbed 79.05 58.21 48.22 thiourea 5% in 0.1 m hcl adsorbed (mg) 2.40 1.24 1.20 desorbed (mg) 1.58 0.75 0.60 % desorbed 71.20 52.20 41.00 thiourea 3% in 0.1 m hcl adsorbed (mg) 2.40 1.25 1.21 desorbed (mg) 1.01 0.48 0.43 % desorbed 58.02 40.08 35.12 0.1 m na2edta adsorbed (mg) 2.41 1.26 1.20 desorbed (mg) 0.79 0.29 0.21 % desorbed 29.05 33.06 18.26 0.1 m glutamic acid adsorbed (mg) 2.40 1.25 1.21 desorbed (mg) 0.45 0.18 0.12 % desorbed 26.21 30.04 16.02 0.1 m hno3 adsorbed (mg) 2.41 1.25 1.20 desorbed (mg) 0.40 0.11 0.06 % desorbed 17.67 25.21 11.20 *the weigh of sh/fe3o4@sio2 = 20 mg in desorption using na2edta, glutamic acid, and hno3, positively charged amine groups can attract [aucl4]and various other metal ions, which are also negatively charged in solution. au(iii) metal ions also transfer electrons at n atoms from na2edta, glutamic acid, and hno3 to reduce metals other than gold metal. figure 10. the desorption curve of the au/cu/mg mixture by thiourea with variations in contact time when compared, the metal ions au(iii), cu(ii), and mg(ii) are still more absorbed by na2edta and a) b) ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 33 glutamic acid because of the ability of the two absorbing agents to form a chelate with metal ions. because the amount of gold adsorbed by sh/fe3o4@sio2 is low, the gold that is desorbed from sh/fe3o4@sio2 using nitric acid is also low. figure 10 shows that the longer the time for desorption, the more the percentage of au(iii), cu(ii), and mg(ii) is desorbed by thiourea. at the same time, it is seen that in the mixed au/cu/mg system, the percentage of au(iii) desorbed is higher than that of cu(ii) and mg(ii). the average percentage of desorbed au(iii) was 60%, while the average cu(ii) that was desorbed was 20%. the maximum desorption of au(iii) started at 30 minutes, while cu(ii) and mg(ii) metals were maximally desorbed after 60 minutes. this result shows that thiourea can absorb au(iii) faster than cu(ii) and mg(ii) metals. table 3. langmuir kinetics model on the desorption of au(iii),cu(ii), and mg(ii) metals in a multi-metal au/cu/mg system metal rate constant (k) order au(iii) 8.82 x 10-3 g mg-1 min-1 pseudo 2nd-order cu(ii) 98.42 x 10-3 g mg-1 min-1 pseudo 2nd-order mg(ii) 125.45 x 10-3 g mg-1 min-1 pseudo 2nd-order following the concept of hsab (hard and soft acids and bases), au(iii) is a soft acid while cu(ii) and mg(ii) are hard acids, so the metal au(iii), which is a soft acid, can bind more strongly by the s group of thiourea which is a soft base. therefore, the gold metal attached to the adsorbent can be recovered (desorbed) by the thiourea solution more than the copper or magnesium. figure 11. adsorbent reuse sh/fe3o4@sio2 for adsorption-desorption au(iii) in au/cu/mg system from table 3, it can be seen that all the desorption reactions of au(iii), cu(ii), and mg(ii) tend to follow the pseudo-second-order reaction mechanism. when compared, the rate constant (k) to the desorption of au(iii) ions is lower than the cu(ii) and mg(ii) ions. the low value of the reaction rate constant (k) indicates that over time, to desorb each mg of au(iii) metal, a smaller amount of thiourea is required when compared to the amount of thiourea needed to desorb cu(ii) and mg(ii) metals. this indicates that thiourea will more easily adsorb au(iii) than the other two metals. the stability of sh/fe3o4@sio2 adsorbent was tested by reuse several times. based on the results in figure 11, it can be seen that on the 5th repetition, the amount of au (iii) that was successfully adsorbed or recovered decreased sharply. thus, the sh/fe3o4@sio2 adsorbent can be reused in the adsorption-desorption process of au (iii) in the au/cu/mg mixture four times. conclusion the silica coating on magnetite has been successfully carried out, in which the crystalline nature of magnetite has not changed. characterization with xps showed that the entire magnetite surface was coated with silica. morphological analysis using sem showed that the thickness of the silica blanket-covered on magnetite was about 5 nm with a round shape and smooth surface. the metal ion au(iii), cu(ii), and mg(ii) will be adsorbed stably at ph = 3. in the mixed system au/cu/mg multi-metal, the au(iii) percentage is adsorbed more easily (about 85%) by the sh/fe3o4@sio2 adsorbent. this condition is based on the hsab concept that au(iii) ions are softer metals than cu (ii) and mg(ii) in the order au (iii)> cu(ii)> mg(ii). the desorption of the three mixtures of metal ions was carried out with various desorption solutions. the results showed that au (iii) was more easily desorbed using a 7% thiourea solution in a 0.1 m hcl solution with a 79% desorption percentage. the sh/fe3o4@sio2 adsorbent can be reused in the au (iii) adsorption-desorption process in the au/cu/mg mixture four times. references adha, s. d. (2015). pengaruh konsentrasi larutan hno3 dan waktu kontak terhadap desorpsi kadmium(ii) yang terikat pada biomassa azolla microphylla-sitrat. jurnal ilmu kimia universitas brawijaya, 1(1), 636–642. anovitz, l. m., & cole, d. r. (2015). characterization and analysis of porosity and pore structures. reviews in mineralogy and geochemistry, 80(1), 61–164. https://doi.org/10.2138/rmg.2015.80.04 ani qomariyah, et al. indo. j. chem. res., 9(1), 26-34, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-ani 34 bijang, c. m., latupeirissa, j., & ratuhanrasa, m. (2018). biosorpsi ion logam tembaga (cu2+) pada biosorben rumput laut coklat (padina australis). indonesian journal of chemical research, 6(1), 26–37. https://doi.org/10.30598 //ijcr.2018.6-cat ekmekyapar, f., aslan, a., bayhan, y. k., & cakici, a. (2012). biosorption of pb(ii) by nonliving lichen biomass of cladonia rangiformis hoffm. international journal of environmental research, 6(2), 417–424. https://doi.org/10.22059/ijer. 2012.509 ertan, e., & gülfen, m. (2009). separation of gold(iii) ions from copper(ii) and zinc(ii) ions using thiourea–formaldehyde or urea–formaldehyde chelating resins. journal of applied polymer science, 111(6), 2798–2805. https://doi.org/ 10.1002/app.29330 hidayati, e. n., suyanta, s., & santosa, s. j. (2018). pembuatan nanopartikel emas melalui proses desorpsi-reduktif [aucl4] – teradsorpsi pada magnetit mg/al-no3 hidrotalsit dengan asam glutamat. bimipa, 25(1), 32–41. kurnia, k., kaseside, m., & iwamony, s. (2021). study microstructure of fe3o4 modification using peg 4000 form iron sand at wari ino beach as a biosensor application. indonesian journal of chemical research, 8(3), 168–171. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.8-kur lacoste-bouchet, p., deschênes, g., & ghali, e. (1998). thiourea leaching of a copper-gold ore using statistical design. hydrometallurgy, 47(2), 189–203. https://doi.org/10.1016/s0304-386x (97)00043-1 manuhutu, j., nuryono, n., & santosa, s. j. (2018). desorpsi ion emas(iii) dalam sistem multilogam au/ni/ag dengan menggunakan variasi tiourea-hcl. molluca journal of chemistry education (mjoce), 8(1), 56–63. https://doi.org/ 10.30598/mjocevol8iss1pp56-63 mujiyanti, d. r., nisa, h., rosyidah, k., ariyani, d., & abdullah, a. (2020). the effect of reaction time on viscosity and density of tetraethyl orthosilicate from silica rice husk ash. indonesian journal of chemical research, 8(1), 72–78. https://doi.org/10.30598/10.30598//ijcr. 2020.8-dwi mulyasuryani, a., ismuyanto, b., & purwonugroho, d. (2012). pemurnian emas dari bijih emas berkadar rendah menggunakan karbon aktif dari arang tempurung kelapa. jurnal natur indonesia, 14(1), 1–6. https://doi.org/10.31258/ jnat.14.1.1-6 ngatijo, n., gusti, d. r., fadhilah, a. h., & khairunnisah, r. (2020). adsorben magnetit terlapis dimerkaptosilika untuk adsorpsi anion logam [aucl4] dan [cr2o7] -. jurnal riset kimia, 11(2), 113–120. https://doi.org/10.25077/jrk. v11i2.353 nuryono, n., qomariyah, a., kim, w., otomo, r., rusdiarso, b., & kamiya, y. (2019). octyl and propylsulfonic acid co-fixed fe3o4@sio2 as a magnetically separable, highly active and reusable solid acid catalyst in water. molecular catalysis, 475, 110248. https://doi.org/10.1016/ j.mcat.2018.11.019 powell, k. j., brown, p. l., byrne, r. h., gajda, t., hefter, g., sjöberg, s., & wanner, h. (2007). chemical speciation of environmentally significant metals with inorganic ligands part 2: the cu2+-oh-, cl-, co3 2-, so4 2-, and po4 3 systems (iupac technical report). pure and applied chemistry, 79(5), 895–950. https://doi.org/10.1351/pac200779050895 rahmayanti, m., santosa, s. j., sutarno, s., & paweni, a. (2021). the effectiveness of magnetite modified gallic acid synthesized by sonochemical method as aucl4 adsorbentreductor. indonesian journal of chemical research, 8(3), 194–201. https://doi.org/ 10.30598//ijcr.2021.8-may sa’adah, s., zaharah, t. a., & shofiyani, a. (2018). pengaruh konsentrasi na2edta terhadap desorpsi ce(iv) pada adsorben kitosan-karbon. jurnal kimia khatulistiwa, 7(4), 37–43. umaningrum, d., mulyasuryani, a., & sulistyarti, h. (2016). pengaruh konsentrasi amonia dalam proses pembentukan kompleks au(nh3) 2+. jurnal sains dan terapan kimia, 6(2), 112–117. https://doi.org/10.20527/jstk.v6i2.2111 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 234 adsorption of tetracycline hydrochloride from solutions using mesoporous silica, mcm-48 paulina taba * , mutmainnah, yusafir hala department of chemistry, faculty mathematics and natural sciences, universitas hasanuddin, jl. perints kemerdekaan km 10, tamalanrea, makassar * corresponding author: paulinataba@unhas.ac.id received: november 2020 received in revised: november 2020 accepted: december 2020 available online: january 2021 abstract mesoporous silica with cubic structure (mcm-48) was synthesized using ludox hs40 as silica source and cetyltrimethylammonium bromide (ctab) as a template. mcm-48 was used to adsorb the antibiotic of tetracycline hydrochloride. an x-ray diffractometer observed the x-ray diffraction pattern of mcm-48 and functional groups observed by a fourier transformed infrared (ftir) spectrometer. parameters used to study adsorption were contact time and concentration. the pseudo-secondorder was the kinetic order that fitted well with the adsorption of tetracycline hcl. the adsorption of tetracycline hcl on mcm-48 followed the freundlich isotherm with the adsorption capacity of 0.98 mg/g. keywords: mcm-48, antibiotic, tetracycline hcl, adsorption capacity introduction antibiotics are widely used in humans and animals to cure infections, maintain health and increase animal growth rates (sapkota et al., 2008, zhang et al., 2009, aminov, 2017, barton, 2000). this function has led to antibiotics receiving particular attention. also, a specific concern is antibiotic residues in the environment that have continued to develop in recent years (yang and carlson, 2017). antibiotic residues that continuously enter to the environment can cause antibiotic resistance (yang and carlson, 2017; mispagel and gray, 2005; fair and tor, 2014). in 2014 and 2016, several antibiotics were found that were resistant to tuberculosis and malaria (who, 2020). besides, tetracycline antibiotic resistance was also found in e. coli (karami et al., 2006). tetracycline hcl (tch) is an antibiotic that has a planar structure with four aromatic rings and several functional groups. these functional groupsare the tricarbonylamide group, dimethylamino group, and a diketone phenolic group (gao et al., 2012; ghadim et al., 2013; mohammed and kareem, 2019). tch antibiotics are included in oral antibiotics obtained from streptomyces aureofaciens (aminof, 2017; macsai and mojico, 2013). the presence of tetracyclines in the aquatic environment was 0.11 µg l-1 (boxall, 2004). the, tetracyclines was also found in drainage in japan (shimizu et al., 2013). the presence of antibiotic residues itself occurs due to the low metabolism of antibiotics in the digestive system of humans and animals; about 30% to 90% of the antibiotics consumed are excreted through the urine and feces as unchanged metabolites or compounds (kim et al., 2011, santos et al., 2013, wang et al. 2019). therefore, it is essential to develop effective techniques to remove tch from contaminated waste before discharge to the aquatic environment. many researchers have tried various methods. these techniquesare photodegradation (khanmohammadi et al., 2020), fenton catalyst for degradation (k), electrocoagulation (quaissa et al., 2014), electrochemical oxidation (miyata et al., 2011)) and adsorption (felix et al., 2019, rizzi et al., 2019, wang et al, 2020) have been done to solve this problem.among these techniques, adsorption is considered an effective, cheap, and easy method for removing contaminants (dehghan et al., 2019). adsorption is an effective method to remove contaminants in water and waste (gao et al., 2012; mohammed and kareem, 2019). recently, adsorption has been widely applied in the removal of antibiotics because it is considered superior to other techniques in terms of flexibility, simplicity of design, cost, and ease of operation (ghadim et al., 2013, hao et al., 2012, marzbali et al., 2016, nairi et al., 2017., junyu et al., 2019). one type of adsorbent widely used is mesoporous silica, graphene oxide, glycerol, activated carbon, carbon nanotubes, and chitosan (ghadim et al., 2013, zhang et al., torrellas et al., wang et al., 2019). the mesoporous silica of the m4is group reported in 1992 was named mcm-x (mobil cristalline of materials) (kresge et al., 1992). paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 235 mesoporous silica is a material that has a high surface area and high pore volume. also, it has regular pores with a narrow pore size distribution and has high biocompatibility. mesoporous silica has a pore size of 2-30 nm with a cubic-3d structure, and is one type of mesoporous silica is mcm-48 (wang et al., 2006). in this study, the synthesis of mcm-48 using cetyltrimethyl ammonium bromide (ctab) as surfactants and ludox hs40 as a silica source was conducted. the antibiotic characterization of mcm48 is carried out using x-ray diffraction (xrd) and fourier transform infrared (ftir). the effect of parameters on tch adsorption, such as contact time and concentration, was investigated.langmuirand freundlich adsorption isothermal models, first-order and second-order pseudo kinetic models were also studied. methodology materials and instrumentals the instrumentals were used are an oven (spini sosfd type), analytical balance (ohauss), magnetic stirrer (fisher type 115), hotplate stirrer (ikari basic 1), vacuum pump (type me4c), uv-vis spectrophotometer (shimadzu-1800 series). prestige21 ft-ir spectrophotometer, x-ray diffractometer (shimadzu maxima-x). the materials were used in this study were high purity merck and sigma aldrich. cetytrimethylammonium bromide (ctab), ludox hs40, triton x-100, tetracycline (c22h24n2o8), acetic acid (ch3cooh), hydrochloric acid (hcl), sodium hydroxide (naoh), ethanol (c2h5oh). methods of the mcm-48 synthesis synthesis of mcm-48 was following ryoo's (1999) procedure with modification of taba (38). the surfactant was removed from the white product by washing using hcl-ethanol three times. 1 gram of mcm-48 was washed with 25 hcl ml 0.1 m in a 50% ethanol solution while stirring for 30 minutes at room temperature, then filtered. the washing procedure was conducted more than one step; the residue was washed with distilled water and dried at 100 o c. characterization mcm-48 the functional groups of the mcm-48 were analyzed using a fourier transform infrared spectrophotometer (ftir). the transmission spectrum is measured in the range from 4000-250 cm -1 . xrd measured the x-ray diffraction pattern of mcm-48 powder at a wide-angle (2θ range 15-65), the acceleration voltage and applied current were 40 kv and 30 ma, respectively. adsorption of tetracycline hcl the antibiotic tch was used to evaluate the adsorption performance of antibiotics from water by mcm-48. the contact time was investigated by weighing 0.1 g of mcm-48 added in 50 ml of 30 ppm tetracycline solution with a time range of 3-30 minutes. for concentration, 0.1 g mcm-48 is added to 50 ml of the tetracycline solution with a concentration between 10-50 ppm. the whole process is carried out under stirring conditions. the absorbance of tetracycline hcl was measured usinguv-vis spectrophotometer (shimadzu-1800 series). the wavelength for this measurement is 276 nm. the adsorption capacity can be determined using the adsorption isotherm. the isothermal adsorption model used is the langmuir and freundlich model. in the freundlich model, log qe is plotted against log ce and ce/qe against ce for the straightforward equation. intercept the langmuir equation, the k value and the langmuir equation's slope can be obtained the qo value related to the adsorption capacity. results and disscusion characterization using x-ray diffractogram (xrd) the previous research 2-theta angle below 100 to measure xrd. in this study, mesoporous silica (mcm-48) without washing and after washing with ethanol-hcl was characterized using an xrd device without facilities, for low 2-theta angles. the diffraction pattern of mcm-48 before washing and after washing can be seen in figure 1. figure 1. x-ray diffraction pattern of mcm-48 before and after washing the x-ray diffraction pattern shows intense peaks at 2-theta angles between 20 o to 24 o and several low-intensity peaks, identical to the study conducted, showed peaks for mcm-48 (fei et al., 2014). based in te n si ty paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 236 on the results obtained, the material synthesized in this study is mcm-48. fourier transform infrared spectrometer figure 2 shows the mcm-48 spectra before and after washing. the infrared spectrum of mcm-48 before washing, figure 2a shows the symmetrical stretching vibration of si-o-si in the absorption band with a wavenumber of 795 cm -1 . it is supported by the bending vibration of si-o-si in the 451 cm -1 . the weak absorption band in 962 cm -1 . resulted by stretching vibration of si-o and si-oh. the strong absorption bands in 1065 cm -1 and 1229 cm -1 are the asymmetric stretching vibrations of si-o-si. the stretching c-h vibration is shown in the absorption bands 1481cm -1 and 1472 cm -1 . the surfactant spectrum's stretching vibrationat wavenumber 2853 cm -1 and 2922 cm -1 , indicate symmetric and antisymmetric (-ch2), respectively. the broad peak at wavenumber 3441 cm -1 shows the stretching vibration of –oh. this data is supported by the bending vibration of –oh at 1645 cm -1 . these peaks are the contribution of hydroxyl groups and water which are physically adsorbed by mcm-48. figure 2. ftir spectra of mcm-48 (a) before washing and (b) after washing three times with ethanol-hcl after washing with ethanol-hcl three times (figure 2b), the stretching and bending vibrations of –ch are almost lost. the strong absorption bands at 1086 cm -1 and 1232 cm -1 . the weak ones at 798 cm -1 and 966 cm -1 . this pattern shows the si-o stretching vibrations from the silicate lattice. after washing by hcl-ethanol solution for three times, the strong peaks at wavenumbers in 1065 cm -1 and 1229 cm -1 shifted by 21 cm -1 and 3 cm -1 due to lattice contraction with surfactant loss. the result according to the previous studies (chen et al., 1997, taba et al. 2017, taba et al., 2018). the surface area determination by the bet method figure 3 shows the adsorption and desorption of n2 gas on mcm-48 before washing and after washing three times. the adsorption isotherm after washing three times is a type d iv isotherm. the mcm-48 curve after washing has hysteresis, which indicates that capillary condensation occurs due to meso-sized particles. the surface area of mcm-48 before and after washing there are 657 m 2 /g and 969 m 2 /g respectively. the result shows that the surfactant has been gone, so an inner surface forms after washing and increases the surface area. the pore distribution of mcm-48 before and after washing can be seen in figure 4. pore distribution of mcm-48 (a) before washing and (b) after washing for three times the pore radius according to the bet method for mcm-48 after washing is 1.52 nm and before pore diameter (å) (a) (b) figure 3. isothermal n2 adsorption after washing three times paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 237 washing is 2.17 nm. so, the pore radius before washing is bigger than after washing. mean pore radii for mcm-48 after washing (12.18 nm) and before washing (15.38 nm). these data indicate that it has mesoporous sized particles. the total pore volume for mcm-48 after washing is 0.352 cc/g while the total pore volume for mcm-48 before washing was 0.402 cc/g. adsorption of tch by mcm-48 the optimum adsorption time of tch by mcm-48 the adsorption of tch increases with the increasing adsorption time until it reaches 20 minutes, they adsorbed tends to decrease. this shows that the adsorption has reached equilibrium at 20 minutes. so the optimum adsorption time is 20 minutes. this time will be used to experiment with variations in ph and concentration. figure 5 shows the amount of tch adsorbed by the mcm-48 as a function of contact time. study of tch adsorption kinetics by mcm-48 adsorption kinetics can be studied using pseudo-first-order equations. the differential equation can be seen in equation 1. (1) )q (q k dt dq te1 t where qe and qt are the amounts of tetracycline hcl adsorbed (mg/g) at equilibrium and at a particular time, t (minutes), k1 is pseudo-first-order rate constants (minute -1 ). the results of the interaction produce equation 2. (2) t 2,303 k q log q q q log 1 e te e for the pseudo-first-order rate equation 2 can be written into equation 3. (3) )q (q k dt dq te1 t the rate constant (k1), the adsorption capacity in equilibrium (qe), the correlation coefficient (r1 2 ) are obtained from the log (qe-qt) versus t curve. the kinetic data can also be processed using pseudo-second-order kinetics models. the differential equation is given by equation 4. (4) )q (q k dt dq 2 te1 t where k2 is the pseudo-first-order rate constant (g/mg.min). integration of equation (4) will result equation 5. (5) t k q 1 q q 1 2 ete equation 5 can be written in linear form as equation (6) below. (6) q t qk 1 q t e 2 e2t if pseudo-second-order kinetics are fitted, a plot of t/ qt, versus t will yield a straight line. the adsorption kinetics curve for pseudo-firstorder and pseudo-second-order can be seen in figure 6.the r 2 value obtained using the pseudo-first-order kinetics model for tch adsorption by mcm-48 after washing three times the r 2 value obtained is 0.9839. the r 2 value for the pseudo-second-order kinetics model is 0.999. the qe value obtained from the pseudo-first-order kinetics model is 0.98 mg/g and from the pseudo-second-order kinetics model is 4.27 mg/g. the qe value obtained from the experiment is 4.21 mg/g. although the r 2 obtained from the two models is close to one another, the qe from the pseudo-second order kinetics model is close to the qe obtained from the experiment. the qe obtained from the pseudo-firstorder kinetics model is smaller than the experiments. this number showsthe adsorption of tch by mcm48 after washing three times followed a pseudosecond-order kinetics model with a constant k2 value of 0.36 g.mg -1 .minutes -1 . debnath et al (2020) also obtained pseudo-second-order kinetics for tetracycline 3.5 3.7 3.9 4.1 4.3 4.5 0 10 20 30 40 t c h a d so rb e d ( m g /g ) time (minutes) paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 238 y = 0.2341x + 0.1528 r² = 0.9994 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 5 10 15 20 t/ q e time (minute) adsorption on zirconia nanoparticles. similar results were reported by several researchers using other adsorbents (yu et al, 2018, li et al, 2020, zhang et al, 2020). figure 6. (a) pseudo-first-order and (b) pseudosecond-order kinetics models for the adsorption of tch by mcm-48 tch capacity by mesoporous silica (mcm-48) figure 7 shows the amount of tch adsorbed as a function of the initial tch concentration. the amount adsorbed increases with increasing initial concentration and so does not shown the fixed amount yet at the highest concentration limit used. figure 7. the amount of tch adsorbed as a function of the initial concentration of the tch solution the determining adsorption capacity, the langmuir and freundlich isotherms are used. figure 8 shows the langmuir and freundlich isotherms for the adsorption of tetracycline hcl by mcm-48 after washing three times. based on the least-squares line (r 2 ) value, the adsorption of tetracycline hcl by mcm-48 after washing three times is more consistent with freundlich's isotherm (r 2 = 0.9475). based on the freundlich isotherm, the adsorption capacity obtained is 0.98 mg/g, and 1/n is 0.52. several researchers also reported freudlich's isotherm is more suitable for tetracycline adsorption using different adsorbents (li, 2018, kong et al., 2020. prarat, 2020). generally, the value of 1/n is between 0 and 1, and this value indicates the effect of concentration on the adsorption capacity. the smaller the 1/n number, the better the adsorption performance: generally, for 1/n between 0.1 and 0.5, the substance is easily adsorbed; for 1/n> 2, the compound is difficult to adsorb. the number of 1/n obtained in this study is 0.52, which indicates that the adsorption of tetracycline hcl by mcm-48 is relatively easy (benkaddour et al., 2019). figure 8. isotherms (a) langmuir and (b) freundlich of tch adsorption by mcm-48 after washing three times the amount of tetracyclines adsorbed by mcm48 after washing three times is lower than other researcher’s results (li, 2018, kong et al., 2020. prarat, 2020). this result cause by the surface of the mcm-48 is more polar than the adsorbent used by other researchers. so, the surface of mcm-48 needs to be modified to be more effective in adsorbing tch. 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 t c h a d so rb e d ( m g /g ) co (mg/l) y = 0.0982x + 2.1825 r² = 0.9899 0 1 2 3 4 5 6 0 10 20 30 40 c e /q e ce(mg/l) y = 0.5245x 0.0075 r² = 0.9997 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 lo g q e log ce (b) (a) (b) y = -0.0645x 0.0099 r² = 0.9839 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0 5 10 15 20 lo g ( q tq e ) time (minute) (a) paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 239 the absorption peak after adsorption tch is relatively the same as the absorption peak before adsorption. this pattern shows that the tch adsorption by mcm-48 is physical adsorption. figure 9.the ftir spectra before and after tch adsorption conclusion the adsorption of tch by mcm-48 reached equilibrium at 20 minutes. the adsorption process fitted in pseudo-second-order kinetics with a rate constant of 0.36 g.mg -1 .minute -1 . the antibiotic's adsorption fulfils the freundlich isotherm better than the langmuir isotherm with an adsorption capacity is 0.98 mg.g -1 . acknowledgment the author, thanks to the minister of research and technology for the master's research grant obtained. references aminov, r., 2017. history of antimicrobial drug discovery: major classes and health impact, biochem. pharmacol., 133, 4-19. barton, m.d., 2000. antibiotic use in animal feed and its impact on human health, nutr. res. rev. 13, 279-299. benkaddour,s., slimani,r., hiyane,h., ouahabi,i.e., and hachoumi, i., 2018. removal of reactive yellow145 by adsorption onto treated watermelon seeds: kinetic and isotherm studies, sustain. chem. pharm., 10, 6-21. boxall, a.b.a., 2004. the environmental side effects of medication, embo rep. 5, 11121116. chen, f., huang, l., and li, q., 1997, synthesis of mcm-48 using mixed cationic-anionic surfactants as templates, chem. mater., 9, 26852686. debnath, b., majumdar, m., bhowmik, m., bhowmik, k. l., debnath, a., and roy, d. n., 2020, the effective adsorption of tetracycline onto zirconia nanoparticlessynthesized by novel microbial green technology, j. environ. manag., 261, 110235. dehghan, a., zarei, a., jaafari, j., shams, m. and khaneghah, a.m., 2019. tetracycline removal from aqueous solutions using zeolit imidazolate frameworks with different morphologies: a mathematical modeling, chemospere, 217, 250-260. fair, j.r. dan tor, y., 2014. antibiotics and bacterial resistance in the 21 st century, perspect medicinal chem, 6, 25-64. fei, z., ai, s., zhou, z., chen, x., tang, j., cui, m., qiao, x., 2014. enhanced activity of mcm-48 based tin catalyst for synthesis of 3-methylbut3-en-1-ol by adjusting the mesochannel environment, j. ind. eng. chem., 20(6), 41464151. felix, a.m.h., flores, c.a., cruz, a.m., barandiaran, j.m, guzman, s.s. and silva, r.c. 2019. removal oftetracycline pollutans by adsorption and magnetic separation using redused graphene oxide decorated with α-fe2o3 nanoparticles, nanomaterials, 9, 1-14. gao, y., li, y., zhang, l.,, huang, h., hu, j., shah, s.m. and su, x., 2012. adsorption and removal of tetracycline antibiotics from aqueous solution by graphene oxide, j. colloid and interface sci. 368, 540-546. ghadim, e.e., manouchehri, f., soleimani, g., hosseini, h., kimiagar, s. and nafisi, s., 2013. adsorption properties of tetracycline onto graphene oxide: equilibrium, kinetic and thermodynamic studies, plos one, 8, 1-9. hao, r., xiao, x., zuo, x., nan, j., and zhang, w., 2012. efficient adsorption and visible-light photocatalytic degradation of tetracycline hydrochloride using mesoporous bioi microspheres, j. hazard. mater, 209, 137–145. junyu, z., zefeng, s. and yuesuo, y., 2019. prepaation of low-cost sludge based mesoporous carbon and its adsorption of tetracycline antibiotics, water sci. technol., 79, 676-687. karami, n., nowrouzian, f., adlerberth, i. and wold, a.e., 2006. tetracycline resistance in escherchia coli and persistance in the infantile colonic microbiota, antimicrob agents 0 20 40 60 80 1000200030004000 (b) (a) 2 8 5 7 2 9 3 2 9 6 1 5 4 4 5 5 6 4 6 1 4 6 2 8 0 0 7 9 8 9 6 6 1 0 6 8 1 0 8 2 1 2 2 7 1 6 3 2 3 4 4 7 1 2 3 2 1 6 3 82 8 5 7 2 9 3 2 3 4 5 1 bilangan gelombang (cm -1 ) % t ra n s m it a n s wavenumber (cm -1 ) % t paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 240 chemother, 50, 156-161. khanmohammadi, m., shahrouzi, j.r. and rahmani, f., 2020. insight into mesoporous mcm-41 supported titania decorated with cuo nanoparticles for enchanced photodegradation of tetracycline antibiotic, environ. sci. pollut. res., 28, 862–879. kim, k.r., owens, g., kwon, s.i., so, k.h., lee, d.b. and ok, y.s. 2011. occurence and environmental fate of veterinary antibiotic in the terrestrial envirinment, water air soil pollut., 214, 163-174. kong, y., zhuanga, y., hana, k., and shi, b., 2020. enhanced tetracycline adsorption using alginategraphene-zif67 aerogel, colloids surf. a, 588, 124360. kresge, c.t., leonowick, m.e., roth, w.j., vartuli, j.c. and beck, j.s. 1992. ordered mesoporous molecular sieves syntesized by a liquid-crystal template mechanism, nature, 359, 710-712. li, m.f., liu, y.g., liu, s.b., zeng, g.m., hu, x.j., tan, x.f., jiang, l.h., liu n., wen, j., and liu, x.h., 2018. performance of magnetic grapheneoxide / diethylenetriaminepenta-acetic acid nanocomposite for the tetracycline andciprofloxacin adsorption in single and binary systems, j. colloid interface sci. 521,150–159 li, j., han, j., meng, f., jiang, j., li, j., xu, c. and li, y. 2019. mesoporous bimetallic fe/co as highly active heterogeneous fenton catalyst for the degradation of tetracycline hydrochlorides, sci., rep, 9, 1-11. li, k., li, j., zhao, n., ma, y., and di, b., 2020. removal of tetracycline in sewage and dairy products with high-stable mof, molecules, 25, 1312 macsai, m., and mojica, g. 2013. ocular surface disease: cornea, conjunctiva and tear film, elsevier, 1 st edition. marzbali, m.h., esmaieli, m., abolghasemi, h. and marzbali, m.h. 2016. tetracycline adsorption by h3po4-activated carbon produced from apricot nut shells: a batch study, process saf. environ. prot., 102, 700-709. mispagel, h. and gray, j.t. antibiotic resistance from waswater oxidation ponds, water environ. res. 77, 2996-3002. miyata, m., ihara, i., yosida, g., toyod, k. and umetsu, k. 2011. elektrochemical oxidation of tetracycline anitbiotics using a ti/iro2 anode for wasewater treatment of animal husbandary, water sci. technol., 63, 456-461. mohammed, a.a., and kareem, s.l., 2019. adsorption of tetracycline from watewater by using pistachio shell coated with zno nanoparticles: equilibrium, kinetic and isoterm studies, alex. eng. j., 58, 917-928. nairi, v., medda, l., monduzzi, m., and salis, a., 2017, adsorption and release of ampicillin antibiotic from ordered mesoporous silica, j. colloid interface sci., 497, 217-225. pachauri, p., falwariya, r., vyas, s., maheswari, m., vyas, r.k., and gupta, a.b., 2009. removal of amoxilin in wastewater using adsorption by powdered and granular activaed carbon and oxidation with hydrogen peroxide, nat. environ. pollut. tecnol. 8, 481-488. prarat, p., hongsawat, p., and punyapalakul, p., 2020. amino-functionalized mesoporous silicamagnetic graphene oxide nanocomposites as water-dispersible adsorbents forthe removal of the oxytetracycline antibiotic from aqueous solutions: adsorptionperformance, effects of coexisting ions, and natural organic matter. environ. sci.pollut. res. int., 27, 6560–6576. ouaissa, y.a., chabani, m., amrane, a. and bensmaili, a., 2014. removal of tetracycline by electrocoagulation: kinetic and isoterm modeling through adsorption, j. environ. chem. eng., 2: 177-184. rizzi, v., lacalamita, d., gubitosa, j., fini, p., patrella, a., romita, r., agostiano, a., gabaldon, j.a., gorbe, m.i.f., morte, t.g., and cosma, p., 2019. removal of tetracycline from polluted water by chitosan olive pomace adsorbing film, sci. total environ., 63, 1-12. santos, l.h.m.l.m., gros, m., mozaz, s.r., matos, c.d., pena, a., barcelo, d., and montenegro, m.c.b.s.m. contirbute of hospital effluent to the load of pharmaceuticals in urban wastewater; identification of ecologically relevant pharmaceuticals, sci. total environ., 461-462, 302-3016. sapkota, m., sapkota, a.r., kucharski, m., burke, j., mckenzie, s., walker, p. and lawrence, r. 2008. aquaculture practice and potential human health risk: current knowledge and future priorities, environt. int., 34, 1215-1226. shimizu, a., takada, h., koike, t., takeshita, a., saha, m., rinawati., nakada, n., murata, a., suzuki, t., chiem, n.h., tuyen, b.c., viet, p.h., siringan, m.a., kwan. c., zakarria., m.p., and reungang, a., 2013. ubiquitous occurence of sulfonamides in tropical asian water, sci. total environ., 452-453, 108-115. taba, p., budi, p., and sari, a.y.p., 2017. adsorption paulina taba, et al. indo. j. chem. res., 8(3), 234-241, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2017.7-mut 241 of heavy metals on amine-functionalized mcm-48, proceeding international symposium on current proggress in functional materials, july 26-27, denpasar bali taba, p., mustafa, r.d.p., ramang, l.m., and kasim, a.h., 2018. adsorption of pb 2+ on thiolfunctionalized mesoporous silica, sh-mcm48, j. physics, conference series, 979, 012058. torrellas, a.a., ribeiro, r.s., gomes, h.t. ovejero, g., and garcia, j., 2016. removal of antibiotic compound by adsorption using glycerol based carbon materials, chem. eng. j., 296, 277-288. wang, k., lin, y., morris, m.a., and holmes, j.d., 2006. preparation of mcm-48 materials with enhacedhydrotermal stability, j. mater. chem., 16, 4051-4057. wang, n., xiao, w., niu, b.,duan, w., zhou, l., and zheng, y., 2019. highly efficient adsorption of flouroquinone antibitics using chitosan derived granular hydrogel with 3d sturcture, j. mol. liq., 281, 307-314. wang, r.z., huang, d.l., liu, y.g., zhang, c., lai, c., wang, x., zeng, g.m., zhang, q., gong, m.x., and xu, p., 2020. synergistic removal of copper and tetracycline from aqueous solution by steam actived bambo biochar, j. hazard. mater., 384, 1-10 who. 2020. antimicrobial resistance, world health organization. yang, s., and carlson, k., 2003. evolution of antibiotic occurrence in a river through pristine, urban and agricultural landscape, water res., 37, 4645-4656. yu, l.l., cao, w., wu, s.c., yang, c., and cheng, j.h., 2018. removal of tetracycline fromaqueous solution by mof/graphite oxide pellets: preparation, characteristic, adsorption performance and mechanism, ecotoxicol. environ. saf., 164, 289–296. zhang, x.x., zhang, t., and fang, h.h.p., 2009. antibiotic resistance genes in environment, appl. micribiol biotechnol, 82, 397-414. zhang, z., lan, h., liu, h., li, h., and qu, j., 2015. iron-incorporated mesoporous silica for enhanced adsorption of tetracycline in aqueous solution, rsc adv., 5, 42407-42413 zhang, z., ding, c., li, y., ke, h., and cheng, g., 2020, efficient removal of tetracycline hydrochloride from aqueous solution by mesoporous cage mof‑818, sn appl. sci., 2, 1-11. zhao, y., geng, j., wang, x., gu, x., and gao, s. 2011. adsorption of tetracycline on to geothite in the presence of metal cations and humic substances, j. colloid interface sci. 361, 247251. microsoft word 10. rustam.docx indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(1), 63-68, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-rus 63 synthesis of methyl ester nitrate from mahogany seed oil (swietenia mahagoni linn) rustam musta1*, laily nurliana2, muh. mahatir halulanga2 1department of chemistry education, faculty of teacher training and education, halu oleo university, kampushijau bumi tridharma-anduonohu, kendari 93232, indonesia 2department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, halu oleo university, kampus hijau bumi tridharma-anduonohu, kendari 93232, indonesia *corresponding author: rustammusta.04@gmail.com received: march 2021 received in revised: march 2021 accepted: april 2021 available online: may 2021 abstract nitration of methyl ester from mahogany oil (swietenia mahagonilinn) can be produced by methyl ester nitrate (men), an additive that is useful for increasing cetane numbers in diesel fuel. this study aims to determine the yield of men that can be produced from mahogany seed oil after esterification, trans-esterification, and nitration and to identify the men compounds produced. mahogany oil is obtained by pressing mahogany seeds and then degumming to remove the gum. mahogany oil-free gum is esterified using methanol with the mole ratio of oil: methanol (1: 6), then transesterified, also using methanol with mole ratio (1:15) and a methyl ester is obtained. then the methyl ester was nitrated with hno3, sulfuric acid, and acetic anhydride to obtain a translucent reddish colored men product with a yield of 24.99%. the success of the synthesis was shown by the ftir spectrophotometer in the presence of absorption at 1550 cm-1 which indicated the presence of the c-ono2 group, the absorption at 1365 cm-1 indicated the presence of the no2 group, and at 1118 cm-1 indicated the presence of the c-n group. the reaction mechanism that occurs during the predicted nitration reaction is an electrophilic substitution reaction and nucleophilic addition. keywords: esterification, mahoni, methyl ester nitrate, trans-esterification, nitration introduction the source of energy is one of the most basic needs for human life. energy needs also continue to increase along with the increase in population and technological advancement. the increase in the population leads to an increase in the use of energy which includes the household, industry, transportation and so on which results in a reduction in the supply of fuel (fuel oil) and a decrease in the quality of fuel, especially diesel fuel (kholiq, 2015). low-quality diesel oil is shown by the cetane number which is less than 48. diesel fuel in indonesia is particularly low. subsidized has a reduction in methane 47. this requires a transient effort to increase the quality of diesel fuel by an approach to increase the value of the energy value by adding an additive. one alternative that can be done to increase the amount of methane in waste materials is by using or adding additives such as ethyl hexyl nitrate (ehn), which is a synthesis product of natural oil derivatives and can also be added to the derivative of nutrients synthesized from vegetable oil (cahyono, 2014). several types of additives that can be added to diesel fuel are used to improve performance and improve the quality of fuels such as amyl nitrate, butyl nitrate, ethyl ether, and fatty acids. the additives in diesel can increase the fuel burnt. additives for diesel fuel have many uses and effects because they can improve engine performance and reduce exhaust emissions (saputra, wicaksono, & irsan, 2018). the use of ehn as an additive has weaknesses, for example, organic nitrate compounds that are synthesized from natural oil derivatives where the ingredients are not renewable, apart from being relatively expensive because the synthesis process has a fairly long path (nasikin, arbianti, & azis, 2010). therefore, alternative raw material is needed for the synthesis of additives from vegetable oil with the methyl ester or biodiesel method. one of the other materials that can be used is mahogany oil (swietenia mahagoni linn) (cahyono, 2014). synthesis of men from mahonide oil can be carried out after it has been synthesized as a methyl ester. synthesis of ethyl esters is carried out through pressing, degumming, esterification, and transesterification step. degumming is a process of separating mucus or sap in oil and reducing free fatty acids in oil (meilano, soetjipto, & cahyanti, 2017). the esterification reaction is a reaction between carboxylic rustam musta, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 63-68, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-rus 64 acids and alcohols to form esters (aziz, nurbayti, & ulum, 2012). transesterification is a process that reacts triglycerides in vegetable oil or animal fat with short-chain alcohols such as methanol or ethanol to produce fatty acid methyl esters or biodiesel and glycerol as a by product (muhammad, jatranti, & hakim, 2014). nitration is a chemical process that aims to enter the nitro group into compounds. nitration can be added because there is a mixture of nitric acid (hno3) and acetic acid hydride as a catalyst (junaidi, ghofur, & wicakso, 2012). several studies related to the additives of vegetable oil have been carried out, among others, from wastewater from palm oil (sundaryono, 2011), from palm oil and the linn (mardawati, 2019). in this study was conducted the synthesis of methyl ester nitrate from mahogany seed oil (swietenia mahagoni linn). methodology materials and instrumentals the tools used in this research are a set of reflux tools, hot plate, gel (pyrex), chemical beaker (pyrex), erlenmeyer (pyrex), funnel (pyrex), separating funnel (pyrex), spatula, dropper, vial, dark bottle, stirring rod, thermometer, oven, static, clamp, analytical gauge, magnetic stirrer, hot plate, and hydraulic press. the ftir (fourier transform infrared) brand ir buck m500 scientific is also used. the materials used are seed oil, n-hexane, acetic acid hydride p.a, diethyl ether ((c2h5)2o), sodium sulfate (na2so4), potassium chloride (koh) pa, citric acid (hno3) pa, acetate anhydride (ch3co)2o, acid sulfate (h2so4) pa, whatman filter paper, phenolphthalein indicator, aluminum foil, tissue, and distilled water. methods mahogany fruit sampling the mahogany samples used in this study were obtained from anduonohu village, poasia district, kendari city, southeast sulawesi. mahogany seed oil preparation the seeds obtained after separating the seeds and fruit shells are aerated at temperature for two to three days. furthermore, the seeds are refined using a refining machine (blender) so that the seeds are obtained. the dried seeds are refined in a blender and then the powder is pressed using a hydraulic press and dirty oil is produced. impurity is separated. the pressed oil is degumming with the addition of 0.4 ml of 20% h3po4 solution and then put in a 150 ml chemical beaker that contains 100 ml of mahogany oil. then the solution is heated at 80 °c for 15 minutes, then stirred using a magnetic stirrer, then it is put in a separate push, cooled, left to stand until it is in two-phase form, with a lower phase (sediment or sap) and upper phase (mahogany oil). subsequently, the filtrate (upper phase) obtained was washed with 30 ml very high strength at a temperature of 60 °c while stirring using a magnetic stirrer for 15 minutes then put in a separate wheel and left to stand in two-phase form, the lower phase is water and the upper phase is oil. washing is repeated until the ph of the oil is neutral. furthermore, it is heated at a temperature of 105 110 °c to remove the remaining water which is indicated by the absence of water bubbles (damayanti & bariroh, 2012). esterification-transesterification reaction esterification is carried out by reacting the oil with methanol at the mol ratio (1:15) using a 1% sulfuric acid catalyst (h2so4). the first step begins by inserting the degumming result oil in a second laboratory that has been equipped with a condenser and a heater. the sample was then heated to a temperature of 65oc while slowly adding methanol and sulfuric acid (h2so4) was stirred using a magnetic stirrer for one hour. the resulting reaction mixture is then put in a separate tube and left to stand for 24 hours until it forms two phases. the bottom phase was taken and then washed with warm water until the ph was neutral (mohan, jala, kaki, prasad, & rao, 2016). transesterification is carried out by reacting the oil esterification results with methanol at a molar ratio (methanol: oil) which is (6: 1) with 1% (w / v) koh catalyst of robot oil (damayanti & bariroh, 2012). initially, the esterification result is inserted into the second laboratory which has been equipped with a condenser and ambient heat stirred then heated to 60oc, methanol, and koh are added slowly by stirring using a magnetic stirrer for one hour. the reaction is then stopped then the sample is put in a separate tube and allowed to stand for 24 hours until it forms two phases. the upper phase is taken and washed with me very to the point of neutral. the remaining water during washing is removed by heating at a temperature of 105-110 oc (santos, malveira, cruz, & fernandes, 2010). nitration reaction nitration is treated by adding 2.9 ml of nitric acid to 0.07 ml of h2so4 and with 2.1 ml of acetic anhydride catalyst in the triple tablet. next, add 2.3 ml of methyl ester which is done by adding dropwise then the solution is refluxed for 30 minutes at 28-300 °c rustam musta, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 63-68, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-rus 65 with stirring using a magnetic stirrer at 200 pm. the resulting product is then put into a separator that has been filled with 200 ml of water and 25 ml of diethyl ethers while stirring, then it is allowed to stand for several times until it forms two phases where the upper phase is a methyl ester nitrate and the lower phase is water and the residual acid is separated using algae. identification with a spectrophotometer fourier transform infrared (ftir) the composition of the methyl ester (me) and the synthesized ethyl ester nitrate (men) from mahogany seed oil were identified by using the ftir spectrophotometer with the ir buck m500 scientific brand at a wavelength of 4000-400 cm-1 with 32 seconds of the scan, 4 resolution, and 80 torr pressure. results and discussion mahogany oil preparation (swietenia mahagoni l.) the oil of mahonide is obtained from the seeds of mahogany which have been separated from the outer shell and then dried in the sun for two to three days to reduce the water level. reducing the water content of the seeds is also intended to make it easier to press the seeds of seeds to obtain more optimal oil (musta, haetami, & salmawati, 2017). the pressing process is carried out using a 20-tonne hydraulic press. the mahogany oil obtained is colored yellowish black with bouquets. the obtained mahogany oil still contains impurities that cannot be dissolved in the oil as shown in figure 1a, then it is filtered before further purification by degumming. degumming mahoni oil obtained through the pressing process, after being filtered, still contains a lot of impurities, for that reason, it will be grumbling to separate the resin or mucus which consists of phosphatide, protein, residue, carbohydrates, water, and resin. the substance that is usually used to attract gum (sap) is phosphoric acid (h3po4) (hasibuan, sahirman, & yudawati, 2013). the precipitate formed from the degumming results indicates that the phosphorus acid has bound the impurities in the oil. the phosphatide deposits formed were separated using filter paper (prihanto & rahayu, 2015). after degumming, the mahogany oil which was previously dark in color, thick and smelled clearer and colored reddish as shown in figure 1b, this is also by (musta et al., 2017; rezki, musta, & haetami, 2017; sutapa, rosmawaty, & samual, 2013). esterification-transesterification reaction esterification is used as a preliminary process to convert free fatty acid to methyl ester to reduce ffa levels in vegetable oils before being transesterified with base catalysts to convert triglycerides into methyl esters (hasahatan, sunaryo, & komariah, 2012). transesterification is the process of cutting long chains of glycerides into short-chain esters. alkyl esters can be obtained from the reaction result of vegetable oils with an amount of alcohol through the help of catalysts. the reaction results in addition to producing alkyl esters also produce byproducts in the form of glycerols. transesteri fi cation reactions run slowly, so base catalysts are needed to reduce the activation energy and accelerate the reaction (muhammad et al., 2014). damayanti & bariroh (2012) state that transesterification is a step in breaking down triglycerides (vegetable oils) into alkyl esters, which are reacted with alcohol and produce a side product of sugar. the effectiveness of the transesterified reaction is influenced by a variety of factors. but the most influential are the mole factor (oil: methanol), temperature, stirring, and catalyst. the more the amount of methanol used, the more methyl ester produced also increases. the increase in resistance shifts the equilibrium towards the product so that it is expected that the maximum number of products is formed. meanwhile, the transesterification process can be carried out with either naoh homogeneous catalysts (fransina, sutapa, & hehanussa, 2013) and heterogeneous catalysts such as cao (bandjar, sutapa, rosmawaty, & mahulau, 2014). nitration reaction nitration is the process of entering the nitro group into organic compounds or other minerals using a mixture of nitric acid and sulfuric acid. the nitrate process can be divided into 2 types, namely the manufacture of nitro compounds and the manufacture of nitrate esters. the nitro ion can be generated from the interaction of nitric acid with sulfuric acid as a catalyst. through the titration of the methyl ester, the amount of oxygen-molecular components of the methyl ester increases so that the methyl ester has more oxygen, which is very necessary for the perfection of the combustion process so that it increases diesel fuel additives. nitracymethyl ester of mahonide oil with acetic hydride and sulfuric acid produced a translucent red color product as shown in figure 1c. rustam musta, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 63-68, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-rus 66 a b c figure 1. a) mahogany pressed oil; b) mahogany degummed oil; c) men the ftir spechtrophotometer characterization identification using ftir instrument aims to determine its functions, thus the ftir spectrum of mahogany oil shows that water can absorb the functions, including the absorption of the c-ch3 group at wavenumber 2924.09 cm-1 and 2854.65 cm-1. figure 2. the ir spectrum comparation of oil and mahogany men the absorption of group c=c on the wavenumber of 1658.78 cm-1, the absorption of the group ch2 in the shown in 435.04 cm-1, the c-oh bond shown in 1033.85 cm-1 and the absorption of the oh group at the wavenumber 3471.87 cm-1. the results of the interpretation obtained show that there is an agreement with (mursiti, fitriani rahayu, maylia rosanti, & nurjaya, 2019) and (sumartono, wahyono, latifah, pratiwi, & siswani, 2018). as for the uptake of methyl ester nitrate, it showed that there were several different peaks with the ftir spectrum of mahogany oil, among others, at the wavenumber of 1550 cm-1 which was predicted as the presence of c-ono2 and c=c bonds in the methyl ester molecule, as well as at the wavenumber of 1365 cm-1 which was predicted as no2 bonding with c-n at the wavenumber of 1118 cm-1. the words of these waves correspond to the numbers of o-no2 waves formed in the research conducted by (junaidi et al., 2012). the interpretation of the ir spectrum showed the production of synthetic methyl ester nitrate (men) from methyl ester, sulfuric acid, and nitric acid and predicted as figure 2 (diop, ben talouba, balland, & mouhab, 2019) reported that methyl ester nitrate is formed from the nitro group and nitrate groups on methyl ester double bonds. the results of the nitration which showed the inclusion of nitro and nitrate groups in the methyl ester of mahonide oil can be clarified by the predicted reaction mechanism based on the presence of groups formed and identified through ir absorption at 1550 cm-1 (c-ono2) and, 1365 cm-1 (no2) and 1118 cm-1 (c-wave-n) angels. the reaction mechanisms that take place are predicted to be a subsite electrophilic (se) and addition nucleophilic (an) as shown in figure 3. table 1. comparison of infrared absorption peaks vibration wavenumber (cm-1) sampel mohogany oil mahogany oil (mursiti et al., 2019) men sample menthyl esther nitrate (abdullah et al., 2012) o-h 3471.87 3550-3200 c-ch3 2924.04 and 2854.65 3000-2800 c=o 1743.65 1740-1720 c=c 1658.78 1620-1680 c-ono2 1550 1545-1660 no2 1365 1300-1500 c-n 1118 1180-1360 ch2 1435.04 1470-1450 o-co 1373.32 1320-1210 c-oh 1033.85 rustam musta, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 63-68, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-rus 67 figure 3. mechanism reaction prediction of men by (a) electrophilic reaction and (b) nucleophilic reaction. conclusion nitration of methyl ester oil produced a translucent reddish product with a yield of 24.99%. characterization of methyl ester nitrate (men) by ftir spectrophotometer showed absorption at 1550 cm-1 which indicated the presence of c-ono2 groups, absorption at 1365 cm-1 indicated the presence of no2 groups as well as at 1118 cm-1 indicated the presence of c-n groups. acknowledgement thanks to all those who assisted in the preparation of this article. references aziz, i., nurbayti, s., & ulum, b. (2012). pembuatan produk biodiesel dari minyak goreng bekas dengan cara esterifikasi dan transesterifikasi. jurnal kimia valensi, 2(3). https://doi.org/10.15408/jkv.v2i3.115 bandjar, a., sutapa, i. w., rosmawaty, r., & mahulau, n. (2014). the utilitasion of beef tallow into biodiesel with heterogenous catalyst. indonesian journal of chemical research, 2(1), 166–170. cahyono, e. (2014). the effect of addition additive alkyl nitrate synthesized biodiesel. 3(1), 5. damayanti, a., & bariroh, s. (2012). pengolahan biji mahoni (swietenia macrophylla king) sebagai bahan baku alternatif biodiesel. jurnal bahan alam terbarukan, 1(1). diop, a., ben talouba, i., balland, l., & mouhab, n. (2019). thermal characterization of a biodiesel nitration: bio-additive’s synthesis by calorimetric methods. thermochimica acta, 673, 138–146. https://doi.org/10.1016/j.tca.2019.01.024 fransina, e., sutapa, i. w., & hehanussa, s. (2013). cow’s fat processing to biodiesel by naoh as catalyst in methanol. indonesian journal of chemical research, 1(1), 23–27. hasahatan, d., sunaryo, j., & komariah, l. n. (2012). pengaruh ratio h2so4 dan waktu reaksi terhadap kuantitas dan kualitas biodiesel dari minyak jarak pagar. jurnal teknik kimia, 18(2), 26–39. hasibuan, s., sahirman, s., & yudawati, n. m. a. (2013). karakteristik fisikokimia dan antibakteri hasil purifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum l.). agritech, 33(3), 311–319. https://doi.org/10.22146/agritech.9553 junaidi, a. b., ghofur, a., & wicakso, d. r. (2012). sintesis cetane imrover dari biodiesel minyak jarak pagar dan pengujiannya pada mesin diesel. sains dan terapan kimia, 6(1), 13. kholiq, i. (2015). pemanfaatan energi alternatif sebagai energi terbarukan untuk mendukung subtitusi bbm. jurnal iptek, 19(2), 75–91. mardawati, e. (2019). produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit kasar off grade dengan variasi pengaruh asam sulfat pada proses esterifikasi terhadap mutu biodiesel yang dihasilkan. jurnal industri pertanian, 1(3), 46–60. rustam musta, dkk. indo. j. chem. res., 9(1), 63-68, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-rus 68 meilano, a. r., soetjipto, h., & cahyanti, m. n. (2017). pengaruh proses degumming dan netralisasi terhadap sifat fisiko kimia dan profil asam lemak penyusun minyak biji gambas (luffa acutangula linn.). chimica et natura acta, 5(2), 50. https://doi.org/10.24198/cna.v5.n2. 14604 mohan, m. r., jala, r. c. r., kaki, s. s., prasad, r. b. n., & rao, b. v. s. k. (2016). swietenia mahagoni seed oil: a new source for biodiesel production. industrial crops and products, 90, 28–31. https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2016. 06.010 muhammad, f. r., jatranti, s., & hakim, j. a. r. (2014). pembuatan biodiesel dari minyak nyamplung menggunakan pemanasan gelombang mikro. jurnal teknik pomits, 3(2), 6. mursiti, s., fitriani rahayu, e., maylia rosanti, y., & nurjaya, i. (2019). mahogany seeds oil: isolation and characterizations. iop conference series: materials science and engineering, 509, 012137. https://doi.org/10.1088/1757-899x/509/1/012137 musta, r., haetami, a., & salmawati, m. (2017). biodiesel hasil transesterifikasi minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan metanol. indonesian journal of chemical research, 4(2), 394–401. https://doi.org/10. 30598//ijcr.2017.4-rus nasikin, m., arbianti, r., & azis, a. (2010). paditif peningkat angka setana bahan bakar solar yang disintesis dari minyak kelapa. makara of technology series, 6(2). https://doi.org/10.7454/ mst.v6i2.92 prihanto, a., & rahayu, l. h. (2015). pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung melalui esterifikasi, netralisasi dan transesterifikasi. momentum, 11(1), 1–6. rezki, r., musta, r., & haetami, a. (2017). minyak biji nyamplung (calophyllum inophyllum) dengan etanol. indonesian journal of chemical research, 4(2), 406–412. https://doi.org/10. 30598//ijcr.2017.4-rez santos, f. f. p., malveira, j. q., cruz, m. g. a., & fernandes, f. a. n. (2010). production of biodiesel by ultrasound assisted esterification of oreochromis niloticus oil. fuel, 89(2), 275–279. https://doi.org/10.1016/j.fuel.2009.05.030 saputra, a. t., wicaksono, m. a., & irsan, i. (2018). pemanfaatan minyak goreng bekas untuk pembuatan biodiesel menggunakan katalis zeolit alat teraktivasi. jurnal chemurgy, 1(2), 1. https://doi.org/10.30872/cmg.v1i2.1138 sumartono, n. w., wahyono, j., latifah, s., pratiwi, a. r., & siswani, e. d. (2018). sintesis dan karakterisasi metil ester minyak biji carica dieng (carica candamarcensis) sebagai bahan bakar biodiesel. jurnal sains dasar, 7(1), 17–22. https://doi.org/10.21831/j sundaryono, a. (2011). karakteristik biodiesel dan blending biodiesel dari oil losses limbah cair pabrik minyak kelapa sawit. jurnal teknik industri pertanian, 21(1), 34–40. sutapa, i. w., rosmawaty, r., & samual, i. (2013). biodiesel production from bintanggur oil (callophyllum inophyllum l.) using calsium oxide (cao) catalyst. indonesian journal of chemical research, 1(1), 53–60. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 150 molecular docking study of chalcone derivatives as potential inhibitors of sars-cov-2 main protease adita silvia fitriana*, sri royani undergraduate pharmacy study program, faculty of health, harapan bangsa university, jl. raden patah 100, purwokerto, indonesia *corresponding author: aditasilvia@uhb.ac.id received: september 2021 received in revised: september 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract sars-cov-2 main protease is a potential target for the development of anticovid-19. several chalcones have inhibitory activity against 3clpro sarscov and 3clpro mers-cov. this study aims to predict the potential of chalcones in inhibiting 3clpro sars-cov-2, which plays a role in the viral replication process. in silico research carried the prediction through molecular docking toward proteins with pdb id 6lu7 and 6y2f. compound k27 has a docking score more negative than lopinavir. this result indicates that compound k27 is predicted to inhibit the sars-cov-2 replication. keywords: covid-19, sars-cov-2, sars-cov, mers-cov, 3clpro, chalcone introduction sars-cov-2 is a virus from the coronavirus group that spreads very quickly throughout the world and causes covid-19 disease in millions of people worldwide. sars-cov-2 infects host cells by involving several proteins from the virus and proteins from the host. main protease sars-cov-2 or chymotrypsin-like protease (3clpro) is a protein that plays a role in the viral replication process and is very important for the life cycle of life sars-cov-2 (khan, zia, ashraf, uddin, & ul-haq, 2020). therefore, 3clpro main protease is one of the potential targets in treating covid-19. until now, a drug has not been explicitly found used to treat covid-19. treatment therapy for covid-19 patients is administering drugs that have been circulating. these drugs are antiviral drugs such as oseltamivir, ritonavir, lopinavir, and remdesivier. the other treatment is using antimalarial drugs such as chloroquine phosphate. also, therapy with herbal plants (alam, 2020; instiaty et al., 2020). chalcone 1,3-diphenylprop-2-en-1-one) is a natural compound widely contained in plants and is a precursor of flavonoids and isoflavonoids. chalcone can also be synthesized through condensation reactions, namely the claisen schmidt condensation and aldol condensation (chavan et al., 2016). chalcone-derived compounds can be antivirals against the coronavirus class through the primary protease inhibitory mechanism. (park et al., 2016a) showed that chalcone-derived compounds isolated from the angelica keiskei plant could inhibit the protease enzyme (3clpro) sars-cov activity. broussochalcone a and b isolated from the roots of broussonetia papyrifera were shown to inhibit 3clpro sars-cov and 3clpro mers-cov (park et al., 2017). other derivatives of chalcone compounds, namely helichrysetin and isobavachalcone, are also known to inhibit the enzymatic activity of 3clpro (mers-cov) (jo, kim, kim, shin, & kim, 2019). (ullrich & nitsche, 2020) stated that there were similarities in the crystal structure and active sites of the main proteases sars-cov-2 (gdp: 6y2e), sars-cov (gdp: 2bx4), and mers-cov (gdp: 5c3n). therefore, chalcone compounds and their derivatives may also have inhibitory activity against 3clpro sars-cov-2. several in silico studies through molecular docking of chalcone-derived compounds have been carried out, such as the indole-chalcone-derived compound that was docked against the main protease sars-cov-2 (gdp: 6yb7) (vijayakumar, ramesh, joji, jayachandra, & kannan, 2020) and (e)-1-(2,4dichlorophenyl)-3-[4-(morpholin-4-yl)phenyl]prop-2en-1-one with main protease sars-cov-2 (gdp: 7bqy) (alsafi, hughes, & said, 2020). the research from (alaaeldin, mustafa, abuo-rahma, & fathy, 2021) showed that the results of docking compound (4-(n-substituted-carbamoyl-methyl)piperazine-1yl)chalcone were in line with the results of in vitro studies of the main protease sars-cov-2, which exerted a significant inhibitory effect. in this study, molecular docking of chalconederived compounds both derived from natural and adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 151 synthetic materials was carried out to predict their interaction with the active site of 3clpro sars-cov-2 (gdp: 6lu7 and 6y2f). the interaction between the ligand-receptors was analyzed based on the scores or docking scores obtained. this docking score can predict the stability of the ligand-receptor complex. molecular docking can also predict the type of interaction formed between ligands and amino acid residues on the protein's active site (gaspersz & sohilait, 2019; mulyati & panjaitan, 2021). methodology hardware the hardware in this research uses asus rog strix with specification intel core-i7-9750h cpu @2.60ghz processor, 1 tb ram, gpu gtx 1050. software the software used in this research is yasara (yet another scientific artificial reality application), marvin sketch, plants (protein-ligand ant system), and discovery studio visualizer. receptor preparation the 3clpro sars-cov-2 receptor used is a protein with pdb codes 6lu7 and 6y2f obtained based on a literature search (jin et al., 2020; zhang et al., 2020) and downloaded from the protein data bank (gdp) database (http://www.rscb.org.pdb). the two proteins' 3-dimensional (3d) structure was prepared using yasara by removing water molecules and hydrogen atoms. in the yasara, the separation between proteins and native ligands is also carried out. the separated protein and native ligand structure are then stored in the file.mol2. ligand preparation native ligands were obtained from proteins with pdb codes 6lu7 and 6y2f downloaded from the pdb database. the native ligands were separated from the protein using the yasara program. chalcone derivative compounds were obtained based on kinds of literature search (cole, hossain, cole, & phanstiel, 2016; jo et al., 2019; kim, ryu, shim, park, & withers, 2009; mahapatra, bharti, & asati, 2015; park et al., 2016b, 2017; sashidhara et al., 2012; smit & n'da, 2014; troeberg et al., 2000; wang, ding, liu, & zheng, 2004; xu, wan, dong, but, & foo, 2000; yadav et al., 2012). the two-dimensional structure of the chalcone and lopinavir derivatives was downloaded from the pubchem database (http://pubchem.ncbi. nlm.nih.gov) in the form of an sdf file. all ligands, whether native ligands, chalcone-derived compounds, or lopinavir, which compare drug compounds, were then prepared using the marvin sketch program. in this process, the ligands were conditioned at ph 7.4, and a conformational search was carried out. the conformational structure of the ligands is saved in the form of file.mol2. validation method the molecular docking method (redocking) was validated by docking the native ligand with its receptor using the plants program. the docking process was carried out on ten native ligand conformers. the docking results then calculate the rmsd (root mean square deviation) value using the yasara program. the docking method is valid and acceptable if the redocking rmsd value between the active site of the receptor and the native ligand is <2.00 å (adelina, 2014; bell & zhang, 2019). molecular docking molecular docking is done between receptors (6lu7 and 6y2f) with ligands. the ligands are chalcone-derived compounds, and a comparison ligand (lopinavir) was carried out using the plants program. the docking scores of each ligand were compared with the native ligand and the comparison ligand. the interaction between the receptor and the ligand was visualized using the discovery studio visualizer. results and discussion method validation native ligand must be redocking. native ligand structure after redocking differs from before one (pdb) (figure 1). the redocking results show that the protocol used in this study has been well validated. this validation is indicated by the rmsd value < 2.00 å (maahury & allo, 2021). this research focuses on the redocking of 6lu7 with n3 and 6y2f with o6k. (table 1). rmsd value is a parameter used to evaluate the similarity of two structures based on differences in the atomic distance (primana, 2015). the smaller the rmsd value, the more similar the conformation of the native ligand resulting from the redocking with the conformation of the native ligand from pdb (adelina, 2014). molecular docking of chalcone derivative compounds docking of molecular docking of chalconederived compounds, both naturally occurring as secondary metabolites in plants and their synthesis in the laboratory (table 2), has been tested in silico by molecular docking against the 3clpro sars-cov-2 receptor with pdb codes 6lu7 and 6y2f. adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 152 table 1. rmsd redocking result docking validation rmsd (å) 6lu7 with n3 1.7637 6y2f with o6k 1.9443 figure 1. alignment native ligand from redocking (yellow) and pdb (red). (a). n3 at 6lu7 protein (b). o6k at 6y2f protein table 2. in silico result of chalcone derivative compounds and comparative ligands with 3clpro sars-cov-2 (pdb: 6lu7 and 6y2f) molecule code chalcone derivative compounds name chalcone derivative compounds structure docking score 6lu7 6y2f k1 butein ((e)-1-(2,4dihydroxyphenyl)-3-(3,4dihydroxyphenyl)prop-2en-1-one) (cid: 5281222) -82.550 -78.888 k2 helichrysetin ((e)-1-(2,4dihydroxy-6methoxyphenyl)-3-(4hydroxyphenyl)prop-2-en1-one) (cid: 6253344) -82.924 -76.892 (a) (b) adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 153 k3 isobavachalcone ((e)-1[2,4-dihydroxy-3-(3methylbut-2-enyl)phenyl]3-(4-hydroxyphenyl)prop2-en-1-one) (cid: 5281255) -90.540 -84.178 k4 broussochalcone b ((e)-1[2,4-dihydroxy-5-(3methylbut-2-enyl)phenyl]3-(4-hydroxyphenyl)prop2-en-1-one) (cid: 6450879) -95.556 -90.710 k5 3-(2,5-dimethoxyphenyl)-1(4-prop-2enoxyphenyl)prop-2-en-1one (cid: 54148406) -81.049 -81.961 k6 broussochalcone a ((e)-1[2,4-dihydroxy-5-(3methylbut-2-enyl)phenyl]3-(3,4dihydroxyphenyl)prop-2en-1-one) (cid: 6438825) -89.664 -91.026 k7 2,4-dimethoxy-4'butoxychalcone (1-(4butoxyphenyl)-3-(2,4dimethoxyphenyl)prop-2en-1-one) atau 1-(4butoxyphenyl)-3-(2,4dimethoxyphenyl)prop-2en-1-one (cid: 53822675) -83.328 -81.274 adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 154 k8 xanthohumol ((e)-1-[2,4dihydroxy-6-methoxy-3-(3methylbut-2-enyl)phenyl]3-(4-hydroxyphenyl)prop2-en-1-one) (cid: 639665) -79.858 -82.131 k9 3-[(e)-3-(2,3,4trimethoxyphenyl)prop-2enoyl]chromen-2-one (cid: 46369167) -73.184 -74.395 k10 xanthoangelol e ((e)-1-[3(2-hydroperoxy-3methylbut-3-enyl)-2hydroxy-4methoxyphenyl]-3-(4hydroxyphenyl)prop-2-en1-one) (cid: 10022050) -85.307 -89.316 k11 1-[4-(benzimidazol-1yl)phenyl]-3-(2,4dimethoxyphenyl)prop-2en-1-one (cid: 72678862) -87.285 -83.732 k12 1-(3-bromo-2-hydroxy-4,6dimethoxyphenyl)-3-(4methoxyphenyl)prop-2-en1-one (cid: 252077) -72.607 -68.627 k13 (e)-1-[4-(4methylpiperazin-1yl)phenyl]-3-(3,4,5trimethoxyphenyl)prop-2en-1-one (cid: 60195331) -90.911 -88.510 adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 155 k14 (e)-3-(2-chloroquinolin-3yl)-1-(2,3,4trichlorophenyl)prop-2-en1-one (cid: 122188343) -80.836 -78.672 k15 n-[3-[(e)-3-(3,4dihydroxyphenyl)prop-2enoyl]phenyl]-4methylbenzenesulfonamide (cid: 11611227) -88.490 -87.175 k16 n-[4-[(e)-3-(3,4dihydroxyphenyl)prop-2enoyl]phenyl]-4methylbenzenesulfonamide (cid: 11668680) -90.229 -85.378 k17 (e)-1-[4-(benzotriazol-1yl)phenyl]-3-(3,4,5trimethoxyphenyl)prop-2en-1-one (cid: 60195332) -86.202 -83.091 k18 (e)-3-(5-bromo-2methoxyphenyl)-1-(2hydroxy-6phenylmethoxyphenyl)prop -2-en-1-one (cid: 71735015) -84.678 -84.506 k19 (e)-3-[4-[2-(2aminoethylamino)-2-(7chloroquinolin-4yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579276) -95.492 -96.175 adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 156 k20 (e)-3-[4-[2-(2aminopropylamino)-2-(7chloroquinolin-4yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579279) -95.269 -98.593 k21 (e)-3-[4-[2-(3aminopropylamino)-2-(7chloroquinolin-4yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579277) -100.030 -10.647 k22 (e)-3-[4-[2-(7chloroquinolin-4-yl)-2piperazin-1ylacetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579326) -93.862 -93.702 k23 (e)-3-[4-[2-(7chloroquinolin-4-yl)-2-[3(methylamino)propylamino ]acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579323) -100.103 -102.403 k24 (e)-3-[4-[2-(4aminobutylamino)-2-(7chloroquinolin-4yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579278) -102.183 -101.988 k25 (e)-3-[4-[2-(6aminohexylamino)-2-(7chloroquinolin-4yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579280) -105.442 -106.995 adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 157 k26 (6e)-6-[[4-[(7chloroquinolin-4yl)amino]anilino]methylide ne]-4-[(e)-3-(4methoxyphenyl)-3oxoprop-1-enyl]-2methylcyclohexa-2,4-dien1-one (cid: 70693919) -104.953 -103.458 k27 (e)-3-[4-[2-[3-[3aminopropyl(methyl)amino ]propylamino]-2-(7chloroquinolin-4yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579325) -109.041 -107.380 k28 (e)-3-[4-[2-[2-[2-(2aminoethoxy)ethoxy]ethyla mino]-2-(7-chloroquinolin4-yl)acetyl]phenyl]-1-(5methylfuran-2-yl)prop-2en-1-one (cid: 86579324) -103.482 -106.604 lopinavir (comparison ligand) -108.619 -100.658 n3 (native ligand) -121.629 o6k (native ligand) -107.992 the molecular docking results showed that the docking scores for most of the chalcone-derived compounds tested in this study were higher than the docking scores for native ligands and lopinavir (table 3). k27 compound had a lower docking score than lopinavir at both 6lu7 and 6y2f receptors. this result means that k27 has the potency to act as an inhibitor in the replication process of the sars-cov-2. virus(arwansyah, ambarsari, & sumaryada, 2014). according to (fukunishi, yamashita, mashimo, & nakamura, 2018), docking score is equivalent to bondfree energy. the lower the docking score, the stronger and more stable the ligand-protein interaction (adelina, 2014; reiner et al., 2020). the interaction of compound k27 with 6lu7 and 6y2f receptors was stronger and more stable than lopinavir's interaction with these two receptors. therefore, it can be predicted that the 6lu7 and 6y2f inhibitory activity of compound k27 are better than that of lopinavir. adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 158 table 3. interaction of native ligands, comparison ligands, and chalcone-derived compounds with 6lu7 and 6y2f ligand 6lu7 6y2f hydrogen bond hydrophobic bond hydrogen bond hydrophobic bond n3 (native ligand) thr190 glu166 gln189 cys145 ser144 leu141 gly143 ala191 pro168 met49 met165 his41 thr25 o3k (native ligand) his164 gly143 glu166 phe140 his41 met165 pro168 lopinavir gly143 gln189 his41 met49 leu167 pro168 gln189 ser144 gly143 cyc145 pro168 met165 met49 his41 k27 glu166 met49 asp187 tyr54 ala191 pro168 gln192 thr190 phe140 glu166 met49 pro168 cys44 four compounds (k21, k23, k24, k25, k26, and k28) also had a lower docking score than lopinavir when interacting with the 6y2f receptor. this condition indicates that the six compounds can inhibit the viral replication process through the 6y2f receptor because their interaction with the receptor is more stable than lopinavir. the k27 compound interaction with the 6lu7's active site occurs through hydrogen bonds and hydrophobic interactions. the hydrogen bonds formed occur from the oxygen and nitrogen atoms in the k27 compound with amino acid residues glu166, met49, asp187, tyr54, and ala191. hydrogen bonding with the amino acid residue glu166 occurs when the native ligand n3 interacts with 6lu7 (choudhary et al., 2020). hydrophobic interactions between k27 and 6lu7 occur at pro168 and ala191. these are the same amino acid residues when native ligand n3 interacts with 6lu7. the interaction of compound k27 with the active site of the 6y2f receptor through hydrogen bonds occurs at the amino acid residues glu166, phe140, thr190, and gln192. the amino acid residues glu166 and phe140 form hydrogen bonds with the native ligand o6k, but the distance between the atoms is more extensive than in k27. this result shows that the hydrogen bonds formed in o6k are weaker than in k27 (remer & jensen, 2000). hydrophobic interactions also occur with the amino acid residues cys44, met49, and pro168. adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 159 figure 2. 2d interaction of native ligand (a), lopinavir (b), and k27 (c) with 6lu7 protein adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 160 figure 3. 2d interaction of native ligand (a), lopinavir (b), and k27 (c) with 6y2f protein conclusion based on the molecular docking analysis results, it can be concluded that the k27 compound has the potential to inhibit the replication process of the sarscov-2 virus through the mechanism of inhibition of the 6lu7 6y2f receptors. based on its docking score, its inhibitory activity is predicted to be better than lopinavir. the number of hydrogen bonds formed in the interaction of the k27 compound with 6lu7 is more than lopinavir-6lu7 interactions. acknowledgement the authors would like to thank the dwi puspita education foundation and lppm harapan bangsa university for funding this research. adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 161 references adelina, r. (2014). uji molecular docking annomuricin e dan muricapentocin pada aktivitas antiproliferasi. jurnal ilmu kefarmasian indonesia, 12(1), 32–36. alaaeldin, r., mustafa, m., abuo-rahma, g. e.-d. a., & fathy, m. (2021). in vitro inhibition and molecular docking of a new ciprofloxacinchalcone against sars-cov-2 main protease. fundamental & clinical pharmacology, 1–11. alam, md. b. (2020). novel coronavirus covid-19: a general overview for emergency clinicians and current scenario. asian journal of immunology, 4(1), 19–26. alsafi, m. a., hughes, d. l., & said, m. a. (2020). first covid-19 molecular docking with a chalcone-based compound: synthesis, singlecrystal structure and hirshfeld surface analysis study. acta crystallographica section c: structural chemistry, 76, 1043–1050. https://doi.org/10.1107/s2053229620014217 arwansyah, a., ambarsari, l., & sumaryada, t. i. (2014). simulasi docking senyawa kurkumin dan analognya sebagai inhibitor reseptor androgen pada kanker prostat. current biochemistry, 1(1), 11–19. https://doi.org/ 10.29244/cb.1.1.11-19 bell, e. w., & zhang, y. (2019). dockrmsd: an open-source tool for atom mapping and rmsd calculation of symmetric molecules through graph isomorphism. journal of cheminformatics, 11(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s13321-019-0362-7 chavan, b. b., gadekar, a. s., mehta, p. p., vawhal, p. k., kolsure, a. k., & chabukswar, a. r. (2016). synthesis and medicinal significance of chalconesa review. asian journal of biomedical and pharmaceutical sciences, 6(56), 01–07. cole, a. l., hossain, s., cole, a. m., & phanstiel, o. (2016). synthesis and bioevaluation of substituted chalcones, coumaranones and other flavonoids as anti-hiv agents. bioorganic and medicinal chemistry, 24(12), 2768–2776. https://doi.org/10. 1016/j.bmc.2016.04.045 fukunishi, y., yamashita, y., mashimo, t., & nakamura, h. (2018). prediction of protein−compound binding energies from known activity data: docking-score-based method and its applications. molecular informatics, 37(6), 1–12. https://doi.org/10.1002/ minf.201700120 gaspersz, n., & sohilait, m. r. (2019). penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor α-amilase pankreas manusia. indo. j. chem. res., 6(2), 59–66. https://doi.org/10. 30598//ijcr.2019.6-nel instiaty, darmayani, i. g. a. a. p. s., marzuki, j. e., angelia, f., william, siane, a., gayatri, a. (2020). antiviral treatment of covid-19: a clinical pharmacology narrative review. medical journal of indonesia, 29(3), 332–345. https://doi.org/10.13181/mji.rev.204652 jin, z., du, x., xu, y., deng, y., liu, m., zhao, y., yang, h. (2020). structure of mpro from covid19 virus and discovery of its inhibitors. nature, 582(7811), 289–293. https://doi.org/10.1038 /s41586-020-2223-y jo, s., kim, h., kim, s., shin, d. h., & kim, m. s. (2019). characteristics of flavonoids as potent mers-cov 3c-like protease inhibitors. chemical biology and drug design, 94(6), 1–8. https://doi.org/10.1111/cbdd.13604 khan, s. a., zia, k., ashraf, s., uddin, r., & ul-haq, z. (2020). identification of chymotrypsin-like protease inhibitors of sars-cov-2 via integrated computational approach. journal of biomolecular structure and dynamics, 0(0), 1–10. https://doi.org/10.1080/07391102.2020.1751298 kim, j. h., ryu, h. w., shim, j. h., park, k. h., & withers, s. g. (2009). development of new and selective trypanosoma cruzi trans-sialidase inhibitors from sulfonamide chalcones and their derivatives. chembiochem, 10(15), 2475–2479. https://doi.org/10.1002/cbic.200900108 maahury, m. f., & allo, v. l. (2021). computational calculation and molecular docking of aeroplysinin-1 as antibacterial. indonesian journal of chemical research, 9(2), 124–128. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.9-mir mahapatra, d. k., bharti, s. k., & asati, v. (2015). chalcone scaffolds as anti-infective agents: structural and molecular target perspectives. european journal of medicinal chemistry, 101, 496–524. https://doi.org/10.1016/j.ejmech.2015. 06.052 mulyati, b., & panjaitan, r. s. (2021). indonesian journal of chemical research. indonesian journal of chemical research, 9(2), 129–136. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.9-bud park, j. y., ko, j. a., kim, d. w., kim, y. m., kwon, h. j., jeong, h. j., ryu, y. b. (2016a). chalcones isolated from angelica keiskei inhibit cysteine proteases of sars-cov. journal of enzyme inhibition and medicinal chemistry, 31(1), 23– 30. https://doi.org/10.3109/14756366.2014. 1003215 adita silvia fitriana and sri royani indo. j. chem. res., 9(3), 150-162, 2022 doi: 10.30598//ijcr 162 park, j. y., ko, j. a., kim, d. w., kim, y. m., kwon, h. j., jeong, h. j., ryu, y. b. (2016b). chalcones isolated from angelica keiskei inhibit cysteine proteases of sars-cov. journal of enzyme inhibition and medicinal chemistry, 31(1), 23– 30. https://doi.org/10.3109/14756366.2014. 1003215 park, j. y., yuk, h. j., ryu, h. w., lim, s. h., kim, k. s., park, k. h., lee, w. s. (2017). evaluation of polyphenols from broussonetia papyrifera as coronavirus protease inhibitors. journal of enzyme inhibition and medicinal chemistry, 32(1), 504–512. https://doi.org/10.1080/ 14756366.2016.1265519 primana, m. h. (2015). virtual screening senyawa aktivator potensial enzim sirtuin-3 terkait kanker oral dari ensiklopedi tanaman obat indonesia dengan metode molecular docking plants. universitas muhammadiyah yogyakarta. reiner, ž., hatamipour, m., banach, m., pirro, m., alrasadi, k., jamialahmadi, t., … sahebkar, a. (2020). statins and the covid-19 main protease: in silico evidence on direct interaction. archives of medical science, 16(2), 490–496. https://doi.org/10.5114/aoms.2020.94655 remer, l. c., & jensen, j. h. (2000). toward a general theory of hydrogen bonding: the short, strong hydrogen bond [hoh⋯oh]-. journal of physical chemistry a, 104(40), 9266–9275. https://doi.org/10.1021/jp002726n sashidhara, k. v., kumar, m., modukuri, r. k., srivastava, r. k., soni, a., srivastava, k., puri, s. k. (2012). antiplasmodial activity of novel keto-enamine chalcone-chloroquine based hybrid pharmacophores. bioorganic and medicinal chemistry, 20(9), 2971–2981. https://doi.org/10. 1016/j.bmc.2012.03.011 smit, f. j., & n'da, d. d. (2014). synthesis, in vitro antimalarial activity and cytotoxicity of novel 4aminoquinolinyl-chalcone amides. bioorganic and medicinal chemistry, 22(3), 1128–1138. https://doi.org/10.1016/j.bmc.2013.12.032 troeberg, l., chen, x., flaherty, t. m., morty, r. e., cheng, m., hua, h., cohen, f. e. (2000). chalcone, acyl hydrazide, and related amides kill cultured trypanosoma brucei brucei. molecular medicine, 6(8), 660–669. https://doi.org/10.1007/ bf03402046 ullrich, s., & nitsche, c. (2020). the sars-cov-2 main protease as drug target. bioorganic & medicinal chemistry letters, 30(17), 127377. vijayakumar, b. g., ramesh, d., joji, a., jayachandra, j., & kannan, t. (2020). in silico pharmacokinetic and molecular docking studies of natural flavonoids and synthetic indole chalcones against essential proteins of sars-cov-2. european journal of pharmacology, 886, 173448. wang, q., ding, z. h., liu, j. k., & zheng, y. t. (2004). xanthohumol, a novel anti-hiv-1 agent purified from hops humulus lupulus. antiviral research, 64(3), 189–194. https://doi.org/10. 1016/j.antiviral.2004.08.005 xu, h.-x., wan, m., dong, h., but, p. p.-h., & foo, l. y. (2000). inhibitory activity of flavonoids and tannins against hiv-1 protease. biol. pharm. bull, 23(9), 1072–1076. yadav, n., dixit, s. k., bhattacharya, a., mishra, l. c., sharma, m., awasthi, s. k., & bhasin, v. k. (2012). antimalarial activity of newly synthesized chalcone derivatives in vitro. chemical biology and drug design, 80(2), 340– 347. https://doi.org/10.1111/j.1747-0285.2012. 01383.x zhang, l., lin, d., sun, x., curth, u., drosten, c., sauerhering, l., hilgenfeld, r. (2020). crystal structure of sars-cov-2 main protease provides a basis for design of improved a-ketoamide inhibitors. science, 368(6489), 409–412. https://doi.org/10.1126/science.abb3405 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(2), 124-128, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mir 124 computational calculation and molecular docking of aeroplysinin-1 as antibacterial mirella fonda maahury1* veliyana londong allo2 1department of chemistry, faculty mathematics and natural science, pattimura university 2department of chemistry, faculty mathematics and natural science, mulawarman university *corresponding author:mirellafonda31@gmail.com received: august 2021 received in revised: september 2021 accepted: september 2021 available online: september 2021 abstract aeroplysinin-1 is naturally found from marine sponges as an anti-bacterial compound. computational calculation and molecular docking were performed for aeroplysinin. aeroplysinin as an inhibitor has optimized in the gas phase using dft with 6-31g(d) functional. the structure from geometry optimization of aeroplysinin-1is, not in one plane. the interaction of aeroplysinin-1 with two different dna gyrase from e. coli and s. aureus. in this research,aeroplysinin-1 can inhibit the protein with the free binding energy of about -5.7 kcal/mol and -6.35 kcal/mol, respectively, for e. coli and s. aureus. the dominant molecular interaction is the hydrogen bond. keywords: aeroplysinin-1, dft, antibacterial, dna gyrase, e. coli, s. aureus. introduction sponges are aquatic animals that function as filters. one type of sponge that is promising for the health sector is aplysina and lanthella. both of these sponges produce a secondary metabolite known as aeroplysinin-1. aeroplysinin-1 is delivered when spongy tissue is damaged (lira et al., 2011). aeroplysinin has many health benefits. the twodimension structure of aeroplysinin-1 is shown in figure 1. figure1. structure of aeroplysinin-1 aeroplysinin-1 can act as an antiviral. aeroplysinin-1 can inhibit proteins from hiv-1 in the process of replicating its cell(gómez-archila, díaz, & rugeles, 2014). aeroplysinin-1 also can act as an antiinflammatory. aeroplysinin-1 can inhibit cyclooxygenase-2protein expression levels in endothelial cells and human monocyte cells (martínez-poveda et al., 2013). apart from being an antiviral and anti-inflammatory, aeroplysinin-1 can act as an antibacterial. aeroplysinin-1 has potency for growth inhibition against bacteria, such as staphylococcus aureus (garcía-vilas, martínezpoveda, quesada, & medina, 2016). the potency of a molecule can be known through computational calculations. muliadi, et al (2021) have performed computational calculations on myristicin derivatives and determined their properties as antioxidant compounds by qsar (muliadi, basimin, & jayali, 2021). the properties of aeroplysinin-1 can be found by computational calculation. aerolysinin-1 has been computed computationally by nieto-ortega et al. (2011) using the b3lyp functional dft theory and the cc-pvdz basis set. the explanation of this calculation is only about the conformations of this compound. the other explanation is also about the raman spectra of each conformation are. the potential of the compound in its use as pharmacology, for example, antibacterial, can be done by molecular docking. gasperzs and sohilait (2019) have carried out the mangosteen molecule's molecular docking to the alpha-amylase protein from the human pancreas. they get that mangosteen can inhibit alphaamylase from preventing diabetes(gaspersz & sohilait, 2019). in the same year, the study of quantitative structure-activity relationship (qsar) of pyrazoline analogs, designing the new potential compounds as antiamoebic and study the interactions between the new compounds and the drugs target by molecular docking approach has been published (kilo, aman, sabihi, & kilo, 2019). ho br och3 br oh ch2cn mirella f. maahury et al. indo. j. chem. res., 9(2), 124-128, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mir 125 molecular docking to find out compounds that have the potential to inhibit dna gyrase from s. aureus was done. acar et al. (2020) have performed the docking of benzamide derivatives with dna gyrase protein from s.aureus. the result was found that the synthesized benzamide derivatives were able to inhibit dna gyrase from s. aureus (acar et al., 2020a). there is no molecular docking of aeroplysinin1 as antibacterial, antiviral, or anti-inflammation. so, this research is about computational calculation using dft theory with functional b3lyp/6-31g(d) and molecular docking of the optimized structure of aeroplysinin-1 with dna gyrase frome.coli. and s.aureus. methodology the structure of aeroplysinin-1 was built in zmatrix format. the geometry was optimized using dft/b3lyp with a 6-31g(d) basis set. the optimized structure is converted from .log to .pdb format using open babel (o’boyle et al., 2011). the dna gyrase from e. coli and s.aureus structure were taken from the protein data bank website www.rscb.org (pdb id 1kzn and 3g7b) (acar et al., 2020b; priyanka, singh, ekta, & katiyar, 2017) the validation method is used, which we are redocking the original/native ligand to the active site of dna gyrase. redocking was performed using clorobiocin and gentamicin as native ligand. clorobiocin for the dna gyrase from e. coli and gentaciminfor the dna gyrase froms.aureus. when the results of the rmsd value of not more than 2 å, it indicates the redocking is done. the main parameters for docking are free binding energy (δg), ligand efficiency, constant inhibitor (ki), and hydrogen bonds formed. results and discussion the results discussed in this article are optimized geometry, atomic charge distribution, homo-lumo distribution, binding energy, and intermolecular interactions between ligand and proteins. the description of the results and discussion in this study is as follows: optimized geometry optimized geometry is obtained from geometry optimization. the main aim is to get a stable geometry of aeroplysinin-1 before doing molecular docking. the optimized geometry of aeroplysinin-1 is not in one plane (non-planar). the non-planar structure is caused by the absence of one double bond from the missing benzene ring. the loss of one double bond in the benzene ring is due to four substituents that bind one of the carbon atoms that have a double bond. the optimized geometry of aeroplysinin-1 is shown in figure 2. figure 2. optimized geometry of aeroplysinin-1, front look (a) and side look (b) (a) (b) (c) mirella f. maahury et al. indo. j. chem. res., 9(2), 124-128, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mir 126 atomic charge distribution based on the molecular property that needs to be discussed is the distribution of atomic charge. it is necessary to know the atomic charge distribution in the molecule. the charge distribution explains the intermolecular interactions formed between the ligands and the protein at the molecular docking. atomic charge distribution of aeroplysinin-1 can be seen in table 1. atomic charge distribution of aeroplysinin-1 molecule atomic charge n10 br11 o12 c13 br14 o15 aeroplysinin-1 -0.475 -0.086 -0.496 -0.219 -0.097 -0.626 figure 3. homo distribution(a) and lumo distribution in aeropysinin-1 table 2. data from molecular docking of aeroplysinin-1 protein binding affinity ligan efficiency inhibitor constant 1kzn native -9.00 kcal/mol -0.18 252.69 nm 1kzn – aeroplysinin-1 -5.7kcal/mol -0.38 66.89 um 3g7b native -8.50 kcal/mol -0.29 590.30 nm 3g7b – aeroplysinin-1 -6.35kcal/mol -0.42 22.09 um figure 4. intermolecular interaction between aerolysinin-1 with dna gyrase from (a) e.coli (a) and (b) s. aureus mirella f. maahury et al. indo. j. chem. res., 9(2), 124-128, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mir 127 table 1. based on table 1, there is something odd where bromide has a positive charge, while bromide has a large electronegativity. still, when it bonds with other electronegative atoms, the negative charge becomes a positive charge. homo-lumo distribution view from homo and lumo show how the distribution of molecular orbitals for the molecule. homo-lumo distribution also can show how easy is the process of transferring electrons(maahury, male, & martoprawiro, 2020). homo-lumo distribution of aeroplysinin-1 is shown in figure 3. based on figure 3, homo and lumo of aeroplysinin-1 overlap each other. there is no homo or lumo in the cn substituent. binding energy molecular docking of aeroplysinin-1 to protein dna gyrase of e.coli and s.aureus obtain one type of molecular interaction. the molecular interaction happens between aeroplysinin-1 and amino acid residue in 1kzn and 3g7b. the binding energy has been obtained from analysis. this analysis using the method of comparing root mean square distances (rmsd). the rmsd values compare to ligand native (clorobiocin and gentamicin). the data from molecular docking are shown in table 2. based on table 2, the bond affinity between aeroplysinin-1 to 1kzn and 3g7b show lower energy than the natives. on the other side, the ligan efficiency of aeroplysinin-1 is higher than the natives. even though the binding energy value (bond affinity) is lower, it has a better efficiency in bonding. so, aeroplysinin-1 can inhibit the protein. intermolecular interactions with amino acid residues the intermolecular interactions of ligan and protein can be analyzed when studying molecular docking. the intermolecular interaction between aeroplysinin-1and dna gyrase from bacteria is dominated by a hydrogen bond. interaction distance obtained from the interaction between ligand and amino acid in the active site has a bond length below 3 å. the intermolecular interactions between aeroplysinin-1 with amino acid residues in dna gyrase from e.coli and s.aureus can be seen in figure 4. interaction between aeroplysinin-1 with 1kzn shows three kinds of interaction: hydrogen bond, van der waals interaction, and alkyl interaction. hydrogen bond formed between aeroplysinin-1 and 1kzn (e.coli dna gyrase) occur with asn46 (1.85 å and 2.07 å). there are two atoms (h and o) from aeroplysinin-1 that interact with asn46. the other interactions are van der waals interaction and alkyl interaction. the van der waals interaction occurs between cn with asn46 (2.99 å); oh with asp73 (5.47 å). the alkyl interaction occurs between br with pro79 (5.08 å) and ile78 (4.73 å). interaction between aeroplysinin-1 with 3g7b shows three kinds of interaction too: hydrogen bond, van der waals interaction, and alkyl interaction hydrogen bond formed between aeroplysinin-1 and 3g7b (s.aureus dna gyrase) happen with ser55 (1.72 å) and asp81 (2.11 å). there are four hydrogen bonds based on color, but two have a distance of more than 2 å. so, there are only two hydrogen bonds. conclusion based on computational calculations of aeroplysinin-1, the structure of aeroplysinin-1is not planar. this nonplanar is caused by many substituents bond to the benzene ring. the result of molecular docking shows that aeroplysinin-1 can inhibit the dna gyrase of e.coliand s. aureus. the molecular interactions that occur are hydrogen bond, van der waals interaction, and alkyl interaction. acknowledgment the authors would like to thank mr. muhamad martoprawiro for providing the opportunity to calculate molecular optimization using software in his server. references acar, c., yalçın, g., ertan-bolelli, t., kaynak onurdağ, f., ökten, s., şener, f., & yıldız, i̇. (2020a). synthesis and molecular docking studies of some novel antimicrobial benzamides. bioorganic chemistry, 94, 103368. https://doi.org/10.1016/j.bioorg.2019.103368 acar, c., yalçın, g., ertan-bolelli, t., kaynak onurdağ, f., ökten, s., şener, f., & yıldız, i̇. (2020b). synthesis and molecular docking studies of some novel antimicrobial benzamides. bioorganic chemistry, 94, 103368. https://doi.org/10.1016/j.bioorg.2019.103368 garcía-vilas, j. a., martínez-poveda, b., quesada, a. r., & medina, m. á. (2016). aeroplysinin-1, a sponge-derived multi-targeted bioactive marine drug. marine drugs, 14(1), 1. https://doi.org/10.3390/md14010001 mirella f. maahury et al. indo. j. chem. res., 9(2), 124-128, 2021 doi: 10.30598//ijcr.2021.9-mir 128 gaspersz, n., & sohilait, m. r. (2019). penambatan molekuler α, β, dan γ-mangostin sebagai inhibitor α-amilase pankreas manusia. indonesian journal of chemical research, 6(2), 59–66. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.6-nel kilo, a. l., aman, l. o., sabihi, i., & kilo, j. l. (2019). studi potensi pirazolin tersubstitusi 1-n dari thiosemicarbazone sebagai agen antiamuba melalui uji in silico. indonesian journal of chemical research, 7(1), 9–24. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.7-akr lira, n. s., montes, r. c., tavares, j. f., da silva, m. s., da cunha, e. v. l., de athayde-filho, p. f., barbosa-filho, j. m. (2011). brominated compounds from marine sponges of the genus aplysina and a compilation of their 13c nmr spectral data. marine drugs, 9(11), 2316–2368. https://doi.org/10.3390/md9112316 martínez-poveda, b., garcía-vilas, j. a., cárdenas, c., melgarejo, e., quesada, a. r., & medina, m. a. (2013). the brominated compound aeroplysinin-1 inhibits proliferation and the expression of key proinflammatory molecules in human endothelial and monocyte cells. plos one, 8(1), e55203. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0055203 muliadi, m., basimin, m. q., & jayali, a. m. (2021). density functional theory for qsar antioxidant compound myristicin derivatives. indonesian journal of chemical research, 9(1), 49–56. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.9-mul nieto-ortega, b., casado, j., blanch, e. w., lópez navarrete, j. t., quesada, a. r., & ramírez, f. j. (2011). raman optical activity spectra and conformational elucidation of chiral drugs. the case of the antiangiogenic aeroplysinin-1. the journal of physical chemistry a, 115(13), 2752– 2755. https://doi.org/10.1021/jp2009397 o’boyle, n. m., banck, m., james, c. a., morley, c., vandermeersch, t., & hutchison, g. r. (2011). open babel: an open chemical toolbox. journal of cheminformatics, 3, 33. https://doi.org/ 10.1186/1758-2946-3-33 priyanka, singh, v., ekta, & katiyar, d. (2017). synthesis, antimicrobial, cytotoxic and e. coli dna gyrase inhibitory activities of coumarinyl amino alcohols. bioorganic chemistry, 71, 120– 127. https://doi.org/10.1016/j.bioorg.2017.01.019 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 163 emulsion polymers of carboxymethyl cellulose and methyl methacrylate with sodium dodecyl sulfate surfactants as soil stabilizer akhmad zainal abidin*, r. b. emil trisatya nuriman, narendra afian pradipto, ridwan p. putra department of chemical engineering, faculty of industrial technology, institut teknologi bandung, jalan ganesha 10, bandung, 40132, indonesia *corresponding author: zainal@che. itb. ac. id received: september 2021 received in revised: october 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract polymer-based materials have gained considerable attention in the road construction sector due to their ability to improve the mechanical strength and durability of soil. in this study, carboxymethyl cellulose-methyl methacrylate (cmc-mma) emulsion polymers were prepared from different mma to cmc mass ratios with sodium dodecyl sulfate surfactant. the synthesized materials were homogeneously mixed with laterite soil, and their unconfined compressive strengths were measured using dry and wet methods on a universal testing machine. the results indicated that the polymers were obtained in high yields with optimum solids content. characterization using fourier transform infrared confirmed the homopolymerization probability of monomers in the materials with increased mma fractions. in addition, the viscosity of the graftcopolymers measured at room temperature was in the range of 1.2-3.2 cp. the polymerstabilized soils exhibited maximum unconfined compressive strengths of 564 and 162 psi, respectively, obtained from the dry and wet methods. in general, the rise of mma fraction in the treated soils enhanced the compressive strength of the soil, with a slight increase in soil ph. this study unfolds the potential of cellulose-based materials that can be implemented in soil reinforcement technology. keywords: carboxymethyl cellulose, copolymerization, methyl methacrylate, soil stabilization, unconfined compressive strength introduction urban roads serve as a major part of the city transportation system that their construction and improvement are vital for the advancement of urban development and human well-being (wen, gui, zhang, & hui, 2020). many road-building materials and energy are required during the construction of roads and highways (diez et al., 2016). adequate planning and design strategies are necessary for the long term sustainability (kuenzel, mueller, teizer, & blickle, 2015). in addition, some maintenance and rehabilitation efforts are also needed to ensure the durability and functionality of the infrastructures (x. zhang & gao, 2012). soil stabilization employing a stabilizing material offers a scalable and straightforward approach to constructing roads without asphalt coverings. this method is considered low-cost with fewer unfavorable effects compared to the paving technique (jin, tan, liu, zheng, & zhang, 2019). the soil is stabilized to enhance its mechanical strength and durability, and prevent erosion and dust formation (naeini, naderinia, & izadi, 2012). the improved soil properties are due to the interaction of the stabilizing material with soil voids. the material fills the interparticle spaces and forms interconnection bridges within the soil, making this technique promising in soil reinforcement technology (liu et al., 2019). in recent years, polymer materials have been studied as soil stabilizing agents to improve the unconfined compressive strength and bearing capacity of soils (huang, kogbara, hariharan, masad, & little, 2021). kolay, dhakal, kumar, & puri, (2016) investigated the effect of liquid acrylic polymer to stabilize fine-grained soils. the study shows that the unconfined compressive strength of soil prepared at optimum moisture content increases from 30 to 75% in an open-air environment. soil reinforcement using sodium carboxymethyl cellulose also indicates enhanced compressive strength, tensile strength, and young’s modulus of the amended soils (ma & ma, 2019). the water-retaining property, anti-erosion resistance, strength, and durability of soils are also improved with the increase of vinyl acetate polymer fraction in the soil (song et al., 2019). the results akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 164 encouraged us to synthesize other functional polymers that are potential to be implemented in the road construction sector. in this work, carboxymethyl cellulose (cmc) and methyl methacrylate (mma) were used to prepare cmc-mma emulsion polymers. cellulose-based material was opted as a scaffold backbone of the polymers due to its wide range of applications (umaningrum et al., 2021, souhoka & latupeirissa, 2018, ningsih, ariyani, & sunardi, 2019). sodium dodecyl sulfate (sds) was employed as a surfactant. the graft-copolymerization process was carried out with different mma to cmc mass ratios. fourier transforms infrared (ftir) spectroscopy was employed to confirm the cmc-mma synthesis. the synthesized cmc-mma emulsion polymers were used to stabilize laterite soil, and the polymerstabilized soils were measured for their unconfined compressive strengths. this study is the first to report the grafting of cmc-mma copolymers with sds surfactant as a potential soil stabilizing agent. methodology materials and instruments carboxymethyl cellulose (cmc, c8h16nao8), sodium dodecyl sulfate (sds, ch3(ch2)11so4na), methyl methacrylate (mma, c5h8o2), and potassium persulfate (kps, k2o8s2) were used as received without further purification. laterite soil was obtained from sukabumi, west java, indonesia. distilled water was used throughout the experiments. ftir spectra were acquired on an irprestige-21 shimadzu. an ostwald viscometer was used to measure the viscosity of emulsion polymers. the unconfined compressive strength of soil was tested on a universal testing machine. synthesis of emulsion polymers mma and cmc with a mass ratio of 4.44, 6.67, 8.89, 11.11, and 13.33, respectively, were mixed in a four-neck flask equipped with a stirrer, a condenser, and a thermometer. afterwards, distilled water was added by adjusting the maximum monomer concentration to 40% (w/w). sds was subsequently poured into the mixture by controlling the cmc to sds mass ratio to 10:1. here, sds acted as the surfactant. the mixture was heated to reach a temperature of 70 °c. kps was introduced to the mixture dropwise as a chemical initiator until a kps to sds mass ratio of 0.56 was attained. the reaction was then allowed to proceed for 4 h until an emulsion was formed. solids content analysis as much as 1 g of the synthesized emulsion polymer was poured into an evaporating dish. the dish was heated up at 105 °c until a constant weight was reached, indicating the removal of the solvent in the polymer. the dried polymer was weighed, and the experimental solids content, scexp, was calculated using equation (1). scexp(%) = weightdried polymer weightemulsion × 100% (1) the yield obtained in this study was determined from the ratio of scexp to theoretical solids content, sctheo, as justified in equation (2). yield (%) = scexp sctheo × 100% (2) characterization of emulsion polymers the viscosity of the emulsion polymers was measured at room temperature with distilled water as the reference. the infrared spectra were recorded over the range of 500-4500 cm-1. unconfined compressive strength tests the compression test was implemented according to astm standard c873 for concrete materials. the unconfined compressive strength was defined as the maximum load that a sample could withstand before it collapsed. prior to the measurements, the assynthesized emulsion polymers were homogeneously mixed with the soil to give a 4% (w/w) of polymer content in the mixture (astm standard d698-07). the mixtures were shaped into cylindrical specimens. the molded soil samples were allowed to dry at room temperature for seven days. the unconfined compressive strength (σ) was obtained from the ratio of the maximum load (p) to the cross-sectional area of sample (a), as stated in equation (3). σ = 𝑃 𝐴 (3) two methods were used to measure the unconfined compressive strength of the polymerstabilized soils: the dry method and the wet method. the prepared specimens were directly measured for their unconfined compressive strength in the dry method. the wet method required the immersion of the specimens in water for 3 minutes followed by curing for 5 minutes before measuring the unconfined compressive strength of the soil (zandieh & yasrobi, 2010). akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 165 soil ph measurements the soil ph stabilized with the emulsion polymers was measured using a digital ph meter according to astm standard d4972. the ph meter was calibrated using a reference solution prior to the measurements. results and discussion solids content in emulsion polymers the solids content in all emulsion polymers synthesized with different mma to cmc mass ratios is shown in figure 1. the results indicated that the rise of mma fraction in the mixture tended to increase the solids content in the emulsion polymer. the increase of mma is likely to induce the formation of chemical bonds between the monomers, resulting in the high solids content in the products (han, shao, wang, guo, & liu, 2010). the experimental solids content was close to the theoretical values, suggesting that almost all monomers were crosslinked during the reaction. figure 1. solids content in the emulsion polymers prepared from different mma: cmc mass ratios. the experimental and theoretical solids content were used to estimate the yield of the products, as summarized in table 1. the results showed that nearly all yields obtained from different mma to cmc ratios are higher than 90%. a slightly lower yield of 88.85% was observed in the product with an mma to cmc ratio of 13.33. this was expected due to the homopolymerization of mma monomers in the solution with a high mma to cmc mass ratio. according to a study was conducted by sadeghi, ghasemi, & soliemani, (2012) on graft copolymerization of methacrylamide monomer onto cmc, the homopolymerization probability of methacrylamide increases at high methacrylamide values, resulting in the decrease of graft efficiency. the increase in the viscosity of the mixture with high monomer concentration, which inhibits free radical movement, is also responsible for the less efficient initiation during graft copolymerization (badwaik et al., 2016). the probability of chain transfer to monomer molecules in the excess monomer concentration also reduces graft copolymerization products (mukherjee et al., 2017). table 1. yields of emulsion polymers prepared from different mma: cmc mass ratios. mma: cmc yield (%) 4. 44 99. 07 6. 67 96. 35 8. 89 90. 75 11. 11 99. 05 13. 33 88. 85 fourier transform infrared spectra the ftir spectra of the emulsion polymer prepared with an mma to cmc mass ratio of 13.33 are depicted in figure 2. a broad peak observed around 3338-3400 cm-1 was assigned to the ‒oh stretching vibration of cmc (bao, ma, & li, 2011). the peak detected around 2953-2999 cm-1 was characteristic of the vibration elongation of the methylene groups (khiari, mhenni, belgacem, & mauret, 2011). a relatively low peak noticed at 2053 cm-1 was expected due to the interaction of negatively charged sulfonate functional group of sds, which acted as a surfactant, with the negatively charged graft copolymers that interacted through hydrophobic interactions (ogunlusi, ige, & owoyomi, 2014). figure 2. ftir spectra of emulsion polymer prepared with an mma to cmc mass ratio of 13.33 akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 166 the peak observed at 1730 cm-1 corresponded to the carbonyl (c=o) stretching in mma (hill et al., 2019). in comparison to the ftir spectra of pure mma, the carbonyl band of our graft polymer was slightly shifted. this was likely due to the polymerization reaction of c=c bonds, resulting in the reduced stretching energy of the c=o bond. the c=c bond in mma was still identified at 1638 cm-1, indicating the presence of unreacted mma monomers and homopolymerization products of mma (dzulkurnain, hanifah, ahmad, & mohamed, 2015). the 1153 cm-1 band was associated with the ether bonds in cmc (fekete, borsa, takács, & wojnárovits, 2016). it can be seen that a shoulder peak was present at 1193 cm-1. the shoulder was assigned to the ether bond formed during the graft-copolymerization of cmc-mma monomers. viscosity of emulsion polymers figure 3 plots the relationship between the viscosity of the emulsion polymers and the mass ratio of mma to cmc used to prepare the emulsion polymers. the graph shows that the emulsion polymer prepared with a higher mma to cmc ratio tended to produce emulsion polymers with higher viscosity. the viscosity increase was likely due to the rise of the solids content in the emulsion polymer as a result of more mma monomers reacting to cmc monomers. (figure 1). in another study on starch nanoparticles emulsion polymer latexes, the increase of solids content from 40 to 50% causes the rise of emulsion viscosity from 6588 to 169-340 mpa∙s (y. zhang, cunningham, smeets, & dube, 2019). dastjerdi, cranston, & dubé, (2017) studied the synthesis of poly(n-butyl acrylate/methyl methacrylate)/cnc latexes. the results indicate that the increase of cnc loading is likely to increase the viscosity of the nanocomposite latexes. this is expected due to a thickening effect from intermolecular interactions between the hydroxyl groups on the cnc surface and carbonyl groups of the acrylic polymer. the employment of kps as a chemical initiator also contributes to the increased ionic strength and reduce the thickness of the electrical double layer covering the surface of the polymer. a significant increase in the mixture viscosity is also noticed at the initial stages of polymerization (yang et al., 2012). in this study, the viscosity of the cmc-mma emulsion polymers prepared with different mma to cmc mass ratios was in the range of 1.23 to 3.16 cp (figure 3). although the viscosity of cmc is high (450 cp at 25 °c for 2% cmc solution), the measured viscosity of our emulsion polymers is significantly lower (salama, etri, mohamed, & el-sakhawy, 2018). this was due to the fact that higher mma fractions contributed to the reduced viscosity of emulsion polymers. from the literature, pure mma has a viscosity of 0. 554 cp at 25 °c (fan, zhou, sun, & zhang, 2009). figure 3. viscosity of emulsion polymers at room temperature prepared with different mma: cmc mass ratios. unconfined compressive strength of polymerstabilized soil the soil was stabilized with cmc-mma emulsion polymers in order to improve the unconfined compressive strength of the soil. the unconfined compressive strengths of the polymer-stabilized soils were measured using dry and wet methods. the relationship between the unconfined compressive strengths of the polymer-stabilized soils and the mma to cmc mass ratio used to prepare the emulsion polymers measured using the dry method is depicted in figure 4. the results were compared with the unconfined soil compressive strength without adding polymers. from the results, the untreated laterite soil showed an unconfined compressive strength of 349 psi (2.41 mpa) measured using the dry method. the soil stabilized with cmc-mma emulsion polymer showed enhanced unconfined compressive strength. this was expected due to the adsorption of polymer emulsion, which binds the soil particles, thus strengthening the interparticle contacts. the soil strengthening mechanism using the materials is illustrated in figure 5. our emulsion polymers are categorized as anionic polymers that can induce the formation of van der waals forces and hydrogen bonds with negatively charged soil particles (lei, lou, li, jiang, & tu, 2020). compared to the electrostatic interactions, these interactions are relatively weaker. in our study, the anionic polymers are stabilized with the negatively 4 6 8 10 12 14 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 v is co si ty ( cp ) mma : cmc ratio akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 167 charged sds surfactant through hydrophobic interactions with the alkyl chains (laguerre et al., 2015). the positively charged sodium ions in the sds surfactant acted as a bridge between the anionic cmcmma polymers and negatively charged soil particles. in another study conducted by hataf, ghadir, & ranjbar, (2018) on soil stabilization using chitosan biopolymer, incorporating chitosan into clay soil improves the cohesion between the particles enhances the mechanical properties of the media. a similar finding was also reported by (liu et al., 2017) on the effect of mixed polyurethane organic polymer and polypropylene fiber stabilization on the compressive strength of sand. the study reveals that polyurethane can improve the structural stability of sand with the best composition attained using 4% polymer and 0.20.3% fiber. the sand and fiber are tightly bound by the polymer membrane, which enhances the cohesion and strength of the sand. figure 4. unconfined compressive strengths of soils stabilized with emulsion polymer prepared with different mma: cmc mass ratios measured using the dry method. our study showed that the unconfined compressive strength of polymer-stabilized soil was likely to increase with the rise of mma fraction in the polymer. the increase of solids content in the emulsion polymer with high mma monomers was responsible for the improved unconfined compressive strength. only the soil stabilized with emulsion polymer prepared with mma to cmc mass ratio of 4.44 exhibited lower unconfined compressive strength than the untreated soil. this phenomenon was associated with the high moisture content in the emulsion polymer, which can break the bonds between adjacent chains of the polymer, resulting in the reduced mechanical strength of the soil (kosmela et al., 2019). the soil stabilized with cmc-mma emulsion polymers was measured for its unconfined compressive strength using the dry and wet methods. figure 5. scheme of soil strengthening mechanism using cmc-mma polymer emulsions. figure 6. comparison of unconfined compressive strength of soil stabilized cmc-mma emulsion polymer measured using dry and wet methods. the comparison of unconfined compressive strength of soil stabilized cmc-mma emulsion polymer measured using dry and wet methods is presented in figure 6. the results indicated that the immersion of the soil samples in water for 3 minutes could significantly reduce the unconfined compressive strength of the soil. this shows that our material has lower durability under wet conditions. water is likely to deteriorate the structure of the specimen and reduce the load-bearing capacity of the treated samples (zandieh & yasrobi, 2010). ph of polymer-stabilized soil the ph of the soil stabilized cmc-mma emulsion polymer, and the untreated soil is shown in figure 7. the results indicated that the ph of the soil was not greatly affected by the addition of a cmc4 6 8 10 12 300 350 400 450 500 550 600 dry method c o m p re s s iv e s tr e n g th ( p s i) mma : cmc ratio polymer-stabilized soil untreated soil 0 100 200 300 400 500 600 polymer-stabilized soil mma:cmc 13.33 c o m p re s s iv e s tr e n g th ( p s i) dry method wet method untreated soil akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 168 mma emulsion polymer. a slight increase in ph of the soil treated with the cmc-mma emulsion polymer was due to the more basic nature of the polymer than the laterite soil. soil stabilization employing the cmcmma emulsion polymer was not likely to change the acidity of the soil and thus would not cause any harm to the environment (mishra, bhatia, & s nair, 2021). figure 7. comparison of ph of untreated soil vs. soil stabilized with mma:cmc 13.33 emulsion polymer. conclusion in summary, cmc-mma emulsion polymers were synthesized using different mma to cmc mass ratios with sds as the surfactant. the solids content in the prepared emulsion polymers were in the range of 5.52-17.02%. all variations produced high polymer yields (above 88.85%). characterization of the polymers using ftir spectroscopy indicated that the graft copolymerization was accomplished, with the tendency to undergo homopolymerization reactions with increased mma fractions in the reactant. the viscosity of the emulsion polymers measured at room temperature was in the range of 1.2-3.2 cp. unconfined compressive strength measurements of the polymerstabilized soils showed a maximum compressive strength of 564 and 162 psi, respectively, obtained from the dry and wet methods. besides, the rise of mma fraction in the emulsion polymers tended to increase the compressive strength of the soil. a slight increase in soil ph was also noticed, indicating the basic nature of the materials. the graft cmc-mma copolymers may find potential applications in the road construction industry that can replace asphalt pavements in the long run. acknowledgment the authors thank institut teknologi bandung (itb) for financial support. r.b.e.t.n and n.a.p. would like to thank the analytical chemistry laboratory and soil mechanics laboratory at itb for their help with polymer characterization and soil compressive test measurements. references badwaik, h. r., sakure, k., alexander, a., ajazuddin, null, dhongade, h., & tripathi, d. k. (2016). synthesis and characterization of poly (acryalamide) grafted carboxymethyl xanthan gum copolymer. international journal of biological macromolecules, 85, 361–369. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2016.01.014 bao, y., ma, j., & li, n. (2011). synthesis and swelling behaviors of sodium carboxymethyl cellulose-g-poly(aa-co-am-co-amps)/mmt superabsorbent hydrogel. carbohydrate polymers, 84(1), 76–82. https://doi.org/10.1016/j. carbpol.2010.10.061 dastjerdi, z., cranston, e. d., & dubé, m. a. (2017). synthesis of poly(n-butyl acrylate/methyl methacrylate)/cnc latex nanocomposites via in situ emulsion polymerization. macromolecular reaction engineering, 11(6), 1700013. https://doi.org/10.1002/mren.201700013 diez, j., castro-fresno, d., barrasa, r., hubrich, c., gáspár, l., & azpeitia, m. (2016). towards a more durable and resilient road pavement. 6th eurasphalt & eurobitume congress. https://doi.org/10.14311/ee.2016.424 dzulkurnain, a., hanifah, s., ahmad, a., & mohamed, n. s. (2015). characterization of random methacrylate copolymers synthesized using free-radical bulk polymerization method. international journal of electrochemical science, 10, 84–92. fan, w., zhou, q., sun, j., & zhang, s. (2009). density, excess molar volume, and viscosity for the methyl methacrylate+1-butyl-3methylimidazolium hexafluorophosphate ionic liquid binary system at atmospheric pressure. journal of chemical & engineering data, 54(8), 2307–2311. https://doi.org/10.1021/je900091b fekete, t., borsa, j., takács, e., & wojnárovits, l. (2016). synthesis of carboxymethyl cellulose/acrylic acid hydrogels with superabsorbent properties by radiation-initiated crosslinking. radiation physics and chemistry, c(124), 135–139. https://doi.org/10. 1016/j.radphyschem.2015.09.018 han, f. q., shao, b., wang, q. w., guo, c. g., & liu, y. x. (2010). synthesis and characterization of 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 polymer-stabilized soil mma:cmc 13.33 untreated soil 5.57 p h 5.48 akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 169 carboxymethylcellulose and methyl methacrylate graft copolymers. pigment & resin technology, 39(3), 156–162. https://doi.org/10.1108/0369 9421011040785 hataf, n., ghadir, p., & ranjbar, n. (2018). investigation of soil stabilization using chitosan biopolymer. journal of cleaner production, 170, 1493–1500. hill, g. t., lee, d. t., williams, p. s., needham, c. d., dandley, e. c., oldham, c. j., & parsons, g. n. (2019). insight on the sequential vapor infiltration mechanisms of trimethylaluminum with poly (methyl methacrylate), poly(vinylpyrrolidone), and poly(acrylic acid). the journal of physical chemistry c, 123(26), 16146–16152. https://doi.org/10.1021/acs. jpcc.9b02153 huang, j., kogbara, r. b., hariharan, n., masad, e. a., & little, d. n. (2021). a state-of-the-art review of polymers used in soil stabilization. construction and building materials, 305, 124685. https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat. 2021.124685 jin, j., tan, y., liu, r., zheng, j., & zhang, j. (2019). synergy effect of attapulgite, rubber, and diatomite on organic montmorillonite-modified asphalt. journal of materials in civil engineering, 31. https://doi.org/10.1061/ (asce)mt.1943-5533.0002 601 khiari, r., mhenni, m. f., belgacem, m. n., & mauret, e. (2011). valorisation of vegetal wastes as a source of cellulose and cellulose derivatives. journal of polymers and the environment, 19(1), 80–89. kolay, p. k., dhakal, b., kumar, s., & puri, v. k. (2016). effect of liquid acrylic polymer on geotechnical properties of fine-grained soils. international journal of geosynthetics and ground engineering, 2(4), 29. https://doi.org/10.1007/s40891-016-0071-5 kosmela, p., gosz, k., kazimierski, p., hejna, a., haponiuk, j. t., & piszczyk, ł. (2019). chemical structures, rheological and physical properties of biopolyols prepared via solvothermal liquefaction of enteromorpha and zostera marina biomass. cellulose, 26(10), 5893–5912. https://doi.org/10. 1007/s10570-019-02540-8 kuenzel, r., mueller, m., teizer, j., & blickle, a. (2015). smartsite: intelligent and autonomous environments, machinery, and processes to realize smart road construction projects. isarc proceedings, 1–9. laguerre, m., bayrasy, c., panya, a., weiss, j., mcclements, d. j., lecomte, j., … villeneuve, p. (2015). what makes good antioxidants in lipidbased systems? the next theories beyond the polar paradox. critical reviews in food science and nutrition, 55(2), 183–201. https://doi.org/10.1080 /10408398.2011.650335 lei, h., lou, j., li, x., jiang, m., & tu, c. (2020). stabilization effect of anionic polyacrylamide on marine clay treated with lime. international journal of geomechanics, 20(6), 04020050. https://doi.org/10.1061/(asce)gm.1943-5622.0 001680 liu, j., feng, q., wang, y., bai, y., wei, j., & song, z. (2017). the effect of polymer-fiber stabilization on the unconfined compressive strength and shear strength of sand. advances in materials science and engineering, 2017, e2370763. https://doi.org/10.1155/2017/2370763 liu, j., wang, y., kanungo, d. p., wei, j., bai, y., li, d., … lu, y. (2019). study on the brittleness characteristics of sand reinforced with polypropylene fiber and polyurethane organic polymer. fibers and polymers, 20(3), 620–632. https://doi.org/10.1007/s12221-019-8779-1 ma, h., & ma, q. (2019). experimental studies on the mechanical properties of loess stabilized with sodium carboxymethyl cellulose. advances in materials science and engineering. https://doi.org/10.1155/2019/9375685 mishra, v. p., bhatia, s., & s nair, r. (2021). nutrient analysis of soil samples treated with agrochemicals. 2021 international conferences on computational intelligence and knowledge economy (iccike). presented at the uae. uae. https://doi.org/10.1109/iccike51210.2021.9410 729 mukherjee, a., halder, s., datta, d., anupam, k., hazra, b., kanti mandal, m., & halder, g. (2017). free radical-induced grafting of acrylonitrile on pre-treated rice straw for enhancing its durability and flame retardancy. journal of advanced research, 8(1), 73–83. https://doi.org/10.1016 /j.jare.2016.12.003 naeini, s. a., naderinia, b., & izadi, e. (2012). unconfined compressive strength of clayey soils stabilized with a waterborne polymer. ksce journal of civil engineering, 6(16), 943–949. https://doi.org/10.1007/s12205-012-1388-9 ningsih, e. p., ariyani, d., & sunardi, s. (2019). pengaruh penambahan carboxymethyl cellulose terhadap karakteristik bioplastik dari pati ubi nagara (ipomoea batatas l.). indonesian journal akhmad zainal abidin, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 163-170, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 170 of chemical research, 7(1), 77–85. https://doi.org/10.30598//ijcr.2019.7-sun ogunlusi, g. o., ige, j., & owoyomi, o. (2014). thermodynamic and ftir studies of the interactions between sodium dodecyl sulfate and strong acids–atypical conductivity pattern. physics and chemistry of liquids, 52(3), 388– 399. https://doi.org/10.1080/00319104.2013.842 473 sadeghi, m., ghasemi, n., & soliemani, f. (2012). graft copolymerization methacrylamide monomer onto carboxymethyl cellulose in homogeneous solution and optimization of effective parameters. undefined, 16(1), 119–125. salama, a., etri, s., mohamed, s. a. a., & elsakhawy, m. (2018). carboxymethyl cellulose prepared from mesquite tree: new source for promising nanocomposite materials. carbohydrate polymers, 189, 138–144. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2018.02.016 song, z., liu, j., bai, y., wei, j., li, d., wang, q., … qian, w. (2019). laboratory and field experiments on the effect of vinyl acetate polymer-reinforced soil. applied sciences, 9(1), 208. https://doi.org/10.3390/app9010208 souhoka, f. a., & latupeirissa, j. (2018). sintesis dan karakterisasi selulosa asetat (ca). indonesian journal of chemical research, 5(2), 58–62. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.5-fen umaningrum, d., astuti, m. d., nurmasari, r., hasanuddin, h., mulyasuryani, a., & mardiana, d. (2021). variation of iodine mass and acetylation time on cellulose acetate synthesis from rice straw. indonesian journal of chemical research, 8(3), 228–233. https://doi.org/10.30598//ijcr.2021.7-dew wen, h., gui, z., zhang, l., & hui, e. c. m. (2020). an empirical study of the impact of vehicular traffic and floor level on property price. habitat international, 97(102132). https://doi.org/10. 1016/j.habitatint.2020.102132 yang, j., han, c.-r., duan, j.-f., ma, m.-g., zhang, x.-m., xu, f., … xie, x.-m. (2012). studies on the properties and formation mechanism of flexible nanocomposite hydrogels from cellulose nanocrystals and poly(acrylic acid). journal of materials chemistry, 22(42), 22467–22480. https://doi.org/10.1039/c2jm35498e zandieh, a., & yasrobi, s. (2010). study of factors affecting the compressive strength of sandy soil stabilized with polymer. geotechnical and geological engineering, 28, 139–145. https://doi.org/10.1007/s10706-009-9287-7 zhang, x., & gao, h. (2012). road maintenance optimization through a discrete-time semimarkov decision process. reliability engineering & system safety, 103, 110–119. https://doi.org/10.1016/j.ress.2012.03.011 zhang, y., cunningham, m. f., smeets, n. m. b., & dube, m. a. (2019). increasing starch nanoparticle content in emulsion polymer latexes. industrial & engineering chemistry research, 58(46), 20987–20995. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 137 morphological observation, identification and isolation of tropical marine microalgae from ambon bay, maluku ivonne telussa1*, nikmans hattu1, arielno sahalessy2) 1departement chemistry, faculty of mathematics and natural science, pattimura university, jl. ir m putuhena, kampus unpatti poka ambon, indonesia 2department of marine resource and small islands management, faculty of fisheries, universitas pattimura, jl. ir m putuhena, kampus unpatti poka ambon, indonesia *corresponding author: ivon_telussa@ymail.com received: july 2021 received in revised: august 2021 accepted: november 2021 available online: november 2021 abstract microalgae are photosynthetic microorganisms that are widely distributed in waters. they have the potential as an alternative source of pigments, lipids, proteins, and carbohydrates. in this study, identification and isolation of single-cell microalgae from ambon bay were carried out by serial dilution method and inoculation of the culture by appearance/spread on the surface of the solidified agar medium. the results showed that the waters of ambon bay have physical parameters such as temperature, ph, salinity, and tds, which are still within the threshold specified in the seawater quality standard for biota. the water conditions at the 10 sampling locations had different salinity, ph, temperature, and tds. this condition affects the distribution of microalgae in the waters in ambon bay. the image from light microscopy shows that there are 27 species of microalgae scattered in the waters of ambon bay, which belong to the classes chlorophyceae, flagilariophyceae, bacillariophyceae (diatoms), coscinodiscophyceae, and dinophyceae. microalgae isolation obtained five species (single-cell) including four species from the class bacillariophyceae (navicula sp, nitzschia sp, cyclotella sp) and one species from the class chlorophyceae (chlorella sp). keywords: identification, isolation, morphology, tropical marine microalgae, introduction the ocean has forest areas that are high in biodiversity. organisms that are widely distributed in this area are mostly able to absorb carbon dioxide (co2) so that they can overcome the problem of global warming. this ability is owned by photosynthetic organisms such as seaweed and microalgae. microalgae are microscopic algae that do not have roots, stems, and leaves. microalgae convert co2 into biomass through the process of photosynthesis. the ability of microalgae to absorb co2 is 233 times higher than the ability of land plants (singh & ahluwalia, 2013). because microalgae are very small in size and distributed in water, the ability of microalgae to capture sunlight per unit cell surface area is large and efficient so that photosynthesis is easy to take place. microalgae habitats are scattered in various waters such as fresh, brackish, and marine waters. indonesian ocean with an area of 62.9% of the total area of the country is a very diverse tropical marine microalgae habitat. marine microalgae are known to have potential as alternative sources of natural photosynthetic pigments and have a wide variety of pigments and other secondary metabolites as cosmetic and medicinal ingredients (telussa, rusnadi, & nurachman, 2019; yusuf & nafie, 2016; nurachman, et al., 2015), lipids as biodiesel material (nurachman, brataningtyas, hartati, & panggabean, 2012; kusumaningtyas, nurbaiti, suantika, & amran, 2017), carbohydrates as bioethanol material (putnarubun, suratno, & adyaningsih, 2012; negara, et al., 2019; (agustini & febrian, 2018), biosilica as bionanomaterial (vona, et al., 2016; aboshady, zalat, al-ashkar, & ghobara, 2019), and cells as bioreduction and bioremediation (nurillah, raya, & maming, 2016; teheni, nafie, & dali, 2016). in addition, microalgae have advantages over other plants, including having a short life span and does not require a large area for cultivation ( (barsanti & gualtieri, 2006)). the ocean where microalgae live is very dynamic, therefore the quantity of microalgae in water is largely determined by oceanographic and meteorological conditions. the microalgae communities that are commonly found in the maluku oceans consist of the classes bacillariophyceae, dinophyceae, chrystophyceae, and cyanophyceae. ivonne telussa et al. indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 138 microalgae from ambon bay waters are endemic to the ambon sea, so they are easier to obtain and develop in indonesia. therefore, in this research, morphological observations, identification, and isolation of endemic marine microalgae in ambon will be carried out which can be used as a source of biofuels, bionanomaterials, and cosmetic ingredients. methodology materials and instrumentals all the chemicals used in this research are proanalysis grade (merck, germany): fecl3, nah2po4. 2h2o, na2edta, na2sio3.5h2o, kno3, and bakto agar. the equipment used includes glassware, analytical balance, refractometer, falcon tube, eppendorf micropipette size 10-100 and 100-1000 µl, nikon ys-100 light microscope, hemocytometer, tomy es-315 autoclave, thermo scientific s16 centrifuge, ph meter, lux meter, and plankton net. methods place and time of research the study was conducted in the waters of ambon bay in december 2020. the waters of ambon bay include the inner ambon bay and the outer ambon bay (figure 1). figure 1. research location map sample collection ambon bay waters is a place for sampling microalgae. sampling was carried out at 10 different points, using a plankton net. the depth of sampling is 1.5 meters from the water surface. morphological observations and identification of microalgae observation of the morphology of microalgae samples using a light microscope (nikon ys-100), with 400 times magnification. to determine the microalgae species, the observed morphology was identified using the algae resource database. microalgae isolation isolation of microalgae using serial dilution method aims to obtain a single microalgae colony. samples containing microalgae were put into the first dilution tube (1/10 or 10-1) aseptically after the sample was entered then dissolved by shaking it until homogeneous. take 1 ml from tube 1 with a measuring pipette then transferred to tube 2 aseptically and then homogenized using a vortex mixer. the transfer is continued until the last dilution tube in the same way. furthermore, planting is carried out by taking the suspension from the last dilution tube. then spread on the surface of the agar media. then incubate for 4 days at room temperature with a light intensity of 5000 lux. results and discussion water parameter condition in ambon bay microalgae sampling was carried out at 10 locations along ambon bay (figure 2), where stations 1-3 were the outer ambon bay and stations 4-10 were the inner ambon bays. at each sampling location, the water conditions showed differences in ph, salinity, temperature, and total dissolved solids (tds) (table 1). based on the results of ph measurements in ambon bay waters, it is classified as high with a value of 7.110. in the waters of the outer ambon bay (station 1-3) the ph value (8.6-9.3) is higher than the ph (7.1-7.8) in the waters of the inner ambon bay (stations 4-10), but generally the ideal ph of marine waters at a ph of 8.1-8.4. figure 2. microalgae sampling location based on the decree of the minister of environment no. 51 of 2004 concerning seawater quality standards for biota, the ph in the waters of the inner ambon bay (station 4-10) is still at the specified threshold, which is between 7-8.5. this indicates that ivonne telussa et al. indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 139 the difference between industrial and household waste is a factor that can cause the ph of the water to fluctuate. meanwhile, the salinity in ambon bay waters ranges from 29-32 ppt which indicates the degree of salt concentration dissolved in the water is generally distributed with very small variations (figure 3(a)), this means that the salinity is relatively homogeneous. the same thing with salinity, the temperature values in the waters ranged from 28-32oc (figure 3(b)). in general, based on the decree of the minister of environment no. 51 of 2004 concerning seawater quality standards for biota, the temperature and salinity in the ambon bay waters are still at the specified threshold. tds measurement shows the solubility of solids in water which is measured in units of parts per million (ppm) or the ratio of the weight of ions to water. based on the measurement results, the tds value in the waters of ambon bay ranges from 696-938 mg l-1. the results of this tds measurement have not exceeded the class ii water quality standard, which is 1000 mg/l (pp 82 of 2001 concerning water quality management and water pollution control). the conditions of these physical and chemical parameters affect the growth of microalgae species that grow at each station in the waters of ambon bay. table 1. results of analysis of chemical and physical parameters in ambon bay waters sta coordinate point physical parameters latitude (south) longitude (east) ph salinity (ppt) temperature (oc) tds (mgl-1) 1 03o42.266' 128o09.445' 9.3 31 31 938 2 03o40.629' 128o08.536' 8.7 32 31 938 3 03o40.315' 128o09.468' 8.6 31 31 938 4 03o39.715' 128o11.886' 7.8 29 33 938 5 03o39.689' 128o12.217' 7.8 29 231.5 807 6 03o39.203' 128o12.978' 7.5 31 30 938 7 03o39.036' 128o13.597' 7.7 30 28.5 938 8 03o38.598' 128o14.071' 7.1 29 31 938 9 03o38.180' 128o13.118' 7.2 29 29 807 10 03o39.400' 128o12.046' 8.5 29 29 696 isolation and identification of microalgae microalgae samples from 10 locations along the waters of ambon bay, were identified microalgae morphology using a light microscope with 400 times magnification. microscopic observations aim to identify the types of living microalgae and to determine the purity of microalgae samples (atıcı & tokatli, 2014). (a) (b) figure 3. map of the chemical and physical parameters of the waters at the sampling location; (a) salinity, (b) temperature the light microscopy image shows that there are several types of microalgae scattered in the waters. furthermore, the results of observations of microalgae morphology were identified based on data in the algae resource database. based on the identification, 27 species are belonging to the classes chlorophyceae, flagilariophyceae, bacillariophyceae (diatoms), coscinodiscophyceae, and dinophyceae (figure 2, table 1). ivonne telussa et al. indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 140 figure 4. microalgae light micrograph from ambon bay waters wherein, classes chlorophyceae and bacillariophyceae are this group of microalgae that are high in abundance in seawater. the isolation of microalgae from the waters of ambon bay was carried out using the serial dilution method. the purpose of serial dilution is to minimize or reduce the number of microbes suspended in the liquid. determination of the amount or number of dilution levels depends on the estimated number of microbes in the sample. a ratio of 1: 9 was used for the sample and the first and subsequent dilutions so that the next dilution contained 1/10 of the microorganism cells from the previous dilution (figure 5a). table 2. types of microalgae from ambon bay waters identified symbol class species a bacilariophyceae nitzschia sp. b bacilariophyceae pseudo-nitzschia sp. c bacilariophyceae nitzschia bizertensis d bacilariophyceae nitzschia navis-varingica e bacilariophyceae chaetoceros diversum f bacilariophyceae chaetoceros affinis g bacilariophyceae chaetoceros laciniosum h fragilariophyceae thalassionema nitzschioides i bacilariophyceae navicula sp. j bacilariophyceae navicula transitans k bacilariophyceae navicula sp. l bacilariophyceae pinnularia sp. m bacilariophyceae amphora bigibba n bacilariophyceae navicula sp. o coscinodiscophyceae coscinodiscus sp. p bacilariophyceae skeletonema sp. q bacilariophyceae cymbella lanceolata r bacilariophyceae bacteriastrum sp. s bacilariophyceae nitzschia panduriformis t chlorophyceae chlorella sp. u bacilariophyceae navicula forcipata v bacilariophyceae skeletonema sp. w bacilariophyceae cyclotella sp. x dinophyceae prorocentrum lima y bacilariophyceae bacillaria sp. z chlorophyceae haematococcus pluvialis the results of serial dilutions were continued with cultivation aimed at obtaining single colonies in http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=19542 ivonne telussa et al. indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 141 suspension from several dilution tubes. then, the microalgae culture was inoculated on the solidified agar medium by spreading it on the surface of the agar medium (figure 5b). microalgae isolation results obtained five species (single-cell) including four species from the class bacillariophyceae (2 species navicula sp., nitzschia sp., cyclotella sp.) and one species from the class chlorophyceae (chlorella sp.) (figure 6). in general, two types of diatoms are differentiated based on their morphological characteristics, namely centric and pennate diatoms. (a) (b) figure 5. microalgae isolation process (a) serial dilution, (b) planting on the solidified agar medium centric diatoms are characterized by the shape of cells that have radial or concentric symmetry with one central point and usually live planktonic like cyclotella sp. in contrast, pennate diatoms have bilateral symmetry, which is generally elongated or sigmoid in shape and usually live benthic, such as navicula sp., nitzschia sp. observation of navicula sp. and chlorella sp. which will be developed as a source of biofuel, cosmetic, and biosilica materials were also observed with an electron microscope (sem), which showed the characteristic feature of navicula sp. with oval-shaped frustules and nanopores that lay on the surface for the exchange of nutrients or other materials (fig. 7(a)). the abundance of diatoms in the world contributes greatly to the diversity of frustules with nanopores scattered on the surface of diatom frustules that show the characteristics of each diatom (strelnikova, fourtanier, & kociolek, 2004). (a) (b) figure 6. microscopic image of a single colony that was successfully isolated. (a) class bacillariophyceae (navicula sp., nitzschia sp., cyclotella sp.), (b) class chlorophyceae (chlorella sp.) meanwhile, chlorella sp. showed round cells with a smooth surface without pores (figure 7(b)). chlorella has a size of about 5-10 µ and when dried, they aggregate to form larger particles. cell shells containing about 30% cellulose are present on the surface of chlorella particles (indhumathi, soundararajan, shabudeen, shoba, & suresh, 2013; azaman, nagao, yusoff, & tanand, s.w, 2017). ivonne telussa et al. indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 142 (a) (b) figure 7. sem image of isolated microalgae (a) navicula sp. (b) chlorella sp. conclusion the waters of ambon bay have physical parameters such as temperature, ph, salinity, and tds which are still at the threshold set in the seawater quality standard for biota. there are 27 species of microalgae scattered in ambon bay waters belonging to the classes chlorophyceae, flagilariophyceae, bacillariophyceae (diatoms), coscinodiscophyceae, and dinophyceae. microalgae isolation obtained five species (single-cell) including four species from the class bacillariophyceae (2 species navicula sp, nitzschia sp., cyclotella sp.) and one species from the class chlorophyceae (chlorella sp.). references abo-shady, a. m., zalat, a. a., al-ashkar, e. a., & ghobara, m. m. (2019). nanoporous silica of some egyptian diatom frustules as a promising natural material. nanoscience & nanotechnology-asia, 9 : 1-28. agustini, n. w., & febrian, n. (2018). hidrolisis biomassa mikroalga porphyridium cruentum menggunakan asam (h2so4 dan hno3) dalam produksi bioetanol. jurnal kimia dan kemasan, 41(1) : 1-10. atıcı, t., & tokatli, c. (2014). algal diversity and water quality assessment with cluster analysis of four freshwater lakes (mogan, abant, karagöl and poyrazlar) of turkey. wulfenia jurnal, 4 : 155-169. azaman, s. n., nagao, n., yusoff, f. m., & tanand, s.w, s. w. (2017). a comparison of the morphological and biochemical characteristics of chlorella sorokiniana and chlorella zofingiensis cultured under photoautotrophic and mixotrophic conditions. peerj, 1-22. barsanti, l., & gualtieri, p. (2006). algae: anatomy, biochemistry, and biotechnology. florida: taylor dan francis group. indhumathi, p., soundararajan, m., shabudeen, p. s., shoba, u. s., & suresh, e. (2013). utilization, isolation and characterization of chlorella vulgaris for carbon sequestration and waste water treatment by performing ftir spectral studies. asian jr. of microbiol. biotech. env. sc., 15 : 661-666. kusumaningtyas, p., nurbaiti, s., suantika, g., & amran, m. b. (2017). enhanced oil production by tropical marine diatom thalassiosira sp. cultivated in outdoor photobioreactors. applied biochemistry and biotechnology, 182 : 1605– 1618. negara, b. f., nursalim, n., herliany, n. e., renta, p. p., purnama, d., & utami, m. a. (2019). peranan dan pemanfaatan mikroalga tetraselmis chuii sebagai bioetanol. jurnal enggano, 4 : 136-147. nurachman, z., brataningtyas, d. s., hartati, h., & panggabean, l. m. (2012). oil from the tropical marine benthic-diatom navicula sp. applied biochemestry and biotechnology, 168 : 1065– 1075. nurachman, z., hartini, h., rahmaniyah, w. r., kurnia, d., hidayat, r., prijamboedi, b., . . . nurbaiti, s. (2015). tropical marine chlorella sp. pp1 as a source of photosynthetic pigments for dye-sensitized solar cells. algal research, 10: 25-32. nurillah, i., raya, i., & maming. (2016). synthesis of fe nanoparticles using bioreductor of phytoplankton extract of spirulina platensis. indonesian. journal of chemical research, 3: 277 282. putnarubun, c., suratno, w., & adyaningsih, p. (2012). penelitian pendahuluan pembuatan biodiesel dan bioetanol dari chlorella sp secara simultan. jurnal sains mipa, 18 : 1-6. singh, u. b., & ahluwalia, a. s. (2013). microalgae: a promising tool for carbon sequestration. mitigation and adaptation strategies, 18 : 73-95. strelnikova, n. i., fourtanier, e., & kociolek, j. p. (2004). a sem study of the diatom genus porodiscus greville; morphology of the species and comparison with related genera. proceedings of the california academy of sciences, 14 : 300–337. teheni, m. t., nafie, n. l., & dali, s. (2016). analysis of heavy metal cd at algae eucheuma cottoni in bantaeng region coastal. indonesian. journal of chemical research, 4(1):348-351 . telussa, i., rusnadi, & nurachman, z. (2019). dynamics of β-carotene and fucoxanthin of tropical marine navicula sp. as a response to light stress conditions. algal research, 101530. vona, d., urbano, l., bonifacio, m. a., giglio, e. d., cometa, s., mattioli-belmonte, m., . . . farinola, ivonne telussa et al. indo. j. chem. res., 9(3), 137-143, 2021 doi: 10.30598//ijcr. 143 g. m. (2016). data from two different culture conditions of thalassiosira eissflogii diatom and from cleaning procedures for obtaining monodisperse nanostructured biosilica. data in brief, 8 : 312–319. yusuf, e. y., & nafie, n. l. (2016). analysis of pyrene compounds at the marine algae eucheumacottoni in bantaeng region coastal. indonesian journal of chemical research, 4(1) : 352-355. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 201 antibacterial activity of pineapple peel (ananas comosus) eco-enzyme against acne bacteria (staphylococcus aureus and prapionibacterium acnes) aisyah hadi ramadani1, rizkya karima2, riska surya ningrum3* 1biology study program, faculty of science, technology and education, university of muhammadiyah lamongan, jl. plalangan, plosowahyu, lamongan, indonesia 2chemistry study program, faculty of mathematics and sciences, university of pakuan, jl. pakuan, tegal lega, bogor, indonesia 3research center for biomaterial, national research and innovation agency, jl. raya bogor km. 46 cibinong, bogor, indonesia *corresponding author: riska_suryaningrum17@yahoo.com received: october 2021 received in revised: october 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract acne (acne vulgaris) is a skin disease caused by infection or inflammation of the pilosebaceous unit. staphylococcus aureus and prapionibacterium acnes was the main actor in the infection. eco-enzyme that is made from pineapple peel has been stated that have inhibitory activity against gram-positive and negative bacteria, also applied as home industry soap. this study objective as scientific support that eco-enzyme phytochemical compounds had the antibacterial activity to the acne bacteria. ecoenzyme was composed of pineapple peel, brown sugar, and water with the ratio of 3:1:10 for 3 months fermentation time. eco-enzyme was screened of its phytochemical compound and antibacterial activity against s.aureus and p.acnes by dilution with various concentration (1.5625%, 3, 125%, 6.25%, 12.5%, 25%, and 50% v/v) and various control. the minimum inhibition concentration (mic) was then tested by diffusion method to determine the inhibition zone with 3 replication using the higher concentration (50%, 75%, 100% v/v). the result showed that eco-enzyme has a clear yellow colour, contains tannin and saponin, mic of s.aureus and p.acnes bacteria is 50%. the dilution test of eco-enzyme gives the most effective concentration to inhibit s.aureus at eco-enzyme 100% (v/v), contrasted to p. acnes which didn’t show the best inhibition concentration. keywords: acne, antibacterial, eco-enzyme, pineapple peel, s.aureus, p.acnes introduction acne vulgaris is a skin problem that often occurs in teenagers. acne is formed due to infection and inflammation of the pilosebaceous glands (oil glands) (mohiuddin, 2019). the causes of infection and inflammation include genetics, environment, cosmetics, drugs, diet, stress, hormones (ayudianti & indramaya, 2014), skin hygiene, and bacterial infections (kumar et al., 2016). bacteria that causing acne are staphylococcus epidermidis, staphylococcus aureus, and prapionibacterium acnes (sitohang, fathan, effendi, & wahid, 2019). s. aureus is a gram-positive, coccus form bacteria that causes an abscess of pus at the skin layer (kumar et al., 2016). p. acnes is also a gram-positive bacteria and bacilli (rod) form that causes infections in rich sebaceous glands, such as the skin on the face. p.acnesa normal skin flora whose numbers will increase after the maturation of the sebaceous gland function (puberty ages). acne is a self-limiting disease, but it can reduce the self-confidence of the sufferer so that giving acne medication is a more promising option. acne medications, both natural and synthetic, contain active compounds that can kill or inhibit the growth of acnecausing bacteria. synthetic acne drugs that have been commercialized include minocycline, tetracycline, erythromycin, doxycycline, and clindamycin (sitohang et al., 2019). its synthetic antibacterial drugs (antibiotics) cause bacterial resistance, so people prefer the use of natural antibiotics. natural acne medications are generally made from plant or animal extracts that contain vitamin c or bioactive compounds such as alkaloid, phenolic, tannin, etc. pineapple peel is farming waste that is rich in bioactive compounds such as flavonoids, alkaloids, tannins, saponin (mulyani et al., 2021), phenolic, and aisyah hadi ramadani, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 202 terpenoid (namrata, sharma, & sharma, 2017). currently, pineapple peel has been used for nata de pina (sutanto, 2012), vinegar (chalchisa & dereje, 2021), bioethanol (tropea et al., 2014), dan ecoenzyme (ramadani et al., 2019). eco-enzyme produced by fermentation of vegetable or fruit waste. eco-enzymes from fruit peels in nepal have been tested to have antibacterial activity for s.aureus (atcc 25923), bacillus spp, shigella spp, pseudomonas aeruginosa, salmonella typhi, and e.coli (atcc 25922 ) (neupane & khadka, 2019). in addition, the eco-enzyme made from a mixture of orange peel (citrus aurantium) and pineapple peel (ananas comosus) with a ratio of 4:6 was also able to inhibit the growth of enterococcus faecalis bacteria (mavani et al., 2020). these antibacterial properties make eco-enzyme in indonesia widely used as a disinfectant liquid, hand sanitizer (alkadri & asmara, 2020) and has been applied as a bioactive compound in liquid soap formula made by the home industry (saifuddin, et al, 2021). this research will be scientific support that test the antibacterial activity of the phytochemical compound of eco-enzyme in inhibiting and killing the two bacteria that cause acne. the research objectives are made eco-enzyme from pineapple skin, analyze its phytochemical content, and test its antibacterial activity against s.aureus and p.acnes. the antibacterial test was carried out by dilution to determine the minimum inhibitory concentration (mic) and diffusion method to examine the effectiveness of inhibition through the diameter of the inhibition zone. information about the effectiveness of eco-enzyme from pineapple peel in inhibiting the growth of acnecausing bacteria is expected to be useful for further research related to the application of eco-enzyme in the formulation of anti-acne products. methodology materials and instrumentals the tools used are laminar airflow (thermoscientific), autoclave (tomy sx-700), incubator (memer┼), analytical balance (mettler toledo), hot plate (cimarec), vortex (benchmark), micropipette (eppendorf), tweezers, ose needle, spray bottle, bunsen, lighter, oven, ruler and sterile cotton swab (one med). the materials used in this study included: water, distilled water, pineapple peel, brown sugar, staphylococcus aureus, and propionibacterium acnes, nutrient agar (difco™), nutrient broth (difco™), clindamycin 150 mg, magnesium powder (merck), hydrochloric acid (merck), ferri chloride (merck), sulfuric acid (merck), barium chloride (merck) and dragendorff's. methods eco-enzyme from pineapple peel an unrotten of pineapple peel used for made of eco-enzyme. pineapple peel is washed, cut into small pieces, mixed with brown sugar and water (ratio 3:1:10), and stored in a tightly closed plastic container and protected from direct sunlight. the fermentation process was carried out for 3 months. in this process, gas will be produced, so it is sometimes necessary to open the lid of the plastic container to remove the gas. after 3 months, the eco-enzyme was filtered to separate the filtrate from the precipitate which contains pineapple peel. the filtrate is ready to be analyzed for its phytochemical content and antibacterial activity (ramadani et al., 2019). phytochemical screening a. flavonoid identification 1 ml of eco-enzyme was reacted with 2 mg of magnesium powder (mg) and 3 drops of 37% hcl. the presence of flavonoid compounds is indicated by the formation of a red, yellow, or orange color. b. alkaloid identification 1 ml of eco-enzyme sample was reacted with 5 drops of dragendorff's reagent. a positive result is indicated by the formation of orange color in the sample. c. tanin identification 1 ml of eco-enzyme was reacted with 5 drops of 1% fecl3 reagent. the presence of tannin compounds is indicated by the formation of blue-black or greenblack color. d. saponin identification 10 drops of hot distilled water were put into a test tube containing 1 ml eco-enzyme. positive results are indicated by the formation of foam which is stable for 30 minutes and does not disappear with the addition of 1 drop of 2n hcl (vh et al., 2021). preparation of mc farland standard solution mc farland standard solution was prepared by reacting 0.05 ml of 1% bacl2 solution with 9.95 ml of 1% h2so4 solution and then homogenized. the turbidity of mc farland's solution was used as a standard for the turbidity of the test bacterial suspension (komansilan, mintjelungan, & waworuntu, 2015). aisyah hadi ramadani, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 203 table 1. composition of the test tube minimum inhibitory concentration (mic) and minimum bactericidal concentration (mbc) determination of mic and mbc on eco-enzyme from pineapple peel was carried out using the dilution method, with the following steps: 1. prepared 7 test tubes that have been sterilized and labeled i, ii, iii, iv, v, vi, ke, kp, km, and ks. 2. the composition of test tubes i to vi is as follows: 3. 1 ml from tube vi solution was poured until 1 ml remained l 4. each tube was homogenized by vortex, then incubated at 37 oc for 24 hours. 5. 1 ml medium test (nutrient broth) + 1 ml ecoenzyme was mixed in the eco-enzyme control tube 6. 1 ml medium test (nutrient broth) + 1 ml sterilized distilled water poured in the solvent control 7. media control filled 2 test medium 8. the suspense control tube is filled with 2 ml of bacterial suspension 9. added 1 ml of bacterial suspension in each test tube, except the control tube, then incubated at 37 oc for 24 hours. 10. the determination of mic is held by observing the turbidity of each solution in the incubated test tube, compared to the control medium solution. the clearest solution is the solution that has the lowest concentration of inhibition of bacterial growth. 11. for mbc analysis, a small amount of solution was taken using a sterile cotton swab and scratched on a petri dish containing na media and was labeled according to the concentration of the sample. the petri dishes were then incubated at 37 oc for 24 hours. determination of mbc is based on observations of the number of bacterial colonies growing on na media. mbc analysis was carried out on test tubes that had been added with bacterial suspension (fitriana, fatimah, & fitri, 2019). antibacterial activity test using paper disc diffusion method determination of eco-enzyme activity from pineapple peel eco-enzyme as an antibacterial for s. aureus and p. acnes was carried out using the paper disc diffusion method. first, prepare a bacterial suspension by inoculating bacterial cultures into nutrient broth (nb) media and then incubating them for 18-24 hours at 37 oc. after incubation, the bacterial suspension was streaked on the surface of the nutrient agar (na) media on a petri dish using a sterile cotton swab. disc paper that had been soaked in eco-enzyme solution with a higher concentration of mic, namely 50%, 75%, 100% v/v, sterile distilled water, and 25% clindamycin solution were placed on na media. sterile distilled water served as a negative control and solvent for the eco-enzyme sample, while the clindamycin 150 mg 25% solution served as a positive control. the inhibition zone was determined after incubation at 37 oc for 24 hours. antibacterial activity testing was carried out 3 times (triplo) (syamsurya, et al., 2016, rosalina, et al., 2018). data analysis the results of the eco-enzyme antibacterial activity test against s.aureus and p. acnes by diffusion were evaluated using statistical analysis of variance (anova) with tukey's follow-up test (minitab 17 pro software). the statistical test serves as a determinant of the most effective concentration that can inhibit or bactericidal to s.aureus and p.acnes. results and discussion eco-enzyme from pineapple peel the production of eco-enzyme begins with sorting the raw material (pineapple skin), which is not too dry and not rotten. the pineapple skin is then washed to remove impurities, cut into small pieces, put in a plastic container, reacted with brown sugar and water, then tightly closed and stored in a cool place and protected from direct sunlight. this storage process is carried out for 3 months, wherein the first month a lot of gas will be formed from the fermentation reaction so that the lid of the plastic container needs to be opened periodically to release the gas. the aroma produced is a typical pineapple aroma. according to rohmah et al. (2020), the reaction that occurs in the process of eco-enzyme is fermentation, where the results of this fermentation reaction are test tube code composition of test tube concentration of test tube eco-enzyme (ml) sterilized distilled water (ml) suspens ion of bacteria (ml) i 1 ml solution of eco-enzyme 1 1 eco-enzyme 50% ii 1 ml solution from tube i 1 1 eco-enzyme 25% iii 1 ml solution from tube ii 1 1 ecoenzyme12,5 % iv 1 ml solution from tube iii 1 1 eco-enzyme 6,25% v 1 ml solution from tube iv 1 1 eco-enzyme 3,125% vi 1 ml solution from tube v 1 1 ecoenzyme1,56 25% aisyah hadi ramadani, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 204 alcohol, acetic acid, and lactic acid. the eco-enzyme obtained in this research can be seen in the figure 1. figure 1. eco-enzyme from pineapple peel phytochemical screening phytochemical screening carried out on ecoenzyme samples aims to determine the secondary metabolites contained in the eco-enzyme. the results of phytochemical screening (table 1) show that the eco-enzyme contains tannins and saponins. tannins are secondary metabolites of the polyphenol group that can function as antifungals (aspergillus niger, aspergillus flavius, and candida albicans) and antibacterial (staphylococcus aureus, escherichia coli, and salmonella typhimurium) (wafa, sofiane, & mouhamed, 2016). the presence of tannin in ecoenzyme can be identified by the reagent solution of iron (iii) chloride. the phenol group in tannin will react with fe3+ ions from fecl3 to form complex compounds that are green-black or blue-black, according to the reaction in figure 2. tannin green black figure 2. chemical reaction among tannin and fecl3 saponins are complex glycoside compounds that can function as antibacterial, by increasing cell membrane permeability and disrupting the surface tension of bacterial cell walls so that bacteria will experience membrane protein denaturation and eventually lysis (suerni, alwi, & guli, 2013). according to tagousop et al. (2018), according to tagousop et al. (2018), saponins are antibacterial (e.coli, s.aureus, s.flexneri), and antifungal compounds (candida albicans, candida parapsilosis, cryptococcus neoformans). determination of mic and mbc determination of mic on eco-enzyme against s. aureus and p. acnes was carried out using the liquid dilution method while the determination of mbc was carried out using the solid dilution method. in liquid dilution, a series of dilutions of eco-enzyme were made with the addition of test medium (distilled water) and test bacteria (s.aureus and p.acnes), so that a minimum concentration of eco-enzyme was produced which could inhibit the growth of the test bacteria. the minimum concentration of eco-enzyme was seen from the culture results in the test tube which began to appear clear (no bacterial growth). the mic is then used as a reference for testing with the disc diffusion method. the results of the mic test can be seen in figure 3 and table 2. table 2. phytochemical screening of eco-enzyme test reagent result noted flavonoid mg + hcl 37% yellow pale alkaloid dragendorff yellow pale tanin fecl3 1% + green blackish saponin hot distilled water + hcl 2 n + foam as ±30 minute figure 3. result of mic eco-enzyme p.acnes (upside) dan s.aureus (downside) in solid dilution, the test bacteria were inoculated on na media containing eco-enzyme with a certain aisyah hadi ramadani, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 205 concentration variation in order to obtain a minimum concentration that could kill the test bacteria. mbc is characterized by the absence of bacterial colonies growing on solid media. the results of the mbc test (table 3) showed that all variations in the concentration of eco-enzyme were overgrown with test bacteria, so it can be concluded that eco-enzyme was only able to inhibit the growth of s.aureus and p.acnes bacteria but was unable to be bactericidal. table 3. mic and mbc test result of eco-enzyme test tube concentration mic test mbc test s.aureus p.acnes s.aureus p.acnes i 50% clear clear bacteria growth bacteria growth ii 25% turbid turbid iii 12,5% turbid turbid iv 6,25% turbid turbid v 3,125% turbid turbid vi 1,5625% turbid turbid ke clear clear kp clear clear km clear clear ks turbid turbid antibacterial activity test using paper disc diffusion method the antibacterial test using the diffusion method aims to determine the effectiveness of eco-enzyme in inhibiting the growth of test bacteria. the effectiveness of the inhibition increased along with the larger the inhibition zone (clear zone) produced. table 3 shows that the effectiveness of eco-enzyme in inhibiting the growth of s.aureus and p.acnes bacteria is directly proportional to the increase in the concentration of ecoenzyme used. in addition, the inhibition of eco-enzyme against s.aureus was greater than that of p.acnes. the antibacterial activity of the eco-enzyme produced from this study against s.aureus bacteria was lower than that produced by (neupane & khadka, 2019), which was 23 mm. the most optimal concentration of eco-enzyme in inhibiting s.aureus based on tukey's further test (95% confidence level) was eco-enzyme 100% (v/v), whereas in p.acnes there was no concentration that most significantly inhibited bacterial growth. several factors that affect the antibacterial activity of compounds in eco-enzymes are the type, origin, and characteristics of the waste used (neupane & khadka, 2019; rasit & mohammad, 2018) and the length of fermentation time (mavani et al., 2020). this result of the antibacterial potential to inhibit s.aureus growth has a similar trend with surtina et al., (2020) which was stated that the greater concentration of the bioactive compound used more inhibit the bacteria. in the eco-enzyme, the most valuable compound to stress the bacteria growth is tannin, one of the phenolic chemicals. based on nurliana & musta, (2019) the proofed that the inhibition mechanism of these chemicals form an interaction that resulted the protein-phenolic complex, a non-spesific chemical linkages. the inhibition strength is related to the concentration of the phenolic content. the low concentration of tannin formed protein-phenols complex with weak bonds so that it immediately decomposed then damaged the cytoplasmic membrane and caused leakage of the cell body. on the other hand, the high concentration, these substances capable to coagulate with cellular proteins and cytoplasmic membrane which finally caused lysis. table 3. eco-enzyme antibacterial activities eco-enzyme inhibition zone (mm) s.aureus p.acnes eco-enzyme 50% 9,67 ± 0,52b 7,00 ± 0,00b eco-enzyme 75% 10,17 ± 0,41b 8,50 ± 0,55b eco-enzyme 100% 12,33 ± 1,37a 8,67 ± 0,52b positive control 6,00 ± 0,00c 28,00 ± 5,33a negative control 6,00 ± 0,00c 6,00 ± 0,00b note: different letters indicate the most effective concentration in the tukey test (degree of confident = 95%) conclusion eco-enzyme from pineapple peel produced from this study contains tannins and saponins and has antibacterial activity in the form of the ability to inhibit the growth of acne bacteria s.aureus and p.acnes. the minimum concentration of inhibition (mic) of pineapple peel eco-enzyme is 50%. the most effective concentration to inhibit s.aureus was eco-enzyme 100% (v/v) while in p.acnes there was no most effective concentration. acknowledgment we would like to thank to the integrated laboratory of bioproduct (ilab), research center for biomaterials brin for the testing facilities carried out in this research. references alkadri, s. p. a., & asmara, k. d. (2020). pelatihan pembuatan eco-enzyme sebagai hand sanitizer dan desinfektan pada masyarakat dusun margo sari desa rasau jaya tiga dalam upaya aisyah hadi ramadani, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 206 mewujudkan desa mandiri tangguh covid-19 berbasis eco-community. jurnal buletin alribaath, 17(2), 98. https://doi.org/10.29406/ br.v17i2.2387 ayudianti, p., & indramaya, d. m. (2014). studi retrospektif : faktor pencetus akne vulgaris. berkala ilmu kesehatan kulit & kelamin, 26(1), 41–47. chalchisa, t., & dereje, b. (2021). from waste to food : utilization of pineapple peels for vinegar production. moj food processing & technology, 9(1), 1–5. https://doi.org/10.15406/mojfpt.2021. 09.00254 fitriana, y. a. n., fatimah, v. a. n., & fitri, a. s. (2019). aktivitas anti bakteri daun sirih : uji ekstrak khm (kadar hambat minimum) dan kbm (kadar bakterisidal minimum). sainteks, 16(2), 101–108. komansilan, j. g., mintjelungan, c. n., & waworuntu, o. (2015). daya hambat ekstrak kulit manggis (garcia mangostana l .) terhadap streptococcus mutans. jurnal e-gigi, 3(2), 309–316. kumar, b., pathak, r., mary, p. b., jha, d., sardana, k., & gautam, h. k. (2016). dermatologica sinica new insights into acne pathogenesis : exploring the role of acne-associated microbial populations. dermatologica sinica, 34(2), 67–73. https://doi.org/10.1016/j.dsi.2015.12.004 mavani, h. a. k., tew, i. m., wong, l., yew, h. z., mahyuddin, a., ghazali, r. a., & pow, e. h. n. (2020). antimicrobial efficacy of fruit peels ecoenzyme against enterococcus faecalis: an in vitro study. international journal of enviromental research and public health, 17(5107), 1–12. mohiuddin, a. . (2019). a comprehensive review of acne vulgaris. journal of clinical pharmacy, 1(1), 17–45. namrata, sharma, y., & sharma, t. (2017). antimicrobial, anti-oxidant activity and phytochemical screening of polyphenolic flavonoids isolated from peels of ananas comosus. international journal of engineering research & technology, 6(09), 285–298. neupane, k., & khadka, r. (2019). production of garbage enzyme from different fruit and vegetable wastes and evaluation of its enzymatic and antimicrobial efficacy. tujm, 6(1), 113–118. nurliana, l., & musta, r. (2019). studi kinetika antibakteri dari hasil pirolisis cangkang biji jambu mete terhadap staphylococcus aureus kinetic study antibacterial of pyrolysis products fromcashew nut shell against staphylococcus aureus. indonesian journal of chemical research, 6(2), 74–80. ramadani, a. h., rosalina, r., & ningrum, r. s. (2019). pemberdayaan kelompok tani dusun puhrejo dalam pengolahan limbah organik kulit nanas sebagai pupuk cair eco-enzim. prosiding seminar hayati vii, 1–6. rasit, n., & mohammad, f. s. (2018). production and characterization of bio catalytic enzyme produced from fermentation of fruit and vegetable wastes and its influence on aquaculture sludge. matter: international journal of science and technology, 4(2), 12–26. rosalina, r., ningrum, r. s., & lukis, p. a. (2018). aktifitas antibakteri ekstrak jamur endofit mangga podang (mangifera indica l.) asal kabupaten kediri jawa timur. majalah ilmiah biologi biosfera: a scientific journal, 35(3), 139–144. https://doi.org/10.20884/1.mib.2018. 35.3.757 saifuddin, s., syahyadi, r., nahar, n., & bahri, s. (2021). peningkatan kualitas utilization of domestic waste for bar soap and enzym cleanner (ecoenzym) sebagai bahan baku pembuatan sabun. jurnal hasil-hasil penerapan ipteks dan pengabdian kepada masyarakat, 5(1), 45–56. https://doi.org/10.30811/vokasi. v5i1.2158 sitohang, i. b. s., fathan, h., effendi, e., & wahid, m. (2019). the susceptibility of pathogens associated with acne vulgaris to antibiotics. medical journal of indonesia, 28(1), 21–27. suerni, e., alwi, m., & guli, m. m. (2013). uji daya hambat ekstrak buah nanas ( ananas comosus l. merr.), salak (salacca edulis reinw.) dan mangga kweni (mangifera odorata griff.) terhadap daya hambat staphylococcus aureus. biocelebes, 7(1), 35–47. surtina, s., sari, r. p., zulita, z., rani, r., roanisca, o., & mahardika, r. g. (2020). potensi antibakteri ekstrak daging buah kelubi (eleiodoxa conferta) bangka belitung menggunakan microwave-assisted extraction (mae). indonesian journal of chemical research, 7(2), 177–182. https://doi.org/10. 30598//ijcr.2020.7-sur sutanto, a. (2012). pineapple liquid waste as nata de pina raw material. makara, teknologi, 16(1), 63–67. https://doi.org/10.7454/mst.v16i1.1286 syamsurya, ahmad, a., & firdaus. (2016). potensi ekstrak metanol kulit batang lannea coromandelica (houtt.) merr. terhadap aisyah hadi ramadani, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 201-207, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 207 staphylococcus aureus dan analisis metabolit sekunder utamanya. indonesian journal of chemical research 4(1), 362–366. tagousop, c. n., tamokou, j. d. d., kengne, i. c., ngnokam, d., & voutquenne-nazabadioko, l. (2018). antimicrobial activities of saponins from melanthera elliptica and their synergistic effects with antibiotics against pathogenic phenotypes. chemistry central journal, 12(97), 1–9. https://doi.org/10.1186/s13065-018-0466-6 tropea, a., wilson, d., torre, l. g. la, curto, r. b. lo, saugman, p., troy-davies, p., … waldron, k. w. (2014). bioethanol production from pineapple wastes. journal of food research, 3(4), 60–70. https://doi.org/10.5539/jfr.v3n4p60 vh, e. s., mulyani, s., ariani, s. r. d., utomo, s. b., & antrakusuma, b. (2021). phytochemical screening of honey pineapple peel extract and its application as an antibacterial additive in dish soap formulation. jurnal kimia dan pendidikan kimia, 6(1), 49–58. wafa, n., sofiane, g., & mouhamed, k. (2016). the antioxidant and antimicrobial activities of flavonoids and tannins extracted from phlomis bovei de noé. european journal of experimental biology, 6(3), 55–61. indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 208 identification of phytochemical extract of a combination of young coconut water, ginger and turmeric florentina saji hasti, aloisius masan kopon, anselmus boy baunsele*, maria benedikta tukan, maria aloisia uron leba, erly grizca boelan, faderina komisia department of chemistry education, faculty of teacher training and education, widya mandira catholic university. san juan street, penfui-kupang, east nusa tenggara *boybaunsele@gmail.com received: october 2021 received in revised: october 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract turmeric is a tropical plant that is widely found on the asian continent which is extensively used as a food coloring agent and fragrance. ginger is a spice plant that it often found in south asia which is widely has spread throughout the world. coconut is an annual plant, has a hard stem and is generally not branched (monopodial), has fibrous roots, and contain water that is clear and tastes sweet, young coconut water has benefits such as antibacterial, beauty treatment, as an isotonic agent, and carry out the urination. this research was conducted to obtain information about the physicochemical properties and secondary metabolites contents of the coconut water, ginger and turmeric combination extract. the research method was carried out by mixing the mashed turmeric and ginger with the young coconut water and then macerated. the resulting extract was then tested for physicochemical properties (solubility) and identified groups of secondary metabolites (flavonoids, tannins, saponins, and steroids/triterpenoids. the extract was soluble in 70% ethanol. in addition, the combination of young coconut water, ginger, and turmeric extract contain a group of secondary metabolites among others flavonoids, tannins, saponins, and triterpenoids. keywords:phytochemical screening, physicochemical, extract, secondary metabolites, ethanol introduction indonesia is one of the third largest tropical forests in the world besides brazil and zaire that can produce secondary metabolite compounds with many potential to be antioxidants, dye substances, food aroma enhances, perfume, insecticides, and medicine (nola, putri, malik, & andriani, 2021). biodiversity is the basis of various treatments and the discovery of the pharmaceutical industry in the future, for example, avocado plants as traditional medicine (kopon, baunsele, & boelan, 2020). the phenomenon of food consumption has a new paradigm for food science and technology development by the modification of food processed products towards functional properties. functional food is food that is natural and has gone through the process, containing one or more bioactive molecules such as compounds in phytochemical components, phytochemical or saturated fatty acids, unsaturated fatty acids, fiber, and others (lantah, montolalu, & reo, 2017). in addition to the content of phytochemicals, the content of bacteria that exist in natural ingredients is a finding that can be utilized in the field of food because the abundance of microorganisms in nature certainly has a major influence on food quality (missa & baunsele, 2020; mere, bintang, & safithri, 2021). phytochemical screening is a method for determining the group of secondary metabolites that have the biological activity of a plant. plant phytochemical screening was used as initial information in knowing the group of chemical compounds found in a plant (savalas, loka, & ’ardhuha, 2021). many secondary metabolite-producing plants are found in indonesia, one example is turmeric. turmeric is also used as a dye, treatment, and flavoring since 600 bc. turmeric has been trusted as one of the highly valuable herbs. the important chemical content of turmeric rhizomes is curcumin, essential oil, desmethoxy curcumin, bisdesmethoxy curcumin, fat, protein, calcium, phosphorus, and iron. the chemical content of essential oils of turmeric consists of artumeron, β-caryophyllene, linalool, and 1.8 cineol. essential oils of turmeric rhizome, contain aphellandrene (1%), sabinene (0.6%), cineol (1%), borneol (0.5%), zingiberene (25%) and sesquiterpenes (53%). curcumin (diferuloylmethane) (3-4%) is an florentina saji hasti, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 209 active component of turmeric that plays a role in producing yellow dye and consists of curcumin i (94%), curcumin ii (6%), and curcumin iii (0.3%) (yuan shan & iskandar, 2018). the secondary metabolites of curcumin can be used as a medicine for some diseases (suprihatin, rahayu, rifa’i, & widyarti, 2020). according to cobra, (2019) turmeric contains compounds that are affected by drugs, called curcuminoids that are selfconduct from curcumin, desmethoxy curcumin, and bisdesmethoxy curcumin. curcuminoid is useful for preventing various disease infections. the main content of curcuminoids is yellow curcumin. the curcumin content in turmeric ranges from 3-4%. one of the herbal plants that is often used besides turmeric is ginger. ginger is a spice plant from south asia and has now spread worldwide (redi aryanta, 2019). according to wardani (2012) ginger can be utilized in various industries, including the beverage industry (ginger syrup, instant ginger), the cosmetics industry (perfume), food industry (ginger candy, ginger, enting-entering ginger), traditional medicine industry, or herbal medicine, kitchen spice industry. the phenol component is the main component of ginger, which contains active substances or identity, including gingerol. gingerol has the effect of pharmacology and giver, it is proven to be able to inhibit the formation of tumors on the skin of the trial mouse, inhibit the proliferation of cancer in humans through induction of apoptosis, both in leukemia blood cancer cells, colon cancer, and others (syukur, yusron, & trisilawati, 2016). while sari (2011) explains that the chemical composition of ginger consists of, starch, resin, malic acid, oxalic acid, fat, carbohydrates, vitamins a, b, and c, flavonoid compound minerals, phenol, polyphenols, proteolytic enzymes called zingibain. the active ingredient of ginger consists of essential oil, zingiberin, zingerone, famesene, geraniol, paradol, shagol and gingerol. ginger also contains flavonoids, alkaloids, steroids/terpenoids and saponins. in addition to turmeric and ginger herbal plants, another example of a secondary metabolite-producing plant is coconut. coconut fruit is one of the unique tropical plants products because besides the fruit component of the fruit can be consumed directly, as well as the fruit water components can be drunk directly without going through processing (barlina, 2004). coconut fibers are capable as ingredients to adjective blue methylene dyes that have a negative effect on the environment (baunsele & missa, 2020, 2021). according to kristina and syahid (2020) coconut water contains zpt kinetin (cytokinin), zeatin (auxin), tannins, vitamins (vitamin c, riboflavin, vitamin b5, inositol, biotin, pyridoxine, thiamin), minerals (n, p, k, mg, fe, na, zn and ca) and sugar (glucose, sucrose, and fructose). coconut plants are used by almost all parts of humans so they are considered multi-purpose plants, especially for coastal communities. coconut results traded since ancient times are coconut oil. coconut plants utilized by indonesian people can be in the form of fibers, shells, sticks, and coconut leaves as handicraft materials and household appliances (sutara, 2013). according to nayoan et al., (2018) young coconut water has benefits such as antibacterial, beauty, isotonic, facilitating urination. the water of young coconut is also widely used by the community in indonesia as a material for treating fever and bioethanol (malle, kapelle, & lopulalan, 2014). methodology materials and instrumentals the research natural materials were used the young coconut water (cocos nucifera), ginger (zingiber officinale), and turmeric (curcuma longa l). the other ingredients, namely: cotton (no brand), 70% ethanol for analysis (merck), zinc (flinn scientific), hcl for analysis (merck), distilled water, gelatin (merck), acetic acid glacial (merck), sulfuric acid (merck), kitchen knife, plastic bag, basin, sieve (no brand), aluminium foil, stirrer, scale, spoon, filter paper, test tube, dropper, scale glass, reagent bottle, stove and reagent bottle, mortar and pestle. methods preparation of young coconut water, ginger and turmeric extract the ginger and turmeric were firstly cleaned and then mashed using mortar and pestle. the mashed materials can accelerate the maceration process. the maceration process used the young coconut water as a solvent. the scaled glass was heated at a temperature of 50-60 oc for 20-30 minutes then dried at room temperature and got a constant weight of the glass. a total of 170 ml of young coconut water and wix with 50 g of ginger and 50 g of turmeric that has been mashed. the mixture is then stirred until evenly distributed, then transferred into a jar and covered with aluminum foil. the mixture was macerated for ± 24 hours (bustanussalam, apriasi, suhardi, & jaenudin, 2015). after the maceration is complete, it is filtered using cotton which is placed on filter paper. the combination extract of young coconut water, ginger, and turmeric was then used for physicochemical and phytochemical analysis. this extract is called ecgt. florentina saji hasti, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 210 solubility test of ecgt the extract was taken as much as 5 ml and then entered into a test tube containing 5 ml of 70% ethanol. shake the mix slowly until homogeneous. the homogeneous indicated the ecgt was a polar solution flavonoid test of ecgt about 0.5 ml ectg was put on the test tube and then added 0,5 grams of zinc powder. dripping 4 ml of 0.2n chloride acid slowly. let it about 2 until 5 minutes, and observe the colour changes. if the mix became yellow that indicated that ecgt contained flavonoids (guntarti, annisa, mughniy, & rizqi, 2017). test of saponin ecgt a total of 3 ml of ecgt was put into the test tube then added 2 ml of hot water and koh then shaken for 5 minutes. if a solid foam is formed and stable for 15 minutes, it indicates the presence of saponin compounds (aprilia & yanti, 2019). tannin test of ecgt the extract of ecgt is dissolved with 10 ml of distilled water while stirred to a homogeneous mixture. add gelatin solution, if a precipitate appears, it means that the ecgt contains tannins (desinta, 2015) test of triterpenoids and steroids of ecgt a total of 0.5 ml of the ecgt was put into a test tube and then added 0.25 ml of acetic acid and 0.15 ml of 0.2n h2so4. the presence of terpenoid compounds is indicated by the formation of a dark blue or green-black color of the mixture (aprilia & yanti, 2019). results and discussion preparation of young coconut water, ginger and turmeric extract (ecgt) the results of ecgt obtained a yellow filtrate with the total yields presented in table 1. the data in table 1 uses the average of triple repetition. tabel 1. the data extract of ecgt initial weight (grams) young coconut water sample weight maceration results (ml) turmeric ginger ml grams grams ml grams 50 50 170 84.7 184.7 130 49.2 50 50 170 84.7 184.7 132 49.4 50 50 170 84.7 184.7 128 49.0 average 84.7 184,7 130 49.2 maceration is the simplest extraction method (ansel, 1989). the maceration process is by immersing the combination extract in a solvent. the solvent will penetrate the cell of the sample and will interact with the active substance. this method is low cost and protects the damage of chemical substances of the natural ingredient (kiswandono, 2011). at the maceration stage, the extract of the combination of young coconut water, ginger, and turmeric, macerated for ± 24 hours. young coconut water will enter the cell walls of ginger and turmeric that have been mashed so that the active substances in the ginger and turmeric cells will be pushed out and will mix in the analyte. after going through the maceration stage, the sample was filtered using filter paper that had been added with cotton. from this process, 130 ml of yellow extract was obtained. the maceration process causes the discolouration of yellow color in the extract. these changes were due to the occurrence of complex bonds between vitamin c, curcumin, and gingerol, with a percentage yield of 26.64%. the maceration process depends on the polarity of the solvent and solute, and the surface reaction area (susanty & bachmid, 2016). phytochemical screening table 2 presents data on the physicochemical test of the solubility and phytochemical of ecgt. the data analysis includes testing of the solubility, the content of flavonoids, saponins, tannins, triterpenoids, and steroids. the analysis was carried out to determine the secondary metabolites of the ecgt, and then the chemical compounds can be used for various purposes. extract solubility test to determine the polarity of the extract. the more polar a material is, the better the tendency to use it for consumption or medicine. the results are shown in table 2 and figure 2 show that ecgt is soluble in 70% ethanol solvent. this data was obtained based on the observation that a homogeneous mixture was formed and the color changed from dark yellow to light yellow. the solubility of ecgt with 70% ethanol as a solvent indicates the hydrogen bonds between the compound molecules in the ecgt extract and the solvent. molecularly the formation of hydrogen bonds between gingerols and ethanol solvents is detailed in figure 1. the formation of hydrogen bonds between gingerol compounds and ethanol solvents occurs due to the presence of atoms that have high electronegativity such as o and h atoms in ethanol and gingerols so that electrostatic interactions will form between the two functional groups. florentina saji hasti, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 211 table 2. solubility and phytochemical test results ecgt test material ecgt (ml) observation test results a. solubility test ecgt 2 ml 70% ethanol 5 the solution is homogeneously mixed and the color changes to light yellow late b. flavonoid test ecgt wilstarer cyanidine reagent 1.5 a yellow solution is formed and there is foam positive (+) c. uji saponin ecgt hot water + 0.1n hcl 10 there is a stable foam for 30 seconds positive (+) d. tannin test ecgt gelatin 3 chocolate deposit positive (+) e. triterpenoid and steroid test ecgt liebermannburchard reagent. 1.5 a yellow solution and precipitate formed positive (+) figure 1. interaction prediction between gingerol molecules and ethanol this causes the polar compounds formed in the extract of the combination of young coconut water, ginger, and turmeric to be soluble in polar solvents such as ethanol. (a) (b) figure 2. the results of the solubility test (a), the flavonoid test (b) of the ecgt extract the flavonoid content test was analyzed using a comparison of theoretical data with a positive result for the wilstater cyanidin reagent. the results of the group test for flavonoid compounds obtained positive ecgt data containing groups of flavonoid compounds which are described in table 2 dan figure 2. based on observations, it is known that a yellow solution and foam formed in the test tube where ecgt and test reagents were reacted. figure 3. reaction of wilstater cyanidine reagent with flavonoids zn metal dissolved in acid will form zn2+ and cl ions. in the o-hydroxy propiophenone compound, there is a difference in electronegativity between o and h, where o is more electronegative than h causing the o and h bonds to break. ointeracts with zn2+ ions to form zinc salt 2-(1-chloro-1-oxido propyl phenolate) and h+ interacts with clto form hcl. thus, a yellow complex is formed which indicates the presence of flavonoids in the extract of the combination of young coconut water, ginger, and turmeric. saponification is the ability of a material to have soap-like properties. the data from the test results for the group of saponin compounds are described in table 2 shows that the combined extract of young coconut water, ginger, and turmeric contains a group of saponin compounds. the test results for the group of saponin compounds using the forth method formed stable foam, indicating that the extract of the combination of young coconut water, ginger and turmeric contained positive saponin compounds. the appearance of foam in the forth test indicates the presence of glycosides that have the ability to form foam in water which is hydrolyzed into glucose and other compounds (robinson, 1983). figure 4. froth formation reaction (marliana, suryanti, & suyono, 2005) florentina saji hasti, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 212 the formation of co2 gas in ecgt is caused by the presence of high electronegativity atoms such as c-o. if the bond is broken between c atoms, the co2 molecule will be released because at the same time the negative c atom that attracts the c-c electrons will attack the positive h, then the negative c atom will attack the positive h atom. positive c will be attacked by negative o atoms so that co2 gas is formed which is indicated by the presence of gas bubbles/foam on the surface of the extract of the combination of ecgt. the glycosyl group is the polar compound that is contained in the saponin compound. glycosides can cause the presence of froth in the water (marliana et al., 2005). (a) (b) (c) figure 5. the results of the steroid and triterpenoid test (a), the tannin test (b) the saponin test (c) of the ecgt extract one of the phytochemical properties of natural materials is the presence of tannins in raw materials. in this study, ecgt was also tested for tannin content using gelatin. the results of the analysis shown in table 2 dan figure 5 show that ecgt is positive for a group of tannin compounds. when gelatin is mixed with ecgt it will form a yellow solution with a brown precipitate. the color change that occurs in the reaction tube to brown is evidence of the presence of tannins. the resulting brown precipitate comes from hydrogen bonds between gelatin and tannins. there is a difference in the electronegativity of o and h atoms in the oh group in tannin compounds where o is more electronegative than h so that o becomes partially negative, h becomes partially positive. and the presence of high electronegativity of o and n atoms in gelatin, so that there is a partial positive h interaction with partial negative o and n in gelatin to form hydrogen bonds as a gelatin-tannin complex precipitate. the precipitate was formed because tannins can coagulate protein from gelatin to form stable nonpolar copolymers (desinta, 2015). the data from the identification of the triterpenoid content of the ecgt were analyzed using a comparison of the theoretical data of the liebermannburchard reagent. the results of the group test of triterpenoid and steroid compounds are presented in table 2 and figure 5. by the reaction, h2so4 releases h+ ions because h2so4 is more acidic than ch3cooh. in triterpenoid compounds there is also a difference in electronegativity between o and h atoms, o is more electronegative than h so the bonding electrons will break to o, o produces a negative charge and h produces a positive charge. the ch3coo + ion will interact with the ogroup and hso4 will interact with the h+. based on this reaction, the resulting color is yellow. the yellow color indicates the presence of triterpenoid compounds. while the solution is green, the combination extract of young coconut water, ginger and turmeric contain steroids. the data described in table 3 shows the comparison between each natural ingredient and the compounds of ecgt. table 3. data content of each ingredient ingredients secondary metabolic compound flavonoid tanin saponin steroid/ triterpenoid ginger √ √ turmeric coconut water √ ecgt √ √ √ √ based on the data in table 3, it can be explained that although there are materials that do not contain certain metabolites, when combined with other materials, there is a possibility of a reaction to form other secondary metabolites. for example, turmeric, ginger, and pure coconut water do not contain the groups of flavonoid and tannin compounds. but after being combined and extracted, it will contain flavonoids and tannins. this idea provides an advantage where ecgt can be used as a natural ingredient in herbal medicines because in addition to being commonly consumed, ecgt also contains many secondary metabolite compounds. conclusion the conclusion from this study is that the combined extract of young coconut water, ginger, and turmeric has good solubility in 70% ethanol solvent. if the natural ingredients used are tested partially, then not all groups of secondary metabolites are contained in each natural ingredient, but if the extract used is a mixture or combination of all the ingredients referred to, ecgt will contain all secondary metabolite compounds including flavonoids: tannins, saponins, steroids, and triterpenoids. florentina saji hasti, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 213 references achmad, sjamsul. 1986. kimia organik bahan alam. erlangga: jakarta agoes, goeswin. 2009. teknologi bahan alam (serial farmasi industri-2) edisi revisi. bandung: penerbit itb. ansel. h.c.1989. pengantar bentuk sediaan farmasi edisi 4. jakarta: ui press aprilia, s., & yanti, w. (2019). pemanfaatan kulit jeruk nipis sebagai alternatif hand sanitizer. proceeding 4th international conference on education, 227–232. barlina, r. (2004). potensi buah kelapa muda untuk kesehatan dan pengolahannya. perspektif, 3(2), 46-60, http://dx.doi.org/10.21082/p.v3n2.2004. 46-60 baunsele, a. b., & missa, h. (2020). kajian kinetika adsorpsi metilen biru menggunakan adsorben sabut kelapa. akta kimia indonesia, 5(2), 76-85. https://doi.org/10.12962/j25493736.v5i2.7791 baunsele, a. b., & missa, h. (2021). langmuir and freundlich equation test on methylene blue adsorption by using coconut fiber biosorbent. walisongo journal of chemistry, 4(2), 131–138. bustanussalam, b., apriasi, d., suhardi, e., & jaenudin, d. (2015). efektivitas antibakteri ekstrak daun sirih (piper betle linn) terhadap staphylococcus aureus atcc 25923. fitofarmaka: jurnal ilmiah farmasi, 5(2), 58–64. https://doi.org/10.33751/jf.v5i2.409 cobra, l. s. (2019). skirining fitokimia ekstrak sokhletasi rimpang kunyit (curcuma longa) dengan pelarut etanol 96%. jurnal ilmiah kesehatan karya putra bangsa, 1(1),12-17. desinta, t. (2015). penentuan jenis tanin secara kualitatif dan penetapan kadar tanin. jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya, 4(1), 1– 10. guntarti, a., annisa, j., mughniy, m., & rizqi, f. (2017). effect of regional variation on the total flavonoid level of ethanol extract of mangosteen (garcinia mangostana) peels. jurnal kedokteran dan kesehatan indonesia, 8(2), 136– 143. https://doi.org/10.20885/jkki.vol8.iss2.art9 kiswandono, a. a. (2011). skrining senyawa kimia dan pengaruh metode maserasi dan refluks pada biji kelor (moringa oleifera , lamk). jurnal sains natural universitas nusa bangsa, 1(2), 126–134. kopon, a. m., baunsele, a. b., & boelan, e. g. (2020). skrining senyawa metabolit sekunder ekstrak metanol biji alpukat (persea americana mill.) asal pulau timor. akta kimia indonesia, 5(1), 43-52. https://doi.org/10.12962/j25493736. v5i1.6709 kristina, n. n., & syahid, s. f. (2020). pengaruh air kelapa terhadap multiplikasi tunas in vitro, produksi rimpang, dan kandungan xanthorrhizol temulawak di lapangan. jurnal penelitian tanaman industri. 8(3), 125-134 https://doi.org/10.21082/jlittri. v18n3.2012.125134 lantah, p. l., montolalu, l. a., & reo, a. r. (2017). kandungan fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak metanol rumput laut kappaphycus alvarezii. media teknologi hasil perikanan. 5(3), 73-79. https://doi.org/10.35800/mthp.5.3.2017. 16785 malle, d., kapelle, i. b. d., & lopulalan, f. (2014). bioethanol production from waste coconut water through fermentation process. ind. j. chem. res, 2(1), 155–159. marliana, s. d., suryanti, v., & suyono. (2005). skrining fitokimia dan analisis kromatografi lapis tipis komponen kimia buah labu siam (sechium edule jacq. swartz.) dalam ekstrak etanol. biofarmasi, 3(1), 26–31. mere, j. k., bintang, m., & safithri, m. (2021). antibacterial effectiveness of syzygium cumini (l.) skeels leaves to escherichia coli pbr322. indonesian journal of chemical research, 9(1), 8–14. https://doi.org/10.30598//ijcr.2020.9-jan missa, h., & baunsele, a. b. (2020). jenis dan populasi bakteri ice nucleation active penyebab luka beku pada daun jeruk keprok soe di dataran tinggi mutis. agro bali: agricultural journal. 3(2), 127-135, https://doi.org/10. 37637/ab.v3i2.585 nayoan, c. r., fitriani, j., & pakaya, d. (2018). efek air kelapa (cocos nucifera linn) dalam mencegah demam. jurnal ilmiah kedokteran. 5(2), 69-75. nola, f., putri, g. k., malik, l. h., & andriani, n. (2021). isolasi senyawa metabolit sekunder steroid dan terpenoid dari 5 tanaman. syntax idea. 3(7), 1612-1619 https://doi.org/10.36418/ syntax-idea.v3i7. 1307 redi aryanta, i. w. (2019). manfaat jahe untuk kesehatan. widya kesehatan. 1(2), 39-43. https://doi.org/10.32795/widyakesehatan.v1i2.46 3 sari, g. p. (2011). studi budidaya dan pengaruh lama pengeringan terhadap jahe merah (zinggiber officinale rosc.). thesis. universitas islam negeri sultan syarif kasim, riau savalas, l. r. t., loka, i. n., & ’ardhuha, j. (2021). florentina saji hasti, et al. indo. j. chem. res., 9(3), 208-214, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 214 chemical analysis of rice from converted-toorganic paddy field in lombok island. indonesian journal of chemical research. 9(1), 35–39. https://doi.org/10.30598 //ijcr.2021.9-lal suprihatin, t., rahayu, s., rifa’i, m., & widyarti, s. (2020). senyawa pada serbuk rimpang kunyit (curcuma longa l.) yang berpotensi sebagai antioksidan. buletin anatomi dan fisiologi. 5(1), 35-42. https://doi.org/10.14710/baf.5.1.2020.3542 susanty, s., & bachmid, f. (2016). perbandingan metode ekstraksi maserasi dan refluks terhadap kadar fenolik dari ekstrak tongkol jagung (zea mays l.). jurnal konversi, 5(2), 8792. https://doi.org/10.24853/konversi.5.2.87-92 sutara, f. m. p. dan p. k. (2013). etnobotani kelapa (cocos nucifera l.) di wilayah denpasar dan badung. jurnal simbiosis. i(2) : 102-111 syukur, c., yusron, m., & trisilawati, o. (2016). keragaan karakter morfologi, hasil dan mutu enam aksesi jahe putih kecil di tiga agroekologi berbeda. buletin penelitian tanaman rempah dan obat. 6(1), 1-10 https://doi.org/10.21082/bullittro.v26n1.2015.110 wardani, rinda t. (2012). pengaruh ekstrak jahe (zingiber officinale rosc.) var. gajah terhadap kualitas spermatozoa mencit (mus musculus) yang terpapar 2-methoxyethanol. thesis. universitas airlangga. yuan shan, c., & iskandar, y. (2018). studi kandungan kimia dan aktivitas farmakologi tanaman kunyit (curcuma longa l.). pharmaka. 16(2), 547-555 indonesian journal of chemical research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 185 sterol constituents of sea fan (gorgonia mariae) as potential candidates of mpro protein sarscov-2 inhibitor: in silico study faruk jayanto kelutur1,2* 1department of chemistry, faculty of mathematics and natural sciences, pattimura university, ir. m. putuhena, poka, ambon bay, ambon city, maluku 97233, indonesia. 2department of pharmaceutical analysis and medicinal chemistry, faculty of pharmacy, padjadjaran university, hegarmanah, jatinangor, sumedang regency, west java 45363. indonesia. *corresponding author: farukjayantokelutur@ymail.com received: october 2021 received in revised: october 2021 accepted: january 2022 available online: january 2022 abstract ethnobotanically, sea fan was a group of gorgonian coral that have used the maluku people as medicinal ingredients with secondary metabolites containing sterols, terpenoids, and alkaloids that have anti-inflammatory, anti-viral, anti-cancer, analgesic, gastroprotective, anti-bacterial, anti-cancer, and anti-fouling agents. however, the effectiveness of sterols as anti-viral sars-cov-2 has not been reported, so research was needed. the initial stage of targeting (swisstargetprediction), binding affinity (autodock tools 4.2), and amino acid interactions (discovery studio 2016 client®). the route of administration, pharmacokinetic properties, and acute oral toxicity (ld50) were predicted by lipinski's rule of five, pre-admet, and protox-ii. the results of target class obtained probability of 10.6% (4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3ß-ol and 4,24dimethyl-22-dehydro-cholestanol) and 11, 8% (dinosterol). binding affinity (δg, kcal/mol and ki, nm) potentially 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3ß-ol (-9.90; 55.13) > dinosterol (-9.77; 68.66) > 4,24-dimethyl-22-dehydro-cholestanol (-9.48; 113.33), respectively with the crucial amino acid, asp187. the test compound has a log p value > 5, so solubility must be considered. pre-admet showed an excellent disposition as a drug and was not mutagenic and carcinogenic. however, the distribution of plasma proteins and the dose of ld50 need to be considered. thus, sea fan sterols have potential as mpro protein inhibitors. keywords: maluku, sea fan, mpro protein, in silico, pre-admet introduction three types of coronavirus cause deadly pneumonia, including severe acute respiratory syndrome coronavirus (sars-cov), middle-eastern respiratory syndrome coronavirus (mers-cov), and sars-cov-2 (walls et al., 2020). sar-cov was first identified in guangdong, china, in 2002, which infected 8098 people with 774 deaths. in 2012, merscov appeared in the arabian peninsula, which infected 2494 people and 858 cases of death (huang et al., 2020). meanwhile, in december 2019, a new type of coronavirus emerged, namely sars-cov-2 in wuhan, hubei, china which is currently happening, which has infected 90000 people and 3000 are deaths in 60 countries (zhu et al., 2020). the latest who release until august 25, 2021, shows the number of confirmed positive covid-19 in indonesia reached 4,026,837 people with death cases 129,293 people and recovery 3,639,867 people (who, 2021). the world is currently experiencing coronavirus disease-19 (covid-19) pandemic, a dangerous infectious disease that sars-cov-2 causes. this virus can infect because it has a bond between the viral protein (spike protein) and the angiotensin-converting enzyme-2 (ace-2) receptor in humans (wan, shang, graham, baric, & li, 2020). in addition, it was also reported through mpro protein (frengki et al., 2020). mpro protein is the main protease of covid-19 (frengki et al., 2020), which releases functional polypeptides from polyproteins through a proteolytic process. these polyproteins are required for the process of replication and transcription. in addition, mpro is also used by coronaviruses (sars-cov and sars-cov-2) to interact directly with ace-2 to enter target cells (fakih & dewi, 2020). by inhibiting the mpro protein, it will disrupt the replication and mailto:farukjayantokelutur@ymail.com faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 186 transcription of non-structural proteins of the virus, resulting in the death of the virus (purwaniati & asnawi, 2020). there was no effective therapy to overcome this viral infection, but various efforts continue to be made. the use of remdesivir has been reported by wang et al., (2020), which effectively treats covid-19. however, compounds (drugs) as anti-covid-19 viruses in humans are still controversial in terms of effectiveness and side effects, so the discovery and development of drugs from natural ingredients is very much needed. the results of research conducted by frengki et al., (2020) show that catechin compounds and their derivatives derived from natural ingredients have great potential as anti-virus sars-cov-2 through an in silico approach, where the binding affinity values (δg and ki) were higher than commercial drugs that have been used. figure 1. g. mariae (kelutur, saptarini, mustarichie, & kurnia, 2021b) coral gorgonians have been reported to have antiinflammatory, anti-viral, anti-cancer, analgesic, gastroprotective, anti-bacterial, and anti-fouling activities with the secondary metabolites of sterols as the primary compounds (kelutur, saptarini, mustarichie, & kurnia, 2021a). one type of gorgonian, sea fan (g. mariae), can be seen in figure 1, has been used by the people of maluku for generations as a medicinal ingredient. however, it has not been scientifically proven and explored, so it has promising prospects for research. in this study, an initial study was conducted using the in silico method to determine the effectiveness of sea fan sterols as an anti-virus sars-cov-2 before moving on to the next stage. this method provides an economical and effective strategy in discovering new drugs by utilizing computers (la kilo, aman, sabihi, & la kilo, 2019). in addition, predicting the potential and properties of the material before proceeding to another stage (synthesis) (male, sutapa, & ranglalin, 2015). in addition, the target class, route of oral administration, pharmacokinetic properties, and acute oral toxicity were predicted to know the effectiveness and safety when consumed as anti-viral drug candidates. methodology materials and instrumentals receptor. the mpro protein sars-cov-2 downloaded from https://www.rcsb.org/ with the code of protein data bank (pdb) 6lu7 can be seen in figure 2 (jin et al., 2020). figure 2. the active site of the mpro protein sarscov-2 table 1. chemical structure of the test ligands compounds chemical structure 4,24-dimethyl-22-dehydrocholestanol 4,24-dimethyl-cholestanol dinosterol 4,24-dimethyl cholesta7,22-dien-3β-ol active site faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 187 table 1. chemical structure of the test ligands (continuous) compounds chemical structure 4-methyl-24-methylene cholestanol remdesivir test ligands. the sterol secondary metabolites of sea fan consist of 4,24-dimethyl-22-dehydrocholestanol; 4,24-dimethyl-cholestanol; dinosterol; 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3β-ol; and 4-methyl24-methylene cholestanol (kokke, bohlin, fenical, & djerassi, 1982) and comparison (remdesivir) downloaded from https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ with a 2d structure in sdf format. the chemical structure of the test ligands can be seen in table 1. software. operating system windows 10 home single language 64-bit (10.0, build 18362) intel (r) core (tm) i5-10210u cpu @ 1.60 ghz (8 cpus), ~2.1 ghz, chem3d pro 12.0, chemdraw ultra 12.0, autodock tools 4.2 (the scripps research institute, 2020), and the biovia discovery studio 2016 client® (dassault systèmes biovia, 2020). methods preparation of receptor. protein was separated from water molecules and native ligand using discovery studio 2016 client® and stored in .pdb format (wibowo, sri widyarti, sabarudin, soeatmadji, & sumitro, 2019). then it was re-prepared using autodock tools 4.2 by adding kollman charge and hydrogen polar only and saved in pdbqt format (kolina, sumiwi, & levita, 2018). preparation of ligands. the native ligand was obtained when separated from protein using discovery studio 2016 client® via the scripts menu, selection then selection of protein chains and saved in .pdb format (wibowo et al., 2019). while the test ligands were manually drawn using chemdraw ultra 12.0, otherwise available in pubchem. then minimize energy (mm2 method) using chem3d pro 12.0 and save in *.pdb format (narayanaswamy, wai, & esa, 2017). after that, it was re-prepared using autodock tools 4.2 by adding gasteiger, all hydrogen, and non-polar merge compute loads and saved in pdbqt format (kelutur & mustarichie, 2020). parameter settings of grid and docking. determination of the grid box on the active site of the mpro protein in the form of the parameter box's location and the grid box's size (distance, å) using the autodock tools 4.2 program (roy, kumar, & acharya, 2014). the results obtained are the center values of x, y, and z and the distance of the grid points used as a reference for the process of docking the test ligand to the protein. while the docking parameters were a genetic algorithm for the number of ga runs, others were left as default (grolmusz, 2008). molecular docking process. docking between native ligands and proteins using the autodock tools 4.2 program (run-autogrid and run-autodock), then editing the cmd directory (autogrid4 or autodock4 –p dock.dpf –l dock.dlg &) and click launch, which indicates the molecular docking process has started. method validation. the software parameters used must be valid first, where the root mean standard deviation (rmsd) value of the re-docking results is close to the crystallographic results in the selected active side area (pratama, 2016). target class determination. all test ligands were identified as target class by swiss target prediction (http://www.swisstarget prediction.ch/). the ligands were converted into “smiles” type files. then the homo sapiens protein was selected. its test aims to evaluate which compounds can interact with proteins that play a role in proteases. docking of the test ligands to the mpro protein. the molecular docking process for the test ligands was carried out in the same way as the validation process, which used grid parameters and the docking of the validation results. the results observed in the form of binding affinity include free energy of binding (δg) and inhibition constant (ki) as well as amino acid residues (kim & skolnick, 2008). https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 188 analysis of docking result and visualization. the output of molecular docking is in the form of a notepad file, then the ligand with the lowest bond energy value (best pose) is selected based on clustering. visualization of the position and orientation of ligands when interacting with proteins and amino acids and bonds formed using the discovery studio 2016 client® (kelutur, mustarichie, & umar, 2020; wibowo, sri widyarti, sabarudin, soeatmadji, & sumitro, 2019). lipinski’s rule of five. prediction of the route of oral administration using http://www.scfbio-iitd.res.in/software/drug design/lipinski.jsp. the potential test ligand for the sars-cov-2 protease inhibitor was inputted with the file type “.pdb,” then the ph was set to 7.4 for the human body. thus, we can know lipinski's rule of five rules. pre-admet. prediction of pharmacokinetic properties through the website https://preadmet.bmdrc.kr/. test ligands that have potential as medicinal ingredients are drawn and uploaded in the mol file format (*.mol) so that they can automatically determine parameters such as the permeability of human colon adenocarcinoma (caco2) cells, human intestinal absorption (hia), and plasma protein binding (ppb) as well as mutagenic and carcinogenic (kelutur, mustarichie, & umar, 2020). acute oral toxicity (ld50). the ld50 prediction is based on the globally harmonized system using protox-ii (https://toxnew.charite.de/protox_ii/). the test ligand was formatted into type files “smiles” then the prediction parameters for the acute oral toxicity model were clicked. results and discussion minimize energy protein was minimized by adding a kollman charge which aims to provide a charge to amino acid residues in the form of electrostatic potential energy based on quantum mechanical calculations (kolina et al., 2018). in addition, a polar only hydrogen atom was added. it means mpro protein was water-soluble. gasteiger charge was added to the ligand to adjust to the molecular docking environment so that the calculation process could be carried out correctly (forli et al., 2016). then a hydrogen atom was added (protonation process), which aims to adjust to the ph conditions in the cell cytoplasm (ph ~7) (drie, 2005). in addition, to complete the amino acid residues, the hydrogen atoms were lost due to structural damage due to x-ray radiation during the crystallographic process. the considered hydrogen atom was polar because it has an essential role in hydrogen bonding. non-polar hydrogen atoms were not considered in the ligandreceptor interaction in molecular docking, so they need to be combined with the binding atom (yanuar, 2012). therefore, the non-polar merge was chosen (kolina et al., 2018). minimize energy aims to minimize the steric effect of a 3d compound to be stable so that it has the exact resemblance or closeness to bonds of compound and receptor (protein) in the human body (sliwoski, kothiwale, meiler, & lowe, 2014). the minimize energy process was carried out so that the molecular docking results remain on the target or active site when binding. the active site was selected based on amino acid residues that affect function or activity (cuzzolin, sturlese, malvacio, ciancetta, & moro, 2015). method validation the method validation results can be evaluated based on the rmsd value and the binding location, where the docking parameters that were run are appropriate or not, and describe how much influence the native ligand conformation has before and after being validated. the system used for the docking process must be in a flexible ligand condition to allow the ligand to adjust its structure to achieve a stable conformation when it binds to the active site of the receptor or protein (muttaqin, pratama, & kurniawan, 2019). determination of the grid box and lamarckian genetic algorithm was very important because it becomes a reference parameter during the docking process between the test ligand and the receptor (protein). in this study, the coordinates of the grid box docking coordinates for the mpro protein were x = 9,768; y = 11.436; and z = 68.904 with a grid point of 40×54×40 and a grid point distance of 0.375 å. the setting of the grid box aims to determine the active site area of the macromolecule (roy et al., 2014). while algorithm method, namely lamarckian genetic algorithm for the number of ga runs was 100 times (one docking process). it aims to find the best position or conformation when the ligand and receptor bind (grolmusz, 2008). the docking parameter in this study was declared valid because it has an rmsd value of 3.011 å. it shows that the position of the native ligand as a result of re-docking after being superimposed was getting closer to the co-crystal results (jain & nicholls, 2008). in addition, the effect of the closer receptor (protein) binding distance was directly proportional to the faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 189 smaller the rmsd value (puspaningtyas, 2013). thus, mpro protein can be used for molecular docking processes. target class based on the results of the target class prediction, it was found that the sterol compounds of the sea fan have a probability value of 10.6–11.8% to interact with protease protein, it can be seen in table 2. table 2. identification of the target class of the test ligands no. compounds probability (%) protease protein 1. 4,24-dimethyl cholesta7,22-dien-3ß-ol 10.6 2. 4,24-dimethyl-22dehydro-cholestanol 10.6 3. 4,24-dimethylcholestanol 4. 4-methyl-24-methylene cholestanol 5. dinosterol 11.8 table 2 shows that the compounds 4,24-dimethylcholestanol and 4-methyl-24-methylene cholestanol were not found for protease protein targets. meanwhile, 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3ß-ol; 4,24-dimethyl-22-dehydro-cholestanol; and dinosterol have incidence probability of 10.6% (0.106) and 11.8% (0.118), which is a probability between 0 and 1. this identificate the possibility that sterol compounds can interact with protease protein. docking interaction of test ligands to protein and visualization the results obtained for the molecular docking process was the interaction of the test ligands with amino acid residues, which indicates binding to the active site of the mpro protein. in addition, the binding affinity values were obtained in the form of free energy of binding, δg and the inhibition constant, ki as shown in table 3. binding affinity was an important factor that must be considered when interacting between ligands and proteins. if the binding affinity was low, the compound requires less energy to bind or interact with proteins. in other words, it can be said that low binding affinity values have a more significant potential to interact with target proteins (pangastuti, amjn, & indriwati, 2016). table 3. results of docking test ligands to the mpro protein sars-cov-2 compounds amino acid residue interactions δg (kcal/mol) ki (nm) hydrogen bonds binding distances (å) van der waals bonds (hydrophobic) sea fan sterols 4,24-dimethyl cholesta7,22-dien-3ß-ol cys145, his164, glu166, arg188, asp187, tyr54, gln189, leu167, and pro168 -9.90 55.13 dinosterol thr26 2.98 gln189, asp187, arg188, tyr54, leu27, his164, thr24, gly143, asn142, and glu166 -9.77 68.66 thr25 3.21 4,24-dimethyl-22-dehydrocholestanol thr26 2.98 pro52, arg188, gln189, glu166, tyr54, asp187, his164, leu27, thr24, gly143, and asn142 -9.48 113.33 thr25 3.21 remdesivir glu166 2.84 gly143, his163, leu141, ser144, phe140, asp187, thr190, ala191, and arg188 -7.43 3610 his164 2.96 faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 190 free energy analysis aims to determine the spontaneity of a reaction and its stability when the ligand-receptor interaction was indicated by a low (minus) δg value. in addition, the stability of the interaction was proportional to the compound's potential when it forms strong chemical bonds (adelina, 2014). the smaller number or more negative energy of δg means the stronger binding of a ligand to a receptor (mulyati & panjaitan, 2021; umamaheswari, madeswaran, & asokkumar, 2013). according to the equation, δg was closely related to ki, δg = -rt ln ki. thus, the value of δg indicates the ability of the compound to inhibit macromolecules (ki) (kartasasmita, herowati, harmastuti, & gusdinar, 2009). the molecular docking results in table 3 show that the sterol compounds from the sea fan have a better binding affinity than the comparator (drug) with a potential δg value 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien3ß-ol (-9.90 kcal/mol) > dinosterol (-9.77 kcal/mol) > 4,24-dimethyl-22-dehydro-cholestanol (-9.48 kcal/mol) > remdesivir (-7.43 kcal/mol), respectively. while ki indicates the ability of a compound to inhibit the receptor (protein). the smaller the ki value, the stronger the resistance (umamaheswari et al., 2013). the ki values obtained in table 3 from the most potent were 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3ß-ol (55.13 nm) > dinosterol (68.66 nm) > 4,24-dimethyl22-dehydro-cholestanol (113.33 nm) > remdesivir (3610 nm). the interaction between the test ligands and mpro sars-cov-2 protein (figure 3) formed hydrogen bond (hb) and van der waals (vdw) interactions with varying amino acid residues and bond distances. in this study, 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3ß-ol had no hb interaction but only vdw (cys145, his164, glu166, arg188, asp187, tyr54, gln189, leu167, and pro168). compounds of dinosterol and 4,24-dimethyl-22dehydro-cholestanol form hb with thr26 (2.98 å) and thr25 (3.21 å). this interaction occurs because tyrosine (thr) has a hydroxyl group on the side chain to form oh···o. while on vdw, there are gln189, asp187, arg188, tyr54, leu27, his164, thr24, gly143, asn142, and glu166 for dinosterol and pro52, arg188, gln189, glu166, tyr54, asp187, his164, leu142, thr24, asn142 for 4,24-dimethyl-22dehydro-cholestanol. remdesivir obtained residue on hb in the form of glu166 (2.84 å) to form oh···o and his164 (2.96 å) is nh···o. for vdw, namely gly143, his163, leu141, ser144, phe140, asp187, thr190, ala191, and arg188. the difference of amino acids in hb is due to the presence of side chains, which contain hydroxyl (ser and thr), amide (asn and gln), charge (lys, arg, asp, and glu), and aromatic (his, tyr, trp) (scheiner, kar, & pattanayak, 2002). the visualization results show crucial amino acid residues when the sterol compounds from g. mariae interact with mpro as an anti-virus inhibitor were asp187. (a) faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 191 (b) (c) (d) figure 3. the active pocket and amino acid residues formed when 4,24-dimethyl-choleste-7,22-dien-3ß-ol (a), dinosterol (b), 4,24-dimethyl-22-dehydro-cholestanol (c), and remdesivir (d) binds to the protein of mpro sar-cov-2 faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 192 prediction of solubility and permeability criteria for a good drug was if it meets the rules of lipinski's rule of five. its rule determines the physicochemical properties as hydrophobic/hydrophilic when absorption and permeability occur in the lipid bilayer in the human body (nursamsiar, toding, & awaluddin, 2016; syahputra, ambarsari, & sumaryada, 2014). lipinski's rule of five was used to predict a candidate drug orally, which must meet five requirements, namely molecular weight (mw) 500 g/mol, partition coefficient (log p) 5, hydrogen bond donor 5, hydrogen bond acceptor 10, as well as the molar refractivity between 40–130 (lipinski, 2004) as shown in table 4. table 4. prediction results of lipinski's rule of five compounds mw (g/mol) log p hydrogen donor hydrogen acceptor molar refractivity information 4,24-dimethyl cholesta-7,22dien-3ß-ol 412 7.7 1 1 128 dinosterol 428 8.1 1 1 133 4,24-dimethyl-22-dehydrocholestanol 414 7.7 1 1 128 remdesivir 602 2.3 5 13 147 the prediction results in table 4 show that all the test ligands have a log p value > 5. it means that they are not suitable to be given, or modifications were needed for oral use. a log p value of more than 5 have the potential to have a toxic effect because it has low solubility in water, so it was difficult to be excreted, accumulates, easily binds to hydrophobic targets compared to the intended target, and was difficult to metabolize (gao, gesenberg, & zheng, 2017; hongmao, 2016). electron donor substituents were essential to note in the p log (rachmania, supandi, & larasati, 2015). the logarithm of the partition coefficient (log p) of a compound was influenced by the length of the carbon chain, the number of alkyl substituents (-ch3) and lone pairs (-oh) (czyrski & kupczyk, 2013). it was known that sterols belong to the lipid group with aliphatic or aromatic carbon chains, so they tend to be more nonpolar or lipophilic (kelutur, mustarichie, & umar, 2020). the number of hydrogen bond donors and acceptors explains the high hydrogen capacity so that the absorption process that occurs also requires a high level of energy (syahputra, ambarsari, & sumaryada, 2014). all the test ligands met the number of hydrogen bond donors and acceptors. likewise, molar refractivity explains the interaction of compounds (sawale, kalyankar, george, & deosarkar, 2016). determination of pharmacokinetic properties the development of a drug substance must pay attention to aspects of absorption, distribution, metabolism, excretion, and toxicity before clinical trials are carried out. the predicted parameters include pharmacokinetic properties and toxicity. pharmacokinetic parameters were absorption (human intestinal absorption, hia and permeability of human colon adenocarcinoma cells, caco-2) and distribution (plasma protein binding, ppb). at the same time, the toxicity predicts mutagenic and carcinogenic properties (kelutur & mustarichie, 2020). hia shows the percentage of drugs absorbed from the ratio of cumulative excretion in urine, bile, and feces. caco-2 was widely used as a model in vitro testing when predicting drug absorption in humans through intestinal epithelial barrier cells (o’hagan & kell, 2015). while ppb was related to the ability of drug disposition when giving effect (megantara, levita, iwo, & ibrahim, 2018) and toxicity predicts the test compounds as a drug candidate in providing biological activity to the body (muttaqin et al., 2019). pre-admet prediction results can be seen in table 5. faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 193 table 5. prediction results of pre-admet compounds absorption distribution toxicity hia (%) caco-2 (nm sec-1) ppb (%) mutagenic carcinogenic 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien3ß-ol 100 51.8 100 no no 4,24-dimethyl-22-dehydrocholestanol 100 51.8 100 no no dinosterol 100 52.1 100 no no remdesivir 53.5 3.3 81.3 no yes table 5 shows an excellent %hia value for the test ligand, which was 70–100%, so it can be said to have good absorption when passing through the intestine. the caco-2 cells showing moderate permeability (4–70 nm sec-1) and %ppb showing strong binding (> 90%), but it needs to be modified because the stronger plasma protein binding, the pharmacological effect given was not good because it does not diffuse outward from the systemic circulation (aslam, tan, & prayitno, 2003). meanwhile, the toxicity prediction shows that the test ligand was safe to use because it was not mutagenic and carcinogenic. ld50 prediction the toxic dose was given with an ld50 value (mg/kg). the higher the ld50, the better activity. based on the results of prediction of acute oral toxicity, it was known that the sterol compounds from the sea fan belong to class iv (300 < ld50 ≤ 2000) with the possibility of dangerous toxicity if ingested, so it needs special attention and consideration for the route of administration (table 6). table 6. prediction of acute oral toxicity in test ligands compounds ld50 acute (mg/kg) class similarity (%) accuracy (%) 4,24-dimethyl cholesta-7,22-dien-3ß-ol 500 iv 100 100 4,24-dimethyl-22-dehydro-cholestanol 500 iv 100 100 dinosterol 500 iv 100 100 remdesivir 1000 iv 40.9 54.3 conclusion the results of the research that have been carried out can be concluded that the sterol compounds from sea fans have the probability to interact with protease proteins based on the swiss target prediction prediction, namely only 4,24-dimethyl cholesta-7,22dien-3ß-ol; dinosterol; and 4,24-dimethyl-22-dehydrocholestanol. then based on molecular docking, it showed that the test ligands had a higher binding affinity value than the comparison (drug) with important amino acid residues of asp187. it could be said to be the potential candidate of inhibitor for the mpro protein sars-cov-2. however, it needs to be considered and a serious concern if it was given orally. it was because of a lipophilicity value of more than 5. in addition, it does not provide a pharmacological effect if distributed to plasma proteins because it does not diffuse out of the systemic circulation and the dose of acute oral toxicity (ld50) was dangerous if swallowed. references adelina, r. (2014). uji molecular docking annomuricin e dan muricapentocin pada aktivitas antiproliferasi (molecular docking studies of annomuricin e and muricapentocin on antiproliferation activity). jurnal ilmu kefarmasian indonesia, 12(1), 32–36. faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 194 aslam, m., tan, c. k., & prayitno, a. (2003). farmasi klinis (clinical pharmacy): menuju pengobatan rasional dan penghargaan pilihan pasien. jakarta: pt elex media komputindo. cuzzolin, a., sturlese, m., malvacio, i., ciancetta, a., & moro, s. (2015). dockbench: an integrated informatic platform bridging the gap between the robust validation of docking protocols and virtual screening simulations. journal of molecules, 20, 9977–9993. czyrski, a., & kupczyk, b. (2013). the determination of partition coefficient of 6-mercaptopurine derivatives by thin-layer chromatography. journal of chemistry, 2013. dassault systèmes biovia. (2020). discovery studio 2016 client®. drie, j. h. (2005). pharmacophore-based virtual screening: a practical perspective. in j. alvarez dan b. shoichet. virtual screening in drug discovery. floridausa: crc press. fakih, t. m., & dewi, m. l. (2020). identifikasi protease utama (mpro) sebagai makromolekul target inhibitor novel corona virus 2019 (sars-cov-2) secara in silico. jurnal ilmiah farmasi farmasyifa, 3(2), 84–91. forli, s., huey, r., pique, m. e., sanner, m. f., goodsell, d. s., & olson, a. j. (2016). computational protein-ligand docking and virtual drug screening with the autodock suite. nature protocols, 11(5), 905–119. frengki, f., putra, d. p., wahyuni, f. s., khambri, d., vanda, h., & sofia, v. (2020). potential antiviral of catechins and their derivates to inhibit sars-cov-2 receptors of mpro protein and spike glycoprotein in covid-19 through the in silico approach. jurnal kedokteran hewan indonesian journal of veterinary sciences, 14(3). gao, y., gesenberg, c., & zheng, w. (2017). oral formulations for preclinical studies. in developing solid oral dosage forms (pp. 455– 495). elsevier. grolmusz, v. (2008). evaluating genetic algorithms in protein-ligand evaluating genetic algorithms in protein-ligand docking. springer, 404–413. hongmao, s. (2016). quantitative structure-property relationships models for lipophilicity and aqueous solubility. in a practical guide to rational drug design (pp. 193–223). elsevier. huang, c., wang, y., li, x., ren, l., zhao, j., hu, y., & cao, b. (2020). clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in wuhan, china. the lancet, 395(10223), 497–506. jain, a. n., & nicholls, a. (2008). recommendations for evaluation of computational methods. journal of computer-aided molecular design, 22(3–4), 133–139. jin, z., zhao, y., sun, y., zhang, b., wang, h., wu, y., & rao, z. (2020). structural basis for the inhibition of sars-cov-2 main protease by antineoplastic drug carmofur. nature structural & molecular biology, 27(6), 529–532. kartasasmita, r. e., herowati, r., harmastuti, n., & gusdinar, t. (2009). quercetin derivatives docking based on study of flavonoids interaction to cyclooxygenase-2. indonesian journal of chemistry, 9(2), 297–302. kelutur, f. j., & mustarichie, r. (2020). molecular docking of the potential compounds from cocoa shells (theobroma cacao l.) against androgen receptor as anti-alopecia. journal of global pharma technology, 12(9), 52–60. kelutur, f. j., mustarichie, r., & umar, a. k. (2020). virtual screening kandungan senyawa kipas laut (gorgonia mariae) sebagai antiasma. jurnal penelitian kimia, 16(2), 199–210. kelutur, f. j., saptarini, n. m., mustarichie, r., & kurnia, d. (2021a). bioactive compounds profile of gorgonian corals and their pharmacological activities: a review. rasayan journal of chemistry, 14(3), 1773–1789. kelutur, f. j., saptarini, n. m., mustarichie, r., & kurnia, d. (2021b). isolasi, identifikasi, dan studi in silico anti-inflamasi senyawa golongan terpen kipas laut (gorgonia mariae) asal maluku. universitas padjadjaran. kim, r., & skolnick, j. (2008). assessment of programs for ligand binding affinity prediction. journal of computational chemistry, 29(8), 1316–1330. kokke, w. c. m. c., bohlin, l., fenical, w., & djerassi, c. (1982). novel dinoflagellate 4αmethylated sterols from four caribbean gorgonians. journal of phytochemistry, 21(4), 881–887. kolina, j., sumiwi, s. a., & levita, j. (2018). mode ikatan metabolit sekunder di tanaman akar kuning (arcangelisia flava l.) dengan nitrat oksida sintase. fitofarmaka jurnal ilmiah farmasi, 8(1), 50–58. la kilo, a., aman, l. o., sabihi, i., & la kilo, j. (2019). study of potential of 1-n-substituted pyrazoline analogues of thiosemicarbazones as antiamoebic agent using in silico screening. indonesian journal of chemical research, 7(1), 9–24. faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 195 lipinski, c. a. (2004). lead and drug like compounds: the rule of five revolution. drug discovery today: technologies, 1(4), 337–341. male, y. t., sutapa, i. w., & ranglalin, o. m. (2015). computational study natural color essence (dyes) as active material on organic solar cell with density functional theory (dft). indonesian journal of chemical research, 2, 205–212. megantara, s., levita, j., iwo, m. i., & ibrahim, s. (2018). absorption, distribution, and toxicity prediction of andrographolide and its derivatives as anti-hiv drugs. research journal of chemistry and environment, 22(special issue 1), 82–85. mulyati, b., & panjaitan, r. s. (2021). study of molecular docking of alkaloid derivative compounds from stem karamunting (rhodomyrtus tomentosa) against α-glucosidase enzymes. indonesian journal of chemical research, 9(2), 129–136. muttaqin, f. z., pratama, m. f., & kurniawan, f. (2019). molecular docking and molecular dynamic studies of stilbene derivative compounds as sirtuin-3 (sirt3) histone deacetylase inhibitor on melanoma skin cancer and their toxicities. journal of pharmacopolium, 2(2), 112–121. narayanaswamy, r., wai, l. k., & esa, n. m. (2017). molecular docking analysis of phytic acid and 4-hydroxyisoleucine as cyclooxygenase-2, microsomal prostaglandin e synthase-2, tyrosinase, human neutrophil elastase, matrix metalloproteinase-2 and -9, xanthine oxidase, squalene synthase, nitric oxide synth. pharmacognosy magazine, 13, 512–518. nursamsiar, toding, a. t., & awaluddin, a. (2016). studi in silico senyawa turunan analog kalkon dan pirimidin sebagai antiinflamasi: prediksi absorpsi, distribusi, dan toksisitas. pharmacy, 13(1), 92–100. o’hagan, s., & kell, d. b. (2015). the apparent permeabilities of caco-2 cells to marketed drugs: magnitude and independence from both biophysical properties and endogenite similarities. peerj, 3, e1405. pangastuti, a., amjn, m., & indriwati, e. s. (2016). mengungkap potensi senyawa alami melalui teknik reverse docking. prosiding seminar nasional ii 2016, kerjasama prodi pendidikan biologi fkip dengan pusat studi lingkungan dan kependudukan (pslk) universitas muhammadiya malang, (1), 1019–1028. pratama, m. r. f. (2016). studi docking molekular senyawa turunan kuinolin terhadap reseptor estrogen alpha. jurnal surya medika, 2(1), 1–7. purwaniati, & asnawi, a. (2020). target kerja obat antivirus covid-19: review. jurnal farmagazine, vii(2), 30–42. puspaningtyas, a. r. (2013). molecular docking using molegro virtual docker (mvd) on water extract of guava fruit (psidium gajava, linn) and sweet orange (citrus sinensis, peels) as inhibitor on enzyme tyrosinase as positive control of whitening agent. jurnal kimia terapan indonesia, 15(1), 31–39. rachmania, r. a., supandi, & larasati, o. a. (2015). analisis in silico senyawa diterpenoid lakton herba sambiloto (andrographis paniculata nees) pada reseptor alpha-glukosidase sebagai antidiabetes tipe ii. pharmacy, 12(2), 210–222. roy, d., kumar, v., & acharya, k. k. (2014). probing the binding of syzygium -derived α-glucosidase inhibitors with nand c-terminal human maltase glucoamylase by docking and molecular dynamics simulation. application of biochemistry in biotechnology, 102–114. sawale, r. t., kalyankar, t. m., george, r., & deosarkar, s. d. (2016). molar refraction and polarizability of antiemetic drug 4-amino-5 monohydrate in {aqueous-sodium or lithium chloride} solutions at 30 oc. journal of applied pharmaceutical science, 6(3), 120–124. scheiner, s., kar, t., & pattanayak, j. (2002). comparison of various types of hydrogen bonds involving aromatic amino acids. journal of the american chemical society, 124(11), 13257–13264. sliwoski, g., kothiwale, s., meiler, j., & lowe, e. w. (2014). computational methods in drug discovery. pharmacological reviews, 66(1), 334–395. syahputra, g., ambarsari, l., & sumaryada, t. (2014). simulasi docking kurkumin enol, bisdemetoksikurkumin dan analognya sebagai inhibitor enzim12-lipoksigenase. jurnal biofisika, 10(1), 55–67. the scripps research institute. (2020). autodock tools 4.2. umamaheswari, m., madeswaran, a., & asokkumar, k. (2013). virtual screening analysis and invitro xanthine oxidase inhibitory activity of some commercially available flavonoids. iranian journal of pharmaceutical research, 12(3), 317–323. walls, a. c., park, y.-j., tortorici, m. a., wall, a., faruk jayanto kelutur indo. j. chem. res., 9(3), 185-196, 2022 doi: 10.30598//ijcr. 196 mcguire, a. t., & veesler, d. (2020). structure, function, and antigenicity of the sars-cov-2 spike glycoprotein. cell, 181(2), 281–292. wan, y., shang, j., graham, r., baric, r. s., & li, f. (2020). receptor recognition by the novel coronavirus from wuhan: an analysis based on decade-long structural studies of sars coronavirus. journal of virology, 94(7). wang, m., cao, r., zhang, l., yang, x., liu, j., xu, m., & xiao, g. (2020). remdesivir and chloroquine effectively inhibit the recently emerged novel coronavirus (2019-ncov) in vitro. cell research, 30(3), 269–271. who. (2021). update on coronavirus disease in indonesia. wibowo, s., sri widyarti, sabarudin, a., soeatmadji, d. w., & sumitro, s. b. (2019). the role of astaxanthin compared with metformin in preventing glycated human serum albumin from possible unfolding: a molecular dynamic study. asian journal of pharmaceutical and clinical research, 12(9), 276–282. yanuar, a. (2012). penambatan molekular praktek dan aplikasi pada virtual screening. penerbit fakultas farmasi universitas indonesia. depok. zhu, n., zhang, d., wang, w., li, x., yang, b., song, j., & tan, w. (2020). a novel coronavirus from patients with pneumonia in china, 2019. new england journal of medicine, 382(8), 727–733.