Indonesian Journal of Chemical Research http://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 57 Variasi Jarak Antar Layer Bentonit Pada Pembuatan Nanokomposit Pla-Bentonit Sebagai Kemasan Makanan Bentonite Basal Spacing Variation On Synthesis of PLA-Bentonite Nanocomposite for Food Packaging Vita Wonoputri 1,2 , Natasha Emanuella 2 , Evelyn Angelica 2 , Johnner Sitompul 1,2* 1 Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesa 10, Bandung 40132, Indonesia 2 Program Studi Teknik Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jl. Let. Jen. Purn. Dr. (HC). Mashudi 1/Jl. Raya Jatinangor KM20,75, Sumedang 45363, Indonesia * Corresponding Author: sitompul@che.itb.ac.id Received: 2019-12-20 Received in revised:2020-2-12 Accepted: 2020-5-20 Available online: 2020-5-31 Abstract In this study, bentonite was used as a filler in the synthesis of polylactic acid (PLA) nanocomposite. The mechanical property of PLA-Bentonite nanocomposite was treated using two different surfactants, namely octadecyl amine (ODA) and trimethyl stearyl ammonium chloride (TSC) at two different concentration (20 mmol and 40 mmol). The treatments of ODA and TSC in the matrix with regards to the basal spacing of bentonite stacks measured by X-Ray Diffraction (XRD) analysis. The results showed a significant increase in basal spacing was obtained when TSC 40 was applied for treatment. Data of Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) suggested that this increase was caused by the incorporation of surfactant into the bentonite stacks. Most of the PLA-Bentonite nanocomposite can form intercalation structure, while a sample containing TSC 40 formed exfoliation structure. This exfoliation structure resulted in a film with the best tensile strength and water vapor permeability compared to the others. The film containing TSC 40 showed the lowest reduction in water activity, almost similar to the bread sample wrapped using conventional plastic. The bread wrapped with TSC 40 film was not grown by fungi as opposed to the conventional plastic, showing the potential of the nanocomposite film as food packaging. Keywords: Bentonite, nanocomposite, polylactic acid, surfactant, food packaging. Abstrak (Indonesian) Dalam penelitian ini, bentonit digunakan sebagai pengisi dalam sintesis nanokomposit asam polylactic acid (PLA). Sifat mekanik nanokomposit PLA-Bentonit diolah menggunakan dua surfaktan yang berbeda, yaitu octadecyl amine (ODA) dan trimethyl stearyl ammonium chloride (TSC) pada dua konsentrasi yang berbeda (20 mmol dan 40 mmol). Perlakuan ODA dan TSC dalam matriks berhubungan dengan jarak basal tumpukan bentonit diukur dengan analisis X-Ray Diffraction (XRD). Hasil penelitian menunjukkan peningkatan jarak basal yang naik signifikan diperoleh ketika TSC 40 diterapkan untuk pengobatan. Data Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) menunjukkan bahwa peningkatan ini disebabkan oleh penggabungan surfaktan ke dalam tumpukan bentonit. Sebagian besar nanokomposit PLA-Bentonit dapat membentuk struktur interkalasi, sedangkan sampel yang mengandung TSC 40 membentuk struktur eksfoliasi. Struktur eksfoliasi ini menghasilkan film dengan kekuatan tarik terbaik dan permeabilitas uap air dibandingkan dengan yang lain. Film yang mengandung TSC 40 menunjukkan pengurangan aktivitas air terendah, hampir mirip dengan sampel roti yang dibungkus menggunakan plastik konvensional. Roti yang dibungkus dengan film TSC 40 ditumbuhi oleh jamur sebaliknya plastik konvensional. Hasil ini, menunjukkan potensi film nanokomposit sebagai kemasan makanan. Kata Kunci: Bentonite, nanokomposit,asam poliatik, surfactant,kemasan makanan. Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 59 PENDAHULUAN Kemasan makanan merupakan salah satu aspek yang penting dalam industri makanan. Jenis dan bahan baku dari kemasan makanan itu sendiri harus memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan oleh makanan yang dilindunginya seperti sifat permeabilitas, ketahanan panas dan kekuatan mekaniknya. Plastik adalah material yang paling umum digunakan sebagai kemasan makanan. Plastik yang banyak digunakan adalah plastik sintetis dari bahan yang tidak terbarukan yang membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi, sehingga dapat menyebabkan masalah penumpukan sampah. Plastik biodegradable atau biopolimer dapat menjadi jawaban dari masalah sampah plastik di Indonesia. Menurut Ban dkk. (2006), plastik biodegradable merupakan alternatif kemasan makanan ramah lingkungan karena terbuat dari bahan terbarukan dan mudah terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme dan cuaca. Salah satu biopolimer yang menjanjikan saat ini adalah poliasam laktat atau polylactic acid (PLA). Selain biodegradable, PLA memiliki sifat biokompatibilitas yang baik, termoplastis, serta dapat dipabrikasi. Namun, PLA juga memiliki kelemahan karena strukturnya yang rapuh dan sifat permeabilitas gas yang tinggi (Sitompul dkk., 2016). Modifikasi dari sifat PLA harus dilakukan agar PLA dapat digunakan sebagai kemasan makanan yang dapat melindungi makanan dan ramah lingkungan. Salah satu cara modifikasi PLA adalah dengan memberikan filler berupa partikel nano ke dalam rantai polimer PLA sehingga terbentuklah film nanokomposit (Tjong dan May, 2010). Salah satu filler yang dapat digunakan adalah bentonit. Bentonit umumnya digunakan untuk rafinasi minyak goreng. Sebelum digunakan sebagai filler, bentonit harus diregenerasi terlebih dahulu. Selain itu, bentonit umumnya diaktivasi dengan menggunakan surfaktan terlebih dahulu. Proses pengaktivasian ini bertujuan untuk menciptakan suatu jarak antar permukaan bentonit (jarak antar layer atau basal spacing) sehingga bentonit dapat membentuk berbagai bentuk nanokomposit dengan PLA (Jimenez dkk., 2015). Besarnya basal spacing yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi surfaktan yang digunakan pada proses aktivasi. Oleh karena itu, penelitian ini berfokus pada penggunaan dua buah surfaktan untuk menghasilkan basal spacing bentonit yang berbeda-beda. Surfaktan yang digunakan adalah octadecylamine (ODA) dan trimethyl stearylammonium chloride (TSC) pada konsentrasi 20 mmol dan 40 mmol. Sesudah perlakuan dengan surfaktan, bentonit digunakan sebagai filler dalam pembuatan film PLA-Bentonit nanokomposit. Karakterisasi film yang sudah disintesis meliputi pengujian kekuatan mekanik, biodegradabilitas, permeabilitas air. Film yang didapatkan juga diuji sebagai pembungkus roti. METODOLOGI Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan untuk sintesis laktida dan polimerisasi laktida dengan metode ring opening polymerization (ROP) disajikan pada Gambar 1. Bahan-bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah asam laktat 88,1% (Brataco), PLA komersial, katalis timah(II) 2-etilheksanoat (Sn(Oct)2; Sigma Aldrich), ODA (Sigma Aldrich), TSC (Tokyo Chemical Industry), sodium hipoklorit (Brataco), kloroform (Brataco), metanol (Brataco) serta bentonit terpakai (Sinarmas Group). Prosedur kerja Sintesis dan Pemurnian Laktida Asam laktat sebanyak 250 mL dimasukkan ke dalam labu leher 3 dan dipanaskan selama 2 jam pada temperatur 160°C untuk menghilangkan kandungan air dalam asam laktat. Temperatur kemudian dinaikkan menjadi 200-210 °C dan tekanan diturunkan hingga mencapai kondisi vakum (-20 cmHg) sehingga terjadi reaksi oligomerisasi selama 4 jam. Padatan laktida yang didapatkan dicuci dengan air dan disaring. Rata-rata perolehan laktida adalah sebesar 5,2%. Pemurnian padatan laktida (untuk menghilangkan meso-laktida) dilakukan dengan rekristalisasi menggunakan etil asetat panas dengan perbandingan 1,25 mL/g kristal laktida. Campuran didinginkan secara perlahan hingga temperatur ruang dan dilanjutkan dalam freezer selama 12 jam. Kristal yang terbentuk disaring dan dikeringkan di dalam desikator vakum selama 24 jam. Rata-rata perolehan laktida sesudah proses rekristalisasi adalah 47,10%. Gambar 1. Rangkaian alat (a) sintesis laktida, (b) polimerisasi laktida Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 60 Polimerisasi Laktida dengan Metode Ring Opening Polymerization (ROP) Laktida rekristalisasi sebanyak 6 g dimasukkan bersama dengan katalis Sn(Oct)2 (1%-massa) pada kondisi inert (tanpa oksigen). Campuran dipanaskan dan diaduk selama 4 jam pada temperatur 140 C. Kloroform sebanyak 20 mL ditambahkan ke dalam campuran untuk melarutkan PLA yang terbentuk, kemudian PLA diendapkan kembali dengan menambahkan 20 mL metanol. Endapan disaring dan dikeringkan dalam vakum desikator selama 24-48 jam. PLA hasil sintesis memiliki berat molekul sebesar 111,174 g/mol. Regenerasi dan Aktivasi Bentonit Terpakai Bentonit terpakai diekstraksi dengan n-heksana untuk menghilangkan minyak yang tersisa. Bentonit hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada temperatur 110 °C dan kemudian diayak menggunakan saringan 325 mesh. Bentonit hasil ayakan diputihkan dengan NaOCl selama 120 menit, diaduk pada temperatur 80 o C, lalu disaring. Bentonit dicuci dengan air demineralisasi dan dikeringkan pada temperatur 110 o C selama 24 jam. Bentonit kering sebanyak 10 g dilarutkan dalam 200 mL etanol-air (1:4, v/v) pada temperatur 70 °C dan diaduk selama 2 jam. Larutan surfaktan disiapkan dengan melarutkan sejumlah surfaktan (20 mmol atau 40 mmol, baik untuk ODA maupun TSC) dalam dilarutkan dalam 100 mL etanol-air (1:1, v/v). HCl pekat ditambahkan ke dalam larutan jika serbuk surfaktan belum larut. Kedua larutan tersebut kemudian dicampur dan diaduk selama 1 jam pada temperatur 80 o C. Bentonit yang sudah mendapat perlakuan (organobentonit) disaring, dicuci dan dikeringkan dalam oven. Pembuatan Film Nanokomposit PLA-Bentonit Menggunakan Metode Sonikasi Organobentonit (4%-massa) dilarutkan ke dalam 20 mL kloroform dan disonikasi selama 1 jam. Dalam wadah lain, sebanyak 0,75 g PLA hasil sintesis dan 1,75 g PLA komersial dilarutkan ke dalam 30 mL kloroform dan diaduk pada temperatur ruang sampai seluruh PLA larut. Kedua campuran tersebut dicampur dan disonikasi selama 2 jam. Campuran larutan PLA dan bentonit dituangkan ke dalam loyang berukuran 13 cm x 13 cm untuk membentuk film. Film diratakan dan dikeringkan selama 24 jam pada temperatur ruang. Karakterisasi Uji karakterisasi dilakukan terhadap bentonit, laktida, PLA hasil sintesis, dan film nanokomposit PLA-Bentonit. Uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) dilakukan terhadap bentonit dan laktida hasil sintesis untuk mengetahui struktur molekul dan kemurnian laktida hasil sintesis. Uji X- Ray Diffraction (XRD) dilakukan terhadap bentonit dan film nanokomposit PLA-Bentonit untuk mengetahui jarak antar layer bentonit menggunakan Persamaan Bragg’s. Sementara itu, karakterisasi film nanokomposit PLA-Bentonit dilakukan dengan uji sifat mekanik menggunakan universal testing machine, uji biodegradabilitas, uji water vapor permeability (WVP), dan uji pengaruh kemasan terhadap makanan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bentonit Jarak antar layer dianalisis dengan menggunakan XRD dan didapatkan bahwa bentonit hasil regenerasi (sebelum perlakuan dengan surfaktan) memiliki jarak layer sebesar 1,49 nm (Gambar 2). Perlakuan bentonit dengan ODA sebesar 20 mmol menambah jarak antar layer mencapai 1,57 nm (meningkat sebesar 11%). Peningkatan jarak antar layer bentonit dengan surfaktan terjadi karena ion-ion anorganik Na/Ca/Mg yang berada di antara layer bentonit bertukar dengan ion-ion positif yang dimiliki oleh surfaktan organik (Patel dkk., 2010). Penyerapan ion ini mengakibatkan surfaktan yang digunakan masuk ke antar layer bentonit, sehingga meningkatkan jarak antar layer bentonit. Ketika jumlah surfaktan yang digunakan bertambah dua kali lipatnya menjadi 40 mmol ODA, jarak antar layer bentonit juga meningkat menjadi 1,72 nm atau 23%. Peningkatan jumlah surfaktan meningkatkan jumlah ion yang dapat dipertukarkan, sehingga gaya tolak menolak menjadi semakin besar dan menghasilkan jarak yang semakin besar pula (De Paiva dkk., 2008). Gambar 2. XRD spektra dan jarak antar layer bentonit tanpa perlakuan dan sesudah perlakuan Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 61 Hal serupa juga terjadi pada bentonit yang diregenerasi dengan TSC. Penambahan TSC sebesar 20 mmol meningkatkan jarak antar layer menjadi 1,99 nm (meningkat sebesar 33%), sedangkan untuk konsentrasi 40 mmol adalah sebesar 2,05 nm (meningkat sebesar 39%). Peningkatan jarak antar layer pada TSC lebih besar dibanding ODA pada konsentrasi yang sama. Maka karena itu, dapat disimpulkan bahwa penambahan jarak antar layer tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah surfaktan namun juga dipengaruhi oleh jenis surfaktan. TSC merupakan surfaktan dengan gugus fungsi amina dengan tiga cabang alkil, sehingga memiliki struktur garam amonium yang lebih besar daripada ODA yang hanya memiliki gugus amina pada sisi ujung rantai (Gambar 3). Ion amina bertukar dengan ion sodium yang ada di dalam bentonit. Pada saat pertukaran ion ini, struktur TSC yang lebih besar akan menyebabkan gaya tolak menolak yang semakin besar antarkation sehingga jarak antar layer pun meningkat. Selain itu, rantai alifatik TSC yang lebih panjang daripada rantai alifatik ODA juga berkontribusi dalam penambahan jarak antar layer bentonit. (a) (b) Gambar 3. Struktur kimia (a) ODA dan (b) TSC Bentonit yang telah diaktivasi dengan surfaktan ODA dan TSC diuji dengan FTIR untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang terkandung pada bentonit (Gambar 4). Kedua sampel yang diujikan menunjukkan 3 puncak utama pada bilangan gelombang 1019,77 cm -1 , 787,54 cm -1 , dan 666,25 cm -1 yang merupakan puncak ikatan Si-O, Fe 3+ -OH- Mg, dan Si-O-Mg. Ketiga puncak ini menunjukan penyusun utama dari bentonit. Selain itu, terdapat pula puncak pada bilangan gelombang 2916 cm -1 , 2849 cm -1 , dan 1467 cm -1 yang menunjukan adanya gugus C-H. Keberadaan gugus ini menandakan keberadaan gugus hidrokarbon di dalam bentonit yang berasal dari masing-masing surfaktan. Bentonit dengan surfaktan ODA menunjukan intensitas yang lebih besar pada puncak tersebut karena gugus hidrokarbon yang lebih panjang yang dimiliki oleh surfaktan ODA. Sedangkan untuk TSC, intesitas gugus C-H tampak lebih kecil karena rantai hidrokarbon yang lebih sedikit dibanding ODA. Hasil analisis ini membuktikan bahwa kedua surfaktan berikatan ke dalam bentonit yang telah diaktivasi. Karakteristik Dispersi Bentonit dalam Film Nanokomposit PLA-Bentonit Untuk mengetahui karakteristik dispersi bentonit dalam matriks PLA maka pengukuran jarak antar layer bentonit dengan XRD juga dilakukan pada nanokomposit PLA-Bentonit. Ketika bentonit ditambahkan ke matriks PLA, terjadi peningkatan jarak antar layer bentonit tersebut, menjadi 2,414 nm (meningkat 35%); 2,635 nm (34,7%); 2,992 nm (33,5%); 5,584 nm (62,9%) berturut-turut untuk ODA 20, ODA 40, TSC 20, dan TSC 40 (Tabel 1). Tabel 1. Hasil karakteristik jarak antar layer film nanokomposit PLA-Bentonit Keterangan Jarak Antar Layer (nm) ODA 20 2,414 ODA 40 2,635 TSC 20 2,992 TSC 40 5,584 Gambar 4. Analisis FTIR pada organobentonit menggunakan (a) ODA 20 mmol dan (b) TSC 20 mmol Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 62 Peningkatan jarak antar layer ini disebabkan oleh interaksi antara gugus hidroksil (OH) dari bentonit dan gugus karbonil (C=O) dengan PLA (Morais dkk., 2014). Peningkatan jarak antar layer pada bentonit ini dapat menunjukkan bahwa rantai PLA telah masuk dan terinterkalasi di antara layer bentonit (Azhar dkk., 2014; Bijang dkk., 2014). Jarak antar layer pada film bentonit ini menentukan struktur komposit yang terbentuk dan campuran bentonit dalam PLA dapat membentuk struktur terinterkalasi atau eksfoliasi. Struktur interkalasi dalam nanokomposit memiliki bentuk interlayer dengan terdapat beberapa layer molekular dari polimer. Sedangkan struktur eksfoliasi dalam nanokomposit memiliki bentuk layer individu yang tersebar dalam matriks kontinu polimer dengan jarak tertentu (Ray dan Okatomo, 2003). Nanokomposit yang memiliki struktur terinterkalasi memiliki jarak antar layer sebesar 1-4 nm, sedangkan dispersi jenis eksfoliasi menghasilkan jarak antar layer sebesar 6-7 nm (Ray dan Okatomo, 2003; Sekeweal dkk., 2018; Fabiani dkk., 2017). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa film ODA 20, ODA 40, dan TSC 20 memiliki struktur nanokomposit interkalasi sedangkan film TSC 40 memiliki struktur nanokomposit yang lebih mendekati struktur tereksfoliasi dibandingkan dengan terinterkalasi. Uji Kekuatan Mekanik Film Nanokomposit PLA- Bentonit Pengujian sifat mekanik dilakukan pada semua film PLA-Bentonit (Tabel 2). Penambahan bentonit yang digunakan sebagai filler dalam matriks PLA nanokomposit menurunkan nilai elongation at break, namun meningkatkan modulus Young (Tabel 2). Penggunaan bentonit yang sudah diaktivasi memberikan efek yang berbeda terhadap kekuatan mekanik film. Sebagai contoh, penggunaan bentonit yang sudah diaktivasi dengan TSC memiliki nilai tensile strength yang lebih tinggi daripada film dengan bentonit ODA. Hal yang serupa juga dapat diamati pada nilai elongation at break dan film dengan bentonit TSC memiliki nilai yang lebih tinggi daripada film dengan bentonit ODA (Tabel 2). Tabel 2. Sifat mekanik film nanokomposit PLA- Bentonit dengan variasi berbagai surfaktan Variasi Konsentrasi (mmol) Tensile strength (MPa) Modulus Young (MPa) Elongation at break (%) Tanpa bentonit - 1.55 59.72 19.27 Tanpa surfaktan - 1.59 82.21 5.03 ODA 20 7.87 329.72 2.66 40 2.17 194.62 3.00 TSC 20 10.31 148.85 14.90 40 12.68 194.58 8.02 Nilai tensile strength yang paling tinggi dihasilkan oleh bentonit yang diaktivasi dengan menggunakan TSC 40 mmol, yaitu sebesar 12,68 MPa. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai jarak antar layer film TSC 40 yang paling besar dibandingkan dengan variasi lainnya. Jarak antar layer yang semakin besar dapat meningkatkan kekuatan dan kekakuan dari film nanokomposit karena bentonit yang telah diaktivasi dapat terinterkalasi ke dalam matriks PLA (Ray dan Okamoto, 2003). Peningkatan sifat mekanik ini juga dipengaruhi oleh kenaikan tingkat dispersi clay yang dapat mempromosikan peningkatan area kontak dan interaksi permukaan antar clay dengan PLA (Najafi, 2012). Film TSC 40 memiliki jarak antar layer yang mengindikasikan struktur nanokomposit yang mendekati eksfoliasi dibandingkan dengan variasi film lain. Struktur nanokomposit eksfoliasi memiliki tingkat dispersi yang lebih homogen dibandingkan dengan struktur nanokomposit interkalasi (Liu dkk., 2007). Hal ini yang menyebabkan film TSC 40 memiliki sifat mekanik yang paling kuat dibandingkan dengan variasi film yang lain. Pada umumnya dapat dilihat bahwa aktivasi bentonit menggunakan surfaktan TSC menghasilkan nilai tensile strength yang lebih tinggi dibandingkan dengan film yang diaktivasi menggunakan surfaktan ODA. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan nilai tensile strength ini dapat dipengaruhi oleh adanya dispersi bentonit yang merata dalam matriks PLA. Bentuk dispersi bentonit ini dapat diwakili dari jarak antar layer yang dihasilkan dari film. Jarak antar layer yang besar ini dapat meningkatkan area kontak dan interaksi antar permukaan bentonit dan PLA sehingga perpindahan stress dari PLA ke bentonit dapat berlangsung dengan baik. Hasil uji mekanik juga menunjukkan bahwa film yang menggunakan surfaktan ODA memiliki nilai modulus Young yang tinggi namun nilai elongation at break yang rendah dan surfaktan TSC memberikan hasil yang sebaliknya. Namun, karena penggunaan bentonit ditujukan untuk memperbaiki kerapuhan PLA, maka dapat disimpulkan bahwa film TSC 40 menghasilkan nilai tensile strength yang paling baik. Uji Water Vapor Permeability (WVP) Pada penelitian ini, WVP dari sampel ditentukan dengan menghitung perubahan massa dari silika gel yang ditutupi oleh sampel. Data massa dari silika gel diambil setiap 24 jam selama 5 hari. Perubahan massa terbesar, yaitu 1,1 g, tampak pada film dengan ODA 40 mmol. Film yang terbentuk pada variasi ODA 40 mmol memiliki struktur permukaan yang tidak halus Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 63 serta berpori. Hal ini dapat berkontribusi pada penyerapan uap air yang lebih tinggi oleh silika gel dibandingkan sampel lainnya. WVP yang paling rendah ditunjukan oleh film dengan TSC 40, yaitu hanya sebesar 0,122 g setelah 7 hari. Hal ini menegaskan hasil yang didapat sebelumnya merujuk pada film dengan bentonit TSC 40 memiliki struktur dispersi bentonit yang lebih baik dibandingkan dengan film lainnya. Bentonit yang terdispersi secara merata di seluruh permukaan film dapat menghalangi uap air untuk masuk melewati film (Buzarovska dkk., 2016), sehingga menghasilkan nilai WVP yang rendah. Pada jarak antar layer yang semakin besar, bentonit cenderung membentuk struktur yang acak di dalam film sehingga menghalangi masuknya uap air (Auras dkk., 2010). Selain itu, keberadaan bentonit yang mengandung lapisan silikat dapat memperpanjang jalur yang harus ditempuh oleh uap air untuk menembus film (Ortiz-Zarama dkk., 2016). Gambar 5. Kurva uji water vapor permeability pada berbagai variasi film nanokomposit PLA-Bentonit Uji Biodegradabilitas Sifat biodegradable adalah sifat yang diinginkan terutama dalam menyelesaikan masalah penumpukan sampah plastik. Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah terbukti bahwa semakin banyak penambahan bentonit maka waktu degradasinya pun semakin cepat. Selain itu, konsentrasi surfaktan yang lebih banyak ternyata dapat mempercepat waktu degradasi dari film plastik. Hal ini terlihat dari perbandingan film dengan surfaktan ODA pada konsentrasi 20 mmol, pengurangan massa terjadi sebanyak 6% setelah 4 hari. Sedangkan untuk film dengan konsentrasi 40 mmol, pengurangan massa terjadi sebanyak 10% pada rentang waktu yang sama. Selain itu, jenis surfaktan ODA memiliki waktu degradasi yang lebih cepat dibandingkan dengan TSC yang hanya berkurang sebesar 6,9% pada konsentrasi 40 mmol setelah 4 hari uji. Salah satu faktor yang mempengaruhi waktu dari proses biodegradasi adalah berat molekul dari film. Semakin besar berat molekulnya, semakin lama pula proses biodegradasi berlangsung (Tokiwa dan Calabia, 2006). Hal ini menjelaskan mengapa film dengan TSC memiliki waktu degradasi yang lebih lama yaitu karena rantai TSC yang lebih panjang dibanding ODA sehingga menyebabkan berat molekul yang lebih berat. Gambar 6. Hasil uji biodegradabilitas film nanokomposit PLA-Bentonit pada berbagai variasi Uji Pengaruh Kemasan terhadap Makanan Film nanokomposit PLA-Bentonit yang telah terbentuk juga dilakukan uji terhadap makanan untuk melihat pengaruh atau perubahan makanan akibat kemasan. Objek yang digunakan untuk melihat pengaruh kemasan terhadap makanan adalah roti tawar. Pada uji ini terdapat dua kontrol yang digunakan yaitu roti tawar yang tidak dibungkus sama sekali dengan kemasan (kontrol 1) dan roti tawar yang dibungkus menggunakan plastik konvensional (kontrol 2). Pengukuran water activity (Aw) pada sampel roti ditujukan untuk melihat perubahan ketersediaan air bebas yang dapat dipengaruhi oleh kelembaban relatif (Tabel 3). Dari hasil percobaan didapatkan bahwa semua roti yang dibungkus menggunakan film nanokomposit PLA-Bentonit mengalami penurunan kadar Aw kurang lebih 20%, kecuali pada film TSC 40. Aw awal untuk semua roti tawar sama yaitu 0,959. Roti kontrol 1 dan roti film ODA 20, ODA 40, dan TSC 40 memiliki nilai Aw akhir kurang dari 0,8. Sedangkan roti kontrol 2 dan roti film TSC 40 memiliki nilai Aw lebih dari 0,8. Tabel 3. Perubahan nilai Aw pada roti tawar Keterangan Aw awal Aw akhir % Penurunan Aw Kontrol 1 0.959 0.738 23.04 Kontrol 2 0.959 0.868 9.49 ODA 20 0.959 0.759 20.86 ODA 40 0.959 0.752 21.58 TSC 20 0.959 0.77 19.71 TSC 40 0.959 0.847 11.68 0 2 4 6 8 10 12 0 1 2 3 4 5 % m a ss a h ila n g Hari ke- ODA 20 ODA 40 TSC 40 Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 64 Penurunan nilai Aw dapat disebabkan karena terjadinya pertukaran udara dari luar ke dalam kemasan sehingga air yang berada pada roti dapat terbawa oleh udara lingkungan yang memiliki kandungan air lebih rendah dibandingkan dengan roti. Hal ini menyebabkan penurunan kandungan air di dalam roti yang dapat menyebabkan tekstur roti menjadi keras. Hasil pengamatan visual menunjukkan bahwa tekstur roti kontrol 1 dan semua variasi film menghasilkan tekstur roti yang keras dan tidak berjamur (Gambar 7). Roti kontrol 2 menghasilkan tekstur roti yang masih lembut namun ditumbuhi jamur pada permukaannya. Peningkatan kekerasan roti yang dibungkus dengan film PLA-Bentonit dibandingkan dengan kemasan plastik konvensional secara tidak langsung menunjukkan bahwa kemasan film nanokomposit PLA-Bentonit memiliki pori-pori yang cukup besar jika dibandingkan dengan kemasan plastik konvensional. Gambar 7. Hasil pengamatan visual uji kemasan terhadap makanan Nilai Aw pada roti yang dibungkus plastik konvensional (0,868) tidak berbeda jauh dengan nilai Aw pada roti yang dibungkus film TSC 40 (0,847). Padahal pada rentang Aw 0,8-1,0 terdapat kemungkinan besar untuk jamur dapat tumbuh. Namun hal ini tidak terjadi pada roti yang dibungkus dengan film TSC 40. Menurut Darie dkk. (2014), nanokomposit yang memiliki clay yang bersifat hidrofilik dapat meningkatkan aktivitas mikrobial pada permukaan nanokomposit tersebut. Namun penambahan surfaktan yang terinterkalasi pada antar layer clay dapat mengubah sifat clay yang awalnya hidrofilik menjadi hidrofobik sehingga dapat menurunkan aktivitas mikrobial. Oleh karena itu, pengurangan aktivitas mikrobial pada roti yang dibungkus oleh TSC 40 dapat disebabkan oleh perubahan sifat hidrofilik menjadi hidrofobik. Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membandingkan sifat hidrofobisitas/ hidrofilisitas PLA-Bentonit nanokomposit dan plastik konvensional dengan metode khusus. KESIMPULAN Pada penelitian ini, film nanokomposit PLA- Bentonit disintesis untuk memperbaiki sifat PLA yang rapuh dan fungsi PLA sebagai pembungkus makanan. Bentonit terpakai diregenerasi dan diaktivasi dengan menggunakan surfaktan ODA dan TSC pada berbagai konsentrasi. Penggunaan surfaktan menambah jarak antar layer bentonit dengan bentonit yang diaktivasi TSC 40 memiliki jarak antar layer paling besar. Penambahan jarak antar layer disebabkan oleh masuknya rantai surfaktan ke antar layer bentonit, seperti yang ditunjukkan oleh hasil FTIR. Ketika campuran PLA dan bentonit disonikasi dan dicetak, jarak antar layer bentonit semakin besar. Hal ini mengindikasikan rantai PLA yang masuk ke antar layer bentonit untuk membentuk film nanokomposit. Sebagian besar sampel yang dianalisis membentuk struktur interkalasi antara bentonit dengan PLA, kecuali PLA-Bentonit TSC 40 yang dapat membentuk struktur tereksfoliasi. Akibatnya, sampel yang mengandung TSC 40 memiliki ketahanan yang paling baik yang dapat dilihat dari peningkatan nilai tensile strength untuk sampel ini. Film yang mengandung TSC 40 merupakan film yang paling dapat menahan masuknya uap air ke dalam sampel. Namun, kandungan TSC 40 menyebabkan film sulit terdegradasi jika dibandingkan dengan film lainnya. Ketika film hasil sintesis digunakan sebagai pembungkus roti tawar, penurunan nilai Aw terkecil diamati pada film PLA-Bentonit TSC 40. Penurunan Aw roti yang dibungkus pada film ini tidak berbeda jauh dengan penurunan Aw roti yang dibungkus dengan plastik komersial. Namun, roti yang terbungkus film TSC 40 tidak ditumbuhi jamur, sedangkan roti yang terbungkus dengan plastik komersial masih dapat ditumbuhi jamur. Hal ini menunjukkan potensi yang tinggi dari film PLA- Bentonit TSC 40 sebagai pembungkus makanan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Adilla Latifa Adisti dan Jonal Adi Prasetiya yang turut membantu pada tahap awal penelitian ini dan kepada ITB untuk sebagian pendanaan melalui P3MI. Vita Wonoputri dkk. Indo. J. Chem. Res., 8(1), 57-65, 2020 DOI: 10.30598//ijcr.2020.8-vit 65 DAFTAR PUSTAKA Auras, R.A., Lim, L.T., Selke, S.E., and Tsuji, H., 2011. Poly (Lactic Acid): Synthesis, Structures, Properties, Processing, and Applications, John Wiley & Sons, New Jersey. Azhar, F.F., Olad, A., and Mirmohseni, A., 2014. Development of Novel Hybrid Nanocomposites Based on Natural Biodegradable Polymer- Montmorillonite/ Polyaniline: Preparation and Characterization, Polym. Bull., 71(7), 1591-1610. Ban, W., Song, J., Argyropoulos, D.S., and Lucia, L.A., 2006. Improving the Physical and Chemical Functionality of Starch-Derived Films with Biopolymers, J. Appl. Polym. Sci., 100(3), 2542-2548. Bijang, C. M., Sekewael, S. J., and Koritelu, J. A. 2014. Base Activated Clay and Its Application As Cation Exchanger To Reduce The Mg 2+ and Ca 2+ Ions Concentration In The Well, Indo. J. Chem. Res., 1(2), 93-98. Buzarovska, A., Bogoeva-Gaceva, G., and Fajgar, R., 2016. Effect of the Talc Filler on Structural, Water Vapor Barrier and Mechanical Properties of Poly (Lactic Acid) Composites, J. Polym. Eng., 36(2), 181-188. arie, . ., P slaru, ., S ro is, ., Pri ope, . ., itru , . ., Poiat , ., Baklavari is, ., and Vasile, C., 2014. Effect of Nanoclay Hydrophilicity on the Poly (Lactic Acid)/Clay Nanocomposites Properties, Ind. Eng. Chem. Res., 53(19), 7877-7890. De Paiva, L.B., Morales, A.R., and Diaz, F.R.V., 2008. Organoclays: Properties, Preparations and Applications, Appl. Clay. Sci., 42, 8-24. Fabiani, V.A., Silalahi, I. H., dan Sayekti, E., 2017. Pengaruh Variasi Garam Ammonium Terhadap Keasaman Zeolit Alam Pada Reaksi Perengkahan Minyak Jelantah, Indo. J. Chem. Res., 5(1), 1-6. Jimenez, A., Peitzer, M., and Ruseckaite, R., 2015. Poly (Lactic Acid) Science and Technology, Processing, Properties, Additives and Applications, Royal Society of Chemistry, Cambridge. Liu, L.S., Finkenstadt, V.L., Liu, C.K., Jin, T., Fishman, M.L., and Hicks, K.B., 2007. Preparation of Poly (Lactic Acid) and Pectin Composite Films Intended for Applications in Antimicrobial Packaging, J. Appl. Polym. Sci., 106(2), 801-810. Morais, D.D.S., Araujo, E.M., Barbosa, Renata., and Melo, T.J.A., 2014. Preparation of Poly(Lactic Acid)/ Bentonite Clay Bio-Nanocomposite, Materials Science Forum, 775-776, 223-237. Nafaji, N., Huezey, M.C., Carreau, P.J., 2012. Polylactide (PLA)-Clay Nanocomposites Prepared by Melt Compounding in the Presence of a Chain Extender, Compos. Sci. Technol., 72, 608-615. Ortiz-Zarama, M.A., Jiménez-Aparicio, A.R., and Solorza-Feria, J., 2016. Obtainment and Partial Characterization of Biodegradable Gelatin Films with Tannic Acid, Bentonite and Glycerol, J. Sci. Food Agric., 96(10), 3424-3431. Patel, H.A., Somani, R.S., Bajaj, H.C., and Jasra, R.V., 2010. Synthesis of Organoclays with Controlled Particle Size and Whiteness from Chemically Treated Indian Bentonite, Ind. Eng. Chem. Res., 49(4), 1677-1683. Ray, S.S., and Okamoto, M., 2003. Polymer/Layered Silicate Nanocomposites: A Review from Preparation to Processing, Prog. Polym. Sci., 28, 1539-1641. Sekewael, S. J., Wijaya, K., dan Triyono, 2018. Pengaruh Pemanasan Terhadap Kristalinitas Dan Parameter Kisi Nanokomposit Silika-Zirkonia Montmorillonit K10 Dan Silika-Besi Oksida Montmorillonit K10, Indo. J. Chem. Res., 6(1), 38-43. Sitompul, J., Setyawan, D., Kim, D.Y.J., and Lee, H.W., 2016. Synthesis of PDLLA/PLLA- Bentonite Nanocomposite through Sonication, AIP Conference Proceedings, 1725, 020080-1- 020080-9. Tjong, S.C., and Mai, Y.W., 2010. Physical Properties and Applications of Polymer Nanocomposites, Woodhead Publishing, Cambridge. Tokiwa, Y., and Calabia, B.P., 2006. Biodegradability and Biodegradation of Poly (Lactide), Appl. Microbiol. Biotechnol., 72(2), 244-251. https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/78 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/78 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/78 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/140 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/140 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/140 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700 https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/ijcr/article/view/700